Petualang Asmara Jilid 21
Li Hwa yang besembunyi di atas pohon, memandang dengan sepasang alis berkerut. Dia tidak merasa ngeri menonton pertempuran karena gadis ini sudah sangat terbiasa dengan pertempuran dan perang, apa lagi dia sendiri sudah sering kali menghadapi pertandingan. Akan tetapi yang membuat dia merasa ngeri dan canggung karena malu adalah melihat betapa Sanghida bertanding dengan tubuh telanjang bulat!
Selama hidupnya belum pernah dia melihat laki-laki telanjang dan kini dia melihat seorang laki-laki tinggi besar bertelanjang bulat dan berkelahi pula! Kalau saja mungkin, dia ingin menjauhkan pandang matanya dari tubuh bawah laki-laki telanjang itu, akan tetapi karena dia ingin pula melihat bagaimana kesudahan perkelahian itu, terpaksa dia menonton terus dan sedapat mungkin selalu menghindarkan pandang matanya dari bagian yang dianggap mendatangkan rasa malu luar biasa itu.
"Rajid... aku tidak mau bertanding melawanmu. Aku telah bersalah kepadamu, kau adalah sahabatku dan... dan Madhula..."`
"Tutup mulutmu!" Rajid membentak dan goloknya sudah menyambar lagi.
"Singgg...!"
Sinar menyilaukan mata dari golok itu agaknya tentu akan dapat membabat tubuh tinggi besar itu buntung menjadi dua kalau mengenai sasaran, akan tetapi Sanghida ternyata amat tangkasnya. Kini menghadapi penyerangan lawan yang memegang golok, biar pun tingkat kepandaiannya lebih tinggi, dia terpaksa harus mempergunakan kedua tangannya sehingga dia sama sekali tidak lagi dapat menutupi bagian tubuh bawahnya. Tentu saja hal ini mendatangkan penglihatan yang luar biasa lucu bagi para penonton pria, akan tetapi mendirikan bulu roma bagi Li Hwa!
"Rajid... maafkan aku...! Aku seorang laki-laki sejati, harus membela diri kalau diserang... dan kami... aku dan Madhula... kami melakukan hal itu tanpa kami sengaja..."
"Siuuutttt... plak! Plak!"
Sambil mengelak, Sanghida berhasil menampar lengan kanan Rajid sehingga sambaran golok menyeleweng dan tamparan ke dua mengenai pundak Rajid, membuat suami yang penuh cemburu dan kemarahan ini terhuyung pula.
"Sanghida…! Engkau atau aku yang harus mampus untuk mendapatkan Madhula!" Rajid membentak pula. "Kalau aku mati, kau boleh mengambil dia, kalau kau yang mati, dia harus kuhukum mampus pula!"
"Rajid...! Kau boleh membunuh aku, tapi jangan membunuh dia! Dia tak berdosa... seperti yang dikatakannya tadi, kami terkena racun perangsang... auuhhh...!" Tiba-tiba Sanghida terhuyung ke belakang dan Rajid menubruk ke depan, goloknya menyambar.
"Crapppp.... Aduuhhh...!"
Perut Sanghida terobek oleh golok, tubuhnya terjengkang dan darah muncrat keluar dari perut itu, diikuti oleh isi perut yang keluar dari luka lebar itu. Tubuh Sanghida berkelojotan, tetapi tidak lama karena Rajid telah membacokkan goloknya dua kali yang membuat leher lawannya putus!
Li Hwa melihat betapa Ouwyang Bouw tadi telah menyerang Sanghida dari jauh, dengan gerakan jari tangan dan tampak sinar merah kecil menyambar ke arah orang Nepal tinggi besar itu sehingga dia terhuyung lantas terkena bacokan golok Rajid. Tahulah Li Hwa bahwa memang Ouwyang Bouw sengaja ingin membunuh Sanghida dan mungkin sekali karena dia tidak suka mendengar rahasianya dibocorkan.
Li Hwa yang menjadi penonton tak diundang ini segera dapat menyimpulkan peristiwa itu. Jelas baginya bahwa memang agaknya semua ini sudah diatur oleh pemuda iblis itu.
Mungkin betul pula tuduhan Madhula yang cantik bahwa telah berkali-kali Ouwyang Bouw membujuk rayunya, akan tetapi selalu ditolak oleh isteri Rajid itu. Hal ini lantas membuat Ouwyang Bouw menjadi sakit hati dan dengan curangnya pemuda itu lalu menaruh racun perangsang ke dalam makanan atau minuman Sanghida dan Madhula sehingga terjadilah perjinahan di antara mereka, perjinahan di luar kesadaran mereka yang terpengaruh oleh racun, pada saat Rajid disuruh berjaga oleh Ouwyang Bouw. Tentu saja pemuda iblis ini sudah mengatur perangkapnya dan begitu kedua orang mabok itu melakukan perjinahan, dia menangkap basah mereka!
Semua orang yang menonton kelihatan puas dengan pertunjukan kekejaman ini, dan Li Hwa bergidik melihat wajah mereka yang seakan-akan haus darah dan kini semua mata ditujukan kepada tubuh telanjang Madhula laksana serombongan serigala kelaparan. Dia sedang berhadapan dengan orang-orang yang telah mati perasaan kemanusiaan mereka, manusia-manusia yang haus darah dan yang menganggap kekejaman merupakan suatu kesenangan yang mengasyikkan. Maka timbullah perasaan kasihan kepada wanita yang bernasib malang itu.
Li Hwa adalah seorang yang masih amat muda, maka tentu saja perasaannya amat halus dan mudah tersinggung. Ketika melihat peristiwa ini di depan mata, dia telah melupakan tugasnya, tugas sebagai seorang penyelidik yang ingin menyelidiki tentang bokor emas. Sekarang baginya yang terpenting hanyalah urusan yang terjadi di depan matanya, yaitu menolong Madhula!
Kelemahannya sebagai seorang muda inilah yang mengkhawatirkan hati Panglima The Hoo dan Pendekar Cia Keng Hong ketika mendengar bahwa dara itu pergi melakukan penyelidikan seorang diri, sungguh pun mereka juga tahu bahwa ilmu kepandaian dara itu sudah cukup tinggi untuk bekal penyelidikan berbahaya itu.
Madhula roboh telentang menyaksikan kematian Sanghida yang demikian menyedihkan. Dia tidak mencinta laki-laki tinggi besar itu. Dia mencinta suaminya, dan karena cintanya ini pula maka tidak seperti kaum wanita lainnya di pulau itu yang bahkan mengharapkan rayuan Ouwyang-kongcu, dia menolak godaan pemuda itu.
Akan tetapi dia pun tahu kini bahwa Sanghida mencintanya. Sahabat baik suaminya dan dia itu sesungguhnya mencintanya, dan kini menjadi korban karena kelicikan Ouwyang Bouw. Semua mata para penonton kini dapat berpesta pora dan melahap tubuh wanita cantik yang telentang polos itu, tidak terlindung lagi oleh kedua lengannya.
"Perempuan hina ini pun harus mampus!" Rajid yang bagaikan kemasukan setan karena dendam dan cemburu segera mengangkat goloknya membacok ke arah tubuh isterinya yang biasanya merupakan sebuah benda hidup yang paling disayangnya di dunia ini.
"Singg... tringggg…!"
Golok itu terlempar ketika terbentur oleh sebuah batu kecil yang dilemparkan oleh tangan Ouwyang Bouw. Melihat ini, Li Hwa menjadi kagum dan maklumlah dia bahwa pemuda itu merupakan lawan yang tak lemah!
"Ehh... Ouwyang-kongcu... kenapa...?" Rajid memandang pemuda itu dengan mata penuh penasaran.
"Heh-heh, sabarlah, Rajid. Memang dia harus dihukum, akan tetapi hukuman seperti yang hendak kau lakukan itu kurang menarik. Pokoknya engkau menghendaki dia mati, bukan? Nah, biarlah dia dihukum dengan caraku dan panggil semua wanita ke sini agar mereka ikut menyaksikan pula betapa berat hukuman bagi mereka yang berani melanggar hukum kami di sini!"
Rajid mengangguk-angguk dan beberapa orang laki-laki sudah berlari memanggil semua wanita yang berada di pulau itu. Hanya ada dua puluh orang wanita tua dan muda yang datang ke situ dengan muka pucat. Para suami merasa girang, dengan hal ini mengharap isteri-isteri mereka takut dan tidak berani berjinah dengan laki-laki lain. Akan tetapi, para wanita yang memandang dengan muka pucat itu mempunyai pengertian lain pada waktu mendengar kata-kata Ouwyang-kongcu.
"Kalian lihatlah. Beginilah nasib wanita yang berani melanggar hukum kami di sini!" kata Ouwyang-kongcu sesudah menyuruh Rajid mengikat tubuh telanjang Madhula di sebuah tiang, diikat kaki serta tangannya pada tiang itu sehingga tubuh bagian depannya tampak nyata, sedikit pun tidak terlindung, kecuali rambut hitam panjang terurai yang sebagian menggantung ke depan. Para wanita itu dapat mengerti bahwa yang dimaksudkan oleh Ouwyang-kongcu, hukuman ini akan jatuh menimpa wanita yang berani menolak majikan muda itu!
Ouwyang Bouw yang agak miring otaknya itu memang mempunyai kegemaran yang aneh dan mengerikan. Dia sudah tergila-gila oleh wanita, baik cantik mau pun tidak cantik. Dia pernah tergila-gila oleh seorang wanita nenek-nenek, bahkan pernah pula dia tergila-gila pada seorang anak perempuan yang masih kecil! Dan mereka semua harus menyerahkan diri kepadanya!
Dia sama sekali tidak pernah memperkosa, dia tak mau memperkosa wanita. Akan tetapi dia mempunyai cara lain untuk membuat setiap orang wanita tunduk kepadanya dan mau menyerahkan diri, yaitu dengan ancaman dan bayangan penyiksaan yang mengerikan.
Hampir semua wanita, besar kecil, tua muda yang menyerah kepadanya tentu didorong oleh rasa takut dan ngeri, bukan secara suka rela karena biar pun wajahnya tampan dan tubuhnya menarik, namun sikap pemuda ini terang menunjukkan gejala otak miring yang mendatangkan rasa ngeri dan menjijikkan!
Madhula masih pingsan pada saat Ouwyang-kongcu mengeluarkan sebatang suling kecil yang panjangnya hanya dua jengkal. Mulailah pemuda itu menyuling. Suara suling yang melengking dengan nada tinggi membuat Li Hwa terkejut karena dia maklum bahwa suara melengking yang menggetar itu mengandung tenaga khikang yang kuat sekali.
Dia melihat betapa semua penonton sekarang berkumpul di belakang Ouwyang-kongcu, seakan-akan menanti sesuatu dengan penuh ketegangan. Ada pun tubuh Madhula yang diikat pada tiang itu pun menghadap kepada mereka, sedangkan mayat Sanghida yang berlumuran darah menggeletak tak jauh diri kaki Madhula.
Sebelum ular itu tiba, Li Hwa sudah dapat menduga dengan hati diliputi penuh kengerian bahwa suara dari suling yang ditiup pemuda iblis itu tentulah merupakan tanda panggilan kepada ular-ularnya. Hal ini tidak sulit diduga karena pertama, pemuda itu adalah putera Si Raja Ular! Ke dua, mereka berada di Pulau Ular, dan memang biasanya para ahli ular mengundang ular-ular mereka dengan suara melengking tinggi, biasanya suara suling.
Memang tepat dugaan Li Hwa. Akan tetapi ketika ular-ular itu datang, biar pun dia sudah menduganya, dia menjadi kaget bukan main karena tidak menyangka bahwa yang datang demikian banyaknya! Rombongan demi rombongan ular berdatangan dari empat penjuru, dan warna kulit mereka pun berbeda-beda, ada yang hitam kemerah-merahan, ada yang hijau, kuning, dan ada yang belang-belang. Biar pun Li Hwa tidak mengenal banyak ular, namun dia dapat menduga bahwa ular-ular itu tentulah ular berbisa yang amat berbahaya.
Ular-ular yang lewat di dekat Ouwyang-kongcu dan anak buahnya kelihatan takut seperti menghadapi api, dan binatang yang merayap dekat cepat menyingkir lantas mengambil jalan memutar. Sesudah ular-ular itu tiba di tempat itu, Li Hwa hampir tidak kuat melihat lebih lama lagi.
Ular-ular yang mendesis-desis itu kini berebut menyerang mayat Sanghida, melahap dan merobek-robek mayat itu sehingga mayat itu seperti hidup kembali karena bergerak-gerak ke sana sini, seperti berkelojotan. Hanya dalam waktu sebentar saja habislah semua kulit, daging serta isi perut mayat itu, tinggal rangka yang kering, tanpa ada setetes pun darah yang tampak karena semua telah dijilat habis!
Kini ular-ular itu mulai merayap ke arah Madhula, dan wanita ini pun baru saja siuman dari pingsannya. Dengan mata terbelalak ia sempat melihat betapa potongan-potongan daging terakhir dari Sanghida dibuat perebutan ular-ular itu. Ia pun maklum akan nasibnya, akan tetapi betapa pun ia berusaha untuk memejamkan kedua matanya menerima maut, kedua mata itu malah selalu terbelalak dan kembali memandang ke arah ular-ular yang sedang merayap-rayap di sekelilingnya.
Ular-ular itu adalah ular-ular kecil, paling besar dua kaki panjangnya dan jumlahnya ada empat puluh ekor lebih, menggeliat-geliat seperti sekumpulan cacing, akan tetapi tak ada yang berani menyerang Madhula, agaknya menunggu ‘perintah’ suara suling yang masih terus melengking sejak tadi.
Memang benar demikian. Ular-ular itu seolah-olah bergerak menurut getaran suara suling dan tiba-tiba suara suling itu berubah merendah. Ular-ular itu kelihatan gelisah, kemudian seekor demi seekor, ular-ular itu pergi meninggalkan tempat itu hingga membuat semua penonton menjadi heran.
"Mengapa dia tidak dihukum?" Rajid membanting kaki dan memandang penasaran.
Ouwyang Bouw telah melepas sulingnya dan sambil memandang ke arah tubuh Madhula dia lalu berkata, "Kurang menarik apa bila ular-ular kecil yang sudah kenyang itu disuruh mengeroyok. Dia yang sudah mau berjinah dengan Sanghida, tentu takkan puas dengan ular-ular kecil itu. Kau lihatlah saja." Sambil berkata dia lalu menempelkan lubang suling di depan bibirnya.
Kini terdengar lengking suara suling yang berbeda dari tadi. Suaranya naik turun dengan nada rendah, namun mengandung getaran yang amat kuat sehingga para penonton ada yang kelihatan menggigil kedua kakinya.
Tak lama kemudian terdengarlah suara mendesis-desis. Li Hwa terkejut dan memandang ke bawah. Seekor ular yang sangat besar sedang merayap lewat di bawah pohon. Dia menggigil jijik. Ulat ini berkulit hitam kehijauan, sepasang matanya seperti mata manusia, lidahnya merah menjilat-jilat keluar, besar tubuhnya sama dengan pahanya, sedangkan panjangnya ada sepuluh kaki!
Madhula juga telah melihat ular itu dan wanita ini lantas mengeluarkan rintihan panjang, mukanya makin pucat dan matanya terbelalak, penuh kengerian. Suara suling menuntun ular itu mendekat dan terdengarlah suara berbisik orang-orang yang menonton karena tegang dan tertarik ketika melihat betapa dengan perlahan ular besar itu mendekati tiang di mana tubuh Madhula terikat.
Ular itu mendesis-desis, lidahnya yang merah semakin sering menjilat-jilat. Melihat bentuk mulutnya yang besar agaknya dia akan sanggup menelan tubuh wanita Nepal itu! Suara suling makin meninggi dan kini moncong ular mulai naik dan lidah itu mulai menjilati kaki yang telanjang.
Madhula mengeluarkan suara rintihan pada saat merasa betapa ular mulai merayap naik melalui betisnya! Semua penonton menahan napas, mata mereka memandang melotot seperti hendak meloncat keluar dari pelupuknya.
Para penonton menelan ludah penuh nafsu birahi dan gairah saat suara rintihan Madhula makin sering dan ular itu mentaati suara suling, kini merayapi seluruh tubuh telanjang itu, membelit-belit hingga tampak seolah-olah ular itu membelai-belai tubuh Madhula seperti hendak mengajak wanita itu bermain cinta. Makin hebat suara suling yang ditiup Ouwyang Bouw, semakin cepat ular itu bergerak-gerak, mengeliat-geliat menyelusuri seluruh tubuh Madhula yang kini telah memejamkan mata dan merapatkan kedua bibirnya, sama sekali tidak bersuara lagi.
Li Hwa menunggu saat baik dan ketika kepala ular itu kebetulan merayap naik dan lebih tinggi dari kepada Madhula, tangan kirinya bergerak dan tampaklah sinar perak meluncur ke arah kepala ular itu. Ular itu menggerakkan kepala seperti gila, berkelojotan dan tanpa disengaja dia mempererat belitannya pada tubuh Madhula.
Kembali ada sinar perak menyambar dan kepala ular yang sudah ditembusi dua batang jarum perak itu terkulai, tubuhnya perlahan-lahan melepaskan belitan. Akan tetapi betapa kagetnya hati Li Hwa ketika dia melihat darah bertetesan dari kedua bibir Madhula yang dirapatkan. Dia cepat meloncat turun dari atas pohon sambil berteriak,
"Ouwyang Bouw manusia iblis yang kejam!"
Ouwyang Bouw sudah meloncat bangun. Semua pembantunya yang tadi terheran-heran melihat ular itu menghentikan permainannya bahkan lalu berkelojotan di bawah, kini juga marah dan sudah siap untuk mengeroyok orang yang menjadi pengacau. Namun ketika mereka melihat seerang dara yang sangat cantik jelita melayang turun dari atas pohon, mencabut pedang dan membabat putus belenggu kaki tangan Madhula, mereka menjadi tercengang dan memandang kagum!
Madhula membuka mata, membuka mulut, akan tetapi tidak ada kata-kata yang keluar karena begitu mulutnya dibuka, darah menyembur keluar dan dengan penuh kengerian Li Hwa maklum bahwa wanita itu telah menggigit putus lidahnya sendiri!
Dalam keadaan ngeri dan tersiksa, Madhula mengambil keputusan nekat, membunuh diri dengan menggigit lidahnya. Lidah itu putus di tengahnya, dan tak mungkin jiwanya dapat tertolong lagi, apa lagi karena dia telah mengeluarkan banyak sekali darah yang tadi dia paksa menelan darahnya sendiri agar jangan sampai Ouwyang-kongcu menyelamatkan nyawanya.
Melihat keadaan wanita itu, Li Hwa yang masih memeluk tubuh yang terguling sesudah belenggunya terlepas, perlahan-lahan menurunkan tubuh Madhula. Tubuh itu lemas dan orangnya sudah tidak ingat apa-apa lagi, darah terus mengalir keluar dari lidahnya yang buntung. Madhula dalam sekarat, seperti juga tubuh ular yang sekarat, hanya bedanya, kalau tubuh Madhula sama sekali tidak bergerak, tubuh ular itu berkelojotan, menggeliat-geliat dan darah mengalir keluar dari dua lubang kecil di antara kedua matanya.
Ouwyang Bouw tadi juga merasa amat terkejut. Gadis cantik itu telah dapat menyelundup ke dalam pulau tanpa ada yang tahu, bahkan telah berada di atas pohon tanpa dia sendiri mengetahuinya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa dara cantik itu tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Apa lagi ketika dibuktikannya dengan membunuh ularnya menggunakan jarum, ini menjadi tanda pula bahwa dalam hal penggunaan senjata rahasia jarum dara itu belum tentu kalah lihai olehnya yang juga mahir menggunakan senjata rahasia jarum kecil merah yang amat berbisa.
Akan tetapi, kini Ouwyang Bouw telah dapat menguasai rasa kagetnya. Kedua matanya terputar-putar menggerayangi seluruh tubuh Li Hwa dan dia tertegun penuh kekaguman. Seorang dara yang masih muda, seorang perawan yang amat jelita, akan tetapi juga amat gagah perkasa! Begitu melihat Li Hwa, sekaligus hati Ouwyang Bouw telah jatuh!
Selama petualangannya dengan wanita dari segala macam bentuk dan usia, dia merasa belum pernah dia memperoleh seorang dara muda seperti yang kini berdiri di hadapannya dengan sikap gagah perkasa itu! Dan dia harus memperolehnya, dengan cara bagaimana pun juga!
"Aihh, harap Nona sudi memaafkan kami yang tidak tahu akan kedatangan seorang tamu agung seperti Nona sehingga tidak mengadakan penyambutan sebagaimana layaknya!" Ouwyang Bouw berkata sambil melangkah maju dan memberi hormat dengan menjura dan mengangkat kedua tangan di depan dada.
Diam-diam Li Hwa merasa terkejut dan terheran. Tak disangkanya bahwa pemuda yang disohorkan sebagai seorang iblis muda yang kejam dan gila ini ternyata pandai bersikap demikian sopan-santun seperti seorang terpelajar dan bersusila!
Terseret oleh sikap yang demikian hormat, otomatis dia pun mengangkat kedua tangan, membalas penghormatan. Teringat akan hal ini, dia terkejut dan cepat-cepat menurunkan lagi tangannya. Diam-diam dia maklum betapa berbahaya dan lihainya pemuda ini yang dengan gerak dan kata-kata sudah dapat menyeretnya!
"Aku Souw Li Hwa bukan tamu dan tidak mengharap sambutan. Akan tetapi menyaksikan kekejaman yang biadab tadi, aku tidak mungkin mendiamkannya saja. Bukankah engkau yang disebut Ouwyang Bouw, pemuda iblis yang gila?"
Walau pun anak buahnya sudah mengeluarkan suara marah, Ouwyang Bouw tersenyum saja mendengar makian ini, bahkan memandang semakin kagum dan sesaat kedua bola matanya seperti lupa untuk berputaran seperti biasa.
"Dugaanmu benar, Nona Souw Li Hwa. Aku adalah Ouwyang Bouw, majikan muda dari Pulau Ular ini, dan aku merasa senang sekali dapat berkenalan denganmu. Bolehkah aku mengetahui apa sebenarnya kehendak Nona memberi kehormatan kepada kami dengan mengunjungi pulau ini?"
Ditanya demikian, barulah Li Hwa teringat kemudian terkejut. Celaka! Rusaklah usahanya menyelidiki bokor emas yang katanya telah dibawa ke pulau itu! Akan tetapi karena sudah terlanjur, maka dia lalu membentak, "Cih! Siapa sudi berkenalan denganmu? Aku datang ke sini hendak membunuhmu dan membersihkan pulau ini dari iblis-iblis semacam kalian dan ular-ular jahat!"
"Hayaaa...! Dari manakah datangnya nona cantik yang sombong ini?" Tiba-tiba terdengar seruan orang dan muncullah dua orang kakek yang dipandang oleh Li Hwa dengan penuh perhatian.
Yang berseru tadi adalah seorang kakek tua berusia enam puluhan tahun, tubuhnya tinggi sekali, tinggi kurus dengan leher panjang sehingga kalau dia bergerak-gerak, tubuhnya kelihatan seperti seekor ular. Matanya sipit memandang tajam penuh selidik dan melihat kakek kurus itu, hati Li Hwa tidak ragu lagi menduganya bahwa tentu kakek inilah Si Raja Ular Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok.
Ada pun kakek ke dua adalah seorang kakek yang lebih tua lagi, tujuh puluh tahun lebih usianya, juga tubuhnya tinggi kurus. Kakek ini tidak berkata-kata, hanya terbatuk-batuk. Rambutnya tidak terpelihara, panjang dan penuh uban, juga jenggot dan kumisnya tidak terpelihara. Karena pakaiannya sederhana, kakek ini makin kelihatan jorok (kotor).
Diam-diam Li Hwa menduga dengan hati penuh ketegangan bahwa tentu kakek ini yang disebut datuk sesat nomor satu Toat-beng Hoatsu. Tahulah dia bahwa dia telah dikurung oleh orang-orang jahat yang berlimu tinggi, namun sedikit pun hatinya tidak merasa takut, bahkan dia tidak mau berpura-pura lagi. Maka dengan sikap gagah dan suara lantang dia bertanya,
"Apakah kalian berdua orang tua Ban-tok Coa-ong dan Toat-beng Hoatsu?"
"Hemmm, bocah sombong. Engkau sudah mengenal kami. Siapakah engkau dan engkau yang masih amat muda dan cantik ini mengapa hendak membunuh diri dengan lancang memasuki Pulau Ular tanpa ijin?" kata Ban-tok Coa-ong, suaranya mengandung ancaman karena kakek ini telah menjadi marah sekali.
Apa bila ada orang luar berani memasuki pulaunya tanpa ijin, hal itu selain merupakan pelanggaran yang harus dihukum mati, juga merupakan penghinaan kepadanya karena menunjukkan bahwa Si Pelanggar itu memandang rendah kepadanya.
"Ayah, Nona ini bernama Souw Li Hwa, cantik jelita dan gagah perkasa. Ayah, sekarang aku mengambil keputusan untuk menikah. Bukankah Ayah sering mengatakan bahwa aku sudah cukup dewasa untuk menikah dan bahwa Ayah ingin sekali menimang cucu? Ayah, dia itulah calon isteriku!"
Mendengar ucapan yang jelas membayangkan kegilaan ini, Li Hwa menjadi marah bukan main. Dia melangkah maju, menudingkan telunjuk kirinya kepada Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong lalu membentak, "Ban-tok Coa-ong, aku mendengar bahwa engkau dan Toat-beng Hoatsu sudah merampas bokor emas, maka aku datang untuk minta kembali bokor emas itu. Mungkin saja Suhu akan suka mengampuni kalian apa bila kalian mau mengembalikan pusaka itu secara baik-baik kepadaku. Kalian tahu, kalau Suhu marah dan mendengar kalian tidak mau mengembalikan benda pusaka milik Suhu itu, kemana pun kalian hendak melarikan diri dan bersembunyi, akhirnya kalian tentu akan menerima hukuman dari Suhu."
Mula-mula Ban-tok Coa-ong marah sekali mendengar ucapan nona itu yang dianggapnya sombong. Akan tetapi ketika mendengar kalimat-kalimat selanjutnya, dia dan Toat-beng Hoatsu terkejut.
"Kau... kau murid The Hoo?" Toat-beng Hoatsu bertanya dengan alis berkerut dan hati masih ragu-ragu. The Hoo adalah seorang panglima besar yang sangat terkenal sebagai seorang yang memiliki kesaktian hebat. Benarkah dara jelita yang muda ini muridnya?
"Panglima Besar The Hoo adalah guruku dan aku menerima tugas dari Suhu untuk minta kembali bokor emas yang terjatuh ke tangan kalian." Li Hwa menjawab dengan suara lantang.
Muka Ban-tok Coa-ong berubah merah. "Bagus, kau kira aku mudah menyerahkan begitu saja? Bocah lancang yang sombong, jangan kau mempergunakan nama The Hoo untuk menakut-nakuti Ban-tok Coa-ong!"
"Wuuuuttt...!"
Angin keras yang dahsyat menerjang ke arah Li Hwa ketika tahu-tahu kakek bertubuh ular itu telah menyerangnya. Kedua kakinya masih tidak bergeser, akan tetapi tubuh atasnya melengkung dan kedua tangannya dengan jari terbuka mencengkeram ke arah dara itu. Panjang tubuh disambung lengan cukup untuk menjangkau dan mencapai tubuh Li Hwa.
"Ayah, jangan lukai calon isteriku!" Ouwyang Bouw berseru.
Akan tetapi, betapa pun lihai serangan itu, dengan mudah saja Li Hwa mengelak dengan gerakan cekatan sekali, kemudian lengannya bergerak, tangannya mengebut ke samping mengenai lengan tangan kanan kakek itu.
"Plakkk!"
Walau pun Li Hwa harus meloncat ke belakang karena pertemuan tenaga itu membuat lengannya tergetar, akan tetapi juga kakek Raja Ular itu merasa betapa kulit lengannya panas, tanda bahwa dara muda itu benar-benar memiliki kepandaian hebat dan tenaga sinkang yang kuat!
Dengan marah dan penasaran sekali, tanpa mempedulikan seruan puteranya, Ouwyang Kok sudah hendak menerjang lagi. Akan tetapi Toat-beng Hoatsu segera mendekatinya dan membisikkan siasatnya,
"Tunggu... dia merupakan sandera yang baik dan berharga sekali... mungkin dapat ditukar dengan bokor...!"
Mendengar ini, Ban-tok Coa-ong menghentikan gerakannya hendak menyerang, lantas dengan wajah berseri kakek ini menghadapi Li Hwa dan berkata lantang "Nona Souw Li Hwa. Engkau sanggup menghindarkan seranganku, hal ini saja sudah membuat engkau cukup berharga untuk bicara denganku. Engkau mengaku murid The Hoo, dan puteraku jatuh cinta kepadamu. Semua itu baik-baik saja, akan tetapi engkau harus diuji lebih dulu apakah benar engkau murid The Hoo dan apakah engkau cukup berharga untuk menjadi mantuku, ha-ha-ha!"
Kakek Raja Ular itu menggapai kepada seorang Nepal yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa dan kumis jenggotnya lebat sekali sehingga hampir menutupi seluruh mukanya, sambil berkata, "Maju dan lawanlah nona ini!"
Orang Nepal itu menyeringai sehingga tampaklah giginya yang besar-besar, dan dengan sikap jumawa sekali dia melangkah ke dalam lapangan itu menghadapi Li Hwa. Sengaja dia mengerahkan tenaga pada kedua kakinya hingga langkahnya seperti langkah gajah, membuat tanah tergetar setiap kali dia membanting kakinya!
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Li Hwa mendengar ucapan Ban-tok Coa-ong tadi. Ucapan itu dianggap amat menghinanya, akan tetapi karena dia pun cukup maklum bahwa dia berada di sarang harimau dan menghadapi banyak lawan pandai, dia tidak mau terseret oleh kemarahannya.
Gurunya pernah mengatakan kepadanya bahwa dalam menghadapi lawan tangguh, yang terpenting sekali adalah sikap tenang dan sikap tenang ini akan rusak bila membiarkan diri dikuasai oleh pikiran yang mendatangkan kemarahan, ketakutan, atau kesombongan. Maka kini menghadapi raksasa Nepal itu, dia bersikap tenang, sedikit pun tidak merasa takut, juga tidak memandang rendah dan sama sekali bebas dari kemarahan.
Dengan sikapnya yang tenang ini, dia dapat memandang tajam dan segera dapat melihat bahwa lawannya adalah orang yang memiliki tenaga kasar yang amat kuat, dan otot-otot yang menggembung di seluruh tubuh raksasa ini sudah terlatih. Namun, sekilas pandang saja Li Hwa sudah dapat menduga kelemahan lawan ini yaitu kelambanan gerak sehingga dia sudah tahu bahwa untuk mengalahkannya dia harus mengandalkan kecepatannya.
Dengan pikiran ini, tanpa memberikan kesempatan kepada lawan untuk menyerangnya, Li Hwa sudah menerjang maju dan mengirim dua kali pukulan beruntun ke arah dada dan lambung. Gerakannya cepat bukan main karena dara ini telah mempergunakan jurus Ilmu Silat Jit-goat Sin-ciang-hoat. Dua pukulan yang dilakukan kedua tangan itu mengandung dua macam tenaga keras dan lembut, akan tetapi keduanya amat berbahaya karena yang keras dapat meremukkan tulang, dan yang lembut dapat merusak urat syaraf!
"Plakk! Blukk!"
Li Hwa terkejut bukan main karena kedua pukulannya, baik yang mengandung tenaga Yang-kang (keras) mau pun Im-kang (lembut) telah bertemu dengan kulit dada dan kulit lambung yang kerasnya seperti baja! Tidak disangkanya sama sekali bahwa raksasa itu memiliki tubuh yang kebal dan kuat bukan main. Dan lebih-lebih kagetnya ketika tiba-tiba kedua lengannya telah ditangkap oleh raksasa itu dan dengan tenaga yang seperti tarikan gajah, tubuh Li Hwa telah diangkat ke atas!
"Jangan bunuh dia...!"
Bentakan Ouwyang Bouw itu dijawab dengan suara tertawa bergelak oleh raksasa Nepal itu yang cepat melontarkan tubuh Li Hwa ke atas kemudian sambil bertolak pinggang dia tertawa-tawa menanti turunnya tubuh itu. Dia jelas bendak mempermainkan tubuh dara itu seperti sebuah bola yang dilempar-lemparkan ke atas!
Li Hwa sudah menggunakan ginkang-nya. Ketika tubuhnya meluncur ke atas seperti anak panah meluncur, cepat dia berjungkir balik sampai lima kali untuk mematahkan tenaga luncuran itu, kemudian melayang turun. Dari atas dia melihat betapa lawannya sudah siap menyambutnya dengan kedua lengannya yang berbulu dan kuat sekali itu, kedua lengan yang telah dikembangkan dan diacungkan ke atas. Sudah terdengar pula suara lawannya tertawa bergelak.
Li Hwa maklum bahwa kalau dia tidak dapat merobohkan lawan dari atas, dia akan tak berdaya sama sekali begitu tubuhnya tertangkap oleh kedua tangan yang kuat itu. Untuk mempergunakan jarum peraknya, dara ini tidak sudi karena hal itu berarti bahwa dia jeri menghadapi lawan dengan terbuka. Pula, dengan kehadiran dua orang datuk kaum sesat itu, menggunakan senjata rahasia pun takkan ada gunanya. Maka dia lalu menggunakan akal dan sengaja membuat tubuhnya melayang turun seperti seorang yang tidak berdaya dan ketakutan.
"Ha-ha-ha, Nona manis, marilah kita main-main!" Orang Nepal itu berkata dengan logat bicaranya yang kaku.
Ketika tubuhnya sudah meluncur dekat, tiba-tiba Li Hwa membalik, kepalanya di bawah dan sepasang tangannya seperti seorang yang kebingungan hendak mencari pegangan, akan tetapi begitu kedua tangan raksasa itu menangkap pinggang dan pundaknya, Li Hwa sudah menggerakkan kedua jari telunjuknya untuk menotok ke arah pundak dan tengkuk.
"Cusss! Cusss!"
"Auggghhh...!"
Tubuh raksasa itu segera terguling dan cengkeraman kedua tangannya terlepas. Dia telah terkena serangan Ilmu Menotok Jalan Darah It-ci-san yang amat lihai. Biar pun tubuhnya kebal, namun totokan satu jari yang amat hebat itu dengan tepat sudah mengenai jalan darahnya sehingga untuk sesaat tubuhnya seperti lumpuh yang menyebabkan tubuhnya terguling.
Kesempatan ini tidak dibiarkan lewat begitu saja oleh Li Hwa. Jari-jari tangan kirinya cepat menjambak rambut panjang lawannya, kemudian dengan pengerahan tenaganya, tubuh itu ditariknya ke atas dan tangan kanannya yang dimiringkan lantas menghantam ke arah tengkuk.
"Krekkkk!"
Tubuh itu terkulai dan raksasa Nepal itu roboh pingsan! Semua orang yang menonton pertandingan itu terbelalak, sama sekali tak mengira bahwa raksasa Nepal yang terkenal hebat dan amat kuat itu roboh hanya dalam dua tiga gebrakan saja!
"Tidak salah lagi, dia murid The Hoo...!" Toat-beng Hoatsu berkata lirih.
Ban-tok Coa-ong mengangguk. "Benar, tadi tentu It-ci-san yang terkenal dari The Hoo..."
Ban-tok Coa-ong kini menggapai kepada seorang Han yang tubuhnya pendek kecil, amat kurus seperti rangka hidup, mukanya pucat dan sepasang matanya yang cekung itu amat mengerikan.
"Pek-mo (Iblis Putih), tangkap dia!"
Laki-laki bermuka pucat yang usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih itu mengangguk, mengeluarkan suara rintihan panjang seperti orang menangis dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah mencelat ke depan Li Hwa, matanya yang cekung bersinar mengerikan dan ketika mulutnya meringis, ternyata di dalam mulutnya tidak terdapat gigi sepotong pun!
Li Hwa memandang penuh perhatian. Keadaan tubuh orang ini benar-benar merupakan kebalikan dari keadaan raksasa Nepal tadi. Apa bila raksasa Nepal tadi membayangkan kekuatan dahsyat, orang ini sebaliknya terlihat seperti seorang berpenyakitan yang sudah berdiri di ambang kuburan. Kelihatan sangat lemah dan agaknya hembusan angin yang agak besar saja sudah akan cukup untuk merobohkannya.
Akan tetapi Li Hwa tidak tertipu oleh keadaan luar, dan dia sudah dapat menduga bahwa orang yang kecil bagaikan mayat hidup ini tentulah memiliki kepandaian yang tinggi dan mempunyai tenaga sinkang yang kuat. Baru caranya meloncat ke depan tadi saja sudah membuktikan betapa Si Mayat Hidup ini mempunyai kegesitan yang tak boleh dipandang ringan! Karena itu, tanpa menanti gerakan lawan, tanpa sungkan-sungkan lagi dia sudah menerjang ke depan dan menyerang Si Mayat Hidup itu dengan totokan-totokan maut!
Orang kurus kecil itu mengeluarkan pekik menyeramkan, kemudian tubuhnya bergerak dan bersilat dengan cara yang aneh tetapi gesit sekali. Bagaikan gerakan seekor monyet, orang itu dapat menghindarkan totokan-totokan Li Hwa dan membalas dengan serangan yang berupa cengkeraman-cengkeraman.
Yang hebat, bila tadi jari tangannya kelihatan biasa, kini jari tangan itu menjadi bertambah panjang oleh kuku-kukunya! Ternyata orang itu memiliki kuku-kuku jari yang aneh, yang dapat digulung dan apa bila diperlukan, dengan kekuatan sinkang-nya, kuku yang tadinya bergulung itu dapat menegang sehingga panjang setiap kukunya tak kurang dari sepuluh senti!
"Brettt...!"
"Aihhhhh...!"
Li Hwa menjerit kaget ketika ujung bajunya kena dicakar dan robek. Hal ini adalah karena dia tidak mengira bahwa kuku jari itu dapat memanjang maka ketika cengkeraman lawan dapat dielakkan, kuku-kuku yang memanjang itu masih mampu mencakar ujung bajunya. Untung bukan kulit lambungnya yang kena dicakar!
Marahlah Li Hwa. Sekarang dia tahu bahayanya lawan ini, maka dia cepat menggerakkan tubuhnya dan memainkan jurus-jurus pilihan dari Jit-goat Sin-ciang-hoat yang sukar dicari tandingannya itu. Gerakan dua tangannya yang menyerang terisi dengan tenaga Im-yang Sinkang, dan kadang-kadang pukulannya dicampur dengan It-ci-sian dan mengarah jalan darah yang berbahaya.
Ternyata bagi Li Hwa bahwa lawannya ini hanya kelihatannya saja sangat menyeramkan dan berbahaya. Padahal ilmu silatnya hanyalah ilmu silat golongan hitam yang tampaknya saja berbahaya akan tetapi tidak memiliki dasar yang kuat. Kalau berhadapan dengan ahli silat biasa, tentu Si Mayat Hidup ini merupakan lawan yang berbahaya sekali dan setiap serangannya dapat mendatangkan maut. Akan tetapi terhadap dia yang sudah menerima gemblengan seorang sakti seperti The Hoo, segera dara ini dapat melihat kelemahannya.
Setelah bertanding selama tiga puluh jurus, tiba-tiba saja Li Hwa mengerahkan khikang, membentak keras sekali. Bagai kitiran angin kedua kakinya lantas melakukan tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh) hingga lawannya merintih panjang dan terpaksa mengelak ke kanan kiri untuk menghindarkan tendangan bertubi-tubi yang berbahaya itu. Tiba-tiba tangan kiri Li Hwa bergerak dari atas, dikebutkan ke arah pundak lawan.
"Krekkk!"
Si Mayat Hidup mengeluh, lantas sebuah tendangan tepat mengenai pinggulnya sehingga tubuh yang ringan itu terlempar sampai empat meter dan terbanting roboh. Di sana dia merintih karena tulang pundaknya terlepas dan pinggul yang tidak berdaging itu menjadi biru!
Terdengar orang bersorak. Kiranya Ouwyang Bouw yang bersorak. "Hidup calon isteriku yang perkasa!" Dia berlari menghampiri Li Hwa dan menjura dengan hormat. "Terimalah rasa kagum dan hormatku, Nona Souw calon isteriku yang cantik dan gagah perkasa!"
Biar pun dia sudah menjaga diri agar tidak terserang marah, menghadapi pemuda ini, naik juga darah Li Hwa. Mukanya menjadi merah, dua matanya mendelik mengeluarkan sinar berapi dan dia pun membentak. "Orang gila menjemukan! Mampuslah!"
Tamparan tangan kiri Li Hwa itu sama sekali tidak ditangkis oleh Ouwyang Bouw yang hanya mengangkat kepalanya sedikit ke atas sehingga telapak tangan kiri Li Hwa yang menampar kepala itu mengenai pipinya.
"Plakkk...!"
"Wah, terima kasih, Nona. Telapak tanganmu sungguh halus, hangat, dan harum sekali!" kata Ouwyang Bouw sambil mengelus-elus pipinya yang kena tampar.
Bukan main marahnya hati Li Hwa, apa lagi mendengar suara ketawa anak buah Pulau Ular yang tertawa-tawa. Dia maklum bahwa pemuda gila ini tak beleh disamakan dengan jagoan Nepal dan Si Mayat Hidup tadi, dan dia pun maklum bahwa dia tidak bisa mundur lagi. Melarikan diri tak mungkin, maka jalan satu-satunya hanyalah mengadu kepandaian untuk menuntut dikembalikannya bokor emas, atau kalau perlu berkorban nyawa.
"Srattt...!" Li Hwa sudah mencabut pedangnya.
Dengan sikap gagah dia lalu berkata kepada Ban-tok Coa-ong, "Ban-tok Coa-ong, engkau sebagai tuan rumah di pulau ini, majulah. Mari kita tentukan di ujung pedang siapa yang berhak membawa bokor emas. Jangan mengajukan anakmu yang gila!"
"Ha-ha-ha-ha, Nona Souw yang manis, calon isteriku yang cantik. Jangan begitu, ahh! Menggodaku beleh saja, tetapi jangan keterlaluan. Aku memang gila, siapa yang tak akan tergila-gila memandang wajahmu yang cantik manis? Engkau hendak main-main dengan pedang? Baik, mari kulayani. Memang calon suami isteri terlebih dahulu harus mengenal kelihaian masing-masing!"
Pemuda sinting itu menggerakkan tangan kanannya dan sebatang pedang yang berbentuk tubuh ular sudah tercabut keluar. Sambil melintangkan pedang ular yang mengerikan itu di depan dada, Ouwyang Bouw memasang kuda-kuda dengan lagak yang dibuat gagah sehingga kelihatan lucu namun menjemukan bagi Li Hwa karena pemuda itu tersenyum-senyum dan melirik-lirik kepadanya!
"Iblis bermulut busuk!" Dia memaki dengan marah, pedangnya sudah bergerak menerjang dengan kecepatan laksana kilat.
"Trang-trang-cringgg...!"
Bunga api berpijar ketika kedua senjata itu bertemu berkali-kali. Merasa betapa pedangya tergetar oleh tangkisan pemuda itu, Li Hwa maklum bahwa tenaga sinkang lawannya tidak lemah, maka cepat dia menggunakan tenaga lawan ketika menangkis lagi untuk mencelat ke atas, berjungkir balik dan dari atas tangan kirinya diayun.
Cahaya putih berkeredepan menyambar ke arah Ouwyang Bouw. Itulah gin-ciam (jarum perak), senjata rahasia Li Hwa yang amat lihai.
"Aihhh... engkau pandai main jarum. Bagus...!"
Ouwyang Bouw menggerakkan tangan kirinya dan lengan bajunya menerima jarum-jarum perak yang menancap dan berjajar rapi pada ujung lengan bajunya! Sambil tersenyum dia menggerakkan lengan baju itu, dan sinar perak segera menyambar ke arah kaki Li Hwa yang masih belum turun ke atas tanah.
Dara ini cepat menggerakkan pedangnya, diputar sedemikian rupa sehingga gulungan sinar pedang menggulung jarum-jarum peraknya sendiri itu, kemudian dia menggerakkan pedang dan jarum-jarum itu kembali melesat ke arah Ouwyang Bouw.
"Cuiiitttt... trakkk...!"
Sinar perak itu bertemu dengan sinar merah dan runtuhlah jarum-jarum perak itu bertemu dengan jarum-jarum merah yang dilepaskan oleh Ouwyang Bouw.
Li Hwa terkejut. Kiranya dalam kepandaian melemparkan jarum, pemuda sinting itu tidak kalah pandai olehnya. Maka dia berteriak nyaring dan segera menerjang maju, memutar pedangnya dengan hebat karena dara ini telah mengambil keputusan untuk merobohkan lawannya.
"Kau hebat... kau cantik menarik, kau gagah perkasa... heeeiiitttt!"
Ouwyang Bouw terpaksa melempar tubuh ke belakang dan bergulingan. Karena dia tadi bicara dan menggoda, maka hampir saja dia celaka oleh sinar pedang dara itu yang amat hebat. Dia cepat meloncat lagi melihat pedang lawan terus mengejarnya, menangkis dan terpaksa balas menyerang pada saat mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang dara itu benar-benar amat lihai dan sama sekali tidak boleh dia lawan sambil bersenda gurau!
Pertandingan itu berlangsung dengan seru sekali dan ternyata oleh kedua pihak bahwa tingkat kepandaian mereka seimbang, baik mengenai kecepatan maupun tenaga sinkang. Hanya bedanya, kalau ilmu pedang Li Hwa mengandung dasar yang amat kuat dan asli, mempunyai daya tahan yang kokoh dan daya serang langsung dan menekan, sebaliknya ilmu pedang yang dimainkan oleh Ouwyang Bouw mengandung perkembangan yang penuh tipu muslihat, banyak gerakan pancingan dan pura-pura yang amat curang.
Akan tetapi, karena Li Hwa selalu menyerang dengan niat membunuh lawan sedangkan sebaliknya pemuda yang tergila-gila itu tidak ingin melukai apa lagi membunuh lawan, perlahan-lahan pemuda itu terdesak dan gulungan sinar pedangnya makin tertekan.
"Jelas dia murid The Hoo dan kalau dia dapat dijadikan tawanan sebagai sandera, tentu The Hoo tidak berani mengganggu kita!" Toat-beng Hoatsu barkata.
"Benar sekali," jawah Ban-tok Coa-ong sambil memperhatikan pertandingan antara dara itu dengan puteranya. "Bouw-ji (Anak Bouw) tidak tega melukainya, keadaannya sangat berbahaya. Kalau sampai dia terluka, tentu dia akan lupa diri dan jangan-jangan dia akan membunuh dara itu. Sebaiknya kita turun tangan menangkapnya."
Toat-beng Hoatsu tidak percaya bahwa pemuda itu akan dapat mengalahkan Li Hwa, akan tetapi dia diam saja, hanya mengangguk dan kedua kakek ini lalu bergerak maju ke medan pertandingan.
Pada saat itu, pedang di tangan Li Hwa sedang bertemu dengan pedang ular di tangan Ouwyang Bouw. Kesempatan ini dipergunakan oleh dua orang datuk yang lihai itu untuk turun tangan, Ban-tok Coa-ong mengetuk pergelangan tangan kanan Li Hwa sehingga pedangnya terlepas sedangkan Toat-beng Hoatsu menepuk pundaknya.
Li Hwa mengeluh dan roboh, tubuhnya disambar oleh pelukan Ouwyang Bouw. Dara yang lumpuh kedua tangannya itu menggerakkan kaki menendang pusar, akan tetapi pemuda itu menangkap kakinya dan menotok punggungnya sehingga kini kedua kakinya lumpuh pula. Sambil tertawa-tawa Ouwyang Bouw memondong tubuh dara itu dengan tangan kanannya masih memegang pedang ular, kemudian membawa dara itu lari.
"Bouw-ji... awas jangan kau sampai membunuhnya!" teriak Ban-tok Coa-ong.
Ouwyang Bouw sejenak menoleh sambil tertawa. "Apakah Ayah telah menjadi gila? Aku cinta kepadanya, mana mungkin membunuhnya? Ha-ha-ha!"
"Ha-ha-ha, engkau memang sudah pantas kawin, Anakku!"
"Setahun lagi Ayah akan memondong cucu!" Pemuda gila itu tertawa-tawa sambil terus berlari membawa Li Hwa memasuki pondok yang menjadi tempat kediamannya.
Ban-tok Coa-ong menyuruh anak buahnya menyingkirkan mayat Madhula serta mayat Sanghida yang tinggal tulang kemudian bersama Toat-beng Hoatsu dia kembali ke dalam pondok besar.
"Harus dicegah agar puteramu jangan sampai membunuh tawanan penting itu," berkata Toat-beng Hoatsu, khawatir juga menyaksikan kelakuan pemuda yang edan-edanan itu.
"Jangan khawatir. Agaknya anakku sekali ini benar-benar jatuh cinta. Alangkah baiknya kalau aku dapat berbesan dengan The Hoo. Tentu soal bokor emas bukan hal yang perlu dia ributkan lagi."
"Dan yang lebih penting lagi, dia tentu akan mau membuka rahasia bokor itu. Sungguh menjengkelkan. Susah payah dicari dan diperebutkan, setelah berada di tangan kita, kita tidak mampu membuka rahasianya." kata Toat-beng Hoatsu dengan wajah kesal.
Berhari-hari mereka berdua menyelidiki bokor emas, membolak-balik, menekan sana-sini, akan tetapi belum juga dapat menemukan rahasianya. Padahal kabarnya bokor emas itu mengandung petunjuk tempat penyimpanan harta pusaka kitab-kitab pusaka yang amat luar biasa. Bila tidak takut bokor itu rusak dan rahasianya ikut pula terusak, tentu mereka sudah membanting pecah benda pusaka itu!
Kini mereka memasuki kamar rahasia dan kembali dua orang kakek yang menjadi datuk kaum sesat itu melanjutkan penyelidikan mereka tentang bokor emas. Memang terlihat ada guratan-guratan aneh di sebelah dalam bokor, akan tetapi mereka tetap tidak dapat memecahkan rahasia guratan-guratan ini karena guratan-guratan itu bukanlah merupakan huruf-huruf yang dapat terbaca, juga bukan merupakan peta yang dapat dimengerti.
Sementara itu, Li Hwa yang sadar akan tetapi tak mampu menggerakkan kaki tangannya itu terus dipondong oleh Ouwyang Bouw dan dibawa masuk ke dalam pondoknya, lalu memasuki kamarnya dan dengan amat hati-hati, bahkan dengan lemah lembut dan mesra dibaringkannya tubuh dara itu di atas pembaringannya yang mewah, bersih dan harum baunya.
Akan tetapi diam-diam Li Hwa bergidik melihat betapa di dalam kamar itu penuh dengan belasan ekor ular-ular berbisa yang melingkar di sana-sini, merayap di sana-sini dalam keadaan jinak seakan-akan ular berbisa itu adalah binatang peliharaan dan kesayangan! Diam-diam dia sudah mengambil keputusan bahwa kalau dia sempat dia akan memukul mati pemuda ini, kemudian mengamuk dan kalau perlu mengadu nyawa karena dia pun mengerti bahwa keselamatannya terancam hebat, bukan nyawanya saja yang terancam, tetapi juga kehormatannya!
Sesudah merebahkan tubuh Li Hwa, Ouwyang Bouw duduk di pinggir pembaringan itu, menatap wajah yang cantik itu penuh kekaguman, penuh kasih sayang, bahkan dengan pandang mata mesra. Pandang mata yang membuat Li Hwa bergidik karena pandangan mata itu seolah-olah dapat dia rasakan menyelusuri seluruh tubuhnya, seakan pandang mata itu mampu menelanjanginya!
"Moi-moi yang manis... kau menurutlah menjadi isteriku, hidup dengan makmur dan mulia di pulau ini, sebagai ratu! Ya, aku akan memuliakanmu sebagai seorang ratu... adikku yang tercinta...!"
Namun Li Hwa memandang dengan mata mendelik penuh kebencian, biar pun di dalam hatinya dia merasa khawatir sekali. Dia maklum bahwa jika pemuda gila itu pada saat dia lumpuh kaki tangannya melakukan segala kekejian terhadap dirinya, dia tak akan mampu mempertahankan kehormatannya, tidak akan mampu membela diri. Hampir dia pingsan memikirkan kemungkinan yang mengerikan ini.
Akan tetapi untung baginya pemuda itu memang tidak suka memperkosa wanita. Biar pun dia ingin sekali menguasai tubuh Li Hwa, namun dia memiliki perasaan lain terhadap dara ini, tidak seperti perasaannya terhadap wanita-wanita lain yang telah menjadi korbannya. Dia sudah jatuh cinta kepada Li Hwa dan ingin mengambil Li Hwa ini sebagai isterinya! Oleh karena itu, dia tidak akan menggunakan cara-cara yang keji untuk sementara waktu ini, hanya ingin mengandalkan bujukan dan rayuannya.
Setelah dia membelenggu kaki tangan dara itu menggunakan tali kain sutera yang halus akan tetapi kuat sekali, dia membebaskan totokan pada tubuh Li Hwa sehingga dara itu tidak terlalu tersiksa, dapat menggerakkan kaki dan tangannya sungguh pun tak berdaya melawan karena kaki dan tangannya dibelenggu di belakang tubuhnya.
"Adikku sayang, kalau menurut, engkau akan kubebaskan dan kita akan merayakan pesta pernikahan kita di pulau ini."
"Huh, lebih baik aku mati!" Li Hwa menjawab sambil membuang muka.
Ouwyang Bouw tersenyum. "Kita sama-sama lihat saja apakah engkau akan dapat terus berkeras kepala, Adikku. Engkau menolak orang seperti aku? Ha-ha-ha, hendak memilih yang macam bagaimana? Lihat baik-baik, bukankan aku seorang pemuda yang tampan dan gagah?"
Melihat betapa Li Hwa tidak mau menoleh, Ouwyang Bouw lalu meloncat dekat dan sekali menotok, dia membuat Li Hwa tidak mampu menggerakkan lehernya lagi sehingga ketika mukanya dihadapkan kepada pemuda itu, dia tidak dapat membuang muka.
Terpaksa dia melihat pemuda itu bergaya di depannya, dengan senyum dibuat-buat dan dada diangkat. Bahkan pemuda itu kemudian menyelinap ke kamar lain dan pada saat muncul kembali, dia sudah mengenakan pakaian lain yang lebih mewah. Sampai tiga kali pemuda itu bertukar pakaian dan bergaya di hadapan Li Hwa seperti lagaknya seorang peragawan memamerkan pakaian.
"Lihat, bukankah aku tidak kalah tampan oleh para pangeran di istana? Banyak wanita yang tergila-gila kepadaku, akan tetapi aku hanya memilih engkau, Li Hwa! Aku cinta kepadamu dan kau sudah tahu akan kelihaian ilmuku."
Li Hwa mencibirkan bibirnya, sengaja memperlihatkan muka dan sinar mata mengejek dan memandang rendah.
"Apa engkau belum puas? Bukan hanya pakaianku saja yang membuat aku kelihatan tampan dan gagah, bahkan seluruh tubuhku pun tidak ada cacadnya! Nah, coba kau lihat baik-baik!" Pemuda yang sinting itu kini menanggalkan pakaiannya satu demi satu!
Tadinya Li Hwa mengira pemuda itu hanya hendak memamerkan bentuk tubuhnya yang memang tegap berotot. Akan tetapi matanya yang terbelalak itu kemudian dipejamkannya ketika tenyata bahwa pemuda itu menanggalkan seluruh pakaiannya, termasuk pakaian dalamnya sehingga pemuda itu berdiri telanjang bulat di depannya, hanya mengenakan sepatunya!
"Ha-ha-ha, engkau tidak tahan melihatku dan memejamkan mata? Bagus, kalau engkau tidak memejamkan mata, engkau tentu akan tergila-gila kepadaku!"
Dapat dibayangkan betapa ngeri dan jijik rasa hati Li Hwa menghadapi pemuda gila ini. Ketika sebelum dia memejamkan mata tadi dan melihat pemuda itu menanggalkan baju dalamnya, dia melihat dada yang telanjang, dan anehnya, begitu dia memejamkan mata, tampaklah dada telanjang dari Yuan de Gama! Lebih aneh lagi, muncul rasa rindu hatinya kepada Yuan, pemuda yang bersikap sopan santun kepadanya, menjadi kebalikan dari pemuda sinting ini. Tanpa disadarinya, dalam keadaan terancam seperti itu, dia kemudian membayangkan wajah Yuan dan hatinya menjeritkan nama pemuda asing itu!
Sambil tertawa-tawa Ouwyang Bouw mengenakan kembali pakaiannya lalu meninggalkan kamar setelah menyuruh beberapa orang penjaga melakukan penjagaan di luar kamar. Li Hwa ditinggalkan seorang diri di dalam kamar itu dan dia termenung, memutar otaknya mencari akal untuk dapat meloloskan diri dari tempat berbahaya ini.
Satu-satunya harapannya adalah gurunya. Gurunya sudah tahu akan bokor emas, sudah menerima laporan pengawal Tio Hok Gwan dan gurunya tahu pula bahwa dia sendirian melakukan penyelidikan. Gurunya tentu mengirim orang-orang pandai, mungkin Tio Hok Gwan sendiri, mungkin pula Pendekar Sakti Cia Keng Hong, untuk menyerbu Pulau Ular.
Dan saat itulah yang ditunggu-tunggunya, karena hanya itu yang mungkin akan memberi harapan baginya untuk lolos dari bahaya ini. Oleh karena itu Li Hwa juga tidak mengambil keputusan pendek sesudah dengan jelas dia melihat gelagat bahwa Ouwyang Bouw tak akan memperkosanya, melainkan hanya akan membujuknya supaya dia suka tunduk dan menyerahkan diri.
Kini dia dipindahkan ke dalam sebuah kamar tahanan. Belenggu kaki dan tangannya telah dilepaskan, akan tetapi sepasang kakinya diikat dengan rantai baja yang panjang, yang memungkinkan untuk bergerak dan berjalan di dalam kamar tahanan itu, akan tetapi tidak memungkinkan dia untuk melarikan diri. Juga kedua tangannya dibelenggu dengan rantai baja yang panjang.
Hanya rantai itu yang menyatakan bahwa dia menjadi tawanan. Akan tetapi selain dari rantai itu dia diperlakukan dengan amat baik, diberi kesempatan untuk mandi dan makan, bahkan para penjaga bersikap hormat kepadanya sebab dia dianggap sebagai calon isteri Ouwyang Bouw!
Sampai berhari-hari lamanya Li Hwa tidak mau tunduk dan selalu menyambut kedatangan Ouwyang Bouw ke kamarnya dengan caci maki. Selain ini, dia berlaku hati-hati sekali, selalu mempergunakan jarum peraknya untuk memeriksa setiap makanan dan minuman agar jangan sampai dia dipengaruhi racun.
Akan tetapi, ternyata bahwa usaha Ouwyang Bouw untuk menguasainya belum sampai sejauh itu. Ouwyang Bouw menghendaki agar wanita yang telah membuatnya tergila-gila itu benar-benar tunduk, bukan karena terpaksa akibat dipengaruhi racun atau karena dia perkosa. Dan kesabaran seorang glia seperti dia memang luar biasa sekali.
Tiga hari kemudian sejak Li Hwa ditangkap, sebuah perahu kecil meluncur cepat menuju ke Pulau Ular dari daratan Teluk Pohai. Di dalam perahu itu hanya ada seorang pemuda berkepala gundul yang bukan lain adalah Kun Liong.
Pemuda ini mulai dengan penyelidikannya untuk membantu Li Hwa yang dikabarkan telah terlebih dahulu melakukan penyelidikan. Kun Liong maklum betapa berbahayanya tempat tinggal orang-orang seperti Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong, karena itu dia sangat mengkhawatirkan keselamatan Li Hwa.
Dia mulai mencari Pulau Ular dan hari sudah malam ketika dia melihat bayangan pulau yang bentuknya seperti ular melingkar di atas batok di sebelah selatan itu, persis seperti penjelasan dan gambaran yang didapatkannya dari keterangan Cia Keng Hong sebelum dia berangkat.
Tiba-tiba Kun Liong terkejut. Hampir perahunya terguling ketika ombak mendadak datang bergelombang! Dan malam itu mendadak saja menjadi gelap, bintang-bintang yang tadi menghias angkasa kini lenyap tertutup awan hitam.
Wah, celaka! Benarkah datuk-datuk kaum sesat itu menggunakan ilmu hitam seperti yang didongengkan orang, sehingga sesudah perahunya mendekati Pulau Ular dia langsung diserang badai? Ilmu hitam atau bukan, dia harus berjuang melawan ombak yang datang bergulung-gulung!
Dia memegang dayungnya dan sejenak pemuda yang biasanya tabah ini menjadi bingung juga. Pulau tadi tak tampak lagi, tidak tampak pula dratan. Di sekelilingnya air menghitam dengan suara menderu-deru. Perahunya diombang-ambingkan ombak, arahnya tak tentu lagi.
Betapa pun tabahnya, Kun Liong menjadi gelisah. Selama ini, pengalamannya dengan air hanya di sepanjang Sungai Huang-ho, dan betapa pun lebar Sungai Huang-ho, tetapi bila dibandingkan dengan laut ini bukan apa-apa. Bagaimana kalau perahunya terguling? Dulu dia pernah hanyut di sungai. Baru hanyut di sungai saja sudah sulit sekali baginya untuk berenang ke tepi. Apa lagi sampai hanyut di laut!
Tiba-tiba saja tampak olehnya sinar api di depan. Terlambat dia mengetahui bahwa sinar itu adalah sinar lampu yang bergantungan pada sebuah perahu yang besar. Tahu-tahu di depannya muncul tubuh perahu besar sekali, seperti iblis lautan hendak melawannya.
"Heiii... di sini ada perahu.. minggir...!" Kun Liong menggunakan suara yang didorong oleh tenaga khikang yang amat kuat untuk berseru.
Suaranya melengking tinggi melawan gemuruh air laut yang bergelombang. Akan tetapi terlambat. Terdengar suara keras, perahunya pecah terguling dan dia sendiri terlempar ke dalam air!
"Heiiiiii...! Tolooongg, auuupp...!" Kun Liong gelagapan ketika mulutnya yang menjerit itu kemasukan air yang rasanya sampai pahit saking asinnya!
Dia menggerakkan kaki tangan dan terasa betapa tubuhnya ringan sekali sehingga lebih mudah baginya untuk mengambang di permukaan air. Ini pengalaman yang baru baginya karena dia tidak tahu bahwa air yang asin membuat tubuhnya lebih ringan, tidak seperti di air tawar.
Teriakan-teriakan Kun Liong yang amat nyaring tadi akibat didorong oleh tenaga khikang ternyata ada juga gunanya karena terdengar oleh mereka yang berada di atas perahu. Segera tampak beberapa sosok bayangan orang di langkan pinggir perahu, menjenguk ke bawah dan ada suara orang dalam bahasa asing. Kemudian tampak segulung tambang dilontarkan ke bawah.
Melihat ini, Kun Liong cepat menyambar tambang itu dan dengan gembira dia merasa betapa tubuhnya diseret, kemudian ditarik naik ke tubuh perahu. Beberapa pasang tangan membantunya naik.
Kun Liong duduk terengah-engah di atas dek perahu, tidak peduli kepada beberapa orang yang datang membawa lampu perahu yang bergoyang-goyang. Dia mengerahkan hawa di perut untuk mendorong keluar air laut yang membuat perutnya membusung. Beberapa kali dia muntahkan air laut sampai perutnya kosong kembali. Terlalu kosong sampai lapar! Barulah dia memperhatikan muka orang-orang yang merubungnya.
Muka-muka yang asing dan berkulit putih. Mata yang biru! Akan tetapi pandang matanya terpikat dan melekat pada sepasang mata biru indah yang... bukan main! Bulu matanya panjang, alisnya melengkung dan hidungnya mancung bukan main di atas sepasang bibir yang... bukan main! Baru sekarang Kun Liong menyaksikan kecantikan seorang wanita yang hebat dan aneh dan... khas. Tahulah dia bahwa wanita muda yang memandangnya dengan mata setengah terpejam itu adalah seorang wanita yang sebangsa dengan Yuan de Gama, akan tetapi cantik bukan main.
"Engkau siapakah? Kenapa malam-malam begini naik perahu kecil seorang diri? Apakah kau seorang nelayan?" Bibir yang merah manis itu menghujankan pertanyaan.
Kun Liong tidak dapat menjawab, terpesona oleh gerak bibir manis yang kadang-kadang memperlihatkan kilauan gigi putih tertimpa sinar lampu merah.
"Ahh, apakah bahasaku tidak jelas? Aku baru saja belajar bahasa pribumi, maafkan kalau kaku..."
"Aku mengerti semua, Nona. Bahasamu baik sekali... terima kasih... aku bukan nelayan, aku... aku sedang melancong..."
"Ha-ha-ha, melancong pada malam hari di atas perahu kecil di tengah laut! Bukan main anehnya bangsa pribumi!" Terdengar suara parau besar dan suara tertawa itu bergelak seperti gelora ombak gemuruh tidak terkekang.
Kun Liong menoleh dan melihat seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan berwajah tampan, namun rambutnya yang keemasan sudah mulai memutih di atas kedua telinga. Kumisnya tebal melintang di atas mulut dan sinar matanya lembut.
Mendadak terdengar seruan-seruan keras dalam bahasa asing, disusul jeritan beberapa orang wanita muda yang berlari mendatangi. Keadaan di atas perahu besar itu menjadi kacau balau. Dara jelita tadi bersama teman-teman perempuan lainnya lantas berlarian memasuki bilik perahu, sedangkan laki-laki setengah tua yang gagah tadi mengeluarkan suara memerintah. Anak buah perahu yang terdiri dari belasan orang laki-laki asing yang berkaos loreng, sibuk hilir-mudik di atas perahu.
Kun Liong merasa heran. Kini kesehatannya sudah pulih kembali dan dia bangkit berdiri. Sekarang keadaan di atas perahu itu terang benderang karena para anak buah perahu menyalakan banyak lampu yang digantungkan pada sekeliling perahu.
Kiranya di dekat perahu besar itu sekarang nampak muncul enam buah perahu kecil yang seperti iblis serentak bermunculan dari dalam gelap, dan di atas perahu-perahu kecil itu berdiri orang-orang yang memegang senjata golok dan pedang. Di setiap perahu terdapat tiga orang sehingga semuanya ada delapan belas orang.
Setelah perahu-perahu kecil itu menempel pada perahu besar seperti sekumpulan lintah, tampak tali-tali melayang dari bawah, pada ujungnya terdapat kaitan dan orang-orang itu segera memanjat ke atas, bahkan ada yang langsung meloncat dari perahu kecil ke atas perahu besar dengan gerakan ringan sekali.
"Hemmm, bajak-bajak laut," pikir Kun Liong dan cepat dia melangkah maju.
Cepat sekali para bajak itu sudah berada di atas perahu besar dan terjadilah perkelahian seru antara para bajak laut dan anak buah perahu. Kakek tua gagah perkasa itu pun ikut berkelahi. Dengan kedua tangan terkepal dia mengamuk.
Seorang bajak menyerangnya dengan golok. Kakek asing itu mengelak, akan tetapi bahu kirinya terserempet golok sehingga terluka. Tanpa pedulikan lukanya, kakek itu langsung menghantam dada bajak itu dengan kepalan tangan kanannya, sehingga membuat bajak itu terjengkang dan terbatuk-batuk.
Bajak ke dua sudah datang menyerbu, pedangnya diputar-putar di atas kepala, langsung membacok. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya menjadi kaku karena dari belakang dia sudah ditotok oleh Kun Liong. Pemuda ini lalu menarik lengan bajak itu dan sekali dia mengayun tangan, tubuh bajak itu terlempar ke luar perahu besar!
Selama hidupnya belum pernah dia melihat laki-laki telanjang dan kini dia melihat seorang laki-laki tinggi besar bertelanjang bulat dan berkelahi pula! Kalau saja mungkin, dia ingin menjauhkan pandang matanya dari tubuh bawah laki-laki telanjang itu, akan tetapi karena dia ingin pula melihat bagaimana kesudahan perkelahian itu, terpaksa dia menonton terus dan sedapat mungkin selalu menghindarkan pandang matanya dari bagian yang dianggap mendatangkan rasa malu luar biasa itu.
"Rajid... aku tidak mau bertanding melawanmu. Aku telah bersalah kepadamu, kau adalah sahabatku dan... dan Madhula..."`
"Tutup mulutmu!" Rajid membentak dan goloknya sudah menyambar lagi.
"Singgg...!"
Sinar menyilaukan mata dari golok itu agaknya tentu akan dapat membabat tubuh tinggi besar itu buntung menjadi dua kalau mengenai sasaran, akan tetapi Sanghida ternyata amat tangkasnya. Kini menghadapi penyerangan lawan yang memegang golok, biar pun tingkat kepandaiannya lebih tinggi, dia terpaksa harus mempergunakan kedua tangannya sehingga dia sama sekali tidak lagi dapat menutupi bagian tubuh bawahnya. Tentu saja hal ini mendatangkan penglihatan yang luar biasa lucu bagi para penonton pria, akan tetapi mendirikan bulu roma bagi Li Hwa!
"Rajid... maafkan aku...! Aku seorang laki-laki sejati, harus membela diri kalau diserang... dan kami... aku dan Madhula... kami melakukan hal itu tanpa kami sengaja..."
"Siuuutttt... plak! Plak!"
Sambil mengelak, Sanghida berhasil menampar lengan kanan Rajid sehingga sambaran golok menyeleweng dan tamparan ke dua mengenai pundak Rajid, membuat suami yang penuh cemburu dan kemarahan ini terhuyung pula.
"Sanghida…! Engkau atau aku yang harus mampus untuk mendapatkan Madhula!" Rajid membentak pula. "Kalau aku mati, kau boleh mengambil dia, kalau kau yang mati, dia harus kuhukum mampus pula!"
"Rajid...! Kau boleh membunuh aku, tapi jangan membunuh dia! Dia tak berdosa... seperti yang dikatakannya tadi, kami terkena racun perangsang... auuhhh...!" Tiba-tiba Sanghida terhuyung ke belakang dan Rajid menubruk ke depan, goloknya menyambar.
"Crapppp.... Aduuhhh...!"
Perut Sanghida terobek oleh golok, tubuhnya terjengkang dan darah muncrat keluar dari perut itu, diikuti oleh isi perut yang keluar dari luka lebar itu. Tubuh Sanghida berkelojotan, tetapi tidak lama karena Rajid telah membacokkan goloknya dua kali yang membuat leher lawannya putus!
Li Hwa melihat betapa Ouwyang Bouw tadi telah menyerang Sanghida dari jauh, dengan gerakan jari tangan dan tampak sinar merah kecil menyambar ke arah orang Nepal tinggi besar itu sehingga dia terhuyung lantas terkena bacokan golok Rajid. Tahulah Li Hwa bahwa memang Ouwyang Bouw sengaja ingin membunuh Sanghida dan mungkin sekali karena dia tidak suka mendengar rahasianya dibocorkan.
Li Hwa yang menjadi penonton tak diundang ini segera dapat menyimpulkan peristiwa itu. Jelas baginya bahwa memang agaknya semua ini sudah diatur oleh pemuda iblis itu.
Mungkin betul pula tuduhan Madhula yang cantik bahwa telah berkali-kali Ouwyang Bouw membujuk rayunya, akan tetapi selalu ditolak oleh isteri Rajid itu. Hal ini lantas membuat Ouwyang Bouw menjadi sakit hati dan dengan curangnya pemuda itu lalu menaruh racun perangsang ke dalam makanan atau minuman Sanghida dan Madhula sehingga terjadilah perjinahan di antara mereka, perjinahan di luar kesadaran mereka yang terpengaruh oleh racun, pada saat Rajid disuruh berjaga oleh Ouwyang Bouw. Tentu saja pemuda iblis ini sudah mengatur perangkapnya dan begitu kedua orang mabok itu melakukan perjinahan, dia menangkap basah mereka!
Semua orang yang menonton kelihatan puas dengan pertunjukan kekejaman ini, dan Li Hwa bergidik melihat wajah mereka yang seakan-akan haus darah dan kini semua mata ditujukan kepada tubuh telanjang Madhula laksana serombongan serigala kelaparan. Dia sedang berhadapan dengan orang-orang yang telah mati perasaan kemanusiaan mereka, manusia-manusia yang haus darah dan yang menganggap kekejaman merupakan suatu kesenangan yang mengasyikkan. Maka timbullah perasaan kasihan kepada wanita yang bernasib malang itu.
Li Hwa adalah seorang yang masih amat muda, maka tentu saja perasaannya amat halus dan mudah tersinggung. Ketika melihat peristiwa ini di depan mata, dia telah melupakan tugasnya, tugas sebagai seorang penyelidik yang ingin menyelidiki tentang bokor emas. Sekarang baginya yang terpenting hanyalah urusan yang terjadi di depan matanya, yaitu menolong Madhula!
Kelemahannya sebagai seorang muda inilah yang mengkhawatirkan hati Panglima The Hoo dan Pendekar Cia Keng Hong ketika mendengar bahwa dara itu pergi melakukan penyelidikan seorang diri, sungguh pun mereka juga tahu bahwa ilmu kepandaian dara itu sudah cukup tinggi untuk bekal penyelidikan berbahaya itu.
Madhula roboh telentang menyaksikan kematian Sanghida yang demikian menyedihkan. Dia tidak mencinta laki-laki tinggi besar itu. Dia mencinta suaminya, dan karena cintanya ini pula maka tidak seperti kaum wanita lainnya di pulau itu yang bahkan mengharapkan rayuan Ouwyang-kongcu, dia menolak godaan pemuda itu.
Akan tetapi dia pun tahu kini bahwa Sanghida mencintanya. Sahabat baik suaminya dan dia itu sesungguhnya mencintanya, dan kini menjadi korban karena kelicikan Ouwyang Bouw. Semua mata para penonton kini dapat berpesta pora dan melahap tubuh wanita cantik yang telentang polos itu, tidak terlindung lagi oleh kedua lengannya.
"Perempuan hina ini pun harus mampus!" Rajid yang bagaikan kemasukan setan karena dendam dan cemburu segera mengangkat goloknya membacok ke arah tubuh isterinya yang biasanya merupakan sebuah benda hidup yang paling disayangnya di dunia ini.
"Singg... tringggg…!"
Golok itu terlempar ketika terbentur oleh sebuah batu kecil yang dilemparkan oleh tangan Ouwyang Bouw. Melihat ini, Li Hwa menjadi kagum dan maklumlah dia bahwa pemuda itu merupakan lawan yang tak lemah!
"Ehh... Ouwyang-kongcu... kenapa...?" Rajid memandang pemuda itu dengan mata penuh penasaran.
"Heh-heh, sabarlah, Rajid. Memang dia harus dihukum, akan tetapi hukuman seperti yang hendak kau lakukan itu kurang menarik. Pokoknya engkau menghendaki dia mati, bukan? Nah, biarlah dia dihukum dengan caraku dan panggil semua wanita ke sini agar mereka ikut menyaksikan pula betapa berat hukuman bagi mereka yang berani melanggar hukum kami di sini!"
Rajid mengangguk-angguk dan beberapa orang laki-laki sudah berlari memanggil semua wanita yang berada di pulau itu. Hanya ada dua puluh orang wanita tua dan muda yang datang ke situ dengan muka pucat. Para suami merasa girang, dengan hal ini mengharap isteri-isteri mereka takut dan tidak berani berjinah dengan laki-laki lain. Akan tetapi, para wanita yang memandang dengan muka pucat itu mempunyai pengertian lain pada waktu mendengar kata-kata Ouwyang-kongcu.
"Kalian lihatlah. Beginilah nasib wanita yang berani melanggar hukum kami di sini!" kata Ouwyang-kongcu sesudah menyuruh Rajid mengikat tubuh telanjang Madhula di sebuah tiang, diikat kaki serta tangannya pada tiang itu sehingga tubuh bagian depannya tampak nyata, sedikit pun tidak terlindung, kecuali rambut hitam panjang terurai yang sebagian menggantung ke depan. Para wanita itu dapat mengerti bahwa yang dimaksudkan oleh Ouwyang-kongcu, hukuman ini akan jatuh menimpa wanita yang berani menolak majikan muda itu!
Ouwyang Bouw yang agak miring otaknya itu memang mempunyai kegemaran yang aneh dan mengerikan. Dia sudah tergila-gila oleh wanita, baik cantik mau pun tidak cantik. Dia pernah tergila-gila oleh seorang wanita nenek-nenek, bahkan pernah pula dia tergila-gila pada seorang anak perempuan yang masih kecil! Dan mereka semua harus menyerahkan diri kepadanya!
Dia sama sekali tidak pernah memperkosa, dia tak mau memperkosa wanita. Akan tetapi dia mempunyai cara lain untuk membuat setiap orang wanita tunduk kepadanya dan mau menyerahkan diri, yaitu dengan ancaman dan bayangan penyiksaan yang mengerikan.
Hampir semua wanita, besar kecil, tua muda yang menyerah kepadanya tentu didorong oleh rasa takut dan ngeri, bukan secara suka rela karena biar pun wajahnya tampan dan tubuhnya menarik, namun sikap pemuda ini terang menunjukkan gejala otak miring yang mendatangkan rasa ngeri dan menjijikkan!
Madhula masih pingsan pada saat Ouwyang-kongcu mengeluarkan sebatang suling kecil yang panjangnya hanya dua jengkal. Mulailah pemuda itu menyuling. Suara suling yang melengking dengan nada tinggi membuat Li Hwa terkejut karena dia maklum bahwa suara melengking yang menggetar itu mengandung tenaga khikang yang kuat sekali.
Dia melihat betapa semua penonton sekarang berkumpul di belakang Ouwyang-kongcu, seakan-akan menanti sesuatu dengan penuh ketegangan. Ada pun tubuh Madhula yang diikat pada tiang itu pun menghadap kepada mereka, sedangkan mayat Sanghida yang berlumuran darah menggeletak tak jauh diri kaki Madhula.
Sebelum ular itu tiba, Li Hwa sudah dapat menduga dengan hati diliputi penuh kengerian bahwa suara dari suling yang ditiup pemuda iblis itu tentulah merupakan tanda panggilan kepada ular-ularnya. Hal ini tidak sulit diduga karena pertama, pemuda itu adalah putera Si Raja Ular! Ke dua, mereka berada di Pulau Ular, dan memang biasanya para ahli ular mengundang ular-ular mereka dengan suara melengking tinggi, biasanya suara suling.
Memang tepat dugaan Li Hwa. Akan tetapi ketika ular-ular itu datang, biar pun dia sudah menduganya, dia menjadi kaget bukan main karena tidak menyangka bahwa yang datang demikian banyaknya! Rombongan demi rombongan ular berdatangan dari empat penjuru, dan warna kulit mereka pun berbeda-beda, ada yang hitam kemerah-merahan, ada yang hijau, kuning, dan ada yang belang-belang. Biar pun Li Hwa tidak mengenal banyak ular, namun dia dapat menduga bahwa ular-ular itu tentulah ular berbisa yang amat berbahaya.
Ular-ular yang lewat di dekat Ouwyang-kongcu dan anak buahnya kelihatan takut seperti menghadapi api, dan binatang yang merayap dekat cepat menyingkir lantas mengambil jalan memutar. Sesudah ular-ular itu tiba di tempat itu, Li Hwa hampir tidak kuat melihat lebih lama lagi.
Ular-ular yang mendesis-desis itu kini berebut menyerang mayat Sanghida, melahap dan merobek-robek mayat itu sehingga mayat itu seperti hidup kembali karena bergerak-gerak ke sana sini, seperti berkelojotan. Hanya dalam waktu sebentar saja habislah semua kulit, daging serta isi perut mayat itu, tinggal rangka yang kering, tanpa ada setetes pun darah yang tampak karena semua telah dijilat habis!
Kini ular-ular itu mulai merayap ke arah Madhula, dan wanita ini pun baru saja siuman dari pingsannya. Dengan mata terbelalak ia sempat melihat betapa potongan-potongan daging terakhir dari Sanghida dibuat perebutan ular-ular itu. Ia pun maklum akan nasibnya, akan tetapi betapa pun ia berusaha untuk memejamkan kedua matanya menerima maut, kedua mata itu malah selalu terbelalak dan kembali memandang ke arah ular-ular yang sedang merayap-rayap di sekelilingnya.
Ular-ular itu adalah ular-ular kecil, paling besar dua kaki panjangnya dan jumlahnya ada empat puluh ekor lebih, menggeliat-geliat seperti sekumpulan cacing, akan tetapi tak ada yang berani menyerang Madhula, agaknya menunggu ‘perintah’ suara suling yang masih terus melengking sejak tadi.
Memang benar demikian. Ular-ular itu seolah-olah bergerak menurut getaran suara suling dan tiba-tiba suara suling itu berubah merendah. Ular-ular itu kelihatan gelisah, kemudian seekor demi seekor, ular-ular itu pergi meninggalkan tempat itu hingga membuat semua penonton menjadi heran.
"Mengapa dia tidak dihukum?" Rajid membanting kaki dan memandang penasaran.
Ouwyang Bouw telah melepas sulingnya dan sambil memandang ke arah tubuh Madhula dia lalu berkata, "Kurang menarik apa bila ular-ular kecil yang sudah kenyang itu disuruh mengeroyok. Dia yang sudah mau berjinah dengan Sanghida, tentu takkan puas dengan ular-ular kecil itu. Kau lihatlah saja." Sambil berkata dia lalu menempelkan lubang suling di depan bibirnya.
Kini terdengar lengking suara suling yang berbeda dari tadi. Suaranya naik turun dengan nada rendah, namun mengandung getaran yang amat kuat sehingga para penonton ada yang kelihatan menggigil kedua kakinya.
Tak lama kemudian terdengarlah suara mendesis-desis. Li Hwa terkejut dan memandang ke bawah. Seekor ular yang sangat besar sedang merayap lewat di bawah pohon. Dia menggigil jijik. Ulat ini berkulit hitam kehijauan, sepasang matanya seperti mata manusia, lidahnya merah menjilat-jilat keluar, besar tubuhnya sama dengan pahanya, sedangkan panjangnya ada sepuluh kaki!
Madhula juga telah melihat ular itu dan wanita ini lantas mengeluarkan rintihan panjang, mukanya makin pucat dan matanya terbelalak, penuh kengerian. Suara suling menuntun ular itu mendekat dan terdengarlah suara berbisik orang-orang yang menonton karena tegang dan tertarik ketika melihat betapa dengan perlahan ular besar itu mendekati tiang di mana tubuh Madhula terikat.
Ular itu mendesis-desis, lidahnya yang merah semakin sering menjilat-jilat. Melihat bentuk mulutnya yang besar agaknya dia akan sanggup menelan tubuh wanita Nepal itu! Suara suling makin meninggi dan kini moncong ular mulai naik dan lidah itu mulai menjilati kaki yang telanjang.
Madhula mengeluarkan suara rintihan pada saat merasa betapa ular mulai merayap naik melalui betisnya! Semua penonton menahan napas, mata mereka memandang melotot seperti hendak meloncat keluar dari pelupuknya.
Para penonton menelan ludah penuh nafsu birahi dan gairah saat suara rintihan Madhula makin sering dan ular itu mentaati suara suling, kini merayapi seluruh tubuh telanjang itu, membelit-belit hingga tampak seolah-olah ular itu membelai-belai tubuh Madhula seperti hendak mengajak wanita itu bermain cinta. Makin hebat suara suling yang ditiup Ouwyang Bouw, semakin cepat ular itu bergerak-gerak, mengeliat-geliat menyelusuri seluruh tubuh Madhula yang kini telah memejamkan mata dan merapatkan kedua bibirnya, sama sekali tidak bersuara lagi.
Li Hwa menunggu saat baik dan ketika kepala ular itu kebetulan merayap naik dan lebih tinggi dari kepada Madhula, tangan kirinya bergerak dan tampaklah sinar perak meluncur ke arah kepala ular itu. Ular itu menggerakkan kepala seperti gila, berkelojotan dan tanpa disengaja dia mempererat belitannya pada tubuh Madhula.
Kembali ada sinar perak menyambar dan kepala ular yang sudah ditembusi dua batang jarum perak itu terkulai, tubuhnya perlahan-lahan melepaskan belitan. Akan tetapi betapa kagetnya hati Li Hwa ketika dia melihat darah bertetesan dari kedua bibir Madhula yang dirapatkan. Dia cepat meloncat turun dari atas pohon sambil berteriak,
"Ouwyang Bouw manusia iblis yang kejam!"
Ouwyang Bouw sudah meloncat bangun. Semua pembantunya yang tadi terheran-heran melihat ular itu menghentikan permainannya bahkan lalu berkelojotan di bawah, kini juga marah dan sudah siap untuk mengeroyok orang yang menjadi pengacau. Namun ketika mereka melihat seerang dara yang sangat cantik jelita melayang turun dari atas pohon, mencabut pedang dan membabat putus belenggu kaki tangan Madhula, mereka menjadi tercengang dan memandang kagum!
Madhula membuka mata, membuka mulut, akan tetapi tidak ada kata-kata yang keluar karena begitu mulutnya dibuka, darah menyembur keluar dan dengan penuh kengerian Li Hwa maklum bahwa wanita itu telah menggigit putus lidahnya sendiri!
Dalam keadaan ngeri dan tersiksa, Madhula mengambil keputusan nekat, membunuh diri dengan menggigit lidahnya. Lidah itu putus di tengahnya, dan tak mungkin jiwanya dapat tertolong lagi, apa lagi karena dia telah mengeluarkan banyak sekali darah yang tadi dia paksa menelan darahnya sendiri agar jangan sampai Ouwyang-kongcu menyelamatkan nyawanya.
Melihat keadaan wanita itu, Li Hwa yang masih memeluk tubuh yang terguling sesudah belenggunya terlepas, perlahan-lahan menurunkan tubuh Madhula. Tubuh itu lemas dan orangnya sudah tidak ingat apa-apa lagi, darah terus mengalir keluar dari lidahnya yang buntung. Madhula dalam sekarat, seperti juga tubuh ular yang sekarat, hanya bedanya, kalau tubuh Madhula sama sekali tidak bergerak, tubuh ular itu berkelojotan, menggeliat-geliat dan darah mengalir keluar dari dua lubang kecil di antara kedua matanya.
Ouwyang Bouw tadi juga merasa amat terkejut. Gadis cantik itu telah dapat menyelundup ke dalam pulau tanpa ada yang tahu, bahkan telah berada di atas pohon tanpa dia sendiri mengetahuinya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa dara cantik itu tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Apa lagi ketika dibuktikannya dengan membunuh ularnya menggunakan jarum, ini menjadi tanda pula bahwa dalam hal penggunaan senjata rahasia jarum dara itu belum tentu kalah lihai olehnya yang juga mahir menggunakan senjata rahasia jarum kecil merah yang amat berbisa.
Akan tetapi, kini Ouwyang Bouw telah dapat menguasai rasa kagetnya. Kedua matanya terputar-putar menggerayangi seluruh tubuh Li Hwa dan dia tertegun penuh kekaguman. Seorang dara yang masih muda, seorang perawan yang amat jelita, akan tetapi juga amat gagah perkasa! Begitu melihat Li Hwa, sekaligus hati Ouwyang Bouw telah jatuh!
Selama petualangannya dengan wanita dari segala macam bentuk dan usia, dia merasa belum pernah dia memperoleh seorang dara muda seperti yang kini berdiri di hadapannya dengan sikap gagah perkasa itu! Dan dia harus memperolehnya, dengan cara bagaimana pun juga!
"Aihh, harap Nona sudi memaafkan kami yang tidak tahu akan kedatangan seorang tamu agung seperti Nona sehingga tidak mengadakan penyambutan sebagaimana layaknya!" Ouwyang Bouw berkata sambil melangkah maju dan memberi hormat dengan menjura dan mengangkat kedua tangan di depan dada.
Diam-diam Li Hwa merasa terkejut dan terheran. Tak disangkanya bahwa pemuda yang disohorkan sebagai seorang iblis muda yang kejam dan gila ini ternyata pandai bersikap demikian sopan-santun seperti seorang terpelajar dan bersusila!
Terseret oleh sikap yang demikian hormat, otomatis dia pun mengangkat kedua tangan, membalas penghormatan. Teringat akan hal ini, dia terkejut dan cepat-cepat menurunkan lagi tangannya. Diam-diam dia maklum betapa berbahaya dan lihainya pemuda ini yang dengan gerak dan kata-kata sudah dapat menyeretnya!
"Aku Souw Li Hwa bukan tamu dan tidak mengharap sambutan. Akan tetapi menyaksikan kekejaman yang biadab tadi, aku tidak mungkin mendiamkannya saja. Bukankah engkau yang disebut Ouwyang Bouw, pemuda iblis yang gila?"
Walau pun anak buahnya sudah mengeluarkan suara marah, Ouwyang Bouw tersenyum saja mendengar makian ini, bahkan memandang semakin kagum dan sesaat kedua bola matanya seperti lupa untuk berputaran seperti biasa.
"Dugaanmu benar, Nona Souw Li Hwa. Aku adalah Ouwyang Bouw, majikan muda dari Pulau Ular ini, dan aku merasa senang sekali dapat berkenalan denganmu. Bolehkah aku mengetahui apa sebenarnya kehendak Nona memberi kehormatan kepada kami dengan mengunjungi pulau ini?"
Ditanya demikian, barulah Li Hwa teringat kemudian terkejut. Celaka! Rusaklah usahanya menyelidiki bokor emas yang katanya telah dibawa ke pulau itu! Akan tetapi karena sudah terlanjur, maka dia lalu membentak, "Cih! Siapa sudi berkenalan denganmu? Aku datang ke sini hendak membunuhmu dan membersihkan pulau ini dari iblis-iblis semacam kalian dan ular-ular jahat!"
"Hayaaa...! Dari manakah datangnya nona cantik yang sombong ini?" Tiba-tiba terdengar seruan orang dan muncullah dua orang kakek yang dipandang oleh Li Hwa dengan penuh perhatian.
Yang berseru tadi adalah seorang kakek tua berusia enam puluhan tahun, tubuhnya tinggi sekali, tinggi kurus dengan leher panjang sehingga kalau dia bergerak-gerak, tubuhnya kelihatan seperti seekor ular. Matanya sipit memandang tajam penuh selidik dan melihat kakek kurus itu, hati Li Hwa tidak ragu lagi menduganya bahwa tentu kakek inilah Si Raja Ular Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok.
Ada pun kakek ke dua adalah seorang kakek yang lebih tua lagi, tujuh puluh tahun lebih usianya, juga tubuhnya tinggi kurus. Kakek ini tidak berkata-kata, hanya terbatuk-batuk. Rambutnya tidak terpelihara, panjang dan penuh uban, juga jenggot dan kumisnya tidak terpelihara. Karena pakaiannya sederhana, kakek ini makin kelihatan jorok (kotor).
Diam-diam Li Hwa menduga dengan hati penuh ketegangan bahwa tentu kakek ini yang disebut datuk sesat nomor satu Toat-beng Hoatsu. Tahulah dia bahwa dia telah dikurung oleh orang-orang jahat yang berlimu tinggi, namun sedikit pun hatinya tidak merasa takut, bahkan dia tidak mau berpura-pura lagi. Maka dengan sikap gagah dan suara lantang dia bertanya,
"Apakah kalian berdua orang tua Ban-tok Coa-ong dan Toat-beng Hoatsu?"
"Hemmm, bocah sombong. Engkau sudah mengenal kami. Siapakah engkau dan engkau yang masih amat muda dan cantik ini mengapa hendak membunuh diri dengan lancang memasuki Pulau Ular tanpa ijin?" kata Ban-tok Coa-ong, suaranya mengandung ancaman karena kakek ini telah menjadi marah sekali.
Apa bila ada orang luar berani memasuki pulaunya tanpa ijin, hal itu selain merupakan pelanggaran yang harus dihukum mati, juga merupakan penghinaan kepadanya karena menunjukkan bahwa Si Pelanggar itu memandang rendah kepadanya.
"Ayah, Nona ini bernama Souw Li Hwa, cantik jelita dan gagah perkasa. Ayah, sekarang aku mengambil keputusan untuk menikah. Bukankah Ayah sering mengatakan bahwa aku sudah cukup dewasa untuk menikah dan bahwa Ayah ingin sekali menimang cucu? Ayah, dia itulah calon isteriku!"
Mendengar ucapan yang jelas membayangkan kegilaan ini, Li Hwa menjadi marah bukan main. Dia melangkah maju, menudingkan telunjuk kirinya kepada Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong lalu membentak, "Ban-tok Coa-ong, aku mendengar bahwa engkau dan Toat-beng Hoatsu sudah merampas bokor emas, maka aku datang untuk minta kembali bokor emas itu. Mungkin saja Suhu akan suka mengampuni kalian apa bila kalian mau mengembalikan pusaka itu secara baik-baik kepadaku. Kalian tahu, kalau Suhu marah dan mendengar kalian tidak mau mengembalikan benda pusaka milik Suhu itu, kemana pun kalian hendak melarikan diri dan bersembunyi, akhirnya kalian tentu akan menerima hukuman dari Suhu."
Mula-mula Ban-tok Coa-ong marah sekali mendengar ucapan nona itu yang dianggapnya sombong. Akan tetapi ketika mendengar kalimat-kalimat selanjutnya, dia dan Toat-beng Hoatsu terkejut.
"Kau... kau murid The Hoo?" Toat-beng Hoatsu bertanya dengan alis berkerut dan hati masih ragu-ragu. The Hoo adalah seorang panglima besar yang sangat terkenal sebagai seorang yang memiliki kesaktian hebat. Benarkah dara jelita yang muda ini muridnya?
"Panglima Besar The Hoo adalah guruku dan aku menerima tugas dari Suhu untuk minta kembali bokor emas yang terjatuh ke tangan kalian." Li Hwa menjawab dengan suara lantang.
Muka Ban-tok Coa-ong berubah merah. "Bagus, kau kira aku mudah menyerahkan begitu saja? Bocah lancang yang sombong, jangan kau mempergunakan nama The Hoo untuk menakut-nakuti Ban-tok Coa-ong!"
"Wuuuuttt...!"
Angin keras yang dahsyat menerjang ke arah Li Hwa ketika tahu-tahu kakek bertubuh ular itu telah menyerangnya. Kedua kakinya masih tidak bergeser, akan tetapi tubuh atasnya melengkung dan kedua tangannya dengan jari terbuka mencengkeram ke arah dara itu. Panjang tubuh disambung lengan cukup untuk menjangkau dan mencapai tubuh Li Hwa.
"Ayah, jangan lukai calon isteriku!" Ouwyang Bouw berseru.
Akan tetapi, betapa pun lihai serangan itu, dengan mudah saja Li Hwa mengelak dengan gerakan cekatan sekali, kemudian lengannya bergerak, tangannya mengebut ke samping mengenai lengan tangan kanan kakek itu.
"Plakkk!"
Walau pun Li Hwa harus meloncat ke belakang karena pertemuan tenaga itu membuat lengannya tergetar, akan tetapi juga kakek Raja Ular itu merasa betapa kulit lengannya panas, tanda bahwa dara muda itu benar-benar memiliki kepandaian hebat dan tenaga sinkang yang kuat!
Dengan marah dan penasaran sekali, tanpa mempedulikan seruan puteranya, Ouwyang Kok sudah hendak menerjang lagi. Akan tetapi Toat-beng Hoatsu segera mendekatinya dan membisikkan siasatnya,
"Tunggu... dia merupakan sandera yang baik dan berharga sekali... mungkin dapat ditukar dengan bokor...!"
Mendengar ini, Ban-tok Coa-ong menghentikan gerakannya hendak menyerang, lantas dengan wajah berseri kakek ini menghadapi Li Hwa dan berkata lantang "Nona Souw Li Hwa. Engkau sanggup menghindarkan seranganku, hal ini saja sudah membuat engkau cukup berharga untuk bicara denganku. Engkau mengaku murid The Hoo, dan puteraku jatuh cinta kepadamu. Semua itu baik-baik saja, akan tetapi engkau harus diuji lebih dulu apakah benar engkau murid The Hoo dan apakah engkau cukup berharga untuk menjadi mantuku, ha-ha-ha!"
Kakek Raja Ular itu menggapai kepada seorang Nepal yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa dan kumis jenggotnya lebat sekali sehingga hampir menutupi seluruh mukanya, sambil berkata, "Maju dan lawanlah nona ini!"
Orang Nepal itu menyeringai sehingga tampaklah giginya yang besar-besar, dan dengan sikap jumawa sekali dia melangkah ke dalam lapangan itu menghadapi Li Hwa. Sengaja dia mengerahkan tenaga pada kedua kakinya hingga langkahnya seperti langkah gajah, membuat tanah tergetar setiap kali dia membanting kakinya!
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Li Hwa mendengar ucapan Ban-tok Coa-ong tadi. Ucapan itu dianggap amat menghinanya, akan tetapi karena dia pun cukup maklum bahwa dia berada di sarang harimau dan menghadapi banyak lawan pandai, dia tidak mau terseret oleh kemarahannya.
Gurunya pernah mengatakan kepadanya bahwa dalam menghadapi lawan tangguh, yang terpenting sekali adalah sikap tenang dan sikap tenang ini akan rusak bila membiarkan diri dikuasai oleh pikiran yang mendatangkan kemarahan, ketakutan, atau kesombongan. Maka kini menghadapi raksasa Nepal itu, dia bersikap tenang, sedikit pun tidak merasa takut, juga tidak memandang rendah dan sama sekali bebas dari kemarahan.
Dengan sikapnya yang tenang ini, dia dapat memandang tajam dan segera dapat melihat bahwa lawannya adalah orang yang memiliki tenaga kasar yang amat kuat, dan otot-otot yang menggembung di seluruh tubuh raksasa ini sudah terlatih. Namun, sekilas pandang saja Li Hwa sudah dapat menduga kelemahan lawan ini yaitu kelambanan gerak sehingga dia sudah tahu bahwa untuk mengalahkannya dia harus mengandalkan kecepatannya.
Dengan pikiran ini, tanpa memberikan kesempatan kepada lawan untuk menyerangnya, Li Hwa sudah menerjang maju dan mengirim dua kali pukulan beruntun ke arah dada dan lambung. Gerakannya cepat bukan main karena dara ini telah mempergunakan jurus Ilmu Silat Jit-goat Sin-ciang-hoat. Dua pukulan yang dilakukan kedua tangan itu mengandung dua macam tenaga keras dan lembut, akan tetapi keduanya amat berbahaya karena yang keras dapat meremukkan tulang, dan yang lembut dapat merusak urat syaraf!
"Plakk! Blukk!"
Li Hwa terkejut bukan main karena kedua pukulannya, baik yang mengandung tenaga Yang-kang (keras) mau pun Im-kang (lembut) telah bertemu dengan kulit dada dan kulit lambung yang kerasnya seperti baja! Tidak disangkanya sama sekali bahwa raksasa itu memiliki tubuh yang kebal dan kuat bukan main. Dan lebih-lebih kagetnya ketika tiba-tiba kedua lengannya telah ditangkap oleh raksasa itu dan dengan tenaga yang seperti tarikan gajah, tubuh Li Hwa telah diangkat ke atas!
"Jangan bunuh dia...!"
Bentakan Ouwyang Bouw itu dijawab dengan suara tertawa bergelak oleh raksasa Nepal itu yang cepat melontarkan tubuh Li Hwa ke atas kemudian sambil bertolak pinggang dia tertawa-tawa menanti turunnya tubuh itu. Dia jelas bendak mempermainkan tubuh dara itu seperti sebuah bola yang dilempar-lemparkan ke atas!
Li Hwa sudah menggunakan ginkang-nya. Ketika tubuhnya meluncur ke atas seperti anak panah meluncur, cepat dia berjungkir balik sampai lima kali untuk mematahkan tenaga luncuran itu, kemudian melayang turun. Dari atas dia melihat betapa lawannya sudah siap menyambutnya dengan kedua lengannya yang berbulu dan kuat sekali itu, kedua lengan yang telah dikembangkan dan diacungkan ke atas. Sudah terdengar pula suara lawannya tertawa bergelak.
Li Hwa maklum bahwa kalau dia tidak dapat merobohkan lawan dari atas, dia akan tak berdaya sama sekali begitu tubuhnya tertangkap oleh kedua tangan yang kuat itu. Untuk mempergunakan jarum peraknya, dara ini tidak sudi karena hal itu berarti bahwa dia jeri menghadapi lawan dengan terbuka. Pula, dengan kehadiran dua orang datuk kaum sesat itu, menggunakan senjata rahasia pun takkan ada gunanya. Maka dia lalu menggunakan akal dan sengaja membuat tubuhnya melayang turun seperti seorang yang tidak berdaya dan ketakutan.
"Ha-ha-ha, Nona manis, marilah kita main-main!" Orang Nepal itu berkata dengan logat bicaranya yang kaku.
Ketika tubuhnya sudah meluncur dekat, tiba-tiba Li Hwa membalik, kepalanya di bawah dan sepasang tangannya seperti seorang yang kebingungan hendak mencari pegangan, akan tetapi begitu kedua tangan raksasa itu menangkap pinggang dan pundaknya, Li Hwa sudah menggerakkan kedua jari telunjuknya untuk menotok ke arah pundak dan tengkuk.
"Cusss! Cusss!"
"Auggghhh...!"
Tubuh raksasa itu segera terguling dan cengkeraman kedua tangannya terlepas. Dia telah terkena serangan Ilmu Menotok Jalan Darah It-ci-san yang amat lihai. Biar pun tubuhnya kebal, namun totokan satu jari yang amat hebat itu dengan tepat sudah mengenai jalan darahnya sehingga untuk sesaat tubuhnya seperti lumpuh yang menyebabkan tubuhnya terguling.
Kesempatan ini tidak dibiarkan lewat begitu saja oleh Li Hwa. Jari-jari tangan kirinya cepat menjambak rambut panjang lawannya, kemudian dengan pengerahan tenaganya, tubuh itu ditariknya ke atas dan tangan kanannya yang dimiringkan lantas menghantam ke arah tengkuk.
"Krekkkk!"
Tubuh itu terkulai dan raksasa Nepal itu roboh pingsan! Semua orang yang menonton pertandingan itu terbelalak, sama sekali tak mengira bahwa raksasa Nepal yang terkenal hebat dan amat kuat itu roboh hanya dalam dua tiga gebrakan saja!
"Tidak salah lagi, dia murid The Hoo...!" Toat-beng Hoatsu berkata lirih.
Ban-tok Coa-ong mengangguk. "Benar, tadi tentu It-ci-san yang terkenal dari The Hoo..."
Ban-tok Coa-ong kini menggapai kepada seorang Han yang tubuhnya pendek kecil, amat kurus seperti rangka hidup, mukanya pucat dan sepasang matanya yang cekung itu amat mengerikan.
"Pek-mo (Iblis Putih), tangkap dia!"
Laki-laki bermuka pucat yang usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih itu mengangguk, mengeluarkan suara rintihan panjang seperti orang menangis dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah mencelat ke depan Li Hwa, matanya yang cekung bersinar mengerikan dan ketika mulutnya meringis, ternyata di dalam mulutnya tidak terdapat gigi sepotong pun!
Li Hwa memandang penuh perhatian. Keadaan tubuh orang ini benar-benar merupakan kebalikan dari keadaan raksasa Nepal tadi. Apa bila raksasa Nepal tadi membayangkan kekuatan dahsyat, orang ini sebaliknya terlihat seperti seorang berpenyakitan yang sudah berdiri di ambang kuburan. Kelihatan sangat lemah dan agaknya hembusan angin yang agak besar saja sudah akan cukup untuk merobohkannya.
Akan tetapi Li Hwa tidak tertipu oleh keadaan luar, dan dia sudah dapat menduga bahwa orang yang kecil bagaikan mayat hidup ini tentulah memiliki kepandaian yang tinggi dan mempunyai tenaga sinkang yang kuat. Baru caranya meloncat ke depan tadi saja sudah membuktikan betapa Si Mayat Hidup ini mempunyai kegesitan yang tak boleh dipandang ringan! Karena itu, tanpa menanti gerakan lawan, tanpa sungkan-sungkan lagi dia sudah menerjang ke depan dan menyerang Si Mayat Hidup itu dengan totokan-totokan maut!
Orang kurus kecil itu mengeluarkan pekik menyeramkan, kemudian tubuhnya bergerak dan bersilat dengan cara yang aneh tetapi gesit sekali. Bagaikan gerakan seekor monyet, orang itu dapat menghindarkan totokan-totokan Li Hwa dan membalas dengan serangan yang berupa cengkeraman-cengkeraman.
Yang hebat, bila tadi jari tangannya kelihatan biasa, kini jari tangan itu menjadi bertambah panjang oleh kuku-kukunya! Ternyata orang itu memiliki kuku-kuku jari yang aneh, yang dapat digulung dan apa bila diperlukan, dengan kekuatan sinkang-nya, kuku yang tadinya bergulung itu dapat menegang sehingga panjang setiap kukunya tak kurang dari sepuluh senti!
"Brettt...!"
"Aihhhhh...!"
Li Hwa menjerit kaget ketika ujung bajunya kena dicakar dan robek. Hal ini adalah karena dia tidak mengira bahwa kuku jari itu dapat memanjang maka ketika cengkeraman lawan dapat dielakkan, kuku-kuku yang memanjang itu masih mampu mencakar ujung bajunya. Untung bukan kulit lambungnya yang kena dicakar!
Marahlah Li Hwa. Sekarang dia tahu bahayanya lawan ini, maka dia cepat menggerakkan tubuhnya dan memainkan jurus-jurus pilihan dari Jit-goat Sin-ciang-hoat yang sukar dicari tandingannya itu. Gerakan dua tangannya yang menyerang terisi dengan tenaga Im-yang Sinkang, dan kadang-kadang pukulannya dicampur dengan It-ci-sian dan mengarah jalan darah yang berbahaya.
Ternyata bagi Li Hwa bahwa lawannya ini hanya kelihatannya saja sangat menyeramkan dan berbahaya. Padahal ilmu silatnya hanyalah ilmu silat golongan hitam yang tampaknya saja berbahaya akan tetapi tidak memiliki dasar yang kuat. Kalau berhadapan dengan ahli silat biasa, tentu Si Mayat Hidup ini merupakan lawan yang berbahaya sekali dan setiap serangannya dapat mendatangkan maut. Akan tetapi terhadap dia yang sudah menerima gemblengan seorang sakti seperti The Hoo, segera dara ini dapat melihat kelemahannya.
Setelah bertanding selama tiga puluh jurus, tiba-tiba saja Li Hwa mengerahkan khikang, membentak keras sekali. Bagai kitiran angin kedua kakinya lantas melakukan tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh) hingga lawannya merintih panjang dan terpaksa mengelak ke kanan kiri untuk menghindarkan tendangan bertubi-tubi yang berbahaya itu. Tiba-tiba tangan kiri Li Hwa bergerak dari atas, dikebutkan ke arah pundak lawan.
"Krekkk!"
Si Mayat Hidup mengeluh, lantas sebuah tendangan tepat mengenai pinggulnya sehingga tubuh yang ringan itu terlempar sampai empat meter dan terbanting roboh. Di sana dia merintih karena tulang pundaknya terlepas dan pinggul yang tidak berdaging itu menjadi biru!
Terdengar orang bersorak. Kiranya Ouwyang Bouw yang bersorak. "Hidup calon isteriku yang perkasa!" Dia berlari menghampiri Li Hwa dan menjura dengan hormat. "Terimalah rasa kagum dan hormatku, Nona Souw calon isteriku yang cantik dan gagah perkasa!"
Biar pun dia sudah menjaga diri agar tidak terserang marah, menghadapi pemuda ini, naik juga darah Li Hwa. Mukanya menjadi merah, dua matanya mendelik mengeluarkan sinar berapi dan dia pun membentak. "Orang gila menjemukan! Mampuslah!"
Tamparan tangan kiri Li Hwa itu sama sekali tidak ditangkis oleh Ouwyang Bouw yang hanya mengangkat kepalanya sedikit ke atas sehingga telapak tangan kiri Li Hwa yang menampar kepala itu mengenai pipinya.
"Plakkk...!"
"Wah, terima kasih, Nona. Telapak tanganmu sungguh halus, hangat, dan harum sekali!" kata Ouwyang Bouw sambil mengelus-elus pipinya yang kena tampar.
Bukan main marahnya hati Li Hwa, apa lagi mendengar suara ketawa anak buah Pulau Ular yang tertawa-tawa. Dia maklum bahwa pemuda gila ini tak beleh disamakan dengan jagoan Nepal dan Si Mayat Hidup tadi, dan dia pun maklum bahwa dia tidak bisa mundur lagi. Melarikan diri tak mungkin, maka jalan satu-satunya hanyalah mengadu kepandaian untuk menuntut dikembalikannya bokor emas, atau kalau perlu berkorban nyawa.
"Srattt...!" Li Hwa sudah mencabut pedangnya.
Dengan sikap gagah dia lalu berkata kepada Ban-tok Coa-ong, "Ban-tok Coa-ong, engkau sebagai tuan rumah di pulau ini, majulah. Mari kita tentukan di ujung pedang siapa yang berhak membawa bokor emas. Jangan mengajukan anakmu yang gila!"
"Ha-ha-ha-ha, Nona Souw yang manis, calon isteriku yang cantik. Jangan begitu, ahh! Menggodaku beleh saja, tetapi jangan keterlaluan. Aku memang gila, siapa yang tak akan tergila-gila memandang wajahmu yang cantik manis? Engkau hendak main-main dengan pedang? Baik, mari kulayani. Memang calon suami isteri terlebih dahulu harus mengenal kelihaian masing-masing!"
Pemuda sinting itu menggerakkan tangan kanannya dan sebatang pedang yang berbentuk tubuh ular sudah tercabut keluar. Sambil melintangkan pedang ular yang mengerikan itu di depan dada, Ouwyang Bouw memasang kuda-kuda dengan lagak yang dibuat gagah sehingga kelihatan lucu namun menjemukan bagi Li Hwa karena pemuda itu tersenyum-senyum dan melirik-lirik kepadanya!
"Iblis bermulut busuk!" Dia memaki dengan marah, pedangnya sudah bergerak menerjang dengan kecepatan laksana kilat.
"Trang-trang-cringgg...!"
Bunga api berpijar ketika kedua senjata itu bertemu berkali-kali. Merasa betapa pedangya tergetar oleh tangkisan pemuda itu, Li Hwa maklum bahwa tenaga sinkang lawannya tidak lemah, maka cepat dia menggunakan tenaga lawan ketika menangkis lagi untuk mencelat ke atas, berjungkir balik dan dari atas tangan kirinya diayun.
Cahaya putih berkeredepan menyambar ke arah Ouwyang Bouw. Itulah gin-ciam (jarum perak), senjata rahasia Li Hwa yang amat lihai.
"Aihhh... engkau pandai main jarum. Bagus...!"
Ouwyang Bouw menggerakkan tangan kirinya dan lengan bajunya menerima jarum-jarum perak yang menancap dan berjajar rapi pada ujung lengan bajunya! Sambil tersenyum dia menggerakkan lengan baju itu, dan sinar perak segera menyambar ke arah kaki Li Hwa yang masih belum turun ke atas tanah.
Dara ini cepat menggerakkan pedangnya, diputar sedemikian rupa sehingga gulungan sinar pedang menggulung jarum-jarum peraknya sendiri itu, kemudian dia menggerakkan pedang dan jarum-jarum itu kembali melesat ke arah Ouwyang Bouw.
"Cuiiitttt... trakkk...!"
Sinar perak itu bertemu dengan sinar merah dan runtuhlah jarum-jarum perak itu bertemu dengan jarum-jarum merah yang dilepaskan oleh Ouwyang Bouw.
Li Hwa terkejut. Kiranya dalam kepandaian melemparkan jarum, pemuda sinting itu tidak kalah pandai olehnya. Maka dia berteriak nyaring dan segera menerjang maju, memutar pedangnya dengan hebat karena dara ini telah mengambil keputusan untuk merobohkan lawannya.
"Kau hebat... kau cantik menarik, kau gagah perkasa... heeeiiitttt!"
Ouwyang Bouw terpaksa melempar tubuh ke belakang dan bergulingan. Karena dia tadi bicara dan menggoda, maka hampir saja dia celaka oleh sinar pedang dara itu yang amat hebat. Dia cepat meloncat lagi melihat pedang lawan terus mengejarnya, menangkis dan terpaksa balas menyerang pada saat mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang dara itu benar-benar amat lihai dan sama sekali tidak boleh dia lawan sambil bersenda gurau!
Pertandingan itu berlangsung dengan seru sekali dan ternyata oleh kedua pihak bahwa tingkat kepandaian mereka seimbang, baik mengenai kecepatan maupun tenaga sinkang. Hanya bedanya, kalau ilmu pedang Li Hwa mengandung dasar yang amat kuat dan asli, mempunyai daya tahan yang kokoh dan daya serang langsung dan menekan, sebaliknya ilmu pedang yang dimainkan oleh Ouwyang Bouw mengandung perkembangan yang penuh tipu muslihat, banyak gerakan pancingan dan pura-pura yang amat curang.
Akan tetapi, karena Li Hwa selalu menyerang dengan niat membunuh lawan sedangkan sebaliknya pemuda yang tergila-gila itu tidak ingin melukai apa lagi membunuh lawan, perlahan-lahan pemuda itu terdesak dan gulungan sinar pedangnya makin tertekan.
"Jelas dia murid The Hoo dan kalau dia dapat dijadikan tawanan sebagai sandera, tentu The Hoo tidak berani mengganggu kita!" Toat-beng Hoatsu barkata.
"Benar sekali," jawah Ban-tok Coa-ong sambil memperhatikan pertandingan antara dara itu dengan puteranya. "Bouw-ji (Anak Bouw) tidak tega melukainya, keadaannya sangat berbahaya. Kalau sampai dia terluka, tentu dia akan lupa diri dan jangan-jangan dia akan membunuh dara itu. Sebaiknya kita turun tangan menangkapnya."
Toat-beng Hoatsu tidak percaya bahwa pemuda itu akan dapat mengalahkan Li Hwa, akan tetapi dia diam saja, hanya mengangguk dan kedua kakek ini lalu bergerak maju ke medan pertandingan.
Pada saat itu, pedang di tangan Li Hwa sedang bertemu dengan pedang ular di tangan Ouwyang Bouw. Kesempatan ini dipergunakan oleh dua orang datuk yang lihai itu untuk turun tangan, Ban-tok Coa-ong mengetuk pergelangan tangan kanan Li Hwa sehingga pedangnya terlepas sedangkan Toat-beng Hoatsu menepuk pundaknya.
Li Hwa mengeluh dan roboh, tubuhnya disambar oleh pelukan Ouwyang Bouw. Dara yang lumpuh kedua tangannya itu menggerakkan kaki menendang pusar, akan tetapi pemuda itu menangkap kakinya dan menotok punggungnya sehingga kini kedua kakinya lumpuh pula. Sambil tertawa-tawa Ouwyang Bouw memondong tubuh dara itu dengan tangan kanannya masih memegang pedang ular, kemudian membawa dara itu lari.
"Bouw-ji... awas jangan kau sampai membunuhnya!" teriak Ban-tok Coa-ong.
Ouwyang Bouw sejenak menoleh sambil tertawa. "Apakah Ayah telah menjadi gila? Aku cinta kepadanya, mana mungkin membunuhnya? Ha-ha-ha!"
"Ha-ha-ha, engkau memang sudah pantas kawin, Anakku!"
"Setahun lagi Ayah akan memondong cucu!" Pemuda gila itu tertawa-tawa sambil terus berlari membawa Li Hwa memasuki pondok yang menjadi tempat kediamannya.
Ban-tok Coa-ong menyuruh anak buahnya menyingkirkan mayat Madhula serta mayat Sanghida yang tinggal tulang kemudian bersama Toat-beng Hoatsu dia kembali ke dalam pondok besar.
"Harus dicegah agar puteramu jangan sampai membunuh tawanan penting itu," berkata Toat-beng Hoatsu, khawatir juga menyaksikan kelakuan pemuda yang edan-edanan itu.
"Jangan khawatir. Agaknya anakku sekali ini benar-benar jatuh cinta. Alangkah baiknya kalau aku dapat berbesan dengan The Hoo. Tentu soal bokor emas bukan hal yang perlu dia ributkan lagi."
"Dan yang lebih penting lagi, dia tentu akan mau membuka rahasia bokor itu. Sungguh menjengkelkan. Susah payah dicari dan diperebutkan, setelah berada di tangan kita, kita tidak mampu membuka rahasianya." kata Toat-beng Hoatsu dengan wajah kesal.
Berhari-hari mereka berdua menyelidiki bokor emas, membolak-balik, menekan sana-sini, akan tetapi belum juga dapat menemukan rahasianya. Padahal kabarnya bokor emas itu mengandung petunjuk tempat penyimpanan harta pusaka kitab-kitab pusaka yang amat luar biasa. Bila tidak takut bokor itu rusak dan rahasianya ikut pula terusak, tentu mereka sudah membanting pecah benda pusaka itu!
Kini mereka memasuki kamar rahasia dan kembali dua orang kakek yang menjadi datuk kaum sesat itu melanjutkan penyelidikan mereka tentang bokor emas. Memang terlihat ada guratan-guratan aneh di sebelah dalam bokor, akan tetapi mereka tetap tidak dapat memecahkan rahasia guratan-guratan ini karena guratan-guratan itu bukanlah merupakan huruf-huruf yang dapat terbaca, juga bukan merupakan peta yang dapat dimengerti.
Sementara itu, Li Hwa yang sadar akan tetapi tak mampu menggerakkan kaki tangannya itu terus dipondong oleh Ouwyang Bouw dan dibawa masuk ke dalam pondoknya, lalu memasuki kamarnya dan dengan amat hati-hati, bahkan dengan lemah lembut dan mesra dibaringkannya tubuh dara itu di atas pembaringannya yang mewah, bersih dan harum baunya.
Akan tetapi diam-diam Li Hwa bergidik melihat betapa di dalam kamar itu penuh dengan belasan ekor ular-ular berbisa yang melingkar di sana-sini, merayap di sana-sini dalam keadaan jinak seakan-akan ular berbisa itu adalah binatang peliharaan dan kesayangan! Diam-diam dia sudah mengambil keputusan bahwa kalau dia sempat dia akan memukul mati pemuda ini, kemudian mengamuk dan kalau perlu mengadu nyawa karena dia pun mengerti bahwa keselamatannya terancam hebat, bukan nyawanya saja yang terancam, tetapi juga kehormatannya!
Sesudah merebahkan tubuh Li Hwa, Ouwyang Bouw duduk di pinggir pembaringan itu, menatap wajah yang cantik itu penuh kekaguman, penuh kasih sayang, bahkan dengan pandang mata mesra. Pandang mata yang membuat Li Hwa bergidik karena pandangan mata itu seolah-olah dapat dia rasakan menyelusuri seluruh tubuhnya, seakan pandang mata itu mampu menelanjanginya!
"Moi-moi yang manis... kau menurutlah menjadi isteriku, hidup dengan makmur dan mulia di pulau ini, sebagai ratu! Ya, aku akan memuliakanmu sebagai seorang ratu... adikku yang tercinta...!"
Namun Li Hwa memandang dengan mata mendelik penuh kebencian, biar pun di dalam hatinya dia merasa khawatir sekali. Dia maklum bahwa jika pemuda gila itu pada saat dia lumpuh kaki tangannya melakukan segala kekejian terhadap dirinya, dia tak akan mampu mempertahankan kehormatannya, tidak akan mampu membela diri. Hampir dia pingsan memikirkan kemungkinan yang mengerikan ini.
Akan tetapi untung baginya pemuda itu memang tidak suka memperkosa wanita. Biar pun dia ingin sekali menguasai tubuh Li Hwa, namun dia memiliki perasaan lain terhadap dara ini, tidak seperti perasaannya terhadap wanita-wanita lain yang telah menjadi korbannya. Dia sudah jatuh cinta kepada Li Hwa dan ingin mengambil Li Hwa ini sebagai isterinya! Oleh karena itu, dia tidak akan menggunakan cara-cara yang keji untuk sementara waktu ini, hanya ingin mengandalkan bujukan dan rayuannya.
Setelah dia membelenggu kaki tangan dara itu menggunakan tali kain sutera yang halus akan tetapi kuat sekali, dia membebaskan totokan pada tubuh Li Hwa sehingga dara itu tidak terlalu tersiksa, dapat menggerakkan kaki dan tangannya sungguh pun tak berdaya melawan karena kaki dan tangannya dibelenggu di belakang tubuhnya.
"Adikku sayang, kalau menurut, engkau akan kubebaskan dan kita akan merayakan pesta pernikahan kita di pulau ini."
"Huh, lebih baik aku mati!" Li Hwa menjawab sambil membuang muka.
Ouwyang Bouw tersenyum. "Kita sama-sama lihat saja apakah engkau akan dapat terus berkeras kepala, Adikku. Engkau menolak orang seperti aku? Ha-ha-ha, hendak memilih yang macam bagaimana? Lihat baik-baik, bukankan aku seorang pemuda yang tampan dan gagah?"
Melihat betapa Li Hwa tidak mau menoleh, Ouwyang Bouw lalu meloncat dekat dan sekali menotok, dia membuat Li Hwa tidak mampu menggerakkan lehernya lagi sehingga ketika mukanya dihadapkan kepada pemuda itu, dia tidak dapat membuang muka.
Terpaksa dia melihat pemuda itu bergaya di depannya, dengan senyum dibuat-buat dan dada diangkat. Bahkan pemuda itu kemudian menyelinap ke kamar lain dan pada saat muncul kembali, dia sudah mengenakan pakaian lain yang lebih mewah. Sampai tiga kali pemuda itu bertukar pakaian dan bergaya di hadapan Li Hwa seperti lagaknya seorang peragawan memamerkan pakaian.
"Lihat, bukankah aku tidak kalah tampan oleh para pangeran di istana? Banyak wanita yang tergila-gila kepadaku, akan tetapi aku hanya memilih engkau, Li Hwa! Aku cinta kepadamu dan kau sudah tahu akan kelihaian ilmuku."
Li Hwa mencibirkan bibirnya, sengaja memperlihatkan muka dan sinar mata mengejek dan memandang rendah.
"Apa engkau belum puas? Bukan hanya pakaianku saja yang membuat aku kelihatan tampan dan gagah, bahkan seluruh tubuhku pun tidak ada cacadnya! Nah, coba kau lihat baik-baik!" Pemuda yang sinting itu kini menanggalkan pakaiannya satu demi satu!
Tadinya Li Hwa mengira pemuda itu hanya hendak memamerkan bentuk tubuhnya yang memang tegap berotot. Akan tetapi matanya yang terbelalak itu kemudian dipejamkannya ketika tenyata bahwa pemuda itu menanggalkan seluruh pakaiannya, termasuk pakaian dalamnya sehingga pemuda itu berdiri telanjang bulat di depannya, hanya mengenakan sepatunya!
"Ha-ha-ha, engkau tidak tahan melihatku dan memejamkan mata? Bagus, kalau engkau tidak memejamkan mata, engkau tentu akan tergila-gila kepadaku!"
Dapat dibayangkan betapa ngeri dan jijik rasa hati Li Hwa menghadapi pemuda gila ini. Ketika sebelum dia memejamkan mata tadi dan melihat pemuda itu menanggalkan baju dalamnya, dia melihat dada yang telanjang, dan anehnya, begitu dia memejamkan mata, tampaklah dada telanjang dari Yuan de Gama! Lebih aneh lagi, muncul rasa rindu hatinya kepada Yuan, pemuda yang bersikap sopan santun kepadanya, menjadi kebalikan dari pemuda sinting ini. Tanpa disadarinya, dalam keadaan terancam seperti itu, dia kemudian membayangkan wajah Yuan dan hatinya menjeritkan nama pemuda asing itu!
Sambil tertawa-tawa Ouwyang Bouw mengenakan kembali pakaiannya lalu meninggalkan kamar setelah menyuruh beberapa orang penjaga melakukan penjagaan di luar kamar. Li Hwa ditinggalkan seorang diri di dalam kamar itu dan dia termenung, memutar otaknya mencari akal untuk dapat meloloskan diri dari tempat berbahaya ini.
Satu-satunya harapannya adalah gurunya. Gurunya sudah tahu akan bokor emas, sudah menerima laporan pengawal Tio Hok Gwan dan gurunya tahu pula bahwa dia sendirian melakukan penyelidikan. Gurunya tentu mengirim orang-orang pandai, mungkin Tio Hok Gwan sendiri, mungkin pula Pendekar Sakti Cia Keng Hong, untuk menyerbu Pulau Ular.
Dan saat itulah yang ditunggu-tunggunya, karena hanya itu yang mungkin akan memberi harapan baginya untuk lolos dari bahaya ini. Oleh karena itu Li Hwa juga tidak mengambil keputusan pendek sesudah dengan jelas dia melihat gelagat bahwa Ouwyang Bouw tak akan memperkosanya, melainkan hanya akan membujuknya supaya dia suka tunduk dan menyerahkan diri.
Kini dia dipindahkan ke dalam sebuah kamar tahanan. Belenggu kaki dan tangannya telah dilepaskan, akan tetapi sepasang kakinya diikat dengan rantai baja yang panjang, yang memungkinkan untuk bergerak dan berjalan di dalam kamar tahanan itu, akan tetapi tidak memungkinkan dia untuk melarikan diri. Juga kedua tangannya dibelenggu dengan rantai baja yang panjang.
Hanya rantai itu yang menyatakan bahwa dia menjadi tawanan. Akan tetapi selain dari rantai itu dia diperlakukan dengan amat baik, diberi kesempatan untuk mandi dan makan, bahkan para penjaga bersikap hormat kepadanya sebab dia dianggap sebagai calon isteri Ouwyang Bouw!
Sampai berhari-hari lamanya Li Hwa tidak mau tunduk dan selalu menyambut kedatangan Ouwyang Bouw ke kamarnya dengan caci maki. Selain ini, dia berlaku hati-hati sekali, selalu mempergunakan jarum peraknya untuk memeriksa setiap makanan dan minuman agar jangan sampai dia dipengaruhi racun.
Akan tetapi, ternyata bahwa usaha Ouwyang Bouw untuk menguasainya belum sampai sejauh itu. Ouwyang Bouw menghendaki agar wanita yang telah membuatnya tergila-gila itu benar-benar tunduk, bukan karena terpaksa akibat dipengaruhi racun atau karena dia perkosa. Dan kesabaran seorang glia seperti dia memang luar biasa sekali.
********************
Tiga hari kemudian sejak Li Hwa ditangkap, sebuah perahu kecil meluncur cepat menuju ke Pulau Ular dari daratan Teluk Pohai. Di dalam perahu itu hanya ada seorang pemuda berkepala gundul yang bukan lain adalah Kun Liong.
Pemuda ini mulai dengan penyelidikannya untuk membantu Li Hwa yang dikabarkan telah terlebih dahulu melakukan penyelidikan. Kun Liong maklum betapa berbahayanya tempat tinggal orang-orang seperti Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong, karena itu dia sangat mengkhawatirkan keselamatan Li Hwa.
Dia mulai mencari Pulau Ular dan hari sudah malam ketika dia melihat bayangan pulau yang bentuknya seperti ular melingkar di atas batok di sebelah selatan itu, persis seperti penjelasan dan gambaran yang didapatkannya dari keterangan Cia Keng Hong sebelum dia berangkat.
Tiba-tiba Kun Liong terkejut. Hampir perahunya terguling ketika ombak mendadak datang bergelombang! Dan malam itu mendadak saja menjadi gelap, bintang-bintang yang tadi menghias angkasa kini lenyap tertutup awan hitam.
Wah, celaka! Benarkah datuk-datuk kaum sesat itu menggunakan ilmu hitam seperti yang didongengkan orang, sehingga sesudah perahunya mendekati Pulau Ular dia langsung diserang badai? Ilmu hitam atau bukan, dia harus berjuang melawan ombak yang datang bergulung-gulung!
Dia memegang dayungnya dan sejenak pemuda yang biasanya tabah ini menjadi bingung juga. Pulau tadi tak tampak lagi, tidak tampak pula dratan. Di sekelilingnya air menghitam dengan suara menderu-deru. Perahunya diombang-ambingkan ombak, arahnya tak tentu lagi.
Betapa pun tabahnya, Kun Liong menjadi gelisah. Selama ini, pengalamannya dengan air hanya di sepanjang Sungai Huang-ho, dan betapa pun lebar Sungai Huang-ho, tetapi bila dibandingkan dengan laut ini bukan apa-apa. Bagaimana kalau perahunya terguling? Dulu dia pernah hanyut di sungai. Baru hanyut di sungai saja sudah sulit sekali baginya untuk berenang ke tepi. Apa lagi sampai hanyut di laut!
Tiba-tiba saja tampak olehnya sinar api di depan. Terlambat dia mengetahui bahwa sinar itu adalah sinar lampu yang bergantungan pada sebuah perahu yang besar. Tahu-tahu di depannya muncul tubuh perahu besar sekali, seperti iblis lautan hendak melawannya.
"Heiii... di sini ada perahu.. minggir...!" Kun Liong menggunakan suara yang didorong oleh tenaga khikang yang amat kuat untuk berseru.
Suaranya melengking tinggi melawan gemuruh air laut yang bergelombang. Akan tetapi terlambat. Terdengar suara keras, perahunya pecah terguling dan dia sendiri terlempar ke dalam air!
"Heiiiiii...! Tolooongg, auuupp...!" Kun Liong gelagapan ketika mulutnya yang menjerit itu kemasukan air yang rasanya sampai pahit saking asinnya!
Dia menggerakkan kaki tangan dan terasa betapa tubuhnya ringan sekali sehingga lebih mudah baginya untuk mengambang di permukaan air. Ini pengalaman yang baru baginya karena dia tidak tahu bahwa air yang asin membuat tubuhnya lebih ringan, tidak seperti di air tawar.
Teriakan-teriakan Kun Liong yang amat nyaring tadi akibat didorong oleh tenaga khikang ternyata ada juga gunanya karena terdengar oleh mereka yang berada di atas perahu. Segera tampak beberapa sosok bayangan orang di langkan pinggir perahu, menjenguk ke bawah dan ada suara orang dalam bahasa asing. Kemudian tampak segulung tambang dilontarkan ke bawah.
Melihat ini, Kun Liong cepat menyambar tambang itu dan dengan gembira dia merasa betapa tubuhnya diseret, kemudian ditarik naik ke tubuh perahu. Beberapa pasang tangan membantunya naik.
Kun Liong duduk terengah-engah di atas dek perahu, tidak peduli kepada beberapa orang yang datang membawa lampu perahu yang bergoyang-goyang. Dia mengerahkan hawa di perut untuk mendorong keluar air laut yang membuat perutnya membusung. Beberapa kali dia muntahkan air laut sampai perutnya kosong kembali. Terlalu kosong sampai lapar! Barulah dia memperhatikan muka orang-orang yang merubungnya.
Muka-muka yang asing dan berkulit putih. Mata yang biru! Akan tetapi pandang matanya terpikat dan melekat pada sepasang mata biru indah yang... bukan main! Bulu matanya panjang, alisnya melengkung dan hidungnya mancung bukan main di atas sepasang bibir yang... bukan main! Baru sekarang Kun Liong menyaksikan kecantikan seorang wanita yang hebat dan aneh dan... khas. Tahulah dia bahwa wanita muda yang memandangnya dengan mata setengah terpejam itu adalah seorang wanita yang sebangsa dengan Yuan de Gama, akan tetapi cantik bukan main.
"Engkau siapakah? Kenapa malam-malam begini naik perahu kecil seorang diri? Apakah kau seorang nelayan?" Bibir yang merah manis itu menghujankan pertanyaan.
Kun Liong tidak dapat menjawab, terpesona oleh gerak bibir manis yang kadang-kadang memperlihatkan kilauan gigi putih tertimpa sinar lampu merah.
"Ahh, apakah bahasaku tidak jelas? Aku baru saja belajar bahasa pribumi, maafkan kalau kaku..."
"Aku mengerti semua, Nona. Bahasamu baik sekali... terima kasih... aku bukan nelayan, aku... aku sedang melancong..."
"Ha-ha-ha, melancong pada malam hari di atas perahu kecil di tengah laut! Bukan main anehnya bangsa pribumi!" Terdengar suara parau besar dan suara tertawa itu bergelak seperti gelora ombak gemuruh tidak terkekang.
Kun Liong menoleh dan melihat seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan berwajah tampan, namun rambutnya yang keemasan sudah mulai memutih di atas kedua telinga. Kumisnya tebal melintang di atas mulut dan sinar matanya lembut.
Mendadak terdengar seruan-seruan keras dalam bahasa asing, disusul jeritan beberapa orang wanita muda yang berlari mendatangi. Keadaan di atas perahu besar itu menjadi kacau balau. Dara jelita tadi bersama teman-teman perempuan lainnya lantas berlarian memasuki bilik perahu, sedangkan laki-laki setengah tua yang gagah tadi mengeluarkan suara memerintah. Anak buah perahu yang terdiri dari belasan orang laki-laki asing yang berkaos loreng, sibuk hilir-mudik di atas perahu.
Kun Liong merasa heran. Kini kesehatannya sudah pulih kembali dan dia bangkit berdiri. Sekarang keadaan di atas perahu itu terang benderang karena para anak buah perahu menyalakan banyak lampu yang digantungkan pada sekeliling perahu.
Kiranya di dekat perahu besar itu sekarang nampak muncul enam buah perahu kecil yang seperti iblis serentak bermunculan dari dalam gelap, dan di atas perahu-perahu kecil itu berdiri orang-orang yang memegang senjata golok dan pedang. Di setiap perahu terdapat tiga orang sehingga semuanya ada delapan belas orang.
Setelah perahu-perahu kecil itu menempel pada perahu besar seperti sekumpulan lintah, tampak tali-tali melayang dari bawah, pada ujungnya terdapat kaitan dan orang-orang itu segera memanjat ke atas, bahkan ada yang langsung meloncat dari perahu kecil ke atas perahu besar dengan gerakan ringan sekali.
"Hemmm, bajak-bajak laut," pikir Kun Liong dan cepat dia melangkah maju.
Cepat sekali para bajak itu sudah berada di atas perahu besar dan terjadilah perkelahian seru antara para bajak laut dan anak buah perahu. Kakek tua gagah perkasa itu pun ikut berkelahi. Dengan kedua tangan terkepal dia mengamuk.
Seorang bajak menyerangnya dengan golok. Kakek asing itu mengelak, akan tetapi bahu kirinya terserempet golok sehingga terluka. Tanpa pedulikan lukanya, kakek itu langsung menghantam dada bajak itu dengan kepalan tangan kanannya, sehingga membuat bajak itu terjengkang dan terbatuk-batuk.
Bajak ke dua sudah datang menyerbu, pedangnya diputar-putar di atas kepala, langsung membacok. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya menjadi kaku karena dari belakang dia sudah ditotok oleh Kun Liong. Pemuda ini lalu menarik lengan bajak itu dan sekali dia mengayun tangan, tubuh bajak itu terlempar ke luar perahu besar!
Selanjutnya,