Dewi Maut Jilid 20
PADA PAGI hari itu, empat orang muda memasuki dusun Ngo-sian-chung dengan sikap tenang namun penuh kewaspadaan. Mereka itu adalah Bun Houw, Tio Sun, Kwi Beng dan Kwi Eng. Setelah di malam hari itu mereka gagal mencari dan mengejar pembunuh rahasia yang telah membunuh gadis she Ma, mereka merasa tidak enak untuk kembali ke dusun dan mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Ngo-sian-chung.
Karena Ngo-sian-chung memang telah dekat, berada di lembah muara sungai Huang-ho, maka pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka telah memasuki dusun itu dengan sikap penuh kewaspadaan karena mereka menduga bahwa mereka tentu tiba di sarang Lima Bayangan Dewa yang mereka cari-cari.
Dugaan mereka memang tepat. Mereka sedang memasuki sarang naga yang berbahaya sekali. Tidak percuma tempat itu dijadikan sarang Lima Bayangan Dewa dan meski pun pagi hari itu empat orang muda ini memasuki pintu gerbang dusun yang sunyi seolah-olah tempat itu aman dan kosong, seakan-akan tidak terdapat bahaya sama sekali, namun sesungguhnya sejak malam tadi kedatangan mereka sudah diketahui oleh para penghuni Ngo-sian-chung dan pagi ini, empat orang itu memang dibiarkan memasuki dusun seperti empat ekor domba yang dibiarkan masuk ke dalam jebakan dan di sekeliling tempat itu, secara bersembunyi, sudah menunggu segerombolan harimau yang kelaparan dan yang memandangi gerakan empat ekor domba itu!
Sebetulnya, sebelum mereka memasuki dusun itu, Tio Sun menyatakan tidak setujunya karena dia menganggap perbuatan mereka ini terlampau ceroboh.
"Lima Bayangan Dewa yang sudah melakukan perbuatan menentang Cin-ling-pai tentu sudah selalu bersiap menghadapi lawan," katanya kepada Bun Houw. "Kalau kita masuk secara berterang, bukankah hal itu sangat berbahaya? Mereka sudah tahu bahwa kita hanya berempat, dan kita tidak tahu sampai di mana kekuatan mereka."
"Tio-twako," Bun Houw menjawab malam tadi. "Mereka itu merupakan orang-orang dari golongan sesat. Pada saat mereka menyerbu Cin-ling-pai, mereka sengaja menanti ketika ayah dan ibu tidak berada di sana, dan mereka juga memancing para suheng dari Cap-it Ho-han meninggalkan Cin-ling-san. Akan tetapi, kedatanganku ini adalah untuk menuntut balas maka aku pantang masuk secara menggelap. Aku menyesal sekali telah membawa twako dan kedua adik Souw ke dalam bahaya ini."
"Ahhh, Houw-koko mengapa kau berkata demikian?" Kwi Beng membantah. "Kita adalah keturunan para pendekar, bahaya, sakit dan kematian dalam membela kebenaran bukan apa-apa bagi kita."
Tio Sun menarik napas panjang. "Maaf Houw-te, aku hanya memperingatkan, sama sekali bukan berarti bahwa aku takut. Kalau begitu, marilah kita masuk dusun itu."
Demikianlah, pagi itu mereka memasuki dusun dengan sikap tenang akan tetapi hati-hati dan penuh kewaspadaan. Mereka tidak melihat adanya fihak musuh yang memang sudah mengawasi setiap gerak-gerik mereka sambil bersembunyi, namun mereka seperti dapat merasakan kehadiran musuh yang tidak nampak itu.
Pada waktu itu, orang tertua dari Lima Bayangan Dewa, yaitu Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok tidak berada di Ngo-sian-chung. Dia dan orang ketiga, yaitu Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Ho Siang, beberapa hari yang lalu berangkat ke kota raja atas panggilan pembesar thaikam di istana yang membutuhkah tenaga bantuan mereka. Karena itu yang menjaga Ngo-sian-chung adalah Liok-te Sin-mo Gu Lo It, orang kedua dari Lima Bayangan Dewa. Baru saja rombongan Hui-giakang Ciok Lee Kim juga tiba di situ, yaitu Toat-beng-kauw Bu Sit, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu sehingga kini Ngo-sian-chung penuh dengan orang-orang yang berilmu tinggi!
Di samping tiga orang Bayangan Dewa dan tiga orang tamu mereka yang bahkan lebih lihai dari pada mereka sendiri, masih terdapat pula anak-anak buah Ngo-sian-chung yang hampir tiga puluh orang jumlahnya, masih ditambah lagi beberapa orang pembantu dan kaki tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim yang ikut datang dari Lembah Bunga Merah.
Sebetulnya Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang pada saat itu menjadi wakil tuan rumah, telah memimpin barisan pendam yang sudah bersiap dengan anak panah dan senjata rahasia mereka. Kalau dia memberi aba-aba untuk menghujankan senjata rahasia, kemudian dia bersama teman-temannya yang lihai itu menyerbu, kiranya empat orang muda itu akan menghadapi bahaya yang amat besar.
Akan tetapi ketika mereka mengintai itu, para tamu dari Lembah Bunga Merah segera mengenal Bun Houw! Mereka terkejut sekali karena mereka sudah menyaksikan sendiri kelihaian pemuda ini, dan sungguh pun mereka sudah berhasil menangkap pemuda itu, menyiksanya secara hebat, akan tetapi kini tampaknya pemuda itu sudah sembuh sama sekali!
Mereka tidak mengenal tiga orang muda lainnya yang ikut datang bersama Bun Houw, akan tetapi mereka itu memandang rendah dan menduga bahwa mereka agaknya adalah murid-murid Bu-tong-pai yang hendak membalas dendam kepada Hui-giakang Ciok Lee Kim. Oleh karena itu, Ciok Lee Kim cepat menahan suheng-nya dan menyentuh lengan Liok-te Sin-mo Gu Lo It sambil berbisik-bisik.
"Pemuda yang di depan itu lihai sekali, dan agaknya dia utusan Cin-ling-pai. Akan tetapi dia belum mengaku. Dan tiga yang lain itu, boleh jadi murid-murid Bu-tong-pai. Tidak baik kalau membunuh mereka, dan pemuda bernama Bun Houw itu harus dipaksa mengaku."
"Tepat sekali, memang mereka itu harus ditawan hidup-hidup untuk dimintai keterangan. Kita harus mengetahui gerak-gerik musuh, jangan sampai kita terjebak oleh Cin-ling-pai." Toat-beng-kauw Bu Sit membenarkan pendapat sucinya.
Sebenarnya siasat yang dipergunakan oleh dua orang tokoh Lima Bayangan Dewa ini mengandung maksud lain yang bersumber kepada keinginan pribadi. Begitu Ciok Lee Kim melihat wajah dan bentuk tubuh Kwi Beng, dengan matanya yang bening kebiruan dan rambutnya yang agak pirang, wanita ini sudah menjadi tergila-gila dan dia akan merasa sayang sekali apa bila pemuda seperti itu dibunuh begitu saja. Dia sudah membayangkan betapa akan senang hatinya kalau dia dapat ditemani oleh pemuda setampan itu untuk beberapa malam lamanya.
Demikian pula Toat-beng-kauw Bu Sit si wajah monyet. Begitu dia melihat Kwi Eng yang cantik jelita, yang memiliki kecantikan yang khas dan aneh namun amat menarik itu, dia sudah mengilar dan tergila-gila. Betapa pun juga, dia harus dapat menguasai gadis yang demikian cantiknya!
Gu Lo It bukan tidak tahu akan watak sumoi dan sute-nya ini, akan tetapi karena memang usul mereka itu tepat dan dia pun ingin sekali mengetahui siapa sebenarnya pemuda tampan yang menurut cerita dua orang adik angkatnya itu memiliki kepandaian yang amat tinggi, maka dia mengangguk dan segera diaturlah siasat untuk menghadapi empat orang penyerbu muda yang demikian tenang dan beraninya memasuki sarang Lima Bayangan Dewa.
Setelah empat orang muda itu tiba di tengah-tengah dusun Ngo-sian-chung dan di antara rumah-rumah yang agaknya kosong, mendadak terdengar sorak-sorai dari empat penjuru dan tahulah mereka bahwa mereka telah terjebak dan terkurung.
"Awas dan siap-siap, kita harus saling melindungi!" Bun Houw berbisik dan tiga orang temannya mengangguk, lantas mereka berdiri saling membelakangi, menghadapi empat penjuru dengan seluruh urat saraf di tubuh mereka menegang, siap menghadapi segala kemungkinan yang akan menimpa mereka.
Kini nampaklah orang-orang muncul dari balik-balik rumah dengan gendewa terpentang dan anak panah yang sudah siap ditodongkan ke arah mereka. Sedikitnya ada tiga puluh orang bersenjata lengkap, kebanyakan dari mereka menodongkan anak panah, muncul dan mengurung empat orang muda yang sudah siap dan tidak bergerak di tengah-tengah lapangan yang cukup luas itu.
Dengan sikap tenang Bun Houw berkata, suaranya nyaring sekali sehingga bukan hanya dapat terdengar oleh semua pengepung, melainkan juga dapat terdengar sampai jauh di empat penjuru, "Kami datang bukan hendak mengganggu orang-orang yang tak memiliki kepentingan, maka harap suruh Lima Bayangan Dewa untuk keluar!"
Tiba-tiba terdengar suara wanita tertawa mengejek, "Heh-heh-hi-hik! Jadi engkau belum mampus?" Ciok Lee Kim meloncat keluar.
"Dan engkau datang untuk mengantar nyawa? Jangan harap sekarang engkau akan bisa lolos dari tanganku, pemuda sombong!" Bu Sit juga menyusul suci-nya, meloncat keluar dengan sikap sombong sebab dia merasa yakin bahwa dengan bantuan teman-temannya mereka akan dapat menangkap empat orang itu dengan mudah.
Biar pun dia berkata kepada Bun Houw, namun matanya yang bulat seperti mata monyet, bulat kecil, mengincar wajah Kwi Eng karena empat orang muda itu kini membalik dan menghadapi tokoh yang menjadi musuh-musuh besar dan yang baru muncul itu.
Melihat dua orang ini, tentu saja darah Bun Houw menjadi panas. Teringat dia betapa dia telah disiksa secara hebat oleh mereka ini. Akan tetapi sebagai seorang pendekar muda gemblengan orang-orang sakti, dia dapat menahan diri dan hanya memandang dengan tersenyum ketika melihat dua orang yang telah dikenalnya itu muncul diikuti oleh Bouw Thaisu yang amat lihai, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan seorang laki-laki berhidung besar berjubah hitam, bertopi dan bertubuh kokoh kuat berusia kurang lebih enam puluh tahun.
Bun Houw menduga bahwa laki-laki ini agaknya merupakan salah seorang di antara Lima Bayangan Dewa, dan kalau benar demikian, mana yang dua lagi? Dia ingin berhadapan dengan mereka berlima sekaligus agar dia dapat membuat perhitungan secara serentak.
"Aku telah mengenal Hui-giakang Ciok Lee Kim dan Toat-beng-kauw Bu Sit, dua orang berwatak pengecut di antara Lima Bayangan Dewa," kata Bun Houw dengan lantang dan berani, "akan tetapi mana yang tiga lagi? Apakah tiga orang Bayangan Dewa yang lain begitu pengecut untuk selalu menyembunyikan diri dan mengajukan orang-orang lain?"
"Hemmm, kalau begitu rubah saja julukan Bayangan Dewa menjadi Bayangan Tikus yang penakut dan pengecut!" Kwi Eng menyambung dengan suara mengejek.
"Bocah she Bun yang sombong!" Liok-te Sin-mo Gu Lo It membentak sambil melangkah ke depan. "Dari sumoi dan sute aku telah mendengar bahwa engkau menyamar sebagai pengawal Kiam-mo Liok Sun, akan tetapi sebenarnya engkau dari Cin-ling-pai! Sebelum engkau mampus, hayo kau perkenalkan dahulu siapa adanya tiga orang muda yang kau ajak mengantar nyawa ke sini. Apakah kalian bertiga juga murid-murid Cin-ling-pai?"
Tio Sun memandang dengan sinar mata berapi dan dia menjawab, "Ketahuilah, manusia-manusia iblis. Aku bernama Tio Sun dan ayahku adalah Tio Hok Gwan. Kami sekeluarga sudah biasa menentang dan membasmi manusia-manusia iblis macam kalian."
Semua orang merasa terkejut karena mereka tentu saja sudah mendengar nama besar Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan.
"Dan kami kakak beradik bernama Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng. Ibu kami adalah pendekar wanita Souw Li Hwa murid mendiang Panglima Besar The Hoo! Hayo kalian lekas berlutut dan menyerah dari pada terpaksa kami membunuh kalian!" Kwi Beng juga membentak dengan suara nyaring.
Kembali para tokoh kang-ouw yang memusuhi Cin-ling-pai itu terkejut. Nama Souw Li Hwa memang tidak mereka kenal, akan tetapi siapakah yang tidak mengenal nama The Hoo yang ditakuti lawan disegani kawan? Dan dua orang muda ini adalah putera-puteri murid The Hoo, hal ini saja sudah membuat mereka memandang dengan sinar mata lain dan tidak berani memandang rendah.
Akan tetapi, tetap saja mata Si Kelabang Terbang Ciok Lee Kim dan Monyet Pencabut Nyawa Bu Sit seperti akan keluar dari rongganya saking kagumnya setelah kini mereka berdiri dekat dengan kakak beradik kembar itu yang ternyata memiliki ketampanan dan kecantikan yang benar-benar sangat menjatuhkan hati mereka dan menimbulkan nafsu birahi karena memang keelokan mereka itu khas dan belum pernah mereka temukan dalam petualangan mereka bercinta dengan macam-macam orang!
Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang ditemani tidak hanya oleh dua orang sumoi dan sute-nya, akan tetapi juga oleh tiga orang sakti Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw, belum lagi anak buah Ngo-sian-chung ditambah anak buah Lembah Bunga Merah, tentu saja sama sekali tidak merasa gentar, bahkan dia memandang rendah empat orang muda itu.
"Bagus!" katanya mengejek. "Kiranya kalian adalah keturunan orang-orang pandai, akan tetapi sayang sekali bahwa guru-guru atau ayah-ayah kalian amat sembrono, mengirim kalian orang muda hijau datang ke sini. Orang muda she Bun, kalau engkau benar dari Cin-ling-pai, apa maksud kedatanganmu di sini mengajak tiga orang temanmu ini?"
"Siapakah engkau?" Bun Houw balas bertanya sambil memandang penuh selidik. "Suruh tiga orang lain dari Bayangan Dewa untuk keluar menemui aku!"
"Ha-ha-ha, betapa sombongnya! Aku adalah Liok-te Sin-mo Gu Lo It, orang kedua dari Lima Bayangan Dewa. Dengan adanya kami bertiga dan tiga orang sahabat kami yang mulia ini, sudah cukup. Orang pertama dan ketiga dari kami sedang ada urusan keluar, maka kau sampaikan saja kepada kami apa yang menjadi keperluan dan kehendakmu."
Bun Houw agak kecewa bahwa dua orang di antara Lima Bayangan Dewa tidak hadir. Kini dia mengepal tinju dan membentak, "Liok-te Sin-mo, kalian Lima Bayangan Dewa telah bertindak pengecut, selagi ketua Cin-ling-pai tidak ada, kalian berani menyerbu dan mengacau Cin-ling-pai. Sekarang aku datang untuk meminta kembali pusaka Cin-ling-pai, Siang-bhok-kiam dan nyawa Lima Bayangan Dewa."
"Ha-ha-ha-ha-ha, sungguh sombong kau, keparat!" Liok-te Sin-mo adalah seorang yang berwatak keras dan kasar, maka mendengar ucapan Bun Houw, dia tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Cepat dia memberi isyarat kepada teman-temannya dan kepada para anak buahnya.
Sambil bersorak riuh, anak-anak buah Ngo-sian-chung dibantu anak buah Lembah Bunga Merah lalu maju menyerbu dengan senjata mereka, mengepung dan mengeroyok empat orang muda itu. Sedangkan Liok-te Sin-mo Gu Lo It, sesuai dengan rencana, mundur dan bersama teman-temannya mereka menonton lebih dahulu untuk menilai siapa di antara empat orang muda itu yang paling lihai dan siapa pula yang lebih lemah agar lebih mudah bagi mereka untuk melakukan pengeroyokan yang menguntungkan.
Akan tetapi, karena sudah maklum dari laporan dua orang adik angkatnya akan kelihaian Bun Houw, maka seperti sudah direncanakan, Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin, dan Hek I Siankouw sudah menggerakkan tubuh mereka dan tiga orang sakti ini mengurung dan mengeroyok Bun Houw!
Dari pengalamannya di Lembah Bunga Merah, Bun Houw sendiri maklum bahwa ketiga orang tua ini memang hebat sekali kepandaiannya, maka dia pun malah merasa lega bahwa mereka langsung mengeroyoknya sehingga kawan-kawannya akan menghadapi pengeroyokan lawan yang tidak selihai mereka bertiga ini. Maka dia pun cepat meraba pinggangnya dan nampaklah sinar pedang yang sudah dipegang di tangan kanannya.
Pedang ini pedang pemberian In Hong, sebatang pedang yang cukup baik. Sebetulnya, berkat gemblengan dari suhu-nya, Kok Beng Lama, Bun Houw dapat menghadapi lawan yang betapa lihainya pun dengan kedua tangan kosong saja, akan tetapi karena dia tahu betapa hebat kepandaian tiga orang pengeroyoknya yang juga mempergunakan senjata, maka dia tidak mau bersikap ceroboh memandang rendah, dan dia sudah mengeluarkan pedang itu untuk melakukan perlawanan mati-matian.
Sementara itu, Tio Sun juga sudah mengeluarkan kedua senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang pedang pada tangan kanan dan sebatang joan-pian, yaitu sabuk yang dapat digunakan sebagai cambuk, kemudian dia sudah mengamuk hebat, dalam waktu singkat saja sudah merobohkan dua orang pengeroyoknya.
Kwi Beng dan Kwi Eng, dua saudara kembar yang tentu saja memiliki perasaan yang amat dekat dan saling membela, sudah mengamuk pula dengan pedang di tangan, saling melindungi dan keduanya sudah memutar pedang dengan tangan kanan, ada pun tangan kiri mereka melemparkan hui-to, yaitu pisau-pisau terbang yang mereka lempar dengan kegapahan (kecekatan atau ketangkasan) seorang ahli sehingga masing-masing juga sudah berhasil merobohkan dua orang pengeroyok dengan hui-to mereka.
Melihat ini, tiga orang Bayangan Dewa menjadi kaget juga. Akan tetapi begitu melihat tiga orang muda itu menggerakkan senjata, Liok-te Sin-mo Gu Lo It maklum bahwa di antara mereka, putera Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan itulah yang paling lihai.
Maka dia pun segera meloncat ke depan, menyerang Tio Sun dengan kedua ujung lengan bajunya yang merupakan senjatanya yang istimewa, karena di kedua ujung lengan baju hitam itu dipasangi baja-baja yang kuat dan tersembunyi sehingga tidak kelihatan oleh lawan, akan tetapi kalau mengenai tubuh lawan sama bahayanya dengan senjata tajam mana pun juga.
Melihat gerakan orang kedua dari Lima Bayangan Dewa ini, Tio Sun cepat menyambut dan di antara mereka segera terjadi pertandingan yang amat hebat dan seru. Akan tetapi atas isyarat Gu Lo It, beberapa orang anak buahnya sudah turun tangan pula membantu sehingga Tio Sun kembali dikepung dan sekali ini dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan andalannya karena pengepungan itu dipimpin oleh Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang amat lihai.
Sementara itu, Ciok Lee Kim dan Bu Sit girang bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa biar pun dua orang kakak beradik kembar itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi pula, namun dibandingkan dengan dua orang muda lainnya, mereka ini paling lunak dan kedua orang ini segera terjun ke dalam medan pertempuran, dan otomatis Bu Sit sudah menggerakkan pecut bajanya menahan pedang di tangan Kwi Eng, sedangkan Ciok Lee Kim mainkan dua helai sapu tangan suteranya menandingi Kwi Beng sambil tersenyum-senyum penuh gairah!
Dengan cara memecah-mecah, pertandingan terbagi menjadi empat dan memang Liok-te Sin-mo beserta kawan-kawannya merupakan orang-orang yang selain berilmu tinggi, juga amat pandai bersiasat. Andai kata pertempuran itu dilakukan dengan pengeroyokan biasa, maka dengan gabungan kepandaian mereka, terutama dengan adanya Bun Houw yang amat lihai dan Tio Sun yang juga bukan orang lemah, maka fihak para pengeroyok akan mengalami kesukaran dan tentu akan banyak anak buah mereka yang dirobohkan empat orang muda itu.
Akan tetapi, setelah dipecah-pecah dan setiap orang muda itu dikepung oleh fihak lawan yang disesuaikan, tentu saja mereka berempat menjadi kerepotan juga! Terutama sekali Kwi Beng dan Kwi Eng! Tingkat kepandaian Kwi Beng dan Kwi Eng masih kalah jauh bila dibandingkan dengan tingkat kepandaian Ciok Lee Kim dan Bu Sit. Tanpa dikeroyok pun mereka berdua akan kalah oleh dua orang Bayangan Dewa itu. Terlebih lagi kini mereka dikeroyok oleh lima orang yang dipimpin oleh dua orang lihai itu!
"Awas! Jangan lukai dia, tangkap hidup-hidup!" Pesan Ciok Lee Kim kepada lima orang pembantunya yang mengeroyok Kwi Beng dan dia sendiri menujukan sambaran kedua ujung sapu tangan suteranya ke arah jalan darah untuk menotok pemuda itu dan untuk menangkapnya. Kwi Beng repot sekali melindungi dirinya, dan tidak memiliki kesempatan menyerang sama sekali.
“Hati-hati jangan sampai kulitnya yang putih itu lecet!" Bu Sit tertawa-tawa memesan lima orang pembantunya pula, dan dia sendiri dengan pecut baja di tangannya yang meledak-ledak, beberapa kali hampir dapat merampas pedang di tangan Kwi Eng.
Dara ini menjadi semakin marah sekali, mukanya berubah merah dan matanya berapi-api mendengar kata-kata Bu Sit yang ditujukan kepadanya, kata-kata bujuk rayu, pujian dan lain-lain ucapan yang menusuk hati dan cabul.
Bun Houw sendiri dikeroyok oleh Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin, serta Hek I Siankouw, masih ditambah oleh sepuluh orang anak buah Ngo-sian-chung yang menyerangnya dari lingkungan luar. Pemuda ini sama sekali tidak menjadi gentar. Gerakannya tangkas dan cepat laksana kilat menyambar sehingga diam-diam tiga orang tokoh tua itu terkejut dan kagum bukan main.
Sekarang, sesudah pemuda itu dalam keadaan bebas, tidak dirintangi oleh orang seperti ketika di Lembah Bunga Merah dahulu, ketika dia dipeluk mati-matian oleh murid Ciok Lee Kim, maka baru ternyata oleh tiga orang tokoh tua ini betapa lihainya pemuda ini. Mereka terkejut bukan main dan mulai menduga-duga siapa gerangan adanya pemuda ini.
Mereka tadinya hendak membalas dendam kepada Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai dan mereka membayangkan bahwa tingkat kepandaian ketua Cin-ling-pai itu tentu tidak jauh selisihnya dengan tingkatan mereka sendiri. Akan tetapi sekarang, baru seorang pemuda Cin-ling-pai saja telah memiliki ilmu kepandaian yang begini hebat sehingga Bouw Thaisu sendiri, orang yang terpandai di antara mereka, secara diam-diam merasa sangsi apakah dia akan dapat menang melawan pemuda ini kalau pertandingan itu dilakukan satu lawan satu!
Beberapa kali lengannya tergetar apa bila ujung lengan bajunya bertemu dengan jari-jari tangan kiri pemuda itu, tanda bahwa tenaga sinkang pemuda itu luar biasa kuatnya, mungkin lebih kuat dari pada tenaganya sendiri! Hal ini dianggapnya luar biasa dan tentu tidak akan dipercayanya kalau dia tidak mengalaminya sendiri!
Maka dengan hati penuh penasaran, Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw mengeluarkan kepandaian mereka sehingga betapa pun lihainya Bun Houw, dia menjadi repot juga dan hatinya mulai merasa khawatir akan keselamatan kawan-kawannya. Dia melihat betapa Tio Sun juga terdesak oleh para pengeroyoknya, sedangkan kedua orang kakak beradik Souw juga amat repot dan terancam bahaya.
Memang Tio Sun juga mendapatkan tandingan yang berat dari orang kedua dari Lima Bayangan Dewa. Akan tetapi, dengan ilmunya Ban-kin-kiat, andai kata Liok-te Sin-mo Gu Lo It tidak dibantu oleh lima orang anak buah Lima Bayangan Dewa yang mempunyai kepandaian lumayan, agaknya pemuda ini masih akan sanggup mengalahkan lawannya.
Memang hebat bukan main pertandingan antara Tio Sun dengan Liok-te Sin-mo. Orang kedua dari Lima Bayangan Dewa ini terkenal sebagai seorang yang mempunyai tenaga besar, maka merupakan lawan yang cocok sekali karena Tio Sun juga mewarisi tenaga mukjijat yang sangat kuat dari ayahnya. Sudah berkali-kali pecut baja di tangan pemuda ini bertemu dengan dua ujung lengan baju yang dipasangi potongan baja dan akibatnya, terdengar suara nyaring sekali, bunga api berpijar dan tubuh kedua orang itu terhuyung ke belakang.
Para pengeroyoknya, seperti juga para pengeroyok yang membantu tiga orang kakek mengepung Bun Houw, tidak lagi berani menyerang terlampau dekat karena pedang dan joan-pian di tangan Tio Sun merupakan tangan-tangan maut yang sangat mengerikan. Sudah banyak anak buah yang roboh oleh Tio Sun dan Bun Houw, maka mereka itu hanya bertugas sebagai pengacau saja agar memecah-belah perhatian para muda yang perkasa itu.
Yang merasa paling tidak enak dalam pertempuran itu adalah Bun Houw. Diam-diam dia merasa menyesal mengapa tiga orang muda itu dia perbolehkan membantunya menyerbu Ngo-sian-chung, karena sebelumnya dia pun maklum akan berbahayanya pekerjaan ini, bahkan Tio Sun sendiri pun sudah menyatakan betapa fihak lawan amat berbahaya dan lihai.
Bagi dirinya sendiri, dia akan rela mengorbankan nyawa kalau perlu demi untuk mencari Siang-bhok-kiam serta membasmi musuh-musuh Cin-ling-pai, untuk mencuci penghinaan yang diderita oleh orang tuanya. Akan tetapi, tiga orang muda itu, terutama sekali Kwi Eng, hanyalah orang-orang muda yang merasa bersahabat dengan dia dan dengan orang tuanya. Kalau kini mereka sampai menjadi korban, benar-benar membuat dia merasa tak enak sekali. Pikiran ini membuat Bun Houw menjadi marah terhadap para musuhnya.
"Tio-twako...! Adik Kwi Beng dan Kwi Eng...! Larilah kalian bertiga, biar aku sendiri yang membasmi mereka!" Teriaknya dengan suara nyaring sekali.
Pedangnya berkelebat seperti halilintar membabat ke arah tubuh Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw dengan kekuatan yang sangat hebat sehingga pedang itu mengeluarkan suara mengaung laksana ribuan ekor lebah beterbangan. Dua orang sakti ini terkejut, maklum betapa berbahaya sambaran pedang ini sehingga mereka tidak berani menangkis, dan cepat mereka meloncat ke belakang untuk menyelamatkan diri.
Akan tetapi, pedang itu meluncur lepas dari tangan Bun Houw, merupakan sinar panjang berkelebat dan terbang dengan amat cepatnya, menyambar tubuh tiga orang pengeroyok, merobohkan mereka itu dengan leher hampir putus namun masih terus ‘terbang’ seperti seekor naga hidup, membuat gerakan memutar dan kembali lagi ke arah Bun Houw yang begitu pedang dilepaskan lalu menghantam ke arah kanan kiri, depan belakang dengan kedua kepalan tangannya sambil mengeluarkan pekik melengking amat dahsyatnya.
Sambaran kedua tangan Bun Houw yang memukul ini membuat Hwa Hwa Cinjin yang menggerakkan kebutannya dengan pengerahan tenaga lweekang sebagai seorang ahli lweekeh yang kuat, tak dapat menahan sehingga kakek ini terhuyung dengan muka pucat, sedangkan empat orang pengeroyok lain roboh pula seperti pohon-pohon ditebang! Itulah jurus Hong-tian Lo-te (Badai Mengamuk di Bumi) yang liar biasa hebat, merupakan jurus mukjijat dan ampuh sekali dari ilmu pedangnya.
Ketika pedang yang telah merobohkan tiga orang pengeroyok itu ‘terbang’ membalik, Bun Houw sudah menangkapnya kembali dan karena para pengeroyoknya gentar dan terpaku menghadapi jurus Hong-tian Lo-te yang mukjijat tadi, dia cepat-cepat meloncat ke depan untuk merobohkan dua orang pengeroyok yang sedang mengepung Tio Sun.
Hal ini membuat kepungan yang mendesak Tio Sun menjadi bobol dan Tio Sun kembali dapat menguasai keadaannya, akan tetapi segera Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw bersama para pembantu lainnya sudah kembali mengepung Bun Houw dengan serangan-serangan maut dan kepungan ketat.
Bun Houw gelisah sekali melihat betapa Kwi Beng dan Kwi Eng didesak serta dipancing sehingga menjauhi tempat dia bertempur. Dan memang demikianlah siasat yang sedang dijalankan oleh para tokoh kaum sesat itu. Kwi Beng terus didesak oleh Ciok Lee Kim dan dipaksa menjauhi tempat itu, demikian pula Kwi Eng terus didesak oleh Bu Sit sampai keluar dari lapangan itu dan tidak kelihatan oleh kawan-kawanannya.
Ketika Kwi Eng dengan kemarahan meluap-luap mencoba untuk membuka jalan darah, menerobos dari kepungan, dia berhasil melukai dua orang pengeroyok yang membantu Bu Sit, akan tetapi tiba-tiba pergelangan tangannya terasa sakit, terbelit ujung cambuk baja di tangan Bu Sit.
Orang termuda dari Lima Bayangan Dewa ini tertawa mengejek, lalu sekali dia menarik senjatanya, Kwi Eng lantas menjerit dan pedangnya terlepas karena pergelangan tangan kanannya seperti hendak patah rasanya. Pada saat itu pula, seorang pengeroyok lainnya menggunakan gagang tombak memukul ke arah kakinya dari belakang. Serangan ini tak dapat dihindarkan oleh Kwi Eng. Terdengar suara tulang patah dan dara ini mengeluh perlahan lalu terguling, tulang kaki kirinya dekat pergelangan telah patah.
"Desss…!" Bu Sit menendang orang yang mematahkan tulang kaki Kwi Eng itu.
"Keparat, kau lukai dia?" bentaknya.
Para pengeroyok itu menjadi ketakutan dan mereka lalu mundur dan membantu teman-temannya yang lain, yang masih mengeroyok tiga orang muda lainnya, sedangkan Bu Sit sudah menubruk Kwi Eng, ditotoknya pundak dara itu, kemudian dia memondong tubuh Kwi Eng dan dibawa berlari keluar dari dusun menuju ke sebuah hutan kecil di lembah sungai.
"Adik Beng...! Di manakah Eng-moi...?" Bun Houw yang dikepung ketat itu masih sempat berteriak dan bertanya kepada Kwi Beng yang dilihatnya makin didesak menjauhinya oleh Si Kelabang Terbang Ciok Lee Kim.
Akan tetapi Kwi Beng hampir tidak sempat menjawab. "Tidak tahu...!" hanya demikianlah dia mampu menjawab karena Ciok Lee Kim dengan dua helai sapu tangan suteranya sudah membuat dia terengah-engah kehabisan napas dan pandang matanya berkunang.
"Pemuda ganteng, marilah kau ikut aku bersenang-senang..." Ciok Lee Kim berbisik dan sapu tangannya yang berbau harum itu mengelus dagu Kwi Beng.
Sudah sejak tadi Ciok Lee Kim membentak para pembantunya untuk mundur dan kini dia seorang diri mendesak Kwi Beng yang telah kewalahan. Kwi Beng kini juga mulai merasa kehilangan adiknya dan dia mulai bingung, memandang ke sana ke mari untuk mencari adiknya. Tentu saja sikapnya ini amat tidak menguntungkan dirinya karena dengan penuh perhatian saja daya tahannya sudah mulai lemah menghadapi hujan totokan kedua sapu tangan Ciok Lee Kim, apa lagi sekarang dia memecah perhatiannya.
"Cuss-cuss...! Plakk!"
Dua kali ujung sapu tangan itu menotok jalan darah di leher dan pundak, sedangkan telapak tangan Ciok Lee Kim menampar belakang telinga dan tanpa mengeluh lagi Kwi Beng roboh pingsan dalam pelukan Ciok Lee Kim dan seperti juga Bu Sit, wanita yang tak dapat menahan diri setiap kali melihat pemuda tampan ini segera memondong tubuh Kwi Beng dengan girang dan membawanya pergi dari dusun itu.
Andai kata melihat bahwa fihak mereka terancam bahaya oleh musuh, tentu saja dua orang Bayangan Dewa itu tidak akan meninggalkan gelanggang pertempuran dan betapa pun mereka tergila-gila kepada orang-orang muda yang menjadi korban mereka itu, tentu mereka akan membantu teman-teman untuk menundukkan fihak musuh terlebih dahulu.
Akan tetapi mereka tadi sudah melihat jelas bahwa sungguh pun pemuda she Bun dan pemuda putera pengawal Tio Hok Gwan itu memiliki kepandaian tinggi, namun mereka pun sudah terkurung dan terdesak, tinggal menanti robohnya saja maka mereka berdua tidak perlu lagi membantu.
Memang Si Kelabang Terbang Ciok Lee Kim dan si kepala monyet Bu Sit tidak keliru dengan dugaan mereka bahwa fihak musuh sudah terdesak hebat. Bun Houw sendiri yang memiliki kepandaian amat tinggi, sekarang mulai terdesak hebat. Dia makin marah dan menyesal sekali apa bila mengingat bahwa yang mengurungnya bukan orang-orang Lima Bayangan Dewa, melainkan tiga orang tokoh tua yang berilmu tinggi. Maka mulailah dia mengambil keputusan untuk menurunkan tangan maut terhadap tiga orang musuhnya ini.
Tadinya dia selalu menghindarkan serangan maut karena dia selalu teringat akan pesan ayah ibunya agar jangan sampai menanam bibit permusuhan dengan golongan lain dan hanya menghadapi Lima Bayangan Dewa saja. Sebagai contoh, ayahnya menceritakan betapa ayahnya dulu terlampau banyak menentang golongan sesat sehingga akibatnya, sampai tua pun dia masih dimusuhi orang!
"Tahan...!" bentak Bun Houw sambil memutar pedang yang berubah menjadi gulungan sinar berkilauan sehingga musuh-musuhnya cepat mundur. "Sam-wi tiga orang tua kenapa berkeras mencampuri urusan kami dari Cin-ling-pai dengan Lima Bayangan Dewa? Saya sama sekali bukannya takut, hanya saya tidak ingin menanam bibit permusuhan dengan orang-orang yang bukan dari Lima Bayangan Dewa."
Bouw Thaisu mengangguk-angguk, hatinya kagum bukan main karena selama hidupnya baru sekarang dia bertemu lawan yang begini muda namun yang ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat hebatnya.
"Orang muda, kalau saja tidak ada alasan kuat yang memaksa aku orang tua mati-matian menghadapimu, tentu aku akan malu sekali mengeroyok seorang pemuda seperti engkau yang sepantasnya menjadi cucuku. Ketahuilah, seorang sahabat baikku yang melebihi saudara kandungku sendiri, yaitu Thian Hwa Cinjin, telah tewas di tangan keluarga ketua Cin-ling-pai! Kami di waktu muda pernah bersumpah bahwa kami akan saling membela, maka mendengar kematiannya, tentu saja aku tidak mau melanggar sumpah dan sebelum aku mati, aku harus menghadapi ketua Cin-ling-pai dan keluarganya."
Bun Houw mengerti bahwa kembali hal ini adalah sebagai akibat dari orang tuanya yang terlalu banyak menentang golongan hitam.
"Dan kau boleh mengetahui bahwa pinto (aku) adalah sute dari Toat-beng Hoatsu yang biar pun tewas di tangan mendiang The Hoo, akan tetapi juga menjadi musuh dari ketua Cin-ling-pai dan golongannya. Dan Hek I Siankouw ini adalah tangan kananku, sehidup semati denganku."
Bun Houw mengerutkan alisnya. "Sam-wi adalah tiga orang tua yang berilmu tinggi, akan tetapi mengapa berpandangan picik dan dikuasai oleh dendam kosong yang tidak ada artinya? Apakah sam-wi tidak tahu bahwa sam-wi diperalat oleh Lima Bayangan Dewa?"
"Cukup, kalau kau takut, menyerahlah, orang muda yang sombong!" Hwa Hwa Cinjin yang walau pun sikapnya halus akan tetapi sebenarnya hatinya dipenuhi rasa penasaran dan malu karena menghadapi seorang pemuda saja, biar pun telah mengeroyok bersama Hek I Siankouw dan Bouw Thaisu masih belum dapat menang, sudah menerjang lagi dengan kebutannya.
"Wiir... siuuuuttt...!"
Ujung kebutan menyambar ke arah mata Bun Houw, akan tetapi begitu dielakkan, seperti ekor ular yang hidup saja ujung kebutan itu sudah membalik dan menotok ke arah ulu hati!
"Kalau begitu, maaf kalau aku menjadi sebab kematian sam-wi!" Bun Houw membentak. Tiba-tiba tangan kirinya mendorong dan ujung kebutan itu seperti digerakkan tangan yang tidak kelihatan, membalik dan menotok ke arah dada Hwa Hwa Cinjin sendiri!
"Aihhh...!" Bukan main kagetnya hati kakek ini dan cepat-cepat dia menggerakkan tangan menarik kebutannya yang hendak menyerang dirinya sendiri.
"Singgg... tranggg...!”
“Aihhhh…!" Hek I Siankouw menjerit karena pedangnya yang sudah dia gerakkan untuk menyusul serangan Hwa Hwa Cinjin tadi kini kena disentil oleh kuku jari tangan kiri Bun Houw. Pedang itu tergetar dan selagi nenek itu terkejut, pedang pada tangan kanan Bun Houw sudah menyambar ke arah lehernya!
"Plakkk...!”
“Hemmm, kau hebat, orang muda!" Bouw Thaisu masih sempat menangkis pedang yang mengancam nyawa Hek I Siankouw tadi dengan tangkisan ujung lengan bajunya, akan tetapi ketika dia melihat, ternyata ujung lengan bajunya itu sudah terobek!
Kini Bun Houw yang sudah marah sekali itu telah mengerahkan Thian-te Sin-ciang, yaitu ilmu sinkang simpanan yang dia latih selama bertahun-tahun di bawah gemblengan Kok Beng Lama. Thian-te Sin-ciang ini merupakan ilmu tangan kosong yang sangat mukjijat, mengandung tenaga dahsyat dan ketika pemuda ini diuji oleh ayahnya sendiri, tenaga Thian-te Sin-ciang ini bahkan mampu menghadapi Thi-khi I-beng, yaitu ilmu sinkang yang tiada taranya, yang dapat menyedot hawa murni lawan!
Karena itu tidaklah terlalu mengherankan ketika pemuda perkasa ini mulai mengerahkan Thian-te Sin-ciang, dia sekaligus mampu membuat tiga orang lawannya yang amat lihai itu terdesak mundur! Akan tetapi, kini mereka bertiga sudah maju lagi dan kehebatan Bun Houw bahkan membuat mereka menjadi makin berhati-hati dan kini mereka melakukan penyerangan secara teratur bahkan saling membantu karena mereka maklum bahwa biar pun mereka bertiga maju bersama, tanpa kerja sama dan saling bantu, maka sangatlah berbahaya bagi mereka!
Bun Houw menjadi semakin gelisah. Bukan gelisah memikirkan dirinya sendiri, melainkan gelisah karena tidak lagi melihat Kwi Beng dan Kwi Eng, ada pun Tio Sun agaknya sudah kewalahan dan tentu tak lama lagi akan roboh. Celaka, pikirnya dan kini dia benar-benar menyesal mengapa dia menyeret mereka bertiga ke tempat berbahaya ini.
Kalau sampai tugasnya gagal, dia tidak begitu menyesal karena dia sudah melakukannya dengan sepenuh hati dan dengan pengorbanan nyawa. Akan tetapi jika sampai tiga orang muda itu tewas, bukan hanya dia yang akan menyesal, bahkan ayah ibunya juga tentu akan menyalahkan dia!
"Ayah...! Ibu...! Maafkan kegagalanku...!" Tiba-tiba dia berteriak dan mengamuk semakin hebat, pedangnya sekaligus merobohkan empat orang anak buah Ngo-sian-chung hingga tiga orang tua lihai itu makin berhati-hati.
"Adikku, jangan putus asa. Enci-mu datang membantumu!" Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat didahului sinar merah yang panjang yang melakukan totokan ke arah pelipis Hek I Siankouw dan sinar kilat seperti perak menyambar ke arah leher Bouw Thaisu!
"Keng-cici (kakak Keng)...!" Bun Houw berteriak, gembira bukan main karena meski pun bayangan itu belum kelihatan jelas siapa orangnya, tapi dia sudah mengenal sinar merah panjang dari sabuk merah muda dan sinar pedang Gin-hwa-kiam yang putih seperti perak itu.
Hek I Siankouw dan Bouw Thaisu terkejut, maklum bahwa serangan itu pun tidak boleh dipandang ringan, maka mereka cepat mengelak sambil membalas. Akan tetapi, Cia Giok Keng, wanita itu, adalah seorang wanita yang luar biasa lincah dan beraninya. Walau pun dibandingkan dengan adiknya, kepandaiannya belumlah dapat menandingi, tetapi sebagai puteri dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan pendekar wanita Sie Biauw Eng, tentu saja kepandaian Cia Giok Keng cukup hebat.
Kegembiraan hati Bun Houw membuat gerakannya makin kuat sehingga tamparan tangan kirinya yang penuh dengan tenaga mukjijat Thian-te Sin-ciang menyerempet pundak Hwa Hwa Cinjin, membuat tosu tua itu terhuyung.
"Mampuslah...!" melihat tosu itu terhuyung Cia Giok Keng sudah menerjang dengan sabuk sutera dan pedangnya.
"Hayaaaaa...!" Hwa Hwa Cinjin terkejut akan kegalakan wanita ini yang sama sekali tidak memberi kesempatan padanya. Akan tetapi dia sudah memutar kebutannya menangkis dan sekaligus membelit ujung pedang Gin-hwa-kiam.
"Plakk!" Ujung sabuk sutera merah menotok lehernya membuat tosu itu merasa separoh tubuhnya seperti lumpuh.
"Sratttt...!"
Giok Keng yang cerdik secara tiba-tiba menarik pedangnya dan ujung tali kebutan putus, bulu kebutannya berhamburan. Hal ini mengejutkan Hwa Hwa Cinjin dan dia meloncat ke belakang, mengambil sikap mempertahankan diri.
"Enci, aku tidak perlu dibantu. Kau bantulah Tio-twako... dia terdesak!" Bun Houw berkata.
Giok Keng menoleh. Dia tidak mengenal siapa pemuda jangkung berpakaian kuning yang didesak oleh seorang kakek yang dibantu oleh banyak anak buahnya itu. Akan tetapi dia menduga bahwa tentu pemuda itu teman adiknya, maka sekali meloncat dia sudah tiba di gelanggang pertempuran di mana Tio Sun terdesak, dan sabuk merahnya yang dikawani pedang peraknya mengamuk, merobohkan tiga orang pengeroyok dalam waktu singkat saja.
Kepungan ketat terhadap diri Tio Sun menjadi kacau dan kini pertandingan berjalan makin seru dan mati-matian. Tio Sun berterima kasih dan girang sekali, ada pun Liok-te Sin-mo yang sudah hampir dapat mengalahkan Tio Sun menjadi marah bukan kepalang. Cepat dia meneriaki anak buahnya agar makin ketat mengepung dua orang itu.
Bun Houw masih gelisah memikirkan dua orang saudara Souw. Keadaan Tio Sun sudah mendingan, karena dia tahu bahwa enci-nya juga bukan orang sembarangan dan dengan bantuan enci-nya, tentu Tio Sun dapat membela diri lebih baik.
"Bun Houw, engkau terlalu sembrono!" sambil membantu Tio Sun, Giok Keng berteriak menegur adiknya. "Pengecut-pengecut macam ini selalu main keroyok dan curang!"
Bun Houw tersenyum. Kakaknya itu sejak dahulu galaknya bukan main! Masa, baru saja datang dan masih menghadapi pengeroyokan musuh begitu banyaknya, ehh, masih ada kesempatan untuk marah-marah dan menegurnya.
"Cici, maaf!" Teriaknya kembali. "Tetapi setelah engkau datang, mari kita basmi mereka. Yang kau hadapi itu adalah Liok-te Sin-mo Gu Lo It!"
Mendengar bahwa kakek yang bertubuh tinggi besar, berjubah hitam, kepalanya memakai topi, dan ujung lengan bajunya dipasangi baja, yang amat lihai ini adalah orang kedua dari Lima Bayangan Dewa, Giok Keng amat terkejut dan kemarahannya memuncak, wajahnya merah, matanya berapi-api.
"Kiranya Si Iblis Kuburan!" bentaknya dan dia menggerakkan kedua senjatanya semakin cepat lagi mendesak Liok-te Sin-mo.
Kakek ini marah dan mendongkol bukan main. Julukannya adalah Iblis Bumi, akan tetapi wanita yang cantik jelita, gagah dan galak ini memakinya Iblis Kuburan. Belum pernah dia dihina orang seperti ini.
"Keparat, siapa engkau?" bentaknya sambil mengelak dari sambaran ujung sabuk merah dan menangkis tusukan pedang Tio Sun dengan ujung lengan baju kiri.
"Aku she Cia, mewakili ayah untuk memenggal leher Lima Bayangan Monyet!" bentak Cia Giok Keng sambil menyerang makin hebat.
Kini terkejutlah semua tokoh itu. Ternyata wanita ini adalah puteri Cia Keng Hong, dan melihat hubungan antara wanita ini dengan pemuda itu, jelas bahwa pemuda itu kiranya adalah putera ketua Cin-ling-pai! Pantas begitu lihai!
"Bagus...! Jadi engkau Cia Giok Keng yang membunuh sahabatku Thian Hwa Cinjin...?"
Tiba-tiba Bouw Thaisu meloncat tinggi, meninggalkan Bun Houw dan dari atas dia sudah mengebutkan kedua lengan bajunya ke arah kepala dan dada Giok Keng.
"Enci, awassss...!" Bun Houw terkejut dan memperingatkan kakaknya.
"Plak-plak, cringgg... bresss...!"
Serangan Bouw Thaisu tadi memang hebat bukan main. Walau pun Giok Keng sudah mengelak, namun ujung lengan baju dari kakek ini bagaikan hidup. Tio Sun sudah cepat memapaki dengan pedangnya, akan tetapi juga pedangnya terpukul ke samping seperti pedang Giok Keng dan totokan sabuk merah Giok Keng pada pundak kakek itu seperti mengenai baja tebal saja. Sekarang ujung lengan baju kiri Bouw Thaisu telah mengancam ubun-ubun kepala Giok Keng dengan pukulan maut.
Tiba-tiba ujung lengan baju itu terpental kembali dan lengan kakek itu bertemu dengan sebuah lengan lain yang dengan cepat menangkis. Kakek itu lantas terpental dan hampir terbanting roboh. Dia terkejut bukan main dan melihat. Ternyata seorang laki-laki gagah dan tampan, berusia hampir empat puluh tahun, telah berdiri di situ sambil memandang kepadanya dengan sikap tenang.
"Kau...? Huh...!" demikian kata Giok Keng.
Dan wanita ini tidak mempedulikan lagi laki-laki yang sebenarnya sudah menyelamatkan nyawanya itu. Dengan kemarahan hebat Giok Keng kini menyerang Bouw Thaisu yang masih bengong terlongong dan kaget bukan main. Tangkisan laki-laki yang masih belum tua ini telah membuat seluruh tubuhnya bagai digerayangi tenaga mukjijat yang membuat napasnya sesak. Oleh karena itu, ketika Giok Keng menyerang, dia cepat meloncat jauh ke belakang.
"Yap-suheng...!" Bun Houw berteriak girang. Biar pun sudah lama sekali dia tidak bertemu dengan laki-laki gagah perkasa itu, dia masih mengenalnya.
"Sute, engkau sekarang hebat bukan main!" Yap Kun Liong, pria itu, memujinya sambil tersenyum.
Kemudian sekali tubuhnya berkelebat, Kun Liong sudah meloncat dan menyerang Bouw Thaisu yang dia lihat tadi gerakannya paling lihai. Bouw Thaisu terpaksa menyambut serangannya dan keduanya segera bertanding mati-matian tidak mempergunakan senjata karena Bouw Thaisu menggunakan sepasang lengan baju sedangkan Kun Liong hanya menggunakan dua lengannya saja. Terdengar suara dak-duk-dak-duk setiap kali lengan mereka saling bertemu bagaikan dua pasang lengan baja yang amat kuat dan berkali-kali Bouw Thaisu tergetar tubuhnya dan terhuyung ke belakang!
Melihat kedatangan wanita dan pria yang gagah perkasa itu, Liok-te Sin-mo Gu Lo It terkejut dan takut setengah mati. Dia mengerti bahwa Bun Houw dan Giok Keng adalah putera-puteri ketua Cin-ling-pai yang berilmu tinggi, dan setelah mendengar teguran Bun Houw tadi, dia dapat menduga siapa adanya laki-laki perkasa yang kini mendesak Bouw Thaisu. Dia sudah mendengar akan nama Yap Kun Liong, maka gentarlah hatinya dan diam-diam dia memaki sumoi dan sute-nya yang tidak nampak batang hidungnya lagi.
"Maju semua...! Kepung dan keroyok...!" teriaknya dan anak buahnya yang sesungguhnya juga merasa gentar, apa lagi terhadap sikap Giok Keng yang demikian ganas memainkan pedang dan sabuk merahnya, terpaksa maju mengurung lagi. Jumlah mereka masih ada dua puluh orang lebih, maka pengepungan mereka cukup memberi kesempatan kepada Liok-te Sin-mo untuk diam-diam melarikan diri!
Melihat ini Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw mendongkol sekali. Tiga orang dari Lima Bayangan Dewa, fihak yang mereka bantu, diam-diam telah melarikan diri semua. Maka Hwa Hwa Cinjin memberi isyarat kepada tokouw berpakaian hitam itu, lalu mereka pun meloncat ke belakang dan melarikan diri.
"Hemmm, kelak aku ingin bertemu dan bertanding langsung berhadapan sendiri dengan ketua Cin-ling-pai!" Bouw Thaisu berkata dan dia pun meninggalkan Kun Liong yang sibuk dikeroyok banyak anak buah Ngo-sian-chung.
"Cici, suheng, harap tahan mereka, aku hendak mencari dan menolong kedua saudara Souw!" Bun Houw berteriak dan tubuhnya mencelat dan lenyap dari tempat itu.
Melihat ini, Giok Keng girang dan kagum sekali, sedangkan Kun Liong menarik napas panjang. Murid ayah mertuanya itu sekarang benar-benar sangat lihai. Kini dengan enak saja Tio Sun, Giok Keng, serta Kun Liong menghadapi pengeroyokan dua puluh lebih orang-orang Ngo-sian-chung dan Lembah Bunga Merah.
Diam-diam Kun Liong memperhatikan dan dia merasa lega bahwa sungguh pun masih kelihatan amat galak dan ganas, akan tetapi Cia Giok Keng bukanlah gadis belasan tahun yang lalu, yang seolah-olah merupakan harimau betina haus darah. Dahulu, menghadapi musuh-musuhnya, apa lagi anak buah Lima Bayangan Dewa yang merupakan musuh besar, tentu gadis itu akan memperlihatkan sikap kejam tak mengenal ampun lagi, tentu ujung sabuk merah itu akan mencari sasaran jalan darah kematian, sedangkan pedang Gin-hwa-kiam tentu akan berlepoton darah sampai ke gagangnya.
Akan tetapi sekarang, meski pun masih tetap ganas, Giok Keng hanya merobohkan para pengeroyok tanpa menimbulkan kematian. Demikian pula Tio Sun membuat Kun Liong diam-diam kagum karena meski pun masih muda, Tio Sun juga jelas tidak menghendaki kematian terhadap para pengeroyoknya, hanya menjatuhkan mereka dengan mematahkan tulang dan mendatangkan luka yang ringan saja.
Sementara itu, Bun Houw sudah mencari di seluruh perkampungan Ngo-sian-chung, akan tetapi sia-sia belaka. Akhirnya terpaksa dia menangkap seorang wanita anggota keluarga anak buah Ngo-sian-chung dan menghardik,
"Hayo cepat katakan di mana adanya Toat-beng-kauw But Sit dan Hui-giakang Ciok Lee Kim!" Sengaja dia menempelkan pedangnya di leher wanita itu yang tentu saja menjadi ketakutan sekali.
"Hamba... hamba tidak tahu... tadi... mungkin... ke hutan di sebelah sana..."
Bun Houw melepaskannya dan cepat dia berlari seperti terbang menuju ke dusun kecil di sebelah timur dusun itu. Ketika dia tiba di tepi sungai, di atas lapangan rumput yang tebal menghijau dan sunyi sekali, lapangan yang dihimpit oleh sungai dan hutan kecil, tiba-tiba dia berdiri seperti patung dan matanya terbelalak, mukanya pucat, kemudian pelan-pelan menjadi merah sekali.
Dia melihat Toat-beng-kaw Bu Sit sedang menanggalkan bajunya sambil tertawa-tawa, sedangkan di atas rumput rebah Kwi Eng yang sudah tidak berpakaian! Pakaian gadis itu tertumpuk di sebelahnya dan dia melihat dara itu terbelalak memandang si muka monyet dengan air mata bercucuran, akan tetapi agaknya dalam keadaan tertotok karena tidak mampu bergerak sama sekali!
Saking marahnya, Bun Houw mengayun pedang pemberian In Hong ke depan. Terdengar suara berdesing nyaring dan Bu Sit terkejut sekali. Cepat dia menoleh dan melihat sinar terang menyambar, dia mengelak, akan tetapi karena dia sedang membuka baju atasnya, pedang itu menerobos bajunya dan terus mcluncur ke depan, menancap ke atas tanah berumput sampai ke gagangnya. Tentu saja Bu Sit menjadi pucat sekali wajahnya ketika mengenal siapa yang datang.
"Hyaaaaaatttt...!" Dalam kemarahan yang sukar dilukiskan hebatnya, Bun Houw langsung meloncat dan bagaikan seekor garuda terbang saja dia menerjang Bu Sit dengan kedua tangan di depan, jari-jarinya terbuka seperti cakar garuda.
"Heiittttt...!"
Bu Sit yang sudah melempar jubahnya itu menyambar senjatanya, yaitu joan-pian atau pecut baja, lalu dia menggerakkan pecut itu. Terdengar suara meledak, pecut itu dengan tepat menghantam tubuh Bun Houw yang sedang melayang datang, namun Bun Houw menggerakkan tangan menangkap ujung pecut baja!
Bu Sit hampir tidak dapat percaya. Pemuda itu menangkap ujung pecut baja! Padahal perbuatan ini lebih berbahaya dari pada menangkap pedang telanjang. Dia mengerahkan tenaga, menggetarkan pecutnya untuk membikin telapak tangan Bun Houw pecah atau mungkin tangan itu akan putus. Akan tetapi sia-sia belaka dan tahu-tahu pecutnya sendiri sudah melingkar di lehernya!
"Augghhkkkk...!" Bu Sit mendelik karena lehernya terbelit pecutnya sendiri, menghentikan pernapasan. Dia melihat lawannya berdiri di hadapannya, maka dia cepat menggerakkan kedua tangannya, dikepal dan menghantam ke arah perut dan dada Bun Houw.
"Bukkk! Dessss...!"
Sedikit pun tubuh pemuda itu tidak bergoyang, akan tetapi pergelangan tangan kanan Bu Sit yang memukul dada tadi menjadi patah tulangnya!
"Auukhhh... auukhhhhh...!" Toat-beng-kauw Bu Sit mendelik, lidahnya terjulur keluar.
Mengingat penyiksaan Toat-beng-kauw kepadanya masih belum begitu memarahkan hati Bun Houw, akan tetapi melihat si muka monyet ini menelanjangi Kwi Eng dan hampir saja memperkosanya, membuat dia menjadi mata gelap dan marah bukan main. Akan tetapi, terngiang di telinganya segala nasehat orang tuanya, maka dia terengah-engah menahan kemarahan dan melepaskan libatan pecut itu yang dirampasnya dari tangan Bu Sit.
Begitu dilepaskan libatan lehernya, Bu Sit memegangi lehernya dengan kedua tangan, megap-megap seperti seekor ikan dilempar ke darat, kemudian tanpa malu-malu lagi dia menjatuhkan dirinya berlutut!
"Ampun... ampunkan aku..."
Bun Houw meludah penuh rasa jijik. Kemudian, teringat akan keadaan Kwi Eng, segera dia menoleh dan dia seperti silau melihat keadaan tubuh dara itu yang rebah terlentang dalam keadaan polos sama sekali. Cepat dia melempar pandangan matanya ke bawah, menghindari penglihatan itu, lalu mengambil pakaian Kwi Eng, tanpa memandangnya lalu melempar pakaian itu menutupi tubuh Kwi Eng, kemudian dengan muka masih berpaling dan pandang mata terbuang ke samping dia membebaskan totokan tubuh Kwi Eng.
Terdengar sedu-sedan dari leher dara itu. Kwi Eng cepat-cepat mengenakan pakaiannya, kemudian dia terpincang-pincang berloncatan dengan sebelah kaki ke arah pedang Bun Houw yang menancap di tanah, mencabut pedang itu dan terpincang-pincang melangkah menghampiri Bu Sit.
Bu Sit bukanlah seorang yang bodoh. Sama sekali tidak. Dia adalah seorang datuk kaum sesat yang amat cerdik. Dia masih terus berlutut setengah menangis minta-minta ampun, seolah-olah tak melihat dara yang hampir diperkosanya tadi sekarang terpincang-pincang menghampirinya dengan pedang di tangan!
Akan tetapi, begitu Kwi Eng telah tiba mendekat dan mengayun pedang ke arah lehernya, cepat sekali Bu Sit mengelak dengan menggulingkan tubuh dan saat pedang menyambar, dia lantas meloncat bangun dan sudah menangkap kedua tangan Kwi Eng, memutarnya ke belakang tubuh dan kini jari tangannya mengancam ke ubun-ubun kepala dara itu.
"Ha-ha-ha, engkau majulah dan gadis ini akan mampus dengan kepala berlubang!" Bu Sit mengancam Bun Houw.
Bun Houw memandang pucat, tidak mengira bahwa orang termuda dari Lima Bayangan Dewa itu akan melakukan hal securang itu.
"Serang dia, Houw-ko! Jangan pedulikan aku! Serang dia dan bunuh si jahanam keparat ini!" Kwi Eng berteriak-teriak sambil memandang pemuda itu.
"Cobalah, majulah maka jari-jari tanganku akan menembus ubun-ubunnya, otaknya akan bereeceran keluar!" Bu Sit menghardik.
Bun Houw masih memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak, tidak tahu harus berbuat bagaimana. Tentu saja dia tidak mau memenuhi permintaan Kwi Eng, menyerang dan membunuh Bu Sit karena dia tahu bahwa sebelum dia berhasil membunuh penjahat keji itu, tentu Kwi Eng akan tewas lebih dulu.
"Jangan maju, selangkah saja aku akan membunuh dia!" Bu Sit berkata lagi dan kini dia menyeret Kwi Eng mundur-mundur menjauhi Bun Houw yang diam tak bergerak.
Kwi Eng meronta, akan tetapi sia-sia saja. "Houw-koko, kau serang dia, kau bunuh dia! Aku lebih suka mati dari pada diculik dan dibawanya!"
Akan tetapi Bun Houw tetap tak bergerak, seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang dan siap untuk menyerang apa bila dia diberi kesempatan. Akan tetapi dengan jari-jari tangan Bu Sit menempel pada ubun-ubun Kwi Eng, bagaimana mungkin dia berani bergerak? Betapa pun cepat gerakannya, tak mungkin dapat menang cepat dengan jari tangan yang sudah menempel di ubun-ubun itu.
"Ha-ha-ha, sampai bagaimana pun engkau tak akan mampu menandingi Lima Bayangan Dewa, ha-ha-ha..." Pada saat itu, dari belakang tampak sinar hijau menyambar bagaikan cahaya halilintar, mengenai punggung Bu Sit yang masih telanjang karena tadi si muka monyet ini telah menanggalkan bajunya.
"Ha-ha-ha... augghhh...!" Suara tawa dari Bu Sit disambung pekik melengking, matanya yang kecil bulat terbelalak, mulutnya menyeringai kesakitan, mukanya pucat dan kini dia mengangkat tangan kanannya ke atas untuk menghantam kepala Kwi Eng!
Akan tetapi, kesempatan yang hanya beberapa detik ini cukuplah bagi Bun Houw. Kalau tadi dia tidak berani bergerak karena jari-jari tangan Bu Sit menempel di ubun-ubun dara itu, sekarang, sesudah iblis itu menerima serangan sinar hijau dari arah belakang yang membuatnya terkejut dan mengangkat tangan baru akan memukul kepala Kwi Eng, sudah cukuplah kesempatan itu bagi Bun Houw.
Bagaikan terbang dia meloncat ke depan, tangannya bergerak dan hawa pukulan dahsyat menyambar, membuat tangan Bu Sit yang memukul itu tertahan di udara dan di lain saat Bun Houw sudah menyambar pinggang Kwi Eng, dipondongnya dan dari telapak tangan itu keluar serangkum hawa pukulan yang amat panas mengarah dada lawan.
Pada saat itu Bu Sit berdiri limbung dengan muka pucat sekali. Dalam keadaan sehat saja tak mungkin dia dapat menahan pukulan Bun Houw ini, apa lagi dalam keadaan seperti ini, yaitu setelah dia mengalami luka yang amat hebat di punggungnya.
"Dessss...!"
Tubuhnya terjengkang dan terbanting ke atas tanah, roboh dan tak dapat bergerak lagi karena dia telah tewas seketika, isi dada dan perutnya hancur oleh getaran hawa pukulan dahsyat tadi.
Bun Houw memandang ke sekeliling, terutama ke arah belakang Bu Sit dari mana tadi datang sinar hijau, akan tetapi dia tak melihat sesuatu apa pun. Dengan lengan kiri masih merangkul Kwi Eng, dia menggunakan kakinya membalikkan tubuh Bu Sit dan tampaklah olehnya betapa punggung laki-laki bermuka monyet itu penuh dengan lubang-lubang kecil dan luka-luka kecil itu melepuh dan membengkak berwarna kehijauan.
Dia tahu bahwa Bu Sit telah terkena serangan senjata rahasia beracun, agaknya seperti senjata pasir beracun, akan tetapi dia tidak tahu bahwa Toat-beng-kauw Bu Sit sudah menjadi korban serangan Siang-tok-swa (Pasir Racun Harum), yaitu senjata rahasia khas dari Giok-hong-pang!
Tiba-tiba suara isak tertahan membuat dia memandang Kwi Eng yang masih dia peluk pinggangnya. Dia terkejut melihat dara itu menangis dan baru teringat bahwa dia masih merangkul pinggang yang ramping itu, maka cepat-cepat dia melepaskan rangkulannya. Kwi Eng terhuyung dan hampir saja jatuh, maka cepat Bun Houw memegang lengannya, menahannya.
"Ahh, kau... kau terluka, adik Kwi Eng?" Bun Houw bertanya penuh kekhawatiran.
Kwi Eng menggigit bibirnya. "Hanya... hanya kakiku... agaknya patah tulang pergelangan kakiku... terpukul gagang tombak tadi..." Dia lalu duduk di atas tanah.
Bun Houw cepat berlutut memeriksa. Ternyata benar. Tulang pergelangan kaki kiri dara itu patah!
"Ah, benar saja. Kakimu yang kiri ini... tulangnya patah. Harus cepat diobati, Eng-moi. Kau tahankan rasa nyeri sedikit..."
Dara itu mengangguk dan Bun Houw lalu menyingkap pipa celana kaki kiri itu. Berdebar juga hatinya ketika jari-jari tangannya meraba kulit kaki yang halus sekali, halus lunak dan hangat itu, dengan kulit tipis putih, begitu tipis dan halusnya sehingga seolah-olah dia bisa melihat urat-urat darah di bawahnya.
Namun dia mengusir semua ingatan tentang yang indah-indah itu dan cepat dia menotok jalan darah di dekat lutut, kemudian dia meraba pergelangan kaki yang tulangnya patah, dengan cekatan dan tanpa ragu-ragu lagi dia menarik lantas membenarkan letak tulang yang patah itu, kemudian mengambil bungkusan obat untuk penyambung tulang. Setelah mencampur obat dengan air, kemudian menaruh obat di sekeliling pergelangan kaki itu, dibalutnya pergelangan kaki itu dengan kain yang dia ambil dari robekan bajunya dan sebagian sabuknya, dibalut dengan kuat-kuat dan kanan kiri kaki itu diganjal dengan kayu sehingga kedudukan tulang yang patah itu tidak akan berubah lagi.
Semua ini dikerjakan oleh Bun Houw tanpa berkata-kata dan dengan cepat sekali. Dia kagum karena sedikit pun tidak terdengar keluhan dari bibir dara itu dan setelah selesai membalut, baru dia mengangkat muka memandang. Dara itu ternyata sedang menatap wajahnya dengan bulu-bulu mata terhias butiran air mata!
"Sakit...?" Kini Bun Houw bertanya.
Kwi Eng menggelengkan kepalanya. "Sedikit...," bisiknya.
Akan tetapi dia lalu menahan tangis, bibirnya yang merah itu tergetar dan akhirnya dia menangis sesenggukan sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan. Butiran-butiran air mata mengalir turun melalui celah-celah jari tangannya.
Bun Houw menjadi bingung dan dia mengusap pundak dara itu untuk menghibur. "Bahaya telah lewat, musuh telah tewas. Kenapa kau berduka, Eng-moi? Kau kan tidak... belum... tertimpa bahaya..."
Tetapi tangis itu kini bahkan semakin mengguguk. Bun Houw memegang kedua pundak dara itu, mengguncangnya halus dan berkata, "Eng-moi, kenapakah? Katakan kepadaku, mengapa kau begini berduka?"
Perlahan-lahan Kwi Eng mengangkat mukanya. Dari balik tirai air mata dia memandang. Dua pasang mata bertemu, bertaut ketat lalu dua pasang sinar itu saling melekat, saling menyelami dan perlahan-lahan Kwi Eng berkata dengan suara menggetar, "Houw-koko, kau... kau sudah... menyelamatkan aku... dari mala petaka yang bahkan lebih hebat dari pada maut... Houw-koko, bagaimana aku dapat membalas budimu...?"
"Hushhhh... apakah hal itu perlu dibicarakan lagi, moi-moi? Engkau yang membantu aku menghadapi musuh-musuhku, sampai-sampai engkau hampir mengorbankan nyawa, dan sekarang kau bicara tentang budi? Sudahlah, mari kita kembali ke tempat kawan-kawan. Aku yakin semua penjahat telah terbasmi. Tahukah engkau siapa yang datang membantu kita? Enci-ku Cia Giok Keng dan suheng-ku Yap Kun Liong!"
Kwi Eng mengangguk dan berusaha untuk berdiri dengan satu kaki. "Ah, jangan gunakan kakimu yang patah tulangnya. Mari kupondong."
Bun Houw kemudian menggunakan kedua lengannya, memondong tubuh dara itu. Kwi Eng menyandarkan kepalanya di dada Bun Houw dan sejenak pemuda ini memejamkan matanya ketika hidungnya mencium bau harum dari rambut dan muka yang begitu dekat dengan mukanya.
"Houw-koko...!"
Bun Houw melangkah perlahan dan menjawab, "Hemmm...?"
Jantungnya berdebar karena tubuh yang hangat itu terasa begitu ketat di kedua lengan dan dadanya, maka dalam keadaan seperti itu sukar dia mengeluarkan kata-kata.
"Di dunia ini... hanya ada dua orang pria yang telah melihat tubuhku... yang seorang telah mampus... dan orang kedua adalah engkau... dan aku bersumpah, tidak akan ada laki-laki ketiga yang akan melihatku..."
Bun Houw terkejut, juga bingung. "Apa... apa yang kau maksudkan, moi-moi?"
Tiba-tiba Kwi Eng sesenggukan lagi dan kedua lengannya seperti dua ekor ular merayap dan merangkul leher pemuda itu. Tentu saja Bun Houw menjadi berdebar-debar, seluruh tubuhnya tergetar oleh gelora darah mudanya. Otomatis pelukan kedua tangannya makin dipererat seolah-olah dia hendak mendekap tubuh dara yang cantik jelita itu makin ketat. Rasa rindu akan seorang wanita yang selama ini ditahannya, rindunya kepada Yalima, wanita pertama yang dicintanya, kini seolah-olah memperoleh pelepasan pada diri Kwi Eng!
"Koko... engkaulah satu-satunya pria hidup yang melihat aku... seperti tadi... dan hanya engkaulah yang boleh melihatku seperti itu... untuk selama hidupku."
"Hemmm... maksudmu?"
"Engkau telah menyelamatkan diriku dari bencana yang amat hebat, engkau telah melihat aku dalam keadaan seperti tadi... semua itu hanya dapat kutebus dengan penyerahan jiwa ragaku, koko... jika kau sudi menerimanya..."
Hampir saja pondongan itu terlepas saking kagetnya hati Bun Houw. Ternyata demikian ‘mendalam’ perasaan hati dara ini. Ternyata Kwi Eng hendak menyatakan bahwa dara yang cantik ini jatuh cinta kepadanya!
"Maksudmu... kau... kau cinta padaku?" Dia menjelaskan sambil memandang. Kwi Eng juga mengangkat muka memandang.
Dua muka saling berdekatan. Otomatis langkah kaki Bun Houw terhenti dan tiba-tiba saja sepasang lengan Kwi Eng yang merangkul leher itu menarik leher Bun Houw makin kuat sehingga muka pemuda itu makin menunduk dan tak terhindarkan lagi, sukar dikatakan siapa yang lebih dahulu bergerak, muka yang tampan dan cantik itu saling bertemu, dua mulut dengan bibir yang penuh gairah hidup itu saling berciuman, terdorong oleh getaran perasaan hati mereka.
Mereka lupa diri, lupa keadaan, seperti dalam keadaan mabok sehingga seakan-akan ciuman itu tak akan pernah berakhir, seolah-olah dalam ciuman itu mereka hendak saling mempersatukan diri, selamanya tidak akan terpisah lagi. Namun kebutuhan akan napas dan gelora perasaan yang melonjak membuat mereka terpaksa melepaskan bibir dengan napas terengah-engah.
Sejenak mereka saling pandang. Sepasang pipi mereka menjadi merah sekali, pandang mata mereka menjadi sungkan dan kemalu-maluan. Kwi Eng menunduk dan Bun Houw menengadah, degup jantung mereka dapat saling mereka rasakan karena dada mereka berdekapan.
"Eng-moi..."
"Koko..."
"Jangan... tak benar ini..."
"Mengapa tak benar...? Aku rela..."
"Tidak boleh... kita baru saja bertemu dan saling berkenalan..."
"Bagiku engkau sudah selamanya kukenal..."
"Sudahlah, harap kau jangan bicara tentang urusan kita ini dulu, moi-moi. Kau tahu bahwa tugasku masih jauh dari pada selesai, aku... aku tidak mungkin bisa membagi perhatian terhadap soal lain. Kita tunda saja dulu urusan ini, maukah kau berjanji?"
Kembali dua pasang mata saling bertemu dan Kwi Eng pun tersenyum. Senyum penuh kebahagiaan karena ciuman tadi baginya sudah lebih dari cukup sebagai tanda bahwa pemuda yang telah menjatuhkan cinta kasihnya ini, ternyata juga mencintanya. Apa bila tidak demikian, tak mungkin terjadi ciuman seperti tadi! Terasa benar olehnya menembus sampai ke dasar hatinya. Maka dia mengangguk sambil tersenyum.
Bukan main manisnya dan penuh daya pikat sehingga terpaksa Bun Houw harus segera mengangkat kepala memandang ke atas. Tidak kuat dia untuk memandang wajah yang sedemikian manisnya, demikian dekatnya, bibir yang segar merah basah, sedikit terbuka, mulut yang seolah-olah menantang, dan seolah-olah diciptakan untuk dicium penuh kasih sayang, memandang kesemuanya ini tanpa menciuminya!
Dan Kwi Eng kembali tersenyum. Senyum kemenangan seorang wanita yang mempunyai naluri kewanitaannya, yang tahu benar saat-saat seorang pria bertekuk lutut tanpa syarat! Rangkulannya semakin ketat dan sambil tersenyum-senyum, mata yang masih basah air mata itu pun tersenyum malu-malu, dara ini menyembunyikan mukanya di dada kekasih pujaan hatinya!
Pada saat itu pula, ketika Bun Houw melanjutkan langkahnya dan matanya memandang ke depan, dia melihat berkelebatnya bayangan orang di antara pohon-pohon. Dia cepat mengejar dengan pandang matanya dan dilihatnya bayangan itu berdiri tegak di samping sebatang pohon, bayangan seorang wanita dengan sinar mata berapi-api yang ditujukan kepada tubuh Kwi Eng yang dipondongnya. Tentu saja dia segera mengenal gadis yang berdiri dengan sinar mata berapi-api itu.
"Hong-moi...!" Tanpa terasa lagi dia berseru memanggil. Akan tetapi bayangan itu cepat berkelebat dan lenyap di balik pohon-pohon di dalam hutan di tepi sungai itu.
"Ehh, kau memanggil siapa, Houw-koko?" Kwi Eng bertanya dan memandang ke kanan kiri.
Bun Houw mengerutkan alisnya. "Pendekar wanita yang pernah menolongku, Eng-moi. Sepertinya kulihat dia tadi berkelebat di dalam hutan. Akan tetapi mungkin juga aku salah lihat..." Namun hatinya merasa yakin bahwa gadis penolongnya itulah yang dilihatnya tadi, dengan sinar mata tajam penuh kemarahan dan kebencian ditujukan kepada Kwi Eng.
Bun Houw mengerutkan alisnya dan makin kuat dugaannya. Tidak salah lagi. Tentu gadis itulah yang pernah menyerang Kwi Eng, dan bahkan yang telah membunuh gadis she Ma itu. Jantungnya berdebar-debar penuh ketegangan. Andai kata betul demikian, alasannya hanya satu, yaitu cemburu!
Gadis yang bernama Hong itu agaknya selalu membenci setiap wanita yang berdekatan dengan dirinya! Cemburu, berarti gadis itu cinta kepadanya! Bun Houw bergidik dan kalau tadinya dia merasa sangat tertarik kepada In Hong, kini dia mulai merasa jijik dan tidak suka...
Karena Ngo-sian-chung memang telah dekat, berada di lembah muara sungai Huang-ho, maka pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka telah memasuki dusun itu dengan sikap penuh kewaspadaan karena mereka menduga bahwa mereka tentu tiba di sarang Lima Bayangan Dewa yang mereka cari-cari.
Dugaan mereka memang tepat. Mereka sedang memasuki sarang naga yang berbahaya sekali. Tidak percuma tempat itu dijadikan sarang Lima Bayangan Dewa dan meski pun pagi hari itu empat orang muda ini memasuki pintu gerbang dusun yang sunyi seolah-olah tempat itu aman dan kosong, seakan-akan tidak terdapat bahaya sama sekali, namun sesungguhnya sejak malam tadi kedatangan mereka sudah diketahui oleh para penghuni Ngo-sian-chung dan pagi ini, empat orang itu memang dibiarkan memasuki dusun seperti empat ekor domba yang dibiarkan masuk ke dalam jebakan dan di sekeliling tempat itu, secara bersembunyi, sudah menunggu segerombolan harimau yang kelaparan dan yang memandangi gerakan empat ekor domba itu!
Sebetulnya, sebelum mereka memasuki dusun itu, Tio Sun menyatakan tidak setujunya karena dia menganggap perbuatan mereka ini terlampau ceroboh.
"Lima Bayangan Dewa yang sudah melakukan perbuatan menentang Cin-ling-pai tentu sudah selalu bersiap menghadapi lawan," katanya kepada Bun Houw. "Kalau kita masuk secara berterang, bukankah hal itu sangat berbahaya? Mereka sudah tahu bahwa kita hanya berempat, dan kita tidak tahu sampai di mana kekuatan mereka."
"Tio-twako," Bun Houw menjawab malam tadi. "Mereka itu merupakan orang-orang dari golongan sesat. Pada saat mereka menyerbu Cin-ling-pai, mereka sengaja menanti ketika ayah dan ibu tidak berada di sana, dan mereka juga memancing para suheng dari Cap-it Ho-han meninggalkan Cin-ling-san. Akan tetapi, kedatanganku ini adalah untuk menuntut balas maka aku pantang masuk secara menggelap. Aku menyesal sekali telah membawa twako dan kedua adik Souw ke dalam bahaya ini."
"Ahhh, Houw-koko mengapa kau berkata demikian?" Kwi Beng membantah. "Kita adalah keturunan para pendekar, bahaya, sakit dan kematian dalam membela kebenaran bukan apa-apa bagi kita."
Tio Sun menarik napas panjang. "Maaf Houw-te, aku hanya memperingatkan, sama sekali bukan berarti bahwa aku takut. Kalau begitu, marilah kita masuk dusun itu."
Demikianlah, pagi itu mereka memasuki dusun dengan sikap tenang akan tetapi hati-hati dan penuh kewaspadaan. Mereka tidak melihat adanya fihak musuh yang memang sudah mengawasi setiap gerak-gerik mereka sambil bersembunyi, namun mereka seperti dapat merasakan kehadiran musuh yang tidak nampak itu.
Pada waktu itu, orang tertua dari Lima Bayangan Dewa, yaitu Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok tidak berada di Ngo-sian-chung. Dia dan orang ketiga, yaitu Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Ho Siang, beberapa hari yang lalu berangkat ke kota raja atas panggilan pembesar thaikam di istana yang membutuhkah tenaga bantuan mereka. Karena itu yang menjaga Ngo-sian-chung adalah Liok-te Sin-mo Gu Lo It, orang kedua dari Lima Bayangan Dewa. Baru saja rombongan Hui-giakang Ciok Lee Kim juga tiba di situ, yaitu Toat-beng-kauw Bu Sit, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu sehingga kini Ngo-sian-chung penuh dengan orang-orang yang berilmu tinggi!
Di samping tiga orang Bayangan Dewa dan tiga orang tamu mereka yang bahkan lebih lihai dari pada mereka sendiri, masih terdapat pula anak-anak buah Ngo-sian-chung yang hampir tiga puluh orang jumlahnya, masih ditambah lagi beberapa orang pembantu dan kaki tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim yang ikut datang dari Lembah Bunga Merah.
Sebetulnya Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang pada saat itu menjadi wakil tuan rumah, telah memimpin barisan pendam yang sudah bersiap dengan anak panah dan senjata rahasia mereka. Kalau dia memberi aba-aba untuk menghujankan senjata rahasia, kemudian dia bersama teman-temannya yang lihai itu menyerbu, kiranya empat orang muda itu akan menghadapi bahaya yang amat besar.
Akan tetapi ketika mereka mengintai itu, para tamu dari Lembah Bunga Merah segera mengenal Bun Houw! Mereka terkejut sekali karena mereka sudah menyaksikan sendiri kelihaian pemuda ini, dan sungguh pun mereka sudah berhasil menangkap pemuda itu, menyiksanya secara hebat, akan tetapi kini tampaknya pemuda itu sudah sembuh sama sekali!
Mereka tidak mengenal tiga orang muda lainnya yang ikut datang bersama Bun Houw, akan tetapi mereka itu memandang rendah dan menduga bahwa mereka agaknya adalah murid-murid Bu-tong-pai yang hendak membalas dendam kepada Hui-giakang Ciok Lee Kim. Oleh karena itu, Ciok Lee Kim cepat menahan suheng-nya dan menyentuh lengan Liok-te Sin-mo Gu Lo It sambil berbisik-bisik.
"Pemuda yang di depan itu lihai sekali, dan agaknya dia utusan Cin-ling-pai. Akan tetapi dia belum mengaku. Dan tiga yang lain itu, boleh jadi murid-murid Bu-tong-pai. Tidak baik kalau membunuh mereka, dan pemuda bernama Bun Houw itu harus dipaksa mengaku."
"Tepat sekali, memang mereka itu harus ditawan hidup-hidup untuk dimintai keterangan. Kita harus mengetahui gerak-gerik musuh, jangan sampai kita terjebak oleh Cin-ling-pai." Toat-beng-kauw Bu Sit membenarkan pendapat sucinya.
Sebenarnya siasat yang dipergunakan oleh dua orang tokoh Lima Bayangan Dewa ini mengandung maksud lain yang bersumber kepada keinginan pribadi. Begitu Ciok Lee Kim melihat wajah dan bentuk tubuh Kwi Beng, dengan matanya yang bening kebiruan dan rambutnya yang agak pirang, wanita ini sudah menjadi tergila-gila dan dia akan merasa sayang sekali apa bila pemuda seperti itu dibunuh begitu saja. Dia sudah membayangkan betapa akan senang hatinya kalau dia dapat ditemani oleh pemuda setampan itu untuk beberapa malam lamanya.
Demikian pula Toat-beng-kauw Bu Sit si wajah monyet. Begitu dia melihat Kwi Eng yang cantik jelita, yang memiliki kecantikan yang khas dan aneh namun amat menarik itu, dia sudah mengilar dan tergila-gila. Betapa pun juga, dia harus dapat menguasai gadis yang demikian cantiknya!
Gu Lo It bukan tidak tahu akan watak sumoi dan sute-nya ini, akan tetapi karena memang usul mereka itu tepat dan dia pun ingin sekali mengetahui siapa sebenarnya pemuda tampan yang menurut cerita dua orang adik angkatnya itu memiliki kepandaian yang amat tinggi, maka dia mengangguk dan segera diaturlah siasat untuk menghadapi empat orang penyerbu muda yang demikian tenang dan beraninya memasuki sarang Lima Bayangan Dewa.
Setelah empat orang muda itu tiba di tengah-tengah dusun Ngo-sian-chung dan di antara rumah-rumah yang agaknya kosong, mendadak terdengar sorak-sorai dari empat penjuru dan tahulah mereka bahwa mereka telah terjebak dan terkurung.
"Awas dan siap-siap, kita harus saling melindungi!" Bun Houw berbisik dan tiga orang temannya mengangguk, lantas mereka berdiri saling membelakangi, menghadapi empat penjuru dengan seluruh urat saraf di tubuh mereka menegang, siap menghadapi segala kemungkinan yang akan menimpa mereka.
Kini nampaklah orang-orang muncul dari balik-balik rumah dengan gendewa terpentang dan anak panah yang sudah siap ditodongkan ke arah mereka. Sedikitnya ada tiga puluh orang bersenjata lengkap, kebanyakan dari mereka menodongkan anak panah, muncul dan mengurung empat orang muda yang sudah siap dan tidak bergerak di tengah-tengah lapangan yang cukup luas itu.
Dengan sikap tenang Bun Houw berkata, suaranya nyaring sekali sehingga bukan hanya dapat terdengar oleh semua pengepung, melainkan juga dapat terdengar sampai jauh di empat penjuru, "Kami datang bukan hendak mengganggu orang-orang yang tak memiliki kepentingan, maka harap suruh Lima Bayangan Dewa untuk keluar!"
Tiba-tiba terdengar suara wanita tertawa mengejek, "Heh-heh-hi-hik! Jadi engkau belum mampus?" Ciok Lee Kim meloncat keluar.
"Dan engkau datang untuk mengantar nyawa? Jangan harap sekarang engkau akan bisa lolos dari tanganku, pemuda sombong!" Bu Sit juga menyusul suci-nya, meloncat keluar dengan sikap sombong sebab dia merasa yakin bahwa dengan bantuan teman-temannya mereka akan dapat menangkap empat orang itu dengan mudah.
Biar pun dia berkata kepada Bun Houw, namun matanya yang bulat seperti mata monyet, bulat kecil, mengincar wajah Kwi Eng karena empat orang muda itu kini membalik dan menghadapi tokoh yang menjadi musuh-musuh besar dan yang baru muncul itu.
Melihat dua orang ini, tentu saja darah Bun Houw menjadi panas. Teringat dia betapa dia telah disiksa secara hebat oleh mereka ini. Akan tetapi sebagai seorang pendekar muda gemblengan orang-orang sakti, dia dapat menahan diri dan hanya memandang dengan tersenyum ketika melihat dua orang yang telah dikenalnya itu muncul diikuti oleh Bouw Thaisu yang amat lihai, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan seorang laki-laki berhidung besar berjubah hitam, bertopi dan bertubuh kokoh kuat berusia kurang lebih enam puluh tahun.
Bun Houw menduga bahwa laki-laki ini agaknya merupakan salah seorang di antara Lima Bayangan Dewa, dan kalau benar demikian, mana yang dua lagi? Dia ingin berhadapan dengan mereka berlima sekaligus agar dia dapat membuat perhitungan secara serentak.
"Aku telah mengenal Hui-giakang Ciok Lee Kim dan Toat-beng-kauw Bu Sit, dua orang berwatak pengecut di antara Lima Bayangan Dewa," kata Bun Houw dengan lantang dan berani, "akan tetapi mana yang tiga lagi? Apakah tiga orang Bayangan Dewa yang lain begitu pengecut untuk selalu menyembunyikan diri dan mengajukan orang-orang lain?"
"Hemmm, kalau begitu rubah saja julukan Bayangan Dewa menjadi Bayangan Tikus yang penakut dan pengecut!" Kwi Eng menyambung dengan suara mengejek.
"Bocah she Bun yang sombong!" Liok-te Sin-mo Gu Lo It membentak sambil melangkah ke depan. "Dari sumoi dan sute aku telah mendengar bahwa engkau menyamar sebagai pengawal Kiam-mo Liok Sun, akan tetapi sebenarnya engkau dari Cin-ling-pai! Sebelum engkau mampus, hayo kau perkenalkan dahulu siapa adanya tiga orang muda yang kau ajak mengantar nyawa ke sini. Apakah kalian bertiga juga murid-murid Cin-ling-pai?"
Tio Sun memandang dengan sinar mata berapi dan dia menjawab, "Ketahuilah, manusia-manusia iblis. Aku bernama Tio Sun dan ayahku adalah Tio Hok Gwan. Kami sekeluarga sudah biasa menentang dan membasmi manusia-manusia iblis macam kalian."
Semua orang merasa terkejut karena mereka tentu saja sudah mendengar nama besar Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan.
"Dan kami kakak beradik bernama Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng. Ibu kami adalah pendekar wanita Souw Li Hwa murid mendiang Panglima Besar The Hoo! Hayo kalian lekas berlutut dan menyerah dari pada terpaksa kami membunuh kalian!" Kwi Beng juga membentak dengan suara nyaring.
Kembali para tokoh kang-ouw yang memusuhi Cin-ling-pai itu terkejut. Nama Souw Li Hwa memang tidak mereka kenal, akan tetapi siapakah yang tidak mengenal nama The Hoo yang ditakuti lawan disegani kawan? Dan dua orang muda ini adalah putera-puteri murid The Hoo, hal ini saja sudah membuat mereka memandang dengan sinar mata lain dan tidak berani memandang rendah.
Akan tetapi, tetap saja mata Si Kelabang Terbang Ciok Lee Kim dan Monyet Pencabut Nyawa Bu Sit seperti akan keluar dari rongganya saking kagumnya setelah kini mereka berdiri dekat dengan kakak beradik kembar itu yang ternyata memiliki ketampanan dan kecantikan yang benar-benar sangat menjatuhkan hati mereka dan menimbulkan nafsu birahi karena memang keelokan mereka itu khas dan belum pernah mereka temukan dalam petualangan mereka bercinta dengan macam-macam orang!
Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang ditemani tidak hanya oleh dua orang sumoi dan sute-nya, akan tetapi juga oleh tiga orang sakti Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw, belum lagi anak buah Ngo-sian-chung ditambah anak buah Lembah Bunga Merah, tentu saja sama sekali tidak merasa gentar, bahkan dia memandang rendah empat orang muda itu.
"Bagus!" katanya mengejek. "Kiranya kalian adalah keturunan orang-orang pandai, akan tetapi sayang sekali bahwa guru-guru atau ayah-ayah kalian amat sembrono, mengirim kalian orang muda hijau datang ke sini. Orang muda she Bun, kalau engkau benar dari Cin-ling-pai, apa maksud kedatanganmu di sini mengajak tiga orang temanmu ini?"
"Siapakah engkau?" Bun Houw balas bertanya sambil memandang penuh selidik. "Suruh tiga orang lain dari Bayangan Dewa untuk keluar menemui aku!"
"Ha-ha-ha, betapa sombongnya! Aku adalah Liok-te Sin-mo Gu Lo It, orang kedua dari Lima Bayangan Dewa. Dengan adanya kami bertiga dan tiga orang sahabat kami yang mulia ini, sudah cukup. Orang pertama dan ketiga dari kami sedang ada urusan keluar, maka kau sampaikan saja kepada kami apa yang menjadi keperluan dan kehendakmu."
Bun Houw agak kecewa bahwa dua orang di antara Lima Bayangan Dewa tidak hadir. Kini dia mengepal tinju dan membentak, "Liok-te Sin-mo, kalian Lima Bayangan Dewa telah bertindak pengecut, selagi ketua Cin-ling-pai tidak ada, kalian berani menyerbu dan mengacau Cin-ling-pai. Sekarang aku datang untuk meminta kembali pusaka Cin-ling-pai, Siang-bhok-kiam dan nyawa Lima Bayangan Dewa."
"Ha-ha-ha-ha-ha, sungguh sombong kau, keparat!" Liok-te Sin-mo adalah seorang yang berwatak keras dan kasar, maka mendengar ucapan Bun Houw, dia tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Cepat dia memberi isyarat kepada teman-temannya dan kepada para anak buahnya.
Sambil bersorak riuh, anak-anak buah Ngo-sian-chung dibantu anak buah Lembah Bunga Merah lalu maju menyerbu dengan senjata mereka, mengepung dan mengeroyok empat orang muda itu. Sedangkan Liok-te Sin-mo Gu Lo It, sesuai dengan rencana, mundur dan bersama teman-temannya mereka menonton lebih dahulu untuk menilai siapa di antara empat orang muda itu yang paling lihai dan siapa pula yang lebih lemah agar lebih mudah bagi mereka untuk melakukan pengeroyokan yang menguntungkan.
Akan tetapi, karena sudah maklum dari laporan dua orang adik angkatnya akan kelihaian Bun Houw, maka seperti sudah direncanakan, Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin, dan Hek I Siankouw sudah menggerakkan tubuh mereka dan tiga orang sakti ini mengurung dan mengeroyok Bun Houw!
Dari pengalamannya di Lembah Bunga Merah, Bun Houw sendiri maklum bahwa ketiga orang tua ini memang hebat sekali kepandaiannya, maka dia pun malah merasa lega bahwa mereka langsung mengeroyoknya sehingga kawan-kawannya akan menghadapi pengeroyokan lawan yang tidak selihai mereka bertiga ini. Maka dia pun cepat meraba pinggangnya dan nampaklah sinar pedang yang sudah dipegang di tangan kanannya.
Pedang ini pedang pemberian In Hong, sebatang pedang yang cukup baik. Sebetulnya, berkat gemblengan dari suhu-nya, Kok Beng Lama, Bun Houw dapat menghadapi lawan yang betapa lihainya pun dengan kedua tangan kosong saja, akan tetapi karena dia tahu betapa hebat kepandaian tiga orang pengeroyoknya yang juga mempergunakan senjata, maka dia tidak mau bersikap ceroboh memandang rendah, dan dia sudah mengeluarkan pedang itu untuk melakukan perlawanan mati-matian.
Sementara itu, Tio Sun juga sudah mengeluarkan kedua senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang pedang pada tangan kanan dan sebatang joan-pian, yaitu sabuk yang dapat digunakan sebagai cambuk, kemudian dia sudah mengamuk hebat, dalam waktu singkat saja sudah merobohkan dua orang pengeroyoknya.
Kwi Beng dan Kwi Eng, dua saudara kembar yang tentu saja memiliki perasaan yang amat dekat dan saling membela, sudah mengamuk pula dengan pedang di tangan, saling melindungi dan keduanya sudah memutar pedang dengan tangan kanan, ada pun tangan kiri mereka melemparkan hui-to, yaitu pisau-pisau terbang yang mereka lempar dengan kegapahan (kecekatan atau ketangkasan) seorang ahli sehingga masing-masing juga sudah berhasil merobohkan dua orang pengeroyok dengan hui-to mereka.
Melihat ini, tiga orang Bayangan Dewa menjadi kaget juga. Akan tetapi begitu melihat tiga orang muda itu menggerakkan senjata, Liok-te Sin-mo Gu Lo It maklum bahwa di antara mereka, putera Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan itulah yang paling lihai.
Maka dia pun segera meloncat ke depan, menyerang Tio Sun dengan kedua ujung lengan bajunya yang merupakan senjatanya yang istimewa, karena di kedua ujung lengan baju hitam itu dipasangi baja-baja yang kuat dan tersembunyi sehingga tidak kelihatan oleh lawan, akan tetapi kalau mengenai tubuh lawan sama bahayanya dengan senjata tajam mana pun juga.
Melihat gerakan orang kedua dari Lima Bayangan Dewa ini, Tio Sun cepat menyambut dan di antara mereka segera terjadi pertandingan yang amat hebat dan seru. Akan tetapi atas isyarat Gu Lo It, beberapa orang anak buahnya sudah turun tangan pula membantu sehingga Tio Sun kembali dikepung dan sekali ini dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan andalannya karena pengepungan itu dipimpin oleh Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang amat lihai.
Sementara itu, Ciok Lee Kim dan Bu Sit girang bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa biar pun dua orang kakak beradik kembar itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi pula, namun dibandingkan dengan dua orang muda lainnya, mereka ini paling lunak dan kedua orang ini segera terjun ke dalam medan pertempuran, dan otomatis Bu Sit sudah menggerakkan pecut bajanya menahan pedang di tangan Kwi Eng, sedangkan Ciok Lee Kim mainkan dua helai sapu tangan suteranya menandingi Kwi Beng sambil tersenyum-senyum penuh gairah!
Dengan cara memecah-mecah, pertandingan terbagi menjadi empat dan memang Liok-te Sin-mo beserta kawan-kawannya merupakan orang-orang yang selain berilmu tinggi, juga amat pandai bersiasat. Andai kata pertempuran itu dilakukan dengan pengeroyokan biasa, maka dengan gabungan kepandaian mereka, terutama dengan adanya Bun Houw yang amat lihai dan Tio Sun yang juga bukan orang lemah, maka fihak para pengeroyok akan mengalami kesukaran dan tentu akan banyak anak buah mereka yang dirobohkan empat orang muda itu.
Akan tetapi, setelah dipecah-pecah dan setiap orang muda itu dikepung oleh fihak lawan yang disesuaikan, tentu saja mereka berempat menjadi kerepotan juga! Terutama sekali Kwi Beng dan Kwi Eng! Tingkat kepandaian Kwi Beng dan Kwi Eng masih kalah jauh bila dibandingkan dengan tingkat kepandaian Ciok Lee Kim dan Bu Sit. Tanpa dikeroyok pun mereka berdua akan kalah oleh dua orang Bayangan Dewa itu. Terlebih lagi kini mereka dikeroyok oleh lima orang yang dipimpin oleh dua orang lihai itu!
"Awas! Jangan lukai dia, tangkap hidup-hidup!" Pesan Ciok Lee Kim kepada lima orang pembantunya yang mengeroyok Kwi Beng dan dia sendiri menujukan sambaran kedua ujung sapu tangan suteranya ke arah jalan darah untuk menotok pemuda itu dan untuk menangkapnya. Kwi Beng repot sekali melindungi dirinya, dan tidak memiliki kesempatan menyerang sama sekali.
“Hati-hati jangan sampai kulitnya yang putih itu lecet!" Bu Sit tertawa-tawa memesan lima orang pembantunya pula, dan dia sendiri dengan pecut baja di tangannya yang meledak-ledak, beberapa kali hampir dapat merampas pedang di tangan Kwi Eng.
Dara ini menjadi semakin marah sekali, mukanya berubah merah dan matanya berapi-api mendengar kata-kata Bu Sit yang ditujukan kepadanya, kata-kata bujuk rayu, pujian dan lain-lain ucapan yang menusuk hati dan cabul.
Bun Houw sendiri dikeroyok oleh Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin, serta Hek I Siankouw, masih ditambah oleh sepuluh orang anak buah Ngo-sian-chung yang menyerangnya dari lingkungan luar. Pemuda ini sama sekali tidak menjadi gentar. Gerakannya tangkas dan cepat laksana kilat menyambar sehingga diam-diam tiga orang tokoh tua itu terkejut dan kagum bukan main.
Sekarang, sesudah pemuda itu dalam keadaan bebas, tidak dirintangi oleh orang seperti ketika di Lembah Bunga Merah dahulu, ketika dia dipeluk mati-matian oleh murid Ciok Lee Kim, maka baru ternyata oleh tiga orang tokoh tua ini betapa lihainya pemuda ini. Mereka terkejut bukan main dan mulai menduga-duga siapa gerangan adanya pemuda ini.
Mereka tadinya hendak membalas dendam kepada Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai dan mereka membayangkan bahwa tingkat kepandaian ketua Cin-ling-pai itu tentu tidak jauh selisihnya dengan tingkatan mereka sendiri. Akan tetapi sekarang, baru seorang pemuda Cin-ling-pai saja telah memiliki ilmu kepandaian yang begini hebat sehingga Bouw Thaisu sendiri, orang yang terpandai di antara mereka, secara diam-diam merasa sangsi apakah dia akan dapat menang melawan pemuda ini kalau pertandingan itu dilakukan satu lawan satu!
Beberapa kali lengannya tergetar apa bila ujung lengan bajunya bertemu dengan jari-jari tangan kiri pemuda itu, tanda bahwa tenaga sinkang pemuda itu luar biasa kuatnya, mungkin lebih kuat dari pada tenaganya sendiri! Hal ini dianggapnya luar biasa dan tentu tidak akan dipercayanya kalau dia tidak mengalaminya sendiri!
Maka dengan hati penuh penasaran, Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw mengeluarkan kepandaian mereka sehingga betapa pun lihainya Bun Houw, dia menjadi repot juga dan hatinya mulai merasa khawatir akan keselamatan kawan-kawannya. Dia melihat betapa Tio Sun juga terdesak oleh para pengeroyoknya, sedangkan kedua orang kakak beradik Souw juga amat repot dan terancam bahaya.
Memang Tio Sun juga mendapatkan tandingan yang berat dari orang kedua dari Lima Bayangan Dewa. Akan tetapi, dengan ilmunya Ban-kin-kiat, andai kata Liok-te Sin-mo Gu Lo It tidak dibantu oleh lima orang anak buah Lima Bayangan Dewa yang mempunyai kepandaian lumayan, agaknya pemuda ini masih akan sanggup mengalahkan lawannya.
Memang hebat bukan main pertandingan antara Tio Sun dengan Liok-te Sin-mo. Orang kedua dari Lima Bayangan Dewa ini terkenal sebagai seorang yang mempunyai tenaga besar, maka merupakan lawan yang cocok sekali karena Tio Sun juga mewarisi tenaga mukjijat yang sangat kuat dari ayahnya. Sudah berkali-kali pecut baja di tangan pemuda ini bertemu dengan dua ujung lengan baju yang dipasangi potongan baja dan akibatnya, terdengar suara nyaring sekali, bunga api berpijar dan tubuh kedua orang itu terhuyung ke belakang.
Para pengeroyoknya, seperti juga para pengeroyok yang membantu tiga orang kakek mengepung Bun Houw, tidak lagi berani menyerang terlampau dekat karena pedang dan joan-pian di tangan Tio Sun merupakan tangan-tangan maut yang sangat mengerikan. Sudah banyak anak buah yang roboh oleh Tio Sun dan Bun Houw, maka mereka itu hanya bertugas sebagai pengacau saja agar memecah-belah perhatian para muda yang perkasa itu.
Yang merasa paling tidak enak dalam pertempuran itu adalah Bun Houw. Diam-diam dia merasa menyesal mengapa tiga orang muda itu dia perbolehkan membantunya menyerbu Ngo-sian-chung, karena sebelumnya dia pun maklum akan berbahayanya pekerjaan ini, bahkan Tio Sun sendiri pun sudah menyatakan betapa fihak lawan amat berbahaya dan lihai.
Bagi dirinya sendiri, dia akan rela mengorbankan nyawa kalau perlu demi untuk mencari Siang-bhok-kiam serta membasmi musuh-musuh Cin-ling-pai, untuk mencuci penghinaan yang diderita oleh orang tuanya. Akan tetapi, tiga orang muda itu, terutama sekali Kwi Eng, hanyalah orang-orang muda yang merasa bersahabat dengan dia dan dengan orang tuanya. Kalau kini mereka sampai menjadi korban, benar-benar membuat dia merasa tak enak sekali. Pikiran ini membuat Bun Houw menjadi marah terhadap para musuhnya.
"Tio-twako...! Adik Kwi Beng dan Kwi Eng...! Larilah kalian bertiga, biar aku sendiri yang membasmi mereka!" Teriaknya dengan suara nyaring sekali.
Pedangnya berkelebat seperti halilintar membabat ke arah tubuh Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw dengan kekuatan yang sangat hebat sehingga pedang itu mengeluarkan suara mengaung laksana ribuan ekor lebah beterbangan. Dua orang sakti ini terkejut, maklum betapa berbahaya sambaran pedang ini sehingga mereka tidak berani menangkis, dan cepat mereka meloncat ke belakang untuk menyelamatkan diri.
Akan tetapi, pedang itu meluncur lepas dari tangan Bun Houw, merupakan sinar panjang berkelebat dan terbang dengan amat cepatnya, menyambar tubuh tiga orang pengeroyok, merobohkan mereka itu dengan leher hampir putus namun masih terus ‘terbang’ seperti seekor naga hidup, membuat gerakan memutar dan kembali lagi ke arah Bun Houw yang begitu pedang dilepaskan lalu menghantam ke arah kanan kiri, depan belakang dengan kedua kepalan tangannya sambil mengeluarkan pekik melengking amat dahsyatnya.
Sambaran kedua tangan Bun Houw yang memukul ini membuat Hwa Hwa Cinjin yang menggerakkan kebutannya dengan pengerahan tenaga lweekang sebagai seorang ahli lweekeh yang kuat, tak dapat menahan sehingga kakek ini terhuyung dengan muka pucat, sedangkan empat orang pengeroyok lain roboh pula seperti pohon-pohon ditebang! Itulah jurus Hong-tian Lo-te (Badai Mengamuk di Bumi) yang liar biasa hebat, merupakan jurus mukjijat dan ampuh sekali dari ilmu pedangnya.
Ketika pedang yang telah merobohkan tiga orang pengeroyok itu ‘terbang’ membalik, Bun Houw sudah menangkapnya kembali dan karena para pengeroyoknya gentar dan terpaku menghadapi jurus Hong-tian Lo-te yang mukjijat tadi, dia cepat-cepat meloncat ke depan untuk merobohkan dua orang pengeroyok yang sedang mengepung Tio Sun.
Hal ini membuat kepungan yang mendesak Tio Sun menjadi bobol dan Tio Sun kembali dapat menguasai keadaannya, akan tetapi segera Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw bersama para pembantu lainnya sudah kembali mengepung Bun Houw dengan serangan-serangan maut dan kepungan ketat.
Bun Houw gelisah sekali melihat betapa Kwi Beng dan Kwi Eng didesak serta dipancing sehingga menjauhi tempat dia bertempur. Dan memang demikianlah siasat yang sedang dijalankan oleh para tokoh kaum sesat itu. Kwi Beng terus didesak oleh Ciok Lee Kim dan dipaksa menjauhi tempat itu, demikian pula Kwi Eng terus didesak oleh Bu Sit sampai keluar dari lapangan itu dan tidak kelihatan oleh kawan-kawanannya.
Ketika Kwi Eng dengan kemarahan meluap-luap mencoba untuk membuka jalan darah, menerobos dari kepungan, dia berhasil melukai dua orang pengeroyok yang membantu Bu Sit, akan tetapi tiba-tiba pergelangan tangannya terasa sakit, terbelit ujung cambuk baja di tangan Bu Sit.
Orang termuda dari Lima Bayangan Dewa ini tertawa mengejek, lalu sekali dia menarik senjatanya, Kwi Eng lantas menjerit dan pedangnya terlepas karena pergelangan tangan kanannya seperti hendak patah rasanya. Pada saat itu pula, seorang pengeroyok lainnya menggunakan gagang tombak memukul ke arah kakinya dari belakang. Serangan ini tak dapat dihindarkan oleh Kwi Eng. Terdengar suara tulang patah dan dara ini mengeluh perlahan lalu terguling, tulang kaki kirinya dekat pergelangan telah patah.
"Desss…!" Bu Sit menendang orang yang mematahkan tulang kaki Kwi Eng itu.
"Keparat, kau lukai dia?" bentaknya.
Para pengeroyok itu menjadi ketakutan dan mereka lalu mundur dan membantu teman-temannya yang lain, yang masih mengeroyok tiga orang muda lainnya, sedangkan Bu Sit sudah menubruk Kwi Eng, ditotoknya pundak dara itu, kemudian dia memondong tubuh Kwi Eng dan dibawa berlari keluar dari dusun menuju ke sebuah hutan kecil di lembah sungai.
"Adik Beng...! Di manakah Eng-moi...?" Bun Houw yang dikepung ketat itu masih sempat berteriak dan bertanya kepada Kwi Beng yang dilihatnya makin didesak menjauhinya oleh Si Kelabang Terbang Ciok Lee Kim.
Akan tetapi Kwi Beng hampir tidak sempat menjawab. "Tidak tahu...!" hanya demikianlah dia mampu menjawab karena Ciok Lee Kim dengan dua helai sapu tangan suteranya sudah membuat dia terengah-engah kehabisan napas dan pandang matanya berkunang.
"Pemuda ganteng, marilah kau ikut aku bersenang-senang..." Ciok Lee Kim berbisik dan sapu tangannya yang berbau harum itu mengelus dagu Kwi Beng.
Sudah sejak tadi Ciok Lee Kim membentak para pembantunya untuk mundur dan kini dia seorang diri mendesak Kwi Beng yang telah kewalahan. Kwi Beng kini juga mulai merasa kehilangan adiknya dan dia mulai bingung, memandang ke sana ke mari untuk mencari adiknya. Tentu saja sikapnya ini amat tidak menguntungkan dirinya karena dengan penuh perhatian saja daya tahannya sudah mulai lemah menghadapi hujan totokan kedua sapu tangan Ciok Lee Kim, apa lagi sekarang dia memecah perhatiannya.
"Cuss-cuss...! Plakk!"
Dua kali ujung sapu tangan itu menotok jalan darah di leher dan pundak, sedangkan telapak tangan Ciok Lee Kim menampar belakang telinga dan tanpa mengeluh lagi Kwi Beng roboh pingsan dalam pelukan Ciok Lee Kim dan seperti juga Bu Sit, wanita yang tak dapat menahan diri setiap kali melihat pemuda tampan ini segera memondong tubuh Kwi Beng dengan girang dan membawanya pergi dari dusun itu.
Andai kata melihat bahwa fihak mereka terancam bahaya oleh musuh, tentu saja dua orang Bayangan Dewa itu tidak akan meninggalkan gelanggang pertempuran dan betapa pun mereka tergila-gila kepada orang-orang muda yang menjadi korban mereka itu, tentu mereka akan membantu teman-teman untuk menundukkan fihak musuh terlebih dahulu.
Akan tetapi mereka tadi sudah melihat jelas bahwa sungguh pun pemuda she Bun dan pemuda putera pengawal Tio Hok Gwan itu memiliki kepandaian tinggi, namun mereka pun sudah terkurung dan terdesak, tinggal menanti robohnya saja maka mereka berdua tidak perlu lagi membantu.
Memang Si Kelabang Terbang Ciok Lee Kim dan si kepala monyet Bu Sit tidak keliru dengan dugaan mereka bahwa fihak musuh sudah terdesak hebat. Bun Houw sendiri yang memiliki kepandaian amat tinggi, sekarang mulai terdesak hebat. Dia makin marah dan menyesal sekali apa bila mengingat bahwa yang mengurungnya bukan orang-orang Lima Bayangan Dewa, melainkan tiga orang tokoh tua yang berilmu tinggi. Maka mulailah dia mengambil keputusan untuk menurunkan tangan maut terhadap tiga orang musuhnya ini.
Tadinya dia selalu menghindarkan serangan maut karena dia selalu teringat akan pesan ayah ibunya agar jangan sampai menanam bibit permusuhan dengan golongan lain dan hanya menghadapi Lima Bayangan Dewa saja. Sebagai contoh, ayahnya menceritakan betapa ayahnya dulu terlampau banyak menentang golongan sesat sehingga akibatnya, sampai tua pun dia masih dimusuhi orang!
"Tahan...!" bentak Bun Houw sambil memutar pedang yang berubah menjadi gulungan sinar berkilauan sehingga musuh-musuhnya cepat mundur. "Sam-wi tiga orang tua kenapa berkeras mencampuri urusan kami dari Cin-ling-pai dengan Lima Bayangan Dewa? Saya sama sekali bukannya takut, hanya saya tidak ingin menanam bibit permusuhan dengan orang-orang yang bukan dari Lima Bayangan Dewa."
Bouw Thaisu mengangguk-angguk, hatinya kagum bukan main karena selama hidupnya baru sekarang dia bertemu lawan yang begini muda namun yang ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat hebatnya.
"Orang muda, kalau saja tidak ada alasan kuat yang memaksa aku orang tua mati-matian menghadapimu, tentu aku akan malu sekali mengeroyok seorang pemuda seperti engkau yang sepantasnya menjadi cucuku. Ketahuilah, seorang sahabat baikku yang melebihi saudara kandungku sendiri, yaitu Thian Hwa Cinjin, telah tewas di tangan keluarga ketua Cin-ling-pai! Kami di waktu muda pernah bersumpah bahwa kami akan saling membela, maka mendengar kematiannya, tentu saja aku tidak mau melanggar sumpah dan sebelum aku mati, aku harus menghadapi ketua Cin-ling-pai dan keluarganya."
Bun Houw mengerti bahwa kembali hal ini adalah sebagai akibat dari orang tuanya yang terlalu banyak menentang golongan hitam.
"Dan kau boleh mengetahui bahwa pinto (aku) adalah sute dari Toat-beng Hoatsu yang biar pun tewas di tangan mendiang The Hoo, akan tetapi juga menjadi musuh dari ketua Cin-ling-pai dan golongannya. Dan Hek I Siankouw ini adalah tangan kananku, sehidup semati denganku."
Bun Houw mengerutkan alisnya. "Sam-wi adalah tiga orang tua yang berilmu tinggi, akan tetapi mengapa berpandangan picik dan dikuasai oleh dendam kosong yang tidak ada artinya? Apakah sam-wi tidak tahu bahwa sam-wi diperalat oleh Lima Bayangan Dewa?"
"Cukup, kalau kau takut, menyerahlah, orang muda yang sombong!" Hwa Hwa Cinjin yang walau pun sikapnya halus akan tetapi sebenarnya hatinya dipenuhi rasa penasaran dan malu karena menghadapi seorang pemuda saja, biar pun telah mengeroyok bersama Hek I Siankouw dan Bouw Thaisu masih belum dapat menang, sudah menerjang lagi dengan kebutannya.
"Wiir... siuuuuttt...!"
Ujung kebutan menyambar ke arah mata Bun Houw, akan tetapi begitu dielakkan, seperti ekor ular yang hidup saja ujung kebutan itu sudah membalik dan menotok ke arah ulu hati!
"Kalau begitu, maaf kalau aku menjadi sebab kematian sam-wi!" Bun Houw membentak. Tiba-tiba tangan kirinya mendorong dan ujung kebutan itu seperti digerakkan tangan yang tidak kelihatan, membalik dan menotok ke arah dada Hwa Hwa Cinjin sendiri!
"Aihhh...!" Bukan main kagetnya hati kakek ini dan cepat-cepat dia menggerakkan tangan menarik kebutannya yang hendak menyerang dirinya sendiri.
"Singgg... tranggg...!”
“Aihhhh…!" Hek I Siankouw menjerit karena pedangnya yang sudah dia gerakkan untuk menyusul serangan Hwa Hwa Cinjin tadi kini kena disentil oleh kuku jari tangan kiri Bun Houw. Pedang itu tergetar dan selagi nenek itu terkejut, pedang pada tangan kanan Bun Houw sudah menyambar ke arah lehernya!
"Plakkk...!”
“Hemmm, kau hebat, orang muda!" Bouw Thaisu masih sempat menangkis pedang yang mengancam nyawa Hek I Siankouw tadi dengan tangkisan ujung lengan bajunya, akan tetapi ketika dia melihat, ternyata ujung lengan bajunya itu sudah terobek!
Kini Bun Houw yang sudah marah sekali itu telah mengerahkan Thian-te Sin-ciang, yaitu ilmu sinkang simpanan yang dia latih selama bertahun-tahun di bawah gemblengan Kok Beng Lama. Thian-te Sin-ciang ini merupakan ilmu tangan kosong yang sangat mukjijat, mengandung tenaga dahsyat dan ketika pemuda ini diuji oleh ayahnya sendiri, tenaga Thian-te Sin-ciang ini bahkan mampu menghadapi Thi-khi I-beng, yaitu ilmu sinkang yang tiada taranya, yang dapat menyedot hawa murni lawan!
Karena itu tidaklah terlalu mengherankan ketika pemuda perkasa ini mulai mengerahkan Thian-te Sin-ciang, dia sekaligus mampu membuat tiga orang lawannya yang amat lihai itu terdesak mundur! Akan tetapi, kini mereka bertiga sudah maju lagi dan kehebatan Bun Houw bahkan membuat mereka menjadi makin berhati-hati dan kini mereka melakukan penyerangan secara teratur bahkan saling membantu karena mereka maklum bahwa biar pun mereka bertiga maju bersama, tanpa kerja sama dan saling bantu, maka sangatlah berbahaya bagi mereka!
Bun Houw menjadi semakin gelisah. Bukan gelisah memikirkan dirinya sendiri, melainkan gelisah karena tidak lagi melihat Kwi Beng dan Kwi Eng, ada pun Tio Sun agaknya sudah kewalahan dan tentu tak lama lagi akan roboh. Celaka, pikirnya dan kini dia benar-benar menyesal mengapa dia menyeret mereka bertiga ke tempat berbahaya ini.
Kalau sampai tugasnya gagal, dia tidak begitu menyesal karena dia sudah melakukannya dengan sepenuh hati dan dengan pengorbanan nyawa. Akan tetapi jika sampai tiga orang muda itu tewas, bukan hanya dia yang akan menyesal, bahkan ayah ibunya juga tentu akan menyalahkan dia!
"Ayah...! Ibu...! Maafkan kegagalanku...!" Tiba-tiba dia berteriak dan mengamuk semakin hebat, pedangnya sekaligus merobohkan empat orang anak buah Ngo-sian-chung hingga tiga orang tua lihai itu makin berhati-hati.
"Adikku, jangan putus asa. Enci-mu datang membantumu!" Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat didahului sinar merah yang panjang yang melakukan totokan ke arah pelipis Hek I Siankouw dan sinar kilat seperti perak menyambar ke arah leher Bouw Thaisu!
"Keng-cici (kakak Keng)...!" Bun Houw berteriak, gembira bukan main karena meski pun bayangan itu belum kelihatan jelas siapa orangnya, tapi dia sudah mengenal sinar merah panjang dari sabuk merah muda dan sinar pedang Gin-hwa-kiam yang putih seperti perak itu.
Hek I Siankouw dan Bouw Thaisu terkejut, maklum bahwa serangan itu pun tidak boleh dipandang ringan, maka mereka cepat mengelak sambil membalas. Akan tetapi, Cia Giok Keng, wanita itu, adalah seorang wanita yang luar biasa lincah dan beraninya. Walau pun dibandingkan dengan adiknya, kepandaiannya belumlah dapat menandingi, tetapi sebagai puteri dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan pendekar wanita Sie Biauw Eng, tentu saja kepandaian Cia Giok Keng cukup hebat.
Kegembiraan hati Bun Houw membuat gerakannya makin kuat sehingga tamparan tangan kirinya yang penuh dengan tenaga mukjijat Thian-te Sin-ciang menyerempet pundak Hwa Hwa Cinjin, membuat tosu tua itu terhuyung.
"Mampuslah...!" melihat tosu itu terhuyung Cia Giok Keng sudah menerjang dengan sabuk sutera dan pedangnya.
"Hayaaaaa...!" Hwa Hwa Cinjin terkejut akan kegalakan wanita ini yang sama sekali tidak memberi kesempatan padanya. Akan tetapi dia sudah memutar kebutannya menangkis dan sekaligus membelit ujung pedang Gin-hwa-kiam.
"Plakk!" Ujung sabuk sutera merah menotok lehernya membuat tosu itu merasa separoh tubuhnya seperti lumpuh.
"Sratttt...!"
Giok Keng yang cerdik secara tiba-tiba menarik pedangnya dan ujung tali kebutan putus, bulu kebutannya berhamburan. Hal ini mengejutkan Hwa Hwa Cinjin dan dia meloncat ke belakang, mengambil sikap mempertahankan diri.
"Enci, aku tidak perlu dibantu. Kau bantulah Tio-twako... dia terdesak!" Bun Houw berkata.
Giok Keng menoleh. Dia tidak mengenal siapa pemuda jangkung berpakaian kuning yang didesak oleh seorang kakek yang dibantu oleh banyak anak buahnya itu. Akan tetapi dia menduga bahwa tentu pemuda itu teman adiknya, maka sekali meloncat dia sudah tiba di gelanggang pertempuran di mana Tio Sun terdesak, dan sabuk merahnya yang dikawani pedang peraknya mengamuk, merobohkan tiga orang pengeroyok dalam waktu singkat saja.
Kepungan ketat terhadap diri Tio Sun menjadi kacau dan kini pertandingan berjalan makin seru dan mati-matian. Tio Sun berterima kasih dan girang sekali, ada pun Liok-te Sin-mo yang sudah hampir dapat mengalahkan Tio Sun menjadi marah bukan kepalang. Cepat dia meneriaki anak buahnya agar makin ketat mengepung dua orang itu.
Bun Houw masih gelisah memikirkan dua orang saudara Souw. Keadaan Tio Sun sudah mendingan, karena dia tahu bahwa enci-nya juga bukan orang sembarangan dan dengan bantuan enci-nya, tentu Tio Sun dapat membela diri lebih baik.
"Bun Houw, engkau terlalu sembrono!" sambil membantu Tio Sun, Giok Keng berteriak menegur adiknya. "Pengecut-pengecut macam ini selalu main keroyok dan curang!"
Bun Houw tersenyum. Kakaknya itu sejak dahulu galaknya bukan main! Masa, baru saja datang dan masih menghadapi pengeroyokan musuh begitu banyaknya, ehh, masih ada kesempatan untuk marah-marah dan menegurnya.
"Cici, maaf!" Teriaknya kembali. "Tetapi setelah engkau datang, mari kita basmi mereka. Yang kau hadapi itu adalah Liok-te Sin-mo Gu Lo It!"
Mendengar bahwa kakek yang bertubuh tinggi besar, berjubah hitam, kepalanya memakai topi, dan ujung lengan bajunya dipasangi baja, yang amat lihai ini adalah orang kedua dari Lima Bayangan Dewa, Giok Keng amat terkejut dan kemarahannya memuncak, wajahnya merah, matanya berapi-api.
"Kiranya Si Iblis Kuburan!" bentaknya dan dia menggerakkan kedua senjatanya semakin cepat lagi mendesak Liok-te Sin-mo.
Kakek ini marah dan mendongkol bukan main. Julukannya adalah Iblis Bumi, akan tetapi wanita yang cantik jelita, gagah dan galak ini memakinya Iblis Kuburan. Belum pernah dia dihina orang seperti ini.
"Keparat, siapa engkau?" bentaknya sambil mengelak dari sambaran ujung sabuk merah dan menangkis tusukan pedang Tio Sun dengan ujung lengan baju kiri.
"Aku she Cia, mewakili ayah untuk memenggal leher Lima Bayangan Monyet!" bentak Cia Giok Keng sambil menyerang makin hebat.
Kini terkejutlah semua tokoh itu. Ternyata wanita ini adalah puteri Cia Keng Hong, dan melihat hubungan antara wanita ini dengan pemuda itu, jelas bahwa pemuda itu kiranya adalah putera ketua Cin-ling-pai! Pantas begitu lihai!
"Bagus...! Jadi engkau Cia Giok Keng yang membunuh sahabatku Thian Hwa Cinjin...?"
Tiba-tiba Bouw Thaisu meloncat tinggi, meninggalkan Bun Houw dan dari atas dia sudah mengebutkan kedua lengan bajunya ke arah kepala dan dada Giok Keng.
"Enci, awassss...!" Bun Houw terkejut dan memperingatkan kakaknya.
"Plak-plak, cringgg... bresss...!"
Serangan Bouw Thaisu tadi memang hebat bukan main. Walau pun Giok Keng sudah mengelak, namun ujung lengan baju dari kakek ini bagaikan hidup. Tio Sun sudah cepat memapaki dengan pedangnya, akan tetapi juga pedangnya terpukul ke samping seperti pedang Giok Keng dan totokan sabuk merah Giok Keng pada pundak kakek itu seperti mengenai baja tebal saja. Sekarang ujung lengan baju kiri Bouw Thaisu telah mengancam ubun-ubun kepala Giok Keng dengan pukulan maut.
Tiba-tiba ujung lengan baju itu terpental kembali dan lengan kakek itu bertemu dengan sebuah lengan lain yang dengan cepat menangkis. Kakek itu lantas terpental dan hampir terbanting roboh. Dia terkejut bukan main dan melihat. Ternyata seorang laki-laki gagah dan tampan, berusia hampir empat puluh tahun, telah berdiri di situ sambil memandang kepadanya dengan sikap tenang.
"Kau...? Huh...!" demikian kata Giok Keng.
Dan wanita ini tidak mempedulikan lagi laki-laki yang sebenarnya sudah menyelamatkan nyawanya itu. Dengan kemarahan hebat Giok Keng kini menyerang Bouw Thaisu yang masih bengong terlongong dan kaget bukan main. Tangkisan laki-laki yang masih belum tua ini telah membuat seluruh tubuhnya bagai digerayangi tenaga mukjijat yang membuat napasnya sesak. Oleh karena itu, ketika Giok Keng menyerang, dia cepat meloncat jauh ke belakang.
"Yap-suheng...!" Bun Houw berteriak girang. Biar pun sudah lama sekali dia tidak bertemu dengan laki-laki gagah perkasa itu, dia masih mengenalnya.
"Sute, engkau sekarang hebat bukan main!" Yap Kun Liong, pria itu, memujinya sambil tersenyum.
Kemudian sekali tubuhnya berkelebat, Kun Liong sudah meloncat dan menyerang Bouw Thaisu yang dia lihat tadi gerakannya paling lihai. Bouw Thaisu terpaksa menyambut serangannya dan keduanya segera bertanding mati-matian tidak mempergunakan senjata karena Bouw Thaisu menggunakan sepasang lengan baju sedangkan Kun Liong hanya menggunakan dua lengannya saja. Terdengar suara dak-duk-dak-duk setiap kali lengan mereka saling bertemu bagaikan dua pasang lengan baja yang amat kuat dan berkali-kali Bouw Thaisu tergetar tubuhnya dan terhuyung ke belakang!
Melihat kedatangan wanita dan pria yang gagah perkasa itu, Liok-te Sin-mo Gu Lo It terkejut dan takut setengah mati. Dia mengerti bahwa Bun Houw dan Giok Keng adalah putera-puteri ketua Cin-ling-pai yang berilmu tinggi, dan setelah mendengar teguran Bun Houw tadi, dia dapat menduga siapa adanya laki-laki perkasa yang kini mendesak Bouw Thaisu. Dia sudah mendengar akan nama Yap Kun Liong, maka gentarlah hatinya dan diam-diam dia memaki sumoi dan sute-nya yang tidak nampak batang hidungnya lagi.
"Maju semua...! Kepung dan keroyok...!" teriaknya dan anak buahnya yang sesungguhnya juga merasa gentar, apa lagi terhadap sikap Giok Keng yang demikian ganas memainkan pedang dan sabuk merahnya, terpaksa maju mengurung lagi. Jumlah mereka masih ada dua puluh orang lebih, maka pengepungan mereka cukup memberi kesempatan kepada Liok-te Sin-mo untuk diam-diam melarikan diri!
Melihat ini Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw mendongkol sekali. Tiga orang dari Lima Bayangan Dewa, fihak yang mereka bantu, diam-diam telah melarikan diri semua. Maka Hwa Hwa Cinjin memberi isyarat kepada tokouw berpakaian hitam itu, lalu mereka pun meloncat ke belakang dan melarikan diri.
"Hemmm, kelak aku ingin bertemu dan bertanding langsung berhadapan sendiri dengan ketua Cin-ling-pai!" Bouw Thaisu berkata dan dia pun meninggalkan Kun Liong yang sibuk dikeroyok banyak anak buah Ngo-sian-chung.
"Cici, suheng, harap tahan mereka, aku hendak mencari dan menolong kedua saudara Souw!" Bun Houw berteriak dan tubuhnya mencelat dan lenyap dari tempat itu.
Melihat ini, Giok Keng girang dan kagum sekali, sedangkan Kun Liong menarik napas panjang. Murid ayah mertuanya itu sekarang benar-benar sangat lihai. Kini dengan enak saja Tio Sun, Giok Keng, serta Kun Liong menghadapi pengeroyokan dua puluh lebih orang-orang Ngo-sian-chung dan Lembah Bunga Merah.
Diam-diam Kun Liong memperhatikan dan dia merasa lega bahwa sungguh pun masih kelihatan amat galak dan ganas, akan tetapi Cia Giok Keng bukanlah gadis belasan tahun yang lalu, yang seolah-olah merupakan harimau betina haus darah. Dahulu, menghadapi musuh-musuhnya, apa lagi anak buah Lima Bayangan Dewa yang merupakan musuh besar, tentu gadis itu akan memperlihatkan sikap kejam tak mengenal ampun lagi, tentu ujung sabuk merah itu akan mencari sasaran jalan darah kematian, sedangkan pedang Gin-hwa-kiam tentu akan berlepoton darah sampai ke gagangnya.
Akan tetapi sekarang, meski pun masih tetap ganas, Giok Keng hanya merobohkan para pengeroyok tanpa menimbulkan kematian. Demikian pula Tio Sun membuat Kun Liong diam-diam kagum karena meski pun masih muda, Tio Sun juga jelas tidak menghendaki kematian terhadap para pengeroyoknya, hanya menjatuhkan mereka dengan mematahkan tulang dan mendatangkan luka yang ringan saja.
Sementara itu, Bun Houw sudah mencari di seluruh perkampungan Ngo-sian-chung, akan tetapi sia-sia belaka. Akhirnya terpaksa dia menangkap seorang wanita anggota keluarga anak buah Ngo-sian-chung dan menghardik,
"Hayo cepat katakan di mana adanya Toat-beng-kauw But Sit dan Hui-giakang Ciok Lee Kim!" Sengaja dia menempelkan pedangnya di leher wanita itu yang tentu saja menjadi ketakutan sekali.
"Hamba... hamba tidak tahu... tadi... mungkin... ke hutan di sebelah sana..."
Bun Houw melepaskannya dan cepat dia berlari seperti terbang menuju ke dusun kecil di sebelah timur dusun itu. Ketika dia tiba di tepi sungai, di atas lapangan rumput yang tebal menghijau dan sunyi sekali, lapangan yang dihimpit oleh sungai dan hutan kecil, tiba-tiba dia berdiri seperti patung dan matanya terbelalak, mukanya pucat, kemudian pelan-pelan menjadi merah sekali.
Dia melihat Toat-beng-kaw Bu Sit sedang menanggalkan bajunya sambil tertawa-tawa, sedangkan di atas rumput rebah Kwi Eng yang sudah tidak berpakaian! Pakaian gadis itu tertumpuk di sebelahnya dan dia melihat dara itu terbelalak memandang si muka monyet dengan air mata bercucuran, akan tetapi agaknya dalam keadaan tertotok karena tidak mampu bergerak sama sekali!
Saking marahnya, Bun Houw mengayun pedang pemberian In Hong ke depan. Terdengar suara berdesing nyaring dan Bu Sit terkejut sekali. Cepat dia menoleh dan melihat sinar terang menyambar, dia mengelak, akan tetapi karena dia sedang membuka baju atasnya, pedang itu menerobos bajunya dan terus mcluncur ke depan, menancap ke atas tanah berumput sampai ke gagangnya. Tentu saja Bu Sit menjadi pucat sekali wajahnya ketika mengenal siapa yang datang.
"Hyaaaaaatttt...!" Dalam kemarahan yang sukar dilukiskan hebatnya, Bun Houw langsung meloncat dan bagaikan seekor garuda terbang saja dia menerjang Bu Sit dengan kedua tangan di depan, jari-jarinya terbuka seperti cakar garuda.
"Heiittttt...!"
Bu Sit yang sudah melempar jubahnya itu menyambar senjatanya, yaitu joan-pian atau pecut baja, lalu dia menggerakkan pecut itu. Terdengar suara meledak, pecut itu dengan tepat menghantam tubuh Bun Houw yang sedang melayang datang, namun Bun Houw menggerakkan tangan menangkap ujung pecut baja!
Bu Sit hampir tidak dapat percaya. Pemuda itu menangkap ujung pecut baja! Padahal perbuatan ini lebih berbahaya dari pada menangkap pedang telanjang. Dia mengerahkan tenaga, menggetarkan pecutnya untuk membikin telapak tangan Bun Houw pecah atau mungkin tangan itu akan putus. Akan tetapi sia-sia belaka dan tahu-tahu pecutnya sendiri sudah melingkar di lehernya!
"Augghhkkkk...!" Bu Sit mendelik karena lehernya terbelit pecutnya sendiri, menghentikan pernapasan. Dia melihat lawannya berdiri di hadapannya, maka dia cepat menggerakkan kedua tangannya, dikepal dan menghantam ke arah perut dan dada Bun Houw.
"Bukkk! Dessss...!"
Sedikit pun tubuh pemuda itu tidak bergoyang, akan tetapi pergelangan tangan kanan Bu Sit yang memukul dada tadi menjadi patah tulangnya!
"Auukhhh... auukhhhhh...!" Toat-beng-kauw Bu Sit mendelik, lidahnya terjulur keluar.
Mengingat penyiksaan Toat-beng-kauw kepadanya masih belum begitu memarahkan hati Bun Houw, akan tetapi melihat si muka monyet ini menelanjangi Kwi Eng dan hampir saja memperkosanya, membuat dia menjadi mata gelap dan marah bukan main. Akan tetapi, terngiang di telinganya segala nasehat orang tuanya, maka dia terengah-engah menahan kemarahan dan melepaskan libatan pecut itu yang dirampasnya dari tangan Bu Sit.
Begitu dilepaskan libatan lehernya, Bu Sit memegangi lehernya dengan kedua tangan, megap-megap seperti seekor ikan dilempar ke darat, kemudian tanpa malu-malu lagi dia menjatuhkan dirinya berlutut!
"Ampun... ampunkan aku..."
Bun Houw meludah penuh rasa jijik. Kemudian, teringat akan keadaan Kwi Eng, segera dia menoleh dan dia seperti silau melihat keadaan tubuh dara itu yang rebah terlentang dalam keadaan polos sama sekali. Cepat dia melempar pandangan matanya ke bawah, menghindari penglihatan itu, lalu mengambil pakaian Kwi Eng, tanpa memandangnya lalu melempar pakaian itu menutupi tubuh Kwi Eng, kemudian dengan muka masih berpaling dan pandang mata terbuang ke samping dia membebaskan totokan tubuh Kwi Eng.
Terdengar sedu-sedan dari leher dara itu. Kwi Eng cepat-cepat mengenakan pakaiannya, kemudian dia terpincang-pincang berloncatan dengan sebelah kaki ke arah pedang Bun Houw yang menancap di tanah, mencabut pedang itu dan terpincang-pincang melangkah menghampiri Bu Sit.
Bu Sit bukanlah seorang yang bodoh. Sama sekali tidak. Dia adalah seorang datuk kaum sesat yang amat cerdik. Dia masih terus berlutut setengah menangis minta-minta ampun, seolah-olah tak melihat dara yang hampir diperkosanya tadi sekarang terpincang-pincang menghampirinya dengan pedang di tangan!
Akan tetapi, begitu Kwi Eng telah tiba mendekat dan mengayun pedang ke arah lehernya, cepat sekali Bu Sit mengelak dengan menggulingkan tubuh dan saat pedang menyambar, dia lantas meloncat bangun dan sudah menangkap kedua tangan Kwi Eng, memutarnya ke belakang tubuh dan kini jari tangannya mengancam ke ubun-ubun kepala dara itu.
"Ha-ha-ha, engkau majulah dan gadis ini akan mampus dengan kepala berlubang!" Bu Sit mengancam Bun Houw.
Bun Houw memandang pucat, tidak mengira bahwa orang termuda dari Lima Bayangan Dewa itu akan melakukan hal securang itu.
"Serang dia, Houw-ko! Jangan pedulikan aku! Serang dia dan bunuh si jahanam keparat ini!" Kwi Eng berteriak-teriak sambil memandang pemuda itu.
"Cobalah, majulah maka jari-jari tanganku akan menembus ubun-ubunnya, otaknya akan bereeceran keluar!" Bu Sit menghardik.
Bun Houw masih memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak, tidak tahu harus berbuat bagaimana. Tentu saja dia tidak mau memenuhi permintaan Kwi Eng, menyerang dan membunuh Bu Sit karena dia tahu bahwa sebelum dia berhasil membunuh penjahat keji itu, tentu Kwi Eng akan tewas lebih dulu.
"Jangan maju, selangkah saja aku akan membunuh dia!" Bu Sit berkata lagi dan kini dia menyeret Kwi Eng mundur-mundur menjauhi Bun Houw yang diam tak bergerak.
Kwi Eng meronta, akan tetapi sia-sia saja. "Houw-koko, kau serang dia, kau bunuh dia! Aku lebih suka mati dari pada diculik dan dibawanya!"
Akan tetapi Bun Houw tetap tak bergerak, seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang dan siap untuk menyerang apa bila dia diberi kesempatan. Akan tetapi dengan jari-jari tangan Bu Sit menempel pada ubun-ubun Kwi Eng, bagaimana mungkin dia berani bergerak? Betapa pun cepat gerakannya, tak mungkin dapat menang cepat dengan jari tangan yang sudah menempel di ubun-ubun itu.
"Ha-ha-ha, sampai bagaimana pun engkau tak akan mampu menandingi Lima Bayangan Dewa, ha-ha-ha..." Pada saat itu, dari belakang tampak sinar hijau menyambar bagaikan cahaya halilintar, mengenai punggung Bu Sit yang masih telanjang karena tadi si muka monyet ini telah menanggalkan bajunya.
"Ha-ha-ha... augghhh...!" Suara tawa dari Bu Sit disambung pekik melengking, matanya yang kecil bulat terbelalak, mulutnya menyeringai kesakitan, mukanya pucat dan kini dia mengangkat tangan kanannya ke atas untuk menghantam kepala Kwi Eng!
Akan tetapi, kesempatan yang hanya beberapa detik ini cukuplah bagi Bun Houw. Kalau tadi dia tidak berani bergerak karena jari-jari tangan Bu Sit menempel di ubun-ubun dara itu, sekarang, sesudah iblis itu menerima serangan sinar hijau dari arah belakang yang membuatnya terkejut dan mengangkat tangan baru akan memukul kepala Kwi Eng, sudah cukuplah kesempatan itu bagi Bun Houw.
Bagaikan terbang dia meloncat ke depan, tangannya bergerak dan hawa pukulan dahsyat menyambar, membuat tangan Bu Sit yang memukul itu tertahan di udara dan di lain saat Bun Houw sudah menyambar pinggang Kwi Eng, dipondongnya dan dari telapak tangan itu keluar serangkum hawa pukulan yang amat panas mengarah dada lawan.
Pada saat itu Bu Sit berdiri limbung dengan muka pucat sekali. Dalam keadaan sehat saja tak mungkin dia dapat menahan pukulan Bun Houw ini, apa lagi dalam keadaan seperti ini, yaitu setelah dia mengalami luka yang amat hebat di punggungnya.
"Dessss...!"
Tubuhnya terjengkang dan terbanting ke atas tanah, roboh dan tak dapat bergerak lagi karena dia telah tewas seketika, isi dada dan perutnya hancur oleh getaran hawa pukulan dahsyat tadi.
Bun Houw memandang ke sekeliling, terutama ke arah belakang Bu Sit dari mana tadi datang sinar hijau, akan tetapi dia tak melihat sesuatu apa pun. Dengan lengan kiri masih merangkul Kwi Eng, dia menggunakan kakinya membalikkan tubuh Bu Sit dan tampaklah olehnya betapa punggung laki-laki bermuka monyet itu penuh dengan lubang-lubang kecil dan luka-luka kecil itu melepuh dan membengkak berwarna kehijauan.
Dia tahu bahwa Bu Sit telah terkena serangan senjata rahasia beracun, agaknya seperti senjata pasir beracun, akan tetapi dia tidak tahu bahwa Toat-beng-kauw Bu Sit sudah menjadi korban serangan Siang-tok-swa (Pasir Racun Harum), yaitu senjata rahasia khas dari Giok-hong-pang!
Tiba-tiba suara isak tertahan membuat dia memandang Kwi Eng yang masih dia peluk pinggangnya. Dia terkejut melihat dara itu menangis dan baru teringat bahwa dia masih merangkul pinggang yang ramping itu, maka cepat-cepat dia melepaskan rangkulannya. Kwi Eng terhuyung dan hampir saja jatuh, maka cepat Bun Houw memegang lengannya, menahannya.
"Ahh, kau... kau terluka, adik Kwi Eng?" Bun Houw bertanya penuh kekhawatiran.
Kwi Eng menggigit bibirnya. "Hanya... hanya kakiku... agaknya patah tulang pergelangan kakiku... terpukul gagang tombak tadi..." Dia lalu duduk di atas tanah.
Bun Houw cepat berlutut memeriksa. Ternyata benar. Tulang pergelangan kaki kiri dara itu patah!
"Ah, benar saja. Kakimu yang kiri ini... tulangnya patah. Harus cepat diobati, Eng-moi. Kau tahankan rasa nyeri sedikit..."
Dara itu mengangguk dan Bun Houw lalu menyingkap pipa celana kaki kiri itu. Berdebar juga hatinya ketika jari-jari tangannya meraba kulit kaki yang halus sekali, halus lunak dan hangat itu, dengan kulit tipis putih, begitu tipis dan halusnya sehingga seolah-olah dia bisa melihat urat-urat darah di bawahnya.
Namun dia mengusir semua ingatan tentang yang indah-indah itu dan cepat dia menotok jalan darah di dekat lutut, kemudian dia meraba pergelangan kaki yang tulangnya patah, dengan cekatan dan tanpa ragu-ragu lagi dia menarik lantas membenarkan letak tulang yang patah itu, kemudian mengambil bungkusan obat untuk penyambung tulang. Setelah mencampur obat dengan air, kemudian menaruh obat di sekeliling pergelangan kaki itu, dibalutnya pergelangan kaki itu dengan kain yang dia ambil dari robekan bajunya dan sebagian sabuknya, dibalut dengan kuat-kuat dan kanan kiri kaki itu diganjal dengan kayu sehingga kedudukan tulang yang patah itu tidak akan berubah lagi.
Semua ini dikerjakan oleh Bun Houw tanpa berkata-kata dan dengan cepat sekali. Dia kagum karena sedikit pun tidak terdengar keluhan dari bibir dara itu dan setelah selesai membalut, baru dia mengangkat muka memandang. Dara itu ternyata sedang menatap wajahnya dengan bulu-bulu mata terhias butiran air mata!
"Sakit...?" Kini Bun Houw bertanya.
Kwi Eng menggelengkan kepalanya. "Sedikit...," bisiknya.
Akan tetapi dia lalu menahan tangis, bibirnya yang merah itu tergetar dan akhirnya dia menangis sesenggukan sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan. Butiran-butiran air mata mengalir turun melalui celah-celah jari tangannya.
Bun Houw menjadi bingung dan dia mengusap pundak dara itu untuk menghibur. "Bahaya telah lewat, musuh telah tewas. Kenapa kau berduka, Eng-moi? Kau kan tidak... belum... tertimpa bahaya..."
Tetapi tangis itu kini bahkan semakin mengguguk. Bun Houw memegang kedua pundak dara itu, mengguncangnya halus dan berkata, "Eng-moi, kenapakah? Katakan kepadaku, mengapa kau begini berduka?"
Perlahan-lahan Kwi Eng mengangkat mukanya. Dari balik tirai air mata dia memandang. Dua pasang mata bertemu, bertaut ketat lalu dua pasang sinar itu saling melekat, saling menyelami dan perlahan-lahan Kwi Eng berkata dengan suara menggetar, "Houw-koko, kau... kau sudah... menyelamatkan aku... dari mala petaka yang bahkan lebih hebat dari pada maut... Houw-koko, bagaimana aku dapat membalas budimu...?"
"Hushhhh... apakah hal itu perlu dibicarakan lagi, moi-moi? Engkau yang membantu aku menghadapi musuh-musuhku, sampai-sampai engkau hampir mengorbankan nyawa, dan sekarang kau bicara tentang budi? Sudahlah, mari kita kembali ke tempat kawan-kawan. Aku yakin semua penjahat telah terbasmi. Tahukah engkau siapa yang datang membantu kita? Enci-ku Cia Giok Keng dan suheng-ku Yap Kun Liong!"
Kwi Eng mengangguk dan berusaha untuk berdiri dengan satu kaki. "Ah, jangan gunakan kakimu yang patah tulangnya. Mari kupondong."
Bun Houw kemudian menggunakan kedua lengannya, memondong tubuh dara itu. Kwi Eng menyandarkan kepalanya di dada Bun Houw dan sejenak pemuda ini memejamkan matanya ketika hidungnya mencium bau harum dari rambut dan muka yang begitu dekat dengan mukanya.
"Houw-koko...!"
Bun Houw melangkah perlahan dan menjawab, "Hemmm...?"
Jantungnya berdebar karena tubuh yang hangat itu terasa begitu ketat di kedua lengan dan dadanya, maka dalam keadaan seperti itu sukar dia mengeluarkan kata-kata.
"Di dunia ini... hanya ada dua orang pria yang telah melihat tubuhku... yang seorang telah mampus... dan orang kedua adalah engkau... dan aku bersumpah, tidak akan ada laki-laki ketiga yang akan melihatku..."
Bun Houw terkejut, juga bingung. "Apa... apa yang kau maksudkan, moi-moi?"
Tiba-tiba Kwi Eng sesenggukan lagi dan kedua lengannya seperti dua ekor ular merayap dan merangkul leher pemuda itu. Tentu saja Bun Houw menjadi berdebar-debar, seluruh tubuhnya tergetar oleh gelora darah mudanya. Otomatis pelukan kedua tangannya makin dipererat seolah-olah dia hendak mendekap tubuh dara yang cantik jelita itu makin ketat. Rasa rindu akan seorang wanita yang selama ini ditahannya, rindunya kepada Yalima, wanita pertama yang dicintanya, kini seolah-olah memperoleh pelepasan pada diri Kwi Eng!
"Koko... engkaulah satu-satunya pria hidup yang melihat aku... seperti tadi... dan hanya engkaulah yang boleh melihatku seperti itu... untuk selama hidupku."
"Hemmm... maksudmu?"
"Engkau telah menyelamatkan diriku dari bencana yang amat hebat, engkau telah melihat aku dalam keadaan seperti tadi... semua itu hanya dapat kutebus dengan penyerahan jiwa ragaku, koko... jika kau sudi menerimanya..."
Hampir saja pondongan itu terlepas saking kagetnya hati Bun Houw. Ternyata demikian ‘mendalam’ perasaan hati dara ini. Ternyata Kwi Eng hendak menyatakan bahwa dara yang cantik ini jatuh cinta kepadanya!
"Maksudmu... kau... kau cinta padaku?" Dia menjelaskan sambil memandang. Kwi Eng juga mengangkat muka memandang.
Dua muka saling berdekatan. Otomatis langkah kaki Bun Houw terhenti dan tiba-tiba saja sepasang lengan Kwi Eng yang merangkul leher itu menarik leher Bun Houw makin kuat sehingga muka pemuda itu makin menunduk dan tak terhindarkan lagi, sukar dikatakan siapa yang lebih dahulu bergerak, muka yang tampan dan cantik itu saling bertemu, dua mulut dengan bibir yang penuh gairah hidup itu saling berciuman, terdorong oleh getaran perasaan hati mereka.
Mereka lupa diri, lupa keadaan, seperti dalam keadaan mabok sehingga seakan-akan ciuman itu tak akan pernah berakhir, seolah-olah dalam ciuman itu mereka hendak saling mempersatukan diri, selamanya tidak akan terpisah lagi. Namun kebutuhan akan napas dan gelora perasaan yang melonjak membuat mereka terpaksa melepaskan bibir dengan napas terengah-engah.
Sejenak mereka saling pandang. Sepasang pipi mereka menjadi merah sekali, pandang mata mereka menjadi sungkan dan kemalu-maluan. Kwi Eng menunduk dan Bun Houw menengadah, degup jantung mereka dapat saling mereka rasakan karena dada mereka berdekapan.
"Eng-moi..."
"Koko..."
"Jangan... tak benar ini..."
"Mengapa tak benar...? Aku rela..."
"Tidak boleh... kita baru saja bertemu dan saling berkenalan..."
"Bagiku engkau sudah selamanya kukenal..."
"Sudahlah, harap kau jangan bicara tentang urusan kita ini dulu, moi-moi. Kau tahu bahwa tugasku masih jauh dari pada selesai, aku... aku tidak mungkin bisa membagi perhatian terhadap soal lain. Kita tunda saja dulu urusan ini, maukah kau berjanji?"
Kembali dua pasang mata saling bertemu dan Kwi Eng pun tersenyum. Senyum penuh kebahagiaan karena ciuman tadi baginya sudah lebih dari cukup sebagai tanda bahwa pemuda yang telah menjatuhkan cinta kasihnya ini, ternyata juga mencintanya. Apa bila tidak demikian, tak mungkin terjadi ciuman seperti tadi! Terasa benar olehnya menembus sampai ke dasar hatinya. Maka dia mengangguk sambil tersenyum.
Bukan main manisnya dan penuh daya pikat sehingga terpaksa Bun Houw harus segera mengangkat kepala memandang ke atas. Tidak kuat dia untuk memandang wajah yang sedemikian manisnya, demikian dekatnya, bibir yang segar merah basah, sedikit terbuka, mulut yang seolah-olah menantang, dan seolah-olah diciptakan untuk dicium penuh kasih sayang, memandang kesemuanya ini tanpa menciuminya!
Dan Kwi Eng kembali tersenyum. Senyum kemenangan seorang wanita yang mempunyai naluri kewanitaannya, yang tahu benar saat-saat seorang pria bertekuk lutut tanpa syarat! Rangkulannya semakin ketat dan sambil tersenyum-senyum, mata yang masih basah air mata itu pun tersenyum malu-malu, dara ini menyembunyikan mukanya di dada kekasih pujaan hatinya!
Pada saat itu pula, ketika Bun Houw melanjutkan langkahnya dan matanya memandang ke depan, dia melihat berkelebatnya bayangan orang di antara pohon-pohon. Dia cepat mengejar dengan pandang matanya dan dilihatnya bayangan itu berdiri tegak di samping sebatang pohon, bayangan seorang wanita dengan sinar mata berapi-api yang ditujukan kepada tubuh Kwi Eng yang dipondongnya. Tentu saja dia segera mengenal gadis yang berdiri dengan sinar mata berapi-api itu.
"Hong-moi...!" Tanpa terasa lagi dia berseru memanggil. Akan tetapi bayangan itu cepat berkelebat dan lenyap di balik pohon-pohon di dalam hutan di tepi sungai itu.
"Ehh, kau memanggil siapa, Houw-koko?" Kwi Eng bertanya dan memandang ke kanan kiri.
Bun Houw mengerutkan alisnya. "Pendekar wanita yang pernah menolongku, Eng-moi. Sepertinya kulihat dia tadi berkelebat di dalam hutan. Akan tetapi mungkin juga aku salah lihat..." Namun hatinya merasa yakin bahwa gadis penolongnya itulah yang dilihatnya tadi, dengan sinar mata tajam penuh kemarahan dan kebencian ditujukan kepada Kwi Eng.
Bun Houw mengerutkan alisnya dan makin kuat dugaannya. Tidak salah lagi. Tentu gadis itulah yang pernah menyerang Kwi Eng, dan bahkan yang telah membunuh gadis she Ma itu. Jantungnya berdebar-debar penuh ketegangan. Andai kata betul demikian, alasannya hanya satu, yaitu cemburu!
Gadis yang bernama Hong itu agaknya selalu membenci setiap wanita yang berdekatan dengan dirinya! Cemburu, berarti gadis itu cinta kepadanya! Bun Houw bergidik dan kalau tadinya dia merasa sangat tertarik kepada In Hong, kini dia mulai merasa jijik dan tidak suka...
Selanjutnya,