Petualang Asmara Jilid 12
MELIHAT sarang yang menjadi pusat Kwi-eng-pang di mana Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio menjadi ketuanya, hati Bu Leng Ci merasa iri bukan main. Sebagai seorang perantau dan petualang, melihat keadaan ‘rekannya’ yang amat makmur ini, hatinya ingin sekali seperti rekannya itu.
Keadaan Kwi-eng-pang memang kuat sekali. Markas mereka berada di pulau kecil yang letaknya di tengah-tengah Kwi-ouw, sebuah telaga yang besar dan dikurung hutan-hutan pegunungan sehingga bayangan hutan-hutan yang gelap membuat air telaga yang tenang dan dalam itu kelihatan hitam menyeramkan. Karena ini agaknya maka telaga ini disebut Telaga Setan.
Di atas pulau ini didirikan rumah-rumah, memenuhi pulau. Rumah gedung yang mewah di tengah-tengah adalah tempat tinggal Sang Ketua, sedangkan rumah-rumah di sekitarnya ditinggali para pimpinan dan anggota Kwi-eng-pang yang jumlahnya lebih dari dua ratus orang, laki-laki dan wanita.
Selain berlatih silat, para anggota Kwi-eng-pang juga bekerja sebagai nelayan di telaga, juga ada yang bercocok tanam di sekeliling telaga yang memiliki tanah subur, dan ada pula yang berburu binatang di dalam hutan-hutan. Akan tetapi yang menjamin kehidupan mereka hidup mewah dan makmur adalah ‘sumbangan-sumbangan’ dari para penduduk di daerah itu, sumbangan atau ‘pajak’ yang diberikan baik secara suka rela karena takut atau dengan paksaan!
Telaga itu sendiri sebenarnya sangat dalam dan mengandung banyak ikan. Akan tetapi semenjak Kwi-eng Niocu bermarkas di tempat itu belasan tahun yang lalu, keadaan telaga berubah menjadi tempat yang berbahaya sekali. Di sekeliling pulau, di dalam air telaga dipasangi banyak alat rahasia yang membahayakan para pendatang, dan setelah banyak penduduk di sekitar daerah itu yang biasanya mencari ikan di telaga, tewas dalam kedaan mengerikan, kini tidak ada lagi orang berani mendekati telaga itu.
Hanya para anggota Kwi-eng-pang saja yang berani mendayung perahunya di atas telaga karena mereka sudah hafal akan rahasia di sana. Dengan demikian, selain memonopoli semua ikan yang berada di dalam air telaga, juga keadaan markas di pulau itu terlindung kuat, tidak mudah diserbu musuh seperti keadaan sebuah benteng saja layaknya!
Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio adalah seorang wanita berusia lebih dari lima puluh tahun. Selama hidupnya belum pernah menikah sehingga orang-orang yang tak suka kepadanya mengatakan bahwa saking jahatnya maka Ang Hwi Nio menjadi seorang perawan tua!
Tubuhnya masih ramping, agak tinggi, dan biar pun usianya sudah mendekati enam puluh tahun, rambutnya belum ada ubannya sama sekali. Matanya masih terang dan giginya masih utuh tersusun rapi seperti keadaan seorang perawan muda saja! Pakaiannya selalu bersih dan rapi, bagaikan pakaian seorang nyonya bangsawan, juga rambutnya diminyaki dan digelung rapi, dihias emas permata yang mahal-mahal.
Melihat orangnya, yang tidak mengenalnya tentu akan mengira dia seorang wanita yang mulai berangkat menjadi nenek-nenek lemah! Akan tetapi sebenarnya dia adalah seorang yang berilmu tinggi, seorang yang ditakuti dunia kang-ouw.
Bahkan mendengar namanya disebut saja sudah cukup membuat jantung orang berdebar tegang dan bulu tengkuk meremang karena nama ini telah terkenal di mana-mana, telah diketahui semua orang bahwa wanita yang tidak pernah keluar dari pulau itu, sekali keluar tentu akan ada yang tewas di tangannya.
Hebatnya, setiap kali dia turun tangan membunuh orang yang dikehendakinya, tidak ada yang dapat melihatnya, hanya melihat bayangannya serta mendengar suara ketawanya yang halus saja. Karena sepak terjangnya inilah maka dia dijuluki Kwi-eng Niocu (Nona Bayangan Hantu). Disebut nona karena dia masih perawan dan disebut Bayangan Hantu karena yang tampak hanya bayangannya.
Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio tinggal di pulau telaga itu dan hidup sebagai seorang ratu! Rumahnya merupakan gedung indah dan mewah seperti sebuah istana saja, setiap hari dikelilingi pelayan-pelayan cantik dan cara hidupnya royal dan mewah sekali.
Memang Ang Hwi Nio ini tidak pernah menikah. Akan tetapi dia mempunyai seorang anak angkat, sekaligus merupakan murid yang paling pandai. Anak angkat ini bernama Liong Bu Kong, pada waktu itu berusia sembilan belas tahun. Seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah sekali sehingga patut tinggal di dalam istana itu, patut menjadi putera seorang bangsawan, dan amat mengherankan bila pemuda setampan ini menjadi putera seorang iblis betina seperti Kwi-eng Niocu!
Wajah pemuda ini tampan dan bibirnya selalu menyungging senyum dikulum, sepasang matanya bersinar-sinar dan wajahnya selalu berseri-seri. Tapi bagi yang memperhatikan, di balik sinar mata itu terdapat sesuatu yang membuat orang menjadi curiga dan ngeri.
Tidak ada seorang pun yang mengetahui dari mana datangnya pemuda ini. Para anggota Kwi-eng-pang sendiri hanya mengetahui bahwa ketua mereka itu pada waktu datang dan membentuk Kwi-eng-pang sudah membawa seorang anak laki-laki yang bernama Liong Bu Kong, yang menurut pengakuannya adalah anak angkatnya.
Melihat keadaan ini semua, tidak mengherankan apa bila timbul iri dan keinginan di dalam hati Bu Leng Ci. Dia merasa suka tinggal di tempat itu, dan melihat betapa rekannya itu, Ang Hwi Nio, hidup di dalam kemewahan dan kemuliaan, dihormati sebagai ratu oleh dua ratus orang lebih, serta disegani dan ditakuti orang-orang di sekitar daerah itu.
"Tempatmu ini hebat sekali, membuat orang betah berada di sini," kata Bu Leng Ci ketika pada suatu siang dia bersama muridnya duduk berhadapan dengan Ang Hwa Nio di tepi telaga, di dalam sebuah taman buatan yang sangat indah, di bawah pohon yangliu yang bergerak-gerak meliuk-liuk seperti tubuh seorang penari yang lemah gemulai!
"Engkau suka dengan tempat ini?" tanya Kwi-eng Niocu tanpa mengangkat muka karena dia sedang asik memeriksa kuku jari-jari tangannya.
Kukunya panjang-panjang dan terpelihara baik, diberi warna merah muda, dan dipelihara meruncing. Kelihatannya memang bagus dan cantik sekali, akan tetapi dalam pandangan orang kang-ouw tangan dengan kuku jari panjang-panjang menarik itu sama sekali tidak tampak indah menggairahkan, bahkan sebaliknya mendatangkan rasa ngeri karena satu di antara kehebatan ilmu wanita ini terletak pada kukunya yang beracun itu! Jangankan sampai kena dicengkeram, baru tergurat sedikit saja sudah cukup mengirim nyawa lawan ke neraka!
"Kalau memang suka mengapa tidak tinggal di sini saja?"
Bu Leng Ci mengangkat muka, sinar matanya menyambar dan kedua alisnya berkerut.
"Apa maksudmu, Pangcu (Ketua)?" Bu Leng Ci bertanya, dalam suaranya mengandung kemarahan. "Engkau begitu berani memandang rendah kepadaku dan hendak menyuruh aku menjadi kaki tanganmu atau anak buahmu?"
Kwi-eng Niocu Ang Hwa Nio melirik, dan senyum yang menghias bibirnya menyeramkan sekali.
"Siapa yang ingin engkau menjadi anak buahku, Mo-li? Kita adalah rekan dan kedudukan kita setingkat, sungguh pun aku menjadi seorang pangcu dan engkau hanyalah seorang petualang tanpa tempat tinggal. Engkau tadi mengatakan suka kepada tempat ini dan aku menawarkan padamu untuk tinggal di sini, bukan sebagai anak buah, bukan pula sebagai pembantuku, karena engkau memang bukan anggota Kwi-eng-pang."
"Habis, sebagai apa? Tamu? Mana ada tamu tinggal terus-menerus?"
"Juga bukan tamu, tetapi sebagai adik angkat. Maukah?"
Bu Leng Ci bangkit berdiri dan mukanya menjadi merah. Bi Kiok yang sejak tadi duduk mendengarkan dan menonton, diam saja akan tetapi diam-diam dia merasa tegang juga karena kalau sampai gurunya dan Ketua Kwi-eng-pang itu bertanding, tentu hebat bukan main akibatnya.
"Kwi-eng Pangcu! Menjadi adik angkat berarti harus tunduk dan selalu taat kepada kakak angkatnya, berarti sama saja! Apakah dengan memberi tempat tinggal kepadaku harus kubayar dengan tunduk dan taat kepadamu?"
Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio tertawa, suara ketawanya merdu dan halus, akan tetapi ada sesuatu yang amat dingin dan menyeramkan di balik suara tawa ini, seperti suara ketawa seekor ibils betina yang merayu dan menjatuhkan hati orang-orang yang batinnya kurang kuat.
"Siang-tok Mo-li, tepat sekali apa yang kudengar tentang dirimu. Kau amat keras hati dan penuh prasangka. Cocok untuk menjadi adikku! Tentu saja sudah sepatutnya kalau kau menjadi adik angkatku, bukankah aku lebih tua darimu, paling sedikit sepuluh tahun lebih tua? Apa engkau merasa rendah dengan menjadi adik angkat Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, ketua dari Kwi-eng-pang?"
"Betapa pun juga, seorang adik angkat tentu lebih rendah dari kakaknya, dan hal ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan usia."
"Hemm, habis apa yang menentukannya kalau bukan usia? Kau maksudkan kepandaian? Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci, apakah engkau tidak percaya bahwa ilmu kepandaianku lebih tinggi dari pada kepandaianmu?"
"Ahh…, aku tidak percaya!"
Mereka berdua kini sudah berdiri saling berhadapan. Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio sudah lupa akan kukunya, sekarang memandang kepada wanita pendek di depannya itu penuh perhatian.
"Kalau begitu, biarlah kepandaian yang menentukan!"
"Kwi-eng Niocu, aku tidak takut kepadamu! Akan tetapi, sekarang aku diundang ke sini untuk menghadiri pertemuan puncak yang sayangnya gagal. Setelah semua orang pergi, kau menahan aku untuk tinggal beberapa hari di sini. Sepantasnya aku berterima kasih kepadamu dan akan ditertawakan orang apa bila aku sekarang bertanding melawanmu sebagai musuh! Pikirlah baik-baik! Benarkah kita harus saling bermusuh, bukan bersekutu seperti yang direncanakan semula?"
Kembali Kwi-eng-cu Ang Hwi Nio tertawa halus. "Hi-hi-hi, Bu Leng Ci, engkau betul-betul keras seperti baja! Diajak menguji kepandaian, tapi kau anggap bertempur seperti musuh! Kalau kau tidak mau dikalahkan dengan usia, maka jalan satu-satunya untuk menentukan siapa yang patut menjadi kakak dan siapa adik, hanyalah dengan mengukur kepandaian masing-masing!"
Bu Leng Ci mengerutkan alisnya. Sekarang dia mulai mengerti apa yang dikehendaki oleh Ketua Kwi-eng-pang yang aneh ini. Akan tetapi, dia tetap merasa ragu-ragu walau pun dia akan suka sekali tinggal di tempat yang indah itu.
"Tetap saja tidak baik, Pangcu." Dia menggeleng kepala. "Kalau aku kalah atau menang, tidak akan berubah, kita tidak mungkin tinggal terus bercampur menjadi satu di tempat ini. Kalau aku menang, aku tidak mau menjadi Ketua Kwi-eng-pang."
"Di sebelah timur pulau ini ada sebuah pulau lain yang lebih kecil, akan tetapi tidak kalah indahnya. Tempat itu sekarang masih kubiarkan kosong, tetapi kapan saja dapat dijadikan tempat tinggal salah seorang di antara kita."
Sinar mata Bu Leng Ci berseri dan dia menoleh ke kiri. Benar saja, dari tempat yang agak tinggi di taman itu, dia melihat sebuah pulau lain yang penuh dengan pohon-pohon.
"Hemm, kalau begitu, lain lagi persoalannya. Bagaimana kita akan mengukur kepandaian masing-masing? Dengan bertanding? Hemm, besar kemungkinan yang kalah akan tewas seketika!"
Ang Hwi Nio mengangguk. "Kau benar, tidak perlu kita bertanding tanpa sebab dan harus menghadapi bahaya maut secara konyol. Aku mendengar kau memiliki banyak macam ilmu, akan tetapi yang paling terkenal adalah samuraimu itu. Nah, kita berlomba, siapa yang lebih unggul, samuraimu ataukah kuku jariku."
"Pangcu, jangan main-main! Ataukah kau benar-benar memandang rendah samuraiku? Kalau cuma kuku jarimu yang rusak, itu masih tidak apa-apa, bagaimana jika sampai jari tanganmu ikut putus?"
"Hi-hik-hik, kembali kau salah sangka. Jangan membesarkan prasangka. Kataku tadi, kita bukan bertanding, melainkan berlomba. Lihat permukaan air telaga itu, banyak ikan-ikan kecil bukan? Nah, kita berlomba cepat, mana yang lebih cepat menangkap ikan-ikan itu, samuraimu ataukah kuku jariku. Tentu saja hal itu bukan menjadi tanda siapa yang lebih lihai jika bertanding secara sungguh-sungguh, akan tetapi setidaknya dapat dipakai untuk menentukan siapa patut menjadi kakak dan siapa adik."
Bu Leng Ci mengangguk-angguk. Tentu saja dia berani berlomba seperti itu. Betapa pun juga samurainya lebih panjang, maka tentu saja dia akan lebih cepat.
"Kalau sudah ketahuan siapa yang menang bagaimana?"
"Yang menang akan menjadi kakak angkat dan tetap tinggal di pulau ini, yang kalah harus mau menjadi adik angkat dan tinggal di pulau yang lebih kecil. Kita tetap bersaudara."
Apa pun akibatnya, kalah atau menang, tetapi enak dan menyenangkan hati Bu Leng Ci. Andai kata kalah sekali pun, bukanlah hal yang merendahkan untuk menjadi adik angkat Ketua Kwi-eng-pang, bukan berarti menjadi anak buahnya atau menjadi orang yang lebih rendah tingkat kedudukannya!
Betapa pun juga, pengalaman hidupnya yang penuh kepahitan membuat wanita iblis ini selalu penuh prasangka dan amat hati-hati menjaga diri. Maka dia masih belum puas dan belum mau menerima begitu saja sebelum dia mengetahui apa yang menjadi sebabnya maka Ang Hwi Nio sebaik itu kepadanya, malah suka mengangkatnya sebagai saudara.
Dia sudah terbiasa dengan kehidupan kaum sesat, di antara bajak-bajak. Tidak ada satu pun perbuatan yang tidak berdasarkan suatu kehendak atau keinginan demi keuntungan diri sendiri. Perbuatan yang menyimpang dari dasar ini merupakan hal yang tak mungkin, atau tidak lumrah!
"Aku dapat menerima usul itu, Pangcu. Akan tetapi, apa sebabnya engkau ingin menjadi saudara angkatku?"
"Tentu saja ada sebabnya, Mo-li. Akan tetapi jangan khawatir, hal ini bukan hanya untuk kepentinganku pribadi, akan tetapi juga keuntunganmu, keuntungan kita berdua sebagai dua orang wanita yang sama-sama membenci pria."
"Ehh? Apa maksudmu?"
"Dengarlah baik-baik. Pada waktu sekarang ini, di dunia kita hanya ada lima orang datuk, bukan? Dua di antaranya adalah kita, dan yang tiga lagi semua pria. Menurut pendapatku, tingkat kepandaian kita berlima seimbang dan mungkin sekali tingkat kepandaian dua di antara mereka, Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong, sedikit lebih tinggi. Sekali waktu di antara kita tentu akan timbul perebutan untuk diakui sebagai nomor satu, yang akan menjadi pemimpin, dan agaknya seorang di antara mereka itu tentu akan menang. Akan tetapi, kalau kita menjadi enci dan adik angkat, dengan maju berdua, siapakah di antara mereka bertiga yang akan mampu mengalahkan kita? Mengertikah kau?"
Bu Leng Ci mengangguk-angguk dan diam-diam memuji kecerdikan Ketua Kwi-eng-pang itu. Memang akan sial sekali kalau sampai seorang pria menjadi pimpinan kelima orang datuk. Harus tunduk kepada seorang pria. Tidak sudi! Namun melawan seorang diri akan berat sekali.
"Akan tetapi, bagaimana kalau mereka pun bersatu seperti kita?"
"Tidak mungkin! Mereka bertiga bersaing, mana mau bersatu! Nah, bagaimana? Maukah engkau menjadi saudara angkatku?"
"Baik, mari kita mulai berlomba!"
Kedua orang wanita sakti itu lalu berdiri di tepian pulau, memandang ke arah air telaga, menanti munculnya ikan-ikan kecil yang kadang kala bermain-main di permukaan air dan kadang-kadang tenggelam. Bi Kiok juga berdiri dan menonton dengan wajah tak berubah, biar pun diam-diam dia merasa girang juga akan keputusan gurunya.
Dia pun sudah bosan diajak merantau terus, tidak tentu tempat tinggalnya, kadang kala tidur di atas pohon, di kuil-kuil kotor. Tempat tinggal itu memang indah dan dia suka sekali tinggal di situ.
Ketika ikan-ikan mulai muncul di permukaan air telaga, Ang Hwi Nio berkata lirih. "Nah, kita mulai sebelum mereka menyelam kembali. Mari!"
Bu Leng Ci dan Ang Hwi Nio meloncat dengan berbareng. Dengan gerakan kilat Bu Leng Ci telah mencabut samurainya dan setelah tubuhnya tiba di atas tempat di mana ikan-ikan berenang, samurainya berkelebat seperti kilat menyambar ke permukaan air. Ang Hwi Nio berjungkir balik, kepala di bawah dan sepasang lengannya bergerak cepat sekali hingga sukar diikuti pandang mata, mencengkeram ke arah air.
Ikan-ikan itu tentu saja kaget dan segera menyelam kembali. Dengan gerakan berputar di udara, dua orang wanita sakti itu dapat melayang kembali ke tepi pulau. Gerakan mereka bagaikan burung walet beterbangan, indah dan sangat cepat membuat Bi Kiok terbelalak kagum.
"Hemm, lihat berapa ikan yang mampus oleh samuraiku!" Bu Leng Ci berkata bangga dan sebelum kakinya menginjak tanah, samurainya telah bersarung kembali.
"Satu-dua-tiga... aihhh, ada sepuluh ekor yang mati terbelah. Kepandaianmu amat hebat, Moi-moi. Pasti aku akan berpikir panjang lebih dulu sebelum melawan samuraimu dalam pertempuran!" Ang Hwi Nio berkata sesudah menghitung bangkai-bangkai ikan yang telah mengambang di permukaan air dengan tubuh terpotong menjadi dua!
"Apa?! Kau menyebutku moi-moi (adik perempuan)!" Bu Leng Ci menegur penasaran.
Ang Hwi Nio tertawa halus kemudian memperlihatkan sepasang tangannya yang tadi dia sembunyikan di belakang tubuhnya. Sepasang mata Bu Leng Ci memandang terbelalak, melihat betapa kesepuluh buah kuku jari itu masing-masing sudah menusuk seekor ikan, dan ikan-ikan itu telah berubah mengering seperti dibakar!
"Bukan main! Engkau hebat! Akan tetapi, engkau pun hanya mampu membunuh sepuluh ekor, tidak lebih banyak dan aku!" Bu Leng Ci menegur.
Ang Hwi Nio menggerakkan kedua tangannya, maka kesepuluh ekor ikan itu terlempar kembali ke atas air telaga, mengambang dekat ikan-ikan yang menjadi korban samurai Bu Leng Ci.
"Benar, kita masing-masing membunuh sepuluh ekor. Akan tetapi aku dapat membawa ikan-ikan itu ke darat. Apakah kau tadi juga sanggup untuk membawa korban-korbanmu ke darat? Bukankah hal itu berarti bahwa aku masih menang cepat sedikit dibandingkan denganmu, Moi-moi?"
Bu Leng Ci tidak dapat membantah kebenaran ucapan itu, maka dia segera menjura dan berkata, "Engkau benar, Ang-cici (Kakak Perempuan Ang). Aku mengaku kalah dan aku senang sekali menjadi adik angkatmu. Bi Kiok, ayo lekas kau memberi hormat kepada bibi gurumu!"
Yo Bi Kiok yang semenjak tadi menyaksikan itu semua, lalu melangkah maju menghadapi Ketua Kwi-eng-pang itu, memberi hormat dengan berlutut dan berkata, "Su-i!"
Ang Hwi Nio tertawa girang. "Berdirilah, Nak. Muridmu ini manis sekali, Bi-moi. Siapakah namamu?"
"Nama teecu (murid) Yo Bi Kiok, Su-i"
"Bagus, engkau akan menjadi teman baik puteraku. Kau terimalah hadiahku ini, Bi Kiok." Wanita itu meloloskan hiasan rambutnya yang terbuat dari batu kemala berbentuk burung Hong dan memberikannya kepada Bi Kiok.
Tentu saja Bi Kiok girang sekali, menerima benda berharga itu dengan kedua tangan dan menghaturkan terima kasih. Melihat betapa Bi Kiok hanya memegangi benda itu sambil memandang dengan mata bersinar-sinar, Ang Hwi Nio tertawa.
"Giok-hong-cu (Burung Hong Kemala) itu bukan untuk dipegang, melainkan untuk hiasan rambut atau baju di dada. Sini, kupakaikan di rambutmu!"
Bi Kiok maju berlutut dan Ang Hwi Nio memasangkan benda itu di atas kepala Bi Kiok. Kemudian dara itu disuruhnya berdiri.
"Lihat, muridmu menjadi makin cantik saja, Bu-moi!"
Bu Leng Ci tersenyum bangga dan kedua orang wanita sakti itu merasa girang karena kini mereka berdua dapat menjagoi di dunia kaum sesat, tidak takut lagi menghadapi seorang di antara datuk, yang mana pun juga!
Sebuah rumah yang cukup indah lalu dibangun di pulau kecil sebelah timur untuk tempat tinggal Bu Leng Ci beserta muridnya. Dan Bu Leng Ci yang merasa berterima kasih lalu menceritakan semua pengalamannya kepada kakak angkatnya, juga menuturkan tentang bokor emas dan mengenai suami isteri lihai yang dijumpainya di tepi sungai Huang-ho di lereng pegunungan Lu-liang-san.
Ketika Liong Bu Kong yang pergi memburu binatang bersama beberapa orang anggota Kwi-eng-pang pulang dan bertemu dengan Bu Leng Ci dan Bi Kiok, dia merasa terheran dan menjadi girang mendengar bahwa Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang namanya sudah dikenalnya sebagai seorang di antara lima datuk itu kini telah menjadi adik angkat ibunya!
Lebih gembira lagi hatinya melihat Yo Bi Kiok yang cantik manis. Dara remaja itu sudah menjadi saudara misannya, walau pun hanya saudara angkat! Akan tetapi sikap Bi Kiok yang selalu berwajah dingin dan amat pendiam itu mengecewakan hati Bu Kong sehingga pemuda ini membuang niatnya untuk mengajak dara remaja itu main-main dengannya.
Beberapa hari kemudian, Kian Ti dan keempat temannya yang mentaati permintaan Bu Leng Ci pergi mencari suami isteri yang bernama Yap Cong San dan Gui Yan Cu, kembali ke pulau itu dengan tangan hampa. Mereka tidak berhasil menemukan suami isteri yang dicarinya itu. Mereka juga gembira sekali ketika mendengar bahwa Siang-tok Mo-li yang terkenal itu sekarang menjadi adik angkat ketua mereka. Hal ini berarti bahwa kedudukan mereka lebih kuat lagi sungguh pun adik angkat ketua mereka itu tidak menjadi anggota Kwi-eng-pang.
Namun, beberapa bulan kemudian, pulau kecil yang dijadikan tempat tinggal Bu Leng Ci itu menjadi tempat yang menyeramkan dan menakutkan bagi para anggota Kwi-eng-pai karena wanita itu terkenal sebagai pembenci pria sehingga tiada yang berani mendekati pulau! Bahkan Liong Bu Kong sendiri pun tidak berani mendekat.
Hanya Kwi-eng Pangcu saja yang berani mengunjungi adik angkatnya. Dan apa bila ada keperluan mengantarkan sesuatu, Kwi-eng Pangcu akan mengutus pelayan atau anggota Kwi-eng-pang yang wanita. Dia sendiri pun tidak suka kepada pria, akan tetapi tidaklah membenci mati-matian seperti Bu Leng Ci.
Dia sudah merasa puas melihat para pria menjadi muridnya, menjadi anak buahnya, dan menjadi kaki tangannya yang setia dan selalu taat padanya. Yang tidak disukainya adalah apa bila pria itu menguasainya atau lebih tinggi tingkatnya dari pada dia. Karena ini pula maka dia sengaja menarik Bu Leng Ci sebagai adik angkat sehingga merasa kuat untuk menghadapi tiga orang di antara kelima datuk.
Kurang lebih dua tahun lamanya Bu Leng Ci bersama muridnya menjadi penghuni pulau kecil itu. Kini Bi Kiok telah menjadi seorang dara yang cantik manis, berusia enam belas tahun, akan tetapi makin tampak sikapnya yang dingin dan wataknya yang amat pendiam.
Hadiah dari Kwi-eng Niocu berupa hiasan rambut burung hong kemala menjadi benda kesayangannya yang tak pernah terpisah dari rambutnya atau bajunya. Bu Leng Ci yang menyayangi dara itu bukan hanya sebagai murid tunggal, bahkan bagaikan anak sendiri, menurunkan semua ilmunya kepada Yo Bi Kiok sehingga setelah selama tujuh tahun lebih menjadi muridnya, dara itu kini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
Pada suatu pagi, seorang pelayan wanita dari Kwi-eng Niocu menyampaikan undangan ketua ini kepada Bu Leng Ci. Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci segera berangkat dengan jalan menumpang perahu kecil pelayan itu bersama Bi Kiok, menghadap kakak angkatnya.
"Seorang anggota kita sudah menemukan suami isteri yang pernah kau sebut dahulu itu!" Ang Hwi Nio menyambut kedatangan adik angkatnya dengan pemberi tahuan ini, dengan suara penuh ketegangan. "Dan isterinya yang menurut katamu dulu sudah terkena Siang-tok-soa, ternyata tidak mati"
"Ah, kalau begitu kita harus dapat menawan mereka. Mereka adalah ayah bunda dari Yap Kun Liong yang tahu di mana adanya bokor emas!"
"Perlukah itu? Menurut ceritamu, yang tahu mungkin sekali hanyalah bocah itu, dan perlu apa menawan orang tuanya?"
"Apa bila kita menawan orang tuanya, tentu kelak anak itu muncul. Sukar sekali mencari bocah setan itu. Sudah bertahun-tahun aku mencari tanpa hasil, Ang-ci."
"Mungkin karena selamanya kau belum pernah bertemu dengan anak itu, bagaimana bisa mencarinya?"
"Memang aku belum pernah bertemu dengannya, akan tetapi Bi Kiok tentu akan dapat mengenal mukanya."
Diam-diam jantung Bi Kiok berdebar tegang. Tentu saja dia akan mengenal Kun Liong si gundul itu, dan gurunya pun pernah bertemu dengan Kun Liong, akan tetapi gurunya tidak tahu bahwa anak itulah yang kini mereka cari-cari. Entah bagaimana, dia tidak tega untuk mencelakakan anak itu, bahkan kini dia merasa tidak enak sekali mendengar bahwa ayah bunda Kun Liong hendak ditawan.
Akan tetapi ia diam saja, hanya menjawab karena dua orang wanita sakti itu memandang padanya penuh pertanyaan. "Tentu saja teecu akan mengenalnya kalau bertemu dengan Kun Liong."
"Biarlah aku mengutus enam orang murid kepala untuk menangkap mereka. Kita harus menjaga nama. Tidak perlu aku turun tangan sendiri menghadapi orang-orang yang tidak terkenal seperti mereka. Aku akan mengundang mereka, kalau mereka tidak mau, barulah orang-orangku akan menawan mereka. Menurut keterangan penyelidik, sekarang mereka tinggal di Puncak Cemara di Lu-liang-san."
Bu Leng Ci hendak mencegah, mengingat bahwa suami isteri itu lihai sekali. Akan tetapi dia tidak jadi membuka mulutnya sebab tentu saja dia tidak mau menceritakan betapa dia sendiri tak dapat mengalahkan mereka. Biarlah kakak angkatnya ini membuktikan sendiri setelah mengirim murid-muridnya.
Demikianlah, enam orang laki-laki setengah tua yang merupakan murid-murid kepala dari Kwi-eng Niocu dan tokoh-tokoh Kwi-eng-pang, berangkat ke Lu-liang-san yang tidak jauh dari Kwi-ouw, hanya makan waktu satu hari perjalanan.
Seperti telah kita ketahui, Yap Cong San bersama isterinya berada di Puncak Cemara di Pegunungan Lu-liang-san. Gui Yan Cu sudah sembuh sama sekali dari luka akibat pasir beracun, dan tidak lama kemudian setelah sembuh, dia mengandung sehingga terpaksa mereka memperpanjang waktu untuk tinggal dahulu di tempat yang indah menyenangkan itu.
Pada waktu itu, kandungan Yan Cu berusia dua bulan. Suami isteri yang berbahagia itu sedang duduk berdua di atas rumput, tak jauh dari pondok mereka, memandang ke arah bawah di mana tampak pemandangan yang mempesonakan.
"Ahhh…, betapa rinduku kepada dunia di bawah sana," Yan Cu menarik napas panjang. "Betapa rinduku kepada Kun Liong, kepada Cia Keng Hong-suheng dan Enci Biauw Eng. Betapa rinduku kepada masakan-masakan kota yang lezat... aaihh..."
Cong San meraih pundak isterinya lantas memeluknya, hatinya terharu dan dia merasa kasihan sekali pada isterinya. "Jangan khawatir, isteriku. Kita tinggal dulu di sini sampai engkau melahirkan. Keadaan seperti sekarang ini tentu saja amat tidak baik kalau engkau melakukan perjalanan jauh, apa lagi dengan adanya banyak bahaya di tengah perjalanan. Sesudah nanti anak kita cukup kuat, kira-kira setahun, kita pergi meninggalkan tempat sunyi ini, langsung ke Cin-ling-san."
"Ke tempat Suheng?"
"Ya. Engkau dan anak kita yang masih kecil biar tinggal dengan isterinya, sedangkan aku akan minta bantuan Keng Hong untuk bersamaku mencari Kun Liong. Dengan bantuan Keng Hong, mustahil kalau aku tidak akan dapat menemukan anak itu."
Yan Cu menarik napas lega. "Aahhh, anak nakal itu! Tentu akan dapat ditemukan kalau Suheng membantumu. Ingin aku mendengar apa yang akan dikatakan Kun Liong kalau berada di depanku setelah dia pergi selama tujuh tahun ini..."
Tiba-tiba saja tangan Cong San yang merangkul pundak isterinya itu menegang. Yan Cu merasakan ini dan keduanya menoleh.
"Ada orang..." bisik Cong San. Mereka sudah berdiri ketika enam orang laki-laki setengah tua itu tiba di situ.
"Apakah kalian yang bernama Yap Cong San dan Gui Yan Cu?" Salah seorang di antara mereka bertanya, suaranya kasar dan nyaring.
Cong San dan Yan Cu bersikap tenang, mengira bahwa tentu orang-orang ini petugas pemerintah yang hendak menangkap mereka berhubung dengan urusan Ma-taijin di kota Leng-kok tujuh tahun yang lalu.
"Sayalah yang bernama Yap Cong San dan ini isteri saya Gui Yan Cu. Siapakah Cuwi (Tuan Sekalian) dan ada perlu apakah mencari kami?" Cong San menjawab dengan sikap masih tenang sekali karena dia tidak menyangka akan terjadi hal yang tidak baik.
Apa bila benar mereka itu orang-orang pemerintah, urusannya dengan Ma-taijin bukanlah urusan besar. Dan mustahil kalau untuk urusan begitu saja dan setelah lewat tujuh tahun masih akan dibesar-besarkan.
"Kami melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh pangcu kami untuk mengundang Ji-wi menghadap pangcu."
Berkerut alis Cong San dan Yan Cu. Jika bukan orang pemerintah, tentu akan terjadi hal yang gawat.
"Siapa pangcu (ketua) kalian?" Cong San bertanya, hatinya mulai tegang dan dia bersikap waspada menghadapi segala kemungkinan buruk.
"Kami dari Kwi-eng-pang di Telaga Kwi-ouw. Harap Ji-wi ikut bersama kami menghadap Pangcu sekarang juga!"
"Kami berdua tidak pernah mengenal pangcu dari Kwi-eng-pang. Ada keperluan apakah ketua kalian dengan kami?"
"Hal ini bukan urusan kami! Tentu ada urusan penting maka Pangcu memanggil kalian," jawab pemimpin rombongan itu dengan suara tak sabar.
Cong San dapat menduga bahwa tentu keselamatan mereka berdua takkan terjamin bila dia bersama isterinya pergi mengunjungi ketua kaum sesat yang sudah sangat terkenal di dunia kang-ouw itu. Lagi pula, dia tidaklah sedemikian bodohnya untuk datang memasuki goa harimau.
"Maaf, Cuwi. Karena kami tidak mengenal Kwi-eng Pangcu dan tidak mempunyai urusan dengannya, kalau memang pangcu kalian ada urusan dengan kami, harap dia datang saja ke sini untuk bicara."
Tiba-tiba keenam orang itu merobah sikap, tidak seramah tadi. Pandangan mata mereka mengandung kemarahan dan seorang di antara mereka lalu berseru, "Manusia sombong! Berani membantah perintah Pangcu?"
"Kawan-kawan, maju!"
"Kalian mau apa?" Yan Cu membentak marah dan tangannya meraba gagang pedang.
"Ini perintah Pangcu, kalau kalian mau menghadap, baik. Kalau tidak mau, terpaksa kami mempergunakan kekerasan menawan kalian!"
"Singggg…!”
“Keparat, kalian mengira begitu mudah?" Yan Cu telah mencabut senjata pedangnya dan hendak menerjang maju, akan tetapi tiba-tiba suaminya menyentuh lengannya.
"Tidak perlu menyerang. Biarkan mereka yang bergerak, kita lihat saja sampai di mana kepandaian manusia-manusia sesat ini."
Suami isteri itu berdiri beradu punggung, sikap mereka tetap tenang walau pun mereka marah sekali. Yan Cu berdiri dan bersiap dengan pedang di tangan, sedangkan Cong San sudah mengeluarkan sepasang Im-yang-pit dan memegangnya dengan kedua tangannya. Dia tadi melarang isterinya bergerak, karena sangat tidak baik bagi kandungan isterinya kalau banyak mengerahkan sinkang.
Keenam orang anggota Kwi-eng-pang itu sudah mulai mengurung. Terdengar suara yang menyeramkan pada saat mereka itu menggerak-gerakkan senjata mereka yang beraneka macam itu. Melihat betapa kedua orang suami isteri itu mengeluarkan senjata dan hendak melawan, mereka gembira sekali dan juga tidak menyangka-nyangka.
Ketua mereka hanya memberi perintah untuk menangkap dan tidak memberi tahu bahwa suami isteri itu akan melawan. Kalau mereka tidak melawan, tentu mereka hanya akan menawan mereka dan tidak akan mengganggu mereka. Tapi sekarang mereka mendapat kesempatan untuk memperlihatkan kepandaian dan menawan suami isteri yang melawan itu setelah melukai mereka.
Betapa pun juga, enam orang itu bukanlah orang sembarangan, melainkan murid-murid pilihan dari Kwi-eng Niocu dan mereka telah berpengalaman dalam banyak pertandingan. Melihat sikap dan cara suami isteri itu menghadapi mereka, mereka pun dapat menduga bahwa suami isteri itu ‘berisi’, maka tanpa sungkan-sungkan lagi karena di tempat sunyi itu tidak ada orang lain, mereka serentak maju berenam, mengeroyok!
Terdengarlah suara nyaring hiruk-pikuk ketika mereka menerjang maju, suara beradunya senjata mereka yang terpental ke sana-sini, ditambah suara teriakan mereka yang penuh kekagetan sebab dalam beberapa gebrakan saja, selain senjata mereka terlempar kian ke mari, juga mereka roboh malang-melintang. Empat orang roboh terluka oleh sepasang pit di tangan Cong San, sedangkan dua orang lagi roboh dengan terluka paha dan pundak mereka oleh kilatan pedang di tangan Yan Cu! Semua ini terjadi tanpa suami isteri itu pindah dari tempat mereka!
Dapat dibayangkan betapa kaget hati enam orang itu. Muka mereka pucat dan mereka memandang dengan mata terbelalak, maklum bahwa kalau kedua orang suami isteri itu menghendaki, pada lain saat mereka semua tentu akan dapat terbunuh dengan mudah. Mengertilah sekarang mereka bahwa jangankan menghadapi suami isteri itu, walau pun menghadapi seorang di antara mereka saja, mereka berenam tak akan mampu menang!
"Pergilah kalian dari sini!" Cong San membentak dengan sikap kereng. "Katakan kepada pangcu kalian bahwa karena kami tidak mempunyai urusan dengan dia, maka kami tidak membunuh kalian dan kami tidak dapat pergi menemuinya. Nah, pergilah cepat!"
Enam orang itu merangkak bangun dan dengan penuh rasa syukur karena tidak dibunuh, mereka itu saling membantu dan pergi secepat mungkin meninggalkan tempat itu.
Cong San dan Yan Cu saling pandang, masih merasa penasaran dan juga terheran-heran mengapa secara tiba-tiba mereka itu dimusuhi oleh Kwi-eng-pang. Padahal belum pernah mereka berurusan dengan Kwi-eng-pang, bahkan belum pernah berjumpa dengan ketua Kwi-eng-pang yang tersohor itu. Mereka tahu bahwa Ketua Kwi-eng-pang adalah Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio yang kabarnya adalah seorang di antara lima datuk kaum sesat yang terkenal sebagai manusia-manusia iblis.
"Kita harus pergi dari sini sekarang juga," kata Cong San. "Mereka itu berbahaya. Kalau tadi mereka tidak memandang rendah terhadap kita, agaknya belum tentu kita sanggup mengusir mereka dalam waktu singkat. Kepandaian mereka rata-rata cukup tangguh."
"Aku tidak takut!" Yan Cu berkata. "Masa kita harus melarikan diri dari mereka? Biar pun Kwi-eng Niocu si iblis betina sendiri yang datang, akan kuhadapi dia!"
Cong San cepat merangkul isterinya. "Aku percaya, isteriku. Memang kita tak usah takut menghadapi kaum sesat. Akan tetapi kau harus ingat bahwa selagi engkau mengandung, tidak semestinya kita melibatkan diri dalam pertandingan-pertandingan berat. Hal itu amat berbahaya bagi kandunganmu. Ingat, ketika dahulu kita bertemu dengan Siang-tok Mo-li seorang di antara lima datuk itu, kau terluka. Apa lagi kabarnya Kwi-eng Niocu lebih jahat dan lihai. Bukan aku takut, tetapi karena mengingat akan kandunganmu dan keadaanmu, sebaiknya kali ini kita mengalah. Mudah saja kalau kelak kita mencari Kwi-eng Niocu dan menghajarnya atas kelakuannya hari ini! Marilah, sayang."
Untuk kesekian kalinya, Yan Cu tidak dapat membantah. Biar pun hatinya penuh dengan rasa penasaran dan kemarahan, terpaksa dia menurut, pergi meninggalkan tempat itu, menuju ke utara. Setelah melakukan perjalanan hampir sebulan dengan lambat dan amat hati-hati mengingat kandungan Yan Cu, akhirnya mereka tiba di kota Tai-goan dan di sini Cong San mengajak Yan Cu singgah di rumah seorang kenalannya.
Seorang laki-laki tua berusia lebih dari enam puluh tahun menyambut kedatangan mereka dengan ramah. Kakek yang berusia hampir tujuh puluh tahun ini bertubuh tinggi kurus dan rambutnya sudah putih semua, namun masih kelihatan gesit dan kuat. Dia ditemani oleh seorang nyonya berusia empat puluhan tahun, serta seorang laki-laki suami nyonya itu yang usianya hampir lima puluh tahun. Tiga orang ini menyambut mereka dan Si Kakek Rambut Putih segera berseru girang,
"Ahh, kiranya Yap-enghiong yang datang! Biar pun hampir dua puluh tahun tidak jumpa, saya tidak akan pangling (lupa) kepadamu!"
Yap Cong San cepat memberi hormat dan berkata, "Terima kasih atas kebaikan Theng-ciangkun (Perwira Theng) dan maaf atas kedatangan kami yang tiba-tiba tanpa memberi tahu lebih dahulu ini. Ini adalah isteri saya."
Kakek itu cepat membalas penghormatan Yan Cu dan berkata, "Ahh, Nyonya Muda, kau kelihatan lelah sekali. Silakan masuk saja beristirahat! Ceng-ji (Anak Ceng), kau ajaklah Nyonya Yap untuk beristirahat di dalam." Kakek itu memperkenalkan nyonya itu sebagai puterinya, dan laki-laki itu sebagai mantunya yang bernama Tan Hoat.
Dengan ramah-tamah nyonya yang bernama Ceng itu menggandeng tangan Yan Cu dan diajak masuk ke dalam. Kemudian Kakek Theng bersama mantunya mempersilakan Cong San duduk di ruangan dalam sambil menyuruh pelayan menghidangkan minuman. Setelah hidangan disuguhkan dan mereka sudah minum teh, Cong San menghela napas panjang lalu berkata,
"Saya harap Theng-ciangkun suka maafkan. Kali ini terpaksa saya hendak minta bantuan Ciangkun, yaitu supaya memperbolehkan saya bersama isteri saya tinggal di sini sampai isteri saya melahirkan. Tentu saja kalau Ciangkun tidak keberatan."
Kakek itu kelihatan terkejut dan heran. Dia pun maklum bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat menimpa keluarga pendekar bekas murid Siauw-lim-pai ini, yang hanya dikenalnya sepintas lalu akan tetapi telah diketahui kegagahannya itu. Dia tahu pula bahwa pendekar ini adalah sahabat baik sekali dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang dikaguminya.
Maka tanpa ragu-ragu dia menjawab, "Tentu saja boleh dan sama sekali tidak keberatan! Kami hanya tinggal berempat di rumah besar ini, yaitu saya sendiri, anak perempuan dan mantu saya ini, dan seorang cucu perempuan. Selain itu, hanya ada dua orang pelayan. Masih ada kamar untuk engkau dan isterimu, Yap-enghiong dan kami semua menyambut kedatanganmu dengan hati gembira. Saya bukan seorang perwira pengawal lagi, sudah beberapa tahun mengundurkan diri karena usia tua. Akan tetapi... kalau saja saya boleh bertanya, bagaimanakah engkau dan isterimu sampai tiba di sini dan... dan... selama ini tinggal di mana? Sudah lama saya tidak pernah bertemu dengan Cia Keng Hong taihiap yang kabarnya sekarang berada di Cin-ling-san sehingga tak dapat bertanya pula tentang keadaanmu."
Cong San menarik napas panjang, kemudian dengan singkat ia menceritakan riwayatnya yang lalu. Betapa dia terkena urusan dengan Ma-taijin dan puteranya hilang, dan betapa dalam mencari puteranya itu mereka mengalami banyak hal yang berbahaya, sedangkan puteranya masih belum dapat ditemukan.
"Tadinya kami akan tinggal terus di puncak Pegunungan Lu-liang-san, akan tetapi siapa kira, muncul mala petaka lain, yaitu orang-orang Kwi-eng-pang." Ia menceritakan tentang kedatangan enam orang Kwi-eng-pang, kemudian menambahkan, "Jika tidak cepat-cepat pergi, tentu mereka itu akan datang lagi bersama lebih banyak teman dan ketua mereka. Bukannya kami takut, akan tetapi... isteri saya sedang mengandung, maka lebih baik kami mengalah dan pergi. Ketika kami tiba di kota ini, saya teringat kepada Theng-ciangkun dan timbul pikiran saya untuk minta pertolongan Ciangkun."
Kakek itu bengong mendengarkan penuturan itu, kadang kala mengangguk-angguk tetapi ada kalanya menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian dia berkata, "Harap tenangkan hatimu, Yap-enghiong. Biarlah isterimu beristirahat di sini sampai melahirkan. Dan kalau kawanan penjahat Kwi-eng-pang berani mengganggu ke sini, hemmm... ruyungku belum berkarat dan aku ingin sekali merasai kelihaian Kwi-eng Niocu yang kabarnya seperti iblis betina itu!"
Cong San menghaturkan terima kasih dan tersenyum kagum mendengar ucapan yang bersemangat itu. Kakek she Theng itu bernama Theng Kiu, bekas pengawal yang setia sekali dari Kaisar Yung Lo semenjak kaisar itu belum menjadi kaisar seperti sekarang dan masih menjadi raja muda di utara.
Dahulu, Theng Kiu ini terkenal dengan senjata ruyungnya sehingga dia dijuluki Kim-pian (Si Ruyung Emas), dan ilmu kepandaiannya, sungguh pun tidak terlampau tinggi, namun sudah menempatkan dia di golongan orang-orang gagah. Menurut penafsiran Cong San kalau dia tidak salah ingat, Kakek Theng ini mungkin tidak akan kalah oleh seorang di antara enam orang Kwi-eng-pang yang menyerangnya di Lu-liang-san.
Demikianlah, mulai hari itu, Cong San dan isterinya tinggal menumpang di rumah bekas perwira pengawal Theng Kiu. Suami isteri itu merasa bersukur dan berterima kasih sekali. Kakek Theng sangat ramah, akan tetapi juga puterinya dan mantunya, suami isteri Tan Hoat, amat baik terhadap mereka. Bahkan puteri suami isteri ini yang bernama Tan Cui Lin, seorang dara berusia lima belas tahun yang manis, juga bersikap menyenangkan.
Untuk membalas kebaikan tuan rumah, Cong San berkenan melatih ilmu silat kepada Tan Cui Lin yang sebagai cucu tunggal kakek Theng, tentu saja sudah pernah mempelajari dasar-dasarnya sejak kecil. Karena ini, Tan Cui Lin menyebut ‘suhu’ kepada Cong San, dan ‘subo’ kepada Yan Cu.
Sambil menanti isterinya melahirkan, selain melatih ilmu silat kepada muridnya, juga Cong San mulai ‘membuka praktek’ pengobatan di Tai-goan. Mula-mula dia dikenalkan kepada kawan-kawan Kakek Theng, kemudian dalam waktu beberapa bulan saja namanya telah terkenal sehingga setiap hari ada saja yang datang minta resep obat kepadanya. Dengan adanya sedikit penghasilan ini, agak lega hati Cong San karena dia menyerahkan semua hasil ini kepada keluarga Kakek Theng yang telah menampung mereka.
Waktu berjalan dengan cepatnya dan beberapa bulan kemudian Yan Cu telah melahirkan seorang anak perempuan dengan selamat di rumah keluarga Theng Kiu. Mereka memberi nama Yap In Hong kepada anak itu.
Atas bujukan dan nasehat Kakek Theng, karena pekerjaan Cong San mulai maju dan sudah banyak penduduk yang menjadi langganannya, dengan menjual semua perhiasan yang masih dimiliki Yan Cu, ditambah dengan simpanan sedikit-sedikit selama ini, dan dibantu pula oleh Kakek Theng, Cong San membeli sebidang tanah di Tai-goan.
Di atas tanah itu telah ada bangunannya, akan tetapi bangunan kuno yang sudah hampir ambruk. Oleh karena itu, mulailah dia membangun kembali rumah itu dan setiap hari dia pergi memimpin para tukang untuk memperbaiki rumah yang dibelinya. Dia dan isterinya sudah mengambil keputusan untuk tinggal di Tai-goan!
Yang membantunya adalah Tan Hoat, dan kadang-kadang muridnya, Cui Lin, datang pula membantu, mengatur ini dan itu, membersihkan dan mengatur kebun di belakang rumah, menanami kembang-kembang. Membangun kembali rumah yang rusak itu makan waktu berbulan-bulan, dan In Hong sudah menjadi seorang anak yang mungil dan sehat berusia setengah tahun lebih ketika akhirnya rumah itu siap untuk ditempati.
Pada hari terakhir itu, Cui Lin turut membantu suhu-nya membersihkan rumah baru serta mengatur perabot rumah sederhana dengan penuh kegembiraan. Dara ini sayang sekali kepada suhu dan subo-nya, dan merasa beruntung menjadi murid seorang yang berilmu tinggi seperti mereka. Baru belajar setahun lebih saja, dia sudah memperoleh kemajuan hebat, dan hal ini dikatakan secara jujur oleh kakeknya sendiri.
"Ketahuilah, cucuku. Gurumu itu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang berilmu tinggi, murid dari manusia sakti Tiong Pek Hosiang. Subo-mu juga bukan orang sembarangan karena dia itu masih sumoi dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang kini menjadi Ketua Cin-ling-pai di Cin-ling-san. Maka kau belajarlah baik-baik dan dalam beberapa tahun lagi kakekmu ini sudah tidak akan kuat melawanmu."
Maka gembira sekali hati Cui Lin setelah suhu dan subo-nya mengambil keputusan untuk tinggal di Tai-goan. Dengan demikian berarti dia akan dapat belajar terus. Dia membantu suhu-nya memberes-bereskan rumah baru itu dari pagi sampai lewat tengah hari. Besok pagi keluarga suhu-nya sudah akan pindah ke rumah baru ini.
"Cui Lin, kau lanjutkanlah memberesi kamar ini dengan Phoa-ma (nama pelayan wanita), aku akan kembali dulu ke rumah kakekmu."
"Baiklah, Suhu. Serahkan saja kepada teecu dan Phoa-ma, tentu sore nanti telah selesai," jawab dara itu gembira.
Akan tetapi hati Cong San tidak segembira biasanya ketika dia meninggalkan rumah baru itu. Entah mengapa, hatinya terasa tidak enak, padahal dia tidak terganggu sesuatu. Ada dorongan di hatinya agar dia cepat pulang ke rumah Kakek Theng. Menurutkan dorongan hatinya ini, tergesa-gesa Cong San kembali ke rumah keluarga Theng yang berada di sebelah selatan kota, agak jauh dari rumah baru itu.
Tidaklah mengherankan kalau hati Yap Cong San merasa tidak enak sekali karena pada saat dia membersihkan rumah baru bersama muridnya dan seorang pelayan merangkap pengasuh anaknya, di rumah keluarga Kakek Theng terjadi malapetaka yang hebat sekali!
Pada waktu itu, Yan Cu dengan hati gembira sekali sedang berkemas karena besok pagi mereka akan pindah ke rumah baru. Hatinya gembira sekali dan sudah banyak rencana di dalam hatinya. Dia akan berusaha membuka toko obat lagi di Tai-gon dan di kota besar ini tentu dia dan suaminya akan mendapat kemajuan jauh lebih besar dari pada di kota Leng-kok. Setelah In Hong agak besar dan keadaannya di rumah baru menjadi baik, dia akan mengajak suaminya pergi ke Cing-ling-san untuk meminta bantuan suheng-nya, Cia Keng Hong agar bersama suaminya mencari Kun Liong.
Betapa akan bahagianya kalau Kun Liong masih hidup dan dapat berkumpul lagi dengan ayah bundanya. Tentu puteranya itu telah besar, telah dewasa! Sudah tujuh belas tahun tentu usianya! Dan betapa wajah puteranya itu akan penuh keheranan melihat adiknya!
Tiba-tiba dia mendengar teriakan Kakek Theng, "Nyonya mantu! Lari...!"
Dia terkejut sekali. Yang disebut nyonya mantu adalah dia, karena suaminya telah diakui sebagai anak angkat Kakek Theng. Mendengar suara teriakan yang penuh kegelisahan dari kakek itu, kemudian mendengar betapa suara teriakan itu mendadak terhenti, hatinya merasa khawatir sekali. Tentu saja dia tidak mau lari seperti diminta oleh kakek itu, dan dia menduga bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat. Cepat dia menyambar pedangnya dan dengan pedang terhunus Gui Yan Cu meloncat keluar dari kamarnya dan berlari ke ruangan dalam.
Hampir saja dia berseru kaget, matanya terbelalak dan mukanya menjadi pucat ketika dia melihat mayat-mayat bergelimpangan! Mayat Tan Hoat dan isterinya dengan leher hampir putus, mayat dua orang pelayan di luar pintu, dan mayat kakek Theng sendiri di ruangan tengah, kepala kakek itu pecah dan senjata ruyungnya masih tergenggam di tangannya. Agaknya kakek ini telah melakukan perlawanan sampai saat terakhir sambil tadi berteriak menyuruhnya lari.
Dapat dibayangkan betapa marahnya Gui Yan Cu. Dengan air mata memenuhi pelupuk matanya dia lalu melompat dan menerobos ke ruangan dalam yang lebar dan dia terhenti tegak di pintu ketika melihat lima orang enak-enakan duduk di dalam ruangan itu sambil tersenyum-senyum menyeringai.
Seorang di antara mereka adalah Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci! Yang empat orang lainnya tidak dikenalnya, yaitu seorang wanita setengah tua yang masih cantik dan berpakaian mewah bersama tiga orang laki-laki tua yang keadaannya menyeramkan.
"Apa... apa yang telah kalian lakukan?" Dia membentak, sedikit pun tak merasa takut biar di situ terdapat Bu Leng Ci yang lihai, karena kemarahan telah membuat nyonya ini tidak lagi mengenal takut dan sama sekali tidak ingat akan bahaya lagi.
"Inilah dia yang bernama Gui Yan Cu, ibu bocah setan itu," kata Bu Leng Ci.
Wanita berpakaian mewah itu mengangkat muka. "Eh, Gui Yan Cu. Aku memanggil kau dan suamimu ke Kwi-ouw, mengapa kau dan suamimu malah menghina anak buahku?"
Yan Cu semakin marah setelah mengetahui bahwa wanita itu adalah Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio. "Hemmm, jadi engkau inikah yang disebut Kwi-eng Niocu, ketua perkumpulan sesat Kwi-eng-pang?"
"Huh! Huhh!" Kakek yang matanya sipit lehernya panjang seperti leher ular itu menahan ketawanya.
"He-heh-heh!" Kakek yang mukanya hitam seperti pantat kuali terkekeh. "Kalau dia tidak takut terhadap dua orang datuk betina, tentu tidak gentar pula terhadap kami tiga orang datuk jantan, dan tentu kepandaiannya setinggi langit!"
Gui Yan Cu memandang kakek muka hitam itu dan mendengar ucapan ini, dia terkesiap juga. Jantungnya berdebar tegang dan dia membentak, "Jadi kalian berlima inikah yang disebut lima Datuk kaum sesat?"
Kakek tua renta berambut putih panjang yang matanya juling akan tetapi mengeluarkan sinar aneh dan mengerikan itu terbatuk-batuk, lalu menggumam, "Dan engkau kabarnya sumoi dari Cia Keng Hong. Benarkah?"
"Benar! Aku bersama suamiku selamanya tidak pernah berurusan dengan kalian, lenapa kalian mengganggu kami dan membunuh orang-orang yang tidak berdosa ini? Beginikah sepak terjang tokoh-tokoh besar yang mengaku diri sebagai para datuk? Seperti kelakuan bajingan-bajingan kecil saja!"
Yan Cu maklum bahwa dia kini berhadapan dengan orang-orang yang tak mungkin dapat dilawannya, akan tetapi dia sama sekali tidak takut karena kemarahannya melihat kakek Theng, anaknya, mantunya, dan pelayan-pelayan terbunuh seperti itu.
"Gui Yan Cu! Tidak perlu banyak cakap. Katakan di mana adanya bokor emas yang dicuri oleh anakmu yang bernama Kun Liong itu kalau menghendaki agar nyawamu dapat kami perpanjang beberapa lamanya."
Mendengar kata-kata ini, wajah yang tadinya pucat itu kelihatan berseri-seri. Pertanyaan itu membuktikan bahwa Kun Liong masih hidup!
"Aku tidak tahu apa yang kau maksudkan tadi. Selamanya aku belum pernah mendengar tentang bokor emas dan andai kata aku mengetahuinya juga, apakah kau kira aku akan memberi tahukan kepada kalian?"
"Perempuan sombong! Kalau begitu, mampuslah engkau!" Kwi-eng Niocu sudah hendak menggerakkan tangan menyerang.
Akan tetapi kakek tua renta berambut putih itu terbatuk-batuk, kemudian melangkah maju menghalangi Kwi-eng Niocu sambil berkata, "Nanti dulu, Pangcu. Kalau dia benar sumoi dari Cia Keng Hong, biarkan aku mencoba Thi-khi I-beng."
Kakek berambut putih itu bergerak ke depan. Yan Cu yang maklum bahwa tak mungkin dia menghindarkan diri dari pertandingan mati-matian, segera mengelebatkan pedangnya dan menyerang dengan tusukan ke dada dilanjutkan dengan bacokan menyamping ketika kakek itu mengelak.
Tiba-tiba pedang itu tertahan oleh jubah kakek itu yang dipegang di tangan kiri, kemudian secara cepat dan aneh sekali, tangan kanannya sudah menyambar dan menampar ke arah kepala Yan Cu. Gerakan ini amat cepat, maka terpaksa Yan Cu menganglcat tangan kiri menangkis.
"Plakkk!"
Yan Cu terhuyung ke belakang, lengannya terasa sakit sekali. Kakek itu tampak kecewa, tidak melanjutkan gerakannya dan mengomel,
"Mana itu Thi-khi I-beng yang disohorkan orang? Kalau kepandaian perempuan ini hanya sedemikian saja, tidak cukup pantas melayani aku!"
Diam-diam Yan Cu terkejut bukan main. Kakek berambut putih itu benar hebat sekali dan kalau dilanjutkan pertandingan itu, biar pun dia memegang pedang, agaknya sukar sekali baginya untuk menang. Dia menduga bahwa tentu kakek berambut putih itu yang berjuluk Toat-beng Hoatsu, yaitu datuk yang penuh rahasia dan mungkin sekali yang paling lihai di antara lima orahg itu.
"Aku pun ingin mencobanya!" berkata kakek muka hitam yang bukan lain adalah Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu.
Belum habis ucapannya, tubuhnya sudah bergerak dan sinar kilat sebatang golok besar di tangannya sudah menyambar dahsyat. Yan Cu cepat memutar pedangnya menangkis.
"Tranggg...!"
Kembali Yan Cu terkejut bukan main karena pedangnya terpental dan lengannya gemetar saking kuatnya tenaga yang terkandung pada golok itu. Namun dia tidak menjadi jeri dan sudah membalas serangan lawan baru ini dengan gerakan pedangnya yang lincah.
Sambil tertawa-tawa mengejek Si Kakek Muka Hitam itu lantas menyambut dengan golok besarnya dan terjadilah pertandingan yang seru. Namun dalam belasan jurus saja pedang Yan Cu sudah tertindih dan beberapa kali pertemuan kedua senjata itu secara kuat sudah membuat pedangnya hampir terlepas dari tangannya.
Mulailah Yan Cu merasa khawatir. Dia bukan mengkhawatirkan dirinya sendiri, melainkan mengkhawatirkan puterinya yang kini dia dengar menangis di dalam kamarnya! Ia sendiri tidak takut mati, akan tetapi bagaimana nasib puterinya yang usianya belum ada satu tahun itu kalau sampai terjatuh ke dalam tangan iblis-iblis ini? Mengapa suaminya belum juga pulang?
"Hek-bin Thian-sin, aku ikut berpesta, ha-ha-ha-ha!" Suara ini keluar dari mulut Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dan pedangnya yang berbentuk ular itu telah meluncur ke depan.
Pada saat itu, Yan Cu baru saja menangkis golok besar Hek-bin Thian-sin yang membuat tangannya gemetar. Maka begitu pedang itu sekarang bertemu dengan pedang ular yang didorong oleh tenaga yang luar biasa kuatnya, dia tidak dapat mempertahankan lagi dan pedangnya terlepas dari tangannya.
Suara terkekeh di belakangnya adalah suara Bu Leng Ci yang sudah menyambar pedang itu dan pada waktu itu Yan Cu merasa betapa pundaknya nyeri bukan main, panas dan membuat tubuhnya menggigil saking nyerinya. Maklum bahwa nyawanya terancam, dan teringat akan nasib puterinya, Yan Cu mengeluarkan pekik melengking yang dimaksudkan untuk memanggil suaminya.
Guratan kuku jari tangan Kwi-eng Niocu yang menggores pundak Yan Cu itu membuat wanita perkasa ini terhuyung dan pening kepalanya. Namun dia masih nekat dan sambil membalik dia membarengi memukul sebelum Kwi-eng Niocu menarik tangannya.
"Dukkk!"
Sungguh pun Kwi-eng Niocu tidak roboh oleh pukulan yang menyambar dan mengenai pangkal lengannya ini, namun cukup membuat dia merasa kesakitan dan lengan kirinya seperti lumpuh sejenak.
Dia marah sekali. Sambil mengeluarkan suara menggereng laksana harimau terluka, dia menubruk maju dan tangannya menampar. Yan Cu yang sudah pening itu hanya mampu menangkis sebuah tamparan dengan tangan kiri yang kurang cepat gerakannya itu, akan tetapi tamparan tangan kanan Si Bayangan Hantu mengenai lehernya.
Yan Cu terpekik dan terjengkang. Sebelum tubuhnya jatuh mengenai tanah, sinar pedang berkelebat dan pedangnya sendiri yang dipergunakan oleh Bu Leng Ci telah menembus dada wanita perkasa ini! Gui Yan Cu tidak mengeluh lagi, roboh telentang dengan dada tertembus pedangnya sendiri, tewas seketika. Darah muncrat membasahi bajunya.
Pada saat Yan Cu mengeluarkan suara melengking tadi, Yap Cong San telah tiba dekat rumah itu. Dia terkejut mengenal lengking isterinya dan cepat sekali dia berlari ke dalam rumah. Ketika dia mendengar suara tangis puterinya, dia langsung memasuki kamar dan lega hatinya melihat puterinya itu menangis di atas ranjang dalam keadaan selamat. Dia menyambar puterinya itu dan dibawanya lari keluar.
Ketika dia melihat mayat-mayat bergelimpangan, yakni mayat Kakek Theng, puterinya, menantunya dan dua orang pelayan, Cong San terkejut setengah mati. Dengan jantung berdebar tegang dia terus berlari ke arah suara pertempuran di ruangan dalam dan pada waktu dia muncul di ambang pintu ruangan itu dilihatnya isterinya sudah rebah terlentang dengan dada tertembus pedang!
"Yan Cuuu...!!" Dia memekik dan meloncat ke dalam.
Sejenak dia bagai terpesona memandang jenazah isterinya, kemudian pandang matanya menyapu pada wajah lima orang yang berdiri di situ sambil tersenyum-senyum. Air mata mengalir di sepanjang kedua pipi pendekar itu, akan tetapi sepasang matanya tak pernah berkedip ketika dia memandang ke arah mereka satu demi satu, kemudian kembali dia menoleh kepada jenazah isterinya.
"Yan Cu... ohh... ohhh... Yan Cu...!" Dia merintih, rintihan yang diselingi oleh tangis Yap In Hong, anak kecil dalam pondongannya.
Tiba-tiba saja Cong San membalikkan tubuh menghadapi lima orang itu. Begitu melihat Bu Leng Ci, mudah saja baginya untuk menduga siapa adanya empat orang yang lain itu. Walau pun dia belum pernah bertemu muka dengan mereka itu, akan tetapi dia sudah mendengar berita tentang lima orang datuk kaum sesat.
Biar pun kemarahan dan kedukaan menyesak di dalam dadanya, namun sebagai seorang pendekar besar Cong San dapat menekan perasaannya dan dia harus lebih dahulu tahu siapa sebenarnya mereka dan mengapa mereka membunuh keluarga Kakek Theng dan isterinya.
"Bukankah kalian ini Lima Datuk kaum sesat?" tanyanya dengan suara yang terdengar aneh sekali, agak parau dan nadanya bercampur tangis dan kemarahan.
"Hi-hi-hi-hik, sudah tahu mengapa tidak lekas berlutut minta ampun?" Bu Leng Ci tertawa mengejek.
"Mengapa kalian memusuhi kami?"
"Yap Cong San, anakmu yang bernama Kun Liong telah mencuri bokor emas. Lekas kau katakan di mana dia dan di mana adanya bokor emas itu, kalau tidak, terpaksa engkau akan menyusul isterimu!"
Bu Leng Ci berkata dengan wajah gembira. Memang wanita iblis ini paling suka melihat orang berduka dan sengsara. Bukan hanya dia, bahkan demikian juga dengan keempat orang kawannya, pandang mata mereka seperti mata kanak-kanak melihat seekor cacing menggeliat-geliat kepanasan dalam sekarat. Sedikit pun tidak ada rasa kasihan, bahkan gembira dan puas!
Akan tetapi Cong San tidak memperhatikan dan tidak mempedulikan pertanyaan ini, dia bahkan bertanya lagi, "Siapa yang membunuh isteriku?"
"Aku yang membunuhnya, kau mau apa?" belum habis ucapan ini keluar dari mulut Bu Leng Ci, Cong San sudah menggerakkan senjata pit hitam di tangan kanannya.
"Siuuuuttt... wesss!"
Cepat bukan main serangan maut itu, dilakukan dengan hati sakit dan penuh dendam, menusuk ke arah dada orang termuda dari Lima Datuk kaum sesat itu. Bu Leng Ci tidak sempat mencabut samurainya dan hanya dapat mengelak dengan hati kaget sekali untuk menyelamatkan dirinya.
"Brettt!" Baju yang menutup dada terobek sedikit berikut sedikit kulit di bagian kanan.
"Keparat!" Bu Leng Ci marah bukan main, juga malu karena hampir saja dia celaka oleh serangan itu tadi.
"Srattt…!" Samurai panjang telah dicabutnya, dan dia menyerang kalang kabut.
"Tring-tring-tranggg…!"
Bunga api berpijar ketika senjata pit itu menangkis samurai. Kwi-eng Nio-cu membantu adik angkatnya dengan cengkeraman dari samping ke arah pundak Cong San, akan tetapi pendekar ini cepat mengelak dan pit-nya langsung berkelebat menyambut untuk menotok sambungan siku Si Bayangan Hantu.
Gerakannya cepat dan kuat sekali. Sakit hati, kemarahan dan kedukaan melihat isterinya yang terkasih tergeletak tak bernyawa dengan dada tertembus pedang, agaknya melipat gandakan tenaga dan kecepatannya.
Si Bayangan Hantu terpaksa menarik kembali lengannya dan di lain saat, Yap Cong San telah dikeroyok oleh empat orang di antara lima datuk hitam itu. Hanya Toat-beng Hoatsu seorang yang berdiri menonton saja, tidak ikut turun tangan.
Biar pun demikian, Cong San sudah repot sekali. Jangankan dikeroyok oleh empat orang yang lihai itu, baru seorang di antara mereka saja sudah merupakan lawan berat yang belum tentu dapat dikalahkannya. Betapa pun juga, Cong San tidak gentar dan melawan mati-matian, biar pun gerakannya tidak leluasa karena lengan kirinya masih memondong puterinya yang menangis nyaring.
Pertandingan yang berat sebelah! Yap Cong San adalah murid Tiong Pek Ho-siang. Dia sudah menguasai ilmu silat Siauw-lim-pai yang tangguh dan murni. Akan tetapi, dengan seorang anak kecil dalam pondongannya, menghadapi empat di antara datuk-datuk kaum sesat itu, tentu saja dia terdesak hebat sekali sehingga beberapa belas jurus kemudian dia hanya mampu mempertahankan diri dan melindungi puterinya saja.
Apa lagi karena empat orang lawannya adalah orang-orang sakti golongan hitam yang tidak pantang melakukan pengeroyokan dan menggunakan siasat licik. Kini mereka yang mengeroyok sambil tertawa-tawa seperti hendak mempermainkan lawan, bukan hanya menyerang Cong San, akan tetapi juga menujukan serangannya kepada anak kecil dalam podongan pendekar itu.
Hal ini membuat Cong San selain marah dan duka, juga khawatir sekali. Tadi dia dilanda kedukaan yang amat dalam sehingga baru sekarang teringat bahwa puterinya yang masih kecil dan terus menangis ini terancam bahaya maut! Maka dia kini mencurahkan seluruh daya pertahanannya untuk melindungi puterinya.
"Huhh! Memalukan!" Toat-beng Hoatsu mengeluarkan seruan keras ketika menyaksikan betapa sampai tiga puluh jurus lebih empat orang kawannya masih belum juga mampu merobohkan seorang lawan yang mereka keroyok.
Baru pengeroyokan itu saja sudah sangat menjengkelkan kakek ini. Disebut datuk-datuk akan tetapi masih melakukan pengeroyokan! Merendahkan martabat ini namanya! Untuk mengakhiri pengeroyokan yang memalukan ini, tiba-tiba dia menggerakkan jubahnya dari belakang, mengarah kepala anak kecil dalam pondongan Cong San!
Terkejut bukan main hati Cong San ketika merasa angin dahsyat sekali menyambar ke arah kepala anaknya. Jangankan sampai mengenai langsung, baru sambaran angin yang dahsyat itu saja sudah cukup untuk membunuh puterinya!
Tidak ada jalan lain baginya kecuali mengorbankan diri untuk melindungi anaknya. Cepat Cong San membalik sehingga tubuh anaknya terlindung dan dia memutar pit-nya untuk menyambut datangnya jubah lebar yang amat dahsyat sambarannya itu.
"Bretttt...! Desss...!"
"Suhu...! Subo...!" Terdengar jerit melengking di pintu ruangan.
Cong San cepat memutar tubuh dan melemparkan Yap In Hong ke arah muridnya sambil berteriak, "Cui Lin, bawa lari In Hong...!"
Hantaman jubah di tangan Toat-beng Hoatsu tadi hebat sekali. Memang pit-nya mampu merobek jubah itu, akan tetapi pit itu sendiri hancur dan lengan kanannya lumpuh dengan tulang patah-patah. Kini dia sudah mencabut pit putih dengan tangan kirinya dan bersiap menghadapi lawan-lawan yang amat lihai itu!
Akan tetapi Cui Lin tidak dapat lari karena sepasang kakinya menggigil ketika dia melihat subo-nya mati. Apa lagi ketika dia melihat mayat ayahnya, ibunya, kakeknya berserakan, hampir dia roboh pingsan. Dia hanya berlutut dan menangis sambil memeluk In Hong!
Keadaan Kwi-eng-pang memang kuat sekali. Markas mereka berada di pulau kecil yang letaknya di tengah-tengah Kwi-ouw, sebuah telaga yang besar dan dikurung hutan-hutan pegunungan sehingga bayangan hutan-hutan yang gelap membuat air telaga yang tenang dan dalam itu kelihatan hitam menyeramkan. Karena ini agaknya maka telaga ini disebut Telaga Setan.
Di atas pulau ini didirikan rumah-rumah, memenuhi pulau. Rumah gedung yang mewah di tengah-tengah adalah tempat tinggal Sang Ketua, sedangkan rumah-rumah di sekitarnya ditinggali para pimpinan dan anggota Kwi-eng-pang yang jumlahnya lebih dari dua ratus orang, laki-laki dan wanita.
Selain berlatih silat, para anggota Kwi-eng-pang juga bekerja sebagai nelayan di telaga, juga ada yang bercocok tanam di sekeliling telaga yang memiliki tanah subur, dan ada pula yang berburu binatang di dalam hutan-hutan. Akan tetapi yang menjamin kehidupan mereka hidup mewah dan makmur adalah ‘sumbangan-sumbangan’ dari para penduduk di daerah itu, sumbangan atau ‘pajak’ yang diberikan baik secara suka rela karena takut atau dengan paksaan!
Telaga itu sendiri sebenarnya sangat dalam dan mengandung banyak ikan. Akan tetapi semenjak Kwi-eng Niocu bermarkas di tempat itu belasan tahun yang lalu, keadaan telaga berubah menjadi tempat yang berbahaya sekali. Di sekeliling pulau, di dalam air telaga dipasangi banyak alat rahasia yang membahayakan para pendatang, dan setelah banyak penduduk di sekitar daerah itu yang biasanya mencari ikan di telaga, tewas dalam kedaan mengerikan, kini tidak ada lagi orang berani mendekati telaga itu.
Hanya para anggota Kwi-eng-pang saja yang berani mendayung perahunya di atas telaga karena mereka sudah hafal akan rahasia di sana. Dengan demikian, selain memonopoli semua ikan yang berada di dalam air telaga, juga keadaan markas di pulau itu terlindung kuat, tidak mudah diserbu musuh seperti keadaan sebuah benteng saja layaknya!
Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio adalah seorang wanita berusia lebih dari lima puluh tahun. Selama hidupnya belum pernah menikah sehingga orang-orang yang tak suka kepadanya mengatakan bahwa saking jahatnya maka Ang Hwi Nio menjadi seorang perawan tua!
Tubuhnya masih ramping, agak tinggi, dan biar pun usianya sudah mendekati enam puluh tahun, rambutnya belum ada ubannya sama sekali. Matanya masih terang dan giginya masih utuh tersusun rapi seperti keadaan seorang perawan muda saja! Pakaiannya selalu bersih dan rapi, bagaikan pakaian seorang nyonya bangsawan, juga rambutnya diminyaki dan digelung rapi, dihias emas permata yang mahal-mahal.
Melihat orangnya, yang tidak mengenalnya tentu akan mengira dia seorang wanita yang mulai berangkat menjadi nenek-nenek lemah! Akan tetapi sebenarnya dia adalah seorang yang berilmu tinggi, seorang yang ditakuti dunia kang-ouw.
Bahkan mendengar namanya disebut saja sudah cukup membuat jantung orang berdebar tegang dan bulu tengkuk meremang karena nama ini telah terkenal di mana-mana, telah diketahui semua orang bahwa wanita yang tidak pernah keluar dari pulau itu, sekali keluar tentu akan ada yang tewas di tangannya.
Hebatnya, setiap kali dia turun tangan membunuh orang yang dikehendakinya, tidak ada yang dapat melihatnya, hanya melihat bayangannya serta mendengar suara ketawanya yang halus saja. Karena sepak terjangnya inilah maka dia dijuluki Kwi-eng Niocu (Nona Bayangan Hantu). Disebut nona karena dia masih perawan dan disebut Bayangan Hantu karena yang tampak hanya bayangannya.
Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio tinggal di pulau telaga itu dan hidup sebagai seorang ratu! Rumahnya merupakan gedung indah dan mewah seperti sebuah istana saja, setiap hari dikelilingi pelayan-pelayan cantik dan cara hidupnya royal dan mewah sekali.
Memang Ang Hwi Nio ini tidak pernah menikah. Akan tetapi dia mempunyai seorang anak angkat, sekaligus merupakan murid yang paling pandai. Anak angkat ini bernama Liong Bu Kong, pada waktu itu berusia sembilan belas tahun. Seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah sekali sehingga patut tinggal di dalam istana itu, patut menjadi putera seorang bangsawan, dan amat mengherankan bila pemuda setampan ini menjadi putera seorang iblis betina seperti Kwi-eng Niocu!
Wajah pemuda ini tampan dan bibirnya selalu menyungging senyum dikulum, sepasang matanya bersinar-sinar dan wajahnya selalu berseri-seri. Tapi bagi yang memperhatikan, di balik sinar mata itu terdapat sesuatu yang membuat orang menjadi curiga dan ngeri.
Tidak ada seorang pun yang mengetahui dari mana datangnya pemuda ini. Para anggota Kwi-eng-pang sendiri hanya mengetahui bahwa ketua mereka itu pada waktu datang dan membentuk Kwi-eng-pang sudah membawa seorang anak laki-laki yang bernama Liong Bu Kong, yang menurut pengakuannya adalah anak angkatnya.
Melihat keadaan ini semua, tidak mengherankan apa bila timbul iri dan keinginan di dalam hati Bu Leng Ci. Dia merasa suka tinggal di tempat itu, dan melihat betapa rekannya itu, Ang Hwi Nio, hidup di dalam kemewahan dan kemuliaan, dihormati sebagai ratu oleh dua ratus orang lebih, serta disegani dan ditakuti orang-orang di sekitar daerah itu.
"Tempatmu ini hebat sekali, membuat orang betah berada di sini," kata Bu Leng Ci ketika pada suatu siang dia bersama muridnya duduk berhadapan dengan Ang Hwa Nio di tepi telaga, di dalam sebuah taman buatan yang sangat indah, di bawah pohon yangliu yang bergerak-gerak meliuk-liuk seperti tubuh seorang penari yang lemah gemulai!
"Engkau suka dengan tempat ini?" tanya Kwi-eng Niocu tanpa mengangkat muka karena dia sedang asik memeriksa kuku jari-jari tangannya.
Kukunya panjang-panjang dan terpelihara baik, diberi warna merah muda, dan dipelihara meruncing. Kelihatannya memang bagus dan cantik sekali, akan tetapi dalam pandangan orang kang-ouw tangan dengan kuku jari panjang-panjang menarik itu sama sekali tidak tampak indah menggairahkan, bahkan sebaliknya mendatangkan rasa ngeri karena satu di antara kehebatan ilmu wanita ini terletak pada kukunya yang beracun itu! Jangankan sampai kena dicengkeram, baru tergurat sedikit saja sudah cukup mengirim nyawa lawan ke neraka!
"Kalau memang suka mengapa tidak tinggal di sini saja?"
Bu Leng Ci mengangkat muka, sinar matanya menyambar dan kedua alisnya berkerut.
"Apa maksudmu, Pangcu (Ketua)?" Bu Leng Ci bertanya, dalam suaranya mengandung kemarahan. "Engkau begitu berani memandang rendah kepadaku dan hendak menyuruh aku menjadi kaki tanganmu atau anak buahmu?"
Kwi-eng Niocu Ang Hwa Nio melirik, dan senyum yang menghias bibirnya menyeramkan sekali.
"Siapa yang ingin engkau menjadi anak buahku, Mo-li? Kita adalah rekan dan kedudukan kita setingkat, sungguh pun aku menjadi seorang pangcu dan engkau hanyalah seorang petualang tanpa tempat tinggal. Engkau tadi mengatakan suka kepada tempat ini dan aku menawarkan padamu untuk tinggal di sini, bukan sebagai anak buah, bukan pula sebagai pembantuku, karena engkau memang bukan anggota Kwi-eng-pang."
"Habis, sebagai apa? Tamu? Mana ada tamu tinggal terus-menerus?"
"Juga bukan tamu, tetapi sebagai adik angkat. Maukah?"
Bu Leng Ci bangkit berdiri dan mukanya menjadi merah. Bi Kiok yang sejak tadi duduk mendengarkan dan menonton, diam saja akan tetapi diam-diam dia merasa tegang juga karena kalau sampai gurunya dan Ketua Kwi-eng-pang itu bertanding, tentu hebat bukan main akibatnya.
"Kwi-eng Pangcu! Menjadi adik angkat berarti harus tunduk dan selalu taat kepada kakak angkatnya, berarti sama saja! Apakah dengan memberi tempat tinggal kepadaku harus kubayar dengan tunduk dan taat kepadamu?"
Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio tertawa, suara ketawanya merdu dan halus, akan tetapi ada sesuatu yang amat dingin dan menyeramkan di balik suara tawa ini, seperti suara ketawa seekor ibils betina yang merayu dan menjatuhkan hati orang-orang yang batinnya kurang kuat.
"Siang-tok Mo-li, tepat sekali apa yang kudengar tentang dirimu. Kau amat keras hati dan penuh prasangka. Cocok untuk menjadi adikku! Tentu saja sudah sepatutnya kalau kau menjadi adik angkatku, bukankah aku lebih tua darimu, paling sedikit sepuluh tahun lebih tua? Apa engkau merasa rendah dengan menjadi adik angkat Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, ketua dari Kwi-eng-pang?"
"Betapa pun juga, seorang adik angkat tentu lebih rendah dari kakaknya, dan hal ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan usia."
"Hemm, habis apa yang menentukannya kalau bukan usia? Kau maksudkan kepandaian? Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci, apakah engkau tidak percaya bahwa ilmu kepandaianku lebih tinggi dari pada kepandaianmu?"
"Ahh…, aku tidak percaya!"
Mereka berdua kini sudah berdiri saling berhadapan. Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio sudah lupa akan kukunya, sekarang memandang kepada wanita pendek di depannya itu penuh perhatian.
"Kalau begitu, biarlah kepandaian yang menentukan!"
"Kwi-eng Niocu, aku tidak takut kepadamu! Akan tetapi, sekarang aku diundang ke sini untuk menghadiri pertemuan puncak yang sayangnya gagal. Setelah semua orang pergi, kau menahan aku untuk tinggal beberapa hari di sini. Sepantasnya aku berterima kasih kepadamu dan akan ditertawakan orang apa bila aku sekarang bertanding melawanmu sebagai musuh! Pikirlah baik-baik! Benarkah kita harus saling bermusuh, bukan bersekutu seperti yang direncanakan semula?"
Kembali Kwi-eng-cu Ang Hwi Nio tertawa halus. "Hi-hi-hi, Bu Leng Ci, engkau betul-betul keras seperti baja! Diajak menguji kepandaian, tapi kau anggap bertempur seperti musuh! Kalau kau tidak mau dikalahkan dengan usia, maka jalan satu-satunya untuk menentukan siapa yang patut menjadi kakak dan siapa adik, hanyalah dengan mengukur kepandaian masing-masing!"
Bu Leng Ci mengerutkan alisnya. Sekarang dia mulai mengerti apa yang dikehendaki oleh Ketua Kwi-eng-pang yang aneh ini. Akan tetapi, dia tetap merasa ragu-ragu walau pun dia akan suka sekali tinggal di tempat yang indah itu.
"Tetap saja tidak baik, Pangcu." Dia menggeleng kepala. "Kalau aku kalah atau menang, tidak akan berubah, kita tidak mungkin tinggal terus bercampur menjadi satu di tempat ini. Kalau aku menang, aku tidak mau menjadi Ketua Kwi-eng-pang."
"Di sebelah timur pulau ini ada sebuah pulau lain yang lebih kecil, akan tetapi tidak kalah indahnya. Tempat itu sekarang masih kubiarkan kosong, tetapi kapan saja dapat dijadikan tempat tinggal salah seorang di antara kita."
Sinar mata Bu Leng Ci berseri dan dia menoleh ke kiri. Benar saja, dari tempat yang agak tinggi di taman itu, dia melihat sebuah pulau lain yang penuh dengan pohon-pohon.
"Hemm, kalau begitu, lain lagi persoalannya. Bagaimana kita akan mengukur kepandaian masing-masing? Dengan bertanding? Hemm, besar kemungkinan yang kalah akan tewas seketika!"
Ang Hwi Nio mengangguk. "Kau benar, tidak perlu kita bertanding tanpa sebab dan harus menghadapi bahaya maut secara konyol. Aku mendengar kau memiliki banyak macam ilmu, akan tetapi yang paling terkenal adalah samuraimu itu. Nah, kita berlomba, siapa yang lebih unggul, samuraimu ataukah kuku jariku."
"Pangcu, jangan main-main! Ataukah kau benar-benar memandang rendah samuraiku? Kalau cuma kuku jarimu yang rusak, itu masih tidak apa-apa, bagaimana jika sampai jari tanganmu ikut putus?"
"Hi-hik-hik, kembali kau salah sangka. Jangan membesarkan prasangka. Kataku tadi, kita bukan bertanding, melainkan berlomba. Lihat permukaan air telaga itu, banyak ikan-ikan kecil bukan? Nah, kita berlomba cepat, mana yang lebih cepat menangkap ikan-ikan itu, samuraimu ataukah kuku jariku. Tentu saja hal itu bukan menjadi tanda siapa yang lebih lihai jika bertanding secara sungguh-sungguh, akan tetapi setidaknya dapat dipakai untuk menentukan siapa patut menjadi kakak dan siapa adik."
Bu Leng Ci mengangguk-angguk. Tentu saja dia berani berlomba seperti itu. Betapa pun juga samurainya lebih panjang, maka tentu saja dia akan lebih cepat.
"Kalau sudah ketahuan siapa yang menang bagaimana?"
"Yang menang akan menjadi kakak angkat dan tetap tinggal di pulau ini, yang kalah harus mau menjadi adik angkat dan tinggal di pulau yang lebih kecil. Kita tetap bersaudara."
Apa pun akibatnya, kalah atau menang, tetapi enak dan menyenangkan hati Bu Leng Ci. Andai kata kalah sekali pun, bukanlah hal yang merendahkan untuk menjadi adik angkat Ketua Kwi-eng-pang, bukan berarti menjadi anak buahnya atau menjadi orang yang lebih rendah tingkat kedudukannya!
Betapa pun juga, pengalaman hidupnya yang penuh kepahitan membuat wanita iblis ini selalu penuh prasangka dan amat hati-hati menjaga diri. Maka dia masih belum puas dan belum mau menerima begitu saja sebelum dia mengetahui apa yang menjadi sebabnya maka Ang Hwi Nio sebaik itu kepadanya, malah suka mengangkatnya sebagai saudara.
Dia sudah terbiasa dengan kehidupan kaum sesat, di antara bajak-bajak. Tidak ada satu pun perbuatan yang tidak berdasarkan suatu kehendak atau keinginan demi keuntungan diri sendiri. Perbuatan yang menyimpang dari dasar ini merupakan hal yang tak mungkin, atau tidak lumrah!
"Aku dapat menerima usul itu, Pangcu. Akan tetapi, apa sebabnya engkau ingin menjadi saudara angkatku?"
"Tentu saja ada sebabnya, Mo-li. Akan tetapi jangan khawatir, hal ini bukan hanya untuk kepentinganku pribadi, akan tetapi juga keuntunganmu, keuntungan kita berdua sebagai dua orang wanita yang sama-sama membenci pria."
"Ehh? Apa maksudmu?"
"Dengarlah baik-baik. Pada waktu sekarang ini, di dunia kita hanya ada lima orang datuk, bukan? Dua di antaranya adalah kita, dan yang tiga lagi semua pria. Menurut pendapatku, tingkat kepandaian kita berlima seimbang dan mungkin sekali tingkat kepandaian dua di antara mereka, Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong, sedikit lebih tinggi. Sekali waktu di antara kita tentu akan timbul perebutan untuk diakui sebagai nomor satu, yang akan menjadi pemimpin, dan agaknya seorang di antara mereka itu tentu akan menang. Akan tetapi, kalau kita menjadi enci dan adik angkat, dengan maju berdua, siapakah di antara mereka bertiga yang akan mampu mengalahkan kita? Mengertikah kau?"
Bu Leng Ci mengangguk-angguk dan diam-diam memuji kecerdikan Ketua Kwi-eng-pang itu. Memang akan sial sekali kalau sampai seorang pria menjadi pimpinan kelima orang datuk. Harus tunduk kepada seorang pria. Tidak sudi! Namun melawan seorang diri akan berat sekali.
"Akan tetapi, bagaimana kalau mereka pun bersatu seperti kita?"
"Tidak mungkin! Mereka bertiga bersaing, mana mau bersatu! Nah, bagaimana? Maukah engkau menjadi saudara angkatku?"
"Baik, mari kita mulai berlomba!"
Kedua orang wanita sakti itu lalu berdiri di tepian pulau, memandang ke arah air telaga, menanti munculnya ikan-ikan kecil yang kadang kala bermain-main di permukaan air dan kadang-kadang tenggelam. Bi Kiok juga berdiri dan menonton dengan wajah tak berubah, biar pun diam-diam dia merasa girang juga akan keputusan gurunya.
Dia pun sudah bosan diajak merantau terus, tidak tentu tempat tinggalnya, kadang kala tidur di atas pohon, di kuil-kuil kotor. Tempat tinggal itu memang indah dan dia suka sekali tinggal di situ.
Ketika ikan-ikan mulai muncul di permukaan air telaga, Ang Hwi Nio berkata lirih. "Nah, kita mulai sebelum mereka menyelam kembali. Mari!"
Bu Leng Ci dan Ang Hwi Nio meloncat dengan berbareng. Dengan gerakan kilat Bu Leng Ci telah mencabut samurainya dan setelah tubuhnya tiba di atas tempat di mana ikan-ikan berenang, samurainya berkelebat seperti kilat menyambar ke permukaan air. Ang Hwi Nio berjungkir balik, kepala di bawah dan sepasang lengannya bergerak cepat sekali hingga sukar diikuti pandang mata, mencengkeram ke arah air.
Ikan-ikan itu tentu saja kaget dan segera menyelam kembali. Dengan gerakan berputar di udara, dua orang wanita sakti itu dapat melayang kembali ke tepi pulau. Gerakan mereka bagaikan burung walet beterbangan, indah dan sangat cepat membuat Bi Kiok terbelalak kagum.
"Hemm, lihat berapa ikan yang mampus oleh samuraiku!" Bu Leng Ci berkata bangga dan sebelum kakinya menginjak tanah, samurainya telah bersarung kembali.
"Satu-dua-tiga... aihhh, ada sepuluh ekor yang mati terbelah. Kepandaianmu amat hebat, Moi-moi. Pasti aku akan berpikir panjang lebih dulu sebelum melawan samuraimu dalam pertempuran!" Ang Hwi Nio berkata sesudah menghitung bangkai-bangkai ikan yang telah mengambang di permukaan air dengan tubuh terpotong menjadi dua!
"Apa?! Kau menyebutku moi-moi (adik perempuan)!" Bu Leng Ci menegur penasaran.
Ang Hwi Nio tertawa halus kemudian memperlihatkan sepasang tangannya yang tadi dia sembunyikan di belakang tubuhnya. Sepasang mata Bu Leng Ci memandang terbelalak, melihat betapa kesepuluh buah kuku jari itu masing-masing sudah menusuk seekor ikan, dan ikan-ikan itu telah berubah mengering seperti dibakar!
"Bukan main! Engkau hebat! Akan tetapi, engkau pun hanya mampu membunuh sepuluh ekor, tidak lebih banyak dan aku!" Bu Leng Ci menegur.
Ang Hwi Nio menggerakkan kedua tangannya, maka kesepuluh ekor ikan itu terlempar kembali ke atas air telaga, mengambang dekat ikan-ikan yang menjadi korban samurai Bu Leng Ci.
"Benar, kita masing-masing membunuh sepuluh ekor. Akan tetapi aku dapat membawa ikan-ikan itu ke darat. Apakah kau tadi juga sanggup untuk membawa korban-korbanmu ke darat? Bukankah hal itu berarti bahwa aku masih menang cepat sedikit dibandingkan denganmu, Moi-moi?"
Bu Leng Ci tidak dapat membantah kebenaran ucapan itu, maka dia segera menjura dan berkata, "Engkau benar, Ang-cici (Kakak Perempuan Ang). Aku mengaku kalah dan aku senang sekali menjadi adik angkatmu. Bi Kiok, ayo lekas kau memberi hormat kepada bibi gurumu!"
Yo Bi Kiok yang semenjak tadi menyaksikan itu semua, lalu melangkah maju menghadapi Ketua Kwi-eng-pang itu, memberi hormat dengan berlutut dan berkata, "Su-i!"
Ang Hwi Nio tertawa girang. "Berdirilah, Nak. Muridmu ini manis sekali, Bi-moi. Siapakah namamu?"
"Nama teecu (murid) Yo Bi Kiok, Su-i"
"Bagus, engkau akan menjadi teman baik puteraku. Kau terimalah hadiahku ini, Bi Kiok." Wanita itu meloloskan hiasan rambutnya yang terbuat dari batu kemala berbentuk burung Hong dan memberikannya kepada Bi Kiok.
Tentu saja Bi Kiok girang sekali, menerima benda berharga itu dengan kedua tangan dan menghaturkan terima kasih. Melihat betapa Bi Kiok hanya memegangi benda itu sambil memandang dengan mata bersinar-sinar, Ang Hwi Nio tertawa.
"Giok-hong-cu (Burung Hong Kemala) itu bukan untuk dipegang, melainkan untuk hiasan rambut atau baju di dada. Sini, kupakaikan di rambutmu!"
Bi Kiok maju berlutut dan Ang Hwi Nio memasangkan benda itu di atas kepala Bi Kiok. Kemudian dara itu disuruhnya berdiri.
"Lihat, muridmu menjadi makin cantik saja, Bu-moi!"
Bu Leng Ci tersenyum bangga dan kedua orang wanita sakti itu merasa girang karena kini mereka berdua dapat menjagoi di dunia kaum sesat, tidak takut lagi menghadapi seorang di antara datuk, yang mana pun juga!
Sebuah rumah yang cukup indah lalu dibangun di pulau kecil sebelah timur untuk tempat tinggal Bu Leng Ci beserta muridnya. Dan Bu Leng Ci yang merasa berterima kasih lalu menceritakan semua pengalamannya kepada kakak angkatnya, juga menuturkan tentang bokor emas dan mengenai suami isteri lihai yang dijumpainya di tepi sungai Huang-ho di lereng pegunungan Lu-liang-san.
Ketika Liong Bu Kong yang pergi memburu binatang bersama beberapa orang anggota Kwi-eng-pang pulang dan bertemu dengan Bu Leng Ci dan Bi Kiok, dia merasa terheran dan menjadi girang mendengar bahwa Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang namanya sudah dikenalnya sebagai seorang di antara lima datuk itu kini telah menjadi adik angkat ibunya!
Lebih gembira lagi hatinya melihat Yo Bi Kiok yang cantik manis. Dara remaja itu sudah menjadi saudara misannya, walau pun hanya saudara angkat! Akan tetapi sikap Bi Kiok yang selalu berwajah dingin dan amat pendiam itu mengecewakan hati Bu Kong sehingga pemuda ini membuang niatnya untuk mengajak dara remaja itu main-main dengannya.
Beberapa hari kemudian, Kian Ti dan keempat temannya yang mentaati permintaan Bu Leng Ci pergi mencari suami isteri yang bernama Yap Cong San dan Gui Yan Cu, kembali ke pulau itu dengan tangan hampa. Mereka tidak berhasil menemukan suami isteri yang dicarinya itu. Mereka juga gembira sekali ketika mendengar bahwa Siang-tok Mo-li yang terkenal itu sekarang menjadi adik angkat ketua mereka. Hal ini berarti bahwa kedudukan mereka lebih kuat lagi sungguh pun adik angkat ketua mereka itu tidak menjadi anggota Kwi-eng-pang.
Namun, beberapa bulan kemudian, pulau kecil yang dijadikan tempat tinggal Bu Leng Ci itu menjadi tempat yang menyeramkan dan menakutkan bagi para anggota Kwi-eng-pai karena wanita itu terkenal sebagai pembenci pria sehingga tiada yang berani mendekati pulau! Bahkan Liong Bu Kong sendiri pun tidak berani mendekat.
Hanya Kwi-eng Pangcu saja yang berani mengunjungi adik angkatnya. Dan apa bila ada keperluan mengantarkan sesuatu, Kwi-eng Pangcu akan mengutus pelayan atau anggota Kwi-eng-pang yang wanita. Dia sendiri pun tidak suka kepada pria, akan tetapi tidaklah membenci mati-matian seperti Bu Leng Ci.
Dia sudah merasa puas melihat para pria menjadi muridnya, menjadi anak buahnya, dan menjadi kaki tangannya yang setia dan selalu taat padanya. Yang tidak disukainya adalah apa bila pria itu menguasainya atau lebih tinggi tingkatnya dari pada dia. Karena ini pula maka dia sengaja menarik Bu Leng Ci sebagai adik angkat sehingga merasa kuat untuk menghadapi tiga orang di antara kelima datuk.
Kurang lebih dua tahun lamanya Bu Leng Ci bersama muridnya menjadi penghuni pulau kecil itu. Kini Bi Kiok telah menjadi seorang dara yang cantik manis, berusia enam belas tahun, akan tetapi makin tampak sikapnya yang dingin dan wataknya yang amat pendiam.
Hadiah dari Kwi-eng Niocu berupa hiasan rambut burung hong kemala menjadi benda kesayangannya yang tak pernah terpisah dari rambutnya atau bajunya. Bu Leng Ci yang menyayangi dara itu bukan hanya sebagai murid tunggal, bahkan bagaikan anak sendiri, menurunkan semua ilmunya kepada Yo Bi Kiok sehingga setelah selama tujuh tahun lebih menjadi muridnya, dara itu kini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
Pada suatu pagi, seorang pelayan wanita dari Kwi-eng Niocu menyampaikan undangan ketua ini kepada Bu Leng Ci. Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci segera berangkat dengan jalan menumpang perahu kecil pelayan itu bersama Bi Kiok, menghadap kakak angkatnya.
"Seorang anggota kita sudah menemukan suami isteri yang pernah kau sebut dahulu itu!" Ang Hwi Nio menyambut kedatangan adik angkatnya dengan pemberi tahuan ini, dengan suara penuh ketegangan. "Dan isterinya yang menurut katamu dulu sudah terkena Siang-tok-soa, ternyata tidak mati"
"Ah, kalau begitu kita harus dapat menawan mereka. Mereka adalah ayah bunda dari Yap Kun Liong yang tahu di mana adanya bokor emas!"
"Perlukah itu? Menurut ceritamu, yang tahu mungkin sekali hanyalah bocah itu, dan perlu apa menawan orang tuanya?"
"Apa bila kita menawan orang tuanya, tentu kelak anak itu muncul. Sukar sekali mencari bocah setan itu. Sudah bertahun-tahun aku mencari tanpa hasil, Ang-ci."
"Mungkin karena selamanya kau belum pernah bertemu dengan anak itu, bagaimana bisa mencarinya?"
"Memang aku belum pernah bertemu dengannya, akan tetapi Bi Kiok tentu akan dapat mengenal mukanya."
Diam-diam jantung Bi Kiok berdebar tegang. Tentu saja dia akan mengenal Kun Liong si gundul itu, dan gurunya pun pernah bertemu dengan Kun Liong, akan tetapi gurunya tidak tahu bahwa anak itulah yang kini mereka cari-cari. Entah bagaimana, dia tidak tega untuk mencelakakan anak itu, bahkan kini dia merasa tidak enak sekali mendengar bahwa ayah bunda Kun Liong hendak ditawan.
Akan tetapi ia diam saja, hanya menjawab karena dua orang wanita sakti itu memandang padanya penuh pertanyaan. "Tentu saja teecu akan mengenalnya kalau bertemu dengan Kun Liong."
"Biarlah aku mengutus enam orang murid kepala untuk menangkap mereka. Kita harus menjaga nama. Tidak perlu aku turun tangan sendiri menghadapi orang-orang yang tidak terkenal seperti mereka. Aku akan mengundang mereka, kalau mereka tidak mau, barulah orang-orangku akan menawan mereka. Menurut keterangan penyelidik, sekarang mereka tinggal di Puncak Cemara di Lu-liang-san."
Bu Leng Ci hendak mencegah, mengingat bahwa suami isteri itu lihai sekali. Akan tetapi dia tidak jadi membuka mulutnya sebab tentu saja dia tidak mau menceritakan betapa dia sendiri tak dapat mengalahkan mereka. Biarlah kakak angkatnya ini membuktikan sendiri setelah mengirim murid-muridnya.
Demikianlah, enam orang laki-laki setengah tua yang merupakan murid-murid kepala dari Kwi-eng Niocu dan tokoh-tokoh Kwi-eng-pang, berangkat ke Lu-liang-san yang tidak jauh dari Kwi-ouw, hanya makan waktu satu hari perjalanan.
********************
Seperti telah kita ketahui, Yap Cong San bersama isterinya berada di Puncak Cemara di Pegunungan Lu-liang-san. Gui Yan Cu sudah sembuh sama sekali dari luka akibat pasir beracun, dan tidak lama kemudian setelah sembuh, dia mengandung sehingga terpaksa mereka memperpanjang waktu untuk tinggal dahulu di tempat yang indah menyenangkan itu.
Pada waktu itu, kandungan Yan Cu berusia dua bulan. Suami isteri yang berbahagia itu sedang duduk berdua di atas rumput, tak jauh dari pondok mereka, memandang ke arah bawah di mana tampak pemandangan yang mempesonakan.
"Ahhh…, betapa rinduku kepada dunia di bawah sana," Yan Cu menarik napas panjang. "Betapa rinduku kepada Kun Liong, kepada Cia Keng Hong-suheng dan Enci Biauw Eng. Betapa rinduku kepada masakan-masakan kota yang lezat... aaihh..."
Cong San meraih pundak isterinya lantas memeluknya, hatinya terharu dan dia merasa kasihan sekali pada isterinya. "Jangan khawatir, isteriku. Kita tinggal dulu di sini sampai engkau melahirkan. Keadaan seperti sekarang ini tentu saja amat tidak baik kalau engkau melakukan perjalanan jauh, apa lagi dengan adanya banyak bahaya di tengah perjalanan. Sesudah nanti anak kita cukup kuat, kira-kira setahun, kita pergi meninggalkan tempat sunyi ini, langsung ke Cin-ling-san."
"Ke tempat Suheng?"
"Ya. Engkau dan anak kita yang masih kecil biar tinggal dengan isterinya, sedangkan aku akan minta bantuan Keng Hong untuk bersamaku mencari Kun Liong. Dengan bantuan Keng Hong, mustahil kalau aku tidak akan dapat menemukan anak itu."
Yan Cu menarik napas lega. "Aahhh, anak nakal itu! Tentu akan dapat ditemukan kalau Suheng membantumu. Ingin aku mendengar apa yang akan dikatakan Kun Liong kalau berada di depanku setelah dia pergi selama tujuh tahun ini..."
Tiba-tiba saja tangan Cong San yang merangkul pundak isterinya itu menegang. Yan Cu merasakan ini dan keduanya menoleh.
"Ada orang..." bisik Cong San. Mereka sudah berdiri ketika enam orang laki-laki setengah tua itu tiba di situ.
"Apakah kalian yang bernama Yap Cong San dan Gui Yan Cu?" Salah seorang di antara mereka bertanya, suaranya kasar dan nyaring.
Cong San dan Yan Cu bersikap tenang, mengira bahwa tentu orang-orang ini petugas pemerintah yang hendak menangkap mereka berhubung dengan urusan Ma-taijin di kota Leng-kok tujuh tahun yang lalu.
"Sayalah yang bernama Yap Cong San dan ini isteri saya Gui Yan Cu. Siapakah Cuwi (Tuan Sekalian) dan ada perlu apakah mencari kami?" Cong San menjawab dengan sikap masih tenang sekali karena dia tidak menyangka akan terjadi hal yang tidak baik.
Apa bila benar mereka itu orang-orang pemerintah, urusannya dengan Ma-taijin bukanlah urusan besar. Dan mustahil kalau untuk urusan begitu saja dan setelah lewat tujuh tahun masih akan dibesar-besarkan.
"Kami melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh pangcu kami untuk mengundang Ji-wi menghadap pangcu."
Berkerut alis Cong San dan Yan Cu. Jika bukan orang pemerintah, tentu akan terjadi hal yang gawat.
"Siapa pangcu (ketua) kalian?" Cong San bertanya, hatinya mulai tegang dan dia bersikap waspada menghadapi segala kemungkinan buruk.
"Kami dari Kwi-eng-pang di Telaga Kwi-ouw. Harap Ji-wi ikut bersama kami menghadap Pangcu sekarang juga!"
"Kami berdua tidak pernah mengenal pangcu dari Kwi-eng-pang. Ada keperluan apakah ketua kalian dengan kami?"
"Hal ini bukan urusan kami! Tentu ada urusan penting maka Pangcu memanggil kalian," jawab pemimpin rombongan itu dengan suara tak sabar.
Cong San dapat menduga bahwa tentu keselamatan mereka berdua takkan terjamin bila dia bersama isterinya pergi mengunjungi ketua kaum sesat yang sudah sangat terkenal di dunia kang-ouw itu. Lagi pula, dia tidaklah sedemikian bodohnya untuk datang memasuki goa harimau.
"Maaf, Cuwi. Karena kami tidak mengenal Kwi-eng Pangcu dan tidak mempunyai urusan dengannya, kalau memang pangcu kalian ada urusan dengan kami, harap dia datang saja ke sini untuk bicara."
Tiba-tiba keenam orang itu merobah sikap, tidak seramah tadi. Pandangan mata mereka mengandung kemarahan dan seorang di antara mereka lalu berseru, "Manusia sombong! Berani membantah perintah Pangcu?"
"Kawan-kawan, maju!"
"Kalian mau apa?" Yan Cu membentak marah dan tangannya meraba gagang pedang.
"Ini perintah Pangcu, kalau kalian mau menghadap, baik. Kalau tidak mau, terpaksa kami mempergunakan kekerasan menawan kalian!"
"Singggg…!”
“Keparat, kalian mengira begitu mudah?" Yan Cu telah mencabut senjata pedangnya dan hendak menerjang maju, akan tetapi tiba-tiba suaminya menyentuh lengannya.
"Tidak perlu menyerang. Biarkan mereka yang bergerak, kita lihat saja sampai di mana kepandaian manusia-manusia sesat ini."
Suami isteri itu berdiri beradu punggung, sikap mereka tetap tenang walau pun mereka marah sekali. Yan Cu berdiri dan bersiap dengan pedang di tangan, sedangkan Cong San sudah mengeluarkan sepasang Im-yang-pit dan memegangnya dengan kedua tangannya. Dia tadi melarang isterinya bergerak, karena sangat tidak baik bagi kandungan isterinya kalau banyak mengerahkan sinkang.
Keenam orang anggota Kwi-eng-pang itu sudah mulai mengurung. Terdengar suara yang menyeramkan pada saat mereka itu menggerak-gerakkan senjata mereka yang beraneka macam itu. Melihat betapa kedua orang suami isteri itu mengeluarkan senjata dan hendak melawan, mereka gembira sekali dan juga tidak menyangka-nyangka.
Ketua mereka hanya memberi perintah untuk menangkap dan tidak memberi tahu bahwa suami isteri itu akan melawan. Kalau mereka tidak melawan, tentu mereka hanya akan menawan mereka dan tidak akan mengganggu mereka. Tapi sekarang mereka mendapat kesempatan untuk memperlihatkan kepandaian dan menawan suami isteri yang melawan itu setelah melukai mereka.
Betapa pun juga, enam orang itu bukanlah orang sembarangan, melainkan murid-murid pilihan dari Kwi-eng Niocu dan mereka telah berpengalaman dalam banyak pertandingan. Melihat sikap dan cara suami isteri itu menghadapi mereka, mereka pun dapat menduga bahwa suami isteri itu ‘berisi’, maka tanpa sungkan-sungkan lagi karena di tempat sunyi itu tidak ada orang lain, mereka serentak maju berenam, mengeroyok!
Terdengarlah suara nyaring hiruk-pikuk ketika mereka menerjang maju, suara beradunya senjata mereka yang terpental ke sana-sini, ditambah suara teriakan mereka yang penuh kekagetan sebab dalam beberapa gebrakan saja, selain senjata mereka terlempar kian ke mari, juga mereka roboh malang-melintang. Empat orang roboh terluka oleh sepasang pit di tangan Cong San, sedangkan dua orang lagi roboh dengan terluka paha dan pundak mereka oleh kilatan pedang di tangan Yan Cu! Semua ini terjadi tanpa suami isteri itu pindah dari tempat mereka!
Dapat dibayangkan betapa kaget hati enam orang itu. Muka mereka pucat dan mereka memandang dengan mata terbelalak, maklum bahwa kalau kedua orang suami isteri itu menghendaki, pada lain saat mereka semua tentu akan dapat terbunuh dengan mudah. Mengertilah sekarang mereka bahwa jangankan menghadapi suami isteri itu, walau pun menghadapi seorang di antara mereka saja, mereka berenam tak akan mampu menang!
"Pergilah kalian dari sini!" Cong San membentak dengan sikap kereng. "Katakan kepada pangcu kalian bahwa karena kami tidak mempunyai urusan dengan dia, maka kami tidak membunuh kalian dan kami tidak dapat pergi menemuinya. Nah, pergilah cepat!"
Enam orang itu merangkak bangun dan dengan penuh rasa syukur karena tidak dibunuh, mereka itu saling membantu dan pergi secepat mungkin meninggalkan tempat itu.
Cong San dan Yan Cu saling pandang, masih merasa penasaran dan juga terheran-heran mengapa secara tiba-tiba mereka itu dimusuhi oleh Kwi-eng-pang. Padahal belum pernah mereka berurusan dengan Kwi-eng-pang, bahkan belum pernah berjumpa dengan ketua Kwi-eng-pang yang tersohor itu. Mereka tahu bahwa Ketua Kwi-eng-pang adalah Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio yang kabarnya adalah seorang di antara lima datuk kaum sesat yang terkenal sebagai manusia-manusia iblis.
"Kita harus pergi dari sini sekarang juga," kata Cong San. "Mereka itu berbahaya. Kalau tadi mereka tidak memandang rendah terhadap kita, agaknya belum tentu kita sanggup mengusir mereka dalam waktu singkat. Kepandaian mereka rata-rata cukup tangguh."
"Aku tidak takut!" Yan Cu berkata. "Masa kita harus melarikan diri dari mereka? Biar pun Kwi-eng Niocu si iblis betina sendiri yang datang, akan kuhadapi dia!"
Cong San cepat merangkul isterinya. "Aku percaya, isteriku. Memang kita tak usah takut menghadapi kaum sesat. Akan tetapi kau harus ingat bahwa selagi engkau mengandung, tidak semestinya kita melibatkan diri dalam pertandingan-pertandingan berat. Hal itu amat berbahaya bagi kandunganmu. Ingat, ketika dahulu kita bertemu dengan Siang-tok Mo-li seorang di antara lima datuk itu, kau terluka. Apa lagi kabarnya Kwi-eng Niocu lebih jahat dan lihai. Bukan aku takut, tetapi karena mengingat akan kandunganmu dan keadaanmu, sebaiknya kali ini kita mengalah. Mudah saja kalau kelak kita mencari Kwi-eng Niocu dan menghajarnya atas kelakuannya hari ini! Marilah, sayang."
Untuk kesekian kalinya, Yan Cu tidak dapat membantah. Biar pun hatinya penuh dengan rasa penasaran dan kemarahan, terpaksa dia menurut, pergi meninggalkan tempat itu, menuju ke utara. Setelah melakukan perjalanan hampir sebulan dengan lambat dan amat hati-hati mengingat kandungan Yan Cu, akhirnya mereka tiba di kota Tai-goan dan di sini Cong San mengajak Yan Cu singgah di rumah seorang kenalannya.
Seorang laki-laki tua berusia lebih dari enam puluh tahun menyambut kedatangan mereka dengan ramah. Kakek yang berusia hampir tujuh puluh tahun ini bertubuh tinggi kurus dan rambutnya sudah putih semua, namun masih kelihatan gesit dan kuat. Dia ditemani oleh seorang nyonya berusia empat puluhan tahun, serta seorang laki-laki suami nyonya itu yang usianya hampir lima puluh tahun. Tiga orang ini menyambut mereka dan Si Kakek Rambut Putih segera berseru girang,
"Ahh, kiranya Yap-enghiong yang datang! Biar pun hampir dua puluh tahun tidak jumpa, saya tidak akan pangling (lupa) kepadamu!"
Yap Cong San cepat memberi hormat dan berkata, "Terima kasih atas kebaikan Theng-ciangkun (Perwira Theng) dan maaf atas kedatangan kami yang tiba-tiba tanpa memberi tahu lebih dahulu ini. Ini adalah isteri saya."
Kakek itu cepat membalas penghormatan Yan Cu dan berkata, "Ahh, Nyonya Muda, kau kelihatan lelah sekali. Silakan masuk saja beristirahat! Ceng-ji (Anak Ceng), kau ajaklah Nyonya Yap untuk beristirahat di dalam." Kakek itu memperkenalkan nyonya itu sebagai puterinya, dan laki-laki itu sebagai mantunya yang bernama Tan Hoat.
Dengan ramah-tamah nyonya yang bernama Ceng itu menggandeng tangan Yan Cu dan diajak masuk ke dalam. Kemudian Kakek Theng bersama mantunya mempersilakan Cong San duduk di ruangan dalam sambil menyuruh pelayan menghidangkan minuman. Setelah hidangan disuguhkan dan mereka sudah minum teh, Cong San menghela napas panjang lalu berkata,
"Saya harap Theng-ciangkun suka maafkan. Kali ini terpaksa saya hendak minta bantuan Ciangkun, yaitu supaya memperbolehkan saya bersama isteri saya tinggal di sini sampai isteri saya melahirkan. Tentu saja kalau Ciangkun tidak keberatan."
Kakek itu kelihatan terkejut dan heran. Dia pun maklum bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat menimpa keluarga pendekar bekas murid Siauw-lim-pai ini, yang hanya dikenalnya sepintas lalu akan tetapi telah diketahui kegagahannya itu. Dia tahu pula bahwa pendekar ini adalah sahabat baik sekali dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang dikaguminya.
Maka tanpa ragu-ragu dia menjawab, "Tentu saja boleh dan sama sekali tidak keberatan! Kami hanya tinggal berempat di rumah besar ini, yaitu saya sendiri, anak perempuan dan mantu saya ini, dan seorang cucu perempuan. Selain itu, hanya ada dua orang pelayan. Masih ada kamar untuk engkau dan isterimu, Yap-enghiong dan kami semua menyambut kedatanganmu dengan hati gembira. Saya bukan seorang perwira pengawal lagi, sudah beberapa tahun mengundurkan diri karena usia tua. Akan tetapi... kalau saja saya boleh bertanya, bagaimanakah engkau dan isterimu sampai tiba di sini dan... dan... selama ini tinggal di mana? Sudah lama saya tidak pernah bertemu dengan Cia Keng Hong taihiap yang kabarnya sekarang berada di Cin-ling-san sehingga tak dapat bertanya pula tentang keadaanmu."
Cong San menarik napas panjang, kemudian dengan singkat ia menceritakan riwayatnya yang lalu. Betapa dia terkena urusan dengan Ma-taijin dan puteranya hilang, dan betapa dalam mencari puteranya itu mereka mengalami banyak hal yang berbahaya, sedangkan puteranya masih belum dapat ditemukan.
"Tadinya kami akan tinggal terus di puncak Pegunungan Lu-liang-san, akan tetapi siapa kira, muncul mala petaka lain, yaitu orang-orang Kwi-eng-pang." Ia menceritakan tentang kedatangan enam orang Kwi-eng-pang, kemudian menambahkan, "Jika tidak cepat-cepat pergi, tentu mereka itu akan datang lagi bersama lebih banyak teman dan ketua mereka. Bukannya kami takut, akan tetapi... isteri saya sedang mengandung, maka lebih baik kami mengalah dan pergi. Ketika kami tiba di kota ini, saya teringat kepada Theng-ciangkun dan timbul pikiran saya untuk minta pertolongan Ciangkun."
Kakek itu bengong mendengarkan penuturan itu, kadang kala mengangguk-angguk tetapi ada kalanya menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian dia berkata, "Harap tenangkan hatimu, Yap-enghiong. Biarlah isterimu beristirahat di sini sampai melahirkan. Dan kalau kawanan penjahat Kwi-eng-pang berani mengganggu ke sini, hemmm... ruyungku belum berkarat dan aku ingin sekali merasai kelihaian Kwi-eng Niocu yang kabarnya seperti iblis betina itu!"
Cong San menghaturkan terima kasih dan tersenyum kagum mendengar ucapan yang bersemangat itu. Kakek she Theng itu bernama Theng Kiu, bekas pengawal yang setia sekali dari Kaisar Yung Lo semenjak kaisar itu belum menjadi kaisar seperti sekarang dan masih menjadi raja muda di utara.
Dahulu, Theng Kiu ini terkenal dengan senjata ruyungnya sehingga dia dijuluki Kim-pian (Si Ruyung Emas), dan ilmu kepandaiannya, sungguh pun tidak terlampau tinggi, namun sudah menempatkan dia di golongan orang-orang gagah. Menurut penafsiran Cong San kalau dia tidak salah ingat, Kakek Theng ini mungkin tidak akan kalah oleh seorang di antara enam orang Kwi-eng-pang yang menyerangnya di Lu-liang-san.
Demikianlah, mulai hari itu, Cong San dan isterinya tinggal menumpang di rumah bekas perwira pengawal Theng Kiu. Suami isteri itu merasa bersukur dan berterima kasih sekali. Kakek Theng sangat ramah, akan tetapi juga puterinya dan mantunya, suami isteri Tan Hoat, amat baik terhadap mereka. Bahkan puteri suami isteri ini yang bernama Tan Cui Lin, seorang dara berusia lima belas tahun yang manis, juga bersikap menyenangkan.
Untuk membalas kebaikan tuan rumah, Cong San berkenan melatih ilmu silat kepada Tan Cui Lin yang sebagai cucu tunggal kakek Theng, tentu saja sudah pernah mempelajari dasar-dasarnya sejak kecil. Karena ini, Tan Cui Lin menyebut ‘suhu’ kepada Cong San, dan ‘subo’ kepada Yan Cu.
Sambil menanti isterinya melahirkan, selain melatih ilmu silat kepada muridnya, juga Cong San mulai ‘membuka praktek’ pengobatan di Tai-goan. Mula-mula dia dikenalkan kepada kawan-kawan Kakek Theng, kemudian dalam waktu beberapa bulan saja namanya telah terkenal sehingga setiap hari ada saja yang datang minta resep obat kepadanya. Dengan adanya sedikit penghasilan ini, agak lega hati Cong San karena dia menyerahkan semua hasil ini kepada keluarga Kakek Theng yang telah menampung mereka.
Waktu berjalan dengan cepatnya dan beberapa bulan kemudian Yan Cu telah melahirkan seorang anak perempuan dengan selamat di rumah keluarga Theng Kiu. Mereka memberi nama Yap In Hong kepada anak itu.
Atas bujukan dan nasehat Kakek Theng, karena pekerjaan Cong San mulai maju dan sudah banyak penduduk yang menjadi langganannya, dengan menjual semua perhiasan yang masih dimiliki Yan Cu, ditambah dengan simpanan sedikit-sedikit selama ini, dan dibantu pula oleh Kakek Theng, Cong San membeli sebidang tanah di Tai-goan.
Di atas tanah itu telah ada bangunannya, akan tetapi bangunan kuno yang sudah hampir ambruk. Oleh karena itu, mulailah dia membangun kembali rumah itu dan setiap hari dia pergi memimpin para tukang untuk memperbaiki rumah yang dibelinya. Dia dan isterinya sudah mengambil keputusan untuk tinggal di Tai-goan!
Yang membantunya adalah Tan Hoat, dan kadang-kadang muridnya, Cui Lin, datang pula membantu, mengatur ini dan itu, membersihkan dan mengatur kebun di belakang rumah, menanami kembang-kembang. Membangun kembali rumah yang rusak itu makan waktu berbulan-bulan, dan In Hong sudah menjadi seorang anak yang mungil dan sehat berusia setengah tahun lebih ketika akhirnya rumah itu siap untuk ditempati.
Pada hari terakhir itu, Cui Lin turut membantu suhu-nya membersihkan rumah baru serta mengatur perabot rumah sederhana dengan penuh kegembiraan. Dara ini sayang sekali kepada suhu dan subo-nya, dan merasa beruntung menjadi murid seorang yang berilmu tinggi seperti mereka. Baru belajar setahun lebih saja, dia sudah memperoleh kemajuan hebat, dan hal ini dikatakan secara jujur oleh kakeknya sendiri.
"Ketahuilah, cucuku. Gurumu itu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang berilmu tinggi, murid dari manusia sakti Tiong Pek Hosiang. Subo-mu juga bukan orang sembarangan karena dia itu masih sumoi dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang kini menjadi Ketua Cin-ling-pai di Cin-ling-san. Maka kau belajarlah baik-baik dan dalam beberapa tahun lagi kakekmu ini sudah tidak akan kuat melawanmu."
Maka gembira sekali hati Cui Lin setelah suhu dan subo-nya mengambil keputusan untuk tinggal di Tai-goan. Dengan demikian berarti dia akan dapat belajar terus. Dia membantu suhu-nya memberes-bereskan rumah baru itu dari pagi sampai lewat tengah hari. Besok pagi keluarga suhu-nya sudah akan pindah ke rumah baru ini.
"Cui Lin, kau lanjutkanlah memberesi kamar ini dengan Phoa-ma (nama pelayan wanita), aku akan kembali dulu ke rumah kakekmu."
"Baiklah, Suhu. Serahkan saja kepada teecu dan Phoa-ma, tentu sore nanti telah selesai," jawab dara itu gembira.
Akan tetapi hati Cong San tidak segembira biasanya ketika dia meninggalkan rumah baru itu. Entah mengapa, hatinya terasa tidak enak, padahal dia tidak terganggu sesuatu. Ada dorongan di hatinya agar dia cepat pulang ke rumah Kakek Theng. Menurutkan dorongan hatinya ini, tergesa-gesa Cong San kembali ke rumah keluarga Theng yang berada di sebelah selatan kota, agak jauh dari rumah baru itu.
Tidaklah mengherankan kalau hati Yap Cong San merasa tidak enak sekali karena pada saat dia membersihkan rumah baru bersama muridnya dan seorang pelayan merangkap pengasuh anaknya, di rumah keluarga Kakek Theng terjadi malapetaka yang hebat sekali!
Pada waktu itu, Yan Cu dengan hati gembira sekali sedang berkemas karena besok pagi mereka akan pindah ke rumah baru. Hatinya gembira sekali dan sudah banyak rencana di dalam hatinya. Dia akan berusaha membuka toko obat lagi di Tai-gon dan di kota besar ini tentu dia dan suaminya akan mendapat kemajuan jauh lebih besar dari pada di kota Leng-kok. Setelah In Hong agak besar dan keadaannya di rumah baru menjadi baik, dia akan mengajak suaminya pergi ke Cing-ling-san untuk meminta bantuan suheng-nya, Cia Keng Hong agar bersama suaminya mencari Kun Liong.
Betapa akan bahagianya kalau Kun Liong masih hidup dan dapat berkumpul lagi dengan ayah bundanya. Tentu puteranya itu telah besar, telah dewasa! Sudah tujuh belas tahun tentu usianya! Dan betapa wajah puteranya itu akan penuh keheranan melihat adiknya!
Tiba-tiba dia mendengar teriakan Kakek Theng, "Nyonya mantu! Lari...!"
Dia terkejut sekali. Yang disebut nyonya mantu adalah dia, karena suaminya telah diakui sebagai anak angkat Kakek Theng. Mendengar suara teriakan yang penuh kegelisahan dari kakek itu, kemudian mendengar betapa suara teriakan itu mendadak terhenti, hatinya merasa khawatir sekali. Tentu saja dia tidak mau lari seperti diminta oleh kakek itu, dan dia menduga bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat. Cepat dia menyambar pedangnya dan dengan pedang terhunus Gui Yan Cu meloncat keluar dari kamarnya dan berlari ke ruangan dalam.
Hampir saja dia berseru kaget, matanya terbelalak dan mukanya menjadi pucat ketika dia melihat mayat-mayat bergelimpangan! Mayat Tan Hoat dan isterinya dengan leher hampir putus, mayat dua orang pelayan di luar pintu, dan mayat kakek Theng sendiri di ruangan tengah, kepala kakek itu pecah dan senjata ruyungnya masih tergenggam di tangannya. Agaknya kakek ini telah melakukan perlawanan sampai saat terakhir sambil tadi berteriak menyuruhnya lari.
Dapat dibayangkan betapa marahnya Gui Yan Cu. Dengan air mata memenuhi pelupuk matanya dia lalu melompat dan menerobos ke ruangan dalam yang lebar dan dia terhenti tegak di pintu ketika melihat lima orang enak-enakan duduk di dalam ruangan itu sambil tersenyum-senyum menyeringai.
Seorang di antara mereka adalah Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci! Yang empat orang lainnya tidak dikenalnya, yaitu seorang wanita setengah tua yang masih cantik dan berpakaian mewah bersama tiga orang laki-laki tua yang keadaannya menyeramkan.
"Apa... apa yang telah kalian lakukan?" Dia membentak, sedikit pun tak merasa takut biar di situ terdapat Bu Leng Ci yang lihai, karena kemarahan telah membuat nyonya ini tidak lagi mengenal takut dan sama sekali tidak ingat akan bahaya lagi.
"Inilah dia yang bernama Gui Yan Cu, ibu bocah setan itu," kata Bu Leng Ci.
Wanita berpakaian mewah itu mengangkat muka. "Eh, Gui Yan Cu. Aku memanggil kau dan suamimu ke Kwi-ouw, mengapa kau dan suamimu malah menghina anak buahku?"
Yan Cu semakin marah setelah mengetahui bahwa wanita itu adalah Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio. "Hemmm, jadi engkau inikah yang disebut Kwi-eng Niocu, ketua perkumpulan sesat Kwi-eng-pang?"
"Huh! Huhh!" Kakek yang matanya sipit lehernya panjang seperti leher ular itu menahan ketawanya.
"He-heh-heh!" Kakek yang mukanya hitam seperti pantat kuali terkekeh. "Kalau dia tidak takut terhadap dua orang datuk betina, tentu tidak gentar pula terhadap kami tiga orang datuk jantan, dan tentu kepandaiannya setinggi langit!"
Gui Yan Cu memandang kakek muka hitam itu dan mendengar ucapan ini, dia terkesiap juga. Jantungnya berdebar tegang dan dia membentak, "Jadi kalian berlima inikah yang disebut lima Datuk kaum sesat?"
Kakek tua renta berambut putih panjang yang matanya juling akan tetapi mengeluarkan sinar aneh dan mengerikan itu terbatuk-batuk, lalu menggumam, "Dan engkau kabarnya sumoi dari Cia Keng Hong. Benarkah?"
"Benar! Aku bersama suamiku selamanya tidak pernah berurusan dengan kalian, lenapa kalian mengganggu kami dan membunuh orang-orang yang tidak berdosa ini? Beginikah sepak terjang tokoh-tokoh besar yang mengaku diri sebagai para datuk? Seperti kelakuan bajingan-bajingan kecil saja!"
Yan Cu maklum bahwa dia kini berhadapan dengan orang-orang yang tak mungkin dapat dilawannya, akan tetapi dia sama sekali tidak takut karena kemarahannya melihat kakek Theng, anaknya, mantunya, dan pelayan-pelayan terbunuh seperti itu.
"Gui Yan Cu! Tidak perlu banyak cakap. Katakan di mana adanya bokor emas yang dicuri oleh anakmu yang bernama Kun Liong itu kalau menghendaki agar nyawamu dapat kami perpanjang beberapa lamanya."
Mendengar kata-kata ini, wajah yang tadinya pucat itu kelihatan berseri-seri. Pertanyaan itu membuktikan bahwa Kun Liong masih hidup!
"Aku tidak tahu apa yang kau maksudkan tadi. Selamanya aku belum pernah mendengar tentang bokor emas dan andai kata aku mengetahuinya juga, apakah kau kira aku akan memberi tahukan kepada kalian?"
"Perempuan sombong! Kalau begitu, mampuslah engkau!" Kwi-eng Niocu sudah hendak menggerakkan tangan menyerang.
Akan tetapi kakek tua renta berambut putih itu terbatuk-batuk, kemudian melangkah maju menghalangi Kwi-eng Niocu sambil berkata, "Nanti dulu, Pangcu. Kalau dia benar sumoi dari Cia Keng Hong, biarkan aku mencoba Thi-khi I-beng."
Kakek berambut putih itu bergerak ke depan. Yan Cu yang maklum bahwa tak mungkin dia menghindarkan diri dari pertandingan mati-matian, segera mengelebatkan pedangnya dan menyerang dengan tusukan ke dada dilanjutkan dengan bacokan menyamping ketika kakek itu mengelak.
Tiba-tiba pedang itu tertahan oleh jubah kakek itu yang dipegang di tangan kiri, kemudian secara cepat dan aneh sekali, tangan kanannya sudah menyambar dan menampar ke arah kepala Yan Cu. Gerakan ini amat cepat, maka terpaksa Yan Cu menganglcat tangan kiri menangkis.
"Plakkk!"
Yan Cu terhuyung ke belakang, lengannya terasa sakit sekali. Kakek itu tampak kecewa, tidak melanjutkan gerakannya dan mengomel,
"Mana itu Thi-khi I-beng yang disohorkan orang? Kalau kepandaian perempuan ini hanya sedemikian saja, tidak cukup pantas melayani aku!"
Diam-diam Yan Cu terkejut bukan main. Kakek berambut putih itu benar hebat sekali dan kalau dilanjutkan pertandingan itu, biar pun dia memegang pedang, agaknya sukar sekali baginya untuk menang. Dia menduga bahwa tentu kakek berambut putih itu yang berjuluk Toat-beng Hoatsu, yaitu datuk yang penuh rahasia dan mungkin sekali yang paling lihai di antara lima orahg itu.
"Aku pun ingin mencobanya!" berkata kakek muka hitam yang bukan lain adalah Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu.
Belum habis ucapannya, tubuhnya sudah bergerak dan sinar kilat sebatang golok besar di tangannya sudah menyambar dahsyat. Yan Cu cepat memutar pedangnya menangkis.
"Tranggg...!"
Kembali Yan Cu terkejut bukan main karena pedangnya terpental dan lengannya gemetar saking kuatnya tenaga yang terkandung pada golok itu. Namun dia tidak menjadi jeri dan sudah membalas serangan lawan baru ini dengan gerakan pedangnya yang lincah.
Sambil tertawa-tawa mengejek Si Kakek Muka Hitam itu lantas menyambut dengan golok besarnya dan terjadilah pertandingan yang seru. Namun dalam belasan jurus saja pedang Yan Cu sudah tertindih dan beberapa kali pertemuan kedua senjata itu secara kuat sudah membuat pedangnya hampir terlepas dari tangannya.
Mulailah Yan Cu merasa khawatir. Dia bukan mengkhawatirkan dirinya sendiri, melainkan mengkhawatirkan puterinya yang kini dia dengar menangis di dalam kamarnya! Ia sendiri tidak takut mati, akan tetapi bagaimana nasib puterinya yang usianya belum ada satu tahun itu kalau sampai terjatuh ke dalam tangan iblis-iblis ini? Mengapa suaminya belum juga pulang?
"Hek-bin Thian-sin, aku ikut berpesta, ha-ha-ha-ha!" Suara ini keluar dari mulut Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dan pedangnya yang berbentuk ular itu telah meluncur ke depan.
Pada saat itu, Yan Cu baru saja menangkis golok besar Hek-bin Thian-sin yang membuat tangannya gemetar. Maka begitu pedang itu sekarang bertemu dengan pedang ular yang didorong oleh tenaga yang luar biasa kuatnya, dia tidak dapat mempertahankan lagi dan pedangnya terlepas dari tangannya.
Suara terkekeh di belakangnya adalah suara Bu Leng Ci yang sudah menyambar pedang itu dan pada waktu itu Yan Cu merasa betapa pundaknya nyeri bukan main, panas dan membuat tubuhnya menggigil saking nyerinya. Maklum bahwa nyawanya terancam, dan teringat akan nasib puterinya, Yan Cu mengeluarkan pekik melengking yang dimaksudkan untuk memanggil suaminya.
Guratan kuku jari tangan Kwi-eng Niocu yang menggores pundak Yan Cu itu membuat wanita perkasa ini terhuyung dan pening kepalanya. Namun dia masih nekat dan sambil membalik dia membarengi memukul sebelum Kwi-eng Niocu menarik tangannya.
"Dukkk!"
Sungguh pun Kwi-eng Niocu tidak roboh oleh pukulan yang menyambar dan mengenai pangkal lengannya ini, namun cukup membuat dia merasa kesakitan dan lengan kirinya seperti lumpuh sejenak.
Dia marah sekali. Sambil mengeluarkan suara menggereng laksana harimau terluka, dia menubruk maju dan tangannya menampar. Yan Cu yang sudah pening itu hanya mampu menangkis sebuah tamparan dengan tangan kiri yang kurang cepat gerakannya itu, akan tetapi tamparan tangan kanan Si Bayangan Hantu mengenai lehernya.
Yan Cu terpekik dan terjengkang. Sebelum tubuhnya jatuh mengenai tanah, sinar pedang berkelebat dan pedangnya sendiri yang dipergunakan oleh Bu Leng Ci telah menembus dada wanita perkasa ini! Gui Yan Cu tidak mengeluh lagi, roboh telentang dengan dada tertembus pedangnya sendiri, tewas seketika. Darah muncrat membasahi bajunya.
Pada saat Yan Cu mengeluarkan suara melengking tadi, Yap Cong San telah tiba dekat rumah itu. Dia terkejut mengenal lengking isterinya dan cepat sekali dia berlari ke dalam rumah. Ketika dia mendengar suara tangis puterinya, dia langsung memasuki kamar dan lega hatinya melihat puterinya itu menangis di atas ranjang dalam keadaan selamat. Dia menyambar puterinya itu dan dibawanya lari keluar.
Ketika dia melihat mayat-mayat bergelimpangan, yakni mayat Kakek Theng, puterinya, menantunya dan dua orang pelayan, Cong San terkejut setengah mati. Dengan jantung berdebar tegang dia terus berlari ke arah suara pertempuran di ruangan dalam dan pada waktu dia muncul di ambang pintu ruangan itu dilihatnya isterinya sudah rebah terlentang dengan dada tertembus pedang!
"Yan Cuuu...!!" Dia memekik dan meloncat ke dalam.
Sejenak dia bagai terpesona memandang jenazah isterinya, kemudian pandang matanya menyapu pada wajah lima orang yang berdiri di situ sambil tersenyum-senyum. Air mata mengalir di sepanjang kedua pipi pendekar itu, akan tetapi sepasang matanya tak pernah berkedip ketika dia memandang ke arah mereka satu demi satu, kemudian kembali dia menoleh kepada jenazah isterinya.
"Yan Cu... ohh... ohhh... Yan Cu...!" Dia merintih, rintihan yang diselingi oleh tangis Yap In Hong, anak kecil dalam pondongannya.
Tiba-tiba saja Cong San membalikkan tubuh menghadapi lima orang itu. Begitu melihat Bu Leng Ci, mudah saja baginya untuk menduga siapa adanya empat orang yang lain itu. Walau pun dia belum pernah bertemu muka dengan mereka itu, akan tetapi dia sudah mendengar berita tentang lima orang datuk kaum sesat.
Biar pun kemarahan dan kedukaan menyesak di dalam dadanya, namun sebagai seorang pendekar besar Cong San dapat menekan perasaannya dan dia harus lebih dahulu tahu siapa sebenarnya mereka dan mengapa mereka membunuh keluarga Kakek Theng dan isterinya.
"Bukankah kalian ini Lima Datuk kaum sesat?" tanyanya dengan suara yang terdengar aneh sekali, agak parau dan nadanya bercampur tangis dan kemarahan.
"Hi-hi-hi-hik, sudah tahu mengapa tidak lekas berlutut minta ampun?" Bu Leng Ci tertawa mengejek.
"Mengapa kalian memusuhi kami?"
"Yap Cong San, anakmu yang bernama Kun Liong telah mencuri bokor emas. Lekas kau katakan di mana dia dan di mana adanya bokor emas itu, kalau tidak, terpaksa engkau akan menyusul isterimu!"
Bu Leng Ci berkata dengan wajah gembira. Memang wanita iblis ini paling suka melihat orang berduka dan sengsara. Bukan hanya dia, bahkan demikian juga dengan keempat orang kawannya, pandang mata mereka seperti mata kanak-kanak melihat seekor cacing menggeliat-geliat kepanasan dalam sekarat. Sedikit pun tidak ada rasa kasihan, bahkan gembira dan puas!
Akan tetapi Cong San tidak memperhatikan dan tidak mempedulikan pertanyaan ini, dia bahkan bertanya lagi, "Siapa yang membunuh isteriku?"
"Aku yang membunuhnya, kau mau apa?" belum habis ucapan ini keluar dari mulut Bu Leng Ci, Cong San sudah menggerakkan senjata pit hitam di tangan kanannya.
"Siuuuuttt... wesss!"
Cepat bukan main serangan maut itu, dilakukan dengan hati sakit dan penuh dendam, menusuk ke arah dada orang termuda dari Lima Datuk kaum sesat itu. Bu Leng Ci tidak sempat mencabut samurainya dan hanya dapat mengelak dengan hati kaget sekali untuk menyelamatkan dirinya.
"Brettt!" Baju yang menutup dada terobek sedikit berikut sedikit kulit di bagian kanan.
"Keparat!" Bu Leng Ci marah bukan main, juga malu karena hampir saja dia celaka oleh serangan itu tadi.
"Srattt…!" Samurai panjang telah dicabutnya, dan dia menyerang kalang kabut.
"Tring-tring-tranggg…!"
Bunga api berpijar ketika senjata pit itu menangkis samurai. Kwi-eng Nio-cu membantu adik angkatnya dengan cengkeraman dari samping ke arah pundak Cong San, akan tetapi pendekar ini cepat mengelak dan pit-nya langsung berkelebat menyambut untuk menotok sambungan siku Si Bayangan Hantu.
Gerakannya cepat dan kuat sekali. Sakit hati, kemarahan dan kedukaan melihat isterinya yang terkasih tergeletak tak bernyawa dengan dada tertembus pedang, agaknya melipat gandakan tenaga dan kecepatannya.
Si Bayangan Hantu terpaksa menarik kembali lengannya dan di lain saat, Yap Cong San telah dikeroyok oleh empat orang di antara lima datuk hitam itu. Hanya Toat-beng Hoatsu seorang yang berdiri menonton saja, tidak ikut turun tangan.
Biar pun demikian, Cong San sudah repot sekali. Jangankan dikeroyok oleh empat orang yang lihai itu, baru seorang di antara mereka saja sudah merupakan lawan berat yang belum tentu dapat dikalahkannya. Betapa pun juga, Cong San tidak gentar dan melawan mati-matian, biar pun gerakannya tidak leluasa karena lengan kirinya masih memondong puterinya yang menangis nyaring.
Pertandingan yang berat sebelah! Yap Cong San adalah murid Tiong Pek Ho-siang. Dia sudah menguasai ilmu silat Siauw-lim-pai yang tangguh dan murni. Akan tetapi, dengan seorang anak kecil dalam pondongannya, menghadapi empat di antara datuk-datuk kaum sesat itu, tentu saja dia terdesak hebat sekali sehingga beberapa belas jurus kemudian dia hanya mampu mempertahankan diri dan melindungi puterinya saja.
Apa lagi karena empat orang lawannya adalah orang-orang sakti golongan hitam yang tidak pantang melakukan pengeroyokan dan menggunakan siasat licik. Kini mereka yang mengeroyok sambil tertawa-tawa seperti hendak mempermainkan lawan, bukan hanya menyerang Cong San, akan tetapi juga menujukan serangannya kepada anak kecil dalam podongan pendekar itu.
Hal ini membuat Cong San selain marah dan duka, juga khawatir sekali. Tadi dia dilanda kedukaan yang amat dalam sehingga baru sekarang teringat bahwa puterinya yang masih kecil dan terus menangis ini terancam bahaya maut! Maka dia kini mencurahkan seluruh daya pertahanannya untuk melindungi puterinya.
"Huhh! Memalukan!" Toat-beng Hoatsu mengeluarkan seruan keras ketika menyaksikan betapa sampai tiga puluh jurus lebih empat orang kawannya masih belum juga mampu merobohkan seorang lawan yang mereka keroyok.
Baru pengeroyokan itu saja sudah sangat menjengkelkan kakek ini. Disebut datuk-datuk akan tetapi masih melakukan pengeroyokan! Merendahkan martabat ini namanya! Untuk mengakhiri pengeroyokan yang memalukan ini, tiba-tiba dia menggerakkan jubahnya dari belakang, mengarah kepala anak kecil dalam pondongan Cong San!
Terkejut bukan main hati Cong San ketika merasa angin dahsyat sekali menyambar ke arah kepala anaknya. Jangankan sampai mengenai langsung, baru sambaran angin yang dahsyat itu saja sudah cukup untuk membunuh puterinya!
Tidak ada jalan lain baginya kecuali mengorbankan diri untuk melindungi anaknya. Cepat Cong San membalik sehingga tubuh anaknya terlindung dan dia memutar pit-nya untuk menyambut datangnya jubah lebar yang amat dahsyat sambarannya itu.
"Bretttt...! Desss...!"
"Suhu...! Subo...!" Terdengar jerit melengking di pintu ruangan.
Cong San cepat memutar tubuh dan melemparkan Yap In Hong ke arah muridnya sambil berteriak, "Cui Lin, bawa lari In Hong...!"
Hantaman jubah di tangan Toat-beng Hoatsu tadi hebat sekali. Memang pit-nya mampu merobek jubah itu, akan tetapi pit itu sendiri hancur dan lengan kanannya lumpuh dengan tulang patah-patah. Kini dia sudah mencabut pit putih dengan tangan kirinya dan bersiap menghadapi lawan-lawan yang amat lihai itu!
Akan tetapi Cui Lin tidak dapat lari karena sepasang kakinya menggigil ketika dia melihat subo-nya mati. Apa lagi ketika dia melihat mayat ayahnya, ibunya, kakeknya berserakan, hampir dia roboh pingsan. Dia hanya berlutut dan menangis sambil memeluk In Hong!
Selanjutnya,