Bara Di Atas Singgasana Jilid 17
PRAJURIT sandi itu mengangguk-angguk. Katanya, “Besok lusa kita akan berlatih bertempur. Meskipun lawan kita tidak berat, tetapi kita memang harus berhati-hati.”
“Baiklah. Kita akan melakukan sebaik-baiknya. Kita berharap bahwa kita akan dapat kembali tepat pada waktunya.”
Demikianlah maka malam itu telah mereka lalui tanpa mengalami gangguan apapun. Para prajurit yang kelelahan itu dapat tidur dengan nyenyak. Hanya kadang-kadang mereka terbangun oleh auman harimau di tengah-tengah hutan yang lebat, di sebelah tempat mereka beristirahat. Tetapi mereka-pun kemudian tidak menghiraukannya lagi. Mereka yakin bahwa ada orang lain yang pasti sedang bertugas. Siapa-pun orangnya.
Ketika dua orang prajurit yang bertugas bersama pemimpin pasukan kecil itu tidak lagi dapat menahan kantuk dan lelah, maka pemimpinnya-pun kemudian berkata kepada mereka, “Tidurlah.”
“Siapakah yang akan bertugas mengawasi keadaan di sekitar kita?”
“Aku.”
“Sendiri? Bukankah, kau juga lelah seperti aku?”
Pemimpinnya itu mengerutkan keningnya. Mereka telah mempergunakan cara yang tidak lajim. Cara yang lebih mirip dengan cara yang dipergunakan diantara sesama kawan sepenanggungan. Tidak lagi seperti prajurit-prajurit yang terikat oleh peraturan yang keras.
“Tidurlah. Aku akan berjaga-jaga bersama kedua petugas sandi itu. Mereka pasti bersedia mengawani aku.”
Kedua prajurit itu merenung sejenak. Lalu, “Baiklah,” berkata salah seorang dari mereka, “aku akan tidur.”
Keduanya-pun kemudian merebahkan dirinya diatas sebuah batu yang besar sekali. Tetapi agaknya punggung batu itu tidak memungkinkan mereka dapat tidur nyenyak, sehingga akhirnya mereka-pun turun dan duduk ditanah bersandar batu itu.
Yang berjaga-jaga kemudian adalah pemimpin prajurit itu bersama kedua petugas sandi. Tetapi karena pemimpin pasukan kecil itu-pun kelelahan, maka kadang-kadang tanpa sesadarnya ia-pun terlena sesaat sehingga percakapannya dengan kedua petugas sandi itu tidak bersentuhan. Pemimpin pasukan itu kadang-kadang seperti bermimpi mendengar suara orang berbicara, tetapi kata-katanya kurang jelas, sehingga jawabnya-pun tidak menyinggung pertanyaannya.
Kedua petugas itu tersenyum. Salah seorang berkata, “Kau ternyata lelah sekali. Kau dapat tidur sambil berbicara. Nah, beristirahatlah. Aku berdua akan menjaga kalian. Aku yakin bahwa tidak akan ada apa-apa disini.”
Pemimpin prajurit itu mencoba membuka matanya selebarnya. Jawabnya, “Tidak. Aku tidak lelah sekali. Hanya sedikit kantuk. Tetapi itu-pun akan segera hilang.”
“Kau memang Senapati yang baik.”
Pemimpin pasukan itu masih dapat tersenyum. Tetapi pendengarannya sudah mengambang tanpa pengertian apapun. Bahkan kemudian tanpa tertahankan lagi, ia-pun tertidur pula bersandar sebatang pohon tanpa dikehendakinya sendiri.
Kedua petugas sandi itu saling berpandangan sejenak. Salah seorang dari mereka berdesis, “Memang perjalanan yang berat sekali. Biarlah mereka tertidur sejenak. Kita dapat membantu menjaganya.”
Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Benar juga pertanyaan tuanku Putera Mahkota. Kalau di dalam keadaan seperti ini, tiba-tiba orang-orang itu datang menyerang, maka tidak akan ada perlawanan yang berarti. Meskipun mereka tidak terlampau kuat, tetapi mereka pasti akan dapat menghancurkan pasukan ini.”
Kawannya tidak menyahut. Dipandanginya tubuh-tubuh yang berserakan tidak menentu. Silang melintang. Seolah-olah mereka tidak dapat menahan lelah sekedar menempatkan diri mereka.
“Semuanya telah tertidur,” desis salah seorang petugas sandi itu.
“Dan kita mendapat pekerjaan disini.”
“Sama sekali tidak ada yang masih terbangun.”
Namun mereka terkejut ketika mereka mendengar salah seorang dari mereka yang berserakan itu menyahut, “Aku masih terbangun.”
Kedua petugas sandi itu berpaling. Dilihatnya Anusapati duduk sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, hanya beberapa langkah di belakangnya. Keduanya mengerutkan keningnya. Menurut ingatan mereka, Anusapati tidak duduk di tempatnya yang sekarang. Tetapi mereka sama sekali tidak mendengar Putera Mahkota, itu bergeser, atau memang ingatan merekalah yang salah.
“Tuanku masih terbangun,” bertanya salah seorang dari kedua petugas sandi itu.
“Ya. Aku tidak dapat tidur dan ingin mengawani kalian berdua.”
“Sudahlah tuanku. Hamba persilahkan tuanku beristirahat. Biarlah hamba berdua sajalah yang berjaga-jaga.”
“Apakah itu dapat dibenarkan? Aku tidak mengerti peraturan yang berlaku dengan pasti, karena aku baru pertama kali ikut di dalam pasukan. Tetapi sepengetahuanku, harus ada petugas dari pasukan ini yang tetap berjaga-jaga. Kalian tidak termasuk dalam pasukan ini, meskipun kalian dapat menggabungkan diri seperti sekarang. Tetapi tugas kalian tidak di dalam pasukan kecil ini. Bukankah begitu? Sehingga karena kebetulan kalian bersedia, atau karena kebaikan hati kalian, maka kalian dapat membantu kami disini. Tetapi seandainya kalian masih mempunyai tugas tertentu malam ini, karena tiba-tiba terjadi pergolakan di daerah pengawasanmu, maka sudah tentu kalian tidak dapat berada ditempat ini untuk waktu yang lama.”
Kedua petugas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi mereka tidak menjawab.
“Karena itu, biarlah aku yang berjaga-jaga disini mewakili petugas-tugas yang sebenarnya harus diatur lebih dahulu. Tetapi karena keadaan, maka tidak dapat dilakukan hal seperti itu. Kebetulan saja aku tidak dapat tidur. Maka biarlah aku melakukannya bersama kalian yang juga kebetulan saja tidak mempunyai tugas lain.”
Kedua petugas sandi itu saling berpandangan. Putera Mahkota adalah orang yang baru pertama kali mengalami dan pengetahuannya tentang keprajuritan-pun seharusnya masih belum begitu banyak. Apalagi pengalamannya. Tetapi pertanyaannya tentang kemungkinan yang dapat terjadi dengan pasukan yang lelah ini serta beberapa pengetahuannya tentang tugas-tugas keprajuritan, membayangkan kemampuannya didalam bidang ini.
“Tuanku,” berkata salah seorang dari kedua petugas itu, “ternyata pengetahuan tuanku tentang tugas-tugas keprajuritan sudah cukup banyak. Bahkan sikap dan ketahanan tubuh tuanku tidak kalah dengan para prajurit yang lain.”
“Bukan begitu. Mungkin aku selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan atas serangan-serangan yang dapat datang setiap saat. Mungkin juga karena sekali-sekali aku pernah membaca rontal yang memuat pengetahuan tentang olah keprajuritan.”
Kedua petugas sandi itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sudah tentu Anusapati mendapat kesempatan membaca rontal tentang berbagai ilmu, dan sudah tentu pula gurunya pernah juga memberitahukan berbagai pengetahuan keprajuritan.
“Ya tuanku,” jawab petugas yang lain, “tuanku tentu sudah membaca rontal. Tetapi ketahanan tubuh tuanku juga mengagumkan. Semua orang tidak lagi dapat menahan dirinya, sehingga pemimpin dari pasukan ini-pun tertidur tanpa dikehendakinya sendiri. Namun tuanku masih tetap terjaga.”
“Sama sekali bukan suatu kelebihan. Dalam hidupku sehari-pun aku tidak dapat tidur nyenyak apabila aku sedang lelah. Semakin lelah, aku menjadi semakin gelisah. Aku tidak tahu kenapa demikian. Dan sekarang-pun terjadi hal yang serupa. Aku lelah sekali sehingga agaknya nafasku sudah hampir terputus. Karena itulah maka aku tidak akan dapat tidur sekejappun. Besok, selagi pasukan ini beristirahat, sementara beberapa orang mengintai kedudukan musuh, aku akan tidur sehari penuh."
“Tetapi bagaimana kalau tugas pengintaian itu diserahkan kepada tuanku?”
“Lalu apa kerja kalian berdua?”
“Bersama dengan tuanku mengamati kedudukan lawan.”
Anusapati menarik nafas. Jawabnya, “Apa boleh buat. Kalau aku harus pergi, aku-pun akan pergi. Dan hal itu-pun akan merupakan suatu pengalaman baru buatku. Aku merasa bahwa pengalaman itu memang sangat perlu. Bukan saja bagiku pribadi, tetapi terutama bagi tugas-tugasku kelak.”
“Hamba tuanku,” jawab kedua petugas sandi itu hampir berbareng.
“Ketika aku keluar dari istana, dalam perjalanan ini, aku tidak menyangka, bahwa alam begitu luasnya, sehingga apa yang pernah aku kenal di dalam istana itu hanyalah sebagian kecil saja dari Kerajaan Singasari. Ternyata di luar dinding istana itu terdapat berbagai macam persoalan yang sangat menarik. Alam, rakyat di padukuhan-padukuhan terpencil, hutan dan binatang-binatang buruan. Aku senang sekali mengenal semua itu dari dekat. Aku jarang sekali mendapat kesempatan dari Ayahanda Sri Rajasa untuk ikut serta berburu.”
Kedua petugas sandi itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang dari mereka menjawab, “Tuanku adalah Putera Mahkota. Karena itulah agaknya tuanku harus selalu dijaga jangan sampai mengalami sesuatu. Juga di medan perburuan.”
“Tetapi di dalam pendadaran semacam ini, aku akan merasa terlampau berat.” Anusapati berhenti sejenak. Lalu, “kalau sebelumnya aku pernah mengalami dari sedikit, maka aku kira badanku tidak serasa seperti dicuci. Tulang-tulang ini seakan-akan telah terlepas yang satu dengan yang lain.”
Kedua petugas itu tersenyum. Salah seorang menjawab, “Tetapi ternyata tuanku luar biasa. Tuanku dapat menyelesaikan tugas yang pertama kali ini dengan baik. Sampai ditempat sesuai dengan rencana.”
“Tetapi aku telah memaksa diri.”
“Lambat laun tuanku akan terbiasa dengan tugas-tugas berat.”
“Mudah-mudahan.”
“Dan agaknya hal itu memang diperlukan sekali bagi tuanku.”
“Ya. Dan aku sadar, sesudah tugas ini aku pasti akan segera mendapat tugas-tugas yang lain.”
Kedua petugas sandi itu tidak menyahut. Mereka hanya mengangguk-anggukkan kepala. Namun dengan demikian, sikap dan pembicaraan Anusapati telah merubah pandangan mereka terhadap Putera Mahkota itu. Ternyata Putera Mahkota bukannya seorang anak muda yang malas dan bodoh seperti anggapan mereka selama Anusapati tidak pernah beranjak dari halaman istana. Bukan pula seorang anak yang manja. Putera Mahkota agaknya justru seorang yang mengenal tanggung jawab akan tugas yang dibebankan kepadanya. Kali ini oleh Ayahanda Sri Rajasa, tetapi lain kali oleh rakyat Singasari.
Dalam pada itu. langit disebelah timur-pun menjadi semakin kemerah-merahan. Sinarnya yang menyusup disela-sela dedaunan membayang bagaikan awan yang membara dilangit.
“Hampir pagi,” desis salah seorang petugas sandi itu, “dan tuanku masih belum beristirahat sama sekali.”
“Masih ada waktu sehari semalam kalau aku tidak mendapat tugas khusus.”
Kedua petugas itu mengangguk-angguk. Salah seorang berkata, “Tentu bukan tuanku yang mendapat tugas itu. Mereka harus tahu bahwa tuanku perlu beristirahat.”
“Berbeda di dalam keadaan ini,” berkata Anusapati, “aku sudah mendapat kesempatan, tetapi aku tidak dapat mempergunakannya. Itu tidak akan dapat dipergunakan sebagai alasan. Dan aku harus melakukan tugas berikutnya, kalau memang aku akan dibebaninya.”
Tidak ada jawaban. Hampir bersamaan kedua petugas sandi itu menarik nafas dalam-dalam. Didalam hati mereka berkata, “Hati Putera Mahkota ini memang sekeras baja.”
Sejenak kemudian mereka saling berdiam diri. Cahaya kemerahan dilangit menjadi semakin cerah. Satu-satu bintang-bintang yang gemerlapan mulai pudar dan seolah-olah hilang ditelan langit yang biru bersih. Kicau burung-burung liar-pun kemudian telah membangunkan prajurit-prajurit yang tertidur nyenyak. Sambil mengusap mata mereka yang berat, satu-satu mulai bangkit dan duduk diatas daun-daun kering.
Pemimpin prajurit yang tertidur sambil bersandar itu-pun terbangun pula. Ia menjadi agak terkejut ketika disadarinya, bahwa cahaya matahari telah mulai membayang dilangit.
Salah seorang dari mereka menggelengkan kepalanya, “Tidak. Kau tidak tertidur.”
Pemimpin pasukan itu menarik nafas dalam-dalam. “Kenapa kau tidak membangunkan aku? Seharusnya ada di antara kami yang terjaga malam ini. Untunglah bahwa kalian dapat dipercaya. Kalau tidak maka kalian dapat berkhianat dan membunuh kami semua tanpa perlawanan.”
“Kami tidak dapat melakukannya. Ada di antara kalian yang semalam suntuk terjaga dan bercakap-cakap bersama kami.”
“Siapa?”
“’Tuanku Putera Mahkota.”
“He,” dengan serta-merta pemimpin pasukan itu berpaling kepada Putera Mahkota yang tersenyum memandanginya. “Tuanku tidak tidur sama sekali?”
“Aku terlampau lelah, sehingga justru aku tidak dapat tidur sama sekali.”
“Jadi tuanku belum beristirahat semalam?”
“Sudah. Beristirahat sambil bercakap-cakap.”
Pemimpin itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Seharusnya tuanku beristirahat. Tuanku akan mendapat tugas yang baru siang ini bersama beberapa orang prajurit, hamba dan kedua prajurit sandi itu.”
“Ya, kenapa? Kalau memang aku harus bertugas, maka aku-pun akan melakukannya. Aku tahu, bahwa sebagian terbesar dari keberangkatan pasukan ini adalah suatu usaha Ayahanda Sri Rajasa untuk menjadikan aku seorang prajurit. Dan aku akan melakukannya dengan senang hati. Karena itu wajarlah bahwa tugas-tugas khusus akan dibebankan kepadaku.”
Pemimpin pasukan itu menarik nafas dalam-dalam. “Apakah tuanku masih sanggup melakukan tugas pengamatan hari ini atau tuanku memerlukan waktu untuk beristirahat pagi ini meskipun hanya sejenak? Kami dapat membuat rencana pengamatan itu sesuai dengan keadaan kita. Pagi, siang atau sore hari. Kalau tuanku ingin melakukannya pagi, kemudian segera beristirahat kami akan melakukannya. Tetapi kalau tuanku menghendaki siang atau sore hari sesudah tuanku beristirahat, kami-pun tidak berkeberatan.”
“Sebaiknya kau jangan bertanya kepadaku. Aku adalah seorang prajurit. Berikanlah perintah. Kalau aku harus berangkat pagi, aku akan berangkat pagi. Kalau aku harus berangkat siang atau sore hari, aku-pun akan melakukannya. Akulah yang harus menyesuaikan diriku dengan rencanamu.”
Sekali lagi pemimpin pasukan kecil itu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Anusapati benar-benar berusaha menyesuaikan dirinya sebagai seorang prajurit, sehingga ia bersedia menjalankan tugas apa-pun yang akan diserahkan kepadanya oleh pimpinannya.
“Baiklah tuanku,” berkata pemimpin pasukan kecil itu, “kita akan berangkat mengamati keadaan menjelang senja, supaya kita dapat lebih mendekat lagi disaat-saat matahari mulai terbenam. Kita tidak hanya sekedar mengamatinya dari kejauhan saja, agar kita tidak salah menilai kekuatan lawan itu.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sudah barang tentu kami tidak akan dapat melakukannya di siang hari. Pengamatan kita akan sangat terbatas dari kejauhan saja.”
Meskipun ada juga alasan-alasan lain, tetapi alasan itu masuk akal juga sehingga Anusapati mengangguk-angguk sambil menjawab, “Baiklah, kalau begitu, kita akan pergi menjelang senja. Kita akan mengamati dari kejauhan, kemudian apabila hari mulai gelap, kita akan mendekat. Begitu?”
“Hamba tuanku.”
“Baiklah. Akulah yang akan menyesuaikan diriku.”
Demikianlah dihari itu, pasukan kecil itu benar-benar mendapat kesempatan untuk beristirahat. Tetapi mereka sama sekali tidak diperbolehkan menyalakan api, supaya kehadiran mereka tidak diketahui oleh lawan yang bersarang tidak begitu jauh lagi dari tempat itu. Dengan demikian mereka hanya dapat makan nasi jagung, bekal yang mereka bawa. Nasi yang tahan untuk waktu lebih dari sepekan. Tetapi nasi itu akan lebih enak rasanya, apabila mereka mendapat kesempatan untuk sekedar menghangatkannya.
Namun demikian, sebenarnyalah bahwa pemimpin pasukan itu tidak membuang waktu yang sehari itu untuk menunggu senja. Hanya karena perasaan ibanya kepada Anusapati sajalah, maka dibiarkannya Anusapati untuk beristirahat. Tetapi bersama kedua petugas sandi yang telah lebih dahulu datang itu, ia-pun pergi juga untuk melihat keadaan dan menilai medan. Kepada tiga orang prajurit yang dipercaya untuk menjaga keselamatan Anusapati, ia berkata, “Jagalah tuanku Putera Mahkota baik-baik. Tetapi hati-hatilah, jangan sampai ia merasa tersinggung karena pengamatanmu.”
“Baiklah,” jawab salah seorang dari ketiga prajurit itu.
“Aku akan pergi. Jangan beritahu Putera Mahkota. Biarlah ia beristirahat.”
Prajurit-prajurit itu menganggukkan kepalanya. Kepada salah seorang dari mereka yang tertua, pimpinan pasukan kecil itu diserahkannya, selama ia mengawasi dan mengamati medan. Kemudian dengan diam-diam, tidak setahu Anusapati, pemimpin pasukan itu telah meninggalkan pasukannya. Dengan hati-hati ia melintasi hutan yang rindang dan menuju sebuah padukuhan kecil yang terpencil.
“Dimana letak goa itu?” bertanya pemimpin pasukan mi kepada kedua petugas sandi.
“Goa itu berada di lereng bukit kecil di belakang padukuhan itu. Tetapi kini mereka tidak lagi bersembunyi di dalam goa. Menurut pengamatanku, gerombolan itu menjadi semakin berani. Dan kini mereka bahkan seakan-akan telah menghuni padukuhan kecil yang terpencil itu.”
“Lalu dimanakah penghuni yang sebenarnya dari padukuhan kecil itu?”
“Ada dua golongan yang telah membagi penghuni yang tidak begitu banyak itu. Mereka yang masih berpegang pada sikap hidupnya, dan tidak mau terlibat dalam kejahatan, telah meninggalkan kampung halamannya. Mereka mengungsi kepadukuhan-padukuhan di sekitarnya. Namun padukuhan-padukuhan di sekitarnya itu-pun menjadi semakin sepi pula, karena beberapa orang yang tidak tahan mengalami perlakuan yang kasar, telah mengungsi ketempat yang lebih jauh lagi.”
Pemimpin pasukan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Menurut keterangan yang sudah diterimanya, gerombolan itu tidak saja memeras orang-orang disekitarnya, tetapi kadang-kadang mereka juga pergi merampok ketempat yang agak jauh dan menyamun di jalan-jalan perniagaan yang penting.
“Itulah padukuhan itu,” desis salah seorang petugas sandi ketika mereka berada di pinggir hutan yang rindang, diatas sebuah bukit kecil.
Senapati itu mengerutkan keningnya. Dipandanginya padukuhan terpencil yang terletak diatas bukit yang kecil pula, dikelilingi oleh sebuah padang-ilalang dan pohon-pohon perdu.
“Semula tanah itu merupakan tanah yang sudah digarap,” berkata salah seorang petugas itu, “tetapi akhirnya tanah itu menjadi padang ilalang karena orang-orang yang menggarapnya telah pergi mengungsi.”
“Jadi padukuhan itu tidak mempunyai tanah garapan sama sekali?”
“Ada. Masih ada beberapa bagian yang digarap di belakang bukit kecil itu. Tanah yang paling subur dari padukuhan itu.”
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Letak padukuhan itu memang baik. Jika mereka mengetahui bahwa ada kekuatan yang akan menyerang mereka, maka mereka dapat membangun pertahanan yang baik dari atas bukit kecil itu. Semua benda-benda yang ada dapat berubah menjadi senjata. Batu-batu besar, potongan kayu, bahkan pasir dan air. Apalagi senjata-senjata jarak jauh, panah dan lembing.
“Marilah kita agak mendekat,” berkata Senapati itu.
Mereka-pun menyuruk dengan hati-hati mendekati padukuhan itu. Sekali-sekali Senapati itu berpaling kearah pasukan kecil yang ditinggalkannya. Kalau mereka tidak mematuhi perintahnya, dan menyalakan api, maka di siang hari asapnya akan dapat menarik perhatian, sedang dimalam hari, nyalanya akan menimbulkan kecurigaan pula. Demikianlah semakin dekat, menjadi semakin jelas pulalah daerah yang terpencil itu. Agaknya tanah di sekitarnya termasuk tanah vang cukup subur dan cukup memberikan makan bagi isi padukuhan itu.
Namun tiba-tiba kedua petugas sandi itu mengerutkan keningnya. Mereka melihat sesuatu yang lain pada padukuhan itu. Karena itu maka salah seorang dari mereka berkata, “Ada sesuatu yang baru dipadukuhan itu.”
“Apa? “ bertanya Senapati itu.
“Kita melihat kesibukan yang agak berlebihan dari kemarin. Baru kemarin aku mendekati padukuhan itu. Aku tidak melihat hiasan apa-pun diregol padukuhan itu. Sekarang aku melihat sesuatu yang kemarin tidak ada.”
“Apa?”
“Kau melihat janur kuning?” bertanya petugas sandi itu kepada kawannya.
“Ya, beberapa tersangkut diregol padukuhan.”
Petugas sandi itu mengangguk-angguk, sedang Senapati yang memimpin pasukan kecil itu-pun menyahut, “Ya. Aku juga melihat sesuatu. Agaknya kau benar. Beberapa helai janur kuning.”
“Pasti ada sesuatu upacara. Apa-pun yang akan mereka lakukan?”
Senapati itu mengangguk-anggukan kepalanya. Katanya, “Marilah. Kita maju lagi.”
“Terlampau berbahaya di siang hari. Nanti malam sajalah kita mendekat. Mungkin kita dapat melihat dengan jelas, apakah yang sebenarnya telah terjadi di padukuhan itu.”
Pemimpin pasukan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berdesis, “Tetapi nanti malam aku akan pergi bersama Putera Mahkota.”
“Kita tinggalkan saja tuanku Putera Mahkota di sini. Kita akan maju tanpa tuanku Anusapati.”
Pemimpin pasukan itu mengangguk-angguk.
“Tetapi sekarang kita sudah dapat membayangkan medan yang bakal kita hadapi. Mereka dapat mempergunakan air untuk menghambat kemajuan kita. Jalan setapak itu akan menjadi sangat licin apabila menjadi basah.”
Pemimpin pasukan itu masih mengangguk-angguk.
“Kita akan naik dari beberapa penjuru. Kita tidak akau memasuki padukuhan itu lewat regol. Kita dapat memanjat dan meloncati dinding batu yang tidak begitu tinggi itu. Sebagian dari kita memang akan melalui jalan setapak yang licin apabila basah, tetapi yang lain akan memanjat lereng batu-batu padas itu. Tidak terlampau sulit, karena gumuk kecil itu tidak terlampau tinggi.”
Kedua petugas sandi yang menyertainya mengangguk-anggukkan kepalanya. Rencana itu memang akan dapat dilakukan tanpa banyak kesulitan karena kekuatan lawan menurut penilaian mereka tidak akan begitu berat. Hanya segerombolan perampok yang berhasil menduduki sebuah padukuhan kecil dan terpencil.
“Kita akan tinggal di sini beberapa saat untuk melihat perkembangan keadaan. Mungkin janur-janur kuning itu merupakan suatu pertanda bahwa ada perubahan dipadukuhan kecil itu, atau ada peralatan yang dilakukan oleh mereka. Oleh salah seorang penghuni padukuhan kecil itu yang tidak menyingkirkan dari, atau justru oleh gerombolan perampok itu,” berkata Senapati itu.
Kedua petugas sandi yang mengawaninya itu menganggukkan kepalanya. Salah seorang berkata, “Baiklah. Kita akan melihat apa yang akan terjadi.”
Ketiganya-pun kemudian duduk di belakang sebuah gerumbul yang lebat di padang ilalang. Di tempat yang terlindung sama sekali, sehingga mereka tidak perlu cemas, bahwa kehadiran mereka akan diketahui. Dalam pada itu, Anusapati masih tetap berada di antara para prajurit yang beristirahat. Namun agaknya mereka sudah tidak lagi menjadi terlampau lelah, sehingga mereka sudah sempat mengatur diri. Mereka sudah sempat menentukan waktu-waktu penjagaan, dan siapa saja yang harus bertugas.
“Yang lain, yang kebetulan tidak bertugas dapat menemukan istirahatnya. Masih ada kesempatan untuk tidur hampir sehari penuh,” berkata prajurit yang diserahi tugas memimpin pasukan itu selama pemimpinnya tidak ada di tempat.
Prajurit-prajurit yang lain tertawa. Tetapi masih ada juga yang menguap sambil menjawab, “Terima kasih. Badanku serasa tidak bertenaga lagi. Aku bertugas setelah tengah hari. Pagi ini aku memang akan tidur sepuas-puasnya sampai matahari di puncak langit.”
“Tidurlah,” desis kawannya, “tetapi kalau kami mendapat perintah untuk meninggalkan tempat ini, kau akan ditinggal di sini.”
Prajurit itu mengerutkan keningnya, tetapi kemudian ia benar-benar membaringkan tubuhnya di atas sebuah batu.
Dalam pada itu Anusapati-pun mendapat kesempatan untuk tidur sejenak. Karena itu, maka katanya kepada prajurit yang memimpin pasukan kecil itu sementara, Senapatinya pergi, “Aku akan tidur. Jangan diganggu. Aku akan menjadi pening kalau aku terbangun dengan tiba-tiba. Bahkan aku akan menjadi seperti orang sakit. Karena itu, aku akan menyendiri dan tidur sepuas-puasnya. Ingat, jangan kau bangunkan. Biarlah aku bangun sendiri menjelang tengah hari, supaya aku dapat bertugas nanti menjelang sore.”
Prajurit itu menganggukkan kepalanya. Tetapi kemudian ia bertanya, “Dimana tuanku akan tidur.”
“Dibalik batu itu.”
“Tetapi, bagaimana kalau ada ular atau binatang melata yang berbisa?”
“Semalam suntuk kalian tergolek seperti orang mati. Tidak seekor binatang-pun yang mengusik kalian. Agaknya di sini memang tidak banyak binatang berbisa.” Anusapati berhenti Sejenak. Lalu, “aku juga membawa semacam serbuk yang dapat melindungi aku dari binatang berbisa. Ular dan sejenisnya tidak mau menggigit apabila tercium bau serbuk itu.”
“Dari mana tuanku mendapatkannya?”
“Dari dukun istana.”
Prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tentu ia percaya, bahwa Putera Mahkota itu pasti sudah mendapat obat-obat yang cukup untuk melindungi dirinya. Justru karena ia Putera Mahkota. “Kalau begitu silahkan tuanku. Tetapi apabila keadaan memaksa, hamba terpaksa membangunkan tuanku.”
“Apa yang kau maksud?”
“Misalnya, tiba-tiba saja kita mendapat serangan. Atau tiba-tiba saja kita harus berpindah tempat.”
“Tetapi aku akan menjadi pening sekali.”
“Itu-pun akan merupakan suatu latihan. Demikianlah keadaan medan yang sebenarnya tuanku.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Baiklah. Baiklah. Hanya kalau keadaan memaksa.”
Anusapati-pun kemudian pergi ke balik sebuah batu besar untuk membaringkan tubuhnya di atas rerumputan kering. Sejenak ia memandang dedaunan diatasnya, yang bergerak-gerak ditiup angin pagi yang lembut. Namun tiba-tiba Anusapati itu bangkit perlahan-lahan. Dengan hati-hati ia mengintip dari sisi batu yang besar itu. Dilihatnya beberapa orang prajurit sedang duduk-duduk sambil bercakap-cakap. Yang lain telah berbaring pula. Sedang di sebelah mereka, prajurit-prajurit yang sedang bertugas, berdiri bersandar pepohonan sambil bercakap-cakap pula.
Perlahan-lahan Anusapati bergeser dari tempatnya. Dari percakapan para prajurit dan Senapati yang sedang pergi, Anusapati dapat mengetahui arah padukuhan kecil tempat bersarang para perampok yang akan mereka datangi besok. Sebenarnya sejak semalam Anusapati sudah ingin sekali untuk melihat tempat itu. Tetapi ia tidak mendapat kesempatan, apalagi di malam hari daerah yang kurang dikenalnya itu akan dapat menyesatkannya. Tanpa setahu seorang prajurit pun, Anusapati-pun kemudian meninggalkan tempatnya. Berlindung dibalik sebatang pohon ke pohon yang lain ia akhirnya menjadi semakin jauh.
Anusapati menarik nafas dalam-dalam ketika ia sudah terlepas dari daerah pengawasan para prajurit. Dengan tergesa-gesa ia-pun menuruni bukit kecil dan melintasi daerah yang berhutan perdu. Dengan hati-hati sekali ia maju terus, sehingga akhirnya ia-pun dapat melihat sebuah bukit kecil yang dihuni oleh para perampok itu. Tetapi perhatian Anusapati segera tertarik kepada jejak beberapa orang di atas batang-batang ilalang. Dilihatnya ranting-ranting perdu yang patah, dan ilalang yang terinjak.
“Pasti Senapati dan kedua prajurit sandi itu,” katanya didalam hati.
Karena itu, maka ia-pun maju perlahan-lahan. Kalau mereka melihatnya, maka ia harus berhenti bersama mereka, atau Senapati itu akan marah bukan saja kepadanya, tetapi juga kepada prajurit-prajurit yang diam-diam harus mengawasinya itu. Untuk menghindarkan diri dari mereka, maka Anusapati itu kemudian mengambil jalan lain. Ditinggalkannya jalur jejak-jejak yang terdahulu, dan ia-pun menyelinap di antara pepohonan perdu dan batang-batang ilalang yang tinggi.
“Aku ingin mendekat,” katanya didalam hati. Anusapati-pun kemudian merayap semakin lama semakin dekat. Namun ternyata bahwa janur kuning itu telah menarik perhatiannya pula. Pasti ada sesuatu yang sedang dilakukan oleh orang-orang di padukuhan kecil dan terpencil itu.
Dengan sangat hati-hati, merunduk dari balik sebuah batu, ke balik batu yang lain, dari gerumbul yang satu kegerumbul yang lain akhirnya Anusapati dapat mendekati gumuk itu. Ia mendapat tempat bersembunyi yang baik sekali. Di dalam sebuah semak-semak di belakang sebuah batu yang besar. Namun dari tempatnya bersembunyi Anusapati tidak dapat melihat apa-pun juga. Memang ia melihat asap yang mengepul dari bawah atas sebuah rumah. Tetapi tentu saja ia tidak dapat mengambil kesimpulan apa-pun dari asap itu.
Ketika ia melihat gumuk-gumuk padas di sebelah padukuhan terpencil itu, timbullah keinginannya untuk memanjat. Mungkin ia dapat melihat ke dalam batas dinding batu yang mengelilingi padukuhan itu. Maka dengan hati-hati Anusapati-pun bergeser. Sambil merunduk ia pergi ke balik sebuah gumuk padas yang terjal dan berbatu-batu.
“Aku akan naik,” desisnya di dalam hati.
Tetapi sejenak ia termangu-mangu. Tidak ada tumbuh-tumbuhan di gumuk padas itu selain beberapa rumpun ilalang yang agak rimbun. Memang mungkin juga bersembunyi dibalik rumpun ilalang itu tetapi apabila ada orang lain yang berdiri di belakang gumuk itu, maka mereka pasti akan dapat melihatnya.
“Tidak ada orang lain,” desisnya. Maka Anusapati-pun kemudian naik ke gumuk padas. Ia berusaha bersembunyi di antara batu-batu padas dan rumput-rumput ilalang yang tidak begitu subur. Namun demikian, ia berhasil juga sampai ke atas.
Justru setelah Anusapati berada di atas gumuk itu, ia terlindung dari segala arah. Ia berhasil mendapatkan sebuah lekuk di antara batu-batu padas, sehingga ia tidak perlu cemas, apabila ada orang lain yang melihatnya. Ternyata dari tempatnya, Anusapati dapat melihat apa yang sedang terjadi dipadukuhan itu, meskipun terbatas hanya yang terjadi di luar rumah-rumah yang berserakan, meskipun tidak begitu banyak. Di tengah-engah padukuhan kecil itu, di halaman sebuah rumah yang paling besar, beberapa orang tampak sibuk mengatar sesuatu. Tetapi Anusapati tidak dapat melihat dengan jelas, apakah yang sedang mereka lakukan.
“Pasti ada sesuatu yang penting,” berkata Anusapati didalam hatinya. “Mudah-mudahan bukan sesuatu hal yang dapat mengganggu pasukan kecil Singasari ini.”
Namun demikian, Anusapati masih ingin melihat apakah yang akan terjadi di padukuhan itu. “Aku akan menunggu sampai menjelang tengah hari. Sebelum orang-orang gelisah menunggu aku bangun, aku harus sudah kembali.” katanya di dalam hati pula.
Karena itu, ia-pun segera menelungkup di atas batu padas. Dengan demikian, ia dapat melihat apa saja yang menarik perhatian dipadukuhan kecil itu. Namun yang dilihatnya hanyalah kesibukan beberapa orang yang hilir mudik saja. Orang-orang laki-laki yang kasar dan bersenjata di lambung.
“Mereka itulah perampok-perampok yang dikatakan itu. Memang tidak terlampau banyak.” gumam Anusapati kepada diri sendiri, “dalam kesibukan itu, aku kira semuanya sudah keluar rumah dan berbuat sesuatu bersama kawan-kawannya itu.”
Sejenak Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Panas matahari yang hanya terlindung oleh beberapa helai daun ilalang, mulai terasa menggatalkan kulit. Namun Anusapati masih tetap menelungkup di atas batu padas yang agak terlindung dari sebelah menyebelah.
Dalam pada itu, Senapati dan kedua petugas sandi masih juga berada di tempatnya. Mereka dapat melihat jalan setapak yang naik kepadukuhan yang terletak diatas bukit kecil itu dengan jelas sampai ke mulut regol. Tetapi mereka sama sekali juga tidak mendapat gambaran apa yang sedang dilakukan oleh orang-orang di dalam padukuhan itu.
Namun tiba-tiba mereka terkejut. Dikejauhan terdengar derap kaki kuda yang bergema seakan-akan melingkar-lingkar di antara bukit-bukit kecil dan gumuk-gumuk padas yang berserakan. Karena itu, ketiga orang yang sedang duduk dan berbicara tentang bermacam-macam hal itu, tiba-tiba telah terdiam dan bergeser dari tempatnya. Dengan saksama mereka memperhatikan jalan setapak yang menuju kegerbang padukuhan terpencil itu.
Sejenak kemudian dada ketiga orang itu menjadi berdebar-debar. Mereka melihat tiga orang berkuda menaiki jalan setapak itu. Dan sejenak kemudian mereka-pun mendengar sebuah tengara yang berbunyi dimulut regol. Sebuah kentongan isyarat bagi penghuni padukuhan itu, sehingga sejenak kemudian beberapa orang tampak keluar dari regol menyongsong orang-orang berkuda itu.
Bukan saja ketiga orang itu, tetapi Anusapati-pun melihat ketiga orang berkuda itu. Ia melihat kesibukan yang terjadi didalam regol padukuhan. Beberapa orang bergegas-gegas menyongsong tamu mereka itu, sedang yang lain sibuk menyiapkan segala sesuatunya.
“Tentu orang penting,” berkata Anusapati didalam hatinya.
Dalam pada itu Senapati yang memimpin pasukan kecil dari Singasari itu-pun berdesis juga, “Tentu orang penting.”
Kedua petugas sandi yang bersamanya berkata, “Tidak dapat diabaikan. Menilik sikap orang-orang yang menyambut mereka itu, ketiganya adalah orang-orang terhormat di antara mereka.”
Senapati itu menganggukkan kepalanya. Ternyata kemudian bahwa orang-orang yang menyongsong orang-orang berkuda itu bersikap sangat hormat kepada mereka. Hampir berbareng mereka menundukkan kepala, ketika orang-orang berkuda itu sampai diregol halaman.
Pemimpin pasukan kecil yang datang dari Singasari itu tidak tahu, apa yang dilakukan oleh orang-orang padukuhan itu setelah mereka memasuki regol. Tetapi Anusapati masih dapat melihat mereka. Seperti mengarak sepasang pengantin, orang-orang dari padukuhan itu mengiringkan ketiga tamunya yang masih belum turun dari kuda mereka, sampai mereka memasuki halaman yang luas dari rumah yang tampaknya paling besar dipadukuhan kecil itu. Baru ketika mereka sampai di muka pintu rumah itu, mereka meloncat turun dari kuda mereka.
Anusapati menjadi semakin yakin, bahwa mereka pasti orang-orang yang terhormat. Ternyata dari sikapnya dan sikap orang-orang yang menyambutnya. “Tentu orang-orang itu bukan orang-orang kebanyakan. Kalau tidak, maka ia tidak akan mendapat penghormatan sebesar itu,” berkata Anusapati di dalam hatinya.
Namun dengan demikian maka ia telah mendapat pertimbangan lain tentang kekuatan para perampok yang ada di dalam padukuhan kecil itu. Kalau pemimpin pasukannya tidak mempertimbangkan kehadiran orang-orang berkuda itu, maka pasukan kecil itu dapat mengalami bencana karenanya.
“Mudah-mudahan Senapati itu melihat dan membuat pertimbangan yang benar dari orang-orang berkuda itu,” berkata Anusapati di dalam hatinya. Dalam pada itu, orang-orang berkuda itu-pun telah hilang masuk ke dalam rumah. Beberapa orang yang menyambutnya telah ikut masuk pula, sedang orang-orang lain masih juga sibuk hilir mudik di luar rumah.
Yang menarik perhatian Anusapati adalah orang-orang yang kemudian seakan-akan berjaga-jaga diregol padukuhan kecil itu dengan senjata ditangan.
“Tentu orang yang benar-benar mereka anggap penting. Tetapi juga tentu orang yang mempunyai ilmu yang tinggi, sehingga mereka hanya bertiga saja menempuh perjalanan yang agaknya cukup jauh. Apalagi mereka termasuk di dalam lingkungan orang-orang yang tidak lagi dapat menghargai nilai kemanusiaan, ternyata dari hubungan mereka dengan perampok-perampok di padukuhan itu,” berkata Anusapati didalam hatinya.
Namun tiba-tiba ia menengadahkan kepalanya. Matahari sudah menjadi semakin tinggi. Apalagi ia tidak dapat melihat hal-hal yang dapat menimbulkan persoalan baru di dalam padukuhan kecil itu. Sehingga karena itu, maka ia berdesis, “Aku harus segera kembali. Aku tidak akan menemukan apa-apa lagi. Mungkin malam nanti aku dapat mendekati rumah demi rumah. Tetapi kehadiran ketiga orang itu agaknya dapat mengganggu kehadiranku.”
Dengan demikian, maka Anusapati-pun segera beringsut surut. Dengan hati-hati ia turun dari gumuk padas itu. Sekali-sekali ditebarkannya pandangan matanya kesekelilingnya, kalau-kalau ada. orang yang megetahuinya. Namun ternyata bahwa daerah itu adalah daerah yang sepi, sehingga tidak seorang-pun yang lewat dan melihatnya dari balik gumuk kecil itu.
Dengan tergesa-gesa pula Anusapati-pun segera meninggalkan tempat itu, menyuruk di antara batang-batang ilalang dan daun-daun perdu kembali ketempatnya. Dengan hati-hati pula ia menghindari kemungkinan bertemu dengan pemimpin pasukannya bersama, kedua orang petugas sandi yang menyertainya.
Ternyata bahwa Anusapati mempunyai kemampuan yang cukup untuk melakukan pekerjaannya itu. Ia berhasil menyusup kembali ke daerah pengawasan pasukannya dan kembali ke balik batu besar yang ditinggalkannya. Setelah mengusap keringatnya, maka ia-pun membaringkan dirinya seperti pada saat ia mula-mula berada di tempat itu.
“Apakah belum ada orang yang menengokku kemari?” ia bertanya kepada dirinya sendiri. Agaknya para prajurit itu benar-benar tidak berani mengganggunya dan membiarkannya terbangun dengan sendirinya.
Menilik keadaan tempat itu, maka ia dapat mengambil kesimpulan bahwa pemimpinnya masih juga belum kembali. Orang-orang yang berjaga-jaga masih berada ditempatnya meskipun orangnya sudah berganti. Yang lain masih juga berbaring dan ada pula yang sedang duduk tepekur memandang ke kejauhan. Agaknya ia sedang merenungi sesuatu dalam angan-angannya.
Sejenak Anusapati masih sempat benar-benar beristirahat. Ia masih sempat memejamkan matanya disilirnya angin yang sejuk, meskipun matahari menjadi semakin tinggi. Dan dalam kesegaran itulah maka Anusapati telah tertidur untuk sesaat. Ia terbangun ketika ia mendengar suara pemimpin pasukannya yang agaknya berdiri dibalik batu itu. Tetapi Anusapati masih tetap memejamkan matanya tanpa bergerak sama sekali.
“Agaknya tuanku tertidur nyenyak sekali,” berkata prajurit yang memimpin pasukan itu selama Senapatinya pergi, “sejak kau tinggalkan ia masih saja tidur nyenyak. Tidak seorang-pun diperkenankan untuk mendekat, supaya ia tidak terkejut dan terbangun.”
Senapati yang memimpin pasukan kecil itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia mendekat agar desir kakinya tidak mengejutkan Anusapati yang disangkanya masih tertidur nyenyak itu. Ketika ia menjengukkan kepalanya, dilihatnya Putera Mahkota itu masih terbaring diam. Nafasnya yang teratur membuat suatu irama pada gelombang dadanya.
Pemimpin pasukan itu mundur beberapa langkah, lalu berdesis, “Ya. Tuanku Putera Mahkota masih tertidur nyenyak. Biar sajalah ia beristirahat. Tentu ia merasa lelah sekali.”
Kemudian Anusapati itu-pun ditinggalkannya. Senapati itu harus berunding dengan beberapa orang terpenting didalam pasukan kecil itu, termasuk ketiga orang prajurit pilihan yang mendapat tugas untuk mengawasi dan menjaga Putera Mahkota.
“Kita melihat kelainan pada padukuhan itu,” berkata Senapati itu kepada mereka, “ada tiga orang berkuda yang datang dan memasuki daerah mereka. Menilik sikap dan tatapan wajahnya yang mantap, mereka pasti orang-orang penting.”
Kedua petugas sandi yang ada diantara mereka-pun menganggukkan kepala. Salah seorang berkata, “Digerbang padukuhan itu tersangkut janur kuning. Orang-orang terpenting dari mereka telah menyambut ketiga orang berkuda itu di luar gerbang.”
Yang mendengar keterangan itu mengangguk-anggukkan kepala. Dan Senapati itu-pun berkata, “Ternyata kita menghadapi keadaan yang khusus. Tidak seperti yang kita perhitungkan. Ada kekuatan baru yang agaknya berada di padukuhan itu.”
“Tetapi tentu tidak akan lama,” berkata salah seorang prajurit yang ikut di dalam pembicaraan itu, “aku kira mereka hanyalah sekedar tamu terhormat. Tetapi mereka akan segera pergi.”
“Mungkin,” jawab pemimpin pasukan, “tetapi kapan. Kapan mereka akan pergi? Dua hari, tiga hari atau sepekan? Sedang kita harus kembali sesuai dengan rencana yang sudah ditentukan, meskipun dalam keadaan yang khusus kita dapat mengambil kebijaksanaan. Tetapi kita tidak akan terlampau jauh mundur dari saat yang sudah ditentukan.”
“Jadi apa yang akan kita lakukan?”
“Nanti malam aku akan melihat bersama para petugas sandi. Setelah kami dapat mengetahui atau setidak-tidaknya menduga siapakah mereka, kita akan menentukan sikap, apakah kita akan menyerang sesuai dengan rencana, atau kita terpaksa menunggu sampai mereka pergi. Namun dengan demikian, kita akan memerlukan waktu dan persediaan makan kita akan habis sebelum waktunya kita pulang.”
Prajurit-prajurit yang mendengarkannya mengangguk-anggukkan kepala. Agaknya jalan itulah yang memang harus ditempuh. Mendapatkan keterangan sejauh-jauhnya sebelum menentukan sikap, supaya pasukan kecil ini tidak terjerumus ke dalam kesulitan.
“Jadi, nanti malam kita akan mendekati padukuhan itu.”
“Siapa yang akan pergi?”
“Aku,” jawab Senapati itu, “bersama kedua petugas sandi. Tetapi karena keadaan yang berubah, aku memerlukan kesiagaan kalian kalau terjadi sesuatu. Pasukan ini-pun akan bergerak mendekati gumuk itu. Tetapi tidak akan berbuat apa-apa kalau tidak ada perintahku karena keadaan memaksa. Pasukan ini akan bersiaga agak jauh dari padukuhan terpencil itu, tetapi setiap saat dapat langsung terjun ke medan apabila diperlukan."
Prajurit-prajurit yang mendengarkannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan kepada mereka-pun Senapati itu memberikan beberapa gambaran tentang padukuhan terpencil itu.
“Sekarang, siapkan pasukan ini sebaik-baiknya. Kita sudah cukup beristirahat, dan kita masih mempunyai waktu setengah hari sebelum senja. Kita akan berangkat setelah menjadi agak gelap.”
“Baiklah, kita akan bersiap-siap” jawab beberapa orang hampir berbareng.
Namun salah seorang prajurit yang diserahi tugas mengawal Anusapati bertanya, “Bagaimana dengan Putera Mahkota?”
“Tentu bersama kami. Tetapi jagalah baik-baik. Mudah-mudahan malam nanti tidak terjadi sesuatu, sehingga kami akan bergerak setelah aku mendapat gambaran yang jelas.”
Demikianlah, maka pasukan kecil itu telah mulai berkemas-kemas. Yang masih merasa lelah, berusaha beristirahat sebaiknya sebelum menjalani tugasnya yang baru. Dalam pada itu, Anusapati yang telah bangun dan bangkit dari pembaringannya dibalik batu itu-pun segera mendengar pula rencana gerakan pasukan kecil itu dimalam nanti.
“O, kita akan menyerang di malam hari?” ia bertanya kepada seorang prajurit yang memberitahukan kepadanya.
“Tidak tuanku. Kita hanya berjaga-jaga. Tetapi apabila terjadi sesuatu dengan Senapati dan petugas-tugas sandi itu, kita akan melindunginya.”
“Jadi kita akan bertempur dimalam hari?”
“Tidak. Tidak. Hanya apabila terpaksa saja.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia telah membayangkan, apa yang akan dilakukannya malam nanti. Sebenarnya ia ingin juga melihat padukuhan itu dari dekat. Mungkin ia akan mendapat bahan yang cukup untuk mempertimbangkan sikapnya menghadapi keadaan. Apakah ia akan tetap menjadi seorang prajurit kecil atau ia harus berbuat jauh lebih banyak lagi.
“Mudah-mudahan aku mendapat kesempatan. Menilik sikap dan sambutan yang diberikan oleh orang-orang padukuhan itu, ketiga tamu berkuda itu pasti orang-orang yang mempunyai banyak kelebihan dari mereka, sehingga menghadapi mereka bertiga, aku harus berhati-hati,” berkata Anusapati itu di dalam hatinya.
Demikianlah, semakin rendah matahari, pasukan itu menjadi semakin sibuk mengemasi kelengkapan masing-masing. Ketika senja kemudian turun perlahan-lahan, maka pasukan kecil itu telah berada dalam kesiagaan tertinggi. Seakan-akan mereka telah menghadapi lawan yang siap untuk bertempur pula. Senjata mereka telah berada di lambung, dan bekal yang tidak ada hubungannya dengan pertempuran, mereka tinggalkan di atas pepohonan atau begitu saja diletakkan di atas bebatuan, karena isinya yang memang sudah hampir habis.
“Apakah tuanku sudah bersiap?” bertanya Senapati itu kepada Anusapati.
“Ya, aku sudah siap.”
“Sebaiknya tuanku mempergunakan perisai. Kalau kita benar-benar akar bertempur, maka perisai itu perlu sekali bagi tuanku.”
“Kenapa aku harus mempergunakan perisai, sedang yang lain tidak?”
“Beberapa orang juga membawa perisai seperti tuanku lihat sendiri. Bukankah dengan perisai, kita menjadi lebih aman.”
“Perisai hanya akan mengganggu saja. Aku tidak akan leluasa mempergunakan pedangku.”
“Diperkelahian seorang lawan seorang memang kadang-kadang perisai tidak menguntungkan. Tetapi di peperangan semacam ini, tuanku akan memerlukannya.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilihatnya beberapa orang prajurit membawa perisai pula. Tetapi prajurit-prajurit yang terpilih justru tidak mempergunakan perisai. Namun Anusapati harus menurut petunjuk itu supaya apabila terjadi sesuatu, Senapati itu tidak merasa bersalah. Sehingga dengan demikian Anusapati-pun memilih perisai yang paling sesuai baginya. Sebuah perisai yang memanjang dan berwarna kelam.
Demikianlah, maka pasukan kecil itu-pun segera bergerak meninggalkan tempatnya, menuruni tebing yang rendah dan menyusup di antara hutan rindang. Kemudian mereka-pun sampai ke padang ilalang dan pohon-pohon perdu. Sejenak kemudian, dari kejauhan mereka telah melihat warna kemerah-merahan di atas pepohonan. Dan sejenak kemudian tampaklah nyala api dipadukuhan terpencil itu. Agaknya mereka sedang mengadakan suatu perayaan untuk menyambut tamu mereka dengan makan-makan dan minum tuak di halaman sambil menghangatkan diri di samping sebuah perapian.
Perlahan-lahan pasukan kecil itu bergerak maju. Semakin lama semakin dekat. Namun sebelum mereka melihat dengan jelas apa yang terjadi. Senapati itu sudah memerintahkan mereka berhenti.
“Kalian tinggal di sini. Aku akan mendekat. Kalau terjadi sesuatu, aku akan memanggil kalian. Aku kira suaraku dapat mencapai jarak ini. Tetapi ingat, jangan membuat pertanda apa-pun yang dapat menarik perhatian mereka. Sebenarnya jarak ini tidak terlampau jauh.”
Prajurit-prajuritnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sebelum Senapati itu melangkah, Anusapati bertanya kepadanya, “jadi aku ikut dengan kau?”
“Jangan tuanku. Tuanku tinggal bersama pasukan ini.”
“Tetapi bukankah aku bertugas untuk ikut mengintai sarang lawan?”
“Tetapi kita menghadapi keadaan yang agak lain. Di padukuhan itu ada seorang tamu yang agaknya cukup penting diikuti oleh dua orang pengiringnya.”
“Kebetulan sekali. Aku ingin melihat, siapakah mereka itu?”
“Jangan tuanku. Biarlah hamba bertiga saja berangkat lebih dahulu. Hamba ingin meyakinkan keadaan. Barulah hamba akan mengambil sikap tertentu.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Beberapa orang prajurit memandang Anusapati dengan tegangnya. Agaknya Putera Mahkota yang belum berpengalaman itu sama sekali tidak menyadari bahaya yang tersembunyi dibalik pagar padukuhan itu. Seakan-akan Putera Mahkota itu sedang berburu kijang yang sama sekali tidak akan membahayakan. Tetapi kali ini mereka tidak sekedar berburu kijang. Kali ini mereka memburu penjahat-penjahat yang bersenjata dan bahkan telah timbul suatu keadaan di luar perhitungan mereka.
Dengan demikian, maka Anusapati terpaksa tinggal bersama para prajurit yang lain di balik semak-semak yang rimbun. Ia hanya dapat memandang ke kejauhan, kepada api yang menyala dan memancarkan cahayanya kededaunan dan atap-atap rumah.
Sepeninggal Senapati itu Anusapati meletakkan perisainya sambil bersungut-sungut, “Buat apa aku membawa perisai kalau aku hanya akan tidur disini?”
“Tuanku,” berkata prajurit yang harus memimpin pasukan sementara Senapati itu pergi, “keadaan memang cukup berbahaya. Tetapi mungkin pula tidak, karena kita belum tahu pasti apa yang terjadi dipadukuhan itu. Kalau tamu yang datang itu sekedar tamu-tamu terhormat yang tidak mempunyai kemampuan dalam olah kanuragan, maka keadaannya sama sekali tidak akan menegangkan urat syaraf. Tetapi kalau mereka termasuk orang-orang penting dan bahkan mungkin pemimpin-pemimpin perampok dari kelompok-kelompok yang lain, maka semuanya harus diperhitungkan sebaik-baiknya.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia berkata, “Bagaimana kalau aku tidur sebentar?”
“Tidur? Didalam keadaan ini tuanku akan tidur?”
“Bukankah masih ada waktu untuk beristirahat sebentar? Seandainya ada sesuatu yang terjadi, tentu tidak akan begitu tiba-tiba saja. Kalau perlu bangunkan aku.”
“Dimana tuanku akan tidur?”
“Digerumbul itu.”
Pemimpin prajurit itu mengerutkan keningnya. Sejenak dipandanginya kawan-kawannya untuk mendapatkan pertimbangan. “Tetapi,” bertanya salah seorag dari mereka, “kalau tuanku terkejut, maka tuanku akan menjadi pening.”
Anusapati mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah prajurit itu sejenak, lalu jawabnya, “Tentu di dalam keadaan yang memaksa, mau tidak mau aku akan bangun. Meskipun aku akan pening sejenak, namun pemusatan perhatian terhadap sesuatu akan segera menyembuhkannya.”
Prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia menjadi agak bingung. Namun kemudian ia berkata, “Tetapi dalam keadaan ini sebaiknya tuanku tidak tidur. Semua prajurit harus berada di dalam kesiagaan penuh menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi.”
“Tetapi bukankah belum pasti ada persoalan di antara kita dengan orang-orang itu sekarang? Barangkali akan lebih baik apabila setiap prajurit mendapat kesempatan untuk tidur sejenak. Mereka akan menjadi segar dan segenap kekuatan mereka akan pulih kembali.”
“Waktu beristirahat sudah cukup tuanku. Justru sudah berlebihan.”
Anusapati mengerutkan keningnya. Lalu, “Baiklah. Aku tidak akan tidur. Aku hanya akan berbaring saja di dalam gerumbul itu. Kalau ada sesuatu, lemparlah aku dengan batu. Aku akan segera datang.”
Prajurit itu menjadi termangu-mangu sejenak. Agaknya Putera Mahkota sudah mulai jemu melakukan tugas seorang prajurit yang berat. Ia mulai menuruti keinginannya sendiri.
Meskipun demikian prajurit itu berkata, “Tuanku. Tuanku dapat saja berada di gerumbul itu. Tetapi sebaiknya tuanku tidak tidur. Sebaiknya tuanku ikut memperhatikan perkembangan keadaan sehingga setiap saat tuanku siap untuk bertindak apa-pun juga sebagaimana seorang prajurit.”
“Ya, ya. Aku tidak akan tidur. Kalau kau memerlukan aku, kau tidak perlu datang ke gerumbul itu. Seperti sudah aku katakan, lempar saja dengan batu. Aku akan datang.” Tetapi sebelum Anusapati pergi, prajurit itu berkata, “Sebaiknya seorang prajurit tidak meninggalkan kelengkapan perangnya. Perisai tuanku tertinggal di sini.”
“O,” dengan segannya Anusapati memungut perisainya, lalu melangkah meninggalkan prajurit itu menuju ke sebuah gerumbul di balik sebuah batu.
Beberapa orang prajurit mengawasinya selagi ia melangkah meninggalkan tempatnya. Tetapi tidak seorang-pun yang berani bertanya. Salah seorang dari mereka berkata, “Agaknya tuanku Putera Mahkota masih terlampau lelah.”
Prajurit yang untuk sementara memimpin pasukan itu selama Senapatinya mendekati padukuhan terpencil itu mengangguk. Katanya, “Sebenarnya aku kasihan juga melihatnya. Ia tentu terlampau lelah. Tetapi agaknya ia menjadi kecewa juga, karena ia tidak diperkenankan mengikuti penyelidikan yang sedang dilakukan, karena hal itu akan sangat berbahaya baginya. Sedang tuanku Putera Mahkota agaknya tidak mengenal bahaya itu seakan-akan ia sedang pergi berburu.”
Prajurit-prajurit yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun mereka melihat, bahwa sesungguhnya Anusapati memiliki niat yang mantap untuk melakukan tugas-tugas keprajuritan, meskipun ia masih memerlukan pengalaman untuk memantapkan sikapnya. Tidak seorang-pun yang mengusik ketika Anusapati kemudian berbaring di pinggir gerumbul di belakang sebuah batu. Sejenak ia terbatuk-batuk. Namun sejenak kemudian suaranya tidak terdengar lagi.
“Mungkin Putera Mahkota itu tertidur,” desis salah seorang prajurit.
“Ingat, kalau terjadi sesuatu Putera Mahkota itu jangan dilupakan. Begitu kita mendapat isyarat, begitu kita berlari-lari sehingga kita tinggalkan saja Putera Mahkota itu seorang diri,” berkata yang lain.
“Tentu tidak. Kami akan melemparkan batu untuk membangunkannya.”
“Lebih baik goyang kakinya.”
“Biarkan saja ia tidur,” berkata prajurit yang lain, “agaknya kita tidak akan berbuat apa-apa malam ini. Kita baru akan mendapat keterangan tentang tamu-tamu itu. Kalau kita tidak segera mendapat perintah untuk berbuat sesuatu, sebaiknya kita menyimpan tenaga untuk bosok. Kita dapat berganti-gantian tidur disini.”
Yang lain-pun mengangguk-anggukkan kepala. Memang mereka belum dapat menentukan apa yang akan mereka lakukan malam itu. Namun dalam pada itu, selagi para prajurit itu berbicara di antara mereka, Anusapati sudah tidak berada di tempatnya. Diam-diam ia bergeser pergi, menyusul Senapati dan kedua petugas sandi. Di malam hari Anusapati merasa lebih aman, karena orang lain tidak akan mudah melihatnya.
Sejenak kemudian Anusapati telah berhasil mengikuti jejak pemimpin pasukannya bersama kedua petugas sandi. Meskipun mereka hanya sekedar berbisik-bisik, tetapi telinga Anusapati yang tajam segera menangkapnya dan menemukan di mana mereka bersembunyi. Ternyata mereka bertiga-pun tidak segera mendekat. Mereka agaknya menjadi sangat berhati-hati. Untuk beberapa lamanya, mereka bersembunyi di balik batu yang besar, di antara pohon-pohon perdu, sehingga Anusapati segera dapat menemukan mereka.
Baru ketika malam menjadi semakin malam, dan api yang menyala di halaman itu menjadi semakin redup, Senapati dan kedua petugas sandi itu-pun mulai bergerak mendekat. Dengan hati-hati sekali mereka memanjat tebing yang tidak begitu tinggi di arah yang bertentangan dengan letak gerbang padukuhan itu. Ketika mereka mencapai dinding-dinding batu, mereka sejenak diam menunggu. Ternyata masih ada beberapa kesibukan di dalam padukuhan kecil itu, sehingga mereka-pun tidak segera berbuat sesuatu.
Anusapati yang mengikuti mereka bertiga itu-pun berhenti pula beberapa langkah di belakang mereka. Di balik gerumbul yang agak rimbun. Namun dari tempatnya, Anusapati juga dapat mendengar kesibukan di dalam padukuhan kecil itu. Tetapi ia tidak dapat melihatnya. Sejenak Anusapati berpikir. Ia ingin dapat melihat ke dalam, tetapi tidak kehilangan ketiga prajurit itu. Kalau di saat wajar, ketiga prajurit itu mencemaskan kepada Anusapati, namun disaat-saat yang gawat itu, justru Anusapatilah yang mencemaskan nasib mereka, karena sepengetahuannya, meskipun ketiganya adalah prajurit pilihan, yang mempunyai kelebihan dari prajurit-prajurit yang lain, namun menghadapi orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi, agaknya masih menemui kesulitan juga.
Namun dalam pada itu, padukuhan itu-pun semakin lama menjadi semakin sepi. Satu-satu mereka masuk ke dalam rumah dan satu-satu obor di halaman-pun menjadi padam. Agaknya mereka sudah lelah dan kenyang, sehingga sambutan makan minum bagi ketiga tamu mereka itu-pun sudah berakhir. Ketiga prajurit Singasari yang masih berada di luar dinding batu itu-pun menjadi semakin mendekat. Salah seorang dan mereka mencoba berdiri beralaskan sebuah batu untuk menjenguk keadaan di dalam dinding batu.
“Sepi,” desisnya.
“Tunggu sebentar,” berkata Sempati itu, “sebentar lagi kita masuk.”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara Anusapati mengerutkan keningnya. Katanya di dalam hati, “Prajurit-prajurit Singasari memang prajurit-prajurit yang berani. Mereka tidak segan masuk ke sarang serigala untuk melakukan tugasnya. Namun kali ini mereka benar-benar telah melakukan tugas yang berbahaya.”
Namun Anusapati tidak mencegah mereka. Dipandanginya saja dengan dada yang berdebar-debar, ketiga orang itu kemudian satu demi satu memanjat dan meloncat ke dalam. Anusapati-pun tidak tinggal diam. Sejenak ia menunggu. Kemudian ia-pun menjengukkan kepalanya dengan hati-hati. Ketika ketiga orang ia tidak lagi memperhatikan dinding batu di belakangnya, maka ia-pun segera meloncat dibalik sebatang pohon yang besar, sehingga ketiga prajurit Singasari itu tidak melihatnya. Agaknya kelelahan dan makan yang terlampau banyak, membuat orang-orang di padukuhan kecil itu segera tertidur. Tidak ada lagi suara apa-pun hampir di setiap rumah.
“Kita lihat rumah yang paling mungkin dipergunakan oleh ketiga tamu itu,” desis Senapati itu.
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ketiganya-pun kemudian merayap semakin ke tengah, menyusup di antara pepohonan dan pagar batu yang rendah. Mereka-pun kemudian sampai di belakang halaman yang luas dan berpagar agak tinggi. Di halaman masih berserakan bekas makan dan minum yang belum sempat dibersihkan.
“Agaknya rumah inilah yang mereka pergunakan sebagai pusat pimpinan mereka,” desis Senapati itu.
Kedua petugas sandi itu menganggukkan kepalanya hampir berbareng. Tetapi mereka tidak menyahut. Sejenak mereka menunggu. Ketika mereka kemudian bergeser sedikit ke samping, mereka melihat dua orang pengawal lewat menyilang halaman.
“Masih ada juga yang berjaga,” desis salah seorang prajurit sandi itu.
“Ya. Dengan demikian kita dapat memastikan bahwa, di sinilah tamu-tamu itu ditempatkan.” jawab Senapati itu.
“Kita akan mendekat,” berkata prajurit sandi yang lain.
“Ya. Kita akan mendekat. Tetapi salah seorang dari kita akan mengawasi keadaan.”
“Ya. Kita masuk bersama-sama. Kita bersembunyi di longkangan belakang rumah itu. Dari sana kita dapat mendengar kalau masih ada pembicaraan di dalam rumah itu, sedang dari sana kita dapat mengawasi keadaan di bagian belakang rumah itu.”
Ketiganya-pun kemudian meloncat masuk dan lewat kebun belakang yang agak rimbun mereka mendekati rumah itu. Di belakang rumah itu terdapat sebuah kandang yang kosong dan setumpuk kayu bakar. Ketiga orang itu-pun segera bersembunyi di sebelah kandang di balik setumpuk kayu. Dengan sangat hati-hati Senapati itu mencoba memperhatikan keadaan di sekitarnya.
“Kau tinggal disini,” katanya kepada salah seorang petugas sandi, “aku berdua akan mencoba memperhatikan keadaan di bagian dalam.”
“Kalian akan masuk?”
“Ya. Kami akan memanjat regol butulan yang langsung masuk ke longkangan belakang. Mudah-mudahan orang-orang di dapur sudah tertidur nyenyak.”
Petugas sandi yang seorang itu mengangguk. Anusapati menjadi berdebar-debar. Tindakan Senapati itu memang sangat berbahaya. Tetapi memang tidak ada jalan lain untuk mengetahui keadaan di dalam rumah itu. Dengan penuh kewaspadaan, bahkan kedua orang itu sudah menggenggam masing-masing sebilah pisau yang siap dipergunakan setiap saat, mereka-pun memanjat regol butulan. Sejenak mereka menjenguk ke dalam. Tetapi karena tidak mendengar suara apapun, bahkan desah natas-pun tidak, mereka-pun segera meloncat ke dalam.
Ternyata tidak seorang-pun berada di dapur. Agaknya dapur itu memang tidak dipergunakan, karena tidak ada bara sepeletik-pun didalam perapian. Bahkan perapian itu sudah dingin sama sekali. Agaknya mereka telah mempergunakan rumah sebelah untuk memasak dan menanak nasi yang berlimpah-limpah banyaknya. Sejenak mereka berdua berdiri termangu-mangu. Namun sejenak kemudian mereka terperanjat oleh langkah yang sedang mendekat. Dengan tergesa-gesa keduanya segera bergeser dan bersembunyi, yang seorang dibalik geledeg kayu sedang yang lain di sisi paga yang kosong.
Sejenak kemudian pintu butulan dari ruang dalam-pun terbuka. Seorang yang bertubuh pendek besar dan berjambang panjang keluar dari pintu itu. Langkah terhuyung-huyung berpegangan pada tiang-tiang pintu. Sedang di belakangnya seorang yang bertubuh sedang mengikutinya.
“Kau benar-benar akan pulang ke gubugmu?” bertanya yang bertubuh sedang.
“Buat apa aku tetap disini menunggui orang tidur. Bukankah guru Ki Lurah itu sudah tidur.”
“Tetapi Ki Lurah sendiri masih duduk di pendapa.”
“Kau sajalah mengawaninya. Aku akan kembali ke gubug itu. Perempuan itu pasti sudah menungguku.”
“Kau mabuk?”
“Tidak, tidak. Aku tidak mabuk. Aku biasa minum tuak sampai dua tiga bumbung tanpa mabuk.”
“Macammu. Kau mabuk sekarang.”
“Tidak. Aku tidak mabuk.”
“Terserahlah.”
Orang yang pendek berjambang itu-pun kemudian melangkah sambil berpegangan dinding. Tetapi pintu longkangan juga tertutup sehingga dengan setengah sadar ia mengetuk-ngetuk pintu.
“Gila kau,” desis yang bertubuh sedang, “tidak akan ada orang yang menjaga pintu itu. Kau sendirilah yang harus membuka.”
“O,” tangannya-pun segera meraba-raba selarak, tetapi tidak juga segera diketemukan.
Orang yang bertubuh sedang itu-pun segera meloncat kepintu itu. Dengan satu hentakan, maka pintu itu sudah terbuka. “Pergilah.”
Orang gemuk itu-pun melangkah pergi. Dengan menyeret kakinya ia berjalan tertatih-tatih di kegelapan malam. Ia tidak mau lewat pintu depan, karena pemimpinnya masih duduk di pendapa beserta beberapa orang yang lain. Yang mabuk di antara mereka-pun segera berbaring di atas tikar yang sudah terbentang dipendapa itu pula. Tetapi agaknya orang gemuk itu sedang menyimpan seorang perempuan di rumahnya sehingga ia telah memaksa dirinya untuk kembali ke pondoknya.
Senapati dan seorang petugas sandi yang menyertainya menjadi berdebar-debar. Mereka kini mendapat sebuah keterangan yang sangat penting bagi mereka. Tamu itu adalah guru dari pemimpin gerombolan yang tinggal di padukuhan kecil ini. Sejenak mereka termangu-mangu sambil menahan nafas, sampai orang yang bertubuh sedang itu hilang di balik pintu butulan dari ruang dalam, dan pintu itu-pun kemudian tertutup pula rapat-rapat.
Petugas sandi yang menunggu di luar-pun melihat pula orang gemuk yang agak mabuk itu berjalan terhuyung-huyung dikebun belakang. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa, supaya kehadiran mereka bertiga tidak meninggalkan kesan apa-apa. Ketika suasana di belakang rumah itu telah menjadi sunyi kembali, maka Senapati itu-pun memberikan isyarat kepada kawannya untuk mendekat.
“Kita berhadapan dengan orang yang agak lain dari yang kita perhitungkan,” bisik Senapati itu.
Kawannya menganggukkan kepalanya. Desisnya, “Bahkan guru pemimpin dari gerombolan ini.”
“Kita harus berhati-hati.” Kawannya menganggukkan kepalanya.
“Kita kembali kepada pasukan itu. Kita bicarakan apa yang sebaiknya kita lakukan.”
Sekali lagi kawannya menganggukkan kepalanya. Demikianlah maka kedua orang itu-pun segera meninggalkan dapur yang tidak dipergunakan lagi itu. Setelah mereka berada di luar, maka diajaknya petugas yang seorang itu-pun pergi bersama mereka.
Dalam pada itu, Anusapati-pun masih juga mengikuti mereka. Ia-pun mendengar apa yang dibicarakan oleh kedua orang anggauta gerombolan dipintu butulan. Ia-pun mengetahui, bahwa tamu yang dihormati itu adalah guru dari pemimpin gerombolan yang tinggal dipadukuhan kecil itu.
Ketiga orang prajurit Singasari itu-pun segera menyusup di antara tetumbuhan dan pagar-pagar batu menjauhi rumah yang dipergunakan oleh para tamu yang terhormat itu. Beberapa langkah di belakang mereka, Anusapati-pun selalu mengikutinya. Namun ketika mereka sudah hampir sampai di dinding padukuhan itu, Anusapati terkejut. Ia merasa bahwa sesuatu yang tidak dikehendaki telah terjadi. Telinganya yang tajam telah mendengar desir kaki. Bukan kaki ketiga prajurit itu.
Karena itu, sambil menahan nafas ia meloncat masuk ke dalam sebuah kebun yang agak rimbun. Sejenak ia merunduk sambil melekatkan tubuhnya pada pagar dinding. Tetapi Anusapati tidak mendengar apa-pun lagi. Meskipun ia tetap tidak bergerak sama sekali, namun ia tidak mendengar dan tidak melihat seorang-pun yang lewat. Dengan demikian Anusapati menjadi semakin berdebar-debar. Agaknya bukan saja telinganya yang mendengar betapa-pun lemahnya, tetapi terlebih-lebih dari itu adalah firasatnya.
Pasti ada orang yang mengikuti kami meskipun agak jauh. Anusapati-pun segera bangkit. Ia tidak mau kehilangan pengawasan atas ketiga prajurit itu, sehingga dengan demikian, meskipun ia tetap berhati-hati, berusaha menyusul ketiga prajurit yang telah mendahuluinya. Demikianlah, maka di malam yang semakin gelap itu, Anusapati melangkah dengan sangat hati-hati. Sekali lagi firasatnya menangkap sebuah desir di sekitarnya. Dan karena itu maka ia-pun menjadi semakin berhati-hati.
Ketika Anusapati sampai di dinding batu yang mengelilingi padukuhan itu, ia berhenti sejenak. Dengan saksama diperhatikannya keadaan di sekelilingnya. Namun ia tidak mendengar apa-pun juga. Bahkan rasa-rasanya malam menjadi semakin sepi. Tetapi ia menjadi semakin cemas atas nasib ketiga prajurit Singasari yang telah mendahuluinya. Seakan-akan tangan-tangan yang berbisa sedang terjulur untuk menerkam mereka.
“Mereka bukan kanak-anak lagi,” berkata Anusapati di dalam hatinya. Namun ia tidak dapat menyingkrkan kecemasannya.
Setelah ia menyakini kesenyapan malam di sekitar tempatnya berhenti, Anusapati-pun segera meloncati pagar batu itu. Sambil merunduk di antara pepohonan ia-pun segera menuruni tebing yang rendah di belakang padukuhan itu untuk menyusul ketiga prajurit Singasari yang telah mendahuluinya. Sejenak kemudian langkahnya terhenti. Sekali lagi ia merasakan sesuatu bergetar di dadanya. Karena itu, maka ia-pun menjadi semakin berwaspada.
Beberapa langkah kemudian hatinya benar-benar bergejolak ketika dilihatnya tiga orang yang berjalan beberapa langkah dihadapannya. Tetapi ketiga orang itu sama sekali bukan prajurit Singasari yang sedang disusulnya. Anusapati mengusap keningnya yang berkeringat. Ia kini harus benar-benar berhati-hati. karena dihadapannya itu pasti bukannya orang kebanyakan seperti para perampok dipadukuhan itu. Karena itu maka ia harus mengatur langkahnya sebaik-baiknya, bahkan pernafasannya.
Beruntunglah ia bahwa ia dapat melihat ketiga orang itu lebih dahulu, sehingga ia dapat mengatur dirinya menghadapi setiap kemungkinan. Agaknya ketiga orang itu masih belum mengetahui bahwa Anusapati telah melihatnya lebih dahulu. Demikianlah ketiga orang itu berjalan dengan tergesa-gesa. Sedang Anusapati masih terus mengikutinya di belakang.
Dalam pada itu, ketiga prajurit Singasari itu-pun telah menuruni tebing yang rendah itu pula. Sejenak mereka berhenti dan berpaling. Tampak oleh mereka padukuhan itu masih tetap sunyi.
“Kita telah berhasil mengetahui keadaan yang sebenarnya dipadukuhan itu. Untunglah bahwa kita dapat mendengar bahwa yang datang adalah guru dari pemimpin perampok itu. Kalau tidak, apabila kita salah menilai kekuatan lawan, maka hal itu pasti akan sangat berbahaya. Apalagi di antara kita terdapat Putera Mahkota,” berkata Senapati itu.
“Ya. Kita sudah mempunyai bahan untuk memperhitungkannya. Sebaiknya kita harus berbuat cepat.”
“Ya. Kita harus mempertimbangkannya dengan matang.”
“Kita masih belum tahu pasti kelebihan dari guru itu. Tetapi kemampuannya tentu jauh lebih besar dari pemimpin perampok itu sendiri. Bahkan mungkin kedua orang yang menyertainya itu-pun termasuk orang-orang yang pilih tanding.”
“Kemungkinan itulah yang harus segera kita bicarakan. Apakah kita akan menyerang mereka dengan tiba-tiba untuk mengurangi kemungkinan-kemungkinan perlawanan yang kuat, karena dengan serangan yang tiba-tiba itu kita akan mendapat kesempatan lebih dahulu mengurangi kekuatan lawan. Dengan demikian kita sempat menyusun kelompok-kelompok kecil untuk melawan orang-orang pilihan di antara mereka. Atau kita akan menentukan sikap yang lain.”
“Baik. Marilah kita kembali. Kita akan berbincang.” Ketiga prajurit itu-pun segera meneruskan langkahnya.
Tetapi baru selangkah mereka maju, tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar suara dibalik gerumbul, “Kalian tidak akan sempat memperbincangkan dengan siapapun. Akulah orang yang kalian maksud. Akulah guru dari pemimpin perampok itu.”
Dada ketiga prajurit itu-pun tergetar mendengar kata-kata itu. Namun sebagai seorang prajurit, maka dengan gerak naluriah mereka-pun segera mempersiapkan diri menghadapi setiap kemungkinan.
“Nah. kau tidak usah bersusah payah mencari aku. Aku sudah datang sendiri kepadamu,” berkata guru perampok itu, “lebih baik aku memperkenalkan diriku lebih dahulu. Akulah yang disebut orang Kiai Kisi. Pemimpin perampok itu memang muridku.”
Dada ketiga prajurit Singasari itu menjadi berdebar-debar.
“Aku sangat tertarik kepada pembicaraanmu. Agaknya kau telah membawa Putera Mahkota bersamamu sekarang. Itu bagus sekali. Aku ingin mendapatkannya. Aku ingin menangkap Putera Mahkota itu agar dapat aku jadikan alat untuk memeras Sri Rajasa yang perkasa. Apabila Putera Mahkota ada di tanganku, maka semua permohonanku pasti akan dikabulkan.”
“Persetan,” Senapati itu menggeretakkan giginya, “kau memang bodoh. Di dalam pasukan yang manapun, apabila Putera Mahkota ada bersama mereka, maka pasukan itu adalah pasukan yang tidak akan terkalahkan karena pengawalan yang sangat kuat. Kalau kau ingin menghancurkan kepalamu dan seluruh anak buah muridmu, marilah, aku tunjukkan kepadamu dimana Putera Mahkota sekarang ini berada.”
Tetapi Kiai Kisi itu tertawa. Katanya, “Kalau kau cukup kuat untuk melawan aku, kau tidak akan bingung menyusun pasukanmu. Kau tidak usah menyusun kelompok-kelompok kecil atau menyerang dengan tiba-tiba. Aku mengerti, bahwa kehadiranku di sini benar-benar tidak kau perhitungkan, sehingga dengan demikian, maka kau menjadi bingung menghadapi keadaan ini.”
“Dugaan yang sangat dangkal. Sebagai seorang prajurit kami memang harus berhati-hati. Tetapi jangan kau sangka bahwa kau tidak dapat dikalahkan.”
Kiai Kisi tertawa lagi. Justru lebih keras. Katanya, “Jangan menyembunyikan kelemahanmu. Sekarang kita berhadapan. Kami memang berhasrat membunuh kalian bertiga. Lalu kami akan menyerang kawan-kawanmu yang kini sedang melindungi Putera Mahkota itu. Kami ingin menangkapnya hidup-hidup.”
Senapati itu menggeretakka giginya. Namun demikian sebenarnyalah bahwa hatinya telah dicengkam oleh kecemasan. Bukan karena dirinya sendiri. Tetapi justru karena nasib Putera Mahkota yang seakan-akan telah diserahkan kepadanya. Kalau orang yang menyebut dirinya bernama Kiai Kisi ini benar-benar orang yang tidak terkalahkan, dan kemudian berhasil menangkap putera Mahkota, maka persoalan yang semula merupakan semacam suatu alat pendadaran ini, akan menjadi suatu bencana yang sebenarnya bagi Anusapati.
Dalam kecemasan itu ia mendengar Kiai Kisi berkata, “Jangan menyesal, bahwa kalian telah terjebak dalam sarang harimau. Kalian mungkin menyangka bahwa gerombolan perampok dipadukuhan kecil itu sama sekali tidak berarti sehingga kalian telah membawa Putera Mahkota itu kemari. Tetapi bagaimana-pun juga kalian menyesal, namun kalian tidak akan mendapat kesempatan lagi untuk meninggalkan tempat ini.”
“Jangan mengigau,” bentak Senapati itu, “dengan satu isyarat aku akan dapat memanggil pasukan datang saat ini.”
“Jangan kau kira bahwa aku tidak akan terbuat serupa. Aku akan dapat memanggil para perampok yang tinggal di atas bukit kecil ini. Mereka masih belum seluruhnya tertidur. Mereka akan segera menyiapkan kawan-kawan mereka dan langsung menuju ketempat ini. Sebagian dari mereka sedang dalam keadaan agak mabuk sehingga mereka pasti akan bertempur membabi buta. Nah, apakah kira-kira pasukanmu akan mampu melawan para perampok yang sedang mabuk itu?”
“Tentu. Mereka akan dihancurkan sama sekali bersama kau dan muridmu.”
“Lucu sekali kedengarannya. Tetapi yang sekarang berhadapan adalah kita. Kau bertiga dan kebetulan sekali aku juga bertiga. Tetapi bertiga bagimu sama sekali tidak berarti. Kedua kawanku hanya akan menjadi penonton. Aku sendiri yang akan berkelahi membinasakan kalian bertiga. Nah, terserahlah kepada kalian, apakah kalian percaya atau tidak. Kalau kalian tidak percaya, marilah kita coba. Sedangkan kalau kalian percaya, kalian dapat memanggil kawan-kawan kalian untuk mati bersama selain putera Mahkota itu.”
Senapati itu tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi merah padam karena marah. Yang terdengar kemudian adalah gemeretak giginya.
“Aku akan segera mulai, bersiaplah,” berkata Kiai Kisi.
Senapati itu masih tetap berdiam diri. Tetapi ia sudah menyiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan yang segera akan terjadi. Namun demikian ia tidak segera berhasrat memanggil orang-orangnya. ia akan menjajagi dahulu ketangguhan lawannya. Hanya dalam keadaan yang memaksa ia akan memberikan isyarat, asalkan dalam keadaan demikian tidak justru akan mengacaukan anak buahnya yang sedang menunggunya, apalagi di antara mereka terdapat Putera Mahkota.
Selagi Senapati itu merenung sejenak, Kiai Kisi berkata kepada kedua pembantunya, “Menyingkirlah. Lihat sajalah bagaimana aku membunuh ketiganya dengan caraku. Tetapi kalau salah seorang dari mereka sempat memberikan isyarat kepada kawan-kawannya, salah seorang dari kalian kembali ke padukuhan untuk memanggil kawan-kawanmu kemari. Kita musnakan semua orang yang datang kemari selain Putera Mahkota yang akan menjadi tawanan kita, yang dapat kita jadikan alat pemeras yang bagi Sri Rajasa yang berkuasa di Singasari. Sebelum kita puas memeras Sri Rajasa putera Mahkota tetap kita biarkan hidup. Tetapi apabila kita sudah jemu memerasnya, maka anak itu akan kita bunuh saja."
Kemarahan dihati Senapati itu sudah tidak tertahankan lagi. Tiba-tiba saja ia meloncat menyerang Kiai Kisi dengan garangnya. Namun ternyata Kiai Kisi benar-benar seorang yang pilih tanding. Meskipun serangan Senapati itu tiba-tiba saja meluncur seperti tatit, namun Kiai Kisi sempat mengelak sambil tertawa. Katanya, “He, ternyata prajurit Singasari dapat juga berbuat licik, yang menyerang dengan tiba-tiba sebelum memberitahukan lebih dahulu kepada lawannya.”
Tetapi Senapati itu tidak peduli. Ketika ia sadar bahwa serangannya tidak menyentuh sasarannya, maka ia-pun segera mempersiapkan serangan berikutnya. Kedua prajurit sandi yang menyertainya itu-pun tidak tinggal diam saja melihat Senapatinya sudah mulai. Keduanya-pun segera berloncatan pula menyerang dengan cepatnya.
Namun Kiai Kisi berhasil mengelak serangan-serangan mereka dengan mudahnya. Bahkan dengan gerakan yang sederhana, hampir tidak dapat dilihat dengan mata telanjang didalam keremangan malam, ia telah menyerang lawannya pula. Sebuah pukulan yang tidak begitu keras telah mengenai punggung Senapati dari Singasari itu sehingga ia terdorong jatuh menelungkup. Untunglah bahwa kedua kawannya cepat melakukan serangan beruntun sehingga Kiai Kisi itu harus menghindarinya.
Kesempatan itu agaknya telah dipergunakan baik-baik oleh Senapati yang terjatuh itu. Dengan cepat ia melenting berdiri dan mempersiapkan diri menghadapi setiap kemungkinan berikutnya. Apalagi kini tangannya telah menggenggam senjatanya. Sebilah pisau belati panjang di tangan kanannya dan sebuah pisau pendek di tangan kirinya. Demikian juga kedua prajurit sandi itu. Mereka-pun telah menggenggam pisau belati di tangan masing-masing.
“Kalian memang ingin mati secepat-cepatnya,” desis Kiai Kisi. Lalu, “Tetapi ternyata aku berkeputusan sebaliknya. Kalian harus mati perlahan-lahan karena kalian telah berani melawan Kiai Kisi dalam suatu perkelahian. Penghinaan itu harus kalian tebus dengan harga yang mahal sekali.”
Senapati Smgasari itu menggeram. Sejenak ia berdiri tegak bagaikan patung, sedang kedua kawannya-pun telah siap pula menghadapi lawannya yang aneh ini. Namun, dalam pada itu, masih ada dua orang lagi yang berdiri disebelah arena. Dua orang kawan Kiai Kisi yang masih belum berbuat apa-apa. Seperti yang diperintahkan oleh Kiai Kisi, maka keduanya itu hanya sekedar melihat apa yang akan terjadi di arena.
Sejenak kemudian, maka Kiai Kisi itu berkata, “He prajurit-prajurit Singasari. Kalau kalian bersedia menyerahkan Putera Mahkota tanpa peperangan, maka kalian akan mendapat pengampunan. Kalian akan aku lepaskan untuk kembali ke Singasari. Kalau kelak kau akan digantung di alun-alun, itu bukan salahku. Justru atasanmu sendirilah yang tidak menaruh belas kasihan kepadamu dengan seluruh pasukanmu.”
“Persetan,” Senapati itu menggeram. Berbareng dengan itu maka ia-pun telah meloncat menyerang Kiai Kisi itu pula, diikuti oleh kedua kawannya berturut-turut.
Bagaimana-pun juga tiga orang prajurit pilihan dari Singasari itu tidak dapat diabaikannya. Serangan yang datang berurutan itu telah membuat Kiai Kisi sibuk menghindarinya. Namun ia-pun kemudian tidak membiarkan dirinya terus-menerus menghindar dan menghindar. Akhirnya datang juga saatnya ia mulai menyerang lawan-lawannya.
Agaknya ketiga prajurit Singasari itu bukan pula prajurit kebanyakan. Yang seorang adalah pemimpin pasukan kecil yang mendapat kepercayaan untuk membawa Putera Mahkota bersamanya, sedang yang dua orang adalah petugas-tugas sandi yang terpilih. Itulah sebabnya, maka Kiai Kisi masih juga memerlukan waktu untuk menguasai ketiganya. Bahkan ternyata bahwa perkelahian yang terjadi di antara mereka-pun menjadi semakin lama semakin seru.
“Kalian ternyata sangat memuakkan,” geram Kiai Kisi, “aku terpaksa berbuat lebih banyak lagi. Jangan kalian sangka bahwa aku sudah sampai pada puncak ilmuku.”
Ketiga prajurit Singasari itu tidak menjawab sama sekali. Mereka justru menyerang semakin dahsyat. Berurutan seperti gelombang laut yang satu-satu membentur batu-batu karang dipantai. Ternyata bahwa Kiai Kisi tidak hanya sekedar berbicara. Tandangnya menjadi semakin lama semakin mantap, sehingga segera tampak bahwa ketiga prajurit Singasari itu yang justru prajurit pilihan, telah terdesak.
Senapati Singasari itu menjadi ragu-ragu untuk bertindak selanjutnya ketika ia sadar, bahwa lawannya benar-benar seorang yang pilih tanding. Bahkan ia menjadi sangat cemas akan nasib Putera Mahkota. Di dalam perkelahian yang telah menjadi berat sebelah, meskipun ia bertempur betiga bersama kedua prajurit sandi itu, ia membayangkan, bagaimanakah kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, baik bagi pasukan kecilnya mau-pun baik Putera Mahkota yang ada di antara mereka.
Sekilas Senapati itu melihat dua orang kawan Kiai Kisi yang masih berdiri menonton perkelahian itu, sehingga dengan demikian Senapati itu sempat membuat perhitungan, bahwa tiga orang itu akan mampu melawan paling sedikit lima orang termasuk dirinya sendiri bersama kedua petugas sandi itu. “Keadaan yang sama sekali tidak diperhitungkan sebelumnya,” ia bergumam di dalam hatinya.
Karena itu, ia benar-benar telah dicengkam oleh kebimbangan. Apakah ia akan memanggil kawan-kawannya, atau ia akan mencoba bertempur terus bersama kedua orang petugas sandi itu. Kalau ia bertempur terus, maka hampir dapat dipastikan bahwa ia bersama kedua petugas sandi itu akan terbunuh. Hal itu tidak akan banyak memerlukan pertimbangan seandainya dengan demikian Putera Mahkota akan dapat di selamatkan. Tetapi agaknya bagaimana-pun juga, akan sulitlah bagi Putera Mahkota untuk membebaskan diri.
Dalam kebimbangan itulah, maka Kiai Kisi menjadi semakin menguasai ketiga orang prajurit itu. Bahkan, sekali-sekali serangan Kiai Kisi telah berhasil menyentuh lawannya. Namun senjata ditangan prajurit-prajurit itu telah berhasil menahan serangan-serangan Kiai Kisi yang terlampau cepat bagi mereka.
Senapati yang semakin terdesak itu masih belum segera dapat menentukan sikapnya terhadap pasukannya. Ia sadar, bahwa Kiai Kisi tidak akan sekedar menakut-nakutinya apabila kedua kawannya atau salah seorang daripadanya akan memanggil kawan-kawannya yang meskipun sebagian dari mereka sedang mabuk. Namun melawan para perampok bersama Kiai Kisi dan kedua kawannya yang masih belum dijajagi kemampuannya itu, agaknya pasukannya akan menjumpai kesulitan.
Dalam kebimbangan itu para prajurit Singasari mendengar Kiai Kisi berkata, “He, kenapa kalian masih belum memanggil kawan-kawanmu. Panggillah agar aku segera dapat menyelesaikan pekerjaan ini. Aku-pun akan memanggil muridku dan orang-orangnya untuk segera menangkap Putera Mahkota.”
Senapati Singasari itu hanya dapat menggeram. Dicobanya untuk mengerahkan kemampuannya. Tetapi ia sama sekali tidak berdaya menghadapi Kiai Kisi yang memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari mereka bertiga.
“Ternyata kalian tidak mau memanggil kawan-kawan kalian. Apakah kalian menyangka bahwa dengan demikian mereka akan dapat lolos dari tangan kami? Sayang, bahwa segala cara yang akan kau tempuh tidak akan dapat menyelamatkan pasukanmu dan Putera Mahkota. Kamilah yang akan menentukan nasib kalian yang malang itu, sehingga secara kebetulan kalian telah menjumpai kami diantara perampok-perampok yang kalian cari, yang kalian anggap telah mengganggu ketenteraman Singasari itu. Namun yang terjadi ternyata sebaliknya. Kalianlah yang akan hancur dan Putera Mahkota akan menjadi tawanan kami,” Kiai Kisi itu-pun kemudian tertawa berkepanjangan.
Senapati itu menggeretakkan gigi. Dengan segenap kemampuannya ia menyerang Kiai Kisi bersama dua orang prajurit sandi yang menyertainya. Namun serangan-serangan itu tidak banyak berarti. Meskipun Kiai Kisi harus berloncatan menghindar namun serangan-serangan itu tidak akan dapat menentukan akhir dari pertempuran itu.
Demikianlah, maka makin jelas bahwa Kiai Kisi akan segera bisa mengakhiri perkelahian. Ketiga lawannya itu-pun menjadi semakin terdesak dan mulai membayang pula saat-saat terakhir dari perjuangan mereka yang gigih. Namun sampai saat-saat terakhir Senapati Singasari itu masih belum dapat memutuskan, apakah yang sebaiknya dilakukan atas anak buahnya. Sehingga dengan demikian maka Senapati itu-pun masih belum memberikan isyarat apa-pun juga.
Tetapi Senapati itu-pun menyadari keadaannya. Ia bersama kedua prajurit sandi itu tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi. Ketiganya pasti akan segera mengakhiri perlawanan. Dan apakah yang akan terjadi atas mereka, tergantung sekali kepada Kiai Kisi yang akan segera menguasai seluruh keadaan. Meskipun ketiga prajurit Singasari itu tidak berputus asa, namun mereka-pun mampu memperhitungkan keadaan, sehingga mereka sudah tidak berpengharapan lagi untuk dapat meninggalkan gelanggang.
Tetapi selagi Kiai Kisi sampai pada keputusan terakhir untuk membinasakan tiga orang lawannya itu, tiba-tiba ia sudah dikejutkan oleh suara tertawa dibalik sebuah gerumbul. Suara itu tidak begitu keras, namun seakan-akan langsung menusuk kepusat jantung.
“Kiai Kisi,” terdengar suara disela-sela tertawanya, “apakah kau benar-benar akan membunuh ketiga orang itu dan menangkap Putera Mahkota?”
Kiai Kisi tertegun sejenak. Tetapi bukan saja Kiai Kisi, ketiga lawannya-pun menjadi termangu-mangu pula karenanya. Sejenak kemudian mereka-pun melihat sesosok tubuh yang muncul dari balik gerumbul. Hampir seluruh wajahnya tertutup oleh selembar kain hitam, sedang pakaiannya yang membelit tubuhnya-pun tampak kusut dan tidak keruan. Kainnya membelit pinggang di sela-sela kain yang juga berwarna hitam. Dadanya yang telanjang tampak menengadah, seakan-akan tidak akan dapat dilukai dengan jenis senjata apa-pun juga. Kiai Kisi berdiri tegak ditempatnya. Wajahnya menjadi tegang dan nafasnya mulai memburu oleh perasaan heran yang menghentak-hentak dadanya.
“He, Kiai Kisi. Kenapa kau berdiri termangu-mangu seperti melihat hantu? Sudah lama kita tidak ketemu. Sekarang kesempatan yang aku tunggu-tunggu itu tiba. Aku dapat menciummu di tengah-tengah padang ilalang ini.”
“Siapa kau?“ terdengar Kiai Kisi berdesis.
“He, kau sudah lupa kepadaku?”
“Siapakah kau?”
“Aku Siluman Bayangan. Nah, kau ingat sekarang?”
Kiai Kisi mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia bergumam, “Nama itu aneh sekali. Aku belum pernah bertemu dengan jenis siluman apa-pun juga.”
Orang yang berkerudung itu tertawa. Katanya kemudian, “Mungkin kau sudah lupa akan janjimu duapuluh tahun yang lampau. Bahwa pada suatu saat kita akan bertemu lagi di medan perkelahian. Nah, sekarang waktu itu telah lewat beberapa hari. Sampai purnama terakhir, dua puluh tahun itu sudah lewat dua hari. Sampai sekarang yang duapuluh tahun itu sudah lewat delapan hari.”
Kiai Kisi mencoba mengingat-ingat. Tetapi ia tidak berhasil mengingat kembali waktu yang duapuluh tahun itu.
“Duapuluh tahun memang waktu yang lama. Tetapi pertemuan ini tidak akan sia-sia. Aku akan menuntut balas atas kekalahanku dahulu. Bahkan seandainya aku tidak terperosok kedalam jurang, kau pasti sudah membunuhku. Nah, niat membunuh itu kini telah tumbuh pula dihatiku. Yang akan terjadi hanyalah dua kemungkinan. Kau atau aku yang akan mati sekarang. Kita tidak akan sempat membuat janji lagi untuk dua-puluh tahun mendatang. Umur kita sudah semakin tua, dan duapuluh tahun lagi, kita tidak akan dapat lagi berdiri tegak di angin yang agak kencang.” Orang itu berhenti sejenak. Dipandanginya wajah Kiai Kisi yang tegang.
Namun kemudian Kai Kisi itu menggeram, “Agaknya kau memang orang gila. Namamu sudah nama orang gila. Aku tidak pernah mendengar nama serupa itu, bahkan yang sejenis dengan namamu itu sampai sekarang.”
“O, jadi namaku tidak sesuai dengan seleramu? Baik. Aku akan merubah namaku. Namaku yang sebenarnya adalah Dandang Kaluwat. Nah, apakah kau sudah ingat?”
Kiai Kisi berpikir sejenak. Lalu, “Persetan dengan namamu. Aku tidak perduli. Aku sudah lupa semuanya atau memang semua itu tidak pernah terjadi. Kalau sekarang kau sengaja membuat persoalan, marilah. Bersama dengan tiga orang itu, aku akan membunuhmu juga. Kau tidak perlu mengarang serangkaian ceritera tentang duapuluh tahun yang lalu. Kalau kau menyerang aku meskipun tanpa sebab, aku akan melawan dan membunuhmu tanpa persoalan duapuluh tahun atau seratus tahun yang lalu.”
“O. Begitu? Jadi kau samakan Dandang Kaluwat dengan tiga orang anak-anak manis ini? Memang sayang kalau mereka terbunuh. Apalagi mereka adalah pengawas-pengawas Putera Mahkota.”
Orang itu terdiam sejenak lalu, “aku tidak berkepentingan dengan ketiga orang itu. Sekarang aku akan membunuhmu. Habis perkara. Aku juga tidak mau mengenang kekalahanku duapuluh tahun yang lampau. Kekalahan yang memalukan sekali dari seorang Dandang melawan sejenis Kisi yang mabuk ini.”
Kiai Kisi menjadi tegang. Tetapi ia tidak berhasil mengingat nama Dandang Kaluwat itu, sehingga akhirnya ia memutuskan bahwa nama itu memang belum pernah didengarnya. Karena itu maka katanya, “Ayo Dandang Kaluwat kalau kau ingin mulai, marilah segera mulai bersama dengan ketiga prajurit ini. Atau kau sebenarnya juga seorang prajurit yang menyamar?”
“Aku tidak mau diganggu apabila aku sudah turun ke arena. Karena itu, aku minta waktu beberapa saat saja untuk berkelahi melawan Kiai Kisi.” lalu ia berpaling kepada ketiga prajurit Singasari itu, “silahkan beristirahat. Aku akan bertempur seorang melawan seorang sebagai layaknya seorang Dandang Kaluwat. Kalau kalian masih ingin bertempur, uruslah yang dua orang itu. Kalian dapat menangkapnya dan membawanya ke Singasari bersama-sama kawannya yang lain. Kalian akan segera dapat menyelesaikan tugas kalian tanpa diganggu lagi oleh Kiai Kisi yang tamak ini.”
Kemarahan Kiai Kisi telah sampai ke puncak ubun-ubunnya, sehingga karena itu ia berteriak, “jangan banyak bicara. Aku sudah siap membunuhmu.”
Orang yang menyebut dirinya bernama Dandang Kaluwat itu-pun segera mempersiapkan dirinya. Selangkah ia maju. Namun ia masih sempat berkata, “Jangan ganggu aku. Kalau dua orang kawan Kiai Kisi itu akan berbuat aneh-aneh, tangkaplah mereka.”
Senapati Singasari yang seolah-olah justru membeku itu sadar ketika Kiai Kisi tiba-tiba saja telah menyerang Dandang Kaluwat. Namun Dandang Kaluwat ternyata cukup tangkas untuk menghindarinya. Sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam perkelahian. Namun kali ini Kiai Kisi tidak sekedar melawan tiga orang prajurit yang mempunyai kemampuan jauh di bawah kemampuannya. Kini ia bertempur melawan seseorang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat, yang ternyata memiliki ilmu yang cukup kuat untuk melawannya.
Senapati bersama dua orang petugas sandi dari Singasari itu-pun bergeser beberapa langkah surut. Sejenak mereka memandang dua orang kawan Kiai Kisi yang agaknya sedang memperhatikan perkelahian yang sedang terjadi itu. Perkelahian yang benar-benar merupakan perkelahian yang semakin lama semakin seru.
Kiai Kisi yang dibakar oleh kemarahan menyerang Dandang Kaluwat seperti banjir bandang. Beruntun tidak henti-hentinya. Ia ingin segera menyelesaikan perkelahian itu sebelum ketiga prajurit Singasari itu berusaha melarikan diri. Tetapi agaknya lawannya sama sekali tidak membiarkannya berbuat seperti rencananya. Lawannya yang menyebut diri bernama Dandang Kaluwat itu mampu bergerak sedahsyat angin prahara yang melandanya bertubi-tubi.
Baik Senapati dan kedua petugas sandi dari Singasari, mau-pun kawan-kawan Kiai Kisi, telah dicengkam oleh kekaguman atas perkelahian yang telah terjadi itu. Ternyata Kiai Kisi yang pilih tanding itu kini mendapat lawan yang mampu mengimbanginya. Bahkan bukan saja mengimbanginya, tetapi mampu memaksa Kiai Kisi untuk sekali-sekali meloncat surut.
Memang terasa oleh Kiai Kisi bahwa lawannya semakin lama menjadi semakin garang. Ilmu yang dipergunakan oleh Dandang Kaluwat adalah ilmu yang membingungkan baginya. Tampaknya ilmu itu tidak memiliki kekuatan yang dapat dibanggakan. Namun didalam benturan-benturan yang terjadi, ternyata bahwa Kiai Kisi selalu terdesak surut.
“Gila,” geramnya didalam hati, “siapakah orang ini sebenarnya?”
Namun dalam pada itu, orang yang menyebut dirinya bernama Dandang Kaluwat dan menutup wajahnya dengan sepotong kain hitam itu-pun heran melihat tandang Kiai Kisi. Semakin lama justru menjadi semakin kasar. Bahkan kadang-kadang orang itu telah berbuat sesuatu diluar dugaan. Didalam perkelahian yang kedua-duanya tidak mempergunakan senjata itu, orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu-pun segera melihat, bagaimana Kiai Kisi percaya kepada kekuatan jarinya.
Dengan garangnya Kiai Kisi kadang-kadang meloncat menerkam seperti seekor harimau. Kedua tangannya terjulur kedepan, sedang jarinya yang mengembang siap untuk mencengkam tubuh lawannya.
“Aku pernah melihat cara dan unsur-unsur gerak seperti ini,” katanya di dalam hati.
Sambil bertempur orang yang menyebut dirinya bernama Dandang Kaluwat itu mencoba mengingat-ingat, dimana ia mengenal tata gerak yang demikian. Agaknya ia menjadi ragu-ragu ketika ia kemudian teringat, bahwa ia pernah melihatnya justru di istana Singasari. Untuk menyakinkan pengamatannya, maka Dandang Kaluwat itu-pun segera memperdahsyat serangan-serangannya. Tangannya bergerak dan terayun dari segala arah, seperti berpuluh-puluh pasang tangan yang bergerak bersama-sama.
Dalam keadaan yang sulit itu. Kiai Kisi telah mengerahkan segenap kemampuannya, yang seperti diduga oleh orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu, semakin lama menjadi semakin kasar. Dengan penuh keragu-raguan ia bergumam didalam hatinya, “Tohjaya. Tata gerak ini pernah aku lihat pada anak itu.” Namun kemudian, “tetapi apa mungkin bahwa keduanya memiliki ilmu serupa. Atau setidak-tidaknya bersumber pada cabang ilmu yang sama?”
Pertanyaan itu telah berputar-putar di kepalanya. Namun ia menjadi semakin pasti, bahwa ilmu itu senada dengan ilmu yang dipelajari oleh Tohjaya dari gurunya yang diliputi oleh rahasia, yang tugasnya sehari-hari justru penasehat Ayahanda Sri Rajasa di istana Singasari. Dan dari penasehat ayahandanya itulah Tohjaya menyadap ilmu yang kasar dan kadang-kadang menjadi seakan-akan liar. Seperti juga Kiai Kisi yang mulai terdesak itu-pun menjadi liar pula.
Dengan demikian maka orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu-pun menjadi semakin cermat mengamati tata gerak lawannya. Hampir setiap unsur gerak yang khusus selalu diingatnya baik-baik. Tata gerak yang pernah tampak pada Tohjaya maupun yang belum.
Sejenak kemudian maka perkelahian itu-pun menjadi semakin nyata bagi mereka yang menyaksikannya. Kiai Kisi, yang merasa dirinya tidak terkalahkan itu semakin terdesak surut. Betapa ia berusaha mempertahankan dirinya, tetapi lawannya memang memiliki beberapa kelebihan yang tidak teratasi. Meskipun Dandang Kaluwat itu sama sekali tidak mengimbangi kekasaran Kiai Kisi yang hampir menjadi buas itu, namun ia sanggup menguasai setiap gerak dan sikapnya. Kiai Kisi akhirnya tidak dapat mengelakkan diri dari kenyataan itu, sehingga segenap kemampuannya telah diperasnya habis-habisan.
Dalam pada itu, kedua kawannya-pun menjadi cemas melihat perkembangan dari perkelahian itu. Orang yang menamakan diri Dandang Kaluwat dan tiba-tiba saja masuk ke arena pertempuran, telah membuat segala-galanya berubah. Semua rencana yang telah disusun menjadi pecah. Sejenak kemudiannya masih tetap berdiam diri. Sekali-sekali disambarnya ketiga prajurit Singasari dengan tatapan matanya yang penuh kebimbangan. Mereka berdua telah melihat ketiganya bertempur melawan Kiai Kisi. Sehingga dengan demikian mereka-pun telah dapat menjajagi, betapa ketiganya adalah prajurit-prajurit yang benar-benar memeluk tugas keprajuritannya.
“Persetan,” tiba-tiba salah seorang dari kedua orang kawan Kiai Kisi itu menggeram didalam hatinya, “ketiga orang itu harus dibinasakan dahulu. Baru aku dapat membantu Kiai Kisi melawan iblis yang tiba-tiba saja telah mengganggu itu,” dengan satu isyarat ia mengajak kawannya segera berbuat.
Dan agaknya kawannya-pun mempunyai perhitungan yang serupa pula. Karena itu, maka keduanya-pun segera beringsut dari tempatnya perlahan-lahan. Mereka berharap bahwa geraknya tidak menumbuhkan kecurigaan, sehingga dengan serta-merta mereka dapat menyerang dan menjatuhkan lawannya.
Tetapi ternyata ketiga prajurit Singasari itu-pun bukan kanak-anak lagi yang sedang terpesona melihat sepasang penari di malam peralatan. Karena itu, gerak kedua kawan Kiai Kisi itu telah menimbulkan kecurigaan pula kepada mereka. Dengan diam-diam ketiganya mempersiapkan dirinya. Mereka masih membawa senjata-senjata mereka di tangan. Namun mereka masih belum beringsut dari tempatnya. Sejengkal demi sejengkal kedua kawan Kiai Kisi itu beringsut terus, semakin lama semakin dekat dengan ketiga prajurit Singasari. Meskipun nampaknya ketiga prajurit itu tidak menghiraukan mereka, namun mereka sudah bersiap menghadapi setiap kemungkinan.
Ketika kedua orang itu merasa waktunya telah tiba, dengan satu isyarat pula, tiba-tiba saja keduanya telah meloncat menyerang dengan garangnya. Tetapi tidak seperti yang mereka duga, ketiga prajurit itu telah siap menyambut serangannya. Dengan tangkasnya mereka menghindar dan bahkan dengan cepat pula mereka-pun berganti menyerang. Justru kedua kawan Kiai Kisi itulah yang terkejut. Sejenak mereka menjadi bingung. Namun sejenak kemudian mereka telah berhasil menguasai keadaan dan kebingungan didalam diri masing-masing, sehingga keduanya-pun segera menjadi mapan.
Prajurit-prajurit Singasari itu tidak merasa lagi terikat pada sikap perang tanding. Apalagi setelah kedua orang itu menyerang dengan diam-diam, mereka seakan-akan merupakan prajurit-prajurit di medan perang. Siapa yang lengah, ialah yang akan binasa. Tidak seperti tata kehormatan di dalam perang tanding yang beradu dada dan selalu menyerang dengan sikap jantan.
Demikianlah maka kedua kawan Kiai Kisi itu-pun segera terlibat di dalam perkelahian yang seru melawan ketiga prajurit Singasari itu. Ternyata keduanya juga bukan orang-orang kebanyakan. Keduanya agaknya murid-murid yang terpercaya pula dari Kiai Kisi di samping muridnya yang menjadi kepala perampok yang bersembunyi di padukuhan itu.
Kai Kisi sendiri yang terlibat didalam perkelahian yang berat, masih sempat juga sejenak melihat perkelahian yang terjadi. Ia memang berharap bahwa kedua murid-muridnya itu dapat segera mengalahkan lawannya. Namun, ketiga prajurit Singasari itu-pun bukan pula prajurit yang dipungutnya dari antara para pengawal dipadukuhan-padukuhan. Ketiganya adalah prajurit pilihan, dan bahwa seorang di antaranya adalah prajurit yang sudah mendapat kepercayaan memimpin pasukan kecil yang membawa Putera Mahkota, sedang dua yang lain adalah prajurit sandi yang terpercaya.
Itulah sebabnya maka kedua orang itu tidak segera dapat menguasai lawannya. Bahkan perkelahian di antara mereka itu menjadi kian sengit. Ketiga prajurit yang tidak mampu melawan Kiai Kisi itu kini berjuang mati-matian untuk melawan dua orang muridnya. Namun kemudian ternyata bahwa di dalam perkelahian yang demikian, dua orang kawan Kiai Kisi yang menurut tata geraknya adalah murid-muridnya itu, memiliki beberapa kelebihan dari ketiga prajurit Singasari itu. Geraknya yang kasar dan liar, kadang-kadang membuat lawan-lawannya menjadi bingung, dan bahkan ngeri dan berdebar-debar. Tetapi mereka sadar, bahwa apabila mereka terpengaruh oleh perasaan itu, maka akhirnya mereka akan benar-benar dicincang oleh kedua orang yang buas itu.
Karena itulah maka mereka-pun segera berjuang mati-matian untuk mempertahankan dirinya. Ketiganya berusaha untuk bertempur sebaik-baiknya melawan kedua orang itu, tanpa menempatkan diri dalam suatu ikatan perlawanan. Ketiganya bertempur isi mengisi dan berusaha melawan kekasaran kedua lawannya itu dengan kecepatan bergerak. Sekali-sekali mereka berputar-putar, namun tiba-tiba mereka menyerang berganti-ganti.
Agaknya usaha itu sedikit memberikan pengaruh. Kecepatan bergerak ketiga prajurit Singasari itu agaknya berhasil mengurangi tekanan-tekanan dari kedua orang yang semakin lama menjadi semakin ganas karena kemarahan yang melanda dinding jantung mereka. Tetapi untuk mengalahkan ketiga prajurit Singasari yang terpilih itu memang tidak terlampau mudah. Mereka memerlukan waktu dan perjuangan yang cukup berat.
Namun dalam pada itu Kiai Kisi sendiri semakin lama menjadi semakin terdesak. Ia tidak mempunyai kesempatan untuk menyerang. Betapa liarnya cara yang dipakainya, tetapi justru karena itu, maka ia-pun segera kehilangan kemantapannya untuk melawan serangan-serangan orang yang menyebut dirinya bernama Dandang Kaluwat itu. Sekilas ia mencoba menuai perkelahian dua orang kawan-kawannya. Namun keduanya-pun agaknya masih memerlukan waktu yang lama, meskipun keduanya tidak terdesak.
Kehadiran orang yang menyebut dirinya bernama Dandang Kaluwat itu benar-benar di luar perhitungan Kiai Kisi. Dengan demikian, rencananya untuk menangkap Putera Mahkota semakin lama menjadi semakin pudar. Ia tidak akan dapat menggunakan Putera Mahkota untuk memeras kerajaan. Ia tidak akan dapat berbuat apa-apa seperti yang diinginkannya apabila Putera Mahkota itu ada di tangannya. Dalam kecemasannya itu, masih juga terngiang segala janji yang pernah didengarnya. Rencana yang tidak saja disusunnya sendiri. Namun kenyataan yang dihadapinya benar-benar di luar dugaan.
“Apakah aku memang dijebak dengan cara ini?” ia menggeram di dalam hatinya, “atau iblis ini memang mempunyai kepentingan sendiri, yang kebetulan bersamaan waktunya, atau iblis ini memang berkepentingan pula dengan Putera Mahkota?”
Demikianlah maka akhirnya Kiai Kisi sampai pada suatu kesimpulan, bahwa ia harus mempergunakan ilmu pamungkasnya. Ia harus mempergunakan aji yang diandalkan selama ini untuk menyelesaikan kesulitan yang timbul didalam setiap pertempuran melawan siapa-pun juga. Biasanya, setiap orang yang tidak dapat dikalahkannya dengan kemampuan wantahnya. akan segera dibinasakan dengan aji pamungkasnya. Agaknya orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu-pun harus dihancurkannya dengan ilmu tertingginya, sehingga tubuhnya akan robek tersayat-sayat.
“Apa boleh buat. Ia harus menyesali kesombongannya,” berkata Kiai Kisi didalam hatinya.
Demikianlah, ketika Kiai Kisi benar-benar tidak mampu lagi melawan kecepatan gerak orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat, maka ia-pun segera mempersiapkan dirinya untuk melepaskan aji pamungkasnya. Dengan suatu loncatan yang jauh ia berusaha mendapat kesempatan sesaat, untuk membangunkan kekuatan tertingginya. Orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat, yang berusaha memburunya tiba-tiba tertegun ketika ia melihat Kiai Kisi telah bersikap dan pemusatan segenap kekuatan yang ada di dalam dirinya.
“O,” berkata Dandang Kaluwat, “kau pergunakan aji pamungkasmu?”
Kiai Kisi tidak menjawab. Tetapi ia sudah berhasil membangunkan kekuatannya. Orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu termangu-mangu sejenak. Tetapi ia-pun tidak mau hancur berkeping-keping oleh kekuatan aji lawannya, sehingga ia-pun harus melawannya pula dengan kekuatan tertingginya.
Kedua kawan Kiai Kisi yang bertempur melawan ketiga prajurit Singasari sempat melihat, bahwa Kiai Kisi sudah bersikap. Karena itu, mereka-pun menjadi berdebar-debar. Mereka sandar, bahwa Kiai Kisi benar-benar tidak mampu melawan orang yang menyebut dirinya bernama Dandang Kaluwat itu dengan tenaga wantahnya, sehingga ia harus membinasakannya dengan kekuatan terakhir yang disimpannya.
“Sebentar lagi orang yang menamakan dirinya Dandang Kaluwat itu pasti akan remuk. Tulang-ulangnya akan berpatahan dan darahnya akan memancar seperti air di dalam belanga yang terbanting di atas batu hitam.” mereka berkata kepada diri sendiri. Meskipun Kiai Kisi adalah gurunya dan bahkan keduanya adalah orang-orang yang liar pula, tetapi kematian yang demikian, adalah kematian yang paling mengerikan.
“Setelah orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu, akan datang gilirannya ketiga orang ini,” salah seorang dari mereka meneruskan di dalam hatinya, “kalau Kiai Kisi sudah marah, dan sekali membangun aji pamungkasnya, maka setiap lawan akan mengalami nasib yang serupa.”
Terbayang dirongga matanya burung-burung gagak yang besok siang akan beterbangan mengitari padang ilalang ini. Karena bau darah dan daging yang berceceran. “Mungkin juga setiap prajurit Singasari yang lain, kecuali putera Mahkota.”
Demikianlah pertempuran itu kian menjadi tegang. Bahkan kedua kawan Kiai Kisi itu hampir tidak sempat lagi melayani lawannya, karena ia ingin melihat, apa yang akan terjadi kemudian atas orang yang menamakan diri Dandang Kaluwat. Tetapi lawan-lawannya, ketiga prajurit Singasari itu-pun mulai tertarik pula kepada akhir dari perkelahian mati-matian antara Kiai Kisi dan orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat. Mereka-pun mengerti pula, bahwa Kiai Kisi sudah sampai pada puncak tertinggi dari ilmu terakhirnya.
Itulah sebabnya maka mereka-pun menjadi tegang pula, sehingga mereka tidak lagi menyerang lawan-lawannya dengan bersungguh-sungguh. Bahkan kemudian seakan-akan mereka telah berhenti bertempur untuk mendapat kesempatan melihat apa yang telah terjadi.
Dalam pada itu Kiai Kisi-pun sudah siap untuk menghantamkan ilmu terakhirnya. Namun pada saat itu, orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu-pun telah memusatkan segenap akal budinya. Maka terbangunlah suattu kekuatan yang dahsyat yang kemudian telah siap untuk menerima kekuatan tertinggi dari Kiai Kisi. Dan kekuatan yang tersalur lewat anggauta-anggauta badan orang yang menamakan dirinya Dandang Kaluwat itu adalah kekuatan yang tiada terkira, yang di sebut aji Gundala Sasra.
Kiai Kisi melihat juga orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu sedang berusaha mempertahankan dirinya. Tetapi Kiai Kisi yakin, bahwa tidak ada kekuatan yang akan mampu menahan kekuatan pamungkasnya. Betapa-pun dahsyatnya ilmu yang dimiliki lawannya, namun aji pamungkasnya adalah kekuatan yang tidak ada duanya di muka bumi.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Kiai Kisi telah meloncat untuk melontarkan kekuatan ajinya. Sambil berteriak nyaring tangannya terayun tepat mengarah ke kepala Dandang Kaluwat. Tetapi orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu-pun telah siap pula. Ia-pun segera mengimbangi serangan lawannya, meloncat sambil mengayunkan tangannya pula, yang telah dilambarinya aji Gundala Sasra.
Sejenak kemudian terjadilah benturan yang dahsyat antara dua kekuatan raksasa. Dua kekuatan yang hampir tidak ada bandingnya. Seperti beradunya petir di udara, maka kedua kekuatan raksasa itu telah menimbulkan akibat pada kedua orang yang telah melontarkannya.
Ternyata kekuatan kedua aji itu hampir berimbang. Meskipun kekuatan aji Gundala Sasra memiliki beberapa kelebihan, tetapi agaknya orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu masih belum menguasainya dengan sempurna. Sehingga dengan demikian, maka kedua orang itu-pun segera terlempar beberapa langkah surut. Seperti Kiai Kisi, maka orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu-pun terbanting di tanah dan berguling berapa kali.
Namun ternyata bahwa ketahanan tubuh mereka benar-benar luar biasa. Hampir berbareng pula mereka meloncat bangkit. Dan hampir berbareng pula mereka telah siap untuk melepaskan serangan-serangan berikutnya dengan kekuatan aji yang mereka miliki masing-masing. Tetapi sikap orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat agak berbeda. Tampaknya ia menjadi bertambah tegang. Tangannya yang bersilang di dada menjadi bergetar dan seolah-olah tanah-tanah di bawah kakinya yang sedikit merendah, tidak kuat lagi menahan berat tubuhnya.
Ternyata bahwa orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu kini benar-benar telah memeras segenap kemampuan yang di dalam hidupnya sehari-hari terpendam di bawah kehendaknya. Kini, dalam keadaan yang sangat genting, semuanya itu telah diungkit oleh kehendak yang terpusat dengan segenap akal budi dan keyakinan.
Orang yang menamakan dirinya Dandang Kaluwat itu-pun kemudian tidak sekedar menyiapkan aji Gundala Sasra untuk melawan serangan lawannya, tetapi juga unsur-unsur kekuatan aji Kala Bama yang telah luluh di dalam suatu pancaran sikap dan perbuatan. Itulah sebabnya, maka orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu menjadi gemetar, karena kekuatan itu sendiri memang kekuatan yang hampir tidak terdukung olehnya.
Dan sejenak kemudian terjadilah saat-saat yang mendebarkan itu. Sekali lagi Kiai Kisi meloncat untuk melepaskan serangannya. Ia-pun berusaha untuk membangunkan segenap kekuatan yang masih ada di dalam dirinya. Tetapi kali ini kekuatannya telah membentur luluhnya dua kekuatan yang dahsyat tiada taranya. Aji Gundala Sasra dan aji Kala Bama. Karena itu, maka alangkah malangnya nasib Kiai Kisi. Meskipun lawannya masih belum mampu menguasai kesempurnaan luluhnya dua kekuatan itu, namun benturan itu telah melemparkannya beberapa langkah surut.
Sekali lagi ia terbanting di tanah. Tetapi kali ini terasa betapa dadanya menjadi sakit dan sesak. Seakan-akan tulang-ulang iganya telah tertindih oleh beratnya Gunung Semeru. Karena itu, maka sejenak Kiai Kisi menggeliat. Namun sejenak kemudian ia tidak kuasa lagi menahan himpitan didadanya, sehingga ia-pun menjadi pingsan.
Dalam pada itu, lawannya yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu-pun terduduk di tanah untuk beberapa saat. Terasa tubuhnya menjadi seberat timah dan nafasnya seakan-akan terputus dikerongkongan. Dengan serta-merta ia memusatkan segenap sisa dan tenaganya, untuk mencoba mengatasi kesulitan di dalam dirinya itu, sehingga perlahan-lahan nafasnya telah mengalir kembali, meskipun masih tersengal-sengal.
Sementara itu, kelima orang yang menyaksikan itu, berdiri seakan-akan membeku. Mereka melihat dua kekuatan raksasa yang telah beradu. Dan kini mereka sedang menunggui akibat dari benturan kekuatan raksasa itu. Namun akibat dari benturan itu, telah menumbuhkan kecemasan dan kebingungan yang amat sangat pada dua orang kawan Kiai Kisi yang masih tegak ditempatnya. Mereka tidak menyangka bahwa hal yang demikian itu dapat terjadi. Bagi mereka Kiai Kisi adalah kawan, guru dan orang yang paling dikagumi. Selama ini mereka belum pernah menemui kekuatan yang apalagi melebihi, bahkan mengimbangi-pun tidak.
Tetapi ternyata kini mereka menyaksikan kenyataan itu. Kiai Kisi yang bagi mereka adalah kawan, guru dan kebanggaan sekaligus itu, terkapar di tanah tanpa dapat berbuat sesuatu setelah kekuatannya membentur kekuatan orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat. Tetapi kedua orang itu tidak dapat menyebutkan, kekuatan apakah yang sebenarnya tersimpan di dalam diri Dandang Kaluwat.
Dalam kebingungan itu mereka melihat Dandang Kaluwat duduk di tanah sambil memusatkan segenap sisa tenaganya. Ia sedang berjuang untuk menemukan keseimbangan didalam dirinya, mengatur pernafasannya dan mengatasi segala macam akibat dari benturan yang dahsyat itu. Sejenak keduanya termangu-mangu. Namun tiba-tiba salah seorang memberikan isyarat kepada yang lain, sehingga tiba-tiba saja keduanya meloncat menyerang orang yang menamakan diri Dandang Kaluwat itu.
Tetapi untunglah, bahwa ketiga prajurit Singasari itu tidak lengah. Demikian mereka melihat gelagat yang mencurigakan, mereka-pun segera bersiap, sehingga ketika mereka melihat kedua orang itu menyerang, maka mereka-pun segera berloncatan untuk menahan kedua orang itu. Sambil mengumpat habis-habisan kedua orang itu terpaksa menahan diri sejenak. Mereka terpaksa melayani ketiga prajurit Singasari yang menyerangnya itu dengan segenap kemampuan yang ada di dalam diri mereka.
Diantara mereka-pun segera terjadi pertempuran yang sengit pula. Mereka mengulangi perkelahian mereka dengan memeras segenap kemampuan. Ketiga prajurit Singasari itu seakan-akan kini mendapat tenaga baru setelah Kiai Kisi tidak berdaya lagi, sedang kedua lawannya bahkan dalam keadaan sebaliknya. Mereka mulai dirayapi kecemasan dan ketakutan, apabila nanti orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu telah menemukan kekuatannya kembali, maka keduanya tidak akan berarti apa-apa lagi baginya.
Dengan demikian, maka kedua orang yang semula menunjukkan beberapa kelebihannya itu, kini harus berjuang mati-matian agar mereka dapat mempertahankan diri. Berjuang melawan ketiga prajurit Singasari itu dan berjuang melawan kekecilan hati sendiri setelah Kiai Kisi tidak ada di antara mereka. Sejenak kemudian, selagi mereka bertempur mati-matian, maka orang yang menamakan dirinya Dandang Kaluwat itu telah mulai menemukan keseimbangan di dalam dirinya kembali. Segala jalur-jalur nafas dan darah telah berjalan seperti sediakala. Hanya kekuatannyalah yang masih belum pulih sama sekali, meskipun lambat laun, serasa mulai menjalari tubuhnya kembali bersama arus darahnya.
Sejenak kemudian orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu bangkit. Terhuyung-huyung ia berdiri sambil memandang perkelahian yang sedang berlangsung. Sambil menggeliat ia mengibas-ngibaskan tangan dan menggerakkan jari-jari tangannya. Kemudian dijulurkannya kedua kakinya berganti-ganti. Orang yang menyebut dirinya bernama Dandang Kaluwat itu menarik nafas dalam-dalam. Kesegaran angin malam membuat badannya menjadi segar. Sejenak kemudian ia-pun berpaling. Dilihatnya Kiai Kisi masih terbaring diam.
Setapak demi setapak ia berjalan mendekatinya. Ketika ia sudah berdiri disisinya, maka ia-pun kemudian berjongkok di samping tubuh Kiai Kisi itu. Sekilas ia masih memandang pertempuran yang masih berlangsung dengan serunya. Ia masih sempat menilai dan membuat perhitungan atas perkelahian itu. “Perkelahian itu masih akan berlangsung lama,” katanya didalam hati, “biarlah mereka menjadi lelah lebih dahulu.”
Orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu sama sekali tidak menghiraukannya lagi. Kini perhatiannya tertuju kepada orang yang pingsan dihadapannya. Perlahan-lahan orang yang menamakan dirinya Dandang Kaluwat itu memijit pundak Kiai Kisi. Kemudian bagian atas dari perutnya. Diangkatnya kedua tangannya perlahan-lahan kemudian sebuah sentuhan dipinggangnya, membuat Kiai Kisi mulai bergerak-gerak sedikit demi sedikit.
Tetapi ketika perlahan-lahan ia mulai membuka matanya, maka justru dari mulutnya mulai mengalir darah yang kehitam-hitaman pula. Dengan tubuh yang gemetar Kiai Kisi melihat dalam keremangan malam, bayangan yang samar-samar. Perlahan-lahan ia mencoba menggerakkan kepalanya. Tetapi ia sudah tidak mampu lagi mengangkatnya.
“Siapa kau?” desisnya.
“Dandang Kaluwat,” jawab orang yang berjongkok di sampingnya.
“Persetan,” Kiai Kisi menggeram.
“Kenapa?”
“Kau telah menggagalkan rencanaku. Aku ingin menangkap Putera Mahkota.”
“Siapa yang menyuruhmu?”
“Setan alas. Tidak ada. Aku memang ingin menangkap Putera Mahkota itu. Dimana Putera Mahkota itu sekarang?” Kiai Kisi mencoba untuk bangkit, tetapi tenaganya sudah lenyap sama sekali, sehingga ia-pun telah terjatuh kembali, berbaring di atas tanah yang berdebu.
Orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu mengerutkan keningnya. Dilihatnya darah yang sudah mulai mengental meleleh di bibir Kiai Kisi. Ternyata bahwa benturan yang terjadi telah merusakkan bagian dalam tubuhnya. Benturan antara kekuatannya melawan luluhnya aji Gundala Sasra dan aji Kala Bama walaupun belum sempurna.
“Kalau ia harus melawan kekuatan yang lebih sempurna, maka ia tidak akan dapat bertahan untuk hidup beberapa tarikan nafas saja,” berkata orang berkerudung itu di dalam hatinya.
Tetapi dalam keadaannya, Kiai Kisi masih mengigau, “Dimana Putera Mahkota? Aku akan menangkapnya.”
“Apakah kau pernah melihat Putera Mahkota?”
“Ya. Aku pernah melihat Putera Mahkota.”
“Dimana?”
“Di Istana Singasari.”
Orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu terkejut sehingga dengan serta-merta ia bertanya, “Apakah kau pemah masuk kedalam istana Singasari?”
“Ya. Aku pernah masuk dan melihat wajah Putera Mahkota.”
“Siapa kau sebenarnya dan dengan siapa kau berhubungan?” desis orang yang menamakan dirinya Dandang Kaluwat.
Tetapi Kiai Kisi justru menggeram. Sekali ia menggeliat lalu suara menjadi lemah, “Aku adalah Kiai Kisi. Aku berhubungan dengan setiap orang di istana. Apa pedulimu? Sekarang dimana Putera Mahkota? Dimana? Aku akan menangkapnya.”
Orang berkerudung hitam itu termenung sejenak. Namun kemudian dilihatnya tubuh Kiai Kisi menjadi semakin lemah. Bukan maksudnya untuk membunuh orang itu. Tetapi akibat dari benturan yang dahsyat itu, agaknya jiwanya tidak dapat tertolong lagi. Karena itu, maka orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu menjadi semakin dekat. Perlahan-lahan ia berbisik, “Kau mencari Putera Mahkota?”
Kiai Kisi yang sudah memejamkan matanya tiba-tiba terbelalak lagi, “Ya. Aku akan membunuhnya sama sekali.”
Perlahan-lahan orang yang menamakan dirinya Dandang Kaluwat membuka kerudung hitam di wajahnya sambil membelakangi perkelahian yang sedang terjadi. Perlahan-lahan ia berkata, “Kiai Kisi, inilah Putera Mahkota.”
Mata Kiai Kisi menjadi semakin terbelalak. Samar-samar ia masih melihat wajah itu. Wajah yang sebenarnya memang pernah dilihatnya. “Ya. Ya. Kau, kau Putera Mahkota itu,” desisnya.
“Dan kita telah bertempur secara jantan.”
“Tetapi, tetapi kenapa kau mampu melawan kekuatanku yang tertinggi?”
Orang berkerudung hitam yang sebenarnya adalah Anusapati itu tidak segera menjawab. Sementara Kiai Kisi masih berbicara, katanya, “Bukankah Putera Mahkota adalah seorang anak muda yang malas dan dungu, yang tidak mampu berbuat apa-apa? Tetapi kenapa kau mempunyai kekuatan aji yang dapat melampaui kekuatanku?”
Anusapati mengerutkan keningnya. Lalu sekali lagi ia mendesak, “Dengan siapa kau berhubungan?”
Kiai Kisi memandang Putera Mahkota itu dengan mata yang semakin suram, “Aku telah dijebak.”
“Ya. Kau sudah dijebak. Siapa yang menjebakmu? Siapakah yang telah menipumu untuk bertempur melawan Putera Mahkota? Seandainya kita tidak bertemu sekarang, besok, kita akan berhadapan pula. Dan kau akan mati dihadapan orang-orangmu. Nah, katakan, siapa yang telah menipu dan menjebakmu mempertemukan kau dengan Putera Mahkota, yang akan berarti kematianmu?”
Kiai Kisi mencoba menahan nafasnya yang memburu. Ia masih menggeliat. Tetapi wajahnya telah menjadi sepucat kapas. “Aku, aku…“ suaranya terputus-putus.
“Siapa? Sebut namanya.”
Kiai Kisi menggerakkan bibirnya. Tetapi kemudian kepalanya tersentak. Kiai Kisi telah menarik nafasnya yang terakhir.
Anusapati-pun menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah Kiai Kisi yang membeku. Ia telah meninggal selagi ia akan mengucapkan sebuah nama Nama yang pasti sudah dikenal oleh Anusapati. “Ternyata ada usaha untuk menjebakku disini,” desis Anusapati, “pasti orang istana yang mengetahui rencana perjalananku. Pasti orang yang pernah berhubungan dengan lingkungan keprajuritan, atau mendengar keputusan ayahanda untuk mengirim aku kemari bersama sepasukan kecil prajurit-prajurit ini.”
Anusapati tiba-tiba menggeram. Namun sejenak kemudian ia sadar akan keadaannya saat itu. Karena itu, maka dikenakannya kembali kerudung hitamnya. Perlahan-lahan ia berdiri dan melangkah mendekati arena. Sejenak ia melihat perkelahian yang menjadi semakin seru. Meskipun ketiga prajurit Singasari itu kini berhasil bertahan namun tidak dapat diharap bahwa mereka akan segera memenangkan perkelahian.
Apalagi sepeninggal Kiai Kisi, maka murid beserta anak buahnya pasti akan berbuat sesuatu. Karena itu, menurut perhitungan Anusapati, pertempuran tidak akan dapat ditunda lagi. Prajurit Singasari harus menyergap malam ini juga selagi sebagian orang-orang yang tinggal dipadukuhan itu sedang dilelahkan oleh kesibukan mereka menerima kedatangan Kiai Kisi, serta makan minum yang berlebih-lebihan.
Karena itu, maka Anusapati yang telah mendapatkan seluruh kekuatannya kembali itu-pun melangkah perlahan-lahan mendekati arena sambil berkata, “Aku tidak sengaja membunuhnya. Tetapi Kiai Kisi telah meninggal.”
Berita itu benar-benar telah mengejutkan kedua kawan-kawannya itu. Bahkan kemudian serasa kekuatan mereka telah susut sebagian sehingga perlawanan mereka tidak akan banyak berarti lagi. Tetapi ternyata mereka juga tidak segera menyerah. Mereka masih berusaha menguasai perasaan mereka, agar mereka masih dapat melakukan perlawanan atas ketiga prajurit Singasari itu, dan bahkan orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat. Namun perlawanan mereka semakin lama menjadi semakin tidak terarah karena kegelisahan yang semakin memuncak.
Dalam pada itu Anusapati yang masih memakai kerudung hitam itu-pun berkata, “Kalau mungkin, kalian harus menangkap keduanya hidup-hidup. Kalian memerlukan kedua orang itu untuk mendengar keterangannya tentang Kiai Kisi dan para perampok dipadukuhan itu. Mungkin masih ada orang lain yang berdiri di belakang mereka atau masih ada orang lain yang menggurui mereka, sehingga masih memungkinkan timbul akibat-akibat yang berkepanjangan.”
Ketiga prajurit Singasari yang sedang bertempur itu tidak menyahut. Tetapi mereka sependapat dengan Dadang Kaluwat, untuk menangkap keduanya hidup-hidup. Namun untuk melakukannya agaknya tidak begitu mudah. Meskipun kedua orang itu sudah tidak mempunyai banyak harapan, tetapi untuk menangkap mereka hidup-hidup, agaknya memang terlalu sulit.
Ternyata orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu dapat mengerti kesulitan ketiga prajurit Singasari itu, sehingga setelah merenung sejenak, maka ia-pun melangkah mendekati arena. Diikutinya perkelahian itu dengan saksama, seakan-akan ia ingin mengetahui setiap gerak dari kedua belah pihak. Namun tanpa diduga-duga, orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu meloncat memasuki arena dan langsung menyentuh tubuh kedua orang kawan Kiai Kisi itu.
Sentuhan itu ternyata menentukan akhir dari perkelahian mereka. Sejenak mereka terhuyung-huyung. Namun kemudian terasa nafas mereka menjadi sesak. Dengan demikian, maka mereka tidak mampu lagi bergerak selincah perlawanannya yang sebelum terjadi sentuhan itu.
“Sekarang, kalian tidak akan mendapatkan kesulitan lagi untuk menangkap mereka hidup-hidup. Bawalah mereka ketempat yang agak jauh. Kemudian, sebelum para perampok itu menyadari apa yang telah terjadi, lakukanlah rencana kalian,” berkata orang berkerudung itu.
Senapati prajurit Singasari yang ikut didalam pertempuran itu ingin menjawab. Tetapi orang yang menamakan diri Dandang Kaluwat itu telah meloncat meninggalkan mereka dan sejenak, kemudian hilang di dalam kegelapan. Kini tinggal kedua orang kawan Kiai Kisi yang sudah menjadi semakin payah itu. Mereka seakan-akan tidak lagi dapat berbuat apa-apa ketika serangan-serangan merekutnya melanda mereka, sehingga sejenak kemudian mereka-pun jatuh terduduk dengan lemahnya.
Ketiga prajurit Singasari itu tidak menemui kesulitan lagi untuk menangkap mereka. Meskipun mereka mencoba untuk meronta, tetapi akhirnya mereka harus membiarkan kedua tangan masing-masing diikat di belakang dengan ikat kepala mereka sendiri.
“Jangan mencoba berbuat sesuatu yang dapat membahayakan jiwamu sendiri.”
Keduanya tidak menjawab. Namun terdengar mereka menggeram. Kedua kawan Kiai Kisi itu menjadi heran terhadap diri mereka sendiri yang seolah-olah menjadi tidak bertenaga sama sekali.
“Apa yang telah dilakukan oleh orang berkerudung itu?” mereka bertanya kepada diri mereka sendiri. Tetapi mereka tidak dapat menemukan jawabnya...
Demikianlah maka malam itu telah mereka lalui tanpa mengalami gangguan apapun. Para prajurit yang kelelahan itu dapat tidur dengan nyenyak. Hanya kadang-kadang mereka terbangun oleh auman harimau di tengah-tengah hutan yang lebat, di sebelah tempat mereka beristirahat. Tetapi mereka-pun kemudian tidak menghiraukannya lagi. Mereka yakin bahwa ada orang lain yang pasti sedang bertugas. Siapa-pun orangnya.
Ketika dua orang prajurit yang bertugas bersama pemimpin pasukan kecil itu tidak lagi dapat menahan kantuk dan lelah, maka pemimpinnya-pun kemudian berkata kepada mereka, “Tidurlah.”
“Siapakah yang akan bertugas mengawasi keadaan di sekitar kita?”
“Aku.”
“Sendiri? Bukankah, kau juga lelah seperti aku?”
Pemimpinnya itu mengerutkan keningnya. Mereka telah mempergunakan cara yang tidak lajim. Cara yang lebih mirip dengan cara yang dipergunakan diantara sesama kawan sepenanggungan. Tidak lagi seperti prajurit-prajurit yang terikat oleh peraturan yang keras.
“Tidurlah. Aku akan berjaga-jaga bersama kedua petugas sandi itu. Mereka pasti bersedia mengawani aku.”
Kedua prajurit itu merenung sejenak. Lalu, “Baiklah,” berkata salah seorang dari mereka, “aku akan tidur.”
Keduanya-pun kemudian merebahkan dirinya diatas sebuah batu yang besar sekali. Tetapi agaknya punggung batu itu tidak memungkinkan mereka dapat tidur nyenyak, sehingga akhirnya mereka-pun turun dan duduk ditanah bersandar batu itu.
Yang berjaga-jaga kemudian adalah pemimpin prajurit itu bersama kedua petugas sandi. Tetapi karena pemimpin pasukan kecil itu-pun kelelahan, maka kadang-kadang tanpa sesadarnya ia-pun terlena sesaat sehingga percakapannya dengan kedua petugas sandi itu tidak bersentuhan. Pemimpin pasukan itu kadang-kadang seperti bermimpi mendengar suara orang berbicara, tetapi kata-katanya kurang jelas, sehingga jawabnya-pun tidak menyinggung pertanyaannya.
Kedua petugas itu tersenyum. Salah seorang berkata, “Kau ternyata lelah sekali. Kau dapat tidur sambil berbicara. Nah, beristirahatlah. Aku berdua akan menjaga kalian. Aku yakin bahwa tidak akan ada apa-apa disini.”
Pemimpin prajurit itu mencoba membuka matanya selebarnya. Jawabnya, “Tidak. Aku tidak lelah sekali. Hanya sedikit kantuk. Tetapi itu-pun akan segera hilang.”
“Kau memang Senapati yang baik.”
Pemimpin pasukan itu masih dapat tersenyum. Tetapi pendengarannya sudah mengambang tanpa pengertian apapun. Bahkan kemudian tanpa tertahankan lagi, ia-pun tertidur pula bersandar sebatang pohon tanpa dikehendakinya sendiri.
Kedua petugas sandi itu saling berpandangan sejenak. Salah seorang dari mereka berdesis, “Memang perjalanan yang berat sekali. Biarlah mereka tertidur sejenak. Kita dapat membantu menjaganya.”
Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Benar juga pertanyaan tuanku Putera Mahkota. Kalau di dalam keadaan seperti ini, tiba-tiba orang-orang itu datang menyerang, maka tidak akan ada perlawanan yang berarti. Meskipun mereka tidak terlampau kuat, tetapi mereka pasti akan dapat menghancurkan pasukan ini.”
Kawannya tidak menyahut. Dipandanginya tubuh-tubuh yang berserakan tidak menentu. Silang melintang. Seolah-olah mereka tidak dapat menahan lelah sekedar menempatkan diri mereka.
“Semuanya telah tertidur,” desis salah seorang petugas sandi itu.
“Dan kita mendapat pekerjaan disini.”
“Sama sekali tidak ada yang masih terbangun.”
Namun mereka terkejut ketika mereka mendengar salah seorang dari mereka yang berserakan itu menyahut, “Aku masih terbangun.”
Kedua petugas sandi itu berpaling. Dilihatnya Anusapati duduk sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, hanya beberapa langkah di belakangnya. Keduanya mengerutkan keningnya. Menurut ingatan mereka, Anusapati tidak duduk di tempatnya yang sekarang. Tetapi mereka sama sekali tidak mendengar Putera Mahkota, itu bergeser, atau memang ingatan merekalah yang salah.
“Tuanku masih terbangun,” bertanya salah seorang dari kedua petugas sandi itu.
“Ya. Aku tidak dapat tidur dan ingin mengawani kalian berdua.”
“Sudahlah tuanku. Hamba persilahkan tuanku beristirahat. Biarlah hamba berdua sajalah yang berjaga-jaga.”
“Apakah itu dapat dibenarkan? Aku tidak mengerti peraturan yang berlaku dengan pasti, karena aku baru pertama kali ikut di dalam pasukan. Tetapi sepengetahuanku, harus ada petugas dari pasukan ini yang tetap berjaga-jaga. Kalian tidak termasuk dalam pasukan ini, meskipun kalian dapat menggabungkan diri seperti sekarang. Tetapi tugas kalian tidak di dalam pasukan kecil ini. Bukankah begitu? Sehingga karena kebetulan kalian bersedia, atau karena kebaikan hati kalian, maka kalian dapat membantu kami disini. Tetapi seandainya kalian masih mempunyai tugas tertentu malam ini, karena tiba-tiba terjadi pergolakan di daerah pengawasanmu, maka sudah tentu kalian tidak dapat berada ditempat ini untuk waktu yang lama.”
Kedua petugas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi mereka tidak menjawab.
“Karena itu, biarlah aku yang berjaga-jaga disini mewakili petugas-tugas yang sebenarnya harus diatur lebih dahulu. Tetapi karena keadaan, maka tidak dapat dilakukan hal seperti itu. Kebetulan saja aku tidak dapat tidur. Maka biarlah aku melakukannya bersama kalian yang juga kebetulan saja tidak mempunyai tugas lain.”
Kedua petugas sandi itu saling berpandangan. Putera Mahkota adalah orang yang baru pertama kali mengalami dan pengetahuannya tentang keprajuritan-pun seharusnya masih belum begitu banyak. Apalagi pengalamannya. Tetapi pertanyaannya tentang kemungkinan yang dapat terjadi dengan pasukan yang lelah ini serta beberapa pengetahuannya tentang tugas-tugas keprajuritan, membayangkan kemampuannya didalam bidang ini.
“Tuanku,” berkata salah seorang dari kedua petugas itu, “ternyata pengetahuan tuanku tentang tugas-tugas keprajuritan sudah cukup banyak. Bahkan sikap dan ketahanan tubuh tuanku tidak kalah dengan para prajurit yang lain.”
“Bukan begitu. Mungkin aku selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan atas serangan-serangan yang dapat datang setiap saat. Mungkin juga karena sekali-sekali aku pernah membaca rontal yang memuat pengetahuan tentang olah keprajuritan.”
Kedua petugas sandi itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sudah tentu Anusapati mendapat kesempatan membaca rontal tentang berbagai ilmu, dan sudah tentu pula gurunya pernah juga memberitahukan berbagai pengetahuan keprajuritan.
“Ya tuanku,” jawab petugas yang lain, “tuanku tentu sudah membaca rontal. Tetapi ketahanan tubuh tuanku juga mengagumkan. Semua orang tidak lagi dapat menahan dirinya, sehingga pemimpin dari pasukan ini-pun tertidur tanpa dikehendakinya sendiri. Namun tuanku masih tetap terjaga.”
“Sama sekali bukan suatu kelebihan. Dalam hidupku sehari-pun aku tidak dapat tidur nyenyak apabila aku sedang lelah. Semakin lelah, aku menjadi semakin gelisah. Aku tidak tahu kenapa demikian. Dan sekarang-pun terjadi hal yang serupa. Aku lelah sekali sehingga agaknya nafasku sudah hampir terputus. Karena itulah maka aku tidak akan dapat tidur sekejappun. Besok, selagi pasukan ini beristirahat, sementara beberapa orang mengintai kedudukan musuh, aku akan tidur sehari penuh."
“Tetapi bagaimana kalau tugas pengintaian itu diserahkan kepada tuanku?”
“Lalu apa kerja kalian berdua?”
“Bersama dengan tuanku mengamati kedudukan lawan.”
Anusapati menarik nafas. Jawabnya, “Apa boleh buat. Kalau aku harus pergi, aku-pun akan pergi. Dan hal itu-pun akan merupakan suatu pengalaman baru buatku. Aku merasa bahwa pengalaman itu memang sangat perlu. Bukan saja bagiku pribadi, tetapi terutama bagi tugas-tugasku kelak.”
“Hamba tuanku,” jawab kedua petugas sandi itu hampir berbareng.
“Ketika aku keluar dari istana, dalam perjalanan ini, aku tidak menyangka, bahwa alam begitu luasnya, sehingga apa yang pernah aku kenal di dalam istana itu hanyalah sebagian kecil saja dari Kerajaan Singasari. Ternyata di luar dinding istana itu terdapat berbagai macam persoalan yang sangat menarik. Alam, rakyat di padukuhan-padukuhan terpencil, hutan dan binatang-binatang buruan. Aku senang sekali mengenal semua itu dari dekat. Aku jarang sekali mendapat kesempatan dari Ayahanda Sri Rajasa untuk ikut serta berburu.”
Kedua petugas sandi itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang dari mereka menjawab, “Tuanku adalah Putera Mahkota. Karena itulah agaknya tuanku harus selalu dijaga jangan sampai mengalami sesuatu. Juga di medan perburuan.”
“Tetapi di dalam pendadaran semacam ini, aku akan merasa terlampau berat.” Anusapati berhenti sejenak. Lalu, “kalau sebelumnya aku pernah mengalami dari sedikit, maka aku kira badanku tidak serasa seperti dicuci. Tulang-tulang ini seakan-akan telah terlepas yang satu dengan yang lain.”
Kedua petugas itu tersenyum. Salah seorang menjawab, “Tetapi ternyata tuanku luar biasa. Tuanku dapat menyelesaikan tugas yang pertama kali ini dengan baik. Sampai ditempat sesuai dengan rencana.”
“Tetapi aku telah memaksa diri.”
“Lambat laun tuanku akan terbiasa dengan tugas-tugas berat.”
“Mudah-mudahan.”
“Dan agaknya hal itu memang diperlukan sekali bagi tuanku.”
“Ya. Dan aku sadar, sesudah tugas ini aku pasti akan segera mendapat tugas-tugas yang lain.”
Kedua petugas sandi itu tidak menyahut. Mereka hanya mengangguk-anggukkan kepala. Namun dengan demikian, sikap dan pembicaraan Anusapati telah merubah pandangan mereka terhadap Putera Mahkota itu. Ternyata Putera Mahkota bukannya seorang anak muda yang malas dan bodoh seperti anggapan mereka selama Anusapati tidak pernah beranjak dari halaman istana. Bukan pula seorang anak yang manja. Putera Mahkota agaknya justru seorang yang mengenal tanggung jawab akan tugas yang dibebankan kepadanya. Kali ini oleh Ayahanda Sri Rajasa, tetapi lain kali oleh rakyat Singasari.
Dalam pada itu. langit disebelah timur-pun menjadi semakin kemerah-merahan. Sinarnya yang menyusup disela-sela dedaunan membayang bagaikan awan yang membara dilangit.
“Hampir pagi,” desis salah seorang petugas sandi itu, “dan tuanku masih belum beristirahat sama sekali.”
“Masih ada waktu sehari semalam kalau aku tidak mendapat tugas khusus.”
Kedua petugas itu mengangguk-angguk. Salah seorang berkata, “Tentu bukan tuanku yang mendapat tugas itu. Mereka harus tahu bahwa tuanku perlu beristirahat.”
“Berbeda di dalam keadaan ini,” berkata Anusapati, “aku sudah mendapat kesempatan, tetapi aku tidak dapat mempergunakannya. Itu tidak akan dapat dipergunakan sebagai alasan. Dan aku harus melakukan tugas berikutnya, kalau memang aku akan dibebaninya.”
Tidak ada jawaban. Hampir bersamaan kedua petugas sandi itu menarik nafas dalam-dalam. Didalam hati mereka berkata, “Hati Putera Mahkota ini memang sekeras baja.”
Sejenak kemudian mereka saling berdiam diri. Cahaya kemerahan dilangit menjadi semakin cerah. Satu-satu bintang-bintang yang gemerlapan mulai pudar dan seolah-olah hilang ditelan langit yang biru bersih. Kicau burung-burung liar-pun kemudian telah membangunkan prajurit-prajurit yang tertidur nyenyak. Sambil mengusap mata mereka yang berat, satu-satu mulai bangkit dan duduk diatas daun-daun kering.
Pemimpin prajurit yang tertidur sambil bersandar itu-pun terbangun pula. Ia menjadi agak terkejut ketika disadarinya, bahwa cahaya matahari telah mulai membayang dilangit.
Salah seorang dari mereka menggelengkan kepalanya, “Tidak. Kau tidak tertidur.”
Pemimpin pasukan itu menarik nafas dalam-dalam. “Kenapa kau tidak membangunkan aku? Seharusnya ada di antara kami yang terjaga malam ini. Untunglah bahwa kalian dapat dipercaya. Kalau tidak maka kalian dapat berkhianat dan membunuh kami semua tanpa perlawanan.”
“Kami tidak dapat melakukannya. Ada di antara kalian yang semalam suntuk terjaga dan bercakap-cakap bersama kami.”
“Siapa?”
“’Tuanku Putera Mahkota.”
“He,” dengan serta-merta pemimpin pasukan itu berpaling kepada Putera Mahkota yang tersenyum memandanginya. “Tuanku tidak tidur sama sekali?”
“Aku terlampau lelah, sehingga justru aku tidak dapat tidur sama sekali.”
“Jadi tuanku belum beristirahat semalam?”
“Sudah. Beristirahat sambil bercakap-cakap.”
Pemimpin itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Seharusnya tuanku beristirahat. Tuanku akan mendapat tugas yang baru siang ini bersama beberapa orang prajurit, hamba dan kedua prajurit sandi itu.”
“Ya, kenapa? Kalau memang aku harus bertugas, maka aku-pun akan melakukannya. Aku tahu, bahwa sebagian terbesar dari keberangkatan pasukan ini adalah suatu usaha Ayahanda Sri Rajasa untuk menjadikan aku seorang prajurit. Dan aku akan melakukannya dengan senang hati. Karena itu wajarlah bahwa tugas-tugas khusus akan dibebankan kepadaku.”
Pemimpin pasukan itu menarik nafas dalam-dalam. “Apakah tuanku masih sanggup melakukan tugas pengamatan hari ini atau tuanku memerlukan waktu untuk beristirahat pagi ini meskipun hanya sejenak? Kami dapat membuat rencana pengamatan itu sesuai dengan keadaan kita. Pagi, siang atau sore hari. Kalau tuanku ingin melakukannya pagi, kemudian segera beristirahat kami akan melakukannya. Tetapi kalau tuanku menghendaki siang atau sore hari sesudah tuanku beristirahat, kami-pun tidak berkeberatan.”
“Sebaiknya kau jangan bertanya kepadaku. Aku adalah seorang prajurit. Berikanlah perintah. Kalau aku harus berangkat pagi, aku akan berangkat pagi. Kalau aku harus berangkat siang atau sore hari, aku-pun akan melakukannya. Akulah yang harus menyesuaikan diriku dengan rencanamu.”
Sekali lagi pemimpin pasukan kecil itu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Anusapati benar-benar berusaha menyesuaikan dirinya sebagai seorang prajurit, sehingga ia bersedia menjalankan tugas apa-pun yang akan diserahkan kepadanya oleh pimpinannya.
“Baiklah tuanku,” berkata pemimpin pasukan kecil itu, “kita akan berangkat mengamati keadaan menjelang senja, supaya kita dapat lebih mendekat lagi disaat-saat matahari mulai terbenam. Kita tidak hanya sekedar mengamatinya dari kejauhan saja, agar kita tidak salah menilai kekuatan lawan itu.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sudah barang tentu kami tidak akan dapat melakukannya di siang hari. Pengamatan kita akan sangat terbatas dari kejauhan saja.”
Meskipun ada juga alasan-alasan lain, tetapi alasan itu masuk akal juga sehingga Anusapati mengangguk-angguk sambil menjawab, “Baiklah, kalau begitu, kita akan pergi menjelang senja. Kita akan mengamati dari kejauhan, kemudian apabila hari mulai gelap, kita akan mendekat. Begitu?”
“Hamba tuanku.”
“Baiklah. Akulah yang akan menyesuaikan diriku.”
Demikianlah dihari itu, pasukan kecil itu benar-benar mendapat kesempatan untuk beristirahat. Tetapi mereka sama sekali tidak diperbolehkan menyalakan api, supaya kehadiran mereka tidak diketahui oleh lawan yang bersarang tidak begitu jauh lagi dari tempat itu. Dengan demikian mereka hanya dapat makan nasi jagung, bekal yang mereka bawa. Nasi yang tahan untuk waktu lebih dari sepekan. Tetapi nasi itu akan lebih enak rasanya, apabila mereka mendapat kesempatan untuk sekedar menghangatkannya.
Namun demikian, sebenarnyalah bahwa pemimpin pasukan itu tidak membuang waktu yang sehari itu untuk menunggu senja. Hanya karena perasaan ibanya kepada Anusapati sajalah, maka dibiarkannya Anusapati untuk beristirahat. Tetapi bersama kedua petugas sandi yang telah lebih dahulu datang itu, ia-pun pergi juga untuk melihat keadaan dan menilai medan. Kepada tiga orang prajurit yang dipercaya untuk menjaga keselamatan Anusapati, ia berkata, “Jagalah tuanku Putera Mahkota baik-baik. Tetapi hati-hatilah, jangan sampai ia merasa tersinggung karena pengamatanmu.”
“Baiklah,” jawab salah seorang dari ketiga prajurit itu.
“Aku akan pergi. Jangan beritahu Putera Mahkota. Biarlah ia beristirahat.”
Prajurit-prajurit itu menganggukkan kepalanya. Kepada salah seorang dari mereka yang tertua, pimpinan pasukan kecil itu diserahkannya, selama ia mengawasi dan mengamati medan. Kemudian dengan diam-diam, tidak setahu Anusapati, pemimpin pasukan itu telah meninggalkan pasukannya. Dengan hati-hati ia melintasi hutan yang rindang dan menuju sebuah padukuhan kecil yang terpencil.
“Dimana letak goa itu?” bertanya pemimpin pasukan mi kepada kedua petugas sandi.
“Goa itu berada di lereng bukit kecil di belakang padukuhan itu. Tetapi kini mereka tidak lagi bersembunyi di dalam goa. Menurut pengamatanku, gerombolan itu menjadi semakin berani. Dan kini mereka bahkan seakan-akan telah menghuni padukuhan kecil yang terpencil itu.”
“Lalu dimanakah penghuni yang sebenarnya dari padukuhan kecil itu?”
“Ada dua golongan yang telah membagi penghuni yang tidak begitu banyak itu. Mereka yang masih berpegang pada sikap hidupnya, dan tidak mau terlibat dalam kejahatan, telah meninggalkan kampung halamannya. Mereka mengungsi kepadukuhan-padukuhan di sekitarnya. Namun padukuhan-padukuhan di sekitarnya itu-pun menjadi semakin sepi pula, karena beberapa orang yang tidak tahan mengalami perlakuan yang kasar, telah mengungsi ketempat yang lebih jauh lagi.”
Pemimpin pasukan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Menurut keterangan yang sudah diterimanya, gerombolan itu tidak saja memeras orang-orang disekitarnya, tetapi kadang-kadang mereka juga pergi merampok ketempat yang agak jauh dan menyamun di jalan-jalan perniagaan yang penting.
“Itulah padukuhan itu,” desis salah seorang petugas sandi ketika mereka berada di pinggir hutan yang rindang, diatas sebuah bukit kecil.
Senapati itu mengerutkan keningnya. Dipandanginya padukuhan terpencil yang terletak diatas bukit yang kecil pula, dikelilingi oleh sebuah padang-ilalang dan pohon-pohon perdu.
“Semula tanah itu merupakan tanah yang sudah digarap,” berkata salah seorang petugas itu, “tetapi akhirnya tanah itu menjadi padang ilalang karena orang-orang yang menggarapnya telah pergi mengungsi.”
“Jadi padukuhan itu tidak mempunyai tanah garapan sama sekali?”
“Ada. Masih ada beberapa bagian yang digarap di belakang bukit kecil itu. Tanah yang paling subur dari padukuhan itu.”
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Letak padukuhan itu memang baik. Jika mereka mengetahui bahwa ada kekuatan yang akan menyerang mereka, maka mereka dapat membangun pertahanan yang baik dari atas bukit kecil itu. Semua benda-benda yang ada dapat berubah menjadi senjata. Batu-batu besar, potongan kayu, bahkan pasir dan air. Apalagi senjata-senjata jarak jauh, panah dan lembing.
“Marilah kita agak mendekat,” berkata Senapati itu.
Mereka-pun menyuruk dengan hati-hati mendekati padukuhan itu. Sekali-sekali Senapati itu berpaling kearah pasukan kecil yang ditinggalkannya. Kalau mereka tidak mematuhi perintahnya, dan menyalakan api, maka di siang hari asapnya akan dapat menarik perhatian, sedang dimalam hari, nyalanya akan menimbulkan kecurigaan pula. Demikianlah semakin dekat, menjadi semakin jelas pulalah daerah yang terpencil itu. Agaknya tanah di sekitarnya termasuk tanah vang cukup subur dan cukup memberikan makan bagi isi padukuhan itu.
Namun tiba-tiba kedua petugas sandi itu mengerutkan keningnya. Mereka melihat sesuatu yang lain pada padukuhan itu. Karena itu maka salah seorang dari mereka berkata, “Ada sesuatu yang baru dipadukuhan itu.”
“Apa? “ bertanya Senapati itu.
“Kita melihat kesibukan yang agak berlebihan dari kemarin. Baru kemarin aku mendekati padukuhan itu. Aku tidak melihat hiasan apa-pun diregol padukuhan itu. Sekarang aku melihat sesuatu yang kemarin tidak ada.”
“Apa?”
“Kau melihat janur kuning?” bertanya petugas sandi itu kepada kawannya.
“Ya, beberapa tersangkut diregol padukuhan.”
Petugas sandi itu mengangguk-angguk, sedang Senapati yang memimpin pasukan kecil itu-pun menyahut, “Ya. Aku juga melihat sesuatu. Agaknya kau benar. Beberapa helai janur kuning.”
“Pasti ada sesuatu upacara. Apa-pun yang akan mereka lakukan?”
Senapati itu mengangguk-anggukan kepalanya. Katanya, “Marilah. Kita maju lagi.”
“Terlampau berbahaya di siang hari. Nanti malam sajalah kita mendekat. Mungkin kita dapat melihat dengan jelas, apakah yang sebenarnya telah terjadi di padukuhan itu.”
Pemimpin pasukan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berdesis, “Tetapi nanti malam aku akan pergi bersama Putera Mahkota.”
“Kita tinggalkan saja tuanku Putera Mahkota di sini. Kita akan maju tanpa tuanku Anusapati.”
Pemimpin pasukan itu mengangguk-angguk.
“Tetapi sekarang kita sudah dapat membayangkan medan yang bakal kita hadapi. Mereka dapat mempergunakan air untuk menghambat kemajuan kita. Jalan setapak itu akan menjadi sangat licin apabila menjadi basah.”
Pemimpin pasukan itu masih mengangguk-angguk.
“Kita akan naik dari beberapa penjuru. Kita tidak akau memasuki padukuhan itu lewat regol. Kita dapat memanjat dan meloncati dinding batu yang tidak begitu tinggi itu. Sebagian dari kita memang akan melalui jalan setapak yang licin apabila basah, tetapi yang lain akan memanjat lereng batu-batu padas itu. Tidak terlampau sulit, karena gumuk kecil itu tidak terlampau tinggi.”
Kedua petugas sandi yang menyertainya mengangguk-anggukkan kepalanya. Rencana itu memang akan dapat dilakukan tanpa banyak kesulitan karena kekuatan lawan menurut penilaian mereka tidak akan begitu berat. Hanya segerombolan perampok yang berhasil menduduki sebuah padukuhan kecil dan terpencil.
“Kita akan tinggal di sini beberapa saat untuk melihat perkembangan keadaan. Mungkin janur-janur kuning itu merupakan suatu pertanda bahwa ada perubahan dipadukuhan kecil itu, atau ada peralatan yang dilakukan oleh mereka. Oleh salah seorang penghuni padukuhan kecil itu yang tidak menyingkirkan dari, atau justru oleh gerombolan perampok itu,” berkata Senapati itu.
Kedua petugas sandi yang mengawaninya itu menganggukkan kepalanya. Salah seorang berkata, “Baiklah. Kita akan melihat apa yang akan terjadi.”
Ketiganya-pun kemudian duduk di belakang sebuah gerumbul yang lebat di padang ilalang. Di tempat yang terlindung sama sekali, sehingga mereka tidak perlu cemas, bahwa kehadiran mereka akan diketahui. Dalam pada itu, Anusapati masih tetap berada di antara para prajurit yang beristirahat. Namun agaknya mereka sudah tidak lagi menjadi terlampau lelah, sehingga mereka sudah sempat mengatur diri. Mereka sudah sempat menentukan waktu-waktu penjagaan, dan siapa saja yang harus bertugas.
“Yang lain, yang kebetulan tidak bertugas dapat menemukan istirahatnya. Masih ada kesempatan untuk tidur hampir sehari penuh,” berkata prajurit yang diserahi tugas memimpin pasukan itu selama pemimpinnya tidak ada di tempat.
Prajurit-prajurit yang lain tertawa. Tetapi masih ada juga yang menguap sambil menjawab, “Terima kasih. Badanku serasa tidak bertenaga lagi. Aku bertugas setelah tengah hari. Pagi ini aku memang akan tidur sepuas-puasnya sampai matahari di puncak langit.”
“Tidurlah,” desis kawannya, “tetapi kalau kami mendapat perintah untuk meninggalkan tempat ini, kau akan ditinggal di sini.”
Prajurit itu mengerutkan keningnya, tetapi kemudian ia benar-benar membaringkan tubuhnya di atas sebuah batu.
Dalam pada itu Anusapati-pun mendapat kesempatan untuk tidur sejenak. Karena itu, maka katanya kepada prajurit yang memimpin pasukan kecil itu sementara, Senapatinya pergi, “Aku akan tidur. Jangan diganggu. Aku akan menjadi pening kalau aku terbangun dengan tiba-tiba. Bahkan aku akan menjadi seperti orang sakit. Karena itu, aku akan menyendiri dan tidur sepuas-puasnya. Ingat, jangan kau bangunkan. Biarlah aku bangun sendiri menjelang tengah hari, supaya aku dapat bertugas nanti menjelang sore.”
Prajurit itu menganggukkan kepalanya. Tetapi kemudian ia bertanya, “Dimana tuanku akan tidur.”
“Dibalik batu itu.”
“Tetapi, bagaimana kalau ada ular atau binatang melata yang berbisa?”
“Semalam suntuk kalian tergolek seperti orang mati. Tidak seekor binatang-pun yang mengusik kalian. Agaknya di sini memang tidak banyak binatang berbisa.” Anusapati berhenti Sejenak. Lalu, “aku juga membawa semacam serbuk yang dapat melindungi aku dari binatang berbisa. Ular dan sejenisnya tidak mau menggigit apabila tercium bau serbuk itu.”
“Dari mana tuanku mendapatkannya?”
“Dari dukun istana.”
Prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tentu ia percaya, bahwa Putera Mahkota itu pasti sudah mendapat obat-obat yang cukup untuk melindungi dirinya. Justru karena ia Putera Mahkota. “Kalau begitu silahkan tuanku. Tetapi apabila keadaan memaksa, hamba terpaksa membangunkan tuanku.”
“Apa yang kau maksud?”
“Misalnya, tiba-tiba saja kita mendapat serangan. Atau tiba-tiba saja kita harus berpindah tempat.”
“Tetapi aku akan menjadi pening sekali.”
“Itu-pun akan merupakan suatu latihan. Demikianlah keadaan medan yang sebenarnya tuanku.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Baiklah. Baiklah. Hanya kalau keadaan memaksa.”
Anusapati-pun kemudian pergi ke balik sebuah batu besar untuk membaringkan tubuhnya di atas rerumputan kering. Sejenak ia memandang dedaunan diatasnya, yang bergerak-gerak ditiup angin pagi yang lembut. Namun tiba-tiba Anusapati itu bangkit perlahan-lahan. Dengan hati-hati ia mengintip dari sisi batu yang besar itu. Dilihatnya beberapa orang prajurit sedang duduk-duduk sambil bercakap-cakap. Yang lain telah berbaring pula. Sedang di sebelah mereka, prajurit-prajurit yang sedang bertugas, berdiri bersandar pepohonan sambil bercakap-cakap pula.
Perlahan-lahan Anusapati bergeser dari tempatnya. Dari percakapan para prajurit dan Senapati yang sedang pergi, Anusapati dapat mengetahui arah padukuhan kecil tempat bersarang para perampok yang akan mereka datangi besok. Sebenarnya sejak semalam Anusapati sudah ingin sekali untuk melihat tempat itu. Tetapi ia tidak mendapat kesempatan, apalagi di malam hari daerah yang kurang dikenalnya itu akan dapat menyesatkannya. Tanpa setahu seorang prajurit pun, Anusapati-pun kemudian meninggalkan tempatnya. Berlindung dibalik sebatang pohon ke pohon yang lain ia akhirnya menjadi semakin jauh.
Anusapati menarik nafas dalam-dalam ketika ia sudah terlepas dari daerah pengawasan para prajurit. Dengan tergesa-gesa ia-pun menuruni bukit kecil dan melintasi daerah yang berhutan perdu. Dengan hati-hati sekali ia maju terus, sehingga akhirnya ia-pun dapat melihat sebuah bukit kecil yang dihuni oleh para perampok itu. Tetapi perhatian Anusapati segera tertarik kepada jejak beberapa orang di atas batang-batang ilalang. Dilihatnya ranting-ranting perdu yang patah, dan ilalang yang terinjak.
“Pasti Senapati dan kedua prajurit sandi itu,” katanya didalam hati.
Karena itu, maka ia-pun maju perlahan-lahan. Kalau mereka melihatnya, maka ia harus berhenti bersama mereka, atau Senapati itu akan marah bukan saja kepadanya, tetapi juga kepada prajurit-prajurit yang diam-diam harus mengawasinya itu. Untuk menghindarkan diri dari mereka, maka Anusapati itu kemudian mengambil jalan lain. Ditinggalkannya jalur jejak-jejak yang terdahulu, dan ia-pun menyelinap di antara pepohonan perdu dan batang-batang ilalang yang tinggi.
“Aku ingin mendekat,” katanya didalam hati. Anusapati-pun kemudian merayap semakin lama semakin dekat. Namun ternyata bahwa janur kuning itu telah menarik perhatiannya pula. Pasti ada sesuatu yang sedang dilakukan oleh orang-orang di padukuhan kecil dan terpencil itu.
Dengan sangat hati-hati, merunduk dari balik sebuah batu, ke balik batu yang lain, dari gerumbul yang satu kegerumbul yang lain akhirnya Anusapati dapat mendekati gumuk itu. Ia mendapat tempat bersembunyi yang baik sekali. Di dalam sebuah semak-semak di belakang sebuah batu yang besar. Namun dari tempatnya bersembunyi Anusapati tidak dapat melihat apa-pun juga. Memang ia melihat asap yang mengepul dari bawah atas sebuah rumah. Tetapi tentu saja ia tidak dapat mengambil kesimpulan apa-pun dari asap itu.
Ketika ia melihat gumuk-gumuk padas di sebelah padukuhan terpencil itu, timbullah keinginannya untuk memanjat. Mungkin ia dapat melihat ke dalam batas dinding batu yang mengelilingi padukuhan itu. Maka dengan hati-hati Anusapati-pun bergeser. Sambil merunduk ia pergi ke balik sebuah gumuk padas yang terjal dan berbatu-batu.
“Aku akan naik,” desisnya di dalam hati.
Tetapi sejenak ia termangu-mangu. Tidak ada tumbuh-tumbuhan di gumuk padas itu selain beberapa rumpun ilalang yang agak rimbun. Memang mungkin juga bersembunyi dibalik rumpun ilalang itu tetapi apabila ada orang lain yang berdiri di belakang gumuk itu, maka mereka pasti akan dapat melihatnya.
“Tidak ada orang lain,” desisnya. Maka Anusapati-pun kemudian naik ke gumuk padas. Ia berusaha bersembunyi di antara batu-batu padas dan rumput-rumput ilalang yang tidak begitu subur. Namun demikian, ia berhasil juga sampai ke atas.
Justru setelah Anusapati berada di atas gumuk itu, ia terlindung dari segala arah. Ia berhasil mendapatkan sebuah lekuk di antara batu-batu padas, sehingga ia tidak perlu cemas, apabila ada orang lain yang melihatnya. Ternyata dari tempatnya, Anusapati dapat melihat apa yang sedang terjadi dipadukuhan itu, meskipun terbatas hanya yang terjadi di luar rumah-rumah yang berserakan, meskipun tidak begitu banyak. Di tengah-engah padukuhan kecil itu, di halaman sebuah rumah yang paling besar, beberapa orang tampak sibuk mengatar sesuatu. Tetapi Anusapati tidak dapat melihat dengan jelas, apakah yang sedang mereka lakukan.
“Pasti ada sesuatu yang penting,” berkata Anusapati didalam hatinya. “Mudah-mudahan bukan sesuatu hal yang dapat mengganggu pasukan kecil Singasari ini.”
Namun demikian, Anusapati masih ingin melihat apakah yang akan terjadi di padukuhan itu. “Aku akan menunggu sampai menjelang tengah hari. Sebelum orang-orang gelisah menunggu aku bangun, aku harus sudah kembali.” katanya di dalam hati pula.
Karena itu, ia-pun segera menelungkup di atas batu padas. Dengan demikian, ia dapat melihat apa saja yang menarik perhatian dipadukuhan kecil itu. Namun yang dilihatnya hanyalah kesibukan beberapa orang yang hilir mudik saja. Orang-orang laki-laki yang kasar dan bersenjata di lambung.
“Mereka itulah perampok-perampok yang dikatakan itu. Memang tidak terlampau banyak.” gumam Anusapati kepada diri sendiri, “dalam kesibukan itu, aku kira semuanya sudah keluar rumah dan berbuat sesuatu bersama kawan-kawannya itu.”
Sejenak Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Panas matahari yang hanya terlindung oleh beberapa helai daun ilalang, mulai terasa menggatalkan kulit. Namun Anusapati masih tetap menelungkup di atas batu padas yang agak terlindung dari sebelah menyebelah.
Dalam pada itu, Senapati dan kedua petugas sandi masih juga berada di tempatnya. Mereka dapat melihat jalan setapak yang naik kepadukuhan yang terletak diatas bukit kecil itu dengan jelas sampai ke mulut regol. Tetapi mereka sama sekali juga tidak mendapat gambaran apa yang sedang dilakukan oleh orang-orang di dalam padukuhan itu.
Namun tiba-tiba mereka terkejut. Dikejauhan terdengar derap kaki kuda yang bergema seakan-akan melingkar-lingkar di antara bukit-bukit kecil dan gumuk-gumuk padas yang berserakan. Karena itu, ketiga orang yang sedang duduk dan berbicara tentang bermacam-macam hal itu, tiba-tiba telah terdiam dan bergeser dari tempatnya. Dengan saksama mereka memperhatikan jalan setapak yang menuju kegerbang padukuhan terpencil itu.
Sejenak kemudian dada ketiga orang itu menjadi berdebar-debar. Mereka melihat tiga orang berkuda menaiki jalan setapak itu. Dan sejenak kemudian mereka-pun mendengar sebuah tengara yang berbunyi dimulut regol. Sebuah kentongan isyarat bagi penghuni padukuhan itu, sehingga sejenak kemudian beberapa orang tampak keluar dari regol menyongsong orang-orang berkuda itu.
Bukan saja ketiga orang itu, tetapi Anusapati-pun melihat ketiga orang berkuda itu. Ia melihat kesibukan yang terjadi didalam regol padukuhan. Beberapa orang bergegas-gegas menyongsong tamu mereka itu, sedang yang lain sibuk menyiapkan segala sesuatunya.
“Tentu orang penting,” berkata Anusapati didalam hatinya.
Dalam pada itu Senapati yang memimpin pasukan kecil dari Singasari itu-pun berdesis juga, “Tentu orang penting.”
Kedua petugas sandi yang bersamanya berkata, “Tidak dapat diabaikan. Menilik sikap orang-orang yang menyambut mereka itu, ketiganya adalah orang-orang terhormat di antara mereka.”
Senapati itu menganggukkan kepalanya. Ternyata kemudian bahwa orang-orang yang menyongsong orang-orang berkuda itu bersikap sangat hormat kepada mereka. Hampir berbareng mereka menundukkan kepala, ketika orang-orang berkuda itu sampai diregol halaman.
Pemimpin pasukan kecil yang datang dari Singasari itu tidak tahu, apa yang dilakukan oleh orang-orang padukuhan itu setelah mereka memasuki regol. Tetapi Anusapati masih dapat melihat mereka. Seperti mengarak sepasang pengantin, orang-orang dari padukuhan itu mengiringkan ketiga tamunya yang masih belum turun dari kuda mereka, sampai mereka memasuki halaman yang luas dari rumah yang tampaknya paling besar dipadukuhan kecil itu. Baru ketika mereka sampai di muka pintu rumah itu, mereka meloncat turun dari kuda mereka.
Anusapati menjadi semakin yakin, bahwa mereka pasti orang-orang yang terhormat. Ternyata dari sikapnya dan sikap orang-orang yang menyambutnya. “Tentu orang-orang itu bukan orang-orang kebanyakan. Kalau tidak, maka ia tidak akan mendapat penghormatan sebesar itu,” berkata Anusapati di dalam hatinya.
Namun dengan demikian maka ia telah mendapat pertimbangan lain tentang kekuatan para perampok yang ada di dalam padukuhan kecil itu. Kalau pemimpin pasukannya tidak mempertimbangkan kehadiran orang-orang berkuda itu, maka pasukan kecil itu dapat mengalami bencana karenanya.
“Mudah-mudahan Senapati itu melihat dan membuat pertimbangan yang benar dari orang-orang berkuda itu,” berkata Anusapati di dalam hatinya. Dalam pada itu, orang-orang berkuda itu-pun telah hilang masuk ke dalam rumah. Beberapa orang yang menyambutnya telah ikut masuk pula, sedang orang-orang lain masih juga sibuk hilir mudik di luar rumah.
Yang menarik perhatian Anusapati adalah orang-orang yang kemudian seakan-akan berjaga-jaga diregol padukuhan kecil itu dengan senjata ditangan.
“Tentu orang yang benar-benar mereka anggap penting. Tetapi juga tentu orang yang mempunyai ilmu yang tinggi, sehingga mereka hanya bertiga saja menempuh perjalanan yang agaknya cukup jauh. Apalagi mereka termasuk di dalam lingkungan orang-orang yang tidak lagi dapat menghargai nilai kemanusiaan, ternyata dari hubungan mereka dengan perampok-perampok di padukuhan itu,” berkata Anusapati didalam hatinya.
Namun tiba-tiba ia menengadahkan kepalanya. Matahari sudah menjadi semakin tinggi. Apalagi ia tidak dapat melihat hal-hal yang dapat menimbulkan persoalan baru di dalam padukuhan kecil itu. Sehingga karena itu, maka ia berdesis, “Aku harus segera kembali. Aku tidak akan menemukan apa-apa lagi. Mungkin malam nanti aku dapat mendekati rumah demi rumah. Tetapi kehadiran ketiga orang itu agaknya dapat mengganggu kehadiranku.”
Dengan demikian, maka Anusapati-pun segera beringsut surut. Dengan hati-hati ia turun dari gumuk padas itu. Sekali-sekali ditebarkannya pandangan matanya kesekelilingnya, kalau-kalau ada. orang yang megetahuinya. Namun ternyata bahwa daerah itu adalah daerah yang sepi, sehingga tidak seorang-pun yang lewat dan melihatnya dari balik gumuk kecil itu.
Dengan tergesa-gesa pula Anusapati-pun segera meninggalkan tempat itu, menyuruk di antara batang-batang ilalang dan daun-daun perdu kembali ketempatnya. Dengan hati-hati pula ia menghindari kemungkinan bertemu dengan pemimpin pasukannya bersama, kedua orang petugas sandi yang menyertainya.
Ternyata bahwa Anusapati mempunyai kemampuan yang cukup untuk melakukan pekerjaannya itu. Ia berhasil menyusup kembali ke daerah pengawasan pasukannya dan kembali ke balik batu besar yang ditinggalkannya. Setelah mengusap keringatnya, maka ia-pun membaringkan dirinya seperti pada saat ia mula-mula berada di tempat itu.
“Apakah belum ada orang yang menengokku kemari?” ia bertanya kepada dirinya sendiri. Agaknya para prajurit itu benar-benar tidak berani mengganggunya dan membiarkannya terbangun dengan sendirinya.
Menilik keadaan tempat itu, maka ia dapat mengambil kesimpulan bahwa pemimpinnya masih juga belum kembali. Orang-orang yang berjaga-jaga masih berada ditempatnya meskipun orangnya sudah berganti. Yang lain masih juga berbaring dan ada pula yang sedang duduk tepekur memandang ke kejauhan. Agaknya ia sedang merenungi sesuatu dalam angan-angannya.
Sejenak Anusapati masih sempat benar-benar beristirahat. Ia masih sempat memejamkan matanya disilirnya angin yang sejuk, meskipun matahari menjadi semakin tinggi. Dan dalam kesegaran itulah maka Anusapati telah tertidur untuk sesaat. Ia terbangun ketika ia mendengar suara pemimpin pasukannya yang agaknya berdiri dibalik batu itu. Tetapi Anusapati masih tetap memejamkan matanya tanpa bergerak sama sekali.
“Agaknya tuanku tertidur nyenyak sekali,” berkata prajurit yang memimpin pasukan itu selama Senapatinya pergi, “sejak kau tinggalkan ia masih saja tidur nyenyak. Tidak seorang-pun diperkenankan untuk mendekat, supaya ia tidak terkejut dan terbangun.”
Senapati yang memimpin pasukan kecil itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia mendekat agar desir kakinya tidak mengejutkan Anusapati yang disangkanya masih tertidur nyenyak itu. Ketika ia menjengukkan kepalanya, dilihatnya Putera Mahkota itu masih terbaring diam. Nafasnya yang teratur membuat suatu irama pada gelombang dadanya.
Pemimpin pasukan itu mundur beberapa langkah, lalu berdesis, “Ya. Tuanku Putera Mahkota masih tertidur nyenyak. Biar sajalah ia beristirahat. Tentu ia merasa lelah sekali.”
Kemudian Anusapati itu-pun ditinggalkannya. Senapati itu harus berunding dengan beberapa orang terpenting didalam pasukan kecil itu, termasuk ketiga orang prajurit pilihan yang mendapat tugas untuk mengawasi dan menjaga Putera Mahkota.
“Kita melihat kelainan pada padukuhan itu,” berkata Senapati itu kepada mereka, “ada tiga orang berkuda yang datang dan memasuki daerah mereka. Menilik sikap dan tatapan wajahnya yang mantap, mereka pasti orang-orang penting.”
Kedua petugas sandi yang ada diantara mereka-pun menganggukkan kepala. Salah seorang berkata, “Digerbang padukuhan itu tersangkut janur kuning. Orang-orang terpenting dari mereka telah menyambut ketiga orang berkuda itu di luar gerbang.”
Yang mendengar keterangan itu mengangguk-anggukkan kepala. Dan Senapati itu-pun berkata, “Ternyata kita menghadapi keadaan yang khusus. Tidak seperti yang kita perhitungkan. Ada kekuatan baru yang agaknya berada di padukuhan itu.”
“Tetapi tentu tidak akan lama,” berkata salah seorang prajurit yang ikut di dalam pembicaraan itu, “aku kira mereka hanyalah sekedar tamu terhormat. Tetapi mereka akan segera pergi.”
“Mungkin,” jawab pemimpin pasukan, “tetapi kapan. Kapan mereka akan pergi? Dua hari, tiga hari atau sepekan? Sedang kita harus kembali sesuai dengan rencana yang sudah ditentukan, meskipun dalam keadaan yang khusus kita dapat mengambil kebijaksanaan. Tetapi kita tidak akan terlampau jauh mundur dari saat yang sudah ditentukan.”
“Jadi apa yang akan kita lakukan?”
“Nanti malam aku akan melihat bersama para petugas sandi. Setelah kami dapat mengetahui atau setidak-tidaknya menduga siapakah mereka, kita akan menentukan sikap, apakah kita akan menyerang sesuai dengan rencana, atau kita terpaksa menunggu sampai mereka pergi. Namun dengan demikian, kita akan memerlukan waktu dan persediaan makan kita akan habis sebelum waktunya kita pulang.”
Prajurit-prajurit yang mendengarkannya mengangguk-anggukkan kepala. Agaknya jalan itulah yang memang harus ditempuh. Mendapatkan keterangan sejauh-jauhnya sebelum menentukan sikap, supaya pasukan kecil ini tidak terjerumus ke dalam kesulitan.
“Jadi, nanti malam kita akan mendekati padukuhan itu.”
“Siapa yang akan pergi?”
“Aku,” jawab Senapati itu, “bersama kedua petugas sandi. Tetapi karena keadaan yang berubah, aku memerlukan kesiagaan kalian kalau terjadi sesuatu. Pasukan ini-pun akan bergerak mendekati gumuk itu. Tetapi tidak akan berbuat apa-apa kalau tidak ada perintahku karena keadaan memaksa. Pasukan ini akan bersiaga agak jauh dari padukuhan terpencil itu, tetapi setiap saat dapat langsung terjun ke medan apabila diperlukan."
Prajurit-prajurit yang mendengarkannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan kepada mereka-pun Senapati itu memberikan beberapa gambaran tentang padukuhan terpencil itu.
“Sekarang, siapkan pasukan ini sebaik-baiknya. Kita sudah cukup beristirahat, dan kita masih mempunyai waktu setengah hari sebelum senja. Kita akan berangkat setelah menjadi agak gelap.”
“Baiklah, kita akan bersiap-siap” jawab beberapa orang hampir berbareng.
Namun salah seorang prajurit yang diserahi tugas mengawal Anusapati bertanya, “Bagaimana dengan Putera Mahkota?”
“Tentu bersama kami. Tetapi jagalah baik-baik. Mudah-mudahan malam nanti tidak terjadi sesuatu, sehingga kami akan bergerak setelah aku mendapat gambaran yang jelas.”
Demikianlah, maka pasukan kecil itu telah mulai berkemas-kemas. Yang masih merasa lelah, berusaha beristirahat sebaiknya sebelum menjalani tugasnya yang baru. Dalam pada itu, Anusapati yang telah bangun dan bangkit dari pembaringannya dibalik batu itu-pun segera mendengar pula rencana gerakan pasukan kecil itu dimalam nanti.
“O, kita akan menyerang di malam hari?” ia bertanya kepada seorang prajurit yang memberitahukan kepadanya.
“Tidak tuanku. Kita hanya berjaga-jaga. Tetapi apabila terjadi sesuatu dengan Senapati dan petugas-tugas sandi itu, kita akan melindunginya.”
“Jadi kita akan bertempur dimalam hari?”
“Tidak. Tidak. Hanya apabila terpaksa saja.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia telah membayangkan, apa yang akan dilakukannya malam nanti. Sebenarnya ia ingin juga melihat padukuhan itu dari dekat. Mungkin ia akan mendapat bahan yang cukup untuk mempertimbangkan sikapnya menghadapi keadaan. Apakah ia akan tetap menjadi seorang prajurit kecil atau ia harus berbuat jauh lebih banyak lagi.
“Mudah-mudahan aku mendapat kesempatan. Menilik sikap dan sambutan yang diberikan oleh orang-orang padukuhan itu, ketiga tamu berkuda itu pasti orang-orang yang mempunyai banyak kelebihan dari mereka, sehingga menghadapi mereka bertiga, aku harus berhati-hati,” berkata Anusapati itu di dalam hatinya.
Demikianlah, semakin rendah matahari, pasukan itu menjadi semakin sibuk mengemasi kelengkapan masing-masing. Ketika senja kemudian turun perlahan-lahan, maka pasukan kecil itu telah berada dalam kesiagaan tertinggi. Seakan-akan mereka telah menghadapi lawan yang siap untuk bertempur pula. Senjata mereka telah berada di lambung, dan bekal yang tidak ada hubungannya dengan pertempuran, mereka tinggalkan di atas pepohonan atau begitu saja diletakkan di atas bebatuan, karena isinya yang memang sudah hampir habis.
“Apakah tuanku sudah bersiap?” bertanya Senapati itu kepada Anusapati.
“Ya, aku sudah siap.”
“Sebaiknya tuanku mempergunakan perisai. Kalau kita benar-benar akar bertempur, maka perisai itu perlu sekali bagi tuanku.”
“Kenapa aku harus mempergunakan perisai, sedang yang lain tidak?”
“Beberapa orang juga membawa perisai seperti tuanku lihat sendiri. Bukankah dengan perisai, kita menjadi lebih aman.”
“Perisai hanya akan mengganggu saja. Aku tidak akan leluasa mempergunakan pedangku.”
“Diperkelahian seorang lawan seorang memang kadang-kadang perisai tidak menguntungkan. Tetapi di peperangan semacam ini, tuanku akan memerlukannya.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilihatnya beberapa orang prajurit membawa perisai pula. Tetapi prajurit-prajurit yang terpilih justru tidak mempergunakan perisai. Namun Anusapati harus menurut petunjuk itu supaya apabila terjadi sesuatu, Senapati itu tidak merasa bersalah. Sehingga dengan demikian Anusapati-pun memilih perisai yang paling sesuai baginya. Sebuah perisai yang memanjang dan berwarna kelam.
Demikianlah, maka pasukan kecil itu-pun segera bergerak meninggalkan tempatnya, menuruni tebing yang rendah dan menyusup di antara hutan rindang. Kemudian mereka-pun sampai ke padang ilalang dan pohon-pohon perdu. Sejenak kemudian, dari kejauhan mereka telah melihat warna kemerah-merahan di atas pepohonan. Dan sejenak kemudian tampaklah nyala api dipadukuhan terpencil itu. Agaknya mereka sedang mengadakan suatu perayaan untuk menyambut tamu mereka dengan makan-makan dan minum tuak di halaman sambil menghangatkan diri di samping sebuah perapian.
Perlahan-lahan pasukan kecil itu bergerak maju. Semakin lama semakin dekat. Namun sebelum mereka melihat dengan jelas apa yang terjadi. Senapati itu sudah memerintahkan mereka berhenti.
“Kalian tinggal di sini. Aku akan mendekat. Kalau terjadi sesuatu, aku akan memanggil kalian. Aku kira suaraku dapat mencapai jarak ini. Tetapi ingat, jangan membuat pertanda apa-pun yang dapat menarik perhatian mereka. Sebenarnya jarak ini tidak terlampau jauh.”
Prajurit-prajuritnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sebelum Senapati itu melangkah, Anusapati bertanya kepadanya, “jadi aku ikut dengan kau?”
“Jangan tuanku. Tuanku tinggal bersama pasukan ini.”
“Tetapi bukankah aku bertugas untuk ikut mengintai sarang lawan?”
“Tetapi kita menghadapi keadaan yang agak lain. Di padukuhan itu ada seorang tamu yang agaknya cukup penting diikuti oleh dua orang pengiringnya.”
“Kebetulan sekali. Aku ingin melihat, siapakah mereka itu?”
“Jangan tuanku. Biarlah hamba bertiga saja berangkat lebih dahulu. Hamba ingin meyakinkan keadaan. Barulah hamba akan mengambil sikap tertentu.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Beberapa orang prajurit memandang Anusapati dengan tegangnya. Agaknya Putera Mahkota yang belum berpengalaman itu sama sekali tidak menyadari bahaya yang tersembunyi dibalik pagar padukuhan itu. Seakan-akan Putera Mahkota itu sedang berburu kijang yang sama sekali tidak akan membahayakan. Tetapi kali ini mereka tidak sekedar berburu kijang. Kali ini mereka memburu penjahat-penjahat yang bersenjata dan bahkan telah timbul suatu keadaan di luar perhitungan mereka.
Dengan demikian, maka Anusapati terpaksa tinggal bersama para prajurit yang lain di balik semak-semak yang rimbun. Ia hanya dapat memandang ke kejauhan, kepada api yang menyala dan memancarkan cahayanya kededaunan dan atap-atap rumah.
Sepeninggal Senapati itu Anusapati meletakkan perisainya sambil bersungut-sungut, “Buat apa aku membawa perisai kalau aku hanya akan tidur disini?”
“Tuanku,” berkata prajurit yang harus memimpin pasukan sementara Senapati itu pergi, “keadaan memang cukup berbahaya. Tetapi mungkin pula tidak, karena kita belum tahu pasti apa yang terjadi dipadukuhan itu. Kalau tamu yang datang itu sekedar tamu-tamu terhormat yang tidak mempunyai kemampuan dalam olah kanuragan, maka keadaannya sama sekali tidak akan menegangkan urat syaraf. Tetapi kalau mereka termasuk orang-orang penting dan bahkan mungkin pemimpin-pemimpin perampok dari kelompok-kelompok yang lain, maka semuanya harus diperhitungkan sebaik-baiknya.”
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia berkata, “Bagaimana kalau aku tidur sebentar?”
“Tidur? Didalam keadaan ini tuanku akan tidur?”
“Bukankah masih ada waktu untuk beristirahat sebentar? Seandainya ada sesuatu yang terjadi, tentu tidak akan begitu tiba-tiba saja. Kalau perlu bangunkan aku.”
“Dimana tuanku akan tidur?”
“Digerumbul itu.”
Pemimpin prajurit itu mengerutkan keningnya. Sejenak dipandanginya kawan-kawannya untuk mendapatkan pertimbangan. “Tetapi,” bertanya salah seorag dari mereka, “kalau tuanku terkejut, maka tuanku akan menjadi pening.”
Anusapati mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah prajurit itu sejenak, lalu jawabnya, “Tentu di dalam keadaan yang memaksa, mau tidak mau aku akan bangun. Meskipun aku akan pening sejenak, namun pemusatan perhatian terhadap sesuatu akan segera menyembuhkannya.”
Prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia menjadi agak bingung. Namun kemudian ia berkata, “Tetapi dalam keadaan ini sebaiknya tuanku tidak tidur. Semua prajurit harus berada di dalam kesiagaan penuh menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi.”
“Tetapi bukankah belum pasti ada persoalan di antara kita dengan orang-orang itu sekarang? Barangkali akan lebih baik apabila setiap prajurit mendapat kesempatan untuk tidur sejenak. Mereka akan menjadi segar dan segenap kekuatan mereka akan pulih kembali.”
“Waktu beristirahat sudah cukup tuanku. Justru sudah berlebihan.”
Anusapati mengerutkan keningnya. Lalu, “Baiklah. Aku tidak akan tidur. Aku hanya akan berbaring saja di dalam gerumbul itu. Kalau ada sesuatu, lemparlah aku dengan batu. Aku akan segera datang.”
Prajurit itu menjadi termangu-mangu sejenak. Agaknya Putera Mahkota sudah mulai jemu melakukan tugas seorang prajurit yang berat. Ia mulai menuruti keinginannya sendiri.
Meskipun demikian prajurit itu berkata, “Tuanku. Tuanku dapat saja berada di gerumbul itu. Tetapi sebaiknya tuanku tidak tidur. Sebaiknya tuanku ikut memperhatikan perkembangan keadaan sehingga setiap saat tuanku siap untuk bertindak apa-pun juga sebagaimana seorang prajurit.”
“Ya, ya. Aku tidak akan tidur. Kalau kau memerlukan aku, kau tidak perlu datang ke gerumbul itu. Seperti sudah aku katakan, lempar saja dengan batu. Aku akan datang.” Tetapi sebelum Anusapati pergi, prajurit itu berkata, “Sebaiknya seorang prajurit tidak meninggalkan kelengkapan perangnya. Perisai tuanku tertinggal di sini.”
“O,” dengan segannya Anusapati memungut perisainya, lalu melangkah meninggalkan prajurit itu menuju ke sebuah gerumbul di balik sebuah batu.
Beberapa orang prajurit mengawasinya selagi ia melangkah meninggalkan tempatnya. Tetapi tidak seorang-pun yang berani bertanya. Salah seorang dari mereka berkata, “Agaknya tuanku Putera Mahkota masih terlampau lelah.”
Prajurit yang untuk sementara memimpin pasukan itu selama Senapatinya mendekati padukuhan terpencil itu mengangguk. Katanya, “Sebenarnya aku kasihan juga melihatnya. Ia tentu terlampau lelah. Tetapi agaknya ia menjadi kecewa juga, karena ia tidak diperkenankan mengikuti penyelidikan yang sedang dilakukan, karena hal itu akan sangat berbahaya baginya. Sedang tuanku Putera Mahkota agaknya tidak mengenal bahaya itu seakan-akan ia sedang pergi berburu.”
Prajurit-prajurit yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun mereka melihat, bahwa sesungguhnya Anusapati memiliki niat yang mantap untuk melakukan tugas-tugas keprajuritan, meskipun ia masih memerlukan pengalaman untuk memantapkan sikapnya. Tidak seorang-pun yang mengusik ketika Anusapati kemudian berbaring di pinggir gerumbul di belakang sebuah batu. Sejenak ia terbatuk-batuk. Namun sejenak kemudian suaranya tidak terdengar lagi.
“Mungkin Putera Mahkota itu tertidur,” desis salah seorang prajurit.
“Ingat, kalau terjadi sesuatu Putera Mahkota itu jangan dilupakan. Begitu kita mendapat isyarat, begitu kita berlari-lari sehingga kita tinggalkan saja Putera Mahkota itu seorang diri,” berkata yang lain.
“Tentu tidak. Kami akan melemparkan batu untuk membangunkannya.”
“Lebih baik goyang kakinya.”
“Biarkan saja ia tidur,” berkata prajurit yang lain, “agaknya kita tidak akan berbuat apa-apa malam ini. Kita baru akan mendapat keterangan tentang tamu-tamu itu. Kalau kita tidak segera mendapat perintah untuk berbuat sesuatu, sebaiknya kita menyimpan tenaga untuk bosok. Kita dapat berganti-gantian tidur disini.”
Yang lain-pun mengangguk-anggukkan kepala. Memang mereka belum dapat menentukan apa yang akan mereka lakukan malam itu. Namun dalam pada itu, selagi para prajurit itu berbicara di antara mereka, Anusapati sudah tidak berada di tempatnya. Diam-diam ia bergeser pergi, menyusul Senapati dan kedua petugas sandi. Di malam hari Anusapati merasa lebih aman, karena orang lain tidak akan mudah melihatnya.
Sejenak kemudian Anusapati telah berhasil mengikuti jejak pemimpin pasukannya bersama kedua petugas sandi. Meskipun mereka hanya sekedar berbisik-bisik, tetapi telinga Anusapati yang tajam segera menangkapnya dan menemukan di mana mereka bersembunyi. Ternyata mereka bertiga-pun tidak segera mendekat. Mereka agaknya menjadi sangat berhati-hati. Untuk beberapa lamanya, mereka bersembunyi di balik batu yang besar, di antara pohon-pohon perdu, sehingga Anusapati segera dapat menemukan mereka.
Baru ketika malam menjadi semakin malam, dan api yang menyala di halaman itu menjadi semakin redup, Senapati dan kedua petugas sandi itu-pun mulai bergerak mendekat. Dengan hati-hati sekali mereka memanjat tebing yang tidak begitu tinggi di arah yang bertentangan dengan letak gerbang padukuhan itu. Ketika mereka mencapai dinding-dinding batu, mereka sejenak diam menunggu. Ternyata masih ada beberapa kesibukan di dalam padukuhan kecil itu, sehingga mereka-pun tidak segera berbuat sesuatu.
Anusapati yang mengikuti mereka bertiga itu-pun berhenti pula beberapa langkah di belakang mereka. Di balik gerumbul yang agak rimbun. Namun dari tempatnya, Anusapati juga dapat mendengar kesibukan di dalam padukuhan kecil itu. Tetapi ia tidak dapat melihatnya. Sejenak Anusapati berpikir. Ia ingin dapat melihat ke dalam, tetapi tidak kehilangan ketiga prajurit itu. Kalau di saat wajar, ketiga prajurit itu mencemaskan kepada Anusapati, namun disaat-saat yang gawat itu, justru Anusapatilah yang mencemaskan nasib mereka, karena sepengetahuannya, meskipun ketiganya adalah prajurit pilihan, yang mempunyai kelebihan dari prajurit-prajurit yang lain, namun menghadapi orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi, agaknya masih menemui kesulitan juga.
Namun dalam pada itu, padukuhan itu-pun semakin lama menjadi semakin sepi. Satu-satu mereka masuk ke dalam rumah dan satu-satu obor di halaman-pun menjadi padam. Agaknya mereka sudah lelah dan kenyang, sehingga sambutan makan minum bagi ketiga tamu mereka itu-pun sudah berakhir. Ketiga prajurit Singasari yang masih berada di luar dinding batu itu-pun menjadi semakin mendekat. Salah seorang dan mereka mencoba berdiri beralaskan sebuah batu untuk menjenguk keadaan di dalam dinding batu.
“Sepi,” desisnya.
“Tunggu sebentar,” berkata Sempati itu, “sebentar lagi kita masuk.”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara Anusapati mengerutkan keningnya. Katanya di dalam hati, “Prajurit-prajurit Singasari memang prajurit-prajurit yang berani. Mereka tidak segan masuk ke sarang serigala untuk melakukan tugasnya. Namun kali ini mereka benar-benar telah melakukan tugas yang berbahaya.”
Namun Anusapati tidak mencegah mereka. Dipandanginya saja dengan dada yang berdebar-debar, ketiga orang itu kemudian satu demi satu memanjat dan meloncat ke dalam. Anusapati-pun tidak tinggal diam. Sejenak ia menunggu. Kemudian ia-pun menjengukkan kepalanya dengan hati-hati. Ketika ketiga orang ia tidak lagi memperhatikan dinding batu di belakangnya, maka ia-pun segera meloncat dibalik sebatang pohon yang besar, sehingga ketiga prajurit Singasari itu tidak melihatnya. Agaknya kelelahan dan makan yang terlampau banyak, membuat orang-orang di padukuhan kecil itu segera tertidur. Tidak ada lagi suara apa-pun hampir di setiap rumah.
“Kita lihat rumah yang paling mungkin dipergunakan oleh ketiga tamu itu,” desis Senapati itu.
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ketiganya-pun kemudian merayap semakin ke tengah, menyusup di antara pepohonan dan pagar batu yang rendah. Mereka-pun kemudian sampai di belakang halaman yang luas dan berpagar agak tinggi. Di halaman masih berserakan bekas makan dan minum yang belum sempat dibersihkan.
“Agaknya rumah inilah yang mereka pergunakan sebagai pusat pimpinan mereka,” desis Senapati itu.
Kedua petugas sandi itu menganggukkan kepalanya hampir berbareng. Tetapi mereka tidak menyahut. Sejenak mereka menunggu. Ketika mereka kemudian bergeser sedikit ke samping, mereka melihat dua orang pengawal lewat menyilang halaman.
“Masih ada juga yang berjaga,” desis salah seorang prajurit sandi itu.
“Ya. Dengan demikian kita dapat memastikan bahwa, di sinilah tamu-tamu itu ditempatkan.” jawab Senapati itu.
“Kita akan mendekat,” berkata prajurit sandi yang lain.
“Ya. Kita akan mendekat. Tetapi salah seorang dari kita akan mengawasi keadaan.”
“Ya. Kita masuk bersama-sama. Kita bersembunyi di longkangan belakang rumah itu. Dari sana kita dapat mendengar kalau masih ada pembicaraan di dalam rumah itu, sedang dari sana kita dapat mengawasi keadaan di bagian belakang rumah itu.”
Ketiganya-pun kemudian meloncat masuk dan lewat kebun belakang yang agak rimbun mereka mendekati rumah itu. Di belakang rumah itu terdapat sebuah kandang yang kosong dan setumpuk kayu bakar. Ketiga orang itu-pun segera bersembunyi di sebelah kandang di balik setumpuk kayu. Dengan sangat hati-hati Senapati itu mencoba memperhatikan keadaan di sekitarnya.
“Kau tinggal disini,” katanya kepada salah seorang petugas sandi, “aku berdua akan mencoba memperhatikan keadaan di bagian dalam.”
“Kalian akan masuk?”
“Ya. Kami akan memanjat regol butulan yang langsung masuk ke longkangan belakang. Mudah-mudahan orang-orang di dapur sudah tertidur nyenyak.”
Petugas sandi yang seorang itu mengangguk. Anusapati menjadi berdebar-debar. Tindakan Senapati itu memang sangat berbahaya. Tetapi memang tidak ada jalan lain untuk mengetahui keadaan di dalam rumah itu. Dengan penuh kewaspadaan, bahkan kedua orang itu sudah menggenggam masing-masing sebilah pisau yang siap dipergunakan setiap saat, mereka-pun memanjat regol butulan. Sejenak mereka menjenguk ke dalam. Tetapi karena tidak mendengar suara apapun, bahkan desah natas-pun tidak, mereka-pun segera meloncat ke dalam.
Ternyata tidak seorang-pun berada di dapur. Agaknya dapur itu memang tidak dipergunakan, karena tidak ada bara sepeletik-pun didalam perapian. Bahkan perapian itu sudah dingin sama sekali. Agaknya mereka telah mempergunakan rumah sebelah untuk memasak dan menanak nasi yang berlimpah-limpah banyaknya. Sejenak mereka berdua berdiri termangu-mangu. Namun sejenak kemudian mereka terperanjat oleh langkah yang sedang mendekat. Dengan tergesa-gesa keduanya segera bergeser dan bersembunyi, yang seorang dibalik geledeg kayu sedang yang lain di sisi paga yang kosong.
Sejenak kemudian pintu butulan dari ruang dalam-pun terbuka. Seorang yang bertubuh pendek besar dan berjambang panjang keluar dari pintu itu. Langkah terhuyung-huyung berpegangan pada tiang-tiang pintu. Sedang di belakangnya seorang yang bertubuh sedang mengikutinya.
“Kau benar-benar akan pulang ke gubugmu?” bertanya yang bertubuh sedang.
“Buat apa aku tetap disini menunggui orang tidur. Bukankah guru Ki Lurah itu sudah tidur.”
“Tetapi Ki Lurah sendiri masih duduk di pendapa.”
“Kau sajalah mengawaninya. Aku akan kembali ke gubug itu. Perempuan itu pasti sudah menungguku.”
“Kau mabuk?”
“Tidak, tidak. Aku tidak mabuk. Aku biasa minum tuak sampai dua tiga bumbung tanpa mabuk.”
“Macammu. Kau mabuk sekarang.”
“Tidak. Aku tidak mabuk.”
“Terserahlah.”
Orang yang pendek berjambang itu-pun kemudian melangkah sambil berpegangan dinding. Tetapi pintu longkangan juga tertutup sehingga dengan setengah sadar ia mengetuk-ngetuk pintu.
“Gila kau,” desis yang bertubuh sedang, “tidak akan ada orang yang menjaga pintu itu. Kau sendirilah yang harus membuka.”
“O,” tangannya-pun segera meraba-raba selarak, tetapi tidak juga segera diketemukan.
Orang yang bertubuh sedang itu-pun segera meloncat kepintu itu. Dengan satu hentakan, maka pintu itu sudah terbuka. “Pergilah.”
Orang gemuk itu-pun melangkah pergi. Dengan menyeret kakinya ia berjalan tertatih-tatih di kegelapan malam. Ia tidak mau lewat pintu depan, karena pemimpinnya masih duduk di pendapa beserta beberapa orang yang lain. Yang mabuk di antara mereka-pun segera berbaring di atas tikar yang sudah terbentang dipendapa itu pula. Tetapi agaknya orang gemuk itu sedang menyimpan seorang perempuan di rumahnya sehingga ia telah memaksa dirinya untuk kembali ke pondoknya.
Senapati dan seorang petugas sandi yang menyertainya menjadi berdebar-debar. Mereka kini mendapat sebuah keterangan yang sangat penting bagi mereka. Tamu itu adalah guru dari pemimpin gerombolan yang tinggal di padukuhan kecil ini. Sejenak mereka termangu-mangu sambil menahan nafas, sampai orang yang bertubuh sedang itu hilang di balik pintu butulan dari ruang dalam, dan pintu itu-pun kemudian tertutup pula rapat-rapat.
Petugas sandi yang menunggu di luar-pun melihat pula orang gemuk yang agak mabuk itu berjalan terhuyung-huyung dikebun belakang. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa, supaya kehadiran mereka bertiga tidak meninggalkan kesan apa-apa. Ketika suasana di belakang rumah itu telah menjadi sunyi kembali, maka Senapati itu-pun memberikan isyarat kepada kawannya untuk mendekat.
“Kita berhadapan dengan orang yang agak lain dari yang kita perhitungkan,” bisik Senapati itu.
Kawannya menganggukkan kepalanya. Desisnya, “Bahkan guru pemimpin dari gerombolan ini.”
“Kita harus berhati-hati.” Kawannya menganggukkan kepalanya.
“Kita kembali kepada pasukan itu. Kita bicarakan apa yang sebaiknya kita lakukan.”
Sekali lagi kawannya menganggukkan kepalanya. Demikianlah maka kedua orang itu-pun segera meninggalkan dapur yang tidak dipergunakan lagi itu. Setelah mereka berada di luar, maka diajaknya petugas yang seorang itu-pun pergi bersama mereka.
Dalam pada itu, Anusapati-pun masih juga mengikuti mereka. Ia-pun mendengar apa yang dibicarakan oleh kedua orang anggauta gerombolan dipintu butulan. Ia-pun mengetahui, bahwa tamu yang dihormati itu adalah guru dari pemimpin gerombolan yang tinggal dipadukuhan kecil itu.
Ketiga orang prajurit Singasari itu-pun segera menyusup di antara tetumbuhan dan pagar-pagar batu menjauhi rumah yang dipergunakan oleh para tamu yang terhormat itu. Beberapa langkah di belakang mereka, Anusapati-pun selalu mengikutinya. Namun ketika mereka sudah hampir sampai di dinding padukuhan itu, Anusapati terkejut. Ia merasa bahwa sesuatu yang tidak dikehendaki telah terjadi. Telinganya yang tajam telah mendengar desir kaki. Bukan kaki ketiga prajurit itu.
Karena itu, sambil menahan nafas ia meloncat masuk ke dalam sebuah kebun yang agak rimbun. Sejenak ia merunduk sambil melekatkan tubuhnya pada pagar dinding. Tetapi Anusapati tidak mendengar apa-pun lagi. Meskipun ia tetap tidak bergerak sama sekali, namun ia tidak mendengar dan tidak melihat seorang-pun yang lewat. Dengan demikian Anusapati menjadi semakin berdebar-debar. Agaknya bukan saja telinganya yang mendengar betapa-pun lemahnya, tetapi terlebih-lebih dari itu adalah firasatnya.
Pasti ada orang yang mengikuti kami meskipun agak jauh. Anusapati-pun segera bangkit. Ia tidak mau kehilangan pengawasan atas ketiga prajurit itu, sehingga dengan demikian, meskipun ia tetap berhati-hati, berusaha menyusul ketiga prajurit yang telah mendahuluinya. Demikianlah, maka di malam yang semakin gelap itu, Anusapati melangkah dengan sangat hati-hati. Sekali lagi firasatnya menangkap sebuah desir di sekitarnya. Dan karena itu maka ia-pun menjadi semakin berhati-hati.
Ketika Anusapati sampai di dinding batu yang mengelilingi padukuhan itu, ia berhenti sejenak. Dengan saksama diperhatikannya keadaan di sekelilingnya. Namun ia tidak mendengar apa-pun juga. Bahkan rasa-rasanya malam menjadi semakin sepi. Tetapi ia menjadi semakin cemas atas nasib ketiga prajurit Singasari yang telah mendahuluinya. Seakan-akan tangan-tangan yang berbisa sedang terjulur untuk menerkam mereka.
“Mereka bukan kanak-anak lagi,” berkata Anusapati di dalam hatinya. Namun ia tidak dapat menyingkrkan kecemasannya.
Setelah ia menyakini kesenyapan malam di sekitar tempatnya berhenti, Anusapati-pun segera meloncati pagar batu itu. Sambil merunduk di antara pepohonan ia-pun segera menuruni tebing yang rendah di belakang padukuhan itu untuk menyusul ketiga prajurit Singasari yang telah mendahuluinya. Sejenak kemudian langkahnya terhenti. Sekali lagi ia merasakan sesuatu bergetar di dadanya. Karena itu, maka ia-pun menjadi semakin berwaspada.
Beberapa langkah kemudian hatinya benar-benar bergejolak ketika dilihatnya tiga orang yang berjalan beberapa langkah dihadapannya. Tetapi ketiga orang itu sama sekali bukan prajurit Singasari yang sedang disusulnya. Anusapati mengusap keningnya yang berkeringat. Ia kini harus benar-benar berhati-hati. karena dihadapannya itu pasti bukannya orang kebanyakan seperti para perampok dipadukuhan itu. Karena itu maka ia harus mengatur langkahnya sebaik-baiknya, bahkan pernafasannya.
Beruntunglah ia bahwa ia dapat melihat ketiga orang itu lebih dahulu, sehingga ia dapat mengatur dirinya menghadapi setiap kemungkinan. Agaknya ketiga orang itu masih belum mengetahui bahwa Anusapati telah melihatnya lebih dahulu. Demikianlah ketiga orang itu berjalan dengan tergesa-gesa. Sedang Anusapati masih terus mengikutinya di belakang.
Dalam pada itu, ketiga prajurit Singasari itu-pun telah menuruni tebing yang rendah itu pula. Sejenak mereka berhenti dan berpaling. Tampak oleh mereka padukuhan itu masih tetap sunyi.
“Kita telah berhasil mengetahui keadaan yang sebenarnya dipadukuhan itu. Untunglah bahwa kita dapat mendengar bahwa yang datang adalah guru dari pemimpin perampok itu. Kalau tidak, apabila kita salah menilai kekuatan lawan, maka hal itu pasti akan sangat berbahaya. Apalagi di antara kita terdapat Putera Mahkota,” berkata Senapati itu.
“Ya. Kita sudah mempunyai bahan untuk memperhitungkannya. Sebaiknya kita harus berbuat cepat.”
“Ya. Kita harus mempertimbangkannya dengan matang.”
“Kita masih belum tahu pasti kelebihan dari guru itu. Tetapi kemampuannya tentu jauh lebih besar dari pemimpin perampok itu sendiri. Bahkan mungkin kedua orang yang menyertainya itu-pun termasuk orang-orang yang pilih tanding.”
“Kemungkinan itulah yang harus segera kita bicarakan. Apakah kita akan menyerang mereka dengan tiba-tiba untuk mengurangi kemungkinan-kemungkinan perlawanan yang kuat, karena dengan serangan yang tiba-tiba itu kita akan mendapat kesempatan lebih dahulu mengurangi kekuatan lawan. Dengan demikian kita sempat menyusun kelompok-kelompok kecil untuk melawan orang-orang pilihan di antara mereka. Atau kita akan menentukan sikap yang lain.”
“Baik. Marilah kita kembali. Kita akan berbincang.” Ketiga prajurit itu-pun segera meneruskan langkahnya.
Tetapi baru selangkah mereka maju, tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar suara dibalik gerumbul, “Kalian tidak akan sempat memperbincangkan dengan siapapun. Akulah orang yang kalian maksud. Akulah guru dari pemimpin perampok itu.”
Dada ketiga prajurit itu-pun tergetar mendengar kata-kata itu. Namun sebagai seorang prajurit, maka dengan gerak naluriah mereka-pun segera mempersiapkan diri menghadapi setiap kemungkinan.
“Nah. kau tidak usah bersusah payah mencari aku. Aku sudah datang sendiri kepadamu,” berkata guru perampok itu, “lebih baik aku memperkenalkan diriku lebih dahulu. Akulah yang disebut orang Kiai Kisi. Pemimpin perampok itu memang muridku.”
Dada ketiga prajurit Singasari itu menjadi berdebar-debar.
“Aku sangat tertarik kepada pembicaraanmu. Agaknya kau telah membawa Putera Mahkota bersamamu sekarang. Itu bagus sekali. Aku ingin mendapatkannya. Aku ingin menangkap Putera Mahkota itu agar dapat aku jadikan alat untuk memeras Sri Rajasa yang perkasa. Apabila Putera Mahkota ada di tanganku, maka semua permohonanku pasti akan dikabulkan.”
“Persetan,” Senapati itu menggeretakkan giginya, “kau memang bodoh. Di dalam pasukan yang manapun, apabila Putera Mahkota ada bersama mereka, maka pasukan itu adalah pasukan yang tidak akan terkalahkan karena pengawalan yang sangat kuat. Kalau kau ingin menghancurkan kepalamu dan seluruh anak buah muridmu, marilah, aku tunjukkan kepadamu dimana Putera Mahkota sekarang ini berada.”
Tetapi Kiai Kisi itu tertawa. Katanya, “Kalau kau cukup kuat untuk melawan aku, kau tidak akan bingung menyusun pasukanmu. Kau tidak usah menyusun kelompok-kelompok kecil atau menyerang dengan tiba-tiba. Aku mengerti, bahwa kehadiranku di sini benar-benar tidak kau perhitungkan, sehingga dengan demikian, maka kau menjadi bingung menghadapi keadaan ini.”
“Dugaan yang sangat dangkal. Sebagai seorang prajurit kami memang harus berhati-hati. Tetapi jangan kau sangka bahwa kau tidak dapat dikalahkan.”
Kiai Kisi tertawa lagi. Justru lebih keras. Katanya, “Jangan menyembunyikan kelemahanmu. Sekarang kita berhadapan. Kami memang berhasrat membunuh kalian bertiga. Lalu kami akan menyerang kawan-kawanmu yang kini sedang melindungi Putera Mahkota itu. Kami ingin menangkapnya hidup-hidup.”
Senapati itu menggeretakka giginya. Namun demikian sebenarnyalah bahwa hatinya telah dicengkam oleh kecemasan. Bukan karena dirinya sendiri. Tetapi justru karena nasib Putera Mahkota yang seakan-akan telah diserahkan kepadanya. Kalau orang yang menyebut dirinya bernama Kiai Kisi ini benar-benar orang yang tidak terkalahkan, dan kemudian berhasil menangkap putera Mahkota, maka persoalan yang semula merupakan semacam suatu alat pendadaran ini, akan menjadi suatu bencana yang sebenarnya bagi Anusapati.
Dalam kecemasan itu ia mendengar Kiai Kisi berkata, “Jangan menyesal, bahwa kalian telah terjebak dalam sarang harimau. Kalian mungkin menyangka bahwa gerombolan perampok dipadukuhan kecil itu sama sekali tidak berarti sehingga kalian telah membawa Putera Mahkota itu kemari. Tetapi bagaimana-pun juga kalian menyesal, namun kalian tidak akan mendapat kesempatan lagi untuk meninggalkan tempat ini.”
“Jangan mengigau,” bentak Senapati itu, “dengan satu isyarat aku akan dapat memanggil pasukan datang saat ini.”
“Jangan kau kira bahwa aku tidak akan terbuat serupa. Aku akan dapat memanggil para perampok yang tinggal di atas bukit kecil ini. Mereka masih belum seluruhnya tertidur. Mereka akan segera menyiapkan kawan-kawan mereka dan langsung menuju ketempat ini. Sebagian dari mereka sedang dalam keadaan agak mabuk sehingga mereka pasti akan bertempur membabi buta. Nah, apakah kira-kira pasukanmu akan mampu melawan para perampok yang sedang mabuk itu?”
“Tentu. Mereka akan dihancurkan sama sekali bersama kau dan muridmu.”
“Lucu sekali kedengarannya. Tetapi yang sekarang berhadapan adalah kita. Kau bertiga dan kebetulan sekali aku juga bertiga. Tetapi bertiga bagimu sama sekali tidak berarti. Kedua kawanku hanya akan menjadi penonton. Aku sendiri yang akan berkelahi membinasakan kalian bertiga. Nah, terserahlah kepada kalian, apakah kalian percaya atau tidak. Kalau kalian tidak percaya, marilah kita coba. Sedangkan kalau kalian percaya, kalian dapat memanggil kawan-kawan kalian untuk mati bersama selain putera Mahkota itu.”
Senapati itu tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi merah padam karena marah. Yang terdengar kemudian adalah gemeretak giginya.
“Aku akan segera mulai, bersiaplah,” berkata Kiai Kisi.
Senapati itu masih tetap berdiam diri. Tetapi ia sudah menyiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan yang segera akan terjadi. Namun demikian ia tidak segera berhasrat memanggil orang-orangnya. ia akan menjajagi dahulu ketangguhan lawannya. Hanya dalam keadaan yang memaksa ia akan memberikan isyarat, asalkan dalam keadaan demikian tidak justru akan mengacaukan anak buahnya yang sedang menunggunya, apalagi di antara mereka terdapat Putera Mahkota.
Selagi Senapati itu merenung sejenak, Kiai Kisi berkata kepada kedua pembantunya, “Menyingkirlah. Lihat sajalah bagaimana aku membunuh ketiganya dengan caraku. Tetapi kalau salah seorang dari mereka sempat memberikan isyarat kepada kawan-kawannya, salah seorang dari kalian kembali ke padukuhan untuk memanggil kawan-kawanmu kemari. Kita musnakan semua orang yang datang kemari selain Putera Mahkota yang akan menjadi tawanan kita, yang dapat kita jadikan alat pemeras yang bagi Sri Rajasa yang berkuasa di Singasari. Sebelum kita puas memeras Sri Rajasa putera Mahkota tetap kita biarkan hidup. Tetapi apabila kita sudah jemu memerasnya, maka anak itu akan kita bunuh saja."
Kemarahan dihati Senapati itu sudah tidak tertahankan lagi. Tiba-tiba saja ia meloncat menyerang Kiai Kisi dengan garangnya. Namun ternyata Kiai Kisi benar-benar seorang yang pilih tanding. Meskipun serangan Senapati itu tiba-tiba saja meluncur seperti tatit, namun Kiai Kisi sempat mengelak sambil tertawa. Katanya, “He, ternyata prajurit Singasari dapat juga berbuat licik, yang menyerang dengan tiba-tiba sebelum memberitahukan lebih dahulu kepada lawannya.”
Tetapi Senapati itu tidak peduli. Ketika ia sadar bahwa serangannya tidak menyentuh sasarannya, maka ia-pun segera mempersiapkan serangan berikutnya. Kedua prajurit sandi yang menyertainya itu-pun tidak tinggal diam saja melihat Senapatinya sudah mulai. Keduanya-pun segera berloncatan pula menyerang dengan cepatnya.
Namun Kiai Kisi berhasil mengelak serangan-serangan mereka dengan mudahnya. Bahkan dengan gerakan yang sederhana, hampir tidak dapat dilihat dengan mata telanjang didalam keremangan malam, ia telah menyerang lawannya pula. Sebuah pukulan yang tidak begitu keras telah mengenai punggung Senapati dari Singasari itu sehingga ia terdorong jatuh menelungkup. Untunglah bahwa kedua kawannya cepat melakukan serangan beruntun sehingga Kiai Kisi itu harus menghindarinya.
Kesempatan itu agaknya telah dipergunakan baik-baik oleh Senapati yang terjatuh itu. Dengan cepat ia melenting berdiri dan mempersiapkan diri menghadapi setiap kemungkinan berikutnya. Apalagi kini tangannya telah menggenggam senjatanya. Sebilah pisau belati panjang di tangan kanannya dan sebuah pisau pendek di tangan kirinya. Demikian juga kedua prajurit sandi itu. Mereka-pun telah menggenggam pisau belati di tangan masing-masing.
“Kalian memang ingin mati secepat-cepatnya,” desis Kiai Kisi. Lalu, “Tetapi ternyata aku berkeputusan sebaliknya. Kalian harus mati perlahan-lahan karena kalian telah berani melawan Kiai Kisi dalam suatu perkelahian. Penghinaan itu harus kalian tebus dengan harga yang mahal sekali.”
Senapati Smgasari itu menggeram. Sejenak ia berdiri tegak bagaikan patung, sedang kedua kawannya-pun telah siap pula menghadapi lawannya yang aneh ini. Namun, dalam pada itu, masih ada dua orang lagi yang berdiri disebelah arena. Dua orang kawan Kiai Kisi yang masih belum berbuat apa-apa. Seperti yang diperintahkan oleh Kiai Kisi, maka keduanya itu hanya sekedar melihat apa yang akan terjadi di arena.
Sejenak kemudian, maka Kiai Kisi itu berkata, “He prajurit-prajurit Singasari. Kalau kalian bersedia menyerahkan Putera Mahkota tanpa peperangan, maka kalian akan mendapat pengampunan. Kalian akan aku lepaskan untuk kembali ke Singasari. Kalau kelak kau akan digantung di alun-alun, itu bukan salahku. Justru atasanmu sendirilah yang tidak menaruh belas kasihan kepadamu dengan seluruh pasukanmu.”
“Persetan,” Senapati itu menggeram. Berbareng dengan itu maka ia-pun telah meloncat menyerang Kiai Kisi itu pula, diikuti oleh kedua kawannya berturut-turut.
Bagaimana-pun juga tiga orang prajurit pilihan dari Singasari itu tidak dapat diabaikannya. Serangan yang datang berurutan itu telah membuat Kiai Kisi sibuk menghindarinya. Namun ia-pun kemudian tidak membiarkan dirinya terus-menerus menghindar dan menghindar. Akhirnya datang juga saatnya ia mulai menyerang lawan-lawannya.
Agaknya ketiga prajurit Singasari itu bukan pula prajurit kebanyakan. Yang seorang adalah pemimpin pasukan kecil yang mendapat kepercayaan untuk membawa Putera Mahkota bersamanya, sedang yang dua orang adalah petugas-tugas sandi yang terpilih. Itulah sebabnya, maka Kiai Kisi masih juga memerlukan waktu untuk menguasai ketiganya. Bahkan ternyata bahwa perkelahian yang terjadi di antara mereka-pun menjadi semakin lama semakin seru.
“Kalian ternyata sangat memuakkan,” geram Kiai Kisi, “aku terpaksa berbuat lebih banyak lagi. Jangan kalian sangka bahwa aku sudah sampai pada puncak ilmuku.”
Ketiga prajurit Singasari itu tidak menjawab sama sekali. Mereka justru menyerang semakin dahsyat. Berurutan seperti gelombang laut yang satu-satu membentur batu-batu karang dipantai. Ternyata bahwa Kiai Kisi tidak hanya sekedar berbicara. Tandangnya menjadi semakin lama semakin mantap, sehingga segera tampak bahwa ketiga prajurit Singasari itu yang justru prajurit pilihan, telah terdesak.
Senapati Singasari itu menjadi ragu-ragu untuk bertindak selanjutnya ketika ia sadar, bahwa lawannya benar-benar seorang yang pilih tanding. Bahkan ia menjadi sangat cemas akan nasib Putera Mahkota. Di dalam perkelahian yang telah menjadi berat sebelah, meskipun ia bertempur betiga bersama kedua prajurit sandi itu, ia membayangkan, bagaimanakah kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, baik bagi pasukan kecilnya mau-pun baik Putera Mahkota yang ada di antara mereka.
Sekilas Senapati itu melihat dua orang kawan Kiai Kisi yang masih berdiri menonton perkelahian itu, sehingga dengan demikian Senapati itu sempat membuat perhitungan, bahwa tiga orang itu akan mampu melawan paling sedikit lima orang termasuk dirinya sendiri bersama kedua petugas sandi itu. “Keadaan yang sama sekali tidak diperhitungkan sebelumnya,” ia bergumam di dalam hatinya.
Karena itu, ia benar-benar telah dicengkam oleh kebimbangan. Apakah ia akan memanggil kawan-kawannya, atau ia akan mencoba bertempur terus bersama kedua orang petugas sandi itu. Kalau ia bertempur terus, maka hampir dapat dipastikan bahwa ia bersama kedua petugas sandi itu akan terbunuh. Hal itu tidak akan banyak memerlukan pertimbangan seandainya dengan demikian Putera Mahkota akan dapat di selamatkan. Tetapi agaknya bagaimana-pun juga, akan sulitlah bagi Putera Mahkota untuk membebaskan diri.
Dalam kebimbangan itulah, maka Kiai Kisi menjadi semakin menguasai ketiga orang prajurit itu. Bahkan, sekali-sekali serangan Kiai Kisi telah berhasil menyentuh lawannya. Namun senjata ditangan prajurit-prajurit itu telah berhasil menahan serangan-serangan Kiai Kisi yang terlampau cepat bagi mereka.
Senapati yang semakin terdesak itu masih belum segera dapat menentukan sikapnya terhadap pasukannya. Ia sadar, bahwa Kiai Kisi tidak akan sekedar menakut-nakutinya apabila kedua kawannya atau salah seorang daripadanya akan memanggil kawan-kawannya yang meskipun sebagian dari mereka sedang mabuk. Namun melawan para perampok bersama Kiai Kisi dan kedua kawannya yang masih belum dijajagi kemampuannya itu, agaknya pasukannya akan menjumpai kesulitan.
Dalam kebimbangan itu para prajurit Singasari mendengar Kiai Kisi berkata, “He, kenapa kalian masih belum memanggil kawan-kawanmu. Panggillah agar aku segera dapat menyelesaikan pekerjaan ini. Aku-pun akan memanggil muridku dan orang-orangnya untuk segera menangkap Putera Mahkota.”
Senapati Singasari itu hanya dapat menggeram. Dicobanya untuk mengerahkan kemampuannya. Tetapi ia sama sekali tidak berdaya menghadapi Kiai Kisi yang memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari mereka bertiga.
“Ternyata kalian tidak mau memanggil kawan-kawan kalian. Apakah kalian menyangka bahwa dengan demikian mereka akan dapat lolos dari tangan kami? Sayang, bahwa segala cara yang akan kau tempuh tidak akan dapat menyelamatkan pasukanmu dan Putera Mahkota. Kamilah yang akan menentukan nasib kalian yang malang itu, sehingga secara kebetulan kalian telah menjumpai kami diantara perampok-perampok yang kalian cari, yang kalian anggap telah mengganggu ketenteraman Singasari itu. Namun yang terjadi ternyata sebaliknya. Kalianlah yang akan hancur dan Putera Mahkota akan menjadi tawanan kami,” Kiai Kisi itu-pun kemudian tertawa berkepanjangan.
Senapati itu menggeretakkan gigi. Dengan segenap kemampuannya ia menyerang Kiai Kisi bersama dua orang prajurit sandi yang menyertainya. Namun serangan-serangan itu tidak banyak berarti. Meskipun Kiai Kisi harus berloncatan menghindar namun serangan-serangan itu tidak akan dapat menentukan akhir dari pertempuran itu.
Demikianlah, maka makin jelas bahwa Kiai Kisi akan segera bisa mengakhiri perkelahian. Ketiga lawannya itu-pun menjadi semakin terdesak dan mulai membayang pula saat-saat terakhir dari perjuangan mereka yang gigih. Namun sampai saat-saat terakhir Senapati Singasari itu masih belum dapat memutuskan, apakah yang sebaiknya dilakukan atas anak buahnya. Sehingga dengan demikian maka Senapati itu-pun masih belum memberikan isyarat apa-pun juga.
Tetapi Senapati itu-pun menyadari keadaannya. Ia bersama kedua prajurit sandi itu tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi. Ketiganya pasti akan segera mengakhiri perlawanan. Dan apakah yang akan terjadi atas mereka, tergantung sekali kepada Kiai Kisi yang akan segera menguasai seluruh keadaan. Meskipun ketiga prajurit Singasari itu tidak berputus asa, namun mereka-pun mampu memperhitungkan keadaan, sehingga mereka sudah tidak berpengharapan lagi untuk dapat meninggalkan gelanggang.
Tetapi selagi Kiai Kisi sampai pada keputusan terakhir untuk membinasakan tiga orang lawannya itu, tiba-tiba ia sudah dikejutkan oleh suara tertawa dibalik sebuah gerumbul. Suara itu tidak begitu keras, namun seakan-akan langsung menusuk kepusat jantung.
“Kiai Kisi,” terdengar suara disela-sela tertawanya, “apakah kau benar-benar akan membunuh ketiga orang itu dan menangkap Putera Mahkota?”
Kiai Kisi tertegun sejenak. Tetapi bukan saja Kiai Kisi, ketiga lawannya-pun menjadi termangu-mangu pula karenanya. Sejenak kemudian mereka-pun melihat sesosok tubuh yang muncul dari balik gerumbul. Hampir seluruh wajahnya tertutup oleh selembar kain hitam, sedang pakaiannya yang membelit tubuhnya-pun tampak kusut dan tidak keruan. Kainnya membelit pinggang di sela-sela kain yang juga berwarna hitam. Dadanya yang telanjang tampak menengadah, seakan-akan tidak akan dapat dilukai dengan jenis senjata apa-pun juga. Kiai Kisi berdiri tegak ditempatnya. Wajahnya menjadi tegang dan nafasnya mulai memburu oleh perasaan heran yang menghentak-hentak dadanya.
“He, Kiai Kisi. Kenapa kau berdiri termangu-mangu seperti melihat hantu? Sudah lama kita tidak ketemu. Sekarang kesempatan yang aku tunggu-tunggu itu tiba. Aku dapat menciummu di tengah-tengah padang ilalang ini.”
“Siapa kau?“ terdengar Kiai Kisi berdesis.
“He, kau sudah lupa kepadaku?”
“Siapakah kau?”
“Aku Siluman Bayangan. Nah, kau ingat sekarang?”
Kiai Kisi mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia bergumam, “Nama itu aneh sekali. Aku belum pernah bertemu dengan jenis siluman apa-pun juga.”
Orang yang berkerudung itu tertawa. Katanya kemudian, “Mungkin kau sudah lupa akan janjimu duapuluh tahun yang lampau. Bahwa pada suatu saat kita akan bertemu lagi di medan perkelahian. Nah, sekarang waktu itu telah lewat beberapa hari. Sampai purnama terakhir, dua puluh tahun itu sudah lewat dua hari. Sampai sekarang yang duapuluh tahun itu sudah lewat delapan hari.”
Kiai Kisi mencoba mengingat-ingat. Tetapi ia tidak berhasil mengingat kembali waktu yang duapuluh tahun itu.
“Duapuluh tahun memang waktu yang lama. Tetapi pertemuan ini tidak akan sia-sia. Aku akan menuntut balas atas kekalahanku dahulu. Bahkan seandainya aku tidak terperosok kedalam jurang, kau pasti sudah membunuhku. Nah, niat membunuh itu kini telah tumbuh pula dihatiku. Yang akan terjadi hanyalah dua kemungkinan. Kau atau aku yang akan mati sekarang. Kita tidak akan sempat membuat janji lagi untuk dua-puluh tahun mendatang. Umur kita sudah semakin tua, dan duapuluh tahun lagi, kita tidak akan dapat lagi berdiri tegak di angin yang agak kencang.” Orang itu berhenti sejenak. Dipandanginya wajah Kiai Kisi yang tegang.
Namun kemudian Kai Kisi itu menggeram, “Agaknya kau memang orang gila. Namamu sudah nama orang gila. Aku tidak pernah mendengar nama serupa itu, bahkan yang sejenis dengan namamu itu sampai sekarang.”
“O, jadi namaku tidak sesuai dengan seleramu? Baik. Aku akan merubah namaku. Namaku yang sebenarnya adalah Dandang Kaluwat. Nah, apakah kau sudah ingat?”
Kiai Kisi berpikir sejenak. Lalu, “Persetan dengan namamu. Aku tidak perduli. Aku sudah lupa semuanya atau memang semua itu tidak pernah terjadi. Kalau sekarang kau sengaja membuat persoalan, marilah. Bersama dengan tiga orang itu, aku akan membunuhmu juga. Kau tidak perlu mengarang serangkaian ceritera tentang duapuluh tahun yang lalu. Kalau kau menyerang aku meskipun tanpa sebab, aku akan melawan dan membunuhmu tanpa persoalan duapuluh tahun atau seratus tahun yang lalu.”
“O. Begitu? Jadi kau samakan Dandang Kaluwat dengan tiga orang anak-anak manis ini? Memang sayang kalau mereka terbunuh. Apalagi mereka adalah pengawas-pengawas Putera Mahkota.”
Orang itu terdiam sejenak lalu, “aku tidak berkepentingan dengan ketiga orang itu. Sekarang aku akan membunuhmu. Habis perkara. Aku juga tidak mau mengenang kekalahanku duapuluh tahun yang lampau. Kekalahan yang memalukan sekali dari seorang Dandang melawan sejenis Kisi yang mabuk ini.”
Kiai Kisi menjadi tegang. Tetapi ia tidak berhasil mengingat nama Dandang Kaluwat itu, sehingga akhirnya ia memutuskan bahwa nama itu memang belum pernah didengarnya. Karena itu maka katanya, “Ayo Dandang Kaluwat kalau kau ingin mulai, marilah segera mulai bersama dengan ketiga prajurit ini. Atau kau sebenarnya juga seorang prajurit yang menyamar?”
“Aku tidak mau diganggu apabila aku sudah turun ke arena. Karena itu, aku minta waktu beberapa saat saja untuk berkelahi melawan Kiai Kisi.” lalu ia berpaling kepada ketiga prajurit Singasari itu, “silahkan beristirahat. Aku akan bertempur seorang melawan seorang sebagai layaknya seorang Dandang Kaluwat. Kalau kalian masih ingin bertempur, uruslah yang dua orang itu. Kalian dapat menangkapnya dan membawanya ke Singasari bersama-sama kawannya yang lain. Kalian akan segera dapat menyelesaikan tugas kalian tanpa diganggu lagi oleh Kiai Kisi yang tamak ini.”
Kemarahan Kiai Kisi telah sampai ke puncak ubun-ubunnya, sehingga karena itu ia berteriak, “jangan banyak bicara. Aku sudah siap membunuhmu.”
Orang yang menyebut dirinya bernama Dandang Kaluwat itu-pun segera mempersiapkan dirinya. Selangkah ia maju. Namun ia masih sempat berkata, “Jangan ganggu aku. Kalau dua orang kawan Kiai Kisi itu akan berbuat aneh-aneh, tangkaplah mereka.”
Senapati Singasari yang seolah-olah justru membeku itu sadar ketika Kiai Kisi tiba-tiba saja telah menyerang Dandang Kaluwat. Namun Dandang Kaluwat ternyata cukup tangkas untuk menghindarinya. Sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam perkelahian. Namun kali ini Kiai Kisi tidak sekedar melawan tiga orang prajurit yang mempunyai kemampuan jauh di bawah kemampuannya. Kini ia bertempur melawan seseorang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat, yang ternyata memiliki ilmu yang cukup kuat untuk melawannya.
Senapati bersama dua orang petugas sandi dari Singasari itu-pun bergeser beberapa langkah surut. Sejenak mereka memandang dua orang kawan Kiai Kisi yang agaknya sedang memperhatikan perkelahian yang sedang terjadi itu. Perkelahian yang benar-benar merupakan perkelahian yang semakin lama semakin seru.
Kiai Kisi yang dibakar oleh kemarahan menyerang Dandang Kaluwat seperti banjir bandang. Beruntun tidak henti-hentinya. Ia ingin segera menyelesaikan perkelahian itu sebelum ketiga prajurit Singasari itu berusaha melarikan diri. Tetapi agaknya lawannya sama sekali tidak membiarkannya berbuat seperti rencananya. Lawannya yang menyebut diri bernama Dandang Kaluwat itu mampu bergerak sedahsyat angin prahara yang melandanya bertubi-tubi.
Baik Senapati dan kedua petugas sandi dari Singasari, mau-pun kawan-kawan Kiai Kisi, telah dicengkam oleh kekaguman atas perkelahian yang telah terjadi itu. Ternyata Kiai Kisi yang pilih tanding itu kini mendapat lawan yang mampu mengimbanginya. Bahkan bukan saja mengimbanginya, tetapi mampu memaksa Kiai Kisi untuk sekali-sekali meloncat surut.
Memang terasa oleh Kiai Kisi bahwa lawannya semakin lama menjadi semakin garang. Ilmu yang dipergunakan oleh Dandang Kaluwat adalah ilmu yang membingungkan baginya. Tampaknya ilmu itu tidak memiliki kekuatan yang dapat dibanggakan. Namun didalam benturan-benturan yang terjadi, ternyata bahwa Kiai Kisi selalu terdesak surut.
“Gila,” geramnya didalam hati, “siapakah orang ini sebenarnya?”
Namun dalam pada itu, orang yang menyebut dirinya bernama Dandang Kaluwat dan menutup wajahnya dengan sepotong kain hitam itu-pun heran melihat tandang Kiai Kisi. Semakin lama justru menjadi semakin kasar. Bahkan kadang-kadang orang itu telah berbuat sesuatu diluar dugaan. Didalam perkelahian yang kedua-duanya tidak mempergunakan senjata itu, orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu-pun segera melihat, bagaimana Kiai Kisi percaya kepada kekuatan jarinya.
Dengan garangnya Kiai Kisi kadang-kadang meloncat menerkam seperti seekor harimau. Kedua tangannya terjulur kedepan, sedang jarinya yang mengembang siap untuk mencengkam tubuh lawannya.
“Aku pernah melihat cara dan unsur-unsur gerak seperti ini,” katanya di dalam hati.
Sambil bertempur orang yang menyebut dirinya bernama Dandang Kaluwat itu mencoba mengingat-ingat, dimana ia mengenal tata gerak yang demikian. Agaknya ia menjadi ragu-ragu ketika ia kemudian teringat, bahwa ia pernah melihatnya justru di istana Singasari. Untuk menyakinkan pengamatannya, maka Dandang Kaluwat itu-pun segera memperdahsyat serangan-serangannya. Tangannya bergerak dan terayun dari segala arah, seperti berpuluh-puluh pasang tangan yang bergerak bersama-sama.
Dalam keadaan yang sulit itu. Kiai Kisi telah mengerahkan segenap kemampuannya, yang seperti diduga oleh orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu, semakin lama menjadi semakin kasar. Dengan penuh keragu-raguan ia bergumam didalam hatinya, “Tohjaya. Tata gerak ini pernah aku lihat pada anak itu.” Namun kemudian, “tetapi apa mungkin bahwa keduanya memiliki ilmu serupa. Atau setidak-tidaknya bersumber pada cabang ilmu yang sama?”
Pertanyaan itu telah berputar-putar di kepalanya. Namun ia menjadi semakin pasti, bahwa ilmu itu senada dengan ilmu yang dipelajari oleh Tohjaya dari gurunya yang diliputi oleh rahasia, yang tugasnya sehari-hari justru penasehat Ayahanda Sri Rajasa di istana Singasari. Dan dari penasehat ayahandanya itulah Tohjaya menyadap ilmu yang kasar dan kadang-kadang menjadi seakan-akan liar. Seperti juga Kiai Kisi yang mulai terdesak itu-pun menjadi liar pula.
Dengan demikian maka orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu-pun menjadi semakin cermat mengamati tata gerak lawannya. Hampir setiap unsur gerak yang khusus selalu diingatnya baik-baik. Tata gerak yang pernah tampak pada Tohjaya maupun yang belum.
Sejenak kemudian maka perkelahian itu-pun menjadi semakin nyata bagi mereka yang menyaksikannya. Kiai Kisi, yang merasa dirinya tidak terkalahkan itu semakin terdesak surut. Betapa ia berusaha mempertahankan dirinya, tetapi lawannya memang memiliki beberapa kelebihan yang tidak teratasi. Meskipun Dandang Kaluwat itu sama sekali tidak mengimbangi kekasaran Kiai Kisi yang hampir menjadi buas itu, namun ia sanggup menguasai setiap gerak dan sikapnya. Kiai Kisi akhirnya tidak dapat mengelakkan diri dari kenyataan itu, sehingga segenap kemampuannya telah diperasnya habis-habisan.
Dalam pada itu, kedua kawannya-pun menjadi cemas melihat perkembangan dari perkelahian itu. Orang yang menamakan diri Dandang Kaluwat dan tiba-tiba saja masuk ke arena pertempuran, telah membuat segala-galanya berubah. Semua rencana yang telah disusun menjadi pecah. Sejenak kemudiannya masih tetap berdiam diri. Sekali-sekali disambarnya ketiga prajurit Singasari dengan tatapan matanya yang penuh kebimbangan. Mereka berdua telah melihat ketiganya bertempur melawan Kiai Kisi. Sehingga dengan demikian mereka-pun telah dapat menjajagi, betapa ketiganya adalah prajurit-prajurit yang benar-benar memeluk tugas keprajuritannya.
“Persetan,” tiba-tiba salah seorang dari kedua orang kawan Kiai Kisi itu menggeram didalam hatinya, “ketiga orang itu harus dibinasakan dahulu. Baru aku dapat membantu Kiai Kisi melawan iblis yang tiba-tiba saja telah mengganggu itu,” dengan satu isyarat ia mengajak kawannya segera berbuat.
Dan agaknya kawannya-pun mempunyai perhitungan yang serupa pula. Karena itu, maka keduanya-pun segera beringsut dari tempatnya perlahan-lahan. Mereka berharap bahwa geraknya tidak menumbuhkan kecurigaan, sehingga dengan serta-merta mereka dapat menyerang dan menjatuhkan lawannya.
Tetapi ternyata ketiga prajurit Singasari itu-pun bukan kanak-anak lagi yang sedang terpesona melihat sepasang penari di malam peralatan. Karena itu, gerak kedua kawan Kiai Kisi itu telah menimbulkan kecurigaan pula kepada mereka. Dengan diam-diam ketiganya mempersiapkan dirinya. Mereka masih membawa senjata-senjata mereka di tangan. Namun mereka masih belum beringsut dari tempatnya. Sejengkal demi sejengkal kedua kawan Kiai Kisi itu beringsut terus, semakin lama semakin dekat dengan ketiga prajurit Singasari. Meskipun nampaknya ketiga prajurit itu tidak menghiraukan mereka, namun mereka sudah bersiap menghadapi setiap kemungkinan.
Ketika kedua orang itu merasa waktunya telah tiba, dengan satu isyarat pula, tiba-tiba saja keduanya telah meloncat menyerang dengan garangnya. Tetapi tidak seperti yang mereka duga, ketiga prajurit itu telah siap menyambut serangannya. Dengan tangkasnya mereka menghindar dan bahkan dengan cepat pula mereka-pun berganti menyerang. Justru kedua kawan Kiai Kisi itulah yang terkejut. Sejenak mereka menjadi bingung. Namun sejenak kemudian mereka telah berhasil menguasai keadaan dan kebingungan didalam diri masing-masing, sehingga keduanya-pun segera menjadi mapan.
Prajurit-prajurit Singasari itu tidak merasa lagi terikat pada sikap perang tanding. Apalagi setelah kedua orang itu menyerang dengan diam-diam, mereka seakan-akan merupakan prajurit-prajurit di medan perang. Siapa yang lengah, ialah yang akan binasa. Tidak seperti tata kehormatan di dalam perang tanding yang beradu dada dan selalu menyerang dengan sikap jantan.
Demikianlah maka kedua kawan Kiai Kisi itu-pun segera terlibat di dalam perkelahian yang seru melawan ketiga prajurit Singasari itu. Ternyata keduanya juga bukan orang-orang kebanyakan. Keduanya agaknya murid-murid yang terpercaya pula dari Kiai Kisi di samping muridnya yang menjadi kepala perampok yang bersembunyi di padukuhan itu.
Kai Kisi sendiri yang terlibat didalam perkelahian yang berat, masih sempat juga sejenak melihat perkelahian yang terjadi. Ia memang berharap bahwa kedua murid-muridnya itu dapat segera mengalahkan lawannya. Namun, ketiga prajurit Singasari itu-pun bukan pula prajurit yang dipungutnya dari antara para pengawal dipadukuhan-padukuhan. Ketiganya adalah prajurit pilihan, dan bahwa seorang di antaranya adalah prajurit yang sudah mendapat kepercayaan memimpin pasukan kecil yang membawa Putera Mahkota, sedang dua yang lain adalah prajurit sandi yang terpercaya.
Itulah sebabnya maka kedua orang itu tidak segera dapat menguasai lawannya. Bahkan perkelahian di antara mereka itu menjadi kian sengit. Ketiga prajurit yang tidak mampu melawan Kiai Kisi itu kini berjuang mati-matian untuk melawan dua orang muridnya. Namun kemudian ternyata bahwa di dalam perkelahian yang demikian, dua orang kawan Kiai Kisi yang menurut tata geraknya adalah murid-muridnya itu, memiliki beberapa kelebihan dari ketiga prajurit Singasari itu. Geraknya yang kasar dan liar, kadang-kadang membuat lawan-lawannya menjadi bingung, dan bahkan ngeri dan berdebar-debar. Tetapi mereka sadar, bahwa apabila mereka terpengaruh oleh perasaan itu, maka akhirnya mereka akan benar-benar dicincang oleh kedua orang yang buas itu.
Karena itulah maka mereka-pun segera berjuang mati-matian untuk mempertahankan dirinya. Ketiganya berusaha untuk bertempur sebaik-baiknya melawan kedua orang itu, tanpa menempatkan diri dalam suatu ikatan perlawanan. Ketiganya bertempur isi mengisi dan berusaha melawan kekasaran kedua lawannya itu dengan kecepatan bergerak. Sekali-sekali mereka berputar-putar, namun tiba-tiba mereka menyerang berganti-ganti.
Agaknya usaha itu sedikit memberikan pengaruh. Kecepatan bergerak ketiga prajurit Singasari itu agaknya berhasil mengurangi tekanan-tekanan dari kedua orang yang semakin lama menjadi semakin ganas karena kemarahan yang melanda dinding jantung mereka. Tetapi untuk mengalahkan ketiga prajurit Singasari yang terpilih itu memang tidak terlampau mudah. Mereka memerlukan waktu dan perjuangan yang cukup berat.
Namun dalam pada itu Kiai Kisi sendiri semakin lama menjadi semakin terdesak. Ia tidak mempunyai kesempatan untuk menyerang. Betapa liarnya cara yang dipakainya, tetapi justru karena itu, maka ia-pun segera kehilangan kemantapannya untuk melawan serangan-serangan orang yang menyebut dirinya bernama Dandang Kaluwat itu. Sekilas ia mencoba menuai perkelahian dua orang kawan-kawannya. Namun keduanya-pun agaknya masih memerlukan waktu yang lama, meskipun keduanya tidak terdesak.
Kehadiran orang yang menyebut dirinya bernama Dandang Kaluwat itu benar-benar di luar perhitungan Kiai Kisi. Dengan demikian, rencananya untuk menangkap Putera Mahkota semakin lama menjadi semakin pudar. Ia tidak akan dapat menggunakan Putera Mahkota untuk memeras kerajaan. Ia tidak akan dapat berbuat apa-apa seperti yang diinginkannya apabila Putera Mahkota itu ada di tangannya. Dalam kecemasannya itu, masih juga terngiang segala janji yang pernah didengarnya. Rencana yang tidak saja disusunnya sendiri. Namun kenyataan yang dihadapinya benar-benar di luar dugaan.
“Apakah aku memang dijebak dengan cara ini?” ia menggeram di dalam hatinya, “atau iblis ini memang mempunyai kepentingan sendiri, yang kebetulan bersamaan waktunya, atau iblis ini memang berkepentingan pula dengan Putera Mahkota?”
Demikianlah maka akhirnya Kiai Kisi sampai pada suatu kesimpulan, bahwa ia harus mempergunakan ilmu pamungkasnya. Ia harus mempergunakan aji yang diandalkan selama ini untuk menyelesaikan kesulitan yang timbul didalam setiap pertempuran melawan siapa-pun juga. Biasanya, setiap orang yang tidak dapat dikalahkannya dengan kemampuan wantahnya. akan segera dibinasakan dengan aji pamungkasnya. Agaknya orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu-pun harus dihancurkannya dengan ilmu tertingginya, sehingga tubuhnya akan robek tersayat-sayat.
“Apa boleh buat. Ia harus menyesali kesombongannya,” berkata Kiai Kisi didalam hatinya.
Demikianlah, ketika Kiai Kisi benar-benar tidak mampu lagi melawan kecepatan gerak orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat, maka ia-pun segera mempersiapkan dirinya untuk melepaskan aji pamungkasnya. Dengan suatu loncatan yang jauh ia berusaha mendapat kesempatan sesaat, untuk membangunkan kekuatan tertingginya. Orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat, yang berusaha memburunya tiba-tiba tertegun ketika ia melihat Kiai Kisi telah bersikap dan pemusatan segenap kekuatan yang ada di dalam dirinya.
“O,” berkata Dandang Kaluwat, “kau pergunakan aji pamungkasmu?”
Kiai Kisi tidak menjawab. Tetapi ia sudah berhasil membangunkan kekuatannya. Orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu termangu-mangu sejenak. Tetapi ia-pun tidak mau hancur berkeping-keping oleh kekuatan aji lawannya, sehingga ia-pun harus melawannya pula dengan kekuatan tertingginya.
Kedua kawan Kiai Kisi yang bertempur melawan ketiga prajurit Singasari sempat melihat, bahwa Kiai Kisi sudah bersikap. Karena itu, mereka-pun menjadi berdebar-debar. Mereka sandar, bahwa Kiai Kisi benar-benar tidak mampu melawan orang yang menyebut dirinya bernama Dandang Kaluwat itu dengan tenaga wantahnya, sehingga ia harus membinasakannya dengan kekuatan terakhir yang disimpannya.
“Sebentar lagi orang yang menamakan dirinya Dandang Kaluwat itu pasti akan remuk. Tulang-ulangnya akan berpatahan dan darahnya akan memancar seperti air di dalam belanga yang terbanting di atas batu hitam.” mereka berkata kepada diri sendiri. Meskipun Kiai Kisi adalah gurunya dan bahkan keduanya adalah orang-orang yang liar pula, tetapi kematian yang demikian, adalah kematian yang paling mengerikan.
“Setelah orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu, akan datang gilirannya ketiga orang ini,” salah seorang dari mereka meneruskan di dalam hatinya, “kalau Kiai Kisi sudah marah, dan sekali membangun aji pamungkasnya, maka setiap lawan akan mengalami nasib yang serupa.”
Terbayang dirongga matanya burung-burung gagak yang besok siang akan beterbangan mengitari padang ilalang ini. Karena bau darah dan daging yang berceceran. “Mungkin juga setiap prajurit Singasari yang lain, kecuali putera Mahkota.”
Demikianlah pertempuran itu kian menjadi tegang. Bahkan kedua kawan Kiai Kisi itu hampir tidak sempat lagi melayani lawannya, karena ia ingin melihat, apa yang akan terjadi kemudian atas orang yang menamakan diri Dandang Kaluwat. Tetapi lawan-lawannya, ketiga prajurit Singasari itu-pun mulai tertarik pula kepada akhir dari perkelahian mati-matian antara Kiai Kisi dan orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat. Mereka-pun mengerti pula, bahwa Kiai Kisi sudah sampai pada puncak tertinggi dari ilmu terakhirnya.
Itulah sebabnya maka mereka-pun menjadi tegang pula, sehingga mereka tidak lagi menyerang lawan-lawannya dengan bersungguh-sungguh. Bahkan kemudian seakan-akan mereka telah berhenti bertempur untuk mendapat kesempatan melihat apa yang telah terjadi.
Dalam pada itu Kiai Kisi-pun sudah siap untuk menghantamkan ilmu terakhirnya. Namun pada saat itu, orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu-pun telah memusatkan segenap akal budinya. Maka terbangunlah suattu kekuatan yang dahsyat yang kemudian telah siap untuk menerima kekuatan tertinggi dari Kiai Kisi. Dan kekuatan yang tersalur lewat anggauta-anggauta badan orang yang menamakan dirinya Dandang Kaluwat itu adalah kekuatan yang tiada terkira, yang di sebut aji Gundala Sasra.
Kiai Kisi melihat juga orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu sedang berusaha mempertahankan dirinya. Tetapi Kiai Kisi yakin, bahwa tidak ada kekuatan yang akan mampu menahan kekuatan pamungkasnya. Betapa-pun dahsyatnya ilmu yang dimiliki lawannya, namun aji pamungkasnya adalah kekuatan yang tidak ada duanya di muka bumi.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Kiai Kisi telah meloncat untuk melontarkan kekuatan ajinya. Sambil berteriak nyaring tangannya terayun tepat mengarah ke kepala Dandang Kaluwat. Tetapi orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu-pun telah siap pula. Ia-pun segera mengimbangi serangan lawannya, meloncat sambil mengayunkan tangannya pula, yang telah dilambarinya aji Gundala Sasra.
Sejenak kemudian terjadilah benturan yang dahsyat antara dua kekuatan raksasa. Dua kekuatan yang hampir tidak ada bandingnya. Seperti beradunya petir di udara, maka kedua kekuatan raksasa itu telah menimbulkan akibat pada kedua orang yang telah melontarkannya.
Ternyata kekuatan kedua aji itu hampir berimbang. Meskipun kekuatan aji Gundala Sasra memiliki beberapa kelebihan, tetapi agaknya orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu masih belum menguasainya dengan sempurna. Sehingga dengan demikian, maka kedua orang itu-pun segera terlempar beberapa langkah surut. Seperti Kiai Kisi, maka orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu-pun terbanting di tanah dan berguling berapa kali.
Namun ternyata bahwa ketahanan tubuh mereka benar-benar luar biasa. Hampir berbareng pula mereka meloncat bangkit. Dan hampir berbareng pula mereka telah siap untuk melepaskan serangan-serangan berikutnya dengan kekuatan aji yang mereka miliki masing-masing. Tetapi sikap orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat agak berbeda. Tampaknya ia menjadi bertambah tegang. Tangannya yang bersilang di dada menjadi bergetar dan seolah-olah tanah-tanah di bawah kakinya yang sedikit merendah, tidak kuat lagi menahan berat tubuhnya.
Ternyata bahwa orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu kini benar-benar telah memeras segenap kemampuan yang di dalam hidupnya sehari-hari terpendam di bawah kehendaknya. Kini, dalam keadaan yang sangat genting, semuanya itu telah diungkit oleh kehendak yang terpusat dengan segenap akal budi dan keyakinan.
Orang yang menamakan dirinya Dandang Kaluwat itu-pun kemudian tidak sekedar menyiapkan aji Gundala Sasra untuk melawan serangan lawannya, tetapi juga unsur-unsur kekuatan aji Kala Bama yang telah luluh di dalam suatu pancaran sikap dan perbuatan. Itulah sebabnya, maka orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu menjadi gemetar, karena kekuatan itu sendiri memang kekuatan yang hampir tidak terdukung olehnya.
Dan sejenak kemudian terjadilah saat-saat yang mendebarkan itu. Sekali lagi Kiai Kisi meloncat untuk melepaskan serangannya. Ia-pun berusaha untuk membangunkan segenap kekuatan yang masih ada di dalam dirinya. Tetapi kali ini kekuatannya telah membentur luluhnya dua kekuatan yang dahsyat tiada taranya. Aji Gundala Sasra dan aji Kala Bama. Karena itu, maka alangkah malangnya nasib Kiai Kisi. Meskipun lawannya masih belum mampu menguasai kesempurnaan luluhnya dua kekuatan itu, namun benturan itu telah melemparkannya beberapa langkah surut.
Sekali lagi ia terbanting di tanah. Tetapi kali ini terasa betapa dadanya menjadi sakit dan sesak. Seakan-akan tulang-ulang iganya telah tertindih oleh beratnya Gunung Semeru. Karena itu, maka sejenak Kiai Kisi menggeliat. Namun sejenak kemudian ia tidak kuasa lagi menahan himpitan didadanya, sehingga ia-pun menjadi pingsan.
Dalam pada itu, lawannya yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu-pun terduduk di tanah untuk beberapa saat. Terasa tubuhnya menjadi seberat timah dan nafasnya seakan-akan terputus dikerongkongan. Dengan serta-merta ia memusatkan segenap sisa dan tenaganya, untuk mencoba mengatasi kesulitan di dalam dirinya itu, sehingga perlahan-lahan nafasnya telah mengalir kembali, meskipun masih tersengal-sengal.
Sementara itu, kelima orang yang menyaksikan itu, berdiri seakan-akan membeku. Mereka melihat dua kekuatan raksasa yang telah beradu. Dan kini mereka sedang menunggui akibat dari benturan kekuatan raksasa itu. Namun akibat dari benturan itu, telah menumbuhkan kecemasan dan kebingungan yang amat sangat pada dua orang kawan Kiai Kisi yang masih tegak ditempatnya. Mereka tidak menyangka bahwa hal yang demikian itu dapat terjadi. Bagi mereka Kiai Kisi adalah kawan, guru dan orang yang paling dikagumi. Selama ini mereka belum pernah menemui kekuatan yang apalagi melebihi, bahkan mengimbangi-pun tidak.
Tetapi ternyata kini mereka menyaksikan kenyataan itu. Kiai Kisi yang bagi mereka adalah kawan, guru dan kebanggaan sekaligus itu, terkapar di tanah tanpa dapat berbuat sesuatu setelah kekuatannya membentur kekuatan orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat. Tetapi kedua orang itu tidak dapat menyebutkan, kekuatan apakah yang sebenarnya tersimpan di dalam diri Dandang Kaluwat.
Dalam kebingungan itu mereka melihat Dandang Kaluwat duduk di tanah sambil memusatkan segenap sisa tenaganya. Ia sedang berjuang untuk menemukan keseimbangan didalam dirinya, mengatur pernafasannya dan mengatasi segala macam akibat dari benturan yang dahsyat itu. Sejenak keduanya termangu-mangu. Namun tiba-tiba salah seorang memberikan isyarat kepada yang lain, sehingga tiba-tiba saja keduanya meloncat menyerang orang yang menamakan diri Dandang Kaluwat itu.
Tetapi untunglah, bahwa ketiga prajurit Singasari itu tidak lengah. Demikian mereka melihat gelagat yang mencurigakan, mereka-pun segera bersiap, sehingga ketika mereka melihat kedua orang itu menyerang, maka mereka-pun segera berloncatan untuk menahan kedua orang itu. Sambil mengumpat habis-habisan kedua orang itu terpaksa menahan diri sejenak. Mereka terpaksa melayani ketiga prajurit Singasari yang menyerangnya itu dengan segenap kemampuan yang ada di dalam diri mereka.
Diantara mereka-pun segera terjadi pertempuran yang sengit pula. Mereka mengulangi perkelahian mereka dengan memeras segenap kemampuan. Ketiga prajurit Singasari itu seakan-akan kini mendapat tenaga baru setelah Kiai Kisi tidak berdaya lagi, sedang kedua lawannya bahkan dalam keadaan sebaliknya. Mereka mulai dirayapi kecemasan dan ketakutan, apabila nanti orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu telah menemukan kekuatannya kembali, maka keduanya tidak akan berarti apa-apa lagi baginya.
Dengan demikian, maka kedua orang yang semula menunjukkan beberapa kelebihannya itu, kini harus berjuang mati-matian agar mereka dapat mempertahankan diri. Berjuang melawan ketiga prajurit Singasari itu dan berjuang melawan kekecilan hati sendiri setelah Kiai Kisi tidak ada di antara mereka. Sejenak kemudian, selagi mereka bertempur mati-matian, maka orang yang menamakan dirinya Dandang Kaluwat itu telah mulai menemukan keseimbangan di dalam dirinya kembali. Segala jalur-jalur nafas dan darah telah berjalan seperti sediakala. Hanya kekuatannyalah yang masih belum pulih sama sekali, meskipun lambat laun, serasa mulai menjalari tubuhnya kembali bersama arus darahnya.
Sejenak kemudian orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu bangkit. Terhuyung-huyung ia berdiri sambil memandang perkelahian yang sedang berlangsung. Sambil menggeliat ia mengibas-ngibaskan tangan dan menggerakkan jari-jari tangannya. Kemudian dijulurkannya kedua kakinya berganti-ganti. Orang yang menyebut dirinya bernama Dandang Kaluwat itu menarik nafas dalam-dalam. Kesegaran angin malam membuat badannya menjadi segar. Sejenak kemudian ia-pun berpaling. Dilihatnya Kiai Kisi masih terbaring diam.
Setapak demi setapak ia berjalan mendekatinya. Ketika ia sudah berdiri disisinya, maka ia-pun kemudian berjongkok di samping tubuh Kiai Kisi itu. Sekilas ia masih memandang pertempuran yang masih berlangsung dengan serunya. Ia masih sempat menilai dan membuat perhitungan atas perkelahian itu. “Perkelahian itu masih akan berlangsung lama,” katanya didalam hati, “biarlah mereka menjadi lelah lebih dahulu.”
Orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu sama sekali tidak menghiraukannya lagi. Kini perhatiannya tertuju kepada orang yang pingsan dihadapannya. Perlahan-lahan orang yang menamakan dirinya Dandang Kaluwat itu memijit pundak Kiai Kisi. Kemudian bagian atas dari perutnya. Diangkatnya kedua tangannya perlahan-lahan kemudian sebuah sentuhan dipinggangnya, membuat Kiai Kisi mulai bergerak-gerak sedikit demi sedikit.
Tetapi ketika perlahan-lahan ia mulai membuka matanya, maka justru dari mulutnya mulai mengalir darah yang kehitam-hitaman pula. Dengan tubuh yang gemetar Kiai Kisi melihat dalam keremangan malam, bayangan yang samar-samar. Perlahan-lahan ia mencoba menggerakkan kepalanya. Tetapi ia sudah tidak mampu lagi mengangkatnya.
“Siapa kau?” desisnya.
“Dandang Kaluwat,” jawab orang yang berjongkok di sampingnya.
“Persetan,” Kiai Kisi menggeram.
“Kenapa?”
“Kau telah menggagalkan rencanaku. Aku ingin menangkap Putera Mahkota.”
“Siapa yang menyuruhmu?”
“Setan alas. Tidak ada. Aku memang ingin menangkap Putera Mahkota itu. Dimana Putera Mahkota itu sekarang?” Kiai Kisi mencoba untuk bangkit, tetapi tenaganya sudah lenyap sama sekali, sehingga ia-pun telah terjatuh kembali, berbaring di atas tanah yang berdebu.
Orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu mengerutkan keningnya. Dilihatnya darah yang sudah mulai mengental meleleh di bibir Kiai Kisi. Ternyata bahwa benturan yang terjadi telah merusakkan bagian dalam tubuhnya. Benturan antara kekuatannya melawan luluhnya aji Gundala Sasra dan aji Kala Bama walaupun belum sempurna.
“Kalau ia harus melawan kekuatan yang lebih sempurna, maka ia tidak akan dapat bertahan untuk hidup beberapa tarikan nafas saja,” berkata orang berkerudung itu di dalam hatinya.
Tetapi dalam keadaannya, Kiai Kisi masih mengigau, “Dimana Putera Mahkota? Aku akan menangkapnya.”
“Apakah kau pernah melihat Putera Mahkota?”
“Ya. Aku pernah melihat Putera Mahkota.”
“Dimana?”
“Di Istana Singasari.”
Orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu terkejut sehingga dengan serta-merta ia bertanya, “Apakah kau pemah masuk kedalam istana Singasari?”
“Ya. Aku pernah masuk dan melihat wajah Putera Mahkota.”
“Siapa kau sebenarnya dan dengan siapa kau berhubungan?” desis orang yang menamakan dirinya Dandang Kaluwat.
Tetapi Kiai Kisi justru menggeram. Sekali ia menggeliat lalu suara menjadi lemah, “Aku adalah Kiai Kisi. Aku berhubungan dengan setiap orang di istana. Apa pedulimu? Sekarang dimana Putera Mahkota? Dimana? Aku akan menangkapnya.”
Orang berkerudung hitam itu termenung sejenak. Namun kemudian dilihatnya tubuh Kiai Kisi menjadi semakin lemah. Bukan maksudnya untuk membunuh orang itu. Tetapi akibat dari benturan yang dahsyat itu, agaknya jiwanya tidak dapat tertolong lagi. Karena itu, maka orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu menjadi semakin dekat. Perlahan-lahan ia berbisik, “Kau mencari Putera Mahkota?”
Kiai Kisi yang sudah memejamkan matanya tiba-tiba terbelalak lagi, “Ya. Aku akan membunuhnya sama sekali.”
Perlahan-lahan orang yang menamakan dirinya Dandang Kaluwat membuka kerudung hitam di wajahnya sambil membelakangi perkelahian yang sedang terjadi. Perlahan-lahan ia berkata, “Kiai Kisi, inilah Putera Mahkota.”
Mata Kiai Kisi menjadi semakin terbelalak. Samar-samar ia masih melihat wajah itu. Wajah yang sebenarnya memang pernah dilihatnya. “Ya. Ya. Kau, kau Putera Mahkota itu,” desisnya.
“Dan kita telah bertempur secara jantan.”
“Tetapi, tetapi kenapa kau mampu melawan kekuatanku yang tertinggi?”
Orang berkerudung hitam yang sebenarnya adalah Anusapati itu tidak segera menjawab. Sementara Kiai Kisi masih berbicara, katanya, “Bukankah Putera Mahkota adalah seorang anak muda yang malas dan dungu, yang tidak mampu berbuat apa-apa? Tetapi kenapa kau mempunyai kekuatan aji yang dapat melampaui kekuatanku?”
Anusapati mengerutkan keningnya. Lalu sekali lagi ia mendesak, “Dengan siapa kau berhubungan?”
Kiai Kisi memandang Putera Mahkota itu dengan mata yang semakin suram, “Aku telah dijebak.”
“Ya. Kau sudah dijebak. Siapa yang menjebakmu? Siapakah yang telah menipumu untuk bertempur melawan Putera Mahkota? Seandainya kita tidak bertemu sekarang, besok, kita akan berhadapan pula. Dan kau akan mati dihadapan orang-orangmu. Nah, katakan, siapa yang telah menipu dan menjebakmu mempertemukan kau dengan Putera Mahkota, yang akan berarti kematianmu?”
Kiai Kisi mencoba menahan nafasnya yang memburu. Ia masih menggeliat. Tetapi wajahnya telah menjadi sepucat kapas. “Aku, aku…“ suaranya terputus-putus.
“Siapa? Sebut namanya.”
Kiai Kisi menggerakkan bibirnya. Tetapi kemudian kepalanya tersentak. Kiai Kisi telah menarik nafasnya yang terakhir.
Anusapati-pun menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah Kiai Kisi yang membeku. Ia telah meninggal selagi ia akan mengucapkan sebuah nama Nama yang pasti sudah dikenal oleh Anusapati. “Ternyata ada usaha untuk menjebakku disini,” desis Anusapati, “pasti orang istana yang mengetahui rencana perjalananku. Pasti orang yang pernah berhubungan dengan lingkungan keprajuritan, atau mendengar keputusan ayahanda untuk mengirim aku kemari bersama sepasukan kecil prajurit-prajurit ini.”
Anusapati tiba-tiba menggeram. Namun sejenak kemudian ia sadar akan keadaannya saat itu. Karena itu, maka dikenakannya kembali kerudung hitamnya. Perlahan-lahan ia berdiri dan melangkah mendekati arena. Sejenak ia melihat perkelahian yang menjadi semakin seru. Meskipun ketiga prajurit Singasari itu kini berhasil bertahan namun tidak dapat diharap bahwa mereka akan segera memenangkan perkelahian.
Apalagi sepeninggal Kiai Kisi, maka murid beserta anak buahnya pasti akan berbuat sesuatu. Karena itu, menurut perhitungan Anusapati, pertempuran tidak akan dapat ditunda lagi. Prajurit Singasari harus menyergap malam ini juga selagi sebagian orang-orang yang tinggal dipadukuhan itu sedang dilelahkan oleh kesibukan mereka menerima kedatangan Kiai Kisi, serta makan minum yang berlebih-lebihan.
Karena itu, maka Anusapati yang telah mendapatkan seluruh kekuatannya kembali itu-pun melangkah perlahan-lahan mendekati arena sambil berkata, “Aku tidak sengaja membunuhnya. Tetapi Kiai Kisi telah meninggal.”
Berita itu benar-benar telah mengejutkan kedua kawan-kawannya itu. Bahkan kemudian serasa kekuatan mereka telah susut sebagian sehingga perlawanan mereka tidak akan banyak berarti lagi. Tetapi ternyata mereka juga tidak segera menyerah. Mereka masih berusaha menguasai perasaan mereka, agar mereka masih dapat melakukan perlawanan atas ketiga prajurit Singasari itu, dan bahkan orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat. Namun perlawanan mereka semakin lama menjadi semakin tidak terarah karena kegelisahan yang semakin memuncak.
Dalam pada itu Anusapati yang masih memakai kerudung hitam itu-pun berkata, “Kalau mungkin, kalian harus menangkap keduanya hidup-hidup. Kalian memerlukan kedua orang itu untuk mendengar keterangannya tentang Kiai Kisi dan para perampok dipadukuhan itu. Mungkin masih ada orang lain yang berdiri di belakang mereka atau masih ada orang lain yang menggurui mereka, sehingga masih memungkinkan timbul akibat-akibat yang berkepanjangan.”
Ketiga prajurit Singasari yang sedang bertempur itu tidak menyahut. Tetapi mereka sependapat dengan Dadang Kaluwat, untuk menangkap keduanya hidup-hidup. Namun untuk melakukannya agaknya tidak begitu mudah. Meskipun kedua orang itu sudah tidak mempunyai banyak harapan, tetapi untuk menangkap mereka hidup-hidup, agaknya memang terlalu sulit.
Ternyata orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu dapat mengerti kesulitan ketiga prajurit Singasari itu, sehingga setelah merenung sejenak, maka ia-pun melangkah mendekati arena. Diikutinya perkelahian itu dengan saksama, seakan-akan ia ingin mengetahui setiap gerak dari kedua belah pihak. Namun tanpa diduga-duga, orang yang menyebut dirinya Dandang Kaluwat itu meloncat memasuki arena dan langsung menyentuh tubuh kedua orang kawan Kiai Kisi itu.
Sentuhan itu ternyata menentukan akhir dari perkelahian mereka. Sejenak mereka terhuyung-huyung. Namun kemudian terasa nafas mereka menjadi sesak. Dengan demikian, maka mereka tidak mampu lagi bergerak selincah perlawanannya yang sebelum terjadi sentuhan itu.
“Sekarang, kalian tidak akan mendapatkan kesulitan lagi untuk menangkap mereka hidup-hidup. Bawalah mereka ketempat yang agak jauh. Kemudian, sebelum para perampok itu menyadari apa yang telah terjadi, lakukanlah rencana kalian,” berkata orang berkerudung itu.
Senapati prajurit Singasari yang ikut didalam pertempuran itu ingin menjawab. Tetapi orang yang menamakan diri Dandang Kaluwat itu telah meloncat meninggalkan mereka dan sejenak, kemudian hilang di dalam kegelapan. Kini tinggal kedua orang kawan Kiai Kisi yang sudah menjadi semakin payah itu. Mereka seakan-akan tidak lagi dapat berbuat apa-apa ketika serangan-serangan merekutnya melanda mereka, sehingga sejenak kemudian mereka-pun jatuh terduduk dengan lemahnya.
Ketiga prajurit Singasari itu tidak menemui kesulitan lagi untuk menangkap mereka. Meskipun mereka mencoba untuk meronta, tetapi akhirnya mereka harus membiarkan kedua tangan masing-masing diikat di belakang dengan ikat kepala mereka sendiri.
“Jangan mencoba berbuat sesuatu yang dapat membahayakan jiwamu sendiri.”
Keduanya tidak menjawab. Namun terdengar mereka menggeram. Kedua kawan Kiai Kisi itu menjadi heran terhadap diri mereka sendiri yang seolah-olah menjadi tidak bertenaga sama sekali.
“Apa yang telah dilakukan oleh orang berkerudung itu?” mereka bertanya kepada diri mereka sendiri. Tetapi mereka tidak dapat menemukan jawabnya...