Dewi Maut Jilid 33
SI KWI terkejut sekali. Tak disangkanya dia akan diserang oleh majikan Padang Bangkai itu. Akan tetapi, karena hatinya sudah tidak senang kepada mereka, timbul keinginannya untuk melawan dan melihat sampai di mana kepandaian majikan Padang Bangkai yang sikapnya menjemukan hatinya itu. Dengan mengandalkan ginkang-nya yang istimewa, Si Kwi dapat mengelak kemudian balas menendang dari samping ke arah lambung majikan Padang Bangkai itu.
"Ahhhh!" Ang-bin Ciu-kwi berseru kaget.
Tak diduganya bahwa gadis muda itu dapat mengelak begitu mudahnya dari serangannya tadi, bahkan mampu membalas serangannya dengan tendangan yang demikian cepatnya. Dia menggunakan tangan kanan untuk menangkap kaki gadis itu.
Tentu saja Si Kwi tidak sudi membiarkan kakinya tertangkap. Dia segera menarik kakinya dan dengan sekali loncatan kilat dia sudah berada di sebelah kiri lawan lalu dari sini dia menggunakan tangan terbuka menampar ke arah tengkuk lawan.
"Plakkk!"
Ang-bin Ciu-kwi menangkis dan tubuh Si Kwi agak terhuyung, akan tetapi si Setan Arak itu pun terkejut.
"Wah, boleh juga gadis ini!" serunya.
Kini dengan gembira dia menubruk lagi. Ketika gadis itu mengelak, tiba-tiba dari dalam guci arak itu muncrat arak yang langsung menyerang ke arah muka Si Kwi.
"Aihhh...!" Si Kwi menjerit dan meski pun dia sudah cepat meloncat akan tetapi tetap saja pinggulnya kena diraba oleh tangan Ang-bin Ciu-kwi.
"Ha-ha-ha, isteriku. Dia masih perawan! Ha-ha-ha!" Ang-bin Ciu-kwi tertawa dan isterinya hanya mendengus, akan tetapi mulutnya tersenyum.
Wajah Si Kwi menjadi merah sekali dan marahlah gadis ini. Tugas tinggal tugas, akan tetapi majikan Padang Bangkai ini terlalu menghina dia! Dicabutnya siang-kiam-nya dan dengan kedua pedang di tangan kanan kiri dia sudah menyerang dengan ganasnya.
"Wah-wah-wah, hebat juga... ganas... hemmm..." Ang-bin Ciu-kwi cepat-cepat mengelak dan menggerakkan gucinya menangkis.
Terdengar bunyi berkentrangan nyaring pada waktu sepasang pedang berkali-kali bentrok dengan guci. Akan tetapi karena Ang-bin Ciu-kwi agaknya tidak ingin membunuh gadis yang mulai menarik perhatiannya ini, dia mengelak ke sana-sini sambil menangkis dan dia kelihatan terdesak hebat oleh sepasang pedang Si Kwi yang sudah berubah menjadi dua gulungan sinar pedang yang amat cepat gerakannya itu.
"Hem, isteriku, apa kau sudah bosan padaku dan ingin melihat aku mampus?" Berkali-kali Ang-bin Ciu-kwi berteriak. "Bantulah aku menangkap gadis ini..."
"Hemm, yang seorang masih ada dan engkau masih inginkan dia ini?" isterinya mencela.
"Aahhh, isteriku, aku ingin yang masih perawan ini. Hayo, bantulah, kelak akan kucarikan seorang perjaka yang ganteng dan gagah perkasa untukmu. Aku berjanji!"
Tentu saja Si Kwi menjadi semakin marah dan dia membentak, "Mampuslah!" Pedangnya menyambar-nyambar dahsyat, sehingga majikan Padang Bangkai itu menjadi repot juga.
Tiba-tiba terdengar seruan Coa-tok Sian-li halus, "Bocah sombong, robohlah!"
Si Kwi mendengar suara halus, maka maklumlah dia bahwa ada senjata-senjata rahasia halus menyambar ke arahnya. Dia cepat-cepat mengelak dan dia berhasil menghindarkan jarum-jarum halus yang menyambar ke arah tengkuk serta kedua pundaknya, akan tetapi sebatang jarum yang menyambar ke arah kakinya tidak dapat diketahuinya. Tiba-tiba saja dia merasa pergelangan kakinya seperti bagaikan semut, kemudian menjadi lumpuh dan tergulinglah dia!
“Ha-ha-ha-ha!" Ang-bin Ciu-kwi menubruk dan cepat menotoknya sehingga gadis itu tidak dapat bergerak lagi, sepasang pedangnya dirampas. Si muka merah ini lalu memondong tubuh Si Kwi sambil tertawa-tawa.
Terdengar suara wanita terkekeh-kekeh dan Kiat Bwee sudah mendekati Ang-bin Ciu-kwi, merangkul dengan sikap manja.
"Ahhh, pergi kamu! Aku sudah bosan! Nah, kalian ambillah dia ini, untuk kalian bagi rata ha-ha-ha!" Ang-bin Ciu-kwi menendang dan tubuh Kiat Bwee terlempar ke arah lima belas orang anak buahnya.
Tentu aaja mereka menyambut tubuh Kiat Bwee yang masih montok itu dengan gembira. Kiat Bwee sendiri tertawa-tawa genit ketika dia dipeluk dan diciumi oleh banyak laki-laki, lalu dia dibawa pergi. Terdengar suara tawanya yang lambat-laun berubah menjadi pekik dan terdengar wanita itu menjerit-jerit menyayat hati.
"Sekarang kau jadi milikku, ha-ha! Kau perawan liar, kepandaianmu boleh juga!" Ang-bin Ciu-kwi hendak mencium Si Kwi, ditonton oleh isterinya yang tersenyum saja.
"Lepaskan aku! Lepaskan! Aku adalah murid subo Hek I Siankouw!" Si Kwi yang merasa terkejut dan ketakutan karena kini dia terancam bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut itu menjerit akan tetapi tidak dapat meronta.
Ang-bin Ciu-kwi mengurungkan niatnya untuk mencium. "Ah? Murid Hek I Siankouw yang berada di Lembah Naga?" Dia meragu.
"Huh, Hek I Siankouw memandang rendah kita!" tiba-tiba Coa-tok Sian-li berkata dan dia pun bangkit dari tempat duduknya. "Akan tetapi kita jangan membunuhnya, hanya kita harus memberi pelajaran kenapa Hek I Siankouw mengutus muridnya menyelidiki tempat kita." Dia lalu memberi obat pada mata kaki Si Kwi yang terkena jarum racun ularnya itu setelah mengeluarkan jarumnya, kemudian dia berkata lagi, "Suamiku, hayo bawa dia ke dalam kamar. Kau boleh menikmati dia sebelum kita suruh dia kembali kepada gurunya!"
Tentu saja Ang-bin Ciu-kwi menjadi girang bukan main. Dia memondong tubuh gadis itu kemudian bersama isterinya membawanya ke dalam kamar di mana tadi malam dia dan isterinya berpesta pora mengumbar nafsu bersama Kiat Bwee dan dua orang pelayan pria dari Giok-hong-pang itu.
Setelah melemparkan tubuh gadis itu ke atas pembaringan, Ang-bin Ciu-kwi menenggak araknya dan berkata, "Kau bantu aku memeganginya sesudah kubebaskan totokannya, isteriku!"
Suami isteri ini memang sudah bukan merupakan manusia-manusia normal lagi. Mereka itu menjadi budak-budak nafsu birahi yang aneh dan cabul. Kesukaan mereka menonton adegan-adegan cabul sama besarnya dengan nafsu-nafsu birahi mereka sendiri. Karena itu tidaklah mengherankan kalau mereka itu kadang-kadang saling menonton bila seorang di antara mereka sedang main gila dengan orang lain! Dan kini, Coa-tok Sian-li bahkan hendak membantu suaminya menggagahi dan memperkosa seorang gadis yang mereka tawan!
Terdengar suara kain robek ketika bagaikan seekor binatang buas kelaparan Ang-bin Ciu-kwi merenggutkan semua pakaian dari tubuh Si Kwi sambil memegangi kedua tangan gadis itu dengan tangan kanannya, sedangkan kedua kaki gadis yang sudah dibebaskan dari totokan itu dipegangi oleh Coa-tok Sian-li yang biar pun hanya ingin menonton, akan tetapi gairah nafsunya sama berkobarnya seperti suaminya.
"Lepaskan aku...!" Si Kwi menjerit ngeri. "Aku... aku adalah utusan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li dari Lembah Naga!"
"Ahhh...?!" Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya terkejut bukan main mendengar pengakuan ini.
Tadinya Si Kwi memang enggan menggunakan nama kakek dan nenek iblis itu karena dia mengira bahwa nama gurunya sudah cukup besar dan berpengaruh. Akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa kepandaiannya sendiri ditambah nama besar gurunya tidak dapat menyelamatkannya bahkan dia telah berada di ambang mala petaka yang sangat mengerikan hatinya, terpaksa berantakanlah keangkuhannya dan dia mengaku bahwa dia adalah utusan kakek dan nenek iblis itu. Pengakuan ini sekaligus membuyarkan semua nafsu dari dalam kepala Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, terganti oleh rasa takut yang hebat.
"Benarkah...?" Coa-tok Sian-li bertanya, mukanya agak pucat.
"Siapa membohong? Aku datang atas perintah mereka!" kata pula Si Kwi.
"Akan tetapi, mengapa tidak kau katakan sejak tadi?" Ang-bin Ciu-kwi bertanya.
"Lepaskan aku, baru akan kuceritakan, atau kau lanjutkan perbuatanmu yang terkutuk ini dan jantung kalian akan dimakan mentah-mentah oleh mereka!" Si Kwi menggertak.
Suiami isteri yang memang sangat takut terhadap kakek dan nenek iblis itu cepat-cepat melepaskan pegangan mereka dan membiarkan Si Kwi duduk. Bahkan Coa-tok Sian-li lalu mengambilkan satu setel pakaiannya sendiri, diberikan kepada Si Kwi untuk dipakai karena pakaian merah gadis itu telah robek.
Dengan cemberut karena masih merasa malu dan terhina oleh perlakuan tadi, Si Kwi memakai pakaian nyonya rumah. "Suruh jahit kembali pakaianku sendiri ini!" bentaknya.
"Ehh... maafkan kami, maafkan aku...," kata Ang-bin Ciu-kwi sambil menenggak araknya.
Sedikit pun dia tidak menduga bahwa daging yang berada di depan mulutnya dan tinggal ditelan itu akan gagal dimakannya. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani nekat sesudah mendengar nama kakek dan nenek yang sangat ditakutinya itu karena dia dan isterinya maklum bahwa mereka sama sekali bukan tandingan kakek dan nenek itu.
“Sebenarnya kami tidak salah," Coa-tok Sian-li membantah sambil memandang gadis itu yang sekarang telah duduk di atas pembaringan sambil memandang mereka dengan sinar mata penuh kebencian, kemudian dia pun duduk di dekat gadis itu. "Mengapa kau tidak memperkenalkan diri dan malah memusuhi kami?"
Si Kwi menghela napas. Dia terpaksa harus menekan kemarahannya dan kebenciannya karena mereka berdua benar-benar tangguh. "Semua adalah salahnya anak buah kalian," katanya, "Mereka mengganggu aku dan menimbulkan kemarahanku."
"Sudahlah," Coa-tok Sian-li menghibur. "Untung belum sampai terjadi hal-hal yang lebih hebat. Sekarang ceritakan, siapakah engkau dan apa tugasmu ke sini?"
"Namaku Liong Si Kwi, aku murid subo Hek I Siankouw yang membantu kedua locianpwe Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Kedua locianpwe itu yang mengutus aku datang ke sini menemui kalian untuk menyampaikan pesan mereka."
"Hemm, apakah pesan kedua locianpwe itu?" Ang-bin Ciu-kwi bertanya, agak gelisah juga kalau teringat betapa hampir saja dia menghina utusan dari dua orang kakek dan nenek iblis itu!
Si Kwi memandang kepada si muka merah itu dengan sinar mata penuh kebencian! Lalu dia menjawab perlahan, "Aku diutus untuk menyampaikan kepada kalian bahwa menurut perhitungan kedua locianpwe itu, pada hari-hari mendatang ini tentu musuh-musuh mulai berdatangan, maka kalian harus bersiap-siap dengan waspada dan jangan sampai lengah. Pula, andai kata ada lawan tangguh mampu melewati Padang Bangkai, kalian juga harus cepat-cepat memberi khabar ke Lembah Naga."
"Ha-ha-ha!" Ang-bin Ciu-kwi tertawa dan menenggak araknya. "Harap sampaikan kepada ji-wi locianpwe di Lembah Naga agar supaya mereka jangan khawatir. Kami sudah siap berjaga-jaga dan tidak mungkin ada lawan yang dapat melewati Padang Bangkai!"
"Hemmm, ucapan bagus akan tetapi kosong!" Si Kwi berkata sambil memandang marah. "Apa yang harus kukatakan kepada ji-wi locianpwe itu mengenai keadaan yang kulihat di sini? Semua anak buahmu bersenang-senang, mengganggu dan menyiksa wanita, malah kulihat majikan mereka sendiri pun sama saja, bahkan yang memberi contoh! Sungguh menjijikkan!"
Akan tetapi Si Kwi makin mendongkol, penasaran dan juga terheran-heran ketika melihat suami isteri itu tertawa bergelak. Benar-benar orang-orang ini setengah gila atau mabok, pikirnya.
"Ha-ha-ha, bagus sekali, nona! Kau laporkan kepada ji-wi locianpwe di Lembah Naga apa yang telah kami perbuat terhadap tiga puluh orang wanita beserta enam orang pria yang kemarin berani menyerbu ke sini! Ceritakanlah! Engkau sudah melihat betapa anak buah kami membunuhi perempuan-perempuan itu, bukan? Dan perempuan yang kuhadiahkan kepada mereka tadi adalah pimpinan mereka. Ceritakanlah kepada ji-wi locianpwe bahwa kami sudah membasmi tiga puluh orang wanita serta enam orang pria, semua anggota-anggota Giok-hong-pang, anak buah nona yang kini menjadi tawanan ji-wi locianpwe itu. Ha-ha-ha! Kami layak menerima ganjaran!"
Bukan main kagetnya hati Si Kwi mendengar ini. Akan tetapi dia masih tetap mengomel. "Hemmm, ternyata mereka adalah fihak musuh? Mengapa mereka tidak dibunuh saja melainkan dipermainkan seperti itu? Kalian adalah iblis-iblis keji, bukan manusia!"
Dua orang suami isteri itu hanya tertawa dan sehari itu Si Kwi terpaksa harus tinggal di Padang Bangkai karena kakinya harus diobati. Kalau tidak mendapat obat penawar yang mujarab dari Coa-tok Sian-li sendiri, tentu nyawanya akan terancam atau kalau diobati orang lain, akan memakan waktu lama sekali.
Akan tetapi setelah diobati oleh Coa-tok Sian-li dan beristirahat selama sehari semalam, pada keesokan harinya gadis itu telah pulih kembali kesehatannya, dan dia meninggalkan Padang Bangkai dengan muka masih membayangkan rasa marah dan ketidak senangan hatinya terhadap suami isteri itu.
"Bagaimana pendapatmu tentang dia?" Ang-bin Ciu-kwi bertanya kepada isterinya sambil memandang tubuh belakang Si Kwi ketika gadis itu berjalan pergi.
"Hemmm, sungguh mengherankan mengapa ji-wi locianpwe menggunakan orang macam dia. Dia berbahaya sekali, dan sesudah dia datang, entah bagaimana dengan nasib kita nanti," jawab isterinya.
"Bagus! Aku pun berpikir demikian. Orang seperti dia harus ditundukkan, kalau tidak bisa berbahaya untuk kita!"
"Kau betul," isterinya mengangguk, lalu mengeluarkan sebungkus obat dari saku bajunya. "Pergunakan ini, kalau kemudian dia masih tidak mau tunduk, habiskan saja!"
Wajah yang merah itu menjadi berseri dan Ang-bin Ciu-kwi merangkul dan mencium mulut isterinya. "Kau manis!" Kemudian sambil tertawa-tawa dan membawa guci araknya, dia lalu melompat dan berlari cepat, menyusul Si Kwi mengambil jalan lain untuk memotong jalan dan menghadang gadis itu.
Suami isteri ini selain aneh, cabul dan kejam, juga amat cerdik. Mereka khawatir melihat sikap Si Kwi yang terang-terangan membenci mereka dan membenci perbuatan mereka saat mempermainkan orang-orang Giok-hong-pang sebelum membunuh mereka itu. Dan karena mereka berdua pernah melakukan kesalahan, hampir saja menghina utusan dua orang kakek dan nenek iblis, maka mereka merasa curiga kalau-kalau nanti Si Kwi akan mengadu kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li tentang urusan penghinaan itu. Jika demikian, bisa berbahaya untuk mereka.
Maka keduanya bersepakat hendak menundukkan perawan itu dengan jalan memaksanya mengadakan hubungan kelamin dengan Ang-bin Ciu-kwi dengan menggunakan obat racun yang pernah mereka lolohkan kepada Bhe Kiat Bwee. Kalau perawan itu kelak menyadari bahwa dia telah melakukan hubungan dengan Ang-bin Ciu-kwi dengan dasar ‘suka sama suka’, tentu saja dengan bantuan obat bius itu, tentu gadis itu tak berani lagi melaporkan yang bukan-bukan. Kalau kemudian siasat itu gagal dan si gadis masih memperlihatkan sikap bermusuhan, agar dibunuh saja dan disembunyikan, lalu pura-pura tidak tahu akan kedatangannya.
Sementara itu, ketika meninggalkan rumah suami isteri itu, Si Kwi merasa tidak senang sekali. Dia merasa menyesal kenapa subo-nya sekarang bergaul dengan segala macam orang seperti itu! Bukan manusia lagi, melainkan iblis! Dan dia harus bersekutu dengan orang-orang macam itu!
Gadis ini merasa menyesal sekali dan ketika dia berjalan meninggalkan rumah itu, terjadi perang di dalam hatinya. Kalau teringat akan subo-nya, dan teringat akan supek-nya, Hwa Hwa Cinjin yang telah terbunuh mati musuh dan harus dibalas, memang dia ingin kembali ke utara, ke Lembah Naga. Akan tetapi kalau teringat akan kekejaman kakek dan nenek iblis itu, kemudian teringat akan keadaan para pembantunya seperti orang-orang Padang Bangkai yang demikian mengerikan, ingin dia pergi meninggalkan tempat itu jauh-jauh dan tidak mencampuri urusan mereka!
Dan akhirnya, kengerian yang disaksikannya di Padang Bangkai membuat dia mengambil keputusan tetap hendak meninggalkan saja tempat itu, menuju ke selatan! Dia bukanlah seorang penjahat. Bukan! Biasanya dia malah menentang dan memusuhi para penjahat semacam majikan Padang Bangkai itu bersama anak buah mereka! Akan tetapi kini dia disuruh bersekutu dengan orang-orang macam mereka! Huh, lebih baik mati kalau begitu.
Pikiran ini mendorong Si Kwi untuk mengayun langkah lebih cepat lagi menuju ke pintu gerbang selatan di mana terdapat jembatan yang menyeberang sungai yang mengelilingi benteng dusun itu. Tidak nampak seorang pun penjaga, dan memang inilah keistimewaan benteng sarang gerombolan Padang Bangkai itu. Para anak buah Padang Bangkai tidak pernah memperlihatkan diri, hanya melakukan penjagaan sambil bersembunyi, dan hal ini menambah bahayanya tempat yang menyeramkan itu.
Kini, tentu saja para anak buah Padang Bangkai tahu bahwa Si Kwi sudah meninggalkan rumah majikan mereka. Akan tetapi karena mereka juga maklum bahwa gadis itu ternyata bukanlah musuh melainkan utusan dari Lembah Naga, mereka tidak berani mengganggu, hanya merasa heran mengapa gadis itu meninggalkan kampung mereka pergi ke selatan!
Bukan hanya mereka yang heran. Terutama sekali Ang-bin Ciu-kwi yang terheran-heran ketika dia membayangi gadis itu dan melihat gadis itu keluar dari pintu gerbang selatan! Cepat dia menyelinap dan mengambil jalan rahasia memotong jalan gadis itu, kemudian menanti di dalam rumpun alang-alang karena dia tahu bahwa gadis itu harus melalui jalan ini berhubung tidak ada jalan lain.
Si Kwi merasa sangat menyesal dan juga berduka. Kenapa gurunya rela bergaul dengan orang-orang macam itu? Semenjak dulu dia tidak setuju, yaitu ketika gurunya itu bergaul dengan golongan yang menamakan dirinya Lima Bayangan Dewa. Si Kwi pun tahu bahwa gurunya hanya terbawa-bawa oleh Hwa Hwa Cinjin yang hendak membalas dendam atas kematian suheng dari tosu itu, yang bernama Toat-beng Hoatsu. Dendam-mendendam itu membuat gurunya terpaksa harus bersekutu dengan manusia-manusia iblis seperti kakek dan nenek yang tinggal di Lembah Naga itu. Mengerikan!
Dia tahu bahwa sebenarnya subo-nya bukanlah seorang jahat, hanya akibat terseret-seret dalam dendam maka subo-nya terpaksa bersatu dengan orang-orang golongan hitam. Kini subo-nya menjadi kaki tangan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li hanya karena gurunya hendak membalas kematian Hwa Hwa Cinjin oleh gadis perkasa Yap In Hong itu.
Si Kwi menyesal bukan main. Dia sudah tidak mempunyai ayah bunda, dan satu-satunya keluarganya hanyalah subo-nya itu. Akan tetapi terpaksa dia meninggalkan subo-nya itu karena dia tidak ingin kembali ke sana, menjadi kaki tangan orang-orang dari kaum sesat.
Kini dia tiba di antara rumpun alang-alang. Dia sudah tahu jalan mana yang aman dari gangguan ular-ular berbisa dan binatang lain. Akan tetapi, tiba-tiba alang-alang di depan bergoyang sehingga gadis itu terkejut, cepat meraba senjatanya. Betapa kagetnya ketika dia tidak mendapatkan siang-kiam-nya di punggung dan baru teringat dia bahwa sepasang pedangnya itu sudah terampas oleh Ang-bin Ciu-kwi dan karena dia tergesa-gesa hendak lekas-lekas meninggalkan tempat itu, dia sampai lupa untuk memintanya kembali.
Akan tetapi, dia menjadi heran dan juga lega ketika melihat seorang laki-laki muncul dari rumpun alang-alang dan ternyata orang itu adalah Ang-bin Ciu-kwi sendiri! Ahh, kebetulan sekali, pikirnya dan melihat laki-laki bermuka merah itu berdiri sambil tersenyum lebar, Si Kwi lalu berkata,
"Tentu engkau hendak mengembalikan siang-kiam-ku yang ketinggalan!"
Akan tetapi Si Kwi langsung terkejut karena orang itu menyeringai dan pandang matanya mentertawakan bahkan lalu menenggak araknya dari guci dengan sikap yang mengejek dan mempermainkan.
"Liong Si Kwi, engkau memang patut sekali memakai pakaian warna merah. Makin manis saja kau. Akan tetapi aku percaya bahwa tanpa pakaian engkau akan lebih menarik lagi!"
Seketika kedua pipi dara itu menjadi merah sekali dan matanya berkilat saking marahnya mendengar pujian yang mengandung kekurang ajaran itu. "Ang-bin Ciu-kwi, mau apa kau menghadangku? Tadinya kukira engkau hendak mengembalikan siang-kiam-ku!" Si Kwi masih menahan kemarahannya karena dia maklum akan kelihaian orang ini.
"Ha-ha-ha! Baik sekali engkau ketinggalan senjatamu agar tidak terialu repot bagiku untuk menundukkanmu, manis!"
"Ciu-kwi! Jangan engkau kurang ajar atau aku akan melaporkan kepada ji-wi locianpwe di Lembah Naga!"
"Ha-ha-ha, nona manis, engkau tidak lagi bisa membohongi aku! Kalau engkau hendak kembali ke Lembah Naga, mengapa kau keluar dari sebelah selatan?"
Si Kwi terkejut dan baru ingat akan keadaannya yang memang mencurigakan. Akan tetapi dengan cerdik gadis ini menjawab, "Aku masih mempunyai suatu urusan di selatan, juga atas perintah ji-wi locianpwe. Bukan urusanmu!"
Ang-bin Ciu-kwi tak bisa menentukan apakah jawaban ini dicari-cari atau memang benar, karena itu dia kembali tertawa lebar. "Baiklah, kalau begitu aku hanya akan menghaturkan selamat jalan, nona. Minumlah seteguk arak sebagai ucapan selamat jalan dariku." Dia mengambil sebuah cawan kecil dari saku bajunya dan menyerahkan cawan kosong itu kepada Si Kwi untuk diisi dengan arak dari gucinya.
Tentu saja Si Kwi menolak dengan marah. "Ciu-kwi, jangan ganggu aku lagi!"
"Ha-ha-ha, kalau mengganggumu mengapa? Jangan pura-pura, nona manis. Di sini tidak ada orang lain, hanya engkau dan aku. Dan alang-alang itu lunak sekali."
"Keparat busuk!" Si Kwi sudah menerjang dengan kepalan tangannya.
Akan tetapi Ang-bin Ciu-kwi sudah menangkis dan tangkisannya yang disertai pengerahan tenaga itu membuat Si Kwi terhuyung. Dengan marah gadis ini lalu merogoh saku tempat menyimpan senjata rahasianya dan sekali tangannya bergerak, dua batang Hek-tok-ting (Paku Hitam Beracun) langsung menyambar ke arah leher dan dada lawan. Ciu-kwi cepat menggerakkan gucinya dan mengelak.
"Tringgg...!" sebatang paku runtuh dan yang sebatang lagi dapat dielakkannya.
"Ha-ha-ha, tanpa pedangmu dengan mudah aku akan dapat merobohkan engkau, nona. Dan pakumu itu pun tidak banyak gunanya. Bukankah lebih baik minum secawan arak sebagai sahabat dari pada kita harus bertempur dan saling serang sendiri?" Setan Arak ini kemudian menenggak guci araknya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya menyodorkan cawan kecil itu kepada Si Kwi.
Orang gila ini berbahaya, pikir Si Kwi. Jika menggunakan kekerasan agaknya akan lebih berbahaya baginya. Dia melihat Setan Arak juga berkali-kali meneguk arak dari guci itu, maka apa salahnya kalau hanya minum secawan? Biar pun dia merasa jijik harus minum arak dari guci yang sudah diteguk begitu saja oleh mulut Setan Arak itu, akan tetapi cara ini agaknya lebih aman dari pada harus mempergunakan kekerasan karena dia maklum bahwa tingkat kepandaian Setan Arak ini lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri.
"Ciu-kwi, benarkah kau tak akan menggangguku lagi setelah aku minum secawan arak?" tanyanya. "Kau berani berjanji demi dua locianpwe di Lembah Naga?" Dia menyebutkan nama Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li karena maklum alangkah takutnya orang gila ini terhadap mereka itu.
"Ha-ha-ha-ha! Baik, aku berjanji demi nama beliau berdua! Kau baik sekali mau menerima penghormatanku dan ucapanku selamat jalan, nona!" Ang-bin Ciu-kwi cepat menuangkan arak dari gucinya ke dalam cawan itu, lalu menyodorkannya kepada Si Kwi.
Tanpa ragu-ragu lagi gadis itu kemudian menenggak arak dari dalam cawan hingga habis, lalu mengembalikan cawannya. Sambil menerima cawan itu dan menyimpannya, Ang-bin Ciu-kwi tertawa bergelak.
Arak di dalam cawannya itu sudah dimasukinya obat bubuk pemberian isterinya dan tentu saja bagi dia tidak ada bahayanya karena lebih dulu dia sudah minum obat penawarnya. Kini dia melihat wajah gadis itu menjadi kemerahan dan pandang mata gadis itu kelihatan aneh!
“Ha-ha-ha, selamat jalan, nona manis!"
Si Kwi menggerakkan kedua kaki hendak pergi dari sana, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terhuyung.
"Ouhhh...!" Dia mengeluh dan berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang, pandang matanya berkunang dan kepalanya terasa pening sekali, jantungnya berdebar aneh dan sungguh pun dia masih memiliki kesadaran bahwa dia merasakan segala keanehan ini, akan tetapi kemauannya lenyap sama sekali dan dia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya, seolah-olah semangatnya terbang melayang.
"Kau kenapa, nona manis...?" tiba-tiba Ang-bin Ciu-kwi sudah berada di sampingnya dan merangkul lehernya.
"Auhhh... aku... auhhhhh...!" Si Kwi hanya dapat mengeluh dan merintih, bahkan dia lalu memegang lengan Ang-bin Ciu-kwi, sama sekali tak menolak saat laki-laki itu merangkul lehernya dan mengecup pipinya sambil tertawa girang.
Walau pun dia sama sekali tidak pernah melakukan penyelewengan, akan tetapi sebagai seorang gadis berusia dua puluh lima tahun yang sehat dan normal, karena kesukaran gurunya memilih jodoh untuk muridnya ini, tentu saja di dalam diri Si Kwi tersimpan api gairah yang wajar, dorongan nafsu birahi yang normal bagi seorang dewasa yang sehat.
Api gairah ini selalu ditekannya dan hanya dilepaskan di alam mimpi di mana dia dapat bermimpi dengan bebas, bercumbu dengan pria yang dibayangkannya di dalam mimpi. Maka biar pun lahiriah Si Kwi merupakan seorang gadis yang alim, akan tetapi di dalam tubuhnya terkandung api yang bergairah sekali, maka kini setelah dia minum racun yang membiusnya, dia merasa seperti sedang di dalam mimpi dan bercumbu dengan pria yang dirindukannya!
"Ha-ha-ha, marilah manis!" Ang-bin Ciu-kwi lalu menuntunnya dan merebahkan gadis ini di atas rumput alang-alang.
Si Kwi hanya memejamkan matanya dan seperti seekor domba jinak dia menurut saja apa yang dilakukan oleh Ciu-kwi yang menurut perasaan hatinya seperti pria dalam mimpinya selama ini.
Kini Ang-bin Ciu-kwi tidak perlu lagi merenggut dan merobek baju gadis itu, karena Si Kwi sama sekali tidak menolak ketika Ang-bin Ciu-kwi menanggalkan pakaiannya satu demi satu sambil membelai dan menciumnya.
"Bedebah!" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
Ang-bin Ciu-kwi terkejut sekali dan menghentikan usahanya menanggalkan pakaian gadis itu. Ketika melihat ada seorang pemuda berdiri di jalan sambil memandangnya dengan mata tajam dan penuh kemarahan, Ang-bin Ciu-kwi merasa heran dan marah. Orang ini bukan anak buahnya, jadi jelas adalah seorang luar!
Maka, dia langsung meloncat meninggalkan Si Kwi yang masih rebah terlentang. Ketika merasa ditinggalkan orang, Si Kwi merintih, membuka matanya sedikit dan mengulurkan kedua lengannya ke arah pemuda itu sambil tersenyum penuh arti!
"Keparat, siapa kau yang berani memasuki wilayah ini?" bentak Ang-bin Ciu-kwi sambil memegang guci araknya erat-erat.
"Manusia iblis, siapa pun adanya aku bukan hal yang penting. Akan tetapi sesudah aku berada di sini, jangan harap engkau akan dapat melanjutkan perbuatanmu yang terkutuk itu!" jawab si pemuda yang memperhatikan keadaan gadis setengah telanjang itu dengan alis berkerut karena dia masih merasa heran akan keadaan dan sikap gadis itu. Kemudian dia dapat menduga mendengar rintihan gadis yang seperti orang mabok itu. "Hemmm, keparat, engkau tentu menggunakan racun untuk membiusnya, bukan?"
Ang-bin Ciu-kwi yang merasa marah sekali karena kesenangannya telah diganggu, lantas membentak keras. "Bocah yang bosan hidup!"
Kemudian tangan kanannya menyambar dengan cepat sekali, juga amat kuat karena dia mengerahkan tenaganya untuk sekali pukul merobohkan pemuda yang mengganggunya ini.
"Wuuuuuttt... dukkkk!"
Ang-bin Ciu-kwi terpelanting dan dia memekik dengan kaget bukan main saat merasakan betapa lengan tangannya nyeri sekali beradu dengan lengan pemuda itu. Akan tetapi dia segera meloncat berdiri lagi dan memandang penuh perhatian. Pemuda yang berpakaian sederhana namun tampan bukan main, tampan dan gagah dan tiba-tiba dia teringat akan janjinya kepada isterinya tadi dan tertawalah Ang-bin Ciu-kwi!
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Engkau ternyata tampan dan gagah, cocok sekali untuk isteriku! Ha-ha-ha! Orang muda, lebih baik kita bersahabat. Aku adalah Ang-bin Ciu-kwi dan mari kuperkenalkan dengan isteriku di rumah."
Pemuda itu menatap tajam dan alisnya berkerut. Celaka, pikirnya. Kalau bukan pemabok besar orang ini tentu miring otaknya. Akan tetapi betapa pun juga, orang ini bukan orang sembarangan karena dalam pukulannya tadi terkandung tenaga yang hanya dimiliki orang yang lihai.
"Aihh... peluklah aku... peluklah..." Si Kwi kini rebah dengan gelisah, tubuhnya bergoyang ke kanan kiri dan mulutnya berbisik-bisik, matanya setengah dipejamkan.
"Ha-ha-ha-ha, apakah tidak sayang kalau dia dibiarkan sendirian saja?" Ang-bin Ciu-kwi tertawa. "Dan isteriku lebih hebat dari dia, orang muda."
"Jahanam busuk engkau!" Kini pemuda itu menjadi marah dan tangannya menyambar.
Ang-bin Ciu-kwi yang masih tertawa itu dengan cepat mengelak dan balas memukul, kini mempergunakan guci araknya yang merupakan senjata ampuh memukul ke arah kepala pemuda itu. Akan tetapi, dengan mudahnya pemuda itu mengelak dan sekali tangannya digerakkan dengan gerakan mendorong, hawa pukulan yang dahsyat segera menyambar membuat Ang-bin Ciu-kwi terjengkang dan roboh! Si pemabok ini kaget bukan main, cepat dia meloncat bangun lagi dan kini pandang matanya berbeda.
"Siapa engkau? Mau apa engkau?" tanyanya, tidak lagi tertawa-tawa seperti tadi.
"Tak perlu kau kenal dan aku tidak mempunyai urusan denganmu. Aku hendak pergi ke Lembah Naga..."
"Heii, keparat!" Ang-bin Ciu-kwi kini tidak ragu-ragu lagi. Tentu inilah seorang musuh yang harus dijaganya agar jangan sampai ke Lembah Naga. "Memang kau harus mampus!"
Dia menerjang lagi, tangan kanannya mencengkeram ke arah ubun-ubun pemuda itu, ada pun guci araknya menyambar ke arah lambung, ada arak muncrat dari dalam mulut guci menyambar ke arah kedua mata lawan! Memang hebat serangan dari Ang-bin Ciu-kwi ini, dan muncratnya arak itu pun merupakan serangannya yang istimewa.
Tetapi kali ini Ang-bin Ciu-kwi betul-betul menemukan tandingannya. Dengan tenang saja pemuda itu miringkan kepala untuk menghindarkan sambaran arak, kemudian tangan kiri menangkis cengkeraman ke arah ubun-ubun, sedangkan hantaman guci itu diterimanya begitu saja dengan lambung yang terbuka. Ang-bin Ciu-kwi sudah girang sekali karena isi perut pemuda itu tentu akan berantakan terkena hantaman gucinya.
"Bukkk! Plakk!"
Lambung itu tepat kena dihantam guci akan tetapi bukan si pemuda yang roboh, namun Ang-bin Ciu-kwi sendiri yang terpelanting dan dia hampir pingsan karena lehernya yang ditampar oleh tangan pemuda itu rasanya seperti remuk dan patah-patah, juga kepalanya menjadi pening dan dengan susah payah barulah dia bisa bangkit berdiri.
Dia memandang sejenak, kemudian larilah Ang-bin Ciu-kwi kembali ke Padang Bangkai, bahkan sedikit pun tidak lagi menengok ke arah Si Kwi yang masih rebah di atas rumput alang-alang tebal yang lunak seperti kasur!
Pemuda itu tidak mengejar, hanya memandang ke arah larinya lawan. Selagi dia hendak melanjutkan langkahnya, terdengar rintihan lantas teringatlah dia kepada gadis setengah telanjang yang masih rebah merintih-rintih di atas rumput itu. Pemuda itu menarik napas panjang dan menghampiri, lalu berjongkok di dekat wanita itu.
"Engkau siapakah? Apa yang sudah dilakukan terhadapmu? Engkau diberi minum apa?" Suara pemuda itu halus namun mengandung wibawa.
Si Kwi membuka matanya, menggigit bibirnya, kelihatannya tersiksa sekali.
"Si iblis... Ang-bin Ciu-kwi... aku minum arak... ahhhh, kau... kau... peluklah aku..."
Pemuda itu meraba dahi gadis itu, meraba pergelangan tangannya dan gadis itu bangkit duduk, merangkul pemuda itu dan menciuminya dengan mata terpejam.
"Ahh, tenanglah..." Pemuda itu memalingkan mukanya menghindarkan ciuman. "Engkau keracunan, terbius, biar kucoba mengusir hawa beracun dari tubuhmu."
Karena Si Kwi terus menggeliat dan hendak merangkul serta menggelutnya, pemuda itu menjadi kerepotan juga, maka sekali dia menotok, Si Kwi mengeluh panjang dan terkulai lemas. Pemuda itu lalu menelungkupkan gadis itu, dan dengan tangan kiri ditempelkan di punggung gadis itu, dia segera mengerahkan sinkang-nya, mengusir hawa beracun yang membuat gadis itu seperti orang mabok yang dirangsang nafsu birahi.
Tenaga sinkang pemuda itu memang luar biasa kuatnya. Hanya sepuluh menit kemudian, terdengar Si Kwi mengeluh normal dan pemuda itu kemudian menotok pundaknya untuk membebaskannya. Si Kwi mengeluh lagi, membalikkan tubuhnya dan melihat pemuda itu, dia cepat meloncat dan dengan gerakan cepat dia sudah menghantam pemuda ini!
"Ehhh, sabar dan tenanglah...!" Pemuda itu menangkis, membuat tubuh Si Kwi terhuyung ke belakang.
Kini agaknya Si Kwi baru sadar benar dan melihat pemuda yang asing itu, dia terkejut dan heran, kemudian dia melihat betapa tubuhnya hanya tertutup pakaian dalam sedangkan pakaian luarnya telah tertumpuk di atas rumput.
"Ihhhhh...!" Dia menjerit dan dengan gerakan canggung dan repot dia berusaha menutupi dada serta bawah pusarnya, kemudian membalikkan tubuh membelakangi pemuda itu.
Pemuda itu tersenyum, lalu mengambil tumpukan pakaian dan melemparkannya kepada dara itu, tepat menutup di pundaknya. "Kau pakailah kembali pakaianmu."
Tanpa menjawab, Si Kwi mengenakan lagi pakaian luarnya, barulah dia membalik dan memandang pemuda itu dengan muka merah dan sinar mata masih bingung. "Apa yang terjadi? Apa yang kau lakukan?"
"Aku? Aku hanya mengusir hawa beracun yang menguasaimu, nona."
"Mana dia? Mana iblis itu?"
"Kau maksudkan si pemabok tadi? Dia sudah lari."
Si Kwi mulai teringat semuanya. Betapa dia minum arak dari cawan dan menjadi pening, kemudian betapa dia senang sekali dirangkul dan diciumi Ang-bin Ciu-kwi, bahkan sudah dibaringkan di atas rumput alang-alang.
"Cuhhh...!" Tiga kali dia meludah ke arah rumput alang-alang tadi, penuh kejijikan.
Pemuda itu tersenyum. "Jangan khawatir, nona. Si bedebah itu tidak sempat melanjutkan perbuatannya yang terkutuk."
Si Kwi memandang pemuda itu, menatap wajah yang tampan dan gagah itu dan mukanya menjadi makin merah. Tubuhnya telah terlihat oleh pemuda ini dalam keadaan setengah telanjang!
"Engkau mengusirnya?" tanyanya hampir tak percaya bahwa pemuda tampan sederhana ini telah menyebabkan Ang-bin Ciu-kwi melarikan diri.
Pemuda itu mengangguk. "Aku lewat dan melihat perbuatannya yang terkutuk, maka aku menegurnya dan akhirnya dia lari."
"Dan kau lalu mengobatiku?"
Kembali pemuda itu mengangguk. "Melihat sikapmu yang... ehh, tidak wajar itu, aku tahu bahwa engkau terbius oleh hawa beracun, karena itu aku lalu mengusir hawa beracun dari tubuhmu."
Tiba-tiba Si Kwi menjatuhkan dirinya berlutut dan dua titik air mata membasahi pipinya, "Ahhh, banyak terima kasih, taihiap. Tanpa ada pertolonganmu, tentu celakalah saya...," katanya terharu.
"Sudahlah, nona, tidak perlu engkau bersikap begini. Bangunlah dan ceritakan apa yang terjadi." Pemuda itu mengangkat bangun Si Kwi yang kemudian berdiri dengan kedua pipi kemerahan dan sinar matanya penuh kagum memandang pemuda tampan yang demikian halus sikapnya, dan yang tentu berilmu tinggi karena buktinya dengan mudah mengusir Ang-bin Ciu-kwi dan juga dapat menyembuhkan dia dari pengaruh racun.
"Nama saya Liong Si Kwi dan saya akan... ahh, akan pergi meninggalkan tempat terkutuk ini, akan tetapi Setan Arak itu menghadang saya. Kami pernah bertanding dan memang saya kalah... lalu saya kena ditipunya, minum secawan arak dan..."
"Cukuplah. Aku sudah dapat menduganya. Orang itu jahat sekali."
"Tentu saja jahat, taihiap, karena dia adalah majikan Padang Bangkai di sini. Selain dia, masih ada lagi isterinya, Coa-tok Sian-li yang tak kalah kejamnya. Mereka berdua menjadi majikan Padang Bangkai, dibantu oleh lima belas orang anak buah mereka. Daerah ini sangat berbahaya, taihiap, maka sungguh mengherankan taihiap dapat datang ke tempat seperti ini."
"Aku hendak pergi ke Lembah Naga."
"Ohhhh...!"
Melihat gadis yang manis itu berseru kaget dan mukanya berubah, pemuda itu cepat bertanya, "Nona Liong, apakah engkau mengenal tempat itu?"
"Mengenal Lembah Naga? Tentu saja, akan tetapi sebelumnya, siapakah taihiap ini dan apa perlunya mencari Lembah Naga?" Sinar mata gadis itu menatap wajah yang tampan itu dengan penuh kekhawatiran.
Pemuda itu juga memandang si gadis penuh perhatian dan dia mengharap bahwa gadis yang telah diselamatkannya dari ancaman bahaya mengerikan tadi, yang agaknya sudah mengenal daerah itu, akan dapat membantunya dengan petunjuk-petunjuk, maka dia lalu menjawab sejujurnya, "Aku bernama Cia Bun Houw..."
"Aihhh...!" Kembali Si Kwi berseru kaget, mulutnya agak terbuka dan matanya terbelalak menatap wajah pemuda itu seperti orang melihat sesuatu yang luar biasa!
Tentu saja dia telah mendengar nama ini dari gurunya, nama putera ketua Cin-ling-pai yang kabarnya mempunyai kepandaian amat hebat! Tak disangkanya kini dia berhadapan dengan orangnya, seorang pemuda yang luar biasa, tampan dan gagah, dan tadi sudah menyelamatkannya dari perkosaan Ang-bin Ciu-kwi!
Bagaimana Cia Bun Houw tiba-tiba bisa muncul di tempat itu dan secara kebetulan dapat menyelamatkan Liong Si Kwi dari bahaya perkosaan? Seperti telah kita ketahui, pemuda ini pergi meninggalkan Cin-ling-pai, diutus oleh ayahnya untuk menyerahkan surat kepada keluarga Yuan de Gama di Yen-tai calon besan Cin-ling-pai, dan juga menghaturkan surat untuk kaisar di kota raja.
Setelah mendengar bahwa dia telah dipertunangkan dengan Souw Kwi Eng atau Maria de Gama, hati Bun Houw merasa tidak tenang, karena sesungguhnya pemuda ini telah jatuh cinta kepada In Hong. Maka, menerima tugas ayahnya untuk menyerahkan surat kepada keluarga Souw itu, dia merasa enggan, karena dia merasa malu bertemu mereka, apa lagi bertemu dengan Kwi Eng yang tentu telah tahu bahwa mereka telah bertunangan!
Ahh, menyesallah rasa hati Bun Houw kalau teringat betapa dahulu dia pernah mencium gadis itu! Karena keengganan ini, maka dia tidak lebih dahulu ke Yen-tai, melainkan lebih dulu ke kota raja untuk menyerahkan surat ayahnya kepada kaisar. Dan begitu tiba di kota raja, dia mendengar bahwa baru beberapa hari yang lalu, In Hong yang sekarang menjadi seorang puteri itu sudah diculik oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Tentu saja dia menjadi terkejut dan marah bukan main. Dia menyerahkan surat ayahnya kepada kaisar dengan menghadap sendiri.
Kebetulan sekali pada waktu itu, kaisar telah menerima balasan dari Raja Sabutai bahwa urusan kakek dan nenek guru Sabutai itu adalah di luar tanggung jawab Sabutai, bahwa Sabutai tidak tahu-menahu dengan semua perbuatan kedua orang gurunya itu yang kini telah meninggalkan dia dan berada di Lembah Naga.
Di dalam suratnya itu, ketua Cin-ling-pai mohon bantuan kaisar karena puteranya hendak merampas kembali Siang-bhok-kiam pusaka Cin-ling-pai dan dikhawatirkan bahwa kakek dan nenek iblis itu mengandalkan pasukan liar di utara. Begitu selesai membaca surat itu, kaisar segera memanggil panglima pengawal untuk mengerahkan pasukan pengawal dan membantu putera ketua Cin-ling-pai itu menuju ke Lembah Naga, bukan untuk merampas kembali Siang-bhok-kiam saja, akan tetapi terutama sekali untuk menyelamatkan Yap In Hong.
Akan tetapi Bun Houw yang tidak sabar menanti, langsung berpamit dan berangkat lebih dahulu seorang diri dengan cepat sehingga pada hari itu, dia tiba di luar dusun Padang Bangkai dan secara kebetulan dapat menolong Si Kwi.
Ketika dia melihat Si Kwi terkejut mendengar namanya, bahkan wajah gadis yang manis itu menjadi pucat, dia lalu bertanya, "Nona, apakah engkau sudah mengenal namaku?"
Si Kwi mengangguk, "Taihiap adalah putera ketua Cin-ling-pai, bukan?"
"Benar. Bagaimana engkau bisa tahu, nona?"
"Dan taihiap hendak pergi ke Lembah Naga untuk menuntut kembalinya Siang-bhok-kiam dan menolong nona Yap In Hong?"
"Benar...! Bagaimana dengan nona itu?" Bun Houw girang sekali.
Si Kwi menghela napas panjang. "Taihiap, mereka telah menanti-nanti datangnya orang orang yang hendak menolong nona Yap In Hong, dan mereka telah bersiap-siap! Taihiap, apa bila taihiap percaya kepada saya... harap taihiap jangan pergi ke sana. Berbahaya sekali...!" Si Kwi menatap wajah itu dan dia merasa makin khawatir. Entah bagaimana, dia tidak dapat membayangkan pemuda ini menemui bencana di Lembah Naga.
"Hemm, mengapa begitu, nona?"
"Cia-taihiap, percayalah kepadaku. Di sana, selain ada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, juga ada Bouw Thaisu dan ada pula guruku, Hek I Siankouw di samping masih ada pula seratus orang anak buah kedua orang kakek dan nenek itu..."
"Ahh, kiranya engkau adalah murid Hek I Siankouw?"
Tiba-tiba Si Kwi berlutut kembali dan kini dia tidak dapat menahan air matanya. "Taihiap harap jangan samakan saya dengan mereka! Tidak... saya hanya terbawa oleh subo yang tentu saja ingin membalas dendam kematian supek Hwa Hwa Cinjin. Namun sekarang saya telah melihat dengan jelas betapa mereka itu adalah orang-orang jahat. Karena itu, tadinya saya hendak melarikan diri dari sini, taihiap, sampai saya terhadang oleh Ang-bin Ciu-kwi dan hampir celaka... sungguh, saya sangat khawatir kalau taihiap melanjutkan perjelanan. Amat berbahaya menempuh bahaya itu seorang diri saja. Kembalilah, taihiap, atau setidaknya, kalau taihiap hendak menyerbu, bawalah teman sebanyaknya."
Bun Houw dapat mempercayai keterangan gadis ini. Dia merasa beruntung bahwa secara kebetulan dia dapat menolong gadis ini sehingga dia akan mendengar keterangan yang sangat jelas, boleh dipercaya dan berharga dari gadis ini. Maka dia lantas duduk di atas rumput.
"Liong-kouwnio, kau duduklah dan mari kita bicara baik-baik. Engkau tentu tahu, sebagai putera ketua Cin-ling-pai aku tidak mungkin kembali dan mundur."
"Akan tetapi itu berarti bunuh diri, taihiap! Berbahaya sekali..."
Bun Houw menggelengkan kepalanya. "Bahayanya akan berkurang banyak kalau saja engkau suka menceritakan kepadaku keadaan di sana."
"Tentu! Tentu saja saya suka menceritakan. Taihiap, baru perjalanan menuju ke Lembah Naga saja sudah merupakan perjalanan penuh bahaya. Tidak ada jalan lain menuju ke Lembah Naga kecuali harus melalui Padang Bangkai yang dimulai dari sini. Di situ banyak terdapat bagian-bagian yang amat berbahaya." Gadis ini lalu menuturkan dengan jelas tentang rahasia tempat itu, mana jalan yang merupakan ancaman maut siapa pun yang melanggarnya, dan mana pula jalan rahasia yang harus diambil.
"Melihat kelihaian taihiap, agaknya Padang Bangkai masih akan sanggup taihiap lewati. Akan tetapi setelah taihiap berada di daerah Lembah Naga, haruslah berhati-hati sekali. Seratus orang anak buah kakek dan nenek itu adalah orang-orang pilihan dari pasukan Raja Sabutai, dan Pek-hiat Mo-ko serta Hek-hiat Mo-li mempunyai kesaktian luar biasa, taihiap. Dan taihiap hanya sendirian saja..."
Mendengar penuturan yang panjang lebar itu Bun Houw menjadi girang sekali. Sekarang setidaknya dia tahu jalan mana yang harus diambil. Maka dia lalu bangkit berdiri, diikuti oleh Si Kwi, dan menjura sambil berkata,
"Liong-kouwnio sudah memberi bantuan yang sangat berharga kepadaku, banyak terima kasih atas kebaikanmu, kouwnio."
"Jangan berkata demikian, taihiap. Sayalah yang berhutang budi dan nyawa..."
"Selamat berpisah, kouwnio, aku hendak melanjutkan perjalanan."
Si Kwi masih hendak mencegah, akan tetapi pemuda itu telah menggerakkan kakinya dan berkelebat lenyap di antara rumpun alang-alang yang tinggi.
Si Kwi terkejut dan kagum bukan main. Dia sendiri adalah seorang yang memiliki ilmu ginkang yang tinggi, namun gerakan pemuda itu demikian cepatnya sehingga dia maklum bahwa dibandingkan dengan tingkat kepandaian putera ketua Cin-ling-pai itu, kepandaian dia seperti permainan kanak-kanak saja! Jantungnya berdebar ketika dia teringat bahwa pemuda itu adalah putera seorang ketua perkumpulan yang amat besar dan terkenal.
Subo-nya selalu menolak pinangan pemuda-pemuda yang jatuh cinta kepadanya karena subo-nya hanya mau menjodohkan dia dengan pemuda pilihan, bangsawan atau putera ketua perkumpulan yang berilmu tinggi dan terkenal. Dan pemuda tadi...
“Ahh, aku melamun yang bukan-bukan!" dia mencela diri sendiri.
Dan dara itu pun kini melangkah, bukan melanjutkan perjalanan ke selatan, melainkan kembali ke utara, karena dia ingin kembali ke Lembah Naga! Pertemuannya dengan Bun Houw, dan mendengar bahwa pemuda itu hendak menyerbu Lembah Naga, membuat dia merasa khawatir sekali dan berubah sama sekali niatnya. Dia harus kembali ke Lembah Naga, dia tidak mungkin bisa meninggalkan pemuda itu begitu saja tertimpa mala petaka di Lembah Naga!
Bun Houw berlari cepat akan tetapi juga dengan penuh kewaspadaan. Dia maklum akan bahaya yang terdapat di Padang Bangkai ini dan merasa amat bersyukur bahwa dia dapat menolong Si Kwi sehingga mendapatkan petunjuk-petunjuk yang amat berharga dari dara itu. Dari Si Kwi dia mendengar tadi bahwa In Hong masih dalam keadaan baik-baik saja, karena memang gadis itu ditawan untuk dipergunakan sebagai umpan.
Mendengar bahwa In Hong masih selamat, hatinya merasa lega bukan main. Memang penting sekali baginya untuk merampas kembali Siang-bhok-kiam, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah menyelamatkan In Hong. Dirabanya perhiasan rambut burung hong kumala yang selalu berada di saku bajunya bagian dalam, kemudian dirabanya pedang Hong-cu-kiam yang melilit pinggangnya. Apa pun yang terjadi, dia harus menyelamatkan In Hong!
Tiba-tiba saja dia berhenti dan menyelinap di balik rumpun alang-alang ketika dari jauh dia melihat serombongan orang berjalan sambil tertawa-tawa, akan tetapi di antara suara ketawa banyak orang laki-laki itu dia mendengar suara isak tangis seorang wanita! Ketika rombongan itu telah tiba dekat, dia memandang dengan mata berkilat saking marahnya.
Rombongan itu terdiri dari belasan orang lelaki tinggi besar dan di tengah-tengah mereka terdapat seorang wanita cantik yang telanjang bulat, kedua tangannya dipegangi banyak orang dan dia setengah diseret menuju ke sebuah padang rumput hijau tak jauh dari situ. Dia mendengar dari penuturan Si Kwi tadi bahwa padang rumput hijau itu berbahaya sekali karena di bawahnya tersembunyi lumpur maut yang sekali diinjak akan menyedot tubuh manusia dan di dalamnya terdapat lintah dan binatang lain yang beracun.
Kini rombongan laki-laki itu mengangkat tubuh si wanita telanjang, lantas beramai-ramai mereka melemparkan tubuh wanita itu ke tengah padang rumput! Wanita itu menjerit, lalu tubuhnya terbanting dan amblas ke bawah sampai ke pinggang. Matanya terbelalak dan dia meronta-ronta, akan tetapi terbenam makin dalam. Tiba-tiba wanita itu tertawa, lalu menangis lagi dan karena dia terus meronta, sebentar saja suara tawa atau tangisnya itu lenyap karena kepalanya telah terbenam, hanya tinggal dua tangannya saja yang tampak, membentuk sepasang cakar yang kaku!
Bun Houw menahan napas saking ngeri dan marahnya melihat peristiwa ini. Dia tidak menyangka bahwa wanita itu akan dilemparkan ke tempat berbahaya itu dan ketika dia melihat hal ini terjadi, dia sudah terlambat dan dia maklum bahwa tak mungkin lagi dapat menolong wanita itu, maka setelah wanita itu tidak nampak lagi dan orang-orang kasar itu masih tertawa-tawa dan mengeluarkan kata-kata cabul dan tidak senonoh, dia lalu keluar dan berdiri tegak, memandang mereka penuh kemarahan sambil membentak,
"Iblis-iblis bermuka manusia!"
Tentu saja anak buah Padang Bangkai itu terkejut bukan main. Cepat mereka menengok dan melihat seorang pemuda asing berdiri di situ, mereka segera mengepungnya. Mereka merasa heran sekali mengapa mereka tadi tidak melihat pemuda ini datang dan tahu-tahu pemuda itu sudah berada di situ. Akan tetapi sebelum mereka bertanya, terdengar suara bentakan nyaring.
"Hayo kepung dan bunuh orang ini!" Itulah suara Ang-bin Ciu-kwi yang telah datang di situ bersama isterinya, Coa-tok Sian-li.
Suami itu tadi bercerita kepada isterinya bahwa dia telah gagal menggagahi Liong Si Kwi karena munculnya seorang pemuda yang sangat lihai, pemuda yang sangat tampan dan gagah. Mendengar ini, Coa-tok Sian-li sudah tertarik sekali, maka bersama suaminya dia cepat keluar dari sarang untuk menangkap pemuda yang tampan dan gagah itu. Ternyata pemuda itu telah dikepung oleh anak buah mereka.
"Jangan bunuh!" Coa-tok Sian-li berseru lebih nyaring dari suaminya. "Tangkap dia hidup-hidup!" Nyonya yang cantik ini memang tertarik sekali melihat Bun Houw yang tampan dan ganteng dan merasa sayang kalau seorang pemuda seperti itu dibunuh begitu raja!
Mendengar perintah Coa-tok Sian-li, orang-orang kasar itu tersenyum dan saling pandang. Mereka ini tentu saja sudah mengenal baik akan kesenangan nyonya majikan itu, maka sambil tertawa-tawa mereka lalu mengeluarkan sehelai jala, masing-masing mengeluarkan sehelai dan mengurung pemuda itu dengan jala siap di tangan.
Sejak tadi Bun Houw memperhatikan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, maklum bahwa suami isteri inilah majikan Padang Bangkai itu seperti yang diceritakan oleh Si Kwi tadi. Dia harus melewati Padang Bangkai untuk dapat pergi ke Lembah Naga dan untuk dapat melalui Padang Bangkai dia harus dapat mengalahkan suami isteri ini bersama belasan orang anak buah mereka.
Kebetulan, pikirnya, kini mereka sudah berkumpul semua di sini, di pinggir padang rumput hijau yang menyeramkan itu. Teringat akan nasib wanita telanjang tadi, Bun Houw merasa perutnya muak dan kini sepasang matanya memandang ke sekeliling, ke arah belasan orang yang mengurungnya itu, dengan sinar berkilat-kilat.
"Haaaiiittt...!"
"Tangkaaappp...!"
Empat orang menubruk dari empat penjuru dengan jala mereka. Jala itu bentuknya mirip seperti jala ikan biasa, ada talinya dan ketika dilontarkan, jala-jala itu lantas mengembang bagaikan layar dan keempatnya dengan tepat menyelimuti tubuh Bun Houw. Pemuda ini sama sekali tidak mengelak, membiarkan jala-jala itu menyelimutinya, akan tetapi segera dia menggerakkan kedua tangannya.
"Breeeetttt...!"
Empat lembar jala itu pecah dan koyak-koyak hancur, dan si pemuda tampan itu masih berdiri di tengah-tengah pengepungan mereka dengan sikap tenang.
"Heiiiii...!"
"Ahhh...!"
Mereka terkejut bukan main. Jala mereka itu terkenal sangat kuat dan mampu menahan bacokan golok. Musuh yang sudah terjala, baru sehelai jala saja akan sukar meloloskan diri. Akan tetapi kini sekali gerak pemuda itu dengan tangan kosong telah menghancurkan empat lembar jala! Suami isteri itu pun terkejut bukan main dan jantung Coa-tok Sian-li makin berdebar penuh gairah birahi terhadap pemuda yang demikian jantan dan lihainya.
"Serbu! Tangkap!" teriaknya.
Kini lima belas orang anak buah Padang Bangkai itu bergerak laksana harimau-harimau kelaparan memperebutkan seekor domba. Sekaligus dua orang menubruk dari depan dan dua orang pula menyergap dari belakang. Karena mereka diperintah untuk menangkap, maka mereka tidak menghantam, melainkan hanya menubruk untuk meringkus pemuda ini yang mereka tahu amat diidamkan oleh nyonya majikan mereka.
Kembali Bun Houw membiarkan empat orang itu meringkus dan merangkulnya, kemudian dia mengeluarkan suara melengking dahsyat sambil menggerakkan tubuhnya. Akibatnya hebat karena empat orang tinggi besar itu semua terlempar seperti dilontarkan ke arah... padang rumput hijau!
Segera mereka memekik ketakutan, akan tetapi karena tenaga yang melontarkan mereka itu sangat kuat, akhirnya mereka terbanting ke atas padang rumput hijau dan celakanya, mereka jatuh dengan kepala lebih dulu dan langsung tubuh mereka menancap di lumpur dari kepala sampai ke pinggang, tinggal dua kaki mereka saja bergoyang-goyang lucu dan aneh!
Teman-teman mereka terkejut dan hendak menolong kawan-kawan mereka itu dengan tali. Akan tetapi kini Bun Houw mengamuk, tidak memberi kesempatan kepada mereka, kaki tangannya bergerak dan terdengar suara berkeretaknya tulang-tulang patah dan ada pula yang terlempar ke padang rumput hijau. Dengan gerakan kilat Bun Houw berloncatan dan ke mana pun tubuhnya berkelebat, tentu ada anggota Padang Bangkai yang roboh atau terlempar ke padang rumput berbahaya itu.
Dalam waktu singkat saja, delapan orang terlempar ke padang rumput hijau dan segera ‘ditelan’ lumpur, yang tujuh orang roboh tidak mampu bangkit kembali, ada yang pingsan karena kena ditampar, ada yang patah tulang kaki atau tangannya dan mereka kini hanya merupakan sekumpulan orang cacad yang tidak mampu bangkit, hanya dapat mengerang kesakitan!
Melihat ini, tentu saja Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li terkejut bukan main. Semua gairah nafsu birahi lenyap dari benak wanita itu ketika melihat betapa kelima belas orang anak buahnya telah roboh semua. Sekarang mukanya yang dihias tebal itu menjadi buruk karena ditarik sedemikian rupa oleh perasaan marah, tangannya bergerak berkali-kali dan puluhan batang jarum Coa-tok-ciam (Jarum Racun Ular) menyambar ke tubuh Bun Houw dari kepala sampai ke kaki!
Hebat bukan main serangan beruntun dan bertubi-tubi dari jarum-jarum yang dilontarkan oleh Coa-tok Sian-li yang sudah marah, akan tetapi anehnya, Bun Houw sama sekali tidak mengelak, hanya mengangkat tangan untuk melindungi mukanya dari serangan semua jarum itu. Dan semua jarum itu tepat mengenai tubuhnya, dari leher sampai ke kaki, akan tetapi pemuda itu seolah-olah tidak merasakan sesuatu dan jarum-jarum itu banyak yang menancap di pakaiannya!
Kini Bun Houw menggunakan tangannya mengusap pakaiannya dan jarum-jarum itu telah berada di tangannya, lalu tangannya bergerak dan belasan batang jarum menyambar ke arah suami isteri itu dan orang-orang mereka yang masih mengerang kesakitan.
"Celaka...!" Coa-tok Sian-li berseru.
Dia dan suaminya dapat meloncat jauh ke belakang menghindarkan diri dari sambaran jarum-jarum itu, akan tetapi keempat orang anggota atau anak buah mereka yang telah terluka tadi, kini menjerit dan terjengkang roboh berkelojotan termakan oleh jarum-jarum beracun! Hanya mereka yang tadi sudah pingsan dan rebah saja yang lolos dari maut.
Melihat ini, Coa-tok Sian-li dan Ang-bin Ciu-kwi menjadi pucat sekali dan tanpa menanti komando lagi, keduanya telah membalikkan tubuh dan lari dari situ seperti dikejar hantu! Mereka melarikan diri ke utara untuk melapor ke Lembah Naga mengenai kedatangan pemuda yang luar biasa lihainya ini.
Sementara itu, dari jauh Si Kwi juga melihat semua peristiwa itu dan jantungnya berdebar tegang dan penuh kekaguman. Semakin kagumlah dia terhadap Bun Houw, dan semakin tetaplah tekadnya bahwa apa pun yang akan terjadi, dia harus menjaga agar Bun Houw jangan sampai tertimpa mala petaka, atau dia akan berusaha untuk menolongnya sedapat mungkin.
Ketika dia melihat pemuda itu dengan gerakan cepat sekali telah meninggalkan tempat itu dan agaknya seperti hendak mengejar suami isteri yang melarikan diri, Si Kwi juga cepat melanjutkan perjalanannya.
"Ohh, aku cinta padamu... betapa aku cinta padamu..." Bibirnya berkemak-kemik ketika dia memandang bayangan Bun Houw yang segera lenyap itu.
Si Kwi bukan seorang gadis yang mudah jatuh cinta. Biasanya, karena sikap gurunya, dia malah ada kecondongan memandang rendah kaum pria, biar pun di dalam lubuk hatinya dia merindukan seorang suami yang seperti yang diidam-idamkan gurunya dan diidamkan oleh dia sendiri pula. Seorang pemuda yang gagah perkasa dan lebih lihai dari pada dia sendiri, dan tentu saja yang tampan dan ganteng.
Maka kini, bertemu dengan Cia Bun Houw dan melihat betapa semua idaman hatinya itu terkumpul di dalam diri pemuda itu, tidaklah mengherankan apa bila dia tertarik, kagum, dan jatuh cinta! Apa lagi karena justru pemuda hebat itulah yang telah menyelamatkannya dari bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut!
Dan selain ini juga pemuda itu telah melihat tubuhnya dalam keadaan setengah telanjang, hanya memakai pakaian dalam yang tipis dan pendek saja! Seluruh kerinduan yang timbul semenjak beberapa tahun ini, semenjak dia telah menjadi dewasa, sekarang ditumpahkan kepada diri Bun Houw seorang!
Berkat petunjuk dari Liong Si Kwi, Bun Houw tidak mengalami kesulitan melewati Padang Bangkai yang sudah kosong ditinggalkan penghuninya itu dan akhirnya tibalah dia di luar tembok yang mengelilingi tempat tinggal Pek-hiat Mo-ko serta Hek-hiat Mo-li di Lembah Naga.
Tembok itu seperti benteng saja, kokoh kuat dan tinggi. Akan tetapi sungguh aneh sekali. Kalau benteng itu dijaga dengan ketat, tentu tampak para prajurit penjaga yang hilir-mudik melakukan penjagaan dan perondaan, tapi sebaliknya tempat ini sunyi saja tidak nampak seorang pun penjaga.
Ketika Bun Houw tiba di depan pintu gerbang, pintu besar dari tembok benteng itu malah terbuka lebar-lebar namun tidak nampak ada yang menjaganya, seakan-akan pintu yang terbuka lebar itu mempersilakan dia memasukinya. Akan tetapi, Bun Houw bukan seorang pemuda sembrono atau bodoh. Baginya, pintu benteng yang terbuka lebar itu bagai mulut seekor naga yang terbuka, siap menelannya kalau dia tidak berhati-hati!
Bun Houw menduga bahwa tidaklah mungkin pihak Lembah Naga begitu lengah sesudah sengaja menawan In Hong dan menggunakan gadis itu sebagai umpan datangnya para tokoh Kerajaan Beng. Terlebih lagi karena sekarang Siang-bhok-kiam juga sudah mereka rampas dan setiap saat mereka menanti datangnya orang Cin-ling-pai untuk merampas kembali pedang pusaka itu. Ini pasti sebuah perangkap, pikirnya.
Dia teringat akan suami isteri majikan Padang Bangkai yang melarikan diri. Pasti karena dua orang itu telah datang melapor, maka kini Lembah Naga sudah siap menyambutnya dan mengatur perangkap.
Namun Bun Houw sama sekali tidak merasa jeri. Dia sudah bertekad mempertaruhkan nyawanya, bukan hanya untuk merampas kembali Siang-bhok-kiam, melainkan terutama sekali untuk menyelamatkan In Hong gadis yang dicintanya itu. Dia segera pergi mencari sebongkah batu yang beratnya kurang lebih seberat orang biasa, lantas dia melontarkan batu itu ke lantai di tengah pintu gerbang sedangkan tubuhnya sendiri mencelat ke atas seperti seekor burung terbang saja.
"Bukkkk...!"
Baru saja batu itu tiba di lantai pintu, terdengar bunyi berderit nyaring dan lantai di bawah pintu gerbang itu terkuak lebar sekali menjadi sebuah sumur besar yang mampu menelan puluhan orang prajurit yang menyerbu pintu gerbang itu. Kemudian, dari atas kanan kiri pintu gerbang itu, belasan orang laki-laki yang sudah bersiap dengan gendewa mereka langsung melepas anak panah seperti hujan saja ke dalam lubang.
Bun Houw bergidik. Jangankan baru dia seorang, andai kata ada pasukan yang lancang menyerbu masuk, tentu pasukan itu akan terjeblos ke dalam lubang sumur besar itu dan semua tewas di bawah hujan anak panah itu! Akan tetapi kini para anak buah Lembah Naga itu sudah melihat Bun Houw yang berdiri di atas tembok, sebab itu mereka kini lalu membalikkan gendewa mereka dan menyerang pemuda itu dengan anak panah.
Bun Houw meloncat ke bawah, kaki tangannya menangkis dan menendang anak panah yang datang menyerangnya, ada pula yang mengenai tubuhnya akan tetapi semua anak panah itu runtuh ke bawah, tidak ada yang dapat melukai tubuhnya yang sudah dilindungi oleh sinkang sehingga menjadi kebal. Begitu tiba di bawah, Bun Houw berseru nyaring,
"Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Keluarlah kalian jika memang kalian bukan pengecut-pengecut hina! Aku Cia Bun Houw dari Cin-ling-pai telah datang!"
Semua anak buah Lembah Naga terkejut mendengar ini. Di antara mereka memang ada yang sudah pernah melihat Cia Bun Houw ketika pemuda ini dahulu memasuki benteng Sabutai, akan tetapi ada pula yang belum melihatnya. Akan tetapi, mereka semua telah mendengar akan nama pemuda Cin-ling-pai yang kabarnya amat lihai itu dan tadi mereka pun sudah menyaksikan sendiri betapa selain tidak dapat terjebak di pintu gerbang, juga pemuda itu telah memperlihatkan kelihaiannya ketika dihujani anak panah.
"Ha-ha-ha, bocah sombong!" Terdengar suara keras dan nampaklah Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li muncul dari dalam sebuah rumah gedung, langsung menghampiri tempat yang telah dikurung oleh puluhan orang anak buah mereka itu. Juga tampak muncul Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw, kemudian paling akhir muncul pula Ang-bin Ciu-kwi bersama Coa-tok Sian-li yang memandang ke arah pemuda itu dengan sikap gentar.
"Ha-ha-ha! Mana ketua Cin-ling-pai? Aku mengharapkan dia yang muncul di sini, bukan seorang bocah masih ingusan macam kau!" Pek-hiat Mo-ko berkata lagi, memandang rendah kepada Bun Houw.
Bun Houw sudah memandang penuh perhatian. Pek-hiat Mo-ko yang bermuka putih dan berpakaian hitam, di samping Hek-hiat Mo-li yang bermuka hitam dan berpakaian putih itu benar-benar merupakan pasangan yang menyeramkan sekali. Akan tetapi, teringat bahwa In Hong berada di sebelah dalam dari satu di antara rumah-rumah di benteng ini, bangkit kembali semangat Bun Houw dan dengan tabah dia lalu berkata,
"Ji-wi locianpwe adalah dua orang tua yang berilmu, kenapa mempergunakan cara yang amat tercela? Kalau memang hendak menantang kami kenapa harus menggunakan akal pancingan?"
"Heh-heh-heh-heh, bocah ini bermulut lancang!" Hek-hiat Mo-li mengejek. "Pedang Siang-bhok-kiam memang ada pada kami, lekas suruhlah ketua Cin-ling-pai sendiri datang untuk mengambilnya kalau dia berani!"
"Cukup dengan aku saja sebagai putera ketua Cin-ling-pai mewakili ayah beserta seluruh Cin-ling-pai!" kata Bun Houw tenang. "Dan bukan hanya untuk Siang-bhok-kiam, terutama sekali hendaknya ji-wi suka membebaskan nona Yap In Hong sekarang juga!"
Ucapan yang sangat tenang dari Bun Houw ini mengherankan semua orang, heran akan keberanian pemuda ini yang datang seorang diri di tempat itu akan tetapi telah membuka suara lantang hendak merampas kembali Siang-bhok-kiam dan menuntut dibebaskannya Yap In Hong! Sejenak keadaan menjadi sunyi dan semua orang menunggu jawaban dari dua orang kakek dan nenek itu.
Tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh suara lemah, "Subo..."
Semua orang menengok dan Hek I Siankouw juga menoleh. Ketika dia melihat muridnya yang berpakaian merah itu sudah tiba pula di sana dengan muka agak pucat, dia cepat memanggil dengan suara dingin, "Si Kwi, ke sinilah engkau!"
Mendengar suara gurunya, Liong Si Kwi terkejut dan melirik ke arah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya yang keduanya menyeringai itu. Dia lalu cepat-cepat menghampiri gurunya dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Hek I Siankouw.
"Heh-heh, bagus sekali muridmu, Siankouw! Kiranya muridmu yang kau bilang amat boleh dipercaya itu hanya seorang pengkhianat tak tahu malu!" kata Hek-hiat Mo-li.
"Nanti dulu, Mo-li!" Hek I Siankouw membantah. "Kita tidak boleh hanya mendengarkan keterangan dari satu pihak saja. Persoalan ini perlu diselidiki baik-baik dulu sebelum kita menjatuhkan kesalahan kepada satu pihak. Eh, Si Kwi, bagaimana dengan perintah yang kuberikan padamu untuk menemui majikan-majikan Padang Bangkai dan menyampaikan pesan?"
"Sudah teecu lakukan dengan baik, subo. Akan tetapi..." Dara itu melirik ke arah Ang-bin Ciu-kwi yang masih menyeringai.
"Akan tetapi kata orang engkau berkhianat, hendak melarikan diri dari sini, dan kemudian engkau bermain gila dengan pemuda Cin-ling-pai ini, berjinah dengan dia hingga ketahuan oleh Ang-bin Ciu-kwi dan..."
"Bohong...!" Si Kwi menjerit dan dia melompat bangun, menghadapi Ang-bin Ciu-kwi dan menudingkan telunjuknya kepada majikan Padang Bangkai itu. "Dia bohong, dia bukan manusia, subo! Dia inilah manusianya yang hampir saja memperkosa teecu! Ketika teecu sampai di sana, mereka ini dan anak buah mereka tidak melakukan penjagaan, melainkan mengganggu banyak wanita walau pun kemudian mereka bilang bahwa wanita-wanita itu adalah anak buah Giok-hong-pang. Kemudian... secara curang iblis ini menyuguhkan arak beracun kepada teecu dan nyaris teecu diperkosa olehnya! Bedebah keparat dia ini!"
"Ha-ha-ha, kami melihat engkau dan pemuda Cin-ling-pai itu bergumul di antara rumpun alang-alang... ha-ha-ha, alangkah asyiknya... dan sekarang masih ingin memutar balikkan omongan!" kata Ang-bin Ciu-kwi.
"Nanti dulu, Ciu-kwi. Benarkah omonganmu dan isterimu bahwa kalian melihat muridku berjinah dengan pemuda Cin-ling-pai ini?"
"Benar! Kami berdua melihatnya!" jawab Coa-tok Sian-li dengen tegas.
"Bohonggg...!" Si Kwi menjerit lagi.
"Diam kau, Si Kwi!" Hek I Siankouw membentak muridnya, lalu berkata kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, "Kalian berdua tentu bukan anak kecil maka hal ini tentu saja dengan mudah dapat kita periksa. Sepanjang pengetahuanku, muridku ini adalah seorang perawan. Akan tetapi sekarang dua orang majikan Padang Bangkai ini justru mengatakan bahwa muridku berjinah dengan seorang laki-laki. Harap Hek-hiat Mo-li suka memeriksa kebenaran keterangan itu. Kalau benar muridku sekarang sudah bukan perawan lagi, aku sendiri yang akan membunuhnya!"
“Heh-heh, itu benar sekali!"
Hek-hiat Mo-li melangkah maju dan sebelum Si Kwi sempat mengelak, dia sudah tertotok roboh. Dengan cekatan jari-jari tangan Hek-hiat Mo-li segera meraba-raba dan tidak lama kemudian dia membebaskan totokannya, mencelat ke tempatnya kembali sambil berkata kecewa, "Dia benar masih perawan!"
"Hemmm..." Hek I Siankouw kini menghadapi Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li. "Bagai mana sekarang, manusia-manusia palsu? Kalau muridku sudah berjinah dengan seorang pria, bagaimana mungkin dia masih perawan sekarang?"
Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li tentu saja menjadi bingung. Mereka memang sengaja memutar balikkan fakta supaya gadis itu tidak mengadukan keadaannya ketika berada di Padang Bangkai, siapa tahu kini terdapat bukti bahwa cerita mereka itu bohong belaka!
"Akan tetapi dia... dia memang hendak lari ke selatan dan... sekarang buktinya, pemuda Cin-ling-pai ini mana mungkin bisa melewati Padang Bangkai dan tiba di sini kalau tidak atas petunjuk Si Kwi?" kata Ang-bin Ciu-kwi yang biar pun pemabok namun cukup cerdik itu.
Kembali Hek I Siankouw meragu. "Si Kwi, benarkah engkau memberikan petunjuk kepada pemuda Cin-ling-pai ini?"
"Tidak, Hek I Siankouw, dia sama sekali tidak memberikan petunjuk apa-apa kepadaku. Mengapa kalian ini begitu tolol untuk mempercayai omongan manusia-manusia semacam suami isteri yang cabul dan kotor ini? Aku memaksa seorang anggota Padang Bangkai untuk menunjukkan jalan ke sini!" Bun Houw cepat berkata untuk melindungi Si Kwi.
"Nah, jelas bahwa engkau sengaja hendak memburukkan nama muridku, hanya karena engkau tadinya hendak memperkosanya dan sekarang kau memutar balikkan kenyataan! Ang-bin Ciu-kwi, kau menghina muridnya, berarti kau menantang gurunya!"
"Bagus, Hek I Siankouw, engkau sombong sekali!" Tiba-tiba Coa-tok Sian-li berteriak dan meloncat ke depan membela suaminya. "Muridmu bisa bercerita bohong dan tentu saja pemuda musuh ini membelanya, tapi kami suami isteri juga mempunyai cerita tersendiri. Muridmu yang tak tahu malu..."
"Tutup mulutmu, perempuan cabul!" teriak Hek I Siankouw.
"Engkau yang harus tutup mulut!" teriak Coa-tok Sian-li.
Kedua orang wanita itu, tentu saja Coa-tok Sian-li dibantu suaminya, sudah akan saling serang ketika terdengar Hek-hiat Mo-li berseru keras.
"Sungguh bodoh kalian! Mudah saja diadu domba oleh musuh. Sedangkan musuh masih berdiri di antara kita, kalian bahkan sudah saling cekcok! Lebih baik kalian bertiga cepat maju menangkap pemuda Cin-ling-pai ini!"
"Benar, kalau memang kalian bertiga merupakan pembantu-pembantu kami yang setia, hayo kalian tangkapkan pemuda ini untuk kami!" kata pula Pek-hiat Mo-ko...
"Ahhhh!" Ang-bin Ciu-kwi berseru kaget.
Tak diduganya bahwa gadis muda itu dapat mengelak begitu mudahnya dari serangannya tadi, bahkan mampu membalas serangannya dengan tendangan yang demikian cepatnya. Dia menggunakan tangan kanan untuk menangkap kaki gadis itu.
Tentu saja Si Kwi tidak sudi membiarkan kakinya tertangkap. Dia segera menarik kakinya dan dengan sekali loncatan kilat dia sudah berada di sebelah kiri lawan lalu dari sini dia menggunakan tangan terbuka menampar ke arah tengkuk lawan.
"Plakkk!"
Ang-bin Ciu-kwi menangkis dan tubuh Si Kwi agak terhuyung, akan tetapi si Setan Arak itu pun terkejut.
"Wah, boleh juga gadis ini!" serunya.
Kini dengan gembira dia menubruk lagi. Ketika gadis itu mengelak, tiba-tiba dari dalam guci arak itu muncrat arak yang langsung menyerang ke arah muka Si Kwi.
"Aihhh...!" Si Kwi menjerit dan meski pun dia sudah cepat meloncat akan tetapi tetap saja pinggulnya kena diraba oleh tangan Ang-bin Ciu-kwi.
"Ha-ha-ha, isteriku. Dia masih perawan! Ha-ha-ha!" Ang-bin Ciu-kwi tertawa dan isterinya hanya mendengus, akan tetapi mulutnya tersenyum.
Wajah Si Kwi menjadi merah sekali dan marahlah gadis ini. Tugas tinggal tugas, akan tetapi majikan Padang Bangkai ini terlalu menghina dia! Dicabutnya siang-kiam-nya dan dengan kedua pedang di tangan kanan kiri dia sudah menyerang dengan ganasnya.
"Wah-wah-wah, hebat juga... ganas... hemmm..." Ang-bin Ciu-kwi cepat-cepat mengelak dan menggerakkan gucinya menangkis.
Terdengar bunyi berkentrangan nyaring pada waktu sepasang pedang berkali-kali bentrok dengan guci. Akan tetapi karena Ang-bin Ciu-kwi agaknya tidak ingin membunuh gadis yang mulai menarik perhatiannya ini, dia mengelak ke sana-sini sambil menangkis dan dia kelihatan terdesak hebat oleh sepasang pedang Si Kwi yang sudah berubah menjadi dua gulungan sinar pedang yang amat cepat gerakannya itu.
"Hem, isteriku, apa kau sudah bosan padaku dan ingin melihat aku mampus?" Berkali-kali Ang-bin Ciu-kwi berteriak. "Bantulah aku menangkap gadis ini..."
"Hemm, yang seorang masih ada dan engkau masih inginkan dia ini?" isterinya mencela.
"Aahhh, isteriku, aku ingin yang masih perawan ini. Hayo, bantulah, kelak akan kucarikan seorang perjaka yang ganteng dan gagah perkasa untukmu. Aku berjanji!"
Tentu saja Si Kwi menjadi semakin marah dan dia membentak, "Mampuslah!" Pedangnya menyambar-nyambar dahsyat, sehingga majikan Padang Bangkai itu menjadi repot juga.
Tiba-tiba terdengar seruan Coa-tok Sian-li halus, "Bocah sombong, robohlah!"
Si Kwi mendengar suara halus, maka maklumlah dia bahwa ada senjata-senjata rahasia halus menyambar ke arahnya. Dia cepat-cepat mengelak dan dia berhasil menghindarkan jarum-jarum halus yang menyambar ke arah tengkuk serta kedua pundaknya, akan tetapi sebatang jarum yang menyambar ke arah kakinya tidak dapat diketahuinya. Tiba-tiba saja dia merasa pergelangan kakinya seperti bagaikan semut, kemudian menjadi lumpuh dan tergulinglah dia!
“Ha-ha-ha-ha!" Ang-bin Ciu-kwi menubruk dan cepat menotoknya sehingga gadis itu tidak dapat bergerak lagi, sepasang pedangnya dirampas. Si muka merah ini lalu memondong tubuh Si Kwi sambil tertawa-tawa.
Terdengar suara wanita terkekeh-kekeh dan Kiat Bwee sudah mendekati Ang-bin Ciu-kwi, merangkul dengan sikap manja.
"Ahhh, pergi kamu! Aku sudah bosan! Nah, kalian ambillah dia ini, untuk kalian bagi rata ha-ha-ha!" Ang-bin Ciu-kwi menendang dan tubuh Kiat Bwee terlempar ke arah lima belas orang anak buahnya.
Tentu aaja mereka menyambut tubuh Kiat Bwee yang masih montok itu dengan gembira. Kiat Bwee sendiri tertawa-tawa genit ketika dia dipeluk dan diciumi oleh banyak laki-laki, lalu dia dibawa pergi. Terdengar suara tawanya yang lambat-laun berubah menjadi pekik dan terdengar wanita itu menjerit-jerit menyayat hati.
"Sekarang kau jadi milikku, ha-ha! Kau perawan liar, kepandaianmu boleh juga!" Ang-bin Ciu-kwi hendak mencium Si Kwi, ditonton oleh isterinya yang tersenyum saja.
"Lepaskan aku! Lepaskan! Aku adalah murid subo Hek I Siankouw!" Si Kwi yang merasa terkejut dan ketakutan karena kini dia terancam bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut itu menjerit akan tetapi tidak dapat meronta.
Ang-bin Ciu-kwi mengurungkan niatnya untuk mencium. "Ah? Murid Hek I Siankouw yang berada di Lembah Naga?" Dia meragu.
"Huh, Hek I Siankouw memandang rendah kita!" tiba-tiba Coa-tok Sian-li berkata dan dia pun bangkit dari tempat duduknya. "Akan tetapi kita jangan membunuhnya, hanya kita harus memberi pelajaran kenapa Hek I Siankouw mengutus muridnya menyelidiki tempat kita." Dia lalu memberi obat pada mata kaki Si Kwi yang terkena jarum racun ularnya itu setelah mengeluarkan jarumnya, kemudian dia berkata lagi, "Suamiku, hayo bawa dia ke dalam kamar. Kau boleh menikmati dia sebelum kita suruh dia kembali kepada gurunya!"
Tentu saja Ang-bin Ciu-kwi menjadi girang bukan main. Dia memondong tubuh gadis itu kemudian bersama isterinya membawanya ke dalam kamar di mana tadi malam dia dan isterinya berpesta pora mengumbar nafsu bersama Kiat Bwee dan dua orang pelayan pria dari Giok-hong-pang itu.
Setelah melemparkan tubuh gadis itu ke atas pembaringan, Ang-bin Ciu-kwi menenggak araknya dan berkata, "Kau bantu aku memeganginya sesudah kubebaskan totokannya, isteriku!"
Suami isteri ini memang sudah bukan merupakan manusia-manusia normal lagi. Mereka itu menjadi budak-budak nafsu birahi yang aneh dan cabul. Kesukaan mereka menonton adegan-adegan cabul sama besarnya dengan nafsu-nafsu birahi mereka sendiri. Karena itu tidaklah mengherankan kalau mereka itu kadang-kadang saling menonton bila seorang di antara mereka sedang main gila dengan orang lain! Dan kini, Coa-tok Sian-li bahkan hendak membantu suaminya menggagahi dan memperkosa seorang gadis yang mereka tawan!
Terdengar suara kain robek ketika bagaikan seekor binatang buas kelaparan Ang-bin Ciu-kwi merenggutkan semua pakaian dari tubuh Si Kwi sambil memegangi kedua tangan gadis itu dengan tangan kanannya, sedangkan kedua kaki gadis yang sudah dibebaskan dari totokan itu dipegangi oleh Coa-tok Sian-li yang biar pun hanya ingin menonton, akan tetapi gairah nafsunya sama berkobarnya seperti suaminya.
"Lepaskan aku...!" Si Kwi menjerit ngeri. "Aku... aku adalah utusan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li dari Lembah Naga!"
"Ahhh...?!" Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya terkejut bukan main mendengar pengakuan ini.
Tadinya Si Kwi memang enggan menggunakan nama kakek dan nenek iblis itu karena dia mengira bahwa nama gurunya sudah cukup besar dan berpengaruh. Akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa kepandaiannya sendiri ditambah nama besar gurunya tidak dapat menyelamatkannya bahkan dia telah berada di ambang mala petaka yang sangat mengerikan hatinya, terpaksa berantakanlah keangkuhannya dan dia mengaku bahwa dia adalah utusan kakek dan nenek iblis itu. Pengakuan ini sekaligus membuyarkan semua nafsu dari dalam kepala Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, terganti oleh rasa takut yang hebat.
"Benarkah...?" Coa-tok Sian-li bertanya, mukanya agak pucat.
"Siapa membohong? Aku datang atas perintah mereka!" kata pula Si Kwi.
"Akan tetapi, mengapa tidak kau katakan sejak tadi?" Ang-bin Ciu-kwi bertanya.
"Lepaskan aku, baru akan kuceritakan, atau kau lanjutkan perbuatanmu yang terkutuk ini dan jantung kalian akan dimakan mentah-mentah oleh mereka!" Si Kwi menggertak.
Suiami isteri yang memang sangat takut terhadap kakek dan nenek iblis itu cepat-cepat melepaskan pegangan mereka dan membiarkan Si Kwi duduk. Bahkan Coa-tok Sian-li lalu mengambilkan satu setel pakaiannya sendiri, diberikan kepada Si Kwi untuk dipakai karena pakaian merah gadis itu telah robek.
Dengan cemberut karena masih merasa malu dan terhina oleh perlakuan tadi, Si Kwi memakai pakaian nyonya rumah. "Suruh jahit kembali pakaianku sendiri ini!" bentaknya.
"Ehh... maafkan kami, maafkan aku...," kata Ang-bin Ciu-kwi sambil menenggak araknya.
Sedikit pun dia tidak menduga bahwa daging yang berada di depan mulutnya dan tinggal ditelan itu akan gagal dimakannya. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani nekat sesudah mendengar nama kakek dan nenek yang sangat ditakutinya itu karena dia dan isterinya maklum bahwa mereka sama sekali bukan tandingan kakek dan nenek itu.
“Sebenarnya kami tidak salah," Coa-tok Sian-li membantah sambil memandang gadis itu yang sekarang telah duduk di atas pembaringan sambil memandang mereka dengan sinar mata penuh kebencian, kemudian dia pun duduk di dekat gadis itu. "Mengapa kau tidak memperkenalkan diri dan malah memusuhi kami?"
Si Kwi menghela napas. Dia terpaksa harus menekan kemarahannya dan kebenciannya karena mereka berdua benar-benar tangguh. "Semua adalah salahnya anak buah kalian," katanya, "Mereka mengganggu aku dan menimbulkan kemarahanku."
"Sudahlah," Coa-tok Sian-li menghibur. "Untung belum sampai terjadi hal-hal yang lebih hebat. Sekarang ceritakan, siapakah engkau dan apa tugasmu ke sini?"
"Namaku Liong Si Kwi, aku murid subo Hek I Siankouw yang membantu kedua locianpwe Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Kedua locianpwe itu yang mengutus aku datang ke sini menemui kalian untuk menyampaikan pesan mereka."
"Hemm, apakah pesan kedua locianpwe itu?" Ang-bin Ciu-kwi bertanya, agak gelisah juga kalau teringat betapa hampir saja dia menghina utusan dari dua orang kakek dan nenek iblis itu!
Si Kwi memandang kepada si muka merah itu dengan sinar mata penuh kebencian! Lalu dia menjawab perlahan, "Aku diutus untuk menyampaikan kepada kalian bahwa menurut perhitungan kedua locianpwe itu, pada hari-hari mendatang ini tentu musuh-musuh mulai berdatangan, maka kalian harus bersiap-siap dengan waspada dan jangan sampai lengah. Pula, andai kata ada lawan tangguh mampu melewati Padang Bangkai, kalian juga harus cepat-cepat memberi khabar ke Lembah Naga."
"Ha-ha-ha!" Ang-bin Ciu-kwi tertawa dan menenggak araknya. "Harap sampaikan kepada ji-wi locianpwe di Lembah Naga agar supaya mereka jangan khawatir. Kami sudah siap berjaga-jaga dan tidak mungkin ada lawan yang dapat melewati Padang Bangkai!"
"Hemmm, ucapan bagus akan tetapi kosong!" Si Kwi berkata sambil memandang marah. "Apa yang harus kukatakan kepada ji-wi locianpwe itu mengenai keadaan yang kulihat di sini? Semua anak buahmu bersenang-senang, mengganggu dan menyiksa wanita, malah kulihat majikan mereka sendiri pun sama saja, bahkan yang memberi contoh! Sungguh menjijikkan!"
Akan tetapi Si Kwi makin mendongkol, penasaran dan juga terheran-heran ketika melihat suami isteri itu tertawa bergelak. Benar-benar orang-orang ini setengah gila atau mabok, pikirnya.
"Ha-ha-ha, bagus sekali, nona! Kau laporkan kepada ji-wi locianpwe di Lembah Naga apa yang telah kami perbuat terhadap tiga puluh orang wanita beserta enam orang pria yang kemarin berani menyerbu ke sini! Ceritakanlah! Engkau sudah melihat betapa anak buah kami membunuhi perempuan-perempuan itu, bukan? Dan perempuan yang kuhadiahkan kepada mereka tadi adalah pimpinan mereka. Ceritakanlah kepada ji-wi locianpwe bahwa kami sudah membasmi tiga puluh orang wanita serta enam orang pria, semua anggota-anggota Giok-hong-pang, anak buah nona yang kini menjadi tawanan ji-wi locianpwe itu. Ha-ha-ha! Kami layak menerima ganjaran!"
Bukan main kagetnya hati Si Kwi mendengar ini. Akan tetapi dia masih tetap mengomel. "Hemmm, ternyata mereka adalah fihak musuh? Mengapa mereka tidak dibunuh saja melainkan dipermainkan seperti itu? Kalian adalah iblis-iblis keji, bukan manusia!"
Dua orang suami isteri itu hanya tertawa dan sehari itu Si Kwi terpaksa harus tinggal di Padang Bangkai karena kakinya harus diobati. Kalau tidak mendapat obat penawar yang mujarab dari Coa-tok Sian-li sendiri, tentu nyawanya akan terancam atau kalau diobati orang lain, akan memakan waktu lama sekali.
Akan tetapi setelah diobati oleh Coa-tok Sian-li dan beristirahat selama sehari semalam, pada keesokan harinya gadis itu telah pulih kembali kesehatannya, dan dia meninggalkan Padang Bangkai dengan muka masih membayangkan rasa marah dan ketidak senangan hatinya terhadap suami isteri itu.
"Bagaimana pendapatmu tentang dia?" Ang-bin Ciu-kwi bertanya kepada isterinya sambil memandang tubuh belakang Si Kwi ketika gadis itu berjalan pergi.
"Hemmm, sungguh mengherankan mengapa ji-wi locianpwe menggunakan orang macam dia. Dia berbahaya sekali, dan sesudah dia datang, entah bagaimana dengan nasib kita nanti," jawab isterinya.
"Bagus! Aku pun berpikir demikian. Orang seperti dia harus ditundukkan, kalau tidak bisa berbahaya untuk kita!"
"Kau betul," isterinya mengangguk, lalu mengeluarkan sebungkus obat dari saku bajunya. "Pergunakan ini, kalau kemudian dia masih tidak mau tunduk, habiskan saja!"
Wajah yang merah itu menjadi berseri dan Ang-bin Ciu-kwi merangkul dan mencium mulut isterinya. "Kau manis!" Kemudian sambil tertawa-tawa dan membawa guci araknya, dia lalu melompat dan berlari cepat, menyusul Si Kwi mengambil jalan lain untuk memotong jalan dan menghadang gadis itu.
Suami isteri ini selain aneh, cabul dan kejam, juga amat cerdik. Mereka khawatir melihat sikap Si Kwi yang terang-terangan membenci mereka dan membenci perbuatan mereka saat mempermainkan orang-orang Giok-hong-pang sebelum membunuh mereka itu. Dan karena mereka berdua pernah melakukan kesalahan, hampir saja menghina utusan dua orang kakek dan nenek iblis, maka mereka merasa curiga kalau-kalau nanti Si Kwi akan mengadu kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li tentang urusan penghinaan itu. Jika demikian, bisa berbahaya untuk mereka.
Maka keduanya bersepakat hendak menundukkan perawan itu dengan jalan memaksanya mengadakan hubungan kelamin dengan Ang-bin Ciu-kwi dengan menggunakan obat racun yang pernah mereka lolohkan kepada Bhe Kiat Bwee. Kalau perawan itu kelak menyadari bahwa dia telah melakukan hubungan dengan Ang-bin Ciu-kwi dengan dasar ‘suka sama suka’, tentu saja dengan bantuan obat bius itu, tentu gadis itu tak berani lagi melaporkan yang bukan-bukan. Kalau kemudian siasat itu gagal dan si gadis masih memperlihatkan sikap bermusuhan, agar dibunuh saja dan disembunyikan, lalu pura-pura tidak tahu akan kedatangannya.
Sementara itu, ketika meninggalkan rumah suami isteri itu, Si Kwi merasa tidak senang sekali. Dia merasa menyesal kenapa subo-nya sekarang bergaul dengan segala macam orang seperti itu! Bukan manusia lagi, melainkan iblis! Dan dia harus bersekutu dengan orang-orang macam itu!
Gadis ini merasa menyesal sekali dan ketika dia berjalan meninggalkan rumah itu, terjadi perang di dalam hatinya. Kalau teringat akan subo-nya, dan teringat akan supek-nya, Hwa Hwa Cinjin yang telah terbunuh mati musuh dan harus dibalas, memang dia ingin kembali ke utara, ke Lembah Naga. Akan tetapi kalau teringat akan kekejaman kakek dan nenek iblis itu, kemudian teringat akan keadaan para pembantunya seperti orang-orang Padang Bangkai yang demikian mengerikan, ingin dia pergi meninggalkan tempat itu jauh-jauh dan tidak mencampuri urusan mereka!
Dan akhirnya, kengerian yang disaksikannya di Padang Bangkai membuat dia mengambil keputusan tetap hendak meninggalkan saja tempat itu, menuju ke selatan! Dia bukanlah seorang penjahat. Bukan! Biasanya dia malah menentang dan memusuhi para penjahat semacam majikan Padang Bangkai itu bersama anak buah mereka! Akan tetapi kini dia disuruh bersekutu dengan orang-orang macam mereka! Huh, lebih baik mati kalau begitu.
Pikiran ini mendorong Si Kwi untuk mengayun langkah lebih cepat lagi menuju ke pintu gerbang selatan di mana terdapat jembatan yang menyeberang sungai yang mengelilingi benteng dusun itu. Tidak nampak seorang pun penjaga, dan memang inilah keistimewaan benteng sarang gerombolan Padang Bangkai itu. Para anak buah Padang Bangkai tidak pernah memperlihatkan diri, hanya melakukan penjagaan sambil bersembunyi, dan hal ini menambah bahayanya tempat yang menyeramkan itu.
Kini, tentu saja para anak buah Padang Bangkai tahu bahwa Si Kwi sudah meninggalkan rumah majikan mereka. Akan tetapi karena mereka juga maklum bahwa gadis itu ternyata bukanlah musuh melainkan utusan dari Lembah Naga, mereka tidak berani mengganggu, hanya merasa heran mengapa gadis itu meninggalkan kampung mereka pergi ke selatan!
Bukan hanya mereka yang heran. Terutama sekali Ang-bin Ciu-kwi yang terheran-heran ketika dia membayangi gadis itu dan melihat gadis itu keluar dari pintu gerbang selatan! Cepat dia menyelinap dan mengambil jalan rahasia memotong jalan gadis itu, kemudian menanti di dalam rumpun alang-alang karena dia tahu bahwa gadis itu harus melalui jalan ini berhubung tidak ada jalan lain.
Si Kwi merasa sangat menyesal dan juga berduka. Kenapa gurunya rela bergaul dengan orang-orang macam itu? Semenjak dulu dia tidak setuju, yaitu ketika gurunya itu bergaul dengan golongan yang menamakan dirinya Lima Bayangan Dewa. Si Kwi pun tahu bahwa gurunya hanya terbawa-bawa oleh Hwa Hwa Cinjin yang hendak membalas dendam atas kematian suheng dari tosu itu, yang bernama Toat-beng Hoatsu. Dendam-mendendam itu membuat gurunya terpaksa harus bersekutu dengan manusia-manusia iblis seperti kakek dan nenek yang tinggal di Lembah Naga itu. Mengerikan!
Dia tahu bahwa sebenarnya subo-nya bukanlah seorang jahat, hanya akibat terseret-seret dalam dendam maka subo-nya terpaksa bersatu dengan orang-orang golongan hitam. Kini subo-nya menjadi kaki tangan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li hanya karena gurunya hendak membalas kematian Hwa Hwa Cinjin oleh gadis perkasa Yap In Hong itu.
Si Kwi menyesal bukan main. Dia sudah tidak mempunyai ayah bunda, dan satu-satunya keluarganya hanyalah subo-nya itu. Akan tetapi terpaksa dia meninggalkan subo-nya itu karena dia tidak ingin kembali ke sana, menjadi kaki tangan orang-orang dari kaum sesat.
Kini dia tiba di antara rumpun alang-alang. Dia sudah tahu jalan mana yang aman dari gangguan ular-ular berbisa dan binatang lain. Akan tetapi, tiba-tiba alang-alang di depan bergoyang sehingga gadis itu terkejut, cepat meraba senjatanya. Betapa kagetnya ketika dia tidak mendapatkan siang-kiam-nya di punggung dan baru teringat dia bahwa sepasang pedangnya itu sudah terampas oleh Ang-bin Ciu-kwi dan karena dia tergesa-gesa hendak lekas-lekas meninggalkan tempat itu, dia sampai lupa untuk memintanya kembali.
Akan tetapi, dia menjadi heran dan juga lega ketika melihat seorang laki-laki muncul dari rumpun alang-alang dan ternyata orang itu adalah Ang-bin Ciu-kwi sendiri! Ahh, kebetulan sekali, pikirnya dan melihat laki-laki bermuka merah itu berdiri sambil tersenyum lebar, Si Kwi lalu berkata,
"Tentu engkau hendak mengembalikan siang-kiam-ku yang ketinggalan!"
Akan tetapi Si Kwi langsung terkejut karena orang itu menyeringai dan pandang matanya mentertawakan bahkan lalu menenggak araknya dari guci dengan sikap yang mengejek dan mempermainkan.
"Liong Si Kwi, engkau memang patut sekali memakai pakaian warna merah. Makin manis saja kau. Akan tetapi aku percaya bahwa tanpa pakaian engkau akan lebih menarik lagi!"
Seketika kedua pipi dara itu menjadi merah sekali dan matanya berkilat saking marahnya mendengar pujian yang mengandung kekurang ajaran itu. "Ang-bin Ciu-kwi, mau apa kau menghadangku? Tadinya kukira engkau hendak mengembalikan siang-kiam-ku!" Si Kwi masih menahan kemarahannya karena dia maklum akan kelihaian orang ini.
"Ha-ha-ha! Baik sekali engkau ketinggalan senjatamu agar tidak terialu repot bagiku untuk menundukkanmu, manis!"
"Ciu-kwi! Jangan engkau kurang ajar atau aku akan melaporkan kepada ji-wi locianpwe di Lembah Naga!"
"Ha-ha-ha, nona manis, engkau tidak lagi bisa membohongi aku! Kalau engkau hendak kembali ke Lembah Naga, mengapa kau keluar dari sebelah selatan?"
Si Kwi terkejut dan baru ingat akan keadaannya yang memang mencurigakan. Akan tetapi dengan cerdik gadis ini menjawab, "Aku masih mempunyai suatu urusan di selatan, juga atas perintah ji-wi locianpwe. Bukan urusanmu!"
Ang-bin Ciu-kwi tak bisa menentukan apakah jawaban ini dicari-cari atau memang benar, karena itu dia kembali tertawa lebar. "Baiklah, kalau begitu aku hanya akan menghaturkan selamat jalan, nona. Minumlah seteguk arak sebagai ucapan selamat jalan dariku." Dia mengambil sebuah cawan kecil dari saku bajunya dan menyerahkan cawan kosong itu kepada Si Kwi untuk diisi dengan arak dari gucinya.
Tentu saja Si Kwi menolak dengan marah. "Ciu-kwi, jangan ganggu aku lagi!"
"Ha-ha-ha, kalau mengganggumu mengapa? Jangan pura-pura, nona manis. Di sini tidak ada orang lain, hanya engkau dan aku. Dan alang-alang itu lunak sekali."
"Keparat busuk!" Si Kwi sudah menerjang dengan kepalan tangannya.
Akan tetapi Ang-bin Ciu-kwi sudah menangkis dan tangkisannya yang disertai pengerahan tenaga itu membuat Si Kwi terhuyung. Dengan marah gadis ini lalu merogoh saku tempat menyimpan senjata rahasianya dan sekali tangannya bergerak, dua batang Hek-tok-ting (Paku Hitam Beracun) langsung menyambar ke arah leher dan dada lawan. Ciu-kwi cepat menggerakkan gucinya dan mengelak.
"Tringgg...!" sebatang paku runtuh dan yang sebatang lagi dapat dielakkannya.
"Ha-ha-ha, tanpa pedangmu dengan mudah aku akan dapat merobohkan engkau, nona. Dan pakumu itu pun tidak banyak gunanya. Bukankah lebih baik minum secawan arak sebagai sahabat dari pada kita harus bertempur dan saling serang sendiri?" Setan Arak ini kemudian menenggak guci araknya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya menyodorkan cawan kecil itu kepada Si Kwi.
Orang gila ini berbahaya, pikir Si Kwi. Jika menggunakan kekerasan agaknya akan lebih berbahaya baginya. Dia melihat Setan Arak juga berkali-kali meneguk arak dari guci itu, maka apa salahnya kalau hanya minum secawan? Biar pun dia merasa jijik harus minum arak dari guci yang sudah diteguk begitu saja oleh mulut Setan Arak itu, akan tetapi cara ini agaknya lebih aman dari pada harus mempergunakan kekerasan karena dia maklum bahwa tingkat kepandaian Setan Arak ini lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri.
"Ciu-kwi, benarkah kau tak akan menggangguku lagi setelah aku minum secawan arak?" tanyanya. "Kau berani berjanji demi dua locianpwe di Lembah Naga?" Dia menyebutkan nama Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li karena maklum alangkah takutnya orang gila ini terhadap mereka itu.
"Ha-ha-ha-ha! Baik, aku berjanji demi nama beliau berdua! Kau baik sekali mau menerima penghormatanku dan ucapanku selamat jalan, nona!" Ang-bin Ciu-kwi cepat menuangkan arak dari gucinya ke dalam cawan itu, lalu menyodorkannya kepada Si Kwi.
Tanpa ragu-ragu lagi gadis itu kemudian menenggak arak dari dalam cawan hingga habis, lalu mengembalikan cawannya. Sambil menerima cawan itu dan menyimpannya, Ang-bin Ciu-kwi tertawa bergelak.
Arak di dalam cawannya itu sudah dimasukinya obat bubuk pemberian isterinya dan tentu saja bagi dia tidak ada bahayanya karena lebih dulu dia sudah minum obat penawarnya. Kini dia melihat wajah gadis itu menjadi kemerahan dan pandang mata gadis itu kelihatan aneh!
“Ha-ha-ha, selamat jalan, nona manis!"
Si Kwi menggerakkan kedua kaki hendak pergi dari sana, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terhuyung.
"Ouhhh...!" Dia mengeluh dan berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang, pandang matanya berkunang dan kepalanya terasa pening sekali, jantungnya berdebar aneh dan sungguh pun dia masih memiliki kesadaran bahwa dia merasakan segala keanehan ini, akan tetapi kemauannya lenyap sama sekali dan dia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya, seolah-olah semangatnya terbang melayang.
"Kau kenapa, nona manis...?" tiba-tiba Ang-bin Ciu-kwi sudah berada di sampingnya dan merangkul lehernya.
"Auhhh... aku... auhhhhh...!" Si Kwi hanya dapat mengeluh dan merintih, bahkan dia lalu memegang lengan Ang-bin Ciu-kwi, sama sekali tak menolak saat laki-laki itu merangkul lehernya dan mengecup pipinya sambil tertawa girang.
Walau pun dia sama sekali tidak pernah melakukan penyelewengan, akan tetapi sebagai seorang gadis berusia dua puluh lima tahun yang sehat dan normal, karena kesukaran gurunya memilih jodoh untuk muridnya ini, tentu saja di dalam diri Si Kwi tersimpan api gairah yang wajar, dorongan nafsu birahi yang normal bagi seorang dewasa yang sehat.
Api gairah ini selalu ditekannya dan hanya dilepaskan di alam mimpi di mana dia dapat bermimpi dengan bebas, bercumbu dengan pria yang dibayangkannya di dalam mimpi. Maka biar pun lahiriah Si Kwi merupakan seorang gadis yang alim, akan tetapi di dalam tubuhnya terkandung api yang bergairah sekali, maka kini setelah dia minum racun yang membiusnya, dia merasa seperti sedang di dalam mimpi dan bercumbu dengan pria yang dirindukannya!
"Ha-ha-ha, marilah manis!" Ang-bin Ciu-kwi lalu menuntunnya dan merebahkan gadis ini di atas rumput alang-alang.
Si Kwi hanya memejamkan matanya dan seperti seekor domba jinak dia menurut saja apa yang dilakukan oleh Ciu-kwi yang menurut perasaan hatinya seperti pria dalam mimpinya selama ini.
Kini Ang-bin Ciu-kwi tidak perlu lagi merenggut dan merobek baju gadis itu, karena Si Kwi sama sekali tidak menolak ketika Ang-bin Ciu-kwi menanggalkan pakaiannya satu demi satu sambil membelai dan menciumnya.
"Bedebah!" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
Ang-bin Ciu-kwi terkejut sekali dan menghentikan usahanya menanggalkan pakaian gadis itu. Ketika melihat ada seorang pemuda berdiri di jalan sambil memandangnya dengan mata tajam dan penuh kemarahan, Ang-bin Ciu-kwi merasa heran dan marah. Orang ini bukan anak buahnya, jadi jelas adalah seorang luar!
Maka, dia langsung meloncat meninggalkan Si Kwi yang masih rebah terlentang. Ketika merasa ditinggalkan orang, Si Kwi merintih, membuka matanya sedikit dan mengulurkan kedua lengannya ke arah pemuda itu sambil tersenyum penuh arti!
"Keparat, siapa kau yang berani memasuki wilayah ini?" bentak Ang-bin Ciu-kwi sambil memegang guci araknya erat-erat.
"Manusia iblis, siapa pun adanya aku bukan hal yang penting. Akan tetapi sesudah aku berada di sini, jangan harap engkau akan dapat melanjutkan perbuatanmu yang terkutuk itu!" jawab si pemuda yang memperhatikan keadaan gadis setengah telanjang itu dengan alis berkerut karena dia masih merasa heran akan keadaan dan sikap gadis itu. Kemudian dia dapat menduga mendengar rintihan gadis yang seperti orang mabok itu. "Hemmm, keparat, engkau tentu menggunakan racun untuk membiusnya, bukan?"
Ang-bin Ciu-kwi yang merasa marah sekali karena kesenangannya telah diganggu, lantas membentak keras. "Bocah yang bosan hidup!"
Kemudian tangan kanannya menyambar dengan cepat sekali, juga amat kuat karena dia mengerahkan tenaganya untuk sekali pukul merobohkan pemuda yang mengganggunya ini.
"Wuuuuuttt... dukkkk!"
Ang-bin Ciu-kwi terpelanting dan dia memekik dengan kaget bukan main saat merasakan betapa lengan tangannya nyeri sekali beradu dengan lengan pemuda itu. Akan tetapi dia segera meloncat berdiri lagi dan memandang penuh perhatian. Pemuda yang berpakaian sederhana namun tampan bukan main, tampan dan gagah dan tiba-tiba dia teringat akan janjinya kepada isterinya tadi dan tertawalah Ang-bin Ciu-kwi!
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Engkau ternyata tampan dan gagah, cocok sekali untuk isteriku! Ha-ha-ha! Orang muda, lebih baik kita bersahabat. Aku adalah Ang-bin Ciu-kwi dan mari kuperkenalkan dengan isteriku di rumah."
Pemuda itu menatap tajam dan alisnya berkerut. Celaka, pikirnya. Kalau bukan pemabok besar orang ini tentu miring otaknya. Akan tetapi betapa pun juga, orang ini bukan orang sembarangan karena dalam pukulannya tadi terkandung tenaga yang hanya dimiliki orang yang lihai.
"Aihh... peluklah aku... peluklah..." Si Kwi kini rebah dengan gelisah, tubuhnya bergoyang ke kanan kiri dan mulutnya berbisik-bisik, matanya setengah dipejamkan.
"Ha-ha-ha-ha, apakah tidak sayang kalau dia dibiarkan sendirian saja?" Ang-bin Ciu-kwi tertawa. "Dan isteriku lebih hebat dari dia, orang muda."
"Jahanam busuk engkau!" Kini pemuda itu menjadi marah dan tangannya menyambar.
Ang-bin Ciu-kwi yang masih tertawa itu dengan cepat mengelak dan balas memukul, kini mempergunakan guci araknya yang merupakan senjata ampuh memukul ke arah kepala pemuda itu. Akan tetapi, dengan mudahnya pemuda itu mengelak dan sekali tangannya digerakkan dengan gerakan mendorong, hawa pukulan yang dahsyat segera menyambar membuat Ang-bin Ciu-kwi terjengkang dan roboh! Si pemabok ini kaget bukan main, cepat dia meloncat bangun lagi dan kini pandang matanya berbeda.
"Siapa engkau? Mau apa engkau?" tanyanya, tidak lagi tertawa-tawa seperti tadi.
"Tak perlu kau kenal dan aku tidak mempunyai urusan denganmu. Aku hendak pergi ke Lembah Naga..."
"Heii, keparat!" Ang-bin Ciu-kwi kini tidak ragu-ragu lagi. Tentu inilah seorang musuh yang harus dijaganya agar jangan sampai ke Lembah Naga. "Memang kau harus mampus!"
Dia menerjang lagi, tangan kanannya mencengkeram ke arah ubun-ubun pemuda itu, ada pun guci araknya menyambar ke arah lambung, ada arak muncrat dari dalam mulut guci menyambar ke arah kedua mata lawan! Memang hebat serangan dari Ang-bin Ciu-kwi ini, dan muncratnya arak itu pun merupakan serangannya yang istimewa.
Tetapi kali ini Ang-bin Ciu-kwi betul-betul menemukan tandingannya. Dengan tenang saja pemuda itu miringkan kepala untuk menghindarkan sambaran arak, kemudian tangan kiri menangkis cengkeraman ke arah ubun-ubun, sedangkan hantaman guci itu diterimanya begitu saja dengan lambung yang terbuka. Ang-bin Ciu-kwi sudah girang sekali karena isi perut pemuda itu tentu akan berantakan terkena hantaman gucinya.
"Bukkk! Plakk!"
Lambung itu tepat kena dihantam guci akan tetapi bukan si pemuda yang roboh, namun Ang-bin Ciu-kwi sendiri yang terpelanting dan dia hampir pingsan karena lehernya yang ditampar oleh tangan pemuda itu rasanya seperti remuk dan patah-patah, juga kepalanya menjadi pening dan dengan susah payah barulah dia bisa bangkit berdiri.
Dia memandang sejenak, kemudian larilah Ang-bin Ciu-kwi kembali ke Padang Bangkai, bahkan sedikit pun tidak lagi menengok ke arah Si Kwi yang masih rebah di atas rumput alang-alang tebal yang lunak seperti kasur!
Pemuda itu tidak mengejar, hanya memandang ke arah larinya lawan. Selagi dia hendak melanjutkan langkahnya, terdengar rintihan lantas teringatlah dia kepada gadis setengah telanjang yang masih rebah merintih-rintih di atas rumput itu. Pemuda itu menarik napas panjang dan menghampiri, lalu berjongkok di dekat wanita itu.
"Engkau siapakah? Apa yang sudah dilakukan terhadapmu? Engkau diberi minum apa?" Suara pemuda itu halus namun mengandung wibawa.
Si Kwi membuka matanya, menggigit bibirnya, kelihatannya tersiksa sekali.
"Si iblis... Ang-bin Ciu-kwi... aku minum arak... ahhhh, kau... kau... peluklah aku..."
Pemuda itu meraba dahi gadis itu, meraba pergelangan tangannya dan gadis itu bangkit duduk, merangkul pemuda itu dan menciuminya dengan mata terpejam.
"Ahh, tenanglah..." Pemuda itu memalingkan mukanya menghindarkan ciuman. "Engkau keracunan, terbius, biar kucoba mengusir hawa beracun dari tubuhmu."
Karena Si Kwi terus menggeliat dan hendak merangkul serta menggelutnya, pemuda itu menjadi kerepotan juga, maka sekali dia menotok, Si Kwi mengeluh panjang dan terkulai lemas. Pemuda itu lalu menelungkupkan gadis itu, dan dengan tangan kiri ditempelkan di punggung gadis itu, dia segera mengerahkan sinkang-nya, mengusir hawa beracun yang membuat gadis itu seperti orang mabok yang dirangsang nafsu birahi.
Tenaga sinkang pemuda itu memang luar biasa kuatnya. Hanya sepuluh menit kemudian, terdengar Si Kwi mengeluh normal dan pemuda itu kemudian menotok pundaknya untuk membebaskannya. Si Kwi mengeluh lagi, membalikkan tubuhnya dan melihat pemuda itu, dia cepat meloncat dan dengan gerakan cepat dia sudah menghantam pemuda ini!
"Ehhh, sabar dan tenanglah...!" Pemuda itu menangkis, membuat tubuh Si Kwi terhuyung ke belakang.
Kini agaknya Si Kwi baru sadar benar dan melihat pemuda yang asing itu, dia terkejut dan heran, kemudian dia melihat betapa tubuhnya hanya tertutup pakaian dalam sedangkan pakaian luarnya telah tertumpuk di atas rumput.
"Ihhhhh...!" Dia menjerit dan dengan gerakan canggung dan repot dia berusaha menutupi dada serta bawah pusarnya, kemudian membalikkan tubuh membelakangi pemuda itu.
Pemuda itu tersenyum, lalu mengambil tumpukan pakaian dan melemparkannya kepada dara itu, tepat menutup di pundaknya. "Kau pakailah kembali pakaianmu."
Tanpa menjawab, Si Kwi mengenakan lagi pakaian luarnya, barulah dia membalik dan memandang pemuda itu dengan muka merah dan sinar mata masih bingung. "Apa yang terjadi? Apa yang kau lakukan?"
"Aku? Aku hanya mengusir hawa beracun yang menguasaimu, nona."
"Mana dia? Mana iblis itu?"
"Kau maksudkan si pemabok tadi? Dia sudah lari."
Si Kwi mulai teringat semuanya. Betapa dia minum arak dari cawan dan menjadi pening, kemudian betapa dia senang sekali dirangkul dan diciumi Ang-bin Ciu-kwi, bahkan sudah dibaringkan di atas rumput alang-alang.
"Cuhhh...!" Tiga kali dia meludah ke arah rumput alang-alang tadi, penuh kejijikan.
Pemuda itu tersenyum. "Jangan khawatir, nona. Si bedebah itu tidak sempat melanjutkan perbuatannya yang terkutuk."
Si Kwi memandang pemuda itu, menatap wajah yang tampan dan gagah itu dan mukanya menjadi makin merah. Tubuhnya telah terlihat oleh pemuda ini dalam keadaan setengah telanjang!
"Engkau mengusirnya?" tanyanya hampir tak percaya bahwa pemuda tampan sederhana ini telah menyebabkan Ang-bin Ciu-kwi melarikan diri.
Pemuda itu mengangguk. "Aku lewat dan melihat perbuatannya yang terkutuk, maka aku menegurnya dan akhirnya dia lari."
"Dan kau lalu mengobatiku?"
Kembali pemuda itu mengangguk. "Melihat sikapmu yang... ehh, tidak wajar itu, aku tahu bahwa engkau terbius oleh hawa beracun, karena itu aku lalu mengusir hawa beracun dari tubuhmu."
Tiba-tiba Si Kwi menjatuhkan dirinya berlutut dan dua titik air mata membasahi pipinya, "Ahhh, banyak terima kasih, taihiap. Tanpa ada pertolonganmu, tentu celakalah saya...," katanya terharu.
"Sudahlah, nona, tidak perlu engkau bersikap begini. Bangunlah dan ceritakan apa yang terjadi." Pemuda itu mengangkat bangun Si Kwi yang kemudian berdiri dengan kedua pipi kemerahan dan sinar matanya penuh kagum memandang pemuda tampan yang demikian halus sikapnya, dan yang tentu berilmu tinggi karena buktinya dengan mudah mengusir Ang-bin Ciu-kwi dan juga dapat menyembuhkan dia dari pengaruh racun.
"Nama saya Liong Si Kwi dan saya akan... ahh, akan pergi meninggalkan tempat terkutuk ini, akan tetapi Setan Arak itu menghadang saya. Kami pernah bertanding dan memang saya kalah... lalu saya kena ditipunya, minum secawan arak dan..."
"Cukuplah. Aku sudah dapat menduganya. Orang itu jahat sekali."
"Tentu saja jahat, taihiap, karena dia adalah majikan Padang Bangkai di sini. Selain dia, masih ada lagi isterinya, Coa-tok Sian-li yang tak kalah kejamnya. Mereka berdua menjadi majikan Padang Bangkai, dibantu oleh lima belas orang anak buah mereka. Daerah ini sangat berbahaya, taihiap, maka sungguh mengherankan taihiap dapat datang ke tempat seperti ini."
"Aku hendak pergi ke Lembah Naga."
"Ohhhh...!"
Melihat gadis yang manis itu berseru kaget dan mukanya berubah, pemuda itu cepat bertanya, "Nona Liong, apakah engkau mengenal tempat itu?"
"Mengenal Lembah Naga? Tentu saja, akan tetapi sebelumnya, siapakah taihiap ini dan apa perlunya mencari Lembah Naga?" Sinar mata gadis itu menatap wajah yang tampan itu dengan penuh kekhawatiran.
Pemuda itu juga memandang si gadis penuh perhatian dan dia mengharap bahwa gadis yang telah diselamatkannya dari ancaman bahaya mengerikan tadi, yang agaknya sudah mengenal daerah itu, akan dapat membantunya dengan petunjuk-petunjuk, maka dia lalu menjawab sejujurnya, "Aku bernama Cia Bun Houw..."
"Aihhh...!" Kembali Si Kwi berseru kaget, mulutnya agak terbuka dan matanya terbelalak menatap wajah pemuda itu seperti orang melihat sesuatu yang luar biasa!
Tentu saja dia telah mendengar nama ini dari gurunya, nama putera ketua Cin-ling-pai yang kabarnya mempunyai kepandaian amat hebat! Tak disangkanya kini dia berhadapan dengan orangnya, seorang pemuda yang luar biasa, tampan dan gagah, dan tadi sudah menyelamatkannya dari perkosaan Ang-bin Ciu-kwi!
Bagaimana Cia Bun Houw tiba-tiba bisa muncul di tempat itu dan secara kebetulan dapat menyelamatkan Liong Si Kwi dari bahaya perkosaan? Seperti telah kita ketahui, pemuda ini pergi meninggalkan Cin-ling-pai, diutus oleh ayahnya untuk menyerahkan surat kepada keluarga Yuan de Gama di Yen-tai calon besan Cin-ling-pai, dan juga menghaturkan surat untuk kaisar di kota raja.
Setelah mendengar bahwa dia telah dipertunangkan dengan Souw Kwi Eng atau Maria de Gama, hati Bun Houw merasa tidak tenang, karena sesungguhnya pemuda ini telah jatuh cinta kepada In Hong. Maka, menerima tugas ayahnya untuk menyerahkan surat kepada keluarga Souw itu, dia merasa enggan, karena dia merasa malu bertemu mereka, apa lagi bertemu dengan Kwi Eng yang tentu telah tahu bahwa mereka telah bertunangan!
Ahh, menyesallah rasa hati Bun Houw kalau teringat betapa dahulu dia pernah mencium gadis itu! Karena keengganan ini, maka dia tidak lebih dahulu ke Yen-tai, melainkan lebih dulu ke kota raja untuk menyerahkan surat ayahnya kepada kaisar. Dan begitu tiba di kota raja, dia mendengar bahwa baru beberapa hari yang lalu, In Hong yang sekarang menjadi seorang puteri itu sudah diculik oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Tentu saja dia menjadi terkejut dan marah bukan main. Dia menyerahkan surat ayahnya kepada kaisar dengan menghadap sendiri.
Kebetulan sekali pada waktu itu, kaisar telah menerima balasan dari Raja Sabutai bahwa urusan kakek dan nenek guru Sabutai itu adalah di luar tanggung jawab Sabutai, bahwa Sabutai tidak tahu-menahu dengan semua perbuatan kedua orang gurunya itu yang kini telah meninggalkan dia dan berada di Lembah Naga.
Di dalam suratnya itu, ketua Cin-ling-pai mohon bantuan kaisar karena puteranya hendak merampas kembali Siang-bhok-kiam pusaka Cin-ling-pai dan dikhawatirkan bahwa kakek dan nenek iblis itu mengandalkan pasukan liar di utara. Begitu selesai membaca surat itu, kaisar segera memanggil panglima pengawal untuk mengerahkan pasukan pengawal dan membantu putera ketua Cin-ling-pai itu menuju ke Lembah Naga, bukan untuk merampas kembali Siang-bhok-kiam saja, akan tetapi terutama sekali untuk menyelamatkan Yap In Hong.
Akan tetapi Bun Houw yang tidak sabar menanti, langsung berpamit dan berangkat lebih dahulu seorang diri dengan cepat sehingga pada hari itu, dia tiba di luar dusun Padang Bangkai dan secara kebetulan dapat menolong Si Kwi.
Ketika dia melihat Si Kwi terkejut mendengar namanya, bahkan wajah gadis yang manis itu menjadi pucat, dia lalu bertanya, "Nona, apakah engkau sudah mengenal namaku?"
Si Kwi mengangguk, "Taihiap adalah putera ketua Cin-ling-pai, bukan?"
"Benar. Bagaimana engkau bisa tahu, nona?"
"Dan taihiap hendak pergi ke Lembah Naga untuk menuntut kembalinya Siang-bhok-kiam dan menolong nona Yap In Hong?"
"Benar...! Bagaimana dengan nona itu?" Bun Houw girang sekali.
Si Kwi menghela napas panjang. "Taihiap, mereka telah menanti-nanti datangnya orang orang yang hendak menolong nona Yap In Hong, dan mereka telah bersiap-siap! Taihiap, apa bila taihiap percaya kepada saya... harap taihiap jangan pergi ke sana. Berbahaya sekali...!" Si Kwi menatap wajah itu dan dia merasa makin khawatir. Entah bagaimana, dia tidak dapat membayangkan pemuda ini menemui bencana di Lembah Naga.
"Hemm, mengapa begitu, nona?"
"Cia-taihiap, percayalah kepadaku. Di sana, selain ada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, juga ada Bouw Thaisu dan ada pula guruku, Hek I Siankouw di samping masih ada pula seratus orang anak buah kedua orang kakek dan nenek itu..."
"Ahh, kiranya engkau adalah murid Hek I Siankouw?"
Tiba-tiba Si Kwi berlutut kembali dan kini dia tidak dapat menahan air matanya. "Taihiap harap jangan samakan saya dengan mereka! Tidak... saya hanya terbawa oleh subo yang tentu saja ingin membalas dendam kematian supek Hwa Hwa Cinjin. Namun sekarang saya telah melihat dengan jelas betapa mereka itu adalah orang-orang jahat. Karena itu, tadinya saya hendak melarikan diri dari sini, taihiap, sampai saya terhadang oleh Ang-bin Ciu-kwi dan hampir celaka... sungguh, saya sangat khawatir kalau taihiap melanjutkan perjelanan. Amat berbahaya menempuh bahaya itu seorang diri saja. Kembalilah, taihiap, atau setidaknya, kalau taihiap hendak menyerbu, bawalah teman sebanyaknya."
Bun Houw dapat mempercayai keterangan gadis ini. Dia merasa beruntung bahwa secara kebetulan dia dapat menolong gadis ini sehingga dia akan mendengar keterangan yang sangat jelas, boleh dipercaya dan berharga dari gadis ini. Maka dia lantas duduk di atas rumput.
"Liong-kouwnio, kau duduklah dan mari kita bicara baik-baik. Engkau tentu tahu, sebagai putera ketua Cin-ling-pai aku tidak mungkin kembali dan mundur."
"Akan tetapi itu berarti bunuh diri, taihiap! Berbahaya sekali..."
Bun Houw menggelengkan kepalanya. "Bahayanya akan berkurang banyak kalau saja engkau suka menceritakan kepadaku keadaan di sana."
"Tentu! Tentu saja saya suka menceritakan. Taihiap, baru perjalanan menuju ke Lembah Naga saja sudah merupakan perjalanan penuh bahaya. Tidak ada jalan lain menuju ke Lembah Naga kecuali harus melalui Padang Bangkai yang dimulai dari sini. Di situ banyak terdapat bagian-bagian yang amat berbahaya." Gadis ini lalu menuturkan dengan jelas tentang rahasia tempat itu, mana jalan yang merupakan ancaman maut siapa pun yang melanggarnya, dan mana pula jalan rahasia yang harus diambil.
"Melihat kelihaian taihiap, agaknya Padang Bangkai masih akan sanggup taihiap lewati. Akan tetapi setelah taihiap berada di daerah Lembah Naga, haruslah berhati-hati sekali. Seratus orang anak buah kakek dan nenek itu adalah orang-orang pilihan dari pasukan Raja Sabutai, dan Pek-hiat Mo-ko serta Hek-hiat Mo-li mempunyai kesaktian luar biasa, taihiap. Dan taihiap hanya sendirian saja..."
Mendengar penuturan yang panjang lebar itu Bun Houw menjadi girang sekali. Sekarang setidaknya dia tahu jalan mana yang harus diambil. Maka dia lalu bangkit berdiri, diikuti oleh Si Kwi, dan menjura sambil berkata,
"Liong-kouwnio sudah memberi bantuan yang sangat berharga kepadaku, banyak terima kasih atas kebaikanmu, kouwnio."
"Jangan berkata demikian, taihiap. Sayalah yang berhutang budi dan nyawa..."
"Selamat berpisah, kouwnio, aku hendak melanjutkan perjalanan."
Si Kwi masih hendak mencegah, akan tetapi pemuda itu telah menggerakkan kakinya dan berkelebat lenyap di antara rumpun alang-alang yang tinggi.
Si Kwi terkejut dan kagum bukan main. Dia sendiri adalah seorang yang memiliki ilmu ginkang yang tinggi, namun gerakan pemuda itu demikian cepatnya sehingga dia maklum bahwa dibandingkan dengan tingkat kepandaian putera ketua Cin-ling-pai itu, kepandaian dia seperti permainan kanak-kanak saja! Jantungnya berdebar ketika dia teringat bahwa pemuda itu adalah putera seorang ketua perkumpulan yang amat besar dan terkenal.
Subo-nya selalu menolak pinangan pemuda-pemuda yang jatuh cinta kepadanya karena subo-nya hanya mau menjodohkan dia dengan pemuda pilihan, bangsawan atau putera ketua perkumpulan yang berilmu tinggi dan terkenal. Dan pemuda tadi...
“Ahh, aku melamun yang bukan-bukan!" dia mencela diri sendiri.
Dan dara itu pun kini melangkah, bukan melanjutkan perjalanan ke selatan, melainkan kembali ke utara, karena dia ingin kembali ke Lembah Naga! Pertemuannya dengan Bun Houw, dan mendengar bahwa pemuda itu hendak menyerbu Lembah Naga, membuat dia merasa khawatir sekali dan berubah sama sekali niatnya. Dia harus kembali ke Lembah Naga, dia tidak mungkin bisa meninggalkan pemuda itu begitu saja tertimpa mala petaka di Lembah Naga!
********************
Bun Houw berlari cepat akan tetapi juga dengan penuh kewaspadaan. Dia maklum akan bahaya yang terdapat di Padang Bangkai ini dan merasa amat bersyukur bahwa dia dapat menolong Si Kwi sehingga mendapatkan petunjuk-petunjuk yang amat berharga dari dara itu. Dari Si Kwi dia mendengar tadi bahwa In Hong masih dalam keadaan baik-baik saja, karena memang gadis itu ditawan untuk dipergunakan sebagai umpan.
Mendengar bahwa In Hong masih selamat, hatinya merasa lega bukan main. Memang penting sekali baginya untuk merampas kembali Siang-bhok-kiam, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah menyelamatkan In Hong. Dirabanya perhiasan rambut burung hong kumala yang selalu berada di saku bajunya bagian dalam, kemudian dirabanya pedang Hong-cu-kiam yang melilit pinggangnya. Apa pun yang terjadi, dia harus menyelamatkan In Hong!
Tiba-tiba saja dia berhenti dan menyelinap di balik rumpun alang-alang ketika dari jauh dia melihat serombongan orang berjalan sambil tertawa-tawa, akan tetapi di antara suara ketawa banyak orang laki-laki itu dia mendengar suara isak tangis seorang wanita! Ketika rombongan itu telah tiba dekat, dia memandang dengan mata berkilat saking marahnya.
Rombongan itu terdiri dari belasan orang lelaki tinggi besar dan di tengah-tengah mereka terdapat seorang wanita cantik yang telanjang bulat, kedua tangannya dipegangi banyak orang dan dia setengah diseret menuju ke sebuah padang rumput hijau tak jauh dari situ. Dia mendengar dari penuturan Si Kwi tadi bahwa padang rumput hijau itu berbahaya sekali karena di bawahnya tersembunyi lumpur maut yang sekali diinjak akan menyedot tubuh manusia dan di dalamnya terdapat lintah dan binatang lain yang beracun.
Kini rombongan laki-laki itu mengangkat tubuh si wanita telanjang, lantas beramai-ramai mereka melemparkan tubuh wanita itu ke tengah padang rumput! Wanita itu menjerit, lalu tubuhnya terbanting dan amblas ke bawah sampai ke pinggang. Matanya terbelalak dan dia meronta-ronta, akan tetapi terbenam makin dalam. Tiba-tiba wanita itu tertawa, lalu menangis lagi dan karena dia terus meronta, sebentar saja suara tawa atau tangisnya itu lenyap karena kepalanya telah terbenam, hanya tinggal dua tangannya saja yang tampak, membentuk sepasang cakar yang kaku!
Bun Houw menahan napas saking ngeri dan marahnya melihat peristiwa ini. Dia tidak menyangka bahwa wanita itu akan dilemparkan ke tempat berbahaya itu dan ketika dia melihat hal ini terjadi, dia sudah terlambat dan dia maklum bahwa tak mungkin lagi dapat menolong wanita itu, maka setelah wanita itu tidak nampak lagi dan orang-orang kasar itu masih tertawa-tawa dan mengeluarkan kata-kata cabul dan tidak senonoh, dia lalu keluar dan berdiri tegak, memandang mereka penuh kemarahan sambil membentak,
"Iblis-iblis bermuka manusia!"
Tentu saja anak buah Padang Bangkai itu terkejut bukan main. Cepat mereka menengok dan melihat seorang pemuda asing berdiri di situ, mereka segera mengepungnya. Mereka merasa heran sekali mengapa mereka tadi tidak melihat pemuda ini datang dan tahu-tahu pemuda itu sudah berada di situ. Akan tetapi sebelum mereka bertanya, terdengar suara bentakan nyaring.
"Hayo kepung dan bunuh orang ini!" Itulah suara Ang-bin Ciu-kwi yang telah datang di situ bersama isterinya, Coa-tok Sian-li.
Suami itu tadi bercerita kepada isterinya bahwa dia telah gagal menggagahi Liong Si Kwi karena munculnya seorang pemuda yang sangat lihai, pemuda yang sangat tampan dan gagah. Mendengar ini, Coa-tok Sian-li sudah tertarik sekali, maka bersama suaminya dia cepat keluar dari sarang untuk menangkap pemuda yang tampan dan gagah itu. Ternyata pemuda itu telah dikepung oleh anak buah mereka.
"Jangan bunuh!" Coa-tok Sian-li berseru lebih nyaring dari suaminya. "Tangkap dia hidup-hidup!" Nyonya yang cantik ini memang tertarik sekali melihat Bun Houw yang tampan dan ganteng dan merasa sayang kalau seorang pemuda seperti itu dibunuh begitu raja!
Mendengar perintah Coa-tok Sian-li, orang-orang kasar itu tersenyum dan saling pandang. Mereka ini tentu saja sudah mengenal baik akan kesenangan nyonya majikan itu, maka sambil tertawa-tawa mereka lalu mengeluarkan sehelai jala, masing-masing mengeluarkan sehelai dan mengurung pemuda itu dengan jala siap di tangan.
Sejak tadi Bun Houw memperhatikan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, maklum bahwa suami isteri inilah majikan Padang Bangkai itu seperti yang diceritakan oleh Si Kwi tadi. Dia harus melewati Padang Bangkai untuk dapat pergi ke Lembah Naga dan untuk dapat melalui Padang Bangkai dia harus dapat mengalahkan suami isteri ini bersama belasan orang anak buah mereka.
Kebetulan, pikirnya, kini mereka sudah berkumpul semua di sini, di pinggir padang rumput hijau yang menyeramkan itu. Teringat akan nasib wanita telanjang tadi, Bun Houw merasa perutnya muak dan kini sepasang matanya memandang ke sekeliling, ke arah belasan orang yang mengurungnya itu, dengan sinar berkilat-kilat.
"Haaaiiittt...!"
"Tangkaaappp...!"
Empat orang menubruk dari empat penjuru dengan jala mereka. Jala itu bentuknya mirip seperti jala ikan biasa, ada talinya dan ketika dilontarkan, jala-jala itu lantas mengembang bagaikan layar dan keempatnya dengan tepat menyelimuti tubuh Bun Houw. Pemuda ini sama sekali tidak mengelak, membiarkan jala-jala itu menyelimutinya, akan tetapi segera dia menggerakkan kedua tangannya.
"Breeeetttt...!"
Empat lembar jala itu pecah dan koyak-koyak hancur, dan si pemuda tampan itu masih berdiri di tengah-tengah pengepungan mereka dengan sikap tenang.
"Heiiiii...!"
"Ahhh...!"
Mereka terkejut bukan main. Jala mereka itu terkenal sangat kuat dan mampu menahan bacokan golok. Musuh yang sudah terjala, baru sehelai jala saja akan sukar meloloskan diri. Akan tetapi kini sekali gerak pemuda itu dengan tangan kosong telah menghancurkan empat lembar jala! Suami isteri itu pun terkejut bukan main dan jantung Coa-tok Sian-li makin berdebar penuh gairah birahi terhadap pemuda yang demikian jantan dan lihainya.
"Serbu! Tangkap!" teriaknya.
Kini lima belas orang anak buah Padang Bangkai itu bergerak laksana harimau-harimau kelaparan memperebutkan seekor domba. Sekaligus dua orang menubruk dari depan dan dua orang pula menyergap dari belakang. Karena mereka diperintah untuk menangkap, maka mereka tidak menghantam, melainkan hanya menubruk untuk meringkus pemuda ini yang mereka tahu amat diidamkan oleh nyonya majikan mereka.
Kembali Bun Houw membiarkan empat orang itu meringkus dan merangkulnya, kemudian dia mengeluarkan suara melengking dahsyat sambil menggerakkan tubuhnya. Akibatnya hebat karena empat orang tinggi besar itu semua terlempar seperti dilontarkan ke arah... padang rumput hijau!
Segera mereka memekik ketakutan, akan tetapi karena tenaga yang melontarkan mereka itu sangat kuat, akhirnya mereka terbanting ke atas padang rumput hijau dan celakanya, mereka jatuh dengan kepala lebih dulu dan langsung tubuh mereka menancap di lumpur dari kepala sampai ke pinggang, tinggal dua kaki mereka saja bergoyang-goyang lucu dan aneh!
Teman-teman mereka terkejut dan hendak menolong kawan-kawan mereka itu dengan tali. Akan tetapi kini Bun Houw mengamuk, tidak memberi kesempatan kepada mereka, kaki tangannya bergerak dan terdengar suara berkeretaknya tulang-tulang patah dan ada pula yang terlempar ke padang rumput hijau. Dengan gerakan kilat Bun Houw berloncatan dan ke mana pun tubuhnya berkelebat, tentu ada anggota Padang Bangkai yang roboh atau terlempar ke padang rumput berbahaya itu.
Dalam waktu singkat saja, delapan orang terlempar ke padang rumput hijau dan segera ‘ditelan’ lumpur, yang tujuh orang roboh tidak mampu bangkit kembali, ada yang pingsan karena kena ditampar, ada yang patah tulang kaki atau tangannya dan mereka kini hanya merupakan sekumpulan orang cacad yang tidak mampu bangkit, hanya dapat mengerang kesakitan!
Melihat ini, tentu saja Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li terkejut bukan main. Semua gairah nafsu birahi lenyap dari benak wanita itu ketika melihat betapa kelima belas orang anak buahnya telah roboh semua. Sekarang mukanya yang dihias tebal itu menjadi buruk karena ditarik sedemikian rupa oleh perasaan marah, tangannya bergerak berkali-kali dan puluhan batang jarum Coa-tok-ciam (Jarum Racun Ular) menyambar ke tubuh Bun Houw dari kepala sampai ke kaki!
Hebat bukan main serangan beruntun dan bertubi-tubi dari jarum-jarum yang dilontarkan oleh Coa-tok Sian-li yang sudah marah, akan tetapi anehnya, Bun Houw sama sekali tidak mengelak, hanya mengangkat tangan untuk melindungi mukanya dari serangan semua jarum itu. Dan semua jarum itu tepat mengenai tubuhnya, dari leher sampai ke kaki, akan tetapi pemuda itu seolah-olah tidak merasakan sesuatu dan jarum-jarum itu banyak yang menancap di pakaiannya!
Kini Bun Houw menggunakan tangannya mengusap pakaiannya dan jarum-jarum itu telah berada di tangannya, lalu tangannya bergerak dan belasan batang jarum menyambar ke arah suami isteri itu dan orang-orang mereka yang masih mengerang kesakitan.
"Celaka...!" Coa-tok Sian-li berseru.
Dia dan suaminya dapat meloncat jauh ke belakang menghindarkan diri dari sambaran jarum-jarum itu, akan tetapi keempat orang anggota atau anak buah mereka yang telah terluka tadi, kini menjerit dan terjengkang roboh berkelojotan termakan oleh jarum-jarum beracun! Hanya mereka yang tadi sudah pingsan dan rebah saja yang lolos dari maut.
Melihat ini, Coa-tok Sian-li dan Ang-bin Ciu-kwi menjadi pucat sekali dan tanpa menanti komando lagi, keduanya telah membalikkan tubuh dan lari dari situ seperti dikejar hantu! Mereka melarikan diri ke utara untuk melapor ke Lembah Naga mengenai kedatangan pemuda yang luar biasa lihainya ini.
Sementara itu, dari jauh Si Kwi juga melihat semua peristiwa itu dan jantungnya berdebar tegang dan penuh kekaguman. Semakin kagumlah dia terhadap Bun Houw, dan semakin tetaplah tekadnya bahwa apa pun yang akan terjadi, dia harus menjaga agar Bun Houw jangan sampai tertimpa mala petaka, atau dia akan berusaha untuk menolongnya sedapat mungkin.
Ketika dia melihat pemuda itu dengan gerakan cepat sekali telah meninggalkan tempat itu dan agaknya seperti hendak mengejar suami isteri yang melarikan diri, Si Kwi juga cepat melanjutkan perjalanannya.
"Ohh, aku cinta padamu... betapa aku cinta padamu..." Bibirnya berkemak-kemik ketika dia memandang bayangan Bun Houw yang segera lenyap itu.
Si Kwi bukan seorang gadis yang mudah jatuh cinta. Biasanya, karena sikap gurunya, dia malah ada kecondongan memandang rendah kaum pria, biar pun di dalam lubuk hatinya dia merindukan seorang suami yang seperti yang diidam-idamkan gurunya dan diidamkan oleh dia sendiri pula. Seorang pemuda yang gagah perkasa dan lebih lihai dari pada dia sendiri, dan tentu saja yang tampan dan ganteng.
Maka kini, bertemu dengan Cia Bun Houw dan melihat betapa semua idaman hatinya itu terkumpul di dalam diri pemuda itu, tidaklah mengherankan apa bila dia tertarik, kagum, dan jatuh cinta! Apa lagi karena justru pemuda hebat itulah yang telah menyelamatkannya dari bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut!
Dan selain ini juga pemuda itu telah melihat tubuhnya dalam keadaan setengah telanjang, hanya memakai pakaian dalam yang tipis dan pendek saja! Seluruh kerinduan yang timbul semenjak beberapa tahun ini, semenjak dia telah menjadi dewasa, sekarang ditumpahkan kepada diri Bun Houw seorang!
********************
Berkat petunjuk dari Liong Si Kwi, Bun Houw tidak mengalami kesulitan melewati Padang Bangkai yang sudah kosong ditinggalkan penghuninya itu dan akhirnya tibalah dia di luar tembok yang mengelilingi tempat tinggal Pek-hiat Mo-ko serta Hek-hiat Mo-li di Lembah Naga.
Tembok itu seperti benteng saja, kokoh kuat dan tinggi. Akan tetapi sungguh aneh sekali. Kalau benteng itu dijaga dengan ketat, tentu tampak para prajurit penjaga yang hilir-mudik melakukan penjagaan dan perondaan, tapi sebaliknya tempat ini sunyi saja tidak nampak seorang pun penjaga.
Ketika Bun Houw tiba di depan pintu gerbang, pintu besar dari tembok benteng itu malah terbuka lebar-lebar namun tidak nampak ada yang menjaganya, seakan-akan pintu yang terbuka lebar itu mempersilakan dia memasukinya. Akan tetapi, Bun Houw bukan seorang pemuda sembrono atau bodoh. Baginya, pintu benteng yang terbuka lebar itu bagai mulut seekor naga yang terbuka, siap menelannya kalau dia tidak berhati-hati!
Bun Houw menduga bahwa tidaklah mungkin pihak Lembah Naga begitu lengah sesudah sengaja menawan In Hong dan menggunakan gadis itu sebagai umpan datangnya para tokoh Kerajaan Beng. Terlebih lagi karena sekarang Siang-bhok-kiam juga sudah mereka rampas dan setiap saat mereka menanti datangnya orang Cin-ling-pai untuk merampas kembali pedang pusaka itu. Ini pasti sebuah perangkap, pikirnya.
Dia teringat akan suami isteri majikan Padang Bangkai yang melarikan diri. Pasti karena dua orang itu telah datang melapor, maka kini Lembah Naga sudah siap menyambutnya dan mengatur perangkap.
Namun Bun Houw sama sekali tidak merasa jeri. Dia sudah bertekad mempertaruhkan nyawanya, bukan hanya untuk merampas kembali Siang-bhok-kiam, melainkan terutama sekali untuk menyelamatkan In Hong gadis yang dicintanya itu. Dia segera pergi mencari sebongkah batu yang beratnya kurang lebih seberat orang biasa, lantas dia melontarkan batu itu ke lantai di tengah pintu gerbang sedangkan tubuhnya sendiri mencelat ke atas seperti seekor burung terbang saja.
"Bukkkk...!"
Baru saja batu itu tiba di lantai pintu, terdengar bunyi berderit nyaring dan lantai di bawah pintu gerbang itu terkuak lebar sekali menjadi sebuah sumur besar yang mampu menelan puluhan orang prajurit yang menyerbu pintu gerbang itu. Kemudian, dari atas kanan kiri pintu gerbang itu, belasan orang laki-laki yang sudah bersiap dengan gendewa mereka langsung melepas anak panah seperti hujan saja ke dalam lubang.
Bun Houw bergidik. Jangankan baru dia seorang, andai kata ada pasukan yang lancang menyerbu masuk, tentu pasukan itu akan terjeblos ke dalam lubang sumur besar itu dan semua tewas di bawah hujan anak panah itu! Akan tetapi kini para anak buah Lembah Naga itu sudah melihat Bun Houw yang berdiri di atas tembok, sebab itu mereka kini lalu membalikkan gendewa mereka dan menyerang pemuda itu dengan anak panah.
Bun Houw meloncat ke bawah, kaki tangannya menangkis dan menendang anak panah yang datang menyerangnya, ada pula yang mengenai tubuhnya akan tetapi semua anak panah itu runtuh ke bawah, tidak ada yang dapat melukai tubuhnya yang sudah dilindungi oleh sinkang sehingga menjadi kebal. Begitu tiba di bawah, Bun Houw berseru nyaring,
"Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Keluarlah kalian jika memang kalian bukan pengecut-pengecut hina! Aku Cia Bun Houw dari Cin-ling-pai telah datang!"
Semua anak buah Lembah Naga terkejut mendengar ini. Di antara mereka memang ada yang sudah pernah melihat Cia Bun Houw ketika pemuda ini dahulu memasuki benteng Sabutai, akan tetapi ada pula yang belum melihatnya. Akan tetapi, mereka semua telah mendengar akan nama pemuda Cin-ling-pai yang kabarnya amat lihai itu dan tadi mereka pun sudah menyaksikan sendiri betapa selain tidak dapat terjebak di pintu gerbang, juga pemuda itu telah memperlihatkan kelihaiannya ketika dihujani anak panah.
"Ha-ha-ha, bocah sombong!" Terdengar suara keras dan nampaklah Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li muncul dari dalam sebuah rumah gedung, langsung menghampiri tempat yang telah dikurung oleh puluhan orang anak buah mereka itu. Juga tampak muncul Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw, kemudian paling akhir muncul pula Ang-bin Ciu-kwi bersama Coa-tok Sian-li yang memandang ke arah pemuda itu dengan sikap gentar.
"Ha-ha-ha! Mana ketua Cin-ling-pai? Aku mengharapkan dia yang muncul di sini, bukan seorang bocah masih ingusan macam kau!" Pek-hiat Mo-ko berkata lagi, memandang rendah kepada Bun Houw.
Bun Houw sudah memandang penuh perhatian. Pek-hiat Mo-ko yang bermuka putih dan berpakaian hitam, di samping Hek-hiat Mo-li yang bermuka hitam dan berpakaian putih itu benar-benar merupakan pasangan yang menyeramkan sekali. Akan tetapi, teringat bahwa In Hong berada di sebelah dalam dari satu di antara rumah-rumah di benteng ini, bangkit kembali semangat Bun Houw dan dengan tabah dia lalu berkata,
"Ji-wi locianpwe adalah dua orang tua yang berilmu, kenapa mempergunakan cara yang amat tercela? Kalau memang hendak menantang kami kenapa harus menggunakan akal pancingan?"
"Heh-heh-heh-heh, bocah ini bermulut lancang!" Hek-hiat Mo-li mengejek. "Pedang Siang-bhok-kiam memang ada pada kami, lekas suruhlah ketua Cin-ling-pai sendiri datang untuk mengambilnya kalau dia berani!"
"Cukup dengan aku saja sebagai putera ketua Cin-ling-pai mewakili ayah beserta seluruh Cin-ling-pai!" kata Bun Houw tenang. "Dan bukan hanya untuk Siang-bhok-kiam, terutama sekali hendaknya ji-wi suka membebaskan nona Yap In Hong sekarang juga!"
Ucapan yang sangat tenang dari Bun Houw ini mengherankan semua orang, heran akan keberanian pemuda ini yang datang seorang diri di tempat itu akan tetapi telah membuka suara lantang hendak merampas kembali Siang-bhok-kiam dan menuntut dibebaskannya Yap In Hong! Sejenak keadaan menjadi sunyi dan semua orang menunggu jawaban dari dua orang kakek dan nenek itu.
Tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh suara lemah, "Subo..."
Semua orang menengok dan Hek I Siankouw juga menoleh. Ketika dia melihat muridnya yang berpakaian merah itu sudah tiba pula di sana dengan muka agak pucat, dia cepat memanggil dengan suara dingin, "Si Kwi, ke sinilah engkau!"
Mendengar suara gurunya, Liong Si Kwi terkejut dan melirik ke arah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya yang keduanya menyeringai itu. Dia lalu cepat-cepat menghampiri gurunya dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Hek I Siankouw.
"Heh-heh, bagus sekali muridmu, Siankouw! Kiranya muridmu yang kau bilang amat boleh dipercaya itu hanya seorang pengkhianat tak tahu malu!" kata Hek-hiat Mo-li.
"Nanti dulu, Mo-li!" Hek I Siankouw membantah. "Kita tidak boleh hanya mendengarkan keterangan dari satu pihak saja. Persoalan ini perlu diselidiki baik-baik dulu sebelum kita menjatuhkan kesalahan kepada satu pihak. Eh, Si Kwi, bagaimana dengan perintah yang kuberikan padamu untuk menemui majikan-majikan Padang Bangkai dan menyampaikan pesan?"
"Sudah teecu lakukan dengan baik, subo. Akan tetapi..." Dara itu melirik ke arah Ang-bin Ciu-kwi yang masih menyeringai.
"Akan tetapi kata orang engkau berkhianat, hendak melarikan diri dari sini, dan kemudian engkau bermain gila dengan pemuda Cin-ling-pai ini, berjinah dengan dia hingga ketahuan oleh Ang-bin Ciu-kwi dan..."
"Bohong...!" Si Kwi menjerit dan dia melompat bangun, menghadapi Ang-bin Ciu-kwi dan menudingkan telunjuknya kepada majikan Padang Bangkai itu. "Dia bohong, dia bukan manusia, subo! Dia inilah manusianya yang hampir saja memperkosa teecu! Ketika teecu sampai di sana, mereka ini dan anak buah mereka tidak melakukan penjagaan, melainkan mengganggu banyak wanita walau pun kemudian mereka bilang bahwa wanita-wanita itu adalah anak buah Giok-hong-pang. Kemudian... secara curang iblis ini menyuguhkan arak beracun kepada teecu dan nyaris teecu diperkosa olehnya! Bedebah keparat dia ini!"
"Ha-ha-ha, kami melihat engkau dan pemuda Cin-ling-pai itu bergumul di antara rumpun alang-alang... ha-ha-ha, alangkah asyiknya... dan sekarang masih ingin memutar balikkan omongan!" kata Ang-bin Ciu-kwi.
"Nanti dulu, Ciu-kwi. Benarkah omonganmu dan isterimu bahwa kalian melihat muridku berjinah dengan pemuda Cin-ling-pai ini?"
"Benar! Kami berdua melihatnya!" jawab Coa-tok Sian-li dengen tegas.
"Bohonggg...!" Si Kwi menjerit lagi.
"Diam kau, Si Kwi!" Hek I Siankouw membentak muridnya, lalu berkata kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, "Kalian berdua tentu bukan anak kecil maka hal ini tentu saja dengan mudah dapat kita periksa. Sepanjang pengetahuanku, muridku ini adalah seorang perawan. Akan tetapi sekarang dua orang majikan Padang Bangkai ini justru mengatakan bahwa muridku berjinah dengan seorang laki-laki. Harap Hek-hiat Mo-li suka memeriksa kebenaran keterangan itu. Kalau benar muridku sekarang sudah bukan perawan lagi, aku sendiri yang akan membunuhnya!"
“Heh-heh, itu benar sekali!"
Hek-hiat Mo-li melangkah maju dan sebelum Si Kwi sempat mengelak, dia sudah tertotok roboh. Dengan cekatan jari-jari tangan Hek-hiat Mo-li segera meraba-raba dan tidak lama kemudian dia membebaskan totokannya, mencelat ke tempatnya kembali sambil berkata kecewa, "Dia benar masih perawan!"
"Hemmm..." Hek I Siankouw kini menghadapi Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li. "Bagai mana sekarang, manusia-manusia palsu? Kalau muridku sudah berjinah dengan seorang pria, bagaimana mungkin dia masih perawan sekarang?"
Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li tentu saja menjadi bingung. Mereka memang sengaja memutar balikkan fakta supaya gadis itu tidak mengadukan keadaannya ketika berada di Padang Bangkai, siapa tahu kini terdapat bukti bahwa cerita mereka itu bohong belaka!
"Akan tetapi dia... dia memang hendak lari ke selatan dan... sekarang buktinya, pemuda Cin-ling-pai ini mana mungkin bisa melewati Padang Bangkai dan tiba di sini kalau tidak atas petunjuk Si Kwi?" kata Ang-bin Ciu-kwi yang biar pun pemabok namun cukup cerdik itu.
Kembali Hek I Siankouw meragu. "Si Kwi, benarkah engkau memberikan petunjuk kepada pemuda Cin-ling-pai ini?"
"Tidak, Hek I Siankouw, dia sama sekali tidak memberikan petunjuk apa-apa kepadaku. Mengapa kalian ini begitu tolol untuk mempercayai omongan manusia-manusia semacam suami isteri yang cabul dan kotor ini? Aku memaksa seorang anggota Padang Bangkai untuk menunjukkan jalan ke sini!" Bun Houw cepat berkata untuk melindungi Si Kwi.
"Nah, jelas bahwa engkau sengaja hendak memburukkan nama muridku, hanya karena engkau tadinya hendak memperkosanya dan sekarang kau memutar balikkan kenyataan! Ang-bin Ciu-kwi, kau menghina muridnya, berarti kau menantang gurunya!"
"Bagus, Hek I Siankouw, engkau sombong sekali!" Tiba-tiba Coa-tok Sian-li berteriak dan meloncat ke depan membela suaminya. "Muridmu bisa bercerita bohong dan tentu saja pemuda musuh ini membelanya, tapi kami suami isteri juga mempunyai cerita tersendiri. Muridmu yang tak tahu malu..."
"Tutup mulutmu, perempuan cabul!" teriak Hek I Siankouw.
"Engkau yang harus tutup mulut!" teriak Coa-tok Sian-li.
Kedua orang wanita itu, tentu saja Coa-tok Sian-li dibantu suaminya, sudah akan saling serang ketika terdengar Hek-hiat Mo-li berseru keras.
"Sungguh bodoh kalian! Mudah saja diadu domba oleh musuh. Sedangkan musuh masih berdiri di antara kita, kalian bahkan sudah saling cekcok! Lebih baik kalian bertiga cepat maju menangkap pemuda Cin-ling-pai ini!"
"Benar, kalau memang kalian bertiga merupakan pembantu-pembantu kami yang setia, hayo kalian tangkapkan pemuda ini untuk kami!" kata pula Pek-hiat Mo-ko...
Selanjutnya,