Petualang Asmara Jilid 04

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Episode Petualang Asmara Jilid 04 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Petualang Asmara Jilid 04

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
KUN LIONG menanti sebentar, melihat ayam yang meronta-ronta dan memekik-mekik itu mulai lemas, dan beberapa kali moncong ular itu bergerak ke depan secara mendadak, memaksa tubuh korbannya masuk makin dalam, kemudian dengan gerakan ringan Kun Liong langsung meloncat ke dekat kepala ular, menubruk dan merangkul leher ular yang menegakkan kepalanya, menggunakan jari tangannya mengerahkan semua tenaga untuk memijat dan memukul tengkuk ular.

Bau yang amis dan wengur membuatnya muak, dan melihat moncong ular yang besar itu dia merasa ngeri juga. Apa bila moncong ular itu tidak penuh dengan ayam yang mulai ditelan berikut bulu-bulunya, tentu dia yang menjadi korban dan kiranya ular itu tidak akan menghadapi kesukaran untuk menelan tubuhnya bulat-bulat.

Ular itu marah sekali, akan tetapi karena dia tidak dapat menyerang dengan mulutnya yang penuh ayam, dia hanya mempergunakan tubuhnya untuk membelit. Pukulan pada tengkuknya mendatangkan rasa nyeri dan ketika Kun Liong akhirnya berhasil menotok urat kelemahan binatang itu di tengkuk, tubuh ular itu telah berhasil pula membelit tubuh Kun Liong, menggunakan tenaga dari ekornya!

Kun Liong menggunakan lengannya melindungi leher karena dia maklum bahwa apa bila sampai lehernya terbelit dan tercekik, dia tidak akan dapat melepaskan diri lagi dan tentu akan mati. Dia berhasil melindungi leher, akan tetapi pinggang, kedua kaki, dada, dan lengannya terhimpit dan terbelit, membuat dia sukar bernapas dan tidak dapat bergerak!

Saat melihat betapa kepala dusun dan anak buahnya yang menyaksikan keadaannya itu datang mendekat dengan senjata di tangan, siap membantunya, Kun Liong menggeleng kepala dan berkata, "Jangan...!"

Dia merasa khawatir sekali karena kalau orang-orang itu menyerbu lantas melukai ular besar ini, tentu ular itu akan makin marah dan memperkuat libatannya dan hal ini berarti ancaman maut baginya.

Untung bahwa kepala dusun itu seorang yang cukup cerdik untuk dapat mengerti bahwa kalau keadaan anak itu terancam bahaya, tidak mungkin anak itu menolak untuk dibantu. Maka dia memberi isyarat kepada anak buahnya untuk diam, dan mereka itu kini hanya memandang dengan mata terbelalak penuh kekhawatiran dan melihat Kun Liong bergulat dalam usahanya membebaskan diri dari belitan tubuh ular yang licin dan amat kuat itu. Biar pun tubuh bagian leher setengah lumpuh, namun tenaga dari ekornya masih sangat kuat dan agaknya ular itu hendak membuat tubuh Kun Liong remuk dengan himpitannya.

Kun Liong maklum bahwa keadaannya berbahaya. Biar pun dia telah berhasil memukul tengkuk ular itu sehingga untuk sementara ular itu tidak dapat menelan tubuh ayam dan mulutnya takkan menggigitnya, akan tetapi tenaga pukulannya tidak cukup kuat sehingga ular itu hanya akan lumpuh untuk beberapa saat lamanya saja. Bila mana ular itu dapat memulihkan kembali tenaganya, menelan tubuh ayam tadi dan mulutnya sudah kosong, tentu dia tidak akan tertolong lagi. Sekali gigit dia akan mati dan tubuhnya akan ditelan perlahan-lahan ke dalam perut yang besar itu.

Kembali Ilmu Sia-kut-hoat yang pernah dipelajarinya dari ayahnya dia pergunakan untuk menolong dirinya. Dengan menggunakan ilmu ini, biar pun perlahan-lahan karena belitan ular itu betul-betul amat kuat, akhirnya Kun Liong dapat membebaskan kedua lengannya. Ekor ular itu ikut membelit ke pinggangnya, maka mudah baginya untuk menangkap ekor ular itu dan dengan sekuat tenaga dia menarik dan membetot bagian ekor ular itu sampai terdengar bunyi suara tulang berkerotok, tanda bahwa sambungan tulang di ekor itu telah terlepas!

Karena kedua ujung tubuhnya yang menjadi serupa pegangan dan pusat tenaganya telah menjadi lumpuh, ular itu lalu kebingungan. Tubuhnya bergerak-gerak lemah dan otomatis libatannya menjadi kendur sehingga dengan mudah Kun Liong dapat melepaskan diri dan meloncat keluar dari lilitan tubuh ular yang melingkar-lingkar.

"Dia sudah dapat kujinakkan!" katanya kepada orang-orang yang menonton dengan heran dan kagum. Akan tetapi karena tubuh ular besar itu masih bergerak-gerak, orang-orang itu masih merasa takut dan tidak berani datang mendekati.

"Dia tidak akan dapat menggigit atau melilit lagi. Kita ikat leher dan ekornya, bawa pulang ke dusun. Dagingnya enak sekali! Juga kulitnya amat berharga" kata Kun Liong.

Kakek Lo menjadi orang pertama yang melompat ke depan mendekati ular. Dia mengulur tangan menepuk-nepuk kepala ular itu dan pada saat melihat betapa ular itu sama sekali tidak menyerangnya, dia tertawa terkekeh-kekeh sehingga semua orang menjadi berani. Beramai-ramai mereka mengikat ular itu dengan tali yang memang sudah mereka bawa dari dusun.

Kun Liong lalu menangkap-nangkapi ular-ular beracun kecil sampai belasan ekor lebih. Kini sambil memanggul ular yang sudah diikat dan membawa ular-ular berbisa kecil yang sudah lumpuh, penduduk dusun yang dipimpin kepala kampung itu tertawa-tawa gembira dan penuh kebanggaan, berjalan beriring hendak keluar dari dalam hutan.

"Mudah saja untuk mengusir ular-ular dari hutan ini," Kun Liong sibuk memberi penjelasan kepada kepala dusun. "Cuwi dapat mempergunakan bubukan garam untuk mengusir ular. Ular-ular itu paling takut karena garam dapat mencelakakan mereka, menjadi racun yang merusak kulit mereka. Pertama-tama Cuwi sebarkan garam di bagian hutan yang dekat dusun, atau dapat juga dipergunakan api untuk membakar semak-semak. Pasti binatang-binatang itu akan lari ketakutan dan tidak akan berani datang kembali, mereka akan mencari tempat persembunyian lain yang lebih aman."

Tiba-tiba rombongan itu berhenti berjalan ketika terdengar suara yang mirip suara suling, akan tetapi aneh sekali, tidak seperti suling biasanya. Jelas bahwa suara itu keluar dari sebuah alat tiup macam suling, hanya suaranya melengking terus tanpa pernah berhenti sedikit pun dan nadanya naik turun, kalau naik menjadi tinggi sekali sampai hampir tidak terdengar lagi dan seperti menusuk-nusuk telinga, tapi kalau turun menjadi amat rendah seperti gerengan seekor harimau yang menggetarkan jantung.

"Suara apakah itu...?" Kun Liong bertanya.

Tetapi dia tidak memerlukan jawaban lagi ketika menoleh dan melihat betapa orang-orang itu saling pandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat, kemudian mereka menahan seruan kaget pada saat mendengar suara mendesis-desis dari sekeliling mereka, disusul munculnya puluhan, bahkan ratusan ekor ular besar kecil yang mengurung mereka!

Tadinya ular-ular itu bergerak dan mendesis-desis akan tetapi tiba-tiba suara melengking itu berubah pendek-pendek seperti memberi aba-aba dan... ular-ular itu lalu berhenti, tak bergerak seperti mati!

"Apa... apakah ini...?" Kun Liong kembali bertanya, memandang ke sekeliling dan bergidik melihat betapa ular-ular itu memang telah mengurung mereka, agaknya datang dari empat penjuru hutan itu dan seolah-olah binatang-binatang itu terlatih sehingga dapat melakukan pengurungan yang rapat dan rapi! Tentu suara suling aneh itu yang mengatur ‘barisan’ ular ini. Diam-diam dia kagum bukan main.

Suara melengking menghilang dan dapat dibayangkan betapa kaget hati penduduk dusun itu ketika tiba-tiba saja, entah dari mana dan bagaimana datangnya, tahu-tahu di hadapan mereka sudah berdiri seorang laki-laki yang luar biasa.

Dia adalah seorang kakek berusia lima puluh tahun. Pakaiannya lorek-lorek seperti kulit ular, tubuhnya kurus tinggi dan lehernya sangat panjang, kepalanya lonjong. Benar-benar seorang manusia yang bentuk tubuhnya sangat ‘mendekati’ bentuk ular!

Tangan orang ini memegang sebuah benda yang bentuknya seperti suling, akan tetapi ujung bagian depan besar dan terbuka seperti corong, agaknya sebuah alat tiup terompet yang aneh. Di punggungnya tampak gagang sebatang pedang.

"Hahhh! Siapa kalian ini yang berani mati sekali mengganggu anak buahku, mengganggu binatang peliharaanku! Lepaskan mereka!"

Tiba-tiba ia menggetarkan tangan kanannya ke depan. Ujung lengan bajunya menyambar ke depan dan... semua ular yang dipegang oleh rombongan itu langsung terlepas karena mereka, termasuk juga Kun Liong, tiba-tiba merasa ada angin menyambar dan membuat lengan mereka seperti kehilangan tenaga dan lumpuh untuk beberapa detik lamanya!

Kepala dusun dan para anak buahnya sudah berdiri menggigil, bahkan ada yang saking takutnya sudah menjatuhkan diri berlutut. Kun Liong teringat dengan cerita Kakek Lo dan Akian yang pada saat itu sudah berlutut pula, yaitu cerita tentang ular-ular hutan itu yang katanya ada yang memelihara. Kiranya cerita itu bukan cerita bohong belaka karena kini benar-benar ada seorang manusia aneh yang mengakui ular-ular itu sebagai anak buah dan peliharaannya!

Dia lalu teringat pula akan penuturan ibunya bahwa di dunia kang-ouw banyak terdapat manusia-manusia aneh yang memiliki kepandaian tinggi dan memiliki kesaktian. Maka kini melihat orang aneh yang sekali menggerakkan tangan mampu membuat mereka semua terpaksa melepaskan ular-ular yang ditangkapnya tadi, Kun Liong dapat menduga bahwa tentu orang ini adalah seorang di antara manusia-manusia sakti di dunia kang-ouw. Cepat dia melangkah maju dan memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan di depan dada sambil berkata,

"Locianpwe (Orang Tua Perkasa), harap Locianpwe tidak menyalahkan para penduduk dusun ini, mereka tidak berdosa karena akulah yang telah menangkap ular-ular ini."

Sejenak manusia aneh itu memandang ke arah ular-ular yang hanya mampu bergerak lambat, termasuk ular besar yang telah setengah lumpuh, kemudian menoleh kepada Kun Liong dan memandang dengan heran. "Ular-ularku ditotok dan dilumpuhkan! Engkau yang melakukan ini? Dari mana engkau memperoleh ilmu menangkap ular?"

"Pernah kupelajari dari orang tuaku sendiri."

"Hemmm, kalian manusia-manusia jahat dan lancang, sungguh berani melumpuhkan dan menangkapi ular-ularku! Kalian tak berhak hidup lagi karena kalian telah berani menghina Ban-tok Coa-ong!"

Mendengar ini, kepala dusun menjatuhkan diri berlutut, diturut oleh semua anak buahnya. "Harap Locianpwe sudi mengampunkan kami..."

"Hemmm, barang kali aku bisa mengampuni, akan tetapi ular-ularku ini pasti tidak!" kata kakek itu sambil terkekeh, sikapnya kejam sekali.

Kun Liong menjadi marah. Dia melangkah maju lagi dan berkata, "Locianpwe yang telah memiliki nama julukan sedemikian menyeramkan tentu bukanlah seorang manusia biasa, melainkan tokoh besar di dunia kang-ouw. Apakah Locianpwe tidak malu dan tidak akan ditertawakan orang-orang gagah sedunia kalau Locianpwe membunuh orang-orang dusun yang tidak mampu melawan?"

Kembali kakek itu tercengang memandang wajah Kun Liong. Sikap dan ucapan bocah ini benar-benar membuat dia kaget, heran, dan kagum.

"Kalian telah mengganggu ular-ularku, karena itu sudah pantas dihukum. Siapa yang akan mentertawakan aku?"

"Locianpwe adalah seorang manusia, aku tidak percaya bahwa Locianpwe lebih sayang kepada ular dari pada kepada manusia, membela ular dan memusuhi manusia!" kembali Kun Liong membantah penuh penasaran.

"Ho-ho-ho-ha-ha-ha! Aku disebut Coa-ong (Raja Ular), siapa lagi kalau bukan aku yang membela ular-ular ini? Aku tidak sudi dimasukkan dalam kelompok manusia! Ular-ular ini jauh lebih baik dari pada manusia!"

"Locianpwe agaknya lupa bahwa ular-ular berbisa telah membunuh banyak manusia, dan merupakan binatang ganas yang berbahaya bagi manusia!" Kun Liong membantah terus, suaranya sama sekali tidak membayangkan rasa takut, bahkan terdengar nyaring penuh penasaran.

"Apa kau bilang?" Kakek itu. mencoba untuk melebarkan matanya, akan tetapi hasilnya, sepasang matanya itu bertambah sipit hampir terpejam sama sekali. Lehernya yang amat panjang bergerak-gerak makin memanjang sehingga kelihatannya lucu sekali. Lengannya yang panjang dan dapat bergerak seperti ular merayap itu menudingkan telunjuk tangan ke arah Kun Liong.

"Jangan memutar balikkan kenyataan, ya? Kau hanya mengingat manusia yang terbunuh oleh ular-ular, sama sekali tak ingat akan ular-ular yang terbunuh oleh manusia! Mungkin perbandingannya tidak ada seratus lawan satu, seratus ekor ular sudah dibunuh manusia dan baru seorang manusia yang terbunuh oleh ular! Hal itu pun terjadi karena si manusia mengganggu ular, jika tidak, tak mungkin ada ular menyerang manusia, kecuali ular besar yang menyerang apa saja kalau sudah lapar karena membutuhkan penyambung hidup. Sedangkan manusia-manusia macam engkau ini, menangkap dan membunuh ular untuk apa? Tanpa makan ular kalian masih dapat hidup. Kau bilang ular-ular itu berbahaya bagi kehidupan manusia, bukankah itu terbalik dan sesungguhnya, manusia-manusia macam kalian inilah yang amat berbahaya bagi kehidupan ular?"

Muka Kun Liong menjadi merah sekali. Di dalam hati anak yang masih belum rusak benar oleh kepalsuan-kepalsuan seperti manusia dewasa, dia dapat menerima pendapat kakek aneh itu dan dalam kewajarannya, dia mau tidak mau harus membenarkan pendapat itu. Akan tetapi maklum bahwa nyawa kepala dusun beserta anak buahnya terancam bahaya maut, dia segera membantah,

"Biar pun pendapat Locianpwe tak dapat kusangkal kebenarannya, akan tetapi Locianpwe adalah seorang manusia, tak mungkin Locianpwe hendak mengorbankan nyawa manusia untuk membela ular!"

"Memang aku raja ular! Bergaul dengan ular jauh lebih menyenangkan dari pada bergaul dengan manusia-manusia yang palsu!"

Kakek itu segera mendekatkan ujung terompetnya ke bibir sehingga terdengarlah suara melengking yang dahsyat sekali, yang membuat Kun Liong dan semua penduduk dusun itu menggigil kedua kakinya dan tidak dapat melangkah pergi dari tempat mereka berdiri seolah-olah kaki mereka menjadi lumpuh!

Ternyata bahwa suara terompet itu bukanlah suara biasa, tapi suara yang mengandung getaran dahsyat sekali dari tenaga khikang dan diam-diam Kun Liong terkejut bukan main. Pernah dia mendengar dari ayah bundanya akan kesaktian ini. Hanya orang yang sudah memiliki sinkang amat kuat saja yang dapat mengerahkan tenaga dalam suara sehingga melumpuhkan lawan!

Pernah ia merasakan getaran khikang dari suara nyanyian tosu Pek-lian-kauw, yaitu Loan Khi Tosu, akan tetapi getaran yang terkandung dalam suara tosu itu tidaklah sedahsyat suara terompet ini sehingga dia bahkan masih dapat mengacau nyanyian tosu itu dengan nyanyiannya.

Pernah ayahnya mendemonstrasikan suara melengkingnya yang mengandung khikang, akan tetapi agaknya kekuatan khikang ayahnya juga tidak sehebat dan sedahsyat suara yang terkandung dalam tiupan suling aneh ini!

Empat belas orang itu, Kun Liong, Kakek Lo, Akian, kepala dusun dan sepuluh orang anak buahya, hanya berdiri bagaikan arca dengan mata terbelalak lebar memandang ke arah ular-ular yang kini maju merayap menghampiri mereka! Dapat dibayangkan betapa ngeri dan takut rasa hati mereka, akan tetapi mereka tak dapat menggerakkan kaki untuk melarikan diri, bahkan bibir mereka yang bergerak-gerak tidak dapat mengeluarkan suara, hanya terdengar ah-ah-uh-uh dan ada di antara mereka yang sudah mengeluarkan air mata saking takutnya.

Hanya Kun Liong seorang yang berdiri tenang karena dia sama sekali lupa akan keadaan diri sendiri, lupa akan bahaya yang mengancam nyawanya sendiri, dan yang menjadi perhatiannya hanyalah keadaan orang-orang yang terancam bahaya maut itu. Di dalam hatinya dia merasa menyesal bukan main. Semua ini terjadi gara-gara dia! Kalau dia tidak menangkap ular-ular itu agaknya kakek iblis Ban-tok Coa-ong takkan membunuh mereka!

Rasa penasaran dan penyesalan yang besar ini membuat dia sejenak lupa sama sekali akan suara melengking dari terompet sehingga dia terbebas dari pengaruh khikang dan berteriak keras,

"Kakek iblis! Jangan bunuh mereka! Kalau mau bunuh, bunuhlah aku karena akulah yang menangkap ular-ularmu. Mereka tidak berdosa!"

Kembali kakek itu tercengang. Dalam perantauannya di dalam dunia kang-ouw, sebagai seorang di antara lima datuk persilatan yang terkenal, sudah banyak dia bertemu dengan orang gagah, bukan hanya gagah karena tinggi ilmu kepandaiannya, akan tetapi gagah karena berjiwa satria, seorang yang tidak gentar menghadapi maut dan yang selalu siap mengorbankan nyawa untuk orang lain. Akan tetapi, selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan seorang kanak-kanak yang usianya baru sepuluh tahun sudah memiliki jiwa satria seperti ini!

Dia benar-benar tercengang, terheran, dan merasa kagum bukan main. Aihhh, kalau saja puteranya bersikap seperti anak ini, pikirnya. Dia menarik napas panjang dan menjadi marah karena iri hati kepada ayah anak yang gagah perkasa itu.

Melihat betapa ular-ular itu sudah tiba dekat sekali di depan kaki para penduduk dusun, Kun Liong yang sudah terbebas dari suara terompet, melompat ke depan kakek itu sambil membentak,

"Kakek iblis, tidak malukah engkau? Sungguh engkau pengecut hina!"

"Plakkk!"

Secara tiba-tiba sekali tangan kiri kakek itu bergerak dan tubuh Kun Liong terguling dalam keadaan lumpuh karena dia telah tertotok secara aneh sekali. Dan kakek itu masih terus meniup terompetnya yang membuat ular-ular itu seperti mabok dan marah.

Mulailah ular-ular itu menyerang dan menggigit empat belas orang itu dan pada saat itu, Ban-tok Coa-ong menghentikan tiupan terompetnya sehingga orang-orang itu kini kembali dapat bergerak dan dapat berteriak-teriak.

Mereka berusaha melawan, akan tetapi mana mungkin melawan ular yang sedemikian banyaknya? Sedikitnya ada sepuluh ekor ular besar kecil menggigit tubuh setiap orang dan setiap gigitan saja sudah mengandung racun yang cukup untuk mencabut nyawa!

Hanya Kun Liong seorang di antara empat belas orang itu yang tetap tidak bergerak biar pun tubuhnya juga digigit beberapa ekor ular. Ada pun tiga belas orang yang lain, selain menjerit-jerit dan semakin lama suaranya berubah menjadi rintih memilukan, juga mereka berkelojotan dan bergulingan ke sana-sini sampai akhirnya mereka diam tidak bergerak, tubuh mereka bengkak-bengkak dan berwarna biru kehitaman!

Hal ini adalah karena di dalam tubuh Kun Liong sudah terdapat racun inti bisa ular. Ibunya yang sangat sayang kepada puteranya ini telah memberi minum obat yang mengandung racun anti bisa ular itu kepadanya semenjak kecil, sedikit demi sedikit sehingga kini Kun Liong telah menjadi kebal terhadap bisa ular. Gigitan-gigitan itu memang membuat bagian tubuh yang tergigit menjadi bengkak dan merah, tetapi racun ular itu tidak dapat menjalar ke dalam tubuhnya, tertolak oleh darahnya yang mengandung racun penolak hingga bisa ular itu hanya terkumpul di tempat gigitan.

Hal ini tak diketahui oleh Ban-tok Coa-ong. Ia tertawa-tawa dan bergembira menyaksikan orang-orang yang disiksanya itu. Kalau saja tidak ada sedemikian banyaknya orang yang dikeroyok ular-ularnya, andai kata hanya Kun Liong seorang, sebagai seorang ahli racun ular tentu saja Ban-tok Coa-ong akan dapat mengetahui keanehan ini.

Sekarang tidak terdengar suara lagi. Tubuh empat belas orang itu diam tak bergerak lagi, dan ular-ular itu sudah merayap pergi setelah para korbannya tidak bergerak lagi. Mereka itu bukanlah ular-ular pemakan bangkai dan mereka hanya menyerang untuk membunuh, didorong dan dirangsang oleh suara terompet.

"Ayahhh... jangan bunuh mereka dulu...!" Mendadak terdengar suara teriakan dan gema suara teriakan itu belum lenyap ketika tahu-tahu di situ telah berdiri seorang anak laki-laki berambut panjang sampai ke punggung dan dibiarkan terurai begitu saja. Anak ini paling banyak tiga belas tahun usianya, wajahnya tampan akan tetapi gerak matanya sangat mengerikan, seperti gerak bola mata seorang yang tidak waras otaknya!

"Bouw-ji (Anak Bouw), mau apa kau?" kakek itu bertanya, suaranya penuh dengan kasih sayang.

Akan tetapi anak laki-laki ini tidak menjawab hanya tertawa ha-ha-hi-hi, kemudian berjalan melihat-lihat tubuh empat belas orang yang menggeletak tak bergerak dengan muka biru menghitam itu. Hanya muka Kun Liong seorang yang tidak menjadi biru menghitam, cuma bengkak dan merah sedikit di pipi kanan bekas gigitan ular. Akan tetapi seperti juga tiga belas orang yang lain, dia roboh pingsan setelah tujuh kali digigit ular berbisa.

Kalau di dalam tubuh tiga belas orang itu, racun ular mengamuk dan mulai menjalar ke arah jantung, di dalam tubuh Kun Liong terjadi hal lain lagi. Racun ular bertemu dengan racun di dalam tubuhnya yang menolak sehingga terjadi pertempuran, namun racun ular kalah kuat dan hanya berhenti di tempat gigitan.

"He-he-hi-hi, Ayah. Kehebatan jarum-jarumku dengan racun baru belum pernah dicoba. Mereka ini hendak kujadikan kelinci percobaan, Ayah!" Anak berambut panjang itu sudah mengeluarkan sekepal jarum-jarum kecil yang berwama merah.

"Bodoh! Mereka sudah hampir mati, tidak ada gunanya. Untuk percobaan, harus memilih korban yang masih sehat," Ayahnya mencela.

"Hi-hi-hi, mereka belum mati dan dalam keadaan keracunan bisa ular mereka merupakan kelinci-kelinci percobaan yang amat menarik. Racun di jarumku ini lebih hebat dari pada racun ular, dan sekarang dapat dibuktikan, Ayah!"

Tanpa menanti jawaban lagi, anak itu menggerak-gerakkan tangan kanannya dan segera tampaklah sinar-sinar kecil menyambar ke arah tengkuk keempat belas orang yang roboh pingsan itu. Agaknya dia sengaja melempar jarum dengan tenaga kecil terukur sehingga jarum-larum itu hanya menancap setengahnya saja pada tengkuk empat belas orang itu. Kemudian, sambil tertawa-tawa anak itu meloncat ke dekat ayahnya dan mereka lantas berpelukan sambil memandang ke arah korban mereka, menanti apa yang akan terjadi.

Kun Liong siuman ketika merasa nyeri. Akan tetapi dia segera teringat akan keadaannya, maka dia diam saja tidak bergerak, apa lagi karena tiba-tiba dari tengkuknya menjalar hawa panas ke arah kepalanya, kemudian seluruh tubuhnya terasa panas dan sakit-sakit semua, membuat dia tidak dapat bergerak dan hanya dapat memandang dengan mata setengah terpejam, mengintai dari balik bulu matanya, melihat betapa kakek mengerikan itu kini berpelukan sambil tertawa-tawa dengan seorang anak laki-laki kecil yang tampan akan tetapi amat menyeramkan. Ketika ia mengerling ke arah tiga belas orang dusun, dia terkejut setengah mati dan bulu tengkuknya meremang, berdiri satu-satu saking ngerinya.

Apa yang terjadi dengan tiga belas orang itu benar-benar mengherankan dan mengerikan sekali. Bagaikan mayat-mayat hidup, tiga belas orang itu satu demi satu bangkit berdiri dengan gerakan kaku! Mereka itu benar-benar seperti mayat-mayat hidup dalam dongeng penakut kanak-kanak.

Muka mereka kehitaman, mata mereka melotot tak pernah berkedip, mulut mereka penuh busa, berlepotan di sekeliling bibir, napas mereka terengah-engah mengeluarkan suara ‘ngaak-ngiik’ seperti napas orang menderita penyakit mengi (asma). Kemudian, seperti ada sesuatu yang mendorong mereka dari belakang, tiga belas orang itu berlari kaku ke depan seperti orang berlomba, akan tetapi agaknya mereka lari secara ngawur, gerakan mereka kaku sekali dan arahnya tidak sama!

"He-he-hi-hi-hi...! Racunku menang, Ayah! Mengalahkan racun ular! Mari kita mengikuti mereka dan melihat!"

Anak berambut panjang itu bersorak dan meloncat, mengikuti ‘mayat-mayat hidup’ yang lari berpencar tidak karuan itu. Ban-tok Coa-ong menggeleng-geleng kepala dan terpaksa mengikuti puteranya.

Untung bagi Kun Liong karena ayah dan anaknya yang agaknya berotak miring itu tidak memperhatikannya sehingga tidak melihat keanehan bahwa di antara empat belas orang itu, hanya Kun Liong seoranglah yang tidak terpengaruh oleh racun merah. Melihat ayah dan anak itu pergi mengikuti para korban yang berubah mengerikan itu, Kun Liong lalu menggunakan sisa tenaganya untuk merangkak pergi dari situ, memasuki semak-semak dan terus merangkak-rangkak karena dia tidak kuat bangkit. Jauh juga dia merangkak, hingga akhirnya dia roboh terguling, pingsan di dalam semak-semak yang gelap.

********************

Ban-tok Coa-ong adalah nama julukan yang diberikan oleh orang-orang kang-ouw kepada kakek itu. Namanya adalah Ouwyang Kok, seorang pendatang baru di dunia kang-ouw, akan tetapi sungguh pun baru kurang lebih sepuluh tahun dia terjun ke dunia kang-ouw, namanya telah dikenal sebagai seorang di antara para datuk persilatan yang amat ditakuti orang pada waktu itu.

Tidak ada orang lain yang mengetahui asal-usulnya, akan tetapi kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, manusia aneh ahli ular ini turun dari pegunungan yang asing dan tidak pernah dikunjungi orang, di perbatasan Nepal, masuk ke Tiongkok menggendong seorang anak laki-laki yang berusia tiga tahun, kemudian membuat nama besar di dunia kang-ouw karena kepandaiannya yang sangat tinggi dan sepak terjangnya yang aneh. Akan tetapi, keganasannya terhadap mereka yang menantangnya, dan keahliannya bermain dengan ular, menghasilkan nama julukan Ban-tok Coa-ong (Raja Ular Selaksa Racun)!

Anak yang dibawanya itu adalah putera tunggalnya, bernama Ouwyang Bouw yang sejak kecil digemblengnya, namun karena cara hidup Ouwyang Kok tidak lumrah manusia dan penggemblengan terhadap anaknya pun terlalu hebat, maka anak itu memiliki watak yang aneh pula, seperti seorang yang agak miring otaknya!

Ibu anak itu, isteri tercinta dari Ouwyang Kok, telah meninggal dunia di sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Nepal, tewas sesudah digigit ular beracun yang sangat luar biasa sehingga tidak tertolong. Agaknya peristiwa inilah yang membuat Ouwyang Kok kini menjadi seorang ‘Raja Ular’!

Kini anak dan ayahnya itu berlari-lari sambil tertawa-tawa menyaksikan ulah para korban yang lari seperti mayat hidup. Suara tertawa mereka makin menjadi ketika mereka melihat beberapa orang di antara para korban yang lari kaku itu terjerumus ke dalam jurang, dan ada pula yang menabrak pohon terus memeluk pohon itu dan mati kaku dalam keadaan memeluk batang pohon, kedua kakinya melingkari batang pohon, sepuluh jari tangannya mencengkeram pohon dan mulutnya menggigit kulit pohon. Sungguh mengerikan!

Ada pula dua orang di antara tiga belas orang dusun yang belum roboh ke dalam jurang dan juga belum menabrak pohon, sesudah beberapa orang lagi roboh karena kakinya tersangkut akar kayu, roboh terus mencengkeram rumput-rumput sehingga akhirnya mati dalam keadaan seperti itu. Dua orang ini adalah Akian dan kepala dusun.

Agaknya mereka berdua mempunyai tubuh yang lebih kuat, maka dapat berlari kaku dan belum roboh. Kebetulan sekali mereka lari satu jurusan, yaitu ke jurusan dusun mereka! Mungkin juga masih ada sedikit sisa ingatan mereka untuk lari pulang ke dusun mereka.

Ketika mereka tiba di luar dusun, beberapa orang penduduk dusun yang merasa khawatir dan telah siap menyusul ke hutan, cepat berlari menyambut dua orang itu. Setelah dekat mereka itu berdiri bengong dan penuh rasa heran dan ngeri melihat betapa kepala dusun dan Akian berlari kaku seperti itu, muka mereka biru kehitaman, mata terbelalak tanpa berkedip dan kemerahan, mulut menyeringai penuh busa putih!

Keadaan menjadi geger dan terdengar jerit-jerit mengerikan ketika dua orang mayat hidup ini menubruk dan memeluk dua orang yang terdekat. Karena kaget dan heran, dua orang itu tidak sempat mengelak ketika mereka dipeluk oleh dua orang mayat hidup itu. Mereka hendak meronta, akan tetapi seluruh tubuh merasa panas, dan pada saat jari-jari tangan mencengkeram mereka, ketika gigi yang sekarang mengandung racun itu menggigit leher, mereka berdua menjerit-jerit, jerit yang makin melemah hingga akhirnya mereka berdua roboh terguling bersama mayat hidup yang menyerang mereka, tewas dalam keadaan masih berpelukan.

"Ha-ha-ha-ho-ho, lucu sekali...!"

"Hi-hi-hi, hebat bukan jarum-jarumku, Ayah?"

Para penduduk dusun terbelalak memandang ayah dan anak yang tahu-tahu telah berada di situ sambil tertawa-tawa. Melihat keadaan mereka, dan melihat peristiwa mengerikan yang menimpa diri kepala dusun, Akian, serta dua orang teman mereka yang menjadi korban, mereka menjadi ketakutan dan serta merta mereka melarikan diri masuk ke dalam dusun, menyeret keluarga mereka yang berada di luar rumah, memasuki rumah masing-masing, segera menutup pintu dan saling berpelukan dengan anak isteri dalam keadaan ketakutan sekali. Kedua kaki mereka menggigil dan mata mereka terbelalak lebar seperti mata kelinci-kelinci yang mencium bau harimau, mata mereka memandang ke arah pintu dan muka mereka pucat sekali.

Akan tetapi, agaknya Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dan puteranya sudah merasa puas, mereka bergandengan tangan dan pergi meninggalkan dusun itu. Tadinya mereka hanya berjalan dengan langkah perlahan, akan tetapi lambat laun gerakan mereka makin cepat dan akhirnya mereka itu bergerak seperti terbang saja!

Setelah lama menanti dan mengintai sampai berjam-jam dan merasa yakin bahwa kedua siluman itu sudah tidak berada di luar dusun mereka lagi, barulah penduduk berani keluar rumah. Mereka keluar dari dusun itu, berindap-indap berbondong-bondong sebab mereka membutuhkan semua teman untuk memberanikan diri.

Biar pun hati mereka merasa ngeri sekali, terpaksa mereka mengurus jenazah Akian dan kepala dusun bersama dua orang penduduk yang menjadi korban mereka, malah mereka memberanikan diri untuk mencari ke dalam hutan. Hanya tujuh orang mereka temukan dalam keadaan amat mengerikan. Ada yang mati dalam keadaan masih memeluk batang pohon, ada yang mencengkeram rumput!

Penuh rasa takut dan ngeri hati penduduk. Namun mereka terpaksa mengangkut semua mayat itu ke dusun untuk diurus sebagaimana mestinya.

Mayat empat orang lain tidak mereka temukan dan mereka tidak tahu ke mana perginya empat orang itu. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa empat orang itu pun sudah menjadi mayat dengan tubuh remuk-remuk setelah mereka terjungkal ke dalam jurang.

Oleh karena mereka tidak bisa menemukan Kun Liong, maka mereka menjadi curiga dan menghubung-hubungkan anak itu dengan siluman besar kecil yang mereka lihat di luar dusun. Timbullah dugaan mereka bahwa anak yang tadinya datang sebagai penolong itu tentulah sebangsa siluman pula dan kedatangannya itu hanya pancingan belaka sehingga teman-temannya mendapatkan korban banyak orang! Teringat akan ini, mereka menjadi penasaran sekali mengapa tidak mereka keroyok dan bunuh saja anak kecil yang datang secara aneh itu sehingga mereka dapat terbujuk, belasan orang ikut memasuki hutan dan menjadi korban.

********************

Kun Liong merintih lirih kemudian membuka matanya. Melihat daun semak-semak belukar menyelimuti dirinya, ia teringat dan seketika ia menghentikan rintihannya, menahan derita yang amat hebat, yaitu rasa gatal-gatal pada kepalanya. Ia bangkit duduk dan mengintai dari dalam semak-semak, melalui celah-celah antara daun-daun.

Tidak tampak sesuatu! Hari sudah menjelang senja dan suasana di hutan itu sunyi sekali. Kun Liong melupakan rasa gatal pada kepalanya, lalu dengan hati-hati dia bangkit berdiri, keluar dari semak-semak, dan berindap-indap dia menuju ke tempat yang ditinggalkannya tadi. Sunyi di situ, dan tidak ada seorang pun, baik yang hidup mau pun yang mati.

Tidak tampak lagi semua penduduk dusun yang tadi menjadi korban, dan kakek berjuluk Ban-tok Coa-ong yang mengerikan tadi pun tidak tampak lagi, demikian pula anak laki-laki berambut panjang yang melepas jarum.

Jarum! Teringat ini, Kun Liong meraba tengkuknya dan benar saja, di situ masih tertancap sebatang jarum kecil, masuk ke dalam daging tengkuk sampai setengahnya. Cepat Kun Liong mencabut jarum itu, dan ketika melihat jarum merah itu maklumlah dia bahwa jarum itu mengandung racun yang amat berbahaya. Dengan jijik dibuangnya jarum itu ke dalam semak-semak.

Ke mana perginya mereka? Rasa heran ini menambah gatal-gatal pada kepalanya dan Kun Liong tidak dapat menahan lagi. Dengan kedua tangannya, digaruknya kepala yang sangat gatal itu dan... dia terbelalak sesudah mengeluarkan teriakan kaget, memandang rambut kepalanya yang kini berada di antara sepuluh jari tangannya! Begitu kepalanya digaruk, semua rambutnya tontok!

Dirabanya kepalanya, dan pada bagian yang ada rambutnya, begitu dipegang, langsung rambut-rambutnya rontok semua seperti tanaman layu yang akarnya sudah membusuk. Dengan mata masih terbelalak lebar dia mengelus-elus kepala dengan kedua tangannya. Kepalanya menjadi licin bersih, tak ada selembar pun rambut yang masih tumbuh, semua rontok. Dia meraba alisnya. Masih lengkap. Hanya rambut pada kepala saja yang rontok semua.

"Ahhh... tidaaaakkk...!" Kun Liong berseru dan berlari-lari mencari air jernih.

Setelah ia melihat air tergenang di bawah sebatang pohon, sisa air hujan kemarin, cepat dia berlutut dan melihat bayangannya sendiri. Matanya terpentang lebar dan dua titik air mata meloncat ke atas pipinya. Kepalanya sudah gundul pelontos! Lebih bersih dari pada kepala seorang hwesio!

"Ahhhh... mengapa...?" Dia meraba-raba kepala dengan tangan kanan, dan mengusap air mata dengan tangan kiri.

Tentu saja Kun Liong tak akan mengerti karena peristiwa itu terjadi pada saat dia masih pingsan, terjadi di dalam tubuhnya dan yang biar pun membawa akibat lenyapnya semua rambut di kepala, akan tetapi sesungguhnya sudah menyelamatkan nyawanya!

Di dalam tubuhnya terdapat semacam racun anti racun ular yang dicampur obat dan sejak dia kecil, oleh ibunya sering kali diminumkannya. Ketika dia digigit ular sampai di tujuh tempat, racun ular tidak mampu melawan racun dalam tubuhnya, dan ular racun ular itu berkumpul saja di tempat gigitan.

Sesudah Ouwyang Bouw, putera Ban-tok Coa-ong, menyambit tengkuknya dengan jarum merah hingga racun jarum merah itu memasuki tubuhnya, maka bertemulah tiga macam racun dan terjadi perang tanding di antara tiga macam racun yang amat hebat itu. Sudah menjadi kenyataan bahwa betapa pun jahatnya, namun sifat racun dapat berubah ketika bertemu dengan racun lainnya, dapat menjadi obat.

Maka, pada saat tiga macam racun itu bertemu di dalam tubuh Kun Liong, tiga racun itu berubah menjadi ramuan yang dahsyat, menjadi semacam obat kuat tiada taranya dan tiada seorang pun manusia yang tahu karena bertemu secara kebetulan, dengan ukuran yang tepat, atau terlalu keras sedikit sehingga akibatnya, rambut kepala Kun Liong rontok semua, akan tetapi tubuhnya terbebas sama sekali dari pengaruh racun, bahkan di luar tahunya sudah tercipta semacam kekuatan dahsyat di dalam tubuh anak ini!

Hanya sebentar saja Kun Liong dilanda kekagetan dan penyesalan karena kehilangan rambut di kepalanya. Dia sudah bangkit lagi dan teringat betapa dia sudah menimbulkan mala petaka kepada penduduk dusun, Kun Liong tidak berani kembali ke dusun. Apa lagi rambut kepalanya sudah menjadi habis seperti itu. Dia lalu melarikan diri meninggalkan hutan itu dan mengambil jurusan timur, tidak berani ke utara di mana terletak dusun itu. Dia melarikan diri berlawanan dengan matahari yang sudah condong ke barat.

Sambil berjalan secepat mungkin, pikirannya penuh dengan peristiwa-peristiwa yang telah dialaminya. Dia maklum bahwa Ban-tok Coa-ong adalah seorang yang mempunyai ilmu kepandaian hebat sekali, jauh lebih lihai dari pada kepandaian Loan Khi Tosu, memiliki watak yang lebih aneh lagi, aneh menyeramkan seperti orang gila!

Akan tetapi, kalau dia teringat akan ucapan kakek itu ketika membandingkan watak ular dengan watak manusia, diam-diam dia menjadi bingung karena mau tidak mau dia harus membenarkan bahwa watak ular atau binatang apa pun juga jauh lebih wajar dan bersih dari pada watak manusia. Bahkan ketika barisan ular itu menyerang penduduk, mereka bergerak bukan karena memang memusuhi manusia, melainkan karena terpaksa akibat pengaruh bunyi terompet yang ditiup oleh seorang manusia pula! Bukan ular-ular itu yang berniat membunuh manusia, melainkan manusia yang berjuluk Ban-tok Coa-ong itulah. Betapa kejamnya manusia! Betapa kejinya!

Dan alangkah anehnya pengalaman berturut-turut yang menimpa dirinya. Mula-mula dia berjumpa dengan tosu Pek-lian-kauw, itu sudah hebat. Disusul dengan pengalamannya dikeroyok penduduk yang hampir saja merenggut nyawanya pada saat dia tanpa sengaja menimbulkan kebakaran, pengalaman yang lebih hebat lagi di mana dia hampir saja mati. Kemudian, dia bertemu dengan Ban-tok Coa-ong dan pengalaman ini benar-benar amat luar biasa dan dia sendiri tidak tahu mengapa dia masih dapat hidup sampai detik ini, dan hanya rambut-rambutnya yang rontok.

"Hemmm, masih untung!" Kun Liong berkata dan hatinya yang tadi terasa berat karena memikirkan rambutnya habis, kini menjadi agak ringan. "Rambut bukan nyawa dan tanpa rambut aku masih hidup!"

Pengalaman-pengalaman itu mempertebal keyakinannya bahwa manusia menjadi kejam karena kekuatannya. Makin kuat manusia, makin kejamlah dia, makin sewenang-wenang karena merasa berkuasa. Kalau begitu, apakah lebih baik menjadi orang lemah dan tidak memiliki kepandaian?

Orang yang lemah hanya akan menjadi injakan yang kuat. Orang lemah mengalah karena tidak sanggup melawan, dan yang demikian itu bukanlah mengalah namanya, melainkan pengecut. Yang kuat kejam, yang lemah pengecut!

Pengecut demikian, kalau diberi kekuatan, diberi kekuasaan, tentu akan berubah menjadi orang kejam juga. Si kuat kejam dan si lemah pengecut tiada bedanya, keduanya adalah orang-orang yang belum mengenal dirinya, belum mengenal keadaan sebenarnya.

Walau pun masih kecil, Kun Liong sudah banyak dijejali pelajaran tentang hidup, banyak sudah membaca kitab filsafat. Akan tetapi, karena dia masih kecil, maka dia belumlah terpengaruh benar oleh segala macam pelajaran kebatinan itu hingga dia masih memiliki kebebasan, sehingga dia tidak menjiplak begitu saja tetapi membuka mata dan telinganya menghadapi kenyataan-kenyataan hidup yang dialaminya. Pikiran-pikiran itu sama sekali tidak membuat dia menjadi bingung dan berat sebelah.

Dia melihat kenyataan bahwa tidak semua orang berkepandaian dan kuat memiliki watak kejam. Ayahnya dan ibunya merupakan orang-orang gagah perkasa yang berkepandaian tinggi, akan tetapi mereka tidaklah kejam, apa lagi jahat!

Dan penduduk dusun itu, terutama Kakek Lo dan Akian, biar pun mereka itu orang-orang biasa yang tidak memiliki ilmu kepandaian, tidak memiliki kekuatan, mereka itu tak boleh dikatakan pengecut oleh karena mereka berani mengikutinya untuk menentang ular besar yang sebetulnya amat mereka takuti karena sudah banyak menjatuhkan korban. Ternyata bukan kekuatan atau kelemahan yang menentukan baik buruknya seseorang!

Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, Kun Liong tiba di sebuah kampung nelayan di tepi Sungai Huang-ho. Semalam dia kurang tidur, biar pun dia tidak melakukan perjalanan semalam suntuk, tetapi dia sukar dapat tidur pula karena gangguan kepalanya yang masih terasa gatal-gatal. Dengan tubuh lelah, mata mengantuk, serta perut lapar sekali dia memasuki perkampungan nelayan. Dia harus mencari pengisi perutnya, kalau tidak, dia tidak akan dapat melanjutkan perjalanan.

Ke mana dia akan pergi kelak bukan menjadi persoalan baginya. Ke mana saja, pokoknya tidak pulang ke Leng-kok. Apa lagi setelah sekarang kepalanya menjadi gundul pelontos macam ini. Tentu ayahnya akan marah sekali, dan dia sendiri merasa malu. Dia ingin melanjutkan perjalanan, ke mana saja dan dia mulai merasa suka dengan cara hidup baru ini, sungguh pun dalam perantauan yang belum lama ini dia telah mengalami hal-hal yang membuat dia nyaris tewas.

Kun Liong mendekati sebuah perahu yang agak besar, melihat tiga orang nelayan sedang mempersiapkan jala dan alat-alat menangkap ikan lainnya. Melihat seorang anak laki-laki berkepala gundul pelontos yang sama sekali asing dan tidak mereka kenal, tiga orang itu memandang penuh perhatian, kemudian salah seorang di antara mereka, yang kumisnya panjang, berkata dengan nada suara halus,

"Apakah Siauw-suhu (Guru Kecil) membutuhkan sedekah? Kami akan berangkat mencari ikan. Kalau Siauw-suhu suka mendoakan kami agar hari ini mendapatkan ikan banyak, aku akan mencarikan makanan untuk sedekah bagi Siauw-suhu."

Kun Liong mengerutkan kedua alisnya. Hatinya terasa panas sekali. Ia disangka sebagai seorang hwesio kecil yang minta sedekah tunjangan makanan! Akan tetapi karena dia menganggap orang itu tidak berniat jahat, dan hanya berbuat karena kebodohannya, dia menjawab, suaranya tenang,

"Lopek (Paman Tua) telah membuat dua kesalahan dengan ucapan Lopek tadi."

Melihat sikap yang tenang, kalimat yang teratur tidak seperti cara berbicara anak dusun, tiga orang nelayan itu semakin tertarik dan makin keras dugaan mereka bahwa anak ini tentulah seorang pendeta kecil yang merantau. Akan tetapi, laki-laki setengah tua yang panjang kumis tadi, menjadi terheran dan bertanya,

"Dua kesalahan? Apa yang telah kulakukan?"

"Pertama, Lopek salah duga. Aku bukan seorang pendeta kecil dan tidak minta sedekah, tidak minta-minta walau pun saat ini perutku lapar sekali. Kesalahan Lopek yang ke dua lebih hebat lagi. Lopek suka memberi sedekah akan tetapi ditukar dengan doa supaya memperoleh banyak ikan, itu bukan sedekah namanya, melainkan jual beli mengharapkan keuntungan!"

Tiga orang nelayan itu terbelalak dan saling pandang dengan heran. Walau pun anak berkepala gundul polontos itu menyangkal dirinya seorang pendeta kecil, akan tetapi cara dia bercakap sungguh tidak seperti anak-anak dusun biasa! Si Kumis Panjang merasa terpukul dan malu karena seakan-akan sudah mendapat teguran dari seorang anak kecil, maka dia berkata agak kasar,

"Kalau kau bukan hwesio kecil, engkau mau apa mendekati kami, bocah asing?"

"Aku ingin menawarkan tenagaku untuk bekerja membantu kalian."

"Apa? Engkau minta pekerjaan kepada kami?" Tiga orang itu kembali saling pandang dan tersenyum lebar.

"Mengapa tidak?" Kun Liong berkata ketika melihat tiga orang itu agaknya mentertawakan dirinya. "Aku lapar, sejak kemarin belum makan. Aku perlu mendapatkan makan, maka aku mau bekerja, sekedar mendapatkan makan."

"Soal makanan adalah urusan kecil, akan tetapi pekerjaan kami bukanlah pekerjaan yang ringan, dan seorang bocah halus macam engkau ini..."

"Aku tidak takut akan pekerjaan berat. Harap Lopek suka menerimaku, Lopek tidak akan menyesal karena aku tidak mau menerima makanan cuma-cuma, ingin kutukar dengan bantuan tenagaku!"

Memang biasanya para nelayan itu membutuhkan bantuan kanak-kanak, pembantu yang tenaganya murah dan pekerjaannya hanya untuk membantu dan melayani mereka pada waktu mereka sibuk menjala atau mengail ikan. Pekerjaan yang sebetulnya tidak berat benar, memasak air, menanak nasi untuk mereka, membantu dengan pembetulan jala jika ada yang robek, memasang umpan kail, mengumpulkan ikan dan di waktu mereka sibuk bekerja, menguasai perahu agar jangan terbawa ombak sungai.

Biar pun pekerjaan itu tidak berat bagi anak-anak nelayan, akan tetapi seorang anak yang belum pernah mengerjakannya akan merasa berat sekali, apa lagi kalau dibuat mabok oleh air sungai yang kadang-kadang besar juga ombaknya.

"Bagaimana, akan kita ajakkah dia?" Salah seorang di antara mereka bertanya kepada dua orang temannya.

"Hemmm, boleh kita coba saja," berkata Si Kumis Panjang yang kemudian menoleh dan berkata kepada Kun Liong sambil tertawa, "Akan tetapi, kalau engkau nanti mabok dan tidak bisa bekerja, kami tidak akan memberi apa-apa kepadamu."

"Tentu saja!" Kun Liong menjawab gagah. "Aku pun akan merasa malu untuk menerima makanan kalau aku tidak mampu bekerja!"

"Kalau begitu, mari bantu kami!"

Kun Liong cepat naik ke atas perahu dan dia mulai melakukan pekerjaan seperti yang diperintahkan oleh tiga orang itu. Tubuhnya lemas, perutnya lapar sekali, akan tetapi dia merasa betapa tenaganya menjadi besar dan semua pekerjaan dapat dia lakukan dengan amat mudah. Tiga orang itu kembali saling pandang dan menjadi girang, ternyata bocah gundul itu tidak membual. Dia benar-benar suka dan rajin bekerja!

Setelah mereka siap, perahu didayung ke tengah, kemudian layar dikembangkan. Perahu nelayan itu meluncur ke tengah sungai yang amat lebar, meluncur cepat karena didorong oleh angin dan mendahului air sungai yang mengalir. Sambil tersenyum Si Kumis Panjang memberi roti kering dan air kepada Kun Liong. Namun anak yang kadang-kadang timbul keangkuhan dari kekerasan hatinya itu, menolak.

"Biar pun pekerajaanmu belum selesai karena kita belum kembali ke pantai, akan tetapi engkau tadi sudah membantu kami. Makanlah, anggap saja roti dan air ini adalah upah bantuanmu tadi. Engkau kelihatan pucat, dan karena kita menghadapi pekerjaan berat sampai malam nanti, perutmu harus diisi lebih dulu." Ucapan ini membuat hati Kun Liong terasa ringan dan makanlah dia.

Bukan main sedapnya roti itu. Bukan main segarnya air jernih dingin itu. Rasanya belum pernah dia makan roti seenak itu, atau air sesegar itu dan dia tahu bahwa bukan roti atau airnya yang mendatangkan rasa sedap, melainkan lapar dan hausnya!

Pendapat Kun Liong memang ada betulnya, akan tetapi tidak mutlak. Hidup akan selalu terasa bahagia dan nikmat apa bila kita dapat menerima dan menghadapi segala sesuatu sebagaimana adanya, hidup dalam tiap detik yang dilalui, tidak terapung dalam keriangan masa lalu atau tenggelam dalam harapan masa datang. Hidup adalah saat ini, sekarang ini, bukan kemarin dan bukan esok.

Pikiran selalu mempermainkan kita, membentuk kenangan-kenangan masa lalu dengan segala suka dukanya, membuat kita selalu mengejar kenangan suka namun sebaliknya menjauhi kenangan duka, menciptakan corak serta bentuk hidup sekarang dan yang akan datang hingga kita dibuatnya hidup seperti dalam kurungan yang dibuat oleh pikiran kita sendiri.

Hidup seperti itu membuat segala langkah kita tak wajar lagi, melainkan langkah-langkah kita sudah ditentukan dan diatur berdasarkan pengalaman lalu, berdasarkan pengetahuan dan kepercayaan yang sudah terbentuk di dalam pikiran kita. Keadaan seperti itu tidak memungkinkan kita bebas, tidak memungkinkan kita menggunakan mata serta telinga seperti sewajarnya.

Apa yang terpandang dan apa yang terdengar, ditutup oleh pendapat dan prasangka, oleh penilaian yang kesemuanya adalah pekerjaan pikiran, sehingga mata dan telinga kita tak dapat melihat atau mendengar keadaan sebenarnya dari yang dipandang dan didengar! Kalau kita memandang sesuatu, yang kita pandang sesungguhnya bukanlah itu atau dia, melainkan itu atau dia seperti yang terbayang dalam ingatan kita!

Demikian pula dengan makanan. Apa bila kita menghadapi sesuatu, dalam hal makanan seperti pada saat itu, tanpa campur tangan si pikiran yang selalu dapat saja menciptakan kenang-kenangan akan makanan yang lezat-lezat, maka tidak ada lagi penilaian apakah makanan yang kita hadapi itu mahal atau murah, berharga atau tidak, dan tanpa adanya gangguan pikiran ini, maka semua makanan, apa pun juga macamnya, asal itu memenuhi syarat sebagai makanan pengusir lapar dan penguat tubuh, akan terasa enak!


Karena itulah, pendapat Kun Liong bahwa yang membuat makanan terasa enak adalah lapar, hanya benar sebagian saja, karena betapa pun laparnya, kalau dia makan dengan pikiran mengenangkan hal-hal lain, misalnya mengenangkan masakan lezat, memikirkan dan mengenangkan kedukaan dan lain-lain, belum tentu roti sederhana dan air biasa itu akan terasa enak seperti yang dirasakannya pada saat itu!

Ternyata kemudian oleh Kun Liong betapa pekerjaan di atas perahu yang kelihatan ringan itu terasa sangat berat olehnya, karena tidak biasa! Agak pening juga kepalanya ketika perahu itu dipermainkan ombak sungai yang cukup besar sehingga teroleng ke kanan kiri. Akan tetapi, dengan tekad teguh Kun Liong bekerja dengan penuh semangat, sedikit pun tidak pernah mengeluh sehingga memuaskan hati tiga orang nelayan itu.

Yang lebih menggirangkan hati para nelayan itu adalah baru hari itu mereka mengalami nasib yang sedemikian baiknya sehingga sebelum tengah malam, perahu mereka sudah penuh dengan hasil pekerjaan mereka, ikan-ikan yang besar dan dari mutu terbaik! Tentu saja sebagai orang orang yang sudah menebal kepercayaannya akan tahyul, kemujuran ini mereka hubungkan dengan kehadiran Kun Liong, yang sungguh pun ternyata bukan pendeta, namun memiliki ‘hok-gi’ (kemujuran) besar dan di samping itu, juga amat rajin bekerja, terlalu rajin dan terlalu aneh bagi seorang pendatang baru!

Biasanya, mereka mencari ikan hingga semalam suntuk, dan bia selama sehari semalam itu mereka memperoleh ikan sebanyak setengah perahu saja mereka sudah merasa amat beruntung. Sekarang, belum lewat tengah malam, mereka telah kembali ke pantai dengan perahu penuh ikan terbaik!

Dengan sikap manis mereka kemudian mengajak Kun Liong bermalam di rumah mereka, memberinya makan sekenyangnya, malah Si Kumis Panjang membelikan setelan pakaian baru untuknya. Di samping ini, pada keesokan harinya ketika mereka menjual hasil kerja mereka semalam ke pasar, mereka menceritakan dengan panambahan bumbu-bumbu tahyul, bahwa mereka sudah kedatangan seorang bintang penolong, seorang pembawa rezeki, seorang ‘anak ajaib’! Cerita ini cepat tersiar dan sebentar saja nama Kun Liong sebagai ‘anak ajaib’ dikenal orang sedusun!

Segala bentuk penonjolan yang biasanya disebut hasil atau kemajuan pribadi seseorang selalu menimbulkan persoalan yang lebih menyusahkan dari pada menyenangkan. Orang yang berhasil memperoleh sesuatu yang dicita-citakan, biasanya hasil itu tidaklah terasa senikmat saat dibayangkannya dan ketika belum tercapai tangan, sedangkan hasil atau kemajuan itu yang sudah jelas menimbulkan iri kepada orang lain sehingga terciptalah pertentangan dan permusuhan!

Karena itu, segala bentuk cita-cita, sebenarnya hanyalah lamunan orang yang tidak mau menghadapi keadaan sekarang, orang yang hendak lari dari kenyataan saat ini kemudian bersembunyi di belakang angan-angan yang diciptakan oleh pikiran, membangun istana awang-awang yang disebutnya cita-cita! Karena cita-cita ini hanya merupakan istana asap di awang-awang, maka bila sudah tercapai, akan segera membuyar dan mengecewakan hingga memaksa orang yang selalu merasa enggan melihat dan menghadapi kenyataan ‘saat ini’ untuk melamun lagi, dipermainkan pikiran yang pandai sekali mengkhayalkan bayangan-bayangan indah masa depan.

Oleh karena itu, berbahagialah orang yang selalu sadar dan dengan penuh kewaspadaan menghadapi ‘saat ini’ dengan pikiran bebas dari segala ingatan masa lalu serta harapan masa depan dan menghadapi segala apa yang ada saat ini sebagaimana adanya, dengan kewajaran yang tidak dibuat-buat atau dipaksakan, tanpa rencana dan tanpa pendapat, tanpa penilaian, sehingga apa pun yang dihadapinya merupakan suatu pengalaman yang baru!

Sudah tentu saja yang dimaksudkan adalah hal-hal mengenai urusan batin, bukan hal-hal lahir seperti pekerjaan dan lain-lain yang sudah semestinya menggunakan akal budi dan pikiran supaya dapat dikerjakan dengan baik dan lancar. Akan tetapi mengenai hubungan antara manusia yang menyangkut rasa serta batin, kalau tidak kosong bebas, maka hubungan itu sudah tentu menimbulkan pertentangan karena pada sebelah dalam kita sudah terjadi pertentangan yang ditimbulkan oleh pikiran.

Melihat dan mendengar sesuatu dengan pikiran bebas dari segala ikatan, penilaian dan pendapat, lalu mengawasi dengan penuh kewaspadaan terhadap sesuatu di saat ini dan terhadap tanggapan kita sendiri akan sesuatu itu, dengan demikian kita belajar mengenal diri sendiri. Mengenal diri sendiri adalah langkah pertama ke arah kebijaksanaan.


Kun Liong seolah-olah dijadikan rebutan di antara para nelayan, setelah tersiar dongeng tentang dirinya yang penuh keanehan, dibujuk dan ditawari upah tinggi dan hadiah-hadiah berharga. Namun, semua itu ditolak oleh Kun Liong yang sebenarnya sama sekali tidak berniat menjadi nelayan dan tidak ingin bekerja di tempat itu untuk selamanya.

Kalau dia membantu tiga orang nelayan yang dipimpin oleh Si Kumis Panjang itu karena pada waktu itu dia membutuhkan makanan dan ingin menukar makanan dengan tenaga bantuannya. Bahkan setelah membantu selama tiga hari, dia sudah mulai merasa bosan dan ingin pergi melanjutkan perjalanan dan perantauannya yang tidak bertujuan dan tidak mempunyai arah tertentu.

Pada pagi hari ke empat, selagi Kun Liong duduk di dekat sebuah perahu kecil di pinggir pantai dan melamun, berpikir bahwa hari itu hendak pergi dan berpamit dari tiga nelayan, tiba-tiba tujuh orang yang berusia belasan tahun menghampirinya lantas mengurungnya. Sikap mereka mengancam, dan di antara mereka ada yang membawa kayu dan bambu.

Mereka dipimpin oleh seorang anak laki-laki berusia kurang lebih empat belas tahun yang dahinya bercodet bekas luka terjatuh ketika masih kecil. Anak codet ini pun membawa sebatang kayu dan sambil bertolak pinggang dia berdiri di depan Kun Liong yang masih tenang duduk di atas pasir dekat perahu.

"Heii, bocah gundul!" seorang anak berteriak mengejek.

"Aahh, dia bukah bocah, dia anak siluman! Kalau manusia tak mungkin kepalanya gundul pelontos padahal bukan hwesio!"

"Lihat, kepalanya licin sekali, lalat-lalat pun pasti terpeleset kalau hinggap di atasnya!"

"Kalau bukan anak siluman, tentu dia anak ikan! Lihat, kepalanya tidak berambut sedikit pun juga, seperti kepala ikan!"

"Heiii, gundul pacul buruk menjijikkan!"

"Gundul sombong..."

Mula-mula Kun Liong hanya memandang heran dan menganggap bahwa mereka adalah anak nakal yang hendak menggodanya karena dia asing dan bukan teman mereka. Maka dia diam saja, bahkan tersenyum dan berkata,

"Aihhh, mengapa kalian begini? Aku seorang anak biasa seperti kalian, rambut kepalaku habis karena keracunan."

Si Codet melangkah maju. "Gundul menyebalkan! Sekarang juga engkau harus minggat dari dusun kami, engkau hanya mendatangkan kesialan bagi kami!"

"Ahhh, apa maksudmu?" Kun Liong memang sudah mengambil keputusan hendak pergi meninggalkan tempat itu, akan tetapi kalau disuruh pergi dengan diusir macam ini, maka kehormatannya merasa tersinggung dan dia pun menjadi marah.

"Maksudku, gundul buruk, kalau engkau tidak lekas-lekas pergi dari sini, maka kami akan menghajarmu sampai engkau melolong-lolong minta ampun, baru akan kami lepaskan!" Kata pula Si Codet dan teman-temannya sudah siap, mengepal tinju dan kayu dan bambu erat-erat.

Kun Liong bangkit berdiri. Dengan marah dia membusungkan dada dan mengangkat kaki kanan ke atas dayung perahu yang disandarkan di sana, lalu menudingkan telunjuknya kepada mereka. "Hemmm, kalian ini anak-anak malas tak tahu diri! Aku mengerti kenapa kalian bersikap seperti ini kepadaku. Aku sudah mendengar bahwa kalian merasa iri hati kepadaku. Kalian melihat para nelayan suka akan tenaga bantuanku, dan kalian merasa dikesampingkan. Kalian iri melihat keunggulanku, dan hal itu hanya menandakan bahwa kalian adalah anak-anak bodoh dan malas!"

"Gundul sombong!" Si Codet sudah menerjang maju, menghantamkan kayu pemukulnya ke arah kepala Kun Liong.

Akan tetapi dengan gerakan cepat Kun Liong dapat mengelak dan berusaha merampas alat pemukul itu. Akan tetapi, anak-anak yang lain segera bergerak maju menyerang dan mengeroyoknya.

Tentu saja anak-anak itu bukanlah lawan Kun Liong yang sejak kecil sudah belajar ilmu silat dan kalau dia menghendaki, dengan melakukan pemukulan-pemukulan pada bagian tubuh yang berbahaya, tentu dia akan dapat merobohkan mereka. Akan tetapi justru dia tidak menghendaki demikian karena sekecil itu, Kun Liong sudah mempunyai pengertian yang mendalam dan dia tahu bahwa keadaan anak-anak yang iri hati ini dapat dimengerti dan dimaafkan, maka dia hanya mengelak ke sana-sini sambil menangkis dan berteriak-teriak menyuruh mereka berhenti.

Melihat betapa dikeroyok tujuh orang, Kun Liong dapat mengelakkan semua pukulan dan setiap kali menangkis, anak yang memukul merasa lengannya nyeri ketika beradu dengan lengan Kun Liong yang menangkisnya. Tujuh orang anak yang mengeroyok itu menjadi makin penasaran, maka mereka menyerang lebih ganas lagi, terdorong oleh kemarahan mereka.

Karena Kun Liong hanya mengelak dan menangkis, pula biar pun sudah bertahun-tahun dia dilatih ilmu silat oleh ayah bundanya akan tetapi sama sekali belum ada pengalaman bertempur, pengeroyokan ini merupakan yang ke dua setelah yang pertama kalinya dia dikeroyok penduduk, Kun Liong terkena pukulan juga hingga terdengar suara bak-bik-buk ketika kepalan dan kayu pemukul jatuh ke atas tubuhnya!

Hal ini membuat dia marah sekali, terutama kepada anak codet yang pukulan kayunya paling keras dan ketika mengenai kepalanya yang gundul, terasa nyeri. Dia hanya merasa heran mengapa tubuhnya yang dihujani pukulan itu sama sekali tak terasa sakit. Dia tidak tahu bahwa kekuatan mukjijat yang ditimbulkan oleh bercampurnya tiga macam racun telah melindunginya dan membuat tubuhnya kebal, kecuali kepalanya yang gundul!

Pada waktu Si Codet menerjang lagi, mengayun kayu pemukul dengan kuat-kuat ke arah kepalanya, Kun Liong miringkan tubuhnya sehingga kayu itu melayang lewat. Cepat dia menghantam leher anak codet itu dengan tangan miring.

"Kekkk!"

Anak codet itu melepaskan kayu pemukulnya dan terguling roboh tanpa bersuara.

"Dia membunuhnya!"

"Pembunuh...!"

Enam orang anak yang melihat Si Codet rebah dengan mata terpejam dan muka pucat, mengira bahwa anak itu mati. Kun Liong terkejut bukan main karena dia pun terpengaruh oleh teriakan-teriakan mereka, mengira bahwa anak yang dipukulnya tadi tewas. Padahal dia hanya mempergunakan sedikit tenaga saja dan sebetulnya anak itu hanya pingsan.

Karena menyangka anak itu tewas, rasa takut menyelinap di hati Kun Liong. Dia harus melarikan diri! Kalau para nelayan tahu bahwa dia membunuh tentu dia akan ditangkap, mungkin mereka pun akan membunuhnya. Dan ia melihat beberapa orang nelayan telah lari mendatangi melihat perkelahian itu. Tanpa pikir paniang lagi karena takut dikeroyok nelayan sekampung, Kun Liong lalu melompat ke dalam sebuah perahu kecil, mendayung perahu ke tengah sungai.

"Heiii! Dia melarikan perahu...!"

"Kejar...!"

Kun Liong tidak berani menoleh, tapi terus mendayung perahunya sekuat tenaga. Dalam keadaan panik itu dia tidak merasa betapa tenaga dayungannya luar biasa sekali. Perahu meluncur cepat seperti didayung oleh belasan orang dewasa hingga mengherankan hati pengejarnya.

Juga Kun Liong tidak sadar betapa mereka itu berteriak-teriak menyuruhnya berhenti dan dia diteriaki melarikan perahu, sama sekali bukan diteriaki sebagai pembunuh! Memang para nelayan itu mengejarnya karena dia melarikan perahu, dan Si Codet itu sudah sejak tadi-tadi sadar kembali.

Karena tenaga mukjijat di tubuhnya bekerja, perahu yang didayung oleh Kun Liong cepat bukan main, membuat para pengejar, nelayan-nelayan yang sudah kawakan dan sangat berpengalaman itu, tertinggal dan mereka berteriak-teriak saking herannya.

Ketika sampai di sebuah simpangan, di mana air sungai itu terpecah dua, Kun Liong terus meluncurkan perahunya ke bagian sungai yang menyimpang ke utara, bukan ke bagian yang terus mengalir lurus ke timur.

"Haiii... jangan masuk ke sana...!"

Dia mendengar teriakan para pengejarnya, akan tetapi tentu saja dia tak peduli, bahkan mendayung makin cepat. Sungai yang menyimpang ke utara itu merupakan daerah yang berbahaya hingga tidak ada nelayan yang berani memasukinya. Bukan hanya berbahaya karena dalam musim hujan seperti itu, sungai liar ini dapat secara tiba-tiba membanjir, yaitu kemasukan air berlebihan dari sungai-sungai kecil, akan tetapi juga banyak bagian yang agak dangkal sedangkan di bawah permukaan airnya banyak terdapat batu karang. Selain ini, di dalam hutan di kanan kiri sungai ini terkenal sebagai sarang orang-orang jahat!

Bukan hanya karena sungai yang berbahaya itu saja, akan tetapi melihat betapa Kun Liong dapat mendayung perahu dengan kecepatan yang tidak lumrah, dan betapa anak itu berani memasuki daerah berbahaya ini, timbul pula kepercayaan tahyul di dalam hati para nelayan. Tentu anak itu bukan anak biasa, pikir mereka dan mereka pun merelakan perahu yang dilarikan, sambil ramai mempercakapkan anak yang menghilang itu mereka kembali ke dusun, membawa bahan dongengan yang lebih aneh dan menyeramkan lagi tentang si ‘bocah ajaib’ gundul itu!

Sungai yang dilalui Kun Liong itu merupakan cabang Sungai Huang-ho. Sungai Huang-ho bercabang dua di bagian itu, akan tetapi cabangnya ini, setelah menampung banyak air yang dimuntahkan oleh sungai-sungai kecil dari kanan kiri, akhirnya dari utara membelok ke timur dan ke selatan untuk kemudian kembali ke induknya, yaitu Sungai Huang-ho, sungai yang paling besar di Tiongkok.

Sebelum kembali ke induknya, sungai ini merupakan sungai yang amat berbahaya dan karena merupakan sungai liar yang tercipta ketika Huang-ho banjir dahulu, maka sering kali sungai ini meluap pada saat menerima air dari sungai-sungai kecil itu. Hampir setiap musim hujan, sungai ini pasti meluap dan di bagian-bagian tertentu, air mengalir deras bukan main, merupakan daerah yang sangat berbahaya bagi perahu-perahu sehingga sungai ini boleh dikata dijauhi para nelayan dan tidak pernah dilewati. Lebih aman melalui sungai induk terus ke timur dari pada melalui sungai cabang yang keluar masuk hutan liar ini.

Akan tetapi Kun Liong yang tidak mengenal sungai itu, merasa lega ketika melihat bahwa dia tidak dikejar-kejar lagi. Dia merasa bersalah karena telah melarikan perahu. Dia telah mencuri! Akan tetapi bukannya mencuri karena dia menginginkan perahu itu, melainkan karena terpaksa untuk melarikan diri! Alasan ini sudah membuat dia dapat memaafkan perbuatannya mencuri perahu!

Demikianlah yang dilakukan oleh kita, manusia! Kita selalu mencari sebab dan alasan untuk menghibur diri pada waktu kita merasa telah melakukan sesuatu yang kita anggap salah. Mencari sebab-sebab yang kalau perlu dipaksakan, untuk menutupi kesalahan kita, bahkan untuk menyulap kesalahan itu berubah menjadi sesuatu yang tidak salah lagi!

Ada saja alasannya untuk menutupi sesuatu yang hitam pada diri kita dengan warna putih. Hal ini terjadi karena kita tidak mau menghadapi kenyataan, tidak mau mengenal diri pribadi, tidak mau mengakui betapa segala kotoran berada dalam diri kita sehingga kita dapat membuang semua kotoran itu.

Tidak, kita bukan melakukan hal itu, sebaliknya kita menutupi kotoran itu dengan segala akal kita. Tentu saja, dengan demikian, segala macam kotoran masih tertimbun dalam diri kita, biar pun kotoran itu tidak tampak, ditutupi oleh segala macam akal yang membuat kita kelihatan bersih! Kebersihan tidak tercapai dengan menutupi kekotoran, dan kotoran diri sendiri hanya dapat dilenyapkan sesudah kita melihatnya dengan mata terbuka dan dengan bebas, karena tanpa kebebasan tak mungkin kita dapat melihat kenyataan dalam diri kita sendiri, tak mungkin kita dapat mengenal diri sendiri.


Mula-mula senang juga hati Kun Liong ketika mendayung perahu kecil itu yang meluncur cepat. Dengan wajah berseri-seri dan mata bersinar-sinar, dia memandang ke kanan kiri, melihat pohon-pohon hutan di kedua tepi sungai.

Memang, kalau mata memandang dengan penuh kewaspadaan tanpa gangguan pikiran, semua akan tampak sempurna! Air yang bergelombang, di depan perahu diterjang ujung perahu, di dekat tepi beriak menghantam batu-batu, tebing pada kedua pinggir kelihatan coklat, kadang-kadang tampak akar-akar pohon seperti ular di antara rumput-rumput dan semak-semak yang tumbuh dengan liar di tebing.

Seekor bangkai ayam hutan hanyut perlahan di pinggir, dirubung lalat yang mengeluarkan suara mengiang, kadang-kadang lalat-lalat itu beterbangan panik jika bangkai itu bergerak tiba-tiba ke bawah karena digigit dan ditarik ikan dari bawah. Bau bangkai ayam yang membusuk itu tidak berapa keras di tempat terbuka seperti ini, menipis dan buyar tertiup angin.

Pohon besar yang banyak tumbuh di hutan seolah-olah menjadi penjaga-penjaga hutan, melindungi pohon-pohon dan bunga-bunga kecil di bawahnya, memberi tempat berteduh kepada burung-burung dan tupai-tupai yang berloncatan dari dahan ke dahan. Pada saat ada angin yang agak besar lewat, daun-daun kuning yang rontok melayang-layang turun, bagaikan menari-nari ke kanan kiri dan bermalas-malasan, agaknya segan meninggalkan tempatnya yang tinggi, akan tetapi akhirnya tiba juga ke atas tanah, diam, mati dan kaku, akhirnya mengering kemudian hancur menjadi pupuk yang mendatangkan kesuburan bagi pohon itu sendiri.

Terapung di atas perahunya seorang diri, di tempat sunyi dan indah itu, merasa bebas lepas bagaikan burung-burung yang terbang di permukaan sungai, menyambar ikan-ikan kecil yang berenang di permukaan air, ingin Kun Liong bernyanyi!

Akan tetapi, gelombang air mulai membesar dan air mengalir makin cepat dan kuat ke depan. Karena perahunya oleng ke kanan-kiri Kun Liong tidak lagi menggunakan dayung untuk melajukan perahunya, melainkan menggunakannya untuk menahan supaya perahu tidak terguling, dengan menekan ke kanan-kiri.

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.