Petualang Asmara Jilid 33

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Episode Petualang Asmara Jilid 33 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Petualang Asmara Jilid 33

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
SETELAH bayangan dua orang muda itu lenyap barulah Keng Hong merasa betapa lemas tubuhnya. Dia cepat menjatuhkan diri terduduk di atas bangku, duduk diam seperti arca, matanya tak pernah berkedip akan tetapi dua butir air mata keluar dari pelupuk matanya, perlahan-lahan dua butir air mata ini mengalir turun melalui kedua pipinya.

Melihat suaminya seperti itu, Biauw Eng lalu menubruknya dan menangis sesenggukan di atas dada suaminya. Tanpa disangka-sangka, seperti datangnya hujan tanpa mendung, kedukaan hebat melanda suami isteri ini. Mereka dilanda duka dan kecewa hebat sekali sehingga hampir terjadi peristiwa hebat, hampir terjadi mala petaka ketika ayah ini hampir membunuh puterinya sendiri!

Memang demikianlah hidup! Manusia, hampir tidak disadarinya lagi karena telah menjadi tradisi dan kebiasaan, hidup dalam suasana kepalsuan. Mata manusia seolah-olah buta dengan kenyataan, dibutakan oleh nafsu keinginan mementingkan diri pribadi. Kita hidup tanpa membuka mata, dituntun oleh nafsu keinginan kita yang membentuk si aku hingga setiap gerak, setiap perbuatan, dan setiap sikap selalu mencerminkan kekuasaan si aku yang hendak menang sendiri. Bahkan dalam cinta, si aku paling berkuasa sehingga cinta menjadi sebutan hampa, menjadi kepalsuan yang diselimuti kata-kata mutiara yang serba indah!

Seorang pendekar besar seperti Cia Keng Hong, kini merasa berduka. Karena apa? Kalau dia ditanya, tentu dia mengatakan bahwa dia berduka karena puterinya! Tentu dia akan menjawab bahwa karena puterinya memilih anak datuk sesat sebagai kekasih dan calon suami, maka dia berduka!

Benarkah demikian? Benarkah dia berduka demi Giok Keng? Tidakkah sesungguhnya dia berduka demi dirinya sendiri? Berduka karena keinginan hatinya sendiri tidak terpenuhi. Karena puterinya memilih seorang pria yang tidak berkenan di hatinya? Benarkah sebagai seorang bapak dia mencinta anaknya kalau dia ingin memaksakan kehendak hatinya agar ditaati anaknya! Cintakah itu kalau tadi dia sampai hampir membunuh anaknya? Dan kini dia berduka, menangis, kecewa! Bukankah kecewa dan berduka karena nafsu keinginan di hatinya tidak tercapai? Sebenarnya bukan menangisi Giok Keng, melainkan menangisi dirinya sendiri?

Semua ini dapat kita lihat dengan mata dan hati terbuka sebagai suatu kenyataan. Akan tetapi, betapa kita hidup bergelimang kepalsuan sehingga kenyataan ini pun sulit diterima! Betapa pandainya si aku ini bersandiwara sehingga setiap perbuatan yang sesungguhnya demi si aku dapat disulap seolah-olah bukan demikian. Betapa kita sudah dicengkeram sepenuhnya oleh si lapuk tua ‘aku’ yang bukan lain adalah pikiran kita, pikiran gudang pengalaman masa lalu, sehingga mata kita tertutup oleh bayangan masa lalu, tidak dapat lagi menikmati kenyataan yang baru karena segala sesuatu diukur dengan perbandingan masa lalu, enak tidak enak, senang tidak senang bagi si aku! Sedemikian menebalnya pemupukan si aku ini sehingga setiap sesuatu yang nampak mau pun yang tidak nampak, segala apa di dunia ini, dari debu sampai kepada sebutan Tuhan, ditujukan semata-mata demi si aku, demi kepentingan aku. Demikian pula cinta, juga demi aku!

"Kau sungguh terlalu, masa engkau begitu tega terhadap Keng-ji..." Biauw Eng menangis. "Sekarang engkau telah mengusirnya... ahh, bagaimana akan jadinya dengan dia?"

"Hemmm, anak itu terlalu manja!" Keng Hong berkata dengan kemarahan yang masih membakar hati, mengatasi kedukaan dan kekecewaannya. "Terlalu memandang rendah kepada orang tua. Mana boleh dia membatalkan ikatan jodoh begitu saja? Mana boleh dia membutakan mata memilih pemuda golongan sesat menjadi calon suaminya? Selain dia akan menghancurkan hidupnya sendiri, juga dia akan menyeret nama baik orang tua ke lubang pecomberan!"

Biauw Eng mengangkat muka, matanya bersinar-sinar. "Lupakah engkau? Ingat baik-baik, pergunakan pikiranmu dengan adil dan jujur! Siapakah aku ini? Bukankah aku pun puteri Lam-hai Sin-ni, seorang datuk kaum sesat. Apakah Lam-hai Sin-ni kalah tersohor dengan Kwi-eng Niocu? Ingat, aku pun seorang puteri datuk sesat, aku pun orang dari golongan hitam! Dan engkau toh sudah memperisteri aku!"

"Aihhh... engkau lain lagi..."

"Apanya yang lain? Aku tidak hendak mengatakan bahwa aku suka mempunyai menantu seperti pemuda putera Kwi-eng Niocu itu! Akan tetapi apa bila penolakanmu itu engkau dasarkan bahwa kau merasa derajat puterimu terlalu tinggi dan kau merendahkan orang dari golongan sesat, kau benar-benar tidak adil! Urusan ini semestinya ditangani dengan halus. Giok Keng masih hijau dan bodoh, semestinya diberi nasehat dan dibujuk dengan halus, tidak dengan kekerasan seperti itu! Sekarang kau sudah mengusirnya, sama saja dengan kau semakin melekatkan dia dengan pemuda itu!" Kembali Biauw Eng menangis terisak-isak.

Hati Keng Hong menjadi bingung sekali. Sekarang terbukalah matanya dan dia mau tidak mau harus membenarkan ucapan isterinya. Isterinya ini juga puteri seorang datuk kaum sesat, bahkan lebih tersohor dan lebih tinggi tingkatnya dari pada Kwi-eng Niocu, namun buktinya, puterinya tidaklah sesat seperti ibunya (baca cerita Pedang Kayu Harum).

Sungguh tidak adil kalau sekarang dia membenci Liong Bu Kong hanya karena ibunya adalah datuk kaum sesat. Apa lagi Kwi-eng Niocu bukan ibu kandung pemuda itu, akan tetapi hanya ibu angkat. Siapa tahu kalau puterinya itu lebih benar dari pada dia!

Akan tetapi puterinya telah ditunangkan dengan Yap Kun Liong bantah hatinya! Yap Kun Liong adalah putera sumoi-nya yang sudah tewas secara mengenaskan. Masa sekarang tali ikatan jodoh yang diusulkan itu boleh diputuskan begitu saja?

"Aku mau pergi mencari Kun Liong!" Tiba-tiba dia berkata.

Biauw Eng mengangkat mukanya yang basah dan merah. "Mau apa mencari dia?"

"Dia harus memberi penjelasan! Kalau benar dia membatalkan ikatan jodoh, berarti dia tidak menghargai kita! Kalau benar dia melarikan calon isteri Pangeran Han Wi Ong, dia patut kuberi hajaran!"

"Akan tetapi kita tahu bahwa Han Wi Ong adalah seorang pangeran tua yang terkenal mata keranjang!"

"Mata keranjang atau tidak, sama sekali tidak ada hubungannya! Kalau betul Kun Liong melarikan calon isteri orang, berarti dia itu melakukan perbuatan sesat dan aku sebagai supek-nya wajib menghajarnya! Pula, aku akan menyelidiki tentang Kok Beng Lama!"

Melihat sikap suaminya yang terbenam dalam kemarahan dan kedukaan, Biauw Eng tidak kuasa membantah. Pula, dia maklum bahwa biar pun suaminya itu tidak mengatakannya, tentu suaminya itu akan menyusul dan mencari Giok Keng. Dia tahu betapa suaminya amat mencinta puteri mereka itu dan suaminya yang telah mengusir puterinya itu hanya terdorong oleh kemarahan, akan tetapi sama sekali tidak akan membencinya.

Setelah Pendekar Sakti Cia Keng Hong pergi, Biauw Eng menanti di Cin-ling-san dengan hati gelisah sekali, memikirkan puterinya dan suaminya. Juga para anggota Cin-ling-pai yang tentu saja mendengar akan peristiwa hebat yang menimpa keluarga guru atau ketua mereka menjadi prihatin, membuat suasana di Cin-ling-san nampak sunyi.

********************

"Go-bi Thai-houw...! Keluarlah dan mari tandingi pinceng! Mari bertanding sampai selaksa jurus! Hendak kulihat sampai di mana kepandaian Go-bi Thai-houw yang kabarnya sama dengan dewi, ha-ha-ha!"

Kakek raksasa gundul berjubah merah itu menantang-nantang sambil berdiri di atas batu gunung yang sebesar rumah. Suaranya bergelora dan bergema di empat penjuru, hingga terdengar dari permukaan Pegunungan Go-bi-san. Beberapa kali dia kembali mengulangi tantangannya itu dengan suara yang mengandung khikang kuat bukan main!

Karena tidak ada yang menjawab pertanyaannya, kakek ini sambil tertawa-tawa melayang turun dari atas batu besar, kemudian melangkah lebar menuju ke puncak Pegunungan Go-bi-san. Tidak lama kemudian sampailah dia di depan sarang tempat tinggal Kim Seng Siocia beserta para anak buahnya! Sambil bertolak pinggang dia berdiri dan memandangi bangunan megah itu dan tertawa,

"Ha-ha-ha-ha, tidak salah lagi! Di sinilah tentu tempat tinggal Go-bi Thai-houw yang amat disohorkan orang itu! Haii, Go-bi Thai-houw, mengapa engkau begitu pengecut dan tidak berani keluar melayani tantanganku?"

"Kakek berotak miring!" Mendadak terdengar bentakan nyaring.

Dan keluarlah Kim Seng Siocia, wanita gendut yang lihai itu diiringi semua anak buahnya yang jumlahnya lima puluh orang, dipimpin oleh Acui dan Amoi, dua orang pembantunya yang setia dan yang paling lihai, merupakan murid-murid kepala yang menjadi tangan kanannya.

Melihat munculnya barisan wanita ini, dan mengenal Kim Seng Siocia yang pernah ikut mengeroyoknya pada saat dia menyelamatkan Kun Liong dan Hong Ing, kakek itu tertawa bergelak, "Ha-ha-ha, tentu ini barisan dari Ratu Go-bi! Hayo, suruh keluar ratumu Go-bi Thai-houw!"

Kim Seng Siocia meloncat ke depan dan menudingkan senjata cambuk hitamnya sambil membentak, "Kakek gila, mau apa engkau mencari mendiang Thai-houw?"

"Hah...?! Dia sudah mampus?"

"Thai-bouw sudah meninggal dunia belasan tahun yang lalu dan aku, Kim Seng Siocia adalah pewarisnya. Mengapa engkau menantang-nantang Thai-houw?"

Kakek itu menarik napas panjang, kelihatannya menyesal sekali.

"Ahhhh, aku terlambat! Sialan benar kalau mereka semua sudah mampus! Lama sudah pinceng (aku) mendengar bahwa di dunia ini, orang-orang yang paling pandai hanyalah Sin-jiu Kiam-ong, Go-bi Thai-houw, Bun Hwat Tosu, dan Tiong Pek Hosiang! Jangan-jangan yang lain itu pun sudah mampus. Lalu siapa lawanku di dunia ini?"

Kim Seng Siocia sudah maklum akan kelihaian kakek pendeta Lama yang seperti gila ini. Akan tetapi, karena dia dibantu oleh semua anak buahnya, dan karena dia menganggap junjungannya, Go-bi Thai-houw dipandang rendah serta dihina, maka dia menjadi marah sekali.

"Kok Beng Lama! Engkau terlalu sombong! Biar pun Thai-houw sudah meninggal dunia, akan tetapi aku, pewaris satu-satunya, tidak gentar untuk melawanmu!" Sesudah berkata demikian, Kim Seng Siocia menggerakkan cambuknya sehingga terdengar suara ledakan-ledakan kecil di udara.

"Jadi engkau murid satu-satunya? Ha-ha-ha, tidak ada gurunya, melihat tingkat muridnya pun sudah bisa menilai sampai di mana kepandaian gurunya!" Kok Beng Lama melangkah maju memapaki gulungan sinar hitam dari cambuk itu!

"Tar-tar-tar... wuuuutttt...!"

Gulungan sinar hitam itu meledak-ledak dan menyambar-nyambar. Bukan main lihainya senjata ini, karena selain panjang dan terbuat dari bahan yang aneh dan kuat sekali, juga ujung cambuk ini mengikat sebatang piauw yang runcing tajam dan beracun.

"Ha-ha-ha, bagus, bagus! Keluarkan semua kepandaianmu, Gendut!" Pendeta Lama itu berkata dengan gembira.

Pertandingan ini segera membuktikan betapa keadaan mereka berat sebelah. Kim Seng Siocia langsung mengeluarkan semua kepandaiannya yang dia dapatkan dari kitab-kitab peninggalan Go-bi Thai-houw. Tidak hanya cambuknya yang menyambar-nyambar, juga tangan kirinya yang mengandung tenaga sinkang yang amat kuat itu menyelingi serangan cambuknya.

Namun, pendeta Lama itu hanya tertawa-tawa saja, menggerakkan kedua lengannya dan ujung lengan bajunya melayang-layang menangkis semua serangan lawan. Hebatnya, setiap kali cambuk bertemu dengan ujung lengan baju, ujung cambuk itu terpental keras, dan setiap kali tangan kiri wanita gendut itu dicium ujung lengan baju, Kim Seng Siocia meringis kesakitan karena seluruh lengan kirinya tergetar hebat!

Tiba-tiba saja, dengan gerakan yang tidak terduga-duga, Kim Seng Siocia menggerakkan cambuknya berputaran dan ujung cambuk yang ada piauw-nya itu menyambar ke arah perutnya sendiri, dan berbareng dengan itu, tangan kirinya juga mencengkeram ke arah kepalanya sendiri.

"Heiii..., gilakah...?"

Baru saja Kok Beng Lama berseru dan tubuhnya melayang ke depan untuk mencegah wanita gendut itu ‘membunuh diri’ secara aneh tiba-tiba cambuk itu membalik dan ujung cambuk tahu-tahu melepaskan piauw yang terikat. Piauw beracun meluncur secepat kilat menyambar ke arah leher Kok Beng Lama, sedangkan tangan kiri wanita lihai itu sudah membalik pula, mengirim pukulan yang ganas ke arah pusar lawan yang kaget setengah mati itu!

"Plakkk... desss...!"

Piauw bertemu dengan telapak tangan Kok Beng Lama dan pukulan tangan kiri Kim Seng Siocia tepat mengenal pusar pendeta Lama itu. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya wanita gendut itu melihat bahwa selain piauw-nya tidak melukai tangan lawan, juga pukulannya mengenai bagian tubuh lunak dan yang sekaligus membuat sinkang yang terkandung di tangan kirinya itu ‘tenggelam’ dan lenyap tak berbekas.

Selagi dia terheran dan terkejut, terdengar kakek itu berseru, "Ilmu siluman...!" dan…

Wanita gendut itu tidak keburu mengelak lagi ketika ada sinar hitam menyambar, lantas terdengarlah jeritan melengking mengerikan ketika piauw-nya sendiri itu menghujam dan menembus pelipis kepalanya.

Kim Seng Siocia masih berusaha untuk menendangkan kaki kanannya, namun dengan mudah Kok Beng Lama menangkis tendangan ini, bahkan sekaligus dia menangkap kaki itu dan mendorong tubuh lawannya sampai terlempar beberapa meter jauhnya! Kim Seng Siocia tewas seketika!

Anak buahnya memandang dengan mata terbelalak kaget. Tak mereka duga sama sekali bahwa ketua mereka, juga majikan atau guru mereka, yang mereka anggap memiliki ilmu kepandaian luar biasa dan tiada bandingannya itu, kini tewas sedemikian mudahnya di tangan kakek pendeta Lama itu!

Acui dan Amoi yang amat mencinta majikan mereka, melihat Kim Seng Siocia tewas, menjadi marah dan berduka sekali. Mereka sudah mencabut pedang masing-masing dan dengan teriakan marah kedua orang wanita muda yang cantik ini sudah menerjang maju mengeroyok Kok Beng Lama, dibantu oleh empat orang teman mereka yang terdekat.

Melihat dia dikeroyok enam orang wanita muda, pendeta Lama itu kelihatan jemu dan dengan marah dia menggerakkan kedua lengannya ke kanan kiri sambil membentak,

"Pergilah kalian!"

"Plakk-plakk!"

Terdengar suara susul menyusul dan dengan jerit tertahan enam orang itu, termasuk Acui dan Amoi yang lihai, roboh dan tak mungkin dapat bangun kembali karena kepala mereka retak-retak disambar ujung lengan baju kakek yang luar biasa lihainya itu!

"Mundur kalian! Apakah kalian sudah bosan hidup?" Tiba-tiba terdengar suara bentakan halus dan muncullah seorang nenek bertongkat butut hitam, berpakaian hitam pula dan berwajah bengis. Dia ini bukan lain Go-bi Sin-kouw!

Seperti diketahui nenek ini adalah guru Pek Hong Ing dan Lauw Kim In dan tinggal di atas sebuah di antara puncak-puncak Go-bi-san. Seperti juga Kim Seng Siocia, dia mendengar teriakan yang merupakan tantangan dari Kok Beng Lama, akan tetapi dia tidak melayani karena bukan dia yang ditantang, pula dia maklum betapa lihainya kakek itu.

Betapa pun juga, dia ingin tahu dan karena merasa bahwa dia sanggup menanggulangi kakek sakti itu, dia segera mengikuti dan menyaksikan kakek itu membunuh Kim Seng Siocia, Acui, Amoi dan empat orang murid lainnya. Melihat bahwa masih ada puluhan orang bekas anak buah Kim Seng Siocia hendak maju mengeroyok, dia cepat mencegah mereka karena dia mempunyai niat yang dianggapnya baik sekali melihat kematian Kim Seng Siocia dan para pembantu utamanya.

Dua orang muridnya telah pergi. Pek Hong Ing telah murtad, melawan kehendaknya, tidak mau menjadi isteri Pangeran Han Wi Ong, bahkan telah menjadi nikouw dan melarikan diri dengan pemuda gundul itu. Sedangkan murid pertamanya, Lauw Kim In, juga minggat entah ke mana. Cita-citanya untuk menjadi mertua seorang pangeran gagal, maka kini dia melihat kesempatan yang baik sekali.

Dia akan memperoleh kedudukan tinggi dan mewarisi harta benda yang banyak jika dia menggantikan Kim Seng Siocia yang sudah mati! Karena inilah dia mencegah sisa anak buah Kim Seng Siocia yang diharapkan kelak menjadi anak buahnya, supaya tidak nekat melawan pendeta Lama yang lihai itu.

Kok Beng Lama memutar tubuhnya menghadapi Go-bi Sin-kouw. Dia sudah mengenal pula nenek ini yang pernah mengeroyoknya di tepi Pantai Pohai.

"Ha-ha-ha, apakah engkau hendak mewakili Go-bi Thai-houw pula melawan pinceng?"

Go-bi Sin-kouw menggerakkan tangan kirinya menyangkal.

"Aku Go-bi Sin-kouw tidak pernah bermusuhan dengan Kok Beng Lama. Kita adalah dua orang tua yang sudah kenyang mengalami pertandingan, mengapa seperti anak kecil saja hendak mengadu kepandaian?"

"Ha-ha-ha-ha! Omitohud... wanita memang pandai menyelimuti perasaannya sendiri...!" Dengan ucapan ini Kok Beng Lama hendak menyindir bahwa nenek itu sangat pandai menyembunyikan rasa jerinya untuk bertanding dengannya.

"Habis, mau apa engkau datang menemuiku?"

"Kok Beng Lama, aku tadi mendengar suaramu, dan aku mengenal namamu ketika untuk pertama kali kau muncul di tepi Pohai. Aku hanya hendak memperlihatkan sebuah benda. Lihat ini baik-baik, apakah engkau mengenal benda ini?" Sambil berkata demikian, Go-bi Sin-kouw mempergunakan tangan kanan mengambil sebuah benda yang mengkilap dari dalam saku bajunya, dan mengangkat benda itu tinggi-tinggi agar dapat terlihat oleh Kok Beng Lama.

Benda itu adalah sehelai kalung emas terukir indah dan mainannya merupakan sebuah ukir-ukiran arca Buddha kecil bermata indah terbuat dari mutiara biru!

Ketika Kok Beng Lama melihat benda ini, dia mengeluarkan seruan tertahan, mukanya berubah pucat dan mendadak dia menerjang ke depan dengan kedua lengan terpentang dan kedua tangannya membentuk cakar setan!

Go-bi Sin-kouw terkejut setengah mati. Cepat nenek ini menggerakkan tongkat bututnya, menyambut dengan tusukan dahsyat ke arah dada kakek pendeta berjubah merah itu.

"Plak! Plak!" Tangan kanan Kok Beng Lama sudah menangkap ujung tongkat, sedangkan tangan kirinya telah mencengkeram tangan kanan nenek yang menggenggam kalung itu.

"Katakan, dari mana kau mendapatkan benda ini?!" Bentak Kok Beng Lama.

Namun dengan senyum menyelimuti rasa nyeri yang membuat seluruh lengan kanannya seperti lumpuh oleh cengkeraman kakek pendeta itu, Go-bi Sin-kouw berkata lirih, "Kau bunuhlah, akan tetapi akulah satu-satunya orang yang akan dapat bercerita tentang Pek Cu Sian...!"

Ucapan ini membuat Kok Beng Lama mencelat mundur seolah-olah ditampar oleh benda keras.

"Pek... Cu... Sian... ? Di... di mana dia...?" Dia terbelalak memandang nenek itu dengan sinar mata penuh permohonan, tubuhnya gemetar karena hatinya tegang bukan main.

"Dia kudapati terluka parah, tubuhnya penuh luka-luka dan sebelum meninggal dunia, dia meninggalkan benda ini dan puterinya..."

"Ouhhh...!" Kok Beng Lama jatuh terduduk, mukanya pucat sekali dan matanya terpejam, alisnya berkerut, wajahnya kelihatan berduka sekali. Terbayang dalam ingatannya semua peristiwa yang terjadi belasan tahun, hampir dua puluh tahun yang lalu di Tibet!

Ketika itu, dia merupakan seorang di antara tokoh-tokoh golongan Lama Jubah Merah yang terdapat di Tibet. Golongan Lama Jubah Merah ini adalah segolongan pendeta yang menganut Agama Buddha yang sudah dicampur dengan Agama Hindu, maka di samping memuja pelajaran Buddha, juga mereka masih memuja para dewa Agama Hindu.

Golongan Lama Jubah Merah terutama sekali memuja Dewa Syiwa yang dipuja sebagai dewa pembasmi dan penghancur, karena itu sangat ditakuti dan sudah menjadi tradisi di golongan mereka untuk setiap tahun, yaitu pada hari ulang tahun dewa itu, mereka selalu menyerahkan beberapa macam korban, di antaranya korban seorang dara cantik yang masih perawan.

Golongan yang fanatik ini menanam banyak permusuhan dengan golongan lain, bahkan perbuatan mereka memaksa gadis menjadi korban tiap tahun mendatangkan permusuhan pula dengan banyak orang yang terdiri dari rakyat jelata. Namun karena golongan Lama Jubah Merah ini memiliki banyak tokoh yang berilmu tinggi sekali, tidak ada golongan lain yang berani berterang menentang mereka. Ada beberapa orang gagah, diantaranya ada yang datang dari Tiongkok, yang mencoba untuk menentang pengorbanan anak perawan tiap tahun, namun mereka ini seorang demi seorang dikalahkan dan ditewaskan oleh para tokoh Lama Jubah Merah.

Di antara para tokoh kang-ouw yang terbunuh dalam usaha ini adalah seorang pendekar bernama Pek Jwan Ki yang gagah perkasa. Setelah pendekar ini tewas, puterinya yang baru berusia delapan belas tahun, bernama Pek Cu Sian, menyerbu markas Lama Jubah Merah untuk membalas dendam. Akan tetapi, betapa pun lihainya dara ini, akhirnya dia dapat tertawan.

Kemudian, melihat bahwa dara itu sangat cantik dan masih perawan, dia lalu dipilih untuk menjadi calon korban, akan dipersembahkan kepada Dewa dalam pesta pemujaan tahun depan! Pemujaan itu dilakukan dengan cara membakar anak perawan itu dalam keadaan telanjang bulat, dengan demikian jiwa raganya akan diterima oleh Dewa pujaan mereka!

Pada waktu Pek Cu Sian yang cantik menjadi tawanan inilah terjadi peristiwa hebat yang menggegerkan Tibet, terutama di lingkungan kaum Lama Jubah Merah. Kok Beng Lama, seorang di antara para tokoh Lama Jubah Merah yang bertingkat dua, sebagai orang ke dua terlihai di antara mereka, seorang pendeta yang baru berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, tampan serta gagah perkasa, tergila-gila dan jatuh cinta ketika melihat Pek Cu Sian! Maka, dengan kecerdikan dan kelihaiannya, secara diam-diam Kok Beng Lama menolong perawan itu, mengeluarkannya dari dalam tempat tahanan dan kemudian menyembunyikannya di dalam kamar rahasia.

Pek Cu Sian yang telah berada di ambang maut yang mengerikan itu, merasa berhutang budi dan timbul pula kagum dan sukanya kepada penolong yang gagah perkasa ini, biar pun penolong itu usianya sudah setengah tua dan pantas menjadi ayahnya. Apa bila dua orang insan, pria dan wanita sudah saling suka, maka terjadilah hal yang lumrah, yaitu keduanya saling mendekati dan karena Pek Cu Sian tidak memiliki orang lain yang dapat dipercaya, maka kepercayaannya tercurah kepada Kok Beng Lama.

Keduanya melakukan hubungan rahasia di dalam kamar itu, tempat di mana perawan itu disembunyikan. Semua berjalan rapi tanpa ada yang mengetahuinya, dan oleh para tokoh Lama Jubah Merah dara itu dianggap hilang atau berhasil melarikan diri.

Akan tetapi, sebetulnya Pek Cu Sian hidup sebagai suami isteri dengan Kok Beng Lama, bahkan setahun kemudian Pek Cu Sian melahirkan seorang anak perempuan di dalam kamar rahasianya itu. Wanita tua yang membantu berlangsungnya kelahiran ini, setelah tenaganya tidak dibutuhkan lagi, dibunuh oleh Kok Beng Lama agar rahasia mereka tidak membocor keluar!

Akan tetapi, betapa pun rapatnya mereka menyimpan rahasia, akhirnya hal ini terbuka juga. Anak perempuan itu mereka beri nama Pek Hong Ing, dan pada suatu hari, seorang pendeta Lama melihat anak berusia lima tahun itu keluar dari kamar rahasia sehingga terbukalah rahasia yang selama hampir enam tahun itu disimpan oleh Kok Beng Lama dan Pek Cu Sian!

Akibatnya, Kok Beng Lama ditangkap dan Pek Cu Sian melarikan diri bersama puterinya, dikejar-kejar oleh para Lama Jubah Merah. Selama enam tahun di dalam kamar rahasia, Pek Cu Sian sudah mempelajari ilmu silat tinggi dari kekasihnya, maka dia melakukan perlawanan gigih dan berhasil membunuh beberapa orang pendeta Lama Jubah Merah. Akan tetapi dia sendiri terluka parah dan meski pun akhirnya dia berhasil melarikan diri meninggalkan Tibet, ketika tiba di Go-bi-san, dia roboh dan tewas. Baiknya pada waktu peristiwa pengejaran itu terjadi, Kok Beng Lama tidak tahu karena dia sedang ‘diadili’, maka tidak terjadi hal yang lebih hebat lagi.

Oleh ketua golongan Lama Jubah Merah Kok Beng Lama dijatuhi hukuman sepuluh tahun lamanya. Selama sepuluh tahun di dalam kamar tahanan ini, dengan tekunnya Kok Beng Lama memperdalam ilmu kepandaiannya sehingga ketika hukumannya sudah habis, dia memiliki ilmu kepandaian yang sangat hebat. Bahkan dia telah mempunyai khikang yang luar biasa kuatnya, juga sinkang-nya membuat kedua tangannya kebal sehingga berani melawan senjata pusaka yang bagaimana pun juga ampuhnya!

Akan tetapi, ketika dia keluar dari hukuman dan mendengar bahwa kekasihnya bersama puterinya pergi melarikan diri, dia menjadi marah sekali. Didatanginya ketua golongan dan dimintanya pertanggungan jawabnya.

"Pinceng telah menerima dosa dan juga sudah menanggung semua kesalahan dengan menerima hukuman sepuluh tahun tanpa membantah. Mengapa Pek Cu Sian dan puteri kami yang tidak berdosa tetap dikejar-kejar? Tentu mereka telah kalian bunuh!" teriaknya marah.

Dengan kepandaiannya, dia menangkap seorang Lama dan menyiksanya sampai Lama itu mengaku betapa Pek Cu Sian serta puterinya melarikan diri dan dikejar, dikeroyok sampai luka-luka parah dan biar pun dapat melarikan diri, akan tetapi luka-luka yang amat hebat yang dideritanya tentu tidak akan dapat ditahannya.

Mendengar ini, Kok Beng Lama mengamuk sehingga ketua golongan Lama Jubah Merah tewas di tangannya! Masih banyak lagi Lama Jubah Merah yang tewas oleh Kok Beng Lama yang mengamuk itu, kemudian dia melarikan diri dari Tibet dengan maksud hendak mencari tahu perihal kekasih dan puterinya.

Kedukaan hatinya mendengar akan nasib kekasihnya membuat dia seperti telah gila, dan karena dia sudah lama mendengar nama-nama besar dari Sin-jiu Kiam-ong, Bun Hwat Tosu, Tiong Pek Hosiang, dan yang terdekat adalah Go-bi Thai-houw, maka di sepanjang jalan dia menantang empat orang ini. Dia percaya bahwa dengan tingkat kepandaiannya sekarang, dia akan mampu mengalahkan empat orang tokoh besar itu!

Demikianlah riwayat singkat dari Kok Beng Lama. Maka dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika tanpa disangka-sangkanya, dia mendengar mengenai kekasihnya itu dari Go-bi Sin-kouw! Apa lagi ketika dia mendengar bahwa kekasihnya, Pek Cu Sian, seperti yang dikhawatirkannya selama ini, telah meninggal dunia akibat luka-lukanya, dia menjadi demikian berduka sampai hampir pingsan. Sampai lama dia duduk bersila, memejamkan kedua matanya dan ketika kedua matanya itu akhirnya dibukanya kembali, sinar matanya menjadi suram dan layu.

"Bagaimana matinya?" Ucapan apa yang menjadi pesan terakhirnya? Bagaimana dengan Puteri Pinceng?" Suara pendeta Lama yang biasanya gembira dan tenang itu sekarang terdengar parau dan tidak jelas.

"Kok Beng Lama! Pertama-tama yang disebut adalah namamu, maka begitu mendengar kau menyebutkan namamu di Pantai Pohai aku segera mengenalmu. Tetapi, sebelum aku melanjutkan ceritaku, kau harus berjanji lebih dulu bahwa selanjutnya engkau tidak akan memusuhi atau mengganggu lagi kepada Go-bi Sin-kouw."

Kakek itu dengan tidak sabar mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah, aku Kok Beng Lama berjanji tak akan mengganggu Go-bi Sin-kouw."

"Dan kau harus menyetujui kalau aku menggantikan kedudukan Kim Seng Siocia di sini dan memimpin semua wanita ini."

"Baik, baik. Memang sudah selayaknya, engkau yang telah menemukan Cu Sian."

Berseri wajah Go-bi Sin-kouw. Yang lain-lain dia tidak takut, apa lagi anak buah Kim Seng Siocia tentu akan tunduk kepadanya. Dia hanya jeri menghadapi pendeta Lama ini karena dia maklum bahwa pendeta ini hebat bukan main, sama sekali bukan tandingannya!

"Kalau begitu, sebagai majikan dari markas ini, sekarang aku mempersilakan kau masuk ke istanaku di mana kita dapat bicara dengan tenang, Kok Beng Lama."

Pendeta yang sudah ingin sekali mendengar cerita tentang kekasihnya dan puterinya itu, mengangguk dan mereka berdua lalu memasuki rumah besar yang megah bekas tempat tinggal Kim Seng Siocia setelah Go-bi Sin-kouw dengan suara lantang memerintahkan ‘anak buahnya’ untuk mengurus jenazah Kim Seng Siocia, Acui, Amoi dan empat orang gadis yang menjadi korban kelihaian Kok Beng Lama.

Setelah duduk berhadapan dan minum arak yang disuguhkan oleh anak buah yang kini memperoleh majikan baru itu, Go-bi Sin-kouw lantas bercerita, "Aku sedang melakukan perjalanan bersama muridku yang bemama Lauw Kim In ketika aku bertemu dengan Pek Cu Sian. Dia menggeletak tak berdaya, kehabisan darah yang keluar dari luka-lukanya, sedangkan seorang anak perempuan berusia lima tahun menangis di sampingnya. Aku berusaha mengobatinya, namun percuma karena dia telah kehabisan darah. Sebelum dia meninggal dunia, dia menyerahkan kalung ini dan mengatakan bahwa kalau aku bertemu dengan seorang bernama Kok Beng Lama, agar supaya aku menyerahkan benda ini dan anak perempuan yang bernama Pek Hong Ing."

Kok Beng Lama menciumi kalung itu dan dua titik air mata membasahi pipinya, kemudian dia bertanya penuh gairah, "Budi pertolonganmu amat besar, Go-bi Sin-kouw. Aku amat berterima kasih kepadamu. Dan di mana sekarang adanya anakku itu? Di mana puteriku Pek Hong Ing...?"

Go-bi Sin-kouw menarik napas panjang, "Itulah yang sedang menyusahkan hatiku. Anak itu kupelihara dan kudidik sampai menjadi dewasa, kemudian hendak kujodohkan dengan seorang pangeran. Dengar baik-baik! Dengan seorang pangeran putera dari Kaisar! Akan tetapi, dia malah melarikan diri, agaknya terbujuk oleh seorang pemuda berkepala gundul yang lihai! Engkau malah sudah bertemu dengan puterimu itu, Kok Beng Lama."

"Hehhh...?!" Mata yang lebar itu terbelalak makin lebar. "Di mana? Yang mana?"

"Ingatkah engkau ketika engkau muncul di Pantai Pohai? Ada seorang pemuda gundul dan seorang nikouw muda yang kami keroyok untuk kami tangkap, bahkan engkau telah membantu mereka melarikan diri."

"Yaaaa, dan mana puteriku?"

"Nikouw muda itulah!"

"Aihhh...!" Pendeta Lama itu mencelat ke atas dan matanya menjadi liar dan ganas sekali memandang kepada Go-bi Sin-kouw sehingga nenek ini menjadi terkejut, bersiap sedia dan dengan cepat dia berkata,

"Ingat, kau tidak akan memusuhi aku, Kok Beng Lama."

Kakek itu mengepal sepasang tinju tangannya yang besar, kemudian menghardik, "Go-bi Sin-kouw, kenapa kau memusuhi puteriku yang katanya menjadi muridmu?"

"Ahh, duduklah baik-baik dan dengarkan dulu dengan tenang," Go-bi Sin-kouw membujuk dan kakek itu duduk kembali dengan sikap kasar karena hatinya masih marah.

"Sudah kukatakan bahwa Pek Hong Ing, puterimu atau muridku itu, hendak kujodohkan dengan Pangeran Han Wi Ong yang mencintanya. Bukankah aku bermaksud baik dan mengangkat derajatnya setinggi mungkin? Bayangkan, engkau akan menjadi ayah mertua seorang pangeran, putera Kaisar! Akan tetapi apa yang terjadi kemudian? Hong Ing kena dibujuk oleh seorang pemuda, Si Gundul itu sehingga Hong Ing melarikan diri mencukur rambutnya seperti nikouw, bahkan kemudian dia bersama pemuda itu melawan kami dan tidak mau menyerah ketika hendak ditangkap. Maksudku hanya menangkap mereka dan menyerahkan kepada pengadilan, kemudian membujuk Hong Ing agar suka menjadi isteri pangeran. Sayang, sebelum mereka tertangkap, tiba-tiba engkau muncul dan membikin kacau, engkau malah membantu pemuda yang hendak mencelakakan puterimu itu."

"Brakkkk!"

Meja itu terbuat dari pada batu putih yang sangat keras, akan tetapi tidak kuat menahan kepalan tangan Kok Beng Lama, retak-retak dan nyaris hancur lebur!

“Siapa pemuda gundul itu?"

"Namanya Yap Kun Liong dan dia lihai sekali!"

"Tak peduli betapa lihainya, dia akan kuhancurkan kepalanya seperti meja ini!"

"Tapi kabarnya pemuda itu memiliki Ilmu Thi-khi I-beng, dan menurut kabar orang-orang kang-ouw, dia murid keponakan Pendekar Sakti Cia Keng Hong, dan dia pula yang tahu di mana adanya pusaka bokor emas milik Panglima The Hoo."

Berkerut alis Kok Beng Lama. "Apa itu Thi-khi I-beng?"

"Ahh, orang selihai engkau masih belum mengenal Thi-khi I-beng? Itulah ilmu yang amat dahsyat dan mukjijat, sinkang yang dapat menyedot tenaga dalam lawan, yang tadinya hanya dimiliki oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong!"

"Huh, siapa itu Cia Keng Hong?"

"Dialah murid tunggal orang yang kau cari-cari, Sin-jiu Kiam-ong."

"Bagus! Di mana dia?"

"Dia menjadi Ketua Cin-ling-pai di Gunung Cin-ling-san. Dan bokor emas milik Panglima The Hoo yang dijadikan rebutan oleh seluruh orang dunia kang-ouw, kabarnya juga hanya diketahui tempatnya oleh pemuda itu. Dan sekarang, puterimu dibawa olehnya, entah ke mana."

"Keparat! Akan kucari mereka semua!" Tiba-tiba kakek itu meloncat dan sekali berkelebat dia lenyap dari dalam gedung itu.

Go-bi Sin-kouw menahan napas saking kagumnya. Akan tetapi dia tidak mempedulikan lagi kepada pendeta Lama yang amat lihai itu, karena dia sudah sibuk mengatur tempat tinggalnya yang baru! Dia mengumpulkan semua anak buahnya yang empat puluh orang lebih jumlahnya, dan mulai saat itu, Go-bi Sin-kouw menjadi majikan tempat itu, tinggal di dalam gedung yang sangat mewah dan megah, dan diterima sebagai ketua oleh bekas anak buah Kim Seng Siocia.

Tentu saja dia merasa girang sekali. Biar pun dia kehilangan dua orang muridnya, akan tetapi sebagai gantinya dia memperoleh empat puluh orang murid lebih, dan memperoleh tempat tinggal yang amat indah. Hanya sedikit kecewa hatinya ketika mendengar bahwa bekas kekasih Kim Seng Siocia, pemuda asing bermata biru yang bernama Marcus, telah melarikan diri sambil membawa kitab-kitab pusaka peninggalan Go-bi Thai-houw berikut banyak harta berupa emas dan perak!

Akan tetapi, karena yang masih berada di sana jauh lebih banyak, maka nenek ini tidak ambil peduli. Lagi pula, dia tidak menginginkan kitab pusaka karena merasa bahwa ilmu kepandaiannya tidak kalah oleh Kim Seng Siocia.

********************

Kun Liong baru sadar dari pingsannya. Sejenak dia nanar dan matanya silau oleh cahaya matahari yang langsung menimpa kepala serta mukanya. Akan tetapi ketika dia bangkit duduk dan melihat kain putih di tangannya, dia pun teringat dan mengeluh, lalu mendekap kain itu dan menciuminya.

"Hong Ing.... ahhh, Hong Ing...!" demikian keluh hatinya.

Dia hampir merasa yakin bahwa dara itu tentu telah tewas, menjadi korban badai yang mengamuk ganas semalam. Akan tetapi karena yang ditemukannya hanya kain penutup kepala gadis itu, hatinya masih penasaran. Sehari penuh tiada hentinya dia berkeliaran di sepanjang pantai mengelilingi pulau kecil itu untuk mencari kalau-kalau jenazah dara itu terdampar di pantai. Akan tetapi hasilnya sia-sia belaka.

Akhirnya, dengan tubuh lemas dan sakit-sakit, dengan hati kosong dan tertekan hebat, Kun Liong terpaksa harus melihat kenyataan bahwa dara yang dicari-carinya itu memang tidak ada. Tentu sudah ditelan lautan yang mengganas semalam, atau ditelan ikan besar.

Dia berdiri tegak memandang ke arah lautan, giginya berkerot, kedua tangan dikepal dan matanya menyinarkan penasaran dan kebencian ke arah lautan. Kalau lautan merupakan makhluk, tentu akan diserangnya pada saat itu!

Kemudian dia sadar bahwa tidak baik menenggelamkan dirinya ke dalam kedukaan yang tidak ada gunanya. Jelaslah kenyataannya bahwa Pek Hong Ing telah lenyap! Sedangkan dia masih hidup!

Teringat akan dirinya sendiri, masih terasalah nyeri pada seluruh tubuhnya dan ketika dia melihat keadaannya, baru dia sadar bahwa pakaiannya sudah koyak-koyak tidak karuan, juga sepasang sepatu yang dipakainya. Dan terasa pula betapa perutnya sangat lapar.

Maka dia lalu meninggalkan pantai yang kosong sunyi itu, sekosong dan sesunyi hatinya, dan dia pun menuju ke tengah pulau untuk melakukan penyelidikan dan mencari pengisi perutnya yang juga kosong dan terasa sangat lapar itu. Sedapat mungkin dia mengusir bayangan Hong Ing yang selalu mengganggu pikirannya, dan kadang-kadang dia harus menyusut air mata yang meloncat keluar setiap kali dia teringat kepada dara itu.

Sesudah diselidikinya, jelas ternyata bahwa pulau itu merupakan sebuah pulau kecil yang kosong. Pada tengah pulau terdapat sebuah bukit kecil yang penuh dengan pepohonan. Akan tetapi, kecuali belasan ekor jenis burung laut yang beterbangan di atas pulau, tidak ada seekor pun binatang di pulau itu.

Dan tumbuh-tumbuhan yang berada di bukit itu pun terdiri dari jenis tetumbuhan yang tak dapat dimakan. Di antaranya terdapat pohon-pohon besar yang sudah amat tua, dengan batang yang besar-besar. Hutan kecil itu liar dan gelap sekali, dan di situ terdapat banyak batu-batu karang yang merupakan goa-goa besar. Tetapi dia tak ingin menyelidiki tempat yang buruk dan sukar didatangi karena banyaknya semak-semak belukar itu.

Terpaksa, untuk mengisi perutnya yang kelaparan, Kun Liong menangkap seekor burung besar dengan jalan menyambitnya dengan pecahan batu karang. Dipanggangnya daging burung itu dan biar pun rasanya tidak terlalu sedap, lumayan untuk mengatasi kelaparan.

Akan tetapi, makan daging burung panggang ini mengingatkan dia kepada Pek Hong Ing ketika mereka berdua makan ikan panggang di dalam perahu peti mati! Teringat akan ini, teringat pula akan kemungkinan besar kematian dara itu secara menyedihkan, leher Kun Liong seperti dicekik rasanya. Daging yang dimakannya berhenti di kerongkongan dan dia tidak dapat melanjutkan makannya.

Sambil minum air tawar yang didapatnya di dekat rimba di tengah pulau, dia membuang sisa daging burung panggang itu ke laut, kemudian menghela napas dan dengan tubuh lemas dia mencari tempat teduh di belakang sebuah batu karang besar, menjatuhkan diri di atas pasir dan tak lama kemudian dia sudah jatuh pulas.

Matahari sudah naik tinggi dan beberapa jam kemudian cahaya matahari telah melewati batu karang itu dan menimpa tubuh Kun Liong. Namun pemuda yang sudah mengalami kelelahan lahir batin yang amat hebat itu seperti sudah mati, tak merasakan lagi sengatan sinar matahari, tidur dengan nyenyaknya, sedikit pun tidak pernah bergerak.

Akan tetapi sesungguhnya hanya tubuhnya saja yang tidur dan tidak bergerak, karena pemuda yang dihimpit oleh penderitaan batin ini, yang menahan kedukaan hebat dengan kekuatan batinnya, sesudah tertidur diterbangkan ke alam mimpi oleh perasaan bawah sadarnya yang kini setelah dia tidur memperoleh kesempatan untuk timbul.

Mimpi hanya datang dan mengganggu seseorang yang pada waktu siangnya diamuk oleh pikirannya sendiri, pikiran yang mendatangkan pertentangan di dalam batin. Orang yang pikirannya terbebas dari segala macam ingatan masa lalu, yang tidak terpengaruh oleh suatu peristiwa, tidak menyimpan suatu pengalaman di dalam pikirannya, tentu akan tidur nyenyak tanpa mimpi!

Di alam mimpinya, Kun Liong melihat ada beberapa orang dara cantik melayang-layang mendekatinya dan seperti dewi-dewi kahyangan, mereka lalu menari-nari di sekelilingnya, tersenyum simpul sambil mengerling tajam kepadanya, seolah-olah mereka itu berlomba untuk memikat hatinya. Dan dia mengenal semua dara itu karena mereka itu bukan lain adalah wanita-wanita yang selama ini telah dijumpainya dalam hidupnya.

Yo Bi Kiok dengan sepasang matanya yang amat indah seperti mata bintang kejora itu, Souw Li Hwa dengan lehernya yang panjang putih dan dagunya yang meruncing amat manisnya, Cia Giok Keng dengan hidungnya yang amat indah bentuknya, Lim Hwi Sian dengan mulutnya yang menggairahkan, Yuanita de Gama dengan matanya yang biru dan rambutnya yang seperti benang sutera emas, Nina Selado yang cantik genit dan panas, Lauw Kim In yang cantik pendiam dan dingin namun memikat hati, Kim Seng Siocia yang gendut dan lucu, dan akhirnya tampak juga Pek Hong Ing yang baginya tidak mempunyai keistimewaan tertentu karena segala sesuatu yang ada pada Hong Ing semuanya amat menarik hatinya!

Semua wanita ini menari-nari dan Hong Ing berada di belakang sendiri, kadang-kadang nampak kadang-kadang tidak. Akan tetapi dia hanya memandang mereka itu sepintas lalu saja, akhirnya dia mencari-cari dengan matanya ke arah Hong Ing. Dia ingin sekali agar dara yang berkepala gundul itu mendekat, akan tetapi apa daya, dia sendiri tidak dapat menggerakkan kaki tangannya.

Tiba-tiba datang angin besar bertiup dan dara-dara jelita yang menari-nari itu terhembus angin lalu melayang-layang pergi sambil melambaikan tangan kepadanya, dan tersenyum manis. Akan tetapi hanya Hong Ing seorang yang melawan hembusan angin. Gadis itu tidak seperti dara lain yang terbang melayang menunggang angin, Hong Ing meronta dan melawan. menjulurkan kedua lengan ke arahnya, seperti meminta bantuan dan terdengar jeritnya,

"Kun Liong...! Kun Liong...!"

Kun Liong tersadar tanpa membuka matanya. Hemm, dia tertidur enak sekali, dan semua itu ternyata hanya mimpi. Hanya mimpi kosong. Tanpa membuka mata dia menarik napas panjang, menikmati tubuh yang mengaso. Tidak perlu memikirkan mimpi, demikian suara berbisik di kepalanya yang berbantal gundukan pasir.

"Mengapa tidak perlu?" bantah suara di dalam dadanya, "Mimpi ada artinya, apa lagi yang muncul adalah wanita-wanita yang selama ini mendatangkan kesan mendalam di hatinya. Pasti mimpi tadi ada artinya!"

"Ahhh, celoteh nenek bawel!" suara di kepalanya membantah. "Mimpi hanya kembangnya orang tidur! Tidak ada artinya, kalau pun ada, maka artinya itu direka-reka dan dicari-cari, dibuat dan dipaksakan."

"Sombong! Si dungu berlagak pintar!" Hatinya memaki. "Pasti ada artinya. Bukankah para wanita itu pergi dengan senyum dan sebaliknya Hong Ing meronta dan minta pertolongan kepadanya? Itu tandanya cinta?"

"Cinta hidungmu!" bantah pula suara di kepala. "Tidak ada cinta yang murni, semua cinta palsu! Betapa banyaknya orang menderita karena cinta. Hanya orang tolol saja yang membiarkan dirinya terjerat cinta! Hanya orang totol yang akhirnya akan menderita karena cinta. Dia suka kepada wanita, kepada semua wanita yang cantik dalam mimpi tadi, dia suka kepada mereka seperti suka akan bunga yang indah dan harum, seperti suka akan makanan yang lezat, suka akan pemandangan alam yang permai. Akan tetapi cinta...? Huhhhh!”

"Sombong! Kalau tidak cinta, kenapa kau menderita setengah mampus akibat kehilangan Hong Ing? Itu tandanya cinta, tahukah kau, sombong?" Hatinya menjerit marah.

"Hemmm, apa sih artinya cinta? Aku memang kasihan kepadanya, aku berduka teringat akan nasibnya yang buruk. Apa salahnya itu?" Suara di kepalanya melemah, akan tetapi masih membantah dan meragu.

"Kun Liong...!"

Terkejutlah dia. Sekarang suara itu begitu jelas, di antara suara angin ribut. Angin ribut? Mimpikah dia tadi? Kun Liong membuka matanya namun cepat menutupkannya kembali karena ada debu pasir menyerangnya. Maklumlah dia bahwa sekali ini dia tidak mimpi. Memang benar ada angin ribut mengamuk!

Dia cepat meloncat bangun, dengan kedua tangannya meraba batu karang lalu berjalan setengah merangkak memutari batu karang, berlindung di balik batu-batu sehingga tidak terserang debu pasir lagi. Dia membuka mata. Gelap!

Kun Liong termangu-mangu. Sudah malamkah? Dia mengingat-ingat. Tadi saat matahari telah naik tinggi dia makan daging burung panggang, kemudian dia mulai merebahkan diri berlindung di balik batu karang setelah matahari mulai condong ke barat. Dan sekarang sudah gelap! Demikian lamakah dia tertidur? Sampai setengah hari lebih!

Dan semua itu tadi hanyalah mimpi. Termasuk suara orang memanggil namanya. Seperti suara Hong Ing! Hemm, tak mungkin suara Hong Ing yang sesungguhnya, kecuali hanya di dalam mimpi. Hong Ing sudah tewas. Hal ini sudah jelas, karena dia sudah mencari di sekeliling pulau.

"Kun Liong...!"

Kun Liong terperanjat dan meloncat ke atas. Itu suara Hong Ing! Mungkinkah?

Bulu tengkuknya pun meremang. Suara Hong Ing? Tentu suara arwahnya! Aduh, kasihan Hong Ing...! Kun Liong memandang ke kanan kiri, jantungnya berdegup aneh, tengkuknya terasa tebal. Dia sudah siap untuk melihat roh dara itu memperlihatkan diri, seperti asap, seperti yang pernah didengarnya di dalam cerita dongeng. Apakah yang menjumpainya di dalam mimpi tadi juga roh para gadis itu? Dan memang Li Hwa sudah mati, juga Hong Ing, akan tetapi yang lain-lain bukankah masih hidup?

"Kun Liong...! Ahh... Kun Liong...!" Suara itu merupakan jerit melengking, disusul rintihan dan isak tangis, lapat-lapat terdengar lalu lenyap lagi. Datang terbawa angin! Dari tengah pulau!

"Hong Ing...!" Kun Liong meloncat.

Tidak peduli lagi akan kegelapan, dia berlari terus ke depan, ke arah suara tadi, ke arah tengah pulau, tidak peduli dia tersaruk-saruk, jatuh bangun beberapa kali. Tak peduli lagi apakah yang menjerit itu setan ataukah iblis. Yang jelas, itu adalah suara Hong Ing! Dan Hong Ing menangis! Dia harus menolong Hong Ing, baik Hong Ing yang masih hidup atau Hong Ing yang sudah menjadi roh. Jelas bahwa Hong Ing memanggilnya, membutuhkan pertolongannya.

"Hong Ing...!" Dia berteriak-teriak memanggil ketika sudah berada di atas bukit, di dalam hutan yang kecil namun lebat itu, menghadapi goa-goa di batu karang yang membukit.

"Kun Liong...!"

Biar pun hatinya girang bukan main mengenal suara dara itu, namun meremang juga bulu tengkuk Kun Liong. Suara setankah yang menirukan suara Hong Ing? Atau roh gadis itu yang menjadi penasaran lantas berkeliaran di pulau dan menemukan tempat tinggal di dalam goa itu?

"Hong Ing...!" Dia memanggil lagi sambil melangkah mendekati goa.

"Kun Liong...!"

Kun Liong meloncat masuk. Dia tidak peduli suara setan atau iblis, suara roh atau arwah, yang jelas itu adalah suara Hong Ing memanggilnya. Dia masuk dan kakinya tersandung batu. Dia terjatuh dan tangannya menyentuh benda lunak dan hangat, dan tiba-tiba dua buah lengan merangkulnya, mendekap kepalanya dan di antara suara terengah-engah dan isak tangis, jelas terdengar suara Hong Ing,

"Kun Liong... ahhh, Kun Liong...!"

"Hong Ing...!" Mereka saling berdekapan, lupa akan segala, yang ada hanya keharuan, kegembiraan.

"Hong Ing... kau... kau masih hidup...! Ya Tuhan, syukurlah...!"

"Kun Liong... ahhh, alangkah lamanya aku menantimu di sini. Sampai serak suaraku terus memanggil-manggilmu... kukira engkau sudah mati... aku tidak mempunyai harapan lagi... kakiku terkilir, tak dapat berjalan, tubuhku nyeri semua, perutku lapar bukan main...!"

"Ya Tuhan...!" Kun Liong kembali berseru dan air matanya turun bercucuran.

Untung di dalam gelap, kalau tidak tentu dia akan merasa malu kepada Hong Ing. Dan teringat betapa dia memeluki tubuh itu, bahkan kalau tidak salah ingat dia tadi menciumi muka itu, mengecupi air mata yang asin itu, dia merasa malu dan cepat dia melepaskan rangkulannya.

"Hong Ing, kau suka... makan... daging burung laut?"

Biar pun keadaan gelap di situ, namun terasa oleh Kun Liong betapa Hong Ing terbelalak heran, dan dia girang sekali.

"Daging burung laut?" Gadis itu bertanya, suaranya ragu-ragu seakan-akan dia merasa sangsi apakah pemuda itu waras pikirannya.

"Ya, daging burung laut dipanggang! Aku sudah makan daging itu siang tadi. Kalau kau suka, aku akan menangkap seekor untukmu."

Hong Ing menghela napas panjang, sangat jelas terdengar oleh Kun Liong, mengingatkan dia bahwa di luar goa angin ribut sedang mengamuk. Mengingatkan dia betapa canggung dan lucu penawarannya tadi. Malam gelap begitu, angin ribut pula, bagaimana mungkin dia bisa menangkap seekor burung untuk Hong Ing? Mengapa orang yang berada dalam kegirangan besar, seperti juga dalam kedukaan besar, bicaranya lalu menjadi kacau tidak karuan?

"Besok sajalah, Kun Liong. Aku belum mati kelaparan, hanya kakiku... aughhh...!"

"Kakimu kenapa...?" Otomatis Kun Liong mengulurkan tangan meraba, akan tetapi cepat ditariknya kembali karena di dalam gelap itu dia tidak dapat melihat dan tanpa disengaja, tangannya yang diulurkan tadi meraba daging yang gempal, meraba... paha dara itu yang tidak tertutup pakaian!

"Maaf... ahhh, Hong Ing. Bagaimana kau dapat sampai di sini? Dan bagaimana kakimu? Bagaimana keadaanmu...? Aihhh, terkutuk tempat begini gelap sehingga aku tidak dapat melihatmu!"

Tubuh dara itu menggigil. "Mengapa tidak kau buat api unggun? Dingin benar malam ini..."

Kun Liong ingin menampar kepalanya sendiri yang gundul. "Bodohnya aku!" makinya dan dia cepat merangkak keluar, mencari kayu dan daun kering.

Untung angin ribut tidak membawa hujan sehingga daun dan ranting kering yang banyak terdapat di depan goa tidak menjadi basah. Dengan pengerahan tenaga, mudah saja dia membuat api dengan batu karang, dan tidak lama kemudian, di dalam goa itu menyala seonggok api unggun yang terang dan indah.

Sekarang mereka dapat saling melihat. Mereka duduk berhadapan dan saling pandang. Sepasang mata dara itu bercucuran air mata, dan Kun Liong berusaha sekuat tenaganya untuk mencegah air matanya turun dari pelupuk mata yang panas, bahkan dia berusaha untuk tersenyum, lalu berkata,

"Kita masih hidup..."

"Ahh, Kun Liong... pakaianmu koyak-koyak..." Suara Hong Ing lirih seperti orang merintih.

Kun Liong melihat kepada pakaiannya dan tersenyum, lalu memandang pakaian dara itu, menuding dan berkata. "Pakaianmu sendiri pun tidak utuh, Hong Ing." Walau pun pakaian dara itu tidak sehebat pakaiannya mengalami kerusakan, akan tetapi tak dapat dikatakan utuh pula, banyak bagian yang terobek lebar sampai paha dan pundaknya kelihatan.

"Dan tubuhmu... ahhh…, babak belur dan lecet-lecet... Lihat dahimu itu, berdarah... dan lengan kirimu, ahhh... paha kananmu juga mengeluarkan darah sampai celanamu merah semua... Kun Liong...!" Suara dara itu semakin gemetar dan pandang matanya penuh iba ditimpakan ke seluruh tubuh Kun Liong.

Kun Liong merasa betapa bulu tengkuknya berdiri, akan tetapi bukan meremang karena ngeri seperti tadi, melainkan karena terharu menyaksikan sikap Hong Ing dan mendengar suara dara itu.

"Hong Ing... kau sendiri pun babak bundas... ujung bibir kirimu pecah-pecah... pundakmu dan lenganmu... dan... dan bagaimanakah dengan kakimu?"

"Uhhh... kaki kiriku... agaknya terkilir di belakang mata kaki, tidak dapat dipakai berjalan, digerakkan sedikit pun sakit."

"Coba kuperiksa... maaf..." Kun Liong memegang kaki itu dan Hong Ing menggigit bibirnya menahan rasa nyeri. Memang terkilir. Agak hebat. Membengkak di bagian mata kaki itu, dan biru kehitaman oleh darah yang terkumpul di dalamnya.

"Hong Ing, maukah engkau menahan sakit sedikit? Tulang kaki ini keseleo dan tergeser sehingga letaknya harus segera dibetulkan kembali. Kalau tidak, akan lama sembuhnya dan mungkin menjadi cacat."

Hong Ing mengangguk dan memandang kepada Kun Liong yang sekarang menggunakan kedua tangannya memegang kaki itu. Tangan kanan memegang bagian atas dan tangan kiri memegang bagian bawah.

"Siaplah, Hong Ing, sakit akan tetapi hanya sebentar." Tiba-tiba dia membuat gerakan menarik dan…

"Krekk..."

Terdengar suara dan teriakan Hong Ing yang merasa nyeri bukan main. Perasaan nyeri yang rasanya menusuk sampai ke ulu hati, membuat seluruh tubuh dara ini menggigil dan keringat dingin membasahi dahinya. Matanya terbelalak dan di atas pipinya yang pucat nampak air mata.

"Sekarang letaknya sudah baik. Harus dibalut erat-erat."

Kun Liong lalu merobek bajunya yang memang sudah koyak-koyak, lalu membalut mata kaki itu dengan ketat. Ketika dia selesai dan mengangkat muka, dia melihat betapa dara itu tadi menderita nyeri yang hebat, napasnya masih naik turun, bibirnya berdarah sedikit karena pecah digigitnya sendiri.

"Kasihan kau... Hong Ing..." Kun Liong mendekat dan menggunakan tangannya menyapu keringat dari dahi yang halus itu.

"Terima kasih, Kun Liong... kau memang baik sekali."

"Hemmm, dalam keadaan seperti ini kau tidak perlu memuji, Hong Ing. Yang ingin sekali kudengar adalah ceritamu, bagaimana engkau bisa sampai di tempat ini. Kukira tadinya kau..."

"Mati? Memang aku lebih baik mati dari pada hidup, bahkan sebelum bertemu dengan engkau aku mengharapkan kematian saja, Kun Liong."

"Mengapa?"

"Mengapa? Hemm... kau tidak tahu betapa ngeri rasa hatiku, betapa tidak berdaya sama sekali, seolah-olah menanti datangnya maut tanpa daya sedikit pun juga. Pada waktu kita diamuk badai dan agaknya perahu kita dihempaskan pada batu karang, aku tidak tahu apa-apa lagi..."

Hong Ing mulai bercerita, dan Kun Liong tentu saja maklum akan keadaan ini karena dia sendiri pun tidak ingat apa-apa lagi setelah itu, tahu-tahu dia berada di atas pasir pantai.

"Ketika aku siuman, aku sudah berada di pantai, untung bahwa kepalaku berada di luar jangkauan air sehingga aku tidak mati tenggelam. Aku memanggil-manggilmu, keadaan gelap sekali malam itu, akan tetapi suaraku lenyap ditelan angin dan kau tidak menjawab. Aku menyeret kaki kiriku yang nyeri sekali ke darat, dan karena aku takut akan diserang binatang buas, aku terus merangkak sekuat tenaga sambil terus memanggil-manggilmu. Akhirnya aku berhasil masuk ke goa ini dan kembali aku tidak ingat apa-apa lagi. Setelah siuman untuk kedua kalinya, matahari sudah naik tinggi. Kakiku tidak dapat digerakkan, seluruh tubuh sakit, perut lapar sekali dan... dan... pada saat itu aku ingin mati saja, Kun Liong. Aku mengira bahwa engkau tentu telah mati! Aku sendiri tidak mampu bergerak. Tentu aku akan mati kelaparan. Betapa ngerinya. Maka aku lalu menangis sampai habis air mataku. Aku menjerit-jerit memanggil namamu, tapi percuma saja. Malam tiba dan aku masih tetap menjerit dan menangis dan akhirnya... akhirnya... kau datang juga..."

Sepasang mata itu terbuka lebar, kembali dua titik air mata turun, gigi yang rapi dan putih itu menggigit bagian dalam dari bibir bawah, sedangkan cuping hidungnya bergerak-gerak membayangkan keharuan hati.

"Aduh…, kasihan sekali kau, Hong Ing. Tahukah engkau betapa aku juga sudah merasa putus harapan, mengira engkau tentu telah tewas ketika aku menemukan kain penutup kepalamu? Dan tahukah engkau betapa suara panggilanmu tadi terbawa di dalam mimpi sehingga aku mengira bahwa rohmu yang memanggilku?" Kun Liong lalu menceritakan pengalamannya dan tentu saja dia tidak menyebut-nyebut tentang mimpinya dan tentang perbantahan antara pikiran dan hatinya.

Berkat rawatan Kun Liong yang penuh ketelitian, belasan hari kemudian sembuhlah kaki kiri Hong Ing yang terkilir. Dia sudah dapat berjalan walau pun masih agak terpincang-pincang. Mereka berdua kini berusaha untuk menyesuaikan diri di pulau kosong itu.

"Jika memang pulau ini tidak memenuhi syarat untuk dijadikan tempat tinggal selama kita bersembunyi, kita akan mencari pulau lain," demikian kata Kun Liong.

"Bagaimana cara mencarinya? Perahu peti mati itu sudah lenyap, lagi pula aku merasa ngeri kalau harus masuk ke dalam perahu peti mati itu lagi."

Kun Liong tersenyum. "Aku dapat membuat perahu dari batang pohon besar di rimba itu. Akan tetapi jika ada bahan makanan lain di pulau ini, kita tidak perlu mencari pulau lain. Pulau ini cukup indah dan hawanya pun nyaman."

"Dan kita hidup di sini seperti orang-orang hutan? Seperti orang liar tak beradab?"

Kun Liong tersenyum memandang. Mereka saling berpandangan dan akhirnya keduanya tertawa geli.

"Engkau memang pantas sekali menjadi seorang puteri hutan. Pakaianmu tak karuan dan ringkas akan tetapi... pantas dan manis sekali. Kakimu tidak bersepatu, dan rambutmu... hemmm.... rambutmu mulai tumbuh dengan suburnya, Hong Ing."

"Dan kau... kau memang seperti seorang manusia di jaman batu! Hanya memakai celana yang pantasnya disebut cawat, badan tanpa baju, kulit terbakar sinar matahari. Wah, kau kelihatan kuat dan sehat, Kun Liong. Dan kepalamu... hi-hik-hik, kepalamu bersih sekali sampai mengkilap!"

Kun Liong tersenyum lebar. "Baru saja aku mandi dan kugosok dengan bunga karang. Segar sejuk rasanya." Dia mengelus-elus kepala gundulnya.

Mereka duduk berteduh di dekat batu karang besar, berlindung dari sinar matahari yang sudah mulai naik tinggi. Hong Ing memanggang daging ikan yang baru saja ditangkap oleh Kun Liong. Selama belasan hari ini, mereka hanya makan daging ikan atau burung laut, dan mereka mulai rindu akan makanan sayuran.

Mereka hanya makan akibat lapar saja. Makan untuk perut, bukan untuk mulut. Di tempat seperti itu, terasing dari dunia ramai, mereka tidak mungkin dapat memilih makanan yang enak. Sehabis makan dan minum air tawar, mereka duduk dan memandang ke laut. Dari pulau itu tidak kelihatan pulau lain, apa lagi daratan besar.

"Enak juga di sini, kita dapat makan setiap hari dan tidak perlu khawatir akan pengejaran Pangeran Han Wi Ong."

Hong Ing menarik napas panjang. "Sayang tidak ada pondok. Setiap malam aku merasa ngeri tidur di goa itu, takut kalau-kalau ada kalajengking atau kelabang, lebih-lebih ular... hiiih...!"

"Aku akan membuatkan pondok untukmu, Di mana baiknya?"

Wajah manis itu berseri. "Benarkah, Kun Liong? Aku sudah terlalu banyak menyusahkan engkau."

"Tidak sama sekali. Memang kita berdua membutuhkan pondok..."

"Dengan dua kamar..."

"Cukup satu saja, untukmu. Aku bisa tidur di mana saja..."

"Ahh, kalau begitu aku tidak mau! Masa yang membuatnya tidur di mana saja? Kalau kau tidak membuat pondok dengan dua kamar, aku juga tidak mau tidur di situ."

Kun Liong tersenyum dan merasa geli hatinya. "Lucunya kita ini. Pondok belum jadi, pembangunannya dimulai pun belum, tapi kita sudah cekcok tentang jumlah kamarnya!"

Hong Ing teringat akan ini dan dia pun tertawa. Ketawanya bebas dan diam-diam Kun Liong kagum dan terheran-heran. Mengapa gadis yang pakaiannya tidak karuan, hanya sedikit kain menutupi dari atas buah dada sampai ke paha, tanpa sepatu, dengan rambut mulai tumbuh masih awut-awutan, mengapa gadis seperti ini kelihatan begini menarik?

Padahal, apa bila dalam keadaan seperti itu Hong Ing berada di dalam kota yang ramai, tentulah dia akan diikuti dan digoda oleh banyak anak kecil, dianggap seorang gila! Akan tetapi baginya, pada saat itu tak ada bidadari di kahyangan yang lebih cantik, lebih manis, lebih menarik dan lebih menggairahkan dari pada Pek Hong Ing!

Mulailah Kun Liong membuat alat-alat untuk membangun pondok. Alat-alatnya sederhana sekali dan tidak salah kalau Hong Ing membandingkan dia dengan seorang manusia dari jaman batu karena Kun Liong terpaksa membuat alat-alat dari batu karang! Kapak, pisau, semua dari batu karang yang tajam!

Biar pun dengan sukar, namun akhirnya jadi juga sebuah pondok berdiri di belakang batu karang besar di tepi laut itu. Sebuah pondok yang modelnya menurut kehendak Hong Ing. Agak tinggi dari tanah, sebuah pondok panggung karena Hong Ing takut kalau-kalau ada ular memasuki pondok dan kamarnya.

Di depannya dipasangi anak tangga, atapnya dari daun, dindingnya dari bambu. Pintunya dua, di depan dan belakang, kamar Hong Ing di depan, ada jendelanya yang menghadap ke laut! Kamar Kun Liong di belakang.

Selain pondok itu, Kun Liong juga membuat perabot rumahnya. Sebuah dipan kayu untuk Hong Ing, berikut sebuah bangku kayu, kemudian sebuah dipan bambu untuknya sendiri. Sebuah meja dengan dua bangkunya di depan kamar. Tong-tong tempat menampung air tawar.

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.