Petualang Asmara Jilid 24
SEMENTARA itu, pertempuran antara Legaspi dan Kun Liong juga berlangsung seru sekali. Cambuk itu meledak-ledak dan Kun Liong yang bertangan kosong mempergunakan ilmu ginkang-nya, selalu berhasil mengelak dan balas menyerang dengan pukulan jarak jauh menggunakan sinkang.
Tentu saja karena pemuda ini merasa pantang untuk membunuh orang, saat menghadapi Legaspi sekali pun dia tak pernah bermaksud membunuh, hanya untuk merampas bokor. Hal inilah yang membuat dia belum juga dapat merobohkan lawan. Andai kata dia tidak berpantang membunuh, dengan ilmu silatnya yang amat tinggi, dengan sinkang-nya yang hebat dan Thi-khi I-beng yang mukjijat, dia tentu sudah berhasil membunuh lawan.
Legaspi menjadi bingung melihat anak buahnya terdesak, bahkan tinggal tiga orang lagi yang melawan mati-matian. Dia sendiri agaknya belum tentu dapat menangkan pemuda gundul yang lihai seperti setan ini, biar pun hanya bertangan kosong.
Tiba-tiba ia berseru keras, tangan kirinya melempar sebuah benda ke tengah kapal, dekat tiang induk. Terjadi ledakan dahsyat dan ternyata benda itu adalah alat peledak. Begitu meledak, timbul kebakaran di tempat itu dan karena angin bersilir dan api menjilat layar, sebentar saja kapal itu sudah berkobar-kobar.
Melihat ini, Yuan dan Li Hwa cepat-cepat merobohkan tiga orang sisa lawan, kemudian keduanya mencoba memadamkan api dengan siraman air. Namun, air yang hanya sedikit itu mana mampu membunuh api yang sudah berkobar begitu dahsyat?
Kun Liong penasaran sekali. Ketika cambuk menyambar lagi, dia sengaja menubruk dan melindungi tubuh dengan sinkang-nya.
"Tarrr…!"
Cambuk menghantamnya dan membelit tubuhnya, akan tetapi Kun Liong mencengkeram ke arah tangan kanan yang memegang cambuk.
"Augghh!" Legaspi berteriak dan terpaksa dia melepaskan gagang cambuk serta menarik tangannya.
Pada saat itu juga, Legaspi memukulkan telapak tangan kanannya yang besar ke arah dada Kun Liong. Kembali Kun Liong menerima pukulan tangan terbuka ini dengan dada sambil mempergunakan Thi-khi I-beng dan... telapak tangan itu melekat pada dadanya, terus saja sinkang dari tubuh Legaspi mengalir seperti air membanjir ke tubuh Kun Liong! Mereka berada dekat rel dek, di pinggir kapal.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Legaspi ketika merasa bahwa tenaganya disedot, makin lama makin banyak membuat tubuhnya menggigil. Kun Liong sudah mengulurkan tangan merampas bokor dan pada saat itu juga dia membebaskan lawannya dari Thi-khi I-beng dan mendorongnya ke belakang.
Dengan jeritan mengerikan tubuh gendut itu terlempar ke balakang, melalui rel dan jatuh tercebur ke laut yang kini agak besar ombaknya. Kun Liong menjenguk ke bawah dan menarik napas panjang. Hatinya merasa menyesal sekali, bulu tengkuknya berdiri. Dia tidak sengaja membunuh orang, akan tetapi orang itu betapa pun juga mati tenggelam di laut karena bertanding dengan dia!
"Gara-gara benda terkutuk ini!" Dia memandang bokor yang telah banyak mendatangkan korban.
"Kun Liong, syukur kau telah dapat merampas bokor dan membunuhnya!" kata Li Hwa.
"Aku tidak membunuhnya dan..."
"Hemm, mengapa mengobrol saja?" teriak Yuan yang membuka baju, tampak tubuhnya yang kekar itu penuh keringat. "Lebih baik lekas bantu memadamkan api kalau tidak ingin dibakar hidup-hidup!"
Kun Liong dan Li Hwa cepat-cepat membantu dengan ember, menguras persediaan air, bahkan menimba dari pinggir kapal untuk menanggulangi kebakaran yang amat hebat itu. Tapi usaha mereka itu sia-sia, sedikit api padam di sini, di lain bagian telah mendapatkan bahan bakar yang lebih banyak.
Kita tinggalkan dahulu tiga orang muda yang sibuk berusaha memadamkan api itu dan kembali ke Pulau Ular. Pertandingan antara empat orang tokoh sakti masih berlangsung dengan hebatnya. Namun kini sudah tampak perubahan besar.
Toat-beng Hoatsu sudah terengah-engah, peluh memenuhi mukanya dan dari kepalanya tampak uap putih mengepul, sedangkan lawannya, Panglima The Hoo masih tenang saja dan setiap gerakannya kelihatan mantap. Demikian pula dengan Ban-tok Coa-ong yang menghadapi Keng Hong. Sekarang pendekar sakti ini dapat mempermainkan lawannya setelah lawannya menjadi lelah dan lemah.
"Hayo katakan di mana bokor emas itu kau sembunyikan!" berkata The Hoo sambil terus mendesak lawan. "Dan menyerahlah, mungkin engkau tidak akan dihukum mati."
Namun Toat-beng Hoatsu tidak menjawab melainkan terus melawan mati-matian, setiap gerakan kedua tangannya yang terkepal mantap dan mendatangkan angin dahsyat. Akan tetapi lawannya, Panglima The Hoo adalah seorang yang selain memiliki ilmu kepandaian amat tinggi dan pengalaman yang amat luas, juga terkenal sebagai seorang yang memiliki sinkang yang mukjijat. Dari sepasang tangan kakek panglima sakti ini tampak uap putih mengepul dan setiap kali mereka beradu lengan, tentu tubuh Toat-beng Hoatsu terdorong mundur dan membuatnya terhuyung-huyung.
Hal ini membuat Toat-beng Hoatsu marah sekali. Sambil berteriak keras ia mengeluarkan jubahnya dan mengamuk dengan senjata istimewa ini. Akan tetapi, The Hoo sudah pula mengeluarkan pedangnya. Tampaklah sinar kilat berkelebatan menyilaukan mata ketika pedang itu dimainkan.
"Brett-brett-brett...!"
Alangkah kagetnya hati Toat-beng Hoatsu melihat bahwa jubahnya, senjata yang sangat diandalkannya, kini cabik-cabik oleh pedang di tangan lawannya.
Di lain pihak, pertandingan antara Ban-tok Coa-ong dan Cia Keng Hong juga berlangsung tidak kalah hebat dan serunya.
"Ha-ha-ha, jadi engkau adalah supek dari pemuda gundul itu? Ha-ha-ha, kalau memang begitu, biar aku mengirim engkau ke neraka menyusul ayah bundanya!" Bantok Coa-ong tertawa mengejek ketika teringat bahwa tadi Kun Liong menyebut lawannya ini ‘supek’.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Keng Hong mendengar kata-kata itu. Ucapan Ban-tok Coa-ong barusan berarti bahwa Gui Yan Cu dan Yap Cong San telah tewas! Dia merasa kaget, duka, dan marah sekali. Hal ini membuat gerakannya menjadi kacau dan tenaganya berkurang maka Ban-tok Coa-ong dapat mendesaknya dengan hebat.
Datuk kaum sesat ini memang lihai bukan main, maka begitu Cia Keng Hong mengalami pukulan batin yang membuat gerakannya mengendur, Kakek Raja Ular itu mendesaknya dengan kedua senjatanya yang aneh. Cia Keng Hong seperti nanar dan pening kepalanya mendengar berita mengejutkan itu dan selama belasan jurus pendekar sakti ini hanya dapat menangkis dan mundur-mundur.
"Mampuslah! Ha-ha-ha-ha!" Ban-tok Coa-ong sudah menyerang dengan pedang ularnya, menusuk ke arah leher dengan kuatnya, sedangkan terompetnya yang juga merupakan senjata ampuh itu menghantam arah dada lawan.
Menghadapi serangan yang sangat berbahaya ini, barulah Cia Keng Hong sadar akan ancaman maut. Karena itu dia cepat menggoyang kepalanya, menggerakkan pedang dan mengerahkan sinkang untuk menempel pedang lawan, kemudian menerima hantaman di dada itu dengan cengkeraman tangan sehingga terompet itu remuk, sementara tangan Keng Hong terus mencengkeram tangan kiri lawan sehingga jari-jari tangan mereka saling mencengkeram!
"Lepaskan pedang!" Keng Hong membentak.
Sebuah kekuatan dahsyat membuat kedua pedang yang saling menempel itu terlepas karena tangan kanan Ban-tok Coa-ong tergetar hebat. Sepasang pedang itu terlempar ke samping dan kedua tangan kanan mereka pun saling cengkeram. Sekarang kedua tangan mereka dengan jari-jari saling mencengkeram mengadu telapak tangan dan keduanya lalu mengerahkan tenaga.
Ban-tok Coa-ong mengandalkan sinkang-nya yang mengandung hawa beracun, maka dia lantas mengerahkan seluruh tenaga untuk mengirim racun ke tubuh lawan melalui telapak tangannya. Tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika merasa betapa sinkang-nya menerobos ke luar disedot oleh kedua tangan pendekar sakti itu. Mukanya menjadi pucat sekali, dan teringatlah dia kini akan ilmu mukjijat Thi-khi I-beng yang kabarnya di dunia in hanya dimiliki oleh Pendekar Cia Keng Hong seorang. Dia merasa makin lemah, tak kuat lagi menahan sinkang-nya yang membanjir keluar membuat tubuhnya kehilangan tenaga sehingga tak terasa lagi dia jatuh berlutut, keringatnya menetes-netes.
"Lepas... lepaskan aku...!" katanya di luar kesadarannya, terdorong oleh rasa ngeri ketika merasa betapa sinkang-nya terus membanjir keluar.
"Siapa yang membunuh Yap Cong San dan Gui Yan Cu?" terdengar suara pendekar itu bertanya, penuh wibawa menyembunyikan kekagetan, kedukaan, dan amarahnya akibat mendengar berita itu.
"Para datuk kaum sesat... kecuali aku... ehhh, Toat-beng Hoatsu, Siang-tok Mo-li, Kwi-eng Niocu dan Hek-bin Thian-sin... Harap kau lepaskan aku...!"
"Di mana dibunuhnya mereka?"
"Di... di Tai-goan... auggghhhh!" Tubuh Ban-tok Coa-ong roboh dan tewas seketika ketika tangan kiri Keng Hong menampar kepalanya.
"Desss... aduhhhh...!"
Tubuh Toat-beng Hoatsu juga terpelanting dan tewas seketika. Dadanya remuk terkena pukulan mukjijat Panglima The Hoo yang disebut Jit-goat Sin-ciang-hoat.
"Sayang mereka tidak mengaku di mana adanya bokor... heiii, kenapa wajahmu murung, Cia-sicu?" Panglima itu bertanya heran.
"Hamba... baru saja mendengar dari dia..." Keng Hong menunjuk ke arah mayat Ban-tok Coa-ong, "...bahwa sahabat hamba Yap Cong San beserta isterinya, sumoi hamba telah dibunuh oleh kelima datuk kaum sesat di Tai-goan." Tanpa terasa dua titik air mata turun dari mata pendekar itu dan cepat dihapusnya.
"Hemmm, orang-orang jahat itu hanya mendatangkan bencana saja." Dia menoleh dan melihat bahwa pertempuran sudah selesai, tidak tampak pihak musuh, hanya pasukannya yang siap menanti perintah dan ada yang sedang menyiapkan kapalnya. Ketika menoleh inilah dia melihat api berkobar di laut. "Ada kebakaran di sana...!" teriaknya.
Keng Hong menoleh dan keduanya lari ke pantai di mana semua pasukan juga sedang memandang kebakaran. Dari jauh, para pasukan tidak dapat melihat apa yang terjadi di Kapal Kuda Terbang yang terbakar itu. Akan tetapi begitu melihat, mata Keng Hong dan Panglima The Hoo dapat melihat dua orang sedang bertanding hebat di atas kapal itu, yang seorang adalah kakek berjubah aneh yang mudah saja diduga tentulah Legaspi, ada pun lawannya adalah seorang pemuda gundul.
"Kun Liong menghadapi Legaspi. Tentu bokor sudah di tangan Legaspi," kata Keng Hong.
"Akan tetapi kapal itu terbakar hebat. "Dan ehh... bukankah itu Li Hwa di sana, membantu seorang pemuda asing tanpa baju sedang mencoba memadamkan api?"
Keng Hong juga melibat ini. "Kalau begitu Nona Souw sudah tertolong!"
"Kapal itu terbakar hebat, kita harus mencoba menolong mereka!" Panglima The Hoo, diikuti oleh Keng Hong lalu lari ke kapal dan panglima itu memerintahkan supaya kapal cepat diluncurkan menuju ke Kapal Kuda Terbang yang terbakar.
Akan tetapi ketika mereka sudah tiba agak dekat, ternyata mereka tidak mungkin dapat terlalu mendekat karena hal itu berbahaya sekali. Potongan-potongan kayu yang masih bernyala mulai beterbangan dan bisa berbahaya kalau mengenai kapal atau layarnya. Di samping lainnya, Perahu Ikan Duyung juga mendekati kapal yang terbakar namun mereka tidak berdaya melakukan sesuatu.
Panglima The Hoo dan Keng Hong melihat betapa Kun Liong dapat merobohkan Legaspi yang terjungkal ke laut, kemudian melihat Kun Liong membantu memadamkan api. Akan tetapi api makin membesar dan sudah makan setengah kapal, membuat kapal miring dan sebentar lagi tentu tenggelam!
Panglima The Hoo dan Keng Hong memandang penuh khawatir. "Mereka harus segera meloncat ke luar dan berenang, nanti kita jemput dengan perahu. Kalau sampai kapal itu meledak, celaka...!"
Keng Hong mengerahkan khikang-nya dan terdengar dia berteriak, nyaring bukan main. "Yap Kun Liong, kalian semua tinggalkanlah kapal...!"
Panglima The Hoo juga berteriak, teriakannya bahkan lebih nyaring lagi. "Li Hwa, aku gurumu memerintahkan kau lekas tinggalkan kapal!"
Tiga orang muda itu mendengar seruan-seruan ini, dan mereka baru melihat bahwa kapal perang Panglima The Hoo berada tidak begitu jauh dari situ, demikian pula Perahu Ikan Duyung.
"Yuan, Li Hwa, mari kita tinggalkan saja kapal terbakar ini!"
"Tidak, Kun Liong. Aku adalah kapten kapal ini, dan seorang kapten tidak akan pernah meninggalkan kapalnya. Lebih baik mati bersama tenggelamnya kapal dari pada pergi meninggalkan kapal yang akan tenggelam!" Jawaban ini penuh semangat dan dada yang bidang itu dibusungkan, penuh peluh dan hangus, tampak gagah bukan main.
"Li Hwa, hayo kita pergi dari sini. Gurumu memanggil."
Li Hwa tampak bingung, sebentar menoleh ke arah kapal perang gurunya, lalu menoleh kepada Yuan yang tersenyum kepadanya dan berkata, "Pergilah kekasihku, engkau harus diselamatkan."
"Tidak...!" Li Hwa terisak lalu lari merangkul Yuan. "Kalau kau tidak pergi, aku juga tidak. Aku harus berada di sampingmu selalu, hidup atau mati!"
"Li Hwa..."
"Yuan..."
Mereka berpelukan dan Kun Liong memandang dengan sepasang mata terbelalak. Sudah diduganya bahwa kedua orang muda ini saling mencinta, akan tetapi tidak disangkanya akan menyaksikan cinta sehebat dan sebesar itu, cinta sampai mati!
"Apakah kau telah gila, Yuan?"
"Bukan aku, melainkan engkau yang gila kalau hendak memaksa seorang kapten kapal meninggalkan kapalnya yang sedang tenggelam. Apa artinya hidup tanpa kehormatan? Nenek moyangku terkenal memegang teguh kehormatan, lebih berharga dari pada nyawa, dan aku tidak sudi mengecewakan mereka."
"Yuan... kau hebat...!" Li Hwa mendekap semakin erat, penuh bangga dan cinta kepada kekasihnya.
"Li Hwa, kau... ditunggu gurumu... dan kau seorang panglima wanita negaramu... Apakah kau juga gila, ketularan Yuan?"
Li Hwa tidak melepaskan dekapannya, hanya menoleh dan tersenyum kepada Kun Liong. Mulutnya tersenyum tetapi air matanya bertetesan, pemandangan yang tak mungkin akan dapat dilupakan oleh Kun Liong selama hidupnya.
"Kun Liong, engkaulah yang gila seperti dikatakan kekasihku, jika kau hendak memaksa seorang dara pergi meninggalkan kekasihnya yang terancam kematian. Aku harus tinggal di sini bersama dia, kau pergilah, bawalah bokor itu dan serahkan kepada Suhu, berikut hormatku yang terakhir kepada beliau..."
"Yuan... Li Hwa..."
Kebakaran di kapal semakin hebat sehingga kapal itu sudah miring sekali, sebentar lagi akan tenggelam.
"Kun Liong...!" terdengar lagi suara Keng Hong memanggil.
"Li Hwa...!" tersusul suara Panglima The Hoo.
Kun Liong mengangkat pundak, kehabisan akal. Tentu saja, dengan kepandaiannya, dia mampu mengusai dua orang itu dan memaksanya meloncat ke air, akan tetapi dia tidak tega melakukannya karena kehidupan Yuan pasti akan sengsara dan karenanya Li Hwa juga akan sengsara. Lagi pula, seandainya mereka berdua tertolong, mungkinkah Li Hwa menjadi jodoh Yuan? Pikiran ini membuat dia melangkah maju, menjabat tangan Yuan dan Li Hwa, hampir tak dapat berkata-kata karena haru, matanya basah dan air matanya bertitik.
"Selamat tinggal, Li Hwa dan Yuan... semoga kalian... semoga... kalian... bahagia...!" Kun Liong membalikkan tubuh lalu meloncat ke air membawa bokor emas.
Keharuan dan pertandingan hebat melawan Legaspi tadi membuat dia lemah, namun dia mengerahkan tenaganya untuk berenang. Tak lama kemudian tubuhnya ditarik ke atas perahu kecil dan langsung dia dibawa ke kapal, dinaikkan ke kapal perang.
Cia Keng Hong dan The Hoo menyambutnya. Kun Liong berlutut dan menyerahkan bokor emas kepada The Hoo tanpa kata-kata, kemudian dia membalik dan memandang ke arah Kapal Kuda Terbang yang terbakar. Kemudian, melihat betapa Yuan dan Li Hwa masih saling berdekapan di antara api dan air, di pinggiran ujung kapal yang sudah tenggelam sebagian, Kun Liong tak dapat menahan diri, dia menangis mengguguk seperti anak kecil!
"Apa yang terjadi...?" Keng Hong bertanya, mengguncang pundak Kun Liong.
"Yuan de Gama... dia kapten kapal itu... dia tidak mau disuruh pergi... dia memilih mati bersama kapalnya dan... dan Li Hwa... yang mencintanya, mencinta sampai mati tak mau terpisah darinya..."
"Li Hwa...?" Panglima The Hoo berseru penuh keheranan, kekaguman, penasaran, juga kedukaan.
Li Hwa seperti puterinya sendiri. Apa bila dia menggunakan kepandaiannya, mungkin dia masih akan dapat memaksa puterinya itu pergi meninggalkan Yuan. Akan tetapi, melihat kedua orang itu berdekapan ketat menghadapi maut, dia menghela napas panjang.
"Semua beri hormat kepada kapten Kapal Kuda Terbang, Tuan Yuan de Gama dan Nona Souw Li Hwa!" Tiba-tiba dia mengeluarkan aba-aba yang nyaring, maka semua pasukan bangkit dan berdiri tegak ke arah kapal yang mulai tenggelam itu dengan sikap memberi hormat kepada dua orang yang berdekapan itu.
Hanya ujung kapal yang masih tampak, itu pun sudah dijilat api sehingga kedua orang itu seolah-olah berada di tengah-tengah api yang mulai tenggelam!
Tiba-tiba terdengar jerit yang penuh kemesraan.
"Li Hwa...!"
"Yuan...!"
Jerit penuh kebahagiaan dari mulut Yuan dan Li Hwa itu seakan-akan merupakan jerit kebahagiaan sepasang mempelai di atas pelaminan. Tubuh mereka perlahan-lahan mulai ditelan air, kemudian lenyap.
Sunyi senyap di kapal perang itu, kecuali suara mengguguk tangis Kun Liong. Cia Keng Hong dan Panglima The Moo berdiri tegak dan mereka berdua mengusap air mata yang menitik ke atas pipi mereka yang sudah mulai keriputan.
Di tempat lain, yaitu di atas Perahu Ikan Duyung, juga terjadi hujan tangis. Yuanita jatuh pingsan, dan Richardo de Gama berlutut sambil bersembahyang kepada Tuhan supaya menerima roh puteranya yang gugur sebagai seorang gagah perkasa, menjunjung tinggi nama keluarga de Gama yang memang terkenal. Di hati bapak tua ini terdapat keharuan, kedukaan hebat, tapi ada pula sedikit kebanggaan. Dengan matinya Yuan, dia mengajak puterinya kembali ke negaranya.
Kun Liong yang berdiri di ujung kapal perang, memandang Perahu Ikan Duyung. Biar pun dia tidak dapat melihatnya, dia bisa membayangkan betapa duka hati Richardo de Gama, terutama hati Yuanita. Ingin dia dapat dekat dengan nona itu dan menghiburnya. Akan tetapi dia melihat perahu itu mengangkat sauh dan meluncur pergi meninggalkan tempat itu. Maka dia hanya dapat menghela napas saja.
Betapa buruk nasib menimpa putera-puteri Richardo de Gama. Sungguh pun Yuan yang mencinta Li Hwa mendapat balasan yang tidak kalah mesranya, namun dia harus binasa bersama dengan kekasihnya itu. Ada pun Yuanita, yang dia tahu jatuh cinta kepadanya, terpaksa harus menanggung penderitaan hati akibat cinta gagal.
Sebuah tangan menyentuh pundaknya. Dia menengok dan melihat Cia Keng Hong sudah berdiri di depannya dan melihat wajahnya, agaknya supek-nya ini akan bicara hal yang serius.
"Ada apakah, Supek?"
"Ada berita penting untukmu, Kun Liong. Harus kusampaikan sekarang juga sebelum kita berpisah. Aku sudah mendengar tentang ayah bundamu..." Sampai sini leher Keng Hong seperti dicekik.
Wajah Kun Liong seketika berubah. Kedukaan akibat mengingat nasib Yuanita dan Yuan tersapu bersih dan berganti harapan cerah pertemuan dengan orang tuanya yang sudah terpisah belasan tahun dengannya.
"Di mana mereka, Supek? Ahhh, girang sekali hatiku dan... ihhh, mengapa, Supek?" Dia kaget setengah mati melihat orang tua itu menitikkan air mata!
Dengan suara parau dan sukar, Keng Hong kemudian berkata, "Jangan kaget, anakku... aku mendengar dari mulut Ban-tok Coa-ong sebelum dia kutewaskan bahwa... bahwa... sahabatku Yap Cong San... dan sumoi-ku Gui Yan Cu, ayah bundamu itu..." Kembali dia berhenti dan air matanya makin deras.
"Supek!" Kun Liong menjadi pucat dan lupa diri, dia memegang lengan supek-nya dan mengguncangkan keras-keras!
"Mereka telah tewas, dibunuh oleh lima datuk kaum sesat..."
Kun Liong terhuyung ke belakang, seakan-akan supek-nya memukulnya dengan pukulan maut. Matanya terbelalak, mulutnya ternganga, kemudian dia menjerit sekuatnya yang terdengar seperti auman harimau yang akan mati, tubuhnya terguling dan cepat disambar oleh Cia Keng Hong. Kun Liong jatuh pingsan, mulutnya terkancing rapat dan matanya terbuka tanpa cahaya!
"Kun Liong... kasihan kau..." Keng Hong mendukung tubuh pingsan itu dan membawanya ke biliknya di kapal perang itu.
Panglima The Hoo memerintahkan kapal menuju ke Teluk Pohai dan mendarat, di mana telah menanti kereta kebesaran untuk membawanya kembali ke istana. Sedangkan Keng Hong, setelah merawat Kun Liong sehingga pemuda itu sadar dan menghiburnya dengan nasehat-nasehat mendalam, lalu meninggalkan tempat itu kembali ke Cin-ling-san.
Kun Liong juga segera meninggalkan tempat itu dan mulai merantau seorang diri, akan tetapi pertama-tama dia menuju ke Tai-goan untuk mencari berita tentang kematian ayah bundanya.
Kun Liong menelungkup di depan kuburan ayah bundanya sambil menangis. Semalam suntuk dia menelungkup seperti itu dan di antara tangisnya dia minta-minta pengampunan dari ayah bundanya karena dia merasa bahwa dialah yang menjadi penyebab kematian mereka.
Ia mendengar peristiwa mengerikan itu dari seorang tetangga keluarga Theng yang sudah tua hingga tahu persis apa yang telah terjadi. Seluruh rumah tangga keluarga Theng mati karena menjadi tempat pemondokan ayah bundanya. Bahkan puteri cucu Kakek Theng mati dalam keadaan telanjang bulat!
Bahkan dia mendengar bahwa orang tuanya telah mempunyai seorang anak perempuan bernama Yap In Hong yang tidak ikut menjadi korban akan tetapi tidak ada orang tahu ke mana perginya anak itu. Berita ini membuat dia merasa lebih berdosa lagi.
Dia lalu menyembahyangi kuburan empat orang anggota keluarga Theng dan setelah air matanya habis ditumpahkan semalam suntuk, pada keesokan harinya dengan muka amat pucat dan mata merah dia berdiri sejenak memandang jauh tanpa tujuan. Kemudian dia menjatuhkan diri berlutut di hadapan enam buah kuburan itu, yaitu kuburan empat orang keluarga Theng dan kuburan ayah dan ibunya, dan dengan lantang dia berkata,
"Ayah dan Ibu, empat keluarga Kakek Theng yang mulia, dengarlah sumpah saya saat ini. Tadinya saya menganggap bahwa kekerasan adalah hal buruk, perkelahian adalah tidak baik, melukai dan membunuh orang adalah perbuatan terkutuk yang amat jahat, apa pun juga alasannya! Akan tetapi, lima orang datuk kaum sesat sudah melakukan perbuatan yang paling biadab, maka saya bersumpah takkan mau berhenti sebelum dapat mencari mereka yang masih hidup dan membunuh mereka dengan tangan saya sendiri. Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong telah tewas oleh Supek dan Panglima The Hoo, Siang-tok Mo-li telah tewas di tangan Kwi-eng Niocu dan kabarnya Hek-bin Thian-sin juga sudah tewas oleh Legaspi Selado dan Toat-beng Hoatsu. Jadi hanya tinggal Kwi-eng Niocu dan saya bersumpah untuk membunuhnya. Harap Ayah, Ibu dan empat keluarga kakek Theng beristirahat dengan tenang."
Setelah bersembahyang dengan hio-swa (dupa biting) sekali lagi Kun Liong meninggalkan tempat itu. Hatinya masih diliputi duka, akan tetapi ada kelegaan di hati setelah tahu akan keadaan orang tuanya. Mereka sudah tidak ada, tidak perlu ditangisi dan didukakan lagi karena percuma belaka. Dia kini menjadi yatim piatu, tiada sanak kadang, tiada tempat tinggal, bebas lepas di udara.
Namun, masih ada tugasnya yang dianggapnya amat penting, yaitu mencari seorang di antara para pembunuh orang tuanya yang sekarang masih hidup, yaitu Kwi-eng Niocu di Pulau Telaga Kwi-ouw (Telaga Setan). Dan kebetulan sekali hanya tinggal seorang itulah di antara lima orang datuk kaum sesat yang menjadi pembunuh orang tuanya, karena orang yang sudah mencuri dua buah pusaka Siauw-lim-pai juga dari Kwi-eng-pang itulah.
Dengan demikian, dia dapat bekerja sekali tepuk dua lalat. Pertama, merampas kembali dua buah pusaka Siauw-lim-pai seperti yang telah ditugaskan oleh ketuanya, kedua untuk membunuh Kwi-eng Niocu. Dia bergidik ketika teringat akan kata-kata ‘membunuh’ ini.
Selamanya dia tidak akan pernah membunuh orang dengan sengaja. Jangankan dalam perbuatan, bahkan tidak dalam pikiran karena dia membenci kekerasan dan perbuatan membunuh dianggapnya merupakan perbuatan sesat yang paling jahat dan terkutuk, apa pun alasan pembunuhan ini. Bahkan dengan alasan membalas dendam kematian orang tua pun tidak mengurangi pendirian tentang itu.
Akan tetapi, hatinya terlalu berduka, luka itu terlalu mendalam sehingga dia mengucapkan sumpah di depan kuburan orang tuanya dan sebagai seorang jantan, dia harus memenuhi sumpahnya itu, biar pun hal ini berlawanan dengan isi hatinya.
Pada suatu hari tibalah dia di sebuah dusun. Perutnya terasa lapar bukan main, maka dia memasuki sebuah warung nasi yang sederhana dan sunyi tidak ada tamunya. Dia duduk di atas bangku panjang menghadapi meja, dan karena tidak ada seorang pun di dalam warung yang terpencil di ujung dusun itu, ia mengetuk-ngetuk meja dengan jari tangannya sambil berteriak,
"Haiii, ada orangnyakah di sini?!"
Sampai beberapa kali dia mengetuk dan pendengarannya yang tajam itu bisa menangkap gerakan di sebelah dalam rumah makan itu, gerakan perlahan seolah-olah mereka tengah mengintai dan mengawasinya. Tidak lama kemudian sesudah dia mengetuk-ngetuk meja untuk ke tiga kalinya, muncullah seorang lelaki yang tubuhnya berbentuk lucu dan aneh.
Laki-laki ini sudah tua, sedikitnya tentu lima puluh tahun usianya, tubuhnya tinggi sekali, tinggi dan kurus kering, lehernya kecil seperti leher burung dan kepalanya botak sehingga dahinya kelihatan amat lebar. Sambil membungkuk-bungkuk orang itu menghampiri Kun Liong dan bertanya,
"Tuan Muda hendak memesan apakah?"
Kun Liong yang merasa amat lapar dan haus, juga lelah, menyebutkan bermacam-macam makanan yang disukainya, "Nasi, capjai, tim ayam dan udang goreng berikut seguci arak yang manis."
Akan tetapi alangkah mendongkolnya ketika setiap kali dia menyebutkan nama masakan yang dipesannya, leher kecil itu bergerak ke kanan kiri seperti akan patah dan mulut yang bibirnya tebal itu menjawab, "Tidak ada, tidak ada, tidak ada, Tuan Muda datang terlalu pagi, kami belum siap. Yang ada hanyalah bakmi, arak tua, dan bakpauw."
"Ya sudahlah, bakmi dan bakpauw pun boleh, arak tua juga lumayan, pokoknya asal perutku bisa kenyang."
Dengan terbongkok-bongkok dan agak pincang, kakek itu kemudian masuk lagi ke dalam meninggalkan Kun Liong duduk seorang diri. Kembali dia mendongkol bukan main. Kalau semua pesanannya ada, mungkin untuk memasaknya orang membutuhkan waktu yang agak lama. Akan tetapi kalau hanya bakmi, memasak sebentar pun jadilah, dan bakpauw paling-paling hanya menghangatkan saja. Akan tetapi, sudah setengah jam dia menanti, namun belum ada satu pun pesanannya yang datang.
Sampai beberapa kali dia mengetuk dan pendengarannya yang tajam itu bisa menangkap gerakan di sebelah dalam rumah makan itu, gerakan perlahan seolah-olah mereka tengah mengintai dan mengawasinya. Tidak lama kemudian sesudah dia mengetuk-ngetuk meja untuk ke tiga kalinya, muncullah seorang lelaki yang tubuhnya berbentuk lucu dan aneh.
Saking laparnya, Kun Liong hampir saja memanggil kakek bongkok dan pincang itu untuk ditegurnya, akan tetapi tiba-tiba pendengarannya kembali menangkap gerakan orang di dalam warung itu, bukan gerakan wajar melainkan gerakan dua orang yang sangat ringan dan gesit! Hatinya penasaran bukan main, maka pemuda gundul ini membatalkan niatnya memanggil kakek bongkok, bahkan dia berpura-pura tidak tahu dan kembali duduk sambil memperhatikan kegiatan di dalam dengan pendengarannya.
Akan tetapi hal ini tidak berlangsung lama. Ketika Kun Liong mengerahkan perhatiannya dengan sikap waspada, terdengar kakek itu berjalan keluar, tetap dengan tubuh bongkok dan langkah terpincang-pincang. Kedua tangannya memegang sebuah baki berisi sebotol arak dengan cangkirnya yang sederhana terbuat dari tanah liat, sepiring mi dan beberapa potong bakpauw.
Lenyap kemendongkolan hati Kun Liong. Dia sedang lapar dan haus, kini hatinya girang melihat makanan, biar pun sederhana. Kakek pemilik warung itu kembali pergi masuk meninggalkan Kun Liong dan hal ini pun menyenangkan Kun Liong karena bila dia makan sambil ditunggui kakek yang mukanya mengerikan itu tentu sedikitnya akan mengurangi seleranya.
Mulailah dia makan, mula-mula empat buah bakpauw diganyangnya habis dan rasanya lumayan. Bakmi yang agak terlalu asin itu pun lenyap ke dalam perutnya, hanya tersisa beberapa potong bawang yang kurang disukainya. Kemudian dia minum arak dari cawan butut itu.
Begitu minum dia pun terkejut. Lidahnya yang sudah terbiasa dapat merasakan campuran racun yang amat kuat dalam arak itu. Akan tetapi dia tak merasa khawatir karena maklum bahwa perutnya telah kebal menerima racun ini. Dia minum arak itu sampai rasa hausnya hilang dan timbul pikirannya untuk melihat perkembangan apa yang akan terjadi. Kenapa kakek aneh itu hendak meracuninya dan siapa pula orang-orang yang tadi dia tahu sudah mengintainya dari dalam rumah.
Maka, setelah menghabiskan beberapa cawan arak, dia pura-pura memegangi kepalanya dan perutnya. Dia mengingat-ingat bagaimana cara racun itu bekerja, lalu berkata,
“Aihhh… mengapa kepalaku mendadak pusing dan mata ini… ahh… mata ini ini begitu mengantuk… Huahhh…!” Kun Liong sengaja menguap lebar agar terlihat oleh dua orang yang dia tahu sedang mengintainya dari dalam.
Sesudah itu Kun Liong sengaja membuat tubuhnya terkulai lemas, lantas perlahan-lahan dia menyandarkan punggungnya pada sebuah tiang kayu yang berdiri di belakang tempat duduknya, menguap sekali lagi lalu memejamkan kedua matanya. Pemuda ini mengatur tubuhnya agak miring ke kiri agar lagaknya berpura-pura pingsan tidak mudah diketahui, akan tetapi dia masih dapat mengawasi sekelilingnya, lalu dia mulai mengintai dari balik bulu matanya kepada kakek itu.
Sekarang terjadi perubahan yang mengejutkan hatinya. Kakek itu tak lagi terbongkok atau pincang, melainkan bergerak dengan sigap, dengan langkah kaki seorang ahli ginkang, dan pada tangan kanannya kini tampak sebatang tongkat pendek yang berbentuk sebuah tangan manusia, atau lebih tepat tangan setan karena tangan itu telah mengering, terlihat keras membaja dengan jari-jarinya hendak mencengkeram, lengkap dengan kuku warna kehitaman yang tentu mengandung racun berbahaya.
Ehh, kiranya seorang tokoh yang memiliki ilmu kepandaian, pikir Kun Liong. Akan tetapi dia masih belum bergerak, hendak melihat apa yang akan dilakukan oleh kedua orang itu.
“Sungguh bagus pekerjaan kita, tepat seperti rencanamu, Tuan Muda Markus,” kakek itu berkata.
“Siasatmu memang hebat, Lo-mo. Begitu melihat dia tadi berjalan seorang diri, aku sudah langsung mengenalnya dan kebetulan sekali dia masuk ke warung ini. Habis bagaimana dengan pemilik warung dan isterinya yang kita belenggu di dalam itu?”
“Mereka berjasa, kalau urusan ini selesai, kita bebaskan mereka,” kata si Kakek.
“Dan aku akan memberi mereka hadiah,” kata si Pemuda Asing.
Mereka kemudian duduk di atas bangku dekat Kun Liong, keduanya siap dengan senjata masing-masing. Bagaimana pun juga mereka tetap bersikap waspada terhadap pemuda gundul yang mereka tahu amat lihai ini. Cukup lama mereka duduk dengan pandang mata ke arah luar, seperti tengah menantikan seseorang atau sesuatu.
Kurang lebih setengah jam kemudian, dari arah selatan terdengar suara derap kaki kuda yang membuat Si Kakek dan Si Pemuda Asing serentak mengalihkan pandangan ke arah suara itu. Walau pun masih cukup jauh namun pandang mata Si Kakek yang tajam sudah dapat melihat bahwa suara itu ditimbulkan oleh dua ekor kuda yang sedang dilarikan oleh dua orang berpakaian perwira.
“Hemm, akhirnya yang kita tunggu datang juga,” kata Si Kakek yang segera bangkit dari duduknya dan melangkah keluar, diikuti oleh Si Pemuda Asing yang bernama Markus itu.
Dua perwira yang sedang melarikan kuda menuju benteng mereka cepat memperlambat lari kuda mereka ketika dari kejauhan melihat ada dua orang yang menghadang di tengah jalan yang akan mereka lewati, dan akhirnya menghentikan kudanya setelah tiba tepat di hadapan dua orang yang menghadang, yang ternyata adalah Si Kakek dan Si Pemuda Asing. Kedua perwira itu mengerutkan alis, kemudian seorang yang tubuhnya lebih tinggi dan tegap segera membentak,
“Ada apa kalian menghadang kami dua orang perwira pemerintah? Apa kalian hendak memberontak?!”
“Maafkan kami yang menghambat perjalanan Jiwi-ciangkun, tapi kami harus melaporkan bahwa kami baru saja meringkus seorang penjahat yang sedang dicari oleh Panglima The Hoo,” kata Si Kakek sambil menghormat dengan mengangkat dua tangan ke depan dada.
Dua perwira itu sangat terkejut, membuat kerut dia atas alis mereka makin dalam.
“Siapa penjahat itu? Dan apa yang sudah dia lakukan sampai dicari oleh Panglima Besar The Hoo?”
“Dia adalah Yap Kun Hong, murid keponakan dari Cia Keng Hong yang telah memalsukan pusaka bokor milik Panglima The Hoo,” jawab kakek itu, lalu melanjutkan. “Sekarang dia ada di dalam warung itu, sudah kami buat tak berdaya.”
Dua perwira itu makin terkejut. Berita tentang pusaka bokor yang dipalsukan itu memang telah beredar di kalangan tentara kerajaan, sekaligus beredar pula perintah untuk mencari bokor yang tulen.
Namun, Kun Liong yang memiliki pendengaran tajam dan dapat pula mendengar ucapan tadi, bahkan lebih terkejut dari pada dua perwira itu. Dia sendiri yang menyerahkan bokor itu kepada Panglima Besar The Hoo, bagaimana sekarang tahu-tahu pusaka itu menjadi bokor palsu? Akan tetapi dia cepat melanjutkan sandiwara pingsannya ketika mendengar langkah empat orang itu yang sudah memasuki warung.
“Hemm, inikah orangnya?” tanya perwira bertubuh tinggi besar sambil memandang tubuh Kun Liong yang bersandar pada tiang. Setelah sejenak melirik pewira lain yang berdiri di sampingnya, dia kemudian berkata lagi, “Baik. Kalian jaga dia di sini. Kami akan kembali ke benteng untuk mengajak pasukan ke sini dan penjahat ini akan langsung kita bawa ke kota raja.” Dua perwira itu lalu bergegas keluar, menaiki kuda mereka dan melarikannya ke arah utara.
Setelah dua orang perwira itu pergi, barulah Markus membuka suara. “Jadi dia ini adalah keponakan Cia Keng Hong. Bukankah pendekar itu merupakan pembantu Panglima The Hoo?”
“Dia memang pembantu Panglima The Hoo, akan tetapi sekarang dia sudah kembali ke Cin-ling-san setelah dipanggil menghadap ke Istana Panglima The Hoo. Tidak salah lagi, pemuda cerdik inilah yang memalsukan bokor, karena menurut cerita yang kudengar, dia inilah orang pertama yang menemukan bokor.”
Dua orang itu kembali duduk di dekat Kun Liong, tetap dengan senjata di tangan, menanti kedatangan pasukan tentara yang akan mengawal tawanan ke kota raja.
Biar pun tidak begitu tertarik karena pemuda asing bernama Markus (Marcus) itu hanya mementingkan urusannya sendiri, namun untuk menanti datangnya pasukan yang diberi laporan, Marcus bertanya, "Siapakah gurumu, Lo-mo? Tentu dia lihai bukan main."
"Seperti dewa! Guruku itu, biar pun sampai kini tidak atau belum mau meninggalkan goa pertapaannya karena sedang mencipta ilmu untuk melawan Thi-khi I-beng ilmu tertinggi Cia Keng Hong, namun jelas guruku adalah orang yang paling sakti di dunia ini pada saat sekarang. Namanya pun harus kurahasiakan sampai guruku itu keluar dari goa dan turun ke dunia ramai."
Marcus mengangguk-angguk. "Dan tiga orang susiok-mu itu, siapakah mereka? Mengapa pula sampai terbunuh oleh Cia Keng Hong?"
"Mereka dulu terkenal sekali sebagai Thian-te Sam-lomo (Tiga Iblis Tua Langit dan Bumi) yang masing-masing bernama julukan Kai-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Pengemis), Bun-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Sastra), Thian-to Lo-mo, yang menjadi seorang pendeta agama To. Sebagai adik-adik seperguruan guruku, kepandaian mereka sangat hebat, namun dengan secara licik, dengan Ilmu Thi-khi I-beng maka Cia Keng Hong dapat membunuh mereka. Karena itulah maka sudah selama belasan tahun ini guruku bersemedhi hendak mencipta ilmu untuk menandingi Thi-khi I-beng."
Mengenai kematian Thian-te Sam-lo-mo di tangan Cia Keng Hong ini terjadi dalam cerita Pedang Kayu Harum. Akan tetapi Kun Liong yang belum pernah mendengar cerita ini, terkejut bukan main. Dua kali dia terkejut, pertama mendengar bahwa bokor emas yang dirampasnya di Pulau Ular itu ternyata palsu dan ke dua adalah urusan dendam terhadap supek-nya itu. Namun dia tetap diam, pura-pura pingsan.
Tidak lama kemudian terdengar derap kaki kuda dan muncullah pasukan pemerintah yang sedikitnya ada lima puluh orang banyaknya. Beberapa orang prajurit segera memasuki warung itu lantas menodongkan tombaknya kepada Kun Liong yang masih terkulai lemas bersandar pada tiang.
"Heh-heh-heh, tidak perlu menggunakan kekerasan. Selama setengah hari dia tidak akan dapat bergerak. Belenggu saja dia kuat-kuat," berkata kakek yang disebut Lo-mo tadi, lalu bersama Marcus dia menemui komandan pasukan.
Komandan pasukan memang sudah tahu akan bokor emas yang palsu, maka mendengar laporan dua orang asing baginya ini, bahwa tentu pemuda ini sebagai penemu pertama bokor emas yang telah memalsukannya, menjadi percaya dan girang.
"Kita tangkap dia dan bawa kepada The-ciangkun. Kalian berdua tentu menerima hadiah banyak kalau bokor yang asli dapat ditemukan melalui pemuda gundul ini."
"Kami tidak mengharapkan hadiah, Ciangkun, karena kami, yaitu para pedagang di Teluk Pohai, dengan senang hati selalu akan membantu pemerintah," jawab Marcus sehingga hati komandan itu makin senang, apa lagi sesudah Marcus membagi-bagikan dinar emas kepada para anggota pasukan, seorang satu dan lima buah untuk Sang Komandan.
Kun Liong dibelenggu kaki tangannya, dan digusur keluar, kemudian tubuhnya dinaikkan ke atas punggung kuda, menelungkup dan melintang, sedangkan Marcus dan Lo-mo itu pun masing-masing memperoleh seekor kuda. Marcus membebaskan suami isteri pemilik warung dan memberi hadiah pula.
Berangkatlah rombongan itu dan Kun Liong masih pura-pura menelungkup pingsan. Dia amat tertarik dan ingin sekali dihadapkan kepada Panglima The Hoo untuk mendapatkan keterangan sebenarnya apa yang telah terjadi dengan bokor itu. Dia tidak percaya bahwa seorang sakti bijaksana seperti panglima itu akan menuduhnya sembarangan saja seperti yang dilakukan oleh orang-orang ambisius yang gila uang ini.
Setelah setengah hari lamanya, Kun Liong pura-pura sadar dan mengeluh. Dia pura-pura meronta, akan tetapi punggungnya segera ditodong cakar di ujung tongkat kakek itu, dan beberapa ujung tombak runcing para prajurit juga menodongnya.
"Mengapa aku dibelenggu? Ke mana aku dibawa pergi?" Kun Liong pura-pura bertanya untuk menyempurnakan sandiwara.
"Heh-heh-heh, engkau Yap Kun Liong, murid keponakan Cia Keng Hong, bukan? Engkau adalah penipu busuk yang menyembunyikan bokor emas pusaka Panglima The Hoo dan menggantinya dengan yang palsu. Sekarang katakan di mana kau menyimpan yang asli, kalau tidak, engkau akan dihukum penggal kepala, heh-heh-heh!"
Dengan susah payah Kun Liong menggerakkan lehernya menengadah, lalu memandang kakek itu dan bertanya, "Kakek yang botak, jauhkan cakar bebek itu dari kepalaku! Kau ini siapakah? Bukankah kau pemilik warung tadi?"
"Heh-heh-heh, bocah gundul tolol. Mau tahu siapa aku? Heh-heh-heh, di dunia kang-ouw orang menyebutku Tok-jiauw Lo-mo (Iblis Tua Cakar Beracun)!"
"Hemm, aku tidak mengenalmu."
"Orang macam engkau mana mengenal? Lebih baik katakan di mana bokor itu."
“Aku tidak tahu, yang kutahu hanyalah bokor yang telah diserahkan kepada The-ciangkun di Laut Pohai.”
"Bohong!"
"Terserah penilaianmu. Hadapkan aku kepada The-ciangkun dan biarlah beliau yang menentukan apakah aku bohong atau tidak."
Mendengar ucapan ini, Tok-jiauw Lo-mo tidak berani turun tangan. Di situ terdapat banyak prajurit dan juga terdapat Marcus yang tentu saja tidak suka kalau dia menyiksa pemuda ini untuk kepentingannya sendiri. Dia harus berlaku cerdik.
Tentu saja tak ada selembar rambut pun di dalam hatinya, seperti kepala botaknya, untuk menyerahkan bokor emas yang asli kepada Panglima The Hoo! Jika sampai dia berhasil, tentu akan dibawanya kepada gurunya dan dinikmatinya bersama.
Ujung tongkatnya yang sebelah belakang, yaitu yang tumpul, bergerak cepat sekali dan tahu-tahu kakek ini telah menotok punggung dan pinggul Kun Liong. Seketika pemuda ini merasa betapa kedua tangannya dan kedua kakinya menjadi lumpuh dan diam-diam dia mengutuk kakek ini yang amat cerdik. Kalau tidak ditotok seperti itu, betapa mudahnya mematahkan belenggu dan membebaskan diri. Sekarang dia benar-benar tidak berdaya sehingga terpaksa dia melemaskan tubuhnya untuk dibawa pergi oleh pasukan itu.
Malam itu, rombongan pasukan berhenti beristirahat dalam sebuah hutan. Mereka semua telah melakukan perjalanan jauh sehari suntuk sehingga semuanya merasa lelah. Setelah menghabiskan ransum yang dibagi-bagi, dan Kun Liong juga kebagian karena meski pun kaki tangan dan tubuhnya dibelenggu pada sebatang pohon namun di waktu makan tali yang membelenggu tangannya diperpanjang, maka para prajurit itu pergi tidur di bawah pohon-pohon.
Ada pun Tok-jiauw Lo-mo dan Marcus kemudian tidur pula bersama komandan pasukan, di dalam sebuah tenda yang didirikan secara darurat. Mereka merasa bahwa Kun Liong tak akan mampu berkutik lagi sebab selain kedua tangannya tergantung dengan belenggu di batang pohon, juga kedua kakinya dan tubuhnya diikat erat dengan sebatang pohon, ditambah lagi totokan baru yang dilakukan oleh Lo-mo untuk melumpuhkan kedua tangan dan kakinya.
Seperti biasanya, para atasan tidur di dalam tenda sedangkan para prajurit menggeletak begitu saja di atas tanah. Hal ini sudah lajim terjadi di mana pun juga, yang tinggi selalu enak dan bekerja ringan, yang rendah selalu kekurangan dan bekerja paling berat!
Yang menjaga tawanan dilakukan secara bergilir. Dua belas orang sekali menjaga dan mereka ini mengambil tempat duduk mengelilingi pohon di mana Kun Liong diikat. Karena mereka merasa bahwa tawanan itu pun tidak akan mampu lolos, maka mereka itu banyak yang duduk sambil melenggut-lenggut diserang kentuk, bahkan ada pula yang tidak tahan terus terguling rebah dan tidur mengorok!
Tentu saja karena pemuda ini merasa pantang untuk membunuh orang, saat menghadapi Legaspi sekali pun dia tak pernah bermaksud membunuh, hanya untuk merampas bokor. Hal inilah yang membuat dia belum juga dapat merobohkan lawan. Andai kata dia tidak berpantang membunuh, dengan ilmu silatnya yang amat tinggi, dengan sinkang-nya yang hebat dan Thi-khi I-beng yang mukjijat, dia tentu sudah berhasil membunuh lawan.
Legaspi menjadi bingung melihat anak buahnya terdesak, bahkan tinggal tiga orang lagi yang melawan mati-matian. Dia sendiri agaknya belum tentu dapat menangkan pemuda gundul yang lihai seperti setan ini, biar pun hanya bertangan kosong.
Tiba-tiba ia berseru keras, tangan kirinya melempar sebuah benda ke tengah kapal, dekat tiang induk. Terjadi ledakan dahsyat dan ternyata benda itu adalah alat peledak. Begitu meledak, timbul kebakaran di tempat itu dan karena angin bersilir dan api menjilat layar, sebentar saja kapal itu sudah berkobar-kobar.
Melihat ini, Yuan dan Li Hwa cepat-cepat merobohkan tiga orang sisa lawan, kemudian keduanya mencoba memadamkan api dengan siraman air. Namun, air yang hanya sedikit itu mana mampu membunuh api yang sudah berkobar begitu dahsyat?
Kun Liong penasaran sekali. Ketika cambuk menyambar lagi, dia sengaja menubruk dan melindungi tubuh dengan sinkang-nya.
"Tarrr…!"
Cambuk menghantamnya dan membelit tubuhnya, akan tetapi Kun Liong mencengkeram ke arah tangan kanan yang memegang cambuk.
"Augghh!" Legaspi berteriak dan terpaksa dia melepaskan gagang cambuk serta menarik tangannya.
Pada saat itu juga, Legaspi memukulkan telapak tangan kanannya yang besar ke arah dada Kun Liong. Kembali Kun Liong menerima pukulan tangan terbuka ini dengan dada sambil mempergunakan Thi-khi I-beng dan... telapak tangan itu melekat pada dadanya, terus saja sinkang dari tubuh Legaspi mengalir seperti air membanjir ke tubuh Kun Liong! Mereka berada dekat rel dek, di pinggir kapal.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Legaspi ketika merasa bahwa tenaganya disedot, makin lama makin banyak membuat tubuhnya menggigil. Kun Liong sudah mengulurkan tangan merampas bokor dan pada saat itu juga dia membebaskan lawannya dari Thi-khi I-beng dan mendorongnya ke belakang.
Dengan jeritan mengerikan tubuh gendut itu terlempar ke balakang, melalui rel dan jatuh tercebur ke laut yang kini agak besar ombaknya. Kun Liong menjenguk ke bawah dan menarik napas panjang. Hatinya merasa menyesal sekali, bulu tengkuknya berdiri. Dia tidak sengaja membunuh orang, akan tetapi orang itu betapa pun juga mati tenggelam di laut karena bertanding dengan dia!
"Gara-gara benda terkutuk ini!" Dia memandang bokor yang telah banyak mendatangkan korban.
"Kun Liong, syukur kau telah dapat merampas bokor dan membunuhnya!" kata Li Hwa.
"Aku tidak membunuhnya dan..."
"Hemm, mengapa mengobrol saja?" teriak Yuan yang membuka baju, tampak tubuhnya yang kekar itu penuh keringat. "Lebih baik lekas bantu memadamkan api kalau tidak ingin dibakar hidup-hidup!"
Kun Liong dan Li Hwa cepat-cepat membantu dengan ember, menguras persediaan air, bahkan menimba dari pinggir kapal untuk menanggulangi kebakaran yang amat hebat itu. Tapi usaha mereka itu sia-sia, sedikit api padam di sini, di lain bagian telah mendapatkan bahan bakar yang lebih banyak.
********************
Kita tinggalkan dahulu tiga orang muda yang sibuk berusaha memadamkan api itu dan kembali ke Pulau Ular. Pertandingan antara empat orang tokoh sakti masih berlangsung dengan hebatnya. Namun kini sudah tampak perubahan besar.
Toat-beng Hoatsu sudah terengah-engah, peluh memenuhi mukanya dan dari kepalanya tampak uap putih mengepul, sedangkan lawannya, Panglima The Hoo masih tenang saja dan setiap gerakannya kelihatan mantap. Demikian pula dengan Ban-tok Coa-ong yang menghadapi Keng Hong. Sekarang pendekar sakti ini dapat mempermainkan lawannya setelah lawannya menjadi lelah dan lemah.
"Hayo katakan di mana bokor emas itu kau sembunyikan!" berkata The Hoo sambil terus mendesak lawan. "Dan menyerahlah, mungkin engkau tidak akan dihukum mati."
Namun Toat-beng Hoatsu tidak menjawab melainkan terus melawan mati-matian, setiap gerakan kedua tangannya yang terkepal mantap dan mendatangkan angin dahsyat. Akan tetapi lawannya, Panglima The Hoo adalah seorang yang selain memiliki ilmu kepandaian amat tinggi dan pengalaman yang amat luas, juga terkenal sebagai seorang yang memiliki sinkang yang mukjijat. Dari sepasang tangan kakek panglima sakti ini tampak uap putih mengepul dan setiap kali mereka beradu lengan, tentu tubuh Toat-beng Hoatsu terdorong mundur dan membuatnya terhuyung-huyung.
Hal ini membuat Toat-beng Hoatsu marah sekali. Sambil berteriak keras ia mengeluarkan jubahnya dan mengamuk dengan senjata istimewa ini. Akan tetapi, The Hoo sudah pula mengeluarkan pedangnya. Tampaklah sinar kilat berkelebatan menyilaukan mata ketika pedang itu dimainkan.
"Brett-brett-brett...!"
Alangkah kagetnya hati Toat-beng Hoatsu melihat bahwa jubahnya, senjata yang sangat diandalkannya, kini cabik-cabik oleh pedang di tangan lawannya.
Di lain pihak, pertandingan antara Ban-tok Coa-ong dan Cia Keng Hong juga berlangsung tidak kalah hebat dan serunya.
"Ha-ha-ha, jadi engkau adalah supek dari pemuda gundul itu? Ha-ha-ha, kalau memang begitu, biar aku mengirim engkau ke neraka menyusul ayah bundanya!" Bantok Coa-ong tertawa mengejek ketika teringat bahwa tadi Kun Liong menyebut lawannya ini ‘supek’.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Keng Hong mendengar kata-kata itu. Ucapan Ban-tok Coa-ong barusan berarti bahwa Gui Yan Cu dan Yap Cong San telah tewas! Dia merasa kaget, duka, dan marah sekali. Hal ini membuat gerakannya menjadi kacau dan tenaganya berkurang maka Ban-tok Coa-ong dapat mendesaknya dengan hebat.
Datuk kaum sesat ini memang lihai bukan main, maka begitu Cia Keng Hong mengalami pukulan batin yang membuat gerakannya mengendur, Kakek Raja Ular itu mendesaknya dengan kedua senjatanya yang aneh. Cia Keng Hong seperti nanar dan pening kepalanya mendengar berita mengejutkan itu dan selama belasan jurus pendekar sakti ini hanya dapat menangkis dan mundur-mundur.
"Mampuslah! Ha-ha-ha-ha!" Ban-tok Coa-ong sudah menyerang dengan pedang ularnya, menusuk ke arah leher dengan kuatnya, sedangkan terompetnya yang juga merupakan senjata ampuh itu menghantam arah dada lawan.
Menghadapi serangan yang sangat berbahaya ini, barulah Cia Keng Hong sadar akan ancaman maut. Karena itu dia cepat menggoyang kepalanya, menggerakkan pedang dan mengerahkan sinkang untuk menempel pedang lawan, kemudian menerima hantaman di dada itu dengan cengkeraman tangan sehingga terompet itu remuk, sementara tangan Keng Hong terus mencengkeram tangan kiri lawan sehingga jari-jari tangan mereka saling mencengkeram!
"Lepaskan pedang!" Keng Hong membentak.
Sebuah kekuatan dahsyat membuat kedua pedang yang saling menempel itu terlepas karena tangan kanan Ban-tok Coa-ong tergetar hebat. Sepasang pedang itu terlempar ke samping dan kedua tangan kanan mereka pun saling cengkeram. Sekarang kedua tangan mereka dengan jari-jari saling mencengkeram mengadu telapak tangan dan keduanya lalu mengerahkan tenaga.
Ban-tok Coa-ong mengandalkan sinkang-nya yang mengandung hawa beracun, maka dia lantas mengerahkan seluruh tenaga untuk mengirim racun ke tubuh lawan melalui telapak tangannya. Tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika merasa betapa sinkang-nya menerobos ke luar disedot oleh kedua tangan pendekar sakti itu. Mukanya menjadi pucat sekali, dan teringatlah dia kini akan ilmu mukjijat Thi-khi I-beng yang kabarnya di dunia in hanya dimiliki oleh Pendekar Cia Keng Hong seorang. Dia merasa makin lemah, tak kuat lagi menahan sinkang-nya yang membanjir keluar membuat tubuhnya kehilangan tenaga sehingga tak terasa lagi dia jatuh berlutut, keringatnya menetes-netes.
"Lepas... lepaskan aku...!" katanya di luar kesadarannya, terdorong oleh rasa ngeri ketika merasa betapa sinkang-nya terus membanjir keluar.
"Siapa yang membunuh Yap Cong San dan Gui Yan Cu?" terdengar suara pendekar itu bertanya, penuh wibawa menyembunyikan kekagetan, kedukaan, dan amarahnya akibat mendengar berita itu.
"Para datuk kaum sesat... kecuali aku... ehhh, Toat-beng Hoatsu, Siang-tok Mo-li, Kwi-eng Niocu dan Hek-bin Thian-sin... Harap kau lepaskan aku...!"
"Di mana dibunuhnya mereka?"
"Di... di Tai-goan... auggghhhh!" Tubuh Ban-tok Coa-ong roboh dan tewas seketika ketika tangan kiri Keng Hong menampar kepalanya.
"Desss... aduhhhh...!"
Tubuh Toat-beng Hoatsu juga terpelanting dan tewas seketika. Dadanya remuk terkena pukulan mukjijat Panglima The Hoo yang disebut Jit-goat Sin-ciang-hoat.
"Sayang mereka tidak mengaku di mana adanya bokor... heiii, kenapa wajahmu murung, Cia-sicu?" Panglima itu bertanya heran.
"Hamba... baru saja mendengar dari dia..." Keng Hong menunjuk ke arah mayat Ban-tok Coa-ong, "...bahwa sahabat hamba Yap Cong San beserta isterinya, sumoi hamba telah dibunuh oleh kelima datuk kaum sesat di Tai-goan." Tanpa terasa dua titik air mata turun dari mata pendekar itu dan cepat dihapusnya.
"Hemmm, orang-orang jahat itu hanya mendatangkan bencana saja." Dia menoleh dan melihat bahwa pertempuran sudah selesai, tidak tampak pihak musuh, hanya pasukannya yang siap menanti perintah dan ada yang sedang menyiapkan kapalnya. Ketika menoleh inilah dia melihat api berkobar di laut. "Ada kebakaran di sana...!" teriaknya.
Keng Hong menoleh dan keduanya lari ke pantai di mana semua pasukan juga sedang memandang kebakaran. Dari jauh, para pasukan tidak dapat melihat apa yang terjadi di Kapal Kuda Terbang yang terbakar itu. Akan tetapi begitu melihat, mata Keng Hong dan Panglima The Hoo dapat melihat dua orang sedang bertanding hebat di atas kapal itu, yang seorang adalah kakek berjubah aneh yang mudah saja diduga tentulah Legaspi, ada pun lawannya adalah seorang pemuda gundul.
"Kun Liong menghadapi Legaspi. Tentu bokor sudah di tangan Legaspi," kata Keng Hong.
"Akan tetapi kapal itu terbakar hebat. "Dan ehh... bukankah itu Li Hwa di sana, membantu seorang pemuda asing tanpa baju sedang mencoba memadamkan api?"
Keng Hong juga melibat ini. "Kalau begitu Nona Souw sudah tertolong!"
"Kapal itu terbakar hebat, kita harus mencoba menolong mereka!" Panglima The Hoo, diikuti oleh Keng Hong lalu lari ke kapal dan panglima itu memerintahkan supaya kapal cepat diluncurkan menuju ke Kapal Kuda Terbang yang terbakar.
Akan tetapi ketika mereka sudah tiba agak dekat, ternyata mereka tidak mungkin dapat terlalu mendekat karena hal itu berbahaya sekali. Potongan-potongan kayu yang masih bernyala mulai beterbangan dan bisa berbahaya kalau mengenai kapal atau layarnya. Di samping lainnya, Perahu Ikan Duyung juga mendekati kapal yang terbakar namun mereka tidak berdaya melakukan sesuatu.
Panglima The Hoo dan Keng Hong melihat betapa Kun Liong dapat merobohkan Legaspi yang terjungkal ke laut, kemudian melihat Kun Liong membantu memadamkan api. Akan tetapi api makin membesar dan sudah makan setengah kapal, membuat kapal miring dan sebentar lagi tentu tenggelam!
Panglima The Hoo dan Keng Hong memandang penuh khawatir. "Mereka harus segera meloncat ke luar dan berenang, nanti kita jemput dengan perahu. Kalau sampai kapal itu meledak, celaka...!"
Keng Hong mengerahkan khikang-nya dan terdengar dia berteriak, nyaring bukan main. "Yap Kun Liong, kalian semua tinggalkanlah kapal...!"
Panglima The Hoo juga berteriak, teriakannya bahkan lebih nyaring lagi. "Li Hwa, aku gurumu memerintahkan kau lekas tinggalkan kapal!"
Tiga orang muda itu mendengar seruan-seruan ini, dan mereka baru melihat bahwa kapal perang Panglima The Hoo berada tidak begitu jauh dari situ, demikian pula Perahu Ikan Duyung.
"Yuan, Li Hwa, mari kita tinggalkan saja kapal terbakar ini!"
"Tidak, Kun Liong. Aku adalah kapten kapal ini, dan seorang kapten tidak akan pernah meninggalkan kapalnya. Lebih baik mati bersama tenggelamnya kapal dari pada pergi meninggalkan kapal yang akan tenggelam!" Jawaban ini penuh semangat dan dada yang bidang itu dibusungkan, penuh peluh dan hangus, tampak gagah bukan main.
"Li Hwa, hayo kita pergi dari sini. Gurumu memanggil."
Li Hwa tampak bingung, sebentar menoleh ke arah kapal perang gurunya, lalu menoleh kepada Yuan yang tersenyum kepadanya dan berkata, "Pergilah kekasihku, engkau harus diselamatkan."
"Tidak...!" Li Hwa terisak lalu lari merangkul Yuan. "Kalau kau tidak pergi, aku juga tidak. Aku harus berada di sampingmu selalu, hidup atau mati!"
"Li Hwa..."
"Yuan..."
Mereka berpelukan dan Kun Liong memandang dengan sepasang mata terbelalak. Sudah diduganya bahwa kedua orang muda ini saling mencinta, akan tetapi tidak disangkanya akan menyaksikan cinta sehebat dan sebesar itu, cinta sampai mati!
"Apakah kau telah gila, Yuan?"
"Bukan aku, melainkan engkau yang gila kalau hendak memaksa seorang kapten kapal meninggalkan kapalnya yang sedang tenggelam. Apa artinya hidup tanpa kehormatan? Nenek moyangku terkenal memegang teguh kehormatan, lebih berharga dari pada nyawa, dan aku tidak sudi mengecewakan mereka."
"Yuan... kau hebat...!" Li Hwa mendekap semakin erat, penuh bangga dan cinta kepada kekasihnya.
"Li Hwa, kau... ditunggu gurumu... dan kau seorang panglima wanita negaramu... Apakah kau juga gila, ketularan Yuan?"
Li Hwa tidak melepaskan dekapannya, hanya menoleh dan tersenyum kepada Kun Liong. Mulutnya tersenyum tetapi air matanya bertetesan, pemandangan yang tak mungkin akan dapat dilupakan oleh Kun Liong selama hidupnya.
"Kun Liong, engkaulah yang gila seperti dikatakan kekasihku, jika kau hendak memaksa seorang dara pergi meninggalkan kekasihnya yang terancam kematian. Aku harus tinggal di sini bersama dia, kau pergilah, bawalah bokor itu dan serahkan kepada Suhu, berikut hormatku yang terakhir kepada beliau..."
"Yuan... Li Hwa..."
Kebakaran di kapal semakin hebat sehingga kapal itu sudah miring sekali, sebentar lagi akan tenggelam.
"Kun Liong...!" terdengar lagi suara Keng Hong memanggil.
"Li Hwa...!" tersusul suara Panglima The Hoo.
Kun Liong mengangkat pundak, kehabisan akal. Tentu saja, dengan kepandaiannya, dia mampu mengusai dua orang itu dan memaksanya meloncat ke air, akan tetapi dia tidak tega melakukannya karena kehidupan Yuan pasti akan sengsara dan karenanya Li Hwa juga akan sengsara. Lagi pula, seandainya mereka berdua tertolong, mungkinkah Li Hwa menjadi jodoh Yuan? Pikiran ini membuat dia melangkah maju, menjabat tangan Yuan dan Li Hwa, hampir tak dapat berkata-kata karena haru, matanya basah dan air matanya bertitik.
"Selamat tinggal, Li Hwa dan Yuan... semoga kalian... semoga... kalian... bahagia...!" Kun Liong membalikkan tubuh lalu meloncat ke air membawa bokor emas.
Keharuan dan pertandingan hebat melawan Legaspi tadi membuat dia lemah, namun dia mengerahkan tenaganya untuk berenang. Tak lama kemudian tubuhnya ditarik ke atas perahu kecil dan langsung dia dibawa ke kapal, dinaikkan ke kapal perang.
Cia Keng Hong dan The Hoo menyambutnya. Kun Liong berlutut dan menyerahkan bokor emas kepada The Hoo tanpa kata-kata, kemudian dia membalik dan memandang ke arah Kapal Kuda Terbang yang terbakar. Kemudian, melihat betapa Yuan dan Li Hwa masih saling berdekapan di antara api dan air, di pinggiran ujung kapal yang sudah tenggelam sebagian, Kun Liong tak dapat menahan diri, dia menangis mengguguk seperti anak kecil!
"Apa yang terjadi...?" Keng Hong bertanya, mengguncang pundak Kun Liong.
"Yuan de Gama... dia kapten kapal itu... dia tidak mau disuruh pergi... dia memilih mati bersama kapalnya dan... dan Li Hwa... yang mencintanya, mencinta sampai mati tak mau terpisah darinya..."
"Li Hwa...?" Panglima The Hoo berseru penuh keheranan, kekaguman, penasaran, juga kedukaan.
Li Hwa seperti puterinya sendiri. Apa bila dia menggunakan kepandaiannya, mungkin dia masih akan dapat memaksa puterinya itu pergi meninggalkan Yuan. Akan tetapi, melihat kedua orang itu berdekapan ketat menghadapi maut, dia menghela napas panjang.
"Semua beri hormat kepada kapten Kapal Kuda Terbang, Tuan Yuan de Gama dan Nona Souw Li Hwa!" Tiba-tiba dia mengeluarkan aba-aba yang nyaring, maka semua pasukan bangkit dan berdiri tegak ke arah kapal yang mulai tenggelam itu dengan sikap memberi hormat kepada dua orang yang berdekapan itu.
Hanya ujung kapal yang masih tampak, itu pun sudah dijilat api sehingga kedua orang itu seolah-olah berada di tengah-tengah api yang mulai tenggelam!
Tiba-tiba terdengar jerit yang penuh kemesraan.
"Li Hwa...!"
"Yuan...!"
Jerit penuh kebahagiaan dari mulut Yuan dan Li Hwa itu seakan-akan merupakan jerit kebahagiaan sepasang mempelai di atas pelaminan. Tubuh mereka perlahan-lahan mulai ditelan air, kemudian lenyap.
Sunyi senyap di kapal perang itu, kecuali suara mengguguk tangis Kun Liong. Cia Keng Hong dan Panglima The Moo berdiri tegak dan mereka berdua mengusap air mata yang menitik ke atas pipi mereka yang sudah mulai keriputan.
Di tempat lain, yaitu di atas Perahu Ikan Duyung, juga terjadi hujan tangis. Yuanita jatuh pingsan, dan Richardo de Gama berlutut sambil bersembahyang kepada Tuhan supaya menerima roh puteranya yang gugur sebagai seorang gagah perkasa, menjunjung tinggi nama keluarga de Gama yang memang terkenal. Di hati bapak tua ini terdapat keharuan, kedukaan hebat, tapi ada pula sedikit kebanggaan. Dengan matinya Yuan, dia mengajak puterinya kembali ke negaranya.
Kun Liong yang berdiri di ujung kapal perang, memandang Perahu Ikan Duyung. Biar pun dia tidak dapat melihatnya, dia bisa membayangkan betapa duka hati Richardo de Gama, terutama hati Yuanita. Ingin dia dapat dekat dengan nona itu dan menghiburnya. Akan tetapi dia melihat perahu itu mengangkat sauh dan meluncur pergi meninggalkan tempat itu. Maka dia hanya dapat menghela napas saja.
Betapa buruk nasib menimpa putera-puteri Richardo de Gama. Sungguh pun Yuan yang mencinta Li Hwa mendapat balasan yang tidak kalah mesranya, namun dia harus binasa bersama dengan kekasihnya itu. Ada pun Yuanita, yang dia tahu jatuh cinta kepadanya, terpaksa harus menanggung penderitaan hati akibat cinta gagal.
Sebuah tangan menyentuh pundaknya. Dia menengok dan melihat Cia Keng Hong sudah berdiri di depannya dan melihat wajahnya, agaknya supek-nya ini akan bicara hal yang serius.
"Ada apakah, Supek?"
"Ada berita penting untukmu, Kun Liong. Harus kusampaikan sekarang juga sebelum kita berpisah. Aku sudah mendengar tentang ayah bundamu..." Sampai sini leher Keng Hong seperti dicekik.
Wajah Kun Liong seketika berubah. Kedukaan akibat mengingat nasib Yuanita dan Yuan tersapu bersih dan berganti harapan cerah pertemuan dengan orang tuanya yang sudah terpisah belasan tahun dengannya.
"Di mana mereka, Supek? Ahhh, girang sekali hatiku dan... ihhh, mengapa, Supek?" Dia kaget setengah mati melihat orang tua itu menitikkan air mata!
Dengan suara parau dan sukar, Keng Hong kemudian berkata, "Jangan kaget, anakku... aku mendengar dari mulut Ban-tok Coa-ong sebelum dia kutewaskan bahwa... bahwa... sahabatku Yap Cong San... dan sumoi-ku Gui Yan Cu, ayah bundamu itu..." Kembali dia berhenti dan air matanya makin deras.
"Supek!" Kun Liong menjadi pucat dan lupa diri, dia memegang lengan supek-nya dan mengguncangkan keras-keras!
"Mereka telah tewas, dibunuh oleh lima datuk kaum sesat..."
Kun Liong terhuyung ke belakang, seakan-akan supek-nya memukulnya dengan pukulan maut. Matanya terbelalak, mulutnya ternganga, kemudian dia menjerit sekuatnya yang terdengar seperti auman harimau yang akan mati, tubuhnya terguling dan cepat disambar oleh Cia Keng Hong. Kun Liong jatuh pingsan, mulutnya terkancing rapat dan matanya terbuka tanpa cahaya!
"Kun Liong... kasihan kau..." Keng Hong mendukung tubuh pingsan itu dan membawanya ke biliknya di kapal perang itu.
Panglima The Hoo memerintahkan kapal menuju ke Teluk Pohai dan mendarat, di mana telah menanti kereta kebesaran untuk membawanya kembali ke istana. Sedangkan Keng Hong, setelah merawat Kun Liong sehingga pemuda itu sadar dan menghiburnya dengan nasehat-nasehat mendalam, lalu meninggalkan tempat itu kembali ke Cin-ling-san.
Kun Liong juga segera meninggalkan tempat itu dan mulai merantau seorang diri, akan tetapi pertama-tama dia menuju ke Tai-goan untuk mencari berita tentang kematian ayah bundanya.
********************
Kun Liong menelungkup di depan kuburan ayah bundanya sambil menangis. Semalam suntuk dia menelungkup seperti itu dan di antara tangisnya dia minta-minta pengampunan dari ayah bundanya karena dia merasa bahwa dialah yang menjadi penyebab kematian mereka.
Ia mendengar peristiwa mengerikan itu dari seorang tetangga keluarga Theng yang sudah tua hingga tahu persis apa yang telah terjadi. Seluruh rumah tangga keluarga Theng mati karena menjadi tempat pemondokan ayah bundanya. Bahkan puteri cucu Kakek Theng mati dalam keadaan telanjang bulat!
Bahkan dia mendengar bahwa orang tuanya telah mempunyai seorang anak perempuan bernama Yap In Hong yang tidak ikut menjadi korban akan tetapi tidak ada orang tahu ke mana perginya anak itu. Berita ini membuat dia merasa lebih berdosa lagi.
Dia lalu menyembahyangi kuburan empat orang anggota keluarga Theng dan setelah air matanya habis ditumpahkan semalam suntuk, pada keesokan harinya dengan muka amat pucat dan mata merah dia berdiri sejenak memandang jauh tanpa tujuan. Kemudian dia menjatuhkan diri berlutut di hadapan enam buah kuburan itu, yaitu kuburan empat orang keluarga Theng dan kuburan ayah dan ibunya, dan dengan lantang dia berkata,
"Ayah dan Ibu, empat keluarga Kakek Theng yang mulia, dengarlah sumpah saya saat ini. Tadinya saya menganggap bahwa kekerasan adalah hal buruk, perkelahian adalah tidak baik, melukai dan membunuh orang adalah perbuatan terkutuk yang amat jahat, apa pun juga alasannya! Akan tetapi, lima orang datuk kaum sesat sudah melakukan perbuatan yang paling biadab, maka saya bersumpah takkan mau berhenti sebelum dapat mencari mereka yang masih hidup dan membunuh mereka dengan tangan saya sendiri. Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong telah tewas oleh Supek dan Panglima The Hoo, Siang-tok Mo-li telah tewas di tangan Kwi-eng Niocu dan kabarnya Hek-bin Thian-sin juga sudah tewas oleh Legaspi Selado dan Toat-beng Hoatsu. Jadi hanya tinggal Kwi-eng Niocu dan saya bersumpah untuk membunuhnya. Harap Ayah, Ibu dan empat keluarga kakek Theng beristirahat dengan tenang."
Setelah bersembahyang dengan hio-swa (dupa biting) sekali lagi Kun Liong meninggalkan tempat itu. Hatinya masih diliputi duka, akan tetapi ada kelegaan di hati setelah tahu akan keadaan orang tuanya. Mereka sudah tidak ada, tidak perlu ditangisi dan didukakan lagi karena percuma belaka. Dia kini menjadi yatim piatu, tiada sanak kadang, tiada tempat tinggal, bebas lepas di udara.
Namun, masih ada tugasnya yang dianggapnya amat penting, yaitu mencari seorang di antara para pembunuh orang tuanya yang sekarang masih hidup, yaitu Kwi-eng Niocu di Pulau Telaga Kwi-ouw (Telaga Setan). Dan kebetulan sekali hanya tinggal seorang itulah di antara lima orang datuk kaum sesat yang menjadi pembunuh orang tuanya, karena orang yang sudah mencuri dua buah pusaka Siauw-lim-pai juga dari Kwi-eng-pang itulah.
Dengan demikian, dia dapat bekerja sekali tepuk dua lalat. Pertama, merampas kembali dua buah pusaka Siauw-lim-pai seperti yang telah ditugaskan oleh ketuanya, kedua untuk membunuh Kwi-eng Niocu. Dia bergidik ketika teringat akan kata-kata ‘membunuh’ ini.
Selamanya dia tidak akan pernah membunuh orang dengan sengaja. Jangankan dalam perbuatan, bahkan tidak dalam pikiran karena dia membenci kekerasan dan perbuatan membunuh dianggapnya merupakan perbuatan sesat yang paling jahat dan terkutuk, apa pun alasan pembunuhan ini. Bahkan dengan alasan membalas dendam kematian orang tua pun tidak mengurangi pendirian tentang itu.
Akan tetapi, hatinya terlalu berduka, luka itu terlalu mendalam sehingga dia mengucapkan sumpah di depan kuburan orang tuanya dan sebagai seorang jantan, dia harus memenuhi sumpahnya itu, biar pun hal ini berlawanan dengan isi hatinya.
********************
Pada suatu hari tibalah dia di sebuah dusun. Perutnya terasa lapar bukan main, maka dia memasuki sebuah warung nasi yang sederhana dan sunyi tidak ada tamunya. Dia duduk di atas bangku panjang menghadapi meja, dan karena tidak ada seorang pun di dalam warung yang terpencil di ujung dusun itu, ia mengetuk-ngetuk meja dengan jari tangannya sambil berteriak,
"Haiii, ada orangnyakah di sini?!"
Sampai beberapa kali dia mengetuk dan pendengarannya yang tajam itu bisa menangkap gerakan di sebelah dalam rumah makan itu, gerakan perlahan seolah-olah mereka tengah mengintai dan mengawasinya. Tidak lama kemudian sesudah dia mengetuk-ngetuk meja untuk ke tiga kalinya, muncullah seorang lelaki yang tubuhnya berbentuk lucu dan aneh.
Laki-laki ini sudah tua, sedikitnya tentu lima puluh tahun usianya, tubuhnya tinggi sekali, tinggi dan kurus kering, lehernya kecil seperti leher burung dan kepalanya botak sehingga dahinya kelihatan amat lebar. Sambil membungkuk-bungkuk orang itu menghampiri Kun Liong dan bertanya,
"Tuan Muda hendak memesan apakah?"
Kun Liong yang merasa amat lapar dan haus, juga lelah, menyebutkan bermacam-macam makanan yang disukainya, "Nasi, capjai, tim ayam dan udang goreng berikut seguci arak yang manis."
Akan tetapi alangkah mendongkolnya ketika setiap kali dia menyebutkan nama masakan yang dipesannya, leher kecil itu bergerak ke kanan kiri seperti akan patah dan mulut yang bibirnya tebal itu menjawab, "Tidak ada, tidak ada, tidak ada, Tuan Muda datang terlalu pagi, kami belum siap. Yang ada hanyalah bakmi, arak tua, dan bakpauw."
"Ya sudahlah, bakmi dan bakpauw pun boleh, arak tua juga lumayan, pokoknya asal perutku bisa kenyang."
Dengan terbongkok-bongkok dan agak pincang, kakek itu kemudian masuk lagi ke dalam meninggalkan Kun Liong duduk seorang diri. Kembali dia mendongkol bukan main. Kalau semua pesanannya ada, mungkin untuk memasaknya orang membutuhkan waktu yang agak lama. Akan tetapi kalau hanya bakmi, memasak sebentar pun jadilah, dan bakpauw paling-paling hanya menghangatkan saja. Akan tetapi, sudah setengah jam dia menanti, namun belum ada satu pun pesanannya yang datang.
Sampai beberapa kali dia mengetuk dan pendengarannya yang tajam itu bisa menangkap gerakan di sebelah dalam rumah makan itu, gerakan perlahan seolah-olah mereka tengah mengintai dan mengawasinya. Tidak lama kemudian sesudah dia mengetuk-ngetuk meja untuk ke tiga kalinya, muncullah seorang lelaki yang tubuhnya berbentuk lucu dan aneh.
Saking laparnya, Kun Liong hampir saja memanggil kakek bongkok dan pincang itu untuk ditegurnya, akan tetapi tiba-tiba pendengarannya kembali menangkap gerakan orang di dalam warung itu, bukan gerakan wajar melainkan gerakan dua orang yang sangat ringan dan gesit! Hatinya penasaran bukan main, maka pemuda gundul ini membatalkan niatnya memanggil kakek bongkok, bahkan dia berpura-pura tidak tahu dan kembali duduk sambil memperhatikan kegiatan di dalam dengan pendengarannya.
Akan tetapi hal ini tidak berlangsung lama. Ketika Kun Liong mengerahkan perhatiannya dengan sikap waspada, terdengar kakek itu berjalan keluar, tetap dengan tubuh bongkok dan langkah terpincang-pincang. Kedua tangannya memegang sebuah baki berisi sebotol arak dengan cangkirnya yang sederhana terbuat dari tanah liat, sepiring mi dan beberapa potong bakpauw.
Lenyap kemendongkolan hati Kun Liong. Dia sedang lapar dan haus, kini hatinya girang melihat makanan, biar pun sederhana. Kakek pemilik warung itu kembali pergi masuk meninggalkan Kun Liong dan hal ini pun menyenangkan Kun Liong karena bila dia makan sambil ditunggui kakek yang mukanya mengerikan itu tentu sedikitnya akan mengurangi seleranya.
Mulailah dia makan, mula-mula empat buah bakpauw diganyangnya habis dan rasanya lumayan. Bakmi yang agak terlalu asin itu pun lenyap ke dalam perutnya, hanya tersisa beberapa potong bawang yang kurang disukainya. Kemudian dia minum arak dari cawan butut itu.
Begitu minum dia pun terkejut. Lidahnya yang sudah terbiasa dapat merasakan campuran racun yang amat kuat dalam arak itu. Akan tetapi dia tak merasa khawatir karena maklum bahwa perutnya telah kebal menerima racun ini. Dia minum arak itu sampai rasa hausnya hilang dan timbul pikirannya untuk melihat perkembangan apa yang akan terjadi. Kenapa kakek aneh itu hendak meracuninya dan siapa pula orang-orang yang tadi dia tahu sudah mengintainya dari dalam rumah.
Maka, setelah menghabiskan beberapa cawan arak, dia pura-pura memegangi kepalanya dan perutnya. Dia mengingat-ingat bagaimana cara racun itu bekerja, lalu berkata,
“Aihhh… mengapa kepalaku mendadak pusing dan mata ini… ahh… mata ini ini begitu mengantuk… Huahhh…!” Kun Liong sengaja menguap lebar agar terlihat oleh dua orang yang dia tahu sedang mengintainya dari dalam.
Sesudah itu Kun Liong sengaja membuat tubuhnya terkulai lemas, lantas perlahan-lahan dia menyandarkan punggungnya pada sebuah tiang kayu yang berdiri di belakang tempat duduknya, menguap sekali lagi lalu memejamkan kedua matanya. Pemuda ini mengatur tubuhnya agak miring ke kiri agar lagaknya berpura-pura pingsan tidak mudah diketahui, akan tetapi dia masih dapat mengawasi sekelilingnya, lalu dia mulai mengintai dari balik bulu matanya kepada kakek itu.
Sekarang terjadi perubahan yang mengejutkan hatinya. Kakek itu tak lagi terbongkok atau pincang, melainkan bergerak dengan sigap, dengan langkah kaki seorang ahli ginkang, dan pada tangan kanannya kini tampak sebatang tongkat pendek yang berbentuk sebuah tangan manusia, atau lebih tepat tangan setan karena tangan itu telah mengering, terlihat keras membaja dengan jari-jarinya hendak mencengkeram, lengkap dengan kuku warna kehitaman yang tentu mengandung racun berbahaya.
Ehh, kiranya seorang tokoh yang memiliki ilmu kepandaian, pikir Kun Liong. Akan tetapi dia masih belum bergerak, hendak melihat apa yang akan dilakukan oleh kedua orang itu.
“Sungguh bagus pekerjaan kita, tepat seperti rencanamu, Tuan Muda Markus,” kakek itu berkata.
“Siasatmu memang hebat, Lo-mo. Begitu melihat dia tadi berjalan seorang diri, aku sudah langsung mengenalnya dan kebetulan sekali dia masuk ke warung ini. Habis bagaimana dengan pemilik warung dan isterinya yang kita belenggu di dalam itu?”
“Mereka berjasa, kalau urusan ini selesai, kita bebaskan mereka,” kata si Kakek.
“Dan aku akan memberi mereka hadiah,” kata si Pemuda Asing.
Mereka kemudian duduk di atas bangku dekat Kun Liong, keduanya siap dengan senjata masing-masing. Bagaimana pun juga mereka tetap bersikap waspada terhadap pemuda gundul yang mereka tahu amat lihai ini. Cukup lama mereka duduk dengan pandang mata ke arah luar, seperti tengah menantikan seseorang atau sesuatu.
Kurang lebih setengah jam kemudian, dari arah selatan terdengar suara derap kaki kuda yang membuat Si Kakek dan Si Pemuda Asing serentak mengalihkan pandangan ke arah suara itu. Walau pun masih cukup jauh namun pandang mata Si Kakek yang tajam sudah dapat melihat bahwa suara itu ditimbulkan oleh dua ekor kuda yang sedang dilarikan oleh dua orang berpakaian perwira.
“Hemm, akhirnya yang kita tunggu datang juga,” kata Si Kakek yang segera bangkit dari duduknya dan melangkah keluar, diikuti oleh Si Pemuda Asing yang bernama Markus itu.
Dua perwira yang sedang melarikan kuda menuju benteng mereka cepat memperlambat lari kuda mereka ketika dari kejauhan melihat ada dua orang yang menghadang di tengah jalan yang akan mereka lewati, dan akhirnya menghentikan kudanya setelah tiba tepat di hadapan dua orang yang menghadang, yang ternyata adalah Si Kakek dan Si Pemuda Asing. Kedua perwira itu mengerutkan alis, kemudian seorang yang tubuhnya lebih tinggi dan tegap segera membentak,
“Ada apa kalian menghadang kami dua orang perwira pemerintah? Apa kalian hendak memberontak?!”
“Maafkan kami yang menghambat perjalanan Jiwi-ciangkun, tapi kami harus melaporkan bahwa kami baru saja meringkus seorang penjahat yang sedang dicari oleh Panglima The Hoo,” kata Si Kakek sambil menghormat dengan mengangkat dua tangan ke depan dada.
Dua perwira itu sangat terkejut, membuat kerut dia atas alis mereka makin dalam.
“Siapa penjahat itu? Dan apa yang sudah dia lakukan sampai dicari oleh Panglima Besar The Hoo?”
“Dia adalah Yap Kun Hong, murid keponakan dari Cia Keng Hong yang telah memalsukan pusaka bokor milik Panglima The Hoo,” jawab kakek itu, lalu melanjutkan. “Sekarang dia ada di dalam warung itu, sudah kami buat tak berdaya.”
Dua perwira itu makin terkejut. Berita tentang pusaka bokor yang dipalsukan itu memang telah beredar di kalangan tentara kerajaan, sekaligus beredar pula perintah untuk mencari bokor yang tulen.
Namun, Kun Liong yang memiliki pendengaran tajam dan dapat pula mendengar ucapan tadi, bahkan lebih terkejut dari pada dua perwira itu. Dia sendiri yang menyerahkan bokor itu kepada Panglima Besar The Hoo, bagaimana sekarang tahu-tahu pusaka itu menjadi bokor palsu? Akan tetapi dia cepat melanjutkan sandiwara pingsannya ketika mendengar langkah empat orang itu yang sudah memasuki warung.
“Hemm, inikah orangnya?” tanya perwira bertubuh tinggi besar sambil memandang tubuh Kun Liong yang bersandar pada tiang. Setelah sejenak melirik pewira lain yang berdiri di sampingnya, dia kemudian berkata lagi, “Baik. Kalian jaga dia di sini. Kami akan kembali ke benteng untuk mengajak pasukan ke sini dan penjahat ini akan langsung kita bawa ke kota raja.” Dua perwira itu lalu bergegas keluar, menaiki kuda mereka dan melarikannya ke arah utara.
Setelah dua orang perwira itu pergi, barulah Markus membuka suara. “Jadi dia ini adalah keponakan Cia Keng Hong. Bukankah pendekar itu merupakan pembantu Panglima The Hoo?”
“Dia memang pembantu Panglima The Hoo, akan tetapi sekarang dia sudah kembali ke Cin-ling-san setelah dipanggil menghadap ke Istana Panglima The Hoo. Tidak salah lagi, pemuda cerdik inilah yang memalsukan bokor, karena menurut cerita yang kudengar, dia inilah orang pertama yang menemukan bokor.”
Dua orang itu kembali duduk di dekat Kun Liong, tetap dengan senjata di tangan, menanti kedatangan pasukan tentara yang akan mengawal tawanan ke kota raja.
Biar pun tidak begitu tertarik karena pemuda asing bernama Markus (Marcus) itu hanya mementingkan urusannya sendiri, namun untuk menanti datangnya pasukan yang diberi laporan, Marcus bertanya, "Siapakah gurumu, Lo-mo? Tentu dia lihai bukan main."
"Seperti dewa! Guruku itu, biar pun sampai kini tidak atau belum mau meninggalkan goa pertapaannya karena sedang mencipta ilmu untuk melawan Thi-khi I-beng ilmu tertinggi Cia Keng Hong, namun jelas guruku adalah orang yang paling sakti di dunia ini pada saat sekarang. Namanya pun harus kurahasiakan sampai guruku itu keluar dari goa dan turun ke dunia ramai."
Marcus mengangguk-angguk. "Dan tiga orang susiok-mu itu, siapakah mereka? Mengapa pula sampai terbunuh oleh Cia Keng Hong?"
"Mereka dulu terkenal sekali sebagai Thian-te Sam-lomo (Tiga Iblis Tua Langit dan Bumi) yang masing-masing bernama julukan Kai-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Pengemis), Bun-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Sastra), Thian-to Lo-mo, yang menjadi seorang pendeta agama To. Sebagai adik-adik seperguruan guruku, kepandaian mereka sangat hebat, namun dengan secara licik, dengan Ilmu Thi-khi I-beng maka Cia Keng Hong dapat membunuh mereka. Karena itulah maka sudah selama belasan tahun ini guruku bersemedhi hendak mencipta ilmu untuk menandingi Thi-khi I-beng."
Mengenai kematian Thian-te Sam-lo-mo di tangan Cia Keng Hong ini terjadi dalam cerita Pedang Kayu Harum. Akan tetapi Kun Liong yang belum pernah mendengar cerita ini, terkejut bukan main. Dua kali dia terkejut, pertama mendengar bahwa bokor emas yang dirampasnya di Pulau Ular itu ternyata palsu dan ke dua adalah urusan dendam terhadap supek-nya itu. Namun dia tetap diam, pura-pura pingsan.
Tidak lama kemudian terdengar derap kaki kuda dan muncullah pasukan pemerintah yang sedikitnya ada lima puluh orang banyaknya. Beberapa orang prajurit segera memasuki warung itu lantas menodongkan tombaknya kepada Kun Liong yang masih terkulai lemas bersandar pada tiang.
"Heh-heh-heh, tidak perlu menggunakan kekerasan. Selama setengah hari dia tidak akan dapat bergerak. Belenggu saja dia kuat-kuat," berkata kakek yang disebut Lo-mo tadi, lalu bersama Marcus dia menemui komandan pasukan.
Komandan pasukan memang sudah tahu akan bokor emas yang palsu, maka mendengar laporan dua orang asing baginya ini, bahwa tentu pemuda ini sebagai penemu pertama bokor emas yang telah memalsukannya, menjadi percaya dan girang.
"Kita tangkap dia dan bawa kepada The-ciangkun. Kalian berdua tentu menerima hadiah banyak kalau bokor yang asli dapat ditemukan melalui pemuda gundul ini."
"Kami tidak mengharapkan hadiah, Ciangkun, karena kami, yaitu para pedagang di Teluk Pohai, dengan senang hati selalu akan membantu pemerintah," jawab Marcus sehingga hati komandan itu makin senang, apa lagi sesudah Marcus membagi-bagikan dinar emas kepada para anggota pasukan, seorang satu dan lima buah untuk Sang Komandan.
Kun Liong dibelenggu kaki tangannya, dan digusur keluar, kemudian tubuhnya dinaikkan ke atas punggung kuda, menelungkup dan melintang, sedangkan Marcus dan Lo-mo itu pun masing-masing memperoleh seekor kuda. Marcus membebaskan suami isteri pemilik warung dan memberi hadiah pula.
Berangkatlah rombongan itu dan Kun Liong masih pura-pura menelungkup pingsan. Dia amat tertarik dan ingin sekali dihadapkan kepada Panglima The Hoo untuk mendapatkan keterangan sebenarnya apa yang telah terjadi dengan bokor itu. Dia tidak percaya bahwa seorang sakti bijaksana seperti panglima itu akan menuduhnya sembarangan saja seperti yang dilakukan oleh orang-orang ambisius yang gila uang ini.
Setelah setengah hari lamanya, Kun Liong pura-pura sadar dan mengeluh. Dia pura-pura meronta, akan tetapi punggungnya segera ditodong cakar di ujung tongkat kakek itu, dan beberapa ujung tombak runcing para prajurit juga menodongnya.
"Mengapa aku dibelenggu? Ke mana aku dibawa pergi?" Kun Liong pura-pura bertanya untuk menyempurnakan sandiwara.
"Heh-heh-heh, engkau Yap Kun Liong, murid keponakan Cia Keng Hong, bukan? Engkau adalah penipu busuk yang menyembunyikan bokor emas pusaka Panglima The Hoo dan menggantinya dengan yang palsu. Sekarang katakan di mana kau menyimpan yang asli, kalau tidak, engkau akan dihukum penggal kepala, heh-heh-heh!"
Dengan susah payah Kun Liong menggerakkan lehernya menengadah, lalu memandang kakek itu dan bertanya, "Kakek yang botak, jauhkan cakar bebek itu dari kepalaku! Kau ini siapakah? Bukankah kau pemilik warung tadi?"
"Heh-heh-heh, bocah gundul tolol. Mau tahu siapa aku? Heh-heh-heh, di dunia kang-ouw orang menyebutku Tok-jiauw Lo-mo (Iblis Tua Cakar Beracun)!"
"Hemm, aku tidak mengenalmu."
"Orang macam engkau mana mengenal? Lebih baik katakan di mana bokor itu."
“Aku tidak tahu, yang kutahu hanyalah bokor yang telah diserahkan kepada The-ciangkun di Laut Pohai.”
"Bohong!"
"Terserah penilaianmu. Hadapkan aku kepada The-ciangkun dan biarlah beliau yang menentukan apakah aku bohong atau tidak."
Mendengar ucapan ini, Tok-jiauw Lo-mo tidak berani turun tangan. Di situ terdapat banyak prajurit dan juga terdapat Marcus yang tentu saja tidak suka kalau dia menyiksa pemuda ini untuk kepentingannya sendiri. Dia harus berlaku cerdik.
Tentu saja tak ada selembar rambut pun di dalam hatinya, seperti kepala botaknya, untuk menyerahkan bokor emas yang asli kepada Panglima The Hoo! Jika sampai dia berhasil, tentu akan dibawanya kepada gurunya dan dinikmatinya bersama.
Ujung tongkatnya yang sebelah belakang, yaitu yang tumpul, bergerak cepat sekali dan tahu-tahu kakek ini telah menotok punggung dan pinggul Kun Liong. Seketika pemuda ini merasa betapa kedua tangannya dan kedua kakinya menjadi lumpuh dan diam-diam dia mengutuk kakek ini yang amat cerdik. Kalau tidak ditotok seperti itu, betapa mudahnya mematahkan belenggu dan membebaskan diri. Sekarang dia benar-benar tidak berdaya sehingga terpaksa dia melemaskan tubuhnya untuk dibawa pergi oleh pasukan itu.
Malam itu, rombongan pasukan berhenti beristirahat dalam sebuah hutan. Mereka semua telah melakukan perjalanan jauh sehari suntuk sehingga semuanya merasa lelah. Setelah menghabiskan ransum yang dibagi-bagi, dan Kun Liong juga kebagian karena meski pun kaki tangan dan tubuhnya dibelenggu pada sebatang pohon namun di waktu makan tali yang membelenggu tangannya diperpanjang, maka para prajurit itu pergi tidur di bawah pohon-pohon.
Ada pun Tok-jiauw Lo-mo dan Marcus kemudian tidur pula bersama komandan pasukan, di dalam sebuah tenda yang didirikan secara darurat. Mereka merasa bahwa Kun Liong tak akan mampu berkutik lagi sebab selain kedua tangannya tergantung dengan belenggu di batang pohon, juga kedua kakinya dan tubuhnya diikat erat dengan sebatang pohon, ditambah lagi totokan baru yang dilakukan oleh Lo-mo untuk melumpuhkan kedua tangan dan kakinya.
Seperti biasanya, para atasan tidur di dalam tenda sedangkan para prajurit menggeletak begitu saja di atas tanah. Hal ini sudah lajim terjadi di mana pun juga, yang tinggi selalu enak dan bekerja ringan, yang rendah selalu kekurangan dan bekerja paling berat!
Yang menjaga tawanan dilakukan secara bergilir. Dua belas orang sekali menjaga dan mereka ini mengambil tempat duduk mengelilingi pohon di mana Kun Liong diikat. Karena mereka merasa bahwa tawanan itu pun tidak akan mampu lolos, maka mereka itu banyak yang duduk sambil melenggut-lenggut diserang kentuk, bahkan ada pula yang tidak tahan terus terguling rebah dan tidur mengorok!
Selanjutnya,