Petualang Asmara Jilid 43

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Episode Petualang Asmara Jilid 43 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

KUN LIONG membetulkan letak selimut yang menutupi seluruh tubuh gadis itu, kemudian dia memasukkan kedua tangannya ke dalam selimut, meletakkan dua telapak tangannya ke bawah dada, memusatkan seluruh batinnya.

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo

Agar tidak sampai tergoda oleh bayangan yang bukan-bukan mengenai tubuh dara yang kini terlentang di depannya, kemudian dia menyalurkan sinkang. Segera hawa yang hangat memasuki tubuh dara itu dan membantu kelancaran jalan darahnya, juga mengusir hawa beracun yang memenuhi rongga dada dan perutnya.

"Ouhhh...!" Akhirnya terdengar dara itu merintih, pernapasannya menjadi normal kembali, jalan darahnya juga pulih. Dia masih setengah sadar setengah pingsan.

Cepat Kun Liong mengeluarkan kedua tangannya dari selimut karena dia tidak ingin gadis itu ketika sadar mendapatkan kedua tangannya masih terletak di atas dada dan perutnya! Wajahnya agak pucat ada pun napasnya agak memburu karena dia sudah mengeluarkan banyak tenaga saktinya.

Pada saat itulah, setelah perhatiannya terhadap Giok Keng terlepas, dia baru mendengar bahwa benar-benar ada orang di luar kamar itu, mengintai di depan pintu. Dia menjadi curiga sekali dan sambil meloncat ke dekat pintu dia membentak, "Siapa di luar...?!"

Tiba-tiba saja dari luar terdengar suara orang mendengus marah, daun pintu ditendang terbuka dan seorang gadis cantik langsung menyerang dengan tusukan pedang pendek yang dipegang dengan tangan kiri ke dada Kun Liong dengan kecepatan kilat!

"Bi Kiok...!" Kun Liong berseru kaget, cepat miringkan tubuhnya ke kiri dan ketika pedang meluncur di sebelah kanannya, dia cepat menggerakkan tangan kanan untuk menangkap pergelangan tangan gadis itu sambil mengerahkan sinkang-nya karena begitu menyentuh lengan dia merasa ada tenaga dahsyat keluar menentang dari lengan itu.

"Tranggg...! Plokkk...!"

Pedang itu terlepas dari pegangan tangan kiri Bi Kiok yang seperti lumpuh oleh pegangan tangan kanan Kun Liong, namun dengan kemarahan meluap-luap gadis itu menggunakan telapak tangan kanannya menampar pipi kiri pemuda itu.

Kun Liong meringis, pipinya terasa panas dan pedih, tentu giginya sudah rontok semua kalau dia tadi tidak menerima tamparan itu dengan pengerahan tenaga.

"Laki-laki cabul! Laki-laki mata keranjang!" Yo Bi Kiok memaki ketika melihat Giok Keng yang sudah sadar dan memandang dengan mata terbelalak itu berada dalam keadaan telanjang bulat dan hanya menutupi tubuhnya dengan sehelai seilmut. Kedua kaki yang telanjang itu mencuat keluar dari dalam seilmut!

"Ehh... ohhh... Bi Kiok... jangan...!" Kun Liong cepat menggunakan tangan kirinya untuk menangkap lengan kanan gadis itu, melihat betapa Bi Kiok sudah menggerakkan tangan kanan hendak mencabut pedang panjang di punggungnya. Dengan demikian, dia sudah menangkap kedua lengan gadis itu yang lantas meronta-ronta hendak melepaskan kedua tangannya.

"Eh-eh... Bi Kiok... wah, sabarlah, mari kita bicara baik-baik..." Kun Liong membujuk saat gadis itu terus meronta-ronta, bahkan mengirim tendangan yang masih bisa dielakkannya, akan tetapi terpaksa dia tangkis dengan kakinya pula.

"Laki-laki buaya!" Bi Kiok memaki lirih. "Dan aku selalu mengingat-ingat engkau... selalu mengharap-harap..." Dan gadis itu terisak, kemudian meronta-ronta makin kuat. "Kiranya engkau laki-laki cabul yang mempermainkan setiap wanita yang kau tolong!"

Giok Keng yang sudah sadar dan sudah bangkit duduk sambil menyelimuti tubuh dengan selimut itu sudah mendengar cukup banyak dan jelas. Cepat dia melangkah turun dan sambil menyarungkan selimut itu rapat-rapat, dia berseru,

"Tahan dulu...! Adik yang baik, engkau salah duga...! Kun Liong telah menolongku dan karena aku terkena senjata rahasia yang sangat berbahaya, dia tadi telah mengobatiku... jangan menduga yang bukan-bukan! Aku adalah Cia Giok Keng, puteri Ketua Cin-ling-pai, apa kau kira aku akan mudah saja dipermainkan orang seperti itu? Aku..."

Tiba-tiba Giok Keng menghentikan kata-katanya karena teringat betapa pernyataannya tadi berlawanan dengan sekali dengan kenyataan. Dia berkata tidak mudah dipermainkan orang, akan tetapi buktinya, dia sudah dipermainkan oleh Liong Bu Kong sampai hampir saja menjadi korban!

Akan tetapi kata-katanya tadi sudah cukup bagi Bi Kiok. Ketika tadi dia mengintai dari balik jendela dan melihat betapa Kun Liong ‘menciumi’ punggung dan pinggul telanjang gadis itu, hatinya panas dan marah bukan main.

Selama ini dia selalu terkenang kepada Kun Liong yang dianggapnya sebagai pria yang paling baik dan hebat yang pernah dijumpainya, dan yang perjumpaannya ketika melihat Kun Liong dikeroyok orang-orang Pek-lian-kauw tadi membuat dia gembira sekali. Akan tetapi godaan Kun Liong yang memuji matanya membuat dia malu dan lari pergi, namun dia segera membayangi Kun Liong yang membawa pergi dara yang ditolongnya itu ke sebuah kamar di rumah penginapan.

Dapatlah dibayangkan betapa kecewa dan marah hatinya melihat Kun Liong ‘menciumi’ tubuh itu. Kini, mendengar keterangan Giok Keng yang ternyata adalah puteri pendekar sakti Ketua Cin-ling-pai yang tentu saja namanya sudah dikenal baik itu, dia pun maklum bahwa dia telah salah sangka!

Kiranya Kun Liong tadi bukanlah sedang menciumi punggung dan pinggul telanjang, akan tetapi sedang menyedot racun dari luka-luka di punggung dan pinggul!

"Ahhhh...!" Dia terkejut dan merasa malu sekali, dan ketika Kun Liong melepaskan kedua tangannya, dia melangkah mundur, mukanya merah dan matanya terkejap-kejap malu.

Kun Liong tersenyum lebar. "Bagaimana, Bi Kiok? Apakah kau masih hendak menampar lagi mukaku? Aihh, sudah lama tak jumpa, engkau sekarang menjadi lihai luar biasa, ilmu kepandaianmu maju dengan amat pesatnya dan... dan engkau makin cantik saja, apa lagi kalau engkau memandang seperti itu..."

Mata yang berkejap-kejap malu itu seketika mengeluarkan sinar berapi, akan tetapi ketika bertemu pandang dengan Kun Liong dan melihat betapa mulut dan sepasang mata Kun Liong seakan mentertawakannya, dia menjadi malu sekali.

"Ihhh!" dengusnya. Cepat tubuhnya membalik dan dia berkelebat lenyap dari situ setelah menyambar pedang pendeknya yang tadi terjatuh.

"Bi Kiok...! Heiii, tunggu dulu!"

Akan tetapi Yo Bi Kiok tidak peduli dan lari terus dengan amat cepatnya, dan Kun Liong pun tidak mengejar, hanya berdiri di pintu dengan wajah berseri kemudian menarik napas panjang. "Hemmm, hebat sekali ilmunya berlari cepat, juga sinkang dan kepandaiannya. Lebih hebat dari tingkat gurunya sendiri, hemm..."

"Kun Liong, engkau tidak pernah dapat menghilangkan watakmu yang nakal dan senang menggoda wanita," terdengar suara Giok Keng, dan ketika Kun Liong hendak membalik, Giok Keng cepat melanjutkan, "Jangan menengok ke sini! Aku sedang berpakaian!"

Otomatis Kun Liong menarik kembali kepalanya yang hendak menengok tadi, kini berdiri menghadap keluar, bahkan menutupkan daun pintu supaya tidak ada orang yang dapat melihat ke dalam kamar.

"Aku sudah selesai, Kun Liong."

Barulah pemuda itu membuka daun pintu kemudian memasuki kamar. Giok Keng sudah berpakaian lagi dengan rapi, dan duduk di atas ranjang. Kun Liong lalu duduk di atas bangku.

"Kun Liong, apakah kau mencinta gadis tadi?"

"Bi Kiok? Ah, tidak, mengapa?"

"Yang jelas, dia mencintamu, Kun Liong."

"Ehhhh...?" Kun Liong memandang heran tidak percaya.

"Percayalah kepadaku, seorang wanita lebih awas dalam hal itu. Dia sungguh-sungguh mencintamu, Kun Liong, karena itu dapatlah dibayangkan betapa godaan-godaanmu tadi amat menyakitkan hatinya."

"Hemmm, aku memang seorang yang serba canggung, selalu mendatangkan rasa tidak enak dalam hati dara-dara muda. Bahkan orang yang benar-benar kucinta pun merasa tidak senang dan marah..."

Giok Keng memandang tajam. "Kun Liong, siapakah gadis yang kau cinta itu dan di mana dia?"

Kun Liong mengangkat muka memandang, lalu menunduk dan menarik napas panjang lagi. "Hemmm... dia adalah..."

"Kun Liong, mengapa engkau tak mau bercerita kepadaku? Aku sudah berhutang nyawa kepadamu, padahal dulu aku sudah menyakiti hatimu ketika memutuskan tali perjodohan. Engkau seorang yang sangat baik bagiku, akan tetapi sayang aku tidak cinta kepadamu. Anggaplah aku ini adikmu sendiri, Kun Liong, atau setidaknya, engkau masih terhitung suheng-ku, bukan? Nah, kini ceritakanlah semuanya kepada sumoi-mu ini, siapa tahu aku akan dapat membantumu sebagai pembalasan budimu."

Terharu juga hati Kun Liong mendengar ini. Memang, dia pernah merasa terhina ketika Giok Keng menyatakan tidak setuju akan perjodohan yang diikat ayahnya, apa lagi ketika ternyata bahwa gadis ini malah memilih seorang pemuda iblis Liong Bu Kong. Dan kini, mendengar ucapan yang tulus dan terus terang dari gadis itu, dia merasa terharu.

"Giok Keng, bukan sama sekali bahwa aku tidak percaya kepadamu, hanya... hal yang tidak menyenangkan perlukah diceritakan? Betapa pun juga, mengingat bahwa nasibmu dalam percintaan juga sangat buruk, baiklah aku akan bercerita kepadamu tentang gadis yang kucinta itu, yang bernama Pek Hong Ing..."

Maka mulailah Kun liong bercerita secara singkat namun lengkap tentang pengalamannya bersama Pek Hong Ing, tentu saja tanpa menyinggung-nyinggung tentang sikap Hong Ing terhadap dirinya pada saat dara itu hendak dibawa pergi oleh tiga orang Lama yang amat sakti itu.

"Nah, sebenarnya aku sedang dalam perjalanan mengejar para pendeta Lama yang telah membawa pergi Hong Ing itu, kalau perlu sampai ke sarang mereka di Tibet." Kun Liong mengakhiri ceritanya.

Giok Keng mendengarkan dengan hati terharu, lalu berkata dengan penuh kekhawatiran. "Agaknya tiga orang pendeta Lama itu lihai bukan main, Kun Liong. Bagaimana engkau akan dapat berhasil pergi seorang diri ke sana? Apakah tidak sebaiknya kalau kau minta bantuan Ayah?"

Kun Liong menggelengkan kepalanya. "Aku akan pergi sendiri, dan aku yakin akan dapat mengatasi mereka. Dan bagaimana dengan engkau sendiri, Giok Keng? Setelah peristiwa menggemparkan di Pek-lian-kauw itu..."

Kun Liong langsung menghentikan kata-katanya karena melihat dara itu menangis. Dia pun maklum bahwa dia sudah menyentuh bagian yang menyakitkan hati, mengingatkan gadis itu akan aib yang telah menimpa dirinya, maka dia merasa menyesal sekali sudah bertanya tadi.

"Maafkan, Giok Keng. Aku bukan bermaksud..."

"Tidak apa-apa, Kun Liong. Bukan salahmu.... melainkan aku sendirilah yang seolah-olah buta hati, mudah saja terbujuk dan tertipu oleh pemuda yang kelihatan tampan dan baik itu. Siapa mengira bahwa hatinya busuk seperti iblis? Ahhh, aku menyesal sekali, Kun Liong... ehh, Suheng! Aku harus menyebutmu suheng sekarang! Aku menyesal sekali dan untung bahwa semua mala petaka itu belum terlambat, berkat kedatangan Ayah dan juga kedatanganmu."

"Biarlah kesalahan kita yang lalu menjadi pengalaman, Sumoi, menjadi pelajaran bagi kita sehingga kesalahan macam itu tidak akan terulang lagi."

"Tidak mungkin terulang! Aku tidak akan mencinta siapa pun, dan cintaku yang keliru terhadap iblis itu telah mati. Aku tidak mau sembarangan mencinta pria lagi sungguh pun banyak yang mencintaku. Sebenarnya, dahulu pun aku tak mudah jatuh cinta. Semenjak dulu, banyak pria yang jatuh cinta kepadaku, Suheng, dari para murid ayah di Cin-ling-pai sampai banyak laki-laki yang kutemui selama dalam perjalananku.

"Mereka semua selalu bermuka-muka dan berusaha untuk menguasai hatiku, dan sikap mereka yang palsu dan memikat itu memuakkan hatiku. Cinta mereka itu semua palsu, sepalsu cinta iblis Liong Bu Kong. Aku muak dengan cinta kaum pria yang berhati palsu. Aku tidak maksudkan engkau, Suheng.

"Engkau adalah orang jujur dan terus terang mengatakan bahwa engkau tidak mencinta aku. Bagaimana pun juga, nasib kaum wanita memang amat buruk, tidak seperti pria. Dalam soal perjodohan sekali pun, kaum wanita selalu harus tunduk, dalam soal cinta pun, kaum wanita harus menerima dan menyesuaikan diri, tidak berhak memilih seperti pria.

"Betapa pun besar cinta seorang wanita terhadap seorang pria, kalau si pria tidak mencintanya akan percuma saja dan tidak mungkin wanita berani mendesak yang berarti tidak tahu malu! Karena itu, aku merasa kasihan sekali kepada Bi Kiok dan kepada Hwi Sian. Mereka berdua benar-benar mencintamu, Suheng, akan tetapi engkau tidak membalas cinta mereka. Betapa sengsara hati mereka."

Kun Liong menarik napas panjang, apa lagi saat teringat akan Hwi Sian gadis yang telah menyerahkan kehormatannya kepadanya dan yang membuatnya menyesal bukan main kalau teringat akan peristiwa itu.

"Cinta memang hanya mendatangkan duka nestapa belaka, ataukah... sebenarnya bukan cinta sejati yang mendatangkan duka itu? Bagaimana pun juga, kalau benar kata-katamu tadi bahwa Bi Kiok mencintaku..."

"Aku berani bertaruh apa pun juga, Suheng. Dia pasti mencintamu, baik dari pandang matanya, kata-katanya, mau pun sikapnya, jelas sekali tampak bahwa dia mencintamu. Sayang, harapannya akan patah kalau dia tahu bahwa pria yang dicintanya itu tidak akan membalasnya."

"Hemmm, kalau begitu aku harus mencarinya, akan kuberi tahukan secara terus terang agar dia dapat menghapus cinta yang salah alamat itu."

"Memang sebaiknya begitu, Suheng. Biar pun pahit, namun keterus terangan itu mungkin akan dapat menjadi obat mujarab, seperti kenyataan yang sangat pahit membuat mataku terbuka. Akan tetapi, ke manakah kau hendak mencarinya?"

"Melihat kemunculannya tadi, kurasa tempat tinggalnya tidak jauh dari dusun ini, bahkan mungkin juga di dusun ini. Betapa pun, aku akan mencarinya, sekarang juga."

"Baiklah, kalau begitu kita berpisah di sini, Suheng. Sekarang aku juga akan melakukan perjalananku."

"Kau harus beristirahat dulu..."

"Aku telah sembuh, berkat pertolonganmu."

"Akan tetapi, kau hendak ke mana?"

"Entahlah, yang jelas aku tidak akan pulang dulu ke Cin-ling-san sebelum aku berhasil membunuh iblis Liong Bu Kong itu!"

"Ahh, dia sudah tewas, Sumoi!" Baru Kun Liong teringat bahwa dia belum menceritakan akan hal ini dan tentu saja gadis ini tidak tahu akan kematian Liong Bu Kong karena pada saat itu dia masih pingsan.

Giok Keng terloncat dan memandang terbelalak, mukanya agak pucat. Betapa pun juga, laki-laki yang pernah dicintanya itu dikabarkan tewas, dan tanpa disadarinya dia terkejut bukan main. "Tewas...?"

Kun Liong mengangguk.

"Tewas di tanganmu, Suheng?"

"Untung sekali tidak! Aku merasa ngeri kalau sampai membunuh orang. Dia tewas dalam tangan Yo Bi Kiok, dalam waktu hanya dalam belasan jurus sehingga aku merasa heran bukan main menyaksikan kepandaian Bi Kiok. Padahal dahulu, dia tidak akan sanggup mengalahkan Bu Kong."

Giok Keng termenung. "Mengapa...? Mengapa Bi Kiok membunuhnya?"

"Mungkin dendam antara guru. Bi Kiok adalah murid mendiang Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang tewas di tangan ibunya Bu Kong, yaitu Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio. Mungkin untuk membalas kematian gurunya, Bi Kiok yang sekarang lihai sekali itu membunuh Bu Kong, dan hal ini menguntungkan kita karena aku sudah payah juga menghadapi pengeroyokan sambil memondongmu."

Kembali Giok Keng termenung, lalu dia menarik napas panjang. "Begitulah nasib manusia yang tersesat, akhirnya mampus di ujung senjata pula. Kalau begitu, tinggal orang-orang Pek-lian-kauw! Merekalah yang membantu iblis itu hingga aku hampir saja tertimpa mala petaka hebat, aku harus menghancurkan Pek-lian-kauw, Suheng."

"Hemm, berhati-hatilah, Giok Keng. Mereka itu lihai sekali, terutama ketuanya."

"Aku tidak akan bertindak gegabah, Suheng. Aku akan pergi ke kota raja, minta bantuan, kalau perlu akan menghadap The-locianpwe."

"Panglima The Hoo?"

Giok Keng mengangguk. "Syukur kalau dapat bertemu dengan Ayah, kalau tidak tentu Locianpwe itu akan tertarik dan suka mengirim pasukan, karena Pek-lian-kauw adalah perkumpulan pemberontak."

"Terserah kepadamu, akan tetapi hati-hatilah, Sumoi. Aku sendiri akan menemui Bi Kiok, kemudian aku akan menyusul dan mencari Hong Ing ke Tibet."

"Aku hanya bisa mendoakan semoga kau berhasil bertemu kembali dengan dia, Suheng. Semoga kau tidak akan mengalami kegagalan dalam cinta kasih seperti aku."

Mereka lantas berpisah, dan melihat gadis itu pergi dengan kepala menunduk, Kun Liong menarik napas panjang dan hatinya merasa iba sekali. Tidak disangkanya bahwa puteri Ketua Cin-ling-pai akan mengalami nasib seburuk itu dalam hidupnya. Kalau saja dalam hatinya ada perasaan cinta kepada Giok Keng seperti perasaannya terhadap Hong Ing, tentu dia akan mengobati kepatahan hati gadis itu!

Kembali dia menarik napas panjang lalu dia pun mulai dengan penyelidikannya, mencari Yo Bi Kiok di dusun itu. Memang tak mudah mencari seorang dara seperti Yo Bi Kiok yang gerak-geriknya penuh rahasia itu. Biar pun Kun Liong telah bertanya-tanya kepada semua penghuni dusun itu, tidak seorang pun mengenal Yo Bi Kiok. Akhirnya Kun Liong mengambil keputusan untuk mencari sendiri di dua buah dusun yang berada di daerah itu.

Sehari penuh dia mencari-cari di dusun pertama, kemudian hari berikutnya dia putar-putar di dusun ke dua yang tidak begitu besar, namun hasilnya sia-sia belaka. Dia sudah mulai putus ada dan malam itu dia membayangkan ke mana dia harus mencari Bi Kiok kalau besok, di dusun ke tiga, dia tidak bisa menemukan dara itu. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, dia pergi ke dusun ke tiga, dusun terakhir yang terdapat di daerah itu.

Dusun ini agak besar, seperti dusun pertama di mana dia mengobati Giok Keng. Hari masih pagi sekali, akan tetapi sudah banyak penduduk yang hilir-mudik di jalanan, mulai dengan pekerjaan sehari-hari mereka. Kun Liong memasang mata, melihat orang-orang yang lalu lalang, juga melihat rumah-rumah dusun itu sebelum dia mulai bertanya-tanya apakah ada seorang nona bernama Yo Bi Kiok yang tinggal di dusun ini.

"Huk! Huk! Hukkk...!"

Kun Liong tersenyum melihat seekor anjing yang keluar dari lorong dan menyalak-nyalak kepadanya. Akan tetapi tiba-tiba dia membelalakkan matanya.

"Pek-pek!" Serunya heran.

Tak salah lagi, inilah anjing peliharaannya ketika dia masih kecil dahulu! Anjing berbulu putih yang dulu menumpahkan obat di kamar ayahnya sehingga menjadi awal dari semua perubahan dalam hidupnya.

"Pek-pek...!" Kun Liong berlutut dan mengelus kepala anjing itu yang mulai menggoyang-goyangkan ekornya sambil mengeluarkan suara rintihan. Ternyata anjing itu pun mulai mengenal Kun Liong kembali!

"Aihhh... Pek-pek...! Bagaimana kau dapat berada di sini?" Kun Liong berkata dengan terheran-heran, masih ragu-ragu apakah benar ini anjing kesayangannya dahulu itu.

Dia mendapat akal. Untuk mengetahui apakah benar ini adalah anjing kesayangannya itu, dia harus tahu siapakah kini yang memelihara anjing ini. Dengan gaya seperti ketika dia masih kecil memerintah anjing itu, dia bangkit berdiri, menuding dan berseru, "Pek-pek, hayo pulang!"

Anjing itu mengeluarkan suara berkuik lalu membalikkan tubuhnya dan terus lari. Ketika beberapa kali dia menoleh dan melihat Kun Liong mengikutinya setengah berlari, anjing itu kelihatannya girang sekali dan terus berlari keluar dari dusun itu melalui pintu gerbang dusun bagian selatan. Kun Liong terus mengikutinya dan terheran-heran. Kalau anjing ini ada yang memeliharanya, mengapa tinggalnya malah di luar dusun?

Keadaan mulai sunyi dan anjing itu memasuki sebuah hutan kecil! Tiba-tiba, dari balik pohon-pohon muncullah dua orang yang membuat Kun Liong terkejut sekali. Mereka itu adalah Thian Hwa Cinjin Ketua Pek-lian-kauw yang amat lihai bersama Bhong Khi Tosu, pembantunya! Kun Liong terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa anjing yang mirip benar dengan Pek-pek itu adalah anjing peliharaan Ketua Pek-lian-kauw ini untuk memancing dirinya.

Dengan marah dia lalu memandang kepada Ketua Pek-lian-kauw itu dan... terlambat dia ingat bahwa inilah kesalahan utamanya, yaitu menatap mata kakek itu. Begitu bertemu pandang, Kun Liong merasa seakan-akan pandang matanya melekat kepada sepasang mata yang bersinar aneh itu, kemudian dia mendengar suara Thian Hwa Cinjin yang amat berpengaruh,

"Yap Kun Liong, berlututlah engkau! Tak pantas orang muda kurang ajar terhadap orang tua."

Kun Liong tahu bahwa dia sedang diserang dengan ilmu sihir, namun karena pandang matanya telah bertaut dan kepalanya pening, tak tahu harus berbuat apa, kedua kakinya seperti lumpuh dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut, tetap memandang kepada wajah kakek itu tanpa berkedip seperti terkena pesona!

Melihat keadaan Kun Liong yang sudah tidak berdaya ini, Bong Khi Tosu yang memutar dan sekarang telah berada di belakang Kun Liong mengangkat tongkatnya dan siap untuk menghantamkan tongkatnya itu di kepala Kun Liong! Akan tetapi pada saat itu terdengar suara menyalak-nyalak marah, dan anjing berbulu putih yang kecil itu lantas meloncat dan menerkam Bong Khi Tosu, langsung menggigit ke arah leher tosu itu.

Tentu saja Bong Khi Tosu terkejut bukan main, akan tetapi dengan mudah dia menangkis dengan tangan kirinya, membuat anjing kecil itu terbanting dan jatuh dekat dengan Thian Hwa Cinjin. Karena marah diserang anjing kecil itu, Bong Khi Tosu segera meluncurkan tongkatnya ke arah anjing itu.

"Crappppp...!" Anjing itu menguik satu kali dan roboh tewas, darahnya muncrat-muncrat mengenal pinggir jubah Thian Hwa Cinjin yang berada di dekat tempat itu.

"Bodoh kau...!" Thian Hwa Cinjin berteriak kaget dan menegur pembantunya.

Akan tetapi pada saat itu pula terdengar suara melengking keras dan tampak sinar terang menyambar ke arah tubuh Bong Khi Tosu. Kakek ini terkejut, cepat berusaha mengelak dari serangan pedang yang bersinar kilat itu karena tongkatnya telah dipergunakan untuk membunuh anjing tadi. Namun gerakannya itu kurang cepat sehingga terdengar teriakan keras dan tubuhnya terjungkal lantas bergulingan sampai jauh, baru dia meloncat dengan pundak berdarah.

Ternyata yang menyerangnya tadi adalah seorang dara muda yang memegang pedang berkilauan dan dia ini bukan lain adalah Yo Bi Kiok, sedangkan pedang yang digunakan menyerang Bong Khi Tosu adalah Lui-kong-kiam, pedang rampasan dari tangan Liong Bu Kong itu!

"Keparat, berani kau membunuh anjingku?" teriak Yo Bi Kiok marah.

Sementara itu Kun Liong juga sudah sadar dari keadaannya terkena sihir itu, maka dia cepat meloncat dan menerjang Thian Hwa Cinjin. Kakek ini berusaha mengerahkan ilmu sihirnya, akan tetapi betapa kagetnya bahwa tenaga sihirnya sudah menjadi lemah sekali dan bahkan hampir lenyap. Tahulah dia bahwa hal ini disebabkan oleh darah anjing tadi, maka dia cepat mengerahkan tenaga sinkang-nya menangkis.

"Dukkk! Desss…!"

Meski pun dia berhasil menangkis hantaman tangan kanan Kun Liong, namun dia tidak mampu menghindarkan tamparan tangan kiri Kun Liong yang mengenai dadanya. Dia terjengkang dan cepat meloncat lagi lalu melarikan diri diikuti pembatunya karena dia tahu bahwa melanjutkan pertandingan melawan pemuda itu amatlah berbahaya.

Tamparannya tadi saja sudah membuat napasnya sesak dan muntah darah yang ditahannya di dalam mulutnya, tanda bahwa dia telah terkena hantaman sinkang yang membuatnya terluka di sebelah dalam dadanya. Sesudah mereka berlari jauh, barulah Ketua Pek-lian-kauw ini muntahkan darah dari mulutnya!

Kun Liong yang sama sekali tak menyangka-nyangka akan kemunculan dara yang tengah dicari-carinya itu di tempat ini, memandang wajah Yo Bi Kiok. Hatinya penuh keheranan mendengar teriakan Bi Kiok yang mengaku bahwa anjing putih itu adalah anjingnya. Juga Bi Kiok memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu, bertaut dan sejenak mereka lupa keadaan.

"Pek-pek... aduhhh, Pek-pek... kenapa kau...? Uhu-hu-huukk, Pek-pek mati... Subo (Ibu Guru)... Pek-pek mati...!"

Kun Liong merasa terkejut bagaikan disambar petir mendengar sebutan Pek-pek ini. Dia menengok dan melihat seorang anak perempuan yang berlutut di dekat bangkai anjing itu, memeluki bangkai itu sambil menangis. Anak perempuan itu berusia kurang lebih empat lima tahun dan mendengar betapa anak itu menyebut Yo Bi Kiok dengan sebutan subo, dia mengerti bahwa anak itu adalah murid dara cantik yang luar biasa ini.

"Pek-pek? Apakah nama anjing itu Pek-pek, Bi Kiok?" tanyanya, seperti dalam mimpi.

Yo Bi Kiok mengangguk.

"Anjingmukah itu?"

Yo Bi Kiok menggeleng kepalanya. "Bukan anjingku, melainkan anjing muridku itu."

Kun Liong memandang anak perempuan itu, jantungnya berdebar tegang. Anjing itu, yang juga bernama Pek-pek, telah mengenalnya! Tak mungkin salah lagi, anjing itu pasti anjing kesayangannya dahulu itu!

"Bi Kiok, siapakah nama muridmu ini?"

Yo Bi Kiok tersenyum, akan tetapi pandang matanya masih tetap dingin. "Kau tanyalah sendiri kepadanya."

Kun Liong menghampiri anak perempuan yang masih terisak-isak menangis itu, lalu dia berlutut dan menyentuh pundaknya. "Adik kecil, sudahlah jangan menangis. Walau pun sudah mati, Pek-pek mati dengan gagah perkasa melawan orang jahat."

Anak perempuan itu menghapus air matanya dan mengangkat muka, memandang pada Kun Liong dengan mata dan pipi basah. Wajah anak itu manis sekali dan sekali pandang saja timbul rasa suka di hati Kun Liong.

"Biarlah aku akan mencarikan seekor anjing lain untukmu," kata Kun Liong karena merasa kasihan sekali, akan tetapi sesungguhnya dia ingin tahu dari mana anak itu mendapatkan Pek-pek yang telah mati.

"Aku tidak suka anjing lain, yang kusuka hanya Pek-pek..." anak itu menjawab, kembali air matanya mengucur ketika dia menengok dan memandang anjing yang ditembusi tongkat itu.

"Adik yang baik, siapakah namamu dan dari mana engkau dahulu mendapatkan anjing putih ini?"

"Dia... dia memang anjingku sejak dulu... Pek-pek adalah anjingku sejak dulu..."

"Dan namamu...?"

"Namaku Yap In Hong..."

"Ahhh...!" Wajah Kun Liong menjadi pucat seketika. "Apa... apa artinya ini...?" Dia cepat meloncat dan menghadapi Bi Kiok.

Dara itu tersenyum dan mengangguk. "Dia memang adikmu, Kun Liong," jawab Bi Kiok tenang.

Kun Liong kembali memandang kepada anak perempuan itu, hatinya tak karuan rasanya, dilanda keharuan, keheranan dan juga keraguan. Sungguhkah ini adiknya, adik kandung yang selamanya belum pernah dilihatnya? Anak inikah peninggalan ayah bundanya yang telah meninggal dunia? Benarkah? Anak itu pun memandang padanya dengan sepasang matanya yang lebar dan bersinar-sinar setelah tidak menangis lagi.

"In Hong, kau masih ingat akan nama Yap Kun Liong?" tanya Bi Kiok kepada muridnya yang masih kecil itu.

"Yap Kun Liong yang Subo ceritakan itu, yang kata Subo adalah kakak kandungku? Tentu saja teecu (murid) ingat..." anak itu menjawab dengan suara yang lucu, akan tetapi jelas membayangkan kecerdikan. "Apakah Subo hendak mengatakan bahwa orang ini adalah kakakku itu?"

Yo Bi Kiok mengangguk dan Kun Liong langsung menghampiri anak itu, berlutut sambil memegang kedua lengannya. "Yap In Hong... adikku... kau adalah adikku... engkau adik kandungku..."

Kun Liong lalu merangkul dan teringatlah dia akan ayah bundanya yang tewas terbunuh orang, teringatlah dia akan perbuatannya yang melarikan diri dari orang tuanya sehingga mereka menderita kesengsaraan hingga akhirnya ditewaskan musuh.

Kun Liong menggigit bibirnya menahan keharuan hatinya, memeluk dan mendekap muka anak perempuan itu ke dadanya. Akan tetapi In Hong meronta halus sehingga terpaksa dilepaskan oleh Kun Liong yang kini menatap wajah itu. Tampak olehnya kini betapa anak perempuan itu amat cantiknya. Teringat dia akan wajah ibunya. Mata dan mulut anak ini persis mata dan mulut ibunya.

"In Hong...!" Dia mengeluh dan memondong anak itu penuh kasih sayang. "Mulai saat ini kita tidak akan saling berpisah lagi, Adikku!"

In Hong juga memandang wajah Kun Liong penuh perhatian. Dia masih terlalu kecil untuk mengenal rasa keharuan karena perjumpaan ini. Sejak kecil dia tidak mengenal lagi ayah bundanya, apa lagi kakaknya ini. Pertemuannya dengan Kun Liong ini hanya berkesan sebagai pertemuan dengan seorang laki-laki yang aneh dan asing.

Walau pun dia dipondong, akan tetapi ketika dia membuka mulut bicara, dia menujukan kata-kata itu kepada Bi Kiok, "Subo, apakah benar dia ini kakak kandungku seperti yang sering kali Subo ceritakan itu?"

"Benar, In Hong. Dialah kakak kandungmu," jawab Bi Kiok yang biar pun wajahnya tidak membayangkan sesuatu dan tetap dingin, namun di dalam hatinya dia merasa terharu juga menyaksikan pertemuan antara kakak dan adiknya yang selamanya belum pernah jumpa itu, pertemuan yang amat ganjil. Dia terharu karena teringat kepada dirinya sendiri yang sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini.

"Tapi... tapi dia..."

"Dia kenapa, In Hong? Dia kakakmu!" Bi Kiok agak kecewa menyaksikan sikap muridnya yang hatinya seperti tidak senang itu.

"Kalau dia kakakku, kenapa begini jelek?"

Kun Liong tertawa dan Bi Kiok mengerutkan alisnya. "Jelek? Mengapa kau bilang jelek?"

"Rambutnya begitu sih..."

Kun Liong makin keras tertawa dan mencium pipi anak perempuan itu. "Kau genit, ya?" Dia menggoda dan mau tidak mau Bi Kiok tersenyum juga menyaksikan adegan itu.

"Bi Kiok, aku semakin berhutang budi kepadamu karena perjumpaan dengan adikku ini. Bagaimana engkau bisa bertemu dengan In Hong?"

"Mari kita ke pondokku dan akan kuceritakan kepadamu, Kun Liong."

Dengan memondong adiknya Kun Liong mengikuti Bi Kiok yang membawa pula bangkai anjing bulu putih yang terbunuh tadi. Mereka memasuki hutan kecil dan di tengah hutan itu terdapat sebuah pondok kecil dari kayu dan bambu. Sangat sederhana akan tetapi cukup mungil dan menyenangkan karena dikelilingi oleh bermacam bunga yang sengaja ditanam oleh Bi Kiok sehingga pondoknya itu lebih menyerupai sebuah pondok taman yang sedap dipandang.

Sesudah membantu In Hong mengubur bangkai anjing Pek-pek dan menghibur anak itu yang menangisi lagi kematian anjingnya, mereka masuk ke dalam pondok. In Hong yang masih kecil itu sudah pandai menghidangkan minuman dan makanan, lalu atas perintah gurunya dia disuruh ke kebun belakang untuk memetik sayur dan menyiapkan masakan untuk siang nanti.

"Liong-ko, aku telah pandai masak!" katanya sebelum pergi, memamerkan kepandaiannya kepada kakaknya yang kini sudah tidak begitu asing lagi baginya.

"Wah, ingin aku mencoba masakanmu, In Hong!" kata Kun Liong dengan sikap memuji.

"Tunggu saja! Akan kubuatkan masakan sayur yang amat lezat untukmu. Akan tetapi..."

"Hemm, mengapa? Teruskan!"

"Lain kali rambutmu jangan dipotong seperti itu lagi, ya? Biarkan panjang dan bagus!"

Kun Liong mengangguk-angguk dan memandang dengan hati gembira betapa adiknya itu berlompatan meninggalkan mereka berdua, menuju ke belakang pondok.

Dia termenung dan sambil tersenyum-senyum dia teringat akan semua pengalamannya. Tanpa disadarinya dia meraba kepala dan rambutnya yang masih pendek, rambut yang kusut dan kacau, tersembul ke sana-sini. Bi Kiok yang melihat semua itu tersenyum lagi, agaknya dapat mengikuti jalan pikiran Kun Liong.

"Agaknya memang sudah nasib kepala dan rambutmu yang selamanya menjadi sasaran celaan orang, Kun Liong."

"Hee...? Ohhh, agaknya begitulah."

"Dahulu engkau berkepala gundul kelimis, mengingatkan orang kepada seorang pendeta."

"Memang di mana-mana aku disangka hwesio. Bi Kiok, sekarang ceritakanlah bagaimana engkau dapat berjumpa dengan adikku dan dengan Pek-pek."

"Perjumpaan itu secara kebetulan saja, Kun Liong. Pada suatu hari, tiga bulan yang lalu, aku melihat orang berkerumun di sebuah pasar kota tak jauh dari sini. Pada waktu aku mendekat, kiranya orang-orang itu mengerumuni seorang nenek tua yang sedang sakit payah.

"Yang menarik mereka adalah karena nenek ini sedang menawarkan seorang anak perempuan dan seekor anjing putih, menawarkan kepada siapa yang merasa dirinya ahli silat untuk mengambil murid anak itu dan memelihara anjingnya. Tentu saja hal ini sangat mengherankan semua orang. Mengapa nenek itu hendak memberikan anak kecil yang diaku sebagai cucunya itu kepada orang yang pandai ilmu silat?

"Nah, terjadilah keributan sebab anak perempuan kecil itu, yaitu adikmu, menarik hati beberapa orang laki-laki yang kulihat sikapnya ceriwis dan agaknya mempunyai niat buruk terhadap adikmu yang meski pun masih kecil sudah kelihatan cantik itu. Terjadilah adu kepandaian karena nenek itu kukuh dengan tuntutannya bahwa siapa yang terpandai ilmu silatnya, dialah yang berhak memiliki anak dan anjing itu."

"Siapakah nenek tua yang menawarkan In Hong dan Pek-pek itu?"

"Nanti dulu, kulanjutkan ceritaku dulu. Karena aku tidak ingin melihat anak perempuan itu terjatuh ke tangan salah seorang di antara laki-laki yang kasar dan saling berebutan, yang mengeluarkan kata-kata kotor mengenai diri In Hong, aku lalu turun tangan merobohkan dan mengusir mereka semua. Kemudian aku membawa Nenek Phoa itu bersama In Hong dan Pek-pek ke pondokku. Sayang Nenek Phoa hanya dapat hidup sepekan lamanya, akan tetapi sebelum dia meninggal dunia, dia telah menceritakan semua riwayat In Hong sehingga tahulah aku bahwa Yap In Hong adalah adik kandungmu."

"Aduh, untung ada engkau, Bi Kiok. Andai kata adikku terjatuh ke tangan orang jahat, betapa mungkin aku dapat bertemu dengannya?"

"Ahh, belum tentu! Dari cerita Phoa Ma aku mendengar kematian ayah bundamu yang dikeroyok oleh para datuk..."

"Aku sudah tahu pula tentang hal itu, dan semua pembunuh ibuku telah tewas, sungguh pun bukan tewas oleh tanganku, terima kasih kepada Thian untuk itu! Akan tetapi harap kau ceritakan riwayat In Hong setelah kedua orang tuaku itu tewas di Tai-goan."

"Menurut penuturan Phoa Ma, pada saat ayah bundamu tewas bersama semua keluarga Theng yang budiman, adikmu berhasil dibawa lari oleh Phoa Ma dan Pek-pek yang oleh ayahmu diam-diam dan secara sembunyi dibawa pula dari kota Leng-kok ke Tai-goan, mengikuti pelarian ini. Dengan susah payah Phoa Ma menyembunyikan adikmu itu dan merantau sampai jauh.

"Namun karena dia sudah tua, maka tentu saja dia dan adikmu menjalani hidup yang serba kekurangan dan amat sulit, bahkan akhirnya, setelah adikmu berusia empat tahun lebih, Phoa Ma sering jatuh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya sebagai tukang cuci pakaian. Karena merasa bahwa tak mungkin dia dapat hidup lebih lama lagi, dia mencari akal dan menawarkan adikmu itu dan Pek-pek kepada orang-orang di pasar itu."

"Aihh, budi Phoa Ma terhadap adikku sukar dapat dibalas, apa lagi dia sudah meninggal dunia. Akan tetapi, Bi Kiok, mengapa dia menawarkannya kepada orang yang pandai ilmu silat?"

"Menurut pengakuan Phoa Ma ketika kutanya, dia berkata bahwa adikmu itu merupakan keturunan ayah ibu pendekar, sudah sepantasnya kalau adikmu itu menjadi murid orang pandai pula supaya kelak dapat membalaskan kematian orang tuanya. Pula, kalau yang melindungi seorang ahli silat yang lihai, tentu keselamatannya terjamin."

"Aduh, sungguh luhur budi Phoa Ma itu." Kun Liong menarik napas panjang dan merasa terharu sekali.

"Memang benar, padahal dia hanyalah seorang pelayan di rumah keluarga Theng di kota Tai-goan."

Kun Liong menarik napas panjang. "Kebajikan tidak memilih kedudukan mau pun keadaan harta seseorang, bahkan biasanya, makin tinggi kedudukan seseorang dan makin banyak jumlah harta seseorang, maka makin jauhlah dia dari kebajikan. Orang yang tidak pernah merasakan kemiskinan, bagaimana mungkin menaruh rasa belas kasihan kepada orang miskin? Orang yang tidak pernah merasakan kelaparan, bagaimana mungkin merasa iba kepada orang kelaparan? Budi yang dilimpahkan Phoa Ma terhadap In Hong berdasarkan kasih tanpa mengingat lagi akan kepentingan dirinya sendiri. Sungguh budi yang sukar ditemukan di antara seribu orang!"

"Aku yakin bahwa ayah bundamu yang namanya terkenal di seluruh dunia kang-ouw tentu merupakan orang-orang gagah yang sudah tak terhitung banyaknya menolong manusia lain, maka biar pun mereka sendiri mengalami nasib buruk, akan tetapi puterinya selalu dilindungi oleh bintang penolong."

"Dan engkau adalah seorang di antara bintang-bintang penolongnya."

"Hemm, aku tidak masuk hitungan."

"Engkau terlalu merendahkan diri. Entah sudah berapa kali kau menolongku. Seingatku, engkau sudah menolongku ketika aku hanyut di sungai, engkau pula menolongku dengan peringatan tentang bokor setelah engkau dengan gurumu menyelamatkan aku dari tangan Kwi-eng Niocu, betapa engkau menyembunyikan aku di goa dan..."

"Sudahlah, semuanya itu tidak ada gunanya untuk dibicarakan kembali. Engkau pun telah menyelamatkan aku saat aku hendak disiksa dan mukaku hendak dirusak oleh Toat Beng Hoatsu, kemudian engkau menyelamatkan aku dan malah mengorbankan diri menyerah pada waktu kita bersembunyi di dalam goa sehingga engkau menjadi tawanan pasukan pemerintah."

Kun Liong tersenyum. "Memang di antara kita, siapa pun yang terancam bahaya harus ditolong oleh yang lain. Bila mana kita tidak saling tolong-menolong, betapa akan lebih sengsaranya hidup ini. Kalau seluruh manusia di dunia ini saling menolong dan saling membantu, tentu dunia ini sudah berubah menjadi sorga! Akan tetapi, satu hal membuat aku kagum bukan main dan terheran-heran, Bi Kiok. Bagaimana engkau sekarang bisa begitu lihai? Kulihat ilmu kepandaianmu meningkat sepuluh kali lipat! Bahkan aku berani bertaruh bahwa ilmumu telah mencapai tingkat lebih tinggi dari pada tingkat yang dimiliki gurumu dahulu."

Tepat pada waktu itu, dengan suara nyaring gembira In Hong memberi tahukan bahwa masakannya telah matang. Mereka bertiga lalu makan dan dengan setulus hati Kun Liong memuji masakan sayur yang dibuat oleh adiknya. Karena selama beberapa bulan hidup berdua dengan gurunya, In Hong sudah diajar masak. Dia memang suka masak, maka anak kecil ini benar-benar sudah pandai membuat masakan sayur yang bumbunya sedap.

Sehabis makan, Bi Kiok memberikan kesempatan kepada In Hong untuk ikut bercakap-cakap, akan tetapi dia melihat bahwa muridnya itu masih belum dapat membiasakan diri menghadapi seorang kakak maka biar pun dia sudah ramah sekali, tetap saja masih kaku terhadap Kun Liong.

Rasa kasih sayang antara saudara sekandung terjalin karena kebiasaan dalam hubungan sehari-hari, sedangkan dua orang kakak beradik ini selama hidup mereka baru sekarang saling bertemu. Kemesraan di hati Kun Liong hanya terdorong oleh keharuannya ketika mendapat kenyataan bahwa anak itu adalah adiknya, adik kandung satu-satunya! Namun perasaan seperti ini belum terasa oleh In Hong, maka dia pun hanya menganggap Kun Liong sebagai seorang laki-laki yang manis budi, yang menganggapnya sebagai adiknya.

Setelah mereka duduk bercakap-cakap berdua lagi, Kun Liong mengulang pertanyaannya tentang kelihaian Bi Kiok yang dalam waktu singkat memperoleh kemajuan yang sangat luar biasa itu.

"Kun Liong, percayalah, kalau bukan engkau, sampai mati pun aku tidak akan membuka rahasia ini. Engkaulah satu-satunya orang yang akan mendengar rahasiaku ini."

Mendengar ucapan yang dikeluarkan dengan suara dan sikap sungguh-sungguh itu, tak disadarinya lagi saking herannya Kun Liong bertanya, "Mengapa aku?"

"Yaaah... justru karena engkaulah..."

Kun Liong tersenyum. "Terima kasih, Bi Kiok. Ini menunjukkan bahwa engkau percaya sekali kepadaku. Nah, aku siap mendengar rahasia besar itu."

"Kun Liong, aku memperoleh kemajuan pesat sesudah aku mempelajari ilmu kesaktian yang terdapat di dalam... bokor pusaka yang diperebutkan itu."

"Hehhh...?" Kun Liong mencelat bangun dari bangkunya mendengar ini, saking heran dan kagetnya.

"Engkau marah?" Bi Kiok bertanya, sikapnya seperti menantang.

"Kenapa marah?" Kun Liong menggelengkan kepalanya, matanya menjadi bundar ketika memandang wajah dara itu. "Aku hanya kaget dan heran sekali karena tidak menyangka-nyangka. Yang kuketahui adalah bahwa setelah ditemukan ternyata bokor pusaka yang diperebutkan itu palsu."

"Memang kami yang memalsukan, mendiang Subo dan aku."

Kun Liong mengangguk-angguk. "Cerdik sekali! Pantas semuanya tidak berhasil, bahkan Cia-supek sendiri, dan bahkan Panglima The Hoo sendiri, sampai dapat dikelabui. Hebat sekali siasatmu itu, Bi Kiok."

"Mana aku bisa? Semua ini adalah siasat mendiang Subo. Ketika bokor jatuh ke tangan Subo, Subo cepat membuat tiruannya pada seorang tukang emas yang lalu dibunuhnya pula setelah pembuatannya selesai dan persis betul. Tidak ada seorang pun mengetahui akan pembunuhan ini. Lalu Subo menyuruh aku menyimpan bokor yang tulen sedangkan dia membawa yang palsu.

"Hal ini menurut Subo adalah karena orang-orang tentu akan mengejar Subo, bukan aku yang hanya seorang muridnya. Dugaan Subo ternyata benar, bokor palsu yang diperebutkan sedangkan yang asli berada di tanganku, kusembunyikan baik-baik. Sayang sekali, siasat Subo yang berhasil baik itu tidak dapat dinikmati oleh Subo sendiri yang keburu tewas.

"Maka aku lalu menyelidiki isinya, menemukan rahasia tempat penyimpanan kitab-kitab dan harta pusaka. Bokor itu kumusnahkan, kitabnya kubawa dan kupelajari, kemudian sedikit harta kubawa sebagai bekal. Nah, dari sebagian kitab itulah aku memperoleh kemajuan ilmu silatku."

Kun Liong menjadi kagum bukan main. "Hebat! Baru sebagian saja sudah sangat luar biasa, apa lagi kalau kau mempelajarinya semua!"

"Memang hebat sekali, Kun Liong. Dan harta itu pun cukup banyak. Dan begitu berjumpa denganmu, tekadku sudah bulat bahwa semua harta pusaka dan kitab-kitab itu adalah untuk kita. Aku tidak dapat hidup sendiri, menguasai pusaka sedemikian banyaknya."

"Kita...?"

"Ya, kau pun berhak. Bukankah engkau yang mula-mula menemukan bokor itu dari dalam sungai? Engkau yang menemukan, aku yang menyelamatkannya dari tangan orang-orang yang memperebutkannya, jadi kita berdua, bertiga dengan In Hong, yang berhak memiliki semua itu. Karena itu, Kun Liong, marilah kita pergi ke tempat rahasia itu, bersama In Hong dan hidup bertiga penuh kebahagiaan di sana."

Kun Liong mengerutkan alisnya, memandang tajam. Sejenak mereka berpandangan, dua pasang sinar mata bertemu, bertaut, saling menjajaki dan menyelidiki. Kemudian Bi Kiok menghela napas dan berkata,

"Kun Liong, aku... aku masih mencintamu, sejak dulu sampai sekarang dan sampai mati. Selama ini, tidak ada seorang pun pria yang menarik hatiku."

"Bi Kiok! Jangan kau berkata demikian!"

"Hemm, Kun Liong, apakah kau tetap tidak cinta padaku, setelah segala yang kulakukan terhadap adik kandungmu?"

Kun Liong cepat bangkit berdiri, menjura dan membungkuk. "Untuk budimu itu, sampai mati pun aku tidak akan melupakannya, Bi Kiok. Akan tetapi cinta...? Kurasa..." Dia tidak tega untuk berterus terang dengan kata-kata, hanya menggelengkan kepalanya.

"Kun Liong..." Suara Bi Kiok gemetar.

"Ya...?"

"Lupakah kau...?"

"Ya..."

"Ketika kita bersembunyi di dalam goa gelap itu..."

"Hemmm... lalu...?"

"Kau telah menciumku! Engkau telah menciumi mataku! Semenjak saat itulah aku jatuh cinta padamu sampai sekarang dan sampai selamanya!"

Kun Liong ingin menampar kepalanya sendiri bila mana dia teringat akan semua watak ugal-ugalannya dahulu. Karena wataknya itu, suka main-main dan menggoda dara cantik, dia melibatkan diri dalam pertalian cinta-mencinta yang amat ruwet dan berekor panjang. Andai kata dia dahulu tidak mencium mata Bi Kiok, tentu tak akan begini jadinya. Belum tentu gadis yang pada dasarnya berwatak dingin ini jatuh cinta padanya.

Dia mengangkat muka memandang. Memang cantik luar biasa dara ini, dan terutama matanya! Bukan salahnya kalau dia dahulu mencium mata itu. Sekarang pun... hemm..., jarang ada sepasang mata seindah itu!

"Bi Kiok, dahulu pun sudah kukatakan bahwa aku tidak mencinta padamu. Pada waktu itu, aku tidak mencinta siapa-siapa. Cinta tidak mungkin bisa dipaksakan dan aku tidak sudi menjadi seorang perayu yang menggunakan senjata cinta palsu untuk menjatuhkan hati seorang wanita. Waktu itu aku sudah berterus terang kepadamu, dan sekarang aku pun hendak berterus terang bahwa lebih-lebih sekarang ini, tidak mungkin bagiku untuk dapat mencintamu atau wanita lain karena aku telah mencinta seorang gadis lain."

"Ouhhhh..." Wajah itu berubah pucat dan sinar mata yang indah itu seakan-akan lampu yang menjadi hampir padam, sayu tanpa cahaya lagi.

"Maafkan aku, Bi Kiok...," bisik Kun Liong sambil menunduk karena menyaksikan sinar mata itu dia merasa jantungnya seperti ditikam, tidak sampai hatinya untuk memandang.

"Puteri Cin-ling-san...?" Akhirnya, sesudah hening beberapa lamanya yang merupakan keheningan yang mencekam hati Kun Liong, terdengar suara Bi Kiok, suaranya lirih dan tergetar...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.