Dewi Maut Jilid 17
PADA waktu mereka sampai di daerah Lembah Bunga Merah, suasana di sana sunyi saja dan mereka cepat memasuki daerah itu menuju ke perkampungan yang menjadi sarang Hui-giakang Ciok Lee Kim dan anak buahnya. Akan tetapi di dalam bangunan-bangunan ini pun sunyi tidak kelihatan ada manusianya.
"Hati-hati, mungkin mereka bermaksud hendak menjebak kita!" Bun Houw berkata dan In Hong mengangguk.
Bun Houw mencabut senjatanya karena kalau tidak dia khawatir gadis itu akan menjadi curiga akan ketenangannya. Dengan berindap mereka memasuki ruangan depan rumah besar yang tadinya dihuni oleh Ciok Lee Kim dan di mana dia menjamu para tamunya.
"Ada orang-orang mengepung kita... " In Hong berbisik. Tentu saja Bun Houw juga sudah dapat menangkap gerakan orang-orang itu akan tetapi dia diam saja.
"Awas senjata rahasia...!" In Hong berseru dan dara ini cepat meloncat untuk melindungi Bun Houw.
Akan tetapi anak panah dan senjata-senjata rahasia yang bagaikan hujan itu datang dari empat penjuru. In Hong menangkisi senjata-senjata rahasia itu dengan hawa pukulan dari kedua tangannya, sedangkan Bun Houw dengan ‘sibuknya’ menangkisi dengan pedang di tangan yang diputar-putarnya. Sampai habis senjata-senjata rahasia itu, Bun Houw masih memutar-mutar pedang.
"Bersiaplah, Bun-ko, biar aku melindungimu, mereka tentu akan muncul." In Hong yang merasa geli melihat bagaimana pemuda itu memutar-mutar pedang, memegang lengan pemuda itu dan dia berdiri melindungi Bun Houw.
Benar saja, dari empat penjuru muncul belasan orang anak buah Lembah Bunga Merah dengan segala macam senjata di tangan. Melihat Bun Houw, mereka terkejut bukan main, maklum bahwa pemuda yang pernah ditawan dan disiksa ini memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi karena pemuda itu baru saja terluka parah, bahkan dua tulang pundak juga dikait, mereka kini memandang rendah. Juga mereka memandang rendah kepada gadis muda cantik yang datang bersama pemuda itu.
"Ha-ha-ha, kau sudah berhasil lolos kini kembali lagi hendak mengantar kematian?" teriak seorang di antara mereka yang berhidung besar terhias kumis kecil. "Toanio tentu akan senang sekali. Hayo kawan-kawan, lekas tangkap tikus ini!"
Dua belas orang itu menyergap ke depan.
"Bun-ko, biarkan aku membereskan mereka!" In Hong berseru dan tubuhnya berkelebat cepat sekali, bagai halilintar menyambar-nyambar dan terdengarlah pekik-pekik kesakitan.
Bun Houw hanya berdiri menonton dan diam-diam dia pun terkejut. Dia dapat menduga bahwa gadis yang bernama Hong ini memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi tidak pernah disangkanya akan selihai itu. Gerakannya sungguh aneh sekali, gerakan ilmu silat yang sama sekali tak dikenalnya, akan tetapi kecepatannya belum tentu kalah oleh dia sendiri.
Jari-jari tangan yang halus itu seolah-olah berubah menjadi baja-baja yang ampuh. Setiap tamparan pasti membuat lawan terguling roboh, setiap tangkisan membuat lengan lawan patah-patah sehingga dalam waktu singkat saja, dua belas orang itu sudah roboh semua, merintih-rintih dan mengaduh-aduh!
"Mari kita cari mereka!" In Hong berkata kepada Bun Houw yang masih berdiri bengong, memegang tangan pemuda itu dan menariknya ke dalam.
Mereka hanya mendapatkan bangunan kosong. Biar pun In Hong sudah mengajak Bun Houw menggeledah dan memeriksa di seluruh perkampungan itu, namun tidak menemui lima orang sakti yang mereka cari. Dengan penasaran In Hong lalu mengajak Bun Houw kembali ke ruangan depan di mana dua belas orang anak buah Lembah Bunga Merah itu masih rebah malang-melintang dan mengeluh kesakitan.
"Hayo katakan di mana adanya nenek cabul Ciok Lee Kim dan teman-temannya!" In Hong membentak sambil mendekati seorang yang patah-patah tulang lengannya.
Orang itu nampak ketakutan, berlutut sambil merintih-rintih. "Ampunkan kami, lihiap... ampunkan kami... Ciok-toanio dan yang lain telah pergi dua hari yang lalu... meninggalkan kami dua belas orang menjaga di sini..."
"Ke mana mereka pergi?" In Hong membentak lagi.
"Tidak... tidak... tahu..."
"Keparat, kalian layak mampus!" In Hong mengangkat tangan.
Akan tetapi tiba-tiba Bun Houw berkata, "Hong-moi, nanti dulu..."
In Hong menurunkan kembali tangannya dan menoleh, Bun Houw lalu menghampiri orang itu.
"Srattttt...!" Dicabutnya pedang In Hong yang diberikan kepadanya itu dan dengan sikap mengancam dia menempelkan mata pedang di leher orang itu.
"Hayo lekas kau mengaku terus terang, ke mana perginya Hui-giakang Ciok Lee Kim dan Toat-beng-kauw Bu Sit! Kalau engkau tidak mau mengaku, pedang ini akan memenggal lehermu dan leher semua orang di sini!"
"Ampunkan kami... taihiap, ampunkan kami..." Dua belas orang itu meminta-minta dan salah seorang di antara mereka lalu berkata, "Ciok-toanio dan yang lain-lain tentu pergi mengunjungi tempat tinggal Phang-loya (tuan besar Phang)..."
"Hemmm, kau maksudkan Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok?" Bun Houw membentak.
"Benar... benar, taihiap..."
"Di mana tempat tinggalnya?"
"Di dusun Ngo-sian-chung, di lembah muara Sungai Huang-ho..."
"Hayo katakan yang jelas, di mana tempat itu!"
"Benar... taihiap... di sebelah timur kota Cin-an... kurang lebih dua puluh lima li jauhnya... saya tidak membohong..."
Bun Houw mengangguk girang. Kiranya dua orang Bayangan Dewa itu pergi ke tempat tinggal orang pertama dari Lima Bayangan Dewa! Alamat orang tertua dari Lima Bayangan Dewa itu saja sudah merupakan keterangan yang amat penting baginya.
"Mari kita menyusul mereka, Hong-moi."
"Tetapi... lebih baik kita bunuh dulu mereka ini!" In Hong berkata dan kembali tubuhnya bergerak. Akan tetapi lengannya sudah dipegang oleh Bun Houw.
"Jangan, Hong-moi. Mereka tidak perlu dibunuh."
In Hong mengerutkan alisnya, sejenak mereka saling berpandangan sehingga Bun Houw merasa betapa sinar mata gadis itu berapi-api penuh kemarahan dan kebencian, amat mengerikan hatinya. Akan tetapi dia memandang dengan tenang. menentang pandangan mata yang berapi-api itu. Perlahan-lahan api di dalam mata itu mengecil dan akhirnya In Hong menundukkan mukanya, merenggutkan lengannya kemudian melompat keluar dan meninggalkan ruangan itu.
Bun Houw segera meloncat keluar mengikutinya. Tanpa mengeluarkan kata-kata, mereka meninggalkan Lembah Bunga Merah. In Hong berjalan sambil menundukkan mukanya. Bun Houw berjalan di sebelahnya. Sampai lama mereka tidak mengeluarkan kata-kata.
Tiba-tiba In Hong berhenti melangkah. Bun Houw juga berhenti. In Hong mengangkat muka memandang, alisnya berkerut. "Mengapa engkau tadi menghalangi aku membunuh mereka? Mengapa engkau berani menghalangi aku?"
Bun Houw memandang heran. "Moi-moi, mereka tidak perlu dibunuh."
"Heran aku, mengapa aku mau menuruti permintaanmu? Belum pernah ada yang berani menghalangi kehendakku. Hayo katakan, kenapa mereka tidak perlu dibunuh?"
Diam-diam Bun Houw bergidik. Gadis aneh dan agaknya gadis ini biasanya tidak pernah mau memberikan ampun kepada musuh-musuhnya dan kalau dia membayangkan betapa gadis itu tadi hendak membunuh dua belas orang anak buah Lembah Bunga Merah itu dengan darah dingin, begitu saja, dia bergidik ngeri.
"Hong-moi sebelum aku menjawab, lebih dahulu katakanlah, apakah engkau tadi hendak membunuh mereka karena engkau membenci mereka?"
"Tentu saja! Aku benci mereka, dan… dan sepatutnya mereka dibunuh!"
"Hong-moi, karena itulah aku tadi mencegahmu. Di antara kita dan mereka itu tidak ada permusuhan langsung, mereka hanyalah orang-orang yang mentaati perintah pemimpin mereka. Dan pula, kita harus turun tangan menghadapi siapa pun dengan dasar membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan. Apabila hati kita dikuasai oleh kebencian, mungkin kita akan membunuh orang yang tidak bersalah hanya berdasarkan perasaan benci itu."
In Hong masih mengerutkan alisnya, seakan-akan dia tidak mempedulikan kata-kata itu. "Baiklah, lain kali harap kau tidak mencegah aku lagi. Sekarang kita hendak ke mana?"
"Aku akan menyusul mereka ke Ngo-sian-chung. Dan kau...?"
"Aku pun akan mencari mereka, mungkin Lima Bayangan Dewa berkumpul di sana dan pedang Siang-bhok-kiam disimpan di sana pula."
"Kalau begitu, mari kita melakukan perjalanan bersama, Hong-moi."
In Hong tiba-tiba menggeleng kepalanya. "Tidak! Aku akan pergi sendiri. Sampai jumpa!" Gadis itu hendak membalikkan tubuh untuk pergi meninggalkan Bun Houw.
"Akan tetapi, mengapa, moi-moi? Bukankah tujuan kita sama?"
"Kalau kita melakukan perjalanan bersama, kita tentu akan saling bentrok!"
"Tidak mungkin!"
"Kau mau berjanji bahwa lain kali tidak akan mencegah aku lagi?"
"Kalau aku melihat engkau melakukan sesuatu yang tidak benar, sudah semestinya aku mencegah dan mengingatkan engkau, Hong-moi."
"Nah, kalau begitu, selamat tinggal!"
"Hong-moi...!" Bun Houw berteriak memanggil namun bayangan gadis itu sudah lenyap.
Dia hanya dapat menarik napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepala. Gadis yang sangat hebat, lihai sekali dan cantik jelita pula, akan tetapi juga liar dan kadang-kadang berwatak aneh dan dingin sekali, seperti setan!
Terpaksa dia melanjutkan perjalanan seorang diri dengan perlahan-lahan, kadang-kadang berhenti untuk memulihkan tenaganya, terutama sekali menyembuhkan luka pada kedua pundaknya.
Semenjak kematian Panglima Besar The Hoo, walau pun bekas kebesaran panglima itu mendatangkan banyak kemakmuran dan kemajuan dalam perdagangan serta hubungan dengan luar negeri, namun tetap saja pengaruh Kerajaan Beng menurun. Kemajuan yang dipupuk oleh kebesaran The Hoo memang tampak menonjol, membuat Kerajaan Beng terkenal di seluruh negeri tetangga.
Pada masa itu, semenjak tewasnya Timur Leng yang amat terkenal di barat, yaitu pada tahun 1404, hubungan dagang dengan Negara Iran dan lain negara barat dapat dilakukan melalui darat. Oleh karena itu, maka perkembangan armada Kerajaan Beng dipandang tidak begitu perlu lagi dan perdagangan melalui lautan dilakukan oleh bangsa-bangsa lain, yaitu bangsa kulit putih dan Jepang. Pemerintah Beng hanya menerima barang-barang ini di pantai-pantai sehingga banyak timbul kota-kota besar di pantai lautan yang makin lama menjadi makin ramai dengan perdagangan dengan bangsa-bangsa asing ini.
Bagaimana pun juga, bangsa-bangsa asing itu yang masih terkesan oleh kebesaran serta kekuatan bala tentara yang dulu dipimpin oleh Panglima The Hoo dan para pembantunya, tidak ada yang berani bermain gila atau mengacau secara berterang, terlebih lagi karena perdagangan mereka mendatangkan banyak untung, yaitu dengan mengangkut rempah-rempah dan hasil bumi lain dari pedalaman, serta menjual barang-barang luar negeri yang masih merupakan benda-benda aneh di masa itu.
Di pantai-pantai selatan dan timur, banyak kota-kota dan dusun-dusun pelabuhan yang menjadi ramai, setiap hari didatangi perahu-perahu asing yang membawa barang-barang dagangan dan pajak mereka cukup dengan pemberian hadiah terhadap para pembesar setempat.
Kota Yen-tai merupakan sebuah kota pelabuhan yang ramai di pantai Lautan Po-hai yang banyak disinggahi kapal-kapal dari luar negeri. Di tempat ini banyak terdapat pedagang-pedagang, di dalam kotanya banyak pula berkeliaran orang-orang asing yang rambutnya beraneka warna, demikian pula matanya. Rambutnya ada yang berwarna keemasan dan kuning muda, dan mata mereka berwarna biru atau coklat. Tidak ada di antara mereka yang berambut dan bermata hitam.
Pakaian mereka juga beraneka warna, dan mereka ini adalah pekerja-pekerja kapal atau pedagang-pedagang yang datang bersama kapal-kapal yang berlabuh, bahkan ada pula yang menetap di kota itu sebagai pedagang. Akan tetapi jarang kelihatan wanita bangsa asing, semuanya pria, tua dan muda, dengan muka penuh brewok dan gaya mereka yang bagi penduduk setempat tampak kasar dan biadab!
Ada pula orang-orang yang muka serta kulitnya sama dengan pribumi, akan tetapi tubuh mereka pendek-pendek dan pakaian mereka agak berbeda. Mereka adalah orang-orang yang berasal dari negara Jepang, negara yang terdiri dari banyak pulau-pulau.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, keadaan Yen-tai sudah ramai karena semalam banyak kapal asing berlabuh di pantai. Pagi-pagi sudah tampak kesibukan di kota itu, ada yang menurunkan barang dari kapal-kapal dan ada pula yang menaikkan rempah-rempah dan hasil-hasil bumi lainnya, juga barang-barang kerajinan dari pedalaman, terutama sutera dan barang-barang ukiran yang serba indah dan mahal.
Di antara banyak sekali orang-orang yang beraneka macam bahasanya, bermacam pula pakaiannya, terdapat seorang pemuda yang berusia kurang lebih dua puluh satu tahun, bertubuh tinggi tegap dan bersikap gagah, akan tetapi amat sederhana gerak-gerik dan pakaiannya yang berwarna kuning itu, dengan sebatang pedang di pinggangnya. Pemuda itu adalah Tio Sun, yaitu putera tunggal dari Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan bekas pengawal panglima Besar The Hoo yang paling dipercaya.
Seperti kita ketahui, secara kebetulan Tio Sun menolong Yap Mei Lan kemudian dia pun tertawan oleh orang-orang liar yang dipimpin Jeng-hwa Sianjin Si Ahli Sihir dan hampir saja dia celaka oleh kawanan Jeng-hwa-pang di dalam hutan itu kalau saja tidak tiba-tiba muncul seorang yang luar biasa saktinya, tokoh tua yang sudah tidak pernah muncul di dunia kang-ouw, yaitu Bun Hwat Tosu.
Pemuda ini mewakili ayahnya untuk membantu Cin-ling-pai mencari musuh-musuh besar Cin-ling-pai, yaitu Lima Bayangan Dewa yang telah menyerbu dan mengacau Cin-ling-pai, membunuh murid-murid Cin-ling-pai serta mencuri Siang-bhok-kiam. Karena dia sudah mengetahui akan nama-nama Lima Bayangan Dewa, Tio Sun menyelidiki dan akhirnya dia mendengar berita bahwa Liok-te Sin-mo Gu Lo It, orang kedua dari Lima Bayangan Dewa, tinggal di sekitar pantai Po-hai. Berita inilah yang membawa Tio Sun pergi ke pantai Po-hai dan pada pagi hari itu tibalah dia di kota Yen-tai.
Dengan tenang Tio Sun melangkah dan berjalan di atas jalan raya, sambil mengagumi keramaian kota itu dan terheran-heran melihat banyaknya orang-orang asing yang warna rambut, mata dan kulitnya demikian mengerikan hatinya itu! Memang belum pernah dia bertemu dengan orang asing kulit putih, meski pun sudah banyak dia mendengar tentang mereka dari ayahnya.
Gembira hati Tio Sun menyaksikan kota pantai yang sangat ramai itu. Sering kali dia berhenti untuk menonton keramaian, melihat orang-orang berdagang dan mendengarkan kata-kata yang terdengar agak kaku dan asing keluar dari mulut orang-orang berkulit putih itu. Juga dia melihat-lihat banyak barang yang aneh dan indah dipamerkan di toko-toko di sepanjang jalan.
Akan tetapi, setelah setengah hari berjalan-jalan melihat kota yang ramai ini, akhirnya dia merasa bosan juga. Kemudian, menjelang senja itu, dia berjalan-jalan di tepi pantai laut yang hawanya lebih sejuk karena angin bertiup dan tempat ini agak sunyi tidak terdapat terlalu banyak orang.
Tio Sun memasuki sebuah warung di tepi laut, warung yang agak sunyi dan ketika dia masuk, hidungnya disambut oleh bau arak wangi yang memenuhi tempat itu. Suara tawa bergelak disusul munculnya dua orang asing kulit putih keluar dari dalam warung makan itu, keduanya membawa seguci arak. Sambil tertawa-tawa mereka bicara dalam bahasa yang sama sekali tidak dimengerti oleh Tio Sun.
Ketika berpapasan, Tio Sun mendapat kenyataan betapa tingginya kedua orang itu. Dia sendiri sudah terhitung seorang pemuda yang bertubuh jangkung, akan tetapi ternyata tubuhnya hanya mencapai pundak kedua orang raksasa berkulit putih dan bermata biru itu.
Tio Sun segera melupakan mereka dan dia lalu duduk di atas sebuah bangku, memesan makanan dan minuman kepada pelayan. Tidak banyak tamu sore itu di warung ini, hanya beberapa orang yang pakaiannya seperti nelayan dan ketika mereka itu berbicara tentang hasil penangkapan ikan, maka jelaslah apa pekerjaan mereka itu.
Ketika Tio Sun sedang makan, tiba-tiba terdengar suara jeritan wanita yang kedengaran agak jauh dari situ. Seketika Tio Sun bangkit berdiri. Jerit itu terulang lagi.
"Toloooooonggg...!"
Tio Sun menggeser bangkunya, siap untuk lari keluar. Akan tetapi para nelayan yang juga menghentikan percakapan mereka dan memperhatikan jeritan itu, menoleh ke arah Tio Sun dan seorang di antara mereka yang usianya sudah lima puluh tahun lebih berkata,
"Harap kongcu jangan memperhatikan dan mencampuri urusan kotor itu."
Tio Sun memandang heran, "Mengapa kau berkata demikian, lopek?"
Pada saat itu kembali jerit tadi terulang. Kakek nelayan itu hanya menarik napas panjang dan tidak menjawab, lalu terdengar ucapan pelayan warung.
"Memang omongan paman nelayan ini benar, kongcu. Tentu keributan itu dilakukan oleh setan-setan kulit putih pemabok itu, dan yang menjerit itu hanya perempuan-perempuan lacur. Memalukan sekali dan kongcu akan mendapat malu saja kalau mencampuri urusan pelacur-pelacur dengan setan-setan pemabok itu. Kalau melihat itu, lebih baik kita tulikan telinga dan butakan mata."
"Tolonggggg...!"
"Bagaimana kita dapat menulikan telinga dan membutakan mata kalau mendengar jerit wanita minta tolong?" Tio Sun berkata dan tanpa menunggu jawaban dia sudah berlari keluar, langsung ke kanan dari mana dia tadi mendengar suara jeritan itu.
Cuaca senja sudah mulai remang-remang, akan tetapi dia masih dapat melihat dua orang laki-laki yang sedang menarik dan menyeret seorang perempuan di dekat pantai, agaknya hendak memaksa wanita itu naik ke sebuah perahu.
"Keparat...!" Tio Sun berlari cepat di sepanjang pantai yang sunyi itu, otot-otot tubuhnya sudah menegang dan hatinya panas oleh kemarahan.
"Plakk! Plakk!"
Dua kali Tio Sun menggerakkan tangannya menampar pundak dua orang raksasa bule itu. Dua orang itu terhuyung dan melepaskan lengan gadis yang tadi mereka tarik-tarik. Tamparan itu keras sekali namun hanya membuat mereka terhuyung, maka tahulah Tio Sun bahwa dua kedua orang raksasa bule itu bertubuh kuat sekali.
Sambil menangis gadis itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Tio Sun. "Harap taihiap menolong saya... mereka hendak menculik saya..."
Tio Sun memandang. Wanita itu adalah seorang gadis berpakaian nelayan sederhana, akan tetapi kesederhanaan pakaiannya dan air mata yang membasahi mukanya itu tidak mengurangi kemanisan wajahnya dan kepadatan tubuhnya yang muda.
"Nona, kau minggirlah...," kata Tio Sun dengan tenang, lalu dia melangkah menghadapi dua orang raksasa bule itu.
Kini dua orang asing itu telah melangkah maju. Muka mereka merah sekali, mata mereka melotot dan memandang Tio Sun penuh kemarahan. Mula-mula mereka itu mengeluarkan kata-kata keras dalam bahasa asing itu, telunjuk mereka menuding-nuding, akan tetapi Tio Sun sama sekali tidak mengerti artinya.
Kemudian seorang di antara mereka, yang rambutnya kemerahan, berkata dalam bahasa pribumi yang terdengar kaku tapi sikapnya jelas menunjukkan kemarahannya, "Kau berani merampas perempuan kami?"
Tio Sun teringat akan cerita pelayan warung dan para nelayan tadi, karena itu dia dapat menduga bahwa agaknya dua orang kelasi barat yang mabok ini menganggap gadis itu sebagai seorang pelacur. Maka, dengan sikap tenang karena dapat mengira akan kesalah pahaman mereka, dia menjawab, "Kalian salah sangka. Nona ini adalah seorang wanita baik-baik, maka kalian tidak boleh kurang ajar terhadapnya."
"Kurang ajar? Apa kurang ajar?" Si rambut merah itu membentak dan mengepal tinjunya yang besar, matanya juga merah melotot marah. "Kami cinta padanya, kami... kami akan membayar!"
Tio Sun mengerutkan sepasang alisnya. "Kalian orang-orang kasar yang mabok. Jangan mengganggu wanita dan pergilah!"
Si rambut merah segera melangkah maju dengan langkah lebar, sedangkan temannya yang berambut pirang hanya menonton sambil tersenyum-senyum memandang rendah, yakin bahwa temannya tentu akan memberi hajaran kepada pemuda kecil lemah yang mencampuri urusan mereka itu.
Si rambut merah menuding-nuding dengan isyarat agar Tio Sun pergi dari situ, suaranya parau dan kasar, kemarahannya membuat dia makin sukar mengeluarkan bahasa yang belum dikuasainya benar-benar itu.
"Pergi kamu... pergi... dia perempuan kami...!"
Melihat keributan di tempat itu, beberapa orang yang datang mendekati untuk menonton dan seorang nelayan tua berkata kepada Tio Sun, "Orang muda, sebaiknya kau pergi dan tidak mencampuri urusan mereka. Ketahuilah bahwa mereka itu adalah dua orang terkuat di antara mereka yang mempunyai banyak anak buah. Jangan kau mencari penyakit..."
Sementara itu, tampak seorang kakek nelayan lain yang kurus dan berpakaian butut lari mendatangi, dan melihat kakek ini, gadis nelayan tadi lantas menjerit dan lari menubruk kakek itu.
"Ayahhh...!"
"Kui-ji... kau kenapa...?" Nelayan tua itu bertanya sambil mengelus-elus rambut kepala anaknya.
Akan tetapi gadis itu tidak dapat menjawab, hanya menangis.
Nelayan tua yang tadi memperingatkan Tio Sun berkata, "Kalian cepat pergi...! Lekas...!"
Ayah dan anak itu terkejut, dan keduanya hendak menyingkir dari tempat itu. Akan tetapi hanya dengan beberapa langkah lebar, raksasa berambut pirang itu sudah mendekat, lalu lengannya yang panjang dengan jari-jari tangannya yang besar itu langsung menangkap pergelangan tangan gadis manis itu.
"Ha-ha-ha-ha, jangan pergi... jangan pergi... kau manis...," kata raksasa asing itu sambil tertawa.
Kini sang ayah mengerti bahwa anak perempuannya hampir menjadi korban kebiadaban para kelasi asing itu, maka dengan marah dia memukul.
"Bukkk....!"
Dada yang bidang itu menerima pukulan dengan enak saja, sedikit pun tidak terguncang dan tangan kiri yang lebar itu mendorong sehingga si kakek terjengkang jauh.
"Ayahhh...!"
"Keparat..!" Tio Sun melangkah maju.
"Orang muda, mari kita pergi. Kalau mereka mengamuk..!" Nelayan itu berkata ketakutan.
Tio Sun menjadi marah sekali. Di bertolak pinggang, memandang ke sekeliling. Terutama ke arah beberapa orang nelayan yang berdiri di sekitar tempat itu dengan wajah dan sikap ketakutan.
"Kalian ini laki-laki ataukah pengecut yang tak tahu malu! Melihat gadis bangsa kita dihina dan hendak dipermainkan oleh orang-orang asing biadab ini, kalian sama sekali tidak mau mengulurkan tangan membantu, malah ketakutan dan hendak menyingkir, dan yang lebih celaka lagi, kalian juga melarang aku untuk menolongnya. Apakah kalian tidak mau hidup sebagai laki-laki?"
Tidak ada seorang pun yang dapat menjawab. Mereka itu hanya nelayan-nelayan yang tahunya hanya mencari nafkah setiap hari di lautan, dan mereka semua sudah maklum akan kekuasaan dan kekasaran orang-orang berkulit putih ini.
Orang-orang kulit putih itu ada kalanya amat baik dan ramah terhadap pribumi, apa lagi dalam hal perdagangan. Akan tetapi sikap mereka itu rata-rata kasar dan keras, lebih lagi bila kehendak mereka dihalangi, keramahan berubah menjadi kekerasan dan kekejaman.
Rata-rata mereka itu terdiri dari jagoan-jagoan berkelahi yang bertubuh kuat dan berani, bahkan agaknya mereka itu mempunyai kesukaan untuk berkelahi sehingga para nelayan yang sering kali mengalami pemukulan mereka, kini menjadi takut. Lebih-lebih lagi ketika laporan mereka kepada yang berwajib bahkan merugikan mereka sendiri karena agaknya ada pertalian persahabatan yang erat antara pembesar-pembesar setempat dengan para orang bule tinggi besar itu. Dan kenyatannya memang demikian.
Para pembesar sudah menerima banyak sumbangan dan hadiah dari raksasa-raksasa ini, maka tentu saja sebagai seorang yang baik hati para pembesar ini merasa sungkan untuk bersikap memusuhi dan setiap ada pengaduan mereka ini menyalahkan yang mengadu dan memberi nasehat agar sebagai ‘tuan rumah’ para pribumi suka mengalah terhadap para tamu yang banyak mendatangkan keuntungan bagi ‘rakyat’ ini. Tentu saja hanya di mulut mereka ini mengucapkan demi rakyat, padahal sudah tentu, seperti yang sudah lajim terjadi di seluruh dunia, mereka itu hanya mementingkan dirinya sendiri dan demi kepadatan kantong mereka sendiri.
Inilah sebabnya mengapa para nelayan bersikap ketakutan dan teguran Tio Sun itu hanya membuat muka mereka menjadi merah akan tetapi tetap saja tidak ada seorang pun yang berani menentang dua orang raksasa kulit putih itu.
Sebaliknya, ucapan Tio Sun itu membikin marah si rambut merah. "Setan, engkau perlu dihajar!" bentaknya dan dia langsung menerjang Tio Sun dengan pukulan-pukulan kedua tangannya yang bertubi-tubi dan pukulan-pukulannya ternyata keras sekali!
Tentu saja Tio Sun sudah siap dan waspada, dengan mudahnya dia menggerakkan tubuh sedikit saja namun sudah cukup membuat pukulan kanan kiri yang bertubi-tubi datangnya itu menyambar angin kosong belaka. Pada saat pukulan yang kesekian kalinya meluncur mengarah ke dagunya, kepalan kanan si rambut merah yang besar sekali itu menyambar, Tio Sun menggerakkan tangan menangkis dengan tangan kirinya. Tangkisan ini membuat tulang bawah lengan kirinya bertemu dengan amat kerasnya dengan tulang atas lengan kanan si rambut merah.
"Dukkkk... aughhhh...!"
Si rambut merah berteriak kesakitan sambil memegangi lengan kanannya. Tulang bawah lengan merupakan bagian yang jauh lebih kuat dari pada tulang atas lengan, sungguh pun keduanya terlatih sekali pun, apa lagi Tio Sun mempergunakan tulang bawah lengannya dengan pengerahan tenaga sinkang, tentu saja membuat lawannya yang terpukul tulang atas lengannya itu merasa nyeri bukan main seakan-akan tulang lengannya retak-retak rasanya.
Akan tetapi rasa nyeri ini tidak berlangsung lama dan kemarahan si rambut merah telah memuncak. Dia mengeluarkan suara gerengan disambung maki-makian dalam bahasa yang tak dimengerti oleh Tio Sun, kemudian raksasa rambut merah itu menerjang seperti seekor kerbau mengamuk, kepalanya di depan, tubuhnya sedikit membungkuk dan kedua lengannya merapat tubuh, kedua kepalan tangan yang besar itu silih berganti menyambar dengan pukulan-pukulan keras yang mengarah bagian muka dan tubuh atas Tio Sun.
Tentu saja serangan sederhana yang hanya mengandalkan tenaga kasar ini merupakan serangan yang sama sekali tidak berbahaya bagi Tio Sun. Dengan sangat mudahnya pemuda ini mengelak dan menangkis, kemudian satu kali tanganya menyambar dia sudah berhasil memukul leher dekat pundak kiri lawan dengan tangan kanan yang dimiringkan.
"Ngekkk!"
Raksasa muka merah itu terjungkal, mengaduh dan memijit-mijit lehernya yang terpukul. Akan tetapi ternyata dia bertubuh kuat sekali karena dia sudah bangkit kembali, merogoh saku celana dan mengeluarkan dua buah senjata kalung besi yang ketika digenggamnya melingkari celah-celah jari kedua tangannya sehingga sekarang kepalannya tertutup oleh ujung-ujung besi yang menonjol dan agak meruncing. Dapat dibayangkan betapa kepala akan dapat pecah dan tubuh akan terluka parah kalau sekali saja terkena pukulan tangan yang diperlengkapi dengan senjata istimewa ini.
“Wuuuttttt… siuuuttttt…!”
"Mampus kamu!" Kembali si rambut merah menyerang dengan ganas. Sepasang matanya sudah menjadi merah dan lagaknya persis seekor lembu jalang yang mengamuk karena terluka.
Kalau tadi si rambut merah menggunakan cara bertinju menurut aturan karena dia merasa yakin bahwa dengan kepandaiannya bermain tinju dia akan sanggup mengalahkan lawan yang kelihatan kecil lemah ini, kini dia tidak lagi memperhatikan aturan dan menggunakan segala akal curang dalam cara berkelahi untuk mencari kemenangan. Maka kini dia tidak lagi memukul ke arah tubuh atas saja, melainkan dia memukul ke arah lambung, pusar dan lain-lain, bahkan kedua kakinya yang memakai sepatu boot itu pun ikut menyerang pula.
Betapa pun juga, bagi Tio Sun, gerakan raksasa ini masih terlalu lambat dan kacau tidak teratur, pokoknya asal menyerang saja maka sudah tentu amatlah mudah dihadapi oleh pemuda gemblengan ini. Dia membiarkan lawan menyerang membabi buta sampai dia mundur empat langkah, kemudian ketika musuh terus menyerbu, dia melangkah ke kiri, membiarkan tubuh lawan agak terdorong ke depan dan dengan gerakan kaki cepat sekali, dia melangkah maju sehingga sekarang dia berada di sisi belakang lawan. Cepat kakinya bergerak menyentuh lutut kanan lawan, dibarengi dengan tamparan jari tangan terbuka ke arah tengkuk.
Si rambut merah kembali terjungkal, kini roboh sambil menyeringai kesakitan, kepalanya pening, pandang matanya berkunang-kunang dan dia melihat ribuan bintang beterbangan di sekelilingnya, dan kakinya yang kanan menjadi salah urat di bagian lutut sehingga dia tidak mampu bangun kembali.
Semua nelayan yang menyaksikan pertempuran ini dari tempat aman, jadi melongo dan terheran-heran mengapa ada pemuda yang demikian berani menentang si rambut merah yang terkenal kuat dan pemberani itu. Bahkan raksasa rambut merah ini pernah dikeroyok oleh belasan orang nelayan pribumi tanpa merasa takut dan tidak kalah pula!
Juga si rambut pirang bengong keheranan, hampir tidak percaya bahwa temannya yang cukup jagoan itu dikalahkan sedemikian mudahnya oleh si pemuda yang kecil lemah ini. Keheranannya berubah menjadi kemarahan besar sesudah dia tahu bahwa temannya itu terluka cukup parah karena buktinya tidak mampu bangkit kembali. Dia segera mencabut sebatang pisau belati, kemudian tanpa banyak cakap lagi dia menyerang Tio Sun dengan senjata pisaunya yang mengkilap. Melihat hal ini, para nelayan menjadi pucat wajahnya. Pemuda itu tentu akan tewas!
Akan tetapi tentu saja serangan pisau yang menyambar ke arah perutnya itu merupakan serangan yang tidak ada artinya bagi Tio Sun. Akan tetapi pemuda ini juga sama sekali tidak ada niat di hatinya untuk membunuh dua orang ini, karena dia masih menganggap bahwa kesalahan mereka itu hanya timbul karena mungkin terjadi salah pengertian saja.
Mungkin karena kurang pandai bicara atau belum begitu menguasai bahasa daerah, orang-orang asing ini salah menduga dan mengira gadis nelayan itu seorang perempuan pelacur yang boleh dipermainkan sesukanya asalkan dibayar! Dia sama sekali tidak tahu bahwa dalam keadaan mabok seperti itu, kedua orang asing ini memang menganggap semua perempuan pribumi suka kepada mereka dan boleh mereka ajak bermain cinta dengan hadiah uang.
Karena tidak ingin membunuh, maka Tio Sun juga hanya mengelak dari sambaran pisau itu. Sampai lima kali dia terus mengelak sambil berkata, "Kau pergilah dan jangan ganggu wanita!"
Akan tetapi mana mungkin si rambut pirang yang sudah sangat marah dan mabok itu mau menerima begitu saja? Dia menyerang makin ganas akibat terbawa oleh rasa penasaran, betapa lawannya dapat mengelak dengan mudah, bahkan sambil menasehatinya!
Pada saat itu pula, kelasi barat yang berambut merah sudah berhasil bangkit, terpincang-pincang dan meniup peluitnya. Terdengar bunyi peluit melengking nyaring berkali-kali dan para nelayan yang mendengar peluit ini menjadi terkejut. Mereka pun maklum apa artinya bunyi peluit ini. Kelasi asing itu memanggil kawan-kawannya dan mereka menjadi takut kalau-kalau terbawa-bawa, maka mereka segera melarikan diri dari pantai itu untuk pergi melapor kepada yang berwajib agar pemuda itu tidak sampai dikeroyok dan mati secara mengerikan.
Tadinya Tio Sun tidak mengerti apa artinya tiupan peluit nyaring itu. Akan tetapi ketika dia melihat belasan orang asing datang berlarian ke tempat itu, dia baru mengerti bahwa itu tentulah teman-teman dua orang ini yang datang memenuhi panggilan suara peluit tadi. Marahlah hatinya dan dia berkata kepada dua orang itu,
"Gadis itu dan ayahnya sudah pergi. Perlu apa ribut-ribut lagi? Kalian mundurlah dan aku tidak akan memperpanjang urusan ini!"
Ucapan Tio Sun itu dianggap sebagai sikap ketakutan oleh dua orang asing itu, maka si rambut pirang memperhebat serangan pisaunya, dan si rambut merah terpincang-pincang memberi isyarat kepada kawan-kawannya agar lebih cepat datang.
"Keparat!" Tio Sun membentak.
Pada saat pisau menyambar untuk yang ke sekian kalinya, dia hanya sedikit miringkan tubuhnya. Ketika pisau itu meluncur dekat dadanya, dia cepat menggerakkan tangannya yang dimiringkan, membacok ke arah lengan yang memegang pisau itu.
"Dukkk...! Plakk!"
Pisau lantas terpental, sedangkan pukulan ke arah lengan itu disusul tamparannya yang tepat mengenai bawah telinga lawan. Si rambut pirang terpelanting dan mengaduh-aduh, kepalanya seperti pecah rasanya.
Pada saat itu, sebelas orang kulit putih lain yang merupakan anak buah dua orang kelasi jagoan ini, sudah tiba di situ dan tanpa banyak cakap lagi mengepung dan menyerang Tio Sun dari berbagi jurusan, dengan senjata macam-macam, besi pelindung kepalan, pisau dan rantai.
"Kalian orang-orang biadab yang jahat!" Tio Sun berseru dan kini pemuda ini mengamuk.
Gerakannya tangkas dan cepat, membagi-bagi pukulan dan tendangan di antara mereka, sehingga ramailah pertempuran itu. Para pengeroyok itu jatuh bangun dan setiap kali kaki atau tangan Tio Sun bergerak pasti ada seorang pengeroyok yang langsung terjungkal atau terpelanting, setidaknya terhuyung-huyung sambil mengaduh-aduh.
Tak ada yang tahu betapa sejak tadi ada sepasang mata jeli yang menonton pertempuran keroyokan itu dengan mata berseri-seri dan mulut mengeluarkan kekagumannya melihat ketangkasan Tio Sun. Mata jeli ini milik seorang dara muda yang memiliki kecantikan yang khas.
Melihat pakaiannya, dia adalah seorang dara pribumi yang berkecukupan, akan tetapi bila orang memperhatikan dia di tempat terang, tidak di tempat gelap seperti sekarang ini karena senja telah tua, orang akan melihat bahwa sepasang matanya lebar, tidak seperti dara wanita pribumi, dan warnanya kebiruan! Juga rambutnya tidak hitam seperti biasa, melainkan agak keemasan!
Mata dan rambutnya seperti orang asing itu, akan tetapi bentuk tubuhnya seperti wanita pribumi, demikian pula pakaiannya! Karena inilah maka dia memiliki kecantikan yang khas dan aneh, memiliki daya tarik tersendiri, berbeda dari dara-dara umumnya.
Tio Sun yang mengamuk dengan sibuknya, juga karena saat itu cuaca sudah mulai gelap, sama sekali tidak melihat betapa orang asing berambut merah itu sekarang mengeluarkan sebuah benda mengkilap, yang dipegang dengan tangan kanannya, lantas membidikkan benda itu ke arah pundak Tio Sun yang masih mengamuk dengan hebatnya, merobohkan semua pengeroyoknya dengan pukulan dan tendangan yang terukur supaya tidak sampai membunuh orang.
Ketika dara yang menonton pertempuran itu dari tempat tersembunyi melihat si rambut merah mengeluarkan benda itu, dia kelihatan kaget sekali dan dengan gerakan cepat dia sudah mencabut sebatang hui-to (pisau terbang) yang bentuknya mungil dan dihias oleh ronce-ronce merah, kemudian secepat kilat dia menggerakkan tangannya. Pisau kecil itu langsung meluncur cepat, mengeluarkan suara berdesing dan tepat mengenai tangan si rambut merah yang memegang pistol dan sedang membidikkan pistol itu ke punggung Tio Sun.
"Crepp... auwwww...!"
Pistol itu terlepas dari tangan si rambut merah yang berteriak kesakitan karena pisau kecil beronce merah itu telah menancap di tangannya.
"Pedro...! Berani kau dan kaki tanganmu mengacau di sini, bahkan hendak menggunakan senjata api? Kalau aku menangkapmu dan mengajukanmu ke depan pengadilan, apakah kalian tidak akan celaka semua?"
Si rambut merah yang disebut Pedro oleh dara cantik itu makin terkejut. Dia menoleh, memandang kepada dara itu dan semua teman-temannya yang sudah jatuh bangun oleh hajaran Tio Sun juga sangat terkejut. Mereka semua memandang kepada nona itu yang kini berdiri dengan tegak dan gagahnya bertolak pinggang dan memandang marah pada si rambut merah.
"Maaf... nona De Gama... maafkan kami..." Pedro berkata sambil memegangi tangannya yang terluka.
"Kalian memang berani mati!" Nona itu kembali menghardik, sikapnya penuh wibawa dan kata-katanya seperti pisau menusuk jantung tiga belas orang itu. "Sudah berapa kali kami memperingatkan pimpinanmu agar kalian tidak membikin ribut di sini, dan terutama tidak boleh mengganggu penduduk pribumi. Kembalikan pisauku!" bentaknya.
Sambil menggigit bibir Pedro mencabut pisau terbang yang masih menancap di tangan kanan itu dengan tangan kirinya, kemudian dia melangkah maju, menyerahkan pisau kecil itu, wajahnya masih merah karena mabok, akan tetapi pandang matanya penuh rasa jeri.
Dara itu menerima kembali pisaunya, lalu berkata dengan sikap dingin dan memerintah, "Kalian pergilah!"
"Terima kasih, nona." Pedro membungkuk dengan hormat, mengambil pistolnya kemudian memberi isyarat kepada teman-temannya untuk pergi. Semua temannya juga memberi hormat kepada dara muda itu.
"Pedro, aku tidak akan mau mengampunimu lagi kalau lain kali engkau mendarat dengan membawa pistol,." Nona itu menyusulkan kata-kata ancaman.
Pedro membalikkan tubuhnya, lalu membungkuk, kemudian mereka pun pergi menuju ke perahu-perahu yang mereka naiki dan mereka dayung ke tengah lautan di mana terdapat kapal mereka yang berlabuh.
Kedua orang itu berdiri saling berhadapan, berusaha untuk meneliti wajah masing-masing menembus kesuraman cuaca hampir malam. Tio Sun memandang penuh kekaguman.
Dara ini masih muda dan cantik sekali, akan tetapi mempunyai wibawa begitu besar dan sanggup mengusir belasan orang laki-laki kasar tadi dengan kata-kata dan ancaman saja, juga dia melihat hui-to yang tadi menancap di tangan si rambut merah dan biar pun dia tidak melihat cara gadis itu menyerang si rambut merah, namun dia maklum juga bahwa dara ini selain cantik jelita dan berpengaruh, juga tentu memiliki kepandaian tinggi.
Di lain fihak, nona itu pun memandang Tio Sun dengan rasa kagum, menatap wajah yang membayangkan kesederhanaan, kejujuran dan kegagahan itu, wajah yang biar pun tidak dapat dikatakan tampan, namun juga tidak buruk dan cukup jantan.
Tio Sun yang masih memandang kagum, diam-diam dia merasa terheran-heran juga. Nona ini adalah seorang gadis pribumi, akan tetapi tadi telah menggunakan bahasa orang asing, bahasa orang biadab itu ketika bercakap-cakap dengan mereka! Hal ini tentu saja menambah kekagumannya dan kini dia menjura dengan hormat sambil berkata,
"Banyak terima kasih atas bantuan nona yang sudah berhasil menyuruh mereka pergi sehingga keributan ini dapat dihentikan."
Dara itu tersenyum dan balas memberi hormat. "Engkau begini sopan dan ramah, taihiap (pendekar besar), sungguh mengherankan bagaimana dapat bentrok dengan mereka?"
Kembali Tio Sun terkejut. Ternyata gadis ini dapat bicara dalam bahasa daerah yang baik sekali! Hal ini membuktikan bahwa dia benar-benar berhadapan dengan seorang gadis pribumi, akan tetapi bagaimana tadi gadis ini dapat bicara dalam bahasa asing terhadap gerombolan orang kasar itu? Dia makin kagum akan kepintaran gadis ini, maka dia cepat menjawab,
"Nona, sesungguhnya tidak ada urusan pribadi antara saya dengan mereka. Saya sedang makan di warung sana saat saya mendengar jerit seorang wanita. Saya cepat lari ke sini dan melihat seorang gadis nelayan sedang ditarik-tarik oleh dua orang di antara mereka tadi, yaitu yang berambut merah dan pirang tadi. Mereka agaknya sedang mabok, maka melihat gadis nelayan itu berteriak minta tolong dan mereka mempergunakan kekerasan, saya lalu mencegah. Kemudian datang teman-teman mereka dan saya dikeroyok."
"Dan tikus-tikus itu akan mati semua sekiranya taihiap menghendaki. Betapa tidak tahu diri mereka itu!"
Tio Sun terkejut karena ucapan ini jelas menunjukkan betapa tajam pandang mata dara ini dan ini saja sudah jelas membuktikan bahwa dara ini tentu pandai ilmu silat sehingga tahu bahwa dia tadi melayani pengeroyokan mereka itu dengan mempergunakan tenaga terukur agar jangan sampai kesalahan tangan membunuh mereka.
"Ahh, nona terlalu memuji...!" katanya.
Akan tetapi dia sendiri merasa heran mengapa hatinya menjadi begini girang mendengar nona ini menyebutnya ‘taihiap’ dan mengetahui bahwa dia tadi tidak bersungguh-sungguh menghajar belasan orang itu? Biasanya, baginya pujian-pujian hanya akan menimbulkan perasaan muak karena sejak kecil dia telah digembleng ayahnya hingga dia menganggap pujian orang lain sebagai suatu hal yang amat berbahaya.
Jangan mendengarkan pujian, demikian kata ayahnya, karena pujian itu merupakan racun yang dapat membuat dirimu menjadi tinggi hati dan sombong sehingga akan mengurangi kewaspadaan. Sekarang, nona ini memujinya dan baru pertama kali selama hidupnya dia merasa girang dan bangga!
"Saya tidak memuji, hanya bicara tentang apa adanya. Taihiap berilmu tinggi dan sudah lama sekali saya ingin berjumpa dengan seorang pendekar seperti taihiap yang banyak saya dengar dari cerita ibu saya. Menurut ibu saya, seorang pendekar sakti yang budiman seperti taihiap akan selalu siap membantu orang yang dilanda mala petaka, benarkah itu?"
Tio Sun merasa tidak enak juga mendengar dia dianggap sebagai seorang pendekar sakti yang budiman! Sudah terlampau berlebihan pujian ini! Akan tetapi karena sikap dara itu jujur dan tidak dibuat-buat, dia menjawab juga, "Nona, saya bukanlah seorang pendekar sakti budiman, akan tetapi sebagai seorang manusia, tentu saja saya selalu siap untuk menolong manusia lain yang dilanda mala petaka."
"Kalau begitu, harap taihiap sudi menolong saya yang sedang dilanda mala petaka dan menderita kegelisahan hebat ini!" Berkata demikian, nona itu tiba-tiba lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Tio Sun.
Tentu saja pemuda itu menjadi terkejut bukan kepalang. "Ahhh, nona... Jangan berbuat demikian... tentu saja saya selalu siap sedia membantumu... harap jangan berlutut seperti ini."
Tio Sun memegang kedua lengan yang kecil itu dan menarik nona itu untuk bangun. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa sedikit pun nona itu tidak dapat diangkatnya naik. Nona itu ternyata telah mengerahkan ilmu memberatkan tubuh!
"Saya tidak akan bangkit kalau taihiap belum berjanji akan menolong saya."
"Janji baru dapat diberikan apa bila saya sudah mendengar urusannya, nona. Bagaimana pun juga saya hanya akan membantu fihak yang benar." Tio Sun yang maklum bahwa gadis ini sengaja hendak mengujinya, lalu mengerahkan sinkang-nya.
Gadis itu mempertahankan diri, akan tetapi Tio Sun adalah putera tunggal Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan yang memiliki ilmu menghimpun tenaga selaksa kati yang amat hebat. Maka dara itu akhirnya tidak kuat bertahan dan tubuhnya dapat diangkat oleh Tio Sun.
Akan tetapi, biar pun dengan dipegang kedua lengannya dia dapat diangkat, tetap saja dia masih dalam keadaan berlutut seakan-akan tubuhnya menjadi kaku seperti batu! Tio Sun terkejut dan kagum sekali. Tak salah dugaannya bahwa nona ini memiliki kepandaian yang tinggi juga!
"Harap nona tidak sungkan-sungkan dan marilah kita bicara," katanya sambil melepaskan dua lengan itu. Nona itu pun turun dalam keadaan berdiri dan di dalam kegelapan malam itu dia memandang dengan wajah berseri penuh harapan.
"Di sini bukan tempat bicara. Marilah saya persilakan taihiap untuk singgah di rumahku, di sana kita dapat berbicara dengan leluasa, dan saya akan menceritakan mala petaka apa yang menimpa diri saya."
Tio Sun mengangguk. Kalau seorang gadis yang memiliki kepandaian begini hebat, dan juga mempunyai pengaruh terhadap orang-orang kasar tadi sampai dapat dilanda mala petaka, tentulah telah terjadi hal yang amat hebat.
Mereka lalu berangkat menuju ke rumah gadis itu, akan tetapi terlebih dahulu Tio Sun mengajak nona itu singgah di warung untuk membayar makanan yang tadi dipesannya dan yang belum dimakannya sampai habis. Pemilik warung yang sudah mendengar akan perkelahian Tio Sun yang dikeroyok oleh banyak orang-orang asing itu menyambut sambil membungkuk hormat, akan tetapi sikapnya menjadi makin menghormat ketika dia melihat nona itu datang bersama Tio Sun.
"Ah, kiranya Souw-siocia (nona Souw)... silakan duduk, nona...," kata pemilik warung dan dara itu mengucapkan terima kasih dan menanti di luar sampai Tio Sun selesai membayar harga makanan.
Diam-diam nona itu menjadi semakin kagum dan girang. Tidak salah lagi, pikirnya. Seperti inilah seorang pendekar budiman yang sering kali dia mendengar diceritakan oleh ibunya akan tetapi yang belum pernah dijumpainya.
Pada lain fihak Tio Sun tercengang ketika nona itu mengajaknya memasuki pekarangan sebuah bangunan yang besar dan megah.
"Inikah rumahmu, nona?" tanyanya dengan ragu-ragu.
Nona itu tersenyum. "Harap jangan pedulikan rumah, taihiap. Engkau datang untuk bicara dengan aku, bukan dengan rumah, bukan?"
Tio Sun mengangguk. Benar, mengapa dia ribut tentang keadaan nona ini? Apa bedanya andai kata nona ini seorang miskin sekali atau pun seorang yang kaya raya? Mereka memasuki ruangan depan, disambut oleh dua orang pelayan wanita yang memberi hormat kepada nona majikan mereka dan kepada tamu itu. Dara itu mengajak Tio Sun memasuki sebuah ruangan besar, ruang tamu dan memerintahkan dua orang pelayannya untuk mempersiapkan hidangan.
"Ahh, tidak perlu repot-repot, nona...," Tio Sun mencegah.
"Tidak repot, akan tetapi memang seharusnya. Bukankah taihiap sedang makan ketika taihiap mendengar wanita minta tolong? Nah, aku pun belum makan malam maka sudah sepatutnya kalau saya mengajak taihiap makan malam bersama."
Mereka duduk berhadapan terhalang meja dan Tio Sun makin heran melihat sikap dara ini yang begitu terbuka dan polos, tidak bersikap malu-malu seperti kebanyakan gadis yang dijumpainya. Akan tetapi ketika dia memandang dan kini wajah gadis itu nampak jelas karena disinari lampu gantung di atas mereka, Tio Sun terkejut bukan main.
Gadis itu cantik sekali! Cantik bukan main, seperti gambar seorang bidadari! Akan tetapi matanya berwarna kebiruan dan rambutnya keemasan! Seorang gadis asing! Akan tetapi kulitnya yang kuning, tata rambutnya, pakaiannya, bicaranya adalah seratus prosen gadis pribumi. Hanya warna mata dan rambutnya! Dia memandang bengong!
"Eh, taihiap, engkau sedang memandang apa?" Nona itu menegur ketika melihat Tio Sun terlongong bagai orang terkena pesona, senyumnya melebar dan di sebelah kiri mulutnya muncul lesung pipit yang manis sekali.
Kini tampak jelas oleh Tio Sun betapa dara itu sebetulnya masih amat muda, akan tetapi agaknya memang mempunyai tubuh yang lebih besar dari pada gadis-gadis biasa, karena biar pun tubuhnya yang padat itu seperti tubuh dara yang matang, akan tetapi wajahnya menunjukkan bahwa dia baru saja di ambang pintu kedewasaan, paling banyak tujuh belas tahun usianya.
"Maaf... ehh, saya kira nona seorang gadis pribumi, akan tetapi..."
Nona itu menghela napas panjang. "Kau maksudkan mataku biru dan rambutku agak keemasan?"
Lega hati Tio Sun dan dia mengangguk, karena rasanya amat tidak enak kalau dia yang harus mengatakan hal itu.
"Memang demikianlah" kata nona itu. "Kalau aku dikatakan gadis pribumi, hal itu benar, dan namaku adalah Souw Kwi Eng, akan tetapi kalau ada yang mengatakan bahwa aku seorang gadis asing, itu pun benar dan namaku adalah Maria de Gama. Ayahku seorang Portugis asli akan tetapi ibuku seorang Tionghoa asli pula."
"Aihhh, kiranya begitukah...?" Tio Sun memandang dengan penuh kagum, terheran-heran karena baru sekarang ini dia bertemu dengan seorang gadis peranakan yang berdarah campuran. Akan tetapi harus diakuinya bahwa selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang gadis yang begini mempesonakan, begini cantik jelita, kecantikan yang khas dan amat menawan hatinya yang berdebar-debar.
"Akan tetapi ayahku bukan seperti orang-orang kasar yang mengeroyokmu tadi, taihiap. Ayahku adalah seorang terpelajar, yang di negaranya termasuk seorang ahli pedang yang disegani, dan dulu di sini terkenal sebagai pemilik kapal dan juga kapten kapal. Ada pun ibuku juga seorang pendekar wanita yang terkenal, karena ibuku adalah murid Panglima The Hoo yang terkenal itu. Ayahku bernama Yuan de Gama, maka aku memakai nama Maria de Gama, sedangkan ibuku she Souw, maka aku pun memakai nama keturunan Souw."
Tio Sun kelihatan terkejut bukan main mendengar nama-nama itu. Dia pernah mendengar penuturan ayahnya tentang nama-nama itu.
“Nona... apakah ibumu bernama Souw Li Hwa...?"
Wajah nona yang cantik itu berseri gembira. "Kau telah mengenal ibuku?"
Tio Sun menggeleng kepala. "Aku hanya mendengar dari ayah. Ketahuilah nona, bahwa ayahku bernama Tio Hok Gwan dan ayah adalah bekas pengawal setia dari mendiang Panglima Besar The Hoo, oleh karena itu ayah tentu saja mengenali murid beliau, yaitu ibumu yang bernama, Souw Li Hwa. Akan tetapi..." Dia memandang wajah yang cantik jelita itu dengan alis berkerut karena dia merasa sangsi, bahkan agak curiga memandang nona itu.
"Akan tetapi apakah, taihiap?"
"Menurut cerita ayahku, pendekar wanita Souw Li Hwa telah tewas, tenggelam bersama Yuan de Gama di atas kapal... bagaimana mungkin sekarang tiba-tiba muncul seorang puterinya...?"
"Memang begitulah yang diketahui oleh semua orang, akan tetapi ada rahasia di balik semua itu, taihiap. Sebetulnya ayah merahasiakan keadaan kami ini, akan tetapi karena sekarang aku menghadapi mala petaka dan membutuhkan bantuanmu, apa lagi setelah aku mengetahui bahwa engkau adalah putera seorang pengawal setia dari mendiang The-sucouw (kakek guru The), biarlah aku menceritakannya kepadamu."
Dara itu kemudian bercerita yang didengarkan oleh Tio Sun dengan penuh perhatian dan kekaguman. Tentu saja pembaca cerita Petualang Asmara juga merasa terheran-heran mendengar pengakuan nona peranakan yang bernama Maria de Gama alias Souw Kwi Eng itu, karena para pembaca tentu masih ingat betapa Souw Li Hwa, pendekar wanita perkasa murid Perdana Menteri The Hoo itu, telah tewas bersama pemuda asing yang dicintainya, yaitu Yuan de Gama. Oleh karena itu, marilah kita mendengarkan penuturan nona cantik yang mengaku sebagai puteri Souw Li Hwa itu.
Seperti yang telah diceritakan dalam cerita ‘Petualang Asmara’, Yuan de Gama, seorang pemuda Portugis yang gagah perkasa, sebagai seorang kapten kapal tidak mau pergi meninggalkan kapalnya yang terbakar dan tenggelam.
Setiap orang kapten yang terhormat dan gagah perkasa harus sehidup semati dengan kapalnya, maka biar pun dia masih mempunyai kesempatan untuk menyelamatkan diri, meninggalkan kapalnya yang mulai tenggelam, Yuan de Gama tetap berkeras tidak mau meninggalkannya.
Dan seorang dara cantik jelita dan perkasa, murid Panglima The Hoo yang bernama Souw Li Hwa, juga bersikeras tidak mau meninggalkan Yuan de Gama yang dicintanya. Kedua orang muda-mudi yang saling mencinta ini saling berpelukan dan ikut tenggelam bersama kapal yang terbakar itu, disaksikan oleh ribuan pasang mata yang merasa amat terharu dan kagum sekali, termasuk mata pendekar-pendekar Cia Keng Hong, Yap Kun Liong, Panglima Besar The Hoo dan lain-lain.
Sudah dapat dipastikan kedua orang muda yang saling mencinta itu akan mati tenggelam di lautan kalau saja pada saat kapal tenggelam itu tidak terjadi sesuatu yang amat luar biasa. Seorang laki-laki tua yang berpakaian nelayan, yang tidak mau mencampuri perang yang terjadi antara pihak pemberontak dan tentara pemerintah dan yang ikut menyaksikan terbakarnya kapal dan ikut tenggelamnya pasangan yang saling berpelukan itu bersama kapalnya, memandang peristiwa itu dengan air mata menitik turun di kedua pipinya yang keriputan. Akhirnya tanpa ada yang melihatnya, kakek tua renta yang berpakaian sebagai nelayan sederhana lalu meloncat dan terjun ke dalam air, menyelam dan lenyap.
Demikianlah, Yuan de Gama dan Souw Li Hwa yang sudah hampir mati lemas, tahu-tahu telah berada di darat, di tempat yang sunyi dalam hutan. Kiranya mereka sudah ditolong dan diselamatkan oleh kakek nelayan itu.
Mula-mula Yuan de Gama marah-marah karena hidupnya itu merupakan suatu hal yang sangat memalukan, dan dia dapat dianggap seorang pengecut karena sebagai seorang kapten dia tidak mati tenggelam bersama tenggelamnya kapal. Hampir saja dia marah dan menyerang kakek itu, akan tetapi dicegah oleh Souw Li Hwa yang menangis dan menyatakan keinginan hidupnya bersama kekasihnya itu setelah ternyata mereka berdua masih hidup.
Sedangkan kakek itu dengan sabar dan tenang lalu berkata, "Mungkin sekali kebiasaan bangsamu itu dianggap sebagai perbuatan gagah perkasa, akan tetapi di sini hanya akan dianggap sebagai perbuatan tolol, suatu pembunuhan diri yang konyol. Bagaimana nyawa manusia disamakan dengan tenggelamnya sebuah benda mati seperti kapal? Lagi pula, engkau telah memenuhi kebiasaan itu, sudah tenggelam bersama kapalmu, maka apakah salahnya jika hal itu tidak membuat kau mati karena memang Thian belum menghendaki engkau mati? Setelah sekarang kapalmu tenggelam dan kau dapat kuselamatkan di sini, apakah kau lalu akan membunuh dirimu sendiri bersama wanita yang amat setia padamu ini?"
Mendengar ucapan kakek nelayan sederhana itu, Yuan de Gama tertegun dan tidak dapat membantah. Memang, kapalnya sudah tenggelam dan dia ternyata masih hidup, bukan atas kehendaknya karena dia ditolong dalam keadaan tidak sadar. Tak mungkin sekarang dia harus mengajak Souw Li Hwa untuk bersama-sama membunuh diri! Kematian gagah seorang kapten adalah tenggelam bersama kapalnya, bukannya membunuh diri secara konyol satelah kapalnya tidak ada lagi!
Akhirnya Yuan de Gama dapat melihat kebenaran itu dan tak lama kemudian dia saling rangkul dengan Souw Li Hwa yang menangis sesenggukan sehingga Yuan tidak dapat bertahan lagi untuk tidak ikut mencucurkan air mata. Kakek nelayan itu tertawa bergelak saking girangnya dan demikianlah, mulai saat itu Yuan de Gama dan Souw Li Hwa hidup sebagai suami isteri dan kakek nelayan itu yang ternyata memiliki kepandaian renang dan bermain di dalam air seperti seekor ikan saja, menjadi pembantu mereka.
Yuan de Gama masih merasa sungkan untuk muncul di tempat ramai dan ketahuan oleh orang-orang bahwa dia tidak lagi menjadi seorang kapten yang gagah perkasa. Maka dia mengajak Souw Li Hwa untuk hidup sunyi di pantai laut dalam hutan, hanya ditemani oleh kakek nelayan itu.
Akan tetapi, setelah setahun kemudian Souw Li Hwa melahirkan anak kembar, terpaksa Yuan mengajak keluarganya pindah ke kota Yen-tai dan di situ dia hidup sebagai seorang pedagang yang dalam waktu beberapa tahun saja telah menjadi kaya raya.
"Demikianlah, taihiap, aku diberi nama Maria de Gama alias Souw Kwi Eng, sedangkan kakak kembarku bernama Richardo de Gama seperti kakek, alias Souw Kwi Beng. Kakek nelayan itu mengajar kami berdua ilmu di dalam air, sedangkan ibu mengajar kami ilmu silat. Dua tahun yang lalu kakek nelayan itu telah meninggal dunia karena usia tua."
Mendengar penuturan itu, Tio Sun cepat bangkit dari kursinya dan menjura dengan penuh hormat. "Maafkan kesangsian saya tadi. Kiranya nona adalah puteri pendekar Souw Li Hwa yang dipuji-puji oleh ayah, dan setelah mendengar siapa adanya nona, maka tentu saja saya siap untuk membantu nona."
"Terima kasih, taihiap..."
"Maaf, harap nona tidak menyebut saya taihiap. Saya adalah putera ayah saya Tio Hok Gwan yang mengenal baik ibu nona, dan nama saya Tio Sun. Sekarang, perkenankan saya menghadap ibu nona untuk menyampaikan hormat saya..."
"Aihhh, kalau ibu berada di rumah, tentu sudah sejak tadi dia keluar. Tio-taihiap... eh, baik kusebut kau twako saja, ya?"
"Terserah, asal jangan menyebut taihiap, karena saya tidak pantas disebut taihiap."
"Baiklah, Tio-twako. Ketahuilah bahwa sudah hampir setengah tahun ini ayah ibuku pergi berkunjung ke barat, ke negeri ayahku di Portugal. Aku dan Beng-koko tidak boleh ikut dan diharuskan melanjutkan perdagangan ayah sambil menjaga rumah. Akan tetapi baru beberapa hari yang lalu terjadilah mala petaka itu."
"Peristiwa apakah yang terjadi, nona?"
"Kakakku diculik orang..." Wajah itu seketika menjadi muram, pandang matanya diliputi kegelisahan.
Tio Sun amat terkejut, akan tetapi pada saat itu, empat orang pelayan datang membawa hidangan yang segera diatur di atas meja.
"Nanti saja kita lanjutkan, twako,", kata Kwi Eng dan mereka lalu makan.
Tio Sun yang kini sudah mengenal siapa adanya dara yang amat menarik hatinya ini tidak sungkan-sungkan lagi. Mereka makan tanpa bicara, kecuali kalau Kwi Eng menawarkan ini-itu kepada tamunya. Setelah selesai makan dan sisanya diasingkan oleh para pelayan, mereka kini duduk berdua lagi dan bercakap-cakap.
"Sekarang ceritakanlah bagaimana kakakmu itu sampai bisa diculik orang, nona. Melihat kelihaianmu, tentu kakak kembarmu itu pun seorang yang tidak akan mudah diculik orang begitu saja."
"Dugaanmu memang benar, twako. Beng-koko memiliki kepandaian yang cukup, bahkah lebih pandai dari pada aku. Selama belajar aku hanya dapat mengatasi kakakku itu dalam ilmu di dalam air saja, akan tetapi dalam latihan ilmu silat, dia lebih pandai dariku. Akan tetapi yang menculiknya juga bukan orang biasa melainkan gerombolan bajak laut Jepang yang diketuai oleh seorang yang lihai sekali bernama Tokugawa, yang terkenal sebagai seorang jagoan samurai yang menyeleweng menjadi kepala bajak. Di antara Tokugawa dan ayah ibu memang terdapat permusuhan, dimulai ketika Tokugawa dan anak buahnya merampok kapal milik ayah. Ayah bersama ibu kemudian segera merampasnya. Di dalam pertandingan satu lawan satu itu Tokugawa dikalahkan oleh ibu. Semenjak itu, Tokugawa agaknya tergila-gila kepada ibu dan memiliki niat tidak baik, ingin membunuh ayah dan merampas ibu! Tentu saja ayah dan ibu menentangya dan selalu gerombolan Tokugawa dikalahkan. Dan kini, setelah ayah dan ibu pergi ke barat, agaknya Tokugawa berani lagi bermain gila. Setelah dia dikalahkan untuk yang terakhir kalinya, dia tidak berani muncul lagi dan kabarnya menyembunyikan diri di Pulau Hiu yang kosong. Tiba-tiba, beberapa hari yang lalu dia muncul, tentu telah menggunakan akal sehingga dia berhasil menculik Beng-koko dan mengirim surat kepadaku. Inilah suratnya!"
Dengan wajah gelisah Kwi Eng lalu memperlihatkan sesampul surat yang ditulis dengan huruf-huruf kasar namun cukup jelas untuk dapat dibaca.
‘Apa bila ingin melihat pemuda peranakan asing pulang dengan selamat, kirimkan kapal Angin Timur ke Pulau Hiu sebagai penukarnya.’
Di bawah huruf-huruf itu, terdapat sebuah gambar tengkorak hitam.
"Apakah artinya gambar ini?" tanya Tio Sun setelah membaca surat itu.
"Itulah julukan Tokugawa, Si Tengkorak Hitam yang menjadi bendera gerombolannya."
Setelah mengembalikan surat itu, Tio Sun kembali bertanya, "Dan kapal Angin Timur itu adalah milik ayahmu?"
"Ya, kapal itu milik kami, kapal yang terbesar dan belum lama ini dibeli oleh ayah dari barat."
"Kenapa kau tidak melaporkan kepada yang berwajib, nona? Bukankah sudah jelas ada bukti dengan surat itu?"
"Brakkkk…!" Kwi Eng menggebrak meja sampai meja itu tergetar.
"Itulah hal yang menjengkelkan dan menggemaskan! Kau tahu, twako, semua pembesar korup itu telah makan sogokan dari setiap orang. Siapa saja yang mampu menyogoknya, tentu akan dilindungi, bahkan penjahat sekali pun tidak akan mereka ganggu selama penjahat itu melakukan sogokan dan membagi hasil!"
"Kau maksudkan Tokugawa telah menyuap para pembesar?"
"Hal itu sudah diketahui oleh umum. Karena yang berani menentang mereka hanya ayah dan ibuku, maka kini Tokugawa menentang kami dan berani mengganggu kami. Hal ini oleh para pembesar dianggap sebagai permusuhan pribadi sehingga mereka tidak mau mencampuri."
"Hemmm... dan tentunya kapal itu amat berharga sehingga engkau merasa sayang untuk menukarnya dengan kakakmu?"
"Tio-twako!" Tiba-tiba dara itu bangkit berdiri dan memandang Tio Sun dengan sinar mata berapi. "Kau kira orang macam apa aku ini?"
Tio Sun cepat-cepat bangkit berdiri dan menjura. Hebat gadis ini, pikirnya. Penuh dengan semangat dan api!
"Maafkan, nona. Aku tidak menyangka apa-apa, hanya bertanya untuk mengetahui bagai mana tanggapanmu terhadap surat ancaman bajak itu."
Mereka duduk kembali dan Kwi Eng menarik napas panjang. "Engkau tentu tahu betapa sayangku kepada kakak kembarku itu, twako. Jangankan hanya sebuah kapal, meski pun seluruh harta benda kami akan kuserahkan untuk menebus keselamatan kakakku. Akan tetapi kau tidak tahu siapa adanya Tokugawa, kepala bajak yang seperti iblis itu. Dia tahu bahwa ayah dan ibu tidak ada, maka dia minta tebusan kapal dan aku tahu bahwa kalau kapal itu kuberikan, tetap saja Beng-koko tidak akan dia bebaskan begitu saja. Yang dia kehendaki adalah ibu atau... aku."
"Maksudmu?"
Kwi Eng menundukkan mukanya. "Dulu Tokugawa pernah tergila-gila kepada ibu karena ibulah satu-satunya wanita yang pernah mengalahkannya dalam ilmu silat. Akan tetapi… sesudah niatnya itu gagal, dia pernah mengajukan… lamaran kepada orang tuaku untuk minta... aku sebagai isterinya."
"Hemmm, manusia keparat!"
"Memang, dia kurang ajar sekali. Kini, dengan ditawannya kakakku, aku mengerti bahwa tentu dia akan menggunakan kakak sebagai sandera untuk memerasku, dan juga untuk memaksa agar aku suka menuruti kehendaknya itu."
"Hemm... lalu bagaimana kehendakmu, nona?"
"Aku akan melawan! Aku akan melawan mati-matian!"
"Bagus kalau begitu!"
"Aku sudah siap, twako. Aku sudah mempersiapkan anak buah ayahku yang terdiri dari lima puluh orang untuk menyerbu ke Pulau Hiu. Akan tetapi selama ini aku masih selalu menunda niatku itu karena aku tahu bahwa baik kakakku mau pun aku sendiri, tidak akan dapat mengalahkan Tokugawa. Bukannya aku takut kalah. Akan tetapi kalau sampai aku kalah, bukankah berarti hanya mati konyol dan kakakku pun tidak akan tertolong? Aku tengah menanti-nanti kembalinya ibu atau hendak mencari seorang pembantu yang punya kepandaian tinggi. Dan... agaknya Thian telah mengirimkan twako ke sini sehingga aku bertemu dengan twako. Dengan adanya twako yang membantu, twako tentu akan dapat menandingi Tokugawa dan kita akan dapat menyelamatkan Beng-koko."
"Kepandaianku tidak seberapa, nona, akan tetapi sesudah mendengar penuturanmu, aku ingin berhadapan dengan Tokugawa si keparat kurang ajar itu dan aku mempertaruhkan nyawaku untuk menolong kakakmu."
"Aku sudah melihat gerakanmu ketika engkau dikeroyok tadi, twako, dan aku yakin bahwa engkau tentu akan sanggup menandingi Tokugawa. Hanya saja, kuharap engkau mau berhati-hati dan tidak memandang rendah senjata pistol mereka."
"Pistol?" Tio Sun belum pernah mendengar akan senjata ini.
"Agaknya engkau belum pernah melihat senjata itu. Tadi ketika engkau dikeroyok, hampir saja engkau ditembak dengan pistol oleh Pedro si pengecut. Baiknya aku melihatnya dan mendahuluinya."
"Hemm, jadi itukah sebabnya maka nona mempergunakan hui-to untuk melukai tangan si rambut merah itu? Dia hendak menggunakan senjata pistol? Senjata rahasia apakah itu?"
"Sebuah senjata api, pelurunya digerakkan oleh obat peledak. Berbahaya sekali karena peluru itu cepat sekali menyambarnya, sukar dielakkan karena cepatnya."
Tio Sun mengangguk-angguk. "Kiranya senjata api dengan obat peledak. Akan tetapi, aku pernah mendengar bahwa pemerintah melarang orang-orang membawa senjata seperti itu."
"Memang benar demikian, maka tadi pun aku mengancam Pedro dan kawan-kawannya. Akan tetapi siapa dapat melarang bajak-bajak yang hidupnya liar di atas lautan? Hanya baiknya, menurut apa yang kudengar, sebagai seorang bekas jagoan samurai Tokugawa pantang mempergunakan senjata barat itu dan hanya mengandalkan pedang samurainya yang amat dibanggakannya. Mungkin di antara anak buahnya ada yang membawa pistol, akan tetapi jangan khawatir, aku pun mempunyai beberapa buah pistol yang akan kubagi-bagikan kepada anak buahku. Aku sendiri lebih senang mempergunakan hui-to dari pada pistol yang sebetulnya kalah cepat karena pistol harus membidik dan mengisi obat peluru. Pendeknya, dengan bantuanmu aku yakin akan bisa menyelamatkan Beng-koko, bahkan dapat membasmi Tokugawa beserta anak buahnya." Gadis itu kelihatan bergembira dan bersemangat sekali.
"Kapan kita berangkat, nona?"
"Besok sore, twako. Besok akan kupersiapkan anak buahku, lalu pada sore harinya kita berangkat dengan kapal Angin Timur. Kita bersikap seakan-akan memenuhi permintaan si jahanam Tokugawa. Hendak kulihat bagaimana macam mukanya kalau dia melihat kita menyerbu pulau itu."
Malam itu Tio Sun tidur di dalam sebuah kamar tamu di rumah Kwi Eng. Hatinya gembira sekali sehingga malam itu tidurnya diisi dengan mimpi indah bersama dara jelita yang amat menarik hatinya itu…..
Malam itu bulan purnama muncul di langit yang cerah. Sinar bulan yang sejuk menerangi permukaan kapal yang meluncur dengan tenangnya, dan Tio Sun yang berdiri di geladak kapal itu asyik memandangi bayangan bulan yang menari-nari di atas permukaan air laut, membuat jalur jalan keemasan. Air hanya berkeriput sedikit saja dan agaknya kalau tidak ada kapal yang meluncur itu, air laut mungkin akan diam seperti kaca.
"Sebentar lagi barulah air laut akan bergelombang besar," kata Kwi Eng yang tiba-tiba muncul di dekat Tio Sun.
"Indah sekali pemandangannya, nona. Mengagumkan sekali."
Kwi Eng tertawa ditahan. "Memang demikianlah bagi yang belum pernah melihatnya. Hidup merupakan pengulangan-pengulangan yang membosankan sehingga hanya hal-hal yang baru saja yang akan menarik hati. Cobalah twako tanyakan kepada setiap orang nelayan atau mereka yang biasa hidup di atas lautan, malam bulan purnama seperti ini sama sekali tidak ada keindahannya. Para pelaut tentu akan lebih mengagumi keindahan di pegunungan, akan tetapi sebaliknya para penghuni gunung sama sekali tidak lagi dapat menikmati tamasya alam di pegunungan."
Tio Sun menghela napas panjang. "Agaknya engkau suka berfilsafat, nona."
Kwi Eng tertawa lagi. "Mungkin hanya terpengaruh oleh kitab-kitab yang diajarkan oleh ibu kepadaku. Lihat, air laut mulai bergelombang, twako. Sebentar lagi tentu gelombang akan cukup besar sehingga berdiri di sini tidak menyenangkan lagi. Apa lagi bagi twako yang tidak biasa, jangan-jangan malah memabokkan. Mari kita masuk saja ke dalam, twako."
Tio Sun melihat bayangan bulan tadi sudah pecah-pecah dan merasakan goyangan kapal ke kanan kiri. Dia mengangguk dan keduanya lantas memasuki bilik yang cukup besar di mana tersedia meja kursi.
"Bagaimana kau bisa tahu bahwa gelombang akan datang, nona? Padahal tadi tenang-tenang saja, bahkan air laut hampir tidak bergerak sama sekali."
"Karena belum tiba saatnya, twako. Akan tetapi setiap malam terang bulan, air laut pasti bergelombang besar. Karena itu para nelayan lebih senang mencari ikan di waktu malam gelap."
Kwi Eng sengaja memberangkatkan kapal itu di malam hari agar tidak menarik perhatian orang-orang di pantai, karena dia tahu bahwa sudah pasti di antara anak-anak buah bajak Tengkorak Hitam, ada yang memata-matai gerakannya. Dia mengerahkan anak buahnya kurang lebih lima puluh orang, sebagian besar adalah pribumi ditambah belasan orang anak buah bangsa asing yang bekerja pada perusahaan ayahnya.
Dia sendiri memakai pakaian ringkas, dengan sepatu yang hitam mengkilap, sepatu boot yang tinggi sampai di lututnya. Sebatang pedang tergantung di punggungnya dan Tio Sun memandang kagum karena dara itu benar-benar kelihatan gagah perkasa.
Malam itu gelombang amat besar dan kapal Angin Timur yang besar itu tidak dapat laju, harus menentang gelombang dan perlahan-lahan mendekati sebuah pulau yang terpencil jauh dari pulau-pulau lain. Menjelang pagi, ombak telah mereda dan kapal itu baru berani membuang sauh di dekat pulau, menanti sampai datangnya pagi.
Setelah bola emas besar sekali itu muncul dari permukaan air di sebelah timur, membakar lautan menjadi merah menyala, barulah kapal itu kembali bergerak menuju ke pulau yang memanjang dan dari jauh kelihatan seperti seekor ikan hiu sedang meliuk. Yang berada di atas dek hanya Kwi Eng, Tio Sun bersama beberapa orang anak buah yang bertugas memegang kemudi dan mengatur layar.
Kapal besar itu kelihatan sunyi sekali dan kosong, karena yang berada di atas geladak tidak sampai sepuluh orang. Selebihnya, atas perintah Kwi Eng, menyembunyikan diri di bawah dan di balik bilik. Pembantu yang mengemudikan kapal itu telah hafal akan tempat ini, maka dengan hati-hati dia dapat memilih jalan yang aman dan menempelkan kapal di tepi pulau yang airnya dalam.
Di situ nampak beberapa buah perahu besar yang bercat hitam. Beberapa orang yang tadinya berada di situ, segera berlari-lari ke daratan ketika melihat Kapal Angin Timur itu.
Tak lama kemudian, muncullah seorang laki-laki setengah tua, usianya kurang lebih lima puluh lima tahun, bertubuh pendek tegap, kelihatan kokoh kuat dengan kedua lengannya yang pendek agak membengkok ke dalam. Dia memakai pakaian yang berlengan pendek sampai ke siku dan berkaki pendek sampai ke lutut hingga nampaklah otot-otot di lengan serta kakinya yang melingkar-lingkar dan besar menggembung, tanda bahwa orang itu bertubuh kuat dan bertenaga besar.
Rambutnya diikat pada bagian atas kemudian dibiarkan terurai di belakang lehernya, dan di pinggangnya nampak sebatang pedang melengkung panjang, yaitu sebatang pedang samurai bergagang panjang. Kedua kakinya memakai sandal sederhana, dan mukanya tertutup kumis dan brewok yang membuat orang ini kelihatan menyeramkan. Inilah dia Tokugawa, kepala bajak laut Tengkorak Hitam yang amat ditakuti oleh para pemilik kapal karena kejamnya.
Oleh karena itu, melalui perantara kepala bajak laut ini yang bukan lain adalah pembesar di kota Yen-tai sendiri, para pedagang dan pemilik kapal rela membayar uang sumbangan atau hadiah kepada kepala bajak ini agar kapal-kapal mereka dibebaskan dari gangguan Tengkorak Hitam. Tentu saja hal ini membuat Tokugawa menjadi seorang yang kaya raya dan hanya karena permusuhannya dengan Yuan de Gama beserta isterinya saja yang akhirnya membuat Tokugawa sampai terpaksa melarikan diri ke Pulau Hiu, di mana dia kemudian membangun sebuah rumah besar dan menjadikan pulau itu sebagai tempat persembunyiannya atau sebagai pusat dari gerombolan bajak Tengkorak Hitam.
Tokugawa tadinya adalah seorang jagoan samurai di Jepang. Golongan samurai ini amat termasyhur di Jepang yang muncul pada abad ke sebelas. Pertama-tama muncul para pimpinan golongan-golongan dan menamakan diri mereka sebagai pendekar yang disebut daimyo (yang bernama besar) dan para daimyo ini yang karena sifatnya seperti seorang jenderal pemimpin pasukan, maka muncullah golongan samurai (mereka yang mengabdi).
Senjata utama para pendekar ini adalah pedang panjang yang bergagang panjang pula, yang bentuknya agak melengkung. Banyak di antara jagoan-jagoan samurai yang sudah tidak bertugas dalam pasukan seorang daimyo, lalu menjadi perantau. Sifat mereka amat menjunjung tinggi nama baik mereka sebagai jagoan samurai, mengutamakan kagagahan, seperti halnya para pendekar di Tiongkok.
Akan tetapi, setelah tidak ada lagi disiplin kelompok yang mengikatnya, berubahlah watak Tokugawa akibat mabok akan wajah cantik wanita dan mabok akan kesenangan duniawi, sehingga dia lalu dimusuhi oleh para jagoan samurai lainnya, karena dianggap sebagai seorang yang mencemarkan nama samurai. Tokugawa lalu melarikan diri dan akhirnya dia muncul sebagai kepala bajak yang disegani di sepanjang pantai Teluk Po-hai.
Benar seperti diceritakan oleh Kwi Eng kepada Tio Sun, bekas jagoan samurai ini ketika bentrok dengan Yuan de Gama dan bertanding satu melawan satu dengan Souw Li Hwa, samurainya tidak mampu menandingi Li Hwa dan tentu saja dia menjadi kagum bukan main. Di samping suka akan wanita dan kedudukan serta kehormatan, juga bekas jagoan samurai ini suka sekali akan kegagahan, maka melihat kegagahan Li Hwa, dia menjadi tergila-gila kepada nyonya itu!
Akan tetapi ternyata dia selalu gagal menghadapi pendekar wanita dan suaminya itu. Dan akhirnya, saat melihat puteri pendekar wanita itu yang sudah besar, dia lalu mengalihkan harapannya kepada Kwi Eng karena dia tahu bahwa dara cantik ini pun sudah mewarisi kepandaian ibunya. Hal ini membuat Yuan de Gama dan Souw Li Hwa marah sekali, lalu dengan terang-terangan mereka ini memusuhi Tokugawa dan hendak membunuh serta membasmi gerombolannya. Tokugawa berkali-kali mengalami kekalahan dan akhirnya dia melarikan diri ke Pulau Hiu itu...
"Hati-hati, mungkin mereka bermaksud hendak menjebak kita!" Bun Houw berkata dan In Hong mengangguk.
Bun Houw mencabut senjatanya karena kalau tidak dia khawatir gadis itu akan menjadi curiga akan ketenangannya. Dengan berindap mereka memasuki ruangan depan rumah besar yang tadinya dihuni oleh Ciok Lee Kim dan di mana dia menjamu para tamunya.
"Ada orang-orang mengepung kita... " In Hong berbisik. Tentu saja Bun Houw juga sudah dapat menangkap gerakan orang-orang itu akan tetapi dia diam saja.
"Awas senjata rahasia...!" In Hong berseru dan dara ini cepat meloncat untuk melindungi Bun Houw.
Akan tetapi anak panah dan senjata-senjata rahasia yang bagaikan hujan itu datang dari empat penjuru. In Hong menangkisi senjata-senjata rahasia itu dengan hawa pukulan dari kedua tangannya, sedangkan Bun Houw dengan ‘sibuknya’ menangkisi dengan pedang di tangan yang diputar-putarnya. Sampai habis senjata-senjata rahasia itu, Bun Houw masih memutar-mutar pedang.
"Bersiaplah, Bun-ko, biar aku melindungimu, mereka tentu akan muncul." In Hong yang merasa geli melihat bagaimana pemuda itu memutar-mutar pedang, memegang lengan pemuda itu dan dia berdiri melindungi Bun Houw.
Benar saja, dari empat penjuru muncul belasan orang anak buah Lembah Bunga Merah dengan segala macam senjata di tangan. Melihat Bun Houw, mereka terkejut bukan main, maklum bahwa pemuda yang pernah ditawan dan disiksa ini memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi karena pemuda itu baru saja terluka parah, bahkan dua tulang pundak juga dikait, mereka kini memandang rendah. Juga mereka memandang rendah kepada gadis muda cantik yang datang bersama pemuda itu.
"Ha-ha-ha, kau sudah berhasil lolos kini kembali lagi hendak mengantar kematian?" teriak seorang di antara mereka yang berhidung besar terhias kumis kecil. "Toanio tentu akan senang sekali. Hayo kawan-kawan, lekas tangkap tikus ini!"
Dua belas orang itu menyergap ke depan.
"Bun-ko, biarkan aku membereskan mereka!" In Hong berseru dan tubuhnya berkelebat cepat sekali, bagai halilintar menyambar-nyambar dan terdengarlah pekik-pekik kesakitan.
Bun Houw hanya berdiri menonton dan diam-diam dia pun terkejut. Dia dapat menduga bahwa gadis yang bernama Hong ini memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi tidak pernah disangkanya akan selihai itu. Gerakannya sungguh aneh sekali, gerakan ilmu silat yang sama sekali tak dikenalnya, akan tetapi kecepatannya belum tentu kalah oleh dia sendiri.
Jari-jari tangan yang halus itu seolah-olah berubah menjadi baja-baja yang ampuh. Setiap tamparan pasti membuat lawan terguling roboh, setiap tangkisan membuat lengan lawan patah-patah sehingga dalam waktu singkat saja, dua belas orang itu sudah roboh semua, merintih-rintih dan mengaduh-aduh!
"Mari kita cari mereka!" In Hong berkata kepada Bun Houw yang masih berdiri bengong, memegang tangan pemuda itu dan menariknya ke dalam.
Mereka hanya mendapatkan bangunan kosong. Biar pun In Hong sudah mengajak Bun Houw menggeledah dan memeriksa di seluruh perkampungan itu, namun tidak menemui lima orang sakti yang mereka cari. Dengan penasaran In Hong lalu mengajak Bun Houw kembali ke ruangan depan di mana dua belas orang anak buah Lembah Bunga Merah itu masih rebah malang-melintang dan mengeluh kesakitan.
"Hayo katakan di mana adanya nenek cabul Ciok Lee Kim dan teman-temannya!" In Hong membentak sambil mendekati seorang yang patah-patah tulang lengannya.
Orang itu nampak ketakutan, berlutut sambil merintih-rintih. "Ampunkan kami, lihiap... ampunkan kami... Ciok-toanio dan yang lain telah pergi dua hari yang lalu... meninggalkan kami dua belas orang menjaga di sini..."
"Ke mana mereka pergi?" In Hong membentak lagi.
"Tidak... tidak... tahu..."
"Keparat, kalian layak mampus!" In Hong mengangkat tangan.
Akan tetapi tiba-tiba Bun Houw berkata, "Hong-moi, nanti dulu..."
In Hong menurunkan kembali tangannya dan menoleh, Bun Houw lalu menghampiri orang itu.
"Srattttt...!" Dicabutnya pedang In Hong yang diberikan kepadanya itu dan dengan sikap mengancam dia menempelkan mata pedang di leher orang itu.
"Hayo lekas kau mengaku terus terang, ke mana perginya Hui-giakang Ciok Lee Kim dan Toat-beng-kauw Bu Sit! Kalau engkau tidak mau mengaku, pedang ini akan memenggal lehermu dan leher semua orang di sini!"
"Ampunkan kami... taihiap, ampunkan kami..." Dua belas orang itu meminta-minta dan salah seorang di antara mereka lalu berkata, "Ciok-toanio dan yang lain-lain tentu pergi mengunjungi tempat tinggal Phang-loya (tuan besar Phang)..."
"Hemmm, kau maksudkan Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok?" Bun Houw membentak.
"Benar... benar, taihiap..."
"Di mana tempat tinggalnya?"
"Di dusun Ngo-sian-chung, di lembah muara Sungai Huang-ho..."
"Hayo katakan yang jelas, di mana tempat itu!"
"Benar... taihiap... di sebelah timur kota Cin-an... kurang lebih dua puluh lima li jauhnya... saya tidak membohong..."
Bun Houw mengangguk girang. Kiranya dua orang Bayangan Dewa itu pergi ke tempat tinggal orang pertama dari Lima Bayangan Dewa! Alamat orang tertua dari Lima Bayangan Dewa itu saja sudah merupakan keterangan yang amat penting baginya.
"Mari kita menyusul mereka, Hong-moi."
"Tetapi... lebih baik kita bunuh dulu mereka ini!" In Hong berkata dan kembali tubuhnya bergerak. Akan tetapi lengannya sudah dipegang oleh Bun Houw.
"Jangan, Hong-moi. Mereka tidak perlu dibunuh."
In Hong mengerutkan alisnya, sejenak mereka saling berpandangan sehingga Bun Houw merasa betapa sinar mata gadis itu berapi-api penuh kemarahan dan kebencian, amat mengerikan hatinya. Akan tetapi dia memandang dengan tenang. menentang pandangan mata yang berapi-api itu. Perlahan-lahan api di dalam mata itu mengecil dan akhirnya In Hong menundukkan mukanya, merenggutkan lengannya kemudian melompat keluar dan meninggalkan ruangan itu.
Bun Houw segera meloncat keluar mengikutinya. Tanpa mengeluarkan kata-kata, mereka meninggalkan Lembah Bunga Merah. In Hong berjalan sambil menundukkan mukanya. Bun Houw berjalan di sebelahnya. Sampai lama mereka tidak mengeluarkan kata-kata.
Tiba-tiba In Hong berhenti melangkah. Bun Houw juga berhenti. In Hong mengangkat muka memandang, alisnya berkerut. "Mengapa engkau tadi menghalangi aku membunuh mereka? Mengapa engkau berani menghalangi aku?"
Bun Houw memandang heran. "Moi-moi, mereka tidak perlu dibunuh."
"Heran aku, mengapa aku mau menuruti permintaanmu? Belum pernah ada yang berani menghalangi kehendakku. Hayo katakan, kenapa mereka tidak perlu dibunuh?"
Diam-diam Bun Houw bergidik. Gadis aneh dan agaknya gadis ini biasanya tidak pernah mau memberikan ampun kepada musuh-musuhnya dan kalau dia membayangkan betapa gadis itu tadi hendak membunuh dua belas orang anak buah Lembah Bunga Merah itu dengan darah dingin, begitu saja, dia bergidik ngeri.
"Hong-moi sebelum aku menjawab, lebih dahulu katakanlah, apakah engkau tadi hendak membunuh mereka karena engkau membenci mereka?"
"Tentu saja! Aku benci mereka, dan… dan sepatutnya mereka dibunuh!"
"Hong-moi, karena itulah aku tadi mencegahmu. Di antara kita dan mereka itu tidak ada permusuhan langsung, mereka hanyalah orang-orang yang mentaati perintah pemimpin mereka. Dan pula, kita harus turun tangan menghadapi siapa pun dengan dasar membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan. Apabila hati kita dikuasai oleh kebencian, mungkin kita akan membunuh orang yang tidak bersalah hanya berdasarkan perasaan benci itu."
In Hong masih mengerutkan alisnya, seakan-akan dia tidak mempedulikan kata-kata itu. "Baiklah, lain kali harap kau tidak mencegah aku lagi. Sekarang kita hendak ke mana?"
"Aku akan menyusul mereka ke Ngo-sian-chung. Dan kau...?"
"Aku pun akan mencari mereka, mungkin Lima Bayangan Dewa berkumpul di sana dan pedang Siang-bhok-kiam disimpan di sana pula."
"Kalau begitu, mari kita melakukan perjalanan bersama, Hong-moi."
In Hong tiba-tiba menggeleng kepalanya. "Tidak! Aku akan pergi sendiri. Sampai jumpa!" Gadis itu hendak membalikkan tubuh untuk pergi meninggalkan Bun Houw.
"Akan tetapi, mengapa, moi-moi? Bukankah tujuan kita sama?"
"Kalau kita melakukan perjalanan bersama, kita tentu akan saling bentrok!"
"Tidak mungkin!"
"Kau mau berjanji bahwa lain kali tidak akan mencegah aku lagi?"
"Kalau aku melihat engkau melakukan sesuatu yang tidak benar, sudah semestinya aku mencegah dan mengingatkan engkau, Hong-moi."
"Nah, kalau begitu, selamat tinggal!"
"Hong-moi...!" Bun Houw berteriak memanggil namun bayangan gadis itu sudah lenyap.
Dia hanya dapat menarik napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepala. Gadis yang sangat hebat, lihai sekali dan cantik jelita pula, akan tetapi juga liar dan kadang-kadang berwatak aneh dan dingin sekali, seperti setan!
Terpaksa dia melanjutkan perjalanan seorang diri dengan perlahan-lahan, kadang-kadang berhenti untuk memulihkan tenaganya, terutama sekali menyembuhkan luka pada kedua pundaknya.
********************
Semenjak kematian Panglima Besar The Hoo, walau pun bekas kebesaran panglima itu mendatangkan banyak kemakmuran dan kemajuan dalam perdagangan serta hubungan dengan luar negeri, namun tetap saja pengaruh Kerajaan Beng menurun. Kemajuan yang dipupuk oleh kebesaran The Hoo memang tampak menonjol, membuat Kerajaan Beng terkenal di seluruh negeri tetangga.
Pada masa itu, semenjak tewasnya Timur Leng yang amat terkenal di barat, yaitu pada tahun 1404, hubungan dagang dengan Negara Iran dan lain negara barat dapat dilakukan melalui darat. Oleh karena itu, maka perkembangan armada Kerajaan Beng dipandang tidak begitu perlu lagi dan perdagangan melalui lautan dilakukan oleh bangsa-bangsa lain, yaitu bangsa kulit putih dan Jepang. Pemerintah Beng hanya menerima barang-barang ini di pantai-pantai sehingga banyak timbul kota-kota besar di pantai lautan yang makin lama menjadi makin ramai dengan perdagangan dengan bangsa-bangsa asing ini.
Bagaimana pun juga, bangsa-bangsa asing itu yang masih terkesan oleh kebesaran serta kekuatan bala tentara yang dulu dipimpin oleh Panglima The Hoo dan para pembantunya, tidak ada yang berani bermain gila atau mengacau secara berterang, terlebih lagi karena perdagangan mereka mendatangkan banyak untung, yaitu dengan mengangkut rempah-rempah dan hasil bumi lain dari pedalaman, serta menjual barang-barang luar negeri yang masih merupakan benda-benda aneh di masa itu.
Di pantai-pantai selatan dan timur, banyak kota-kota dan dusun-dusun pelabuhan yang menjadi ramai, setiap hari didatangi perahu-perahu asing yang membawa barang-barang dagangan dan pajak mereka cukup dengan pemberian hadiah terhadap para pembesar setempat.
Kota Yen-tai merupakan sebuah kota pelabuhan yang ramai di pantai Lautan Po-hai yang banyak disinggahi kapal-kapal dari luar negeri. Di tempat ini banyak terdapat pedagang-pedagang, di dalam kotanya banyak pula berkeliaran orang-orang asing yang rambutnya beraneka warna, demikian pula matanya. Rambutnya ada yang berwarna keemasan dan kuning muda, dan mata mereka berwarna biru atau coklat. Tidak ada di antara mereka yang berambut dan bermata hitam.
Pakaian mereka juga beraneka warna, dan mereka ini adalah pekerja-pekerja kapal atau pedagang-pedagang yang datang bersama kapal-kapal yang berlabuh, bahkan ada pula yang menetap di kota itu sebagai pedagang. Akan tetapi jarang kelihatan wanita bangsa asing, semuanya pria, tua dan muda, dengan muka penuh brewok dan gaya mereka yang bagi penduduk setempat tampak kasar dan biadab!
Ada pula orang-orang yang muka serta kulitnya sama dengan pribumi, akan tetapi tubuh mereka pendek-pendek dan pakaian mereka agak berbeda. Mereka adalah orang-orang yang berasal dari negara Jepang, negara yang terdiri dari banyak pulau-pulau.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, keadaan Yen-tai sudah ramai karena semalam banyak kapal asing berlabuh di pantai. Pagi-pagi sudah tampak kesibukan di kota itu, ada yang menurunkan barang dari kapal-kapal dan ada pula yang menaikkan rempah-rempah dan hasil-hasil bumi lainnya, juga barang-barang kerajinan dari pedalaman, terutama sutera dan barang-barang ukiran yang serba indah dan mahal.
Di antara banyak sekali orang-orang yang beraneka macam bahasanya, bermacam pula pakaiannya, terdapat seorang pemuda yang berusia kurang lebih dua puluh satu tahun, bertubuh tinggi tegap dan bersikap gagah, akan tetapi amat sederhana gerak-gerik dan pakaiannya yang berwarna kuning itu, dengan sebatang pedang di pinggangnya. Pemuda itu adalah Tio Sun, yaitu putera tunggal dari Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan bekas pengawal panglima Besar The Hoo yang paling dipercaya.
Seperti kita ketahui, secara kebetulan Tio Sun menolong Yap Mei Lan kemudian dia pun tertawan oleh orang-orang liar yang dipimpin Jeng-hwa Sianjin Si Ahli Sihir dan hampir saja dia celaka oleh kawanan Jeng-hwa-pang di dalam hutan itu kalau saja tidak tiba-tiba muncul seorang yang luar biasa saktinya, tokoh tua yang sudah tidak pernah muncul di dunia kang-ouw, yaitu Bun Hwat Tosu.
Pemuda ini mewakili ayahnya untuk membantu Cin-ling-pai mencari musuh-musuh besar Cin-ling-pai, yaitu Lima Bayangan Dewa yang telah menyerbu dan mengacau Cin-ling-pai, membunuh murid-murid Cin-ling-pai serta mencuri Siang-bhok-kiam. Karena dia sudah mengetahui akan nama-nama Lima Bayangan Dewa, Tio Sun menyelidiki dan akhirnya dia mendengar berita bahwa Liok-te Sin-mo Gu Lo It, orang kedua dari Lima Bayangan Dewa, tinggal di sekitar pantai Po-hai. Berita inilah yang membawa Tio Sun pergi ke pantai Po-hai dan pada pagi hari itu tibalah dia di kota Yen-tai.
Dengan tenang Tio Sun melangkah dan berjalan di atas jalan raya, sambil mengagumi keramaian kota itu dan terheran-heran melihat banyaknya orang-orang asing yang warna rambut, mata dan kulitnya demikian mengerikan hatinya itu! Memang belum pernah dia bertemu dengan orang asing kulit putih, meski pun sudah banyak dia mendengar tentang mereka dari ayahnya.
Gembira hati Tio Sun menyaksikan kota pantai yang sangat ramai itu. Sering kali dia berhenti untuk menonton keramaian, melihat orang-orang berdagang dan mendengarkan kata-kata yang terdengar agak kaku dan asing keluar dari mulut orang-orang berkulit putih itu. Juga dia melihat-lihat banyak barang yang aneh dan indah dipamerkan di toko-toko di sepanjang jalan.
Akan tetapi, setelah setengah hari berjalan-jalan melihat kota yang ramai ini, akhirnya dia merasa bosan juga. Kemudian, menjelang senja itu, dia berjalan-jalan di tepi pantai laut yang hawanya lebih sejuk karena angin bertiup dan tempat ini agak sunyi tidak terdapat terlalu banyak orang.
Tio Sun memasuki sebuah warung di tepi laut, warung yang agak sunyi dan ketika dia masuk, hidungnya disambut oleh bau arak wangi yang memenuhi tempat itu. Suara tawa bergelak disusul munculnya dua orang asing kulit putih keluar dari dalam warung makan itu, keduanya membawa seguci arak. Sambil tertawa-tawa mereka bicara dalam bahasa yang sama sekali tidak dimengerti oleh Tio Sun.
Ketika berpapasan, Tio Sun mendapat kenyataan betapa tingginya kedua orang itu. Dia sendiri sudah terhitung seorang pemuda yang bertubuh jangkung, akan tetapi ternyata tubuhnya hanya mencapai pundak kedua orang raksasa berkulit putih dan bermata biru itu.
Tio Sun segera melupakan mereka dan dia lalu duduk di atas sebuah bangku, memesan makanan dan minuman kepada pelayan. Tidak banyak tamu sore itu di warung ini, hanya beberapa orang yang pakaiannya seperti nelayan dan ketika mereka itu berbicara tentang hasil penangkapan ikan, maka jelaslah apa pekerjaan mereka itu.
Ketika Tio Sun sedang makan, tiba-tiba terdengar suara jeritan wanita yang kedengaran agak jauh dari situ. Seketika Tio Sun bangkit berdiri. Jerit itu terulang lagi.
"Toloooooonggg...!"
Tio Sun menggeser bangkunya, siap untuk lari keluar. Akan tetapi para nelayan yang juga menghentikan percakapan mereka dan memperhatikan jeritan itu, menoleh ke arah Tio Sun dan seorang di antara mereka yang usianya sudah lima puluh tahun lebih berkata,
"Harap kongcu jangan memperhatikan dan mencampuri urusan kotor itu."
Tio Sun memandang heran, "Mengapa kau berkata demikian, lopek?"
Pada saat itu kembali jerit tadi terulang. Kakek nelayan itu hanya menarik napas panjang dan tidak menjawab, lalu terdengar ucapan pelayan warung.
"Memang omongan paman nelayan ini benar, kongcu. Tentu keributan itu dilakukan oleh setan-setan kulit putih pemabok itu, dan yang menjerit itu hanya perempuan-perempuan lacur. Memalukan sekali dan kongcu akan mendapat malu saja kalau mencampuri urusan pelacur-pelacur dengan setan-setan pemabok itu. Kalau melihat itu, lebih baik kita tulikan telinga dan butakan mata."
"Tolonggggg...!"
"Bagaimana kita dapat menulikan telinga dan membutakan mata kalau mendengar jerit wanita minta tolong?" Tio Sun berkata dan tanpa menunggu jawaban dia sudah berlari keluar, langsung ke kanan dari mana dia tadi mendengar suara jeritan itu.
Cuaca senja sudah mulai remang-remang, akan tetapi dia masih dapat melihat dua orang laki-laki yang sedang menarik dan menyeret seorang perempuan di dekat pantai, agaknya hendak memaksa wanita itu naik ke sebuah perahu.
"Keparat...!" Tio Sun berlari cepat di sepanjang pantai yang sunyi itu, otot-otot tubuhnya sudah menegang dan hatinya panas oleh kemarahan.
"Plakk! Plakk!"
Dua kali Tio Sun menggerakkan tangannya menampar pundak dua orang raksasa bule itu. Dua orang itu terhuyung dan melepaskan lengan gadis yang tadi mereka tarik-tarik. Tamparan itu keras sekali namun hanya membuat mereka terhuyung, maka tahulah Tio Sun bahwa dua kedua orang raksasa bule itu bertubuh kuat sekali.
Sambil menangis gadis itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Tio Sun. "Harap taihiap menolong saya... mereka hendak menculik saya..."
Tio Sun memandang. Wanita itu adalah seorang gadis berpakaian nelayan sederhana, akan tetapi kesederhanaan pakaiannya dan air mata yang membasahi mukanya itu tidak mengurangi kemanisan wajahnya dan kepadatan tubuhnya yang muda.
"Nona, kau minggirlah...," kata Tio Sun dengan tenang, lalu dia melangkah menghadapi dua orang raksasa bule itu.
Kini dua orang asing itu telah melangkah maju. Muka mereka merah sekali, mata mereka melotot dan memandang Tio Sun penuh kemarahan. Mula-mula mereka itu mengeluarkan kata-kata keras dalam bahasa asing itu, telunjuk mereka menuding-nuding, akan tetapi Tio Sun sama sekali tidak mengerti artinya.
Kemudian seorang di antara mereka, yang rambutnya kemerahan, berkata dalam bahasa pribumi yang terdengar kaku tapi sikapnya jelas menunjukkan kemarahannya, "Kau berani merampas perempuan kami?"
Tio Sun teringat akan cerita pelayan warung dan para nelayan tadi, karena itu dia dapat menduga bahwa agaknya dua orang kelasi barat yang mabok ini menganggap gadis itu sebagai seorang pelacur. Maka, dengan sikap tenang karena dapat mengira akan kesalah pahaman mereka, dia menjawab, "Kalian salah sangka. Nona ini adalah seorang wanita baik-baik, maka kalian tidak boleh kurang ajar terhadapnya."
"Kurang ajar? Apa kurang ajar?" Si rambut merah itu membentak dan mengepal tinjunya yang besar, matanya juga merah melotot marah. "Kami cinta padanya, kami... kami akan membayar!"
Tio Sun mengerutkan sepasang alisnya. "Kalian orang-orang kasar yang mabok. Jangan mengganggu wanita dan pergilah!"
Si rambut merah segera melangkah maju dengan langkah lebar, sedangkan temannya yang berambut pirang hanya menonton sambil tersenyum-senyum memandang rendah, yakin bahwa temannya tentu akan memberi hajaran kepada pemuda kecil lemah yang mencampuri urusan mereka itu.
Si rambut merah menuding-nuding dengan isyarat agar Tio Sun pergi dari situ, suaranya parau dan kasar, kemarahannya membuat dia makin sukar mengeluarkan bahasa yang belum dikuasainya benar-benar itu.
"Pergi kamu... pergi... dia perempuan kami...!"
Melihat keributan di tempat itu, beberapa orang yang datang mendekati untuk menonton dan seorang nelayan tua berkata kepada Tio Sun, "Orang muda, sebaiknya kau pergi dan tidak mencampuri urusan mereka. Ketahuilah bahwa mereka itu adalah dua orang terkuat di antara mereka yang mempunyai banyak anak buah. Jangan kau mencari penyakit..."
Sementara itu, tampak seorang kakek nelayan lain yang kurus dan berpakaian butut lari mendatangi, dan melihat kakek ini, gadis nelayan tadi lantas menjerit dan lari menubruk kakek itu.
"Ayahhh...!"
"Kui-ji... kau kenapa...?" Nelayan tua itu bertanya sambil mengelus-elus rambut kepala anaknya.
Akan tetapi gadis itu tidak dapat menjawab, hanya menangis.
Nelayan tua yang tadi memperingatkan Tio Sun berkata, "Kalian cepat pergi...! Lekas...!"
Ayah dan anak itu terkejut, dan keduanya hendak menyingkir dari tempat itu. Akan tetapi hanya dengan beberapa langkah lebar, raksasa berambut pirang itu sudah mendekat, lalu lengannya yang panjang dengan jari-jari tangannya yang besar itu langsung menangkap pergelangan tangan gadis manis itu.
"Ha-ha-ha-ha, jangan pergi... jangan pergi... kau manis...," kata raksasa asing itu sambil tertawa.
Kini sang ayah mengerti bahwa anak perempuannya hampir menjadi korban kebiadaban para kelasi asing itu, maka dengan marah dia memukul.
"Bukkk....!"
Dada yang bidang itu menerima pukulan dengan enak saja, sedikit pun tidak terguncang dan tangan kiri yang lebar itu mendorong sehingga si kakek terjengkang jauh.
"Ayahhh...!"
"Keparat..!" Tio Sun melangkah maju.
"Orang muda, mari kita pergi. Kalau mereka mengamuk..!" Nelayan itu berkata ketakutan.
Tio Sun menjadi marah sekali. Di bertolak pinggang, memandang ke sekeliling. Terutama ke arah beberapa orang nelayan yang berdiri di sekitar tempat itu dengan wajah dan sikap ketakutan.
"Kalian ini laki-laki ataukah pengecut yang tak tahu malu! Melihat gadis bangsa kita dihina dan hendak dipermainkan oleh orang-orang asing biadab ini, kalian sama sekali tidak mau mengulurkan tangan membantu, malah ketakutan dan hendak menyingkir, dan yang lebih celaka lagi, kalian juga melarang aku untuk menolongnya. Apakah kalian tidak mau hidup sebagai laki-laki?"
Tidak ada seorang pun yang dapat menjawab. Mereka itu hanya nelayan-nelayan yang tahunya hanya mencari nafkah setiap hari di lautan, dan mereka semua sudah maklum akan kekuasaan dan kekasaran orang-orang berkulit putih ini.
Orang-orang kulit putih itu ada kalanya amat baik dan ramah terhadap pribumi, apa lagi dalam hal perdagangan. Akan tetapi sikap mereka itu rata-rata kasar dan keras, lebih lagi bila kehendak mereka dihalangi, keramahan berubah menjadi kekerasan dan kekejaman.
Rata-rata mereka itu terdiri dari jagoan-jagoan berkelahi yang bertubuh kuat dan berani, bahkan agaknya mereka itu mempunyai kesukaan untuk berkelahi sehingga para nelayan yang sering kali mengalami pemukulan mereka, kini menjadi takut. Lebih-lebih lagi ketika laporan mereka kepada yang berwajib bahkan merugikan mereka sendiri karena agaknya ada pertalian persahabatan yang erat antara pembesar-pembesar setempat dengan para orang bule tinggi besar itu. Dan kenyatannya memang demikian.
Para pembesar sudah menerima banyak sumbangan dan hadiah dari raksasa-raksasa ini, maka tentu saja sebagai seorang yang baik hati para pembesar ini merasa sungkan untuk bersikap memusuhi dan setiap ada pengaduan mereka ini menyalahkan yang mengadu dan memberi nasehat agar sebagai ‘tuan rumah’ para pribumi suka mengalah terhadap para tamu yang banyak mendatangkan keuntungan bagi ‘rakyat’ ini. Tentu saja hanya di mulut mereka ini mengucapkan demi rakyat, padahal sudah tentu, seperti yang sudah lajim terjadi di seluruh dunia, mereka itu hanya mementingkan dirinya sendiri dan demi kepadatan kantong mereka sendiri.
Inilah sebabnya mengapa para nelayan bersikap ketakutan dan teguran Tio Sun itu hanya membuat muka mereka menjadi merah akan tetapi tetap saja tidak ada seorang pun yang berani menentang dua orang raksasa kulit putih itu.
Sebaliknya, ucapan Tio Sun itu membikin marah si rambut merah. "Setan, engkau perlu dihajar!" bentaknya dan dia langsung menerjang Tio Sun dengan pukulan-pukulan kedua tangannya yang bertubi-tubi dan pukulan-pukulannya ternyata keras sekali!
Tentu saja Tio Sun sudah siap dan waspada, dengan mudahnya dia menggerakkan tubuh sedikit saja namun sudah cukup membuat pukulan kanan kiri yang bertubi-tubi datangnya itu menyambar angin kosong belaka. Pada saat pukulan yang kesekian kalinya meluncur mengarah ke dagunya, kepalan kanan si rambut merah yang besar sekali itu menyambar, Tio Sun menggerakkan tangan menangkis dengan tangan kirinya. Tangkisan ini membuat tulang bawah lengan kirinya bertemu dengan amat kerasnya dengan tulang atas lengan kanan si rambut merah.
"Dukkkk... aughhhh...!"
Si rambut merah berteriak kesakitan sambil memegangi lengan kanannya. Tulang bawah lengan merupakan bagian yang jauh lebih kuat dari pada tulang atas lengan, sungguh pun keduanya terlatih sekali pun, apa lagi Tio Sun mempergunakan tulang bawah lengannya dengan pengerahan tenaga sinkang, tentu saja membuat lawannya yang terpukul tulang atas lengannya itu merasa nyeri bukan main seakan-akan tulang lengannya retak-retak rasanya.
Akan tetapi rasa nyeri ini tidak berlangsung lama dan kemarahan si rambut merah telah memuncak. Dia mengeluarkan suara gerengan disambung maki-makian dalam bahasa yang tak dimengerti oleh Tio Sun, kemudian raksasa rambut merah itu menerjang seperti seekor kerbau mengamuk, kepalanya di depan, tubuhnya sedikit membungkuk dan kedua lengannya merapat tubuh, kedua kepalan tangan yang besar itu silih berganti menyambar dengan pukulan-pukulan keras yang mengarah bagian muka dan tubuh atas Tio Sun.
Tentu saja serangan sederhana yang hanya mengandalkan tenaga kasar ini merupakan serangan yang sama sekali tidak berbahaya bagi Tio Sun. Dengan sangat mudahnya pemuda ini mengelak dan menangkis, kemudian satu kali tanganya menyambar dia sudah berhasil memukul leher dekat pundak kiri lawan dengan tangan kanan yang dimiringkan.
"Ngekkk!"
Raksasa muka merah itu terjungkal, mengaduh dan memijit-mijit lehernya yang terpukul. Akan tetapi ternyata dia bertubuh kuat sekali karena dia sudah bangkit kembali, merogoh saku celana dan mengeluarkan dua buah senjata kalung besi yang ketika digenggamnya melingkari celah-celah jari kedua tangannya sehingga sekarang kepalannya tertutup oleh ujung-ujung besi yang menonjol dan agak meruncing. Dapat dibayangkan betapa kepala akan dapat pecah dan tubuh akan terluka parah kalau sekali saja terkena pukulan tangan yang diperlengkapi dengan senjata istimewa ini.
“Wuuuttttt… siuuuttttt…!”
"Mampus kamu!" Kembali si rambut merah menyerang dengan ganas. Sepasang matanya sudah menjadi merah dan lagaknya persis seekor lembu jalang yang mengamuk karena terluka.
Kalau tadi si rambut merah menggunakan cara bertinju menurut aturan karena dia merasa yakin bahwa dengan kepandaiannya bermain tinju dia akan sanggup mengalahkan lawan yang kelihatan kecil lemah ini, kini dia tidak lagi memperhatikan aturan dan menggunakan segala akal curang dalam cara berkelahi untuk mencari kemenangan. Maka kini dia tidak lagi memukul ke arah tubuh atas saja, melainkan dia memukul ke arah lambung, pusar dan lain-lain, bahkan kedua kakinya yang memakai sepatu boot itu pun ikut menyerang pula.
Betapa pun juga, bagi Tio Sun, gerakan raksasa ini masih terlalu lambat dan kacau tidak teratur, pokoknya asal menyerang saja maka sudah tentu amatlah mudah dihadapi oleh pemuda gemblengan ini. Dia membiarkan lawan menyerang membabi buta sampai dia mundur empat langkah, kemudian ketika musuh terus menyerbu, dia melangkah ke kiri, membiarkan tubuh lawan agak terdorong ke depan dan dengan gerakan kaki cepat sekali, dia melangkah maju sehingga sekarang dia berada di sisi belakang lawan. Cepat kakinya bergerak menyentuh lutut kanan lawan, dibarengi dengan tamparan jari tangan terbuka ke arah tengkuk.
Si rambut merah kembali terjungkal, kini roboh sambil menyeringai kesakitan, kepalanya pening, pandang matanya berkunang-kunang dan dia melihat ribuan bintang beterbangan di sekelilingnya, dan kakinya yang kanan menjadi salah urat di bagian lutut sehingga dia tidak mampu bangun kembali.
Semua nelayan yang menyaksikan pertempuran ini dari tempat aman, jadi melongo dan terheran-heran mengapa ada pemuda yang demikian berani menentang si rambut merah yang terkenal kuat dan pemberani itu. Bahkan raksasa rambut merah ini pernah dikeroyok oleh belasan orang nelayan pribumi tanpa merasa takut dan tidak kalah pula!
Juga si rambut pirang bengong keheranan, hampir tidak percaya bahwa temannya yang cukup jagoan itu dikalahkan sedemikian mudahnya oleh si pemuda yang kecil lemah ini. Keheranannya berubah menjadi kemarahan besar sesudah dia tahu bahwa temannya itu terluka cukup parah karena buktinya tidak mampu bangkit kembali. Dia segera mencabut sebatang pisau belati, kemudian tanpa banyak cakap lagi dia menyerang Tio Sun dengan senjata pisaunya yang mengkilap. Melihat hal ini, para nelayan menjadi pucat wajahnya. Pemuda itu tentu akan tewas!
Akan tetapi tentu saja serangan pisau yang menyambar ke arah perutnya itu merupakan serangan yang tidak ada artinya bagi Tio Sun. Akan tetapi pemuda ini juga sama sekali tidak ada niat di hatinya untuk membunuh dua orang ini, karena dia masih menganggap bahwa kesalahan mereka itu hanya timbul karena mungkin terjadi salah pengertian saja.
Mungkin karena kurang pandai bicara atau belum begitu menguasai bahasa daerah, orang-orang asing ini salah menduga dan mengira gadis nelayan itu seorang perempuan pelacur yang boleh dipermainkan sesukanya asalkan dibayar! Dia sama sekali tidak tahu bahwa dalam keadaan mabok seperti itu, kedua orang asing ini memang menganggap semua perempuan pribumi suka kepada mereka dan boleh mereka ajak bermain cinta dengan hadiah uang.
Karena tidak ingin membunuh, maka Tio Sun juga hanya mengelak dari sambaran pisau itu. Sampai lima kali dia terus mengelak sambil berkata, "Kau pergilah dan jangan ganggu wanita!"
Akan tetapi mana mungkin si rambut pirang yang sudah sangat marah dan mabok itu mau menerima begitu saja? Dia menyerang makin ganas akibat terbawa oleh rasa penasaran, betapa lawannya dapat mengelak dengan mudah, bahkan sambil menasehatinya!
Pada saat itu pula, kelasi barat yang berambut merah sudah berhasil bangkit, terpincang-pincang dan meniup peluitnya. Terdengar bunyi peluit melengking nyaring berkali-kali dan para nelayan yang mendengar peluit ini menjadi terkejut. Mereka pun maklum apa artinya bunyi peluit ini. Kelasi asing itu memanggil kawan-kawannya dan mereka menjadi takut kalau-kalau terbawa-bawa, maka mereka segera melarikan diri dari pantai itu untuk pergi melapor kepada yang berwajib agar pemuda itu tidak sampai dikeroyok dan mati secara mengerikan.
Tadinya Tio Sun tidak mengerti apa artinya tiupan peluit nyaring itu. Akan tetapi ketika dia melihat belasan orang asing datang berlarian ke tempat itu, dia baru mengerti bahwa itu tentulah teman-teman dua orang ini yang datang memenuhi panggilan suara peluit tadi. Marahlah hatinya dan dia berkata kepada dua orang itu,
"Gadis itu dan ayahnya sudah pergi. Perlu apa ribut-ribut lagi? Kalian mundurlah dan aku tidak akan memperpanjang urusan ini!"
Ucapan Tio Sun itu dianggap sebagai sikap ketakutan oleh dua orang asing itu, maka si rambut pirang memperhebat serangan pisaunya, dan si rambut merah terpincang-pincang memberi isyarat kepada kawan-kawannya agar lebih cepat datang.
"Keparat!" Tio Sun membentak.
Pada saat pisau menyambar untuk yang ke sekian kalinya, dia hanya sedikit miringkan tubuhnya. Ketika pisau itu meluncur dekat dadanya, dia cepat menggerakkan tangannya yang dimiringkan, membacok ke arah lengan yang memegang pisau itu.
"Dukkk...! Plakk!"
Pisau lantas terpental, sedangkan pukulan ke arah lengan itu disusul tamparannya yang tepat mengenai bawah telinga lawan. Si rambut pirang terpelanting dan mengaduh-aduh, kepalanya seperti pecah rasanya.
Pada saat itu, sebelas orang kulit putih lain yang merupakan anak buah dua orang kelasi jagoan ini, sudah tiba di situ dan tanpa banyak cakap lagi mengepung dan menyerang Tio Sun dari berbagi jurusan, dengan senjata macam-macam, besi pelindung kepalan, pisau dan rantai.
"Kalian orang-orang biadab yang jahat!" Tio Sun berseru dan kini pemuda ini mengamuk.
Gerakannya tangkas dan cepat, membagi-bagi pukulan dan tendangan di antara mereka, sehingga ramailah pertempuran itu. Para pengeroyok itu jatuh bangun dan setiap kali kaki atau tangan Tio Sun bergerak pasti ada seorang pengeroyok yang langsung terjungkal atau terpelanting, setidaknya terhuyung-huyung sambil mengaduh-aduh.
Tak ada yang tahu betapa sejak tadi ada sepasang mata jeli yang menonton pertempuran keroyokan itu dengan mata berseri-seri dan mulut mengeluarkan kekagumannya melihat ketangkasan Tio Sun. Mata jeli ini milik seorang dara muda yang memiliki kecantikan yang khas.
Melihat pakaiannya, dia adalah seorang dara pribumi yang berkecukupan, akan tetapi bila orang memperhatikan dia di tempat terang, tidak di tempat gelap seperti sekarang ini karena senja telah tua, orang akan melihat bahwa sepasang matanya lebar, tidak seperti dara wanita pribumi, dan warnanya kebiruan! Juga rambutnya tidak hitam seperti biasa, melainkan agak keemasan!
Mata dan rambutnya seperti orang asing itu, akan tetapi bentuk tubuhnya seperti wanita pribumi, demikian pula pakaiannya! Karena inilah maka dia memiliki kecantikan yang khas dan aneh, memiliki daya tarik tersendiri, berbeda dari dara-dara umumnya.
Tio Sun yang mengamuk dengan sibuknya, juga karena saat itu cuaca sudah mulai gelap, sama sekali tidak melihat betapa orang asing berambut merah itu sekarang mengeluarkan sebuah benda mengkilap, yang dipegang dengan tangan kanannya, lantas membidikkan benda itu ke arah pundak Tio Sun yang masih mengamuk dengan hebatnya, merobohkan semua pengeroyoknya dengan pukulan dan tendangan yang terukur supaya tidak sampai membunuh orang.
Ketika dara yang menonton pertempuran itu dari tempat tersembunyi melihat si rambut merah mengeluarkan benda itu, dia kelihatan kaget sekali dan dengan gerakan cepat dia sudah mencabut sebatang hui-to (pisau terbang) yang bentuknya mungil dan dihias oleh ronce-ronce merah, kemudian secepat kilat dia menggerakkan tangannya. Pisau kecil itu langsung meluncur cepat, mengeluarkan suara berdesing dan tepat mengenai tangan si rambut merah yang memegang pistol dan sedang membidikkan pistol itu ke punggung Tio Sun.
"Crepp... auwwww...!"
Pistol itu terlepas dari tangan si rambut merah yang berteriak kesakitan karena pisau kecil beronce merah itu telah menancap di tangannya.
"Pedro...! Berani kau dan kaki tanganmu mengacau di sini, bahkan hendak menggunakan senjata api? Kalau aku menangkapmu dan mengajukanmu ke depan pengadilan, apakah kalian tidak akan celaka semua?"
Si rambut merah yang disebut Pedro oleh dara cantik itu makin terkejut. Dia menoleh, memandang kepada dara itu dan semua teman-temannya yang sudah jatuh bangun oleh hajaran Tio Sun juga sangat terkejut. Mereka semua memandang kepada nona itu yang kini berdiri dengan tegak dan gagahnya bertolak pinggang dan memandang marah pada si rambut merah.
"Maaf... nona De Gama... maafkan kami..." Pedro berkata sambil memegangi tangannya yang terluka.
"Kalian memang berani mati!" Nona itu kembali menghardik, sikapnya penuh wibawa dan kata-katanya seperti pisau menusuk jantung tiga belas orang itu. "Sudah berapa kali kami memperingatkan pimpinanmu agar kalian tidak membikin ribut di sini, dan terutama tidak boleh mengganggu penduduk pribumi. Kembalikan pisauku!" bentaknya.
Sambil menggigit bibir Pedro mencabut pisau terbang yang masih menancap di tangan kanan itu dengan tangan kirinya, kemudian dia melangkah maju, menyerahkan pisau kecil itu, wajahnya masih merah karena mabok, akan tetapi pandang matanya penuh rasa jeri.
Dara itu menerima kembali pisaunya, lalu berkata dengan sikap dingin dan memerintah, "Kalian pergilah!"
"Terima kasih, nona." Pedro membungkuk dengan hormat, mengambil pistolnya kemudian memberi isyarat kepada teman-temannya untuk pergi. Semua temannya juga memberi hormat kepada dara muda itu.
"Pedro, aku tidak akan mau mengampunimu lagi kalau lain kali engkau mendarat dengan membawa pistol,." Nona itu menyusulkan kata-kata ancaman.
Pedro membalikkan tubuhnya, lalu membungkuk, kemudian mereka pun pergi menuju ke perahu-perahu yang mereka naiki dan mereka dayung ke tengah lautan di mana terdapat kapal mereka yang berlabuh.
Kedua orang itu berdiri saling berhadapan, berusaha untuk meneliti wajah masing-masing menembus kesuraman cuaca hampir malam. Tio Sun memandang penuh kekaguman.
Dara ini masih muda dan cantik sekali, akan tetapi mempunyai wibawa begitu besar dan sanggup mengusir belasan orang laki-laki kasar tadi dengan kata-kata dan ancaman saja, juga dia melihat hui-to yang tadi menancap di tangan si rambut merah dan biar pun dia tidak melihat cara gadis itu menyerang si rambut merah, namun dia maklum juga bahwa dara ini selain cantik jelita dan berpengaruh, juga tentu memiliki kepandaian tinggi.
Di lain fihak, nona itu pun memandang Tio Sun dengan rasa kagum, menatap wajah yang membayangkan kesederhanaan, kejujuran dan kegagahan itu, wajah yang biar pun tidak dapat dikatakan tampan, namun juga tidak buruk dan cukup jantan.
Tio Sun yang masih memandang kagum, diam-diam dia merasa terheran-heran juga. Nona ini adalah seorang gadis pribumi, akan tetapi tadi telah menggunakan bahasa orang asing, bahasa orang biadab itu ketika bercakap-cakap dengan mereka! Hal ini tentu saja menambah kekagumannya dan kini dia menjura dengan hormat sambil berkata,
"Banyak terima kasih atas bantuan nona yang sudah berhasil menyuruh mereka pergi sehingga keributan ini dapat dihentikan."
Dara itu tersenyum dan balas memberi hormat. "Engkau begini sopan dan ramah, taihiap (pendekar besar), sungguh mengherankan bagaimana dapat bentrok dengan mereka?"
Kembali Tio Sun terkejut. Ternyata gadis ini dapat bicara dalam bahasa daerah yang baik sekali! Hal ini membuktikan bahwa dia benar-benar berhadapan dengan seorang gadis pribumi, akan tetapi bagaimana tadi gadis ini dapat bicara dalam bahasa asing terhadap gerombolan orang kasar itu? Dia makin kagum akan kepintaran gadis ini, maka dia cepat menjawab,
"Nona, sesungguhnya tidak ada urusan pribadi antara saya dengan mereka. Saya sedang makan di warung sana saat saya mendengar jerit seorang wanita. Saya cepat lari ke sini dan melihat seorang gadis nelayan sedang ditarik-tarik oleh dua orang di antara mereka tadi, yaitu yang berambut merah dan pirang tadi. Mereka agaknya sedang mabok, maka melihat gadis nelayan itu berteriak minta tolong dan mereka mempergunakan kekerasan, saya lalu mencegah. Kemudian datang teman-teman mereka dan saya dikeroyok."
"Dan tikus-tikus itu akan mati semua sekiranya taihiap menghendaki. Betapa tidak tahu diri mereka itu!"
Tio Sun terkejut karena ucapan ini jelas menunjukkan betapa tajam pandang mata dara ini dan ini saja sudah jelas membuktikan bahwa dara ini tentu pandai ilmu silat sehingga tahu bahwa dia tadi melayani pengeroyokan mereka itu dengan mempergunakan tenaga terukur agar jangan sampai kesalahan tangan membunuh mereka.
"Ahh, nona terlalu memuji...!" katanya.
Akan tetapi dia sendiri merasa heran mengapa hatinya menjadi begini girang mendengar nona ini menyebutnya ‘taihiap’ dan mengetahui bahwa dia tadi tidak bersungguh-sungguh menghajar belasan orang itu? Biasanya, baginya pujian-pujian hanya akan menimbulkan perasaan muak karena sejak kecil dia telah digembleng ayahnya hingga dia menganggap pujian orang lain sebagai suatu hal yang amat berbahaya.
Jangan mendengarkan pujian, demikian kata ayahnya, karena pujian itu merupakan racun yang dapat membuat dirimu menjadi tinggi hati dan sombong sehingga akan mengurangi kewaspadaan. Sekarang, nona ini memujinya dan baru pertama kali selama hidupnya dia merasa girang dan bangga!
"Saya tidak memuji, hanya bicara tentang apa adanya. Taihiap berilmu tinggi dan sudah lama sekali saya ingin berjumpa dengan seorang pendekar seperti taihiap yang banyak saya dengar dari cerita ibu saya. Menurut ibu saya, seorang pendekar sakti yang budiman seperti taihiap akan selalu siap membantu orang yang dilanda mala petaka, benarkah itu?"
Tio Sun merasa tidak enak juga mendengar dia dianggap sebagai seorang pendekar sakti yang budiman! Sudah terlampau berlebihan pujian ini! Akan tetapi karena sikap dara itu jujur dan tidak dibuat-buat, dia menjawab juga, "Nona, saya bukanlah seorang pendekar sakti budiman, akan tetapi sebagai seorang manusia, tentu saja saya selalu siap untuk menolong manusia lain yang dilanda mala petaka."
"Kalau begitu, harap taihiap sudi menolong saya yang sedang dilanda mala petaka dan menderita kegelisahan hebat ini!" Berkata demikian, nona itu tiba-tiba lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Tio Sun.
Tentu saja pemuda itu menjadi terkejut bukan kepalang. "Ahhh, nona... Jangan berbuat demikian... tentu saja saya selalu siap sedia membantumu... harap jangan berlutut seperti ini."
Tio Sun memegang kedua lengan yang kecil itu dan menarik nona itu untuk bangun. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa sedikit pun nona itu tidak dapat diangkatnya naik. Nona itu ternyata telah mengerahkan ilmu memberatkan tubuh!
"Saya tidak akan bangkit kalau taihiap belum berjanji akan menolong saya."
"Janji baru dapat diberikan apa bila saya sudah mendengar urusannya, nona. Bagaimana pun juga saya hanya akan membantu fihak yang benar." Tio Sun yang maklum bahwa gadis ini sengaja hendak mengujinya, lalu mengerahkan sinkang-nya.
Gadis itu mempertahankan diri, akan tetapi Tio Sun adalah putera tunggal Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan yang memiliki ilmu menghimpun tenaga selaksa kati yang amat hebat. Maka dara itu akhirnya tidak kuat bertahan dan tubuhnya dapat diangkat oleh Tio Sun.
Akan tetapi, biar pun dengan dipegang kedua lengannya dia dapat diangkat, tetap saja dia masih dalam keadaan berlutut seakan-akan tubuhnya menjadi kaku seperti batu! Tio Sun terkejut dan kagum sekali. Tak salah dugaannya bahwa nona ini memiliki kepandaian yang tinggi juga!
"Harap nona tidak sungkan-sungkan dan marilah kita bicara," katanya sambil melepaskan dua lengan itu. Nona itu pun turun dalam keadaan berdiri dan di dalam kegelapan malam itu dia memandang dengan wajah berseri penuh harapan.
"Di sini bukan tempat bicara. Marilah saya persilakan taihiap untuk singgah di rumahku, di sana kita dapat berbicara dengan leluasa, dan saya akan menceritakan mala petaka apa yang menimpa diri saya."
Tio Sun mengangguk. Kalau seorang gadis yang memiliki kepandaian begini hebat, dan juga mempunyai pengaruh terhadap orang-orang kasar tadi sampai dapat dilanda mala petaka, tentulah telah terjadi hal yang amat hebat.
Mereka lalu berangkat menuju ke rumah gadis itu, akan tetapi terlebih dahulu Tio Sun mengajak nona itu singgah di warung untuk membayar makanan yang tadi dipesannya dan yang belum dimakannya sampai habis. Pemilik warung yang sudah mendengar akan perkelahian Tio Sun yang dikeroyok oleh banyak orang-orang asing itu menyambut sambil membungkuk hormat, akan tetapi sikapnya menjadi makin menghormat ketika dia melihat nona itu datang bersama Tio Sun.
"Ah, kiranya Souw-siocia (nona Souw)... silakan duduk, nona...," kata pemilik warung dan dara itu mengucapkan terima kasih dan menanti di luar sampai Tio Sun selesai membayar harga makanan.
Diam-diam nona itu menjadi semakin kagum dan girang. Tidak salah lagi, pikirnya. Seperti inilah seorang pendekar budiman yang sering kali dia mendengar diceritakan oleh ibunya akan tetapi yang belum pernah dijumpainya.
Pada lain fihak Tio Sun tercengang ketika nona itu mengajaknya memasuki pekarangan sebuah bangunan yang besar dan megah.
"Inikah rumahmu, nona?" tanyanya dengan ragu-ragu.
Nona itu tersenyum. "Harap jangan pedulikan rumah, taihiap. Engkau datang untuk bicara dengan aku, bukan dengan rumah, bukan?"
Tio Sun mengangguk. Benar, mengapa dia ribut tentang keadaan nona ini? Apa bedanya andai kata nona ini seorang miskin sekali atau pun seorang yang kaya raya? Mereka memasuki ruangan depan, disambut oleh dua orang pelayan wanita yang memberi hormat kepada nona majikan mereka dan kepada tamu itu. Dara itu mengajak Tio Sun memasuki sebuah ruangan besar, ruang tamu dan memerintahkan dua orang pelayannya untuk mempersiapkan hidangan.
"Ahh, tidak perlu repot-repot, nona...," Tio Sun mencegah.
"Tidak repot, akan tetapi memang seharusnya. Bukankah taihiap sedang makan ketika taihiap mendengar wanita minta tolong? Nah, aku pun belum makan malam maka sudah sepatutnya kalau saya mengajak taihiap makan malam bersama."
Mereka duduk berhadapan terhalang meja dan Tio Sun makin heran melihat sikap dara ini yang begitu terbuka dan polos, tidak bersikap malu-malu seperti kebanyakan gadis yang dijumpainya. Akan tetapi ketika dia memandang dan kini wajah gadis itu nampak jelas karena disinari lampu gantung di atas mereka, Tio Sun terkejut bukan main.
Gadis itu cantik sekali! Cantik bukan main, seperti gambar seorang bidadari! Akan tetapi matanya berwarna kebiruan dan rambutnya keemasan! Seorang gadis asing! Akan tetapi kulitnya yang kuning, tata rambutnya, pakaiannya, bicaranya adalah seratus prosen gadis pribumi. Hanya warna mata dan rambutnya! Dia memandang bengong!
"Eh, taihiap, engkau sedang memandang apa?" Nona itu menegur ketika melihat Tio Sun terlongong bagai orang terkena pesona, senyumnya melebar dan di sebelah kiri mulutnya muncul lesung pipit yang manis sekali.
Kini tampak jelas oleh Tio Sun betapa dara itu sebetulnya masih amat muda, akan tetapi agaknya memang mempunyai tubuh yang lebih besar dari pada gadis-gadis biasa, karena biar pun tubuhnya yang padat itu seperti tubuh dara yang matang, akan tetapi wajahnya menunjukkan bahwa dia baru saja di ambang pintu kedewasaan, paling banyak tujuh belas tahun usianya.
"Maaf... ehh, saya kira nona seorang gadis pribumi, akan tetapi..."
Nona itu menghela napas panjang. "Kau maksudkan mataku biru dan rambutku agak keemasan?"
Lega hati Tio Sun dan dia mengangguk, karena rasanya amat tidak enak kalau dia yang harus mengatakan hal itu.
"Memang demikianlah" kata nona itu. "Kalau aku dikatakan gadis pribumi, hal itu benar, dan namaku adalah Souw Kwi Eng, akan tetapi kalau ada yang mengatakan bahwa aku seorang gadis asing, itu pun benar dan namaku adalah Maria de Gama. Ayahku seorang Portugis asli akan tetapi ibuku seorang Tionghoa asli pula."
"Aihhh, kiranya begitukah...?" Tio Sun memandang dengan penuh kagum, terheran-heran karena baru sekarang ini dia bertemu dengan seorang gadis peranakan yang berdarah campuran. Akan tetapi harus diakuinya bahwa selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang gadis yang begini mempesonakan, begini cantik jelita, kecantikan yang khas dan amat menawan hatinya yang berdebar-debar.
"Akan tetapi ayahku bukan seperti orang-orang kasar yang mengeroyokmu tadi, taihiap. Ayahku adalah seorang terpelajar, yang di negaranya termasuk seorang ahli pedang yang disegani, dan dulu di sini terkenal sebagai pemilik kapal dan juga kapten kapal. Ada pun ibuku juga seorang pendekar wanita yang terkenal, karena ibuku adalah murid Panglima The Hoo yang terkenal itu. Ayahku bernama Yuan de Gama, maka aku memakai nama Maria de Gama, sedangkan ibuku she Souw, maka aku pun memakai nama keturunan Souw."
Tio Sun kelihatan terkejut bukan main mendengar nama-nama itu. Dia pernah mendengar penuturan ayahnya tentang nama-nama itu.
“Nona... apakah ibumu bernama Souw Li Hwa...?"
Wajah nona yang cantik itu berseri gembira. "Kau telah mengenal ibuku?"
Tio Sun menggeleng kepala. "Aku hanya mendengar dari ayah. Ketahuilah nona, bahwa ayahku bernama Tio Hok Gwan dan ayah adalah bekas pengawal setia dari mendiang Panglima Besar The Hoo, oleh karena itu ayah tentu saja mengenali murid beliau, yaitu ibumu yang bernama, Souw Li Hwa. Akan tetapi..." Dia memandang wajah yang cantik jelita itu dengan alis berkerut karena dia merasa sangsi, bahkan agak curiga memandang nona itu.
"Akan tetapi apakah, taihiap?"
"Menurut cerita ayahku, pendekar wanita Souw Li Hwa telah tewas, tenggelam bersama Yuan de Gama di atas kapal... bagaimana mungkin sekarang tiba-tiba muncul seorang puterinya...?"
"Memang begitulah yang diketahui oleh semua orang, akan tetapi ada rahasia di balik semua itu, taihiap. Sebetulnya ayah merahasiakan keadaan kami ini, akan tetapi karena sekarang aku menghadapi mala petaka dan membutuhkan bantuanmu, apa lagi setelah aku mengetahui bahwa engkau adalah putera seorang pengawal setia dari mendiang The-sucouw (kakek guru The), biarlah aku menceritakannya kepadamu."
Dara itu kemudian bercerita yang didengarkan oleh Tio Sun dengan penuh perhatian dan kekaguman. Tentu saja pembaca cerita Petualang Asmara juga merasa terheran-heran mendengar pengakuan nona peranakan yang bernama Maria de Gama alias Souw Kwi Eng itu, karena para pembaca tentu masih ingat betapa Souw Li Hwa, pendekar wanita perkasa murid Perdana Menteri The Hoo itu, telah tewas bersama pemuda asing yang dicintainya, yaitu Yuan de Gama. Oleh karena itu, marilah kita mendengarkan penuturan nona cantik yang mengaku sebagai puteri Souw Li Hwa itu.
Seperti yang telah diceritakan dalam cerita ‘Petualang Asmara’, Yuan de Gama, seorang pemuda Portugis yang gagah perkasa, sebagai seorang kapten kapal tidak mau pergi meninggalkan kapalnya yang terbakar dan tenggelam.
Setiap orang kapten yang terhormat dan gagah perkasa harus sehidup semati dengan kapalnya, maka biar pun dia masih mempunyai kesempatan untuk menyelamatkan diri, meninggalkan kapalnya yang mulai tenggelam, Yuan de Gama tetap berkeras tidak mau meninggalkannya.
Dan seorang dara cantik jelita dan perkasa, murid Panglima The Hoo yang bernama Souw Li Hwa, juga bersikeras tidak mau meninggalkan Yuan de Gama yang dicintanya. Kedua orang muda-mudi yang saling mencinta ini saling berpelukan dan ikut tenggelam bersama kapal yang terbakar itu, disaksikan oleh ribuan pasang mata yang merasa amat terharu dan kagum sekali, termasuk mata pendekar-pendekar Cia Keng Hong, Yap Kun Liong, Panglima Besar The Hoo dan lain-lain.
Sudah dapat dipastikan kedua orang muda yang saling mencinta itu akan mati tenggelam di lautan kalau saja pada saat kapal tenggelam itu tidak terjadi sesuatu yang amat luar biasa. Seorang laki-laki tua yang berpakaian nelayan, yang tidak mau mencampuri perang yang terjadi antara pihak pemberontak dan tentara pemerintah dan yang ikut menyaksikan terbakarnya kapal dan ikut tenggelamnya pasangan yang saling berpelukan itu bersama kapalnya, memandang peristiwa itu dengan air mata menitik turun di kedua pipinya yang keriputan. Akhirnya tanpa ada yang melihatnya, kakek tua renta yang berpakaian sebagai nelayan sederhana lalu meloncat dan terjun ke dalam air, menyelam dan lenyap.
Demikianlah, Yuan de Gama dan Souw Li Hwa yang sudah hampir mati lemas, tahu-tahu telah berada di darat, di tempat yang sunyi dalam hutan. Kiranya mereka sudah ditolong dan diselamatkan oleh kakek nelayan itu.
Mula-mula Yuan de Gama marah-marah karena hidupnya itu merupakan suatu hal yang sangat memalukan, dan dia dapat dianggap seorang pengecut karena sebagai seorang kapten dia tidak mati tenggelam bersama tenggelamnya kapal. Hampir saja dia marah dan menyerang kakek itu, akan tetapi dicegah oleh Souw Li Hwa yang menangis dan menyatakan keinginan hidupnya bersama kekasihnya itu setelah ternyata mereka berdua masih hidup.
Sedangkan kakek itu dengan sabar dan tenang lalu berkata, "Mungkin sekali kebiasaan bangsamu itu dianggap sebagai perbuatan gagah perkasa, akan tetapi di sini hanya akan dianggap sebagai perbuatan tolol, suatu pembunuhan diri yang konyol. Bagaimana nyawa manusia disamakan dengan tenggelamnya sebuah benda mati seperti kapal? Lagi pula, engkau telah memenuhi kebiasaan itu, sudah tenggelam bersama kapalmu, maka apakah salahnya jika hal itu tidak membuat kau mati karena memang Thian belum menghendaki engkau mati? Setelah sekarang kapalmu tenggelam dan kau dapat kuselamatkan di sini, apakah kau lalu akan membunuh dirimu sendiri bersama wanita yang amat setia padamu ini?"
Mendengar ucapan kakek nelayan sederhana itu, Yuan de Gama tertegun dan tidak dapat membantah. Memang, kapalnya sudah tenggelam dan dia ternyata masih hidup, bukan atas kehendaknya karena dia ditolong dalam keadaan tidak sadar. Tak mungkin sekarang dia harus mengajak Souw Li Hwa untuk bersama-sama membunuh diri! Kematian gagah seorang kapten adalah tenggelam bersama kapalnya, bukannya membunuh diri secara konyol satelah kapalnya tidak ada lagi!
Akhirnya Yuan de Gama dapat melihat kebenaran itu dan tak lama kemudian dia saling rangkul dengan Souw Li Hwa yang menangis sesenggukan sehingga Yuan tidak dapat bertahan lagi untuk tidak ikut mencucurkan air mata. Kakek nelayan itu tertawa bergelak saking girangnya dan demikianlah, mulai saat itu Yuan de Gama dan Souw Li Hwa hidup sebagai suami isteri dan kakek nelayan itu yang ternyata memiliki kepandaian renang dan bermain di dalam air seperti seekor ikan saja, menjadi pembantu mereka.
Yuan de Gama masih merasa sungkan untuk muncul di tempat ramai dan ketahuan oleh orang-orang bahwa dia tidak lagi menjadi seorang kapten yang gagah perkasa. Maka dia mengajak Souw Li Hwa untuk hidup sunyi di pantai laut dalam hutan, hanya ditemani oleh kakek nelayan itu.
Akan tetapi, setelah setahun kemudian Souw Li Hwa melahirkan anak kembar, terpaksa Yuan mengajak keluarganya pindah ke kota Yen-tai dan di situ dia hidup sebagai seorang pedagang yang dalam waktu beberapa tahun saja telah menjadi kaya raya.
"Demikianlah, taihiap, aku diberi nama Maria de Gama alias Souw Kwi Eng, sedangkan kakak kembarku bernama Richardo de Gama seperti kakek, alias Souw Kwi Beng. Kakek nelayan itu mengajar kami berdua ilmu di dalam air, sedangkan ibu mengajar kami ilmu silat. Dua tahun yang lalu kakek nelayan itu telah meninggal dunia karena usia tua."
Mendengar penuturan itu, Tio Sun cepat bangkit dari kursinya dan menjura dengan penuh hormat. "Maafkan kesangsian saya tadi. Kiranya nona adalah puteri pendekar Souw Li Hwa yang dipuji-puji oleh ayah, dan setelah mendengar siapa adanya nona, maka tentu saja saya siap untuk membantu nona."
"Terima kasih, taihiap..."
"Maaf, harap nona tidak menyebut saya taihiap. Saya adalah putera ayah saya Tio Hok Gwan yang mengenal baik ibu nona, dan nama saya Tio Sun. Sekarang, perkenankan saya menghadap ibu nona untuk menyampaikan hormat saya..."
"Aihhh, kalau ibu berada di rumah, tentu sudah sejak tadi dia keluar. Tio-taihiap... eh, baik kusebut kau twako saja, ya?"
"Terserah, asal jangan menyebut taihiap, karena saya tidak pantas disebut taihiap."
"Baiklah, Tio-twako. Ketahuilah bahwa sudah hampir setengah tahun ini ayah ibuku pergi berkunjung ke barat, ke negeri ayahku di Portugal. Aku dan Beng-koko tidak boleh ikut dan diharuskan melanjutkan perdagangan ayah sambil menjaga rumah. Akan tetapi baru beberapa hari yang lalu terjadilah mala petaka itu."
"Peristiwa apakah yang terjadi, nona?"
"Kakakku diculik orang..." Wajah itu seketika menjadi muram, pandang matanya diliputi kegelisahan.
Tio Sun amat terkejut, akan tetapi pada saat itu, empat orang pelayan datang membawa hidangan yang segera diatur di atas meja.
"Nanti saja kita lanjutkan, twako,", kata Kwi Eng dan mereka lalu makan.
Tio Sun yang kini sudah mengenal siapa adanya dara yang amat menarik hatinya ini tidak sungkan-sungkan lagi. Mereka makan tanpa bicara, kecuali kalau Kwi Eng menawarkan ini-itu kepada tamunya. Setelah selesai makan dan sisanya diasingkan oleh para pelayan, mereka kini duduk berdua lagi dan bercakap-cakap.
"Sekarang ceritakanlah bagaimana kakakmu itu sampai bisa diculik orang, nona. Melihat kelihaianmu, tentu kakak kembarmu itu pun seorang yang tidak akan mudah diculik orang begitu saja."
"Dugaanmu memang benar, twako. Beng-koko memiliki kepandaian yang cukup, bahkah lebih pandai dari pada aku. Selama belajar aku hanya dapat mengatasi kakakku itu dalam ilmu di dalam air saja, akan tetapi dalam latihan ilmu silat, dia lebih pandai dariku. Akan tetapi yang menculiknya juga bukan orang biasa melainkan gerombolan bajak laut Jepang yang diketuai oleh seorang yang lihai sekali bernama Tokugawa, yang terkenal sebagai seorang jagoan samurai yang menyeleweng menjadi kepala bajak. Di antara Tokugawa dan ayah ibu memang terdapat permusuhan, dimulai ketika Tokugawa dan anak buahnya merampok kapal milik ayah. Ayah bersama ibu kemudian segera merampasnya. Di dalam pertandingan satu lawan satu itu Tokugawa dikalahkan oleh ibu. Semenjak itu, Tokugawa agaknya tergila-gila kepada ibu dan memiliki niat tidak baik, ingin membunuh ayah dan merampas ibu! Tentu saja ayah dan ibu menentangya dan selalu gerombolan Tokugawa dikalahkan. Dan kini, setelah ayah dan ibu pergi ke barat, agaknya Tokugawa berani lagi bermain gila. Setelah dia dikalahkan untuk yang terakhir kalinya, dia tidak berani muncul lagi dan kabarnya menyembunyikan diri di Pulau Hiu yang kosong. Tiba-tiba, beberapa hari yang lalu dia muncul, tentu telah menggunakan akal sehingga dia berhasil menculik Beng-koko dan mengirim surat kepadaku. Inilah suratnya!"
Dengan wajah gelisah Kwi Eng lalu memperlihatkan sesampul surat yang ditulis dengan huruf-huruf kasar namun cukup jelas untuk dapat dibaca.
‘Apa bila ingin melihat pemuda peranakan asing pulang dengan selamat, kirimkan kapal Angin Timur ke Pulau Hiu sebagai penukarnya.’
Di bawah huruf-huruf itu, terdapat sebuah gambar tengkorak hitam.
"Apakah artinya gambar ini?" tanya Tio Sun setelah membaca surat itu.
"Itulah julukan Tokugawa, Si Tengkorak Hitam yang menjadi bendera gerombolannya."
Setelah mengembalikan surat itu, Tio Sun kembali bertanya, "Dan kapal Angin Timur itu adalah milik ayahmu?"
"Ya, kapal itu milik kami, kapal yang terbesar dan belum lama ini dibeli oleh ayah dari barat."
"Kenapa kau tidak melaporkan kepada yang berwajib, nona? Bukankah sudah jelas ada bukti dengan surat itu?"
"Brakkkk…!" Kwi Eng menggebrak meja sampai meja itu tergetar.
"Itulah hal yang menjengkelkan dan menggemaskan! Kau tahu, twako, semua pembesar korup itu telah makan sogokan dari setiap orang. Siapa saja yang mampu menyogoknya, tentu akan dilindungi, bahkan penjahat sekali pun tidak akan mereka ganggu selama penjahat itu melakukan sogokan dan membagi hasil!"
"Kau maksudkan Tokugawa telah menyuap para pembesar?"
"Hal itu sudah diketahui oleh umum. Karena yang berani menentang mereka hanya ayah dan ibuku, maka kini Tokugawa menentang kami dan berani mengganggu kami. Hal ini oleh para pembesar dianggap sebagai permusuhan pribadi sehingga mereka tidak mau mencampuri."
"Hemmm... dan tentunya kapal itu amat berharga sehingga engkau merasa sayang untuk menukarnya dengan kakakmu?"
"Tio-twako!" Tiba-tiba dara itu bangkit berdiri dan memandang Tio Sun dengan sinar mata berapi. "Kau kira orang macam apa aku ini?"
Tio Sun cepat-cepat bangkit berdiri dan menjura. Hebat gadis ini, pikirnya. Penuh dengan semangat dan api!
"Maafkan, nona. Aku tidak menyangka apa-apa, hanya bertanya untuk mengetahui bagai mana tanggapanmu terhadap surat ancaman bajak itu."
Mereka duduk kembali dan Kwi Eng menarik napas panjang. "Engkau tentu tahu betapa sayangku kepada kakak kembarku itu, twako. Jangankan hanya sebuah kapal, meski pun seluruh harta benda kami akan kuserahkan untuk menebus keselamatan kakakku. Akan tetapi kau tidak tahu siapa adanya Tokugawa, kepala bajak yang seperti iblis itu. Dia tahu bahwa ayah dan ibu tidak ada, maka dia minta tebusan kapal dan aku tahu bahwa kalau kapal itu kuberikan, tetap saja Beng-koko tidak akan dia bebaskan begitu saja. Yang dia kehendaki adalah ibu atau... aku."
"Maksudmu?"
Kwi Eng menundukkan mukanya. "Dulu Tokugawa pernah tergila-gila kepada ibu karena ibulah satu-satunya wanita yang pernah mengalahkannya dalam ilmu silat. Akan tetapi… sesudah niatnya itu gagal, dia pernah mengajukan… lamaran kepada orang tuaku untuk minta... aku sebagai isterinya."
"Hemmm, manusia keparat!"
"Memang, dia kurang ajar sekali. Kini, dengan ditawannya kakakku, aku mengerti bahwa tentu dia akan menggunakan kakak sebagai sandera untuk memerasku, dan juga untuk memaksa agar aku suka menuruti kehendaknya itu."
"Hemm... lalu bagaimana kehendakmu, nona?"
"Aku akan melawan! Aku akan melawan mati-matian!"
"Bagus kalau begitu!"
"Aku sudah siap, twako. Aku sudah mempersiapkan anak buah ayahku yang terdiri dari lima puluh orang untuk menyerbu ke Pulau Hiu. Akan tetapi selama ini aku masih selalu menunda niatku itu karena aku tahu bahwa baik kakakku mau pun aku sendiri, tidak akan dapat mengalahkan Tokugawa. Bukannya aku takut kalah. Akan tetapi kalau sampai aku kalah, bukankah berarti hanya mati konyol dan kakakku pun tidak akan tertolong? Aku tengah menanti-nanti kembalinya ibu atau hendak mencari seorang pembantu yang punya kepandaian tinggi. Dan... agaknya Thian telah mengirimkan twako ke sini sehingga aku bertemu dengan twako. Dengan adanya twako yang membantu, twako tentu akan dapat menandingi Tokugawa dan kita akan dapat menyelamatkan Beng-koko."
"Kepandaianku tidak seberapa, nona, akan tetapi sesudah mendengar penuturanmu, aku ingin berhadapan dengan Tokugawa si keparat kurang ajar itu dan aku mempertaruhkan nyawaku untuk menolong kakakmu."
"Aku sudah melihat gerakanmu ketika engkau dikeroyok tadi, twako, dan aku yakin bahwa engkau tentu akan sanggup menandingi Tokugawa. Hanya saja, kuharap engkau mau berhati-hati dan tidak memandang rendah senjata pistol mereka."
"Pistol?" Tio Sun belum pernah mendengar akan senjata ini.
"Agaknya engkau belum pernah melihat senjata itu. Tadi ketika engkau dikeroyok, hampir saja engkau ditembak dengan pistol oleh Pedro si pengecut. Baiknya aku melihatnya dan mendahuluinya."
"Hemm, jadi itukah sebabnya maka nona mempergunakan hui-to untuk melukai tangan si rambut merah itu? Dia hendak menggunakan senjata pistol? Senjata rahasia apakah itu?"
"Sebuah senjata api, pelurunya digerakkan oleh obat peledak. Berbahaya sekali karena peluru itu cepat sekali menyambarnya, sukar dielakkan karena cepatnya."
Tio Sun mengangguk-angguk. "Kiranya senjata api dengan obat peledak. Akan tetapi, aku pernah mendengar bahwa pemerintah melarang orang-orang membawa senjata seperti itu."
"Memang benar demikian, maka tadi pun aku mengancam Pedro dan kawan-kawannya. Akan tetapi siapa dapat melarang bajak-bajak yang hidupnya liar di atas lautan? Hanya baiknya, menurut apa yang kudengar, sebagai seorang bekas jagoan samurai Tokugawa pantang mempergunakan senjata barat itu dan hanya mengandalkan pedang samurainya yang amat dibanggakannya. Mungkin di antara anak buahnya ada yang membawa pistol, akan tetapi jangan khawatir, aku pun mempunyai beberapa buah pistol yang akan kubagi-bagikan kepada anak buahku. Aku sendiri lebih senang mempergunakan hui-to dari pada pistol yang sebetulnya kalah cepat karena pistol harus membidik dan mengisi obat peluru. Pendeknya, dengan bantuanmu aku yakin akan bisa menyelamatkan Beng-koko, bahkan dapat membasmi Tokugawa beserta anak buahnya." Gadis itu kelihatan bergembira dan bersemangat sekali.
"Kapan kita berangkat, nona?"
"Besok sore, twako. Besok akan kupersiapkan anak buahku, lalu pada sore harinya kita berangkat dengan kapal Angin Timur. Kita bersikap seakan-akan memenuhi permintaan si jahanam Tokugawa. Hendak kulihat bagaimana macam mukanya kalau dia melihat kita menyerbu pulau itu."
Malam itu Tio Sun tidur di dalam sebuah kamar tamu di rumah Kwi Eng. Hatinya gembira sekali sehingga malam itu tidurnya diisi dengan mimpi indah bersama dara jelita yang amat menarik hatinya itu…..
********************
Malam itu bulan purnama muncul di langit yang cerah. Sinar bulan yang sejuk menerangi permukaan kapal yang meluncur dengan tenangnya, dan Tio Sun yang berdiri di geladak kapal itu asyik memandangi bayangan bulan yang menari-nari di atas permukaan air laut, membuat jalur jalan keemasan. Air hanya berkeriput sedikit saja dan agaknya kalau tidak ada kapal yang meluncur itu, air laut mungkin akan diam seperti kaca.
"Sebentar lagi barulah air laut akan bergelombang besar," kata Kwi Eng yang tiba-tiba muncul di dekat Tio Sun.
"Indah sekali pemandangannya, nona. Mengagumkan sekali."
Kwi Eng tertawa ditahan. "Memang demikianlah bagi yang belum pernah melihatnya. Hidup merupakan pengulangan-pengulangan yang membosankan sehingga hanya hal-hal yang baru saja yang akan menarik hati. Cobalah twako tanyakan kepada setiap orang nelayan atau mereka yang biasa hidup di atas lautan, malam bulan purnama seperti ini sama sekali tidak ada keindahannya. Para pelaut tentu akan lebih mengagumi keindahan di pegunungan, akan tetapi sebaliknya para penghuni gunung sama sekali tidak lagi dapat menikmati tamasya alam di pegunungan."
Tio Sun menghela napas panjang. "Agaknya engkau suka berfilsafat, nona."
Kwi Eng tertawa lagi. "Mungkin hanya terpengaruh oleh kitab-kitab yang diajarkan oleh ibu kepadaku. Lihat, air laut mulai bergelombang, twako. Sebentar lagi tentu gelombang akan cukup besar sehingga berdiri di sini tidak menyenangkan lagi. Apa lagi bagi twako yang tidak biasa, jangan-jangan malah memabokkan. Mari kita masuk saja ke dalam, twako."
Tio Sun melihat bayangan bulan tadi sudah pecah-pecah dan merasakan goyangan kapal ke kanan kiri. Dia mengangguk dan keduanya lantas memasuki bilik yang cukup besar di mana tersedia meja kursi.
"Bagaimana kau bisa tahu bahwa gelombang akan datang, nona? Padahal tadi tenang-tenang saja, bahkan air laut hampir tidak bergerak sama sekali."
"Karena belum tiba saatnya, twako. Akan tetapi setiap malam terang bulan, air laut pasti bergelombang besar. Karena itu para nelayan lebih senang mencari ikan di waktu malam gelap."
Kwi Eng sengaja memberangkatkan kapal itu di malam hari agar tidak menarik perhatian orang-orang di pantai, karena dia tahu bahwa sudah pasti di antara anak-anak buah bajak Tengkorak Hitam, ada yang memata-matai gerakannya. Dia mengerahkan anak buahnya kurang lebih lima puluh orang, sebagian besar adalah pribumi ditambah belasan orang anak buah bangsa asing yang bekerja pada perusahaan ayahnya.
Dia sendiri memakai pakaian ringkas, dengan sepatu yang hitam mengkilap, sepatu boot yang tinggi sampai di lututnya. Sebatang pedang tergantung di punggungnya dan Tio Sun memandang kagum karena dara itu benar-benar kelihatan gagah perkasa.
Malam itu gelombang amat besar dan kapal Angin Timur yang besar itu tidak dapat laju, harus menentang gelombang dan perlahan-lahan mendekati sebuah pulau yang terpencil jauh dari pulau-pulau lain. Menjelang pagi, ombak telah mereda dan kapal itu baru berani membuang sauh di dekat pulau, menanti sampai datangnya pagi.
Setelah bola emas besar sekali itu muncul dari permukaan air di sebelah timur, membakar lautan menjadi merah menyala, barulah kapal itu kembali bergerak menuju ke pulau yang memanjang dan dari jauh kelihatan seperti seekor ikan hiu sedang meliuk. Yang berada di atas dek hanya Kwi Eng, Tio Sun bersama beberapa orang anak buah yang bertugas memegang kemudi dan mengatur layar.
Kapal besar itu kelihatan sunyi sekali dan kosong, karena yang berada di atas geladak tidak sampai sepuluh orang. Selebihnya, atas perintah Kwi Eng, menyembunyikan diri di bawah dan di balik bilik. Pembantu yang mengemudikan kapal itu telah hafal akan tempat ini, maka dengan hati-hati dia dapat memilih jalan yang aman dan menempelkan kapal di tepi pulau yang airnya dalam.
Di situ nampak beberapa buah perahu besar yang bercat hitam. Beberapa orang yang tadinya berada di situ, segera berlari-lari ke daratan ketika melihat Kapal Angin Timur itu.
Tak lama kemudian, muncullah seorang laki-laki setengah tua, usianya kurang lebih lima puluh lima tahun, bertubuh pendek tegap, kelihatan kokoh kuat dengan kedua lengannya yang pendek agak membengkok ke dalam. Dia memakai pakaian yang berlengan pendek sampai ke siku dan berkaki pendek sampai ke lutut hingga nampaklah otot-otot di lengan serta kakinya yang melingkar-lingkar dan besar menggembung, tanda bahwa orang itu bertubuh kuat dan bertenaga besar.
Rambutnya diikat pada bagian atas kemudian dibiarkan terurai di belakang lehernya, dan di pinggangnya nampak sebatang pedang melengkung panjang, yaitu sebatang pedang samurai bergagang panjang. Kedua kakinya memakai sandal sederhana, dan mukanya tertutup kumis dan brewok yang membuat orang ini kelihatan menyeramkan. Inilah dia Tokugawa, kepala bajak laut Tengkorak Hitam yang amat ditakuti oleh para pemilik kapal karena kejamnya.
Oleh karena itu, melalui perantara kepala bajak laut ini yang bukan lain adalah pembesar di kota Yen-tai sendiri, para pedagang dan pemilik kapal rela membayar uang sumbangan atau hadiah kepada kepala bajak ini agar kapal-kapal mereka dibebaskan dari gangguan Tengkorak Hitam. Tentu saja hal ini membuat Tokugawa menjadi seorang yang kaya raya dan hanya karena permusuhannya dengan Yuan de Gama beserta isterinya saja yang akhirnya membuat Tokugawa sampai terpaksa melarikan diri ke Pulau Hiu, di mana dia kemudian membangun sebuah rumah besar dan menjadikan pulau itu sebagai tempat persembunyiannya atau sebagai pusat dari gerombolan bajak Tengkorak Hitam.
Tokugawa tadinya adalah seorang jagoan samurai di Jepang. Golongan samurai ini amat termasyhur di Jepang yang muncul pada abad ke sebelas. Pertama-tama muncul para pimpinan golongan-golongan dan menamakan diri mereka sebagai pendekar yang disebut daimyo (yang bernama besar) dan para daimyo ini yang karena sifatnya seperti seorang jenderal pemimpin pasukan, maka muncullah golongan samurai (mereka yang mengabdi).
Senjata utama para pendekar ini adalah pedang panjang yang bergagang panjang pula, yang bentuknya agak melengkung. Banyak di antara jagoan-jagoan samurai yang sudah tidak bertugas dalam pasukan seorang daimyo, lalu menjadi perantau. Sifat mereka amat menjunjung tinggi nama baik mereka sebagai jagoan samurai, mengutamakan kagagahan, seperti halnya para pendekar di Tiongkok.
Akan tetapi, setelah tidak ada lagi disiplin kelompok yang mengikatnya, berubahlah watak Tokugawa akibat mabok akan wajah cantik wanita dan mabok akan kesenangan duniawi, sehingga dia lalu dimusuhi oleh para jagoan samurai lainnya, karena dianggap sebagai seorang yang mencemarkan nama samurai. Tokugawa lalu melarikan diri dan akhirnya dia muncul sebagai kepala bajak yang disegani di sepanjang pantai Teluk Po-hai.
Benar seperti diceritakan oleh Kwi Eng kepada Tio Sun, bekas jagoan samurai ini ketika bentrok dengan Yuan de Gama dan bertanding satu melawan satu dengan Souw Li Hwa, samurainya tidak mampu menandingi Li Hwa dan tentu saja dia menjadi kagum bukan main. Di samping suka akan wanita dan kedudukan serta kehormatan, juga bekas jagoan samurai ini suka sekali akan kegagahan, maka melihat kegagahan Li Hwa, dia menjadi tergila-gila kepada nyonya itu!
Akan tetapi ternyata dia selalu gagal menghadapi pendekar wanita dan suaminya itu. Dan akhirnya, saat melihat puteri pendekar wanita itu yang sudah besar, dia lalu mengalihkan harapannya kepada Kwi Eng karena dia tahu bahwa dara cantik ini pun sudah mewarisi kepandaian ibunya. Hal ini membuat Yuan de Gama dan Souw Li Hwa marah sekali, lalu dengan terang-terangan mereka ini memusuhi Tokugawa dan hendak membunuh serta membasmi gerombolannya. Tokugawa berkali-kali mengalami kekalahan dan akhirnya dia melarikan diri ke Pulau Hiu itu...
Selanjutnya,