Petualang Asmara Jilid 28
Hong Ing masih merasa betapa lengan kanannya tergetar pada saat pedangnya ditangkis tadi, maka dia terkejut melihat lawan meraih pinggangnya. Dia meloncat ke belakang dan menjerit karena ternyata bahwa gerakan gadis baju merah itu hanya merupakan tipuan belaka dan sebenarnya, pada saat itu gadis baju merah yang lihai ini sudah melakukan tendangan tersembunyi dari bawah yang tepat mengenai pergelangan tangan kanan Hong Ing yang memegang pedang. Karena lengannya masih tergetar maka tendangan itu tepat sekali, membuat pedangnya juga terlepas dan terlempar!
"Hi-hi-hi-hik, sekarang kita sama-sama tidak bersenjata!" kata gadis berbaju merah yang mengaku bernama Amoi itu.
Hong ing menjadi marah serta penasaran sekali. Masakah dia harus kalah menghadapi seorang pelayan saja? Dia memiliki ilmu silat tangan kosong yang lihai, maka tentu saja dia tidak gentar untuk bertanding dengan tangan kosong. Sambil berseru marah dia lalu menerjang maju.
"Bagus! Marilah kita berlatih sebentar!" Amoi berseru dan cepat mengelak ke belakang, menghindarkan diri dari tendangan Hong Ing, kemudian tendangan berantai itu hendak dia gagalkan dengan sambaran tangannya yang hampir saja berhasil menangkap sepatu kiri Hong Ing.
Dara ini terkejut, cepat menarik kembali kakinya dan pada saat itu Amoi sudah membalas menyerang dengan cengkeraman ke arah leher kanannya yang juga dapat dihindarkan dengan baik oleh Hong Ing. Terjadilah pertandingan yang amat seru.
Keduanya sama gesit dan sama lincah sehingga setiap gerakan lawan kalau tidak dapat dielakkan tentu berhasil ditangkis dengan baik. Berkali-kali terdengarlah suara beradunya kedua lengan yang berkulit putih dan kelihatan halus lemah akan tetapi yang sebenarnya mengandung tenaga sinkang yang amat kuat itu, menyelingi suara gerakan mereka yang menimbulkan angin.
Tadinya dua orang gadis itu mengandalkan kelincahan mereka untuk saling mengalahkan lawan. Akan tetapi, sesudah lewat lima puluh jurus, bukan main kagetnya hati Hong Ing, kaget dan terheran-heran melihat perubahan aneh dalam permainan silat gadis berbaju merah itu.
Sekarang lawannya mulai terkekeh-kekeh lagi dan ilmu silatnya amat luar biasa, kadang-kadang lawannya itu bergerak dengan halus dan lemah gemulai seperti bukan sedang bertanding melainkan sedang menari-nari bersamanya, akan tetapi tiba-tiba saja tarian indah itu berubah menjadi gerakan kaku dan buruk sekali seperti gerakan seekor monyet pincang! Bahkan lebih aneh lagi, kadang-kadang Amoi menjatuhkan diri ke atas tanah, bergulingan sambil menangis, menjambak-jambak rambutnya sampai awut-awutan, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, selagi Hong Ing terbelalak kaget, dia mencelat ke atas dan menyerang dengan hebat!
"Aihhhh...!" Hong Ing menjerit kaget dan untung masih dapat melempar tubuh ke belakang terhindar dari hantaman yang amat dahsyat ke arah dadanya.
Mulailah Hong Ing bersikap hati-hati. Kini dia tahu bahwa ilmu silat aneh seperti gila itu bukanlah semata-mata ilmu yang dimainkan oleh seorang gila, melainkan ilmu silat yang terselubung sikap gila-gilaan yang bukan tidak ada gunanya, karena sikap gila-gilaan itu justru untuk memancing lawan dan mengacaukan perhatian lawan!
Sekarang dia bersikap hati-hati sekali bila Amoi menjambak-jambak rambutnya atau jatuh terduduk dan menangis seperti seorang anak kecil yang merengek minta makanan, tidak peduli lagi kalau Amoi membanting-banting kaki atau bahkan merangkak-rangkak seperti anak kecil belajar merangkak! Dan memang dia benar, karena di tengah-tengah gerakan aneh ini tiba-tiba sekali Amoi mencelat ke atas dan menyerangnya dengan amat dahsyat. Karena dia tidak mempedulikan gerakan-gerakan aneh dari lawan, maka kini dia dapat menghadapi serangan mendadak itu dengan baik sehingga semua serangan Amoi dapat digagalkannya.
"Robohlah!" Tiba-tiba Hong Ing membentak dan dia menerjang maju dengan tendangan berantai, tendangan yang hanya dilakukan untuk mengacaukan posisi lawan, dan selagi Amoi sibuk mengelak serta menangkis, Hong Ing yang melihat lowongan baik langsung ‘memasukinya’, tangan kirinya dengan jari terbuka menampar ke arah leher kanan lawan.
"Hayaaaa...!"
Amoi menjerit dan berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja pundaknya kena ditampar sehingga dia terpelanting dan jatuh miring. Akan tetapi, sambil menangis tersedu-sedu dia sudah meloncat lagi ke atas dan kedua tangannya membentuk cakar.
Melihat ini, Hong Ing bersiap-siap karena maklum bahwa lawan hendak mempergunakan ilmu silat sejenis Eng-jiauw-kang atau Houw-jiauw-kang (Ilmu Silat Cakar Harimau) yang berbahaya. Dia melihat Amoi menerjang maju, menggerakkan sepasang tangannya untuk mencakar mukanya.
"Heiiii!" Hong Ing berteriak kaget dan maju untuk mencegahnya.
Dia merasa kasihan kepada Amoi yang dikalahkannya dan menangis itu, sikap seperti seorang anak kecil saja dan kini Amoi yang agaknya merasa kesal dan jengkel, hendak mencakar muka sendiri. Perbuatan ini tentu saja berbahaya, bisa merobek hidung atau mencokel mata sendiri!
"Hi-hik-hik...! Dukkk!"
"Kau curang...!" Hong Ing berteriak, akan tetapi karena sambungan lututnya kena disentuh ujung sepatu Amoi, tentu saja dia jatuh berlutut dan pada saat itu pula terdengar suara bersiutan dan tahu-tahu tali-tali hitam telah menyambar dan membelenggu tubuhnya.
Kiranya belasan orang gadis lain telah menggunakan tali hitam yang berbentuk lasso dan melempar lasso itu dengan baik sekali sehingga semua lemparan tepat mengenai dirinya. Lingkaran-lingkaran lasso itu semua tepat menelikung tubuhnya. Dia terkejut sekali, akan tetapi diam-diam tersenyum mengejek pada waktu merasakan dengan lengannya betapa tali-tali itu tidaklah kuat. Dia akan menanti sampai rasa kesemutan di lututnya lenyap, baru akan memutuskan semua tali yang mengikatnya.
Dengan pura-pura tak berdaya Hong Ing masih berlutut, ditertawakan oleh semua gadis itu. Kemudian, setelah lututnya tidak kesemutan, dia segera bangkit berdiri dengan tubuh terbelenggu seperti seekor domba hendak disembelih dan memandang kepada Amoi dan ketiga belas orang gadis yang tertawa dengan mulut terbuka lebar, bebas lepas ketawa mereka, seperti segerombolan laki-laki kasar saja.
Hemmm, tunggu saja kalian, pikir Hong Ing dengan gemas. Diam-diam dia mengerahkan sinkang-nya kemudian tiba-tiba dia menggerakkan kaki tangannya sambil menjerit dengan suara melengking nyaring
"Haaaiiittt!"
"Hi-hi-hik!"
"Heh-heh-hi-hik!"
Belasan orang gadis itu cekikikan tertawa dan merahlah muka Hong Ing. Beberapa kali dia mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya dan mencoba lagi, namun sia-sia saja dan akhirnya dia pun maklum bahwa tak akan mungkin baginya untuk membebaskan diri dari ikatan tali-tali yang ujungnya masih dipegangi oleh para gadis yang mengurungnya itu.
Betapa mungkin memutuskan tali yang sifatnya seperti karet, dapat mulur pada waktu dia mengerahkan sinkang namun segera mengkeret dengan ketat lagi sesudah itu? Tenaga hanya bisa menghancurkan atau mematahkan benda-benda keras, betapa mungkin dapat melawan benda lunak yang sifatnya mulur akan tetapi yang memiliki keuletan luar biasa?
Seperti menerima komando tak bersuara, tiba-tiba tiga belas orang gadis itu menyendal ujung tali dan tubuh Hong Ing melayang ke atas! Ketika tubuhnya yang sudah tak dapat bergerak itu kembali meluncur turun, beberapa buah lengan menyambutnya dan sambil tertawa-tawa para gadis itu menggotong tubuh Hong Ing yang sudah ditelikung bagaikan ayam itu.
Hong Ing bergidik melihat wajah muda-muda dan cantik-cantik yang tertawa-tawa seperti siluman-siluman ini. Dia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi dengan dirinya di tangan orang-orang seperti ini. Dengan dirinya di tangan mereka, segala hal dapat saja terjadi. Apakah dia akan dipanggang bagai seekor anak babi (babi guling) hingga kulitnya menjadi kering kemerah-merahan untuk kemudian mereka makan bersama dengan arak wangi dan dagingnya dikerat-kerat dan dicocolkan kecap?
Hong Ing membelalakkan matanya penuh kengerian, apa lagi ketika Amoi Si Gadis Baju Merah yang lihai itu di tengah perjalanan mengelus kepalanya yang gundul sambil tertawa dan berkata, "Hi-hik, kepalanya gundul pelontos. Haluuuusss... hi-hi-hik!"
Hong Ing bergidik. Celaka. Mereka ini adalah orang-orang yang gila atau setidak-tidaknya adalah orang-orang yang sudah lama terasing dari dunia ramai sehingga menjadi seperti orang-orang biadab. Tiba-tiba dia teringat. Gila?
Subo-nya, Go-bi Sin-kouw, pernah menceritakan bahwa dahulu, dua tiga puluh tahun lalu, di Go-bi-san terdapat seorang nenek yang saktinya seperti siluman. Kalau dia tidak salah ingat, julukan nenek yang disebut-sebut oleh gurunya itu adalah Go-bi Thai-houw (Ratu Pegunungan Go-bi-san).
Ketika Go-bi Thai-houw masih berada di daerah Pegunungan Go-bi, tidak ada tokoh lain yang berani tinggal di situ, bahkan gurunya sendiri dulu tidak berani mendekati Go-bi-san. Akan tetapi menurut gurunya pula, Go-bi Thai-houw dikabarkan sudah tewas di tangan Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang kini juga sangat terkenal sebagai ketua Cin-ling-pai. Jangan-jangan nenek sakti yang menurut gurunya adalah seorang gila itu belum mati dan yang menangkapnya ini anak buahnya! Dia bergidik lagi.
Akan tetapi matanya terbelalak kaget ketika rombongan itu tiba di sebuah puncak yang dikelilingi hutan gelap, oleh karena dari tempat dia digotong tergantung dengan kepala di bawah itu dia melihat sebuah bangunan besar dan megah di tempat sunyi itu! Pantas kalau dinamakan sebuah istana dan dugaannya makin tebal bahwa nenek siluman Go-bi Thai-houw agaknya benar-benar belum mati seperti yang diceritakan gurunya.
Dia digotong masuk, melalui lorong yang amat panjang dan dengan dinding yang terhias lukisan-lukisan indah serta kain sutera yang bergantungan di mana-mana. Akhirnya, Amoi mengempit tubuh Hong Ing dan meninggalkan tiga belas orang anak buah yang agaknya tidak diperbolehkan memasuki sebuah ruangan besar di tengah rumah itu.
Amoi masih terus mengempitnya dengan ringan dan masuklah gadis berbaju merah itu ke dalam sebuah ruangan yang amat mewahnya. Begitu masuk, hidung Hong Ing mencium bau dupa wangi yang dibakar orang di dalam ruangan itu.
"Brukkk!"
Tubuhnya dilempar ke atas lantai yang terbuat dari pada batu marmer putih, begitu bersih sampai mengkilap. Mata Hong Ing memandang ke sekelilingnya dengan menggerakkan lehernya. Dia melihat Amoi berlari-larian menghampiri seorang wanita gemuk yang duduk setengah rebah setengah terlentang di atas kursi yang lebih patut disebut pembaringan saking lebarnya, kemudian Amoi berlutut dan mencium kaki yang tertutup sepatu kain sutera itu.
"Siocia..."
"Hemm, Amoi. Kau baru datang? Agaknya engkau membawa seorang tawanan," berkata wanita gemuk itu.
Hampir saja Hong Ing tertawa. Itukah yang menjadi nona majikan istana ini dan yang disebut Siocia? Ataukah Si Gendut ini puteri dari Go-bi Thai-houw? Dia memperhatikan wanita itu.
Usianya kurang lebih tiga puluh tahun. Tubuhnya amat subur, gemuk dan sehat sehingga wajahnya menjadi seperti buah masak, kemerahan. Perutnya yang gendut itu tidak dapat disembunyikan di balik jubah yang indah dan mewah, demikian pula buah dadanya yang amat besar. Wajahnya biasa saja, cantik tidak akan tetapi juga tidak terlalu buruk, bahkan kulit mukanya putih bersih dan halus.
Ketika tertawa, mulutnya yang lebar terbuka memperlihatkan gigi besar-besar akan tetapi putih bersih dan ketika tertawa kepalanya agak diangkat sehingga tampak jelas gerakan lehernya dan dagunya yang bersusun empat! Telinganya dihias anting-anting besar yang memang pantas dan sesuai dengan dirinya. Wajahnya kelihatan ramah, selalu tersenyum akan tetapi dari matanya yang lebar itu keluar wibawa yang kuat.
Seorang gadis lain yang juga berpakaian merah seperti Amoi, yang bahkan lebih cantik dari Amoi dan lebih tinggi tubuhnya, segera menyusul pertanyaan Siocia itu. "Moi-moi, siapakah tawanan itu? Kelihatannya seperti seorang nikouw?"
Amoi tersenyum kemudian duduk di dekat majikannya itu, bersanding dengan gadis yang menegurnya. Hong Ing dapat menduga bahwa tentu gadis itulah yang disebut oleh Amoi sebagai Acui.
"Siocia, dia adalah seorang nikouw yang bernama Pek Nikouw. Dia melanggar wilayah kita dan ketika hendak ditangkap, dia malah melawan. Ilmu kepandaiannya boleh juga, Siocia. Hampir saja saya kalah olehnya," kata Amoi.
"Ahh, begitukah? Sungguh kebetulan sekali kalau begitu! Nikouw muda, kau bangunlah!"
Wanita gendut itu berkata dan suaranya ramah sekali, tangannya dengan telapak terbuka bergerak ke depan. Angin pukulan yang dahsyat menyambar, mendorong sebuah tusuk sanggul emas yang menyambar seperti kilat, menembus putus tali pengikat tubuh Hong Ing dan seperti hidup, tusuk sanggul emas itu melayang kembali ke tangan wanita gendut itu yang mengenakannya kembali ke atas sanggulnya sambil tersenyum.
Menyaksikan kepandaian yang seperti sulapan itu, Hong Ing menelan ludah. Bukan main! Maklumlah dia bahwa dia tidak akan mampu menandingi wanita gendut itu, maka begitu dia meloloskan tali yang telah putus itu dari tubuhnya, dia lalu berdiri dan menjura dengan sikap penghormatan seorang pendeta, kedua tangannya dirangkap di depan dada.
"Harap maafkan pinni karena pinni telah tanpa sengaja melanggar wilayah Siocia," kata Hong Ing.
"Tidak apa, Pek Nikouw. Engkau datang dari kuil manakah, Pek Nikouw?" tanya wanita gendut itu dengan suara ramah.
"Pinni datang dari kuil Kwan-im-bio."
"Aihhh... sungguh kebetulan sekali. Agaknya Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan In) sendiri yang mengutusmu untuk menolongku! Di sini aku telah memiliki segala sesuatu dengan lengkap, kecuali satu, seorang yang berhati suci, seorang nikouw seperti engkau inilah. Apa lagi kalau memiliki kepandaian yang baik, tidak akan memalukan istanaku. Hi-hi-hik! Lihat, setiap saat aku berdoa, setiap saat aku membakar dupa untuk menyenangkan para dewa, akan tetapi agaknya para dewa tidak berhasil menyampaikan doaku kepada Thian! Maka aku membutuhkan seorang nikouw untuk berdoa dan kebetulan engkau datang, dan engkau adalah murid Kwan Im Pouwsat, Dewi Welas Asih yang agaknya menaruh iba kepadaku. Pek Nikouw, demi Dewi Kwan Im yang welas asih, engkau tentu mau berdoa untukku, tentu mau menolongku agar Thian mengabulkan permintaanku, bukan?"
Secara diam-diam Hong Ing bergidik. Wanita ini dengan begitu saja menyebut-nyebut nama segala dewa. Kwan Im Pouwsat, bahkan Thian, seakan-akan semua itu diadakan hanya untuk memenuhi kebutuhan dan keperluan wanita gendut ini! Meski kata-katanya terdangar ramah dan lembut, namun di balik itu terdapat sesuatu yang tidak normal dan membuat Hong Ing menduga bahwa otak Siocia ini juga tidak bisa dibilang waras!
"Siocia, sebagai seorang nikouw memang pinni bertugas untuk berdoa bagi kesejahteraan manusia dan sedapat mungkin menolong manusia agar terhindar dari kesengsaraan. Doa apakah yang harus pinni lakukan untuk Siocia?"
"Ada dua hal yang bertahun-tahun mengganggu hatiku, Pek Nikouw, dan setiap hari aku berdoa kepada Thian supaya mengabulkan permohonanku ini, pertama-tama adalah agar aku bisa menemukan jodohku..." Suara wanita gendut itu menjadi gemetar oleh keharuan sehingga diam-diam Hong Ing harus menahan geli hatinya mendengar ini.
Wanita gendut itu berhenti bicara dan mempergunakan lengan bajunya yang lebar untuk mengusap air matanya! Kemudian dia pun melanjutkan, "Ada pun hal yang ke dua adalah agar supaya aku dapat segera membalas dendam kepada musuh besarku."
"Maaf, Siocia. Untuk berdoa, pinni harus mengetahui siapakah musuh besar Siocia, dan mengapa orang itu menjadi musuh besarmu," kata Hong Ing memancing karena dia ingin sekali mendengar riwayat wanita aneh ini.
"Siapa lagi kalau bukan Cia Keng Hong, Ketua Cin-ling-pai! Dahulu dia telah membunuh majikanku. Kematian Go-bi Thai-houw dulu harus dibalas dan siapa lagi kalau bukan aku sebagai ahli warisnya yang dapat membalaskan kematiannya?"
Diam-diam Hong Ing terkejut sekali. Tak salah dugaamya, atau setidaknya tidak meleset terlalu jauh. Wanita ini, tempat ini, dan pasukan wanita gila itu, ada hubungannya dengan Go-bi Thai-hou seperti yang sudah diceritakan subo-nya. Pantas saja mereka begitu lihai. Kiranya wanita ini adalah keturunan nenek iblis itu.
"Namaku Kim Seng Siocia (Nona Bintang Emas)," wanita gendut itu menerangkan. "Dulu ketika Thai-houw masih hidup, aku adalah seorang pelayannya yang paling kecil. Saat itu aku baru berusia delapan tahun. Akan tetapi sebelum beliau pergi, beliau meninggalkan semua pusaka dan kitab-kitabnya kepadaku, maka akulah yang berhak mewarisi semua peninggalannya, termasuk ilmu kepandaiannya dan juga istananya ini yang sudah kuubah menurut seleraku. Nah, kau sudah mendengar, Pek Nikouw, sekarang kau harus tinggal di istana ini untuk berdoa sampai kedua permintaanku itu terkabul. Aku harus menemukan jodohku, seorang laki-laki yang memiliki ilmu kepandaian tinggi agar dapat membantuku membunuh Cia Keng Hong. Kalau kau menolak, kau akan kubunuh, namun kalau kau menerima, kau akan menjadi tamu kehormatan kami, dan hidup terhormat serta mulia di istana ini."
Hong Ing tidak dapat menjawab, mukanya agak berubah. Bagaimana mungkin dia berani menolak? Sekali menolak dan wanita itu turun tangan, tentu dia akan tewas. Akan tetapi bagaimana pula dia dapat menerima diharuskan tinggal di tempat ini bercampur dengan orang-orang yang miring otaknya?
"Baiklah, Siocia. Pinni akan berdoa untukmu dan tinggal sementara di sini. Semoga saja segera terkabul pormohonanmu itu."
Wanita itu tertawa dan mukanya berseri gembira. "Yahuuuu...! Sediakan hidangan yang paling lezat untuk Pek Nikouw!"
Hong Ing memang bukan seorang nikouw tulen, maka tentu saja dia tidak keberatan makan daging dan minum arak yang disuguhkan. Sambil makan minum, Kim Seng Siocia lalu memerintahkan anak buahnya menabuh musik dan menari-nari.
Hong Ing semakin mengenal keadaan di sana dan tahulah dia bahwa Kim Seng Siocia memang merupakan seorang ‘ratu’ di tempat ini, dengan anak buahnya yang berjumlah lima puluh orang lebih, rata-rata pandai ilmu silat seperti pasukan yang menawannya. Ada pun dua orang pembantunya yang paling dipercaya dan yang paling lihai pula adalah Acui dan Amoi itulah, yang bukan hanya merupakan pelayan-pelayan pribadinya, akan tetapi juga wakil-wakilnya dan murid-muridnya!
Benar saja seperti yang dijanjikan Kim Seng Siocia, Hong Ing diperlakukan dengan penuh hormat oleh semua orang, mendapatkan sebuah kamar yang bersih dan indah di dalam istana, diberi pakaian pendeta yang serba indah dan makanan yang lezat.
Pekerjaan Hong Ing sehari-hari hanyalah membaca liam-keng (doa) dan tentu saja doa yang keluar dari dalam hatinya bukanlah untuk Si Gendut itu, melainkan dia berdoa untuk keselamatan suci-nya, Lauw Kim In yang mengorbankan dirinya menjadi isteri pemuda iblis Ouwyang Bouw, kemudian doa untuk keselamatan dirinya sendiri supaya dia dapat segera membebaskan diri dari tempat yang mengerikan ini, dan kadang-kadang kalau dia terbayang wajah Kun Liong yang amat sulit untuk dapat dilupakannya itu, dia berdoa agar mendapat kesempatan lagi bertemu dengan pemuda gundul itu! Sedikit pun tidak ada doa di dalam hatinya untuk permintaan Kim Seng Siocia!
Sesudah tinggal sebagai tamu terhormat, atau lebih tepat tahanan terhormat di istana itu belasan hari lamanya, Hong Ing mendapat kenyataan bahwa Kim Seng Siocia ternyata betu-betul merupakan seorang wanita aneh yang memiliki banyak ilmu kepandaian tinggi. Bukan hanya mempunyai tenaga sinkang yang sangat luar biasa, juga wanita ini memiliki kekebalan dan pandai memainkan segala macam senjata, termasuk ahli pula dalam hal menggunakan anak panah.
Ia pernah dibuat amat kagum ketika pada suatu sore nona gendut itu mendemonstrasikan kepandaiannya memanah burung. Ketika itu sekelompok burung sedang terbang di udara, tinggi sekali sampai hanya terlihat sebagai titik-titik hitam kecil. Burung-burung itu sedang terbang berkelompok kembali ke sarang mereka arah selatan.
"Aku ingin makan panggang burung dara hijau!" nona gendut itu berkata dan Amoi segera memberikan gendewa dan tempat anak panah yang terisi belasan batang anak panah.
Walau pun tubuhnya gendut, ternyata Kim Seng Siocia dapat bergerak cepat sekali, dan tahu-tahu gendewa telah dipentangnya kemudian berturut-turut dia melepaskan tiga belas batang anak panah ke udara. Gerakannya sedemikian cepatnya sehingga sulit diikuti oleh pandang mata dan anak-anak panah itu meluncur beriringan seperti bersambung.
Tak lama kemudian, anak panah yang tiga belas batang jumlahnya itu berjatuhan dan… setiap batang membawa dua ekor burung yang tertembus dadanya! Hampir saja Hong Ing tidak dapat percaya akan apa yang disaksikannya dan diam-diam dia merasa ngeri sekali. Demikian hebatnya ilmu memanah nona gendut ini!
Menyaksikan kelihaian Kim Seng Siocia ini, makin berhati-hatilah Hong Ing. Dia tak berani sembarangan melarikan diri karena maklum akan keanehan watak nona gendut itu yang tentu tak akan segan-segan membunuhnya kalau dia melarikan diri dan tertangkap. Maka dia harus menunggu saat yang paling tepat dan baik, dan dia hanya akan melarikan diri kalau sudah yakin takkan tertangkap kembali. Pula, kalau dia berdiam di tempat itu tentu tidak akan dapat dicari oleh subo-nya! Andai kata subo-nya dapat mencarinya di tempat ini, agaknya subo-nya akan menghadapi lawan berat sekali dalam diri Kim Seng Siocia dan anak buahnya!
Lebih baik di sini dari pada bersembunyi di dalam kuil, karena sesungguhnya dia pun tak suka untuk menjadi nikouw. Akan tetapi, karena dia berada di istana itu dalam tugasnya sebagai nikouw, terpaksa dia selalu membersihkan rambut dari kepalanya bila mana ada rambut mulai tumbuh. Dia tidak boleh memancing kecurigaan Kim Seng Siocia dan harus bersikap seperti seorang nikouw tulen yang saleh!
Pada suatu senja, dia melihat Acui dan Amoi berlari-larian sambil mengumpulkan anak buahnya. Karena merasa tertarik dia lalu keluar dari kamarnya dan bertanya kepada Amoi yang bersikap bersahabat dangannya.
"Amoi, apakah yang terjadi?"
Amoi tertawa terkekeh-kekeh. "Hi-hi-hi-hik, pesta besar, Sukouw. Banyak lalat jantan yang terjebak dalam sarang laba-laba, dan di antaranya adalah seekor lalat bule (putih) yang tentu menarik perhatian Siocia. Siocia menyuruh kami menangkap mereka hidup-hidup!" Setelah berkata demikian, dua orang pelayan yang berpakaian merah itu berlari-lari diikuti anak buah mereka.
Hong Ing menjadi sangat penasaran dan dia bertanya kepada serombongan pasukan yang agaknya hendak membantu pula. "Apakah yang terjadi? Banyak lalat terjebak dalam sarang laba-laba? Apa artinya itu?"
Karena Kim Seng Siocia menganggap Hong Ing sebagai tamu agung maka telah menjadi kebiasaan para anak buah di situ untuk menghormati nikouw muda ini, maka seorang di antaranya menjawab singkat, "Lalat berarti manusia dan lalat jantan adalah kaum laki-laki. Hi-hi-hik, mudah-mudahan aku mendapat bagian!"
"Cuihh, laki-laki!" kata wanita ke dua sambil membuang ludah. Entah mengapa agaknya wanita ini pernah mengalami hal yang tak enak yang ada hubungannya dengan kaum pria sehingga dia membenci pria.
"Hayo kita berangkat!" orang ke tiga berkata sambil bertanya kepada Hong Ing, "Apakah Sukouw hendak menonton?"
Hong Ing mengangguk dan dia ikut pula berlarian dengan rombongan itu memasuki hutan yang gelap. Belum pernah dia masuk hutan ini dan ternyata rombongan ini membawanya ke sebuah daerah di dalam hutan itu yang penuh dengan goa-goa dan Acui serta Amoi bersama anak buahnya sudah pula berada di situ, menyalakan obor dan mereka bicara sambil tertawa-tawa dan menuding-nuding ke dalam goa-goa itu.
Hong Ing melangkah maju dan memandang. Hatinya heran bukan main ketika dia melihat ada enam orang laki-laki di dalam dua buah goa itu dan mereka ini benar-benar terjebak dalam sarang laba-laba! Sarang laba-laba yang besar dan yang melekat di tubuh enam orang itu. Betapa pun enam orang itu meronta-ronta, mereka tidak dapat melepaskan diri dari lekatan benang yang sebesar tali itu, benang sarang yang memiliki daya melekat dan membelit!
"Iihhh, apakah itu sarang laba-laba tulen?" tanya Hong Ing mendekati Acui.
"Lihat saja di sana, kami sudah membunuh laba-labanya," dia lalu menuding ke kiri dan hampir saja Hong Ing menjerit.
Benar saja, di sana terdapat dua bangkai binatang yang mengerikan sekali. Jelas kedua bangkai itu adalah tubuh binatang laba-laba hitam akan tetapi bentuknya luar biasa sekali! Sebesar kucing atau anjing kecil! Pantas saja sarangnya demikian besar dan sangat kuat, sanggup menangkap manusia!
Akan tetapi dia segera tertarik ketika melihat salah seorang di antara enam pria itu. Dia mengenal orang yang berkulit putih itu. Itulah orang kulit putih yang bersama Tok-jiauw Lo-mo pernah menggunakan pasukan pemerintah menangkap Kun Liong dan menawan pemuda itu! Kalau dia tidak salah ingat, dulu Kun Liong pernah menyebutkan namanya, Marcus! Ya, Marcus!
Marcus dan lima orang laki-laki lain yang sama sekali tidak berdaya itu segera ditangkap, dibelenggu kedua tangannya dan digiring keluar dari goa itu. Marcus berkata-kata dalam bahasa asing, kelihatannya marah, dan seorang di antara lima anak buahnya itu berkata dengan penasaran,
"Kami ini mau dibawa ke mana? Kami tidak bersalah apa-apa terhadap kalian!"
Para gadis yang menggiring mereka itu tertawa-tawa saja, dan Amoi yang genit segera membentak. "Hushhh, diamlah! Kalian berenam seharusnya berterima kasih kepada kami. Apa bila kami tidak membunuh kedua ekor laba-laba hitam raksasa itu, agaknya sekarang semua darah dan sumsum kalian telah disedot habis!"
Pada saat melihat Marcus, Hong Ing menyelinap ke belakang. Dia khawatir kalau pemuda asing itu mengenalnya. Akan tetapi diam-diam dia mengikuti perkembangan karena ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh Kim Seng Siocia dan anak buahnya terhadap enam orang tawanan itu. Karena itu dia cepat mendahului rombongan yang sambil tertawa-tawa menggiring enam orang laki-laki itu, berlari dan memasuki istana bertemu dengan Kim Seng Siocia, disambut oleh wanita gendut itu dengan senyum ramah.
"Ha-ha-ha, aku mendengar ada enam orang pria menjadi tawanan. Hi-hi-hik, Pek Nikouw, apakah ini hasil doamu? Mudah-mudahan saja jodohku berada di antara mereka."
"Omitohud, mudah-mudahan begitu, Siocia. Pinni sudah melihat mereka dan harap Siocia yang menentukan sendiri. Tetapi sebagai seorang pendeta, pinni tidak boleh berhadapan dengan kaum pria, maka pinni hanya akan menonton dari belakang tirai saja."
Kim Seng Siocia tertawa. "Hi-hi-hi-hik, kasihan sekali engkau. Masih begitu muda sudah harus menjauhkan diri dari pria. Tentu saja boleh, Pek Nikouw, dan kalau benar di antara mereka terdapat jodohku, berarti doamu manjur luar biasa dan aku tentu akan memberi hadiah besar kepadamu."
Sesuai dengan perintah nona gendut itu, enam orang tawanan itu dihadapkan seorang demi seorang. Betapa kecewa hati Kim Seng Siocia melihat laki-laki yang usianya sudah empat puluh tahun lebih dan yang hanya terdiri dari orang-orang kasar. Pada waktu dia menyuruh buka belenggu mereka seorang demi seorang dan memerintahkan Acui dan Amoi untuk menguji kepandaian mereka, tidak ada seorang pun di antara lima orang anak buah Marcus yang dapat bertahan melawan seorang di antara dua pelayan manis itu lebih dari sepuluh jurus!
Dengan hati kecewa dan juga penasaran, Kim Seng Siocia menghadiahkan lima orang itu kepada anak-anak buahnya dan terdengarlah sorak-sorai dan tawa ketika lima orang itu diseret-seret dan dijadikan perebutan di luar istana. Dari tempat sembunyinya di belakang tirai, Hong Ing hanya dapat mendengar lima orang itu berteriak-teriak di antara sorak-sorai itu dan dia bergidik. Kemudian dia melihat Marcus dihadapkan nona gendut.
"Siapa namamu?" tanya Kim Seng Siocia.
"Marcus," jawab pemuda asing itu dengan suara aneh karena memang dia belum begitu pandai berbahasa pribumi. Kim Seng Siocia kelihatan tertarik dan dia menyuruh Amoi menguji kepandaian pemuda yang berkulit putih itu. Amoi maju dan tersenyum genit.
"Apa kau pandai main silat?" tanya Amoi.
Marcus mengangguk. "Sedikit-sedikit aku sudah mempelajari ilmu silat ketika aku menjadi anak buah tuan Legaspi Selado yang berilmu tinggi. Akan tetapi di negeriku aku terkenal sebagai seorang ahli tinju."
"Tinju?" Amoi bertanya heran dan tidak mengerti.
Marcus mengepal kedua tangannya. "Ahli menggunakan ini untuk merobohkan lawan."
"Aha! Ilmu silat bangsamu? Bagus, coba kau robohkan aku dengan itu!"
Marcus menjerutkan alisnya dan menggelengkan kepala. "Tidak pernah aku merobohkan wanita dengan tinju!" Dia tertawa. "Biasanya aku merobohkan wanita dengan cinta!"
Acui, Amoi dan para penjaga di situ tertawa dan Kim Seng Siocia sudah bangkit berdiri dari kursinya, melangkah maju dan mengamat-amati Marcus dari kepala sampai ke kaki.
"Marcus, jadi engkau ini ahli mencinta wanita?" tanyanya.
Didekati oleh wanita gendut yang agaknya menjadi ketua gerombolan wanita itu, Marcus kelihatan gelisah. Kalau disuruh merayu Acui atau Amoi, atau beberapa orang di antara para anak buah yang muda dan cantik, tentu saja dia akan merasa suka sekali. Akan tetapi wanita ini sungguh berbeda dengan yang lain. Tubuhnya tinggi besar dan sikapnya begitu penuh wibawa. Dia tidak menjawab, hanya mengangguk.
"Heh-heh, kau menarik juga. Tentu saja aku tidak akan suka menjadi isteri orang asing yang berkulit putih bermata biru. Akan tetapi, kalau kau memenuhi seleraku, kalau kau menyenangkan dan mencocoki hatiku, kau akan menjadi selirku. Hi-hik!"
Marcus membelalakkan matanya. "Apa? Selir? Selir bagaimana?"
Dia pun sudah pernah mendengar bahwa selir adalah seorang peliharaan, seorang isteri di luar pernikahan resmi. Akan tetapi biasanya adalah wanita yang menjadi selir pria, dan sekarang wanita gundul ini hendak mengambilnya sebagai selir!
"Bodoh!" Amoi berkata tertawa. "menjadi selir berarti menjadi kekasih Siocia."
Marcus mengerutkan alisnya dan memandang wanita gendut itu. Memang bukan seorang wanita tua dan wajahnya pun tidak terlalu buruk, hanya terlalu gendut. Dia adalah seorang laki-laki, seorang petualang, mana mungkin dia tunduk begitu saja dijadikan ‘selir’ seorang wanita? Biar pun wanita ini agaknya menjadi kepala di sini, namun menjadi selir amatlah rendah!
"Kalau aku menolak?" tantangnya.
"Bagaimana caramu untuk menolak?" Kim Seng Siocia bertanya, matanya bersinar agak gembira, melihat bahwa pemuda asing ini lumayan juga, memiliki kejantanan.
"Dengan ini!" Marcus memperlihatkan kepalan tinjunya yang besar. "Biar pun aku tidak pernah menggunakan ini untuk menghadapi wanita, akan tetapi kalau aku dipaksa..."
"Heh-heh, bagus! Ehh, Marcus, apakah kau lebih suka kuberikan kepada laba-laba?"
Marcus membelalakkan matanya yang biru. "Laba-laba?"
Amoi tertawa. "Hi-hi-hik, laba-laba kecil yang banyak sekali lebih berbahaya dari laba-laba besar. Teman-temanmu yang lima orang kini sedang dikeroyok banyak laba-laba kecil!"
Marcus mendengarkan dan sayup-sayup dia masih mendengar suara cekikikan ketawa banyak wanita. Dia menjadi bingung dan kembali dia kelihatan gelisah.
"Begini saja," kata Kim Seng Siocia. "Apa bila dalam waktu lima jurus aku belum mampu mengalahkan engkau, biarlah kau akan kuberi kebebasan. Akan tetapi kalau dalam waktu lima jurus kau roboh,bagaimana?"
"Tidak mungkin!"
"Siocia bertanya, cepatlah kau jawab!" Acui membentak, kelihatan marah sekali sehingga suaranya ketus dan nyaring.
Marcus terkejut dan dia memandang wanita gendut itu penuh perhatian. Benarkah cerita teman-temannya yang lebih dahulu merantau ke tanah ini, bahwa di sini terdapat banyak orang sakti yang aneh, di antaranya ada pula wanita yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi?
"Nona," katanya sambil menjura. "Aku akan menerima segala perintahmu, bahkan akan mengangkatmu sebagai guruku kalau benar-benar kau dapat mengalahkan aku dalam lima jurus!"
Kim Seng Siocia tertawa, kemudian berkata, "Bersiaplah kau. Akan kuserang kau sampai lima jurus dan hendak kulihat apakah kau benar-benar dapat bertahan."
Marcus mulai menduga bahwa agaknya nona gendut ini memang mempunyai kepandaian karena kalau tidak, tak mungkin berani bicara sesombong itu. Karena itu dia pun segera memasang kuda-kuda, kedua tangan dikepal dan dia sudah siap untuk menangkis segala serangan lawan. Dia masih merasa ragu untuk memukul wanita ini, maka dia mengambil keputusan asal dia dapat bertahan selama lima jurus cukuplah. Dan dia akan menangkis dengan pengerahan tenaga agar lengan wanita itu terasa nyeri!
"Jurus pertama!" Kim Seng Siocia berkata, tangan kirinya menyambar dengan sebuah tamparan ke arah kepala Marcus. Gerakannya cepat dan mendatangkan sambaran angin dahsyat.
Marcus terkejut sekali. Cepat dia mengangkat lengan kanan ke atas sambil mengerahkan tenaga agar lengan wanita itu terasa nyeri terkena tangkisannya. Akan tetapi lengannya hanya menangkis angin kosong belaka dan tahu-tahu tangan wanita itu menyambar, turun melalui bawah tangannya yang menangkis dan sudah ‘menowel’ jalan darah di ketiaknya sehingga tiba-tiba lengannya lumpuh dan tubuhnya terhuyung!
Selagi Marcus terheran-heran, nona gendut itu sudah tertawa dan berkata lagi. "Jurus ke dua!"
Marcus cepat mempersiapkan diri lebih berhati-hati dari pada tadi. Kini kelihatan wanita itu menggerakkan kedua tangannya dari kanan kiri seperti hendak menyerangnya dengan dua tamparan, satu ke arah kepala dan yang ke dua ke arah pinggangnya.
Marcus cepat mengikuti tangan itu dan begitu melihat berkelebatnya dua tangan dia cepat menyambar untuk menangkap. Girang hatinya saat dia berhasil menangkap pergelangan kedua tangan Kim Seng Siocia, akan tetapi mendadak kedua kakinya dibabat oleh kaki lawan dan tubuhnya menjadi terguling roboh karena nona itu sudah merenggutkan kedua lengannya terlepas.
"Bukkk!"
Marcus merayap bangun dan meringis karena pantatnya terasa nyeri ketika dia terbanting tadi. Mulai marahlah dia, juga malu sekali. Jelas bahwa dalam dua jurus tadi, dia sudah dua kali jatuh!
Melihat lelaki ini sudah memasang kuda-kuda lagi dengan mata menjadi agak kemerahan tanda marah, Kim Seng Siocia tertawa dan berkata, "Kau keras kepala juga, ha-ha. Jaga ini jurus ke tiga!"
Kim Seng Siocia yang hanya ingin main-main, secara sembarangan menggerakkan lagi tangan kirinya menampar, bahkan yang menampar bukan tangan melainkan ujung lengan bajunya yang panjang dan lebar. Sekali ini Marcus sudah tahu bahwa lawannya sangat lihai, maka dia menangkis dengan tangan kanan akan tetapi mendahului dengan tangan kirinya menghantam ke arah dagu wanita itu dengan sebuah pukulan ‘uppercut’.
"Plak-plak... desss...!"
Cepat sekali gerakan tangan wanita itu sehingga tidak terlihat oleh Marcus yang menjadi keheranan akan tetapi segera dia mengaduh-aduh karena tahu-tahu dia sudah terbanting lebih keras dari pada tadi! Dia hanya merasa betapa siku lengannya yang memukul tadi disambar dari samping, kemudian tubuhnya terbanting tanpa dapat ditahannya lagi. Dia merasa penasaran bukan main.
Benarkah dia, Marcus si jago tinju, sama sekali tak berdaya menghadapi seorang wanita yang begini gendut? Benar-benar memalukan sekali! Dia mendengus, meloncat bangun dan memandang dengan mata merah, kedua tangannya terkepal dan dia sudah siap lagi menghadapi serangan.
"Hi-hi-hik, kau masih berani? Baiklah, masih tersisa dua jurus lagi dan awas, aku akan menggunakan dua jurus itu. Siap!"
Tubuh yang gendut itu bergerak maju. Marcus sudah siap. Dia tidak mau membiarkan wanita itu mendahuluinya karena kini dia mengerti bahwa betapa pun gendutnya wanita itu dapat menggerakkan kedua kaki tangan dengan cepat sekali. Maka dia tidak menanti sampai diserang, melainkan mendahuluinya menyerang dengan pukulan dahsyat ke arah perut yang gendut itu. Dapat dibayangkan betapa herannya melihat wanita itu sama sekali tidak menangkis, bahkan tidak mengelak.
"Crotttt…!"
Marcus merasa betapa kepalannya bertemu dengan benda lunak dan kepalannya itu lalu menancap sampai ke pergelangan tangannya. Celaka, pikirnya, aku telah membunuhnya ketika melihat kepalan tangannya ‘masuk’ ke dalam perut gendut itu.
Akan tetapi, Kim Seng Siocia tertawa dan Marcus yang amat kaget itu menarik kembali kepalannya. Akan tetapi sia-sia, kepalan tangannya yang menancap di perut itu tidak bisa dicabutnya kembali! Dia menjadi bingung, malu, marah, juga penasaran sekali. Tangan kirinya mencengkeram ke depan, ke arah muka wanita itu. Akan tetapi Kim Seng Siocia menangkap tangan kiri itu, kemudian berseru,
"Naiklah!" dan... tubuh Marcus telah dilontarkan ke atas.
Markus memekik ngeri ketika tubuhnya meluncur seperti sebutir peluru pistol ke atas dan cepat-cepat dia merangkul balok melintang ketika tubuhnya menabrak itu. Dengan tubuh gemetar dia memandang ke bawah, melihat betapa Kim Seng Siocia tertawa dan berkata,
"Hayo turunlah! Apakah kau masih belum mengaku kalah?"
Kini maklumlah Marcus bahwa kepandaian wanita itu benar-benar hebat sekali. Kiranya belum tentu kalah oleh Legaspi Selado sendiri. Betapa bodohnya sudah melawan wanita sepandai itu.
"Aku... aku mengaku kalah...," katanya dengan ngeri melihat betapa tingginya tempat dia berada.
"Dan kau mau menjadi selirku?"
"Ya... ya, aku mau..."
"Dan mau juga menjadi muridku?"
"Aku mau, aku suka sekali..."
"Kalau begitu lekaslah meloncat turun. Mau apa lama-lama di situ?"
Tubuh Marcus gemetar. "Lon... loncat...? Kakiku bisa patah..."
"Haiii, manusia tolol!" Amoi memaki sambil menudingkan telunjuknya ke atas. "Kau bilang mau menjadi selir dan murid mengapa tidak mentaati perintah? Kalau Siocia bilang turun, turunlah!"
Marcus maklum akan kekeliruannya. Wanita gendut yang lihai ini hendak mengambilnya menjadi kekasih dan murid, tentu saja kalau dapat melontarkannya ke atas, dapat pula melindunginya apa bila dia meloncat turun. Maka sambil memejamkan matanya, dengan nekat dia meloncat ke bawah!
Ketika merasa bahwa tidak ada orang menyambutnya, Marcus membuka matanya dan dia berteriak ngeri melihat tubuhnya meluncur ke arah lantai marmer dengan kepala lebih dahulu! Akan tetapi, ketika hidungnya yang panjang itu hampir menyentuh lantai, tiba-tiba tubuhnya terhenti dan ternyata bahwa tangan kiri yang kuat dari Kim Seng Siocia sudah mencengkeram baju di punggungnya, kemudian mendorongnya berdiri.
"Berlututlah, Marcus."
Mendengar perintah ini Marcus lalu menjatuhkan diri berlutut di depan wanita gendut itu. Kim Seng Siocia tersenyum lebar dan memberi isyarat dengan tangannya kepada para penjaga untuk mengundurkan diri, kemudian berkata kepada Amoi dan Acui,
"Sediakan air pencuci kaki lalu pergilah kalian keluar."
Amoi dan Acui mengangguk, cepat menyediakan sebuah bokor emas berisi air hangat berikut kain bulu yang halus, menaruhnya di dekat kursi yang seperti pembaringan itu, lalu sambil tersenyum-senyum dan melirik ke arah Marcus yang masih berlutut itu mereka keluar dari kamar, menutupkan daun pintu ruangan itu dari luar.
"Marcus, kau cucilah kakiku," kata Kim Seng Siocia sambil merebahkan diri di atas kursi yang panjang dan lebar itu.
Marcus tidak merasa terhina lagi. Apa pun yang diperintahkan wanita ini, tidak ada orang lain yang menyaksikannya. Pula, dia sudah yakin bahwa wanita ini, betapa pun anehnya, adalah seorang yang mempunyai kesaktian hebat, menjadi kekasihnya dan juga muridnya merupakan hal yang amat menguntungkan baginya.
Maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu mengambil bokor air hangat, menghampiri nona gendut itu, menggunakan kain bulu yang dicelup di air untuk membersihkan kaki nona ini. Bukan itu saja, bahkan pemuda yang cerdik ini mulai mempergunakan ‘kepandaiannya’ merayu wanita, sambil membersihkan dia memijati dan membelai kaki itu yang biar pun bentuknya besar namun cukup bersih, padat dan menggairahkan sehingga Kim Seng Siocia merasa nikmat dan merem melek di atas kursinya.
"Aihh, Marcus... kau menyenangkan hatiku. Mari... marilah kau layani aku baik-baik, kau akan kuajari ilmu yang akan membuat kau benar-benar menjadi seorang jantan." Wanita itu turun dari kursinya, menggandeng tangan Marcus diajak memasuki kamarnya yang mewah dan indah.
Diam-diam Hong Ing yang mukanya berubah menjadi merah saking jengah menyaksikan pemandangan tadi, menjadi lega hatinya melihat mereka memasuki kamar, maka cepat keluar dari balik tirai dan pergi dari tempat itu. Makin ngeri dia memikirkan keadaan Kim Seng Siocia dan anak buahhya, apa lagi ketika mendengar betapa lima orang pria anak buah Marcus itu dikeroyok serta dipaksa bermain cinta oleh puluhan orang wanita yang sudah seperti gila itu! Dia bergidik, akan tetapi betapa pun muak hatinya, dia masih belum berani melarikan diri karena di situ terdapat Acui dan Amoi yang amat lihai.
Hong Ing memasuki ruangan tempat duduk Kim Seng Siocia dengan hati berdebar. Entah kenapa hatinya merasa tidak enak ketika malam hari itu Kim Seng Siocka memanggilnya dan yang disuruh memanggil adalah Acui dan Amoi yang kini mengikutinya dari belakang.
Ketika dia masuk ruangan dan melihat Marcus duduk di samping wanita gendut itu, Hong Ing menghentikan langkahnya. Akan tetapi Acui dan Amoi mendorongnya dari belakang. Hong Ing cepat menarik turun penutup kepalanya sehingga mukanya terlindung.
"Siocia memanggil pinni?" tanyanya sambil berdiri di depan wanita itu.
"Bukalah kerudungmu, perlihatkan mukamu," berkata Kim Seng Siocia, suaranya berbeda dari biasanya, kereng dan penuh wibawa.
"Tapi... tapi Siocia, ada seorang pria di sini," Hong Ing membantah.
"Marcus? Hi-hi-hik, dia adalah orang sendiri, bukan orang luar. Hayo bukalah!"
Karena maklum bahwa menolak amatlah berbahaya, maka Hong Ing terpaksa membuka kerudungnya dengan harapan bahwa Marcus sudah lupa kepadanya. Akan tetapi begitu kerudung dibuka, terdangar suara Marcus,
"Benar dia! Nikouw cantik yang menolong Yap Kun Liong! Dia mata-mata!"
Tentu saja Hong Ing terkejut bukan main. Andai kata Marcus tidak menjadi kekasih Kim Seng Siocia, hal itu masih mending karena tidak ada hubungannya dengan wanita gendut itu.
"Siocia, cocok sekali ceritaku. Dialah sekutu Yap Kun Liong dan kalau dia berada di sini, tentu dia tahu di mana adanya Kun Liong. Kita harus dapat menangkapnya," kata pula Marcus.
"Hemm, tapi aku tidak begitu tertarik dengan ceritamu mengenai bokor emas yang dapat menunjukkan tempat harta pusaka. Aku sudah mempunyai cukup harta," Kim Seng Siocia membantah.
"Tetapi, di samping harta, masih ada pusaka yang mengandung ilmu yang mukjijat, begitu dikatakan orang, bahkan belum lama Tok-jiauw Lo-mo bersamaku berusaha menyelidiki."
"Siapa? Tok-jiauw Lo-mo murid Thian-ong Lo-mo?" Wanita itu kelihatan kaget.
"Aihh, jadi Siocia mengenalnya?"
"Tidak, akan tetapi aku sudah pernah mendengar tentang nama Thian-ong Lo-mo di kaki pegunungan ini. Kalau kakek seperti dia juga memperebutkan bokor, agaknya memang patut diperhatikan."
"Tentu saja dia juga ikut memperebutkan. Bahkan dia sudah bersekutu dengan Kwi-eng Niocu yang telah tewas di tangan Yap Kun Liong itu..."
"Apa? Demikian lihai Yap Kun Liong itu?"
"Lihai sekali, Siocia. Bahkan kabarnya dia mengalahkan banyak tokoh, biar pun dia tidak pernah bersungguh-sungguh. Bocah itu aneh dan dulu kami telah berhasil menangkapnya dengan jalan meracuninya, akan tetapi dia diselamatkan oleh nikouw cantik ini!"
Kim Seng Siocia kini memandang Hong Ing penuh perhatian. "Benarkah ceritanya itu, Pek Nikouw?"
Hong Ing tidak dapat membohong, maka dengan tenang dia menjawab, "Pinni tidak tahu menahu tentang bokor dan sebagainya, yang pinni tahu hanyalah bahwa pinni memang telah menolong seorang pemuda yang menjadi tawanan, pemuda yang terkena racun..."
"Di mana dia Yap Kun Liong itu?" Marcus membentak.
"Hi-hi-hi-hik, sekarang kita sama-sama tidak bersenjata!" kata gadis berbaju merah yang mengaku bernama Amoi itu.
Hong ing menjadi marah serta penasaran sekali. Masakah dia harus kalah menghadapi seorang pelayan saja? Dia memiliki ilmu silat tangan kosong yang lihai, maka tentu saja dia tidak gentar untuk bertanding dengan tangan kosong. Sambil berseru marah dia lalu menerjang maju.
"Bagus! Marilah kita berlatih sebentar!" Amoi berseru dan cepat mengelak ke belakang, menghindarkan diri dari tendangan Hong Ing, kemudian tendangan berantai itu hendak dia gagalkan dengan sambaran tangannya yang hampir saja berhasil menangkap sepatu kiri Hong Ing.
Dara ini terkejut, cepat menarik kembali kakinya dan pada saat itu Amoi sudah membalas menyerang dengan cengkeraman ke arah leher kanannya yang juga dapat dihindarkan dengan baik oleh Hong Ing. Terjadilah pertandingan yang amat seru.
Keduanya sama gesit dan sama lincah sehingga setiap gerakan lawan kalau tidak dapat dielakkan tentu berhasil ditangkis dengan baik. Berkali-kali terdengarlah suara beradunya kedua lengan yang berkulit putih dan kelihatan halus lemah akan tetapi yang sebenarnya mengandung tenaga sinkang yang amat kuat itu, menyelingi suara gerakan mereka yang menimbulkan angin.
Tadinya dua orang gadis itu mengandalkan kelincahan mereka untuk saling mengalahkan lawan. Akan tetapi, sesudah lewat lima puluh jurus, bukan main kagetnya hati Hong Ing, kaget dan terheran-heran melihat perubahan aneh dalam permainan silat gadis berbaju merah itu.
Sekarang lawannya mulai terkekeh-kekeh lagi dan ilmu silatnya amat luar biasa, kadang-kadang lawannya itu bergerak dengan halus dan lemah gemulai seperti bukan sedang bertanding melainkan sedang menari-nari bersamanya, akan tetapi tiba-tiba saja tarian indah itu berubah menjadi gerakan kaku dan buruk sekali seperti gerakan seekor monyet pincang! Bahkan lebih aneh lagi, kadang-kadang Amoi menjatuhkan diri ke atas tanah, bergulingan sambil menangis, menjambak-jambak rambutnya sampai awut-awutan, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, selagi Hong Ing terbelalak kaget, dia mencelat ke atas dan menyerang dengan hebat!
"Aihhhh...!" Hong Ing menjerit kaget dan untung masih dapat melempar tubuh ke belakang terhindar dari hantaman yang amat dahsyat ke arah dadanya.
Mulailah Hong Ing bersikap hati-hati. Kini dia tahu bahwa ilmu silat aneh seperti gila itu bukanlah semata-mata ilmu yang dimainkan oleh seorang gila, melainkan ilmu silat yang terselubung sikap gila-gilaan yang bukan tidak ada gunanya, karena sikap gila-gilaan itu justru untuk memancing lawan dan mengacaukan perhatian lawan!
Sekarang dia bersikap hati-hati sekali bila Amoi menjambak-jambak rambutnya atau jatuh terduduk dan menangis seperti seorang anak kecil yang merengek minta makanan, tidak peduli lagi kalau Amoi membanting-banting kaki atau bahkan merangkak-rangkak seperti anak kecil belajar merangkak! Dan memang dia benar, karena di tengah-tengah gerakan aneh ini tiba-tiba sekali Amoi mencelat ke atas dan menyerangnya dengan amat dahsyat. Karena dia tidak mempedulikan gerakan-gerakan aneh dari lawan, maka kini dia dapat menghadapi serangan mendadak itu dengan baik sehingga semua serangan Amoi dapat digagalkannya.
"Robohlah!" Tiba-tiba Hong Ing membentak dan dia menerjang maju dengan tendangan berantai, tendangan yang hanya dilakukan untuk mengacaukan posisi lawan, dan selagi Amoi sibuk mengelak serta menangkis, Hong Ing yang melihat lowongan baik langsung ‘memasukinya’, tangan kirinya dengan jari terbuka menampar ke arah leher kanan lawan.
"Hayaaaa...!"
Amoi menjerit dan berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja pundaknya kena ditampar sehingga dia terpelanting dan jatuh miring. Akan tetapi, sambil menangis tersedu-sedu dia sudah meloncat lagi ke atas dan kedua tangannya membentuk cakar.
Melihat ini, Hong Ing bersiap-siap karena maklum bahwa lawan hendak mempergunakan ilmu silat sejenis Eng-jiauw-kang atau Houw-jiauw-kang (Ilmu Silat Cakar Harimau) yang berbahaya. Dia melihat Amoi menerjang maju, menggerakkan sepasang tangannya untuk mencakar mukanya.
"Heiiii!" Hong Ing berteriak kaget dan maju untuk mencegahnya.
Dia merasa kasihan kepada Amoi yang dikalahkannya dan menangis itu, sikap seperti seorang anak kecil saja dan kini Amoi yang agaknya merasa kesal dan jengkel, hendak mencakar muka sendiri. Perbuatan ini tentu saja berbahaya, bisa merobek hidung atau mencokel mata sendiri!
"Hi-hik-hik...! Dukkk!"
"Kau curang...!" Hong Ing berteriak, akan tetapi karena sambungan lututnya kena disentuh ujung sepatu Amoi, tentu saja dia jatuh berlutut dan pada saat itu pula terdengar suara bersiutan dan tahu-tahu tali-tali hitam telah menyambar dan membelenggu tubuhnya.
Kiranya belasan orang gadis lain telah menggunakan tali hitam yang berbentuk lasso dan melempar lasso itu dengan baik sekali sehingga semua lemparan tepat mengenai dirinya. Lingkaran-lingkaran lasso itu semua tepat menelikung tubuhnya. Dia terkejut sekali, akan tetapi diam-diam tersenyum mengejek pada waktu merasakan dengan lengannya betapa tali-tali itu tidaklah kuat. Dia akan menanti sampai rasa kesemutan di lututnya lenyap, baru akan memutuskan semua tali yang mengikatnya.
Dengan pura-pura tak berdaya Hong Ing masih berlutut, ditertawakan oleh semua gadis itu. Kemudian, setelah lututnya tidak kesemutan, dia segera bangkit berdiri dengan tubuh terbelenggu seperti seekor domba hendak disembelih dan memandang kepada Amoi dan ketiga belas orang gadis yang tertawa dengan mulut terbuka lebar, bebas lepas ketawa mereka, seperti segerombolan laki-laki kasar saja.
Hemmm, tunggu saja kalian, pikir Hong Ing dengan gemas. Diam-diam dia mengerahkan sinkang-nya kemudian tiba-tiba dia menggerakkan kaki tangannya sambil menjerit dengan suara melengking nyaring
"Haaaiiittt!"
"Hi-hi-hik!"
"Heh-heh-hi-hik!"
Belasan orang gadis itu cekikikan tertawa dan merahlah muka Hong Ing. Beberapa kali dia mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya dan mencoba lagi, namun sia-sia saja dan akhirnya dia pun maklum bahwa tak akan mungkin baginya untuk membebaskan diri dari ikatan tali-tali yang ujungnya masih dipegangi oleh para gadis yang mengurungnya itu.
Betapa mungkin memutuskan tali yang sifatnya seperti karet, dapat mulur pada waktu dia mengerahkan sinkang namun segera mengkeret dengan ketat lagi sesudah itu? Tenaga hanya bisa menghancurkan atau mematahkan benda-benda keras, betapa mungkin dapat melawan benda lunak yang sifatnya mulur akan tetapi yang memiliki keuletan luar biasa?
Seperti menerima komando tak bersuara, tiba-tiba tiga belas orang gadis itu menyendal ujung tali dan tubuh Hong Ing melayang ke atas! Ketika tubuhnya yang sudah tak dapat bergerak itu kembali meluncur turun, beberapa buah lengan menyambutnya dan sambil tertawa-tawa para gadis itu menggotong tubuh Hong Ing yang sudah ditelikung bagaikan ayam itu.
Hong Ing bergidik melihat wajah muda-muda dan cantik-cantik yang tertawa-tawa seperti siluman-siluman ini. Dia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi dengan dirinya di tangan orang-orang seperti ini. Dengan dirinya di tangan mereka, segala hal dapat saja terjadi. Apakah dia akan dipanggang bagai seekor anak babi (babi guling) hingga kulitnya menjadi kering kemerah-merahan untuk kemudian mereka makan bersama dengan arak wangi dan dagingnya dikerat-kerat dan dicocolkan kecap?
Hong Ing membelalakkan matanya penuh kengerian, apa lagi ketika Amoi Si Gadis Baju Merah yang lihai itu di tengah perjalanan mengelus kepalanya yang gundul sambil tertawa dan berkata, "Hi-hik, kepalanya gundul pelontos. Haluuuusss... hi-hi-hik!"
Hong Ing bergidik. Celaka. Mereka ini adalah orang-orang yang gila atau setidak-tidaknya adalah orang-orang yang sudah lama terasing dari dunia ramai sehingga menjadi seperti orang-orang biadab. Tiba-tiba dia teringat. Gila?
Subo-nya, Go-bi Sin-kouw, pernah menceritakan bahwa dahulu, dua tiga puluh tahun lalu, di Go-bi-san terdapat seorang nenek yang saktinya seperti siluman. Kalau dia tidak salah ingat, julukan nenek yang disebut-sebut oleh gurunya itu adalah Go-bi Thai-houw (Ratu Pegunungan Go-bi-san).
Ketika Go-bi Thai-houw masih berada di daerah Pegunungan Go-bi, tidak ada tokoh lain yang berani tinggal di situ, bahkan gurunya sendiri dulu tidak berani mendekati Go-bi-san. Akan tetapi menurut gurunya pula, Go-bi Thai-houw dikabarkan sudah tewas di tangan Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang kini juga sangat terkenal sebagai ketua Cin-ling-pai. Jangan-jangan nenek sakti yang menurut gurunya adalah seorang gila itu belum mati dan yang menangkapnya ini anak buahnya! Dia bergidik lagi.
Akan tetapi matanya terbelalak kaget ketika rombongan itu tiba di sebuah puncak yang dikelilingi hutan gelap, oleh karena dari tempat dia digotong tergantung dengan kepala di bawah itu dia melihat sebuah bangunan besar dan megah di tempat sunyi itu! Pantas kalau dinamakan sebuah istana dan dugaannya makin tebal bahwa nenek siluman Go-bi Thai-houw agaknya benar-benar belum mati seperti yang diceritakan gurunya.
Dia digotong masuk, melalui lorong yang amat panjang dan dengan dinding yang terhias lukisan-lukisan indah serta kain sutera yang bergantungan di mana-mana. Akhirnya, Amoi mengempit tubuh Hong Ing dan meninggalkan tiga belas orang anak buah yang agaknya tidak diperbolehkan memasuki sebuah ruangan besar di tengah rumah itu.
Amoi masih terus mengempitnya dengan ringan dan masuklah gadis berbaju merah itu ke dalam sebuah ruangan yang amat mewahnya. Begitu masuk, hidung Hong Ing mencium bau dupa wangi yang dibakar orang di dalam ruangan itu.
"Brukkk!"
Tubuhnya dilempar ke atas lantai yang terbuat dari pada batu marmer putih, begitu bersih sampai mengkilap. Mata Hong Ing memandang ke sekelilingnya dengan menggerakkan lehernya. Dia melihat Amoi berlari-larian menghampiri seorang wanita gemuk yang duduk setengah rebah setengah terlentang di atas kursi yang lebih patut disebut pembaringan saking lebarnya, kemudian Amoi berlutut dan mencium kaki yang tertutup sepatu kain sutera itu.
"Siocia..."
"Hemm, Amoi. Kau baru datang? Agaknya engkau membawa seorang tawanan," berkata wanita gemuk itu.
Hampir saja Hong Ing tertawa. Itukah yang menjadi nona majikan istana ini dan yang disebut Siocia? Ataukah Si Gendut ini puteri dari Go-bi Thai-houw? Dia memperhatikan wanita itu.
Usianya kurang lebih tiga puluh tahun. Tubuhnya amat subur, gemuk dan sehat sehingga wajahnya menjadi seperti buah masak, kemerahan. Perutnya yang gendut itu tidak dapat disembunyikan di balik jubah yang indah dan mewah, demikian pula buah dadanya yang amat besar. Wajahnya biasa saja, cantik tidak akan tetapi juga tidak terlalu buruk, bahkan kulit mukanya putih bersih dan halus.
Ketika tertawa, mulutnya yang lebar terbuka memperlihatkan gigi besar-besar akan tetapi putih bersih dan ketika tertawa kepalanya agak diangkat sehingga tampak jelas gerakan lehernya dan dagunya yang bersusun empat! Telinganya dihias anting-anting besar yang memang pantas dan sesuai dengan dirinya. Wajahnya kelihatan ramah, selalu tersenyum akan tetapi dari matanya yang lebar itu keluar wibawa yang kuat.
Seorang gadis lain yang juga berpakaian merah seperti Amoi, yang bahkan lebih cantik dari Amoi dan lebih tinggi tubuhnya, segera menyusul pertanyaan Siocia itu. "Moi-moi, siapakah tawanan itu? Kelihatannya seperti seorang nikouw?"
Amoi tersenyum kemudian duduk di dekat majikannya itu, bersanding dengan gadis yang menegurnya. Hong Ing dapat menduga bahwa tentu gadis itulah yang disebut oleh Amoi sebagai Acui.
"Siocia, dia adalah seorang nikouw yang bernama Pek Nikouw. Dia melanggar wilayah kita dan ketika hendak ditangkap, dia malah melawan. Ilmu kepandaiannya boleh juga, Siocia. Hampir saja saya kalah olehnya," kata Amoi.
"Ahh, begitukah? Sungguh kebetulan sekali kalau begitu! Nikouw muda, kau bangunlah!"
Wanita gendut itu berkata dan suaranya ramah sekali, tangannya dengan telapak terbuka bergerak ke depan. Angin pukulan yang dahsyat menyambar, mendorong sebuah tusuk sanggul emas yang menyambar seperti kilat, menembus putus tali pengikat tubuh Hong Ing dan seperti hidup, tusuk sanggul emas itu melayang kembali ke tangan wanita gendut itu yang mengenakannya kembali ke atas sanggulnya sambil tersenyum.
Menyaksikan kepandaian yang seperti sulapan itu, Hong Ing menelan ludah. Bukan main! Maklumlah dia bahwa dia tidak akan mampu menandingi wanita gendut itu, maka begitu dia meloloskan tali yang telah putus itu dari tubuhnya, dia lalu berdiri dan menjura dengan sikap penghormatan seorang pendeta, kedua tangannya dirangkap di depan dada.
"Harap maafkan pinni karena pinni telah tanpa sengaja melanggar wilayah Siocia," kata Hong Ing.
"Tidak apa, Pek Nikouw. Engkau datang dari kuil manakah, Pek Nikouw?" tanya wanita gendut itu dengan suara ramah.
"Pinni datang dari kuil Kwan-im-bio."
"Aihhh... sungguh kebetulan sekali. Agaknya Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan In) sendiri yang mengutusmu untuk menolongku! Di sini aku telah memiliki segala sesuatu dengan lengkap, kecuali satu, seorang yang berhati suci, seorang nikouw seperti engkau inilah. Apa lagi kalau memiliki kepandaian yang baik, tidak akan memalukan istanaku. Hi-hi-hik! Lihat, setiap saat aku berdoa, setiap saat aku membakar dupa untuk menyenangkan para dewa, akan tetapi agaknya para dewa tidak berhasil menyampaikan doaku kepada Thian! Maka aku membutuhkan seorang nikouw untuk berdoa dan kebetulan engkau datang, dan engkau adalah murid Kwan Im Pouwsat, Dewi Welas Asih yang agaknya menaruh iba kepadaku. Pek Nikouw, demi Dewi Kwan Im yang welas asih, engkau tentu mau berdoa untukku, tentu mau menolongku agar Thian mengabulkan permintaanku, bukan?"
Secara diam-diam Hong Ing bergidik. Wanita ini dengan begitu saja menyebut-nyebut nama segala dewa. Kwan Im Pouwsat, bahkan Thian, seakan-akan semua itu diadakan hanya untuk memenuhi kebutuhan dan keperluan wanita gendut ini! Meski kata-katanya terdangar ramah dan lembut, namun di balik itu terdapat sesuatu yang tidak normal dan membuat Hong Ing menduga bahwa otak Siocia ini juga tidak bisa dibilang waras!
"Siocia, sebagai seorang nikouw memang pinni bertugas untuk berdoa bagi kesejahteraan manusia dan sedapat mungkin menolong manusia agar terhindar dari kesengsaraan. Doa apakah yang harus pinni lakukan untuk Siocia?"
"Ada dua hal yang bertahun-tahun mengganggu hatiku, Pek Nikouw, dan setiap hari aku berdoa kepada Thian supaya mengabulkan permohonanku ini, pertama-tama adalah agar aku bisa menemukan jodohku..." Suara wanita gendut itu menjadi gemetar oleh keharuan sehingga diam-diam Hong Ing harus menahan geli hatinya mendengar ini.
Wanita gendut itu berhenti bicara dan mempergunakan lengan bajunya yang lebar untuk mengusap air matanya! Kemudian dia pun melanjutkan, "Ada pun hal yang ke dua adalah agar supaya aku dapat segera membalas dendam kepada musuh besarku."
"Maaf, Siocia. Untuk berdoa, pinni harus mengetahui siapakah musuh besar Siocia, dan mengapa orang itu menjadi musuh besarmu," kata Hong Ing memancing karena dia ingin sekali mendengar riwayat wanita aneh ini.
"Siapa lagi kalau bukan Cia Keng Hong, Ketua Cin-ling-pai! Dahulu dia telah membunuh majikanku. Kematian Go-bi Thai-houw dulu harus dibalas dan siapa lagi kalau bukan aku sebagai ahli warisnya yang dapat membalaskan kematiannya?"
Diam-diam Hong Ing terkejut sekali. Tak salah dugaamya, atau setidaknya tidak meleset terlalu jauh. Wanita ini, tempat ini, dan pasukan wanita gila itu, ada hubungannya dengan Go-bi Thai-hou seperti yang sudah diceritakan subo-nya. Pantas saja mereka begitu lihai. Kiranya wanita ini adalah keturunan nenek iblis itu.
"Namaku Kim Seng Siocia (Nona Bintang Emas)," wanita gendut itu menerangkan. "Dulu ketika Thai-houw masih hidup, aku adalah seorang pelayannya yang paling kecil. Saat itu aku baru berusia delapan tahun. Akan tetapi sebelum beliau pergi, beliau meninggalkan semua pusaka dan kitab-kitabnya kepadaku, maka akulah yang berhak mewarisi semua peninggalannya, termasuk ilmu kepandaiannya dan juga istananya ini yang sudah kuubah menurut seleraku. Nah, kau sudah mendengar, Pek Nikouw, sekarang kau harus tinggal di istana ini untuk berdoa sampai kedua permintaanku itu terkabul. Aku harus menemukan jodohku, seorang laki-laki yang memiliki ilmu kepandaian tinggi agar dapat membantuku membunuh Cia Keng Hong. Kalau kau menolak, kau akan kubunuh, namun kalau kau menerima, kau akan menjadi tamu kehormatan kami, dan hidup terhormat serta mulia di istana ini."
Hong Ing tidak dapat menjawab, mukanya agak berubah. Bagaimana mungkin dia berani menolak? Sekali menolak dan wanita itu turun tangan, tentu dia akan tewas. Akan tetapi bagaimana pula dia dapat menerima diharuskan tinggal di tempat ini bercampur dengan orang-orang yang miring otaknya?
"Baiklah, Siocia. Pinni akan berdoa untukmu dan tinggal sementara di sini. Semoga saja segera terkabul pormohonanmu itu."
Wanita itu tertawa dan mukanya berseri gembira. "Yahuuuu...! Sediakan hidangan yang paling lezat untuk Pek Nikouw!"
Hong Ing memang bukan seorang nikouw tulen, maka tentu saja dia tidak keberatan makan daging dan minum arak yang disuguhkan. Sambil makan minum, Kim Seng Siocia lalu memerintahkan anak buahnya menabuh musik dan menari-nari.
Hong Ing semakin mengenal keadaan di sana dan tahulah dia bahwa Kim Seng Siocia memang merupakan seorang ‘ratu’ di tempat ini, dengan anak buahnya yang berjumlah lima puluh orang lebih, rata-rata pandai ilmu silat seperti pasukan yang menawannya. Ada pun dua orang pembantunya yang paling dipercaya dan yang paling lihai pula adalah Acui dan Amoi itulah, yang bukan hanya merupakan pelayan-pelayan pribadinya, akan tetapi juga wakil-wakilnya dan murid-muridnya!
Benar saja seperti yang dijanjikan Kim Seng Siocia, Hong Ing diperlakukan dengan penuh hormat oleh semua orang, mendapatkan sebuah kamar yang bersih dan indah di dalam istana, diberi pakaian pendeta yang serba indah dan makanan yang lezat.
Pekerjaan Hong Ing sehari-hari hanyalah membaca liam-keng (doa) dan tentu saja doa yang keluar dari dalam hatinya bukanlah untuk Si Gendut itu, melainkan dia berdoa untuk keselamatan suci-nya, Lauw Kim In yang mengorbankan dirinya menjadi isteri pemuda iblis Ouwyang Bouw, kemudian doa untuk keselamatan dirinya sendiri supaya dia dapat segera membebaskan diri dari tempat yang mengerikan ini, dan kadang-kadang kalau dia terbayang wajah Kun Liong yang amat sulit untuk dapat dilupakannya itu, dia berdoa agar mendapat kesempatan lagi bertemu dengan pemuda gundul itu! Sedikit pun tidak ada doa di dalam hatinya untuk permintaan Kim Seng Siocia!
Sesudah tinggal sebagai tamu terhormat, atau lebih tepat tahanan terhormat di istana itu belasan hari lamanya, Hong Ing mendapat kenyataan bahwa Kim Seng Siocia ternyata betu-betul merupakan seorang wanita aneh yang memiliki banyak ilmu kepandaian tinggi. Bukan hanya mempunyai tenaga sinkang yang sangat luar biasa, juga wanita ini memiliki kekebalan dan pandai memainkan segala macam senjata, termasuk ahli pula dalam hal menggunakan anak panah.
Ia pernah dibuat amat kagum ketika pada suatu sore nona gendut itu mendemonstrasikan kepandaiannya memanah burung. Ketika itu sekelompok burung sedang terbang di udara, tinggi sekali sampai hanya terlihat sebagai titik-titik hitam kecil. Burung-burung itu sedang terbang berkelompok kembali ke sarang mereka arah selatan.
"Aku ingin makan panggang burung dara hijau!" nona gendut itu berkata dan Amoi segera memberikan gendewa dan tempat anak panah yang terisi belasan batang anak panah.
Walau pun tubuhnya gendut, ternyata Kim Seng Siocia dapat bergerak cepat sekali, dan tahu-tahu gendewa telah dipentangnya kemudian berturut-turut dia melepaskan tiga belas batang anak panah ke udara. Gerakannya sedemikian cepatnya sehingga sulit diikuti oleh pandang mata dan anak-anak panah itu meluncur beriringan seperti bersambung.
Tak lama kemudian, anak panah yang tiga belas batang jumlahnya itu berjatuhan dan… setiap batang membawa dua ekor burung yang tertembus dadanya! Hampir saja Hong Ing tidak dapat percaya akan apa yang disaksikannya dan diam-diam dia merasa ngeri sekali. Demikian hebatnya ilmu memanah nona gendut ini!
Menyaksikan kelihaian Kim Seng Siocia ini, makin berhati-hatilah Hong Ing. Dia tak berani sembarangan melarikan diri karena maklum akan keanehan watak nona gendut itu yang tentu tak akan segan-segan membunuhnya kalau dia melarikan diri dan tertangkap. Maka dia harus menunggu saat yang paling tepat dan baik, dan dia hanya akan melarikan diri kalau sudah yakin takkan tertangkap kembali. Pula, kalau dia berdiam di tempat itu tentu tidak akan dapat dicari oleh subo-nya! Andai kata subo-nya dapat mencarinya di tempat ini, agaknya subo-nya akan menghadapi lawan berat sekali dalam diri Kim Seng Siocia dan anak buahnya!
Lebih baik di sini dari pada bersembunyi di dalam kuil, karena sesungguhnya dia pun tak suka untuk menjadi nikouw. Akan tetapi, karena dia berada di istana itu dalam tugasnya sebagai nikouw, terpaksa dia selalu membersihkan rambut dari kepalanya bila mana ada rambut mulai tumbuh. Dia tidak boleh memancing kecurigaan Kim Seng Siocia dan harus bersikap seperti seorang nikouw tulen yang saleh!
Pada suatu senja, dia melihat Acui dan Amoi berlari-larian sambil mengumpulkan anak buahnya. Karena merasa tertarik dia lalu keluar dari kamarnya dan bertanya kepada Amoi yang bersikap bersahabat dangannya.
"Amoi, apakah yang terjadi?"
Amoi tertawa terkekeh-kekeh. "Hi-hi-hi-hik, pesta besar, Sukouw. Banyak lalat jantan yang terjebak dalam sarang laba-laba, dan di antaranya adalah seekor lalat bule (putih) yang tentu menarik perhatian Siocia. Siocia menyuruh kami menangkap mereka hidup-hidup!" Setelah berkata demikian, dua orang pelayan yang berpakaian merah itu berlari-lari diikuti anak buah mereka.
Hong Ing menjadi sangat penasaran dan dia bertanya kepada serombongan pasukan yang agaknya hendak membantu pula. "Apakah yang terjadi? Banyak lalat terjebak dalam sarang laba-laba? Apa artinya itu?"
Karena Kim Seng Siocia menganggap Hong Ing sebagai tamu agung maka telah menjadi kebiasaan para anak buah di situ untuk menghormati nikouw muda ini, maka seorang di antaranya menjawab singkat, "Lalat berarti manusia dan lalat jantan adalah kaum laki-laki. Hi-hi-hik, mudah-mudahan aku mendapat bagian!"
"Cuihh, laki-laki!" kata wanita ke dua sambil membuang ludah. Entah mengapa agaknya wanita ini pernah mengalami hal yang tak enak yang ada hubungannya dengan kaum pria sehingga dia membenci pria.
"Hayo kita berangkat!" orang ke tiga berkata sambil bertanya kepada Hong Ing, "Apakah Sukouw hendak menonton?"
Hong Ing mengangguk dan dia ikut pula berlarian dengan rombongan itu memasuki hutan yang gelap. Belum pernah dia masuk hutan ini dan ternyata rombongan ini membawanya ke sebuah daerah di dalam hutan itu yang penuh dengan goa-goa dan Acui serta Amoi bersama anak buahnya sudah pula berada di situ, menyalakan obor dan mereka bicara sambil tertawa-tawa dan menuding-nuding ke dalam goa-goa itu.
Hong Ing melangkah maju dan memandang. Hatinya heran bukan main ketika dia melihat ada enam orang laki-laki di dalam dua buah goa itu dan mereka ini benar-benar terjebak dalam sarang laba-laba! Sarang laba-laba yang besar dan yang melekat di tubuh enam orang itu. Betapa pun enam orang itu meronta-ronta, mereka tidak dapat melepaskan diri dari lekatan benang yang sebesar tali itu, benang sarang yang memiliki daya melekat dan membelit!
"Iihhh, apakah itu sarang laba-laba tulen?" tanya Hong Ing mendekati Acui.
"Lihat saja di sana, kami sudah membunuh laba-labanya," dia lalu menuding ke kiri dan hampir saja Hong Ing menjerit.
Benar saja, di sana terdapat dua bangkai binatang yang mengerikan sekali. Jelas kedua bangkai itu adalah tubuh binatang laba-laba hitam akan tetapi bentuknya luar biasa sekali! Sebesar kucing atau anjing kecil! Pantas saja sarangnya demikian besar dan sangat kuat, sanggup menangkap manusia!
Akan tetapi dia segera tertarik ketika melihat salah seorang di antara enam pria itu. Dia mengenal orang yang berkulit putih itu. Itulah orang kulit putih yang bersama Tok-jiauw Lo-mo pernah menggunakan pasukan pemerintah menangkap Kun Liong dan menawan pemuda itu! Kalau dia tidak salah ingat, dulu Kun Liong pernah menyebutkan namanya, Marcus! Ya, Marcus!
Marcus dan lima orang laki-laki lain yang sama sekali tidak berdaya itu segera ditangkap, dibelenggu kedua tangannya dan digiring keluar dari goa itu. Marcus berkata-kata dalam bahasa asing, kelihatannya marah, dan seorang di antara lima anak buahnya itu berkata dengan penasaran,
"Kami ini mau dibawa ke mana? Kami tidak bersalah apa-apa terhadap kalian!"
Para gadis yang menggiring mereka itu tertawa-tawa saja, dan Amoi yang genit segera membentak. "Hushhh, diamlah! Kalian berenam seharusnya berterima kasih kepada kami. Apa bila kami tidak membunuh kedua ekor laba-laba hitam raksasa itu, agaknya sekarang semua darah dan sumsum kalian telah disedot habis!"
Pada saat melihat Marcus, Hong Ing menyelinap ke belakang. Dia khawatir kalau pemuda asing itu mengenalnya. Akan tetapi diam-diam dia mengikuti perkembangan karena ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh Kim Seng Siocia dan anak buahnya terhadap enam orang tawanan itu. Karena itu dia cepat mendahului rombongan yang sambil tertawa-tawa menggiring enam orang laki-laki itu, berlari dan memasuki istana bertemu dengan Kim Seng Siocia, disambut oleh wanita gendut itu dengan senyum ramah.
"Ha-ha-ha, aku mendengar ada enam orang pria menjadi tawanan. Hi-hi-hik, Pek Nikouw, apakah ini hasil doamu? Mudah-mudahan saja jodohku berada di antara mereka."
"Omitohud, mudah-mudahan begitu, Siocia. Pinni sudah melihat mereka dan harap Siocia yang menentukan sendiri. Tetapi sebagai seorang pendeta, pinni tidak boleh berhadapan dengan kaum pria, maka pinni hanya akan menonton dari belakang tirai saja."
Kim Seng Siocia tertawa. "Hi-hi-hi-hik, kasihan sekali engkau. Masih begitu muda sudah harus menjauhkan diri dari pria. Tentu saja boleh, Pek Nikouw, dan kalau benar di antara mereka terdapat jodohku, berarti doamu manjur luar biasa dan aku tentu akan memberi hadiah besar kepadamu."
Sesuai dengan perintah nona gendut itu, enam orang tawanan itu dihadapkan seorang demi seorang. Betapa kecewa hati Kim Seng Siocia melihat laki-laki yang usianya sudah empat puluh tahun lebih dan yang hanya terdiri dari orang-orang kasar. Pada waktu dia menyuruh buka belenggu mereka seorang demi seorang dan memerintahkan Acui dan Amoi untuk menguji kepandaian mereka, tidak ada seorang pun di antara lima orang anak buah Marcus yang dapat bertahan melawan seorang di antara dua pelayan manis itu lebih dari sepuluh jurus!
Dengan hati kecewa dan juga penasaran, Kim Seng Siocia menghadiahkan lima orang itu kepada anak-anak buahnya dan terdengarlah sorak-sorai dan tawa ketika lima orang itu diseret-seret dan dijadikan perebutan di luar istana. Dari tempat sembunyinya di belakang tirai, Hong Ing hanya dapat mendengar lima orang itu berteriak-teriak di antara sorak-sorai itu dan dia bergidik. Kemudian dia melihat Marcus dihadapkan nona gendut.
"Siapa namamu?" tanya Kim Seng Siocia.
"Marcus," jawab pemuda asing itu dengan suara aneh karena memang dia belum begitu pandai berbahasa pribumi. Kim Seng Siocia kelihatan tertarik dan dia menyuruh Amoi menguji kepandaian pemuda yang berkulit putih itu. Amoi maju dan tersenyum genit.
"Apa kau pandai main silat?" tanya Amoi.
Marcus mengangguk. "Sedikit-sedikit aku sudah mempelajari ilmu silat ketika aku menjadi anak buah tuan Legaspi Selado yang berilmu tinggi. Akan tetapi di negeriku aku terkenal sebagai seorang ahli tinju."
"Tinju?" Amoi bertanya heran dan tidak mengerti.
Marcus mengepal kedua tangannya. "Ahli menggunakan ini untuk merobohkan lawan."
"Aha! Ilmu silat bangsamu? Bagus, coba kau robohkan aku dengan itu!"
Marcus menjerutkan alisnya dan menggelengkan kepala. "Tidak pernah aku merobohkan wanita dengan tinju!" Dia tertawa. "Biasanya aku merobohkan wanita dengan cinta!"
Acui, Amoi dan para penjaga di situ tertawa dan Kim Seng Siocia sudah bangkit berdiri dari kursinya, melangkah maju dan mengamat-amati Marcus dari kepala sampai ke kaki.
"Marcus, jadi engkau ini ahli mencinta wanita?" tanyanya.
Didekati oleh wanita gendut yang agaknya menjadi ketua gerombolan wanita itu, Marcus kelihatan gelisah. Kalau disuruh merayu Acui atau Amoi, atau beberapa orang di antara para anak buah yang muda dan cantik, tentu saja dia akan merasa suka sekali. Akan tetapi wanita ini sungguh berbeda dengan yang lain. Tubuhnya tinggi besar dan sikapnya begitu penuh wibawa. Dia tidak menjawab, hanya mengangguk.
"Heh-heh, kau menarik juga. Tentu saja aku tidak akan suka menjadi isteri orang asing yang berkulit putih bermata biru. Akan tetapi, kalau kau memenuhi seleraku, kalau kau menyenangkan dan mencocoki hatiku, kau akan menjadi selirku. Hi-hik!"
Marcus membelalakkan matanya. "Apa? Selir? Selir bagaimana?"
Dia pun sudah pernah mendengar bahwa selir adalah seorang peliharaan, seorang isteri di luar pernikahan resmi. Akan tetapi biasanya adalah wanita yang menjadi selir pria, dan sekarang wanita gundul ini hendak mengambilnya sebagai selir!
"Bodoh!" Amoi berkata tertawa. "menjadi selir berarti menjadi kekasih Siocia."
Marcus mengerutkan alisnya dan memandang wanita gendut itu. Memang bukan seorang wanita tua dan wajahnya pun tidak terlalu buruk, hanya terlalu gendut. Dia adalah seorang laki-laki, seorang petualang, mana mungkin dia tunduk begitu saja dijadikan ‘selir’ seorang wanita? Biar pun wanita ini agaknya menjadi kepala di sini, namun menjadi selir amatlah rendah!
"Kalau aku menolak?" tantangnya.
"Bagaimana caramu untuk menolak?" Kim Seng Siocia bertanya, matanya bersinar agak gembira, melihat bahwa pemuda asing ini lumayan juga, memiliki kejantanan.
"Dengan ini!" Marcus memperlihatkan kepalan tinjunya yang besar. "Biar pun aku tidak pernah menggunakan ini untuk menghadapi wanita, akan tetapi kalau aku dipaksa..."
"Heh-heh, bagus! Ehh, Marcus, apakah kau lebih suka kuberikan kepada laba-laba?"
Marcus membelalakkan matanya yang biru. "Laba-laba?"
Amoi tertawa. "Hi-hi-hik, laba-laba kecil yang banyak sekali lebih berbahaya dari laba-laba besar. Teman-temanmu yang lima orang kini sedang dikeroyok banyak laba-laba kecil!"
Marcus mendengarkan dan sayup-sayup dia masih mendengar suara cekikikan ketawa banyak wanita. Dia menjadi bingung dan kembali dia kelihatan gelisah.
"Begini saja," kata Kim Seng Siocia. "Apa bila dalam waktu lima jurus aku belum mampu mengalahkan engkau, biarlah kau akan kuberi kebebasan. Akan tetapi kalau dalam waktu lima jurus kau roboh,bagaimana?"
"Tidak mungkin!"
"Siocia bertanya, cepatlah kau jawab!" Acui membentak, kelihatan marah sekali sehingga suaranya ketus dan nyaring.
Marcus terkejut dan dia memandang wanita gendut itu penuh perhatian. Benarkah cerita teman-temannya yang lebih dahulu merantau ke tanah ini, bahwa di sini terdapat banyak orang sakti yang aneh, di antaranya ada pula wanita yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi?
"Nona," katanya sambil menjura. "Aku akan menerima segala perintahmu, bahkan akan mengangkatmu sebagai guruku kalau benar-benar kau dapat mengalahkan aku dalam lima jurus!"
Kim Seng Siocia tertawa, kemudian berkata, "Bersiaplah kau. Akan kuserang kau sampai lima jurus dan hendak kulihat apakah kau benar-benar dapat bertahan."
Marcus mulai menduga bahwa agaknya nona gendut ini memang mempunyai kepandaian karena kalau tidak, tak mungkin berani bicara sesombong itu. Karena itu dia pun segera memasang kuda-kuda, kedua tangan dikepal dan dia sudah siap untuk menangkis segala serangan lawan. Dia masih merasa ragu untuk memukul wanita ini, maka dia mengambil keputusan asal dia dapat bertahan selama lima jurus cukuplah. Dan dia akan menangkis dengan pengerahan tenaga agar lengan wanita itu terasa nyeri!
"Jurus pertama!" Kim Seng Siocia berkata, tangan kirinya menyambar dengan sebuah tamparan ke arah kepala Marcus. Gerakannya cepat dan mendatangkan sambaran angin dahsyat.
Marcus terkejut sekali. Cepat dia mengangkat lengan kanan ke atas sambil mengerahkan tenaga agar lengan wanita itu terasa nyeri terkena tangkisannya. Akan tetapi lengannya hanya menangkis angin kosong belaka dan tahu-tahu tangan wanita itu menyambar, turun melalui bawah tangannya yang menangkis dan sudah ‘menowel’ jalan darah di ketiaknya sehingga tiba-tiba lengannya lumpuh dan tubuhnya terhuyung!
Selagi Marcus terheran-heran, nona gendut itu sudah tertawa dan berkata lagi. "Jurus ke dua!"
Marcus cepat mempersiapkan diri lebih berhati-hati dari pada tadi. Kini kelihatan wanita itu menggerakkan kedua tangannya dari kanan kiri seperti hendak menyerangnya dengan dua tamparan, satu ke arah kepala dan yang ke dua ke arah pinggangnya.
Marcus cepat mengikuti tangan itu dan begitu melihat berkelebatnya dua tangan dia cepat menyambar untuk menangkap. Girang hatinya saat dia berhasil menangkap pergelangan kedua tangan Kim Seng Siocia, akan tetapi mendadak kedua kakinya dibabat oleh kaki lawan dan tubuhnya menjadi terguling roboh karena nona itu sudah merenggutkan kedua lengannya terlepas.
"Bukkk!"
Marcus merayap bangun dan meringis karena pantatnya terasa nyeri ketika dia terbanting tadi. Mulai marahlah dia, juga malu sekali. Jelas bahwa dalam dua jurus tadi, dia sudah dua kali jatuh!
Melihat lelaki ini sudah memasang kuda-kuda lagi dengan mata menjadi agak kemerahan tanda marah, Kim Seng Siocia tertawa dan berkata, "Kau keras kepala juga, ha-ha. Jaga ini jurus ke tiga!"
Kim Seng Siocia yang hanya ingin main-main, secara sembarangan menggerakkan lagi tangan kirinya menampar, bahkan yang menampar bukan tangan melainkan ujung lengan bajunya yang panjang dan lebar. Sekali ini Marcus sudah tahu bahwa lawannya sangat lihai, maka dia menangkis dengan tangan kanan akan tetapi mendahului dengan tangan kirinya menghantam ke arah dagu wanita itu dengan sebuah pukulan ‘uppercut’.
"Plak-plak... desss...!"
Cepat sekali gerakan tangan wanita itu sehingga tidak terlihat oleh Marcus yang menjadi keheranan akan tetapi segera dia mengaduh-aduh karena tahu-tahu dia sudah terbanting lebih keras dari pada tadi! Dia hanya merasa betapa siku lengannya yang memukul tadi disambar dari samping, kemudian tubuhnya terbanting tanpa dapat ditahannya lagi. Dia merasa penasaran bukan main.
Benarkah dia, Marcus si jago tinju, sama sekali tak berdaya menghadapi seorang wanita yang begini gendut? Benar-benar memalukan sekali! Dia mendengus, meloncat bangun dan memandang dengan mata merah, kedua tangannya terkepal dan dia sudah siap lagi menghadapi serangan.
"Hi-hi-hik, kau masih berani? Baiklah, masih tersisa dua jurus lagi dan awas, aku akan menggunakan dua jurus itu. Siap!"
Tubuh yang gendut itu bergerak maju. Marcus sudah siap. Dia tidak mau membiarkan wanita itu mendahuluinya karena kini dia mengerti bahwa betapa pun gendutnya wanita itu dapat menggerakkan kedua kaki tangan dengan cepat sekali. Maka dia tidak menanti sampai diserang, melainkan mendahuluinya menyerang dengan pukulan dahsyat ke arah perut yang gendut itu. Dapat dibayangkan betapa herannya melihat wanita itu sama sekali tidak menangkis, bahkan tidak mengelak.
"Crotttt…!"
Marcus merasa betapa kepalannya bertemu dengan benda lunak dan kepalannya itu lalu menancap sampai ke pergelangan tangannya. Celaka, pikirnya, aku telah membunuhnya ketika melihat kepalan tangannya ‘masuk’ ke dalam perut gendut itu.
Akan tetapi, Kim Seng Siocia tertawa dan Marcus yang amat kaget itu menarik kembali kepalannya. Akan tetapi sia-sia, kepalan tangannya yang menancap di perut itu tidak bisa dicabutnya kembali! Dia menjadi bingung, malu, marah, juga penasaran sekali. Tangan kirinya mencengkeram ke depan, ke arah muka wanita itu. Akan tetapi Kim Seng Siocia menangkap tangan kiri itu, kemudian berseru,
"Naiklah!" dan... tubuh Marcus telah dilontarkan ke atas.
Markus memekik ngeri ketika tubuhnya meluncur seperti sebutir peluru pistol ke atas dan cepat-cepat dia merangkul balok melintang ketika tubuhnya menabrak itu. Dengan tubuh gemetar dia memandang ke bawah, melihat betapa Kim Seng Siocia tertawa dan berkata,
"Hayo turunlah! Apakah kau masih belum mengaku kalah?"
Kini maklumlah Marcus bahwa kepandaian wanita itu benar-benar hebat sekali. Kiranya belum tentu kalah oleh Legaspi Selado sendiri. Betapa bodohnya sudah melawan wanita sepandai itu.
"Aku... aku mengaku kalah...," katanya dengan ngeri melihat betapa tingginya tempat dia berada.
"Dan kau mau menjadi selirku?"
"Ya... ya, aku mau..."
"Dan mau juga menjadi muridku?"
"Aku mau, aku suka sekali..."
"Kalau begitu lekaslah meloncat turun. Mau apa lama-lama di situ?"
Tubuh Marcus gemetar. "Lon... loncat...? Kakiku bisa patah..."
"Haiii, manusia tolol!" Amoi memaki sambil menudingkan telunjuknya ke atas. "Kau bilang mau menjadi selir dan murid mengapa tidak mentaati perintah? Kalau Siocia bilang turun, turunlah!"
Marcus maklum akan kekeliruannya. Wanita gendut yang lihai ini hendak mengambilnya menjadi kekasih dan murid, tentu saja kalau dapat melontarkannya ke atas, dapat pula melindunginya apa bila dia meloncat turun. Maka sambil memejamkan matanya, dengan nekat dia meloncat ke bawah!
Ketika merasa bahwa tidak ada orang menyambutnya, Marcus membuka matanya dan dia berteriak ngeri melihat tubuhnya meluncur ke arah lantai marmer dengan kepala lebih dahulu! Akan tetapi, ketika hidungnya yang panjang itu hampir menyentuh lantai, tiba-tiba tubuhnya terhenti dan ternyata bahwa tangan kiri yang kuat dari Kim Seng Siocia sudah mencengkeram baju di punggungnya, kemudian mendorongnya berdiri.
"Berlututlah, Marcus."
Mendengar perintah ini Marcus lalu menjatuhkan diri berlutut di depan wanita gendut itu. Kim Seng Siocia tersenyum lebar dan memberi isyarat dengan tangannya kepada para penjaga untuk mengundurkan diri, kemudian berkata kepada Amoi dan Acui,
"Sediakan air pencuci kaki lalu pergilah kalian keluar."
Amoi dan Acui mengangguk, cepat menyediakan sebuah bokor emas berisi air hangat berikut kain bulu yang halus, menaruhnya di dekat kursi yang seperti pembaringan itu, lalu sambil tersenyum-senyum dan melirik ke arah Marcus yang masih berlutut itu mereka keluar dari kamar, menutupkan daun pintu ruangan itu dari luar.
"Marcus, kau cucilah kakiku," kata Kim Seng Siocia sambil merebahkan diri di atas kursi yang panjang dan lebar itu.
Marcus tidak merasa terhina lagi. Apa pun yang diperintahkan wanita ini, tidak ada orang lain yang menyaksikannya. Pula, dia sudah yakin bahwa wanita ini, betapa pun anehnya, adalah seorang yang mempunyai kesaktian hebat, menjadi kekasihnya dan juga muridnya merupakan hal yang amat menguntungkan baginya.
Maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu mengambil bokor air hangat, menghampiri nona gendut itu, menggunakan kain bulu yang dicelup di air untuk membersihkan kaki nona ini. Bukan itu saja, bahkan pemuda yang cerdik ini mulai mempergunakan ‘kepandaiannya’ merayu wanita, sambil membersihkan dia memijati dan membelai kaki itu yang biar pun bentuknya besar namun cukup bersih, padat dan menggairahkan sehingga Kim Seng Siocia merasa nikmat dan merem melek di atas kursinya.
"Aihh, Marcus... kau menyenangkan hatiku. Mari... marilah kau layani aku baik-baik, kau akan kuajari ilmu yang akan membuat kau benar-benar menjadi seorang jantan." Wanita itu turun dari kursinya, menggandeng tangan Marcus diajak memasuki kamarnya yang mewah dan indah.
Diam-diam Hong Ing yang mukanya berubah menjadi merah saking jengah menyaksikan pemandangan tadi, menjadi lega hatinya melihat mereka memasuki kamar, maka cepat keluar dari balik tirai dan pergi dari tempat itu. Makin ngeri dia memikirkan keadaan Kim Seng Siocia dan anak buahhya, apa lagi ketika mendengar betapa lima orang pria anak buah Marcus itu dikeroyok serta dipaksa bermain cinta oleh puluhan orang wanita yang sudah seperti gila itu! Dia bergidik, akan tetapi betapa pun muak hatinya, dia masih belum berani melarikan diri karena di situ terdapat Acui dan Amoi yang amat lihai.
Hong Ing memasuki ruangan tempat duduk Kim Seng Siocia dengan hati berdebar. Entah kenapa hatinya merasa tidak enak ketika malam hari itu Kim Seng Siocka memanggilnya dan yang disuruh memanggil adalah Acui dan Amoi yang kini mengikutinya dari belakang.
Ketika dia masuk ruangan dan melihat Marcus duduk di samping wanita gendut itu, Hong Ing menghentikan langkahnya. Akan tetapi Acui dan Amoi mendorongnya dari belakang. Hong Ing cepat menarik turun penutup kepalanya sehingga mukanya terlindung.
"Siocia memanggil pinni?" tanyanya sambil berdiri di depan wanita itu.
"Bukalah kerudungmu, perlihatkan mukamu," berkata Kim Seng Siocia, suaranya berbeda dari biasanya, kereng dan penuh wibawa.
"Tapi... tapi Siocia, ada seorang pria di sini," Hong Ing membantah.
"Marcus? Hi-hi-hik, dia adalah orang sendiri, bukan orang luar. Hayo bukalah!"
Karena maklum bahwa menolak amatlah berbahaya, maka Hong Ing terpaksa membuka kerudungnya dengan harapan bahwa Marcus sudah lupa kepadanya. Akan tetapi begitu kerudung dibuka, terdangar suara Marcus,
"Benar dia! Nikouw cantik yang menolong Yap Kun Liong! Dia mata-mata!"
Tentu saja Hong Ing terkejut bukan main. Andai kata Marcus tidak menjadi kekasih Kim Seng Siocia, hal itu masih mending karena tidak ada hubungannya dengan wanita gendut itu.
"Siocia, cocok sekali ceritaku. Dialah sekutu Yap Kun Liong dan kalau dia berada di sini, tentu dia tahu di mana adanya Kun Liong. Kita harus dapat menangkapnya," kata pula Marcus.
"Hemm, tapi aku tidak begitu tertarik dengan ceritamu mengenai bokor emas yang dapat menunjukkan tempat harta pusaka. Aku sudah mempunyai cukup harta," Kim Seng Siocia membantah.
"Tetapi, di samping harta, masih ada pusaka yang mengandung ilmu yang mukjijat, begitu dikatakan orang, bahkan belum lama Tok-jiauw Lo-mo bersamaku berusaha menyelidiki."
"Siapa? Tok-jiauw Lo-mo murid Thian-ong Lo-mo?" Wanita itu kelihatan kaget.
"Aihh, jadi Siocia mengenalnya?"
"Tidak, akan tetapi aku sudah pernah mendengar tentang nama Thian-ong Lo-mo di kaki pegunungan ini. Kalau kakek seperti dia juga memperebutkan bokor, agaknya memang patut diperhatikan."
"Tentu saja dia juga ikut memperebutkan. Bahkan dia sudah bersekutu dengan Kwi-eng Niocu yang telah tewas di tangan Yap Kun Liong itu..."
"Apa? Demikian lihai Yap Kun Liong itu?"
"Lihai sekali, Siocia. Bahkan kabarnya dia mengalahkan banyak tokoh, biar pun dia tidak pernah bersungguh-sungguh. Bocah itu aneh dan dulu kami telah berhasil menangkapnya dengan jalan meracuninya, akan tetapi dia diselamatkan oleh nikouw cantik ini!"
Kim Seng Siocia kini memandang Hong Ing penuh perhatian. "Benarkah ceritanya itu, Pek Nikouw?"
Hong Ing tidak dapat membohong, maka dengan tenang dia menjawab, "Pinni tidak tahu menahu tentang bokor dan sebagainya, yang pinni tahu hanyalah bahwa pinni memang telah menolong seorang pemuda yang menjadi tawanan, pemuda yang terkena racun..."
"Di mana dia Yap Kun Liong itu?" Marcus membentak.
Selanjutnya,