Petualang Asmara Jilid 18
HENDRIK mengangkat tinjunya hendak memukul muka yang menantangnya dengan penuh keberanian itu. Biar pun maklum bahwa dia akan dipukul, mungkin juga dibunuh, Li Hwa memandang dengan mata tak berkedip. Melihat sikap ini, memandang wajah yang cantik manis itu, Hendrik menjadi lemas dan menurunkan lagi kepalan tangannya.
"Bedebah! Setan betina! Hendak kulihat apakah engkau masih tetap berkeras tidak mau melayani cintaku!"
Hendrik sudah betul-betul tergila-gila kepada Li Hwa. Kalau menghadapi wanita lain yang menolak cintanya, seperti biasanya, tentu ia akan menggunakan kekerasan, memperkosa gadis yang sedang terbelenggu itu. Akan tetapi sungguh aneh, dia merasa berat untuk melakukan hal ini terhadap Li Hwa.
Dia tahu bahwa gadis perkasa ini merupakan seorang dara pilihan, dan alangkah akan senang hatinya kalau dia dapat memperolehnya dengan cara yang baik, dengan sukarela. Betapa akan bahagianya apa bila gadis ini membalas cintanya, bukan menyerahkan diri karena terpaksa dan karena diperkosa.
Dipondongnya tubuh gadis itu keluar pondok, diletakkan dan dirantai pada tiang sebelah rumah. Kemudian dia membuat api unggun dan meletakkan sebungkus mesiu di dekat kaki Li Hwa yang terbelenggu.
"Kau lihat ini? Mesiu yang akan meledak begitu api itu menjalar sampai ke dekatnya. Kau sudah lihat tadi. Rumah dan batu itu hancur oleh ledakan, dan kalau kau tidak menurut, bungkusan mesiu ini cukup untuk menghancurkan tubuhmu menjadi berkeping-keping. Kalau berubah pikiranmu, sebelum terlambat, kau terimalah pinanganku, Nona."
"Huh, biarkan aku mati!"
"Baik, aku akan menanti di dalam. Kau berteriak saja panggil aku bila pikiranmu berubah, jika kau memilih bersenang-senang denganku dan hidup bahagia dari pada mati dengan tubuh hancur oleh ledakan obat mesiu ini."
"Jahanam kotor! Seribu kali lebih baik mampus dari pada menyerah kepadamu!" Li Hwa membentak.
Hendrik tersenyum akan tetapi menyeringai karena bibirnya yang digerakkan terasa perih. Diusapnya bibir yang pecah oleh gigitan dara tawanannya itu, kemudian dia bangkit dan membalikkan tubuhnya, melangkah lebar menuju ke pondok, menaiki anak tangga depan pondok dan lenyap ke dalam pondok itu.
Li Hwa ditinggalkan seorang diri dalam keadaan tidak berdaya. Rantai besi yang sudah membelenggu kaki tangannya amat kuat, tidak mampu dipatahkannya dan dia pun tidak dapat mencegah api unggun yang bernyala makin besar, dan lidah api makin mendekati bungkusan mesiu di dekat kakinya.
Dalam keadaan seperti itulah gadis itu ketika Yuan de Gama menghampiri pondok dan melihatnya. Dengan hati-hati Yuan lalu menghampiri gadis itu.
Li Hwa yang berpendengaran tajam tahu bahwa ada orang mendekatinya dari belakang. Dia menoleh dan melihat Yuan, mengira bahwa pemuda asing itu adalah Hendrik yang menawannya. Di dalam pandangannya, orang-orang asing itu seperti sama semua! Maka dia lalu menghardik, "Jangan harap aku mau menyerah, manusia hina! Bunuhlah kalau kau mau membunuhku..."
"Sssttt...!"
Melihat pemuda itu menaruh telunjuk di depan bibir dan mengeluarkan seruan tanda agar dia tak mengeluarkan suara, Li Hwa terheran dan memandang lebih teliti kepada pemuda itu. Sekarang sesudah cahaya api unggun menerangi wajah itu, barulah dia sadar bahwa pemuda ini bukanlah pemuda asing yang tadi menawannya.
Tubuh pemuda itu lebih jangkung, perutnya tidak gendut dan pada wajah yang tampan ini tidak terdapat sinar mata yang penuh nafsu. Tidak, bahkan sinar mata yang berwarna biru itu amat lembutnya, kini memandangnya dengan penuh iba.
"Nona, aku datang untuk menolongmu..." Pemuda itu berbisik, kemudian berjongkok di belakangnya.
Namun, di dalam hati Li Hwa sudah terdapat bibit kebencian terhadap orang-orang asing. Pertama karena kenyataan bahwa orang-orang itu bersekutu dengan para pemberontak. Kedua kalinya, dia sudah mengalami penghinaan dari Hendrik yang menawannya. Maka terhadap pemuda yang hendak menolongnya ini pun dia lalu bersikap angkuh dan tidak bersahabat.
"Aku tidak minta pertolonganmu!"
Pemuda itu menghela napas panjang. "Aku tahu, dan engkau memang seorang wanita perkasa yang hebat, Nona. Seorang berjiwa panglima yang patut dihormati. Dan karena itulah maka aku harus menolongmu." Sambil berkata demikian, Yuan de Gama mulai berusaha membuka belenggu itu dari kedua tangan Li Hwa.
Oleh karena gembok yang dipakai mematikan mata rantai belenggu itu cukup kuat, maka tidaklah mudah bagi Yuan untuk membukanya sehingga dia harus mengerahkan seluruh tenaganya.
"Mengapa kau menolongku?" Melihat usaha pemuda itu, Li Hwa tak dapat menahan diri untuk tidak bertanya karena bukankah di antara mereka terdapat permusuhan?
"Aku kagum akan kegagahanmu, Nona. Dan aku muak melihat perbuatan Hendrik yang menyimpang dari tugasnya, hanya mementingkan kesenangan pribadi."
Akhirnya, sesudah terlebih dahulu menjauhkan bungkusan mesiu dari api, Yuan de Gama berhasil melepaskan belenggu pada kaki dan tangan Li Hwa. Gadis itu melompat berdiri, akan tetapi karena kepalanya masih nanar oleh hantaman ledakan tadi, dan kakinya juga kaku karena lama dibelenggu, dia terhuyung dan tentu terguling kalau tidak cepat-cepat dia dipeluk oleh Yuan de Gama.
"Lepaskan aku!" Li Hwa meronta. "Apa kau kira setelah menolongku, kau boleh memeluk aku sesuka hatimu?"
Yuan cepat-cepat melepaskan pelukannya dan melangkah mundur, alisnya berkerut dan pandang matanya tajam menusuk. "Nona, harap jangan menyama ratakan orang begitu saja. Kalau tidak melihat engkau hendak jatuh, tentu aku tidak berani menyentuhmu."
Sejenak mereka berpandangan dan Li Hwa menunduk, kedua pipinya menjadi merah. Dia tahu bahwa betapa sikapnya tadi memang sangat buruk. Akan tetapi, bukankah pemuda asing ini juga musuhnya? Musuh negaranya? Ingatan itu mengeraskan hatinya dan dia mendengus, melempar muka ke samping, membalikkan tubuh lantas melangkah hendak pergi.
"Tahan dulu, Nona...!" Yuan de Gama cepat mengejar. "Nona, kau masih amat lelah... dan pasukanmu telah melarikan diri keluar dari tempat ini. Apa bila kau pergi begitu saja, tentu kau akan tertangkap kembali. Di mana-mana terdapat penjaga..."
"Haii... Nona yang manis, apakah engkau belum merobah pikiranmu?" Tiba-tiba terdengar teriakan Hendrik dari dalam pondok.
Yuan de Gama terkejut, cepat dia menyambar tangan Li Hwa sambil berkata, "Mari ikut dengan aku. Cepat...!"
Sekarang mengertilah Li Hwa bahwa pemuda ini benar-benar hendak menolongnya dan agaknya tidak mempunyai niat buruk di balik itu, maka dia membiarkan dirinya ditarik dan dibawa pergi menyelinap di antara pohon-pohon serta kegelapan malam sampai mereka berada jauh dari pondok terpencil itu.
Namun kembali mereka terpaksa harus berhenti dan bersembunyi di balik pohon-pohon ketika mereka melihat belasan orang prajurit meronda tidak jauh dari situ. Sesudah para peronda itu lewat, Yuan berbisik,
"Nona, sangat berbahaya bagimu bila mencoba keluar dari perkampungan ini. Ketahuilah, setelah terjadi perang siang tadi, seluruh perkampungan diadakan perondaan dan sekitar perkampungan dijaga ketat. Tapi malam ini juga engkau harus dapat lolos dari sini, sebab kalau sampai besok engkau tak dapat keluar, tentu tidak mungkin lagi menyembunyikan diri."
"Aku tidak takut! Aku akan melawan sampai titik darah terakhir!"
Yuan memandang kagum sekali sungguh pun wajah dara itu tidak kelihatan jelas di dalam gelap, "Selama aku hidup, baru sekarang ini aku bertemu dengan seorang wanita gagah seperti engkau, Nona. Banyak sudah kubaca dalam kitab mengenai pendekar-pendekar wanita yang gagah perkasa di negerimu yang aneh ini, tetapi aku masih belum percaya. Sekarang baru aku percaya, dan aku kagum sekali kepadamu. Aku harus menolongmu keluar dari tempat ini, malam ini juga."
Kata-kata pemuda itu juga amat mengherankan hati Li Hwa. Betapa pun kagumnya, mana mungkin ada musuh menolong musuhnya? Apa lagi pemuda itu tahu bahwa dia adalah pemimpin pasukan pemerintah yang akan membasmi kaum pemberontak!
"Engkau siapakah?"
Yuan de Gama membungkuk dengan lengan kanan melintang di depan perutnya. "Aku bemama Yuan de Gama. Ayahku adalah Richardo de Gama, pemilik Kapal Kuda Terbang dan..."
"Dan kalian orang-orang asing membantu para pemberontak!"
Yuan de Gama menggeleng kepala dengan penuh penyesalan. "Aku tak berniat demikian, Nona. Juga kawan-kawanku tak berniat membantu pemberontak. Akan tetapi kami hanya ingin mengadakan kontak dagang dengan penduduk pribumi. Tapi karena pejabat-pejabat pemerintahmu melarang, dan karena para pembesar yang kami bantu ini menyanggupi untuk membolehkan kami berdagang..."
"Sudahlah, apa pun alasannya, yang jelas kalian adalah orang-orang asing yang sudah membantu pihak pemberontak!"
"Memang tak ada gunanya kita berdebat tentang hal itu, Nona. Kita hanyalah pelaksana-pelaksana belaka, yang mengatur semua itu adalah orang-orang atasan. Yang penting sekarang, aku harus menolongmu keluar dari sini dan pada saat seperti ini, kuharap kau tidak menganggapku sebagai musuh, Nona."
Li Hwa mengerutkan alisnya. Kalau keadaan tidak seperti itu, tentu sudah sejak tadi dia menyerang dan membunuh pemuda musuh negara ini!
"Kalau sampai kau ketahuan menolongku lolos?"
Yuan tersenyum sambil menggerakkan pundaknya yang bidang. "Yahhh, apa boleh buat! Sudah nasibku mati diberondong senapan oleh bekas anak-anak buahku sendiri sebagai seorang pengkhianat."
Li Hwa bergidik. Ia sudah pernah melihat seorang anak buahnya yang terluka oleh peluru senapan, senjata rahasia yang sangat mengerikan dari pihak orang-orang asing itu. Dan akibatnya benar-benar mengerikan. Anak buahnya itu meraung-raung karena nyeri dan lukanya itu seperti dibakar rasanya.
"Dan kau rela terancam bahaya untuk menolong aku, seorang musuh?"
"Hiishh, Nona. Sudah kukatakan, pada saat ini kau bukan musuhku, dan mudah-mudahan aku bukan musuhmu. Engkau bagiku adalah seorang pendekar wanita yang amat hebat dan amat kukagumi. Marilah..."
Kembali Yuan menggandeng tangan Li Hwa dan dara ini menurut saja ketika dia dibawa menyelinap ke sana sini, ada kalanya mendekam dibalik rumah-rumah atau pohon-pohon. Dan tak lama kemudian mereka sudah berada di sekitar pagar tembok yang mengelilingi pekarangan itu.
Tiba-tiba terdengar suara dalam bahasa asing. Mendengar ini, Yuan cepat menarik Li Hwa dan keduanya bertiarap, menelungkup di balik rumpun alang-alang. Suara itu adalah suara Hendrik yang berteriak-teriak kepada para penjaga,
"Jangan sampai dia lolos! Tawananku itu adalah pemimpin pasukan musuh yang siang tadi menyerbu. Awas, siapa yang bisa menangkapnya, hidup atau mati, tentu akan kuberi hadiah besar, akan tetapi yang membiarkannya lolos, akan kuhukum!"
Yuan dan Li Hwa bersembunyi sampai suara Hendrik itu lenyap dan orangnya pergi, lalu dengan lirih Yuan berbisik, "Tadi itu adalah Hendrik yang menawanmu. Sekarang semua penjaga di sekeliling perkampungan ini telah tahu bahwa engkau sudah lolos dari tahanan Hendrik dan mereka tentu mengerahkan seluruh perhatian untuk menemukanmu. Hal ini membuat usaha kita menjadi makin sulit. Akan tetapi sebelum aku melanjutkan usahaku meloloskanmu, aku ingin mengetahui apakah sekarang engkau betul-betul telah percaya kepadaku, Nona?"
"Hemmm... percaya dalam hal apa?"
"Bahwa aku hanya ingin menolongmu, karena kekagumanku terhadap dirimu, tidak ada lain hal yang tersembunyi di balik itu."
Sampai lama mereka berpandangan di dalam gelap, jarak muka mereka tidak begitu jauh karena mereka berdua bertiarap di dalam semak-semak. Akhirnya Li Hwa mengangguk.
"Aku percaya kepadamu, sungguh pun aku sendiri heran mengapa aku harus percaya kepada seorang asing, seorang musuh pula."
Yuan tersenyum. "Bagus, Nona. Bolehkah aku mengetahui namamu?"
Kembali Li Hwa meragu. Sampai lama, dan setelah dia menimbang-nimbang, barulah dia menjawab, "Namaku Souw Li Hwa, dan guruku adalah Panglima Besar The Hoo."
"Ya Tuhan...!" Yuan de Gama berseru lirih dan pandang matanya semakin kagum lagi. "Nama besar gurumu itu siapa yang tidak tahu? Pantas saja kalau begitu! Kiranya Nona adalah murid orang luar biasa itu!"
"Sekarang bagaimana engkau akan meloloskan aku dari sini? Kurasa jalan satu-satunya hanya menerjang ke luar. Aku tidak takut, biar aku menerjang ke luar dan tidak perlu kau mengkhianati teman-temanmu sendiri."
"Tidak...! Jangan lakukan itu, Nona...! Sekarang penjagaan amat ketat dan mereka sudah mempersiapkan senjata api, kau tentu akan tertawan kembali atau tertembak mati. Kalau hal itu terjadi, aku akan menyesal dan hidup menderita selamanya! Marilah, aku memiliki akal asal engkau benar-benar percaya kepadaku. Mari!"
Yuan kemudian menggandeng tangan dara itu menyelinap melalui tempat gelap menuju ke sebuah pintu gerbang yang dijaga belasan orang penjaga terdiri dari prajurit-prajurit pemberontak dan beberapa orang asing. Li Hwa dapat melihat betapa orang-orang asing itu memegang senjata api mereka dalam keadaan siap.
Andai kata dia tidak gentar menghadapi senjata rahasia itu, karena kalau hanya belasan orang yang menjaga di situ, tentu dia akan sanggup merobohkan mereka, atau setidaknya meloloskan diri dari pintu gerbang itu. Akan tetapi kini dia bersama Yuan. Apa bila sampai mereka mengenalnya bersama-sama pemuda asing yang menolongnya ini, tentulah Yuan akan dianggap pengkhianat dan pemuda itu akan celaka. Sebab itu dia diam dan menurut saja ketika Yuan menggandengnya mendekati pintu gerbang, masih tidak tahu bagaimana pemuda itu akan menyelamatkannya.
Ketika Yuan dan Li Hwa sudah sampai dekat sekali dengan pintu gerbang, di bagian yang agak gelap, karena tidak tertimpa langsung oleh lampu yang tergantung di pintu gerbang, terdengar seorang di antara para penjaga menghardik, "Heiii! Berhenti! Siapa di situ?"
Semua urat syaraf di tubuh Li Hwa sudah menegang dan dara ini juga sudah siap untuk menerjang maju. Akan tetapi Yuan merangkulnya lantas berbisik, "Nona, jangan bergerak. Ingat, kau sudah percaya kepadaku, kau menurut saja..."
Empat orang penjaga berlari mendekati dan pada saat itu, Yuan merangkul leher Li Hwa dan mencium bibir dara ini, mendekap muka itu dengan ketat sehingga muka Li Hwa tidak tampak, tertutup oleh mukanya sendiri. Kemudian dia mendekap kepala Li Hwa lalu wajah dara itu disembunyikan di dadanya, dan dia pun membentak, "Kurang ajar! Berani kalian mengganggu kesenanganku?"
"Ohh... ahhh... Tuan Yuan de Gama... maafkan kami! Kami telah menerima perintah agar melakukan penjagaan keras...!"
"Aku tahu!" Yuan membentak. "Dan kalian harus menjaga baik-baik agar panglima wanita musuh itu jangan sampai lolos. Dia pandai sekali, mungkin akan melompati pagar tembok. Tidak mungkin dia melalui pintu gerbang. Hemm, sungguh menjemukan, tidak ada tempat yang aman untuk bermain cinta. Aku mau keluar saja, mencari tempat yang sunyi. Hayo, manis..."
Yuan de Gama menggunakan mantelnya untuk menyelimuti Li Hwa dan dia membawa Li Hwa yang masih terus dirangkulnya itu keluar melalui pintu gerbang, ditonton oleh belasan orang itu yang saling lirik dan menyeringai.
Li Hwa sendiri sudah hampir pingsan sejak dia diciumi oleh Yuan de Gama tadi. Tubuh dara ini menggigil, kaki tangannya menjadi dingin dan jantungnya berdebar tidak karuan. Dalam waktu satu malam, dia telah diciumi oleh dua orang laki-laki, dua orang asing dan dicium dengan cara yang sama sekali belum pernah didengarnya, apa lagi dialaminya!
Ketika Hendrik mencium dan mengecup bibirnya, dia merasa sangat marah, benci, dan muak sehingga dia menggigit bibir pemuda asing itu untuk menyerangnya, membuat bibir Hendrik terluka berdarah dan hampir terobek putus! Akan tetapi, ketika Yuan de Gama menciumnya, meski pun dia merasa terkejut sekali namun dia maklum bahwa pemuda ini menciumnya bukan karena dorongan nafsu dan bukan untuk berkurang ajar, melainkan untuk menyelamatkannya. Pula, dia merasa bedanya ciuman antara kedua orang pria itu. Ketika Yuan menciumnya, dia merasa seolah-olah tubuhnya melayang naik ke angkasa, tubuhnya lemas dan dia seperti di alam mimpi!
"Ha-ha-ha...!" Terdengar empat orang asing yang berjaga di situ tertawa-tawa dan bicara dalam bahasa asing yang tidak dimengerti oleh Li Hwa.
"Heran sekali," kata seorang di antara para penjaga bersenjata tombak, "Tuan Yuan de Gama lebih senang bercinta di tempat terbuka, padahal sudah disediakan kamar-kamar dan tempat tidur yang lunak. Aneh...!"
"Kenapa aneh?" yang lain membantah. "Mereka itu memang mempunyai kebiasaan dan kesukaan yang berbeda dengan kita. Yang untung adalah wanita itu. Hemm... Tuan Yuan de Gama adalah seorang pemuda yang biasanya pantang bercinta dengan wanita-wanita yang disediakan untuk mereka, dan selain paling tampan, juga paling baik budi dan paling kaya!"
Mendengar ucapan antara kedua orang penjaga itu, bermacam perasaan mengaduk hati Li Hwa. Akan tetapi semua perasaan ini ditahannya sampai mereka tiba jauh dari pintu gerbang dan tiba-tiba Yuan melepaskan rangkulannya.
"Nah, sekarang sudah aman, Nona Li Hwa."
Keduanya berdiri berhadapan. Bintang-bintang memenuhi angkasa, mencurahkan cahaya redup dingin sehingga mereka dapat saling memandang dalam keadaan remang-remang.
"Yuan de Gama...," akhirnya Li Hwa mampu mengeluarkan suaranya. Lirih namun penuh perasaan. "Aku akan menganggapmu sebagai..."
"Yaaa...?"
"Seorang yang baik hati dan..."
"Hemmm...?"
"...sebagai seorang yang kurang ajar!"
"Begitukah, Nona Li Hwa?"
"Untuk kebaikan hatimu, aku berterima kasih kepadamu."
"Tidak usah berterima kasih!"
"Dan untuk kekurang ajaranmu..."
"Kekurang ajaran yang mana?"
"...ketika kau... kau menciumku tadi..."
"Aahhh, aku tidak berniat kurang ajar..."
"Betapa pun juga, Yuan de Gama, kau sudah berlaku sangat tidak sopan, dan untuk itu... aku akan..."
"Yaaa...?"
"Plakkkk!"
Pipi kiri Yuan de Gama ditampar oleh telapak tangan Li Hwa. Dara itu tidak mengerahkan sinkang-nya, akan tetapi tetap saja tamparan itu membuat pipi Yuan menjadi kemerahan dan tampak bekas jari-jari tangan kecil di atas kulit pipi itu.
"Nona, terima kasih atas kebaikanmu..."
"Jangan kau mengejek. Aku menamparmu karena mengingat akan kekurang ajaranmu tadi."
"Untuk ciuman-ciuman itu Nona, walau pun kulakukan bukan karena hendak kurang ajar kepadamu atau hendak menghinamu, aku rela menerima tamparanmu, bahkan kalau kau masih penasaran, boleh kau tampar lagi sesukamu..."
"Ehhh...," Li Hwa berseru heran, tidak menyangka pemuda itu akan berkata demikian.
"Benar Nona. Karena... semenjak pertama aku melihatmu, apa lagi setelah menyaksikan kegagahanmu, tahulah aku bahwa aku jatuh cinta kepadamu, Nona."
"Ihhh...!"
"Terserah kepadamu kalau kau anggap aku kurang ajar. Meski kau hendak membunuhku sekali pun, tak akan dapat kau memaksaku untuk menarik kembali kata-kataku. Aku cinta kepadamu, Souw Li Hwa…”
“Aihhh…!" Li Hwa mundur-mundur dengan muka pucat, jantungnya berdebar tak karuan, kemudian terdengar isak naik dari dadanya, tubuhnya berkelebat dan dia sudah meloncat pergi dari tempat itu.
"Souw Li Hwa, aku cinta kepadamu...!" Yuan de Gama berteriak
Naik sedu-sedan di tenggorokan dara itu, akan tetapi dia terus melarikan diri secepatnya, tidak mempedulikan beberapa butir air mata yang turun di atas kedua pipinya. Dia merasa takut. Takut kepada dirinya sendiri.
Kenapa dia tidak membenci Yuan seperti dia membenci Hendrik sesudah Yuan mencium bibirnya? Bahkan ada rasa senang dicium oleh pemuda itu? Mengapa hatinya berdebar dengan perasaan nyaman akan tetapi tegang ketika Yuan menyatakan cinta kepadanya? Padahal ketika Hendrik menyatakan cintanya, dia merasa muak dan terhina?
Li Hwa berlari cepat dan pada keesokan harinya barulah dia dapat bertemu dengan sisa pasukannya. Para perwira menjadi girang sekali ketika melihat munculnya dara itu, dan Li Hwa mendengar dengan hati penuh penasaran betapa pasukannya terpaksa melarikan diri karena kalah banyak dan kalah kuat, apa lagi setelah pemimpin mereka, dara perkasa itu lenyap.
"Pasukan mereka jauh lebih besar. Kita harus mencari bantuan. Dan bagaimana dengan tawanan kita, Yap Kun Liong si gundul itu?"
"Kami tidak melihatnya lagi dalam keributan itu, Nona," jawab seorang perwira tua.
"Hemm, apa yang terjadi setelah terjadi ledakan yang membuat aku pingsan dan tertawan musuh?"
Para perwira lalu menceritakan betapa ledakan itu telah membuat tempat bekas rumah itu berlubang sehingga sekilas tampak sebuah bokor emas. Karena ada yang berteriak ketika melihat benda itu sebelum air sungai membanjir masuk menutupi lubang, maka terjadilah perebutan dan pertempuran di air yang menutupi tempat itu.
"Lalu, bagaimana? Di mana bokor itu sekarang?" Li Hwa bertanya penuh ketegangan dan tahu bahwa Kun Liong tidak berbohong dan benar-benar bokor emas berada di tempat itu.
"Itulah anehnya, Nona. Tidak ada yang melihat siapa yang sudah berhasil mendapatkan bokor itu. Mungkin juga sudah terjatuh ke dalam tangan seseorang. Kami terpaksa harus mengundurkan diri keluar dari tempat itu karena apa bila dilanjutkan, tanpa adanya Nona yang memimpin kami, tentu kami semua akan binasa. Andai kata ada Nona di sana, biar pun diharuskan bertempur sampai hancur semua, tentu saja kami bersiap sedia."
Li Hwa mengerutkan alisnya. Celaka sekali kalau bokor yang sudah hampir ditemukannya itu terjatuh ke tangan orang lain. Sementara itu pasukannya sudah lelah, juga berkurang kekuatannya untuk menyerang sarang pemberontak kurang kuat.
"Kalian tunggu saja di sini, awasi gerak-gerik musuh. Aku sendiri akan melapor kepada Suhu dan mendatangkan bala bantuan." Akhirnya dia mengambil keputusan.
Pada pagi hari itu juga Li Hwa berangkat menunggang kuda ke kota raja untuk melapor kepada suhu-nya, Panglima Besar The Hoo.
Ke mana perginya Yap Kun Liong? Pada saat terjadi ledakan, dia dapat menyelamatkan diri dengan bertiarap. Dari tempat dia bertiarap itu, tampak jelas bahwa bekas rumah itu berubah menjadi sebuah kubangan yang dalam dan ketika ada orang berteriak tentang bokor, dia cepat melihat dan dia pun menyaksikan bokor itu sebelum air sungai datang menerjang!
Kun Liong membiarkan dirinya ditelan air sungai dan terus merangkak sambil menyelam ke arah tempat disimpannya bokor emas itu. Sebelum orang lain sempat mencari bokor akibat mereka itu sudah sibuk saling serang di air sedalam pinggang itu, Kun Liong telah berhasil mengambil bokor emas itu, dimasukkannya di dalam bajunya yang basah kuyup dan dia menggunakan keadaan kacau-balau itu untuk melarikan diri keluar dari kubangan.
Apa bila tidak teringat kepada Li Hwa, tentu dia sudah langsung melarikan diri keluar dari perkampungan itu. Tetapi dia mengkhawatirkan keadaan Li Hwa, maka dia mulai mencari gadis itu sesudah pertempuran selesai karena pihak pasukan pemerintah mengundurkan diri ke luar tempat itu.
Dari tempat persembunyiannya, dia melihat Li Hwa yang sudah dibelenggu di luar rumah terpencil oleh Hendrik. Akan tetapi sebelum dia sempat turun tangan menolong. tiba-tiba muncul Yuan de Gama. Dengan hati penuh rasa suka dan kagum kepada pemuda asing ini, Kun Liong melihat betapa Yuan menyelamatkan Li Hwa. Bahkan ia terus membayangi mereka ketika mereka berusaha keluar dari tempat itu melalui pintu gerbang.
Jantungnya berdebar tegang pada waktu dia menyaksikan dari tempat gelap betapa Yuan dalam usahanya menyelamatkan Li Hwa, telah mendekap dan mencium gadis cantik itu dengan amat mesranya. Ciuman bibir! Hatinya semakin tertarik untuk melihat bagaimana nanti sikap Li Hwa. Dia menggunakan kegesitannya untuk melompati pagar tembok selagi para penjaga tertarik perhatian mereka kepada Yuan de Gama.
Ketika dia melihat Li Hwa menampar Yuan sambil mendengarkan pembicaraan mereka, diam-diam Kun Liong merasa geli dan dia tertawa sendiri. Akan tetapi hatinya menjadi terharu ketika mendengar pengakuan Yuan de Gama tentang cintanya kepada dara itu!
"Hemmm, Yuan, kau seorang laki-laki tolol!" Kun Liong berbisik sendiri. "Begitu mudah jatuh cinta! Cinta seperti itu hanya mendatangkan siksaan di hati sendiri..."
Dia kemudian meninggalkan tempat itu, di sepanjang jalan termenung. Jika dia bersikap seperti Yuan, mudah saja menjatuhkan hatinya ke dalam jurang asmara, agaknya sudah beberapa kali dia jatuh cinta. Kepada Hwi Sian, kepada Bi Kiok, kepada Giok Keng dan mungkin kepada Li Hwa sendiri.
Tidak, dia tidak akan mudah saja jatuh cinta, biar pun harus dia akui bahwa dia amat suka kepada gadis-gadis jelita itu! Mata keranjang? Entahlah, akan tetapi betapa mata tidak akan merasa nyaman dan sedap memandang, betapa hati tidak akan merasa suka, kalau melihat bunga-bunga indah dan harum?
Bunga seruni, bunga mawar, bunga bwee, semua bunga tentu akan mendatangkan rasa suka. Demikian pula, semua dara yang manis akan menimbulkan rasa suka di dalam hatinya. Akan tetapi cinta asmara? Nanti dulu! Cinta macam itu berarti melekatkan diri kepada seseorang, dan sekali melekat berarti menimbulkan kemungkinan terluka kalau lekatan itu dipaksa terlepas dan putus!
Bokor yang telah kembali kepadanya itu memberatkan hatinya. Dia harus menyerahkan bokor itu kepada yang berhak, yaitu kepada Panglima Besar The Hoo. Sungguh sangat berbahaya kalau terlalu lama berada di tangannya, karena dia tahu betapa semua orang gagah di dunia kang-ouw dan tokoh kaum sesat saling memperebutkan bokor emas ini. Dia sendiri sama sekali tidak ingin memilikinya, juga setelah tahu bahwa benda ini adalah barang curian, dia sama sekali tidak ingin tahu rahasia apa gerangan yang dikandung benda pusaka yang diperebutkan ini. Makin cepat dia terlepas dari benda ini makin baik!
Selagi dia berjalan seorang diri melalui hutan yang lebat, tiba-tiba saja tampak olehnya bayangan-bayangan orang berkelebatan dan dia memandang terbelalak pada saat dirinya telah terkurung oleh beberapa orang. Betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa di antara sembilan orang itu terdapat para datuk kaum sesat yang telah dikenalnya, yaitu empat orang di antara mereka.
Si Kakek Gila Toat-beng Hoatsu, kakek muka hitam Hek-bin Thian-sin yang bersekutu dengan pemberontak, kakek gila raja ular Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, dan Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci! Lima orang lainnya tidak dikenalnya, akan tetapi dapat diduga bahwa mereka tentulah orang-orang yang berilmu tinggi!
Ketika melihat bahwa di antara lima orang ini terdapat seorang wanita setengah tua yang cantik, dengan kuku-kuku tangan yang panjang meruncing, dia cepat bertanya, "Apakah Lo-cianpwe yang bernama Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio?"
Para datuk kaum sesat itu, terutama sekali Kwi-eng Niocu, merasa heran sekali melihat sikap pemuda gundul yang amat berani itu. Sudah jelas dia dikepung oleh sembilan orang termasuk lima orang datuk kaum sesat sehingga boleh dikatakan bahwa jiwanya berada di ambang pintu maut, tapi masih bersikap enak-enak bahkan bertanya kepada Kwi-eng Niocu, seperti orang hendak berkenalan saja!
"Sudah tahu namaku, lekas berlutut dan serahkan bokor kepadaku!" kata Kwi-eng Niocu dengan suara halus, akan tetapi suara halus dan senyum manis wanita ini membuat Kun Liong merasa ngeri karena dia dapat menangkap kekejaman hebat yang bersembunyi di balik sikap manis itu.
Akan tetapi dia tidak peduli, lalu menoleh kepada Bu Leng Ci, bertanya, "Aihh, Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci juga hadir! Bagaimana, Locianpwe, apakah baik-baik saja? Dan kenapa Adik Bi Kiok tidak ikut serta?"
Bu Leng Ci hanya mendelik dengan pandang mata marah, lantas membentak, "Berikan bokor kepadaku kalau kau ingin hidup!"
Kun Liong memandang kepada para datuk itu bergantian sambil berkata, "Hemmm, para Locianpwe hadir semuanya, Toat-beng Hoatsu, Ban-tok Coa-ong, juga Hek-bin Thian-sin! Lengkap! Kehormatan apakah yang akan diberikan kepada seorang muda bodoh seperti aku?"
Ketiga orang kakek itu saling pandang dan diam-diam mereka ini merasa kagum juga. Bocah gundul itu benar-benar seorang yang memiliki keberanian luar biasa!
"Serahkan bokor!" Serentak mereka berseru.
Kun Liong mengerti bahwa menghadapi lima orang datuk kaum sesat itu, apa lagi masih ada empat orang kakek lain yang tak dikenalnya, dia takkan dapat menyelamatkan bokor itu, bahkan dirinya sendiri terancam bahaya maut. Akan tetapi dia tidak memikirkan hal itu semua karena dia sudah menjadi marah mempertahankan kebenaran mengenai bokor itu dan berkata nyaring,
"Cuwi adalah orang-orang pandai yang telah terkenal di dunia, mengapa berpandangan begitu dangkal?" Dia mengeluarkan bokor dari balik bajunya kerena dia dapat menduga bahwa mereka itu yang amat lihai tentu sudah tahu bahwa bokor berada di tangannya, apa lagi kelihatan menjendol di balik bajunya. Dia mengangkat bokor tinggi-tinggi sambil melanjutkan kata-katanya, "Cuwi (Anda Sekalian) mengerti semua bahwa bokor emas ini adalah pusaka milik Panglima Besar The Hoo yang lenyap dicuri orang. Secara kebetulan saja aku menemukan bokor ini, maka sepatutnya kukembalikan kepada yang berhak."
Melihat bokor emas itu, mata sembilan orang itu melotot dan tangan mereka langsung bergerak hendak merampas. Melihat ini, Kun Liong segera maklum bahwa agaknya tidak terdapat kerja sama di antara mereka! Agaknya mereka itu akan memperebutkan bokor! Maka dia cepat menpangkat tangan kirinya ke atas dan berseru, "Tahan! Kwi-eng Niocu, engkau telah menyuruh orang-orangmu mencuri dua buah pusaka Siauw-lim-pai, kenapa masih menghendaki bokor? Maukah kau menukar dua pusaka itu dengan ini?"
"Berikan bokor dan akan kukembalikan pusaka Slauw-lim-pai!" jawab wanita itu.
"Dan bagaimana engkau akan mengembalikan nyawa Thian Lee Hwesio?"
"Bukan kami yang membunuhnya!"
"Niocu, kenapa melayani dia mengobrol? Bocah gundul, lekas berikan bokor itu!" Hek-bin Thian-sin sudah menyambar ke depan untuk merampas bokor itu dari tangan Kun Liong. Akan tetapi pemuda ini cepat mengelak dengan loncatan ke kiri. Serbuan Si Muka Hitam itu agaknya merupakan komando karena serentak mereka semua bergerak menubruk!
"Kwi-eng Niocu, terimalah...!" Kun Liong berseru, lalu dia melemparkan bokor itu kepada Ketua Kwi-eng-pang. Tentu saja Kwi-eng Niocu menjadi amat girang dan cepat menerima bokor itu dan melesat dengan gerakan cepat pergi dari situ.
"Ehh-ehh, perlahan dulu, Kwi-eng Niocu!" empat orang datuk lainnya juga meloncat dan mengejar!
Empat orang kakek lainnya agaknya merasa ragu-ragu untuk ikut mengejar, maka mereka lalu menubruk Kun Liong sambil berkata, "Engkau ikut dengan kami!"
Kun Liong tadi sengaja melemparkan bokor emas kepada Kwi-eng Niocu bukan tanpa perhitungan yang matang. Dia tahu bahwa andai kata dia mempertahankan bokor itu pun akan percuma saja dan akhirnya bokornya pun tentu akan terampas dari tangannya. Dia tidak tahu di mana tempat tinggal Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong, sedangkan Hek-bin Thian-sin telah bersekutu dengan pemberontak dan orang asing.
Kalau bokor terjatuh ke tangan seorang di antara tiga orang kakek ini, akan sukar baginya untuk kelak mendapatkan kembali. Akan tetapi satu-satunya orang di antara mereka yang dia ketahui alamatnya, adalah Kwi-eng Niocu, dan juga Siang-tok Mo-li, akan tetapi dia lebih condong untuk menyerahkan bokor kepada Ketua Kwi-eng-pang, karena dia masih mempunyai urusan dengan wanita itu mengenai dua buah pusaka Siauw-lim-pai dan juga kematian Thian Lee Hwesio.
Ketika empat orang kakek yang tak dikenalnya menubruknya, Kun Liong tidak mengelak, akan tetapi diam-diam dia segera mengerahkan Thi-khi I-beng yang belum lama ini dia pelajari dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong.
"Plak-plak-plak-plak!!" Empat buah tangan mencengkeram pundak dan tangan Kun Liong.
"Auuuuhhh...!"
"Heeiiii...!"
"Aduhhh...!"
"Lepaskan...!"
Empat orang kakek itu kaget setengah mati ketika mereka merasa betapa telapak tangan mereka menempel dan melekat di tubuh pemuda gundul itu, dan yang membuat mereka terbelalak meronta-ronta dengan kaget adalah betapa hawa sinkang mereka yang tersalur melalui tangan yang mencengkeram itu kini membanjir ke luar memasuki tubuh pemuda gundul itu.
"Ihhhh... lepaskan... apa yang kalian lakukan? Panaaasss... ihhh, panasss...!" Kun Liong meronta-ronta.
Dia sudah mempelajari Thi-khi I-beng, juga telah menguasai ilmu mukjijat ini, akan tetapi belum pernah dia mempergunakannya. Walau pun dia sudah mendengar penjelasan dan keterangan Cia Keng Hong, akan tetapi begitu sekarang mengalami sendiri betapa hawa sinkang empat orang itu menerobos memasuki tubuhnya, dia merasa terkejut, ngeri, dan juga geli sehingga dia malah berteriak-teriak dan sejenak lupa bagaimana harus berbuat.
Melihat keadaan Kun Liong, empat orang itu bahkan semakin mengerahkan tenaga untuk melepaskan tangan mereka. Celaka bagi mereka, justru makin kuat mereka mengerahkan tenaga, makin hebat pula hawa sinkang mereka mengalir keluar memasuki tubuh pemuda itu.
Kun Liong gelagapan. Terasa benar betapa tenaga sinkang lawan membanjiri tubuhnya, membuat napasnya sesak dan kepalanya pening. Dengan ubun-ubun terasa berdenyutan keras, dia mengerahkan ingatan akan pelajaran Thi-khi I-beng dan terdengarlah kembali olehnya penjelasan Cia Keng Hong.
"Thi-khi I-beng menciptakan daya sedot yang luar biasa dan amat berbahaya kalau hawa sinkang lawan tersedot olehmu. Banjir hawa sinkang itu bisa membuat kau menjadi panik. Kalau kau tidak dapat menguasainya, kelebihan hawa sinkang yang tiba-tiba memenuhi tubuh itu, kalau menyerang kepala dapat membuat engkau menjadi gila, kalau menerjang jantung dapat membuat jantung pecah. Selain itu, yang tersedot sinkang-nya dapat tewas pula. Maka, yang penting sekali, bersikaplah tenang, gerakkan sinkang yang membanjir itu ke dalam pusar, lalu kumpulkan di situ dan biarkan berputar-putar di pusar. Akan tetapi jangan lupa untuk terlebih dahulu membebaskan lawan yang bagian tubuhnya melekat padamu."
Celaka, pikir Kun Liong! Dia telah lupa akan hal yang terpenting, yaitu cara melepaskan mereka. Cepat dia lalu menggoyang tubuhnya, seperti seekor anjing menggoyang tubuh untuk mengeringkan bulu-bulunya dan... tubuh keempat orang itu terlempar ke kanan kiri lantas terbanting ke atas tanah dalam keadaan pingsan, wajah pucat sekali dan napas empas-empis!
Kun Liong terhuyung-huyung ke depan, menghampiri empat orang kakek itu dan matanya terbelalak ngeri. Celaka, jangan-jangan mereka itu mati! Akan tetapi tidak, mereka masih bernapas dan dengan hati penuh penyesalan dan ngeri Kun Liong segera meninggalkan tempat itu.
Ngeri dia apa bila orang-orang itu sampai mati, mati di tangannya, mati kehabisan hawa sinkang. Dia merasa seolah-olah menjadi seekor laba-laba yang telah menyedot kering empat ekor lalat, dihisap semua air dan darahnya!
Dia bergidik dan terus berlari terhuyung-huyung. Mukanya sampai ke seluruh kepalanya merah sekali, matanya juga merah, napasnya mendengus-dengus seperti seekor kerbau marah. Dia merasa seolah-olah dada dan pusarnya akan meledak karena penuh dengan hawa sinkang yang berputar-putar. Dia merasa seolah-olah menjadi sebuah balon karet kepenuhan hawa.
Dengan pandang mata berkunang dan kepala pening Kun Liong berlari terus, menuju ke tempat dari mana dia mendengar suara hiruk-pikuk. Dia tidak sadar bahwa dia telah lari kembali ke arah perkampungan yang dijadikan sarang para pemberontak di tepi Sungai Huang-ho.
Ketika dia tiba di tepi sungai di luar perkampungan itu, dia melihat banyak sekali tentara berperang dengan ramainya. Dia menjadi amat heran karena agaknya kedua pihak yang berperang itu adalah tentara pemerintah. Dalam kepeningannya dia sampai lupa bahwa yang memberontak juga tentara pemerintah. Dasar kepalanya lagi pening dan bingung, melihat perang dia malah mendekati untuk menonton!
Delapan orang tentara pemerintah segera mengenal Kun Liong sebagai bekas tawanan pemimpin mereka, maka serentak mereka menyerbu dengan tombak dan golok di tangan kanan, perisai di tangan kiri.
Kun Liong berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang seperti orang mabok ketika delapan orang prajurit itu menyerbunya. Melihat banyak senjata ditujukan pada dirinya, Kun Liong menggerakkan kedua tangannya, menyampok dan menangkis.
Terdengar suara nyaring berkerontangan. Tombak, golok dan perisai beterbangan disusul tubuh delapan orang itu terlempar ke sana-sini. Ternyata bahwa dalam keadaan penuh dengan hawa sinkang itu, gerakan kedua lengan Kun Liong mendatangkan hawa sinkang yang amat kuat sehingga tanpa disadarinya sendiri, tangkisan itu selain membuat semua senjata terlempar dan patah-patah juga delapan orang itu kena dihantam hawa sinkang, terlempar dan roboh pingsan!
Kun Liong terbelalak, makin panik dia melihat hasil kedua tangannya. Dengan hati penuh penyesalan dia lalu menghantam sebatang pohon di kirinya.
"Desss...! Braaakkk...!" Pohon yang besarnya tiga kali tubuh orang itu roboh!
Kun Liong melanjutkan gerakannya, menghantam sebuah batu besar di sebelah kirinya.
"Desss... krekk!"
Batu itu pecah dan dalam kemarahannya terhadap diri sendiri terdorong oleh penyesalan bahwa kembali dia mencelakai orang dengan pukulannya, pemuda ini terus menghantami pecahan batu sehingga batu-batu itu menjadi hancur berkeping-keping.
Anehnya, kini kepeningannya berkurang dan napasnya menjadi enak kembali. Tahulah dia, bahwa itu adalah karena kelebihan sinkang liar yang memutari sebelah dalam dada dan pusarnya telah tersalurkan keluar. Akan tetapi masih ada sinkang yang ‘kelebihan’, sinkang liar yang ditampungnya dari empat orang kakek tadi, yang masih berputar-putar di dalam perutnya, mengamuk seperti segerombolan setan mencari tempat tinggal.
"Ihhh, bocah setan...!" Terdengar seruan perlahan dari belakangnya.
Kun Liong membalikkan tubuhnya dan melihat ada seorang kakek tinggi kurus menyerang dirinya dengan tamparan hebat yang ditujukan kepada pundaknya. Maka secara otomatis dia menggerakkan kedua lengan menangkis.
"Bressss...! Hayaaaa...!"
Kakek itu terlempar sampai empat meter dan terbanting, lalu bergulingan dan meloncat bangun dengan mulut terbuka lebar dan mata terheran-heran. Ada pun Kun Liong sendiri terpelanting.
"Kun Liong, pengkhianat engkau!"
Bentakan halus ini membuat Kun Liong amat terkejut dan dia tidak melawan ketika Li Hwa memasangkan belenggu di kedua tangannya. Kakek tinggi kurus tadi menghampiri sambil menggelengkan kepala.
"Hebat sekali engkau, orang muda... eihhh, bukankah engkau Yap-sicu yang kujumpai di Siauw-lim-si?"
Dengan kedua pergelangan tangan dibelenggu rantai baja kuat, Kun Liong cepat menjura kepada kakek itu. "Harap Tio-taihiap suka memaafkan saya..."
"Aihhh, justru aku yang sudah menyerangmu, melihat engkau merobohkan delapan orang prajurit kemudian mengamuk, menghantam pohon dan batu. Engkau hebat bukan main, Yap-sicu... akan tetapi, ehh, Nona Souw, mengapa dia dibelenggu?"
"Tio-lopek harap jangan mudah dikelabui bocah ini! Dialah yang telah mendapatkan bokor emas dan dia pula yang menyembunyikannya."
"Ahhh...!" Tio Hok Gwan yang berjuluk Ban-kin-kwi, pengawal kepercayaan The Hoo yang mengantuk itu, kini berdiri dengan penuh keheranan, bersedakap sambil memandang Kun Liong dengan matanya yang sipit hampir terpejam.
"Hayo katakan di mana kau sembunyikan bokor itu!" Li Hwa kini membentak dan pedang yang telah dicabutnya menodong ulu hati Kun Liong.
Benturan tenaga sakti melawan pengawal she Tio tadi sudah membikin normal kembali keadaan Kun Liong. Sekarang dia berdiri dan memandang dara jelita yang menodongnya dengan sinar mata tajam, alis berkerut dan bibir tersenyum mengejek.
"Aku tidak biasa bicara di bawah todongan pedang. Kalau kau bicara setelah ditodong, sama artinya bahwa aku takut akan pedangmu, Li Hwa. Apa bila kau ingin membunuhku, teruskan saja tusukkan pedangmu. Mengapa ragu-ragu?"
Li Hwa merapatkan gigi dengan gemas. "Aku tahu bahwa engkau tentu sudah mengambil bokor itu dan menyembunyikannya lagi. Engkau manusia palsu dan hatimu kotor, tidak sebersih kepalamu!"
Panas rasa perut Kun Liong, akan tetapi dia menekan hatinya. "Masa bodoh, aku baru mau bicara tentang bokor kalau engkau bersikap lebih manis kepadaku. Kalau tidak, mau bunuh, mau tusuk, mau bacok, terserah!" Dia lalu membalikkan tubuhnya membelakangi gadis itu!
"Bedebah! Kalau kau tidak mengaku di mana kau simpan bokor itu, kau akan kubunuh!"
"Nona Souw... nanti dulu... Yap-sicu ini..."
"Tio-lopek, harap jangan mencampuri urusan ini. Suhu sendiri yang menyerahkan tugas ini kepadaku!" Li Hwa berkata agak kaku.
Kakek itu mengangkat pundak. "Kalau begitu... aku akan membantu pasukan membasmi para pemberontak!" Setelah berkata demikian, kakek itu lantas berkelebat pergi ke medan pertempuran yang berlangsung ramai.
Mereka kini hanya berdua. Li Hwa sudah meloncat ke depan Kun Liong, mengelebatkan pedangnya. "Yap Kun Liong, kau masih keras kepala?"
"Souw Li Hwa, apa yang kau kehendaki?"
"Katakan di mana kau simpan bokor itu!"
"Simpan dulu pedangmu dan bersikaplah manis!"
"Tidak sudi!"
"Aku pun tidak sudi memberi keterangan."
"Kau menantang?"
"Kau yang keterlaluan!"
"Kubunuh kau!"
"Terserah!"
Li Hwa dengan gemas menggerak-gerakkan pedangnya. Sinar pedang bergulung-gulung menyambar ke sekeliling tubuh Kun Liong. Pemuda ini berkali-kali mendengar suara kain robek, pandang matanya kabur oleh sinar pedang dan tak lama kemudian, ketika pedang berhenti bergerak, masih tampak robekan bajunya beterbangan ke bawah ada pun tubuh atasnya sudah telanjang sama sekali!
Ternyata dara yang amat lihai ilmu pedangnya itu telah ‘mengupasnya’ bulat-bulat. Kun Liong merasa kagum sekali karena gerakan pedang tadi memang luar biasa dan sudah berhasil mengupas tubuh atasnya dengan merobek-robek bajunya tanpa sedikit pun juga mengenai kulit tubuhnya!
Akan tetapi dia menyembunyikan rasa kagumnya, bahkan tersenyum lebar dan berkata dengan nada mengejek sekali. "Nah, apakah engkau sudah puas? Lihat bentuk tubuhku, baguskah? Li Hwa, sesudah engkau melibat tubuhku tanpa tertutup baju, aku jadi ingin sekali melihat tubuhmu..."
"Plakkk!" Pipi kanan Kun Liong ditampar oleh telapak tangan kiri yang halus namun penuh terisi tenaga itu sehingga ada warna merah bekas tangan dara itu di pipi Kun Liong.
"Laki-laki ceriwis!"
"Ha-ha-ha-ha, memang aku ceriwis. Akan tetapi engkau yang sudah menelanjangi aku ini entah apa namanya. Sekali waktu akan kubalas engkau!"
"Apa? Mau membalas tamparanku?"
"Bukan. Membalas karena engkau menelanjangiku."
Sepasang mata yang bening itu terbelalak, dagu yang meruncing manis itu dijulurkan ke depan. "Kau... kau... hendak menelanjangi... bedebah, manusia kurang ajar kau!" Kembali tangan kiri Li Hwa bergerak, akan tetapi ditahannya dengan alis berkerut dan marah.
"Souw Li Hwa, engkau menelanjangiku dengan perbuatan, aku hanya dengan kata-kata dan engkau sudah mengatakan kurang ajar. Engkau sungguh terlalu dan tidak adil!"
Sejenak Li Hwa memandang pemuda itu dengan hati yang tidak karuan rasanya. Selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan orang seperti pemuda gundul ini yang begini berani, kurang ajar, akan tetapi juga tak dapat disangkal kebenaran ucapannya. Teringat akan bokor emas dan bahwa pemuda ini murid Bun Hwat Tosu, dia bersabar kembali dan bertanya,
"Kun Liong, jangan engkau main-main. Aku sungguh tak mengerti akan sikapmu. Engkau ini kawan ataukah lawan, engkau membela pemerintah ataukah memihak pemberontak. Sesungguhnya, di manakah adanya bokor itu?"
Kun Liong menarik napas panjang. "Nah, kalau begitu lebih baik. Kalau sikapmu ramah dan halus, maka pada wajahmu terbayang kecantikan asli dan engkau bertambah manis. Sungguh, Li Hwa. Seorang dara jelita seperti engkau ini tidak patut kalau mudah marah dan bersikap kejam. Aku akan memberi penjelasan, akan tetapi sebelumnya aku minta supaya diberi sebuah baju lebih dahulu. Aku tidak mau bicara denganmu dalam keadaan setengah telanjang begini!"
Li Hwa merapatkan giginya, akan tetapi dia kehabisan akal, tidak mau marah lagi karena memang kalau dipikir, dia telah bertindak keterlaluan dengan menghancurkan semua baju bagian atas dari tubuh pemuda itu. Dengan nyaring dia lalu memanggil seorang perwira dan memerintahkan perwira ini mengambilkan sepotong baju untuk ‘tawanan’ ini. Perwira itu memandang Kun Liong, tersenyum, lalu mengambil sepotong baju, menyerahkannya kepada Kun Liong, kemudian pergi lagi untuk melanjutkan pertempuran yang masih terus berlangsung di luar perkampungan.
"Li Hwa, kau lepaskan dulu belenggu ini. Tanpa dilepaskan, bagaimana aku bisa memakai baju ini?"
Karena apa yang diucapkan pemuda itu memang benar, meski pun hatinya gemas bukan main, Li Hwa terpaksa membuka belenggu itu dengan kunci belenggu. Akan tetapi begitu belenggu terputus, segera tampak sinar berkilat dan pedangnya sudah menodong lagi ke lambung pemuda itu.
Kun Liong melirik pedang, memandang wajah dara itu dan tersenyum lebar, kemudian menggerakkan kedua pundak dan mengenakan pakaian itu seenaknya seperti mengulur waktu.
"Hayo, cepat!" Li Hwa menghardik.
Sesudah Kun Liong selesai mengenakan baju, kembali belenggu itu dipasangkan kepada kedua pergelangan tangannya. Kun Liong tidak membantah, bahkan memandang dengan tersenyum, seolah-olah menghadapi seorang anak yang bengal.
"Nah, sekarang katakan di mana bokor itu."
"Kalau sudah kukatakan, kau akan membebaskan aku?"
"Enak saja! Kalau aku sudah mendapatkan bokor itu, baru kau akan kubebaskan."
"Wah-wah, kalau begitu akan lama kita berkumpul. Hemm, aku senang berkumpul dengan seorang dara yang cantik menyenangkan seperti engkau, Li Hwa, heh-heh..."
"Lekas katakan di mana!" Li Hwa menghardik lagi dan kembali pedangnya sudah dicabut.
"Aduhh, galak benar kau. Bokor itu telah terampas oleh Ketua dari Kwi-eng-pang..."
"Apa? Kwi-eng Niocu?"
"Benar. Tadi ada lima orang datuk kaum sesat, lengkap dan masih ditambah empat orang kakek yang tak kukenal. Mereka mengurungku dan karena aku merasa tak sanggup untuk menghadapi mereka, terpaksa aku tidak dapat mempertahankan bokor itu dan terampas oleh Kwi-eng Niocu. Dan memang sengaja kulemparkan kepadanya."
"Kau sengaja?" Mata yang indah itu terbelalak, penuh keheranan dan kemarahan.
"Mengapa kau berikan dia?"
"Karena aku menggunakan ini!" Dengan sepasang tangannya yang dibelenggu, Kun Liong mengusap kepalanya.
"Hemm, gundul seperti itu mana ada otaknya!" Li Hwa mengomel. "Hayo katakan, kenapa kau berikan wanita iblis itu?"
"Karena di antara lima orang datuk kaum sesat itu, hanya dialah yang sudah kuketahui dengan betul sarangnya, dan selain itu, juga aku masih mempunyai perhitungan dengan dia yang telah mencuri dua buah benda pusaka Siauw-lim-pai. Karena itu, biar sementara kutitipkan bokor itu kepadanya."
"Kau titipkan? Tolol! Bodoh sekali! Jika dia mengetahui rahasia bokor, celaka sekali. Aku harus cepat merampasnya kembali. Dasar kau tolol!"
"Memang aku tolol, habis mengapa?"
"Huhh!" Li Hwa mendengus, kemudian dia memanggil seorang perwira, memerintahkan perwira itu untuk mengumpulkan sepasukan kecil untuk menjaga Kun Liong.
"Jangan biarkan dia lari, kalau perlu bunuh saja!" dia memerintah.
"Wah, galaknya, Li Hwa, jangan khawatir, aku tidak akan lari darimu, apa lagi karena aku belum membalas perbuatanmu tadi." Kun Liong tertawa pada saat melihat belasan orang prajurit pemerintah mengepungnya dan menjaganya dengan senjata terhunus.
Wajah Li Hwa menjadi merah sekali karena dia tahu apa yang dimaksudkan oleh Kun Liong dengan pembalasan itu, maka tanpa bicara lagi dengan pedang terhunus di tangan dia sudah berlari cepat ke arah pertempuran untuk membantu pengawal Tio Hok Gwan bersama pasukannya membasmi pemberontak, dan hal ini tidak sulit karena pemberontak telah mulai terdesak dan sudah ada yang melarikan diri.
Ketika Li Hwa meninggalkan pasukannya yang tadinya mengalami kekalahan, di tengah jalan dia bertemu dengan pengawal tua pengantuk yang lihai itu bersama pasukannya, maka dia lalu mendapat bantuan dan bersama-sama pasukannya yang menanti, mereka kemudian menyerbu perkampungan pemberontak dan sekali ini, karena jumlah pasukan pemerintah lebih besar, mereka berhasil mendesak kaum pemberontak yang dibantu oleh orang-orang asing itu.
Karena kini jumlah pasukan pemerintah lebih banyak, terutama sekali karena amukan Tio Hok Gwan dan Souw Li Hwa, maka perang itu tak berlangsung terlalu lama dan pasukan pemberontak dipukul hancur, banyak jatuh korban, banyak para pimpinan pemberontak ditawan dan banyak pula yang melarikan diri, termasuk Hendrik. Perkampungan nelayan yang dijadikan sarang pemberontak itu dapat direbut dan Li Hwa segera bersama Tio Hok Gwan mengerahkan pasukan mengadakan pembersihan dan mengumpulkan tawanan di sebuah pondok besar dan dijaga ketat.
Sesudah perang selesai dan anak buahnya sibuk mengurus korban, karena pakaiannya kotor ternoda darah musuh dan tubuhnya terasa lelah, Li Hwa lalu pergi ke sebuah tempat sunyi yang terlindung oleh tebing-tebing batu dan pepohonan. Dia menanggalkan semua pakaiannya yang kotor dan menaruh pakaian bersih pengganti di tepi sungai, kemudian dia terjun ke air sungai yang amat tenang dan cukup jernih di bagian itu.
Sambil berendam di air yang sejuk sedalam pinggang, Li Hwa mencuci seluruh tubuhnya, merasa segar dan gembira sekali. Akan tetapi sambil menggosok-gosok tubuhnya, dara ini termenung dan alisnya berkerut ketika dia teringat akan semua yang terjadi selama beberapa hari ini. Di depan matanya terbayang wajah tiga orang pemuda yang sangat mengesankan hatinya dan yang menimbulkan bermacam perasaan.
Wajah Hendrik yang telah menawannya serta menciumnya dengan paksa, mendatangkan perasaan benci yang amat besar dan diam-diam mengharapkan agar pemuda asing yang dibencinya itu tewas dalam perang atau setidaknya berada di antara para tawanan!
Wajah ke dua adalah wajah Yuan de Gama, pemuda asing yang telah menolongnya dan teringat akan Yuan, kedua pipi Li Hwa menjadi merah. Yuan juga menciumnya, mencium mulutnya dengan sangat mesra, akan tetapi bukan mencium dengan paksa atau sengaja untuk berbuat kurang sopan, tapi ciuman untuk menghindarkan kecurigaan para penjaga, ciuman untuk menolongnya dan membebaskannya. Dan entah mengapa, teringat akan ini Li Hwa merasa malu sekali, jantungnya berdebar aneh dan ada keinginan mendesak di hatinya, keinginan untuk bertemu lagi dengan Yuan de Gama!
Wajah ke tiga adalah wajah seorang pemuda berkepala gundul, Yap Kun Liong. Wajah ini menimbulkan kegemasan dalam hatinya, geram kecewa, akan tetapi juga kagum. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan dua orang pemuda seperti Yuan de Gama dan Yap Kun Liong.
Bila teringat akan bokor emas, hatinya menjadi makin gemas kepada Kun Liong. Celaka benar pemuda itu. Bokor telah didapat, malah diserahkan kepada Kwi-eng Niocu!
Dia ingin sekali mendapatkan bokor emas itu. Dia tahu alangkah akan gembiranya hati gurunya, Panglima Besar The Hoo kalau saja dia dapat menyerahkan bokor itu kepada gurunya. Gurunya merupakan satu-satunya orang di dunia ini yang sangat dihormatinya, pengganti orang tuanya yang telah tiada.
Li Hwa sudah menjadi seorang yatim piatu karena ayah bundanya telah meninggal dunia beberapa tahun yang lampau. Ayahnya, Souw Bun Hok, bekas juru mudi suhu-nya, telah meninggal lebih dulu tujuh tahun yang lalu. Kemudian ibunya terserang penyakit menular, meninggal dua tahun yang lalu. Karena dia tidak mempunyai keluarga lain, maka hanya Panglima The Hoo, gurunya itulah yang menjadi pengganti orang tuanya.
Bahkan kini dia meninggalkan rumah orang tuanya di Liok-ek-tung, diminta oleh suhu-nya untuk tinggal di istana panglima itu, sebagai murid, juga seperti anak sendiri oleh karena suhu-nya tidak mempunyai anak. Tentu saja dia ingin menggembirakan hati gurunya yang sudah dianggap seperti orang tua sendiri itu. Celakanya, semua menjadi gagal karena ketololan Kun Liong!
Memang The Hoo yang tidak mempunyai anak merasa amat suka kepada muridnya ini. Semenjak kecil, Li Hwa yang mempunyai bakat dan tulang baik itu sudah diambil murid oleh The Hoo. Biar pun orang sakti ini tidak sempat menurunkan seluruh kepandaiannya yang tinggi dan hanya di waktu dia datang ke rumah juru mudinya saja dia mengajar Li Hwa, namun dara ini sudah memiliki ilmu kepandaian hebat sekali, terutama sekali Ilmu Silat Jit-goat Sin-ciang-hoat yang menggunakan tenaga Im-yang Sinkang dan yang lebih menakutkan lawannya adalah ilmunya It-ci-san, yaitu ilmu menotok yang lihai.
Ketika melihat betapa dara itu ditinggal mati ayah bundanya, The Hoo merasa semakin kasihan dan memanggil muridnya untuk tinggal di kota raja, di dalam istananya. Di tempat ini, selain menjadi pengurus rumah tangga gurunya, mengepalai semua pelayan dalam, juga kadang-kadang Li Hwa mewakili gurunya dalam urusan besar seperti menumpas kaum penjahat dan pemberontak.
Pada waktu The Hoo menerima laporan dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong mengenai pemberontakan yang timbul di Ceng-to, dia lalu mengerahkan tenaga para pembantunya, bahkan Li Hwa sendiri disuruh mengepalai pasukan untuk mengadakan pembersihan di sepanjang Sungai Huang-ho! Tio Hok Gwan, pengawal kepala yang sangat lihai itu pun mengepalai pasukan, sedangkan pasukan besar yang menyerbu ke Ceng-to, di samping dipimpin panglima-panglima perang yang berpengalaman, juga dibantu oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong sendiri atas permintaan Panglima Besar The Hoo!
Sambil mandi membersihkan tubuhnya, Li Hwa mengenangkan ini semua, dan dia pun menjadi kecewa karena gagal mendapatkan bokor emas. Dia bermaksud untuk memimpin pasukannya untuk menyerbu ke Telaga Kwi-ouw, hendak menyerang Kwi-eng-pang untuk merampas kembali bokor emas, ada pun para tawanan pemberontak akan dia serahkan kepada Tio Hok Gwan agar digiring ke kota raja sebagai tawanan perang.
Suara orang berdehem membuat Li Hwa terkejut sekali. Dia menoleh dan...
“Ihhh...!" Dara itu langsung menjerit ketika melihat Kun Liong si kepala gundul telah duduk metongkrong di atas sebuah batu di pinggir sungai, dekat tumpukan pakaian Li Hwa!
"Heh-heh-heh, indah dan sedap sekali pemandangan di sini!" Kun Liong berkata ke arah punggung Li Hwa yang putih mulus itu.
"Bedebah! Setan iblis siluman keparat kau, Kun Liong!" Li Hwa menjerit-jerit sambil cepat merendam tubuhnya semakin dalam. Dia berjongkok di dalam air sehingga air sampai ke lehernya, barulah dia berani memutar tubuh dan memandang pemuda itu dengan mata terbelalak penuh kemarahan.
Yang dimarahi tersenyum-senyum lebar, menggerak-gerakkan alis dan matanya seperti orang tidak mengerti. "Lho, mengapa marah-marah tidak karuan? Apa salahku sekali ini, Nona manis?"
"Yap Kun Liong manusia cabul! Hayo lekas pergi kau, kalau tidak... hemmmm... aku bersumpah untuk membunuhmu sekarang juga!"
"Heh-heh-heh..." Kun Liong terkekeh dan menjadi makin gembira. Kini dia merasa dapat membalas dendam terhadap dara yang sudah beberapa kali menghinanya itu. "Engkau memang seorang dara yang jelita, manis dan galak, dan engkau memang juga menjadi pemimpin pasukan. Akan tetapi aku belum mendengar bahwa kau telah menjadi siluman penunggu Sungai Huang-ho."
"Apa... apa maksudmu?" Li Hwa membentak dengan kedua tangan sibuk menutupi dada, seakan-akan air yang menutupi dadanya itu masih belum cukup untuk menyembunyikan bagian tubuh ini dari pandang mata Kun Liong yang tajam.
"Kau mengusir aku pergi seolah-olah tempat ini menjadi hakmu, maka agaknya engkau telah menjadi siluman penunggu sungai maka kau menghaki tempat ini dan mengusir aku pergi!"
"Jahanam kau! Sengaja mengintai orang mandi, ya? Tak tahu malu! Cihhh, laki-laki mata keranjang, cabul, muka tembok!"
"Ha, hendak kulihat siapa yang lebih kuat bertahan. Kau yang memaki-maki di sana atau aku yang duduk di sini. Aku akan duduk di sini selama engkau masih memaki-maki aku."
Kun Liong duduk seenaknya dan kini dia mengambil baju Li Hwa, mempermainkan baju itu sambil mengomel, "Bagaimana ya rasanya kalau baju dirobek-robek orang?" Dan dia membuat gerakan seperti hendak merobek-robek baju itu.
"Kun Liong keparat kau! Jangan robek-robek bajuku!" Saking marahnya, Li Hwa sampai lupa diri, bangkit berdiri sehingga tubuh bagian atasnya tampak.
Lengan kirinya dilingkarkan sebisanya untuk menutupi dadanya yang membusung, tangan kanannya menuding ke arah Kun Liong di sebelah belakangnya dengan marah. Kun Liong bangkit berdiri dan mengulurkan kedua tangan terbelenggu yang kini memegang baju Li Hwa.
"Sabar Nona manis, aku tidak merobek bajumu. Aku hanya ingin melihat tubuhmu seperti kau telah melihat tubuh. Duhaiii... indahnya, halusnya... hemmm..."
"Cluppp...!" Li Hwa sudah berjongkok lagi.
"Kun Liong... jangan... jangan kau goda aku begini..." Dia hampir menangis, kedua pipinya kemerahan. Amarahnya yang memuncak masih kalah oleh rasa malu dan bingungnya.
"Siapa menggoda siapa? Kau merobek-robek bajuku dengan sengaja, kau pun menampar pipiku, kau juga membelenggu tanganku. Apa saja yang tidak kau lakukan terhadapku? Dan aku datang bukan sengaja menelanjangimu, kau bertelanjang sendiri, tidak ada yang menyuruhmu. Siapa menggoda?"
"Kun Liong... demi Tuhan! Kasihanilah aku, pergilah kau... biarkan aku berpakaian lebih dulu..."
"Kau mau berpakaian? Siapa yang melarang? Nah, berpakaianlah!" Kun Liong kembali mengulurkan kedua tangannya yang memegang baju sambil tersenyum mengoda, penuh kegembiraan, matanya bersinar-sinar, mukanya berseri dan diam-diam dia kagum bukan main karena baru sekarang dia melihat keindahan tubuh seorang dara, biar pun ditutup-tutupi akan tetapi menambah keindahan yang melampaui apa yang pernah diimpikannya itu.
"Lemparkan pakaianku ke sini!" Li Hwa berteriak.
Kun Liong menggelengkan kepala dan kembali duduk di atas batu. "Tidak, kau harus mengambilnya ke sini."
"Kun Liong, tidak malukah kau dengan perbuatanmu ini? Kau tidak sopan, kau cabul!"
"Heh-heh, apanya yang cabul? Aku tak berniat menjamahmu, tak berniat menggagahimu. Aku hanya ingin melihat dan mengagumi keindahan tubuhmu, seperti engkau yang sudah melihat dan menghina keburukan tubuhku. Nah, apa salahnya?"
"Kun Liong, aku... aku malu sekali. Pergilah kau lebih dahulu. Atau kau berpaling, jangan menghadap ke sini. Setelah aku berpakaian, baru kita bicara."
Kun Liong tidak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya yang gundul. Kemudian dia bersenandung! Rantai yang membelenggu dua tangannya dipukul-pukulkan ke atas batu sehingga menimbulkan suara berdencing dan berirama mengikuti suara senandungnya.
Li Hwa masih berjongkok. Kedua pipinya basah, akan tetapi Kun Liong mengira bahwa yang membasahi pipi itu adalah air sungai. Dia belum tahu bahwa sebetulnya sudah ada beberapa butir air mata yang meloncat turun dari sepasang mata yang kebingungan dan kehabisan akal itu.
Betapa pun lihainya Li Hwa, betapa pun galaknya dia, dalam keadaan bertelanjang bulat di dalam air dan pakaiannya dikuasai oleh Kun Liong, membuat gadis ini sama sekali kehabisan akal dan tidak tahu harus berbuat bagaimana. Satu-satunya hal yang dapat dia lakukan hanya memaki-maki dan menangis! Akan tetapi, dia tahu bahwa memaki-maki tidak ada gunanya, sedangkan untuk terang-terangan menangis, dia tidak sudi!
Kini Kun Liong bernyanyi! Suaranya memang cukup merdu, karena sejak kecil dia gemar bernyanyi, dan dia menguasai lagu nyanyian itu, tidak sumbang.
“Sang Dewi mandi di telaga
duhai cantik jelita
perawan remaja!”
"Kun Liong, lemparkan pakaianku ke sini!" Li Hwa kembali menjerit.
“Rambutnya awan tipis di angkasa
matanya sepasang bintang bercahaya
dagu dan lehernya... amboiii…!”
"Kun Liong, kasihanilah aku...!"
“Tubuhnya batang pohon yangliu
penuh lekuk lengkung sempurna
kulitnya lilin putih diraut...”
"Kun Liong...!"
"Hidung mancung bibir...
haiii... gendewa terpentang...
dadanya..."
"Kun Liong!"
"Dadanya... wah, dadanya..."
"Kun Liong..."
Pemuda itu terkejut karena panggilan ini disertai isak. Dia memandang penuh perhatian dan melihat betapa air mata bercucuran dari sepasang mata itu. Dara itu menangis!
"Datanglah seorang penggembala
melarikan pakaian Si Juwita
menangislah perawan remaja..."
Tangis Li Hwa makin mengguguk. Dengan tubuh terendam air sampai ke leher, dara itu menangis, menutupi muka dengan kedua tangannya.
"Li Hwa, jangan menangis. Aku hahya main-main... wah, maafkan aku. Jangan menangis, tak tahan aku melihatnya. Nah, ini pakaianmu. Aku akan berdiri membelakangimu kalau kau malu. Padahal tidak semestinya malu. Kalau saja aku memiliki tubuh seperti engkau, hemmm... sebaliknya dari pada malu, aku malah akan merasa bangga sekali, Li Hwa."
Melihat pemuda itu sudah berdiri membelakanginya, Li Hwa melangkah keluar dari air, matanya tidak pernah berkejap memandang punggung pemuda itu dan untuk mencegah pemuda itu menoleh, dia cepat berkata sambil menyambar pakaiannya. "Jadi engkau menjadi penggembala itu?"
"Heh-heh!" Kun Liong terkekeh dan mengangguk.
"Pantas kau berbau kerbau." Li Hwa berkata asal saja, sebab maksudnya untuk menarik perhatian Kun Liong agar jangan menoleh sebelum dia selesai berpakaian.
Akan tetapi karena tergesa-gesa, kedua tangannya menggigil dan dia menjadi panik. Baru sekali ini selama hidupnya dia merasa betapa sukarnya berpakaian! Seolah-olah pakaian itu membantu Kun Liong menggodanya, mencekik di bagian leher, buntu ketika dimasuki kaki tangannya.
"Sudah selesaikah?" Kun Liong bertanya.
"Nanti dulu...!"
Akan tetapi dengan ketajaman pendengarannya, Kun Liong maklum bahwa dara itu telah selesai mengenakan pakaian dalamnya, maka dia lalu memutar tubuhnya. Dengan penuh kagum dia memandang dara yang kini sudah memakai pakaian dalam yang serba ketat dan berwarna merah muda itu.
"Betapa cantiknya engkau, Li Hwa..."
Li Hwa semakin panik. Dia membalikkan tubuh dan karena paniknya, dia mengenakan pakaian luarnya dengan terbalik! Setelah selesai, dia melibat Kun Liong tertawa bergelak, maka marahlah dia.
"Jahanam keparat!"
"Ha-ha-ha, pakaian luarmu terbalik. Ho-ho, lucunya! Jahitannya di luar... eh, lucu benar... ha-ha-ha!"
Li Hwa memandang pakaiannya dan merapatkan giginya ketika melihat bahwa pakaian luarnya benar-benar terbalik. "Hihhh... kubunuh kau...!" gerutunya.
Pakaian luarnya direnggutnya terlepas lagi, kini saking marahnya tidak peduli lagi kepada Kun Liong, tidak membalikkan tubuh sehingga Kun Liong dapat menikmati tubuh depan yang hanya tertutup oleh pakaian dalam yang tipis merah muda itu. Setelah mengenakan pakaian luarnya, Li Hwa lalu menggelung rambutnya dan memandang Kun Liong dengan mata bernyala.
Kun Liong amat terpesona. Baru sekarang dia melihat seorang dara menggelung rambut di depannya. Gerakan kedua tangan, sepasang lengan diangkat di atas kepala. Betapa manisnya!
"Li Hwa, tahukah engkau akan dongeng penggembala dan puteri yang mandi? Setelah Si Penggembala melarikan pakaian Si Puteri, puteri itu menangis, Si Penggembala merasa kasihan, mengembalikan pakaian dan akhirnya mereka... kawin!"
"Kau... kau...!" Muka Li Hwa merah sekali.
"Aahh, jangan marah, Li Hwa. Penggembala itu mengawini Si Puteri Mandi, akan tetapi jangan khawatir, aku tidak akan mengawinimu. Tidak, kita tidak akan menjadi suami isteri seperti mereka."
Alangkah kaget dan heran hati Kun Liong ketika dia melihat betapa kata-katanya ini malah membuat dara itu marah bukan main. Li Hwa melangkah maju dan dengan kedua mata berapi-api dia berkata,
"Kun Liong, penghinaanmu kepadaku sudah tiada taranya dan hanya bisa ditebus dengan nyawa! Biar pun engkau mencurigakan dan mungkin bersekutu dengan pemberontak, dan walau pun engkau sudah berkhianat dengan menyerahkan bokor kepada Kwi-eng Niocu, namun mengingat engkau murid Bun Hwat Tosu, aku masih segan untuk membunuhmu dan akan menyerahkanmu kepada Suhu. Akan tetapi, penghinaan-penghinaan yang kau lakukan kepadaku merupakan urusan kita pribadi dan harus diselesaikan sekarang juga!"
"Aihh, Li Hwa. Apa maksudmu?"
"Aku tahu bahwa engkau seorang yang memiliki kepandaian dan sebagai murid Bun Hwat Tosu, kiranya engkau tidak diajarkan menjadi seorang pengecut oleh kakek terhormat itu. Mungkin engkau bukanlah pemberontak, akan tetapi yang jelas, engkau sudah bersikap kurang ajar dan menghinaku. Mari kita bereskan persoalan antara kita dengan mengadu kepandaian. Kalau aku kalah, aku berjanji tidak akan menawanmu lagi dan bokor itu akan kucari sendiri."
"Kalau aku yang kalah?"
"Engkau harus berlutut minta ampun atas kekurang ajaranmu, selanjutnya menurut segala kehendakku tanpa membantah, atau kau akan kubunuh."
"Hemm, keputusan yang adil juga. Dan memang aku mempunyai banyak urusan sehingga sudah mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat ini. Engkau tentu akan merasa penasaran kalau belum berhasil memukul jatuh aku, meski pun kau sudah beberapa kali menampar dan memaki. Nah, aku sudah siap!" Kun Liong bangkit berdiri lalu meloncat ke belakang, ke tempat yang datar.
Li Hwa segera menyusul dengan loncatan ringan, akan tetapi dara ini tidak mencabut pedangnya yang sudah diikat pada punggungnya. Bahkan dia tidak menyerang, hanya memandang pemuda gundul itu, kemudian berkata, "Dekatkan kedua tanganmu, akan kubuka dulu belenggumu."
Akan tetapi Kun Liong menggelengkan kepalanya. "Biarlah, Li Hwa, kukira hal itu tidak perlu."
"Hemm, kau kira aku berwatak pengecut hendak melawan orang yang kedua tangannya terbelenggu? Akan kubebaskan dulu kau."
"Tidak usah, aku dapat membebaskan kedua tanganku sendiri." Kun Liong menggerakkan kedua lengannya sambil mengerahkan tenaga sinkang.
"Krekkrekkk...!" belenggu kedua tangannya itu patah-patah!
Li Hwa memandang dengan kaget dan kagum, akan tetapi juga marah sekali karena dia tahu bahwa selama ini, Kun Liong sengaja membiarkan dirinya ditawan dan dibelenggu sehingga diam-diam tentu mentertawakannya dan hal itu sama dengan mempermainkan dirinya.
"Bagus! Sekarang tidak perlu kau berpura-pura lagi. Sambutlah!"
Li Hwa langsung menerjang maju, gerakannya cepat bukan main seperti seekor burung walet menyambar, tangan kirinya menampar ke arah ubun-ubun kepala lawan sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah lambung. Sebuah serangan yang amat dahsyat serta berbahaya karena selain cepat, juga mengandung hawa pukulan yang antep dan kuat. Tidaklah mengherankan karena memang dia telah mengeluarkan jurus ampuh dari Ilmu Silat Jit-goat Sin-ciang-hoat dan menggunakan tenaga sakti Im-yang Sinkang.
"Hayaaaaa...!"
Kun Liong terkejut sekali, cepat-cepat membuang tubuh ke kanan untuk menghindarkan tamparan, lantas lengan kirinya menangkis cengkeraman tangan kanan lawannya yang lihai.
Akan tetapi, begitu jurus pertama gagal, dengan kecepatan mengagumkan Li Hwa sudah menerjang dengan jurus susulan yang lebih ampuh lagi. Gerakan dara ini memang gesit sekali dan ilmu silat yang dimainkannya adalah limu silat tinggi yang dipelajarinya dari gurunya, The Hoo yang sakti, maka tentu saja semua serangannya merupakan serangan maut yang berbahaya.
Kun Liong tidak sempat main-main lagi karena dia pun maklum bahwa tingkat kepandaian dara ini sudah sangat tinggi sehingga sekali saja dia terkena cium tangan dara itu, belum tentu kekebalannya akan dapat melindunginya baik-baik. Maka dia pun lalu mengimbangi semua terjangan dara itu dengan permainan Ilmu Silai Pat-hong Sin-kun.
Dia sengaja memilih Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin) ini karena ilmu inilah yang paiing cepat gerakannya di antara semua ilmu yang diketahuinya dan paling tepat untuk mengimbangi gerakan Li Hwa yang demikian gesitnya. Betapa pun juga, dia terus terdesak karena memang Kun Liong tidak pernah dan tidak mau membalas, hanya menjaga diri dengan elakan dan tangkisan.
Setelah lewat lima puluh jurus belum juga dapat merobohkan lawan, apa lagi merobohkan bahkan satu kali pun belum pernah dia dapat memukul tubuh Kun Liong, padahal pemuda itu sama sekali tidak pernah membalas serangannya, Li Hwa menjadi terkejut, heran, kagum dan juga penasaran! Dia sudah menduga bahwa sebagai murid Bun Hwat Tosu, pemuda gundul itu tentu memiliki kepandaian tinggi sekali. Akan tetapi sama sekali tidak disangkanya bahwa pemuda itu akan dapat melawannya tanpa balas menyerang sama sekali, padahal dia sudah mempergunakan seluruh sinkang dan ginkang yang dilatihnya bertahun-tahun, dan mainkan Ilmu Silat Jit-goat Sin-ciang-hoat ciptaan suhu-nya yang amat dahsyat!
Sebenarnya tidak mengherankan kalau saja Li Hwa mengetahui bahwa selain menerima latihan dari Bun Hoat Tosu yang sakti selama lima tahun, lawannya juga telah digembleng secara hebat di dalam kamar rahasia oleh tokoh utama Siauw-lim-pai, yaitu Tiong Pek Hosiang! Dari kakek luar blasa ini, selain ilmu-ilmu khusus seperti Im-yang Sin-kun dan Pek-in Ciang-hoat, juga Kun Liong telah digembleng dengan ilmu yang menjadi inti sari dari semua ilmu Siauw-lim-pai, yaitu Ilmu Mukjijat I-kin-keng!
I-kin-keng adalah ilmu silat mukjijat yang dulunya diciptakan oleh Tat Mo Couwsu, pendiri Siauw-lim-pai. Mula-mula I-kin-keng diajarkan oleh Tat Mo Couwsu untuk mendatangkan kesehatan dan kekuatan kepada para pendeta yang menjadi muridnya ketika dia melihat murid-murid ini lesu dan mengantuk selagi mendengarkan pelajaran kebatinan. Maklumlah Tat Mo Couwsu betapa pentingnya olah raga untuk menjaga kesehatan para pendeta itu, maka mulailah Tat Mo Couwsu mengajarkan olah raga yang dinamakan I-kin-keng dan yang harus dilatih oleh semua anak murid setiap pagi.
Pada mulanya, hanya ada dua belas gerakan atau jurus saja yang diciptakan oleh Tat Mo Couwsu, akan tetapi kedua belas jurus ini kemudian berkembang biak menjadi delapan belas, bahkan kemudian oleh pendeta Chueh Yuan dikembangkan menjadi tujuh puluh dua jurus, yang menjadi dasar dari ilmu silat Siauw-lim-pai.
Kemudian, bersama-sama dua orang kakek sakti yang bemama Li Cheng dan Pai Yu Feng dari Kansu dan Shansi, Chueh Yuan mengembangkan lagi, dari tujuh puluh dua jurus menjadi seratus tujuh puluh gerakan. Semua ini dibagi menjadi lima kelompok yang disebut Gaya Naga, Gaya Harimau, Gaya Macan Tutul, Gaya Ular dan Gaya Bangau. Gaya Naga Melatih Semangat, Gaya Harimau Melatih Tulang, Gaya Macan Tutul Melatih Kekuatan, Gaya Ular Melatih Khikang, Gaya Bangau Melatih Otot.
Oleh Tiong Pek Hosiang Kun Liong telah digembleng dengan I-kin-keng yang asli hingga selain tubuhnya kuat, juga dia mempunyai kecepatan yang didasari khikang dan ginkang. Oleh karena inilah, meski pun Li Hwa adalah murid The Hoo yang sakti, dia tetap dapat mengimbangi gerakan dara itu.
Apa bila dibuat perbandingan, meski pun gerakan Li Hwa kelihatan lebih lincah dan indah, tetapi dia kalah gemblengan! Kun Liong terus-menerus digembleng oleh dua orang kakek sakti selama sepuluh tahun, ada pun Li Hwa hanya kadang-kadang saja bertemu dengan gurunya yang mempunyai kedudukan tinggi dan tugas yang amat berat dan banyak. Apa lagi karena berhubung dengan tugasnya, The Hoo sering kali mengadakan pelayaran ke negeri-negeri jauh di seberang lautan sehingga Li Hwa harus berlatih sendiri.
Saking merasa penasaran dan marah, Li Hwa mengeluarkan lengking panjang kemudian dia menyerang dengan ilmu yang paling diandalkannya, yaitu ilmu It-ci-san yang ampuh. It-ci-san ialah ilmu tiam-hiat-hoat (menotok jalan darah) menggunakan sebuah jari, hebat bukan main karena dengan totokan satu jari ini dia dapat merobohkan orang, bahkan jika mengenai sasaran jalan darah kematian, dapat mendatangkan maut. Dua tangan yang mungil itu kini seakan-akan memegang senjata yang amat ampuh dan berbahaya, dan tusukan-tusukannya sampai mengeluarkan desir angin dingin!
"Waduhhh, kau memang hebat, Li Hwa...!"
Li Hwa tidak mempedulikan pujian Kun Liong yang terus mengelak ke sana-sini, dia tetap mengejar dan mengambil keputusan untuk merobohkan lawan dengan cara apa pun juga, karena kalau tidak, dia tidak akan berhenti merasa penasaran sekali.
"Plak-plak-plak!"
Bertubi-tubi datangnya serangan totokan Li Hwa, akan tetapi semua dapat ditangkis oleh Kun Liong. Sekali ini pemuda itu mengerahkan sinkang-nya sehingga kedua tangannya mengandung tenaga Pek-in Ciang-hoat. Uap putih mengepul dari dua telapak tangannya sehingga ketika dia menangkis, tubuh Li Hwa segera terdorong ke belakang dan hampir terjengkang.
"Aihhh...!" Li Hwa menjadi marah sekali.
"Singgg...!" Dia sudah mencabut pedang.
"Nah, ini dia... dia lari ke sini...!"
Lima belas orang prajurit bermunculan dan serta-merta mengepung dan mengeroyok Kun Liong. Mereka adalah orang-orang yang tadi ditugaskan untuk menjaga Kun Liong ketika Li Hwa pergi mandi. Melihat mereka, timbul rasa gemas di hati dara itu dan dia bertanya kepada perwira yang memimpin pasukan kecil itu.
"Bagaimana dia sampai dapat lolos?"
"Maaf, Lihiap. Dia bilang ingin kencing, maka terpaksa kami antar ke pinggir sungai, dan tiba-tiba dia meloncat ke atas pohon, ketika kami mencarinya, dia telah lenyap. Tahu-tahu berada di sini dan untung ada Lihiap yang menahannya..."
"Sudahlah, kalian semua tolol!" Li Hwa membentak dan dengan hati kesal dia menyimpan kembali pedangnya.
Dia merasa malu apa bila harus mengeroyok, bahkan dia harus mengakui bahwa dalam pertandingan tadi, walau pun dia tidak sampai roboh, akan tetapi terang bahwa dia kalah lihai oleh Kun Liong. Jika tadi dia mencabut pedang hanya karena dorongan amarahnya, akan tetapi setelah dia menyadari bahwa dia tidak akan mampu menang, dia pun teringat janjinya untuk membebaskan Kun Liong, maka dia menyimpan pedangnya dan tidak mau ikut mengeroyok.
Sesudah Li Hwa tidak menyerangnya, legalah hati Kun Liong. Biar pun kini ada lima belas orang prajurit yang mengeroyok dirinya dengan bermacam senjata, dengan enak saja dia dapat mengelak ke sana sini, meloncat tinggi melampaui kepala mereka, turun ke depan Li Hwa, menjura dan berkata,
"Terima kasih atas kebaikanmu, Li Hwa. Kulihat Yuan de Gama itu amat baik terhadapmu akan tetapi hati-hatilah terhadap Hendrik. Nah, selamat tinggal dan sampai jumpa pula!"
Sesudah berkata demikian, melihat para prajurit sudah mengejarnya lagi, Kun Liong lalu melompat jauh dan lari dari tempat itu.
Para prajurit mengejar, akan tetapi Li Hwa lalu kembali ke perkampungan pemberontak yang telah mereka duduki. Dia bertemu dengan Tio Hok Gwan yang mengatakan bahwa lebih dari lima puluh orang pemberontak tertawan, termasuk lima orang asing.
"Apa yang harus kita lakukan dengan mereka?" Tio Hok Gwan bertanya. "Jumlah mereka terlalu banyak dan kiranya hanya akan mendatangkan kesukaran saja bagi kita."
"Habis, apakah kita harus membunuh mereka begitu saja?" Li Hwa berkata, "Tio-lopek, tawanan tetap saja tawanan apa lagi kalau diingat bahwa mereka itu pun adalah prajurit-prajurit pemerintah. Jika mereka dapat diinsyafkan, tentu mereka tidak akan melanjutkan penyelewengan. Sebaiknya Lopek memimpin sebagian pasukan Lopek untuk mengawal para tawanan ke kota raja. Terserah bagaimaria keputusan pengadilan di kota raja. Ada pun aku sendiri akan memimpin pasukan untuk mengejar orang yang sudah merampas bokor emas."
"Hehh? Siapa dia?"
"Kwi-eng Niocu Ketua Kwi-eng-pang." Li Hwa lalu menceritakan pengakuan Kun Liong tentang bokor yang terjatuh ke tangan Kwi-eng Niocu.
"Memang bokor itu harus cepat dikejar dan dirampas kembali," berkata kakek pengantuk yang lihai ini, "Akan tetapi amatlah berbahaya kalau kau mengejar ke sana, Nona Souw, Kwi-eng Niocu lihai bukan main, anak buahnya juga banyak, belum lagi dengan adanya Siang-tok Mo-li yang juga tinggal di Kwi-ouw."
"Aku tahu, Lopek. Aku pun tidak akan bertindak sembrono. Apa bila Lopek sudah selesai mengawal tawanan sampai ke kota raja, Lopek dapat segera menyusulku dan membantu pencarian kembali bokor yang terampas oleh mereka."
Terpaksa kakek itu setuju dan Li Hwa lalu memasuki tempat tawanan. Ketika dia sedang berjalan-jalan memeriksa, di sudut terdengar ribut-ribut.
"Manusia biadab, apa engkau sudah bosan hidup? Kubunuh engkau!" seorang penjaga berteriak marah sambil mengacungkan goloknya di luar sebuah kerangkeng tahanan.
"Hemmm, mau bunuh boleh saja. Siapa yang takut mati? Sesudah aku berada di dalam cengkeraman kalian, memang mati hidupku terserah kepada kalian. Akan tetapi jangan mengira bahwa sesudah tertawan aku boleh diperlakukan sembarangan saja! Aku bukan anjing dan aku tak sudi makan makanan anjing!" Terdengar suara berkerontangan ketika piring dilempar ke luar dari tempat tahanan itu.
"Bedebah, mampuslah engkau!" Penjaga yang marah itu hendak membacok ke dalam kerangkeng.
"Tahan...!" Li Hwa meloncat dan memegang lengan penjaga itu, kemudian mendorongnya mundur. Penjaga yang marah-marah itu penasaran, akan tetapi tidak berani membantah dan segera pergi ketika Li Hwa menyuruhnya.
Ketika mendengar suara tawanan yang menolak makanan tadi, seperti telah diduga oleh Li Hwa, ketika dia tiba di depan kerangkeng, dia melihat Yuan de Gama berdiri di sana dengan sikap angkuh! Dada pemuda asing yang tampan itu terluka, dan lukanya dibalut dengan robekan bajunya sendiri.
"Bedebah! Setan betina! Hendak kulihat apakah engkau masih tetap berkeras tidak mau melayani cintaku!"
Hendrik sudah betul-betul tergila-gila kepada Li Hwa. Kalau menghadapi wanita lain yang menolak cintanya, seperti biasanya, tentu ia akan menggunakan kekerasan, memperkosa gadis yang sedang terbelenggu itu. Akan tetapi sungguh aneh, dia merasa berat untuk melakukan hal ini terhadap Li Hwa.
Dia tahu bahwa gadis perkasa ini merupakan seorang dara pilihan, dan alangkah akan senang hatinya kalau dia dapat memperolehnya dengan cara yang baik, dengan sukarela. Betapa akan bahagianya apa bila gadis ini membalas cintanya, bukan menyerahkan diri karena terpaksa dan karena diperkosa.
Dipondongnya tubuh gadis itu keluar pondok, diletakkan dan dirantai pada tiang sebelah rumah. Kemudian dia membuat api unggun dan meletakkan sebungkus mesiu di dekat kaki Li Hwa yang terbelenggu.
"Kau lihat ini? Mesiu yang akan meledak begitu api itu menjalar sampai ke dekatnya. Kau sudah lihat tadi. Rumah dan batu itu hancur oleh ledakan, dan kalau kau tidak menurut, bungkusan mesiu ini cukup untuk menghancurkan tubuhmu menjadi berkeping-keping. Kalau berubah pikiranmu, sebelum terlambat, kau terimalah pinanganku, Nona."
"Huh, biarkan aku mati!"
"Baik, aku akan menanti di dalam. Kau berteriak saja panggil aku bila pikiranmu berubah, jika kau memilih bersenang-senang denganku dan hidup bahagia dari pada mati dengan tubuh hancur oleh ledakan obat mesiu ini."
"Jahanam kotor! Seribu kali lebih baik mampus dari pada menyerah kepadamu!" Li Hwa membentak.
Hendrik tersenyum akan tetapi menyeringai karena bibirnya yang digerakkan terasa perih. Diusapnya bibir yang pecah oleh gigitan dara tawanannya itu, kemudian dia bangkit dan membalikkan tubuhnya, melangkah lebar menuju ke pondok, menaiki anak tangga depan pondok dan lenyap ke dalam pondok itu.
Li Hwa ditinggalkan seorang diri dalam keadaan tidak berdaya. Rantai besi yang sudah membelenggu kaki tangannya amat kuat, tidak mampu dipatahkannya dan dia pun tidak dapat mencegah api unggun yang bernyala makin besar, dan lidah api makin mendekati bungkusan mesiu di dekat kakinya.
Dalam keadaan seperti itulah gadis itu ketika Yuan de Gama menghampiri pondok dan melihatnya. Dengan hati-hati Yuan lalu menghampiri gadis itu.
Li Hwa yang berpendengaran tajam tahu bahwa ada orang mendekatinya dari belakang. Dia menoleh dan melihat Yuan, mengira bahwa pemuda asing itu adalah Hendrik yang menawannya. Di dalam pandangannya, orang-orang asing itu seperti sama semua! Maka dia lalu menghardik, "Jangan harap aku mau menyerah, manusia hina! Bunuhlah kalau kau mau membunuhku..."
"Sssttt...!"
Melihat pemuda itu menaruh telunjuk di depan bibir dan mengeluarkan seruan tanda agar dia tak mengeluarkan suara, Li Hwa terheran dan memandang lebih teliti kepada pemuda itu. Sekarang sesudah cahaya api unggun menerangi wajah itu, barulah dia sadar bahwa pemuda ini bukanlah pemuda asing yang tadi menawannya.
Tubuh pemuda itu lebih jangkung, perutnya tidak gendut dan pada wajah yang tampan ini tidak terdapat sinar mata yang penuh nafsu. Tidak, bahkan sinar mata yang berwarna biru itu amat lembutnya, kini memandangnya dengan penuh iba.
"Nona, aku datang untuk menolongmu..." Pemuda itu berbisik, kemudian berjongkok di belakangnya.
Namun, di dalam hati Li Hwa sudah terdapat bibit kebencian terhadap orang-orang asing. Pertama karena kenyataan bahwa orang-orang itu bersekutu dengan para pemberontak. Kedua kalinya, dia sudah mengalami penghinaan dari Hendrik yang menawannya. Maka terhadap pemuda yang hendak menolongnya ini pun dia lalu bersikap angkuh dan tidak bersahabat.
"Aku tidak minta pertolonganmu!"
Pemuda itu menghela napas panjang. "Aku tahu, dan engkau memang seorang wanita perkasa yang hebat, Nona. Seorang berjiwa panglima yang patut dihormati. Dan karena itulah maka aku harus menolongmu." Sambil berkata demikian, Yuan de Gama mulai berusaha membuka belenggu itu dari kedua tangan Li Hwa.
Oleh karena gembok yang dipakai mematikan mata rantai belenggu itu cukup kuat, maka tidaklah mudah bagi Yuan untuk membukanya sehingga dia harus mengerahkan seluruh tenaganya.
"Mengapa kau menolongku?" Melihat usaha pemuda itu, Li Hwa tak dapat menahan diri untuk tidak bertanya karena bukankah di antara mereka terdapat permusuhan?
"Aku kagum akan kegagahanmu, Nona. Dan aku muak melihat perbuatan Hendrik yang menyimpang dari tugasnya, hanya mementingkan kesenangan pribadi."
Akhirnya, sesudah terlebih dahulu menjauhkan bungkusan mesiu dari api, Yuan de Gama berhasil melepaskan belenggu pada kaki dan tangan Li Hwa. Gadis itu melompat berdiri, akan tetapi karena kepalanya masih nanar oleh hantaman ledakan tadi, dan kakinya juga kaku karena lama dibelenggu, dia terhuyung dan tentu terguling kalau tidak cepat-cepat dia dipeluk oleh Yuan de Gama.
"Lepaskan aku!" Li Hwa meronta. "Apa kau kira setelah menolongku, kau boleh memeluk aku sesuka hatimu?"
Yuan cepat-cepat melepaskan pelukannya dan melangkah mundur, alisnya berkerut dan pandang matanya tajam menusuk. "Nona, harap jangan menyama ratakan orang begitu saja. Kalau tidak melihat engkau hendak jatuh, tentu aku tidak berani menyentuhmu."
Sejenak mereka berpandangan dan Li Hwa menunduk, kedua pipinya menjadi merah. Dia tahu bahwa betapa sikapnya tadi memang sangat buruk. Akan tetapi, bukankah pemuda asing ini juga musuhnya? Musuh negaranya? Ingatan itu mengeraskan hatinya dan dia mendengus, melempar muka ke samping, membalikkan tubuh lantas melangkah hendak pergi.
"Tahan dulu, Nona...!" Yuan de Gama cepat mengejar. "Nona, kau masih amat lelah... dan pasukanmu telah melarikan diri keluar dari tempat ini. Apa bila kau pergi begitu saja, tentu kau akan tertangkap kembali. Di mana-mana terdapat penjaga..."
"Haii... Nona yang manis, apakah engkau belum merobah pikiranmu?" Tiba-tiba terdengar teriakan Hendrik dari dalam pondok.
Yuan de Gama terkejut, cepat dia menyambar tangan Li Hwa sambil berkata, "Mari ikut dengan aku. Cepat...!"
Sekarang mengertilah Li Hwa bahwa pemuda ini benar-benar hendak menolongnya dan agaknya tidak mempunyai niat buruk di balik itu, maka dia membiarkan dirinya ditarik dan dibawa pergi menyelinap di antara pohon-pohon serta kegelapan malam sampai mereka berada jauh dari pondok terpencil itu.
Namun kembali mereka terpaksa harus berhenti dan bersembunyi di balik pohon-pohon ketika mereka melihat belasan orang prajurit meronda tidak jauh dari situ. Sesudah para peronda itu lewat, Yuan berbisik,
"Nona, sangat berbahaya bagimu bila mencoba keluar dari perkampungan ini. Ketahuilah, setelah terjadi perang siang tadi, seluruh perkampungan diadakan perondaan dan sekitar perkampungan dijaga ketat. Tapi malam ini juga engkau harus dapat lolos dari sini, sebab kalau sampai besok engkau tak dapat keluar, tentu tidak mungkin lagi menyembunyikan diri."
"Aku tidak takut! Aku akan melawan sampai titik darah terakhir!"
Yuan memandang kagum sekali sungguh pun wajah dara itu tidak kelihatan jelas di dalam gelap, "Selama aku hidup, baru sekarang ini aku bertemu dengan seorang wanita gagah seperti engkau, Nona. Banyak sudah kubaca dalam kitab mengenai pendekar-pendekar wanita yang gagah perkasa di negerimu yang aneh ini, tetapi aku masih belum percaya. Sekarang baru aku percaya, dan aku kagum sekali kepadamu. Aku harus menolongmu keluar dari tempat ini, malam ini juga."
Kata-kata pemuda itu juga amat mengherankan hati Li Hwa. Betapa pun kagumnya, mana mungkin ada musuh menolong musuhnya? Apa lagi pemuda itu tahu bahwa dia adalah pemimpin pasukan pemerintah yang akan membasmi kaum pemberontak!
"Engkau siapakah?"
Yuan de Gama membungkuk dengan lengan kanan melintang di depan perutnya. "Aku bemama Yuan de Gama. Ayahku adalah Richardo de Gama, pemilik Kapal Kuda Terbang dan..."
"Dan kalian orang-orang asing membantu para pemberontak!"
Yuan de Gama menggeleng kepala dengan penuh penyesalan. "Aku tak berniat demikian, Nona. Juga kawan-kawanku tak berniat membantu pemberontak. Akan tetapi kami hanya ingin mengadakan kontak dagang dengan penduduk pribumi. Tapi karena pejabat-pejabat pemerintahmu melarang, dan karena para pembesar yang kami bantu ini menyanggupi untuk membolehkan kami berdagang..."
"Sudahlah, apa pun alasannya, yang jelas kalian adalah orang-orang asing yang sudah membantu pihak pemberontak!"
"Memang tak ada gunanya kita berdebat tentang hal itu, Nona. Kita hanyalah pelaksana-pelaksana belaka, yang mengatur semua itu adalah orang-orang atasan. Yang penting sekarang, aku harus menolongmu keluar dari sini dan pada saat seperti ini, kuharap kau tidak menganggapku sebagai musuh, Nona."
Li Hwa mengerutkan alisnya. Kalau keadaan tidak seperti itu, tentu sudah sejak tadi dia menyerang dan membunuh pemuda musuh negara ini!
"Kalau sampai kau ketahuan menolongku lolos?"
Yuan tersenyum sambil menggerakkan pundaknya yang bidang. "Yahhh, apa boleh buat! Sudah nasibku mati diberondong senapan oleh bekas anak-anak buahku sendiri sebagai seorang pengkhianat."
Li Hwa bergidik. Ia sudah pernah melihat seorang anak buahnya yang terluka oleh peluru senapan, senjata rahasia yang sangat mengerikan dari pihak orang-orang asing itu. Dan akibatnya benar-benar mengerikan. Anak buahnya itu meraung-raung karena nyeri dan lukanya itu seperti dibakar rasanya.
"Dan kau rela terancam bahaya untuk menolong aku, seorang musuh?"
"Hiishh, Nona. Sudah kukatakan, pada saat ini kau bukan musuhku, dan mudah-mudahan aku bukan musuhmu. Engkau bagiku adalah seorang pendekar wanita yang amat hebat dan amat kukagumi. Marilah..."
Kembali Yuan menggandeng tangan Li Hwa dan dara ini menurut saja ketika dia dibawa menyelinap ke sana sini, ada kalanya mendekam dibalik rumah-rumah atau pohon-pohon. Dan tak lama kemudian mereka sudah berada di sekitar pagar tembok yang mengelilingi pekarangan itu.
Tiba-tiba terdengar suara dalam bahasa asing. Mendengar ini, Yuan cepat menarik Li Hwa dan keduanya bertiarap, menelungkup di balik rumpun alang-alang. Suara itu adalah suara Hendrik yang berteriak-teriak kepada para penjaga,
"Jangan sampai dia lolos! Tawananku itu adalah pemimpin pasukan musuh yang siang tadi menyerbu. Awas, siapa yang bisa menangkapnya, hidup atau mati, tentu akan kuberi hadiah besar, akan tetapi yang membiarkannya lolos, akan kuhukum!"
Yuan dan Li Hwa bersembunyi sampai suara Hendrik itu lenyap dan orangnya pergi, lalu dengan lirih Yuan berbisik, "Tadi itu adalah Hendrik yang menawanmu. Sekarang semua penjaga di sekeliling perkampungan ini telah tahu bahwa engkau sudah lolos dari tahanan Hendrik dan mereka tentu mengerahkan seluruh perhatian untuk menemukanmu. Hal ini membuat usaha kita menjadi makin sulit. Akan tetapi sebelum aku melanjutkan usahaku meloloskanmu, aku ingin mengetahui apakah sekarang engkau betul-betul telah percaya kepadaku, Nona?"
"Hemmm... percaya dalam hal apa?"
"Bahwa aku hanya ingin menolongmu, karena kekagumanku terhadap dirimu, tidak ada lain hal yang tersembunyi di balik itu."
Sampai lama mereka berpandangan di dalam gelap, jarak muka mereka tidak begitu jauh karena mereka berdua bertiarap di dalam semak-semak. Akhirnya Li Hwa mengangguk.
"Aku percaya kepadamu, sungguh pun aku sendiri heran mengapa aku harus percaya kepada seorang asing, seorang musuh pula."
Yuan tersenyum. "Bagus, Nona. Bolehkah aku mengetahui namamu?"
Kembali Li Hwa meragu. Sampai lama, dan setelah dia menimbang-nimbang, barulah dia menjawab, "Namaku Souw Li Hwa, dan guruku adalah Panglima Besar The Hoo."
"Ya Tuhan...!" Yuan de Gama berseru lirih dan pandang matanya semakin kagum lagi. "Nama besar gurumu itu siapa yang tidak tahu? Pantas saja kalau begitu! Kiranya Nona adalah murid orang luar biasa itu!"
"Sekarang bagaimana engkau akan meloloskan aku dari sini? Kurasa jalan satu-satunya hanya menerjang ke luar. Aku tidak takut, biar aku menerjang ke luar dan tidak perlu kau mengkhianati teman-temanmu sendiri."
"Tidak...! Jangan lakukan itu, Nona...! Sekarang penjagaan amat ketat dan mereka sudah mempersiapkan senjata api, kau tentu akan tertawan kembali atau tertembak mati. Kalau hal itu terjadi, aku akan menyesal dan hidup menderita selamanya! Marilah, aku memiliki akal asal engkau benar-benar percaya kepadaku. Mari!"
Yuan kemudian menggandeng tangan dara itu menyelinap melalui tempat gelap menuju ke sebuah pintu gerbang yang dijaga belasan orang penjaga terdiri dari prajurit-prajurit pemberontak dan beberapa orang asing. Li Hwa dapat melihat betapa orang-orang asing itu memegang senjata api mereka dalam keadaan siap.
Andai kata dia tidak gentar menghadapi senjata rahasia itu, karena kalau hanya belasan orang yang menjaga di situ, tentu dia akan sanggup merobohkan mereka, atau setidaknya meloloskan diri dari pintu gerbang itu. Akan tetapi kini dia bersama Yuan. Apa bila sampai mereka mengenalnya bersama-sama pemuda asing yang menolongnya ini, tentulah Yuan akan dianggap pengkhianat dan pemuda itu akan celaka. Sebab itu dia diam dan menurut saja ketika Yuan menggandengnya mendekati pintu gerbang, masih tidak tahu bagaimana pemuda itu akan menyelamatkannya.
Ketika Yuan dan Li Hwa sudah sampai dekat sekali dengan pintu gerbang, di bagian yang agak gelap, karena tidak tertimpa langsung oleh lampu yang tergantung di pintu gerbang, terdengar seorang di antara para penjaga menghardik, "Heiii! Berhenti! Siapa di situ?"
Semua urat syaraf di tubuh Li Hwa sudah menegang dan dara ini juga sudah siap untuk menerjang maju. Akan tetapi Yuan merangkulnya lantas berbisik, "Nona, jangan bergerak. Ingat, kau sudah percaya kepadaku, kau menurut saja..."
Empat orang penjaga berlari mendekati dan pada saat itu, Yuan merangkul leher Li Hwa dan mencium bibir dara ini, mendekap muka itu dengan ketat sehingga muka Li Hwa tidak tampak, tertutup oleh mukanya sendiri. Kemudian dia mendekap kepala Li Hwa lalu wajah dara itu disembunyikan di dadanya, dan dia pun membentak, "Kurang ajar! Berani kalian mengganggu kesenanganku?"
"Ohh... ahhh... Tuan Yuan de Gama... maafkan kami! Kami telah menerima perintah agar melakukan penjagaan keras...!"
"Aku tahu!" Yuan membentak. "Dan kalian harus menjaga baik-baik agar panglima wanita musuh itu jangan sampai lolos. Dia pandai sekali, mungkin akan melompati pagar tembok. Tidak mungkin dia melalui pintu gerbang. Hemm, sungguh menjemukan, tidak ada tempat yang aman untuk bermain cinta. Aku mau keluar saja, mencari tempat yang sunyi. Hayo, manis..."
Yuan de Gama menggunakan mantelnya untuk menyelimuti Li Hwa dan dia membawa Li Hwa yang masih terus dirangkulnya itu keluar melalui pintu gerbang, ditonton oleh belasan orang itu yang saling lirik dan menyeringai.
Li Hwa sendiri sudah hampir pingsan sejak dia diciumi oleh Yuan de Gama tadi. Tubuh dara ini menggigil, kaki tangannya menjadi dingin dan jantungnya berdebar tidak karuan. Dalam waktu satu malam, dia telah diciumi oleh dua orang laki-laki, dua orang asing dan dicium dengan cara yang sama sekali belum pernah didengarnya, apa lagi dialaminya!
Ketika Hendrik mencium dan mengecup bibirnya, dia merasa sangat marah, benci, dan muak sehingga dia menggigit bibir pemuda asing itu untuk menyerangnya, membuat bibir Hendrik terluka berdarah dan hampir terobek putus! Akan tetapi, ketika Yuan de Gama menciumnya, meski pun dia merasa terkejut sekali namun dia maklum bahwa pemuda ini menciumnya bukan karena dorongan nafsu dan bukan untuk berkurang ajar, melainkan untuk menyelamatkannya. Pula, dia merasa bedanya ciuman antara kedua orang pria itu. Ketika Yuan menciumnya, dia merasa seolah-olah tubuhnya melayang naik ke angkasa, tubuhnya lemas dan dia seperti di alam mimpi!
"Ha-ha-ha...!" Terdengar empat orang asing yang berjaga di situ tertawa-tawa dan bicara dalam bahasa asing yang tidak dimengerti oleh Li Hwa.
"Heran sekali," kata seorang di antara para penjaga bersenjata tombak, "Tuan Yuan de Gama lebih senang bercinta di tempat terbuka, padahal sudah disediakan kamar-kamar dan tempat tidur yang lunak. Aneh...!"
"Kenapa aneh?" yang lain membantah. "Mereka itu memang mempunyai kebiasaan dan kesukaan yang berbeda dengan kita. Yang untung adalah wanita itu. Hemm... Tuan Yuan de Gama adalah seorang pemuda yang biasanya pantang bercinta dengan wanita-wanita yang disediakan untuk mereka, dan selain paling tampan, juga paling baik budi dan paling kaya!"
Mendengar ucapan antara kedua orang penjaga itu, bermacam perasaan mengaduk hati Li Hwa. Akan tetapi semua perasaan ini ditahannya sampai mereka tiba jauh dari pintu gerbang dan tiba-tiba Yuan melepaskan rangkulannya.
"Nah, sekarang sudah aman, Nona Li Hwa."
Keduanya berdiri berhadapan. Bintang-bintang memenuhi angkasa, mencurahkan cahaya redup dingin sehingga mereka dapat saling memandang dalam keadaan remang-remang.
"Yuan de Gama...," akhirnya Li Hwa mampu mengeluarkan suaranya. Lirih namun penuh perasaan. "Aku akan menganggapmu sebagai..."
"Yaaa...?"
"Seorang yang baik hati dan..."
"Hemmm...?"
"...sebagai seorang yang kurang ajar!"
"Begitukah, Nona Li Hwa?"
"Untuk kebaikan hatimu, aku berterima kasih kepadamu."
"Tidak usah berterima kasih!"
"Dan untuk kekurang ajaranmu..."
"Kekurang ajaran yang mana?"
"...ketika kau... kau menciumku tadi..."
"Aahhh, aku tidak berniat kurang ajar..."
"Betapa pun juga, Yuan de Gama, kau sudah berlaku sangat tidak sopan, dan untuk itu... aku akan..."
"Yaaa...?"
"Plakkkk!"
Pipi kiri Yuan de Gama ditampar oleh telapak tangan Li Hwa. Dara itu tidak mengerahkan sinkang-nya, akan tetapi tetap saja tamparan itu membuat pipi Yuan menjadi kemerahan dan tampak bekas jari-jari tangan kecil di atas kulit pipi itu.
"Nona, terima kasih atas kebaikanmu..."
"Jangan kau mengejek. Aku menamparmu karena mengingat akan kekurang ajaranmu tadi."
"Untuk ciuman-ciuman itu Nona, walau pun kulakukan bukan karena hendak kurang ajar kepadamu atau hendak menghinamu, aku rela menerima tamparanmu, bahkan kalau kau masih penasaran, boleh kau tampar lagi sesukamu..."
"Ehhh...," Li Hwa berseru heran, tidak menyangka pemuda itu akan berkata demikian.
"Benar Nona. Karena... semenjak pertama aku melihatmu, apa lagi setelah menyaksikan kegagahanmu, tahulah aku bahwa aku jatuh cinta kepadamu, Nona."
"Ihhh...!"
"Terserah kepadamu kalau kau anggap aku kurang ajar. Meski kau hendak membunuhku sekali pun, tak akan dapat kau memaksaku untuk menarik kembali kata-kataku. Aku cinta kepadamu, Souw Li Hwa…”
“Aihhh…!" Li Hwa mundur-mundur dengan muka pucat, jantungnya berdebar tak karuan, kemudian terdengar isak naik dari dadanya, tubuhnya berkelebat dan dia sudah meloncat pergi dari tempat itu.
"Souw Li Hwa, aku cinta kepadamu...!" Yuan de Gama berteriak
Naik sedu-sedan di tenggorokan dara itu, akan tetapi dia terus melarikan diri secepatnya, tidak mempedulikan beberapa butir air mata yang turun di atas kedua pipinya. Dia merasa takut. Takut kepada dirinya sendiri.
Kenapa dia tidak membenci Yuan seperti dia membenci Hendrik sesudah Yuan mencium bibirnya? Bahkan ada rasa senang dicium oleh pemuda itu? Mengapa hatinya berdebar dengan perasaan nyaman akan tetapi tegang ketika Yuan menyatakan cinta kepadanya? Padahal ketika Hendrik menyatakan cintanya, dia merasa muak dan terhina?
Li Hwa berlari cepat dan pada keesokan harinya barulah dia dapat bertemu dengan sisa pasukannya. Para perwira menjadi girang sekali ketika melihat munculnya dara itu, dan Li Hwa mendengar dengan hati penuh penasaran betapa pasukannya terpaksa melarikan diri karena kalah banyak dan kalah kuat, apa lagi setelah pemimpin mereka, dara perkasa itu lenyap.
"Pasukan mereka jauh lebih besar. Kita harus mencari bantuan. Dan bagaimana dengan tawanan kita, Yap Kun Liong si gundul itu?"
"Kami tidak melihatnya lagi dalam keributan itu, Nona," jawab seorang perwira tua.
"Hemm, apa yang terjadi setelah terjadi ledakan yang membuat aku pingsan dan tertawan musuh?"
Para perwira lalu menceritakan betapa ledakan itu telah membuat tempat bekas rumah itu berlubang sehingga sekilas tampak sebuah bokor emas. Karena ada yang berteriak ketika melihat benda itu sebelum air sungai membanjir masuk menutupi lubang, maka terjadilah perebutan dan pertempuran di air yang menutupi tempat itu.
"Lalu, bagaimana? Di mana bokor itu sekarang?" Li Hwa bertanya penuh ketegangan dan tahu bahwa Kun Liong tidak berbohong dan benar-benar bokor emas berada di tempat itu.
"Itulah anehnya, Nona. Tidak ada yang melihat siapa yang sudah berhasil mendapatkan bokor itu. Mungkin juga sudah terjatuh ke dalam tangan seseorang. Kami terpaksa harus mengundurkan diri keluar dari tempat itu karena apa bila dilanjutkan, tanpa adanya Nona yang memimpin kami, tentu kami semua akan binasa. Andai kata ada Nona di sana, biar pun diharuskan bertempur sampai hancur semua, tentu saja kami bersiap sedia."
Li Hwa mengerutkan alisnya. Celaka sekali kalau bokor yang sudah hampir ditemukannya itu terjatuh ke tangan orang lain. Sementara itu pasukannya sudah lelah, juga berkurang kekuatannya untuk menyerang sarang pemberontak kurang kuat.
"Kalian tunggu saja di sini, awasi gerak-gerik musuh. Aku sendiri akan melapor kepada Suhu dan mendatangkan bala bantuan." Akhirnya dia mengambil keputusan.
Pada pagi hari itu juga Li Hwa berangkat menunggang kuda ke kota raja untuk melapor kepada suhu-nya, Panglima Besar The Hoo.
********************
Ke mana perginya Yap Kun Liong? Pada saat terjadi ledakan, dia dapat menyelamatkan diri dengan bertiarap. Dari tempat dia bertiarap itu, tampak jelas bahwa bekas rumah itu berubah menjadi sebuah kubangan yang dalam dan ketika ada orang berteriak tentang bokor, dia cepat melihat dan dia pun menyaksikan bokor itu sebelum air sungai datang menerjang!
Kun Liong membiarkan dirinya ditelan air sungai dan terus merangkak sambil menyelam ke arah tempat disimpannya bokor emas itu. Sebelum orang lain sempat mencari bokor akibat mereka itu sudah sibuk saling serang di air sedalam pinggang itu, Kun Liong telah berhasil mengambil bokor emas itu, dimasukkannya di dalam bajunya yang basah kuyup dan dia menggunakan keadaan kacau-balau itu untuk melarikan diri keluar dari kubangan.
Apa bila tidak teringat kepada Li Hwa, tentu dia sudah langsung melarikan diri keluar dari perkampungan itu. Tetapi dia mengkhawatirkan keadaan Li Hwa, maka dia mulai mencari gadis itu sesudah pertempuran selesai karena pihak pasukan pemerintah mengundurkan diri ke luar tempat itu.
Dari tempat persembunyiannya, dia melihat Li Hwa yang sudah dibelenggu di luar rumah terpencil oleh Hendrik. Akan tetapi sebelum dia sempat turun tangan menolong. tiba-tiba muncul Yuan de Gama. Dengan hati penuh rasa suka dan kagum kepada pemuda asing ini, Kun Liong melihat betapa Yuan menyelamatkan Li Hwa. Bahkan ia terus membayangi mereka ketika mereka berusaha keluar dari tempat itu melalui pintu gerbang.
Jantungnya berdebar tegang pada waktu dia menyaksikan dari tempat gelap betapa Yuan dalam usahanya menyelamatkan Li Hwa, telah mendekap dan mencium gadis cantik itu dengan amat mesranya. Ciuman bibir! Hatinya semakin tertarik untuk melihat bagaimana nanti sikap Li Hwa. Dia menggunakan kegesitannya untuk melompati pagar tembok selagi para penjaga tertarik perhatian mereka kepada Yuan de Gama.
Ketika dia melihat Li Hwa menampar Yuan sambil mendengarkan pembicaraan mereka, diam-diam Kun Liong merasa geli dan dia tertawa sendiri. Akan tetapi hatinya menjadi terharu ketika mendengar pengakuan Yuan de Gama tentang cintanya kepada dara itu!
"Hemmm, Yuan, kau seorang laki-laki tolol!" Kun Liong berbisik sendiri. "Begitu mudah jatuh cinta! Cinta seperti itu hanya mendatangkan siksaan di hati sendiri..."
Dia kemudian meninggalkan tempat itu, di sepanjang jalan termenung. Jika dia bersikap seperti Yuan, mudah saja menjatuhkan hatinya ke dalam jurang asmara, agaknya sudah beberapa kali dia jatuh cinta. Kepada Hwi Sian, kepada Bi Kiok, kepada Giok Keng dan mungkin kepada Li Hwa sendiri.
Tidak, dia tidak akan mudah saja jatuh cinta, biar pun harus dia akui bahwa dia amat suka kepada gadis-gadis jelita itu! Mata keranjang? Entahlah, akan tetapi betapa mata tidak akan merasa nyaman dan sedap memandang, betapa hati tidak akan merasa suka, kalau melihat bunga-bunga indah dan harum?
Bunga seruni, bunga mawar, bunga bwee, semua bunga tentu akan mendatangkan rasa suka. Demikian pula, semua dara yang manis akan menimbulkan rasa suka di dalam hatinya. Akan tetapi cinta asmara? Nanti dulu! Cinta macam itu berarti melekatkan diri kepada seseorang, dan sekali melekat berarti menimbulkan kemungkinan terluka kalau lekatan itu dipaksa terlepas dan putus!
Bokor yang telah kembali kepadanya itu memberatkan hatinya. Dia harus menyerahkan bokor itu kepada yang berhak, yaitu kepada Panglima Besar The Hoo. Sungguh sangat berbahaya kalau terlalu lama berada di tangannya, karena dia tahu betapa semua orang gagah di dunia kang-ouw dan tokoh kaum sesat saling memperebutkan bokor emas ini. Dia sendiri sama sekali tidak ingin memilikinya, juga setelah tahu bahwa benda ini adalah barang curian, dia sama sekali tidak ingin tahu rahasia apa gerangan yang dikandung benda pusaka yang diperebutkan ini. Makin cepat dia terlepas dari benda ini makin baik!
Selagi dia berjalan seorang diri melalui hutan yang lebat, tiba-tiba saja tampak olehnya bayangan-bayangan orang berkelebatan dan dia memandang terbelalak pada saat dirinya telah terkurung oleh beberapa orang. Betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa di antara sembilan orang itu terdapat para datuk kaum sesat yang telah dikenalnya, yaitu empat orang di antara mereka.
Si Kakek Gila Toat-beng Hoatsu, kakek muka hitam Hek-bin Thian-sin yang bersekutu dengan pemberontak, kakek gila raja ular Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, dan Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci! Lima orang lainnya tidak dikenalnya, akan tetapi dapat diduga bahwa mereka tentulah orang-orang yang berilmu tinggi!
Ketika melihat bahwa di antara lima orang ini terdapat seorang wanita setengah tua yang cantik, dengan kuku-kuku tangan yang panjang meruncing, dia cepat bertanya, "Apakah Lo-cianpwe yang bernama Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio?"
Para datuk kaum sesat itu, terutama sekali Kwi-eng Niocu, merasa heran sekali melihat sikap pemuda gundul yang amat berani itu. Sudah jelas dia dikepung oleh sembilan orang termasuk lima orang datuk kaum sesat sehingga boleh dikatakan bahwa jiwanya berada di ambang pintu maut, tapi masih bersikap enak-enak bahkan bertanya kepada Kwi-eng Niocu, seperti orang hendak berkenalan saja!
"Sudah tahu namaku, lekas berlutut dan serahkan bokor kepadaku!" kata Kwi-eng Niocu dengan suara halus, akan tetapi suara halus dan senyum manis wanita ini membuat Kun Liong merasa ngeri karena dia dapat menangkap kekejaman hebat yang bersembunyi di balik sikap manis itu.
Akan tetapi dia tidak peduli, lalu menoleh kepada Bu Leng Ci, bertanya, "Aihh, Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci juga hadir! Bagaimana, Locianpwe, apakah baik-baik saja? Dan kenapa Adik Bi Kiok tidak ikut serta?"
Bu Leng Ci hanya mendelik dengan pandang mata marah, lantas membentak, "Berikan bokor kepadaku kalau kau ingin hidup!"
Kun Liong memandang kepada para datuk itu bergantian sambil berkata, "Hemmm, para Locianpwe hadir semuanya, Toat-beng Hoatsu, Ban-tok Coa-ong, juga Hek-bin Thian-sin! Lengkap! Kehormatan apakah yang akan diberikan kepada seorang muda bodoh seperti aku?"
Ketiga orang kakek itu saling pandang dan diam-diam mereka ini merasa kagum juga. Bocah gundul itu benar-benar seorang yang memiliki keberanian luar biasa!
"Serahkan bokor!" Serentak mereka berseru.
Kun Liong mengerti bahwa menghadapi lima orang datuk kaum sesat itu, apa lagi masih ada empat orang kakek lain yang tak dikenalnya, dia takkan dapat menyelamatkan bokor itu, bahkan dirinya sendiri terancam bahaya maut. Akan tetapi dia tidak memikirkan hal itu semua karena dia sudah menjadi marah mempertahankan kebenaran mengenai bokor itu dan berkata nyaring,
"Cuwi adalah orang-orang pandai yang telah terkenal di dunia, mengapa berpandangan begitu dangkal?" Dia mengeluarkan bokor dari balik bajunya kerena dia dapat menduga bahwa mereka itu yang amat lihai tentu sudah tahu bahwa bokor berada di tangannya, apa lagi kelihatan menjendol di balik bajunya. Dia mengangkat bokor tinggi-tinggi sambil melanjutkan kata-katanya, "Cuwi (Anda Sekalian) mengerti semua bahwa bokor emas ini adalah pusaka milik Panglima Besar The Hoo yang lenyap dicuri orang. Secara kebetulan saja aku menemukan bokor ini, maka sepatutnya kukembalikan kepada yang berhak."
Melihat bokor emas itu, mata sembilan orang itu melotot dan tangan mereka langsung bergerak hendak merampas. Melihat ini, Kun Liong segera maklum bahwa agaknya tidak terdapat kerja sama di antara mereka! Agaknya mereka itu akan memperebutkan bokor! Maka dia cepat menpangkat tangan kirinya ke atas dan berseru, "Tahan! Kwi-eng Niocu, engkau telah menyuruh orang-orangmu mencuri dua buah pusaka Siauw-lim-pai, kenapa masih menghendaki bokor? Maukah kau menukar dua pusaka itu dengan ini?"
"Berikan bokor dan akan kukembalikan pusaka Slauw-lim-pai!" jawab wanita itu.
"Dan bagaimana engkau akan mengembalikan nyawa Thian Lee Hwesio?"
"Bukan kami yang membunuhnya!"
"Niocu, kenapa melayani dia mengobrol? Bocah gundul, lekas berikan bokor itu!" Hek-bin Thian-sin sudah menyambar ke depan untuk merampas bokor itu dari tangan Kun Liong. Akan tetapi pemuda ini cepat mengelak dengan loncatan ke kiri. Serbuan Si Muka Hitam itu agaknya merupakan komando karena serentak mereka semua bergerak menubruk!
"Kwi-eng Niocu, terimalah...!" Kun Liong berseru, lalu dia melemparkan bokor itu kepada Ketua Kwi-eng-pang. Tentu saja Kwi-eng Niocu menjadi amat girang dan cepat menerima bokor itu dan melesat dengan gerakan cepat pergi dari situ.
"Ehh-ehh, perlahan dulu, Kwi-eng Niocu!" empat orang datuk lainnya juga meloncat dan mengejar!
Empat orang kakek lainnya agaknya merasa ragu-ragu untuk ikut mengejar, maka mereka lalu menubruk Kun Liong sambil berkata, "Engkau ikut dengan kami!"
Kun Liong tadi sengaja melemparkan bokor emas kepada Kwi-eng Niocu bukan tanpa perhitungan yang matang. Dia tahu bahwa andai kata dia mempertahankan bokor itu pun akan percuma saja dan akhirnya bokornya pun tentu akan terampas dari tangannya. Dia tidak tahu di mana tempat tinggal Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong, sedangkan Hek-bin Thian-sin telah bersekutu dengan pemberontak dan orang asing.
Kalau bokor terjatuh ke tangan seorang di antara tiga orang kakek ini, akan sukar baginya untuk kelak mendapatkan kembali. Akan tetapi satu-satunya orang di antara mereka yang dia ketahui alamatnya, adalah Kwi-eng Niocu, dan juga Siang-tok Mo-li, akan tetapi dia lebih condong untuk menyerahkan bokor kepada Ketua Kwi-eng-pang, karena dia masih mempunyai urusan dengan wanita itu mengenai dua buah pusaka Siauw-lim-pai dan juga kematian Thian Lee Hwesio.
Ketika empat orang kakek yang tak dikenalnya menubruknya, Kun Liong tidak mengelak, akan tetapi diam-diam dia segera mengerahkan Thi-khi I-beng yang belum lama ini dia pelajari dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong.
"Plak-plak-plak-plak!!" Empat buah tangan mencengkeram pundak dan tangan Kun Liong.
"Auuuuhhh...!"
"Heeiiii...!"
"Aduhhh...!"
"Lepaskan...!"
Empat orang kakek itu kaget setengah mati ketika mereka merasa betapa telapak tangan mereka menempel dan melekat di tubuh pemuda gundul itu, dan yang membuat mereka terbelalak meronta-ronta dengan kaget adalah betapa hawa sinkang mereka yang tersalur melalui tangan yang mencengkeram itu kini membanjir ke luar memasuki tubuh pemuda gundul itu.
"Ihhhh... lepaskan... apa yang kalian lakukan? Panaaasss... ihhh, panasss...!" Kun Liong meronta-ronta.
Dia sudah mempelajari Thi-khi I-beng, juga telah menguasai ilmu mukjijat ini, akan tetapi belum pernah dia mempergunakannya. Walau pun dia sudah mendengar penjelasan dan keterangan Cia Keng Hong, akan tetapi begitu sekarang mengalami sendiri betapa hawa sinkang empat orang itu menerobos memasuki tubuhnya, dia merasa terkejut, ngeri, dan juga geli sehingga dia malah berteriak-teriak dan sejenak lupa bagaimana harus berbuat.
Melihat keadaan Kun Liong, empat orang itu bahkan semakin mengerahkan tenaga untuk melepaskan tangan mereka. Celaka bagi mereka, justru makin kuat mereka mengerahkan tenaga, makin hebat pula hawa sinkang mereka mengalir keluar memasuki tubuh pemuda itu.
Kun Liong gelagapan. Terasa benar betapa tenaga sinkang lawan membanjiri tubuhnya, membuat napasnya sesak dan kepalanya pening. Dengan ubun-ubun terasa berdenyutan keras, dia mengerahkan ingatan akan pelajaran Thi-khi I-beng dan terdengarlah kembali olehnya penjelasan Cia Keng Hong.
"Thi-khi I-beng menciptakan daya sedot yang luar biasa dan amat berbahaya kalau hawa sinkang lawan tersedot olehmu. Banjir hawa sinkang itu bisa membuat kau menjadi panik. Kalau kau tidak dapat menguasainya, kelebihan hawa sinkang yang tiba-tiba memenuhi tubuh itu, kalau menyerang kepala dapat membuat engkau menjadi gila, kalau menerjang jantung dapat membuat jantung pecah. Selain itu, yang tersedot sinkang-nya dapat tewas pula. Maka, yang penting sekali, bersikaplah tenang, gerakkan sinkang yang membanjir itu ke dalam pusar, lalu kumpulkan di situ dan biarkan berputar-putar di pusar. Akan tetapi jangan lupa untuk terlebih dahulu membebaskan lawan yang bagian tubuhnya melekat padamu."
Celaka, pikir Kun Liong! Dia telah lupa akan hal yang terpenting, yaitu cara melepaskan mereka. Cepat dia lalu menggoyang tubuhnya, seperti seekor anjing menggoyang tubuh untuk mengeringkan bulu-bulunya dan... tubuh keempat orang itu terlempar ke kanan kiri lantas terbanting ke atas tanah dalam keadaan pingsan, wajah pucat sekali dan napas empas-empis!
Kun Liong terhuyung-huyung ke depan, menghampiri empat orang kakek itu dan matanya terbelalak ngeri. Celaka, jangan-jangan mereka itu mati! Akan tetapi tidak, mereka masih bernapas dan dengan hati penuh penyesalan dan ngeri Kun Liong segera meninggalkan tempat itu.
Ngeri dia apa bila orang-orang itu sampai mati, mati di tangannya, mati kehabisan hawa sinkang. Dia merasa seolah-olah menjadi seekor laba-laba yang telah menyedot kering empat ekor lalat, dihisap semua air dan darahnya!
Dia bergidik dan terus berlari terhuyung-huyung. Mukanya sampai ke seluruh kepalanya merah sekali, matanya juga merah, napasnya mendengus-dengus seperti seekor kerbau marah. Dia merasa seolah-olah dada dan pusarnya akan meledak karena penuh dengan hawa sinkang yang berputar-putar. Dia merasa seolah-olah menjadi sebuah balon karet kepenuhan hawa.
Dengan pandang mata berkunang dan kepala pening Kun Liong berlari terus, menuju ke tempat dari mana dia mendengar suara hiruk-pikuk. Dia tidak sadar bahwa dia telah lari kembali ke arah perkampungan yang dijadikan sarang para pemberontak di tepi Sungai Huang-ho.
Ketika dia tiba di tepi sungai di luar perkampungan itu, dia melihat banyak sekali tentara berperang dengan ramainya. Dia menjadi amat heran karena agaknya kedua pihak yang berperang itu adalah tentara pemerintah. Dalam kepeningannya dia sampai lupa bahwa yang memberontak juga tentara pemerintah. Dasar kepalanya lagi pening dan bingung, melihat perang dia malah mendekati untuk menonton!
Delapan orang tentara pemerintah segera mengenal Kun Liong sebagai bekas tawanan pemimpin mereka, maka serentak mereka menyerbu dengan tombak dan golok di tangan kanan, perisai di tangan kiri.
Kun Liong berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang seperti orang mabok ketika delapan orang prajurit itu menyerbunya. Melihat banyak senjata ditujukan pada dirinya, Kun Liong menggerakkan kedua tangannya, menyampok dan menangkis.
Terdengar suara nyaring berkerontangan. Tombak, golok dan perisai beterbangan disusul tubuh delapan orang itu terlempar ke sana-sini. Ternyata bahwa dalam keadaan penuh dengan hawa sinkang itu, gerakan kedua lengan Kun Liong mendatangkan hawa sinkang yang amat kuat sehingga tanpa disadarinya sendiri, tangkisan itu selain membuat semua senjata terlempar dan patah-patah juga delapan orang itu kena dihantam hawa sinkang, terlempar dan roboh pingsan!
Kun Liong terbelalak, makin panik dia melihat hasil kedua tangannya. Dengan hati penuh penyesalan dia lalu menghantam sebatang pohon di kirinya.
"Desss...! Braaakkk...!" Pohon yang besarnya tiga kali tubuh orang itu roboh!
Kun Liong melanjutkan gerakannya, menghantam sebuah batu besar di sebelah kirinya.
"Desss... krekk!"
Batu itu pecah dan dalam kemarahannya terhadap diri sendiri terdorong oleh penyesalan bahwa kembali dia mencelakai orang dengan pukulannya, pemuda ini terus menghantami pecahan batu sehingga batu-batu itu menjadi hancur berkeping-keping.
Anehnya, kini kepeningannya berkurang dan napasnya menjadi enak kembali. Tahulah dia, bahwa itu adalah karena kelebihan sinkang liar yang memutari sebelah dalam dada dan pusarnya telah tersalurkan keluar. Akan tetapi masih ada sinkang yang ‘kelebihan’, sinkang liar yang ditampungnya dari empat orang kakek tadi, yang masih berputar-putar di dalam perutnya, mengamuk seperti segerombolan setan mencari tempat tinggal.
"Ihhh, bocah setan...!" Terdengar seruan perlahan dari belakangnya.
Kun Liong membalikkan tubuhnya dan melihat ada seorang kakek tinggi kurus menyerang dirinya dengan tamparan hebat yang ditujukan kepada pundaknya. Maka secara otomatis dia menggerakkan kedua lengan menangkis.
"Bressss...! Hayaaaa...!"
Kakek itu terlempar sampai empat meter dan terbanting, lalu bergulingan dan meloncat bangun dengan mulut terbuka lebar dan mata terheran-heran. Ada pun Kun Liong sendiri terpelanting.
"Kun Liong, pengkhianat engkau!"
Bentakan halus ini membuat Kun Liong amat terkejut dan dia tidak melawan ketika Li Hwa memasangkan belenggu di kedua tangannya. Kakek tinggi kurus tadi menghampiri sambil menggelengkan kepala.
"Hebat sekali engkau, orang muda... eihhh, bukankah engkau Yap-sicu yang kujumpai di Siauw-lim-si?"
Dengan kedua pergelangan tangan dibelenggu rantai baja kuat, Kun Liong cepat menjura kepada kakek itu. "Harap Tio-taihiap suka memaafkan saya..."
"Aihhh, justru aku yang sudah menyerangmu, melihat engkau merobohkan delapan orang prajurit kemudian mengamuk, menghantam pohon dan batu. Engkau hebat bukan main, Yap-sicu... akan tetapi, ehh, Nona Souw, mengapa dia dibelenggu?"
"Tio-lopek harap jangan mudah dikelabui bocah ini! Dialah yang telah mendapatkan bokor emas dan dia pula yang menyembunyikannya."
"Ahhh...!" Tio Hok Gwan yang berjuluk Ban-kin-kwi, pengawal kepercayaan The Hoo yang mengantuk itu, kini berdiri dengan penuh keheranan, bersedakap sambil memandang Kun Liong dengan matanya yang sipit hampir terpejam.
"Hayo katakan di mana kau sembunyikan bokor itu!" Li Hwa kini membentak dan pedang yang telah dicabutnya menodong ulu hati Kun Liong.
Benturan tenaga sakti melawan pengawal she Tio tadi sudah membikin normal kembali keadaan Kun Liong. Sekarang dia berdiri dan memandang dara jelita yang menodongnya dengan sinar mata tajam, alis berkerut dan bibir tersenyum mengejek.
"Aku tidak biasa bicara di bawah todongan pedang. Kalau kau bicara setelah ditodong, sama artinya bahwa aku takut akan pedangmu, Li Hwa. Apa bila kau ingin membunuhku, teruskan saja tusukkan pedangmu. Mengapa ragu-ragu?"
Li Hwa merapatkan gigi dengan gemas. "Aku tahu bahwa engkau tentu sudah mengambil bokor itu dan menyembunyikannya lagi. Engkau manusia palsu dan hatimu kotor, tidak sebersih kepalamu!"
Panas rasa perut Kun Liong, akan tetapi dia menekan hatinya. "Masa bodoh, aku baru mau bicara tentang bokor kalau engkau bersikap lebih manis kepadaku. Kalau tidak, mau bunuh, mau tusuk, mau bacok, terserah!" Dia lalu membalikkan tubuhnya membelakangi gadis itu!
"Bedebah! Kalau kau tidak mengaku di mana kau simpan bokor itu, kau akan kubunuh!"
"Nona Souw... nanti dulu... Yap-sicu ini..."
"Tio-lopek, harap jangan mencampuri urusan ini. Suhu sendiri yang menyerahkan tugas ini kepadaku!" Li Hwa berkata agak kaku.
Kakek itu mengangkat pundak. "Kalau begitu... aku akan membantu pasukan membasmi para pemberontak!" Setelah berkata demikian, kakek itu lantas berkelebat pergi ke medan pertempuran yang berlangsung ramai.
Mereka kini hanya berdua. Li Hwa sudah meloncat ke depan Kun Liong, mengelebatkan pedangnya. "Yap Kun Liong, kau masih keras kepala?"
"Souw Li Hwa, apa yang kau kehendaki?"
"Katakan di mana kau simpan bokor itu!"
"Simpan dulu pedangmu dan bersikaplah manis!"
"Tidak sudi!"
"Aku pun tidak sudi memberi keterangan."
"Kau menantang?"
"Kau yang keterlaluan!"
"Kubunuh kau!"
"Terserah!"
Li Hwa dengan gemas menggerak-gerakkan pedangnya. Sinar pedang bergulung-gulung menyambar ke sekeliling tubuh Kun Liong. Pemuda ini berkali-kali mendengar suara kain robek, pandang matanya kabur oleh sinar pedang dan tak lama kemudian, ketika pedang berhenti bergerak, masih tampak robekan bajunya beterbangan ke bawah ada pun tubuh atasnya sudah telanjang sama sekali!
Ternyata dara yang amat lihai ilmu pedangnya itu telah ‘mengupasnya’ bulat-bulat. Kun Liong merasa kagum sekali karena gerakan pedang tadi memang luar biasa dan sudah berhasil mengupas tubuh atasnya dengan merobek-robek bajunya tanpa sedikit pun juga mengenai kulit tubuhnya!
Akan tetapi dia menyembunyikan rasa kagumnya, bahkan tersenyum lebar dan berkata dengan nada mengejek sekali. "Nah, apakah engkau sudah puas? Lihat bentuk tubuhku, baguskah? Li Hwa, sesudah engkau melibat tubuhku tanpa tertutup baju, aku jadi ingin sekali melihat tubuhmu..."
"Plakkk!" Pipi kanan Kun Liong ditampar oleh telapak tangan kiri yang halus namun penuh terisi tenaga itu sehingga ada warna merah bekas tangan dara itu di pipi Kun Liong.
"Laki-laki ceriwis!"
"Ha-ha-ha-ha, memang aku ceriwis. Akan tetapi engkau yang sudah menelanjangi aku ini entah apa namanya. Sekali waktu akan kubalas engkau!"
"Apa? Mau membalas tamparanku?"
"Bukan. Membalas karena engkau menelanjangiku."
Sepasang mata yang bening itu terbelalak, dagu yang meruncing manis itu dijulurkan ke depan. "Kau... kau... hendak menelanjangi... bedebah, manusia kurang ajar kau!" Kembali tangan kiri Li Hwa bergerak, akan tetapi ditahannya dengan alis berkerut dan marah.
"Souw Li Hwa, engkau menelanjangiku dengan perbuatan, aku hanya dengan kata-kata dan engkau sudah mengatakan kurang ajar. Engkau sungguh terlalu dan tidak adil!"
Sejenak Li Hwa memandang pemuda itu dengan hati yang tidak karuan rasanya. Selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan orang seperti pemuda gundul ini yang begini berani, kurang ajar, akan tetapi juga tak dapat disangkal kebenaran ucapannya. Teringat akan bokor emas dan bahwa pemuda ini murid Bun Hwat Tosu, dia bersabar kembali dan bertanya,
"Kun Liong, jangan engkau main-main. Aku sungguh tak mengerti akan sikapmu. Engkau ini kawan ataukah lawan, engkau membela pemerintah ataukah memihak pemberontak. Sesungguhnya, di manakah adanya bokor itu?"
Kun Liong menarik napas panjang. "Nah, kalau begitu lebih baik. Kalau sikapmu ramah dan halus, maka pada wajahmu terbayang kecantikan asli dan engkau bertambah manis. Sungguh, Li Hwa. Seorang dara jelita seperti engkau ini tidak patut kalau mudah marah dan bersikap kejam. Aku akan memberi penjelasan, akan tetapi sebelumnya aku minta supaya diberi sebuah baju lebih dahulu. Aku tidak mau bicara denganmu dalam keadaan setengah telanjang begini!"
Li Hwa merapatkan giginya, akan tetapi dia kehabisan akal, tidak mau marah lagi karena memang kalau dipikir, dia telah bertindak keterlaluan dengan menghancurkan semua baju bagian atas dari tubuh pemuda itu. Dengan nyaring dia lalu memanggil seorang perwira dan memerintahkan perwira ini mengambilkan sepotong baju untuk ‘tawanan’ ini. Perwira itu memandang Kun Liong, tersenyum, lalu mengambil sepotong baju, menyerahkannya kepada Kun Liong, kemudian pergi lagi untuk melanjutkan pertempuran yang masih terus berlangsung di luar perkampungan.
"Li Hwa, kau lepaskan dulu belenggu ini. Tanpa dilepaskan, bagaimana aku bisa memakai baju ini?"
Karena apa yang diucapkan pemuda itu memang benar, meski pun hatinya gemas bukan main, Li Hwa terpaksa membuka belenggu itu dengan kunci belenggu. Akan tetapi begitu belenggu terputus, segera tampak sinar berkilat dan pedangnya sudah menodong lagi ke lambung pemuda itu.
Kun Liong melirik pedang, memandang wajah dara itu dan tersenyum lebar, kemudian menggerakkan kedua pundak dan mengenakan pakaian itu seenaknya seperti mengulur waktu.
"Hayo, cepat!" Li Hwa menghardik.
Sesudah Kun Liong selesai mengenakan baju, kembali belenggu itu dipasangkan kepada kedua pergelangan tangannya. Kun Liong tidak membantah, bahkan memandang dengan tersenyum, seolah-olah menghadapi seorang anak yang bengal.
"Nah, sekarang katakan di mana bokor itu."
"Kalau sudah kukatakan, kau akan membebaskan aku?"
"Enak saja! Kalau aku sudah mendapatkan bokor itu, baru kau akan kubebaskan."
"Wah-wah, kalau begitu akan lama kita berkumpul. Hemm, aku senang berkumpul dengan seorang dara yang cantik menyenangkan seperti engkau, Li Hwa, heh-heh..."
"Lekas katakan di mana!" Li Hwa menghardik lagi dan kembali pedangnya sudah dicabut.
"Aduhh, galak benar kau. Bokor itu telah terampas oleh Ketua dari Kwi-eng-pang..."
"Apa? Kwi-eng Niocu?"
"Benar. Tadi ada lima orang datuk kaum sesat, lengkap dan masih ditambah empat orang kakek yang tak kukenal. Mereka mengurungku dan karena aku merasa tak sanggup untuk menghadapi mereka, terpaksa aku tidak dapat mempertahankan bokor itu dan terampas oleh Kwi-eng Niocu. Dan memang sengaja kulemparkan kepadanya."
"Kau sengaja?" Mata yang indah itu terbelalak, penuh keheranan dan kemarahan.
"Mengapa kau berikan dia?"
"Karena aku menggunakan ini!" Dengan sepasang tangannya yang dibelenggu, Kun Liong mengusap kepalanya.
"Hemm, gundul seperti itu mana ada otaknya!" Li Hwa mengomel. "Hayo katakan, kenapa kau berikan wanita iblis itu?"
"Karena di antara lima orang datuk kaum sesat itu, hanya dialah yang sudah kuketahui dengan betul sarangnya, dan selain itu, juga aku masih mempunyai perhitungan dengan dia yang telah mencuri dua buah benda pusaka Siauw-lim-pai. Karena itu, biar sementara kutitipkan bokor itu kepadanya."
"Kau titipkan? Tolol! Bodoh sekali! Jika dia mengetahui rahasia bokor, celaka sekali. Aku harus cepat merampasnya kembali. Dasar kau tolol!"
"Memang aku tolol, habis mengapa?"
"Huhh!" Li Hwa mendengus, kemudian dia memanggil seorang perwira, memerintahkan perwira itu untuk mengumpulkan sepasukan kecil untuk menjaga Kun Liong.
"Jangan biarkan dia lari, kalau perlu bunuh saja!" dia memerintah.
"Wah, galaknya, Li Hwa, jangan khawatir, aku tidak akan lari darimu, apa lagi karena aku belum membalas perbuatanmu tadi." Kun Liong tertawa pada saat melihat belasan orang prajurit pemerintah mengepungnya dan menjaganya dengan senjata terhunus.
Wajah Li Hwa menjadi merah sekali karena dia tahu apa yang dimaksudkan oleh Kun Liong dengan pembalasan itu, maka tanpa bicara lagi dengan pedang terhunus di tangan dia sudah berlari cepat ke arah pertempuran untuk membantu pengawal Tio Hok Gwan bersama pasukannya membasmi pemberontak, dan hal ini tidak sulit karena pemberontak telah mulai terdesak dan sudah ada yang melarikan diri.
Ketika Li Hwa meninggalkan pasukannya yang tadinya mengalami kekalahan, di tengah jalan dia bertemu dengan pengawal tua pengantuk yang lihai itu bersama pasukannya, maka dia lalu mendapat bantuan dan bersama-sama pasukannya yang menanti, mereka kemudian menyerbu perkampungan pemberontak dan sekali ini, karena jumlah pasukan pemerintah lebih besar, mereka berhasil mendesak kaum pemberontak yang dibantu oleh orang-orang asing itu.
Karena kini jumlah pasukan pemerintah lebih banyak, terutama sekali karena amukan Tio Hok Gwan dan Souw Li Hwa, maka perang itu tak berlangsung terlalu lama dan pasukan pemberontak dipukul hancur, banyak jatuh korban, banyak para pimpinan pemberontak ditawan dan banyak pula yang melarikan diri, termasuk Hendrik. Perkampungan nelayan yang dijadikan sarang pemberontak itu dapat direbut dan Li Hwa segera bersama Tio Hok Gwan mengerahkan pasukan mengadakan pembersihan dan mengumpulkan tawanan di sebuah pondok besar dan dijaga ketat.
Sesudah perang selesai dan anak buahnya sibuk mengurus korban, karena pakaiannya kotor ternoda darah musuh dan tubuhnya terasa lelah, Li Hwa lalu pergi ke sebuah tempat sunyi yang terlindung oleh tebing-tebing batu dan pepohonan. Dia menanggalkan semua pakaiannya yang kotor dan menaruh pakaian bersih pengganti di tepi sungai, kemudian dia terjun ke air sungai yang amat tenang dan cukup jernih di bagian itu.
Sambil berendam di air yang sejuk sedalam pinggang, Li Hwa mencuci seluruh tubuhnya, merasa segar dan gembira sekali. Akan tetapi sambil menggosok-gosok tubuhnya, dara ini termenung dan alisnya berkerut ketika dia teringat akan semua yang terjadi selama beberapa hari ini. Di depan matanya terbayang wajah tiga orang pemuda yang sangat mengesankan hatinya dan yang menimbulkan bermacam perasaan.
Wajah Hendrik yang telah menawannya serta menciumnya dengan paksa, mendatangkan perasaan benci yang amat besar dan diam-diam mengharapkan agar pemuda asing yang dibencinya itu tewas dalam perang atau setidaknya berada di antara para tawanan!
Wajah ke dua adalah wajah Yuan de Gama, pemuda asing yang telah menolongnya dan teringat akan Yuan, kedua pipi Li Hwa menjadi merah. Yuan juga menciumnya, mencium mulutnya dengan sangat mesra, akan tetapi bukan mencium dengan paksa atau sengaja untuk berbuat kurang sopan, tapi ciuman untuk menghindarkan kecurigaan para penjaga, ciuman untuk menolongnya dan membebaskannya. Dan entah mengapa, teringat akan ini Li Hwa merasa malu sekali, jantungnya berdebar aneh dan ada keinginan mendesak di hatinya, keinginan untuk bertemu lagi dengan Yuan de Gama!
Wajah ke tiga adalah wajah seorang pemuda berkepala gundul, Yap Kun Liong. Wajah ini menimbulkan kegemasan dalam hatinya, geram kecewa, akan tetapi juga kagum. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan dua orang pemuda seperti Yuan de Gama dan Yap Kun Liong.
Bila teringat akan bokor emas, hatinya menjadi makin gemas kepada Kun Liong. Celaka benar pemuda itu. Bokor telah didapat, malah diserahkan kepada Kwi-eng Niocu!
Dia ingin sekali mendapatkan bokor emas itu. Dia tahu alangkah akan gembiranya hati gurunya, Panglima Besar The Hoo kalau saja dia dapat menyerahkan bokor itu kepada gurunya. Gurunya merupakan satu-satunya orang di dunia ini yang sangat dihormatinya, pengganti orang tuanya yang telah tiada.
Li Hwa sudah menjadi seorang yatim piatu karena ayah bundanya telah meninggal dunia beberapa tahun yang lampau. Ayahnya, Souw Bun Hok, bekas juru mudi suhu-nya, telah meninggal lebih dulu tujuh tahun yang lalu. Kemudian ibunya terserang penyakit menular, meninggal dua tahun yang lalu. Karena dia tidak mempunyai keluarga lain, maka hanya Panglima The Hoo, gurunya itulah yang menjadi pengganti orang tuanya.
Bahkan kini dia meninggalkan rumah orang tuanya di Liok-ek-tung, diminta oleh suhu-nya untuk tinggal di istana panglima itu, sebagai murid, juga seperti anak sendiri oleh karena suhu-nya tidak mempunyai anak. Tentu saja dia ingin menggembirakan hati gurunya yang sudah dianggap seperti orang tua sendiri itu. Celakanya, semua menjadi gagal karena ketololan Kun Liong!
Memang The Hoo yang tidak mempunyai anak merasa amat suka kepada muridnya ini. Semenjak kecil, Li Hwa yang mempunyai bakat dan tulang baik itu sudah diambil murid oleh The Hoo. Biar pun orang sakti ini tidak sempat menurunkan seluruh kepandaiannya yang tinggi dan hanya di waktu dia datang ke rumah juru mudinya saja dia mengajar Li Hwa, namun dara ini sudah memiliki ilmu kepandaian hebat sekali, terutama sekali Ilmu Silat Jit-goat Sin-ciang-hoat yang menggunakan tenaga Im-yang Sinkang dan yang lebih menakutkan lawannya adalah ilmunya It-ci-san, yaitu ilmu menotok yang lihai.
Ketika melihat betapa dara itu ditinggal mati ayah bundanya, The Hoo merasa semakin kasihan dan memanggil muridnya untuk tinggal di kota raja, di dalam istananya. Di tempat ini, selain menjadi pengurus rumah tangga gurunya, mengepalai semua pelayan dalam, juga kadang-kadang Li Hwa mewakili gurunya dalam urusan besar seperti menumpas kaum penjahat dan pemberontak.
Pada waktu The Hoo menerima laporan dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong mengenai pemberontakan yang timbul di Ceng-to, dia lalu mengerahkan tenaga para pembantunya, bahkan Li Hwa sendiri disuruh mengepalai pasukan untuk mengadakan pembersihan di sepanjang Sungai Huang-ho! Tio Hok Gwan, pengawal kepala yang sangat lihai itu pun mengepalai pasukan, sedangkan pasukan besar yang menyerbu ke Ceng-to, di samping dipimpin panglima-panglima perang yang berpengalaman, juga dibantu oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong sendiri atas permintaan Panglima Besar The Hoo!
Sambil mandi membersihkan tubuhnya, Li Hwa mengenangkan ini semua, dan dia pun menjadi kecewa karena gagal mendapatkan bokor emas. Dia bermaksud untuk memimpin pasukannya untuk menyerbu ke Telaga Kwi-ouw, hendak menyerang Kwi-eng-pang untuk merampas kembali bokor emas, ada pun para tawanan pemberontak akan dia serahkan kepada Tio Hok Gwan agar digiring ke kota raja sebagai tawanan perang.
Suara orang berdehem membuat Li Hwa terkejut sekali. Dia menoleh dan...
“Ihhh...!" Dara itu langsung menjerit ketika melihat Kun Liong si kepala gundul telah duduk metongkrong di atas sebuah batu di pinggir sungai, dekat tumpukan pakaian Li Hwa!
"Heh-heh-heh, indah dan sedap sekali pemandangan di sini!" Kun Liong berkata ke arah punggung Li Hwa yang putih mulus itu.
"Bedebah! Setan iblis siluman keparat kau, Kun Liong!" Li Hwa menjerit-jerit sambil cepat merendam tubuhnya semakin dalam. Dia berjongkok di dalam air sehingga air sampai ke lehernya, barulah dia berani memutar tubuh dan memandang pemuda itu dengan mata terbelalak penuh kemarahan.
Yang dimarahi tersenyum-senyum lebar, menggerak-gerakkan alis dan matanya seperti orang tidak mengerti. "Lho, mengapa marah-marah tidak karuan? Apa salahku sekali ini, Nona manis?"
"Yap Kun Liong manusia cabul! Hayo lekas pergi kau, kalau tidak... hemmmm... aku bersumpah untuk membunuhmu sekarang juga!"
"Heh-heh-heh..." Kun Liong terkekeh dan menjadi makin gembira. Kini dia merasa dapat membalas dendam terhadap dara yang sudah beberapa kali menghinanya itu. "Engkau memang seorang dara yang jelita, manis dan galak, dan engkau memang juga menjadi pemimpin pasukan. Akan tetapi aku belum mendengar bahwa kau telah menjadi siluman penunggu Sungai Huang-ho."
"Apa... apa maksudmu?" Li Hwa membentak dengan kedua tangan sibuk menutupi dada, seakan-akan air yang menutupi dadanya itu masih belum cukup untuk menyembunyikan bagian tubuh ini dari pandang mata Kun Liong yang tajam.
"Kau mengusir aku pergi seolah-olah tempat ini menjadi hakmu, maka agaknya engkau telah menjadi siluman penunggu sungai maka kau menghaki tempat ini dan mengusir aku pergi!"
"Jahanam kau! Sengaja mengintai orang mandi, ya? Tak tahu malu! Cihhh, laki-laki mata keranjang, cabul, muka tembok!"
"Ha, hendak kulihat siapa yang lebih kuat bertahan. Kau yang memaki-maki di sana atau aku yang duduk di sini. Aku akan duduk di sini selama engkau masih memaki-maki aku."
Kun Liong duduk seenaknya dan kini dia mengambil baju Li Hwa, mempermainkan baju itu sambil mengomel, "Bagaimana ya rasanya kalau baju dirobek-robek orang?" Dan dia membuat gerakan seperti hendak merobek-robek baju itu.
"Kun Liong keparat kau! Jangan robek-robek bajuku!" Saking marahnya, Li Hwa sampai lupa diri, bangkit berdiri sehingga tubuh bagian atasnya tampak.
Lengan kirinya dilingkarkan sebisanya untuk menutupi dadanya yang membusung, tangan kanannya menuding ke arah Kun Liong di sebelah belakangnya dengan marah. Kun Liong bangkit berdiri dan mengulurkan kedua tangan terbelenggu yang kini memegang baju Li Hwa.
"Sabar Nona manis, aku tidak merobek bajumu. Aku hanya ingin melihat tubuhmu seperti kau telah melihat tubuh. Duhaiii... indahnya, halusnya... hemmm..."
"Cluppp...!" Li Hwa sudah berjongkok lagi.
"Kun Liong... jangan... jangan kau goda aku begini..." Dia hampir menangis, kedua pipinya kemerahan. Amarahnya yang memuncak masih kalah oleh rasa malu dan bingungnya.
"Siapa menggoda siapa? Kau merobek-robek bajuku dengan sengaja, kau pun menampar pipiku, kau juga membelenggu tanganku. Apa saja yang tidak kau lakukan terhadapku? Dan aku datang bukan sengaja menelanjangimu, kau bertelanjang sendiri, tidak ada yang menyuruhmu. Siapa menggoda?"
"Kun Liong... demi Tuhan! Kasihanilah aku, pergilah kau... biarkan aku berpakaian lebih dulu..."
"Kau mau berpakaian? Siapa yang melarang? Nah, berpakaianlah!" Kun Liong kembali mengulurkan kedua tangannya yang memegang baju sambil tersenyum mengoda, penuh kegembiraan, matanya bersinar-sinar, mukanya berseri dan diam-diam dia kagum bukan main karena baru sekarang dia melihat keindahan tubuh seorang dara, biar pun ditutup-tutupi akan tetapi menambah keindahan yang melampaui apa yang pernah diimpikannya itu.
"Lemparkan pakaianku ke sini!" Li Hwa berteriak.
Kun Liong menggelengkan kepala dan kembali duduk di atas batu. "Tidak, kau harus mengambilnya ke sini."
"Kun Liong, tidak malukah kau dengan perbuatanmu ini? Kau tidak sopan, kau cabul!"
"Heh-heh, apanya yang cabul? Aku tak berniat menjamahmu, tak berniat menggagahimu. Aku hanya ingin melihat dan mengagumi keindahan tubuhmu, seperti engkau yang sudah melihat dan menghina keburukan tubuhku. Nah, apa salahnya?"
"Kun Liong, aku... aku malu sekali. Pergilah kau lebih dahulu. Atau kau berpaling, jangan menghadap ke sini. Setelah aku berpakaian, baru kita bicara."
Kun Liong tidak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya yang gundul. Kemudian dia bersenandung! Rantai yang membelenggu dua tangannya dipukul-pukulkan ke atas batu sehingga menimbulkan suara berdencing dan berirama mengikuti suara senandungnya.
Li Hwa masih berjongkok. Kedua pipinya basah, akan tetapi Kun Liong mengira bahwa yang membasahi pipi itu adalah air sungai. Dia belum tahu bahwa sebetulnya sudah ada beberapa butir air mata yang meloncat turun dari sepasang mata yang kebingungan dan kehabisan akal itu.
Betapa pun lihainya Li Hwa, betapa pun galaknya dia, dalam keadaan bertelanjang bulat di dalam air dan pakaiannya dikuasai oleh Kun Liong, membuat gadis ini sama sekali kehabisan akal dan tidak tahu harus berbuat bagaimana. Satu-satunya hal yang dapat dia lakukan hanya memaki-maki dan menangis! Akan tetapi, dia tahu bahwa memaki-maki tidak ada gunanya, sedangkan untuk terang-terangan menangis, dia tidak sudi!
Kini Kun Liong bernyanyi! Suaranya memang cukup merdu, karena sejak kecil dia gemar bernyanyi, dan dia menguasai lagu nyanyian itu, tidak sumbang.
“Sang Dewi mandi di telaga
duhai cantik jelita
perawan remaja!”
"Kun Liong, lemparkan pakaianku ke sini!" Li Hwa kembali menjerit.
“Rambutnya awan tipis di angkasa
matanya sepasang bintang bercahaya
dagu dan lehernya... amboiii…!”
"Kun Liong, kasihanilah aku...!"
“Tubuhnya batang pohon yangliu
penuh lekuk lengkung sempurna
kulitnya lilin putih diraut...”
"Kun Liong...!"
"Hidung mancung bibir...
haiii... gendewa terpentang...
dadanya..."
"Kun Liong!"
"Dadanya... wah, dadanya..."
"Kun Liong..."
Pemuda itu terkejut karena panggilan ini disertai isak. Dia memandang penuh perhatian dan melihat betapa air mata bercucuran dari sepasang mata itu. Dara itu menangis!
"Datanglah seorang penggembala
melarikan pakaian Si Juwita
menangislah perawan remaja..."
Tangis Li Hwa makin mengguguk. Dengan tubuh terendam air sampai ke leher, dara itu menangis, menutupi muka dengan kedua tangannya.
"Li Hwa, jangan menangis. Aku hahya main-main... wah, maafkan aku. Jangan menangis, tak tahan aku melihatnya. Nah, ini pakaianmu. Aku akan berdiri membelakangimu kalau kau malu. Padahal tidak semestinya malu. Kalau saja aku memiliki tubuh seperti engkau, hemmm... sebaliknya dari pada malu, aku malah akan merasa bangga sekali, Li Hwa."
Melihat pemuda itu sudah berdiri membelakanginya, Li Hwa melangkah keluar dari air, matanya tidak pernah berkejap memandang punggung pemuda itu dan untuk mencegah pemuda itu menoleh, dia cepat berkata sambil menyambar pakaiannya. "Jadi engkau menjadi penggembala itu?"
"Heh-heh!" Kun Liong terkekeh dan mengangguk.
"Pantas kau berbau kerbau." Li Hwa berkata asal saja, sebab maksudnya untuk menarik perhatian Kun Liong agar jangan menoleh sebelum dia selesai berpakaian.
Akan tetapi karena tergesa-gesa, kedua tangannya menggigil dan dia menjadi panik. Baru sekali ini selama hidupnya dia merasa betapa sukarnya berpakaian! Seolah-olah pakaian itu membantu Kun Liong menggodanya, mencekik di bagian leher, buntu ketika dimasuki kaki tangannya.
"Sudah selesaikah?" Kun Liong bertanya.
"Nanti dulu...!"
Akan tetapi dengan ketajaman pendengarannya, Kun Liong maklum bahwa dara itu telah selesai mengenakan pakaian dalamnya, maka dia lalu memutar tubuhnya. Dengan penuh kagum dia memandang dara yang kini sudah memakai pakaian dalam yang serba ketat dan berwarna merah muda itu.
"Betapa cantiknya engkau, Li Hwa..."
Li Hwa semakin panik. Dia membalikkan tubuh dan karena paniknya, dia mengenakan pakaian luarnya dengan terbalik! Setelah selesai, dia melibat Kun Liong tertawa bergelak, maka marahlah dia.
"Jahanam keparat!"
"Ha-ha-ha, pakaian luarmu terbalik. Ho-ho, lucunya! Jahitannya di luar... eh, lucu benar... ha-ha-ha!"
Li Hwa memandang pakaiannya dan merapatkan giginya ketika melihat bahwa pakaian luarnya benar-benar terbalik. "Hihhh... kubunuh kau...!" gerutunya.
Pakaian luarnya direnggutnya terlepas lagi, kini saking marahnya tidak peduli lagi kepada Kun Liong, tidak membalikkan tubuh sehingga Kun Liong dapat menikmati tubuh depan yang hanya tertutup oleh pakaian dalam yang tipis merah muda itu. Setelah mengenakan pakaian luarnya, Li Hwa lalu menggelung rambutnya dan memandang Kun Liong dengan mata bernyala.
Kun Liong amat terpesona. Baru sekarang dia melihat seorang dara menggelung rambut di depannya. Gerakan kedua tangan, sepasang lengan diangkat di atas kepala. Betapa manisnya!
"Li Hwa, tahukah engkau akan dongeng penggembala dan puteri yang mandi? Setelah Si Penggembala melarikan pakaian Si Puteri, puteri itu menangis, Si Penggembala merasa kasihan, mengembalikan pakaian dan akhirnya mereka... kawin!"
"Kau... kau...!" Muka Li Hwa merah sekali.
"Aahh, jangan marah, Li Hwa. Penggembala itu mengawini Si Puteri Mandi, akan tetapi jangan khawatir, aku tidak akan mengawinimu. Tidak, kita tidak akan menjadi suami isteri seperti mereka."
Alangkah kaget dan heran hati Kun Liong ketika dia melihat betapa kata-katanya ini malah membuat dara itu marah bukan main. Li Hwa melangkah maju dan dengan kedua mata berapi-api dia berkata,
"Kun Liong, penghinaanmu kepadaku sudah tiada taranya dan hanya bisa ditebus dengan nyawa! Biar pun engkau mencurigakan dan mungkin bersekutu dengan pemberontak, dan walau pun engkau sudah berkhianat dengan menyerahkan bokor kepada Kwi-eng Niocu, namun mengingat engkau murid Bun Hwat Tosu, aku masih segan untuk membunuhmu dan akan menyerahkanmu kepada Suhu. Akan tetapi, penghinaan-penghinaan yang kau lakukan kepadaku merupakan urusan kita pribadi dan harus diselesaikan sekarang juga!"
"Aihh, Li Hwa. Apa maksudmu?"
"Aku tahu bahwa engkau seorang yang memiliki kepandaian dan sebagai murid Bun Hwat Tosu, kiranya engkau tidak diajarkan menjadi seorang pengecut oleh kakek terhormat itu. Mungkin engkau bukanlah pemberontak, akan tetapi yang jelas, engkau sudah bersikap kurang ajar dan menghinaku. Mari kita bereskan persoalan antara kita dengan mengadu kepandaian. Kalau aku kalah, aku berjanji tidak akan menawanmu lagi dan bokor itu akan kucari sendiri."
"Kalau aku yang kalah?"
"Engkau harus berlutut minta ampun atas kekurang ajaranmu, selanjutnya menurut segala kehendakku tanpa membantah, atau kau akan kubunuh."
"Hemm, keputusan yang adil juga. Dan memang aku mempunyai banyak urusan sehingga sudah mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat ini. Engkau tentu akan merasa penasaran kalau belum berhasil memukul jatuh aku, meski pun kau sudah beberapa kali menampar dan memaki. Nah, aku sudah siap!" Kun Liong bangkit berdiri lalu meloncat ke belakang, ke tempat yang datar.
Li Hwa segera menyusul dengan loncatan ringan, akan tetapi dara ini tidak mencabut pedangnya yang sudah diikat pada punggungnya. Bahkan dia tidak menyerang, hanya memandang pemuda gundul itu, kemudian berkata, "Dekatkan kedua tanganmu, akan kubuka dulu belenggumu."
Akan tetapi Kun Liong menggelengkan kepalanya. "Biarlah, Li Hwa, kukira hal itu tidak perlu."
"Hemm, kau kira aku berwatak pengecut hendak melawan orang yang kedua tangannya terbelenggu? Akan kubebaskan dulu kau."
"Tidak usah, aku dapat membebaskan kedua tanganku sendiri." Kun Liong menggerakkan kedua lengannya sambil mengerahkan tenaga sinkang.
"Krekkrekkk...!" belenggu kedua tangannya itu patah-patah!
Li Hwa memandang dengan kaget dan kagum, akan tetapi juga marah sekali karena dia tahu bahwa selama ini, Kun Liong sengaja membiarkan dirinya ditawan dan dibelenggu sehingga diam-diam tentu mentertawakannya dan hal itu sama dengan mempermainkan dirinya.
"Bagus! Sekarang tidak perlu kau berpura-pura lagi. Sambutlah!"
Li Hwa langsung menerjang maju, gerakannya cepat bukan main seperti seekor burung walet menyambar, tangan kirinya menampar ke arah ubun-ubun kepala lawan sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah lambung. Sebuah serangan yang amat dahsyat serta berbahaya karena selain cepat, juga mengandung hawa pukulan yang antep dan kuat. Tidaklah mengherankan karena memang dia telah mengeluarkan jurus ampuh dari Ilmu Silat Jit-goat Sin-ciang-hoat dan menggunakan tenaga sakti Im-yang Sinkang.
"Hayaaaaa...!"
Kun Liong terkejut sekali, cepat-cepat membuang tubuh ke kanan untuk menghindarkan tamparan, lantas lengan kirinya menangkis cengkeraman tangan kanan lawannya yang lihai.
Akan tetapi, begitu jurus pertama gagal, dengan kecepatan mengagumkan Li Hwa sudah menerjang dengan jurus susulan yang lebih ampuh lagi. Gerakan dara ini memang gesit sekali dan ilmu silat yang dimainkannya adalah limu silat tinggi yang dipelajarinya dari gurunya, The Hoo yang sakti, maka tentu saja semua serangannya merupakan serangan maut yang berbahaya.
Kun Liong tidak sempat main-main lagi karena dia pun maklum bahwa tingkat kepandaian dara ini sudah sangat tinggi sehingga sekali saja dia terkena cium tangan dara itu, belum tentu kekebalannya akan dapat melindunginya baik-baik. Maka dia pun lalu mengimbangi semua terjangan dara itu dengan permainan Ilmu Silai Pat-hong Sin-kun.
Dia sengaja memilih Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin) ini karena ilmu inilah yang paiing cepat gerakannya di antara semua ilmu yang diketahuinya dan paling tepat untuk mengimbangi gerakan Li Hwa yang demikian gesitnya. Betapa pun juga, dia terus terdesak karena memang Kun Liong tidak pernah dan tidak mau membalas, hanya menjaga diri dengan elakan dan tangkisan.
Setelah lewat lima puluh jurus belum juga dapat merobohkan lawan, apa lagi merobohkan bahkan satu kali pun belum pernah dia dapat memukul tubuh Kun Liong, padahal pemuda itu sama sekali tidak pernah membalas serangannya, Li Hwa menjadi terkejut, heran, kagum dan juga penasaran! Dia sudah menduga bahwa sebagai murid Bun Hwat Tosu, pemuda gundul itu tentu memiliki kepandaian tinggi sekali. Akan tetapi sama sekali tidak disangkanya bahwa pemuda itu akan dapat melawannya tanpa balas menyerang sama sekali, padahal dia sudah mempergunakan seluruh sinkang dan ginkang yang dilatihnya bertahun-tahun, dan mainkan Ilmu Silat Jit-goat Sin-ciang-hoat ciptaan suhu-nya yang amat dahsyat!
Sebenarnya tidak mengherankan kalau saja Li Hwa mengetahui bahwa selain menerima latihan dari Bun Hoat Tosu yang sakti selama lima tahun, lawannya juga telah digembleng secara hebat di dalam kamar rahasia oleh tokoh utama Siauw-lim-pai, yaitu Tiong Pek Hosiang! Dari kakek luar blasa ini, selain ilmu-ilmu khusus seperti Im-yang Sin-kun dan Pek-in Ciang-hoat, juga Kun Liong telah digembleng dengan ilmu yang menjadi inti sari dari semua ilmu Siauw-lim-pai, yaitu Ilmu Mukjijat I-kin-keng!
I-kin-keng adalah ilmu silat mukjijat yang dulunya diciptakan oleh Tat Mo Couwsu, pendiri Siauw-lim-pai. Mula-mula I-kin-keng diajarkan oleh Tat Mo Couwsu untuk mendatangkan kesehatan dan kekuatan kepada para pendeta yang menjadi muridnya ketika dia melihat murid-murid ini lesu dan mengantuk selagi mendengarkan pelajaran kebatinan. Maklumlah Tat Mo Couwsu betapa pentingnya olah raga untuk menjaga kesehatan para pendeta itu, maka mulailah Tat Mo Couwsu mengajarkan olah raga yang dinamakan I-kin-keng dan yang harus dilatih oleh semua anak murid setiap pagi.
Pada mulanya, hanya ada dua belas gerakan atau jurus saja yang diciptakan oleh Tat Mo Couwsu, akan tetapi kedua belas jurus ini kemudian berkembang biak menjadi delapan belas, bahkan kemudian oleh pendeta Chueh Yuan dikembangkan menjadi tujuh puluh dua jurus, yang menjadi dasar dari ilmu silat Siauw-lim-pai.
Kemudian, bersama-sama dua orang kakek sakti yang bemama Li Cheng dan Pai Yu Feng dari Kansu dan Shansi, Chueh Yuan mengembangkan lagi, dari tujuh puluh dua jurus menjadi seratus tujuh puluh gerakan. Semua ini dibagi menjadi lima kelompok yang disebut Gaya Naga, Gaya Harimau, Gaya Macan Tutul, Gaya Ular dan Gaya Bangau. Gaya Naga Melatih Semangat, Gaya Harimau Melatih Tulang, Gaya Macan Tutul Melatih Kekuatan, Gaya Ular Melatih Khikang, Gaya Bangau Melatih Otot.
Oleh Tiong Pek Hosiang Kun Liong telah digembleng dengan I-kin-keng yang asli hingga selain tubuhnya kuat, juga dia mempunyai kecepatan yang didasari khikang dan ginkang. Oleh karena inilah, meski pun Li Hwa adalah murid The Hoo yang sakti, dia tetap dapat mengimbangi gerakan dara itu.
Apa bila dibuat perbandingan, meski pun gerakan Li Hwa kelihatan lebih lincah dan indah, tetapi dia kalah gemblengan! Kun Liong terus-menerus digembleng oleh dua orang kakek sakti selama sepuluh tahun, ada pun Li Hwa hanya kadang-kadang saja bertemu dengan gurunya yang mempunyai kedudukan tinggi dan tugas yang amat berat dan banyak. Apa lagi karena berhubung dengan tugasnya, The Hoo sering kali mengadakan pelayaran ke negeri-negeri jauh di seberang lautan sehingga Li Hwa harus berlatih sendiri.
Saking merasa penasaran dan marah, Li Hwa mengeluarkan lengking panjang kemudian dia menyerang dengan ilmu yang paling diandalkannya, yaitu ilmu It-ci-san yang ampuh. It-ci-san ialah ilmu tiam-hiat-hoat (menotok jalan darah) menggunakan sebuah jari, hebat bukan main karena dengan totokan satu jari ini dia dapat merobohkan orang, bahkan jika mengenai sasaran jalan darah kematian, dapat mendatangkan maut. Dua tangan yang mungil itu kini seakan-akan memegang senjata yang amat ampuh dan berbahaya, dan tusukan-tusukannya sampai mengeluarkan desir angin dingin!
"Waduhhh, kau memang hebat, Li Hwa...!"
Li Hwa tidak mempedulikan pujian Kun Liong yang terus mengelak ke sana-sini, dia tetap mengejar dan mengambil keputusan untuk merobohkan lawan dengan cara apa pun juga, karena kalau tidak, dia tidak akan berhenti merasa penasaran sekali.
"Plak-plak-plak!"
Bertubi-tubi datangnya serangan totokan Li Hwa, akan tetapi semua dapat ditangkis oleh Kun Liong. Sekali ini pemuda itu mengerahkan sinkang-nya sehingga kedua tangannya mengandung tenaga Pek-in Ciang-hoat. Uap putih mengepul dari dua telapak tangannya sehingga ketika dia menangkis, tubuh Li Hwa segera terdorong ke belakang dan hampir terjengkang.
"Aihhh...!" Li Hwa menjadi marah sekali.
"Singgg...!" Dia sudah mencabut pedang.
"Nah, ini dia... dia lari ke sini...!"
Lima belas orang prajurit bermunculan dan serta-merta mengepung dan mengeroyok Kun Liong. Mereka adalah orang-orang yang tadi ditugaskan untuk menjaga Kun Liong ketika Li Hwa pergi mandi. Melihat mereka, timbul rasa gemas di hati dara itu dan dia bertanya kepada perwira yang memimpin pasukan kecil itu.
"Bagaimana dia sampai dapat lolos?"
"Maaf, Lihiap. Dia bilang ingin kencing, maka terpaksa kami antar ke pinggir sungai, dan tiba-tiba dia meloncat ke atas pohon, ketika kami mencarinya, dia telah lenyap. Tahu-tahu berada di sini dan untung ada Lihiap yang menahannya..."
"Sudahlah, kalian semua tolol!" Li Hwa membentak dan dengan hati kesal dia menyimpan kembali pedangnya.
Dia merasa malu apa bila harus mengeroyok, bahkan dia harus mengakui bahwa dalam pertandingan tadi, walau pun dia tidak sampai roboh, akan tetapi terang bahwa dia kalah lihai oleh Kun Liong. Jika tadi dia mencabut pedang hanya karena dorongan amarahnya, akan tetapi setelah dia menyadari bahwa dia tidak akan mampu menang, dia pun teringat janjinya untuk membebaskan Kun Liong, maka dia menyimpan pedangnya dan tidak mau ikut mengeroyok.
Sesudah Li Hwa tidak menyerangnya, legalah hati Kun Liong. Biar pun kini ada lima belas orang prajurit yang mengeroyok dirinya dengan bermacam senjata, dengan enak saja dia dapat mengelak ke sana sini, meloncat tinggi melampaui kepala mereka, turun ke depan Li Hwa, menjura dan berkata,
"Terima kasih atas kebaikanmu, Li Hwa. Kulihat Yuan de Gama itu amat baik terhadapmu akan tetapi hati-hatilah terhadap Hendrik. Nah, selamat tinggal dan sampai jumpa pula!"
Sesudah berkata demikian, melihat para prajurit sudah mengejarnya lagi, Kun Liong lalu melompat jauh dan lari dari tempat itu.
Para prajurit mengejar, akan tetapi Li Hwa lalu kembali ke perkampungan pemberontak yang telah mereka duduki. Dia bertemu dengan Tio Hok Gwan yang mengatakan bahwa lebih dari lima puluh orang pemberontak tertawan, termasuk lima orang asing.
"Apa yang harus kita lakukan dengan mereka?" Tio Hok Gwan bertanya. "Jumlah mereka terlalu banyak dan kiranya hanya akan mendatangkan kesukaran saja bagi kita."
"Habis, apakah kita harus membunuh mereka begitu saja?" Li Hwa berkata, "Tio-lopek, tawanan tetap saja tawanan apa lagi kalau diingat bahwa mereka itu pun adalah prajurit-prajurit pemerintah. Jika mereka dapat diinsyafkan, tentu mereka tidak akan melanjutkan penyelewengan. Sebaiknya Lopek memimpin sebagian pasukan Lopek untuk mengawal para tawanan ke kota raja. Terserah bagaimaria keputusan pengadilan di kota raja. Ada pun aku sendiri akan memimpin pasukan untuk mengejar orang yang sudah merampas bokor emas."
"Hehh? Siapa dia?"
"Kwi-eng Niocu Ketua Kwi-eng-pang." Li Hwa lalu menceritakan pengakuan Kun Liong tentang bokor yang terjatuh ke tangan Kwi-eng Niocu.
"Memang bokor itu harus cepat dikejar dan dirampas kembali," berkata kakek pengantuk yang lihai ini, "Akan tetapi amatlah berbahaya kalau kau mengejar ke sana, Nona Souw, Kwi-eng Niocu lihai bukan main, anak buahnya juga banyak, belum lagi dengan adanya Siang-tok Mo-li yang juga tinggal di Kwi-ouw."
"Aku tahu, Lopek. Aku pun tidak akan bertindak sembrono. Apa bila Lopek sudah selesai mengawal tawanan sampai ke kota raja, Lopek dapat segera menyusulku dan membantu pencarian kembali bokor yang terampas oleh mereka."
Terpaksa kakek itu setuju dan Li Hwa lalu memasuki tempat tawanan. Ketika dia sedang berjalan-jalan memeriksa, di sudut terdengar ribut-ribut.
"Manusia biadab, apa engkau sudah bosan hidup? Kubunuh engkau!" seorang penjaga berteriak marah sambil mengacungkan goloknya di luar sebuah kerangkeng tahanan.
"Hemmm, mau bunuh boleh saja. Siapa yang takut mati? Sesudah aku berada di dalam cengkeraman kalian, memang mati hidupku terserah kepada kalian. Akan tetapi jangan mengira bahwa sesudah tertawan aku boleh diperlakukan sembarangan saja! Aku bukan anjing dan aku tak sudi makan makanan anjing!" Terdengar suara berkerontangan ketika piring dilempar ke luar dari tempat tahanan itu.
"Bedebah, mampuslah engkau!" Penjaga yang marah itu hendak membacok ke dalam kerangkeng.
"Tahan...!" Li Hwa meloncat dan memegang lengan penjaga itu, kemudian mendorongnya mundur. Penjaga yang marah-marah itu penasaran, akan tetapi tidak berani membantah dan segera pergi ketika Li Hwa menyuruhnya.
Ketika mendengar suara tawanan yang menolak makanan tadi, seperti telah diduga oleh Li Hwa, ketika dia tiba di depan kerangkeng, dia melihat Yuan de Gama berdiri di sana dengan sikap angkuh! Dada pemuda asing yang tampan itu terluka, dan lukanya dibalut dengan robekan bajunya sendiri.
Selanjutnya,