Dewi Maut Jilid 21
DI CINTA oleh seorang wanita yang demikian besar cemburunya, yang demikian kejamnya, sungguh mengerikan sekali. Meski pun cantik seperti dewi, akan tetapi selalu melakukan kekejaman seperti setan, Dewi Maut! Biar pun gadis itu amat cantik, amat tinggi ilmunya, dan sudah pernah menolongnya, menyelamatkannya dari bahaya maut, akan tetapi kalau sekejam itu perangainya, pasti kelak dia akan menegurnya kalau dia sempat bertemu lagi dengan Si Dewi Maut itu.
Akan tetapi... kematian Bu Sit tadi! Siapakah yang tadi telah melepas pasir beracun dan merobohkan Bu Sit, dengan demikian menyelamatkan Kwi Eng? Apakah bukan Si Dewi Maut itu pula?
Memang tidak keliru dugaan Bun Houw. Bayangan yang berkelebat di antara pepohonan dan yang tadi sejenak memandang tajam ke arah Bun Houw yang memondong Kwi Eng, adalah In Hong. Baru saja gadis perkasa ini juga menyelamatkan Kwi Beng dari ancaman maut di tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim.
Seperti kita ketahui, Kwi Beng, seperti juga Kwi Eng yang dipancing menjauhi gelanggang pertempuran oleh Bu Sit, juga dipancing oleh Hui-giakang Ciok Lee Kim si nenek cabul yang tergila-gila oleh ketampanan pemuda itu. Kemudian pemuda itu pun roboh pingsan dan dipondong serta dilarikan oleh Ciok Lee Kim, dibawa ke dalam hutan di belakang dusun Ngo-sian-chung. Ketika tiba di tempat sunyi, Ciok Lee Kim menyandarkan pemuda itu dan dia mulai merayu Kwi Beng. Makin dipandang, Si Kelabang Terbang itu semakin tergila-gila kepada pemuda ini.
Kwi Beng yang sudah siuman akan tetapi dalam keadaan lemas tertotok, memandang marah dan memaki, "Perempuan iblis, sesudah aku kalah, kau bunuhlah aku!" bentaknya dan berusaha menggerakkan kedua kaki dan tangannya, akan tetapi anggota badannya itu terasa seperti lumpuh.
Ciok Lee Kim membelai pipi serta leher pemuda itu. "Aihhh, sayang kalau orang seperti engkau ini dibunuh. Orang muda yang ganteng, aku suka sekali kepadamu. Kau layanilah aku, maka aku bersumpah akan menjamin keselamatanmu dan selamanya engkau akan menjadi kekasihku, sahabatku, dan muridku."
"Cih, perempuan tak tahu malu!" Kwi Beng memaki. "Kau sudah gila!"
"Hi-hik, memang aku sudah gila, tergila-gila kepadamu, sayang. Apa perlunya mati sia-sia dalam usia begini muda? Biar pun aku lebih tua darimu, aku adalah seorang ahli dalam permainan cinta, dan kau akan menjadi muridku, kau akan menikmati hidup dan apa pun permintaanmu akan kupenuhi, sayang."
Ciok Lee Kim berlutut, merangkul dan menciumi. Wanita ini benar-benar sudah tergila-gila melihat mata kebiruan dan rambut agak pirang itu. Sepuluh jemari tangannya yang sudah mulai keriputan itu kini mulai meraba-raba.
"Bedebah! Tua bangka gila! Pergilah, atau bunuhlah aku!" Kwi Beng merasa amat jijik dan muak sekali, akan tetapi tentu saja dia tidak mampu mencegah jari-jari tangan wanita itu menggerayangi tubuhnya, hal yang membuat pemuda itu merasa ngeri dan jijik sekali.
Sudah sejak tadi ada sepasang mata jeli dan tajam yang menonton peristiwa ini. Bahkan sejak Ciok Lee Kim memasuki hutan memondong tubuh Kwi Beng yang pingsan, pemilik mata jeli itu sudah membayanginya.
In Hong yang melihat peristiwa ini, diam-diam merasa kagum kepada Kwi Beng. Untuk ke sekian kalinya dia tercengang. Setelah dia kagum melihat murid-murid Bu-tong-pai yang gagah perkasa, kemudian melihat pula Bun Houw yang lebih baik mati dari pada tunduk terhadap rayuan wanita, kini dia melihat Kwi Beng yang sama sekali tidak mau tunduk terhadap rayuan Ciok Lee Kim. Rasa kagum dan simpatinya sudah timbul dan tentu saja sekaligus menimbulkan perasaah muak dan marah kepada Si Kelabang Terbang itu.
Memang sudah lama dia merasa benci sekali terhadap Hui-giakang Ciok Lee Kim yang dianggapnya seorang wanita tak tahu malu, jahat dan keji. Kini, melihat betapa Ciok Lee Kim secara tak tahu malu menggerayangi tubuh pemuda yang terang-terangan menolak rayuannya itu, dan betapa jari-jemari tangan nenek itu mulai membuka kancing baju Kwi Beng, In Hong tidak dapat menahan rasa jijiknya.
"Iblis betina cabul tak tahu malu!" bentaknya sambil meloncat dekat.
Ciok Lee Kim terkejut bukan main, segera dia pun meloncat berdiri sambil membalikkan tubuhnya. Di antara Lima Bayangan Dewa yang pernah bertemu dan berkenalan dengan dara perkasa ini hanyalah Toat-beng-kauw Bu Sit. Ciok Lee Kim belum pernah melihat In Hong, maka kini melihat bahwa yang muncul hanya seorang gadis muda belia yang cantik jelita, dia memandang rendah dan menjadi marah bukan main, kemarahan yang didorong rasa jengah dan malu karena perbuatannya merayu pemuda itu ketahuan orang lain.
Dengan gerakan galak dan angkuh dia lalu mencabut keluar sepasang senjatanya, yaitu sepasang sapu tangan sutera merah. Begitu kedua tangannya bergerak, terdengar suara bersiutan dan sapu tangan itu diputarnya sedemikian cepat sehingga lenyap bentuknya dan berubah menjadi dua gulungan sinar merah.
Dengan demonstrasi tenaga sinkang ini agaknya Ciok Lee Kim hendak menakut-nakuti gadis muda itu. Sungguh menggelikan! Dia tidak tahu siapa adanya wanita muda ini, dan tentu saja bagi Yap In Hong, murid tunggal ketua Giok-hong-pang yang sudah mewarisi ilmu-ilmu simpanan dari bokor pusaka Panglima The Hoo, permainan nenek itu bagaikan permainan kanak-kanak saja.
"Bocah yang bosan hidup, siapakah kau mengantar nyawa sia-sia dengan mencampuri urusanku?" bentak Ciok Lee Kim, karena biar pun dia marah sekali, timbul pula keinginan tahunya siapa adanya gadis muda yang begini berani mengganggunya. Padahal banyak orang kang-ouw yang langsung menggigil ketika baru mendengar namanya saja.
"Hui-giakang Ciok Lee Kim, sesudah engkau lari terbirit-birit dari Lembah Bunga Merah, ternyata engkau bersembunyi di Ngo-sian-chung, hanya untuk melanjutkan perbuatanmu yang tidak tahu malu. Tak perlu kau tahu aku siapa, hanya yang jelas, akulah yang akan mengantar nyawa kelabangmu terbang ke neraka."
Tentu saja Ciok Lee Kim menjadi marah bukan kepalang mendengar ucapan yang sangat memandang rendah dan menghina ini. Kedua matanya melotot, mulutnya mengeluarkan teriakan yang merupakan lengking tinggi nyaring dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke depan, seperti seekor burung terbang saja dan bayangan tubuhnya yang berkelebat itu didahului oleh sinar merah dari kanan kiri, yaitu gerakan sapu tangannya yang di dalam tangannya dapat berubah lemas atau kaku menurut penyaluran tenaganya.
Kini ujung sapu tangan merah yang kiri menotok ke arah ubun-ubun kepala In Hong, ada pun yang kanan menotok ke arah buah dada kiri. Serangan maut yang amat berbahaya dan Kwi Beng yang menyaksikan ini, menjadi terkejut bukan main dan mengkhawatirkan nasib dara yang agaknya hendak menolongnya itu.
Gerakan Ciok Lee Kim memang hebat sekali. Wanita ini mendapat julukan Si Kelabang Terbang, mungkin dijuluki kelabang karena jahatnya sehingga pantas menjadi kelabang yang beracun, dan gerakannya memang amat cepat, ginkang-nya amat tinggi seolah-olah dia pandai terbang. Karena itu serangan yang ditujukan kepada In Hong dalam keadaan marah itu pun hebat bukan main, cepat laksana kilat menyambar.
Akan tetapi, In Hong yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi dari pada Ciok Lee Kim, hanya berdiri dengan tenang dan menunggu datangnya serangan lawan itu seperti seorang dewasa memandang lagak seorang kanak-kanak saja layaknya. Begitu serangan dengan dua helai sapu tangan itu tiba, In Hong menggerakkan sepasang tangannya, yang satu menyampok sapu tangan yang menotok ubun-ubun kepala, sedangkan tangan yang ke dua menangkis sapu tangan yang menotok dada, terus dilanjutkan dengan dorongan tangannya dengan pengerahan tenaga sakti.
"Desss...! Brukkkk!"
Tubuh Ciok Lee Kim terbanting ke atas tanah. Wajah nenek itu menjadi luar biasa sekali, kaget, heran, tak percaya, dan juga kesakitan karena pantatnya yang tepos (tipis) itu telah terbanting keras ke atas tanah sehingga ujung bawah tulang pinggulnya terasa bagaikan remuk!
Akan tetapi semua perasaan ini dilebur menjadi satu, menjadi perasaan kemarahan yang meluap-luap. Dia melupakan rasa nyeri pada pantatnya dan sudah meloncat lagi dengan amat cepat, terus dia menerjang kalang kabut dengan mengerahkan seluruh tenaga dan kecepatannya, mengeluarkan semua jurus-jurus simpanannya yang paling ampuh.
Amat indah tampaknya karena bayangan nenek ini lenyap, yang nampak hanya bayangan sapu tangannya yang seperti dua ekor kupu-kupu merah beterbangan cepat mengelilingi tubuh In Hong yang masih berdiri tegak dan hanya kadang-kadang saja kedua tangannya bergerak menangkis.
Kwi Beng menonton sambil melongo. Dia melihat seolah-olah In Hong merupakan seorang dewi yang sedang menari-nari. Tarian menangkap sepasang kupu-kupu agaknya!
Padahal nenek itu sudah melakukan penyerangan yang amat dahsyat dan mati-matian, akan tetapi anehnya, dara itu hanya bergerak sedikit saja, kedua kakinya bahkan jarang melangkah, hanya kedua lengannya saja bergerak-gerak seperti orang menari dan semua serangan tidak ada yang mengenai sasaran.
"Nenek menjemukan, mampuslah!" tiba-tiba gadis itu berseru nyaring.
Tiba-tiba nampak sinar yang amat menyilaukan mata, sinar emas yang entah dari mana datangnya tahu-tahu telah berada di tangan dara itu dan sekali sinar emas itu berkelebat, nampak darah memancar kemudian tubuh nenek itu roboh, lehernya hampir putus terkena sambaran sebatang pedang yang dengan cepat sekali sudah lenyap menjadi sabuk dara itu!
Dengan langkah ringan In Hong menghampiri Kwi Beng, menotoknya hingga seketika Kwi Beng terbebas dari totokan. Kwi Beng segera bangkit dan memandang mayat Ciok Lee Kim dengan mata terbelalak, kemudian dia memandang gadis itu dengan mata kagum. Bukan main cantiknya dara ini, cantik jelita dan gagah perkasa, belum pernah dia melihat seorang gadis seperti ini! Cepat Kwi Beng maju dan menjura dengan hormat kepada In Hong.
"Saya Souw Kwi Beng menghaturkan rasa terima kasih atas budi pertolongan lihiap yang gagah perkasa. Kalau saja tidak ada pertolongan lihiap, tentu saat ini saya telah menjadi mayat."
In Hong balas memandang lantas tersenyum. "Belum tentu iblis ini akan membunuhmu. Betapa pun juga, kau seorang laki-laki jantan dan siapa pun tentu akan menentang iblis tak tahu malu ini!"
Dengan gemas In Hong menggunakan kakinya menendang mayat Ciok Lee Kim sehingga diam-diam Kwi Beng bergidik, merasa betapa dara cantik jelita yang seperti dewi ini amat ganas terhadap musuh! Akan tetapi, rasa kagumnya mengusir kengerian ini dan dia pun memandang dengan rasa kagum yang tak disembunyikannya. In Hong yang menangkap pandangan mata itu menjadi agak merah kedua pipinya sehingga tentu saja menambah kejelitaannya.
"Lihiap sungguh memiliki kepandaian laksana Dewi Kwan Im! Dia ini adalah Hui-giakang Ciok Lee Kim, orang keempat dari Lima Bayangan Dewa. Kepandaiannya amat dahsyat, akan tetapi lihiap dapat membunuhnya hanya dalam waktu singkat saja, bahkan bila saya tak salah lihat, lihiap hanya satu kali saja mempergunakan pedang! Bukan main! Sungguh kepandaian lihiap seperti dewi..."
"Sudah, saudara Souw, urusan ini tidak perlu dibicarakan lagi dan harap kau lupakan saja semua ini." Berkata demikian, In Hong membalikkan tubuhnya dan hendak pergi dari situ.
"Nanti dulu, lihiap! Betapa mungkin saya melupakan... peristiwa ini, melupakan lihiap yang sudah melepas budi pertolongan kepada saya? Harap lihiap sudi memperkenalkan diri."
In Hong mengerutkan alisnya. Pemuda ini tampan dan gagah sekali, akan tetapi mengapa begitu bertemu lantas menaruh perhatian dan kekaguman yang demikian berlebihan? Dia segera teringat kepada Bun Houw maka dia lalu menjawab singkat,
"Namaku Hong, dan pertemuan kita sampai di sini saja. Selamat berpisah."
"Hong-lihiap... harap jangan pergi dulu...! Saya... kalau boleh saya ingin berkenalan lebih erat denganmu, karena... saya kagum sekali dan saya ingin memperkenalkan Hong-lihiap kepada adikku, kepada teman-teman di sana. Lihiap, percayalah, saya tidak mempunyai niat yang buruk, melainkan hanya terdorong oleh kekaguman hati dan mudah-mudahan saja saya akan berkesempatan untuk membalas budi kebaikan lihiap..."
"Cukup!" Tiba-tiba In Hong berkata agak keras dan dengan wajah dingin. "Saudara Souw Kwi Beng terlalu membesar-besarkan urusan kecil ini. Sudah, aku mau pergi!"
"Nona Hong...!" Kwi Beng memanggil.
Pada saat itu, muncul Tio Sun yang dari jauh sudah berteriak girang melihat Kwi Beng. Melihat munculnya Tio Sun, In Hong lalu berkelebat dan sekali bergerak saja dia sudah lenyap dari hadapan Kwi Beng yang menjadi kebingungan, mencari-cari dengan pandang matanya namun tetap saja tidak nampak bayangan nona yang amat lihai itu. Dia merasa menyesal dan kecewa sekali, merasa kehilangan sesuatu yang amat berharga sehingga berulang-ulang dia menarik napas panjang.
"Aihhhh, kau berhasil membunuh dia? Hebat sekali, Beng-te, hebat sekali kau!" Tio Sun berteriak girang pada saat melihat mayat Ciok Lee Kim yang menggeletak di situ dengan leher hampir putus.
Kembali Kwi Beng menarik napas panjang dan sekarang dia malah duduk di atas rumput, termenung seperti orang kehilangan semangat.
"Ehh, apa yang terjadi, adik Beng? Kau kenapakah?"
Kwi Beng mengangkat muka memandang sahabatnya itu. "Hampir saja aku mati di sini, Tio-twako. Kalau tidak ada dewi yang menolongku, tentu aku sudah mati oleh iblis betina itu." Dia menuding ke arah mayat Ciok Lee Kim.
"Hehh? Jadi bukan kau yang membunuhnya? Dewi? Dewi siapa?"
"Dewi Maut agaknya..." Kwi Beng berkata karena masih ngeri membayangkan kehebatan nona cantik tadi.
"Harap jangan main-main, Beng-te. Siapakah yang telah membunuh iblis ini?"
"Aku sendiri tidak mengenalnya dengan baik. Pada waktu aku terancam maut dan sudah tidak berdaya, tiba-tiba saja muncul seorang gadis cantik jelita yang lihai bukan main. Dia mempermainkan Si Kelabang Terbang seperti mempermainkan anak kecil saja, kemudian sekali dia mencabut pedang dan hanya satu kali pedangnya bergerak dan... mampuslah iblis itu. Kemudian dia pergi..." Kembali pemuda ini termangu-mangu.
"Siapa dia? Siapa gadis yang amat lihai itu?"
Kwi Beng menggeleng kepala. "Aku tidak berhasil menahannya. Setelah membunuh iblis itu, dia lalu pergi, hanya meninggalkan namanya, yaitu Hong."
"Hong begitu saja?"
Kwi Beng mengangguk dan termenung lagi.
"Kita harus bersyukur bahwa engkau selamat dan iblis betina ini sudah tewas, adik Kwi Beng. Akan tetapi di mana adik Eng? Aku sedang mencarinya, dan tadi pun terpisah saat aku melawan Bu Sit."
Mendengar ini, seketika timbul semangat Kwi Beng. Dia amat mencinta adiknya, maka mendengar bahwa adiknya lenyap, seketika dia lupa akan urusannya sendiri, lupa akan kerinduannya terhadap dara penolongnya yang seperti dewi tadi. Dia meloncat berdiri dan berseru, "Celaka! Kita harus mencarinya, twako!"
Akan tetapi Tio Sun tidak menjawab dan pemuda ini berdiri seperti patung, mukanya agak pucat, memandang ke depan. Kwi Beng cepat memandang pula dan wajahnya menjadi berseri gembira ketika melihat bahwa yang dipandang itu adalah Bun Houw yang datang berjalan cepat sambil memondong Kwi Eng!
Tio Sun merasa betapa ada sesuatu yang menusuk ulu hatinya. Melihat Kwi Eng di dalam pondongan Bun Houw, dan gadis itu merangkulkan kedua lengan ke leher pemuda itu dan menyandarkan muka di dadanya. Begitu mesra! Hanya inilah yang tampak dan teringat oleh Tio Sun, yang membuat rongga dadanya terasa sesak dan hatinya terasa panas!
Akan tetapi Kwi Beng melihat hal lain. Cepat dia menyongsong dan berteriak, "Eng-moi, kau terluka...?"
Kwi Eng melepaskan rangkulan kedua lengannya dari leher Bun Houw dan mengangkat muka. Kedua pipinya merah sekali, matanya bersinar, wajahnya berseri-seri dan bibirnya tersenyum. "Hanya tulang kaki kiriku... patah..."
"Tulang kakimu patah?" Kwi Beng bertanya penuh kekhawatiran, akan tetapi juga penuh keheranan. Tulang kakinya patah kenapa masih bisa tersenyum-senyum dan berseri-seri wajahnya?
Melihat Kwi Beng dan Tio Sun, Bun Houw menjadi malu dan cepat dia menyerahkan Kwi Eng kepada kakak kembarnya. Kwi Beng cepat memondong adiknya yang masih berseri dan bercerita kepadanya.
"Hampir saja aku celaka oleh si laknat muka monyet itu, untung datang Houw-koko yang berhasil membunuhnya..."
"Ahh, Hui-giakang juga sudah tewas? Sungguh sayang sekali...," tiba-tiba Bun Houw yang melihat mayat wanita itu berseru.
"Sayang?" Tio Sun bertanya heran. "Mengapa sayang?"
"Tio-twako, aku terpaksa merobohkan Toat-beng-kauw tanpa dapat menanyainya terlebih dahulu dan sekarang tahu-tahu Hui-giakang juga sudah mati. Padahal aku membutuhkan keterangan mereka mengenai Siang-bhok-kiam... akan tetapi, masih ada Liok-te Sin-mo. Tentu suheng dan enci berhasil membekuknya. Mari kita ke sana!"
"Beng-koko, siapa yang membunuh iblis betina itu? Engkau ataukah Tio-twako?" tanya Kwi Eng yang kini dipondong oleh kakaknya sendiri.
"Bukan aku bukan pula Tio-twako, melainkan seorang dewi."
"Ehh? Dewi? Dewi siapakah?"
"Seorang gadis yang amat lihai, dan jika tidak ada dia yang menolongku, tentu kakakmu ini sudah menjadi mayat."
"Ihhhh...! Seperti keadaanku, kalau tidak ada Houw-koko..."
Mendengar percakapan itu, Bun Houw bertanya, "Adik Kwi Beng, siapakah gadis yang menolongmu dan membunuh Hui-giakang itu?" Sebetulnya dia sudah dapat menduganya, akan tetapi dia mendesak untuk merasa yakin.
"Dia seorang yang aneh sekali, sesudah membunuh iblis itu langsung pergi dan hanya meninggalkan namanya, yaitu Hong."
"Aihh, dia... ya, tentu saja, siapa lagi..." Bun Houw menggumam.
Kwi Eng mengerutkan alisnya. "Houw-koko, apakah yang kau panggil nona Hong tadi?"
Bun Houw mengangguk. "Dia seorang pendekar wanita yang amat lihai akan tetapi penuh rahasia, tidak mau mengenal orang."
Berkata demikian, Bun Houw meraba hiasan rambut burung hong yang berada di saku bajunya sebelah dalam. Betul-betul seorang nona yang amat aneh, dan lihai, dan ganas, dan... benarkah sekejam itu membunuh gadis she Ma karena cemburu?
Mereka tiba di Ngo-sian-chung dan ternyata pertempuran sudah berhenti. Banyak anak buah Ngo-sian-chung yang malang melintang, ada yang tewas dan banyak yang terluka, selebihnya melarikan diri. Liok-te Sin-mo Gu Lo It, Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, juga berhasil melarikan diri.
"Enci Keng...!" Bun Houw lari menghampiri kakaknya dan memberi hormat.
"Bun Houw...!" Giok Keng merangkul dan memeluk adiknya.
Ada pun Yap Kun Liong yang duduk di tempat yang agak jauh sambil termenung karena sejak tadi Giok Keng sama sekali tidak mau memandangnya, apa lagi bicara dengannya, kini dihampiri oleh Tio Sun dan Kwi Beng yang memondong Kwi Eng. Mereka bertiga tak mau mengganggu pertemuan kakak dan adik yang penuh kemesraan itu, dan mendengar bahwa pendekar yang datang membantu itu adalah Yap Kun Liong, yang mereka bertiga sudah lama dengar dari orang tua masing-masing dan yang mereka kagumi, kini mereka menghampiri pendekar itu. Kun Liong menerima kedatangan tiga orang muda itu sambil tersenyum tenang.
"Apakah kami berhadapan dengan Yap Kun Liong taihiap yang mulia?" Tio Sun bertanya penuh hormat. Juga Kwi Beng menurunkan adiknya dan mereka berdua memberi hormat.
Kun Liong menggerak-gerakkan tangannya. "Harap kalian bertiga jangan terlalu sungkan. Agaknya kalian orang-orang muda adalah sahabat-sahabat sute Bun Houw, dan melihat gerakanmu tadi, apakah hubunganmu dengan Tio Hok Gwan locianpwe?"
Tio Sun semakin kagum. Tadi dia berkesempatan untuk mengamuk bersama pendekar ini dan kakak perempuan Bun Houw, dan agaknya dalam gerakan-gerakannya pendekar ini sudah mengenal ilmu ayahnya!
"Memang sudah lama ayah menceritakan saya tentang taihiap, maka sungguh gembira hari ini saya dapat bertemu dengan Yap-taihiap."
"Aih, jadi engkau adalah putera Tio-lo-enghiong?" Kun Liong berseru girang, kemudian dia memandang Kwi Beng dan Kwi Eng.
Alisnya agak berkerut melihat warna mata dan rambut kedua orang kakak beradik yang wajahnya sama-sama tampan dan cantik itu, yang menunjukkan bahwa dua orang muda ini adalah peranakan-peranakan barat.
"Dan siapakah kalian berdua?"
"Ayah dan ibu mengenal paman dengan baik sekali!" Kwi Eng yang lebih lincah dan berani itu telah berseru sambil memegangi lengan kakaknya karena dia tak berani menggunakan kakinya yang masih belum sembuh. "Ayah dan ibu adalah sahabat-sahabat dari paman Yap Kun Liong yang gagah perkasa."
Kun Liong menjadi kaget dan juga bingung. "Siapa? Siapakah ayah bundamu?"
Kini Kwi Beng yang menjawab, "Ayah adalah Yuan de Gama sedangkan ibu..."
"Souw Li Hwa...! Ya Tuhan...! Mereka... mereka... kukira mereka sudah tidak ada lagi..."
Kun Liong makin bingung karena dia sendiri yang dulu membujuk-bujuk kedua orang itu agar meninggalkan kapal akan tetapi mereka tidak mau, dan dengan matanya sendiri dia menyaksikan betapa Yuan de Gama dan Souw Li Hwa tenggelam bersama kapalnya.
"Ayah dan ibu tidak tewas bersama kapal itu, paman, tertolong seorang nelayan pandai dan sampai kini masih hidup. Kami berdua adalah putera-puteri mereka, kakak kembarku ini bernama Richardo de Gama atau Souw Kwi Beng dan saya bernama Maria de Gama atau Souw Kwi Eng."
Bukan main girangnya hati Kun Liong mendengar cerita ini dan dia pun melangkah maju, memegangi lengan Kwi Eng dan Kwi Beng, memandang wajah keduanya kemudian dia mengangguk-angguk. "Engkau persis ibumu, tetapi matamu persis mata ayahmu... aihh, betapa bahagia rasa hatiku mendengar bahwa mereka masih hidup..." Suara Kun Liong tergetar karena terharu.
Tiga orang muda itu lalu menengok ke arah Cia Giok Keng.
"Kami belum menghadap Cia-lihiap puteri ketua Cin-ling-pai..." kata Tio Sun.
Akan tetapi tidak perlu lagi karena kini Bun Houw yang menggandeng tangan enci-nya sudah menghampiri Kun Liong dengan air muka muram dan merah, pandang matanya marah, sedangkan Giok Keng jelas baru saja menangis sebab matanya masih merah dan kedua pipinya basah.
"Yap-suheng...!" begitu tiba di situ Bun Houw menghadapi Kun Liong dan berkata dengan suara keras dan kaku.
"Sudahlah, adikku, sudahlah...!" Giok Keng memegang tangan adiknya sambil berusaha mencegah.
Akan tetapi agaknya Bun Houw tidak mampu mengendalikan kemarahannya lagi. Tadi dia sudah mendengar penuturan enci-nya mengenai kematian kakak iparnya, Lie Kong Tek yang membunuh diri untuk menebus ‘dosa’ enci-nya yang sebetulnya tak berdosa. Dapat dibayangkan betapa hancur hati pemuda ini ketika mendengar betapa enci-nya dituntut oleh Kun Liong dan gurunya, Kok Beng Lama, dituduh membunuh isteri suheng-nya atau puteri gurunya itu.
"Sute, engkau hendak bicara apakah?" Kun Liong bertanya, sungguh pun dia sudah dapat menduga akan kemarahan pemuda ini. Dia bertanya dengan sikap tenang.
"Yap-suheng, perbuatanmu yang langsung menjatuhkan tuduhan kepada enci Keng tanpa bukti-bukti nyata itu sungguh tak kusangka dapat dilakukan oleh seorang seperti suheng! Apakah suheng tidak menyadari bahwa kematian Lie-cihu (kakak ipar Lie) disebabkan oleh suheng, seolah-olah suheng yang membunuhnya dengan tangan suheng sendiri?"
"Houw-te, jangan... jangan bicara demikian..." Giok Keng cepat-cepat merangkul adiknya dan menangis. "Kau... kau tidak tahu..."
"Biarlah, enci!" Bun Houw berkata sambil melepaskan rangkulan enci-nya. "Aku tidak bisa mendiamkannya saja, dan jika Yap-suheng sudah berubah menjadi begitu kejam, biarlah aku tewas di tangannya pun tidak mengapa!"
"Sute, apakah maksudmu dengan kata-kata itu?" Kun Liong bertanya, memandang tajam penuh selidik, akan tetapi menekan kemarahannya mengingat bahwa Bun Houw hanyalah seorang pemuda yang masih sangat muda dan kini sedang dicengkeram oleh kedukaan dan kemarahan mendengar akan nasib yang menimpa kakak kandungnya.
"Maksudku, aku tidak akan menerima begitu saja suheng menyebabkan kematian cihu dan membuat hidup enci-ku menderita. Marilah kita selesaikan hal ini antara kita sebagai laki-laki jantan!" Bun Houw menantang dan melompat ke depan, siap untuk menghadapi suheng-nya yang selama ini amat dikaguminya.
"Sute, yang memaksaku menuntut enci-mu adalah ayah mertuaku, yaitu gurumu sendiri. Apakah kelak engkau pun akan menantang gurumu?" Kun Liong bertanya dengan suara tenang dan sikap sabar.
"Suhu tidak akan bertindak demikian kalau tidak suheng yang memberi tahu!"
Kun Liong menarik napas panjang. "Sute, peristiwa yang telah terjadi itu sungguh amat menyedihkan, terlalu menyedihkan. Bila engkau menyalahkan aku, biarlah, aku menerima salah, akan tetapi jangan harap aku akan mau melayani tantanganmu yang mentah itu..."
Kun Liong lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi dari situ.
"Yap Kun Liong! Berhenti kau...!"
Bun Houw membentak, akan tetapi Kun Liong tidak menoleh.
"Bun Houw, jangan... aihhh, jangan...! Ingat, kita masih memiliki tugas yang lebih penting. Lagi pula, Kun Liong tidak bersalah..."
"Tapi, enci...," Bun Houw bersikeras.
"Bun Houw! Kau tidak mau mentaati enci-mu?"
Melihat enci-nya marah, Bun Houw menjadi lemas, menunduk dan memegang kedua tangan enci-nya.
"Maaf, enci, aku terlalu marah dan hancur hatiku mengingat akan nasibmu."
"Kau sungguh terlalu! Kau hanya ingat akan kedukaan kita sendiri, lupa bahwa Kun Liong sudah terlebih dahulu kehilangan isterinya yang dibunuh orang secara kejam." Wanita itu menghapus air matanya, "Dan kau telah berani menghinanya!"
Bun Houw menunduk. "Maafkan, enci... maafkan..."
"Sudahlah. Aku melihat Lima Bayangan Dewa, biar pun dua orang di antara mereka telah tewas, namun yang tiga masih hidup dan malah mereka dibantu orang-orang yang begitu pandai. Hal ini tidak mungkin dapat kita hadapi sendiri saja. Sekarang aku akan kembali ke Cin-ling-pai untuk melaporkan hal ini kepada ayah."
"Baik, enci. Aku akan menyelidiki mereka."
"Akan tetapi jangan bertindak ceroboh seperti tadi, Bun Houw. Kalau saja tidak datang aku kemudian datang pula Kun Liong, tentu teman-temanmu itu akan terancam bahaya hebat."
Setelah mendengar tiga orang itu memperkenalkan diri, Giok Keng segera meninggalkan tempat itu. Sejak tadi Tio Sun, Kwi Beng dan Kwi Eng hanya terbelalak mendengarkan dan menonton saja, sama sekali tidak berani mencampuri, bahkan setelah Kun Liong dan Giok Keng pergi, mereka tidak berani bertanya-tanya kepada Bun Houw yang kini menjadi amat keruh wajahnya.
Penuturan enci-nya hanya diambil singkatnya saja, maka dia sendiri pun belum tahu betul duduknya persoalan. Akan tetapi hati siapa yang tidak akan berduka mendengar betapa suhu-nya kini berhadapan dengan keluarganya sebagai dua fihak yang bertentangan?
"Kedua adik Souw sebaiknya sekarang beristirahat. Saudara Kwi Beng, melihat tulang pergelangan kaki adikmu patah, maka harap kau suka membawa adikmu ke tempat aman dan merawatnya sampai sembuh. Setelah itu, kalian sebaiknya menanti sampai orang tua kalian pulang. Aku hendak melanjutkan penyelidikanku, mengejar Lima Bayangan Dewa yang tinggal tiga orang itu."
"Akan tetapi, aku ingin sekali membantumu, Houw-koko!" Kwi Eng berkata, suaranya agak manja dan penuh permohonan.
Bun Houw tersenyum memandang dara itu. "Terima kasih, Eng-moi. Akan tetapi, tulang kakimu itu sedikitnya dua pekan lagi baru dapat bersambung kembali, itu pun kalau terus mempergunakan obat penyambung tulang yang baik. Selain itu, fihak musuh amat lihai, mempunyai banyak teman yang berilmu tinggi. Enci-ku benar, aku tak boleh ceroboh dan sekarang aku hanya hendak menyelidiki lebih dulu. Kalau keadaan musuh terlalu kuat aku harus minta bantuan ayah ibuku."
"Aku akan menyertaimu, Houw-te."
Bun Houw memandang Tio Sun dengan girang. Kepandaian putera Ban-kin-kwi ini cukup tinggi sehingga merupakan pembantu yang sangat baik. "Terima kasih, twako. Nah, kau bawalah adikmu pergi ke tempat aman, saudara Kwi Beng. Sekarang juga kami berdua hendak berangkat. Lain hari kita pasti saling dapat berjumpa kembali."
Bun Houw dan Tio Sun segera berangkat.
"Houw-koko...!" Kwi Eng berseru memanggil.
Bun Houw berhenti, menoleh. Dara itu menangis!
"Selamat tinggal Eng-moi, sampai jumpa kembali," kata Bun Houw.
Dengan suara terisak, Kwi Eng berkata, "Kalau... kalau terlalu... lama kau tidak datang... aku akan mencarimu..."
Bun Houw hanya mengangguk, kemudian melanjutkan perjalanannya bersama Tio Sun. Dia hanya merasa kasihan kepada Kwi Eng, dan sama sekali tidak tahu betapa pemuda yang berjalan di sebelahnya itu memandang ke depan dengan pandangan mata kosong, dengan hati yang tertusuk dan semangatnya seperti tertinggal bersama Kwi Eng, dara yang telah menjatuhkan hatinya itu&.
Pria itu berjalan di dalam hutan sambil menundukkan mukanya. Wajahnya yang tampan dan gagah terlihat keruh dan muram, pandang matanya sayu diliputi kedukaan mendalam. Yap Kun Liong, pria itu, merasa seakan-akan semangatnya melayang-layang, tubuhnya kosong dan pikirannya membayangkan semua hal yang lalu dalam hidupnya.
Sejak kecil hidupnya seolah-olah merupakan sebuah perahu kecil yang selalu dihantam dan dilanda ombak kehidupan yang membadai, yang terus mengombang-ambingkannya, kadang-kadang hampir menenggelamkannya. Selama ini dia masih mampu mengatasi itu semua, walau pun perahu hidupnya pecah-pecah, koyak-koyak, akan tetapi masih belum tenggelam.
Semenjak peristiwa terakhir yang amat meremukkan hatinya, yaitu kematian isterinya dan disusul peristiwa di Cin-ling-pai di mana Giok Keng juga harus kehilangan suaminya yang membunuh diri, dia menjadi seorang pelamun dan pendiam. Hidupnya telah berubah sama sekali dan di dalam perjalanannya mencari anaknya, Yap Mei Lan, dia lebih banyak duduk melamun di tempat-tempat sunyi, di mana tak ada seorang pun manusia lain mengganggu lamunannya.
Kita manusia tidak menyadari bahwa hidup pasti merupakan medan pertentangan antara susah dan senang, lebih banyak dukanya dari pada sukanya, lebih banyak kecewanya dari pada puasnya, karena tanpa kita sadari sendiri, kita memang telah mengikatkan diri dengan lingkaran setan yang berupa sebab akibat dan im-yang (atau dwi unsur), yang dapat juga disebut kebalikan-kebalikan. Kita selalu menghendaki yang satu tapi menolak yang lain, kita selalu mengejar kesenangan namun menghindari kesusahan, mencari-cari kepuasan menolak kekecewaan dan sebagainya.
Padahal, suka duka, senang susah, puas kecewa tidaklah pernah terpisah-pisah, seperti sebuah tangan yang memiliki dua permukaan, yaitu telapak tangan dan punggung tangan. Mencari yang satu sudah pasti akan bertemu dengan yang lain.
Sudah menjadi kebiasaan kita semenjak kecil, menjadi suatu hal yang kita terima sebagai sudah semestinya dan seharusnya, yaitu bahwa di dalam segala gerak perbuatan kita, selalu didasari atas pamrih demi kepentingan, kepuasan, kesenangan diri pribadi. Setiap perbuatan yang didasari pamrih seperti itu adalah palsu, hanyalah suatu alat belaka untuk mencapai keinginan kita, dan perbuatan seperti itu, betapa pun baik kelihatannya, sudah pasti menimbulkan konflik, pertentangan lahir dan batin.
Mari kita tengok diri sendiri, mari kita perhatikan diri kita sendiri, bukan orang lain. Kita lihat saja segala gerak tubuh, gerak pikiran, dan gerak mulut atau kata-kata kita. Tidakkah semuanya itu mengandung kepalsuan belaka? Sikap kita bersopan-santun kepada tamu misalnya, kalau kita mau memandang diri sendiri secara bebas, kita akan melihat bahwa kesopanan kita itu bukan timbul dari kasih atau keakraban, melainkan merupakan bentuk penjilatan karena tamu itu lebih tinggi atau lebih kaya atau lebih pintar, atau pun bentuk perendahan diri karena takut, dan sebagainya. Kalau kita melakukan sesuatu demi orang lain sekali pun, di situ tersembunyi pamrih, agar kita dipuja, agar kita menjadi orang baik, agar kita kelak menerima balas jasa.
Tidak dapatkah kita hidup dengan wajar, apa adanya, tanpa segala kepalsuan ini? Tidak dapatkah kita melakukan segala macam gerak tanpa dasar kepentingan diri pribadi? Hal ini hanya mungkin apa bila terdapat CINTA KASIH di dalam diri kita! Dengan cinta kasih, segala apa pun yang kita lakukan, yang kita pikirkan, yang kita ucapkan, adalah BENAR, karena CINTA KASIH adalah KEBENARAN. Tanpa cinta kasih, matahari akan kehilangan cahayanya, tumbuh-tumbuhan akan kehilangan warnanya, bunga-bunga akan kehilangan harumnya, dunia akan kehilangan keindahannya. Dengan adanya cinta kasih, kita tidak membutuhkan lagi kebahagiaan karena CINTA KASIH adalah KEBAHAGIAAN!
Namun sayang! Yang kita miliki bukanlah cinta kasih yang murni, yang suci, yang sejati, yang tidak ada kebalikannya, melainkan kita hanya mengenal cinta terhadap seseorang atau sesuatu benda hidup atau benda mati, suatu yang abstrak dan yang kita puja-puja. Cinta kasih macam ini sesungguhnya bukanlah cinta kasih, melainkan hanya alat untuk menyenangkan diri pribadi, hanya untuk mencari kepuasan seksuil, kepuasan lahirlah, kepuasan hiburan, atau juga kepuasan batiniah yang sesungguhnya hanyalah merupakan harapan-harapan untuk masa depan belaka!
Tentu saja cinta kasih macam ini, yang sebetulnya bukan cinta kasih namun nafsu-nafsu keinginan untuk kesenangan diri pribadi belaka, cinta kasih macam ini mengandung dwi unsur, yaitu senang dan susah, puas dan kecewa, dan karenanya selalu mendatangkan pertentangan yang tiada habis-habisnya. Sebab dan akibat adalah suatu lingkaran setan yang tiada putus-putusnya, akibat dapat menjadi suatu sebab untuk akibat berikutnya, dan si sebab itu pun dapat menjadi akibat dari sebab sebelumnya.
Celakalah kita bila mengikatkan diri dan terjebak dalam lingkaran setan ini. Sebab akibat berada di dalam tangan kita sendiri! Kitalah yang menentukan apakah sebab akibat itu akan berlarut-larut ataukah akan habis sampai di situ saja! Apa bila kita menghadapi setiap peristiwa di dalam hidup kita dan menyelesaikannya setiap saat, setiap detik peristiwa itu timbul, dan mau menghabiskannya sampai di situ saja, tanpa mengingat yang lalu dan tanpa membayangkan masa depan, maka sebab akibat sebagai rantai akan pecah berantakan dan lenyap!
Marilah kita belajar untuk mengenal diri sendiri, setiap saat, dengan memandang penuh kewaspadaan serta kesadaran terhadap diri sendiri, setiap saat pula, dengan perhatian sepenuhnya tercurah pada tiap gerak perbuatan, kata-kata dan pikiran kita sendiri tanpa campur tangan.
Dengan perhatian setiap waktu, perhatian sepenuhnya, yang timbul dari pengertian yang mendalam, maka pandangan mata kita akan menembus sampai sedalamnya, pengertian kita akan bangkit dan kita pun akan terbebas dari segala ikatan karena kita mengerti bagaimana bahayanya ikatan-ikatan itu, dan kebebasan diri dari segala ikatan akan memungkinkan kita mengenal apa artinya CINTA KASIH tadi.
Bukan cinta kasih terhadap sesuatu, atau terhadap semua, yang ada hanya cinta kasih saja. Cinta kepada seseorang, kepada semua orang, terhadap alam, kemesraan, semua itu tidak terpisah-pisah dan sudah tercakup di dalamnya.
Kun Liong, seorang pendekar sakti yang sudah banyak menerima gemblengan hidup, biar pun dia berilmu tinggi dan berjiwa pendekar, namun dia belum sadar akan hal ini. Oleh karena itu, betapa pun gagah perkasanya dia, tetap saja dia terseret dan terjebak dalam lingkaran setan sebab akibat itu sehingga hidupnya menjadi permainan suka duka yang sesungguhnya hanyalah merupakan penonjolan si aku yang dikecewakan atau sebaliknya aku yang dipuaskan! Kalau saja dia mau mengenal diri pribadi setiap saat, maka segala ilmu di dunia ini sudah berada di dalam diri!
Kun Liong terbenam di dalam kedukaan karena dia mengingat akan sikap Giok Keng dan Bun Houw. Dua orang sumoi dan sute-nya itu, putera-puteri ketua Cin-ling-pai yang boleh dibilang juga gurunya, jelas amat membencinya! Dan dia tidak bisa menyalahkan mereka.
Dia tidak mungkin dapat menyalahkan Bun Houw yang menghinanya, karena dia dapat membayangkan betapa hancur dan sakit rasa hati pemuda itu mendengar bahwa kakak iparnya sampai membunuh diri karena enci-nya didakwa membunuh orang. Padahal dia sendiri kini merasa yakin bahwa bukan Giok Keng yang membunuh isterinya.
Sejak peristiwa itu terjadi, dia memang sudah tidak percaya kalau Giok Keng membunuh isterinya! Dia mengenal benar wanita ini, seorang wanita yang biar pun keras hati, namun gagah perkasa dan tak mungkin mau melakukan perbuatan yang rendah, keji dan curang. Apa lagi membunuh isterinya dalam keadaan pingsan. Tidak mungkin dilakukan oleh Cia Giok Keng!
Akan tetapi ayah mertuanya tidak dapat menahan kemarahan dan telah memaksa Giok Keng, juga menuntut kepada ketua Cin-ling-pai sehingga terjadi peristiwa yang demikian menyedihkan, yaitu suami Giok Keng membunuh diri untuk menebus ‘dosa’ isterinya!
Akan tetapi, dia pun tidak dapat menyalahkan mertuanya yang kemudian bahkan menjadi terguncang batinnya dan berubah ingatannya oleh peristiwa-peristiwa itu! Ahh, semua itu terjadi karena aku, pikirnya sedih. Karena diriku yang sial dan selalu mendatangkan mala petaka bagi orang lain, sejak dahulu!
Mula-mula, pada waktu dia masih kecil, dia telah mendatangkan mala petaka bagi ayah bundanya sendiri. Kemudian, saat dia berusia muda, hubungannya dengan banyak orang terutama dengan beberapa dara cantik, dia pun hanya mendatangkan mala petaka bagi mereka. Teringat akan semua ini, Kun Liong menutupi mukanya dengan kedua tangan dan dia duduk seperti patung dalam keadaan demikian sampai lama sekali.
Dia sudah kehilangan segala-galanya dalam hidupnya. Dia kehilangan isteri yang dibunuh orang, sekaligus juga kehilangan anak kandungnya yang lari entah ke mana, kemudian dia kehilangan mertuanya yang menjadi gila, dan sekarang kehilangan hubungan dengan Cin-ling-pai sekeluarga.
Pada saat dia menutupi mukanya, terbayanglah wajah Giok Keng yang kurus pucat, dan perasaan iba memenuhi hatinya. Aihhh, dia menjadi sumber segala kesengsaraan hidup orang-orang lain. Kalau memang demikian, apa pula artinya hidup baginya? Tiba-tiba dia menurunkan kedua tangannya dan mengepal tinju. Kalau dia mati, agaknya dunia ini akan lebih tenteram! Perlu apa dia hidup?
"Perlu mencari pembunuh isteriku!" demikian dia tiba-tiba membentak, seperti menjawab pertanyaan hatinya sendiri, "Aku harus dapat mencari pembunuh isteriku, dan harus dapat menemukan kembali Mei Lan anakku!"
Dengan tekad yang mendadak muncul seperti sinar-sinar terang yang menerangi ruang hatinya yang gelap pekat tadi, Kun Liong meloncat dan berlari secepatnya seperti terbang atau seperti sudah miring otaknya! Akan tetapi, baru saja dia tiba di tepi hutan, Kun Liong cepat meloncat jauh tinggi ke atas dan tubuhnya lenyap di dalam daun-daun yang lebat dari pohon yang amat tinggi itu.
Dia melihat berkelebatnya orang dari jauh dan ketika bayangan itu tiba dekat, dia terkejut sekali karena mengenal bayangan itu yang bukan lain adalah Cia Giok Keng! Seperti juga dia, wanita itu berjalan seperti orang yang kehilangan semangat, sungguh pun Giok Keng mempunyai tujuan tertentu dalam perjalanannya, yaitu dia hendak kembali ke Cin-ling-san untuk melaporkan kepada ayahnya tentang kematian dua Bayangan Dewa dan tentang bantuan orang-orang pandai yang agaknya bergabung dengan mereka.
Begitu melihat Giok Keng, semakin mendalam rasa iba hati yang melanda perasaan Kun Liong. Wanita ini menjadi sengsara hidupnya karena dia! Tanpa disadarinya, seperti di dalam mimpi, Kun Liong lalu bergerak dan membayangi Giok Keng dari jauh agar jangan sampai wanita itu melihatnya.
Mereka sudah meninggalkan hutan, dan tiba-tiba terdengar teriakan dari arah kiri, "Nona Giok Keng...!"
Giok Keng terkejut sekali. Siapakah yang menyebutnya nona dan mengenal namanya? Dia berhenti dan menanti datangnya orang yang berlari-lari itu dan setelah dekat, ternyata orang itu adalah seorang tua yang menjadi pelayan ayahnya.
Pantas saja orang itu menyebutnya ‘nona’ sungguh pun dia sudah menikah dan sudah mempunyai anak. Sejak dia kecil memang A-kiong ini sudah menjadi pelayan ayahnya. Begitu tiba di depan Giok Keng, A-kiong lalu menjatuhkan dirinya berlutut dan menangis!
"Ehh, A-kiong... apakah yang telah terjadi?" tanya Giok Keng, wajahnya yang sudah layu itu menjadi makin pucat.
"Celaka, nona... celaka sekali..."
"Tenanglah dan jangan menangis!" Giok Keng menghardik dan A-kiong cepat menyusuti air matanya. "Sekarang ceritakan yang jelas!"
"Saya disuruh oleh taihiap untuk pergi menyusul Lie-kongcu ke Sin-yang..." A-kiong mulai bercerita dan dia selalu menyebut Cia Keng Hong dengan sebutan ‘taihiap’. "Lie-kongcu puteramu itu dibawa oleh Hong Khi Hoatsu ke Sin-yang dan saya disuruh menyusul untuk membantu dan melayani di sana."
Giok Keng mengangguk. Dia tidak merasa heran karena memang sudah sepatutnya kalau guru suaminya itu membawa Lie Seng ke Sin-yang, selain untuk menghibur hati orang tua itu, juga tentu orang tua itu hendak mendidik Lie Seng.
"Saya sudah sampai di Sin-yang... akan tetapi... ahh, celaka sekali, nona...!" Kembali dia menangis dan tidak dapat melanjutkan ceritanya.
"Diam! Hayo ceritakan! Kau seperti anak kecil saja, A-kiong!" bentak Giok Keng marah. Sudah kambuh kembali kekerasan hati wanita ini melihat sikap lemah dari pelayannya.
"Setibanya di situ saya mendengar dari para tetangga... bahwa... bahwa... semua pelayan rumah dari nona, dan Hong Khi Hoatsu... mereka semua sudah... sudah dibunuh orang, sedangkan Lie-kongcu telah diculik oleh pembunuh-pembunuh itu..."
Terdengar jerit melengking tinggi sehingga A-kiong langsung terguling karena tidak kuat mendengar pekik yang menggetarkan seluruh isi dadanya itu.
"Am... pun... nona...," ratapnya sambil berlutut.
Giok Keng menutupi mukanya, berdiri menunduk, kemudian terdengar kata-katanya yang tergetar hebat, "Kau pulanglah... pergilah ke Cin-ling-pai... ceritakan semua kepada ayah ibu...!" Setelah berkata demikian, kembali terdengar lengking tinggi seperti jerit kesakitan seekor burung hong dan tubuh Giok Keng sudah berkelebat lenyap dari hadapan A-kiong yang masih berlutut dan menangis sesenggukan seperti anak kecil.
A-kiong mengangkat muka memandang ke kanan dan kiri, kemudian bangkit berdiri dan berjalan tersaruk-saruk menuju ke Cin-ling-san. Dalam waktu beberapa hari saja orang tua yang usianya sudah lima puluh tahun lebih ini menjadi makin tua tampaknya.
Giok Keng lari memasuki hutan. Dia tadi menahan-nahan hatinya di depan A-kiong, dan sekarang setelah dia memasuki hutan yang sunyi, dia lalu menjatuhkan diri di atas rumput dan seperti anak kecil dia menangis mengguguk sambil menutupi mukanya, memanggil-manggil nama suaminya dan Lie Seng, kemudian menangis lagi, air matanya bercucuran dan diusapinya dengan lengan baju.
Di balik sebatang pohon besar, Kun Liong berdiri dengan muka pucat dan beberapa butir air mata mengalir turun dari kedua matanya, dibiarkannya saja menuruni kedua pipinya. Dia sudah mendengar semua dan dia makin merasa kasihan kepada wanita ini.
Betapa hebat penderitaan batin Giok Keng. Suaminya membunuh diri di depan matanya, dan kini guru suaminya yang seperti ayah mertua sendiri mati terbunuh orang, anaknya diculik pula. Betapa hampir sama penderitaan wanita itu dengan penderitaannya sendiri. Isterinya juga mati, anaknya juga hilang dan ayah mertuanya gila!
Seperti disayat pisau rasa hati Kun Liong melihat Giok Keng menangis bergulingan di atas rumput seperti anak kecil, kemudian dia merintih perlahan melihat tubuh Giok Keng tidak bergerak lagi dan dia tahu bahwa wanita itu roboh pingsan saking sedihnya.
"Aduhh... kasihan sekali kau, Giok Keng..."
Kun Liong menghampiri tubuh wanita itu dan cepat menolongnya, memondong tubuhnya kemudian merebahkannya pada tempat yang kering. Pakaian wanita itu basah dan kotor, rambutnya kusut dan mukanya pucat sekali.
Dia memeriksa nadinya sebentar dan maklum bahwa kalau dia menyadarkan wanita ini begitu saja, hal itu amat tidak baik bagi jantungnya. Wanita ini mengalami tekanan batin yang sangat hebat dan tangis tadi, juga pingsannya ini malah merupakan peringan yang baik. Karena itu dia hanya merapikan pakaian Giok Keng, merebahkannya terlentang dan mengurut punggung serta tengkuknya sampai pernapasan wanita itu menjadi teratur dan rata seperti orang sedang tidur, kemudian dia duduk menjaganya.
Melihat wanita ini rebah terlentang di hadapannya, memandangi wajah yang cantik dan mengandung sinar kegagahan itu, Kun Liong menarik napas panjang dan teringatlah dia akan peristiwa pada waktu dahulu, belasan tahun yang lalu.
Dahulu, ayah bunda gadis ini mempunyai niat untuk menjodohkan Giok Keng dengan dia. Akan tetapi entah bagaimana, semenjak bertemu sudah terjadi keributan antara dia dan Giok Keng yang galak. Dan akhirnya, Giok Keng sendiri yang minta diputuskannya tali perjodohan yang diikatkan oleh orang tuanya itu karena Giok Keng terbujuk oleh rayuan seorang pemuda sesat, yaitu Liong Bu Kong putera Kwi Eng Niocu.
Untung bahwa perjodohan antara dia dengan pemuda sesat itu belum berlangsung dan akhirnya Giok Keng maklum akan kesesatan pemuda yang menjatuhkan hatinya itu. Dan akhirnya, karena dia sendiri sudah saling jatuh cinta dengan Pek Hong Ing, maka Giok Keng lalu berjodoh dengan Lie Kong Tek.
Sekarang, melihat Giok Keng yang menggeletak dengan wajah pucat seperti mayat, yang dalam keadaan pingsan saja masih jelas membayangkan penderitaan batin yang hebat, timbul pertanyaan di hati Kun Liong. Bagaimana andai kata dahulu mereka itu menjadi suami isteri? Tentu tidak akan timbul peristiwa yang membuat mereka berdua menderita batin begitu hebat!
“Ooohhhhh... Seng-ji (anak Seng)... di mana kau...?"
Giok Keng mengeluh dan menggerakkan tubuhnya, membuka matanya. Ketika melihat Kun Liong, dia nampak terkejut sekali dan meloncat bangkit duduk, kemudian meloncat berdiri dengan mata berapi-api.
"Sumoi, aku melihat kau rebah pingsan maka..."
"Yap Kun Liong, manusia iblis! Engkau yang telah membunuh suamiku, engkau pula yang membunuh mertuaku, juga engkau yang menculik Lie Seng!" Giok Keng sudah menerjang maju dan menghantam dada Kun Liong dengan kepalan tangan kanannya.
"Dukkkk!"
Pukulan yang sangat keras itu diterima oleh Kun Liong tanpa melawan sedikit pun, tanpa mengerahkan tenaganya dan dia terjengkang roboh, lalu bangun kembali dengan muka pucat.
"Keng-moi, kalau kau menyalahkan aku... biarlah aku menerima salah..."
"Memang kau bersalah! Memang kau yang menjadi biang keladi semuanya! Memang kau yang merusak hidupku! Kau harus dlhajar!" Giok Keng menerjang lagi, mengamuk kalang kabut dan memberikan pukulan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya.
"Dessss...!"
Kun Liong terpelanting keras oleh pukulan ini. Namun dia tidak mengeluh dan bangkit lagi.
"Bukkkk!"
Tendangan kaki Giok Keng mengenai lambungnya hingga dia terlempar jauh. Giok Keng meloncat, mengejar dan memukulinya, menamparnya, menendangnya sampai Kun Liong babak belur dan matang biru seluruh muka, leher serta tubuhnya. Akan tetapi Kun Liong sama sekali tidak mau melawan, bahkan sambil menahan rasa nyeri dia bangkit lagi dan berdiri.
"Kau bunuhlah aku, Giok Keng... dan… dan aku tidak akan melawan. Aku memang telah menghancurkan hidupmu, aku salah..."
"Pengecut! Keparat! Hayo kau lawan aku, marilah kita selesaikan dengan taruhan nyawa. Engkau atau aku yang mampus di sini!"
Melihat Giok Keng telah menghunus pedangnya yang berkilauan seperti perak, Kun Liong mengangkat dadanya. "Bagus, kau tusuklah. Biar aku sajalah yang mati untuk menebus dosaku terhadapmu, Giok Keng. Untuk apa hidup bagiku, hidup yang penuh dengan duka, derita dan dosa ini? Kau tusuklah!"
"Kun Liong, hayo kau lawan aku...!" Giok Keng menjerit.
Kun Liong menggelengkan kepala sambil tersenyum, dari ujung bibirnya mengalir sedikit darah. Mukanya matang biru oleh bekas tamparan dan pukulan Giok Keng. Melihat ini, Giok Keng menjadi semakin penasaran.
"Kau... kau tidak melawan... kau... menyerahkan nyawa?"
Kun Liong mengangguk.
"Kalau begitu kau... mampuslah...!"
Giok Keng melangkah maju, lalu mengangkat pedangnya. Kun Liong memandang dengan sikap tenang, sama sekali tidak gentar menghadapi kematian yang hanya akan membuat dia menyusul isterinya.
"Ouhhhh...!" Pedang terlepas dari tangan Giok Keng dan wanita ini terkulai lemas. Tentu dia sudah terjatuh kalau tidak cepat dipeluk oleh Kun Liong. Wanita itu pingsan lagi.
Kun Liong kembali merebahkan Giok Keng di atas rumput dan dia duduk sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan. Dia tidak menyesal sudah diperlakukan seperti itu oleh Giok Keng, bahkan agak lega hatinya bahwa setidaknya dia telah memberi kesempatan kepada Giok Keng untuk melampiaskan rasa dendam dan sakit hatinya, sudah memberi kesempatan kepada wanita itu untuk menghukum dirinya. Dia akan menanti sampai Giok Keng sadar, dan kalau wanita itu hendak melanjutkan membunuhnya, dia akan bersedia tanpa melawan!
Karena batinnya tertindih dan dia menutupi muka dengan kedua tangannya, Kun Liong tidak tahu bahwa Giok Keng sudah siuman dan membuka matanya. Wanita ini membuka matanya tanpa bersuara, kini memandang kepada Kun Liong dengan muka pucat dan mata sayu.
Melihat muka yang bengkak-bengkak dan pinggir bibir yang berdarah, teringatlah dia akan semua yang telah dilakukannya tadi. Setelah kini nafsu amarah yang membuatnya seperti buta tadi lenyap, terbukalah mata batinnya dan kini dia bisa melihat jelas betapa dia telah berbuat keterlaluan! Kini dia teringat betapa Kun Liong sudah menderita amat hebatnya, setelah kematian isterinya yang dibunuh oleh orang lain, kehilangan anak tunggalnya lagi.
Melihat Kun Liong yang sudah dihajarnya habis-habisan tanpa melawan sedikit pun juga, bahkan yang menyerahkan nyawanya itu kini duduk menjaganya dengan kedua tangan menutupi muka, tak terasa lagi kedua mata Giok Keng menjadi basah.
"Kun Liong...," dia berkata lirih, suaranya seperti orang merintih dan dia bangkit duduk.
Kun Liong terkejut, menurunkan kedua tangannya, memandang. Keduanya duduk saling berpandangan, dan dari pandang mata ini Kun Liong merasakan sesuatu yang membuat dia merasa jantungnya seperti disayat-sayat. Pandang mata Giok Keng penuh rasa iba, penuh rasa penyesalan, penuh permohonan maaf.
"Giok Keng..."
Keduanya saling berpegang tangan dan keduanya menangis sesenggukan.
"Kun Liong, kau ampunkan aku..."
"Tidak, Giok Keng, tidak... kaulah yang harus mengampunkan aku..."
Giok keng menangis, mengguguk dan menyandarkan dahi pada pundak suheng-nya itu, sedangkan Kun Liong mengusap-usap rambut kepala yang kusut itu. Hati mereka seperti diremas-remas rasanya.
"Tadi aku sudah buta... aku sudah gila akibat kemarahan dan kedukaan... Kun Liong... mengapa justru engkau... orang yang selamanya kukagumi, kupuja dalam hati... mengapa justru engkaulah yang harus terlibat dalam mala petaka yang menimpa keluargaku? Ahh, mengapa...?"
"Giok Keng, sejak semula aku sudah tidak percaya. Aku mengenal siapa engkau... kau memang keras hati, akan tetapi di balik kekerasan hatimu engkau berbudi mulia, engkau gagah perkasa dan adil. Tidak mungkin engkau memiliki kekejian membunuh Hong Ing, tapi... tapi mertuaku yang seperti gila karena duka... ahh, suamimu menjadi korban dan... dan..."
"Sudahlah, Kun Liong. Sebenarnya aku pun sudah menyadari bahwa semua peristiwa ini bukan karena kesalahan kita berdua, sungguh pun harus kuakui bahwa aku marah-marah kepada isterimu karena sikap adikmu. Aku... aku tahu betapa hebat penderitaanmu, Kun Liong, aku... aku menyesal sekali dan aku kasihan kepadamu..."
Kun Liong bangkit berdiri dan membalikkan tubuhnya, memejamkan mata. "Kau... kasihan kepadaku? Jangan! Aku sudah merusak hidupmu. Akulah yang amat kasihan kepadamu, Giok Keng, maka aku rela menebus kesalahanku dengan nyawa sekali pun."
Giok Keng juga meloncat berdiri, lari berputar menghadapi Kun Liong. Kini mereka berdiri saling pandang dengan mata basah.
"Mengapa nasib kita begini buruk, Kun Liong? Mengapa kita berdua mengalami semua ini?"
Kun Liong tak mampu menjawab, hanya memegang kedua tangan wanita itu. Jari-jemari tangan mereka saling menggenggam seakan-akan mereka hendak saling minta bantuan memikul penderitaan batin mereka. Melihat Giok Keng tersedu-sedu, air mata mengalir pula dari kedua mata Kun Liong.
Giok Keng mengangkat muka memandang wajah Kun Liong. Kedua pipinya bengkak dan mata kirinya membiru, ujung bibirnya yang pecah masih terhiaskan darah kering. Dengan tangan gemetar Giok Keng menyentuh bengkak-bengkak itu.
"Aku... ahhh, aku telah gila... kau tentu tersiksa lahir batin oleh perbuatanku tadi..."
"Jangan ulangi lagi hal itu, Giok Keng. Malah merupakan obat penawar bagiku."
"Kun Liong, aku bersumpah untuk mencari pembunuh Hong Ing sampai dapat, dan juga untuk mencari Mei Lan dan mengembalikan kepadamu."
"Dan aku pun bersumpah akan membasmi Lima Bayangan Dewa dan mencari pembunuh mertuamu sampai dapat, dan juga mencari Lie Seng untuk kukembalikan kepadamu."
Giok Keng tersedu dengan hati terharu, lalu tiba-tiba melepaskan tangannya dan berkata, "Kun Liong, sampai... sampai jumpa..." Dia lalu lari secepatnya meninggalkan tempat itu.
Kun Liong berdiri seperti patung di tempat itu, memandang sampai bayangan Giok Keng lenyap. Apa yang telah terjadi antara mereka? Dia bengong dan kedua tangannya masih tergetar, masih merasakan getaran jari-jari tangan Giok Keng tadi. Pipinya masih merasai sentuhan jari-jari tangan yang gemetar dari Giok Keng.
Apa yang telah terjadi di antara mereka? Pertanyaan ini bertubi-tubi menghantam dinding kalbunya. Kenapa dalam hatinya timbul keinginan kuat untuk menghibur Giok Keng, untuk mengembalikan Giok Keng ke dalam kehidupan bahagia, untuk menjaga, membela serta melindunginya? Mengapa dia merasa amat berkasihan kepada wanita itu, yang dia tahu mengalami kekosongan batin dan dia mengisi kekosongan itu? Mengapa pula dia seperti mengharapkan hiburan dari Giok Keng sehingga sentuhan jari-jari tangan gemetar pada pipinya itu tadi menggores dalam-dalam di hatinya?
"Apakah aku telah gila? Apakah dia telah gila?" demikian Kun Liong berbisik-bisik sambil pergi meninggalkan hutan itu.
Tidak, para pembaca yang budiman. Kun Liong tidak gila. Giok Keng pun tidak gila. Dan pengarang pun tidak gila! Memang belas kasihan adalah getaran yang mendekatkan hati kepada cinta kasih. Di mana ada belas kasihan, maka berlarianlah iblis-iblis kemarahan, kebencian, iri hati dan lain-lain sehingga memungkinkan terujudnya cinta kasih. Dan hati yang penuh dengan cinta kasih selalu ada belas kasihan. Keduanya itu tak terpisahkan.
"Koko, bagaimana engkau sampai dapat terbebas dari tangan Si Kelabang Terbang yang cabul itu? Siapakah sebetulnya wanita yang menolongmu itu?" Kwi Eng bertanya kepada kakaknya. Mereka bermalam di sebuah rumah penginapan di kota Yen-an, sebab mereka belum berani pulang ke Yen-tai di mana mereka tentu dianggap sebagai pemberontak dan pelarian.
"Dia hebat sekali, Eng-moi. Seorang dewi, seorang bidadari yang cantik jelita dan gagah perkasa. Aihhhh... hebat sekali dia, adikku!"
Kwi Eng tersenyum. "Ihhh, tentu kau sudah bertekuk lutut kepadanya, kau jatuh cinta dan tergila-gila kepadanya, koko!"
Kwi Beng memandang kepada adiknya dengan mata terbelalak. "Begitukah? Ah, agaknya benar demikian. Siapa pula orangnya yang tidak jatuh cinta kepada seorang dara seperti dia? Sayang dia diliputi rahasia dan keanehan, dia tidak mau memperkenalkan diri secara jelas, hanya mengaku bernama Hong saja. Akan tetapi bagiku nama itu sudah cukup dan memang nama itu mengingatkan aku akan burung dewata itu, burung hong yang terbang melayang-layang di antara awan-awan di angkasa raya, sukar dicapai tangan..."
"Idiihhh... kalau orang jatuh cinta memang menjadi pengkhayal dan tiba-tiba saja menjadi ahli filsafat dan sajak!"
"Jangan main-main, adikku. Aku benar-benar jatuh cinta kepada Hong-moi dan aku akan mencari dia sampai dapat. Aku akan menceritakan kepada ayah dan ibu supaya mereka suka mengerahkan segala daya upaya agar bisa menemukan Hong-moi dan melamarnya menjadi calon isteriku. Amboiiiiii... alangkah akan bahagianya hidup di samping burung dewata itu..."
"Hi-hik-hik, dan engkau akan dibawanya terbang ke angkasa raya di antara gumpalan-gumpalan awan putih...," adiknya menggoda.
"Hush, jangan main-main. Aku serius. Dan kulihat kau sendiri pun tergila-gila kepada Bun Houw. Hayo kau sangkal kalau berani!"
Tiba-tiba kedua pipi yang sudah kemerahan itu menjadi semakin merah. Bukan karena godaan ini, melainkan karena dia teringat akan peristiwa asyik-masyuk dan mesra antara dia dan Bun Houw. Kwi Eng memejamkan matanya sehingga dua baris bulu matanya yang panjang lentik itu menjadi satu, membentuk bayang-bayang indah di atas pipi bawah matanya. Dia memejamkan mata dan mulutnya terenyum, mukanya terasa panas ketika dia membayangkan dan mengenangkan ciuman itu!
"Beng-koko, aku lebih baik mati saja kalau tidak bisa menjadi isterinya!"
Kwi Beng terkejut. Ternyata adiknya yang bengal ini pun serius sekali! Hatinya menjadi terharu dan dia memegang tangan adiknya. "Moi-moi, aku doakan semoga akan terkabul cita-citamu dan bisa menjadi isteri Cia Bun Houw yang gagah perkasa itu. Aku akan ikut merasa bangga kalau engkau bisa menjadi isterinya, moi-moi. Akan tetapi, seperti juga aku, apakah engkau tidak mengharap terlampau tinggi? Kita berdua hanyalah peranakan-peranakan barat. Dan aku ingin menjangkau burung hong di angkasa, sedangkan engkau menjangkau putera ketua Cin-ling-pai. Apakah kita tidak akan seperti si cebol merindukan bulan?"
Kwi Eng cemberut memandang kakaknya. "Koko, engkau telah terlalu merendahkan diri sendiri. Aku yakin bahwa Houw-koko cinta padaku."
"Ehh, bagaimana kau bisa tahu? Apakah karena dia telah menolong dan menyelamatkan engkau? Adikku yang baik, seorang pendekar seperti dia, siapa pun akan ditolongnya dan hal itu sama sekali bukanlah tanda jatuh cinta."
"Engkau seorang laki-laki, tentu tidak tahu. Akan tetapi aku yakin akan cintanya, koko." Kwi Eng tersenyum dan mengenangkan ciuman itu dengan mata bersinar-sinar.
"Begitukah? Syukurlah kalau begitu, adikku. Mudah-mudahan engkau berhasil. Andai kata aku gagal menjadi jodoh Hong-moi, akan tetapi melihat engkau bahagia, maka aku rela. Kebahagiaanmu lebih penting bagiku, adikku."
Kwi Eng memeluk kakaknya. "Tidak, aku pun tidak akan berbahagia kalau melihat engkau gagal, koko. Kita sehidup semati, senasib sependeritaan."
Kwi Beng menarik napas panjang dan mengelus rambut kepala adiknya. Dia mengerti apa yang dirasakan oleh adiknya yang cantik itu, perasaan yang hanya mungkin dapat terasa oleh mereka berdua, atau oleh orang-orang yang dilahirkan kembar, suatu getaran yang menghubungkan batin mereka berdua.
Beberapa hari kemudian, dengan girang dua orang kakak beradik kembar ini mendengar akan kedatangan orang tua mereka di Yen-tai. Mereka cepat-cepat memasuki kota itu dan seperti biasa, terjadilah ‘jalan damai’ yang sudah lajim terjadi di seluruh dunia ini, di mana ada manusia-manusia yang menyalah gunakan kekuasaannya.
Setelah mendengar urusan anak-anaknya, Yuan de Gama bersama isterinya cepat-cepat menghubungi tikoan dan para pembesar setempat, menghaturkan maaf dan tentu saja bukan maaf melalui kata-kata dan sikap yang memegang peran penting, melainkan maaf yang dinyatakan dalam keadaan tertutup dan yang hanya dibuka setelah berada di dalam kamar para pembesar itu, dan setelah dibuka mereka itu masing-masing dengan wajah girang menghitung jumlah emas dan perak yang akan menambah perbendaharaan harta mereka.
Dari mana timbulnya peristiwa-peristiwa penyuapan dan penyogokan yang telah menjalar di seluruh dunia ini? Suap dan sogok dalam bentuk apa pun juga, bentuk harta benda, kedudukan, nama besar, wanita, kehormatan dan sebagainya terjadi di seluruh dunia dan agaknya telah ada semenjak sejarah berkembang.
Semua ini terjadi karena manusia memegang kekuasaan dan karena manusia itu selalu memiliki kelemahan, yaitu menjadi hamba dari nafsu-nafsu keinginannya, maka manusia yang memegang kekuasaan melihat bahwa kekuasaannya itu merupakan alat yang amat berguna untuk mencapai apa yang diinginkannya! Maka dipergunakanlah kekuasaannya untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain, yaitu demi terlaksananya apa yang diinginkan dan dibutuhkannya.
Padahal, selama manusia mengejar keinginan, maka kebutuhan hidupnya tidak akan ada habisnya. Dan untuk memenuhi ini, manusia tidak segan-segan melakukan apa pun juga hingga timbullah pencurian, perampokan, penipuan, pemerasan dan termasuk penyuapan dan penyogokan yang menjadi akibat dari pemerasan.
Karena itu, segala tindak korup di dunia ini tidak akan dapat dihentikan oleh apa pun juga selama manusia menjadi hamba dari nafsu-nafsu keinginannya sendiri. Selama manusia belum mengenal diri pribadi dan tidak sadar bahwa dirinyalah sumber segala kebusukan.
Dunia akan menjadi sebuah tempat yang berbeda sekali kalau saja kita sudah tidak lagi dikejar-kejar atau mengejar kebutuhan! Sandang, pangan serta tempat tinggal memang merupakan keperluan mutlak bagi manusia hidup, namun sayang, bukan yang tiga itulah sebenarnya yang kita kejar-kejar, yang menjadi kebutuhan kita, melainkan kesenangan, kepuasan yang tidak ada ukurannya lagi akan besar dan banyaknya.
Maka bahagialah mereka yang tidak membutuhkan apa-apa. Bukan berarti menolak dan memantang segala sesuatu, melainkan tidak mencari dan tidak akan mengejar. Apa bila ada, boleh, kalau tidak pun tak akan mengejar, karena pengejaran ini yang menimbulkan segala macam bentuk kejahatan di dunia.
Yuan de Gama dan isterinya, Souw Li Hwa, bukanlah orang-orang yang suka menyuap pembesar. Kiranya tak ada orang, betapa pun kayanya dia, yang suka membuang-buang uang untuk menyuap dan menyogok kanan kiri. Namun hal ini dilakukan dalam keadaan terpaksa, karena hanya itulah merupakan satu-satunya jalan untuk keluar dari kesulitan yang sengaja ditekankan oleh mereka yang memegang kedudukan.
Mendengar akan peristiwa anak-anak mereka yang membasmi sarang bajak laut musuh besar mereka Tokugawa, yang kemudian mengakibatkan kemarahan tikoan, maka Yuan de Gama cepat mengambil jalan damai itu, menggunakan kekayaan untuk menghabiskan persoalan yang tentu akan menjadi berlarut-larut kalau dilawan dengan kekerasan.
"Lain kali, kalau ayah dan ibu tidak berada di rumah, kalian jangan bertindak ceroboh dan menanti saja hingga kami pulang," Yuan de Gama menegur kedua orang anaknya setelah dia berhasil membereskan urusan itu dengan emas dan perak.
"Ayah, kalau kakak diculik gerombolan Tokugawa, masa aku harus tinggal diam saja?" Kwi Eng membantah ayahnya.
"Anak-anak kita tidak bersalah," kata Li Hwa dengan sabar kepada suaminya. "Agaknya engkau lupa bahwa kita bukan tinggal di barat, di mana petugas hukum lebih baik dari pada di sini, suamiku. Seolah-olah engkau sudah lupa saja akan semua pengalaman kita dahulu."
Yuan de Gama memegang tangan isterinya penuh kasih sayang. "Engkau adalah seorang pendekar wanita, isteriku sayang, tentu saja pandanganmu selalu demikian, yaitu hendak menggunakan kekerasan untuk menghadapi kejahatan. Ahh, kalau saja aku tidak kasihan kepadamu yang tidak betah tinggal di barat, tentu akan kuboyong semua keluarga kita ke sana."
"Kalau ayah ingin tinggal di barat, biar kami berdua tinggal di sini saja!" Kwi Eng tiba-tiba berkata dengan sikap manja. "Kami lahir di sini dan mencintai tanah ini, dan kami bahkan telah bertemu dengan para pendekar yang amat mengagumkan hati kami."
Yuan de Gama tertawa. Dia paling sayang kepada anaknya yang perempuan ini, yang selalu dimanjanya karena anak itu mirip sekali dengan isterinya. "Ha-ha-ha, darah ibumu lebih kuat mengalir di tubuhmu dari pada darahku, Maria. Tentu saja engkau cinta negara dan bangsa ini."
Akan tetapi Souw Li Hwa memandang kedua orang anaknya itu penuh perhatian, lalu bertanya, "Bertemu dengan pendekar-pendekar? Siapa mereka dan di mana?"
"Kami belum menceritakan pengalaman-pengalaman kami yang amat hebat kepada ibu dan ayah," jawab Kwi Beng. "Sesungguhnya ketika ayah dan ibu pergi, kami berdua telah mengalami hal-hal yang amat luar biasa..."
"Keributan di Pulau Hiu melawan anak-anak buah Tokugawa itu?" tanya Yuan de Gama, diam-diam merasa girang dan kagum bahwa dua orang anaknya itu mewarisi keberanian dan kepandaian ibu mereka.
"Ahhh, itu sih pengalaman kecil tidak berarti!" kata Kwi Eng.
"Akan tetapi dalam pertempuran kami melawan anak-anak buah Tokugawa, kami sudah bertemu dengan seorang pendekar yang mengenal baik nama ibu. Dia adalah Tio-twako, yang bernama Tio Sun dan tahukah ibu siapa dia? Dia adalah putera tunggal dari seorang bekas pengawal yang setia dari suhu ibu...," kata Kwi Beng.
"Ahhh, puteranya Ban-kin-kwi?" Souw Li Hwa bertanya, segera dapat menduga setelah mendengar she orang itu.
"Benar, dia amat lihai dan tanpa bantuan dia, sukar bagiku untuk menolong Beng-koko. Mula-mula aku yang bertemu dengan Tio-twako, ibu." Dan Kwi Eng segera menceritakan pertemuannya dengan Tio Sun pada saat pemuda perkasa ini dikeroyok oleh orang-orang mabok, dan dia yang sedang kebingungan akibat kakaknya diculik oleh Tokugawa, begitu melihat kelihaian Tio Sun lalu belajar kenal dan minta bantuannya.
Girang sekali hati Souw Li Hwa mendengar betapa putera dari bekas pengawal suhu-nya itu sudah menolong menyelamatkan puteranya. "Di mana dia sekarang, mengapa kalian tidak menahan dia supaya bertemu dengan kami di sini?"
"Dia sudah pergi, ibu, bersama para pendekar yang lain. Ibu dan ayah tentu terkejut sekali mendengar pengalaman kami selanjutnya," kata Kwi Beng.
"Beng-koko, biar aku yang bercerita kepada ibu!" Kwi Eng memotong kata-kata kakaknya. Kwi Beng tersenyum dan menggerakkan pundaknya, kebiasaan yang merupakan ciri khas dari ayahnya!
"Pertama-tama ibu dan ayah berdua agar jangan terkejut. Kami berdua sudah berjumpa dengan putera ketua Cin-ling-pai yang bernama Cia Bun Houw!"
"Aihhh...!" Souw Li Hwa sangat terkejut dan Yuan de Gama juga tercengang karena tidak menyangka bahwa kedua anaknya akan dapat berjumpa dengan putera Pendekar Sakti Cia Keng Hong.
"Juga dengan seorang pendekar wanita yang kepandaiannya bagaikan dewi kahyangan, namanya nona Hong. Sayang kami tidak tahu siapa nama lengkapnya dan murid siapa dia itu." Kwi Beng yang sudah tidak sabar itu segera memperkenalkan dara yang menjadi pujaan hatinya.
"Dan selain putera ketua Cin-ling-pai, juga kami bertemu dengan puterinya..."
"Apa? Cia Giok Keng?" Souw Li Hwa bertanya dan Kwi Eng mengangguk.
"Aihhh, singa betina itu masih muncul di dunia kang-ouw?" Yuan de Gama juga bertanya dengan kagum.
"Masih ada lagi, ibu," Kwi Eng berkata lagi, gembira menyaksikan betapa ayah dan ibunya dilanda kekagetan yang bertubi-tubi, "dan ibu pasti tidak dapat menduga siapa dia."
Suami isteri itu bengong terlongong mendengar semua cerita itu, kadang kala menahan napas bila mendengar bagian-bagian yang menegangkan, terlebih lagi ketika mendengar betapa nyaris puteri mereka diperkosa oleh Toat-beng-kauw Bu Sit.
Sesudah ada kesempatan berbicara, Yuan de Gama tertawa. "Ha-ha-ha, ternyata kalian berdua adalah petualang-petualang seperti juga ibu kalian!"
"Aihh, apakah bapaknya juga bukan seorang petualang besar? Kalau bukan, bagaimana bisa jauh-jauh dari bagian dunia lain di barat datang ke sini dan menikah dengan seorang wanita pribumi?" Souw Li Hwa mencela suaminya dan Yuan de Gama hanya tertawa.
"Ibu, Eng-moi jatuh cinta kepada penolongnya, kepada Cia Bun Houw!" tiba-tiba Kwi Beng berkata.
Sebelum ayah dan ibu itu hilang rasa kagetnya, Kwi Eng juga telah membalas kakaknya, "Dan Beng-koko tergila-gila kepada burung... ehhh, nona Hong yang menyelamatkannya dari Hui-giakang Ciok Lee Kim!"
"Eng-moi bilang lebih baik mati kalau dia tidak menjadi isteri Cia Bun Houw!" Kwi Beng kembali membalas.
"Dan Beng-ko bersumpah untuk mencari nona Hong yang seperti dewi itu!" Kwi Eng pun membalas.
Ayah dan ibu itu saling pandang, dan Souw Li Hwa mendengar suaminya menarik napas panjang. "Aha...! Sampai lupa aku bahwa anak-anakku telah menjadi dewasa!"
"Engkau sih hanya ingat berdagang saja!" Souw Li Hwa mencela. Kemudian, dia menatap kedua orang anaknya dan berkata, "Beng-ji dan Eng-ji, jangan kalian main-main dengan urusan cinta. Hati yang muda memang mudah sekali tergelincir dan tertarik dengan yang indah-indah. Jangan lantas menentukan bahwa kalian telah jatuh cinta kalau kalian hanya tertarik oleh seseorang karena kegagahan dan keelokan wajahnya."
"Tidak, ibu. Aku dengan dia... Houw-koko itu, kami... sudah saling mencinta. Dan... aku diselamatkan olehnya dalam keadaan seperti itu, ibu. Aku telah bersumpah bahwa hanya ada dua pria saja yang melihatku dalam keadaan seperti itu, yang pertama adalah iblis yang telah mampus itu, dan kedua adalah calon suamiku."
"Dan bagiku juga tidak ada wanita seperti dia, ibu. Aku harus berjodoh dengan dia, kalau tidak... hidupku tentu akan merana." Kwi Beng juga berkata.
Souw Li Hwa mengerutkan alisnya dan memandang kepada suaminya dengan sinar mata marah. Melihat ini, Yuan de Gama yang amat mencinta isterinya segera tersenyum dan berkelakar, "Nah, nah, kenapa marah-marah kepadaku? Mereka sudah dewasa dan jatuh cinta, apa salahnya?"
"Apa salahnya? Inilah akibat perbuatanmu, tahu!"
"Ehh, ehh! Kok jadi aku yang kau salahkan, isteriku yang manis?"
"Yuan de Gama, semua ini adalah gara-gara engkau telah mengajarkan Bahasa Portugis kepada mereka, lalu kau suruh mereka baca buku-buku roman itu!"
"Aihhhh...! Cinta kasih mana bisa dipelajari dari buku? Kalau memang tidak ada rasa di hati, masa mereka begitu mati-matian?"
"Sudahlah, kita harus urus hal ini. Anak-anak kita baru saja berkenalan dengan mereka dan dengan dunia kang-ouw. Anak-anak kita belum berpengalaman. Aku akan mengajak mereka pergi berkunjung ke Cin-ling-pai. Pertama-tama untuk memberi hormat kepada Cia-taihiap dan keluarganya, dan kedua untuk mempererat hubungan. Setelah ada ikatan hubungan persahabatan, baru kita boleh pikir-pikir tentang hubungan perjodohan itu."
"Kita ke Cin-ling-pai, ibu? Horaaaayyyyy...!" Kwi Eng sudah girang sekali dan berloncatan, akan tetapi meringis karena kaki kirinya belum sembuh sama sekali dan dia terpincang-pincang duduk kembali di atas kursinya.
"Dan kita selidiki tentang nona Hong itu," kata pula Kwi Beng dan ibunya mengangguk.
"Memang sebaiknya begitu, lagi pula, engkau sudah terlalu lama terkurung di sampingku, isteriku sayang. Padahal dahulu engkau merupakan seorang pendekar wanita yang biasa terbang bebas. Biarlah kau kukeluarkan dari kurungan untuk sementara, bersama kedua anakmu. Dengan adanya kau di samping mereka, hatiku tidak akan merasa gelisah. Aku akan menjaga rumah di sini sambil mengurus pekerjaan."
"Dagang lagi...!" isterinya mencela.
"Bukan hanya itu! Kalau aku pergi ke pedalaman, tentu hanya akan menimbulkan hal-hal yang tidak baik dan tidak enak saja. Engkau tentu mengerti akan hal ini, isteriku yang tercinta. Ataukah, engkau tidak dapat berpisah dariku, padahal baru saja kita melakukan perjalanan bulan madu kedua sampai berbulan-bulan ke barat?" Yuan de Gama memeluk dan mencium isterinya di depan anak-anaknya karena hal ini memang biasa bagi mereka.
"Phuahhh...! Siapa yang tidak dapat berpisah?" Li Hwa mencela akan tetapi setelah dia membalas ciuman suaminya itu.
Kedua orang anaknya tertawa, sudah biasa mereka menyaksikan ayah dan ibu mereka itu bergurau, bercinta, dan kadang-kadang pura-pura bercekcok, padahal semua itu hanya sebagai tanda kasih sayang satu sama lain.
Ibu dan dua orang anaknya itu lalu bersiap-siap. Mereka akan menanti sampai kaki kiri Kwi Eng sembuh sama sekali, baru akan melakukan perjalanan. Sebagai keluarga yang kaya, mereka akan melakukan perjalanan dengan berkuda, karena ketiga orang ini pandai menunggang kuda dan tentu saja mereka akan membawa bekal secukupnya, oleh karena perjalanan dari Yen-tai ke Cin-ling-san bukan merupakan perjalanan yang dekat.
Daya tarik yang saling mempengaruhi pria dan wanita merupakan suatu kewajaran dan pembawaan di dalam diri manusia, seperti terdapat pada makhluk apa pun di permukaan bumi ini. Daya tarik ini menimbulkan rasa suka, rasa cinta di antara pria dan wanita, membuat masing-masing ingin saling mendekati, saling sentuh, saling belai dan saling berkasih mesra, sedekat mungkin hingga menimbulkan keinginan untuk bersatu badan dan hati. Hal ini sudah wajar, sudah benar, dan sudah merupakan sifat alamiah yang ada pada diri manusia.
Hubungan kelamin seperti yang lajimnya dikenal dengan sebutan sex bukanlah hal yang kotor, bukan suatu hal yang menjijikkan atau memalukan. Sebaliknya malah, sex adalah hal yang amat indah, yang suci, asalkan timbul dari naluri yang wajar, timbul dari gairah yang memang ada di dalam diri manusia, timbul dari rasa cinta antara pria dan wanita karena daya tarik alamiah itu.
Hubungan sex adalah suatu hal yang terhormat, suatu kenikmatan hidup yang patut dan layak dialami oleh setiap orang manusia, asal saja dilakukan dengan wajar dan dengan mata terbuka, dengan penuh kesadaran dan BUKAN dalam keadaan DIMABOK NAFSU sehingga menjadi perbuatan membuta dan menjadi hamba dari pada nafsu birahi belaka. Kalau sudah begini, maka berubahlah sifat hubungan kelamin, menjadi kotor dan najis, menjadi sumber dari kenikmatan palsu yang akan membawa kepada jurang kedukaan dan kesengsaraan lahir batin.
Kenikmatan hubungan kelamin merupakan suatu karunia hidup, suatu keindahan hihup, merupakan bagian dari kehidupan dan cinta kasih, tidak terpisah-pisah. Sex bukanlah yang mutlak terpenting dalam hidup, tapi bukan pula hal yang diremehkan. Akan tetapi, seperti segala sesuatu dalam hidup, bila sex sudah merupakan suatu kebutuhan yang dicari-cari, yang dikejar-kejar, maka hal itu hanya akan membawa kita ke dalam jurang kesesatan langkah yang akhirnya akan menghancurkan kita sendiri.
Sia-sia belaka bagi mereka yang mencari kesucian dengan menjauhi serta menganggap hubungan sex sebagai suatu pantangan, lalu bertapa atau menyendiri, akan tetapi dalam hatinya tersiksa karena digerogoti oleh nafsunya sendiri! Nafsu apa pun bukan harus dipantang, bukan harus ditekan, melainkan semestinya dipandang, dimengerti! Bagaikan api, nafsu bukan harus ditutup karena api itu tidak akan padam, seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu akan membakar pula. Api nafsu itu semestinya dipandang dan dari pandangan ini timbul kewaspadaan, timbul kesadaran, dan api itu akan menjadi nikmat dan manfaat hidup, bukan merusak.
Hubungan kelamin yang merupakan sesuatu yang amat indah dan murni, di mana manusia kehilangan akunya, akan berubah menjadi nafsu birahi yang membakar dan memperbudak jika pengalaman ini disimpan di dalam ingatan! Dengan mengingat-ingat, mengenangkan kenikmatan dalam hubungan atau pengalaman itu, timbullah nafsu birahi yang mendesak dan menggelora batin, yang membuat kita menjadi hambanya dan mulailah kita mengejar dan mencari, ingin mengalami lagi kenikmatan itu dan dengan demikian, kenikmatan ini menjadi satu di antara kepentingan-kepentingan hidup yang dikejar-kejar untuk didapatkan, maka mulailah pula langkah-langkah sesat kita ambil demi untuk memperolehnya!
Karena itu sudah jelaslah bahwa hubungan kelamin baru benar apa bila dilakukan oleh sepasang manusia yang saling mencinta sebagai puncak dari kasih mesra yang saling ditujukan sebagai tanda bersatunya badan dan hati. Apa bila hubungan ini dilakukan oleh sepasang manusia tanpa dasar cinta kasih, maka itu hanya merupakan dorongan nafsu birahi belaka dan tidak dapat dihindarkan lagi tentu akan mengakibatkan timbulnya duka dan kesengsaraan, penyesalan dan kekecewaan.
Di mana pun, bilamana pun, siapa pun dapat saja mengalami hal-hal yang berhubungan dengan asmara antara pria dan wanita, dan siapa pun juga yang belum sadar akan diri sendiri, belum mengenal diri pribadi dan segala kelemahannya, betapa pun cintanya dia, betapa pun terpelajarnya dia, tetap dapat saja menjadi korban yang sangat lemah dari cengkeraman nafsu birahi.
Akan tetapi... kematian Bu Sit tadi! Siapakah yang tadi telah melepas pasir beracun dan merobohkan Bu Sit, dengan demikian menyelamatkan Kwi Eng? Apakah bukan Si Dewi Maut itu pula?
Memang tidak keliru dugaan Bun Houw. Bayangan yang berkelebat di antara pepohonan dan yang tadi sejenak memandang tajam ke arah Bun Houw yang memondong Kwi Eng, adalah In Hong. Baru saja gadis perkasa ini juga menyelamatkan Kwi Beng dari ancaman maut di tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim.
Seperti kita ketahui, Kwi Beng, seperti juga Kwi Eng yang dipancing menjauhi gelanggang pertempuran oleh Bu Sit, juga dipancing oleh Hui-giakang Ciok Lee Kim si nenek cabul yang tergila-gila oleh ketampanan pemuda itu. Kemudian pemuda itu pun roboh pingsan dan dipondong serta dilarikan oleh Ciok Lee Kim, dibawa ke dalam hutan di belakang dusun Ngo-sian-chung. Ketika tiba di tempat sunyi, Ciok Lee Kim menyandarkan pemuda itu dan dia mulai merayu Kwi Beng. Makin dipandang, Si Kelabang Terbang itu semakin tergila-gila kepada pemuda ini.
Kwi Beng yang sudah siuman akan tetapi dalam keadaan lemas tertotok, memandang marah dan memaki, "Perempuan iblis, sesudah aku kalah, kau bunuhlah aku!" bentaknya dan berusaha menggerakkan kedua kaki dan tangannya, akan tetapi anggota badannya itu terasa seperti lumpuh.
Ciok Lee Kim membelai pipi serta leher pemuda itu. "Aihhh, sayang kalau orang seperti engkau ini dibunuh. Orang muda yang ganteng, aku suka sekali kepadamu. Kau layanilah aku, maka aku bersumpah akan menjamin keselamatanmu dan selamanya engkau akan menjadi kekasihku, sahabatku, dan muridku."
"Cih, perempuan tak tahu malu!" Kwi Beng memaki. "Kau sudah gila!"
"Hi-hik, memang aku sudah gila, tergila-gila kepadamu, sayang. Apa perlunya mati sia-sia dalam usia begini muda? Biar pun aku lebih tua darimu, aku adalah seorang ahli dalam permainan cinta, dan kau akan menjadi muridku, kau akan menikmati hidup dan apa pun permintaanmu akan kupenuhi, sayang."
Ciok Lee Kim berlutut, merangkul dan menciumi. Wanita ini benar-benar sudah tergila-gila melihat mata kebiruan dan rambut agak pirang itu. Sepuluh jemari tangannya yang sudah mulai keriputan itu kini mulai meraba-raba.
"Bedebah! Tua bangka gila! Pergilah, atau bunuhlah aku!" Kwi Beng merasa amat jijik dan muak sekali, akan tetapi tentu saja dia tidak mampu mencegah jari-jari tangan wanita itu menggerayangi tubuhnya, hal yang membuat pemuda itu merasa ngeri dan jijik sekali.
Sudah sejak tadi ada sepasang mata jeli dan tajam yang menonton peristiwa ini. Bahkan sejak Ciok Lee Kim memasuki hutan memondong tubuh Kwi Beng yang pingsan, pemilik mata jeli itu sudah membayanginya.
In Hong yang melihat peristiwa ini, diam-diam merasa kagum kepada Kwi Beng. Untuk ke sekian kalinya dia tercengang. Setelah dia kagum melihat murid-murid Bu-tong-pai yang gagah perkasa, kemudian melihat pula Bun Houw yang lebih baik mati dari pada tunduk terhadap rayuan wanita, kini dia melihat Kwi Beng yang sama sekali tidak mau tunduk terhadap rayuan Ciok Lee Kim. Rasa kagum dan simpatinya sudah timbul dan tentu saja sekaligus menimbulkan perasaah muak dan marah kepada Si Kelabang Terbang itu.
Memang sudah lama dia merasa benci sekali terhadap Hui-giakang Ciok Lee Kim yang dianggapnya seorang wanita tak tahu malu, jahat dan keji. Kini, melihat betapa Ciok Lee Kim secara tak tahu malu menggerayangi tubuh pemuda yang terang-terangan menolak rayuannya itu, dan betapa jari-jemari tangan nenek itu mulai membuka kancing baju Kwi Beng, In Hong tidak dapat menahan rasa jijiknya.
"Iblis betina cabul tak tahu malu!" bentaknya sambil meloncat dekat.
Ciok Lee Kim terkejut bukan main, segera dia pun meloncat berdiri sambil membalikkan tubuhnya. Di antara Lima Bayangan Dewa yang pernah bertemu dan berkenalan dengan dara perkasa ini hanyalah Toat-beng-kauw Bu Sit. Ciok Lee Kim belum pernah melihat In Hong, maka kini melihat bahwa yang muncul hanya seorang gadis muda belia yang cantik jelita, dia memandang rendah dan menjadi marah bukan main, kemarahan yang didorong rasa jengah dan malu karena perbuatannya merayu pemuda itu ketahuan orang lain.
Dengan gerakan galak dan angkuh dia lalu mencabut keluar sepasang senjatanya, yaitu sepasang sapu tangan sutera merah. Begitu kedua tangannya bergerak, terdengar suara bersiutan dan sapu tangan itu diputarnya sedemikian cepat sehingga lenyap bentuknya dan berubah menjadi dua gulungan sinar merah.
Dengan demonstrasi tenaga sinkang ini agaknya Ciok Lee Kim hendak menakut-nakuti gadis muda itu. Sungguh menggelikan! Dia tidak tahu siapa adanya wanita muda ini, dan tentu saja bagi Yap In Hong, murid tunggal ketua Giok-hong-pang yang sudah mewarisi ilmu-ilmu simpanan dari bokor pusaka Panglima The Hoo, permainan nenek itu bagaikan permainan kanak-kanak saja.
"Bocah yang bosan hidup, siapakah kau mengantar nyawa sia-sia dengan mencampuri urusanku?" bentak Ciok Lee Kim, karena biar pun dia marah sekali, timbul pula keinginan tahunya siapa adanya gadis muda yang begini berani mengganggunya. Padahal banyak orang kang-ouw yang langsung menggigil ketika baru mendengar namanya saja.
"Hui-giakang Ciok Lee Kim, sesudah engkau lari terbirit-birit dari Lembah Bunga Merah, ternyata engkau bersembunyi di Ngo-sian-chung, hanya untuk melanjutkan perbuatanmu yang tidak tahu malu. Tak perlu kau tahu aku siapa, hanya yang jelas, akulah yang akan mengantar nyawa kelabangmu terbang ke neraka."
Tentu saja Ciok Lee Kim menjadi marah bukan kepalang mendengar ucapan yang sangat memandang rendah dan menghina ini. Kedua matanya melotot, mulutnya mengeluarkan teriakan yang merupakan lengking tinggi nyaring dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke depan, seperti seekor burung terbang saja dan bayangan tubuhnya yang berkelebat itu didahului oleh sinar merah dari kanan kiri, yaitu gerakan sapu tangannya yang di dalam tangannya dapat berubah lemas atau kaku menurut penyaluran tenaganya.
Kini ujung sapu tangan merah yang kiri menotok ke arah ubun-ubun kepala In Hong, ada pun yang kanan menotok ke arah buah dada kiri. Serangan maut yang amat berbahaya dan Kwi Beng yang menyaksikan ini, menjadi terkejut bukan main dan mengkhawatirkan nasib dara yang agaknya hendak menolongnya itu.
Gerakan Ciok Lee Kim memang hebat sekali. Wanita ini mendapat julukan Si Kelabang Terbang, mungkin dijuluki kelabang karena jahatnya sehingga pantas menjadi kelabang yang beracun, dan gerakannya memang amat cepat, ginkang-nya amat tinggi seolah-olah dia pandai terbang. Karena itu serangan yang ditujukan kepada In Hong dalam keadaan marah itu pun hebat bukan main, cepat laksana kilat menyambar.
Akan tetapi, In Hong yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi dari pada Ciok Lee Kim, hanya berdiri dengan tenang dan menunggu datangnya serangan lawan itu seperti seorang dewasa memandang lagak seorang kanak-kanak saja layaknya. Begitu serangan dengan dua helai sapu tangan itu tiba, In Hong menggerakkan sepasang tangannya, yang satu menyampok sapu tangan yang menotok ubun-ubun kepala, sedangkan tangan yang ke dua menangkis sapu tangan yang menotok dada, terus dilanjutkan dengan dorongan tangannya dengan pengerahan tenaga sakti.
"Desss...! Brukkkk!"
Tubuh Ciok Lee Kim terbanting ke atas tanah. Wajah nenek itu menjadi luar biasa sekali, kaget, heran, tak percaya, dan juga kesakitan karena pantatnya yang tepos (tipis) itu telah terbanting keras ke atas tanah sehingga ujung bawah tulang pinggulnya terasa bagaikan remuk!
Akan tetapi semua perasaan ini dilebur menjadi satu, menjadi perasaan kemarahan yang meluap-luap. Dia melupakan rasa nyeri pada pantatnya dan sudah meloncat lagi dengan amat cepat, terus dia menerjang kalang kabut dengan mengerahkan seluruh tenaga dan kecepatannya, mengeluarkan semua jurus-jurus simpanannya yang paling ampuh.
Amat indah tampaknya karena bayangan nenek ini lenyap, yang nampak hanya bayangan sapu tangannya yang seperti dua ekor kupu-kupu merah beterbangan cepat mengelilingi tubuh In Hong yang masih berdiri tegak dan hanya kadang-kadang saja kedua tangannya bergerak menangkis.
Kwi Beng menonton sambil melongo. Dia melihat seolah-olah In Hong merupakan seorang dewi yang sedang menari-nari. Tarian menangkap sepasang kupu-kupu agaknya!
Padahal nenek itu sudah melakukan penyerangan yang amat dahsyat dan mati-matian, akan tetapi anehnya, dara itu hanya bergerak sedikit saja, kedua kakinya bahkan jarang melangkah, hanya kedua lengannya saja bergerak-gerak seperti orang menari dan semua serangan tidak ada yang mengenai sasaran.
"Nenek menjemukan, mampuslah!" tiba-tiba gadis itu berseru nyaring.
Tiba-tiba nampak sinar yang amat menyilaukan mata, sinar emas yang entah dari mana datangnya tahu-tahu telah berada di tangan dara itu dan sekali sinar emas itu berkelebat, nampak darah memancar kemudian tubuh nenek itu roboh, lehernya hampir putus terkena sambaran sebatang pedang yang dengan cepat sekali sudah lenyap menjadi sabuk dara itu!
Dengan langkah ringan In Hong menghampiri Kwi Beng, menotoknya hingga seketika Kwi Beng terbebas dari totokan. Kwi Beng segera bangkit dan memandang mayat Ciok Lee Kim dengan mata terbelalak, kemudian dia memandang gadis itu dengan mata kagum. Bukan main cantiknya dara ini, cantik jelita dan gagah perkasa, belum pernah dia melihat seorang gadis seperti ini! Cepat Kwi Beng maju dan menjura dengan hormat kepada In Hong.
"Saya Souw Kwi Beng menghaturkan rasa terima kasih atas budi pertolongan lihiap yang gagah perkasa. Kalau saja tidak ada pertolongan lihiap, tentu saat ini saya telah menjadi mayat."
In Hong balas memandang lantas tersenyum. "Belum tentu iblis ini akan membunuhmu. Betapa pun juga, kau seorang laki-laki jantan dan siapa pun tentu akan menentang iblis tak tahu malu ini!"
Dengan gemas In Hong menggunakan kakinya menendang mayat Ciok Lee Kim sehingga diam-diam Kwi Beng bergidik, merasa betapa dara cantik jelita yang seperti dewi ini amat ganas terhadap musuh! Akan tetapi, rasa kagumnya mengusir kengerian ini dan dia pun memandang dengan rasa kagum yang tak disembunyikannya. In Hong yang menangkap pandangan mata itu menjadi agak merah kedua pipinya sehingga tentu saja menambah kejelitaannya.
"Lihiap sungguh memiliki kepandaian laksana Dewi Kwan Im! Dia ini adalah Hui-giakang Ciok Lee Kim, orang keempat dari Lima Bayangan Dewa. Kepandaiannya amat dahsyat, akan tetapi lihiap dapat membunuhnya hanya dalam waktu singkat saja, bahkan bila saya tak salah lihat, lihiap hanya satu kali saja mempergunakan pedang! Bukan main! Sungguh kepandaian lihiap seperti dewi..."
"Sudah, saudara Souw, urusan ini tidak perlu dibicarakan lagi dan harap kau lupakan saja semua ini." Berkata demikian, In Hong membalikkan tubuhnya dan hendak pergi dari situ.
"Nanti dulu, lihiap! Betapa mungkin saya melupakan... peristiwa ini, melupakan lihiap yang sudah melepas budi pertolongan kepada saya? Harap lihiap sudi memperkenalkan diri."
In Hong mengerutkan alisnya. Pemuda ini tampan dan gagah sekali, akan tetapi mengapa begitu bertemu lantas menaruh perhatian dan kekaguman yang demikian berlebihan? Dia segera teringat kepada Bun Houw maka dia lalu menjawab singkat,
"Namaku Hong, dan pertemuan kita sampai di sini saja. Selamat berpisah."
"Hong-lihiap... harap jangan pergi dulu...! Saya... kalau boleh saya ingin berkenalan lebih erat denganmu, karena... saya kagum sekali dan saya ingin memperkenalkan Hong-lihiap kepada adikku, kepada teman-teman di sana. Lihiap, percayalah, saya tidak mempunyai niat yang buruk, melainkan hanya terdorong oleh kekaguman hati dan mudah-mudahan saja saya akan berkesempatan untuk membalas budi kebaikan lihiap..."
"Cukup!" Tiba-tiba In Hong berkata agak keras dan dengan wajah dingin. "Saudara Souw Kwi Beng terlalu membesar-besarkan urusan kecil ini. Sudah, aku mau pergi!"
"Nona Hong...!" Kwi Beng memanggil.
Pada saat itu, muncul Tio Sun yang dari jauh sudah berteriak girang melihat Kwi Beng. Melihat munculnya Tio Sun, In Hong lalu berkelebat dan sekali bergerak saja dia sudah lenyap dari hadapan Kwi Beng yang menjadi kebingungan, mencari-cari dengan pandang matanya namun tetap saja tidak nampak bayangan nona yang amat lihai itu. Dia merasa menyesal dan kecewa sekali, merasa kehilangan sesuatu yang amat berharga sehingga berulang-ulang dia menarik napas panjang.
"Aihhhh, kau berhasil membunuh dia? Hebat sekali, Beng-te, hebat sekali kau!" Tio Sun berteriak girang pada saat melihat mayat Ciok Lee Kim yang menggeletak di situ dengan leher hampir putus.
Kembali Kwi Beng menarik napas panjang dan sekarang dia malah duduk di atas rumput, termenung seperti orang kehilangan semangat.
"Ehh, apa yang terjadi, adik Beng? Kau kenapakah?"
Kwi Beng mengangkat muka memandang sahabatnya itu. "Hampir saja aku mati di sini, Tio-twako. Kalau tidak ada dewi yang menolongku, tentu aku sudah mati oleh iblis betina itu." Dia menuding ke arah mayat Ciok Lee Kim.
"Hehh? Jadi bukan kau yang membunuhnya? Dewi? Dewi siapa?"
"Dewi Maut agaknya..." Kwi Beng berkata karena masih ngeri membayangkan kehebatan nona cantik tadi.
"Harap jangan main-main, Beng-te. Siapakah yang telah membunuh iblis ini?"
"Aku sendiri tidak mengenalnya dengan baik. Pada waktu aku terancam maut dan sudah tidak berdaya, tiba-tiba saja muncul seorang gadis cantik jelita yang lihai bukan main. Dia mempermainkan Si Kelabang Terbang seperti mempermainkan anak kecil saja, kemudian sekali dia mencabut pedang dan hanya satu kali pedangnya bergerak dan... mampuslah iblis itu. Kemudian dia pergi..." Kembali pemuda ini termangu-mangu.
"Siapa dia? Siapa gadis yang amat lihai itu?"
Kwi Beng menggeleng kepala. "Aku tidak berhasil menahannya. Setelah membunuh iblis itu, dia lalu pergi, hanya meninggalkan namanya, yaitu Hong."
"Hong begitu saja?"
Kwi Beng mengangguk dan termenung lagi.
"Kita harus bersyukur bahwa engkau selamat dan iblis betina ini sudah tewas, adik Kwi Beng. Akan tetapi di mana adik Eng? Aku sedang mencarinya, dan tadi pun terpisah saat aku melawan Bu Sit."
Mendengar ini, seketika timbul semangat Kwi Beng. Dia amat mencinta adiknya, maka mendengar bahwa adiknya lenyap, seketika dia lupa akan urusannya sendiri, lupa akan kerinduannya terhadap dara penolongnya yang seperti dewi tadi. Dia meloncat berdiri dan berseru, "Celaka! Kita harus mencarinya, twako!"
Akan tetapi Tio Sun tidak menjawab dan pemuda ini berdiri seperti patung, mukanya agak pucat, memandang ke depan. Kwi Beng cepat memandang pula dan wajahnya menjadi berseri gembira ketika melihat bahwa yang dipandang itu adalah Bun Houw yang datang berjalan cepat sambil memondong Kwi Eng!
Tio Sun merasa betapa ada sesuatu yang menusuk ulu hatinya. Melihat Kwi Eng di dalam pondongan Bun Houw, dan gadis itu merangkulkan kedua lengan ke leher pemuda itu dan menyandarkan muka di dadanya. Begitu mesra! Hanya inilah yang tampak dan teringat oleh Tio Sun, yang membuat rongga dadanya terasa sesak dan hatinya terasa panas!
Akan tetapi Kwi Beng melihat hal lain. Cepat dia menyongsong dan berteriak, "Eng-moi, kau terluka...?"
Kwi Eng melepaskan rangkulan kedua lengannya dari leher Bun Houw dan mengangkat muka. Kedua pipinya merah sekali, matanya bersinar, wajahnya berseri-seri dan bibirnya tersenyum. "Hanya tulang kaki kiriku... patah..."
"Tulang kakimu patah?" Kwi Beng bertanya penuh kekhawatiran, akan tetapi juga penuh keheranan. Tulang kakinya patah kenapa masih bisa tersenyum-senyum dan berseri-seri wajahnya?
Melihat Kwi Beng dan Tio Sun, Bun Houw menjadi malu dan cepat dia menyerahkan Kwi Eng kepada kakak kembarnya. Kwi Beng cepat memondong adiknya yang masih berseri dan bercerita kepadanya.
"Hampir saja aku celaka oleh si laknat muka monyet itu, untung datang Houw-koko yang berhasil membunuhnya..."
"Ahh, Hui-giakang juga sudah tewas? Sungguh sayang sekali...," tiba-tiba Bun Houw yang melihat mayat wanita itu berseru.
"Sayang?" Tio Sun bertanya heran. "Mengapa sayang?"
"Tio-twako, aku terpaksa merobohkan Toat-beng-kauw tanpa dapat menanyainya terlebih dahulu dan sekarang tahu-tahu Hui-giakang juga sudah mati. Padahal aku membutuhkan keterangan mereka mengenai Siang-bhok-kiam... akan tetapi, masih ada Liok-te Sin-mo. Tentu suheng dan enci berhasil membekuknya. Mari kita ke sana!"
"Beng-koko, siapa yang membunuh iblis betina itu? Engkau ataukah Tio-twako?" tanya Kwi Eng yang kini dipondong oleh kakaknya sendiri.
"Bukan aku bukan pula Tio-twako, melainkan seorang dewi."
"Ehh? Dewi? Dewi siapakah?"
"Seorang gadis yang amat lihai, dan jika tidak ada dia yang menolongku, tentu kakakmu ini sudah menjadi mayat."
"Ihhhh...! Seperti keadaanku, kalau tidak ada Houw-koko..."
Mendengar percakapan itu, Bun Houw bertanya, "Adik Kwi Beng, siapakah gadis yang menolongmu dan membunuh Hui-giakang itu?" Sebetulnya dia sudah dapat menduganya, akan tetapi dia mendesak untuk merasa yakin.
"Dia seorang yang aneh sekali, sesudah membunuh iblis itu langsung pergi dan hanya meninggalkan namanya, yaitu Hong."
"Aihh, dia... ya, tentu saja, siapa lagi..." Bun Houw menggumam.
Kwi Eng mengerutkan alisnya. "Houw-koko, apakah yang kau panggil nona Hong tadi?"
Bun Houw mengangguk. "Dia seorang pendekar wanita yang amat lihai akan tetapi penuh rahasia, tidak mau mengenal orang."
Berkata demikian, Bun Houw meraba hiasan rambut burung hong yang berada di saku bajunya sebelah dalam. Betul-betul seorang nona yang amat aneh, dan lihai, dan ganas, dan... benarkah sekejam itu membunuh gadis she Ma karena cemburu?
Mereka tiba di Ngo-sian-chung dan ternyata pertempuran sudah berhenti. Banyak anak buah Ngo-sian-chung yang malang melintang, ada yang tewas dan banyak yang terluka, selebihnya melarikan diri. Liok-te Sin-mo Gu Lo It, Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, juga berhasil melarikan diri.
"Enci Keng...!" Bun Houw lari menghampiri kakaknya dan memberi hormat.
"Bun Houw...!" Giok Keng merangkul dan memeluk adiknya.
Ada pun Yap Kun Liong yang duduk di tempat yang agak jauh sambil termenung karena sejak tadi Giok Keng sama sekali tidak mau memandangnya, apa lagi bicara dengannya, kini dihampiri oleh Tio Sun dan Kwi Beng yang memondong Kwi Eng. Mereka bertiga tak mau mengganggu pertemuan kakak dan adik yang penuh kemesraan itu, dan mendengar bahwa pendekar yang datang membantu itu adalah Yap Kun Liong, yang mereka bertiga sudah lama dengar dari orang tua masing-masing dan yang mereka kagumi, kini mereka menghampiri pendekar itu. Kun Liong menerima kedatangan tiga orang muda itu sambil tersenyum tenang.
"Apakah kami berhadapan dengan Yap Kun Liong taihiap yang mulia?" Tio Sun bertanya penuh hormat. Juga Kwi Beng menurunkan adiknya dan mereka berdua memberi hormat.
Kun Liong menggerak-gerakkan tangannya. "Harap kalian bertiga jangan terlalu sungkan. Agaknya kalian orang-orang muda adalah sahabat-sahabat sute Bun Houw, dan melihat gerakanmu tadi, apakah hubunganmu dengan Tio Hok Gwan locianpwe?"
Tio Sun semakin kagum. Tadi dia berkesempatan untuk mengamuk bersama pendekar ini dan kakak perempuan Bun Houw, dan agaknya dalam gerakan-gerakannya pendekar ini sudah mengenal ilmu ayahnya!
"Memang sudah lama ayah menceritakan saya tentang taihiap, maka sungguh gembira hari ini saya dapat bertemu dengan Yap-taihiap."
"Aih, jadi engkau adalah putera Tio-lo-enghiong?" Kun Liong berseru girang, kemudian dia memandang Kwi Beng dan Kwi Eng.
Alisnya agak berkerut melihat warna mata dan rambut kedua orang kakak beradik yang wajahnya sama-sama tampan dan cantik itu, yang menunjukkan bahwa dua orang muda ini adalah peranakan-peranakan barat.
"Dan siapakah kalian berdua?"
"Ayah dan ibu mengenal paman dengan baik sekali!" Kwi Eng yang lebih lincah dan berani itu telah berseru sambil memegangi lengan kakaknya karena dia tak berani menggunakan kakinya yang masih belum sembuh. "Ayah dan ibu adalah sahabat-sahabat dari paman Yap Kun Liong yang gagah perkasa."
Kun Liong menjadi kaget dan juga bingung. "Siapa? Siapakah ayah bundamu?"
Kini Kwi Beng yang menjawab, "Ayah adalah Yuan de Gama sedangkan ibu..."
"Souw Li Hwa...! Ya Tuhan...! Mereka... mereka... kukira mereka sudah tidak ada lagi..."
Kun Liong makin bingung karena dia sendiri yang dulu membujuk-bujuk kedua orang itu agar meninggalkan kapal akan tetapi mereka tidak mau, dan dengan matanya sendiri dia menyaksikan betapa Yuan de Gama dan Souw Li Hwa tenggelam bersama kapalnya.
"Ayah dan ibu tidak tewas bersama kapal itu, paman, tertolong seorang nelayan pandai dan sampai kini masih hidup. Kami berdua adalah putera-puteri mereka, kakak kembarku ini bernama Richardo de Gama atau Souw Kwi Beng dan saya bernama Maria de Gama atau Souw Kwi Eng."
Bukan main girangnya hati Kun Liong mendengar cerita ini dan dia pun melangkah maju, memegangi lengan Kwi Eng dan Kwi Beng, memandang wajah keduanya kemudian dia mengangguk-angguk. "Engkau persis ibumu, tetapi matamu persis mata ayahmu... aihh, betapa bahagia rasa hatiku mendengar bahwa mereka masih hidup..." Suara Kun Liong tergetar karena terharu.
Tiga orang muda itu lalu menengok ke arah Cia Giok Keng.
"Kami belum menghadap Cia-lihiap puteri ketua Cin-ling-pai..." kata Tio Sun.
Akan tetapi tidak perlu lagi karena kini Bun Houw yang menggandeng tangan enci-nya sudah menghampiri Kun Liong dengan air muka muram dan merah, pandang matanya marah, sedangkan Giok Keng jelas baru saja menangis sebab matanya masih merah dan kedua pipinya basah.
"Yap-suheng...!" begitu tiba di situ Bun Houw menghadapi Kun Liong dan berkata dengan suara keras dan kaku.
"Sudahlah, adikku, sudahlah...!" Giok Keng memegang tangan adiknya sambil berusaha mencegah.
Akan tetapi agaknya Bun Houw tidak mampu mengendalikan kemarahannya lagi. Tadi dia sudah mendengar penuturan enci-nya mengenai kematian kakak iparnya, Lie Kong Tek yang membunuh diri untuk menebus ‘dosa’ enci-nya yang sebetulnya tak berdosa. Dapat dibayangkan betapa hancur hati pemuda ini ketika mendengar betapa enci-nya dituntut oleh Kun Liong dan gurunya, Kok Beng Lama, dituduh membunuh isteri suheng-nya atau puteri gurunya itu.
"Sute, engkau hendak bicara apakah?" Kun Liong bertanya, sungguh pun dia sudah dapat menduga akan kemarahan pemuda ini. Dia bertanya dengan sikap tenang.
"Yap-suheng, perbuatanmu yang langsung menjatuhkan tuduhan kepada enci Keng tanpa bukti-bukti nyata itu sungguh tak kusangka dapat dilakukan oleh seorang seperti suheng! Apakah suheng tidak menyadari bahwa kematian Lie-cihu (kakak ipar Lie) disebabkan oleh suheng, seolah-olah suheng yang membunuhnya dengan tangan suheng sendiri?"
"Houw-te, jangan... jangan bicara demikian..." Giok Keng cepat-cepat merangkul adiknya dan menangis. "Kau... kau tidak tahu..."
"Biarlah, enci!" Bun Houw berkata sambil melepaskan rangkulan enci-nya. "Aku tidak bisa mendiamkannya saja, dan jika Yap-suheng sudah berubah menjadi begitu kejam, biarlah aku tewas di tangannya pun tidak mengapa!"
"Sute, apakah maksudmu dengan kata-kata itu?" Kun Liong bertanya, memandang tajam penuh selidik, akan tetapi menekan kemarahannya mengingat bahwa Bun Houw hanyalah seorang pemuda yang masih sangat muda dan kini sedang dicengkeram oleh kedukaan dan kemarahan mendengar akan nasib yang menimpa kakak kandungnya.
"Maksudku, aku tidak akan menerima begitu saja suheng menyebabkan kematian cihu dan membuat hidup enci-ku menderita. Marilah kita selesaikan hal ini antara kita sebagai laki-laki jantan!" Bun Houw menantang dan melompat ke depan, siap untuk menghadapi suheng-nya yang selama ini amat dikaguminya.
"Sute, yang memaksaku menuntut enci-mu adalah ayah mertuaku, yaitu gurumu sendiri. Apakah kelak engkau pun akan menantang gurumu?" Kun Liong bertanya dengan suara tenang dan sikap sabar.
"Suhu tidak akan bertindak demikian kalau tidak suheng yang memberi tahu!"
Kun Liong menarik napas panjang. "Sute, peristiwa yang telah terjadi itu sungguh amat menyedihkan, terlalu menyedihkan. Bila engkau menyalahkan aku, biarlah, aku menerima salah, akan tetapi jangan harap aku akan mau melayani tantanganmu yang mentah itu..."
Kun Liong lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi dari situ.
"Yap Kun Liong! Berhenti kau...!"
Bun Houw membentak, akan tetapi Kun Liong tidak menoleh.
"Bun Houw, jangan... aihhh, jangan...! Ingat, kita masih memiliki tugas yang lebih penting. Lagi pula, Kun Liong tidak bersalah..."
"Tapi, enci...," Bun Houw bersikeras.
"Bun Houw! Kau tidak mau mentaati enci-mu?"
Melihat enci-nya marah, Bun Houw menjadi lemas, menunduk dan memegang kedua tangan enci-nya.
"Maaf, enci, aku terlalu marah dan hancur hatiku mengingat akan nasibmu."
"Kau sungguh terlalu! Kau hanya ingat akan kedukaan kita sendiri, lupa bahwa Kun Liong sudah terlebih dahulu kehilangan isterinya yang dibunuh orang secara kejam." Wanita itu menghapus air matanya, "Dan kau telah berani menghinanya!"
Bun Houw menunduk. "Maafkan, enci... maafkan..."
"Sudahlah. Aku melihat Lima Bayangan Dewa, biar pun dua orang di antara mereka telah tewas, namun yang tiga masih hidup dan malah mereka dibantu orang-orang yang begitu pandai. Hal ini tidak mungkin dapat kita hadapi sendiri saja. Sekarang aku akan kembali ke Cin-ling-pai untuk melaporkan hal ini kepada ayah."
"Baik, enci. Aku akan menyelidiki mereka."
"Akan tetapi jangan bertindak ceroboh seperti tadi, Bun Houw. Kalau saja tidak datang aku kemudian datang pula Kun Liong, tentu teman-temanmu itu akan terancam bahaya hebat."
Setelah mendengar tiga orang itu memperkenalkan diri, Giok Keng segera meninggalkan tempat itu. Sejak tadi Tio Sun, Kwi Beng dan Kwi Eng hanya terbelalak mendengarkan dan menonton saja, sama sekali tidak berani mencampuri, bahkan setelah Kun Liong dan Giok Keng pergi, mereka tidak berani bertanya-tanya kepada Bun Houw yang kini menjadi amat keruh wajahnya.
Penuturan enci-nya hanya diambil singkatnya saja, maka dia sendiri pun belum tahu betul duduknya persoalan. Akan tetapi hati siapa yang tidak akan berduka mendengar betapa suhu-nya kini berhadapan dengan keluarganya sebagai dua fihak yang bertentangan?
"Kedua adik Souw sebaiknya sekarang beristirahat. Saudara Kwi Beng, melihat tulang pergelangan kaki adikmu patah, maka harap kau suka membawa adikmu ke tempat aman dan merawatnya sampai sembuh. Setelah itu, kalian sebaiknya menanti sampai orang tua kalian pulang. Aku hendak melanjutkan penyelidikanku, mengejar Lima Bayangan Dewa yang tinggal tiga orang itu."
"Akan tetapi, aku ingin sekali membantumu, Houw-koko!" Kwi Eng berkata, suaranya agak manja dan penuh permohonan.
Bun Houw tersenyum memandang dara itu. "Terima kasih, Eng-moi. Akan tetapi, tulang kakimu itu sedikitnya dua pekan lagi baru dapat bersambung kembali, itu pun kalau terus mempergunakan obat penyambung tulang yang baik. Selain itu, fihak musuh amat lihai, mempunyai banyak teman yang berilmu tinggi. Enci-ku benar, aku tak boleh ceroboh dan sekarang aku hanya hendak menyelidiki lebih dulu. Kalau keadaan musuh terlalu kuat aku harus minta bantuan ayah ibuku."
"Aku akan menyertaimu, Houw-te."
Bun Houw memandang Tio Sun dengan girang. Kepandaian putera Ban-kin-kwi ini cukup tinggi sehingga merupakan pembantu yang sangat baik. "Terima kasih, twako. Nah, kau bawalah adikmu pergi ke tempat aman, saudara Kwi Beng. Sekarang juga kami berdua hendak berangkat. Lain hari kita pasti saling dapat berjumpa kembali."
Bun Houw dan Tio Sun segera berangkat.
"Houw-koko...!" Kwi Eng berseru memanggil.
Bun Houw berhenti, menoleh. Dara itu menangis!
"Selamat tinggal Eng-moi, sampai jumpa kembali," kata Bun Houw.
Dengan suara terisak, Kwi Eng berkata, "Kalau... kalau terlalu... lama kau tidak datang... aku akan mencarimu..."
Bun Houw hanya mengangguk, kemudian melanjutkan perjalanannya bersama Tio Sun. Dia hanya merasa kasihan kepada Kwi Eng, dan sama sekali tidak tahu betapa pemuda yang berjalan di sebelahnya itu memandang ke depan dengan pandangan mata kosong, dengan hati yang tertusuk dan semangatnya seperti tertinggal bersama Kwi Eng, dara yang telah menjatuhkan hatinya itu&.
********************
Pria itu berjalan di dalam hutan sambil menundukkan mukanya. Wajahnya yang tampan dan gagah terlihat keruh dan muram, pandang matanya sayu diliputi kedukaan mendalam. Yap Kun Liong, pria itu, merasa seakan-akan semangatnya melayang-layang, tubuhnya kosong dan pikirannya membayangkan semua hal yang lalu dalam hidupnya.
Sejak kecil hidupnya seolah-olah merupakan sebuah perahu kecil yang selalu dihantam dan dilanda ombak kehidupan yang membadai, yang terus mengombang-ambingkannya, kadang-kadang hampir menenggelamkannya. Selama ini dia masih mampu mengatasi itu semua, walau pun perahu hidupnya pecah-pecah, koyak-koyak, akan tetapi masih belum tenggelam.
Semenjak peristiwa terakhir yang amat meremukkan hatinya, yaitu kematian isterinya dan disusul peristiwa di Cin-ling-pai di mana Giok Keng juga harus kehilangan suaminya yang membunuh diri, dia menjadi seorang pelamun dan pendiam. Hidupnya telah berubah sama sekali dan di dalam perjalanannya mencari anaknya, Yap Mei Lan, dia lebih banyak duduk melamun di tempat-tempat sunyi, di mana tak ada seorang pun manusia lain mengganggu lamunannya.
Kita manusia tidak menyadari bahwa hidup pasti merupakan medan pertentangan antara susah dan senang, lebih banyak dukanya dari pada sukanya, lebih banyak kecewanya dari pada puasnya, karena tanpa kita sadari sendiri, kita memang telah mengikatkan diri dengan lingkaran setan yang berupa sebab akibat dan im-yang (atau dwi unsur), yang dapat juga disebut kebalikan-kebalikan. Kita selalu menghendaki yang satu tapi menolak yang lain, kita selalu mengejar kesenangan namun menghindari kesusahan, mencari-cari kepuasan menolak kekecewaan dan sebagainya.
Padahal, suka duka, senang susah, puas kecewa tidaklah pernah terpisah-pisah, seperti sebuah tangan yang memiliki dua permukaan, yaitu telapak tangan dan punggung tangan. Mencari yang satu sudah pasti akan bertemu dengan yang lain.
Sudah menjadi kebiasaan kita semenjak kecil, menjadi suatu hal yang kita terima sebagai sudah semestinya dan seharusnya, yaitu bahwa di dalam segala gerak perbuatan kita, selalu didasari atas pamrih demi kepentingan, kepuasan, kesenangan diri pribadi. Setiap perbuatan yang didasari pamrih seperti itu adalah palsu, hanyalah suatu alat belaka untuk mencapai keinginan kita, dan perbuatan seperti itu, betapa pun baik kelihatannya, sudah pasti menimbulkan konflik, pertentangan lahir dan batin.
Mari kita tengok diri sendiri, mari kita perhatikan diri kita sendiri, bukan orang lain. Kita lihat saja segala gerak tubuh, gerak pikiran, dan gerak mulut atau kata-kata kita. Tidakkah semuanya itu mengandung kepalsuan belaka? Sikap kita bersopan-santun kepada tamu misalnya, kalau kita mau memandang diri sendiri secara bebas, kita akan melihat bahwa kesopanan kita itu bukan timbul dari kasih atau keakraban, melainkan merupakan bentuk penjilatan karena tamu itu lebih tinggi atau lebih kaya atau lebih pintar, atau pun bentuk perendahan diri karena takut, dan sebagainya. Kalau kita melakukan sesuatu demi orang lain sekali pun, di situ tersembunyi pamrih, agar kita dipuja, agar kita menjadi orang baik, agar kita kelak menerima balas jasa.
Tidak dapatkah kita hidup dengan wajar, apa adanya, tanpa segala kepalsuan ini? Tidak dapatkah kita melakukan segala macam gerak tanpa dasar kepentingan diri pribadi? Hal ini hanya mungkin apa bila terdapat CINTA KASIH di dalam diri kita! Dengan cinta kasih, segala apa pun yang kita lakukan, yang kita pikirkan, yang kita ucapkan, adalah BENAR, karena CINTA KASIH adalah KEBENARAN. Tanpa cinta kasih, matahari akan kehilangan cahayanya, tumbuh-tumbuhan akan kehilangan warnanya, bunga-bunga akan kehilangan harumnya, dunia akan kehilangan keindahannya. Dengan adanya cinta kasih, kita tidak membutuhkan lagi kebahagiaan karena CINTA KASIH adalah KEBAHAGIAAN!
Namun sayang! Yang kita miliki bukanlah cinta kasih yang murni, yang suci, yang sejati, yang tidak ada kebalikannya, melainkan kita hanya mengenal cinta terhadap seseorang atau sesuatu benda hidup atau benda mati, suatu yang abstrak dan yang kita puja-puja. Cinta kasih macam ini sesungguhnya bukanlah cinta kasih, melainkan hanya alat untuk menyenangkan diri pribadi, hanya untuk mencari kepuasan seksuil, kepuasan lahirlah, kepuasan hiburan, atau juga kepuasan batiniah yang sesungguhnya hanyalah merupakan harapan-harapan untuk masa depan belaka!
Tentu saja cinta kasih macam ini, yang sebetulnya bukan cinta kasih namun nafsu-nafsu keinginan untuk kesenangan diri pribadi belaka, cinta kasih macam ini mengandung dwi unsur, yaitu senang dan susah, puas dan kecewa, dan karenanya selalu mendatangkan pertentangan yang tiada habis-habisnya. Sebab dan akibat adalah suatu lingkaran setan yang tiada putus-putusnya, akibat dapat menjadi suatu sebab untuk akibat berikutnya, dan si sebab itu pun dapat menjadi akibat dari sebab sebelumnya.
Celakalah kita bila mengikatkan diri dan terjebak dalam lingkaran setan ini. Sebab akibat berada di dalam tangan kita sendiri! Kitalah yang menentukan apakah sebab akibat itu akan berlarut-larut ataukah akan habis sampai di situ saja! Apa bila kita menghadapi setiap peristiwa di dalam hidup kita dan menyelesaikannya setiap saat, setiap detik peristiwa itu timbul, dan mau menghabiskannya sampai di situ saja, tanpa mengingat yang lalu dan tanpa membayangkan masa depan, maka sebab akibat sebagai rantai akan pecah berantakan dan lenyap!
Marilah kita belajar untuk mengenal diri sendiri, setiap saat, dengan memandang penuh kewaspadaan serta kesadaran terhadap diri sendiri, setiap saat pula, dengan perhatian sepenuhnya tercurah pada tiap gerak perbuatan, kata-kata dan pikiran kita sendiri tanpa campur tangan.
Dengan perhatian setiap waktu, perhatian sepenuhnya, yang timbul dari pengertian yang mendalam, maka pandangan mata kita akan menembus sampai sedalamnya, pengertian kita akan bangkit dan kita pun akan terbebas dari segala ikatan karena kita mengerti bagaimana bahayanya ikatan-ikatan itu, dan kebebasan diri dari segala ikatan akan memungkinkan kita mengenal apa artinya CINTA KASIH tadi.
Bukan cinta kasih terhadap sesuatu, atau terhadap semua, yang ada hanya cinta kasih saja. Cinta kepada seseorang, kepada semua orang, terhadap alam, kemesraan, semua itu tidak terpisah-pisah dan sudah tercakup di dalamnya.
Kun Liong, seorang pendekar sakti yang sudah banyak menerima gemblengan hidup, biar pun dia berilmu tinggi dan berjiwa pendekar, namun dia belum sadar akan hal ini. Oleh karena itu, betapa pun gagah perkasanya dia, tetap saja dia terseret dan terjebak dalam lingkaran setan sebab akibat itu sehingga hidupnya menjadi permainan suka duka yang sesungguhnya hanyalah merupakan penonjolan si aku yang dikecewakan atau sebaliknya aku yang dipuaskan! Kalau saja dia mau mengenal diri pribadi setiap saat, maka segala ilmu di dunia ini sudah berada di dalam diri!
Kun Liong terbenam di dalam kedukaan karena dia mengingat akan sikap Giok Keng dan Bun Houw. Dua orang sumoi dan sute-nya itu, putera-puteri ketua Cin-ling-pai yang boleh dibilang juga gurunya, jelas amat membencinya! Dan dia tidak bisa menyalahkan mereka.
Dia tidak mungkin dapat menyalahkan Bun Houw yang menghinanya, karena dia dapat membayangkan betapa hancur dan sakit rasa hati pemuda itu mendengar bahwa kakak iparnya sampai membunuh diri karena enci-nya didakwa membunuh orang. Padahal dia sendiri kini merasa yakin bahwa bukan Giok Keng yang membunuh isterinya.
Sejak peristiwa itu terjadi, dia memang sudah tidak percaya kalau Giok Keng membunuh isterinya! Dia mengenal benar wanita ini, seorang wanita yang biar pun keras hati, namun gagah perkasa dan tak mungkin mau melakukan perbuatan yang rendah, keji dan curang. Apa lagi membunuh isterinya dalam keadaan pingsan. Tidak mungkin dilakukan oleh Cia Giok Keng!
Akan tetapi ayah mertuanya tidak dapat menahan kemarahan dan telah memaksa Giok Keng, juga menuntut kepada ketua Cin-ling-pai sehingga terjadi peristiwa yang demikian menyedihkan, yaitu suami Giok Keng membunuh diri untuk menebus ‘dosa’ isterinya!
Akan tetapi, dia pun tidak dapat menyalahkan mertuanya yang kemudian bahkan menjadi terguncang batinnya dan berubah ingatannya oleh peristiwa-peristiwa itu! Ahh, semua itu terjadi karena aku, pikirnya sedih. Karena diriku yang sial dan selalu mendatangkan mala petaka bagi orang lain, sejak dahulu!
Mula-mula, pada waktu dia masih kecil, dia telah mendatangkan mala petaka bagi ayah bundanya sendiri. Kemudian, saat dia berusia muda, hubungannya dengan banyak orang terutama dengan beberapa dara cantik, dia pun hanya mendatangkan mala petaka bagi mereka. Teringat akan semua ini, Kun Liong menutupi mukanya dengan kedua tangan dan dia duduk seperti patung dalam keadaan demikian sampai lama sekali.
Dia sudah kehilangan segala-galanya dalam hidupnya. Dia kehilangan isteri yang dibunuh orang, sekaligus juga kehilangan anak kandungnya yang lari entah ke mana, kemudian dia kehilangan mertuanya yang menjadi gila, dan sekarang kehilangan hubungan dengan Cin-ling-pai sekeluarga.
Pada saat dia menutupi mukanya, terbayanglah wajah Giok Keng yang kurus pucat, dan perasaan iba memenuhi hatinya. Aihhh, dia menjadi sumber segala kesengsaraan hidup orang-orang lain. Kalau memang demikian, apa pula artinya hidup baginya? Tiba-tiba dia menurunkan kedua tangannya dan mengepal tinju. Kalau dia mati, agaknya dunia ini akan lebih tenteram! Perlu apa dia hidup?
"Perlu mencari pembunuh isteriku!" demikian dia tiba-tiba membentak, seperti menjawab pertanyaan hatinya sendiri, "Aku harus dapat mencari pembunuh isteriku, dan harus dapat menemukan kembali Mei Lan anakku!"
Dengan tekad yang mendadak muncul seperti sinar-sinar terang yang menerangi ruang hatinya yang gelap pekat tadi, Kun Liong meloncat dan berlari secepatnya seperti terbang atau seperti sudah miring otaknya! Akan tetapi, baru saja dia tiba di tepi hutan, Kun Liong cepat meloncat jauh tinggi ke atas dan tubuhnya lenyap di dalam daun-daun yang lebat dari pohon yang amat tinggi itu.
Dia melihat berkelebatnya orang dari jauh dan ketika bayangan itu tiba dekat, dia terkejut sekali karena mengenal bayangan itu yang bukan lain adalah Cia Giok Keng! Seperti juga dia, wanita itu berjalan seperti orang yang kehilangan semangat, sungguh pun Giok Keng mempunyai tujuan tertentu dalam perjalanannya, yaitu dia hendak kembali ke Cin-ling-san untuk melaporkan kepada ayahnya tentang kematian dua Bayangan Dewa dan tentang bantuan orang-orang pandai yang agaknya bergabung dengan mereka.
Begitu melihat Giok Keng, semakin mendalam rasa iba hati yang melanda perasaan Kun Liong. Wanita ini menjadi sengsara hidupnya karena dia! Tanpa disadarinya, seperti di dalam mimpi, Kun Liong lalu bergerak dan membayangi Giok Keng dari jauh agar jangan sampai wanita itu melihatnya.
Mereka sudah meninggalkan hutan, dan tiba-tiba terdengar teriakan dari arah kiri, "Nona Giok Keng...!"
Giok Keng terkejut sekali. Siapakah yang menyebutnya nona dan mengenal namanya? Dia berhenti dan menanti datangnya orang yang berlari-lari itu dan setelah dekat, ternyata orang itu adalah seorang tua yang menjadi pelayan ayahnya.
Pantas saja orang itu menyebutnya ‘nona’ sungguh pun dia sudah menikah dan sudah mempunyai anak. Sejak dia kecil memang A-kiong ini sudah menjadi pelayan ayahnya. Begitu tiba di depan Giok Keng, A-kiong lalu menjatuhkan dirinya berlutut dan menangis!
"Ehh, A-kiong... apakah yang telah terjadi?" tanya Giok Keng, wajahnya yang sudah layu itu menjadi makin pucat.
"Celaka, nona... celaka sekali..."
"Tenanglah dan jangan menangis!" Giok Keng menghardik dan A-kiong cepat menyusuti air matanya. "Sekarang ceritakan yang jelas!"
"Saya disuruh oleh taihiap untuk pergi menyusul Lie-kongcu ke Sin-yang..." A-kiong mulai bercerita dan dia selalu menyebut Cia Keng Hong dengan sebutan ‘taihiap’. "Lie-kongcu puteramu itu dibawa oleh Hong Khi Hoatsu ke Sin-yang dan saya disuruh menyusul untuk membantu dan melayani di sana."
Giok Keng mengangguk. Dia tidak merasa heran karena memang sudah sepatutnya kalau guru suaminya itu membawa Lie Seng ke Sin-yang, selain untuk menghibur hati orang tua itu, juga tentu orang tua itu hendak mendidik Lie Seng.
"Saya sudah sampai di Sin-yang... akan tetapi... ahh, celaka sekali, nona...!" Kembali dia menangis dan tidak dapat melanjutkan ceritanya.
"Diam! Hayo ceritakan! Kau seperti anak kecil saja, A-kiong!" bentak Giok Keng marah. Sudah kambuh kembali kekerasan hati wanita ini melihat sikap lemah dari pelayannya.
"Setibanya di situ saya mendengar dari para tetangga... bahwa... bahwa... semua pelayan rumah dari nona, dan Hong Khi Hoatsu... mereka semua sudah... sudah dibunuh orang, sedangkan Lie-kongcu telah diculik oleh pembunuh-pembunuh itu..."
Terdengar jerit melengking tinggi sehingga A-kiong langsung terguling karena tidak kuat mendengar pekik yang menggetarkan seluruh isi dadanya itu.
"Am... pun... nona...," ratapnya sambil berlutut.
Giok Keng menutupi mukanya, berdiri menunduk, kemudian terdengar kata-katanya yang tergetar hebat, "Kau pulanglah... pergilah ke Cin-ling-pai... ceritakan semua kepada ayah ibu...!" Setelah berkata demikian, kembali terdengar lengking tinggi seperti jerit kesakitan seekor burung hong dan tubuh Giok Keng sudah berkelebat lenyap dari hadapan A-kiong yang masih berlutut dan menangis sesenggukan seperti anak kecil.
A-kiong mengangkat muka memandang ke kanan dan kiri, kemudian bangkit berdiri dan berjalan tersaruk-saruk menuju ke Cin-ling-san. Dalam waktu beberapa hari saja orang tua yang usianya sudah lima puluh tahun lebih ini menjadi makin tua tampaknya.
Giok Keng lari memasuki hutan. Dia tadi menahan-nahan hatinya di depan A-kiong, dan sekarang setelah dia memasuki hutan yang sunyi, dia lalu menjatuhkan diri di atas rumput dan seperti anak kecil dia menangis mengguguk sambil menutupi mukanya, memanggil-manggil nama suaminya dan Lie Seng, kemudian menangis lagi, air matanya bercucuran dan diusapinya dengan lengan baju.
Di balik sebatang pohon besar, Kun Liong berdiri dengan muka pucat dan beberapa butir air mata mengalir turun dari kedua matanya, dibiarkannya saja menuruni kedua pipinya. Dia sudah mendengar semua dan dia makin merasa kasihan kepada wanita ini.
Betapa hebat penderitaan batin Giok Keng. Suaminya membunuh diri di depan matanya, dan kini guru suaminya yang seperti ayah mertua sendiri mati terbunuh orang, anaknya diculik pula. Betapa hampir sama penderitaan wanita itu dengan penderitaannya sendiri. Isterinya juga mati, anaknya juga hilang dan ayah mertuanya gila!
Seperti disayat pisau rasa hati Kun Liong melihat Giok Keng menangis bergulingan di atas rumput seperti anak kecil, kemudian dia merintih perlahan melihat tubuh Giok Keng tidak bergerak lagi dan dia tahu bahwa wanita itu roboh pingsan saking sedihnya.
"Aduhh... kasihan sekali kau, Giok Keng..."
Kun Liong menghampiri tubuh wanita itu dan cepat menolongnya, memondong tubuhnya kemudian merebahkannya pada tempat yang kering. Pakaian wanita itu basah dan kotor, rambutnya kusut dan mukanya pucat sekali.
Dia memeriksa nadinya sebentar dan maklum bahwa kalau dia menyadarkan wanita ini begitu saja, hal itu amat tidak baik bagi jantungnya. Wanita ini mengalami tekanan batin yang sangat hebat dan tangis tadi, juga pingsannya ini malah merupakan peringan yang baik. Karena itu dia hanya merapikan pakaian Giok Keng, merebahkannya terlentang dan mengurut punggung serta tengkuknya sampai pernapasan wanita itu menjadi teratur dan rata seperti orang sedang tidur, kemudian dia duduk menjaganya.
Melihat wanita ini rebah terlentang di hadapannya, memandangi wajah yang cantik dan mengandung sinar kegagahan itu, Kun Liong menarik napas panjang dan teringatlah dia akan peristiwa pada waktu dahulu, belasan tahun yang lalu.
Dahulu, ayah bunda gadis ini mempunyai niat untuk menjodohkan Giok Keng dengan dia. Akan tetapi entah bagaimana, semenjak bertemu sudah terjadi keributan antara dia dan Giok Keng yang galak. Dan akhirnya, Giok Keng sendiri yang minta diputuskannya tali perjodohan yang diikatkan oleh orang tuanya itu karena Giok Keng terbujuk oleh rayuan seorang pemuda sesat, yaitu Liong Bu Kong putera Kwi Eng Niocu.
Untung bahwa perjodohan antara dia dengan pemuda sesat itu belum berlangsung dan akhirnya Giok Keng maklum akan kesesatan pemuda yang menjatuhkan hatinya itu. Dan akhirnya, karena dia sendiri sudah saling jatuh cinta dengan Pek Hong Ing, maka Giok Keng lalu berjodoh dengan Lie Kong Tek.
Sekarang, melihat Giok Keng yang menggeletak dengan wajah pucat seperti mayat, yang dalam keadaan pingsan saja masih jelas membayangkan penderitaan batin yang hebat, timbul pertanyaan di hati Kun Liong. Bagaimana andai kata dahulu mereka itu menjadi suami isteri? Tentu tidak akan timbul peristiwa yang membuat mereka berdua menderita batin begitu hebat!
“Ooohhhhh... Seng-ji (anak Seng)... di mana kau...?"
Giok Keng mengeluh dan menggerakkan tubuhnya, membuka matanya. Ketika melihat Kun Liong, dia nampak terkejut sekali dan meloncat bangkit duduk, kemudian meloncat berdiri dengan mata berapi-api.
"Sumoi, aku melihat kau rebah pingsan maka..."
"Yap Kun Liong, manusia iblis! Engkau yang telah membunuh suamiku, engkau pula yang membunuh mertuaku, juga engkau yang menculik Lie Seng!" Giok Keng sudah menerjang maju dan menghantam dada Kun Liong dengan kepalan tangan kanannya.
"Dukkkk!"
Pukulan yang sangat keras itu diterima oleh Kun Liong tanpa melawan sedikit pun, tanpa mengerahkan tenaganya dan dia terjengkang roboh, lalu bangun kembali dengan muka pucat.
"Keng-moi, kalau kau menyalahkan aku... biarlah aku menerima salah..."
"Memang kau bersalah! Memang kau yang menjadi biang keladi semuanya! Memang kau yang merusak hidupku! Kau harus dlhajar!" Giok Keng menerjang lagi, mengamuk kalang kabut dan memberikan pukulan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya.
"Dessss...!"
Kun Liong terpelanting keras oleh pukulan ini. Namun dia tidak mengeluh dan bangkit lagi.
"Bukkkk!"
Tendangan kaki Giok Keng mengenai lambungnya hingga dia terlempar jauh. Giok Keng meloncat, mengejar dan memukulinya, menamparnya, menendangnya sampai Kun Liong babak belur dan matang biru seluruh muka, leher serta tubuhnya. Akan tetapi Kun Liong sama sekali tidak mau melawan, bahkan sambil menahan rasa nyeri dia bangkit lagi dan berdiri.
"Kau bunuhlah aku, Giok Keng... dan… dan aku tidak akan melawan. Aku memang telah menghancurkan hidupmu, aku salah..."
"Pengecut! Keparat! Hayo kau lawan aku, marilah kita selesaikan dengan taruhan nyawa. Engkau atau aku yang mampus di sini!"
Melihat Giok Keng telah menghunus pedangnya yang berkilauan seperti perak, Kun Liong mengangkat dadanya. "Bagus, kau tusuklah. Biar aku sajalah yang mati untuk menebus dosaku terhadapmu, Giok Keng. Untuk apa hidup bagiku, hidup yang penuh dengan duka, derita dan dosa ini? Kau tusuklah!"
"Kun Liong, hayo kau lawan aku...!" Giok Keng menjerit.
Kun Liong menggelengkan kepala sambil tersenyum, dari ujung bibirnya mengalir sedikit darah. Mukanya matang biru oleh bekas tamparan dan pukulan Giok Keng. Melihat ini, Giok Keng menjadi semakin penasaran.
"Kau... kau tidak melawan... kau... menyerahkan nyawa?"
Kun Liong mengangguk.
"Kalau begitu kau... mampuslah...!"
Giok Keng melangkah maju, lalu mengangkat pedangnya. Kun Liong memandang dengan sikap tenang, sama sekali tidak gentar menghadapi kematian yang hanya akan membuat dia menyusul isterinya.
"Ouhhhh...!" Pedang terlepas dari tangan Giok Keng dan wanita ini terkulai lemas. Tentu dia sudah terjatuh kalau tidak cepat dipeluk oleh Kun Liong. Wanita itu pingsan lagi.
Kun Liong kembali merebahkan Giok Keng di atas rumput dan dia duduk sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan. Dia tidak menyesal sudah diperlakukan seperti itu oleh Giok Keng, bahkan agak lega hatinya bahwa setidaknya dia telah memberi kesempatan kepada Giok Keng untuk melampiaskan rasa dendam dan sakit hatinya, sudah memberi kesempatan kepada wanita itu untuk menghukum dirinya. Dia akan menanti sampai Giok Keng sadar, dan kalau wanita itu hendak melanjutkan membunuhnya, dia akan bersedia tanpa melawan!
Karena batinnya tertindih dan dia menutupi muka dengan kedua tangannya, Kun Liong tidak tahu bahwa Giok Keng sudah siuman dan membuka matanya. Wanita ini membuka matanya tanpa bersuara, kini memandang kepada Kun Liong dengan muka pucat dan mata sayu.
Melihat muka yang bengkak-bengkak dan pinggir bibir yang berdarah, teringatlah dia akan semua yang telah dilakukannya tadi. Setelah kini nafsu amarah yang membuatnya seperti buta tadi lenyap, terbukalah mata batinnya dan kini dia bisa melihat jelas betapa dia telah berbuat keterlaluan! Kini dia teringat betapa Kun Liong sudah menderita amat hebatnya, setelah kematian isterinya yang dibunuh oleh orang lain, kehilangan anak tunggalnya lagi.
Melihat Kun Liong yang sudah dihajarnya habis-habisan tanpa melawan sedikit pun juga, bahkan yang menyerahkan nyawanya itu kini duduk menjaganya dengan kedua tangan menutupi muka, tak terasa lagi kedua mata Giok Keng menjadi basah.
"Kun Liong...," dia berkata lirih, suaranya seperti orang merintih dan dia bangkit duduk.
Kun Liong terkejut, menurunkan kedua tangannya, memandang. Keduanya duduk saling berpandangan, dan dari pandang mata ini Kun Liong merasakan sesuatu yang membuat dia merasa jantungnya seperti disayat-sayat. Pandang mata Giok Keng penuh rasa iba, penuh rasa penyesalan, penuh permohonan maaf.
"Giok Keng..."
Keduanya saling berpegang tangan dan keduanya menangis sesenggukan.
"Kun Liong, kau ampunkan aku..."
"Tidak, Giok Keng, tidak... kaulah yang harus mengampunkan aku..."
Giok keng menangis, mengguguk dan menyandarkan dahi pada pundak suheng-nya itu, sedangkan Kun Liong mengusap-usap rambut kepala yang kusut itu. Hati mereka seperti diremas-remas rasanya.
"Tadi aku sudah buta... aku sudah gila akibat kemarahan dan kedukaan... Kun Liong... mengapa justru engkau... orang yang selamanya kukagumi, kupuja dalam hati... mengapa justru engkaulah yang harus terlibat dalam mala petaka yang menimpa keluargaku? Ahh, mengapa...?"
"Giok Keng, sejak semula aku sudah tidak percaya. Aku mengenal siapa engkau... kau memang keras hati, akan tetapi di balik kekerasan hatimu engkau berbudi mulia, engkau gagah perkasa dan adil. Tidak mungkin engkau memiliki kekejian membunuh Hong Ing, tapi... tapi mertuaku yang seperti gila karena duka... ahh, suamimu menjadi korban dan... dan..."
"Sudahlah, Kun Liong. Sebenarnya aku pun sudah menyadari bahwa semua peristiwa ini bukan karena kesalahan kita berdua, sungguh pun harus kuakui bahwa aku marah-marah kepada isterimu karena sikap adikmu. Aku... aku tahu betapa hebat penderitaanmu, Kun Liong, aku... aku menyesal sekali dan aku kasihan kepadamu..."
Kun Liong bangkit berdiri dan membalikkan tubuhnya, memejamkan mata. "Kau... kasihan kepadaku? Jangan! Aku sudah merusak hidupmu. Akulah yang amat kasihan kepadamu, Giok Keng, maka aku rela menebus kesalahanku dengan nyawa sekali pun."
Giok Keng juga meloncat berdiri, lari berputar menghadapi Kun Liong. Kini mereka berdiri saling pandang dengan mata basah.
"Mengapa nasib kita begini buruk, Kun Liong? Mengapa kita berdua mengalami semua ini?"
Kun Liong tak mampu menjawab, hanya memegang kedua tangan wanita itu. Jari-jemari tangan mereka saling menggenggam seakan-akan mereka hendak saling minta bantuan memikul penderitaan batin mereka. Melihat Giok Keng tersedu-sedu, air mata mengalir pula dari kedua mata Kun Liong.
Giok Keng mengangkat muka memandang wajah Kun Liong. Kedua pipinya bengkak dan mata kirinya membiru, ujung bibirnya yang pecah masih terhiaskan darah kering. Dengan tangan gemetar Giok Keng menyentuh bengkak-bengkak itu.
"Aku... ahhh, aku telah gila... kau tentu tersiksa lahir batin oleh perbuatanku tadi..."
"Jangan ulangi lagi hal itu, Giok Keng. Malah merupakan obat penawar bagiku."
"Kun Liong, aku bersumpah untuk mencari pembunuh Hong Ing sampai dapat, dan juga untuk mencari Mei Lan dan mengembalikan kepadamu."
"Dan aku pun bersumpah akan membasmi Lima Bayangan Dewa dan mencari pembunuh mertuamu sampai dapat, dan juga mencari Lie Seng untuk kukembalikan kepadamu."
Giok Keng tersedu dengan hati terharu, lalu tiba-tiba melepaskan tangannya dan berkata, "Kun Liong, sampai... sampai jumpa..." Dia lalu lari secepatnya meninggalkan tempat itu.
Kun Liong berdiri seperti patung di tempat itu, memandang sampai bayangan Giok Keng lenyap. Apa yang telah terjadi antara mereka? Dia bengong dan kedua tangannya masih tergetar, masih merasakan getaran jari-jari tangan Giok Keng tadi. Pipinya masih merasai sentuhan jari-jari tangan yang gemetar dari Giok Keng.
Apa yang telah terjadi di antara mereka? Pertanyaan ini bertubi-tubi menghantam dinding kalbunya. Kenapa dalam hatinya timbul keinginan kuat untuk menghibur Giok Keng, untuk mengembalikan Giok Keng ke dalam kehidupan bahagia, untuk menjaga, membela serta melindunginya? Mengapa dia merasa amat berkasihan kepada wanita itu, yang dia tahu mengalami kekosongan batin dan dia mengisi kekosongan itu? Mengapa pula dia seperti mengharapkan hiburan dari Giok Keng sehingga sentuhan jari-jari tangan gemetar pada pipinya itu tadi menggores dalam-dalam di hatinya?
"Apakah aku telah gila? Apakah dia telah gila?" demikian Kun Liong berbisik-bisik sambil pergi meninggalkan hutan itu.
Tidak, para pembaca yang budiman. Kun Liong tidak gila. Giok Keng pun tidak gila. Dan pengarang pun tidak gila! Memang belas kasihan adalah getaran yang mendekatkan hati kepada cinta kasih. Di mana ada belas kasihan, maka berlarianlah iblis-iblis kemarahan, kebencian, iri hati dan lain-lain sehingga memungkinkan terujudnya cinta kasih. Dan hati yang penuh dengan cinta kasih selalu ada belas kasihan. Keduanya itu tak terpisahkan.
********************
"Koko, bagaimana engkau sampai dapat terbebas dari tangan Si Kelabang Terbang yang cabul itu? Siapakah sebetulnya wanita yang menolongmu itu?" Kwi Eng bertanya kepada kakaknya. Mereka bermalam di sebuah rumah penginapan di kota Yen-an, sebab mereka belum berani pulang ke Yen-tai di mana mereka tentu dianggap sebagai pemberontak dan pelarian.
"Dia hebat sekali, Eng-moi. Seorang dewi, seorang bidadari yang cantik jelita dan gagah perkasa. Aihhhh... hebat sekali dia, adikku!"
Kwi Eng tersenyum. "Ihhh, tentu kau sudah bertekuk lutut kepadanya, kau jatuh cinta dan tergila-gila kepadanya, koko!"
Kwi Beng memandang kepada adiknya dengan mata terbelalak. "Begitukah? Ah, agaknya benar demikian. Siapa pula orangnya yang tidak jatuh cinta kepada seorang dara seperti dia? Sayang dia diliputi rahasia dan keanehan, dia tidak mau memperkenalkan diri secara jelas, hanya mengaku bernama Hong saja. Akan tetapi bagiku nama itu sudah cukup dan memang nama itu mengingatkan aku akan burung dewata itu, burung hong yang terbang melayang-layang di antara awan-awan di angkasa raya, sukar dicapai tangan..."
"Idiihhh... kalau orang jatuh cinta memang menjadi pengkhayal dan tiba-tiba saja menjadi ahli filsafat dan sajak!"
"Jangan main-main, adikku. Aku benar-benar jatuh cinta kepada Hong-moi dan aku akan mencari dia sampai dapat. Aku akan menceritakan kepada ayah dan ibu supaya mereka suka mengerahkan segala daya upaya agar bisa menemukan Hong-moi dan melamarnya menjadi calon isteriku. Amboiiiiii... alangkah akan bahagianya hidup di samping burung dewata itu..."
"Hi-hik-hik, dan engkau akan dibawanya terbang ke angkasa raya di antara gumpalan-gumpalan awan putih...," adiknya menggoda.
"Hush, jangan main-main. Aku serius. Dan kulihat kau sendiri pun tergila-gila kepada Bun Houw. Hayo kau sangkal kalau berani!"
Tiba-tiba kedua pipi yang sudah kemerahan itu menjadi semakin merah. Bukan karena godaan ini, melainkan karena dia teringat akan peristiwa asyik-masyuk dan mesra antara dia dan Bun Houw. Kwi Eng memejamkan matanya sehingga dua baris bulu matanya yang panjang lentik itu menjadi satu, membentuk bayang-bayang indah di atas pipi bawah matanya. Dia memejamkan mata dan mulutnya terenyum, mukanya terasa panas ketika dia membayangkan dan mengenangkan ciuman itu!
"Beng-koko, aku lebih baik mati saja kalau tidak bisa menjadi isterinya!"
Kwi Beng terkejut. Ternyata adiknya yang bengal ini pun serius sekali! Hatinya menjadi terharu dan dia memegang tangan adiknya. "Moi-moi, aku doakan semoga akan terkabul cita-citamu dan bisa menjadi isteri Cia Bun Houw yang gagah perkasa itu. Aku akan ikut merasa bangga kalau engkau bisa menjadi isterinya, moi-moi. Akan tetapi, seperti juga aku, apakah engkau tidak mengharap terlampau tinggi? Kita berdua hanyalah peranakan-peranakan barat. Dan aku ingin menjangkau burung hong di angkasa, sedangkan engkau menjangkau putera ketua Cin-ling-pai. Apakah kita tidak akan seperti si cebol merindukan bulan?"
Kwi Eng cemberut memandang kakaknya. "Koko, engkau telah terlalu merendahkan diri sendiri. Aku yakin bahwa Houw-koko cinta padaku."
"Ehh, bagaimana kau bisa tahu? Apakah karena dia telah menolong dan menyelamatkan engkau? Adikku yang baik, seorang pendekar seperti dia, siapa pun akan ditolongnya dan hal itu sama sekali bukanlah tanda jatuh cinta."
"Engkau seorang laki-laki, tentu tidak tahu. Akan tetapi aku yakin akan cintanya, koko." Kwi Eng tersenyum dan mengenangkan ciuman itu dengan mata bersinar-sinar.
"Begitukah? Syukurlah kalau begitu, adikku. Mudah-mudahan engkau berhasil. Andai kata aku gagal menjadi jodoh Hong-moi, akan tetapi melihat engkau bahagia, maka aku rela. Kebahagiaanmu lebih penting bagiku, adikku."
Kwi Eng memeluk kakaknya. "Tidak, aku pun tidak akan berbahagia kalau melihat engkau gagal, koko. Kita sehidup semati, senasib sependeritaan."
Kwi Beng menarik napas panjang dan mengelus rambut kepala adiknya. Dia mengerti apa yang dirasakan oleh adiknya yang cantik itu, perasaan yang hanya mungkin dapat terasa oleh mereka berdua, atau oleh orang-orang yang dilahirkan kembar, suatu getaran yang menghubungkan batin mereka berdua.
Beberapa hari kemudian, dengan girang dua orang kakak beradik kembar ini mendengar akan kedatangan orang tua mereka di Yen-tai. Mereka cepat-cepat memasuki kota itu dan seperti biasa, terjadilah ‘jalan damai’ yang sudah lajim terjadi di seluruh dunia ini, di mana ada manusia-manusia yang menyalah gunakan kekuasaannya.
Setelah mendengar urusan anak-anaknya, Yuan de Gama bersama isterinya cepat-cepat menghubungi tikoan dan para pembesar setempat, menghaturkan maaf dan tentu saja bukan maaf melalui kata-kata dan sikap yang memegang peran penting, melainkan maaf yang dinyatakan dalam keadaan tertutup dan yang hanya dibuka setelah berada di dalam kamar para pembesar itu, dan setelah dibuka mereka itu masing-masing dengan wajah girang menghitung jumlah emas dan perak yang akan menambah perbendaharaan harta mereka.
Dari mana timbulnya peristiwa-peristiwa penyuapan dan penyogokan yang telah menjalar di seluruh dunia ini? Suap dan sogok dalam bentuk apa pun juga, bentuk harta benda, kedudukan, nama besar, wanita, kehormatan dan sebagainya terjadi di seluruh dunia dan agaknya telah ada semenjak sejarah berkembang.
Semua ini terjadi karena manusia memegang kekuasaan dan karena manusia itu selalu memiliki kelemahan, yaitu menjadi hamba dari nafsu-nafsu keinginannya, maka manusia yang memegang kekuasaan melihat bahwa kekuasaannya itu merupakan alat yang amat berguna untuk mencapai apa yang diinginkannya! Maka dipergunakanlah kekuasaannya untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain, yaitu demi terlaksananya apa yang diinginkan dan dibutuhkannya.
Padahal, selama manusia mengejar keinginan, maka kebutuhan hidupnya tidak akan ada habisnya. Dan untuk memenuhi ini, manusia tidak segan-segan melakukan apa pun juga hingga timbullah pencurian, perampokan, penipuan, pemerasan dan termasuk penyuapan dan penyogokan yang menjadi akibat dari pemerasan.
Karena itu, segala tindak korup di dunia ini tidak akan dapat dihentikan oleh apa pun juga selama manusia menjadi hamba dari nafsu-nafsu keinginannya sendiri. Selama manusia belum mengenal diri pribadi dan tidak sadar bahwa dirinyalah sumber segala kebusukan.
Dunia akan menjadi sebuah tempat yang berbeda sekali kalau saja kita sudah tidak lagi dikejar-kejar atau mengejar kebutuhan! Sandang, pangan serta tempat tinggal memang merupakan keperluan mutlak bagi manusia hidup, namun sayang, bukan yang tiga itulah sebenarnya yang kita kejar-kejar, yang menjadi kebutuhan kita, melainkan kesenangan, kepuasan yang tidak ada ukurannya lagi akan besar dan banyaknya.
Maka bahagialah mereka yang tidak membutuhkan apa-apa. Bukan berarti menolak dan memantang segala sesuatu, melainkan tidak mencari dan tidak akan mengejar. Apa bila ada, boleh, kalau tidak pun tak akan mengejar, karena pengejaran ini yang menimbulkan segala macam bentuk kejahatan di dunia.
Yuan de Gama dan isterinya, Souw Li Hwa, bukanlah orang-orang yang suka menyuap pembesar. Kiranya tak ada orang, betapa pun kayanya dia, yang suka membuang-buang uang untuk menyuap dan menyogok kanan kiri. Namun hal ini dilakukan dalam keadaan terpaksa, karena hanya itulah merupakan satu-satunya jalan untuk keluar dari kesulitan yang sengaja ditekankan oleh mereka yang memegang kedudukan.
Mendengar akan peristiwa anak-anak mereka yang membasmi sarang bajak laut musuh besar mereka Tokugawa, yang kemudian mengakibatkan kemarahan tikoan, maka Yuan de Gama cepat mengambil jalan damai itu, menggunakan kekayaan untuk menghabiskan persoalan yang tentu akan menjadi berlarut-larut kalau dilawan dengan kekerasan.
"Lain kali, kalau ayah dan ibu tidak berada di rumah, kalian jangan bertindak ceroboh dan menanti saja hingga kami pulang," Yuan de Gama menegur kedua orang anaknya setelah dia berhasil membereskan urusan itu dengan emas dan perak.
"Ayah, kalau kakak diculik gerombolan Tokugawa, masa aku harus tinggal diam saja?" Kwi Eng membantah ayahnya.
"Anak-anak kita tidak bersalah," kata Li Hwa dengan sabar kepada suaminya. "Agaknya engkau lupa bahwa kita bukan tinggal di barat, di mana petugas hukum lebih baik dari pada di sini, suamiku. Seolah-olah engkau sudah lupa saja akan semua pengalaman kita dahulu."
Yuan de Gama memegang tangan isterinya penuh kasih sayang. "Engkau adalah seorang pendekar wanita, isteriku sayang, tentu saja pandanganmu selalu demikian, yaitu hendak menggunakan kekerasan untuk menghadapi kejahatan. Ahh, kalau saja aku tidak kasihan kepadamu yang tidak betah tinggal di barat, tentu akan kuboyong semua keluarga kita ke sana."
"Kalau ayah ingin tinggal di barat, biar kami berdua tinggal di sini saja!" Kwi Eng tiba-tiba berkata dengan sikap manja. "Kami lahir di sini dan mencintai tanah ini, dan kami bahkan telah bertemu dengan para pendekar yang amat mengagumkan hati kami."
Yuan de Gama tertawa. Dia paling sayang kepada anaknya yang perempuan ini, yang selalu dimanjanya karena anak itu mirip sekali dengan isterinya. "Ha-ha-ha, darah ibumu lebih kuat mengalir di tubuhmu dari pada darahku, Maria. Tentu saja engkau cinta negara dan bangsa ini."
Akan tetapi Souw Li Hwa memandang kedua orang anaknya itu penuh perhatian, lalu bertanya, "Bertemu dengan pendekar-pendekar? Siapa mereka dan di mana?"
"Kami belum menceritakan pengalaman-pengalaman kami yang amat hebat kepada ibu dan ayah," jawab Kwi Beng. "Sesungguhnya ketika ayah dan ibu pergi, kami berdua telah mengalami hal-hal yang amat luar biasa..."
"Keributan di Pulau Hiu melawan anak-anak buah Tokugawa itu?" tanya Yuan de Gama, diam-diam merasa girang dan kagum bahwa dua orang anaknya itu mewarisi keberanian dan kepandaian ibu mereka.
"Ahhh, itu sih pengalaman kecil tidak berarti!" kata Kwi Eng.
"Akan tetapi dalam pertempuran kami melawan anak-anak buah Tokugawa, kami sudah bertemu dengan seorang pendekar yang mengenal baik nama ibu. Dia adalah Tio-twako, yang bernama Tio Sun dan tahukah ibu siapa dia? Dia adalah putera tunggal dari seorang bekas pengawal yang setia dari suhu ibu...," kata Kwi Beng.
"Ahhh, puteranya Ban-kin-kwi?" Souw Li Hwa bertanya, segera dapat menduga setelah mendengar she orang itu.
"Benar, dia amat lihai dan tanpa bantuan dia, sukar bagiku untuk menolong Beng-koko. Mula-mula aku yang bertemu dengan Tio-twako, ibu." Dan Kwi Eng segera menceritakan pertemuannya dengan Tio Sun pada saat pemuda perkasa ini dikeroyok oleh orang-orang mabok, dan dia yang sedang kebingungan akibat kakaknya diculik oleh Tokugawa, begitu melihat kelihaian Tio Sun lalu belajar kenal dan minta bantuannya.
Girang sekali hati Souw Li Hwa mendengar betapa putera dari bekas pengawal suhu-nya itu sudah menolong menyelamatkan puteranya. "Di mana dia sekarang, mengapa kalian tidak menahan dia supaya bertemu dengan kami di sini?"
"Dia sudah pergi, ibu, bersama para pendekar yang lain. Ibu dan ayah tentu terkejut sekali mendengar pengalaman kami selanjutnya," kata Kwi Beng.
"Beng-koko, biar aku yang bercerita kepada ibu!" Kwi Eng memotong kata-kata kakaknya. Kwi Beng tersenyum dan menggerakkan pundaknya, kebiasaan yang merupakan ciri khas dari ayahnya!
"Pertama-tama ibu dan ayah berdua agar jangan terkejut. Kami berdua sudah berjumpa dengan putera ketua Cin-ling-pai yang bernama Cia Bun Houw!"
"Aihhh...!" Souw Li Hwa sangat terkejut dan Yuan de Gama juga tercengang karena tidak menyangka bahwa kedua anaknya akan dapat berjumpa dengan putera Pendekar Sakti Cia Keng Hong.
"Juga dengan seorang pendekar wanita yang kepandaiannya bagaikan dewi kahyangan, namanya nona Hong. Sayang kami tidak tahu siapa nama lengkapnya dan murid siapa dia itu." Kwi Beng yang sudah tidak sabar itu segera memperkenalkan dara yang menjadi pujaan hatinya.
"Dan selain putera ketua Cin-ling-pai, juga kami bertemu dengan puterinya..."
"Apa? Cia Giok Keng?" Souw Li Hwa bertanya dan Kwi Eng mengangguk.
"Aihhh, singa betina itu masih muncul di dunia kang-ouw?" Yuan de Gama juga bertanya dengan kagum.
"Masih ada lagi, ibu," Kwi Eng berkata lagi, gembira menyaksikan betapa ayah dan ibunya dilanda kekagetan yang bertubi-tubi, "dan ibu pasti tidak dapat menduga siapa dia."
Suami isteri itu bengong terlongong mendengar semua cerita itu, kadang kala menahan napas bila mendengar bagian-bagian yang menegangkan, terlebih lagi ketika mendengar betapa nyaris puteri mereka diperkosa oleh Toat-beng-kauw Bu Sit.
Sesudah ada kesempatan berbicara, Yuan de Gama tertawa. "Ha-ha-ha, ternyata kalian berdua adalah petualang-petualang seperti juga ibu kalian!"
"Aihh, apakah bapaknya juga bukan seorang petualang besar? Kalau bukan, bagaimana bisa jauh-jauh dari bagian dunia lain di barat datang ke sini dan menikah dengan seorang wanita pribumi?" Souw Li Hwa mencela suaminya dan Yuan de Gama hanya tertawa.
"Ibu, Eng-moi jatuh cinta kepada penolongnya, kepada Cia Bun Houw!" tiba-tiba Kwi Beng berkata.
Sebelum ayah dan ibu itu hilang rasa kagetnya, Kwi Eng juga telah membalas kakaknya, "Dan Beng-koko tergila-gila kepada burung... ehhh, nona Hong yang menyelamatkannya dari Hui-giakang Ciok Lee Kim!"
"Eng-moi bilang lebih baik mati kalau dia tidak menjadi isteri Cia Bun Houw!" Kwi Beng kembali membalas.
"Dan Beng-ko bersumpah untuk mencari nona Hong yang seperti dewi itu!" Kwi Eng pun membalas.
Ayah dan ibu itu saling pandang, dan Souw Li Hwa mendengar suaminya menarik napas panjang. "Aha...! Sampai lupa aku bahwa anak-anakku telah menjadi dewasa!"
"Engkau sih hanya ingat berdagang saja!" Souw Li Hwa mencela. Kemudian, dia menatap kedua orang anaknya dan berkata, "Beng-ji dan Eng-ji, jangan kalian main-main dengan urusan cinta. Hati yang muda memang mudah sekali tergelincir dan tertarik dengan yang indah-indah. Jangan lantas menentukan bahwa kalian telah jatuh cinta kalau kalian hanya tertarik oleh seseorang karena kegagahan dan keelokan wajahnya."
"Tidak, ibu. Aku dengan dia... Houw-koko itu, kami... sudah saling mencinta. Dan... aku diselamatkan olehnya dalam keadaan seperti itu, ibu. Aku telah bersumpah bahwa hanya ada dua pria saja yang melihatku dalam keadaan seperti itu, yang pertama adalah iblis yang telah mampus itu, dan kedua adalah calon suamiku."
"Dan bagiku juga tidak ada wanita seperti dia, ibu. Aku harus berjodoh dengan dia, kalau tidak... hidupku tentu akan merana." Kwi Beng juga berkata.
Souw Li Hwa mengerutkan alisnya dan memandang kepada suaminya dengan sinar mata marah. Melihat ini, Yuan de Gama yang amat mencinta isterinya segera tersenyum dan berkelakar, "Nah, nah, kenapa marah-marah kepadaku? Mereka sudah dewasa dan jatuh cinta, apa salahnya?"
"Apa salahnya? Inilah akibat perbuatanmu, tahu!"
"Ehh, ehh! Kok jadi aku yang kau salahkan, isteriku yang manis?"
"Yuan de Gama, semua ini adalah gara-gara engkau telah mengajarkan Bahasa Portugis kepada mereka, lalu kau suruh mereka baca buku-buku roman itu!"
"Aihhhh...! Cinta kasih mana bisa dipelajari dari buku? Kalau memang tidak ada rasa di hati, masa mereka begitu mati-matian?"
"Sudahlah, kita harus urus hal ini. Anak-anak kita baru saja berkenalan dengan mereka dan dengan dunia kang-ouw. Anak-anak kita belum berpengalaman. Aku akan mengajak mereka pergi berkunjung ke Cin-ling-pai. Pertama-tama untuk memberi hormat kepada Cia-taihiap dan keluarganya, dan kedua untuk mempererat hubungan. Setelah ada ikatan hubungan persahabatan, baru kita boleh pikir-pikir tentang hubungan perjodohan itu."
"Kita ke Cin-ling-pai, ibu? Horaaaayyyyy...!" Kwi Eng sudah girang sekali dan berloncatan, akan tetapi meringis karena kaki kirinya belum sembuh sama sekali dan dia terpincang-pincang duduk kembali di atas kursinya.
"Dan kita selidiki tentang nona Hong itu," kata pula Kwi Beng dan ibunya mengangguk.
"Memang sebaiknya begitu, lagi pula, engkau sudah terlalu lama terkurung di sampingku, isteriku sayang. Padahal dahulu engkau merupakan seorang pendekar wanita yang biasa terbang bebas. Biarlah kau kukeluarkan dari kurungan untuk sementara, bersama kedua anakmu. Dengan adanya kau di samping mereka, hatiku tidak akan merasa gelisah. Aku akan menjaga rumah di sini sambil mengurus pekerjaan."
"Dagang lagi...!" isterinya mencela.
"Bukan hanya itu! Kalau aku pergi ke pedalaman, tentu hanya akan menimbulkan hal-hal yang tidak baik dan tidak enak saja. Engkau tentu mengerti akan hal ini, isteriku yang tercinta. Ataukah, engkau tidak dapat berpisah dariku, padahal baru saja kita melakukan perjalanan bulan madu kedua sampai berbulan-bulan ke barat?" Yuan de Gama memeluk dan mencium isterinya di depan anak-anaknya karena hal ini memang biasa bagi mereka.
"Phuahhh...! Siapa yang tidak dapat berpisah?" Li Hwa mencela akan tetapi setelah dia membalas ciuman suaminya itu.
Kedua orang anaknya tertawa, sudah biasa mereka menyaksikan ayah dan ibu mereka itu bergurau, bercinta, dan kadang-kadang pura-pura bercekcok, padahal semua itu hanya sebagai tanda kasih sayang satu sama lain.
Ibu dan dua orang anaknya itu lalu bersiap-siap. Mereka akan menanti sampai kaki kiri Kwi Eng sembuh sama sekali, baru akan melakukan perjalanan. Sebagai keluarga yang kaya, mereka akan melakukan perjalanan dengan berkuda, karena ketiga orang ini pandai menunggang kuda dan tentu saja mereka akan membawa bekal secukupnya, oleh karena perjalanan dari Yen-tai ke Cin-ling-san bukan merupakan perjalanan yang dekat.
********************
Daya tarik yang saling mempengaruhi pria dan wanita merupakan suatu kewajaran dan pembawaan di dalam diri manusia, seperti terdapat pada makhluk apa pun di permukaan bumi ini. Daya tarik ini menimbulkan rasa suka, rasa cinta di antara pria dan wanita, membuat masing-masing ingin saling mendekati, saling sentuh, saling belai dan saling berkasih mesra, sedekat mungkin hingga menimbulkan keinginan untuk bersatu badan dan hati. Hal ini sudah wajar, sudah benar, dan sudah merupakan sifat alamiah yang ada pada diri manusia.
Hubungan kelamin seperti yang lajimnya dikenal dengan sebutan sex bukanlah hal yang kotor, bukan suatu hal yang menjijikkan atau memalukan. Sebaliknya malah, sex adalah hal yang amat indah, yang suci, asalkan timbul dari naluri yang wajar, timbul dari gairah yang memang ada di dalam diri manusia, timbul dari rasa cinta antara pria dan wanita karena daya tarik alamiah itu.
Hubungan sex adalah suatu hal yang terhormat, suatu kenikmatan hidup yang patut dan layak dialami oleh setiap orang manusia, asal saja dilakukan dengan wajar dan dengan mata terbuka, dengan penuh kesadaran dan BUKAN dalam keadaan DIMABOK NAFSU sehingga menjadi perbuatan membuta dan menjadi hamba dari pada nafsu birahi belaka. Kalau sudah begini, maka berubahlah sifat hubungan kelamin, menjadi kotor dan najis, menjadi sumber dari kenikmatan palsu yang akan membawa kepada jurang kedukaan dan kesengsaraan lahir batin.
Kenikmatan hubungan kelamin merupakan suatu karunia hidup, suatu keindahan hihup, merupakan bagian dari kehidupan dan cinta kasih, tidak terpisah-pisah. Sex bukanlah yang mutlak terpenting dalam hidup, tapi bukan pula hal yang diremehkan. Akan tetapi, seperti segala sesuatu dalam hidup, bila sex sudah merupakan suatu kebutuhan yang dicari-cari, yang dikejar-kejar, maka hal itu hanya akan membawa kita ke dalam jurang kesesatan langkah yang akhirnya akan menghancurkan kita sendiri.
Sia-sia belaka bagi mereka yang mencari kesucian dengan menjauhi serta menganggap hubungan sex sebagai suatu pantangan, lalu bertapa atau menyendiri, akan tetapi dalam hatinya tersiksa karena digerogoti oleh nafsunya sendiri! Nafsu apa pun bukan harus dipantang, bukan harus ditekan, melainkan semestinya dipandang, dimengerti! Bagaikan api, nafsu bukan harus ditutup karena api itu tidak akan padam, seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu akan membakar pula. Api nafsu itu semestinya dipandang dan dari pandangan ini timbul kewaspadaan, timbul kesadaran, dan api itu akan menjadi nikmat dan manfaat hidup, bukan merusak.
Hubungan kelamin yang merupakan sesuatu yang amat indah dan murni, di mana manusia kehilangan akunya, akan berubah menjadi nafsu birahi yang membakar dan memperbudak jika pengalaman ini disimpan di dalam ingatan! Dengan mengingat-ingat, mengenangkan kenikmatan dalam hubungan atau pengalaman itu, timbullah nafsu birahi yang mendesak dan menggelora batin, yang membuat kita menjadi hambanya dan mulailah kita mengejar dan mencari, ingin mengalami lagi kenikmatan itu dan dengan demikian, kenikmatan ini menjadi satu di antara kepentingan-kepentingan hidup yang dikejar-kejar untuk didapatkan, maka mulailah pula langkah-langkah sesat kita ambil demi untuk memperolehnya!
Karena itu sudah jelaslah bahwa hubungan kelamin baru benar apa bila dilakukan oleh sepasang manusia yang saling mencinta sebagai puncak dari kasih mesra yang saling ditujukan sebagai tanda bersatunya badan dan hati. Apa bila hubungan ini dilakukan oleh sepasang manusia tanpa dasar cinta kasih, maka itu hanya merupakan dorongan nafsu birahi belaka dan tidak dapat dihindarkan lagi tentu akan mengakibatkan timbulnya duka dan kesengsaraan, penyesalan dan kekecewaan.
Di mana pun, bilamana pun, siapa pun dapat saja mengalami hal-hal yang berhubungan dengan asmara antara pria dan wanita, dan siapa pun juga yang belum sadar akan diri sendiri, belum mengenal diri pribadi dan segala kelemahannya, betapa pun cintanya dia, betapa pun terpelajarnya dia, tetap dapat saja menjadi korban yang sangat lemah dari cengkeraman nafsu birahi.
********************
Selanjutnya,