Dewi Maut Jilid 25
JAUH di sebelah dalam hutan itu, di antara kegelapan malam yang hampir tiba, In Hong berdiri menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon besar, kedua tangannya mengepal tinju, matanya terpejam dan pipinya basah oleh beberapa butir air mata. Akan tetapi, setiap ada butiran air mata turun dari matanya, kepalan tangannya mengusapnya dengan keras. Dia tidak harus menangis! Ingin dia berteriak untuk memberi jalan keluar hatinya yang bergelora, yang menindih.
Dia telah dihina orang! Dihina seorang laki-laki dan celakanya, laki-laki itu adalah laki-laki yang dikiranya pria yang istimewa, yang merupakan kekecualian, yang tidak sama bahkan kebalikan dari para pria yang dikutuk oleh gurunya. Hatinya sakit bukan main. Bun Houw telah menolak bantuannya, bahkan memaki dirinya sebagai seorang wanita kejam seperti iblis! Bahkan telah berani menantangnya!
"Si keparat...!" desisnya di antara isak yang keluar dari dadanya.
Orang macam dia berani menantang? Kalau dia tadi turun tangan, dalam beberapa jurus saja tentu laki-laki itu akan dapat dibunuhnya! Akan tetapi kenapa tidak dilakukannya hal itu? Padahal, kalau ada laki-laki lain bersikap kasar sedikit saja kepadanya, tentu dia tidak segan-segan untuk menurunkan tangan besi dan membunuhnya.
Tidak, dia tidak akan turun tangan demikian mudah terhadap Bun Houw. Biar laki-laki itu terbuka matanya, bahwa semua tuduhannya itu bohong belaka, bahwa dia bukanlah iblis betina yang melakukan semua tuduhan itu, dan setelah laki-laki itu menyesal dan terbuka matanya, baru dia akan membunuhnya.
Teringat akan semuanya itu, teringat betapa dia tersiksa batinnya karena rindu dan ingin berdekatan dengan Bun Houw, kemudian betapa sikap pemuda itu telah menghancurkan hatinya, jantungnya bagaikan ditusuk-tusuk dan terasa semakin sakit. Apa lagi kalau dia teringat betapa dia telah bersusah payah menolong pemuda itu ketika Bun Houw disiksa dan hampir mati di tangan dua orang Bayangan Dewa. Kalau tidak dia datang menolong, tentu sekarang pemuda itu sudah tewas. Dan pemuda itu membalas kebaikan itu dengan makian dan penghinaan!
"Orang she Bun! Kau lihat saja pembalasanku nanti!" kembali In Hong mengepal tinju.
Akan tetapi dia terbayang akan kemesraan antara mereka, ketika mereka bercakap-cakap sambil makan berdua, menukar pedang dengan giok-hong-cu, dan tinjunya kembali harus menghapus dua titik air mata yang tiba-tiba saja meloncat keluar. Terngiang di telinganya tuduhan-tuduhan yang dilontarkan Bun Houw kepadanya.
Dia menyerang dan hampir membunuh wanita yang bernama Souw Kwi Eng? Dia tidak mengenal nama itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa wanita itu agaknya masih ada hubungan saudara dengan Souw Kwi Beng, pemuda tampan bermata biru yang pernah diselamatkannya dari tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim itu.
Dan kemudian katanya dia membunuh seorang gadis desa yang tidak berdosa? Sama sekali dia tak mengerti siapa gadis ini. Semua itu fitnah belaka. Bohong belaka dan sekali waktu dia harus dapat membuka mata Bun Houw untuk melihat bahwa semua tuduhan yang dilontarkan itu kosong belaka. Baru kemudian dia akan membunuhnya.
Hati yang panas dan sakit membuat In Hong pergi meninggalkan hutan itu dengan hanya satu saja niat di dalam hatinya, yaitu membantu fihak yang dimusuhi Bun Houw! Dia ingin bertemu dalam pertempuran melawan pemuda itu, bukan untuk membunuhnya, melainkan untuk mengejeknya, karena dia baru akan membunuh kalau pemuda itu sudah melihat bahwa tuduhannya tadi kosong.
Dia tidak mau dibantu? Baik, jika pemuda itu tidak mau dibantu maka dia akan membantu fihak musuhnya! Benteng pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Sabutai tak jauh dari tempat itu.
Akan tetapi In Hong bukanlah seorang yang ceroboh. Sama sekali tidak. Semenjak kecil dia hidup bersama gurunya dalam keadaan penuh dengan kesukaran dan kekerasan, dan semua pengalaman itu membuat dia amat berhati-hati. Dia tidak akan memasuki tempat berbahaya yang belum dikenalnya begitu saja.
Dahulu gurunya sudah sering memberi peringatan kepadanya supaya dia jangan mudah menaruh kepercayaan kepada siapa pun juga, apa lagi kepada kaum pria. Dan benteng pasukan yang dipimpin Sabutai itu merupakan tempat yang penuh bahaya. Betapa pun tinggi kepandaiannya, tentu dia tidak akan berdaya menghadapi kekuatan pasukan yang ribuan orang banyaknya itu, apa lagi kalau di situ terdapat pula banyak orang pandai.
Oleh karena itu, pada pagi hari itu, pada waktu keadaan masih gelap, In Hong berhasil menculik seorang penjaga yang melakukan tugas menjaga dan meronda di luar benteng, memukulnya roboh pingsan kemudian menyeretnya ke dalam hutan yang masih gelap. Dia lalu mengancam dan memaksa penjaga yang ketakutan dan mengira bahwa dirinya diserang dan diculik setan penjaga hutan, agar orang itu menceritakan keadaan di dalam benteng Sabutai.
Dari orang inilah In Hong mendengar bahwa kaisar masih menjadi seorang tawanan yang terhormat dan dalam keadaan sehat, sedangkan Wang Cin masih menjadi tamu yang tidak bebas, bersama para pembantunya yang lihai. Ketika In Hong mendengar bahwa di antara para pembantu Wang Cin itu terdapat nenak Go-bi Sin-kouw di samping tiga orang Bayangan Dewa, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu, dia terkejut sekali akan tetapi juga girang.
Dengan adanya para kakek dan nenek yang sakti itu, dia tahu betapa kuatnya keadaan di dalam benteng akan tetapi dia pun melihat adanya kesempatan baginya untuk memasuki benteng itu dengan terang-terangan karena dia sudah mengenal mereka, terutama Go-bi Sin-kouw sehingga dia dapat berpura-pura membantu nenek itu!
Sungguh pun dia berhasil mengorek keterangan dari penjaga itu, namun dengan cerdik In Hong melakukan pertanyaan dan ancaman sambil bersembunyi dan merubah suaranya menjadi besar sehingga orang itu sama sekali tidak tahu siapa yang telah menculik dan mengajukan semua pertanyaan serta ancaman itu. Kemudian, kesempatan itu pun tidak membuat In Hong kekurangan kewaspadaannya. Dia baru muncul di depan pintu benteng itu pada malam harinya. Dia memilih malam hari dengan maksud bahwa andai kata dia diterima dengan todongan senjata dan dia tak mampu mengatasi begitu banyaknya orang pandai, dia akan lebih mudah menyelamatkan diri dari pada kalau siang hari.
"Berhenti! Siapa di situ?!" Tiba-tiba beberapa orang penjaga muncul dan dengan tombak ditodongkan mereka cepat menghampiri In Hong yang berhenti dan berdiri tegak di bawah lampu di pintu gerbang.
Pada saat enam orang penjaga melihat bahwa yang menghampiri pintu gerbang adalah seorang gadis yang cantik bukan main, mereka terkejut, terheran, dan juga menjadi lega, bahkan tersenyum gembira karena penjagaan di tempat sunyi membuat mereka menjadi kesal dan munculnya seorang wanita yang begini cantik tentu saja merupakan hal yang amat menghibur.
"Heiiii, nona manis, siapakah engkau yang malam-malam begini muncul di sini dan apa pula kehendakmu?" tegur kepala jaga sambil menyeringai, sedangkan enam pasang mata laki-laki seperti orang kehausan melihat air jernih menjelajahi seluruh tubuh In Hong dari kepala sampai ke sepatunya.
Teguran itu diucapkan dalam Bahasa Mongol dan In Hong tidak mengerti artinya, maka dia hanya tersenyum dan menjawab dengan gelengan kepala saja. Seorang di antara para penjaga itu dapat berbahasa Han, maka dia lalu menjadi juru bahasa, menterjemahkan pertanyaan kepala jaga itu dengan suara yang kaku.
"Aku adalah kenalan baik Go-bi Sin-kouw yang berada di dalam benteng, dan aku ingin bertemu dengan dia dan rombongannya," jawab In Hong terpaksa menahan kesabarannya karena dia tidak ingin memancing keributan di tempat berbahaya ini.
Mendengar keterangan ini, semua penjaga yang berjumlah dua belas orang dan sekarang sudah berkumpul di sana, saling memandang dengan curiga. Memang semua pengikut Sabutai menaruh curiga kepada rombongan Pembesar Thaikam Wang Cin itu.
Kepala jaga lalu menyuruh salah seorang anak buahnya untuk melapor ke dalam, bukan langsung kepada Wang Cin melainkan kepada Sabutai! Makin jelaslah bahwa rombongan pembesar itu sesungguhnya bukan lagi dianggap sebagai tamu agung, melainkan sebagai tawanan yang tidak ada bedanya dengan kaisar sendiri.
Ketika itu Sabutai sedang bersenang-senang di dalam kamarnya, makan minum bersama Khamila untuk merayakan kandungan Khamila sebagai hasil hubungan wanita cantik ini dengan Kaisar Ceng Tung! Dapatlah dibayangkan betapa perih rasa hati wanita itu karena sesungguhnya diam-diam dia jatuh cinta kepada kaisar yang ditawan itu.
Akan tetapi diam-diam dia juga merasa girang bahwa dia dapat mengandung keturunan kaisar itu. Ngeri dia kalau membayangkan betapa andai kata tidak ada Kaisar Ceng Tung, dia diharuskan menyerahkan diri kepada seorang laki-laki lain yang diharuskan bertugas mewakili Sabutai menidurinya agar dia memperoleh keturunan! Kenyataan ini merupakan hiburan sehingga Khamila dapat juga berwajah girang pada saat suaminya mengajaknya merayakan peristiwa yang dianggapnya menggirangkan itu.
Ada pun Sabutai benar-benar merasa girang. Sedikit pun dia tak merasa cemburu kepada Kaisar Ceng Tung. Dia kagum kepada kaisar muda itu, kagum akan kegagahannya yang diperlihatkannya ketika menjadi tawanan, maka kini dia merasa terhormat untuk menjadi ayah kandung dari keturunan kaisar besar itu!
Kalau pria lain yang menjadi ayah kandung dari anak yang berada di dalam kandungan isterinya, tentu dia akan membunuh pria itu supaya rahasia ini tidak diketahui siapa pun. Akan tetapi, karena yang menjadi ayah sejati adalah Kaisar Ceng Tung, maka dia tidak akan membunuh kaisar itu karena dia yakin bahwa rahasia itu akan tersimpan rapat dan Kaisar Ceng Tung tentu tidak akan membuka rahasia yang dapat mencemarkan namanya sendiri itu.
Tiba-tiba saja datang penjaga yang melaporkan tentang munculnya seorang gadis cantik di depan pintu gerbang yang mengaku sebagai sahabat Go-bi Sin-kouw. Sabutai menjadi tertarik sekali dan tentu saja menaruh curiga.
Diam-diam dia lalu menyampaikan berita kepada kedua orang gurunya, dan mengerahkan pasukan pengawal, mendatangi pembesar Wang Cin. Dia sendiri yang menyampaikan berita tentang kedatangan seorang ‘sahabat’ dari Go-bi Sin-kouw itu dan memerintahkan agar nona itu dipersilakan masuk.
Wang Cin beserta para pembantunya menanti di ruangan besar itu dengan hati tak enak, terutama Go-bi Sin-kouw. Nenek ini menduga-duga dan maklum pula bahwa fihak Raja Sabutai mencurigai mereka dan mencurigai orang yang katanya datang hendak bertemu dengannya.
Tidak lama kemudian muncullah In Hong yang diantarkan oleh belasan orang pengawal bersenjata lengkap. Gadis ini melangkah dengan tenang walau pun di dalam hatinya dia maklum bahwa dia sedang berada di tempat yang amat berbahaya.
Dia melihat betapa benteng itu amat kuat dan penjagaan dilakukan ketat sekali. Sepintas lalu ketika dia dipersilakan masuk, dia sempat melihat keadaan penjagaan di sepanjang tembok benteng dan biar pun dia akan dapat memasuki benteng ini kemudian keluar lagi melalui tembok yang tidak berapa tinggi itu, namun dia akan menghadapi bahaya besar. Akan tetapi, dia tidak memperlihatkan sikap jeri dan melangkah dengan pandang mata ke depan, tangan kiri tertumpang di gagang pedangnya yang tergantung di pinggang.
Pada waktu gadis itu memasuki ruangan besar yang dipasangi penerangan cukup, semua mata menyambutnya dengan pandang penuh selidik. Sabutai memandang dengan mata mengandung keheranan dan kekaguman. Dia tahu bahwa Bangsa Han di selatan banyak memiliki jago-jago silat yang berkepandaian tinggi sekali, akan tetapi baru sekarang dia melihat seorang gadis muda cantik jelita yang bersikap demikian gagahnya, memasuki tempat seperti bentengnya itu dengan sikap demikian tenang dan penuh keberanian. Juga sekali pandang saja dia langsung meragukan apakah benar gadis cantik ini merupakan sahabat dari nenek tua itu, seorang di antara kaki-kaki tangan pembesar Wang Cin yang berjiwa khianat.
Para tokoh lihai yang menjadi pembantu Wang Cin dan pernah bertemu dengan In Hong, terutama sekali Go-bi Sin-kouw, kini memandang gadis itu dengan alis berkerut dan hati penuh kecurigaan. Go-bi Sin-kouw menjadi tidak senang hatinya. Dia memang mengenal gadis ini sebagai seorang gadis yang sangat lihai, yang berwatak keras sekali dan aneh, akan tetapi sungguh lucu kalau gadis itu mengaku sebagai sahabatnya. Jauh dari pada itu, bahkan antara dia dan gadis itu terdapat rasa benci dan saling mencurigai yang besar.
Dan sekarang gadis ini datang mengaku sebagai sahabatnya! Tentu saja Go-bi Sin-kouw merasa curiga sekali dan sebelum yang lain membuka mulut, dia sudah melompat maju sambil membentak, "Kiranya engkau yang datang mengaku sahabatku? Sri Baginda Raja Sabutai, jangan percaya, dia ini tentu mata-mata dari Kerajaan Beng!" Dia lalu menoleh pada teman-temannya karena untuk menghadapi gadis lihai itu sendirian saja, dia merasa agak jeri. "Teman-teman, mari bantu aku menangkap gadis setan ini!"
Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw yang telah tahu bahwa gadis lihai ini memang hanya mendatangkan kesukaran saja, sudah melangkah maju. Juga tiga orang Bayangan Dewa sudah saling pandang, karena mereka telah mendengar akan kematian Toat-beng-kauw Bu Sit dan Hui-giakang Ciok Lee Kim, dan menurut pendengaran mereka, Ciok Lee Kim terbunuh oleh seorang gadis cantik yang agaknya gadis inilah karena memang mereka tahu akan kelihaian Yap In Hong.
Melihat gelagat yang tak baik ini, In Hong hanya tersenyum saja. Dia seorang yang amat tabah sehingga ketenangannya itu membuat dia lebih dapat menguasai keadaan. Dengan sekali pandang saja dia sudah bisa menduga yang mana adanya Raja Sabutai yang amat terkenal itu. Maka cepat dia menoleh ke arah raja ini yang kebetulan sejak tadi memang memandangnya penuh selidik, dan In Hong segera menjura dengan hormat ke arah raja yang bersikap gagah itu dan berkata,
"Kedatangan saya adalah hendak menawarkan bantuan kepada sri baginda raja melalui Go-bi Sin-kouw yang telah saya kenal sebelumnya, akan tetapi ternyata kedatangan saya tidak diterima sebagaimana patutnya."
Sejenak pandang mata mereka saling bertemu, bertaut dan akhirnya Sabutai tersenyum. Raja ini pun bukanlah seorang biasa, melainkan murid dua orang sakti Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko. Karena itu dia sudah bisa menyelami sikap gadis cantik itu yang kini jelas mengharapkan bantuan darinya untuk bersikap gagah. Maka raja ini lantas bangkit berdiri pada waktu melihat beberapa orang kakek dan nenek pembantu Wang Cin sudah bangkit dengan sikap mengancam untuk mengeroyok gadis itu, dan dia berkata nyaring.
"Tahan dulu...!"
Mendengar seruan ini, tentu saja Go-bi Sin-kouw beserta teman-temannya cepat mundur kembali, menoleh kemudian memandang dengan alis berkerut, ada pun Wang Cin sendiri memandang dengan sinar mata tidak senang. Namun Sabutai tidak mempedulikan semua itu, dia tersenyum lebar dan melanjutkan kata-katanya,
"Setiap orang yang berani memasuki benteng ini, terlebih dulu haruslah diketahui dengan jelas maksud kedatangannya, baru diambil keputusan sikap apa yang akan kami ambil. Sungguh merupakan hal yang amat memalukan dan merendahkan nama sendiri apa bila mengeroyok seorang gadis muda di depanku,!"
Wajah Go-bi Sin-kouw menjadi merah sekali dan dia cepat memberi hormat kepada raja itu sambil berkata, "Harap paduka sudi memaafkan, akan tetapi gadis ini..."
"Cukup!" Sabutai membentak. "Ingat bahwa cu-wi sekalian hanya tamu dan akulah tuan rumahnya, karena itu akulah yang berhak menerima dan memeriksa tamu yang datang memasuki bentengku!" Ucapan ini cukup keras nadanya dan Go-bi Sin-kouw menunduk, melirik ke arah Wang Cin yang memberi isyarat agar nenek itu mundur.
Sabutai bersikap seolah-olah dia tidak melihat itu semua dan kini dia menggapai ke arah In Hong sambil berkata, "Majulah ke sini, nona!"
Dengan langkah gagah dan tenang, tapi membayangkan keluwesan dan kepadatan tubuh seorang gadis dewasa, In Hong menghampiri raja itu, lantas menjura dan berdiri dengan sikap hormat. Melihat gadis itu tidak mau berlutut, dua orang pengawal sudah maju dan hendak menghardiknya, akan tetapi pandang mata Sabutai melarang mereka dan raja ini lalu menyambar sebuah bangku di sebelah kanannya, kemudian tersenyum dan berkata kepada In Hong,
"Terimalah bangku ini untuk tempat dudukmu, nona! Tidak enak berbicara sambil berdiri saja!"
Sesudah berkata demikian, Raja Sabutai yang pada waktu itu masih diliputi kegembiraan karena isterinya mengandung itu lalu mengerahkan tenaga pada tangan kanannya, dan bangku itu melayang ke atas, berputaran seperti seekor burung hidup dan tiba-tiba saja bangku itu melayang turun ke arah kepala In Hong!
Dara ini terkejut juga, tidak menyangka bahwa raja kaum pemberontak liar itu ternyata memiliki kepandaian yang cukup hebat! Akan tetapi dia tidak menjadi gentar, bahkan ikut pula terbawa oleh kegembiraan Sabutai yang tersenyum ramah itu. In Hong mengerahkan tenaga ginkang-nya dan sambil mengeluarkan seruan tinggi tubuhnya mencelat ke atas dan tahu-tahu dia telah duduk di atas bangku yang masih melayang turun dan pada saat bangku itu tiba kembali di atas lantai, dara ini masih duduk, sedikit pun tidak terguncang tubuhnya seolah-olah dia tadi dibawa terbang oleh bangku yang telah ‘dijinakkan’ itu.
"Terima kasih atas keramahan paduka." In Hong menjura dari tempat duduknya ke arah Sabutai yang menjadi kagum. Dia tadi telah memperlihatkan tenaga dalamnya dan gadis itu mengimbangi dengan mendemonstrasikan ginkang yang luar biasa!
"Ha-ha-ha, benar saja dugaanku. Tamu kami seorang yang lihai sekali. Nona, siapakah namamu?"
"Nama saya... hanya Hong saja." In Hong memperkenalkan dirinya dengan setengah hati karena memang dia tidak ingin memperkenalkan diri selengkapnya.
"Apakah benar engkau sahabat Go-bi Sin-kouw?"
"Saya tidak pernah bersahabat dan tidak pernah mengaku bersababat dengan dia," jawab In Hong sambil melirik ke arah nenek itu. "Kepada para penjaga benteng tadi pun saya hanya mengatakan bahwa saya kenal baik dengan Go-bi Sin-kouw namun hal itu saya lakukan agar saya diperbolehkan masuk ke sini. Sebenarnya saya ingin bertemu dengan paduka untuk menawarkan tenaga bantuan saya."
"Harap paduka jangan percaya!" Tiba-tiba Go-bi Sin-kouw berseru. "Dia tentu mata-mata musuh dan tentu dia datang untuk menyelidiki keadaan kita!"
Sabutai memandang In Hong dengan pandang mata tajam penuh selidlk, kemudian dia bertanya, "Nona Hong, benarkah apa yang dituduhkan oleh Go-bi Sin-kouw tadi bahwa engkau adalah seorang mata-mata Kerajaan Beng?"
"Bohong, sri baginda! Saya bersumpah bahwa saya bukan mata-mata mana pun juga. Dan memang, Go-bi Sin-kouw dan teman-temannya itu bukan orang baik-baik dan pernah bentrok dengan saya maka kini mereka hendak menjatuhkan fitnah kepada saya."
Go-bi Sin-kouw bangkit berdiri dengan marah dan menuding, "Bocah setan! Engkau telah melarikan muridku. Engkau masuk ke sini pura-pura hendak bertemu dengan aku, akan tetapi siapa yang tidak tahu bahwa di luar sana ada gerombolan yang dipimpin oleh ketua Cin-ling-pai? Dan engkau adalah calon mantu Cin-ling-pai, bukan? Tentu engkau adalah mata-mata, kalau bukan mata-mata Kerajaan Beng, setidaknya engkau dikirim oleh calon mertuamu itu!"
"Tutup mulutmu yang busuk! Engkau tahu betul bahwa tidak demikian halnya." In Hong juga membentak marah.
"Heh-heh-heh-heh, engkau selalu memperlihatkan sikap bermusuhan, juga terhadap Lima Bayangan Dewa. Kami masih merasa heran apakah bukan engkau yang telah membunuh Hui-giakang Ciok Lee Kim."
"Memang benar aku! Karena dia hendak melakukan perbuatan yang keji dan tidak patut terhadap seorang pemuda."
Mendengar pengakuan ini, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok mengeluarkan suara menggereng seperti seekor biruang marah. "Kalau begitu, aku harus membalas kematian sumoi!"
Melihat pembantu-pembantu Wang Cin sudah bergerak dan bangkit hendak mengeroyok, Sabutai mengangkat tangan dan berkata nyaring, "Urusan pribadi tak perlu dibawa-bawa ke sini! Aku memang membutuhkan pembantu, akan tetapi aku belum melihat kehebatan nona ini, maka perlu diuji! Dan aku tidak akan membiarkan orang-orang gagah seperti cu-wi, yang menjadi pembantu-pembantu Wang-taijin untuk melakukan perbuatan rendah mengeroyok seorang wanita muda. Sebaiknya urusan pertikaian pribadi antara kalian itu diselesaikan sekarang juga, dengan pertandingan satu lawan satu. Nona Hong, apakah engkau berani menghadapi mereka itu, satu lawan satu untuk memutuskan siapa yang benar melalui keunggulan ilmu silat?”
In Hong hanya tersenyum, lalu bangkit berdiri dan mundur ke tengah ruangan yang luas itu, berdiri tegak dan menjawab, "Menghadapi manusia-manusia iblis ini, jangankan satu lawan satu, walau pun dikeroyok saya tidak akan takut, sri beginda."
Ucapan In Hong ini bukan semata-mata karena kesombongan belaka, namun dilakukan dengan sengaja sebagai siasatnya untuk memancing kepercayaan serta kekaguman raja itu, karena yang menjadi tujuannya adalah agar dapat berada dalam benteng dan selain melindungi kaisar yang tertawan, dia juga hendak menentang pasukan yang dipimpin oleh Bun Houw.
Siasatnya berhasil. Sabutai tersenyum lebar penuh kekaguman, kemudian raja ini bangkit berdiri, memberi isyarat kepada dua orang gurunya yang juga bangkit dan berkatalah raja ini, "Demi kegagahan, aku tidak akan membiarkan terjadinya pengeroyokan. Wang-taijin, biarkan orang-orangmu maju satu per satu melawan nona ini, dan aku akan menghukum siapa saja yang berani menggunakan kecurangan dan pengeroyokan. Dua orang guruku akan menjadi pengawas."
Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko tertawa, lalu duduk kembali. Akan tetapi tiba-tiba saja bangku yang mereka duduki itu ‘terbang’ ke atas dengan tubuh mereka masih duduk di atasnya dan bangku-bangku itu melayang turun di sudut kanan kiri ruangan itu, di mana mereka duduk dengan tenang, memegangi tongkat butut mereka.
Diam-diam In Hong terkejut sekali. Pantas saja Raja Sabutai demikian lihainya, kiranya dia memiliki dua orang guru yang sakti. Gadis ini menjadi makin berhati-hati dan dengan wajah tersenyum dingin dia kini memandang ke arah rombongan pembesar thaikam yang berkhianat itu, sikapnya menantang. Kalau harus menghadapi mereka satu lawan satu, dia sama sekali tidak merasa jeri.
Go-bi Sin-kouw menjadi gentar juga ketika mengetahui bahwa dia tidak dapat mengajak kawan-kawannya untuk mengeroyok gadis itu, maka dia berkata kepada Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, "Phang-sicu, dialah yang membunuh sumoi-mu, maka sudah sepatutnya kalau engkau sebagai orang pertama dari Lima Bayangan Dewa membalaskan kematian sumoi-mu."
Di antara Lima Bayangan Dewa itu, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok adalah orang pertama yang memiliki kepandaian paling tinggi dan dia sendiri belum pernah bertemu dengan In Hong. Melihat gadis muda itu tentu saja dia memandang rendah dan memang sejak tadi hatinya sudah diliputi kemarahan melihat gadis yang membunuh sumoi-nya ini, karena itu mendengar ucapan Go-bi Sin-kouw, dia cepat menengok ke arah Wang Cin dan dengan pandang matanya dia minta persetujuan majikannya itu.
Wang Cin mengangguk-angguk. "Sri baginda sudah menurunkan perintah, engkau harus mentaatinya."
Phang Tui Lok lalu menjura kepada Wang Cin, kemudian menjura ke arah Sabutai, lalu dia melangkah lebar dan tenang ke tengah ruangan, maju menghampiri In Hong. Tokoh pertama dari Lima Bayangan Dewa ini sudah berusia enam puluh tahun lebih, akan tetapi kelihatan masih tampan dan gagah bagaikan orang yang usianya paling banyak empat puluh tahun. Pakaiannya serba putih dan sepatunya hitam.
Lelaki peranakan Mongol ini adalah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, seorang di antara datuk-datuk golongan hitam puluhan tahun yang lalu. Tentu saja ilmu silatnya sangat hebat.
Seperti kita ketahui, kemunculan Pat-pi Lo-sian (Dewa Berlengan Delapan) Phang Tui Lok di dunia persilatan telah menggemparkan kaum kang-ouw karena begitu muncul dia dan sekutunya sudah berani melakukan hal yang amat hebat yaitu membunuhi Cap-it Ho-han murid-murid Cin-ling-pai dan bahkan mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam.
Perbuatan itu biar pun dia lakukan selagi ketua Cin-ling-pai dan isterinya tidak berada di Cin-ling-san, setidaknya telah mengangkat namanya cukup tinggi hingga membuat nama Lima Bayangan Dewa dibicarakan orang secara bisik-bisik penuh rasa segan dan takut. Hal ini tentu saja mendorong munculnya kesombongan dalam hati Phang Tui Lok, maka kematian sumoi-nya merupakan pukulan hebat, juga kematian Toat-beng-kauw Bu Sit.
Kematian dua orang sekutunya itu di samping memperlemah kedudukan Lima Bayangan Dewa, juga merupakan pukulan terhadap nama besarnya, sebab itu sekarang dia hendak menumpahkan kemarahannya kepada In Hong, gadis muda ini. Merasa bahwa dia adalah seorang tokoh besar kenamaan, pemimpin dari Lima Bayangan Dewa, maka kini di depan pembesar Wang Cin dan Raja Sabutai serta banyak orang lagi dia harus menghadapi lawan seorang gadis muda, keangkuhannya tentu saja tersinggung, maka dengan lagak seorang guru terhadap seorang murid, atau seorang bertingkat tinggi terhadap seorang lain yang bertingkat rendah, dia bertanya,
"Nona muda, siapakah gurumu?"
In Hong memandang dengan wajah dingin dan sinar mata tajam menusuk, kemudian dia menjawab, "Nama guruku tidak ada sangkut pautnya dengan Pat-pi Lo-sian!"
"Hemm, kau sudah mengenal julukanku!"
"Go-bi Sin-kouw tadi menyebutmu sebagai orang pertama dari Lima Bayangan Dewa yang curang dan pengecut, yang hanya berani menyerbu Cin-ling-pai selagi tuan rumah tidak ada, yang membunuhi murid-muridnya dan mencuri pedang Siang-bhok-kiam, tentu saja aku mengenalmu..."
"Ehh, apa sangkutanmu dengan Cin-ling-pai? Kalau begitu benar dugaan Go-bi Sin-kouw bahwa engkau adalah mata-mata yang dikirim oleh ketua Cin-ling-pai!"
"Sama sekali tidak dan aku tidak mempunyai sangkutan dengan Cin-ling-pai, aku hanya ingin mengatakan bahwa Lima Bayangan Dewa adalah kumpulan orang-orang curang."
"Hemm, bocah sombong. Aku menanyakan nama gurumu agar kelak kalau bertemu aku dapat menegurnya karena dia tidak bisa mendidikmu. Bocah yang bosan hidup, kenapa engkau memusuhi Lima Bayangan Dewa? Lebih baik engkau mengakui agar nanti tidak mati penasaran."
"Aku tidak memusuhi Lima Bayangan Dewa."
"Kenapa membunuh sumoi-ku?"
"Sudah kukatakan, perempuan hina Ciok Lee Kim itu melakukan hal yang tidak patut, memaksa seorang pemuda, maka aku menjadi muak dan membunuhnya. Aku datang ke sini untuk membantu pasukan Sri Baginda Sabutai, akan tetapi kalian malah menjatuhkan fitnah. Majulah kalau memang kau berani, Pat-pi Lo-sian, dan jangan banyak mengoceh seperti burung kelaparan."
Tentu saja Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok menjadi marah sekali. "Bagus! Salahmu sendiri kalau kau ingin menjadi bangkai tak bernama! Nah, terimalah ini!"
Gerakan Pat-pi Lo-sian memang hebat bukan main. Begitu tubuhnya menyerbu, sepasang tangannya melakukan serangan bertubi-tubi dan memang tidak percuma dia dijuluki Dewa Berlengan Delapan karena kedua tangannya melancarkan serangan bertubi cepat sekali seolah-olah dia mempergunakan delapan lengan! Dan setiap tamparan, pukulan, totokan atau cengkeraman mengandung hawa pukulan kuat sekali sehingga merupakan serangan maut.
"Heiiiiittttt...!" In Hong memekik dan tubuhnya berkelebatan seperti seekor burung garuda, cepatnya sampai tidak dapat diikuti pandangan mata, tubuhnya seperti lenyap dan hanya nampak bayangan-bayangan saja.
Semua serangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh Pat-pi Lo-sian mengenai tempat kosong dan paling hebat hanya menyentuh sedikit ujung bajunya. Sambil mengelak dari tamparan terakhir, In Hong menggerakkan kaki kirinya dan nyaris ujung sepatunya mencium hidung lawan. Pat-pi Lo-sian terkejut sekali dan cepat menarik tubuhnya ke belakang. Bau ujung sepatu kotor yang tidak enak membuktikan alangkah dekatnya sepatu tadi menghampiri hidungnya!
"Perempuan rendah!" Saking jengkelnya Pat-pi Lo-sian memaki.
Akan tetapi diam-diam dia mulai mengerti bahwa biar pun masih amat muda, lawan yang dihadapinya ini ternyata lihai sekali, maka dia pun dapat mengerti mengapa Hui-giakang Ciok Lee Kim sampai roboh di tangan gadis ini. Dengan marah dan mulai hati-hati dia lalu mengerahkan tenaga sinkang ke dalam kedua lengannya, kemudian dia menyerang lagi dengan dua kali pukulan tangan yang mengandung tenaga sinkang sepenuhnya.
"Wirrrr... wuuuuuttttt…!"
Angin dahsyat menyambar mendahului kedua kepalan itu. In Hong yang dapat mengenal pukulan lihai, cepat mengelak ke kiri.
"Haiiiiittt...!" Pat-pi Lo-sian membentak, tubuhnya segera membalik ke kanan melanjutkan serangannya, tangan kanannya membentuk cakar naga yang mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala lawan. Cepat dan kuat sekali gerakannya itu.
In Hong juga mengenal gerakan ini, gerakan yang sangat berbahaya dan mengandung pancingan. Cengkeraman yang kelihatannya ganas itu bukanlah inti serangan, melainkan umpan dan gertakan belaka. Apa bila dia menangkis, tentu lawan akan mempergunakan tangan kiri untuk mengirim pukulan inti yang mematikan, karena itu untuk menghindarkan pukulan tersembunyi atau susulan ini, In Hong mengeluarkan suara melengking nyaring dan tiba-tiba saja ketika dia menangkis cengkeraman itu, tubuhnya mencelat ke atas!
Pat-pi Lo-sian terkejut, tahu bahwa siasatnya gagal sehingga tangan kirinya yang sudah siap mengirim pukulan ke anggota tubuh di bawah dada itu tidak ada gunanya lagi. Ketika melihat tubuh gadis itu melayang ke atas, cepat dia melanjutkan gerakan cengkeraman tangan kanan yang tertangkis tadi, secepat kilat menangkap pergelangan kaki In Hong yang melayang di atas kepalanya.
"Plak! Dukkk!"
Tubuh In Hong terlempar, akan tetapi juga Pat-pi Lo-sian terhuyung ke belakang. Ketika tangannya berhasil menangkap pergelangan kaki tadi, tiba-tiba ujung sepatu dari kaki In Hong yang kedua telah menotok pergelangan tangannya hingga seluruh tangan menjadi lumpuh dan otomatis pegangannya terlepas.
Merahlah muka Pat-pi Lo-sian! Sambil mengeluarkan suara menggereng seperti harimau terluka dia lari menyerbu In Hong yang baru saja meloncat turun, maka segera terjadilah pertandingan yang amat seru dan mati-matian.
Namun, keunggulan Pat-pi Lo-sian mainkan kedua tangannya yang memang cepat sekali itu dapat diimbangi oleh In Hong dengan keunggulan ginkang-nya. Tubuhnya amat ringan seperti kapas, cepat seperti burung dan biar pun kelau dihitung, setiap tiga kali serangan lawan baru dapat dibalasnya satu kali, namun balasannya itu cukup mengimbangi tiga kali serangan karena kalau dia belum pernah tersentuh tangan lawan, adalah Pat-pi Lo-sian sudah dua kali kena ditampar pundak dan lehernya. Untung bahwa dia memiliki sinkang yang kuat, tubuhnya yang terlindung hawa sinkang menjadi kebal dan tamparan-tamparan itu hanya membuat dia mundur terhuyung saja.
Setiap kali tamparannya berhasil mengenai lawan, terdengar tepuk tangan dari Sabutai. Hal ini membuat In Hong makin bersemangat dan Pat-pi Lo-sian makin marah. Dan inilah kesalahan Pat-pi Lo-sian.
Kemarahan adalah satu di antara hal yang sebetulnya merupakan pantangan besar bagi seorang ahli silat pada waktu menghadapi lawan yang pandai, karena kemarahan ini akan mengurangi kewaspadaan yang berarti mengurangi daya tahan karena sebagian besar perhatian dicurahkan untuk menyerang dan merobohkan lawan belaka.
Yap In Hong telah mewarisi ilmu-ilmu mukjijat dari Yo Bi Kiok, ilmu-ilmu silat tinggi yang didapat oleh gurunya itu dengan bantuan bokor emas milik mendiang manusia sakti The Hoo. Menurut tingkat ilmu silatnya, tingkat In Hong masih lebih tinggi dari pada tingkat Pat-pi Lo-sian dan kalau orang pertama dari Lima Bayangan Dewa ini dapat mengimbangi bahkan mendesak hanyalah karena dia mempunyai banyak pengalaman dan mengenal banyak tipu-tipu muslihat perkelahian.
Kini, dalam keadaan marah, Pat-pi Lo-sian kehilangan banyak kewaspadaan, dan selagi dia menyerang secara membabi buta, tiba-tiba saja ujung sepatu In Hong dapat mencium sambungan lutut kirinya sehingga tubuhnya agak merendah dan untuk beberapa detik lamanya Pat-pi Lo-sian terkejut dan tak berdaya. Beberapa detik ini cukup bagi In Hong untuk mendaratkan pukulan dengan tangan miring ke arah tengkuk Pat-pi Lo-sian.
"Dukkkk!"
Tubuh Pat-pi Lo-sian terjungkal, akan tetapi memang dia seorang yang lihai sekali. Biar pun tadi menghadapi pukulan maut yang datangnya tidak tersangka-sangka karena dia hampir tidak sadar, namun begitu pukulan mendarat, dia cepat miringkan tubuh sehingga jatuhnya pukulan tidak tepat sekali.
Betapa pun juga, pukulan itu membuat kepalanya menjadi nanar dan pandang matanya berkunang. Maka, begitu tubuhnya terjungkal, Pat-pi Lo-sian terus bergulingan sampai jauh sambil mengumpulkan hawa murni, dan begitu dia meloncat bangun lagi, kepeningan kepalanya sudah hampir lenyap dan dia mencabut pedangnya.
"Sratttt...!" nampaklah sinar keemasan dan di tangannya kelihatan sebatang pedang yang bentuknya seperti ular dan gagangnya terbuat dari pada emas berukir indah.
Dengan muka merah dan mata mendelik dia membentak, "Bocah setan, majulah untuk menerima kematian!"
In Hong masih menoleh ke arah Sabutai yang kembali bertepuk tangan sambil memuji, kemudian gadis ini perlahan-lahan mencabut pedang pada pinggang kirinya. Pedang itu keluar perlahan-lahan, akan tetapi begitu ujungnya tertarik dan In Hong mempergunakan tenaga, ujung pedang yang keluar dari sarungnya itu mengeluarkan bunyi mendesing dan tergetarlah pedang Hong-cu-kiam di tangan gadis itu, pedang tipis lemas yang kadang-kadang digantung di pinggang In Hong, kadang-kadang tersembunyi karena dibawanya sebagai sabuk yang melilit pinggangnya yang ramping itu.
Melihat betapa dua orang itu mencabut pedang, Raja Sabutai bertepuk tangan dua kali dengan nyaring dan dia berkata penuh wibawa, "Di sini bukan medan tempat untuk saling bunuh! Sudah kukatakan tadi bahwa kedua belah fihak akan memutuskan urusan pribadi dengan kepandaian. Siapa berani menggunakan senjata berarti menentang perintahku!"
Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko yang tadi hanya duduk di kedua ujung ruangan itu, kini sudah bangkit berdiri dan memandang ke arah Pat-pi Lo-sian dan In Hong dengan sikap mengancam, tongkat mereka melintang di dada. Ternyata bahwa dua orang kakek dan nenek ini di samping menjadi guru Raja Sabutai, agaknya juga sekalian menjadi pengawal atau pembantunya yang taat dan siap melaksanakan segala kehendak raja itu.
In Hong menoleh dan bertemu pandang dengan Raja Sabutai dan dari pandang mata ini tahulah In Hong bahwa raja itu mengkhawatirkan dirinya, sebab itu dengan senyum dingin gadis ini menggerakkan tangan kanannya hingga nampak sinar berkelebat dan tahu-tahu pedang Hong-cu-kiam di tangannya tadi telah lenyap dan telah melingkari pinggangnya tersembunyi di balik jubah.
Pat-pi Lo-sian juga memandang ke arah Raja Sabutai, kemudian dia pun menarik napas panjang dan terpaksa dia menyimpan lagi pedangnya. Hatinya menjadi jeri karena dia kini maklum bahwa gadis muda yang dipandangnya rendah itu ternyata amat lihai.
Tiba-tiba Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw meloncat ke depan, menjura ke arah In Hong sambil melirik ke arah Raja Sabutai. Kemudian dengan suara halus Hwa Hwa Cinjin berkata, "Sungguh hebat kepandaianmu, nona, membuat kami berdua tertarik sekali dan ingin mengajak nona untuk main-main sebentar. Akan tetapi karena kami berdua selalu bersama, terpaksa kini kami pun hendak maju bersama, namun hal ini sekali-kali bukan karena kami ingin maju mengeroyok. Andai kata nona mempunyai seorang dua orang teman, boleh saja nona menyuruh mereka maju menghadapi kami berdua. Tentu saja bila sri baginda tidak berkeberatan dan kalau nona memang berani melawan kami berdua."
Raja Sabutai makin kagum dan gembira melihat kegagahan In Hong, maka kini melihat majunya kakek dan nenek itu, dia menjadi ragu apakah dia harus membiarkan In Hong dikeroyok dua atau mencegahnya. Dia memang masih ingin melihat apakah dara perkasa itu akan sanggup menghadapi keroyokan kakek dan nenek itu.
In Hong juga mengerti bahwa kalau dua orang itu maju bersama, dia akan menghadapi dua orang lawan yang amat tangguh, masing-masing tak kalah lihainya jika dibandingkan dengan orang pertama dari Lima Bayangan Dewa tadi. Akan tetapi, tentu saja pantang baginya untuk menolak tantangan itu, apa lagi dia tadi sudah mengatakan bahwa biar pun dikeroyok oleh mereka semua, dia tidak akan mundur.
"Kalau kalian takut maju satu demi satu dan hendak mengeroyokku, majulah, siapa takut kepada kalian?" kata In Hong dan memandang tajam.
Wajah kakek dan nenek itu menjadi merah sekali. Ucapan In Hong ini menantang namun sekaligus juga merendahkan mereka. Mereka maklum bahwa apa bila mereka maju satu demi satu, belum tentu mereka dapat memenangkan dara yang benar-benar sangat hebat kepandaiannya itu, akan tetapi kalau mereka boleh maju bersama, maka mereka merasa yakin akan dapat merobohkan dara perkasa ini dengan ilmu silat gabungan yang mereka ciptakan.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar, "Heiiii... berhenti...! Tahan... tidak boleh masuk ke situ...!"
Semua orang lalu menoleh, dan nampaklah bayangan seorang wanita cantik berlari cepat menuju ke tempat itu, dikejar dari belakang oleh banyak pengawal. Dengan beberapa kali lompatan saja wanita itu telah tiba di ruangan. Melihat ini, terdengarlah suara melengking dan Hek-hiat Mo-li bersama Pek-hiat Mo-ko sudah meloncat dari tempat duduk masing-masing, sekaligus bagaikan dua ekor burung rajawali mereka menerkam dan menyerang wanita yang baru datang itu.
Wanita itu cantik bukan main, usianya antara tiga puluh lima tahun, pakaiannya indah dan sikapnya angkuh, sepasang matanya tajam bersinar-sinar. Melihat dua sosok bayangan yang menerjangnya seperti dua ekor burung menyambar, wanita itu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya dan kedua tangannya bergerak ke depan dengan jari tangan terbuka.
"Plakk! Plakk!"
Tubuh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li terdorong ke belakang oleh tangkisan itu dan mereka harus berjungkir balik dua kali ke belakang agar jangan sampai terjengkang atau terbanting oleh hawa pukulan yang dahsyat dari tangkisan itu. Mereka terkejut sekali dan siap menyerang dengan tongkatnya.
"Subo...!" In Hong berseru dan seruan ini membuat Raja Sabutai cepat mengeluarkan kata-kata mencegah kedua orang gurunya dalam Bahasa Mongol.
Kakek bermuka putih dan nenek bermuka hitam itu lalu kembali ke tempat duduk masing-masing, akan tetapi pandang mata mereka masih marah dan penuh curiga kepada wanita cantik yang baru datang itu.
Wanita yang baru datang itu memang Giok-hong-cu Yo Bi Kiok, ketua Giok-hong-pang di Telaga Setan. Burung batu kumala yang menghias rambutnya amat indah, membuat dia kelihatan laksana seorang ratu yang memakai mahkota, pedang panjang tergantung pada pinggang dan gagang dua batang pedang pendek tersembul dari punggungnya. Wanita setengah tua yang masih cantik ini kelihatan gagah dan penuh wibawa.
Raja Sabutai yang merasa tertarik dan kagum kepada In Hong, menjadi terkejut dan juga kagum melihat wanita cantik yang disebut subo oleh nona itu, terlebih lagi melihat betapa wanita itu sekali tangkis dapat membuat dua orang gurunya terdorong ke belakang. Cepat dia berkata kepada Yo Bi Kiok,
"Jadi toanio adalah subo dari nona Hong yang gagah perkasa ini?" Pertanyaan ini diajukan dengan pandang mata tajam penuh selidik, dan diam-diam Raja Sabutai merasa heran bagaimana nyonya cantik itu dapat memasuki tempat itu dan menerobos penjagaan yang amat ketat.
"Benar, sri baginda. Dia adalah murid saya," Giok-hong-cu Yo Bi Kiok menjawab sambil menjura.
"Muridmu datang menawarkan bantuannya kepada kami dan sekarang sedang kami uji kepandaiannya. Toanio datang seperti ini ada maksud hati apakah?"
Meski pun di dalam hatinya merasa tidak senang melihat kedatangan nyonya ini secara paksa dan tanpa minta perkenan terlebih dahulu, akan tetapi dia membutuhkan bantuan orang-orang pandai, maka Sabutai menahan sabar, apa lagi karena dia maklum bahwa orang-orang sakti di dunia kang-ouw memang tidak suka memakai banyak peraturan.
"Saya bersama pasukan Giok-hong-pang sedang mencari murid saya ini, dan mendengar bahwa murid saya memasuki benteng paduka, maka saya menyusul ke sini. Saya setuju sekali apa bila dia membantu paduka, bahkan saya sendiri pun dengan seluruh pasukan Giok-hong-pang siap membantu paduka. Akan tetapi kalau paduka hanya ingin menguji murid saya, kiranya tua bangka-tua bangka ini bukan sekedar menguji. Tua bangka-tua bangka seperti mereka hendak mengeroyok seorang bocah seperti murid saya, sungguh tidak adil, maka saya akan membantu murid saya agar dua lawan dua dan barulah adil. Tentu saja kalau mereka berani!"
Mendengar ini, Raja Sabutai mengangguk dengan hati girang. "Bagus! Memang adil kalau begitu dan kami juga ingin sekali melihat kepandaian ketua Giok-hong-pang yang hendak membantu kami." Raja ini lalu memandang kepada Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw yang kelihatan meragu.
Tentu saja mereka berdua sudah mendengar nama ketua Giok-hong-pang yang baru saja menggegerkan dunia kang-ouw itu, meski pun baru sekarang mereka melihat orangnya. Betapa pun juga, tosu dan tokouw yang berilmu tinggi itu tidak merasa takut, apa lagi mereka memang mengandalkan ilmu silat pasangan yang mereka ciptakan bersama.
"Siancai...!" Hwa Hwa Cinjin berkata halus. "Ternyata yang datang adalah Giok-hong-pangcu! Kami tadi sudah mengatakan kepada muridmu, bahwa kami memang selalu maju bersama. Baik menghadapi lawan satu orang atau sepuluh orang, bagi kami sama saja asal kami maju berdua. Bukan sekali-kali kami ingin mengeroyok muridmu."
"Subo, biarlah teecu menghadapi mereka sendiri, teecu tidak takut," In Hong berkata.
"Apa? Tentu saja kau tidak takut, akan tetapi mana mungkin aku diam saja? Kau lihatlah, gurumu akan membereskan mereka!" Yo Bi Kiok berkata kemudian tiba-tiba dia berseru nyaring. "Tua bangka-tua bangka tak tahu malu, sambutlah seranganku!"
Tubuhnya sudah berkelebat lenyap dan hanya bayangannya saja yang tahu-tahu sudah menyambar ke arah Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw secepat kilat.
Kakek dan nenek itu terkejut bukan main karena sambil melompat secepat itu, ketua dari Giok-hong-pang ini sudah melancarkan pukulan bertubi ke arah mereka dengan gerakan yang sangat aneh dan juga kuat sekali. Maka mereka cepat bergerak dan mainkan ilmu silat gabungan yang mereka ciptakan berdua, yaitu ilmu silat tangan kosong yang dapat pula dimainkan dengan senjata, yaitu yang mereka namakan Im-yang-lian-hoan-kun.
Ilmu silat ini sengaja mereka ciptakan untuk dimainkan bersama dan terdiri dari dua unsur ilmu silat dan tenaga yang saling bertentangan akan tetapi saling membela. Kalau mereka mainkan ilmu silat ini dengan tangan kosong, Hwa Hwa Cinjin mengambil peran sebagai pemain ilmu silat yang mengandung tenaga keras sedangkan Hek I Siankouw mainkan ilmu yang berdasarkan tenaga halus (Im). Akan tetapi sebaliknya kalau mereka mainkan ilmu ini dengan senjata, Hwa Hwa Cinjin yang bersenjata hudtim bulu monyet akan maju menggunakan tenaga Im sedangkan Hek I Siankouw yang memegang sebatang pedang hitam menggunakan tenaga Yang. Karena ilmu ini mereka ciptakan berdua, tentu saja mereka dapat bekerja sama dengan amat baiknya, saling melindungi seolah-olah mereka itu terdiri dari dua badan dengan satu hati dan pikiran.
"Plak-plak! Duk-duk-duk-dukk!"
Bertubi-tubi datangnya pukulan sepasang tangan Yo Bi Kiok, serangan dengan jurus-jurus yang amat aneh dan cepat. Namun karena kedua orang kakek dan nenek itu bekerja sama sehingga mereka seolah-olah memiliki empat mata, mereka dapat saling melindungi dan menangkis semua serangan itu.
Akibat dari adu tenaga ini, mereka terhuyung ke belakang, akan tetapi Yo Bi Kiok juga terhuyung dengan hati terkejut sekali karena pertemuan tenaga antara kedua tangannya dengan tangan mereka yang menangkis itu membuat tenaganya membuyar sehingga dia menjadi bingung menghadapi tenaga Im dan Yang, yaitu tenaga lemas dan keras yang dipergunakan oleh kedua orang lawannya secara saling membantu.
Maklumlah dia bahwa kedua orang itu, biar pun andai kata maju satu lawan satu bukan merupakan lawan berbahaya, akan tetapi sesudah maju bersama ternyata dapat bekerja sama secara baik sekali dan merupakan lawan yang tangguh. Mengertilah dia mengapa dua orang itu berkeras untuk maju bersama.
Ketua Giok-hong-pang ini belum lama telah mengalami peristiwa yang amat memalukan, yaitu pada saat dia dipermainkan oleh Kok Beng Lama. Maka, kini menghadapi kakek dan nenek yang memiliki kepandaian luar biasa itu, dia tidak ingin gagal dan kedua tangannya sudah meraba gagang pedang panjang dan sepasang pedang pendek.
Tiba-tiba In Hong meloncat ke dekat subo-nya dan berbisik, "Subo, sri baginda melarang penggunaan senjata dalam adu kepandaian ini, biar teecu menghadapi Hek I Siankouw!" Tanpa menanti jawaban gurunya, In Hong sudah meloncat ke depan dan menyerang Hek I Siankouw dengan pukulan tangan kirinya.
Akan tetapi, tepat pada saat Hek I Siankouw menghindarkan serangan ini dengan tubuh berputar, tiba-tiba saja Hwa Hwa Cinjin sudah melayangkan tangan menampar ke arah tengkuk In Hong. Elakan dan serangan ini datangnya begitu otomatis, seakan-akan Hek I Siankouw sendiri yang membalas serangan dengan mempergunakan tangan Hwa Hwa Cinjin! Hampir saja tengkuk In Hong kena ditampar dan meski pun dia sudah miringkan tubuhnya, tetap saja pundaknya tercium ujung jari tangan Hwa Hwa Cinjin hingga terasa panas sekali!
Pada saat itu pula terdengar suara melengking nyaring dan Yo Bi Kiok sudah menyerang kakek itu dengan amat dahsyatnya. Hwa Hwa Cinjin cepat mengelak dan Hek I Siankouw membantunya menangkis. Melihat cara kerja sama yang amat cepat dan serba otomatis itu, In Hong cepat membantu subo-nya sehingga terjadilah pertandingan yang amat seru dan hebat.
Sesungguhnya, apa bila pertandingan itu dilakukan satu lawan satu, baik Hwa Hwa Cinjin mau pun Hek I Siankouw bukanlah lawan guru dan murid Giok-hong-pang ini, dan kiranya mereka tidak akan dapat menahan lebih dari tiga puluh jurus. Akan tetapi, dengan kerja sama amat baiknya dalam ilmu Im-yang-lian-hoat-kun, mereka berdua dapat menghadapi Yo Bi Kiok dan In Hong dengan amat baiknya.
Guru dan murid ini tidak dapat bertempur saling membantu seperti dua orang lawannya, melainkan bertanding mengandalkan gerakan dan tenaga sendiri masing-masing. Sudah beberapa kali mereka mencoba untuk memancing atau memaksa kedua orang kakek dan nenek itu agar berpisah, agar pertandingan dapat dilakukan menjadi dua kelompok, tetapi mereka selalu gagal karena kakek dan nenek itu tidak mau saling meninggalkan dan terus bergerak mengelak, menangkis atau pun membalas serangan secara otomatis dan selalu saling melindungi.
"Tiat-po-san...!" Tiba-tiba Yo Bi Kiok berbisik kepada muridnya sambil menubruk ke arah Hek I Siankouw.
In Hong maklum akan maksud subo-nya. Dia dan subo-nya memiliki ilmu kekebalan yang disebut Tiat-po-san (Ilmu Kebal Baju Besi), yaitu pengerahan sinkang untuk melindungi tubuh dengan hawa murni sehingga pada suatu saat berani menerima pukulan karena tubuh di bagian tertentu yang terpukul itu menjadi kebal seperti besi. Tentu subo-nya ingin merobohkan kedua lawan dengan Tiat-po-san, membarengi pukulan lawan yang dibiarkan mengenai tubuh yang kebal sambil melancarkan serangan balasan.
Akan tetapi, In Hong tidak ingin tubuhnya sampai terpukul lawan meski pun belum tentu lawan akan cukup kuat untuk menembus pertahanan Tiat-po-san. Dia teringat akan ilmu pukulan ampuh yang dia terima dari pendeta Lama yang amat sakti itu sebagai penukaran obatnya untuk menyembuhkan luka-luka akibat Siang-tok-swa yang diderita oleh anak laki-laki murid pendeta Lama itu.
"Hyaaaatttt...!" In Hong mengeluarkan suara melengking tinggi sesuai dengan ajaran yang diterimanya dari pendeta Lama.
Karena gurunya menyerang Hek I Siankouw, maka dia lalu menyerang Hwa Hwa Cinjin dengan pukulan Thian-te Sin-ciang. Angin pukulan dahsyat menyambar ganas ke depan, sehingga bukan hanya mengejutkan Hwa Hwa Cinjin yang diserangnya, melainkan juga Hek I Siankouw memekik dan Yo Bi Kiok sendiri terbelalak.
Pada saat itu, Hwa Hwa Cinjin sudah melindungi Hek I Siankouw yang diserang oleh Yo Bi Kiok tadi, menangkiskan serangan Yo Bi Kiok terhadap Hek I Siankouw dan tokouw ini otomatis lalu menggerakkan tangan memukul ke arah lambung Yo Bi Kiok. Akan tetapi, Yo Bi Kiok yang sudah mengerahkan Tiat-po-san tidak mengelak atau pun menangkis, melainkan langsung saja membalas pukulan itu dengan tamparan ke arah dada nenek baju hitam itu.
Tentu saja hal ini sama sekali tidak disangka oleh Hek I Siankouw yang sudah kegirangan karena pukulannya mengenai lambung. Akan tetapi pada saat itu juga dia terkejut merasa betapa pukulannya bertemu dengan lambung yang keras bagaikan baja dan dia sendiri terancam pukulan lawan ke arah dada. Cepat dia miringkan tubuhnya dan selagi Hwa Hwa Cinjin hendak turun tangan melindunginya, tiba-tiba datang pukulan dahsyat bukan main dari In Hong yang menggunakan Thian-te Sin-ciang!
“Plakk! Dessss...!"
Hek I Siankouw miringkan tubuhnya sehingga pukulan Yo Bi Kiok mengenai pundaknya, membuat dia terpelanting. Sedangkan Hwa Hwa Cinjin yang berusaha mengelak sambil menangkis pukulan In Hong, tetap saja tubuhnya terlempar dan terbanting jatuh sampai bergulingan, bahkan Yo Bi Kiok yang hanya kena sambaran hawa pukulan muridnya pun terhuyung dengan kaget dan heran sekali.
Raja Sabutai bertepuk tangan memuji. "Cukup...!" dia berteriak, "Kami menerima bantuan guru dan murid Giok-hong-pang!"
Meski pun fihak Wang Cin masih penasaran, akan tetapi mereka tidak berani melanjutkan pertandingan itu. Apa lagi, dua di antara tiga Bayangan Dewa sudah mengenal kelihaian Yo Bi Kiok, dan menyaksikan pukulan terakhir yang dilakukan oleh In Hong tadi, bahkan Bouw Thaisu sendiri menjadi terkejut sekali dan merasa jeri.
Demikianlah, mulai hari itu, In Hong dan Yo Bi Kiok diterima menjadi pengawal-pengawal Raja Sabutai, bahkan lima puluh orang prajurit wanita para anggota Giok-hong-pang yang sudah siap di luar benteng pun lalu diterima menjadi pasukan pembantu dan diperlakukan dengan hormat di dalam benteng sebagai pasukan istimewa.
Yo Bi Kiok yang seperti juga In Hong telah dapat menarik rasa suka di hati Raja Sabutai, diberi kamar yang mewah tak jauh dari kamar raja sendiri, dan ketua Giok-hong-pang ini lalu mengajak muridnya ke dalam kamarnya agar mereka dapat berbicara empat mata.
Begitu memasuki kamar dan menutupkan pintunya, Yo Bi Kiok segera memegang tangan muridnya kemudian tertawa girang. "Bagus, engkau sudah memperoleh kemajuan pesat, sekarang dapat menjadi pembantu Raja Sabutai. Sungguh tepat tindakanmu ini, muridku. Selagi muda engkau memang harus mencari kedudukan dan aku sudah mendengar akan kekuatan Raja Sabutai yang telah menawan kaisar. Apa bila kelak dia berhasil merampas kerajaan dan menjadi kaisar, engkau tentu memperoleh kedudukan tinggi pula."
In Hong diam-diam merasa terkejut. Sama sekali bukan itulah maksudnya menyelundup ke dalam benteng ini. Dia memasuki benteng ini sesungguhnya dengan niat melindungi kaisar yang tertawan di samping hendak menentang Bun Houw. Akan tetapi dia hanya mendengarkan gurunya bicara terus, tidak berani membantah.
"Begitu mendengar tentang peristiwa ini, aku lalu mengajak semua anak buah kita ke sini untuk membantu Raja Sabutai. Inilah saatnya yang amat tepat untuk mencari kedudukan. Setelah berhasil nanti, jangan khawatir, muridku, aku akan membantumu supaya engkau dapat menikah dengan pemuda tampan itu..."
"Ehhh? Apa maksud subo...?" In Hong terkejut sekali dan memandang gurunya dengan sinar mata tajam penuh selidik.
Yo Bi Kiok tersenyum lebar sehingga wajahnya yang masih cantik itu kelihatan semakin muda. Hanya terhadap muridnya ini saja Yo Bi Kiok dapat bersikap sewajarnya dan dapat bersikap gembira. Terhadap lain orang, bahkan terhadap para anak buahnya, dia selalu memperlihatkan sikap dingin, keras dan ganas.
"In Hong, kau kira aku tidak tahu? Sudah lama aku membayangimu dengan diam-diam, dan aku tahu apa yang terjadi antara engkau dan pemuda she Bun itu."
"Tidak... tidak ada apa-apa..." In Hong menjadi merah sekali mukanya dan dia mencoba untuk menyangkal dan menggeleng kepala.
Yo Bi Kiok memandang dengan senyum masih menghias pada wajahnya. "Aihh, muridku. Bukankah engkau menganggap gurumu ini sebagai pengganti orang tuamu pula? Coba katakan, ke mana perginya burung hong kumala di kepalamu, dan dari mana engkau memperoleh pedang di pinggangmu itu?"
"Ini... ini... memang kutukar...," In Hong menjawab gugup, tangan kiri meraba rambut di kepalanya, tangan kanan meraba gagang pedang Hong-cu-kiam.
"Hemm... tak perlu kau malu-malu terhadap gurumu, In Hong. Aku sangat setuju dengan pilihanmu itu. Melihat dia seorang pemuda yang baik, bukan seperti pria-pria lain yang berwatak palsu. Engkau jangan mengulangi sejarah gurumu. Engkau tidak boleh gagal dalam bercinta. Engkau tidak boleh selemah gurumu di waktu muda dulu. Apa yang telah kau pilih harus engkau pertahankan mati-matian. Oleh karena itu, melihat engkau kurang tegas, aku sudah turun tangan menyerang setiap wanita yang berani jatuh cinta kepada pemuda pilihanmu itu."
"Ohhhh...!" In Hong memandang gurunya dengan mata terbelalak. "Jadi... jadi subo telah membunuh orang?"
"Hemmm, apa salahnya? Gadis dusun itu memang kurang ajar dan tak tahu malu, berani dia mencoba-coba untuk menggoda pemuda pilihanmu, dia pantas dibunuh."
In Hong menunduk, teringat dia akan kemarahan Bun Houw kepadanya. Kiranya tuduhan pemuda itu bukan fitnah kosong belaka, melainkan betul-betul ada orang terbunuh, hanya yang membunuh adalah subo-nya yang disangka dia.
"Kenapa, muridku? Apakah engkau tidak senang dengan bantuanku?"
In Hong masih menunduk. Dia menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya, lalu berkata, "Teecu hanya tidak ingin subo mencampuri urusan dengan... dia itu..."
"Hi-hi-hik-hik!" Yo Bi Kiok tertawa sambil merangkul muridnya. "In Hong, engkau seperti anakku sendiri, aku ingin melihat engkau berbahagia. Bagaimana kau suruh agar aku tak boleh mencampuri? Jangan kau khawatir aku akan mengusahakan agar engkau berjodoh dengan dia."
"Sudahlah, subo. Teecu tidak suka bicara tentang urusan itu."
"Baiklah, sekarang kita bicarakan tentang urusan kita di sini. Kita harus membantu Raja Sabutai sekuat kita. Dan kaisar yang tertawan itu harus dibunuh. Biar aku menemui Raja Sabutai sekarang juga! Mari kau ikut!"
In Hong kaget bukan main. Jantungnya berdebar keras. Entah apa yang mendorongnya, akan tetapi dia sama sekali tidak setuju dengan niat gurunya, bahkan dia telah mengambil keputusan bulat untuk melindungi kaisar sedapatnya!
Dia tidak suka membantu raja liar itu, apa lagi melihat betapa raja itu dibantu oleh banyak orang yang tidak disukanya seperti Go-bi Sin-kouw, Bayangan Dewa dan kawan-kawan mereka itu. Akan tetapi, tentu saja dia tak berani secara berterang menentang subo-nya, maka tanpa banyak cakap dia segera mengikuti subo-nya menghadap Raja Sabutai.
Raja Sabutai yang didampingi oleh isterinya, yaitu Khamila yang nampak cantik jelita dan wajahnya bercahaya seperti yang biasanya nampak pada wajah seorang calon ibu muda, menyambut kedatangan Yo Bi Kiok dan In Hong dengan girang, akan tetapi jelas bahwa raja ini tidak pula melepaskan kewaspadaannya, sebab selain ditemani oleh isterinya, juga di dalam ruangan itu nampak Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko yang duduk seperti arca, dan di sekeliling ruangan itu nampak pula belasan orang pengawal yang melakukan penjagaan.
"Ahhh, silakan duduk, pangcu, dan kau, nona Hong." Raja Sabutai berkata dengan girang, "Perkenalkan ini adalah isteriku, Khamila."
Yo Bi Kiok dan muridnya memandang kagum kepada ratu yang muda dan cantik itu, ada pun Khamila juga mengangguk sambil tersenyum kepada mereka berdua, terutama dia memandang kagum kepada In Hong.
"Harap sri baginda suka memaafkan bahwa saya mohon menghadap dan mengganggu waktu paduka," Yo Bi Kiok berkata.
"Ahhh, mengapa pangcu bersikap sungkan? Sebagai pembantu kami, tentu saja kalian boleh menghadap sewaktu-waktu. Akan tetapi apakah tidak beristirahat lebih dulu?"
"Ada keperluan penting sekali yang harus saya sampaikan kepada paduka," kata Yo Bi Kiok.
"Ceritakanlah." Raja Sabutai memandang tajam karena dia dapat melihat betapa sikap ketua Giok-hong-pang itu amat serius.
"Menurut pendapat saya, tak ada gunanya lagi paduka menahan kaisar sebagai seorang sandera, dan kini tiba saatnya untuk segera berangkat menyerbu ke selatan."
"Ehh, bagaimana kau dapat berkata demikian, pangcu? Apa alasannya?"
"Pertama, karena kini Kerajaan Beng telah mengangkat seorang kaisar baru."
"Hehhh...?!" Raja Sabutai berseru kaget. "Mengapa tidak ada berita dari para penyelidik kami?"
"Memang hal itu dirahasiakan, akan tetapi saya yang baru saja datang dari selatan tahu akan hal itu. Yang diangkat menjadi kaisar adalah Kaisar Ceng Ti. Oleh karena itu, yang paduka tawan sekarang ini bukan lagi kaisar, maka tak ada harganya lagi untuk dijadikan sandera, lebih baik dibunuh saja."
"Ihhh...!" Khamila cepat-cepat menutupi mulutnya yang berteriak kecil tadi dengan sapu tangannya, akan tetapi In Hong yang semenjak tadi memandangnya, melihat betapa saat mendengar ucapan gurunya ini, seketika ratu itu menjadi pucat sekali mukanya, matanya terbelalak dan bibirnya gemetar.
Raja Sabutai menengok kepada isterinya, kemudian menyentuh lengan isterinya sebagai tanda menghibur, kemudian dia menoleh lagi kepada Yo Bi Kiok sambil berkata, "Harap kau lanjutkan, Yo-pangcu. Bagaimana menurut rencanamu?"
"Bekas kaisar itu hanya menjadi penambah beban saja. Dan sebaliknya, sekarang juga paduka mengerahkan pasukan untuk menyerbu ke selatan selagi keadaan belum begitu dikuasai oleh pimpinan kaisar baru yang saya dengar amat lemah. Hal ini adalah karena terjadi perpecahan di antara para pembesar, sebagian ingin mempertahankan kedudukan Kaisar Ceng Tung yang tertawan di sini, sebagian lagi adalah pendukung Kaisar Ceng Ti. Pada waktu keadaan musuh lemah karena pertikaian sendiri, bukankah hal itu merupakan kesempatan yang baik sekali?"
Sampai beberapa lama Raja Sabutai mengerutkan alisnya yang tebal, kemudian dia baru berkata, "Sebenarnya aku masih meragu untuk menyerbu ke selatan yang pertahanannya demikian kuat dan tadinya aku hendak mengambil jalan yang lebih aman, yaitu dengan menjadikan Kaisar Ceng Tung sebagai sandera. Akan tetapi dengan adanya perubahan ini, tentu saja sangat baik sekali seperti yang kau usulkan, pangcu. Kita serbu Kerajaan Beng!"
"Dan Kaisar Ceng Tung...?" Yo Bi Kiok bertanya.
"Untuk sementara biarlah dia kami tahan dulu..."
"Akan tetapi hal itu berbahaya, Sri baginda." Yo Bi Kiok membantah. "Tentu akan muncul orang-orang yang berusaha untuk membebaskannya. Kalau kita semua pergi berperang dan dia tidak dijaga kuat-kuat..."
"Biarlah saya akan menjaganya!" Tiba-tiba In Hong berkata menawarkan diri.
Yo Bi Kiok mengangguk-angguk. "Sebaiknya begitu. Harap paduka jangan khawatir, kalau murid saya ini yang tinggal di sini dan menjaganya, tidak akan ada orang yang mampu membebaskannya."
Raja Sabutai memandang kepada In Hong dan mengangguk-angguk. "Kami tentu percaya kepada nona Hong, dan selain menjaga agar Kaisar Ceng Tung jangan sampai lolos, juga kami menyerahkan keselamatan isteri kami kepada perlindungan nona Hong."
In Hong mengangkat kepala memandang sang ratu. Khamila juga memandang padanya dan di antara kedua orang wanita muda ini terdapat rasa simpati, maka In Hong segera menjawab, "Saya akan melindungi keselamatan isteri paduka dengan taruhan nyawa!"
"Bagus! Legalah hatiku kalau begitu. Suhu dan subo," Sekarang Raja Sabutai menoleh ke arah dua orang kakek dan nenek yang semenjak tadi hanya mendengarkan sambil duduk melenggut saja. "Bagaimana pendapat suhu dan subo tentang penyerbuan ke selatan?"
Kakek dan nenek itu mengangguk dengan kemalas-malasan. "Kami hanya setuju saja...!" jawab mereka acuh tak acuh.
Maka sibuklah Raja Sabutai mengumpulkan para panglimanya, juga memanggil Wang Cin dan menceritakan rencananya menyerbu ke selatan. Tentu saja Wang Cin menjadi girang sekali dan dia pun segera mempersiapkan semua anak buahnya untuk membantu penyerbuan Raja Sabutai ke selatan.
Dalam kesempatan bertemu berdua saja dengan muridnya, Yo Bi Kiok berbisik kepada In Hong, "Muridku, dengarlah baik-baik. Kau harus melindungi kaisar dan sedapat mungkin selamatkan dia keluar benteng."
In Hong memandang terbelalak, namun hatinya girang bukan main. Ternyata gurunya ini hanya bersiasat saja di hadapan Raja Sabutai, sebenarnya tidak ingin membunuh kaisar, malah hendak menyelamatkannya. Akan tetapi saking herannya dia lalu bertanya, "Tetapi, subo..."
"Hushhhh...!" ketua Giok-hong-pang itu mencela muridnya yang membantah, "kita tidak boleh menyia-nyiakan setiap kesempatan. Kalau Sabutai berhasil, itu baik sekali, kalau tidak, kita dapat mencari kedudukan melalui kaisar itu."
Hati In Hong kecewa lagi dan secara diam-diam dia mulai mengenal watak gurunya yang ternyata amat mementingkan diri sendiri sehingga untuk membela dia yang dianggapnya sudah jatuh cinta kepada Bun Houw, gurunya tidak segan-segan membunuh gadis dusun yang dikira mencinta pemuda itu, malah sekarang kaisar pun hanya dijadikan jalan untuk mencapai kepentingannya pribadi.
Diam-diam di dalam hati gadis ini timbul rasa tidak suka dan penentangan, akan tetapi, tentu saja dia tidak berani menyatakan dengan terang-terangan. Hanya dia merasa heran, mengapa sebelum ini dia menganggap gurunya sebagai satu-satunya orang yang baik, yang semua tindakannya dia anggap benar belaka. Mengapa sekarang dia melihat hal-hal yang dianggapnya tidak patut dan tidak benar dalam tindakan gurunya?
Mulailah hati In Hong merasa bimbang. Mulailah dia memikirkan dan mencari akal untuk dapat menyelamatkan kaisar dari tangan Sabutai dan dari tangan subo-nya sendiri. Dan dia menggantungkan harapannya kepada Khamila, isteri Raja Sabutai. Wanita cantik jelita itu berwajah ramah, sinar matanya lembut.
Dua hari kemudian, Raja Sabutai mulai mengerahkan pasukannya itu bergerak ke selatan. Sebagai pimpinan Suku Bangsa Nomad, dan karena khawatir akan keselamatan isterinya, dalam penyerbuan ini Khamila dan Kaisar Ceng Tung yang menjadi tawanan pun dibawa dan selalu berada di bagian belakang di dalam pasukan perbekalan yang juga bertugas mengatur ransum para anak buah pasukan. Yang bertugas menjaga keselamatan Khamila dan menjaga agar kaisar tawanan itu tidak sampai lolos adalah In Hong, dibantu oleh dua losin pengawal...
Dia telah dihina orang! Dihina seorang laki-laki dan celakanya, laki-laki itu adalah laki-laki yang dikiranya pria yang istimewa, yang merupakan kekecualian, yang tidak sama bahkan kebalikan dari para pria yang dikutuk oleh gurunya. Hatinya sakit bukan main. Bun Houw telah menolak bantuannya, bahkan memaki dirinya sebagai seorang wanita kejam seperti iblis! Bahkan telah berani menantangnya!
"Si keparat...!" desisnya di antara isak yang keluar dari dadanya.
Orang macam dia berani menantang? Kalau dia tadi turun tangan, dalam beberapa jurus saja tentu laki-laki itu akan dapat dibunuhnya! Akan tetapi kenapa tidak dilakukannya hal itu? Padahal, kalau ada laki-laki lain bersikap kasar sedikit saja kepadanya, tentu dia tidak segan-segan untuk menurunkan tangan besi dan membunuhnya.
Tidak, dia tidak akan turun tangan demikian mudah terhadap Bun Houw. Biar laki-laki itu terbuka matanya, bahwa semua tuduhannya itu bohong belaka, bahwa dia bukanlah iblis betina yang melakukan semua tuduhan itu, dan setelah laki-laki itu menyesal dan terbuka matanya, baru dia akan membunuhnya.
Teringat akan semuanya itu, teringat betapa dia tersiksa batinnya karena rindu dan ingin berdekatan dengan Bun Houw, kemudian betapa sikap pemuda itu telah menghancurkan hatinya, jantungnya bagaikan ditusuk-tusuk dan terasa semakin sakit. Apa lagi kalau dia teringat betapa dia telah bersusah payah menolong pemuda itu ketika Bun Houw disiksa dan hampir mati di tangan dua orang Bayangan Dewa. Kalau tidak dia datang menolong, tentu sekarang pemuda itu sudah tewas. Dan pemuda itu membalas kebaikan itu dengan makian dan penghinaan!
"Orang she Bun! Kau lihat saja pembalasanku nanti!" kembali In Hong mengepal tinju.
Akan tetapi dia terbayang akan kemesraan antara mereka, ketika mereka bercakap-cakap sambil makan berdua, menukar pedang dengan giok-hong-cu, dan tinjunya kembali harus menghapus dua titik air mata yang tiba-tiba saja meloncat keluar. Terngiang di telinganya tuduhan-tuduhan yang dilontarkan Bun Houw kepadanya.
Dia menyerang dan hampir membunuh wanita yang bernama Souw Kwi Eng? Dia tidak mengenal nama itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa wanita itu agaknya masih ada hubungan saudara dengan Souw Kwi Beng, pemuda tampan bermata biru yang pernah diselamatkannya dari tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim itu.
Dan kemudian katanya dia membunuh seorang gadis desa yang tidak berdosa? Sama sekali dia tak mengerti siapa gadis ini. Semua itu fitnah belaka. Bohong belaka dan sekali waktu dia harus dapat membuka mata Bun Houw untuk melihat bahwa semua tuduhan yang dilontarkan itu kosong belaka. Baru kemudian dia akan membunuhnya.
Hati yang panas dan sakit membuat In Hong pergi meninggalkan hutan itu dengan hanya satu saja niat di dalam hatinya, yaitu membantu fihak yang dimusuhi Bun Houw! Dia ingin bertemu dalam pertempuran melawan pemuda itu, bukan untuk membunuhnya, melainkan untuk mengejeknya, karena dia baru akan membunuh kalau pemuda itu sudah melihat bahwa tuduhannya tadi kosong.
Dia tidak mau dibantu? Baik, jika pemuda itu tidak mau dibantu maka dia akan membantu fihak musuhnya! Benteng pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Sabutai tak jauh dari tempat itu.
Akan tetapi In Hong bukanlah seorang yang ceroboh. Sama sekali tidak. Semenjak kecil dia hidup bersama gurunya dalam keadaan penuh dengan kesukaran dan kekerasan, dan semua pengalaman itu membuat dia amat berhati-hati. Dia tidak akan memasuki tempat berbahaya yang belum dikenalnya begitu saja.
Dahulu gurunya sudah sering memberi peringatan kepadanya supaya dia jangan mudah menaruh kepercayaan kepada siapa pun juga, apa lagi kepada kaum pria. Dan benteng pasukan yang dipimpin Sabutai itu merupakan tempat yang penuh bahaya. Betapa pun tinggi kepandaiannya, tentu dia tidak akan berdaya menghadapi kekuatan pasukan yang ribuan orang banyaknya itu, apa lagi kalau di situ terdapat pula banyak orang pandai.
Oleh karena itu, pada pagi hari itu, pada waktu keadaan masih gelap, In Hong berhasil menculik seorang penjaga yang melakukan tugas menjaga dan meronda di luar benteng, memukulnya roboh pingsan kemudian menyeretnya ke dalam hutan yang masih gelap. Dia lalu mengancam dan memaksa penjaga yang ketakutan dan mengira bahwa dirinya diserang dan diculik setan penjaga hutan, agar orang itu menceritakan keadaan di dalam benteng Sabutai.
Dari orang inilah In Hong mendengar bahwa kaisar masih menjadi seorang tawanan yang terhormat dan dalam keadaan sehat, sedangkan Wang Cin masih menjadi tamu yang tidak bebas, bersama para pembantunya yang lihai. Ketika In Hong mendengar bahwa di antara para pembantu Wang Cin itu terdapat nenak Go-bi Sin-kouw di samping tiga orang Bayangan Dewa, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu, dia terkejut sekali akan tetapi juga girang.
Dengan adanya para kakek dan nenek yang sakti itu, dia tahu betapa kuatnya keadaan di dalam benteng akan tetapi dia pun melihat adanya kesempatan baginya untuk memasuki benteng itu dengan terang-terangan karena dia sudah mengenal mereka, terutama Go-bi Sin-kouw sehingga dia dapat berpura-pura membantu nenek itu!
Sungguh pun dia berhasil mengorek keterangan dari penjaga itu, namun dengan cerdik In Hong melakukan pertanyaan dan ancaman sambil bersembunyi dan merubah suaranya menjadi besar sehingga orang itu sama sekali tidak tahu siapa yang telah menculik dan mengajukan semua pertanyaan serta ancaman itu. Kemudian, kesempatan itu pun tidak membuat In Hong kekurangan kewaspadaannya. Dia baru muncul di depan pintu benteng itu pada malam harinya. Dia memilih malam hari dengan maksud bahwa andai kata dia diterima dengan todongan senjata dan dia tak mampu mengatasi begitu banyaknya orang pandai, dia akan lebih mudah menyelamatkan diri dari pada kalau siang hari.
"Berhenti! Siapa di situ?!" Tiba-tiba beberapa orang penjaga muncul dan dengan tombak ditodongkan mereka cepat menghampiri In Hong yang berhenti dan berdiri tegak di bawah lampu di pintu gerbang.
Pada saat enam orang penjaga melihat bahwa yang menghampiri pintu gerbang adalah seorang gadis yang cantik bukan main, mereka terkejut, terheran, dan juga menjadi lega, bahkan tersenyum gembira karena penjagaan di tempat sunyi membuat mereka menjadi kesal dan munculnya seorang wanita yang begini cantik tentu saja merupakan hal yang amat menghibur.
"Heiiii, nona manis, siapakah engkau yang malam-malam begini muncul di sini dan apa pula kehendakmu?" tegur kepala jaga sambil menyeringai, sedangkan enam pasang mata laki-laki seperti orang kehausan melihat air jernih menjelajahi seluruh tubuh In Hong dari kepala sampai ke sepatunya.
Teguran itu diucapkan dalam Bahasa Mongol dan In Hong tidak mengerti artinya, maka dia hanya tersenyum dan menjawab dengan gelengan kepala saja. Seorang di antara para penjaga itu dapat berbahasa Han, maka dia lalu menjadi juru bahasa, menterjemahkan pertanyaan kepala jaga itu dengan suara yang kaku.
"Aku adalah kenalan baik Go-bi Sin-kouw yang berada di dalam benteng, dan aku ingin bertemu dengan dia dan rombongannya," jawab In Hong terpaksa menahan kesabarannya karena dia tidak ingin memancing keributan di tempat berbahaya ini.
Mendengar keterangan ini, semua penjaga yang berjumlah dua belas orang dan sekarang sudah berkumpul di sana, saling memandang dengan curiga. Memang semua pengikut Sabutai menaruh curiga kepada rombongan Pembesar Thaikam Wang Cin itu.
Kepala jaga lalu menyuruh salah seorang anak buahnya untuk melapor ke dalam, bukan langsung kepada Wang Cin melainkan kepada Sabutai! Makin jelaslah bahwa rombongan pembesar itu sesungguhnya bukan lagi dianggap sebagai tamu agung, melainkan sebagai tawanan yang tidak ada bedanya dengan kaisar sendiri.
Ketika itu Sabutai sedang bersenang-senang di dalam kamarnya, makan minum bersama Khamila untuk merayakan kandungan Khamila sebagai hasil hubungan wanita cantik ini dengan Kaisar Ceng Tung! Dapatlah dibayangkan betapa perih rasa hati wanita itu karena sesungguhnya diam-diam dia jatuh cinta kepada kaisar yang ditawan itu.
Akan tetapi diam-diam dia juga merasa girang bahwa dia dapat mengandung keturunan kaisar itu. Ngeri dia kalau membayangkan betapa andai kata tidak ada Kaisar Ceng Tung, dia diharuskan menyerahkan diri kepada seorang laki-laki lain yang diharuskan bertugas mewakili Sabutai menidurinya agar dia memperoleh keturunan! Kenyataan ini merupakan hiburan sehingga Khamila dapat juga berwajah girang pada saat suaminya mengajaknya merayakan peristiwa yang dianggapnya menggirangkan itu.
Ada pun Sabutai benar-benar merasa girang. Sedikit pun dia tak merasa cemburu kepada Kaisar Ceng Tung. Dia kagum kepada kaisar muda itu, kagum akan kegagahannya yang diperlihatkannya ketika menjadi tawanan, maka kini dia merasa terhormat untuk menjadi ayah kandung dari keturunan kaisar besar itu!
Kalau pria lain yang menjadi ayah kandung dari anak yang berada di dalam kandungan isterinya, tentu dia akan membunuh pria itu supaya rahasia ini tidak diketahui siapa pun. Akan tetapi, karena yang menjadi ayah sejati adalah Kaisar Ceng Tung, maka dia tidak akan membunuh kaisar itu karena dia yakin bahwa rahasia itu akan tersimpan rapat dan Kaisar Ceng Tung tentu tidak akan membuka rahasia yang dapat mencemarkan namanya sendiri itu.
Tiba-tiba saja datang penjaga yang melaporkan tentang munculnya seorang gadis cantik di depan pintu gerbang yang mengaku sebagai sahabat Go-bi Sin-kouw. Sabutai menjadi tertarik sekali dan tentu saja menaruh curiga.
Diam-diam dia lalu menyampaikan berita kepada kedua orang gurunya, dan mengerahkan pasukan pengawal, mendatangi pembesar Wang Cin. Dia sendiri yang menyampaikan berita tentang kedatangan seorang ‘sahabat’ dari Go-bi Sin-kouw itu dan memerintahkan agar nona itu dipersilakan masuk.
Wang Cin beserta para pembantunya menanti di ruangan besar itu dengan hati tak enak, terutama Go-bi Sin-kouw. Nenek ini menduga-duga dan maklum pula bahwa fihak Raja Sabutai mencurigai mereka dan mencurigai orang yang katanya datang hendak bertemu dengannya.
Tidak lama kemudian muncullah In Hong yang diantarkan oleh belasan orang pengawal bersenjata lengkap. Gadis ini melangkah dengan tenang walau pun di dalam hatinya dia maklum bahwa dia sedang berada di tempat yang amat berbahaya.
Dia melihat betapa benteng itu amat kuat dan penjagaan dilakukan ketat sekali. Sepintas lalu ketika dia dipersilakan masuk, dia sempat melihat keadaan penjagaan di sepanjang tembok benteng dan biar pun dia akan dapat memasuki benteng ini kemudian keluar lagi melalui tembok yang tidak berapa tinggi itu, namun dia akan menghadapi bahaya besar. Akan tetapi, dia tidak memperlihatkan sikap jeri dan melangkah dengan pandang mata ke depan, tangan kiri tertumpang di gagang pedangnya yang tergantung di pinggang.
Pada waktu gadis itu memasuki ruangan besar yang dipasangi penerangan cukup, semua mata menyambutnya dengan pandang penuh selidik. Sabutai memandang dengan mata mengandung keheranan dan kekaguman. Dia tahu bahwa Bangsa Han di selatan banyak memiliki jago-jago silat yang berkepandaian tinggi sekali, akan tetapi baru sekarang dia melihat seorang gadis muda cantik jelita yang bersikap demikian gagahnya, memasuki tempat seperti bentengnya itu dengan sikap demikian tenang dan penuh keberanian. Juga sekali pandang saja dia langsung meragukan apakah benar gadis cantik ini merupakan sahabat dari nenek tua itu, seorang di antara kaki-kaki tangan pembesar Wang Cin yang berjiwa khianat.
Para tokoh lihai yang menjadi pembantu Wang Cin dan pernah bertemu dengan In Hong, terutama sekali Go-bi Sin-kouw, kini memandang gadis itu dengan alis berkerut dan hati penuh kecurigaan. Go-bi Sin-kouw menjadi tidak senang hatinya. Dia memang mengenal gadis ini sebagai seorang gadis yang sangat lihai, yang berwatak keras sekali dan aneh, akan tetapi sungguh lucu kalau gadis itu mengaku sebagai sahabatnya. Jauh dari pada itu, bahkan antara dia dan gadis itu terdapat rasa benci dan saling mencurigai yang besar.
Dan sekarang gadis ini datang mengaku sebagai sahabatnya! Tentu saja Go-bi Sin-kouw merasa curiga sekali dan sebelum yang lain membuka mulut, dia sudah melompat maju sambil membentak, "Kiranya engkau yang datang mengaku sahabatku? Sri Baginda Raja Sabutai, jangan percaya, dia ini tentu mata-mata dari Kerajaan Beng!" Dia lalu menoleh pada teman-temannya karena untuk menghadapi gadis lihai itu sendirian saja, dia merasa agak jeri. "Teman-teman, mari bantu aku menangkap gadis setan ini!"
Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw yang telah tahu bahwa gadis lihai ini memang hanya mendatangkan kesukaran saja, sudah melangkah maju. Juga tiga orang Bayangan Dewa sudah saling pandang, karena mereka telah mendengar akan kematian Toat-beng-kauw Bu Sit dan Hui-giakang Ciok Lee Kim, dan menurut pendengaran mereka, Ciok Lee Kim terbunuh oleh seorang gadis cantik yang agaknya gadis inilah karena memang mereka tahu akan kelihaian Yap In Hong.
Melihat gelagat yang tak baik ini, In Hong hanya tersenyum saja. Dia seorang yang amat tabah sehingga ketenangannya itu membuat dia lebih dapat menguasai keadaan. Dengan sekali pandang saja dia sudah bisa menduga yang mana adanya Raja Sabutai yang amat terkenal itu. Maka cepat dia menoleh ke arah raja ini yang kebetulan sejak tadi memang memandangnya penuh selidik, dan In Hong segera menjura dengan hormat ke arah raja yang bersikap gagah itu dan berkata,
"Kedatangan saya adalah hendak menawarkan bantuan kepada sri baginda raja melalui Go-bi Sin-kouw yang telah saya kenal sebelumnya, akan tetapi ternyata kedatangan saya tidak diterima sebagaimana patutnya."
Sejenak pandang mata mereka saling bertemu, bertaut dan akhirnya Sabutai tersenyum. Raja ini pun bukanlah seorang biasa, melainkan murid dua orang sakti Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko. Karena itu dia sudah bisa menyelami sikap gadis cantik itu yang kini jelas mengharapkan bantuan darinya untuk bersikap gagah. Maka raja ini lantas bangkit berdiri pada waktu melihat beberapa orang kakek dan nenek pembantu Wang Cin sudah bangkit dengan sikap mengancam untuk mengeroyok gadis itu, dan dia berkata nyaring.
"Tahan dulu...!"
Mendengar seruan ini, tentu saja Go-bi Sin-kouw beserta teman-temannya cepat mundur kembali, menoleh kemudian memandang dengan alis berkerut, ada pun Wang Cin sendiri memandang dengan sinar mata tidak senang. Namun Sabutai tidak mempedulikan semua itu, dia tersenyum lebar dan melanjutkan kata-katanya,
"Setiap orang yang berani memasuki benteng ini, terlebih dulu haruslah diketahui dengan jelas maksud kedatangannya, baru diambil keputusan sikap apa yang akan kami ambil. Sungguh merupakan hal yang amat memalukan dan merendahkan nama sendiri apa bila mengeroyok seorang gadis muda di depanku,!"
Wajah Go-bi Sin-kouw menjadi merah sekali dan dia cepat memberi hormat kepada raja itu sambil berkata, "Harap paduka sudi memaafkan, akan tetapi gadis ini..."
"Cukup!" Sabutai membentak. "Ingat bahwa cu-wi sekalian hanya tamu dan akulah tuan rumahnya, karena itu akulah yang berhak menerima dan memeriksa tamu yang datang memasuki bentengku!" Ucapan ini cukup keras nadanya dan Go-bi Sin-kouw menunduk, melirik ke arah Wang Cin yang memberi isyarat agar nenek itu mundur.
Sabutai bersikap seolah-olah dia tidak melihat itu semua dan kini dia menggapai ke arah In Hong sambil berkata, "Majulah ke sini, nona!"
Dengan langkah gagah dan tenang, tapi membayangkan keluwesan dan kepadatan tubuh seorang gadis dewasa, In Hong menghampiri raja itu, lantas menjura dan berdiri dengan sikap hormat. Melihat gadis itu tidak mau berlutut, dua orang pengawal sudah maju dan hendak menghardiknya, akan tetapi pandang mata Sabutai melarang mereka dan raja ini lalu menyambar sebuah bangku di sebelah kanannya, kemudian tersenyum dan berkata kepada In Hong,
"Terimalah bangku ini untuk tempat dudukmu, nona! Tidak enak berbicara sambil berdiri saja!"
Sesudah berkata demikian, Raja Sabutai yang pada waktu itu masih diliputi kegembiraan karena isterinya mengandung itu lalu mengerahkan tenaga pada tangan kanannya, dan bangku itu melayang ke atas, berputaran seperti seekor burung hidup dan tiba-tiba saja bangku itu melayang turun ke arah kepala In Hong!
Dara ini terkejut juga, tidak menyangka bahwa raja kaum pemberontak liar itu ternyata memiliki kepandaian yang cukup hebat! Akan tetapi dia tidak menjadi gentar, bahkan ikut pula terbawa oleh kegembiraan Sabutai yang tersenyum ramah itu. In Hong mengerahkan tenaga ginkang-nya dan sambil mengeluarkan seruan tinggi tubuhnya mencelat ke atas dan tahu-tahu dia telah duduk di atas bangku yang masih melayang turun dan pada saat bangku itu tiba kembali di atas lantai, dara ini masih duduk, sedikit pun tidak terguncang tubuhnya seolah-olah dia tadi dibawa terbang oleh bangku yang telah ‘dijinakkan’ itu.
"Terima kasih atas keramahan paduka." In Hong menjura dari tempat duduknya ke arah Sabutai yang menjadi kagum. Dia tadi telah memperlihatkan tenaga dalamnya dan gadis itu mengimbangi dengan mendemonstrasikan ginkang yang luar biasa!
"Ha-ha-ha, benar saja dugaanku. Tamu kami seorang yang lihai sekali. Nona, siapakah namamu?"
"Nama saya... hanya Hong saja." In Hong memperkenalkan dirinya dengan setengah hati karena memang dia tidak ingin memperkenalkan diri selengkapnya.
"Apakah benar engkau sahabat Go-bi Sin-kouw?"
"Saya tidak pernah bersahabat dan tidak pernah mengaku bersababat dengan dia," jawab In Hong sambil melirik ke arah nenek itu. "Kepada para penjaga benteng tadi pun saya hanya mengatakan bahwa saya kenal baik dengan Go-bi Sin-kouw namun hal itu saya lakukan agar saya diperbolehkan masuk ke sini. Sebenarnya saya ingin bertemu dengan paduka untuk menawarkan tenaga bantuan saya."
"Harap paduka jangan percaya!" Tiba-tiba Go-bi Sin-kouw berseru. "Dia tentu mata-mata musuh dan tentu dia datang untuk menyelidiki keadaan kita!"
Sabutai memandang In Hong dengan pandang mata tajam penuh selidlk, kemudian dia bertanya, "Nona Hong, benarkah apa yang dituduhkan oleh Go-bi Sin-kouw tadi bahwa engkau adalah seorang mata-mata Kerajaan Beng?"
"Bohong, sri baginda! Saya bersumpah bahwa saya bukan mata-mata mana pun juga. Dan memang, Go-bi Sin-kouw dan teman-temannya itu bukan orang baik-baik dan pernah bentrok dengan saya maka kini mereka hendak menjatuhkan fitnah kepada saya."
Go-bi Sin-kouw bangkit berdiri dengan marah dan menuding, "Bocah setan! Engkau telah melarikan muridku. Engkau masuk ke sini pura-pura hendak bertemu dengan aku, akan tetapi siapa yang tidak tahu bahwa di luar sana ada gerombolan yang dipimpin oleh ketua Cin-ling-pai? Dan engkau adalah calon mantu Cin-ling-pai, bukan? Tentu engkau adalah mata-mata, kalau bukan mata-mata Kerajaan Beng, setidaknya engkau dikirim oleh calon mertuamu itu!"
"Tutup mulutmu yang busuk! Engkau tahu betul bahwa tidak demikian halnya." In Hong juga membentak marah.
"Heh-heh-heh-heh, engkau selalu memperlihatkan sikap bermusuhan, juga terhadap Lima Bayangan Dewa. Kami masih merasa heran apakah bukan engkau yang telah membunuh Hui-giakang Ciok Lee Kim."
"Memang benar aku! Karena dia hendak melakukan perbuatan yang keji dan tidak patut terhadap seorang pemuda."
Mendengar pengakuan ini, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok mengeluarkan suara menggereng seperti seekor biruang marah. "Kalau begitu, aku harus membalas kematian sumoi!"
Melihat pembantu-pembantu Wang Cin sudah bergerak dan bangkit hendak mengeroyok, Sabutai mengangkat tangan dan berkata nyaring, "Urusan pribadi tak perlu dibawa-bawa ke sini! Aku memang membutuhkan pembantu, akan tetapi aku belum melihat kehebatan nona ini, maka perlu diuji! Dan aku tidak akan membiarkan orang-orang gagah seperti cu-wi, yang menjadi pembantu-pembantu Wang-taijin untuk melakukan perbuatan rendah mengeroyok seorang wanita muda. Sebaiknya urusan pertikaian pribadi antara kalian itu diselesaikan sekarang juga, dengan pertandingan satu lawan satu. Nona Hong, apakah engkau berani menghadapi mereka itu, satu lawan satu untuk memutuskan siapa yang benar melalui keunggulan ilmu silat?”
In Hong hanya tersenyum, lalu bangkit berdiri dan mundur ke tengah ruangan yang luas itu, berdiri tegak dan menjawab, "Menghadapi manusia-manusia iblis ini, jangankan satu lawan satu, walau pun dikeroyok saya tidak akan takut, sri beginda."
Ucapan In Hong ini bukan semata-mata karena kesombongan belaka, namun dilakukan dengan sengaja sebagai siasatnya untuk memancing kepercayaan serta kekaguman raja itu, karena yang menjadi tujuannya adalah agar dapat berada dalam benteng dan selain melindungi kaisar yang tertawan, dia juga hendak menentang pasukan yang dipimpin oleh Bun Houw.
Siasatnya berhasil. Sabutai tersenyum lebar penuh kekaguman, kemudian raja ini bangkit berdiri, memberi isyarat kepada dua orang gurunya yang juga bangkit dan berkatalah raja ini, "Demi kegagahan, aku tidak akan membiarkan terjadinya pengeroyokan. Wang-taijin, biarkan orang-orangmu maju satu per satu melawan nona ini, dan aku akan menghukum siapa saja yang berani menggunakan kecurangan dan pengeroyokan. Dua orang guruku akan menjadi pengawas."
Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko tertawa, lalu duduk kembali. Akan tetapi tiba-tiba saja bangku yang mereka duduki itu ‘terbang’ ke atas dengan tubuh mereka masih duduk di atasnya dan bangku-bangku itu melayang turun di sudut kanan kiri ruangan itu, di mana mereka duduk dengan tenang, memegangi tongkat butut mereka.
Diam-diam In Hong terkejut sekali. Pantas saja Raja Sabutai demikian lihainya, kiranya dia memiliki dua orang guru yang sakti. Gadis ini menjadi makin berhati-hati dan dengan wajah tersenyum dingin dia kini memandang ke arah rombongan pembesar thaikam yang berkhianat itu, sikapnya menantang. Kalau harus menghadapi mereka satu lawan satu, dia sama sekali tidak merasa jeri.
Go-bi Sin-kouw menjadi gentar juga ketika mengetahui bahwa dia tidak dapat mengajak kawan-kawannya untuk mengeroyok gadis itu, maka dia berkata kepada Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, "Phang-sicu, dialah yang membunuh sumoi-mu, maka sudah sepatutnya kalau engkau sebagai orang pertama dari Lima Bayangan Dewa membalaskan kematian sumoi-mu."
Di antara Lima Bayangan Dewa itu, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok adalah orang pertama yang memiliki kepandaian paling tinggi dan dia sendiri belum pernah bertemu dengan In Hong. Melihat gadis muda itu tentu saja dia memandang rendah dan memang sejak tadi hatinya sudah diliputi kemarahan melihat gadis yang membunuh sumoi-nya ini, karena itu mendengar ucapan Go-bi Sin-kouw, dia cepat menengok ke arah Wang Cin dan dengan pandang matanya dia minta persetujuan majikannya itu.
Wang Cin mengangguk-angguk. "Sri baginda sudah menurunkan perintah, engkau harus mentaatinya."
Phang Tui Lok lalu menjura kepada Wang Cin, kemudian menjura ke arah Sabutai, lalu dia melangkah lebar dan tenang ke tengah ruangan, maju menghampiri In Hong. Tokoh pertama dari Lima Bayangan Dewa ini sudah berusia enam puluh tahun lebih, akan tetapi kelihatan masih tampan dan gagah bagaikan orang yang usianya paling banyak empat puluh tahun. Pakaiannya serba putih dan sepatunya hitam.
Lelaki peranakan Mongol ini adalah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, seorang di antara datuk-datuk golongan hitam puluhan tahun yang lalu. Tentu saja ilmu silatnya sangat hebat.
Seperti kita ketahui, kemunculan Pat-pi Lo-sian (Dewa Berlengan Delapan) Phang Tui Lok di dunia persilatan telah menggemparkan kaum kang-ouw karena begitu muncul dia dan sekutunya sudah berani melakukan hal yang amat hebat yaitu membunuhi Cap-it Ho-han murid-murid Cin-ling-pai dan bahkan mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam.
Perbuatan itu biar pun dia lakukan selagi ketua Cin-ling-pai dan isterinya tidak berada di Cin-ling-san, setidaknya telah mengangkat namanya cukup tinggi hingga membuat nama Lima Bayangan Dewa dibicarakan orang secara bisik-bisik penuh rasa segan dan takut. Hal ini tentu saja mendorong munculnya kesombongan dalam hati Phang Tui Lok, maka kematian sumoi-nya merupakan pukulan hebat, juga kematian Toat-beng-kauw Bu Sit.
Kematian dua orang sekutunya itu di samping memperlemah kedudukan Lima Bayangan Dewa, juga merupakan pukulan terhadap nama besarnya, sebab itu sekarang dia hendak menumpahkan kemarahannya kepada In Hong, gadis muda ini. Merasa bahwa dia adalah seorang tokoh besar kenamaan, pemimpin dari Lima Bayangan Dewa, maka kini di depan pembesar Wang Cin dan Raja Sabutai serta banyak orang lagi dia harus menghadapi lawan seorang gadis muda, keangkuhannya tentu saja tersinggung, maka dengan lagak seorang guru terhadap seorang murid, atau seorang bertingkat tinggi terhadap seorang lain yang bertingkat rendah, dia bertanya,
"Nona muda, siapakah gurumu?"
In Hong memandang dengan wajah dingin dan sinar mata tajam menusuk, kemudian dia menjawab, "Nama guruku tidak ada sangkut pautnya dengan Pat-pi Lo-sian!"
"Hemm, kau sudah mengenal julukanku!"
"Go-bi Sin-kouw tadi menyebutmu sebagai orang pertama dari Lima Bayangan Dewa yang curang dan pengecut, yang hanya berani menyerbu Cin-ling-pai selagi tuan rumah tidak ada, yang membunuhi murid-muridnya dan mencuri pedang Siang-bhok-kiam, tentu saja aku mengenalmu..."
"Ehh, apa sangkutanmu dengan Cin-ling-pai? Kalau begitu benar dugaan Go-bi Sin-kouw bahwa engkau adalah mata-mata yang dikirim oleh ketua Cin-ling-pai!"
"Sama sekali tidak dan aku tidak mempunyai sangkutan dengan Cin-ling-pai, aku hanya ingin mengatakan bahwa Lima Bayangan Dewa adalah kumpulan orang-orang curang."
"Hemm, bocah sombong. Aku menanyakan nama gurumu agar kelak kalau bertemu aku dapat menegurnya karena dia tidak bisa mendidikmu. Bocah yang bosan hidup, kenapa engkau memusuhi Lima Bayangan Dewa? Lebih baik engkau mengakui agar nanti tidak mati penasaran."
"Aku tidak memusuhi Lima Bayangan Dewa."
"Kenapa membunuh sumoi-ku?"
"Sudah kukatakan, perempuan hina Ciok Lee Kim itu melakukan hal yang tidak patut, memaksa seorang pemuda, maka aku menjadi muak dan membunuhnya. Aku datang ke sini untuk membantu pasukan Sri Baginda Sabutai, akan tetapi kalian malah menjatuhkan fitnah. Majulah kalau memang kau berani, Pat-pi Lo-sian, dan jangan banyak mengoceh seperti burung kelaparan."
Tentu saja Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok menjadi marah sekali. "Bagus! Salahmu sendiri kalau kau ingin menjadi bangkai tak bernama! Nah, terimalah ini!"
Gerakan Pat-pi Lo-sian memang hebat bukan main. Begitu tubuhnya menyerbu, sepasang tangannya melakukan serangan bertubi-tubi dan memang tidak percuma dia dijuluki Dewa Berlengan Delapan karena kedua tangannya melancarkan serangan bertubi cepat sekali seolah-olah dia mempergunakan delapan lengan! Dan setiap tamparan, pukulan, totokan atau cengkeraman mengandung hawa pukulan kuat sekali sehingga merupakan serangan maut.
"Heiiiiittttt...!" In Hong memekik dan tubuhnya berkelebatan seperti seekor burung garuda, cepatnya sampai tidak dapat diikuti pandangan mata, tubuhnya seperti lenyap dan hanya nampak bayangan-bayangan saja.
Semua serangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh Pat-pi Lo-sian mengenai tempat kosong dan paling hebat hanya menyentuh sedikit ujung bajunya. Sambil mengelak dari tamparan terakhir, In Hong menggerakkan kaki kirinya dan nyaris ujung sepatunya mencium hidung lawan. Pat-pi Lo-sian terkejut sekali dan cepat menarik tubuhnya ke belakang. Bau ujung sepatu kotor yang tidak enak membuktikan alangkah dekatnya sepatu tadi menghampiri hidungnya!
"Perempuan rendah!" Saking jengkelnya Pat-pi Lo-sian memaki.
Akan tetapi diam-diam dia mulai mengerti bahwa biar pun masih amat muda, lawan yang dihadapinya ini ternyata lihai sekali, maka dia pun dapat mengerti mengapa Hui-giakang Ciok Lee Kim sampai roboh di tangan gadis ini. Dengan marah dan mulai hati-hati dia lalu mengerahkan tenaga sinkang ke dalam kedua lengannya, kemudian dia menyerang lagi dengan dua kali pukulan tangan yang mengandung tenaga sinkang sepenuhnya.
"Wirrrr... wuuuuuttttt…!"
Angin dahsyat menyambar mendahului kedua kepalan itu. In Hong yang dapat mengenal pukulan lihai, cepat mengelak ke kiri.
"Haiiiiittt...!" Pat-pi Lo-sian membentak, tubuhnya segera membalik ke kanan melanjutkan serangannya, tangan kanannya membentuk cakar naga yang mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala lawan. Cepat dan kuat sekali gerakannya itu.
In Hong juga mengenal gerakan ini, gerakan yang sangat berbahaya dan mengandung pancingan. Cengkeraman yang kelihatannya ganas itu bukanlah inti serangan, melainkan umpan dan gertakan belaka. Apa bila dia menangkis, tentu lawan akan mempergunakan tangan kiri untuk mengirim pukulan inti yang mematikan, karena itu untuk menghindarkan pukulan tersembunyi atau susulan ini, In Hong mengeluarkan suara melengking nyaring dan tiba-tiba saja ketika dia menangkis cengkeraman itu, tubuhnya mencelat ke atas!
Pat-pi Lo-sian terkejut, tahu bahwa siasatnya gagal sehingga tangan kirinya yang sudah siap mengirim pukulan ke anggota tubuh di bawah dada itu tidak ada gunanya lagi. Ketika melihat tubuh gadis itu melayang ke atas, cepat dia melanjutkan gerakan cengkeraman tangan kanan yang tertangkis tadi, secepat kilat menangkap pergelangan kaki In Hong yang melayang di atas kepalanya.
"Plak! Dukkk!"
Tubuh In Hong terlempar, akan tetapi juga Pat-pi Lo-sian terhuyung ke belakang. Ketika tangannya berhasil menangkap pergelangan kaki tadi, tiba-tiba ujung sepatu dari kaki In Hong yang kedua telah menotok pergelangan tangannya hingga seluruh tangan menjadi lumpuh dan otomatis pegangannya terlepas.
Merahlah muka Pat-pi Lo-sian! Sambil mengeluarkan suara menggereng seperti harimau terluka dia lari menyerbu In Hong yang baru saja meloncat turun, maka segera terjadilah pertandingan yang amat seru dan mati-matian.
Namun, keunggulan Pat-pi Lo-sian mainkan kedua tangannya yang memang cepat sekali itu dapat diimbangi oleh In Hong dengan keunggulan ginkang-nya. Tubuhnya amat ringan seperti kapas, cepat seperti burung dan biar pun kelau dihitung, setiap tiga kali serangan lawan baru dapat dibalasnya satu kali, namun balasannya itu cukup mengimbangi tiga kali serangan karena kalau dia belum pernah tersentuh tangan lawan, adalah Pat-pi Lo-sian sudah dua kali kena ditampar pundak dan lehernya. Untung bahwa dia memiliki sinkang yang kuat, tubuhnya yang terlindung hawa sinkang menjadi kebal dan tamparan-tamparan itu hanya membuat dia mundur terhuyung saja.
Setiap kali tamparannya berhasil mengenai lawan, terdengar tepuk tangan dari Sabutai. Hal ini membuat In Hong makin bersemangat dan Pat-pi Lo-sian makin marah. Dan inilah kesalahan Pat-pi Lo-sian.
Kemarahan adalah satu di antara hal yang sebetulnya merupakan pantangan besar bagi seorang ahli silat pada waktu menghadapi lawan yang pandai, karena kemarahan ini akan mengurangi kewaspadaan yang berarti mengurangi daya tahan karena sebagian besar perhatian dicurahkan untuk menyerang dan merobohkan lawan belaka.
Yap In Hong telah mewarisi ilmu-ilmu mukjijat dari Yo Bi Kiok, ilmu-ilmu silat tinggi yang didapat oleh gurunya itu dengan bantuan bokor emas milik mendiang manusia sakti The Hoo. Menurut tingkat ilmu silatnya, tingkat In Hong masih lebih tinggi dari pada tingkat Pat-pi Lo-sian dan kalau orang pertama dari Lima Bayangan Dewa ini dapat mengimbangi bahkan mendesak hanyalah karena dia mempunyai banyak pengalaman dan mengenal banyak tipu-tipu muslihat perkelahian.
Kini, dalam keadaan marah, Pat-pi Lo-sian kehilangan banyak kewaspadaan, dan selagi dia menyerang secara membabi buta, tiba-tiba saja ujung sepatu In Hong dapat mencium sambungan lutut kirinya sehingga tubuhnya agak merendah dan untuk beberapa detik lamanya Pat-pi Lo-sian terkejut dan tak berdaya. Beberapa detik ini cukup bagi In Hong untuk mendaratkan pukulan dengan tangan miring ke arah tengkuk Pat-pi Lo-sian.
"Dukkkk!"
Tubuh Pat-pi Lo-sian terjungkal, akan tetapi memang dia seorang yang lihai sekali. Biar pun tadi menghadapi pukulan maut yang datangnya tidak tersangka-sangka karena dia hampir tidak sadar, namun begitu pukulan mendarat, dia cepat miringkan tubuh sehingga jatuhnya pukulan tidak tepat sekali.
Betapa pun juga, pukulan itu membuat kepalanya menjadi nanar dan pandang matanya berkunang. Maka, begitu tubuhnya terjungkal, Pat-pi Lo-sian terus bergulingan sampai jauh sambil mengumpulkan hawa murni, dan begitu dia meloncat bangun lagi, kepeningan kepalanya sudah hampir lenyap dan dia mencabut pedangnya.
"Sratttt...!" nampaklah sinar keemasan dan di tangannya kelihatan sebatang pedang yang bentuknya seperti ular dan gagangnya terbuat dari pada emas berukir indah.
Dengan muka merah dan mata mendelik dia membentak, "Bocah setan, majulah untuk menerima kematian!"
In Hong masih menoleh ke arah Sabutai yang kembali bertepuk tangan sambil memuji, kemudian gadis ini perlahan-lahan mencabut pedang pada pinggang kirinya. Pedang itu keluar perlahan-lahan, akan tetapi begitu ujungnya tertarik dan In Hong mempergunakan tenaga, ujung pedang yang keluar dari sarungnya itu mengeluarkan bunyi mendesing dan tergetarlah pedang Hong-cu-kiam di tangan gadis itu, pedang tipis lemas yang kadang-kadang digantung di pinggang In Hong, kadang-kadang tersembunyi karena dibawanya sebagai sabuk yang melilit pinggangnya yang ramping itu.
Melihat betapa dua orang itu mencabut pedang, Raja Sabutai bertepuk tangan dua kali dengan nyaring dan dia berkata penuh wibawa, "Di sini bukan medan tempat untuk saling bunuh! Sudah kukatakan tadi bahwa kedua belah fihak akan memutuskan urusan pribadi dengan kepandaian. Siapa berani menggunakan senjata berarti menentang perintahku!"
Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko yang tadi hanya duduk di kedua ujung ruangan itu, kini sudah bangkit berdiri dan memandang ke arah Pat-pi Lo-sian dan In Hong dengan sikap mengancam, tongkat mereka melintang di dada. Ternyata bahwa dua orang kakek dan nenek ini di samping menjadi guru Raja Sabutai, agaknya juga sekalian menjadi pengawal atau pembantunya yang taat dan siap melaksanakan segala kehendak raja itu.
In Hong menoleh dan bertemu pandang dengan Raja Sabutai dan dari pandang mata ini tahulah In Hong bahwa raja itu mengkhawatirkan dirinya, sebab itu dengan senyum dingin gadis ini menggerakkan tangan kanannya hingga nampak sinar berkelebat dan tahu-tahu pedang Hong-cu-kiam di tangannya tadi telah lenyap dan telah melingkari pinggangnya tersembunyi di balik jubah.
Pat-pi Lo-sian juga memandang ke arah Raja Sabutai, kemudian dia pun menarik napas panjang dan terpaksa dia menyimpan lagi pedangnya. Hatinya menjadi jeri karena dia kini maklum bahwa gadis muda yang dipandangnya rendah itu ternyata amat lihai.
Tiba-tiba Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw meloncat ke depan, menjura ke arah In Hong sambil melirik ke arah Raja Sabutai. Kemudian dengan suara halus Hwa Hwa Cinjin berkata, "Sungguh hebat kepandaianmu, nona, membuat kami berdua tertarik sekali dan ingin mengajak nona untuk main-main sebentar. Akan tetapi karena kami berdua selalu bersama, terpaksa kini kami pun hendak maju bersama, namun hal ini sekali-kali bukan karena kami ingin maju mengeroyok. Andai kata nona mempunyai seorang dua orang teman, boleh saja nona menyuruh mereka maju menghadapi kami berdua. Tentu saja bila sri baginda tidak berkeberatan dan kalau nona memang berani melawan kami berdua."
Raja Sabutai makin kagum dan gembira melihat kegagahan In Hong, maka kini melihat majunya kakek dan nenek itu, dia menjadi ragu apakah dia harus membiarkan In Hong dikeroyok dua atau mencegahnya. Dia memang masih ingin melihat apakah dara perkasa itu akan sanggup menghadapi keroyokan kakek dan nenek itu.
In Hong juga mengerti bahwa kalau dua orang itu maju bersama, dia akan menghadapi dua orang lawan yang amat tangguh, masing-masing tak kalah lihainya jika dibandingkan dengan orang pertama dari Lima Bayangan Dewa tadi. Akan tetapi, tentu saja pantang baginya untuk menolak tantangan itu, apa lagi dia tadi sudah mengatakan bahwa biar pun dikeroyok oleh mereka semua, dia tidak akan mundur.
"Kalau kalian takut maju satu demi satu dan hendak mengeroyokku, majulah, siapa takut kepada kalian?" kata In Hong dan memandang tajam.
Wajah kakek dan nenek itu menjadi merah sekali. Ucapan In Hong ini menantang namun sekaligus juga merendahkan mereka. Mereka maklum bahwa apa bila mereka maju satu demi satu, belum tentu mereka dapat memenangkan dara yang benar-benar sangat hebat kepandaiannya itu, akan tetapi kalau mereka boleh maju bersama, maka mereka merasa yakin akan dapat merobohkan dara perkasa ini dengan ilmu silat gabungan yang mereka ciptakan.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar, "Heiiii... berhenti...! Tahan... tidak boleh masuk ke situ...!"
Semua orang lalu menoleh, dan nampaklah bayangan seorang wanita cantik berlari cepat menuju ke tempat itu, dikejar dari belakang oleh banyak pengawal. Dengan beberapa kali lompatan saja wanita itu telah tiba di ruangan. Melihat ini, terdengarlah suara melengking dan Hek-hiat Mo-li bersama Pek-hiat Mo-ko sudah meloncat dari tempat duduk masing-masing, sekaligus bagaikan dua ekor burung rajawali mereka menerkam dan menyerang wanita yang baru datang itu.
Wanita itu cantik bukan main, usianya antara tiga puluh lima tahun, pakaiannya indah dan sikapnya angkuh, sepasang matanya tajam bersinar-sinar. Melihat dua sosok bayangan yang menerjangnya seperti dua ekor burung menyambar, wanita itu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya dan kedua tangannya bergerak ke depan dengan jari tangan terbuka.
"Plakk! Plakk!"
Tubuh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li terdorong ke belakang oleh tangkisan itu dan mereka harus berjungkir balik dua kali ke belakang agar jangan sampai terjengkang atau terbanting oleh hawa pukulan yang dahsyat dari tangkisan itu. Mereka terkejut sekali dan siap menyerang dengan tongkatnya.
"Subo...!" In Hong berseru dan seruan ini membuat Raja Sabutai cepat mengeluarkan kata-kata mencegah kedua orang gurunya dalam Bahasa Mongol.
Kakek bermuka putih dan nenek bermuka hitam itu lalu kembali ke tempat duduk masing-masing, akan tetapi pandang mata mereka masih marah dan penuh curiga kepada wanita cantik yang baru datang itu.
Wanita yang baru datang itu memang Giok-hong-cu Yo Bi Kiok, ketua Giok-hong-pang di Telaga Setan. Burung batu kumala yang menghias rambutnya amat indah, membuat dia kelihatan laksana seorang ratu yang memakai mahkota, pedang panjang tergantung pada pinggang dan gagang dua batang pedang pendek tersembul dari punggungnya. Wanita setengah tua yang masih cantik ini kelihatan gagah dan penuh wibawa.
Raja Sabutai yang merasa tertarik dan kagum kepada In Hong, menjadi terkejut dan juga kagum melihat wanita cantik yang disebut subo oleh nona itu, terlebih lagi melihat betapa wanita itu sekali tangkis dapat membuat dua orang gurunya terdorong ke belakang. Cepat dia berkata kepada Yo Bi Kiok,
"Jadi toanio adalah subo dari nona Hong yang gagah perkasa ini?" Pertanyaan ini diajukan dengan pandang mata tajam penuh selidik, dan diam-diam Raja Sabutai merasa heran bagaimana nyonya cantik itu dapat memasuki tempat itu dan menerobos penjagaan yang amat ketat.
"Benar, sri baginda. Dia adalah murid saya," Giok-hong-cu Yo Bi Kiok menjawab sambil menjura.
"Muridmu datang menawarkan bantuannya kepada kami dan sekarang sedang kami uji kepandaiannya. Toanio datang seperti ini ada maksud hati apakah?"
Meski pun di dalam hatinya merasa tidak senang melihat kedatangan nyonya ini secara paksa dan tanpa minta perkenan terlebih dahulu, akan tetapi dia membutuhkan bantuan orang-orang pandai, maka Sabutai menahan sabar, apa lagi karena dia maklum bahwa orang-orang sakti di dunia kang-ouw memang tidak suka memakai banyak peraturan.
"Saya bersama pasukan Giok-hong-pang sedang mencari murid saya ini, dan mendengar bahwa murid saya memasuki benteng paduka, maka saya menyusul ke sini. Saya setuju sekali apa bila dia membantu paduka, bahkan saya sendiri pun dengan seluruh pasukan Giok-hong-pang siap membantu paduka. Akan tetapi kalau paduka hanya ingin menguji murid saya, kiranya tua bangka-tua bangka ini bukan sekedar menguji. Tua bangka-tua bangka seperti mereka hendak mengeroyok seorang bocah seperti murid saya, sungguh tidak adil, maka saya akan membantu murid saya agar dua lawan dua dan barulah adil. Tentu saja kalau mereka berani!"
Mendengar ini, Raja Sabutai mengangguk dengan hati girang. "Bagus! Memang adil kalau begitu dan kami juga ingin sekali melihat kepandaian ketua Giok-hong-pang yang hendak membantu kami." Raja ini lalu memandang kepada Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw yang kelihatan meragu.
Tentu saja mereka berdua sudah mendengar nama ketua Giok-hong-pang yang baru saja menggegerkan dunia kang-ouw itu, meski pun baru sekarang mereka melihat orangnya. Betapa pun juga, tosu dan tokouw yang berilmu tinggi itu tidak merasa takut, apa lagi mereka memang mengandalkan ilmu silat pasangan yang mereka ciptakan bersama.
"Siancai...!" Hwa Hwa Cinjin berkata halus. "Ternyata yang datang adalah Giok-hong-pangcu! Kami tadi sudah mengatakan kepada muridmu, bahwa kami memang selalu maju bersama. Baik menghadapi lawan satu orang atau sepuluh orang, bagi kami sama saja asal kami maju berdua. Bukan sekali-kali kami ingin mengeroyok muridmu."
"Subo, biarlah teecu menghadapi mereka sendiri, teecu tidak takut," In Hong berkata.
"Apa? Tentu saja kau tidak takut, akan tetapi mana mungkin aku diam saja? Kau lihatlah, gurumu akan membereskan mereka!" Yo Bi Kiok berkata kemudian tiba-tiba dia berseru nyaring. "Tua bangka-tua bangka tak tahu malu, sambutlah seranganku!"
Tubuhnya sudah berkelebat lenyap dan hanya bayangannya saja yang tahu-tahu sudah menyambar ke arah Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw secepat kilat.
Kakek dan nenek itu terkejut bukan main karena sambil melompat secepat itu, ketua dari Giok-hong-pang ini sudah melancarkan pukulan bertubi ke arah mereka dengan gerakan yang sangat aneh dan juga kuat sekali. Maka mereka cepat bergerak dan mainkan ilmu silat gabungan yang mereka ciptakan berdua, yaitu ilmu silat tangan kosong yang dapat pula dimainkan dengan senjata, yaitu yang mereka namakan Im-yang-lian-hoan-kun.
Ilmu silat ini sengaja mereka ciptakan untuk dimainkan bersama dan terdiri dari dua unsur ilmu silat dan tenaga yang saling bertentangan akan tetapi saling membela. Kalau mereka mainkan ilmu silat ini dengan tangan kosong, Hwa Hwa Cinjin mengambil peran sebagai pemain ilmu silat yang mengandung tenaga keras sedangkan Hek I Siankouw mainkan ilmu yang berdasarkan tenaga halus (Im). Akan tetapi sebaliknya kalau mereka mainkan ilmu ini dengan senjata, Hwa Hwa Cinjin yang bersenjata hudtim bulu monyet akan maju menggunakan tenaga Im sedangkan Hek I Siankouw yang memegang sebatang pedang hitam menggunakan tenaga Yang. Karena ilmu ini mereka ciptakan berdua, tentu saja mereka dapat bekerja sama dengan amat baiknya, saling melindungi seolah-olah mereka itu terdiri dari dua badan dengan satu hati dan pikiran.
"Plak-plak! Duk-duk-duk-dukk!"
Bertubi-tubi datangnya pukulan sepasang tangan Yo Bi Kiok, serangan dengan jurus-jurus yang amat aneh dan cepat. Namun karena kedua orang kakek dan nenek itu bekerja sama sehingga mereka seolah-olah memiliki empat mata, mereka dapat saling melindungi dan menangkis semua serangan itu.
Akibat dari adu tenaga ini, mereka terhuyung ke belakang, akan tetapi Yo Bi Kiok juga terhuyung dengan hati terkejut sekali karena pertemuan tenaga antara kedua tangannya dengan tangan mereka yang menangkis itu membuat tenaganya membuyar sehingga dia menjadi bingung menghadapi tenaga Im dan Yang, yaitu tenaga lemas dan keras yang dipergunakan oleh kedua orang lawannya secara saling membantu.
Maklumlah dia bahwa kedua orang itu, biar pun andai kata maju satu lawan satu bukan merupakan lawan berbahaya, akan tetapi sesudah maju bersama ternyata dapat bekerja sama secara baik sekali dan merupakan lawan yang tangguh. Mengertilah dia mengapa dua orang itu berkeras untuk maju bersama.
Ketua Giok-hong-pang ini belum lama telah mengalami peristiwa yang amat memalukan, yaitu pada saat dia dipermainkan oleh Kok Beng Lama. Maka, kini menghadapi kakek dan nenek yang memiliki kepandaian luar biasa itu, dia tidak ingin gagal dan kedua tangannya sudah meraba gagang pedang panjang dan sepasang pedang pendek.
Tiba-tiba In Hong meloncat ke dekat subo-nya dan berbisik, "Subo, sri baginda melarang penggunaan senjata dalam adu kepandaian ini, biar teecu menghadapi Hek I Siankouw!" Tanpa menanti jawaban gurunya, In Hong sudah meloncat ke depan dan menyerang Hek I Siankouw dengan pukulan tangan kirinya.
Akan tetapi, tepat pada saat Hek I Siankouw menghindarkan serangan ini dengan tubuh berputar, tiba-tiba saja Hwa Hwa Cinjin sudah melayangkan tangan menampar ke arah tengkuk In Hong. Elakan dan serangan ini datangnya begitu otomatis, seakan-akan Hek I Siankouw sendiri yang membalas serangan dengan mempergunakan tangan Hwa Hwa Cinjin! Hampir saja tengkuk In Hong kena ditampar dan meski pun dia sudah miringkan tubuhnya, tetap saja pundaknya tercium ujung jari tangan Hwa Hwa Cinjin hingga terasa panas sekali!
Pada saat itu pula terdengar suara melengking nyaring dan Yo Bi Kiok sudah menyerang kakek itu dengan amat dahsyatnya. Hwa Hwa Cinjin cepat mengelak dan Hek I Siankouw membantunya menangkis. Melihat cara kerja sama yang amat cepat dan serba otomatis itu, In Hong cepat membantu subo-nya sehingga terjadilah pertandingan yang amat seru dan hebat.
Sesungguhnya, apa bila pertandingan itu dilakukan satu lawan satu, baik Hwa Hwa Cinjin mau pun Hek I Siankouw bukanlah lawan guru dan murid Giok-hong-pang ini, dan kiranya mereka tidak akan dapat menahan lebih dari tiga puluh jurus. Akan tetapi, dengan kerja sama amat baiknya dalam ilmu Im-yang-lian-hoat-kun, mereka berdua dapat menghadapi Yo Bi Kiok dan In Hong dengan amat baiknya.
Guru dan murid ini tidak dapat bertempur saling membantu seperti dua orang lawannya, melainkan bertanding mengandalkan gerakan dan tenaga sendiri masing-masing. Sudah beberapa kali mereka mencoba untuk memancing atau memaksa kedua orang kakek dan nenek itu agar berpisah, agar pertandingan dapat dilakukan menjadi dua kelompok, tetapi mereka selalu gagal karena kakek dan nenek itu tidak mau saling meninggalkan dan terus bergerak mengelak, menangkis atau pun membalas serangan secara otomatis dan selalu saling melindungi.
"Tiat-po-san...!" Tiba-tiba Yo Bi Kiok berbisik kepada muridnya sambil menubruk ke arah Hek I Siankouw.
In Hong maklum akan maksud subo-nya. Dia dan subo-nya memiliki ilmu kekebalan yang disebut Tiat-po-san (Ilmu Kebal Baju Besi), yaitu pengerahan sinkang untuk melindungi tubuh dengan hawa murni sehingga pada suatu saat berani menerima pukulan karena tubuh di bagian tertentu yang terpukul itu menjadi kebal seperti besi. Tentu subo-nya ingin merobohkan kedua lawan dengan Tiat-po-san, membarengi pukulan lawan yang dibiarkan mengenai tubuh yang kebal sambil melancarkan serangan balasan.
Akan tetapi, In Hong tidak ingin tubuhnya sampai terpukul lawan meski pun belum tentu lawan akan cukup kuat untuk menembus pertahanan Tiat-po-san. Dia teringat akan ilmu pukulan ampuh yang dia terima dari pendeta Lama yang amat sakti itu sebagai penukaran obatnya untuk menyembuhkan luka-luka akibat Siang-tok-swa yang diderita oleh anak laki-laki murid pendeta Lama itu.
"Hyaaaatttt...!" In Hong mengeluarkan suara melengking tinggi sesuai dengan ajaran yang diterimanya dari pendeta Lama.
Karena gurunya menyerang Hek I Siankouw, maka dia lalu menyerang Hwa Hwa Cinjin dengan pukulan Thian-te Sin-ciang. Angin pukulan dahsyat menyambar ganas ke depan, sehingga bukan hanya mengejutkan Hwa Hwa Cinjin yang diserangnya, melainkan juga Hek I Siankouw memekik dan Yo Bi Kiok sendiri terbelalak.
Pada saat itu, Hwa Hwa Cinjin sudah melindungi Hek I Siankouw yang diserang oleh Yo Bi Kiok tadi, menangkiskan serangan Yo Bi Kiok terhadap Hek I Siankouw dan tokouw ini otomatis lalu menggerakkan tangan memukul ke arah lambung Yo Bi Kiok. Akan tetapi, Yo Bi Kiok yang sudah mengerahkan Tiat-po-san tidak mengelak atau pun menangkis, melainkan langsung saja membalas pukulan itu dengan tamparan ke arah dada nenek baju hitam itu.
Tentu saja hal ini sama sekali tidak disangka oleh Hek I Siankouw yang sudah kegirangan karena pukulannya mengenai lambung. Akan tetapi pada saat itu juga dia terkejut merasa betapa pukulannya bertemu dengan lambung yang keras bagaikan baja dan dia sendiri terancam pukulan lawan ke arah dada. Cepat dia miringkan tubuhnya dan selagi Hwa Hwa Cinjin hendak turun tangan melindunginya, tiba-tiba datang pukulan dahsyat bukan main dari In Hong yang menggunakan Thian-te Sin-ciang!
“Plakk! Dessss...!"
Hek I Siankouw miringkan tubuhnya sehingga pukulan Yo Bi Kiok mengenai pundaknya, membuat dia terpelanting. Sedangkan Hwa Hwa Cinjin yang berusaha mengelak sambil menangkis pukulan In Hong, tetap saja tubuhnya terlempar dan terbanting jatuh sampai bergulingan, bahkan Yo Bi Kiok yang hanya kena sambaran hawa pukulan muridnya pun terhuyung dengan kaget dan heran sekali.
Raja Sabutai bertepuk tangan memuji. "Cukup...!" dia berteriak, "Kami menerima bantuan guru dan murid Giok-hong-pang!"
Meski pun fihak Wang Cin masih penasaran, akan tetapi mereka tidak berani melanjutkan pertandingan itu. Apa lagi, dua di antara tiga Bayangan Dewa sudah mengenal kelihaian Yo Bi Kiok, dan menyaksikan pukulan terakhir yang dilakukan oleh In Hong tadi, bahkan Bouw Thaisu sendiri menjadi terkejut sekali dan merasa jeri.
Demikianlah, mulai hari itu, In Hong dan Yo Bi Kiok diterima menjadi pengawal-pengawal Raja Sabutai, bahkan lima puluh orang prajurit wanita para anggota Giok-hong-pang yang sudah siap di luar benteng pun lalu diterima menjadi pasukan pembantu dan diperlakukan dengan hormat di dalam benteng sebagai pasukan istimewa.
Yo Bi Kiok yang seperti juga In Hong telah dapat menarik rasa suka di hati Raja Sabutai, diberi kamar yang mewah tak jauh dari kamar raja sendiri, dan ketua Giok-hong-pang ini lalu mengajak muridnya ke dalam kamarnya agar mereka dapat berbicara empat mata.
Begitu memasuki kamar dan menutupkan pintunya, Yo Bi Kiok segera memegang tangan muridnya kemudian tertawa girang. "Bagus, engkau sudah memperoleh kemajuan pesat, sekarang dapat menjadi pembantu Raja Sabutai. Sungguh tepat tindakanmu ini, muridku. Selagi muda engkau memang harus mencari kedudukan dan aku sudah mendengar akan kekuatan Raja Sabutai yang telah menawan kaisar. Apa bila kelak dia berhasil merampas kerajaan dan menjadi kaisar, engkau tentu memperoleh kedudukan tinggi pula."
In Hong diam-diam merasa terkejut. Sama sekali bukan itulah maksudnya menyelundup ke dalam benteng ini. Dia memasuki benteng ini sesungguhnya dengan niat melindungi kaisar yang tertawan di samping hendak menentang Bun Houw. Akan tetapi dia hanya mendengarkan gurunya bicara terus, tidak berani membantah.
"Begitu mendengar tentang peristiwa ini, aku lalu mengajak semua anak buah kita ke sini untuk membantu Raja Sabutai. Inilah saatnya yang amat tepat untuk mencari kedudukan. Setelah berhasil nanti, jangan khawatir, muridku, aku akan membantumu supaya engkau dapat menikah dengan pemuda tampan itu..."
"Ehhh? Apa maksud subo...?" In Hong terkejut sekali dan memandang gurunya dengan sinar mata tajam penuh selidik.
Yo Bi Kiok tersenyum lebar sehingga wajahnya yang masih cantik itu kelihatan semakin muda. Hanya terhadap muridnya ini saja Yo Bi Kiok dapat bersikap sewajarnya dan dapat bersikap gembira. Terhadap lain orang, bahkan terhadap para anak buahnya, dia selalu memperlihatkan sikap dingin, keras dan ganas.
"In Hong, kau kira aku tidak tahu? Sudah lama aku membayangimu dengan diam-diam, dan aku tahu apa yang terjadi antara engkau dan pemuda she Bun itu."
"Tidak... tidak ada apa-apa..." In Hong menjadi merah sekali mukanya dan dia mencoba untuk menyangkal dan menggeleng kepala.
Yo Bi Kiok memandang dengan senyum masih menghias pada wajahnya. "Aihh, muridku. Bukankah engkau menganggap gurumu ini sebagai pengganti orang tuamu pula? Coba katakan, ke mana perginya burung hong kumala di kepalamu, dan dari mana engkau memperoleh pedang di pinggangmu itu?"
"Ini... ini... memang kutukar...," In Hong menjawab gugup, tangan kiri meraba rambut di kepalanya, tangan kanan meraba gagang pedang Hong-cu-kiam.
"Hemm... tak perlu kau malu-malu terhadap gurumu, In Hong. Aku sangat setuju dengan pilihanmu itu. Melihat dia seorang pemuda yang baik, bukan seperti pria-pria lain yang berwatak palsu. Engkau jangan mengulangi sejarah gurumu. Engkau tidak boleh gagal dalam bercinta. Engkau tidak boleh selemah gurumu di waktu muda dulu. Apa yang telah kau pilih harus engkau pertahankan mati-matian. Oleh karena itu, melihat engkau kurang tegas, aku sudah turun tangan menyerang setiap wanita yang berani jatuh cinta kepada pemuda pilihanmu itu."
"Ohhhh...!" In Hong memandang gurunya dengan mata terbelalak. "Jadi... jadi subo telah membunuh orang?"
"Hemmm, apa salahnya? Gadis dusun itu memang kurang ajar dan tak tahu malu, berani dia mencoba-coba untuk menggoda pemuda pilihanmu, dia pantas dibunuh."
In Hong menunduk, teringat dia akan kemarahan Bun Houw kepadanya. Kiranya tuduhan pemuda itu bukan fitnah kosong belaka, melainkan betul-betul ada orang terbunuh, hanya yang membunuh adalah subo-nya yang disangka dia.
"Kenapa, muridku? Apakah engkau tidak senang dengan bantuanku?"
In Hong masih menunduk. Dia menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya, lalu berkata, "Teecu hanya tidak ingin subo mencampuri urusan dengan... dia itu..."
"Hi-hi-hik-hik!" Yo Bi Kiok tertawa sambil merangkul muridnya. "In Hong, engkau seperti anakku sendiri, aku ingin melihat engkau berbahagia. Bagaimana kau suruh agar aku tak boleh mencampuri? Jangan kau khawatir aku akan mengusahakan agar engkau berjodoh dengan dia."
"Sudahlah, subo. Teecu tidak suka bicara tentang urusan itu."
"Baiklah, sekarang kita bicarakan tentang urusan kita di sini. Kita harus membantu Raja Sabutai sekuat kita. Dan kaisar yang tertawan itu harus dibunuh. Biar aku menemui Raja Sabutai sekarang juga! Mari kau ikut!"
In Hong kaget bukan main. Jantungnya berdebar keras. Entah apa yang mendorongnya, akan tetapi dia sama sekali tidak setuju dengan niat gurunya, bahkan dia telah mengambil keputusan bulat untuk melindungi kaisar sedapatnya!
Dia tidak suka membantu raja liar itu, apa lagi melihat betapa raja itu dibantu oleh banyak orang yang tidak disukanya seperti Go-bi Sin-kouw, Bayangan Dewa dan kawan-kawan mereka itu. Akan tetapi, tentu saja dia tak berani secara berterang menentang subo-nya, maka tanpa banyak cakap dia segera mengikuti subo-nya menghadap Raja Sabutai.
Raja Sabutai yang didampingi oleh isterinya, yaitu Khamila yang nampak cantik jelita dan wajahnya bercahaya seperti yang biasanya nampak pada wajah seorang calon ibu muda, menyambut kedatangan Yo Bi Kiok dan In Hong dengan girang, akan tetapi jelas bahwa raja ini tidak pula melepaskan kewaspadaannya, sebab selain ditemani oleh isterinya, juga di dalam ruangan itu nampak Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko yang duduk seperti arca, dan di sekeliling ruangan itu nampak pula belasan orang pengawal yang melakukan penjagaan.
"Ahhh, silakan duduk, pangcu, dan kau, nona Hong." Raja Sabutai berkata dengan girang, "Perkenalkan ini adalah isteriku, Khamila."
Yo Bi Kiok dan muridnya memandang kagum kepada ratu yang muda dan cantik itu, ada pun Khamila juga mengangguk sambil tersenyum kepada mereka berdua, terutama dia memandang kagum kepada In Hong.
"Harap sri baginda suka memaafkan bahwa saya mohon menghadap dan mengganggu waktu paduka," Yo Bi Kiok berkata.
"Ahhh, mengapa pangcu bersikap sungkan? Sebagai pembantu kami, tentu saja kalian boleh menghadap sewaktu-waktu. Akan tetapi apakah tidak beristirahat lebih dulu?"
"Ada keperluan penting sekali yang harus saya sampaikan kepada paduka," kata Yo Bi Kiok.
"Ceritakanlah." Raja Sabutai memandang tajam karena dia dapat melihat betapa sikap ketua Giok-hong-pang itu amat serius.
"Menurut pendapat saya, tak ada gunanya lagi paduka menahan kaisar sebagai seorang sandera, dan kini tiba saatnya untuk segera berangkat menyerbu ke selatan."
"Ehh, bagaimana kau dapat berkata demikian, pangcu? Apa alasannya?"
"Pertama, karena kini Kerajaan Beng telah mengangkat seorang kaisar baru."
"Hehhh...?!" Raja Sabutai berseru kaget. "Mengapa tidak ada berita dari para penyelidik kami?"
"Memang hal itu dirahasiakan, akan tetapi saya yang baru saja datang dari selatan tahu akan hal itu. Yang diangkat menjadi kaisar adalah Kaisar Ceng Ti. Oleh karena itu, yang paduka tawan sekarang ini bukan lagi kaisar, maka tak ada harganya lagi untuk dijadikan sandera, lebih baik dibunuh saja."
"Ihhh...!" Khamila cepat-cepat menutupi mulutnya yang berteriak kecil tadi dengan sapu tangannya, akan tetapi In Hong yang semenjak tadi memandangnya, melihat betapa saat mendengar ucapan gurunya ini, seketika ratu itu menjadi pucat sekali mukanya, matanya terbelalak dan bibirnya gemetar.
Raja Sabutai menengok kepada isterinya, kemudian menyentuh lengan isterinya sebagai tanda menghibur, kemudian dia menoleh lagi kepada Yo Bi Kiok sambil berkata, "Harap kau lanjutkan, Yo-pangcu. Bagaimana menurut rencanamu?"
"Bekas kaisar itu hanya menjadi penambah beban saja. Dan sebaliknya, sekarang juga paduka mengerahkan pasukan untuk menyerbu ke selatan selagi keadaan belum begitu dikuasai oleh pimpinan kaisar baru yang saya dengar amat lemah. Hal ini adalah karena terjadi perpecahan di antara para pembesar, sebagian ingin mempertahankan kedudukan Kaisar Ceng Tung yang tertawan di sini, sebagian lagi adalah pendukung Kaisar Ceng Ti. Pada waktu keadaan musuh lemah karena pertikaian sendiri, bukankah hal itu merupakan kesempatan yang baik sekali?"
Sampai beberapa lama Raja Sabutai mengerutkan alisnya yang tebal, kemudian dia baru berkata, "Sebenarnya aku masih meragu untuk menyerbu ke selatan yang pertahanannya demikian kuat dan tadinya aku hendak mengambil jalan yang lebih aman, yaitu dengan menjadikan Kaisar Ceng Tung sebagai sandera. Akan tetapi dengan adanya perubahan ini, tentu saja sangat baik sekali seperti yang kau usulkan, pangcu. Kita serbu Kerajaan Beng!"
"Dan Kaisar Ceng Tung...?" Yo Bi Kiok bertanya.
"Untuk sementara biarlah dia kami tahan dulu..."
"Akan tetapi hal itu berbahaya, Sri baginda." Yo Bi Kiok membantah. "Tentu akan muncul orang-orang yang berusaha untuk membebaskannya. Kalau kita semua pergi berperang dan dia tidak dijaga kuat-kuat..."
"Biarlah saya akan menjaganya!" Tiba-tiba In Hong berkata menawarkan diri.
Yo Bi Kiok mengangguk-angguk. "Sebaiknya begitu. Harap paduka jangan khawatir, kalau murid saya ini yang tinggal di sini dan menjaganya, tidak akan ada orang yang mampu membebaskannya."
Raja Sabutai memandang kepada In Hong dan mengangguk-angguk. "Kami tentu percaya kepada nona Hong, dan selain menjaga agar Kaisar Ceng Tung jangan sampai lolos, juga kami menyerahkan keselamatan isteri kami kepada perlindungan nona Hong."
In Hong mengangkat kepala memandang sang ratu. Khamila juga memandang padanya dan di antara kedua orang wanita muda ini terdapat rasa simpati, maka In Hong segera menjawab, "Saya akan melindungi keselamatan isteri paduka dengan taruhan nyawa!"
"Bagus! Legalah hatiku kalau begitu. Suhu dan subo," Sekarang Raja Sabutai menoleh ke arah dua orang kakek dan nenek yang semenjak tadi hanya mendengarkan sambil duduk melenggut saja. "Bagaimana pendapat suhu dan subo tentang penyerbuan ke selatan?"
Kakek dan nenek itu mengangguk dengan kemalas-malasan. "Kami hanya setuju saja...!" jawab mereka acuh tak acuh.
Maka sibuklah Raja Sabutai mengumpulkan para panglimanya, juga memanggil Wang Cin dan menceritakan rencananya menyerbu ke selatan. Tentu saja Wang Cin menjadi girang sekali dan dia pun segera mempersiapkan semua anak buahnya untuk membantu penyerbuan Raja Sabutai ke selatan.
Dalam kesempatan bertemu berdua saja dengan muridnya, Yo Bi Kiok berbisik kepada In Hong, "Muridku, dengarlah baik-baik. Kau harus melindungi kaisar dan sedapat mungkin selamatkan dia keluar benteng."
In Hong memandang terbelalak, namun hatinya girang bukan main. Ternyata gurunya ini hanya bersiasat saja di hadapan Raja Sabutai, sebenarnya tidak ingin membunuh kaisar, malah hendak menyelamatkannya. Akan tetapi saking herannya dia lalu bertanya, "Tetapi, subo..."
"Hushhhh...!" ketua Giok-hong-pang itu mencela muridnya yang membantah, "kita tidak boleh menyia-nyiakan setiap kesempatan. Kalau Sabutai berhasil, itu baik sekali, kalau tidak, kita dapat mencari kedudukan melalui kaisar itu."
Hati In Hong kecewa lagi dan secara diam-diam dia mulai mengenal watak gurunya yang ternyata amat mementingkan diri sendiri sehingga untuk membela dia yang dianggapnya sudah jatuh cinta kepada Bun Houw, gurunya tidak segan-segan membunuh gadis dusun yang dikira mencinta pemuda itu, malah sekarang kaisar pun hanya dijadikan jalan untuk mencapai kepentingannya pribadi.
Diam-diam di dalam hati gadis ini timbul rasa tidak suka dan penentangan, akan tetapi, tentu saja dia tidak berani menyatakan dengan terang-terangan. Hanya dia merasa heran, mengapa sebelum ini dia menganggap gurunya sebagai satu-satunya orang yang baik, yang semua tindakannya dia anggap benar belaka. Mengapa sekarang dia melihat hal-hal yang dianggapnya tidak patut dan tidak benar dalam tindakan gurunya?
Mulailah hati In Hong merasa bimbang. Mulailah dia memikirkan dan mencari akal untuk dapat menyelamatkan kaisar dari tangan Sabutai dan dari tangan subo-nya sendiri. Dan dia menggantungkan harapannya kepada Khamila, isteri Raja Sabutai. Wanita cantik jelita itu berwajah ramah, sinar matanya lembut.
Dua hari kemudian, Raja Sabutai mulai mengerahkan pasukannya itu bergerak ke selatan. Sebagai pimpinan Suku Bangsa Nomad, dan karena khawatir akan keselamatan isterinya, dalam penyerbuan ini Khamila dan Kaisar Ceng Tung yang menjadi tawanan pun dibawa dan selalu berada di bagian belakang di dalam pasukan perbekalan yang juga bertugas mengatur ransum para anak buah pasukan. Yang bertugas menjaga keselamatan Khamila dan menjaga agar kaisar tawanan itu tidak sampai lolos adalah In Hong, dibantu oleh dua losin pengawal...
Selanjutnya,