Dewi Maut Jilid 29
YAP KUN LIONG menjura ke arah Raja Sabutai dan berkata, "Harap paduka maafkan kami bertiga. Sama sekali bukan maksud kami untuk membikin ribut di dalam benteng paduka ini." Kemudian dia memandang kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, lalu berkata, "Ji-wi locianpwe sungguh bersikap jujur, dan maafkanlah kedua orang adikku ini. Sudah menjadi kewajiban kami untuk menyampaikan tantangan ji-wi locianpwe kepada supek Cia Keng Hong, dan kepada para murid atau keturunan mendiang Panglima The Hoo. Kami bertiga tidak berhak mencampuri urusan antara ji-wi dan mendiang Panglima The Hoo. Akan tetapi agar jelas, hendaknya ji-wi suka menerangkan kenapa ji-wi mendendam kepada mendiang Panglima The Hoo agar kalau ditanya kami dapat memberi tahukan."
"Ho-ho, kau ternyata lebih cerdik dan sopan! Ketahuilah, kami berdua datang dari Sailan dan kami pernah dilukai bahkan hampir tewas oleh Panglima The Hoo. Oleh karena itu, belum puas hati kami sebelum dapat membalas kekalahan kami puluhan tahun yang lalu itu kepada keturunannya, muridnya, atau pun sahabatnya yang mewakilinya mengambil pedang Siang-bhok-kiam."
Yap Kun Liong berpikir sejenak, kemudian dia berkata, "Kami tidak ingin mengganggu sri baginda raja, dan mengingat bahwa urusan ini merupakan urusan pribadi, ke manakah wakil mendiang Panglima The Hoo boleh datang mencari ji-wi untuk mengambil pedang?"
"Ho-ho, kau kira kami akan mengandalkan pasukan murid kami untuk membantu kami? Ha-ha-ha-ha, orang muda, sampaikan kepada Cia Keng Hong bahwa kami akan menanti kedatangan wakil Panglima The Hoo di Lembah Naga, di mana kami berdua akan bertapa dan menanti dengan tidak sabar."
"Lembah Naga? Di mana itu?"
"Di tikungan Sungai Luan-ho, di kaki Pegunungan Khing-an-san."
Yap Kun Liong mengangguk. "Baiklah, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li," jawabnya dan kini sikap menghormatnya pun lenyap. "Akan segera kami sampaikan kepada supek Cia Keng Hong."
Kemudian, mewakili dua orang adiknya dia lalu menghadap Raja Sabutai dan berkata, "Sekali lagi terima kasih kami haturkan atas kebijaksanaan paduka, dan kini perkenankan kami untuk pergi dari benteng ini dan membawa jenazah Yo Bi Kiok."
Raja Sabutai mengangguk-angguk. "Sampaikan kepada Kaisar Ceng Tung bahwa kami menerima uluran tangannya, dan dalam bulan ini juga kami akan kembali ke utara. Nona In Hong, untuk membalas jasa-jasamu sebagai pengawal dan sahabat sang ratu, beliau minta kepadaku untuk menyampaikan terima kasih dan tanda mata ini. Terimalah!"
In Hong merasa terharu juga mengingat akan kebaikan Khamila, maka dia melangkah maju dan tidak menolak pada waktu Raja Sabutai mengalungkan seuntai kalung mutiara ke lehernya.
"Terima kasih, sri baginda, dan semoga paduka bersama Sang Ratu Khamila hidup dalam kebahagiaan."
Mereka berpamit sekali lagi, kemudian dengan diantar sepasukan pengawal kehormatan, mereka bertiga meninggalkan benteng itu dan Kun Liong memondong mayat Yo Bi Kiok yang masih lemas...
Setibanya di luar benteng, di dalam sebuah hutan yang sunyi, Kun Liong lalu mengubur jenazah wanita itu, dibantu oleh Bun Houw dan In Hong. Ketika In Hong berlutut di depan kuburan itu, tanpa tertahankan lagi dua butir air mata membasahi pipinya yang segera diusapnya dengan punggung tangan.
Sementara itu, terdengar Bun Houw berkata kepada Yap Kun Liong, dengan nada suara terheran dan penasaran, "Yap-suheng, mengapa suheng tidak membolehkan saya untuk mewakili ayah menghadapi dua orang kakek dan nenek iblis itu untuk merampas kembali Siang-bhok-kiam? Saya tidak takut melawan mereka."
"Aku percaya, sute. Akan tetapi, jika hal itu kau lakukan juga, berarti kita membiarkan diri dalam bahaya besar dan hal itu merupakan kebodohan yang sembrono. Kakek dan nenek itu amat lihai dan biar pun engkau dan Hong-moi-moi belum tentu kalah, akan tetapi harus kau ingat bahwa mereka merupakan guru-guru dari Raja Sabutai. Tak mungkin raja akan membiarkan saja dua orang gurunya ditentang, apa lagi dikalahkan orang di hadapannya. Bila pasukan maju mengeroyok, mana mungkin kita dapat melawan? Bahkan meloloskan diri pun akan sukar sekali, apa lagi karena kesehatanku belum pulih. Kalau sampai terjadi demikian, kita tidak bisa lolos dan pedang pun tak dapat terampas, bukankah hal itu amat celaka dan menyesal pun tiada gunanya lagi. Dan yang lebih hebat lagi, kita akan dicap sebagai pengacau di benteng itu, dan ini sangat bertentangan dengan kehendak kaisar. Setelah mereka berdua menantang dan akan menanti di Lembah Naga, bukankah hal itu lebih mudah lagi?"
Bun Houw mengangguk-angguk dan benar-benar dia kagum akan pandangan yang luas dari pendekar itu.
"Koko, mengapa engkau masih mau mengurus jenazah subo?" Mendadak In Hong juga mengajukan pertanyaan. "Setelah semua pengakuannya itu... setelah ternyata bahwa dia yang membunuh so-so (kakak ipar)... dia pula yang menghancurkan hidupmu, akan tetapi engkau masih merawat jenazahnya. Mengapa?"
Dara itu kini memandang wajah kakaknya dengan penuh kagum dan bangga. Kakaknya ini benar-benar seorang pendekar sakti yang hebat, bukan hanya hebat ilmunya seperti yang sudah diperlihatkannya ketika bertanding melawan gurunya, akan tetapi juga hebat perangainya.
Kun Liong menghela napas lalu duduk di atas tanah berumput, memandang sejenak pada adiknya dan kepada Bun Houw. Dia tahu bahwa adiknya berhati keras dan aneh, bahwa adiknya tidak mau dijodohkan begitu saja dengan Bun Houw. Dan di dalam hatinya dia tidak ingin melihat adiknya mengalami guncangan batin akibat cinta seperti yang banyak dialaminya selama ini.
Teringat dia akan semua pengalamannya, akan semua petualangannya pada waktu dia masih muda dahulu, petualangannya dalam asmara dengan banyak gadis cantik. Semua peristiwa itu, kematian isterinya, kekejaman Yo Bi Kiok, semua adalah akibat dari seluruh petualangannya itulah.
"Adikku, dan juga engkau, sute. Dengarlah dan supaya kalian tidak usah heran mengapa sampai detik ini aku menaruh hati kasihan terhadap Yo Bi Kiok, pembunuh dari isteriku yang tercinta. Dia membunuh isteriku bukan karena permusuhan pribadi, bukan karena kebencian pribadi, melainkan karena... cinta kasihnya kepadaku."
"Ahhhh...!" Bun Houw yang belum tahu akan riwayat suheng-nya itu berseru kaget dan heran, akan tetapi In Hong yang sudah tahu hanya menunduk.
"Karena cintanya kepadaku, dia merasa cemburu dan iri kepada isteriku. Ahh, kasihan Bi Kiok. Dia menjadi seperti gila karena cinta, cinta yang sebenarnya sama sekali bukanlah cinta. Orang yang mencinta tentu ingin melihat orang yang dicintanya hidup berbahagia! Akan tetapi tidak demikian dengan cinta Bi Kiok. Dia mencinta dirinya sendiri dan cinta macam itu hanya menimbulkan kedukaan, kebencian dan kejahatan belaka. Betapa pun juga, dia sudah mengakui perbuatannya dan... dan rasa penasaran besar itu kini telah terbongkar. Rahasia yang hebat itu telah terbongkar dan legalah hatiku karena sekarang terbukti keyakinan hatiku selama ini bahwa enci-mu, sute, bahwa Giok Keng tak berdosa. Tetapi... ahhh, dia pun ikut berkorban hebat, suaminya tewas dan sekarang puteranya..."
Yap Kun Liong menundukkan mukanya, penuh rasa penyesalan mengapa peristiwa yang menimpa dirinya itu merembet kepada keluarga Giok Keng.
"Sungguh hebat...!" dia melanjutkan. "Aku kehilangan isteri dan puteriku karena perbuatan Bi Kiok, akan tetapi akibatnya, enci-mu yang tidak tahu apa-apa sudah kehilangan suami dan sekarang ternyata puteranya juga terbunuh oleh Bi Kiok. Aihhh, Bi Kiok, mengapa hatimu menjadi seganas itu? Kasihan anak itu... yang tidak berdosa."
"Koko, anak itu tidak mati oleh Siang-tok-swa."
Kun Liong mengangkat muka dan memandang adiknya dengan mata terbelalak, penuh harapan dan keheranan. "Apa... apa maksudmu? Lie Seng..."
"Dia tidak mati. Aku sendiri yang telah mengobatinya," jawab In Hong.
"Lie Seng tidak mati? Ya Tuhan, syukurlah...!" Bun Houw juga berseru girang pada saat memandang wajah gadis itu. Namun ketika pandang mata mereka bertemu dan melihat kemarahan di pandang mata gadis itu, dia menunduk kembali, mukanya menjadi merah.
"Ketika aku pergi kepada Yok-mo di Gunung Cemara untuk mencari obat, di sana aku bertemu dengan anak laki-laki yang hampir mati karena terluka oleh Siang-tok-swa. Aku lalu mengobatinya dan dia sembuh, dia tidak mati. Aku yakin bahwa dia itulah anak yang kau maksudkan, koko."
Kun Liong menjadi girang sekali. "Bagaimana dia bisa berada di sana? Dan bagaimana pula secara kebetulan kau berada di tempat itu, moi-moi? Ceritakanlah!"
"Aku... aku pergi mencarikan obat...," gadis itu menunduk.
"Dia mencarikan obat untuk aku yang ketika itu hampir mampus, suheng," tiba-tiba Bun Houw menjawab cepat. "Aku menderita luka-luka parah oleh Bayangan Dewa dan kalau tidak ada adikmu ini, agaknya sekarang aku sudah mati."
"Ahhhhh...!" Kun Liong semakin girang dan memandang adiknya yang mukanya menjadi merah.
"Bohong! Dia memang terluka dan aku mencarikan obat kepada Yok-mo. Di sana aku bertemu dengan seorang pendeta yang datang membawa anak laki-laki yang luka-luka oleh Siang-tok-swa itu. Kami berebutan untuk memperoleh pertolongan Yok-mo. Pendeta itu lihai bukan main dan aku lalu menukar obatku untuk menyembuhkan anak itu dengan pelajaran Ilmu Pukulan Thian-te Sin-ciang..."
"Hehh...?!" Tiba-tiba Bun Houw meloncat ke atas mengejutkan In Hong dan Kun Liong. "Kalau begitu dia adalah suhu!"
Kini Kun Liong juga kaget. "Apa? Gak-hu (ayah mertua)?"
In Hong menjadi bingung mendengar Bun Houw menyebut guru kepada pendeta itu dan kakaknya menyebut ayah mertua. Hal ini sama sekali tidak pernah disangka-sangkanya. "Dia seorang pendeta Lama berjubah merah, bertubuh tinggi besar dan..."
"Dia suhu!" Bun Houw berseru.
"Jelas, dia adalah gak-hu. Aihhh, sungguh ini kejadian yang kebetulan sekali!" Kun Liong berkata dengan wajah girang. "Kalau begitu, putera enci-mu itu berada di tangan gak-hu dan keselamatannya terjamin, sute."
Bun Houw mengangguk dan memandang kepada In Hong, kemudian dia berkata, "Kalau begitu, engkau terhitung adalah sumoi-ku sendiri."
In Hong menggeleng kepala. "Dia berpesan bahwa aku tidak boleh mengaku dia sebagai guru, dan memang demikianlah perjanjiannya." Diam-diam gadis ini kagum sekali. Pantas saja Cia Bun Houw ini sedemikian lihainya, kiranya pemuda putera ketua Cin-ling-pai ini adalah murid pendeta Lama sakti itu!
"Urusan enci-mu sudah beres, sute, dan sekarang aku harus pergi untuk mencari anakku. Anakku melarikan diri pada saat ibunya terbunuh dan hingga kini tidak kuketahui ke mana perginya. Engkau pulanglah ke Cin-ling-pai untuk melaporkan soal Siang-bhok-kiam pada ayahmu dan sampaikan pula berita pengakuan Yo Bi Kiok kepada keluargamu, jangan lupa beritakan tentang Lie Seng yang sudah berada di tangan gak-hu itu kepada ibumu. Aku sendiri akan mencari jejak puteriku, dan... kalau kau suka, adikku, marilah kau ikut bersamaku..."
Dia memandang kepada adiknya dengan sinar mata penuh kasih. Isterinya sudah tewas, puterinya pun sudah hilang dan kini dia menemukan kembali adiknya yang agaknya telah kembali ke jalan benar.
Akan tetapi In Hong menggelengkan kepalanya. "Aku masih mempunyai urusan, koko. Biarlah kalau urusanku sudah selesai, aku pasti akan pergi ke Leng-kok dan selanjutnya aku akan hidup di sana bersama kakakku."
Kun Liong melangkah maju dan memegang kedua tangan adiknya, digenggamnya kedua tangan adiknya dengan mesra. "In Hong, adikku. Keadaan sudah memaksa kita saling berpisah. Kakakmu ini telah mengalami banyak penderitaan hidup. Mudah-mudahan saja engkau tak akan seperti kakakmu. Hanya pesanku, jangan terlalu menurutkan perasaan, adikku, bersikaplah bijaksana dan mudah-mudahan kalau sekali waktu cinta menguasai dirimu, semoga cintamu itu bukan seperti cinta kasih mendiang Bi Kiok kepada kakakmu. Mengertikah engkau, adikku?"
In Hong terharu. Ingin sekali dia merangkul kakak kandungnya itu, akan tetapi dia hanya menggigit bibir mengeraskan hatinya, lalu mengangguk.
Kun Liong lalu melepaskan tangan adiknya. "Nah, kalau begitu, selamat tinggal, selamat berpisah sampai jumpa kembali dalam keadaan yang lebih baik lagi."
Pendekar ini sekali lagi menengok ke arah gundukan tanah kuburan Yo Bi Kiok, menghela napas panjang lalu pergi dari situ, diikuti pandang mata sepasang orang muda itu.
Mereka berdiri saling berhadapan. Sejenak mereka saling pandang penuh selidik, bahkan kemudian pandang mata In Hong dibayangi rasa marah dan penasaran.
"Kau...!"
"Kau...!"
Keduanya terdiam karena kata itu keluar dengan berbareng.
"Hemmm, kiranya engkau adalah Cia Bun Houw!" In Hong kemudian berkata dan segera membuang pandang mata ke atas, ke arah daun-daun pohon di ujung yang dikibarkan oleh angin.
"Ya..."
"Engkau putera ketua Cin-ling-pai yang terkenal di seluruh dunia itu!"
"Ya..."
"Engkau berpura-pura menyamar sebagai pengawal pemilik rumah judi untuk menyelidiki keadaan Bayangan Dewa."
"Ya..."
"Engkau berpura-pura bodoh dan tidak memiliki kepandaian sampai aku pun tertipu."
"Ya... tapi..."
"Sungguh cerdik sekali!"
"Hemmm..."
"Kiranya yang terhormat putera ketua Cin-ling-pai, seekor harimau yang berpakaian kulit domba."
"Ahhh..."
"Dan pendekar muda sakti putera ketua Cin-ling-pai itu memberikan pedang pusakanya kepada..."
"Kepada seorang dara pendekar yang lihai..."
"Seorang Dewi Maut yang kejam, yang membunuh gadis dusun yang tidak berdosa!"
"Ehh, aku salah lihat... ehh, salah duga..."
"Seorang putera ketua Cin-ling-pai yang berpandangan tajam mana mungkin salah lihat? Karena memang gadis itu dianggapnya kejam, ganas dan tidak berperi kemanusiaan!"
"Ehh, dengar dulu..."
"Jadi Cia Bun Houw si pendekar muda sakti itu adalah murid pendeta Lama..."
"Ya, suhu Kok Beng Lama."
"Pendeta Lama yang sakti dari Tibet?"
"Ya..."
"Dan Cia Bun Houw si pendekar sakti itu adalah seorang pemuda perayu wanita, seorang hidung belang yang mata keranjang!"
"Heiiiii...!"
"Cia Bun Houw itu adalah seorang lelaki yang tidak setia, yang mudah berganti kekasih!"
"Ehh, nanti dulu! Hong-moi, jangan kau menuduh yang bukan-bukan."
"Seorang pendekar sakti yang menggunakan kepandaiannya merayu untuk menjatuhkan hati seorang gadis dusun yang bodoh..."
"Heiii, aku tidak merayu gadis dusun she Ma itu. Dialah yang... ahh, sudahlah. Hong-moi, mengapa engkau menuduhkan semua itu kepadaku?"
"Siapa yang menuduh? Aku hanya membicarakan kenyataan, bukan seperti engkau yang sebelum jelas perkaranya sudah menuduhku membunuh orang tak berdosa."
"Hong-moi, aku mengaku salah. Aku memang tadinya mengira engkau yang melakukan pembunuhan kejam itu terhadap gadis she Ma karena agaknya semua bukti-bukti tadinya menunjukkan demikian. Ternyata subo-mu yang melakukan hal itu dan maafkanlah aku. Harap saja kesalahanku itu tidak menyakitkan hatimu terus sehingga engkau membenci dan menuduhku yang bukan-bukan."
"Sekali lagi, aku tidak menuduh yang bukan-bukan. Apakah engkau hendak menyangkal bahwa engkau merayu seorang gadis dusun, kemudian engkau melupakan dia, bahkan menerima ikatan jodoh dengan gadis lain yang belum pernah kau lihat selamanya?"
"Ehhh...?!" Bun Houw terbelalak dan tentu saja dia teringat kepada Yalima yang manis, yang ditinggalkannya di Tibet. Akan tetapi tidak mungkin In Hong tahu akan hal itu dan dia pun tidak akan membicarakan hal itu dengan siapa pun juga.
Peristiwa dengan Yalima dianggapnya sudah lewat, hanya merupakan masa kanak-kanak baginya. Baru sekarang dia sadar bahwa sebenarnya di dalam batinnya tidak ada ikatan cinta kasih terhadap gadis Tibet itu. Kalau toh akan dinamakan cinta, agaknya itulah cinta monyet, cinta remaja yang tidak mendalam, hanya karena saling tertarik oleh rupa dan karena biasa bergaul secara akrab saja.
"Bagus! Yo-pangcu, kalau begitu aku menantangmu untuk mengadu nyawa di sini!" Bun Houw membentak marah.
"Bun-ko...!" In Hong berseru kaget dan tubuh dara ini sudah melayang ke tengah ruangan itu, menghadang antara Bun Houw dan gurunya. "Bun-ko, engkau tidak boleh melawan subo!"
"Hong-moi, aku telah bersalah kepadamu. Engkau tidak berdosa, akan tetapi gurumu itu... dia iblis betina keji yang harus kubasmi. Minggirlah, Hong-moi!"
"Tidak! Engkau tidak boleh melawan Subo..."
"Hong-moi!" Bun Houw membentak.
"Kalau engkau berkeras, terpaksa aku yang mewakili subo menghadapimu, Bun-ko."
"Hong-moi...!" Bun Houw terkejut, meragu dan bingung.
Pada saat itu, tedengar seruan. "Tahan...!"
Semua orang terkejut melihat berkelebatnya bayangan orang yang mencelat melalui atas kepala para penjaga, cepat sekali gerakannya seperti burung terbang dan tahu-tahu di sana sudah berdiri seorang laki-laki sederhana, berusia tiga puluh tujuh tahun, mukanya kurus sekali dan agak pucat sehingga nampak sepasang matanya yang tajam memenuhi wajah kurus yang masih membayangkan sisa ketampanan itu.
"Sute, mundurlah, biar aku yang menghadapinya!" kata pria itu kepada Bun Houw.
"Suheng...!" Bun Houw berseru ragu-ragu dan alisnya berkerut. Hati pemuda ini masih penasaran bertemu dengan Yap Kun Liong, orang yang mengingatkan dia akan peristiwa hebat yang menimpa keluarga enci-nya.
In Hong juga terkejut bukan main melihat kakak kandungnya, akan tetapi kesempatan itu digunakannya untuk mundur dengan hati lega karena dia pun melihat Bun Houw mundur dengan muka berubah. In Hong semakin terheran-heran mendengar kakak kandungnya menyebut sute kepada Bun Houw.
Sementara itu, begitu melihat pria ini, wajah Yo Bi Kiok berubah, sebentar pucat sebentar merah, mukanya kadang-kadang seperti orang hendak menangis kadang-kadang seperti orang bergembira. Aneh sekali sikap wanita cantik ini.
Orang itu memang Yap Kun Liong. Seperti telah diceritakan di bagian depan, pendekar ini bertemu dengan Cia Keng Hong. Saat mendengar bahwa adik kandungnya, Yap In Hong, berada di benteng musuh dan bahwa sute-nya, Cia Bun Houw, sedang menyusul untuk melindungi In Hong, maka dia pun lalu menyusul.
Ketika dia menyelidiki, dia mendengar bahwa di dalam benteng sedang ramai diadakan pibu antara orang-orang yang berkepandaian tinggi, dan bahwa yang mengadakan pibu itu adalah Raja Sabutai sendiri. Mendengar ini dia lalu mencari jalan masuk dan akhirnya, berkat kepandaiannya yang tinggi, dia berhasil pula masuk dan tiba di tempat itu tepat pada saat Bun Houw mendesak Yo Bi Kiok untuk mengaku tentang Lie Sang.
Mendengar bahwa Lie Seng yang kabarnya terculik itu ternyata diculik oleh Yo Bi Kiok, Kun Liong menjadi terkejut dan marah sekali, maka tak tertahankan lagi dia berseru dan meloncat ke tengah ruangan dengan hati penuh kemarahan.
Akan tetapi, pendekar ini masih ingat bahwa dia berada di dalam benteng Raja Sabutai yang sudah mundur dari menyerang kota raja, maka dia lalu memberi hormat kepada raja itu dan berkata, "Harap sri baginda mengampunkan kelancangan saya yang datang tanpa diundang."
Raja Sabutai mengerutkan alisnya. Tadi para pengawal sudah menggerakkan senjata dan memandang kepadanya menanti perintah, juga kedua orang gurunya sudah siap hendak menerjang, hanya menanti isyaratnya, akan tetapi dia memberi isyarat kepada mereka semua agar jangan turun tangan. Andai kata tidak ada sebutan sute dan suheng antara pendatang baru ini dan Bun Houw, tentu dia sudah memberi isyarat untuk menangkap penyelundup itu.
Ketika melihat bahwa pendatang baru ini adalah suheng dari Bun Houw yang demikian lihai, hatinya menjadi sangat tertarik. Namun kini mendengar ucapan Yap Kun Liong, Raja Sabutai dengan alis berkerut dan suara marah membentak, "Siapakah engkau?!"
"Sri baginda, dia adalah kakak kandung saya!" Tiba-tiba In Hong berkata.
Kun Liong memutar tubuhnya memandang In Hong dengan wajah berseri. Tidak ada lagi kata-kata yang lebih merdu, lebih menggembirakan dari pada suara dara itu yang kini di depan orang banyak mengakui dia sebagai kakak kandungnya.
"Adikku...!" Dia berbisik dengan hati terharu.
Akan tetapi In Hong hanya memandang kepadanya dengan mata terbelalak, karena gadis ini mengakui kakaknya hanya untuk meredakan kemarahan Raja Sabutai.
Memang dugaan In Hong tepat sekali. Mendengar seruan gadis yang amat dipercayanya, yang menjadi pengawal, pelindung dan juga sahabat isterinya, berkuranglah kemarahan dalam hati Raja Sabutai atas kelancangan Kun Liong.
"Apa keperluanmu datang ke sini tanpa diundang?" Raja Sabutai bertanya lagi.
"Saya bernama Yap Kun Liong dan kedatangan saya secara lancang ini adalah karena saya mendengar bahwa adik kandung saya, Yap In Hong dan sute Cia Bun Houw berada di sini..."
"Ouhhhh...!" Yang menjerit ini adalah In Hong.
Dan gadis itu kini berdiri dengan mata terbelalak memandang kepada Bun Houw yang juga sedang memandang kepadanya dengan muka bengong. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati In Hong ketika mendengar bahwa pemuda yang selama ini disangkanya orang she Bun, yang baru saja dengan kepandaiannya yang hebat membuat dia terheran-heran, ternyata adalah Cia Bun Houw putera dari ketua Cin-ling-pai atau... tunangannya sendiri yang dia batalkan!
Cia Bun Houw! Kekasih Yalima! Tak terasa lagi matanya menjadi panas dan cepat-cepat dia mengusap air mata yang belum keluar itu. Cia Bun Houw! Mengapa dia begitu bodoh? Begitu buta? Orang yang mati-matian membela Cin-ling-pai, orang muda yang demikian lihai, tentu saja Cia Bun Houw!
Di lain fihak, Bun Houw juga bengong terlongong. Kiranya dara yang amat mengagumkan hatinya, yang menjatuhkan hatinya, ternyata adalah adik Yap Kun Liong sendiri!
"Kedatangan saya ini sama sekali bukan hendak mengacau benteng paduka sri baginda. Melainkan karena urusan pribadi. Sesudah mendengar bahwa mereka berdua berada di sini, saya menyusul dan tadi hanya mendengar tentang pengakuan wanita bernama Yo Bi Kiok atau Yo-pangcu, ketua Giok-hong-pang ini. Karena itu saya hendak menyelesaikan urusan pribadi saya dengan dia, jika paduka memperkenankan."
Melihat sikap gagah dan kata-kata yang lancar dan hormat itu, Raja Sabutai tahu bahwa yang berdiri di depannya adalah seorang yang berkepandaian tinggi, maka dia menjadi gembira sekali. Akan lebih ramai sekarang! Maka dia mengangguk.
"Baik, silakan."
Yap Kun Liong kini menghampiri Yo Bi Kiok, alisnya berkerut dan pandangan matanya penuh selidik, penuh penyesalan. "Yo Bi Kiok, sungguh menyesal bahwa kita sekarang saling berhadapan dalam keadaan seperti ini! Sekarang kuharap engkau suka berterus terang apa saja yang sudah kau lakukan di Sin-yang, dan ke mana engkau membawa Lie Seng putera dari Cia Giok Keng itu."
Sejenak Yo Bi Kiok memandang wajah pria yang sejak dahulu dipuja dan dicintanya itu, memandang merana, kemudian dia tersenyum. "Kun Liong, kenapa engkau mencampuri urusan ini? Apa pedulimu tentang urusanku dengan keluarga Cin-ling-pai?"
"Benar! Engkau tidak berhak, Yap-suheng. Mundurlah dan aku yang akan menyelesaikan perhitungan ini dengan Yo-pangcu!"
"Kalau engkau melawan subo, terpaksa aku akan maju menghadapimu... Bun-ko!"
"Ahhh... tapi kau... kau adik Yap-suheng dan dia itu..." Bun Houw bingung.
"Sute, biar aku yang menghadapinya. Ini adalah urusan pribadiku. Aku sudah bersumpah kepada enci-mu untuk mencari Lie Seng sampai dapat. Kalau benar dia yang menculik Lie Seng, maka akulah yang akan menghadapinya," kata Kun Liong kepada Bun Houw, kemudian dia mendesak. "Bi Kiok, katakanlah, mengapa engkau menculik Lie Seng dan di mana dia sekarang?"
"Kun Liong, engkau terlalu, selalu kau hendak membikin marah aku. Kalau aku tidak mau menjawab pertanyaanmu, bagaimana?"
"Aku akan memaksamu."
"Kun Liong... ah, Kun Liong, kenapa kita berdua seperti ini? Berhadapan sebagai musuh? Kun Liong, marilah kita pergi dari sini, meninggalkan semua ini, meninggalkan dunia yang menjemukan ini, mari kita hidup bersama, jauh dari segala pertikaian dan segala urusan... marilah dan aku akan menceritakan segala-galanya kepadamu."
Kun Liong mengerutkan alisnya, pandang matanya terasa menusuk, "Tidak perlu banyak membujuk lagi, Yo Bi Kiok. Katakan, apa yang kau lakukan terhadap Lie Seng?"
Tiba-tiba wanita itu meloncat dengan marah, matanya berkilat dan mukanya merah. "Kau lebih memberatkan anak Cia Giok Keng itu dari pada aku? Keparat Yap Kun Liong. Sekali lagi kau mau pergi bersamaku atau hendak memusuhi aku?"
"Kalau kau tidak mengaku, terpaksa aku menggunakan kekerasan."
"Singgggg...!" Yo Bi Kiok sudah mencabut pedang Lui-kong-kiam.
"Kalau begitu, aku ingin melihat engkau mampus di tanganku!" Wanita itu mengeluarkan suara melengking tinggi dan dia sudah menyerang dengan hebatnya, melakukan tusukan kilat ke arah dada Yap Kun Liong.
Pendekar ini cepat mengelak. Akan tetapi baru saja dia mengelak, pedang Lui-kong-kiam sudah menyambar lagi ke arah lehernya.
"Plakkk!"
Dengan kecepatan mengagumkan, tangan Kun Liong berhasil menampar lengan kanan Bi Kiok sehingga sambaran pedang menyeleweng. Namun hal ini membuat Bi Kiok makin marah dan makin hebatlah serangannya yang datang seperti hujan. Dalam waktu singkat saja tubuh Kun Liong sudah digulung oleh sinar pedang.
Pendekar ini hanya mengelak ke sana-sini karena dia tidak mempergunakan senjata, dan sebenarnya, di dalam hatinya Yap Kun Liong merasa sangat kasihan kepada Bi Kiok yang sampai saat itu masih saja tergila-gila dalam cintanya kepadanya, cinta yang tak mungkin dapat dibalasnya.
Bun Houw dan In Hong menonton dengan jantung berdebar. Terlalu banyak peristiwa yang terjadi dalam waktu singkat ini, terlalu banyak rahasia yang mengejutkan tersingkap sehingga mereka masih merasa terguncang dan menjadi tegang.
Walau pun tadinya dia marah kepada Yap Kun Liong, karena antara pendekar itu dengan keluarga enci-nya terjadi hal yang sangat hebat, akan tetapi melihat Kun Liong sekarang bertanding mati-matian membela keponakannya, yaitu Lie Seng yang terculik oleh ketua Giok-hong-pang, tentu saja hatinya berfihak kepada Yap Kun Liong.
Maka, melihat pendekar ini menghadapi ketua Giok-hong-pang itu dengan tangan kosong padahal permainan pedang wanita itu lihai bukan main, hatinya menjadi sangat gelisah. Melihat gerakan Yap Kun Liong yang demikian murni, cepat dan tepat, secara diam-diam dia kagum sekali dan tahulah dia mengapa ayahnya sangat memuji-muji suheng-nya ini. Gerakan suheng-nya sudah demikian matangnya sehingga sukarlah untuk melihat sedikit pun kesalahan. Perhitungannya demikian tepat sehingga semua serangan pedang yang demikian berbahayanya itu dapat dihindarkan dengan baik.
Semua orang, juga termasuk kakek serta nenek guru Raja Sabutai, memandang dengan bengong karena yang disuguhkan oleh kedua orang yang sedang bertanding itu adalah benar-benar ilmu silat yang amat tinggi tingkatnya. Para penonton yang tidak mempunyai kepandaian tinggi menjadi silau matanya dan tidak dapat mengikuti gerakan dua orang itu, hanya melihat betapa mereka itu kadang-kadang lenyap dan kadang-kadang bergerak dengan lambat sekali seperti orang main-main saja!
Yang paling gelisah dan bingung adalah In Hong! Dia sudah dibingungkan oleh kenyataan bahwa Bun Houw adalah Cia Bun Houw putera ketua Cin-ling-pai yang tadinya sudah ditunangkan dengan dia dan ditolaknya, Cia Bun Houw kekasih Yalima, dan sekarang dia bahkan menghadapi pertandingan antara kakak kandungnya dengan gurunya!
Sekarang, setelah merantau selama satu tahun meninggalkan gurunya, terjadi perubahan besar dalam batin gadis ini. Sekarang dia dapat melihat betapa kejam dan anehnya watak gurunya, dan sekarang baru dia dapat melihat betapa kakak kandungnya telah mengalami peristiwa yang sangat hebat!
Kakaknya itu kematian isterinya dan kakaknya itu menolak cinta gurunya karena memang sudah sepatutnya demikian. Kakaknya sudah beristeri, dan sebagai seorang laki-laki yang jantan tentu saja menolak cinta kasih wanita lain. Baru sekarang tampak olehnya bahwa dalam urusan antara kakaknya dan gurunya, sebenarnya gurunya yang tidak tahu malu, mencinta suami orang lain.
Betapa pun juga, hatinya tetap merasa berat kepada gurunya, maka melihat pertandingan itu, dia gelisah sekali. Dia tahu betapa lihai gurunya, apa lagi memegang Lui-kong-kiam yang ampuh, sedangkan kakaknya bertangan kosong.
Ini tidak adil, pikirnya. Dia boleh tak berfihak pada siapa pun, akan tetapi pertandingan itu harus dilakukan dengan adil. Barulah menang atau kalah merupakan suatu kehormatan. Dan pedang ini... pedang Hong-cu-kiam, adalah pedang putera Cin-ling-pai... pedang... tunangannya yang sudah mencinta orang lain, mencinta Yalima...!
Tiba-tiba saja hatinya terasa panas sekali dan dia cepat melolos pedang Hong-cu-kiam, melontarkan pedang itu kepada Kun Liong sambil berkata, "Koko, pakailah ini, baru adil!"
Sesungguhnya Kun Liong tidak mau menggunakan senjata. Dia tahu bahwa kepandaian wanita ini amat tinggi dan aneh, akan tetapi karena Yo Bi Kiok melatih ilmu silat tinggi yang murni dan sukar itu tanpa petunjuk, limu silat peninggalan Panglima The Hoo yang amat tinggi dan murni, maka dia melihat kelemahan-kelemahannya.
Kalau perlu, dengan mengandalkan Thi-khi I-beng, dengan menggunakannya sedemikian rupa sehingga lawannya tidak sampai terluka, dan dengan kematangan ilmu silatnya yang sudah digemblengnya dengan dasar ilmu mukjijat dari kitab Keng-lun Tai-pun peninggalan Bun Ong, maka dia percaya bahwa akhirnya dia akan dapat mengalahkan Yo Bi Kiok tanpa membunuhnya.
Dia hanya ingin memaksa wanita itu mengembalikan Lie Seng dalam keadaan selamat dan dia tidak tega untuk membunuh wanita yang sebetulnya amat mencintanya itu. Akan tetapi, mendengar seruan adik kandungnya yang melemparkan sebatang pedang, hatinya girang bukan main, bukan girang karena memperoleh pedang, melainkan girang karena melihat perubahan pada adiknya.
Dahulu, pada waktu pertama kali dia bertanding melawan Yo Bi Kiok, adiknya itu malah membantu wanita yang menjadi gurunya ini. Akan tetapi sekarang, adiknya membantunya dengan meminjamkan pedang. Kegirangan melihat adiknya benar-benar berubah, bahkan sudah menyelamatkan kaisar dan kini membantunya, membuat Kun Liong menyambar pedang Hong-cu-kiam dan begitu dia memutar pedang itu, dia terkejut sekali karena yang dimainkannya itu adalah sebatang pedang yang ampuhnya bukan main! Dia tidak tahu bahwa itu adalah pedang kepunyaan Cia Bun Houw, pemberian dari Kok Beng Lama.
Terdengar suara mengaung-aung, bagaikan ada ribuan lebah beterbangan sehingga baik Bun Houw mau pun In Hong memandang kagum sekali. Setelah dimainkan oleh tangan pendekar sakti ini pedang Hong-cu-kiam itu seolah-olah menjadi hidup dan menjadi ribuan lebah yang berbunyi sambung-menyambung. Juga gulungan sinar emas dari pedang itu amat lebar dan panjang, kilatan yang mencuat dan menyambar-nyambar amat banyaknya sehingga selain nampak amat indah, juga sangat berbahaya sehingga Yo Bi Kiok sendiri sampai beberapa kali menjerit kaget!
Tidak disangka sama sekali, bantuan In Hong dan kegembiraan Kun Liong yang membuat permainan pedangnya makin hebat itu dan membuat Yo Bi Kiok seketika terdesak secara berat, membuat wenita ini menjadi marah bukan main. Marah kepada muridnya, kepada In Hong!
Memang, watak Bi Kiok amatlah aneh dan keji, juga ganas. Dia tidak marah kepada Kun Liong atau orang lain, sebaliknya malah marah kepada muridnya yang tidak membantu dirinya malah membantu Kun Liong dengan memberikan pedangnya.
"Murid durhaka...!" Tiba-tiba dia menjerit dan sekali meloncat, dia telah meninggalkan Kun Liong dan menyerang muridnya!
"Ihhhhh...!" In Hong cepat melempar tubuh ke belakang untuk menghindar ketika sinar pedang menyerangnya secara hebat. Serangan itu luput akan tetapi Bi Kiok menyusulkan serangan lain yang lebih berbahaya.
"Subo...!" In Hong kembali mengelak dan nyaris lambungnya keserempet pedang.
"Bi Kiok, gilakah engkau?" Kun Liong juga meloncat dan menggerakkan pedangnya.
"Cringg... cringg... tranggg!"
Tiga kali pedangnya menangkis bacokan-bacokan pedang Bi Kiok yang ditujukan kepada In Hong. Akan tetapi Bi Kiok sudah seperti gila, dia terus menyerang tanpa mempedulikan dirinya sendiri.
"Singgg... Wuuuttt!"
"Murid durhaka!" Kembali pedang Lui-kong-kiam membabat ke arah In Hong yang cepat meloncat mundur.
"Bukkk...!”
“Aiihhhh!" In Hong yang kurang cepat mengelak itu kena ditendang kaki kiri gurunya dan dia terguling.
Sesungguhnya tidak akan semudah itu Yo Bi Kiok dapat menendang muridnya sampai terguling kalau saja In Hong berada dalam keadaan biasa. Namun batin gadis itu memang sedang tertekan hebat. Hanya dengan hati berat dan sakit saja dia terpaksa melemparkan pedangnya kepada kakak kandungnya tadi.
Tadi dia menonton dengan wajah pucat, kedua kaki gemetar dan jantung berdebar penuh ketegangan, merasa seolah-olah dia sendiri yang menyerang gurunya, orang yang sejak kecil memelihara, mendidik, serta menyayanginya. Karena keadaan seperti itulah maka ketika diserang secara hebat oleh gurunya In Hong hanya dapat menghindarkan pedang, tidak menduga akan ditendang oleh gurunya sampai terguling. Dan cepat bagaikan kilat, Yo Bi Kiok sudah menubruk dan menusukkan pedangnya ke arah tubuh muridnya!
"Bi Kiok, terlalu engkau!" Kun Liong sudah membentak marah sekali, gerakannya lebih cepat sedetik dari pada gerakan pedang Yo Bi Kiok yang menusuk In Hong.
"Cringggg... ceppp!"
"Aihhhh...!" Tubuh ketua Giok-hong-pang itu terguling dan pedang Lui-kong-kiam terlepas dari pegangannya. Dia jatuh miring dan menggunakan tangan kiri mendekap lambungnya yang mengucurkan darah dari luka bekas tusukan pedang Hong-cu-kiam tadi.
"Bi Kiok...!" Yap Kun Liong terbelalak dan cepat dia berlutut di dekat tubuh wanita itu. "Bi Kiok, kau... ampunkan aku...!"
Pendekar ini merasa menyesal bukan main karena tadi dia terpaksa menyerang wanita itu untuk menyelamatkan nyawa adiknya. Bagaimana pun juga, kalau tidak terpaksa seperti keadaan tadi, tentu dia akan mengalah dan tidak akan tega melukai apa lagi membunuh wanita yang dia tahu hidup sengsara karena cintanya kepadanya tidak dibalasnya itu.
Yo Bi Kiok tersenyum, mengeluh dan darah masih menetes-netes dari celah-celah jemari tangannya, membasahi bajunya.
"Kun Liong... aku cinta padamu... uuh, Kun Liong..."
Wanita itu mengulurkan tangan kanannya dan Kun Liong langsung menangkap tangan itu, mendekapkan tangan itu ke dadanya. "Ampunkan aku, Bi Kiok..."
Tiba-tiba wanita itu tertawa. "Hi-hik-hik, heh-heh, aku... tidak menyesal, Kun Liong. Aku tewas di tanganmu, sungguh menyenangkan sekali."
"Maafkan aku, ampunkan aku..."
"Heh-heh, kau minta maaf? Minta ampun? Ha-ha-ha, Yap Kun Liong... aku... aku tidak pernah minta ampun kepadamu... ahhhh... sungguh pun... aku telah menusukkan pedang itu ke dada isterimu... ahhh, puas hatiku! Aku membunuhnya, Kun Liong... heh-heh, kau terkejut...? Aku… aku sudah membunuh Hong Ing yang telah merampas engkau dariku... ha-ha-ha, dan bocah itu... siapa namanya? Lie Seng... ha-ha-ha, putera Giok Keng itu... aku telah membunuhnya dengan Siang-tok-swa...!"
"Bi Kiok!" Kun Liong yang tadi melepaskan tangan itu dan terbelalak memandang dengan muka pucat, kini berseru keras, seruan yang penuh dengan kejijikan dan rasa penyesalan mengapa wanita yang ketika masih gadis merupakan seorang yang manis dan gagah itu kini berubah menjadi iblis yang demikian kejamnya. "Kau... kau kejam sekali!"
"Heh-heh-heh... aku... kejam...? Bukan aku, melainkan engkau yang kejam, Kun Liong... oughhhh... kalau tidak karena kekejamanmu kepadaku... aku tidak... tidak akan... ahhhh, Kun Liong... aku tidak kuat lagi, aku... aku mati dan... kau harus ikut bersamaku!"
"Suheng...!"
"Koko, awas...!"
Bagaikan seekor burung cepatnya, tubuh Kun Liong mencelat ke atas, berjungkir balik sampai lima kali, akan tetapi karena jaraknya yang sangat dekat dan karena tangan kiri yang berlumuran darah itu tadi tak tersangka-sangka telah menggenggam pasir beracun, maka betapa pun cepatnya Kun Liong mengelak, tetap saja ada sebagian pasir harum beracun yang menembus kulit dadanya. Tubuh pendekar ini jatuh lagi menimpa mayat Yo Bi Kiok yang mati dengan mata terbelalak. Pendekar itu terkulai dan pingsan!
"Yap-suheng...!" Bun Houw langsung menubruk ke depan dan hendak memeriksa dada suheng-nya.
Akan tetapi In Hong sudah berlutut dan berkata kepadanya, "Minggirlah, biarkan aku menolong kakakku!" Suara dara itu kaku dan keras, tanda bahwa dia marah kepada Bun Houw.
Bun Houw maklum bahwa gadis ini tentu saja lebih ahli untuk menolong luka yang terkena Siang-tok-swa, maka dia bangkit berdiri dan melangkah mundur, hanya menonton ketika jari-jari tangan yang mungil namun kuat itu merobek baju di dada Kun Liong, kemudian memeriksa dada kanan yang telah penuh dengan bintik-bintik hijau bekas terkena Siang-tok-swa itu.
"Lekas kau carikan tempat untuk memasak obat, dan masak obat ini!" Tanpa menoleh dan dengan sikap seolah-olah seorang nyonya majikan memerintah jongosnya, In Hong menyerahkan sebungkus obat kepada Bun Houw.
Pemuda itu cepat menerimanya dan dengan petunjuk seorang pengawal dia lari ke dapur dan memasak obat itu dengan air dua mangkok. Sementara itu, In Hong menggunakan obat bubuk lain lagi untuk dicampur air dan diborehkan ke dada yang terluka. Kemudian dia menotok beberapa jalan darah pada dada dan pundak kakaknya, dan menempelkan telapak tangannya pada tempat yang terluka, kemudian mengerahkan tenaga saktinya menyedot.
Tidak lama kemudian, beberapa butir pasir halus sekali sudah menempel pada telapak tangannya dan cepat disimpannya pasir-pasir berbahaya itu. Pada saat Bun Houw datang membawa obat, dengan bantuan pemuda itu In Hong lalu meminumkan obat itu kepada Kun Liong yang sudah mulai sadar.
"Uhhhh...!" Begitu sadar Kun Liong lalu meloncat ke atas akan tetapi dia terhuyung.
"Koko, engkau belum boleh banyak bergerak." In Hong berkata.
Kun Liong memejamkan mata sejenak, tubuhnya yang berdiri tegak itu agak bergoyang, kemudian dia membuka mata dan memandang ke sekelilingnya, lalu kepada mayat Yo Bi Kiok.
Dia menghampiri mayat itu. Dengan jari tangannya dia menutupkan kelopak mata dan mulut mayat itu, baru kemudian dia duduk bersila di atas lantai, mengerahkan sinkang mengusir sisa racun dan mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaganya.
"Hebat...!" Tiba-tiba saja terdengar Raja Sabutai berkata, memecah kesunyian yang tadi mencekam keadaan di situ sejak terjadi peristiwa hebat itu. "Sungguh ilmu kepandaian hebat-hebat yang telah diperlihatkan tadi. Kami merasa kagum sekali!"
Bun Houw lalu melangkah maju dan menjura kepada Raja Sabutai. "Terima kasih atas kebijaksanaan paduka. Sekarang semua urusan pribadi sudah selesai dan musuh-musuh Cin-ling-pai telah tewas. Maka kami hendak mohon diri dan mohon agar pedang pusaka kami dikembalikan kepada kami." Sambil berkata demikian, pemuda ini mengerling ke arah Pek-hiat Mo-ko karena pedang Siang-bhok-kiam terselip di pinggang kakek bermuka putih itu.
Raja Sabutai menoleh kepada gurunya, tersenyum lebar dan menjawab, "Pek-hiat Mo-ko ini adalah guruku, dan dia mempunyai omongan untuk disampaikan kepadamu, Bun... eh, Cia-sicu. Bukankah engkau sesungguhnya adalah putera ketua Cin-ling-pai yang terkenal bernama Cia Keng Hong itu? Nah, kini terserah kepada suhu Pek-hiat Mo-ko dan subo Hek-hiat Mo-li tentang pedang Siang-bhok-kiam itu." Raja ini memandang dengan mata bersinar gembira karena dia ingin sekali melihat apakah tiga orang Han yang lihai ini akan mampu menandingi kedua orang gurunya.
Sesungguhnya Raja Sabutai tidak tertarik oleh pedang kayu itu dan dia pun tidak tertarik oleh urusan-urusan pribadi, akan tetapi karena dia ingin sekali melihat dua orang gurunya bertanding dengan Yap In Hong, Yap Kun Liong atau Cia Bun Houw, maka dia tidak melarang ketika Pek-hiat Mo-ko tadi berbisik-bisik kepadanya tentang pedang itu.
Berkerut alis tebal di atas mata yang bersinar-sinar itu ketika Bun Houw kini langsung menentang pandang mata nenek dan kakek yang menyeramkan itu. "Urusan perebutan pedang pusaka adalah urusan pribadi antara Lima Bayangan Dewa dengan Cin-ling-pai," katanya lantang. "Sama sekali tidak menyangkut orang lain. Locianpwe hanya bertugas menyimpan pedang dan menyerahkannya kepada fihak yang menang. Oleh karena itu, saya harap dengan sangat dan minta dengan hormat agar locianpwe suka menyerahkan pedang pusaka kami itu kepada saya."
"Ho-ho-ho, nanti dulu, orang muda!" Pek-hiat Mo-ko tertawa kemudian melangkah maju, sikapnya memandang rendah. "Mengembalikan pedang kayu ini adalah perkara mudah. Akan tetapi lebih dulu jawablah pertanyaan-pertanyaan ini dengan jujur."
"Silakan bertanya, locianpwe," kata Bun Houw sambil mengamati wajah yang rusak itu. Dari logat bicara kakek ini dia dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang asing.
"Siapakah namamu yang sesungguhnya?"
"Nama saya Cia Bun Houw," menjawab demikian, Bun Houw merasa tengkuknya dingin dan tahulah dia bahwa tengkuknya itu disambar sinar mata In Hong.
Akan tetapi perasaan ini dilawannya dengan kenyataan bahwa dara itu pun tadinya hanya dikenalnya sebagai nona Hong saja, sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa gadis itu adalah Yap In Hong, adik kandung Yap Kun Liong!
"Engkau putera dari Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai?" tanya lagi Pek-hiat Mo-ko dengan suaranya yang mengandung getaran dingin menyeramkan.
"Benar."
"Bukankah Cia Keng Hong itu adalah pendekar yang dahulu terkenal sebagai sahabat baik, bahkan tangan kanan dari Panglima Besar The Hoo?" tanya lagi kakek yang sukar ditaksir berapa usianya itu karena mukanya yang putih itu seperti muka mayat.
Kepahlawanan merupakan suatu kebanggaan bagi tiap orang gagah di dunia kang-ouw. Kenyataan bahwa ayahnya adalah seorang pahlawan pembela nusa bangsa, juga bahwa ayahnya merupakan sahabat baik dari Panglima Besar The Hoo yang sudah terkenal di seluruh dunia bahkan amat disegani dan ditakuti kawan dan lawan itu, tentu saja dia tidak hendak menyangkalnya.
"Benar," jawabnya pula. "Bahkan, walau pun mendiang Panglima Besar The Hoo telah meninggal dunia, tiap saat ayahku tetap setia menyediakan jiwa raganya untuk membela tanah air dan sekarang ayah membantu kaisar memperoleh kembali singgasananya yang dirampas oleh pengkhianat-pengkhianat."
"Ho-ho-ho, baguslah kalau begitu! Nah, kini dengarlah baik-baik, orang muda. Sampaikan kepada ayahmu itu, kepada Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai itu, bahwa pedang Siang-bhok-kiam akan kami bawa terus dan hanya akan kami serahkan apa bila Panglima The Hoo sendiri yang datang menemui kami dan mengambilnya!"
Bun Houw terbelalak dan tiba-tiba suasana menjadi sunyi sekali. Setelah dapat menekan ketegangan hatinya, Bun Houw baru menjawab, suaranya mengandung rasa penasaran. "Permintaan locianpwe sungguh tidak masuk akal. Panglima The Hoo sudah meninggal dunia, bagaimana dapat menemui locianpwe kecuali kalau locianpwe menyusul beliau?" Jawaban ini sekaligus mengandung ejekan.
"Hih-hih, bocah itu lancang mulut. Ketuk saja kepalanya!" Tiba-tiba Hek-hiat Mo-li berseru, suaranya tinggi melengking dan mengandung getaran panas.
"Ho-ho, bocah lancang! Siapa tidak tahu bahwa The Hoo telah mati? Akan tetapi mustahil bila tidak ada muridnya atau keturunannya? Setidaknya masih ada ayahmu yang menjadi tangan kanan dan sahabat baiknya. Nah, pedang ini kami simpan sambil menunggu wakil dari The Hoo untuk mengambilnya."
Bun Houw menjadi marah sekali. "Biar sekarang juga aku menjadi wakilnya!" bentaknya.
"Dan aku juga!" In Hong juga berseru dan sudah meloncat pula ke dekat Bun Houw yang mengerlingnya. Gadis itu juga melirik dan mereka saling bertemu pandang dalam kerling mereka.
"Bagus...! Akan tetapi kami lebih senang berhadapan dengan Cia Keng Hong, tua sama tua, bukan dengan bocah-bocah ingusan!" kata Pek-hiat Mo-ko.
"Tahan...!" Tiba-tiba terdengar suara yang menggetarkan seluruh ruangan itu.
Kiranya Yap Kun Liong yang berseru itu dan kini pendekar ini telah bangkit berdiri dan dengan perlahan melangkah maju. Wajahnya masih pucat, akan tetapi dia telah terbebas dari racun, hanya tinggal tenaganya yang belum pulih karena dia sudah memeras semua tenaganya untuk mengusir hawa beracun dari Siang-tok-swa.
"Heh-heh-heh, kau orang yang sudah lemah karena lukamu mau bicara apa?" Pek-hiat Mo-ko berkata mengejek.
Yap Kun Liong menjura ke arah Raja Sabutai dan berkata, "Harap paduka maafkan kami bertiga. Sama sekali bukan maksud kami untuk membikin ribut di dalam benteng paduka ini." Kemudian dia memandang kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, lalu berkata, "Ji-wi locianpwe sungguh bersikap jujur, dan maafkanlah kedua orang adikku ini. Sudah menjadi kewajiban kami untuk menyampaikan tantangan ji-wi locianpwe kepada supek Cia Keng Hong, dan kepada para murid atau keturunan mendiang Panglima The Hoo. Kami bertiga tidak berhak mencampuri urusan antara ji-wi dan mendiang Panglima The Hoo. Akan tetapi agar jelas, hendaknya ji-wi suka menerangkan kenapa ji-wi mendendam kepada mendiang Panglima The Hoo agar kalau ditanya kami dapat memberi tahukan."
"Ho-ho, kau ternyata lebih cerdik dan sopan! Ketahuilah, kami berdua datang dari Sailan dan kami pernah dilukai bahkan hampir tewas oleh Panglima The Hoo. Oleh karena itu, belum puas hati kami sebelum dapat membalas kekalahan kami puluhan tahun yang lalu itu kepada keturunannya, muridnya, atau pun sahabatnya yang mewakilinya mengambil pedang Siang-bhok-kiam."
Yap Kun Liong berpikir sejenak, kemudian dia berkata, "Kami tidak ingin mengganggu sri baginda raja, dan mengingat bahwa urusan ini merupakan urusan pribadi, ke manakah wakil mendiang Panglima The Hoo boleh datang mencari ji-wi untuk mengambil pedang?"
"Ho-ho, kau kira kami akan mengandalkan pasukan murid kami untuk membantu kami? Ha-ha-ha-ha, orang muda, sampaikan kepada Cia Keng Hong bahwa kami akan menanti kedatangan wakil Panglima The Hoo di Lembah Naga, di mana kami berdua akan bertapa dan menanti dengan tidak sabar."
"Lembah Naga? Di mana itu?"
"Di tikungan Sungai Luan-ho, di kaki Pegunungan Khing-an-san."
Yap Kun Liong mengangguk. "Baiklah, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li," jawabnya dan kini sikap menghormatnya pun lenyap. "Akan segera kami sampaikan kepada supek Cia Keng Hong."
Kemudian, mewakili dua orang adiknya dia lalu menghadap Raja Sabutai dan berkata, "Sekali lagi terima kasih kami haturkan atas kebijaksanaan paduka, dan kini perkenankan kami untuk pergi dari benteng ini dan membawa jenazah Yo Bi Kiok."
Raja Sabutai mengangguk-angguk. "Sampaikan kepada Kaisar Ceng Tung bahwa kami menerima uluran tangannya, dan dalam bulan ini juga kami akan kembali ke utara. Nona In Hong, untuk membalas jasa-jasamu sebagai pengawal dan sahabat sang ratu, beliau minta kepadaku untuk menyampaikan terima kasih dan tanda mata ini. Terimalah!"
In Hong merasa terharu juga mengingat akan kebaikan Khamila, maka dia melangkah maju dan tidak menolak pada waktu Raja Sabutai mengalungkan seuntai kalung mutiara ke lehernya.
"Terima kasih, sri baginda, dan semoga paduka bersama Sang Ratu Khamila hidup dalam kebahagiaan."
Mereka berpamit sekali lagi, kemudian dengan diantar sepasukan pengawal kehormatan, mereka bertiga meninggalkan benteng itu dan Kun Liong memondong mayat Yo Bi Kiok yang masih lemas.
Setibanya di luar benteng, di dalam sebuah hutan yang sunyi, Kun Liong lalu mengubur jenazah wanita itu, dibantu oleh Bun Houw dan In Hong. Ketika In Hong berlutut di depan kuburan itu, tanpa tertahankan lagi dua butir air mata membasahi pipinya yang segera diusapnya dengan punggung tangan.
Sementara itu, terdengar Bun Houw berkata kepada Yap Kun Liong, dengan nada suara terheran dan penasaran, "Yap-suheng, mengapa suheng tidak membolehkan saya untuk mewakili ayah menghadapi dua orang kakek dan nenek iblis itu untuk merampas kembali Siang-bhok-kiam? Saya tidak takut melawan mereka."
"Aku percaya, sute. Akan tetapi, jika hal itu kau lakukan juga, berarti kita membiarkan diri dalam bahaya besar dan hal itu merupakan kebodohan yang sembrono. Kakek dan nenek itu amat lihai dan biar pun engkau dan Hong-moi-moi belum tentu kalah, akan tetapi harus kau ingat bahwa mereka merupakan guru-guru dari Raja Sabutai. Tak mungkin raja akan membiarkan saja dua orang gurunya ditentang, apa lagi dikalahkan orang di hadapannya. Bila pasukan maju mengeroyok, mana mungkin kita dapat melawan? Bahkan meloloskan diri pun akan sukar sekali, apa lagi karena kesehatanku belum pulih. Kalau sampai terjadi demikian, kita tidak bisa lolos dan pedang pun tak dapat terampas, bukankah hal itu amat celaka dan menyesal pun tiada gunanya lagi. Dan yang lebih hebat lagi, kita akan dicap sebagai pengacau di benteng itu, dan ini sangat bertentangan dengan kehendak kaisar. Setelah mereka berdua menantang dan akan menanti di Lembah Naga, bukankah hal itu lebih mudah lagi?"
Bun Houw mengangguk-angguk dan benar-benar dia kagum akan pandangan yang luas dari pendekar itu.
"Koko, mengapa engkau masih mau mengurus jenazah subo?" Mendadak In Hong juga mengajukan pertanyaan. "Setelah semua pengakuannya itu... setelah ternyata bahwa dia yang membunuh so-so (kakak ipar)... dia pula yang menghancurkan hidupmu, akan tetapi engkau masih merawat jenazahnya. Mengapa?"
Dara itu kini memandang wajah kakaknya dengan penuh kagum dan bangga. Kakaknya ini benar-benar seorang pendekar sakti yang hebat, bukan hanya hebat ilmunya seperti yang sudah diperlihatkannya ketika bertanding melawan gurunya, akan tetapi juga hebat perangainya.
Kun Liong menghela napas lalu duduk di atas tanah berumput, memandang sejenak pada adiknya dan kepada Bun Houw. Dia tahu bahwa adiknya berhati keras dan aneh, bahwa adiknya tidak mau dijodohkan begitu saja dengan Bun Houw. Dan di dalam hatinya dia tidak ingin melihat adiknya mengalami guncangan batin akibat cinta seperti yang banyak dialaminya selama ini.
Teringat dia akan semua pengalamannya, akan semua petualangannya pada waktu dia masih muda dahulu, petualangannya dalam asmara dengan banyak gadis cantik. Semua peristiwa itu, kematian isterinya, kekejaman Yo Bi Kiok, semua adalah akibat dari seluruh petualangannya itulah.
"Adikku, dan juga engkau, sute. Dengarlah dan supaya kalian tidak usah heran mengapa sampai detik ini aku menaruh hati kasihan terhadap Yo Bi Kiok, pembunuh dari isteriku yang tercinta. Dia membunuh isteriku bukan karena permusuhan pribadi, bukan karena kebencian pribadi, melainkan karena... cinta kasihnya kepadaku."
"Ahhhh...!" Bun Houw yang belum tahu akan riwayat suheng-nya itu berseru kaget dan heran, akan tetapi In Hong yang sudah tahu hanya menunduk.
"Karena cintanya kepadaku, dia merasa cemburu dan iri kepada isteriku. Ahh, kasihan Bi Kiok. Dia menjadi seperti gila karena cinta, cinta yang sebenarnya sama sekali bukanlah cinta. Orang yang mencinta tentu ingin melihat orang yang dicintanya hidup berbahagia! Akan tetapi tidak demikian dengan cinta Bi Kiok. Dia mencinta dirinya sendiri dan cinta macam itu hanya menimbulkan kedukaan, kebencian dan kejahatan belaka. Betapa pun juga, dia sudah mengakui perbuatannya dan... dan rasa penasaran besar itu kini telah terbongkar. Rahasia yang hebat itu telah terbongkar dan legalah hatiku karena sekarang terbukti keyakinan hatiku selama ini bahwa enci-mu, sute, bahwa Giok Keng tak berdosa. Tetapi... ahhh, dia pun ikut berkorban hebat, suaminya tewas dan sekarang puteranya..."
Yap Kun Liong menundukkan mukanya, penuh rasa penyesalan mengapa peristiwa yang menimpa dirinya itu merembet kepada keluarga Giok Keng.
"Sungguh hebat...!" dia melanjutkan. "Aku kehilangan isteri dan puteriku karena perbuatan Bi Kiok, akan tetapi akibatnya, enci-mu yang tidak tahu apa-apa sudah kehilangan suami dan sekarang ternyata puteranya juga terbunuh oleh Bi Kiok. Aihhh, Bi Kiok, mengapa hatimu menjadi seganas itu? Kasihan anak itu... yang tidak berdosa."
"Koko, anak itu tidak mati oleh Siang-tok-swa."
Kun Liong mengangkat muka dan memandang adiknya dengan mata terbelalak, penuh harapan dan keheranan. "Apa... apa maksudmu? Lie Seng..."
"Dia tidak mati. Aku sendiri yang telah mengobatinya," jawab In Hong.
"Lie Seng tidak mati? Ya Tuhan, syukurlah...!" Bun Houw juga berseru girang pada saat memandang wajah gadis itu. Namun ketika pandang mata mereka bertemu dan melihat kemarahan di pandang mata gadis itu, dia menunduk kembali, mukanya menjadi merah.
"Ketika aku pergi kepada Yok-mo di Gunung Cemara untuk mencari obat, di sana aku bertemu dengan anak laki-laki yang hampir mati karena terluka oleh Siang-tok-swa. Aku lalu mengobatinya dan dia sembuh, dia tidak mati. Aku yakin bahwa dia itulah anak yang kau maksudkan, koko."
Kun Liong menjadi girang sekali. "Bagaimana dia bisa berada di sana? Dan bagaimana pula secara kebetulan kau berada di tempat itu, moi-moi? Ceritakanlah!"
"Aku... aku pergi mencarikan obat...," gadis itu menunduk.
"Dia mencarikan obat untuk aku yang ketika itu hampir mampus, suheng," tiba-tiba Bun Houw menjawab cepat. "Aku menderita luka-luka parah oleh Bayangan Dewa dan kalau tidak ada adikmu ini, agaknya sekarang aku sudah mati."
"Ahhhhh...!" Kun Liong semakin girang dan memandang adiknya yang mukanya menjadi merah.
"Bohong! Dia memang terluka dan aku mencarikan obat kepada Yok-mo. Di sana aku bertemu dengan seorang pendeta yang datang membawa anak laki-laki yang luka-luka oleh Siang-tok-swa itu. Kami berebutan untuk memperoleh pertolongan Yok-mo. Pendeta itu lihai bukan main dan aku lalu menukar obatku untuk menyembuhkan anak itu dengan pelajaran Ilmu Pukulan Thian-te Sin-ciang..."
"Hehh...?!" Tiba-tiba Bun Houw meloncat ke atas mengejutkan In Hong dan Kun Liong. "Kalau begitu dia adalah suhu!"
Kini Kun Liong juga kaget. "Apa? Gak-hu (ayah mertua)?"
In Hong menjadi bingung mendengar Bun Houw menyebut guru kepada pendeta itu dan kakaknya menyebut ayah mertua. Hal ini sama sekali tidak pernah disangka-sangkanya. "Dia seorang pendeta Lama berjubah merah, bertubuh tinggi besar dan..."
"Dia suhu!" Bun Houw berseru.
"Jelas, dia adalah gak-hu. Aihhh, sungguh ini kejadian yang kebetulan sekali!" Kun Liong berkata dengan wajah girang. "Kalau begitu, putera enci-mu itu berada di tangan gak-hu dan keselamatannya terjamin, sute."
Bun Houw mengangguk dan memandang kepada In Hong, kemudian dia berkata, "Kalau begitu, engkau terhitung adalah sumoi-ku sendiri."
In Hong menggeleng kepala. "Dia berpesan bahwa aku tidak boleh mengaku dia sebagai guru, dan memang demikianlah perjanjiannya." Diam-diam gadis ini kagum sekali. Pantas saja Cia Bun Houw ini sedemikian lihainya, kiranya pemuda putera ketua Cin-ling-pai ini adalah murid pendeta Lama sakti itu!
"Urusan enci-mu sudah beres, sute, dan sekarang aku harus pergi untuk mencari anakku. Anakku melarikan diri pada saat ibunya terbunuh dan hingga kini tidak kuketahui ke mana perginya. Engkau pulanglah ke Cin-ling-pai untuk melaporkan soal Siang-bhok-kiam pada ayahmu dan sampaikan pula berita pengakuan Yo Bi Kiok kepada keluargamu, jangan lupa beritakan tentang Lie Seng yang sudah berada di tangan gak-hu itu kepada ibumu. Aku sendiri akan mencari jejak puteriku, dan... kalau kau suka, adikku, marilah kau ikut bersamaku..."
Dia memandang kepada adiknya dengan sinar mata penuh kasih. Isterinya sudah tewas, puterinya pun sudah hilang dan kini dia menemukan kembali adiknya yang agaknya telah kembali ke jalan benar.
Akan tetapi In Hong menggelengkan kepalanya. "Aku masih mempunyai urusan, koko. Biarlah kalau urusanku sudah selesai, aku pasti akan pergi ke Leng-kok dan selanjutnya aku akan hidup di sana bersama kakakku."
Kun Liong melangkah maju dan memegang kedua tangan adiknya, digenggamnya kedua tangan adiknya dengan mesra. "In Hong, adikku. Keadaan sudah memaksa kita saling berpisah. Kakakmu ini telah mengalami banyak penderitaan hidup. Mudah-mudahan saja engkau tak akan seperti kakakmu. Hanya pesanku, jangan terlalu menurutkan perasaan, adikku, bersikaplah bijaksana dan mudah-mudahan kalau sekali waktu cinta menguasai dirimu, semoga cintamu itu bukan seperti cinta kasih mendiang Bi Kiok kepada kakakmu. Mengertikah engkau, adikku?"
In Hong terharu. Ingin sekali dia merangkul kakak kandungnya itu, akan tetapi dia hanya menggigit bibir mengeraskan hatinya, lalu mengangguk.
Kun Liong lalu melepaskan tangan adiknya. "Nah, kalau begitu, selamat tinggal, selamat berpisah sampai jumpa kembali dalam keadaan yang lebih baik lagi."
Pendekar ini sekali lagi menengok ke arah gundukan tanah kuburan Yo Bi Kiok, menghela napas panjang lalu pergi dari situ, diikuti pandang mata sepasang orang muda itu.
Mereka berdiri saling berhadapan. Sejenak mereka saling pandang penuh selidik, bahkan kemudian pandang mata In Hong dibayangi rasa marah dan penasaran.
"Kau...!"
"Kau...!"
Keduanya terdiam karena kata itu keluar dengan berbareng.
"Hemmm, kiranya engkau adalah Cia Bun Houw!" In Hong kemudian berkata dan segera membuang pandang mata ke atas, ke arah daun-daun pohon di ujung yang dikibarkan oleh angin.
"Ya..."
"Engkau putera ketua Cin-ling-pai yang terkenal di seluruh dunia itu!"
"Ya..."
"Engkau berpura-pura menyamar sebagai pengawal pemilik rumah judi untuk menyelidiki keadaan Bayangan Dewa."
"Ya..."
"Engkau berpura-pura bodoh dan tidak memiliki kepandaian sampai aku pun tertipu."
"Ya... tapi..."
"Sungguh cerdik sekali!"
"Hemmm..."
"Kiranya yang terhormat putera ketua Cin-ling-pai, seekor harimau yang berpakaian kulit domba."
"Ahhh..."
"Dan pendekar muda sakti putera ketua Cin-ling-pai itu memberikan pedang pusakanya kepada..."
"Kepada seorang dara pendekar yang lihai..."
"Seorang Dewi Maut yang kejam, yang membunuh gadis dusun yang tidak berdosa!"
"Ehh, aku salah lihat... ehh, salah duga..."
"Seorang putera ketua Cin-ling-pai yang berpandangan tajam mana mungkin salah lihat? Karena memang gadis itu dianggapnya kejam, ganas dan tidak berperi kemanusiaan!"
"Ehh, dengar dulu..."
"Jadi Cia Bun Houw si pendekar muda sakti itu adalah murid pendeta Lama..."
"Ya, suhu Kok Beng Lama."
"Pendeta Lama yang sakti dari Tibet?"
"Ya..."
"Dan Cia Bun Houw si pendekar sakti itu adalah seorang pemuda perayu wanita, seorang hidung belang yang mata keranjang!"
"Heiiiii...!"
"Cia Bun Houw itu adalah seorang lelaki yang tidak setia, yang mudah berganti kekasih!"
"Ehh, nanti dulu! Hong-moi, jangan kau menuduh yang bukan-bukan."
"Seorang pendekar sakti yang menggunakan kepandaiannya merayu untuk menjatuhkan hati seorang gadis dusun yang bodoh..."
"Heiii, aku tidak merayu gadis dusun she Ma itu. Dialah yang... ahh, sudahlah. Hong-moi, mengapa engkau menuduhkan semua itu kepadaku?"
"Siapa yang menuduh? Aku hanya membicarakan kenyataan, bukan seperti engkau yang sebelum jelas perkaranya sudah menuduhku membunuh orang tak berdosa."
"Hong-moi, aku mengaku salah. Aku memang tadinya mengira engkau yang melakukan pembunuhan kejam itu terhadap gadis she Ma karena agaknya semua bukti-bukti tadinya menunjukkan demikian. Ternyata subo-mu yang melakukan hal itu dan maafkanlah aku. Harap saja kesalahanku itu tidak menyakitkan hatimu terus sehingga engkau membenci dan menuduhku yang bukan-bukan."
"Sekali lagi, aku tidak menuduh yang bukan-bukan. Apakah engkau hendak menyangkal bahwa engkau merayu seorang gadis dusun, kemudian engkau melupakan dia, bahkan menerima ikatan jodoh dengan gadis lain yang belum pernah kau lihat selamanya?"
"Ehhh...?!" Bun Houw terbelalak dan tentu saja dia teringat kepada Yalima yang manis, yang ditinggalkannya di Tibet. Akan tetapi tidak mungkin In Hong tahu akan hal itu dan dia pun tidak akan membicarakan hal itu dengan siapa pun juga.
Peristiwa dengan Yalima dianggapnya sudah lewat, hanya merupakan masa kanak-kanak baginya. Baru sekarang dia sadar bahwa sebenarnya di dalam batinnya tidak ada ikatan cinta kasih terhadap gadis Tibet itu. Kalau toh akan dinamakan cinta, agaknya itulah cinta monyet, cinta remaja yang tidak mendalam, hanya karena saling tertarik oleh rupa dan karena biasa bergaul secara akrab saja.
"Hong-moi, harap kau jangan menuduh yang bukan-bukan."
Sinar mata In Hong membayangkan rasa kemarahan dan penasaran. "Cia Bun Houw! Apakah kau berani menyangkal bahwa engkau melupakan gadis dusun dan secara tidak tahu malu menerima ikatan jodoh dengan seorang gadis lain?"
Wajah In Hong menjadi merah. Tentu saja dara ini merasa penasaran dan marah. Sudah jelas pemuda ini meninggalkan dan melupakan Yalima, lalu mengikatkan diri dengan dia sebagai calon isteri, dan sekarang pemuda ini hendak menyangkal.
Tetapi dengan wajah sungguh-sungguh dan sinar mata jujur Bun Houw menjawab, "Tentu saja aku menyangkalnya, Hong-moi. Aku tak pernah menerima ikatan jodoh dengan gadis mana pun dan tentang gadis yang kau katakan kurayu dan kutinggalkan dan lupakan..."
"Hemm, sungguh berani mati. Tak perlu banyak berbantahan, kalau memang kau berani, mari bersamaku pergi ke Cin-ling-san." In Hong menantang.
Bun Houw makin terheran dan terkejut. "Cin-ling-san?"
Tentu saja dia terkejut bukan main. Cin-ling-san adalah tempat tinggalnya, mau apa gadis ini mengajak dia ke sana?
"Ya, ke Cin-ling-san. Ke Cin-ling-pai..."
"Ehh, kau maksudkan menjumpai ayah dan ibuku?" Bun Houw tentu saja menjadi girang sekali.
"Ya dan di sana engkau akan tahu sendiri bahwa aku sama sekali tidak menuduhmu yang bukan-bukan dan ingin aku mendengar jawabanmu!"
Bun Houw menjadi girang sekali. "Baik, marilah kita pergi. Aku memang ingin kembali ke Cin-ling-san untuk melaporkan pada ayah tentang Siang-bhok-kiam dan syukurlah engkau suka ikut bersamaku ke sana, Hong-moi. Tahukah engkau bahwa ayah bundamu dahulu adalah sahabat-sahabat terbaik dari orang tuaku, bahkan antara ibumu dan ayahku masih ada hubungan saudara seperguruan? Ayah dan ibu tentu akan gembira sekali menerima kedatanganmu."
"Hemmm, aku telah bertemu dengan mereka. Akan tetapi kepergianku ke Cin-ling-pai ini bukan untuk bertemu dengan ayah dan bundamu, melainkan..." In Hong tidak melanjutkan kata-katanya dan dia teringat akan Yalima sehingga hatinya menjadi panas lagi.
"Melainkan... apa, Hong-moi?"
"Kau lihatlah saja nanti!" In Hong berkata kaku dan dingin lalu membuang muka.
Bun Houw semakin terheran-heran melihat sikap gadis ini. Akan tetapi betapa pun juga, hatinya girang bukan main sebab dia akan melakukan perjalanan ke Cin-ling-san bersama dengan gadis ini.
Tapi ternyata perjalanan itu tidaklah begitu menyenangkan seperti yang dibayangkannya. Memang benar dia melakukan perjalanan bersama In Hong, akan tetapi gadis itu selalu menjauhkan diri dan betapa pun dia berusaha untuk menyelami isi hati gadis itu, untuk membuka rahasia apa yang tersembunyi di balik tuduhan-tuduhan gadis itu, usahanya sia-sia belaka karena In Hong tidak mau bicara, hanya menjawab singkat bahwa pemuda itu akan tahu segalanya setelah tiba di Cin-ling-san.
Sikap yang dingin dan kaku dari gadis ini, dan yang agaknya bersungguh-sungguh dalam tuduhan-tuduhnya membuat Bun Houw merasa khawatir dan tidak enak juga. Mulailah dia menduga-duga yang ada hubungannya dengan Yalima.
Apakah Yalima datang menyusulnya ke Cin-ling-san? Akan tetapi pertanyaan ini langsung dibantahnya sendiri. Yalima adalah seorang gadis lemah, seorang gadis dusun di Tibet, mana mungkin tiba-tiba bisa berada di Cin-ling-san? Tidak mungkin sekali gadis dusun itu melakukan perjalanan sedemikian jauhnya. Pula, tidak mungkin Yalima berani selancang itu menyusul dirinya ke Cin-ling-san.
Lagi pula, sesungguhnya, selain sedikit kemesraan, tidak ada ikatan apa-apa antara dia dengan Yalima, hanya suatu peristiwa cinta remaja yang masih hijau dan mentah. Betapa pun juga, melihat sikap In Hong yang amat serius dan melihat dara itu benar-benar seperti orang marah dan penasaran kepadanya, hati Bun Houw menjadi tidak enak dan ingin dia cepat-cepat tiba di Cin-ling-san agar persoalan itu segera menjadi terang...
"Ho-ho, kau ternyata lebih cerdik dan sopan! Ketahuilah, kami berdua datang dari Sailan dan kami pernah dilukai bahkan hampir tewas oleh Panglima The Hoo. Oleh karena itu, belum puas hati kami sebelum dapat membalas kekalahan kami puluhan tahun yang lalu itu kepada keturunannya, muridnya, atau pun sahabatnya yang mewakilinya mengambil pedang Siang-bhok-kiam."
Yap Kun Liong berpikir sejenak, kemudian dia berkata, "Kami tidak ingin mengganggu sri baginda raja, dan mengingat bahwa urusan ini merupakan urusan pribadi, ke manakah wakil mendiang Panglima The Hoo boleh datang mencari ji-wi untuk mengambil pedang?"
"Ho-ho, kau kira kami akan mengandalkan pasukan murid kami untuk membantu kami? Ha-ha-ha-ha, orang muda, sampaikan kepada Cia Keng Hong bahwa kami akan menanti kedatangan wakil Panglima The Hoo di Lembah Naga, di mana kami berdua akan bertapa dan menanti dengan tidak sabar."
"Lembah Naga? Di mana itu?"
"Di tikungan Sungai Luan-ho, di kaki Pegunungan Khing-an-san."
Yap Kun Liong mengangguk. "Baiklah, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li," jawabnya dan kini sikap menghormatnya pun lenyap. "Akan segera kami sampaikan kepada supek Cia Keng Hong."
Kemudian, mewakili dua orang adiknya dia lalu menghadap Raja Sabutai dan berkata, "Sekali lagi terima kasih kami haturkan atas kebijaksanaan paduka, dan kini perkenankan kami untuk pergi dari benteng ini dan membawa jenazah Yo Bi Kiok."
Raja Sabutai mengangguk-angguk. "Sampaikan kepada Kaisar Ceng Tung bahwa kami menerima uluran tangannya, dan dalam bulan ini juga kami akan kembali ke utara. Nona In Hong, untuk membalas jasa-jasamu sebagai pengawal dan sahabat sang ratu, beliau minta kepadaku untuk menyampaikan terima kasih dan tanda mata ini. Terimalah!"
In Hong merasa terharu juga mengingat akan kebaikan Khamila, maka dia melangkah maju dan tidak menolak pada waktu Raja Sabutai mengalungkan seuntai kalung mutiara ke lehernya.
"Terima kasih, sri baginda, dan semoga paduka bersama Sang Ratu Khamila hidup dalam kebahagiaan."
Mereka berpamit sekali lagi, kemudian dengan diantar sepasukan pengawal kehormatan, mereka bertiga meninggalkan benteng itu dan Kun Liong memondong mayat Yo Bi Kiok yang masih lemas...
Setibanya di luar benteng, di dalam sebuah hutan yang sunyi, Kun Liong lalu mengubur jenazah wanita itu, dibantu oleh Bun Houw dan In Hong. Ketika In Hong berlutut di depan kuburan itu, tanpa tertahankan lagi dua butir air mata membasahi pipinya yang segera diusapnya dengan punggung tangan.
Sementara itu, terdengar Bun Houw berkata kepada Yap Kun Liong, dengan nada suara terheran dan penasaran, "Yap-suheng, mengapa suheng tidak membolehkan saya untuk mewakili ayah menghadapi dua orang kakek dan nenek iblis itu untuk merampas kembali Siang-bhok-kiam? Saya tidak takut melawan mereka."
"Aku percaya, sute. Akan tetapi, jika hal itu kau lakukan juga, berarti kita membiarkan diri dalam bahaya besar dan hal itu merupakan kebodohan yang sembrono. Kakek dan nenek itu amat lihai dan biar pun engkau dan Hong-moi-moi belum tentu kalah, akan tetapi harus kau ingat bahwa mereka merupakan guru-guru dari Raja Sabutai. Tak mungkin raja akan membiarkan saja dua orang gurunya ditentang, apa lagi dikalahkan orang di hadapannya. Bila pasukan maju mengeroyok, mana mungkin kita dapat melawan? Bahkan meloloskan diri pun akan sukar sekali, apa lagi karena kesehatanku belum pulih. Kalau sampai terjadi demikian, kita tidak bisa lolos dan pedang pun tak dapat terampas, bukankah hal itu amat celaka dan menyesal pun tiada gunanya lagi. Dan yang lebih hebat lagi, kita akan dicap sebagai pengacau di benteng itu, dan ini sangat bertentangan dengan kehendak kaisar. Setelah mereka berdua menantang dan akan menanti di Lembah Naga, bukankah hal itu lebih mudah lagi?"
Bun Houw mengangguk-angguk dan benar-benar dia kagum akan pandangan yang luas dari pendekar itu.
"Koko, mengapa engkau masih mau mengurus jenazah subo?" Mendadak In Hong juga mengajukan pertanyaan. "Setelah semua pengakuannya itu... setelah ternyata bahwa dia yang membunuh so-so (kakak ipar)... dia pula yang menghancurkan hidupmu, akan tetapi engkau masih merawat jenazahnya. Mengapa?"
Dara itu kini memandang wajah kakaknya dengan penuh kagum dan bangga. Kakaknya ini benar-benar seorang pendekar sakti yang hebat, bukan hanya hebat ilmunya seperti yang sudah diperlihatkannya ketika bertanding melawan gurunya, akan tetapi juga hebat perangainya.
Kun Liong menghela napas lalu duduk di atas tanah berumput, memandang sejenak pada adiknya dan kepada Bun Houw. Dia tahu bahwa adiknya berhati keras dan aneh, bahwa adiknya tidak mau dijodohkan begitu saja dengan Bun Houw. Dan di dalam hatinya dia tidak ingin melihat adiknya mengalami guncangan batin akibat cinta seperti yang banyak dialaminya selama ini.
Teringat dia akan semua pengalamannya, akan semua petualangannya pada waktu dia masih muda dahulu, petualangannya dalam asmara dengan banyak gadis cantik. Semua peristiwa itu, kematian isterinya, kekejaman Yo Bi Kiok, semua adalah akibat dari seluruh petualangannya itulah.
"Adikku, dan juga engkau, sute. Dengarlah dan supaya kalian tidak usah heran mengapa sampai detik ini aku menaruh hati kasihan terhadap Yo Bi Kiok, pembunuh dari isteriku yang tercinta. Dia membunuh isteriku bukan karena permusuhan pribadi, bukan karena kebencian pribadi, melainkan karena... cinta kasihnya kepadaku."
"Ahhhh...!" Bun Houw yang belum tahu akan riwayat suheng-nya itu berseru kaget dan heran, akan tetapi In Hong yang sudah tahu hanya menunduk.
"Karena cintanya kepadaku, dia merasa cemburu dan iri kepada isteriku. Ahh, kasihan Bi Kiok. Dia menjadi seperti gila karena cinta, cinta yang sebenarnya sama sekali bukanlah cinta. Orang yang mencinta tentu ingin melihat orang yang dicintanya hidup berbahagia! Akan tetapi tidak demikian dengan cinta Bi Kiok. Dia mencinta dirinya sendiri dan cinta macam itu hanya menimbulkan kedukaan, kebencian dan kejahatan belaka. Betapa pun juga, dia sudah mengakui perbuatannya dan... dan rasa penasaran besar itu kini telah terbongkar. Rahasia yang hebat itu telah terbongkar dan legalah hatiku karena sekarang terbukti keyakinan hatiku selama ini bahwa enci-mu, sute, bahwa Giok Keng tak berdosa. Tetapi... ahhh, dia pun ikut berkorban hebat, suaminya tewas dan sekarang puteranya..."
Yap Kun Liong menundukkan mukanya, penuh rasa penyesalan mengapa peristiwa yang menimpa dirinya itu merembet kepada keluarga Giok Keng.
"Sungguh hebat...!" dia melanjutkan. "Aku kehilangan isteri dan puteriku karena perbuatan Bi Kiok, akan tetapi akibatnya, enci-mu yang tidak tahu apa-apa sudah kehilangan suami dan sekarang ternyata puteranya juga terbunuh oleh Bi Kiok. Aihhh, Bi Kiok, mengapa hatimu menjadi seganas itu? Kasihan anak itu... yang tidak berdosa."
"Koko, anak itu tidak mati oleh Siang-tok-swa."
Kun Liong mengangkat muka dan memandang adiknya dengan mata terbelalak, penuh harapan dan keheranan. "Apa... apa maksudmu? Lie Seng..."
"Dia tidak mati. Aku sendiri yang telah mengobatinya," jawab In Hong.
"Lie Seng tidak mati? Ya Tuhan, syukurlah...!" Bun Houw juga berseru girang pada saat memandang wajah gadis itu. Namun ketika pandang mata mereka bertemu dan melihat kemarahan di pandang mata gadis itu, dia menunduk kembali, mukanya menjadi merah.
"Ketika aku pergi kepada Yok-mo di Gunung Cemara untuk mencari obat, di sana aku bertemu dengan anak laki-laki yang hampir mati karena terluka oleh Siang-tok-swa. Aku lalu mengobatinya dan dia sembuh, dia tidak mati. Aku yakin bahwa dia itulah anak yang kau maksudkan, koko."
Kun Liong menjadi girang sekali. "Bagaimana dia bisa berada di sana? Dan bagaimana pula secara kebetulan kau berada di tempat itu, moi-moi? Ceritakanlah!"
"Aku... aku pergi mencarikan obat...," gadis itu menunduk.
"Dia mencarikan obat untuk aku yang ketika itu hampir mampus, suheng," tiba-tiba Bun Houw menjawab cepat. "Aku menderita luka-luka parah oleh Bayangan Dewa dan kalau tidak ada adikmu ini, agaknya sekarang aku sudah mati."
"Ahhhhh...!" Kun Liong semakin girang dan memandang adiknya yang mukanya menjadi merah.
"Bohong! Dia memang terluka dan aku mencarikan obat kepada Yok-mo. Di sana aku bertemu dengan seorang pendeta yang datang membawa anak laki-laki yang luka-luka oleh Siang-tok-swa itu. Kami berebutan untuk memperoleh pertolongan Yok-mo. Pendeta itu lihai bukan main dan aku lalu menukar obatku untuk menyembuhkan anak itu dengan pelajaran Ilmu Pukulan Thian-te Sin-ciang..."
"Hehh...?!" Tiba-tiba Bun Houw meloncat ke atas mengejutkan In Hong dan Kun Liong. "Kalau begitu dia adalah suhu!"
Kini Kun Liong juga kaget. "Apa? Gak-hu (ayah mertua)?"
In Hong menjadi bingung mendengar Bun Houw menyebut guru kepada pendeta itu dan kakaknya menyebut ayah mertua. Hal ini sama sekali tidak pernah disangka-sangkanya. "Dia seorang pendeta Lama berjubah merah, bertubuh tinggi besar dan..."
"Dia suhu!" Bun Houw berseru.
"Jelas, dia adalah gak-hu. Aihhh, sungguh ini kejadian yang kebetulan sekali!" Kun Liong berkata dengan wajah girang. "Kalau begitu, putera enci-mu itu berada di tangan gak-hu dan keselamatannya terjamin, sute."
Bun Houw mengangguk dan memandang kepada In Hong, kemudian dia berkata, "Kalau begitu, engkau terhitung adalah sumoi-ku sendiri."
In Hong menggeleng kepala. "Dia berpesan bahwa aku tidak boleh mengaku dia sebagai guru, dan memang demikianlah perjanjiannya." Diam-diam gadis ini kagum sekali. Pantas saja Cia Bun Houw ini sedemikian lihainya, kiranya pemuda putera ketua Cin-ling-pai ini adalah murid pendeta Lama sakti itu!
"Urusan enci-mu sudah beres, sute, dan sekarang aku harus pergi untuk mencari anakku. Anakku melarikan diri pada saat ibunya terbunuh dan hingga kini tidak kuketahui ke mana perginya. Engkau pulanglah ke Cin-ling-pai untuk melaporkan soal Siang-bhok-kiam pada ayahmu dan sampaikan pula berita pengakuan Yo Bi Kiok kepada keluargamu, jangan lupa beritakan tentang Lie Seng yang sudah berada di tangan gak-hu itu kepada ibumu. Aku sendiri akan mencari jejak puteriku, dan... kalau kau suka, adikku, marilah kau ikut bersamaku..."
Dia memandang kepada adiknya dengan sinar mata penuh kasih. Isterinya sudah tewas, puterinya pun sudah hilang dan kini dia menemukan kembali adiknya yang agaknya telah kembali ke jalan benar.
Akan tetapi In Hong menggelengkan kepalanya. "Aku masih mempunyai urusan, koko. Biarlah kalau urusanku sudah selesai, aku pasti akan pergi ke Leng-kok dan selanjutnya aku akan hidup di sana bersama kakakku."
Kun Liong melangkah maju dan memegang kedua tangan adiknya, digenggamnya kedua tangan adiknya dengan mesra. "In Hong, adikku. Keadaan sudah memaksa kita saling berpisah. Kakakmu ini telah mengalami banyak penderitaan hidup. Mudah-mudahan saja engkau tak akan seperti kakakmu. Hanya pesanku, jangan terlalu menurutkan perasaan, adikku, bersikaplah bijaksana dan mudah-mudahan kalau sekali waktu cinta menguasai dirimu, semoga cintamu itu bukan seperti cinta kasih mendiang Bi Kiok kepada kakakmu. Mengertikah engkau, adikku?"
In Hong terharu. Ingin sekali dia merangkul kakak kandungnya itu, akan tetapi dia hanya menggigit bibir mengeraskan hatinya, lalu mengangguk.
Kun Liong lalu melepaskan tangan adiknya. "Nah, kalau begitu, selamat tinggal, selamat berpisah sampai jumpa kembali dalam keadaan yang lebih baik lagi."
Pendekar ini sekali lagi menengok ke arah gundukan tanah kuburan Yo Bi Kiok, menghela napas panjang lalu pergi dari situ, diikuti pandang mata sepasang orang muda itu.
********************
Mereka berdiri saling berhadapan. Sejenak mereka saling pandang penuh selidik, bahkan kemudian pandang mata In Hong dibayangi rasa marah dan penasaran.
"Kau...!"
"Kau...!"
Keduanya terdiam karena kata itu keluar dengan berbareng.
"Hemmm, kiranya engkau adalah Cia Bun Houw!" In Hong kemudian berkata dan segera membuang pandang mata ke atas, ke arah daun-daun pohon di ujung yang dikibarkan oleh angin.
"Ya..."
"Engkau putera ketua Cin-ling-pai yang terkenal di seluruh dunia itu!"
"Ya..."
"Engkau berpura-pura menyamar sebagai pengawal pemilik rumah judi untuk menyelidiki keadaan Bayangan Dewa."
"Ya..."
"Engkau berpura-pura bodoh dan tidak memiliki kepandaian sampai aku pun tertipu."
"Ya... tapi..."
"Sungguh cerdik sekali!"
"Hemmm..."
"Kiranya yang terhormat putera ketua Cin-ling-pai, seekor harimau yang berpakaian kulit domba."
"Ahhh..."
"Dan pendekar muda sakti putera ketua Cin-ling-pai itu memberikan pedang pusakanya kepada..."
"Kepada seorang dara pendekar yang lihai..."
"Seorang Dewi Maut yang kejam, yang membunuh gadis dusun yang tidak berdosa!"
"Ehh, aku salah lihat... ehh, salah duga..."
"Seorang putera ketua Cin-ling-pai yang berpandangan tajam mana mungkin salah lihat? Karena memang gadis itu dianggapnya kejam, ganas dan tidak berperi kemanusiaan!"
"Ehh, dengar dulu..."
"Jadi Cia Bun Houw si pendekar muda sakti itu adalah murid pendeta Lama..."
"Ya, suhu Kok Beng Lama."
"Pendeta Lama yang sakti dari Tibet?"
"Ya..."
"Dan Cia Bun Houw si pendekar sakti itu adalah seorang pemuda perayu wanita, seorang hidung belang yang mata keranjang!"
"Heiiiii...!"
"Cia Bun Houw itu adalah seorang lelaki yang tidak setia, yang mudah berganti kekasih!"
"Ehh, nanti dulu! Hong-moi, jangan kau menuduh yang bukan-bukan."
"Seorang pendekar sakti yang menggunakan kepandaiannya merayu untuk menjatuhkan hati seorang gadis dusun yang bodoh..."
"Heiii, aku tidak merayu gadis dusun she Ma itu. Dialah yang... ahh, sudahlah. Hong-moi, mengapa engkau menuduhkan semua itu kepadaku?"
"Siapa yang menuduh? Aku hanya membicarakan kenyataan, bukan seperti engkau yang sebelum jelas perkaranya sudah menuduhku membunuh orang tak berdosa."
"Hong-moi, aku mengaku salah. Aku memang tadinya mengira engkau yang melakukan pembunuhan kejam itu terhadap gadis she Ma karena agaknya semua bukti-bukti tadinya menunjukkan demikian. Ternyata subo-mu yang melakukan hal itu dan maafkanlah aku. Harap saja kesalahanku itu tidak menyakitkan hatimu terus sehingga engkau membenci dan menuduhku yang bukan-bukan."
"Sekali lagi, aku tidak menuduh yang bukan-bukan. Apakah engkau hendak menyangkal bahwa engkau merayu seorang gadis dusun, kemudian engkau melupakan dia, bahkan menerima ikatan jodoh dengan gadis lain yang belum pernah kau lihat selamanya?"
"Ehhh...?!" Bun Houw terbelalak dan tentu saja dia teringat kepada Yalima yang manis, yang ditinggalkannya di Tibet. Akan tetapi tidak mungkin In Hong tahu akan hal itu dan dia pun tidak akan membicarakan hal itu dengan siapa pun juga.
Peristiwa dengan Yalima dianggapnya sudah lewat, hanya merupakan masa kanak-kanak baginya. Baru sekarang dia sadar bahwa sebenarnya di dalam batinnya tidak ada ikatan cinta kasih terhadap gadis Tibet itu. Kalau toh akan dinamakan cinta, agaknya itulah cinta monyet, cinta remaja yang tidak mendalam, hanya karena saling tertarik oleh rupa dan karena biasa bergaul secara akrab saja.
"Bagus! Yo-pangcu, kalau begitu aku menantangmu untuk mengadu nyawa di sini!" Bun Houw membentak marah.
"Bun-ko...!" In Hong berseru kaget dan tubuh dara ini sudah melayang ke tengah ruangan itu, menghadang antara Bun Houw dan gurunya. "Bun-ko, engkau tidak boleh melawan subo!"
"Hong-moi, aku telah bersalah kepadamu. Engkau tidak berdosa, akan tetapi gurumu itu... dia iblis betina keji yang harus kubasmi. Minggirlah, Hong-moi!"
"Tidak! Engkau tidak boleh melawan Subo..."
"Hong-moi!" Bun Houw membentak.
"Kalau engkau berkeras, terpaksa aku yang mewakili subo menghadapimu, Bun-ko."
"Hong-moi...!" Bun Houw terkejut, meragu dan bingung.
Pada saat itu, tedengar seruan. "Tahan...!"
Semua orang terkejut melihat berkelebatnya bayangan orang yang mencelat melalui atas kepala para penjaga, cepat sekali gerakannya seperti burung terbang dan tahu-tahu di sana sudah berdiri seorang laki-laki sederhana, berusia tiga puluh tujuh tahun, mukanya kurus sekali dan agak pucat sehingga nampak sepasang matanya yang tajam memenuhi wajah kurus yang masih membayangkan sisa ketampanan itu.
"Sute, mundurlah, biar aku yang menghadapinya!" kata pria itu kepada Bun Houw.
"Suheng...!" Bun Houw berseru ragu-ragu dan alisnya berkerut. Hati pemuda ini masih penasaran bertemu dengan Yap Kun Liong, orang yang mengingatkan dia akan peristiwa hebat yang menimpa keluarga enci-nya.
In Hong juga terkejut bukan main melihat kakak kandungnya, akan tetapi kesempatan itu digunakannya untuk mundur dengan hati lega karena dia pun melihat Bun Houw mundur dengan muka berubah. In Hong semakin terheran-heran mendengar kakak kandungnya menyebut sute kepada Bun Houw.
Sementara itu, begitu melihat pria ini, wajah Yo Bi Kiok berubah, sebentar pucat sebentar merah, mukanya kadang-kadang seperti orang hendak menangis kadang-kadang seperti orang bergembira. Aneh sekali sikap wanita cantik ini.
Orang itu memang Yap Kun Liong. Seperti telah diceritakan di bagian depan, pendekar ini bertemu dengan Cia Keng Hong. Saat mendengar bahwa adik kandungnya, Yap In Hong, berada di benteng musuh dan bahwa sute-nya, Cia Bun Houw, sedang menyusul untuk melindungi In Hong, maka dia pun lalu menyusul.
Ketika dia menyelidiki, dia mendengar bahwa di dalam benteng sedang ramai diadakan pibu antara orang-orang yang berkepandaian tinggi, dan bahwa yang mengadakan pibu itu adalah Raja Sabutai sendiri. Mendengar ini dia lalu mencari jalan masuk dan akhirnya, berkat kepandaiannya yang tinggi, dia berhasil pula masuk dan tiba di tempat itu tepat pada saat Bun Houw mendesak Yo Bi Kiok untuk mengaku tentang Lie Sang.
Mendengar bahwa Lie Seng yang kabarnya terculik itu ternyata diculik oleh Yo Bi Kiok, Kun Liong menjadi terkejut dan marah sekali, maka tak tertahankan lagi dia berseru dan meloncat ke tengah ruangan dengan hati penuh kemarahan.
Akan tetapi, pendekar ini masih ingat bahwa dia berada di dalam benteng Raja Sabutai yang sudah mundur dari menyerang kota raja, maka dia lalu memberi hormat kepada raja itu dan berkata, "Harap sri baginda mengampunkan kelancangan saya yang datang tanpa diundang."
Raja Sabutai mengerutkan alisnya. Tadi para pengawal sudah menggerakkan senjata dan memandang kepadanya menanti perintah, juga kedua orang gurunya sudah siap hendak menerjang, hanya menanti isyaratnya, akan tetapi dia memberi isyarat kepada mereka semua agar jangan turun tangan. Andai kata tidak ada sebutan sute dan suheng antara pendatang baru ini dan Bun Houw, tentu dia sudah memberi isyarat untuk menangkap penyelundup itu.
Ketika melihat bahwa pendatang baru ini adalah suheng dari Bun Houw yang demikian lihai, hatinya menjadi sangat tertarik. Namun kini mendengar ucapan Yap Kun Liong, Raja Sabutai dengan alis berkerut dan suara marah membentak, "Siapakah engkau?!"
"Sri baginda, dia adalah kakak kandung saya!" Tiba-tiba In Hong berkata.
Kun Liong memutar tubuhnya memandang In Hong dengan wajah berseri. Tidak ada lagi kata-kata yang lebih merdu, lebih menggembirakan dari pada suara dara itu yang kini di depan orang banyak mengakui dia sebagai kakak kandungnya.
"Adikku...!" Dia berbisik dengan hati terharu.
Akan tetapi In Hong hanya memandang kepadanya dengan mata terbelalak, karena gadis ini mengakui kakaknya hanya untuk meredakan kemarahan Raja Sabutai.
Memang dugaan In Hong tepat sekali. Mendengar seruan gadis yang amat dipercayanya, yang menjadi pengawal, pelindung dan juga sahabat isterinya, berkuranglah kemarahan dalam hati Raja Sabutai atas kelancangan Kun Liong.
"Apa keperluanmu datang ke sini tanpa diundang?" Raja Sabutai bertanya lagi.
"Saya bernama Yap Kun Liong dan kedatangan saya secara lancang ini adalah karena saya mendengar bahwa adik kandung saya, Yap In Hong dan sute Cia Bun Houw berada di sini..."
"Ouhhhh...!" Yang menjerit ini adalah In Hong.
Dan gadis itu kini berdiri dengan mata terbelalak memandang kepada Bun Houw yang juga sedang memandang kepadanya dengan muka bengong. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati In Hong ketika mendengar bahwa pemuda yang selama ini disangkanya orang she Bun, yang baru saja dengan kepandaiannya yang hebat membuat dia terheran-heran, ternyata adalah Cia Bun Houw putera dari ketua Cin-ling-pai atau... tunangannya sendiri yang dia batalkan!
Cia Bun Houw! Kekasih Yalima! Tak terasa lagi matanya menjadi panas dan cepat-cepat dia mengusap air mata yang belum keluar itu. Cia Bun Houw! Mengapa dia begitu bodoh? Begitu buta? Orang yang mati-matian membela Cin-ling-pai, orang muda yang demikian lihai, tentu saja Cia Bun Houw!
Di lain fihak, Bun Houw juga bengong terlongong. Kiranya dara yang amat mengagumkan hatinya, yang menjatuhkan hatinya, ternyata adalah adik Yap Kun Liong sendiri!
"Kedatangan saya ini sama sekali bukan hendak mengacau benteng paduka sri baginda. Melainkan karena urusan pribadi. Sesudah mendengar bahwa mereka berdua berada di sini, saya menyusul dan tadi hanya mendengar tentang pengakuan wanita bernama Yo Bi Kiok atau Yo-pangcu, ketua Giok-hong-pang ini. Karena itu saya hendak menyelesaikan urusan pribadi saya dengan dia, jika paduka memperkenankan."
Melihat sikap gagah dan kata-kata yang lancar dan hormat itu, Raja Sabutai tahu bahwa yang berdiri di depannya adalah seorang yang berkepandaian tinggi, maka dia menjadi gembira sekali. Akan lebih ramai sekarang! Maka dia mengangguk.
"Baik, silakan."
Yap Kun Liong kini menghampiri Yo Bi Kiok, alisnya berkerut dan pandangan matanya penuh selidik, penuh penyesalan. "Yo Bi Kiok, sungguh menyesal bahwa kita sekarang saling berhadapan dalam keadaan seperti ini! Sekarang kuharap engkau suka berterus terang apa saja yang sudah kau lakukan di Sin-yang, dan ke mana engkau membawa Lie Seng putera dari Cia Giok Keng itu."
Sejenak Yo Bi Kiok memandang wajah pria yang sejak dahulu dipuja dan dicintanya itu, memandang merana, kemudian dia tersenyum. "Kun Liong, kenapa engkau mencampuri urusan ini? Apa pedulimu tentang urusanku dengan keluarga Cin-ling-pai?"
"Benar! Engkau tidak berhak, Yap-suheng. Mundurlah dan aku yang akan menyelesaikan perhitungan ini dengan Yo-pangcu!"
"Kalau engkau melawan subo, terpaksa aku akan maju menghadapimu... Bun-ko!"
"Ahhh... tapi kau... kau adik Yap-suheng dan dia itu..." Bun Houw bingung.
"Sute, biar aku yang menghadapinya. Ini adalah urusan pribadiku. Aku sudah bersumpah kepada enci-mu untuk mencari Lie Seng sampai dapat. Kalau benar dia yang menculik Lie Seng, maka akulah yang akan menghadapinya," kata Kun Liong kepada Bun Houw, kemudian dia mendesak. "Bi Kiok, katakanlah, mengapa engkau menculik Lie Seng dan di mana dia sekarang?"
"Kun Liong, engkau terlalu, selalu kau hendak membikin marah aku. Kalau aku tidak mau menjawab pertanyaanmu, bagaimana?"
"Aku akan memaksamu."
"Kun Liong... ah, Kun Liong, kenapa kita berdua seperti ini? Berhadapan sebagai musuh? Kun Liong, marilah kita pergi dari sini, meninggalkan semua ini, meninggalkan dunia yang menjemukan ini, mari kita hidup bersama, jauh dari segala pertikaian dan segala urusan... marilah dan aku akan menceritakan segala-galanya kepadamu."
Kun Liong mengerutkan alisnya, pandang matanya terasa menusuk, "Tidak perlu banyak membujuk lagi, Yo Bi Kiok. Katakan, apa yang kau lakukan terhadap Lie Seng?"
Tiba-tiba wanita itu meloncat dengan marah, matanya berkilat dan mukanya merah. "Kau lebih memberatkan anak Cia Giok Keng itu dari pada aku? Keparat Yap Kun Liong. Sekali lagi kau mau pergi bersamaku atau hendak memusuhi aku?"
"Kalau kau tidak mengaku, terpaksa aku menggunakan kekerasan."
"Singgggg...!" Yo Bi Kiok sudah mencabut pedang Lui-kong-kiam.
"Kalau begitu, aku ingin melihat engkau mampus di tanganku!" Wanita itu mengeluarkan suara melengking tinggi dan dia sudah menyerang dengan hebatnya, melakukan tusukan kilat ke arah dada Yap Kun Liong.
Pendekar ini cepat mengelak. Akan tetapi baru saja dia mengelak, pedang Lui-kong-kiam sudah menyambar lagi ke arah lehernya.
"Plakkk!"
Dengan kecepatan mengagumkan, tangan Kun Liong berhasil menampar lengan kanan Bi Kiok sehingga sambaran pedang menyeleweng. Namun hal ini membuat Bi Kiok makin marah dan makin hebatlah serangannya yang datang seperti hujan. Dalam waktu singkat saja tubuh Kun Liong sudah digulung oleh sinar pedang.
Pendekar ini hanya mengelak ke sana-sini karena dia tidak mempergunakan senjata, dan sebenarnya, di dalam hatinya Yap Kun Liong merasa sangat kasihan kepada Bi Kiok yang sampai saat itu masih saja tergila-gila dalam cintanya kepadanya, cinta yang tak mungkin dapat dibalasnya.
Bun Houw dan In Hong menonton dengan jantung berdebar. Terlalu banyak peristiwa yang terjadi dalam waktu singkat ini, terlalu banyak rahasia yang mengejutkan tersingkap sehingga mereka masih merasa terguncang dan menjadi tegang.
Walau pun tadinya dia marah kepada Yap Kun Liong, karena antara pendekar itu dengan keluarga enci-nya terjadi hal yang sangat hebat, akan tetapi melihat Kun Liong sekarang bertanding mati-matian membela keponakannya, yaitu Lie Seng yang terculik oleh ketua Giok-hong-pang, tentu saja hatinya berfihak kepada Yap Kun Liong.
Maka, melihat pendekar ini menghadapi ketua Giok-hong-pang itu dengan tangan kosong padahal permainan pedang wanita itu lihai bukan main, hatinya menjadi sangat gelisah. Melihat gerakan Yap Kun Liong yang demikian murni, cepat dan tepat, secara diam-diam dia kagum sekali dan tahulah dia mengapa ayahnya sangat memuji-muji suheng-nya ini. Gerakan suheng-nya sudah demikian matangnya sehingga sukarlah untuk melihat sedikit pun kesalahan. Perhitungannya demikian tepat sehingga semua serangan pedang yang demikian berbahayanya itu dapat dihindarkan dengan baik.
Semua orang, juga termasuk kakek serta nenek guru Raja Sabutai, memandang dengan bengong karena yang disuguhkan oleh kedua orang yang sedang bertanding itu adalah benar-benar ilmu silat yang amat tinggi tingkatnya. Para penonton yang tidak mempunyai kepandaian tinggi menjadi silau matanya dan tidak dapat mengikuti gerakan dua orang itu, hanya melihat betapa mereka itu kadang-kadang lenyap dan kadang-kadang bergerak dengan lambat sekali seperti orang main-main saja!
Yang paling gelisah dan bingung adalah In Hong! Dia sudah dibingungkan oleh kenyataan bahwa Bun Houw adalah Cia Bun Houw putera ketua Cin-ling-pai yang tadinya sudah ditunangkan dengan dia dan ditolaknya, Cia Bun Houw kekasih Yalima, dan sekarang dia bahkan menghadapi pertandingan antara kakak kandungnya dengan gurunya!
Sekarang, setelah merantau selama satu tahun meninggalkan gurunya, terjadi perubahan besar dalam batin gadis ini. Sekarang dia dapat melihat betapa kejam dan anehnya watak gurunya, dan sekarang baru dia dapat melihat betapa kakak kandungnya telah mengalami peristiwa yang sangat hebat!
Kakaknya itu kematian isterinya dan kakaknya itu menolak cinta gurunya karena memang sudah sepatutnya demikian. Kakaknya sudah beristeri, dan sebagai seorang laki-laki yang jantan tentu saja menolak cinta kasih wanita lain. Baru sekarang tampak olehnya bahwa dalam urusan antara kakaknya dan gurunya, sebenarnya gurunya yang tidak tahu malu, mencinta suami orang lain.
Betapa pun juga, hatinya tetap merasa berat kepada gurunya, maka melihat pertandingan itu, dia gelisah sekali. Dia tahu betapa lihai gurunya, apa lagi memegang Lui-kong-kiam yang ampuh, sedangkan kakaknya bertangan kosong.
Ini tidak adil, pikirnya. Dia boleh tak berfihak pada siapa pun, akan tetapi pertandingan itu harus dilakukan dengan adil. Barulah menang atau kalah merupakan suatu kehormatan. Dan pedang ini... pedang Hong-cu-kiam, adalah pedang putera Cin-ling-pai... pedang... tunangannya yang sudah mencinta orang lain, mencinta Yalima...!
Tiba-tiba saja hatinya terasa panas sekali dan dia cepat melolos pedang Hong-cu-kiam, melontarkan pedang itu kepada Kun Liong sambil berkata, "Koko, pakailah ini, baru adil!"
Sesungguhnya Kun Liong tidak mau menggunakan senjata. Dia tahu bahwa kepandaian wanita ini amat tinggi dan aneh, akan tetapi karena Yo Bi Kiok melatih ilmu silat tinggi yang murni dan sukar itu tanpa petunjuk, limu silat peninggalan Panglima The Hoo yang amat tinggi dan murni, maka dia melihat kelemahan-kelemahannya.
Kalau perlu, dengan mengandalkan Thi-khi I-beng, dengan menggunakannya sedemikian rupa sehingga lawannya tidak sampai terluka, dan dengan kematangan ilmu silatnya yang sudah digemblengnya dengan dasar ilmu mukjijat dari kitab Keng-lun Tai-pun peninggalan Bun Ong, maka dia percaya bahwa akhirnya dia akan dapat mengalahkan Yo Bi Kiok tanpa membunuhnya.
Dia hanya ingin memaksa wanita itu mengembalikan Lie Seng dalam keadaan selamat dan dia tidak tega untuk membunuh wanita yang sebetulnya amat mencintanya itu. Akan tetapi, mendengar seruan adik kandungnya yang melemparkan sebatang pedang, hatinya girang bukan main, bukan girang karena memperoleh pedang, melainkan girang karena melihat perubahan pada adiknya.
Dahulu, pada waktu pertama kali dia bertanding melawan Yo Bi Kiok, adiknya itu malah membantu wanita yang menjadi gurunya ini. Akan tetapi sekarang, adiknya membantunya dengan meminjamkan pedang. Kegirangan melihat adiknya benar-benar berubah, bahkan sudah menyelamatkan kaisar dan kini membantunya, membuat Kun Liong menyambar pedang Hong-cu-kiam dan begitu dia memutar pedang itu, dia terkejut sekali karena yang dimainkannya itu adalah sebatang pedang yang ampuhnya bukan main! Dia tidak tahu bahwa itu adalah pedang kepunyaan Cia Bun Houw, pemberian dari Kok Beng Lama.
Terdengar suara mengaung-aung, bagaikan ada ribuan lebah beterbangan sehingga baik Bun Houw mau pun In Hong memandang kagum sekali. Setelah dimainkan oleh tangan pendekar sakti ini pedang Hong-cu-kiam itu seolah-olah menjadi hidup dan menjadi ribuan lebah yang berbunyi sambung-menyambung. Juga gulungan sinar emas dari pedang itu amat lebar dan panjang, kilatan yang mencuat dan menyambar-nyambar amat banyaknya sehingga selain nampak amat indah, juga sangat berbahaya sehingga Yo Bi Kiok sendiri sampai beberapa kali menjerit kaget!
Tidak disangka sama sekali, bantuan In Hong dan kegembiraan Kun Liong yang membuat permainan pedangnya makin hebat itu dan membuat Yo Bi Kiok seketika terdesak secara berat, membuat wenita ini menjadi marah bukan main. Marah kepada muridnya, kepada In Hong!
Memang, watak Bi Kiok amatlah aneh dan keji, juga ganas. Dia tidak marah kepada Kun Liong atau orang lain, sebaliknya malah marah kepada muridnya yang tidak membantu dirinya malah membantu Kun Liong dengan memberikan pedangnya.
"Murid durhaka...!" Tiba-tiba dia menjerit dan sekali meloncat, dia telah meninggalkan Kun Liong dan menyerang muridnya!
"Ihhhhh...!" In Hong cepat melempar tubuh ke belakang untuk menghindar ketika sinar pedang menyerangnya secara hebat. Serangan itu luput akan tetapi Bi Kiok menyusulkan serangan lain yang lebih berbahaya.
"Subo...!" In Hong kembali mengelak dan nyaris lambungnya keserempet pedang.
"Bi Kiok, gilakah engkau?" Kun Liong juga meloncat dan menggerakkan pedangnya.
"Cringg... cringg... tranggg!"
Tiga kali pedangnya menangkis bacokan-bacokan pedang Bi Kiok yang ditujukan kepada In Hong. Akan tetapi Bi Kiok sudah seperti gila, dia terus menyerang tanpa mempedulikan dirinya sendiri.
"Singgg... Wuuuttt!"
"Murid durhaka!" Kembali pedang Lui-kong-kiam membabat ke arah In Hong yang cepat meloncat mundur.
"Bukkk...!”
“Aiihhhh!" In Hong yang kurang cepat mengelak itu kena ditendang kaki kiri gurunya dan dia terguling.
Sesungguhnya tidak akan semudah itu Yo Bi Kiok dapat menendang muridnya sampai terguling kalau saja In Hong berada dalam keadaan biasa. Namun batin gadis itu memang sedang tertekan hebat. Hanya dengan hati berat dan sakit saja dia terpaksa melemparkan pedangnya kepada kakak kandungnya tadi.
Tadi dia menonton dengan wajah pucat, kedua kaki gemetar dan jantung berdebar penuh ketegangan, merasa seolah-olah dia sendiri yang menyerang gurunya, orang yang sejak kecil memelihara, mendidik, serta menyayanginya. Karena keadaan seperti itulah maka ketika diserang secara hebat oleh gurunya In Hong hanya dapat menghindarkan pedang, tidak menduga akan ditendang oleh gurunya sampai terguling. Dan cepat bagaikan kilat, Yo Bi Kiok sudah menubruk dan menusukkan pedangnya ke arah tubuh muridnya!
"Bi Kiok, terlalu engkau!" Kun Liong sudah membentak marah sekali, gerakannya lebih cepat sedetik dari pada gerakan pedang Yo Bi Kiok yang menusuk In Hong.
"Cringggg... ceppp!"
"Aihhhh...!" Tubuh ketua Giok-hong-pang itu terguling dan pedang Lui-kong-kiam terlepas dari pegangannya. Dia jatuh miring dan menggunakan tangan kiri mendekap lambungnya yang mengucurkan darah dari luka bekas tusukan pedang Hong-cu-kiam tadi.
"Bi Kiok...!" Yap Kun Liong terbelalak dan cepat dia berlutut di dekat tubuh wanita itu. "Bi Kiok, kau... ampunkan aku...!"
Pendekar ini merasa menyesal bukan main karena tadi dia terpaksa menyerang wanita itu untuk menyelamatkan nyawa adiknya. Bagaimana pun juga, kalau tidak terpaksa seperti keadaan tadi, tentu dia akan mengalah dan tidak akan tega melukai apa lagi membunuh wanita yang dia tahu hidup sengsara karena cintanya kepadanya tidak dibalasnya itu.
Yo Bi Kiok tersenyum, mengeluh dan darah masih menetes-netes dari celah-celah jemari tangannya, membasahi bajunya.
"Kun Liong... aku cinta padamu... uuh, Kun Liong..."
Wanita itu mengulurkan tangan kanannya dan Kun Liong langsung menangkap tangan itu, mendekapkan tangan itu ke dadanya. "Ampunkan aku, Bi Kiok..."
Tiba-tiba wanita itu tertawa. "Hi-hik-hik, heh-heh, aku... tidak menyesal, Kun Liong. Aku tewas di tanganmu, sungguh menyenangkan sekali."
"Maafkan aku, ampunkan aku..."
"Heh-heh, kau minta maaf? Minta ampun? Ha-ha-ha, Yap Kun Liong... aku... aku tidak pernah minta ampun kepadamu... ahhhh... sungguh pun... aku telah menusukkan pedang itu ke dada isterimu... ahhh, puas hatiku! Aku membunuhnya, Kun Liong... heh-heh, kau terkejut...? Aku… aku sudah membunuh Hong Ing yang telah merampas engkau dariku... ha-ha-ha, dan bocah itu... siapa namanya? Lie Seng... ha-ha-ha, putera Giok Keng itu... aku telah membunuhnya dengan Siang-tok-swa...!"
"Bi Kiok!" Kun Liong yang tadi melepaskan tangan itu dan terbelalak memandang dengan muka pucat, kini berseru keras, seruan yang penuh dengan kejijikan dan rasa penyesalan mengapa wanita yang ketika masih gadis merupakan seorang yang manis dan gagah itu kini berubah menjadi iblis yang demikian kejamnya. "Kau... kau kejam sekali!"
"Heh-heh-heh... aku... kejam...? Bukan aku, melainkan engkau yang kejam, Kun Liong... oughhhh... kalau tidak karena kekejamanmu kepadaku... aku tidak... tidak akan... ahhhh, Kun Liong... aku tidak kuat lagi, aku... aku mati dan... kau harus ikut bersamaku!"
"Suheng...!"
"Koko, awas...!"
Bagaikan seekor burung cepatnya, tubuh Kun Liong mencelat ke atas, berjungkir balik sampai lima kali, akan tetapi karena jaraknya yang sangat dekat dan karena tangan kiri yang berlumuran darah itu tadi tak tersangka-sangka telah menggenggam pasir beracun, maka betapa pun cepatnya Kun Liong mengelak, tetap saja ada sebagian pasir harum beracun yang menembus kulit dadanya. Tubuh pendekar ini jatuh lagi menimpa mayat Yo Bi Kiok yang mati dengan mata terbelalak. Pendekar itu terkulai dan pingsan!
"Yap-suheng...!" Bun Houw langsung menubruk ke depan dan hendak memeriksa dada suheng-nya.
Akan tetapi In Hong sudah berlutut dan berkata kepadanya, "Minggirlah, biarkan aku menolong kakakku!" Suara dara itu kaku dan keras, tanda bahwa dia marah kepada Bun Houw.
Bun Houw maklum bahwa gadis ini tentu saja lebih ahli untuk menolong luka yang terkena Siang-tok-swa, maka dia bangkit berdiri dan melangkah mundur, hanya menonton ketika jari-jari tangan yang mungil namun kuat itu merobek baju di dada Kun Liong, kemudian memeriksa dada kanan yang telah penuh dengan bintik-bintik hijau bekas terkena Siang-tok-swa itu.
"Lekas kau carikan tempat untuk memasak obat, dan masak obat ini!" Tanpa menoleh dan dengan sikap seolah-olah seorang nyonya majikan memerintah jongosnya, In Hong menyerahkan sebungkus obat kepada Bun Houw.
Pemuda itu cepat menerimanya dan dengan petunjuk seorang pengawal dia lari ke dapur dan memasak obat itu dengan air dua mangkok. Sementara itu, In Hong menggunakan obat bubuk lain lagi untuk dicampur air dan diborehkan ke dada yang terluka. Kemudian dia menotok beberapa jalan darah pada dada dan pundak kakaknya, dan menempelkan telapak tangannya pada tempat yang terluka, kemudian mengerahkan tenaga saktinya menyedot.
Tidak lama kemudian, beberapa butir pasir halus sekali sudah menempel pada telapak tangannya dan cepat disimpannya pasir-pasir berbahaya itu. Pada saat Bun Houw datang membawa obat, dengan bantuan pemuda itu In Hong lalu meminumkan obat itu kepada Kun Liong yang sudah mulai sadar.
"Uhhhh...!" Begitu sadar Kun Liong lalu meloncat ke atas akan tetapi dia terhuyung.
"Koko, engkau belum boleh banyak bergerak." In Hong berkata.
Kun Liong memejamkan mata sejenak, tubuhnya yang berdiri tegak itu agak bergoyang, kemudian dia membuka mata dan memandang ke sekelilingnya, lalu kepada mayat Yo Bi Kiok.
Dia menghampiri mayat itu. Dengan jari tangannya dia menutupkan kelopak mata dan mulut mayat itu, baru kemudian dia duduk bersila di atas lantai, mengerahkan sinkang mengusir sisa racun dan mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaganya.
"Hebat...!" Tiba-tiba saja terdengar Raja Sabutai berkata, memecah kesunyian yang tadi mencekam keadaan di situ sejak terjadi peristiwa hebat itu. "Sungguh ilmu kepandaian hebat-hebat yang telah diperlihatkan tadi. Kami merasa kagum sekali!"
Bun Houw lalu melangkah maju dan menjura kepada Raja Sabutai. "Terima kasih atas kebijaksanaan paduka. Sekarang semua urusan pribadi sudah selesai dan musuh-musuh Cin-ling-pai telah tewas. Maka kami hendak mohon diri dan mohon agar pedang pusaka kami dikembalikan kepada kami." Sambil berkata demikian, pemuda ini mengerling ke arah Pek-hiat Mo-ko karena pedang Siang-bhok-kiam terselip di pinggang kakek bermuka putih itu.
Raja Sabutai menoleh kepada gurunya, tersenyum lebar dan menjawab, "Pek-hiat Mo-ko ini adalah guruku, dan dia mempunyai omongan untuk disampaikan kepadamu, Bun... eh, Cia-sicu. Bukankah engkau sesungguhnya adalah putera ketua Cin-ling-pai yang terkenal bernama Cia Keng Hong itu? Nah, kini terserah kepada suhu Pek-hiat Mo-ko dan subo Hek-hiat Mo-li tentang pedang Siang-bhok-kiam itu." Raja ini memandang dengan mata bersinar gembira karena dia ingin sekali melihat apakah tiga orang Han yang lihai ini akan mampu menandingi kedua orang gurunya.
Sesungguhnya Raja Sabutai tidak tertarik oleh pedang kayu itu dan dia pun tidak tertarik oleh urusan-urusan pribadi, akan tetapi karena dia ingin sekali melihat dua orang gurunya bertanding dengan Yap In Hong, Yap Kun Liong atau Cia Bun Houw, maka dia tidak melarang ketika Pek-hiat Mo-ko tadi berbisik-bisik kepadanya tentang pedang itu.
Berkerut alis tebal di atas mata yang bersinar-sinar itu ketika Bun Houw kini langsung menentang pandang mata nenek dan kakek yang menyeramkan itu. "Urusan perebutan pedang pusaka adalah urusan pribadi antara Lima Bayangan Dewa dengan Cin-ling-pai," katanya lantang. "Sama sekali tidak menyangkut orang lain. Locianpwe hanya bertugas menyimpan pedang dan menyerahkannya kepada fihak yang menang. Oleh karena itu, saya harap dengan sangat dan minta dengan hormat agar locianpwe suka menyerahkan pedang pusaka kami itu kepada saya."
"Ho-ho-ho, nanti dulu, orang muda!" Pek-hiat Mo-ko tertawa kemudian melangkah maju, sikapnya memandang rendah. "Mengembalikan pedang kayu ini adalah perkara mudah. Akan tetapi lebih dulu jawablah pertanyaan-pertanyaan ini dengan jujur."
"Silakan bertanya, locianpwe," kata Bun Houw sambil mengamati wajah yang rusak itu. Dari logat bicara kakek ini dia dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang asing.
"Siapakah namamu yang sesungguhnya?"
"Nama saya Cia Bun Houw," menjawab demikian, Bun Houw merasa tengkuknya dingin dan tahulah dia bahwa tengkuknya itu disambar sinar mata In Hong.
Akan tetapi perasaan ini dilawannya dengan kenyataan bahwa dara itu pun tadinya hanya dikenalnya sebagai nona Hong saja, sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa gadis itu adalah Yap In Hong, adik kandung Yap Kun Liong!
"Engkau putera dari Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai?" tanya lagi Pek-hiat Mo-ko dengan suaranya yang mengandung getaran dingin menyeramkan.
"Benar."
"Bukankah Cia Keng Hong itu adalah pendekar yang dahulu terkenal sebagai sahabat baik, bahkan tangan kanan dari Panglima Besar The Hoo?" tanya lagi kakek yang sukar ditaksir berapa usianya itu karena mukanya yang putih itu seperti muka mayat.
Kepahlawanan merupakan suatu kebanggaan bagi tiap orang gagah di dunia kang-ouw. Kenyataan bahwa ayahnya adalah seorang pahlawan pembela nusa bangsa, juga bahwa ayahnya merupakan sahabat baik dari Panglima Besar The Hoo yang sudah terkenal di seluruh dunia bahkan amat disegani dan ditakuti kawan dan lawan itu, tentu saja dia tidak hendak menyangkalnya.
"Benar," jawabnya pula. "Bahkan, walau pun mendiang Panglima Besar The Hoo telah meninggal dunia, tiap saat ayahku tetap setia menyediakan jiwa raganya untuk membela tanah air dan sekarang ayah membantu kaisar memperoleh kembali singgasananya yang dirampas oleh pengkhianat-pengkhianat."
"Ho-ho-ho, baguslah kalau begitu! Nah, kini dengarlah baik-baik, orang muda. Sampaikan kepada ayahmu itu, kepada Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai itu, bahwa pedang Siang-bhok-kiam akan kami bawa terus dan hanya akan kami serahkan apa bila Panglima The Hoo sendiri yang datang menemui kami dan mengambilnya!"
Bun Houw terbelalak dan tiba-tiba suasana menjadi sunyi sekali. Setelah dapat menekan ketegangan hatinya, Bun Houw baru menjawab, suaranya mengandung rasa penasaran. "Permintaan locianpwe sungguh tidak masuk akal. Panglima The Hoo sudah meninggal dunia, bagaimana dapat menemui locianpwe kecuali kalau locianpwe menyusul beliau?" Jawaban ini sekaligus mengandung ejekan.
"Hih-hih, bocah itu lancang mulut. Ketuk saja kepalanya!" Tiba-tiba Hek-hiat Mo-li berseru, suaranya tinggi melengking dan mengandung getaran panas.
"Ho-ho, bocah lancang! Siapa tidak tahu bahwa The Hoo telah mati? Akan tetapi mustahil bila tidak ada muridnya atau keturunannya? Setidaknya masih ada ayahmu yang menjadi tangan kanan dan sahabat baiknya. Nah, pedang ini kami simpan sambil menunggu wakil dari The Hoo untuk mengambilnya."
Bun Houw menjadi marah sekali. "Biar sekarang juga aku menjadi wakilnya!" bentaknya.
"Dan aku juga!" In Hong juga berseru dan sudah meloncat pula ke dekat Bun Houw yang mengerlingnya. Gadis itu juga melirik dan mereka saling bertemu pandang dalam kerling mereka.
"Bagus...! Akan tetapi kami lebih senang berhadapan dengan Cia Keng Hong, tua sama tua, bukan dengan bocah-bocah ingusan!" kata Pek-hiat Mo-ko.
"Tahan...!" Tiba-tiba terdengar suara yang menggetarkan seluruh ruangan itu.
Kiranya Yap Kun Liong yang berseru itu dan kini pendekar ini telah bangkit berdiri dan dengan perlahan melangkah maju. Wajahnya masih pucat, akan tetapi dia telah terbebas dari racun, hanya tinggal tenaganya yang belum pulih karena dia sudah memeras semua tenaganya untuk mengusir hawa beracun dari Siang-tok-swa.
"Heh-heh-heh, kau orang yang sudah lemah karena lukamu mau bicara apa?" Pek-hiat Mo-ko berkata mengejek.
Yap Kun Liong menjura ke arah Raja Sabutai dan berkata, "Harap paduka maafkan kami bertiga. Sama sekali bukan maksud kami untuk membikin ribut di dalam benteng paduka ini." Kemudian dia memandang kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, lalu berkata, "Ji-wi locianpwe sungguh bersikap jujur, dan maafkanlah kedua orang adikku ini. Sudah menjadi kewajiban kami untuk menyampaikan tantangan ji-wi locianpwe kepada supek Cia Keng Hong, dan kepada para murid atau keturunan mendiang Panglima The Hoo. Kami bertiga tidak berhak mencampuri urusan antara ji-wi dan mendiang Panglima The Hoo. Akan tetapi agar jelas, hendaknya ji-wi suka menerangkan kenapa ji-wi mendendam kepada mendiang Panglima The Hoo agar kalau ditanya kami dapat memberi tahukan."
"Ho-ho, kau ternyata lebih cerdik dan sopan! Ketahuilah, kami berdua datang dari Sailan dan kami pernah dilukai bahkan hampir tewas oleh Panglima The Hoo. Oleh karena itu, belum puas hati kami sebelum dapat membalas kekalahan kami puluhan tahun yang lalu itu kepada keturunannya, muridnya, atau pun sahabatnya yang mewakilinya mengambil pedang Siang-bhok-kiam."
Yap Kun Liong berpikir sejenak, kemudian dia berkata, "Kami tidak ingin mengganggu sri baginda raja, dan mengingat bahwa urusan ini merupakan urusan pribadi, ke manakah wakil mendiang Panglima The Hoo boleh datang mencari ji-wi untuk mengambil pedang?"
"Ho-ho, kau kira kami akan mengandalkan pasukan murid kami untuk membantu kami? Ha-ha-ha-ha, orang muda, sampaikan kepada Cia Keng Hong bahwa kami akan menanti kedatangan wakil Panglima The Hoo di Lembah Naga, di mana kami berdua akan bertapa dan menanti dengan tidak sabar."
"Lembah Naga? Di mana itu?"
"Di tikungan Sungai Luan-ho, di kaki Pegunungan Khing-an-san."
Yap Kun Liong mengangguk. "Baiklah, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li," jawabnya dan kini sikap menghormatnya pun lenyap. "Akan segera kami sampaikan kepada supek Cia Keng Hong."
Kemudian, mewakili dua orang adiknya dia lalu menghadap Raja Sabutai dan berkata, "Sekali lagi terima kasih kami haturkan atas kebijaksanaan paduka, dan kini perkenankan kami untuk pergi dari benteng ini dan membawa jenazah Yo Bi Kiok."
Raja Sabutai mengangguk-angguk. "Sampaikan kepada Kaisar Ceng Tung bahwa kami menerima uluran tangannya, dan dalam bulan ini juga kami akan kembali ke utara. Nona In Hong, untuk membalas jasa-jasamu sebagai pengawal dan sahabat sang ratu, beliau minta kepadaku untuk menyampaikan terima kasih dan tanda mata ini. Terimalah!"
In Hong merasa terharu juga mengingat akan kebaikan Khamila, maka dia melangkah maju dan tidak menolak pada waktu Raja Sabutai mengalungkan seuntai kalung mutiara ke lehernya.
"Terima kasih, sri baginda, dan semoga paduka bersama Sang Ratu Khamila hidup dalam kebahagiaan."
Mereka berpamit sekali lagi, kemudian dengan diantar sepasukan pengawal kehormatan, mereka bertiga meninggalkan benteng itu dan Kun Liong memondong mayat Yo Bi Kiok yang masih lemas.
Setibanya di luar benteng, di dalam sebuah hutan yang sunyi, Kun Liong lalu mengubur jenazah wanita itu, dibantu oleh Bun Houw dan In Hong. Ketika In Hong berlutut di depan kuburan itu, tanpa tertahankan lagi dua butir air mata membasahi pipinya yang segera diusapnya dengan punggung tangan.
Sementara itu, terdengar Bun Houw berkata kepada Yap Kun Liong, dengan nada suara terheran dan penasaran, "Yap-suheng, mengapa suheng tidak membolehkan saya untuk mewakili ayah menghadapi dua orang kakek dan nenek iblis itu untuk merampas kembali Siang-bhok-kiam? Saya tidak takut melawan mereka."
"Aku percaya, sute. Akan tetapi, jika hal itu kau lakukan juga, berarti kita membiarkan diri dalam bahaya besar dan hal itu merupakan kebodohan yang sembrono. Kakek dan nenek itu amat lihai dan biar pun engkau dan Hong-moi-moi belum tentu kalah, akan tetapi harus kau ingat bahwa mereka merupakan guru-guru dari Raja Sabutai. Tak mungkin raja akan membiarkan saja dua orang gurunya ditentang, apa lagi dikalahkan orang di hadapannya. Bila pasukan maju mengeroyok, mana mungkin kita dapat melawan? Bahkan meloloskan diri pun akan sukar sekali, apa lagi karena kesehatanku belum pulih. Kalau sampai terjadi demikian, kita tidak bisa lolos dan pedang pun tak dapat terampas, bukankah hal itu amat celaka dan menyesal pun tiada gunanya lagi. Dan yang lebih hebat lagi, kita akan dicap sebagai pengacau di benteng itu, dan ini sangat bertentangan dengan kehendak kaisar. Setelah mereka berdua menantang dan akan menanti di Lembah Naga, bukankah hal itu lebih mudah lagi?"
Bun Houw mengangguk-angguk dan benar-benar dia kagum akan pandangan yang luas dari pendekar itu.
"Koko, mengapa engkau masih mau mengurus jenazah subo?" Mendadak In Hong juga mengajukan pertanyaan. "Setelah semua pengakuannya itu... setelah ternyata bahwa dia yang membunuh so-so (kakak ipar)... dia pula yang menghancurkan hidupmu, akan tetapi engkau masih merawat jenazahnya. Mengapa?"
Dara itu kini memandang wajah kakaknya dengan penuh kagum dan bangga. Kakaknya ini benar-benar seorang pendekar sakti yang hebat, bukan hanya hebat ilmunya seperti yang sudah diperlihatkannya ketika bertanding melawan gurunya, akan tetapi juga hebat perangainya.
Kun Liong menghela napas lalu duduk di atas tanah berumput, memandang sejenak pada adiknya dan kepada Bun Houw. Dia tahu bahwa adiknya berhati keras dan aneh, bahwa adiknya tidak mau dijodohkan begitu saja dengan Bun Houw. Dan di dalam hatinya dia tidak ingin melihat adiknya mengalami guncangan batin akibat cinta seperti yang banyak dialaminya selama ini.
Teringat dia akan semua pengalamannya, akan semua petualangannya pada waktu dia masih muda dahulu, petualangannya dalam asmara dengan banyak gadis cantik. Semua peristiwa itu, kematian isterinya, kekejaman Yo Bi Kiok, semua adalah akibat dari seluruh petualangannya itulah.
"Adikku, dan juga engkau, sute. Dengarlah dan supaya kalian tidak usah heran mengapa sampai detik ini aku menaruh hati kasihan terhadap Yo Bi Kiok, pembunuh dari isteriku yang tercinta. Dia membunuh isteriku bukan karena permusuhan pribadi, bukan karena kebencian pribadi, melainkan karena... cinta kasihnya kepadaku."
"Ahhhh...!" Bun Houw yang belum tahu akan riwayat suheng-nya itu berseru kaget dan heran, akan tetapi In Hong yang sudah tahu hanya menunduk.
"Karena cintanya kepadaku, dia merasa cemburu dan iri kepada isteriku. Ahh, kasihan Bi Kiok. Dia menjadi seperti gila karena cinta, cinta yang sebenarnya sama sekali bukanlah cinta. Orang yang mencinta tentu ingin melihat orang yang dicintanya hidup berbahagia! Akan tetapi tidak demikian dengan cinta Bi Kiok. Dia mencinta dirinya sendiri dan cinta macam itu hanya menimbulkan kedukaan, kebencian dan kejahatan belaka. Betapa pun juga, dia sudah mengakui perbuatannya dan... dan rasa penasaran besar itu kini telah terbongkar. Rahasia yang hebat itu telah terbongkar dan legalah hatiku karena sekarang terbukti keyakinan hatiku selama ini bahwa enci-mu, sute, bahwa Giok Keng tak berdosa. Tetapi... ahhh, dia pun ikut berkorban hebat, suaminya tewas dan sekarang puteranya..."
Yap Kun Liong menundukkan mukanya, penuh rasa penyesalan mengapa peristiwa yang menimpa dirinya itu merembet kepada keluarga Giok Keng.
"Sungguh hebat...!" dia melanjutkan. "Aku kehilangan isteri dan puteriku karena perbuatan Bi Kiok, akan tetapi akibatnya, enci-mu yang tidak tahu apa-apa sudah kehilangan suami dan sekarang ternyata puteranya juga terbunuh oleh Bi Kiok. Aihhh, Bi Kiok, mengapa hatimu menjadi seganas itu? Kasihan anak itu... yang tidak berdosa."
"Koko, anak itu tidak mati oleh Siang-tok-swa."
Kun Liong mengangkat muka dan memandang adiknya dengan mata terbelalak, penuh harapan dan keheranan. "Apa... apa maksudmu? Lie Seng..."
"Dia tidak mati. Aku sendiri yang telah mengobatinya," jawab In Hong.
"Lie Seng tidak mati? Ya Tuhan, syukurlah...!" Bun Houw juga berseru girang pada saat memandang wajah gadis itu. Namun ketika pandang mata mereka bertemu dan melihat kemarahan di pandang mata gadis itu, dia menunduk kembali, mukanya menjadi merah.
"Ketika aku pergi kepada Yok-mo di Gunung Cemara untuk mencari obat, di sana aku bertemu dengan anak laki-laki yang hampir mati karena terluka oleh Siang-tok-swa. Aku lalu mengobatinya dan dia sembuh, dia tidak mati. Aku yakin bahwa dia itulah anak yang kau maksudkan, koko."
Kun Liong menjadi girang sekali. "Bagaimana dia bisa berada di sana? Dan bagaimana pula secara kebetulan kau berada di tempat itu, moi-moi? Ceritakanlah!"
"Aku... aku pergi mencarikan obat...," gadis itu menunduk.
"Dia mencarikan obat untuk aku yang ketika itu hampir mampus, suheng," tiba-tiba Bun Houw menjawab cepat. "Aku menderita luka-luka parah oleh Bayangan Dewa dan kalau tidak ada adikmu ini, agaknya sekarang aku sudah mati."
"Ahhhhh...!" Kun Liong semakin girang dan memandang adiknya yang mukanya menjadi merah.
"Bohong! Dia memang terluka dan aku mencarikan obat kepada Yok-mo. Di sana aku bertemu dengan seorang pendeta yang datang membawa anak laki-laki yang luka-luka oleh Siang-tok-swa itu. Kami berebutan untuk memperoleh pertolongan Yok-mo. Pendeta itu lihai bukan main dan aku lalu menukar obatku untuk menyembuhkan anak itu dengan pelajaran Ilmu Pukulan Thian-te Sin-ciang..."
"Hehh...?!" Tiba-tiba Bun Houw meloncat ke atas mengejutkan In Hong dan Kun Liong. "Kalau begitu dia adalah suhu!"
Kini Kun Liong juga kaget. "Apa? Gak-hu (ayah mertua)?"
In Hong menjadi bingung mendengar Bun Houw menyebut guru kepada pendeta itu dan kakaknya menyebut ayah mertua. Hal ini sama sekali tidak pernah disangka-sangkanya. "Dia seorang pendeta Lama berjubah merah, bertubuh tinggi besar dan..."
"Dia suhu!" Bun Houw berseru.
"Jelas, dia adalah gak-hu. Aihhh, sungguh ini kejadian yang kebetulan sekali!" Kun Liong berkata dengan wajah girang. "Kalau begitu, putera enci-mu itu berada di tangan gak-hu dan keselamatannya terjamin, sute."
Bun Houw mengangguk dan memandang kepada In Hong, kemudian dia berkata, "Kalau begitu, engkau terhitung adalah sumoi-ku sendiri."
In Hong menggeleng kepala. "Dia berpesan bahwa aku tidak boleh mengaku dia sebagai guru, dan memang demikianlah perjanjiannya." Diam-diam gadis ini kagum sekali. Pantas saja Cia Bun Houw ini sedemikian lihainya, kiranya pemuda putera ketua Cin-ling-pai ini adalah murid pendeta Lama sakti itu!
"Urusan enci-mu sudah beres, sute, dan sekarang aku harus pergi untuk mencari anakku. Anakku melarikan diri pada saat ibunya terbunuh dan hingga kini tidak kuketahui ke mana perginya. Engkau pulanglah ke Cin-ling-pai untuk melaporkan soal Siang-bhok-kiam pada ayahmu dan sampaikan pula berita pengakuan Yo Bi Kiok kepada keluargamu, jangan lupa beritakan tentang Lie Seng yang sudah berada di tangan gak-hu itu kepada ibumu. Aku sendiri akan mencari jejak puteriku, dan... kalau kau suka, adikku, marilah kau ikut bersamaku..."
Dia memandang kepada adiknya dengan sinar mata penuh kasih. Isterinya sudah tewas, puterinya pun sudah hilang dan kini dia menemukan kembali adiknya yang agaknya telah kembali ke jalan benar.
Akan tetapi In Hong menggelengkan kepalanya. "Aku masih mempunyai urusan, koko. Biarlah kalau urusanku sudah selesai, aku pasti akan pergi ke Leng-kok dan selanjutnya aku akan hidup di sana bersama kakakku."
Kun Liong melangkah maju dan memegang kedua tangan adiknya, digenggamnya kedua tangan adiknya dengan mesra. "In Hong, adikku. Keadaan sudah memaksa kita saling berpisah. Kakakmu ini telah mengalami banyak penderitaan hidup. Mudah-mudahan saja engkau tak akan seperti kakakmu. Hanya pesanku, jangan terlalu menurutkan perasaan, adikku, bersikaplah bijaksana dan mudah-mudahan kalau sekali waktu cinta menguasai dirimu, semoga cintamu itu bukan seperti cinta kasih mendiang Bi Kiok kepada kakakmu. Mengertikah engkau, adikku?"
In Hong terharu. Ingin sekali dia merangkul kakak kandungnya itu, akan tetapi dia hanya menggigit bibir mengeraskan hatinya, lalu mengangguk.
Kun Liong lalu melepaskan tangan adiknya. "Nah, kalau begitu, selamat tinggal, selamat berpisah sampai jumpa kembali dalam keadaan yang lebih baik lagi."
Pendekar ini sekali lagi menengok ke arah gundukan tanah kuburan Yo Bi Kiok, menghela napas panjang lalu pergi dari situ, diikuti pandang mata sepasang orang muda itu.
********************
Mereka berdiri saling berhadapan. Sejenak mereka saling pandang penuh selidik, bahkan kemudian pandang mata In Hong dibayangi rasa marah dan penasaran.
"Kau...!"
"Kau...!"
Keduanya terdiam karena kata itu keluar dengan berbareng.
"Hemmm, kiranya engkau adalah Cia Bun Houw!" In Hong kemudian berkata dan segera membuang pandang mata ke atas, ke arah daun-daun pohon di ujung yang dikibarkan oleh angin.
"Ya..."
"Engkau putera ketua Cin-ling-pai yang terkenal di seluruh dunia itu!"
"Ya..."
"Engkau berpura-pura menyamar sebagai pengawal pemilik rumah judi untuk menyelidiki keadaan Bayangan Dewa."
"Ya..."
"Engkau berpura-pura bodoh dan tidak memiliki kepandaian sampai aku pun tertipu."
"Ya... tapi..."
"Sungguh cerdik sekali!"
"Hemmm..."
"Kiranya yang terhormat putera ketua Cin-ling-pai, seekor harimau yang berpakaian kulit domba."
"Ahhh..."
"Dan pendekar muda sakti putera ketua Cin-ling-pai itu memberikan pedang pusakanya kepada..."
"Kepada seorang dara pendekar yang lihai..."
"Seorang Dewi Maut yang kejam, yang membunuh gadis dusun yang tidak berdosa!"
"Ehh, aku salah lihat... ehh, salah duga..."
"Seorang putera ketua Cin-ling-pai yang berpandangan tajam mana mungkin salah lihat? Karena memang gadis itu dianggapnya kejam, ganas dan tidak berperi kemanusiaan!"
"Ehh, dengar dulu..."
"Jadi Cia Bun Houw si pendekar muda sakti itu adalah murid pendeta Lama..."
"Ya, suhu Kok Beng Lama."
"Pendeta Lama yang sakti dari Tibet?"
"Ya..."
"Dan Cia Bun Houw si pendekar sakti itu adalah seorang pemuda perayu wanita, seorang hidung belang yang mata keranjang!"
"Heiiiii...!"
"Cia Bun Houw itu adalah seorang lelaki yang tidak setia, yang mudah berganti kekasih!"
"Ehh, nanti dulu! Hong-moi, jangan kau menuduh yang bukan-bukan."
"Seorang pendekar sakti yang menggunakan kepandaiannya merayu untuk menjatuhkan hati seorang gadis dusun yang bodoh..."
"Heiii, aku tidak merayu gadis dusun she Ma itu. Dialah yang... ahh, sudahlah. Hong-moi, mengapa engkau menuduhkan semua itu kepadaku?"
"Siapa yang menuduh? Aku hanya membicarakan kenyataan, bukan seperti engkau yang sebelum jelas perkaranya sudah menuduhku membunuh orang tak berdosa."
"Hong-moi, aku mengaku salah. Aku memang tadinya mengira engkau yang melakukan pembunuhan kejam itu terhadap gadis she Ma karena agaknya semua bukti-bukti tadinya menunjukkan demikian. Ternyata subo-mu yang melakukan hal itu dan maafkanlah aku. Harap saja kesalahanku itu tidak menyakitkan hatimu terus sehingga engkau membenci dan menuduhku yang bukan-bukan."
"Sekali lagi, aku tidak menuduh yang bukan-bukan. Apakah engkau hendak menyangkal bahwa engkau merayu seorang gadis dusun, kemudian engkau melupakan dia, bahkan menerima ikatan jodoh dengan gadis lain yang belum pernah kau lihat selamanya?"
"Ehhh...?!" Bun Houw terbelalak dan tentu saja dia teringat kepada Yalima yang manis, yang ditinggalkannya di Tibet. Akan tetapi tidak mungkin In Hong tahu akan hal itu dan dia pun tidak akan membicarakan hal itu dengan siapa pun juga.
Peristiwa dengan Yalima dianggapnya sudah lewat, hanya merupakan masa kanak-kanak baginya. Baru sekarang dia sadar bahwa sebenarnya di dalam batinnya tidak ada ikatan cinta kasih terhadap gadis Tibet itu. Kalau toh akan dinamakan cinta, agaknya itulah cinta monyet, cinta remaja yang tidak mendalam, hanya karena saling tertarik oleh rupa dan karena biasa bergaul secara akrab saja.
"Hong-moi, harap kau jangan menuduh yang bukan-bukan."
Sinar mata In Hong membayangkan rasa kemarahan dan penasaran. "Cia Bun Houw! Apakah kau berani menyangkal bahwa engkau melupakan gadis dusun dan secara tidak tahu malu menerima ikatan jodoh dengan seorang gadis lain?"
Wajah In Hong menjadi merah. Tentu saja dara ini merasa penasaran dan marah. Sudah jelas pemuda ini meninggalkan dan melupakan Yalima, lalu mengikatkan diri dengan dia sebagai calon isteri, dan sekarang pemuda ini hendak menyangkal.
Tetapi dengan wajah sungguh-sungguh dan sinar mata jujur Bun Houw menjawab, "Tentu saja aku menyangkalnya, Hong-moi. Aku tak pernah menerima ikatan jodoh dengan gadis mana pun dan tentang gadis yang kau katakan kurayu dan kutinggalkan dan lupakan..."
"Hemm, sungguh berani mati. Tak perlu banyak berbantahan, kalau memang kau berani, mari bersamaku pergi ke Cin-ling-san." In Hong menantang.
Bun Houw makin terheran dan terkejut. "Cin-ling-san?"
Tentu saja dia terkejut bukan main. Cin-ling-san adalah tempat tinggalnya, mau apa gadis ini mengajak dia ke sana?
"Ya, ke Cin-ling-san. Ke Cin-ling-pai..."
"Ehh, kau maksudkan menjumpai ayah dan ibuku?" Bun Houw tentu saja menjadi girang sekali.
"Ya dan di sana engkau akan tahu sendiri bahwa aku sama sekali tidak menuduhmu yang bukan-bukan dan ingin aku mendengar jawabanmu!"
Bun Houw menjadi girang sekali. "Baik, marilah kita pergi. Aku memang ingin kembali ke Cin-ling-san untuk melaporkan pada ayah tentang Siang-bhok-kiam dan syukurlah engkau suka ikut bersamaku ke sana, Hong-moi. Tahukah engkau bahwa ayah bundamu dahulu adalah sahabat-sahabat terbaik dari orang tuaku, bahkan antara ibumu dan ayahku masih ada hubungan saudara seperguruan? Ayah dan ibu tentu akan gembira sekali menerima kedatanganmu."
"Hemmm, aku telah bertemu dengan mereka. Akan tetapi kepergianku ke Cin-ling-pai ini bukan untuk bertemu dengan ayah dan bundamu, melainkan..." In Hong tidak melanjutkan kata-katanya dan dia teringat akan Yalima sehingga hatinya menjadi panas lagi.
"Melainkan... apa, Hong-moi?"
"Kau lihatlah saja nanti!" In Hong berkata kaku dan dingin lalu membuang muka.
Bun Houw semakin terheran-heran melihat sikap gadis ini. Akan tetapi betapa pun juga, hatinya girang bukan main sebab dia akan melakukan perjalanan ke Cin-ling-san bersama dengan gadis ini.
Tapi ternyata perjalanan itu tidaklah begitu menyenangkan seperti yang dibayangkannya. Memang benar dia melakukan perjalanan bersama In Hong, akan tetapi gadis itu selalu menjauhkan diri dan betapa pun dia berusaha untuk menyelami isi hati gadis itu, untuk membuka rahasia apa yang tersembunyi di balik tuduhan-tuduhan gadis itu, usahanya sia-sia belaka karena In Hong tidak mau bicara, hanya menjawab singkat bahwa pemuda itu akan tahu segalanya setelah tiba di Cin-ling-san.
Sikap yang dingin dan kaku dari gadis ini, dan yang agaknya bersungguh-sungguh dalam tuduhan-tuduhnya membuat Bun Houw merasa khawatir dan tidak enak juga. Mulailah dia menduga-duga yang ada hubungannya dengan Yalima.
Apakah Yalima datang menyusulnya ke Cin-ling-san? Akan tetapi pertanyaan ini langsung dibantahnya sendiri. Yalima adalah seorang gadis lemah, seorang gadis dusun di Tibet, mana mungkin tiba-tiba bisa berada di Cin-ling-san? Tidak mungkin sekali gadis dusun itu melakukan perjalanan sedemikian jauhnya. Pula, tidak mungkin Yalima berani selancang itu menyusul dirinya ke Cin-ling-san.
Lagi pula, sesungguhnya, selain sedikit kemesraan, tidak ada ikatan apa-apa antara dia dengan Yalima, hanya suatu peristiwa cinta remaja yang masih hijau dan mentah. Betapa pun juga, melihat sikap In Hong yang amat serius dan melihat dara itu benar-benar seperti orang marah dan penasaran kepadanya, hati Bun Houw menjadi tidak enak dan ingin dia cepat-cepat tiba di Cin-ling-san agar persoalan itu segera menjadi terang...
Selanjutnya,