Petualang Asmara Jilid 22
KUN LIONG tidak pedulikan seruan girang kakek berkumis melintang yang agaknya menjadi pemilik perahu besar itu, dia lantas menyerbu ke depan. Seorang bajak menyambutnya dengan bacokan golok. Kun Liong miringkan tubuhnya, kemudian menampar lengan yang memegang golok.
Orang itu berteriak kesakitan, goloknya terlepas, akan tetapi dia nekat dan menerjang Kun Liong dengan tangan kanan mencengkeram ke arah leher. Kun Liong menyambut tangan itu dengan tangkisan, kemudian kakinya menendang.
"Desss!" Tubuh bajak ini pun terlempar keluar dari perahu besar.
Kun Liong tahu bahwa pada saat itu pula ada golok menusuk dari belakang mengarah ke punggungnya.
"Saudara muda, hati-hati belakangmu...!" Kakek itu berseru.
Akan tetapi Kun Liong yang sudah menangkap seorang bajak lain, tidak mempedulikan tusukan itu tapi mengerahkan sinkang-nya. Ujung golok itu tepat mengenai punggungnya, merobek bajunya sampai terbuka lebar, akan tetapi pada waktu mengenai kulitnya yang terlindung sinkang dari dalam, golok itu langsung meleset. Kun Liong melemparkan orang yang ditangkapnya, membalik dan tendangannya membuat orang yang menusuknya tadi terjungkal, kemudian dia pun melemparkan orang ini ke luar perahu.
Amukan Kun Liong membuat para bajak yang terdiri dari orang Nepal berambut panjang dan orang-orang Han yang kasar itu menjadi jeri. Mereka bersuit panjang dan seorang demi seorang cepat melompat keluar dari perahu besar.
Para anak buah perahu besar menjenguk ke luar, melihat betapa para bajak yang pandai berenang itu saling bantu menyelamatkan diri dengan perahu-perahu kecil mereka dan sebentar saja perahu-perahu itu lenyap ditelan kegelapan malam.
Kun Liong dirubung oleh semua orang. Kakek asing itu memerintahkan supaya perahunya mengambil arah ke utara, menjauhi sebuah pulau yang nampak pada sore tadi, karena dia menduga bahwa agaknya bajak-bajak itu datang dari pulau itu, daratan yang terdekat dari situ.
Kun Liong menghapus peluh dan air laut yang membasahi muka, leher dan kepalanya yang gundul. Dia dihujani pertanyaan oleh orang-orang yang merubungnya, akan tetapi karena pertanyaan itu ditujukan dalam bahasa asing, dia hanya tersenyum, tidak tahu apa yang mereka maksudkan.
"Kalian telah menolong aku dari laut, sudah semestinya aku membantu kalian mengusir bajak-bajak jahat itu," katanya berkali-kali karena dia menduga bahwa agaknya mereka itu menyatakan terima kasih mereka.
Makin bingunglah Kun Liong ketika muncul dara jelita bermata biru tadi bersama dengan tiga orang wanita muda lain yang agaknya adalah pelayan-pelayannya. Tiga orang wanita muda yang rambutnya memakai kerudung, wajahnya manis-manis, sikapnya genit-genit itu pun menghujaninya dengan pertanyaan, senyuman serta kerling mata penuh kagum, membuat Kun Liong tersenyum meringis dengan kemalu-maluan sambil memandang ke arah dara jelita yang semenjak tadi memandangnya dengan senyum dan pandang mata kagum.
"Ahhh, ternyata engkau sebangsa pendekar yang sering kudengar diceritakan kakakku. Dan engkau memang hebat, pendekar gundul...!" kata dara jelita itu.
Kun Liong tersenyum-senyum sambil menggerak-gerakkan kepalanya yang gundul. Baru sekarang ini gundulnya tidak dipergunakan orang untuk mengejek atau dianggap pendeta, melainkan dijadikan sebutan pendekar gundul!
"Aaahh, aku... aku biasa saja, Nona...!" katanya agak gagap karena sinar mata biru itu benar-benar mempesona.
"Heiiii, jangan dirubung seperti ini! Minggir, minggir!" Tiba-tiba kakek asing itu datang dan sambil tertawa girang dia menyodorkan tangannya kepada Kun Liong.
Tentu saja Kun Liong tidak mengerti dan memandang tangan yang disodorkan, bahkan otomatis sinkang-nya bergerak ke arah perut dan dada karena dia mengira bahwa kakek itu akan menyerangnya!
Sebetulnya kakek asing itu mengajak ia bersalaman, tanda menghormat bagi bangsanya. Akan tetapi persangkaan Kun Liong lain lagi. Melihat tangan yang besar dan terlihat kuat itu diacungkan miring seperti hendak menyodoknya, otomatis ia ‘memasang’ sinkang-nya melindungi perut dan memandang kakek itu dengan sinar mata tajam penuh selidik!
"Perkenalkan, saya adalah Richardo de Gama. Siapakah nama Tuan Muda yang gagah perkasa dan yang telah menolong dan menyelamatkan kami dari serbuan bajak laut?"
Mendengar ucapan yang kaku akan tetapi jelas itu barulah Kun Liong mengerti bahwa dia salah sangka, maka ketika tangan itu menjabat tangannya, dan mengguncang-guncang, dia diam saja tidak menarik tangannya dan balas tersenyum ramah. Apa lagi mendengar nama itu, teringatlah dia akan Yuan de Gama!
"Nama saya Yap Kun Liong dan harap Tuan jangan bicarakan tentang pertolongan. Para bajak itu memang jahat dan pantas diusir. Mendengar nama Tuan, apakah Tuan masih ada hubungan dengan Yuan de Gama?"
"Yuan...?" Terdengar seruan halus dan ternyata dara permata biru tadi yang berseru dan memegang lengan Kun Liong, memandangnya penuh perhatian. "Yuan adalah kakakku. Apakah engkau kenal dengan Yuan?"
Berseri wajah Kun Liong. Kiranya dara jelita ini adalah adik perempuan Yuan de Gama. Dengan mata terbelalak dan terpesona menatap wajah cantik dan mata biru itu, dia lalu menggumam, "Engkau... Adik Yuan?"
Gadis itu mengangguk. Manis sekali ketika tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi putih mengkilap. "Aku Yuanita... Yuanita de Gama."
"Yuanita...!"
Nama yang terdengar aneh, lucu dan indah bagi telinga Kun Liong, dan pada waktu dia menyebut nama itu, logat lidahnya juga terdengar aneh dan lucu bagi Yuanita, lucu akan tetapi menyenangkan sehingga dia tertawa geli.
"Aku sudah pernah bertemu dan berkenalan dengan dia, seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa," Kun Liong melanjutkan kata-katanya dengan tulus karena memang demikianlah dia menyaksikan sikap Yuan de Gama yang pernah bertanding dengannya dalam beberapa jurus dan pernah dilihatnya ketika pemuda itu menyelamatkan Li Hwa.
"Ha-ha-ha! Kiranya sahabat Yuan! Pantas saja begini hebat. Tuan Muda, ternyata engkau merupakan seorang tamu kehormatan, seorang sahabat baik kami. Terima kasih kepada Tuhan yang telah mempertemukan kami dengan engkau!"
"Ayah, pakaian Yap-taihiap (Pendekar Besar Yap) basah semua dan robek-robek. Sudah selayaknya seorang tamu agung disambut dengan hormat dan baik," kata Yuanita.
"Ha-ha-ha! Saking girang hatiku, aku sampai lupa. Terserah kepadamu!" kata kakek itu.
Yuanita segera memberi aba-aba kepada tiga orang pelayannya. Tiga orang gadis yang genit-genit itu tertawa, lalu mereka memegang kedua lengan Kun Liong dan menarik-narik pemuda itu memasuki ruangan perahu di bawah.
"Eh-eh... apa ini...? Ke mana...? Eh, mengapa menyeret saya...?" Kun Liong membantah, akan tetapi dia pun tidak tega untuk mempergunakan kekerasan, maka dia membiarkan dirinya ditarik-tarik oleh tiga orang pelayan muda itu, diikuti suara ketawa bergelak dari Richardo de Gama dan anak buahnya serta senyum lebar yang manis dari Yuanita.
Kun Long yang tersenyum-senyum masam karena malu dan bingung itu ditarik oleh tiga orang pelayan wanita muda dan genit-genit yang tertawa-tawa itu ke dalam sebuah kamar di perahu itu.
"Ehh, kalian ini mau apa?" Berkali-kali Kun Liong bertanya.
Akan tetapi tiga orang wanita itu mengeluarkan ucapan dalam bahasa asing yang sama sekali tidak dimengerti oleh Kun Liong. Mereka menunjuk-nunjuk ke sebuah tong kayu besar bundar yang terisi air jernih.
Karena tidak mengerti, Kun Liong menghampiri tong air itu dan menjenguk ke dalamnya. Airnya jernih sekali, akan tetapi tidak ada apa-apanya yang aneh, maka dia tersenyum menyeringai, memandang tiga orang gadis pelayan itu berganti-ganti lalu dia mengangkat pundaknya.
"Ini air... dalam tong, airnya jernih sekali, tapi ada apa?" Kun Liong bertanya.
Tiga orang itu saling pandang, lalu saling bicara ramai dalam bahasa yang bagi telinga Kun Liong seperti kicau burung yang tidak karuan artinya. Kemudian seorang di antara mereka, yang agaknya sudah dapat ‘memungut’ sepatah dua patah kata dalam bahasa pribumi, menunjuk ke arah air di tong air itu sambil berkata kaku,
"Mandi...! Mandi...!"
"Mandi...!" Dua orang gadis lainnya bersorak dan menunjuk-nunjuk ke tong air.
Kun Liong terbelalak, "Mandi...?" Dia bertanya dan memandang bingung.
Jadi dia disuruh mandi? Dipandangnya pakaiannya yang basah kuyup dan robek, dan hidungnya memang mencium bau amis air laut. Dilihatnya seorang di antara tiga pelayan wanita muda itu menuangkan sesuatu dari dalam botol kecil dan terciumlah bau wangi sekali ketika isi botol itu memasuki air di tong.
"Mandi...!" Tiga orang dara itu berkali-kali mendesaknya.
Kun Liong semakin bingung. Ahh, lebih baik diturut saja kehendak tiga siluman cantik ini, pikirnya, kalau tidak tentu mereka tiada akan sudahnya mengganggu dirinya.
"Baiklah. Aku akan mandi. Nah, kalian keluarlah dari kamar ini!" Telunjuknya menuding ke arah pintu kamar itu.
Tiga orang gadis itu saling pandang dan terlihat bingung. Mereka tampak menjadi hilang sabar dan mendekati Kun Liong, mendorong-dorongnya dengan halus sambil menunjuk-nunjuk ke arah tong air dan bibir mereka berkata dengan kaku dan sukar,
"Mandi... mandi... mandi...!"
Celaka tiga belas, pikir Kun Liong. Kalau dia menolak dan memaksa diri lari keluar untuk membebaskan diri dari desakan tiga orang gadis itu, tentu dia akan menghadapi keadaan yang membuatnya tidak enak dan canggung. Betapa pun aneh dan asingnya, jelas bahwa pihak tuan rumah bersikap hormat dan baik kepadanya. Agaknya karena mereka tadi melihat pakaiannya kotor basah dan robek, dia dipersilakan mandi lebih dulu. Akan tetapi mana mungkin mandi dijaga oleh tiga orang gadis pelayan yang cantik-cantik, genit-genit, dan cerewet akan tetapi tidak dia mengerti ucapannya itu?
"Baiklah! Mandi ya mandi...!" Akhirnya dia berkata kesal dan serta merta dia meloncat ke dalam tong air!
"Byuuurrr...!" Air itu sungguh sejuk menyegarkan dan berbau harum!
Bagaikan induk-induk ayam berkotek, petok-petok dengan sikap yang sibuk sekali, ketiga orang gadis pelayan itu mengelilingi tong air. Mereka berteriak-teriak tanpa dimengerti oleh Kun Liong, kemudian seorang di antara mereka agaknya ingat akan hafalannya dan berkata,
"Pakaian... pakaian...!"
"Hehh? Apa? Pakaian...?" Kun Liong tidak mengerti dan tiba-tiba tiga orang gadis pelayan itu menyerbunya, menarik-narik baju dan celananya dengan paksa untuk menanggalkan pakaiannya!
"Heiii... eh-ehh, heeiiittt... aduh bagaimana ini...?" Kun Liong berteriak-teriak, akan tetapi tiga orang wanita muda itu tertawa-tawa dan tak mau melepaskan lagi pakaiannya hingga akhirnya baju serta celananya terlepas dan ditarik lolos dari tubuhnya.
"Wah, kalian rusuh...! Kalian melanggar susila...! Wah, bagaimana ini...?"
Kun Liong yang kini telanjang bulat itu merendam tubuh di dalam air dan menggunakan kedua tangannya untuk menutupi bawah pusar. Hanya kepalanya yang gundul itu masih kelihatan di atas permukaan air. Kepalanya menjadi merah mengikuti warna mukanya, merah karena jengah, malu, dan juga bingung dan ngeri!
Akan tetapi tiga orang gadis pelayan itu tidak mempedulikan semua protesannya. Mereka melemparkan pakaian kotor itu di sudut kamar, kemudian dengan senyum manis mereka menyerbu Kun Liong dan mulailah mereka memandikan pemuda itu. Ada yang menyabuni tubuhnya, ada yang menggosok-gosok kepala gundulnya, dan ada yang menggunakan air harum itu menyiram mukanya. Sabun itu pun wangi sekali.
Kini mengertilah Kun Liong bahwa mereka itu ternyata benar-benar sedang memandikan dirinya! Digosok-gosok dan dipijit-pijit pundaknya, terasa nyaman sekali sehingga dia tidak meronta lagi. Dia hanya bersandar pada pinggiran tong itu dengan kedua tangan masih melindungi anggota rahasianya dan matanya merem melek, bukan karena keenakan saja melainkan karena kadang-kadang terasa pedas kemasukan air sabun.
Mulutnya mengomel panjang pendek, sungguh pun bukan omelan marah lagi. "Ihh, kalian ini apa-apaan sih? Apakah aku ini dianggap bayi? Mentang-mentang kepalaku gundul... masa ada bayi sebegini besarnya? Sudahlah, sudah... aku bisa mandi sendiri!"
Akan tetapi tentu saja tiga orang gadis itu tak mengerti ucapannya dan terus memandikan Kun Liong sambil bicara sendiri dalam bahasa mereka, tersenyum-senyum dan kadang-kadang, seorang di antara mereka yang termanis dan tergenit, menggunakan telunjuk dan ibu jari tangannya mencubit paha Kun Liong.
Menghadapi tiga dara yang berwajah cantik manis, bersikap lincah dan genit, mencium bau harum dari air tong, sabun, dan bau harum yang keluar dari rambut dan pakaian tiga orang pelayan itu, merasakan betapa jari-jari tangan yang amat halus itu memijit-mijitnya dengan mesra, mendengar suara mereka bersenda-gurau meski pun dia tidak mengerti artinya, semua ini mendatangkan perasaan aneh pada dirinya.
Debar jantungnya semakin keras, menggedor-gedor seperti akan memecahkan dadanya, tubuhnya pun panas dingin dan tegang. Keadaan dirinya ini membuat Kun Liong menjadi makin bingung dan akhirnya dia maklum bahwa kalau tiga orang pelayan itu tidak segera pergi, dia tak akan kuat bertahan dan entah akan apa jadinya!
"Sudah! Sudah... cukuplah! Aku dapat mandi sendiri. Pergilah kalian, pergilah...!" katanya sambil menggunakan sebelah tangan menepuk-nepuk air sehingga air memercik ke arah muka tiga orang pelayan itu, sedangkan tangan yang sebelah lagi tetap digunakan untuk menutupi tubuh bawah.
Karena Kun Liong mempergunakan sinkang, maka tepukannya itu mengandung tenaga kuat sekali sehingga percikan air itu terasa pedas dan panas ketika mengenai muka tiga orang pelayan itu. Mereka menjerit dan mundur kemudian bicara dalam bahasa mereka dan seorang di antara mereka mengeluarkan setumpuk pakaian yang ditaruhnya di atas bangku.
"Keluar! Keluarlah kalian!" Kun Liong berkata sambil menuding ke arah pintu.
Tiga orang pelayan itu mengangkat pundak, menggerakkan kepala untuk memindahkan gumpalan rambut yang terurai itu ke belakang, lalu sambil tersenyum dan tertawa-tawa mereka keluar dari kamar itu.
Bukan main lega hati Kun Liong. Cepat sekali, takut kalau mereka kembali, dia meloncat keluar dari tong air. menyambar handuk dan menyusuti tubuhnya yang basah, kemudian mencari-cari pakaiannya. Celaka, pakaiannya sudah tidak ada lagi, tentu tadi diambil oleh gadis-gadis itu!
Karena takut mereka itu kembali sebelum tubuhnya yang telanjang itu tertutup pakaian, dia segera menyambar pakaian yang ditinggalkan oleh mereka di atas bangku. Ternyata pakaian itu adalah sepotong celana dan sepotong baju yang bersih dan amat aneh karena selain jubah berlengan panjang terdapat pula baju berlengan pendek dan kain pelindung atau pembungkus leher. Terpaksa dia memakai pakaian itu dan diam-diam dia mengeluh ketika dia melihat tubuh bawahnya yang sudah bercelana.
Celana itu potongannya sempit sekali sehingga biar pun seluruh pakaiannya tertutup, dia merasa seperti masih telanjang! Betapa pun juga, ini masih jauh lebih baik dari pada tidak berpakaian sama sekali. Maka, sambil mengingat-ingat cara Yuan de Gama berpakaian, dia lalu memakai rompi dan jubahnya, sedangkan pelindung leher itu hanya dia kalungkan saja di lehernya.
Di ujung kamar itu terdapat sebuah cermin. Ketika Kun Liong melihat bayangannya sendiri di cermin itu, dia menyeringai. Betapa lucu keadaannya!
Daun pintu kamar terbuka, dan terdengar suara halus, "Sudah selesaikah Taihiap mandi? Kami telah menunggu-nunggu Taihiap untuk makan malam."
Kun Liong cepat membalikkan tubuh dan memandang Yuanita. Sejenak dia terpesona. Dara ini agaknya sudah bertukar pakaian. Pakaian dari sutera biru yang panjang sampai ke kaki, rambutnya disanggul indah dan dihias permata. Teringatlah dia akan keadaannya sendiri dan tiba-tiba mukanya telah menjadi merah sekali. Dara ini demikian cantik jelita, sedangkan dia seperti badut!
"Maaf... aku... aku tentu kelihatan seperti seorang badut wayang!" Akhirnya dia berkata ketika dia melihat betapa dara itu pun memperhatikannya.
Yuanita tertawa. Tertawa dengan bebas lepas, tidak malu-malu atau menutupi mulut yang tertawa dengan tangan seperti kebiasaan dara-dara pribumi. Namun anehnya, kebebasan dara ini tidak membayangkan kekasaran, padahal tertawa seperti itu kalau dilakukan oleh seorang gadis pribumi, tentu akan kelihatan kasar dan tidak sopan!
Kun Liong menjadi semakin kikuk, mengira bahwa dara itu tentu mentertawakan keadaan pakaiannya yang lucu dan tidak cocok untuknya itu. "Aku seperti badut dan... dan Nona... begitu cantik seperti bidadari...!"
Yuanita menghentikan tawanya dan kini dia memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata penuh kagum. "Yap-taihiap, engkau mengingatkan aku kepada seorang panglima muda di Thian-cin yang menjadi utusan Kaisar menemui Ayah. Aku amat kagum kepada panglima muda itu, tampan, gagah perkasa dan... seperti engkau. Hanya bedanya, dia angkuh sedangkan engkau begini rendah hati. Hal ini membuat aku merasa makin kagum kepadamu, Taihiap. Engkau sudah memperlihatkan kegagahan, menolong kami, engkau begini gagah dan tampan akan tetapi engkau bahkan merendahkan diri dan memuji-muji orang lain."
Kata-kata ini membuat Kun Liong makin merasa canggung. "Ahhh, aku... aku orang biasa saja... seorang gundul yang..."
Kembali Yuanita tertawa dan melangkah maju, menggandeng lengan Kun Liong sambil berkata, "Sudahlah, kalau engkau merendah terus seperti itu, aku bisa menjadi bersedih dan menangis! Ayah sudah menanti kita di ruangan makan. Hayolah!"
Jantung Kun Liong berdebar tidak karuan. Sikap dara ini begini bebas. Mana ada seorang dara jelita yang baru saja dikenalnya telah berani menggandeng-gandengnya seperti itu. Lengan mereka saling bergandengan, pada saat berjalan kadang-kadang si pinggul yang meliuk-liuk itu menyentuh pahanya.
Ketika mereka memasuki ruangan di mana tampak Richardo de Gama sedang duduk menghadapi meja besar, Kun Liong hendak merenggut tangannya. Apa akan kata ayah dara itu apa bila melihat mereka bergandengan tangan seperti itu? Akan tetapi agaknya Yuanita merasa akan gerakannya, maka dara itu menggandeng lebih erat lagi! Hal ini membuat Kun Liong khawatir sekali dan dia memandang ke arah kakek asing itu dengan bingung.
Akan tetapi Richardo segera bangkit menyambutnya dengan tertawa lebar dan wajahnya berseri-seri. "Aahhh... Yap Kun Liong-taihiap, engkau sudah berganti pakaian kering? Kau gagah sekali. Silakan duduk dan mari kita makan bersama."
Yuanita melepaskan tangannya dan berkata kepada ayahnya, sengaja berbicara dalam bahasa pribumi supaya tamunya mengerti, "Ayah, Taihiap terlalu merendahkan diri, bikin orang penasaran saja!"
"Ha-ha-ha-ha, demikianlah sikap seorang pendekar sejati dari negeri ini, Anakku! Dalam bicaranya merendah sampai tidak kelihatan, akan tetapi sepak terjangnya menonjol tinggi penuh kegagahan."
Kun Liong duduk bersama ayah dan anak itu dan kembali dia merasa kikuk sekali ketika harus makan dari piring dan menggunakan garpu, pisau dan sendok. Sambil tertawa-tawa Yuanita mengajarinya, akan tetapi karena tetap kikuk sekali akhirnya Richardo menyuruh pelayan mengambil sepasang sumpit. Barulah lega hati Kun Liong dan dia dapat makan seperti yang dikehendakinya.
Mereka makan sambil bercakap-cakap dan dalam pembicaraan ini Kun Liong mendengar bahwa ternyata Richardo de Gama adalah pemimpin rombongan saudagar yang hendak berdagang di Tiongkok. Malah setelah pemberontakan yang dibantu oleh beberapa orang asing, hal yang tidak disetujui Richardo itu gagal, Richardo sendiri kemudian mengajukan permohonan kepada Kaisar menemui pejabat, dan akhirnya dapat bicara dengan utusan Kaisar sendiri serta memperoleh ijin untuk berdagang di pantai Teluk Pohai.
"Kami sekarang sedang mencari Kapal Kuda Terbang yang telah disewa oleh rombongan Legaspi Selado," kakek itu melanjutkan.
"Yang dipimpin oleh Yuan de Gama?" Kun Liong bertanya.
Kakek itu menghela napas. "Benar dan itulah kesalahan kami. Kami sudah menyewakan kapal itu kepada rombongan Selado yang ternyata amat jahat sehingga anakku Yuan ikut pula terbawa-bawa dan terseret dalam petualangan Legaspi Selado. Mendengar betapa Legaspi Selado sudah bersekutu dengan pemberontak, aku segera menyusul ke sini dan hendak membatalkan kontrak persewaan Kapal Kuda Terbang itu karena telah digunakan untuk pekerjaan buruk."
"Siapakah sebenarnya Legaspi Selado yang berilmu tinggi itu?" Kun Liong bertanya lagi.
Sebetulnya dia adalah bekas seorang jenderal yang telah dipecat oleh pemerintah karena perbuatannya yang kotor dan berkhianat. Sedangkan anak-anak buahnya itu pun ternyata adalah orang-orang jahat yang menjadi buruan pemerintah di negara kami. Anakku Yuan de Gama terpaksa terlibat karena selain dia mewakili aku menjadi kapten kapal, juga dia menjadi murid Legaspi Selado."
Kun Liong mengangguk-angguk dan sekarang mengertilah dia mengapa seorang pemuda sebaik Yuan de Gama sampai membantu orang jahat seperti Legaspi Selado kakek botak yang lihai itu. "Akan tetapi persekutuan pemberontak itu telah dihancurkan, tentu Legaspi Selado tidak akan menyusahkan Yuan lagi."
Kakek itu mengelus jenggotnya. "Hemm... siapa yang tahu isi hati orang seperti Legaspi Selado? Selama dia masih menyewa Kapal Kuda Terbang, maka Yuan akan terus terikat. Sebagai kapten kapal, tentu Yuan tidak akan dapat meninggalkan kapalnya dan apa pun yang dilakukan oleh Legaspi Selado, berarti Yuan akan ikut terseret."
Setelah makan mereka bercakap-cakap dan Kun Liong merasa makin suka kepada kakek yang luas pengetahuannya itu, sebaliknya Richardo juga kagum kepada Kun Liong yang berwajah jujur dan polos, sepolos kepalanya yang gundul! Mereka bercakap-cakap di dek perahu itu. Ketika Yuanita muncul, gadis itu berkata,
"Ahh, kalian berdua bercakap-cakap sejak tadi tiada sudahnya. Ayah, biasanya Ayah tidak berani terlalu lama terkena angin malam yang membuat Ayah sakit." Dengan gaya manja gadis itu merangkul leher ayahnya.
Richardo tertawa, kemudian bangkit berdiri. "Wah, asyik benar bicara dengan Yap-taihiap, sampai aku lupa waktu. Yap-taihiap, aku hendak mengaso dahulu, biarlah Yuanita yang menemanimu bercakap-cakap." Orang tua itu lalu meninggalkan dek dan bangku tempat duduknya kini diduduki oleh Yuanita.
Berdebar jantung Kun Liong menyaksikan kebebasan kedua orang ayah dan anak itu. Baru sekarang dia melihat betapa seorang ayah meninggalkan anak gadisnya begitu saja untuk menemani seorang pemuda bercakap-cakap di dek yang sunyi, pada waktu malam hari lagi!
"Nona..."
Yuanita menoleh kepada Kun Liong dan memandang dengan senyum, akan tetapi alisnya berkerut ketika dia menegur pemuda itu, "Namaku Yuanita, dan setelah menjadi sahabat, harap jangan menyebut nona lagi kepadaku, Taihiap."
Kun Liong tersenyum. "Kau mau menang sendiri saja, Yuanita. Aku bukanlah pendekar besar tapi kau selalu menyebutku taihiap, sedangkan kau, seorang nona yang cantik dan kaya raya, lagi pula terpelajar dan pandai, begitu merendah minta disebut namanya saja. Di mana keadilan kalau begini? Kau pun sudah tahu bahwa namaku Kun Liong."
Yuanita tertawa dan memegang tangan pemuda itu. "Kau lucu dan baik sekali, Kun Liong. Aku sungguh merasa gembira dapat bersahabat denganmu. Sama sekali aku tak mengira bahwa di antara bangsa pribumi di negara ini terdapat seorang seperti engkau. Aku selalu membayangkan bahwa semua penduduk pribumi memandang rendah pada semua orang asing, menganggap semua orang asing sebangsa manusia biadab. Aku membayangkan bahwa semua orang yang disebut pendekar di negaramu adalah orang-orang kejam yang mudah memainkan pedang memenggal kepala orang dan mengirim kepala itu sebagai hadiah kepada keluarga musuhnya! Kiranya engkau sangat baik dan rendah hati, engkau seperti seorang kanak-kanak yang berhati tulus dan wajar..."
"Wah, karena kepalaku gundul kau menganggap aku kanak-kanak?" Kun Liong tertawa.
Yuanita juga tertawa. "Maaf, aku tahu kau bukan kanak-kanak lagi. Tiga orang pelayan itu menceritakan sikapmu pada waktu kau mandi..."
Kun Liong cepat menoleh ke kanan dan kiri. "Tiga orang wanita genit itu? Ihhh…, mereka membikin aku merasa ngeri sekali. Mengapa ada kebiasaan seaneh itu pada bangsamu, Yuanita?"
"Ah, mereka hanya pelayan-pelayan dan mereka sudah biasa melayani majikan dan para tamu pria yang manja."
"Aku pun tadinya mendengar kabar yang menyeramkan tentang bangsamu, bangsa kulit putih yang berambut berwarna dan bermata biru. Bahkan aku mendengar bahwa mereka itu adalah bangsa biadab yang senang makan daging manusia, sebangsa siluman yang berbahaya dan yang datang ke negeri kami hanya untuk menipu bangsa kami saja. Akan tetapi setelah bercakap-cakap dengan ayahmu, aku mendapat kenyataan bahwa ayahmu adalah seorang tua yang luas pengetahuannya, pandai dan bijaksana. Apa lagi melihat engkau..."
"Bagaimana?" Yuanita menyambung ketika Kun Liong tiba-tiba berhenti bicara. "Apakah aku seperti siluman berambut kuning berkulit putih bermata biru yang suka makan daging manusia?"
"Wah, sama sekali tidak! Sungguh tolol aku kalau dulu pernah merasa ngeri mendengar kabar bohong itu. Ternyata di antara bangsamu yang dikabarkan menakutkan itu terdapat orang-orang seperti ayahmu yang amat bijaksana, seperti Yuan yang tampan dan gagah berani, seperti engkau yang... yang begini cantik jelita, jujur dan amat ramah dan baik hati."
"Benarkah engkau menganggap aku cantik jelita? Bukankah karena perbedaan kulit dan warna rambut serta mata akan membedakan pula selera pandangan terhadap kecantikan seseorang?"
"Engkau memang cantik sekali, Yuanita," berkata Kun Liong sambil memandang penuh perhatian wajah yang tertimpa cahaya merah dari lampu gantung itu. "Dan kurasa, cantik tidaknya seseorang tergantung dari rasa suka di hati. Kalau hati merasa cocok dan suka, tentu kelihatan cantik, sebaliknya kalau tidak tentu akan kelihatan buruk. Dan agaknya watak dan sikap seseoranglah yang menentukan cantik tidaknya orang itu. Dan engkau... amat manis dan baik hati, siapa yang tak akan merasa suka sehingga engkau kelihatan selalu cantik jelita?"
Dara itu memandang dengan sinar mata bercahaya dan wajah berseri. "Wah, engkau memang mengagumkan sekali, Kun Liong! Yuan tentu senang sekali denganmu, engkau tentu menjadi sahabat baiknya!"
"Sayang bahwa pertemuan antara kami hanya berlangsung sebentar saja," Kun Liong lalu menceritakan pertemuannya dengan Yuan de Gama yang mengakibatkan mereka untuk beberapa gebrakan mengadu tenaga.
"Ahhh, kasihan sekali kakakku itu..." Yuanita berkata sesudah Kun Liong menyelesaikan penuturannya. "Dia adalah seorang yang berhati baik, akan tetapi karena dia terlalu suka mempelajari ilmu berkelahi, dia menjadi murid Kakek Legaspi Selado yang mengerikan itu. Pada waktu kapal Ayah disewa oleh rombongan Legaspi, Yuan menjadi kapten kapal menggantikan Ayah. Sama sekali kami tidak tahu bahwa rombongan Legaspi terdiri dari orang-orang jahat. Juga Yuan sama sekali tidak akan menyangka bahwa gurunya dan rombongannya yang katanya hanyalah orang-orang pedagang itu bertualang di negaramu dan bersekutu dengan pemberontak. Yuan terkenal sebagai seorang yang kuat, bahkan Hendrik, pemuda sombong dan kejam putera Legaspi itu sendiri merasa sungkan kepada Yuan. Akan tetapi aku tahu bahwa bertemu dengan engkau, dia kalah jauh!"
"Aahhh, tidak begitu, Yuanita. Kakakmu itu kuat sekali, hanya di antara kami tidak ada permusuhan, maka kami tak melanjutkan pertandingan itu. Aku hanya seorang biasa yang bodoh, apa lagi mengenai pengalaman dan ilmu pengetahuan. Jika dibandingkan dengan Yuan atau engkau, aku bukan apa-apa."
Yuanita memegang tangan Kun Liong dan memandang dengan sungguh-sungguh.
"Engkau terlalu merendahkan diri dan inilah yang membuat aku kagum sekali, Kun Liong. Aku suka kepadamu, dan aku akan... kalau diberi kesempatan... mungkin bisa jatuh cinta kepada seorang pria seperti engkau ini. Engkau telah menyelamatkan aku, bukan hanya aku, melainkan juga Ayah serta semua anak-anak perahu ini. Ayah sendiri yang berkata demikian kepadaku. Orang-orang Nepal itu sangat ganas, kejam dan kuat, kalau tidak ada engkau, kami semua pasti menjadi korban. Tetapi engkau masih selalu merendahkan diri. Betapa kuatnya kedua tanganmu yang tidak kelihatan kasar ini, seperti tangan wanita..." Yuanita menarik kedua tangan Kun Liong dan mencium tangan itu dengan bibirnya.
Dengan bibirnya! Kun Liong merasa kecupan bibir hangat pada tangannya dan wajahnya menjadi merah sampai ke kepalanya, jantungnya berdebar dan dia segera menarik kedua tangannya.
"Ahhh, engkau jangan berlebihan, Yuanita..." katanya agak terharu karena perbuatan dara itu dianggapnya terlalu merendah.
Yuanita bangkit berdiri sambil menarik tangan Kun Liong. Mereka berdiri berhadapan, dan Yuanita merapatkan tubuhnya.
"Kun Liong... kami sudah berhutang nyawa kepadamu dan sebagai tanda terima kasih, baru mencium tanganmu saja engkau sudah merasa aku berlebihan. Kun Liong, aku tahu bahwa orang seperti engkau ini, seorang pendekar dari bangsamu, seorang jantan yang berhati lembut, tentu tak mungkin bisa jatuh cinta kepadaku, seorang wanita asing yang serba kasar, tidak selembut wanita-wanita bangsamu yang seperti batang pohon yangliu ditiup angin lembut, yang bersikap malu-malu dan agung... akan tetapi, untuk menyatakan terima kasihku dengan setulus hatiku, kau... kau boleh... kalau engkau suka... kau boleh menciumku, Kun Liong."
Kun Liong terkejut. Ucapan seperti ini sama sekali tak pernah disangka-sangkanya. Tak pernah dia berani membayangkan untuk mencium dara itu, seorang dara asing, puteri seorang hartawan besar dan puteri seorang yang bijaksana dan pandai seperti Richardo de Gama!
Tentu saja dia tidak tahu bahwa dara asing dari Barat ini mempunyai kesan lain terhadap dirinya. Semenjak kecil, seperti anak-anak bangsanya yang lain, Yuanita telah sering kali mendengar dongeng tentang ksatria-ksatria berbaju besi yang menyelamatkan puteri dari tangan makhluk-makhluk buas, dan setiap kali seorang ksatria membebaskan seorang puteri cantik dari tangan makhluk buas dari ancaman mengerikan yang lebih hebat dari maut, Si Puteri akan menghadiahkan ciuman mesra dan hal ini biasanya bahkan menjadi tuntutan setiap orangi ksatria!
Kesan ini amat mendalam sehingga ketika melihat betapa dengan gagah perkasanya Kun Liong menyelamatkan dia, bahkan juga ayahnya dan seisi perahu dari keganasan bajak, apa lagi sesudah bercakap-cakap dan melihat sikap Kun Liong yang rendah hati, timbul keinginan di hati Yuanita unluk bersikap seperti seorang puteri yang tertolong oleh ksatria, dia menawarkan ciuman kepada pemuda gundul itu.
"Be... benarkah pendengaranku tadi, Yuanita?" Kun Liong bertanya, suaranya gemetar karena jantungnya sudah bergelora. Sejak tadi merasakan betapa bibir yang hangat dan lunak itu mencium tangannya, jantung Kun Liong sudah berdebar tidak karuan, apa lagi mendengar betapa dara yang mempunyai kecantikan aneh ini menawarkan ciuman!
"Pendengaran apa, Kun Liong?" Yuanita bertanya, mengangkat mukanya sehingga makin mendekat dengan wajah pemuda itu, senyumnya menggoda, matanya setengah terpejam sehingga bulu matanya hampir merapat dan menjadi tebal menimbulkan bayang-bayang indah di atas pipinya ketika tertimpa sinar lampu.
"Aku mendengar bahwa... bahwa... aku boleh menciummu?"
"He-hemmm... kalau kau suka..."
"Kalau aku suka...? Tentu saja aku suka..."
"Ihhh, canggung benar kau..." Yuanita tersenyum lebar mendengar kata-kata dan melihat sikap pemuda itu.
Kedua lengannya bergerak merangkul leher Kun Liong dan dara itu dengan tarikan halus membuat muka Kun Liong menunduk, maka tergetarlah seluruh tubuh Kun Liong ketika merasa betapa dara itu yang menciumnya! Mencium bibir dengan penuh kemesraan dan kehangatan.
Ketika dia mencium bibir Hwi Sian dahulu itu, terdapat kecanggungan dan meski pun dia senang melakukannya dengan Hwi Sian, namun karena dara itu sendiri pun takut dan tidak tahu caranya, maka perbuatan mereka itu jauh sekali bedanya kalau dibandingkan dengan apa yang dia alami sekarang.
Ciuman Yuanita ini seolah-olah merupakan pertemuan lebih mendalam, antara kedua hati dan kalbunya, seolah-olah dia merasa dilebur menjadi satu dengan dara ini, seolah-olah tak ada pemisah lagi antara kedua tubuh mereka. Seperti naik sedu-sedan dari dada Kun Liong, kedua lengannya mendekap tubuh itu, seluruh tubuhnya menggigil dan dia tidak dapat menguasai lagi kedua kakinya yang gemetar dan lemas, membuatnya terhuyung dan akhirnya dia jatuh berlutut sambil memeluk Yuanita.
"Hmmm... Kun Liong..." Yuanita berbisik, hanya untuk bernapas saja dan mereka sudah berciuman pula, kini Kun Liong duduk di atas papan perahu dan dara itu dipangkunya.
Entah apa yang akan terjadi dengan dua orang muda yang dilanda perasaan mesra yang biasanya tentu akan membangkitkan birahi itu kalau dibiarkan terlalu lama dalam keadaan seperti itu. Bagi Kun Liong, Yuanita merupakan seorang dara yang panas, segar dan berani, seperti gelora air laut di luar perahu itu, merupakan seorang makhluk aneh yang mempunyai kekuatan luar biasa sehingga membawanya terseret, hanyut dan tenggelam.
Kun Liong sudah tidak mampu menguasai hati dan pikirannya sendiri, yang sepenuhnya terasa hanyalah kelembutan bibir yang mengecup bibirnya, kepanasan hawa dari mulut yang memabokkan, kehangatan dan kepadatan tubuh yang merapat dengan tubuhnya, dan dia pun mabuk dibuai alunan nafsu birahi yang belum pernah menyerangnya sehebat itu!
Nafsu birahi memang seperti api menjalar, begitu bertemu dengan bahan bakarnya, maka makin dibiarkan makin menjadi, makin diberi makin menuntut dan tak akan pernah mau berhenti, tak akan mau sudah kalau belum sampai titik terakhir.
Bagi Yuanita sendiri Kun Liong merupakan seorang pemuda yang asing dan aneh, dan karenanya mendatangkan daya tarik yang luar biasa. Sebagai seorang dara berbangsa Portugis yang jauh lebih bebas dalam pergaulan antara pria dan wanita, sudah tentu saja dia pernah berkenalan dengan teman pria dan ciuman bukan merupakan hal baru dan aneh baginya.
Akan tetapi, belum pernah Yuanita mengalami guncangan perasaan seperti saat itu. Hal ini terdorong oleh rasa terima kasihnya, rasa kagumnya terhadap Kun Liong, ditambah keadaan Kun Liong yang asing dan aneh yang membuat pemuda itu merupakan seorang pemuda atau pria yang lain dari pada yang telah dikenalnya sebelum itu.
Karena itu dia pun terhanyut oleh gelombang perasaannya sendiri sehingga bersama Kun Liong dia pun hampir lupa segalanya, hampir tidak mempedulikan lagi segala hal yang terjadi di luar mereka, dan yang ada hanyalah membiarkan diri terseret oleh nafsu birahi yang membuai dan melayangkan mereka ke tengah-tengah awan kenikmatan.
"Tuuuttt... tuuuut... tuuutttt...!"
Suara bunyi tanda peluit dari tempat penjagaan di atas ini mengejutkan sepasang orang muda itu dan serentak Kun Liong melepaskan pelukannya. Untuk sejenak mereka saling pandang, seperti baru sadar dari sebuah mimpi muluk dan pertukaran pandang ini cukup menyadarkan mereka benar-benar.
"Ahh... Yuanita... maafkan aku..."
"Bukan salahmu... Kun Liong... aku pun membiarkan diriku terseret..."
"Untung kita lekas sadar, Yuanita. Hampir saja...!" Kun Liong cepat merapikan pakaiannya sendiri kemudian membantu merapikan pakaian dara itu yang dia sendiri tidak ingat lagi bagaimana bisa menjadi tidak karuan dan setengah terbuka seperti itu!
Yuanita membiarkan dirinya digandeng dan ditarik ke atas. Mereka berdiri berhadapan dan saling berpandangan. Yuanita memegang kedua tangan Kun Liong.
"Memang... hampir saja, Kun Liong. Akan tetapi... andai kata terjadi pun, aku.. aku akan merasa bahagia dan bangga, kalau... kalau... engkau menjadi pria pertama..."
"Husshh...! Bagaimana kau bisa bilang begitu, Yuanita? Kita bukan suami isteri, kita tidak saling mencinta... betapa besar dosaku bila sampai terjadi. Engkau tentu akan menyesal seumur hidup, dan aku... aku... selamanya akan merasa berdosa kepadamu."
"Mungkin. Akan tetapi, kurasa tidak akan sukar bagiku untuk belajar mencintamu, Kun Liong."
Kun Liong memandang bingung. Segala ucapan dara asing ini mendatangkan perasaan aneh dan membingungkan. "Aku tidak tahu... apakah mungkin cinta itu dipelajari? Betapa pun juga, maafkan aku, Yuanita, aku tadi lupa diri... dan percayalah, selama hidupku aku tak akan melupakan engkau. Engkau akan selalu kukenang sebagai seorang perempuan yang amat baik, ramah, lembut dan cantik, jelita, seorang sahabatku yang luar biasa..."
"Tuut... tuut... tuuuutttt…!"
Mereka menengok ke atas kanan dan melihat penjaga di atas tali-temali layar meniupkan terompetnya yang panjang.
"Ada apakah?" Kun Liong tertanya, tidak mengerti apa artinya itu.
"Tentu penjaga itu melihat sesuatu," kata Yuanita.
Terdengar derap langkah sepatu ke luar dari dalam dan muncullah Richardo de Gama beserta orang-orang lain. Kakek ini memandang kepada puterinya, kemudian kepada Kun Liong sejenak, lalu bertanya, "Apa yang terjadi? Kenapa terompet ditiup? Haiii! Ada apa?" Teriaknya ke atas dalam bahasanya sendiri.
Penjaga di atas menjawab dengan teriakan parau, "Ada kapal di sebelah kiri!"
"Lekas nyalakan lampu sorot!" Richardo de Gama memerintah.
Terjadi kesibukan di situ dan tidak lama kemudian kapal besar itu tampak bayangannya, seperti seorang raksasa muncul dari dalam kegelapan malam di tengah lautan. Mula-mula terjadilah pertukaran isyarat melalui gerakan lampu kemudian sesudah makin mendekat, antara kedua kendaraan air itu terjadi kontak dengan menggunakan corong dan teriakan mulut.
Terdengar sorak-sorai di kedua pihak dan semua orang di perahu yang ditumpangi Kun Liong bergembira ria.
"Apakah yang terjadi, Yuanita?" tanya Kun Liong kepada dara yang berdiri di dekatnya.
Yuanita juga berseri wajahnya ketika menjawab, "Kapal itu adalah Kuda Terbang!"
Tentu saja Kun Liong terkejut dan juga gembira mendengar ini. "Dan aku akan dapat berjumpa dengan Yuan di sana?" Dia menuding ke arah bayang-bayang hitam besar itu.
Yuanita mengangguk manis "Bukan hanya Yuan kakakku, juga di sana ada pula Legaspi Selado dan isteri mudanya yang bernama Nina, dan puteranya bernama Hendrik, dan masih banyak lagi karena semua bangsa kami yang berada di sini sudah berkumpul di kapal itu."
Terjadi kesibukan luar biasa ketika perahu besar dan kapal itu saling merapat. Sebuah anak tangga dipasang dan Richardo de Gama mengajak Kun Liong serta Yuanita untuk menyeberang ke Kapal Kuda Terbang yang jauh lebih besar dan lebih lengkap itu.
Kun Liong turut bergembira melihat Yuan de Gama yang menyambut ayahnya dan adik perempuannya. Ia amat terharu melihat Yuanita berpelukan dengan kakaknya, terkenang betapa beberapa saat yang lalu dara yang cantik itu sudah berpelukan dan berciuman dengan dia! Pada waktu Yuanita membisiki sesuatu kepada kakaknya dan menoleh, Yuan mengangkat muka memandang.
"Haloooo...! Bukankah kau Yap Kun Liong-taihiap?" serunya sambil melepaskan adiknya, kemudian melangkah lebar menghampiri Kun Liong dan mengulur lengan kanannya.
Kun Liong tidak kaget lagi melihat ini. Dia sudah tahu sekarang bahwa cara pemberian hormat, atau bersalaman dari orang-orang asing ini adalah dengan jalan berjabat tangan dan mengguncang-guncangnya. Maka dia menyambut sodoran tangan itu dan mereka pun berjabat tangan.
"Tuan Yuan de Gama, sungguh tak menyangka akan bertemu denganmu di sini," kata Kun Liong gembira.
Yuanita telah mendekat dan dengan sibuk menceritakan dalam bahasanya sendiri kepada kakaknya tentang pertolongan yang diberikan oleh Kun Liong kepada anak buah Perahu Ikan Duyung, yaitu perahu ayahnya itu, ketika Perahu Ikan Duyung diserbu penjahat.
"Ahhh, terima kasih banyak, Yap-taihiap..."
"Jangan menyebutnya taihiap, dia bisa marah. Namanya Kun Liong!" Yuanita mencela kakaknya.
"Dia benar, Yuan. Kita adalah sahabat, sebut saja namaku," kata Kun Liong.
Yuan memandang kepada adiknya, kemudian kepada Kun Liong, lalu tersenyum lebar. "Apa pula ini? Eihhh, jangan main-main kau, Yuanita. Apakah kau hendak mengatakan bahwa kau sudah menjatuhkan hatimu di depan kaki pendekar perkasa ini?" Dia tertawa bergelak.
"Andai kata benar demikian, apakah engkau tidak setuju?" Yuanita juga berkata sambil tertawa.
"Tentu saja!"
Kun Liong benar-benar terkejut bukan main. Kelakar kakak beradik itu dianggapnya agak keterlaluan dan luar biasa sekali sehingga muka dan kepalanya menjadi merah semua. Mengapa mereka bicara demikian bebas, seakan-akan urusan cinta merupakan hal yang boleh dianggap main-main?
Mereka menghentikan senda guraunya ketika melihat Legaspi Selado dan seorang wanita berusia tiga puluh tahun yang amat cantik dan berpakaian mewah, sedangkan Hendrik Selado berjalan di sebelah wanita ini. Mata pemuda itu memandang kepada Kun Liong dengan penuh perhatian.
Kun Liong tidak mempedulikan yang lainnya, dia hanya menatap tajam ke arah Legaspi Selado, kakek botak gendut yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian tinggi itu.
"Heiii! Bukankah ini penjahat itu...?"
Tiba-tiba Hendrik berseru ketika dia sudah datang dekat dan telunjuknya menuding ke arah muka Kun Liong. "Tidak salah lagi, inilah dia Si Gundul yang dahulu menolong dan melarikan mata-mata wanita di Ceng-to!"
Ucapan itu dikeluarkan dalam bahasa asing sehingga Kun Liong tak mengerti maksudnya. Akan tetapi karena sejak tadi pemuda ini memperhatikan Legaspi Selado maka dia dapat melihat ketika kakek itu menggerakkan tangan yang memegang cambuk kuda.
"Tar-tar-tarrr...!"
Kun Liong sudah mengelak cepat sehingga tiga kali serangan itu luput.
"Tuan Selado, engkau tidak boleh menyerang dia!" Tiba-tiba saja Yuanita lari ke depan, menghadang di depan kakek yang memegang cambuk itu dengan sikap menantang dan membusungkan dadanya yang sudah membusung penuh itu.
Cepat sekali Yuan meloncat ke depan sambil berteriak. "Hendrik, jangan...!" Pemuda itu sudah memegang tangan Hendrik yang sudah mencabut pistolnya. "Jangan ganggu dia, dia telah menyelamatkan Perahu Ikan Duyung, menyelamatkan ayahku dan adikku!"
Menyaksikan keributan ini Richardo langsung melangkah maju, kemudian segera terjadi percakapan dan perbantahan antara orang-orang asing itu, ditonton dan didengarkan oleh Kun Liong yang tidak mengerti artinya, namun dia dapat menduga dengan mudah, bahwa terjadi perbantahan antara pihak Legaspi dan Hendrik melawan pihak Richardo dan dua orang anaknya yang membela dia! Terutama sekali yang sangat mengharukan hatinya adalah sikap Yuanita yang seperti sudah menjadi seekor harimau betina, sepasang mata biru itu menyinarkan api, rambutnya yang terkena angin laut itu berkibar-kibar, sikapnya penuh semangat.
Pada saat terjadi percekcokan itu, nyonya muda cantik yang tadi datang bersama Legaspi Selado dan Hendrik, mendekati Kun Liong dan menatap wajah pemuda ini dengan penuh perhatian. Kun Liong dapat menduga tentu inilah yang bernama Nina Selado, isteri muda Si Kakek Botak itu. Hemmm, seorang wanita yang cantik dan sikapnya berani dan masak, pikirnya.
"Jadi engkau adalah seorang yang biasa disebut pendekar-pendekar itu?" tanya wanita itu dengan suara kaku namun suaranya yang basah dan agak parau mendatangkan sesuatu yang memikat, juga menyeramkan bagi Kun Liong.
Kun Liong tidak menjawab, hanya membalas pandang mata itu dengan waspada, karena dia tidak tahu apakah wanita cantik ini berbahaya pula seperti Legaspi Selado.
Kakek itu memanggil, "Nina...!" dan wanita itu pergi meninggalkan Kun Liong. Kemudian, Legaspi Selado, Nina, dan Hendrik pergi memasuki kamar kapal dengan sikap tidak puas.
Yuan dan Yuanita menghampiri Kun Liong. "Kun Liong, untung Ayah berhasil menekan kemarahan Tuan Selado," kata Yuanita. "Dan terutama sekali Yuan sebagai kapten Kapal Kuda Terbang berkuasa penuh untuk menanggungmu sebagai seorang tamu yang tidak boleh diganggu."
"Terima kasih, Yuan. Engkau baik sekali. Akan tetapi, bukankah dia itu adalah gurumu? Bagaimana engkau dapat menantang gurumu sendiri?"
"Sungguh pun dia guruku, akan tetapi sebagai kapten kapal, akulah yang menjadi orang pertama yang berkuasa menentukan segala yang terjadi di atas kapal ini. Aku memberi tahukan guruku bahwa permusuhan antara dia dan kau terjadi ketika kami masih bekerja sama dengan para pemberontak di Ceng-to. Karena kita semua berada di kapal, tidak ada sangkut-pautnya dengan masalah pemberontakan di darat, maka saat itu engkau tak bisa dianggap musuh. Mari kita masuk ke kamarku dan kita berunding bagaimana baiknya."
Kun Liong mengikuti Yuan, Yuanita dan Richardo de Gama memasuki kamar Yuan yang cukup luas dan mereka lalu duduk menghadapi meja sambil bercakap-cakap. Dari Yuan, mereka semua mendengar penuturan mengenai pemberontakan yang gagal dan tentang usaha pendekatan para pedagang asing itu terhadap pembesar pemerintah.
"Kaisar sudah bersikap baik sekali kepada kami," Yuan menutup penuturannya dengan menarik panjang. "Setelah keributan mereda, kami masih diperkenankan untuk mendarat dan berdagang di sekitar pantai Teluk Pohai. Karena itu, maka aku tadinya mengambil keputusan untuk kembali ke barat dan mengabarkan kepada para pedagang yang berniat membawa berang dagangan ke timur. Akan tetapi yang masih memusingkan adalah sikap guruku, Tuan Legaspi Selado bersama kawan-kawannya. Mereka itu tidak merasa puas dengan keputusan dan kebijaksanaan Kaisar. Mereka menganggap bahwa perdagangan di tempat terbatas, yaitu di pantai itu, tidak akan mendatangkan cukup keuntungan, tidak seperti kalau kita dapat mendarat sampai ke pedalaman dan langsung membeli rempah-rempah dari para penduduk pribumi, juga secara langsung menjual barang-barang kepada mereka, tidak melalui perantara-perantara yang akan memeras di pantai. Karena itu, aku khawatir sekali akan timbul hal-hal tidak menyenangkan seperti pemberontakan yang ke dua dan sebagainya..."
"Apa pun yang akan mereka lakukan asal engkau tidak mencampurinya, Yuan. Lebih baik engkau membentuk kelompok tersendiri dengan pedagang-pedagang yang jujur dan yang memang beritikad baik, semata-mata untuk berdagang saja dan tidak ingin mencampuri urusan pemerintah dan pemberontakan," kata Kun Liong.
"Apa yang dikatakan Yap-taihiap memang benar, Yuan," kata Richardo de Gama. "Sejak dulu kita bukan keluarga pemberontak dan petualang. Kita adalah keluarga pedagang."
Yuan mengangguk-angguk. "Aku pun tidak suka kalau terseret ke dalam pemberontakan pribumi terhadap kaisar mereka. Akan tetapi sayang, hal itu telah terjadi dan tentu kami sudah mendapatkan kesan buruk dari Kaisar. Andai kata tidak pernah terjadi persekutuan dengan pemberontak terkutuk itu, agaknya pihak pemerintah akan lebih longgar terhadap kita, apa lagi mengingat akan hubungan pemerintah yang makin luas dengan luar negeri berkat pelayaran-pelayaran Laksamana The Hoo yang bijaksana..."
"Ahhhh... ada jalan untuk berjasa kepada Panglima Besar The Hoo!" Tiba-tiba Kun Liong berkata, teringat akan bokor emas di Pulau Ular. "Bokor emas pusaka milik Panglima The Hoo yang hilang itu terampas orang dan kini berada tidak jauh dari tempat ini. Kalau saja engkau dapat mengembalikan bokor itu dan menyerahkannya kembali kepada Panglima The Hoo, agaknya engkau akan berjasa besar dan soal ijin perdagangan ke pedalaman tentu akan ditinjau kembali."
"Ha-ha-ha! Pendapat yang bagus sekali! Aku setuju seratus persen. Di mana bokor itu?" Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan tubuh gendut Legaspi Selado memasuki kamar itu.
Yuan bangkit berdiri. "Tuan, terpaksa saya menyatakan tidak setuju kalau Tuan hendak membawa kita memperebutkan bokor emas yang menghebohkan itu, yang bukan menjadi hak kita!"
Legaspi Selado menggerakkan tangannya mencela. "Aihh, Yuan. Mengapa begitu bodoh? Siapa yang ingin merampas bokor? Segala yang sudah kita lakukan, dari memperebutkan bokor sampai ikut pemberontak, tiada lain hanya untuk mendapat kesempatan berdagang sebaiknya. Semua usaha kita gagal, sekarang sahabat muda ini telah menunjukkan jalan yang sangat baik. Kita usahakan agar bokor emas itu dapat kita peroleh, kemudian kita haturkan kepada Panglima The Hoo, tentu kita mendapat jasa dan tentang perdagangan, akan mudah saja. Ha-ha-ha! Sahabat Yap Kun Liong yang baik, di manakah bokor itu?"
Kun Liong adalah seorang muda yang cerdik. Dia sudah terlanjur bicara, apa bila kini dia merahasiakan, kakek aneh yang sakti ini tentu akan menjadi penghalang dan musuh, dan sangat tidak enak kalau terjadi perpecahan di kapal itu. Kakek itu lihai, baik sekali kalau diajak bersama-sama merampas bokor karena Pulau Ular merupakan tempat yang amat berbahaya. Apa lagi dua orang datuk itu, Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dan puteranya, Ouwyang Bouw, dibantu lagi oleh Toat-beng Hoatsu beserta semua anak buah mereka, bukan merupakan lawan ringan.
"Memang kita harus bekerja sama," akhirnya dia berkata setelah semua duduk. "Bokor emas itu berada di tangan dua orang datuk kaum sesat, yaitu Ouwyang Kok yang berjuluk Ban-tok Coa-ong dan Toat-beng Hoatsu. Sekarang mereka bersama anak buah mereka bersembunyi di Pulau Ular, tidak jauh dari sini, di sebelah selatan Teluk Pohai."
Legaspi Selado bangkit berdiri, "Yuan de Gama! Kalau begitu kita menunggu apa lagi? Kita putar haluan, ke selatan mencari Pulau Ular!"
Kun Liong menyambut pandang mata penuh pertanyaan dari Yuan itu dengan anggukan kepala, maka Yuan lalu meneriakkan perintah melalui corong supaya kapal itu diputar dan digerakkan ke selatan, sedangkan Perahu Ikan Duyung mengikuti dari betakang. Sesudah Legaspi Selado yang kelihatan gembira dan bersemangat itu meninggalkan kamar, Yuan de Gama berkata lirih.
"Kun Liong, kenapa engkau membuka rahasia itu kepada guruku?"
"Ssttt... dia dapat merupakan pembantu yang amat kuat, Yuan. Ketahuilah, bukan hanya bokor emas itu yang penting. Kita memang harus menyerbu ke Pulau Ular, sedangkan di sana terdapat dua orang datuk yang sakti bersama anak buah mereka yang kuat."
"Aku tidak inginkan bokor emas!"
"Hussshhh, engkau tidak menginginkannya, akan tetapi kalau kau dapat mengembalikan kepada Panglima Besar The Hoo, maka jasamu besar sekali. Selain itu, engkau tidak tahu bahwa kita juga harus menolong Nona Souw Li Hwa..."
Wajah Yuan de Gama berubah dan dia memegang lengan Kun Liong, mencengkeramnya erat-erat. "Apa katamu?! Dia... dia... kenapa?"
Yuanita membelalakkan mata. "Yuan! Siapakah nona itu?"
"Dia sahabat baikku. Dia seorang panglima wanita yang hebat. Kun Liong, lekas katakan apa yang terjadi dengan dia?"
"Aku sendiri belum tahu, akan tetapi yang jelas, Nona Souw Li Hwa sudah melakukan penyelidikan sendiri ke Pulau Ular yang berbahaya itu sehingga aku khawatir sekali dia akan menghadapi mala petaka di sana. Karena itu, bukankah tepat sekali kalau kita pergi ke sana, selain untuk membantu mendapatkan kembali pusaka Panglima The Hoo, juga untuk melindungi Nona Souw Li Hwa?"
"Jika begitu kita harus cepat ke sana!" Yuan de Gama kembali menyambar corong untuk memerintahkan anak buahnya agar melakukan pelayaran secepatnya.
Richardo de Gama menghela napas panjang, mendekati Kun Liong dan berbisik, "Apakah dia sudah jatuh cinta kepada panglima wanita itu?" Kun Liong hanya mengangguk sambil tersenyum, kemudian setelah minta diri, dia mundur dan memasuki kamarnya yang sudah dipersiapkan untuk dia.
Kun Liong meniup padam lilin di atas meja kamar kecil itu, lalu menanggalkan pakaian luarnya dan sepatunya. Setelah dia merebahkan diri di atas pembaringan, dia termenung. Sungguh banyak pengalaman yang dialaminya selama ini, pengalaman yang aneh-aneh, terutama sekali pengalaman dengan wanita-wanita cantik. Masih terasa olehnya saat-saat saling bertukar cumbu rayu dengan Yuanita.
Dalam kegelapan kamarnya itu, terbayanglah wajah Yuanita yang cantik, juga terdengar bisikan halus menggetar yang suaranya asing itu. Akan tetapi tak lama kemudian, wajah wanita yang dibayangkannya ini sudah berganti rupa, berubah menjadi wajah Yo Bi Kiok, kemudian berubah lagi menjadi wajah Souw Li Hwa, wajah Cia Giok Keng, dan akhirnya berubah menjadi wajah Lim Hwi Sian yang tak akan pernah dilupakannya! Diam-diam Kun Liong menghela napas panjang.
Kenapa hidupnya terisi oleh pertemuan-pertemuan yang mengesankan dengan berbagai gadis cantik itu? Dan mengapa setiap kali bertemu dengan dara jelita, dia merasa tertarik dan suka? Apakah ini yang disebut mata keranjang? Apakah dia mata keranjang? Adakah di dunia ini seorang pemuda yang tidak suka melihat dara jelita? Apakah hanya dia yang selalu merasa tertarik, ingin bercakap-cakap dengan mereka, ingin bersahabat dengan mereka dan ingin... mencium bibir yang segar kemerahan itu? Kotorkah pikiran seperti ini? Dia tidak dapat menjawab dan kembali dia menarik napas panjang.
Kau mata keranjang, tolol, dan anak durhaka! Dia memaki diri sendiri. Sampai selama ini, dia masih belum berhasil mendengar berita tentang ayah bundanya. Dan tak ada sebuah pun di antara tugas-tugasnya yang dapat dia selesaikan dengan baik! Mencari orang tua belum ada hasilnya. Urusan bokor emas yang sudah berada di tangannya malah menjadi berlarut-larut dan makin sulit diperoleh. Usaha mengembalikan pusaka Siauw-lim-pai dan minta pusaka itu kembali dari Kwi-eng-pang juga belum berhasil. Sekarang ditambah lagi dengan tugas membantu dan menyelamatkan Souw Li Hwa!
Sekali ini dia harus berhasil. Meski pun Pulau Ular kabarnya berbahaya, akan tetapi Kapal Kuda Terbang itu amat besar dan kuat, diperlengkapi pula dengan senjata meriam. Juga dia memperoleh bantuan orang-orang pandai seperti Legaspi Selado, Hendrik, Yuan dan semua anak buah mereka.
Kalau dia berhasil membantu Li Hwa, apa lagi berhasil merampas kembali bokor emas, berarti semua jerih payahnya tidak sia-sia. Dia harus segera menyelesaikan urusan ini, kemudian dia harus mencari orang tuanya. Dia harus mengerahkan seluruh perhatiannya untuk mencari jejak orang tuanya.
Urusan pribadi ini sebetulnya paling penting dan jantungnya berdebar agak tegang penuh kekhawatiran bila dia teringat akan ucapan Pendekar Sakti Cia Keng Hong. Bukan hanya kekhawatiran kosong yang diucapkan supek-nya itu. Jika memang ayah bundanya masih hidup di dunia ini, kenapa sampai sekian lamanya mereka diam saja dan tidak ada kabar beritanya sama sekali? Orang-orang gagah perkasa seperti ayah bundanya tidak mungkin menyembunyikan diri karena takut akan sesuatu!
Malam mulai larut dan Kun Liong yang tenggelam dalam lamunannya, mulai berselubung rasa kantuk. Dia sudah memiliki pegangan atau rencana masa mendatang, yaitu setelah selesai dengan urusan Pulau Ular, dia akan meninggalkan semua urusan lain kemudian mencurahkan perhatian seluruhnya dalam mencari orang tuanya. Rencana yang menjadi pegangan ini melegakan hatinya.
Dia hampir tertidur pulas ketika tiba-tiba pintu biliknya dibuka orang dari luar. Mula-mula, sesuai dengan ilmu silat yang telah mendarah daging dalam tubuhnya, pada saat itu juga semua urat syarafnya telah menegang dalam kesiap siagaan menghadapi suatu ancaman bahaya. Namun ketika melihat bayangan tubuh yang tersorot penerangan dari luar kamar, ketegangannya menjadi meningkat tapi sifatnya berubah, bukan tegang karena khawatir, melainkan karena heran.
Jelas tampak sesosok bayangan tubuh yang berpinggang ramping, tubuh seorang wanita! Yuanita? Dadanya berdebar keras. Benarkah Yuanita yang masuk? Alangkah beraninya memasuki kamarnya yang gelap. Akan terulang lagikah peristiwa yang memabokkan itu? Sekarang amat berbahaya karena mereka berada di dalam kamamya, kamar yang gelap!
Timbul kekhawatiran dalam hati Kun Liong. Dia ingin melompat, ingin menyalakan lampu di kamarnya, ingin membujuk agar Yuanita tidak melanjutkan niatnya, agar dara itu keluar dari kamar, pergi meninggalkannya. Akan tetapi semua keinginannya itu tertunda ketika dia mendengar suara lirih, suara wanita yang basah merdu,
"Tuan... kekasihku..." Suara yang basah parau namun lunak merdu, suara Nina!
Kun Liong terpesona dan seperti seekor kelinci mencium bau harimau, dia bangkit duduk, kemudian mengambil keputusan untuk cepat meninggalkan kamar itu karena keadaannya amat ‘berbahaya’. Tanpa berkata apa-apa dia lalu meloncat dan lari dari kamarnya.
Akan tetapi baru saja keluar dari pintu, dia sudah diserbu wanita itu, dirangkul dan ditarik kembali ke dalam kamar yang gelap! Wanita itu melempar daun pintu tertutup, kemudian terdengar langkahnya mendekatinya, membuat Kun Liong menggigil dan duduk di atas pembaringannya, tak dapat mengeluarkan suara sedikit pun.
"Yuan... gelap amat..." wanita itu berbisik lagi.
Akan tetapi kini dua buah tangan meraba pundak Kun Liong. Dua buah lengan merangkul dan sebuah tubuh yang lunak hangat mendekapnya, sepasang bibir yang basah dengan napas terengah-engah menjelajahi mukanya untuk kemudian berhenti mengecup bibirnya dalam sebuah ciuman yang membuat Kun Liong hampir pingsan!
Tak pernah Kun Liong dapat membayangkan akan ada ciuman seperti itu! Yuanita sudah merupakan pengalaman luar biasa ketika menciumnya, akan tetapi dibandingkan dengan ini, Yuanita bukan apa-apa! Ciuman wanita ini seolah-olah menembus jantungnya, terasa sampai di tulang sumsum sehingga membuat seluruh tubuh Kun Liong panas dingin, kaki tangannya menggigil, kepalanya berdenyut dan pandang matanya berkunang! Dahsyat!
"Haiiiii...!" Mendadak Nina berteriak lirih, tangan wanita yang halus itu membelai, meraba muka dan kepala yang gundul, kemudian terdengar wanita itu menahan tawa, terkekeh genit. "Kaukah ini...? Kau... pemuda yang katanya seorang pendekar yang sakti? Ahhh, aku mendengar bahwa seorang pendekar memiliki kekuatan yang luar biasa... aku kagum padamu..."
Kun Liong gelagapan ketika wanita itu merayunya, membelai, memeluk dan menciumnya. Ucapan Nina dalam bahasa daerah bercampur bahasa asing membuatnya bingung. Bau minyak wangi yang aneh memabokkannya, dan terutama sekali tubuh wanita yang hidup mendekapnya itu membuat Kun Liong kehilangan akal.
"Jangan... Nyonya... jangan... maafkan aku, harap suka tinggalkan aku, aku... aku takut kalau ketahuan orang..." katanya gagap.
"Hi-hik-hik, beginikah pendekar? Mengapa penakut? Tidak sukakah kau kepadaku? Tidak senangkah kau kucium seperti ini?"
Nina kembali menciuminya, mencium kepalanya, mukanya, bibirnya dan kedua lengannya merangkul ketat sehingga tubuh Kun Liong menjadi panas dingin dibuatnya.
Kun Liong hanyalah seorang manusia biasa, seorang pria muda yang tentu saja berdarah panas. Menghadapi rayuan yang amat luar biasa itu, hampir dia tidak mampu menahan dirinya. Tubuhnya panas dingin dan gemetar, dan seperti seorang yang mabok, pandang matanya berkunang.
Tubuh wanita yang masak itu kelihatan luar biasa menariknya tersorot cahaya remang-remang dari sinar lampu yang memasuki kamar itu melalui celah-celah jendela dan pintu. Akan tetapi dia masih teringat bahwa wanita ini adalah isteri dari Legaspi Selado, bahwa merupakan perbuatan terkutuk untuk berjinah dengan isteri orang lain! Ingatan ini lantas mengeraskan hatinya dan dia mendorong tubuh wanita itu dengan halus.
"Nyonya, jangan lakukan ini! Jangan lanjutkan perbuatan gila ini!" katanya lirih.
"Ahhhh... berani engkau menolak aku? Engkau yang sudah menggigil penuh nafsu ini... hi-hi-hik, orang muda yang kuat, jangan kau berpura-pura alim..."
Mereka seperti bergulat. Kun Liong mencegah ada pun wanita itu hendak menggelutinya. Pada saat itu terdengar suara Yuan,
"Kun Liong, dengan siapakah kau di dalam?"
Kun Liong terkejut bukan main. Apa lagi pintu kamar itu terbuka dari luar dan Yuan de Gama masuk membawa sebuah lampu! Kun Liong cepat meloncat menjauhi Nina dan membetulkan kancing bajunya yang hampir terlepas semua. Wanita itu hanya tersenyum dengan mulut agak terengah, matanya seperti mata seekor singa kelaparan!
"Yuan... dia... dia ini..." Kun Liong berkata gagap.
Yuan mengangguk. "Aku tahu, Kun Liong. Karena itu aku masuk ke sini untuk menolong dan membebaskanmu dari harimau betina kelaparan!"
Lega rasa hati Kun Liong. Dia memandang kepada sahabatnya itu penuh terima kasih, kemudian tanpa berkata apa-apa dia meloncat keluar dari kamar, langsung menuju ke dek kapal untuk mencari ‘hawa segar’.
"Nina, sungguh kau terlalu sekali! Dia adalah penolong dan tamu terhormat, mengapa kau begitu tidak tahu malu untuk..." Yuan de Gama menegur wanita muda yang kini duduk di pembaringan Kun Liong dengan baju atas setengah terbuka membayangkan dada yang membusung penuh, yang tersenyum dengan muka kemerahan, dengan mata mengerling basah ke arah Yuan, senyum yang penuh ejekan dan tantangan!
"Yuan, kau tidak tahu. Semua ini gara-gara engkaulah! Betapa rinduku kepadamu hampir tak dapat aku menguasai diriku lagi, dan kau selalu berpura-pura, selalu menjauhkan diri setelah dahulu..."
"Cukup, Nina! Satu kali itu saja sudah cukup. Aku pernah gila, akan tetapi semua adalah karena bujuk rayumu. Aku tidak akan mengulanginya lagi perbuatan terkutuk kita itu!"
"Hi-hi-hik, Yuan! Ketahuilah, aku tidak sengaja masuk ke kamar ini. Siapa sudi bercumbu dengan Si Gundul itu kalau ada engkau di sini? Kukira ini kamarmu, aku lupa bahwa kau memberikan kamar ini kepada Si Gundul. Aku salah masuk, dan karena sudah terlanjur, untuk menutupi maluku, aku... hemmm... dia pun..."
"Sudahlah, Nina. Tak perlu kau berpura-pura. Aku mengenal pemuda seperti Kun Liong, seorang pendekar sakti, seorang jantan sejati yang tak mungkin akan sudi mengganggu seorang wanita kalau tidak kau bujuk rayu. Keluarlah dari kamar ini sebelum Tuan Selado mengetahuinya sehingga terjadi hal yang memalukan."
Tetapi Nina malah bangkit, dengan melenggang-lenggok menggairahkan dia menghampiri Yuan de Gama, merangkulnya dan berkata dengan sikap dan suara manja. "Yuan, tidak kasihankah kau kepadaku? Aku rindu kepadamu, aku cinta kepadamu..."
"Diam!" Yuan merenggutkan tubuhnya terlepas dari pelukan wanita itu. "Orang seperti kau tidak patut bicara tentang cinta! Dan aku tidak cinta kepadamu! Ketahuilah, hanya ada seorang wanita saja di dunia ini yang benar-benar patut kucinta, yang kucinta sepenuh nyawaku. Dia adalah Souw Li Hwa!"
Kun Liong yang sudah kembali dan mendengar dari luar, terkejut dan menyelinap pergi, akan tetapi dia tidak mengira bahwa pemuda asing itu akan terang-terangan mengaku di depan Nina bahwa dia hanya mencinta Li Hwa seorang. Diam-diam Kun Liong merasa terharu dan kasihan kepada Yuan de Gama.
Li Hwa adalah seorang gadis gagah perkasa dan keras hati, murid tunggal Pendekar Sakti The Hoo yang berkedudukan tinggi. Mungkinkah seorang dara seperti Li Hwa akan dapat membalas cinta seorang pemuda asing seperti Yuan de Gama?
Terjadi kegaduhan di kamar itu karena dengan berkeras Yuan menolak bujuk rayu Nina. Akhirnya tampak oleh Kun Liong yang menyelinap bersembunyi betapa Nina berlari keluar dari kamar itu sambil terisak menangis. Diam-diam Kun Liong merasa kasihan juga pada wanita itu, maka dia menyelinap dan membayangi dari jauh untuk melihat apa yang akan terjadi dengan wanita yang dianggapnya bernasib malang itu.
Biar pun dia sendiri belum berpengalaman, namun dia dapat merasakan bahwa wanita itu tersiksa oleh nafsunya sendiri, nafsu yang mendesak-desaknya sehingga membutuhkan penyaluran. Akan tetapi celaka bagi wanita itu, dua orang pria muda yang ditemuinya, dia sendiri dan Yuan de Gama, tidak bersedia melayaninya...
Orang itu berteriak kesakitan, goloknya terlepas, akan tetapi dia nekat dan menerjang Kun Liong dengan tangan kanan mencengkeram ke arah leher. Kun Liong menyambut tangan itu dengan tangkisan, kemudian kakinya menendang.
"Desss!" Tubuh bajak ini pun terlempar keluar dari perahu besar.
Kun Liong tahu bahwa pada saat itu pula ada golok menusuk dari belakang mengarah ke punggungnya.
"Saudara muda, hati-hati belakangmu...!" Kakek itu berseru.
Akan tetapi Kun Liong yang sudah menangkap seorang bajak lain, tidak mempedulikan tusukan itu tapi mengerahkan sinkang-nya. Ujung golok itu tepat mengenai punggungnya, merobek bajunya sampai terbuka lebar, akan tetapi pada waktu mengenai kulitnya yang terlindung sinkang dari dalam, golok itu langsung meleset. Kun Liong melemparkan orang yang ditangkapnya, membalik dan tendangannya membuat orang yang menusuknya tadi terjungkal, kemudian dia pun melemparkan orang ini ke luar perahu.
Amukan Kun Liong membuat para bajak yang terdiri dari orang Nepal berambut panjang dan orang-orang Han yang kasar itu menjadi jeri. Mereka bersuit panjang dan seorang demi seorang cepat melompat keluar dari perahu besar.
Para anak buah perahu besar menjenguk ke luar, melihat betapa para bajak yang pandai berenang itu saling bantu menyelamatkan diri dengan perahu-perahu kecil mereka dan sebentar saja perahu-perahu itu lenyap ditelan kegelapan malam.
Kun Liong dirubung oleh semua orang. Kakek asing itu memerintahkan supaya perahunya mengambil arah ke utara, menjauhi sebuah pulau yang nampak pada sore tadi, karena dia menduga bahwa agaknya bajak-bajak itu datang dari pulau itu, daratan yang terdekat dari situ.
Kun Liong menghapus peluh dan air laut yang membasahi muka, leher dan kepalanya yang gundul. Dia dihujani pertanyaan oleh orang-orang yang merubungnya, akan tetapi karena pertanyaan itu ditujukan dalam bahasa asing, dia hanya tersenyum, tidak tahu apa yang mereka maksudkan.
"Kalian telah menolong aku dari laut, sudah semestinya aku membantu kalian mengusir bajak-bajak jahat itu," katanya berkali-kali karena dia menduga bahwa agaknya mereka itu menyatakan terima kasih mereka.
Makin bingunglah Kun Liong ketika muncul dara jelita bermata biru tadi bersama dengan tiga orang wanita muda lain yang agaknya adalah pelayan-pelayannya. Tiga orang wanita muda yang rambutnya memakai kerudung, wajahnya manis-manis, sikapnya genit-genit itu pun menghujaninya dengan pertanyaan, senyuman serta kerling mata penuh kagum, membuat Kun Liong tersenyum meringis dengan kemalu-maluan sambil memandang ke arah dara jelita yang semenjak tadi memandangnya dengan senyum dan pandang mata kagum.
"Ahhh, ternyata engkau sebangsa pendekar yang sering kudengar diceritakan kakakku. Dan engkau memang hebat, pendekar gundul...!" kata dara jelita itu.
Kun Liong tersenyum-senyum sambil menggerak-gerakkan kepalanya yang gundul. Baru sekarang ini gundulnya tidak dipergunakan orang untuk mengejek atau dianggap pendeta, melainkan dijadikan sebutan pendekar gundul!
"Aaahh, aku... aku biasa saja, Nona...!" katanya agak gagap karena sinar mata biru itu benar-benar mempesona.
"Heiiii, jangan dirubung seperti ini! Minggir, minggir!" Tiba-tiba kakek asing itu datang dan sambil tertawa girang dia menyodorkan tangannya kepada Kun Liong.
Tentu saja Kun Liong tidak mengerti dan memandang tangan yang disodorkan, bahkan otomatis sinkang-nya bergerak ke arah perut dan dada karena dia mengira bahwa kakek itu akan menyerangnya!
Sebetulnya kakek asing itu mengajak ia bersalaman, tanda menghormat bagi bangsanya. Akan tetapi persangkaan Kun Liong lain lagi. Melihat tangan yang besar dan terlihat kuat itu diacungkan miring seperti hendak menyodoknya, otomatis ia ‘memasang’ sinkang-nya melindungi perut dan memandang kakek itu dengan sinar mata tajam penuh selidik!
"Perkenalkan, saya adalah Richardo de Gama. Siapakah nama Tuan Muda yang gagah perkasa dan yang telah menolong dan menyelamatkan kami dari serbuan bajak laut?"
Mendengar ucapan yang kaku akan tetapi jelas itu barulah Kun Liong mengerti bahwa dia salah sangka, maka ketika tangan itu menjabat tangannya, dan mengguncang-guncang, dia diam saja tidak menarik tangannya dan balas tersenyum ramah. Apa lagi mendengar nama itu, teringatlah dia akan Yuan de Gama!
"Nama saya Yap Kun Liong dan harap Tuan jangan bicarakan tentang pertolongan. Para bajak itu memang jahat dan pantas diusir. Mendengar nama Tuan, apakah Tuan masih ada hubungan dengan Yuan de Gama?"
"Yuan...?" Terdengar seruan halus dan ternyata dara permata biru tadi yang berseru dan memegang lengan Kun Liong, memandangnya penuh perhatian. "Yuan adalah kakakku. Apakah engkau kenal dengan Yuan?"
Berseri wajah Kun Liong. Kiranya dara jelita ini adalah adik perempuan Yuan de Gama. Dengan mata terbelalak dan terpesona menatap wajah cantik dan mata biru itu, dia lalu menggumam, "Engkau... Adik Yuan?"
Gadis itu mengangguk. Manis sekali ketika tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi putih mengkilap. "Aku Yuanita... Yuanita de Gama."
"Yuanita...!"
Nama yang terdengar aneh, lucu dan indah bagi telinga Kun Liong, dan pada waktu dia menyebut nama itu, logat lidahnya juga terdengar aneh dan lucu bagi Yuanita, lucu akan tetapi menyenangkan sehingga dia tertawa geli.
"Aku sudah pernah bertemu dan berkenalan dengan dia, seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa," Kun Liong melanjutkan kata-katanya dengan tulus karena memang demikianlah dia menyaksikan sikap Yuan de Gama yang pernah bertanding dengannya dalam beberapa jurus dan pernah dilihatnya ketika pemuda itu menyelamatkan Li Hwa.
"Ha-ha-ha! Kiranya sahabat Yuan! Pantas saja begini hebat. Tuan Muda, ternyata engkau merupakan seorang tamu kehormatan, seorang sahabat baik kami. Terima kasih kepada Tuhan yang telah mempertemukan kami dengan engkau!"
"Ayah, pakaian Yap-taihiap (Pendekar Besar Yap) basah semua dan robek-robek. Sudah selayaknya seorang tamu agung disambut dengan hormat dan baik," kata Yuanita.
"Ha-ha-ha! Saking girang hatiku, aku sampai lupa. Terserah kepadamu!" kata kakek itu.
Yuanita segera memberi aba-aba kepada tiga orang pelayannya. Tiga orang gadis yang genit-genit itu tertawa, lalu mereka memegang kedua lengan Kun Liong dan menarik-narik pemuda itu memasuki ruangan perahu di bawah.
"Eh-eh... apa ini...? Ke mana...? Eh, mengapa menyeret saya...?" Kun Liong membantah, akan tetapi dia pun tidak tega untuk mempergunakan kekerasan, maka dia membiarkan dirinya ditarik-tarik oleh tiga orang pelayan muda itu, diikuti suara ketawa bergelak dari Richardo de Gama dan anak buahnya serta senyum lebar yang manis dari Yuanita.
Kun Long yang tersenyum-senyum masam karena malu dan bingung itu ditarik oleh tiga orang pelayan wanita muda dan genit-genit yang tertawa-tawa itu ke dalam sebuah kamar di perahu itu.
"Ehh, kalian ini mau apa?" Berkali-kali Kun Liong bertanya.
Akan tetapi tiga orang wanita itu mengeluarkan ucapan dalam bahasa asing yang sama sekali tidak dimengerti oleh Kun Liong. Mereka menunjuk-nunjuk ke sebuah tong kayu besar bundar yang terisi air jernih.
Karena tidak mengerti, Kun Liong menghampiri tong air itu dan menjenguk ke dalamnya. Airnya jernih sekali, akan tetapi tidak ada apa-apanya yang aneh, maka dia tersenyum menyeringai, memandang tiga orang gadis pelayan itu berganti-ganti lalu dia mengangkat pundaknya.
"Ini air... dalam tong, airnya jernih sekali, tapi ada apa?" Kun Liong bertanya.
Tiga orang itu saling pandang, lalu saling bicara ramai dalam bahasa yang bagi telinga Kun Liong seperti kicau burung yang tidak karuan artinya. Kemudian seorang di antara mereka, yang agaknya sudah dapat ‘memungut’ sepatah dua patah kata dalam bahasa pribumi, menunjuk ke arah air di tong air itu sambil berkata kaku,
"Mandi...! Mandi...!"
"Mandi...!" Dua orang gadis lainnya bersorak dan menunjuk-nunjuk ke tong air.
Kun Liong terbelalak, "Mandi...?" Dia bertanya dan memandang bingung.
Jadi dia disuruh mandi? Dipandangnya pakaiannya yang basah kuyup dan robek, dan hidungnya memang mencium bau amis air laut. Dilihatnya seorang di antara tiga pelayan wanita muda itu menuangkan sesuatu dari dalam botol kecil dan terciumlah bau wangi sekali ketika isi botol itu memasuki air di tong.
"Mandi...!" Tiga orang dara itu berkali-kali mendesaknya.
Kun Liong semakin bingung. Ahh, lebih baik diturut saja kehendak tiga siluman cantik ini, pikirnya, kalau tidak tentu mereka tiada akan sudahnya mengganggu dirinya.
"Baiklah. Aku akan mandi. Nah, kalian keluarlah dari kamar ini!" Telunjuknya menuding ke arah pintu kamar itu.
Tiga orang gadis itu saling pandang dan terlihat bingung. Mereka tampak menjadi hilang sabar dan mendekati Kun Liong, mendorong-dorongnya dengan halus sambil menunjuk-nunjuk ke arah tong air dan bibir mereka berkata dengan kaku dan sukar,
"Mandi... mandi... mandi...!"
Celaka tiga belas, pikir Kun Liong. Kalau dia menolak dan memaksa diri lari keluar untuk membebaskan diri dari desakan tiga orang gadis itu, tentu dia akan menghadapi keadaan yang membuatnya tidak enak dan canggung. Betapa pun aneh dan asingnya, jelas bahwa pihak tuan rumah bersikap hormat dan baik kepadanya. Agaknya karena mereka tadi melihat pakaiannya kotor basah dan robek, dia dipersilakan mandi lebih dulu. Akan tetapi mana mungkin mandi dijaga oleh tiga orang gadis pelayan yang cantik-cantik, genit-genit, dan cerewet akan tetapi tidak dia mengerti ucapannya itu?
"Baiklah! Mandi ya mandi...!" Akhirnya dia berkata kesal dan serta merta dia meloncat ke dalam tong air!
"Byuuurrr...!" Air itu sungguh sejuk menyegarkan dan berbau harum!
Bagaikan induk-induk ayam berkotek, petok-petok dengan sikap yang sibuk sekali, ketiga orang gadis pelayan itu mengelilingi tong air. Mereka berteriak-teriak tanpa dimengerti oleh Kun Liong, kemudian seorang di antara mereka agaknya ingat akan hafalannya dan berkata,
"Pakaian... pakaian...!"
"Hehh? Apa? Pakaian...?" Kun Liong tidak mengerti dan tiba-tiba tiga orang gadis pelayan itu menyerbunya, menarik-narik baju dan celananya dengan paksa untuk menanggalkan pakaiannya!
"Heiii... eh-ehh, heeiiittt... aduh bagaimana ini...?" Kun Liong berteriak-teriak, akan tetapi tiga orang wanita muda itu tertawa-tawa dan tak mau melepaskan lagi pakaiannya hingga akhirnya baju serta celananya terlepas dan ditarik lolos dari tubuhnya.
"Wah, kalian rusuh...! Kalian melanggar susila...! Wah, bagaimana ini...?"
Kun Liong yang kini telanjang bulat itu merendam tubuh di dalam air dan menggunakan kedua tangannya untuk menutupi bawah pusar. Hanya kepalanya yang gundul itu masih kelihatan di atas permukaan air. Kepalanya menjadi merah mengikuti warna mukanya, merah karena jengah, malu, dan juga bingung dan ngeri!
Akan tetapi tiga orang gadis pelayan itu tidak mempedulikan semua protesannya. Mereka melemparkan pakaian kotor itu di sudut kamar, kemudian dengan senyum manis mereka menyerbu Kun Liong dan mulailah mereka memandikan pemuda itu. Ada yang menyabuni tubuhnya, ada yang menggosok-gosok kepala gundulnya, dan ada yang menggunakan air harum itu menyiram mukanya. Sabun itu pun wangi sekali.
Kini mengertilah Kun Liong bahwa mereka itu ternyata benar-benar sedang memandikan dirinya! Digosok-gosok dan dipijit-pijit pundaknya, terasa nyaman sekali sehingga dia tidak meronta lagi. Dia hanya bersandar pada pinggiran tong itu dengan kedua tangan masih melindungi anggota rahasianya dan matanya merem melek, bukan karena keenakan saja melainkan karena kadang-kadang terasa pedas kemasukan air sabun.
Mulutnya mengomel panjang pendek, sungguh pun bukan omelan marah lagi. "Ihh, kalian ini apa-apaan sih? Apakah aku ini dianggap bayi? Mentang-mentang kepalaku gundul... masa ada bayi sebegini besarnya? Sudahlah, sudah... aku bisa mandi sendiri!"
Akan tetapi tentu saja tiga orang gadis itu tak mengerti ucapannya dan terus memandikan Kun Liong sambil bicara sendiri dalam bahasa mereka, tersenyum-senyum dan kadang-kadang, seorang di antara mereka yang termanis dan tergenit, menggunakan telunjuk dan ibu jari tangannya mencubit paha Kun Liong.
Menghadapi tiga dara yang berwajah cantik manis, bersikap lincah dan genit, mencium bau harum dari air tong, sabun, dan bau harum yang keluar dari rambut dan pakaian tiga orang pelayan itu, merasakan betapa jari-jari tangan yang amat halus itu memijit-mijitnya dengan mesra, mendengar suara mereka bersenda-gurau meski pun dia tidak mengerti artinya, semua ini mendatangkan perasaan aneh pada dirinya.
Debar jantungnya semakin keras, menggedor-gedor seperti akan memecahkan dadanya, tubuhnya pun panas dingin dan tegang. Keadaan dirinya ini membuat Kun Liong menjadi makin bingung dan akhirnya dia maklum bahwa kalau tiga orang pelayan itu tidak segera pergi, dia tak akan kuat bertahan dan entah akan apa jadinya!
"Sudah! Sudah... cukuplah! Aku dapat mandi sendiri. Pergilah kalian, pergilah...!" katanya sambil menggunakan sebelah tangan menepuk-nepuk air sehingga air memercik ke arah muka tiga orang pelayan itu, sedangkan tangan yang sebelah lagi tetap digunakan untuk menutupi tubuh bawah.
Karena Kun Liong mempergunakan sinkang, maka tepukannya itu mengandung tenaga kuat sekali sehingga percikan air itu terasa pedas dan panas ketika mengenai muka tiga orang pelayan itu. Mereka menjerit dan mundur kemudian bicara dalam bahasa mereka dan seorang di antara mereka mengeluarkan setumpuk pakaian yang ditaruhnya di atas bangku.
"Keluar! Keluarlah kalian!" Kun Liong berkata sambil menuding ke arah pintu.
Tiga orang pelayan itu mengangkat pundak, menggerakkan kepala untuk memindahkan gumpalan rambut yang terurai itu ke belakang, lalu sambil tersenyum dan tertawa-tawa mereka keluar dari kamar itu.
Bukan main lega hati Kun Liong. Cepat sekali, takut kalau mereka kembali, dia meloncat keluar dari tong air. menyambar handuk dan menyusuti tubuhnya yang basah, kemudian mencari-cari pakaiannya. Celaka, pakaiannya sudah tidak ada lagi, tentu tadi diambil oleh gadis-gadis itu!
Karena takut mereka itu kembali sebelum tubuhnya yang telanjang itu tertutup pakaian, dia segera menyambar pakaian yang ditinggalkan oleh mereka di atas bangku. Ternyata pakaian itu adalah sepotong celana dan sepotong baju yang bersih dan amat aneh karena selain jubah berlengan panjang terdapat pula baju berlengan pendek dan kain pelindung atau pembungkus leher. Terpaksa dia memakai pakaian itu dan diam-diam dia mengeluh ketika dia melihat tubuh bawahnya yang sudah bercelana.
Celana itu potongannya sempit sekali sehingga biar pun seluruh pakaiannya tertutup, dia merasa seperti masih telanjang! Betapa pun juga, ini masih jauh lebih baik dari pada tidak berpakaian sama sekali. Maka, sambil mengingat-ingat cara Yuan de Gama berpakaian, dia lalu memakai rompi dan jubahnya, sedangkan pelindung leher itu hanya dia kalungkan saja di lehernya.
Di ujung kamar itu terdapat sebuah cermin. Ketika Kun Liong melihat bayangannya sendiri di cermin itu, dia menyeringai. Betapa lucu keadaannya!
Daun pintu kamar terbuka, dan terdengar suara halus, "Sudah selesaikah Taihiap mandi? Kami telah menunggu-nunggu Taihiap untuk makan malam."
Kun Liong cepat membalikkan tubuh dan memandang Yuanita. Sejenak dia terpesona. Dara ini agaknya sudah bertukar pakaian. Pakaian dari sutera biru yang panjang sampai ke kaki, rambutnya disanggul indah dan dihias permata. Teringatlah dia akan keadaannya sendiri dan tiba-tiba mukanya telah menjadi merah sekali. Dara ini demikian cantik jelita, sedangkan dia seperti badut!
"Maaf... aku... aku tentu kelihatan seperti seorang badut wayang!" Akhirnya dia berkata ketika dia melihat betapa dara itu pun memperhatikannya.
Yuanita tertawa. Tertawa dengan bebas lepas, tidak malu-malu atau menutupi mulut yang tertawa dengan tangan seperti kebiasaan dara-dara pribumi. Namun anehnya, kebebasan dara ini tidak membayangkan kekasaran, padahal tertawa seperti itu kalau dilakukan oleh seorang gadis pribumi, tentu akan kelihatan kasar dan tidak sopan!
Kun Liong menjadi semakin kikuk, mengira bahwa dara itu tentu mentertawakan keadaan pakaiannya yang lucu dan tidak cocok untuknya itu. "Aku seperti badut dan... dan Nona... begitu cantik seperti bidadari...!"
Yuanita menghentikan tawanya dan kini dia memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata penuh kagum. "Yap-taihiap, engkau mengingatkan aku kepada seorang panglima muda di Thian-cin yang menjadi utusan Kaisar menemui Ayah. Aku amat kagum kepada panglima muda itu, tampan, gagah perkasa dan... seperti engkau. Hanya bedanya, dia angkuh sedangkan engkau begini rendah hati. Hal ini membuat aku merasa makin kagum kepadamu, Taihiap. Engkau sudah memperlihatkan kegagahan, menolong kami, engkau begini gagah dan tampan akan tetapi engkau bahkan merendahkan diri dan memuji-muji orang lain."
Kata-kata ini membuat Kun Liong makin merasa canggung. "Ahhh, aku... aku orang biasa saja... seorang gundul yang..."
Kembali Yuanita tertawa dan melangkah maju, menggandeng lengan Kun Liong sambil berkata, "Sudahlah, kalau engkau merendah terus seperti itu, aku bisa menjadi bersedih dan menangis! Ayah sudah menanti kita di ruangan makan. Hayolah!"
Jantung Kun Liong berdebar tidak karuan. Sikap dara ini begini bebas. Mana ada seorang dara jelita yang baru saja dikenalnya telah berani menggandeng-gandengnya seperti itu. Lengan mereka saling bergandengan, pada saat berjalan kadang-kadang si pinggul yang meliuk-liuk itu menyentuh pahanya.
Ketika mereka memasuki ruangan di mana tampak Richardo de Gama sedang duduk menghadapi meja besar, Kun Liong hendak merenggut tangannya. Apa akan kata ayah dara itu apa bila melihat mereka bergandengan tangan seperti itu? Akan tetapi agaknya Yuanita merasa akan gerakannya, maka dara itu menggandeng lebih erat lagi! Hal ini membuat Kun Liong khawatir sekali dan dia memandang ke arah kakek asing itu dengan bingung.
Akan tetapi Richardo segera bangkit menyambutnya dengan tertawa lebar dan wajahnya berseri-seri. "Aahhh... Yap Kun Liong-taihiap, engkau sudah berganti pakaian kering? Kau gagah sekali. Silakan duduk dan mari kita makan bersama."
Yuanita melepaskan tangannya dan berkata kepada ayahnya, sengaja berbicara dalam bahasa pribumi supaya tamunya mengerti, "Ayah, Taihiap terlalu merendahkan diri, bikin orang penasaran saja!"
"Ha-ha-ha-ha, demikianlah sikap seorang pendekar sejati dari negeri ini, Anakku! Dalam bicaranya merendah sampai tidak kelihatan, akan tetapi sepak terjangnya menonjol tinggi penuh kegagahan."
Kun Liong duduk bersama ayah dan anak itu dan kembali dia merasa kikuk sekali ketika harus makan dari piring dan menggunakan garpu, pisau dan sendok. Sambil tertawa-tawa Yuanita mengajarinya, akan tetapi karena tetap kikuk sekali akhirnya Richardo menyuruh pelayan mengambil sepasang sumpit. Barulah lega hati Kun Liong dan dia dapat makan seperti yang dikehendakinya.
Mereka makan sambil bercakap-cakap dan dalam pembicaraan ini Kun Liong mendengar bahwa ternyata Richardo de Gama adalah pemimpin rombongan saudagar yang hendak berdagang di Tiongkok. Malah setelah pemberontakan yang dibantu oleh beberapa orang asing, hal yang tidak disetujui Richardo itu gagal, Richardo sendiri kemudian mengajukan permohonan kepada Kaisar menemui pejabat, dan akhirnya dapat bicara dengan utusan Kaisar sendiri serta memperoleh ijin untuk berdagang di pantai Teluk Pohai.
"Kami sekarang sedang mencari Kapal Kuda Terbang yang telah disewa oleh rombongan Legaspi Selado," kakek itu melanjutkan.
"Yang dipimpin oleh Yuan de Gama?" Kun Liong bertanya.
Kakek itu menghela napas. "Benar dan itulah kesalahan kami. Kami sudah menyewakan kapal itu kepada rombongan Selado yang ternyata amat jahat sehingga anakku Yuan ikut pula terbawa-bawa dan terseret dalam petualangan Legaspi Selado. Mendengar betapa Legaspi Selado sudah bersekutu dengan pemberontak, aku segera menyusul ke sini dan hendak membatalkan kontrak persewaan Kapal Kuda Terbang itu karena telah digunakan untuk pekerjaan buruk."
"Siapakah sebenarnya Legaspi Selado yang berilmu tinggi itu?" Kun Liong bertanya lagi.
Sebetulnya dia adalah bekas seorang jenderal yang telah dipecat oleh pemerintah karena perbuatannya yang kotor dan berkhianat. Sedangkan anak-anak buahnya itu pun ternyata adalah orang-orang jahat yang menjadi buruan pemerintah di negara kami. Anakku Yuan de Gama terpaksa terlibat karena selain dia mewakili aku menjadi kapten kapal, juga dia menjadi murid Legaspi Selado."
Kun Liong mengangguk-angguk dan sekarang mengertilah dia mengapa seorang pemuda sebaik Yuan de Gama sampai membantu orang jahat seperti Legaspi Selado kakek botak yang lihai itu. "Akan tetapi persekutuan pemberontak itu telah dihancurkan, tentu Legaspi Selado tidak akan menyusahkan Yuan lagi."
Kakek itu mengelus jenggotnya. "Hemm... siapa yang tahu isi hati orang seperti Legaspi Selado? Selama dia masih menyewa Kapal Kuda Terbang, maka Yuan akan terus terikat. Sebagai kapten kapal, tentu Yuan tidak akan dapat meninggalkan kapalnya dan apa pun yang dilakukan oleh Legaspi Selado, berarti Yuan akan ikut terseret."
Setelah makan mereka bercakap-cakap dan Kun Liong merasa makin suka kepada kakek yang luas pengetahuannya itu, sebaliknya Richardo juga kagum kepada Kun Liong yang berwajah jujur dan polos, sepolos kepalanya yang gundul! Mereka bercakap-cakap di dek perahu itu. Ketika Yuanita muncul, gadis itu berkata,
"Ahh, kalian berdua bercakap-cakap sejak tadi tiada sudahnya. Ayah, biasanya Ayah tidak berani terlalu lama terkena angin malam yang membuat Ayah sakit." Dengan gaya manja gadis itu merangkul leher ayahnya.
Richardo tertawa, kemudian bangkit berdiri. "Wah, asyik benar bicara dengan Yap-taihiap, sampai aku lupa waktu. Yap-taihiap, aku hendak mengaso dahulu, biarlah Yuanita yang menemanimu bercakap-cakap." Orang tua itu lalu meninggalkan dek dan bangku tempat duduknya kini diduduki oleh Yuanita.
Berdebar jantung Kun Liong menyaksikan kebebasan kedua orang ayah dan anak itu. Baru sekarang dia melihat betapa seorang ayah meninggalkan anak gadisnya begitu saja untuk menemani seorang pemuda bercakap-cakap di dek yang sunyi, pada waktu malam hari lagi!
"Nona..."
Yuanita menoleh kepada Kun Liong dan memandang dengan senyum, akan tetapi alisnya berkerut ketika dia menegur pemuda itu, "Namaku Yuanita, dan setelah menjadi sahabat, harap jangan menyebut nona lagi kepadaku, Taihiap."
Kun Liong tersenyum. "Kau mau menang sendiri saja, Yuanita. Aku bukanlah pendekar besar tapi kau selalu menyebutku taihiap, sedangkan kau, seorang nona yang cantik dan kaya raya, lagi pula terpelajar dan pandai, begitu merendah minta disebut namanya saja. Di mana keadilan kalau begini? Kau pun sudah tahu bahwa namaku Kun Liong."
Yuanita tertawa dan memegang tangan pemuda itu. "Kau lucu dan baik sekali, Kun Liong. Aku sungguh merasa gembira dapat bersahabat denganmu. Sama sekali aku tak mengira bahwa di antara bangsa pribumi di negara ini terdapat seorang seperti engkau. Aku selalu membayangkan bahwa semua penduduk pribumi memandang rendah pada semua orang asing, menganggap semua orang asing sebangsa manusia biadab. Aku membayangkan bahwa semua orang yang disebut pendekar di negaramu adalah orang-orang kejam yang mudah memainkan pedang memenggal kepala orang dan mengirim kepala itu sebagai hadiah kepada keluarga musuhnya! Kiranya engkau sangat baik dan rendah hati, engkau seperti seorang kanak-kanak yang berhati tulus dan wajar..."
"Wah, karena kepalaku gundul kau menganggap aku kanak-kanak?" Kun Liong tertawa.
Yuanita juga tertawa. "Maaf, aku tahu kau bukan kanak-kanak lagi. Tiga orang pelayan itu menceritakan sikapmu pada waktu kau mandi..."
Kun Liong cepat menoleh ke kanan dan kiri. "Tiga orang wanita genit itu? Ihhh…, mereka membikin aku merasa ngeri sekali. Mengapa ada kebiasaan seaneh itu pada bangsamu, Yuanita?"
"Ah, mereka hanya pelayan-pelayan dan mereka sudah biasa melayani majikan dan para tamu pria yang manja."
"Aku pun tadinya mendengar kabar yang menyeramkan tentang bangsamu, bangsa kulit putih yang berambut berwarna dan bermata biru. Bahkan aku mendengar bahwa mereka itu adalah bangsa biadab yang senang makan daging manusia, sebangsa siluman yang berbahaya dan yang datang ke negeri kami hanya untuk menipu bangsa kami saja. Akan tetapi setelah bercakap-cakap dengan ayahmu, aku mendapat kenyataan bahwa ayahmu adalah seorang tua yang luas pengetahuannya, pandai dan bijaksana. Apa lagi melihat engkau..."
"Bagaimana?" Yuanita menyambung ketika Kun Liong tiba-tiba berhenti bicara. "Apakah aku seperti siluman berambut kuning berkulit putih bermata biru yang suka makan daging manusia?"
"Wah, sama sekali tidak! Sungguh tolol aku kalau dulu pernah merasa ngeri mendengar kabar bohong itu. Ternyata di antara bangsamu yang dikabarkan menakutkan itu terdapat orang-orang seperti ayahmu yang amat bijaksana, seperti Yuan yang tampan dan gagah berani, seperti engkau yang... yang begini cantik jelita, jujur dan amat ramah dan baik hati."
"Benarkah engkau menganggap aku cantik jelita? Bukankah karena perbedaan kulit dan warna rambut serta mata akan membedakan pula selera pandangan terhadap kecantikan seseorang?"
"Engkau memang cantik sekali, Yuanita," berkata Kun Liong sambil memandang penuh perhatian wajah yang tertimpa cahaya merah dari lampu gantung itu. "Dan kurasa, cantik tidaknya seseorang tergantung dari rasa suka di hati. Kalau hati merasa cocok dan suka, tentu kelihatan cantik, sebaliknya kalau tidak tentu akan kelihatan buruk. Dan agaknya watak dan sikap seseoranglah yang menentukan cantik tidaknya orang itu. Dan engkau... amat manis dan baik hati, siapa yang tak akan merasa suka sehingga engkau kelihatan selalu cantik jelita?"
Dara itu memandang dengan sinar mata bercahaya dan wajah berseri. "Wah, engkau memang mengagumkan sekali, Kun Liong! Yuan tentu senang sekali denganmu, engkau tentu menjadi sahabat baiknya!"
"Sayang bahwa pertemuan antara kami hanya berlangsung sebentar saja," Kun Liong lalu menceritakan pertemuannya dengan Yuan de Gama yang mengakibatkan mereka untuk beberapa gebrakan mengadu tenaga.
"Ahhh, kasihan sekali kakakku itu..." Yuanita berkata sesudah Kun Liong menyelesaikan penuturannya. "Dia adalah seorang yang berhati baik, akan tetapi karena dia terlalu suka mempelajari ilmu berkelahi, dia menjadi murid Kakek Legaspi Selado yang mengerikan itu. Pada waktu kapal Ayah disewa oleh rombongan Legaspi, Yuan menjadi kapten kapal menggantikan Ayah. Sama sekali kami tidak tahu bahwa rombongan Legaspi terdiri dari orang-orang jahat. Juga Yuan sama sekali tidak akan menyangka bahwa gurunya dan rombongannya yang katanya hanyalah orang-orang pedagang itu bertualang di negaramu dan bersekutu dengan pemberontak. Yuan terkenal sebagai seorang yang kuat, bahkan Hendrik, pemuda sombong dan kejam putera Legaspi itu sendiri merasa sungkan kepada Yuan. Akan tetapi aku tahu bahwa bertemu dengan engkau, dia kalah jauh!"
"Aahhh, tidak begitu, Yuanita. Kakakmu itu kuat sekali, hanya di antara kami tidak ada permusuhan, maka kami tak melanjutkan pertandingan itu. Aku hanya seorang biasa yang bodoh, apa lagi mengenai pengalaman dan ilmu pengetahuan. Jika dibandingkan dengan Yuan atau engkau, aku bukan apa-apa."
Yuanita memegang tangan Kun Liong dan memandang dengan sungguh-sungguh.
"Engkau terlalu merendahkan diri dan inilah yang membuat aku kagum sekali, Kun Liong. Aku suka kepadamu, dan aku akan... kalau diberi kesempatan... mungkin bisa jatuh cinta kepada seorang pria seperti engkau ini. Engkau telah menyelamatkan aku, bukan hanya aku, melainkan juga Ayah serta semua anak-anak perahu ini. Ayah sendiri yang berkata demikian kepadaku. Orang-orang Nepal itu sangat ganas, kejam dan kuat, kalau tidak ada engkau, kami semua pasti menjadi korban. Tetapi engkau masih selalu merendahkan diri. Betapa kuatnya kedua tanganmu yang tidak kelihatan kasar ini, seperti tangan wanita..." Yuanita menarik kedua tangan Kun Liong dan mencium tangan itu dengan bibirnya.
Dengan bibirnya! Kun Liong merasa kecupan bibir hangat pada tangannya dan wajahnya menjadi merah sampai ke kepalanya, jantungnya berdebar dan dia segera menarik kedua tangannya.
"Ahhh, engkau jangan berlebihan, Yuanita..." katanya agak terharu karena perbuatan dara itu dianggapnya terlalu merendah.
Yuanita bangkit berdiri sambil menarik tangan Kun Liong. Mereka berdiri berhadapan, dan Yuanita merapatkan tubuhnya.
"Kun Liong... kami sudah berhutang nyawa kepadamu dan sebagai tanda terima kasih, baru mencium tanganmu saja engkau sudah merasa aku berlebihan. Kun Liong, aku tahu bahwa orang seperti engkau ini, seorang pendekar dari bangsamu, seorang jantan yang berhati lembut, tentu tak mungkin bisa jatuh cinta kepadaku, seorang wanita asing yang serba kasar, tidak selembut wanita-wanita bangsamu yang seperti batang pohon yangliu ditiup angin lembut, yang bersikap malu-malu dan agung... akan tetapi, untuk menyatakan terima kasihku dengan setulus hatiku, kau... kau boleh... kalau engkau suka... kau boleh menciumku, Kun Liong."
Kun Liong terkejut. Ucapan seperti ini sama sekali tak pernah disangka-sangkanya. Tak pernah dia berani membayangkan untuk mencium dara itu, seorang dara asing, puteri seorang hartawan besar dan puteri seorang yang bijaksana dan pandai seperti Richardo de Gama!
Tentu saja dia tidak tahu bahwa dara asing dari Barat ini mempunyai kesan lain terhadap dirinya. Semenjak kecil, seperti anak-anak bangsanya yang lain, Yuanita telah sering kali mendengar dongeng tentang ksatria-ksatria berbaju besi yang menyelamatkan puteri dari tangan makhluk-makhluk buas, dan setiap kali seorang ksatria membebaskan seorang puteri cantik dari tangan makhluk buas dari ancaman mengerikan yang lebih hebat dari maut, Si Puteri akan menghadiahkan ciuman mesra dan hal ini biasanya bahkan menjadi tuntutan setiap orangi ksatria!
Kesan ini amat mendalam sehingga ketika melihat betapa dengan gagah perkasanya Kun Liong menyelamatkan dia, bahkan juga ayahnya dan seisi perahu dari keganasan bajak, apa lagi sesudah bercakap-cakap dan melihat sikap Kun Liong yang rendah hati, timbul keinginan di hati Yuanita unluk bersikap seperti seorang puteri yang tertolong oleh ksatria, dia menawarkan ciuman kepada pemuda gundul itu.
"Be... benarkah pendengaranku tadi, Yuanita?" Kun Liong bertanya, suaranya gemetar karena jantungnya sudah bergelora. Sejak tadi merasakan betapa bibir yang hangat dan lunak itu mencium tangannya, jantung Kun Liong sudah berdebar tidak karuan, apa lagi mendengar betapa dara yang mempunyai kecantikan aneh ini menawarkan ciuman!
"Pendengaran apa, Kun Liong?" Yuanita bertanya, mengangkat mukanya sehingga makin mendekat dengan wajah pemuda itu, senyumnya menggoda, matanya setengah terpejam sehingga bulu matanya hampir merapat dan menjadi tebal menimbulkan bayang-bayang indah di atas pipinya ketika tertimpa sinar lampu.
"Aku mendengar bahwa... bahwa... aku boleh menciummu?"
"He-hemmm... kalau kau suka..."
"Kalau aku suka...? Tentu saja aku suka..."
"Ihhh, canggung benar kau..." Yuanita tersenyum lebar mendengar kata-kata dan melihat sikap pemuda itu.
Kedua lengannya bergerak merangkul leher Kun Liong dan dara itu dengan tarikan halus membuat muka Kun Liong menunduk, maka tergetarlah seluruh tubuh Kun Liong ketika merasa betapa dara itu yang menciumnya! Mencium bibir dengan penuh kemesraan dan kehangatan.
Ketika dia mencium bibir Hwi Sian dahulu itu, terdapat kecanggungan dan meski pun dia senang melakukannya dengan Hwi Sian, namun karena dara itu sendiri pun takut dan tidak tahu caranya, maka perbuatan mereka itu jauh sekali bedanya kalau dibandingkan dengan apa yang dia alami sekarang.
Ciuman Yuanita ini seolah-olah merupakan pertemuan lebih mendalam, antara kedua hati dan kalbunya, seolah-olah dia merasa dilebur menjadi satu dengan dara ini, seolah-olah tak ada pemisah lagi antara kedua tubuh mereka. Seperti naik sedu-sedan dari dada Kun Liong, kedua lengannya mendekap tubuh itu, seluruh tubuhnya menggigil dan dia tidak dapat menguasai lagi kedua kakinya yang gemetar dan lemas, membuatnya terhuyung dan akhirnya dia jatuh berlutut sambil memeluk Yuanita.
"Hmmm... Kun Liong..." Yuanita berbisik, hanya untuk bernapas saja dan mereka sudah berciuman pula, kini Kun Liong duduk di atas papan perahu dan dara itu dipangkunya.
Entah apa yang akan terjadi dengan dua orang muda yang dilanda perasaan mesra yang biasanya tentu akan membangkitkan birahi itu kalau dibiarkan terlalu lama dalam keadaan seperti itu. Bagi Kun Liong, Yuanita merupakan seorang dara yang panas, segar dan berani, seperti gelora air laut di luar perahu itu, merupakan seorang makhluk aneh yang mempunyai kekuatan luar biasa sehingga membawanya terseret, hanyut dan tenggelam.
Kun Liong sudah tidak mampu menguasai hati dan pikirannya sendiri, yang sepenuhnya terasa hanyalah kelembutan bibir yang mengecup bibirnya, kepanasan hawa dari mulut yang memabokkan, kehangatan dan kepadatan tubuh yang merapat dengan tubuhnya, dan dia pun mabuk dibuai alunan nafsu birahi yang belum pernah menyerangnya sehebat itu!
Nafsu birahi memang seperti api menjalar, begitu bertemu dengan bahan bakarnya, maka makin dibiarkan makin menjadi, makin diberi makin menuntut dan tak akan pernah mau berhenti, tak akan mau sudah kalau belum sampai titik terakhir.
Bagi Yuanita sendiri Kun Liong merupakan seorang pemuda yang asing dan aneh, dan karenanya mendatangkan daya tarik yang luar biasa. Sebagai seorang dara berbangsa Portugis yang jauh lebih bebas dalam pergaulan antara pria dan wanita, sudah tentu saja dia pernah berkenalan dengan teman pria dan ciuman bukan merupakan hal baru dan aneh baginya.
Akan tetapi, belum pernah Yuanita mengalami guncangan perasaan seperti saat itu. Hal ini terdorong oleh rasa terima kasihnya, rasa kagumnya terhadap Kun Liong, ditambah keadaan Kun Liong yang asing dan aneh yang membuat pemuda itu merupakan seorang pemuda atau pria yang lain dari pada yang telah dikenalnya sebelum itu.
Karena itu dia pun terhanyut oleh gelombang perasaannya sendiri sehingga bersama Kun Liong dia pun hampir lupa segalanya, hampir tidak mempedulikan lagi segala hal yang terjadi di luar mereka, dan yang ada hanyalah membiarkan diri terseret oleh nafsu birahi yang membuai dan melayangkan mereka ke tengah-tengah awan kenikmatan.
"Tuuuttt... tuuuut... tuuutttt...!"
Suara bunyi tanda peluit dari tempat penjagaan di atas ini mengejutkan sepasang orang muda itu dan serentak Kun Liong melepaskan pelukannya. Untuk sejenak mereka saling pandang, seperti baru sadar dari sebuah mimpi muluk dan pertukaran pandang ini cukup menyadarkan mereka benar-benar.
"Ahh... Yuanita... maafkan aku..."
"Bukan salahmu... Kun Liong... aku pun membiarkan diriku terseret..."
"Untung kita lekas sadar, Yuanita. Hampir saja...!" Kun Liong cepat merapikan pakaiannya sendiri kemudian membantu merapikan pakaian dara itu yang dia sendiri tidak ingat lagi bagaimana bisa menjadi tidak karuan dan setengah terbuka seperti itu!
Yuanita membiarkan dirinya digandeng dan ditarik ke atas. Mereka berdiri berhadapan dan saling berpandangan. Yuanita memegang kedua tangan Kun Liong.
"Memang... hampir saja, Kun Liong. Akan tetapi... andai kata terjadi pun, aku.. aku akan merasa bahagia dan bangga, kalau... kalau... engkau menjadi pria pertama..."
"Husshh...! Bagaimana kau bisa bilang begitu, Yuanita? Kita bukan suami isteri, kita tidak saling mencinta... betapa besar dosaku bila sampai terjadi. Engkau tentu akan menyesal seumur hidup, dan aku... aku... selamanya akan merasa berdosa kepadamu."
"Mungkin. Akan tetapi, kurasa tidak akan sukar bagiku untuk belajar mencintamu, Kun Liong."
Kun Liong memandang bingung. Segala ucapan dara asing ini mendatangkan perasaan aneh dan membingungkan. "Aku tidak tahu... apakah mungkin cinta itu dipelajari? Betapa pun juga, maafkan aku, Yuanita, aku tadi lupa diri... dan percayalah, selama hidupku aku tak akan melupakan engkau. Engkau akan selalu kukenang sebagai seorang perempuan yang amat baik, ramah, lembut dan cantik, jelita, seorang sahabatku yang luar biasa..."
"Tuut... tuut... tuuuutttt…!"
Mereka menengok ke atas kanan dan melihat penjaga di atas tali-temali layar meniupkan terompetnya yang panjang.
"Ada apakah?" Kun Liong tertanya, tidak mengerti apa artinya itu.
"Tentu penjaga itu melihat sesuatu," kata Yuanita.
Terdengar derap langkah sepatu ke luar dari dalam dan muncullah Richardo de Gama beserta orang-orang lain. Kakek ini memandang kepada puterinya, kemudian kepada Kun Liong sejenak, lalu bertanya, "Apa yang terjadi? Kenapa terompet ditiup? Haiii! Ada apa?" Teriaknya ke atas dalam bahasanya sendiri.
Penjaga di atas menjawab dengan teriakan parau, "Ada kapal di sebelah kiri!"
"Lekas nyalakan lampu sorot!" Richardo de Gama memerintah.
Terjadi kesibukan di situ dan tidak lama kemudian kapal besar itu tampak bayangannya, seperti seorang raksasa muncul dari dalam kegelapan malam di tengah lautan. Mula-mula terjadilah pertukaran isyarat melalui gerakan lampu kemudian sesudah makin mendekat, antara kedua kendaraan air itu terjadi kontak dengan menggunakan corong dan teriakan mulut.
Terdengar sorak-sorai di kedua pihak dan semua orang di perahu yang ditumpangi Kun Liong bergembira ria.
"Apakah yang terjadi, Yuanita?" tanya Kun Liong kepada dara yang berdiri di dekatnya.
Yuanita juga berseri wajahnya ketika menjawab, "Kapal itu adalah Kuda Terbang!"
Tentu saja Kun Liong terkejut dan juga gembira mendengar ini. "Dan aku akan dapat berjumpa dengan Yuan di sana?" Dia menuding ke arah bayang-bayang hitam besar itu.
Yuanita mengangguk manis "Bukan hanya Yuan kakakku, juga di sana ada pula Legaspi Selado dan isteri mudanya yang bernama Nina, dan puteranya bernama Hendrik, dan masih banyak lagi karena semua bangsa kami yang berada di sini sudah berkumpul di kapal itu."
Terjadi kesibukan luar biasa ketika perahu besar dan kapal itu saling merapat. Sebuah anak tangga dipasang dan Richardo de Gama mengajak Kun Liong serta Yuanita untuk menyeberang ke Kapal Kuda Terbang yang jauh lebih besar dan lebih lengkap itu.
Kun Liong turut bergembira melihat Yuan de Gama yang menyambut ayahnya dan adik perempuannya. Ia amat terharu melihat Yuanita berpelukan dengan kakaknya, terkenang betapa beberapa saat yang lalu dara yang cantik itu sudah berpelukan dan berciuman dengan dia! Pada waktu Yuanita membisiki sesuatu kepada kakaknya dan menoleh, Yuan mengangkat muka memandang.
"Haloooo...! Bukankah kau Yap Kun Liong-taihiap?" serunya sambil melepaskan adiknya, kemudian melangkah lebar menghampiri Kun Liong dan mengulur lengan kanannya.
Kun Liong tidak kaget lagi melihat ini. Dia sudah tahu sekarang bahwa cara pemberian hormat, atau bersalaman dari orang-orang asing ini adalah dengan jalan berjabat tangan dan mengguncang-guncangnya. Maka dia menyambut sodoran tangan itu dan mereka pun berjabat tangan.
"Tuan Yuan de Gama, sungguh tak menyangka akan bertemu denganmu di sini," kata Kun Liong gembira.
Yuanita telah mendekat dan dengan sibuk menceritakan dalam bahasanya sendiri kepada kakaknya tentang pertolongan yang diberikan oleh Kun Liong kepada anak buah Perahu Ikan Duyung, yaitu perahu ayahnya itu, ketika Perahu Ikan Duyung diserbu penjahat.
"Ahhh, terima kasih banyak, Yap-taihiap..."
"Jangan menyebutnya taihiap, dia bisa marah. Namanya Kun Liong!" Yuanita mencela kakaknya.
"Dia benar, Yuan. Kita adalah sahabat, sebut saja namaku," kata Kun Liong.
Yuan memandang kepada adiknya, kemudian kepada Kun Liong, lalu tersenyum lebar. "Apa pula ini? Eihhh, jangan main-main kau, Yuanita. Apakah kau hendak mengatakan bahwa kau sudah menjatuhkan hatimu di depan kaki pendekar perkasa ini?" Dia tertawa bergelak.
"Andai kata benar demikian, apakah engkau tidak setuju?" Yuanita juga berkata sambil tertawa.
"Tentu saja!"
Kun Liong benar-benar terkejut bukan main. Kelakar kakak beradik itu dianggapnya agak keterlaluan dan luar biasa sekali sehingga muka dan kepalanya menjadi merah semua. Mengapa mereka bicara demikian bebas, seakan-akan urusan cinta merupakan hal yang boleh dianggap main-main?
Mereka menghentikan senda guraunya ketika melihat Legaspi Selado dan seorang wanita berusia tiga puluh tahun yang amat cantik dan berpakaian mewah, sedangkan Hendrik Selado berjalan di sebelah wanita ini. Mata pemuda itu memandang kepada Kun Liong dengan penuh perhatian.
Kun Liong tidak mempedulikan yang lainnya, dia hanya menatap tajam ke arah Legaspi Selado, kakek botak gendut yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian tinggi itu.
"Heiii! Bukankah ini penjahat itu...?"
Tiba-tiba Hendrik berseru ketika dia sudah datang dekat dan telunjuknya menuding ke arah muka Kun Liong. "Tidak salah lagi, inilah dia Si Gundul yang dahulu menolong dan melarikan mata-mata wanita di Ceng-to!"
Ucapan itu dikeluarkan dalam bahasa asing sehingga Kun Liong tak mengerti maksudnya. Akan tetapi karena sejak tadi pemuda ini memperhatikan Legaspi Selado maka dia dapat melihat ketika kakek itu menggerakkan tangan yang memegang cambuk kuda.
"Tar-tar-tarrr...!"
Kun Liong sudah mengelak cepat sehingga tiga kali serangan itu luput.
"Tuan Selado, engkau tidak boleh menyerang dia!" Tiba-tiba saja Yuanita lari ke depan, menghadang di depan kakek yang memegang cambuk itu dengan sikap menantang dan membusungkan dadanya yang sudah membusung penuh itu.
Cepat sekali Yuan meloncat ke depan sambil berteriak. "Hendrik, jangan...!" Pemuda itu sudah memegang tangan Hendrik yang sudah mencabut pistolnya. "Jangan ganggu dia, dia telah menyelamatkan Perahu Ikan Duyung, menyelamatkan ayahku dan adikku!"
Menyaksikan keributan ini Richardo langsung melangkah maju, kemudian segera terjadi percakapan dan perbantahan antara orang-orang asing itu, ditonton dan didengarkan oleh Kun Liong yang tidak mengerti artinya, namun dia dapat menduga dengan mudah, bahwa terjadi perbantahan antara pihak Legaspi dan Hendrik melawan pihak Richardo dan dua orang anaknya yang membela dia! Terutama sekali yang sangat mengharukan hatinya adalah sikap Yuanita yang seperti sudah menjadi seekor harimau betina, sepasang mata biru itu menyinarkan api, rambutnya yang terkena angin laut itu berkibar-kibar, sikapnya penuh semangat.
Pada saat terjadi percekcokan itu, nyonya muda cantik yang tadi datang bersama Legaspi Selado dan Hendrik, mendekati Kun Liong dan menatap wajah pemuda ini dengan penuh perhatian. Kun Liong dapat menduga tentu inilah yang bernama Nina Selado, isteri muda Si Kakek Botak itu. Hemmm, seorang wanita yang cantik dan sikapnya berani dan masak, pikirnya.
"Jadi engkau adalah seorang yang biasa disebut pendekar-pendekar itu?" tanya wanita itu dengan suara kaku namun suaranya yang basah dan agak parau mendatangkan sesuatu yang memikat, juga menyeramkan bagi Kun Liong.
Kun Liong tidak menjawab, hanya membalas pandang mata itu dengan waspada, karena dia tidak tahu apakah wanita cantik ini berbahaya pula seperti Legaspi Selado.
Kakek itu memanggil, "Nina...!" dan wanita itu pergi meninggalkan Kun Liong. Kemudian, Legaspi Selado, Nina, dan Hendrik pergi memasuki kamar kapal dengan sikap tidak puas.
Yuan dan Yuanita menghampiri Kun Liong. "Kun Liong, untung Ayah berhasil menekan kemarahan Tuan Selado," kata Yuanita. "Dan terutama sekali Yuan sebagai kapten Kapal Kuda Terbang berkuasa penuh untuk menanggungmu sebagai seorang tamu yang tidak boleh diganggu."
"Terima kasih, Yuan. Engkau baik sekali. Akan tetapi, bukankah dia itu adalah gurumu? Bagaimana engkau dapat menantang gurumu sendiri?"
"Sungguh pun dia guruku, akan tetapi sebagai kapten kapal, akulah yang menjadi orang pertama yang berkuasa menentukan segala yang terjadi di atas kapal ini. Aku memberi tahukan guruku bahwa permusuhan antara dia dan kau terjadi ketika kami masih bekerja sama dengan para pemberontak di Ceng-to. Karena kita semua berada di kapal, tidak ada sangkut-pautnya dengan masalah pemberontakan di darat, maka saat itu engkau tak bisa dianggap musuh. Mari kita masuk ke kamarku dan kita berunding bagaimana baiknya."
Kun Liong mengikuti Yuan, Yuanita dan Richardo de Gama memasuki kamar Yuan yang cukup luas dan mereka lalu duduk menghadapi meja sambil bercakap-cakap. Dari Yuan, mereka semua mendengar penuturan mengenai pemberontakan yang gagal dan tentang usaha pendekatan para pedagang asing itu terhadap pembesar pemerintah.
"Kaisar sudah bersikap baik sekali kepada kami," Yuan menutup penuturannya dengan menarik panjang. "Setelah keributan mereda, kami masih diperkenankan untuk mendarat dan berdagang di sekitar pantai Teluk Pohai. Karena itu, maka aku tadinya mengambil keputusan untuk kembali ke barat dan mengabarkan kepada para pedagang yang berniat membawa berang dagangan ke timur. Akan tetapi yang masih memusingkan adalah sikap guruku, Tuan Legaspi Selado bersama kawan-kawannya. Mereka itu tidak merasa puas dengan keputusan dan kebijaksanaan Kaisar. Mereka menganggap bahwa perdagangan di tempat terbatas, yaitu di pantai itu, tidak akan mendatangkan cukup keuntungan, tidak seperti kalau kita dapat mendarat sampai ke pedalaman dan langsung membeli rempah-rempah dari para penduduk pribumi, juga secara langsung menjual barang-barang kepada mereka, tidak melalui perantara-perantara yang akan memeras di pantai. Karena itu, aku khawatir sekali akan timbul hal-hal tidak menyenangkan seperti pemberontakan yang ke dua dan sebagainya..."
"Apa pun yang akan mereka lakukan asal engkau tidak mencampurinya, Yuan. Lebih baik engkau membentuk kelompok tersendiri dengan pedagang-pedagang yang jujur dan yang memang beritikad baik, semata-mata untuk berdagang saja dan tidak ingin mencampuri urusan pemerintah dan pemberontakan," kata Kun Liong.
"Apa yang dikatakan Yap-taihiap memang benar, Yuan," kata Richardo de Gama. "Sejak dulu kita bukan keluarga pemberontak dan petualang. Kita adalah keluarga pedagang."
Yuan mengangguk-angguk. "Aku pun tidak suka kalau terseret ke dalam pemberontakan pribumi terhadap kaisar mereka. Akan tetapi sayang, hal itu telah terjadi dan tentu kami sudah mendapatkan kesan buruk dari Kaisar. Andai kata tidak pernah terjadi persekutuan dengan pemberontak terkutuk itu, agaknya pihak pemerintah akan lebih longgar terhadap kita, apa lagi mengingat akan hubungan pemerintah yang makin luas dengan luar negeri berkat pelayaran-pelayaran Laksamana The Hoo yang bijaksana..."
"Ahhhh... ada jalan untuk berjasa kepada Panglima Besar The Hoo!" Tiba-tiba Kun Liong berkata, teringat akan bokor emas di Pulau Ular. "Bokor emas pusaka milik Panglima The Hoo yang hilang itu terampas orang dan kini berada tidak jauh dari tempat ini. Kalau saja engkau dapat mengembalikan bokor itu dan menyerahkannya kembali kepada Panglima The Hoo, agaknya engkau akan berjasa besar dan soal ijin perdagangan ke pedalaman tentu akan ditinjau kembali."
"Ha-ha-ha! Pendapat yang bagus sekali! Aku setuju seratus persen. Di mana bokor itu?" Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan tubuh gendut Legaspi Selado memasuki kamar itu.
Yuan bangkit berdiri. "Tuan, terpaksa saya menyatakan tidak setuju kalau Tuan hendak membawa kita memperebutkan bokor emas yang menghebohkan itu, yang bukan menjadi hak kita!"
Legaspi Selado menggerakkan tangannya mencela. "Aihh, Yuan. Mengapa begitu bodoh? Siapa yang ingin merampas bokor? Segala yang sudah kita lakukan, dari memperebutkan bokor sampai ikut pemberontak, tiada lain hanya untuk mendapat kesempatan berdagang sebaiknya. Semua usaha kita gagal, sekarang sahabat muda ini telah menunjukkan jalan yang sangat baik. Kita usahakan agar bokor emas itu dapat kita peroleh, kemudian kita haturkan kepada Panglima The Hoo, tentu kita mendapat jasa dan tentang perdagangan, akan mudah saja. Ha-ha-ha! Sahabat Yap Kun Liong yang baik, di manakah bokor itu?"
Kun Liong adalah seorang muda yang cerdik. Dia sudah terlanjur bicara, apa bila kini dia merahasiakan, kakek aneh yang sakti ini tentu akan menjadi penghalang dan musuh, dan sangat tidak enak kalau terjadi perpecahan di kapal itu. Kakek itu lihai, baik sekali kalau diajak bersama-sama merampas bokor karena Pulau Ular merupakan tempat yang amat berbahaya. Apa lagi dua orang datuk itu, Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dan puteranya, Ouwyang Bouw, dibantu lagi oleh Toat-beng Hoatsu beserta semua anak buah mereka, bukan merupakan lawan ringan.
"Memang kita harus bekerja sama," akhirnya dia berkata setelah semua duduk. "Bokor emas itu berada di tangan dua orang datuk kaum sesat, yaitu Ouwyang Kok yang berjuluk Ban-tok Coa-ong dan Toat-beng Hoatsu. Sekarang mereka bersama anak buah mereka bersembunyi di Pulau Ular, tidak jauh dari sini, di sebelah selatan Teluk Pohai."
Legaspi Selado bangkit berdiri, "Yuan de Gama! Kalau begitu kita menunggu apa lagi? Kita putar haluan, ke selatan mencari Pulau Ular!"
Kun Liong menyambut pandang mata penuh pertanyaan dari Yuan itu dengan anggukan kepala, maka Yuan lalu meneriakkan perintah melalui corong supaya kapal itu diputar dan digerakkan ke selatan, sedangkan Perahu Ikan Duyung mengikuti dari betakang. Sesudah Legaspi Selado yang kelihatan gembira dan bersemangat itu meninggalkan kamar, Yuan de Gama berkata lirih.
"Kun Liong, kenapa engkau membuka rahasia itu kepada guruku?"
"Ssttt... dia dapat merupakan pembantu yang amat kuat, Yuan. Ketahuilah, bukan hanya bokor emas itu yang penting. Kita memang harus menyerbu ke Pulau Ular, sedangkan di sana terdapat dua orang datuk yang sakti bersama anak buah mereka yang kuat."
"Aku tidak inginkan bokor emas!"
"Hussshhh, engkau tidak menginginkannya, akan tetapi kalau kau dapat mengembalikan kepada Panglima Besar The Hoo, maka jasamu besar sekali. Selain itu, engkau tidak tahu bahwa kita juga harus menolong Nona Souw Li Hwa..."
Wajah Yuan de Gama berubah dan dia memegang lengan Kun Liong, mencengkeramnya erat-erat. "Apa katamu?! Dia... dia... kenapa?"
Yuanita membelalakkan mata. "Yuan! Siapakah nona itu?"
"Dia sahabat baikku. Dia seorang panglima wanita yang hebat. Kun Liong, lekas katakan apa yang terjadi dengan dia?"
"Aku sendiri belum tahu, akan tetapi yang jelas, Nona Souw Li Hwa sudah melakukan penyelidikan sendiri ke Pulau Ular yang berbahaya itu sehingga aku khawatir sekali dia akan menghadapi mala petaka di sana. Karena itu, bukankah tepat sekali kalau kita pergi ke sana, selain untuk membantu mendapatkan kembali pusaka Panglima The Hoo, juga untuk melindungi Nona Souw Li Hwa?"
"Jika begitu kita harus cepat ke sana!" Yuan de Gama kembali menyambar corong untuk memerintahkan anak buahnya agar melakukan pelayaran secepatnya.
Richardo de Gama menghela napas panjang, mendekati Kun Liong dan berbisik, "Apakah dia sudah jatuh cinta kepada panglima wanita itu?" Kun Liong hanya mengangguk sambil tersenyum, kemudian setelah minta diri, dia mundur dan memasuki kamarnya yang sudah dipersiapkan untuk dia.
Kun Liong meniup padam lilin di atas meja kamar kecil itu, lalu menanggalkan pakaian luarnya dan sepatunya. Setelah dia merebahkan diri di atas pembaringan, dia termenung. Sungguh banyak pengalaman yang dialaminya selama ini, pengalaman yang aneh-aneh, terutama sekali pengalaman dengan wanita-wanita cantik. Masih terasa olehnya saat-saat saling bertukar cumbu rayu dengan Yuanita.
Dalam kegelapan kamarnya itu, terbayanglah wajah Yuanita yang cantik, juga terdengar bisikan halus menggetar yang suaranya asing itu. Akan tetapi tak lama kemudian, wajah wanita yang dibayangkannya ini sudah berganti rupa, berubah menjadi wajah Yo Bi Kiok, kemudian berubah lagi menjadi wajah Souw Li Hwa, wajah Cia Giok Keng, dan akhirnya berubah menjadi wajah Lim Hwi Sian yang tak akan pernah dilupakannya! Diam-diam Kun Liong menghela napas panjang.
Kenapa hidupnya terisi oleh pertemuan-pertemuan yang mengesankan dengan berbagai gadis cantik itu? Dan mengapa setiap kali bertemu dengan dara jelita, dia merasa tertarik dan suka? Apakah ini yang disebut mata keranjang? Apakah dia mata keranjang? Adakah di dunia ini seorang pemuda yang tidak suka melihat dara jelita? Apakah hanya dia yang selalu merasa tertarik, ingin bercakap-cakap dengan mereka, ingin bersahabat dengan mereka dan ingin... mencium bibir yang segar kemerahan itu? Kotorkah pikiran seperti ini? Dia tidak dapat menjawab dan kembali dia menarik napas panjang.
Kau mata keranjang, tolol, dan anak durhaka! Dia memaki diri sendiri. Sampai selama ini, dia masih belum berhasil mendengar berita tentang ayah bundanya. Dan tak ada sebuah pun di antara tugas-tugasnya yang dapat dia selesaikan dengan baik! Mencari orang tua belum ada hasilnya. Urusan bokor emas yang sudah berada di tangannya malah menjadi berlarut-larut dan makin sulit diperoleh. Usaha mengembalikan pusaka Siauw-lim-pai dan minta pusaka itu kembali dari Kwi-eng-pang juga belum berhasil. Sekarang ditambah lagi dengan tugas membantu dan menyelamatkan Souw Li Hwa!
Sekali ini dia harus berhasil. Meski pun Pulau Ular kabarnya berbahaya, akan tetapi Kapal Kuda Terbang itu amat besar dan kuat, diperlengkapi pula dengan senjata meriam. Juga dia memperoleh bantuan orang-orang pandai seperti Legaspi Selado, Hendrik, Yuan dan semua anak buah mereka.
Kalau dia berhasil membantu Li Hwa, apa lagi berhasil merampas kembali bokor emas, berarti semua jerih payahnya tidak sia-sia. Dia harus segera menyelesaikan urusan ini, kemudian dia harus mencari orang tuanya. Dia harus mengerahkan seluruh perhatiannya untuk mencari jejak orang tuanya.
Urusan pribadi ini sebetulnya paling penting dan jantungnya berdebar agak tegang penuh kekhawatiran bila dia teringat akan ucapan Pendekar Sakti Cia Keng Hong. Bukan hanya kekhawatiran kosong yang diucapkan supek-nya itu. Jika memang ayah bundanya masih hidup di dunia ini, kenapa sampai sekian lamanya mereka diam saja dan tidak ada kabar beritanya sama sekali? Orang-orang gagah perkasa seperti ayah bundanya tidak mungkin menyembunyikan diri karena takut akan sesuatu!
Malam mulai larut dan Kun Liong yang tenggelam dalam lamunannya, mulai berselubung rasa kantuk. Dia sudah memiliki pegangan atau rencana masa mendatang, yaitu setelah selesai dengan urusan Pulau Ular, dia akan meninggalkan semua urusan lain kemudian mencurahkan perhatian seluruhnya dalam mencari orang tuanya. Rencana yang menjadi pegangan ini melegakan hatinya.
Dia hampir tertidur pulas ketika tiba-tiba pintu biliknya dibuka orang dari luar. Mula-mula, sesuai dengan ilmu silat yang telah mendarah daging dalam tubuhnya, pada saat itu juga semua urat syarafnya telah menegang dalam kesiap siagaan menghadapi suatu ancaman bahaya. Namun ketika melihat bayangan tubuh yang tersorot penerangan dari luar kamar, ketegangannya menjadi meningkat tapi sifatnya berubah, bukan tegang karena khawatir, melainkan karena heran.
Jelas tampak sesosok bayangan tubuh yang berpinggang ramping, tubuh seorang wanita! Yuanita? Dadanya berdebar keras. Benarkah Yuanita yang masuk? Alangkah beraninya memasuki kamarnya yang gelap. Akan terulang lagikah peristiwa yang memabokkan itu? Sekarang amat berbahaya karena mereka berada di dalam kamamya, kamar yang gelap!
Timbul kekhawatiran dalam hati Kun Liong. Dia ingin melompat, ingin menyalakan lampu di kamarnya, ingin membujuk agar Yuanita tidak melanjutkan niatnya, agar dara itu keluar dari kamar, pergi meninggalkannya. Akan tetapi semua keinginannya itu tertunda ketika dia mendengar suara lirih, suara wanita yang basah merdu,
"Tuan... kekasihku..." Suara yang basah parau namun lunak merdu, suara Nina!
Kun Liong terpesona dan seperti seekor kelinci mencium bau harimau, dia bangkit duduk, kemudian mengambil keputusan untuk cepat meninggalkan kamar itu karena keadaannya amat ‘berbahaya’. Tanpa berkata apa-apa dia lalu meloncat dan lari dari kamarnya.
Akan tetapi baru saja keluar dari pintu, dia sudah diserbu wanita itu, dirangkul dan ditarik kembali ke dalam kamar yang gelap! Wanita itu melempar daun pintu tertutup, kemudian terdengar langkahnya mendekatinya, membuat Kun Liong menggigil dan duduk di atas pembaringannya, tak dapat mengeluarkan suara sedikit pun.
"Yuan... gelap amat..." wanita itu berbisik lagi.
Akan tetapi kini dua buah tangan meraba pundak Kun Liong. Dua buah lengan merangkul dan sebuah tubuh yang lunak hangat mendekapnya, sepasang bibir yang basah dengan napas terengah-engah menjelajahi mukanya untuk kemudian berhenti mengecup bibirnya dalam sebuah ciuman yang membuat Kun Liong hampir pingsan!
Tak pernah Kun Liong dapat membayangkan akan ada ciuman seperti itu! Yuanita sudah merupakan pengalaman luar biasa ketika menciumnya, akan tetapi dibandingkan dengan ini, Yuanita bukan apa-apa! Ciuman wanita ini seolah-olah menembus jantungnya, terasa sampai di tulang sumsum sehingga membuat seluruh tubuh Kun Liong panas dingin, kaki tangannya menggigil, kepalanya berdenyut dan pandang matanya berkunang! Dahsyat!
"Haiiiii...!" Mendadak Nina berteriak lirih, tangan wanita yang halus itu membelai, meraba muka dan kepala yang gundul, kemudian terdengar wanita itu menahan tawa, terkekeh genit. "Kaukah ini...? Kau... pemuda yang katanya seorang pendekar yang sakti? Ahhh, aku mendengar bahwa seorang pendekar memiliki kekuatan yang luar biasa... aku kagum padamu..."
Kun Liong gelagapan ketika wanita itu merayunya, membelai, memeluk dan menciumnya. Ucapan Nina dalam bahasa daerah bercampur bahasa asing membuatnya bingung. Bau minyak wangi yang aneh memabokkannya, dan terutama sekali tubuh wanita yang hidup mendekapnya itu membuat Kun Liong kehilangan akal.
"Jangan... Nyonya... jangan... maafkan aku, harap suka tinggalkan aku, aku... aku takut kalau ketahuan orang..." katanya gagap.
"Hi-hik-hik, beginikah pendekar? Mengapa penakut? Tidak sukakah kau kepadaku? Tidak senangkah kau kucium seperti ini?"
Nina kembali menciuminya, mencium kepalanya, mukanya, bibirnya dan kedua lengannya merangkul ketat sehingga tubuh Kun Liong menjadi panas dingin dibuatnya.
Kun Liong hanyalah seorang manusia biasa, seorang pria muda yang tentu saja berdarah panas. Menghadapi rayuan yang amat luar biasa itu, hampir dia tidak mampu menahan dirinya. Tubuhnya panas dingin dan gemetar, dan seperti seorang yang mabok, pandang matanya berkunang.
Tubuh wanita yang masak itu kelihatan luar biasa menariknya tersorot cahaya remang-remang dari sinar lampu yang memasuki kamar itu melalui celah-celah jendela dan pintu. Akan tetapi dia masih teringat bahwa wanita ini adalah isteri dari Legaspi Selado, bahwa merupakan perbuatan terkutuk untuk berjinah dengan isteri orang lain! Ingatan ini lantas mengeraskan hatinya dan dia mendorong tubuh wanita itu dengan halus.
"Nyonya, jangan lakukan ini! Jangan lanjutkan perbuatan gila ini!" katanya lirih.
"Ahhhh... berani engkau menolak aku? Engkau yang sudah menggigil penuh nafsu ini... hi-hi-hik, orang muda yang kuat, jangan kau berpura-pura alim..."
Mereka seperti bergulat. Kun Liong mencegah ada pun wanita itu hendak menggelutinya. Pada saat itu terdengar suara Yuan,
"Kun Liong, dengan siapakah kau di dalam?"
Kun Liong terkejut bukan main. Apa lagi pintu kamar itu terbuka dari luar dan Yuan de Gama masuk membawa sebuah lampu! Kun Liong cepat meloncat menjauhi Nina dan membetulkan kancing bajunya yang hampir terlepas semua. Wanita itu hanya tersenyum dengan mulut agak terengah, matanya seperti mata seekor singa kelaparan!
"Yuan... dia... dia ini..." Kun Liong berkata gagap.
Yuan mengangguk. "Aku tahu, Kun Liong. Karena itu aku masuk ke sini untuk menolong dan membebaskanmu dari harimau betina kelaparan!"
Lega rasa hati Kun Liong. Dia memandang kepada sahabatnya itu penuh terima kasih, kemudian tanpa berkata apa-apa dia meloncat keluar dari kamar, langsung menuju ke dek kapal untuk mencari ‘hawa segar’.
"Nina, sungguh kau terlalu sekali! Dia adalah penolong dan tamu terhormat, mengapa kau begitu tidak tahu malu untuk..." Yuan de Gama menegur wanita muda yang kini duduk di pembaringan Kun Liong dengan baju atas setengah terbuka membayangkan dada yang membusung penuh, yang tersenyum dengan muka kemerahan, dengan mata mengerling basah ke arah Yuan, senyum yang penuh ejekan dan tantangan!
"Yuan, kau tidak tahu. Semua ini gara-gara engkaulah! Betapa rinduku kepadamu hampir tak dapat aku menguasai diriku lagi, dan kau selalu berpura-pura, selalu menjauhkan diri setelah dahulu..."
"Cukup, Nina! Satu kali itu saja sudah cukup. Aku pernah gila, akan tetapi semua adalah karena bujuk rayumu. Aku tidak akan mengulanginya lagi perbuatan terkutuk kita itu!"
"Hi-hi-hik, Yuan! Ketahuilah, aku tidak sengaja masuk ke kamar ini. Siapa sudi bercumbu dengan Si Gundul itu kalau ada engkau di sini? Kukira ini kamarmu, aku lupa bahwa kau memberikan kamar ini kepada Si Gundul. Aku salah masuk, dan karena sudah terlanjur, untuk menutupi maluku, aku... hemmm... dia pun..."
"Sudahlah, Nina. Tak perlu kau berpura-pura. Aku mengenal pemuda seperti Kun Liong, seorang pendekar sakti, seorang jantan sejati yang tak mungkin akan sudi mengganggu seorang wanita kalau tidak kau bujuk rayu. Keluarlah dari kamar ini sebelum Tuan Selado mengetahuinya sehingga terjadi hal yang memalukan."
Tetapi Nina malah bangkit, dengan melenggang-lenggok menggairahkan dia menghampiri Yuan de Gama, merangkulnya dan berkata dengan sikap dan suara manja. "Yuan, tidak kasihankah kau kepadaku? Aku rindu kepadamu, aku cinta kepadamu..."
"Diam!" Yuan merenggutkan tubuhnya terlepas dari pelukan wanita itu. "Orang seperti kau tidak patut bicara tentang cinta! Dan aku tidak cinta kepadamu! Ketahuilah, hanya ada seorang wanita saja di dunia ini yang benar-benar patut kucinta, yang kucinta sepenuh nyawaku. Dia adalah Souw Li Hwa!"
Kun Liong yang sudah kembali dan mendengar dari luar, terkejut dan menyelinap pergi, akan tetapi dia tidak mengira bahwa pemuda asing itu akan terang-terangan mengaku di depan Nina bahwa dia hanya mencinta Li Hwa seorang. Diam-diam Kun Liong merasa terharu dan kasihan kepada Yuan de Gama.
Li Hwa adalah seorang gadis gagah perkasa dan keras hati, murid tunggal Pendekar Sakti The Hoo yang berkedudukan tinggi. Mungkinkah seorang dara seperti Li Hwa akan dapat membalas cinta seorang pemuda asing seperti Yuan de Gama?
Terjadi kegaduhan di kamar itu karena dengan berkeras Yuan menolak bujuk rayu Nina. Akhirnya tampak oleh Kun Liong yang menyelinap bersembunyi betapa Nina berlari keluar dari kamar itu sambil terisak menangis. Diam-diam Kun Liong merasa kasihan juga pada wanita itu, maka dia menyelinap dan membayangi dari jauh untuk melihat apa yang akan terjadi dengan wanita yang dianggapnya bernasib malang itu.
Biar pun dia sendiri belum berpengalaman, namun dia dapat merasakan bahwa wanita itu tersiksa oleh nafsunya sendiri, nafsu yang mendesak-desaknya sehingga membutuhkan penyaluran. Akan tetapi celaka bagi wanita itu, dua orang pria muda yang ditemuinya, dia sendiri dan Yuan de Gama, tidak bersedia melayaninya...
Selanjutnya,