Dewi Maut Jilid 30
KETIKA pada suatu pagi mereka sampai di Pegunungan Cin-ling-san, otomatis perjalanan yang tadinya dilakukan dengan cepat itu menjadi lambat! Hal ini karena terjadi keraguan di hati masing-masing.
In Hong teringat akan kunjungannya yang lalu, sikapnya yang kasar terhadap keluarga Cia, kekurang ajarannya, maka merasa tidak enak hati untuk bertemu dengan ayah bunda pemuda itu. Sebaliknya, Bun Houw yang menduga bahwa tentu ada sesuatu yang luar biasa terjadi di sini melihat sikap In Hong, juga merasa khawatir. Tanpa bicara mereka melanjutkan perjalanan itu dengan jalan kaki biasa mendaki lereng Gunung Cin-ling-san.
Mereka tidak tahu bahwa kedatangan mereka itu sudah terlihat oleh Kwee Siong, seorang pemuda remaja adik dari Kwee Tiong. Ketika melihat kedatangan Bun Houw, Kwee Siong menjadi terkejut dan ketakutan. Dia telah mengetahui bahwa kakaknya, Kwee Tiong, telah merampas Yalima, kekasih putera ketua Cin-ling-pai itu dan kini Bun Houw sudah pulang. Secara diam-diam Kwee Siong lalu berlari-lari naik ke puncak dan mengabarkan kepada kakaknya tentang kedatangan Bun Houw.
"Twako... twako... celaka, twako...!" Kwee Siong yang baru berusia lima belas tahun itu berkata, napasnya terengah-engah ketika dia bertemu dengan kakaknya.
"Ehh, adik Siong, ada apakah?" Kwee Tiong bertanya khawatir. "Apa yang terjadi?"
"A Siong, kau kenapakah?" kakak iparnya, Yalima juga bertanya melihat wajah adik ipar yang pucat dan ketakutan itu.
"Twako... twaso... celaka, aku melihat... Cia-taihiap datang..."
“Ahhh...!"
"Ihhh...!"
Suami isteri itu terkejut sekali karena berita itu sangat tiba-tiba, akan tetapi Kwee Tiong segera tenang kembali. Dia memegang tangan isterinya dan berkata,
"Isteriku, engkau tahu bahwa aku bertanggung jawab atas perbuatan kita ini. Maka biarlah aku akan menyambut kedatangannya dan mengabarkannya tentang kita. Kau tunggu saja di sini."
"Tidak... tidak...! Yang berbuat adalah kita berdua, karena itu yang bertanggung jawab kita berdua pula! Aku tahu bahwa dia adalah seorang yang berbudi mulia, tentu akan dapat memaafkan kita."
"Jangan, aku tidak kuat melihat engkau dimarahi...," cegah sang suami.
"Dan hatiku pun tidak akan tenteram kalau membayangkan engkau sendirian menghadapi kemarahannya. Suamiku, pendeknya, apa pun yang akan terjadi, kita akan menghadapi bersama! Kita hidup bertiga dan mati pun bertiga!"
"Bertiga...?" Kwee Tiong menoleh ke arah Kwee Siong karena dia tidak ingin menyeret adiknya itu dalam urusannya dengan Yalima, akan tetapi dia melihat isterinya mengelus perutnya yang gendut, maka mengertilah dia. Dengan terharu dia merangkul isterinya dan berkata halus, "Marilah kalau begitu."
Sambil bergandeng tangan dan berbesar hati Kwee Tiong bersama Yalima lalu menuruni puncak untuk menyambut kedatangan Bun Houw, diikuti oleh pandang mata Kwee Siong penuh kekhawatiran. Kemudian pemuda remaja ini cepat berlari ke gedung tempat tinggal ketua Cin-ling-pai untuk melapor, karena dia mengkhawatirkan keselamatan kakaknya berdua.
"Hong-moi…, mengapa engkau menyiksa hatiku seperti ini?" terdengar suara Bun Houw memecah kesunyian ketika dia bersama In Hong berjalan mendaki lereng gunung melalui lorong itu.
"Aku tidak merasa menyiksa hati siapa pun," jawaban In Hong kaku dan dingin karena semakin dekat dengan Yalima, semakin tak senang pula hatinya.
Akan tetapi di dalam perjalanan dara ini sering melamun dan merasakan betapa rasa tak senang di dalam hatinya itu kini sama sekali berubah. Bukan lagi condong ke arah ketidak senangan karena Bun Houw mempermainkan Yalima, melainkan tidak senang mengapa pemuda ini mencinta Yalima, rasa tidak senang oleh cemburu.
"Kenapa engkau tidak berterus terang saja, Hong-moi? Apakah sebetulnya segala rahasia sikapmu ini? Engkau mengajak aku ke sini, ke tempat tinggalku, ada urusan apakah?"
In Hong hanya mengerling dan menjawab pendek, "Engkau akan melihat sendiri nanti..."
"Enci In Hong...!"
"Cia-taihiap...!"
Bun Houw dan In Hong yang sedang tenggelam dalam lamunan masing-masing, terkejut dan mengangkat muka memandang. Ketika mereka melihat Kwee Tiong dan terutama sekali Yalima datang menuruni lorong itu, keduanya otomatis menghentikan langkah dan memandang dengan mata terbelalak. Bun Houw yang sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengan Yalima di situ, terbelalak heran, dan In Hong yang melihat Yalima datang bergandeng tangan bersama seorang pemuda tampan, juga terbelalak heran.
Kwee Tiong yang masih menggandeng tangan isterinya itu segera menarik isterinya dan mereka berlutut di hadapan kaki Bun Houw! Tentu saja pemuda ini terkejut bukan main sampai melangkah mundur dua tindak.
"Ehh... apa yang kalian lakukan ini?"
"Cia-taihiap, kami berdua menyerahkan jiwa raga kami kepada taihiap!"
"Heiii, Kwee Tiong koko, apakah kalian sudah gila?"
"Cia-taihiap, kami... telah menjadi suami isteri..."
"Bagus!" Bun Houw berseru girang sekali, merasa seolah-olah batu sebesar gunung telah dilepaskan dari hatinya yang tertindih. "Biar pun sudah agak terlambat, aku mengucapkan selamat kepada kalian!"
"Terima kasih, taihiap..." Kwee Tiong berkata terharu.
"Terima kasih... memang aku percaya bahwa engkau adalah seorang yang berbudi mulia, taihiap, sedangkan aku... aku hanyalah seorang bodoh..." Yalima terisak dan menutupi mukanya, air matanya mengalir turun.
"Yalima! Apa artinya ini? Engkau... sudah mengandung malah?" Kini terdengar In Hong berseru, suaranya mengandung kemarahan.
"Enci In Hong... aku... aku sudah menikah... dengan suamiku ini... beberapa bulan yang lalu..."
"Singgg...!" Tampak sinar berkelebat.
"Keparat kau, perempuan tidak setia dan memalukan!"
Bun Houw terkejut bukan main dan secepat kilat dia meloncat dan berdiri di depan In Hong, menghadang antara In Hong dan Yalima. "Hong-moi, apa yang hendak kau lakukan ini?"
"Harus kubunuh perempuan tidak setia itu!" bentak In Hong. Kwee Tiong sudah bangkit pula untuk melindungi isterinya.
"Hong-moi, engkau tidak berhak berbuat demikian! Kepada siapakah Yalima tidak setia?"
"Kepadamu! Dulu dia mengaku telah saling mencinta denganmu, akan tetapi mengapa dia sekarang..."
"Hong-moi, saat itu kami masih seperti kanak-kanak. Yalima menyangka dia mencintaku sebelum dia berjumpa dengan Kwee Tiong koko yang ternyata benar-benar dicintanya. Aku sendiri tidak merasa dikhianati, tidak menganggap bahwa Yalima tidak setia. Kenapa engkau yang tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan ini menjadi marah bahkan hendak membunuhnya? Hong-moi, apa sih sebenarnya arti perbuatanmu yang aneh ini?"
Mereka berdiri saling berhadapan, saling pandang, In Hong dengan muka merah padam dan mata berapi-api, Bun Houw dengan muka agak pucat dan mata penuh keheranan. Akhirnya pedang yang bergetaran di tangan In Hong, pedang Hong-cu-kiam itu bergerak, akan tetapi bukan menyerang siapa-siapa, melainkan meluncur ke atas tanah.
"Cappppp...!"
Pedang itu menusuk tanah sampai amblas ke gagangnya. Terdengar suara isak ditahan, dan In Hong lalu membalikkan tubuhnya dan meloncat lalu lari pergi dengan cepat sekali.
"Hong-moi...!" Bun Houw berseru memanggil, tetapi dara itu sama sekali tidak menoleh lagi dan sebentar saja lenyap dari pandang mata.
"Hong-moi...!" Bun Houw hendak mengejar, akan tetapi pada saat itu terdengar suara lirih, suara Yalima yang mengandung tangis.
"Taihiap, harap ampunkan aku..."
Bun Houw menarik napas panjang, tidak jadi mengejar karena dia pun maklum alangkah anehnya watak dara itu sehingga kalau dia mengejar dan mendesak, tentu hanya akan menimbulkan kemarahan yang makin hebat di dalam hati In Hong. Maka dia lalu menoleh lagi.
"Berdirilah dan ceritakanlah semuanya. Bagaimana Yalima tahu-tahu bisa berada di sini, dan mengapa pula In Hong mengenalmu dan kini marah-marah?"
Kwee Tiong menarik isterinya bangkit dan dialah yang menjawab, karena isterinya masih menangis sesenggukan. "Taihiap, karena isteriku telah menuturkan segalanya kepadaku, maka bolehkah saya yang bercerita kepada taihiap?"
"Silakan, Kwee-koko, sama saja."
"Yalima dipaksa oleh orang tuanya, akan diberikan kepada seseorang yang berkuasa di Tibet. Dia lalu melarikan diri ke timur, dengan maksud untuk pergi menyusul dan mencari taihiap karena taihiap satu-satunya orang yang dapat diharapkan akan menolong dirinya. Akan tetapi dia terjatuh ke tangan seorang datuk kaum sesat, yaitu Go-bi Sin-kouw..."
"Ahhh...!" Bun Houw terkejut sekali.
"Biarlah aku yang melanjutkan," tiba-tiba Yalima berkata kepada suaminya. "Taihiap, aku tentu sudah celaka dan mungkin sudah tewas kalau saja tidak muncul enci In Hong yang menolongku dari tangan orang-orang jahat itu. Karena pertolongan itu, maka aku lalu berterus terang menceritakan riwayatku, juga tentang... taihiap. Sungguh mati aku sama sekali tidak tahu bahwa antara taihiap dan dia... bahwa kalian telah saling bertunangan..."
"Ehh, bohong itu! Siapa bilang begitu?" Bun Houw berseru kaget.
"Agaknya taihiap telah ditunangkan dengan enci In Hong oleh ayah bunda taihiap di luar tahumu, dan hal itu telah disampaikan kepada enci In Hong. Oleh karena itu dia menjadi marah sekali mendengar bahwa antara kita... eh, terdapat semacam hubungan. Enci In Hong lalu memaksaku pergi bersama ke Cin-ling-pai dan dengan terang-terangan dia lalu berkata kepada Cia-locianpwe berdua bahwa hubungan jodoh antara dia dengan taihiap putus sudah, dan bahwa taihiap adalah tunanganku. Itulah sebabnya mengapa dia tadi marah-marah melihat aku sudah berjodoh dengan Kwee-koko dan... entah mengapa aku sendiri tidak mengerti, taihiap. Kami berdua tadinya khawatir bahwa engkaulah yang akan marah-marah, siapa tahu, engkau dapat memaafkan kami, malah sebaliknya enci In Hong yang hampir membunuhku..."
Bun Houw menjadi bengong dan melamun. Sungguh sukar dimengerti sikap In Hong tadi. Dia mencabut pedang Hong-cu-kiam dan hatinya tiba-tiba terasa kosong dan sunyi sekali. Dipungutnya sarung pedang Hong-cu-kiam yang tadi dilemparkan ke atas tanah oleh In Hong yang marah, lalu disimpannya pedang itu. Dia teringat akan burung hong kemala di dalam saku bajunya dan otomatis tangannya meraba benda itu dan hatinya makin terasa sedih.
"Sungguh aneh... sungguh aku tak mengerti...," hatinya berbisik.
Pada saat itu terdengar seruan nyaring, "Houw-ji (anak Houw)...!"
Bun Houw mengangkat muka memandang dan melihat ayah dan ibunya tengah turun dari puncak dengan cepat. Mereka tadi mendengar laporan Kwee Siong tentang kedatangan putera mereka itu dan karena khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu antara Bun Houw dan Kwee Tiong berdua Yalima, mereka cepat-cepat turun.
"Ayah! Ibu!" Bun Houw memberi hormat dan ibunya merangkulnya dengan hati lapang.
Terutama sekali ibunya merasa lega melihat puteranya kelihatan tidak marah walau pun pandang matanya yang tajam dapat melihat bahwa Yalima baru saja menangis dan wajah Kwee Tiong masih pucat, tanda bahwa mereka berdua baru saja mengalami guncangan batin yang hebat.
"Bukankah engkau tadi datang bersama In Hong?" Cia Keng Hong yang tadi menerima laporan Kwee Siong bertanya heran, matanya memandang ke kanan kiri mencari-cari.
"Dia sudah pergi, ayah," jawab Bun Houw dengan lesu dan keadaan puteranya ini tidak terlepas dari pandang mata ayahnya.
"Lebih baik kalau begitu. Bocah galak itu membikin ribut saja," kata Sie Biauw Eng yang menggandeng tangan puteranya dan mengajaknya naik ke puncak.
Beramai mereka naik ke puncak Cin-ling-san, menuju ke markas Cin-ling-pai yang barada di lereng dekat puncak. Nenek Sie Biauw Eng kelihatan gembira bukan main dan segera menghujani puteranya dengan pertanyaan-pertanyaan.
Setelah tiba di dalam rumah, Bun Houw lebih dulu menuturkan soal pembunuh isteri Kun Liong yang menjadi pokok dan penyebab semua peristiwa menyedihkan di antara mereka dengan keluarga Kun Liong itu.
"Ayah dan ibu, sekarang pembunuh isteri Yap-suheng telah diketahui."
Tentu saja suami isteri pendekar itu menjadi terkejut dan juga girang. "Siapa dia?"
"Ia adalah seorang wanita yang bernama Yo Bi Kiok, ketua dari Giok-hong-pang. Dia lihai sekali karena sebetulnya dialah yang dulu memperoleh bokor emas pusaka dari Panglima The Hoo, Ayah."
"Ahhh...!" Cia Keng Hong terkenang akan keributan puluhan tahun yang lalu pada waktu pusaka bokor emas itu diperebutkan orang-orang gagah di seluruh dunia kang-ouw.
"Di mana sekarang keparat itu? Biar kucari dan kubunuh iblis betina yang sudah menjadi gara-gara itu!" berkata nenek Sie Biauw Eng yang masih belum kehilangan kegalakannya setiap kali menghadapi kejahatan.
"Dia sudah tewas di tangan Yap-suheng sendiri, ibu. Yo Bi Kiok itu dahulunya merupakan seorang sahabat baik dari Yap-suheng sendiri, bahkan wanita itu... dia adalah guru dari adik Yap In Hong."
"Ahhh...!" Suami isteri pendekar itu berseru kaget, lalu mereka mendengarkan penuturan puteranya tentang peristiwa di dalam benteng Raja Sabutai dan tentang kematian Yo Bi Kiok yang mengaku sebagai pembunuh Pek Hong Ing isteri Yap Kun Liong karena iri!
Mendengar penuturan puteranya itu, suami isteri yang sudah tua itu lalu menggelengkan kepalanya. "Jadi kembali gara-gara cinta..." Nenek Sie Biauw Eng berbisik. "Betapa hanya mendatangkan mala petaka belaka."
"Hemmm, jangan berkata demikian, isteriku. Hanya cinta palsu saja yang mendatangkan mala petaka. Buktinya, di antara kita berdua yang ada hanyalah kebahagiaan dan belas kasihan, baik dalam keadaan apa pun juga."
Sie Biauw Eng menjadi amat terharu dan menyentuh tangan suaminya. Ingin rasanya dia menangis kalau suaminya bersikap dan berkata seperti itu.
"Jadi engkau telah berhasil membunuh sisa Lima Bayangan Dewa yang tinggal tiga orang itu, Bun Houw?" Cia Keng Hong bertanya.
"Benar, ayah."
"Dan Siang-bhok-kiam..."
"Itulah yang membikin jengkel, ayah. Oleh Bayangan Dewa Siang-bhok-kiam diserahkan kepada Raja Sabutai yang kemudian memberikannya kepada gurunya, yaitu Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dan mereka ini tidak mau menyerahkan pedang pusaka kita kepadaku."
"Ehh, mengapa? Mau apa dua orang iblis jantan dan betina itu?" Ibunya membentak.
"Ada sebabnya, ibu. Mereka itu ternyata adalah musuh-musuh yang menaruh dendam terhadap mendiang Panglima The Hoo dan karena mereka tidak dapat lagi membalas dendam mereka kepada Panglima The Hoo yang sudah tiada, maka mereka menimpakan dendamnya kepada Cin-ling-pai. Mendengar bahwa pedang itu milik ayah, dan karena mereka tahu bahwa ayah dahulu adalah sahabat dan pembantu yang baik dari mendiang Panglima The Hoo, maka mereka menahan pedang itu."
"Keparat!" Sie Biauw Eng memaki.
"Hemmm, sudah setua ini masih saja dicari orang untuk bermusuhan." Cia Keng Hong mengomel.
"Mereka menantang kepada ayah untuk datang ke Lembah Naga jika ayah menghendaki kembalinya pedang pusaka kita Siang-bhok-kiam."
Kembali Cia Keng Hong menarik napas panjang. "Aku bukan anak kecil, bukan pula orang muda yang berdarah panas. Untuk apa bersusah payah dan jauh-jauh pergi hanya untuk berkelahi memperebutkan pedang?"
"Akan tetapi kita harus menjaga nama! Pedang Siang-bhok-kiam merupakan pusaka dan lambang kebesaran Cin-ling-pai. Kalau jatuh ke tangan orang dan mereka menantang, lalu kita diam saja, tentu kita akan ditertawai orang sedunia!" bantah isterinya.
"Huh, kalau ada yang mau mentertawakan kita, biarlah mereka itu tertawa sampai robek mulutnya, peduli apa kita?" Cia Keng Hong membantah.
"Tapi...," bantah isterinya.
"Isteriku, hidup kita tidak ditentukan oleh pendapat orang lain, bukan? Ingatlah, pendapat orang-orang itu tidaklah sama dan jika kita mengandalkan pendapat-pendapat orang lain, bagaimana macamnya kehidupan yang kita tempuh?"
"Akan tetapi, suamiku. Memang kita sendiri secara pribadi tak perlu memikirkan omongan orang lain, akan tetapi sebagai pendiri dan pimpinan Cin-ling-pai kita bertanggung jawab untuk menjaga nama serta kehormatan Cin-ling-pai! Setelah jerih payah Bun Houw sudah berhasil membasmi Lima Bayangan Dewa, apakah kini gangguan dua orang iblis keparat itu harus didiamkan saja? Kalau kau enggan pergi, biarlah aku sendiri yang akan pergi mencari mereka ke Lembah Naga!"
"Ayah dan ibu harap suka bersabar. Tentang urusan Siang-bhok-kiam tentu saja bisa kita rundingkan kemudian. Aku sendiri merasa bertanggung jawab maka aku yang akan pergi mewakili ayah dan ibu demi menjaga kehormatan Cin-ling-pai. Akan tetapi ada berita lain yang lebih menyenangkan untuk disampaikan... ehhh, di manakah enci Giok Keng? Dia yang terutama akan senang mendengar berita ini."
Ibunya mengerutkan alis. "Sampai sekarang enci-mu itu belum pulang. Sungguh malang sekali nasib enci-mu, Houw-ji."
"Kalau begitu biarlah ayah dan ibu mendengarnya terlebih dahulu. Lie Seng telah dapat diketahui berada di mana."
"Ahh! Di mana cucuku itu?" Cia Keng Hong bertanya girang.
"Ternyata dia telah tertolong oleh suhu. Hampir saja dia tewas di tangan wanita kejam Yo Bi Kiok itu, terkena racun Siang-tok-swa, akan tetapi baiknya masih dapat tertolong oleh adik In Hong."
Lalu diceritakanlah oleh Bun Houw mengenai Lie Seng seperti yang didengarnya dari In Hong. Tentu saja dua orang tua itu merasa girang dan lega sekali. Kalau cucu mereka itu sudah berada di tangan Kok Beng Lama, tentu saja akan terlindung.
"Hanya aku khawatir sekali... melihat keadaan gurumu itu..." Teringatlah Cia Keng Hong akan sikap Kok Beng Lama yang seolah-olah tidak kuat menahan guncangan batin akibat kematian anaknya, yaitu Pek Hong Ing isteri Yap Kun Liong. Akan tetapi sebagai seorang bijaksana, dia tidak mau menyiksa diri dengan bayang-bayang khayal yang buruk.
"Sudahlah, semua urusan itu telah lewat dan ternyata semua hal yang membingungkan kini sudah terbongkar. Lima Bayangan Dewa telah terbasmi dan biang keladi kehancuran rumah tangga Giok Keng dan Kun Liong telah pula ditewaskan. Sekarang kami ada berita yang sangat menyenangkan untukmu, anakku," kata Sie Biauw Eng sambil tersenyum. Aneh tapi nyata, Sie Biauw Eng yang usianya sudah enam puluh tahun lebih itu setelah tersenyum masih jelas nampak bekas-bekas kecantikannya!
Bun Houw memandang ibunya dengan wajah berseri, girang ketika melihat ibunya begitu gembira. Tadinya Cia Keng Hong yang hendak menjawab, akan tetapi dengan tangannya, Sie Biauw Eng mencegahnya dan tepat pada waktu itu, pelayan-pelayan mereka datang menghidangkan makanan dan minuman.
Percakapan tertunda sebentar, dan sesudah para pelayan itu pergi, Sie Biauw Eng yang agaknya tidak sabar lagi untuk segera menyampaikan berita itu kepada puteranya, lantas melanjutkan,
"Beberapa pekan yang lalu, ketika ayahmu baru saja tiba di sini, pulang dari kota raja, di sini kedatangan tamu yang sama sekali tidak kami sangka-sangka." Dia berhenti sejenak dan kelihatan girang sekali melihat puteranya memandang dengan penuh perhatian dan penuh keinginan tahu.
"Siapa, ibu?"
"Kau tentu tidak dapat menduganya. Dia adalah murid dari mendiang Panglima The Hoo dan..."
"Ahh, aku tahu...! Tentu ibu Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng si kembar itu!"
Suami isteri pendekar itu saling pandang dan tersenyum.
"Kau benar, dan mereka berdua ikut datang bersama ibu mereka," kata pula Sie Biauw Eng.
"Eh, sayang aku tidak dapat berjumpa dengan mereka!" kata Bun Houw membayangkan dua orang kakak beradik kembar itu, terutama Kwi Eng yang mempunyai kecantikan khas dari seorang berdarah campuran, dengan matanya yang biru dan rambutnya yang hitam agak keemasan!
"Kwi Eng itu cantik bukan main, anakku!" Tiba-tiba ibunya berkata dan karena pada saat itu Bun Houw sedang membayangkan wajah Kwi Eng, tentu saja dia menjadi terkejut dan wajahnya menjadi merah sekali.
Ibunya tertawa. "Dan engkau sudah mengenalnya, Houw-ji."
"Benar, ibu. Kami telah berkenalan dan bahkan Kwi Eng bersama Kwi Beng membantuku menghadapi dua orang Bayangan Dewa dan para pembantu mereka yang lihai."
"Gadis itu sudah menceritakan semuanya kepada kami. Dia memang cantik jelita, belum pernah aku bertemu dengan seorang gadis yang seperti itu cantiknya, dan juga dia cerdas sekali, gagah perkasa pula seperti ibunya, di samping itu dia juga pada dasarnya lemah lembut, sopan, tidak seperti... eh, misalnya Yalima yang lemah dan... si In Hong yang liar itu..."
"Ibu, kenapa ibu menceritakan semua kepadaku?" Bun Houw memotong karena hatinya tidak senang mendengar In Hong dibawa-bawa dan disebut liar.
Di sini ayahnya turun tangan mencampuri. "Sebenarnya, Bun Houw, kedatangan nyonya Yuan de Gama atau Souw Li Hwa itu, selain untuk mengunjungi sebagai murid mendiang Panglima The Hoo, mempererat persahabatan, juga mengajukan usul atau permohonan agar diadakan ikatan jodoh..."
"Ehh? Ikatan jodoh...?" Hati Bun Houw berdebar keras.
"Ya, antara engkau dan Kwi Eng, anakku! Aku girang sekali, aku sudah cocok dan suka kepada anak itu, aku senang mempunyai mantu dia!"
"Ibu...!" Dan Bun Houw lalu menundukkan mukanya, memejamkan matanya, karena dia merasa pening dan bingung.
Cia Keng Hong mengedipkan mata kepada isterinya, mencegah isterinya bicara lagi dan memberi kesempatan kepada putera mereka untuk menenangkan diri.
Bun Houw yang memejamkan matanya itu melihat bayangan Kwi Eng, terbayang olehnya betapa dahulu ketika dia menolong Kwi Eng menyelamatkan dara jelita itu dari perkosaan Gu Lo It, melihat Kwi Eng dalam keadaan tanpa pakaian, kemudian teringatiah dia betapa mereka… mereka berciuman ketika dia memondong gadis itu.
Membayangkan semua itu, Bun Houw merapatkan matanya dan diam-diam dia merasa amat menyesal, mengapa dia melakukan hal itu, mengapa dia selalu ingin mendekap dan mencium dara-dara cantik! Tiba-tiba terbayanglah dia akan wajah In Hong, dan pikirannya menjadi makin bingung.
“Houw-ji...!" Terdengarlah suara ayahnya yang tenang dan dia membuka matanya, sadar kembali akan keadaannya.
"Maaf, ayah dan ibu..."
"Bun Houw, ayah dan ibumu melihat engkau sudah cukup dewasa, dan tahun ini usiamu sudah dua puluh tahun lebih. Ayah ibumu sudah makin tua, ingin menimang cucu dalam sebelum menutup mata," kata Sie Biauw Eng dan nada suaranya terharu.
"Bun Houw, tadinya kami berdua bersepakat untuk menjodohkan engkau dengan In Hong, bahkan kami telah merundingkan hal ini dan mendapat persetujuan Yap Kun Liong. Akan tetapi kemudian terjadi peristiwa dengan Yalima itu dan In Hong sendiri yang memutuskan tali perjodohan itu..."
Bun Houw mengangguk dan hatinya terasa perih. Dia sudah mendengar akan hal itu dari Yalima dan kini mengertilah dia mengapa setelah In Hong tahu bahwa dia adalah Cia Bun Houw, dara itu berubah sikapnya dan menjadi dingin. Mengertilah dia mengapa In Hong memakinya sebagai seorang perayu wanita yang tidak setia!
Tentu In Hong merasa penasaran mengapa dia yang dianggapnya sudah ‘bertunangan’ dengan Yalima, masih mau dijodohkan dengan In Hong dan hal ini oleh dara yang berhati keras itu dianggapnya sebagai suatu penghinaan!
"Kemudian kami mencari-cari serta memilih-milih," sambung Sie Biauw Eng melanjutkan penjelasan suaminya. "Ketika kami melihat Kwi Eng, dan mendengar permohonan ibunya, kami berdua dengan hati bulat menyetujuinya."
"Ibu...!" Kembali Bun Houw berseru, kaget sekali.
"Hemm, kenapakah, Bun Houw? Apakah kau tidak setuju dengan Kwi Eng? Kulihat dari gerak-gerik dara itu, dia sudah jatuh cinta padamu," sambung pula ibunya.
"Bun Houw, katakanlah, apa yang menyebabkan engkau keberatan dan tidak menyetujui pilihan ayah bundamu?" Keng Hong berkata dengan tenang namun mendesak.
"Ayah dan ibu, sesungguhnya sama sekali bukan karena saya tidak suka kepada adik Kwi Eng, akan tetapi aku... aku belum ingin terikat oleh tali perjodohan."
"Ha-ha-ha, mengapa begitu saja dirisaukan amat?" Ayahnya mencela. "Ikatanmu dengan Kwi Eng baru merupakan pertunangan saja, sedangkan tentang pernikahannya, hemm... sesungguhnya kami ingin segera melihat engkau menikah, akan tetapi kalau kau masih belum suka, dapat diundur beberapa lamanya karena Kwi Eng juga baru berusia enam belas tahun lebih."
"Akan tetapi jangan lama-lama, anakku," kata Biauw Eng. "Aku sudah ingin sekali memiliki cucu dalam dan dilayani mantu perempuan!"
Bun Houw merasa hatinya bingung dan tertindih oleh desakan-desakan ayah bundanya. Tiba-tiba dia memperoleh pandangan, seolah-olah ada sinar terang memasuki hatinya.
"Ayah dan ibu, kita masih menghadapi urusan, Siang-bhok-kiam masih berada di tangan orang lain. Aku hendak mencari dan merampas kembali pusaka itu, barulah kita bicarakan urusan perjodohan ini. Dan aku harus cepat-cepat pergi ke Lembah Naga, karena kalau dibiarkan terlalu lama, aku khawatir akan makin sukarlah pusaka kita itu dapat dirampas kembali. Kalau saja dua orang iblis itu tidak berada di benteng Raja Sabutai saat mereka menguasai Siang-bhok-kiam, tentu sudah kuserang mereka dan pedang pusaka kita itu sudah kurampas kembali."
"Eihh, baru saja kau datang, jangan tergesa-gesa pergi lagi, Houw-ji!" ibunya berseru dan memegang pundak puteranya. "Engkau hampir tak pernah berkumpul dengan kami. Sejak kecil berguru kepada Lama Tibet itu sampai bertahun-tahun, begitu pulang kau terus pergi mencari Lima Bayangan Dewa. Sekarang, baru saja datang hendak pergi lagi merampas kembali Siang-bhok-kiam di Lembah Naga yang begitu jauh di utara. Tidak, engkau tidak boleh cepat-cepat pergi!"
"Ibumu benar, Bun Houw. Kau harus beristirahat dulu dan nanti kalau kau pergi, kami akan titip surat untuk keluarga Souw atau keluarga de Gama di pelabuhan Yen-tai. Kami sudah tua, tidak sempat membalas kunjungan mereka, maka kaulah yang mewakili kami membalas kunjungan mereka di Yen-tai. Selain itu, kau pun harus menyerahkan suratku kepada kaisar di kota raja. Sesudah kau selesaikan tugas itu, baru kau boleh mencari dua orang tua yang merampas Siang-bhok-kiam itu di Lembah Naga."
Bun Houw tidak dapat membantah lagi. Dengan berkeras ibunya menahannya sehingga baru satu bulan kemudian dia meninggalkan Cin-ling-san, membawa dua buah surat dari ayahnya, yang satu untuk diserahkan kepada Yuan de Gama dan keluarganya di Yen-tai, dan yang satu lagi untuk dihaturkan kepada kaisar di kota raja.
In Hong bersandar pada batang pohon di dalam hutan itu, memejamkan matanya dan mengatur kembali napasnya yang sedikit terengah-engah. Kepalanya terasa pening dan biar pun matanya dipejamkan, akan tetapi nampak bayangan beberapa orang berputaran, yaitu bayangan wajah Bun Houw dan Yalima.
Ingin dia menjerit dan menangis untuk memberi pelepasan kepada perasaan hatinya yang berdesakan dan penuh dengan segala macam perasaan yang saling bertentangan. Dia suka kepada Bun Houw, hal ini tak mungkin dapat dibantahnya lagi! Bahkan, semenjak pertama kali dia melihat pemuda itu dengan gagahnya menolak bujuk rayu wanita-wanita itu, dia sudah merasa kagum dan suka sekali kepada Bun Houw.
Anehnya, ketika dia memperoleh kenyataan pahit bahwa pemuda itu adalah tunangannya sendiri yang sudah ditolaknya, ketika dia mendapat kenyataan bahwa Bun Houw adalah seorang pemuda yang luar biasa lihainya, yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi darinya, rasa kagum dan suka makin meresap di dalam hatinya!
Dan kalau tadinya dia menganggap seorang yang bernama Cia Bun Houw itu dengan pandangan rendah karena dianggap tidak setia kepada Yalima, setelah dia tahu bahwa Cia Bun Houw ternyata adalah pemuda yang telah memberi pedang pusaka kepadanya, yang sudah diberi Giok-hong-cu olehnya, pandangan tidak setia kepada Yalima berubah cemburu dan iri terhadap Yalima! Bahkan ketika dia melakukan perjalanan ke Cin-ling-pai, walau pun dia selalu bersikap diam dan dingin kaku, namun diam-diam dia merasakan sesuatu yang indah di dalam hatinya, sesuatu yang mendatangkan kebahagiaan!
Dan ketika dia melihat Yalima ternyata telah menikah dengan orang lain, saking malunya terhadap Bun Houw dia ingin membunuh Yalima! Akan tetapi di balik itu semua, harus dia akui bahwa dia merasa girang bukan main melihat Yalima telah menjadi isteri orang lain.
"Aku telah gila... aku telah gila...!" Dia berbisik dan menjambak rambutnya sendiri.
"Houw-koko...!" Keluh hatinya dan dia merasa betapa hidupnya sunyi dan sendiri, betapa dia merindukan kehadiran Bun Houw di sampingnya, di dekatnya.
Biar pun tidak usah berdekatan dan bersikap baik, asal ada nampak Bun Houw di situ dia tidak akan merasa tersiksa seperti sekarang ini. Dia merasa rindu sekali dan otomatis tangannya meraba pinggang. Dia terkejut, memandang ke arah pinggangnya dan baru dia teringat bahwa Hong-cu-kiam telah ditinggalkannya di Cin-ling-san! Dia mengeluh panjang dan merasa makin sunyi dan sepi, merasa kehilangan!
"Houw-ko...!" Kembali bibirnya mengeluh, jantungnya seperti diremas rasanya dan ingin dia menjerit-jerit memanggil nama pemuda yang dirindukannya itu.
In Hong mengepal tinju dan membuka matanya. Kekerasan hatinya yang dulu timbul lagi dan matanya menjadi beringas. Dia cepat membalik seolah-olah sedang diserang orang dari belakangnya, dan tangannya yang dikepal itu menghantam batang pohon.
"Dessss...! Krakkkkk!"
Batang pohon itu patah dan kepalan tangannya berdarah karena saking marahnya dan saking gelisahnya dia tadi menghantam tanpa melindungi tangan dengan sinkang. Terasa nyeri sekali tangannya yang berdarah dan dia mencucupi darahnya sendiri di tangan itu, wajahnya agak terang dan dia berterima kasih kepada rasa nyeri di tangannya, karena rasa nyeri itu mengurangi rasa nyeri yang lebih mendalam dan menyiksa tadi.
"Persetan dengan Cia Bun Houw...!" Dia membentak, lalu dara ini lari secepatnya keluar dari hutan itu dan mendaki lereng gunung di depan.
Ketika dia keluar dari hutan dan tiba di jalan raya kasar yang diapit-apit padang rumput, dia mendengar derap kaki kuda dan melihat rombongan orang berkuda, pakaian mereka seragam mendatangi dengan cepat. Karena hatinya tengah risau In Hong tidak peduli dan terus saja dia menggunakan ilmu berlari cepat hingga dia berpapasan dengan rombongan belasan orang itu tanpa memperhatikan sama sekali.
"Heiiiiii...!" Tiba-tiba terdengar seruan dari rombongan penunggang kuda itu.
In Hong masih tetap berlari terus. Akan tetapi kini dia mendengar derap kaki kuda dari belakangnya dan agaknya rombongan penunggang kuda tadi sudah membalikkan arah kuda mereka dan kini mengejar In Hong.
"Lihiap...! Perlahan dulu...!"
Setelah tiga kali mendengar seruan ini, barulah In Hong sadar bahwa ada orang-orang mengejarnya dan bahwa panggilan itu ditujukan kepadanya, maka dia lalu berhenti berlari dan menunggu di pinggir jalan sambil memandang tajam penuh perhatian. Hatinya sudah mulai panas karena merasa bahwa perjalanannya diganggu orang! Kalau serombongan orang laki-laki itu hendak berlaku kurang ajar kepadanya, awas, pikirnya! Aku tidak akan mengampuni kalian!
Kini rombongan yang terdiri dari lima belas orang berpakaian seragam gemerlapan karena disulam benang emas itu berhenti pula di situ dan salah seorang di antara mereka, yang bertubuh tegap dan bersikap gagah, berusia empat puluhan tahun, dengan gesit meloncat dari atas kuda kemudian menghampiri In Hong yang berdiri tegak dengan kedua lengan bersilang di depan dada.
Laki-laki yang ternyata adalah komandan dari pasukan itu, menjura dan mengeluarkan sehelai kain bergambar, dipandangnya kain itu, kemudian dia menatap wajah In Hong penuh selidik dan bertanya, "Maafkan saya, lihiap. Bukankah lihiap ini yang bernama Yap In Hong?"
Tangan dara itu bergerak cepat seperti kilat menyambar. Komandan pasukan itu bukanlah orang biasa, tetapi seorang komandan atau perwira dari pasukan Kim-i-wi, yaitu pasukan pengawal istana yang berpakaian seragam keemasan atau yang disebut Pasukan Baju Emas. Kepandaiannya sudah cukup tinggi, kalau tidak tentu saja dia tidak akan terpilih menjadi perwira. Melihat gerakan dara itu, dia terkejut sekali dan cepat mengelak sambil menarik kembali tangannya yang memegang lukisan.
"Prrrttttt...!"
Betapa pun cepatnya perwira itu mengelak, tetap saja gambar itu telah berpindah tangan dan sekarang dengan tenang, tanpa merubah kedudukan tubuhnya, In Hong yang masih cemberut itu memandang gambar di tangannya. Dia kaget dan heran bukan main melihat lukisan yang indah di atas kain itu, lukisan seorang wanita muda yang bukan lain adalah dirinya sendiri!
In Hong mengerutkan alisnya dan pandangan matanya ke arah wajah perwira itu seperti todongan ujung pedang yang sangat runcing sehingga perwira itu kembali terkejut dan otomatis mundur selangkah ke belakang.
"Hayo katakan, siapa yang melukis ini dan apa maksudnya semua ini?" Suaranya dingin sekali dan nadanya amat mengancam sehingga terasa pula oleh semua anggota pasukan pengawal Kim-i-wi yang mendengarnya.
Akan tetapi, pasukan pengawal Kim-i-wi adalah terkenal sebagai pasukan yang gagah berani dan setia, semacam pasukan pengawal istana yang sudah disumpah untuk setia sampai mati! Perwira itu pun lalu menjawab dengan tabah,
"Maafkan saya, lihiap. Demi tugas kami, maka sebelum lihiap menjawab apakah benar lihiap yang bernama Yap In Hong, kami tidak dapat menerangkan apa pun."
In Hong memandang dengan marah, akan tetapi pada saat dia bertemu pandang dengan perwira itu, dia merasa kagum. Perwira ini benar-benar berani, akan tetapi tidak kurang ajar, dan tidak sombong pula. Kekagumannya membuat dia agak lunak.
"Aku benar Yap In Hong. Nah, sekarang terangkan semua, kalau tidak, terpaksa aku akan menghajar kalian semua karena gangguan ini!"
Wajah perwira itu menjadi berseri gembira dan juga anak buahnya menjadi girang sekali nampaknya. "Wah, maaf... eh, betapa girang hati kami, lihiap. Susah payah kami mencari lihiap. Ketahuilah, kami adalah pasukan Kim-i-wi dari istana kaisar dan ada ratusan orang anggota kami disebar di seluruh pelosok untuk mencari lihiap dan ini merupakan perintah dari sri baginda kaisar sendiri! Setiap pasukan diberi gambar seperti ini agar lebih mudah mengenal lihiap. Ketika tadi kita saling berpapasan, saya segera mengenal lihiap maka kami melakukan pengejaran."
Akan tetapi rasa curiga masih belum lenyap dari pandang mata In Hong. "Apa sebabnya istana mengerahkan pasukan pengawal untuk mencari aku?"
"Lihiap, saya hanya seorang pemimpin pasukan kecil saja, mana saya bisa mengetahui akan kehendak sri baginda kaisar? Yang saya ketahui hanya bahwa pasukan-pasukan pengawal menerima perintah keras dari sri baginda kaisar untuk mencari lihiap sampai jumpa..."
"Dan kalau sudah jumpa?"
"Agar dipersilakan ke istana untuk memenuhi undangan kaisar."
In Hong berpikir sejenak. Tidak mungkin ada sesuatu yang buruk di belakang undangan kaisar ini, pikirnya. Dia tahu bahwa kaisar yang muda itu adalah seorang yang baik dan gagah. Dia sudah menolong kaisar lolos dari benteng Sabutai, tidak mungkin kaisar yang sekarang sudah menduduki tahtanya lagi itu berniat buruk terhadap dirinya.
Menarik juga undangan kaisar ini, menjanjikan pengalaman-pengalaman baru untuknya! Pada saat seperti itu, selagi hatinya diliputi gundah, pergi kepada kakaknya di Leng-kok pun tidak ada gunanya. Lebih baik ke kota raja memenuhi undangan kaisar dan hendak dilihatnya apa yang akan dilakukan oleh kaisar terhadap dirinya.
"Baik, aku akan ikut dengan kalian ke istana," katanya.
Wajah perwira itu berseri-seri dan girangnya bukan main. Juga anak buahnya semua tersenyum girang karena kalau pasukan mereka ini yang menemukan pendekar wanita itu, tentu berarti mereka akan menerima pujian dan ganjaran besar!
"Saya akan memberi isyarat kepada semua pasukan Kim-i-wi!" katanya.
Tak lama kemudian dia melepaskan panah ke udara, anak panah berapi yang menyalakan kembang api berwarna biru di udara.
Setiap hari mereka mengirim isyarat panah berapi itu dan sebelum mereka tiba di istana pasukan itu semakin bertambah terus, didatangi oleh pasukan-pasukan Kim-i-wi lain yang tersebar ke mana-mana dan akhirnya ketika rombongan itu tiba di istana, yang mengiringi In Hong tidak kurang dari seratus orang!
Dara itu sendiri diberi seekor kuda yang pilihan dan di sepanjang perjalanan memperoleh pelayanan sebagai seorang puteri saja sehingga In Hong yang sudah biasa hidup bebas dan menghadapi kesulitan-kesulitan sampai merasa sungkan sendiri. Akan tetapi karena dia tahu bahwa perlakuan dan sikap mereka itu adalah untuk memenuhi perintah kaisar, maka dia pun tidak menolak. Bila mereka kemalaman di jalan, setiap pembesar-pembesar setempat menyambutnya dengan penuh penghormatan, menjamunya dan memberinya kamar yang terbaik dari gedung mereka.
Akhirnya In Hong dibawa oleh panglima pengawal menghadap kaisar. Begitu melihat dara perkasa ini muncul di ruangan, kaisar sudah tersenyum lebar dan melambaikan tangan dengan girang, sehingga para menteri dan pembesar yang hadir di situ menjadi terheran-heran.
"Yap In Hong lihiap...! Alangkah girang hati kami mendengar akan kedatanganmu!"
In Hong adalah seorang gadis yang sejak kecil hidup di dunia kang-ouw dan tentu saja dia tidak mengenal tata tertib istana, tidak pula mengenal kesusilaan yang sudah menjadi tradisi di dalam istana kaisar. Akan tetapi dia seorang yang cerdas, maka biar pun dia tidak tahu akan kebiasaan di situ, dia segera menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
"Semoga paduka selamat, bahagia, dan berusia panjang!"
Tiba-tiba kaisar yang kini agak gemuk dan wajahnya segar berseri itu tertawa bergelak dan kembali semua menteri saling pandang dengan heran. "Ha-ha-ha, Hong-lihiap, dari manakah engkau memperoleh kepandaian memberi hormat seperti itu? Bangkitlah dan duduklah di atas bangku yang sudah tersedia itu. Kita bicara seperti dahulu ketika kita bersama lolos dari benteng Sabutai dan keluar masuk hutan!"
Wajah In Hong menjadi merah dan dia bangkit, menjura lalu duduk di atas bangku sambil tersenyum. "Hamba hanya ikut-ikutan saja, sri baginda. Kalau ternyata keliru harap tidak ditertawakan dan diampunkan."
"Tidak, engkau adalah tamuku, penolongku, bahkan sudah kuanggap saudaraku sendiri, Hong-lihiap! Semenjak aku kembali ke sini, aku selalu teringat padamu sehingga kusuruh mencari ke mana-mana. Aku minta kepadamu, lihiap, agar engkau suka tinggal di istana ini, sebagai seorang saudaraku dan untuk jasa-jasamu, kuangkat engkau menjadi Puteri Pelindung Kaisar yang juga kuanggap sebagai adikku sendiri. Mulai sekarang kau berhak keluar masuk di seluruh istana ini dan berhak tinggal di sini selama yang engkau sukai."
Kembali semua menteri melongo mendengar ini, Akan tetapi, karena mereka pun sudah mendengar bahwa pendekar wanita bernama Yap In Hong inilah yang telah membebaskan kaisar dari tawanan Raja Sabutai, maka mereka hanya dapat mengangguk.
Di waktu kaisar menjadi tawanan dan terancam bahaya, orang sekerajaan tidak ada yang mau atau berani menolong kecuali dara ini! Sudah sepatutnya kalau kini kaisar membalas jasanya yang amat besar itu.
In Hong merasa terharu juga oleh limpahan perasaan seperti itu, akan tetapi dia masih bertanya, "Tentu hamba tidak terikat di sini, bukan?"
Kaisar tersenyum lebar. "Tidak, lihiap. Akan tetapi kuharap dengan sungguh agar engkau dapat selamanya tinggal di sini, bahkan kelak apa bila engkau sudah bersuami, suamimu akan kami beri pangkat dan kedudukan tinggi agar engkau selalu dekat dengan kami."
In Hong menghaturkan terima kasih dan kaisar lalu memanggil kepala pengawal dalam istana kemudian memerintahkan panglima ini untuk mengantar In Hong ke dalam istana dan memberinya sebuah gedung yang serba indah dan lengkap di bagian keputren.
Mulai hari itu, kehidupan In Hong berubah sama sekali! Biar pun dia tidak suka bersolek, dan tidak ingin memakai pakaian yang indah-indah, akan tetapi sesudah semua pakaian tersedia dan dia tidak ingin membikin malu kaisar karena dia dianggap sebagai seorang puteri, atau adik angkat kaisar sendiri, terpaksa In Hong mengganti semua pakaiannya yang sederhana dengan pakaian yang serba indah gemerlapan!
Dia pun menduga bahwa di balik semua ini, tentu ada suatu maksud dari kaisar dan dia menduga bahwa hal itu tentulah ada hubungannya dengan Khamila! Karena, bukankah hanya dia yang tahu bahwa antara kaisar ini dengan isteri Raja Sabutai itu terdapat jalinan hubungan yang amat mesra?
Dugaannya memang tepat karena beberapa hari kemudian, ketika terdapat kesempatan kaisar bertemu berdua saja dengan In Hong, kaisar berkata, "Hong-lihiap, aku lebih suka menyebutmu lihiap dari pada adik atau puteri, karena sebutan ini mengingatkan aku akan pengalaman-pengalaman kita dulu. Engkau tentu tahu, lihiap, bahwa hadirnya engkau di dalam istana ini, di dekatku membuat aku merasa seolah-olah dia pun tidak jauh dariku."
In Hong mengangkat muka memandang wajah kaisar yang kelihatan terharu dan berduka itu. Dia mengangguk akan tetapi tidak tahu harus berkata apa.
"Aku hanya mengharap, lihiap, sebagai satu-satunya orang yang tahu akan rahasia kami itu, selain engkau tidak akan membocorkan rahasia ini, juga kelak sekali waktu engkau dapat mewakili aku untuk menengok... anak itu di sana."
In Hong mengangguk-angguk. Dia segera mengerti, dan mudahlah menduga siapa yang dimaksudkan dengan anak itu. Tentu anak yang dulu dikandung oleh Khamila.
"Harap paduka jangan khawatir. Sewaktu-waktu hamba akan memenuhi perintah paduka."
Demikianlah, In Hong kini menjadi seorang puteri yang bebas keluar masuk di seluruh bagian istana itu, dihormati oleh semua pengawal, pelayan dan ponggawa istana. Kalau tadinya ada yang menyangka bahwa pendekar wanita yang cantik itu menjadi kekasih kaisar, kini mereka itu keliru dan ternyata bahwa benar-benar kaisar melakukan kebaikan itu untuk membalas jasa.
Akan tetapi, karena sikap In Hong yang tidak sombong, bahkan kini dara itu mempelajari segala macam kebiasaan di istana dan mulai dapat merubah sifatnya yang tadinya dingin, kaku dan ganas, di samping berita akan kelihaian dara itu, maka semua orang merasa suka kepadanya.
"Tio-twako...!"
"Ehh, Tio-twako datang...!"
Kwi Beng dan Kwi Eng yang sedang duduk di serambi depan rumah mereka di Yen-tai, meloncat dengan girang dan lari ke pekarangan menyambut kedatangan seorang pemuda yang tinggi kurus, bersikap gagah dan berpakaian sederhana, berwarna kuning dan yang memasuki pekarangan gedung itu dengan sikap ragu-ragu. Pemuda itu bukan lain adalah Tio Sun.
Begitu bertemu dan melihat wajah Maria de Gama atau Souw Kwi Eng, sepasang mata Tio Sun bersinar-sinar, kedua pipinya menjadi agak kemerahan dan jantungnya berdebar keras. Alangkah hebat rasa rindu hatinya terhadap dara ini, baru sekarang benar-benar terasa olehnya setelah berhadapan muka! Akan tetapi, tentu saja dia berusaha menekan perasaannya ini dan cepat menjura.
"Beng-te dan Eng-moi, apa kabar? Kuharap kalian baik-baik saja selama ini. Apakah aku tidak mengganggu kalian dengan kunjunganku ini?"
"Ahhhh, Tio-twako kenapa begini sungkan?" Kwi Eng yang memang berwatak bebas dan ramah itu menegur. "Bukankah kita sudah menjadi sahabat-sahabat baik?"
"Tio-twako, marilah masuk menemui ayah dan ibu kami, kemudian kami hendak banyak bicara, banyak bertanya kepadamu, twako." Kwi Beng lalu menggandeng tangan tamunya itu.
"Aihh, dia ingin banyak bertanya tentang enci Hong yang dirindukannya, hi-hik!" Souw Kwi Eng menggoda.
"Hushh, jangan main-main kau!" Kwi Beng membentak dan melototkan matanya. Tio Sun hanya tersenyum menyaksikan dua orang yang wajahnya serupa hanya bedanya pria dan wanita itu berkelakar dan bergurau.
Yuan de Gama dan isterinya, Souw Li Hwa, segera keluar menyambut dengan ramah ketika mendengar akan kedatangan sahabat kedua orang anak mereka itu. Tentu saja mereka sudah mendengar penuturan kedua orang anak mereka mengenai Tio Sun yang dahulu telah membantu Kwi Eng pada saat hendak menyelamatkan Kwi Beng yang diculik oleh Tokugawa. Tentu saja mereka berterima kasih sekali kepada Tio Sun, apa lagi ketika mendengar bahwa Tio Sun adalah putera tunggal Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, Souw Li Hwa makin suka dan semakin ramah kepada pemuda sederhana itu.
"Aku mengenal baik ayahmu itu," katanya. "Dia seorang pengawal yang amat setia dan berlimu tinggi."
Tio Sun memandang dengan wajah berseri dan menjura. "Ayah banyak bercerita tentang toanio sebagai murid yang amat lihai dari mendiang Panglima The Hoo."
"Aihh, jangan menyebut aku toanio, Tio Sun. Sebut saja bibi, karena sesungguhnya kita adalah orang-orang sendiri bukan?" kata Souw Li Hwa dengan ramah sambil tersenyum dan biar pun usia nyonya ini sudah sekitar empat puluh tahun, namun dia masih nampak muda dan cantik.
"Terima kasih, bibi."
"Dan kau boleh menyebut aku paman, Tio Sun." kata pula Yuan de Gama yang sudah pandai sekali berbahasa daerah sehingga bekas kapten kapal ini tidak seperti orang asing lagi, sungguh pun kebiruan matanya serta kekuningan rambutnya tentu saja tidak dapat menyembunyikan keasingannya.
Suami isteri itu mengajak Tio Sun bercakap-cakap sejenak. Mereka berdua menyatakan terima kasih mereka kepada pemuda ini yang sudah menolong anak-anak mereka ketika mereka dahulu sedang berlayar ke barat. Tio Sun merendahkan diri, namun akhirnya dia menerima penawaran mereka untuk bermalam di rumah mereka selama beberapa hari agar bisa mempererat persahabatan. Kemudian, suami isteri itu meninggalkan tiga orang muda itu untuk bercakap-cakap sendiri.
Setelah ayah bundanya maninggalkan mereka, dan pelayan membawa buntalan pakaian Tio Sun ke sebuah kamar serta mengeluarkan makanan dan minuman, Kwi Eng kemudian berkata, "Tio-twako, dia itu sudah tidak sabar menanti ceritamu."
"Ehh, cerita apa?" Tio Sun balas menanya.
"Jangan pura-pura, twako, lihat dia seperti ikan di darat. Lekas kau ceritakan apakah kau pernah bertemu dengan enci Hong itu?" Kwi Eng berkata pula.
"Enci Hong...? Ahh, tentu yang kau maksudkan nona Yap In Hong itu? Hemmm, memang menarik sekali ceritanya."
Kini Kwi Beng benar-benar tak dapat menahan keinginan tahunya. "Kau pernah berjumpa dengan dia, twako? Di mana? Bagaimana dengan dia? Bagaimana ceritanya?"
Tio Sun memegang tangan pemuda itu dan diam-diam dia pun menghela napas panjang. Jelas bahwa pemuda remaja ini yang usianya kurang lebih tujuh belas tahun, telah jatuh cinta kepada Yap In Hong!
"Bertemu sih tidak, akan tetapi nona Yap In Hong..."
"Ahh, begitukah namanya? Setahu kami hanya Hong saja...," kata pula Kwi Beng dengan girang. "Yap In Hong... sungguh tepat sekali, namanya memang sesuai dengan orangnya yang..."
"Cantik manis!" Kwi Eng menggoda.
"Yang amat lihai," Kwi Beng melanjutkan tanpa mempedulikan godaan saudaranya.
Kembali Tio Sun menarik napas panjang, tak tahan dia melihat gerak-gerik Kwi Eng yang serba membetot semangat dan menarik hatinya. Pandang mata yang biru itu, kerlingnya, senyumnya, gerakan bibirnya, cara dara itu menggerakkan kepala untuk menyingkapkan rambut yang sering kali turun menutupi mukanya, ahhhh... sungguh sukar baginya untuk bercerita, apa lagi menceritakan orang lain. Kalau boleh, dia hanya akan duduk saja dan memandangi dara itu yang demikian lincah, demikian jelita, demikian...
"Ehh, kenapa kau bengong saja, twako?" tiba-tiba Kwi Beng menegur.
"Dan kau memandang saja padaku, ada apa sih pada wajahku? Apa ada kotorannya?" Kwi Eng sibuk mengusap hidung dan pipinya.
"Tio-twako tentu jengkel karena kau menyela terus, sih!" Kwi Beng mengomel. Bagi Kwi Beng, tentu saja sangat sukar membayangkan ada orang laki-laki bisa tergila-gila kepada saudara kembarnya ini!
"Tidak apa-apa, maafkan aku...," Tio Sun menunduk dan menelan ludah menenteramkan jantungnya yang berdebar tidak karuan. "Sebenarnya... ehhh, banyak sekali hal-hal aneh kudengar tentang nona Yap In Hong itu. Dia benar-benar amat luar biasa, di luar dugaan dan hebat!"
"Nah, apa kataku? Dia memang wanita paling hebat di dunia ini!" kata Kwi Beng sambil memandang kepada adiknya.
"Siapa yang menyangkal?" Kwi Eng menjawab. "Akan tetapi dia terlalu hebat untukmu. Tio-twako, sekarang ceritakanlah, kami ingin sekali mendengarnya," kata Kwi Eng sambil menyentuh tangan pemuda tinggi kurus itu.
Tersirap darah ke leher dan muka Tio Sun dan tangannya yang tersentuh itu menggigil. Dia merasa heran sendiri mengapa dia menjadi lemah seperti ini menghadapi gadis itu. Untuk menenangkan jantungnya yang bergelora, Tio Sun meneguk air teh di hadapannya, kemudian barulah dia bercerita.
"Pertama-tama, dara perkasa yang kita kenal sebagai nona Hong itu ternyata bernama Yap In Hong, adik kandung dari paman Yap Kun Liong..."
"Ahhh...!" Seruan ini berbareng keluar dari dua mulut yang bentuknya sama, mulut Kwi Eng dan mulut Kwi Beng. "Tetapi... tetapi paman Yap Kun Liong sudah setengah tua dan nona Hong..."
"Tentu lebih tua dari pada kita!" kata Kwi Eng.
"Paling banyak selisih dua tahun!" kata Kwi Beng membantah.
"Entahlah. Akan tetapi kenyataannya demikian, dia adalah adik kandung paman Yap Kun Liong dan dia memang memiliki ilmu tinggi sekali karena kabarnya dia itu adalah murid tunggal dari ketua Giok-hong-pang. Yang paling hebat adalah karena dialah yang berhasil menyelamatkan kaisar."
"Hebat...!" seru Kwi Eng.
"Twako, bukankah kabarnya kaisar sudah ditawan oleh raja liar dan kini telah kembali lagi ke kota raja?" tanya Kwi Beng.
"Benar, dan Yap In Hong itulah yang menyelamatkan kaisar, menolong kaisar hingga lolos dari tawanan benteng Raja Sabutai."
"Luar biasa! Dia seorang pahlawan kalau begitu!" Souw Kwi Beng berseru gembira.
"Memang hebat dia, bahkan ketua Cin-ling-pai sendiri, dengan bantuan banyak orang pandai, tidak mampu menyelamatkan kaisar yang ditawan. Akan tetapi nona Yap In Hong seorang diri menyelundup ke dalam benteng musuh, pura-pura menjadi kaki tangan Raja Sabutai, akan tetapi tahu-tahu dialah yang meloloskan kaisar dari tawanan."
"Bukan main...! Di mana sekarang dia berada, twako?" Kwi Beng bertanya.
"Entah, saya belum mendengar lagi, akan tetapi ada berita bahwa nona Yap In Hong kini berada di kota raja."
"Dan bagaimana kabarnya dengan... kanda Cia Bun Houw...?" tiba-tiba Kwi Eng bertanya.
"Ehm, ehm...!" Kwi Beng terbatuk-batuk, dehem buatan dan Kwi Eng melotot kepadanya.
Tio Sun merasa jantungnya tertusuk. Dahulu pun dia sudah melihat bahwa dara ini tertarik kepada Bun Houw.
"Dia...? Dia bersama dengan aku membantu ayahnya pada saat kami berusaha menyerbu benteng Sabutai untuk menolong kaisar, akan tetapi gagal. Kemudian, sesudah kaisar berhasil diselamatkan oleh nona Yap In Hong, agaknya terjadi perdamaian antara kaisar dan Raja Sabutai, dan Cia-taihiap lalu pergi menyusul nona Yap In Hong yang sesudah berhasil menolong kaisar lalu kembali ke dalam banteng Raja Sabutai."
"Aih, tentu berbahaya sekali! Lalu apa yang terjadi?" Kwi Eng bertanya kaget mendengar betapa Bun Houw memasuki benteng Raja Sabutai.
"Kabarnya banyak yang terjadi di sana. Banyak terjadi pertempuran di antara orang-orang pandai yang sengaja diadu oleh Raja Sabutai dan kabarnya tiga orang Bayangan Dewa telah tewas di tangan Cia-taihiap."
"Hebat...!" Kwi Eng bersorak girang.
"Kemudian bagaimana, twako? Tentunya pedang Siang-bhok-kiam sudah kembali kepada Houw-koko, bukan?"
"Entahlah, aku sendiri belum sempat bertemu lagi dengan dia."
“Sayang, kami berdua pun belum lama kembali dari Cin-ling-san, akan tetapi juga tidak berjumpa dengan dia," kata Kwi Eng.
"Cin-ling-san?" Tio Sun bertanya heran.
"Ya, bersama ibu," jawab Kwi Eng dan tiba-tiba dia menunduk dengan kedua pipi berubah merah sekali.
"Ha, dia sudah amat rindu kepada Houw-koko, Tio-twako, rindu kepada tunangannya itu! Ha-ha-ha!"
"Ihhh, tak tahu malu kau!" Kwi Eng mencubit lengan saudaranya lalu lari ke dalam.
Seketika wajah Tio Sun berubah pucat. "Tunangan...?" Dia berbisik.
"Kami ke sana bersama ibu dan ibu membicarakan tentang pertunangan mereka, dan sudah disetujui. Adikku yang bengal itu beruntung sekali telah dijodohkan dengan kanda Cia Bun Houw... ehhh, kau kenapa, Tio-twako?" Kwi Beng bertanya kaget melihat wajah yang menjadi pucat dan mata yang dipejamkan itu.
"Ahhh... ehhh, tidak apa-apa..." Tio Sun membuka matanya dan meraba-raba cangkirnya, lalu diminumnya isi cangkir, tapi jelas tangannya gemetar dan ketika dia mengembalikan cangkir ke atas cawan, terdengar bunyi berkeretakan karena tangan itu tidak dapat diam.
"Kau... kau pucat sekali dan gemetar. Kau seperti orang sakit, twako," Kwi Beng bertanya khawatir.
Tio Sun menggigit bibir. "Tidak apa-apa, mungkin karena lelah, Beng-te, aku permisi..." Tio Sun bangkit dari bangkunya.
"Ehhh? Ke mana?" Kwi Beng berseru kaget.
Tio Sun sadar kembali bahwa dia sudah menerima undangan mereka untuk menginap di situ, maka dia menahan kakinya yang sudah hendak melangkah pergi. "Ehh... aku mau beristirahat..."
"Kamarmu ada di sebelah sana, twako. Marilah kuantar, kau kelihatan pucat dan gemetar, agaknya kau sakit."
"Agaknya begitulah, Beng-te... terima kasih..." Tanpa bicara apa-apa lagi Tio Sun segera mengikuti Kwi Beng yang mengantarkan sampai ke kamarnya.
Sesudah pemuda itu meninggalkannya, Tio Sun lalu menutup pintu kamarnya dan rebah terlentang, berkali-kali menarik napas panjang sampai akhirnya dia dapat menenangkan batinnya yang terguncang hebat sesudah mendengar bahwa Kwi Eng telah bertunangan dan dijodohkan dengan Bun Houw itu.
"Ahh, engkau sungguh tak tahu diri!" Dia menghela napas dan menyesalkan diri sendiri. "Sejak dulu pun sudah jelas bahwa dia tertarik kepada Cia Bun Houw, dan memang sudah sepantasnyalah demikian. Dia seorang gadis yang cantik jelita, pandai dan kaya raya, sudah sepatutnya berjodoh dengan Cia Bun Houw yang lihai, putera ketua Cin-ling-pai. Sedangkan aku ini apa? Sungguh tak tahu diri!"
Penyesalan terhadap dirinya sendiri dan kesadaran bahwa sudah sepatutnya apa bila Kwi Eng berjodoh dengan Cia Bun Houw yang dikaguminya, dan bahwa sudah semestinya pula kalau dia ikut girang melihat gadis yang dicintanya itu berbahagia memperoleh jodoh seorang pilihan seperti putera ketua Cin-ling-pai itu dan mengesampingkan keinginannya untuk mementingkan diri sendiri, meringankan beban guncangan batinnya dan ketika Kwi Eng dan Kwi Beng datang menengoknya, Tio Sun telah tenang pula.
"Kata Beng-ko engkau sakit, twako?" Kwi Eng menegurnya pada waktu dia menyambut kedatangan dua orang kakak beradik itu ke kamarnya.
"Ahhh, mungkin hanya terlalu lelah dan masuk angin." jawab Tio Sun sambil tersenyum. "Akan tetapi sudah sembuh kembali setelah mengaso sebentar di kamar yang nyaman ini. Terima kasih. Oh ya, aku... aku menghaturkan selamat atas pertunanganmu dengan Cia-taihiap, adik Kwi Eng!"
Tergopoh-gopoh Kwi Eng membalas pemberian selamat itu dengan kedua pipi berubah merah. "Terima kasih, Tio-twako. Kau baik sekali."
In Hong teringat akan kunjungannya yang lalu, sikapnya yang kasar terhadap keluarga Cia, kekurang ajarannya, maka merasa tidak enak hati untuk bertemu dengan ayah bunda pemuda itu. Sebaliknya, Bun Houw yang menduga bahwa tentu ada sesuatu yang luar biasa terjadi di sini melihat sikap In Hong, juga merasa khawatir. Tanpa bicara mereka melanjutkan perjalanan itu dengan jalan kaki biasa mendaki lereng Gunung Cin-ling-san.
Mereka tidak tahu bahwa kedatangan mereka itu sudah terlihat oleh Kwee Siong, seorang pemuda remaja adik dari Kwee Tiong. Ketika melihat kedatangan Bun Houw, Kwee Siong menjadi terkejut dan ketakutan. Dia telah mengetahui bahwa kakaknya, Kwee Tiong, telah merampas Yalima, kekasih putera ketua Cin-ling-pai itu dan kini Bun Houw sudah pulang. Secara diam-diam Kwee Siong lalu berlari-lari naik ke puncak dan mengabarkan kepada kakaknya tentang kedatangan Bun Houw.
"Twako... twako... celaka, twako...!" Kwee Siong yang baru berusia lima belas tahun itu berkata, napasnya terengah-engah ketika dia bertemu dengan kakaknya.
"Ehh, adik Siong, ada apakah?" Kwee Tiong bertanya khawatir. "Apa yang terjadi?"
"A Siong, kau kenapakah?" kakak iparnya, Yalima juga bertanya melihat wajah adik ipar yang pucat dan ketakutan itu.
"Twako... twaso... celaka, aku melihat... Cia-taihiap datang..."
“Ahhh...!"
"Ihhh...!"
Suami isteri itu terkejut sekali karena berita itu sangat tiba-tiba, akan tetapi Kwee Tiong segera tenang kembali. Dia memegang tangan isterinya dan berkata,
"Isteriku, engkau tahu bahwa aku bertanggung jawab atas perbuatan kita ini. Maka biarlah aku akan menyambut kedatangannya dan mengabarkannya tentang kita. Kau tunggu saja di sini."
"Tidak... tidak...! Yang berbuat adalah kita berdua, karena itu yang bertanggung jawab kita berdua pula! Aku tahu bahwa dia adalah seorang yang berbudi mulia, tentu akan dapat memaafkan kita."
"Jangan, aku tidak kuat melihat engkau dimarahi...," cegah sang suami.
"Dan hatiku pun tidak akan tenteram kalau membayangkan engkau sendirian menghadapi kemarahannya. Suamiku, pendeknya, apa pun yang akan terjadi, kita akan menghadapi bersama! Kita hidup bertiga dan mati pun bertiga!"
"Bertiga...?" Kwee Tiong menoleh ke arah Kwee Siong karena dia tidak ingin menyeret adiknya itu dalam urusannya dengan Yalima, akan tetapi dia melihat isterinya mengelus perutnya yang gendut, maka mengertilah dia. Dengan terharu dia merangkul isterinya dan berkata halus, "Marilah kalau begitu."
Sambil bergandeng tangan dan berbesar hati Kwee Tiong bersama Yalima lalu menuruni puncak untuk menyambut kedatangan Bun Houw, diikuti oleh pandang mata Kwee Siong penuh kekhawatiran. Kemudian pemuda remaja ini cepat berlari ke gedung tempat tinggal ketua Cin-ling-pai untuk melapor, karena dia mengkhawatirkan keselamatan kakaknya berdua.
********************
"Hong-moi…, mengapa engkau menyiksa hatiku seperti ini?" terdengar suara Bun Houw memecah kesunyian ketika dia bersama In Hong berjalan mendaki lereng gunung melalui lorong itu.
"Aku tidak merasa menyiksa hati siapa pun," jawaban In Hong kaku dan dingin karena semakin dekat dengan Yalima, semakin tak senang pula hatinya.
Akan tetapi di dalam perjalanan dara ini sering melamun dan merasakan betapa rasa tak senang di dalam hatinya itu kini sama sekali berubah. Bukan lagi condong ke arah ketidak senangan karena Bun Houw mempermainkan Yalima, melainkan tidak senang mengapa pemuda ini mencinta Yalima, rasa tidak senang oleh cemburu.
"Kenapa engkau tidak berterus terang saja, Hong-moi? Apakah sebetulnya segala rahasia sikapmu ini? Engkau mengajak aku ke sini, ke tempat tinggalku, ada urusan apakah?"
In Hong hanya mengerling dan menjawab pendek, "Engkau akan melihat sendiri nanti..."
"Enci In Hong...!"
"Cia-taihiap...!"
Bun Houw dan In Hong yang sedang tenggelam dalam lamunan masing-masing, terkejut dan mengangkat muka memandang. Ketika mereka melihat Kwee Tiong dan terutama sekali Yalima datang menuruni lorong itu, keduanya otomatis menghentikan langkah dan memandang dengan mata terbelalak. Bun Houw yang sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengan Yalima di situ, terbelalak heran, dan In Hong yang melihat Yalima datang bergandeng tangan bersama seorang pemuda tampan, juga terbelalak heran.
Kwee Tiong yang masih menggandeng tangan isterinya itu segera menarik isterinya dan mereka berlutut di hadapan kaki Bun Houw! Tentu saja pemuda ini terkejut bukan main sampai melangkah mundur dua tindak.
"Ehh... apa yang kalian lakukan ini?"
"Cia-taihiap, kami berdua menyerahkan jiwa raga kami kepada taihiap!"
"Heiii, Kwee Tiong koko, apakah kalian sudah gila?"
"Cia-taihiap, kami... telah menjadi suami isteri..."
"Bagus!" Bun Houw berseru girang sekali, merasa seolah-olah batu sebesar gunung telah dilepaskan dari hatinya yang tertindih. "Biar pun sudah agak terlambat, aku mengucapkan selamat kepada kalian!"
"Terima kasih, taihiap..." Kwee Tiong berkata terharu.
"Terima kasih... memang aku percaya bahwa engkau adalah seorang yang berbudi mulia, taihiap, sedangkan aku... aku hanyalah seorang bodoh..." Yalima terisak dan menutupi mukanya, air matanya mengalir turun.
"Yalima! Apa artinya ini? Engkau... sudah mengandung malah?" Kini terdengar In Hong berseru, suaranya mengandung kemarahan.
"Enci In Hong... aku... aku sudah menikah... dengan suamiku ini... beberapa bulan yang lalu..."
"Singgg...!" Tampak sinar berkelebat.
"Keparat kau, perempuan tidak setia dan memalukan!"
Bun Houw terkejut bukan main dan secepat kilat dia meloncat dan berdiri di depan In Hong, menghadang antara In Hong dan Yalima. "Hong-moi, apa yang hendak kau lakukan ini?"
"Harus kubunuh perempuan tidak setia itu!" bentak In Hong. Kwee Tiong sudah bangkit pula untuk melindungi isterinya.
"Hong-moi, engkau tidak berhak berbuat demikian! Kepada siapakah Yalima tidak setia?"
"Kepadamu! Dulu dia mengaku telah saling mencinta denganmu, akan tetapi mengapa dia sekarang..."
"Hong-moi, saat itu kami masih seperti kanak-kanak. Yalima menyangka dia mencintaku sebelum dia berjumpa dengan Kwee Tiong koko yang ternyata benar-benar dicintanya. Aku sendiri tidak merasa dikhianati, tidak menganggap bahwa Yalima tidak setia. Kenapa engkau yang tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan ini menjadi marah bahkan hendak membunuhnya? Hong-moi, apa sih sebenarnya arti perbuatanmu yang aneh ini?"
Mereka berdiri saling berhadapan, saling pandang, In Hong dengan muka merah padam dan mata berapi-api, Bun Houw dengan muka agak pucat dan mata penuh keheranan. Akhirnya pedang yang bergetaran di tangan In Hong, pedang Hong-cu-kiam itu bergerak, akan tetapi bukan menyerang siapa-siapa, melainkan meluncur ke atas tanah.
"Cappppp...!"
Pedang itu menusuk tanah sampai amblas ke gagangnya. Terdengar suara isak ditahan, dan In Hong lalu membalikkan tubuhnya dan meloncat lalu lari pergi dengan cepat sekali.
"Hong-moi...!" Bun Houw berseru memanggil, tetapi dara itu sama sekali tidak menoleh lagi dan sebentar saja lenyap dari pandang mata.
"Hong-moi...!" Bun Houw hendak mengejar, akan tetapi pada saat itu terdengar suara lirih, suara Yalima yang mengandung tangis.
"Taihiap, harap ampunkan aku..."
Bun Houw menarik napas panjang, tidak jadi mengejar karena dia pun maklum alangkah anehnya watak dara itu sehingga kalau dia mengejar dan mendesak, tentu hanya akan menimbulkan kemarahan yang makin hebat di dalam hati In Hong. Maka dia lalu menoleh lagi.
"Berdirilah dan ceritakanlah semuanya. Bagaimana Yalima tahu-tahu bisa berada di sini, dan mengapa pula In Hong mengenalmu dan kini marah-marah?"
Kwee Tiong menarik isterinya bangkit dan dialah yang menjawab, karena isterinya masih menangis sesenggukan. "Taihiap, karena isteriku telah menuturkan segalanya kepadaku, maka bolehkah saya yang bercerita kepada taihiap?"
"Silakan, Kwee-koko, sama saja."
"Yalima dipaksa oleh orang tuanya, akan diberikan kepada seseorang yang berkuasa di Tibet. Dia lalu melarikan diri ke timur, dengan maksud untuk pergi menyusul dan mencari taihiap karena taihiap satu-satunya orang yang dapat diharapkan akan menolong dirinya. Akan tetapi dia terjatuh ke tangan seorang datuk kaum sesat, yaitu Go-bi Sin-kouw..."
"Ahhh...!" Bun Houw terkejut sekali.
"Biarlah aku yang melanjutkan," tiba-tiba Yalima berkata kepada suaminya. "Taihiap, aku tentu sudah celaka dan mungkin sudah tewas kalau saja tidak muncul enci In Hong yang menolongku dari tangan orang-orang jahat itu. Karena pertolongan itu, maka aku lalu berterus terang menceritakan riwayatku, juga tentang... taihiap. Sungguh mati aku sama sekali tidak tahu bahwa antara taihiap dan dia... bahwa kalian telah saling bertunangan..."
"Ehh, bohong itu! Siapa bilang begitu?" Bun Houw berseru kaget.
"Agaknya taihiap telah ditunangkan dengan enci In Hong oleh ayah bunda taihiap di luar tahumu, dan hal itu telah disampaikan kepada enci In Hong. Oleh karena itu dia menjadi marah sekali mendengar bahwa antara kita... eh, terdapat semacam hubungan. Enci In Hong lalu memaksaku pergi bersama ke Cin-ling-pai dan dengan terang-terangan dia lalu berkata kepada Cia-locianpwe berdua bahwa hubungan jodoh antara dia dengan taihiap putus sudah, dan bahwa taihiap adalah tunanganku. Itulah sebabnya mengapa dia tadi marah-marah melihat aku sudah berjodoh dengan Kwee-koko dan... entah mengapa aku sendiri tidak mengerti, taihiap. Kami berdua tadinya khawatir bahwa engkaulah yang akan marah-marah, siapa tahu, engkau dapat memaafkan kami, malah sebaliknya enci In Hong yang hampir membunuhku..."
Bun Houw menjadi bengong dan melamun. Sungguh sukar dimengerti sikap In Hong tadi. Dia mencabut pedang Hong-cu-kiam dan hatinya tiba-tiba terasa kosong dan sunyi sekali. Dipungutnya sarung pedang Hong-cu-kiam yang tadi dilemparkan ke atas tanah oleh In Hong yang marah, lalu disimpannya pedang itu. Dia teringat akan burung hong kemala di dalam saku bajunya dan otomatis tangannya meraba benda itu dan hatinya makin terasa sedih.
"Sungguh aneh... sungguh aku tak mengerti...," hatinya berbisik.
Pada saat itu terdengar seruan nyaring, "Houw-ji (anak Houw)...!"
Bun Houw mengangkat muka memandang dan melihat ayah dan ibunya tengah turun dari puncak dengan cepat. Mereka tadi mendengar laporan Kwee Siong tentang kedatangan putera mereka itu dan karena khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu antara Bun Houw dan Kwee Tiong berdua Yalima, mereka cepat-cepat turun.
"Ayah! Ibu!" Bun Houw memberi hormat dan ibunya merangkulnya dengan hati lapang.
Terutama sekali ibunya merasa lega melihat puteranya kelihatan tidak marah walau pun pandang matanya yang tajam dapat melihat bahwa Yalima baru saja menangis dan wajah Kwee Tiong masih pucat, tanda bahwa mereka berdua baru saja mengalami guncangan batin yang hebat.
"Bukankah engkau tadi datang bersama In Hong?" Cia Keng Hong yang tadi menerima laporan Kwee Siong bertanya heran, matanya memandang ke kanan kiri mencari-cari.
"Dia sudah pergi, ayah," jawab Bun Houw dengan lesu dan keadaan puteranya ini tidak terlepas dari pandang mata ayahnya.
"Lebih baik kalau begitu. Bocah galak itu membikin ribut saja," kata Sie Biauw Eng yang menggandeng tangan puteranya dan mengajaknya naik ke puncak.
Beramai mereka naik ke puncak Cin-ling-san, menuju ke markas Cin-ling-pai yang barada di lereng dekat puncak. Nenek Sie Biauw Eng kelihatan gembira bukan main dan segera menghujani puteranya dengan pertanyaan-pertanyaan.
Setelah tiba di dalam rumah, Bun Houw lebih dulu menuturkan soal pembunuh isteri Kun Liong yang menjadi pokok dan penyebab semua peristiwa menyedihkan di antara mereka dengan keluarga Kun Liong itu.
"Ayah dan ibu, sekarang pembunuh isteri Yap-suheng telah diketahui."
Tentu saja suami isteri pendekar itu menjadi terkejut dan juga girang. "Siapa dia?"
"Ia adalah seorang wanita yang bernama Yo Bi Kiok, ketua dari Giok-hong-pang. Dia lihai sekali karena sebetulnya dialah yang dulu memperoleh bokor emas pusaka dari Panglima The Hoo, Ayah."
"Ahhh...!" Cia Keng Hong terkenang akan keributan puluhan tahun yang lalu pada waktu pusaka bokor emas itu diperebutkan orang-orang gagah di seluruh dunia kang-ouw.
"Di mana sekarang keparat itu? Biar kucari dan kubunuh iblis betina yang sudah menjadi gara-gara itu!" berkata nenek Sie Biauw Eng yang masih belum kehilangan kegalakannya setiap kali menghadapi kejahatan.
"Dia sudah tewas di tangan Yap-suheng sendiri, ibu. Yo Bi Kiok itu dahulunya merupakan seorang sahabat baik dari Yap-suheng sendiri, bahkan wanita itu... dia adalah guru dari adik Yap In Hong."
"Ahhh...!" Suami isteri pendekar itu berseru kaget, lalu mereka mendengarkan penuturan puteranya tentang peristiwa di dalam benteng Raja Sabutai dan tentang kematian Yo Bi Kiok yang mengaku sebagai pembunuh Pek Hong Ing isteri Yap Kun Liong karena iri!
Mendengar penuturan puteranya itu, suami isteri yang sudah tua itu lalu menggelengkan kepalanya. "Jadi kembali gara-gara cinta..." Nenek Sie Biauw Eng berbisik. "Betapa hanya mendatangkan mala petaka belaka."
"Hemmm, jangan berkata demikian, isteriku. Hanya cinta palsu saja yang mendatangkan mala petaka. Buktinya, di antara kita berdua yang ada hanyalah kebahagiaan dan belas kasihan, baik dalam keadaan apa pun juga."
Sie Biauw Eng menjadi amat terharu dan menyentuh tangan suaminya. Ingin rasanya dia menangis kalau suaminya bersikap dan berkata seperti itu.
"Jadi engkau telah berhasil membunuh sisa Lima Bayangan Dewa yang tinggal tiga orang itu, Bun Houw?" Cia Keng Hong bertanya.
"Benar, ayah."
"Dan Siang-bhok-kiam..."
"Itulah yang membikin jengkel, ayah. Oleh Bayangan Dewa Siang-bhok-kiam diserahkan kepada Raja Sabutai yang kemudian memberikannya kepada gurunya, yaitu Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dan mereka ini tidak mau menyerahkan pedang pusaka kita kepadaku."
"Ehh, mengapa? Mau apa dua orang iblis jantan dan betina itu?" Ibunya membentak.
"Ada sebabnya, ibu. Mereka itu ternyata adalah musuh-musuh yang menaruh dendam terhadap mendiang Panglima The Hoo dan karena mereka tidak dapat lagi membalas dendam mereka kepada Panglima The Hoo yang sudah tiada, maka mereka menimpakan dendamnya kepada Cin-ling-pai. Mendengar bahwa pedang itu milik ayah, dan karena mereka tahu bahwa ayah dahulu adalah sahabat dan pembantu yang baik dari mendiang Panglima The Hoo, maka mereka menahan pedang itu."
"Keparat!" Sie Biauw Eng memaki.
"Hemmm, sudah setua ini masih saja dicari orang untuk bermusuhan." Cia Keng Hong mengomel.
"Mereka menantang kepada ayah untuk datang ke Lembah Naga jika ayah menghendaki kembalinya pedang pusaka kita Siang-bhok-kiam."
Kembali Cia Keng Hong menarik napas panjang. "Aku bukan anak kecil, bukan pula orang muda yang berdarah panas. Untuk apa bersusah payah dan jauh-jauh pergi hanya untuk berkelahi memperebutkan pedang?"
"Akan tetapi kita harus menjaga nama! Pedang Siang-bhok-kiam merupakan pusaka dan lambang kebesaran Cin-ling-pai. Kalau jatuh ke tangan orang dan mereka menantang, lalu kita diam saja, tentu kita akan ditertawai orang sedunia!" bantah isterinya.
"Huh, kalau ada yang mau mentertawakan kita, biarlah mereka itu tertawa sampai robek mulutnya, peduli apa kita?" Cia Keng Hong membantah.
"Tapi...," bantah isterinya.
"Isteriku, hidup kita tidak ditentukan oleh pendapat orang lain, bukan? Ingatlah, pendapat orang-orang itu tidaklah sama dan jika kita mengandalkan pendapat-pendapat orang lain, bagaimana macamnya kehidupan yang kita tempuh?"
"Akan tetapi, suamiku. Memang kita sendiri secara pribadi tak perlu memikirkan omongan orang lain, akan tetapi sebagai pendiri dan pimpinan Cin-ling-pai kita bertanggung jawab untuk menjaga nama serta kehormatan Cin-ling-pai! Setelah jerih payah Bun Houw sudah berhasil membasmi Lima Bayangan Dewa, apakah kini gangguan dua orang iblis keparat itu harus didiamkan saja? Kalau kau enggan pergi, biarlah aku sendiri yang akan pergi mencari mereka ke Lembah Naga!"
"Ayah dan ibu harap suka bersabar. Tentang urusan Siang-bhok-kiam tentu saja bisa kita rundingkan kemudian. Aku sendiri merasa bertanggung jawab maka aku yang akan pergi mewakili ayah dan ibu demi menjaga kehormatan Cin-ling-pai. Akan tetapi ada berita lain yang lebih menyenangkan untuk disampaikan... ehhh, di manakah enci Giok Keng? Dia yang terutama akan senang mendengar berita ini."
Ibunya mengerutkan alis. "Sampai sekarang enci-mu itu belum pulang. Sungguh malang sekali nasib enci-mu, Houw-ji."
"Kalau begitu biarlah ayah dan ibu mendengarnya terlebih dahulu. Lie Seng telah dapat diketahui berada di mana."
"Ahh! Di mana cucuku itu?" Cia Keng Hong bertanya girang.
"Ternyata dia telah tertolong oleh suhu. Hampir saja dia tewas di tangan wanita kejam Yo Bi Kiok itu, terkena racun Siang-tok-swa, akan tetapi baiknya masih dapat tertolong oleh adik In Hong."
Lalu diceritakanlah oleh Bun Houw mengenai Lie Seng seperti yang didengarnya dari In Hong. Tentu saja dua orang tua itu merasa girang dan lega sekali. Kalau cucu mereka itu sudah berada di tangan Kok Beng Lama, tentu saja akan terlindung.
"Hanya aku khawatir sekali... melihat keadaan gurumu itu..." Teringatlah Cia Keng Hong akan sikap Kok Beng Lama yang seolah-olah tidak kuat menahan guncangan batin akibat kematian anaknya, yaitu Pek Hong Ing isteri Yap Kun Liong. Akan tetapi sebagai seorang bijaksana, dia tidak mau menyiksa diri dengan bayang-bayang khayal yang buruk.
"Sudahlah, semua urusan itu telah lewat dan ternyata semua hal yang membingungkan kini sudah terbongkar. Lima Bayangan Dewa telah terbasmi dan biang keladi kehancuran rumah tangga Giok Keng dan Kun Liong telah pula ditewaskan. Sekarang kami ada berita yang sangat menyenangkan untukmu, anakku," kata Sie Biauw Eng sambil tersenyum. Aneh tapi nyata, Sie Biauw Eng yang usianya sudah enam puluh tahun lebih itu setelah tersenyum masih jelas nampak bekas-bekas kecantikannya!
Bun Houw memandang ibunya dengan wajah berseri, girang ketika melihat ibunya begitu gembira. Tadinya Cia Keng Hong yang hendak menjawab, akan tetapi dengan tangannya, Sie Biauw Eng mencegahnya dan tepat pada waktu itu, pelayan-pelayan mereka datang menghidangkan makanan dan minuman.
Percakapan tertunda sebentar, dan sesudah para pelayan itu pergi, Sie Biauw Eng yang agaknya tidak sabar lagi untuk segera menyampaikan berita itu kepada puteranya, lantas melanjutkan,
"Beberapa pekan yang lalu, ketika ayahmu baru saja tiba di sini, pulang dari kota raja, di sini kedatangan tamu yang sama sekali tidak kami sangka-sangka." Dia berhenti sejenak dan kelihatan girang sekali melihat puteranya memandang dengan penuh perhatian dan penuh keinginan tahu.
"Siapa, ibu?"
"Kau tentu tidak dapat menduganya. Dia adalah murid dari mendiang Panglima The Hoo dan..."
"Ahh, aku tahu...! Tentu ibu Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng si kembar itu!"
Suami isteri pendekar itu saling pandang dan tersenyum.
"Kau benar, dan mereka berdua ikut datang bersama ibu mereka," kata pula Sie Biauw Eng.
"Eh, sayang aku tidak dapat berjumpa dengan mereka!" kata Bun Houw membayangkan dua orang kakak beradik kembar itu, terutama Kwi Eng yang mempunyai kecantikan khas dari seorang berdarah campuran, dengan matanya yang biru dan rambutnya yang hitam agak keemasan!
"Kwi Eng itu cantik bukan main, anakku!" Tiba-tiba ibunya berkata dan karena pada saat itu Bun Houw sedang membayangkan wajah Kwi Eng, tentu saja dia menjadi terkejut dan wajahnya menjadi merah sekali.
Ibunya tertawa. "Dan engkau sudah mengenalnya, Houw-ji."
"Benar, ibu. Kami telah berkenalan dan bahkan Kwi Eng bersama Kwi Beng membantuku menghadapi dua orang Bayangan Dewa dan para pembantu mereka yang lihai."
"Gadis itu sudah menceritakan semuanya kepada kami. Dia memang cantik jelita, belum pernah aku bertemu dengan seorang gadis yang seperti itu cantiknya, dan juga dia cerdas sekali, gagah perkasa pula seperti ibunya, di samping itu dia juga pada dasarnya lemah lembut, sopan, tidak seperti... eh, misalnya Yalima yang lemah dan... si In Hong yang liar itu..."
"Ibu, kenapa ibu menceritakan semua kepadaku?" Bun Houw memotong karena hatinya tidak senang mendengar In Hong dibawa-bawa dan disebut liar.
Di sini ayahnya turun tangan mencampuri. "Sebenarnya, Bun Houw, kedatangan nyonya Yuan de Gama atau Souw Li Hwa itu, selain untuk mengunjungi sebagai murid mendiang Panglima The Hoo, mempererat persahabatan, juga mengajukan usul atau permohonan agar diadakan ikatan jodoh..."
"Ehh? Ikatan jodoh...?" Hati Bun Houw berdebar keras.
"Ya, antara engkau dan Kwi Eng, anakku! Aku girang sekali, aku sudah cocok dan suka kepada anak itu, aku senang mempunyai mantu dia!"
"Ibu...!" Dan Bun Houw lalu menundukkan mukanya, memejamkan matanya, karena dia merasa pening dan bingung.
Cia Keng Hong mengedipkan mata kepada isterinya, mencegah isterinya bicara lagi dan memberi kesempatan kepada putera mereka untuk menenangkan diri.
Bun Houw yang memejamkan matanya itu melihat bayangan Kwi Eng, terbayang olehnya betapa dahulu ketika dia menolong Kwi Eng menyelamatkan dara jelita itu dari perkosaan Gu Lo It, melihat Kwi Eng dalam keadaan tanpa pakaian, kemudian teringatiah dia betapa mereka… mereka berciuman ketika dia memondong gadis itu.
Membayangkan semua itu, Bun Houw merapatkan matanya dan diam-diam dia merasa amat menyesal, mengapa dia melakukan hal itu, mengapa dia selalu ingin mendekap dan mencium dara-dara cantik! Tiba-tiba terbayanglah dia akan wajah In Hong, dan pikirannya menjadi makin bingung.
“Houw-ji...!" Terdengarlah suara ayahnya yang tenang dan dia membuka matanya, sadar kembali akan keadaannya.
"Maaf, ayah dan ibu..."
"Bun Houw, ayah dan ibumu melihat engkau sudah cukup dewasa, dan tahun ini usiamu sudah dua puluh tahun lebih. Ayah ibumu sudah makin tua, ingin menimang cucu dalam sebelum menutup mata," kata Sie Biauw Eng dan nada suaranya terharu.
"Bun Houw, tadinya kami berdua bersepakat untuk menjodohkan engkau dengan In Hong, bahkan kami telah merundingkan hal ini dan mendapat persetujuan Yap Kun Liong. Akan tetapi kemudian terjadi peristiwa dengan Yalima itu dan In Hong sendiri yang memutuskan tali perjodohan itu..."
Bun Houw mengangguk dan hatinya terasa perih. Dia sudah mendengar akan hal itu dari Yalima dan kini mengertilah dia mengapa setelah In Hong tahu bahwa dia adalah Cia Bun Houw, dara itu berubah sikapnya dan menjadi dingin. Mengertilah dia mengapa In Hong memakinya sebagai seorang perayu wanita yang tidak setia!
Tentu In Hong merasa penasaran mengapa dia yang dianggapnya sudah ‘bertunangan’ dengan Yalima, masih mau dijodohkan dengan In Hong dan hal ini oleh dara yang berhati keras itu dianggapnya sebagai suatu penghinaan!
"Kemudian kami mencari-cari serta memilih-milih," sambung Sie Biauw Eng melanjutkan penjelasan suaminya. "Ketika kami melihat Kwi Eng, dan mendengar permohonan ibunya, kami berdua dengan hati bulat menyetujuinya."
"Ibu...!" Kembali Bun Houw berseru, kaget sekali.
"Hemm, kenapakah, Bun Houw? Apakah kau tidak setuju dengan Kwi Eng? Kulihat dari gerak-gerik dara itu, dia sudah jatuh cinta padamu," sambung pula ibunya.
"Bun Houw, katakanlah, apa yang menyebabkan engkau keberatan dan tidak menyetujui pilihan ayah bundamu?" Keng Hong berkata dengan tenang namun mendesak.
"Ayah dan ibu, sesungguhnya sama sekali bukan karena saya tidak suka kepada adik Kwi Eng, akan tetapi aku... aku belum ingin terikat oleh tali perjodohan."
"Ha-ha-ha, mengapa begitu saja dirisaukan amat?" Ayahnya mencela. "Ikatanmu dengan Kwi Eng baru merupakan pertunangan saja, sedangkan tentang pernikahannya, hemm... sesungguhnya kami ingin segera melihat engkau menikah, akan tetapi kalau kau masih belum suka, dapat diundur beberapa lamanya karena Kwi Eng juga baru berusia enam belas tahun lebih."
"Akan tetapi jangan lama-lama, anakku," kata Biauw Eng. "Aku sudah ingin sekali memiliki cucu dalam dan dilayani mantu perempuan!"
Bun Houw merasa hatinya bingung dan tertindih oleh desakan-desakan ayah bundanya. Tiba-tiba dia memperoleh pandangan, seolah-olah ada sinar terang memasuki hatinya.
"Ayah dan ibu, kita masih menghadapi urusan, Siang-bhok-kiam masih berada di tangan orang lain. Aku hendak mencari dan merampas kembali pusaka itu, barulah kita bicarakan urusan perjodohan ini. Dan aku harus cepat-cepat pergi ke Lembah Naga, karena kalau dibiarkan terlalu lama, aku khawatir akan makin sukarlah pusaka kita itu dapat dirampas kembali. Kalau saja dua orang iblis itu tidak berada di benteng Raja Sabutai saat mereka menguasai Siang-bhok-kiam, tentu sudah kuserang mereka dan pedang pusaka kita itu sudah kurampas kembali."
"Eihh, baru saja kau datang, jangan tergesa-gesa pergi lagi, Houw-ji!" ibunya berseru dan memegang pundak puteranya. "Engkau hampir tak pernah berkumpul dengan kami. Sejak kecil berguru kepada Lama Tibet itu sampai bertahun-tahun, begitu pulang kau terus pergi mencari Lima Bayangan Dewa. Sekarang, baru saja datang hendak pergi lagi merampas kembali Siang-bhok-kiam di Lembah Naga yang begitu jauh di utara. Tidak, engkau tidak boleh cepat-cepat pergi!"
"Ibumu benar, Bun Houw. Kau harus beristirahat dulu dan nanti kalau kau pergi, kami akan titip surat untuk keluarga Souw atau keluarga de Gama di pelabuhan Yen-tai. Kami sudah tua, tidak sempat membalas kunjungan mereka, maka kaulah yang mewakili kami membalas kunjungan mereka di Yen-tai. Selain itu, kau pun harus menyerahkan suratku kepada kaisar di kota raja. Sesudah kau selesaikan tugas itu, baru kau boleh mencari dua orang tua yang merampas Siang-bhok-kiam itu di Lembah Naga."
Bun Houw tidak dapat membantah lagi. Dengan berkeras ibunya menahannya sehingga baru satu bulan kemudian dia meninggalkan Cin-ling-san, membawa dua buah surat dari ayahnya, yang satu untuk diserahkan kepada Yuan de Gama dan keluarganya di Yen-tai, dan yang satu lagi untuk dihaturkan kepada kaisar di kota raja.
********************
In Hong bersandar pada batang pohon di dalam hutan itu, memejamkan matanya dan mengatur kembali napasnya yang sedikit terengah-engah. Kepalanya terasa pening dan biar pun matanya dipejamkan, akan tetapi nampak bayangan beberapa orang berputaran, yaitu bayangan wajah Bun Houw dan Yalima.
Ingin dia menjerit dan menangis untuk memberi pelepasan kepada perasaan hatinya yang berdesakan dan penuh dengan segala macam perasaan yang saling bertentangan. Dia suka kepada Bun Houw, hal ini tak mungkin dapat dibantahnya lagi! Bahkan, semenjak pertama kali dia melihat pemuda itu dengan gagahnya menolak bujuk rayu wanita-wanita itu, dia sudah merasa kagum dan suka sekali kepada Bun Houw.
Anehnya, ketika dia memperoleh kenyataan pahit bahwa pemuda itu adalah tunangannya sendiri yang sudah ditolaknya, ketika dia mendapat kenyataan bahwa Bun Houw adalah seorang pemuda yang luar biasa lihainya, yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi darinya, rasa kagum dan suka makin meresap di dalam hatinya!
Dan kalau tadinya dia menganggap seorang yang bernama Cia Bun Houw itu dengan pandangan rendah karena dianggap tidak setia kepada Yalima, setelah dia tahu bahwa Cia Bun Houw ternyata adalah pemuda yang telah memberi pedang pusaka kepadanya, yang sudah diberi Giok-hong-cu olehnya, pandangan tidak setia kepada Yalima berubah cemburu dan iri terhadap Yalima! Bahkan ketika dia melakukan perjalanan ke Cin-ling-pai, walau pun dia selalu bersikap diam dan dingin kaku, namun diam-diam dia merasakan sesuatu yang indah di dalam hatinya, sesuatu yang mendatangkan kebahagiaan!
Dan ketika dia melihat Yalima ternyata telah menikah dengan orang lain, saking malunya terhadap Bun Houw dia ingin membunuh Yalima! Akan tetapi di balik itu semua, harus dia akui bahwa dia merasa girang bukan main melihat Yalima telah menjadi isteri orang lain.
"Aku telah gila... aku telah gila...!" Dia berbisik dan menjambak rambutnya sendiri.
"Houw-koko...!" Keluh hatinya dan dia merasa betapa hidupnya sunyi dan sendiri, betapa dia merindukan kehadiran Bun Houw di sampingnya, di dekatnya.
Biar pun tidak usah berdekatan dan bersikap baik, asal ada nampak Bun Houw di situ dia tidak akan merasa tersiksa seperti sekarang ini. Dia merasa rindu sekali dan otomatis tangannya meraba pinggang. Dia terkejut, memandang ke arah pinggangnya dan baru dia teringat bahwa Hong-cu-kiam telah ditinggalkannya di Cin-ling-san! Dia mengeluh panjang dan merasa makin sunyi dan sepi, merasa kehilangan!
"Houw-ko...!" Kembali bibirnya mengeluh, jantungnya seperti diremas rasanya dan ingin dia menjerit-jerit memanggil nama pemuda yang dirindukannya itu.
In Hong mengepal tinju dan membuka matanya. Kekerasan hatinya yang dulu timbul lagi dan matanya menjadi beringas. Dia cepat membalik seolah-olah sedang diserang orang dari belakangnya, dan tangannya yang dikepal itu menghantam batang pohon.
"Dessss...! Krakkkkk!"
Batang pohon itu patah dan kepalan tangannya berdarah karena saking marahnya dan saking gelisahnya dia tadi menghantam tanpa melindungi tangan dengan sinkang. Terasa nyeri sekali tangannya yang berdarah dan dia mencucupi darahnya sendiri di tangan itu, wajahnya agak terang dan dia berterima kasih kepada rasa nyeri di tangannya, karena rasa nyeri itu mengurangi rasa nyeri yang lebih mendalam dan menyiksa tadi.
"Persetan dengan Cia Bun Houw...!" Dia membentak, lalu dara ini lari secepatnya keluar dari hutan itu dan mendaki lereng gunung di depan.
Ketika dia keluar dari hutan dan tiba di jalan raya kasar yang diapit-apit padang rumput, dia mendengar derap kaki kuda dan melihat rombongan orang berkuda, pakaian mereka seragam mendatangi dengan cepat. Karena hatinya tengah risau In Hong tidak peduli dan terus saja dia menggunakan ilmu berlari cepat hingga dia berpapasan dengan rombongan belasan orang itu tanpa memperhatikan sama sekali.
"Heiiiiii...!" Tiba-tiba terdengar seruan dari rombongan penunggang kuda itu.
In Hong masih tetap berlari terus. Akan tetapi kini dia mendengar derap kaki kuda dari belakangnya dan agaknya rombongan penunggang kuda tadi sudah membalikkan arah kuda mereka dan kini mengejar In Hong.
"Lihiap...! Perlahan dulu...!"
Setelah tiga kali mendengar seruan ini, barulah In Hong sadar bahwa ada orang-orang mengejarnya dan bahwa panggilan itu ditujukan kepadanya, maka dia lalu berhenti berlari dan menunggu di pinggir jalan sambil memandang tajam penuh perhatian. Hatinya sudah mulai panas karena merasa bahwa perjalanannya diganggu orang! Kalau serombongan orang laki-laki itu hendak berlaku kurang ajar kepadanya, awas, pikirnya! Aku tidak akan mengampuni kalian!
Kini rombongan yang terdiri dari lima belas orang berpakaian seragam gemerlapan karena disulam benang emas itu berhenti pula di situ dan salah seorang di antara mereka, yang bertubuh tegap dan bersikap gagah, berusia empat puluhan tahun, dengan gesit meloncat dari atas kuda kemudian menghampiri In Hong yang berdiri tegak dengan kedua lengan bersilang di depan dada.
Laki-laki yang ternyata adalah komandan dari pasukan itu, menjura dan mengeluarkan sehelai kain bergambar, dipandangnya kain itu, kemudian dia menatap wajah In Hong penuh selidik dan bertanya, "Maafkan saya, lihiap. Bukankah lihiap ini yang bernama Yap In Hong?"
Tangan dara itu bergerak cepat seperti kilat menyambar. Komandan pasukan itu bukanlah orang biasa, tetapi seorang komandan atau perwira dari pasukan Kim-i-wi, yaitu pasukan pengawal istana yang berpakaian seragam keemasan atau yang disebut Pasukan Baju Emas. Kepandaiannya sudah cukup tinggi, kalau tidak tentu saja dia tidak akan terpilih menjadi perwira. Melihat gerakan dara itu, dia terkejut sekali dan cepat mengelak sambil menarik kembali tangannya yang memegang lukisan.
"Prrrttttt...!"
Betapa pun cepatnya perwira itu mengelak, tetap saja gambar itu telah berpindah tangan dan sekarang dengan tenang, tanpa merubah kedudukan tubuhnya, In Hong yang masih cemberut itu memandang gambar di tangannya. Dia kaget dan heran bukan main melihat lukisan yang indah di atas kain itu, lukisan seorang wanita muda yang bukan lain adalah dirinya sendiri!
In Hong mengerutkan alisnya dan pandangan matanya ke arah wajah perwira itu seperti todongan ujung pedang yang sangat runcing sehingga perwira itu kembali terkejut dan otomatis mundur selangkah ke belakang.
"Hayo katakan, siapa yang melukis ini dan apa maksudnya semua ini?" Suaranya dingin sekali dan nadanya amat mengancam sehingga terasa pula oleh semua anggota pasukan pengawal Kim-i-wi yang mendengarnya.
Akan tetapi, pasukan pengawal Kim-i-wi adalah terkenal sebagai pasukan yang gagah berani dan setia, semacam pasukan pengawal istana yang sudah disumpah untuk setia sampai mati! Perwira itu pun lalu menjawab dengan tabah,
"Maafkan saya, lihiap. Demi tugas kami, maka sebelum lihiap menjawab apakah benar lihiap yang bernama Yap In Hong, kami tidak dapat menerangkan apa pun."
In Hong memandang dengan marah, akan tetapi pada saat dia bertemu pandang dengan perwira itu, dia merasa kagum. Perwira ini benar-benar berani, akan tetapi tidak kurang ajar, dan tidak sombong pula. Kekagumannya membuat dia agak lunak.
"Aku benar Yap In Hong. Nah, sekarang terangkan semua, kalau tidak, terpaksa aku akan menghajar kalian semua karena gangguan ini!"
Wajah perwira itu menjadi berseri gembira dan juga anak buahnya menjadi girang sekali nampaknya. "Wah, maaf... eh, betapa girang hati kami, lihiap. Susah payah kami mencari lihiap. Ketahuilah, kami adalah pasukan Kim-i-wi dari istana kaisar dan ada ratusan orang anggota kami disebar di seluruh pelosok untuk mencari lihiap dan ini merupakan perintah dari sri baginda kaisar sendiri! Setiap pasukan diberi gambar seperti ini agar lebih mudah mengenal lihiap. Ketika tadi kita saling berpapasan, saya segera mengenal lihiap maka kami melakukan pengejaran."
Akan tetapi rasa curiga masih belum lenyap dari pandang mata In Hong. "Apa sebabnya istana mengerahkan pasukan pengawal untuk mencari aku?"
"Lihiap, saya hanya seorang pemimpin pasukan kecil saja, mana saya bisa mengetahui akan kehendak sri baginda kaisar? Yang saya ketahui hanya bahwa pasukan-pasukan pengawal menerima perintah keras dari sri baginda kaisar untuk mencari lihiap sampai jumpa..."
"Dan kalau sudah jumpa?"
"Agar dipersilakan ke istana untuk memenuhi undangan kaisar."
In Hong berpikir sejenak. Tidak mungkin ada sesuatu yang buruk di belakang undangan kaisar ini, pikirnya. Dia tahu bahwa kaisar yang muda itu adalah seorang yang baik dan gagah. Dia sudah menolong kaisar lolos dari benteng Sabutai, tidak mungkin kaisar yang sekarang sudah menduduki tahtanya lagi itu berniat buruk terhadap dirinya.
Menarik juga undangan kaisar ini, menjanjikan pengalaman-pengalaman baru untuknya! Pada saat seperti itu, selagi hatinya diliputi gundah, pergi kepada kakaknya di Leng-kok pun tidak ada gunanya. Lebih baik ke kota raja memenuhi undangan kaisar dan hendak dilihatnya apa yang akan dilakukan oleh kaisar terhadap dirinya.
"Baik, aku akan ikut dengan kalian ke istana," katanya.
Wajah perwira itu berseri-seri dan girangnya bukan main. Juga anak buahnya semua tersenyum girang karena kalau pasukan mereka ini yang menemukan pendekar wanita itu, tentu berarti mereka akan menerima pujian dan ganjaran besar!
"Saya akan memberi isyarat kepada semua pasukan Kim-i-wi!" katanya.
Tak lama kemudian dia melepaskan panah ke udara, anak panah berapi yang menyalakan kembang api berwarna biru di udara.
Setiap hari mereka mengirim isyarat panah berapi itu dan sebelum mereka tiba di istana pasukan itu semakin bertambah terus, didatangi oleh pasukan-pasukan Kim-i-wi lain yang tersebar ke mana-mana dan akhirnya ketika rombongan itu tiba di istana, yang mengiringi In Hong tidak kurang dari seratus orang!
Dara itu sendiri diberi seekor kuda yang pilihan dan di sepanjang perjalanan memperoleh pelayanan sebagai seorang puteri saja sehingga In Hong yang sudah biasa hidup bebas dan menghadapi kesulitan-kesulitan sampai merasa sungkan sendiri. Akan tetapi karena dia tahu bahwa perlakuan dan sikap mereka itu adalah untuk memenuhi perintah kaisar, maka dia pun tidak menolak. Bila mereka kemalaman di jalan, setiap pembesar-pembesar setempat menyambutnya dengan penuh penghormatan, menjamunya dan memberinya kamar yang terbaik dari gedung mereka.
Akhirnya In Hong dibawa oleh panglima pengawal menghadap kaisar. Begitu melihat dara perkasa ini muncul di ruangan, kaisar sudah tersenyum lebar dan melambaikan tangan dengan girang, sehingga para menteri dan pembesar yang hadir di situ menjadi terheran-heran.
"Yap In Hong lihiap...! Alangkah girang hati kami mendengar akan kedatanganmu!"
In Hong adalah seorang gadis yang sejak kecil hidup di dunia kang-ouw dan tentu saja dia tidak mengenal tata tertib istana, tidak pula mengenal kesusilaan yang sudah menjadi tradisi di dalam istana kaisar. Akan tetapi dia seorang yang cerdas, maka biar pun dia tidak tahu akan kebiasaan di situ, dia segera menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
"Semoga paduka selamat, bahagia, dan berusia panjang!"
Tiba-tiba kaisar yang kini agak gemuk dan wajahnya segar berseri itu tertawa bergelak dan kembali semua menteri saling pandang dengan heran. "Ha-ha-ha, Hong-lihiap, dari manakah engkau memperoleh kepandaian memberi hormat seperti itu? Bangkitlah dan duduklah di atas bangku yang sudah tersedia itu. Kita bicara seperti dahulu ketika kita bersama lolos dari benteng Sabutai dan keluar masuk hutan!"
Wajah In Hong menjadi merah dan dia bangkit, menjura lalu duduk di atas bangku sambil tersenyum. "Hamba hanya ikut-ikutan saja, sri baginda. Kalau ternyata keliru harap tidak ditertawakan dan diampunkan."
"Tidak, engkau adalah tamuku, penolongku, bahkan sudah kuanggap saudaraku sendiri, Hong-lihiap! Semenjak aku kembali ke sini, aku selalu teringat padamu sehingga kusuruh mencari ke mana-mana. Aku minta kepadamu, lihiap, agar engkau suka tinggal di istana ini, sebagai seorang saudaraku dan untuk jasa-jasamu, kuangkat engkau menjadi Puteri Pelindung Kaisar yang juga kuanggap sebagai adikku sendiri. Mulai sekarang kau berhak keluar masuk di seluruh istana ini dan berhak tinggal di sini selama yang engkau sukai."
Kembali semua menteri melongo mendengar ini, Akan tetapi, karena mereka pun sudah mendengar bahwa pendekar wanita bernama Yap In Hong inilah yang telah membebaskan kaisar dari tawanan Raja Sabutai, maka mereka hanya dapat mengangguk.
Di waktu kaisar menjadi tawanan dan terancam bahaya, orang sekerajaan tidak ada yang mau atau berani menolong kecuali dara ini! Sudah sepatutnya kalau kini kaisar membalas jasanya yang amat besar itu.
In Hong merasa terharu juga oleh limpahan perasaan seperti itu, akan tetapi dia masih bertanya, "Tentu hamba tidak terikat di sini, bukan?"
Kaisar tersenyum lebar. "Tidak, lihiap. Akan tetapi kuharap dengan sungguh agar engkau dapat selamanya tinggal di sini, bahkan kelak apa bila engkau sudah bersuami, suamimu akan kami beri pangkat dan kedudukan tinggi agar engkau selalu dekat dengan kami."
In Hong menghaturkan terima kasih dan kaisar lalu memanggil kepala pengawal dalam istana kemudian memerintahkan panglima ini untuk mengantar In Hong ke dalam istana dan memberinya sebuah gedung yang serba indah dan lengkap di bagian keputren.
Mulai hari itu, kehidupan In Hong berubah sama sekali! Biar pun dia tidak suka bersolek, dan tidak ingin memakai pakaian yang indah-indah, akan tetapi sesudah semua pakaian tersedia dan dia tidak ingin membikin malu kaisar karena dia dianggap sebagai seorang puteri, atau adik angkat kaisar sendiri, terpaksa In Hong mengganti semua pakaiannya yang sederhana dengan pakaian yang serba indah gemerlapan!
Dia pun menduga bahwa di balik semua ini, tentu ada suatu maksud dari kaisar dan dia menduga bahwa hal itu tentulah ada hubungannya dengan Khamila! Karena, bukankah hanya dia yang tahu bahwa antara kaisar ini dengan isteri Raja Sabutai itu terdapat jalinan hubungan yang amat mesra?
Dugaannya memang tepat karena beberapa hari kemudian, ketika terdapat kesempatan kaisar bertemu berdua saja dengan In Hong, kaisar berkata, "Hong-lihiap, aku lebih suka menyebutmu lihiap dari pada adik atau puteri, karena sebutan ini mengingatkan aku akan pengalaman-pengalaman kita dulu. Engkau tentu tahu, lihiap, bahwa hadirnya engkau di dalam istana ini, di dekatku membuat aku merasa seolah-olah dia pun tidak jauh dariku."
In Hong mengangkat muka memandang wajah kaisar yang kelihatan terharu dan berduka itu. Dia mengangguk akan tetapi tidak tahu harus berkata apa.
"Aku hanya mengharap, lihiap, sebagai satu-satunya orang yang tahu akan rahasia kami itu, selain engkau tidak akan membocorkan rahasia ini, juga kelak sekali waktu engkau dapat mewakili aku untuk menengok... anak itu di sana."
In Hong mengangguk-angguk. Dia segera mengerti, dan mudahlah menduga siapa yang dimaksudkan dengan anak itu. Tentu anak yang dulu dikandung oleh Khamila.
"Harap paduka jangan khawatir. Sewaktu-waktu hamba akan memenuhi perintah paduka."
Demikianlah, In Hong kini menjadi seorang puteri yang bebas keluar masuk di seluruh bagian istana itu, dihormati oleh semua pengawal, pelayan dan ponggawa istana. Kalau tadinya ada yang menyangka bahwa pendekar wanita yang cantik itu menjadi kekasih kaisar, kini mereka itu keliru dan ternyata bahwa benar-benar kaisar melakukan kebaikan itu untuk membalas jasa.
Akan tetapi, karena sikap In Hong yang tidak sombong, bahkan kini dara itu mempelajari segala macam kebiasaan di istana dan mulai dapat merubah sifatnya yang tadinya dingin, kaku dan ganas, di samping berita akan kelihaian dara itu, maka semua orang merasa suka kepadanya.
********************
"Tio-twako...!"
"Ehh, Tio-twako datang...!"
Kwi Beng dan Kwi Eng yang sedang duduk di serambi depan rumah mereka di Yen-tai, meloncat dengan girang dan lari ke pekarangan menyambut kedatangan seorang pemuda yang tinggi kurus, bersikap gagah dan berpakaian sederhana, berwarna kuning dan yang memasuki pekarangan gedung itu dengan sikap ragu-ragu. Pemuda itu bukan lain adalah Tio Sun.
Begitu bertemu dan melihat wajah Maria de Gama atau Souw Kwi Eng, sepasang mata Tio Sun bersinar-sinar, kedua pipinya menjadi agak kemerahan dan jantungnya berdebar keras. Alangkah hebat rasa rindu hatinya terhadap dara ini, baru sekarang benar-benar terasa olehnya setelah berhadapan muka! Akan tetapi, tentu saja dia berusaha menekan perasaannya ini dan cepat menjura.
"Beng-te dan Eng-moi, apa kabar? Kuharap kalian baik-baik saja selama ini. Apakah aku tidak mengganggu kalian dengan kunjunganku ini?"
"Ahhhh, Tio-twako kenapa begini sungkan?" Kwi Eng yang memang berwatak bebas dan ramah itu menegur. "Bukankah kita sudah menjadi sahabat-sahabat baik?"
"Tio-twako, marilah masuk menemui ayah dan ibu kami, kemudian kami hendak banyak bicara, banyak bertanya kepadamu, twako." Kwi Beng lalu menggandeng tangan tamunya itu.
"Aihh, dia ingin banyak bertanya tentang enci Hong yang dirindukannya, hi-hik!" Souw Kwi Eng menggoda.
"Hushh, jangan main-main kau!" Kwi Beng membentak dan melototkan matanya. Tio Sun hanya tersenyum menyaksikan dua orang yang wajahnya serupa hanya bedanya pria dan wanita itu berkelakar dan bergurau.
Yuan de Gama dan isterinya, Souw Li Hwa, segera keluar menyambut dengan ramah ketika mendengar akan kedatangan sahabat kedua orang anak mereka itu. Tentu saja mereka sudah mendengar penuturan kedua orang anak mereka mengenai Tio Sun yang dahulu telah membantu Kwi Eng pada saat hendak menyelamatkan Kwi Beng yang diculik oleh Tokugawa. Tentu saja mereka berterima kasih sekali kepada Tio Sun, apa lagi ketika mendengar bahwa Tio Sun adalah putera tunggal Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, Souw Li Hwa makin suka dan semakin ramah kepada pemuda sederhana itu.
"Aku mengenal baik ayahmu itu," katanya. "Dia seorang pengawal yang amat setia dan berlimu tinggi."
Tio Sun memandang dengan wajah berseri dan menjura. "Ayah banyak bercerita tentang toanio sebagai murid yang amat lihai dari mendiang Panglima The Hoo."
"Aihh, jangan menyebut aku toanio, Tio Sun. Sebut saja bibi, karena sesungguhnya kita adalah orang-orang sendiri bukan?" kata Souw Li Hwa dengan ramah sambil tersenyum dan biar pun usia nyonya ini sudah sekitar empat puluh tahun, namun dia masih nampak muda dan cantik.
"Terima kasih, bibi."
"Dan kau boleh menyebut aku paman, Tio Sun." kata pula Yuan de Gama yang sudah pandai sekali berbahasa daerah sehingga bekas kapten kapal ini tidak seperti orang asing lagi, sungguh pun kebiruan matanya serta kekuningan rambutnya tentu saja tidak dapat menyembunyikan keasingannya.
Suami isteri itu mengajak Tio Sun bercakap-cakap sejenak. Mereka berdua menyatakan terima kasih mereka kepada pemuda ini yang sudah menolong anak-anak mereka ketika mereka dahulu sedang berlayar ke barat. Tio Sun merendahkan diri, namun akhirnya dia menerima penawaran mereka untuk bermalam di rumah mereka selama beberapa hari agar bisa mempererat persahabatan. Kemudian, suami isteri itu meninggalkan tiga orang muda itu untuk bercakap-cakap sendiri.
Setelah ayah bundanya maninggalkan mereka, dan pelayan membawa buntalan pakaian Tio Sun ke sebuah kamar serta mengeluarkan makanan dan minuman, Kwi Eng kemudian berkata, "Tio-twako, dia itu sudah tidak sabar menanti ceritamu."
"Ehh, cerita apa?" Tio Sun balas menanya.
"Jangan pura-pura, twako, lihat dia seperti ikan di darat. Lekas kau ceritakan apakah kau pernah bertemu dengan enci Hong itu?" Kwi Eng berkata pula.
"Enci Hong...? Ahh, tentu yang kau maksudkan nona Yap In Hong itu? Hemmm, memang menarik sekali ceritanya."
Kini Kwi Beng benar-benar tak dapat menahan keinginan tahunya. "Kau pernah berjumpa dengan dia, twako? Di mana? Bagaimana dengan dia? Bagaimana ceritanya?"
Tio Sun memegang tangan pemuda itu dan diam-diam dia pun menghela napas panjang. Jelas bahwa pemuda remaja ini yang usianya kurang lebih tujuh belas tahun, telah jatuh cinta kepada Yap In Hong!
"Bertemu sih tidak, akan tetapi nona Yap In Hong..."
"Ahh, begitukah namanya? Setahu kami hanya Hong saja...," kata pula Kwi Beng dengan girang. "Yap In Hong... sungguh tepat sekali, namanya memang sesuai dengan orangnya yang..."
"Cantik manis!" Kwi Eng menggoda.
"Yang amat lihai," Kwi Beng melanjutkan tanpa mempedulikan godaan saudaranya.
Kembali Tio Sun menarik napas panjang, tak tahan dia melihat gerak-gerik Kwi Eng yang serba membetot semangat dan menarik hatinya. Pandang mata yang biru itu, kerlingnya, senyumnya, gerakan bibirnya, cara dara itu menggerakkan kepala untuk menyingkapkan rambut yang sering kali turun menutupi mukanya, ahhhh... sungguh sukar baginya untuk bercerita, apa lagi menceritakan orang lain. Kalau boleh, dia hanya akan duduk saja dan memandangi dara itu yang demikian lincah, demikian jelita, demikian...
"Ehh, kenapa kau bengong saja, twako?" tiba-tiba Kwi Beng menegur.
"Dan kau memandang saja padaku, ada apa sih pada wajahku? Apa ada kotorannya?" Kwi Eng sibuk mengusap hidung dan pipinya.
"Tio-twako tentu jengkel karena kau menyela terus, sih!" Kwi Beng mengomel. Bagi Kwi Beng, tentu saja sangat sukar membayangkan ada orang laki-laki bisa tergila-gila kepada saudara kembarnya ini!
"Tidak apa-apa, maafkan aku...," Tio Sun menunduk dan menelan ludah menenteramkan jantungnya yang berdebar tidak karuan. "Sebenarnya... ehhh, banyak sekali hal-hal aneh kudengar tentang nona Yap In Hong itu. Dia benar-benar amat luar biasa, di luar dugaan dan hebat!"
"Nah, apa kataku? Dia memang wanita paling hebat di dunia ini!" kata Kwi Beng sambil memandang kepada adiknya.
"Siapa yang menyangkal?" Kwi Eng menjawab. "Akan tetapi dia terlalu hebat untukmu. Tio-twako, sekarang ceritakanlah, kami ingin sekali mendengarnya," kata Kwi Eng sambil menyentuh tangan pemuda tinggi kurus itu.
Tersirap darah ke leher dan muka Tio Sun dan tangannya yang tersentuh itu menggigil. Dia merasa heran sendiri mengapa dia menjadi lemah seperti ini menghadapi gadis itu. Untuk menenangkan jantungnya yang bergelora, Tio Sun meneguk air teh di hadapannya, kemudian barulah dia bercerita.
"Pertama-tama, dara perkasa yang kita kenal sebagai nona Hong itu ternyata bernama Yap In Hong, adik kandung dari paman Yap Kun Liong..."
"Ahhh...!" Seruan ini berbareng keluar dari dua mulut yang bentuknya sama, mulut Kwi Eng dan mulut Kwi Beng. "Tetapi... tetapi paman Yap Kun Liong sudah setengah tua dan nona Hong..."
"Tentu lebih tua dari pada kita!" kata Kwi Eng.
"Paling banyak selisih dua tahun!" kata Kwi Beng membantah.
"Entahlah. Akan tetapi kenyataannya demikian, dia adalah adik kandung paman Yap Kun Liong dan dia memang memiliki ilmu tinggi sekali karena kabarnya dia itu adalah murid tunggal dari ketua Giok-hong-pang. Yang paling hebat adalah karena dialah yang berhasil menyelamatkan kaisar."
"Hebat...!" seru Kwi Eng.
"Twako, bukankah kabarnya kaisar sudah ditawan oleh raja liar dan kini telah kembali lagi ke kota raja?" tanya Kwi Beng.
"Benar, dan Yap In Hong itulah yang menyelamatkan kaisar, menolong kaisar hingga lolos dari tawanan benteng Raja Sabutai."
"Luar biasa! Dia seorang pahlawan kalau begitu!" Souw Kwi Beng berseru gembira.
"Memang hebat dia, bahkan ketua Cin-ling-pai sendiri, dengan bantuan banyak orang pandai, tidak mampu menyelamatkan kaisar yang ditawan. Akan tetapi nona Yap In Hong seorang diri menyelundup ke dalam benteng musuh, pura-pura menjadi kaki tangan Raja Sabutai, akan tetapi tahu-tahu dialah yang meloloskan kaisar dari tawanan."
"Bukan main...! Di mana sekarang dia berada, twako?" Kwi Beng bertanya.
"Entah, saya belum mendengar lagi, akan tetapi ada berita bahwa nona Yap In Hong kini berada di kota raja."
"Dan bagaimana kabarnya dengan... kanda Cia Bun Houw...?" tiba-tiba Kwi Eng bertanya.
"Ehm, ehm...!" Kwi Beng terbatuk-batuk, dehem buatan dan Kwi Eng melotot kepadanya.
Tio Sun merasa jantungnya tertusuk. Dahulu pun dia sudah melihat bahwa dara ini tertarik kepada Bun Houw.
"Dia...? Dia bersama dengan aku membantu ayahnya pada saat kami berusaha menyerbu benteng Sabutai untuk menolong kaisar, akan tetapi gagal. Kemudian, sesudah kaisar berhasil diselamatkan oleh nona Yap In Hong, agaknya terjadi perdamaian antara kaisar dan Raja Sabutai, dan Cia-taihiap lalu pergi menyusul nona Yap In Hong yang sesudah berhasil menolong kaisar lalu kembali ke dalam banteng Raja Sabutai."
"Aih, tentu berbahaya sekali! Lalu apa yang terjadi?" Kwi Eng bertanya kaget mendengar betapa Bun Houw memasuki benteng Raja Sabutai.
"Kabarnya banyak yang terjadi di sana. Banyak terjadi pertempuran di antara orang-orang pandai yang sengaja diadu oleh Raja Sabutai dan kabarnya tiga orang Bayangan Dewa telah tewas di tangan Cia-taihiap."
"Hebat...!" Kwi Eng bersorak girang.
"Kemudian bagaimana, twako? Tentunya pedang Siang-bhok-kiam sudah kembali kepada Houw-koko, bukan?"
"Entahlah, aku sendiri belum sempat bertemu lagi dengan dia."
“Sayang, kami berdua pun belum lama kembali dari Cin-ling-san, akan tetapi juga tidak berjumpa dengan dia," kata Kwi Eng.
"Cin-ling-san?" Tio Sun bertanya heran.
"Ya, bersama ibu," jawab Kwi Eng dan tiba-tiba dia menunduk dengan kedua pipi berubah merah sekali.
"Ha, dia sudah amat rindu kepada Houw-koko, Tio-twako, rindu kepada tunangannya itu! Ha-ha-ha!"
"Ihhh, tak tahu malu kau!" Kwi Eng mencubit lengan saudaranya lalu lari ke dalam.
Seketika wajah Tio Sun berubah pucat. "Tunangan...?" Dia berbisik.
"Kami ke sana bersama ibu dan ibu membicarakan tentang pertunangan mereka, dan sudah disetujui. Adikku yang bengal itu beruntung sekali telah dijodohkan dengan kanda Cia Bun Houw... ehhh, kau kenapa, Tio-twako?" Kwi Beng bertanya kaget melihat wajah yang menjadi pucat dan mata yang dipejamkan itu.
"Ahhh... ehhh, tidak apa-apa..." Tio Sun membuka matanya dan meraba-raba cangkirnya, lalu diminumnya isi cangkir, tapi jelas tangannya gemetar dan ketika dia mengembalikan cangkir ke atas cawan, terdengar bunyi berkeretakan karena tangan itu tidak dapat diam.
"Kau... kau pucat sekali dan gemetar. Kau seperti orang sakit, twako," Kwi Beng bertanya khawatir.
Tio Sun menggigit bibir. "Tidak apa-apa, mungkin karena lelah, Beng-te, aku permisi..." Tio Sun bangkit dari bangkunya.
"Ehhh? Ke mana?" Kwi Beng berseru kaget.
Tio Sun sadar kembali bahwa dia sudah menerima undangan mereka untuk menginap di situ, maka dia menahan kakinya yang sudah hendak melangkah pergi. "Ehh... aku mau beristirahat..."
"Kamarmu ada di sebelah sana, twako. Marilah kuantar, kau kelihatan pucat dan gemetar, agaknya kau sakit."
"Agaknya begitulah, Beng-te... terima kasih..." Tanpa bicara apa-apa lagi Tio Sun segera mengikuti Kwi Beng yang mengantarkan sampai ke kamarnya.
Sesudah pemuda itu meninggalkannya, Tio Sun lalu menutup pintu kamarnya dan rebah terlentang, berkali-kali menarik napas panjang sampai akhirnya dia dapat menenangkan batinnya yang terguncang hebat sesudah mendengar bahwa Kwi Eng telah bertunangan dan dijodohkan dengan Bun Houw itu.
"Ahh, engkau sungguh tak tahu diri!" Dia menghela napas dan menyesalkan diri sendiri. "Sejak dulu pun sudah jelas bahwa dia tertarik kepada Cia Bun Houw, dan memang sudah sepantasnyalah demikian. Dia seorang gadis yang cantik jelita, pandai dan kaya raya, sudah sepatutnya berjodoh dengan Cia Bun Houw yang lihai, putera ketua Cin-ling-pai. Sedangkan aku ini apa? Sungguh tak tahu diri!"
Penyesalan terhadap dirinya sendiri dan kesadaran bahwa sudah sepatutnya apa bila Kwi Eng berjodoh dengan Cia Bun Houw yang dikaguminya, dan bahwa sudah semestinya pula kalau dia ikut girang melihat gadis yang dicintanya itu berbahagia memperoleh jodoh seorang pilihan seperti putera ketua Cin-ling-pai itu dan mengesampingkan keinginannya untuk mementingkan diri sendiri, meringankan beban guncangan batinnya dan ketika Kwi Eng dan Kwi Beng datang menengoknya, Tio Sun telah tenang pula.
"Kata Beng-ko engkau sakit, twako?" Kwi Eng menegurnya pada waktu dia menyambut kedatangan dua orang kakak beradik itu ke kamarnya.
"Ahhh, mungkin hanya terlalu lelah dan masuk angin." jawab Tio Sun sambil tersenyum. "Akan tetapi sudah sembuh kembali setelah mengaso sebentar di kamar yang nyaman ini. Terima kasih. Oh ya, aku... aku menghaturkan selamat atas pertunanganmu dengan Cia-taihiap, adik Kwi Eng!"
Tergopoh-gopoh Kwi Eng membalas pemberian selamat itu dengan kedua pipi berubah merah. "Terima kasih, Tio-twako. Kau baik sekali."
Selanjutnya,