Petualang Asmara Jilid 19

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Episode Petualang Asmara Jilid 19 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Petualang Asmara Jilid 19

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
TUBUH atasnya tidak berbaju, telanjang memperlihatkan kulit yang putih kemerahan, dada yang bidang dan terhias bulu-bulu pirang yang lembut. Kedua lengannya berotot dan di lehernya masih terbelit kain leher, tubuh bawahnya memakai celana dengan sabuk kulit. Rambutnya yang pirang itu masih rapi, matanya penuh semangat, mata yang warnanya biru itu memandang tajam dan dengan sikap angkuh melirik ke arah Li Hwa.

Akan tetapi begitu dia mengenal gadis itu, sikap angkuhnya lantas berubah. Kedua lengan yang tadinya bersedakap dengan sikap tak acuh segera dilepaskan dan dia membalikkan tubuh memandang gadis itu dengan mata terbelalak dan bibir membentuk senyum. Dagu yang terbelah dua itu bergerak-gerak menandakan bahwa perasaannya bergelora ketika dia bertemu dengan dara ini.

"Nona Souw...! Ahh, betapa gembira hatiku melihat nona dalam selamat dan tidak terluka dalam perang yang dahsyat itu."

Kedua pipi Li Hwa menjadi merah. Alangkah anehnya pemuda asing ini, dalam keadaan terluka dan tertawan masih menyatakan kegembiraannya bahwa dirinya selamat! Padahal dialah yang memimpin pasukan yang menghancurkan pemberontakan dan yang sudah menawan pemuda itu.

"Kau... kau terluka...!" Li Hwa melirik ke arah dada yang terbalut itu, akan tetapi segera mengalihkan pandangan. Tidak kuat dia terlalu lama memandang dada telanjang yang terhias bulu pirang halus itu.

"Aku...? Ahh, hanya terluka sedikit. Kau hebat sekali, Nona. Baru saja dikalahkan, tetapi sudah cepat sekali dapat menyusun kekuatan dan sebaliknya menghancurkan kami. Aku benar-benar kagum!" Sepasang mata biru itu benar-benar memandangnya penuh kagum, tanpa disembunyikan lagi penuh kagum dan penuh sayang yang dirasakan benar oleh Li Hwa, membuat dia makin tertunduk dengan hati bingung.

"Mengapa kau menolak makanan? Dalam keadaan seperti ini, menyesal sekali kami tidak dapat menyediakan hidangan yang lebih baik."

Muka pemuda itu menjadi merah dan dia kelihatan tersipu malu, kemudian menjawab, "Maafkan aku Nona. Sebetulnya bukan hidangannya yang menjadi soal, akan tetapi ada dua hal yang membuat aku sengaja bersikap buruk menolak makanan. Pertama, karena sikap para penjaga yang amat menghina sehingga aku lebih senang kelaparan dari pada menerima hidangan seperti orang memberi kepada anjing. Dan ke dua, dalam keadaan tertawan dan tidak berdaya seperti ini, apa lagi yang kuharapkan? Tidak urung aku akan dihukum mati dan aku tidak ingin memperpanjang hidup seperti ini. Kalau pintu kamar ini dibuka, aku akan mengamuk sampai mati. Aku telah meninggalkan kapalku di mana aku menjadi kaptennya, berarti aku akan mati konyol di sini. Ahh... semua ini adalah karena Ayah telah keliru menyewakan kapal kepada petualang-petualang seperti keluarga Selado itu."

Li Hwa merasa tertarik sekali. Pemuda ini bukanlah orang biasa, bukan pula orang jahat.

"Di mana kapalmu?"

"Di tepi teluk Po-hai. Ahh, betapa ingin aku mati di atas kapalku sebagai seorang kapten yang tak terpisahkan dari kapal yang dikuasainya."

Hening sejenak dan beberapa kali mereka saling berpandangan.

"Yuan..."

Wajah pemuda itu berseri mendengar namanya disebut oleh bibir yang dikaguminya itu.

"Apa yang hendak kau katakan, Li Hwa?"

"Kau pernah menyelamatkan aku, membebaskan dari tawanan bangsamu. Maka jangan kau khawatir, aku pasti akan berusaha untuk membebaskanmu untuk membalas budimu itu."

"Jangan...!" Yuan de Gama cepat memegang kedua tangan Li Hwa yang memegangi ruji besi. "Jangan kau korbankan dirimu untukku, Li Hwa!"

Untuk sejenak Li Hwa membiarkan jari-jari tangan pemuda asing itu menggenggam kedua tangannya yang kecil. Kemudian secara perlahan-lahan ia menarik kedua tangannya dan berkata, "Jangan khawatir, aku tak akan membebaskanmu dengan cara menggelap, akan tetapi terang-terangan."

"Akan tetapi... ada empat orang temanku yang kini juga tertawan. Aku tidak takut mati terhukum, akan tetapi jika engkau membebaskan aku dan empat orang temanku itu tidak dibebaskan, tentu aku akan dianggap sebagai pengecut. Tidak, Li Hwa, terima kasih atas kebaikanmu..."

Li Hwa makin kagum. Tepat perkiraannya bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan. Seorang yang halus tutur sapanya, baik budi bahasanya, juga tampan dan gagah serta memiliki setia kawan yang besar.

"Kalau begitu, aku akan membebaskan pula empat orang temanmu itu."

Yuan de Gama membelalakkan matanya dan memandang Li Hwa yang sudah melangkah pergi dari tempat itu.

"Wanita yang hebat... betapa aku cinta kepadamu...." bisiknya.

Lapat-lapat dia mendengar perintah diucapkan oleh dara itu kepada kepala penjaga, dan agaknya dara itu menegur para penjaga yang bersikap kasar karena buktinya, tak lama kemudian kepala penjaga sendiri datang membawa hidangan dengan sikap biasa, tidak memperlihatkan sikap menghina seperti yang sudah-sudah.

Oleh karena maklum bahwa semua ini adalah hasil usaha dara yang dicintanya, biar pun hidangan itu masih serupa, sangat sederhana, Yuan de Gama lalu makan dengan lahap, kadang-kadang tersenyum dan matanya bersinar-sinar penuh bahagia.

Dia bukan girang mengingat bahwa dia akan dibebaskan sungguh pun hal ini merupakan berita yang sangat mengejutkan dan baik. Akan tetapi yang amat menggirangkan hatinya adalah bahwa yang akan membebaskannya adalah Souw Li Hwa, yaitu dara yang telah menjatuhkan hatinya karena kegagahan dan kecantikannya.

Bukankah hal itu mendatangkan harapan dalam hatinya bahwa cinta kasihnya tak sia-sia, bahwa setidaknya dara itu juga menaruh perhatian kepada dirinya? Tentu saja dia belum berani mengharapkan bahwa Li Hwa mencintanya. Hal ini merupakan ketidak mungkinan. Li Hwa adalah murid Panglima Besar The Hoo, mana mungkin jatuh cinta kepadanya, seorang pemuda asing yang dianggap bangsa ‘biadab’ oleh para pribumi? Akan tetapi belum tentu, bantah suara hatinya. Cinta kasih mengalahkan apa pun di dunia ini!

Sementara itu, di dalam pondok yang dipergunakan sebagai pusat komando dan ditinggali untuk sementara oleh para pemimpin pasukan termasuk Li Hwa dan Tio Hok Gwan, dara itu bercakap-cakap dengan pengawal tua pengantuk itu.

"Nona Souw, apakah sudah kau pikir baik-baik keputusanmu untuk membebaskan para orang asing yang menjadi tawanan itu?" tanya Tio Hok Gwan sambil mengerutkan alisnya.

"Sudah saya pertimbangkan masak-masak, Lopek, dan saya berani menanggung semua akibatnya. Dalam penyerbuan pertama, saya kurang hati-hati, pingsan oleh ledakan dan tertawan musuh. Dalam keadaan tidak berdaya sama sekali itu, saya telah ditolong oleh Yuan de Gama. Kini dia sendiri menjadi tawanan kita, maka sudah sepatutnya kalau saya membalas kebaikannya dan membebaskannya."

"Akan tetapi empat yang lain?"

"Lopek, andai kata engkau menjadi tawanan musuh, saya akan rela menukarkan Lopek dengan sepuluh orang tawanan dari pihak musuh. Maka, saya menganggap bahwa saya sudah ditukar dengan Yuan de Gama dan empat orang temannya. Saya kira hal itu tidak terlalu merugikan kita. Di samping itu, kita hanya berurusan dengan para pemberontak. Merekalah yang harus kita hukum. Orang-orang asing itu hanyalah pedagang-pedagang, apa bila kita menawan mereka, berarti kita melibatkan pemerintah ke dalam permusuhan dengan bangsa dan negara lain."

Tio Hok Gwan mengelus dagunya dan menarik napas panjang. "Hemm, semenjak dahulu aku tak mengerti tentang urusan pemerintah. Yang jelas saja, andai kata engkau tertawan oleh musuh, dengan rela aku tentu akan menukar pembebasanmu dengan pembebasan sepuluh orang musuh yang tertawan olehku, Nona. Karena itu terserah, lakukan apa yang kau kehendaki."

Lega hati Li Hwa setelah mendapat persetujuan rekannya itu, meski pun dia tahu bahwa perbuatan membebaskan tawanan ini adalah tanggung jawabnya sendiri. Malam hari itu dia sendiri mengawal lima orang tawanan keluar dari tempat tahanan dan menuju ke luar kota. Setiba mereka di luar pintu gerbang dusun itu, empat orang teman Yuan de Gama mendahului pergi sedangkan Yuan de Gama berhenti dan bicara dengan Li Hwa.

"Nona Souw... tak tahu aku bagaimana aku harus berterima kasih kepadamu..."

"Yuan, tak perlu berterima kasih. Aku hanya membalas budimu."

"Li Hwa, ketika aku membebaskanmu, hal itu lain lagi kedudukannya. Engkau terancam oleh kekejian niat Hendrik, maka aku harus membebaskanmu atau membebaskan wanita mana saja yang terancam olehnya. Akan tetapi aku adalah seorang tawanan resmi..."

"Sudahlah, tidak perlu kita bicara tentang itu."

"Li Hwa, betapa akan kagum hati Ayah dan adik perempuanku kelak kalau mendengar penuturanku tentang dirimu. Mereka akan datang menyusul dengan kapal lain."

"Engkau punya adik perempuan? Tentu cantik sekali..."

"Cantik jelita seperti bidadari, Li Hwa. Akan tetapi... ahh, tidak secantik engkau..."

"Hemmm, ceritakan tentang dia." Li Hwa memotong dan mukanya terasa panas.

"Ayahku adalah Richardo de Gama, seorang duda yang sudah tua dan seorang juragan kapal di negara kami. Adikku bernama Yuanita de Gama, berusia sembilan belas tahun. Kapal Kuda Terbang milik Ayah telah disewa oleh Legaspi Selado..."

"Hemm, pimpinan orang asing yang membantu pemberontak?"

Yuan menarik napas panjang. "Memang demikianlah. Akan tetapi... dia adalah guruku. Legaspi Selado adalah seorang bekas panglima di negeri kami, seorang perantau yang sudah menjelajah banyak negara dan sudah belasan tahun tinggal di India dan Nepal, memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Hendrik Selado adalah puteranya. Ketika guruku itu menyewa kapal Ayah, tentu saja Ayah tidak mengetahui bahwa kapalnya dan anaknya akan dibawa oleh Legaspi Selado terlibat dalam urusan pemberontakan di negeri ini. Aku merasa menyesal sekali karena sebagai muridnya, aku tak bisa membantah perintahnya. Aku merasa sangat menyesal bahwa guruku bersekutu dengan pemberontak di negeri yang indah dengan rakyatnya yang ramah. Akan tetapi aku pun merasa bahagia karena hal ini memungkinkan aku berjumpa dengan engkau, Li Hwa."

"Hemm..." Li Hwa tidak mampu menjawab dan merasa betapa mukanya semakin panas. Untung malam itu cukup gelap sehingga tidak tampak dua titik air mata membasahi bulu matanya.

"Aku cinta kepadamu, Li Hwa. Demi Tuhan, aku cinta kepadamu, dan apa bila keadaan mengijinkan... tidak dalam keadaan sebagai musuh dalam perang, alangkah ingin hatiku untuk meminangmu kepada orang tuamu, sebagai isteriku..."

Tiba-tiba Li Hwa terisak, tak dapat menahan keharuan hatinya karena selain pernyataan Yuan itu mengharukan, juga dia diingatkan kepada orang tuanya yang telah tiada.

"Li Hwa... maafkan aku... ah, harap jangan menangis, sayang..." Yuan segera merangkul pundak dara itu penuh kasih sayang.

Sejenak Li Hwa membenamkan kepalanya di dada pemuda itu. Setelah keharuan hatinya agak mereda, dia cepat merenggangkan diri dan berkata lirih, "Yuan, ayah bundaku telah meninggal dunia. Aku yatim piatu..."

"Aduhhh... maafkan aku, Li Hwa... kau kasihan sekali."

"Tidak, Yuan. Aku telah mempunyai pengganti orang tuaku, yaitu guruku, Panglima Besar The Hoo yang bijaksana. Karena ini pula, maka harap kau jangan melamun yang bukan-bukan. Aku adalah murid dan seperti anak sendiri dari Panglima Besar The Hoo, panglima dan pahlawan negara kami, sedangkan kau... biar pun di dalam hatimu kau tidak setuju, akan tetapi engkau adalah seorang di antara orang-orang yang membantu pemberontak. Dan aku adalah seorang asing. Tidak mungkin lagi bicara tentang jodoh."

"Akan tetapi... kalau aku tidak salah menduga... bukankah engkau pun cinta kepadaku, Li Hwa? Sungguh pun masih ragu-ragu, dan mungkin hanya sedikit, tidakkah kau cinta pula kepadaku seperti aku mencintaimu dengan sepenuh jiwa ragaku?"

"Sudahlah, jangan bicara tentang itu, Yuan. Kau tahu bahwa aku suka kepadamu karena kau adalah orang yang sangat baik dalam pandanganku. Pergilah, kita bersahabat dalam kenangan saja!"

"Li Hwa...!" Yuan meloncat ke depan, menjatuhkan diri berlutut dan memegang kedua tangan Li Hwa. "Mungkinkah hal ini? Mungkinkah cinta kasih dihancurkan dan diputuskan secara demikian saja? Hanya disebabkan kedudukan kita? Li Hwa, cinta kasih tidak dapat dikalahkan oleh apa pun juga. Bahwa kematian pun tidak akan dapat mengalahkan cinta kasih. Aku cinta padamu, Li Hwa, apa pun yang akan terjadi!"

"Yuan...!" Dengan hati terharu, di luar kesadarannya jari tangan Li Hwa memegang tangan pemuda itu erat-erat.

"Li Hwa, sayang...!" Yuan bangkit berdiri, memeluk dara itu dan sebelum Li Hwa mampu menguasai dirinya, mulutnya sudah dicium dengan penuh kemesraan oleh pemuda itu.

Sejenak Li Hwa menjadi lemas, tidak dapat menguasai dirinya dan hatinya yang berdebar tak karuan, kemudian, ketika Yuan merenggangkan bibir untuk bernapas, dia mendorong dada yang tak berbaju itu sambil meloncat ke belakang.

"Yuan, jangan!"

Mendengar bentakan ini, Yuan hanya mengulurkan kedua lengannya. Akan tetapi Li Hwa melangkah mundur dan berkata, "Yuan, aku suka kepadamu, akan tetapi aku pun melihat jelas hubungan antara kita tidak mungkin dilanjutkan dan kalau kau memaksa, aku akan menganggap engkau sama saja dengan Hendrik..."

"Li Hwa! Engkau tahu bahwa cintaku kepadamu murni dan aku bersumpah tidak akan meninggalkan bumi Tiongkok dalam keadaan bernyawa bila aku tidak bisa menggandeng engkau sebagai isteriku yang tercinta. Li Hwa, selamat berpisah dan sampai jumpa pula." Pemuda ini membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi menyusul teman-temannya.

Li Hwa berdiri seperti arca di tempat itu, pipinya basah air mata. Diangkatnya perlahan tangan kanannya menyentuh bibir yang masih berdenyut panas oleh ciuman pemuda itu. Kemudian ia terisak sambil menutupi muka dengan kedua tangannya dan menunduk, dari mulutnya terdengar bisikan bingung, "... aku cinta padanya... aihhh... aku cinta padanya..."

********************

Kun Liong berjalan seorang diri memasuki hutan lebat itu. Berkali-kali dia menghela napas panjang bila dia mengenangkan semua pengalamannya. Kenapa nasibnya demikian sial?

Sejak sepuluh tahun lebih yang lalu dia meninggalkan rumah orang tuanya di Leng-kok, dia selalu mengalami bermacam kesialan dalam hidupnya. Akhir-akhir ini pun tak pernah ada hasil baik dalam setiap usahanya.

Mencari ayah bundanya masih belum ada hasilnya sama sekali. Mencari dua buah benda pusaka Siauw-lim-pai juga masih belum berhasil. Bahkan bokor emas yang sudah berada di tangannya, terpaksa harus dia serahkan kepada Kwi-eng Niocu!

Sekali ini dia tidak mau gagal lagi. Sekarang dia akan pergi ke Kwi-ouw, memasuki pulau yang menjadi sarang Kwi-eng-pang. Secara terang-terangan dia akan menemui Kwi-eng Niocu minta dua benda pusaka Siauw-lim-pai, bokor emas milik Panglima The Hoo, dan bertanya siapa yang membunuh Thian Lee, sekalian menegur Kwi-eng-pang yang sudah mengacau di Siauw-lim-si! Setelah itu, baru dia akan mencurahkan semua perhatiannya untuk mencari ayah bundanya.

Ketika dia tiba di tengah hutan, tiba-tiba Kun Liong mendengar suara ribut-ribut banyak orang. Cepat dia menuju ke tempat suara itu dan di sebuah tikungan tampaklah olehnya seorang kakek tua duduk bersila di atas sebuah batu besar dikurung oleh dua puluh orang lebih yang mengeluarkan suara ribut-ribut tadi.

Kun Liong menyelinap di balik sebuah pohon tak jauh dari tempat itu dan memandang penuh perhatian. Kakek itu sudah tua sekali, pakaiannya sederhana dan rambutnya yang sudah berwarna putih digelung ke atas. Melihat cara dia berpakaian dan melihat sanggul rambutnya, tentu dia seorang pertapa atau seorang pendeta To. Di punggung kakek itu tergantung sebuah buntalan kain kuning yang besar. Kakek itu duduk bersila diam seperti orang tidur, duduk dengan tegak dan kedua tangan di atas pangkuannya, agaknya sama sekali tidak mendengar suara ribut-ribut dari orang-orang yang mengurungnya.

"Hee, Kakek tua bangka! Apa kau sudah mampus?"

"Tosu hidung kerbau! Serahkan buntalan di punggungmu!"

"Kita ambil bungkusannya dan pakaian yang dipakainya!"

"Benar! Kita tinggalkan dia telanjang bulat di sini, ha-ha-ha!"

Dalam pandangan Kun Liong yang sudah menjadi marah sekali, tingkah dua puluh orang itu seperti segerombolan anjing liar.

"Dia diam saja, berarti menghina kita! Biar kuhantam kepalanya!" Salah seorang di antara mereka berteriak, tangannya bergerak memukul kepala kakek itu.

"Desss...! Auuduhhh... tanganku..." Orang itu meringis dan mengaduh-aduh memegangi kepalan tangan kanannya yang tadi menghantam kepala itu dan menjadi bengkak.

"Dia melawan! Bunuh saja!"

Orang-orang kasar itu adalah perampok-perampok rendahan yang biasanya mengganggu orang lewat di hutan yang lebat dan amat sunyi itu. Kini mereka telah mencabut senjata, masing-masing ada golok, pedang dan toya, dan beramai-ramai mereka menerjang kakek yang duduk bersila tanpa bergerak itu.

"Heiii...! Kalian jahat...!" Kun Liong cepat keluar dari tempat persembunyiannya tetapi dia terlambat, karena senjata-senjata itu telah menyambar ke arah tubuh si kakek tua seperti hujan.

Dan akibatnya, orang-orang itu langsung mundur ketakutan karena semua bacokan yang mengenai tubuh kakek itu membuat senjata mereka terpental sedangkan tubuh kakek itu sedikit pun tidak terluka, seakan-akan mereka menyerang sebuah arca baja yang amat kuat. Hanya pakaian kakek itu yang terobek di sana-sini.

"Siluman... dia siluman...!"

"Wah, golokku malah rompal..."

"Toyaku bengkok!"

"Celaka...! Dia setan..."

Orang-orang kasar itu ketakutan dan tiba-tiba mereka mendengar bentakan Kun Liong yang sudah melompat dekat, "Kalian ini manusia-manusia kejam!"

Ketika mereka menoleh dan melihat Kun Liong mereka makin kaget.

"Wah ini tentu temannya!"

"Setan gundul...!"

"Lari kawan-kawan...!"

Maka larilah dua puluh orang lebih itu tunggang-langgang sebab kesaktian kakek itu telah membuat mereka benar-benar menyangka bahwa Si Kakek adalah sebangsa setan, dan pemuda gundul yang muncul itu adalah setan gundul.

Kun Liong menjadi geli menyaksikan tingkah mereka itu dan dia tertawa. Akan tetapi dia segera menghentikan suara tawanya pada saat mendengar suara halus di belakangnya, "Mereka itu patut dikasihani, bukan ditertawakan."

Kiranya kakek itu telah membuka matanya, akan tetapi masih tetap duduk bersila di atas batu. Sejenak mereka berpandangan dan diam-diam Kun Liong merasa terkejut melihat sinar mata kakek itu. Biar pun orangnya sudah amat tua, akan tetapi sinar matanya tajam bukan main.

"Totiang, pakaianmu robek-robek..."

Kakek itu menunduk dan memandangi bajunya yang robek di sana-sini, kemudian dia tersenyum dan menjawab, "Pakaian rusak dan robek bisa dijahit, orang muda. Akan tetapi kalau watak yang rusak..."

"Maaf, Totiang. Kurasa watak yang rusak pun dapat diperbaiki oleh dirinya sendiri. Saya kira tidak benar kalau dikatakan bahwa sekali rusak watak orang, selamanya akan tetap rusak."

Kakek itu membelalakkan matanya dan mengangguk-angguk. "Kau benar, orang muda. Sungguh engkau aneh sekali. Engkau bukan hwesio akan tetapi kepalamu tak berambut, agaknya engkau telah keracunan."

Tahulah Kun Liong bahwa kakek ini seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bukan hanya karena tadi kebal terhadap senjata orang-orang kasar itu, akan tetapi hanya sekali pandang dapat menduga bahwa dia keracunan, hal ini membutuhkan pandangan seorang yang ahli. Maka dia lalu duduk di atas batu di depan kakek itu, juga bersila karena dia ingin sekali bercakap-cakap dengan kakek aneh itu.

"Totiang, mengapa Totiang tadi mengatakan bahwa orang-orang jahat itu bahkan patut dikasihani?"

"Orang muda, dahulu aku memang seorang tosu, akan tetapi semenjak aku menyadari bahwa ikatan terhadap sesuatu agama merampas kebebasanku, aku bukanlah seorang tosu lagi. Namun tidak mengapa kalau kau menyebutku Totiang karena semua sebutan adalah kosong, dan nama bukanlah menunjukkan keadaan yang dinamainya. Aku merasa kasihan kepada mereka karena mereka itu buta akibat nafsu keinginan mereka. Kita hidup biasanya menjadi boneka permainan nafsu keinginan kita sendiri, tidak menyadari bahwa nafsu keinginan, betapa pun baiknya menurut pendapat orang, tetap saja merupakan penyeret ke arah kesesatan dan kepalsuan, maka akhirnya hanya akan mendorong kita ke dalam lembah kesengsaraan."

"Akan tetapi, Totiang. Apakah semua perbuatan yang mengandung keinginan itu buruk? Bagaimana kalau keinginan yang terkandung dalam perbuatan itu merupakan keinginan yang baik?"

"Baik dan buruknya keinginan hanya tergantung Si Penilai, padahal sesungguhnya sama saja. Keinginan tetaplah keinginan, merupakan hasrat dari seseorang untuk mendapatkan sesuatu. Keinginan yang bersembumyi di balik sebuah perbuatan dinamakan pamrih dan perbuatan itu akan menjadi perbuatan paisu kalau berpamrih."

"Mengapa palsu, Totiang?"

"Kalau kita melakukan suatu perbuatan dan ada pamrihnya, bukankah si pamrih itu yang penting, bukan si perbuatan? Padahal kita harus tahu apa pamrih itu! Apakah sebenarnya pamrih itu? Bukankah pamrih itu adalah keinginan untuk menguntungkan diri sendiri, baik lahiriah mau pun batiniah? Dengan pamrih maka perbuatan itu adalah munafik, pura-pura, hanya dijadikan jembatan untuk memperoleh yang diinginkannya. Katakanlah perbuatan menolong. Kalau menolong dengan ada pamrih, apakah itu menolong namanya? Apa bila yang dipamrihkan atau yang diinginkan untuk didapat itu tidak ada, apakah masih mau menolong? Hati-hati orang muda, jangan kita tertipu oleh pikiran kita yang pandai sekali memabokkan kita dengan segala macam ujar-ujar mau pun pelajaran yang kita kenal dari kitab-kitab. Bukalah mata dan mengenal dirimu sendiri, mengenal segala gerak hati dan pikiranmu, bukan hanya mengenal wajahmu, dan baru engkau akan bisa melihat betapa segala macam kepalsuan diciptakan oleh pikiran. Pikiran memperkuat si aku, dan sekali kita dikuasai oleh ini, segala macam gerakan dalam hidup ini ditujukan demi keuntungan si aku, sehingga seperti perbuatan mereka tadi, sering kali menimbulkan kekerasan dan pertentangan."

Kun Liong mengangguk-angguk. Walau pun belum jelas benar, namun dia merasa dapat melihat dan mengerti isi pembicaraan itu.

"Jadi untuk menguasai pengaruh nafsu keinginan, maka orang-orang seperti Totiang ini lalu bertapa, dan menekan segala macam nafsu?"

Kakek itu menggeleng kepalanya. "Bertapa menjauhkan diri dari dunia ramai, apa bila hal itu dilakukan untuk menghindarkan nafsu keinginan, adalah perbuatan yang sama sekali salah. Nafsu keinginan timbul dari pikiran sendiri, penciptanya adalah diri sendiri. Betapa mungkin kita melarikan diri dari nafsu keinginan? Meski pun kita melarikan diri ke puncak Himalaya, nafsu keinginan takkan pernah dapat kita tinggalkan, bahkan melarikan diri ke puncak Himalaya itu pun telah merupakan pelaksanaan keinginan kita, bukan? Keinginan untuk menghindar dari nafsu keinginan!"

"Jadi harus ditekan setiap kali nafsu keinginan timbul, Totiang?"

Kembali kakek itu menggelengkan kepala. "Sekali kita mengalahkan nafsu, maka setiap kali kita harus mengalahkan nafsu itu. Sekali kita menekan, harus setiap kali kita kembali menekannya. Nafsu yang ditekan mirip seperti kuda yang dipasangi kendali, harus selalu dikendalikan. Nafsu yang ditekan seperti api dalam sekam, setiap kali bisa berkobar lagi. Tiada gunanya melarikan diri dari nafsu, tiada guna pula menekannya. Yang penting kita menghadapinya, mengawasinya, dan mengerti akan nafsu keinginan kita, mengawasinya tanpa menyetujui, tanpa menentang, hanya mengawasi saja tanpa memikirkannya. Sebab sekali pikiran masuk, lantas kita menyetujui, menentang atau pun mengambil kesimpulan, maka terciptalah si aku yang mengawasi si nafsu dan timbul pertentangan! Akan tetapi tanpa adanya si aku dan si nafsu, yang ada hanya pengawasan itu sendiri dan di sana tidak akan ada lagi nafsu keinginan!"

Kun Liong mengerutkan alisnya. Baru sekali ini dia mendengar itu. Dia mencari ke dalam dirinya sendiri berdasarkan keterangan kakek itu. Kemudian dia bertanya, "Akan tetapi, Totiang. Biasanya setiap gerak perbuatan kita didorong oleh suatu keinginan tertentu. Bila nafsu keinginan tidak ada, habis apa yang menjadi dasar dan pendorong perbuatan kita?"

"Lakukan saja maka engkau akan menyatakan sendiri, orang muda! Engkau akan melihat perbuatan yang wajar, bersih tanpa pamrih karena perbuatan itu hanya bergerak dalam kasih."

"Kalau begitu, Kasih adalah kebalikan atau lawan dari Nafsu Keinginan, Totiang?"

"Kukira tidak demikian, orang muda. Kasih bukanlah lawan Nafsu, tetapi untuk mengenal kasih, nafsu haruslah pergi. Nafsu keinginan menimbulkan iri, dengki, benci dan kecewa. Untuk mengenal nafsu, maka iri, dengki, benci, kecewa ini harus tidak ada. Akan tetapi bukan berarti bahwa Cinta Kasih adalah kebalikan dari semua itu."

Hening sejenak. Kun Liong memejamkan matanya. Tiba-tiba saja dia mengangkat muka memandang kakek itu yang juga menatapnya dengan senyum halus penuh keagungan.

"Totlang siapakah?"

"Dulu orang memanggilku Kiang Tojin, Ketua dari Kun-lun-pai, akan tetapi sekarang aku hanyalah seorang pengembara yang menikmati hidup dalam alam yang amat indah ini."

Kun Liong terkejut sekali dan serta-merta dia menjatuhkan diri berlutut. "Harap Locianpwe sudi memaafkan teecu yang bersikap kurang hormat kepada Locianpwe."

Kakek itu tertawa, menyentuh pundak pemuda itu dan menyuruhnya bangkit. "Duduklah kembali seperti tadi, orang muda. Lihat, alangkah palsunya segala perbuatan kita dalam hidup, karena kita telah menjadi boneka-boneka yang digerakkan oleh segala tradisi dan pengetahuan mati. Engkau tadi bersikap biasa kepadaku, kemudian sesudah mengetahui bahwa aku Kiang Tojin dari Kun-lun-pai, engkau lalu merobah sikap dan menghormatiku berlebih-lebihan! Kepada kakek biasa engkau bersikap biasa, tetapi kepada kakek Ketua Kun-lun-pai engkau bersikap menghormat. Kenapa ada perbedaan ini? Kenapa kita selalu memandang rendah pada orang biasa dan memandang tinggi pada orang yang dianggap pandai atau berkedudukan tinggi? Bukankah kenyataan hidup yang membelenggu cara hidup kita ini merupakan pelajaran yang dapat membuka mata dan berharga sekali untuk dimengerti? Apa bila kita membuka mata, orang muda, maka setiap lembar daun kering yang rontok, setiap ekor burung, hembusan angin, senyum seorang anak-anak, setitik air mata seorang wanita, semua itu dapat menjadi guru bagi kita! Hidup berarti berhubungan dengan sesuatu, baik makhluk hidup mau pun benda mati. Kalau selalu membuka mata terhadap hubungan kita dengan semua yang kita hadapi setiap hari, dan kita membuka mata terhadap tanggapan kita akan hubungan kita dengan semua itu setiap saat, maka kita akan mengenal diri sendiri. Dan mengenal diri sendiri merupakan langkah pertama kepada kebijaksanaan, orang muda."

"Teecu menghaturkan terima kasih atas segala wejangan Locianpwe yang berharga ini."

Kakek itu tersenyum lebar. "Tak ada yang mewejang dan tidak ada yang diwejang, orang muda. Engkau adalah muridnya dan engkau pula gurunya, dan seluruh isi alam ini adalah guru yang dapat memberikan petunjuk. Sudah terlampau lama aku duduk di sini, mari kita bejalan-jalan menikmati keindahan alam, orang muda. Cobalah engkau membuka mata untuk melihat segala keindahan itu tanpa penilaian dan tanpa perbandingan. Belajarlah menggunakan mata sebagaimana sewajarnya dan jangan biarkan pikiran mengaduk dan mengacaunya maka engkau akan melihat."

Mereka kini berjalan perlahan-lahan di dalam hutan itu. Kun Liong menggunakan matanya memandang dan nampaklah olehnya keindahan alam yang menyejukkan hati dan yang serba baru, lain dari pada sebelumnya! Pohon-pohon besar dengan daun-daun yang hijau segar, seperti bernapas ketika angin menghembus, daun-daun kering yang membusuk di bawah pohon, menjadi pupuk bagi pertumbuhan pohon. Pohon berbunga, bunga berbuah, buah akan tua dan jatuh, membusuk di atas tanah kemudian berseri dan tumbuh menjadi pohon!

Tidak ada yang baik tidak ada yang buruk, semua indah, semua berguna, semua hidup menurut kewajaran masing-masing, akan tetapi semuanya merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Semua itu, pohon, rumput, burung, awan, dia sendiri, kakek itu, semua itu merupakan kesatuan. Hanya pikiran yang memisah-misahkan hingga timbul pertentangan dan bentrokan yang dimulai dari dalam diri sendiri, kemudian tercetus ke luar menjadi pertentangan antara manusia, antara golongan, antara bangsa dan antara ras!

"Locianpwe, teecu Yap Kun Liong selama hidup baru sekarang ini mengalami seperti di pagi ini!" Kun Liong tak dapat menahan dirinya berseru.

Kakek itu menoleh dan tersenyum, akan tetapi senyumnya mengandung keheranan.

"Namamu Yap Kun Liong? Mengingatkan aku akan seorang she Yap... kalau tidak salah dia adalah sahabat baik Cia Keng Hong-taihiap..."

"Aihh! Dia adalah ayah teecu, Locianpwe. Ayah teecu bemama Yap Cong San."

"Haiii, sungguh kebetulan sekali. Kiranya engkau adalah puteranya? Bagaimana dengan ayahmu sekarang?"

Kun Liong menghela napas. "Sudah sepuluh tahun lebih teecu tidak pernah bertemu lagi dengan Ayah dan Ibu." Kemudian dengan singkat dia menceritakan riwayatnya, namun yang penting-penting saja.

Setelah mendengar penuturan itu Kiang Tojin lalu berkata, "Memang demikianlah. Hidup diombang-ambingkan antara suka duka. Semua adalah karena diri sendiri, akan tetapi orang menyalahkannya kepada nasib."

"Memang banyak suka duka yang teecu alami dan teecu merasa bahwa semua kesukaan itu bukanlah kebahagiaan. Apakah Locianwe seorang yang berbahagia?"

Kakek itu tertawa. "Kalau kau maksudkan apakah aku seorang yang tidak sengsara, maka aku dapat mengatakan bahwa aku bukan seorang yang sengsara."

"Locianpwe, mohon petunjuk dari Locianpwe. Bagaimanakah caranya supaya teecu dapat berbahagia?"

"Ha-ha-ha-ha, orang muda. Bahagia, seperti juga cinta, tidak mempunyai jalan atau cara! Bahagia tidak dapat dikejar. Pengejaran bahagia menciptakan bermacam jalan atau cara ini, dan pengejaran adalah kelanjutan dari nafsu keinginan memiliki sesuatu, dalam hal ini memiliki kebahagiaan! Dan seperti telah kita bicarakan tadi, nafsu keinginan menimbulkan iri, dengki, kecewa, benci! Apa bila kita mengejar kebahagiaan, berarti kita menggunakan nafsu untuk mengenal bahagia. Mungkinkah ini? Jangan engkau menanyakan cara untuk berbahagia, sebaiknya kau cari di dalam dirimu sendiri, apa yang membuat engkau tidak berbahagia. Sesudah mengerti apa yang membuat engkau terbebas dari penyebab tidak berbahagia, maka perlukah kau mencari lagi kebahagiaan?"

Kun Liong tercengang hingga tak mampu bicara lagi. Segala sesuatu telah dibentangkan oleh kakek itu, semua persoalan telah ditelanjangi dan dia hanya tinggal membuka mata untuk melihat!

Tiba-tiba dari depan tampak datang serombongan Nikouw (pendeta wanita). Empat orang memanggul sebuah joli (tandu) dan tiga orang lagi berjalan mengiringkan joli yang tertutup sutera kuning. Para nikouw ini mengerudungi kepala gundul mereka dengan kain kuning pula dan wajah mereka kelihatan muram. Mereka itu terdiri dari wanita-wanita antara usia tiga puluh dan empat puluh tahun, dan sikap mereka pendiam dan serius.

Ketika rombongan itu tiba dekat, Kiang Tojin dan Kun Liong mendengar suara rintihan dari dalam joli. Kiang Tojin lalu menghadang di tengah jalan, menjura sambil bertanya, "Cu-wi, harap tahan dulu dan perkenankan saya memeriksa penderita sakit yang Cuwi angkat, siapa tahu saya akan dapat menolongnya."

Dengan gerakan yang cepat bukan main sehingga mengejutkan Kun Liong, ketiga orang pengiring tandu itu meloncat ke depan. Sejenak mereka memandang tajam kepada Kiang Tojin, kemudian seorang di antara mereka menjura dan berkata. "Omitohud...! Bukankah pinni (saya) berhadapan dengan Kiang Tojin dari Kun-lun-pai?"

Kiang Tojin tersenyum. "Sekarang saya telah mengundurkan diri, bukan Ketua Kun-lun-pai lagi dan hanya menjadi seorang kakek biasa saja."

Para nikouw itu cepat memberi hormat dan menyuruh teman-teman mereka menurunkan tandu. Nikouw pertama memberi hormat lagi sambil berkata, "Terima kasih banyak atas kebaikan hati Locianpwe. Memang Twa-suci (Kakak Seperguruan Pertama) kami sedang menderita luka yang cukup parah. Akan kami tanyakan dulu kepadanya apakah dia mau menerima pertolongan Locianpwe."

Nikouw itu lalu menghampiri tandu, menyingkap tenda sutera sedikit dan berbisik-bisik. Terdengar jawaban suara halus dari dalam tandu,

"Persilakan dia untuk memeriksa nadi tanganku." Kemudian sebuah lengan yang kecil dan berkulit putih halus diulur dari balik tenda sutera.

Melihat lengan ini, Kiang Tojin tersenyum, melangkah ke dekat tandu kemudian berkata, "Maafkan saya..."

Dipegangnya pergelangan tangan itu dan tak lama kemudian dilepaskannya kembali. Dia melangkah mundur tiga tindak, menggelengkan kepala dan berkata, "Sungguh menyesal sekali. Luka itu diakibatkan oleh racun ular yang amat jahat dan berbahaya, kalau tidak salah, racun dari ular yang hanya ada di Pegunungan Himalaya, namanya Ngo-tok-coa (Ular Lima Racun). Bukankah di sekitar luka itu terdapat warna-warna hitam, merah, biru, kuning dan hijau?"

"Benar demikian...!" Terdengar suara halus dari balik tirai sutera.

"Ahh, seperti telah kuduga," kata Kiang Tojin. "Sayang sekali, saya tidak dapat mengobati luka beracun dari Ngo-tok-coa dan saya kira agak sukar untuk mencari obat penawarnya di sini. Obat penawarnya hanyalah berburu akar pohon ular hijau yang hanya terdapat di Himalaya, dan ke dua adalah darah ular beracun lainnya yang cukup kuat..."

Tujuh orang nikouw itu mengeluh, akan tetapi terdengar teguran dari dalam tandu, "Sumoi sekalian mengapa mengeluh? Kalau ada obat penyembuhnya syukur. Kalau tidak ada, ya sudah. Apa bedanya?"

Mendengar ini, wajah Kiang Tojin berseri. "Perkataan yang hebat...!"

"Terima kasih atas kebaikan Locianpwe. Sumoi, mari kita berangkat!" kembali terdengar ucapan halus dari dalam tandu. Empat orang nikouw sudah menggotong lagi joli itu dan hendak melangkah pergi.

"Tahan dulu...!" Kun Liong meloncat ke depan. "Mendengar keterangan Locianpwe tadi, aku yakin akan dapat mengobatinya!"

Mendengar ini, para nikouw itu berhenti dan memandang pada Kun Liong dengan penuh keraguan. Kalau kakek bekas Ketua Kun-lun-pai yang amat sakti itu saja menyatakan tak sanggup, bagaimana hwesio muda itu menyanggupi untuk mengobati twa-suci mereka?

Kiang Tojin juga merasa heran, kemudian dia bertanya, "Yap-sicu, benarkah Sicu dapat mengobatinya? Racun Ngo-tok-coa sangat lihai dan racun itu tidak dapat disedot keluar dengan mulut karena hal itu akan membahayakan nyawa si penyedot..."

"Locianpwe, sedikit-sedikit teecu pernah menerima pelajaran ilmu pengobatan dari ayah bunda teecu, terutama mengenai racun ular. Teecu akan mengeluarkan racun itu dengan tangan, kemudian akan memberi catatan obat yang tidak begitu sukar didapat, bisa dibeli di toko obat."

Nikouw pertama yang mengawal tandu itu sudah menjura kepada Kun Liong lalu berkata, "Kalau Siauw-suhu dapat mengobati Twa-suci, kami sebelumnya menghaturkan banyak terima kasih dan semoga Sang Buddha mengangkat Siauw-suhu ke tingkat yang lebih bersih dan sempurna."

Kun Liong meringis. Lagi-lagi dia disangka hwesio, bahkan sekali ini yang menyangkanya adalah seorang Nikouw! Saking gemasnya dia kemudian nekat bersikap seperti hwesio, merangkap kedua tangan di depan dada sambil berkata, "Omitohud, semoga saja Sang Buddha akan membantu pinceng (saya) untuk mengobati suci kalian."

Kiang Tojin melongo, kemudian menahan senyum dan mengerutkan alisnya mendengar ucapan dan melihat sikap Kun Liong ini. Pemuda putera Yap Cong San ini ternyata aneh dan ugal-ugalan sungguh pun sikap itu hanya dipergunakan untuk melucu, atau mungkin karena mendongkol disangka hwesio!

Tapi betapa pun juga, Kiang Tojin ingin sekali untuk melihat bagaimana caranya pemuda gundul aneh ini mengobati luka akibat Racun Ngo-tok-coa yang dia tahu amat hebat dan sukar disembuhkan itu. Kalau pemuda yang sikapnya ugal-ugalan ini ternyata bermaksud mempermainkan orang sakit, mengingat pemuda itu adalah putera Yap Cong San, maka dia patut menegur pemuda itu!

"Harap buka tirai ini dan biarkan saya memeriksa Si Sakit," berkata Kun Liong sambil menggerakkan tangan hendak menyentuh tirai.

"Ohhh, jangan buka...!" terdengar seruan halus dari dalam.

Dan nikouw pertama segera berkata kepada Kun Liong, "Harap Siauw-suhu melakukan pemeriksaan nadi seperti yang dilakukan oleh Locianpwe tadi. Twa-suci adalah seorang wanita, bagaimana mungkin membiarkan lengannya disentuh sambil memperlihatkan diri? Biar pun Siauw-suhu seorang hwesio, akan tetapi tetap saja Siauw-suhu adalah seorang laki-laki."

Lengan yang kecil mungil dengan kulit halus putih itu sudah kembali dijulurkan ke luar dari balik tirai. Akan tetapi Kun Liong hanya memandang saja dan tidak menyentuh tangan itu. Dia mengomel, "Tadi Locianpwe telah memeriksa nadi dan saya juga sudah mendengar keterangan hasil pemeriksaannya. Untuk mengobati luka akibat racun, maka saya harus memeriksa lukanya terlebih dahulu, baru kemudian mengeluarkan racun dari luka itu dan menentukan obatnya."

"Aihhhh... tak mungkin...!" terdengar jerit tertahan dari dalam tandu.

Kun Liong sudah melangkah mundur tiga tindak. "Sungguh aku tak mengerti sama sekali sikap Si Sakit" katanya dengan alis berkerut. "Memang benar aku seorang laki-laki dan Si Sakit seorang wanita, akan tetapi Si Sakit adalah seorang nikouw, sedang aku seorang... hemm, katakanlah hwesio. Pula Si Sakit adalah penderita dan aku adalah yang berusaha menolongnya. Mengapa hanya bertemu muka saja diharamkan?"

Mendengar suara Kun Liong yang marah, nikouw pertama segera melangkah maju dan berkata lirih seakan-akan khawatir kalau suaranya terdengar orang lain, padahal di situ tidak ada orang lain kecuali para nikow, Kiang Tojin dan Kun Liong sendiri.

"Harap Siauw-suhu dapat memaafkan dan memaklumi. Tentu saja Twa-suci merasa berat dan malu karena luka itu berada di... di sini..." Nikouw itu tidak melanjutkan kata-katanya melainkan menepuk pinggul kanannya yang tipis.

Hampir saja Kun Liong tertawa bergelak, akan tetapi langsung ditahannya dan dia hanya menutupi mulut dengan tangan kanannya, kemudian berkata, suaranya menjadi sabar, "Hemmm... sebetulnya tak perlu merasa berat dan malu. Akan tetapi kalau memang malu, ya sudahlah."

Hening sejenak. Tirai itu bergoyang sedikit, agaknya orang yang duduk di dalam tandu itu mengintai ke arah Kun Liong. Kemudian terdengar lagi suara halus itu. "Sumoi, mari kita pergi..."

Para nikouw saling pandang dan kemudian nikouw pertama memandang kepada Kun Liong, menggerakkan pundak dan joli itu diangkat kembali.

"Tahan dulu...!" kini Kiang Tojin yang melangkah maju dan mengangkat tangan, "Sungguh sikap orang-orang muda amat sulit dimengerti. Mengapa perasaan malu yang tidak pada tempatnya itu lebih dihargai dari pada nyawa? Mengapa tidak dapat diambil usaha yang tepat untuk pengobatan ini? Misalnya, muka Si Sakit diberi kerudung sehingga tidak akan dikenal oleh yang mengobati, dan yang diperlihatkan hanya sedikit bagian yang terluka saja. Dengan cara begini, karena mukanya tidak dikenal, masih perlukah Si Sakit merasa malu-malu lagi?"

Kembali joli diturunkan dan sekarang para nikouw berbisik-bisik dengan penumpang joli. Mereka mengerumuni joli dan terjadilah ‘percakapan’ bisik-bisik yang menjadi ciri khas wanita, biar pun mereka telah menjadi nikouw berkepala gundul!

Kiang Tojin saling pandang dengan Kun Liong, kemudian kakek itu mengangguk-angguk perlahan. Kun Liong tersenyum dan memuji kecerdikan kakek itu yang dapat mencarikan ‘jalan keluar’ yang baik.

Kini terjadi kesibukan di dalam joli itu. Tak lama kemudian, nikouw pertama menghadapi Kun Liong dan berkata, "Twa-suci bisa menerima usul Locianpwe dan kini mempersilakan Siauw-suhu untuk melakukan pemeriksaan dan mengobatinya."

Kun Liong tersenyum lebar. Karena wajahnya memang tampan, senyumnya juga manis sekali dan para nikouw itu mengerutkan alis, di dalam hati mereka memaki,

"Hwesio genit!"

Pada waktu Kun Liong mendekati joli, tirai itu disingkapkan sedikit oleh nikouw pertama, memberi kesempatan kepada Kun Liong untuk memasukkan tubuh atasnya ke sebelah dalam joli. Begitu memandang Kun Liong terbelalak dengan hati geli, kasihan, dan juga kagum sekali.

Geli hatinya melihat Nikouw di dalam itu benar-benar tidak kelihatan orangnya. Mukanya dikerudung dan dia menelungkup di atas bangku joli sehingga yang tampak tidak tertutup hanya sebuah pinggul kanan sehingga kelihatan lucu sekali. Dan kasihan karena melihat pinggul itu, tepat di tengah-tengah bagian yang menggunung melengkung, terdapat luka yang kecil saja, akan tetapi bagian itu membengkak dan pada sekitar lubang luka kecil itu berwarna lima macam akan tetapi lebih banyak hitam dan merahnya!

Dan yang membuatnya kagum adalah panggul itu sendiri. Padat dan montok, tidak seperti pinggul nikouw pertama yang tipis, pinggul ini penuh seperti buah semangka, akan tetapi kulitnya putih halus seperti kulit bayi, demikian tipis kulitnya sehingga terbayang jalur-jalur urat kecil berwarna merah dan biru!

Melihat bentuk pinggul ini, timbullah dugaannya bahwa nikouw yang menjadi twa-suci ini bukan seorang nenek tua, meski pun para sumoi-nya ada yang sudah berusia mendekati empat puluh tahun. Memang sulit menduga usia seseorang tanpa melihat wajahnya, akan tetapi, biar pun selama hidupnya baru satu kali dia melihat pinggul seorang wanita muda, yaitu pinggul Li Hwa yang hanya terlihat sedikit karena sebagian tertutup oleh air sungai, namun dia dapat melihat bahwa pinggul yang hanya kelihatan sebelah kanan ini adalah pinggul yang amat bagus!

"Hemmm, memang benar terkena senjata rahasia, agaknya jarum yang mengandung lima macam racun," kata Kun Liong perlahan. Tubuh yang berkerudung itu bergerak sedikit tanpa menjawab.

Kun Liong mulai memeriksa. Pada saat pertama kali jari-jari tangannya menyentuh kulit pinggul, pinggul itu tergetar hebat hingga jari tangan Kun Liong ikut pula menggigil karena jantungnya berdebar. Baru sekali ini selama hidupnya dia menyentuh pinggul orang, apa lagi pinggul telanjang seorang wanita! Dia cepat-cepat menenteramkan perasaannya dan melanjutkan pemeriksaan.

Kun Liong kaget. Ternyata jalan darah di sekeliling pinggul sudah ditotok dan dihentikan sehingga racun itu tidak menjalar jauh, dan juga ada tenaga sinkang yang menahan dari sebelah dalam untuk mendorong racun itu tetap berdiam di dalam pinggul itu saja dan tidak menjalar. Kiranya nikouw berkerudung ini adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi!

"Harap jangan mengerahkan sinkang. Saya hendak mengeluarkan jarum dan racun. Bisa berbahaya kalau Suthai (sebutan pendeta wanita) mengerahkan sinkang."

Kerudung di bagian kepala itu mengangguk dan Kun Liong melihat dua buah mata dari lubang di kerudung itu, sepasang mata yang jeli bening, dan tajam bukan main!

Kun Liong lalu menempelkan telapak tangannya menutupi luka itu. Telapak tangannya merasa alangkah halus dan hangatnya bagian tubuh itu. Dia harus melenyapkan pikiran yang menimbulkan guncangan pada hatinya ini, dan mulailah dia mengerahkan sinkang, mempergunakan Thi-khi I-beng!

Hanya dengan ilmu ini saja dia dapat mengharapkan berhasil mengeluarkan jarum dan racun. Dia pun maklum bahwa ngo-tok merupakan campuran lima racun yang berbahaya sekali kalau memasuki mulut, maka menyedot dengan mulut membahayakan nyawanya, tepat seperti dikatakan Kiang Tojin tadi. Dan obat penyedot yang ampuh tidak ada, maka jalan satu-satunya hanya mempergunakan Thi-khi I-beng.

"Ihhhh...!" Nikouw berkerudung itu mengeluarkan seruan tertahan ketika merasa betapa dari telapak tangan hwesio muda itu muncul tenaga sedotan yang sangat kuat dan yang seakan-akan hendak menyedot seluruh bagian dalam tubuhnya! Secara otomatis nikouw yang mempunyai kepandaian tinggi ini mengerahkan sinkang-nya untuk melawan dan... tenaga sinkang-nya segera membanjir keluar tersedot oleh telapak tangan Kun Liong.

"Ahhh, bodoh...!" Kun Liong berseru kaget dan cepat menggunakan tenaga sinkang yang dilatihnya dari Bun Hwat Tosu untuk dapat melepaskan telapak tangan yang melekat dan menyedot itu. Apa bila dia tidak melakukan ini, tentu tenaga sakti nikouw itu akan habis disedot olehnya!

Nikouw itu terengah-engah kaget di dalam kerudungnya, dan dari luka kecil di pinggulnya keluar darah berwarna hitam!

"Kenapa mengerahkan sinkang?" Kun Liong mengomel.

"Maaf... maafkan... pinni (saya) terlupa..." Nikouw berkerudung itu berkata.

"Sudahlah, tetapi sekarang jangan terlupa lagi!" Kun Liong kembali menempelkan telapak tangan kanannya ke kulit pinggul halus hangat yang mulai berdarah itu, lalu mengerahkan Thi-khi I-beng.

Makin lama darah hitam keluar makin banyak, dan akhirnya Kun Liong menarik kembali telapak tangannya. Kini pada telapak tangannya menempel sebuah jarum kecil berwarna merah.

"Hmmm... jarum putera Ban-tok Coa-ong..." Kun Liong berseru keras ketika melihat jarum itu.

"Siauw-suhu juga mengenalnya?" Nikouw berkerudung itu bertanya sambil melirik ke arah pinggulnya. Dari luka kecil itu kini keluar darah merah agak kekuningan, akan tetapi tidak hitam macam tadi.

"Saya pernah bertemu dengan Ban-tok Coa-ong dan puteranya yang bernama Ouwyang Bouw."

"Pinni memang terkena jarum yang dilepas oleh seorang laki-laki yang seperti gila dan yang mengaku bernama Ouwyang Bouw," Nikouw itu berkata.

"Hemmm, dia memang jahat dan kejam. Racun sudah keluar, tinggal sedikit yang dapat disembuhkan dengan obat minum."

Kun Liong lalu menuliskan resep obat minum dan obat luar untuk nikouw yang terluka itu. Resep itu dituliskan di atas kain putih yang disediakan oleh para nikouw, ada pun untuk pensilnya dia menggunakan ranting dan getah pohon.

Nikouw itu kini duduk di dalam jolinya dan tirai di depan joli disingkapkan. Dari dua lubang di kerudungnya, sepasang matanya yang bening memandang ke luar, ke arah Kun Liong dan terdengar suaranya yang halus, "Pinni telah menerima budi pertolongan Siauw-suhu, harap sudi memperkenalkan gelar (nama julukan) dan di mana kuil Siauw-suhu."

Setelah tugasnya mengobati selesai dengan hasil baik, sambil meneliti jarum merah pada telapak tangannya, kemudian menyimpannya dengan hati-hati di saku bajunya sesudah membungkuskan rapi dengan sisa robekan kain putih, Kun Liong tak dapat menahan geli hatinya. Dia tertawa, melepaskan kegelian dan kemengkalan hatinya karena selalu orang menyangkanya seorang hwesio!

"Ha-ha-ha! Benarkah kepala gundul menjadi ciri khas seorang hwesio? Benarkah bentuk pakaian menjadi ciri khas para pendeta dan pertapa? Kalau begitu, alangkah mudahnya setiap orang mengaku hwesio dan pendeta suci! Menilai isi dengan melihat kulitnya saja, betapa menyesatkan! Saya bukan seorang hwesio sungguh pun secara tidak kusengaja kepalaku gundul. Nama saya Yap Kun Liong dan tidak memiliki tempat tinggal tertentu." Dia menjura ke arah nikouw di dalam tandu.

Para nikouw terkejut dan muka mereka yang tidak berkerudung menjadi merah. Kiranya mereka semua telah salah menduga dan menganggap pemuda gundul itu seorang rekan mereka!

Nikouw di dalam tandu lebih-lebih lagi terkejut dan merasa makin malu. Pinggulnya telah diraba-raba oleh seorang pria muda tampan, bukan seorang hwesio yang hatinya sudah bersih!

"Sumoi sekalian, mari kita pergi!"

Tirai segera ditutup dan tandu diangkat, dari dalam tandu terdengar suara halus itu, "Yap Kun Liong-sicu, pinni menghaturkan terima kasih atas budi pertolonganmu, semoga Thian yang akan membalasnya."

Rombongan nikouw itu pergi dan Kun Liong berdiri memandang dengan senyum lebar dan juga merasa sedikit curiga dan heran mengapa nikouw yang terluka itu sama sekali tidak mau memperlihatkan mukanya! Benarkah karena tak ingin dikenal setelah terpaksa memperlihatkan pinggulnya yang telanjang? Ataukah ada hal lain yang membuat nikouw itu segan dikenal orang?

"Yap-sicu, kiranya Cia Keng Hong-taihiap telah mengajarkan ilmu mukjijat Thi-khi I-beng kepadamu!"

Kun Liong membalikkan tubuh dengan cepat dan memandang heran. "Bagaimana Totiang dapat mengetahuinya?"

Kiang Tojin tersenyum lebar. "Hanya Thi-khi I-beng saja yang mampu menyedot racun dan jarum tadi melalui telapak tangan, Sicu masih muda sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, sungguh menguntungkan akan tetapi sekaligus juga berbahaya sekali. Kalau boleh saya mengetahui, apakah Sicu menjadi murid Cia-taihiap?"

Kun Liong menggeleng kepalanya dan dia tahu bahwa terhadap bekas ketua Kun-lun-pai ini dia tak perlu berbohong. "Hanya kebetulan saja Cia-supek mengajarkan Thi-khi I-beng kepada teecu, Locianpwe. Sebenarnya teecu adalah murid dari Bun Hwat Tosu selama lima tahun dan murid Tiong Pek Hosiang selama lima tahun pula."

Kiang Tojin membelalakkan kedua matanya, kemudian menarik napas panjang. "Aaihhh... kiranya Sicu adalah murid orang-orang sakti! Kalau boleh saya bertanya, sekarang Sicu hendak pergi ke manakah?"

"Banyak sekali hal yang harus teecu kerjakan, Locianpwe. Pertama-tama teecu harus mencari kembali dua benda pusaka Siauw-lim-pai yang dirampas oleh Kwi-eng-pang, dan berusaha mendapatkan kembali pusaka bokor emas kepunyaan Panglima The Hoo yang terjatuh ke tangan Kwi-eng Niocu. Ke dua, teecu harus mencari kedua orang tua teecu yang sampai kini tidak teecu ketahui di mana adanya. Dan ke tiga... hemmm, teecu harus mencari Ban-tok Coa-ong dan menegur puteranya atas kekejamannya melukai nikouw tadi dengan jarum merah beracun."

Kiang Tojin makin terkejut dan heran. "Sicu memang berkepandaian tinggi, akan tetapi Sicu hendak menentang datuk-datuk kaum sesat, sungguh merupakan pekerjaan yang amat berbahaya dan berat. Betapa juga, mengingat akan guru-guru Sicu, saya tidak akan heran kalau kelak mendengar bahwa mereka itu tewas di tangan Sicu."

"Wah, siapa yang mau membunuh orang, Locianpwe? Teecu sama sekali tak ada pikiran untuk membunuh siapa pun juga."

"Ehh? Jika menentang mereka, bukankah berarti memancing pertandingan mati-matian?"

Kun Liong menggelengkan kepalanya. "Sama sekali tidak, Locianpwe. Teecu hanya akan mendatangi Kwi-eng pangcu, lalu minta kembali pusaka-pusaka Siauw-lim-pai dan bokor emas, mengajukan cengli (aturan yang beralasan) menegur kepadanya. Juga keluarga Ouwyang Raja Ular itu hanya akan teecu tegur agar lain kali jangan bersikap demikian kejam."

Kiang Tojin melongo. Sejenak dia tidak dapat berkata-kata. Kemudian dia menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya. "Aihh, banyak sudah aku bertemu dengan orang muda yang luar biasa, di antaranya dahulu aku kagum kepada Pendekar Sakti Cia Keng Hong, akan tetapi belum pernah aku mendengar atau berjumpa dengan seorang muda seperti engkau, Sicu. Mau mendatangi datuk-datuk kaum sesat lantas menegur mereka dengan menggunakan cengli! Apa bila tidak mendengar sendiri mana aku dapat percaya? Mudah-mudahan saja kau berhasil, Sicu."

Kakek itu benar-benar kagum sekali terhadap pemuda gundul itu. Kiang Tojin tahu bahwa pemuda itu sudah digembleng oleh dua orang kakek sakti, bahkan sudah mewarisi Thi-khi I-beng, sukar diukur sampai di mana kelihaiannya. Akan tetapi yang membuat dia kagum adalah pendirian pemuda ini yang agaknya tidak mau mempergunakan kepandaian untuk membunuh orang, melainkan bermaksud Dulu dia kagum sekali pada Cia Keng Hong, akan tetapi kini dia dibikin bengong menyaksikan sikap Yap Kun Liong.

"Terima kasih atas kebaikanmu, Locianpwe, terutama sekali terima kasih atas percakapan yang sangat berguna tadi sebelum para nikouw muncul. Uraian Locianpwe tentang hidup tadi banyak membuka mata teecu. Kini teecu akan melanjutkan perjalanan teecu."

"Selamat jalan, orang muda yang luar biasa. Kuharap saja bila mana kelak kebetulan kau lewat di Kun-lun-san, kau suka singgah di Kun-lun-pai"

"Mudah-mudahan, Locianpwe. Selamat berpisah."

Kun Liong memberi hormat, kemudian pergi meninggalkan kakek itu yang masih berdiri memandangnya dengan sikap penuh kagum dan terheran-heran.

********************

"Bu-moi (Adik Bu)... terima ini...!"

Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio melemparkan bokor emas itu kepada adik angkatnya ketika dia terdesak oleh tiga orang datuk pria, yaitu Toat-beng Hoatsu, Ban-tok Coa-ong, serta Hek-bin Thian--sin yang sudah berhasil menyusulnya pada waktu Ketua Kwi-eng-pang itu melarikan diri sambil membawa bokor emas yang diterimanya dari Kun Liong.

Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci tentu saja cepat menyambut bokor emas yang melayang ke arahnya itu dan membawanya lari, sedangkan Kwi-eng Niocu berusaha mencegah tiga orang datuk yang hendak mengejar. Akan tetapi, tentu saja dia tidak sanggup menahan mereka bertiga dan kini Siang-tok Mo-li yang menjadi kejaran mereka. Tiga orang datuk pria mengejar untuk merampas bokor, ada pun Kwi-eng Niocu mengejar untuk membantu adik angkatnya itu.

Betapa cepatnya lari Siang-tok Mo--li, tetap saja dia tidak mampu membebaskan diri dari pengejaran para datuk itu. Tiga orang datuk pria itu mempunyai tingkat kepandaian yang amat tinggi, bahkan sedikit lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Siang-tok Mo-li, maka tidak lama kemudian ketiga orang datuk pria itu sudah berhasil menyusulnya dan segera mengepungnya.

"Siang-tok Mo-li, serahkan bokor itu kepadaku!" Toat-beng Hoatsu menubruk ke depan.

Siang-tok Mo-li terkejut, cepat dia meloncat ke kiri menghindar, akan tetapi sambil tertawa menyeramkan, Ban-tok Coa-ong sudah menyambutnya dengan lengannya yang panjang seperti ular itu menyambar untuk merampas bokor! Bu Leng Ci terkejut sekali, apa lagi melihat betapa Hek-bin Thian-sin juga sudah menerkamnya.

"Ang-cici (Kakak Ang), terimalah bokor ini...!" Dia berseru dan cepat melemparkan bokor melambung tinggi ke arah Kwi-eng Niocu yang sudah tiba di tempat itu.

Tentu saja Kwi-eng Niocu cepat menyambar bokor dan melarikan diri secepatnya. Ia ingin cepat-cepat tiba di Kwi-ouw, karena kalau dia sudah tiba di tempat perkumpulannya itu, dengan mengandalkan telaga yang penuh rahasia dan bantuan anak buahnya, tentu dia akan dapat melawan tiga orang datuk pria itu. Akan tetapi sayang sekali, Kwi-ouw (Telaga Setan) masih sangat jauh dan kini tiga orang datuk pria itu sudah mengejar lagi sambil berteriak-teriak.

"Wah, curang! Kalian berdua bersekongkol!" Ban-tok Coa-ong berteriak.

"Dasar perempuan. licik dan selalu hendak menipu kita kaum pria!" Toat-beng Hoatsu ikut mengomel sambil mempercepat larinya mengejar...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.