Petualang Asmara Jilid 11
Merahlah wajah Giok Keng. Sungguh memalukan sekali. Murid-murid kepala Cin-ling-pai sampai harus mengeroyok dua orang kakek itu! Dan ada enam orang murid yang terluka.
Dengan sudut mata dia melihat betapa enam anggota Cin-ling-pai yang terluka itu masih pingsan dan ada tanda telapak tangan hitam pada tubuh mereka, di pipi, di leher, bahkan pukulan yang mengenai pundak atau dada membuat baju hangus terbakar dan kulitnya juga ternoda hitam berbentuk telapak tangan. Diam-diam dia merasa terkejut dan marah. Tak salah lagi, tentulah itu pukulan beracun, kalau bukan Hek-tok-ciang (Tangan Beracun Hitam) tentu semacam itu.
"Paman Kwee berdua, mundurlah!"
Teriakan Giok Keng ini membuat hati Kwee Kin Ta dan empat orang sute-nya membesar, dan mereka segera meloncat ke belakang. Dua orang kakek itu membalik tubuhnya dan memandang Giok Keng penuh perhatian.
Mereka berdua lalu menjura dan kakek yang bermuka putih bertanya, "Apakah Nona ini Cia-siocia (Nona Cia) yang terhormat? Kami berdua adalah Siang-lo-kui (Dua Setan Tua) dari..."
"Tidak peduli kalian ini sepasang setan, sepasang iblis atau siluman dari neraka, kalian sudah bosan hidup. Mampuslah!" Tiba-tiba Giok Keng menggerakkan kedua tangannya dan segulung sinar merah muda menyambar ke depan, ke arah kedua orang kakek itu.
Dua orang kakek yang mengaku berjuluk Sepasang Setan Tua itu terkejut sekali. Sinar merah muda itu adalah ujung sabuk sutera merah muda yang menyambar cepat bukan main, dan kedua ujung sabuk itu telah menyambar seperti ular-ular hidup mengarah jalan darah kematian di leher kedua orang kakek itu.
Dari angin sambaran ujung sabuk itu mengertilah mereka bahwa apa bila totokan ujung sabuk itu mengenai sasaran, maka mereka benar-benar terancam bahaya maut! Cepat keduanya meloncat dan mengelak, akan tetapi betapa terkejut hati mereka ketika kedua sinar merah muda itu seolah-olah hidup dan terus mengejar mereka, tetap menghujankan totokan-totokan maut bertubi-tubi! Dengan kaget sekali terpaksa mereka membuang diri ke belakang dan bergulingan di atas tanah sehingga membuat totokan-totokan itu sukar untuk mengenai sasaran.
Melihat ini, dalam kegemasannya Giok Keng cepat merobah serangan, kini menggunakan kedua ujung sabuknya bukan untuk menotok jalan darah yang tidak mungkin berhasil lagi karena dua orang kakek itu terus menggerakkan tubuh, melainkan untuk melecut! Sabuk sutera merah muda itu dipegang di bagian tengah, karena itu gerakan kedua tangannya membuat kedua ujung sabuk itu melecut-lecut dan mengeluarkan suara ledakan-ledakan keras.
"Tar-tar-tat-tar...!"
Kedua orang kakek itu berusaha mengelak, namun tetap saja tubuh mereka terkena hujan cambukan, membuat pakaian mereka robek-robek dan kulit tubuh mereka luka-luka. Biar pun hanya luka di bagian luar yang ringan, akan tetapi mengeluarkan darah dan rasanya cukup nyeri dan pedih!
"Tar-tar... wuuuuttt! Aihhh!"
Giok Keng berteriak kaget dan marah ketika tiba-tiba ujung sabuk suteranya terhenti di udara. Ketika dia membalik, tahu-tahu kedua ujung sabuk itu telah dipegang oleh seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah sekali! Dia terkejut. Sabuk sutera di tangannya adalah senjata yang hebat, dengan ilmu yang dia pelajari dari ibunya.
Ibunya sangat terkenal dengan Ilmu Pek-in Sin-pian (Cambuk Lemas Awan Putih) yang dimainkan dengan sabuk sutera putih. Dia tidak menyukai warna putih seperti ibunya, melainkan lebih suka menggunakan sabuk warna merah muda. Biar pun ilmu cambuknya belum semahir dan sehebat ibunya, tapi menurut ibunya sudah cukup untuk menghadapi senjata lawan yang bersifat keras. Kini tahu-tahu kedua ujung sabuknya dapat dipegang oleh seorang lawan, hal ini membuktikan bahwa lawan ini tentu amat lihai!
Pemuda itu sudah berkata kepada kedua orang kakek dengan nada suara memerintah, "Kalian mundurlah! Sungguh tak tahu diri berani melawan Cia-siocia!"
Setelah kedua orang kakek itu mundur, pemuda itu menjura kepada Giok Keng dengan sikap menghormat sekali sambil berkata dengan wajah berseri, bibir tersenyum dan suara halus.
"Saya mohon dengan hormat sudilah Cia-siocia untuk memaafkan dua orang paman ini. Sesungguhnya kedatangan kami bukan dengan maksud buruk. Saya Liong Bu Kong dan bersama kedua Paman Siang-lo-kui datang hendak menghadap Ketua Cin-ling-pai, Yang Mulia Cia Keng Hong Locianpwe..."
"Cukup!" Giok Keng langsung memotong ucapan pemuda itu dengan bentakan nyaring. "Tidak membawa maksud buruk tetapi melukai enam orang anggota Cin-ling-pai. Ditebus nyawa pun masih belum impas!" Sesudah berkata demikian, dengan tangan kiri dara itu menggulung sabuknya lalu menyimpannya, ada pun tangan kanannya bergerak mencabut pedang.
"Singggg…!"
Sinar putih menyilaukan mata berkelebat ketika pedang yang terbuat dari perak murni itu tercabut. Itulah pedang Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak) yang terbuat dari perak dan diukir bunga-bunga, pedang pemberian ibunya. Biar pun dia tidak suka akan warna puth seperti ibunya, namun pedang itu amat indah buatannya, pula merupakan sebuah pusaka yang ampuh, maka Giok Keng sayang sekali kepada pedangnya ini.
"Eiiitt, Nona, tunggu... saya bukan hendak bermusuh..."
"Wuuuuttt... singggg…!"
Sinar putih itu menyambar laksana kilat dan andai kata tidak dielakkan cepat-cepat oleh pemuda yang mengaku bernama Liong Bu Kong itu, tentulah leher itu akan terbabat putus dan kepala dengan wajah ganteng itu akan berpisah dari tubuhnya!
Liong Bu Kong terpaksa harus berloncatan ke kanan kiri dan ke atas, dan terpaksa pula dua kali menggulingkan tubuhnya di atas tanah, terus dikejar oleh sinar putih menyilaukan mata itu.
"Nanti dulu, Nona...!”
“Brettt…!" Ujung lengan baju yang dipakai pemuda itu terbabat buntung. Nyaris tangannya yang buntung!
"Srattt…!"
Pemuda itu mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kebiruan dan terpaksa menggunakan pedangnya menangkis.
"Tringgg... cranggg... tranggg…!"
Bunga api berpijar-pijar ketika berkali-kali dua batang pedang itu bertemu di udara. Giok Keng merasa betapa telapak tangannya panas dan pedangnya tergetar, tanda bahwa selain lawan memiliki sinkang yang kuat, juga pedangnya yang bersinar biru itu adalah sebatang pedang yang baik dan hebat pula.
"Nona... sabarlah, saya tidak ingin bertanding..."
"Singgg... trangggg…!"
Kembali pemuda itu menangkis dan tangan Giok Keng gemetar dan terasa panas telapak tangannya.
"Tak usah banyak cakap!" bentak Giok Keng.
Dia kembali sudah menerjang dengan ganas. Maklum bahwa lawannya lihai dan memiliki pedang pusaka pula, Giok Keng langsung menyerang dengan pengerahan tenaga dan menggunakan jurus-jurus pilihan. Namun dia terkejut dan diam-diam kagum sekali karena pemuda itu selain memiliki tenaga sinkang amat kuat, juga mempunyai kecepatan gerak mengagumkan sehingga setiap serangannya mampu dihindarkan dengan tangkisan atau elakan.
Para anggota Cin-ling-pai dan kedua orang kakek tadi menonton dengan mata terbelalak penuh kagum menyaksikan betapa dua gulung cahaya pedang putih dan biru saling belit, saling desak dan saling dorong. Demikian terangnya cahaya kedua pedang itu sehingga menyelimuti bayangan kedua orang yang memainkannya.
"Tahan senjata!" Bentakan ini menggetarkan jantung kedua orang muda yang sedang bertanding, membuat tangan mereka menggigil beberapa detik sehingga gerakan mereka tertahan.
Detik-detik ini cukup bagi Keng Hong untuk menangkap kedua tangan yang memegang pedang lalu mendorong Giok Keng dan pemuda itu sampai terhuyung ke belakang. Selagi pemuda itu terhuyung, Keng Hong sudah menggerakkan tangannya. Jari-jari tangannya menangkap ujung pedang bersinar kebiruan, tenaga sinkang mukjijat dia keluarkan, dan jari-jari tangan membuat gerakan menekuk.
"Krakkk!" Ujung pedang pusaka yang mengeluarkan sinar kebiruan itu patah!
Pemuda itu terbelalak dengan muka pucat bukan main. Matanya memandang pedang di tangannya yang sudah menjadi pedang buntung. Hampir dia tidak dapat percaya. Begitu mudahnya Ketua Cin-ling-pai itu mematahkan pedang pusakanya, seolah-olah pedang itu sama dengan sebatang lidi kering saja! Padahal pedangnya merupakan sebatang pedang pusaka yang ampuh!
Diam-diam dia bergidik ngeri membayangkan betapa kuat jari-jarl tangan orang setengah tua yang berdiri tenang di depannya itu, lebih ngeri lagi ketika mendengar suara Cia Keng Hong yang halus, penuh kesabaran dan ketenangan, namun juga penuh wibawa,
"Orang muda, siapa pun adanya engkau, seorang tamu yang datang dengan pedang terhunus tentu bukan seorang yang beriktikad baik!"
"Engkau masih beruntung bukan aku yang turun tangan, kalau demikian halnya jangan harap engkau masih dapat bernapas!" Ucapan ini keluar dari mulut seorang wanita yang usianya sudah setengah tua akan tetapi masih tampak cantik jelita dan gagah perkasa. Mudah saja bagi Liong Bu Kong untuk menduga bahwa tentu nyonya itulah isteri Ketua Cin-ling-pai yang bemama Sie Biauw Eng, yang dahulu berjuluk Song-bun Siu-li!
Dengan jantung berdebar serta keringat dingin membasahi lehernya, pemuda itu segera menyarungkan pedang buntungnya dan menjura penuh hormat kepada Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng sambil berkata, "Mohon Ji-wi-locianpwe (Kedua Orang Tua Sakti) sudi mengampunkan saya yang lancang berani mendatangi Cin-ling-san. Saya bernama Liong Bu Kong dan sengaja dari tempat jauh sekali datang ke sini bersama kedua orang Paman Ang-kui Tung Sek dan Pek-kui Gak Song."
Cia Keng Hong melirik ke arah dua orang kakek itu yang juga sudah menjura dengan hormat. Melihat bahwa mereka adalah orang-orang yang telah berusia enam puluh lebih, dia pun membalas penghormatan mereka dengan sikap dingin. Dua orang itu berjulukan Ang-kui (Setan Merah) dan Pek-kui (Setan Putih), tentu termasuk golongan hitam atau kaum sesat, maka dia cepat bertanya,
"Setelah tahu bahwa engkau lancang, mengapa masih berani? Ada keperluan apakah?"
Pemuda itu dengan sikap hormat dan kedua tangan di depan dada melirik ke arah Giok Keng. Dara itu juga sedang memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu pandang dan jantung Giok Keng berdebar, mukanya berubah merah. Pemuda itu sungguh tampan dan gagah, juga sikapnya begitu halus dan penuh hormat!
"Harap Locianpwe sudi memaafkan, sebenarnya kedatangan kami... yaitu kedua paman ini... dengan maksud... ehhh, Paman Gak, harap Totiang saja yang menjelaskan kepada Cia-locianpwe." Agaknya sukar sekali bagi pemuda itu untuk melanjutkan kata-katanya, beberapa kali dia harus menelan ludah dan lehernya serasa tercekik.
Kini kedua orang kakek itu yang melangkah maju menghadap Keng Hong sambil menjura, kemudian Pek-kui Gak Song berkata, "Tak perlu kiranya kami membohong kepada Paicu (Ketua). Sesungguhnya sudah lama sekali Liong-kongcu (Tuan Muda Liong) mendengar akan nama besar Paicu dan akan kehebatan puteri Paicu, yaitu Nona Cia Giok Keng. Harap Paicu ketahui bahwa Liong-kongcu adalah putera tunggal pangcu kami di Kwi-ouw (Telaga Setan)."
"Hemm... bukankah Kwi-ouw adalah sarang Kwi-eng-pang dan ketuanya adalah Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, datuk kaum sesat?" Biauw Eng memotong.
Kedua orang kakek itu tersenyum. "Tidak salah dugaan itu, pangcu kami adalah Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio." Tentu saja mereka merasa amat bangga menyebut nama yang telah tersohor itu. "Dan kami berdua merupakan pembantu-pembantu utamanya, juga termasuk murid-murid yang setia dari pangcu kami."
"Coba kalian lanjutkan, apa keperluan kalian dan Liong Bu Kong ini datang ke sini?" Keng Hong mendesak, hatinya tidak enak.
Melihat sikap tuan dan nyonya rumah, Pek-kui Gak Song juga kelihatan gugup dan jeri. "Sesungguhnya kami ditugaskan Pangcu kami untuk mengiringkan kongcu kami untuk... untuk dapat bertemu muka dengan Cia-siocia... dan hal ini sudah terlaksana... tentu tidak lama lagi pangcu kami akan segera resmi mengajukan pinangan, melamar Nona Cia Giok Keng untuk menjadi jodoh kongcu kami..."
"Keparat!" Tiba-tiba Biauw Eng membentak marah, "Hendak melamar setelah mengacau di Cin-ling-san dan berani pula melukai enam orang anggota Cin-ling-pai dengan pukulan Hek-tok-ciang?"
Dua orang kakek itu menjadi pucat wajahnya. "Ini... ini... hanya kesalah pahaman... hanya keinginan menguji kepandaian... bukan bermaksud buruk... kami mohon maaf dan biarlah kami mengobati mereka yang terluka..."
"Siapa butuh bantuan kalian? Tidak perlu memberi obat, pukulan Hek-tok-ciang macam itu saja apa sih artinya? Biarlah aku menukarnya dengan pukulanku. Terimalah!"
Biauw Eng memberi kesempatan kepada dua orang kakek itu untuk ‘menjaga diri’ lebih dahulu sebelum dia bergerak. Meski pun dua orang kakek itu jauh lebih tua dari padanya, namun dia adalah isteri Ketua Cin-ling-pai sedangkan dua orang kakek itu hanya utusan dan murid Ketua Kwi-eng-pai, maka kedudukannya jauh lebih tinggi. Karena ini, dia tidak mau menggunakan kecepatannya menyerang dua orang yang belum siap. Sesudah dua orang kakek yang maklum akan dipukul itu berjaga-jaga, baru ia menggerakkan tubuhnya sambil berseru, "Robohlah!"
Dua orang kakek yang namanya di dunia kang-ouw sudah amat terkenal dengan julukan Siang-lo-kui (Sepasang Setan Tua) ini cepat menggerakkan tangan menangkis.
"Des! Dess! Plak-plak!"
Sepasang tangan Biauw Eng yang menampar itu memang dapat tertangkis oleh mereka, namun lengan mereka yang menangkis terdorong dan terpental sedangkan kedua buah tangan halus itu tetap saja menyambar terus dan menampar dada mereka. Tamparan yang tidak begitu kuat, akan tetapi akibatnya hebat karena kedua orang kakek itu roboh, muntah darah dan pingsan.
Kiranya mereka telah menderita luka dalam yang cukup hebat, dan juga pukulan Biauw Eng itu beracun, tidak kalah dahsyatnya dibandingkan dengan Hek-tok-ciang. Tidak aneh kalau Sie Biauw Eng mampu menggunakan ilmu pukulan beracun yang biasanya hanya dikuasai oleh kaum sesat karena dia adalah puteri mendiang Lam-hai Sin-ni (Wanita Sakti Laut Selatan).
Pukulannya tadi adalah Ngo-tok-ciang (Tangan Panca Racun) yang mengandung inti sari lima macam hawa beracun dan tentu saja jauh lebih berbahaya dari pada Hek-tok-ciang, apa lagi dilakukan oleh seorang yang tingkat kepandaiannya sudah setinggi nyonya itu!
Liong Bu Kong terkejut sekali. Dia tadi telah menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai yang dengan amat mudahnya mematahkan ujung pedang pusakanya. Kini dia menyaksikan kelihaian nyonya ketua itu yang dalam segebrakan saja mampu merobohkan Siang-lo-kui, padahal dua orang kakek itu adalah murid-murid kelas satu dari ibunya!
Pemuda yang sangat cerdik ini tidak memperlihatkan perasaan menyesal pada mukanya, bahkan dia menjura kepada Sie Biauw Eng sambil berkata, "Hukuman bagi kedua paman yang lancang ini memang sudah sepantasnya. Saya menghaturkan terima kasih kepada Locianpwe yang telah menghajarnya dan mengampuni nyawa mereka."
Walau pun Bu Kong mengambil sikap sabar, sopan dan manis budi, akan tetapi dalam pandangan Cia Keng Hong, pemuda itu sangat tidak menyenangkan, karena itu dia pun berkata, "Sudahlah, bawa mereka pulang dan jangan sekali-kali berani menginjakkan kaki di daerah Cin-ling-san. Ada pun soal jodoh, tidak perlu lagi dibicarakan dan tidak perlu datang meminang karena bagaimana pun juga, kami tidak akan suka berbesan dengan golongan hitam. Nah, pergilah!"
Bu Kong merasa betapa jantungnya seperti ditusuk oleh kekecewaan dan putus harapan. Sudah lama dia mendengar akan kecantikan puteri Ketua Cin-ling-pai, dan sesudah kini bertemu dengan orangnya, apa lagi setelah menyaksikan kelihaian Giok Keng, sekaligus dia tergila-gila dan jatuh cinta. Akan tetapi dia pun tahu bahwa kedua orang tua dara itu menentang keras.
Kembali pemuda itu menjura dan berkata, "Maafkan saya, Ji-wi-locianpwe. Saya mengaku bahwa kami bertiga telah lancang, semoga saja kelak saya akan dapat menghadap Ji-wi dalam keadaan yang lebih baik dan menyenangkan. Selamat tinggal dan sekali lagi terima kasih atas semua pelajaran yang kami terima."
Dia menjura, membungkuk, dan mengempit tubuh dua orang kakek yang masih pingsan, kemudian turun dari puncak sambil berlari cepat. Semua orang, termasuk Cia Keng Hong, Sie Biauw Eng, dan Cia Giok Keng, memandang dengan hati kagum. Sungguh pemuda yang benar-benar lihai!
Setelah mengobati luka keenam pemuda akibat pukulan Hek-tok-ciang, Keng Hong dan anak isterinya kembali ke dalam rumah. Sesudah berada di dalam, Keng Hong berkata kepada puterinya,
"Nah, kau lihat sendiri betapa tidak baiknya bagi seorang dara yang sudah dewasa kalau tak segera menikah. Tentu banyak godaan yang datang dan penolakan-penolakan hanya akan mendatangkan permusuhan."
"Ayahmu benar, Anakku. Sebaiknya kalau engkau segera menentukan pilihan hatimu dan mendapatkan jodoh."
Giok Keng cemberut. "Ayah dan Ibu tentu akan memaksaku, soal jodoh ini tidak perlu dibicarakan lagi karena aku tidak mau! Dalam penolakan lamaran Ayah dan Ibu bertindak tanpa persetujuanku, tentu kelak Ayah dan Ibu pun akan menerima lamaran orang tanpa mengajukan persetujuanku pula! Karena itu, aku tidak mau menikah!"
Keng Hong dan isterinya saling pandang dan Keng Hong berkata agak keras, "Tentu saja kita tolak lamaran seorang pemuda dari golongan hitam itu. Apa lagi kalau dia putera Iblis Betina Kwi-eng Niocu yang tersohor!"
Giok Keng tetap saja cemberut. Sedikit banyak hatinya telah tertarik oleh sikap pemuda tampan tadi, dan walau pun hal itu bukan berarti bahwa dia jatuh cinta dan menerima pinangan, akan tetapi dia tersinggung juga menyaksikan betapa ayah bundanya menolak mentah-mentah tanpa mempedulikan perasaannya sendiri!
"Menolak mau pun menerima lamaran bukan soal, yang menjadi soal adalah bahwa saya seorang manusia, yang berperasaan pula dan patut menentukan hidup dan masa depan saya sendiri. Hal ini harap Ayah dan Bunda tidak lupa! Sudahlah, siapa sih yang ingin menikah?" Setelah berkata demikian Giok Keng meninggalkan ayah bundanya, memasuki kamarnya sendiri dan menangis!
Keng Hong menggeleng-gelengkan kepalanya. Isterinya menghibur, "Sabarlah. Dia baru berusia tujuh belas tahun, belum lenyap sama sekali sifat kekanak-kanakannya!"
"Kekanak-kanakan apa? Itulah kalau anak manja!"
Akan tetapi Keng Hong tidak melanjutkan kemarahannya ketika melihat pandang mata isterinya yang mengalah, bahkan dia segera memeluk isterinya dan berkata, "Biarlah kita serahkan jodoh anak kita kepada nasib."
"Perlu apa dipusingkan? Biar dia memilih sendiri dan kita hanya mengawasi dari belakang agar dia jangan salah pilih."
Semenjak terjadinya pengacauan yang dilakukan oleh orang-orang Kwi-eng-pai itu dan mendapat kenyataan bahwa kepandaiannya masih jauh dari cukup sehingga ketika dia menyerang pemuda bernama Liong Bu Kong itu dia sama sekali tidak berhasil, Giok Keng makin tekun berlatih silat. Hal ini menggirangkan hati Keng Hong, maka pendekar ini pun melatih puterinya dengan sungguh-sungguh sehingga akhirnya dia menurunkan juga Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun kepada puterinya itu dengan janji agar dara itu tidak akan pernah membocorkannya kepada orang lain!
Dua tahun lamanya Giok Keng berlatih dengan tekun siang malam sehingga setelah dia berusia sembilan belas tahun, ilmu kepandaiannya meningkat dengan hebatnya. Bahkan dia berhasil pula mempelajari Ngo-tok-ciang dari ibunya yang memesan agar puterinya jangan sembarangan menggunakan ilmu ini, kecuali kalau menghadapi golongan hitam karena ilmu ini adalah ilmu keji dari kaum sesat.
Betapa pun juga, Keng Hong masih belum berani mengajarkan Thi-khi I-beng kepada puterinya. Kalau puterinya mendesak agar ayahnya menurunkan ilmu itu, dia menjawab,
"Kau kira mudah saja menguasai Thi-khi I-beng? Kalau belum kuat benar dasarnya, ilmu ini bisa mencelakakan diri sendiri. Ayahmu mendapatkan ilmu ini secara kebetulan saja, akan tetapi ketahuilah, dulu ada seorang tokoh golongan hitam yang ilmu kepandaiannya tinggi bernama Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu, dia berhasil memaksaku memberikan Thi-khi I-beng, namun akhirnya dia mati karena ilmu itu sendiri. Mempelajari ilmu ini kalau belum memiliki kekuatan yang melebihi ukuran sinkang biasa, berarti menghadapi bahaya maut. Ilmu-ilmu yang kau pelajari sudah cukup, Keng-ji, kalau semua itu kau kuasai dengan baik disertai latihan dan ketenangan, kiranya sukar sekali akan dapat dikalahkan lawan, walau pun engkau tidak menggunakan Thi-khi I-beng."
Mendengar keterangan ini, Giok Keng menjadi ngeri sendiri dan merasa puas dengan ilmu-ilmu yang sudah dimilikinya. Akan tetapi, Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng makin berduka oleh karena telah belasan kali datang lamaran dari pemuda-pemuda yang bukan orang-orang sembarangan, putera ketua-ketua partai besar, pemuda-pemuda sastrawan dan hartawan, bahkan pernah seorang pemuda putera pangeran dari kota raja melamar, semua itu ditolak mentah-mentah oleh Giok Keng. Padahal, usia dara itu sekarang telah meningkat, sudah sembilan belas tahun!
Ketika Keng Hong dan Biauw Eng mendengar akan kematian Tiong Pek Hosiang serta Thian Lee Hwesio, mereka segera berangkat untuk melayat, sekaligus untuk menghibur kekecewaan hati mereka dan mengharapkan pertemuan dengan Yap Cong San. Siapa tahu kalau-kalau jodoh puteri mereka itu adalah putera sahabat ini yang sudah hampir dua puluh tahun, atau sedikitnya delapan belas tahun tak pernah mereka jumpai.
Giok Keng disuruh menjaga Cin-ling-pai dan mengawasi adiknya, Cia Bun Houw yang baru berusia lima tahun. Hati Giok Keng agak kecewa karena setelah kini ilmunya maju pesat, dia ingin sekali ikut merantau dan bertemu dengan tokoh-tokoh besar. Akan tetapi dia tahu juga bahwa selain Cin-ling-pai perlu dijaga, juga tidak baik kalau adiknya harus ditinggalkan seorang diri, hanya bersama para pimpinan Cin-ling-pai, dalam keadaan di mana bahaya selalu mengancam dari pihak kaum sesat.
Akan terpenuhikah harapan Keng Hong dan Biauw Eng bahwa mereka akan berjumpa dengan sahabat baik mereka Yap Cong San beserta isterinya di kuil Siauw-lim-si? Untuk mengetahui ini. sebaiknya kita mencari Yap Cong San dan isterinya dan melihat keadaan mereka. Sudah terlampau lama kita meninggalkan mereka dan kini marilah kita mengikuti perjalanan mereka semenjak mereka meninggalkan Leng-kok.
Seperti telah kita ketahui, Yap Cong San bersama isterinya lari meninggalkan Leng-kok sebagai orang buruan sesudah dengan kekerasan Yan Cu membebaskan suaminya dari tahanan Ma-taijin. Mereka lantas mulai mencari putera mereka yang hilang. Akan tetapi karena kepergian Kun Liong tidak meninggalkan bekas yang jelas, mereka tersesat dan sampai dua tahun mereka menjelajah ke selatan dan ke timur, tetapi belum juga mereka berhasil menemukan putera mereka itu! Akhirnya mereka terpaksa kembali ke utara.
Tiga tahun telah lewat semenjak mereka meninggalkan Leng-kok tanpa hasil sama sekali dalam usaha mereka mencari Kun Liong. Hampir saja mereka putus harapan dan timbul kekhawatiran bahwa putera mereka yang lenyap itu sudah tewas, ketika pada suatu hari harapan itu timbul kembali secara kebetulan ketika mereka mendengar mengenai putera mereka itu.
Hal itu terjadi ketika perjalanan mereka membawa mereka tiba di tepi Sungai Huang-ho di lereng Pegunungan Lu-liang-san yang menjadi tapal batas antara Propinsi Shansi di timur dan Propinsi Sensi di barat. Mereka bermalam di dalam sebuah kamar rumah penginapan kecil sederhana, di sebuah dusun nelayan di tepi Sungai Huang-ho.
Menjelang tengah malam, setelah suami isteri yang kelelahan ini tertidur, tiba-tiba Yan Cu terbangun oleh suara berbisik-bisik. Dia terbangun, memasang telinga dan mendengarkan percakapan lirih yang terjadi di kamar sebelah, percakapan yang dapat didengarnya jelas karena agaknya dua orang wanita yang bercakap-cakap itu tidak menyembunyikan suara mereka dan antara kamamya dan kamar sebelah itu hanya teraling oleh dinding papan yang sambungannya tidak begitu rapat.
Tentu saja Yan Cu tidak akan sudi mendengarkan percakapan orang lain kalau saja dia tidak tertarik karena mendengar disebutnya nama puteranya, nama Kun Liong!
"Sungguh mengherankan sekali! Ke mana perginya bocah setan itu? Kalau dia melarikan diri dengan perahu, masa dia bisa naik perahu sampai ke langit? Kenapa jejaknya lenyap sama sekali?" terdengar suara wanita yang mengandung penasaran dan kemarahan.
"Memang dia bukan bocah biasa, Subo (Ibu Guru)," terdengar jawaban suara seorang anak perempuan. "Dahulu Kongkong sudah bilang bahwa anak itu memang luar biasa, munculnya pun secara aneh sekali, dari dalam sungai!"
"Huh! Apakah dia anak iblis sungai? Siapa namanya?"
"Dia mengaku bernama Kun Liong, Subo. Akan tetapi teecu (murid) tidak yakin bahwa dia yang membawa pergi benda itu karena benda itu tadinya berada di tangan Phoa Sek It. Ketika Phoa Sek it membunuhi semua orang, Kun Liong melarikan diri. Mana mungkin dia merampasnya dari tangan Phoa Sek It?"
"Siapa tahu? Setidaknya bocah itu tentu mengetahui di mana adanya benda itu. Hemm... apa bila dia dapat tertangkap olehku, akan kupaksa dia mengaku, akan kupatah-patahkan semua tulang tubuhnya agar dia suka mengaku!"
Mendengar itu, Yan Cu sudah tidak dapat menahan hatinya lagi. Meski pun dia merasa heran dan ragu-ragu mendengar percakapan itu, namun besar kemungkinan mereka itu bicara tentang puteranya yang hilang. Cepat dia turun dari pembaringan, menghampiri dinding dan mengintai dari celah-celah dinding papan.
Dilihatnya dalam kamar sebelah itu ada seorang wanita berusia empat puluh tahun lebih, bertubuh pendek, cantik manis akan tetapi matanya menyinarkan kekejaman dan bentuk mulutnya selalu menyeringai seperti orang mengejek, rambutnya panjang, sedang duduk di kursi berhadapan dengan seorang anak perempuan berusia kurang lebih sebelas tahun yang bersikap pendiam dan berwajah cantik dan dingin. Di atas meja di hadapan wanita rambut panjang itu terdapat sebatang pedang panjang yang bentuknya agak melengkung dan gagangnya panjang, sebatang pedang berbentuk asing bagi Yan Cu.
Yan Cu menduga bahwa wanita itu tentulah bukan orang sembarangan, maka dia pun bersikap hati-hati sekali. Melihat suaminya masih tertidur pulas, dia berindap keluar dari dalam kamarnya, lantas menyelinap ke luar rumah penginapan yang sunyi karena semua orang sudah tidur. Dengan ringan tubuhnya mencelat ke atas genteng dan dia membuka genteng tepat di atas kamar sebelah tadi. Sebagai penjagaan, sebelum keluar kamarnya Yan Cu sudah menyambar pedangnya.
Akan tetapi, pada saat dia membuka genting, tiba-tiba dari bawah menyambar sinar hijau dengan kecepatan kilat ke arahnya! Yan Cu terkejut tetapi tidak menjadi gugup. Dia sudah meloncat ke belakang dan berjungkir balik. Ketika dia turun lagi dan berdiri di wuwungan genteng rumah itu, terlihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu wanita pendek berambut panjang tadi telah berdiri di hadapannya dengan sebatang pedang panjang melengkung yang berkilauan di tangannya!
Yan Cu menjadi marah sekali, apa lagi ketika teringat betapa wanita ini mengancam untuk mematahkan semua tulang di tubuh puteranya dan memaksanya mengaku! Andai kata yang diancam itu bukan puteranya, melainkan seorang anak lain yang namanya juga Kun Liong, tetap saja ancaman itu menunjukkan bahwa wanita pendek ini merupakan seorang yang kejam dan jahat sekali, patut untuk dibasmi. Namun, pada saat itu, yang terpenting bagi Yan Cu adalah untuk mengetahui apakah benar puteranya yang dibicarakan mereka itu.
"Perempuan kejam! Apakah yang kau bicarakan dalam kamar tadi, yang kau sebut-sebut namanya, anak yang bernama Kun Liong itu adalah seorang anak laki-laki yang berusia kira-kira tiga belas tahun sekarang ini dan she Yap?"
"Jika benar dia, kau mau apa?" wanita itu balas bertanya dan mulutnya makin mengejek.
"Tetapi benarkah dia? Wajahnya tampan, matanya lebar, kepalanya bundar dan dahinya lebar, alisnya seperti golok, hidungnya mancung? Benarkah dia Yap Kun Liong?"
"Perempuan lancang, kau telah berani melakukan pengintaian. Hemm, kau tak mengenal Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci?"
Tentu saja Yan Cu sudah mendengar nama datuk kaum sesat ini selama perantauannya mencari Kun Liong, akan tetapi pada saat itu dia tidak mempedulikan semua hal kecuali persoalan di mana adanya puteranya. "Tidak peduli kau siapa, akan tetapi benarkah Yap Kun Liong yang kau bicarakan tadi?"
Sinar mata wanita pendek itu mengeluarkan kilat kemarahan. Namanya sudah tersohor di seluruh jagat sebagai seorang datuk dari daerah selatan. Tidak ada orang kang-ouw yang tidak menjadi gentar mendengar namanya, apa lagi bertemu dengan dia! Dan perempuan ini sama sekali tidak peduli!
"Perempuan bosan hidup! Kalau benar dia itu Yap Kun Liong kau mau apa?"
"Mau apa? Membunuh engkau yang mengancam dia! Di mana dia sekarang?"
"Hi-hi-hik, lagakmu seperti jagoan sendiri! Aku pun sedang mencari dia. Engkau siapa?"
"Aku ibunya!" Yan Cu sudah marah bukan main, dicabutnya pedangnya dan tanpa banyak cakap lagi dia segera menubruk maju, mengirim serangan kilat dengan tusukan ke arah dada lawan.
"Hi-hik-hik, engkau ibunya?" Bu Leng Ci, wanita itu terkekeh dan mengelak cepat sambil membabatkan pedang panjangnya dari samping.
"Singggg…!"
Gagang pedang samurai pedang model Jepang itu dipegang dengan kedua tangan dan ketika dibabatkan cepatnya seperti kilat menyambar dan mengandung tenaga yang amat dahsyat. Tentu saja Yan Cu terkejut bukan main, karena sama sekali tidak menyangka bahwa datuk wanita yang tersohor ini benar-benar amat berbahaya. Dia sudah meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang panjang, kemudian bersiap menghadapi lawan tangguh ini.
"Kau ibunya? Hi-hi-hik, kalau begitu kau harus mampus. Anakmu telah membikin jengkel hatiku!"
Bertandinglah dua orang wanita itu di atas genteng, dan keduanya sama-sama terkejut sekali, lebih-lebih Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci. Selama dia merantau ke utara dari pantai laut selatan, belum pernah dia bertemu tanding dan jarang pula dia menggunakan pedang samurainya.
Tadi ketika dia menggunakan senjata rahasia Siang-tok-toa (Pasir Beracun Wangi) dari bawah, dia sudah terkejut karena orang yang tadi mengintai dari kamar sebelah kemudian mengintai dari atas genteng dapat menghindarkan diri. Karena itu maka dia menyusul ke atas sambil membawa pedang samurainya.
Sekarang, setelah mereka bergebrak selama belasan jurus, Bu Leng Ci betul-betul kaget sekali. Wanita cantik jelita di depannya ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian hebat! Bukan saja ilmu pedangnya luar biasa, juga lawannya ini memiliki keringanan tubuh dan kekuatan tenaga sakti yang mampu menandinginya!
Merasa kurang leluasa bertanding di atas genteng, Bu Leng Ci lalu melayang turun. Tentu saja Yan Cu tidak mau melepaskannya, dan cepat menyusul dengan loncatan cepat. Kini mereka berhadapan di atas tanah, di sebelah belakang rumah penginapan itu, dan saling memandang di bawah sinar rembulan sepotong yang mendatangkan cahaya penerangan remang-remang.
"Siapakah engkau?" Bu Leng Ci membentak, tertarik juga untuk mengenal siapa adanya lawan tangguh ini.
"Aku ibunya Yap Kun Liong! Ketahuilah, perempuan iblis, bahwa aku adalah Gui Yan Cu, isteri dari Yap Cong San. Engkau tentu tidak mengenal kami, sebab kami bukan termasuk golongan iblis kaum sesat yang senang malang-melintang berbuat kejam mengandalkan kepandaian yang tidak seberapa seperti engkau!"
"Hi-hi-hi-hik, sombong. Mampuslah engkau!" Bu Leng Ci kembali menerjang, samurainya membentuk gulungan sinar yang lebar dan panjang, digerakkan dengan dua tangannya.
"Trang! Cringgg…!"
Yan Cu merasa betapa telapak tangannya yang memegang pedang tergetar. Diam-diam dia harus mengakui bahwa wanita iblis yang disohorkan sebagai salah seorang di antara datuk-datuk kaum sesat yang bermunculan pada waktu itu, yang bertubuh pendek dan berpedang panjang ini benar-benar sangat tangguh. Maka dia pun mengerahkan tenaga dan memutar pedangnya dengan cepat.
Yan Cu adalah seorang wanita perkasa. Walau pun dia tahu bahwa lawannya tangguh, namun untuk berteriak memanggil suami isterinya dia merasa malu karena berteriak minta bantuan bukanlah kelakuan seorang gagah!
Tiba-tiba pedang dan samurai kembali bertemu, lantas saling menempel untuk beberapa detik lamanya karena Bu Leng Ci mempergunakan kekuatan kedua lengannya. Pedang Yan Cu agak tertindih dan saat itu dipergunakan oleh Bu Leng Ci untuk menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang panjang menyambar ke arah Yan Cu seperti ribuan ekor ular menyerang!
Yan Cu terkesiap dan cepat-cepat dia menarik kembali pedangnya, melempar tubuh ke belakang dan berjungkir-balik. Sambil membalikkan tubuhnya yang berpoksai (bersalto) tiga kali di udara, pedangnya menyambar untuk melindungi dirinya.
"Cringgg...!"
Pedangnya bertemu dengan samurai yang sekarang dipegang dengan tangan kanan saja sedangkan pada detik itu, tangan kiri Bu Leng Ci yang jari-jarinya merupakan jari baja sudah menusuk ke arah dada dengan maksud menembus dada itu dan merogoh jantung seperti yang biasa dia lakukan terhadap para korbannya!
"Ihhhhh...!" Yan Cu cepat menggulingkan tubuhnya ke kanan, terus bergulingan di atas tanah untuk membebaskan diri dari serangan itu.
"Wuuuutttt...!"
Yan Cu menahan jeritnya pada saat merasa betapa dadanya sebelah kanan sakit sekali. Kiranya dia sudah disusul oleh serangan Pasir Beracun Wangi yang dilepaskan dari jarak dekat. Walau pun Yan Cu sudah bergulingan sambil memutar pedangnya, tetap saja ada sebagian dari Siang-tok-soa yang masih mengenai dadanya. Seketika kepalanya pening, matanya berkunang dan ketika dia meloncat berdiri, tubuhnya terhuyung!
"Hi-hi-hi-hik, sayang sekali kau harus mampus!" Bu Leng Ci sudah meloncat maju sambil mengayun samurainya ke arah pinggang Yan Cu.
"Singg... tranggg...!"
Dalam keadaan pening itu Yan Cu masih dapat menangkis dengan tangan. Oleh karena tubuhnya menggigil kedinginan akibat pasir beracun itu dan tenaganya berkurang banyak, apa lagi karena dia memang kalah tenaga, pedangnya langsung terpental dan lepas dari pegangannya. Sementara itu, pedang samurai sudah menyambar lagi ke arah lehernya.
"Tranggg...! Eihhh...!" Bu Leng Ci meloncat ke belakang ketika samurainya ditangkis oleh sebatang mouw-pit (pena bulu) yang membuat lengannya tergetar.
Kiranya Yap Cong San yang telah menyelamatkan isterinya. Cong San cepat memegang lengan isterinya, dan berbisik, "Mundurlah... cepat telan obat penawar...!"
"Hi-hi-hi-hik, agaknya ini suaminya, ya? Ha-ha-ha, tidak ada obat penawar untuk melawan Siang-tok-soa dari Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci. Isterimu akan mampus, dan engkau juga!"
Mendengar nama ini, Yap Cong San terkejut. Tadi dia terbangun oleh suara pertandingan yang lapat-lapat dan terkejut sekali ketika tidak melihat isterinya rebah di sampingnya dan pedang isterinya juga tidak nampak. Cepat dia berpakaian lantas melompat keluar sambil membawa sepasang mouw-pit yang menjadi senjatanya yang ampuh.
Dapat dibayangkan alangkah kagetnya melihat isterinya terhuyung, pedangnya terlempar dan pedang panjang lawan isterinya itu mengancam nyawa isterinya. Untung dia tidak terlambat dan sesudah dapat menangkis pedang samurai itu, dia melihat bahwa isterinya telah terluka dan melihat warna mukanya, tentu terluka senjata beracun.
Dengan marah dan khawatir sekali Yap Cong San lalu menerjang ke depan menggunakan senjata Im-yang-pit hitam putih dengan gerakan cepat laksana kilat. Kembali Bu Leng Ci terkejut. Sungguh tidak pernah disangkanya bahwa di dunia kang-ouw sebelah utara ini terdapat orang-orang pandai seperti pasangan suami isteri ini yang namanya sama sekali tidak terkenal. Bahkan sang suami ini lebih lihai dari pada isterinya!
Bu Leng Ci berteriak keras, lantas samurainya kembali berkelebat membentuk gulungan sinar seperti seekor ular naga mengamuk. Namun Yap Cong San yang bersikap hati-hati selalu berhasil membendung amukan sinar samurai, bahkan membalas dengan totokan-totokan maut yang bukan tidak berbahaya bagi Bu Leng Ci.
Betapa pun juga, segera murid lihai dari Siauw-lim-pai ini mendapatkan kenyataan bahwa lawannya itu amat tangguh, bahkan dalam hal tenaga sinkang, dia masih belum mampu menandinginya, terbukti dari getaran-getaran pada dua tangannya setiap kali Im-yang-pit di tangannya terbentur oleh pedang samurai. Pantas wanita ini menjadi seorang di antara datuk-datuk golongan hitam, kiranya memang amat lihai.
Biar pun demikian, tidak mudah bagi Bu Leng Ci untuk mengalahkan murid Siauw-lim-pai ini yang memiliki ilmu silat asli dari Siauw-lim-pai dan dapat membentuk pertahanan yang bukan main kuatnya, bagaikan batu karang yang menahan gempuran badai! Dan lebih celaka lagi bagi Bu Leng Ci ketika Yan Cu telah menyambar lagi pedangnya dan biar pun di wajah wanita itu ada bayangan gelap, namun peningnya lenyap dan kini dia membantu suaminya menerjang Bu Leng Ci! Menghadapi Yap Cong San saja sudah sangat sukar baginya untuk merobohkan pendekar ini, apa lagi dikeroyok dua dengan isterinya yang amat marah itu.
"Robohlah!" Tiba-tiba Bu Leng Ci mengeluarkan suara teriakan nyaring sambil tangannya bergerak dan sinar hijau menyambar, itulah Siang-tok-soa!
"Awas...!" Yap Cong San berteriak memperingatkan isterinya.
Keduanya cepat melompat jauh ke belakang untuk menghindarkan diri. Akan tetapi Bu Leng Ci sudah mempergunakan kesempatan itu meloncat ke dalam rumah penginapan. Suami isteri itu mengejar dengan cepat.
Oleh karena merasa tidak kuat kalau harus menandingi suami isteri itu, Bu Leng Ci sudah memondong anak perempuan yang menjadi muridnya dan lari ke luar.
"Iblis betina, hendak lari ke mana kau?" Cong San dan Yan Cu mengejar dan pendekar ini cepat menggunakan senjata rahasianya untuk menyambit bayangan di depan.
Senjata rahasia dari Yap Cong San ini berupa mata uang tembaga, uang biasa yang bisa pula dipergunakan untuk berbelanja, akan tetapi jika digunakan sebagai senjata rahasia, amat hebat dan dapat menembus tulang!
Bu Leng Ci menjerit lirih ketika pundaknya disambar sebuah mata uang, mendatangkan rasa nyeri bukan main. Akan tetapi hal ini bahkan membuat dia langsung mempercepat larinya. Dengan penasaran Yap Cong San mengejar terus.
"Aduhhh..."
Rintihan isterinya ini membuat Cong San terkejut dan cepat membalik. Ketika dia melihat isterinya terhuyung hampir jatuh, dia cepat menyambar tubuh isterinya. Ternyata Yan Cu sudah pingsan. Melihat keadaan isterinya, terpaksa Cong San membatalkan pengejaran terhadap wanita iblis itu dan cepat berusaha menolong isterinya.
Pasir beracun yang memasuki dada kanan bagian atas itu benar-benar amat hebat. Kulit pada bagian dada itu membengkak biru, dan warna kebiruan menjalar sampai ke muka! Tubuh Yan Cu panas sekali, akan tetapi anehnya, wanita itu menggigil kedinginan!
Yap Cong San sudah banyak mempelajari ilmu pengobatan dari isterinya. Dia memeriksa sebentar penuh ketelitian setelah merebahkan tubuh isterinya di atas pembaringan dalam kamar mereka. Akhirnya dia menghela napas, menekan kekhawatiran hatinya.
Racun wangi itu benar-benar amat berbahaya dan dia sudah tahu akan sifat racun itu. Dia harus mempergunakan sinkang dan bahan-bahan obatnya sangat sukar dicari. Meski pun demikian, agaknya bukan hal yang mudah pula untuk menyelamatkan jiwa isterinya dari renggutan maut!
Keadaan ini memaksa Yap Cong San harus menghentikan usahanya mencari puteranya, bahkan dia lalu membawa isterinya untuk beristirahat dan berobat di puncak Pegunungan Lu-liang-san yang sunyi, selain untuk menghindarkan diri dari pengejaran alat pemerintah, juga untuk bersembunyi dari pengejaran tokoh golongan hitam. Dalam keadaan seperti itu, amatlah berbahaya bagi isterinya kalau ada lawan kuat datang menyerang.
Demikianlah, dengan penuh ketekunan dan kesabaran Cong San lalu merawat isterinya di puncak Lu-liang-san. Dan tepat seperti yang diduga atau dikhawatirkannya, pengobatan itu ternyata memakan waktu sampai hampir dua tahun!
Setelah menghabiskan banyak akar dan daun obat yang dengan susah payah dapat dia temukan di semak-semak belukar dalam hutan di Pegunungan Lu-liang-san, dan banyak pula memeras tenaga sinkang-nya untuk membantu isterinya mengusir hawa beracun itu, serta memakan waktu dua tahun kurang sedikit, barulah semua racun itu berhasil terusir bersih dari tubuh Gui Yan Cu! Dan setelah isterinya sembuh, mereka telah meninggalkan rumah selama lima tahun lebih!
Nasib buruk yang menimpa sepasang suami isteri ini, cara hidup bersunyi, serta segala macam kekhawatiran dan kedukaan berhubung dengan hilangnya putera mereka, menjadi pupuk yang menambah dalam cinta kasih antara mereka. Setelah Yan Cu sembuh, Cong San menganggap bahwa isterinya memerlukan waktu selama beberapa bulan lagi untuk beristirahat memulihkan kesehatan di puncak yang pemandangannya indah dan berhawa sejuk itu.
Maka, curahan cinta kasih mereka yang semakin mendalam sebagai hiburan duka karena memikirkan Kun Liong membuat Yan Cu mengandung lagi! Keadaan ini mendatangkan kegirangan besar di hati suami isteri itu, dan terpaksa mereka memperpanjang kediaman mereka di puncak Pegunungan Lu-liang-san.
Sesudah merasa yakin bahwa suami isteri yang lihai itu tidak mengejarnya, dengan hati amat penasaran dan marah Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci menurunkan muridnya yang tadi dipondongnya. Dia membuka bajunya, mengambil obat dan mengobati luka di pundaknya yang terkena sambitan Touw-kut-ci yang dilepas oleh Yap Cong San.
Hatinya merasa penasaran sekali, akan tetapi Bu Leng Ci bukanlah seorang bodoh yang nekat. Dia maklum bahwa menghadapi kedua orang suami isteri itu amatlah berbahaya. Apa bila hanya melawan seorang di antara mereka, agaknya dia masih menang sedikit. Akan tetapi kalau harus menghadapi mereka berdua, benar-benar berbahaya sekali.
"Subo, siapakah yang tadi bertanding dengan Subo hingga membuat Subo terluka?" anak perempuan itu bertanya sambil memandang dengan heran dan penasaran.
Anak perempuan ini adalah Yo Bi Kiok. Seperti telah diceritakan di bagian depan, hampir enam tahun yang lampau Bi Kiok diambil murid oleh Siang-tok Mo-li setelah ditolong dari tangan Phoa Sek It, bekas pengawal Panglima Besar The Hoo yang mencuri bokor emas.
Dengan sia-sia Bu Leng Ci mencari Kun Liong yang disangkanya melarikan bokor emas. Tentu saja dia tidak dapat menemukan Kun Liong karena anak ini telah diambil murid oleh Bun Hwat Tosu di puncak Gunung Teratai Biru dan digembleng selama lima tahun oleh kakek sakti itu.
Selama itu, Bu Leng Ci tekun melatih ilmu silat kepada muridnya dan dia gembira sekali memperoleh kenyataan bahwa Bi Kiok memiliki bakat yang baik sekali. Akan tetapi setiap kali teringat akan bokor emas yang dicarinya, hatinya selalu merasa penasaran sehingga berkali-kali dia mengajak muridnya pergi merantau di sepanjang Sungai Huang-ho untuk menyelidiki dan mencari bokor itu.
Pada waktu itu, dia berada di tepi Huang-ho di lereng Lu-liang-san juga untuk menyelidiki bokor emas itu dan secara tidak tersangka-sangka, di tempat ini dia sampai terluka oleh suami isteri yang sama sekali tidak terkenal! Hatinya penasaran sekali.
Tentu saja dia tidak pernah bermimpi bahwa baru beberapa bulan yang lalu dia pernah berhadapan muka dengan orang yang menyimpan bokor emas yang amat diinginkannya itu. Saat dia membunuhi orang-orang Pek-lian-kauw yang berani melawannya, kemudian bertemu dengan pemuda gundul yang mempunyai keberanian luar biasa, dia sama sekali tidak mengira bahwa pemuda gundul itulah yang dahulu dicari-carinya bersama Bi Kiok! Kalau saja dia tahu!
Dan semua ini adalah karena Bi Kiok merahasiakan tentang diri Kun Liong, karena dara remaja ini tak ingin melihat Kun Liong dibunuh oleh gurunya, hal yang sudah pasti terjadi kalau dia beri tahukan bahwa bokor itu dilarikan oleh Kun Liong. Karena itu pula, sebelum pergi meninggalkan kuil tua, dengan ujung sepatunya Bi Kiok membuat coretan-coretan di atas tanah memperingatkan Kun Liong agar jangan membicarakan tentang bokor dengan siapa pun juga!
Walau pun lukanya tidak hebat, namun hati Bu Leng Ci mendongkol bukan main. Sudah bertahun-tahun dia merantau dan belum pernah dapat dikalahkan lawan, apa lagi sampai terluka! Hanya sedikit hiburan hatinya bahwa dia telah melukai wanita bernama Gui Yan Cu itu dengan Pasir Beracun Wangi. Mengingat ini, dia tersenyum sendiri dan perlahan kemarahannya lenyap.
"Hemmm…, aku terluka hanya sedikit, tidak ada artinya, akan tetapi perempuan itu akan mampus oleh Siang-tok-soa yang mengenai dadanya. Tidak ada obat yang akan dapat menyembuhkan racun pasirku!" katanya dengan menjawab pertanyaan muridnya tadi.
"Subo, selama enam bulan ini Subo selalu mencari bokor emas tanpa mengenal lelah. Sebetulnya apa sih kegunaan bokor itu?" Mereka duduk di bawah pohon dan Bi Kiok memandang gurunya yang sudah selesai membalut luka di pundaknya.
Bi Kiok sudah menjadi seorang dara remaja berusia empat belas tahun. Wajahnya cantik namun sikapnya selalu serius dan dingin. Hal ini agaknya karena dia menderita terlampau banyak kepahitan selama hidupnya.
Bu Leng Ci memandang muridnya. Dia sangat sayang kepada muridnya ini yang selalu patuh, rajin berlatih, dan juga kelihatan berbakti serta sayang kepadanya. Iblis betina ini tersenyum. "Aihh, kau tidak tahu, muridku. Bokor itu merupakan benda pusaka yang amat berharga, mungkin pusaka yang paling berharga yang dimiliki The Hoo."
"Hemm, apakah Subo membutuhkan emas? Betapa mudahnya kalau Subo menghendaki emas." Dengan kata-kata ini Bi Kiok seakan hendak menyatakan bahwa kalau gurunya menghendaki, mereka dapat saja mengambil dan merampas emas milik siapa pun juga, tidak perlu mencari-cari benda yang telah hilang itu.
"Emas? Hi-hi-hik, siapa butuh emas? Bokor itu kabarnya, dan ini hanya kabar angin yang membocor dari rahasia Panglima The Hoo, mengandung peta rahasia yang menunjukkan tempat persembunyian harta pusaka terpendam yang tak ternilai harganya."
"Apakah Subo membutuhkan harta?"
Kembali iblis betina itu tertawa sambil menggeleng kepalanya. Kalau melihat dia sedang bercakap-cakap dengan muridnya sambil tersenyum manis seperti itu, tak akan ada orang mengira bahwa dialah Siang-tok Mo-li, iblis betina yang menggemparkan dunia kang-ouw karena kelihaian serta kekejamannya, mengerikan hati orang karena kebiasaannya yang menyeramkan dan menjijikkan, yaitu mengganyang jantung manusia mentah-mentah, dan diambil langsung dari rongga dada seorang lawan hidup-hidup! Sepatutnya dia seorang wanita bertubuh pendek yang cantik manis dan sayang kepada muridnya.
"Aku tidak membutuhkan harta karena apa saja yang bisa didapatkan dengan harta, dapat pula kuperoleh asal aku menghendakinya. Akan tetapi harta yang sangat besar itu perlu untuk mencapai suatu tingkat kedudukan tinggi, dan pula, yang amat menarik hati adalah kitab pusaka ilmu kesaktian simpanan yang dirahasiakan manusia sakti The Hoo!"
Memang demikianlah, seperti Siang-tok Mo-li itulah isi pikiran sebagian besar manusia di
dunia ini. Betapa menyedihkan!
Manusia diombang-ambingkan oleh keinginan, dan membagi-bagi keinginan itu sebagai keinginan baik, keinginan luhur, keinginan suci dan sebagainya. Padahal, apa perbedaan antara keinginan yang ini dengan keinginan yang itu? Apa perbedaan antara keinginan menjadi pandai, menjadi kaya, menjadi mulia dan lain-lain? Bahkan, apa bedanya antara keinginan duniawi dan keinginan batiniah?
Tetap sama, keduanya keinginan juga yang terdorong oleh hati tidak puas akan keadaan sekarang dan menginginkan keadaan lain yang belum terlaksana, atau karena terdorong oleh rasa takut akan masa depan, takut akan sesuatu yang tidak disukainya.
Kita lupa bahwa keinginan melahirkan kekecewaan apa bila tidak tercapai. Apakah akan mendatangkan kepuasan mutlak apa bila telah tercapai? Biasanya tidak! Keinginan yang tercapai akan terasa hampa, tidaklah seindah dan senikmat kalau belum tercapai, kalau masih menjadi angan-angan, karena pikiran yang selalu terbetot untuk mencari sesuatu yang belum ada selalu akan tertarik kembali untuk menjangkau yang baru lagi.
Keadaan sekarang dianggap sudah lama dan membosankan, selalu ingin yang baru, lupa bahwa yang baru itu kalau sudah tercapai tangan, akan membosankan pula dan menjadi barang lama juga! Demikianlah, kita akan terperosok ke dalam lingkaran setan, yang terus beringin, terus menjangkau sehingga hidup pun menjadi hamba keinginan!
Ada sebagian orang yang menganggap bahwa adanya keinginan itulah yang membuat manusia hidup menjadi lebih maju! Apakah yang dimaksudkan dengan kemajuan? Apakah adanya pertentangan antar manusia, perang, kelaparan di sana sini, permusuhan, iri dan benci-membenci, dendam, ini pun termasuk kemajuan? Apakah setiap perbuatan, setiap pekerjaan yang dilakukan, harus didasari oleh keinginan? Apakah bila orang menanam jagung tanpa mengharapkan apa-apa, tapi melakukan demi cintanya kepada pekerjaan itu saja, maka hasilnya akan berkurang? Apakah benar bahwa kemajuan lahir karena adanya keinginan?
Keinginan membuat manusia menjadi hamba, terikat, dan hidupnya seperti boneka yang digerakkan oleh benang-benang nafsu keinginan. Tak ada lagi kebebasan dalam arti kata yang selengkapnya. Dan selama hidup ini, setiap saat kita dicengkeram sepenuhnya oleh keinginan, maka pertentangan antar manusia tentu saja tak akan pernah berhenti karena keinginan mutlak dikuasai oleh si aku, demi aku, punyaku dan selamanya kita bergerak demi aku masing-masing, damai dan tenteram antara manusia takkan pernah terwujud! Pertentangan, persaingan, perebutan untuk aku masing-masing akan terus berlangsung, baik antara perorangan, antara kelompok, antara ras, antara bangsa!
Alangkah menyedihkan! Bilakah manusia sadar sepenuhnya akan hal ini? Bukan hanya untuk mengetahui, karena pengetahuan hanyalah pengekoran belaka, mengekor kepada yang sudah ada, yang sudah lalu.
Setiap orang pencuri TAHU bahwa mencuri adalah tidak baik. Setiap orang penjudi TAHU bahwa berjudi adalah tidak baik. Namun dia tetap mencuri, dia tetap berjudi. Akan tetapi sekali dia MENGERTI, dalam arti kata mengerti sampai ke akarnya, mengenal diri dan keadaan dirinya sendiri, maka pengertian ini akan menghapus semua itu sehingga lenyap tanpa bekas!
"Subo…," Bi Kiok berkata lagi, "teecu (murid) kira akan percuma saja mencari sebuah benda yang tidak kita ketahui di mana adanya. Bagaimana mungkin bisa mencari sebuah bokor emas di sepanjang sungai Huang-ho yang begini luas dan panjang? Meski pun kita membuang waktu hingga seratus tahun, mana mungkin bisa memeriksa daerah Huang-ho sampai habis?
"Engkau benar, Bi Kiok. Agaknya bokor itu berada di tangan orang lain. Suami isteri yang lihai itu sangat mencurigakan, akan tetapi berat untuk melawan mereka seorang diri. Biar sekarang kita pergi mengunjungi Telaga Kwi-ouw yang tidak jauh dari sini."
Bi Kiok mengerutkan alisnya yang hitam panjang dan kecil. "Telaga Kwi-ouw? Bukankah di sana sarang Kwi-eng-pang?"
"Benar. Aku hendak menemui Kwi-eng Pangcu (Ketua Kwi-eng-pang) dulu, yaitu Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio. Kedudukan kami berdua setingkat. Di dunia sekarang ini hanya ada lima orang yang diakui sebagai tokoh-tokoh yang mewakili kelima penjuru. Aku mewakili daerah selatan, Kwi-eng Niocu mewakili barat, Ban-tok Coa-ong mewakili utara, Hek-bin Thian-sin mewakili timur, dan Toat-beng Hoatsu mewakili daerah di tengah daratan. Kini kabarnya mereka itu semua condong untuk bersekutu dengan Pek-lian-kauw dan sedang bersama-sama menyusun kekuatan untuk menghadapi pemerintah. Dengan bergabung bersama mereka, tentu kelak akan terbuka jalan bagiku untuk memperoleh bokor itu."
"Akan tetapi... Subo telah membunuh orang-orang Pek-lian-kauw di kuil itu, melukai tosu Pek-lian-kauw, membunuh teman murid Kwi-eng Niocu dan melukai murid kepala yang menjadi Ketua Ui-hong-pang itu! Tentu Subo akan dimusuhi mereka."
"Heh-heh, memang kusengaja! Itulah semacam kartu namaku untuk mereka, agar mereka membuka mata dan tahu siapa Siang-tok Mo-li dari selatan! Dulu orang-orang itu berani menentangku, bukan? Maka sudah sepatutnya dibunuh. Hal ini tentu dimengerti oleh para pimpinan Pek-lian-kauw, maka kubiarkan tosu itu hidup. Dan kulukai murid Kwi-eng Niocu agar dia tidak memandang rendah kepadaku!"
"Akan tetapi, mungkinkah mereka mau mengerti setelah Subo melakukan kesukaan Subo atas diri para anggota Pek-lian-kauw itu? Subo tak hanya membunuh mereka, akan tetapi sudah makan jantung mereka. Teecu tahu bahwa Subo mempunyai kebiasaan itu untuk memperkuat diri Subo, dan biar pun teecu sendiri tidak suka untuk melakukannya karena jijik, akan tetapi teecu juga tidak menentang. Hanya yang teecu sangsikan, apakah pihak Pek-lian-kauw dan Kwi-eng-pang akan dapat menerimanya?"
"Mereka sudah tahu akan kebiasaan dan kesukaanku, tentu mereka mengerti."
"Jadi mereka sudah mengerti? Akan tetapi teecu yang menjadi murid Subo malah belum mengerti mengapa Subo hanya suka makan jantung pria saja."
"Hal itu ada hubungannya dengan riwayatku, Bi Kiok."
"Mengapa tidak Subo ceritakan kepada teecu?"
Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci menarik napas panjang, lalu berkata, "Aku tak suka menggali riwayat lama yang menyakitkan hati, akan tetapi tidak kuceritakan pun kelak engkau akan mengetahui. Maka, dari pada mendengar dari orang lain yang mungkin memutar balikkan kenyataan, baiklah kau dengarkan riwayat singkatku yang menjadi pendorong kenapa aku hanya suka mengganyang jantung pria."
Iblis Betina Racun Wangi itu lalu bercerita dengan singkat. Ketika dia masih muda sekali, dia telah mengalami bermacam penghinaan dan perlakuan buruk dari kaum pria. Bu Leng Ci adalah seorang peranakan Jepang. Ibunya diculik oleh bajak laut Jepang sebab ibunya adalah seorang gadis nelayan di pantai laut selatan, kemudian ibunya dipaksa menjadi isteri muda kepala bajak itu sampai melahirkan dia.
Kemudian, dalam usia baru empat belas tahun dia dikawinkan dengan seorang lelaki tua bangsa Jepang dan tinggal di Jepang. Biar pun tua, laki-laki itu adalah seorang pendekar samurai yang kenamaan. Hanya sayang, kakek itu memperisterinya untuk melayaninya dalam keperluan sehari-hari belaka dan semenjak menjadi isterinya, jago samurai itu tidak pernah tidur dengannya! Tentu saja hal ini menjadi siksaan. Barulah diketahui bahwa jago samurai yang dalam istilah dunia persilatan adalah seorang kiam-hiap (pendekar pedang) itu pantang untuk tidur dengan wanita.
Karena itu terjadilah hal yang wajar dalam keadaan seperti itu. Seorang pemuda tetangga mereka, seorang pemuda Jepang yang tampan, lalu menarik hatinya. Mereka saling jatuh cinta. Hal ini diketahui oleh suaminya, namun pendekar Jepang itu bersikap murah dan bijaksana, bahkan memberikan Leng Ci untuk menjadi isteri pemuda itu.
Namun, bagi Leng Ci masa penuh madu itu hanya berlangsung tidak lebih dari beberapa bulan saja. Suaminya, yaitu pemuda yang tadinya bersumpah kerak-keruk mencintainya, segera berpaling muka dan bermain gila dengan wanita-wanita lain. Dia menjadi seorang wanita yang disia-siakan oleh suami!
Pada waktu itu, Leng Ci sudah pandai bermain pedang samurai, dilatih oleh suaminya yang pertama. Setelah beberapa kali bercekcok, akhirnya Leng Ci membunuh suami ke dua ini bersama kekasih suaminya, dan melarikan diri, ikut ayahnya menjadi bajak laut.
Dalam beberapa tahun saja, karena dia memiliki wajah yang cantik manis, dia jatuh ke dalam pelukan berbagai pria yang tadinya bertekuk lutut bersumpah menyatakan cinta, akan tetapi kemudian meninggalkannya untuk wanita lain. Sudah belasan orang pria yang dibunuhnya karena itu, dan akhirnya, ketika dia benar-benar jatuh cinta kepada seorang laki-laki gagah di pantai selatan, dia kembali menjadi isteri laki-laki ini dan hidup bahagia di pantai selatan. Pada waktu itu dia baru berusia tujuh belas tahun!
Alangkah menyedihkan hatinya ketika suami terakhir yang benar-benar dicintanya ini pun tidak setia kepadanya, dan mata duitan pula. Suaminya adalah seorang tokoh dunia kaum sesat. Pada suatu hari, suaminya itu membiusnya dengan obat sehingga dia tertidur dan dalam keadaan seperti itu, dia sudah ‘dijual’ oleh suaminya kepada lima laki-laki golongan hitam yang berani membayar mahal. Selama dua hari dua malam, dalam keadaan pulas karena selalu dilolohi obat bius ini, dia dipermainkan dan ditiduri oleh lebih dari sepuluh orang laki-laki dan untuk itu suaminya telah mengantongi banyak uang!
Setelah sadar, Leng Ci mendapatkan dirinya sudah terhina ada pun suaminya telah kabur membawa uang hasil penjualan dirinya beserta semua barang berharga dalam rumah. Bu Leng Ci lalu mencari suaminya itu dan beberapa bulan kemudian, dia dapat menemukan suaminya, membunuhnya dan mengganyang jantung pria itu hidup-hidup!
Itulah pertama kalinya dia makan jantung pria. Semenjak itu, setiap membunuh seorang pria, dia selalu mengganyang jantungnya!
Makin lama Bu Leng Ci semakin lihai, apa lagi ketika kemudian dia berhasil menarik hati seorang datuk kaum sesat yang menjagoi daerah selatan, yaitu Lam-hai Sin-ni, ibu Sie Biauw Eng yang berkenan menurunkan beberapa ilmu silat tinggi, kepandaian Bu Leng Ci meningkat tinggi. Bahkan dia lantas memperdalam pula ilmu pedang samurai dari suami pertamanya yang masih sayang kepadanya dan dengan suka hati menggemblengnya.
Selama Lam-hai Sin-ni masih hidup, tentu saja Bu Leng Ci tidak berani ikut menjagoi di daratan dan dia bahkan bersembunyi di Jepang untuk memperdalam ilmu samurainya. Ketika jago samurai, suami pertamanya meninggal dunia, dia mewarisi semua milik bekas suami itu, termasuk pedang samurainya. Setelah dia mendengar akan kematian Lam-hai Sin-ni, baru dia berani mendarat dan mulai melakukan petualangannya di daerah selatan sehingga belasan tahun kemudian dia pun menjadi datuk dari kaum sesat untuk daerah selatan.
"Demikianlah riwayat singkatku, muridku. Kaum pria hanya memandang wanita sebagai alat untuk memuaskan nafsu birahinya belaka! Cinta yang didengang-dengungkan, yang diucapkan dengan seribu satu macam sumpah, hanya digunakan sebagai umpan untuk memikat. Setelah kepuasan nafsu birahinya terpenuhi, maka mulailah matanya melirik ke kanan kiri mencari korban baru untuk memuaskan nafsu-nafsunya. Karena itu, aku muak dan aku benci kepada kaum pria umumnya!"
Biar pun dia sendiri telah banyak mengalami hal-hal yang mengerikan dan yang membuat hatinya mengeras, mendengar cerita gurunya ini, meremang juga bulu tengkuk Bi Kiok.
Maka berangkatlah guru beserta murid itu melanjutkan perjalanan, meninggalkan pantai Sungai Huang-ho dan menuju ke barat untuk mengunjungi Kwi-eng-pai di Telaga Setan di barat.
Akan tetapi, baru berjalan setengah hari lamanya, di luar sebuah hutan mereka bertemu dengan lima orang laki-laki yang terlihat gagah perkasa dan yang melakukan perjalanan dengan ilmu berlari cepat. Setelah dekat, guru dan murid ini mengenal seorang di antara mereka yang bukan lain adalah Kiang Ti, Ketua Ui-hong-pang yang berpakaian serba kuning, murid kepala Kwi-eng Niocu Si Bayangan Hantu yang pernah dilukai oleh Bu Leng Ci.
Melihat orang ini, sambil terkekeh Bu Leng Ci menggerakkan kakinya melompat dan dia telah berdiri menghadang di tengah jalan! Akan tetapi, ketika melihat wanita itu, Kiang Ti tidak menjadi takut atau terkejut, bahkan tersenyum lebar dan cepat dia menjura sambil berkata, "Aihh, sungguh beruntung sekali dapat berjumpa dengan Locianpwe di sini! Kami memang sedang menanti Locianpwe."
Bibir yang tipis merah itu tersenyum mengejek, "Apakah kau telah membawa teman untuk membalas pukulanku dahulu itu? Kalau hendak membalas, kenapa bukan gurumu sendiri saja yang datang?"
Walau pun ucapan itu terdengar mengandung ejekan dan penghinaan, namun ketua dari Ui-hong-pang itu sama sekali tidak menjadi marah, bahkan tersenyum makin lebar. "Maaf, maaf... mana saya berani? Sama sekali bukan demikian, Locianpwe. Sesungguhnya kami diutus oleh Subo (Ibu Guru) untuk mencari Locianpwe dan mengundang Locianpwe untuk ikut hadir dalam pertemuan puncak antara lima datuk yang akan mengadakan pertemuan dengan pimpinan Pek-lian-kauw, berempat di Kwi-ouw."
Girang sekali hati Bu Leng Ci. Ternyata bahwa pengiriman ‘kartu nama’ darinya itu telah berhasil. Sekarang dia sudah diakui dan mendapat kehormatan besar! Betapa pun juga, dia menekan kegirangan hatinya sehingga tidak tampak pada mukanya, dan dia berkata, "Apakah kalian mengenal seorang yang bernama Yap Cong San dan isterinya bernama Gui Yan Cu?"
Kian Ti beserta teman-temannya saling pandang. Mereka berlima merupakan tokoh-tokoh Kwi-eng-pang, murid-murid terkemuka dari Kwi-eng Niocu dan telah memiliki pengalaman luas. Namun karena mereka itu bergerak di daerah barat, sedangkan Yap Cong San dan isterinya bertahun-tahun berada di Leng-kok dan tidak pernah terjun ke dunia kang-ouw, maka mereka tidak mengenal suami isteri ini.
"Kami tidak pernah mendengar nama mereka, Locianpwe."
"Mereka adalah orang-orang penting, sebaiknya jika kalian mencari mereka yang sedang berada di daerah ini. Kalau berhasil menangkap mereka, bawalah ke Kwi-ouw. Aku dan muridku akan langsung mendahului ke Kwi-ouw."
Kiang Ti dan teman-temannya menyanggupi, maka kelima orang itu segera melanjutkan perjalanan mencari suami isteri seperti yang diperintahkan oleh Bu Leng Ci. Sedangkan Bu Leng Ci sendiri melanjutkan perjalanan menuju ke Kwi-ouw dan secara diam-diam dia mentertawakan murid-murid Kwi-eng Niocu itu.
"Subo, dua orang yang telah berhasil dilukai Subo, mana mungkin dapat ditangkap oleh lima orang itu?" Tiba-tiba Bi Kiok bertanya.
"He-heh-heh, kau cerdik muridku. Memang kecil sekali kemungkinan mereka akan dapat menangkap suami isteri itu biar pun si isteri telah terluka oleh Siang-tok-soa di dadanya. Akan tetapi peduli apa? Apa bila lima orang Kwi-eng-pai itu tewas, berarti suami isteri itu menjadi musuh Kwi-eng-pang, dan kalau sampai mereka berhasil menawan suami isteri itu, ada gunanya juga bagi kita. Mereka itu adalah ayah bunda bocah setan yang bernama Kun Liong itu."
Sebelum Bi Kiok menjadi murid iblis betina itu, tentu dia akan berseru kaget mendengar ini, atau setidaknya tentu akan berubah air mukanya. Akan tetapi, semuda itu, Bi Kiok sudah dapat menguasai perasaannya sehingga meski pun dia kaget bukan main, namun tidak ada perubahan pada wajahnya yang cantik dan dingin.
Namun pertemuan puncak antara lima orang datuk itu ternyata tidak lengkap. Yang hadir dalam pertemuan itu hanyalah Bu Leng Ci, Kwi-eng Niocu, dan Hek-bin Thian-sin saja. Dua orang datuk lainnya yang lebih tua dan lebih terkenal, yang dianggap sebagai datuk nomor satu dan nomor dua, yaitu Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong, tidak muncul. Hal ini tentu sangat mengecewakan para pimpinan Pek-lian-kauw. Maka, atas persetujuan bersama, pertemuan puncak diundur sampai kedua orang datuk itu dapat ditemukan dan diundang...
Dengan sudut mata dia melihat betapa enam anggota Cin-ling-pai yang terluka itu masih pingsan dan ada tanda telapak tangan hitam pada tubuh mereka, di pipi, di leher, bahkan pukulan yang mengenai pundak atau dada membuat baju hangus terbakar dan kulitnya juga ternoda hitam berbentuk telapak tangan. Diam-diam dia merasa terkejut dan marah. Tak salah lagi, tentulah itu pukulan beracun, kalau bukan Hek-tok-ciang (Tangan Beracun Hitam) tentu semacam itu.
"Paman Kwee berdua, mundurlah!"
Teriakan Giok Keng ini membuat hati Kwee Kin Ta dan empat orang sute-nya membesar, dan mereka segera meloncat ke belakang. Dua orang kakek itu membalik tubuhnya dan memandang Giok Keng penuh perhatian.
Mereka berdua lalu menjura dan kakek yang bermuka putih bertanya, "Apakah Nona ini Cia-siocia (Nona Cia) yang terhormat? Kami berdua adalah Siang-lo-kui (Dua Setan Tua) dari..."
"Tidak peduli kalian ini sepasang setan, sepasang iblis atau siluman dari neraka, kalian sudah bosan hidup. Mampuslah!" Tiba-tiba Giok Keng menggerakkan kedua tangannya dan segulung sinar merah muda menyambar ke depan, ke arah kedua orang kakek itu.
Dua orang kakek yang mengaku berjuluk Sepasang Setan Tua itu terkejut sekali. Sinar merah muda itu adalah ujung sabuk sutera merah muda yang menyambar cepat bukan main, dan kedua ujung sabuk itu telah menyambar seperti ular-ular hidup mengarah jalan darah kematian di leher kedua orang kakek itu.
Dari angin sambaran ujung sabuk itu mengertilah mereka bahwa apa bila totokan ujung sabuk itu mengenai sasaran, maka mereka benar-benar terancam bahaya maut! Cepat keduanya meloncat dan mengelak, akan tetapi betapa terkejut hati mereka ketika kedua sinar merah muda itu seolah-olah hidup dan terus mengejar mereka, tetap menghujankan totokan-totokan maut bertubi-tubi! Dengan kaget sekali terpaksa mereka membuang diri ke belakang dan bergulingan di atas tanah sehingga membuat totokan-totokan itu sukar untuk mengenai sasaran.
Melihat ini, dalam kegemasannya Giok Keng cepat merobah serangan, kini menggunakan kedua ujung sabuknya bukan untuk menotok jalan darah yang tidak mungkin berhasil lagi karena dua orang kakek itu terus menggerakkan tubuh, melainkan untuk melecut! Sabuk sutera merah muda itu dipegang di bagian tengah, karena itu gerakan kedua tangannya membuat kedua ujung sabuk itu melecut-lecut dan mengeluarkan suara ledakan-ledakan keras.
"Tar-tar-tat-tar...!"
Kedua orang kakek itu berusaha mengelak, namun tetap saja tubuh mereka terkena hujan cambukan, membuat pakaian mereka robek-robek dan kulit tubuh mereka luka-luka. Biar pun hanya luka di bagian luar yang ringan, akan tetapi mengeluarkan darah dan rasanya cukup nyeri dan pedih!
"Tar-tar... wuuuuttt! Aihhh!"
Giok Keng berteriak kaget dan marah ketika tiba-tiba ujung sabuk suteranya terhenti di udara. Ketika dia membalik, tahu-tahu kedua ujung sabuk itu telah dipegang oleh seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah sekali! Dia terkejut. Sabuk sutera di tangannya adalah senjata yang hebat, dengan ilmu yang dia pelajari dari ibunya.
Ibunya sangat terkenal dengan Ilmu Pek-in Sin-pian (Cambuk Lemas Awan Putih) yang dimainkan dengan sabuk sutera putih. Dia tidak menyukai warna putih seperti ibunya, melainkan lebih suka menggunakan sabuk warna merah muda. Biar pun ilmu cambuknya belum semahir dan sehebat ibunya, tapi menurut ibunya sudah cukup untuk menghadapi senjata lawan yang bersifat keras. Kini tahu-tahu kedua ujung sabuknya dapat dipegang oleh seorang lawan, hal ini membuktikan bahwa lawan ini tentu amat lihai!
Pemuda itu sudah berkata kepada kedua orang kakek dengan nada suara memerintah, "Kalian mundurlah! Sungguh tak tahu diri berani melawan Cia-siocia!"
Setelah kedua orang kakek itu mundur, pemuda itu menjura kepada Giok Keng dengan sikap menghormat sekali sambil berkata dengan wajah berseri, bibir tersenyum dan suara halus.
"Saya mohon dengan hormat sudilah Cia-siocia untuk memaafkan dua orang paman ini. Sesungguhnya kedatangan kami bukan dengan maksud buruk. Saya Liong Bu Kong dan bersama kedua Paman Siang-lo-kui datang hendak menghadap Ketua Cin-ling-pai, Yang Mulia Cia Keng Hong Locianpwe..."
"Cukup!" Giok Keng langsung memotong ucapan pemuda itu dengan bentakan nyaring. "Tidak membawa maksud buruk tetapi melukai enam orang anggota Cin-ling-pai. Ditebus nyawa pun masih belum impas!" Sesudah berkata demikian, dengan tangan kiri dara itu menggulung sabuknya lalu menyimpannya, ada pun tangan kanannya bergerak mencabut pedang.
"Singggg…!"
Sinar putih menyilaukan mata berkelebat ketika pedang yang terbuat dari perak murni itu tercabut. Itulah pedang Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak) yang terbuat dari perak dan diukir bunga-bunga, pedang pemberian ibunya. Biar pun dia tidak suka akan warna puth seperti ibunya, namun pedang itu amat indah buatannya, pula merupakan sebuah pusaka yang ampuh, maka Giok Keng sayang sekali kepada pedangnya ini.
"Eiiitt, Nona, tunggu... saya bukan hendak bermusuh..."
"Wuuuuttt... singggg…!"
Sinar putih itu menyambar laksana kilat dan andai kata tidak dielakkan cepat-cepat oleh pemuda yang mengaku bernama Liong Bu Kong itu, tentulah leher itu akan terbabat putus dan kepala dengan wajah ganteng itu akan berpisah dari tubuhnya!
Liong Bu Kong terpaksa harus berloncatan ke kanan kiri dan ke atas, dan terpaksa pula dua kali menggulingkan tubuhnya di atas tanah, terus dikejar oleh sinar putih menyilaukan mata itu.
"Nanti dulu, Nona...!”
“Brettt…!" Ujung lengan baju yang dipakai pemuda itu terbabat buntung. Nyaris tangannya yang buntung!
"Srattt…!"
Pemuda itu mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kebiruan dan terpaksa menggunakan pedangnya menangkis.
"Tringgg... cranggg... tranggg…!"
Bunga api berpijar-pijar ketika berkali-kali dua batang pedang itu bertemu di udara. Giok Keng merasa betapa telapak tangannya panas dan pedangnya tergetar, tanda bahwa selain lawan memiliki sinkang yang kuat, juga pedangnya yang bersinar biru itu adalah sebatang pedang yang baik dan hebat pula.
"Nona... sabarlah, saya tidak ingin bertanding..."
"Singgg... trangggg…!"
Kembali pemuda itu menangkis dan tangan Giok Keng gemetar dan terasa panas telapak tangannya.
"Tak usah banyak cakap!" bentak Giok Keng.
Dia kembali sudah menerjang dengan ganas. Maklum bahwa lawannya lihai dan memiliki pedang pusaka pula, Giok Keng langsung menyerang dengan pengerahan tenaga dan menggunakan jurus-jurus pilihan. Namun dia terkejut dan diam-diam kagum sekali karena pemuda itu selain memiliki tenaga sinkang amat kuat, juga mempunyai kecepatan gerak mengagumkan sehingga setiap serangannya mampu dihindarkan dengan tangkisan atau elakan.
Para anggota Cin-ling-pai dan kedua orang kakek tadi menonton dengan mata terbelalak penuh kagum menyaksikan betapa dua gulung cahaya pedang putih dan biru saling belit, saling desak dan saling dorong. Demikian terangnya cahaya kedua pedang itu sehingga menyelimuti bayangan kedua orang yang memainkannya.
"Tahan senjata!" Bentakan ini menggetarkan jantung kedua orang muda yang sedang bertanding, membuat tangan mereka menggigil beberapa detik sehingga gerakan mereka tertahan.
Detik-detik ini cukup bagi Keng Hong untuk menangkap kedua tangan yang memegang pedang lalu mendorong Giok Keng dan pemuda itu sampai terhuyung ke belakang. Selagi pemuda itu terhuyung, Keng Hong sudah menggerakkan tangannya. Jari-jari tangannya menangkap ujung pedang bersinar kebiruan, tenaga sinkang mukjijat dia keluarkan, dan jari-jari tangan membuat gerakan menekuk.
"Krakkk!" Ujung pedang pusaka yang mengeluarkan sinar kebiruan itu patah!
Pemuda itu terbelalak dengan muka pucat bukan main. Matanya memandang pedang di tangannya yang sudah menjadi pedang buntung. Hampir dia tidak dapat percaya. Begitu mudahnya Ketua Cin-ling-pai itu mematahkan pedang pusakanya, seolah-olah pedang itu sama dengan sebatang lidi kering saja! Padahal pedangnya merupakan sebatang pedang pusaka yang ampuh!
Diam-diam dia bergidik ngeri membayangkan betapa kuat jari-jarl tangan orang setengah tua yang berdiri tenang di depannya itu, lebih ngeri lagi ketika mendengar suara Cia Keng Hong yang halus, penuh kesabaran dan ketenangan, namun juga penuh wibawa,
"Orang muda, siapa pun adanya engkau, seorang tamu yang datang dengan pedang terhunus tentu bukan seorang yang beriktikad baik!"
"Engkau masih beruntung bukan aku yang turun tangan, kalau demikian halnya jangan harap engkau masih dapat bernapas!" Ucapan ini keluar dari mulut seorang wanita yang usianya sudah setengah tua akan tetapi masih tampak cantik jelita dan gagah perkasa. Mudah saja bagi Liong Bu Kong untuk menduga bahwa tentu nyonya itulah isteri Ketua Cin-ling-pai yang bemama Sie Biauw Eng, yang dahulu berjuluk Song-bun Siu-li!
Dengan jantung berdebar serta keringat dingin membasahi lehernya, pemuda itu segera menyarungkan pedang buntungnya dan menjura penuh hormat kepada Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng sambil berkata, "Mohon Ji-wi-locianpwe (Kedua Orang Tua Sakti) sudi mengampunkan saya yang lancang berani mendatangi Cin-ling-san. Saya bernama Liong Bu Kong dan sengaja dari tempat jauh sekali datang ke sini bersama kedua orang Paman Ang-kui Tung Sek dan Pek-kui Gak Song."
Cia Keng Hong melirik ke arah dua orang kakek itu yang juga sudah menjura dengan hormat. Melihat bahwa mereka adalah orang-orang yang telah berusia enam puluh lebih, dia pun membalas penghormatan mereka dengan sikap dingin. Dua orang itu berjulukan Ang-kui (Setan Merah) dan Pek-kui (Setan Putih), tentu termasuk golongan hitam atau kaum sesat, maka dia cepat bertanya,
"Setelah tahu bahwa engkau lancang, mengapa masih berani? Ada keperluan apakah?"
Pemuda itu dengan sikap hormat dan kedua tangan di depan dada melirik ke arah Giok Keng. Dara itu juga sedang memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu pandang dan jantung Giok Keng berdebar, mukanya berubah merah. Pemuda itu sungguh tampan dan gagah, juga sikapnya begitu halus dan penuh hormat!
"Harap Locianpwe sudi memaafkan, sebenarnya kedatangan kami... yaitu kedua paman ini... dengan maksud... ehhh, Paman Gak, harap Totiang saja yang menjelaskan kepada Cia-locianpwe." Agaknya sukar sekali bagi pemuda itu untuk melanjutkan kata-katanya, beberapa kali dia harus menelan ludah dan lehernya serasa tercekik.
Kini kedua orang kakek itu yang melangkah maju menghadap Keng Hong sambil menjura, kemudian Pek-kui Gak Song berkata, "Tak perlu kiranya kami membohong kepada Paicu (Ketua). Sesungguhnya sudah lama sekali Liong-kongcu (Tuan Muda Liong) mendengar akan nama besar Paicu dan akan kehebatan puteri Paicu, yaitu Nona Cia Giok Keng. Harap Paicu ketahui bahwa Liong-kongcu adalah putera tunggal pangcu kami di Kwi-ouw (Telaga Setan)."
"Hemm... bukankah Kwi-ouw adalah sarang Kwi-eng-pang dan ketuanya adalah Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, datuk kaum sesat?" Biauw Eng memotong.
Kedua orang kakek itu tersenyum. "Tidak salah dugaan itu, pangcu kami adalah Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio." Tentu saja mereka merasa amat bangga menyebut nama yang telah tersohor itu. "Dan kami berdua merupakan pembantu-pembantu utamanya, juga termasuk murid-murid yang setia dari pangcu kami."
"Coba kalian lanjutkan, apa keperluan kalian dan Liong Bu Kong ini datang ke sini?" Keng Hong mendesak, hatinya tidak enak.
Melihat sikap tuan dan nyonya rumah, Pek-kui Gak Song juga kelihatan gugup dan jeri. "Sesungguhnya kami ditugaskan Pangcu kami untuk mengiringkan kongcu kami untuk... untuk dapat bertemu muka dengan Cia-siocia... dan hal ini sudah terlaksana... tentu tidak lama lagi pangcu kami akan segera resmi mengajukan pinangan, melamar Nona Cia Giok Keng untuk menjadi jodoh kongcu kami..."
"Keparat!" Tiba-tiba Biauw Eng membentak marah, "Hendak melamar setelah mengacau di Cin-ling-san dan berani pula melukai enam orang anggota Cin-ling-pai dengan pukulan Hek-tok-ciang?"
Dua orang kakek itu menjadi pucat wajahnya. "Ini... ini... hanya kesalah pahaman... hanya keinginan menguji kepandaian... bukan bermaksud buruk... kami mohon maaf dan biarlah kami mengobati mereka yang terluka..."
"Siapa butuh bantuan kalian? Tidak perlu memberi obat, pukulan Hek-tok-ciang macam itu saja apa sih artinya? Biarlah aku menukarnya dengan pukulanku. Terimalah!"
Biauw Eng memberi kesempatan kepada dua orang kakek itu untuk ‘menjaga diri’ lebih dahulu sebelum dia bergerak. Meski pun dua orang kakek itu jauh lebih tua dari padanya, namun dia adalah isteri Ketua Cin-ling-pai sedangkan dua orang kakek itu hanya utusan dan murid Ketua Kwi-eng-pai, maka kedudukannya jauh lebih tinggi. Karena ini, dia tidak mau menggunakan kecepatannya menyerang dua orang yang belum siap. Sesudah dua orang kakek yang maklum akan dipukul itu berjaga-jaga, baru ia menggerakkan tubuhnya sambil berseru, "Robohlah!"
Dua orang kakek yang namanya di dunia kang-ouw sudah amat terkenal dengan julukan Siang-lo-kui (Sepasang Setan Tua) ini cepat menggerakkan tangan menangkis.
"Des! Dess! Plak-plak!"
Sepasang tangan Biauw Eng yang menampar itu memang dapat tertangkis oleh mereka, namun lengan mereka yang menangkis terdorong dan terpental sedangkan kedua buah tangan halus itu tetap saja menyambar terus dan menampar dada mereka. Tamparan yang tidak begitu kuat, akan tetapi akibatnya hebat karena kedua orang kakek itu roboh, muntah darah dan pingsan.
Kiranya mereka telah menderita luka dalam yang cukup hebat, dan juga pukulan Biauw Eng itu beracun, tidak kalah dahsyatnya dibandingkan dengan Hek-tok-ciang. Tidak aneh kalau Sie Biauw Eng mampu menggunakan ilmu pukulan beracun yang biasanya hanya dikuasai oleh kaum sesat karena dia adalah puteri mendiang Lam-hai Sin-ni (Wanita Sakti Laut Selatan).
Pukulannya tadi adalah Ngo-tok-ciang (Tangan Panca Racun) yang mengandung inti sari lima macam hawa beracun dan tentu saja jauh lebih berbahaya dari pada Hek-tok-ciang, apa lagi dilakukan oleh seorang yang tingkat kepandaiannya sudah setinggi nyonya itu!
Liong Bu Kong terkejut sekali. Dia tadi telah menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai yang dengan amat mudahnya mematahkan ujung pedang pusakanya. Kini dia menyaksikan kelihaian nyonya ketua itu yang dalam segebrakan saja mampu merobohkan Siang-lo-kui, padahal dua orang kakek itu adalah murid-murid kelas satu dari ibunya!
Pemuda yang sangat cerdik ini tidak memperlihatkan perasaan menyesal pada mukanya, bahkan dia menjura kepada Sie Biauw Eng sambil berkata, "Hukuman bagi kedua paman yang lancang ini memang sudah sepantasnya. Saya menghaturkan terima kasih kepada Locianpwe yang telah menghajarnya dan mengampuni nyawa mereka."
Walau pun Bu Kong mengambil sikap sabar, sopan dan manis budi, akan tetapi dalam pandangan Cia Keng Hong, pemuda itu sangat tidak menyenangkan, karena itu dia pun berkata, "Sudahlah, bawa mereka pulang dan jangan sekali-kali berani menginjakkan kaki di daerah Cin-ling-san. Ada pun soal jodoh, tidak perlu lagi dibicarakan dan tidak perlu datang meminang karena bagaimana pun juga, kami tidak akan suka berbesan dengan golongan hitam. Nah, pergilah!"
Bu Kong merasa betapa jantungnya seperti ditusuk oleh kekecewaan dan putus harapan. Sudah lama dia mendengar akan kecantikan puteri Ketua Cin-ling-pai, dan sesudah kini bertemu dengan orangnya, apa lagi setelah menyaksikan kelihaian Giok Keng, sekaligus dia tergila-gila dan jatuh cinta. Akan tetapi dia pun tahu bahwa kedua orang tua dara itu menentang keras.
Kembali pemuda itu menjura dan berkata, "Maafkan saya, Ji-wi-locianpwe. Saya mengaku bahwa kami bertiga telah lancang, semoga saja kelak saya akan dapat menghadap Ji-wi dalam keadaan yang lebih baik dan menyenangkan. Selamat tinggal dan sekali lagi terima kasih atas semua pelajaran yang kami terima."
Dia menjura, membungkuk, dan mengempit tubuh dua orang kakek yang masih pingsan, kemudian turun dari puncak sambil berlari cepat. Semua orang, termasuk Cia Keng Hong, Sie Biauw Eng, dan Cia Giok Keng, memandang dengan hati kagum. Sungguh pemuda yang benar-benar lihai!
Setelah mengobati luka keenam pemuda akibat pukulan Hek-tok-ciang, Keng Hong dan anak isterinya kembali ke dalam rumah. Sesudah berada di dalam, Keng Hong berkata kepada puterinya,
"Nah, kau lihat sendiri betapa tidak baiknya bagi seorang dara yang sudah dewasa kalau tak segera menikah. Tentu banyak godaan yang datang dan penolakan-penolakan hanya akan mendatangkan permusuhan."
"Ayahmu benar, Anakku. Sebaiknya kalau engkau segera menentukan pilihan hatimu dan mendapatkan jodoh."
Giok Keng cemberut. "Ayah dan Ibu tentu akan memaksaku, soal jodoh ini tidak perlu dibicarakan lagi karena aku tidak mau! Dalam penolakan lamaran Ayah dan Ibu bertindak tanpa persetujuanku, tentu kelak Ayah dan Ibu pun akan menerima lamaran orang tanpa mengajukan persetujuanku pula! Karena itu, aku tidak mau menikah!"
Keng Hong dan isterinya saling pandang dan Keng Hong berkata agak keras, "Tentu saja kita tolak lamaran seorang pemuda dari golongan hitam itu. Apa lagi kalau dia putera Iblis Betina Kwi-eng Niocu yang tersohor!"
Giok Keng tetap saja cemberut. Sedikit banyak hatinya telah tertarik oleh sikap pemuda tampan tadi, dan walau pun hal itu bukan berarti bahwa dia jatuh cinta dan menerima pinangan, akan tetapi dia tersinggung juga menyaksikan betapa ayah bundanya menolak mentah-mentah tanpa mempedulikan perasaannya sendiri!
"Menolak mau pun menerima lamaran bukan soal, yang menjadi soal adalah bahwa saya seorang manusia, yang berperasaan pula dan patut menentukan hidup dan masa depan saya sendiri. Hal ini harap Ayah dan Bunda tidak lupa! Sudahlah, siapa sih yang ingin menikah?" Setelah berkata demikian Giok Keng meninggalkan ayah bundanya, memasuki kamarnya sendiri dan menangis!
Keng Hong menggeleng-gelengkan kepalanya. Isterinya menghibur, "Sabarlah. Dia baru berusia tujuh belas tahun, belum lenyap sama sekali sifat kekanak-kanakannya!"
"Kekanak-kanakan apa? Itulah kalau anak manja!"
Akan tetapi Keng Hong tidak melanjutkan kemarahannya ketika melihat pandang mata isterinya yang mengalah, bahkan dia segera memeluk isterinya dan berkata, "Biarlah kita serahkan jodoh anak kita kepada nasib."
"Perlu apa dipusingkan? Biar dia memilih sendiri dan kita hanya mengawasi dari belakang agar dia jangan salah pilih."
Semenjak terjadinya pengacauan yang dilakukan oleh orang-orang Kwi-eng-pai itu dan mendapat kenyataan bahwa kepandaiannya masih jauh dari cukup sehingga ketika dia menyerang pemuda bernama Liong Bu Kong itu dia sama sekali tidak berhasil, Giok Keng makin tekun berlatih silat. Hal ini menggirangkan hati Keng Hong, maka pendekar ini pun melatih puterinya dengan sungguh-sungguh sehingga akhirnya dia menurunkan juga Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun kepada puterinya itu dengan janji agar dara itu tidak akan pernah membocorkannya kepada orang lain!
Dua tahun lamanya Giok Keng berlatih dengan tekun siang malam sehingga setelah dia berusia sembilan belas tahun, ilmu kepandaiannya meningkat dengan hebatnya. Bahkan dia berhasil pula mempelajari Ngo-tok-ciang dari ibunya yang memesan agar puterinya jangan sembarangan menggunakan ilmu ini, kecuali kalau menghadapi golongan hitam karena ilmu ini adalah ilmu keji dari kaum sesat.
Betapa pun juga, Keng Hong masih belum berani mengajarkan Thi-khi I-beng kepada puterinya. Kalau puterinya mendesak agar ayahnya menurunkan ilmu itu, dia menjawab,
"Kau kira mudah saja menguasai Thi-khi I-beng? Kalau belum kuat benar dasarnya, ilmu ini bisa mencelakakan diri sendiri. Ayahmu mendapatkan ilmu ini secara kebetulan saja, akan tetapi ketahuilah, dulu ada seorang tokoh golongan hitam yang ilmu kepandaiannya tinggi bernama Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu, dia berhasil memaksaku memberikan Thi-khi I-beng, namun akhirnya dia mati karena ilmu itu sendiri. Mempelajari ilmu ini kalau belum memiliki kekuatan yang melebihi ukuran sinkang biasa, berarti menghadapi bahaya maut. Ilmu-ilmu yang kau pelajari sudah cukup, Keng-ji, kalau semua itu kau kuasai dengan baik disertai latihan dan ketenangan, kiranya sukar sekali akan dapat dikalahkan lawan, walau pun engkau tidak menggunakan Thi-khi I-beng."
Mendengar keterangan ini, Giok Keng menjadi ngeri sendiri dan merasa puas dengan ilmu-ilmu yang sudah dimilikinya. Akan tetapi, Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng makin berduka oleh karena telah belasan kali datang lamaran dari pemuda-pemuda yang bukan orang-orang sembarangan, putera ketua-ketua partai besar, pemuda-pemuda sastrawan dan hartawan, bahkan pernah seorang pemuda putera pangeran dari kota raja melamar, semua itu ditolak mentah-mentah oleh Giok Keng. Padahal, usia dara itu sekarang telah meningkat, sudah sembilan belas tahun!
Ketika Keng Hong dan Biauw Eng mendengar akan kematian Tiong Pek Hosiang serta Thian Lee Hwesio, mereka segera berangkat untuk melayat, sekaligus untuk menghibur kekecewaan hati mereka dan mengharapkan pertemuan dengan Yap Cong San. Siapa tahu kalau-kalau jodoh puteri mereka itu adalah putera sahabat ini yang sudah hampir dua puluh tahun, atau sedikitnya delapan belas tahun tak pernah mereka jumpai.
Giok Keng disuruh menjaga Cin-ling-pai dan mengawasi adiknya, Cia Bun Houw yang baru berusia lima tahun. Hati Giok Keng agak kecewa karena setelah kini ilmunya maju pesat, dia ingin sekali ikut merantau dan bertemu dengan tokoh-tokoh besar. Akan tetapi dia tahu juga bahwa selain Cin-ling-pai perlu dijaga, juga tidak baik kalau adiknya harus ditinggalkan seorang diri, hanya bersama para pimpinan Cin-ling-pai, dalam keadaan di mana bahaya selalu mengancam dari pihak kaum sesat.
Akan terpenuhikah harapan Keng Hong dan Biauw Eng bahwa mereka akan berjumpa dengan sahabat baik mereka Yap Cong San beserta isterinya di kuil Siauw-lim-si? Untuk mengetahui ini. sebaiknya kita mencari Yap Cong San dan isterinya dan melihat keadaan mereka. Sudah terlampau lama kita meninggalkan mereka dan kini marilah kita mengikuti perjalanan mereka semenjak mereka meninggalkan Leng-kok.
********************
Seperti telah kita ketahui, Yap Cong San bersama isterinya lari meninggalkan Leng-kok sebagai orang buruan sesudah dengan kekerasan Yan Cu membebaskan suaminya dari tahanan Ma-taijin. Mereka lantas mulai mencari putera mereka yang hilang. Akan tetapi karena kepergian Kun Liong tidak meninggalkan bekas yang jelas, mereka tersesat dan sampai dua tahun mereka menjelajah ke selatan dan ke timur, tetapi belum juga mereka berhasil menemukan putera mereka itu! Akhirnya mereka terpaksa kembali ke utara.
Tiga tahun telah lewat semenjak mereka meninggalkan Leng-kok tanpa hasil sama sekali dalam usaha mereka mencari Kun Liong. Hampir saja mereka putus harapan dan timbul kekhawatiran bahwa putera mereka yang lenyap itu sudah tewas, ketika pada suatu hari harapan itu timbul kembali secara kebetulan ketika mereka mendengar mengenai putera mereka itu.
Hal itu terjadi ketika perjalanan mereka membawa mereka tiba di tepi Sungai Huang-ho di lereng Pegunungan Lu-liang-san yang menjadi tapal batas antara Propinsi Shansi di timur dan Propinsi Sensi di barat. Mereka bermalam di dalam sebuah kamar rumah penginapan kecil sederhana, di sebuah dusun nelayan di tepi Sungai Huang-ho.
Menjelang tengah malam, setelah suami isteri yang kelelahan ini tertidur, tiba-tiba Yan Cu terbangun oleh suara berbisik-bisik. Dia terbangun, memasang telinga dan mendengarkan percakapan lirih yang terjadi di kamar sebelah, percakapan yang dapat didengarnya jelas karena agaknya dua orang wanita yang bercakap-cakap itu tidak menyembunyikan suara mereka dan antara kamamya dan kamar sebelah itu hanya teraling oleh dinding papan yang sambungannya tidak begitu rapat.
Tentu saja Yan Cu tidak akan sudi mendengarkan percakapan orang lain kalau saja dia tidak tertarik karena mendengar disebutnya nama puteranya, nama Kun Liong!
"Sungguh mengherankan sekali! Ke mana perginya bocah setan itu? Kalau dia melarikan diri dengan perahu, masa dia bisa naik perahu sampai ke langit? Kenapa jejaknya lenyap sama sekali?" terdengar suara wanita yang mengandung penasaran dan kemarahan.
"Memang dia bukan bocah biasa, Subo (Ibu Guru)," terdengar jawaban suara seorang anak perempuan. "Dahulu Kongkong sudah bilang bahwa anak itu memang luar biasa, munculnya pun secara aneh sekali, dari dalam sungai!"
"Huh! Apakah dia anak iblis sungai? Siapa namanya?"
"Dia mengaku bernama Kun Liong, Subo. Akan tetapi teecu (murid) tidak yakin bahwa dia yang membawa pergi benda itu karena benda itu tadinya berada di tangan Phoa Sek It. Ketika Phoa Sek it membunuhi semua orang, Kun Liong melarikan diri. Mana mungkin dia merampasnya dari tangan Phoa Sek It?"
"Siapa tahu? Setidaknya bocah itu tentu mengetahui di mana adanya benda itu. Hemm... apa bila dia dapat tertangkap olehku, akan kupaksa dia mengaku, akan kupatah-patahkan semua tulang tubuhnya agar dia suka mengaku!"
Mendengar itu, Yan Cu sudah tidak dapat menahan hatinya lagi. Meski pun dia merasa heran dan ragu-ragu mendengar percakapan itu, namun besar kemungkinan mereka itu bicara tentang puteranya yang hilang. Cepat dia turun dari pembaringan, menghampiri dinding dan mengintai dari celah-celah dinding papan.
Dilihatnya dalam kamar sebelah itu ada seorang wanita berusia empat puluh tahun lebih, bertubuh pendek, cantik manis akan tetapi matanya menyinarkan kekejaman dan bentuk mulutnya selalu menyeringai seperti orang mengejek, rambutnya panjang, sedang duduk di kursi berhadapan dengan seorang anak perempuan berusia kurang lebih sebelas tahun yang bersikap pendiam dan berwajah cantik dan dingin. Di atas meja di hadapan wanita rambut panjang itu terdapat sebatang pedang panjang yang bentuknya agak melengkung dan gagangnya panjang, sebatang pedang berbentuk asing bagi Yan Cu.
Yan Cu menduga bahwa wanita itu tentulah bukan orang sembarangan, maka dia pun bersikap hati-hati sekali. Melihat suaminya masih tertidur pulas, dia berindap keluar dari dalam kamarnya, lantas menyelinap ke luar rumah penginapan yang sunyi karena semua orang sudah tidur. Dengan ringan tubuhnya mencelat ke atas genteng dan dia membuka genteng tepat di atas kamar sebelah tadi. Sebagai penjagaan, sebelum keluar kamarnya Yan Cu sudah menyambar pedangnya.
Akan tetapi, pada saat dia membuka genting, tiba-tiba dari bawah menyambar sinar hijau dengan kecepatan kilat ke arahnya! Yan Cu terkejut tetapi tidak menjadi gugup. Dia sudah meloncat ke belakang dan berjungkir balik. Ketika dia turun lagi dan berdiri di wuwungan genteng rumah itu, terlihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu wanita pendek berambut panjang tadi telah berdiri di hadapannya dengan sebatang pedang panjang melengkung yang berkilauan di tangannya!
Yan Cu menjadi marah sekali, apa lagi ketika teringat betapa wanita ini mengancam untuk mematahkan semua tulang di tubuh puteranya dan memaksanya mengaku! Andai kata yang diancam itu bukan puteranya, melainkan seorang anak lain yang namanya juga Kun Liong, tetap saja ancaman itu menunjukkan bahwa wanita pendek ini merupakan seorang yang kejam dan jahat sekali, patut untuk dibasmi. Namun, pada saat itu, yang terpenting bagi Yan Cu adalah untuk mengetahui apakah benar puteranya yang dibicarakan mereka itu.
"Perempuan kejam! Apakah yang kau bicarakan dalam kamar tadi, yang kau sebut-sebut namanya, anak yang bernama Kun Liong itu adalah seorang anak laki-laki yang berusia kira-kira tiga belas tahun sekarang ini dan she Yap?"
"Jika benar dia, kau mau apa?" wanita itu balas bertanya dan mulutnya makin mengejek.
"Tetapi benarkah dia? Wajahnya tampan, matanya lebar, kepalanya bundar dan dahinya lebar, alisnya seperti golok, hidungnya mancung? Benarkah dia Yap Kun Liong?"
"Perempuan lancang, kau telah berani melakukan pengintaian. Hemm, kau tak mengenal Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci?"
Tentu saja Yan Cu sudah mendengar nama datuk kaum sesat ini selama perantauannya mencari Kun Liong, akan tetapi pada saat itu dia tidak mempedulikan semua hal kecuali persoalan di mana adanya puteranya. "Tidak peduli kau siapa, akan tetapi benarkah Yap Kun Liong yang kau bicarakan tadi?"
Sinar mata wanita pendek itu mengeluarkan kilat kemarahan. Namanya sudah tersohor di seluruh jagat sebagai seorang datuk dari daerah selatan. Tidak ada orang kang-ouw yang tidak menjadi gentar mendengar namanya, apa lagi bertemu dengan dia! Dan perempuan ini sama sekali tidak peduli!
"Perempuan bosan hidup! Kalau benar dia itu Yap Kun Liong kau mau apa?"
"Mau apa? Membunuh engkau yang mengancam dia! Di mana dia sekarang?"
"Hi-hi-hik, lagakmu seperti jagoan sendiri! Aku pun sedang mencari dia. Engkau siapa?"
"Aku ibunya!" Yan Cu sudah marah bukan main, dicabutnya pedangnya dan tanpa banyak cakap lagi dia segera menubruk maju, mengirim serangan kilat dengan tusukan ke arah dada lawan.
"Hi-hik-hik, engkau ibunya?" Bu Leng Ci, wanita itu terkekeh dan mengelak cepat sambil membabatkan pedang panjangnya dari samping.
"Singggg…!"
Gagang pedang samurai pedang model Jepang itu dipegang dengan kedua tangan dan ketika dibabatkan cepatnya seperti kilat menyambar dan mengandung tenaga yang amat dahsyat. Tentu saja Yan Cu terkejut bukan main, karena sama sekali tidak menyangka bahwa datuk wanita yang tersohor ini benar-benar amat berbahaya. Dia sudah meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang panjang, kemudian bersiap menghadapi lawan tangguh ini.
"Kau ibunya? Hi-hi-hik, kalau begitu kau harus mampus. Anakmu telah membikin jengkel hatiku!"
Bertandinglah dua orang wanita itu di atas genteng, dan keduanya sama-sama terkejut sekali, lebih-lebih Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci. Selama dia merantau ke utara dari pantai laut selatan, belum pernah dia bertemu tanding dan jarang pula dia menggunakan pedang samurainya.
Tadi ketika dia menggunakan senjata rahasia Siang-tok-toa (Pasir Beracun Wangi) dari bawah, dia sudah terkejut karena orang yang tadi mengintai dari kamar sebelah kemudian mengintai dari atas genteng dapat menghindarkan diri. Karena itu maka dia menyusul ke atas sambil membawa pedang samurainya.
Sekarang, setelah mereka bergebrak selama belasan jurus, Bu Leng Ci betul-betul kaget sekali. Wanita cantik jelita di depannya ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian hebat! Bukan saja ilmu pedangnya luar biasa, juga lawannya ini memiliki keringanan tubuh dan kekuatan tenaga sakti yang mampu menandinginya!
Merasa kurang leluasa bertanding di atas genteng, Bu Leng Ci lalu melayang turun. Tentu saja Yan Cu tidak mau melepaskannya, dan cepat menyusul dengan loncatan cepat. Kini mereka berhadapan di atas tanah, di sebelah belakang rumah penginapan itu, dan saling memandang di bawah sinar rembulan sepotong yang mendatangkan cahaya penerangan remang-remang.
"Siapakah engkau?" Bu Leng Ci membentak, tertarik juga untuk mengenal siapa adanya lawan tangguh ini.
"Aku ibunya Yap Kun Liong! Ketahuilah, perempuan iblis, bahwa aku adalah Gui Yan Cu, isteri dari Yap Cong San. Engkau tentu tidak mengenal kami, sebab kami bukan termasuk golongan iblis kaum sesat yang senang malang-melintang berbuat kejam mengandalkan kepandaian yang tidak seberapa seperti engkau!"
"Hi-hi-hi-hik, sombong. Mampuslah engkau!" Bu Leng Ci kembali menerjang, samurainya membentuk gulungan sinar yang lebar dan panjang, digerakkan dengan dua tangannya.
"Trang! Cringgg…!"
Yan Cu merasa betapa telapak tangannya yang memegang pedang tergetar. Diam-diam dia harus mengakui bahwa wanita iblis yang disohorkan sebagai salah seorang di antara datuk-datuk kaum sesat yang bermunculan pada waktu itu, yang bertubuh pendek dan berpedang panjang ini benar-benar sangat tangguh. Maka dia pun mengerahkan tenaga dan memutar pedangnya dengan cepat.
Yan Cu adalah seorang wanita perkasa. Walau pun dia tahu bahwa lawannya tangguh, namun untuk berteriak memanggil suami isterinya dia merasa malu karena berteriak minta bantuan bukanlah kelakuan seorang gagah!
Tiba-tiba pedang dan samurai kembali bertemu, lantas saling menempel untuk beberapa detik lamanya karena Bu Leng Ci mempergunakan kekuatan kedua lengannya. Pedang Yan Cu agak tertindih dan saat itu dipergunakan oleh Bu Leng Ci untuk menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang panjang menyambar ke arah Yan Cu seperti ribuan ekor ular menyerang!
Yan Cu terkesiap dan cepat-cepat dia menarik kembali pedangnya, melempar tubuh ke belakang dan berjungkir-balik. Sambil membalikkan tubuhnya yang berpoksai (bersalto) tiga kali di udara, pedangnya menyambar untuk melindungi dirinya.
"Cringgg...!"
Pedangnya bertemu dengan samurai yang sekarang dipegang dengan tangan kanan saja sedangkan pada detik itu, tangan kiri Bu Leng Ci yang jari-jarinya merupakan jari baja sudah menusuk ke arah dada dengan maksud menembus dada itu dan merogoh jantung seperti yang biasa dia lakukan terhadap para korbannya!
"Ihhhhh...!" Yan Cu cepat menggulingkan tubuhnya ke kanan, terus bergulingan di atas tanah untuk membebaskan diri dari serangan itu.
"Wuuuutttt...!"
Yan Cu menahan jeritnya pada saat merasa betapa dadanya sebelah kanan sakit sekali. Kiranya dia sudah disusul oleh serangan Pasir Beracun Wangi yang dilepaskan dari jarak dekat. Walau pun Yan Cu sudah bergulingan sambil memutar pedangnya, tetap saja ada sebagian dari Siang-tok-soa yang masih mengenai dadanya. Seketika kepalanya pening, matanya berkunang dan ketika dia meloncat berdiri, tubuhnya terhuyung!
"Hi-hi-hi-hik, sayang sekali kau harus mampus!" Bu Leng Ci sudah meloncat maju sambil mengayun samurainya ke arah pinggang Yan Cu.
"Singg... tranggg...!"
Dalam keadaan pening itu Yan Cu masih dapat menangkis dengan tangan. Oleh karena tubuhnya menggigil kedinginan akibat pasir beracun itu dan tenaganya berkurang banyak, apa lagi karena dia memang kalah tenaga, pedangnya langsung terpental dan lepas dari pegangannya. Sementara itu, pedang samurai sudah menyambar lagi ke arah lehernya.
"Tranggg...! Eihhh...!" Bu Leng Ci meloncat ke belakang ketika samurainya ditangkis oleh sebatang mouw-pit (pena bulu) yang membuat lengannya tergetar.
Kiranya Yap Cong San yang telah menyelamatkan isterinya. Cong San cepat memegang lengan isterinya, dan berbisik, "Mundurlah... cepat telan obat penawar...!"
"Hi-hi-hi-hik, agaknya ini suaminya, ya? Ha-ha-ha, tidak ada obat penawar untuk melawan Siang-tok-soa dari Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci. Isterimu akan mampus, dan engkau juga!"
Mendengar nama ini, Yap Cong San terkejut. Tadi dia terbangun oleh suara pertandingan yang lapat-lapat dan terkejut sekali ketika tidak melihat isterinya rebah di sampingnya dan pedang isterinya juga tidak nampak. Cepat dia berpakaian lantas melompat keluar sambil membawa sepasang mouw-pit yang menjadi senjatanya yang ampuh.
Dapat dibayangkan alangkah kagetnya melihat isterinya terhuyung, pedangnya terlempar dan pedang panjang lawan isterinya itu mengancam nyawa isterinya. Untung dia tidak terlambat dan sesudah dapat menangkis pedang samurai itu, dia melihat bahwa isterinya telah terluka dan melihat warna mukanya, tentu terluka senjata beracun.
Dengan marah dan khawatir sekali Yap Cong San lalu menerjang ke depan menggunakan senjata Im-yang-pit hitam putih dengan gerakan cepat laksana kilat. Kembali Bu Leng Ci terkejut. Sungguh tidak pernah disangkanya bahwa di dunia kang-ouw sebelah utara ini terdapat orang-orang pandai seperti pasangan suami isteri ini yang namanya sama sekali tidak terkenal. Bahkan sang suami ini lebih lihai dari pada isterinya!
Bu Leng Ci berteriak keras, lantas samurainya kembali berkelebat membentuk gulungan sinar seperti seekor ular naga mengamuk. Namun Yap Cong San yang bersikap hati-hati selalu berhasil membendung amukan sinar samurai, bahkan membalas dengan totokan-totokan maut yang bukan tidak berbahaya bagi Bu Leng Ci.
Betapa pun juga, segera murid lihai dari Siauw-lim-pai ini mendapatkan kenyataan bahwa lawannya itu amat tangguh, bahkan dalam hal tenaga sinkang, dia masih belum mampu menandinginya, terbukti dari getaran-getaran pada dua tangannya setiap kali Im-yang-pit di tangannya terbentur oleh pedang samurai. Pantas wanita ini menjadi seorang di antara datuk-datuk golongan hitam, kiranya memang amat lihai.
Biar pun demikian, tidak mudah bagi Bu Leng Ci untuk mengalahkan murid Siauw-lim-pai ini yang memiliki ilmu silat asli dari Siauw-lim-pai dan dapat membentuk pertahanan yang bukan main kuatnya, bagaikan batu karang yang menahan gempuran badai! Dan lebih celaka lagi bagi Bu Leng Ci ketika Yan Cu telah menyambar lagi pedangnya dan biar pun di wajah wanita itu ada bayangan gelap, namun peningnya lenyap dan kini dia membantu suaminya menerjang Bu Leng Ci! Menghadapi Yap Cong San saja sudah sangat sukar baginya untuk merobohkan pendekar ini, apa lagi dikeroyok dua dengan isterinya yang amat marah itu.
"Robohlah!" Tiba-tiba Bu Leng Ci mengeluarkan suara teriakan nyaring sambil tangannya bergerak dan sinar hijau menyambar, itulah Siang-tok-soa!
"Awas...!" Yap Cong San berteriak memperingatkan isterinya.
Keduanya cepat melompat jauh ke belakang untuk menghindarkan diri. Akan tetapi Bu Leng Ci sudah mempergunakan kesempatan itu meloncat ke dalam rumah penginapan. Suami isteri itu mengejar dengan cepat.
Oleh karena merasa tidak kuat kalau harus menandingi suami isteri itu, Bu Leng Ci sudah memondong anak perempuan yang menjadi muridnya dan lari ke luar.
"Iblis betina, hendak lari ke mana kau?" Cong San dan Yan Cu mengejar dan pendekar ini cepat menggunakan senjata rahasianya untuk menyambit bayangan di depan.
Senjata rahasia dari Yap Cong San ini berupa mata uang tembaga, uang biasa yang bisa pula dipergunakan untuk berbelanja, akan tetapi jika digunakan sebagai senjata rahasia, amat hebat dan dapat menembus tulang!
Bu Leng Ci menjerit lirih ketika pundaknya disambar sebuah mata uang, mendatangkan rasa nyeri bukan main. Akan tetapi hal ini bahkan membuat dia langsung mempercepat larinya. Dengan penasaran Yap Cong San mengejar terus.
"Aduhhh..."
Rintihan isterinya ini membuat Cong San terkejut dan cepat membalik. Ketika dia melihat isterinya terhuyung hampir jatuh, dia cepat menyambar tubuh isterinya. Ternyata Yan Cu sudah pingsan. Melihat keadaan isterinya, terpaksa Cong San membatalkan pengejaran terhadap wanita iblis itu dan cepat berusaha menolong isterinya.
Pasir beracun yang memasuki dada kanan bagian atas itu benar-benar amat hebat. Kulit pada bagian dada itu membengkak biru, dan warna kebiruan menjalar sampai ke muka! Tubuh Yan Cu panas sekali, akan tetapi anehnya, wanita itu menggigil kedinginan!
Yap Cong San sudah banyak mempelajari ilmu pengobatan dari isterinya. Dia memeriksa sebentar penuh ketelitian setelah merebahkan tubuh isterinya di atas pembaringan dalam kamar mereka. Akhirnya dia menghela napas, menekan kekhawatiran hatinya.
Racun wangi itu benar-benar amat berbahaya dan dia sudah tahu akan sifat racun itu. Dia harus mempergunakan sinkang dan bahan-bahan obatnya sangat sukar dicari. Meski pun demikian, agaknya bukan hal yang mudah pula untuk menyelamatkan jiwa isterinya dari renggutan maut!
Keadaan ini memaksa Yap Cong San harus menghentikan usahanya mencari puteranya, bahkan dia lalu membawa isterinya untuk beristirahat dan berobat di puncak Pegunungan Lu-liang-san yang sunyi, selain untuk menghindarkan diri dari pengejaran alat pemerintah, juga untuk bersembunyi dari pengejaran tokoh golongan hitam. Dalam keadaan seperti itu, amatlah berbahaya bagi isterinya kalau ada lawan kuat datang menyerang.
Demikianlah, dengan penuh ketekunan dan kesabaran Cong San lalu merawat isterinya di puncak Lu-liang-san. Dan tepat seperti yang diduga atau dikhawatirkannya, pengobatan itu ternyata memakan waktu sampai hampir dua tahun!
Setelah menghabiskan banyak akar dan daun obat yang dengan susah payah dapat dia temukan di semak-semak belukar dalam hutan di Pegunungan Lu-liang-san, dan banyak pula memeras tenaga sinkang-nya untuk membantu isterinya mengusir hawa beracun itu, serta memakan waktu dua tahun kurang sedikit, barulah semua racun itu berhasil terusir bersih dari tubuh Gui Yan Cu! Dan setelah isterinya sembuh, mereka telah meninggalkan rumah selama lima tahun lebih!
Nasib buruk yang menimpa sepasang suami isteri ini, cara hidup bersunyi, serta segala macam kekhawatiran dan kedukaan berhubung dengan hilangnya putera mereka, menjadi pupuk yang menambah dalam cinta kasih antara mereka. Setelah Yan Cu sembuh, Cong San menganggap bahwa isterinya memerlukan waktu selama beberapa bulan lagi untuk beristirahat memulihkan kesehatan di puncak yang pemandangannya indah dan berhawa sejuk itu.
Maka, curahan cinta kasih mereka yang semakin mendalam sebagai hiburan duka karena memikirkan Kun Liong membuat Yan Cu mengandung lagi! Keadaan ini mendatangkan kegirangan besar di hati suami isteri itu, dan terpaksa mereka memperpanjang kediaman mereka di puncak Pegunungan Lu-liang-san.
********************
Sesudah merasa yakin bahwa suami isteri yang lihai itu tidak mengejarnya, dengan hati amat penasaran dan marah Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci menurunkan muridnya yang tadi dipondongnya. Dia membuka bajunya, mengambil obat dan mengobati luka di pundaknya yang terkena sambitan Touw-kut-ci yang dilepas oleh Yap Cong San.
Hatinya merasa penasaran sekali, akan tetapi Bu Leng Ci bukanlah seorang bodoh yang nekat. Dia maklum bahwa menghadapi kedua orang suami isteri itu amatlah berbahaya. Apa bila hanya melawan seorang di antara mereka, agaknya dia masih menang sedikit. Akan tetapi kalau harus menghadapi mereka berdua, benar-benar berbahaya sekali.
"Subo, siapakah yang tadi bertanding dengan Subo hingga membuat Subo terluka?" anak perempuan itu bertanya sambil memandang dengan heran dan penasaran.
Anak perempuan ini adalah Yo Bi Kiok. Seperti telah diceritakan di bagian depan, hampir enam tahun yang lampau Bi Kiok diambil murid oleh Siang-tok Mo-li setelah ditolong dari tangan Phoa Sek It, bekas pengawal Panglima Besar The Hoo yang mencuri bokor emas.
Dengan sia-sia Bu Leng Ci mencari Kun Liong yang disangkanya melarikan bokor emas. Tentu saja dia tidak dapat menemukan Kun Liong karena anak ini telah diambil murid oleh Bun Hwat Tosu di puncak Gunung Teratai Biru dan digembleng selama lima tahun oleh kakek sakti itu.
Selama itu, Bu Leng Ci tekun melatih ilmu silat kepada muridnya dan dia gembira sekali memperoleh kenyataan bahwa Bi Kiok memiliki bakat yang baik sekali. Akan tetapi setiap kali teringat akan bokor emas yang dicarinya, hatinya selalu merasa penasaran sehingga berkali-kali dia mengajak muridnya pergi merantau di sepanjang Sungai Huang-ho untuk menyelidiki dan mencari bokor itu.
Pada waktu itu, dia berada di tepi Huang-ho di lereng Lu-liang-san juga untuk menyelidiki bokor emas itu dan secara tidak tersangka-sangka, di tempat ini dia sampai terluka oleh suami isteri yang sama sekali tidak terkenal! Hatinya penasaran sekali.
Tentu saja dia tidak pernah bermimpi bahwa baru beberapa bulan yang lalu dia pernah berhadapan muka dengan orang yang menyimpan bokor emas yang amat diinginkannya itu. Saat dia membunuhi orang-orang Pek-lian-kauw yang berani melawannya, kemudian bertemu dengan pemuda gundul yang mempunyai keberanian luar biasa, dia sama sekali tidak mengira bahwa pemuda gundul itulah yang dahulu dicari-carinya bersama Bi Kiok! Kalau saja dia tahu!
Dan semua ini adalah karena Bi Kiok merahasiakan tentang diri Kun Liong, karena dara remaja ini tak ingin melihat Kun Liong dibunuh oleh gurunya, hal yang sudah pasti terjadi kalau dia beri tahukan bahwa bokor itu dilarikan oleh Kun Liong. Karena itu pula, sebelum pergi meninggalkan kuil tua, dengan ujung sepatunya Bi Kiok membuat coretan-coretan di atas tanah memperingatkan Kun Liong agar jangan membicarakan tentang bokor dengan siapa pun juga!
Walau pun lukanya tidak hebat, namun hati Bu Leng Ci mendongkol bukan main. Sudah bertahun-tahun dia merantau dan belum pernah dapat dikalahkan lawan, apa lagi sampai terluka! Hanya sedikit hiburan hatinya bahwa dia telah melukai wanita bernama Gui Yan Cu itu dengan Pasir Beracun Wangi. Mengingat ini, dia tersenyum sendiri dan perlahan kemarahannya lenyap.
"Hemmm…, aku terluka hanya sedikit, tidak ada artinya, akan tetapi perempuan itu akan mampus oleh Siang-tok-soa yang mengenai dadanya. Tidak ada obat yang akan dapat menyembuhkan racun pasirku!" katanya dengan menjawab pertanyaan muridnya tadi.
"Subo, selama enam bulan ini Subo selalu mencari bokor emas tanpa mengenal lelah. Sebetulnya apa sih kegunaan bokor itu?" Mereka duduk di bawah pohon dan Bi Kiok memandang gurunya yang sudah selesai membalut luka di pundaknya.
Bi Kiok sudah menjadi seorang dara remaja berusia empat belas tahun. Wajahnya cantik namun sikapnya selalu serius dan dingin. Hal ini agaknya karena dia menderita terlampau banyak kepahitan selama hidupnya.
Bu Leng Ci memandang muridnya. Dia sangat sayang kepada muridnya ini yang selalu patuh, rajin berlatih, dan juga kelihatan berbakti serta sayang kepadanya. Iblis betina ini tersenyum. "Aihh, kau tidak tahu, muridku. Bokor itu merupakan benda pusaka yang amat berharga, mungkin pusaka yang paling berharga yang dimiliki The Hoo."
"Hemm, apakah Subo membutuhkan emas? Betapa mudahnya kalau Subo menghendaki emas." Dengan kata-kata ini Bi Kiok seakan hendak menyatakan bahwa kalau gurunya menghendaki, mereka dapat saja mengambil dan merampas emas milik siapa pun juga, tidak perlu mencari-cari benda yang telah hilang itu.
"Emas? Hi-hi-hik, siapa butuh emas? Bokor itu kabarnya, dan ini hanya kabar angin yang membocor dari rahasia Panglima The Hoo, mengandung peta rahasia yang menunjukkan tempat persembunyian harta pusaka terpendam yang tak ternilai harganya."
"Apakah Subo membutuhkan harta?"
Kembali iblis betina itu tertawa sambil menggeleng kepalanya. Kalau melihat dia sedang bercakap-cakap dengan muridnya sambil tersenyum manis seperti itu, tak akan ada orang mengira bahwa dialah Siang-tok Mo-li, iblis betina yang menggemparkan dunia kang-ouw karena kelihaian serta kekejamannya, mengerikan hati orang karena kebiasaannya yang menyeramkan dan menjijikkan, yaitu mengganyang jantung manusia mentah-mentah, dan diambil langsung dari rongga dada seorang lawan hidup-hidup! Sepatutnya dia seorang wanita bertubuh pendek yang cantik manis dan sayang kepada muridnya.
"Aku tidak membutuhkan harta karena apa saja yang bisa didapatkan dengan harta, dapat pula kuperoleh asal aku menghendakinya. Akan tetapi harta yang sangat besar itu perlu untuk mencapai suatu tingkat kedudukan tinggi, dan pula, yang amat menarik hati adalah kitab pusaka ilmu kesaktian simpanan yang dirahasiakan manusia sakti The Hoo!"
Memang demikianlah, seperti Siang-tok Mo-li itulah isi pikiran sebagian besar manusia di
dunia ini. Betapa menyedihkan!
Manusia diombang-ambingkan oleh keinginan, dan membagi-bagi keinginan itu sebagai keinginan baik, keinginan luhur, keinginan suci dan sebagainya. Padahal, apa perbedaan antara keinginan yang ini dengan keinginan yang itu? Apa perbedaan antara keinginan menjadi pandai, menjadi kaya, menjadi mulia dan lain-lain? Bahkan, apa bedanya antara keinginan duniawi dan keinginan batiniah?
Tetap sama, keduanya keinginan juga yang terdorong oleh hati tidak puas akan keadaan sekarang dan menginginkan keadaan lain yang belum terlaksana, atau karena terdorong oleh rasa takut akan masa depan, takut akan sesuatu yang tidak disukainya.
Kita lupa bahwa keinginan melahirkan kekecewaan apa bila tidak tercapai. Apakah akan mendatangkan kepuasan mutlak apa bila telah tercapai? Biasanya tidak! Keinginan yang tercapai akan terasa hampa, tidaklah seindah dan senikmat kalau belum tercapai, kalau masih menjadi angan-angan, karena pikiran yang selalu terbetot untuk mencari sesuatu yang belum ada selalu akan tertarik kembali untuk menjangkau yang baru lagi.
Keadaan sekarang dianggap sudah lama dan membosankan, selalu ingin yang baru, lupa bahwa yang baru itu kalau sudah tercapai tangan, akan membosankan pula dan menjadi barang lama juga! Demikianlah, kita akan terperosok ke dalam lingkaran setan, yang terus beringin, terus menjangkau sehingga hidup pun menjadi hamba keinginan!
Ada sebagian orang yang menganggap bahwa adanya keinginan itulah yang membuat manusia hidup menjadi lebih maju! Apakah yang dimaksudkan dengan kemajuan? Apakah adanya pertentangan antar manusia, perang, kelaparan di sana sini, permusuhan, iri dan benci-membenci, dendam, ini pun termasuk kemajuan? Apakah setiap perbuatan, setiap pekerjaan yang dilakukan, harus didasari oleh keinginan? Apakah bila orang menanam jagung tanpa mengharapkan apa-apa, tapi melakukan demi cintanya kepada pekerjaan itu saja, maka hasilnya akan berkurang? Apakah benar bahwa kemajuan lahir karena adanya keinginan?
Keinginan membuat manusia menjadi hamba, terikat, dan hidupnya seperti boneka yang digerakkan oleh benang-benang nafsu keinginan. Tak ada lagi kebebasan dalam arti kata yang selengkapnya. Dan selama hidup ini, setiap saat kita dicengkeram sepenuhnya oleh keinginan, maka pertentangan antar manusia tentu saja tak akan pernah berhenti karena keinginan mutlak dikuasai oleh si aku, demi aku, punyaku dan selamanya kita bergerak demi aku masing-masing, damai dan tenteram antara manusia takkan pernah terwujud! Pertentangan, persaingan, perebutan untuk aku masing-masing akan terus berlangsung, baik antara perorangan, antara kelompok, antara ras, antara bangsa!
Alangkah menyedihkan! Bilakah manusia sadar sepenuhnya akan hal ini? Bukan hanya untuk mengetahui, karena pengetahuan hanyalah pengekoran belaka, mengekor kepada yang sudah ada, yang sudah lalu.
Setiap orang pencuri TAHU bahwa mencuri adalah tidak baik. Setiap orang penjudi TAHU bahwa berjudi adalah tidak baik. Namun dia tetap mencuri, dia tetap berjudi. Akan tetapi sekali dia MENGERTI, dalam arti kata mengerti sampai ke akarnya, mengenal diri dan keadaan dirinya sendiri, maka pengertian ini akan menghapus semua itu sehingga lenyap tanpa bekas!
"Subo…," Bi Kiok berkata lagi, "teecu (murid) kira akan percuma saja mencari sebuah benda yang tidak kita ketahui di mana adanya. Bagaimana mungkin bisa mencari sebuah bokor emas di sepanjang sungai Huang-ho yang begini luas dan panjang? Meski pun kita membuang waktu hingga seratus tahun, mana mungkin bisa memeriksa daerah Huang-ho sampai habis?
"Engkau benar, Bi Kiok. Agaknya bokor itu berada di tangan orang lain. Suami isteri yang lihai itu sangat mencurigakan, akan tetapi berat untuk melawan mereka seorang diri. Biar sekarang kita pergi mengunjungi Telaga Kwi-ouw yang tidak jauh dari sini."
Bi Kiok mengerutkan alisnya yang hitam panjang dan kecil. "Telaga Kwi-ouw? Bukankah di sana sarang Kwi-eng-pang?"
"Benar. Aku hendak menemui Kwi-eng Pangcu (Ketua Kwi-eng-pang) dulu, yaitu Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio. Kedudukan kami berdua setingkat. Di dunia sekarang ini hanya ada lima orang yang diakui sebagai tokoh-tokoh yang mewakili kelima penjuru. Aku mewakili daerah selatan, Kwi-eng Niocu mewakili barat, Ban-tok Coa-ong mewakili utara, Hek-bin Thian-sin mewakili timur, dan Toat-beng Hoatsu mewakili daerah di tengah daratan. Kini kabarnya mereka itu semua condong untuk bersekutu dengan Pek-lian-kauw dan sedang bersama-sama menyusun kekuatan untuk menghadapi pemerintah. Dengan bergabung bersama mereka, tentu kelak akan terbuka jalan bagiku untuk memperoleh bokor itu."
"Akan tetapi... Subo telah membunuh orang-orang Pek-lian-kauw di kuil itu, melukai tosu Pek-lian-kauw, membunuh teman murid Kwi-eng Niocu dan melukai murid kepala yang menjadi Ketua Ui-hong-pang itu! Tentu Subo akan dimusuhi mereka."
"Heh-heh, memang kusengaja! Itulah semacam kartu namaku untuk mereka, agar mereka membuka mata dan tahu siapa Siang-tok Mo-li dari selatan! Dulu orang-orang itu berani menentangku, bukan? Maka sudah sepatutnya dibunuh. Hal ini tentu dimengerti oleh para pimpinan Pek-lian-kauw, maka kubiarkan tosu itu hidup. Dan kulukai murid Kwi-eng Niocu agar dia tidak memandang rendah kepadaku!"
"Akan tetapi, mungkinkah mereka mau mengerti setelah Subo melakukan kesukaan Subo atas diri para anggota Pek-lian-kauw itu? Subo tak hanya membunuh mereka, akan tetapi sudah makan jantung mereka. Teecu tahu bahwa Subo mempunyai kebiasaan itu untuk memperkuat diri Subo, dan biar pun teecu sendiri tidak suka untuk melakukannya karena jijik, akan tetapi teecu juga tidak menentang. Hanya yang teecu sangsikan, apakah pihak Pek-lian-kauw dan Kwi-eng-pang akan dapat menerimanya?"
"Mereka sudah tahu akan kebiasaan dan kesukaanku, tentu mereka mengerti."
"Jadi mereka sudah mengerti? Akan tetapi teecu yang menjadi murid Subo malah belum mengerti mengapa Subo hanya suka makan jantung pria saja."
"Hal itu ada hubungannya dengan riwayatku, Bi Kiok."
"Mengapa tidak Subo ceritakan kepada teecu?"
Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci menarik napas panjang, lalu berkata, "Aku tak suka menggali riwayat lama yang menyakitkan hati, akan tetapi tidak kuceritakan pun kelak engkau akan mengetahui. Maka, dari pada mendengar dari orang lain yang mungkin memutar balikkan kenyataan, baiklah kau dengarkan riwayat singkatku yang menjadi pendorong kenapa aku hanya suka mengganyang jantung pria."
Iblis Betina Racun Wangi itu lalu bercerita dengan singkat. Ketika dia masih muda sekali, dia telah mengalami bermacam penghinaan dan perlakuan buruk dari kaum pria. Bu Leng Ci adalah seorang peranakan Jepang. Ibunya diculik oleh bajak laut Jepang sebab ibunya adalah seorang gadis nelayan di pantai laut selatan, kemudian ibunya dipaksa menjadi isteri muda kepala bajak itu sampai melahirkan dia.
Kemudian, dalam usia baru empat belas tahun dia dikawinkan dengan seorang lelaki tua bangsa Jepang dan tinggal di Jepang. Biar pun tua, laki-laki itu adalah seorang pendekar samurai yang kenamaan. Hanya sayang, kakek itu memperisterinya untuk melayaninya dalam keperluan sehari-hari belaka dan semenjak menjadi isterinya, jago samurai itu tidak pernah tidur dengannya! Tentu saja hal ini menjadi siksaan. Barulah diketahui bahwa jago samurai yang dalam istilah dunia persilatan adalah seorang kiam-hiap (pendekar pedang) itu pantang untuk tidur dengan wanita.
Karena itu terjadilah hal yang wajar dalam keadaan seperti itu. Seorang pemuda tetangga mereka, seorang pemuda Jepang yang tampan, lalu menarik hatinya. Mereka saling jatuh cinta. Hal ini diketahui oleh suaminya, namun pendekar Jepang itu bersikap murah dan bijaksana, bahkan memberikan Leng Ci untuk menjadi isteri pemuda itu.
Namun, bagi Leng Ci masa penuh madu itu hanya berlangsung tidak lebih dari beberapa bulan saja. Suaminya, yaitu pemuda yang tadinya bersumpah kerak-keruk mencintainya, segera berpaling muka dan bermain gila dengan wanita-wanita lain. Dia menjadi seorang wanita yang disia-siakan oleh suami!
Pada waktu itu, Leng Ci sudah pandai bermain pedang samurai, dilatih oleh suaminya yang pertama. Setelah beberapa kali bercekcok, akhirnya Leng Ci membunuh suami ke dua ini bersama kekasih suaminya, dan melarikan diri, ikut ayahnya menjadi bajak laut.
Dalam beberapa tahun saja, karena dia memiliki wajah yang cantik manis, dia jatuh ke dalam pelukan berbagai pria yang tadinya bertekuk lutut bersumpah menyatakan cinta, akan tetapi kemudian meninggalkannya untuk wanita lain. Sudah belasan orang pria yang dibunuhnya karena itu, dan akhirnya, ketika dia benar-benar jatuh cinta kepada seorang laki-laki gagah di pantai selatan, dia kembali menjadi isteri laki-laki ini dan hidup bahagia di pantai selatan. Pada waktu itu dia baru berusia tujuh belas tahun!
Alangkah menyedihkan hatinya ketika suami terakhir yang benar-benar dicintanya ini pun tidak setia kepadanya, dan mata duitan pula. Suaminya adalah seorang tokoh dunia kaum sesat. Pada suatu hari, suaminya itu membiusnya dengan obat sehingga dia tertidur dan dalam keadaan seperti itu, dia sudah ‘dijual’ oleh suaminya kepada lima laki-laki golongan hitam yang berani membayar mahal. Selama dua hari dua malam, dalam keadaan pulas karena selalu dilolohi obat bius ini, dia dipermainkan dan ditiduri oleh lebih dari sepuluh orang laki-laki dan untuk itu suaminya telah mengantongi banyak uang!
Setelah sadar, Leng Ci mendapatkan dirinya sudah terhina ada pun suaminya telah kabur membawa uang hasil penjualan dirinya beserta semua barang berharga dalam rumah. Bu Leng Ci lalu mencari suaminya itu dan beberapa bulan kemudian, dia dapat menemukan suaminya, membunuhnya dan mengganyang jantung pria itu hidup-hidup!
Itulah pertama kalinya dia makan jantung pria. Semenjak itu, setiap membunuh seorang pria, dia selalu mengganyang jantungnya!
Makin lama Bu Leng Ci semakin lihai, apa lagi ketika kemudian dia berhasil menarik hati seorang datuk kaum sesat yang menjagoi daerah selatan, yaitu Lam-hai Sin-ni, ibu Sie Biauw Eng yang berkenan menurunkan beberapa ilmu silat tinggi, kepandaian Bu Leng Ci meningkat tinggi. Bahkan dia lantas memperdalam pula ilmu pedang samurai dari suami pertamanya yang masih sayang kepadanya dan dengan suka hati menggemblengnya.
Selama Lam-hai Sin-ni masih hidup, tentu saja Bu Leng Ci tidak berani ikut menjagoi di daratan dan dia bahkan bersembunyi di Jepang untuk memperdalam ilmu samurainya. Ketika jago samurai, suami pertamanya meninggal dunia, dia mewarisi semua milik bekas suami itu, termasuk pedang samurainya. Setelah dia mendengar akan kematian Lam-hai Sin-ni, baru dia berani mendarat dan mulai melakukan petualangannya di daerah selatan sehingga belasan tahun kemudian dia pun menjadi datuk dari kaum sesat untuk daerah selatan.
"Demikianlah riwayat singkatku, muridku. Kaum pria hanya memandang wanita sebagai alat untuk memuaskan nafsu birahinya belaka! Cinta yang didengang-dengungkan, yang diucapkan dengan seribu satu macam sumpah, hanya digunakan sebagai umpan untuk memikat. Setelah kepuasan nafsu birahinya terpenuhi, maka mulailah matanya melirik ke kanan kiri mencari korban baru untuk memuaskan nafsu-nafsunya. Karena itu, aku muak dan aku benci kepada kaum pria umumnya!"
Biar pun dia sendiri telah banyak mengalami hal-hal yang mengerikan dan yang membuat hatinya mengeras, mendengar cerita gurunya ini, meremang juga bulu tengkuk Bi Kiok.
Maka berangkatlah guru beserta murid itu melanjutkan perjalanan, meninggalkan pantai Sungai Huang-ho dan menuju ke barat untuk mengunjungi Kwi-eng-pai di Telaga Setan di barat.
Akan tetapi, baru berjalan setengah hari lamanya, di luar sebuah hutan mereka bertemu dengan lima orang laki-laki yang terlihat gagah perkasa dan yang melakukan perjalanan dengan ilmu berlari cepat. Setelah dekat, guru dan murid ini mengenal seorang di antara mereka yang bukan lain adalah Kiang Ti, Ketua Ui-hong-pang yang berpakaian serba kuning, murid kepala Kwi-eng Niocu Si Bayangan Hantu yang pernah dilukai oleh Bu Leng Ci.
Melihat orang ini, sambil terkekeh Bu Leng Ci menggerakkan kakinya melompat dan dia telah berdiri menghadang di tengah jalan! Akan tetapi, ketika melihat wanita itu, Kiang Ti tidak menjadi takut atau terkejut, bahkan tersenyum lebar dan cepat dia menjura sambil berkata, "Aihh, sungguh beruntung sekali dapat berjumpa dengan Locianpwe di sini! Kami memang sedang menanti Locianpwe."
Bibir yang tipis merah itu tersenyum mengejek, "Apakah kau telah membawa teman untuk membalas pukulanku dahulu itu? Kalau hendak membalas, kenapa bukan gurumu sendiri saja yang datang?"
Walau pun ucapan itu terdengar mengandung ejekan dan penghinaan, namun ketua dari Ui-hong-pang itu sama sekali tidak menjadi marah, bahkan tersenyum makin lebar. "Maaf, maaf... mana saya berani? Sama sekali bukan demikian, Locianpwe. Sesungguhnya kami diutus oleh Subo (Ibu Guru) untuk mencari Locianpwe dan mengundang Locianpwe untuk ikut hadir dalam pertemuan puncak antara lima datuk yang akan mengadakan pertemuan dengan pimpinan Pek-lian-kauw, berempat di Kwi-ouw."
Girang sekali hati Bu Leng Ci. Ternyata bahwa pengiriman ‘kartu nama’ darinya itu telah berhasil. Sekarang dia sudah diakui dan mendapat kehormatan besar! Betapa pun juga, dia menekan kegirangan hatinya sehingga tidak tampak pada mukanya, dan dia berkata, "Apakah kalian mengenal seorang yang bernama Yap Cong San dan isterinya bernama Gui Yan Cu?"
Kian Ti beserta teman-temannya saling pandang. Mereka berlima merupakan tokoh-tokoh Kwi-eng-pang, murid-murid terkemuka dari Kwi-eng Niocu dan telah memiliki pengalaman luas. Namun karena mereka itu bergerak di daerah barat, sedangkan Yap Cong San dan isterinya bertahun-tahun berada di Leng-kok dan tidak pernah terjun ke dunia kang-ouw, maka mereka tidak mengenal suami isteri ini.
"Kami tidak pernah mendengar nama mereka, Locianpwe."
"Mereka adalah orang-orang penting, sebaiknya jika kalian mencari mereka yang sedang berada di daerah ini. Kalau berhasil menangkap mereka, bawalah ke Kwi-ouw. Aku dan muridku akan langsung mendahului ke Kwi-ouw."
Kiang Ti dan teman-temannya menyanggupi, maka kelima orang itu segera melanjutkan perjalanan mencari suami isteri seperti yang diperintahkan oleh Bu Leng Ci. Sedangkan Bu Leng Ci sendiri melanjutkan perjalanan menuju ke Kwi-ouw dan secara diam-diam dia mentertawakan murid-murid Kwi-eng Niocu itu.
"Subo, dua orang yang telah berhasil dilukai Subo, mana mungkin dapat ditangkap oleh lima orang itu?" Tiba-tiba Bi Kiok bertanya.
"He-heh-heh, kau cerdik muridku. Memang kecil sekali kemungkinan mereka akan dapat menangkap suami isteri itu biar pun si isteri telah terluka oleh Siang-tok-soa di dadanya. Akan tetapi peduli apa? Apa bila lima orang Kwi-eng-pai itu tewas, berarti suami isteri itu menjadi musuh Kwi-eng-pang, dan kalau sampai mereka berhasil menawan suami isteri itu, ada gunanya juga bagi kita. Mereka itu adalah ayah bunda bocah setan yang bernama Kun Liong itu."
Sebelum Bi Kiok menjadi murid iblis betina itu, tentu dia akan berseru kaget mendengar ini, atau setidaknya tentu akan berubah air mukanya. Akan tetapi, semuda itu, Bi Kiok sudah dapat menguasai perasaannya sehingga meski pun dia kaget bukan main, namun tidak ada perubahan pada wajahnya yang cantik dan dingin.
Namun pertemuan puncak antara lima orang datuk itu ternyata tidak lengkap. Yang hadir dalam pertemuan itu hanyalah Bu Leng Ci, Kwi-eng Niocu, dan Hek-bin Thian-sin saja. Dua orang datuk lainnya yang lebih tua dan lebih terkenal, yang dianggap sebagai datuk nomor satu dan nomor dua, yaitu Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong, tidak muncul. Hal ini tentu sangat mengecewakan para pimpinan Pek-lian-kauw. Maka, atas persetujuan bersama, pertemuan puncak diundur sampai kedua orang datuk itu dapat ditemukan dan diundang...
Selanjutnya,