Dewi Maut Jilid 37
TIO SUN juga memandang lawannya dengan penuh perhatian. Seorang lawan yang amat berbahaya, pikirnya. Jelas bahwa Biruang Hitam ini mempunyai tenaga otot yang sangat besar, mungkin lima kali lebih besar dari pada tenaga manusia biasa. Dan kedua lengan yang hitam berbulu itu amat kuat dan panjang, dengan jari-jari tangan yang panjang dan yang dapat diduganya tentu mempunyai kekuatan mencengkeram atau menangkap yang amat kuat. Celakalah kalau sampai kena dicengkeram oleh jari-jari tangan itu.
Dia harus mengandalkan kecepatan gerakannya, karena betapa pun kuatnya, raksasa hitam ini karena besarnya tubuh tentu lamban gerakannya dan dengan mengandalkan kegesitannya, mungkin dia akan menang. Pula, dia adalah putera seorang yang berjuluk Ban-kin-kwi (Iblis Bertenaga Selaksa Kati). Ayahnya, Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, terkenal memiliki tenaga yang amat besar dan dia pun telah mempelajari penghimpunan tenaga itu sehingga dia pun merupakan seorang yang bertenaga besar. Namun, dalam hal tenaga luar, jelas bahwa dia tidak mungkin dapat menandingi raksasa di depannya itu.
"Aku telah siap!" katanya kepada raksasa itu yang kelihatan ragu-ragu.
Agaknya Biruang Hitam itu mengerti maksud ucapan Tio Sun, karena raksasa ini segera mengeluarkan suara menggereng dahsyat dan kedua lengannya bergerak menyambar ke depan dari kanan kiri seperti terkaman seekor biruang yang marah.
"Wuuutttt...! Wuuutttt...!"
Dua tangannya yang lebar dengan jari-jari terbuka itu sampai mengeluarkan angin saking kuatnya dia menggerakkan kedua tangan dari kanan dan kiri yang mengadakan serangan cengkeraman itu. Namun dengan langkah ke belakang, Tio Sun dapat mengelak dengan mudah dan saat raksasa hitam itu melanjutkan serangannya dengan menubruk ke depan, dia juga sudah dapat mengelak ke samping dengan lincahnya.
Biruang Hitam menggereng marah. Kini dia menerjang kembali dengan pukulan kepalan tangan sebesar kepala Tio Sun sedangkan tangan kiri mencengkeram ke bawah, hendak menangkap kaki pendekar itu.
Kembali Tio Sun cepat mengelak lantas dari samping dia sengaja memasang diri untuk ditubruk. Melihat betapa pemuda itu mengelak dengan tubuh terhuyung, si raksasa hitam menjadi girang dan cepat dia menubruk dengan dua lengan terpentang untuk mencegah pemuda itu mengelak ke kanan atau ke kiri.
Memang inilah yang dikehendaki oleh Tio Sun. Melihat betapa dada itu ‘terbuka’, secepat kilat dia lalu menghantam dengan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga dengan maksud membuat raksasa itu roboh dengan satu kali pukulan.
Tentu saja gerakan Tio Sun ini sangat cepatnya sehingga tidak tersangka-sangka oleh si Biruang Hitam yang lamban. Maka, sebelum dia tahu apa yang terjadi, dadanya sudah kena dipukul lawan.
"Bukkk!"
Pukulan yang keras bukan main mendarat di dada yang bidang itu. Akan tetapi akibatnya bukannya tubuh tinggi besar itu yang roboh terjengkang, sebaliknya malah tubuh Tio Sun sendiri terdorong ke belakang dengan kerasnya!
Pukulannya yang mengenai dada itu seakan-akan memukul bola karet yang sangat kuat sehingga membalik dan akibatnya dia yang mencelat ke belakang dan tentu dia akan roboh terbanting kalau saja dia tidak cepat berjungkir balik sampai bersalto tiga kali ke belakang, baru dia dapat turun ke atas papan panggung dengan baik.
Sorak-sorai menyambut peristiwa ini karena semua orang melihat betapa si raksasa kena pukulan keras akan tetapi yang terlempar malah yang memukul! Si Biruang Hitam tertawa bergelak dan sudah maju lagi dengan kedua lengan dikembangkan, persis seperti seekor biruang yang berjalan dengan dua kaki belakangnya, hidungnya mendengus-dengus dan bibirnya yang tebal itu menyeringai.
Souw Kwi Beng yang melihat ini menjadi gelisah bukan main dan diam-diam dia meraba ke pinggangnya di mana terselip sebuah pistol kecil. Perbuatannya ini tidak terlepas dari pandangan mata Raja Sabutai yang hanya tersenyum-senyum menonton pertandingan di atas panggung itu.
Semua mata ditujukan ke atas panggung dan semua jantung berdebar tegang melihat raksasa hitam itu kini sudah menghampiri Tio Sun yang mundur-mundur dan memandang dengan sikap waspada hingga akhirnya pendekar itu tersudut. Biruang Hitam menggereng dan menubruk lagi, namun Tio Sun jauh lebih cepat, tubuhnya sudah menyelinap melalui bawah lengan kiri lawan dan dia sudah melesat ke belakang raksasa itu. Biruang Hitam membalik dan menubruk lagi, dua lengan yang panjang itu menyambar-nyambar ganas, namun selalu dapat dielakkan oleh Tio Sun yang mengasah otak bagaimana dia dapat merobohkan Biruang Hitam yang sangat kuat dan tubuhnya kebal ini. Mungkin dia tadi kurang mengerahkan tenaga, pikirnya.
Setelah memperhitungkan dengan masak-masak, untuk kesekian kalinya kembali Tio Sun mengelak ketika Biruang Hitam itu menubruk, akan tetapi sekali ini dia mempergunakan ginkang-nya, mengelak sambil meloncat ke atas, kemudian sebelum lawan membalik, dari atas dia telah menghantamkan kedua kakinya ke tengkuk lawan.
"Bresssss…!"
Kembali tubuh Tio Sun terlempar akan tetapi dia dapat melayang turun dengan dua kaki terlebih dahulu sedangkan Biruang Hitam kini terhuyung ke depan. Tio Sun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, langsung dia mengerahkan tenaga pada kedua tangannya dan menghantam dari belakang ke arah punggung dan lambung lawan.
"Bukk! Desss…!"
Hantaman-hantaman itu hebat bukan main dan lawan biasa tentu akan roboh dan tewas. Akan tetapi Biruang Hitam memang kuat bukan main seolah-olah tubuhnya dilindungi oleh karet yang tebal. Dia tidak roboh, bahkan dia berhasil membalik dan meraih sehingga pundak Tio Sun kena dicengkeram oleh jari-jari tangan yang panjang dan kuat itu.
Tentu saja Tio Sun yang tidak menyangka sama sekali bahwa lawan tidak roboh, bahkan terguncang pun tidak oleh dua pukulannya tadi, amat terkejut ketika tahu-tahu pundaknya dicengkeram. Bukan main nyerinya, seakan-akan tulang pundaknya akan hancur diremas oleh jari-jari tangan yang kuat itu. Maka dia cepat mengerahkah ilmu melemaskan badan, semacam Ilmu Jiu-kut-kang, membuat kulit pundaknya licin bagai belut kemudian dengan gerakan lincah dia merenggutkan tubuhnya dan meloncat mundur.
"Breetttt...!"
Pundaknya terlepas dari cengkeraman akan tetapi baju di pundak itu robek dan hancur di tangan Biruang Hitam yang tertawa-tawa.
Tio Sun terkejut sekali. Kiranya lawan ini lebih hebat dari pada yang disangkanya. Timbul kemarahannya. Tadinya, dia hanya ingin mengalahkan lawan ini tanpa melukainya, sebab dia memang tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan siapa juga di tempat itu. Akan tetapi pendekar ini maklum bahwa kalau dia tidak sungguh-sungguh dan berhati-hati dia sendiri bisa celaka, bahkan mungkin saja bisa tewas oleh manusia raksasa yang memiliki tenaga gajah dan cara berkelahinya buas seperti harimau ini.
Di antara para tamu sudah ramai orang mengadakan pertaruhan, taruhan yang berjumlah tinggi dan tentu saja raksasa hitam itu menjadi jagoan unggulan sehingga yang bertaruh atas diri Biruang Hitam berani mempertaruhkan isterinya hanya untuk selir seorang lawan bertaruh! Ini berarti bahwa dia sudah yakin akan kemenangan Biruang Hitam.
Akan tetapi hanya sebentar mereka yang bertaruh ini ramai menambah taruhan mereka karena seluruh perhatian mereka segera dicurahkan kembali ke atas panggung di mana Biruang Hitam telah menghujani serangan kepada Tio Sun yang kembali hanya mengelak ke sana-sini mengandalkan kelincahan tubuhnya.
Makin lama, Biruang Hitam menjadi makin marah karena semua pukulan, tendangan dan cengkeramannya hanya mengenai tempat kosong belaka. Peluhnya membasahi seluruh tubuhnya akan tetapi tenaganya tidak menjadi kendur, bahkan dia semakin bersemangat karena terdorong oleh kemarahannya.
Souw Kwi Beng yang menonton pertandingan itu kini bernapas lega. Tahulah dia bahwa kini Tio Sun berhati-hati sekali dan berganti siasat, mengandalkan kecepatan gerakannya untuk menghabiskan tenaga lawan. Dan melihat betapa lamban gerakan Biruang Hitam yang amat kuat itu, dia tidak khawatir bahwa Tio Sun akan dapat tertangkap lagi seperti tadi.
Dugaannya ini memang benar. Tio Sun yang maklum akan berbahayanya apa bila sampai dirinya tertangkap lawan mempergunakan ginkang-nya dan dengan mudah dia mengelak terus sambil menanti datangnya kesempatan.
Kesempatan itu tiba pada saat si Biruang Hitam menghentikan serangan dan menghapus keringatnya yang menetes dari dahi memasuki matanya. Saat itu Tio Sun memekik keras dan tubuhnya berkelebat, dengan jari tangan terbuka dia menampar ke arah muka lawan.
"Plakkk!" Hantaman telapak tangannya sengaja dijatuhkan ke atas hidung Biruang Hitam itu.
"Currrrr...!" Darah segar muncrat dari dalam hidung Biruang Hitam.
Bagaimana pun kebalnya, tak mungkin bagi raksasa ini untuk membikin kebal hidungnya maka begitu kena dihantam dengan keras, darahnya lantas mengucur.
"Ourrgghh...!" Dia menggereng seperti binatang terluka dan mengamuklah Biruang Hitam.
Dengan membabi buta dia pun menyerang sambil menggereng dan mendengus-dengus penuh kemarahan. Kalau saja kedua tangannya yang besar itu berhasil menangkap tubuh Tio Sun, tentu tubuh itu akan dicabik-cabik, tulang-tulangnya akan dipatah-patahkan dan otot-ototnya akan dicabuti!
Namun Tio Sun tidak membiarkan dirinya disentuh, terus dia berkelebatan dan meloncat ke sana-sini untuk menghindarkan diri dari semua terkaman dan di samping mengelak, juga dia selalu menggunakan setiap kesempatan untuk menghantam bagian-bagian yang dianggapnya tidak kebal.
"Plakkk!"
Kini telinga kiri raksasa itu digaplok keras sekali. Tubuh raksasa itu terputar karena dia merasa kepalanya pening dan ada suara mengiang-ngiang memenuhi telinganya. Rasa nyeri membuat dia mengeluh dan menggereng, lalu menyerang lagi.
Tio Sun mengelak menjauhi, kemudian pada waktu raksasa itu menubruk, dia melompat ke samping dan dari samping kakinya melayang ke bawah pusar, ke bagian tubuh yang paling penting dan berbahaya bagi seorang pria.
"Dukkk!"
Tio Sun meringis dan menarik kembali kakinya yang terasa amat nyeri. Kakinya bertemu dengan benda yang keras seperti besi! Mungkinkah anggota kelamin si Biruang Hitam ini sudah mengeras seperti besi? Tak mungkin! Dan Tio Sun mengerti bahwa tentu di bawah cawat itu dipasangi alat pelindung dari besi.
Biruang Hitam menubruk dan kembali Tio Sun mengelak, sekarang memukul lagi ke arah telinga kanan.
"Plakkk!"
Kembali tubuh itu terputar-putar dan kini tibalah saatnya bagi Tio Sun untuk menghajar lawannya, maka dia mengerahkan tamparan-tamparan pada kedua telinga, hidung, dan mata. Mulailah para tamu yang menjagoi pendekar ini bersorak-sorak dan tubuh Biruang Hitam kini sudah mulai lemah.
Dengan kecepatan kilat, Tio Sun yang melihat kelemahan lawan, segera menggunakan dua jari tangan menotok. Tadi, selagi lawan amat kuat, dia khawatir totokannya tidak akan dapat menembus kekebalan. Sekarang, setelah lawannya mulai lemah, dia mengerahkan tenaga dan dengan mudah dia dapat menotok kedua pundak lawan yang telanjang tepat mengenai jalan darah sehingga dua lengan panjang itu kini tergantung lumpuh!
Tio Sun yang juga merasa lelah dan penasaran, lalu memperlihatkan tenaganya. Setelah kedua tangan yang berbahaya itu dibikin lumpuh, dia berani menerjang maju, menendang lutut lawan sehingga tubuh tinggi besar itu terguling, seperti kilat dia menangkap pinggang orang itu, mengerahkan tenaga kemudian mengangkat tubuh raksasa itu dengan kedua tangannya ke atas kepala dan melemparkannya ke bawah panggung. Tubuh raksasa itu jatuh berdebuk di atas tanah di luar panggung dan rebah pingsan di situ!
Sorak-sorai memenuhi tempat itu menyambut kemenangan Tio Sun dan wajah mereka yang menang bertaruh berseri-seri dan mereka membayangkan kesenangan-kesenangan yang didapatkan atas kemenangan itu. Raja Sabutai bangkit dari tempat duduknya ketika Tio Sun kembali ke situ, dan sambil mengangguk-angguk, Sabutai memuji,
"Sungguh Tio-sicu amat lihai!"
Tio Sun menjura. "Biruang Hitam itu kuat sekali dan hanya kebetulan saja saya tadi dapat mengalahkan dia." Kemudian dia menatap wajah raja itu tajam-tajam dan berkata, "Saya harap sekarang paduka suka memberi petunjuk di mana adanya..."
"Nanti dulu, sicu. Duduklah. Pesta belum lagi berakhir. Kepandaian Tio-sicu sudah kami saksikan dan memang sicu adalah seorang yang memiliki kepandaian hebat. Akan tetapi kami belum melihat kepandaian Souw-sicu."
Tio Sun merasa khawatir kalau-kalau Kwi Beng akan diadukan. Dia tahu bahwa sebagai putera pendekar wanita Souw Li Hwa tentu saja Kwi Beng mempunyai kepandaian yang tinggi juga dan sudah boleh diandalkan, akan tetapi Kwi Beng masih terlampau muda dan dia khawatir kalau-kalau pemuda itu akan membunuh lawannya sehingga menimbulkan suasana tidak enak terhadap Raja Sabutai. Maka cepat dia berkata,
"Sri baginda, tidakkah cukup dengan semua pertandingan itu? Para tamu juga tentu telah menjadi bosan karenanya. Bagaimana jika adik Souw ini memperlihatkan kepandaiannya memainkan hui-to (pisau terbang) dan senjata rahasianya yang sangat hebat, yang dapat memuntahkan peluru baja sedemikian cepatnya sehingga tidak dapat terlihat oleh mata? Tentu saja untuk permainan ini, tidak diperlukan adu kepandaian yang merupakan lawan karena dapat membunuh orang."
Sabutai mengangguk-angguk sambil tertawa. "Seorang ahli senjata rahasia, heh? Bagus, nah, aku sendiri yang akan mengujinya."
Tio Sun terkejut. Dia sudah mendengar bahwa raja ini, sebagai murid kakek dan nenek lihai Mo-ko dan Mo-li, memiliki kepandaian tinggi dan agaknya Kwi Beng bagaimana pun juga bukanlah lawannya. "Mana bisa adik Souw harus menghadapi paduka yang memiliki kepandaian amat tinggi?" dia mengajukan keberatan.
Raja Sabutai tertawa. "Kami hanya menguji kepandaiannya memainkan senjata rahasia, bukan bertanding." Raja itu lalu bangkit berdiri dan melangkah ke atas panggung.
Semua tamu kini memandang dengan mata terbelalak. Apakah Raja Sabutai yang sakti itu kini hendak bertanding? Semua mata memandang ke arah pemuda tampan berambut agak keemasan yang mengikuti di belakang sri baginda dengan sikap tenang.
"Saudara-saudara sekalian. Pemuda ini pun seorang utusan dari selatan yang lihai. Anda sekalian tadi telah menyaksikan betapa lihainya Tio-sicu yang telah mengalahkan pegulat hebat kita Si Biruang Hitam. Dan sekarang, Bouw-sicu akan menunjukkan kemahirannya menggunakan senjata rahasia."
Semua orang bertepuk tangan, menyambut dengan gembira karena bagi mereka, senjata yang mereka kenal hanyalah anak panah dan tombak yang dilontarkan, atau batu yang disambitkan. Akan tetapi mereka semua maklum bahwa Raja Sabutai juga sangat mahir menggunakan bermacam senjata rahasia, terutama menggunakan anak panah.
Kabarnya, sekali menarik gendewa, raja ini sekaligus mampu meluncurkan tujuh batang anak panah, dan semua menuju ke sasaran dengan tepatnya! Atas isyarat raja, seorang pengawal datang berlari dengan dua orang pembantunya yang datang membawa sebuah alat yang biasa dipakai untuk berlatih ilmu memanah, yaitu sasaran terbuat dari kayu tebal yang sudah diberi lingkaran-lingkaran dan di tengah-tengahnya digambar kepala orang dengan mulut terbuka berwarna hitam.
Atas perintah Sabutai, sasaran itu lalu dipasang dalam jarak seratus langkah. Kemudian Sabutai menerima gendewa dan tempat anak panah dari seorang pengawal lain, dan dia menoleh ke arah Kwi Beng sambil tersenyum.
"Souw-sicu, di daerah ini hampir semua orang mahir bermain anak panah, oleh karena itu ingin sekali kami melihat apakah senjata rahasiamu mampu menandingi anak panah kami dan mengenai sasaran itu dengan sama tepatnya."
Sebelum pemuda itu menjawab, Sabutai sudah memasang sekaligus tiga batang anak panah di gendewanya, lalu menarik tali gendewa dan ketika dia melepaskan tali sehingga terdengar suara menjepret, maka meluncurlah tiga batang anak panah dengan cepatnya menuju sasaran.
Menggunakan tiga batang anak papah sekaligus dapat dilakukan oleh pemanah-pemanah ahli, akan tetapi untuk ditujukan kepada tiga buah sasaran. Kalau tiga batang anak panah ditujukan kepada sasaran yang sama, sungguh merupakan hal yang sangat sukar dan jarang dapat dilakukan orang. Akan tetapi, ketika tiga batang anak panah itu meluncur ke arah sasaran, tahulah semua orang dengan kagum bahwa sang raja itu menujukan ketiga batang anak panahnya kepada sasaran yang sama!
"Cep-cep-cepp!" Bagaikan berebut saja, tiga batang anak panah itu menancap di sasaran, dan tiga-tiganya tepat pada mulut hitam gambar kepala di tengah lingkaran itu.
Tepuk sorak gemuruh menyambut kemahiran yang luar biasa ini. Raja Sabutai sambil tersenyum mengangkat kedua tangan ke atas untuk meredakan kebisingan itu, kemudian dia menghadapi Kwi Beng sambil berkata, "Nah, Souw-sicu, dapatkah senjata rahasiamu mengenai sasaran dengan tepat seperti anak-anak panahku?"
"Akan saya coba, sri baginda," pemuda ini berkata sambil memandang tajam ke arah sasaran yang jaraknya seratus langkah itu.
Dia melihat betapa sasaran inti, yang merupakan mulut hitam kecil dari gambar kepala orang itu, telah penuh oleh tiga batang anak panah sehingga tidak ada tempat lagi bagi senjata rahasianya, maka tahulah dia bahwa Sabutai sengaja mempersulit dirinya. Akan tetapi, Kwi Beng memiliki kelihaian melepas hui-to seperti juga saudara kembarnya dan memiliki kelihaian ibunya dan kecerdasan otak ayahnya, maka setelah mengincar dengan seksama, tiba-tiba pemuda ini mengeluarkan pekik dahsyat dan tangan kirinya bergerak ke pinggang, diikuti oleh tangan kanannya, kemudian kedua tangan itu bergerak cepat ke depan dan meluncurlah tiga sinar berkilauan ke arah sasaran.
Pemuda ini berturut-turut, hampir berbareng saat pelemparannya saking cepatnya, telah menyambitkan tiga batang hui-to (pisau terbang) ke arah sasaran itu, diikuti oleh pandang mata semua tamu. Secara diam-diam Sabutai kagum juga menyaksikan cara pemuda itu melemparkan pisau demikian cepatnya.
"Cap-cap-capp!" Tiga batang pisau itu menancap dan tiga batang anak panah bergoyang-goyang.
Pada saat semua mata memandang, sejenak suasana hening saking herannya, kemudian lepaslah tepuk sorak dan pujian ketika mereka melihat bahwa ketiga batang pisau itu dengan tepatnya telah menancap di ujung gagang anak panah yang tiga tadi!
Raja Sabutai mengangguk-angguk, akan tetapi dahinya berkerut. Dia kagum sekali akan tetapi juga ada rasa tidak senang, karena pemuda ini telah membikin rusak tiga batang anak panahnya. Maka timbul keinginannya untuk mengalahkan pemuda ini dan dia lalu mengambil lagi sebatang anak panah, dipasangnya di gendewa yang masih dipegang di tangan kirinya, lalu dia berkata lagi setelah semua tamu diam.
"Souw-sicu, kepandaianmu ternyata hebat. Akan tetapi yang menjadi sasaranmu adalah benda tak bergerak. Sekarang ingin aku mengujimu satu kali lagi, yaitu ingin aku melihat apakah dengan senjata rahasiamu, engkau dapat mengenai anak panah yang kulepas di udara."
Jika saja pemuda tampan berambut keemasan itu menyatakan tidak sanggup, maka hati Sabutai sudah akan merasa puas dan tidak akan mendesak lagi karena hal itu sudah menyatakan bahwa pemuda itu masih kalah olehnya dalam hal menggunakan senjata rahasia. Akan tetapi, pemuda itu mengangguk dan berkata tenang,
"Akan saya coba, sri baginda."
Sabutai menjadi sangat penasaran. Benarkah pemuda ini akan dapat menjatuhkan anak panahnya? Betapa pun mahirnya menggunakan pisau terbang, tentu saja luncuran pisau yang disambitkan tidak akan dapat lebih cepat dari pada luncuran anak panahnya, dan pisau itu sampai bagaimana pun tidak akan mampu menyusul anak panahnya, apa lagi mengenainya.
Dan memang pemuda ini pun tahu bahwa pisau terbangnya tidak akan mungkin dapat mengenai anak panah yang diluncurkan, akan tetapi dia sudah bersiap untuk tantangan ini. Semua mata para tamu kini memandang dengan penuh perhatian dan ketegangan, karena mereka pun kesemuanya adalah ahli-ahli panah yang tahu belaka bahwa luncuran anak panah, apa lagi yang dilepaskan oleh tangan Raja Sabutai yang kuat, tidak mungkin dapat dikejar oleh sambitan biasa.
Gendewa menjepret ketika Sabutai melepaskan tali gendewa dan meluncurlah sebatang anak panah ke angkasa! Pada saat itu pula, tangan kanan Kwi Beng sudah bergerak mencabut senjata apinya, yaitu sebuah pistol kecil yang tadi memang sudah dipersiapkan dan diisinya, kemudian dengan ketepatan seorang jago tembak terlatih dia membidikkan pistolnya dan menarik pelatuknya.
"Darrrrr...!"
Semua orang terkejut bukan main mendengar ledakan ini dan semua mata, termasuk juga mata Sabutai, memandang dengan penuh kagum, kaget, dan heran ketika melihat anak panahnya yang masih meluncur itu tiba-tiba runtuh dan patah menjadi dua, jatuh di depan kaki raja itu.!
Dalam keadaan biasa, tentu Raja Sabutai akan menjadi penasaran dan marah sekali melihat anak panahnya runtuh dan patah menjadi dua itu. Akan tetapi pada saat itu dia terlalu kaget dan heran menyaksikan kehebatan senjata kecil yang aneh itu sehingga dia melongo memandang kepada pistol di tangan Kwi Beng yang masih mengepulkan asap.
Ketika para tamu yang tadi juga tercengang kini bertepuk tangan dan bersorak gemuruh memuji kehebatan senjata rahasia pemuda itu, barulah Sabutai menjadi sadar dan dengan muka jelas membayangkan kekaguman dia memandang senjata api di tangan kanan Kwi Beng sambil bertanya,
"Apakah itu?"
Melihat sikap raja yang jelas sekali kelihatan sangat tertarik dan kagum kepada senjata apinya, Kwi Beng lalu memperlihatkan pistolnya sambil berkata, "Ini adalah senjata api, sri baginda."
Sabutai menyentuh pistol yang masih hangat itu dan memuji, "Hebat bukan main..."
Sambil tersenyum dan menyodorkan pistolnya, Kwi Beng berkata, "Apa bila paduka suka memberi petunjuk supaya kami dapat tahu di mana adanya nona Yap In Hong, sebagai tanda terima kasih saya menghaturkan pistol ini kepada paduka."
Sepasang mata Sabutai terbelalak dan wajahnya berseri. "Benarkah? Akan tetapi tidak ada gunanya, aku tidak bisa mempergunakannya."
"Saya akan mengajar paduka sampai dapat mempergunakannya."
Sabutai tertawa girang, memegang tangan Kwi Beng dan dituntunnya pemuda itu kembali ke tempat duduk kehormatan dan Tio Sun menyambut temannya itu dengan senyum puas karena dia maklum bahwa temannya ini telah mendatangkan kesan baik kepada Sabutai yang juga tersenyum-senyum.
Seperti seorang anak kecil menimang-nimang permainan baru, Sabutai memegang dan meneliti pistol itu, kemudian dia mempelajarinya dan Kwi Beng menjadi gurunya. Cara mengisi peluru dan obat, cara menembakkan dan lain-lain.
Sabutai yang memang cerdas itu sebentar saja sudah menguasainya dan pada saat dia mencobakan pistol itu pada sasaran, ditonton oleh semua tamu, tiga kali tembakan saja Sabutai sudah mampu mengenai mulut kepala di dalam gambar sasaran, disambut tepuk tangan para tamu.
Kwi Beng menyerahkan semua peluru yang dibawanya, sebanyak beberapa puluh butir mesiu dan pistol itu kepada Sabutai. Raja ini girang sekali, menyimpan pistol dan peluru-pelurunya, lalu dia berkata,
"Tio-sicu dan Souw-sicu, kalian ternyata adalah tamu-tamu yang sangat menyenangkan dan kurasa cukup gagah dan berharga untuk berusaha menolong nona Yap In Hong, biar pun kami merasa sangsi sekali apakah kalian akan dapat berhasil. Kami kira kalian tidak akan mampu melawan kedua orang guru kami. Bahkan sekarang, sesudah kedua orang guru kami itu berhasil melatih ilmu baru mereka, jangankan baru kalian berdua, biar pun ketua Cin-ling-pai sendiri dan puteranya yang lihai itu pasti tidak akan dapat menangkan suhu dan subo. Mereka telah memiliki kekebalan yang luar biasa sekali sehingga semua pukulan sakti, semua senjata pusaka tidak akan mampu melukai mereka luar dalam!"
"Kami bukan hendak melawan siapa pun bila tidak terpaksa, yang kami kehendaki hanya agar nona Yap In Hong dibebaskan," kata Tio Sun.
Sabutai tersenyum dan menarik napas panjang. "Kami rasa tidak begitu mudah. Ilmu baru dari suhu dan subo ini amat hebat, dan baru saja diciptakan sehingga kami sendiri pun belum pernah mempelajari ilmu itu. Akan tetapi sesuai dengan janji kami tadi, biarlah ji-wi sekarang mengetahui di mana suhu dan subo menahan nona Yap In Hong, yaitu di kaki Pegunungan Khing-an-san, di Lembah Naga dekat tikungan Sungai Luan-ho. Nah, di situ ji-wi akan dapat menemui suhu dan subo, juga di sanalah nona Yap ditawan."
Tio Sun dan Souw Kwi Beng menjadi girang sekali. Mereka bangkit dan menjura sambil mengucapkan terima kasih, lalu segera berpamit untuk melanjutkan perjalanan mereka ke Lembah Naga saat itu juga! Raja Sabutai juga bangkit berdiri dan berkali-kali dia menarik napas panjang.
"Sayang... sungguh saya akan selalu menyayangkan bahwa dua orang pemuda sehebat ji-wi ini harus membuang nyawa secara sia-sia saja di Lembah Naga. Akan tetapi, kami tidak berhak untuk mencegah dan selamat jalan, Tio-sicu dan Souw-sicu..."
Pada saat itu, seorang pengawal datang dengan cepat dan memberi hormat, lalu melapor dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh dua orang pemuda itu.
Mendengar laporan itu, Sabutai berseri wajahnya dan berkata, "Tio-sicu dan Souw-sicu, tunggu sebentar! Baru saja pengawal kami melaporkan bahwa isteri kami mendengar akan kunjungan utusan kaisar dan kini beliau minta kepada ji-wi untuk menjenguk putera kami. Kami adalah sahabat kaisar, maka ji-wi sebagai utusan kaisar tentu juga merupakan sahabat kami pula. Bagaimana ji-wi dapat bercerita di kota raja tentang putera kami kalau ji-wi tidak menjenguknya? Nah, isteri kami telah mengundang, harap ji-wi suka masuk ke dalam sebentar."
Tentu saja Tio Sun dan Souw Kwi Beng tidak berani menolak undangan yang ramah ini dan mereka berdua kemudian diantar oleh empat orang pengawal menuju ke dalam yang ternyata suasananya tenteram dan tenang, tidak seramai di tempat pesta itu.
Mereka melalui ruangan-ruangan dan lorong-lorong, dan akhirnya mereka tiba di tempat kediaman Puteri Khamila. Di dalam sebuah kamar yang amat bersih dan sejuk, terdapat sebuah ayunan bayi yang dijaga oleh lima orang pelayan wanita. Agaknya, para pelayan itu sudah menerima perintah dari Puteri Khamila, karena begitu melihat keempat orang pengawal yang mengantar dua orang pemuda asing itu, mereka cepat-cepat mundur dan mempersilakan mereka masuk.
"Ji-wi (tuan berdua) dipersilakan masuk dan menjenguk pangeran," kata seorang di antara empat pengawal itu dengan bahasa Han yang lancar akan tetapi kaku.
Tio Sun bersama Souw Kwi Beng lalu melangkah memasuki kamar itu dan menghampiri ayunan bayi. Mereka menjenguk dan melihat seorang bayi yang amat sehat dan mungil, sedang tidur terlentang dengan nyenyaknya.
Dua orang pemuda itu tentu saja memandang dengan penuh perhatian dan diam-diam mereka memuji bahwa putera Sabutai ini memang seorang anak bayi yang sangat sehat dan tampan, juga biar pun masih bayi sudah membayangkan keagungan.
Pada saat itu pula terdengar suara kaki melangkah dari dalam dan semua pelayan, juga empat orang pengawal itu cepat menjatuhkan diri berlutut. Souw Kwi Beng dan Tio Sun menengok dan mereka terkejut melihat seorang wanita yang berpakaian indah, keluar dari pintu dalam dan mereka dapat menduga bahwa tentu inilah permaisuri atau isteri Raja Sabutai, maka mereka cepat memberi hormat dengan menjura sampai dalam.
"Saya mendengar bahwa ji-wi adalah utusan dari kaisar, benarkah?" suara Khamila yang halus dan merdu itu terdengar tidak kaku sehingga dua orang muda itu menjadi kagum. Tidak mereka sangka bahwa isteri dari raja liar Sabutai itu seorang wanita yang begini muda, cantik jelita dan juga terpelajar.
Tio Sun yang tadi sudah terlanjur mengaku sebagai utusan kaisar, tentu saja tidak berani menyangkal lagi. "Benar, kami berdua datang dari kota raja."
"Kalian diutus untuk menghadiri pesta perayaan kelahiran puteraku?" kembali sang puteri bertanya, dan aneh, suaranya agak tergetar.
"Maaf, harap paduka suka memaafkan kami. Sesungguhnya... ehhh, agaknya sri baginda kaisar belum mendengar tentang kelahiran putera Sri Baginda Sabutai, maka kami hanya diutus untuk menyelamatkan nona Yap In Hong, ada pun kami hanya kebetulan mampir ketika mendengar akan perayaan ini untuk menyelidiki di mana kami dapat mencari nona Yap."
"Dan kalian sudah tahu tempatnya?"
"Berkat kemurahan hati Sri Baginda Sabutai, kami telah diberi tahu."
Hening sejenak. Para pengawal dan pelayan masih berlutut dan tidak ada pelayan yang berani mengangkat muka memandang sang puteri.
"Saya mendengar bahwa keturunan raja-raja di negerimu sana adalah manusia-manusia utusan Tuhan yang ketika lahir ada tanda-tanda tertentu pada tubuh mereka. Sampaikan kepada kaisar dan keluarga kerajaan di negerimu bahwa puteraku ini pun memiliki tanda tahi lalat merah di sebelah kanan pusar. Ingin aku mendengar apakah itu pun merupakan tanda dari Tuhan."
Tio Sun dan Souw Kwi Beng terharu mendengar ini. Harapan seorang ibu di mana pun sama saja, tak peduli ibu itu seorang petani biasa atau seorang permaisuri, yaitu harapan agar puteranya kelak menjadi orang yang mulia dan bahagia!
"Kami menghaturkan selamat atas kelahiran putera paduka dan semoga sang pangeran diberi berkah dan panjang usia. Kami akan menyampaikan semuanya ke kota raja," jawab Tio Sun tanpa berani menyebut kaisar karena bagaimana dia berani menghadapi kaisar untuk menyampaikan semua ini?
"Terima kasih. Kalian menghadapi tugas yang sangat berat. Nah, kalian pergilah," sambil berkata demikian, puteri itu menyerahkan sehelai kertas terlipat dan berbisik, "Bukalah jika menemui kesulitan." Kemudian puteri itu memberi perintah kepada pengawal untuk mengantar dua orang tamu itu keluar.
Sambil menggenggam kertas itu dengan hati penuh pertanyaan, Tio Sun memberi hormat diturut oleh Kwi Beng, kemudian keduanya lalu mundur dan meninggalkan kamar itu. Tio Sun cepat mengantongi kertas itu dan ketika Sabutai menyambut mereka, Tio Sun cepat memberi hormat dan berkata,
"Putera paduka sungguh sehat dan tampan, semoga diberkahi Tuhan dan dikurniai usia panjang."
"Ha-ha-ha-ha, terima kasih, sicu. Kelak dia tentu akan menjadi seorang yang lihai seperti sicu."
Dua orang pemuda itu segera berpamit dan pergilah mereka meninggalkan tempat itu, langsung keluar dari tembok benteng dan melanjutkan perjalanan mereka mencari tempat yang kini telah mereka ketahui, yaitu Lembah Naga, yang sudah mereka ketahui dari Raja Sabutai.
Di tengah perjalanan, Tio Sun mengeluarkan secarik kertas yang diterimanya dari Puteri Khamila tadi. Ternyata ada tulisannya, dua baris huruf-huruf indah.
Menemukan kelemahan Hek Pek tidaklah mudah, harus dicari dari lutut ke bawah!
Tio Sun dan Kwi Beng menjadi girang bukan main. Mereka sudah khawatir mendengar keterangan Raja Sabutai bahwa dua orang gurunya itu memiliki ilmu baru yang hebat, yaitu kekebalan yang tidak terlawan oleh pukulan sakti atau pun senjata pusaka. Mereka percaya akan keterangan itu karena seorang seperti Sabutai tidak nanti membohong atau menyombongkan sesuatu yang tidak ada kenyataannya.
Maka setelah membaca tulisan Puteri Khamila, selain terheran-heran juga mereka merasa girang sekali. Diam-diam mereka menghafal bunyi tulisan itu lalu merobek-robek kertas itu dan mereka menduga-duga mengapa puteri itu mau membuka rahasia kakek dan nenek iblis itu kepada mereka.
Tentu saja dua orang pemuda itu tidak tahu bahwa Puteri Khamila sendirl merasa kaget, bingung dan penasaran ketika mendengar bahwa nona Yap In Hong diculik oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Dia sudah berhutang budi kepada In Hong, bahkan bersama dengan In Hong dia sudah meloloskan Kaisar Ceng Tung dari tahanan. Kini, mendengar bahwa In Hong diculik oleh kakek dan nenek iblis yang menjadi guru suaminya, dia pun merasa penasaran sekali. Akan tetapi, dia pun maklum bahwa suaminya sendiri sebagai murid tentu tidak akan berdaya menghadapi kakek dan nenek itu, maka secara cerdik puteri ini lalu membujuk suaminya untuk bercerita tentang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li.
Sabutai yang amat cinta kepada isterinya dan tidak melihat bahaya kalau rahasia kedua gurunya diketahui isterinya, tidak menyimpan rahasia sesuatu dan menceritakan bahwa kedua orang gurunya itu telah menguasai semacam ilmu kekebalan yang sangat mukjijat dan bahwa dia sendiri masih belum tahu kelemahannya dengan pasti, hanya tahu bahwa kelemahannya itu terdapat di bagian tubuh dari lutut ke bawah.
Maka, ketika Khamila mendengar bahwa ada dua orang utusan kaisar hadir dalam pesta, cepat dia menuliskan rahasia kelemahan itu pada selembar kertas, lalu dia mengundang dua orang utusan itu untuk menjenguk puteranya. Dalam peristiwa ini, dia mempunyai dua maksud. Pertama, mengabarkan tentang keadaan puteranya kepada ayah kandungnya, yaitu Kaisar Ceng Tung, dan yang kedua, dia dapat membocorkan rahasia kekebalan dua orang kakek dan nenek yang menculik In Hong.
Tio Sun dan Kwi Beng telah tiba di sebelah selatan Padang Bangkai. Lembah Naga telah nampak dari jauh ketika mereka tadi meloncat ke atas pohon tinggi dan mengintai. Akan tetapi jalan menuju ke Lembah Naga itu terhalang oleh padang rumput dan alang-alang yang luas sekali. Mereka tidak tahu bahwa itulah Padang Bangkai yang amat berbahaya, pintu masuk ke Lembah Naga yang merupakan pintu neraka.
Hari masih pagi ketika mereka mulai memasuki daerah Padang Bangkai. Tio Sun yang berwatak hati-hati itu tidak sembrono, melakukan perjalanan perlahan-lahan dan dengan penuh kewaspadaan dia selalu melihat ke kanan kiri menjaga segala kemungkinan.
Tiba-tiba dia memberi isyarat kepada Kwi Beng yang berjalan di belakangnya. Mereka berhenti dan menahan napas. Siliran angin dari depan membawa pula suara tangis lirih. Kalau tidak ada angin bersilir, agaknya suara itu tidak akan terdengar oleh mereka.
Dengan isyarat tangan Tio Sun memberi tahu kepada temannya untuk maju perlahan dan tidak mengeluarkan suara berisik. Berindap-indap mereka lalu maju menghampiri ke arah suara tangis wanita itu. Sungguh menyeramkan mendengar suara tangisan itu, di tempat yang begini sunyi, penuh dengan rumput alang-alang tinggi dan tidak nampak orangnya yang menangis.
Ketika mereka tiba di rumpun alang-alang yang berada di pinggir jalan setapak, mereka amat terkejut karena melihat bahwa yang menangis itu adalah seorang wanita muda yang cantik, yang menangis sambil menelungkup di atas tanah yang tertutup batang dan daun alang-alang yang malang melintang menjadi alas tubuhnya.
Wanita itu menangis sedih sekali, sesenggukan hingga air matanya membasahi seluruh wajahnya yang cantik. Tangan kanannya menutupi sebagian mukanya sedangkan tangan kirinya... buntung sebatas pergelangan tangan dan dibungkus oleh kain putih yang masih membekas darah merah, tanda bahwa luka atau buntungnya tangan itu terjadi belum lama ini.
Dua orang pemuda itu tercengang dan merasa kasihan sekali melihat ke arah lengan kiri yang sudah tidak bertangan lagi itu. "Apa yang terjadi, nona?" Kwi Beng yang memang berperasaan halus dan mudah terharu itu bertanya sambil melangkah mendekati.
Gadis itu terkejut, kemudian menurunkan tangan kanannya dan dengan mata merah dia memandang. Ketika melihat bahwa di hadapannya sudah berdiri dua orang laki-laki yang tidak dikenalnya, laksana seekor harimau yang marah, dia berteriak keras dan tubuhnya mencelat ke atas, langsung dia menyerang Kwi Beng dengan pukulan tangan kanannya. Cepat sekali gerakan tubuhnya, seperti terbang saja dan tubuhnya berkelebat menjadi bayangan merah karena gadis itu memakai pakaian serba merah.
"Ehh...?" Kwi Beng terkejut dan cepat dia menangkis karena kecepatan serangan gadis itu membuat dia tidak sempat lagi mengelak.
"Dukkk!"
Dua lengan bertemu dan akibatnya Kwi Beng hampir terjengkang kalau saja dia tidak cepat-cepat berjungkir balik. Kiranya gadis itu memiliki tenaga yang amat kuat meski pun tangannya tinggal satu!
"Ehhh, nanti dulu, nona!" Tio Sun berseru mencegah, akan tetapi tiba-tiba dia berseru, "Beng-te, awas...!"
Kwi Beng cepat menggulingkan tubuhnya ke atas tanah. Sebagai seorang ahli melempar pisau terbang, tentu saja dia segera maklum apa artinya benda-benda hitam kecil yang menyambar ke arahnya. Ternyata paku hitam itu meluncur lewat dan juga Tio Sun sudah berhasil mengelak dari sambaran paku hitam yang disambitkan oleh gadis berpakaian merah itu.
Akan tetapi gadis itu sudah menyerang lagi, sekarang menyerang Tio Sun dengan tangan tunggalnya. Tio Sun cepat mengelak, kemudian sesudah mengelak tiga kali, dia tiba-tiba menangkap pergelangan tangan kanan gadis itu sambil berkata,
"Tahan dulu, nona. Mari kita bicara!"
"Bicara apa lagi, kau kaki tangan kakek dan nenek iblis!" Nona itu membentak, meronta dan merenggutkan tangannya sambil menendang. Kakinya mencuat ke arah bawah pusar Tio Sun. Tentu saja pendekar ini terkejut sekali. Maklum akan bahayanya tendangan maut itu, terpaksa dia melepaskan tangan gadis itu.
"Plakkk!" Kembali gadis itu menghantam ke arah Kwi Beng dan ditangkis oleh Kwi Beng yang menjadi terhuyung.
"Twako, gadis ini gila...!" Kwi Beng berseru kaget.
Tio Sun cepat meloncat ke depan menghadang, dan tiba-tiba nampak cahaya berkelebat pada saat gadis itu mencabut sebatang pedang dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menyerang Tio Sun dengan pedangnya!
"Hemmm...!" Tio Sun segera mengelak, dan melihat betapa gadis itu menyerang secara kalang-kabut dan nekat, dia mulai percaya akan ucapan Kwi Beng tadi.
Harus diakuinya bahwa gadis ini bukan sembarangan orang, melainkan seorang ahli ilmu silat yang selain memiliki sinkang yang lebih kuat dari pada Kwi Beng, juga mempunyai kecepatan yang amat luar biasa dan ilmu silatnya pun tinggi. Akan tetapi melihat caranya menyerang begitu nekat dan kalang-kabut, dia tahu bahwa kalau tidak gila tentu gadis ini sedang bingung dan kacau pikirannya.
"Minggir, Beng-te!" serunya.
Dia tahu betapa bahayanya menghadapi seorang lawan yang kacau pikirannya karena lawan seperti ini hanya tahu menyerang secara nekat saja sehingga kelihaiannya menjadi bertambah. Dia pun cepat mencabut senjatanya, yaitu sebatang pedang dan melolos pula sabuknya yang dapat dipergunakan sebagai pecut.
"Tringg-cringgg... tarrr...!"
Dua pedang bertemu berkali-kali dan pecut di tangan kiri Tio Sun menyambar-nyambar. Namun gadis itu sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan menyerang makin nekat.
Tio Sun adalah seorang pemuda yang berpandangan luas dan tak mau sembrono dalam segala tindakannya. Maka, menghadapi gadis yang nekat dan mengamuk ini, tentu saja dia tidak mau menurunkan tangan besi, tak mau melukai apa lagi membunuh orang yang sama sekali tidak dikenalnya dan tidak diketahui mengapa mengamuk seperti itu. Dengan hati-hati dia selalu menghalau pedang lawan dan mencari kesempatan baik.
Memang dalam hal tenaga dan ilmu silat, Tio Sun masih menang jauh, maka kecepatan gerakan wanita itu tidak membuat pemuda ini menjadi bingung. Dengan tenang dia hanya membiarkan gadis itu menyerang terus dan tiba-tiba dia menangkis sambil mengerahkan tenaga Ban-kin-kang (Tenaga Selaksa Kati).
"Trangggg...!”
“Aihh...!" Wanita itu menjerit dan pedangnya terlepas dari tangannya. Akan tetapi, betapa kaget hati Tio Sun melihat lawan yang sudah dilucuti senjatanya itu tiba-tiba menubruknya dan menyerang terus dengan tangan tunggalnya secara nekat!
"Ahhh, kau sungguh nekat...!" kata Tio Sun dan cepat sabuknya menyambar. Dua kali ujung sabuknya menotok sehingga wanita itu pun mengeluh dan roboh tertotok, tubuhnya lemas dan tidak mampu bergerak lagi karena kaki tangannya seperti lumpuh!
Akan tetapi kedua matanya masih melotot memandang dan ketika dua orang pemuda itu menghampirinya, tiba-tiba gadis itu berteriak, "Kalian bunuhlah aku dan aku malah akan berterima kasih kepada kalian! Akan tetapi kalau kalian memperkosa aku, ingatlah, biar sampai mati pun arwahku akan menjadi setan dan terus mengejar kalian untuk membalas dendam!"
Wajah kedua orang pemuda itu menjadi merah dan Tio Sun lalu berkata, "Nona, kau ini menganggap kami berdua orang macam apakah? Kami tidak sudi melakukan perbuatan terkutuk itu dan kalau aku merobohkanmu, itu adalah karena terpaksa melihat engkau begitu nekat menyerang kami mati-matian."
Kini pandang mata gadis itu berubah seperti orang baru sadar dan terheran. "Siapakah kalian? Bukankah kalian diutus oleh Mo-ko dan Mo-li untuk membunuh aku?"
Tio Sun menggelengkan kepala. "Kami sama sekali bukan diutus oleh Mo-ko dan Mo-li, bahkan kami datang untuk mencari Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, hendak menolong nona Yap In Hong. Apakah kau tahu tentang itu?"
"Ohhh...!" Gadis itu kelihatan kaget sekali, memandang mereka berdua bergantian penuh perhatian. "Ahh... kalau begitu lekas... lekas kalian selamatkan Cia Bun Houw...!" Setelah berkata demikian dia menangis lagi.
Tentu saja Tio Sun dan Kwi Beng terkejut bukan main mendengar ini dan Tio Sun cepat membebaskan totokannya sehingga dara itu dapat bergerak kembali. Dia bangkit duduk dan berkata berulang kali. "Maafkan aku... maafkan aku...," sambil menangis.
Tio Sun dan Kwi Beng juga ikut duduk. Dengan duduk begitu, mereka kalah tinggi oleh rumpun ilalang sehingga tidak nampak dari jauh.
"Nona, agaknya ada kesalah fahaman antara kita. Nona mengira bahwa kami adalah anak buah kakek dan nenek iblis di Lembah Naga itu, dan kami mengira bahwa nona adalah kaki tangan mereka yang hendak membunuh kami. Sekarang ceritakanlah dengan jelas, siapakah nona dan mengapa mengira kami anak buah mereka? Bagaimana pula dengan saudara Bun Houw yang kau sebut-sebut tadi?"
"Ah, dia tentu celaka... kalau kalian ada kepandaian, harap lekas selamatkan dia. Dengar, aku adalah Liong Si Kwi, murid dari Hek I Siankouw. Guruku itu sekarang juga berada di Lembah Naga, membantu nenek dan kakek iblis itu. Yap In Hong memang ditawan di sana untuk memancing datangnya musuh-musuh kakek dan nenek itu. Akan tetapi yang muncul adalah Cia Bun Houw dan karena hendak membela nona Yap In Hong, Cia Bun Houw kini pun tertangkap sehingga mereka berdua ditawan. Aku... aku... mencoba untuk membebaskan Cia Bun Houw, akan tetapi gagal dan ketahuan... dan aku..." Dia bicara tergagap-gagap dan memandang lengan kirinya yang buntung.
"Engkau lalu dibuntungi tangan kirimu?" Tio Sun bertanya dan gadis itu mengangguk.
"Betapa kejamnya!" Kwi Beng berseru marah dan mengepal tinju.
Gadis itu memandang kepada mereka berdua bergantian, seakan-akan hendak menaksir apakah benar dua orang pemuda itu boleh diandalkan.
"Kalian hanya berdua saja dan hendak menyerbu Lembah Naga?" tanyanya.
"Benar! Kami berdua akan menyerbu dan membebaskan nona In Hong, bila perlu dengan taruhan nyawa kami!" Kwi Beng berkata dengan penuh semangat.
Si Kwi, gadis yang bernasib malang itu, memandang tajam kepada Kwi Beng, kemudian menarik napas panjang dan berkata lirih, "Aihhh... engkau agaknya juga menjadi korban cinta..."
Kwi Beng menjadi merah mukanya dan mengerutkan dahinya. "Apa? Apa maksudmu?"
"Tidak apa-apa, hanya kiranya amat berbahaya kalau kalian berdua menyerbu Lembah Naga. Kalian tidak tahu betapa berbahayanya itu." Kini sikap Si Kwi sudah tenang kembali dan dia lalu menceritakan keadaan Padang Bangkai yang penuh dengan tempat-tempat berbahaya itu. Dengan jelas dia memberi petunjuk tentang jalan menuju ke Lembah Naga yang harus melewati Padang Bangkai.
"Akan tetapi, anak buah Padang Bangkai sudah dibasmi oleh Cia Bun Houw dan ketua mereka suami isteri kini berada di Lembah Naga juga, maka akan mudahlah bagi kalian untuk menyeberangi padang ini. Biar pun begitu, begitu tiba di Lembah Naga kalian akan menghadapi bahaya besar. Kakek dan nenek itu sudah amat lihai dan berbahaya seperti iblis. Pula, selain mempunyai anak buah sebanyak seratus orang, juga mereka dibantu oleh orang-orang pandai seperti Bouw Thaisu, guruku Hek I Siankouw, kemudian Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li suami isteri ketua Padang Bangkai! Maka kalau hanya kalian berdua yang menyerbu Lembah Naga, bukankah hal itu sama artinya dengan mengantar nyawa sia-sia belaka?"
Akan tetapi Kwi Beng masih tetap bersemangat ada pun Tio Sun tenang saja mendengar cerita itu, sungguh pun di dalam hati masing-masing mereka mengambil keputusan untuk bersikap hati-hati sekali sesudah mendengar penuturan ini. "Aku tidak takut. Bagaimana pun juga aku harus berusaha untuk menolong dan menyelamatkan nona In Hong!"
Tio Sun memandang kepada nona itu dan berkata, "Nona Liong Si Kwi, kami berterima kasih sekali atas segala petunjukmu dan engkau ternyata adalah seorang sahabat yang baik sekali. Bahkan engkau sampai mengorbankan sebelah tanganmu untuk menolong Cia-taihiap."
Mendengar ucapan itu, Si Kwi menunduk dan tidak menjawab, kelihatan berduka sekali. Melihat ini, Tio Sun lalu memberi isyarat kepada Kwi Beng dan mereka berdua segera bangkit berdiri.
"Nona Liong, kami hendak melanjutkan perjalanan ke Lembah Naga. Sekali lagi terima kasih," kata Tio Sun, akan tetapi kini Si Kwi sudah mulai menangis lagi, menelungkup dan memeluki rumput-rumput di tempat itu.
Tio Sun menghela napas dan mengajak Kwi Beng meninggalkan tempat itu, melanjutkan perjalanan ke utara untuk menyeberangi Padang Bangkai yang ternyata amat berbahaya menurut petunjuk Si Kwi tadi. Kwi Beng juga diam saja mengikuti Tio Sun meninggalkan gadis yang masih menangis, dan setelah jauh baru dia bertanya,
"Tio-twako, dia kenapakah?"
Kembali Tio Sun menarik napas panjang. Dia tidak menjawab langsung melainkan berkata lirih seperti kepada dirinya sendiri, "Betapa banyaknya di dunia ini manusia dipermainkan dan menjadi korban cinta..."
"Eh, kenapa ucapanmu seperti nona Liong Si Kwi tadi? Dia juga mengatakan bahwa aku menjadi korban cinta. Apa maksudnya dan apa maksudmu?"
"Aku tidak tahu bagaimana kenyataannya, akan tetapi melihat keadaan gadis itu, menurut dugaanku agaknya tidak salah lagi bahwa dia telah jatuh cinta kepada Cia-taihiap. Karena cintanya maka dia berkhianat dan berusaha menolong Cia-taihiap, namun dia ketahuan sehingga dia dibuntungi tangan kirinya. Sungguh kasihan dia."
Tio Sun menghentikan kata-katanya karena hatinya bagaikan ditusuk ketika dia teringat akan keadaannya sendiri yang juga gagal dalam cintanya. Dia memandang kepada Kwi Beng dan diam-diam dia mengharapkan agar kegagalan yang menyedihkan itu jangan menimpa pemuda tampan ini yang dia tahu benar-benar cinta dan tergila-gila kepada Yap In Hong.
Biar pun mereka telah memperoleh petunjuk yang amat lengkap dari Si Kwi, akan tetapi dua pemuda itu melakukan perjalanan dengan hati-hati sekali melewati Padang Bangkai dan benar-benar seperti cerita gadis tadi, dusun Padang Bangkai itu sudah kosong dan ditinggalkan penghuninya sehingga tanpa banyak kesukaran mereka dapat melewatinya dan menuju ke Lembah Naga.
Pohon di tepi padang rumput itu besar dan rimbun sehingga enak duduk beristirahat di dalam bayangannya di siang hari yang terik itu. Akan tetapi kakek tua renta yang sedang duduk di bawah pohon itu agaknya tidak lagi dapat menikmati kesejukan yang diberikan oleh kerindangan pohon itu kepada siapa saja yang berlindung dari panas matahari di bawahnya, karena seluruh perhatian kakek tua renta itu dicurahkan ke atas sebuah papan catur, dan tangannya menjalankan biji-biji catur putih dan hitam silih berganti.
Dia sedang bertanding catur melawan dirinya sendiri! Kadang-kadang kakek tua renta itu menarik napas panjang seperti orang yang kecewa sekali sebab tidak memperoleh musuh bertanding yang tentu akan menggembirakan sekali.
Kakek itu sudah sangat tua, usianya sukar ditaksir karena paling sedikit tentu sudah ada seratus tiga puluh tahun! Seluruh rambut, kumis serta jenggotnya sudah putih semua, mukanya penuh keriput, pakaiannya serba putih sederhana dan tubuhnya kurus sehingga kelihatan tulang terbungkus kulit yang sudah tipis.
Segala sesuatu pada diri kakek ini tampak tua sekali, kecuali kedua matanya! Sepasang mata itu lembut dan masih jernih, memandang dunia secara terbuka dan seolah-olah tidak ada rahasia lagi bagi sepasang mata yang sudah amat lama memandang dunia ini.
Seorang dara remaja yang cantik duduk di dekatnya. Dara ini usianya kurang lebih lima belas tahun, cantik manis dan pakaiannya juga amat sederhana, bahkan sudah ada dua tambalan di bagian pundaknya. Wajah gadis ini membayangkan bahwa dia memiliki watak yang jenaka dan gembira, namun pandang matanya yang tajam itu pun menunjukkan kekerasan hati yang sukar ditundukkan.
Semenjak tadi dara remaja ini menjadi penonton, melihat betapa kakek itu bermain catur sendiri. Akan tetapi lama-kelamaan dia menjadi bosan dan tidak sabar. Kakek ini adalah seorang pemain catur yang ahli, maka meski pun dia sendiri sudah bisa bermain catur, namun dia bukan lawan kakek itu dan dia tidak mau menandingi kakek itu karena akan dapat dikalahkan dengan amat mudah. Kini, sebagai penonton pun dia mulai bosan.
Kembali kakek tua renta itu menarik napas panjang dan wajahnya yang tua itu kelihatan berduka. Kerut-merut pada dahinya bertambah dan sepasang matanya ditujukan ke atas papan catur seperti orang sedang melamun. Dia tidak tahu bahwa sejak tadi dara remaja itu memandang wajahnya dan kelihatan semakin tidak sabar.
"Suhu, kalau suhu tidak senang bermain catur sendiri, mengapa suhu memaksa diri?"
Teguran ini membuat si kakek seperti orang terkejut dan dia menoleh ke arah dara itu.
"Hemmm...? Apa...?" katanya pikun.
"Teecu tahu bahwa suhu suka sekali bermain catur, akan tetapi sudah beberapa hari ini bila suhu bermain catur, selalu terlihat berduka dan berulang kali menarik napas panjang. Jika permainan itu hanya mendatangkan kekecewaan dan kedukaan, kenapa suhu tidak berhenti saja?"
Kakek itu memandang kepada muridnya dan kembali dia menghela napas panjang, lalu bersandar ke batang pohon besar itu dan pandang matanya melayang jauh ke depan. Kakek tua renta ini bukan lain adalah Bun Hwat Tosu, seorang tosu yang sudah tua sekali dan puluhan tahun yang lalu pernah menjadi ketua Hoa-san-pai, akan tetapi kemudian mengundurkan diri dari dunia ramai dan hidup berkelana ke tempat-tempat sunyi.
Di dalam cerita Petualang Asmara diceriterakan bahwa tosu yang amat lihai ini pernah menjadi guru dari pendekar Yap Kun Liong, kemudian dia menghilang dan tak ada kabar ceritanya lagi, bertapa di puncak-puncak gunung dan di goa-goa tepi laut. Akan tetapi, seperti telah diceritakan di bagian depan, kakek ini muncul dan telah menolong Yap Mei Lan, puteri dari Yap Kun Liong. Dara remaja itu adalah Yap Mei Lan yang telah setahun lebih lamanya ikut kakek ini dan menjadi muridnya, sama sekali tidak tahu bahwa kakek yang menjadi gurunya ini adalah guru dari ayahnya sendiri!
Mendengar ucapan muridnya itu, Bun Hwat Tosu lalu menarik napas panjang. Kemudian terdengar dia berkata lirih, seperti kepada dirinya sendiri, "Melihat kelemahan diri sendiri, siapa yang tidak menjadi sedih? Sudah puluhan tahun lamanya aku berhasil melepaskan keduniawian, tidak membutuhkan apa-apa lagi, tidak menginginkan apa-apa lagi, hidup dengan bebas dan bahagia karena tidak dirongrong oleh pikiran dan keinginan sendiri. Akan tetapi sekarang...!"
"Memang sekarang bagaimana, suhu?" gadis itu mendesak sambil menatap wajah tua yang menimbulkan rasa iba di dalam hatinya itu.
"Kau lihatlah sendiri, aku kegilaan bermain catur! Aku rindu akan adanya seorang lawan bertanding catur, seorang lawan yang kuat, persis seperti kesenangan yang kucari-cari puluhan tahun yang lalu ketika aku selalu mencari-cari seorang lawan bermain silat yang kuat. Dan perasaan ingin ini selalu mengejar-ngejarku, bahkan dalam mimpi! Akan tetapi hingga sekarang aku belum juga mendapatkan lawan yang seimbang dan menyenangkan. Bukankah itu menyedihkan sekali? Ini tandanya bahwa aku sebenarnya belum mati, dan kebebasan yang lalu itu bukan lain hanya mimpi belaka. Kini aku terbangun dan melihat bahwa yang lalu itu hanya merupakan mimpi, maka betapa menyedihkan itu!"
"Memang suhu belum mati." kata pula si dara yang menjadi bingung oleh kata-kata yang dianggapnya tidak karuan artinya itu.
"Kalau saja sudah, alangkah baiknya!" kakek itu menghela napas panjang. "Akan tetapi kematian jasmani tidaklah terlalu penting, namun yang terpenting adalah mati dari semua keinginan dan kehendak, mati aku-nya, mati keinginannya mengejar kesenangan."
Dara remaja yang cantik itu mengerutkan alisnya yang bentuknya indah seperti dilukis.
"Akan tetapi, suhu. Apa bila sudah mati keinginannya, sudah mati kehendaknya mengejar kesenangan, bila sudah tidak butuh kesenangan lagi, bukankah hal itu sama saja dengan hidup seperti sebatang pohon yang suhu sandari itu? Bukankah hidup seakan tidak ada gunanya lagi?"
Kakek itu tersenyum, senyum yang sudah lama tidak nampak oleh dara itu. "Justru sebaliknya, muridku. Hanya orang yang sudah tidak ingin mengejar kesenangan sajalah yang dapat menikmati kesenangan yang sesungguhnya! Hanya orang yang sudah tak ingin mengejar kebahagiaan sajalah yang betul-betul bahagia. Orang yang tidak puas saja yang mengejar kesenangan yang dianggapnya akan mengisi kekosongannya, akan memuaskannya. Akan tetapi setelah yang dikejarnya didapatkan, ketidak puasan itu tetap akan menghantuinya, dirinya akan selalu penuh ketidak puasan sehingga hidupnya selalu menjadi sengsara."
"Akan tetapi, apakah kita lalu harus memantang kesenangan dan menjauhi kepuasan?" dara itu mengejar terus, wajahnya membayangkan penasaran.
“Sama sekali bukan, Mei Lan. Bukan menantang atau menolak kesenangan, melainkan TIDAK MENGEJAR, tidak memanjakan dan tidak memusuhi. Kalau sudah begitu, barulah segala saat dalam hidup merupakan kesenangan karena hidupnya adalah kesenangan itu sendiri! Bukan menjauhi kepuasan, melainkan tidak menginginkan kepuasan karena kalau sudah demikian, barulah setiap saat merasa puas karena hidupnya adalah kepuasan itu sendiri!"
"Akan tetapi, kalau sudah tidak memiliki keinginan apa-apa lagi, bukankah itu sama saja dengan mati?"
"Nah, itulah! Mati dalam hidup! Jasmaninya memang hidup dan baru benar-benar hidup apa bila semua keinginan yang timbul dari si aku yang selalu mengejar kesenangan dan keenakan itu sudah mati. Dan celakanya, aku sendiri belum mati, yang kusangka sudah mati puluhan tahun ini hanya mimpi belaka! Dan semua gara-gara papan catur ini!" Dia berkata gemas dan memandang ke arah papan caturnya. "Aku menjadi kegilaan bermain catur, menjadi pecandu catur, bahkan di dalam hati aku telah bersumpah bahwa aku tidak akan mau mati sebelum berjumpa dengan seorang lawan catur yang setingkat! Aihhh…, sungguh aku seorang tua yang tolol!" Bun Hwat Tosu yang biasanya bersikap halus itu, kini menengadahkan mukanya ke atas, mengepal tinju dan berteriak keras, "Haii, segala dewa! Turunlah dan mari bertanding catur melawan aku!"
Tiba-tiba terdengar suara yang bergema, tidak jelas dari mana datangnya. "Bagus! Aku datang memenuhi tantanganmu, tua bangka sinting!"
Tentu saja Mei Lan menjadi terkejut bukan main dan biar pun dia tergolong seorang anak yang pemberani dan tidak mudah merasa ngeri atau takut, sekali ini dia merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Benarkah muncul setan atau dewa di tengah hari yang terik dan terang itu? Benarkah suara dewa dari angkasa yang menyambut tantangan suhu-nya itu?
Dia bangkit dan memandang ke kanan kiri, namun sunyi saja. Ketika dia menoleh kepada suhu-nya, dia melihat kakek itu tersenyum memandang ke depan. Mei Lan mengikuti arah pandang mata gurunya dan sekarang dia melihat betapa rumpun ilalang jauh di depan itu bergerak-gerak ujungnya dan tampak bayangan orang berkelebat bagai terbang melayang di atas rumpun ilalang itu! Dia memandang terbelalak penuh kekaguman...
Dia harus mengandalkan kecepatan gerakannya, karena betapa pun kuatnya, raksasa hitam ini karena besarnya tubuh tentu lamban gerakannya dan dengan mengandalkan kegesitannya, mungkin dia akan menang. Pula, dia adalah putera seorang yang berjuluk Ban-kin-kwi (Iblis Bertenaga Selaksa Kati). Ayahnya, Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, terkenal memiliki tenaga yang amat besar dan dia pun telah mempelajari penghimpunan tenaga itu sehingga dia pun merupakan seorang yang bertenaga besar. Namun, dalam hal tenaga luar, jelas bahwa dia tidak mungkin dapat menandingi raksasa di depannya itu.
"Aku telah siap!" katanya kepada raksasa itu yang kelihatan ragu-ragu.
Agaknya Biruang Hitam itu mengerti maksud ucapan Tio Sun, karena raksasa ini segera mengeluarkan suara menggereng dahsyat dan kedua lengannya bergerak menyambar ke depan dari kanan kiri seperti terkaman seekor biruang yang marah.
"Wuuutttt...! Wuuutttt...!"
Dua tangannya yang lebar dengan jari-jari terbuka itu sampai mengeluarkan angin saking kuatnya dia menggerakkan kedua tangan dari kanan dan kiri yang mengadakan serangan cengkeraman itu. Namun dengan langkah ke belakang, Tio Sun dapat mengelak dengan mudah dan saat raksasa hitam itu melanjutkan serangannya dengan menubruk ke depan, dia juga sudah dapat mengelak ke samping dengan lincahnya.
Biruang Hitam menggereng marah. Kini dia menerjang kembali dengan pukulan kepalan tangan sebesar kepala Tio Sun sedangkan tangan kiri mencengkeram ke bawah, hendak menangkap kaki pendekar itu.
Kembali Tio Sun cepat mengelak lantas dari samping dia sengaja memasang diri untuk ditubruk. Melihat betapa pemuda itu mengelak dengan tubuh terhuyung, si raksasa hitam menjadi girang dan cepat dia menubruk dengan dua lengan terpentang untuk mencegah pemuda itu mengelak ke kanan atau ke kiri.
Memang inilah yang dikehendaki oleh Tio Sun. Melihat betapa dada itu ‘terbuka’, secepat kilat dia lalu menghantam dengan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga dengan maksud membuat raksasa itu roboh dengan satu kali pukulan.
Tentu saja gerakan Tio Sun ini sangat cepatnya sehingga tidak tersangka-sangka oleh si Biruang Hitam yang lamban. Maka, sebelum dia tahu apa yang terjadi, dadanya sudah kena dipukul lawan.
"Bukkk!"
Pukulan yang keras bukan main mendarat di dada yang bidang itu. Akan tetapi akibatnya bukannya tubuh tinggi besar itu yang roboh terjengkang, sebaliknya malah tubuh Tio Sun sendiri terdorong ke belakang dengan kerasnya!
Pukulannya yang mengenai dada itu seakan-akan memukul bola karet yang sangat kuat sehingga membalik dan akibatnya dia yang mencelat ke belakang dan tentu dia akan roboh terbanting kalau saja dia tidak cepat berjungkir balik sampai bersalto tiga kali ke belakang, baru dia dapat turun ke atas papan panggung dengan baik.
Sorak-sorai menyambut peristiwa ini karena semua orang melihat betapa si raksasa kena pukulan keras akan tetapi yang terlempar malah yang memukul! Si Biruang Hitam tertawa bergelak dan sudah maju lagi dengan kedua lengan dikembangkan, persis seperti seekor biruang yang berjalan dengan dua kaki belakangnya, hidungnya mendengus-dengus dan bibirnya yang tebal itu menyeringai.
Souw Kwi Beng yang melihat ini menjadi gelisah bukan main dan diam-diam dia meraba ke pinggangnya di mana terselip sebuah pistol kecil. Perbuatannya ini tidak terlepas dari pandangan mata Raja Sabutai yang hanya tersenyum-senyum menonton pertandingan di atas panggung itu.
Semua mata ditujukan ke atas panggung dan semua jantung berdebar tegang melihat raksasa hitam itu kini sudah menghampiri Tio Sun yang mundur-mundur dan memandang dengan sikap waspada hingga akhirnya pendekar itu tersudut. Biruang Hitam menggereng dan menubruk lagi, namun Tio Sun jauh lebih cepat, tubuhnya sudah menyelinap melalui bawah lengan kiri lawan dan dia sudah melesat ke belakang raksasa itu. Biruang Hitam membalik dan menubruk lagi, dua lengan yang panjang itu menyambar-nyambar ganas, namun selalu dapat dielakkan oleh Tio Sun yang mengasah otak bagaimana dia dapat merobohkan Biruang Hitam yang sangat kuat dan tubuhnya kebal ini. Mungkin dia tadi kurang mengerahkan tenaga, pikirnya.
Setelah memperhitungkan dengan masak-masak, untuk kesekian kalinya kembali Tio Sun mengelak ketika Biruang Hitam itu menubruk, akan tetapi sekali ini dia mempergunakan ginkang-nya, mengelak sambil meloncat ke atas, kemudian sebelum lawan membalik, dari atas dia telah menghantamkan kedua kakinya ke tengkuk lawan.
"Bresssss…!"
Kembali tubuh Tio Sun terlempar akan tetapi dia dapat melayang turun dengan dua kaki terlebih dahulu sedangkan Biruang Hitam kini terhuyung ke depan. Tio Sun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, langsung dia mengerahkan tenaga pada kedua tangannya dan menghantam dari belakang ke arah punggung dan lambung lawan.
"Bukk! Desss…!"
Hantaman-hantaman itu hebat bukan main dan lawan biasa tentu akan roboh dan tewas. Akan tetapi Biruang Hitam memang kuat bukan main seolah-olah tubuhnya dilindungi oleh karet yang tebal. Dia tidak roboh, bahkan dia berhasil membalik dan meraih sehingga pundak Tio Sun kena dicengkeram oleh jari-jari tangan yang panjang dan kuat itu.
Tentu saja Tio Sun yang tidak menyangka sama sekali bahwa lawan tidak roboh, bahkan terguncang pun tidak oleh dua pukulannya tadi, amat terkejut ketika tahu-tahu pundaknya dicengkeram. Bukan main nyerinya, seakan-akan tulang pundaknya akan hancur diremas oleh jari-jari tangan yang kuat itu. Maka dia cepat mengerahkah ilmu melemaskan badan, semacam Ilmu Jiu-kut-kang, membuat kulit pundaknya licin bagai belut kemudian dengan gerakan lincah dia merenggutkan tubuhnya dan meloncat mundur.
"Breetttt...!"
Pundaknya terlepas dari cengkeraman akan tetapi baju di pundak itu robek dan hancur di tangan Biruang Hitam yang tertawa-tawa.
Tio Sun terkejut sekali. Kiranya lawan ini lebih hebat dari pada yang disangkanya. Timbul kemarahannya. Tadinya, dia hanya ingin mengalahkan lawan ini tanpa melukainya, sebab dia memang tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan siapa juga di tempat itu. Akan tetapi pendekar ini maklum bahwa kalau dia tidak sungguh-sungguh dan berhati-hati dia sendiri bisa celaka, bahkan mungkin saja bisa tewas oleh manusia raksasa yang memiliki tenaga gajah dan cara berkelahinya buas seperti harimau ini.
Di antara para tamu sudah ramai orang mengadakan pertaruhan, taruhan yang berjumlah tinggi dan tentu saja raksasa hitam itu menjadi jagoan unggulan sehingga yang bertaruh atas diri Biruang Hitam berani mempertaruhkan isterinya hanya untuk selir seorang lawan bertaruh! Ini berarti bahwa dia sudah yakin akan kemenangan Biruang Hitam.
Akan tetapi hanya sebentar mereka yang bertaruh ini ramai menambah taruhan mereka karena seluruh perhatian mereka segera dicurahkan kembali ke atas panggung di mana Biruang Hitam telah menghujani serangan kepada Tio Sun yang kembali hanya mengelak ke sana-sini mengandalkan kelincahan tubuhnya.
Makin lama, Biruang Hitam menjadi makin marah karena semua pukulan, tendangan dan cengkeramannya hanya mengenai tempat kosong belaka. Peluhnya membasahi seluruh tubuhnya akan tetapi tenaganya tidak menjadi kendur, bahkan dia semakin bersemangat karena terdorong oleh kemarahannya.
Souw Kwi Beng yang menonton pertandingan itu kini bernapas lega. Tahulah dia bahwa kini Tio Sun berhati-hati sekali dan berganti siasat, mengandalkan kecepatan gerakannya untuk menghabiskan tenaga lawan. Dan melihat betapa lamban gerakan Biruang Hitam yang amat kuat itu, dia tidak khawatir bahwa Tio Sun akan dapat tertangkap lagi seperti tadi.
Dugaannya ini memang benar. Tio Sun yang maklum akan berbahayanya apa bila sampai dirinya tertangkap lawan mempergunakan ginkang-nya dan dengan mudah dia mengelak terus sambil menanti datangnya kesempatan.
Kesempatan itu tiba pada saat si Biruang Hitam menghentikan serangan dan menghapus keringatnya yang menetes dari dahi memasuki matanya. Saat itu Tio Sun memekik keras dan tubuhnya berkelebat, dengan jari tangan terbuka dia menampar ke arah muka lawan.
"Plakkk!" Hantaman telapak tangannya sengaja dijatuhkan ke atas hidung Biruang Hitam itu.
"Currrrr...!" Darah segar muncrat dari dalam hidung Biruang Hitam.
Bagaimana pun kebalnya, tak mungkin bagi raksasa ini untuk membikin kebal hidungnya maka begitu kena dihantam dengan keras, darahnya lantas mengucur.
"Ourrgghh...!" Dia menggereng seperti binatang terluka dan mengamuklah Biruang Hitam.
Dengan membabi buta dia pun menyerang sambil menggereng dan mendengus-dengus penuh kemarahan. Kalau saja kedua tangannya yang besar itu berhasil menangkap tubuh Tio Sun, tentu tubuh itu akan dicabik-cabik, tulang-tulangnya akan dipatah-patahkan dan otot-ototnya akan dicabuti!
Namun Tio Sun tidak membiarkan dirinya disentuh, terus dia berkelebatan dan meloncat ke sana-sini untuk menghindarkan diri dari semua terkaman dan di samping mengelak, juga dia selalu menggunakan setiap kesempatan untuk menghantam bagian-bagian yang dianggapnya tidak kebal.
"Plakkk!"
Kini telinga kiri raksasa itu digaplok keras sekali. Tubuh raksasa itu terputar karena dia merasa kepalanya pening dan ada suara mengiang-ngiang memenuhi telinganya. Rasa nyeri membuat dia mengeluh dan menggereng, lalu menyerang lagi.
Tio Sun mengelak menjauhi, kemudian pada waktu raksasa itu menubruk, dia melompat ke samping dan dari samping kakinya melayang ke bawah pusar, ke bagian tubuh yang paling penting dan berbahaya bagi seorang pria.
"Dukkk!"
Tio Sun meringis dan menarik kembali kakinya yang terasa amat nyeri. Kakinya bertemu dengan benda yang keras seperti besi! Mungkinkah anggota kelamin si Biruang Hitam ini sudah mengeras seperti besi? Tak mungkin! Dan Tio Sun mengerti bahwa tentu di bawah cawat itu dipasangi alat pelindung dari besi.
Biruang Hitam menubruk dan kembali Tio Sun mengelak, sekarang memukul lagi ke arah telinga kanan.
"Plakkk!"
Kembali tubuh itu terputar-putar dan kini tibalah saatnya bagi Tio Sun untuk menghajar lawannya, maka dia mengerahkan tamparan-tamparan pada kedua telinga, hidung, dan mata. Mulailah para tamu yang menjagoi pendekar ini bersorak-sorak dan tubuh Biruang Hitam kini sudah mulai lemah.
Dengan kecepatan kilat, Tio Sun yang melihat kelemahan lawan, segera menggunakan dua jari tangan menotok. Tadi, selagi lawan amat kuat, dia khawatir totokannya tidak akan dapat menembus kekebalan. Sekarang, setelah lawannya mulai lemah, dia mengerahkan tenaga dan dengan mudah dia dapat menotok kedua pundak lawan yang telanjang tepat mengenai jalan darah sehingga dua lengan panjang itu kini tergantung lumpuh!
Tio Sun yang juga merasa lelah dan penasaran, lalu memperlihatkan tenaganya. Setelah kedua tangan yang berbahaya itu dibikin lumpuh, dia berani menerjang maju, menendang lutut lawan sehingga tubuh tinggi besar itu terguling, seperti kilat dia menangkap pinggang orang itu, mengerahkan tenaga kemudian mengangkat tubuh raksasa itu dengan kedua tangannya ke atas kepala dan melemparkannya ke bawah panggung. Tubuh raksasa itu jatuh berdebuk di atas tanah di luar panggung dan rebah pingsan di situ!
Sorak-sorai memenuhi tempat itu menyambut kemenangan Tio Sun dan wajah mereka yang menang bertaruh berseri-seri dan mereka membayangkan kesenangan-kesenangan yang didapatkan atas kemenangan itu. Raja Sabutai bangkit dari tempat duduknya ketika Tio Sun kembali ke situ, dan sambil mengangguk-angguk, Sabutai memuji,
"Sungguh Tio-sicu amat lihai!"
Tio Sun menjura. "Biruang Hitam itu kuat sekali dan hanya kebetulan saja saya tadi dapat mengalahkan dia." Kemudian dia menatap wajah raja itu tajam-tajam dan berkata, "Saya harap sekarang paduka suka memberi petunjuk di mana adanya..."
"Nanti dulu, sicu. Duduklah. Pesta belum lagi berakhir. Kepandaian Tio-sicu sudah kami saksikan dan memang sicu adalah seorang yang memiliki kepandaian hebat. Akan tetapi kami belum melihat kepandaian Souw-sicu."
Tio Sun merasa khawatir kalau-kalau Kwi Beng akan diadukan. Dia tahu bahwa sebagai putera pendekar wanita Souw Li Hwa tentu saja Kwi Beng mempunyai kepandaian yang tinggi juga dan sudah boleh diandalkan, akan tetapi Kwi Beng masih terlampau muda dan dia khawatir kalau-kalau pemuda itu akan membunuh lawannya sehingga menimbulkan suasana tidak enak terhadap Raja Sabutai. Maka cepat dia berkata,
"Sri baginda, tidakkah cukup dengan semua pertandingan itu? Para tamu juga tentu telah menjadi bosan karenanya. Bagaimana jika adik Souw ini memperlihatkan kepandaiannya memainkan hui-to (pisau terbang) dan senjata rahasianya yang sangat hebat, yang dapat memuntahkan peluru baja sedemikian cepatnya sehingga tidak dapat terlihat oleh mata? Tentu saja untuk permainan ini, tidak diperlukan adu kepandaian yang merupakan lawan karena dapat membunuh orang."
Sabutai mengangguk-angguk sambil tertawa. "Seorang ahli senjata rahasia, heh? Bagus, nah, aku sendiri yang akan mengujinya."
Tio Sun terkejut. Dia sudah mendengar bahwa raja ini, sebagai murid kakek dan nenek lihai Mo-ko dan Mo-li, memiliki kepandaian tinggi dan agaknya Kwi Beng bagaimana pun juga bukanlah lawannya. "Mana bisa adik Souw harus menghadapi paduka yang memiliki kepandaian amat tinggi?" dia mengajukan keberatan.
Raja Sabutai tertawa. "Kami hanya menguji kepandaiannya memainkan senjata rahasia, bukan bertanding." Raja itu lalu bangkit berdiri dan melangkah ke atas panggung.
Semua tamu kini memandang dengan mata terbelalak. Apakah Raja Sabutai yang sakti itu kini hendak bertanding? Semua mata memandang ke arah pemuda tampan berambut agak keemasan yang mengikuti di belakang sri baginda dengan sikap tenang.
"Saudara-saudara sekalian. Pemuda ini pun seorang utusan dari selatan yang lihai. Anda sekalian tadi telah menyaksikan betapa lihainya Tio-sicu yang telah mengalahkan pegulat hebat kita Si Biruang Hitam. Dan sekarang, Bouw-sicu akan menunjukkan kemahirannya menggunakan senjata rahasia."
Semua orang bertepuk tangan, menyambut dengan gembira karena bagi mereka, senjata yang mereka kenal hanyalah anak panah dan tombak yang dilontarkan, atau batu yang disambitkan. Akan tetapi mereka semua maklum bahwa Raja Sabutai juga sangat mahir menggunakan bermacam senjata rahasia, terutama menggunakan anak panah.
Kabarnya, sekali menarik gendewa, raja ini sekaligus mampu meluncurkan tujuh batang anak panah, dan semua menuju ke sasaran dengan tepatnya! Atas isyarat raja, seorang pengawal datang berlari dengan dua orang pembantunya yang datang membawa sebuah alat yang biasa dipakai untuk berlatih ilmu memanah, yaitu sasaran terbuat dari kayu tebal yang sudah diberi lingkaran-lingkaran dan di tengah-tengahnya digambar kepala orang dengan mulut terbuka berwarna hitam.
Atas perintah Sabutai, sasaran itu lalu dipasang dalam jarak seratus langkah. Kemudian Sabutai menerima gendewa dan tempat anak panah dari seorang pengawal lain, dan dia menoleh ke arah Kwi Beng sambil tersenyum.
"Souw-sicu, di daerah ini hampir semua orang mahir bermain anak panah, oleh karena itu ingin sekali kami melihat apakah senjata rahasiamu mampu menandingi anak panah kami dan mengenai sasaran itu dengan sama tepatnya."
Sebelum pemuda itu menjawab, Sabutai sudah memasang sekaligus tiga batang anak panah di gendewanya, lalu menarik tali gendewa dan ketika dia melepaskan tali sehingga terdengar suara menjepret, maka meluncurlah tiga batang anak panah dengan cepatnya menuju sasaran.
Menggunakan tiga batang anak papah sekaligus dapat dilakukan oleh pemanah-pemanah ahli, akan tetapi untuk ditujukan kepada tiga buah sasaran. Kalau tiga batang anak panah ditujukan kepada sasaran yang sama, sungguh merupakan hal yang sangat sukar dan jarang dapat dilakukan orang. Akan tetapi, ketika tiga batang anak panah itu meluncur ke arah sasaran, tahulah semua orang dengan kagum bahwa sang raja itu menujukan ketiga batang anak panahnya kepada sasaran yang sama!
"Cep-cep-cepp!" Bagaikan berebut saja, tiga batang anak panah itu menancap di sasaran, dan tiga-tiganya tepat pada mulut hitam gambar kepala di tengah lingkaran itu.
Tepuk sorak gemuruh menyambut kemahiran yang luar biasa ini. Raja Sabutai sambil tersenyum mengangkat kedua tangan ke atas untuk meredakan kebisingan itu, kemudian dia menghadapi Kwi Beng sambil berkata, "Nah, Souw-sicu, dapatkah senjata rahasiamu mengenai sasaran dengan tepat seperti anak-anak panahku?"
"Akan saya coba, sri baginda," pemuda ini berkata sambil memandang tajam ke arah sasaran yang jaraknya seratus langkah itu.
Dia melihat betapa sasaran inti, yang merupakan mulut hitam kecil dari gambar kepala orang itu, telah penuh oleh tiga batang anak panah sehingga tidak ada tempat lagi bagi senjata rahasianya, maka tahulah dia bahwa Sabutai sengaja mempersulit dirinya. Akan tetapi, Kwi Beng memiliki kelihaian melepas hui-to seperti juga saudara kembarnya dan memiliki kelihaian ibunya dan kecerdasan otak ayahnya, maka setelah mengincar dengan seksama, tiba-tiba pemuda ini mengeluarkan pekik dahsyat dan tangan kirinya bergerak ke pinggang, diikuti oleh tangan kanannya, kemudian kedua tangan itu bergerak cepat ke depan dan meluncurlah tiga sinar berkilauan ke arah sasaran.
Pemuda ini berturut-turut, hampir berbareng saat pelemparannya saking cepatnya, telah menyambitkan tiga batang hui-to (pisau terbang) ke arah sasaran itu, diikuti oleh pandang mata semua tamu. Secara diam-diam Sabutai kagum juga menyaksikan cara pemuda itu melemparkan pisau demikian cepatnya.
"Cap-cap-capp!" Tiga batang pisau itu menancap dan tiga batang anak panah bergoyang-goyang.
Pada saat semua mata memandang, sejenak suasana hening saking herannya, kemudian lepaslah tepuk sorak dan pujian ketika mereka melihat bahwa ketiga batang pisau itu dengan tepatnya telah menancap di ujung gagang anak panah yang tiga tadi!
Raja Sabutai mengangguk-angguk, akan tetapi dahinya berkerut. Dia kagum sekali akan tetapi juga ada rasa tidak senang, karena pemuda ini telah membikin rusak tiga batang anak panahnya. Maka timbul keinginannya untuk mengalahkan pemuda ini dan dia lalu mengambil lagi sebatang anak panah, dipasangnya di gendewa yang masih dipegang di tangan kirinya, lalu dia berkata lagi setelah semua tamu diam.
"Souw-sicu, kepandaianmu ternyata hebat. Akan tetapi yang menjadi sasaranmu adalah benda tak bergerak. Sekarang ingin aku mengujimu satu kali lagi, yaitu ingin aku melihat apakah dengan senjata rahasiamu, engkau dapat mengenai anak panah yang kulepas di udara."
Jika saja pemuda tampan berambut keemasan itu menyatakan tidak sanggup, maka hati Sabutai sudah akan merasa puas dan tidak akan mendesak lagi karena hal itu sudah menyatakan bahwa pemuda itu masih kalah olehnya dalam hal menggunakan senjata rahasia. Akan tetapi, pemuda itu mengangguk dan berkata tenang,
"Akan saya coba, sri baginda."
Sabutai menjadi sangat penasaran. Benarkah pemuda ini akan dapat menjatuhkan anak panahnya? Betapa pun mahirnya menggunakan pisau terbang, tentu saja luncuran pisau yang disambitkan tidak akan dapat lebih cepat dari pada luncuran anak panahnya, dan pisau itu sampai bagaimana pun tidak akan mampu menyusul anak panahnya, apa lagi mengenainya.
Dan memang pemuda ini pun tahu bahwa pisau terbangnya tidak akan mungkin dapat mengenai anak panah yang diluncurkan, akan tetapi dia sudah bersiap untuk tantangan ini. Semua mata para tamu kini memandang dengan penuh perhatian dan ketegangan, karena mereka pun kesemuanya adalah ahli-ahli panah yang tahu belaka bahwa luncuran anak panah, apa lagi yang dilepaskan oleh tangan Raja Sabutai yang kuat, tidak mungkin dapat dikejar oleh sambitan biasa.
Gendewa menjepret ketika Sabutai melepaskan tali gendewa dan meluncurlah sebatang anak panah ke angkasa! Pada saat itu pula, tangan kanan Kwi Beng sudah bergerak mencabut senjata apinya, yaitu sebuah pistol kecil yang tadi memang sudah dipersiapkan dan diisinya, kemudian dengan ketepatan seorang jago tembak terlatih dia membidikkan pistolnya dan menarik pelatuknya.
"Darrrrr...!"
Semua orang terkejut bukan main mendengar ledakan ini dan semua mata, termasuk juga mata Sabutai, memandang dengan penuh kagum, kaget, dan heran ketika melihat anak panahnya yang masih meluncur itu tiba-tiba runtuh dan patah menjadi dua, jatuh di depan kaki raja itu.!
Dalam keadaan biasa, tentu Raja Sabutai akan menjadi penasaran dan marah sekali melihat anak panahnya runtuh dan patah menjadi dua itu. Akan tetapi pada saat itu dia terlalu kaget dan heran menyaksikan kehebatan senjata kecil yang aneh itu sehingga dia melongo memandang kepada pistol di tangan Kwi Beng yang masih mengepulkan asap.
Ketika para tamu yang tadi juga tercengang kini bertepuk tangan dan bersorak gemuruh memuji kehebatan senjata rahasia pemuda itu, barulah Sabutai menjadi sadar dan dengan muka jelas membayangkan kekaguman dia memandang senjata api di tangan kanan Kwi Beng sambil bertanya,
"Apakah itu?"
Melihat sikap raja yang jelas sekali kelihatan sangat tertarik dan kagum kepada senjata apinya, Kwi Beng lalu memperlihatkan pistolnya sambil berkata, "Ini adalah senjata api, sri baginda."
Sabutai menyentuh pistol yang masih hangat itu dan memuji, "Hebat bukan main..."
Sambil tersenyum dan menyodorkan pistolnya, Kwi Beng berkata, "Apa bila paduka suka memberi petunjuk supaya kami dapat tahu di mana adanya nona Yap In Hong, sebagai tanda terima kasih saya menghaturkan pistol ini kepada paduka."
Sepasang mata Sabutai terbelalak dan wajahnya berseri. "Benarkah? Akan tetapi tidak ada gunanya, aku tidak bisa mempergunakannya."
"Saya akan mengajar paduka sampai dapat mempergunakannya."
Sabutai tertawa girang, memegang tangan Kwi Beng dan dituntunnya pemuda itu kembali ke tempat duduk kehormatan dan Tio Sun menyambut temannya itu dengan senyum puas karena dia maklum bahwa temannya ini telah mendatangkan kesan baik kepada Sabutai yang juga tersenyum-senyum.
Seperti seorang anak kecil menimang-nimang permainan baru, Sabutai memegang dan meneliti pistol itu, kemudian dia mempelajarinya dan Kwi Beng menjadi gurunya. Cara mengisi peluru dan obat, cara menembakkan dan lain-lain.
Sabutai yang memang cerdas itu sebentar saja sudah menguasainya dan pada saat dia mencobakan pistol itu pada sasaran, ditonton oleh semua tamu, tiga kali tembakan saja Sabutai sudah mampu mengenai mulut kepala di dalam gambar sasaran, disambut tepuk tangan para tamu.
Kwi Beng menyerahkan semua peluru yang dibawanya, sebanyak beberapa puluh butir mesiu dan pistol itu kepada Sabutai. Raja ini girang sekali, menyimpan pistol dan peluru-pelurunya, lalu dia berkata,
"Tio-sicu dan Souw-sicu, kalian ternyata adalah tamu-tamu yang sangat menyenangkan dan kurasa cukup gagah dan berharga untuk berusaha menolong nona Yap In Hong, biar pun kami merasa sangsi sekali apakah kalian akan dapat berhasil. Kami kira kalian tidak akan mampu melawan kedua orang guru kami. Bahkan sekarang, sesudah kedua orang guru kami itu berhasil melatih ilmu baru mereka, jangankan baru kalian berdua, biar pun ketua Cin-ling-pai sendiri dan puteranya yang lihai itu pasti tidak akan dapat menangkan suhu dan subo. Mereka telah memiliki kekebalan yang luar biasa sekali sehingga semua pukulan sakti, semua senjata pusaka tidak akan mampu melukai mereka luar dalam!"
"Kami bukan hendak melawan siapa pun bila tidak terpaksa, yang kami kehendaki hanya agar nona Yap In Hong dibebaskan," kata Tio Sun.
Sabutai tersenyum dan menarik napas panjang. "Kami rasa tidak begitu mudah. Ilmu baru dari suhu dan subo ini amat hebat, dan baru saja diciptakan sehingga kami sendiri pun belum pernah mempelajari ilmu itu. Akan tetapi sesuai dengan janji kami tadi, biarlah ji-wi sekarang mengetahui di mana suhu dan subo menahan nona Yap In Hong, yaitu di kaki Pegunungan Khing-an-san, di Lembah Naga dekat tikungan Sungai Luan-ho. Nah, di situ ji-wi akan dapat menemui suhu dan subo, juga di sanalah nona Yap ditawan."
Tio Sun dan Souw Kwi Beng menjadi girang sekali. Mereka bangkit dan menjura sambil mengucapkan terima kasih, lalu segera berpamit untuk melanjutkan perjalanan mereka ke Lembah Naga saat itu juga! Raja Sabutai juga bangkit berdiri dan berkali-kali dia menarik napas panjang.
"Sayang... sungguh saya akan selalu menyayangkan bahwa dua orang pemuda sehebat ji-wi ini harus membuang nyawa secara sia-sia saja di Lembah Naga. Akan tetapi, kami tidak berhak untuk mencegah dan selamat jalan, Tio-sicu dan Souw-sicu..."
Pada saat itu, seorang pengawal datang dengan cepat dan memberi hormat, lalu melapor dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh dua orang pemuda itu.
Mendengar laporan itu, Sabutai berseri wajahnya dan berkata, "Tio-sicu dan Souw-sicu, tunggu sebentar! Baru saja pengawal kami melaporkan bahwa isteri kami mendengar akan kunjungan utusan kaisar dan kini beliau minta kepada ji-wi untuk menjenguk putera kami. Kami adalah sahabat kaisar, maka ji-wi sebagai utusan kaisar tentu juga merupakan sahabat kami pula. Bagaimana ji-wi dapat bercerita di kota raja tentang putera kami kalau ji-wi tidak menjenguknya? Nah, isteri kami telah mengundang, harap ji-wi suka masuk ke dalam sebentar."
Tentu saja Tio Sun dan Souw Kwi Beng tidak berani menolak undangan yang ramah ini dan mereka berdua kemudian diantar oleh empat orang pengawal menuju ke dalam yang ternyata suasananya tenteram dan tenang, tidak seramai di tempat pesta itu.
Mereka melalui ruangan-ruangan dan lorong-lorong, dan akhirnya mereka tiba di tempat kediaman Puteri Khamila. Di dalam sebuah kamar yang amat bersih dan sejuk, terdapat sebuah ayunan bayi yang dijaga oleh lima orang pelayan wanita. Agaknya, para pelayan itu sudah menerima perintah dari Puteri Khamila, karena begitu melihat keempat orang pengawal yang mengantar dua orang pemuda asing itu, mereka cepat-cepat mundur dan mempersilakan mereka masuk.
"Ji-wi (tuan berdua) dipersilakan masuk dan menjenguk pangeran," kata seorang di antara empat pengawal itu dengan bahasa Han yang lancar akan tetapi kaku.
Tio Sun bersama Souw Kwi Beng lalu melangkah memasuki kamar itu dan menghampiri ayunan bayi. Mereka menjenguk dan melihat seorang bayi yang amat sehat dan mungil, sedang tidur terlentang dengan nyenyaknya.
Dua orang pemuda itu tentu saja memandang dengan penuh perhatian dan diam-diam mereka memuji bahwa putera Sabutai ini memang seorang anak bayi yang sangat sehat dan tampan, juga biar pun masih bayi sudah membayangkan keagungan.
Pada saat itu pula terdengar suara kaki melangkah dari dalam dan semua pelayan, juga empat orang pengawal itu cepat menjatuhkan diri berlutut. Souw Kwi Beng dan Tio Sun menengok dan mereka terkejut melihat seorang wanita yang berpakaian indah, keluar dari pintu dalam dan mereka dapat menduga bahwa tentu inilah permaisuri atau isteri Raja Sabutai, maka mereka cepat memberi hormat dengan menjura sampai dalam.
"Saya mendengar bahwa ji-wi adalah utusan dari kaisar, benarkah?" suara Khamila yang halus dan merdu itu terdengar tidak kaku sehingga dua orang muda itu menjadi kagum. Tidak mereka sangka bahwa isteri dari raja liar Sabutai itu seorang wanita yang begini muda, cantik jelita dan juga terpelajar.
Tio Sun yang tadi sudah terlanjur mengaku sebagai utusan kaisar, tentu saja tidak berani menyangkal lagi. "Benar, kami berdua datang dari kota raja."
"Kalian diutus untuk menghadiri pesta perayaan kelahiran puteraku?" kembali sang puteri bertanya, dan aneh, suaranya agak tergetar.
"Maaf, harap paduka suka memaafkan kami. Sesungguhnya... ehhh, agaknya sri baginda kaisar belum mendengar tentang kelahiran putera Sri Baginda Sabutai, maka kami hanya diutus untuk menyelamatkan nona Yap In Hong, ada pun kami hanya kebetulan mampir ketika mendengar akan perayaan ini untuk menyelidiki di mana kami dapat mencari nona Yap."
"Dan kalian sudah tahu tempatnya?"
"Berkat kemurahan hati Sri Baginda Sabutai, kami telah diberi tahu."
Hening sejenak. Para pengawal dan pelayan masih berlutut dan tidak ada pelayan yang berani mengangkat muka memandang sang puteri.
"Saya mendengar bahwa keturunan raja-raja di negerimu sana adalah manusia-manusia utusan Tuhan yang ketika lahir ada tanda-tanda tertentu pada tubuh mereka. Sampaikan kepada kaisar dan keluarga kerajaan di negerimu bahwa puteraku ini pun memiliki tanda tahi lalat merah di sebelah kanan pusar. Ingin aku mendengar apakah itu pun merupakan tanda dari Tuhan."
Tio Sun dan Souw Kwi Beng terharu mendengar ini. Harapan seorang ibu di mana pun sama saja, tak peduli ibu itu seorang petani biasa atau seorang permaisuri, yaitu harapan agar puteranya kelak menjadi orang yang mulia dan bahagia!
"Kami menghaturkan selamat atas kelahiran putera paduka dan semoga sang pangeran diberi berkah dan panjang usia. Kami akan menyampaikan semuanya ke kota raja," jawab Tio Sun tanpa berani menyebut kaisar karena bagaimana dia berani menghadapi kaisar untuk menyampaikan semua ini?
"Terima kasih. Kalian menghadapi tugas yang sangat berat. Nah, kalian pergilah," sambil berkata demikian, puteri itu menyerahkan sehelai kertas terlipat dan berbisik, "Bukalah jika menemui kesulitan." Kemudian puteri itu memberi perintah kepada pengawal untuk mengantar dua orang tamu itu keluar.
Sambil menggenggam kertas itu dengan hati penuh pertanyaan, Tio Sun memberi hormat diturut oleh Kwi Beng, kemudian keduanya lalu mundur dan meninggalkan kamar itu. Tio Sun cepat mengantongi kertas itu dan ketika Sabutai menyambut mereka, Tio Sun cepat memberi hormat dan berkata,
"Putera paduka sungguh sehat dan tampan, semoga diberkahi Tuhan dan dikurniai usia panjang."
"Ha-ha-ha-ha, terima kasih, sicu. Kelak dia tentu akan menjadi seorang yang lihai seperti sicu."
Dua orang pemuda itu segera berpamit dan pergilah mereka meninggalkan tempat itu, langsung keluar dari tembok benteng dan melanjutkan perjalanan mereka mencari tempat yang kini telah mereka ketahui, yaitu Lembah Naga, yang sudah mereka ketahui dari Raja Sabutai.
Di tengah perjalanan, Tio Sun mengeluarkan secarik kertas yang diterimanya dari Puteri Khamila tadi. Ternyata ada tulisannya, dua baris huruf-huruf indah.
Menemukan kelemahan Hek Pek tidaklah mudah, harus dicari dari lutut ke bawah!
Tio Sun dan Kwi Beng menjadi girang bukan main. Mereka sudah khawatir mendengar keterangan Raja Sabutai bahwa dua orang gurunya itu memiliki ilmu baru yang hebat, yaitu kekebalan yang tidak terlawan oleh pukulan sakti atau pun senjata pusaka. Mereka percaya akan keterangan itu karena seorang seperti Sabutai tidak nanti membohong atau menyombongkan sesuatu yang tidak ada kenyataannya.
Maka setelah membaca tulisan Puteri Khamila, selain terheran-heran juga mereka merasa girang sekali. Diam-diam mereka menghafal bunyi tulisan itu lalu merobek-robek kertas itu dan mereka menduga-duga mengapa puteri itu mau membuka rahasia kakek dan nenek iblis itu kepada mereka.
Tentu saja dua orang pemuda itu tidak tahu bahwa Puteri Khamila sendirl merasa kaget, bingung dan penasaran ketika mendengar bahwa nona Yap In Hong diculik oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Dia sudah berhutang budi kepada In Hong, bahkan bersama dengan In Hong dia sudah meloloskan Kaisar Ceng Tung dari tahanan. Kini, mendengar bahwa In Hong diculik oleh kakek dan nenek iblis yang menjadi guru suaminya, dia pun merasa penasaran sekali. Akan tetapi, dia pun maklum bahwa suaminya sendiri sebagai murid tentu tidak akan berdaya menghadapi kakek dan nenek itu, maka secara cerdik puteri ini lalu membujuk suaminya untuk bercerita tentang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li.
Sabutai yang amat cinta kepada isterinya dan tidak melihat bahaya kalau rahasia kedua gurunya diketahui isterinya, tidak menyimpan rahasia sesuatu dan menceritakan bahwa kedua orang gurunya itu telah menguasai semacam ilmu kekebalan yang sangat mukjijat dan bahwa dia sendiri masih belum tahu kelemahannya dengan pasti, hanya tahu bahwa kelemahannya itu terdapat di bagian tubuh dari lutut ke bawah.
Maka, ketika Khamila mendengar bahwa ada dua orang utusan kaisar hadir dalam pesta, cepat dia menuliskan rahasia kelemahan itu pada selembar kertas, lalu dia mengundang dua orang utusan itu untuk menjenguk puteranya. Dalam peristiwa ini, dia mempunyai dua maksud. Pertama, mengabarkan tentang keadaan puteranya kepada ayah kandungnya, yaitu Kaisar Ceng Tung, dan yang kedua, dia dapat membocorkan rahasia kekebalan dua orang kakek dan nenek yang menculik In Hong.
********************
Tio Sun dan Kwi Beng telah tiba di sebelah selatan Padang Bangkai. Lembah Naga telah nampak dari jauh ketika mereka tadi meloncat ke atas pohon tinggi dan mengintai. Akan tetapi jalan menuju ke Lembah Naga itu terhalang oleh padang rumput dan alang-alang yang luas sekali. Mereka tidak tahu bahwa itulah Padang Bangkai yang amat berbahaya, pintu masuk ke Lembah Naga yang merupakan pintu neraka.
Hari masih pagi ketika mereka mulai memasuki daerah Padang Bangkai. Tio Sun yang berwatak hati-hati itu tidak sembrono, melakukan perjalanan perlahan-lahan dan dengan penuh kewaspadaan dia selalu melihat ke kanan kiri menjaga segala kemungkinan.
Tiba-tiba dia memberi isyarat kepada Kwi Beng yang berjalan di belakangnya. Mereka berhenti dan menahan napas. Siliran angin dari depan membawa pula suara tangis lirih. Kalau tidak ada angin bersilir, agaknya suara itu tidak akan terdengar oleh mereka.
Dengan isyarat tangan Tio Sun memberi tahu kepada temannya untuk maju perlahan dan tidak mengeluarkan suara berisik. Berindap-indap mereka lalu maju menghampiri ke arah suara tangis wanita itu. Sungguh menyeramkan mendengar suara tangisan itu, di tempat yang begini sunyi, penuh dengan rumput alang-alang tinggi dan tidak nampak orangnya yang menangis.
Ketika mereka tiba di rumpun alang-alang yang berada di pinggir jalan setapak, mereka amat terkejut karena melihat bahwa yang menangis itu adalah seorang wanita muda yang cantik, yang menangis sambil menelungkup di atas tanah yang tertutup batang dan daun alang-alang yang malang melintang menjadi alas tubuhnya.
Wanita itu menangis sedih sekali, sesenggukan hingga air matanya membasahi seluruh wajahnya yang cantik. Tangan kanannya menutupi sebagian mukanya sedangkan tangan kirinya... buntung sebatas pergelangan tangan dan dibungkus oleh kain putih yang masih membekas darah merah, tanda bahwa luka atau buntungnya tangan itu terjadi belum lama ini.
Dua orang pemuda itu tercengang dan merasa kasihan sekali melihat ke arah lengan kiri yang sudah tidak bertangan lagi itu. "Apa yang terjadi, nona?" Kwi Beng yang memang berperasaan halus dan mudah terharu itu bertanya sambil melangkah mendekati.
Gadis itu terkejut, kemudian menurunkan tangan kanannya dan dengan mata merah dia memandang. Ketika melihat bahwa di hadapannya sudah berdiri dua orang laki-laki yang tidak dikenalnya, laksana seekor harimau yang marah, dia berteriak keras dan tubuhnya mencelat ke atas, langsung dia menyerang Kwi Beng dengan pukulan tangan kanannya. Cepat sekali gerakan tubuhnya, seperti terbang saja dan tubuhnya berkelebat menjadi bayangan merah karena gadis itu memakai pakaian serba merah.
"Ehh...?" Kwi Beng terkejut dan cepat dia menangkis karena kecepatan serangan gadis itu membuat dia tidak sempat lagi mengelak.
"Dukkk!"
Dua lengan bertemu dan akibatnya Kwi Beng hampir terjengkang kalau saja dia tidak cepat-cepat berjungkir balik. Kiranya gadis itu memiliki tenaga yang amat kuat meski pun tangannya tinggal satu!
"Ehhh, nanti dulu, nona!" Tio Sun berseru mencegah, akan tetapi tiba-tiba dia berseru, "Beng-te, awas...!"
Kwi Beng cepat menggulingkan tubuhnya ke atas tanah. Sebagai seorang ahli melempar pisau terbang, tentu saja dia segera maklum apa artinya benda-benda hitam kecil yang menyambar ke arahnya. Ternyata paku hitam itu meluncur lewat dan juga Tio Sun sudah berhasil mengelak dari sambaran paku hitam yang disambitkan oleh gadis berpakaian merah itu.
Akan tetapi gadis itu sudah menyerang lagi, sekarang menyerang Tio Sun dengan tangan tunggalnya. Tio Sun cepat mengelak, kemudian sesudah mengelak tiga kali, dia tiba-tiba menangkap pergelangan tangan kanan gadis itu sambil berkata,
"Tahan dulu, nona. Mari kita bicara!"
"Bicara apa lagi, kau kaki tangan kakek dan nenek iblis!" Nona itu membentak, meronta dan merenggutkan tangannya sambil menendang. Kakinya mencuat ke arah bawah pusar Tio Sun. Tentu saja pendekar ini terkejut sekali. Maklum akan bahayanya tendangan maut itu, terpaksa dia melepaskan tangan gadis itu.
"Plakkk!" Kembali gadis itu menghantam ke arah Kwi Beng dan ditangkis oleh Kwi Beng yang menjadi terhuyung.
"Twako, gadis ini gila...!" Kwi Beng berseru kaget.
Tio Sun cepat meloncat ke depan menghadang, dan tiba-tiba nampak cahaya berkelebat pada saat gadis itu mencabut sebatang pedang dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menyerang Tio Sun dengan pedangnya!
"Hemmm...!" Tio Sun segera mengelak, dan melihat betapa gadis itu menyerang secara kalang-kabut dan nekat, dia mulai percaya akan ucapan Kwi Beng tadi.
Harus diakuinya bahwa gadis ini bukan sembarangan orang, melainkan seorang ahli ilmu silat yang selain memiliki sinkang yang lebih kuat dari pada Kwi Beng, juga mempunyai kecepatan yang amat luar biasa dan ilmu silatnya pun tinggi. Akan tetapi melihat caranya menyerang begitu nekat dan kalang-kabut, dia tahu bahwa kalau tidak gila tentu gadis ini sedang bingung dan kacau pikirannya.
"Minggir, Beng-te!" serunya.
Dia tahu betapa bahayanya menghadapi seorang lawan yang kacau pikirannya karena lawan seperti ini hanya tahu menyerang secara nekat saja sehingga kelihaiannya menjadi bertambah. Dia pun cepat mencabut senjatanya, yaitu sebatang pedang dan melolos pula sabuknya yang dapat dipergunakan sebagai pecut.
"Tringg-cringgg... tarrr...!"
Dua pedang bertemu berkali-kali dan pecut di tangan kiri Tio Sun menyambar-nyambar. Namun gadis itu sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan menyerang makin nekat.
Tio Sun adalah seorang pemuda yang berpandangan luas dan tak mau sembrono dalam segala tindakannya. Maka, menghadapi gadis yang nekat dan mengamuk ini, tentu saja dia tidak mau menurunkan tangan besi, tak mau melukai apa lagi membunuh orang yang sama sekali tidak dikenalnya dan tidak diketahui mengapa mengamuk seperti itu. Dengan hati-hati dia selalu menghalau pedang lawan dan mencari kesempatan baik.
Memang dalam hal tenaga dan ilmu silat, Tio Sun masih menang jauh, maka kecepatan gerakan wanita itu tidak membuat pemuda ini menjadi bingung. Dengan tenang dia hanya membiarkan gadis itu menyerang terus dan tiba-tiba dia menangkis sambil mengerahkan tenaga Ban-kin-kang (Tenaga Selaksa Kati).
"Trangggg...!”
“Aihh...!" Wanita itu menjerit dan pedangnya terlepas dari tangannya. Akan tetapi, betapa kaget hati Tio Sun melihat lawan yang sudah dilucuti senjatanya itu tiba-tiba menubruknya dan menyerang terus dengan tangan tunggalnya secara nekat!
"Ahhh, kau sungguh nekat...!" kata Tio Sun dan cepat sabuknya menyambar. Dua kali ujung sabuknya menotok sehingga wanita itu pun mengeluh dan roboh tertotok, tubuhnya lemas dan tidak mampu bergerak lagi karena kaki tangannya seperti lumpuh!
Akan tetapi kedua matanya masih melotot memandang dan ketika dua orang pemuda itu menghampirinya, tiba-tiba gadis itu berteriak, "Kalian bunuhlah aku dan aku malah akan berterima kasih kepada kalian! Akan tetapi kalau kalian memperkosa aku, ingatlah, biar sampai mati pun arwahku akan menjadi setan dan terus mengejar kalian untuk membalas dendam!"
Wajah kedua orang pemuda itu menjadi merah dan Tio Sun lalu berkata, "Nona, kau ini menganggap kami berdua orang macam apakah? Kami tidak sudi melakukan perbuatan terkutuk itu dan kalau aku merobohkanmu, itu adalah karena terpaksa melihat engkau begitu nekat menyerang kami mati-matian."
Kini pandang mata gadis itu berubah seperti orang baru sadar dan terheran. "Siapakah kalian? Bukankah kalian diutus oleh Mo-ko dan Mo-li untuk membunuh aku?"
Tio Sun menggelengkan kepala. "Kami sama sekali bukan diutus oleh Mo-ko dan Mo-li, bahkan kami datang untuk mencari Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, hendak menolong nona Yap In Hong. Apakah kau tahu tentang itu?"
"Ohhh...!" Gadis itu kelihatan kaget sekali, memandang mereka berdua bergantian penuh perhatian. "Ahh... kalau begitu lekas... lekas kalian selamatkan Cia Bun Houw...!" Setelah berkata demikian dia menangis lagi.
Tentu saja Tio Sun dan Kwi Beng terkejut bukan main mendengar ini dan Tio Sun cepat membebaskan totokannya sehingga dara itu dapat bergerak kembali. Dia bangkit duduk dan berkata berulang kali. "Maafkan aku... maafkan aku...," sambil menangis.
Tio Sun dan Kwi Beng juga ikut duduk. Dengan duduk begitu, mereka kalah tinggi oleh rumpun ilalang sehingga tidak nampak dari jauh.
"Nona, agaknya ada kesalah fahaman antara kita. Nona mengira bahwa kami adalah anak buah kakek dan nenek iblis di Lembah Naga itu, dan kami mengira bahwa nona adalah kaki tangan mereka yang hendak membunuh kami. Sekarang ceritakanlah dengan jelas, siapakah nona dan mengapa mengira kami anak buah mereka? Bagaimana pula dengan saudara Bun Houw yang kau sebut-sebut tadi?"
"Ah, dia tentu celaka... kalau kalian ada kepandaian, harap lekas selamatkan dia. Dengar, aku adalah Liong Si Kwi, murid dari Hek I Siankouw. Guruku itu sekarang juga berada di Lembah Naga, membantu nenek dan kakek iblis itu. Yap In Hong memang ditawan di sana untuk memancing datangnya musuh-musuh kakek dan nenek itu. Akan tetapi yang muncul adalah Cia Bun Houw dan karena hendak membela nona Yap In Hong, Cia Bun Houw kini pun tertangkap sehingga mereka berdua ditawan. Aku... aku... mencoba untuk membebaskan Cia Bun Houw, akan tetapi gagal dan ketahuan... dan aku..." Dia bicara tergagap-gagap dan memandang lengan kirinya yang buntung.
"Engkau lalu dibuntungi tangan kirimu?" Tio Sun bertanya dan gadis itu mengangguk.
"Betapa kejamnya!" Kwi Beng berseru marah dan mengepal tinju.
Gadis itu memandang kepada mereka berdua bergantian, seakan-akan hendak menaksir apakah benar dua orang pemuda itu boleh diandalkan.
"Kalian hanya berdua saja dan hendak menyerbu Lembah Naga?" tanyanya.
"Benar! Kami berdua akan menyerbu dan membebaskan nona In Hong, bila perlu dengan taruhan nyawa kami!" Kwi Beng berkata dengan penuh semangat.
Si Kwi, gadis yang bernasib malang itu, memandang tajam kepada Kwi Beng, kemudian menarik napas panjang dan berkata lirih, "Aihhh... engkau agaknya juga menjadi korban cinta..."
Kwi Beng menjadi merah mukanya dan mengerutkan dahinya. "Apa? Apa maksudmu?"
"Tidak apa-apa, hanya kiranya amat berbahaya kalau kalian berdua menyerbu Lembah Naga. Kalian tidak tahu betapa berbahayanya itu." Kini sikap Si Kwi sudah tenang kembali dan dia lalu menceritakan keadaan Padang Bangkai yang penuh dengan tempat-tempat berbahaya itu. Dengan jelas dia memberi petunjuk tentang jalan menuju ke Lembah Naga yang harus melewati Padang Bangkai.
"Akan tetapi, anak buah Padang Bangkai sudah dibasmi oleh Cia Bun Houw dan ketua mereka suami isteri kini berada di Lembah Naga juga, maka akan mudahlah bagi kalian untuk menyeberangi padang ini. Biar pun begitu, begitu tiba di Lembah Naga kalian akan menghadapi bahaya besar. Kakek dan nenek itu sudah amat lihai dan berbahaya seperti iblis. Pula, selain mempunyai anak buah sebanyak seratus orang, juga mereka dibantu oleh orang-orang pandai seperti Bouw Thaisu, guruku Hek I Siankouw, kemudian Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li suami isteri ketua Padang Bangkai! Maka kalau hanya kalian berdua yang menyerbu Lembah Naga, bukankah hal itu sama artinya dengan mengantar nyawa sia-sia belaka?"
Akan tetapi Kwi Beng masih tetap bersemangat ada pun Tio Sun tenang saja mendengar cerita itu, sungguh pun di dalam hati masing-masing mereka mengambil keputusan untuk bersikap hati-hati sekali sesudah mendengar penuturan ini. "Aku tidak takut. Bagaimana pun juga aku harus berusaha untuk menolong dan menyelamatkan nona In Hong!"
Tio Sun memandang kepada nona itu dan berkata, "Nona Liong Si Kwi, kami berterima kasih sekali atas segala petunjukmu dan engkau ternyata adalah seorang sahabat yang baik sekali. Bahkan engkau sampai mengorbankan sebelah tanganmu untuk menolong Cia-taihiap."
Mendengar ucapan itu, Si Kwi menunduk dan tidak menjawab, kelihatan berduka sekali. Melihat ini, Tio Sun lalu memberi isyarat kepada Kwi Beng dan mereka berdua segera bangkit berdiri.
"Nona Liong, kami hendak melanjutkan perjalanan ke Lembah Naga. Sekali lagi terima kasih," kata Tio Sun, akan tetapi kini Si Kwi sudah mulai menangis lagi, menelungkup dan memeluki rumput-rumput di tempat itu.
Tio Sun menghela napas dan mengajak Kwi Beng meninggalkan tempat itu, melanjutkan perjalanan ke utara untuk menyeberangi Padang Bangkai yang ternyata amat berbahaya menurut petunjuk Si Kwi tadi. Kwi Beng juga diam saja mengikuti Tio Sun meninggalkan gadis yang masih menangis, dan setelah jauh baru dia bertanya,
"Tio-twako, dia kenapakah?"
Kembali Tio Sun menarik napas panjang. Dia tidak menjawab langsung melainkan berkata lirih seperti kepada dirinya sendiri, "Betapa banyaknya di dunia ini manusia dipermainkan dan menjadi korban cinta..."
"Eh, kenapa ucapanmu seperti nona Liong Si Kwi tadi? Dia juga mengatakan bahwa aku menjadi korban cinta. Apa maksudnya dan apa maksudmu?"
"Aku tidak tahu bagaimana kenyataannya, akan tetapi melihat keadaan gadis itu, menurut dugaanku agaknya tidak salah lagi bahwa dia telah jatuh cinta kepada Cia-taihiap. Karena cintanya maka dia berkhianat dan berusaha menolong Cia-taihiap, namun dia ketahuan sehingga dia dibuntungi tangan kirinya. Sungguh kasihan dia."
Tio Sun menghentikan kata-katanya karena hatinya bagaikan ditusuk ketika dia teringat akan keadaannya sendiri yang juga gagal dalam cintanya. Dia memandang kepada Kwi Beng dan diam-diam dia mengharapkan agar kegagalan yang menyedihkan itu jangan menimpa pemuda tampan ini yang dia tahu benar-benar cinta dan tergila-gila kepada Yap In Hong.
Biar pun mereka telah memperoleh petunjuk yang amat lengkap dari Si Kwi, akan tetapi dua pemuda itu melakukan perjalanan dengan hati-hati sekali melewati Padang Bangkai dan benar-benar seperti cerita gadis tadi, dusun Padang Bangkai itu sudah kosong dan ditinggalkan penghuninya sehingga tanpa banyak kesukaran mereka dapat melewatinya dan menuju ke Lembah Naga.
********************
Pohon di tepi padang rumput itu besar dan rimbun sehingga enak duduk beristirahat di dalam bayangannya di siang hari yang terik itu. Akan tetapi kakek tua renta yang sedang duduk di bawah pohon itu agaknya tidak lagi dapat menikmati kesejukan yang diberikan oleh kerindangan pohon itu kepada siapa saja yang berlindung dari panas matahari di bawahnya, karena seluruh perhatian kakek tua renta itu dicurahkan ke atas sebuah papan catur, dan tangannya menjalankan biji-biji catur putih dan hitam silih berganti.
Dia sedang bertanding catur melawan dirinya sendiri! Kadang-kadang kakek tua renta itu menarik napas panjang seperti orang yang kecewa sekali sebab tidak memperoleh musuh bertanding yang tentu akan menggembirakan sekali.
Kakek itu sudah sangat tua, usianya sukar ditaksir karena paling sedikit tentu sudah ada seratus tiga puluh tahun! Seluruh rambut, kumis serta jenggotnya sudah putih semua, mukanya penuh keriput, pakaiannya serba putih sederhana dan tubuhnya kurus sehingga kelihatan tulang terbungkus kulit yang sudah tipis.
Segala sesuatu pada diri kakek ini tampak tua sekali, kecuali kedua matanya! Sepasang mata itu lembut dan masih jernih, memandang dunia secara terbuka dan seolah-olah tidak ada rahasia lagi bagi sepasang mata yang sudah amat lama memandang dunia ini.
Seorang dara remaja yang cantik duduk di dekatnya. Dara ini usianya kurang lebih lima belas tahun, cantik manis dan pakaiannya juga amat sederhana, bahkan sudah ada dua tambalan di bagian pundaknya. Wajah gadis ini membayangkan bahwa dia memiliki watak yang jenaka dan gembira, namun pandang matanya yang tajam itu pun menunjukkan kekerasan hati yang sukar ditundukkan.
Semenjak tadi dara remaja ini menjadi penonton, melihat betapa kakek itu bermain catur sendiri. Akan tetapi lama-kelamaan dia menjadi bosan dan tidak sabar. Kakek ini adalah seorang pemain catur yang ahli, maka meski pun dia sendiri sudah bisa bermain catur, namun dia bukan lawan kakek itu dan dia tidak mau menandingi kakek itu karena akan dapat dikalahkan dengan amat mudah. Kini, sebagai penonton pun dia mulai bosan.
Kembali kakek tua renta itu menarik napas panjang dan wajahnya yang tua itu kelihatan berduka. Kerut-merut pada dahinya bertambah dan sepasang matanya ditujukan ke atas papan catur seperti orang sedang melamun. Dia tidak tahu bahwa sejak tadi dara remaja itu memandang wajahnya dan kelihatan semakin tidak sabar.
"Suhu, kalau suhu tidak senang bermain catur sendiri, mengapa suhu memaksa diri?"
Teguran ini membuat si kakek seperti orang terkejut dan dia menoleh ke arah dara itu.
"Hemmm...? Apa...?" katanya pikun.
"Teecu tahu bahwa suhu suka sekali bermain catur, akan tetapi sudah beberapa hari ini bila suhu bermain catur, selalu terlihat berduka dan berulang kali menarik napas panjang. Jika permainan itu hanya mendatangkan kekecewaan dan kedukaan, kenapa suhu tidak berhenti saja?"
Kakek itu memandang kepada muridnya dan kembali dia menghela napas panjang, lalu bersandar ke batang pohon besar itu dan pandang matanya melayang jauh ke depan. Kakek tua renta ini bukan lain adalah Bun Hwat Tosu, seorang tosu yang sudah tua sekali dan puluhan tahun yang lalu pernah menjadi ketua Hoa-san-pai, akan tetapi kemudian mengundurkan diri dari dunia ramai dan hidup berkelana ke tempat-tempat sunyi.
Di dalam cerita Petualang Asmara diceriterakan bahwa tosu yang amat lihai ini pernah menjadi guru dari pendekar Yap Kun Liong, kemudian dia menghilang dan tak ada kabar ceritanya lagi, bertapa di puncak-puncak gunung dan di goa-goa tepi laut. Akan tetapi, seperti telah diceritakan di bagian depan, kakek ini muncul dan telah menolong Yap Mei Lan, puteri dari Yap Kun Liong. Dara remaja itu adalah Yap Mei Lan yang telah setahun lebih lamanya ikut kakek ini dan menjadi muridnya, sama sekali tidak tahu bahwa kakek yang menjadi gurunya ini adalah guru dari ayahnya sendiri!
Mendengar ucapan muridnya itu, Bun Hwat Tosu lalu menarik napas panjang. Kemudian terdengar dia berkata lirih, seperti kepada dirinya sendiri, "Melihat kelemahan diri sendiri, siapa yang tidak menjadi sedih? Sudah puluhan tahun lamanya aku berhasil melepaskan keduniawian, tidak membutuhkan apa-apa lagi, tidak menginginkan apa-apa lagi, hidup dengan bebas dan bahagia karena tidak dirongrong oleh pikiran dan keinginan sendiri. Akan tetapi sekarang...!"
"Memang sekarang bagaimana, suhu?" gadis itu mendesak sambil menatap wajah tua yang menimbulkan rasa iba di dalam hatinya itu.
"Kau lihatlah sendiri, aku kegilaan bermain catur! Aku rindu akan adanya seorang lawan bertanding catur, seorang lawan yang kuat, persis seperti kesenangan yang kucari-cari puluhan tahun yang lalu ketika aku selalu mencari-cari seorang lawan bermain silat yang kuat. Dan perasaan ingin ini selalu mengejar-ngejarku, bahkan dalam mimpi! Akan tetapi hingga sekarang aku belum juga mendapatkan lawan yang seimbang dan menyenangkan. Bukankah itu menyedihkan sekali? Ini tandanya bahwa aku sebenarnya belum mati, dan kebebasan yang lalu itu bukan lain hanya mimpi belaka. Kini aku terbangun dan melihat bahwa yang lalu itu hanya merupakan mimpi, maka betapa menyedihkan itu!"
"Memang suhu belum mati." kata pula si dara yang menjadi bingung oleh kata-kata yang dianggapnya tidak karuan artinya itu.
"Kalau saja sudah, alangkah baiknya!" kakek itu menghela napas panjang. "Akan tetapi kematian jasmani tidaklah terlalu penting, namun yang terpenting adalah mati dari semua keinginan dan kehendak, mati aku-nya, mati keinginannya mengejar kesenangan."
Dara remaja yang cantik itu mengerutkan alisnya yang bentuknya indah seperti dilukis.
"Akan tetapi, suhu. Apa bila sudah mati keinginannya, sudah mati kehendaknya mengejar kesenangan, bila sudah tidak butuh kesenangan lagi, bukankah hal itu sama saja dengan hidup seperti sebatang pohon yang suhu sandari itu? Bukankah hidup seakan tidak ada gunanya lagi?"
Kakek itu tersenyum, senyum yang sudah lama tidak nampak oleh dara itu. "Justru sebaliknya, muridku. Hanya orang yang sudah tidak ingin mengejar kesenangan sajalah yang dapat menikmati kesenangan yang sesungguhnya! Hanya orang yang sudah tak ingin mengejar kebahagiaan sajalah yang betul-betul bahagia. Orang yang tidak puas saja yang mengejar kesenangan yang dianggapnya akan mengisi kekosongannya, akan memuaskannya. Akan tetapi setelah yang dikejarnya didapatkan, ketidak puasan itu tetap akan menghantuinya, dirinya akan selalu penuh ketidak puasan sehingga hidupnya selalu menjadi sengsara."
"Akan tetapi, apakah kita lalu harus memantang kesenangan dan menjauhi kepuasan?" dara itu mengejar terus, wajahnya membayangkan penasaran.
“Sama sekali bukan, Mei Lan. Bukan menantang atau menolak kesenangan, melainkan TIDAK MENGEJAR, tidak memanjakan dan tidak memusuhi. Kalau sudah begitu, barulah segala saat dalam hidup merupakan kesenangan karena hidupnya adalah kesenangan itu sendiri! Bukan menjauhi kepuasan, melainkan tidak menginginkan kepuasan karena kalau sudah demikian, barulah setiap saat merasa puas karena hidupnya adalah kepuasan itu sendiri!"
"Akan tetapi, kalau sudah tidak memiliki keinginan apa-apa lagi, bukankah itu sama saja dengan mati?"
"Nah, itulah! Mati dalam hidup! Jasmaninya memang hidup dan baru benar-benar hidup apa bila semua keinginan yang timbul dari si aku yang selalu mengejar kesenangan dan keenakan itu sudah mati. Dan celakanya, aku sendiri belum mati, yang kusangka sudah mati puluhan tahun ini hanya mimpi belaka! Dan semua gara-gara papan catur ini!" Dia berkata gemas dan memandang ke arah papan caturnya. "Aku menjadi kegilaan bermain catur, menjadi pecandu catur, bahkan di dalam hati aku telah bersumpah bahwa aku tidak akan mau mati sebelum berjumpa dengan seorang lawan catur yang setingkat! Aihhh…, sungguh aku seorang tua yang tolol!" Bun Hwat Tosu yang biasanya bersikap halus itu, kini menengadahkan mukanya ke atas, mengepal tinju dan berteriak keras, "Haii, segala dewa! Turunlah dan mari bertanding catur melawan aku!"
Tiba-tiba terdengar suara yang bergema, tidak jelas dari mana datangnya. "Bagus! Aku datang memenuhi tantanganmu, tua bangka sinting!"
Tentu saja Mei Lan menjadi terkejut bukan main dan biar pun dia tergolong seorang anak yang pemberani dan tidak mudah merasa ngeri atau takut, sekali ini dia merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Benarkah muncul setan atau dewa di tengah hari yang terik dan terang itu? Benarkah suara dewa dari angkasa yang menyambut tantangan suhu-nya itu?
Dia bangkit dan memandang ke kanan kiri, namun sunyi saja. Ketika dia menoleh kepada suhu-nya, dia melihat kakek itu tersenyum memandang ke depan. Mei Lan mengikuti arah pandang mata gurunya dan sekarang dia melihat betapa rumpun ilalang jauh di depan itu bergerak-gerak ujungnya dan tampak bayangan orang berkelebat bagai terbang melayang di atas rumpun ilalang itu! Dia memandang terbelalak penuh kekaguman...
Selanjutnya,