Dewi Maut Jilid 24

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Episode Dewi Maut Jilid 24 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Dewi Maut Jilid 24

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
WANG CIN maklum bahwa pihaknya terdesak. Dia berada di goa harimau, karena itu dia tidak boleh main-main. Andai kata dia boleh mengandalkan ketangguhan tiga belas orang pengawalnya dan ratusan orang sisa pasukan, akan tetapi apa dayanya berada di antara puluhan ribu anak buah Sabutai? Maka dia segera mengangguk dan mereka melanjutkan pertemuan yang tadinya menegangkan itu dengan makan minum, dan nama Azisha sama sekali tidak pernah disinggung lagi dalam percakapan.

Bahkan Sabutai dan Wang Cin membicarakan mengenai terjadinya beberapa kali usaha penyerbuan pasukan Beng-tiauw dibantu oleh beberapa kelompok suku bangsa perantau di utara untuk membebaskan kaisar. Namun karena jumlah para penyerbu itu kecil sekali dibandingkan dengan kekuatan barisan anak buah Sabutai, semua usaha penyerbuan itu dapat dihancurkan dan para penyerbu dipaksa untuk mundur.

"Para penyelidik kami melaporkan bahwa di kerajaan telah terjadi pergolakan, akan tetapi sayang, para sekutu taijin agaknya membelakangi taijin dan saya juga mendengar bahwa mereka semua telah mengangkat seorang kaisar baru, yaitu Ceng Ti."

Muka Wang Cin menjadi merah mendengar kata-kata ini. "Kalau begitu, kenapa kita tidak segera menyerbu ke selatan? Harap bengcu mau percaya kepadaku bahwa di situ masih banyak sekutu yang akan membantu kita dari dalam. Kaisar Ceng Ti sama saja dengan Kaisar Ceng Tung, dia pun membenci bangsa kita. Sebelum kita berhasil merampas tahta kerajaan, bangsa kita akan selalu dianggap sebagai musuh dan tidak mungkin Kerajaan Goan-tiauw yang jaya dapat bangkit kembali."

Sabutai tersenyum. "Mungkin taijin mahir sekali dalam urusan pemerintahan, akan tetapi mengenai urusan perang, serahkan saja kepada saya. Kalau sudah tiba saatnya, tentu saya akan menyerbu ke selatan."

Biar pun hatinya penasaran, namun Wang Cin tidak berani mendesak lagi dan terpaksa dia beserta para pengawalnya harus bersabar menjadi tamu-tamu yang keadaannya tidak lebih dari pada tawanan-tawanan yang selalu diawasi sungguh pun diperlakukan dengan hormat.

Apa yang dikatakan oleh Sabutai mengenai pergolakan di kota raja itu memang benar. Sesudah menerima berita bahwa Kaisar Ceng Tung disergap dan ditawan oleh pasukan pemberontak Sabutai, kota raja menjadi geger, apa lagi ketika mendengar bahwa delapan orang jenderal tewas dalam melindungi kaisar.

Akan tetapi anehnya, keributan tentang berita ditawannya kaisar segera tenggelam, kalah oleh keributan mengenai siapa yang harus menjabat kedudukan kaisar yang sementara kosong itu!

Memang sudah menjadi watak para manusia yang haus dengan kesenangan, haus akan kekuasaan dan kemuliaan duniawi. Untuk mencapai kesenangan-kesenangan yang amat dirindukan itu, manusia tak segan-segan berubah menjadi makhluk sebuas-buasnya, bila perlu menyingkirkan, merobohkan dan membunuh manusia-manusia lain yang merintangi tengah jalan, yang dianggapnya sebagai penghalang tercapainya apa yang dikejar-kejar, yaitu kesenangan, kekuasaan, dan kemuliaan.

Usaha untuk mencoba menolong dan membebaskan Kaisar Ceng Tung hanya dilakukan sembarangan saja, seolah-olah hanya untuk menutupi apa yang sebetulnya terjadi di kota raja, yaitu perebutan kekuasaan yang akhirnya jatuh ke tangan Ceng Ti yang mengangkat diri menjadi kaisar pengganti Ceng Tung yang dianggap sudah tewas!

********************

Untuk ke sekian kalinya, pasukan kecil itu dapat dipukul mundur oleh barisan penjaga di benteng Sabutai karena jumlah mereka yang jauh lebih kecil. Kakek gagah perkasa yang memimpin penyerangan itu mengamuk bagaikan seekor naga, akan tetapi betapa pun gagahnya dia, tidak mungkin dia dapat membobol penjagaan puluhan ribu orang pasukan Sabutai, sementara anak buahnya, yaitu pasukan yang terdiri dari orang-orang Nomad, pedagang dan penggembala kuda, telah terpukul mundur. Mereka terpaksa melarikan diri memasuki hutan-hutan dan kakek itu berdiri termenung dengan wajah penasaran.

Beberapa orang pimpinan orang Nomad menghadapnya dan di antara mereka ada yang luka-luka. Orang yang tertua di antara mereka berkata, "Saya kira tidak ada gunanya lagi, taihiap. Kedudukan Sabutai terlalu kuat, orang-orangnya terlalu banyak. Tanpa adanya bantuan pasuka Kerajaan Beng, mana mungkin kita dapat menyelamatkan kaisar? Setiap penyerbuan hanya merupakan bunuh diri dan kita sudah kehilangan ratusan orang anak buah."

Cia Keng Hong, kakek pendekar yang gagah perkasa itu, menarik napas panjang, alisnya berkerut dan dia mengepal tinju. "Sungguh gila! Mengapa dari selatan tidak datang bala bantuan sedangkan sisa pasukan mereka telah lama kembali ke selatan untuk minta bala bantuan? Apakah mereka sudah tidak mempedulikan lagi kaisar mereka yang tertawan musuh?"

Seperti yang kita ketahui, Cia Keng Hong telah membantu Suku Nomad yang terdiri dari Bangsa Mongol dan Khitan, yang dipimpin oleh Yalu, pada waktu rombongan ini sedang menggiring kuda mereka dan diganggu para perampok yang ternyata adalah anak buah Sabutai juga. Kemudian Cia Keng Hong memimpin mereka beserta teman-teman mereka yang berhasil dikumpulkan untuk mencoba menolong rombongan kaisar saat rombongan kaisar terjebak di Lembah Nan-kouw, di lorong yang sempit. Akan tetapi, karena jumlah musuh yang jauh lebih banyak, pasukan orang Nomad ini terpukul mundur dan Cia Keng Hong tidak berhasil menyelamatkan kaisar sehingga kaisar menjadi tawanan Sabutai.

Dengan hati penuh duka dan juga kagum Cia Keng Hong lalu menyempurnakan jenazah delapan orang jenderal yang gugur secara gagah perkasa itu, baru kemudian pendekar ini menyusun kekuatan, bergabung dengan pasukan pemerintah yang menjaga di tapal batas dan berusaha untuk menyerang benteng Sabutai dan menolong kaisar yang ditawan.

Akan tetapi, usaha yang sudah berkali-kali dilakukan itu gagal terus, dan dengan sia-sia dia menanti bala bantuan dari selatan yang tak kunjung datang. Malam hari itu, kembali mereka telah gagal dan para pemimpin Suku Nomad mulai merasa putus asa dan mulai merasa berat untuk mengorbankan orang-orang mereka lebih banyak lagi hanya demi kepentingan Kaisar Beng, sedangkan pasukan bantuan dari Kerajaan Beng sendiri tidak kunjung datang.

Setelah melihat sikap pasukan orang-orang Nomad yang telah membantunya menentang Sabutai, dan mendengar pendapat-pendapat para pemimpin mereka yang mulai merasa putus asa karena banyaknya korban di kalangan mereka dan gagalnya serbuan mereka terhadap benteng Sabutai yang amat kuat itu, Cia Keng Hong kemudian berkata kepada mereka, ditujukan kepada Yalu, pemimpin suku pedagang kuda yang pernah dibantunya ketika suku ini diserbu oleh pencuri-pencuri kuda.

"Aku bisa mengerti akan keadaan kita, dan aku pun ikut prihatin melihat jatuhnya banyak korban. Akan tetapi, kita telah melangkah demikian jauh, menentang kemaksiatan dan pemberontakan, sudah banyak pula korban yang jatuh, bagaimana sekarang kita dapat mundur begitu saja? Harap kalian tenang dan menanti di sini, aku besok akan berangkat ke selatan untuk mencari bala bantuan. Percayalah, dahulu aku sudah banyak membantu kerajaan, bahkan aku pernah bekerja sama dengan mendiang Panglima Besar The Hoo, maka tentu aku akan berhasil mendatangkan barisan besar untuk menggempur benteng Sabutai dan menyelamatkan sri baginda kaisar."

Yalu dan teman-temannya tentu saja merasa setuju dan girang. Mereka hanya merasa jeri kalau harus menyerang benteng yang kuat itu lagi, akan tetapi kalau hanya menanti, kemudian memperoleh kesempatan membalas kematian kawan-kawan serta anak-anak buah mereka, tentu saja mereka merasa girang. Maka berundinglah para pimpinan itu dengan Cia Keng Hong yang sudah mengambil keputusan untuk berangkat sendiri ke selatan.

Selagi mereka melakukan perundingan dengan serius, mendadak terdengar suara gaduh, disusul oleh suara suitan-suitan yang menjadi tanda bahwa tempat itu sudah kedatangan musuh! Tentu saja para pemimpin Suku Bangsa Nomad itu terkejut sekali, akan tetapi dengan tenang Cia Keng Hong berkata,

"Harap jangan gugup. Kalian cepat perintahkan anak buah masing-masing untuk mundur dan berpencar. Aku akan lebih dahulu pergi memeriksa apa yang terjadi!" Baru saja habis kata-kata ini, orangnya telah lenyap dari situ sebab pendekar sakti itu telah menggunakan ilmu kepandaiannya untuk melesat keluar perkemahan dengan cepat sekali!

Seperti juga dengan pemimpin lain yang cepat berlarian keluar, Cia Keng Hong merasa lega ketika mendengar bahwa ribut-ribut itu bukan disebabkan oleh serbuan musuh, akan tetapi hanya dua orang mata-mata musuh yang telah dikepung!

"Mereka itu bukan main lihainya sampai kami kewalahan dan banyak sudah kawan-kawan yang roboh oleh mereka."

Mendengar laporan ini, Cia Keng Hong menjadi marah dan penasaran. Dia kemudian mempercepat larinya menuju ke tempat di mana anak buah Suku Bangsa Nomad itu sedang berteriak-teriak mengepung dua orang. Ketika tiba dekat, Cia Keng Hong terkejut bukan main.

Dia tidak mengenal kakek dan nenek yang sedang duduk di atas tanah, saling beradu punggung dan kini mereka berdua menggerak-gerakkan tongkat butut mereka di atas tangan sambil bernyanyi-nyanyi itu. Nyanyian itu diucapkan dalam bahasa asing, dan biar pun dia tidak menguasai bahasa itu, Cia Keng Hong yang berpengalaman luas mengenal Bahasa Sailan. Dua orang kakek dan nenek berkebangsaan Sailan muncul di tempat itu, sungguh mengherankan.

Akan tetapi yang mengejutkan hati pendekar sakti ini bukan kenyataan bahwa mereka adalah orang-orang asing dari barat itu, melainkan menyaksikan kelihaian mereka yang luar biasa. Mereka itu kelihatannya hanya memukul-mukulkan tongkat butut ke atas tanah di hadapan mereka, sama sekali tidak mempedulikan pengeroyokan puluhan orang yang menyerang mereka kalang-kabut dengan senjata mereka. Akan tetapi kenyataannya, tak ada sebuah pun senjata para pengeroyok yang mengenai tubuh mereka karena selalu tertangkis oleh tongkat butut dan bayangan tongkat sedangkan setiap kali tongkat mereka memukul tanah, pasir dan tanah muncrat meluncur ke depan, mengenai para pengeroyok dan hebatnya, pasir dan tanah ini sudah sanggup merobohkan banyak sekali orang-orang yang mengeroyok itu!

Sekali pandang saja tahulah Cia Keng Hong bahwa dua orang tua itu adalah orang-orang yang amat lihai. Gerakan tongkat mereka mengeluarkan angin menderu sehingga semua senjata lawan terhalau, sementara tanah dan pasir yang beterbangan merobohkan para pengeroyok itu adalah akibat pencokelan dengan ujung tongkat dan tentu saja ada tenaga sinkang yang sangat kuat tersalur pada tangan mereka untuk dapat melakukan serangan balasan itu.

Apa lagi jika dia memandang ke arah wajah mereka yang tertimpa sinar layung matahari senja itu, dia semakin terkejut karena wajah putih kapur dari kakek itu, dan wajah hitam hangus dari nenek itu, adalah akibat dari hawa beracun yang agaknya dilatih oleh kedua orang tua itu, seperti yang kadang-kadang dapat ditemukan di antara tokoh-tokoh kaum sesat yang berilmu tinggi.

"Harap kalian semua mundur!" Cia Keng Hong berseru dan mendengar seruan pendekar tua yang mereka kagumi itu, semua pengeroyok mundur sambil menyeret belasan orang yang telah menjadi korban sambaran tanah dan pasir.

Ternyata tanah dan pasir itu menyambar muka dan tubuh mereka sedemikian kerasnya hingga menembus kulit daging, seperti peluru-peluru kecil dari baja saja! Mereka semua memandang kepada Cia Keng Hong penuh harapan, karena mereka pun maklum bahwa dua orang kakek itu tentu merupakan orang-orang luar biasa yang tidak mungkin dapat dilawan oleh tenaga biasa, dan agaknya hanya Pendekar Sakti Cia Keng Hong saja yang akan dapat menghadapi mereka.

Maka semua orang segera mundur dan duduk menonton, membuat lingkaran lebar. Juga Yalu beserta teman-temannya yang sudah tiba di situ memberi isyarat agar orang-orang mereka diam saja dan jangan mengganggu Cia Keng Hong, akan tetapi juga harus siap menghadapi segala kemungkinan.

Cia Keng Hong melangkah maju, dan kebetulan saja dia kini berhadapan dengan kakek bermuka putih yang masih duduk bersila, sedangkan nenek itu pun masih tetap duduk di belakangnya, beradu punggung sambil bersila pula. Kakek itu segera mengangkat muka memandang sehingga sejenak mereka beradu pandang dengan penuh selidik. Karena Cia Keng Hong tidak mengenal mereka, juga tidak tahu apakah maksud kedatangan mereka, maka dia tidak berani bersikap kasar.

"Ji-wi locianpwe, harap ji-wi suka memaafkan kalau para teman kami telah bersikap kasar terhadap ji-wi, karena kami belum mengenal ji-wi locianpwe. Kalau boleh kami bertanya, siapakah ji-wi locianpwe yang terhormat dan apakah maksud kedatangan ji-wi?"

Mendengar suara yang mengandung wibawa dan tenaga khikang yang kuat itu, si kakek bermuka putih memandang tajam, bahkan nenek muka hitam itu pun menoleh pula dan kini sekali bergerak, tubuhnya yang tadi bersila membelakangi kakek itu, tahu-tahu sudah pindah ke sebelah si kakek dan ikut memandang tajam.

Kakek itu lantas terkekeh dan tongkatnya bergerak memukul tanah. Kini bukan pasir dan tanah halus yang berhamburan, melainkan segumpal tanah keras terbang ke arah muka Cia Keng Hong!

Pendekar ini mengerutkan alis, cepat menggerakkan tangannya dan sekali sampok saja gumpalan tanah itu meluncur ke hadapan si kakek lantas amblas masuk ke dalam tanah saking kerasnya pendekar ini menyampok. Kakek dan nenek itu kelihatan terkejut dan memandang makin tajam penuh selidik.

"Engkau siapa?" Kakek itu bertanya tanpa menjawab pertanyaan Cia Keng Hong tadi.

"Nama saya Cia Keng Hong," jawab pendekar itu dengan sikap tenang.

Akan tetapi mendengar nama ini, kakek dan nenek itu sama sekali tidak tenang, bahkan terkejut sekali, memandang kepada Cia Keng Hong dengan mata terbelalak.

"Engkau adalah Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai?" Nenek itu bertanya, suaranya tinggi mendesis seperti ular marah.

"Benar," Keng Hong mengangguk.

"Kau dahulu kaki tangan si keparat The Hoo?" Kakek itu pun membentak sehingga Keng Hong menjadi kaget. Ternyata kedua orang tua ini adalah bekas musuh-musuh mendiang Panglima Besar The Hoo.

"Memang dahulu saya adalah sahabat mendiang Panglima The Hoo," dia menjawab dan kini balas memandang penuh selidik.

"Dan kau yang memimpin orang-orang ini menyerbu benteng Mongol?" kembali kakek itu bertanya.

Keng Hong mengangguk. "Secara curang, Sabutai sudah menawan Kaisar Beng, maka kami berusaha untuk membebaskan beliau."

"Ha-ha-ha-ha-ha!" Kakek bermuka putih itu tertawa sehingga mulutnya terbuka dan tidak nampak sebuah pun gigi. "Cia Keng Hong manusia sombong! Kau tadi tanya siapa kami dan apa keperluan kami datang ke sini? Bukalah mata serta telingamu baik-baik. Kami adalah Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko dan calon Kaisar Sabutai adalah murid kami. Kedatangan kami di sini adalah untuk membunuh engkau dan membasmi semua anak buahmu!"

Mendengar bahwa dua orang tua itu adalah guru Sabutai, marahlah Yalu. Tadi dia dan kawan-kawannya sudah mempersiapkan pasukan anak panah, maka begitu mendengar siapa adanya dua orang itu yang datang mengacau itu, Yalu langsung memberi isyarat kepada pasukan panahnya.

Belasan batang gendewa dipentang dan anak-anak panah dilepaskan. Terdengar suara berdesing-desing ketika belasan batang anak panah menyambar ke arah dua orang tua yang masih duduk bersila berdampingan itu. Mereka hanya terkekeh, sama sekali tidak mengelak atau menangkis.

"Suuingggg... wirrr... takk-takk-takkk!"

Semua anak panah tepat mengenai sasaran, yaitu tubuh kakek dan nenek itu, akan tetapi betapa kaget hati Yalu dan kawan-kawannya melihat semua anak panah yang mengenai tubuh mereka itu seperti mengenai dua buah arca besi dan patah-patah, runtuh ke atas tanah di sekitar tubuh kedua orang tua itu!

"Serang...!" Yalu berteriak dan bersama tiga orang temannya, yaitu kepala-kepala Suku Nomad yang bertubuh tinggi besar dan kuat, dia sudah menerjang ke depan.

Terlambat Cia Keng Hong mencegah, karena empat orang tinggi besar itu telah menyerbu dengan golok di tangan membacok dengan ganas. Terdengar dua orang tua itu terkekeh, lalu tiba-tiba mereka meloncat dan tampak segulungan sinar saat mereka menggerakkan tongkat.

"Cring-cring-tranggg...!"

Empat batang golok yang menyambar itu bertemu dengan gulungan sinar, seperti dibelit oleh sinar itu dan terdengar teriakan mengerikan ketika senjata-senjata itu seperti dipaksa membalik dan menghujam dada pemegangnya sendiri!

Cia Keng Hong menjadi marah sekali. Cepat dia meloncat ke depan, kedua tangannya menyerang dengan pukulan tangan terbuka ke arah kakek dan nenek itu.

"Ihhhh...!" Hek-hiat Mo-li memekik.

"Aihhhh...!" Pek-hiat Mo-ko juga berteriak.

Keduanya meloncat ke belakang dan robohlah empat orang pimpinan Suku Nomad itu, dengan golok menembus dada dan tewas seketika!

Keng Hong memandang dengan penuh penyesalan. Akan tetapi, para suku Nomad yang melihat pemimpin mereka tewas, menjadi marah sekali. Sambil berteriak-teriek mereka mendekat dengan sikap mengancam. Keng Hong yang maklum bahwa kalau mereka maju berarti hanya mengantar nyawa secara sia-sia belaka, lalu mengangkat tangan dan berseru nyaring penuh wibawa,

"Mundur semua! Biarkan aku menghadapi dua iblis ini!"

Semua orang mentaati dan mengurung tempat itu. Sedangkan Keng Hong yang maklum bahwa dua orang lawannya itu lihai sekali, telah mengeluarkan suara melengking nyaring dan panjang bagaikan pekik seekor burung rajawali yang menantang musuh, kemudian dengan tangan kosong tubuhnya sudah mencelat ke depan dan menyerang nenek dan kakek itu dengan jurus-jurus maut dari Ilmu Silat San-in Kun-hoat.

Dalam segebrakan saja pendekar ini telah menghantam ke arah ulu hati Pek-hiat Mo-ko dan sekaligus tangannya menampar ke arah ubun-ubun kepala nenek Hek-hiat Mo-li dan sulit dikatakan mana di antara kedua serangan ini yang lebih berbahaya karena keduanya adalah gerakan maut yang bila mengenai sasaran sukar bagi lawan untuk membebaskan diri dari maut.

Kedua orang tua yang amat lihai itu terkejut, akan tetapi ternyata kakek dan nenek tua yang kelihatan sudah pikun itu masih mempunyai kesigapan yang mengagumkan. Mereka berdua tidak saja dapat meloncat sambil mengelak, malah lompatan mereka itu membuat mereka berpencar dan mengurung Keng Hong dari depan belakang, kemudian secara langsung mereka membalas.

Mereka berdua lalu mengeluarkan teriakan-teriakan mengerikan dan Hek-hiat Mo-li sudah menghantamkan tangan kanannya dari belakang ke arah punggung Keng Hong. Ada pun Pek-hiat Mo-ko juga menampar dengan telapak tangan ke arah dada pendekar sakti itu. Dari telapak tangan Hek-hiat Mo-li mengepul asap hitam, sedangkan dari tangan Pek-hiat Mo-ko mengepul asap atau uap putih! Itulah bukti betapa hebatnya sinkang mereka dan tangan beracun mereka.

Cia Keng Hong mengenal lawan tangguh. Secara otomatis kuda-kuda sepasang kakinya bergerak ke kiri seperempat lingkaran sehingga kalau tadi kedua lawan berada di depan dan belakang, kini yang di depan menjadi di sebelah kanannya sedangkan yang tadinya di belakang menjadi di sebelah kirinya. Kedua lengannya dikembangkan ke kanan kiri dan dengan tepat sekali dia sudah menyambut pukulan kedua orang lawannya dari kanan kiri itu dengan dorongan tangannya yang terbuka sambil mengerahkan tenaga sinkang.

"Plakk! Plakkk!"

Hek-hiat Mo-li terpekik dan terhuyung dua langkah ke belakang, ada pun Pek-hiat Mo-ko hanya terhuyung satu langkah ke belakang. Kedua kaki Cia Keng Hong sendiri ambles ke tanah sampai beberapa senti dalamnya. Diam-diam pendekar ini terkejut, maklum bahwa tenaga kedua orang lawan itu hampir setingkat kuatnya dengan tenaganya sendiri, dan ternyata si kakek itu sedikit lebih kuat dari pada si nenek.

"Cia Keng Hong, engkau akan mampus di tanganku!" teriak Pek-hiat Mo-ko.

"Biar kau menyampaikan tantangan kami kepada The Hoo si keparat yang sudah berada di neraka!" Hek-hiat Mo-li juga berteriak.

Dua orang tua itu lantas menancapkan tongkat masing-masing di atas tanah, kemudian mereka menggosok-gosok kedua tangan mereka sehingga nampak uap mengepul makin tebal dan terasa ada hawa panas datang dari tubuh nenek itu, akan tetapi dari tubuh kakek itu menyambar hawa dingin!

Kembali Keng Hong terkejut, akan tetapi dia tidak kehilangan ketenangannya dan berdiri di tengah-tengah, kedua kakinya memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, yaitu dua kaki terpentang lebar, lutut ditekuk dan tubuh tegak laksana seorang yang menunggang kuda. Memang pasangan kuda-kuda itu disebut ‘Menunggang Kuda’, kokoh kuatnya bagaikan kedua kaki telah berakar di bumi, namun ringannya seperti kaki burung yang siap terbang.

Tangan kanan pada pinggang kanan, jari-jarinya terbuka dan membentuk cakar garuda, sedangkan jari-jari tangan kiri lurus di depan dada kiri. Seluruh tubuhnya sama sekali tak bergerak, seolah-olah dia telah menjadi patung dan hanya sepasang matanya yang masih tajam itu mengerling ke kanan kiri, mengikuti gerak-gerik kedua orang musuhnya yang lihai itu.

"Yieeeehhh...!" Hek-hiat Mo-li sudah menerjang dari kiri, menggunakan kedua tangannya yang berubah hitam itu untuk mencengkeram.

"Arrgghhhh...!" Pek-hiat Mo-ko juga mengeluarkan suara gerengan seperti biruang, kedua tangannya menyerang pula dengan pukulan-pukulan tangan kosong dari kanan.

Keng Hong maklum bahwa dengan menancapkan tongkat di tanah kemudian menyerang dengan tangan kosong, tentu kakek dan nenek itu lebih mengandalkan kelihaian tangan mereka yang jelas mengandung hawa beracun yang jahat. Karena itu dia pun tak berani memandang rendah dan melihat betapa serangan nenek itu lebih dulu sedetik, dia cepat menghadapinya dengan memutar tubuh ke kiri tanpa mengalihkan kedua kakinya yang terpentang lebar. Dengan tangan berputar, jari-jarinya menuding ke atas dan ke bawah, dia memapaki serangan nenek yang mencengkeramnya.

Pendekar sakti ini menggunakan gerakan ‘Menyembah Langit dan Bumi’, suatu gerakan yang sangat ampuh, apa lagi karena dilakukan dengan pengerahan tenaga sinkang yang kuat sehingga dari gerakan kedua tangannya itu menyambar hawa pukulan dahsyat. Akan tetapi, pendekar ini hanya sempat menangkis saja karena dari sambaran angin di sebelah kanannya, dia maklum bahwa serangan Pek-hiat Mo-ko sudah tiba pula.

"Desss…! Plakk!"

Tubuh nenek itu mencelat ke belakang dan Keng Hong sudah memutar tubuh ke kanan, melengkungkan tubuh ke kiri dan meluruskan kaki kanan hingga tubuh atasnya menjauh. Dia melihat pukulan kedua tangan kakek itu datang mengancamnya dengan amat hebat, tangan kanan kakek itu menusuk ke arah matanya sedangkan tangan kiri digerakkan seperti sebatang golok menusuk ke arah ulu hatinya! Datangnya serangan amat cepat, didahului uap putih yang mengeluarkan hawa dingin sekali!

Untuk mengelak sudah tidak ada waktu, maka Keng Hong lalu menyambut serangan ke matanya dengan tangan kiri, sedangkan tusukan ke dadanya dia terima begitu saja! Dia tidak berani menggunakan tangan kanannya karena tangan itu perlu dia persiapkan untuk menghadapi serangan nenek dari belakangnya.

"Plakkk! Bukkk!"

Tangan kanan kakek bermuka putih itu bertemu dengan tangan kiri Cia Keng Hong, ada pun jari-jari tangan kiri kakek itu menghantam dengan jari-jari terbuka ke dada pendekar sakti ketua Cin-ling-pai. Akibatnya hebat! Kakek bermuka putih itu terbelalak, mukanya yang putih itu menjadi makin pucat dan matanya bergerak liar, mulutnya mengeluarkan teriakan-teriakan aneh dalam bahasa asing.

Kiranya Cia Keng Hong sudah mempergunakan ilmunya yang sangat hebat, yaitu Thi-khi I-beng, sehingga begitu sepasang tangan Pek-hiat Mo-ko bertemu dengan tangan kiri dan dadanya, kedua tangan kakek muka putih itu segera melekat dan langsung saja tenaga sinkang-nya membanjir keluar, tersedot melalui tangan dan dada ketua Cin-ling-pai!

Akan tetapi Keng Hong juga merasa khawatir karena sinkang yang memasuki tubuhnya itu mengandung racun yang berhawa dingin, maka dia cepat mengendalikan tenaganya agar tidak menyedot terlampau banyak dan Thi-khi I-beng itu hanya dipergunakan untuk menundukkan lawan saja.

"Ahhhhhhh...!" Pek-hiat Mo-ko mengeluarkan pekik nyaring dan mukanya menunjukkan kekagetan dan kengerian.

Melihat ini, Hek-hiat Mo-li dapat menduga bahwa temannya itu terancam bahaya, apa lagi dia melihat betapa kedua tangan temannya seperti melekat pada tubuh ketua Cin-ling-pai. Maka, sambil mengeluarkan suara melengking nyaring nenek ini pun menyerang hebat dengan pukulan tangannya ke arah tengkuk Keng Hong.

"Wuuuuttt...! Plakk! Plakk!"

Kembali Keng Hong menghadapi musuhnya yang tidak kalah lihainya dari pada kakek itu dengan penggunaan Thi-khi I-beng yang tersalur di seluruh tubuhnya. Tangan kanannya menyambut hantaman nenek itu sehingga kedua tangan mereka bertemu dan langsung saling menempel, sedangkan tamparan tangan kanan nenek itu ke arah punggungnya dia biarkan saja karena Ilmu Thi-khi I-beng menyambut pukulan itu, membuat tangan si nenek melekat pada punggungnya.

“Aihhhh...!" Hek-hiat Mo-li juga memekik ngeri ketika merasa betapa tenaga sinkang-nya membanjir keluar tanpa dapat dicegahnya, sedangkan ketika dia hendak menarik kedua tangannya, ternyata kedua tangan itu sudah melekat pada tubuh lawan dan tidak dapat ditariknya lepas!

Akan tetapi, pada waktu kedua orang kakek dan nenek itu merasa terkejut dan khawatir sekali menghadapi ilmu aneh yang selamanya belum pernah mereka hadapi itu, ilmu yang membuat kedua tangan mereka melekat pada tubuh lawan dan yang membuat tenaga sakti mereka membanjir keluar, pada lain fihak Cia Keng Hong juga terkejut dan maklum bahwa kalau dia melanjutkan penggunaan Thi-khi I-beng, maka dia sendiri tak urung akan celaka karena tenaga sinkang yang membanjir keluar dari tubuh dua orang lawannya itu mengandung hawa beracun yang sangat jahat dan memiliki sifat berlawanan, yaitu hawa beracun dari kakek itu amat dingin sebaliknya tubuh nenek itu mengeluarkan hawa yang amat panas. Sebelah dalam tubuhnya bisa keracunan dan rusak oleh dua hawa beracun yang saling berlawanan ini.

Pendekar sakti dari Cin-ling-pai ini tentu saja tidak sudi untuk mengadu nyawa dengan dua orang lawannya, maka dia cepat-cepat merendahkan tubuh dengan menekuk kedua lututnya, kemudian secara berbarengan dia melepaskan tenaga sakti Thi-khi I-beng dan pada saat itu juga tubuhnya meluncur ke depan sehingga terlepaslah dia dari kedua orang lawannya.

Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang merasa betapa tenaga mukjijat yang membuat tangan mereka melekat itu tiba-tiba saja lenyap, kalah cepat dan sebelum mereka sempat memukul, tubuh lawan yang sakti itu sudah meluncur ke depan. Mereka menjadi marah sekali, akan tetapi juga agak jeri karena mereka maklum bahwa lawan ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan aneh. Dengan hati-hati dan dengan mata mengandung sinar berapi, nenek dan kakek itu kembali menerjang Keng Hong dengan pukulan-pukulan yang dikerahkan sekuatnya, mengandung hawa beracun bergulung-gulung berbentuk uap hitam dan putih.

Cia Keng Hong yang sudah maklum bahwa tingkat kepandaian dua orang lawan ini tidak banyak selisihnya dengan tingkatnya sendiri, menghadapi mereka dengan waspada dan hati-hati, kini bersilat dengan dasar ilmu silat tinggi Thai-kek Sin-kun sehingga tubuhnya seolah-olah berubah menjadi bayang-bayang saja yang sukar sekali dapat disentuh oleh kedua orang lawan.

Tiba-tiba saja Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li mengeluarkan pekik panjang dan mereka merubah gerakan mereka. Keng Hong terkejut sekali. Kini dua orang itu tidak bergerak menyendiri, tetapi mereka bersilat dengan gerakan bergabung! Pek-hiat Mo-ko berputaran dan kaki tangannya menghujankan serangan dari kanan ke kiri, sedangkan Hek-hiat Mo-li berputar dari kiri ke kanan. Gerakan mereka saling membantu dan saling mengisi hingga Keng Hong menjadi sibuk sekali menghadapi lawan yang seolah-olah merupakan seorang lawan yang dapat memecah diri menjadi dua, yang gerakan-gerakannya begitu otomatis sambung-menyambung, saling melindungi dan saling membantu.

Dia terkejut dan kagum sekali karena dia maklum bahwa dua orang ini telah menciptakan sejenis ilmu silat mukjijat yang dimainkan secara berbareng oleh dua orang. Dia percaya bahwa kalau dua orang ini bersilat seperti itu, mereka menjadi kuat sekali sehingga biar menghadapi pengeroyokan banyak orang pun akan mampu saling melindungi.

Dia sendiri mulai terdesak dan sudah dua kali dia terkena pukulan pada pundak kirinya dan totokan pada pangkal lengannya. Untung dia masih sempat melindungi bagian yang terpukul dan tertotok itu dengan sinkang, kalau tidak tentu dia sudah terluka keracunan. Betapa pun juga, pendekar sakti ketua Cin-ling-pai ini terdesak hebat dan harus diakuinya bahwa baru sekarang selama puluhan tahun ini dia bertemu tanding yang sedemikian lihainya.

Hanya karena Cia Keng Hong mahir ilmu silat sakti Thai-kek Sin-kun sajalah maka dia masih mampu bertahan, meski pun dia terdesak dan tidak mampu melakukan serangan balasan. Sayang, pikirnya. Kalau saja Siang-bhok-kiam berada di tangannya, dia tak akan gentar menghadapi dua orang ini, dan tentu dia tidak akan terdesak seperti sekarang ini.

"Desss...! Plakk-plakk...!"

Kembali Cia Keng Hong terpaksa menerima dua kali tamparan dari Hek-hiat Mo-li yang mengenai punggung serta pundaknya setelah dia menangkis hantaman Pek-hiat Mo-ko. Sekali ini, saking hebatnya tamparan membuat kepalanya pening dan tubuhnya terhuyung juga dadanya sesak. Untung baginya bahwa tangkisannya yang keras sebelum itu sidah membuat tubuh Pek-hiat Mo-ko terpelanting. Kalau tidak, dalam keadaan terhuyung itu tentu sukar baginya untuk menyelamatkan diri.

Melihat betapa jago mereka terhuyung-huyung, sedangkan pertempuran itu berjalan amat lambat sehingga mereka memandang rendah kepada kakek dan nenek itu, empat orang anggota pasukan Mancu menyerbu dengan tombak di tangan, langsung menyerang kakek dan nenek itu.

"Jangan...!" Cia Keng Hong membentak, tapi terlambat. Empat orang itu telah menyerang dan menusukkan tombak mereka.

"Trakk-trakkk... desss!"

Empat batang tombak itu memang mengenai tubuh kakek dan nenek yang menerimanya sambil tersenyum mengejek, lantas patah-patahlah empat gagang tombak itu, kemudian begitu kedua tangan Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko bergerak, empat orang Mancu itu berteriak mengerikan dan tubuh mereka terlempar jauh dengan kepala pecah dan tewas seketika itu juga!

Keng Hong yang masih merasa pening itu menjadi marah sekali. Dia meloncat ke depan, sepasang tangannya memukul dengan tangan terbuka, sambil mengerahkan sinkang-nya. Angin pukulan langsung menyambar dahsyat ke arah tubuh Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko. Namun dua orang tua itu sudah siap siaga, mereka menekuk lutut, mengerahkan tenaga dan mendorongkan kedua tangan ke depan, masing-masing menyambut pukulan Cia Keng Hong.

“Desss! Desss...!"

Tubuh Cia Keng Hong kembali terjengkang dan terhuyung ke belakang. Tidak kuat dia menghadapi tenaga gabungan itu dan pendekar ini merasa dadanya sesak dan mencium bau darah, tanda bahwa dia sudah menderita luka yang biar pun tidak parah dan tidak berbahaya akan tetapi mengurangi daya tempurnya. Sedangkan tubuh kedua lawannya hanya bergoyang-goyang saja.

"Cia Keng Hong, bersiaplah untuk mampus!" Hek-hiat Mo-li berseru keras dan bersama temannya dia sudah siap untuk menyerang lagi.

"Ayah, biarkan saya mengambil bagian…!"

Tiba-tiba saja nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu telah muncul seorang pemuda tampan yang bukan lain adalah Cia Bun Houw! Tak lama kemudian muncul pula seorang pemuda lainnya yang berpakaian sederhana berwarna kuning, pemuda ini adalah Tio Sun yang datang bersama Cia Bun Houw.

Seperti sudah dituturkan di bagian depan Cia Bun Houw bersama Tio Sun berpisah dari enci-nya, juga dari Kwi Beng dan Kwi Eng untuk pergi melakukan penyelidikan terhadap musuh-musuh Cin-ling-pai yang sudah melarikan diri ke utara. Di dalam perjalanan itu, mereka mendengar pula akan peristiwa hebat yang menimpa kaisar, yang kabarnya telah tertawan oleh musuh. Juga mereka mendengar berita angin bahwa para musuhnya kini bekerja kepada Thaikam Wang Cin yang menjadi biang keladi jatuhnya malapetaka atas diri kaisar yang tertawan gerombolan liar.

Maka dua orang muda perkasa ini lalu mengambil keputusan untuk menyusul ke utara, kini dengan dua tujuan. Pertama untuk mencari musuh-musuh Cin-ling-pai, kedua untuk berusaha membantu dan menyelamatkan kaisar. Demikian, pada hari itu mereka tiba di dalam hutan yang menjadi markas dari barisan-barisan Mancu dan Khitan yang dipimpin oleh Cia Keng Hong, dan secara amat kebetulan melihat betapa ketua Cin-ling-pai tengah dikeroyok oleh dua orang tua yang sangat lihai. Tentu saja Bun Houw menjadi kaget dan marah, lalu meloncat mendahului Tio Sun untuk membantu ayahnya.

Hati Cia Keng Hong menjadi lega sekali ketika melihat munculnya pemuda ini. Dia sudah pernah menguji kepandaian Bun Houw dan maklum bahwa tingkat kepandaian puteranya yang telah menerima gemblengan manusia sakti Kok Beng Lama kini sudah cukup tinggi untuk menghadapi seorang lawan seperti kakek dan nenek ini. Dia tahu bahwa tingkat kepandaian Pek-hiat Mo-ko masih lebih tinggi sedikit dibandingkan tingkat kepandaian si nenek, maka dia cepat menghadapi kakek itu dan berkata kepada puteranya,

"Houw-ji, (anak Houw), kau lawanlah Hek-hiat Mo-li, tetapi berhati-hatilah terhadap hawa beracun dari tangannya yang mengandung tenaga Yang-kang yang cukup kuat."

"Jangan khawatir, ayah," Bun Houw berkata dan pemuda yang merasa penasaran dan marah melihat ayahnya tadi terdesak, langsung saja bergerak cepat, menyerang Hek-hiat Mo-li dengan tamparan tangan kiri ke arah kepala nenek itu.

Hek-hiat Mo-li merupakan seorang tokoh tua yang sudah puluhan tahun malang melintang di dunia persilatan bagian barat, sudah banyak menghadapi lawan-lawan tangguh. Tentu saja dia memandang rendah terhadap seorang pemuda yang menurut taksirannya tidak akan lebih dari dua puluh tahun usianya itu.

Oleh karena itu, melihat tamparan yang datang dengan perlahan itu, dia hanya terkekeh dan mengangkat lengan kanan untuk menangkis sambil mengerahkan hawa mukjijatnya sehingga gerakan tangan itu didahului dengan uap hitam, lalu disusul tangan kirinya yang menusuk dengan jari-jari terbuka ke arah lambung lawan sebagai serangan balasan.

"Desss...! Takkk!"

Hek-hiat Mo-li terkejut bukan main dan cepat dia meloncat ke belakang. Tadi ketika dia menangkis, dan tusukan tangannya juga tertangkis oleh pemuda itu, sepasang tangannya bertemu dengan tangan pemuda yang mengandung tenaga dahsyat sekali. Akan tetapi gerakan tangan itu, serta kedahsyatan tenaga yang menggetar-getar itu, membuat dia terbelalak karena dia mengenal gerakan tangan sakti itu. Pernah dia dan Pek-hiat Mo-ko hampir celaka oleh gerakan tangan seperti itu, ketika mereka merantau sampai ke Tibet.

"Apa hubunganmu dengan Kok Beng Lama...?!" bentaknya.

Mendengar bentakan ini, Pek-hiat Mo-ko juga menunda gerakannya menyerang Cia Keng Hong dan ikut memandang ke arah pemuda itu.

Bun Houw tersenyum. "Kok Beng Lama adalah suhu-ku, mau apa kau tanya-tanya?"

Mendengar ini, kakek dan nenek itu terkejut bukan kepalang, lalu si nenek mengeluarkan kata-kata dalam bahasa asing, kemudian kakek dan nenek itu menggerakkan tangan dan segumpal uap putih dan hitam menyambar ke arah Cia Keng Hong dan Cia Bun Houw. Serangan ini hebat sekali, karena selain uap itu mengandung racun yang berbahaya, juga di dalamnya terdapat senjata rahasia berbentuk jarum-jarum halus yang meluncur ganas dan tersembunyi.

"Houw-ji, awas...!" Keng Hong berseru, maklum akan bahayanya senjata rahasia itu.

Akan tetapi, seperti juga ayahnya, dengan mudah saja Bun Houw menghindarkan diri dari serangan uap hitam dengan memiringkan tubuh dan menggunakan pukulan tangan yang mengeluarkan angin dahsyat meruntuhkan uap hitam dan jarum-jarum di dalamnya.

"Hendak lari ke mana kalian?!" Bun Houw membentak.

"Houw-ji, jangan kejar. Biarkan mereka pergi!" Keng Hong mencegah puteranya dan Bun Houw tidak melanjutkan pengejarannya.

Keng Hong yang sudah mendengar tentang puteranya ini dari penuturan Cia Giok Keng yang pulang ke Cin-ling-pai, kini menceritakan kepada pemuda itu mengenai kaisar yang ditawan musuh dan mengenai usahanya untuk menyelamatkan kaisar. Dia merasa girang mendengar bahwa Tio Sun yang gagah perkasa itu adalah putera Tio Hok Gwan sahabat baiknya.

Mendengar betapa beberapa kali usaha pendekar sakti ketua Cin-ling-pai itu mengalami kegagalan dalam menyelamatkan kaisar, Bun Houw dan Tio Sun langsung menyatakan hendak membantu.

"Cia-locianpwe, biarlah saya dan adik Bun Houw menyelundup ke dalam benteng musuh untuk menyelamatkan sri baginda kaisar," kata Tio Sun penuh semangat. Sebagai putera seorang bekas pengawal kaisar yang setia, tentu saja Tio Sun ingin sekali membuktikan dharma baktinya terhadap kaisar.

Bun Houw juga menyetujui usul Tio Sun ini, akan tetapi Cia Keng Hong menggelengkan kepalanya. "Berbahaya sekali...," orang tua sakti ini berkata perlahan.

"Ayah, kami berdua tidak takut menghadapi bahaya untuk menyelamatkan kaisar!" Bun Houw berkata nyaring.

"Hemm, aku tahu. Akan tetapi bahayanya bukan hanya mengancam kalian berdua kalau kalian menyelundup ke sana, melainkan terutama sekali mengancam keselamatan nyawa kaisar."

"Ehh, mengapa begitu?" Bun Houw bertanya kaget.

"Apa maksud locianpwe?" Tio Sun juga bertanya karena merasa heran.

"Menurut penyelidikanku, biar pun menjadi tawanan musuh, kaisar mendapat pelayanan baik dan selama ini tidak pernah diganggu keselamatannya. Besar kemungkinan Sabutai hendak mempergunakan kaisar sebagai sandera, atau hendak membujuk kaisar supaya dengan suka rela suka menyerahkan tahta kerajaan kepadanya. Maka, kalau dia melihat kalian mengancam, bukan tidak mungkin dia akan merubah sikapnya terhadap kaisar."

Tio Sun dan Bun Houw mengangguk-angguk. "Habis, bagaimana baiknya, ayah? Tidak mungkin pula kita mendiamkan saja kaisar menjadi tawanan gerombolan liar."

"Satu-satunya jalan hanya menyerbu secara terbuka. Akan tetapi kekuatan pasukan yang berhasil kukumpulkan tidak berapa besar dan kita masih menanti datangnya bala tentara kerajaan yang tak kunjung datang. Sementara itu, kembali kita telah kehilangan beberapa orang, termasuk Yalu, yang tewas dalam tangan kakek dan nenek iblis itu. Tak kusangka bahwa Sabutai memiliki guru-guru yang demikian lihainya. Pantas dia berani mengadakan pemberontakan dan menawan kaisar."

Dua orang pemuda itu maklum bahwa apa bila mereka bertindak secara lancang, selain mereka sendiri terancam bahaya, juga mereka belum tentu dapat menolong kaisar, malah mungkin akan membahayakan nyawa kaisar. Oleh karena itu mereka menyerahkan siasat kepada ketua Cin-ling-pai dan menyatakan hendak membantu sekuat tenaga.

Tentu saja Cia Keng Hong merasa girang sekali memperoleh bantuan puteranya dan Tio Sun. Hati pendekar ini menjadi besar, semangat dan harapannya timbul kembali untuk menyelamatkan kaisar.

********************

Memang benar seperti dikatakan oleh Cia Keng Hong kepada puteranya dan Tio Sun bahwa Kaisar Ceng Tung mendapat pelayanan baik sekali oleh Sabutai. Bahkan lebih dari itu, kaisar memperoleh kebebasan di dalam gedung kecil yang dikelilingi taman indah, hanya dijaga oleh pasukan penjaga secara ketat di sekeliling taman itu sehingga tidak ada orang luar yang dapat masuk. Akan tetapi, kaisar sendiri dapat berjalan-jalan di dalam taman, dan apa pun yang dibutuhkannya dapat segera terlaksana karena banyak terdapat pelayan-pelayan wanita yang selalu siap melaksanakan perintahnya.

Malam itu bulan purnama gilang-gemilang memenuhi permukaan bumi dengan sinarnya yang sejuk. Kaisar Ceng Tung nampak duduk seorang diri di dalam taman, duduk di atas bangku sambil termenung menghadapi bunga-bunga yang mekar dan semerbak harum bermandikan sinar bulan purnama. Hatinya merasa lengang, sunyi dan merana karena malam yang indah dan sunyi ini mengingatkan dia akan kekasihnya, Azisha yang sudah tewas.

Malam yang seindah itu mengingatkan dia akan keindahan wajah kekasihnya, kemerduan suaranya dan kehangatan serta kelembutan tubuhnya, membuat dia merasa rindu sekali. Kaisar yang baru berusia dua puluh tiga tahun ini, yang masih amat muda, tersiksa oleh kerinduan akan belaian dan kasih sayang wanita.

Memang benar bahwa pelayan-pelayan yang disediakan oleh Sabutai untuk melayaninya terdiri dari para wanita muda yang cantik-cantik, akan tetapi sebagai seorang kaisar yang berkedudukan tinggi dan mulia, jauh lebih tinggi dari pada kedudukan Sabutai sebagai raja gerombolan liar itu, Kaisar Ceng Tung tidak sudi merendahkan dirinya dengan para pelayan itu. Lagi pula, setelah selama ini dia setiap malam terbuai dalam pelukan seorang wanita secantik Azisha, mana mungkin dia tertarik dengan kecantikan biasa para pelayan itu?

Sinar bulan purnama secara ajaib menyulap keadaan di dalam taman yang setiap hari telah dilihatnya itu menjadi semacam taman impian yang luar biasa, bermandikan cahaya keemasan yang redup dan sejuk menghijau, menimbulkan bayang-bayang tipis yang aneh namun indah mempesonakan. Rasa rindunya terhadap Azisha makin menekan dan kaisar yang muda ini diam-diam merintih di dalam batinnya.

Dia sudah kehilangan segala-galanya. Kehilangan kedudukannya, kehilangan kekasihnya, bahkan hampir kehilangan harapan karena sampai berbulan lamanya tak ada usaha yang datang dari kota raja untuk membebaskannya. Baru kini dia bisa melihat kenyataan, baru terbuka matanya betapa dia selama ini telah pulas dalam pelukan Azisha, telah terlena dalam kepalsuan Wang Cin yang kini menjebloskannya. Menyesallah hati kaisar muda ini dan diam-diam dia bersumpah bahwa andai kata umurnya masih panjang dan dia dapat memperoleh kembali kedudukannya, dia akan menebus semua kesalahannya terhadap rakyatnya, dia akan menjadi seorang kaisar yang baik.

Azisha...! Walau pun dia mendengar bahwa kekasihnya itu tewas karena hendak merayu Sabutai, dan meski pun dia sudah sadar bahwa wanita itu adalah kaki tangan Wang Cin yang sengaja diumpankan oleh Wang Cin untuk menundukkannya, namun tak mungkin baginya untuk melupakan wanita itu. Nama itu saja sudah mengandung kemesraan hebat, mengingatkan dia akan saat-saat yang penuh dengan kebahagiaan dan cinta kasih, penuh dengan kenikmatan sehingga harus diakuinya bahwa dia pernah jatuh cinta mati-matian kepada Azisha.

Tiba-tiba saja kaisar muda itu menggerak-gerakkan cuping hidungnya karena hidungnya mencium keharuman yang lain dari pada keharuman bunga di sekelilingnya. Keharuman semerbak yang sangat halus dan menyegarkan, yang mengingatkan dia akan keharuman yang keluar dari tubuh Azisha. Cepat dia menoleh ke kiri dan kaisar itu menahan napas, jantungnya berdebar dan matanya terbelalak.

Dalam sinar bulan yang kuning emas kehijauan itu dia melihat sesosok bayangan orang. Bayangan Azisha! Tak salah lagi! Tubuh yang ramping itu, lenggang yang lemah gemulai, wajah yang bersinar-sinar itu, siapa lagi kalau bukan Azisha?

“Azisha...!" Kaisar berseru lirih dan mengulurkan kedua tangannya, jantungnya berdebar penuh kerinduan. Sesaat dia lupa bahwa wanita yang bernama Azisha sudah tewas, dan bahwa tidak mungkin Azisha datang kepadanya malam hari ini.

Sosok bayangan wanita itu kini sudah tiba di hadapannya. Sejenak wanita ini berdiri dan memandang dengan sinar mata bercahaya dan bibir manis menahan senyum, kemudian ketika kaisar mengulangi panggilannya, dia menjatuhkan diri berlutut.

"Azisha...!"

Wanita itu menghela napas panjang, kemudian terdengar suaranya halus, lembut, "Harap paduka maafkan, hamba bukanlah Azisha."

Kaisar Ceng Tung terperanjat, lalu sadar bahwa memang tidak mungkin kalau wanita ini Azisha. Azisha sudah mati dan tidak mungkin arwahnya yang datang menggodanya. Biar pun dari tubuh yang berlutut itu keluar keharuman semerbak, akan tetapi keharuman yang berbeda dengan keharuman yang keluar dari tubuh Azisha, dan biar pun suara tadi halus merdu, namun logatnya berbeda dengan logat suara Azisha yang berdarah Mongol.

Ahhh, tentu suasana malam terang bulan purnama telah membuat dia seperti gila, pikir kaisar itu dengan hati merasa malu. Wanita ini tentu hanya salah seorang di antara para pelayan. Kembali dia memandang penuh perhatian lalu menggeleng kepala, membantah suara hatinya sendiri.

Tidak mungkin kalau pelayan, pikirnya. Pakaiannya bukan seperti pelayan, dan dandanan rambut yang panjang halus itu, hiasan rambutnya, pakaiannya, gerak-geriknya. Bukan, pasti bukan pelayan biasa!

"Siapakah namamu?" perlahan dia bertanya sambil memandang kepala yang menunduk sehingga tidak nampak mukanya itu.

"Nama hamba Khamila," wanita itu menjawab lirih pula. Suaranya halus dan mengandung getaran penuh perasaan sehingga mengharukan bagi Kaisar Ceng Tung.

"Engkau seorang pelayan?"

Wanita itu menggelengkan kepalanya. Tepat, seperti dugaanku, pikir kaisar. Dia bukanlah pelayan. Habis, siapa? Dan mau apa?

"Kalau begitu, apa keperluanmu masuk ke taman ini?" Sekarang pertanyaan kaisar mulai mengandung kecurigaan dan penyelidikan.

"Ampunkan hamba, hamba sengaja datang untuk... melayani paduka..." Gemetar suara itu sekarang.

Kaisar Ceng Tung mengerutkan kedua alisnya, tidak mengerti. "Melayani aku? Melayani bagaimana maksudmu?"

"Hamba ingin melayani paduka, apa pun juga yang paduka kehendaki dari hamba, akan hamba lakukan dengan segala kerendahan dan kebahagiaan hati hamba." Kini suara itu mulai agak lebih berani sehingga timbul keheranan kaisar dan dia ingin tahu lebih banyak.

"Akan tetapi, Sabutai sudah menyediakan banyak sekali pelayan dan segala kebutuhanku telah dicukupi. Sudah ada begitu banyak pelayan, perlu apa engkau hendak melayaniku?"

"Mereka itu tidak akan mampu merawat paduka dalam kesepian paduka, tidak akan dapat mengobati kesengsaraan hati paduka yang merana..."

Kaisar Ceng Tung terkejut sekali, menahan kemarahannya dan memandang heran penuh kecurigaan. "Perempuan muda, kalau engkau mengira bahwa dengan kecantikan engkau akan dapat menggoda dan menundukkan aku, engkau keliru. Siapa yang menyuruhmu datang menemuiku di sini?"

Dengan muka masih menunduk wanita itu segera menjawab, "Yang menyuruh hamba adalah perasaan hati hamba sendiri, hamba bersumpah bahwa tidak ada siapa pun yang menyuruh hamba, harap paduka tidak menaruh kecurigaan karena niat hamba ini tulus ikhlas dan tidak menyembunyikan sesuatu."

Kaisar Ceng Tung semakin terheran. Kata-kata yang keluar dengan halus dan tenang itu sama sekali tidak mengandung keraguan dan kebohongan, juga kata-katanya teratur baik tanda bahwa wanita ini terpelajar, sungguh pun ada logat asing di dalam kata-katanya. Timbullah keinginan tahunya dan dia berkata, "Kalau begitu, apakah yang mendorongmu menemui aku dan hendak melayaniku?"

"Yang mendorong hamba adalah rasa kagum dan iba. Hamba kagum akan kegagahan dan kejantanan paduka yang sedikit pun tidak mau menyerah, tidak merasa takut biar pun telah berada dalam cengkeraman harimau, dan hamba merasa iba melihat nasib paduka, maka hamba datang ingin menghibur paduka..."

Jantung kaisar muda itu mulai berdebar, hatinya tertarik sekali karena menganggap hal ini amat mustahil dan luar biasa anehnya. "Bangkitlah dan ke sinilah!" perintahnya.

Wanita itu bangkit berdiri dan tegaklah tubuh yang langsing itu, tubuh muda yang penuh dengan lekuk-lengkung menggairahkan di balik pakaiannya yang terbuat dari sutera halus. Dengan langkah-langkah lemah-gemulai bagaikan seorang penari, wanita itu lalu datang mendekat dan berdiri dekat sekali di hadapan kaisar yang juga sudah bangkit berdiri, menundukkan kepalanya.

Kaisar menatap rambut kepala yang halus hitam dan panjang itu dan hidungnya mencium keharuman yang aneh. "Angkat mukamu..." katanya perlahan

Wanita itu mengangkat mukanya perlahan dan bukan main kagetnya kaisar ketika melihat wajah seorang wanita muda yang amat cantik jelita! Sepasang mata yang bersinar-sinar, yang tanpa sembunyi-sembunyi memandangnya dengan cinta kasih yang jelas nampak di dalam sinar matanya, dengan bibir merah tipis tersenyum malu-malu, raut muka yang amat cantik, sikap yang menantang.

"Kau... kau cantik sekali..." Kaisar Ceng Tung berbisik lirih, suaranya agak gemetar.

Wanita itu tersenyum, jelas bahwa dia kelihatan girang oleh pujian ini. "Terima kasih, dan hamba... hamba siap dengan segala kerelaan hati untuk melayani paduka, menghibur paduka..." Suara wanita itu gemetar, tanda bahwa saat itu dia pun merasa tegang dan berdebar jantungnya.

Jelas bahwa dia bukanlah seorang wanita yang sudah biasa merayu pria, bukan seorang wanita yang sudah biasa bermain gila dengan sembarang pria yang dijumpainya, bukan seorang wanita cabul penjaja cinta. Makin heranlah hati Kaisar Ceng Tung dan sampai lama dia yang mulai terpesona itu menatap wajah yang amat cantik itu, wajah seorang wanita yang usianya masih amat muda, kurang lebih delapan belas tahun!

Bulan purnama bercahaya sepenuhnya menyelimutii taman itu. Menurut dongeng, Dewi Asmara memang bertempat tinggal di bulan, dan setiap bulan purnama, Dewi Asmara mengirimkan kekuasaan mukjijatnya melalui cahaya bulan purnama ke permukaan bumi. Cahaya bulan yang telah mengandung kekuasaan mukjijat ini akan mempengaruhi setiap makhluk di atas bumi, memperkuat daya tarik antara lawan kelamin, mendorong gairah birahi karena memang sudah menjadi tugas Dewi Asmara untuk memperlancar semua makhluk untuk berkembang biak. Demikianlah dongengnya.

Dongeng itu entah benar atau tidak, terserah. Akan tetapi yang jelas, melihat wajah cantik jelita tertimpa cahaya bulan purnama yang keemasan, Kaisar Ceng Tung terpesona. Dia baru berusia dua puluh tiga tahun, masih amat muda dan sedang dalam keadaan duka merana serta penuh kerinduan karena kehilangan Azisha, kekasihnya.

Sekarang, menghadapi seorang wanita yang kecantikannya tidak kalah oleh Azisha, yang datang-datang hendak menyerahkan diri kepadanya, tentu saja dia terpesona dan tanpa disadarinya lagi, kedua tangannya bergerak dan di lain saat wanita itu sudah didekapnya dengan ketat dan dua jantung berdetak keras.

"Kau... kau cantik jelita...," kata Kaisar Ceng Tung setelah dia mencium wanita itu, yang dibalas oleh wanita itu dengan gerakan kemalu-maluan tapi jelas memperlihatkan bahwa wanita itu benar-benar kagum dan suka kepada kaisar muda ini. "Akan tetapi... kalau… kalau ternyata engkau disuruh oleh Sabutai untuk merayuku... aku akan berubah benci padamu..."

Wanita itu membalik kemudian merangkul leher Kaisar Ceng Tung, memandang dengan kedua matanya yang bening lembut lalu berkata, "Mengapa paduka masih tidak percaya? Hamba datang atas kehendak hamba sendiri, hamba berani bersumpah..."

"Khamila, siapakah engkau yang begini berani memasuki taman ini untuk bertemu dengan aku? Kalau Sabutai mengetahui..."

"Tidak akan ada seorang pun yang berani mengganggu hamba, apa lagi para penjaga itu, bahkan Sabutai sendiri pun tidak akan mengganggu hamba..."

"Bagaimana engkau bisa begitu yakin? Siapakah engkau ini yang kekuasaannya begitu besar?"

"Apakah paduka belum dapat menduga? Hamba adalah isteri Sabutai..."

"Ahhh...!" Kaisar Ceng Tung mendorong dengan kedua tangannya hingga tubuh Khamila terhuyung ke belakang dan hampir saja roboh terjengkang.

Wanita itu memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat, akan tetapi dia segera melangkah maju lagi dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaisar itu.

"Harap paduka memaafkan hamba... sesungguhnya hamba melakukan ini bukan sebagai penyelewengan melainkan dengan penuh kesadaran, bahkan juga sepengetahuan suami hamba, Sabutai..."

"Apa...?" Kaisar Ceng Tung makin terkejut dan heran, juga amat tertarik.

Melihat wanita itu berlutut dan memandang kepadanya dengan mata sayu, timbul rasa iba di dalam hatinya, apa lagi ketika dia teringat betapa mesra sikap wanita itu tadi di dalam pelukannya dan betapa dia telah mendorongnya hampir roboh.

"Ke sinilah, Khamila, dan ceritakan sebenarnya."

Khamila bangkit berdiri dan tak lama kemudian dia telah dipangku dan dipeluk oleh kaisar yang kini duduk di atas bangku. Dengan suara lembut wanita cantik itu lalu menceritakan keadaannya, bahwa dia menjadi isteri Sabutai karena dipaksa, bahwa dia sama sekali tak mencintai suaminya itu.

"Akan tetapi, dia sangat mencinta hamba dan dia menyayangkan bahwa sampai sekarang hamba belum juga mempunyai keturunan. Saking cintanya kepada hamba, dia tidak mau mengambil isteri lain, bahkan dia merencanakan untuk menyuruh hamba tidur dengan pria lain secara diam-diam, semata-mata agar hamba dapat memperoleh keturunan."

"Ahhh...?" Kaisar Ceng Tung terkejut dan merasa heran sekali mendengar ini.

"Hamba tidak cinta kepadanya, mana mungkin hamba dapat melahirkan keturunannya? Dan hamba merasa ngeri kalau harus melayani pria lain. Setelah hamba melihat paduka yang menjadi tawanan, begini gagah perkasa, begini tampan dan halus, seketika hamba jatuh cinta maka hamba berterus terang kepada Sabutai bahwa kalau hamba diharuskan melayani pria lain agar memperoleh keturunan, hanya padukalah orangnya yang hamba pilih. Dia setuju, bahkan merasa terhormat karena paduka adalah seorang raja yang jauh lebih besar dari pada dia."

Kaisar Ceng Tung mengangguk-angguk dan membelai leher yang halus itu. Gairahnya berkobar sesudah wanita ini terang-terangan menyatakan cintanya. Tidak lama kemudian, kaisar memondong tubuh yang ringan itu memasuki gedungnya, ada pun Khamila hanya merangkulkan lengannya ke leher kaisar itu, menyembunyikan muka di dadanya dengan jantung berdebar. Dia tidak mau menceritakan bahwa kalau hubungan di antara mereka tidak menghasilkan keturunan, dia akan dibunuh oleh Sabutai!

Dan mulai malam hari itu pula, dengan penuh kemesraan setiap malam Khamila datang mengunjungi Kaisar Ceng Tung dan baru kembali ke istana menjelang pagi. Kaisar Ceng Tung merasa terhibur dan diam-diam dia jatuh cinta kepada isteri Sabutai ini, demikian pula dengan Khamila yang baru pertama kali itu menyerahkan cinta kasihnya terhadap seorang pria.

Kurang lebih satu bulan kemudian, Khamila tidak muncul lagi! Kaisar Ceng Tung menjadi gelisah dan sampai tiga malam lamanya dia menanti-nanti di taman dengan hati penuh kerinduan. Pada malam hari ketiga, ketika dia duduk melamun di atas bangku, tiba-tiba dia mendengar suara di belakangnya. Cepat dia menoleh dengan wajah girang, mengira bahwa Khamila yang muncul. Akan tetapi betapa kaget hatinya ketika dia melihat bahwa yang datang adalah Sabutai!

Cepat kaisar berdiri dengan sikap angkuh, memandang kepada musuhnya yang muncul sendirian itu. Sedikit pun Kaisar Ceng Tung tidak merasa takut, hanya kecewa melihat bahwa yang datang bukanlah Khamila yang ditunggu-tunggui, melainkan musuhnya ini.

Sabutai tersenyum lebar dan menjura dengan hormat. "Saya datang untuk mengucapkan terima kasih!"

Kaisar Ceng Tung mengerutkan alisnya. "Apa maksudmu?" tanyanya tenang.

"Karena paduka maka isteri saya kini mengandung dan akan melahirkan seorang anak, keturunan saya! Dan karena peristiwa ini pula maka isteri saya tidak akan mati, juga saya merasa makin hormat kepada paduka."

Kaisar Ceng Tung memandang dengan mata terbelalak. "Dia... dia tidak akan mati? Apa maksudmu?"

Kembali Sabutai tersenyum. "Tak tahukah paduka bahwa dia mendatangi paduka dengan taruhan nyawa? Kalau dia tidak berhasil, tidak mengandung dalam waktu satu bulan, dia akan saya bunuh sebagai seorang isteri yang melakukan jinah, dan mungkin paduka tidak akan terbebas dari hukuman pula. Betapa pun juga, syukur dia telah mengandung. Sekali lagi, terima kesih." Sabutai menjura lagi, kemudian pergi dari situ dengan langkah lebar dan wajah berseri.

Beberapa saat lamanya Kaisar Ceng Tung berdiri terpaku bagaikan patung, lalu dengan tubuh lemas dia menjatuhkan diri di atas sebuah bangku. Berkali-kali dia menghela napas panjang, merasa hatinya kosong dan berduka. Rasa cintanya terhadap Khamila semakin mendalam. Wanita itu telah mengandung keturunannya!

Betapa mesra dan lembut perasaan hatinya terhadap wanita itu. Akan tetapi dia pun tahu bahwa tidak ada kemungkinan lagi baginya untuk berjumpa dengan wanita itu. Sabutai tentu akan melarang keras. Dan dia tak dapat berbuat sesuatu! Memperjuangkan haknya sebagai ayah kandung dari anak yang berada dalam kandungan Khamila? Tak mungkin, karena hal ini hanya akan mencemarkan nama Khamila dan dia sendiri. Tak terasa lagi, dua tetes air mata membasahi pipi kaisar ini.

********************

"Huh, engkau sudah menjadi gila agaknya..." Dia meremas tangannya sendiri. Suaranya lirih dan mengandung kegemasan. Sejak tadi dia duduk di bawah pohon di dalam hutan lebat itu, seorang diri saja dan kadang-kadang termenung, kadang-kadang berbisik-bisik seorang diri seperti orang yang gila.

Dia seorang gadis yang amat cantik jelita. Usianya paling banyak dua puluh tahun, karena biar pun melihat wajahnya masih kelihatan seperti seorang dara remaja yang tidak akan lebih dari lima belas tahun, namun di balik sinar matanya dan lekuk mulutnya terbayang kematangan seorang gadis yang telah dewasa.

Sepasang matanya tajam dan bening, agak lebar dan dihias oleh bulu mata yang panjang lentik dan yang membentuk bayang-bayang di pipi atasnya. Hidungnya kecil mancung, sangat serasi dengan mulutnya yang indah bentuknya, dengan sepasang bibir yang tipis merah dan amat lunak, tapi bibir yang seperti buah masak itu membayangkan kekerasan hati terutama sekali lekuk dagunya.

Rambutnya hitam panjang dan halus, digelung ke atas seperti bentuk bunga teratai dan ujung rambutnya dibiarkan terurai di belakang punggungnya. Panjang sekali rambut itu, karena biar pun sudah digelung, sisanya masih mencapai punggung. Agaknya jika gelung dilepas, panjang rambut itu akan mencapai bawah pinggul.

Pakaiannya sederhana potongannya, juga terbuat dari bahan yang kuat dan tidak mahal, jahitannya pun kasar akan tetapi setelah menempel di tubuhnya, menjadi patut dan manis sekali. Hal ini adalah karena bentuk tubuhnya memang sangat indah, padat dan dengan lekuk lengkung sempurna, bagian atas dan bawah yang padat agaknya dipisahkan dan dibatasi oleh pinggang yang ramping sekali.

Sebatang pedang panjang tergantung pada pinggang kirinya, dan pedang ini menambah kegagahan di samping kecantikannya yang asli tanpa bantuan bedak dan gincu. Seorang dara yang cantik jelita, manis, dan gagah perkasa.

Dia adalah Yap In Hong! Pada saat itu, In Hong yang sudah sejak tadi duduk termenung di bawah pohon, nampak amat kesal dan beberapa kali mengepal tinju, meremas tangan sendiri dan bersungut-sungut memaki diri sendiri.

Dia merasa marah kepada diri sendiri karena semenjak pertemuannya dengan Bun Houw dia merasa tidak sewajarnya, tidak seperti dulu-dulu lagi dan betapa pun dia berusaha untuk melupakan pemuda itu, namun setiap saat dia teringat lagi, teringat akan semua peristiwa yang dialaminya bersama pemuda itu, terbayang akan wajahnya, sinar matanya, senyum dan kata-katanya! Di lubuk hatinya ada perasaan mesra dan kerinduan untuk berdekatan dengan pemuda itu, dan inilah yang membuat dia marah kepada diri sendiri sampai dia memaki dirinya sendiri gila.

Memang tanpa disadarinya sendiri, dia telah tergila-gila, telah jatuh cinta kepada pemuda itu. Pemuda itu merupakan suatu kekecualian. Selama ini, sejak kecil telah ditanamkan di dalam hatinya akan kepalsuan kaum pria, akan kejahatan dan kesewenang-wenangan mereka terhadap kaum wanita sehingga ada dasar tidak suka di dalam hatinya terhadap kaum pria. Akan tetapi, begitu bertemu dengan Bun Houw, melihat sikap pemuda itu yang gagah perkasa, yang jauh dari pada mempermainkan wanita, bahkan menolak bujuk rayu wanita, yang bersikap baik, halus dan sopan kepadanya, maka jatuhlah hatinya!

Akan tetapi dia berusaha untuk menyangkal hal ini dan selalu melawan perasaan hatinya. Celakanya, makin dilawan, makin beratlah rasa hatinya, makin kuat dorongan hasratnya untuk selalu berdekatan dengan Bun Houw.

Maka terjadilah perang di dalam hatinya sendiri dan akibatnya membuat gadis ini seperti orang bingung. Kadang-kadang dia menjauhi, akan tetapi tak lama kemudian kembali dia mendekati dan diam-diam membayangi perjalanan Bun Houw.

Bahkan dari jauh dia melihat Bun Houw yang bertemu dengan orang-orang gagah, lalu dia berkesempatan pula menyelamatkan Souw Kwi Beng dari tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim dan membunuh orang keempat dari Lima Bayangan Dewa itu. Akan tetapi dia selalu cepat menghindarkan pertemuan dengan Bun Houw, karena dia merasa malu bila sampai ketahuan oleh pemuda itu bahwa selama ini dia membayangi pemuda itu! Apa lagi ketika dari jauh dia melihat Cia Giok Keng puteri ketua Cin-ling-pai, kemudian melihat pula Yap Kun Liong kakak kandungnya, In Hong terkejut dan cepat menjauhkan diri tidak berani mendekat.

Betapa pun juga, perasaan rindunya dan ingin berdekatan dengan Bun Houw membuat dia mengintai lagi dan akhirnya dia membayangi Bun Houw yang melakukan perjalanan ke utara bersama Tio Sun. Setelah Bun Houw dan Tio Sun membantu Cia Keng Hong mengusir dua orang kakek dan nenek yang amat lihai, dua orang pemuda itu masuk ke dalam perkemahan pasukan orang Mancu dan Khitan itu dan hingga berhari-hari lamanya tidak meninggalkan tempat itu.

"Bodoh kau!" Kembali In Hong mengomeli dirinya sendiri.

Betapa dia tidak akan merasa jengkel dan gemas terhadap dirinya sendiri yang selama ini selalu berkeliaran di dalam hutan di sekitar perkemahan itu, menanti-nanti munculnya Bun Houw! Dia telah membiarkan dirinya tersiksa hidup berhari-hari di dalam hutan liar dan lebat, tanpa kawan, dengan hati penuh rasa rindu dan kejengkelan. Beberapa kali dia ingin memasuki perkemahan itu untuk bertemu dengan Bun Houw, akan tetapi rasa malu membuat dia mundur kembali.

Ia telah melakukan penyelidikan sekedarnya dan telah mendengar bahwa kaisar menjadi tawanan Sabutai dan bahwa kelompok orang Mancu dan Khitan yang dipimpin oleh ketua Cin-ling-pai itu berniat untuk menyelamatkan kaisar, akan tetapi selalu terpukul mundur oleh pasukan Sabutai yang jauh lebih banyak dan kuat.

"Kalau begini terus, aku bisa gila benar-benar!" Akhirnya In Hong bangkit berdiri, lantas mengepal tinju, mengambil keputusan bahwa dia akan menemui Bun Houw! Dia sudah mempunyai alasan untuk mengatasi rasa malunya, yaitu bahwa dia hendak membantu pemuda itu untuk menolong kaisar yang tertawan musuh!

Akan tetapi In Hong tidak ingin bertemu dengan orang-orang lain, apa lagi dengan ketua Cin-ling-pai! Orang tua sakti itu pernah hendak menjodohkan dia dengan puteranya, ingin mengambil mantu padanya. Tentu saja dia merasa malu apa bila kelihatan oleh ketua itu bahwa dia ingin membantu Bun Houw dan merasa senang apa bila berdekatan dengan pemuda she Bun itu, seorang pemuda biasa saja!

Kecuali kalau pemuda itu sudah menerimanya, kalau kemudian terpaksa bertemu dengan siapa pun, tidak mengapa. Yang penting, dia harus bertemu dulu dengan Bun Houw untuk menyatakan keinginannya membantu usaha pemuda itu menolong kaisar.

Dia masih harus menanti sampai tiga hari, barulah pada suatu senja In Hong melihat Bun Houw keluar seorang diri dari daerah perkemahan itu. Dengan girang dia lalu muncul dari atas pohon, meloncat bagai seekor burung garuda ke depan Bun Houw yang memandang dengan kaget sekali, akan tetapi segera wajah pemuda ini berseri ketika dia mengenal siapa yang meloncat turun menghadang di depannya dari atas pohon itu.

"Hong-moi...!" Seruan yang keluar dari mulut Bun Houw ini mengandung getaran karena memang selama ini sering kali dia mengenangkan dara itu dengan hati penuh kerinduan, maka pertemuan yang tidak disangka-sangkanya ini secara tiba-tiba membuat dia terkejut dan girang bukan main.

Hati yang penuh kerinduan membuat matanya melihat gadis itu lebih cantik dan gemilang dari pada yang dibayangkan selama ini, membuat jantungnya berdebar penuh kagum, dan membuat dia lupa pula akan segala hal lain mengenai diri In Hong yang dikenalnya sebagai seorang gadis cantik jelita dan berilmu tinggi dan yang mengaku bernama Hong saja.

Hati gadis itu pun girang sekali. Ketika melihat wajah Bun Houw, mendengar suaranya, mendatangkan perasaan aneh di dalam dadanya, membuat jantungnya berdebar tegang dan ada perasaan malu-malu yang aneh sekali, yang membuat wajahnya menjadi merah dan tidak kuat dia menentang pandang mata itu.

"Bun-twako... sudah berhari-hari aku menunggu kesempatan ini... akhirnya kau muncul sendirian juga...," katanya lirih sambil menundukkan pandang mata, akan tetapi mukanya cepat diangkatnya kembali dan dia memandang dengan sinar mata tajam berseri.

"Berhari-hari menunggu...? Kenapa kau tidak langsung saja masuk ke perkemahan dan menemui aku?"

"Aku tidak ingin bertemu dengan yang lain-lain, terutama dengan ketua Cin-ling-pai, aku mau bicara dulu denganmu, Bun-twako."

"Engkau sudah tahu keadaan kami..." Tiba-tiba Bun Houw teringat dan alisnya berkerut, wajahnya yang tadinya berseri itu berubah muram.

"Tentu saja aku tahu semua karena selama ini aku mengikutimu dari jauh, twako."

"Hemm... aku tahu... engkau telah menyerang dan hampir membunuh Souw Kwi Eng..."

"Aku tidak mengenal siapa itu Souw Kwi Eng, akan tetapi aku memang telah membunuh Hui-giakang Ciok Lee Kim dan monolong Souw Kwi Beng...," kata In Hong terheran.

Bun Houw mengangguk-angguk, hatinya mulai panas karena dia teringat akan perbuatan kejam gadis ini. Tentu dia tidak akan mau mengakui perbuatan keji itu, pikirnya.

"Aku tahu semua itu... sekarang engkau menemui aku ada keperluan apakah?"

In Hong menjadi makin terheran-heran melihat perubahan sikap dan wajah pemuda itu. "Aku telah mendengar bahwa kaisar ditawan musuh dan aku tahu bahwa engkau hendak menolongnya, Bun-twako. Oleh karena itu aku hendak menawarkan bantuanku, aku ingin membantumu."

"Tidak...! Aku tidak mau...!" Bun Houw menggelengkan kepala, suaranya kasar karena dia membayangkan gadis she Ma yang tewas secara mengerikan di dalam kamarnya, tewas oleh seorang wanita lihai yang tentu saja gadis cantik yang sedang berdiri di depannya inilah orangnya!

Saking kaget dan herannya melihat sikap pemuda itu, In Hong lantas melangkah maju mendekat, menatap wajah itu dengan penuh selidik lalu dia bertanya, "Bun-twako, engkau kenapakah?"

"Aku tidak membutuhkan bantuanmu!"

Hati Bun Houw semakin panas karena terdorong oleh rasa kecewa. Dia amat tertarik oleh dara perkasa ini, dia merasa sangat kagum terhadap dara ini, bukan hanya kagum oleh kecantikannya yang luar biasa, juga terutama sekali oleh kepandaiannya, akan tetapi rasa kagumnya itu hancur oleh kekejaman gadis ini yang seperti iblis.

"Engkau... engkau Dewi Maut, cantik jelita dan berilmu tinggi akan tetapi ganas dan kejam seperti iblis!"

"Twako...!" In Hong langsung mengerutkan alisnya dan pandang matanya mulai mengeras. Seketika lenyaplah semua perasaan mesra di hatinya oleh sikap dan kata-kata Bun Houw itu. "Engkau boleh saja menolak bantuanku akan tetapi engkau tidak berhak memaki aku seperti itu!" bentaknya.

"Aku tidak memaki, hanya berkata sebenarnya. Engkau kejam dan ganas, dan aku tidak sudi kau bantu!"

"Orang she Bun yang sombong!" In Hong sudah naik darah dan kedua tangannya dikepal. "Kau kira aku ini siapa boleh kau hina begitu saja?"

Bun Houw juga menjadi marah. Kekecewaan hatinya melihat kenyataan bahwa dara yang dipujanya, yang diam-diam sudah mencuri hatinya secara aneh ternyata adalah seorang iblis betina, membuat dia marah sekali. "Kau hendak membunuhku juga? Ha-ha, majulah, jangan mengira aku takut padamu!"

"Keparat...!" In Hong sudah hendak menyerang dan Bun Houw sudah siap melawan, akan tetapi tiba-tiba In Hong melangkah mundur dua tindak, mukanya pucat dan mulutnya yang berbentuk indah itu tersenyum, senyum yang menutupi hati yang terasa sakit. "Tidak... tidak sekarang... aku akan membiarkan kau hidup sementara untuk membuka matamu agar kau melihat betapa tololnya engkau yang telah menuduhku yang bukan-bukan..."

"Bukan menuduh melainkan kenyataannya kau telah membunuh gadis dusun itu secara kejam! Selain membunuh gadis dusun yang tidak berdosa, engkau pun sudah menyerang dan hampir membunuh Souw Kwi Eng! Kau tidak perlu mungkir lagi."

"Hemmm, alangkah mudahnya sekarang aku menggerakkan tangan membunuhmu untuk menghentikan ocehanmu yang penuh kepalsuan ini. Akan tetapi tidak, biar lebih dulu kau melihat kenyataan sehingga kau menyesali fitnah ini, baru aku akan mencabut nyawamu!" Setelah berkata demikian, In Hong berkelebat dan lenyap di balik pohon-pohon.

Bun Houw hendak mengejar, akan tetapi cuaca sudah mulai gelap dan dia berdiri seperti patung di bawah pohon, hatinya masih panas dan dadanya bergelora, akan tetapi ada penyesalan menyelinap di dalam dadanya. Diam-diam dia menyesal bukan main.

Gadis itu datang menawarkan bantuan, betapa baik niat hatinya. Akan tetapi, bagaimana dia dapat menerimanya, bagaimana dia dapat bekerja sama dengan gadis yang berwatak seperti iblis itu? Hanya karena cemburu, dan ini sudah jelas sekali, gadis itu hampir saja membunuh Kwi Eng, dan secara kejam membunuh gadis she Ma yang sama sekali tidak berdosa! Biar pun diam-diam dia amat kagum kepada gadis itu, namun mengingat akan kenyataan yang mengerikan ini dia harus mengeraskan hati dan memutuskan hubungan di antara mereka...

********************

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.