Petualang Asmara Jilid 39
MENDENGAR bentakan isterinya ini, Ouwyang Bouw memasukkan lagi pedang ularnya dan duduk kembali sambil bersungut-sungut. Hatinya merasa tidak puas. Dia penasaran sekali mendapat kenyataan bahwa tawanan itu lihai, maka hatinya ingin sekali untuk mencoba kepandaian si tawanan dan terutama sekali merobohkannya, membuktikannya bahwa dia lebih pandai!
Akan tetapi dia tidak berani membantah kehendak isterinya! Kalau isterinya marah-marah, seperti yang pernah beberapa kali dilakukan oleh Kim In, kemudian mati-matian isterinya mempertahankan diri, tidak mau mendekatinya, tidak mau melayani cintanya, dia merasa tersiksa setengah mati! Sejak itulah, dia tidak lagi berani membantah kehendak isterinya. Tidak ada kesengsaraan lebih besar baginya dari pada kalau isterinya marah dan mogok, tidak mau mendekati dan melayaninya!
Terutama sekali Marcus merasa penasaran sehingga diam-diam dia marah sekali. Jelas baginya bahwa Yap Kun Liong adalah seorang yang berbahaya, seorang musuh, entah musuh yang berpihak mana saja, akan tetapi yang jelas, bukanlah seorang yang boleh dianggap sebagai seorang sahabat. Bagi dia, Kun Liong harus dibunuh dan sama sekali tidak boleh diberi ampun. Akan tetapi, melihat betapa Ouwyang Bouw, tokoh pertama dan utama dalam gerombolan mereka itu tidak berani membantah kehendak Lauw Kim In, dia pun tidak berani berkutik dan langsung duduk kembali sambil memandang tajam penuh perhatian.
"Yap Kun Liong, duduklah!" kata Kim In sesudah melihat bahwa semua orang mentaati permintaannya.
"Terima kasih, engkau baik sekali Nona... ehh, Nyonya," katanya sambil melirik ke arah Ouwyang Bouw yang makin cemberut.
Suasana di ruangan itu menjadi hening sejenak. Kun Liong menujukan pandang matanya ke sekeliling. Tampak olehnya betapa tempat itu, walau pun dalam jarak agak jauh, telah dijaga ketat oleh banyak sekali anggota pasukan yang memegang tombak. Penjagaan yang amat rapi dan ketat, seperti dalam benteng tentara saja.
"Yap Kun Liong, engkau melihat sendiri betapa engkau sudah dikurung dengan rapat di tempat ini. Betapa pun lihaimu, engkau takkan mungkin dapat keluar dengan selamat apa bila kami menghendaki. Karena itu, kau ceritakanlah dengan sejujurnya dan sebenarnya, apa yang kau lakukan di tempat ini dan kenapa pula engkau mengenakan pakaian salah seorang anak buah sahabat kulit putih."
Kata-kata yang dikeluarkan oleh Kim In itu agaknya ditujukan untuk mendinginkan hati mereka yang merasa panas dan marah kepada Kun Liong. Kun Liong mengerti bahwa sesungguhnya Kim In ingin bicara hal lain dengan dia, akan tetapi sebelumnya minta agar dia suka menceritakan keadaannya itu supaya menghilangkan kecurigaan para pimpinan pasukan, terutama sekali Marcus dan Ouwyang Bouw.
"Aku tak sengaja memasuki daerah ini, karena aku sedang melakukan perjalanan menuju ke barat dan melalui tempat ini. Aku hampir mati di padang pasir yang tidak kukenal dan kebetulan di dalam perjalanan aku melihat seorang lelaki berkulit putih sedang dikeroyok oleh tiga belas orang Mongol yang dipimpin oleh seorang raksasa Mongol bermata sipit ahli gulat..."
"Hemm, tentu Si Tula yang memberontak!" Tiba-tiba seorang di antara pemimpin Mongol berseru.
"Laki-laki kulit putih itu luka-luka parah. Aku menolongnya dan berhasil menghalau para pengeroyoknya. Akan tetapi dia tidak tertolong lagi. Aku lalu mengubur jenazahnya, akan tetapi karena pakaianku sudah robek-robek sehingga aku hampir telanjang dan aku amat membutuhkan pakaian, maka aku mengambil pakaiannya sebelum kukuburkan jenazah itu."
"Laki-laki kulit putih? Tahukah engkau siapa dia?" Kim In bertanya.
"Tidak, dia tidak sempat menyebutkan namanya, usianya kurang lebih tiga puluh tahun, kumisnya panjang melintang dan berwarna kemerahan..."
"Alberto...!" Tiba-tiba saja Marcus berkata dan semua orang saling pandang dengan alis berkerut.
Alberto adalah utusan mereka, orang yang penting untuk menghubungi Pek-lian-kauw. Akan tetapi Kun Liong tidak mau bicara tentang pesan orang yang hampir mati itu ketika menyebut-nyebut nama Pek-lian-kauw. Dia tidak mau mencampuri urusan orang lain.
"Aku tidak tahu siapa dia. Aku memang sudah mengambil pakaiannya, akan tetapi hal itu kulakukan karena terpaksa, karena aku harus melindungi tubuhku dari serangan panas, dan kuanggap sebagai pembalasan perbuatanku yang sudah mengurus serta mengubur jenazahnya."
"Si Keparat Tula! Dia harus kita hajar!" Marcus berkata dan lima orang Mongol itu lantas mengangguk-angguk.
"Yap Kun Liong, sekarang ceritakanlah, ke mana engkau hendak pergi dan mengapa kau melalui tempat asing di luar Tembok Besar ini?"
Kun Liong amat terkejut dan memandang wajah Kim In dengan mata terbelalak. "Di luar Tembok Besar? Wah, pantas adanya hanya padang pasir melulu dan gunung-gunung liar! Aku tidak tahu, tidak mengenal jalan. Aku hanya tahu bahwa aku harus ke barat, karena aku hendak pergi ke Tibet."
Semua orang menjadi terkejut dan pandang mata Marcus tajam menyelidik, agaknya dia mulai curiga lagi.
"Ke Tibet?" Lauw Kim In bertanya.
Kun Liong dapat menduga bahwa sebenarnya wanita itu ingin mendengar berita tentang sumoi-nya, maka dia lalu berkata terus terang, "Benar, ke Tibet untuk mencari Pek Hong Ing."
Tepat dugaan Kun Liong, karena begitu mendengar nama sumoi-nya, wajah Kim In lantas berubah dan perhatiannya tercurah sepenuhnya.
"Apa yang terjadi dengan Sumoi?" tanyanya tidak sabar.
"Tiga orang pendeta Lama yang sangat lihai sudah membawanya pergi dan aku tidak berdaya mencegahnya, bahkan aku hampir mati oleh mereka yang sangat lihai. Setelah aku sembuh, aku sekarang pergi menyusul dan hendak mencarinya. Karena mereka itu adalah pendeta-pendeta Lama, maka aku hendak mencari mereka ke Tibet."
"Ahhhh...!" Wajah yang cantik itu menjadi pucat, agaknya dia merasa cemas sekali akan nasib sumoi-nya.
Melihat ini, Kun Liong merasa kasihan dan juga senang bahwa wanita ini masih mencinta sumoi-nya. Maka berkatalah dia dengan suara menghibur, "Harap kau jangan khawatir. Aku pasti akan mencarinya sampai dapat, dan aku merasa yakin bahwa aku akan dapat menyelamatkannya dari ancaman siapa pun juga!"
Kim In menggerakkan bibirnya, akan tetapi tidak mengatakan sesuatu, lalu dia menunduk. Kemudian terdengar dia menghela napas dan berkata, "Kalau begitu, engkau sama sekali tidak melakukan suatu kesalahan terhadap kami. Kau boleh pergi sekarang juga."
Kun Liong bangkit berdiri dan memandang ke sekeliling. Dia melihat betapa sinar mata Marcus melahapnya seperti hendak membunuhnya dengan sinar mata akan tetapi orang kulit putih itu tidak berani bergerak.
Melihat keraguan Kun Liong, Kim In lalu berkata kepada lima orang pemimpin Mongol, "Biarkan dia pergi. Dia hendak mencari sumoi-ku."
Lima orang Mongol itu lalu mengeluarkan teriakan sebagai aba-aba dan di luar ruangan terdengar teriakan-teriakan menyambut dalam bahasa Mongol. Dua orang prajurit masuk lalu mengawal Kun Liong keluar dari situ. Kun Liong hanya tersenyum dan tidak berkata apa-apa, hanya mengikuti dua orang prajurit itu keluar dari benteng ini.
Tak lama kemudian setelah Kun Liong pergi, Kim In berkata kepada suaminya, "Aku lupa untuk berpesan sesuatu kepadanya supaya disampaikan kepada Sumoi-ku! Kalian tunggu sebentar, aku hendak menyusulnya!"
Tanpa memberi kesempatan orang lain untuk menjawab, tubuh Kim In sudah mencelat dan seperti terbang cepatnya dia sudah berlari keluar mengejar.
Kun Liong sudah keluar dari pintu gerbang dan selagi dia berjalan dengan hati ringan karena tak disangkanya bahwa urusan dengan orang macam Ouwyang Bouw dan Marcus dapat diselesaikan sedemikian mudahnya berkat Lauw Kim In, tiba-tiba terdengar suara wanita itu dari belakang,
"Kun Liong, tunggu dulu!"
Kun Liong membalikkan tubuhnya, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum sungguh pun hatinya berdebar tegang karena dia khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak menguntungkan dirinya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun dia memandang wanita itu dengan mata penuh pertanyaan.
"Aku ingin bertanya sesuatu kepadamu," kata Lauw Kim In setelah dia berdiri di depan pemuda itu. "Mengapa engkau pergi bersusah payah mencari Sumoi?"
Kun Liong tersenyum. Kiranya hanya persoalan itu yang membuat wanita ini berlari-lari menyusulnya. "Tentu saja aku mencarinya karena dia terancam bahaya, meski pun para pendeta Lama itu tidak menyatakan demikian. Bahkan... bahkan... ada hal yang amat luar biasa yang membuka rahasia Hong Ing... tentang ayahnya..." Kun Liong masih ragu-ragu apakah dia akan menceritakan semua peristiwa yang terjadi di pulau kosong itu.
"Hmm, tentang ayahnya? Seorang pendeta Lama? Aku sudah tahu sedikit-sedikit tentang riwayatnya, Kun Liong. Ingat, aku bersama dengan Subo ketika kami menemukan ibunya dan dia."
Kun Liong sekarang tidak ragu-ragu lagi dan diceritakanlah semua peristiwa yang terjadi di pulau itu, tentang pertemuan mereka dengan pendeta Lama sakti yang ternyata adalah ayah Pek Hong Ing, yaitu pendeta yang ternyata bernama Kok Beng Lama, tentang tiga orang pendeta Lama lain yang membawa pergi Hong Ing.
"Demikianlah, biar pun mereka itu mengaku supek dan susiok Hong Ing, aku masih curiga dan aku harus mencari Hong Ing sampai ketemu." Kun Liong mengakhiri penuturannya.
Lauw Kim In merasa kagum dan terheran-heran, lalu menghela napas dan bertanya, "Yap Kun Liong, katakanlah. Apakah engkau mencinta sumoi?"
Kun Liong mengangguk, menjawab dengan sepenuh hatinya, "Aku cinta kepadanya, dan aku siap mengorbankan nyawa demi untuk keselamatannya. Aku cinta kepada Pek Hong Ing, mencintanya dengan seluruh jiwa dan ragaku!"
Terdengar isak atau sedu sedan naik dari dada Lauw Kim In. "Syukurlah..." dia berbisik, "Semoga dia berbahagia..." dan tiba-tiba sekali, tanpa disangka-sangka, tangan kanannya bergerak dan sudah mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Kun Liong!
Akan tetapi Kun Liong tidak mengelak dan kelihatan tenang-tenang saja seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu.
"Hemmm... apa bila aku menghendaki, bukankah nyawamu telah melayang, Kun Liong?" katanya sambil memperlihatkan segumpal rambut di dalam cengkeraman tangannya.
Memang ilmu kepandaian Lauw Kim In hebat bukan main. Tangannya dapat memutuskan segumpal rambut tanpa terasa sedikit pun oleh Kun Liong.
Akan tetapi pemuda itu tersenyum. "Kalau aku menghendaki, engkaulah yang akan roboh dulu, akan tetapi aku tahu bahwa engkau hanya ingin mengujiku, dan melihat apakah aku cukup dapat diandalkan untuk menolong Sumoi-mu. Bukankah begitu?"
Lauw Kim In terkejut. "Apa... apa maksudmu?"
"Lihat saja itu... sayang engkau yang secantik ini mau mengorbankan diri menjadi isteri Ouwyang Bouw."
Kim In yang dituding dadanya itu cepat menunduk dan menahan jeritnya. Bajunya telah berlubang, baju luar dan dalam sehingga sebuah di antara ujung buah dadanya mencuat keluar tanpa dirasakannya sama sekali! Dia mendengar angin menyambar dan ketika dia mengangkat mukanya, ternyata yang tampak hanya bayangan Kun Liong berkelebat dan pemuda itu sudah lenyap dari depannya!
Kim In menjatuhkan diri duduk di atas tanah, menutupi buah dada yang menjenguk keluar seperti melalui jendela itu dengan tangan kirinya, termenung dan termangu-mangu. Akan tetapi pada wajahnya yang cantik tersungging senyum. Dia merasa ikut bahagia bahwa sumoi-nya, satu-satunya orang yang dicintanya bagaikan adiknya sendiri, ternyata sudah memperoleh seorang kekasih yang demikian lihai, demikian lucu namun agak sayang…, demikian kurang ajar! Akan tetapi kekurang ajaran yang dapat dia maafkan dan bahkan membuat dia tersenyum geli.
Gara-gara dia hendak memperlihatkan kepandaiannya, ternyata dia malah mendapatkan malu. Kalau saja Kun Liong menghendaki, setelah dapat merobek baju luar dalam di dada tanpa dirasainya, tentu pemuda itu dapat melakukan apa pun juga terhadap dirinya tadi!
Pada saat Kim In kembali ke markas dengan pikiran masih tenggelam ke alam lamunan memikirkan sumoi-nya yang tidak disangka-sangkanya bertemu dengan ayahnya dan kini malah dibawa oleh para Lama sakti ke Tibet, terjadilah hal lain yang tidak diketahui oleh wanita ini. Diam-diam, dengan persetujuan Ouwyang Bouw, Marcus dan para pimpinan orang Mongol mengerahkan seratus lebih Pasukan Tombak Maut melakukan pengejaran terhadap Kun Liong dengan maksud membunuh pemuda itu!
Kun Liong berjalan seorang diri, hatinya gembira karena dia telah terlepas dari bencana. Dia tersenyum-senyum kalau mengingat pertemuannya yang terakhir dengan Lauw Kim In, akan tetapi wajahnya menjadi merah dan dia merasa malu sendiri bila teringat akan kekurang ajarannya telah merobek baju wanita itu hingga tampak sebuah di antara buah dadanya. Sayang, pikirnya. Wanita secantik itu, dengan bentuk tubuh seindah itu, harus menyerahkan diri kepada seorang pria semacam Ouwyang Bouw!
Dia menghela napas dan jantungnya berdebar tegang, mencela diri sendiri yang harus mengaku bahwa darah mudanya bergelora ketika dia mengingat akan penglihatan yang menggairahkan hatinya itu.
Gairah hatinya membuat dia mengingat yang bukan-bukan, teringat akan malam yang tak akan pernah terlupakan olehnya, di malam sunyi, di dalam kuil tua di mana dia tenggelam dalam buaian cinta bersama Hwi Sian! Jantungnya berdebar makin keras dan begitu dia teringat kepada Hong Ing, semua bayangan itu lenyap dan ingin dia menampar mukanya sendiri. Sialan! Mata keranjang! Demikian dia memaki diri sendiri.
Tiba-tiba terdengar olehnya derap kaki banyak kuda dari belakang. Kun Liong tersenyum dan menghentikan langkahnya, bahkan dia lalu duduk di atas sebuah batu besar sambil menghapus keringatnya di leher dan muka. Dia mengira bahwa tentu Lauw Kim In yang mengejarnya lagi, entah sekarang mau apa wanita itu. Dia tidak khawatir akan celaka di tangan wanita itu.
Akan tetapi ketika seratus orang lebih itu tiba dekat, dia mengerutkan alisnya. Pasukan Mongol yang menunggang kuda itu mengurungnya, semua meloncat turun dari atas kuda dengan sikap mengancam dan dengan senjata tombak di tangan. Marcus berada paling depan, sudah menodongkan anak panah yang telah dipasang pada busurnya, sikapnya mengancam dan senyumnya menyeringai.
"Yap Kun Liong, cepat engkau katakan di mana disimpannya bokor emas, baru aku mau mengampuni nyawamu!" bentak Marcus sambil menodongkan anak panahnya.
Wajah Kun Liong menjadi merah. Maklumlah dia bahwa di dalam persekutuan ini pun, Marcus hanya mencari keuntungannya sendiri dan tentu perbuatannya ini di luar tahunya Ouwyang Bouw mau pun Lauw Kim In.
"Hemm," Kun Liong tersenyum. "Marcus, engkau memang seorang yang licin dan curang. Tadinya engkau bersekutu dengan Tok-jiauw Lo-mo, kemudian rela menjadi gendak Kim Seng Siocia, sekarang engkau membohongi dan menipu orang-orang Mongol."
"Jangan banyak cakap! Nyawamu berada di tanganku! Hayo katakan di mana bokor itu?"
"Aku tidak tahu di mana benda pusaka itu. Andai kata aku tahu sekali pun, tak mungkin akan kuberi tahukan padamu," jawab Kun Liong tenang, akan tetapi diam-diam tangannya telah mencengkeram hancur ujung batu dan digenggamnya dengan tangan kanan.
"Keparat! Kalau begitu mampuslah!"
"Wit-wir-wirrr...!" Tiga batang anak panah meluncur dari busur itu dengan cepat sekali.
"Siuuuuttt... singggg... tak-tak-takkk!"
Tiga batang anak panah itu runtuh dan patah-patah disambar oleh hancuran batu yang disambitkan tangan kanan Kun Liong. Pemuda itu masih duduk dengan tenang dan tidak mempedulikan sikap Marcus yang terkejut dan memandang anak panahnya dengan muka pucat.
"Serbu...! Bunuh...!" Marcus berteriak marah sekali, karena untuk menyerang lagi dengan anak panah dia tidak berani. Sekali saja gagal seperti itu sudah cukup memalukan.
Meski pun dikepung oleh seratus orang lebih yang bertubuh tinggi besar, bersikap ganas dan bersenjata tombak panjang, Kun Liong tidak menjadi gentar dan dia masih enak-enak duduk di atas batu besar.
"Wah-wah-wah, tidak adil sama sekali! Hei, jangan kalian tidak tahu malu!" tiba-tiba saja terdengar teriakan dari atas!
Semua orang juga Kun Liong memandang ke atas dan kiranya di atas pohon tak jauh dari situ terdapat dua orang laki-laki sedang duduk nongkrong di atas dahan pohon dan yang berteriak-teriak adalah lelaki yang tua, yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih.
Pakaiannya amat aneh, pakaian longgar kebesaran, celananya berkotak-kotak sedangkan bajunya berkembang, kepalanya memakai kopyah seperti yang biasanya dipakai seorang anak kecil, mukanya riang dan tersenyum-senyum, matanya yang amat tajam itu kocak dan penuh kegembiraan hidup.
Ada pun orang ke dua adalah seorang laki-laki muda, usianya tentu tidak lebih dari dua puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi tegap, wajahnya tampan serta gagah sekali membuat Kun Liong kagum memandangnya, sikap pemuda ini pendiam dan tenang.
Melihat dua orang itu, Marcus lalu membentak, "Siapa kalian dan perlu apa mencampuri urusan kami?"
"Wah-wah-wah, tentu saja kami mencampuri!" Kakek itu berkata lagi, "Kalian ini tidak tahu malu sekali! Tunggu aku turun dulu baru bicara, di atas sini mengerikan!" Kakek itu lalu merayap turun.
Akan tetapi Si Pemuda lantas memegang lengannya dan membawanya melayang turun. Gerakan pemuda itu cukup lumayan. Ketika dibawa meloncat turun, kakek itu menjerit ketakutan. Namun sesudah turun di atas tanah, dengan langkah gagah dia menghampiri Marcus dan kawan-kawannya, ada pun pemuda gagah itu hanya melangkah penuh hormat di belakangnya!
Kun Liong merasa tertarik sekali dan diam-diam dia merasa geli. Mau apakah kakek yang seperti badut ini? Betul-betul mencari penyakit, pikirnya. Mana mungkin mengajak bicara orang macam Marcus dan gerombolan Mongol itu secara baik-baik? Akan tetapi dia diam saja, tetap duduk di atas batu besar sambil memandang penuh perhatian. Diam-diam dia memperhatikan pemuda yang berjalan di belakang kakek itu.
Seorang pemuda yang hebat, pikirnya. Tubuhnya tegap dan terlihat kuat, apa lagi karena wajahnya yang tampan itu serius dan tenang sekali. Mungkin pemuda inilah yang hebat, pikirnya kagum. Baru melihat saja sudah timbul rasa sukanya kepada pemuda itu.
Si Kakek Aneh itu kini sudah berhadapan dengan Marcus dan lima orang raksasa Mongol yang menjadi pimpinan pasukan itu. Wajahnya gembira ria dan senyumnya melebar, akan tetapi Kun Liong melihat sinar aneh memancar keluar dari sepasang mata kakek itu.
"Aihh, kiranya yang memimpin adalah seorang berkulit putih bermata biru! Eh, Tuan, kami tidak bisa tinggal diam saja melihat kalian ini mau membunuh pemuda itu. Kalian adalah manusia-manusia yang beradab, bukan? Mana mungkin boleh menyembelih seorang manusia lain? Sungguh buas dan hal ini sama sekali tidak boleh dilakukan. Sama sekali tidak boleh!"
Kun Liong menahan ketawanya. Kakek ini sungguh-sungguh mencari penyakit, pikirnya. Mengajukan ceng-li (aturan) seperti itu kepada orang-orang semacam Marcus! Alangkah menggelikan! Sama saja dengan berpidato di depan segerombolan serigala liar! Mencari penyakit namanya.
Marcus marah bukan main. "Kakek tua bangka gila! Engkau sungguh lancang! Aku mau membunuh siapa pun, engkau peduli apa? Bahkan bila sudah bosan hidup kalian berdua juga akan kubunuh sekalian!"
Kun Liong memperhatikan sikap pemuda di belakang kakek itu, namun pemuda itu tetap diam saja, sedikit pun tidak berubah air mukanya, seolah-olah ancaman hebat itu sama sekali tidak didengarnya. Kun Liong makin kagum. Pemuda itu bernyali besar! Akan tetapi yang lebih mengherankan adalah sikap kakek aneh itu. Dia ini diancam bukan menjadi takut, malah gilanya menjadi semakin hebat!
"Kalian tidak mau mundur? Wahh! Kalian malah hendak membunuh kami berdua juga? Uh-uhhh... dari pada melihat kekejaman yang tiada taranya ini, biarlah kalian bunuh kami guru dan murid lebih dulu. Setelah kalian membunuh kami berdua terserah hendak kalian apakan pemuda yang duduk di atas batu itu!"
Gila, pikir Kun Liong. Akan tetapi dia terharu. Biar pun kakek itu gila, akan tetapi gilanya adalah gilanya orang budiman! Dan kakek itu mengaku sebagai guru pemuda tegap itu. Benar-benar mengherankan dan dia menjadi semakin ingin tahu, ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya, maka dia merosot turun dari batu dan bersiap untuk melindungi mereka berdua andai kata mereka terancam oleh gerombolan ganas itu.
Marcus dan teman-temannya kini tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha!" Marcus tertawa sambil memegangi perutnya. "Kiranya tua bangka ini miring otaknya! Kau minta mati?"
Kun Liong merasa geli akan tetapi juga sangat khawatir. Dia sudah ingin meloncat maju mencegah kakek aneh itu yang membelanya secara luar biasa. Mana ada orang membela dengan cara menyerahkan nyawa sendiri? Akan tetapi pada waktu dia hendak bergerak maju, dia melihat pemuda tegap tampan itu memandang tajam kepadanya dan pemuda itu menggoyang kepalanya, jelas memberi isyarat agar dia tidak melakukan apa-apa!
Semakin tertarik dan terheranlah hati Kun Liong. Apa maunya guru dan murid itu? Kalau mereka itu orang-orang lihai dan benar hendak menolongnya, kenapa bersikap demikian aneh? Akan tetapi dia melihat pemuda itu dengan sikap sungguh-sungguh menggoyang kepalanya mencegah dia bergerak.
Kun Liong lalu mengangguk, tanda bahwa dia akan mentaati permintaan pemuda itu, lalu dia duduk kembali di atas batu besar, menonton penuh perhatian dan dengan hati amat tertarik. Dia melihat bahwa pemuda itu kini aneh sekali, memejamkan mata dan mengatur pernapasan! Akan tetapi hal itu dilakukan sambil berdiri, dengan kedua lengan bersilang di depan dada.
Dengan terheran-heran Kun Liong memperhatikan kakek itu. Kakek itu tertawa dan Kun Liong merasa tengkuknya meremang ketika mendengar suara ketawa ini. Suara ketawa yang mengandung tenaga mukjijat, yang membuat jantungnya bergetar hebat! Kemudian suara ketawa itu disusul dengan kata-kata yang lebih menggetarkan lagi, kata-kata yang menembus sampai ke ulu hati.
"Ha-ha-ha-ha-ha, kalian semua lihatlah baik-baik, apakah kalian bisa membikin aku mati. Nah, ini kepalaku, penggallah kepalaku sepuas hati kalian. Kalau aku sudah dapat kalian bunuh, juga muridku, baru kalian boleh mengeroyok pemuda itu, ha-ha-ha!"
Dengan mata terbelalak penuh keheranan Kun Liong melihat betapa kini kakek itu sudah berbaring di atas sebuah batu besar, menjulurkan kepalanya sehingga nampak lehernya yang panjang, menantang untuk dipenggal lehernya!
Marcus dan lima orang pemimpin Mongol tertawa geli, kemudian salah seorang di antara pemimpin itu mencabut goloknya, sambil tertawa-tawa menghampiri tubuh kakek yang rebah telentang. Jantung Kun Liong berdebar keras, akan tetapi anehnya, dia tak mampu menggerakkan kakinya, maka dia hanya melihat dengan mata terbelalak pada saat golok yang amat tajam berkilauan itu diayunkan dengan kuat ke arah leher kakek itu.
"Crakkkk!"
Sekali babat leher itu putus! Darah muncrat-muncrat.
Akan tetapi Kun Liong semakin terbelalak dan semua orang mengeluarkan seruan kaget ketika darah yang muncrat-muncrat itu berkumpul di atas leher yang buntung kemudian perlahan-lahan darah itu berubah menjadi kepala yang baru! Kini kepala kakek itu masih menempel, atau lebih tepat lagi, dari leher yang buntung itu ‘tumbuh’ kepala yang baru, sedangkan kepalanya yang pertama masih menggelinding di atas tanah, di bawah batu!
"Ilmu siluman...!" Marcus dan beberapa orang berteriak kaget. Akan tetapi algojo Mongol itu menjadi penasaran. Goloknya diayun lagi ke bawah.
"Crakkkk!"
Kembali kepala itu terpisah dari badannya, terpenggal dan darah muncrat-muncrat. Akan tetapi, darah itu kembali berubah menjadi sebuah kepala yang baru, menggantikan kepala ke dua yang terpenggal. Mulailah semua orang menggigil dan muka mereka pucat, mata mereka terbelalak.
"Ha-ha-ha-ha, hayo kalian boleh penggal kepalaku sepuas hatimu!" terdengar suara kakek itu mengejek dan hebatnya, yang bersuara bukan hanya mulut dari kepala yang masih menempel di leher, bahkan dua buah kepala yang sudah menggelinding dan berada di atas tanah itu pun menggerakkan mulut mengeluarkan kata-kata itu dan matanya merem melek, bibirnya tersenyum!
"Setan...!"
"Ilmu iblis...!"
"Siluman...!"
"Biar kupenggal lagi kepalanya!" Orang Mongol itu masih nekat dan mengayun goloknya.
Akan tetapi ketika berulang-ulang dia memenggal kepala dan selalu tumbuh kepala baru dari leher yang buntung, orang Mongol itu yang sejak tadi menahan rasa takutnya, kini tak kuat lagi melihat banyak kepala berserakan di dekat kakinya, kepala yang masih hidup, tertawa dan melotot. Dia mengeluh, goloknya terlepas dan dia roboh pingsan!
Seperti tawon diusir dari sarangnya, seratus lebih Pasukan Tombak Maut itu kini berlomba melarikan diri, didahului oleh Marcus dan empat orang pemimpin Mongol! Debu mengebul tinggi ketika mereka tergesa-gesa membalapkan kuda dan membawa pergi algojo Mongol yang masih pingsan!
Kun Liong masih duduk dengan mata terbelalak pada saat pundaknya ditepuk orang dari belakang. Dia lalu menoleh dan melihat bahwa yang menepuk pundaknya adalah pemuda tampan gagah tadi. Dia terkejut, mukanya masih pucat dan ketika dia memandang lagi ke arah ‘mayat’ yang lehernya dipenggal berkali-kali itu, ternyata bahwa kakek itu pun sudah bangkit berdiri dan kepala-kepala yang tadi berserakan di atas tanah sudah lenyap. Yang ada hanyalah kakek itu, sedang tersenyum-senyum tenang seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu.
"Eh, apa yang terjadi...? Bagaimana... mengapa..." Kun Liong masih bingung dan dengan gagap bertanya.
"Sudah kuberi isyarat, akan tetapi engkau tak mau meniru apa yang kulakukan, sehingga engkau terpengaruh pula oleh hoatsut yang dikerahkan Suhu untuk menakut-nakuti dan mengusir mereka," kata pemuda itu.
"Hoatsut (ilmu sihir)...? Ahh... kiranya begitu?" Kun Liong kagum bukan main dan kini dia memandang kakek itu dengan sikap hati-hati.
Tak disangkanya kakek itu memiliki kekuatan batin yang demikian hebat sehingga dapat bermain sulap dan mempengaruhi sedemikian banyaknya orang. Kemudian dia menjura dengan sikap hormat sambil berkata,
"Kiranya saya sedang berhadapan dengan orang pandai! Terima kasih atas pertolongan Locianpwe. Saya Yap Kun Liong dan bolehkan saya mengetahui nama besar Locianpwe dan saudara gagah perkasa?"
"Ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa bergelak. "Yap-sicu terlalu merendahkan diri dan bersikap sungkan. Kami guru dan murid sama sekali tidak menolong Sicu yang gagah perkasa. Kalau mau bicara tentang pertolongan, agaknya lebih tepat kalau dikatakan bahwa aku telah menolong orang-orang Mongol bodoh itu dari kematian di tangan Sicu yang amat lihai. Karena tak ingin menyaksikan Sicu yang perkasa melakukan pembunuhan terhadap ratusan orang, maka terpaksa dengan lancang aku menakut-nakuti mereka agar mereka dapat diusir tanpa dibunuh."
Kun Liong terkejut. Selain lihai ilmu sihirnya, kiranya kakek itu juga bermata tajam dan berpandangan luas, membuat dia makin tunduk sehingga cepat dia berkata, "Locianpwe terlalu memuji. Harap sudi memperkenalkan nama."
"Aku disebut Hong Khi Hoatsu, seorang pertapa yang berkelana tak tentu tempat tinggal dan arah tujuan. Dia ini adalah Lie Kong Tek, muridku yang juga menjadi anak angkatku. Yap-sicu, kalau boleh aku bertanya, kenapa Sicu dimusuhi oleh gerombolan orang-orang Mongol dan orang kulit putih itu? Sedangkan Sicu sendiri memakai pakaian orang kulit putih."
Kun Liong menunduk memandang pakaiannya sendiri. Dia tidak ingin berpanjang cerita, apa lagi menyangkut diri Lauw Kim In yang telah bersikap baik kepadanya itu.
"Mungkin karena pakaian inilah yang membuat aku dimusuhi mereka, Locianpwe. Mereka mengira bahwa aku mencuri pakaian salah seorang di antara teman mereka, juga dituduh membunuh orang itu."
"Hemm, memang aneh melihat Sicu memakai pakaian seperti ini."
"Memang aku mengambil pakaian ini dari mayat seorang kulit putih yang terbunuh oleh gerombolan Mongol." Dengan singkat Kun Liong menuturkan pengalamannya ketika dia menolong seorang kulit putih yang dikeroyok orang-orang Mongol akan tetapi yang tidak berhasil diselamatkan nyawanya itu.
"Aku disangka membunuhnya dan dikejar-kejar, untung muncul Locianpwe dan Lie-twako yang menolongku."
Hong Khi Hoatsu tertawa. "Jangan Sicu mengulangi kata-kata menolong. Kalau boleh aku mengetahui, Yap-sicu hendak menuju ke manakah? Mengapa sampai tersesat di tempat terasing di luar Tembok Besar ini?"
"Aku hendak pergi ke Tibet untuk suatu urusan yang amat penting, urusan pribadi."
Berseri wajah kakek itu. "Bagus, kalau begitu kita dapat melakukan perjalanan bersama!"
"Mana saya berani mengganggu Locianpwe?"
"Ahh, pertemuan ini berarti bahwa ada jodoh di antara kita, Yap-sicu. Apabila Sicu tidak bertemu dengan kami, tentu tidak ada yang memberi tahu bahwa sebenarnya Sicu sudah keliru mengambil jalan!"
"Apa maksud Locianpwe?"
"Perjalanan menuju Tibet sebaiknya dilakukan melalui pedalaman. Dari sini menyeberang Tembok Besar memasuki pedalaman terus ke selatan, setelah tiba di Propinsi Shantung, barulah ke barat melalui Secuan. Dengan demikian, selain perjalanan lebih cepat, juga jauh lebih aman. Melalui pegunungan dan padang pasir di luar Tembok Besar merupakan perjalanan yang amat sukar, berbahaya, dan karenanya akan makan waktu lebih lama."
"Aihh! Begitukah?" Kun Liong berseru kaget dan juga girang.
"Karena itu, marilah Sicu melakukan perjalanan bersama kami. Selain Sicu memperoleh petunjuk jalan, juga kalau Sicu sudi membantu kami membutuhkan bantuan Sicu."
Kun Liong tidak segera menyanggupi. "Ji-wi hendak pergi ke manakah?"
"Kami bertujuan pergi ke muara Sungai Huai, di pantai Laut Kuning..."
"Ahhh...!" Kun Liong terkejut sekali karena dia segera teringat akan orang kulit putih yang dia rampas pakaiannya, kata-kata pesanan orang itu sebelum mati.
"Mengapa Yap-sicu terkejut?" kakek itu bertanya.
"Apakah ada hubungannya dengan Pek-lian-kauw?" Kun Liong memancing.
Kini kakek dan pemuda ganteng itu yang kaget. Hong Khi Hoatsu memandang tajam lalu bertanya, "Yap-sicu, kita adalah orang-orang sendiri sehingga tidak perlu merahasiakan sesuatu. Dari mana Sicu tahu akan Pek-lian-kauw yang berada di muara Sungai Huai?"
"Aku mendengar dari pemilik pakaian ini. Sebelum dia mati, dia meninggalkan kata-kata tentang Pek-lian-kauw di muara Sungai Huai di pantai Laut Kuning."
"Bagus sekali! Jadi jelas bahwa Sicu bukanlah sahabat Pek-lian-kauw, bukan?"
"Tentu saja bukan, Locianpwe. Bahkan di waktu kecil dahulu, hampir saja saya dibunuh seorang tosu Pek-lian-kauw bernama Loan Khi Tosu."
"Hemm, kalau begitu kebetulan sekali. Sicu tentu sudi membantu kami untuk suatu usaha menolong orang dan berhadapan dengan Pek-lian-kauw, bukan?"
"Harap Locianpwe menceritakan persoalannya terlebih dahulu sebelum saya menyatakan kesanggupan saya."
"Kami benar-benar mengharapkan bantuan Sicu karena menyaksikan gerakan Sicu tadi kami merasa sangat yakin bahwa hanya seorang dengan kepandaian seperti Sicu yang akan dapat membantu. Ketahuilah, Yap-sicu. Ketika aku bersama muridku mengunjungi salah seorang sahabat baikku di luar Tembok Besar, kami melihat dia berada di ambang kematian karena luka-lukanya. Dia telah bentrok dengan Pek-lian-kauw, dan dalam suatu pertandingan yang hebat, dia terluka parah dan puterinya telah tertawan dan diculik oleh kaum Pek-lian-kauw yang berkedudukan di muara Sungai Huai di pantai Laut Kuning. Sebelum mati, sahabatku itu berpesan agar kami suka menolong puterinya itu, bahkan dia menyerahkan puterinya itu kepadaku untuk dijodohkan dengan muridku."
"Hemmm..." Kun Liong mengangguk-angguk sambil melirik ke arah pemuda tampan itu yang sejak tadi diam saja. Mereka bertemu pandang dan Lie Kong Tek berkata,
"Saudara Yap, pesan seorang yang sedang sekarat merupakan pesan keramat. Biar pun saya tidak setuju dengan ikatan jodoh yang mendadak ini, namun saya tidak tega untuk menolak, dan terserah kepada Suhu. Betapa pun juga, kami harus menolong gadis yang belum pernah kami lihat itu. Kami hanya mengetahui namanya, yaitu Bu Li Cun."
Mendengar ini, tanpa ragu-ragu lagi Kun Liong berkata, "Kalau demikian persoalannya, tentu saja saya dengan senang hati akan membantu Ji-wi!"
"Bagus! Dengan bantuan dari Yap-sicu maka tugas kami menjadi lebih ringan dan makin besar pula harapannya akan berhasil baik!" Kakek itu tertawa-tawa gembira.
Lie Kong Tek lalu membuka bungkusan pakaiannya dan menyerahkan satu stel pakaian kepada Kun Liong sambil berkata, "Saudara Yap, harap kau suka memakai pakaian ini. Pakaianmu itu hanya akan menimbulkan kecurigaan dan keributan saja."
Kun Liong tersenyum. Tanpa membantah dia menerima pakaian itu, langsung mengganti pakaiannya yang memang aneh itu. Setelah mengenakan pakaian biasa, barulah hatinya terasa enak dan lega maka sambil tersenyum dia lalu mengucapkan terima kasih kepada sahabat baru itu.
"Eh, Yap-sicu. Aku merasa heran sekali melihat bentuk rambut kepalamu dan aku takkan puas sebelum mendengar darimu kenapa rambutmu menjadi begitu pendek," kakek yang suka berkelakar dan suka mengobrol itu bertanya.
Kun Liong meraba-raba kepalanya, merasa beruntung bahwa sekarang kepalanya sudah berambut. Kini sudah berambut saja, karena masih pendek, tetap menjadi perhatian dan pertanyaan orang, apa lagi kalau masih gundul!
"Panjang ceritanya, Locianpwe."
"Jika begitu, mari kita melanjutkan perjalanan dan harap kau suka menceritakan di dalam perjalanan, Yap-sicu."
Sambil bercakap-cakap berangkatlah ketiga orang itu ke selatan dan Kun Liong merasa makin suka kepada guru dan murid itu. Dia mulai membuka sedikit perihal dirinya dengan menceritakan betapa rambutnya pernah gundul karena pengaruh racun, namun sekarang telah sembuh.
Beberapa hari kemudian Kun Liong sudah menjadi sahabat baik Lie Kong Tek. Diam-diam dia merasa kagum dan heran. Kagum karena baik si guru mau pun si murid merupakan orang-orang gagah dan budiman, jujur dan ramah, akan tetapi dia juga heran mengapa terdapat perbedaan seperti bumi dan langit antara guru dan murid itu. Kalau gurunya suka mengobrol, gembira dan jenaka, adalah si murid terlampau pendiam dan serius sehingga sukar sekali mengukur sampai di mana tingkat kepandaian Lie Kong Tek ini.
Setelah mereka melewati Tembok Besar, mulailah Kun Liong melihat peradaban, melihat lagi kota-kota dan penduduknya, bertemu dengan manusia-manusia biasa di dunia ramai. Namun, berbeda dengan dahulu, semua itu hanya merupakan hiburan sepintas lalu saja karena hati dan pikirannya selalu penuh dengan bayangan wajah Pek Hong Ing sehingga sering kali dia merasa gelisah memikirkan keselamatan wanita yang dicintanya itu.
Dunia kang-ouw gempar dengan tersebarnya undangan dari Pek-lian-kauw wilayah timur yang hendak merayakan pernikahan antara Cia Giok Keng, puteri dari Ketua Cin-ling-pai dengan Liong Bu Kong, putera bekas Ketua Kwi-eng-pang. Pek-lian-kauw menjadi wali dari Liong Bu Kong sehingga dengan demikian berarti bahwa Pek-lian-kauw kini berbesan dengan Cin-ling-pai!
Tentu saja berita ini menggemparkan para orang gagah di dunia kang-ouw dan pada hari pernikahan yang telah ditentukan, berbondong-bondong orang-orang gagah dari segenap penjuru membanjiri muara Sungai Huai, markas besar Pek-lian-kauw di wilayah timur itu. Semua orang ingin menyaksikan peristiwa yang sangat aneh ini, karena setahu mereka, Pendekar Sakti Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai adalah seorang gagah yang selalu membantu pemerintah menentang Pek-lian-kauw. Bagaimana mungkin sekarang malah berbesan dengan Pek-lian-kauw, dan mengambil mantu seorang pemuda putera seorang datuk kaum sesat?
Pada pagi hari yang telah ditentukan, mulai dari ruangan depan Pek-lian-kauw sampai ke pekarangan penuh dengan para tamu yang sebagian besar terdiri dari orang-orang dari dunia kang-ouw dan liok-lim. Baik golongan putih mau pun hitam hadir, karena mereka semua tertarik oleh peristiwa yang luar biasa ini.
Pihak Pek-lian-kauw yang ingin menarik sebanyak mungkin orang gagah untuk membantu perjuangannya melawan pemerintah, sekali ini mengadakan pesta besar-besaran. Daging dan arak diobral sampai berlimpah-limpah.
Di antara para tamu itu terdapat Hong Khi Hoatsu, Lie Kong Tek, serta Yap Kun Liong. Mereka bertiga bukan merupakan tamu-tamu yang diundang. Mereka sengaja menyelinap di antara sekian banyaknya tamu. Tentu saja tidak ada yang mengenal mereka sehingga tidak ada pula yang mencurigai.
Seperti diketahui, tadinya kedatangan mereka adalah hendak menyelidiki serta menolong seorang gadis bernama Bu Li Cun yang sudah terculik oleh orang-orang Pek-lian-kauw. Akan tetapi, pada waktu tiba di situ dan melihat Pek-lian-kauw sedang mengadakan pesta pernikahan yang didatangi ratusan orang tamu, mereka bertiga tidak berani sembarangan turun tangan dan menyelinap di antara para tamu untuk melihat keadaan sambil menanti kesempatan baik. Mereka baru saja tiba di sana, maka tidak mendengar siapa yang akan menikah di markas Pek-lian-kauw itu. Juga mereka tak menganggap penting hal ini maka tidak menyelidiki.
Ketika sepasang pengantin keluar dari dalam untuk melakukan upacara pernikahan dan sembahyangan, para tamu memandang dengan penuh perhatian. Suasana menjadi sunyi karena semua orang tidak mengeluarkan suara, bahkan makan minum dihentikan dengan sendirinya.
Cia Giok Keng yang memakai pakaian pengantin, mencucurkan air mata karena terharu dan berduka. Dia tidak ingat hal-hal yang baru saja terjadi. Yang diingatnya hanyalah bahwa hari ini dia menikah dengan pemuda pilihannya, Liong Bu Kong yang upacaranya dilakukan oleh Pek-lian-kauw yang sudah menolong mereka.
Dan dia ingat pula bahwa pernikahan ini tidak disetujui oleh ayahnya, dan bahwa dia telah diusir oleh ayahnya sehingga terpaksa menikah secara ini. Ia berduka sekali, akan tetapi sebagai seorang dara yang berhati keras, dia dapat menahan kedukaannya dan bertekad untuk melanjutkan keinginannya menikah dengan seorang pilihan hatinya sendiri.
Ketika keluar dan dituntun ke depan meja sembahyang yang sudah dipersiapkan secara mewah di ruangan depan untuk melakukan upacara pernikahan dengan disaksikan oleh semua tamu, Giok Keng tidak memperhatikan, bahkan tidak mempedulikan para tamu. Di bawah pengaruh obat perampas ingatan, dia hanya menurut saja pada saat dituntun dan disuruh berlutut di depan meja sembahyang berdampingan dengan Liong Bu Kong yang mengenakan pakaian pengantin yang gagah dan indah.
Hati pemuda ini girang sekali. Hari ini cita-citanya terlaksana. Dia dapat memperisteri Cia Giok Keng secara sah! Dan malam nanti, dara yang cantik jelita ini akan menyerahkan diri kepadanya sebagai isterinya, dengan suka rela dan secara resmi! Selain kebahagiaan ini, dia pun memperoleh kedudukan yang kuat dan baik di Pek-lian-kauw! Kemujuran yang sama sekali tidak disangka-sangkanya setelah kesialan yang dialami ketika ibunya tewas dan Kwi-eng-pang hancur.
Seorang pendeta tua Pek-lian-kauw ditugaskan memimpin upacara sembahyang untuk meresmikan pernikahan itu. Hio sudah dipasang, dupa telah dibakar, dan pendeta tua itu siap membaca doa liam-keng.
Namun, baru saja hio dibakar dan hendak diberikan kepada sepasang mempelai, tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring. Lengking yang panjang mengerikan, dan tampaklah sinar putih berkelebat diikuti pekik pendeta tua itu. Hio-hio terlepas dari tangannya karena dupa-dupa biting itu sudah patah semua. Tersusul suara keras dan meja sembahyang itu terguling berantakan!
Gegerlah semua orang, apa lagi ketika tiba-tiba muncul seorang laki-laki gagah perkasa yang berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang, matanya mengeluarkan sinar berapi-api dan meja sembahyang tadi terguling oleh dorongan tangannya dari jarak jauh! Semua orang terkejut apa lagi ketika banyak di antara mereka yang mengenal laki-laki setengah tua yang gagah perkasa itu.
"Cia Keng Hong Taihiap...!"
"Ketua Cin-ling-pai...!"
Bisikan-bisikan ini menjadi berantai dan semua orang langsung memandang dengan mata terbelalak. Ternyata yang muncul adalah pendekar sakti ini, ayah dari pengantin wanita yang kelihatan marah bukan main.
Tentu saja belasan orang anggota Pek-lian-kauw yang bertugas menjaga di situ menjadi marah. Mereka ini tidak mengenal siapa adanya laki-laki yang datang mengacau ini dan mereka pun tidak menerima perintah sesuatu. Maka, melihat ada orang mengacau pesta, bahkan sudah menggulingkan meja sembahyang, belasan orang anggota Pek-lian-kauw sudah menyerbu dan mengeroyok dengan senjata golok mereka.
Terdengar suara berkerontangan disusul pekik mereka, kemudian seorang demi seorang robohlah delapan belas orang pengeroyok itu, roboh pingsan dan golok mereka terlempar ke sana-sini. Ketika mereka semua sudah roboh, pendekar sakti itu masih berdiri bertolak pinggang di tengah-tengah antara mereka seolah-olah dia tadi tidak bergerak sama sekali dan para pengeroyoknya berjatuhan sendiri tanpa dia bergerak!
Ada pun sepasang pengantin kini sudah bangkit berdiri dan memandang dengan wajah pucat kepada laki-laki perkasa yang bukan lain adalah Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai itu! Cia Giok Keng sudah menyingkap tirai dari mukanya, dan memandang pada ayahnya dengan mata terbelalak penuh kemarahan!
Akan tetapi dia tidak berani membantah kehendak isterinya! Kalau isterinya marah-marah, seperti yang pernah beberapa kali dilakukan oleh Kim In, kemudian mati-matian isterinya mempertahankan diri, tidak mau mendekatinya, tidak mau melayani cintanya, dia merasa tersiksa setengah mati! Sejak itulah, dia tidak lagi berani membantah kehendak isterinya. Tidak ada kesengsaraan lebih besar baginya dari pada kalau isterinya marah dan mogok, tidak mau mendekati dan melayaninya!
Terutama sekali Marcus merasa penasaran sehingga diam-diam dia marah sekali. Jelas baginya bahwa Yap Kun Liong adalah seorang yang berbahaya, seorang musuh, entah musuh yang berpihak mana saja, akan tetapi yang jelas, bukanlah seorang yang boleh dianggap sebagai seorang sahabat. Bagi dia, Kun Liong harus dibunuh dan sama sekali tidak boleh diberi ampun. Akan tetapi, melihat betapa Ouwyang Bouw, tokoh pertama dan utama dalam gerombolan mereka itu tidak berani membantah kehendak Lauw Kim In, dia pun tidak berani berkutik dan langsung duduk kembali sambil memandang tajam penuh perhatian.
"Yap Kun Liong, duduklah!" kata Kim In sesudah melihat bahwa semua orang mentaati permintaannya.
"Terima kasih, engkau baik sekali Nona... ehh, Nyonya," katanya sambil melirik ke arah Ouwyang Bouw yang makin cemberut.
Suasana di ruangan itu menjadi hening sejenak. Kun Liong menujukan pandang matanya ke sekeliling. Tampak olehnya betapa tempat itu, walau pun dalam jarak agak jauh, telah dijaga ketat oleh banyak sekali anggota pasukan yang memegang tombak. Penjagaan yang amat rapi dan ketat, seperti dalam benteng tentara saja.
"Yap Kun Liong, engkau melihat sendiri betapa engkau sudah dikurung dengan rapat di tempat ini. Betapa pun lihaimu, engkau takkan mungkin dapat keluar dengan selamat apa bila kami menghendaki. Karena itu, kau ceritakanlah dengan sejujurnya dan sebenarnya, apa yang kau lakukan di tempat ini dan kenapa pula engkau mengenakan pakaian salah seorang anak buah sahabat kulit putih."
Kata-kata yang dikeluarkan oleh Kim In itu agaknya ditujukan untuk mendinginkan hati mereka yang merasa panas dan marah kepada Kun Liong. Kun Liong mengerti bahwa sesungguhnya Kim In ingin bicara hal lain dengan dia, akan tetapi sebelumnya minta agar dia suka menceritakan keadaannya itu supaya menghilangkan kecurigaan para pimpinan pasukan, terutama sekali Marcus dan Ouwyang Bouw.
"Aku tak sengaja memasuki daerah ini, karena aku sedang melakukan perjalanan menuju ke barat dan melalui tempat ini. Aku hampir mati di padang pasir yang tidak kukenal dan kebetulan di dalam perjalanan aku melihat seorang lelaki berkulit putih sedang dikeroyok oleh tiga belas orang Mongol yang dipimpin oleh seorang raksasa Mongol bermata sipit ahli gulat..."
"Hemm, tentu Si Tula yang memberontak!" Tiba-tiba seorang di antara pemimpin Mongol berseru.
"Laki-laki kulit putih itu luka-luka parah. Aku menolongnya dan berhasil menghalau para pengeroyoknya. Akan tetapi dia tidak tertolong lagi. Aku lalu mengubur jenazahnya, akan tetapi karena pakaianku sudah robek-robek sehingga aku hampir telanjang dan aku amat membutuhkan pakaian, maka aku mengambil pakaiannya sebelum kukuburkan jenazah itu."
"Laki-laki kulit putih? Tahukah engkau siapa dia?" Kim In bertanya.
"Tidak, dia tidak sempat menyebutkan namanya, usianya kurang lebih tiga puluh tahun, kumisnya panjang melintang dan berwarna kemerahan..."
"Alberto...!" Tiba-tiba saja Marcus berkata dan semua orang saling pandang dengan alis berkerut.
Alberto adalah utusan mereka, orang yang penting untuk menghubungi Pek-lian-kauw. Akan tetapi Kun Liong tidak mau bicara tentang pesan orang yang hampir mati itu ketika menyebut-nyebut nama Pek-lian-kauw. Dia tidak mau mencampuri urusan orang lain.
"Aku tidak tahu siapa dia. Aku memang sudah mengambil pakaiannya, akan tetapi hal itu kulakukan karena terpaksa, karena aku harus melindungi tubuhku dari serangan panas, dan kuanggap sebagai pembalasan perbuatanku yang sudah mengurus serta mengubur jenazahnya."
"Si Keparat Tula! Dia harus kita hajar!" Marcus berkata dan lima orang Mongol itu lantas mengangguk-angguk.
"Yap Kun Liong, sekarang ceritakanlah, ke mana engkau hendak pergi dan mengapa kau melalui tempat asing di luar Tembok Besar ini?"
Kun Liong amat terkejut dan memandang wajah Kim In dengan mata terbelalak. "Di luar Tembok Besar? Wah, pantas adanya hanya padang pasir melulu dan gunung-gunung liar! Aku tidak tahu, tidak mengenal jalan. Aku hanya tahu bahwa aku harus ke barat, karena aku hendak pergi ke Tibet."
Semua orang menjadi terkejut dan pandang mata Marcus tajam menyelidik, agaknya dia mulai curiga lagi.
"Ke Tibet?" Lauw Kim In bertanya.
Kun Liong dapat menduga bahwa sebenarnya wanita itu ingin mendengar berita tentang sumoi-nya, maka dia lalu berkata terus terang, "Benar, ke Tibet untuk mencari Pek Hong Ing."
Tepat dugaan Kun Liong, karena begitu mendengar nama sumoi-nya, wajah Kim In lantas berubah dan perhatiannya tercurah sepenuhnya.
"Apa yang terjadi dengan Sumoi?" tanyanya tidak sabar.
"Tiga orang pendeta Lama yang sangat lihai sudah membawanya pergi dan aku tidak berdaya mencegahnya, bahkan aku hampir mati oleh mereka yang sangat lihai. Setelah aku sembuh, aku sekarang pergi menyusul dan hendak mencarinya. Karena mereka itu adalah pendeta-pendeta Lama, maka aku hendak mencari mereka ke Tibet."
"Ahhhh...!" Wajah yang cantik itu menjadi pucat, agaknya dia merasa cemas sekali akan nasib sumoi-nya.
Melihat ini, Kun Liong merasa kasihan dan juga senang bahwa wanita ini masih mencinta sumoi-nya. Maka berkatalah dia dengan suara menghibur, "Harap kau jangan khawatir. Aku pasti akan mencarinya sampai dapat, dan aku merasa yakin bahwa aku akan dapat menyelamatkannya dari ancaman siapa pun juga!"
Kim In menggerakkan bibirnya, akan tetapi tidak mengatakan sesuatu, lalu dia menunduk. Kemudian terdengar dia menghela napas dan berkata, "Kalau begitu, engkau sama sekali tidak melakukan suatu kesalahan terhadap kami. Kau boleh pergi sekarang juga."
Kun Liong bangkit berdiri dan memandang ke sekeliling. Dia melihat betapa sinar mata Marcus melahapnya seperti hendak membunuhnya dengan sinar mata akan tetapi orang kulit putih itu tidak berani bergerak.
Melihat keraguan Kun Liong, Kim In lalu berkata kepada lima orang pemimpin Mongol, "Biarkan dia pergi. Dia hendak mencari sumoi-ku."
Lima orang Mongol itu lalu mengeluarkan teriakan sebagai aba-aba dan di luar ruangan terdengar teriakan-teriakan menyambut dalam bahasa Mongol. Dua orang prajurit masuk lalu mengawal Kun Liong keluar dari situ. Kun Liong hanya tersenyum dan tidak berkata apa-apa, hanya mengikuti dua orang prajurit itu keluar dari benteng ini.
Tak lama kemudian setelah Kun Liong pergi, Kim In berkata kepada suaminya, "Aku lupa untuk berpesan sesuatu kepadanya supaya disampaikan kepada Sumoi-ku! Kalian tunggu sebentar, aku hendak menyusulnya!"
Tanpa memberi kesempatan orang lain untuk menjawab, tubuh Kim In sudah mencelat dan seperti terbang cepatnya dia sudah berlari keluar mengejar.
Kun Liong sudah keluar dari pintu gerbang dan selagi dia berjalan dengan hati ringan karena tak disangkanya bahwa urusan dengan orang macam Ouwyang Bouw dan Marcus dapat diselesaikan sedemikian mudahnya berkat Lauw Kim In, tiba-tiba terdengar suara wanita itu dari belakang,
"Kun Liong, tunggu dulu!"
Kun Liong membalikkan tubuhnya, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum sungguh pun hatinya berdebar tegang karena dia khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak menguntungkan dirinya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun dia memandang wanita itu dengan mata penuh pertanyaan.
"Aku ingin bertanya sesuatu kepadamu," kata Lauw Kim In setelah dia berdiri di depan pemuda itu. "Mengapa engkau pergi bersusah payah mencari Sumoi?"
Kun Liong tersenyum. Kiranya hanya persoalan itu yang membuat wanita ini berlari-lari menyusulnya. "Tentu saja aku mencarinya karena dia terancam bahaya, meski pun para pendeta Lama itu tidak menyatakan demikian. Bahkan... bahkan... ada hal yang amat luar biasa yang membuka rahasia Hong Ing... tentang ayahnya..." Kun Liong masih ragu-ragu apakah dia akan menceritakan semua peristiwa yang terjadi di pulau kosong itu.
"Hmm, tentang ayahnya? Seorang pendeta Lama? Aku sudah tahu sedikit-sedikit tentang riwayatnya, Kun Liong. Ingat, aku bersama dengan Subo ketika kami menemukan ibunya dan dia."
Kun Liong sekarang tidak ragu-ragu lagi dan diceritakanlah semua peristiwa yang terjadi di pulau itu, tentang pertemuan mereka dengan pendeta Lama sakti yang ternyata adalah ayah Pek Hong Ing, yaitu pendeta yang ternyata bernama Kok Beng Lama, tentang tiga orang pendeta Lama lain yang membawa pergi Hong Ing.
"Demikianlah, biar pun mereka itu mengaku supek dan susiok Hong Ing, aku masih curiga dan aku harus mencari Hong Ing sampai ketemu." Kun Liong mengakhiri penuturannya.
Lauw Kim In merasa kagum dan terheran-heran, lalu menghela napas dan bertanya, "Yap Kun Liong, katakanlah. Apakah engkau mencinta sumoi?"
Kun Liong mengangguk, menjawab dengan sepenuh hatinya, "Aku cinta kepadanya, dan aku siap mengorbankan nyawa demi untuk keselamatannya. Aku cinta kepada Pek Hong Ing, mencintanya dengan seluruh jiwa dan ragaku!"
Terdengar isak atau sedu sedan naik dari dada Lauw Kim In. "Syukurlah..." dia berbisik, "Semoga dia berbahagia..." dan tiba-tiba sekali, tanpa disangka-sangka, tangan kanannya bergerak dan sudah mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Kun Liong!
Akan tetapi Kun Liong tidak mengelak dan kelihatan tenang-tenang saja seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu.
"Hemmm... apa bila aku menghendaki, bukankah nyawamu telah melayang, Kun Liong?" katanya sambil memperlihatkan segumpal rambut di dalam cengkeraman tangannya.
Memang ilmu kepandaian Lauw Kim In hebat bukan main. Tangannya dapat memutuskan segumpal rambut tanpa terasa sedikit pun oleh Kun Liong.
Akan tetapi pemuda itu tersenyum. "Kalau aku menghendaki, engkaulah yang akan roboh dulu, akan tetapi aku tahu bahwa engkau hanya ingin mengujiku, dan melihat apakah aku cukup dapat diandalkan untuk menolong Sumoi-mu. Bukankah begitu?"
Lauw Kim In terkejut. "Apa... apa maksudmu?"
"Lihat saja itu... sayang engkau yang secantik ini mau mengorbankan diri menjadi isteri Ouwyang Bouw."
Kim In yang dituding dadanya itu cepat menunduk dan menahan jeritnya. Bajunya telah berlubang, baju luar dan dalam sehingga sebuah di antara ujung buah dadanya mencuat keluar tanpa dirasakannya sama sekali! Dia mendengar angin menyambar dan ketika dia mengangkat mukanya, ternyata yang tampak hanya bayangan Kun Liong berkelebat dan pemuda itu sudah lenyap dari depannya!
Kim In menjatuhkan diri duduk di atas tanah, menutupi buah dada yang menjenguk keluar seperti melalui jendela itu dengan tangan kirinya, termenung dan termangu-mangu. Akan tetapi pada wajahnya yang cantik tersungging senyum. Dia merasa ikut bahagia bahwa sumoi-nya, satu-satunya orang yang dicintanya bagaikan adiknya sendiri, ternyata sudah memperoleh seorang kekasih yang demikian lihai, demikian lucu namun agak sayang…, demikian kurang ajar! Akan tetapi kekurang ajaran yang dapat dia maafkan dan bahkan membuat dia tersenyum geli.
Gara-gara dia hendak memperlihatkan kepandaiannya, ternyata dia malah mendapatkan malu. Kalau saja Kun Liong menghendaki, setelah dapat merobek baju luar dalam di dada tanpa dirasainya, tentu pemuda itu dapat melakukan apa pun juga terhadap dirinya tadi!
Pada saat Kim In kembali ke markas dengan pikiran masih tenggelam ke alam lamunan memikirkan sumoi-nya yang tidak disangka-sangkanya bertemu dengan ayahnya dan kini malah dibawa oleh para Lama sakti ke Tibet, terjadilah hal lain yang tidak diketahui oleh wanita ini. Diam-diam, dengan persetujuan Ouwyang Bouw, Marcus dan para pimpinan orang Mongol mengerahkan seratus lebih Pasukan Tombak Maut melakukan pengejaran terhadap Kun Liong dengan maksud membunuh pemuda itu!
Kun Liong berjalan seorang diri, hatinya gembira karena dia telah terlepas dari bencana. Dia tersenyum-senyum kalau mengingat pertemuannya yang terakhir dengan Lauw Kim In, akan tetapi wajahnya menjadi merah dan dia merasa malu sendiri bila teringat akan kekurang ajarannya telah merobek baju wanita itu hingga tampak sebuah di antara buah dadanya. Sayang, pikirnya. Wanita secantik itu, dengan bentuk tubuh seindah itu, harus menyerahkan diri kepada seorang pria semacam Ouwyang Bouw!
Dia menghela napas dan jantungnya berdebar tegang, mencela diri sendiri yang harus mengaku bahwa darah mudanya bergelora ketika dia mengingat akan penglihatan yang menggairahkan hatinya itu.
Gairah hatinya membuat dia mengingat yang bukan-bukan, teringat akan malam yang tak akan pernah terlupakan olehnya, di malam sunyi, di dalam kuil tua di mana dia tenggelam dalam buaian cinta bersama Hwi Sian! Jantungnya berdebar makin keras dan begitu dia teringat kepada Hong Ing, semua bayangan itu lenyap dan ingin dia menampar mukanya sendiri. Sialan! Mata keranjang! Demikian dia memaki diri sendiri.
Tiba-tiba terdengar olehnya derap kaki banyak kuda dari belakang. Kun Liong tersenyum dan menghentikan langkahnya, bahkan dia lalu duduk di atas sebuah batu besar sambil menghapus keringatnya di leher dan muka. Dia mengira bahwa tentu Lauw Kim In yang mengejarnya lagi, entah sekarang mau apa wanita itu. Dia tidak khawatir akan celaka di tangan wanita itu.
Akan tetapi ketika seratus orang lebih itu tiba dekat, dia mengerutkan alisnya. Pasukan Mongol yang menunggang kuda itu mengurungnya, semua meloncat turun dari atas kuda dengan sikap mengancam dan dengan senjata tombak di tangan. Marcus berada paling depan, sudah menodongkan anak panah yang telah dipasang pada busurnya, sikapnya mengancam dan senyumnya menyeringai.
"Yap Kun Liong, cepat engkau katakan di mana disimpannya bokor emas, baru aku mau mengampuni nyawamu!" bentak Marcus sambil menodongkan anak panahnya.
Wajah Kun Liong menjadi merah. Maklumlah dia bahwa di dalam persekutuan ini pun, Marcus hanya mencari keuntungannya sendiri dan tentu perbuatannya ini di luar tahunya Ouwyang Bouw mau pun Lauw Kim In.
"Hemm," Kun Liong tersenyum. "Marcus, engkau memang seorang yang licin dan curang. Tadinya engkau bersekutu dengan Tok-jiauw Lo-mo, kemudian rela menjadi gendak Kim Seng Siocia, sekarang engkau membohongi dan menipu orang-orang Mongol."
"Jangan banyak cakap! Nyawamu berada di tanganku! Hayo katakan di mana bokor itu?"
"Aku tidak tahu di mana benda pusaka itu. Andai kata aku tahu sekali pun, tak mungkin akan kuberi tahukan padamu," jawab Kun Liong tenang, akan tetapi diam-diam tangannya telah mencengkeram hancur ujung batu dan digenggamnya dengan tangan kanan.
"Keparat! Kalau begitu mampuslah!"
"Wit-wir-wirrr...!" Tiga batang anak panah meluncur dari busur itu dengan cepat sekali.
"Siuuuuttt... singggg... tak-tak-takkk!"
Tiga batang anak panah itu runtuh dan patah-patah disambar oleh hancuran batu yang disambitkan tangan kanan Kun Liong. Pemuda itu masih duduk dengan tenang dan tidak mempedulikan sikap Marcus yang terkejut dan memandang anak panahnya dengan muka pucat.
"Serbu...! Bunuh...!" Marcus berteriak marah sekali, karena untuk menyerang lagi dengan anak panah dia tidak berani. Sekali saja gagal seperti itu sudah cukup memalukan.
Meski pun dikepung oleh seratus orang lebih yang bertubuh tinggi besar, bersikap ganas dan bersenjata tombak panjang, Kun Liong tidak menjadi gentar dan dia masih enak-enak duduk di atas batu besar.
"Wah-wah-wah, tidak adil sama sekali! Hei, jangan kalian tidak tahu malu!" tiba-tiba saja terdengar teriakan dari atas!
Semua orang juga Kun Liong memandang ke atas dan kiranya di atas pohon tak jauh dari situ terdapat dua orang laki-laki sedang duduk nongkrong di atas dahan pohon dan yang berteriak-teriak adalah lelaki yang tua, yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih.
Pakaiannya amat aneh, pakaian longgar kebesaran, celananya berkotak-kotak sedangkan bajunya berkembang, kepalanya memakai kopyah seperti yang biasanya dipakai seorang anak kecil, mukanya riang dan tersenyum-senyum, matanya yang amat tajam itu kocak dan penuh kegembiraan hidup.
Ada pun orang ke dua adalah seorang laki-laki muda, usianya tentu tidak lebih dari dua puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi tegap, wajahnya tampan serta gagah sekali membuat Kun Liong kagum memandangnya, sikap pemuda ini pendiam dan tenang.
Melihat dua orang itu, Marcus lalu membentak, "Siapa kalian dan perlu apa mencampuri urusan kami?"
"Wah-wah-wah, tentu saja kami mencampuri!" Kakek itu berkata lagi, "Kalian ini tidak tahu malu sekali! Tunggu aku turun dulu baru bicara, di atas sini mengerikan!" Kakek itu lalu merayap turun.
Akan tetapi Si Pemuda lantas memegang lengannya dan membawanya melayang turun. Gerakan pemuda itu cukup lumayan. Ketika dibawa meloncat turun, kakek itu menjerit ketakutan. Namun sesudah turun di atas tanah, dengan langkah gagah dia menghampiri Marcus dan kawan-kawannya, ada pun pemuda gagah itu hanya melangkah penuh hormat di belakangnya!
Kun Liong merasa tertarik sekali dan diam-diam dia merasa geli. Mau apakah kakek yang seperti badut ini? Betul-betul mencari penyakit, pikirnya. Mana mungkin mengajak bicara orang macam Marcus dan gerombolan Mongol itu secara baik-baik? Akan tetapi dia diam saja, tetap duduk di atas batu besar sambil memandang penuh perhatian. Diam-diam dia memperhatikan pemuda yang berjalan di belakang kakek itu.
Seorang pemuda yang hebat, pikirnya. Tubuhnya tegap dan terlihat kuat, apa lagi karena wajahnya yang tampan itu serius dan tenang sekali. Mungkin pemuda inilah yang hebat, pikirnya kagum. Baru melihat saja sudah timbul rasa sukanya kepada pemuda itu.
Si Kakek Aneh itu kini sudah berhadapan dengan Marcus dan lima orang raksasa Mongol yang menjadi pimpinan pasukan itu. Wajahnya gembira ria dan senyumnya melebar, akan tetapi Kun Liong melihat sinar aneh memancar keluar dari sepasang mata kakek itu.
"Aihh, kiranya yang memimpin adalah seorang berkulit putih bermata biru! Eh, Tuan, kami tidak bisa tinggal diam saja melihat kalian ini mau membunuh pemuda itu. Kalian adalah manusia-manusia yang beradab, bukan? Mana mungkin boleh menyembelih seorang manusia lain? Sungguh buas dan hal ini sama sekali tidak boleh dilakukan. Sama sekali tidak boleh!"
Kun Liong menahan ketawanya. Kakek ini sungguh-sungguh mencari penyakit, pikirnya. Mengajukan ceng-li (aturan) seperti itu kepada orang-orang semacam Marcus! Alangkah menggelikan! Sama saja dengan berpidato di depan segerombolan serigala liar! Mencari penyakit namanya.
Marcus marah bukan main. "Kakek tua bangka gila! Engkau sungguh lancang! Aku mau membunuh siapa pun, engkau peduli apa? Bahkan bila sudah bosan hidup kalian berdua juga akan kubunuh sekalian!"
Kun Liong memperhatikan sikap pemuda di belakang kakek itu, namun pemuda itu tetap diam saja, sedikit pun tidak berubah air mukanya, seolah-olah ancaman hebat itu sama sekali tidak didengarnya. Kun Liong makin kagum. Pemuda itu bernyali besar! Akan tetapi yang lebih mengherankan adalah sikap kakek aneh itu. Dia ini diancam bukan menjadi takut, malah gilanya menjadi semakin hebat!
"Kalian tidak mau mundur? Wahh! Kalian malah hendak membunuh kami berdua juga? Uh-uhhh... dari pada melihat kekejaman yang tiada taranya ini, biarlah kalian bunuh kami guru dan murid lebih dulu. Setelah kalian membunuh kami berdua terserah hendak kalian apakan pemuda yang duduk di atas batu itu!"
Gila, pikir Kun Liong. Akan tetapi dia terharu. Biar pun kakek itu gila, akan tetapi gilanya adalah gilanya orang budiman! Dan kakek itu mengaku sebagai guru pemuda tegap itu. Benar-benar mengherankan dan dia menjadi semakin ingin tahu, ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya, maka dia merosot turun dari batu dan bersiap untuk melindungi mereka berdua andai kata mereka terancam oleh gerombolan ganas itu.
Marcus dan teman-temannya kini tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha!" Marcus tertawa sambil memegangi perutnya. "Kiranya tua bangka ini miring otaknya! Kau minta mati?"
Kun Liong merasa geli akan tetapi juga sangat khawatir. Dia sudah ingin meloncat maju mencegah kakek aneh itu yang membelanya secara luar biasa. Mana ada orang membela dengan cara menyerahkan nyawa sendiri? Akan tetapi pada waktu dia hendak bergerak maju, dia melihat pemuda tegap tampan itu memandang tajam kepadanya dan pemuda itu menggoyang kepalanya, jelas memberi isyarat agar dia tidak melakukan apa-apa!
Semakin tertarik dan terheranlah hati Kun Liong. Apa maunya guru dan murid itu? Kalau mereka itu orang-orang lihai dan benar hendak menolongnya, kenapa bersikap demikian aneh? Akan tetapi dia melihat pemuda itu dengan sikap sungguh-sungguh menggoyang kepalanya mencegah dia bergerak.
Kun Liong lalu mengangguk, tanda bahwa dia akan mentaati permintaan pemuda itu, lalu dia duduk kembali di atas batu besar, menonton penuh perhatian dan dengan hati amat tertarik. Dia melihat bahwa pemuda itu kini aneh sekali, memejamkan mata dan mengatur pernapasan! Akan tetapi hal itu dilakukan sambil berdiri, dengan kedua lengan bersilang di depan dada.
Dengan terheran-heran Kun Liong memperhatikan kakek itu. Kakek itu tertawa dan Kun Liong merasa tengkuknya meremang ketika mendengar suara ketawa ini. Suara ketawa yang mengandung tenaga mukjijat, yang membuat jantungnya bergetar hebat! Kemudian suara ketawa itu disusul dengan kata-kata yang lebih menggetarkan lagi, kata-kata yang menembus sampai ke ulu hati.
"Ha-ha-ha-ha-ha, kalian semua lihatlah baik-baik, apakah kalian bisa membikin aku mati. Nah, ini kepalaku, penggallah kepalaku sepuas hati kalian. Kalau aku sudah dapat kalian bunuh, juga muridku, baru kalian boleh mengeroyok pemuda itu, ha-ha-ha!"
Dengan mata terbelalak penuh keheranan Kun Liong melihat betapa kini kakek itu sudah berbaring di atas sebuah batu besar, menjulurkan kepalanya sehingga nampak lehernya yang panjang, menantang untuk dipenggal lehernya!
Marcus dan lima orang pemimpin Mongol tertawa geli, kemudian salah seorang di antara pemimpin itu mencabut goloknya, sambil tertawa-tawa menghampiri tubuh kakek yang rebah telentang. Jantung Kun Liong berdebar keras, akan tetapi anehnya, dia tak mampu menggerakkan kakinya, maka dia hanya melihat dengan mata terbelalak pada saat golok yang amat tajam berkilauan itu diayunkan dengan kuat ke arah leher kakek itu.
"Crakkkk!"
Sekali babat leher itu putus! Darah muncrat-muncrat.
Akan tetapi Kun Liong semakin terbelalak dan semua orang mengeluarkan seruan kaget ketika darah yang muncrat-muncrat itu berkumpul di atas leher yang buntung kemudian perlahan-lahan darah itu berubah menjadi kepala yang baru! Kini kepala kakek itu masih menempel, atau lebih tepat lagi, dari leher yang buntung itu ‘tumbuh’ kepala yang baru, sedangkan kepalanya yang pertama masih menggelinding di atas tanah, di bawah batu!
"Ilmu siluman...!" Marcus dan beberapa orang berteriak kaget. Akan tetapi algojo Mongol itu menjadi penasaran. Goloknya diayun lagi ke bawah.
"Crakkkk!"
Kembali kepala itu terpisah dari badannya, terpenggal dan darah muncrat-muncrat. Akan tetapi, darah itu kembali berubah menjadi sebuah kepala yang baru, menggantikan kepala ke dua yang terpenggal. Mulailah semua orang menggigil dan muka mereka pucat, mata mereka terbelalak.
"Ha-ha-ha-ha, hayo kalian boleh penggal kepalaku sepuas hatimu!" terdengar suara kakek itu mengejek dan hebatnya, yang bersuara bukan hanya mulut dari kepala yang masih menempel di leher, bahkan dua buah kepala yang sudah menggelinding dan berada di atas tanah itu pun menggerakkan mulut mengeluarkan kata-kata itu dan matanya merem melek, bibirnya tersenyum!
"Setan...!"
"Ilmu iblis...!"
"Siluman...!"
"Biar kupenggal lagi kepalanya!" Orang Mongol itu masih nekat dan mengayun goloknya.
Akan tetapi ketika berulang-ulang dia memenggal kepala dan selalu tumbuh kepala baru dari leher yang buntung, orang Mongol itu yang sejak tadi menahan rasa takutnya, kini tak kuat lagi melihat banyak kepala berserakan di dekat kakinya, kepala yang masih hidup, tertawa dan melotot. Dia mengeluh, goloknya terlepas dan dia roboh pingsan!
Seperti tawon diusir dari sarangnya, seratus lebih Pasukan Tombak Maut itu kini berlomba melarikan diri, didahului oleh Marcus dan empat orang pemimpin Mongol! Debu mengebul tinggi ketika mereka tergesa-gesa membalapkan kuda dan membawa pergi algojo Mongol yang masih pingsan!
Kun Liong masih duduk dengan mata terbelalak pada saat pundaknya ditepuk orang dari belakang. Dia lalu menoleh dan melihat bahwa yang menepuk pundaknya adalah pemuda tampan gagah tadi. Dia terkejut, mukanya masih pucat dan ketika dia memandang lagi ke arah ‘mayat’ yang lehernya dipenggal berkali-kali itu, ternyata bahwa kakek itu pun sudah bangkit berdiri dan kepala-kepala yang tadi berserakan di atas tanah sudah lenyap. Yang ada hanyalah kakek itu, sedang tersenyum-senyum tenang seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu.
"Eh, apa yang terjadi...? Bagaimana... mengapa..." Kun Liong masih bingung dan dengan gagap bertanya.
"Sudah kuberi isyarat, akan tetapi engkau tak mau meniru apa yang kulakukan, sehingga engkau terpengaruh pula oleh hoatsut yang dikerahkan Suhu untuk menakut-nakuti dan mengusir mereka," kata pemuda itu.
"Hoatsut (ilmu sihir)...? Ahh... kiranya begitu?" Kun Liong kagum bukan main dan kini dia memandang kakek itu dengan sikap hati-hati.
Tak disangkanya kakek itu memiliki kekuatan batin yang demikian hebat sehingga dapat bermain sulap dan mempengaruhi sedemikian banyaknya orang. Kemudian dia menjura dengan sikap hormat sambil berkata,
"Kiranya saya sedang berhadapan dengan orang pandai! Terima kasih atas pertolongan Locianpwe. Saya Yap Kun Liong dan bolehkan saya mengetahui nama besar Locianpwe dan saudara gagah perkasa?"
"Ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa bergelak. "Yap-sicu terlalu merendahkan diri dan bersikap sungkan. Kami guru dan murid sama sekali tidak menolong Sicu yang gagah perkasa. Kalau mau bicara tentang pertolongan, agaknya lebih tepat kalau dikatakan bahwa aku telah menolong orang-orang Mongol bodoh itu dari kematian di tangan Sicu yang amat lihai. Karena tak ingin menyaksikan Sicu yang perkasa melakukan pembunuhan terhadap ratusan orang, maka terpaksa dengan lancang aku menakut-nakuti mereka agar mereka dapat diusir tanpa dibunuh."
Kun Liong terkejut. Selain lihai ilmu sihirnya, kiranya kakek itu juga bermata tajam dan berpandangan luas, membuat dia makin tunduk sehingga cepat dia berkata, "Locianpwe terlalu memuji. Harap sudi memperkenalkan nama."
"Aku disebut Hong Khi Hoatsu, seorang pertapa yang berkelana tak tentu tempat tinggal dan arah tujuan. Dia ini adalah Lie Kong Tek, muridku yang juga menjadi anak angkatku. Yap-sicu, kalau boleh aku bertanya, kenapa Sicu dimusuhi oleh gerombolan orang-orang Mongol dan orang kulit putih itu? Sedangkan Sicu sendiri memakai pakaian orang kulit putih."
Kun Liong menunduk memandang pakaiannya sendiri. Dia tidak ingin berpanjang cerita, apa lagi menyangkut diri Lauw Kim In yang telah bersikap baik kepadanya itu.
"Mungkin karena pakaian inilah yang membuat aku dimusuhi mereka, Locianpwe. Mereka mengira bahwa aku mencuri pakaian salah seorang di antara teman mereka, juga dituduh membunuh orang itu."
"Hemm, memang aneh melihat Sicu memakai pakaian seperti ini."
"Memang aku mengambil pakaian ini dari mayat seorang kulit putih yang terbunuh oleh gerombolan Mongol." Dengan singkat Kun Liong menuturkan pengalamannya ketika dia menolong seorang kulit putih yang dikeroyok orang-orang Mongol akan tetapi yang tidak berhasil diselamatkan nyawanya itu.
"Aku disangka membunuhnya dan dikejar-kejar, untung muncul Locianpwe dan Lie-twako yang menolongku."
Hong Khi Hoatsu tertawa. "Jangan Sicu mengulangi kata-kata menolong. Kalau boleh aku mengetahui, Yap-sicu hendak menuju ke manakah? Mengapa sampai tersesat di tempat terasing di luar Tembok Besar ini?"
"Aku hendak pergi ke Tibet untuk suatu urusan yang amat penting, urusan pribadi."
Berseri wajah kakek itu. "Bagus, kalau begitu kita dapat melakukan perjalanan bersama!"
"Mana saya berani mengganggu Locianpwe?"
"Ahh, pertemuan ini berarti bahwa ada jodoh di antara kita, Yap-sicu. Apabila Sicu tidak bertemu dengan kami, tentu tidak ada yang memberi tahu bahwa sebenarnya Sicu sudah keliru mengambil jalan!"
"Apa maksud Locianpwe?"
"Perjalanan menuju Tibet sebaiknya dilakukan melalui pedalaman. Dari sini menyeberang Tembok Besar memasuki pedalaman terus ke selatan, setelah tiba di Propinsi Shantung, barulah ke barat melalui Secuan. Dengan demikian, selain perjalanan lebih cepat, juga jauh lebih aman. Melalui pegunungan dan padang pasir di luar Tembok Besar merupakan perjalanan yang amat sukar, berbahaya, dan karenanya akan makan waktu lebih lama."
"Aihh! Begitukah?" Kun Liong berseru kaget dan juga girang.
"Karena itu, marilah Sicu melakukan perjalanan bersama kami. Selain Sicu memperoleh petunjuk jalan, juga kalau Sicu sudi membantu kami membutuhkan bantuan Sicu."
Kun Liong tidak segera menyanggupi. "Ji-wi hendak pergi ke manakah?"
"Kami bertujuan pergi ke muara Sungai Huai, di pantai Laut Kuning..."
"Ahhh...!" Kun Liong terkejut sekali karena dia segera teringat akan orang kulit putih yang dia rampas pakaiannya, kata-kata pesanan orang itu sebelum mati.
"Mengapa Yap-sicu terkejut?" kakek itu bertanya.
"Apakah ada hubungannya dengan Pek-lian-kauw?" Kun Liong memancing.
Kini kakek dan pemuda ganteng itu yang kaget. Hong Khi Hoatsu memandang tajam lalu bertanya, "Yap-sicu, kita adalah orang-orang sendiri sehingga tidak perlu merahasiakan sesuatu. Dari mana Sicu tahu akan Pek-lian-kauw yang berada di muara Sungai Huai?"
"Aku mendengar dari pemilik pakaian ini. Sebelum dia mati, dia meninggalkan kata-kata tentang Pek-lian-kauw di muara Sungai Huai di pantai Laut Kuning."
"Bagus sekali! Jadi jelas bahwa Sicu bukanlah sahabat Pek-lian-kauw, bukan?"
"Tentu saja bukan, Locianpwe. Bahkan di waktu kecil dahulu, hampir saja saya dibunuh seorang tosu Pek-lian-kauw bernama Loan Khi Tosu."
"Hemm, kalau begitu kebetulan sekali. Sicu tentu sudi membantu kami untuk suatu usaha menolong orang dan berhadapan dengan Pek-lian-kauw, bukan?"
"Harap Locianpwe menceritakan persoalannya terlebih dahulu sebelum saya menyatakan kesanggupan saya."
"Kami benar-benar mengharapkan bantuan Sicu karena menyaksikan gerakan Sicu tadi kami merasa sangat yakin bahwa hanya seorang dengan kepandaian seperti Sicu yang akan dapat membantu. Ketahuilah, Yap-sicu. Ketika aku bersama muridku mengunjungi salah seorang sahabat baikku di luar Tembok Besar, kami melihat dia berada di ambang kematian karena luka-lukanya. Dia telah bentrok dengan Pek-lian-kauw, dan dalam suatu pertandingan yang hebat, dia terluka parah dan puterinya telah tertawan dan diculik oleh kaum Pek-lian-kauw yang berkedudukan di muara Sungai Huai di pantai Laut Kuning. Sebelum mati, sahabatku itu berpesan agar kami suka menolong puterinya itu, bahkan dia menyerahkan puterinya itu kepadaku untuk dijodohkan dengan muridku."
"Hemmm..." Kun Liong mengangguk-angguk sambil melirik ke arah pemuda tampan itu yang sejak tadi diam saja. Mereka bertemu pandang dan Lie Kong Tek berkata,
"Saudara Yap, pesan seorang yang sedang sekarat merupakan pesan keramat. Biar pun saya tidak setuju dengan ikatan jodoh yang mendadak ini, namun saya tidak tega untuk menolak, dan terserah kepada Suhu. Betapa pun juga, kami harus menolong gadis yang belum pernah kami lihat itu. Kami hanya mengetahui namanya, yaitu Bu Li Cun."
Mendengar ini, tanpa ragu-ragu lagi Kun Liong berkata, "Kalau demikian persoalannya, tentu saja saya dengan senang hati akan membantu Ji-wi!"
"Bagus! Dengan bantuan dari Yap-sicu maka tugas kami menjadi lebih ringan dan makin besar pula harapannya akan berhasil baik!" Kakek itu tertawa-tawa gembira.
Lie Kong Tek lalu membuka bungkusan pakaiannya dan menyerahkan satu stel pakaian kepada Kun Liong sambil berkata, "Saudara Yap, harap kau suka memakai pakaian ini. Pakaianmu itu hanya akan menimbulkan kecurigaan dan keributan saja."
Kun Liong tersenyum. Tanpa membantah dia menerima pakaian itu, langsung mengganti pakaiannya yang memang aneh itu. Setelah mengenakan pakaian biasa, barulah hatinya terasa enak dan lega maka sambil tersenyum dia lalu mengucapkan terima kasih kepada sahabat baru itu.
"Eh, Yap-sicu. Aku merasa heran sekali melihat bentuk rambut kepalamu dan aku takkan puas sebelum mendengar darimu kenapa rambutmu menjadi begitu pendek," kakek yang suka berkelakar dan suka mengobrol itu bertanya.
Kun Liong meraba-raba kepalanya, merasa beruntung bahwa sekarang kepalanya sudah berambut. Kini sudah berambut saja, karena masih pendek, tetap menjadi perhatian dan pertanyaan orang, apa lagi kalau masih gundul!
"Panjang ceritanya, Locianpwe."
"Jika begitu, mari kita melanjutkan perjalanan dan harap kau suka menceritakan di dalam perjalanan, Yap-sicu."
Sambil bercakap-cakap berangkatlah ketiga orang itu ke selatan dan Kun Liong merasa makin suka kepada guru dan murid itu. Dia mulai membuka sedikit perihal dirinya dengan menceritakan betapa rambutnya pernah gundul karena pengaruh racun, namun sekarang telah sembuh.
Beberapa hari kemudian Kun Liong sudah menjadi sahabat baik Lie Kong Tek. Diam-diam dia merasa kagum dan heran. Kagum karena baik si guru mau pun si murid merupakan orang-orang gagah dan budiman, jujur dan ramah, akan tetapi dia juga heran mengapa terdapat perbedaan seperti bumi dan langit antara guru dan murid itu. Kalau gurunya suka mengobrol, gembira dan jenaka, adalah si murid terlampau pendiam dan serius sehingga sukar sekali mengukur sampai di mana tingkat kepandaian Lie Kong Tek ini.
Setelah mereka melewati Tembok Besar, mulailah Kun Liong melihat peradaban, melihat lagi kota-kota dan penduduknya, bertemu dengan manusia-manusia biasa di dunia ramai. Namun, berbeda dengan dahulu, semua itu hanya merupakan hiburan sepintas lalu saja karena hati dan pikirannya selalu penuh dengan bayangan wajah Pek Hong Ing sehingga sering kali dia merasa gelisah memikirkan keselamatan wanita yang dicintanya itu.
********************
Dunia kang-ouw gempar dengan tersebarnya undangan dari Pek-lian-kauw wilayah timur yang hendak merayakan pernikahan antara Cia Giok Keng, puteri dari Ketua Cin-ling-pai dengan Liong Bu Kong, putera bekas Ketua Kwi-eng-pang. Pek-lian-kauw menjadi wali dari Liong Bu Kong sehingga dengan demikian berarti bahwa Pek-lian-kauw kini berbesan dengan Cin-ling-pai!
Tentu saja berita ini menggemparkan para orang gagah di dunia kang-ouw dan pada hari pernikahan yang telah ditentukan, berbondong-bondong orang-orang gagah dari segenap penjuru membanjiri muara Sungai Huai, markas besar Pek-lian-kauw di wilayah timur itu. Semua orang ingin menyaksikan peristiwa yang sangat aneh ini, karena setahu mereka, Pendekar Sakti Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai adalah seorang gagah yang selalu membantu pemerintah menentang Pek-lian-kauw. Bagaimana mungkin sekarang malah berbesan dengan Pek-lian-kauw, dan mengambil mantu seorang pemuda putera seorang datuk kaum sesat?
Pada pagi hari yang telah ditentukan, mulai dari ruangan depan Pek-lian-kauw sampai ke pekarangan penuh dengan para tamu yang sebagian besar terdiri dari orang-orang dari dunia kang-ouw dan liok-lim. Baik golongan putih mau pun hitam hadir, karena mereka semua tertarik oleh peristiwa yang luar biasa ini.
Pihak Pek-lian-kauw yang ingin menarik sebanyak mungkin orang gagah untuk membantu perjuangannya melawan pemerintah, sekali ini mengadakan pesta besar-besaran. Daging dan arak diobral sampai berlimpah-limpah.
Di antara para tamu itu terdapat Hong Khi Hoatsu, Lie Kong Tek, serta Yap Kun Liong. Mereka bertiga bukan merupakan tamu-tamu yang diundang. Mereka sengaja menyelinap di antara sekian banyaknya tamu. Tentu saja tidak ada yang mengenal mereka sehingga tidak ada pula yang mencurigai.
Seperti diketahui, tadinya kedatangan mereka adalah hendak menyelidiki serta menolong seorang gadis bernama Bu Li Cun yang sudah terculik oleh orang-orang Pek-lian-kauw. Akan tetapi, pada waktu tiba di situ dan melihat Pek-lian-kauw sedang mengadakan pesta pernikahan yang didatangi ratusan orang tamu, mereka bertiga tidak berani sembarangan turun tangan dan menyelinap di antara para tamu untuk melihat keadaan sambil menanti kesempatan baik. Mereka baru saja tiba di sana, maka tidak mendengar siapa yang akan menikah di markas Pek-lian-kauw itu. Juga mereka tak menganggap penting hal ini maka tidak menyelidiki.
Ketika sepasang pengantin keluar dari dalam untuk melakukan upacara pernikahan dan sembahyangan, para tamu memandang dengan penuh perhatian. Suasana menjadi sunyi karena semua orang tidak mengeluarkan suara, bahkan makan minum dihentikan dengan sendirinya.
Cia Giok Keng yang memakai pakaian pengantin, mencucurkan air mata karena terharu dan berduka. Dia tidak ingat hal-hal yang baru saja terjadi. Yang diingatnya hanyalah bahwa hari ini dia menikah dengan pemuda pilihannya, Liong Bu Kong yang upacaranya dilakukan oleh Pek-lian-kauw yang sudah menolong mereka.
Dan dia ingat pula bahwa pernikahan ini tidak disetujui oleh ayahnya, dan bahwa dia telah diusir oleh ayahnya sehingga terpaksa menikah secara ini. Ia berduka sekali, akan tetapi sebagai seorang dara yang berhati keras, dia dapat menahan kedukaannya dan bertekad untuk melanjutkan keinginannya menikah dengan seorang pilihan hatinya sendiri.
Ketika keluar dan dituntun ke depan meja sembahyang yang sudah dipersiapkan secara mewah di ruangan depan untuk melakukan upacara pernikahan dengan disaksikan oleh semua tamu, Giok Keng tidak memperhatikan, bahkan tidak mempedulikan para tamu. Di bawah pengaruh obat perampas ingatan, dia hanya menurut saja pada saat dituntun dan disuruh berlutut di depan meja sembahyang berdampingan dengan Liong Bu Kong yang mengenakan pakaian pengantin yang gagah dan indah.
Hati pemuda ini girang sekali. Hari ini cita-citanya terlaksana. Dia dapat memperisteri Cia Giok Keng secara sah! Dan malam nanti, dara yang cantik jelita ini akan menyerahkan diri kepadanya sebagai isterinya, dengan suka rela dan secara resmi! Selain kebahagiaan ini, dia pun memperoleh kedudukan yang kuat dan baik di Pek-lian-kauw! Kemujuran yang sama sekali tidak disangka-sangkanya setelah kesialan yang dialami ketika ibunya tewas dan Kwi-eng-pang hancur.
Seorang pendeta tua Pek-lian-kauw ditugaskan memimpin upacara sembahyang untuk meresmikan pernikahan itu. Hio sudah dipasang, dupa telah dibakar, dan pendeta tua itu siap membaca doa liam-keng.
Namun, baru saja hio dibakar dan hendak diberikan kepada sepasang mempelai, tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring. Lengking yang panjang mengerikan, dan tampaklah sinar putih berkelebat diikuti pekik pendeta tua itu. Hio-hio terlepas dari tangannya karena dupa-dupa biting itu sudah patah semua. Tersusul suara keras dan meja sembahyang itu terguling berantakan!
Gegerlah semua orang, apa lagi ketika tiba-tiba muncul seorang laki-laki gagah perkasa yang berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang, matanya mengeluarkan sinar berapi-api dan meja sembahyang tadi terguling oleh dorongan tangannya dari jarak jauh! Semua orang terkejut apa lagi ketika banyak di antara mereka yang mengenal laki-laki setengah tua yang gagah perkasa itu.
"Cia Keng Hong Taihiap...!"
"Ketua Cin-ling-pai...!"
Bisikan-bisikan ini menjadi berantai dan semua orang langsung memandang dengan mata terbelalak. Ternyata yang muncul adalah pendekar sakti ini, ayah dari pengantin wanita yang kelihatan marah bukan main.
Tentu saja belasan orang anggota Pek-lian-kauw yang bertugas menjaga di situ menjadi marah. Mereka ini tidak mengenal siapa adanya laki-laki yang datang mengacau ini dan mereka pun tidak menerima perintah sesuatu. Maka, melihat ada orang mengacau pesta, bahkan sudah menggulingkan meja sembahyang, belasan orang anggota Pek-lian-kauw sudah menyerbu dan mengeroyok dengan senjata golok mereka.
Terdengar suara berkerontangan disusul pekik mereka, kemudian seorang demi seorang robohlah delapan belas orang pengeroyok itu, roboh pingsan dan golok mereka terlempar ke sana-sini. Ketika mereka semua sudah roboh, pendekar sakti itu masih berdiri bertolak pinggang di tengah-tengah antara mereka seolah-olah dia tadi tidak bergerak sama sekali dan para pengeroyoknya berjatuhan sendiri tanpa dia bergerak!
Ada pun sepasang pengantin kini sudah bangkit berdiri dan memandang dengan wajah pucat kepada laki-laki perkasa yang bukan lain adalah Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai itu! Cia Giok Keng sudah menyingkap tirai dari mukanya, dan memandang pada ayahnya dengan mata terbelalak penuh kemarahan!
Selanjutnya,