Dewi Maut Jilid 12
KOTA Kiang Shi bukan hanya terkenal karena kota itu cukup ramai dengan perdagangan, akan tetapi terutama sekali terkenal karena kota itu merupakan kota tempat hiburan. Ingin mencari wanita-wanita pelacur yang terkenal paling cantik serta pandai melayani kaum pria, golongan paling rendah hingga paling tinggi? Kiang-shi tempatnya! Hendak mengadu peruntungan dengan perjudian sehingga dalam waktu semalam saja seorang jutawan bisa kehabisan seluruh uangnya dan sebaliknya seorang biasa mungkin saja, walau pun agak langka, mendadak menjadi jutawan? Di Kiang-shi pula tempatnya!
"Trak-tak-trak-tak-tak!" terdengar suara berirama yang ditimbulkan dari dua potong bambu yang dijepit di antara jari-jari tangan.
Seorang seniman jalanan sedang menceritakan keadaan kotanya yang tercinta itu dengan sajak-sajak sederhana yang dinyanyikan dengan suara serak dan iramanya dituntun oleh suara tadi, bernyanyi-nyanyi di depan toko-toko dan warung-warung sambil mengharapkan sedekah orang.
Penyanyi-penyanyi jalanan seperti ini kadang-kadang bisa menggambarkan keadaan kota Kiang-shi dengan hidup sekali, bahkan tidak jarang di antara mereka yang memasukkan di dalam nyanyiannya itu cerita-cerita sensasi dan gosip tentang orang-orang tertentu di dalam kota itu sehingga banyak juga orang yang berminat mendengarkan mereka untuk sekedar mengetahui berita apa yang sedang hangat dan yang dapat memancing ketawa sinis mereka hanya dengan mengeluarkan sepotong uang kecil.
Pada malam hari itu, seorang pemuda yang berpakaian sederhana dan berwajah tampan berjalan-jalan menyusuri jalan raya yang dipenuhi orang-orang yang berjalan hilir-mudik di kedua tepi jalan, di mana toko-toko berjajar penuh dengan segala jenis barang dagangan. Sinar-sinar penerangan berpencaran keluar dari toko-toko itu sehingga suasana menjadi meriah dan semua orang yang lalu lalang itu rata-rata berwajah gembira.
Sudah beberapa pekan lamanya pemuda itu yang bukan lain adalah Cia Bun Houw, pergi meninggalkan Cin-ling-san dan pada sore hari itu sampailah dia di kota Kiang-shi dalam penyelidikannya hendak mencari musuh-musuh besar Cin-ling-pai, yaitu Lima Bayangan Dewa yang hanya dia ketahui nama-nama serta julukan mereka akan tetapi sama sekali tidak diketahuinya di mana tempat tinggal mereka itu.
Setiap tokoh kang-ouw yang ditanyai, tidak ada yang tahu dan agaknya mereka itu seperti takut-takut membicarakan tentang mereka, sehingga Bun Houw menduga bahwa andai kata ada yang mengetahui tempat tinggal mereka pun, agaknya dia itu tidak akan berani menceritakan kepadanya. Maka pemuda itu lalu mengambil keputusan untuk menyelidiki dengan cara lain, yaitu dia akan mendekati kaum sesat dan akan masuk sebagai anggota kaum sesat sehingga dia akan dianggap ‘orang dalam’ dan tentu akan lebih mudah untuk menyelidiki mereka.
Tiba-tiba Bun Houw tertarik oleh seorang laki-laki setengah tua yang bernyanyi-nyanyi di depan toko besar di mana banyak berkerumun orang-orang yang mendengarkan nyanyian yang diiringi suara berketraknya bambu-bambu di antara jari-jari tangan orang itu. Bun Houw segera mendekati dan ikut pula mendengarkan.
Suara orang ini cukup merdu dan kata-kata yang keluar dari mulutnya lancar dan jelas sehingga menarik perhatian banyak orang. Seperti para penyanyi jalanan lainnya, orang ini pun menggambarkan keadaan kota Kiang-shi, akan tetapi kata-katanya agak berbeda dengan para penyanyi-penyanyi lainnya yang hanya menghafal sehingga syair yang terus diulang-ulang itu tidak menarik lagi. Orang ini agaknya lain. Dia pandai mencari kata-kata sendiri yang selalu berubah-ubah, jadi bukan hafalan.
Trak-tak, trak-tak, trak-tak-tak…
Kiang-shi kota tersayang
hidup malam dan siang
Kiang-shi di waktu siang
orang-orang berdagang
saling catut dan kemplang
bahkan di waktu malam
berdagang kesenangan
Kiang-shi sebagai sorga
juga mirip neraka
pusat suka dan duka
panggung tangis dan tawa!
Bun Houw tersenyum mendengar syair sederhana yang dinyanyikan orang itu. Dia pun melemparkan sekeping uang tembaga ke dalam topi yang ditelentangkan di atas tanah seperti yang dilakukan oleh para penonton lainnya. Penyanyi ini bernyanyi terus, kini lebih bersemangat. Syairnya lebih bebas, tidak lagi merupakan baris-baris dari tujuh suku kata untuk mengimbangi bunyi iringan suara bambu yang tujuh kali, melainkan kini merupakan syair dan nyanyian bebas yang seperti kata-kata berirama, kadang-kadang diseling suara berketraknya bambu-bambu di jari tangannya.
Isteri anda di rumah cerewet
dan marah?
jangan khawatir, pergilah kepada
rumah merah terpencil
di belakang kuil,
di sana kerling dan senyum manis
dijual murah,
besok pagi ciuman mesra mengiring,
anda pulang dengan saku
dan tulang punggung kering!
Semua orang tertawa mendengar kata-kata yang lucu ini. Bun Houw sendiri belum dapat menangkap dengan jelas arti dari nyanyian itu, dan kalau pun dia ikut tersenyum adalah karena dia mendengar dan melihat orang-orang lain tertawa. Memang suasana di tempat itu sangat menggembirakan.
Bun Houw memandang ke kanan kiri. Dia ingin mencari tempat penginapan dan dia tahu bahwa rumah merah terpencil di belakang kuil, rumah Ciauw-mama itu, di mana kerling dan senyum manis dijual murah, pasti bukanlah merupakan rumah yang dibutuhkan untuk bermalam di malam itu. Akan tetapi sebelum dia meninggalkan tempat itu, dia mendengar lagi orang itu melanjutkan nyanyiannya.
Anda ingin menjadi jutawan?
Pergilah ke Hok-po-koan!
Kalau bintang anda terang
dalam semalam anda menjadi hartawan!
Kalau bintang anda gelap?
Dalam semalam
Menjadi jembel kelaparan!
Kembali semua orang tertawa. Kembali Bun Houw menaruh perhatian ketika penyanyi itu melanjutkan nyanyiannya sesudah tersenyum lebar, menyambut suara ketawa penonton dan pendengarnya.
Akan tetapi hati-hatilah
jangan main gila di Hok-po-koan!
Salah-salah leher bisa putus
disambar sinar pedang setan
belum lagi kalau ketahuan
oleh Lima Bayangan!
Bun Houw terkejut sekali dan dia memandang penyanyi itu lebih teliti. Dia itu orang biasa saja dan kini setelah nyanyiannya habis, dia mengumpulkan kepingan uang tembaga dan berjalan meninggalkan tempat itu, agaknya untuk bernyanyi di lain tempat lagi.
"Twako, perlahan dulu..." Bun Houw menegurnya dari belakang.
Orang itu segera berhenti dan membalikkan tubuhnya, memandang penuh keheranan dan keraguan. Akan tetapi karena yang menegurnya itu hanya seorang pemuda berpakaian biasa dan sederhana, hatinya lega dan dia bertanya apa yang dikehendaki oleh pemuda itu.
"Twako, aku tadi mendengar nyanyianmu yang amat indah dan aku ingin mengundangmu minum arak sambil mengobrol..."
"Ahh, hiante, engkau terlalu memuji. Aku hanya seorang miskin yang..."
"Jangan merendahkan diri, twako. Engkau seorang seniman."
"Aku? Seniman? Ha-ha-ha, jangan mengejek, hiante."
"Marilah, twako. Ataukah engkau memandang rendah padaku sehingga menolak tawaran dan ajakanku?"
"Ahh, mana aku berani? Baiklah, dan terima kasih, hiante."
Mereka lalu memasuki sebuah kedai arak. Bun Houw memesan mi, daging, serta arak. Mereka makan minum dengan lahap dan setelah minum araknya dan mengelus perutnya, orang itu berkata,
"Aihhh, dasar perutku yang malam ini bernasib baik, bertemu dengan seorang dermawan seperti engkau, hiante. Sekarang aku hendak bertanya secara sungguh-sungguh, apakah benar engkau menganggap aku seorang seniman, hiante?"
"Tentu saja! Mengapa tidak? Engkau seorang seniman dan kiraku tidak ada seorang yang akan dapat membantah kenyataan ini," kata Bun Houw, bersungguh-sungguh pula karena dia memang bukan berpura-pura atau menjilat.
"Ahh, kalau saja semua orang mau berpendapat seperti engkau, alangkah menghiburnya pendapat itu. Akan tetapi, orang muda, tidak banyak yang sudi menganggap aku seorang seniman. Apa lagi mereka yang duduk di tempat tinggi, mereka yang menganggap diri mereka kaum cendekiawan, kaum sasterawan, dan para sarjana dan siucai. Mereka itu memandang rendah orang-orang macam kami, bahkan menganggap kami merusak seni, menganggap kami seniman kampungan, picisan dan rendah, yang katanya hanya menjual kesenian belaka, seorang pengemis yang mencari sesuai nasi dengan menjual suara..."
"Itu hanya pendapat orang-orang yang kepalanya besar akan tetapi berisi angin kosong belaka, orang-orang yang menganggap diri sendiri sebagai sepandai-pandainya orang dan sebersih-bersihnya orang. Orang-orang macam inilah yang sangat berbahaya, mereka ini adalah orang-orang sombong yang tinggi hati, dan tidak ada yang lebih bodoh dari pada mereka yang menganggap dirinya sendiri pandai. Tidak ada orang yang lebih kotor dari pada mereka yang menganggap dirinya sendiri bersih."
"Hayaaa...! Sungguh baru sekarang aku mendengar pendapat seperti engkau ini, hiante! Aku hanya penyanyi yang menjual suara..."
"Apa salahnya dengan seorang seniman yang mendapatkan nafkah hidupnya dari karya seninya? Seniman pun manusia biasa yang memerlukan makanan, pakaian dan rumah!"
"Hiante, jika begitu pendapatmu, bagimu apakah artinya kesenian? Apakah kesenian itu?"
"Karya seni adalah suatu karya yang mengandung keindahan keadaan dan macamnya tidak bisa ditentukan oleh manusia, segi-segi keindahannya pun tidak bisa ditentukan dan digariskan, karena kalau sudah digariskan itu bukan seni lagi namanya. Kalau sifat karya seni ditentukan, maka yang menentukan itu ialah orang-orang yang memiliki kecondongan suka atau tidak suka dan memang penilaian tergantung sepenuhnya kepada rasa suka dan tidak suka itu. Alam merupakan seniman yang maha besar dan satu di antara karya seninya adalah hujan. Apakah semua orang menyukai hujan atau membencinya? Belum tentu! Tergantung dari untung rugi yang diakibatkan oleh hujan itu bukan? Nah, karya seni pun demikian. Yang jelas, jika sesuatu mengandung keindahan yang dapat dinikmati oleh segolongan orang, itulah seni. Nyanyianmu tadi banyak yang menikmatinya dan bagi yang menikmatinya tentulah dianggap baik, akan tetapi bagi orang lain mungkin saja dianggap bukan seni bahkan merusak."
Penyanyi itu bangkit berdiri lantas menjura kepada Bun Houw. "Sungguh hebat! Terima kasih sekali, hiante. Engkau masih begini muda akan tetapi pandanganmu mengandung keadilan besar dan sekaligus engkau sudah mengangkat aku dari dasar jurang di mana aku selalu merasa rendah diri dan hina. Kini, aku akan lebih berani lagi mengungkapkan segala keadaan dan kepincangan peri kehidupan manusia di kota Kiang-shi, biarlah aku mewakili semua keadaan yang tidak adil itu dan akan kunyatakan dalam nyanyianku. Kau dengar saja nanti!" Dia bersemangat sekali nampaknya.
"Akan tetapi apa kau tidak takut akan sinar pedang setan dan Lima Bayangan, twako?" Bun Houw kini mengarahkan percakapan kepada tujuan penyelidikannya.
"Heh? Apa maksudmu?" orang itu bertanya.
Bun Houw tersenyum. "Aku tak bermaksud apa-apa, hanya aku teringat tadi engkau juga menyebut-nyebut sinar pedang setan dan Lima Bayangan di dalam nyanyianmu. Bagian-bagian itu belum kumengerti benar. Apa dan siapakah pedang setan di Hok-po-koan itu, twako?"
"Hemm, agaknya engkau bukan orang Kiang-shi..."
"Memang bukan. Aku baru saja memasuki Kiang-shi, maka aku mengharapkan petunjuk darimu, twako."
"Jangan khawatir, hiante. Aku lahir di sini dan aku mengenal semua keadaan di kota yang kucinta ini. Kau boleh bertanya apa saja kepadaku."
"Aku kadang-kadang suka juga bermain judi, twako. Hanya untuk iseng-iseng saja, bukan ingin menjadi jutawan, apa lagi menjadi jembel kelaparan seperti dalam nyanyianmu tadi."
Orang itu tertawa.
"Aku ingin mencoba peruntungan di Hok-po-koan, akan tetapi aku ragu-ragu mendengar nyanyianmu mengenai sinar pedang setan dan Lima Bayangan. Harap kau menjelaskan kepadaku."
"Ahh, itukah?" Penyanyi itu menengok ke kanan kiri, lalu berbisik, "Sebaiknya kita keluar dari sini dan bicara di jalan yang sunyi."
Bun Houw mengangguk, membayar makanan dan mereka lalu berjalan keluar, menuju ke jalan yang sunyi dan meyimpang dari jalan raya itu.
"Pemilik Hok-po-koan adalah seorang bernama Liok Sun dan dia berjuluk Kiam-mo (Setan Pedang). Kabarnya dia berkepandaian tinggi sekali dan karena itu di tempat perjudiannya tidak ada yang berani bermain gila. Bahkan dahulu pernah ada tujuh orang penjahat yang hendak merampas banyak uang di po-koan (tempat perjudian), akan tetapi mereka semua roboh oleh pedang di tangan orang she Liok itu! Di Kiang-shi, nama orang itu terkenal sekali, bahkan para pembesar bersahabat dengannya. Nah, karena itu maka kusinggung dalam nyanyian agar orang yang bermain judi di Hok-po-koan jangan bermain gila."
Bun Houw mengangguk-angguk. "Dan tentang Lima Bayangan itu?" dia bertanya sambil lalu seperti tidak menaruh perhatian khusus.
"Ah, kau tidak tahu, hiante. Pada waktu itu, di dunia kang-ouw timbul kegemparan karena Lima Bayangan..."
"Dewa? Lima Bayangan Dewa kau maksudkan?"
"Ehhh...?" Orang itu memandang Bun Houw dengan mata terbelalak. "Kau... tahu?"
Bun Houw menggelengkan kepala. "Aku hanya mendengar bahwa ada tokoh-tokoh besar muncul di dunia dan disebut Lima Bayangan Dewa! Mengapa kau sebut-sebut mereka di dalam nyanyianmu?"
"Aku hanya sering menengar bahwa Kiam-mo Liok Sun itu suka sekali memamerkan dan menyombongkan di luaran bahwa dia adalah sahabat dari Lima Bayangan Dewa! Semua orang tidak percaya, termasuk pula aku, maka untuk mengejek kesombongannya itu, aku membawa Lima Bayangan dalam nyanyianku."
Bun Houw memandang tajam. "Jadi engkau tidak tahu apa-apa tentang Lima Bayangan Dewa?"
Orang itu menggeleng.
"Dan majikan Hok-po-koan (Tempat Perjudian Mujur) itu bilang bahwa dia sahabat Lima Bayangan Dewa?"
Orang itu mengangguk. "Demikian yang dikatakan orang."
"Banyak terima kasih, twako. Nah, selamat malam dan jangan lupa bahwa engkau adalah seorang seniman tulen dan jangan pedulikan mereka yang mencemoohkanmu. Anggap saja mereka itu anjing-anjing menggonggong."
"Akan tetapi mereka itu kaum sasterawan cabang atas, kaum cendekiawan..."
"Jika begitu mereka itu pun hanya merupakan sekumpulan anjing-anjing bangsawan yang menggonggong belaka dan anjing apa pun, gonggongannya tetap sama saja!" Bun Houw berkata sambil membalikkan tubuh dan pergi meninggalkan penyanyi itu.
Dia langsung mencari keterangan mengenai tempat perjudian Hok-po-koan yang mudah saja dia dapat dari orang yang berlalu-lalang karena semua orang tahu belaka di mana adanya Hok-po-koan itu.
Hok-po-koan adalah sebuah tempat judi terbesar di Kiang-shi. Kebetulan sekali tempat itu berada di dekat sebuah losmen, maka Bun Houw lalu menyewa sebuah kamar di losmen itu. Setelah mandi dan bertukar pakaian yang lebih bersih, pemuda ini langsung pergi ke Hok-po-koan dengan lagak seperti seorang pemuda beruang yang sudah biasa dengan perjudian. Tentu saja sebelumnya dia tidak pernah memasuki tempat judi, apa lagi berjudi.
Dua orang pelayan menyambutnya dengan senyum lebar dibuat-buat dan mempersilakan Bun Houw masuk ke ruangan dalam. Dengan sikap dan lagak seorang kongcu, Bun Houw mengangguk dan memasuki ruangan judi yang dipasangi lampu penerangan yang besar dan banyak itu sehingga keadaan di situ seperti siang hari saja terangnya. Kebisingan di antara kelompok-kelompok tamu yang sedang berjudi itu memenuhi ruangan dan keringat mengalir di wajah-wajah yang penuh ketegangan.
Bun Houw yang selama hidup baru pertama kali ini memasuki tempat seperti itu, dengan jelas dapat melihat keadaan yang tidak nampak oleh mata orang-orang yang sudah biasa berada di situ. Segala macam nafsu perasaan terbayang jelas pada wajah-wajah mereka yang berkumpul di meja-meja judi.
Tawa riang, kegembiraan melihat kemenangan sendiri dan kekalahan orang lain, kegelian hati yang kejam menyaksikan penderitaan orang lain, harapan-harapan besar yang sering terpancar dari mata mereka, keputus asaan yang mulai menyelubungi wajah beberapa orang di antara mereka, kerling-kerling tajam mata yang membayangkan kecerdikan dan kelicikan, kehausan akan uang yang bertumpuk di meja, semua ini seolah-olah menampar mata dan hati Bun Houw.
"Kongcu ingin bermain apa?" Seorang pelayan atau tukang pukul bertanya manis ketika melihat Bun Houw yang baru masuk itu memandang ke kanan kiri, tahu bahwa pemuda ini merupakan seorang tamu baru dan karenanya merupakan makanan lunak.
"Aku... mau melihat-lihat dulu," jawab Bun Houw dan dia menghampiri sebuah meja besar di mana diadakan permainan dadu.
Biar pun selamanya Bun Houw belum pernah melihat perjudian dadu, akan tetapi karena amat mudah, maka baru melihat sebentar saja dia sudah mengerti. Bandar judinya adalah seorang pria pegawai po-koan itu yang bertubuh kurus dan berwajah kekuning-kuningan, matanya tajam dan liar mengerling ke sana-sini, kumisnya kecil panjang kelihatan seperti kumis palsu yang pemasangannya tidak rapi, kedua lengan bajunya digulung sampai ke siku sehingga tampak kedua lengannya yang hanya tulang terbungkus kulit dan jari-jemari tangannya yang panjang dan cekatan.
Bandar ini memegang sebuah mangkok dan di atas meja terdapat dua buah dadu. Setiap dadu yang persegi itu pada enam permukaannya ditulisi nomor satu sampai nomor enam. Di atas meja, bagian luar dan dekat dengan para tamu, terdapat lukisan petak-petak yang ada nomornya pula, yaitu nomor satu sampai dengan nomor dua belas. Ada pula dua petak di kanan kiri, dibagi dua dan bertuliskan huruf-huruf GANJIL dan GENAP.
"Hayo pasang... pasang... pasang...!" Si bandar kurus kering dan dua orang pembantunya di kanan kiri yang bertugas menarik uang kemenangan dan membayar uang kekalahan, berteriak-teriak dengan gaya dan suara yang khas. Seolah-olah ada daya tarik terkandung dalam suara mereka yang agak serak itu.
Bun Houw melihat betapa belasan orang tamu yang merubung meja itu segera menaruh setumpuk uang di atas nomor pilihan masing-masing, ada yang sedikit akan tetapi ada pula yang banyak. Sesudah semua orang meletakkan uang taruhan mereka, si bandar kurus berteriak nyaring,
"Pemasangan berhenti... dadu diputar...!"
"Kratak-kratak-kratakkk...!"
Dua buah dadu itu dimasukkan ke dalam mangkok, ditutup telapak tangan kiri kemudian dikocok sehingga mengeluarkan bunyi berkeratak, lalu dengan gerakan yang cekatan dan cepat sekali mangkok dibalikkan dan ditaruh menelungkup di atas meja, dengan dua butir dadu di bawahnya.
"Boleh tambah pasangan...!" Dua orang pembantu bandar berteriak menantang.
Sibuk orang-orang yang berjudi itu menambahkan sejumlah uang di atas tumpukan uang pasangan mereka.
"Berhenti semua... dadu dibuka...!"
Bandar kurus berteriak dan tangan kanannya dengan jari-jari yang panjang itu membuka mangkok. Semua mata memandang ke arah meja di mana kini tampak dua butir dadu itu setelah mangkoknya dibuka. Yang sebutir memperlihatkan angka enam di atas dan yang kedua memperlihatkan angka satu.
"Tujuh menang... ganjil menang...!" bandar berteriak.
Terdengar banyak mulut mengeluh dan muka-muka berkeringat dan muram ketika mata mereka melihat dua orang pembantu bandar menarik semua uang pasangan yang berada di atas nomor lain, kecuali yang berada di atas nomor tujuh dan kotak ganjil.
Akan tetapi Bun Houw melihat bahwa yang menang hanya taruhan kecil saja dan biar pun kepada yang menang itu pembayaran bandar membayar enam kali lipat, akan tetapi jelas bahwa kemenangannya sekali tarik itu besar sekali. Juga yang menang dalam bertaruh angka ganjil hanya mendapat jumlah kemenangan yang sama dengan taruhannya.
Akan tetapi semua ini tidak begitu menarik hati Bun Houw. Yang sangat mengherankan, mengagetkan dan juga memarahkan hatinya adalah ketika tadi dia melihat cara si kurus itu membuka mangkok. Mangkok dibuka cepat sekali, akan tetapi dalam keadaan miring sehingga sebelum orang lain melihat letak dadu, si bandar lebih dulu melihatnya dan Bun Houw yang menaruh tangannya di atas meja merasa ada getaran aneh pada permukaan meja itu dan matanya yang berpenglihatan tajam itu dapat melihat sebutir di antara dadu itu bergerak membalik, dari angka empat menjadi angka satu.
Apa bila tidak terjadi keanehan itu, tentu dadu itu menunjukkan adalah angka enam dan empat, berarti yang menang adalah angka sepuluh dan angka genap. Dia melihat betapa tadi pemasang angka sepuluh paling banyak, dan yang berpasang pada genap jauh lebih banyak dari pada yang berpasang pada ganjil!
Biar pun Bun Houw belum pernah berjudi, namun kecerdasannya membuat dia mengerti bahwa bandar itu sudah berlaku curang dengan mempergunakan tenaga lweekang yang digetarkan lewat permukaan meja untuk membalik-balik dadu agar keluar nomor seperti yang dikehendakinya! Kini para pembantu bandar telah berteriak-teriak lagi, menganjurkan para tamu supaya menaruh pasangan mereka.
Ada suatu keanehan di dalam perjudian dan bagi yang mempunyai kepercayaan tahyul bahwa di tempat seperti itu terdapat setannya. Karena itu maka fihak bandar judi selalu memasang dupa, bukan hanya untuk menimbulkan suasana sedap di ruangan itu, akan tetapi juga untuk menyenangkan setan-setan agar membantunya! Ada atau tidak adanya setan, bukanlah hal penting, akan tetapi yang jelas ‘setan-setan’ di dalam diri sendiri yang bersimaharajalela di dalam perjudian.
Mereka yang kalah menjadi semakin serakah karena ingin membalas kekalahan mereka, membayangkan bahwa satu kali saja taruhan mereka mengena dan mereka menerima pembayaran enam kali lipat, kekalahan mereka akan tertebus sama sekali atau sebagian. Sebaliknya, mereka yang tadi menarik kemenangan karena pasangan mereka mengena, merasa menyesal dan kecewa mengapa mereka tadi memasang hanya sedikit.
Kemenangan sedikit itu tidak membuat mereka menjadi puas, sebaliknya mereka menjadi semakin serakah, ingin memperoleh keuntungan atau kemenangan lebih banyak. Karena itu, kebanyakan dari mereka yang kegilaan judi ini, baik yang pada permulaannya menang atau kalah, sebagian besar berakhir dengan kantong kosong, tubuh lesu dan putus asa!
Judi merupakan permainan yang dengan amat jelas menggambarkan watak masyarakat, watak manusia-manusia pembentuk masyarakat. Hanya satu sifat yong menonjol, yang dapat dilihat jelas dalam perjudian akan tetapi agak tersamar dan tersembunyi di dalam kehidupan sehari-hari, sungguh pun sifat yang tersembunyi itu bukan berarti lemah, yaitu sifat SERAKAH, ingin memenuhi nafsu keinginan.
Seperti juga di dalam perjudian, kita hidup sehari-hari mengejar keinginan kita yang dapat saja berupa harta benda, kedudukan, nama besar, atau keinginan yang lebih tinggi lagi menurut pandangan kita, seperti misalnya kedamaian, ketenteraman, keabadian, nirwana atau sorga. Di dalam setiap pengejaran keinginan ini, kepuasan hanya berlaku sementara saja sebab makin dituruti, keinginan makin membesar dan meluas, makin haus sehingga apa yang diperoleh masih selalu kurang dan tidak mencukupi.
Dan celakanya, di dalam kenyataan hidup ini, demi mengejar keinginan yang sebutannya diperhalus dan diperindah menjadi cita-cita atau ambisi dan sebagainya, demi mencapai apa yang diinginkan itu kita main sikut-sikutan, jegal-jegalan dan gontok-gontokan antara manusia, antara bangsa, bahkan antara saudara sendiri! Kenyataan pahit ini hampir tidak tampak lagi, tapi bagi siapa pun yang mau membuka mata melihat kenyataan, peristiwa menyedihkan itu terjadi setiap saat, setiap hari, di mana saja di seluruh bagian dunia ini, dan dekat sekali di sekeliling kita, bahkan di dalam diri kita sendiri!
Bun Houw mengikuti semua gerak-gerik bandar kurus itu dengan penuh perhatian. Kini dia melihat bahwa para penjudi itu sebagian besar memasangkan uang mereka kepada angka sembilan karena ada di antara mereka yang berbisik bahwa biasanya di meja ini, setelah keluar angka tujuh lalu disusul angka sembilan!
Tentu saja hal itu hanya merupakan kebetulan saja, namun di dunia ini memang banyak terjadi hal-hal yang kebetulan seperti itu. Sesudah semua orang menaruh pasangannya dan bandar menelungkupkan mangkok di atas meja, dan tidak ada lagi yang menambah pasangan, waktu ini tentu saja digunakan oleh bandar untuk meneliti, nomor mana yang paling banyak dipasangi orang dan nomor mana yang sebaliknya. Maka dia tahu bahwa jika biji-biji dadu menunjukkan angka sembilan, berarti bandar akan menderita kekalahan yang tidak sedikit. Jadi baginya yang panting hanya menjaga agar jangan sampai keluar angka sembilan!
"Berhenti semua... dadu dibuka...!" Bandar itu seperti biasa berteriak dan cepat membuka mangkok.
Dapat dibayangkan alangkah kagetnya bandar itu melihat bahwa ketika mangkok dibuka miring, dua dadu itu menunjukkan angka empat dan lima! Akan tetapi tentu saja dia cepat menggetarkan tangan kirinya yang menekan meja sehingga permukaan meja tergetar dan dadu itu bergerak.
Dia sudah merasa yakin bahwa sebutir di antara dadu-dadu itu tentu akan rebah miring dan memperlihatkan nomor lainnya sehingga jumlahnya bukan sembilan lagi. Akan tetapi pada saat dia buka, jelas nampak bahwa nomor dua butir dadu itu masih lima dan empat, berjumlah sembilan, sama sekali tidak berobah!
"Sem... sem... bilan menang...!" Bandar berseru dengan suara gemetar dan kedua mata terbelalak heran. Jelas bahwa dia tadi sudah menggetarkan tangannya, mempergunakan lweekang untuk membuat dadu itu rebah, tetapi sekali ini dadu-dadu itu ‘membangkang’!
Dua orang pembantu bandar memandang kepada si bandar kurus dengan mata melotot, marah dan heran. Terpaksa mereka membayarkan kekalahan bandar kepada beberapa orang yang menerima kemenangan mereka dengan pandang mata berseri-seri dan muka kemerahan. Sejenak mereka yang menang itu lupa bahwa kemenangan mereka belum tentu berlangsung lama dan bahwa di antara mereka ada yang kalah jauh lebih banyak dari pada yang mereka terima sekali ini.
Kembali orang memasang. Kembali bandar mengocok dadu dan pada waktu dibuka, si bandar sengaja memperlambat gerakannya. Matanya yang terlatih melihat betapa getaran tenaga lweekang-nya membuat sebutir dadu terguling, akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat dadu yang sudah roboh itu bangkit lagi dan memperlihatkan nomor semula!
Biar pun sekali ini bandar tidak kalah banyak, namun hal itu membuat dia mengeluarkan keringat dingin dan matanya mulai memandang para tamu yang merubung meja. Sejenak pandangan matanya beradu dengan sinar mata Bun Houw yang masih berdiri dengan tangan di atas meja dan menonton dengan asyik.
Akan tetapi si bandar kurus melihat pemuda ini biasa saja, bahkan tidak ikut menaruh pasangan maka kecurigaannya lenyap. Betapa pun juga, karena dia mendapat kenyataan bahwa yang meletakkan tangannya di atas meja hanya pemuda itu, maka sekarang dia memperhatikan sekali.
"Dadu dibuka...!" Sekali ini bandar itu menekankan tangan kanan di atas meja sedangkan tangan kiri yang membuka mangkok. Dia mengerahkan tenaga sekuatnya sambil mencuri lihat dua butir dadu yang menunjuk angka satu dan tiga. Nomor empat merupakan nomor yang lebih banyak dipasangi orang, maka kini dia kembali mengerahkan lweekang-nya.
Akan tetapi kedua butir dadu ini sama sekali tak berkutik! Dia masih terus mengerahkan lweekang sambil memandang ke arah Bun Houw, dan dia melihat pemuda itu tersenyum kepadanya, bahkan memberi tanda dengan memicingkan sebelah mata, ada pun tangan kiri pemuda itu menekan meja.
Kini jelas terasa oleh si bandar betapa ada getaran bergelombang yang amat kuat datang dari arah pemuda itu dan tahulah dia siapa orangnya yang sedang ‘main-main’ dengan dia. Mangkok dibuka dan tetap saja dua butir dadu itu menunjukkan angka empat.
Bandar memberi isyarat kepada para tukang pukul yang berada di sekitar tempat itu. Meja judi yang istimewa ini, karena memberi kemenangan berturut-turut kepada banyak tamu, sekarang makin dirubung orang yang ingin pula merasakan kemenangan.
Melihat isyarat bandar, empat orang tukang pukul mendekati Bun Houw. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai bentuk tubuh tinggi besar, dengan lengan baju tergulung sehingga nampak otot-otot lengan yang besar menggembung, wajah mereka seram dan mencerminkan kekejaman orang yang biasa mengandalkan kekuatan untuk memaksakan kehendak.
"Yang tidak ikut berjudi harap keluar!" bentak bandar kurus sambil menuding ke arah Bun Houw. "Orang muda, aku melihat engkau tidak pernah ikut bertaruh, maka engkau tidak boleh berada di sini!"
Bun Houw tersenyum tenang. Dia memang sedang memancing perhatian, maka dia lalu berkata, "Kenapa di luar tidak dipasang peringatan seperti itu? Memang aku datang ingin melihat-lihat dulu, mengapa disuruh keluar? Apakah kalian takut kalau aku melihat ada yang main curang?"
"Mulut lancang, siapa yang main curang? Hayo lekas pergi dari sini, atau kau ingin kami memaksamu?" bentak salah seorang di antara empat tukang pukul itu. Melihat peristiwa ini, para tamu menjauhkan diri, takut terlibat.
"Wah, wah, apakah Hok-po-koan biasa mempergunakan kekerasan seperti ini? Hendak kulihat, bagaimana cara kalian empat orang kasar hendak memaksaku keluar!" Bun Houw mengejek dan menunjukkan lagak jagoan, seolah-olah dia telah biasa pula mengandalkan kepandaiannya untuk menghadapi tantangan, lagak seorang ‘jagoan’.
"Eh, si keparat, kau menantang?" bentak seorang di antara empat orang tukang pukul itu dan serentak mereka maju memegang kedua lengan serta kedua pundak Bun Houw, hendak diseretnya pemuda itu dan dilempar keluar.
Akan tetapi, segera empat orang itu terkejut bukan main karena pemuda yang mereka pegang itu sedikit pun tidak berkutik dan meski pun mereka sudah mengerahkan tenaga sepenuhnya untuk menyeret dan menggusur, akan tetapi pemuda itu tidak dapat berkisar sedikit pun dari tempatnya, seolah-olah mereka berempat sedang berusaha menarik arca arca dari baja yang amat berat dan kokoh!
Empat orang itu adalah tukang-tukang pukul yang sudah biasa menggunakan kekerasan kepada orang-orang yang dianggap menantang tempat judi itu, mereka adalah kumpulan orang kasar yang hanya memiliki tenaga kasar akan tetapi pandangan mereka dangkal sehingga mereka tidak insyaf bahwa pemuda itu jelas mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada kekuatan mereka.
"Kau ingin mampus?" bentak seorang di antara mereka dan seperti diberi komando saja empat orang itu lalu bergerak menerjang dan memukul Bun Houw.
Akan tetapi, kedua tangan pemuda ini bergerak cepat sekali dan semua orang di situ, termasuk si empat orang tukang pukul, tidak tahu bagaimana dapat terjadi, akan tetapi tahu-tahu empat orang itu terlempar dan terbanting ke atas lantai sambil mengaduh-aduh dan memegang lengan kanan dengan tangan kiri, tidak berani bangkit lagi karena lengan kanan mereka rasanya seperti remuk-remuk tulangnya!
Melihat ini segera para tukang pukul yang lain mengepung Bun Houw. Jumlah mereka ada belasan orang dan seorang bandar judi cepat masuk ke dalam untuk melaporkan hal ini kepada majikan mereka yang tinggal di rumah mewah terletak di belakang rumah judi itu.
Bun Houw tersenyum saat melihat dirinya dikurung oleh para tukang pukul, juga beberapa orang bandar judi yang tentu memiliki kekuatan lebih tinggi dari pada tukang-tukang pukul kasar itu. Bahkan mereka semua sudah mencabut senjata, ada yang memegang golok, pedang, dan toya.
Para tamu sudah membubarkan diri, berlari ketakutan keluar dari pintu rumah judi. Akan tetapi yang berhati tabah memberanikan diri untuk menonton, sambil berlindung di balik meja-meja judi yang besar dan kuat.
Bun Houw hanya ingin memancing perhatian, akan tetapi untuk melaksanakan siasatnya, tentu saja dia tidak ingin bermusuhan dengan kaki tangan Kiam-mo Liok Sun ini, sungguh pun dia amat tidak senang menyaksikan betapa bandar-bandar judi itu menipu para tamu yang datang berjudi dengan permainan-permainan curang.
"Hemm, kalian ini sungguh aneh. Aku datang hanya melihat-lihat karena aku tertarik akan nama besar Kiam-mo Liok loya (tuan besar Liok) dan ingin membantunya, namun kalian menyambutku dengan kekerasan."
Tentu saja mereka semua tidak mempedulikan omongan ini karena mereka sudah marah sekali mendengar betapa tadi pemuda ini menentang bandar sehingga sang bandar kalah dalam perjudian dadu itu dan melihat betapa pemuda ini sudah merobohkan empat orang tukang pukul. Sambil berteriak-teriak mereka sudah menerjang maju dan senjata tajam di tangan mereka gemerlapan tertimpa sinar penerangan.
Bun Houw terpaksa membela diri mempergunakan kelincahannya melompat ke sana-sini di antara meja-meja judi yang sekarang menjadi berantakan karena didorong oleh para pengeroyok yang mengejarnya. Kalau dia mau, tentu saja dengan mudah Bun Houw akan mampu merobohkan mereka semua dalam waktu singkat. Akan tetapi bukan demikianlah yang dikehendakinya.
Dia hendak menyelidiki Lima Bayangan Dewa dan menurut keterangan penyanyi jalanan tadi, majikan tempat inilah yang mengaku kenal dengan Lima Bayangan Dewa, maka dia harus dapat mendekatinya, apa bila perlu masuk menjadi anak buahnya. Untuk keperluan ini, tidak baiklah kalau dia merobohkan mereka semua. Kalau tadi dia merobohkan empat orang tukang pukul, hal itu hanya untuk memancing perhatian, dan dia pun tidak melukai mereka secara hebat, bahkan tidak ada tulang yang patah.
Keadaan di dalam ruangan judi yang biasanya gaduh dengan suara orang berjudi, kini menjadi makin gaduh dengan teriakan-teriakan para pengeroyok dan suara senjata yang beradu dengan meja atau lantai, oleh karena senjata-senjata itu beterbangan ketika luput mengenai tubuh Bun Houw dan sebagian ada yang terlepas dari tangan pemegangnya karena terkena totokan jari tangan pemuda itu yang memperlihatkan kelincahannya.
Semenjak tadi Bun Houw maklum akan kedatangan seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang berpakaian mewah, berkumis rapi dan bermata tajam. Melihat sebatang pedang pada punggung orang itu, sikapnya yang angkuh serta sikap merendah beberapa orang yang datang bersamanya, Bun Houw sudah dapat menduga bahwa yang datang itu tentulah Kiam-mo Liok Sun. Maka dia segera mengurangi kecepatan geraknya walau pun dia masih tetap dapat menghindarkan diri dari para pengeroyoknya yang terus mengejar dan menghujankan serangan kepadanya itu.
"Kalian orang-orang yang tak mengenal maksud baik orang lain!" Bun Houw berpura-pura kewalahan dan berteriak-teriak.
"Sudah kukatakan, aku datang hendak bersahabat dan membantu Liok-loya yang terkenal gagah, mengapa kalian memaksaku berkelahi?"
Sejak tadi Kiam-mo Liok Sun menonton dengan hati tertarik. Meski pun gerakan pemuda tampan itu kacau dan tidak membayangkan ilmu silat tinggi yang dikenalnya, akan tetapi tampak jelas bahwa pemuda itu memiliki kelincahan dan kecepatan gerakan yang sangat mengagumkan sehingga belasan orang kaki tangannya yang mengeroyok dengan senjata di tangan sama sekali tidak mampu mendesaknya, apa lagi melukai dan merobohkannya.
Kini mendengar teriakan pemuda itu, dia makin tertarik. Tentu saja dia tidak begitu bodoh untuk mempercayai kata-kata orang asing ini, akan tetapi diam-diam dia mengakui bahwa apa bila dia bisa memperoleh pemuda gagah itu sebagai pembantunya, dia mendapatkan keuntungan besar sekali.
Keadaan menjadi sunyi setelah semua orang berhenti bergerak, sunyi yang menegangkan karena semua orang menduga bahwa sebentar lagi tentu sinar pedang maut dari pedang setan akan membuat kepala pemuda tampan itu terpisah dari badannya. Tetapi alangkah heran hati mereka ketika Liok Sun menggerakkan tangan kemudian dengan langkah lebar dia mengampiri Bun Houw.
Sejenak mereka berdiri saling berhadapan, kemudian Liok Sun bertanya, "Aku mendengar laporan bahwa engkau adalah seorang pemuda yang pandai sekali bermain judi. Betulkah itu?"
"Ahh, selama hidupku, belum pernah aku bermain judi, mana bisa disebut pandai?" Bun Houw merendah.
"Orang muda, engkau adalah seorang asing dan datang-datang menimbulkan keributan di po-koan ini, sesungguhnya apakah yang kau kehendaki?" Liok Sun yang merasa suka kepada pemuda ini bertanya.
"Apakah saya berhadapan dengan Liok-loya sendiri?"
"Benar, akulah Kiam-mo Liok Sun. Apakah engkau datang untuk menantangku?" Laki-laki yang kelihatan tampan dan gagah karena pakaian dan sikapnya itu bertanya, tetapi nada suaranya mengejek.
"Sama sekali tidak, Liok-loya. Saya memang telah lama mendengar nama besar loya dan saya bahkan ingin menawarkan tenaga saya untuk membantu dan bekerja kepada loya."
"Hemm, orang muda. Siapakah namamu dan dari mana kau datang?"
"Nama saya Bun Houw dan saya tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Karena sedang kehabisan bekal dan tidak mempunyai pekerjaan tetap, ketika tiba di kota ini dan mendengar akan kegagahan serta kedermawanan loya, saya lalu datang ke sini hendak mencari loya dan minta pekerjaan."
Kiam-mo Liok Sun memandang penuh selidlk. "Orang muda she Bun, agaknya engkau memiliki kepandaian pula maka engkau berani mencari aku minta pekerjaan secara ini. Jangan mengira bahwa akan mudah saja mendapatkan pekerjaan dariku, apa lagi setelah engkau melakukan pengacauan di sini."
Bun Houw maklum bahwa orang ini sudah salah menduga, mengira dia she Bun bernama Houw, akan tetapi hal ini memang kebetulan karena dia tidak ingin memperkenalkan diri sebagai putera Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai.
"Maafkan saya, Liok-loya. Bukan maksud saya untuk mengacau..."
"Sudahlah. Karena engkau telah memperlihatkan kepandaianmu berjudi, biarlah sekarang aku tantang engkau berjudi dengan aku..."
"Akan tetapi... saya tidak pandai berjudi dan saya tidak mau..."
"Harus! Engkau harus mau berjudi dengan aku. Apa bila engkau kalah, tidak perlu banyak cakap lagi dan engkau harus dihukum sebab telah banyak merugikan aku dan mengacau po-koan ini. Kalau engkau menang, nah... baru kita bicara tentang pekerjaan itu."
Semua anak buah Liok Sun tersenyum-senyum karena mereka mengira bahwa majikan mereka hendak mempermainkan pemuda itu sebelum membunuhnya. Bun Houw juga maklum bahwa Si Setan Pedang ini hendak mencobanya, maka sambil menarik napas dia berkata,
"Apa boleh buat, caramu menerima pembantu baru sungguh aneh, Liok-loya."
Dengan tersenyum Liok Sun melangkah, lantas duduk di belakang sebuah meja judi yang tidak berantakan dan dengan isyarat tangan dia menyuruh Bun Houw duduk menghadapi meja itu, bertentangan dengan dia. Dengan sikap seakan terpaksa Bun Houw duduk di atas bangku. Liok Sun lalu minta dua butir dadu dan sebuah mangkok. Dia memasukkan dadu itu di dalam mangkok lalu menggoyang-goyang mangkok sehingga terdengar bunyi berkeratakan ketika dua butir dadu berputaran di dalam mangkok yang ditutup dengan telapak tangan kirinya.
"Hanya ada dua kemungkinan saja yang keluar," kata Liok Sun sambil tersenyum dan memandang tajam kepada Bun Houw, "Yaitu nomor ganjil atau nomor genap, Nah engkau boleh memilih, orang muda."
Bun Houw melihat ke kanan kiri. Semua yang tampak di sekelilingnya hanya wajah-wajah menyeringai yang seakan-akan sudah memastikan bahwa dia akan kalah dan menerima hukuman! Dia tahu bahwa kehendak majikan po-koan ini tidak dapat dibantah lagi, maka dengan suara tenang dia menjawab,
"Aku memilih genap!"
"Bagus, dan aku memilih ganjil. Engkau tahu bahwa angka yang tidak dapat dibagi dua adalah ganjil!" kata Liok Sun.
"Dan yang dapat dibagi dua adalah genap!" Bun Houw berkata pula.
"Lihat baik-baik, aku membuka mangkok!" Majikan Hok-po-koan itu berteriak, dan cepat mangkoknya menelungkup kemudian dibukanya.
Pandang mata Bun Houw yang terlatih dengan cepat dapat melihat bahwa dua butir dadu itu menunjukkan angka tiga dan lima, berarti berjumlah delapan, atau genap. Akan tetapi tiba-tiba saja sebutir dadu bergerak terguling. Melihat ini, Bun Houw yang juga menekan tangannya ke atas meja, mengerahkan sinkang dan dadu itu kembali lagi ke nomor lima. Akan tetapi tentu saja Liok Sun tidak mau kalah, dan dengan kedua tangan di atas meja dia mengerahkan tenaga dan dadu itu miring ke angka enam!
Bun Houw sudah mengukur tenaga orang ini dan dia tahu bahwa biar pun Liok Sin jauh lebih kuat dari bandar judi tadi, akan tetapi kalau dia menggunakan sinkang melawannya, dengan amat mudah dia akan dapat mengalahkan Liok Sun. Dia tidak mau menyinggung perasaan Liok Sun, akan tetapi dia harus dapat mendekati orang ini, maka dia pun cepat mengerahkan tenaganya dan... dadu itu tetap berdiri miring antara nomor lima dan nomor enam, seolah-olah tenaga mereka seimbang, dan dengan tenaga sinkang-nya yang luar biasa kuatnya, Bun Houw membuat dadu-dadu itu melesak ke dalam papan kayu meja itu sehingga yang sebutir tetap menunjukkan angka tiga ada pun yang sebutir lagi melesak miring antara nomor lima dan enam! Semua orang yang melihat ini membelalakkan mata dengan terheran-heran.
Liok Sun juga merasa terkejut sekali ketika mendapat kenyataan bahwa dia tidak mampu memaksa dadu itu terlentang dengan nomor enam di atas. Akan tetapi dia pun gembira melihat dadu itu tidak menunjukkan nomor lima, melainkan miring dan dia mengira bahwa bertemunya dua tenaga, yaitu tenaganya dan tenaga pemuda itu, sedemikian hebat dan kuatnya sehingga dadu itu sampai melesak di atas meja! Giranglah hatinya, girang karena dia tidak kalah akan tetapi juga mendapat kenyataan bahwa calon pembantunya ini hebat sekali kepandaiannya!
"Ha-ha-ha-ha, yang keluar adalah nomor tiga dan nomor... lima setengah! Kita tidak kalah dan tidak menang!" kata Liok Sun.
Bun Houw tersenyum. "Sebaiknya begitu, Liok-loya, karena kalau dadu yang sebutir ini rebah dengan angka lima atau enam di atas, berarti saya yang menang."
"Ehhh...? Mengapa begitu? Kalau keluar angka enam, berarti aku yang menang, karena tiga dan enam adalah sembilan, angka ganjil!"
Bun Houw menggeleng kepalanya. "Dalam hal ini, loya bersikap cerdik dan salah hitung. Kalau keluar angka sembilan, berarti saya yang menang, bahkan keluar angka apa pun, dari satu sampai dua belas, saya yang menang."
"Gila! Mana bisa begitu?"
"Lupakah loya bahwa yang saya pegang adalah nomor..."
"Genap!"
"Ya, dengan penjelasan bahwa nomor genap adalah nomor yang dapat dibagi dua!"
"Memang begitu, dan kalau keluar nomor sembilan, tidak bisa dibagi dua!"
"Siapa bilang, loya? Sembilan dibagi dua adalah empat setengah, bukan? Nah, siapakah yang dapat menyangkal bahwa segala nomor, dari satu sampai dua belas atau sampai selaksa sekali pun, semuanya dapat dibagi dua?"
Liok Sun melongo, menatap wajah pemuda yang bersikap tenang itu dengan kedua mata terbelalak, kemudian terdengar semua orang berbisik-bisik gaduh. Ucapan pemuda aneh ini sama sekali tidak dapat disangkal memang!
"Apakah bicaraku salah, Liok-loya?"
"Tidak... tidak... hemm, kau benar. Bahkan keluar angka delapan setengah ini pun masih dapat dibagi dua! Engkau menang, orang muda yang cerdik. Akan tetapi aku baru mau menerimamu bekerja membantuku jika engkau dapat mengalahkan pembantu-pembantu utamaku."
Dia menengok ke belakangnya dan memberi isyarat kepada dua orang yang tadi keluar bersamanya dan yang selalu menjaga di belakangnya. Dua orang itu menyeringai lantas meloncat ke tengah ruangan. Bun Houw memandang dengan penuh perhatian.
Yang seorang bertubuh tinggi besar, kulitnya kehitaman, bermata lebar, kepalanya botak. Dia berdiri dengan tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan mengelus-elus kumisnya yang dipelintir ke atas seperti dua buah golok menjungat ke atas di kanan kiri hidungnya yang besar. Orang kedua adalah seorang laki-laki yang usianya sebaya dengan si tinggi besar, kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh pendek gendut dan matanya sipit, kulitnya kuning sekali seperti orang menderita penyakit kuning, kuning sampai ke kuku jari dan ke matanya.
Bun Houw sudah maju pula tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, menghadapi dua orang pembantu utama dari Kiam-mo Liok Sun. "Silakan Ji-wi maju," katanya tenang.
Dua orang tukang pukul yang merupakan orang-orang paling kuat di antara anak buah Liok Sun itu memandang ke arah majikan mereka. Tanpa perkenan majikan mereka, dua orang ini tak berani sembarangan bergerak dan mereka masih ragu-ragu apakah mereka berdua diharuskan melawan bocah yang masih amat muda ini.
Akan tetapi Liok Sun yang sudah mengukur tenaga Bun Houw dan yakin akan kelihaian pemuda ini, memberi isyarat dengan mata dan anggukan kepala, menyuruh dua orang pengawalnya itu maju mengeroyok!
Dua orang itu lalu mengeluarkan suara gerengan dan bagaikan seekor gajah mengamuk, orang yang tinggi besar itu sudah menerjang dengan sepasang lengannya yang panjang menyambar dari kanan kiri, menyerang Bun Houw dengan dahsyat. Pemuda ini segera menggerakkan tubuhnya, mengelak dengan cekatan ke kiri tetapi di sini dia disambut oleh orang kedua yang gemuk pendek dan ternyata bahwa serangan si gemuk pendek ini tidak kalah hebatnya oleh kawannya yang tinggi besar.
Namun, tentu saja bagi Bun Houw dua orang tukang pukul itu bukan apa-apa dan kalau dia menghendaki, dalam segebrakan saja dia akan mampu merobohkan mereka. Akan tetapi, dia tidak ingin terlampau menonjolkan kepandaiannya kepada Liok Sun karena hal ini tentu akan menimbulkan kecurigaannya, maka dia hanya melakukan perlawanan yang cukup untuk mengimbangi mereka berdua. Maka perkelahian itu tampak sangat seru dan ramai, ditonton oleh Liok Sun dan semua anak buahnya dengan penuh kekaguman.
Sesudah lewat lima puluh jurus dan membiarkan dada serta pahanya dua kali terkena pukulan lawan, akhirnya Bun Houw berhasil menendang sambungan lutut si tinggi besar sehingga orang ini roboh tak mampu berdiri lagi, dan juga merobohkan si pendek gendut dengan sodokan tangan terbuka ke lambungnya, membuat lawan ini langsung menjadi mulas perutnya dan juga tidak mampu melanjutkan pertandingan.
Bukan main girangnya hati Liok Sun. Ia cepat menghampiri Bun Houw dan menggandeng tangan pemuda itu. Menurut penilaiannya pada saat menyaksikan pertandingan tadi, ilmu kepandaian pemuda ini setingkat dengan dia! Dengan memperoleh pembantu selihai ini, tentu saja dia akan menjadi makin kuat.
Bun-hiante, kau hebat sekali! Aku menerima lamaranmu bekerja. Mulai saat ini, engkau menjadi pengawal pribadiku!" katanya dengan girang dan dengan suara lantang karena ucapan ini bukan hanya ditujukan kepada Bun Houw, melainkan juga kepada semua anak buahnya.
"Terima kasih atas kebaikan Liok-loya..."
"Ahh, mulai sekarang jangan menyebut loya lagi, cukup Liok-twako saja," kata majikan rumah judi itu yang kemudian menoleh kepada anak buahnya. "Hayo bereskan semua meja dan buka kembali po-koan. Jangan sampai menimbulkan keributan lagi supaya para langganan kita tidak menjadi jeri untuk bermain judi." Sesudah berkata demikian, dia lalu mengajak Bun Houw masuk ke dalam rumahnya yang terletak di belakang rumah judi itu.
Mulai saat itu juga, berhasillah Bun Houw mendekati Kiam-mo Liok Sun, bahkan setelah mereka bercakap-cakap, Liok Sun makin suka kepada pemuda ini yang selain tinggi ilmu kepandaiannya ternyata juga bukan seorang jahat! Sebaliknya, Bun Houw merasa amat terheran-heran bahwa majikan rumah judi ini ternyata bukan pula seorang jahat! Bahkan hidupnya menduda dan agaknya dengan terpaksa sajalah Liok Sun membuka rumah judi itu.
"Sekarang berdagang sangat sukar memperoleh keuntungan, Bun-hiante," katanya. "Aku tahu bahwa pekerjaan bandar judi tidaklah bersih dan kalau tidak berani bermain curang tak akan mendapat untung. Akan tetapi aku memerlukan uang untuk menyusun kekuatan, karena aku mempunyai seorang musuh besar yang harus kubalas. Sekarang aku bertemu dengan engkau, sungguh membesarkan hatiku sebab dengan bantuanmu, aku tidak takut lagi menghadapi musuh besarku itu."
Bun Houw mengerutkan alisnya. "Apakah dia lihai sekali, twako?"
Sudah tiga hari dia tinggal di rumah Liok Sun dan memperoleh pelayanan baik sekali dan dia merasa akrab dengan ‘majikannya’ yang menganggapnya seperti sahabat baik ini.
"Dia cukup lihai dan mempunyai banyak pengawal, selain kaya raya juga berpengaruh karena dia adalah seorang yang memegang jabatan dalam pemerintahan dan tinggal di Koan-hu."
Bun Houw terkejut, lalu dia teringat akan urusannya sendiri yang sedang menyelidiki Lima Bayangan Dewa. "Maaf, twako, akan tetapi aku merasa heran mengapa twako tidak dari dulu menghadapi musuh besar itu. Twako sendiri terkenal sebagai ahli pedang yang lihai dan memiliki banyak pembantu..."
"Aihhh, mereka itu hanya pandai berlagak akan tetapi kosong tanpa isi."
"Akan tetapi kabamya twako juga mempunyai banyak sahabat orang-orang sakti di dunia kang-ouw, bahkan aku pernah mendengar bahwa diam-diam twako bersababat dengan Lima Bayangan Dewa."
Liok Sun mengangkat muka memandang sambil tersenyum. "Eh, engkau juga mendengar tentang mereka, hiante?"
"Siapa yang tidak mendengarnya, twako? Seluruh dunia kang-ouw menjadi geger setelah Lima Bayangan Dewa mengacau di Cin-ling-pai dan mencuri pedang Siang-bhok-kiam. Aku kagum sekali kepada mereka dan kalau benar twako bersahabat dengan mereka, aku ingin sekali twako memperkenalkan aku dengan mereka."
Liok Sun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, mereka adalah orang-orang luar biasa, mana aku ada kehormatan menjadi sahabat mereka? Memang aku mengenal baik seorang yang mungkin sekali merupakan salah seorang di antara mereka atau setidaknya mengenal siapa adanya Lima Bayangan Dewa yang tersohor itu. Aku akan mengajakmu berkenalan dengan dia setelah engkau membantu aku menghadapi musuh besarku itu, hiante."
Bun Houw menjadi bingung. Seujung rambut pun tidak ada maksudnya untuk menjadi pembantu bandar judi ini! Tetapi agaknya dari orang inilah dia akan berhasil menemukan musuh-musuh besarnya yang sudah sekian lamanya dicari tanpa ada hasilnya. Betapa pun juga, dia tidak mau sembarangan turun tangan membantu Liok Sun memusuhi orang lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya sama sekali, apa lagi sebelum dia ketahui apa sebabnya Liok Sun memusuhi orang itu.
"Aku telah menjadi pembantumu, sudah sepatutnya kalau aku membantumu, Liok-twako. Akan tetapi, siapakah musuh besarmu itu, dan kalau boleh aku mengetahui supaya jelas bagiku dan tidak meragukan tindakanku, mengapa twako bermusuhan dengan dia?"
Liok Sun Si Pedang Setan itu menghela napas panjang dan tiba-tiba wajah yang tampan itu berubah keruh dan muram tanda bahwa pertanyaan itu menimbulkan kenangan yang amat mendukakan hatinya.
"Semua orang mengenalku sebagai Liok Sun Si Pedang Setan, akan tetapi sebenarnya baru engkaulah yang mendengar bahwa dahulu namaku adalah Sun Bian Ek. Aku dahulu bukan orang baik-baik sungguh pun aku juga tidak pernah berhati kejam kepada siapa pun yang tidak bersalah, dan dahulu aku adalah seorang perampok tunggal yang sudah mengundurkan diri dan bertobat, lalu aku menjadi pedagang hasil bumi." Liok Sun mulai menuturkan keadaan dirinya.
Setelah mengundurkan diri dari dunia hitam dan menjadi pedagang hasil bumi, Liok Sun menikah dan hidup berbahagia bersama isterinya yang cantik sampai mereka dikaruniai seorang anak perempuan yang mungil. Akan tetapi, mala petaka menimpa keluarganya dan hal ini tidak dapat dilepaskan dari cara hidupnya dahulu ketika dia masih menjadi perampok.
Pihak pemerintah mengadakan pembersihan, dan menangkapi banyak sekali orang-orang dunia hitam di kota Koan-hu dan sekitarnya. Dalam pembersihan ini, Liok Sun atau yang dahulu bernama Sun Bian Ek ikut pula ditangkap! Kepala pasukan keamanan di kota itu yang bernama Phang Un agaknya tahu akan riwayat hidup pedagang Sun Bian Ek maka biar pun semua orang terheran mengapa pedagang itu ikut ditangkap, namun Sun Bian Ek sendiri tidak dapat menyangkal bahwa dia dahulu adalah perampok dan dia tidak lepas dari pandang mata tajam dari Phang Un.
"Aku dijatuhi hukuman buang ke daerah utara untuk bekerja paksa memperbaiki saluran kota raja." Liok Sun lalu melanjutkan penuturannya. "Semua itu tidak menyakitkan hatiku karena aku pun maklum bahwa kesesatanku yang lalu sudah sepatutnya mendapatkan hukuman. Akan tetapi, dapat kau bayangkan bagaimana rasanya perasaanku ketika aku mendengar bahwa sebenarnya yang menjadi sebab mengapa aku yang sudah mencuci tangan itu ditangkap, sama sekali bukan dikarenakan dosa-dosaku yang lalu, melainkan karena isteriku..."
“Eh...? Apa maksudmu, twako?" tentu saja Bun Houw terkejut dan heran mendengar arah cerita yang sama sekali menyimpang dan tidak disangka-sangkanya itu.
"Sehari setelah aku ditangkap, isteri dan anakku diboyong ke gedung si keparat Phang Un!"
"Ahh, jadi dia merampas isteri dan anakmu?"
Liok Sun mengangguk. "Mula-mula kukira demikian. Di utara aku tertolong oleh seorang tokoh hitam yang kusangka adalah seorang di antara Lima Bayangan Dewa, orang yang kumaksudkan tadi. Setelah aku bebas, diam-diam aku mengganti namaku dan membuka rumah judi di kota Kiang-shi ini. Sambil mengumpulkan harta dan kekuatan, aku menanti kesempatan baik untuk membalas dendam. Ketika itu baru aku mengerti bahwa di antara keparat itu dan isteriku memang sudah terjalin hubungan sebelum peristiwa penangkapan itu terjadi. Kau tahu, aku adalah seorang pedagang hasil bumi di waktu itu, sering keluar kota sampai berhari-hari, dan Phang Un adalah kepala pasukan keamanan yang setiap malam boleh saja meronda dan memeriksa, maka..."
Liok Sun menarik napas panjang dan tidak melanjutkan, akan tetapi Bun Houw sudah dapat membayangkan apa yang terjadi antara isteri yang tidak setia itu dan si kepala pasukan keamanan yang mata keranjang.
"Hemm, memang dia patut dihajar!" kata Bun Houw.
Demikianlah, karena merasa simpati mendengar riwayat Liok Sun, maka pada suatu pagi beberapa hari kemudian, berangkatlah kedua orang ini menuju ke kota Koan-hu yang tak begitu jauh letaknya dari Kiang-shi. Malamnya, mereka berdua telah bergerak seperti dua ekor kucing di atas genteng rumah-rumah orang, dan berhasil meloncati pagar tembok yang mengurung gedung tempat tinggal Phang-ciangkun (Perwira Phang) tanpa diketahui para perajurit yang berjaga di sekitar tempat itu. Para penjaga itu memang agak lengah, karena mereka tidak percaya bahwa ada orang yang berani mati mengganggu rumah perwira itu.
Dengan berindap-indap, akhirnya Liok Sun dan Bun Houw mengintai dari sebuah jendela kamar. Bun Houw melihat seorang wanita yang cantik berdandan mewah sedang duduk menyulam di dalam kamar itu. Wanita yang berpakaian mewah dan pesolek, usianya antara tiga puluh lima tahun, kulitnya putih dan pinggangnya ramping. Tidak ada orang lain lagi di dalam kamar itu.
Bun Houw merasa betapa napas temannya memburu dan tahulah dia bahwa wanita itulah agaknya isteri tidak setia itu. Dengan gerak tangannya, Liok Sun menyuruh Bun Houw berjaga-jaga di luar jendela dan dia sendiri hendak menerjang masuk. Bun Houw hanya mengangguk. Tadi dia sudah berpesan kepada Liok Sun supaya ‘majikannya’ itu tidak sembarangan turun tangan dan hanya berurusan dengan musuh-musuhnya saja, jangan melibatkan orang-orang lain dan pasukan keamanan pemerintah.
Dengan kekuatan tangannya, Liok Sun mendorong daun pintu yang patah kuncinya dan seperti seekor burung dia melayang masuk ke dalam kamar itu. Bun Houw mengintai di luar jendela.
Wanita itu menjerit dan bangkit berdiri, seketika wajahnya menjadi pucat dan kain yang disulamnya terlepas dari tangannya dan segulung benang sulam jatuh menggelinding ke sudut kamar.
"Kanda... Sun Bian Ek...!" Tubuh wanita itu menggigil dan suaranya menggetar. "Kau... kau... masih hidup...?"
Liok Sun atau Sun Bian Ek memandang dengan muka merah dan mata berapi, suaranya dingin dan penuh penyesalan, "Perempuan hina, andai kata sudah mati pun pasti aku akan bangkit untuk mengutukmu. Kau perempuan hina, isteri yang khianat hendak kulihat bagaimana macamnya hatimu!"
Mata itu semakin terbelalak, mukanya semakin pucat. "Tidak... ahhh, jangan kau salah sangka...!" Wanita itu menangis dan menjatuhkan dirinya berlutut di atas lantai di depan bekas suaminya itu. "Kau... suamiku... kau salah sangka... aku... aku tidak berkhianat padamu..."
"Hemmm, siapa percaya mulutmu yang palsu itu? Kau masih berani menyangkal bahwa sebelum aku ditangkap dahulu, diam-diam engkau sudah menjual dirimu yang kotor dan hina kepada si jahanam Phang Un?"
"Tidak... tidak... itu hanyalah fitnah belaka... kau dengarlah... aku memang tidak pernah berani berterus terang akan terjadinya mala petaka pada malam itu... pada suatu malam ketika engkau pergi berdagang... dia datang dan mengancam akan membunuh anakku kalau aku tidak mau melayaninya... dengan ujung golok di leher anakku, apa dayaku...? Kanda Bian Ek... malam itu, untuk menyelamatkan nyawa anakku... aku… aku terpaksa... melayaninya dan... dan setelah kau ditangkap, aku lalu diboyong ke sini... apakah dayaku sebagai seorang wanita lemah?"
Liok Sun memandang bekas isterinya itu. Dia amat mencinta wanita ini dan selama lima tahun ini semenjak mereka berpisah, dia selalu mengenangkan kemesraan yang pernah dialaminya bersama isterinya. Kini, mendengar cerita itu, dia tertegun sehingga tidak tahu harus berbuat apa terhadap isterinya yang kini menangis sesenggukan itu.
"Di mana adanya anakku, di mana? Aku harus membawa dia pergi dari sini, dan di mana jahanam itu? Akan kubunuh dia..."
Wanita itu kelihatan terkejut sekali, lalu bangkit berdiri dan dengan sikap ketakutan dia mundur-mundur sambil menggelengkan kepala berkali-kali dan berkata, "Jangan... tidak... jangan...!"
Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut dari sebelah belakang dan tiba-tiba saja wanita itu menoleh dan lari ke arah pintu belakang sambil menjerit, "Toloong...! Ada penjahat...! Tolooooong...!"
"Keparat, perempuan hina...!" Kiam-mo Liok Sun menjadi marah sekali.
Segala keraguan akan kesalahan isterinya sesudah mendengar cerita tadi lenyap sama sekali dan dia tahu bahwa isterinya tadi hanya membodohinya untuk mengulur waktu agar para penjaga mendengar dan tahu akan kedatangan bekas suaminya ini.
Dalam kemarahannya yang meluap, Liok Sun mencabut pedangnya dan sinar pedangnya menyambar dari belakang tubuh bekas isterinya. Wanita itu menjerit mengerikan lantas roboh dengan punggung tertusuk pedang sampai tembus ke dadanya.
"Ibu...!" Tampak seorang anak perempuan berusia kurang lebih sepuluh tahun berlarian masuk. Melihat anak ini, Liok Sun cepat menyambarnya dengan tangan kiri.
Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika tiba-tiba ada angin menyambar dari arah samping diikuti dengan berkelebatnya bayangan sinar terang. Dia menggerakkan pedang menangkis.
"Cringgg...!”
“Aduhhhhh...!" Liok Sun berteriak karena pundaknya yang kanan tetap saja keserempet golok yang dipegang oleh seorang laki-laki tinggi besar yang telah menyerangnya secara tiba-tiba. Karena tadi dia baru saja mencabut pedang dari tubuh bekas isterinya kemudian menyambar anaknya dengan tangan kiri, maka ketika mendadak diserang, tangkisannya kurang cepat sehingga dia terluka oleh laki-laki yang bukan lain adalah Phang Un itu.
Melihat betapa isterinya terbunuh dan anak tirinya dirampas, dan mengenal Sun Bian Ek, perwira ini menjadi marah bukan main. Ia mengeluarkan teriakan untuk memanggil semua pengawalnya, kemudian goloknya bergerak menerjang Liok Sun yang sudah terluka.
"Plakkk...!"
Perwira itu terhuyung dan goloknya langsung terlepas dari tangannya ketika Bun Houw yang meloncat masuk menepuk bahu kanannya dari belakang. Pemuda ini tadi merasa terkejut ketika melihat Liok Sun membunuh bekas isterinya, hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya, sungguh pun dia maklum pula akan kepalsuan wanita itu.
Akibat tertegun menyaksikan peristiwa mengerikan antara suami isteri yang tentu dulunya saling mencinta itu, maka dia terlambat menolong Liok Sun sehingga ‘majikannya’ itu terluka pundaknya. Baru ketika melihat Liok Sun terluka, dia meloncat ke dalam dan sempat menggagalkan serangan maut Phang-ciangkun tadi.
"Keparat busuk kau...!" Liok Sun membentak ketika melihat Phang Un terhuyung, biar pun tangan kirinya memondong anak perempuan itu dan pundak kanan sudah terluka, namun pedangnya masih berkelebat cepat sekali.
Phang Un masih kaget oleh tamparan yang bukan main kuatnya tadi. Ia masih terhuyung sambil memutar kepala untuk melihat siapa yang telah menamparnya ketika sinar pedang berkelebat. Phang Un berusaha mengelak, akan tetapi hanya dua kali berturut-turut dia mampu mengelak. Sambaran pedang yang ketiga kalinya mengena sasaran dan robohlah Phang Un dengan leher yang hampir buntung terbabat pedang Liok Sun.
Pada saat itu, datanglah belasan orang perajurit dan pengawal ke tempat itu. Melihat Liok Sun hendak mengamuk, Bun Houw cepat berkata,
"Liok-twako, hayo kita pergi...!"
Liok Sun juga maklum betapa berbahayanya untuk menentang penjaga keamanan, maka melihat pembantunya itu sudah menerjang keluar kamar dan dengan mudahnya pemuda itu membuat lima enam orang pengawal terlempar ke kanan kiri, dia pun lalu mengikuti Bun Houw dan setelah Bun Houw kembali merobohkan beberapa orang, mereka berdua berhasil meloncat ke atas genteng dan menghilang di kegelapan malam....
"Trak-tak-trak-tak-tak!" terdengar suara berirama yang ditimbulkan dari dua potong bambu yang dijepit di antara jari-jari tangan.
Seorang seniman jalanan sedang menceritakan keadaan kotanya yang tercinta itu dengan sajak-sajak sederhana yang dinyanyikan dengan suara serak dan iramanya dituntun oleh suara tadi, bernyanyi-nyanyi di depan toko-toko dan warung-warung sambil mengharapkan sedekah orang.
Penyanyi-penyanyi jalanan seperti ini kadang-kadang bisa menggambarkan keadaan kota Kiang-shi dengan hidup sekali, bahkan tidak jarang di antara mereka yang memasukkan di dalam nyanyiannya itu cerita-cerita sensasi dan gosip tentang orang-orang tertentu di dalam kota itu sehingga banyak juga orang yang berminat mendengarkan mereka untuk sekedar mengetahui berita apa yang sedang hangat dan yang dapat memancing ketawa sinis mereka hanya dengan mengeluarkan sepotong uang kecil.
Pada malam hari itu, seorang pemuda yang berpakaian sederhana dan berwajah tampan berjalan-jalan menyusuri jalan raya yang dipenuhi orang-orang yang berjalan hilir-mudik di kedua tepi jalan, di mana toko-toko berjajar penuh dengan segala jenis barang dagangan. Sinar-sinar penerangan berpencaran keluar dari toko-toko itu sehingga suasana menjadi meriah dan semua orang yang lalu lalang itu rata-rata berwajah gembira.
Sudah beberapa pekan lamanya pemuda itu yang bukan lain adalah Cia Bun Houw, pergi meninggalkan Cin-ling-san dan pada sore hari itu sampailah dia di kota Kiang-shi dalam penyelidikannya hendak mencari musuh-musuh besar Cin-ling-pai, yaitu Lima Bayangan Dewa yang hanya dia ketahui nama-nama serta julukan mereka akan tetapi sama sekali tidak diketahuinya di mana tempat tinggal mereka itu.
Setiap tokoh kang-ouw yang ditanyai, tidak ada yang tahu dan agaknya mereka itu seperti takut-takut membicarakan tentang mereka, sehingga Bun Houw menduga bahwa andai kata ada yang mengetahui tempat tinggal mereka pun, agaknya dia itu tidak akan berani menceritakan kepadanya. Maka pemuda itu lalu mengambil keputusan untuk menyelidiki dengan cara lain, yaitu dia akan mendekati kaum sesat dan akan masuk sebagai anggota kaum sesat sehingga dia akan dianggap ‘orang dalam’ dan tentu akan lebih mudah untuk menyelidiki mereka.
Tiba-tiba Bun Houw tertarik oleh seorang laki-laki setengah tua yang bernyanyi-nyanyi di depan toko besar di mana banyak berkerumun orang-orang yang mendengarkan nyanyian yang diiringi suara berketraknya bambu-bambu di antara jari-jari tangan orang itu. Bun Houw segera mendekati dan ikut pula mendengarkan.
Suara orang ini cukup merdu dan kata-kata yang keluar dari mulutnya lancar dan jelas sehingga menarik perhatian banyak orang. Seperti para penyanyi jalanan lainnya, orang ini pun menggambarkan keadaan kota Kiang-shi, akan tetapi kata-katanya agak berbeda dengan para penyanyi-penyanyi lainnya yang hanya menghafal sehingga syair yang terus diulang-ulang itu tidak menarik lagi. Orang ini agaknya lain. Dia pandai mencari kata-kata sendiri yang selalu berubah-ubah, jadi bukan hafalan.
Trak-tak, trak-tak, trak-tak-tak…
Kiang-shi kota tersayang
hidup malam dan siang
Kiang-shi di waktu siang
orang-orang berdagang
saling catut dan kemplang
bahkan di waktu malam
berdagang kesenangan
Kiang-shi sebagai sorga
juga mirip neraka
pusat suka dan duka
panggung tangis dan tawa!
Bun Houw tersenyum mendengar syair sederhana yang dinyanyikan orang itu. Dia pun melemparkan sekeping uang tembaga ke dalam topi yang ditelentangkan di atas tanah seperti yang dilakukan oleh para penonton lainnya. Penyanyi ini bernyanyi terus, kini lebih bersemangat. Syairnya lebih bebas, tidak lagi merupakan baris-baris dari tujuh suku kata untuk mengimbangi bunyi iringan suara bambu yang tujuh kali, melainkan kini merupakan syair dan nyanyian bebas yang seperti kata-kata berirama, kadang-kadang diseling suara berketraknya bambu-bambu di jari tangannya.
Isteri anda di rumah cerewet
dan marah?
jangan khawatir, pergilah kepada
rumah merah terpencil
di belakang kuil,
di sana kerling dan senyum manis
dijual murah,
besok pagi ciuman mesra mengiring,
anda pulang dengan saku
dan tulang punggung kering!
Semua orang tertawa mendengar kata-kata yang lucu ini. Bun Houw sendiri belum dapat menangkap dengan jelas arti dari nyanyian itu, dan kalau pun dia ikut tersenyum adalah karena dia mendengar dan melihat orang-orang lain tertawa. Memang suasana di tempat itu sangat menggembirakan.
Bun Houw memandang ke kanan kiri. Dia ingin mencari tempat penginapan dan dia tahu bahwa rumah merah terpencil di belakang kuil, rumah Ciauw-mama itu, di mana kerling dan senyum manis dijual murah, pasti bukanlah merupakan rumah yang dibutuhkan untuk bermalam di malam itu. Akan tetapi sebelum dia meninggalkan tempat itu, dia mendengar lagi orang itu melanjutkan nyanyiannya.
Anda ingin menjadi jutawan?
Pergilah ke Hok-po-koan!
Kalau bintang anda terang
dalam semalam anda menjadi hartawan!
Kalau bintang anda gelap?
Dalam semalam
Menjadi jembel kelaparan!
Kembali semua orang tertawa. Kembali Bun Houw menaruh perhatian ketika penyanyi itu melanjutkan nyanyiannya sesudah tersenyum lebar, menyambut suara ketawa penonton dan pendengarnya.
Akan tetapi hati-hatilah
jangan main gila di Hok-po-koan!
Salah-salah leher bisa putus
disambar sinar pedang setan
belum lagi kalau ketahuan
oleh Lima Bayangan!
Bun Houw terkejut sekali dan dia memandang penyanyi itu lebih teliti. Dia itu orang biasa saja dan kini setelah nyanyiannya habis, dia mengumpulkan kepingan uang tembaga dan berjalan meninggalkan tempat itu, agaknya untuk bernyanyi di lain tempat lagi.
"Twako, perlahan dulu..." Bun Houw menegurnya dari belakang.
Orang itu segera berhenti dan membalikkan tubuhnya, memandang penuh keheranan dan keraguan. Akan tetapi karena yang menegurnya itu hanya seorang pemuda berpakaian biasa dan sederhana, hatinya lega dan dia bertanya apa yang dikehendaki oleh pemuda itu.
"Twako, aku tadi mendengar nyanyianmu yang amat indah dan aku ingin mengundangmu minum arak sambil mengobrol..."
"Ahh, hiante, engkau terlalu memuji. Aku hanya seorang miskin yang..."
"Jangan merendahkan diri, twako. Engkau seorang seniman."
"Aku? Seniman? Ha-ha-ha, jangan mengejek, hiante."
"Marilah, twako. Ataukah engkau memandang rendah padaku sehingga menolak tawaran dan ajakanku?"
"Ahh, mana aku berani? Baiklah, dan terima kasih, hiante."
Mereka lalu memasuki sebuah kedai arak. Bun Houw memesan mi, daging, serta arak. Mereka makan minum dengan lahap dan setelah minum araknya dan mengelus perutnya, orang itu berkata,
"Aihhh, dasar perutku yang malam ini bernasib baik, bertemu dengan seorang dermawan seperti engkau, hiante. Sekarang aku hendak bertanya secara sungguh-sungguh, apakah benar engkau menganggap aku seorang seniman, hiante?"
"Tentu saja! Mengapa tidak? Engkau seorang seniman dan kiraku tidak ada seorang yang akan dapat membantah kenyataan ini," kata Bun Houw, bersungguh-sungguh pula karena dia memang bukan berpura-pura atau menjilat.
"Ahh, kalau saja semua orang mau berpendapat seperti engkau, alangkah menghiburnya pendapat itu. Akan tetapi, orang muda, tidak banyak yang sudi menganggap aku seorang seniman. Apa lagi mereka yang duduk di tempat tinggi, mereka yang menganggap diri mereka kaum cendekiawan, kaum sasterawan, dan para sarjana dan siucai. Mereka itu memandang rendah orang-orang macam kami, bahkan menganggap kami merusak seni, menganggap kami seniman kampungan, picisan dan rendah, yang katanya hanya menjual kesenian belaka, seorang pengemis yang mencari sesuai nasi dengan menjual suara..."
"Itu hanya pendapat orang-orang yang kepalanya besar akan tetapi berisi angin kosong belaka, orang-orang yang menganggap diri sendiri sebagai sepandai-pandainya orang dan sebersih-bersihnya orang. Orang-orang macam inilah yang sangat berbahaya, mereka ini adalah orang-orang sombong yang tinggi hati, dan tidak ada yang lebih bodoh dari pada mereka yang menganggap dirinya sendiri pandai. Tidak ada orang yang lebih kotor dari pada mereka yang menganggap dirinya sendiri bersih."
"Hayaaa...! Sungguh baru sekarang aku mendengar pendapat seperti engkau ini, hiante! Aku hanya penyanyi yang menjual suara..."
"Apa salahnya dengan seorang seniman yang mendapatkan nafkah hidupnya dari karya seninya? Seniman pun manusia biasa yang memerlukan makanan, pakaian dan rumah!"
"Hiante, jika begitu pendapatmu, bagimu apakah artinya kesenian? Apakah kesenian itu?"
"Karya seni adalah suatu karya yang mengandung keindahan keadaan dan macamnya tidak bisa ditentukan oleh manusia, segi-segi keindahannya pun tidak bisa ditentukan dan digariskan, karena kalau sudah digariskan itu bukan seni lagi namanya. Kalau sifat karya seni ditentukan, maka yang menentukan itu ialah orang-orang yang memiliki kecondongan suka atau tidak suka dan memang penilaian tergantung sepenuhnya kepada rasa suka dan tidak suka itu. Alam merupakan seniman yang maha besar dan satu di antara karya seninya adalah hujan. Apakah semua orang menyukai hujan atau membencinya? Belum tentu! Tergantung dari untung rugi yang diakibatkan oleh hujan itu bukan? Nah, karya seni pun demikian. Yang jelas, jika sesuatu mengandung keindahan yang dapat dinikmati oleh segolongan orang, itulah seni. Nyanyianmu tadi banyak yang menikmatinya dan bagi yang menikmatinya tentulah dianggap baik, akan tetapi bagi orang lain mungkin saja dianggap bukan seni bahkan merusak."
Penyanyi itu bangkit berdiri lantas menjura kepada Bun Houw. "Sungguh hebat! Terima kasih sekali, hiante. Engkau masih begini muda akan tetapi pandanganmu mengandung keadilan besar dan sekaligus engkau sudah mengangkat aku dari dasar jurang di mana aku selalu merasa rendah diri dan hina. Kini, aku akan lebih berani lagi mengungkapkan segala keadaan dan kepincangan peri kehidupan manusia di kota Kiang-shi, biarlah aku mewakili semua keadaan yang tidak adil itu dan akan kunyatakan dalam nyanyianku. Kau dengar saja nanti!" Dia bersemangat sekali nampaknya.
"Akan tetapi apa kau tidak takut akan sinar pedang setan dan Lima Bayangan, twako?" Bun Houw kini mengarahkan percakapan kepada tujuan penyelidikannya.
"Heh? Apa maksudmu?" orang itu bertanya.
Bun Houw tersenyum. "Aku tak bermaksud apa-apa, hanya aku teringat tadi engkau juga menyebut-nyebut sinar pedang setan dan Lima Bayangan di dalam nyanyianmu. Bagian-bagian itu belum kumengerti benar. Apa dan siapakah pedang setan di Hok-po-koan itu, twako?"
"Hemm, agaknya engkau bukan orang Kiang-shi..."
"Memang bukan. Aku baru saja memasuki Kiang-shi, maka aku mengharapkan petunjuk darimu, twako."
"Jangan khawatir, hiante. Aku lahir di sini dan aku mengenal semua keadaan di kota yang kucinta ini. Kau boleh bertanya apa saja kepadaku."
"Aku kadang-kadang suka juga bermain judi, twako. Hanya untuk iseng-iseng saja, bukan ingin menjadi jutawan, apa lagi menjadi jembel kelaparan seperti dalam nyanyianmu tadi."
Orang itu tertawa.
"Aku ingin mencoba peruntungan di Hok-po-koan, akan tetapi aku ragu-ragu mendengar nyanyianmu mengenai sinar pedang setan dan Lima Bayangan. Harap kau menjelaskan kepadaku."
"Ahh, itukah?" Penyanyi itu menengok ke kanan kiri, lalu berbisik, "Sebaiknya kita keluar dari sini dan bicara di jalan yang sunyi."
Bun Houw mengangguk, membayar makanan dan mereka lalu berjalan keluar, menuju ke jalan yang sunyi dan meyimpang dari jalan raya itu.
"Pemilik Hok-po-koan adalah seorang bernama Liok Sun dan dia berjuluk Kiam-mo (Setan Pedang). Kabarnya dia berkepandaian tinggi sekali dan karena itu di tempat perjudiannya tidak ada yang berani bermain gila. Bahkan dahulu pernah ada tujuh orang penjahat yang hendak merampas banyak uang di po-koan (tempat perjudian), akan tetapi mereka semua roboh oleh pedang di tangan orang she Liok itu! Di Kiang-shi, nama orang itu terkenal sekali, bahkan para pembesar bersahabat dengannya. Nah, karena itu maka kusinggung dalam nyanyian agar orang yang bermain judi di Hok-po-koan jangan bermain gila."
Bun Houw mengangguk-angguk. "Dan tentang Lima Bayangan itu?" dia bertanya sambil lalu seperti tidak menaruh perhatian khusus.
"Ah, kau tidak tahu, hiante. Pada waktu itu, di dunia kang-ouw timbul kegemparan karena Lima Bayangan..."
"Dewa? Lima Bayangan Dewa kau maksudkan?"
"Ehhh...?" Orang itu memandang Bun Houw dengan mata terbelalak. "Kau... tahu?"
Bun Houw menggelengkan kepala. "Aku hanya mendengar bahwa ada tokoh-tokoh besar muncul di dunia dan disebut Lima Bayangan Dewa! Mengapa kau sebut-sebut mereka di dalam nyanyianmu?"
"Aku hanya sering menengar bahwa Kiam-mo Liok Sun itu suka sekali memamerkan dan menyombongkan di luaran bahwa dia adalah sahabat dari Lima Bayangan Dewa! Semua orang tidak percaya, termasuk pula aku, maka untuk mengejek kesombongannya itu, aku membawa Lima Bayangan dalam nyanyianku."
Bun Houw memandang tajam. "Jadi engkau tidak tahu apa-apa tentang Lima Bayangan Dewa?"
Orang itu menggeleng.
"Dan majikan Hok-po-koan (Tempat Perjudian Mujur) itu bilang bahwa dia sahabat Lima Bayangan Dewa?"
Orang itu mengangguk. "Demikian yang dikatakan orang."
"Banyak terima kasih, twako. Nah, selamat malam dan jangan lupa bahwa engkau adalah seorang seniman tulen dan jangan pedulikan mereka yang mencemoohkanmu. Anggap saja mereka itu anjing-anjing menggonggong."
"Akan tetapi mereka itu kaum sasterawan cabang atas, kaum cendekiawan..."
"Jika begitu mereka itu pun hanya merupakan sekumpulan anjing-anjing bangsawan yang menggonggong belaka dan anjing apa pun, gonggongannya tetap sama saja!" Bun Houw berkata sambil membalikkan tubuh dan pergi meninggalkan penyanyi itu.
Dia langsung mencari keterangan mengenai tempat perjudian Hok-po-koan yang mudah saja dia dapat dari orang yang berlalu-lalang karena semua orang tahu belaka di mana adanya Hok-po-koan itu.
Hok-po-koan adalah sebuah tempat judi terbesar di Kiang-shi. Kebetulan sekali tempat itu berada di dekat sebuah losmen, maka Bun Houw lalu menyewa sebuah kamar di losmen itu. Setelah mandi dan bertukar pakaian yang lebih bersih, pemuda ini langsung pergi ke Hok-po-koan dengan lagak seperti seorang pemuda beruang yang sudah biasa dengan perjudian. Tentu saja sebelumnya dia tidak pernah memasuki tempat judi, apa lagi berjudi.
Dua orang pelayan menyambutnya dengan senyum lebar dibuat-buat dan mempersilakan Bun Houw masuk ke ruangan dalam. Dengan sikap dan lagak seorang kongcu, Bun Houw mengangguk dan memasuki ruangan judi yang dipasangi lampu penerangan yang besar dan banyak itu sehingga keadaan di situ seperti siang hari saja terangnya. Kebisingan di antara kelompok-kelompok tamu yang sedang berjudi itu memenuhi ruangan dan keringat mengalir di wajah-wajah yang penuh ketegangan.
Bun Houw yang selama hidup baru pertama kali ini memasuki tempat seperti itu, dengan jelas dapat melihat keadaan yang tidak nampak oleh mata orang-orang yang sudah biasa berada di situ. Segala macam nafsu perasaan terbayang jelas pada wajah-wajah mereka yang berkumpul di meja-meja judi.
Tawa riang, kegembiraan melihat kemenangan sendiri dan kekalahan orang lain, kegelian hati yang kejam menyaksikan penderitaan orang lain, harapan-harapan besar yang sering terpancar dari mata mereka, keputus asaan yang mulai menyelubungi wajah beberapa orang di antara mereka, kerling-kerling tajam mata yang membayangkan kecerdikan dan kelicikan, kehausan akan uang yang bertumpuk di meja, semua ini seolah-olah menampar mata dan hati Bun Houw.
"Kongcu ingin bermain apa?" Seorang pelayan atau tukang pukul bertanya manis ketika melihat Bun Houw yang baru masuk itu memandang ke kanan kiri, tahu bahwa pemuda ini merupakan seorang tamu baru dan karenanya merupakan makanan lunak.
"Aku... mau melihat-lihat dulu," jawab Bun Houw dan dia menghampiri sebuah meja besar di mana diadakan permainan dadu.
Biar pun selamanya Bun Houw belum pernah melihat perjudian dadu, akan tetapi karena amat mudah, maka baru melihat sebentar saja dia sudah mengerti. Bandar judinya adalah seorang pria pegawai po-koan itu yang bertubuh kurus dan berwajah kekuning-kuningan, matanya tajam dan liar mengerling ke sana-sini, kumisnya kecil panjang kelihatan seperti kumis palsu yang pemasangannya tidak rapi, kedua lengan bajunya digulung sampai ke siku sehingga tampak kedua lengannya yang hanya tulang terbungkus kulit dan jari-jemari tangannya yang panjang dan cekatan.
Bandar ini memegang sebuah mangkok dan di atas meja terdapat dua buah dadu. Setiap dadu yang persegi itu pada enam permukaannya ditulisi nomor satu sampai nomor enam. Di atas meja, bagian luar dan dekat dengan para tamu, terdapat lukisan petak-petak yang ada nomornya pula, yaitu nomor satu sampai dengan nomor dua belas. Ada pula dua petak di kanan kiri, dibagi dua dan bertuliskan huruf-huruf GANJIL dan GENAP.
"Hayo pasang... pasang... pasang...!" Si bandar kurus kering dan dua orang pembantunya di kanan kiri yang bertugas menarik uang kemenangan dan membayar uang kekalahan, berteriak-teriak dengan gaya dan suara yang khas. Seolah-olah ada daya tarik terkandung dalam suara mereka yang agak serak itu.
Bun Houw melihat betapa belasan orang tamu yang merubung meja itu segera menaruh setumpuk uang di atas nomor pilihan masing-masing, ada yang sedikit akan tetapi ada pula yang banyak. Sesudah semua orang meletakkan uang taruhan mereka, si bandar kurus berteriak nyaring,
"Pemasangan berhenti... dadu diputar...!"
"Kratak-kratak-kratakkk...!"
Dua buah dadu itu dimasukkan ke dalam mangkok, ditutup telapak tangan kiri kemudian dikocok sehingga mengeluarkan bunyi berkeratak, lalu dengan gerakan yang cekatan dan cepat sekali mangkok dibalikkan dan ditaruh menelungkup di atas meja, dengan dua butir dadu di bawahnya.
"Boleh tambah pasangan...!" Dua orang pembantu bandar berteriak menantang.
Sibuk orang-orang yang berjudi itu menambahkan sejumlah uang di atas tumpukan uang pasangan mereka.
"Berhenti semua... dadu dibuka...!"
Bandar kurus berteriak dan tangan kanannya dengan jari-jari yang panjang itu membuka mangkok. Semua mata memandang ke arah meja di mana kini tampak dua butir dadu itu setelah mangkoknya dibuka. Yang sebutir memperlihatkan angka enam di atas dan yang kedua memperlihatkan angka satu.
"Tujuh menang... ganjil menang...!" bandar berteriak.
Terdengar banyak mulut mengeluh dan muka-muka berkeringat dan muram ketika mata mereka melihat dua orang pembantu bandar menarik semua uang pasangan yang berada di atas nomor lain, kecuali yang berada di atas nomor tujuh dan kotak ganjil.
Akan tetapi Bun Houw melihat bahwa yang menang hanya taruhan kecil saja dan biar pun kepada yang menang itu pembayaran bandar membayar enam kali lipat, akan tetapi jelas bahwa kemenangannya sekali tarik itu besar sekali. Juga yang menang dalam bertaruh angka ganjil hanya mendapat jumlah kemenangan yang sama dengan taruhannya.
Akan tetapi semua ini tidak begitu menarik hati Bun Houw. Yang sangat mengherankan, mengagetkan dan juga memarahkan hatinya adalah ketika tadi dia melihat cara si kurus itu membuka mangkok. Mangkok dibuka cepat sekali, akan tetapi dalam keadaan miring sehingga sebelum orang lain melihat letak dadu, si bandar lebih dulu melihatnya dan Bun Houw yang menaruh tangannya di atas meja merasa ada getaran aneh pada permukaan meja itu dan matanya yang berpenglihatan tajam itu dapat melihat sebutir di antara dadu itu bergerak membalik, dari angka empat menjadi angka satu.
Apa bila tidak terjadi keanehan itu, tentu dadu itu menunjukkan adalah angka enam dan empat, berarti yang menang adalah angka sepuluh dan angka genap. Dia melihat betapa tadi pemasang angka sepuluh paling banyak, dan yang berpasang pada genap jauh lebih banyak dari pada yang berpasang pada ganjil!
Biar pun Bun Houw belum pernah berjudi, namun kecerdasannya membuat dia mengerti bahwa bandar itu sudah berlaku curang dengan mempergunakan tenaga lweekang yang digetarkan lewat permukaan meja untuk membalik-balik dadu agar keluar nomor seperti yang dikehendakinya! Kini para pembantu bandar telah berteriak-teriak lagi, menganjurkan para tamu supaya menaruh pasangan mereka.
Ada suatu keanehan di dalam perjudian dan bagi yang mempunyai kepercayaan tahyul bahwa di tempat seperti itu terdapat setannya. Karena itu maka fihak bandar judi selalu memasang dupa, bukan hanya untuk menimbulkan suasana sedap di ruangan itu, akan tetapi juga untuk menyenangkan setan-setan agar membantunya! Ada atau tidak adanya setan, bukanlah hal penting, akan tetapi yang jelas ‘setan-setan’ di dalam diri sendiri yang bersimaharajalela di dalam perjudian.
Mereka yang kalah menjadi semakin serakah karena ingin membalas kekalahan mereka, membayangkan bahwa satu kali saja taruhan mereka mengena dan mereka menerima pembayaran enam kali lipat, kekalahan mereka akan tertebus sama sekali atau sebagian. Sebaliknya, mereka yang tadi menarik kemenangan karena pasangan mereka mengena, merasa menyesal dan kecewa mengapa mereka tadi memasang hanya sedikit.
Kemenangan sedikit itu tidak membuat mereka menjadi puas, sebaliknya mereka menjadi semakin serakah, ingin memperoleh keuntungan atau kemenangan lebih banyak. Karena itu, kebanyakan dari mereka yang kegilaan judi ini, baik yang pada permulaannya menang atau kalah, sebagian besar berakhir dengan kantong kosong, tubuh lesu dan putus asa!
Judi merupakan permainan yang dengan amat jelas menggambarkan watak masyarakat, watak manusia-manusia pembentuk masyarakat. Hanya satu sifat yong menonjol, yang dapat dilihat jelas dalam perjudian akan tetapi agak tersamar dan tersembunyi di dalam kehidupan sehari-hari, sungguh pun sifat yang tersembunyi itu bukan berarti lemah, yaitu sifat SERAKAH, ingin memenuhi nafsu keinginan.
Seperti juga di dalam perjudian, kita hidup sehari-hari mengejar keinginan kita yang dapat saja berupa harta benda, kedudukan, nama besar, atau keinginan yang lebih tinggi lagi menurut pandangan kita, seperti misalnya kedamaian, ketenteraman, keabadian, nirwana atau sorga. Di dalam setiap pengejaran keinginan ini, kepuasan hanya berlaku sementara saja sebab makin dituruti, keinginan makin membesar dan meluas, makin haus sehingga apa yang diperoleh masih selalu kurang dan tidak mencukupi.
Dan celakanya, di dalam kenyataan hidup ini, demi mengejar keinginan yang sebutannya diperhalus dan diperindah menjadi cita-cita atau ambisi dan sebagainya, demi mencapai apa yang diinginkan itu kita main sikut-sikutan, jegal-jegalan dan gontok-gontokan antara manusia, antara bangsa, bahkan antara saudara sendiri! Kenyataan pahit ini hampir tidak tampak lagi, tapi bagi siapa pun yang mau membuka mata melihat kenyataan, peristiwa menyedihkan itu terjadi setiap saat, setiap hari, di mana saja di seluruh bagian dunia ini, dan dekat sekali di sekeliling kita, bahkan di dalam diri kita sendiri!
Bun Houw mengikuti semua gerak-gerik bandar kurus itu dengan penuh perhatian. Kini dia melihat bahwa para penjudi itu sebagian besar memasangkan uang mereka kepada angka sembilan karena ada di antara mereka yang berbisik bahwa biasanya di meja ini, setelah keluar angka tujuh lalu disusul angka sembilan!
Tentu saja hal itu hanya merupakan kebetulan saja, namun di dunia ini memang banyak terjadi hal-hal yang kebetulan seperti itu. Sesudah semua orang menaruh pasangannya dan bandar menelungkupkan mangkok di atas meja, dan tidak ada lagi yang menambah pasangan, waktu ini tentu saja digunakan oleh bandar untuk meneliti, nomor mana yang paling banyak dipasangi orang dan nomor mana yang sebaliknya. Maka dia tahu bahwa jika biji-biji dadu menunjukkan angka sembilan, berarti bandar akan menderita kekalahan yang tidak sedikit. Jadi baginya yang panting hanya menjaga agar jangan sampai keluar angka sembilan!
"Berhenti semua... dadu dibuka...!" Bandar itu seperti biasa berteriak dan cepat membuka mangkok.
Dapat dibayangkan alangkah kagetnya bandar itu melihat bahwa ketika mangkok dibuka miring, dua dadu itu menunjukkan angka empat dan lima! Akan tetapi tentu saja dia cepat menggetarkan tangan kirinya yang menekan meja sehingga permukaan meja tergetar dan dadu itu bergerak.
Dia sudah merasa yakin bahwa sebutir di antara dadu-dadu itu tentu akan rebah miring dan memperlihatkan nomor lainnya sehingga jumlahnya bukan sembilan lagi. Akan tetapi pada saat dia buka, jelas nampak bahwa nomor dua butir dadu itu masih lima dan empat, berjumlah sembilan, sama sekali tidak berobah!
"Sem... sem... bilan menang...!" Bandar berseru dengan suara gemetar dan kedua mata terbelalak heran. Jelas bahwa dia tadi sudah menggetarkan tangannya, mempergunakan lweekang untuk membuat dadu itu rebah, tetapi sekali ini dadu-dadu itu ‘membangkang’!
Dua orang pembantu bandar memandang kepada si bandar kurus dengan mata melotot, marah dan heran. Terpaksa mereka membayarkan kekalahan bandar kepada beberapa orang yang menerima kemenangan mereka dengan pandang mata berseri-seri dan muka kemerahan. Sejenak mereka yang menang itu lupa bahwa kemenangan mereka belum tentu berlangsung lama dan bahwa di antara mereka ada yang kalah jauh lebih banyak dari pada yang mereka terima sekali ini.
Kembali orang memasang. Kembali bandar mengocok dadu dan pada waktu dibuka, si bandar sengaja memperlambat gerakannya. Matanya yang terlatih melihat betapa getaran tenaga lweekang-nya membuat sebutir dadu terguling, akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat dadu yang sudah roboh itu bangkit lagi dan memperlihatkan nomor semula!
Biar pun sekali ini bandar tidak kalah banyak, namun hal itu membuat dia mengeluarkan keringat dingin dan matanya mulai memandang para tamu yang merubung meja. Sejenak pandangan matanya beradu dengan sinar mata Bun Houw yang masih berdiri dengan tangan di atas meja dan menonton dengan asyik.
Akan tetapi si bandar kurus melihat pemuda ini biasa saja, bahkan tidak ikut menaruh pasangan maka kecurigaannya lenyap. Betapa pun juga, karena dia mendapat kenyataan bahwa yang meletakkan tangannya di atas meja hanya pemuda itu, maka sekarang dia memperhatikan sekali.
"Dadu dibuka...!" Sekali ini bandar itu menekankan tangan kanan di atas meja sedangkan tangan kiri yang membuka mangkok. Dia mengerahkan tenaga sekuatnya sambil mencuri lihat dua butir dadu yang menunjuk angka satu dan tiga. Nomor empat merupakan nomor yang lebih banyak dipasangi orang, maka kini dia kembali mengerahkan lweekang-nya.
Akan tetapi kedua butir dadu ini sama sekali tak berkutik! Dia masih terus mengerahkan lweekang sambil memandang ke arah Bun Houw, dan dia melihat pemuda itu tersenyum kepadanya, bahkan memberi tanda dengan memicingkan sebelah mata, ada pun tangan kiri pemuda itu menekan meja.
Kini jelas terasa oleh si bandar betapa ada getaran bergelombang yang amat kuat datang dari arah pemuda itu dan tahulah dia siapa orangnya yang sedang ‘main-main’ dengan dia. Mangkok dibuka dan tetap saja dua butir dadu itu menunjukkan angka empat.
Bandar memberi isyarat kepada para tukang pukul yang berada di sekitar tempat itu. Meja judi yang istimewa ini, karena memberi kemenangan berturut-turut kepada banyak tamu, sekarang makin dirubung orang yang ingin pula merasakan kemenangan.
Melihat isyarat bandar, empat orang tukang pukul mendekati Bun Houw. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai bentuk tubuh tinggi besar, dengan lengan baju tergulung sehingga nampak otot-otot lengan yang besar menggembung, wajah mereka seram dan mencerminkan kekejaman orang yang biasa mengandalkan kekuatan untuk memaksakan kehendak.
"Yang tidak ikut berjudi harap keluar!" bentak bandar kurus sambil menuding ke arah Bun Houw. "Orang muda, aku melihat engkau tidak pernah ikut bertaruh, maka engkau tidak boleh berada di sini!"
Bun Houw tersenyum tenang. Dia memang sedang memancing perhatian, maka dia lalu berkata, "Kenapa di luar tidak dipasang peringatan seperti itu? Memang aku datang ingin melihat-lihat dulu, mengapa disuruh keluar? Apakah kalian takut kalau aku melihat ada yang main curang?"
"Mulut lancang, siapa yang main curang? Hayo lekas pergi dari sini, atau kau ingin kami memaksamu?" bentak salah seorang di antara empat tukang pukul itu. Melihat peristiwa ini, para tamu menjauhkan diri, takut terlibat.
"Wah, wah, apakah Hok-po-koan biasa mempergunakan kekerasan seperti ini? Hendak kulihat, bagaimana cara kalian empat orang kasar hendak memaksaku keluar!" Bun Houw mengejek dan menunjukkan lagak jagoan, seolah-olah dia telah biasa pula mengandalkan kepandaiannya untuk menghadapi tantangan, lagak seorang ‘jagoan’.
"Eh, si keparat, kau menantang?" bentak seorang di antara empat orang tukang pukul itu dan serentak mereka maju memegang kedua lengan serta kedua pundak Bun Houw, hendak diseretnya pemuda itu dan dilempar keluar.
Akan tetapi, segera empat orang itu terkejut bukan main karena pemuda yang mereka pegang itu sedikit pun tidak berkutik dan meski pun mereka sudah mengerahkan tenaga sepenuhnya untuk menyeret dan menggusur, akan tetapi pemuda itu tidak dapat berkisar sedikit pun dari tempatnya, seolah-olah mereka berempat sedang berusaha menarik arca arca dari baja yang amat berat dan kokoh!
Empat orang itu adalah tukang-tukang pukul yang sudah biasa menggunakan kekerasan kepada orang-orang yang dianggap menantang tempat judi itu, mereka adalah kumpulan orang kasar yang hanya memiliki tenaga kasar akan tetapi pandangan mereka dangkal sehingga mereka tidak insyaf bahwa pemuda itu jelas mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada kekuatan mereka.
"Kau ingin mampus?" bentak seorang di antara mereka dan seperti diberi komando saja empat orang itu lalu bergerak menerjang dan memukul Bun Houw.
Akan tetapi, kedua tangan pemuda ini bergerak cepat sekali dan semua orang di situ, termasuk si empat orang tukang pukul, tidak tahu bagaimana dapat terjadi, akan tetapi tahu-tahu empat orang itu terlempar dan terbanting ke atas lantai sambil mengaduh-aduh dan memegang lengan kanan dengan tangan kiri, tidak berani bangkit lagi karena lengan kanan mereka rasanya seperti remuk-remuk tulangnya!
Melihat ini segera para tukang pukul yang lain mengepung Bun Houw. Jumlah mereka ada belasan orang dan seorang bandar judi cepat masuk ke dalam untuk melaporkan hal ini kepada majikan mereka yang tinggal di rumah mewah terletak di belakang rumah judi itu.
Bun Houw tersenyum saat melihat dirinya dikurung oleh para tukang pukul, juga beberapa orang bandar judi yang tentu memiliki kekuatan lebih tinggi dari pada tukang-tukang pukul kasar itu. Bahkan mereka semua sudah mencabut senjata, ada yang memegang golok, pedang, dan toya.
Para tamu sudah membubarkan diri, berlari ketakutan keluar dari pintu rumah judi. Akan tetapi yang berhati tabah memberanikan diri untuk menonton, sambil berlindung di balik meja-meja judi yang besar dan kuat.
Bun Houw hanya ingin memancing perhatian, akan tetapi untuk melaksanakan siasatnya, tentu saja dia tidak ingin bermusuhan dengan kaki tangan Kiam-mo Liok Sun ini, sungguh pun dia amat tidak senang menyaksikan betapa bandar-bandar judi itu menipu para tamu yang datang berjudi dengan permainan-permainan curang.
"Hemm, kalian ini sungguh aneh. Aku datang hanya melihat-lihat karena aku tertarik akan nama besar Kiam-mo Liok loya (tuan besar Liok) dan ingin membantunya, namun kalian menyambutku dengan kekerasan."
Tentu saja mereka semua tidak mempedulikan omongan ini karena mereka sudah marah sekali mendengar betapa tadi pemuda ini menentang bandar sehingga sang bandar kalah dalam perjudian dadu itu dan melihat betapa pemuda ini sudah merobohkan empat orang tukang pukul. Sambil berteriak-teriak mereka sudah menerjang maju dan senjata tajam di tangan mereka gemerlapan tertimpa sinar penerangan.
Bun Houw terpaksa membela diri mempergunakan kelincahannya melompat ke sana-sini di antara meja-meja judi yang sekarang menjadi berantakan karena didorong oleh para pengeroyok yang mengejarnya. Kalau dia mau, tentu saja dengan mudah Bun Houw akan mampu merobohkan mereka semua dalam waktu singkat. Akan tetapi bukan demikianlah yang dikehendakinya.
Dia hendak menyelidiki Lima Bayangan Dewa dan menurut keterangan penyanyi jalanan tadi, majikan tempat inilah yang mengaku kenal dengan Lima Bayangan Dewa, maka dia harus dapat mendekatinya, apa bila perlu masuk menjadi anak buahnya. Untuk keperluan ini, tidak baiklah kalau dia merobohkan mereka semua. Kalau tadi dia merobohkan empat orang tukang pukul, hal itu hanya untuk memancing perhatian, dan dia pun tidak melukai mereka secara hebat, bahkan tidak ada tulang yang patah.
Keadaan di dalam ruangan judi yang biasanya gaduh dengan suara orang berjudi, kini menjadi makin gaduh dengan teriakan-teriakan para pengeroyok dan suara senjata yang beradu dengan meja atau lantai, oleh karena senjata-senjata itu beterbangan ketika luput mengenai tubuh Bun Houw dan sebagian ada yang terlepas dari tangan pemegangnya karena terkena totokan jari tangan pemuda itu yang memperlihatkan kelincahannya.
Semenjak tadi Bun Houw maklum akan kedatangan seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang berpakaian mewah, berkumis rapi dan bermata tajam. Melihat sebatang pedang pada punggung orang itu, sikapnya yang angkuh serta sikap merendah beberapa orang yang datang bersamanya, Bun Houw sudah dapat menduga bahwa yang datang itu tentulah Kiam-mo Liok Sun. Maka dia segera mengurangi kecepatan geraknya walau pun dia masih tetap dapat menghindarkan diri dari para pengeroyoknya yang terus mengejar dan menghujankan serangan kepadanya itu.
"Kalian orang-orang yang tak mengenal maksud baik orang lain!" Bun Houw berpura-pura kewalahan dan berteriak-teriak.
"Sudah kukatakan, aku datang hendak bersahabat dan membantu Liok-loya yang terkenal gagah, mengapa kalian memaksaku berkelahi?"
Sejak tadi Kiam-mo Liok Sun menonton dengan hati tertarik. Meski pun gerakan pemuda tampan itu kacau dan tidak membayangkan ilmu silat tinggi yang dikenalnya, akan tetapi tampak jelas bahwa pemuda itu memiliki kelincahan dan kecepatan gerakan yang sangat mengagumkan sehingga belasan orang kaki tangannya yang mengeroyok dengan senjata di tangan sama sekali tidak mampu mendesaknya, apa lagi melukai dan merobohkannya.
Kini mendengar teriakan pemuda itu, dia makin tertarik. Tentu saja dia tidak begitu bodoh untuk mempercayai kata-kata orang asing ini, akan tetapi diam-diam dia mengakui bahwa apa bila dia bisa memperoleh pemuda gagah itu sebagai pembantunya, dia mendapatkan keuntungan besar sekali.
Keadaan menjadi sunyi setelah semua orang berhenti bergerak, sunyi yang menegangkan karena semua orang menduga bahwa sebentar lagi tentu sinar pedang maut dari pedang setan akan membuat kepala pemuda tampan itu terpisah dari badannya. Tetapi alangkah heran hati mereka ketika Liok Sun menggerakkan tangan kemudian dengan langkah lebar dia mengampiri Bun Houw.
Sejenak mereka berdiri saling berhadapan, kemudian Liok Sun bertanya, "Aku mendengar laporan bahwa engkau adalah seorang pemuda yang pandai sekali bermain judi. Betulkah itu?"
"Ahh, selama hidupku, belum pernah aku bermain judi, mana bisa disebut pandai?" Bun Houw merendah.
"Orang muda, engkau adalah seorang asing dan datang-datang menimbulkan keributan di po-koan ini, sesungguhnya apakah yang kau kehendaki?" Liok Sun yang merasa suka kepada pemuda ini bertanya.
"Apakah saya berhadapan dengan Liok-loya sendiri?"
"Benar, akulah Kiam-mo Liok Sun. Apakah engkau datang untuk menantangku?" Laki-laki yang kelihatan tampan dan gagah karena pakaian dan sikapnya itu bertanya, tetapi nada suaranya mengejek.
"Sama sekali tidak, Liok-loya. Saya memang telah lama mendengar nama besar loya dan saya bahkan ingin menawarkan tenaga saya untuk membantu dan bekerja kepada loya."
"Hemm, orang muda. Siapakah namamu dan dari mana kau datang?"
"Nama saya Bun Houw dan saya tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Karena sedang kehabisan bekal dan tidak mempunyai pekerjaan tetap, ketika tiba di kota ini dan mendengar akan kegagahan serta kedermawanan loya, saya lalu datang ke sini hendak mencari loya dan minta pekerjaan."
Kiam-mo Liok Sun memandang penuh selidlk. "Orang muda she Bun, agaknya engkau memiliki kepandaian pula maka engkau berani mencari aku minta pekerjaan secara ini. Jangan mengira bahwa akan mudah saja mendapatkan pekerjaan dariku, apa lagi setelah engkau melakukan pengacauan di sini."
Bun Houw maklum bahwa orang ini sudah salah menduga, mengira dia she Bun bernama Houw, akan tetapi hal ini memang kebetulan karena dia tidak ingin memperkenalkan diri sebagai putera Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai.
"Maafkan saya, Liok-loya. Bukan maksud saya untuk mengacau..."
"Sudahlah. Karena engkau telah memperlihatkan kepandaianmu berjudi, biarlah sekarang aku tantang engkau berjudi dengan aku..."
"Akan tetapi... saya tidak pandai berjudi dan saya tidak mau..."
"Harus! Engkau harus mau berjudi dengan aku. Apa bila engkau kalah, tidak perlu banyak cakap lagi dan engkau harus dihukum sebab telah banyak merugikan aku dan mengacau po-koan ini. Kalau engkau menang, nah... baru kita bicara tentang pekerjaan itu."
Semua anak buah Liok Sun tersenyum-senyum karena mereka mengira bahwa majikan mereka hendak mempermainkan pemuda itu sebelum membunuhnya. Bun Houw juga maklum bahwa Si Setan Pedang ini hendak mencobanya, maka sambil menarik napas dia berkata,
"Apa boleh buat, caramu menerima pembantu baru sungguh aneh, Liok-loya."
Dengan tersenyum Liok Sun melangkah, lantas duduk di belakang sebuah meja judi yang tidak berantakan dan dengan isyarat tangan dia menyuruh Bun Houw duduk menghadapi meja itu, bertentangan dengan dia. Dengan sikap seakan terpaksa Bun Houw duduk di atas bangku. Liok Sun lalu minta dua butir dadu dan sebuah mangkok. Dia memasukkan dadu itu di dalam mangkok lalu menggoyang-goyang mangkok sehingga terdengar bunyi berkeratakan ketika dua butir dadu berputaran di dalam mangkok yang ditutup dengan telapak tangan kirinya.
"Hanya ada dua kemungkinan saja yang keluar," kata Liok Sun sambil tersenyum dan memandang tajam kepada Bun Houw, "Yaitu nomor ganjil atau nomor genap, Nah engkau boleh memilih, orang muda."
Bun Houw melihat ke kanan kiri. Semua yang tampak di sekelilingnya hanya wajah-wajah menyeringai yang seakan-akan sudah memastikan bahwa dia akan kalah dan menerima hukuman! Dia tahu bahwa kehendak majikan po-koan ini tidak dapat dibantah lagi, maka dengan suara tenang dia menjawab,
"Aku memilih genap!"
"Bagus, dan aku memilih ganjil. Engkau tahu bahwa angka yang tidak dapat dibagi dua adalah ganjil!" kata Liok Sun.
"Dan yang dapat dibagi dua adalah genap!" Bun Houw berkata pula.
"Lihat baik-baik, aku membuka mangkok!" Majikan Hok-po-koan itu berteriak, dan cepat mangkoknya menelungkup kemudian dibukanya.
Pandang mata Bun Houw yang terlatih dengan cepat dapat melihat bahwa dua butir dadu itu menunjukkan angka tiga dan lima, berarti berjumlah delapan, atau genap. Akan tetapi tiba-tiba saja sebutir dadu bergerak terguling. Melihat ini, Bun Houw yang juga menekan tangannya ke atas meja, mengerahkan sinkang dan dadu itu kembali lagi ke nomor lima. Akan tetapi tentu saja Liok Sun tidak mau kalah, dan dengan kedua tangan di atas meja dia mengerahkan tenaga dan dadu itu miring ke angka enam!
Bun Houw sudah mengukur tenaga orang ini dan dia tahu bahwa biar pun Liok Sin jauh lebih kuat dari bandar judi tadi, akan tetapi kalau dia menggunakan sinkang melawannya, dengan amat mudah dia akan dapat mengalahkan Liok Sun. Dia tidak mau menyinggung perasaan Liok Sun, akan tetapi dia harus dapat mendekati orang ini, maka dia pun cepat mengerahkan tenaganya dan... dadu itu tetap berdiri miring antara nomor lima dan nomor enam, seolah-olah tenaga mereka seimbang, dan dengan tenaga sinkang-nya yang luar biasa kuatnya, Bun Houw membuat dadu-dadu itu melesak ke dalam papan kayu meja itu sehingga yang sebutir tetap menunjukkan angka tiga ada pun yang sebutir lagi melesak miring antara nomor lima dan enam! Semua orang yang melihat ini membelalakkan mata dengan terheran-heran.
Liok Sun juga merasa terkejut sekali ketika mendapat kenyataan bahwa dia tidak mampu memaksa dadu itu terlentang dengan nomor enam di atas. Akan tetapi dia pun gembira melihat dadu itu tidak menunjukkan nomor lima, melainkan miring dan dia mengira bahwa bertemunya dua tenaga, yaitu tenaganya dan tenaga pemuda itu, sedemikian hebat dan kuatnya sehingga dadu itu sampai melesak di atas meja! Giranglah hatinya, girang karena dia tidak kalah akan tetapi juga mendapat kenyataan bahwa calon pembantunya ini hebat sekali kepandaiannya!
"Ha-ha-ha-ha, yang keluar adalah nomor tiga dan nomor... lima setengah! Kita tidak kalah dan tidak menang!" kata Liok Sun.
Bun Houw tersenyum. "Sebaiknya begitu, Liok-loya, karena kalau dadu yang sebutir ini rebah dengan angka lima atau enam di atas, berarti saya yang menang."
"Ehhh...? Mengapa begitu? Kalau keluar angka enam, berarti aku yang menang, karena tiga dan enam adalah sembilan, angka ganjil!"
Bun Houw menggeleng kepalanya. "Dalam hal ini, loya bersikap cerdik dan salah hitung. Kalau keluar angka sembilan, berarti saya yang menang, bahkan keluar angka apa pun, dari satu sampai dua belas, saya yang menang."
"Gila! Mana bisa begitu?"
"Lupakah loya bahwa yang saya pegang adalah nomor..."
"Genap!"
"Ya, dengan penjelasan bahwa nomor genap adalah nomor yang dapat dibagi dua!"
"Memang begitu, dan kalau keluar nomor sembilan, tidak bisa dibagi dua!"
"Siapa bilang, loya? Sembilan dibagi dua adalah empat setengah, bukan? Nah, siapakah yang dapat menyangkal bahwa segala nomor, dari satu sampai dua belas atau sampai selaksa sekali pun, semuanya dapat dibagi dua?"
Liok Sun melongo, menatap wajah pemuda yang bersikap tenang itu dengan kedua mata terbelalak, kemudian terdengar semua orang berbisik-bisik gaduh. Ucapan pemuda aneh ini sama sekali tidak dapat disangkal memang!
"Apakah bicaraku salah, Liok-loya?"
"Tidak... tidak... hemm, kau benar. Bahkan keluar angka delapan setengah ini pun masih dapat dibagi dua! Engkau menang, orang muda yang cerdik. Akan tetapi aku baru mau menerimamu bekerja membantuku jika engkau dapat mengalahkan pembantu-pembantu utamaku."
Dia menengok ke belakangnya dan memberi isyarat kepada dua orang yang tadi keluar bersamanya dan yang selalu menjaga di belakangnya. Dua orang itu menyeringai lantas meloncat ke tengah ruangan. Bun Houw memandang dengan penuh perhatian.
Yang seorang bertubuh tinggi besar, kulitnya kehitaman, bermata lebar, kepalanya botak. Dia berdiri dengan tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan mengelus-elus kumisnya yang dipelintir ke atas seperti dua buah golok menjungat ke atas di kanan kiri hidungnya yang besar. Orang kedua adalah seorang laki-laki yang usianya sebaya dengan si tinggi besar, kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh pendek gendut dan matanya sipit, kulitnya kuning sekali seperti orang menderita penyakit kuning, kuning sampai ke kuku jari dan ke matanya.
Bun Houw sudah maju pula tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, menghadapi dua orang pembantu utama dari Kiam-mo Liok Sun. "Silakan Ji-wi maju," katanya tenang.
Dua orang tukang pukul yang merupakan orang-orang paling kuat di antara anak buah Liok Sun itu memandang ke arah majikan mereka. Tanpa perkenan majikan mereka, dua orang ini tak berani sembarangan bergerak dan mereka masih ragu-ragu apakah mereka berdua diharuskan melawan bocah yang masih amat muda ini.
Akan tetapi Liok Sun yang sudah mengukur tenaga Bun Houw dan yakin akan kelihaian pemuda ini, memberi isyarat dengan mata dan anggukan kepala, menyuruh dua orang pengawalnya itu maju mengeroyok!
Dua orang itu lalu mengeluarkan suara gerengan dan bagaikan seekor gajah mengamuk, orang yang tinggi besar itu sudah menerjang dengan sepasang lengannya yang panjang menyambar dari kanan kiri, menyerang Bun Houw dengan dahsyat. Pemuda ini segera menggerakkan tubuhnya, mengelak dengan cekatan ke kiri tetapi di sini dia disambut oleh orang kedua yang gemuk pendek dan ternyata bahwa serangan si gemuk pendek ini tidak kalah hebatnya oleh kawannya yang tinggi besar.
Namun, tentu saja bagi Bun Houw dua orang tukang pukul itu bukan apa-apa dan kalau dia menghendaki, dalam segebrakan saja dia akan mampu merobohkan mereka. Akan tetapi, dia tidak ingin terlampau menonjolkan kepandaiannya kepada Liok Sun karena hal ini tentu akan menimbulkan kecurigaannya, maka dia hanya melakukan perlawanan yang cukup untuk mengimbangi mereka berdua. Maka perkelahian itu tampak sangat seru dan ramai, ditonton oleh Liok Sun dan semua anak buahnya dengan penuh kekaguman.
Sesudah lewat lima puluh jurus dan membiarkan dada serta pahanya dua kali terkena pukulan lawan, akhirnya Bun Houw berhasil menendang sambungan lutut si tinggi besar sehingga orang ini roboh tak mampu berdiri lagi, dan juga merobohkan si pendek gendut dengan sodokan tangan terbuka ke lambungnya, membuat lawan ini langsung menjadi mulas perutnya dan juga tidak mampu melanjutkan pertandingan.
Bukan main girangnya hati Liok Sun. Ia cepat menghampiri Bun Houw dan menggandeng tangan pemuda itu. Menurut penilaiannya pada saat menyaksikan pertandingan tadi, ilmu kepandaian pemuda ini setingkat dengan dia! Dengan memperoleh pembantu selihai ini, tentu saja dia akan menjadi makin kuat.
Bun-hiante, kau hebat sekali! Aku menerima lamaranmu bekerja. Mulai saat ini, engkau menjadi pengawal pribadiku!" katanya dengan girang dan dengan suara lantang karena ucapan ini bukan hanya ditujukan kepada Bun Houw, melainkan juga kepada semua anak buahnya.
"Terima kasih atas kebaikan Liok-loya..."
"Ahh, mulai sekarang jangan menyebut loya lagi, cukup Liok-twako saja," kata majikan rumah judi itu yang kemudian menoleh kepada anak buahnya. "Hayo bereskan semua meja dan buka kembali po-koan. Jangan sampai menimbulkan keributan lagi supaya para langganan kita tidak menjadi jeri untuk bermain judi." Sesudah berkata demikian, dia lalu mengajak Bun Houw masuk ke dalam rumahnya yang terletak di belakang rumah judi itu.
Mulai saat itu juga, berhasillah Bun Houw mendekati Kiam-mo Liok Sun, bahkan setelah mereka bercakap-cakap, Liok Sun makin suka kepada pemuda ini yang selain tinggi ilmu kepandaiannya ternyata juga bukan seorang jahat! Sebaliknya, Bun Houw merasa amat terheran-heran bahwa majikan rumah judi ini ternyata bukan pula seorang jahat! Bahkan hidupnya menduda dan agaknya dengan terpaksa sajalah Liok Sun membuka rumah judi itu.
"Sekarang berdagang sangat sukar memperoleh keuntungan, Bun-hiante," katanya. "Aku tahu bahwa pekerjaan bandar judi tidaklah bersih dan kalau tidak berani bermain curang tak akan mendapat untung. Akan tetapi aku memerlukan uang untuk menyusun kekuatan, karena aku mempunyai seorang musuh besar yang harus kubalas. Sekarang aku bertemu dengan engkau, sungguh membesarkan hatiku sebab dengan bantuanmu, aku tidak takut lagi menghadapi musuh besarku itu."
Bun Houw mengerutkan alisnya. "Apakah dia lihai sekali, twako?"
Sudah tiga hari dia tinggal di rumah Liok Sun dan memperoleh pelayanan baik sekali dan dia merasa akrab dengan ‘majikannya’ yang menganggapnya seperti sahabat baik ini.
"Dia cukup lihai dan mempunyai banyak pengawal, selain kaya raya juga berpengaruh karena dia adalah seorang yang memegang jabatan dalam pemerintahan dan tinggal di Koan-hu."
Bun Houw terkejut, lalu dia teringat akan urusannya sendiri yang sedang menyelidiki Lima Bayangan Dewa. "Maaf, twako, akan tetapi aku merasa heran mengapa twako tidak dari dulu menghadapi musuh besar itu. Twako sendiri terkenal sebagai ahli pedang yang lihai dan memiliki banyak pembantu..."
"Aihhh, mereka itu hanya pandai berlagak akan tetapi kosong tanpa isi."
"Akan tetapi kabamya twako juga mempunyai banyak sahabat orang-orang sakti di dunia kang-ouw, bahkan aku pernah mendengar bahwa diam-diam twako bersababat dengan Lima Bayangan Dewa."
Liok Sun mengangkat muka memandang sambil tersenyum. "Eh, engkau juga mendengar tentang mereka, hiante?"
"Siapa yang tidak mendengarnya, twako? Seluruh dunia kang-ouw menjadi geger setelah Lima Bayangan Dewa mengacau di Cin-ling-pai dan mencuri pedang Siang-bhok-kiam. Aku kagum sekali kepada mereka dan kalau benar twako bersahabat dengan mereka, aku ingin sekali twako memperkenalkan aku dengan mereka."
Liok Sun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, mereka adalah orang-orang luar biasa, mana aku ada kehormatan menjadi sahabat mereka? Memang aku mengenal baik seorang yang mungkin sekali merupakan salah seorang di antara mereka atau setidaknya mengenal siapa adanya Lima Bayangan Dewa yang tersohor itu. Aku akan mengajakmu berkenalan dengan dia setelah engkau membantu aku menghadapi musuh besarku itu, hiante."
Bun Houw menjadi bingung. Seujung rambut pun tidak ada maksudnya untuk menjadi pembantu bandar judi ini! Tetapi agaknya dari orang inilah dia akan berhasil menemukan musuh-musuh besarnya yang sudah sekian lamanya dicari tanpa ada hasilnya. Betapa pun juga, dia tidak mau sembarangan turun tangan membantu Liok Sun memusuhi orang lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya sama sekali, apa lagi sebelum dia ketahui apa sebabnya Liok Sun memusuhi orang itu.
"Aku telah menjadi pembantumu, sudah sepatutnya kalau aku membantumu, Liok-twako. Akan tetapi, siapakah musuh besarmu itu, dan kalau boleh aku mengetahui supaya jelas bagiku dan tidak meragukan tindakanku, mengapa twako bermusuhan dengan dia?"
Liok Sun Si Pedang Setan itu menghela napas panjang dan tiba-tiba wajah yang tampan itu berubah keruh dan muram tanda bahwa pertanyaan itu menimbulkan kenangan yang amat mendukakan hatinya.
"Semua orang mengenalku sebagai Liok Sun Si Pedang Setan, akan tetapi sebenarnya baru engkaulah yang mendengar bahwa dahulu namaku adalah Sun Bian Ek. Aku dahulu bukan orang baik-baik sungguh pun aku juga tidak pernah berhati kejam kepada siapa pun yang tidak bersalah, dan dahulu aku adalah seorang perampok tunggal yang sudah mengundurkan diri dan bertobat, lalu aku menjadi pedagang hasil bumi." Liok Sun mulai menuturkan keadaan dirinya.
Setelah mengundurkan diri dari dunia hitam dan menjadi pedagang hasil bumi, Liok Sun menikah dan hidup berbahagia bersama isterinya yang cantik sampai mereka dikaruniai seorang anak perempuan yang mungil. Akan tetapi, mala petaka menimpa keluarganya dan hal ini tidak dapat dilepaskan dari cara hidupnya dahulu ketika dia masih menjadi perampok.
Pihak pemerintah mengadakan pembersihan, dan menangkapi banyak sekali orang-orang dunia hitam di kota Koan-hu dan sekitarnya. Dalam pembersihan ini, Liok Sun atau yang dahulu bernama Sun Bian Ek ikut pula ditangkap! Kepala pasukan keamanan di kota itu yang bernama Phang Un agaknya tahu akan riwayat hidup pedagang Sun Bian Ek maka biar pun semua orang terheran mengapa pedagang itu ikut ditangkap, namun Sun Bian Ek sendiri tidak dapat menyangkal bahwa dia dahulu adalah perampok dan dia tidak lepas dari pandang mata tajam dari Phang Un.
"Aku dijatuhi hukuman buang ke daerah utara untuk bekerja paksa memperbaiki saluran kota raja." Liok Sun lalu melanjutkan penuturannya. "Semua itu tidak menyakitkan hatiku karena aku pun maklum bahwa kesesatanku yang lalu sudah sepatutnya mendapatkan hukuman. Akan tetapi, dapat kau bayangkan bagaimana rasanya perasaanku ketika aku mendengar bahwa sebenarnya yang menjadi sebab mengapa aku yang sudah mencuci tangan itu ditangkap, sama sekali bukan dikarenakan dosa-dosaku yang lalu, melainkan karena isteriku..."
“Eh...? Apa maksudmu, twako?" tentu saja Bun Houw terkejut dan heran mendengar arah cerita yang sama sekali menyimpang dan tidak disangka-sangkanya itu.
"Sehari setelah aku ditangkap, isteri dan anakku diboyong ke gedung si keparat Phang Un!"
"Ahh, jadi dia merampas isteri dan anakmu?"
Liok Sun mengangguk. "Mula-mula kukira demikian. Di utara aku tertolong oleh seorang tokoh hitam yang kusangka adalah seorang di antara Lima Bayangan Dewa, orang yang kumaksudkan tadi. Setelah aku bebas, diam-diam aku mengganti namaku dan membuka rumah judi di kota Kiang-shi ini. Sambil mengumpulkan harta dan kekuatan, aku menanti kesempatan baik untuk membalas dendam. Ketika itu baru aku mengerti bahwa di antara keparat itu dan isteriku memang sudah terjalin hubungan sebelum peristiwa penangkapan itu terjadi. Kau tahu, aku adalah seorang pedagang hasil bumi di waktu itu, sering keluar kota sampai berhari-hari, dan Phang Un adalah kepala pasukan keamanan yang setiap malam boleh saja meronda dan memeriksa, maka..."
Liok Sun menarik napas panjang dan tidak melanjutkan, akan tetapi Bun Houw sudah dapat membayangkan apa yang terjadi antara isteri yang tidak setia itu dan si kepala pasukan keamanan yang mata keranjang.
"Hemm, memang dia patut dihajar!" kata Bun Houw.
Demikianlah, karena merasa simpati mendengar riwayat Liok Sun, maka pada suatu pagi beberapa hari kemudian, berangkatlah kedua orang ini menuju ke kota Koan-hu yang tak begitu jauh letaknya dari Kiang-shi. Malamnya, mereka berdua telah bergerak seperti dua ekor kucing di atas genteng rumah-rumah orang, dan berhasil meloncati pagar tembok yang mengurung gedung tempat tinggal Phang-ciangkun (Perwira Phang) tanpa diketahui para perajurit yang berjaga di sekitar tempat itu. Para penjaga itu memang agak lengah, karena mereka tidak percaya bahwa ada orang yang berani mati mengganggu rumah perwira itu.
Dengan berindap-indap, akhirnya Liok Sun dan Bun Houw mengintai dari sebuah jendela kamar. Bun Houw melihat seorang wanita yang cantik berdandan mewah sedang duduk menyulam di dalam kamar itu. Wanita yang berpakaian mewah dan pesolek, usianya antara tiga puluh lima tahun, kulitnya putih dan pinggangnya ramping. Tidak ada orang lain lagi di dalam kamar itu.
Bun Houw merasa betapa napas temannya memburu dan tahulah dia bahwa wanita itulah agaknya isteri tidak setia itu. Dengan gerak tangannya, Liok Sun menyuruh Bun Houw berjaga-jaga di luar jendela dan dia sendiri hendak menerjang masuk. Bun Houw hanya mengangguk. Tadi dia sudah berpesan kepada Liok Sun supaya ‘majikannya’ itu tidak sembarangan turun tangan dan hanya berurusan dengan musuh-musuhnya saja, jangan melibatkan orang-orang lain dan pasukan keamanan pemerintah.
Dengan kekuatan tangannya, Liok Sun mendorong daun pintu yang patah kuncinya dan seperti seekor burung dia melayang masuk ke dalam kamar itu. Bun Houw mengintai di luar jendela.
Wanita itu menjerit dan bangkit berdiri, seketika wajahnya menjadi pucat dan kain yang disulamnya terlepas dari tangannya dan segulung benang sulam jatuh menggelinding ke sudut kamar.
"Kanda... Sun Bian Ek...!" Tubuh wanita itu menggigil dan suaranya menggetar. "Kau... kau... masih hidup...?"
Liok Sun atau Sun Bian Ek memandang dengan muka merah dan mata berapi, suaranya dingin dan penuh penyesalan, "Perempuan hina, andai kata sudah mati pun pasti aku akan bangkit untuk mengutukmu. Kau perempuan hina, isteri yang khianat hendak kulihat bagaimana macamnya hatimu!"
Mata itu semakin terbelalak, mukanya semakin pucat. "Tidak... ahhh, jangan kau salah sangka...!" Wanita itu menangis dan menjatuhkan dirinya berlutut di atas lantai di depan bekas suaminya itu. "Kau... suamiku... kau salah sangka... aku... aku tidak berkhianat padamu..."
"Hemmm, siapa percaya mulutmu yang palsu itu? Kau masih berani menyangkal bahwa sebelum aku ditangkap dahulu, diam-diam engkau sudah menjual dirimu yang kotor dan hina kepada si jahanam Phang Un?"
"Tidak... tidak... itu hanyalah fitnah belaka... kau dengarlah... aku memang tidak pernah berani berterus terang akan terjadinya mala petaka pada malam itu... pada suatu malam ketika engkau pergi berdagang... dia datang dan mengancam akan membunuh anakku kalau aku tidak mau melayaninya... dengan ujung golok di leher anakku, apa dayaku...? Kanda Bian Ek... malam itu, untuk menyelamatkan nyawa anakku... aku… aku terpaksa... melayaninya dan... dan setelah kau ditangkap, aku lalu diboyong ke sini... apakah dayaku sebagai seorang wanita lemah?"
Liok Sun memandang bekas isterinya itu. Dia amat mencinta wanita ini dan selama lima tahun ini semenjak mereka berpisah, dia selalu mengenangkan kemesraan yang pernah dialaminya bersama isterinya. Kini, mendengar cerita itu, dia tertegun sehingga tidak tahu harus berbuat apa terhadap isterinya yang kini menangis sesenggukan itu.
"Di mana adanya anakku, di mana? Aku harus membawa dia pergi dari sini, dan di mana jahanam itu? Akan kubunuh dia..."
Wanita itu kelihatan terkejut sekali, lalu bangkit berdiri dan dengan sikap ketakutan dia mundur-mundur sambil menggelengkan kepala berkali-kali dan berkata, "Jangan... tidak... jangan...!"
Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut dari sebelah belakang dan tiba-tiba saja wanita itu menoleh dan lari ke arah pintu belakang sambil menjerit, "Toloong...! Ada penjahat...! Tolooooong...!"
"Keparat, perempuan hina...!" Kiam-mo Liok Sun menjadi marah sekali.
Segala keraguan akan kesalahan isterinya sesudah mendengar cerita tadi lenyap sama sekali dan dia tahu bahwa isterinya tadi hanya membodohinya untuk mengulur waktu agar para penjaga mendengar dan tahu akan kedatangan bekas suaminya ini.
Dalam kemarahannya yang meluap, Liok Sun mencabut pedangnya dan sinar pedangnya menyambar dari belakang tubuh bekas isterinya. Wanita itu menjerit mengerikan lantas roboh dengan punggung tertusuk pedang sampai tembus ke dadanya.
"Ibu...!" Tampak seorang anak perempuan berusia kurang lebih sepuluh tahun berlarian masuk. Melihat anak ini, Liok Sun cepat menyambarnya dengan tangan kiri.
Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika tiba-tiba ada angin menyambar dari arah samping diikuti dengan berkelebatnya bayangan sinar terang. Dia menggerakkan pedang menangkis.
"Cringgg...!”
“Aduhhhhh...!" Liok Sun berteriak karena pundaknya yang kanan tetap saja keserempet golok yang dipegang oleh seorang laki-laki tinggi besar yang telah menyerangnya secara tiba-tiba. Karena tadi dia baru saja mencabut pedang dari tubuh bekas isterinya kemudian menyambar anaknya dengan tangan kiri, maka ketika mendadak diserang, tangkisannya kurang cepat sehingga dia terluka oleh laki-laki yang bukan lain adalah Phang Un itu.
Melihat betapa isterinya terbunuh dan anak tirinya dirampas, dan mengenal Sun Bian Ek, perwira ini menjadi marah bukan main. Ia mengeluarkan teriakan untuk memanggil semua pengawalnya, kemudian goloknya bergerak menerjang Liok Sun yang sudah terluka.
"Plakkk...!"
Perwira itu terhuyung dan goloknya langsung terlepas dari tangannya ketika Bun Houw yang meloncat masuk menepuk bahu kanannya dari belakang. Pemuda ini tadi merasa terkejut ketika melihat Liok Sun membunuh bekas isterinya, hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya, sungguh pun dia maklum pula akan kepalsuan wanita itu.
Akibat tertegun menyaksikan peristiwa mengerikan antara suami isteri yang tentu dulunya saling mencinta itu, maka dia terlambat menolong Liok Sun sehingga ‘majikannya’ itu terluka pundaknya. Baru ketika melihat Liok Sun terluka, dia meloncat ke dalam dan sempat menggagalkan serangan maut Phang-ciangkun tadi.
"Keparat busuk kau...!" Liok Sun membentak ketika melihat Phang Un terhuyung, biar pun tangan kirinya memondong anak perempuan itu dan pundak kanan sudah terluka, namun pedangnya masih berkelebat cepat sekali.
Phang Un masih kaget oleh tamparan yang bukan main kuatnya tadi. Ia masih terhuyung sambil memutar kepala untuk melihat siapa yang telah menamparnya ketika sinar pedang berkelebat. Phang Un berusaha mengelak, akan tetapi hanya dua kali berturut-turut dia mampu mengelak. Sambaran pedang yang ketiga kalinya mengena sasaran dan robohlah Phang Un dengan leher yang hampir buntung terbabat pedang Liok Sun.
Pada saat itu, datanglah belasan orang perajurit dan pengawal ke tempat itu. Melihat Liok Sun hendak mengamuk, Bun Houw cepat berkata,
"Liok-twako, hayo kita pergi...!"
Liok Sun juga maklum betapa berbahayanya untuk menentang penjaga keamanan, maka melihat pembantunya itu sudah menerjang keluar kamar dan dengan mudahnya pemuda itu membuat lima enam orang pengawal terlempar ke kanan kiri, dia pun lalu mengikuti Bun Houw dan setelah Bun Houw kembali merobohkan beberapa orang, mereka berdua berhasil meloncat ke atas genteng dan menghilang di kegelapan malam....
Selanjutnya,