Petualang Asmara Jilid 07
BETAPA pun juga, selama lima tahun dia tinggal di kuil bersama gurunya, berlatih silat di samping melayani gurunya, mencari kebutuhan mereka sehari-hari. Selama lima tahun itu hubungannya dengan guru yang tidak mau diakui sebagai guru itu, berjalan baik sehingga ada pula ikatan batin antara dia dan gurunya dan begitu gurunya pergi, Kun Liong merasa terharu dan merasa betapa sunyi dan tidak menyenangkan tempat yang indah itu!
Ia bangkit berdiri, memandang ke sekelilingnya dan menghela napas panjang. Terngiang di telinganya ucapan Bun Hwat Tosu ketika bicara dengannya tentang keindahan, ketika dia memuji keindahan tamasya alam di situ.
"Memang indah sekali tamasya alam di sini, Kun Liong. Akan tetapi apakah engkau kira hanya di sini saja yang indah pemandangan alamnya? Di mana pun juga, di dalam kota yang ramai dan sibuk, di dusun-dusun yang kotor dan miskin, di mana saja adalah indah kalau orang yang melihatnya berada dalam keadaan bebas pikirannya. Keindahan hanya terasa dan tampak oleh orang yang tidak terganggu pikirannya. Akan tetapi sekali pikiran manusia dimasuki hal-hal yang menimbulkan suka atau duka sehingga pikiran itu menjadi penuh sesak, mata orang itu tak akan dapat melihat lagi keindahan di sekelilingnya. Yang bersenang-senang akan buta oleh kesenangannya, ada pun yang berduka juga akan buta oleh kedukaannya!"
Sebagai seorang pemuda tanggung lebih mudah bagi Kun Liong untuk memenuhi semua kebutuhan perutnya dengan jalan bekerja di sepanjang perjalanannya. Ia bisa membantu para pelancong membawakan barang-barangnya, ada kalanya membantu penebang kayu dan akhirnya dia membantu tukang perahu muatan di sepanjang Sungai Huang-ho. Dan dengan cara ini, akhirnya dia sampai juga ke Leng-kok.
Tidak ada seorang pun yang mengenali pemuda tanggung berkepala gundul ini, karena lima tahun yang silam, Kun Liong masih merupakan seorang anak kecil yang berpakaian indah dan berambut panjang hitam mengkilap! Sekarang dia merupakan seorang pemuda tanggung berkepala gundul, berpakaian sederhana dan agak butut, mukanya agak kurus dan gerak-geriknya sederhana.
Bahkan Liok Siu Hok, kakek yang sudah tua itu sama sekali tidak lagi mengenali cucu keponakannya ini ketika Kun Liong berdiri di depan toko citanya. Dikiranya hanya seorang tamu yang hendak berbelanja, walau pun dia memandang heran melihat seorang pemuda aneh. Disebut hwesio akan tetapi biar pun gundul pakaiannya bukan seperti pendeta, jika bukan hwesio mengapa kepalanya gundul? Barulah dia kaget ketika Kun Liong memberi hormat dan berkata,
"Kukong (Paman kakek), apakah Kukong tidak mengenal padaku lagi? Aku adalah Kun Liong."
Mata tua yang terbelalak itu makin melebar, kemudian mata itu mengenal wajah di bawah kepala gundul. "Aihhhh... Kun Liong... engkau...?"
Tergopoh-gopoh dan tebongkok-bongkok Kakek Liok Siu Hok segera keluar dari tokonya, memegang tangan Kun Liong lantas menarik pemuda gundul itu masuk ke dalam rumah setelah memerintahkan seorang pegawai untuk menjaga toko.
"Engkau ke mana saja? Dan mengapa kepalamu...?"
"Kukong, aku tadi pulang ke rumah. Mengapa rumahku ditutup? Dan ke mana perginya Ayah dan Ibuku?" Kun Liong justru balas bertanya tanpa menjawab pertanyaan paman kakeknya.
"Aihhh... mengapa baru sekarang engkau pulang? Telah begitu lama... bertahun-tahun... aku sendiri tidak tahu ke mana perginya mereka setelah terjadi peristiwa hebat itu..."
"Kukong, apa yang telah terjadi?" Kun Liong bertanya.
Liok Siu Hok menyuruh cucu keponakannya minum teh yang disuguhkan pelayan, barulah dia menceritakan semua yang terjadi semenjak Kun Liong pergi. Dia menceritakannya semua, mengenai pengobatan gagal, tentang ditangkapnya Yap Cong San dan kemudian dibebaskan dengan paksa oleh Gui Yan Cu, dan betapa rumah keluarga Yap disita oleh pemerintah dan toko obatnya ditutup. Ceritanya diselingi dengan tarikan napas panjang penuh penyesalan.
"Sayang ibumu terlampau keras hati. Kalau menurut nasehatku, kita dapat menggunakan uang untuk membebaskan ayahmu dengan jalan halus sehingga mereka tidak perlu lagi melarikan diri dan rumah mereka disita."
Akan tetapi Kun Liong sudah tidak mendengarkan lagi karena dia telah menangis! Bukan main menyesal hatinya dan tampaklah dengan jelas sekarang betapa perbuatannya yang nakal dahulu itu ternyata telah menimbulkan mala petaka yang menimpa ayah bundanya! Ayah bundanya celaka karena dia!
Kegagalan mengobati itu tentulah karena tertumpahnya obat, ditumpahkan oleh Pek-pek, anjing peliharaan yang lari dikejar dan ditakut-takuti dengan mengikatkan kaleng-kaleng pada ekornya. Tentu ayahnya ditahan karena gagal mengobati, kemudian ibunya sudah membebaskan ayahnya. Oleh karena itu, ayah bundanya terpaksa melarikan diri. Mereka menjadi orang-orang buruan, menjadi pelarian dan rumah beserta toko disita pemerintah. Semua gara-gara dia!
"Sudahlah, Kun Liong, engkau jangan menangis. Masih untung bahwa mereka itu dapat menyelamatkan diri dan bahwa engkau ternyata juga selamat. Ke mana saja engkau pergi dari mengapa kepalamu gundul? Apakah engkau masuk menjadi hwesio?"
Kun Liong menggeleng-geleng kepalanya. "Aku pergi belajar ilmu, Kukong, dan tentang kepalaku... aku baru senang gundul, begitulah. Sekarang aku akan pergi menyusul ayah ibuku. Ke mana kiranya mereka pergi, Kukong?"
"Mana aku tahu? Mereka pergi tanpa memberi tahu dan sejak itu tidak pernah memberi kabar. Aihhh, semenjak kecil ayahmu memang berdarah perantau dan petualang!" Kakek itu menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya, kelihatan berduka sekali. "Dan engkau jangan pergi, biarlah menunggu saja di sini."
"Tidak, Kukong. Sekarang juga aku akan pergi mencari ayah ibuku." Kun Liong bangkit dari duduknya.
"Eh-eeehhh... nanti dulu, baru saja datang masa mau pergi lagi?"
"Biarlah, Kukong. Aku harus cepat dapat menemukan ayah bundaku."
Memang di dalam hatinya Kun Liong ingin segera menghadap ayah dan bundanya untuk menyatakan penyesalannya dan untuk minta ampun atas segala kesalahannya.
"Hemm, kau keras hati seperti ayahmu. Setidaknya engkau harus menerima bekal dariku, dan biar kusuruh carikan seekor kuda untukmu..."
"Tidak usah, Kukong. Aku dapat berjalan kaki, pula, tidak biasa menunggang kuda..."
"Aihhh, kalau begitu, kau harus membawa bekal uang, untuk keperluan di jalan." Tanpa menunggu jawaban, tergopoh-gopoh kakek itu berlari ke dalam kamarnya dan tidak lama kemudian dia sudah keluar membawa sebuah buntalan yang agak besar. "Terimalah ini, pakaian dan uang. Pakaian baru, mungkin agak kebesaran bagimu, akan tetapi engkau sih, terburu-buru, kalau tidak tentu dapat kusuruh buatkan beberapa stel."
Kun Liong tidak berani menolaknya, takut menyinggung perasaan paman kakeknya yang sudah tua itu. Dia menerima bungkusan dan mengangkat kedua tangan memberi hormat, mengucapkan terima kasih, kemudian meninggalkan rumah kakek itu yang mengantar sampai di depan toko sambil menarik napas berulang-ulang dan menggelengkan kepala dengan muka muram.
Setelah keluar dari kota Leng-kok, sejenak Kun Liong hanya berdiri bingung. Ke mana dia hendak menuju? Ke mana harus mencari ayah bundanya yang menjadi orang pelarian? Ke Cin-ling-san, bisik hatinya. Tak salah lagi, dalam menghadapi kesukaran itu tentu saja ayah bundanya pergi kepada supek-nya, Cia Keng Hong, Ketua Cin-ling-pai di Gunung Cin-ling-san!
Dengan langkah tegap dan hati mantap Kun Liong mulai melakukan perjalanan menuju ke Cin-ling-san. Memang dia belum pernah pergi ke tempat itu, akan tetapi ayahnya pernah menceritakan kepadanya di mana arah dan letaknya Cin-ling-san, yaitu tempat kediaman supek-nya yarig dipuji-puji oleh ayahnya dan terutama ibunya itu.
Kun Liong dapat melakukan perjalanan secara cepat karena sekarang dia tidak perlu lagi menunda-nunda perjalanan untuk bekerja dan mencukupi kebutuhan perutnya. Bekal uang yang diterima dari kukong-nya cukup banyak, malah lima stel pakaian dalam buntalannya itu cukup untuk dipakai ganti pakaiannya yang kotor dan sudah butut.
Beberapa pekan kemudian, karena hari sudah mulai gelap, dia berhenti di kota Taibun di sebelah selatan kota Tai-goan, di pinggir Sungai Fen-ho. Pegunungan Cin-ling-san sudah tidak terlalu jauh lagi. Kini dia sudah sampai di sebelah utara kota Sian dan Pegunungan Cin-ling-san terletak di sebelah selatan kota Sian, memanjang ke barat.
Ketika dia mengikuti pelayan menuju ke sebuah kamar di losmen kecil kota Taibun, dia menjadi perhatian para tamu lain. Dengan acuh tak acuh Kun Liong melangkah terus biar pun dia maklum bahwa seperti biasa, kepala gundulnya yang menarik perhatian orang.
Dia sudah terlalu biasa dengan hal ini sehingga tidak merasa mendongkol lagi seperti dahulu ketika mula-mula kepalanya menjadi gundul. Betapa pun juga, dia melirik dengan muka terasa panas sekali ketika melihat bahwa di antara mereka yang memandangnya dengan senyum ditahan, tampak juga seorang dara remaja yang cantik manis.
Biar pun dara itu cepat menutupi mulutnya dengan sapu tangan sutera ketika dia lewat, namun Kun Liong maklum bahwa seperti yang lain, tentu dara itu pun merasa lucu melihat seorang pemuda bukan pendeta berkepala gundul pelontos! Dia merasa malu dan juga jengkel.
Kalau orang lain yang mentertawakannya masih tidak mengapa. Akan tetapi seorang dara remaja! Buruk benarkah kepalanya? Dia menghampiri meja di mana terdapat tempat air yang disediakan pelayan tadi untuk mencuci muka. Melihat bayangan kepala gundulnya di dalam air, Kun Liong menyeringai dengan hati kesal. Celakanya, ketika dia menyeringai ini mukanya kelihatan makin tidak menyenangkan baginya, seolah-olah wajah berkepala gundul di dalam baskom air itu pun ikut-ikutan mengejek!
"Sialan kamu!" Dia memaki dan mencelupkan kepalanya ke dalam air baskom, sengaja membenamkannya sangat lama untuk menghukum muka yang mengejeknya itu sampai akhirnya terpaksa diangkatnya kembali mukanya dari dalam air dengan napas terengah-engah!
Digosoknya muka beserta kepala gundulnya kuat-kuat dengan sapu tangan. Air baskom sudah diam lagi sehingga dapat menampung bayangannya. Akan tetapi bayangan muka dan kepala yang kemerahan karena digosok kuat-kuat itu makin menyebalkan hatinya.
"Biarlah dia tertawa sampai mulas! Kepala dan mukaku sudah begini, siapa mau peduli?" Pikiran ini agak mendinginkan hatinya, akan tetapi dia masih merasa sebal dan melempar tubuhnya ke atas pembaringan.
Terbayanglah wajah yang ayu, lesung pipit yang manis bila mana wajah itu tertawa, dan terdengarlah seperti bisik-bisik di telinganya, "Tidak buruk, bahkan kelihatan bersih sekali. Yang banyak rambutnya mungkin malah penuh kutu. Hi-hik!"
Ahhh…, Li Hwa memang seorang dara yang ayu manis! Mungkin dia satu-satunya anak perempuan yang tidak membenci gundulnya, yang tidak mentertawakan gundulnya! Di manakah anak itu sekarang? Tentu sudah menjadi seorang dara remaja yang cantik! Dan tentu lihai bukan kepalang, karena dara itu adalah murid dari The Hoo, panglima yang kabarnya memiliki kesaktian seperti dewa itu!
Kun Liong menarik napas panjang, agak kecewa. Dia sadar dan kaget. Aihh, kenapa dia kecewa? Kenapa dia seperti menyesal dan berduka begitu teringat bahwa Li Hwa adalah murid The Hoo?
Dia bangkit duduk dan termenung, lalu meneliti diri sendiri. Ada apa dengan dia? Tadi, bayangan wajah Li Hwa, gema suara dara itu membuatnya gembira dan senang karena dahulu anak perempuan itu tidak mencela kepala gundulnya. Akan tetapi mengapa tanpa disadarinya, tiba-tiba dia menarik napas panjang dengan penuh sesal dan kecewa?
"Wah, apakah aku tiba-tiba merasa iri hati?" demikian celanya.
Tidak, bukan iri hati karena anak itu menjadi murid seorang sakti, karena dia sendiri juga telah diajar ilmu silat oleh Bun Hwat Tosu yang juga bukan manusia sembarangan. Habis kenapa? Karena putus harapan akibat melihat kedudukan Li Hwa terlalu tinggi untuk dia? Terlalu tinggi untuk apa? Pertanyaan ini seperti mengejek dan kembali Kun Liong merasa bimbang dan jengkel.
"Plakk!" Kepala gundulnya ditamparnya sendiri.
"Uhhh! Tolol benar! Tentu saja terlalu tinggi untuk menjadi temanmu. Habis apa lagi? Dan masih belum tentu lagi! Yang berteman bukan gurunya melainkan dia. Kalau memang dia mau berteman dengan aku, siapa berhak melarang? Dan kalau dia... wah celaka, aku sudah gila!" Kun Liong terbelalak.
"Plakk!" Gundulnya menjadi sasaran tangannya lagi.
"Apa-apaan ini mengenang dan bicara sendiri tentang Li Hwa sedangkan gadis itu tidak berada di sini? Tolol!"
Setelah menempiling gundulnya sekali lagi, Kun Liong pun tertidur pulas!
Dua jam kemudian dia terbangun oleh rasa laparnya. Cepat dia mencuci muka kembali, membawa bekal uang dan keluar dari losmen untuk mencari makanan. Melihat sebuah restoran yang cukup besar tak jauh dari losmen, dia segera melangkah masuk. Seorang pelayan menyambutnya.
"Apakah Siauw-suhu (pendeta cilik) hendak makan? Maaf, di restoran ini tidak disediakan makanan ciak-jai (sayur tanpa daging), harap Siauw-suhu mencari di warung lain saja."
Kun Liong menelan ludah berikut kata-kata makian yang sudah berada di ujung lidahnya. Setelah kemarahannya tertelan, dia berkata, "Aku bukan hwesio!"
"Ahh, maaf... Tuan. Apakah Tuan hanya sendirian saja? Sayang meja telah penuh semua, kecuali kalau Tuan suka makan dengan membonceng di meja tamu lain..."
Kun Liong mendengar suara ketawa ditahan dan cepat dia menoleh. Benar saja! Gadis remaja di losmen tadi yang kini lagi-lagi mendekap mulut dengan sapu tangan suteranya, menahan suara ketawa biar pun pundaknya bergoyang-goyang! Dan dua orang laki-laki yang duduk semeja dengan nona muda itu juga tersenyum.
Salah seorang di antara mereka, yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, segera mengangkat tangan berkata pada pelayan yang sedang longak-longok untuk mencarikan tempat duduk bagi Kun Liong. "Heii, bung pelayan! Biarlah Tuan muda itu duduk makan bersama kami, meja kami masih kosong!"
Pelayan itu tertawa lebar, mengajak Kun Liong menghampiri meja itu dan membungkuk mengucapkan terima kasih kepada orang yang menawarkan tempat duduk bagi Kun Liong itu, kemudian Si Pelayan menoleh kepada Kun Liong, bertanya, "Tuan hendak memesan makanan apa?"
"Ahh, tambah saja makanan yang kami pesan tadi untuk seorang lagi. Dia menjadi tamu kami!" kata seorang laki-laki yang ke dua dengan suara ramah. Si Pelayan mengangguk-angguk kemudian pergi.
Kun Liong masih berdiri di dekat meja mereka. Dua orang laki-laki itu kelihatan peramah. Yang lebih tua berusia empat puluh tahun, orang ke dua kurang lebih tiga puluh tahun, sedangkan dara remaja yang ternyata bermuka segar dengan sepasang pipi kemerahan, sepasang mata yang membayangkan kelincahan dan kejenakaan itu tentu tak akan lebih dari dia sendiri. Mungkin baru empat belas tahun. Akan tetapi seperti dua orang laki-laki itu, dara remaja itu pun membawa sebatang pedang di punggungnya!
Melihat dari sinar mata dan sikap dua orang laki-laki itu ramah dan bersungguh-sungguh menawarkan tempat untuknya, dan betapa dara remaja itu sudah tidak tertawa dan geli lagi, dia pun mengangguk dan berkata sederhana, "Terima kasih!" Kemudian duduk di atas bangku dekat meja, berhadapan dengan dara remaja itu.
Sepasang pipi Kun Liong masih tampak kemerahan karena tadi dia menahan kemarahan terhadap pelayan yang menyebutnya pendeta cilik. Melihat ini, laki-laki yang berusia tiga puluh tahun, berkata,
"Memang pelayan itu mengeluarkan kata-kata yang tidak menyenangkan, akan tetapi dia tidak sengaja, harap saja tidak dipusingkan lagi."
Kun Liong mengangguk tanpa menjawab. Matanya mengerling kepada dara remaja di hadapannya dan ternyata gadis kecil itu memandang kepadanya penuh perhatian secara terbuka, tidak seperti dara-dara lainnya yang dijumpainya di dalam perjalanan yang selalu memandang pada pria dengan cara sembunyi-sembunyi, bahkan memandangi gundulnya pun mereka lakukan dengan sembunyi. Kini dara ini tidak saja menatap wajahnya dengan sepasang mata yang jeli dan terang-terangan, bahkan agaknya mengagumi kepalanya yang gundul. Terlalu sekali! Dia menjadi malu dan terpaksa menundukkan muka seperti seorang kanak-kanak yang melakukan sesuatu yang terlarang.
Melihat ini laki-laki yang tertua berkata dengan suara menghibur, "Harap saja Siauw-suhu tidak usah malu sebab sekarang banyak saja hwesio yang melepaskan pantangan makan daging dan minum arak, dan..."
"Saya bukan hwesio!" Tiba-tiba Kun Liong memotong dan suaranya agak kaku karena dapat dibayangkan betapa sebal hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa orang yang disangkanya ramah ini pun ternyata menduga dia seorang pendeta cilik!
Mengertilah dia sekarang kenapa dia menjadi bahan tertawaan. Tentu dia dikira seorang hwesio yang sengaja menyamar dengan pakaian biasa agar dapat leluasa makan daging, minum arak, lupa kepada kepalanya yang gundul!
"Saya bukan hwesio, apa lagi hwesio yang berpura-pura suci tetapi diam-diam menyamar untuk dapat makan daging dan minum arak!"
Tiga orang itu saling pandang dengan mata terbuka lebar, dan tiba-tiba dara itu pun tak dapat menahan ketawanya. Biar pun dia cepat menutupi mulutnya dengan sapu tangan sutera hijaunya, namun masih tampak oleh Kun Liong betapa sepasang bibir yang merah itu terbuka, memperlihatkan rongga mulut yang lebih merah lagi dengan deretan gigi putih mengkilap.
"Brakkk!" Kun Liong menggebrak meja di hadapannya dengan kedua telapak tangannya, tidak terlalu keras akan tetapi cukup menyatakan kemendongkolan hatinya.
"Mengapa engkau mentertawakan aku?" Berbeda dengan sikapnya kepada laki-laki itu, dengan kata-kata cukup sopan biar pun penasaran, terhadap dara ini yang dianggapnya tidak lebih tua dari pada dia, Kun Liong bersikap kasar dan biasa saja, apa lagi karena dia marah mengira nona muda itu mentertawakannya.
Dara itu memandang Kun Liong, merasa semakin geli melihat pemuda remaja gundul itu marah-marah sehingga dari dekapan sapu tangannya masih terdengar kekehnya.
"Aihh, harap suka maafkan sumoi yang masih muda dan suka bergurau," laki-laki tertua berkata, kemudian dia menoleh kepada dara remaja itu sambil berkata, "Sumoi, sudahlah jangan tertawa sehingga menimbulkan salah paham."
Laki-laki ke dua juga cepat-cepat berkata, "Maafkanlah kami yang salah menduga karena sesungguhnya kami mengira bahwa engkau adalah seorang hwesio muda."
Dara remaja itu menurunkan sapu tangannya dan biar pun mulutnya tidak tersenyum lagi, akan tetapi sepasang matanya bersinar-sinar nakal, mulutnya cemberut sebab dia ditegur suheng-nya, lalu dia berkata sambil mengerling ke arah Kun Liong, "Salahnya sendiri! Orang semuda dia memakai potongan gundul, mana pantas? Sepatutnya dia memelihara rambut seperti orang muda pada umumnya."
"Punya hak apa engkau hendak mengurus kepala dan rambut orang? Ini adalah kepalaku sendiri, hendak kugundul, atau kupelihara rambut hingga ke kaki, engkau peduli apa? Apa bila engkau hendak mengatur kepalaku, aku pun bisa saja bilang bahwa kau tidak pantas mengatur rambutmu seperti itu, pantasnya engkau gundul seperti aku!"
"Ihhhhh...!" Dara remaja itu melompat berdiri dari bangkunya kemudian meraba gagang pedangnya. "Engkau... engkau menghina, ya?" bentaknya.
"Nah, itu! Kepala orang untuk main-main sesukanya, dibalas satu kali saja sudah mau mengamuk!"
"Gundul plontos! Kapan aku main-main dengan kepalamu?"
"Sumoi! Jangan lancang, simpan pedangmu!" Laki-laki tertua membentak sumoi-nya dan anak perempuan itu sudah menyarungkan kembali pedangnya, duduk di atas bangku dan cemberut, akan tetapi memandang kepada Kun Liong dengan mendelik.
Kun Liong bingung juga. Memang kalau dipikir, dara remaja ini tidak pernah main-main dengan kepalanya! Akan tetapi karena sudah terlanjur, dia menjadi nekat dan berkata, "Sudah dua kali engkau mentertawakan kepalaku, di losmen tadi dan di sini..."
"Hemm, apakah kalau aku tertawa itu berarti mempermainkan gun... eh, anumu? Apakah kalau aku hendak tertawa harus minta ijin lebih dulu darimu? Begitukah?"
Kun Liong termangu, tak dapat menjawab lagi. Dara ini ternyata pandai berdebat dan dia sudah didesak ke sudut.
"Sudahlah, Laote (Adik), harap maafkan kami. Nah, makanan sudah datang, marilah kita makan. Silakan!"
Akan tetapi Kun Liong sudah bangkit berdiri, menjura kepada dua orang laki-laki itu sambil berkata, "Harap Ji-wi twako (Kedua Kakak) sudi memaafkan saya. Setelah saya diundang makan oleh Ji-wi yang ramah, saya malah marah-marah, hal ini sangatlah kurang ajar, bagaimana siauwte (adik) berani menerimanya? Maafkanlah!"
Kun Liong mundur, mengangguk dan melangkah keluar dari restoran itu.
"Sian-sumoi, jangan!"
Kun Liong yang mendengar suara laki-laki tertua mencegah sumoi-nya ini, tidak menoleh. Jadi namanya pakai huruf Sian, ya? Hemm, anak perempuan yang sombong! Awas kau, ya? Ehhh, mengapa awas? Dia mau apa?
Ingin Kun Liong menampar kepalanya sendiri. Untung dia teringat bahwa banyak mata mengikutinya ke luar dari restoran itu. Tak lama kemudian dia memasuki restoran lain tak jauh dari situ, restoran yang lebih besar. Seorang pelayan menyambutnya dan cepat Kun Liong mendahuluinya berkata,
"Aku bukan hwesio. Aku mau pesan makanan dan minuman yang terbaik!"
Pelayan itu tercengang dan menatap gundulnya, kemudian tersenyum lebar dan dengan ramah mempersilakannya duduk. Di restoran ini masih ada banyak meja kosong dan Kun Liong duduk sendiri menghadap meja, tidak peduli akan pandangan mata para tamu yang sedang makan minum di ruangan itu.
Karena tidak mengenal nama-nama masakan, apa lagi yang mahal-mahal dan yang tidak pernah dimakannya, dia memesan yang mudah saja, yaitu nasi, bakmi, daging panggang dan arak! Mulailah dia makan dengan lahapnya karena memang perutnya sudah sangat lapar. Dia tidak ingat lagi kepada tiga orang di restoran tadi, meski pun suara dara remaja yang bernama Sian itu masih mengiang di telinganya.
"Yakinkah engkau bahwa mereka adalah kaki tangan pemerintah?" Suara ini halus dan kata-katanya teratur baik, bukan suara orang-orang kasar.
"Tentu saja yakin, Ouw-twako. Mereka bertiga sebenarnya adalah murid-murid Pendekar Gak Liong di Secuan, sedangkan Pendekar Gak adalah murid keponakan orang she The itu. Bahkan yang termuda, Nona Hwi Sian, biar pun usianya baru belasan tahun pernah menewaskan salah seorang anggota kami. Sekarang inilah saatnya Twako membuat jasa untuk Kwi-eng-pai."
"Hemm, mudah saja. Cantikkah nona itu?"
"Aih, Twako hanya memikirkan wanita cantik saja. Nona itu cantik jelita, hanya usianya baru empat belas tahun."
"Ha, lebih muda lebih menyenangkan. Benarkah mereka berada di restoran itu?"
"Benar, aku melihat mereka masuk tadi."
"Hayo, tunggu apa lagi? Kita datangi mereka."
"Jangan, Twako. Kota ini cukup besar dan karena mereka masih kaki tangan orang she The, tentu pembesar setempat akan membela mereka dan apa bila pasukan dikerahkan rencana kita bisa gagal. Sebaiknya kita membayangi mereka dan kalau mereka berada di tempat sunyi..."
"Sssttt... cukup. Mari minum!"
Diam-diam Kun Liong terkejut bukan main. Tadinya dia tidak tertarik akan percakapan dua orang yang duduk di meja sebelah belakangnya itu, akan tetapi ketika mereka menyebut-nyebut nama Hwi Sian, nona yang berusia empat belas tahun, segera dia teringat kepada dara remaja bernama Sian yang tadi cekcok dengan dia.
Apa lagi mendengar disebutnya Kwi-eng-pai, dia teringat akan anak buah Si Bayangan Hantu yang dulu menculik Li Hwa. Bukankah Kwi-eng-pai berarti Perkumpulan Bayangan Hantu dan besar kemungkinannya adalah orang-orang yang dulu menculik Li Hwa? Dan isi percakapan tadi sungguh mencurigakan sekali.
"Trakkk..." Sebuah di antara sumpit Kun Liong terjatuh, menggelinding di bawah mejanya.
Tentu saja hal ini dia sengaja dan dia pun telah merangkak ke kolong meja mengambil sumpitnya. Kesempatan ini dia pergunakan untuk berpaling dan memandang kepada dua orang yang duduk di sebelah belakangnya. Betapa kagetnya ketika dia mengenal dua orang itu.
Yang satu ialah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun, berwajah tampan. Berpakaian seperti seorang sastrawan kaya, yang dikenalnya sebagai Ouw Ciang Houw sastrawan yang dahulu pernah ikut di perahunya, kemudian memperkosa isteri guru silat Gui Tong yang kemudian mengakibatkan kematian suami isteri itu!
Ada pun orang ke dua adalah seorang laki-laki yang usianya lebih tua beberapa tahun, berpakaian serba kuning yang dikenalnya sebagai pemimpin gerombolan atau Ketua dari Ui-hong-pang di lembah Sungai Huang-ho, yang dulu menculik Li Hwa!
Tidak salah dugaannya. Teringat dia betapa orang ini, kalau tidak salah bernama Kiang Ti dan menurut Bun Hwat Tosu merupakan murid kepala Si Bayangan Hantu, dengan Ilmu Pukulan Hek-tok-ciang pernah menghantam Bun Hwat Tosu akan tetapi yang akibatnya payah bagi orang ini sendiri.
Kini dua orang jahat itu agaknya sudah bersekutu dan mempunyai niat yang tidak baik terhadap nona bernama Sian yang agaknya lengkapnya bernama Hwi Sian itu dan dua orang suheng-nya (kakak seperguruannya)! Menghadapi hal ini, berdebar-debar jantung Kun Liong dan lupa lagi dia akan percekcokannya dengan dara remaja itu. Dia menekan perasaannya dan dengan tenang dia segera membayar makanannya, keluar dari rumah makan dan diam-diam dia membayangi nona muda dan dua orang suheng-nya itu untuk melindungi mereka!
Semalam suntuk Kun Liong tidak tidur! Dia melakukan penjagaan secara diam-diam, siap untuk melindugi tiga orang yang menurut pendengarannya tadi adalah cucu keponakan murid dari ‘orang she The’ yang diduganya tentulah Panglima Besar The Hoo, mengingat bahwa panglima itu dimusuhi oleh Si Bayangan Hantu seperti yang diceritakan oleh Bun Hwat Tosu kepadanya.
Akan tetapi, pada malam hari itu tidak terjadi sesuatu kecuali dia sendiri yang dikeroyok nyamuk karena melakukan penjagaan di luar kamar. Akan tetapi Kun Liong tak menyesal, bahkan merasa lega bahwa pagi-pagi sekali tiga orang itu sudah berangkat meninggalkan losmen. Dia pun segera membayar uang sewa kamar, kemudian dengan diam-diam dia terus membayangi tiga orang itu yang keluar dari kota Taibun menuju ke timur!
Biar pun Kun Liong mempunyai tujuan perjalanan ke selatan, akan tetapi pada saat itu dia sama sekali tidak ingat akan hal ini dan terus membayangi tiga orang itu keluar dari kota dan tidak lama kemudian mereka melalui sebuah hutan yang sunyi di kaki Pegunungan Thai-hang-san.
Tiga orang itu melakukan perjalanan tidak tergesa-gesa dan di sepanjang jalan mereka bersenda gurau, atau lebih tepat lagi, dara remaja itu yang selalu mengajak kedua orang suheng-nya untuk bersenda gurau. Dilihat dari jauh, jelas bahwa dara remaja itu memang berwatak lincah gembira, dan diam-diam ada juga dugaan di dalam hati Kun Liong bahwa dara remaja itu bergurau tentang kepala gundulnya!
Tiba-tiba terjadilah seperti yang diduganya. Lima orang meloncat keluar dari balik batang pohon! Kenapa ada lima orang? Kun Liong cepat menyelinap di antara pohon-pohon dan bersembunyi, mengambil keputusan untuk tidak langsung turun tangan membela sebelum tenaganya dibutuhkan.
Dia maklum bahwa tiga orang yang ‘dilindungi’ itu adalah orang-orang yang pandai ilmu silat dan pandai pula menjaga diri. Yang membuat dia heran adalah lima orang yang muncul itu. Kenapa di antara mereka tidak ada Kiang Ti dan Ouw-siucai (Sastrawan Ouw) yang cabul? Atau barang kali lima orang ini adalah anak buah Ui-hong-pang yang disuruh turun tangan lebih dulu?
"Siapakah kalian? Apakah perampok-perampok buta yang tidak bisa melihat orang?" Dara remaja itu sudah membentak dan berdiri dengan sikap gagah, sedikit pun tidak kelihatan takut sehingga mengagumkan hati Kun Liong.
Pemuda gundul ini pun memandang dengan penuh perhatian pada lima orang itu. Mereka ini semua berpakaian serba putih seperti orang-orang berkabung. Mendengar pertanyaan dara itu, lima orang tadi menggerakkan kedua tangan.
"Singgggg...!"
Lima batang golok besar tercabut mengeluarkan suara berdesing dan tangan kiri mereka masing-masing telah mengeluarkan sebuah benda berwarna biru sebesar telapak tangan yang mereka pasangkan di baju mereka sebelah kiri depan dada. Kini nampaklah oleh Kun Liong bahwa benda itu adalah sebuah ukiran bunga teratai putih pada dasar biru. Perkumpulan Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih)!
"Aihh, kiranya Ngo-wi (Tuan Berlima) dari Pek-lian-kauw? Ada maksud apakah Ngo-wi menghadang perjalanan kami tiga saudara?"
"Hemm, apakah kalian masih perlu bertanya lagi?" Seorang di antara lima orang itu, yang berjenggot panjang dan bermata sipit sekali berkata, "Bukankah kalian bertiga adalah tiga pendekar dari Secuan, murid-murid Gak Liong dan kalian sedang membantu pemerintah memusuhi kami?"
Laki-laki tinggi kurus itu kini berdiri tegak di dekat sumoi-nya dan berkata dengan suara lantang, "Benar! Aku bernama Poa Su It, ini suteku Tan Swi Bu, dan sumoi-ku Lim Hwi Sian. Kami bertiga adalah murid-murid Pendekar Gak di Secuan. Akan tetapi kami bukan orangnya pemerintah sungguh pun harus kami akui bahwa Suhu menugaskan kami untuk membantu Susiok-couw (Paman Kakek Guru) The Hoo untuk membersihkan negara dari para pengacau yang membuat negara kacau dan rakyat menderita!"
"Bagus! Karena itulah maka kami menghadang dan minta nyawa kalian!" Teriak orang Pek-lian-kauw yang berjenggot panjang dan ucapannya itu agaknya merupakan komando karena tiba-tiba saja lima orang Pek-lian-kauw itu sudah menyambit dengan tangan kiri, disusul gerakan mereka menerjang ke depan.
Tiga orang pendekar Secuan itu menggerakkan tubuh, dengan ringan sekali meloncat ke kanan dan kiri menghindarkan diri dari sambaran senjata rahasia yang berbentuk kuncup teratai itu, kemudian mereka pun sudah mencabut pedang masing-masing menghadapi para pengeroyok.
Kun Liong memandang kagum. Terutama sekali ia kagum bukan main menyaksikan dara remaja yang kini sudah dia ketahui namanya, Lim Hwi Sian, menggerakkan pedangnya menghadapi seorang anggota Pek-lian-kauw, sedangkan dua orang suheng-nya masing-masing dikeroyok dua oleh lawan.
Dara remaja itu ternyata lihai ilmu pedangnya. Pada waktu dia melirik ke arah dua orang laki-laki yang dikeroyok empat orang Pek-lian-kauw, mengertilah ia mengapa dara remaja itu jauh lebih muda dari pada dua orang itu, menjadi adik seperguruan mereka, hal yang tadinya amat mengherankan hatinya. Kiranya ilmu pedang dara itu tidak kalah lihai oleh kedua orang suheng-nya, dan bahkan dalam ilmu meringankan tubuh melebihi mereka. Mungkin dara itu kalah dalam hal tenaga saja.
Pertandingan itu tidak berlangsung lama, karena lima orang itu segera terdesak hebat. Terdengar seorang di antara mereka, mungkin Si Jenggot, mengeluarkan bunyi bersuit nyaring. Lima orang yang sudah menderita luka-luka goresan pedang itu membanting senjata di atas tanah dan terdengar ledakan-ledakan disusul asap putih tebal.
Tiga orang pendekar Secuan cepat melompat ke belakang karena khawatir kalau-kalau terkena senjata rahasia atau asap beracun. Ketika mereka akan mengejar dengan jalan menghindari asap, ternyata lima orang itu telah lenyap.
Kun Liong bernapas lega. Tidak perlu dia turut campur. Untung dia tadi masih bertahan dan tidak muncul. Kalau dia muncul, melihat betapa dara remaja itu dan kedua orang suheng-nya dengan mudah dapat menghalau lawan, tentu dia akan mendapat malu dan bukan tidak mungkin dia akan menjadi bahan ejekan dara manis itu! Selain itu, dia sendiri belum tahu apakah dia mampu melawan seorang saja dari kelima anggota Pek-lian-kauw tadi!
Sungguh pun dia telah mendapat gemblengan dasar ilmu silat tinggi dari ayah bundanya, kemudian dilatih oleh Bun Hwat Tosu yang sangat sakti, namun dia sendiri tidak dapat mengukur hingga di mana keampuhan ilmu yang dia miliki. Tanpa bertanding menghadapi lawan, bagaimana dia mampu mengukur diri sendiri? Akan tetapi, dia amat benci dengan perkelahian. Dia mempelajari ilmu bukannya untuk berkelahi, melainkan untuk mencegah terjadinya kejahatan yang mengandalkan ilmu silat.
"Orang-orang Pek-lian-kauw sungguh menjemukan!" Lim Hwi Sian berkata sambil kembali menyarungkan pedang dan mengebut-ngebutkan bajunya yang terkena debu.
"Merekalah yang memusuhi orang-orang yang tidak berdosa, akan tetapi mereka selalu mengatakan bahwa pemerintah memusuhi mereka. Apa bila mereka tidak memberontak, kiranya Susiok-couw tidak akan memerintahkan para pembantu untuk menentangnya dan Suhu tentu tidak menugaskan kita," Tan Swi Bu juga berkata.
"Kata-kata yang baik!" Tiba-tiba terdengar suara orang dan tahu-tahu di situ telah muncul dua orang laki-laki yang tersenyum-senyum.
Jantung Kun Liong berdebar tegang pada saat melihat dua orang yang memang sedang dinanti-nantikan kemunculannya itu. Ouw Ciang Houw Si Sastrawan cabul dan Kiang Ti, Ketua Ui-hong-pang.
Melihat dua orang yang tidak terkenal akan tetapi kemunculannya yang secara tiba-tiba membuktikan ilmu kepandaian mereka yang tinggi, tiga orang pendekar Secuan menjadi kaget. Lim Hwi Sian sudah mencabut pedangnya dan membentak dengan suara nyaring, "Apakah kalian juga orang-orang Pek-lian-kauw?!"
Ouw-siucai tersenyum lebar dan memandang Hwi Sian dengan sinar mata kagum penuh gairah. "Nona kecil yang manis dan pandai ilmu pedang, sungguh mengagumkan sekali!"
"Cih! Keparat bermulut lancang!" Hwi Sian sudah menyerang dengan tusukan pedangnya. Akan tetapi dengan gerakan amat ringan Ouw-siucai miringkan tubuhnya dan mendorong pundak dara itu sehingga terhuyung ke depan.
"Ihhhh... iblis keparat!"
"Sumoi, tunggu dulu!" menyaksikan ketangkasan sastrawan itu, Poa Sut It cepat-cepat mencegah sumoi-nya, kemudian dia berkata kepada mereka, "Melihat pakaian dan sikap Ji-wi, agaknya Ji-wi bukan dari Pek-lian-kauw. Siapakah Ji-wi dan ada keperluan apakah dengan kami?"
"Ha-ha-ha-ha-ha!" Kiang Ti tertawa bergelak. "Kalian adalah kaki tangan The Hoo seperti yang kami dengar dalam percakapan kalian dengan orang-orang Pek-lian-kauw tadi, dan karena itulah maka kalian semua harus kami bunuh, kecuali nona ini yang sudah lancang membunuh seorang anggota kami, maka dia harus menebus dosa lebih dahulu di dalam tangan Ouw-siucai, ha-ha-ha!"
Kun Liong merasa sebal mendengar ini dan kini dia mengerti kenapa Ketua Ui-hong-pang yang usianya lebih tua itu menyebut twako (kakak) terhadap Ouw-siucai, agaknya untuk menghormat karena dia memerlukan tenaga bantuan siucai cabul itu. Diam-diam dia ingin sekali keluar lalu membuka kejahatan mereka, akan tetapi dia takut menjadi bahan ejekan Hwi Sian, juga dia ingin melihat apakah tiga orang itu sanggup menghadapi dua orang ini yang agaknya lebih lihai dari pada kelima orang Pek-lian-kauw tadi. Karena itu dia tetap bersembunyi sambil menonton penuh perhatian.
Poa Sut It dan kedua orang adik seperguruannya memandang kepada Kiang Ti dengan tajam, kemudian terdengar Hwi Sian membentak, "Kiranya engkau orang Ui-hong-pang, kaki tangan iblis betina Si Bayangan Hantu!"
"Bocah bermulut lancang!" bentak Kiang Ti. "Engkau berani memaki guruku? Aku adalah Ketua Ui-hong-pang!" Berkata demikian, dia sudah menubruk maju untuk menyerang Hwi Sian.
"Eiiit, ingat, dia untukku, Kiang-pangcu (Ketua Kiang)!" Ouw-siucai berkata dan langsung menghadang sehingga Ketua Ui-hong-pang itu kini menggunakan kedua tangannya untuk menyerang Poa Sut It dan Tan Swi Bu.
Melihat pukulan yang hebat dari tangan yang berubah menghitam, dua orang ini maklum bahwa pukulan yang ini tidak boleh dipandang ringan. Mereka cepat mengelak kemudian memutar tubuh membalas dengan serangan pedang mereka dari kanan kiri.
Kiang Ti terkejut sekali melihat berkelebatnya dua sinar pedang yang amat cepat itu, dari kiri menyambar ke arah lehernya sedangkan sinar pedang dari kanan menyambar ke arah kaki. Tak ada jalan lain baginya kecuali meloncat ke belakang dengan cepat, menjatuhkan diri bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Pada saat dia meloncat kembali, tangan kanannya telah memegang senjatanya yang tadinya dililitkan di pinggang, yaitu sebatang rantai baja lemas yang pada ujungnya dipasangi bola baja. Mukanya agak pucat karena serangan kedua orang lawannya tadi benar-benar amat dahsyat.
"Hiaaaattttt…!"
Ketua Ui-hong-pang ini mengeluarkan pekikan panjang dan dia sudah menerjang maju sambil memutar senjata rantai bajanya.
"Cringgg…! Tranggg…!"
Dua orang lawannya menangkis dengan pedang hingga tampak bunga api berpijar ketika senjata rantai itu bertemu dengan pedang-pedang itu. Selanjutnya terjadilah pertandingan yang seru antara mereka, namun segera rantai baja terhimpit dan terdesak oleh kedua sinar pedang, membuat Kiang Ti terpaksa harus mengeluarkan seluruh tenaganya dan sebentar saja dia sudah mandi keringat.
Hati Kun Liong merasa lega ketika dia melihat keadaan kedua orang suheng dari Hwi Sian itu karena dia maklum bahwa keadaan mereka tidak perlu dikhawatirkan. Akan tetapi ketika dia melihat keadaan Hwi Sian sendiri, dia menjadi amat terkejut dan diam-diam dia mencari tempat pengintaian yang lebih dekat.
Walau pun ilmu pedang dara itu sangat tangkas, namun ternyata dia bukanlah tandingan Ouw-siucai atau Ouw Ciang Houw yang amat lihai. Sambil tersenyum-senyum sastrawan cabul itu mempermainkan Hwi Sian, hanya dengan tangan kosong menghadapi pedang dara remaja itu, mengelak ke sana ke mari sambil mengejek dan menggoda,
"Aih, luput lagi, Nona manis! Kalau marah begini engkau bertambah cantik saja. Aihhh, tidak kena! Wah, kedua pipimu menjadi merah jambon, ingin aku menciumnya!"
Ketika pedang menyambar ke dada, siucai itu membuat sedikit gerakan dan pedang itu sudah dijepitnya di bawah lengan, kemudian dia mendekatkan mukanya hendak mencium pipi Hwi Sian sambil memperdengarkan suara menyedot.
"Biadab...!" Hwi Sian memaki dan cepat-cepat menarik tubuh atasnya ke belakang sambil menendangkan kakinya ke arah perut lawan dan menarik pedangnya dengan sepenuh tenaganya.
"Wahhh, galaknya! Makin galak semakin menyala!" Ouw-siucai melepaskan pedang yang dijepit lengan, kemudian menyambar kaki yang menendang.
Nyaris kaki itu tertangkap, akan tetapi ternyata Hwi Sian cukup cerdik. Sebelum kakinya tertangkap, pedangnya sudah berkelebat membabat dari samping ke arah tangan yang hendak menangkap kakinya. Pada waktu lawan menarik tangannya, dia pun meloncat ke belakang dengan muka amat merah, siap untuk bertanding mati-matian sebab dia maklum bahwa lawannya benar-benar amat lihai.
"Ouw-twako... lekas robohkan dia dan bantulah aku...!" terdengar Kiang Ti berseru minta bantuan kepada temannya.
"Ha-ha-ha-ha, baiklah, Kiang-pangcu. Nah, kau tidurlah dulu, Nona manis, nanti aku akan menemanimu!"
Sambil berkata demikian, Ouw Ciang Houw menerjang dengan hebatnya, menggunakan jari-jari tangannya untuk menotok dengan sasaran jalan-jalan darah pada tubuh nona itu. Repot sekali Hwi Sian mengelak dan melindungi tubuh dengan pedang, akan tetapi dia terdesak hebat dan agaknya tidak lama lagi benar-benar dia harus tidur dulu oleh totokan!
"Ouw-siucai sastrawan keparat!" Tiba-tiba Kun Liong sudah melompat keluar dari tempat sembunyinya dan langsung dia mengulur tangannya hendak menangkap dan mendorong pundak Ouw Ciang Houw. Gerakannya bukanlah serangan berdasarkan ilmu silat, tetapi hanya sekedar untuk menyuruh siucai itu mundur dan tidak mendesak Hwi Sian.
Melihat munculnya seorang pemuda tanggung yang berkepala gundul, Ouw Ciang Houw menyangka seorang hwesio muda, maka dia cepat mengelak. Akan tetapi tanpa disadari sendiri oleh Kun Liong, pemuda itu telah memiliki gerakan yang amat luar biasa. Karena hatinya ingin memegang pundak dan mendorong, otomatis gerakannya pun mengandung unsur Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun yang dapat memotong jalan delapan penjuru, karena itu pengelakan Ouw Ciang Houw sia-sia saja, tahu-tahu pundak siucai itu dapat didorongnya sehingga tubuh Ouw-siucai terhuyung ke belakang!
"Ehhh...!" Ouw-siucai berseru kaget bukan main karena dia sendiri tidak tahu bagaimana elakannya sampai gagal, hanya dia merasa lega bahwa tenaga dorongan ‘hwesio’ muda itu ternyata tidaklah begitu hebat. "Hwesio busuk dari mana berani berlancang tangan mencampuri urusanku?" bentaknya sambil memandang dengan mata melotot kepada Kun Liong.
Kalau saja tidak disebut hwesio masih mending, akan tetapi kini bahkan disebut hwesio busuk, tentu saja perut Kun Liong terasa panas. Maka sepasang matanya memandang dengan sinar mata bercahaya aneh dan tajam menusuk sehingga Ouw-siucai sekali lagi terkejut setengah mati. Mata itu tiba-tiba menjadi mata setan, pikirnya seram.
"Engkau ini seorang sastrawan, akan tetapi berwatak cabul, genit, dan tersesat. Apakah engkau akan mengulangi perbuatanmu yang biadab di perahu itu lima tahun yang lalu?" Kun Liong menegur. "Bukankah sudah banyak kitab kuno yang kau baca, yang mengajar bagaimana orang harus hidup benar? Sudah lima tahun namun belum bertobat, belum sadar malah semakin gila!"
Untuk ke tiga kalinya siucai itu terkejut dan heran. "Siauw-suhu dari kuil dan golongan mana? Harap tidak mencampuri urusan ini karena urusan ini adalah persoalan pribadi dan permusuhan dari kedua golongan!"
Makin mendalam kerut alis Kun Liong, apa lagi ketika mendengar suara ketawa tertahan di belakangnya. Dia sudah hafal benar suara ketawa tertahan dari Hwi Sian itu!
"Aku bukan dari kuil dan golongan mana pun juga!" Dia membentak. "Bahkan aku sama sekali bukan hwesio. Engkau Ouw Ciang Houw sastrawan sesat yang dulu memperkosa isteri guru silat Gui Tiong di perahuku, kemudian mengakibatkan matinya suami isteri itu. Ingat?"
Untuk ke empat kalinya Ouw Ciang Houw terbelalak heran. "Wah-wah...!" Kemudian dia menggaruk-garuk kepalanya. "Jadi kau... Si Gundul bocah tukang perahu itu...?"
"Wuuuuttt, plakkk!"
Kembali Ouw Ciang Houw terhuyung karena Kun Liong telah menampar pipinya dan biar pun tadi dia mengelak, tetap saja pipinya kena tampar! Hal ini amat mengherankan bagi Ouw Ciang Houw yang berkepandaian tinggi, akan tetapi sama sekali tak mengherankan bagi Kun Liong.
Pemuda gundul ini hanya mengira bahwa sastrawan itu barusan tidak sungguh-sungguh mengelak, maka dorongannya tadi dan tamparannya mengenai sasaran! Dia tidak sadar bahwa sesudah memiliki Ilmu Silat Tinggi Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin), setiap gerakannya memang mengandung gaya yang luar biasa sehingga sukar diduga lawan ke mana hendak meluncur!
"Bocah setan, agaknya kau sudah bosan hidup!" Ouw Ciang Houw menjadi marah sekali dan dengan pengerahan tenaganya dia lalu memukul ke arah kepala dan dada Kun Liong secara cepat sekali dengan kedua tangannya.
Kun Liong paling anti apa bila kepalanya dibuat permainan, apa lagi dipukul. Sesudah dia gundul, segala sesuatu yang menyinggung kepalanya benar-benar menyakitkan hatinya, maka kini dia mengangkat tangan menangkis pukulan yang mengancam kepalanya. Akan tetapi, pukulan ke arah dadanya tak sempat ditangkisnya lagi, maka otomatis bergeraklah tenaga sinkang yang dilatih selama lima tahun.
"Bukkk! Auuuuwww... duhhh...!"
Ouw Ciang Houw memegangi tangan kirinya yang seolah-olah remuk rasanya pada saat membentur dada Kun Liong tadi.
"Engkau malah berani memukul kepalaku, ya? Benar-benar engkau orang jahat dan perlu dihajar!" Kun Liong sudah maju dan tangan kirinya bergerak dari depan memukul dada lawan.
Biar pun kesakitan, Ouw Ciang Houw yang dapat menduga bahwa Si Gundul ini memiliki kepandaian aneh. Dia segera menangkis, akan tetapi sungguh di luar dugaannya ketika tiba-tiba kepalanya ditempiling oleh tangan kanan Kun Liong dari belakang.
"Plenggg…!" Dan dia terguling!
Inilah keistimewaan gerak Pat-hong Sin-kun! Serangan pertama dari depan hanya untuk memancing perhatian, sedangkan serangan susulan datang dari arah berlawanan. Dalam ilmu silat sakti ini banyak serangan macam ini yang datang dari delapan penjuru!
Ouw Ciang Houw hanya merasa kepalanya pening saja, maka begitu terguling dia dapat meloncat berdiri lagi. Kemarahannya membuat mukanya berubah pucat sekali, tangannya lantas meraba punggung dan tampaklah cahaya berkilat ketika dia mencabut pedangnya menerjang Kun Liong.
"Trangggg…!"
Hwi Sian telah menangkis pedang itu, padahal tentu saja Kun Liong pun sudah siap untuk menghindarkan serangan tadi. Terjadilah pertandingan pedang yang seru antara Hwi Sian dan sastrawan itu.
Melihat betapa hanya dalam belasan jurus dara itu langsung terdesak hebat, Kun Liong menjadi khawatir sekali. Untuk maju dengan tangan kosong saja dia merasa ngeri, maka dia lalu meloncat ke atas pohon, mematahkan sebuah dahan pohon dan meloncat turun terus langsung menerjang Ouw-siucai dengan senjata dahan di tangan. Begitu menerjang tentu saja dia menggunakan gerakan dari Ilmu Siang-liong-pang dan hebat bukan main akibatnya!
Bukan hanya Ouw-siucai yang cepat berloncatan mundur, bahkan Hwi Sian juga bingung melihat tiba-tiba banyak sekali tongkat melayang ke sana-sini dengan ganasnya sehingga dara itu pun segera meloncat mundur! Akan tetapi, tongkat dahan itu terus menyerang Ouw-siucai yang berusaha menangkis dengan pedangnya.
Celaka baginya, tongkat yang ditangkis itu seperti dapat mengelak dan tahu-tahu lengan kanannya yang memegang pedang terpukul tongkat. Bukan main nyeri rasanya sehingga kalau saja dia tidak mempertahankan pedangnya dengan tenaga sinkang, tentu pedang itu akan terlepas. Akan tetapi, gebukan kedua menyusul tanpa dapat diduganya.
“Bukk!” terdengar suara dan tubuhnya kembali terguling karena pantatnya sudah terpukul sehingga daging pinggul rasanya remuk-remuk!
Kini maklumlah Ouw-siucai bahwa kalau dia melanjutkan pertandingan, dia dan temannya akan mati konyol. Maka dia bersuit keras, tubuhnya mencelat ke dekat temannya yang sedang didesak hebat, lalu pedangnya bergerak menangkis memberi kesempatan kepada Kiang Ti untuk melepaskan diri dari kepungan sinar pedang lawan, kemudian keduanya melompat jauh dan melarikan diri tanpa berani menoleh sama sekali!
Tiga orang itu hendak mengejar, akan tetapi Kun Liong segera berkata, "Mereka sudah mendapatkan pelajaran, tentu sudah bertobat. Perlu apa dikejar lagi?"
Poa Su It menyuruh kedua adiknya berhenti, kemudian mereka menghampiri Kun Liong dan orang tertua di antara mereka itu lantas menjura, "Ah, kiranya Laote adalah seorang pendekar muda yang berilmu tinggi!"
"Sungguh kami telah bersikap kurang hormat!" kata pula Tan Swi Bu.
"Ji-wi Suheng (Kakak Seperguruan Berdua), kalau tidak ada dia, tentu sumoi-mu ini telah celaka di tangan siucai busuk tadi!" kata Lim Hwi Sian yang kini memandang kepada Kun Liong dengan sinar mata penuh kagum.
Kun Liong mengerutkan alisnya dan membuang tongkatnya dengan hati mengkal. Masih berdengung di telinganya suara ketawa Hwi Sian tadi pada saat dia disebut hwesio busuk oleh Ouw-siucai. Kini mereka memuji-mujinya. Siapa tahu di balik pujian bibir manis dari dara itu tersembunyi ejekan terhadap kepala gundulnya!
Dengan suara dingin dia berkata, "Aku hanyalah seorang gundul yang tidak ada artinya. Selamat tinggal!" Sesudah berkata demikian, dia lalu melangkah pergi tanpa menengok lagi.
"Ehhh, sungguh aneh!" kata Tan Swi Bu.
"Hemm, dia marah, agaknya masih marah karena engkau pernah mentertawai kepalanya, Sumoi!" Poa Sut It berkata menyesal. Dia tahu bahwa pemuda tanggung yang gundul itu adalah seorang yang luar biasa, dan sebetulnya dia ingin sekali tahu siapakah pemuda itu dan murid siapa.
Lim Hwi Sian juga merasa menyesal, apa lagi ketika dia teringat betapa tadi belum lama ini dia terpaksa tertawa lagi melihat Ouw-siucai yang jahat juga salah duga, menganggap pemuda itu seorang hwesio!
"Biarlah aku minta maaf kepadanya!" katanya lalu berlari mengejar Kun Liong yang sudah lenyap di balik sebuah tikungan.
Kedua orang suheng-nya hanya saling pandang dan membiarkannya saja, bahkan tetap menunggu di sana dengan harapan mudah-mudahan sumoi mereka dapat menyabarkan hati pemuda gundul yang luar biasa itu sehingga mereka dapat saling berkenalan.
"Taihiap, tunggu dulu...!"
Kun Liong amat terkejut dan heran mendengar suara wanita ini. Sebelum dia menengok, tampak bayangan berkelebat dari belakangnya dan kiranya Hwi Sian kini sudah berdiri di depannya dengan wajah sungguh-sungguh.
Dia menyebut aku ‘taihiap’! Jantung Kun Liong berdebar. Sebuah ejekan barukah ini? Dia disebut pendekar besar! Bila dara itu kembali mengejeknya, pasti akan dimakinya! Diejek orang lain tidak apa-apa, akan tetapi diejek dara ini! Sakit hatinya! Kini dia sadar bahwa sikap pemarahnya akhir-akhir ini mengenai kepala gundulnya adalah karena orang-orang melakukannya di depan dara ini.
"Kau... kau mau apakah menyusul aku?" tanyanya, gagap karena pandangan mata dara itu benar-benar membuat dia canggung, malu dan bingung.
"Kami tahu bahwa Taihiap marah, dan memang sepantasnyalah kalau Taihiap..."
"Ahh, sebutanmu ini ejekan ataukah pujian kosong? Kalau ejekan, tidak perlu kita bicara lagi, kalau pujian kosong, kuharap jangan lakukan itu. Aku tidak suka disebut Taihiap, baik ejekan mau pun pujian."
Sepasang mata yang jeli dan indah itu terbuka lebar-lebar, memandang bingung. "Habis disuruh menyebut apakah aku ini?"
"Namaku Kun Liong, Yap Kun Liong, bukan pendekar besar, bahkan bukan pula pendekar kecil. Sebut saja namaku, beres!"
"Wah, mana aku berani? Bia aku menyebut Yap-enghiong (Orang Gagah Yap) saja."
"Aku bukanlah enghiong, bukan pula bu-hiap (pendekar silat), aku hanya seorang gundul yang..."
"Stop! Kau benar-benar marah besar dan semua adalah karena kesalahanku! Kami sudah berhutang budi padamu, bahkan mungkin aku berhutang nyawa, dan aku telah membuat engkau marah besar dan sakit hati. Tidak... tidak adakah maaf bagiku?"
Melihat sinar mata itu sayu penuh penyesalan dan suara itu demikian minta dikasihani, kekerasan hati Kun Liong akibat kemarahannya tadi hancur luluh, mencair bagaikan salju digodok! Cepat dia mengangguk dan menjawab, "Tentu saja aku memaafkanmu, bahkan tidak perlu kau minta maaf karena sebetulnya aku tidak marah kepadamu, hanya... ehhh, malu karena kepalaku..."
"Mengapa dengan kepalamu? Kepalamu tidak apa-apa, bahkan... hemmm... baik sekali bentuknya!"
"Sesungguhnyakah?"
"Aku berani bersumpah tidak membohongimu. Yap-enghiong, ehhh..."
"Jangan sebut enghiong segala, namaku Kun Liong, tanpa embel-embel."
"Kun... Kun Liong, kini aku telah berhutang nyawa kepadamu, bagaimana aku akan dapat membalasmu?"
"Hemmm, berkali-kali kau menyatakan hutang nyawa, nama pun belum kau perkenalkan kepadaku, Lim Hwi Sian!"
"Ehh, engkau tahu...?"
Kun Liong tersenyum dan sinar matanya kini sudah berseri penuh kenakalan.
"Setan gundul tentu saja tahu segala!"
Mata yang jernih itu terbelalak. "Engkau sangat aneh, orang sudah berhati-hati untuk tidak menyinggungmu, engkau malah memaki-maki diri sendiri setan gun..."
"Teruskan saja! Ha-ha-ha, memang kepalaku gundul. Nih, halus bersih, kan?" Kun Liong menundukkan kepalanya dan mengelus-elusnya. "Kau boleh menyebut aku gundul seribu kali asal jangan mentertawakan. Asal engkau tidak jijik melihatnya."
"Siapa yang jijik? Aku bahkan senang melihatnya. Memang lucu, akan tetapi lucu bukan berarti buruk. Contohnya, seorang bayi selalu lucu, dan tidak pernah buruk! Semua orang ingin memeluk dan menciumnya."
"Wah, apakah kepalaku juga menimbulkan hasrat orang untuk menciumnya?" Kun Liong memandang nakal dan senyumnya melebar ketika dia melihat dara itu tersipu-sipu malu dan sepasang pipinya berubah kemerahan, apa lagi bibirnya yang menjadi merah sekali. Tiba-tiba saja Kun Liong ingin kepalanya dicium oleh bibir seperti itu!
"Engkau memang orang yang lucu dan gagah, Kun Liong. Aku sudah kau tolong, entah bagaimana aku dapat membalas kebaikanmu."
"Benarkah engkau ingin membalasnya? Dan engkau tidak akan marah kalau aku minta kau melakukan sesuatu untuk membalasnya?"
"Tidak, Kun Liong. Bagaimana aku bisa marah kepadamu?"
"Sumpah?"
"Sumpah apa?"
"Bahwa engkau tidak akan marah kepadaku?"
"Aku bersumpah!"
"Wah, engkau mudah sekali bersumpah, Hwi Sian."
"Tentu saja, karena memang aku sungguh-sungguh. Sudahlah, lekas katakan saja, apa permintaanmu itu?"
"Aku... aku... ehhh... aku ingin kau... hemmm..."
"Mau apa sih engkau ini? Ah-ah eh-eh, ham-ham hem-hem seperti orang gagu."
"Hwi Sian, aku ingin kau... ehh…, mencium gundulku satu kali saja!"
Hwi Sian terbelalak, hidungnya kembang kempis, kedua pipinya merah sekali akan tetapi matanya mengeluarkan cahaya aneh, tersipu dan berseri. "Dekatkan kepalamu," katanya lirih.
Kun Liong hampir tidak percaya. Dia sudah khawatir kalau dara remaja itu marah dan kalau marah, dia pun tidak akan menyalahkan Hwi Sian. Siapa sangka dara itu menerima permintaannya! Dengan kulit muka merah sampai ke kepalanya, dia menundukkan kepala dan agak membungkuk di depan Hwi Sian.
Dengan kedua tangan, tanpa ragu-ragu gadis itu memegang pinggiran kepalanya, lantas menunduk dan mencium kepala gundul itu, mencium lagi, mencium lagi. Tiga kali, bukan hanya satu kali seperti yang dimintanya!
Berdebar tidak karuan rasa jantung Kun Liong. Kepalanya yang disentuh hidung dan bibir hangat basah itu terasa geli seperti digelitik, rasa geli yang menembus seluruh tubuhnya, membakar darahnya hingga membuat mukanya merah, napasnya agak terburu. Dengan mendadak dia mengangkat mukanya menengadah, kemudian dengan tubuh masih agak membungkuk dia berkata, "Kau baik sekali... uppphh..."
Karena dia membuat gerakan menengadah sedangkan Hwi Sian masih menunduk di atas kepalanya, tanpa disengaja mulut mereka bersentuhan, membuat keduanya meloncat ke belakang dengan muka merah padam!
"Ehh... ohhh... maafkan, aku, Hwi Sian, aku tak sengaja...! Terima kasih, engkau... engkau sungguh baik sekali, selama hidup takkan kulupakan saat ini..."
"Ihhh... huu-hukk..." Dara itu tiba-tiba terisak, membalikkan tubuh lalu melompat dan lari pergi meninggalkan Kun Liong!
"Hwi Sian...!" Kun Liong memanggil, akan tetapi dara itu terus lari dan lenyap di tikungan.
Kun Liong tak berani mengejar, merasa malu sekali kalau peristiwa tadi sampai diketahui kedua orang suheng dara itu. Dia pun lalu melanjutkan perjalanannya sambil mengangkat kedua pundak beberapa kali, kemudian tersenyum-senyum bila mana teringat betapa Hwi Sian sudah mencium kepalanya sampai tiga kali, bahkan ada tambahannya yang sangat hebat, yaitu pertemuan bibir mereka tanpa sengaja.
Dia memejamkan mata sambil menarik napas panjang. Diusapnya kepala yang dicium tadi dan dibawanya jari tangan yang mengusap itu ke depan hidung dan mulut, menyedot penuh kegirangan karena seolah-olah tercium olehnya bau harum seperti yang diciumnya ketika Hwi Sian berada di dekatnya tadi. Semua ini dilakukan dengan mata terpejam dan kaki masih melangkah berjalan.
"Bruuuusss…!"
Kun Liong jatuh menelungkup karena kakinya tertumbuk pada akar pohon. Dahinya benjol sedikit, dia bangkit berdiri dan diusapnya benjolan itu, akan tetapi mulutnya masih tetap tersenyum ketika dia melanjutkan perjalanan.
Ternyata kegembiraan hati Kun Liong tidak berlangsung lama karena kurang lebih dua jam kemudian setelah dia berpisah dari Hwi Sian dan memasuki hutan ke dua, tiba-tiba dia bertemu dengan serombongan orang yang membuat dia terkejut bukan main.
Rombongan ini terdiri dari delapan orang dan semua orang ini sudah dikenalnya. Dua orang sudah jelas adalah Ouw Ciang Houw dan Kiang Ti yang tadi melarikan diri, dan lima orang lagi adalah anggota Pek-lian-kauw yang tadi pun melarikan diri setelah dihajar oleh Hwi Sian dan dua orang suheng-nya.
Akan tetapi yang seorang lagi adalah seorang berpakaian seperti tosu, usianya tentu lebih dari enam puluh tahun, memegang tongkat yang panjangnya hanya tiga kaki saja. Yang mengejutkan hati Kun Liong sehingga membuat dia bisa mengenal tosu ini adalah karena mata tosu itu seperti mata orang buta, hanya tampak putih saja tanpa ada manik mata yang hitam. Tidak salah lagi, tosu ini tentulah Loan Khi Tosu, tokoh Pek-lian-kauw yang pernah diusir oleh ayahnya pada waktu hendak membunuh tiga orang perwira pengawal di Leng-kok!
"Nah, itu dia setan cilik gundul!" Kiang Ti dan Ouw Ciang Houw membentak ketika mereka melihat Kun Liong berjalan seenaknya. "Dialah yang terlihai di antara mereka!"
Kun Liong berdiri dan menenangkan hatinya yang sebenarnya tidak tenang karena dia maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang kejam. Akan tetapi karena dia tidak merasa bersalah, seujung rambut pun dia tidak merasa takut.
Dengan tegak dia berdiri sambil membiarkan delapan orang itu mengurungnya, kemudian dia pun bertanya kepada Ouw Ciang Houw, Kiang Ti, dan Loan Khi Tosu yang berdiri di depannya, "Cu-wi (Anda Sekalian) ini mau apakah mengurung aku yang tidak bersalah apa-apa?"
Mendengar suara ini, Loan Khi Tosu menggerak-gerakkan dua biji matanya dan berusaha memandang lebih jelas. Sungguh pun matanya yang lamur hanya dapat melihat bentuk seorang pemuda tanggung berkepala gundul, namun telinganya mampu menangkap lebih jelas lagi, membuat dia merasa yakin bahwa yang berdiri di hadapannya adalah seorang anak laki-laki berusia paling banyak enam belas tahun.
Yang membuat dia heran adalah karena di dalam suara itu terkandung keberanian dan ketenangan yang tak dibuat-buat dan dalam keadaan dikurung lawan sikap tenang seperti ini hanyalah sikap seorang jagoan yang mempunyai kepandaian tinggi dan sudah percaya penuh akan kemampuannya. Tentu saja dia tidak tahu bahwa Kun Liong bersikap tenang bukan karena mengandalkan kemampuannya, melainkan karena tidak merasa bersalah.
"Ah, dia hanya seorang anak laki-laki yang belum dewasa benar," Loan Khi Tosu berkata dengan nada mencela. Menghadapi seorang anak-anak saja, mengapa teman-temannya ini kewalahan dan kelihatan jeri benar?
"Biar pun dia masih kecil, dialah yang melindungi tiga pendekar Secuan itu dan karena dia maka mereka dapat lolos!" kata Kiang Ti.
"Hemm, bocah. Engkau siapakah dan mengapa engkau mencampuri urusan kami?" Tosu itu kini bertanya.
"Loan Khi Tosu, aku tidak pernah suka mencampuri urusan orang lain, hanya tidak ingin melihat orang menggunakan ilmu silat untuk menyerang, melukai atau membunuh orang seperti yang kau lakukan di kuil di luar kota Leng-kok dahulu itu!"
"Siancai...!" Loan Khi Tosu mengerutkan sepasang alisnya. "Engkaukah setan cilik itu? Saudara-saudara tangkap dia ini! Dia adalah putera Yap Cong San di Leng-kok!"
"Ehh...?" Kiang Ti yang banyak mengenal tokoh-tokoh persilatan karena dia adalah ketua perkumpulan Ui-hong-pang, berseru kaget, "Tetapi, bukankah Yap-sinshe (Tabib Yap) itu adalah murid Siauw-lim-pai?"
"Bukan murid Siauw-lim-pai lagi," kata Loan Khi Tosu. "Dia sudah tidak diakui lagi dan hal ini tentu saja tidak ada sangkut pautnya dengan Siauw-lim-pai."
"Tapi... sekarang ayahnya menjadi pelarian, dimusuhi pemerintah!" Kembali ada bantahan dan sekali ini dari mulut Ouw Ciang Houw datangnya.
"Benar, dan karena itulah maka kita tak akan membunuhnya, hanya akan menangkapnya sebagai sandera. Kita perlu bantuan orang pandai, dan dengan dia sebagai umpan, maka kita dapat memancing tenaga bantuan dari ayah bundanya, dan siapa tahu, kelak Siauw-lim-pai juga..."
Mengertilah para teman tosu itu sehingga serentak mereka lantas menubruk maju hendak menangkap Kun Liong. Kun Liong sendiri masih tidak mengerti akan maksud percakapan mereka, maka dia sibuk mengelak dan menangkis.
"Ehh, ehhh, kalian ini mau apa? Aku tidak ingin berkelahi! Di antara kita tidak ada urusan apa-apa!"
Akan tetapi, percuma saja Kun Liong berteriak-teriak dan karena ada tujuh orang yang mengeroyoknya, semua mempunyai kepandaian tinggi, repot juga dia dan beberapa kali tubuhnya kena hantaman. Meski pun semua pukulan itu meleset karena secara otomatis sinkang-nya yang istimewa itu membuat setiap pukulan meleset, tapi kulit tubuhnya terasa panas dan nyeri-nyeri juga, apa lagi setelah beberapa kali ada pukulan mengenai kepala dan mukanya, mulai terasa panas perut Kun Liong.
Dia sendiri tidak tahu kenapa semenjak belajar pada Bun Hwat Tosu, terutama semenjak dia mempelajari sinkang yang aneh itu, setiap kali datang kemarahan, perutnya menjadi panas. Dia tidak tahu bahwa ini adalah akibat latihan sinkang istimewa dari bekas Ketua Hoa-san-pai itu!
Tadinya para pengeroyok itu tidak ingin memukul karena sesuai dengan perintah Loan Khi Tosu yang memimpin rombongan itu, mereka hanya ingin menangkap. Akan tetapi setelah beberapa kali tangan mereka yang hendak mencengkeram dan menangkap selalu meleset, mereka menjadi penasaran dan mulai mempergunakan kepalan!
"Hiaaaatttttt…!"
Tiba-tiba Kun Liong berseru, tubuhnya digoyangkan seperti seekor anjing menggoyang tubuhnya yang basah, dan tujuh orang yang mengeroyoknya seperti semut itu terdorong mundur semua. Marahlah pemuda gundul itu sesudah mukanya biru-biru dan kepalanya benjol-benjol, tubuhnya nyeri semua.
Mulailah dia memainkan Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun dengan teratur. Dapat dibayangkan betapa heran hatinya setelah dia mainkan ilmu ini, hanya dalam beberapa gebrakan saja serangannya langsung membuat tiga orang pengeroyok jatuh tersungkur dan terdengar teriakan kaget dari mulut para pengeroyoknya!
Akan tetapi karena dia tidak mempunyai niat melukai lawan, apa lagi membunuh, maka dorongan-dorongan sebagai pengganti pukulan itu hanya membuat lawannya roboh saja tanpa terluka sehingga mereka bisa bangkit kembali. Jika saja setiap pukulannya disertai tenaga sinkang-nya yang istimewa, agaknya sekali saja terkena pukulannya, setiap lawan itu tentu tak akan mudah untuk bangkit kembali!
Melihat sepak terjang pemuda gundul itu, Loan Khi Tosu terheran-heran. Dia tahu bahwa ayah anak ini memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dari padanya, akan tetapi ilmu silat yang dimainkan anak ini luar biasa anehnya dan sama sekali bukan ilmu silat Siauw-lim-pai biar pun ada terasa olehnya dasar-dasar gerakan ilmu silat Siauw-lim-pai.
Demikian tajam pendengaran tosu setengah buta ini sehingga pendengarannya bisa lebih tajam menangkap setiap gerakan dari pada pandang mata seorang yang awas! Cepat dia menggerakkan tongkatnya pada waktu yang tepat, dan robohlah Kun Liong, tertotok jalan darah pada pundaknya. Beberapa orang segera menindih tubuhnya dan kaki tangannya dibelenggu dengan tali terbuat dari kulit kerbau yang kuat!
"Wah, kalian ini orang-orang sesat yang jahat sekali ! Apakah kalian tidak mempedulikan hukum lagi? Di mana peri kemanusiaan kalian? Tidak tahukah kalian akan hukum dunia dan akhirat?"
Akan tetapi delapan orang itu hanya tertawa seolah-olah mendengar kelakar yang lucu. Perut Kun Liong makin terasa panas. Kalau saja tubuhnya dapat digerakkan, tidak lumpuh oleh totokan Loan Khi Tosu yang lihai, kiranya dia masih sanggup meloloskan diri dari belenggu itu. Kini tidak ada lain jalan untuk melampiaskan kemarahannya selain dengan suara mulutnya.
"Loan Khi Tosu, engkau berpakaian pendeta akan tetapi hatimu amat kejam melebihi iblis. Engkau seorang munafik tak tahu malu. Pakaian pendeta yang kau pakai itu hanya untuk menutupi kekotoran batinmu. Engkau membunuhi manusia tanpa berkejap mata, bukan karena matamu lamur, melainkan karena mata batinmu sudah buta sama sekali!"
"Bukkkk!"
Untung bagi Kun Liong bahwa Loan Khi Tosu masih ingat kalau pemuda gundul itu amat penting bagi Pek-lian-kauw, jika tidak tentu dia sudah membunuhnya dengan tongkatnya, bukan hanya menggebuk punggung pemuda itu. Akan tetapi karena Kun Liong tak dapat mengerahkan sinkang-nya, gebukan itu cukup membuat punggungnya seperti patah dan rasanya nyeri bukan main sampai menembus ke tulang sumsum.
Biar pun demikian, dia tidak mengeluh, hanya memejamkan mata sebentar menahan rasa nyeri, kemudian membuka mata setelah rasa nyerinya berkurang dan memaki lagi. "Ouw Ciang Houw manusia cabul! Engkau pun munafik besar, aksinya saja berpakaian indah mewah seperti sastrawan, berlagak seperti orang terpelajar dan sudah kenyang membaca kitab, akan tetapi agaknya engkau menghafal semua ayat kitab suci hanya untuk pamer, padahal sebetulnya, di balik semua keindahan itu terdapat kebusukan yang menjijikkan! Engkau tukang memperkosa wanita, perampas isteri orang dan tidak segan membunuh mereka. Agaknya, isteri semua temanmu ini pun sudah kau incar..."
"Desss…!"
Ouw Ciang Houw mengirim pukulan keras ke arah dada. Karena tidak ingin membunuh, walau pun sangat marah, sastrawan itu hanya menggunakan tenaga kasar sehingga Kun Liong menjadi pingsan! Pukulan itu seperti mengusir semua hawa dari dalam dadanya, menghentikan napasnya.
"Siancai... kau terlalu sembrono, Ouw-sicu! Dia bisa mati kalau tidak segera kubebaskan totokannya!" Dengan tongkatnya, tosu itu menotok pundak Kun Liong sehingga terbebas dari totokan. Biar pun masih pingsan, pemuda gundul itu dapat bernapas lagi dan bebas dari cengkeraman maut.
Sesudah siuman, Kun Liong mendapatkan dirinya dipanggul oleh salah seorang di antara para anggota Pek-lian-kauw. Rombongan itu telah melanjutkan perjalanan dan hari sudah mulai gelap sehingga mereka berjalan dengan tergesa-gesa untuk dapat keluar dari hutan itu sebelum gelap.
Kun Liong mendongkol bukan main. Dia dipanggul seperti seekor babi yang dibelenggu kuat-kuat. Kepalanya tergantung di belakang punggung orang tinggi besar itu, di dekat ketiak sehingga terpaksa hidungnya tersiksa oleh bau yang keluar dari ketiak penuh bulu dan keringat itu! Dia tahu bahwa ketiak berkeringat mengeluarkan bau tidak sedap, akan tetapi belum pernah hidungnya tersiksa seperti ini, terus-menerus begitu dekat dengan ketiak yang bukan tak sedap lagi baunya, melainkan keras menyengat membuat dia ingin muntah! Apa lagi kepalanya tergantung terus sehingga mendatangkan pusing!
Tapi betapa girangnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa totokannya telah terbebas! Dengan hati-hati dia menggerakkan sinkang dari pusarnya, dan dengan bantuan sinkang ini dia mengerahkan ilmu melemaskan diri Sia-kut-hoat maka berhasillah dia meloloskan tangannya yang dapat dilemaskan itu dari belenggu. Karena sudah merasa tak tahan lagi, pertama-tama yang dilakukan adalah menampar pundak orang yang memanggulnya.
"Krekkk!"
Tamparan itu membuat sambungan tulang pundak orang itu terlepas. Orang itu memekik dan tubuh Kun Liong terlepas. Tentu saja dia terbanting karena dua kakinya masih dalam keadaan terbelenggu. Sebelum dia sempat melepaskan belenggu kakinya, Loan Khi Tosu sudah menotoknya kembali dan kedua tangannya langsung dibelenggu lagi dengan lebih erat dari pada tadi!
Sekali lagi dia dipanggul oleh orang lain, bahkan kini oleh Kiang Ti sendiri, dengan tubuh bagian atas di depan supaya kedua tangannya dapat selalu diawasi oleh pemanggulnya. Kembali kepalanya tergantung, akan tetapi hidungnya tidak tersiksa lagi biar pun hidung itu kini sering terbentur pada perut Kiang Ti!
Rombongan itu bermalam di sebuah kuil di luar hutan. Mereka membagi-bagi makanan, akan tetapi Kun Liong tidak mau makan. Dia tidak memaki lagi, hanya diam saja namun diam-diam dia mencari akal bagaimana dapat lolos dari orang-orang lihai itu.
Dia maklum bahwa yang amat lihai hanyalah tiga orang, yaitu Loan Khi Tosu, Ouw Ciang Houw, dan Kiang Ti. Kalau bisa lolos dari tiga orang ini, mudah saja mengalahkan lima orang anggota Pek-lian-kauw.
Dia mendengarkan percakapan mereka, karena itu tahulah dia bahwa ternyata ada kontak hubungan antara Pek-lian-kauw dan Kwi-eng-pai yang dipimpin oleh Si Bayangan Hantu. Sedangkan Kiang Ti sebagai murid Si Bayangan Hantu yang sudah berdiri sendiri dan mengetuai Ui-hong-pang, menjadi perantara. Inilah sebabnya mereka bisa bekerja sama.
Sedangkan Ouw Ciang Houw berniat untuk membantu atau menghambakan diri kepada Si Bayangan Hantu yang terkenal sebagai seorang di antara Lima Datuk Kaum Sesat yang sakti dan berpengaruh. Karena dia juga menggunakan Kiang Ti sebagai perantara, maka tentu saja dengan senang hati dia bergabung dengan Pek-lian-kauw.
"Dengan bantuan yang sangat berharga dari Ketua Kwi-eng-pai, pinto yakin bahwa dalam waktu singkat perjuangan rakyat akan berhasil!" kata Loan Khi Tosu dengan suara penuh semangat.
Ingin sekali Kun Liong berteriak membantah, akan tetapi tubuhnya terlampau lemah dan lemas sehingga dia hanya membantah dalam hati saja. Huh, betapa banyaknya di dunia ini orang-orang seperti Loan Khi Tosu. Dunia ini penuh dengan manusia-manusia yang mencuri dan membonceng nama rakyat demi kepentingan diri pribadi. Sungguh tak tahu malu manusia-manusia seperti itu.
Sejarah sudah menunjukkan betapa kekuasaan-kekuasaan jatuh bangun di dunia ini, dan semua kekuasaan itu, pada waktu bangkit, pada waktu berusaha merenggut kekuasaan, selalu menggunakan nama rakyat jelata! Demi rakyat! Pencinta rakyat! Dan masih banyak lagi nama-nama yang dipakai untuk tercapainya cita-cita mereka.
Pemerintah yang sekarang ini, di bawah kekuasaan Kaisar Yung Lo, saat memperebutkan tahta kerajaan dengan keponakannya sendiri ketika perang saudara, juga menggunakan nama rakyat untuk mendapat dukungan. Sebaliknya, pemerintah lama sebelumnya juga selalu membonceng kepada nama rakyat.
Dengan sendirinya rakyat menjadi pecah belah, karena yang mendukung dianggap rakyat sedangkan yang tidak mendukung tentu saja dianggap musuh! Dan musuh ini tentu saja dianggap rakyat oleh pihak lawan. Maka dengan sendirinya rakyat yang menjadi korban. Rakyat menjadi bingung dijadikan permainan orang-orang seperti Loan Khi Tosu dan para pimpinan Pek-lian-kauw.
Setelah kini Yung Lo menang dan menjadi kaisar, timbul lagi penentangnya, yang paling hebat adalah Pek-lian-kauw yang kembali mempergunakan nama rakyat sebagai dasar perjuangannya! Akan dibawa ke manakah rakyat ini? Apakah selama dunia berkembang rakyat hanya akan menjadi permainan belaka untuk memuaskan nafsu ambisi beberapa gelintir manusia yang menamakan diri sebagai pemimpin-pemimpin rakyat?
Pernahkah ditemui mereka yang tadinya menggunakan nama rakyat dalam perjuangan, sesudah berhasil dalam perjuangannya, benar-benar ingat kepada rakyat jelata? Ataukah mereka itu lalu menjadi lupa karena mabok akan kemenangan, mabok akan kedudukan dan kemuliaan, seperti pemetik buah lupa akan bangku yang diinjaknya untuk mengambil buah setelah buah itu terdapat olehnya? Rakyat hanya dianggap sebagai bangku tempat berpijak, atau sebagai batu loncatan, atau sebagai boneka-boneka!
"Harap Totiang jangan khawatir! Saya berani pastikan bahwa Subo (Ibu Guru) tentu akan suka bekerja sama dengan Pek-lian-kauw, karena cita-cita Subo hanya untuk membikin hancur manusia she The itu, dan juga pemerintah yang banyak merugikan golongan kami. Kalau Subo sendiri turun tangan, siapa yang berani menentang? Kwi-eng-pai terkenal di seluruh dunia, dan nama besar Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, siapakah yang tidak gentar mendengarnya?" kata Kiang Ti dengan bangga, menyombongkan nama besar gurunya.
"Sayang saya sendiri belum beruntung berhadapan dengan gurumu itu, Saudara Kiang. Akan tetapi saya yakin, dengan perantaraanmu ini saya akan dapat menghadap Kwi-eng Niocu (Nona Bayangan Hantu) yang namanya sudah lama kudengar sebagai seorang di antara para datuk dunia persilatan. Kabarnya, di antara para datuk, ada dua orang wanita, pertama adalah Kwi-eng Niocu, dan yang ke dua ialah Siang-tok Mo-li. Benarkah?" tanya Ouw Ciang Houw.
Kiang Ti, Ketua Ui-hong-pang itu mengangguk-angguk. "Benar demikian, akan tetapi aku sendiri pun belum pernah bertemu dengan Siang-tok Mo-li (Iblis Betina Racun Wangi). Kabarnya dia masih belum tua benar dan amat lihai, sungguh pun aku tidak percaya akan lebih lihai dari Subo."
"Dan siapakah datuk-datuk yang lain, Kiang pangcu?"
"Yang saya ketahui hanya tiga orang. Pertama adalah Subo, ke dua Siang-tok Mo-li, dan ke tiga Ban-tok Coa-ong. Yang dua orang lagi entah siapa. Akan tetapi, saya sendiri juga belum pernah bertemu dengan mereka dan hanya mendengar dari Subo saja. Sudahlah, kita tidak perlu membicarakan mereka, bahkan Subo sendiri pernah melarang saya untuk menyebut-nyebut nama mereka. Menurut desas-desus, dengan menyebut nama mereka saja sudah cukup untuk mengundang mereka."
"Ihhh...!" Ouw Ciang Houw yang berwatak kejam itu merasa ngeri!
"Siancai... ketua kami ingin sekali dapat mengadakan kontak dengan para datuk. Mudah-mudahan melalui hubungan dengan Kwi-eng-pai, kami akan bisa pula menghubungi para datuk yang lain," kata Loan Khi Tosu.
Percakapan segera dihentikan. Mereka mengaso dan Kun Liong yang amat tertarik akan percakapan tadi pun mencoba untuk tidur. Akan tetapi dia tidak dapat tidur. Percakapan tadi membuat dia teringat pada Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, kakek yang mengerikan seperti ular itu. Si Raja Ular (Coa ong) itu patut menjadi datuk kaum sesat, kekejamannya luar biasa, lebih-lebih puteranya yang bernama Ouwyang Bouw itu.
Meremang bulu tengkuk Kun Liong kalau dia teringat akan ayah dan anak raja ular itu. Kepalanya kini menjadi gundul gara-gara ayah dan anak itulah. Setelah ia digigit oleh ular beracun dan terkena jarum beracun Ouwyang Bouw, rambutnya rontok semua! Kelak dia harus memberi hajaran kepada Ouwyang Bouw agar tidak ada orang yang dibikin gundul seperti dia lagi, memberi hajaran sampai bertobat betul-betul baru dia mau sudah!
Ia bangkit berdiri, memandang ke sekelilingnya dan menghela napas panjang. Terngiang di telinganya ucapan Bun Hwat Tosu ketika bicara dengannya tentang keindahan, ketika dia memuji keindahan tamasya alam di situ.
"Memang indah sekali tamasya alam di sini, Kun Liong. Akan tetapi apakah engkau kira hanya di sini saja yang indah pemandangan alamnya? Di mana pun juga, di dalam kota yang ramai dan sibuk, di dusun-dusun yang kotor dan miskin, di mana saja adalah indah kalau orang yang melihatnya berada dalam keadaan bebas pikirannya. Keindahan hanya terasa dan tampak oleh orang yang tidak terganggu pikirannya. Akan tetapi sekali pikiran manusia dimasuki hal-hal yang menimbulkan suka atau duka sehingga pikiran itu menjadi penuh sesak, mata orang itu tak akan dapat melihat lagi keindahan di sekelilingnya. Yang bersenang-senang akan buta oleh kesenangannya, ada pun yang berduka juga akan buta oleh kedukaannya!"
Sebagai seorang pemuda tanggung lebih mudah bagi Kun Liong untuk memenuhi semua kebutuhan perutnya dengan jalan bekerja di sepanjang perjalanannya. Ia bisa membantu para pelancong membawakan barang-barangnya, ada kalanya membantu penebang kayu dan akhirnya dia membantu tukang perahu muatan di sepanjang Sungai Huang-ho. Dan dengan cara ini, akhirnya dia sampai juga ke Leng-kok.
Tidak ada seorang pun yang mengenali pemuda tanggung berkepala gundul ini, karena lima tahun yang silam, Kun Liong masih merupakan seorang anak kecil yang berpakaian indah dan berambut panjang hitam mengkilap! Sekarang dia merupakan seorang pemuda tanggung berkepala gundul, berpakaian sederhana dan agak butut, mukanya agak kurus dan gerak-geriknya sederhana.
Bahkan Liok Siu Hok, kakek yang sudah tua itu sama sekali tidak lagi mengenali cucu keponakannya ini ketika Kun Liong berdiri di depan toko citanya. Dikiranya hanya seorang tamu yang hendak berbelanja, walau pun dia memandang heran melihat seorang pemuda aneh. Disebut hwesio akan tetapi biar pun gundul pakaiannya bukan seperti pendeta, jika bukan hwesio mengapa kepalanya gundul? Barulah dia kaget ketika Kun Liong memberi hormat dan berkata,
"Kukong (Paman kakek), apakah Kukong tidak mengenal padaku lagi? Aku adalah Kun Liong."
Mata tua yang terbelalak itu makin melebar, kemudian mata itu mengenal wajah di bawah kepala gundul. "Aihhhh... Kun Liong... engkau...?"
Tergopoh-gopoh dan tebongkok-bongkok Kakek Liok Siu Hok segera keluar dari tokonya, memegang tangan Kun Liong lantas menarik pemuda gundul itu masuk ke dalam rumah setelah memerintahkan seorang pegawai untuk menjaga toko.
"Engkau ke mana saja? Dan mengapa kepalamu...?"
"Kukong, aku tadi pulang ke rumah. Mengapa rumahku ditutup? Dan ke mana perginya Ayah dan Ibuku?" Kun Liong justru balas bertanya tanpa menjawab pertanyaan paman kakeknya.
"Aihhh... mengapa baru sekarang engkau pulang? Telah begitu lama... bertahun-tahun... aku sendiri tidak tahu ke mana perginya mereka setelah terjadi peristiwa hebat itu..."
"Kukong, apa yang telah terjadi?" Kun Liong bertanya.
Liok Siu Hok menyuruh cucu keponakannya minum teh yang disuguhkan pelayan, barulah dia menceritakan semua yang terjadi semenjak Kun Liong pergi. Dia menceritakannya semua, mengenai pengobatan gagal, tentang ditangkapnya Yap Cong San dan kemudian dibebaskan dengan paksa oleh Gui Yan Cu, dan betapa rumah keluarga Yap disita oleh pemerintah dan toko obatnya ditutup. Ceritanya diselingi dengan tarikan napas panjang penuh penyesalan.
"Sayang ibumu terlampau keras hati. Kalau menurut nasehatku, kita dapat menggunakan uang untuk membebaskan ayahmu dengan jalan halus sehingga mereka tidak perlu lagi melarikan diri dan rumah mereka disita."
Akan tetapi Kun Liong sudah tidak mendengarkan lagi karena dia telah menangis! Bukan main menyesal hatinya dan tampaklah dengan jelas sekarang betapa perbuatannya yang nakal dahulu itu ternyata telah menimbulkan mala petaka yang menimpa ayah bundanya! Ayah bundanya celaka karena dia!
Kegagalan mengobati itu tentulah karena tertumpahnya obat, ditumpahkan oleh Pek-pek, anjing peliharaan yang lari dikejar dan ditakut-takuti dengan mengikatkan kaleng-kaleng pada ekornya. Tentu ayahnya ditahan karena gagal mengobati, kemudian ibunya sudah membebaskan ayahnya. Oleh karena itu, ayah bundanya terpaksa melarikan diri. Mereka menjadi orang-orang buruan, menjadi pelarian dan rumah beserta toko disita pemerintah. Semua gara-gara dia!
"Sudahlah, Kun Liong, engkau jangan menangis. Masih untung bahwa mereka itu dapat menyelamatkan diri dan bahwa engkau ternyata juga selamat. Ke mana saja engkau pergi dari mengapa kepalamu gundul? Apakah engkau masuk menjadi hwesio?"
Kun Liong menggeleng-geleng kepalanya. "Aku pergi belajar ilmu, Kukong, dan tentang kepalaku... aku baru senang gundul, begitulah. Sekarang aku akan pergi menyusul ayah ibuku. Ke mana kiranya mereka pergi, Kukong?"
"Mana aku tahu? Mereka pergi tanpa memberi tahu dan sejak itu tidak pernah memberi kabar. Aihhh, semenjak kecil ayahmu memang berdarah perantau dan petualang!" Kakek itu menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya, kelihatan berduka sekali. "Dan engkau jangan pergi, biarlah menunggu saja di sini."
"Tidak, Kukong. Sekarang juga aku akan pergi mencari ayah ibuku." Kun Liong bangkit dari duduknya.
"Eh-eeehhh... nanti dulu, baru saja datang masa mau pergi lagi?"
"Biarlah, Kukong. Aku harus cepat dapat menemukan ayah bundaku."
Memang di dalam hatinya Kun Liong ingin segera menghadap ayah dan bundanya untuk menyatakan penyesalannya dan untuk minta ampun atas segala kesalahannya.
"Hemm, kau keras hati seperti ayahmu. Setidaknya engkau harus menerima bekal dariku, dan biar kusuruh carikan seekor kuda untukmu..."
"Tidak usah, Kukong. Aku dapat berjalan kaki, pula, tidak biasa menunggang kuda..."
"Aihhh, kalau begitu, kau harus membawa bekal uang, untuk keperluan di jalan." Tanpa menunggu jawaban, tergopoh-gopoh kakek itu berlari ke dalam kamarnya dan tidak lama kemudian dia sudah keluar membawa sebuah buntalan yang agak besar. "Terimalah ini, pakaian dan uang. Pakaian baru, mungkin agak kebesaran bagimu, akan tetapi engkau sih, terburu-buru, kalau tidak tentu dapat kusuruh buatkan beberapa stel."
Kun Liong tidak berani menolaknya, takut menyinggung perasaan paman kakeknya yang sudah tua itu. Dia menerima bungkusan dan mengangkat kedua tangan memberi hormat, mengucapkan terima kasih, kemudian meninggalkan rumah kakek itu yang mengantar sampai di depan toko sambil menarik napas berulang-ulang dan menggelengkan kepala dengan muka muram.
Setelah keluar dari kota Leng-kok, sejenak Kun Liong hanya berdiri bingung. Ke mana dia hendak menuju? Ke mana harus mencari ayah bundanya yang menjadi orang pelarian? Ke Cin-ling-san, bisik hatinya. Tak salah lagi, dalam menghadapi kesukaran itu tentu saja ayah bundanya pergi kepada supek-nya, Cia Keng Hong, Ketua Cin-ling-pai di Gunung Cin-ling-san!
Dengan langkah tegap dan hati mantap Kun Liong mulai melakukan perjalanan menuju ke Cin-ling-san. Memang dia belum pernah pergi ke tempat itu, akan tetapi ayahnya pernah menceritakan kepadanya di mana arah dan letaknya Cin-ling-san, yaitu tempat kediaman supek-nya yarig dipuji-puji oleh ayahnya dan terutama ibunya itu.
Kun Liong dapat melakukan perjalanan secara cepat karena sekarang dia tidak perlu lagi menunda-nunda perjalanan untuk bekerja dan mencukupi kebutuhan perutnya. Bekal uang yang diterima dari kukong-nya cukup banyak, malah lima stel pakaian dalam buntalannya itu cukup untuk dipakai ganti pakaiannya yang kotor dan sudah butut.
Beberapa pekan kemudian, karena hari sudah mulai gelap, dia berhenti di kota Taibun di sebelah selatan kota Tai-goan, di pinggir Sungai Fen-ho. Pegunungan Cin-ling-san sudah tidak terlalu jauh lagi. Kini dia sudah sampai di sebelah utara kota Sian dan Pegunungan Cin-ling-san terletak di sebelah selatan kota Sian, memanjang ke barat.
Ketika dia mengikuti pelayan menuju ke sebuah kamar di losmen kecil kota Taibun, dia menjadi perhatian para tamu lain. Dengan acuh tak acuh Kun Liong melangkah terus biar pun dia maklum bahwa seperti biasa, kepala gundulnya yang menarik perhatian orang.
Dia sudah terlalu biasa dengan hal ini sehingga tidak merasa mendongkol lagi seperti dahulu ketika mula-mula kepalanya menjadi gundul. Betapa pun juga, dia melirik dengan muka terasa panas sekali ketika melihat bahwa di antara mereka yang memandangnya dengan senyum ditahan, tampak juga seorang dara remaja yang cantik manis.
Biar pun dara itu cepat menutupi mulutnya dengan sapu tangan sutera ketika dia lewat, namun Kun Liong maklum bahwa seperti yang lain, tentu dara itu pun merasa lucu melihat seorang pemuda bukan pendeta berkepala gundul pelontos! Dia merasa malu dan juga jengkel.
Kalau orang lain yang mentertawakannya masih tidak mengapa. Akan tetapi seorang dara remaja! Buruk benarkah kepalanya? Dia menghampiri meja di mana terdapat tempat air yang disediakan pelayan tadi untuk mencuci muka. Melihat bayangan kepala gundulnya di dalam air, Kun Liong menyeringai dengan hati kesal. Celakanya, ketika dia menyeringai ini mukanya kelihatan makin tidak menyenangkan baginya, seolah-olah wajah berkepala gundul di dalam baskom air itu pun ikut-ikutan mengejek!
"Sialan kamu!" Dia memaki dan mencelupkan kepalanya ke dalam air baskom, sengaja membenamkannya sangat lama untuk menghukum muka yang mengejeknya itu sampai akhirnya terpaksa diangkatnya kembali mukanya dari dalam air dengan napas terengah-engah!
Digosoknya muka beserta kepala gundulnya kuat-kuat dengan sapu tangan. Air baskom sudah diam lagi sehingga dapat menampung bayangannya. Akan tetapi bayangan muka dan kepala yang kemerahan karena digosok kuat-kuat itu makin menyebalkan hatinya.
"Biarlah dia tertawa sampai mulas! Kepala dan mukaku sudah begini, siapa mau peduli?" Pikiran ini agak mendinginkan hatinya, akan tetapi dia masih merasa sebal dan melempar tubuhnya ke atas pembaringan.
Terbayanglah wajah yang ayu, lesung pipit yang manis bila mana wajah itu tertawa, dan terdengarlah seperti bisik-bisik di telinganya, "Tidak buruk, bahkan kelihatan bersih sekali. Yang banyak rambutnya mungkin malah penuh kutu. Hi-hik!"
Ahhh…, Li Hwa memang seorang dara yang ayu manis! Mungkin dia satu-satunya anak perempuan yang tidak membenci gundulnya, yang tidak mentertawakan gundulnya! Di manakah anak itu sekarang? Tentu sudah menjadi seorang dara remaja yang cantik! Dan tentu lihai bukan kepalang, karena dara itu adalah murid dari The Hoo, panglima yang kabarnya memiliki kesaktian seperti dewa itu!
Kun Liong menarik napas panjang, agak kecewa. Dia sadar dan kaget. Aihh, kenapa dia kecewa? Kenapa dia seperti menyesal dan berduka begitu teringat bahwa Li Hwa adalah murid The Hoo?
Dia bangkit duduk dan termenung, lalu meneliti diri sendiri. Ada apa dengan dia? Tadi, bayangan wajah Li Hwa, gema suara dara itu membuatnya gembira dan senang karena dahulu anak perempuan itu tidak mencela kepala gundulnya. Akan tetapi mengapa tanpa disadarinya, tiba-tiba dia menarik napas panjang dengan penuh sesal dan kecewa?
"Wah, apakah aku tiba-tiba merasa iri hati?" demikian celanya.
Tidak, bukan iri hati karena anak itu menjadi murid seorang sakti, karena dia sendiri juga telah diajar ilmu silat oleh Bun Hwat Tosu yang juga bukan manusia sembarangan. Habis kenapa? Karena putus harapan akibat melihat kedudukan Li Hwa terlalu tinggi untuk dia? Terlalu tinggi untuk apa? Pertanyaan ini seperti mengejek dan kembali Kun Liong merasa bimbang dan jengkel.
"Plakk!" Kepala gundulnya ditamparnya sendiri.
"Uhhh! Tolol benar! Tentu saja terlalu tinggi untuk menjadi temanmu. Habis apa lagi? Dan masih belum tentu lagi! Yang berteman bukan gurunya melainkan dia. Kalau memang dia mau berteman dengan aku, siapa berhak melarang? Dan kalau dia... wah celaka, aku sudah gila!" Kun Liong terbelalak.
"Plakk!" Gundulnya menjadi sasaran tangannya lagi.
"Apa-apaan ini mengenang dan bicara sendiri tentang Li Hwa sedangkan gadis itu tidak berada di sini? Tolol!"
Setelah menempiling gundulnya sekali lagi, Kun Liong pun tertidur pulas!
Dua jam kemudian dia terbangun oleh rasa laparnya. Cepat dia mencuci muka kembali, membawa bekal uang dan keluar dari losmen untuk mencari makanan. Melihat sebuah restoran yang cukup besar tak jauh dari losmen, dia segera melangkah masuk. Seorang pelayan menyambutnya.
"Apakah Siauw-suhu (pendeta cilik) hendak makan? Maaf, di restoran ini tidak disediakan makanan ciak-jai (sayur tanpa daging), harap Siauw-suhu mencari di warung lain saja."
Kun Liong menelan ludah berikut kata-kata makian yang sudah berada di ujung lidahnya. Setelah kemarahannya tertelan, dia berkata, "Aku bukan hwesio!"
"Ahh, maaf... Tuan. Apakah Tuan hanya sendirian saja? Sayang meja telah penuh semua, kecuali kalau Tuan suka makan dengan membonceng di meja tamu lain..."
Kun Liong mendengar suara ketawa ditahan dan cepat dia menoleh. Benar saja! Gadis remaja di losmen tadi yang kini lagi-lagi mendekap mulut dengan sapu tangan suteranya, menahan suara ketawa biar pun pundaknya bergoyang-goyang! Dan dua orang laki-laki yang duduk semeja dengan nona muda itu juga tersenyum.
Salah seorang di antara mereka, yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, segera mengangkat tangan berkata pada pelayan yang sedang longak-longok untuk mencarikan tempat duduk bagi Kun Liong. "Heii, bung pelayan! Biarlah Tuan muda itu duduk makan bersama kami, meja kami masih kosong!"
Pelayan itu tertawa lebar, mengajak Kun Liong menghampiri meja itu dan membungkuk mengucapkan terima kasih kepada orang yang menawarkan tempat duduk bagi Kun Liong itu, kemudian Si Pelayan menoleh kepada Kun Liong, bertanya, "Tuan hendak memesan makanan apa?"
"Ahh, tambah saja makanan yang kami pesan tadi untuk seorang lagi. Dia menjadi tamu kami!" kata seorang laki-laki yang ke dua dengan suara ramah. Si Pelayan mengangguk-angguk kemudian pergi.
Kun Liong masih berdiri di dekat meja mereka. Dua orang laki-laki itu kelihatan peramah. Yang lebih tua berusia empat puluh tahun, orang ke dua kurang lebih tiga puluh tahun, sedangkan dara remaja yang ternyata bermuka segar dengan sepasang pipi kemerahan, sepasang mata yang membayangkan kelincahan dan kejenakaan itu tentu tak akan lebih dari dia sendiri. Mungkin baru empat belas tahun. Akan tetapi seperti dua orang laki-laki itu, dara remaja itu pun membawa sebatang pedang di punggungnya!
Melihat dari sinar mata dan sikap dua orang laki-laki itu ramah dan bersungguh-sungguh menawarkan tempat untuknya, dan betapa dara remaja itu sudah tidak tertawa dan geli lagi, dia pun mengangguk dan berkata sederhana, "Terima kasih!" Kemudian duduk di atas bangku dekat meja, berhadapan dengan dara remaja itu.
Sepasang pipi Kun Liong masih tampak kemerahan karena tadi dia menahan kemarahan terhadap pelayan yang menyebutnya pendeta cilik. Melihat ini, laki-laki yang berusia tiga puluh tahun, berkata,
"Memang pelayan itu mengeluarkan kata-kata yang tidak menyenangkan, akan tetapi dia tidak sengaja, harap saja tidak dipusingkan lagi."
Kun Liong mengangguk tanpa menjawab. Matanya mengerling kepada dara remaja di hadapannya dan ternyata gadis kecil itu memandang kepadanya penuh perhatian secara terbuka, tidak seperti dara-dara lainnya yang dijumpainya di dalam perjalanan yang selalu memandang pada pria dengan cara sembunyi-sembunyi, bahkan memandangi gundulnya pun mereka lakukan dengan sembunyi. Kini dara ini tidak saja menatap wajahnya dengan sepasang mata yang jeli dan terang-terangan, bahkan agaknya mengagumi kepalanya yang gundul. Terlalu sekali! Dia menjadi malu dan terpaksa menundukkan muka seperti seorang kanak-kanak yang melakukan sesuatu yang terlarang.
Melihat ini laki-laki yang tertua berkata dengan suara menghibur, "Harap saja Siauw-suhu tidak usah malu sebab sekarang banyak saja hwesio yang melepaskan pantangan makan daging dan minum arak, dan..."
"Saya bukan hwesio!" Tiba-tiba Kun Liong memotong dan suaranya agak kaku karena dapat dibayangkan betapa sebal hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa orang yang disangkanya ramah ini pun ternyata menduga dia seorang pendeta cilik!
Mengertilah dia sekarang kenapa dia menjadi bahan tertawaan. Tentu dia dikira seorang hwesio yang sengaja menyamar dengan pakaian biasa agar dapat leluasa makan daging, minum arak, lupa kepada kepalanya yang gundul!
"Saya bukan hwesio, apa lagi hwesio yang berpura-pura suci tetapi diam-diam menyamar untuk dapat makan daging dan minum arak!"
Tiga orang itu saling pandang dengan mata terbuka lebar, dan tiba-tiba dara itu pun tak dapat menahan ketawanya. Biar pun dia cepat menutupi mulutnya dengan sapu tangan sutera hijaunya, namun masih tampak oleh Kun Liong betapa sepasang bibir yang merah itu terbuka, memperlihatkan rongga mulut yang lebih merah lagi dengan deretan gigi putih mengkilap.
"Brakkk!" Kun Liong menggebrak meja di hadapannya dengan kedua telapak tangannya, tidak terlalu keras akan tetapi cukup menyatakan kemendongkolan hatinya.
"Mengapa engkau mentertawakan aku?" Berbeda dengan sikapnya kepada laki-laki itu, dengan kata-kata cukup sopan biar pun penasaran, terhadap dara ini yang dianggapnya tidak lebih tua dari pada dia, Kun Liong bersikap kasar dan biasa saja, apa lagi karena dia marah mengira nona muda itu mentertawakannya.
Dara itu memandang Kun Liong, merasa semakin geli melihat pemuda remaja gundul itu marah-marah sehingga dari dekapan sapu tangannya masih terdengar kekehnya.
"Aihh, harap suka maafkan sumoi yang masih muda dan suka bergurau," laki-laki tertua berkata, kemudian dia menoleh kepada dara remaja itu sambil berkata, "Sumoi, sudahlah jangan tertawa sehingga menimbulkan salah paham."
Laki-laki ke dua juga cepat-cepat berkata, "Maafkanlah kami yang salah menduga karena sesungguhnya kami mengira bahwa engkau adalah seorang hwesio muda."
Dara remaja itu menurunkan sapu tangannya dan biar pun mulutnya tidak tersenyum lagi, akan tetapi sepasang matanya bersinar-sinar nakal, mulutnya cemberut sebab dia ditegur suheng-nya, lalu dia berkata sambil mengerling ke arah Kun Liong, "Salahnya sendiri! Orang semuda dia memakai potongan gundul, mana pantas? Sepatutnya dia memelihara rambut seperti orang muda pada umumnya."
"Punya hak apa engkau hendak mengurus kepala dan rambut orang? Ini adalah kepalaku sendiri, hendak kugundul, atau kupelihara rambut hingga ke kaki, engkau peduli apa? Apa bila engkau hendak mengatur kepalaku, aku pun bisa saja bilang bahwa kau tidak pantas mengatur rambutmu seperti itu, pantasnya engkau gundul seperti aku!"
"Ihhhhh...!" Dara remaja itu melompat berdiri dari bangkunya kemudian meraba gagang pedangnya. "Engkau... engkau menghina, ya?" bentaknya.
"Nah, itu! Kepala orang untuk main-main sesukanya, dibalas satu kali saja sudah mau mengamuk!"
"Gundul plontos! Kapan aku main-main dengan kepalamu?"
"Sumoi! Jangan lancang, simpan pedangmu!" Laki-laki tertua membentak sumoi-nya dan anak perempuan itu sudah menyarungkan kembali pedangnya, duduk di atas bangku dan cemberut, akan tetapi memandang kepada Kun Liong dengan mendelik.
Kun Liong bingung juga. Memang kalau dipikir, dara remaja ini tidak pernah main-main dengan kepalanya! Akan tetapi karena sudah terlanjur, dia menjadi nekat dan berkata, "Sudah dua kali engkau mentertawakan kepalaku, di losmen tadi dan di sini..."
"Hemm, apakah kalau aku tertawa itu berarti mempermainkan gun... eh, anumu? Apakah kalau aku hendak tertawa harus minta ijin lebih dulu darimu? Begitukah?"
Kun Liong termangu, tak dapat menjawab lagi. Dara ini ternyata pandai berdebat dan dia sudah didesak ke sudut.
"Sudahlah, Laote (Adik), harap maafkan kami. Nah, makanan sudah datang, marilah kita makan. Silakan!"
Akan tetapi Kun Liong sudah bangkit berdiri, menjura kepada dua orang laki-laki itu sambil berkata, "Harap Ji-wi twako (Kedua Kakak) sudi memaafkan saya. Setelah saya diundang makan oleh Ji-wi yang ramah, saya malah marah-marah, hal ini sangatlah kurang ajar, bagaimana siauwte (adik) berani menerimanya? Maafkanlah!"
Kun Liong mundur, mengangguk dan melangkah keluar dari restoran itu.
"Sian-sumoi, jangan!"
Kun Liong yang mendengar suara laki-laki tertua mencegah sumoi-nya ini, tidak menoleh. Jadi namanya pakai huruf Sian, ya? Hemm, anak perempuan yang sombong! Awas kau, ya? Ehhh, mengapa awas? Dia mau apa?
Ingin Kun Liong menampar kepalanya sendiri. Untung dia teringat bahwa banyak mata mengikutinya ke luar dari restoran itu. Tak lama kemudian dia memasuki restoran lain tak jauh dari situ, restoran yang lebih besar. Seorang pelayan menyambutnya dan cepat Kun Liong mendahuluinya berkata,
"Aku bukan hwesio. Aku mau pesan makanan dan minuman yang terbaik!"
Pelayan itu tercengang dan menatap gundulnya, kemudian tersenyum lebar dan dengan ramah mempersilakannya duduk. Di restoran ini masih ada banyak meja kosong dan Kun Liong duduk sendiri menghadap meja, tidak peduli akan pandangan mata para tamu yang sedang makan minum di ruangan itu.
Karena tidak mengenal nama-nama masakan, apa lagi yang mahal-mahal dan yang tidak pernah dimakannya, dia memesan yang mudah saja, yaitu nasi, bakmi, daging panggang dan arak! Mulailah dia makan dengan lahapnya karena memang perutnya sudah sangat lapar. Dia tidak ingat lagi kepada tiga orang di restoran tadi, meski pun suara dara remaja yang bernama Sian itu masih mengiang di telinganya.
"Yakinkah engkau bahwa mereka adalah kaki tangan pemerintah?" Suara ini halus dan kata-katanya teratur baik, bukan suara orang-orang kasar.
"Tentu saja yakin, Ouw-twako. Mereka bertiga sebenarnya adalah murid-murid Pendekar Gak Liong di Secuan, sedangkan Pendekar Gak adalah murid keponakan orang she The itu. Bahkan yang termuda, Nona Hwi Sian, biar pun usianya baru belasan tahun pernah menewaskan salah seorang anggota kami. Sekarang inilah saatnya Twako membuat jasa untuk Kwi-eng-pai."
"Hemm, mudah saja. Cantikkah nona itu?"
"Aih, Twako hanya memikirkan wanita cantik saja. Nona itu cantik jelita, hanya usianya baru empat belas tahun."
"Ha, lebih muda lebih menyenangkan. Benarkah mereka berada di restoran itu?"
"Benar, aku melihat mereka masuk tadi."
"Hayo, tunggu apa lagi? Kita datangi mereka."
"Jangan, Twako. Kota ini cukup besar dan karena mereka masih kaki tangan orang she The, tentu pembesar setempat akan membela mereka dan apa bila pasukan dikerahkan rencana kita bisa gagal. Sebaiknya kita membayangi mereka dan kalau mereka berada di tempat sunyi..."
"Sssttt... cukup. Mari minum!"
Diam-diam Kun Liong terkejut bukan main. Tadinya dia tidak tertarik akan percakapan dua orang yang duduk di meja sebelah belakangnya itu, akan tetapi ketika mereka menyebut-nyebut nama Hwi Sian, nona yang berusia empat belas tahun, segera dia teringat kepada dara remaja bernama Sian yang tadi cekcok dengan dia.
Apa lagi mendengar disebutnya Kwi-eng-pai, dia teringat akan anak buah Si Bayangan Hantu yang dulu menculik Li Hwa. Bukankah Kwi-eng-pai berarti Perkumpulan Bayangan Hantu dan besar kemungkinannya adalah orang-orang yang dulu menculik Li Hwa? Dan isi percakapan tadi sungguh mencurigakan sekali.
"Trakkk..." Sebuah di antara sumpit Kun Liong terjatuh, menggelinding di bawah mejanya.
Tentu saja hal ini dia sengaja dan dia pun telah merangkak ke kolong meja mengambil sumpitnya. Kesempatan ini dia pergunakan untuk berpaling dan memandang kepada dua orang yang duduk di sebelah belakangnya. Betapa kagetnya ketika dia mengenal dua orang itu.
Yang satu ialah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun, berwajah tampan. Berpakaian seperti seorang sastrawan kaya, yang dikenalnya sebagai Ouw Ciang Houw sastrawan yang dahulu pernah ikut di perahunya, kemudian memperkosa isteri guru silat Gui Tong yang kemudian mengakibatkan kematian suami isteri itu!
Ada pun orang ke dua adalah seorang laki-laki yang usianya lebih tua beberapa tahun, berpakaian serba kuning yang dikenalnya sebagai pemimpin gerombolan atau Ketua dari Ui-hong-pang di lembah Sungai Huang-ho, yang dulu menculik Li Hwa!
Tidak salah dugaannya. Teringat dia betapa orang ini, kalau tidak salah bernama Kiang Ti dan menurut Bun Hwat Tosu merupakan murid kepala Si Bayangan Hantu, dengan Ilmu Pukulan Hek-tok-ciang pernah menghantam Bun Hwat Tosu akan tetapi yang akibatnya payah bagi orang ini sendiri.
Kini dua orang jahat itu agaknya sudah bersekutu dan mempunyai niat yang tidak baik terhadap nona bernama Sian yang agaknya lengkapnya bernama Hwi Sian itu dan dua orang suheng-nya (kakak seperguruannya)! Menghadapi hal ini, berdebar-debar jantung Kun Liong dan lupa lagi dia akan percekcokannya dengan dara remaja itu. Dia menekan perasaannya dan dengan tenang dia segera membayar makanannya, keluar dari rumah makan dan diam-diam dia membayangi nona muda dan dua orang suheng-nya itu untuk melindungi mereka!
Semalam suntuk Kun Liong tidak tidur! Dia melakukan penjagaan secara diam-diam, siap untuk melindugi tiga orang yang menurut pendengarannya tadi adalah cucu keponakan murid dari ‘orang she The’ yang diduganya tentulah Panglima Besar The Hoo, mengingat bahwa panglima itu dimusuhi oleh Si Bayangan Hantu seperti yang diceritakan oleh Bun Hwat Tosu kepadanya.
Akan tetapi, pada malam hari itu tidak terjadi sesuatu kecuali dia sendiri yang dikeroyok nyamuk karena melakukan penjagaan di luar kamar. Akan tetapi Kun Liong tak menyesal, bahkan merasa lega bahwa pagi-pagi sekali tiga orang itu sudah berangkat meninggalkan losmen. Dia pun segera membayar uang sewa kamar, kemudian dengan diam-diam dia terus membayangi tiga orang itu yang keluar dari kota Taibun menuju ke timur!
Biar pun Kun Liong mempunyai tujuan perjalanan ke selatan, akan tetapi pada saat itu dia sama sekali tidak ingat akan hal ini dan terus membayangi tiga orang itu keluar dari kota dan tidak lama kemudian mereka melalui sebuah hutan yang sunyi di kaki Pegunungan Thai-hang-san.
Tiga orang itu melakukan perjalanan tidak tergesa-gesa dan di sepanjang jalan mereka bersenda gurau, atau lebih tepat lagi, dara remaja itu yang selalu mengajak kedua orang suheng-nya untuk bersenda gurau. Dilihat dari jauh, jelas bahwa dara remaja itu memang berwatak lincah gembira, dan diam-diam ada juga dugaan di dalam hati Kun Liong bahwa dara remaja itu bergurau tentang kepala gundulnya!
Tiba-tiba terjadilah seperti yang diduganya. Lima orang meloncat keluar dari balik batang pohon! Kenapa ada lima orang? Kun Liong cepat menyelinap di antara pohon-pohon dan bersembunyi, mengambil keputusan untuk tidak langsung turun tangan membela sebelum tenaganya dibutuhkan.
Dia maklum bahwa tiga orang yang ‘dilindungi’ itu adalah orang-orang yang pandai ilmu silat dan pandai pula menjaga diri. Yang membuat dia heran adalah lima orang yang muncul itu. Kenapa di antara mereka tidak ada Kiang Ti dan Ouw-siucai (Sastrawan Ouw) yang cabul? Atau barang kali lima orang ini adalah anak buah Ui-hong-pang yang disuruh turun tangan lebih dulu?
"Siapakah kalian? Apakah perampok-perampok buta yang tidak bisa melihat orang?" Dara remaja itu sudah membentak dan berdiri dengan sikap gagah, sedikit pun tidak kelihatan takut sehingga mengagumkan hati Kun Liong.
Pemuda gundul ini pun memandang dengan penuh perhatian pada lima orang itu. Mereka ini semua berpakaian serba putih seperti orang-orang berkabung. Mendengar pertanyaan dara itu, lima orang tadi menggerakkan kedua tangan.
"Singgggg...!"
Lima batang golok besar tercabut mengeluarkan suara berdesing dan tangan kiri mereka masing-masing telah mengeluarkan sebuah benda berwarna biru sebesar telapak tangan yang mereka pasangkan di baju mereka sebelah kiri depan dada. Kini nampaklah oleh Kun Liong bahwa benda itu adalah sebuah ukiran bunga teratai putih pada dasar biru. Perkumpulan Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih)!
"Aihh, kiranya Ngo-wi (Tuan Berlima) dari Pek-lian-kauw? Ada maksud apakah Ngo-wi menghadang perjalanan kami tiga saudara?"
"Hemm, apakah kalian masih perlu bertanya lagi?" Seorang di antara lima orang itu, yang berjenggot panjang dan bermata sipit sekali berkata, "Bukankah kalian bertiga adalah tiga pendekar dari Secuan, murid-murid Gak Liong dan kalian sedang membantu pemerintah memusuhi kami?"
Laki-laki tinggi kurus itu kini berdiri tegak di dekat sumoi-nya dan berkata dengan suara lantang, "Benar! Aku bernama Poa Su It, ini suteku Tan Swi Bu, dan sumoi-ku Lim Hwi Sian. Kami bertiga adalah murid-murid Pendekar Gak di Secuan. Akan tetapi kami bukan orangnya pemerintah sungguh pun harus kami akui bahwa Suhu menugaskan kami untuk membantu Susiok-couw (Paman Kakek Guru) The Hoo untuk membersihkan negara dari para pengacau yang membuat negara kacau dan rakyat menderita!"
"Bagus! Karena itulah maka kami menghadang dan minta nyawa kalian!" Teriak orang Pek-lian-kauw yang berjenggot panjang dan ucapannya itu agaknya merupakan komando karena tiba-tiba saja lima orang Pek-lian-kauw itu sudah menyambit dengan tangan kiri, disusul gerakan mereka menerjang ke depan.
Tiga orang pendekar Secuan itu menggerakkan tubuh, dengan ringan sekali meloncat ke kanan dan kiri menghindarkan diri dari sambaran senjata rahasia yang berbentuk kuncup teratai itu, kemudian mereka pun sudah mencabut pedang masing-masing menghadapi para pengeroyok.
Kun Liong memandang kagum. Terutama sekali ia kagum bukan main menyaksikan dara remaja yang kini sudah dia ketahui namanya, Lim Hwi Sian, menggerakkan pedangnya menghadapi seorang anggota Pek-lian-kauw, sedangkan dua orang suheng-nya masing-masing dikeroyok dua oleh lawan.
Dara remaja itu ternyata lihai ilmu pedangnya. Pada waktu dia melirik ke arah dua orang laki-laki yang dikeroyok empat orang Pek-lian-kauw, mengertilah ia mengapa dara remaja itu jauh lebih muda dari pada dua orang itu, menjadi adik seperguruan mereka, hal yang tadinya amat mengherankan hatinya. Kiranya ilmu pedang dara itu tidak kalah lihai oleh kedua orang suheng-nya, dan bahkan dalam ilmu meringankan tubuh melebihi mereka. Mungkin dara itu kalah dalam hal tenaga saja.
Pertandingan itu tidak berlangsung lama, karena lima orang itu segera terdesak hebat. Terdengar seorang di antara mereka, mungkin Si Jenggot, mengeluarkan bunyi bersuit nyaring. Lima orang yang sudah menderita luka-luka goresan pedang itu membanting senjata di atas tanah dan terdengar ledakan-ledakan disusul asap putih tebal.
Tiga orang pendekar Secuan cepat melompat ke belakang karena khawatir kalau-kalau terkena senjata rahasia atau asap beracun. Ketika mereka akan mengejar dengan jalan menghindari asap, ternyata lima orang itu telah lenyap.
Kun Liong bernapas lega. Tidak perlu dia turut campur. Untung dia tadi masih bertahan dan tidak muncul. Kalau dia muncul, melihat betapa dara remaja itu dan kedua orang suheng-nya dengan mudah dapat menghalau lawan, tentu dia akan mendapat malu dan bukan tidak mungkin dia akan menjadi bahan ejekan dara manis itu! Selain itu, dia sendiri belum tahu apakah dia mampu melawan seorang saja dari kelima anggota Pek-lian-kauw tadi!
Sungguh pun dia telah mendapat gemblengan dasar ilmu silat tinggi dari ayah bundanya, kemudian dilatih oleh Bun Hwat Tosu yang sangat sakti, namun dia sendiri tidak dapat mengukur hingga di mana keampuhan ilmu yang dia miliki. Tanpa bertanding menghadapi lawan, bagaimana dia mampu mengukur diri sendiri? Akan tetapi, dia amat benci dengan perkelahian. Dia mempelajari ilmu bukannya untuk berkelahi, melainkan untuk mencegah terjadinya kejahatan yang mengandalkan ilmu silat.
"Orang-orang Pek-lian-kauw sungguh menjemukan!" Lim Hwi Sian berkata sambil kembali menyarungkan pedang dan mengebut-ngebutkan bajunya yang terkena debu.
"Merekalah yang memusuhi orang-orang yang tidak berdosa, akan tetapi mereka selalu mengatakan bahwa pemerintah memusuhi mereka. Apa bila mereka tidak memberontak, kiranya Susiok-couw tidak akan memerintahkan para pembantu untuk menentangnya dan Suhu tentu tidak menugaskan kita," Tan Swi Bu juga berkata.
"Kata-kata yang baik!" Tiba-tiba terdengar suara orang dan tahu-tahu di situ telah muncul dua orang laki-laki yang tersenyum-senyum.
Jantung Kun Liong berdebar tegang pada saat melihat dua orang yang memang sedang dinanti-nantikan kemunculannya itu. Ouw Ciang Houw Si Sastrawan cabul dan Kiang Ti, Ketua Ui-hong-pang.
Melihat dua orang yang tidak terkenal akan tetapi kemunculannya yang secara tiba-tiba membuktikan ilmu kepandaian mereka yang tinggi, tiga orang pendekar Secuan menjadi kaget. Lim Hwi Sian sudah mencabut pedangnya dan membentak dengan suara nyaring, "Apakah kalian juga orang-orang Pek-lian-kauw?!"
Ouw-siucai tersenyum lebar dan memandang Hwi Sian dengan sinar mata kagum penuh gairah. "Nona kecil yang manis dan pandai ilmu pedang, sungguh mengagumkan sekali!"
"Cih! Keparat bermulut lancang!" Hwi Sian sudah menyerang dengan tusukan pedangnya. Akan tetapi dengan gerakan amat ringan Ouw-siucai miringkan tubuhnya dan mendorong pundak dara itu sehingga terhuyung ke depan.
"Ihhhh... iblis keparat!"
"Sumoi, tunggu dulu!" menyaksikan ketangkasan sastrawan itu, Poa Sut It cepat-cepat mencegah sumoi-nya, kemudian dia berkata kepada mereka, "Melihat pakaian dan sikap Ji-wi, agaknya Ji-wi bukan dari Pek-lian-kauw. Siapakah Ji-wi dan ada keperluan apakah dengan kami?"
"Ha-ha-ha-ha-ha!" Kiang Ti tertawa bergelak. "Kalian adalah kaki tangan The Hoo seperti yang kami dengar dalam percakapan kalian dengan orang-orang Pek-lian-kauw tadi, dan karena itulah maka kalian semua harus kami bunuh, kecuali nona ini yang sudah lancang membunuh seorang anggota kami, maka dia harus menebus dosa lebih dahulu di dalam tangan Ouw-siucai, ha-ha-ha!"
Kun Liong merasa sebal mendengar ini dan kini dia mengerti kenapa Ketua Ui-hong-pang yang usianya lebih tua itu menyebut twako (kakak) terhadap Ouw-siucai, agaknya untuk menghormat karena dia memerlukan tenaga bantuan siucai cabul itu. Diam-diam dia ingin sekali keluar lalu membuka kejahatan mereka, akan tetapi dia takut menjadi bahan ejekan Hwi Sian, juga dia ingin melihat apakah tiga orang itu sanggup menghadapi dua orang ini yang agaknya lebih lihai dari pada kelima orang Pek-lian-kauw tadi. Karena itu dia tetap bersembunyi sambil menonton penuh perhatian.
Poa Sut It dan kedua orang adik seperguruannya memandang kepada Kiang Ti dengan tajam, kemudian terdengar Hwi Sian membentak, "Kiranya engkau orang Ui-hong-pang, kaki tangan iblis betina Si Bayangan Hantu!"
"Bocah bermulut lancang!" bentak Kiang Ti. "Engkau berani memaki guruku? Aku adalah Ketua Ui-hong-pang!" Berkata demikian, dia sudah menubruk maju untuk menyerang Hwi Sian.
"Eiiit, ingat, dia untukku, Kiang-pangcu (Ketua Kiang)!" Ouw-siucai berkata dan langsung menghadang sehingga Ketua Ui-hong-pang itu kini menggunakan kedua tangannya untuk menyerang Poa Sut It dan Tan Swi Bu.
Melihat pukulan yang hebat dari tangan yang berubah menghitam, dua orang ini maklum bahwa pukulan yang ini tidak boleh dipandang ringan. Mereka cepat mengelak kemudian memutar tubuh membalas dengan serangan pedang mereka dari kanan kiri.
Kiang Ti terkejut sekali melihat berkelebatnya dua sinar pedang yang amat cepat itu, dari kiri menyambar ke arah lehernya sedangkan sinar pedang dari kanan menyambar ke arah kaki. Tak ada jalan lain baginya kecuali meloncat ke belakang dengan cepat, menjatuhkan diri bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Pada saat dia meloncat kembali, tangan kanannya telah memegang senjatanya yang tadinya dililitkan di pinggang, yaitu sebatang rantai baja lemas yang pada ujungnya dipasangi bola baja. Mukanya agak pucat karena serangan kedua orang lawannya tadi benar-benar amat dahsyat.
"Hiaaaattttt…!"
Ketua Ui-hong-pang ini mengeluarkan pekikan panjang dan dia sudah menerjang maju sambil memutar senjata rantai bajanya.
"Cringgg…! Tranggg…!"
Dua orang lawannya menangkis dengan pedang hingga tampak bunga api berpijar ketika senjata rantai itu bertemu dengan pedang-pedang itu. Selanjutnya terjadilah pertandingan yang seru antara mereka, namun segera rantai baja terhimpit dan terdesak oleh kedua sinar pedang, membuat Kiang Ti terpaksa harus mengeluarkan seluruh tenaganya dan sebentar saja dia sudah mandi keringat.
Hati Kun Liong merasa lega ketika dia melihat keadaan kedua orang suheng dari Hwi Sian itu karena dia maklum bahwa keadaan mereka tidak perlu dikhawatirkan. Akan tetapi ketika dia melihat keadaan Hwi Sian sendiri, dia menjadi amat terkejut dan diam-diam dia mencari tempat pengintaian yang lebih dekat.
Walau pun ilmu pedang dara itu sangat tangkas, namun ternyata dia bukanlah tandingan Ouw-siucai atau Ouw Ciang Houw yang amat lihai. Sambil tersenyum-senyum sastrawan cabul itu mempermainkan Hwi Sian, hanya dengan tangan kosong menghadapi pedang dara remaja itu, mengelak ke sana ke mari sambil mengejek dan menggoda,
"Aih, luput lagi, Nona manis! Kalau marah begini engkau bertambah cantik saja. Aihhh, tidak kena! Wah, kedua pipimu menjadi merah jambon, ingin aku menciumnya!"
Ketika pedang menyambar ke dada, siucai itu membuat sedikit gerakan dan pedang itu sudah dijepitnya di bawah lengan, kemudian dia mendekatkan mukanya hendak mencium pipi Hwi Sian sambil memperdengarkan suara menyedot.
"Biadab...!" Hwi Sian memaki dan cepat-cepat menarik tubuh atasnya ke belakang sambil menendangkan kakinya ke arah perut lawan dan menarik pedangnya dengan sepenuh tenaganya.
"Wahhh, galaknya! Makin galak semakin menyala!" Ouw-siucai melepaskan pedang yang dijepit lengan, kemudian menyambar kaki yang menendang.
Nyaris kaki itu tertangkap, akan tetapi ternyata Hwi Sian cukup cerdik. Sebelum kakinya tertangkap, pedangnya sudah berkelebat membabat dari samping ke arah tangan yang hendak menangkap kakinya. Pada waktu lawan menarik tangannya, dia pun meloncat ke belakang dengan muka amat merah, siap untuk bertanding mati-matian sebab dia maklum bahwa lawannya benar-benar amat lihai.
"Ouw-twako... lekas robohkan dia dan bantulah aku...!" terdengar Kiang Ti berseru minta bantuan kepada temannya.
"Ha-ha-ha-ha, baiklah, Kiang-pangcu. Nah, kau tidurlah dulu, Nona manis, nanti aku akan menemanimu!"
Sambil berkata demikian, Ouw Ciang Houw menerjang dengan hebatnya, menggunakan jari-jari tangannya untuk menotok dengan sasaran jalan-jalan darah pada tubuh nona itu. Repot sekali Hwi Sian mengelak dan melindungi tubuh dengan pedang, akan tetapi dia terdesak hebat dan agaknya tidak lama lagi benar-benar dia harus tidur dulu oleh totokan!
"Ouw-siucai sastrawan keparat!" Tiba-tiba Kun Liong sudah melompat keluar dari tempat sembunyinya dan langsung dia mengulur tangannya hendak menangkap dan mendorong pundak Ouw Ciang Houw. Gerakannya bukanlah serangan berdasarkan ilmu silat, tetapi hanya sekedar untuk menyuruh siucai itu mundur dan tidak mendesak Hwi Sian.
Melihat munculnya seorang pemuda tanggung yang berkepala gundul, Ouw Ciang Houw menyangka seorang hwesio muda, maka dia cepat mengelak. Akan tetapi tanpa disadari sendiri oleh Kun Liong, pemuda itu telah memiliki gerakan yang amat luar biasa. Karena hatinya ingin memegang pundak dan mendorong, otomatis gerakannya pun mengandung unsur Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun yang dapat memotong jalan delapan penjuru, karena itu pengelakan Ouw Ciang Houw sia-sia saja, tahu-tahu pundak siucai itu dapat didorongnya sehingga tubuh Ouw-siucai terhuyung ke belakang!
"Ehhh...!" Ouw-siucai berseru kaget bukan main karena dia sendiri tidak tahu bagaimana elakannya sampai gagal, hanya dia merasa lega bahwa tenaga dorongan ‘hwesio’ muda itu ternyata tidaklah begitu hebat. "Hwesio busuk dari mana berani berlancang tangan mencampuri urusanku?" bentaknya sambil memandang dengan mata melotot kepada Kun Liong.
Kalau saja tidak disebut hwesio masih mending, akan tetapi kini bahkan disebut hwesio busuk, tentu saja perut Kun Liong terasa panas. Maka sepasang matanya memandang dengan sinar mata bercahaya aneh dan tajam menusuk sehingga Ouw-siucai sekali lagi terkejut setengah mati. Mata itu tiba-tiba menjadi mata setan, pikirnya seram.
"Engkau ini seorang sastrawan, akan tetapi berwatak cabul, genit, dan tersesat. Apakah engkau akan mengulangi perbuatanmu yang biadab di perahu itu lima tahun yang lalu?" Kun Liong menegur. "Bukankah sudah banyak kitab kuno yang kau baca, yang mengajar bagaimana orang harus hidup benar? Sudah lima tahun namun belum bertobat, belum sadar malah semakin gila!"
Untuk ke tiga kalinya siucai itu terkejut dan heran. "Siauw-suhu dari kuil dan golongan mana? Harap tidak mencampuri urusan ini karena urusan ini adalah persoalan pribadi dan permusuhan dari kedua golongan!"
Makin mendalam kerut alis Kun Liong, apa lagi ketika mendengar suara ketawa tertahan di belakangnya. Dia sudah hafal benar suara ketawa tertahan dari Hwi Sian itu!
"Aku bukan dari kuil dan golongan mana pun juga!" Dia membentak. "Bahkan aku sama sekali bukan hwesio. Engkau Ouw Ciang Houw sastrawan sesat yang dulu memperkosa isteri guru silat Gui Tiong di perahuku, kemudian mengakibatkan matinya suami isteri itu. Ingat?"
Untuk ke empat kalinya Ouw Ciang Houw terbelalak heran. "Wah-wah...!" Kemudian dia menggaruk-garuk kepalanya. "Jadi kau... Si Gundul bocah tukang perahu itu...?"
"Wuuuuttt, plakkk!"
Kembali Ouw Ciang Houw terhuyung karena Kun Liong telah menampar pipinya dan biar pun tadi dia mengelak, tetap saja pipinya kena tampar! Hal ini amat mengherankan bagi Ouw Ciang Houw yang berkepandaian tinggi, akan tetapi sama sekali tak mengherankan bagi Kun Liong.
Pemuda gundul ini hanya mengira bahwa sastrawan itu barusan tidak sungguh-sungguh mengelak, maka dorongannya tadi dan tamparannya mengenai sasaran! Dia tidak sadar bahwa sesudah memiliki Ilmu Silat Tinggi Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin), setiap gerakannya memang mengandung gaya yang luar biasa sehingga sukar diduga lawan ke mana hendak meluncur!
"Bocah setan, agaknya kau sudah bosan hidup!" Ouw Ciang Houw menjadi marah sekali dan dengan pengerahan tenaganya dia lalu memukul ke arah kepala dan dada Kun Liong secara cepat sekali dengan kedua tangannya.
Kun Liong paling anti apa bila kepalanya dibuat permainan, apa lagi dipukul. Sesudah dia gundul, segala sesuatu yang menyinggung kepalanya benar-benar menyakitkan hatinya, maka kini dia mengangkat tangan menangkis pukulan yang mengancam kepalanya. Akan tetapi, pukulan ke arah dadanya tak sempat ditangkisnya lagi, maka otomatis bergeraklah tenaga sinkang yang dilatih selama lima tahun.
"Bukkk! Auuuuwww... duhhh...!"
Ouw Ciang Houw memegangi tangan kirinya yang seolah-olah remuk rasanya pada saat membentur dada Kun Liong tadi.
"Engkau malah berani memukul kepalaku, ya? Benar-benar engkau orang jahat dan perlu dihajar!" Kun Liong sudah maju dan tangan kirinya bergerak dari depan memukul dada lawan.
Biar pun kesakitan, Ouw Ciang Houw yang dapat menduga bahwa Si Gundul ini memiliki kepandaian aneh. Dia segera menangkis, akan tetapi sungguh di luar dugaannya ketika tiba-tiba kepalanya ditempiling oleh tangan kanan Kun Liong dari belakang.
"Plenggg…!" Dan dia terguling!
Inilah keistimewaan gerak Pat-hong Sin-kun! Serangan pertama dari depan hanya untuk memancing perhatian, sedangkan serangan susulan datang dari arah berlawanan. Dalam ilmu silat sakti ini banyak serangan macam ini yang datang dari delapan penjuru!
Ouw Ciang Houw hanya merasa kepalanya pening saja, maka begitu terguling dia dapat meloncat berdiri lagi. Kemarahannya membuat mukanya berubah pucat sekali, tangannya lantas meraba punggung dan tampaklah cahaya berkilat ketika dia mencabut pedangnya menerjang Kun Liong.
"Trangggg…!"
Hwi Sian telah menangkis pedang itu, padahal tentu saja Kun Liong pun sudah siap untuk menghindarkan serangan tadi. Terjadilah pertandingan pedang yang seru antara Hwi Sian dan sastrawan itu.
Melihat betapa hanya dalam belasan jurus dara itu langsung terdesak hebat, Kun Liong menjadi khawatir sekali. Untuk maju dengan tangan kosong saja dia merasa ngeri, maka dia lalu meloncat ke atas pohon, mematahkan sebuah dahan pohon dan meloncat turun terus langsung menerjang Ouw-siucai dengan senjata dahan di tangan. Begitu menerjang tentu saja dia menggunakan gerakan dari Ilmu Siang-liong-pang dan hebat bukan main akibatnya!
Bukan hanya Ouw-siucai yang cepat berloncatan mundur, bahkan Hwi Sian juga bingung melihat tiba-tiba banyak sekali tongkat melayang ke sana-sini dengan ganasnya sehingga dara itu pun segera meloncat mundur! Akan tetapi, tongkat dahan itu terus menyerang Ouw-siucai yang berusaha menangkis dengan pedangnya.
Celaka baginya, tongkat yang ditangkis itu seperti dapat mengelak dan tahu-tahu lengan kanannya yang memegang pedang terpukul tongkat. Bukan main nyeri rasanya sehingga kalau saja dia tidak mempertahankan pedangnya dengan tenaga sinkang, tentu pedang itu akan terlepas. Akan tetapi, gebukan kedua menyusul tanpa dapat diduganya.
“Bukk!” terdengar suara dan tubuhnya kembali terguling karena pantatnya sudah terpukul sehingga daging pinggul rasanya remuk-remuk!
Kini maklumlah Ouw-siucai bahwa kalau dia melanjutkan pertandingan, dia dan temannya akan mati konyol. Maka dia bersuit keras, tubuhnya mencelat ke dekat temannya yang sedang didesak hebat, lalu pedangnya bergerak menangkis memberi kesempatan kepada Kiang Ti untuk melepaskan diri dari kepungan sinar pedang lawan, kemudian keduanya melompat jauh dan melarikan diri tanpa berani menoleh sama sekali!
Tiga orang itu hendak mengejar, akan tetapi Kun Liong segera berkata, "Mereka sudah mendapatkan pelajaran, tentu sudah bertobat. Perlu apa dikejar lagi?"
Poa Su It menyuruh kedua adiknya berhenti, kemudian mereka menghampiri Kun Liong dan orang tertua di antara mereka itu lantas menjura, "Ah, kiranya Laote adalah seorang pendekar muda yang berilmu tinggi!"
"Sungguh kami telah bersikap kurang hormat!" kata pula Tan Swi Bu.
"Ji-wi Suheng (Kakak Seperguruan Berdua), kalau tidak ada dia, tentu sumoi-mu ini telah celaka di tangan siucai busuk tadi!" kata Lim Hwi Sian yang kini memandang kepada Kun Liong dengan sinar mata penuh kagum.
Kun Liong mengerutkan alisnya dan membuang tongkatnya dengan hati mengkal. Masih berdengung di telinganya suara ketawa Hwi Sian tadi pada saat dia disebut hwesio busuk oleh Ouw-siucai. Kini mereka memuji-mujinya. Siapa tahu di balik pujian bibir manis dari dara itu tersembunyi ejekan terhadap kepala gundulnya!
Dengan suara dingin dia berkata, "Aku hanyalah seorang gundul yang tidak ada artinya. Selamat tinggal!" Sesudah berkata demikian, dia lalu melangkah pergi tanpa menengok lagi.
"Ehhh, sungguh aneh!" kata Tan Swi Bu.
"Hemm, dia marah, agaknya masih marah karena engkau pernah mentertawai kepalanya, Sumoi!" Poa Sut It berkata menyesal. Dia tahu bahwa pemuda tanggung yang gundul itu adalah seorang yang luar biasa, dan sebetulnya dia ingin sekali tahu siapakah pemuda itu dan murid siapa.
Lim Hwi Sian juga merasa menyesal, apa lagi ketika dia teringat betapa tadi belum lama ini dia terpaksa tertawa lagi melihat Ouw-siucai yang jahat juga salah duga, menganggap pemuda itu seorang hwesio!
"Biarlah aku minta maaf kepadanya!" katanya lalu berlari mengejar Kun Liong yang sudah lenyap di balik sebuah tikungan.
Kedua orang suheng-nya hanya saling pandang dan membiarkannya saja, bahkan tetap menunggu di sana dengan harapan mudah-mudahan sumoi mereka dapat menyabarkan hati pemuda gundul yang luar biasa itu sehingga mereka dapat saling berkenalan.
"Taihiap, tunggu dulu...!"
Kun Liong amat terkejut dan heran mendengar suara wanita ini. Sebelum dia menengok, tampak bayangan berkelebat dari belakangnya dan kiranya Hwi Sian kini sudah berdiri di depannya dengan wajah sungguh-sungguh.
Dia menyebut aku ‘taihiap’! Jantung Kun Liong berdebar. Sebuah ejekan barukah ini? Dia disebut pendekar besar! Bila dara itu kembali mengejeknya, pasti akan dimakinya! Diejek orang lain tidak apa-apa, akan tetapi diejek dara ini! Sakit hatinya! Kini dia sadar bahwa sikap pemarahnya akhir-akhir ini mengenai kepala gundulnya adalah karena orang-orang melakukannya di depan dara ini.
"Kau... kau mau apakah menyusul aku?" tanyanya, gagap karena pandangan mata dara itu benar-benar membuat dia canggung, malu dan bingung.
"Kami tahu bahwa Taihiap marah, dan memang sepantasnyalah kalau Taihiap..."
"Ahh, sebutanmu ini ejekan ataukah pujian kosong? Kalau ejekan, tidak perlu kita bicara lagi, kalau pujian kosong, kuharap jangan lakukan itu. Aku tidak suka disebut Taihiap, baik ejekan mau pun pujian."
Sepasang mata yang jeli dan indah itu terbuka lebar-lebar, memandang bingung. "Habis disuruh menyebut apakah aku ini?"
"Namaku Kun Liong, Yap Kun Liong, bukan pendekar besar, bahkan bukan pula pendekar kecil. Sebut saja namaku, beres!"
"Wah, mana aku berani? Bia aku menyebut Yap-enghiong (Orang Gagah Yap) saja."
"Aku bukanlah enghiong, bukan pula bu-hiap (pendekar silat), aku hanya seorang gundul yang..."
"Stop! Kau benar-benar marah besar dan semua adalah karena kesalahanku! Kami sudah berhutang budi padamu, bahkan mungkin aku berhutang nyawa, dan aku telah membuat engkau marah besar dan sakit hati. Tidak... tidak adakah maaf bagiku?"
Melihat sinar mata itu sayu penuh penyesalan dan suara itu demikian minta dikasihani, kekerasan hati Kun Liong akibat kemarahannya tadi hancur luluh, mencair bagaikan salju digodok! Cepat dia mengangguk dan menjawab, "Tentu saja aku memaafkanmu, bahkan tidak perlu kau minta maaf karena sebetulnya aku tidak marah kepadamu, hanya... ehhh, malu karena kepalaku..."
"Mengapa dengan kepalamu? Kepalamu tidak apa-apa, bahkan... hemmm... baik sekali bentuknya!"
"Sesungguhnyakah?"
"Aku berani bersumpah tidak membohongimu. Yap-enghiong, ehhh..."
"Jangan sebut enghiong segala, namaku Kun Liong, tanpa embel-embel."
"Kun... Kun Liong, kini aku telah berhutang nyawa kepadamu, bagaimana aku akan dapat membalasmu?"
"Hemmm, berkali-kali kau menyatakan hutang nyawa, nama pun belum kau perkenalkan kepadaku, Lim Hwi Sian!"
"Ehh, engkau tahu...?"
Kun Liong tersenyum dan sinar matanya kini sudah berseri penuh kenakalan.
"Setan gundul tentu saja tahu segala!"
Mata yang jernih itu terbelalak. "Engkau sangat aneh, orang sudah berhati-hati untuk tidak menyinggungmu, engkau malah memaki-maki diri sendiri setan gun..."
"Teruskan saja! Ha-ha-ha, memang kepalaku gundul. Nih, halus bersih, kan?" Kun Liong menundukkan kepalanya dan mengelus-elusnya. "Kau boleh menyebut aku gundul seribu kali asal jangan mentertawakan. Asal engkau tidak jijik melihatnya."
"Siapa yang jijik? Aku bahkan senang melihatnya. Memang lucu, akan tetapi lucu bukan berarti buruk. Contohnya, seorang bayi selalu lucu, dan tidak pernah buruk! Semua orang ingin memeluk dan menciumnya."
"Wah, apakah kepalaku juga menimbulkan hasrat orang untuk menciumnya?" Kun Liong memandang nakal dan senyumnya melebar ketika dia melihat dara itu tersipu-sipu malu dan sepasang pipinya berubah kemerahan, apa lagi bibirnya yang menjadi merah sekali. Tiba-tiba saja Kun Liong ingin kepalanya dicium oleh bibir seperti itu!
"Engkau memang orang yang lucu dan gagah, Kun Liong. Aku sudah kau tolong, entah bagaimana aku dapat membalas kebaikanmu."
"Benarkah engkau ingin membalasnya? Dan engkau tidak akan marah kalau aku minta kau melakukan sesuatu untuk membalasnya?"
"Tidak, Kun Liong. Bagaimana aku bisa marah kepadamu?"
"Sumpah?"
"Sumpah apa?"
"Bahwa engkau tidak akan marah kepadaku?"
"Aku bersumpah!"
"Wah, engkau mudah sekali bersumpah, Hwi Sian."
"Tentu saja, karena memang aku sungguh-sungguh. Sudahlah, lekas katakan saja, apa permintaanmu itu?"
"Aku... aku... ehhh... aku ingin kau... hemmm..."
"Mau apa sih engkau ini? Ah-ah eh-eh, ham-ham hem-hem seperti orang gagu."
"Hwi Sian, aku ingin kau... ehh…, mencium gundulku satu kali saja!"
Hwi Sian terbelalak, hidungnya kembang kempis, kedua pipinya merah sekali akan tetapi matanya mengeluarkan cahaya aneh, tersipu dan berseri. "Dekatkan kepalamu," katanya lirih.
Kun Liong hampir tidak percaya. Dia sudah khawatir kalau dara remaja itu marah dan kalau marah, dia pun tidak akan menyalahkan Hwi Sian. Siapa sangka dara itu menerima permintaannya! Dengan kulit muka merah sampai ke kepalanya, dia menundukkan kepala dan agak membungkuk di depan Hwi Sian.
Dengan kedua tangan, tanpa ragu-ragu gadis itu memegang pinggiran kepalanya, lantas menunduk dan mencium kepala gundul itu, mencium lagi, mencium lagi. Tiga kali, bukan hanya satu kali seperti yang dimintanya!
Berdebar tidak karuan rasa jantung Kun Liong. Kepalanya yang disentuh hidung dan bibir hangat basah itu terasa geli seperti digelitik, rasa geli yang menembus seluruh tubuhnya, membakar darahnya hingga membuat mukanya merah, napasnya agak terburu. Dengan mendadak dia mengangkat mukanya menengadah, kemudian dengan tubuh masih agak membungkuk dia berkata, "Kau baik sekali... uppphh..."
Karena dia membuat gerakan menengadah sedangkan Hwi Sian masih menunduk di atas kepalanya, tanpa disengaja mulut mereka bersentuhan, membuat keduanya meloncat ke belakang dengan muka merah padam!
"Ehh... ohhh... maafkan, aku, Hwi Sian, aku tak sengaja...! Terima kasih, engkau... engkau sungguh baik sekali, selama hidup takkan kulupakan saat ini..."
"Ihhh... huu-hukk..." Dara itu tiba-tiba terisak, membalikkan tubuh lalu melompat dan lari pergi meninggalkan Kun Liong!
"Hwi Sian...!" Kun Liong memanggil, akan tetapi dara itu terus lari dan lenyap di tikungan.
Kun Liong tak berani mengejar, merasa malu sekali kalau peristiwa tadi sampai diketahui kedua orang suheng dara itu. Dia pun lalu melanjutkan perjalanannya sambil mengangkat kedua pundak beberapa kali, kemudian tersenyum-senyum bila mana teringat betapa Hwi Sian sudah mencium kepalanya sampai tiga kali, bahkan ada tambahannya yang sangat hebat, yaitu pertemuan bibir mereka tanpa sengaja.
Dia memejamkan mata sambil menarik napas panjang. Diusapnya kepala yang dicium tadi dan dibawanya jari tangan yang mengusap itu ke depan hidung dan mulut, menyedot penuh kegirangan karena seolah-olah tercium olehnya bau harum seperti yang diciumnya ketika Hwi Sian berada di dekatnya tadi. Semua ini dilakukan dengan mata terpejam dan kaki masih melangkah berjalan.
"Bruuuusss…!"
Kun Liong jatuh menelungkup karena kakinya tertumbuk pada akar pohon. Dahinya benjol sedikit, dia bangkit berdiri dan diusapnya benjolan itu, akan tetapi mulutnya masih tetap tersenyum ketika dia melanjutkan perjalanan.
Ternyata kegembiraan hati Kun Liong tidak berlangsung lama karena kurang lebih dua jam kemudian setelah dia berpisah dari Hwi Sian dan memasuki hutan ke dua, tiba-tiba dia bertemu dengan serombongan orang yang membuat dia terkejut bukan main.
Rombongan ini terdiri dari delapan orang dan semua orang ini sudah dikenalnya. Dua orang sudah jelas adalah Ouw Ciang Houw dan Kiang Ti yang tadi melarikan diri, dan lima orang lagi adalah anggota Pek-lian-kauw yang tadi pun melarikan diri setelah dihajar oleh Hwi Sian dan dua orang suheng-nya.
Akan tetapi yang seorang lagi adalah seorang berpakaian seperti tosu, usianya tentu lebih dari enam puluh tahun, memegang tongkat yang panjangnya hanya tiga kaki saja. Yang mengejutkan hati Kun Liong sehingga membuat dia bisa mengenal tosu ini adalah karena mata tosu itu seperti mata orang buta, hanya tampak putih saja tanpa ada manik mata yang hitam. Tidak salah lagi, tosu ini tentulah Loan Khi Tosu, tokoh Pek-lian-kauw yang pernah diusir oleh ayahnya pada waktu hendak membunuh tiga orang perwira pengawal di Leng-kok!
"Nah, itu dia setan cilik gundul!" Kiang Ti dan Ouw Ciang Houw membentak ketika mereka melihat Kun Liong berjalan seenaknya. "Dialah yang terlihai di antara mereka!"
Kun Liong berdiri dan menenangkan hatinya yang sebenarnya tidak tenang karena dia maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang kejam. Akan tetapi karena dia tidak merasa bersalah, seujung rambut pun dia tidak merasa takut.
Dengan tegak dia berdiri sambil membiarkan delapan orang itu mengurungnya, kemudian dia pun bertanya kepada Ouw Ciang Houw, Kiang Ti, dan Loan Khi Tosu yang berdiri di depannya, "Cu-wi (Anda Sekalian) ini mau apakah mengurung aku yang tidak bersalah apa-apa?"
Mendengar suara ini, Loan Khi Tosu menggerak-gerakkan dua biji matanya dan berusaha memandang lebih jelas. Sungguh pun matanya yang lamur hanya dapat melihat bentuk seorang pemuda tanggung berkepala gundul, namun telinganya mampu menangkap lebih jelas lagi, membuat dia merasa yakin bahwa yang berdiri di hadapannya adalah seorang anak laki-laki berusia paling banyak enam belas tahun.
Yang membuat dia heran adalah karena di dalam suara itu terkandung keberanian dan ketenangan yang tak dibuat-buat dan dalam keadaan dikurung lawan sikap tenang seperti ini hanyalah sikap seorang jagoan yang mempunyai kepandaian tinggi dan sudah percaya penuh akan kemampuannya. Tentu saja dia tidak tahu bahwa Kun Liong bersikap tenang bukan karena mengandalkan kemampuannya, melainkan karena tidak merasa bersalah.
"Ah, dia hanya seorang anak laki-laki yang belum dewasa benar," Loan Khi Tosu berkata dengan nada mencela. Menghadapi seorang anak-anak saja, mengapa teman-temannya ini kewalahan dan kelihatan jeri benar?
"Biar pun dia masih kecil, dialah yang melindungi tiga pendekar Secuan itu dan karena dia maka mereka dapat lolos!" kata Kiang Ti.
"Hemm, bocah. Engkau siapakah dan mengapa engkau mencampuri urusan kami?" Tosu itu kini bertanya.
"Loan Khi Tosu, aku tidak pernah suka mencampuri urusan orang lain, hanya tidak ingin melihat orang menggunakan ilmu silat untuk menyerang, melukai atau membunuh orang seperti yang kau lakukan di kuil di luar kota Leng-kok dahulu itu!"
"Siancai...!" Loan Khi Tosu mengerutkan sepasang alisnya. "Engkaukah setan cilik itu? Saudara-saudara tangkap dia ini! Dia adalah putera Yap Cong San di Leng-kok!"
"Ehh...?" Kiang Ti yang banyak mengenal tokoh-tokoh persilatan karena dia adalah ketua perkumpulan Ui-hong-pang, berseru kaget, "Tetapi, bukankah Yap-sinshe (Tabib Yap) itu adalah murid Siauw-lim-pai?"
"Bukan murid Siauw-lim-pai lagi," kata Loan Khi Tosu. "Dia sudah tidak diakui lagi dan hal ini tentu saja tidak ada sangkut pautnya dengan Siauw-lim-pai."
"Tapi... sekarang ayahnya menjadi pelarian, dimusuhi pemerintah!" Kembali ada bantahan dan sekali ini dari mulut Ouw Ciang Houw datangnya.
"Benar, dan karena itulah maka kita tak akan membunuhnya, hanya akan menangkapnya sebagai sandera. Kita perlu bantuan orang pandai, dan dengan dia sebagai umpan, maka kita dapat memancing tenaga bantuan dari ayah bundanya, dan siapa tahu, kelak Siauw-lim-pai juga..."
Mengertilah para teman tosu itu sehingga serentak mereka lantas menubruk maju hendak menangkap Kun Liong. Kun Liong sendiri masih tidak mengerti akan maksud percakapan mereka, maka dia sibuk mengelak dan menangkis.
"Ehh, ehhh, kalian ini mau apa? Aku tidak ingin berkelahi! Di antara kita tidak ada urusan apa-apa!"
Akan tetapi, percuma saja Kun Liong berteriak-teriak dan karena ada tujuh orang yang mengeroyoknya, semua mempunyai kepandaian tinggi, repot juga dia dan beberapa kali tubuhnya kena hantaman. Meski pun semua pukulan itu meleset karena secara otomatis sinkang-nya yang istimewa itu membuat setiap pukulan meleset, tapi kulit tubuhnya terasa panas dan nyeri-nyeri juga, apa lagi setelah beberapa kali ada pukulan mengenai kepala dan mukanya, mulai terasa panas perut Kun Liong.
Dia sendiri tidak tahu kenapa semenjak belajar pada Bun Hwat Tosu, terutama semenjak dia mempelajari sinkang yang aneh itu, setiap kali datang kemarahan, perutnya menjadi panas. Dia tidak tahu bahwa ini adalah akibat latihan sinkang istimewa dari bekas Ketua Hoa-san-pai itu!
Tadinya para pengeroyok itu tidak ingin memukul karena sesuai dengan perintah Loan Khi Tosu yang memimpin rombongan itu, mereka hanya ingin menangkap. Akan tetapi setelah beberapa kali tangan mereka yang hendak mencengkeram dan menangkap selalu meleset, mereka menjadi penasaran dan mulai mempergunakan kepalan!
"Hiaaaatttttt…!"
Tiba-tiba Kun Liong berseru, tubuhnya digoyangkan seperti seekor anjing menggoyang tubuhnya yang basah, dan tujuh orang yang mengeroyoknya seperti semut itu terdorong mundur semua. Marahlah pemuda gundul itu sesudah mukanya biru-biru dan kepalanya benjol-benjol, tubuhnya nyeri semua.
Mulailah dia memainkan Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun dengan teratur. Dapat dibayangkan betapa heran hatinya setelah dia mainkan ilmu ini, hanya dalam beberapa gebrakan saja serangannya langsung membuat tiga orang pengeroyok jatuh tersungkur dan terdengar teriakan kaget dari mulut para pengeroyoknya!
Akan tetapi karena dia tidak mempunyai niat melukai lawan, apa lagi membunuh, maka dorongan-dorongan sebagai pengganti pukulan itu hanya membuat lawannya roboh saja tanpa terluka sehingga mereka bisa bangkit kembali. Jika saja setiap pukulannya disertai tenaga sinkang-nya yang istimewa, agaknya sekali saja terkena pukulannya, setiap lawan itu tentu tak akan mudah untuk bangkit kembali!
Melihat sepak terjang pemuda gundul itu, Loan Khi Tosu terheran-heran. Dia tahu bahwa ayah anak ini memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dari padanya, akan tetapi ilmu silat yang dimainkan anak ini luar biasa anehnya dan sama sekali bukan ilmu silat Siauw-lim-pai biar pun ada terasa olehnya dasar-dasar gerakan ilmu silat Siauw-lim-pai.
Demikian tajam pendengaran tosu setengah buta ini sehingga pendengarannya bisa lebih tajam menangkap setiap gerakan dari pada pandang mata seorang yang awas! Cepat dia menggerakkan tongkatnya pada waktu yang tepat, dan robohlah Kun Liong, tertotok jalan darah pada pundaknya. Beberapa orang segera menindih tubuhnya dan kaki tangannya dibelenggu dengan tali terbuat dari kulit kerbau yang kuat!
"Wah, kalian ini orang-orang sesat yang jahat sekali ! Apakah kalian tidak mempedulikan hukum lagi? Di mana peri kemanusiaan kalian? Tidak tahukah kalian akan hukum dunia dan akhirat?"
Akan tetapi delapan orang itu hanya tertawa seolah-olah mendengar kelakar yang lucu. Perut Kun Liong makin terasa panas. Kalau saja tubuhnya dapat digerakkan, tidak lumpuh oleh totokan Loan Khi Tosu yang lihai, kiranya dia masih sanggup meloloskan diri dari belenggu itu. Kini tidak ada lain jalan untuk melampiaskan kemarahannya selain dengan suara mulutnya.
"Loan Khi Tosu, engkau berpakaian pendeta akan tetapi hatimu amat kejam melebihi iblis. Engkau seorang munafik tak tahu malu. Pakaian pendeta yang kau pakai itu hanya untuk menutupi kekotoran batinmu. Engkau membunuhi manusia tanpa berkejap mata, bukan karena matamu lamur, melainkan karena mata batinmu sudah buta sama sekali!"
"Bukkkk!"
Untung bagi Kun Liong bahwa Loan Khi Tosu masih ingat kalau pemuda gundul itu amat penting bagi Pek-lian-kauw, jika tidak tentu dia sudah membunuhnya dengan tongkatnya, bukan hanya menggebuk punggung pemuda itu. Akan tetapi karena Kun Liong tak dapat mengerahkan sinkang-nya, gebukan itu cukup membuat punggungnya seperti patah dan rasanya nyeri bukan main sampai menembus ke tulang sumsum.
Biar pun demikian, dia tidak mengeluh, hanya memejamkan mata sebentar menahan rasa nyeri, kemudian membuka mata setelah rasa nyerinya berkurang dan memaki lagi. "Ouw Ciang Houw manusia cabul! Engkau pun munafik besar, aksinya saja berpakaian indah mewah seperti sastrawan, berlagak seperti orang terpelajar dan sudah kenyang membaca kitab, akan tetapi agaknya engkau menghafal semua ayat kitab suci hanya untuk pamer, padahal sebetulnya, di balik semua keindahan itu terdapat kebusukan yang menjijikkan! Engkau tukang memperkosa wanita, perampas isteri orang dan tidak segan membunuh mereka. Agaknya, isteri semua temanmu ini pun sudah kau incar..."
"Desss…!"
Ouw Ciang Houw mengirim pukulan keras ke arah dada. Karena tidak ingin membunuh, walau pun sangat marah, sastrawan itu hanya menggunakan tenaga kasar sehingga Kun Liong menjadi pingsan! Pukulan itu seperti mengusir semua hawa dari dalam dadanya, menghentikan napasnya.
"Siancai... kau terlalu sembrono, Ouw-sicu! Dia bisa mati kalau tidak segera kubebaskan totokannya!" Dengan tongkatnya, tosu itu menotok pundak Kun Liong sehingga terbebas dari totokan. Biar pun masih pingsan, pemuda gundul itu dapat bernapas lagi dan bebas dari cengkeraman maut.
Sesudah siuman, Kun Liong mendapatkan dirinya dipanggul oleh salah seorang di antara para anggota Pek-lian-kauw. Rombongan itu telah melanjutkan perjalanan dan hari sudah mulai gelap sehingga mereka berjalan dengan tergesa-gesa untuk dapat keluar dari hutan itu sebelum gelap.
Kun Liong mendongkol bukan main. Dia dipanggul seperti seekor babi yang dibelenggu kuat-kuat. Kepalanya tergantung di belakang punggung orang tinggi besar itu, di dekat ketiak sehingga terpaksa hidungnya tersiksa oleh bau yang keluar dari ketiak penuh bulu dan keringat itu! Dia tahu bahwa ketiak berkeringat mengeluarkan bau tidak sedap, akan tetapi belum pernah hidungnya tersiksa seperti ini, terus-menerus begitu dekat dengan ketiak yang bukan tak sedap lagi baunya, melainkan keras menyengat membuat dia ingin muntah! Apa lagi kepalanya tergantung terus sehingga mendatangkan pusing!
Tapi betapa girangnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa totokannya telah terbebas! Dengan hati-hati dia menggerakkan sinkang dari pusarnya, dan dengan bantuan sinkang ini dia mengerahkan ilmu melemaskan diri Sia-kut-hoat maka berhasillah dia meloloskan tangannya yang dapat dilemaskan itu dari belenggu. Karena sudah merasa tak tahan lagi, pertama-tama yang dilakukan adalah menampar pundak orang yang memanggulnya.
"Krekkk!"
Tamparan itu membuat sambungan tulang pundak orang itu terlepas. Orang itu memekik dan tubuh Kun Liong terlepas. Tentu saja dia terbanting karena dua kakinya masih dalam keadaan terbelenggu. Sebelum dia sempat melepaskan belenggu kakinya, Loan Khi Tosu sudah menotoknya kembali dan kedua tangannya langsung dibelenggu lagi dengan lebih erat dari pada tadi!
Sekali lagi dia dipanggul oleh orang lain, bahkan kini oleh Kiang Ti sendiri, dengan tubuh bagian atas di depan supaya kedua tangannya dapat selalu diawasi oleh pemanggulnya. Kembali kepalanya tergantung, akan tetapi hidungnya tidak tersiksa lagi biar pun hidung itu kini sering terbentur pada perut Kiang Ti!
Rombongan itu bermalam di sebuah kuil di luar hutan. Mereka membagi-bagi makanan, akan tetapi Kun Liong tidak mau makan. Dia tidak memaki lagi, hanya diam saja namun diam-diam dia mencari akal bagaimana dapat lolos dari orang-orang lihai itu.
Dia maklum bahwa yang amat lihai hanyalah tiga orang, yaitu Loan Khi Tosu, Ouw Ciang Houw, dan Kiang Ti. Kalau bisa lolos dari tiga orang ini, mudah saja mengalahkan lima orang anggota Pek-lian-kauw.
Dia mendengarkan percakapan mereka, karena itu tahulah dia bahwa ternyata ada kontak hubungan antara Pek-lian-kauw dan Kwi-eng-pai yang dipimpin oleh Si Bayangan Hantu. Sedangkan Kiang Ti sebagai murid Si Bayangan Hantu yang sudah berdiri sendiri dan mengetuai Ui-hong-pang, menjadi perantara. Inilah sebabnya mereka bisa bekerja sama.
Sedangkan Ouw Ciang Houw berniat untuk membantu atau menghambakan diri kepada Si Bayangan Hantu yang terkenal sebagai seorang di antara Lima Datuk Kaum Sesat yang sakti dan berpengaruh. Karena dia juga menggunakan Kiang Ti sebagai perantara, maka tentu saja dengan senang hati dia bergabung dengan Pek-lian-kauw.
"Dengan bantuan yang sangat berharga dari Ketua Kwi-eng-pai, pinto yakin bahwa dalam waktu singkat perjuangan rakyat akan berhasil!" kata Loan Khi Tosu dengan suara penuh semangat.
Ingin sekali Kun Liong berteriak membantah, akan tetapi tubuhnya terlampau lemah dan lemas sehingga dia hanya membantah dalam hati saja. Huh, betapa banyaknya di dunia ini orang-orang seperti Loan Khi Tosu. Dunia ini penuh dengan manusia-manusia yang mencuri dan membonceng nama rakyat demi kepentingan diri pribadi. Sungguh tak tahu malu manusia-manusia seperti itu.
Sejarah sudah menunjukkan betapa kekuasaan-kekuasaan jatuh bangun di dunia ini, dan semua kekuasaan itu, pada waktu bangkit, pada waktu berusaha merenggut kekuasaan, selalu menggunakan nama rakyat jelata! Demi rakyat! Pencinta rakyat! Dan masih banyak lagi nama-nama yang dipakai untuk tercapainya cita-cita mereka.
Pemerintah yang sekarang ini, di bawah kekuasaan Kaisar Yung Lo, saat memperebutkan tahta kerajaan dengan keponakannya sendiri ketika perang saudara, juga menggunakan nama rakyat untuk mendapat dukungan. Sebaliknya, pemerintah lama sebelumnya juga selalu membonceng kepada nama rakyat.
Dengan sendirinya rakyat menjadi pecah belah, karena yang mendukung dianggap rakyat sedangkan yang tidak mendukung tentu saja dianggap musuh! Dan musuh ini tentu saja dianggap rakyat oleh pihak lawan. Maka dengan sendirinya rakyat yang menjadi korban. Rakyat menjadi bingung dijadikan permainan orang-orang seperti Loan Khi Tosu dan para pimpinan Pek-lian-kauw.
Setelah kini Yung Lo menang dan menjadi kaisar, timbul lagi penentangnya, yang paling hebat adalah Pek-lian-kauw yang kembali mempergunakan nama rakyat sebagai dasar perjuangannya! Akan dibawa ke manakah rakyat ini? Apakah selama dunia berkembang rakyat hanya akan menjadi permainan belaka untuk memuaskan nafsu ambisi beberapa gelintir manusia yang menamakan diri sebagai pemimpin-pemimpin rakyat?
Pernahkah ditemui mereka yang tadinya menggunakan nama rakyat dalam perjuangan, sesudah berhasil dalam perjuangannya, benar-benar ingat kepada rakyat jelata? Ataukah mereka itu lalu menjadi lupa karena mabok akan kemenangan, mabok akan kedudukan dan kemuliaan, seperti pemetik buah lupa akan bangku yang diinjaknya untuk mengambil buah setelah buah itu terdapat olehnya? Rakyat hanya dianggap sebagai bangku tempat berpijak, atau sebagai batu loncatan, atau sebagai boneka-boneka!
"Harap Totiang jangan khawatir! Saya berani pastikan bahwa Subo (Ibu Guru) tentu akan suka bekerja sama dengan Pek-lian-kauw, karena cita-cita Subo hanya untuk membikin hancur manusia she The itu, dan juga pemerintah yang banyak merugikan golongan kami. Kalau Subo sendiri turun tangan, siapa yang berani menentang? Kwi-eng-pai terkenal di seluruh dunia, dan nama besar Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, siapakah yang tidak gentar mendengarnya?" kata Kiang Ti dengan bangga, menyombongkan nama besar gurunya.
"Sayang saya sendiri belum beruntung berhadapan dengan gurumu itu, Saudara Kiang. Akan tetapi saya yakin, dengan perantaraanmu ini saya akan dapat menghadap Kwi-eng Niocu (Nona Bayangan Hantu) yang namanya sudah lama kudengar sebagai seorang di antara para datuk dunia persilatan. Kabarnya, di antara para datuk, ada dua orang wanita, pertama adalah Kwi-eng Niocu, dan yang ke dua ialah Siang-tok Mo-li. Benarkah?" tanya Ouw Ciang Houw.
Kiang Ti, Ketua Ui-hong-pang itu mengangguk-angguk. "Benar demikian, akan tetapi aku sendiri pun belum pernah bertemu dengan Siang-tok Mo-li (Iblis Betina Racun Wangi). Kabarnya dia masih belum tua benar dan amat lihai, sungguh pun aku tidak percaya akan lebih lihai dari Subo."
"Dan siapakah datuk-datuk yang lain, Kiang pangcu?"
"Yang saya ketahui hanya tiga orang. Pertama adalah Subo, ke dua Siang-tok Mo-li, dan ke tiga Ban-tok Coa-ong. Yang dua orang lagi entah siapa. Akan tetapi, saya sendiri juga belum pernah bertemu dengan mereka dan hanya mendengar dari Subo saja. Sudahlah, kita tidak perlu membicarakan mereka, bahkan Subo sendiri pernah melarang saya untuk menyebut-nyebut nama mereka. Menurut desas-desus, dengan menyebut nama mereka saja sudah cukup untuk mengundang mereka."
"Ihhh...!" Ouw Ciang Houw yang berwatak kejam itu merasa ngeri!
"Siancai... ketua kami ingin sekali dapat mengadakan kontak dengan para datuk. Mudah-mudahan melalui hubungan dengan Kwi-eng-pai, kami akan bisa pula menghubungi para datuk yang lain," kata Loan Khi Tosu.
Percakapan segera dihentikan. Mereka mengaso dan Kun Liong yang amat tertarik akan percakapan tadi pun mencoba untuk tidur. Akan tetapi dia tidak dapat tidur. Percakapan tadi membuat dia teringat pada Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, kakek yang mengerikan seperti ular itu. Si Raja Ular (Coa ong) itu patut menjadi datuk kaum sesat, kekejamannya luar biasa, lebih-lebih puteranya yang bernama Ouwyang Bouw itu.
Meremang bulu tengkuk Kun Liong kalau dia teringat akan ayah dan anak raja ular itu. Kepalanya kini menjadi gundul gara-gara ayah dan anak itulah. Setelah ia digigit oleh ular beracun dan terkena jarum beracun Ouwyang Bouw, rambutnya rontok semua! Kelak dia harus memberi hajaran kepada Ouwyang Bouw agar tidak ada orang yang dibikin gundul seperti dia lagi, memberi hajaran sampai bertobat betul-betul baru dia mau sudah!
Selanjutnya,