Dewi Maut Jilid 42
DUA orang kakek dan nenek itu berusaha mengelak dan beberapa kali mereka berhasil, akan tetapi akhirnya mereka terkena juga oleh pukulan sakti itu dan keduanya seperti daun kering tertiup angin, terlempar lantas terguling-guling. Akan tetapi, kembali mereka bangkit sambil tertawa-tawa tanpa menderita luka sedikit pun.
Sekarang mengertilah Kok Beng Lama bahwa dua orang lawannya itu benar-benar telah menciptakan ilmu yang amat mukjijat dan tubuh mereka telah terlindung oleh kekebalan yang bahkan tidak dapat ditembus oleh tenaga Thian-te Sin-ciang. Kok Beng Lama yang melihat betapa kini mata kiri Hek-hiat Mo-li telah rusak dan buta, maklum bahwa agaknya hanya pada bagian mata saja dari dua orang itu yang tidak kebal, maka dia kini selalu mengarahkan serangannya kepada mata mereka.
Akan tetapi, tentu saja dua orang itu sudah melindungi mata mereka dan amat sukarlah bagi Kok Beng Lama kalau hanya menyerang ke arah mata saja sedangkan dua orang lawannya membalas dengan serangan-serangan tongkat mereka yang ampuh ke seluruh bagian tubuhnya. Dan kakek raksasa dari Tibet ini harus mengakui bahwa bagi dia, yang kebal dan berani menerima senjata pusaka lawan hanyalah kedua lengannya, sedangkan tubuh bagian lain tentu saja tidak berani menerima totokan-totokan tongkat yang sangat berbahaya itu. Dengan sendirinya, karena kurang sasaran, dia mulai terdesak hebat oleh kakek dan nenek iblis itu.
Juga Kun Liong dan Giok Keng telah terdesak hebat saking banyaknya fihak lawan yang mengeroyok. Bahkan Kun Liong sendiri yang sudah amat tinggi ilmunya, menjadi sangat kewalahan menghadapi pengeroyokan banyak orang pandai. Pendekar ini makin khawatir menyaksikan keadaan yang berbahaya itu, apa lagi sesudah dia melihat bahwa di sana terdapat pula puterinya dan Lie Seng yang bagaimana pun juga harus dapat diselamatkan keluar dari tempat itu.
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai yang gegap gempita, kemudian muncullah pasukan yang langsung menyerbu tempat pertempuran dan menyerang anak-anak buah Lembah Naga. Ternyata itu adalah pasukan pengawal dari kota raja, dipimpin oleh komandan pasukan pengawal Kim-i-wi (Pasukan Pengawal Berbaju Emas), yaitu Lee Cin, dan dibantu pula oleh seorang tokoh pengawal tua yang dahulu amat terkenal, yaitu Tio Hok Gwan ayah dari Tio Sun!
Tentu saja Tio Sun dan Kwi Beng girang bukan main melihat datangnya pasukan ini, apa lagi Tio Sun yang juga melihat ayahnya datang membantu. Dua orang pemuda ini terharu juga ketika melihat bahwa pasukan itu mempunyai seorang penunjuk jalan yang bukan lain adalah gadis cantik yang buntung lengan kirinya sebatas pergelangan tangan, yaitu Liong Si Kwi!
Memang sesungguhnya Si Kwi yang menjadi penunjuk jalan. Gadis ini bertemu dengan rombongan pasukan itu di luar Padang Bangkai, dan dia langsung menemui komandan pasukan itu, menceritakan mengenai keadaan Lembah Naga dan mengenai bahayanya melalui Padang Bangkai. Maka dia sendiri lalu menjadi penunjuk jalan sehingga semua pasukan dapat melalui Padang Bangkai dengan selamat dan tiba di Lembah Naga pada waktu di lembah ini terjadi pertempuran hebat itu. Andai kata tidak ada penunjuk jalan ini, agaknya akan banyak prajurit yang menjadi korban keganasan tempat-tempat berbahaya di Padang Bangkai.
Hek I Siankouw marah sekali melihat bahwa muridnya yang menjadi penunjuk jalan bagi pasukan pemerintah itu, akan tetapi dia tidak dapat melampiaskan kemarahannya karena kini keadaannya menjadi berubah sama sekali. Jumlah pasukan pemerintah itu seratus lima puluh orang dan mereka adalah pasukan Kim-i-wi yang terdiri dari prajurit-prajurit pengawal pilihan sehingga rata-rata memiliki kepandaian yang tinggi. Maka begitu mereka menyerbu, pasukan anak buah Lembah Naga segera terdesak hebat.
Kini, dengan bantuan Si Kwi, Mei Lan berhasil membebaskan Tio Sun dan Kwi Beng, dan kedua orang pemuda itu langsung terjun ke dalam gelanggang pertempuran, mengamuk dengan hebatnya! Juga Mei Lan tidak tinggal diam, mendampingi Lie Seng mengamuk pula. Hanya Si Kwi yang menjauh dan tidak ikut dalam pertempuran, karena bagaimana pun juga, dia merasa sungkan kepada subo-nya, dan menjauhkan diri, hanya menonton dengan hati tegang.
Munculnya pasukan Kim-i-wi membuat pertandingan antara tokoh-tokoh dua belah fihak menjadi seimbang dan makin seru. Kun Liong yang tahu akan kelihaian Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, sudah menerjang dan membantu ayah mertuanya, Kok Beng Lama sehingga kakek dan nenek itu terpecah menjadi dua. Kun Liong melawan Hek-hiat Mo-li sedangkan Kok Beng Lama melawan Pek-hiat Mo-ko.
Bouw Thaisu dihadapi oleh Giok Keng yang dibantu Kwi Beng, ada pun Hek I Siankouw berhadapan dengan Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan yang dibantu oleh puteranya sendiri, Tio Sun. Sedangkan Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, Coa-tok Sian-li, mengamuk dikeroyok oleh pasukan Kim-i-wi.
Perang kecil antara anak buah Lembah Naga melawan pasukan Kim-i-wi terjadi berat sebelah dan fihak anak buah Lembah Naga mulai berjatuhan. Hanya pertandingan antara para tokoh masih berlangsung seru dan ramai sekali karena keadaan mereka seimbang. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara yang halus namun amat berwibawa dan suara ini menembus semua suara hiruk pikuk pertempuran itu, seolah-olah datang dari angkasa.
"Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, tahan senjata! Para cu-wi sekalian, harap mundur dan biarkan saya menyelesaikan urusan pribadi dengan mereka!"
Mendengar suara yang penuh wibawa dan halus ini, Kok Beng Lama sudah meloncat mundur dan terdengarlah suaranya yang mengguntur, "Semuanya mundur, biarkan ketua Cin-ling-pai bicara dengan mereka!"
Suara Pendekar Sakti Cia Keng Hong tadi ditambah dengan suara Kok Beng Lama ini cukup berpengaruh untuk membuat semua yang bertanding mundur dengan sendirinya, terbagi menjadi dua kelompok. Cia Keng Hong yang sudah berada di situ kini melangkah maju dan berkata dengan suara lantang,
"Pek-hiat Mo-ko, bukankah engkau dan Hek-hiat Mo-li mengharapkan kedatanganku?"
Dari fihak Lembah Naga muncullah Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, membawa tongkat butut mereka sambil memandang kepada pendekar sakti itu dengan sinar mata marah karena kedua orang kakek dan nenek ini memang marah sekali menyaksikan betapa fihaknya menderita banyak kerugian dalam pertempuran tadi.
"Ketua Cin-ling-pai, engkau mau bicara apa?" bentak Pek-hiat Mo-ko.
Dengan sekilas pandang saja Cia Keng Hong sudah melihat bahwa fihaknya sebetulnya lebih kuat, apa lagi di situ terdapat Kok Beng Lama dan Yap Kun Liong, juga terdapat pasukan Kim-i-wi yang kuat dan banyak jumlahnya. Akan tetapi, dia tidak ingin melihat banyak orang menjadi korban dan terlibat dalam urusan ini, maka dia lalu berkata,
"Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, tadinya, saat mendengar bahwa kalian telah menahan Siang-bhok-kiam sebagai pusaka Cin-ling-pai, saya menganggap bahwa kalian memang sengaja ingin menentang dan menantang kami dari fihak Cin-ling-pai. Akan tetapi, kalian kemudian menculik Yap In Hong dari kota raja. Apakah sebenarnya maksud hati kalian? Bila hanya untuk urusan Siang-bhok-kiam dan kalian maksudkan untuk menantang kami, tidak perlu kita mengorbankan banyak orang, cukup hal ini diselesaikan di antara kita saja. Oleh karena itu, sebelum pertempuran berlarut-larut, saya datang dan minta agar engkau suka membebaskan Yap In Hong. Kemudian tentang Siang-bhok-kiam, mari kita perebutkan dengan adu kepandaian."
"Hemm, orang she Cia! Memang sesungguhnya kami sudah lama mengharap-harapkan kedatanganmu! Memang kami sengaja menahan Siang-bhok-kiam untuk mencoba sampai di mana kelihaian ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi bukan untuk itu saja! Kami menahan nona Yap untuk menentang semua pembantu mendiang The Hoo, musuh besar kami itu. Oleh karena dia sudah mati, maka biarlah semua bekas pembantu beserta sahabatnya mewakilinya untuk menyerahkan nyawa kepada kami!"
"Mo-ko dan Mo-li!" Cia Keng Hong membentak. "Caramu sangat curang! Apa bila kalian menantang mendiang Panglima The Hoo, biarlah saya sekalian yang menjadi wakilnya. Kau bebaskan Yap In Hong dan mari kita selesaikan dengan kepandaian antara kita."
"Kongkong! Dua iblis itu juga menahan paman Cia Bun Houw!" Tiba-tiba terdengar suara Lie Seng berteriak.
Mendengar ucapan ini, berkerut kening ketua Cin-ling-pai. Sungguh dia belum tahu bahwa puteranya juga tertawan. Sekarang dia memandang tajam kepada mereka dan bertanya, "Benarkah itu?"
"Benar, dan engkau hanya dapat membebaskan puteramu melalui mayat kami!" Hek-hiat Mo-li berkata dan langsung nenek ini menerjang dengan tongkatnya.
"Bagus, kalau begitu terpaksa hari ini aku melenyapkan kalian!" Cia Keng Hong berkata sambil mengelak dan segera balas menyerang. Maka berlangsunglah pertandingan yang sangat seru dan mengagumkan antara ketua Cin-ling-pai dengan kedua orang kakek dan nenek iblis itu.
Cia Keng Hong adalah seorang pendekar sakti yang amat tinggi kepandaiannya. Biar pun kini usianya sudah kurang lebih enam puluh lima tahun, namun kehidupan yang bersih membuat tubuhnya masih tegap dan kuat, kesehatannya baik sekali sehingga biar pun sudah lama dia tidak pernah terjun ke dunia kang-ouw, namun gerakan-gerakannya ketika bertanding tidak kelihatan kaku karena dia selalu berlatih diri di puncak Cin-ling-pai.
Dengan ilmunya yang sangat tinggi, yakni Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun, dia menghadapi tongkat kakek dan nenek itu, dan selalu dapat menghindarkan diri dengan mudah, bahkan sebaliknya dia telah mendesak kedua orang lawannya dengan pukulan-pukulan sakti dari Thai-kek Sin-kun.
Akan tetapi, seperti juga dengan Kok Beng Lama, setiap kali pendekar sakti ini berhasil ‘memasukkan’ pukulannya dan dengan tepat berhasil menghantam mereka, baik Mo-ko mau pun Mo-li hanya terpelanting dan bergulingan saja, kemudian meloncat bangun lagi sambil tertawa dan menyerang lebih hebat lagi!
Cia Keng Hong menjadi terkejut sekali. Sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, maklumlah dia bahwa dua orang lawannya itu telah memiliki ilmu kekebalan yang mukjijat! Biasanya, ilmu kekebalan yang mukjijat seperti itu diperoleh dengan cara yang tidak lumrah, dengan ilmu yang mendekati ilmu hitam yang mengerikan dan biasanya hanya dapat dipecahkan apabila orang menguasai rahasianya. Setiap ilmu kekebalan yang didapat secara tidak wajar melalui ilmu hitam pasti ada rahasia kelemahannya, dan tanpa mengetahui akan rahasia kelemahan itu, sukarlah melukai mereka!
Pada saat itu, Pek-hiat Mo-ko menghantamkan tongkatnya ke arah kepala Cia Keng Hong dari samping kanan, sedangkan dari kiri Hek-hiat Mo-li menusukkan ujung tongkat dengan totokan-totokan maut ke arah lambung. Cia Keng Hong segera menggerakkan kakinya, menggeser kedudukan tubuhnya lantas secepat kilat dia menangkis dengan lengannya, bukan menangkis tongkat melainkan langsung menangkis lengan Pek-hiat Mo-ko dengan mendorongkan tubuhnya ke depan.
"Plakkkk!"
Cia Keng Hong terpaksa menggunakan ilmunya yang paling dirahasiakan dan yang jarang dikeluarkan karena limu ini memang amat mukjijat, yaitu Thi-khi I-beng! Seperti telah kita ketahui, di dunia pada waktu itu hanya ada dua orang saja yang menguasai Thi-khi I-beng, yaitu pertama Cia Keng Hong dan kedua adalah Yap Kun Liong, karena hanya kepada Yap Kun Liong saja ketua Cin-ling-pai ini menurunkan ilmu mukjijat itu. Bahkan dua orang anaknya, Giok Keng dan Bun Houw, tidak diwarisi ilmu itu.
Tentu saja dibandingkan dengan Thi-khi I-beng yang dimiliki Kun Liong, tenaga Cia Keng Hong jauh lebih kuat. Maka begitu kedua lengan bertemu, Pek-hiat Mo-ko terkejut bukan main karena lengannya melekat dan ada tenaga sedot yang luar biasa dari lawan, yang menyedot tenaga sinkang-nya. Akan tetapi, kakek bermuka putih ini cepat menghentikan pengerahan tenaga sinkang-nya dan sebagai gantinya, dia mengeluarkan ilmu kebalnya dan... daya sedot dan tempel itu lenyaplah!
Cia Keng Hong terkejut bukan main! Tadinya dia tahu bahwa di dunia hanya ada tiga orang tokoh yang mampu menghadapi Thi-khi I-beng, bahkan dapat membuyarkan tenaga Thi-khi I-beng. Pertama adalah mendiang Tiang Pek Hosiang yang telah meninggal dunia, kedua adalah Bun Hwat Tosu, dan ketiga adalah Kok Beng Lama. Siapa tahu sekarang agaknya kakek dan nenek ini pun menguasai ilmu kekebalan yang dahsyat membuyarkan tenaga Thi-khi I-beng pula!
Tidak ada seorang pun yang berani maju membantu Cia Keng Hong karena dalam hal pertandingan mengadu ilmu seperti itu, bantuan merupakan penghinaan bagi pihak yang dibantu. Akan tetapi Kok Beng Lama yang sejak tadi menonton dengan penuh perhatian, maklum pula bahwa ilmu kekebalan dua orang kakek dan nenek iblis itu agaknya juga membuat ketua Cin-ling-pai yang lihai itu kewalahan. Dia sendiri tadi sudah merasakan kehebatan kakek dan nenek iblis itu, maka dia dapat menduga bahwa tanpa dibantu, agaknya ketua Cin-ling-pai itu mungkin sekali akan kalah!
"Ha-ha-ha!" Kok Beng Lama tertawa. "Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li agaknya bukan hanya mengandalkan ilmu kekebalan dari iblis itu, tetapi juga mengandalkan kecurangan dan sifat pengecut mereka. Mereka maju berdua menghadapi seorang lawan, sungguh kakek dan nenek tua bangka hampir mampus yang tidak tahu malu sama sekali!" Suara raksasa dari Tibet ini memang keras dan nyaring sekali, sehingga terdengar sampai jauh dan memasuki telinga kakek dan nenek itu seperti ratusan jarum yang menusuk langsung ke jantung.
Pek-hiat Mo-ko yang cerdik maklum bahwa pendeta Lama itu sengaja hendak membakar hati mereka, karena itu dia menulikan telinga dan diam saja tidak menjawab, melainkan mendesak Cia Keng Hong dengan tongkatnya. Namun tidaklah demikian dengan Hek-hiat Mo-li.
Nenek ini merasa bahwa ilmu kekebalannya cukup dapat diandalkan dan telah dibuktikan ketika dia menghadapi lawan-lawan tangguh seperti Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong. Memang, dalam hal ilmu silat, agaknya dia dan Pek-hiat Mo-ko tidak mampu menandingi ketua Cin-ling-pai atau pendeta Tibet itu, akan tetapi dengan perlindungan ilmu kekebalan mereka, musuh-musuh itu mampu berbuat apakah? Hal ini membesarkan hatinya, maka pada saat mendengar ejekan dan penghinaan Kok Beng Lama, dia tidak dapat menahan kemarahannya.
"Pendeta gundul! Siapa takut padamu? Majulah kalau sudah bosan hidup!" tantangnya.
"Ha-ha-ha! Ketua Cin-ling-pai, aku sama sekali bukan membantumu, akan tetapi aku malu karena aku ditantang oleh nenek gila itu, ha-ha." Kok Beng Lama sudah melangkah lebar dan memasuki gelanggang pertempuran.
Tentu saja Cia Keng Hong tidak bisa melarang dan biar pun dia merasa kurang senang karena masuknya Kok Beng Lama seolah-olah menurunkan kehormatannya, seolah-olah dia sudah kewalahan, namun sesungguhnya memang harus diakui bahwa tanpa dibantu oleh Kok Beng Lama, agaknya tidak mungkin dia dapat mengalahkan kakek dan nenek yang kebal dan tidak dapat terluka ini.
Tepat pada saat itu pula, terdengar suara keras disusul suara bangunan roboh dan debu mengebul tinggi! Suara hiruk-pikuk ini datangnya dari perkampungan Lembah Naga dan semua orang menengok dan otomatis pertempuran itu pun terhenti. Di antara debu-debu yang mengebul tinggi, muncullah dua orang lelaki dan wanita. Mereka ini ternyata adalah Cia Bun Houw dan Yap In Hong yang kemudian datang sambil bergandengan tangan! Wajah mereka berseri-seri dan agak kemerahan, dua pasang mata itu mencorong aneh.
"Omitohud...! Mereka berhasil menyatukan Thian-te Sin-ciang sampai di puncaknya!" seru Kok Beng Lama dengan kagum dan juga heran. Dari pandangan mata dua orang muda itu pendeta Lama ini tentu saja dapat mengenal pancaran Ilmu Thian-te Sin-ciang. Dan memang benarlah apa yang disangkanya itu.
Seperti telah kita ketahui, sesudah Cia Bun Houw dan Yap In Hong terbebas dari mala petaka yang akan mencemarkan nama baik serta kehormatan mereka, lolos dari racun pembangkit nafsu birahi di dalam kamar tahanan, Cia Bun Houw lalu menyalurkan tenaga Thian-te Sin-ciang, melatih dan memperkuat tenaga yang sudah dimiliki In Hong.
Ketika diam-diam Yap Mei Lan datang ke kamar tahanan, mereka berdua masih melatih diri dan menghimpun tenaga Thian-te Sin-ciang dengan duduk saling berhadapan dalam keadaan bersila dan kedua telapak tangan mereka saling bertemu dan menempel, Mei Lan dapat menyelinap ke tempat tahanan karena semua anak buah Lembah Naga sudah keluar dan bersiap-siap menghadapi musuh yang datang menyerbu. Karena Mei Lan tidak berhasil menyadarkan mereka dari luar pintu kamar tahanan, maka terpaksa Mei Lan lalu meninggalkan sehelai daun yang sudah dia tulisi dan meninggalkan tempat itu.
Pada saat itu, sudah sehari semalam Bun Houw dan In Hong menghimpun tenaga dan akhirnya mereka merasa bahwa tenaga Thian-te Sin-ciang sudah mencapai tingkat yang amat tinggi, terasa sampai ke ubun-ubun kepala mereka. Maka, mereka menghentikan latihan itu dan begitu mereka sadar, mereka mendengar suara ribut-ribut di luar kamar tahanan.
Suara itu terdengar agak jauh, tapi kini pendengaran mereka ternyata menjadi jauh lebih tajam sehingga seolah-olah mereka mendengar semua yang terjadi di luar itu seperti di dekat mereka saja, bahkan Bun Houw mengenal hawa pukulan ayahnya yang bertanding melawan dua orang kakek dan nenek iblis itu.
"Eh, lihat ini...!" kata In Hong sambil memungut daun yang berada di kamar itu. Kiranya itulah daun yang sudah ditinggalkan oleh Mei Lan dengan menyelipkannya di antara celah di bawah pintu kamar tahanan yang kokoh kuat itu.
Mereka lalu membaca tulisan di atas daun yang dilakukan dalam keadaan tergesa-gesa, namun cukup jelas untuk dibaca.
‘Kelemahan Hek Pek berada di antara lutut ke bawah.’
Hanya itulah kata-kata yang tercoret di atas daun, akan tetapi semua itu telah cukup bagi Bun Houw dan In Hong. "Entah siapa yang menulis ini dan entah benar ataukah hanya bohong, akan tetapi kita harus keluar dari sini sekarang juga, Hong-moi!"
In Hong memandang dan terkejutlah Bun Houw ketika dia melihat sinar mata gadis di depannya itu. Juga In Hong terkejut ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata pemuda itu. Sinar mata mereka mencorong dan berkilat!
“Kenapa, Houw-ko?”
“Matamu... Hong-moi, matamu...”
“Kenapa?”
“Bukan main indahnya...”
“Matamu juga mencorong dengan sinar aneh, Houw-ko, seperti mata gurumu...”
“Benar, seperti mata suhu. Bukan hanya guruku, akan tetapi gurumu juga.”
“Mari kita keluar.”
“Kita coba lagi menggunakan tenaga Thin-te Sin-ciang.”
Mereka berdua bangkit berdiri dan menghampiri pintu besi, lalu mengerahkan tenaga dan menghantan ke arah daun pintu yang kokoh kuat itu. Itulah suara keras yang terdengar oleh semua orang dan membuat semua orang menghentikan pertempuran.
Tenaga mereka demikian dahsyatnya sehingga bukan hanya daun pintu besi saja yang bobol, akan tetapi juga bangunan tempat tahanan itu roboh dan debu mengepul tinggi dan tebal. Mereka berdua lalu keluar dengan wajah berseri karena mereka merasa girang sekali bahwa usaha mereka berlatih diri dan menyatukan Thian-te Sin-ciang tadi sudah berhasil baik sekali.
Bun Houw yang pendengarannya menjadi sangat tajam, tadi sudah tahu bahwa yang bertanding melawan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li adalah ayahnya dan gurunya, dan melihat keadaan dua orang kakek dan nenek iblis itu, agaknya ayahnya beserta gurunya belum berhasil memperoleh kemenangan, maka bersama In Hong dia segera melangkah maju menghampiri dan berkatalah Bun Houw, suaranya nyaring sekali,
“Ayah! Suhu! Mereka berdua mempunyai perhitungan yang harus dibereskan sekarang juga dengan kami berdua, oleh karena itu harap ayah dan suhu sudi mundur dulu untuk membereskan perhitungan itu.”
Kakek dan nenek itu terkejut bukan kepalang ketika melihat dua orang muda itu ternyata dapat membobol tahanan. Mereka maklum bahwa sesudah dua orang itu dapat keluar, maka tidak mungkin lagi mereka mengelakkan pertandingan mati-matian. Maka mereka lantas berteriak memberi aba-aba kepada semua pembantu mereka, sedangkan mereka sendiri langsung menerjang Bun Houw dan In Hong.
Bun Houw diserang oleh Pek-hiat Mo-ko sedangkan In Hong diserang oleh Hek-hiat Mo-li. Dua orang muda ini mengeluarkan teriakan meleking nyaring dan menyambut serangan mereka dengan dahsyat.
“Desss...!”
“Desss...!”
Kakek dan nenek itu terlempar ke belakang oleh hawa pukulan Thian-te Sin-ciang yang amat kuat. Mereka terbanting dan bergulingan, namun mereka meloncat bangun lagi dan menyerang kembali dengan lebih ganas, disambut oleh Bun Houw serta In Hong yang maklum bahwa mereka itu mempunyai kekebalan mukjijat, bahkan yang mampu menahan pukulan Thian-te Sin-ciang.
Akan tetapi mereka berdua sudah tahu dimana letak kelemahan kakek dan nenek iblis itu. Mulailah mereka menunjukan pukulan-pukulan balasan mereka ke bawah, ke arah kaki di bawah lutut kakek dan nenek itu yang merasa terkejut sekali dan selalu melindungi agar kedua kaki mereka tidak sampai terpukul.
Sementara itu, semua pembantu Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li juga sudah bergerak, akan tetapi kini Kok Beng Lama, Cia Keng Hong, Cia Giok Keng, Yap Kun Liong, Tio Hok Gwan, Tio Sun, Souw Kwi Beng dan pasukan kota raja mengamuk menyambut mereka. Terjadilah pertempuran hebat sekali, pertempuran mati-matian yang berat sebelah karena pihak Lembah Naga kini jauh kalah kuat, baik para tokohnya mau pun anak buahnya.
Bouw Thaisu yang paling sakti di antara pembantu Lembah Naga, kini dihadapi oleh Kok Beng Lama yang selalu tertawa-tawa mengejek tosu tua itu, “Ha-ha, tosu bau, sungguh engkau menyalahi pelajaran Agama To dengan membantu orang-orang busuk semacam kakek dan nenek iblis itu! Ehh, tosu bau, apakah pelajaran-pelajaran dan ayat-ayat suci itu hanya untuk pamer belaka?”
“Lama sombong, tutup mulutmu! Pinto tidak membantu orang, melainkan ingin menuntut kematian mendiang Thian Hwa Cinjin sahabat pinto.”
“Tentu sahabatmu itu pun bukan orang baik-baik!” kata Kok Beng lama.
“Benar, locianpwe. Sahabatnya itu adalah bekas ketua Pek-lian-kauw wilayah timur yang tewas di tangan saya!” Cia Giok Keng yang mendengar percakapan itu berseru kepada guru adiknya itu, sedangkan dia sendiri menghadapi pengeroyokan beberapa orang anak buah Lembah Naga.
“Ha-ha-ha-ha, kiranya sahabatmu itu orang Pek-lian-kauw? Pantas saja!”
Kok Beng Lama mendesak hebat, akan tetapi Bouw Thaisu adalah seorang yang tinggi ilmunya pula maka dia dapat menghindar dengan gesit dan membalas dengan serangan yang cukup dahsyat untuk merobohkan lawannya yang selalu tertawa mengejeknya itu. Lengan bajunya menyambar-nyambar dengan ganas dan dari ujung kedua lengan baju itu menyambar tenaga sinkang yang cukup kuat untuk menghancurkan batu karang atau pun menumbangkan sebatang pohon sebesar tubuh manusia!
Akan tetapi dengan enaknya Kok Beng Lama menangkis kedua ujung lengan baju yang menyambar-nyambar itu dengan kedua tangan kosong saja, bahkan setiap tangkisannya membuat kedua lengan baju Bouw Thaisu tergetar hebat...
Hek I Siankouw juga menghadapi lawan yang terlalu berat baginya, yaitu pendekar Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai! Walau pun dia telah memainkan pedang hitamnya dengan sekuat tenaga, juga kadang kala dia mempersiapkan Hek-tok-ting (Paku Beracun Hitam) yang berbahaya itu, namun dia tidak banyak berdaya menghadapi ketua Cin-ling-pai ini. Padahal pendekar sakti ini sama sekali tak menggunakan senjata, hanya menggerakkan kedua tangan dan kaki untuk menghadapi nenek berpakaian hitam ini.
Pedang hitam di tangan Hek I Siankouw mengeluarkan suara berdesing saat menyambar-nyambar ganas, namun semua sambaran itu dapat dielakkan oleh Cia Keng Hong dengan mudah, dan kalau sekali-kali ada sinar hitam paku beracun yang menyambar, paku itu tahu-tahu sudah dapat dijepit oleh jari-jari tangan ketua Cin-ling-pai itu dan dikembalikan kepada pemiliknya, membuat Hek I Siankouw terkejut dan hampir termakan oleh senjata rahasianya sendiri. Sesudah tiga kali selalu berakibat membahayakan dirinya sendiri, dia tidak berani lagi menggunakan paku-paku beracun dan hanya mainkan pedang hitamnya dengan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.
Ang-bin Ciu-kwi juga menghadapi lawan yang terlampau tangguh bagiriya, yaitu Yap Kun Liong, ada pun isterinya, Coa-tok Sian-li diserang dengan hebat oleh Cia Giok Keng yang dibantu oleh Tio Sun. Tentu saja suami isteri ini menjadi repot sekali dan hanya mampu menangkis dan mempertahankan diri saja tanpa dapat membalas sedikit pun juga.
Sementara itu, Tio Hok Gwan, komandan pasukan, dibantu oleh Souw Kwi Beng beserta semua anggota pasukan. Bahkan tampak pula Lie Seng yang mengamuk bahu membahu dengan Yap Mei Lan, menghadapi para anggota Lembah Naga yang berkelahi dengan nekat dan mati-matian sungguh pun mereka terdesak hebat dan satu demi satu mereka roboh oleh fihak lawan yang lebih banyak dan lebih kuat itu.
Di antara para tokoh Lembah Naga, yang lebih dahulu roboh adalah Bouw Thaisu. Kedua ujung lengan bajunya berhasil ditangkap oleh cengkeraman tangan Kok Beng Lama yang tertawa bergelak dan ketika Bouw Thaisu mengerahkan tenaganya sehingga ujung lengan bajunya terobek lantas sepasang telapak tangannya menghantam dada Kok Beng Lama, pendeta raksasa ini sambil tertawa juga mendorongkan kedua telapak tangannya.
Kedua pasang telapak tangan yang penuh dengan tenaga sinkang itu bertemu di udara. Hebat bukan main getaran hawa yang terasa oleh semua orang yang sedang bertempur. Bumi seolah-olah berguncang dibuatnya.
Tubuh Bouw Thaisu tergetar hebat seperti orang sakit demam, kemudian dia terhuyung ke belakang, kedua tangan memegang dadanya, dari mulutnya keluar darah segar lantas dia terpelanting dan roboh miring di atas tanah dengan nyawa putus!
Kok Beng Lama tertawa bergelak kemudian berkata, "Omitohud, kedua tanganku kembali berlepotan darah...!"
Tidak lama sesudah Bouw Thaisu roboh, menyusul Hek I Siankouw yang roboh dengan pedang hitam menembus dadanya sendiri! Pada saat dia menyerang dengan jurus nekat, yaitu seluruh tubuh mendoyong dan pedangnya menusuk ke arah dada Cia Keng Hong, pendekar sakti ini terkejut. Serangan itu hebat bukan main dan penuh dengan tenaga sakti karena nenek itu sudah nekat, mengerahkan seluruh tenaganya dan didorong oleh loncatan tubuhnya.
Cia Keng Hong maklum bahwa kalau mengelak, dia menghadapi bahaya, maka dia lalu mengerahkan tenaga sakti pada kedua tangannya lalu dia menangkis dari samping sambil mengeluarkan lengkingan keras. Itulah sebuah jurus dari Thai-kek Sin-kun.
Tangkisan ini mengandung kekuatan yang demikian dahsyatnya sehingga saat mengenai pedang maka pedang itu membalik dengan cepatnya dan menusuk dada Hek I Siankouw sendiri sampai tembus di punggung! Tentu saja nenek itu terjengkang roboh dan tewas seketika.
Cia Keng Hong berdiri terbelalak memandang. Dia tak sengaja membunuh nenek itu dan dia menarik napas panjang, merasa ngeri dan menyesal mengapa dalam usia tuanya dia masih harus membunuh orang sengeri itu keadaanya.
Ang-bin Ciu-kwi yang kasar itu pun roboh tewas akibat tamparan tangan kiri Kun Liong, sedangkan isterinya pun roboh dan tewas oleh pedang di tangan Cia Giok Keng sesudah hampir saja wanita perkasa ini menjadi korban jarum racun ular yang dilepas oleh Coa-tok Sian-li.
Sedangkan pasukan Lembah Naga tinggal sedikit lagi yang masih terus bertahan, namun mereka terdesak hebat dan tidak lama kemudian, orang terakhir dari mereka pun roboh. Memang hebat bukan main pasukan yang diberikan oleh Raja Sabutai kepada gurunya itu, karena pasukan itu merupakan pasukan berani mati yang melawan musuh sampai orang terakhir roboh dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang melarikan diri sungguh pun mereka sudah dari tadi tahu bahwa fihak mereka sudah pasti kalah. Sekarang tinggal kakek serta nenek iblis itu saja yang ternyata masih sanggup bertahan melawan Bun Houw dan In Hong!
Bukan main hebatnya pertandingan antara mereka ini dan walau pun In Hong dan Bun Houw sudah berhasil menguasai Ilmu Thian-te Sin-ciang secara sempurna, akan tetapi ternyata tidak mudah bagi mereka untuk mengalahkan dua orang tua iblis itu. Kekebalan tubuh mereka memang menggiriskan sekali.
Sungguh pun dua orang muda itu sudah memperoleh petunjuk melalui Mei Lan tentang kelemahan mereka dan telah terus-menerus menujukan serangan mereka ke arah bawah lutut kaki, namun mereka belum juga berhasil. Selain kedua orang kakek dan nenek itu terus melindungi kaki mereka, juga dua orang muda itu tidak tahu dengan pasti di mana letak kelemahan itu dan biar pun mereka telah beberapa kali berhasil menghantam betis, tulang kering dan mata kaki, namun kedua orang itu hanya terlempar dan bergulingan, akan tetapi ternyata bukan di situlah letak kelemahan itu karena mereka masih mampu melawan makin dahsyat dan nekat! Memang kakek dan nenek iblis itu telah nekat ketika mereka melihat bahwa semua teman mereka telah roboh!
Cia Giok Keng dan Tio Sun sudah bergerak maju hendak membantu, akan tetapi Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong mengangkat tangan melarang mereka atau siapa pun juga membantu! Mereka ini melihat betapa Bun Houw dan In Hong mampu menandingi kakek dan nenek itu, dan agaknya dua orang muda itu tahu akan kelemahan lawan yang jelas dapat diduga tentu berada di kaki mereka. Buktinya mereka selalu melindungi kaki mereka dan kelihatan terkejut dan gugup ketika kaki mereka terus-menerus diserang.
Tanpa sengaja Cia Keng Hong berdiri di sebelah Kok Beng Lama. Mereka saling pandang dan melalui pandang mata mereka, kedua orang sakti ini mengerti akan keadaan yang sedang bertanding. Mereka tadi pun sudah mengukur tenaga dengan kakek dan nenek iblis itu dan mendapat kenyataan bahwa mereka berdua itu memang memiliki kekebalan yang mukjijat.
"Hemm, di kaki sebelah mana agaknya kelemahan mereka?" Kok Beng Lama mengomel seorang diri, suaranya lirih akan tetapi terdengar oleh Cia Keng Hong.
"Di mana kalau menurut dugaan locianpwe?" Cia Keng Hong bertanya sambil menoleh. Keduanya saling pandang dan keduanya berpikir keras, menggali ingatan mereka tentang pengetahuan mengenai ilmu-ilmu yang mukjijat dan aneh.
"Dan dugaan taihiap?" tanya pula Kok Beng Lama.
Kedua orang sakti itu lalu menggunakan ujung sepatu mereka untuk menggores-gores di atas tanah dan keduanya lalu saling membaca tulisan kaki mereka. Ternyata keduanya berbunyi sama, yaitu, ‘telapak kaki’. Mereka tertawa dan mengangguk-angguk.
"Locianpwe harap suka memberi tahu kepada In Hong, saya akan memberi tahu kepada Bun Houw," kata Cia Keng Hong.
Kok Beng Lama mengangguk dan kedua orang sakti ini lalu mengerahkan ilmu mereka yang hebat, yaitu Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jarak Jauh) dengan kekuatan khikang mereka. Bibir mereka bergerak-gerak dan tidak ada orang lain yang mendengar suara mereka kecuali orang yang ditujunya!
Bun Houw mendengar bisikan suara ayahnya dan In Hong juga mendengar bisikan suara Kok Beng Lama yang parau, "Kelemahan mereka itu mungkin sekali terletak pada telapak kaki mereka."
Tentu saja kedua orang muda itu merasa girang mendengar ini. Sudah sejak tadi mereka menyerang ke arah kaki tanpa hasil dan kini mereka bahkan mulai meragukan kebenaran pemberi tahuan yang ditulis di atas daun itu. Melihat kenyataan betapa kakek dan nenek itu mati-matian melindungi dua kaki mereka, agaknya pemberi tahuan itu memang benar, akan tetapi mengapa semua serangan mereka yang berhasil mengenai bagian kaki tidak merobohkan mereka?
Mengapa kedua orang sakti, Cia Keng Hong dan Kok Beng Lama dapat menduga bahwa mungkin sekali kelemahan kakek dan nenek itu berada di telapak kaki? Mereka teringat akan ilmu kekebalan mukjijat golongan hitam atau kaum sesat, yang berbeda dengan latihan limu kekebalan kaum putih yang melatihnya dengan dasar sinkang yang kuat.
Golongan sesat melatih ilmu kekebalan dengan bermacam cara, dicampur dengan ilmu hitam, ilmu sihir dan dengan ramuan-ramuan racun yang berbahaya. Mereka lalu teringat bahwa latihan ilmu kekebalan yang menghasilkan kekebalan seperti yang dimiliki kakek dan nenek itu hanya mungkin bila tubuh mereka itu sudah seperti mati sehingga pukulan-pukulan sakti tak lagi mempengaruhi tubuh mereka, dan tubuh yang seperti mati itu hanya dapat dicapai dengan melumurinya dengan racun-racun yang luar biasa.
Biasanya, bagian yang dilumuri racun itu tidak boleh tertutup dan harus dibiarkan terkena angin, sinar matahari bahkan sinar bulan sehingga ada kemungkinan mereka bertapa sampai berbulan-bulan dengan tubuh dilumuri racun-racun setiap saat. Akan tetapi, tidak mungkin orang dapat melumuri racun seluruh bagian tubuhnya, misalnya andai kata dia rebah terlentang, tentu punggungnya terlewat, kalau duduk tentu pantatnya, dan kalau sambil berdiri tentulah telapak kakinya.
Kini, melihat betapa punggung, pantat bahkan seluruh bagian tubuh kakek dan nenek itu benar-benar kebal, agaknya satu-satunya tempat yang lemah tentu di telapak kaki dan sangat boleh jadi ketika bertapa sambil melumuri tubuh dengan racun, kakek dan nenek itu menyiksa diri dengan berdiri terus selama entah berapa hari atau berapa bulan!
Jadi, kalau seluruh anggota tubuh itu seolah-olah sudah mati, hanya kedua telapak kaki itu yang hidup! Tentu saja, selain bagian lemah ini, kedua mata mereka pun merupakan bagian lemah, akan tetapi mereka selalu melindungi kedua mata mereka, apa lagi setelah mata kiri Hek-hiat Mo-li menjadi buta oleh jarum rahasia dari arca kaisar di istana dahulu itu ketika dia dan Pek-hiat Mo-ko menyerbu istana.
Biar pun Bun Houw dan In Hong menjadi girang sekali mendengar bisikan dua orang sakti itu, namun tidaklah mudah bagi mereka untuk menyerang bagian lemah itu. Bagaimana dapat menyerang telapak kaki lawan? Telapak kaki selalu tertutup atau terlindung karena dipakai untuk menginjak tanah! Mana mungkin bisa diserang? Kelihatan pun tidak! Dua orang muda perkasa itu menjadi bingung.
Dengan ilmunya yang tinggi, lebih tinggi dari kepandaian In Hong, Bun Houw tentu saja dapat mengatasi Pek-hiat Mo-ko dengan baik. Pemuda ini sudah mewarisi ilmu-ilmu yang amat hebat dari ayahnya dan dari Kok Beng Lama, ilmu silatnya bermacam-macam dan kesemuanya merupakan ilmu-ilmu silat pilihan yang bertingkat tinggi.
Kalau saja Pek-hiat Mo-ko tidak mengandalkan ilmu kekebalannya yang mukjijat itu, tentu sudah sejak tadi dia roboh oleh pemuda perkasa ini. Akan tetapi, kekebalan yang amat hebat itu melindunginya sehingga sungguh pun dia sudah belasan kali terpelanting oleh pukulan yang amat hebat, pukulan yang akan menewaskan lawan-lawan yang bahkan lebih lihai sekali pun, namun tidak membuat Pek-hiat Mo-ko terluka dan kakek ini dapat meloncat bangun kembali sambil tertawa mengejek dan menyerang dengan dahsyatnya yang juga dapat dielakkan atau ditangkis oleh Bun Houw dengan mudahnya. Baik dalam hal ilmu silat mau pun dalam hal tenaga sinkang, pemuda ini lebih tinggi tingkatnya dari pada lawannya. Akan tetapi kekebalan itu membuat dia tidak berdaya.
In Hong juga bukan seorang gadis sembarangan. Dia telah mewarisi ilmu-ilmu silat yang amat hebat dari gurunya, pewaris pusaka milik mendiang Panglima Sakti The Hoo. Meski pun tingkatnya belum dapat dibandingkan dengan tingkat Bun Houw, akan tetapi ilmu-ilmu silat yang murni dan bernilai tinggi itu membuat dia cukup kuat untuk bisa mengimbangi kepandaian nenek Hek-hiat Mo-li yang lihai.
Dia dengan menguasai Thian-te Sin-ciang yang sudah menjadi sempurna karena dilatih secara bergabung dengan Bun Houw, maka boleh dibilang gadis ini memiliki tenaga yang lebih kuat dari pada si nenek iblis. Akan tetapi, karena dia pun tidak berdaya menghadapi kekebalan nenek itu, keadaannya menjadi berimbang, bahkan kadang-kadang dia seperti terdesak oleh Hek-hiat Mo-li yang menyerang tanpa mempedulikan tubuhnya sendiri yang dilindungi oleh kekebalan sehingga kadang-kadang In Hong menjadi repot juga dan harus melindungi diri dengan bergerak mundur.
Kini mereka sudah mendengar bisikan dua orang sakti itu, akan tetapi tetap saja mereka tidak tahu bagaimana mereka akan dapat menyerang telapak kaki lawan! In Hong terus melindungi dirinya dari serangkaian serangan Hek-hiat Mo-li yang hanya bermata satu itu sambil memutar otak mencari akal.
Untuk melindungi diri sendiri, ilmu silatnya cukup tinggi dan tenaganya pun cukup besar sehingga dia tidak usah khawatir akan celaka oleh serangan-serangan dahsyat itu yang dapat dielakkan atau ditangkisnya secara pasti dan tidak begitu sukar, sungguh pun tentu saja dia menjadi terdesak karenanya.
Sementara itu, Bun Houw sudah memikirkan akal untuk merobohkan lawan, atau paling tidak supaya dapat menyerang telapak kaki lawan yang diharapkannya akan merobohkan lawannya. Dia tahu bahwa memaksa lawan memperlihatkan telapak kakinya tentu saja tidak mungkin, maka dia harus mempergunakan akal dan dia pura-pura tidak menyangka bahwa kelemahan itu berada di telapak kaki lawan itu. Kini dia harus dapat melakukan pertempuran jarak dekat, pikirnya.
Tadi dia menganggap bahwa tongkat kakek bermuka putih itu tidak berbahaya, bahkan dia membiarkan kakek itu menghadapinya dengan senjata tongkat itu karena dia hendak membiarkan kakek itu lengah karena merasa lebih untung keadaannya yang bersenjata melawan dia yang bertangan kosong dan dia hendak menggunakan kelengahan itu untuk menyerang ke arah kaki.
Akan tetapi setelah dia mendengar bisikan Cia Keng Hong tadi, dia percaya penuh akan kelihaian serta ketajaman mata ayahnya, maka untuk dapat menyerang telapak kaki lebih dahulu dia harus menyingkirkan tongkat lawan agar mereka dapat bartempur dalam jarak yang lebih berdekatan.
Pada saat tongkat itu menyambar dengan tusukan ganas ke arah tenggorokan, Bun Houw sengaja memperlambat gerakannya sehingga tongkat itu sudah tiba dekat sekali dengan lehernya. Tiba-tiba saja dia miringkan tubuhnya, membiarkan tongkat lewat dan anginnya sudah terasa oleh kulit lehernya, lalu mendadak dia menyerang kakek itu dengan jari-jari tangan terbuka ke arah matanya. Cepat bukan main serangannya itu.
Tentu saja selain bagian tubuh yang dirahasiakannya, sepasang mata sama sekali tidak terlindung oleh kekebalan. Kakek itu terkejut dan cepat menarik mundur tubuhnya bagian atas, sedangkan tangan kirinya menangkis dari samping. Akan tetapi betapa terkejutnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa serangan itu tidak dilanjutkan oleh lawan, dan kini tongkatnya yang kena ditangkap oleh tangan kanan pemuda yang lihai bukan main itu.
"Haiiiiitttt...!" Pek-hiat Mo-ko mengeluarkan teriakan keras dan tangan kirinya menyambar ke arah kepala Bun Houw dengan cengkeraman maut, sedangkan tangan kanannya tetap memegang ujung tongkat sambil menarik dengan sentakan kuat.
"Hemmm!" Bun Houw mengeluarkan suara gerengan dalam dada, tangan kiri digerakkan menangkis dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dan juga menggunakan tangan kanan yang memegang ujung tongkat untuk menarik.
"Plakk! Krekkk...!"
Untuk ke sekian kalinya tubuh Pek-hiat Mo-ko terlempar ke belakang dan tongkatnya patah menjadi dua potong, yang sepotong tertinggal di tangan Bun Houw. Tangkisan hebat tadi membuat tubuhnya terlempar dan karena dia mempertahankan tongkatnya, maka tongkat itulah yang tidak kuat menahan dan menjadi patah.
Muka Pek-hiat Mo-ko yang putih pucat itu berubah sedikit merah, akan tetapi lalu menjadi putih kembali dan dia memandang tongkat di tangannya dengan kedua mata terbelalak, seolah-olah masih belum mau percaya melihat tongkat pusakanya itu dapat patah.
Padahal ada kepercayaan tahyul di dalam hatinya bahwa patahnya tongkat pusaka yang dianggap tidak mungkin dapat pulih itu berarti kematiannya! Maka dia menjadi nekat. Dia membuang tongkat yang sudah patah itu dan dengan teriakan ganas dia menubruk maju, menghantam dengan dahsyat ke arah lawannya.
Bun Houw juga telah membuang tongkat patah itu dan cepat menyambut serangan lawan dengan kedua tangan pula. Akan tetapi sekali ini dia tidak mengadu pukulan, melainkan menangkap kedua pergelangan tangan lawan.
"Ihhhhh…!" Pek-hiat Mo-ko terkejut dan marah.
Kedua pergelangan tangannya sudah ditangkap oleh tangan pemuda itu, tangkapan yang sangat kuat dan walau pun dia sudah mengerahkan seluruh kekuatan sinkang-nya untuk menarik kedua tangannya, tetap saja dia tak mampu meloloskan diri. Dia menjadi marah. Ditangkap kedua pergelangan tangannya seperti itu tidak ada artinya dan dengan cara demikian pemuda itu pun tidak akan mampu menang, maka dia tertawa mengejek.
"Ha-ha-ha, engkau takut melanjutkan pertempuran?"
"Pek-hiat Mo-ko, hendak kulihat bagaimana engkau dapat melepaskan peganganku!" Bun Houw juga mengejek lantas memperkuat pegangannya sehingga agaknya kalau kakek itu mengerahkan seluruh tenaga untuk memaksa, cekalan itu tidak akan terlepas akan tetapi kedua lengan kakek itu yang akan copot atau patah seperti tongkat tadi!
Pek-hiat Mo-ko maklum akan hal ini, maka dia menjadi makin gelisah dan marah. Semua pengikutnya telah tewas, hanya tinggal Hek-hiat Mo-li yang masih bertanding mati-matian melawan gadis perkasa itu dan ternyata kawannya itu pun tidak mampu mendesak gadis bertangan kosong itu yang sekarang memiliki tenaga Thian-te Sin-ciang yang luar biasa kuatnya pula. Dipengaruhi oleh patahnya tongkat pusakanya yang dianggapnya sebagai pertanda akhir hidupnya, maka kakek yang marah ini menjadi nekat.
"Lepaskan tanganku!" bentaknya dan dia menendang ke arah bawah pusar Bun Houw.
Inilah yang dikehendaki oleh pemuda itu! Dia hendak memaksa lawannya agar melakukan tendangan karena hanya pada waktu menendang sajalah telapak kaki dari lawannya itu ‘terbuka’ dan tidak terlindung atau tersembunyi. Akan tetapi Bun Houw memang cerdik.
Dia tidak terlalu membiarkan kegirangan menguasainya dan dia maklum bahwa sekali dia tidak berhasil merobohkan kakek itu melalui serangan pada telapak kakinya, berarti dia gagal dan kakek itu tentu akan menjadi lebih berhati-hati menyembunyikan rahasianya. Maka dia masih berpura-pura tidak tahu bahwa rahasia kelemahan itu terletak di telapak kaki, dan ketika tendangan menyambar ke arah bawah pusar, dia cepat-cepat miringkan tubuhnya untuk mengelak, kemudian dengan mengurangi kecepatan gerakan elakannya dia sengaja membiarkan pahanya tertendang.
"Dessss...!"
Bun Houw menyeringai tanda kesakitan dan kakek itu tertawa bergelak, merasa bahwa dia berada dalam keadaan unggul maka selagi pemuda itu menyeringai kesakitan, dia sudah menggerakkan kaki kirinya menendang kembali, mengarah paha yang baru saja tertendang, yang dianggapnya merupakan tempat yang baik untuk dihantam terus selagi bagian itu terasa nyeri.
Namun, pemuda perkasa itu telah memperhitungkan saat ini dengan tepat dan dia sudah mengumpulkan seluruh tenaga Thian-te Sin-ciang ke dalam lengan kanannya sampai ke ujung jari kanan. Melihat kaki kiri mulai menyambar, secara mendadak dia melepaskan cekalan tangan kanannya dari pergelangan tangan lawan dan tangan itu menyambar ke bawah, cepat mencengkeram ke arah telapak kaki kiri lawan dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang yang dahsyat bukan main. Batu karang yang bagaimana kerasnya pun tentu akan hancur lebur oleh cengkeraman yang mengandung tenaga mukjijat Thian-te Sin-ciang sepenuhnya itu.
Dan ternyata, tidak seperti anggota badan pada bagian lainnya yang sudah membuktikan kekebalannya terhadap kedahsyatan Thian-te Sin-ciang, pada waktu telapak kaki kiri dari Pek-hiat Mo-ko itu kena dicengkeram, kaki itu menjadi remuk-remuk tulangnya dan hancur kulit dagingnya!
Pek-hiat Mo-ko mengeluarkan pekik mengerikan, matanya terbelalak ketika mulutnya memekik dan pada saat itu pula tangan kiri Bun Houw yang sudah melepaskan pegangan pada pergelangan tangan lawan langsung menyambar dengan kecepatan seperti kilat ke arah dadanya.
"Krekkkk...!"
Tubuh Pek-hiat Mo-ko terpelanting, tulang iganya patah-patah dan seluruh isi dadanya terguncang hebat. Kekebalannya langsung lenyap setelah telapak kakinya hancur. Tetapi, dalam keadaan yang sudah seperti itu, yang tentu merupakan sebab kematian bagi orang lain yang bagaimana kuat pun, kakek bermuka putih itu masih bisa meloncat bangun dan seperti sebuah mayat hidup dia menubruk ke arah Bun Houw! Namun, pemuda ini dengan gerakan lincah telah menggeser kaki miringkan tubuh dan kakinya menyambar.
"Desssss...!"
Tubuh yang seperti mayat hidup itu terjengkang, roboh terbanting dan tidak bergerak lagi karena memang Pek-hiat Mo-ko sudah menghembuskan napas terakhir pada waktu dia mengerahkan seluruh tenaga terakhir untuk menubruk tadi.
"Hong-moi, mundurlah, biarkan aku menghadapinya," kata Bun Houw sambil mendekati In Hong yang masih bertempur dengan mati-matian melawan Hek-hiat Mo-li.
"Tidak, aku harus dapat merobohkan dia sendiri, Houw-ko. Engkau mundurlah dan jangan khawatir!" In Hong menjawab.
Gadis ini merasa penasaran sekali. Bun Houw telah berhasil merobohkan lawan, namun dia masih juga belum berhasil. Dia tahu bahwa memang Bun Houw mempunyai tingkat kepandaian yang amat tinggi, akan tetapi dengan ilmu kepandainya, apa lagi setelah dia berhasil menyempurnakan tenaga Thian-te Sin-ciang, dia merasa sanggup mengalahkan nenek ini, lebih-lebih lagi karena dia sudah mendapat bisikan dari Kok Beng Lama.
Akan tetapi, biar pun dia terus mengarahkan semua serangan pukulan mautnya ke arah kaki dan sudah beberapa kali mengenai kaki lawan, tetap saja nenek itu belum dapat dia robohkan. Dia tak dapat melihat bagaimana Bun Houw tadi merobohkan Pek-hiat Mo-ko, maka dia pun belum tahu di mana sesungguhnya letak kelemahan lawannya. Akan tetapi, walau pun demikian, dia merasa enggan dan malu kalau harus menyerahkan lawan ini kepada Bun Houw, apa lagi karena pertempuran itu sedang ditonton oleh banyak orang, di antaranya terdapat kakak kandungnya sendiri yaitu Yap Kun Liong, ada lagi Cia Giok Keng, Cia Keng Hong, Kok Beng Lama, Souw Kwi Beng, Tio Sun dan masih banyak lagi yang lain, bahkan semua prajurit pasukan kota raja juga menonton!
Dengan alis berkerut Bun Houw mundur lagi kemudian dia berlari meninggalkan tempat itu menuju ke sebelah dalam dan tak lama kemudian muncullah pemuda ini membawa sebatang pedang yang bukan lain adalah pedangnya sendiri yang tadinya dirampas oleh musuh, yaitu pedang Hong-cu-kiam. Dia menanti kesempatan baik kemudian melontarkan pedang itu ke arah In Hong sambil berseru,
"Hong-moi, pakailah pedangmu ini!"
Sekali ini In Hong tidak menolak. Dia menyambut pedang itu dan diputarnya sehingga merupakan gulungan sinar emas yang menyilaukan mata. Dia mau menggunakan pedang karena bukankah lawannya juga menggunakan tongkat? Begitu Hong-cu-kiam berada di tangannya, semangat In Hong berkobar lagi. Dia harus mampu merobohkan lawannya. Harus!
"Cring-cring-tranggg...!"
Bunga api berpijar-pijar pada saat pedang bertemu bertubi-tubi dengan tongkat di tangan Hek-hiat Mo-li dan nenek itu terhuyung ke belakang ketika tangan kiri In Hong menyusul dengan dorongan-dorongan yang mengandung tenaga mukjijat Thian-te Sin-ciang.
Aku harus menyerang kakinya bawah lutut. Akan tetapi bagian yang mana? Demikian In Hong berpikir.
"Telapak kakinya... telapak kakinya...!" Tiba-tiba dia mendengar bisikan suara Bun Houw.
In Hong mengerling dengan bibir tersenyum dan mata berkilat penuh kegirangan. Tahulah dia sekarang. Kiranya di telapak kaki! Pantas saja semua pukulannya yang mengenai kaki tadi tidak berhasil. Habis, siapa yang dapat memukul telapak kaki? Kiranya begitu baik rahasia kelemahan itu tersembunyi.
Akan tetapi, In Hong adalah seorang dara yang selain cantik jelita dan gagah perkasa, juga cerdik sekali. Setelah dia mendengar bisikan ini, tiba-tiba saja dia merubah caranya menyerang lawan dan kini dia melempar diri ke atas tanah, lalu bergulingan hingga sinar emas menyambar-nyambar ke bawah kaki lawan!
"Ihhhh...!" Hek-hiat Mo-li terkejut bukan main dan memutar tongkat melindungi kakinya.
"Tranggg...!"
Bunga api berpijar dan seperti seekor burung terbang cepatnya, In Hong bergulingan ke arah kiri nenek itu dan tiba-tiba sinar emas pedangnya mencuat ke atas menusuk ke arah mata kanan lawan.
"Ihhhh...!" Nenek itu menjerit dan cepat melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik.
Hampir saja matanya yang tinggal sebelah menjadi korban. Karena mata kirinya sudah buta, maka pada waktu lawannya tadi bergulingan ke sebelah kirinya, dia tidak dapat memandang dengan cukup jelas gerakan lawan dan tahu-tahu sinar emas menyambar ke arah mata kanannya, padahal sejak tadi dia mencurahkan perhatian untuk melindungi kakinya! Dan ketika dia berhasil menyelamatkan mata kanannya dan baru saja kakinya menginjak tanah, sinar emas itu menyambar ke bawah, membabat tanah di bawah kaki Hek-hiat Mo-li.
Tepat pada saat itu, Hek-hiat Mo-li sendiri yang menjadi marah sedang menghantamkan tongkatnya ke arah kepala In Hong! Melihat dara itu hanya miringkan kepalanya sehingga hantaman tongkat itu masih menyambar ke pundak, nenek itu menjadi girang sehingga dia kurang waspada. Baru sesudah sinar emas itu membabat tanah dan terus mengenai telapak kaki kirinya, dia menjerit mengerikan.
"Dessss!”
“Crottttt...!"
Tubuh In Hong terlempar dan bergulingan sedangkan nenek itu mengangkat kaki kirinya yang berdarah sambil berteriak-teriak kesakitan. Bagian belakang telapak kaki kirinya telah terbabat dan terluka oleh Hong-cu-kiam, sedangkan pundak In Hong juga terkena pukulan tongkat.
"Hong-moi...!" Bun Houw berseru kaget, akan tetapi hatinya lega ketika dia melihat In Hong dapat bangkit kembali dan dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan dia siap untuk mengejar dan membunuh Hek-hiat Mo-li yang masih mengangkat kaki kiri yang berdarah sambil menjerit-jerit kesakitan.
Akan tetapi pada saat itu terdengar bunyi terompet dan tambur. Semua orang menengok dan terkejutlah mereka karena tempat itu sudah dikurung oleh pasukan yang sedikitnya tentu ada seribu orang jumlahnya.
"Keparat!" Kok Beng Lama berseru dengan suaranya yang besar. "Mari kita mengamuk kepada mereka!"
"Nanti dulu, locianpwe. Jumlah mereka terlalu banyak dan dalam keadaan seperti ini lebih baik bagi kita untuk menunggu dan membela diri, dari pada menyerang," kata Cia Keng Hong dan Kok Beng Lama tidak jadi bergerak. Kepala pasukan itu, Panglima Lee Cin, juga menyerukan aba-aba supaya semua pasukan tidak bergerak, melainkan membentuk barisan pertahanan.
"Tahan semua senjata!" Mendadak terdengar bentakan nyaring dan dari dalam pasukan besar itu muncullah seorang tinggi besar yang kemudian ternyata adalah Raja Sabutai sendiri!
Semua orang terkejut dan memandang raja liar itu, akan tetapi agaknya In Hong tidak mau peduli dan dia sudah melangkah maju menghampiri Hek-hiat Mo-li dengan pedang di tangan.
"In Hong jangan bergerak...!" Yap Kun Liong berseru kepada adiknya.
Mendengar kesungguhan di dalam suara kakaknya itu, In Hong meragu lantas menoleh kepada kakaknya. Seperti juga Cia Keng Hong, Kun Liong melihat ancaman bahaya. Kalau saja Raja Sabutai memerintahkan pasukannya menyerbu, biar pun mereka memiliki kepandaian tinggi, tentu mereka semua akhirnya akan tewas dalam pengeroyokan ribuan orang prajurit musuh.
Dengan cepat Bun Houw meloncat ke dekat In Hong dan memegang lengan dara itu dengan mesra. "Suheng berkata benar, Hong-moi. Bagaimana dengan pundakmu? Mari kuobati..."
Dengan sikap mesra Bun Houw segera memeriksa pundak yang terpukul tongkat tadi, kemudian melihat betapa pundak itu tidak terluka, hanya berwarna merah kebiruan, dia merasa lega, karena tulang pundak dara itu pun tidak patah. Dengan penyaluran sinkang yang hangat, dia mengusir rasa nyeri pada pundak itu. Tentu saja semua orang melihat kemesraan itu, juga Souw Kwi Beng melihat dengan muka berubah pucat sekali.
Sementara itu, melihat bahwa Raja Sabutai melangkah maju ke dalam kurungan ribuan prajurit itu, menghampiri mereka dan raja itu membawa sebatang pedang yang dikenalnya baik, ketua Cin-ling-pai Pendekar Sakti Cia Keng Hong lalu melangkah maju menyambut dan menjura kepada raja itu.
"Apa maksud sri baginda datang bersama pasukan dan menghentikan pertandingan?" tanya Cia Keng Hong dengan sikap tenang.
Raja Sabutai tertawa dan memandang kepada mayat-mayat yang bergelimpangan di situ, mayat dari semua pengikut dua orang gurunya, bahkan suhu-nya, Pek-hiat Mo-ko, juga telah tewas. Dia berhenti tertawa dan menarik napas panjang.
"Cia-taihiap, kami melihat betapa semua pengikut suhu dan subo sudah tewas, bahkan suhu telah tewas dan subo terluka hebat. Suhu dan subo tidak mau mendengar bujukan kami bahwa memusuhi jagoan-jagoan dari kota raja merupakan hal yang bodoh sekali. Sekarang mereka telah merasakan sendiri akibatnya dan tentu suhu sudah kapok. Urusan ini dimulai dengan pedang Siang-bhok-kiam. Nah, kini kami datang untuk mengembalikan Siang-bhok-kiam yang oleh suhu dititipkan kepada kami kepada pemiliknya, akan tetapi sebagai gantinya, kami harap taihiap bersama semua teman taihiap suka membebaskan subo."
Cia Keng Hong maklum bahwa di balik ucapan itu terkandung ancaman hebat. Kalau dia dan teman-temannya tidak mau menerima penukaran itu, tentu raja ini akan mengerahkan ribuan pasukan mengeroyoknya dan tak mungkin melawan ribuan orang lawan! Maka dia menjura dan menjawab,
"Kami semua datang bukan hanya karena ingin minta kembali Siang-bhok-kiam, namun juga untuk menyelamatkan nona Yap In Hong yang diculik oleh kedua guru sri baginda. Sesudah sekarang nona Yap In Hong selamat, tentu saja kami pun tidak akan terlampau mendesak. Terima kasih atas kebaikan sri baginda yang suka mengembalikan pedang pusaka kepada yang berhak memiliki."
"Ha-ha-ha, Cia-taihiap sebagai ketua Cin-ling-pai memang berpandangan bijaksana. Nah, terimalah Siang-bhok-kiam ini," kata Sabutai sambil menyerahkan Pedang Kayu Harum itu kepada Cia Keng Hong yang menerimanya dengan sikap penuh hormat.
"Subo, marilah pergi bersama kami!" Sabutai berkata sambil menghampiri nenek itu, lalu dia memondong nenek yang mata kirinya buta dan kaki kirinya terluka pula itu.
Semua orang memandang dengan penuh kagum kepada Raja Sabutai. Ternyata orang yang gagah perkasa ini bukan hanya merupakan seorang yang sanggup menundukkan orang-orang liar di antara para Suku Nomad di utara, akan tetapi juga mempunyai watak gagah dan berbakti terhadap gurunya. Oleh karena itu semua orang diam saja ketika Raja Sabutai memerintahkan pasukannya untuk mengangkat semua mayat dari gurunya serta para pengikutnya, lalu pergilah pasukan itu sesudah Raja Sabutai menjura kepada para orang gagah dan berkata sambil tersenyum kepada Tio Sun,
"Jangan lupa untuk menyampaikan apa yang telah kau lihat di tempat kami kepada kaisar, Tio-sicu!"
Tio Sun maklum apa yang dimaksudkan oleh raja itu, maka dia pun mengangguk. Maka berangkatlah Raja Sabutai pergi meninggalkan Lembah Naga, diiringi oleh ribuan orang pasukannya.
Sesudah pasukan itu pergi, barulah semua orang dapat kembali kepada urusan pribadi masing-masing. Cia Giok Keng dan Lie Seng saling berlari menghampiri dan ibu dengan anaknya ini saling berpelukan dengan linangan air mata. Demikian pula Mei Lan berlutut di hadapan kaki Yap Kun Liong dan ayah itu dengan air mata berlinang juga merangkul puterinya.
Pertemuan yang mengharukan antara ibu dan anak, dan ayah dan anak ini terjadi tanpa banyak kata terucap, hanya pandang mata yang berlinang air mata dari mereka sudah bicara banyak sekali. Semua orang memandang dengan hati penuh keharuan, karena melihat Giok Keng berlutut dan mendekap puteranya sedangkan Kun Liong mengangkat bangun Mei Lan dan dipeluknya puterinya itu penuh kasih sayang dan dengan air mata membasahi pipi karena tentu saja pertemuannya dengan Mei Lan ini mengingatkan Kun Liong akan kematian isterinya.
"Ayah... maafkan aku..." bisik Mei Lan lirih. Kun Liong menggunakan jari-jari tangannya untuk meraba dan menutup bibir mulut puterinya itu, seolah-olah hendak mencegah gadis cilik itu bicara lebih lanjut karena dia sudah dapat memahami semua persoalannya.
Pada saat itu, nampak seorang wanita berpakaian serba merah berlari menghampiri Bun Houw dan menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda yang telah selesai mengobati luka di dalam pundak In Hong.
"Taihiap... saya harap taihiap suka mengasihani saya... harap taihiap sudi menerima saya menghambakan diri... setelah semua yang telah terjadi..." Wanita yang bukan lain adalah Liong Si Kwi itu menangis, tangan kanan mengusap air matanya yang bercucuran, juga tangan kirinya yang buntung itu ikut bergerak ke depan mukanya sehingga kelihatan amat mengerikan sekaligus menyedihkan.
Wajah Bun Houw berubah pucat ketika dia memandang Si Kwi. Terbayanglah semua yang telah terjadi antara dia dan Si Kwi di dalam kamar wanita itu dan marahlah hatinya. Dia tahu bahwa Si Kwi mencinta dirinya, akan tetapi dia marah sekali mengingat betapa wanita ini menggunakan kesempatan saat dia tercengkeram oleh pengaruh hawa beracun yang membangkitkan birahinya, sudah melakukan hubungan kelamin dengan dia dan dia merasa malu, menyesal dan marah sekali dengan terjadinya hal itu.
Kalau saja di sana tidak terdapat banyak orang, di antaranya malah ada ayahnya sendiri, tentu wanita itu telah ditendangnya. Akan tetapi dia menahan kemarahannya dan berkata dengan suara dingin. "Engkau bukan wanita baik-baik. Pergilah kau dari sini!"
"Taihiap...!" Wajah Si Kwi pucat sekali, matanya terbelalak memandang kepada pemuda yang dipuja dan dicintanya itu.
"Pergilah!"
Si Kwi bangkit berdiri, menangis sesenggukan dan lari meninggalkan tempat itu. Semua orang memandang sampai bayangan wanita itu lenyap di antara pohon dan kini Cia Keng Hong memandang puteranya dengan sinar mata penuh selidik. Dia tidak senang melihat sikap puteranya terhadap Si Kwi tadi, yang dianggapnya amat keras dan kejam, sungguh pun dia sendiri tidak tahu apa dan siapa wanita berpakaian merah yang tangan kirinya buntung itu.
"Bun Houw...!" Cia Keng Hong memanggil.
Pemuda itu terkejut, menoleh kepada ayahnya, kemudian dia menggandeng tangan In Hong dan berbisik kepada dara itu untuk ikut bersamanya menghadap ayahnya. In Hong menatap wajah pemuda itu dengan senyum dan sinar mata penuh kemesraan, kemudian mengangguk. Keduanya lalu menghadap Cia Keng Hong dan mereka berdua menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar sakti itu.
Melihat sikap pemuda dan gadis itu, Souw Kwi Beng menarik napas panjang dan ketika dia merasa betapa tangan Tio Sun memegang lengannya, dia menoleh dan tersenyum getir kepada pemuda itu. Mereka sudah sama maklum dan Tio Sun menatapnya dengan sinar mata mengandung iba.
"Houw-ji, bagaimana engkau bisa berada di sini dan tertawan bersama In Hong?" tanya ayah itu yang merasa tak senang melihat puteranya yang bergandengan tangan demikian mesranya di depan orang banyak dengan In Hong. Jelas kelihatan oleh semua orang yang berada di situ bahwa ada pertalian cinta kasih mesra antara puteranya dan In Hong, sedikit pun mereka berdua tidak menyembunyikan perasaan saling mencinta itu.
"Ayah, di kota raja aku mendengar bahwa Hong-moi diculik orang, maka aku melupakan segalanya dan segera mengejar ke sini. Untuk menyelamatkan Hong-moi, terpaksa aku membiarkan diriku ditawan dan... untung sekali bahwa ayah, suhu dan para sahabat yang gagah datang menolong..."
"Dan surat untuk ke Yen-tai itu...?"
"Maaf, ayah. Belum sempat kusampaikan... sebab... sesungguhnya aku… aku tidak dapat melaksanakan tali perjodohan itu, ayah..."
"Apa...?!" Ayahnya membentak.
"Maaf, ayah. Aku... aku dan Hong-moi... kami... saling mencinta dan sudah berjanji untuk hidup berdua dan mati bersama..."
Jantung Cia Keng Hong terasa tergetar hebat yang tidak dia ketahui apa sebabnya, entah marah entah girang. Memang sejak dahulu dia ingin sekali mempunyai mantu keturunan Yap Cong San dan Gui Yan Cu. Mula-mula, niatnya untuk menjodohkan puterinya Giok Keng dengan Kun Liong mengalami kegagalan karena ternyata puterinya tidak mencinta Kun Liong dan Kun Liong pun mencinta gadis lain.
Kemudian, dia ingin sekali mengambil adik Kun Liong, yaitu Yap In Hong untuk menjadi mantunya, dijodohkan dengan puteranya, Cia Bun Houw. Tetapi hal itu pun mengalami kegagalan ketika In Hong mengantar Yalima ke Cin-ling-san dan secara kasar dan keras memutuskan hubungan atau ikatan perjodohan antara In Hong dan Bun Houw itu.
Hal ini sangat menyedihkan dan menyakitkan hatinya dan baru saja sakit hati itu sedikit terobati pada saat dia dapat menjodohkan puteranya dengan keturunan Souw Li Hwa dan sekarang tiba-tiba saja dia melihat puteranya dengan In Hong berlutut di depannya dan menyatakan bahwa mereka saling mencinta!
Sekarang mengertilah Kok Beng Lama bahwa dua orang lawannya itu benar-benar telah menciptakan ilmu yang amat mukjijat dan tubuh mereka telah terlindung oleh kekebalan yang bahkan tidak dapat ditembus oleh tenaga Thian-te Sin-ciang. Kok Beng Lama yang melihat betapa kini mata kiri Hek-hiat Mo-li telah rusak dan buta, maklum bahwa agaknya hanya pada bagian mata saja dari dua orang itu yang tidak kebal, maka dia kini selalu mengarahkan serangannya kepada mata mereka.
Akan tetapi, tentu saja dua orang itu sudah melindungi mata mereka dan amat sukarlah bagi Kok Beng Lama kalau hanya menyerang ke arah mata saja sedangkan dua orang lawannya membalas dengan serangan-serangan tongkat mereka yang ampuh ke seluruh bagian tubuhnya. Dan kakek raksasa dari Tibet ini harus mengakui bahwa bagi dia, yang kebal dan berani menerima senjata pusaka lawan hanyalah kedua lengannya, sedangkan tubuh bagian lain tentu saja tidak berani menerima totokan-totokan tongkat yang sangat berbahaya itu. Dengan sendirinya, karena kurang sasaran, dia mulai terdesak hebat oleh kakek dan nenek iblis itu.
Juga Kun Liong dan Giok Keng telah terdesak hebat saking banyaknya fihak lawan yang mengeroyok. Bahkan Kun Liong sendiri yang sudah amat tinggi ilmunya, menjadi sangat kewalahan menghadapi pengeroyokan banyak orang pandai. Pendekar ini makin khawatir menyaksikan keadaan yang berbahaya itu, apa lagi sesudah dia melihat bahwa di sana terdapat pula puterinya dan Lie Seng yang bagaimana pun juga harus dapat diselamatkan keluar dari tempat itu.
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai yang gegap gempita, kemudian muncullah pasukan yang langsung menyerbu tempat pertempuran dan menyerang anak-anak buah Lembah Naga. Ternyata itu adalah pasukan pengawal dari kota raja, dipimpin oleh komandan pasukan pengawal Kim-i-wi (Pasukan Pengawal Berbaju Emas), yaitu Lee Cin, dan dibantu pula oleh seorang tokoh pengawal tua yang dahulu amat terkenal, yaitu Tio Hok Gwan ayah dari Tio Sun!
Tentu saja Tio Sun dan Kwi Beng girang bukan main melihat datangnya pasukan ini, apa lagi Tio Sun yang juga melihat ayahnya datang membantu. Dua orang pemuda ini terharu juga ketika melihat bahwa pasukan itu mempunyai seorang penunjuk jalan yang bukan lain adalah gadis cantik yang buntung lengan kirinya sebatas pergelangan tangan, yaitu Liong Si Kwi!
Memang sesungguhnya Si Kwi yang menjadi penunjuk jalan. Gadis ini bertemu dengan rombongan pasukan itu di luar Padang Bangkai, dan dia langsung menemui komandan pasukan itu, menceritakan mengenai keadaan Lembah Naga dan mengenai bahayanya melalui Padang Bangkai. Maka dia sendiri lalu menjadi penunjuk jalan sehingga semua pasukan dapat melalui Padang Bangkai dengan selamat dan tiba di Lembah Naga pada waktu di lembah ini terjadi pertempuran hebat itu. Andai kata tidak ada penunjuk jalan ini, agaknya akan banyak prajurit yang menjadi korban keganasan tempat-tempat berbahaya di Padang Bangkai.
Hek I Siankouw marah sekali melihat bahwa muridnya yang menjadi penunjuk jalan bagi pasukan pemerintah itu, akan tetapi dia tidak dapat melampiaskan kemarahannya karena kini keadaannya menjadi berubah sama sekali. Jumlah pasukan pemerintah itu seratus lima puluh orang dan mereka adalah pasukan Kim-i-wi yang terdiri dari prajurit-prajurit pengawal pilihan sehingga rata-rata memiliki kepandaian yang tinggi. Maka begitu mereka menyerbu, pasukan anak buah Lembah Naga segera terdesak hebat.
Kini, dengan bantuan Si Kwi, Mei Lan berhasil membebaskan Tio Sun dan Kwi Beng, dan kedua orang pemuda itu langsung terjun ke dalam gelanggang pertempuran, mengamuk dengan hebatnya! Juga Mei Lan tidak tinggal diam, mendampingi Lie Seng mengamuk pula. Hanya Si Kwi yang menjauh dan tidak ikut dalam pertempuran, karena bagaimana pun juga, dia merasa sungkan kepada subo-nya, dan menjauhkan diri, hanya menonton dengan hati tegang.
Munculnya pasukan Kim-i-wi membuat pertandingan antara tokoh-tokoh dua belah fihak menjadi seimbang dan makin seru. Kun Liong yang tahu akan kelihaian Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, sudah menerjang dan membantu ayah mertuanya, Kok Beng Lama sehingga kakek dan nenek itu terpecah menjadi dua. Kun Liong melawan Hek-hiat Mo-li sedangkan Kok Beng Lama melawan Pek-hiat Mo-ko.
Bouw Thaisu dihadapi oleh Giok Keng yang dibantu Kwi Beng, ada pun Hek I Siankouw berhadapan dengan Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan yang dibantu oleh puteranya sendiri, Tio Sun. Sedangkan Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, Coa-tok Sian-li, mengamuk dikeroyok oleh pasukan Kim-i-wi.
Perang kecil antara anak buah Lembah Naga melawan pasukan Kim-i-wi terjadi berat sebelah dan fihak anak buah Lembah Naga mulai berjatuhan. Hanya pertandingan antara para tokoh masih berlangsung seru dan ramai sekali karena keadaan mereka seimbang. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara yang halus namun amat berwibawa dan suara ini menembus semua suara hiruk pikuk pertempuran itu, seolah-olah datang dari angkasa.
"Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, tahan senjata! Para cu-wi sekalian, harap mundur dan biarkan saya menyelesaikan urusan pribadi dengan mereka!"
Mendengar suara yang penuh wibawa dan halus ini, Kok Beng Lama sudah meloncat mundur dan terdengarlah suaranya yang mengguntur, "Semuanya mundur, biarkan ketua Cin-ling-pai bicara dengan mereka!"
Suara Pendekar Sakti Cia Keng Hong tadi ditambah dengan suara Kok Beng Lama ini cukup berpengaruh untuk membuat semua yang bertanding mundur dengan sendirinya, terbagi menjadi dua kelompok. Cia Keng Hong yang sudah berada di situ kini melangkah maju dan berkata dengan suara lantang,
"Pek-hiat Mo-ko, bukankah engkau dan Hek-hiat Mo-li mengharapkan kedatanganku?"
Dari fihak Lembah Naga muncullah Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, membawa tongkat butut mereka sambil memandang kepada pendekar sakti itu dengan sinar mata marah karena kedua orang kakek dan nenek ini memang marah sekali menyaksikan betapa fihaknya menderita banyak kerugian dalam pertempuran tadi.
"Ketua Cin-ling-pai, engkau mau bicara apa?" bentak Pek-hiat Mo-ko.
Dengan sekilas pandang saja Cia Keng Hong sudah melihat bahwa fihaknya sebetulnya lebih kuat, apa lagi di situ terdapat Kok Beng Lama dan Yap Kun Liong, juga terdapat pasukan Kim-i-wi yang kuat dan banyak jumlahnya. Akan tetapi, dia tidak ingin melihat banyak orang menjadi korban dan terlibat dalam urusan ini, maka dia lalu berkata,
"Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, tadinya, saat mendengar bahwa kalian telah menahan Siang-bhok-kiam sebagai pusaka Cin-ling-pai, saya menganggap bahwa kalian memang sengaja ingin menentang dan menantang kami dari fihak Cin-ling-pai. Akan tetapi, kalian kemudian menculik Yap In Hong dari kota raja. Apakah sebenarnya maksud hati kalian? Bila hanya untuk urusan Siang-bhok-kiam dan kalian maksudkan untuk menantang kami, tidak perlu kita mengorbankan banyak orang, cukup hal ini diselesaikan di antara kita saja. Oleh karena itu, sebelum pertempuran berlarut-larut, saya datang dan minta agar engkau suka membebaskan Yap In Hong. Kemudian tentang Siang-bhok-kiam, mari kita perebutkan dengan adu kepandaian."
"Hemm, orang she Cia! Memang sesungguhnya kami sudah lama mengharap-harapkan kedatanganmu! Memang kami sengaja menahan Siang-bhok-kiam untuk mencoba sampai di mana kelihaian ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi bukan untuk itu saja! Kami menahan nona Yap untuk menentang semua pembantu mendiang The Hoo, musuh besar kami itu. Oleh karena dia sudah mati, maka biarlah semua bekas pembantu beserta sahabatnya mewakilinya untuk menyerahkan nyawa kepada kami!"
"Mo-ko dan Mo-li!" Cia Keng Hong membentak. "Caramu sangat curang! Apa bila kalian menantang mendiang Panglima The Hoo, biarlah saya sekalian yang menjadi wakilnya. Kau bebaskan Yap In Hong dan mari kita selesaikan dengan kepandaian antara kita."
"Kongkong! Dua iblis itu juga menahan paman Cia Bun Houw!" Tiba-tiba terdengar suara Lie Seng berteriak.
Mendengar ucapan ini, berkerut kening ketua Cin-ling-pai. Sungguh dia belum tahu bahwa puteranya juga tertawan. Sekarang dia memandang tajam kepada mereka dan bertanya, "Benarkah itu?"
"Benar, dan engkau hanya dapat membebaskan puteramu melalui mayat kami!" Hek-hiat Mo-li berkata dan langsung nenek ini menerjang dengan tongkatnya.
"Bagus, kalau begitu terpaksa hari ini aku melenyapkan kalian!" Cia Keng Hong berkata sambil mengelak dan segera balas menyerang. Maka berlangsunglah pertandingan yang sangat seru dan mengagumkan antara ketua Cin-ling-pai dengan kedua orang kakek dan nenek iblis itu.
Cia Keng Hong adalah seorang pendekar sakti yang amat tinggi kepandaiannya. Biar pun kini usianya sudah kurang lebih enam puluh lima tahun, namun kehidupan yang bersih membuat tubuhnya masih tegap dan kuat, kesehatannya baik sekali sehingga biar pun sudah lama dia tidak pernah terjun ke dunia kang-ouw, namun gerakan-gerakannya ketika bertanding tidak kelihatan kaku karena dia selalu berlatih diri di puncak Cin-ling-pai.
Dengan ilmunya yang sangat tinggi, yakni Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun, dia menghadapi tongkat kakek dan nenek itu, dan selalu dapat menghindarkan diri dengan mudah, bahkan sebaliknya dia telah mendesak kedua orang lawannya dengan pukulan-pukulan sakti dari Thai-kek Sin-kun.
Akan tetapi, seperti juga dengan Kok Beng Lama, setiap kali pendekar sakti ini berhasil ‘memasukkan’ pukulannya dan dengan tepat berhasil menghantam mereka, baik Mo-ko mau pun Mo-li hanya terpelanting dan bergulingan saja, kemudian meloncat bangun lagi sambil tertawa dan menyerang lebih hebat lagi!
Cia Keng Hong menjadi terkejut sekali. Sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, maklumlah dia bahwa dua orang lawannya itu telah memiliki ilmu kekebalan yang mukjijat! Biasanya, ilmu kekebalan yang mukjijat seperti itu diperoleh dengan cara yang tidak lumrah, dengan ilmu yang mendekati ilmu hitam yang mengerikan dan biasanya hanya dapat dipecahkan apabila orang menguasai rahasianya. Setiap ilmu kekebalan yang didapat secara tidak wajar melalui ilmu hitam pasti ada rahasia kelemahannya, dan tanpa mengetahui akan rahasia kelemahan itu, sukarlah melukai mereka!
Pada saat itu, Pek-hiat Mo-ko menghantamkan tongkatnya ke arah kepala Cia Keng Hong dari samping kanan, sedangkan dari kiri Hek-hiat Mo-li menusukkan ujung tongkat dengan totokan-totokan maut ke arah lambung. Cia Keng Hong segera menggerakkan kakinya, menggeser kedudukan tubuhnya lantas secepat kilat dia menangkis dengan lengannya, bukan menangkis tongkat melainkan langsung menangkis lengan Pek-hiat Mo-ko dengan mendorongkan tubuhnya ke depan.
"Plakkkk!"
Cia Keng Hong terpaksa menggunakan ilmunya yang paling dirahasiakan dan yang jarang dikeluarkan karena limu ini memang amat mukjijat, yaitu Thi-khi I-beng! Seperti telah kita ketahui, di dunia pada waktu itu hanya ada dua orang saja yang menguasai Thi-khi I-beng, yaitu pertama Cia Keng Hong dan kedua adalah Yap Kun Liong, karena hanya kepada Yap Kun Liong saja ketua Cin-ling-pai ini menurunkan ilmu mukjijat itu. Bahkan dua orang anaknya, Giok Keng dan Bun Houw, tidak diwarisi ilmu itu.
Tentu saja dibandingkan dengan Thi-khi I-beng yang dimiliki Kun Liong, tenaga Cia Keng Hong jauh lebih kuat. Maka begitu kedua lengan bertemu, Pek-hiat Mo-ko terkejut bukan main karena lengannya melekat dan ada tenaga sedot yang luar biasa dari lawan, yang menyedot tenaga sinkang-nya. Akan tetapi, kakek bermuka putih ini cepat menghentikan pengerahan tenaga sinkang-nya dan sebagai gantinya, dia mengeluarkan ilmu kebalnya dan... daya sedot dan tempel itu lenyaplah!
Cia Keng Hong terkejut bukan main! Tadinya dia tahu bahwa di dunia hanya ada tiga orang tokoh yang mampu menghadapi Thi-khi I-beng, bahkan dapat membuyarkan tenaga Thi-khi I-beng. Pertama adalah mendiang Tiang Pek Hosiang yang telah meninggal dunia, kedua adalah Bun Hwat Tosu, dan ketiga adalah Kok Beng Lama. Siapa tahu sekarang agaknya kakek dan nenek ini pun menguasai ilmu kekebalan yang dahsyat membuyarkan tenaga Thi-khi I-beng pula!
Tidak ada seorang pun yang berani maju membantu Cia Keng Hong karena dalam hal pertandingan mengadu ilmu seperti itu, bantuan merupakan penghinaan bagi pihak yang dibantu. Akan tetapi Kok Beng Lama yang sejak tadi menonton dengan penuh perhatian, maklum pula bahwa ilmu kekebalan dua orang kakek dan nenek iblis itu agaknya juga membuat ketua Cin-ling-pai yang lihai itu kewalahan. Dia sendiri tadi sudah merasakan kehebatan kakek dan nenek iblis itu, maka dia dapat menduga bahwa tanpa dibantu, agaknya ketua Cin-ling-pai itu mungkin sekali akan kalah!
"Ha-ha-ha!" Kok Beng Lama tertawa. "Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li agaknya bukan hanya mengandalkan ilmu kekebalan dari iblis itu, tetapi juga mengandalkan kecurangan dan sifat pengecut mereka. Mereka maju berdua menghadapi seorang lawan, sungguh kakek dan nenek tua bangka hampir mampus yang tidak tahu malu sama sekali!" Suara raksasa dari Tibet ini memang keras dan nyaring sekali, sehingga terdengar sampai jauh dan memasuki telinga kakek dan nenek itu seperti ratusan jarum yang menusuk langsung ke jantung.
Pek-hiat Mo-ko yang cerdik maklum bahwa pendeta Lama itu sengaja hendak membakar hati mereka, karena itu dia menulikan telinga dan diam saja tidak menjawab, melainkan mendesak Cia Keng Hong dengan tongkatnya. Namun tidaklah demikian dengan Hek-hiat Mo-li.
Nenek ini merasa bahwa ilmu kekebalannya cukup dapat diandalkan dan telah dibuktikan ketika dia menghadapi lawan-lawan tangguh seperti Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong. Memang, dalam hal ilmu silat, agaknya dia dan Pek-hiat Mo-ko tidak mampu menandingi ketua Cin-ling-pai atau pendeta Tibet itu, akan tetapi dengan perlindungan ilmu kekebalan mereka, musuh-musuh itu mampu berbuat apakah? Hal ini membesarkan hatinya, maka pada saat mendengar ejekan dan penghinaan Kok Beng Lama, dia tidak dapat menahan kemarahannya.
"Pendeta gundul! Siapa takut padamu? Majulah kalau sudah bosan hidup!" tantangnya.
"Ha-ha-ha! Ketua Cin-ling-pai, aku sama sekali bukan membantumu, akan tetapi aku malu karena aku ditantang oleh nenek gila itu, ha-ha." Kok Beng Lama sudah melangkah lebar dan memasuki gelanggang pertempuran.
Tentu saja Cia Keng Hong tidak bisa melarang dan biar pun dia merasa kurang senang karena masuknya Kok Beng Lama seolah-olah menurunkan kehormatannya, seolah-olah dia sudah kewalahan, namun sesungguhnya memang harus diakui bahwa tanpa dibantu oleh Kok Beng Lama, agaknya tidak mungkin dia dapat mengalahkan kakek dan nenek yang kebal dan tidak dapat terluka ini.
Tepat pada saat itu pula, terdengar suara keras disusul suara bangunan roboh dan debu mengebul tinggi! Suara hiruk-pikuk ini datangnya dari perkampungan Lembah Naga dan semua orang menengok dan otomatis pertempuran itu pun terhenti. Di antara debu-debu yang mengebul tinggi, muncullah dua orang lelaki dan wanita. Mereka ini ternyata adalah Cia Bun Houw dan Yap In Hong yang kemudian datang sambil bergandengan tangan! Wajah mereka berseri-seri dan agak kemerahan, dua pasang mata itu mencorong aneh.
"Omitohud...! Mereka berhasil menyatukan Thian-te Sin-ciang sampai di puncaknya!" seru Kok Beng Lama dengan kagum dan juga heran. Dari pandangan mata dua orang muda itu pendeta Lama ini tentu saja dapat mengenal pancaran Ilmu Thian-te Sin-ciang. Dan memang benarlah apa yang disangkanya itu.
Seperti telah kita ketahui, sesudah Cia Bun Houw dan Yap In Hong terbebas dari mala petaka yang akan mencemarkan nama baik serta kehormatan mereka, lolos dari racun pembangkit nafsu birahi di dalam kamar tahanan, Cia Bun Houw lalu menyalurkan tenaga Thian-te Sin-ciang, melatih dan memperkuat tenaga yang sudah dimiliki In Hong.
Ketika diam-diam Yap Mei Lan datang ke kamar tahanan, mereka berdua masih melatih diri dan menghimpun tenaga Thian-te Sin-ciang dengan duduk saling berhadapan dalam keadaan bersila dan kedua telapak tangan mereka saling bertemu dan menempel, Mei Lan dapat menyelinap ke tempat tahanan karena semua anak buah Lembah Naga sudah keluar dan bersiap-siap menghadapi musuh yang datang menyerbu. Karena Mei Lan tidak berhasil menyadarkan mereka dari luar pintu kamar tahanan, maka terpaksa Mei Lan lalu meninggalkan sehelai daun yang sudah dia tulisi dan meninggalkan tempat itu.
Pada saat itu, sudah sehari semalam Bun Houw dan In Hong menghimpun tenaga dan akhirnya mereka merasa bahwa tenaga Thian-te Sin-ciang sudah mencapai tingkat yang amat tinggi, terasa sampai ke ubun-ubun kepala mereka. Maka, mereka menghentikan latihan itu dan begitu mereka sadar, mereka mendengar suara ribut-ribut di luar kamar tahanan.
Suara itu terdengar agak jauh, tapi kini pendengaran mereka ternyata menjadi jauh lebih tajam sehingga seolah-olah mereka mendengar semua yang terjadi di luar itu seperti di dekat mereka saja, bahkan Bun Houw mengenal hawa pukulan ayahnya yang bertanding melawan dua orang kakek dan nenek iblis itu.
"Eh, lihat ini...!" kata In Hong sambil memungut daun yang berada di kamar itu. Kiranya itulah daun yang sudah ditinggalkan oleh Mei Lan dengan menyelipkannya di antara celah di bawah pintu kamar tahanan yang kokoh kuat itu.
Mereka lalu membaca tulisan di atas daun yang dilakukan dalam keadaan tergesa-gesa, namun cukup jelas untuk dibaca.
‘Kelemahan Hek Pek berada di antara lutut ke bawah.’
Hanya itulah kata-kata yang tercoret di atas daun, akan tetapi semua itu telah cukup bagi Bun Houw dan In Hong. "Entah siapa yang menulis ini dan entah benar ataukah hanya bohong, akan tetapi kita harus keluar dari sini sekarang juga, Hong-moi!"
In Hong memandang dan terkejutlah Bun Houw ketika dia melihat sinar mata gadis di depannya itu. Juga In Hong terkejut ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata pemuda itu. Sinar mata mereka mencorong dan berkilat!
“Kenapa, Houw-ko?”
“Matamu... Hong-moi, matamu...”
“Kenapa?”
“Bukan main indahnya...”
“Matamu juga mencorong dengan sinar aneh, Houw-ko, seperti mata gurumu...”
“Benar, seperti mata suhu. Bukan hanya guruku, akan tetapi gurumu juga.”
“Mari kita keluar.”
“Kita coba lagi menggunakan tenaga Thin-te Sin-ciang.”
Mereka berdua bangkit berdiri dan menghampiri pintu besi, lalu mengerahkan tenaga dan menghantan ke arah daun pintu yang kokoh kuat itu. Itulah suara keras yang terdengar oleh semua orang dan membuat semua orang menghentikan pertempuran.
Tenaga mereka demikian dahsyatnya sehingga bukan hanya daun pintu besi saja yang bobol, akan tetapi juga bangunan tempat tahanan itu roboh dan debu mengepul tinggi dan tebal. Mereka berdua lalu keluar dengan wajah berseri karena mereka merasa girang sekali bahwa usaha mereka berlatih diri dan menyatukan Thian-te Sin-ciang tadi sudah berhasil baik sekali.
Bun Houw yang pendengarannya menjadi sangat tajam, tadi sudah tahu bahwa yang bertanding melawan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li adalah ayahnya dan gurunya, dan melihat keadaan dua orang kakek dan nenek iblis itu, agaknya ayahnya beserta gurunya belum berhasil memperoleh kemenangan, maka bersama In Hong dia segera melangkah maju menghampiri dan berkatalah Bun Houw, suaranya nyaring sekali,
“Ayah! Suhu! Mereka berdua mempunyai perhitungan yang harus dibereskan sekarang juga dengan kami berdua, oleh karena itu harap ayah dan suhu sudi mundur dulu untuk membereskan perhitungan itu.”
Kakek dan nenek itu terkejut bukan kepalang ketika melihat dua orang muda itu ternyata dapat membobol tahanan. Mereka maklum bahwa sesudah dua orang itu dapat keluar, maka tidak mungkin lagi mereka mengelakkan pertandingan mati-matian. Maka mereka lantas berteriak memberi aba-aba kepada semua pembantu mereka, sedangkan mereka sendiri langsung menerjang Bun Houw dan In Hong.
Bun Houw diserang oleh Pek-hiat Mo-ko sedangkan In Hong diserang oleh Hek-hiat Mo-li. Dua orang muda ini mengeluarkan teriakan meleking nyaring dan menyambut serangan mereka dengan dahsyat.
“Desss...!”
“Desss...!”
Kakek dan nenek itu terlempar ke belakang oleh hawa pukulan Thian-te Sin-ciang yang amat kuat. Mereka terbanting dan bergulingan, namun mereka meloncat bangun lagi dan menyerang kembali dengan lebih ganas, disambut oleh Bun Houw serta In Hong yang maklum bahwa mereka itu mempunyai kekebalan mukjijat, bahkan yang mampu menahan pukulan Thian-te Sin-ciang.
Akan tetapi mereka berdua sudah tahu dimana letak kelemahan kakek dan nenek iblis itu. Mulailah mereka menunjukan pukulan-pukulan balasan mereka ke bawah, ke arah kaki di bawah lutut kakek dan nenek itu yang merasa terkejut sekali dan selalu melindungi agar kedua kaki mereka tidak sampai terpukul.
Sementara itu, semua pembantu Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li juga sudah bergerak, akan tetapi kini Kok Beng Lama, Cia Keng Hong, Cia Giok Keng, Yap Kun Liong, Tio Hok Gwan, Tio Sun, Souw Kwi Beng dan pasukan kota raja mengamuk menyambut mereka. Terjadilah pertempuran hebat sekali, pertempuran mati-matian yang berat sebelah karena pihak Lembah Naga kini jauh kalah kuat, baik para tokohnya mau pun anak buahnya.
Bouw Thaisu yang paling sakti di antara pembantu Lembah Naga, kini dihadapi oleh Kok Beng Lama yang selalu tertawa-tawa mengejek tosu tua itu, “Ha-ha, tosu bau, sungguh engkau menyalahi pelajaran Agama To dengan membantu orang-orang busuk semacam kakek dan nenek iblis itu! Ehh, tosu bau, apakah pelajaran-pelajaran dan ayat-ayat suci itu hanya untuk pamer belaka?”
“Lama sombong, tutup mulutmu! Pinto tidak membantu orang, melainkan ingin menuntut kematian mendiang Thian Hwa Cinjin sahabat pinto.”
“Tentu sahabatmu itu pun bukan orang baik-baik!” kata Kok Beng lama.
“Benar, locianpwe. Sahabatnya itu adalah bekas ketua Pek-lian-kauw wilayah timur yang tewas di tangan saya!” Cia Giok Keng yang mendengar percakapan itu berseru kepada guru adiknya itu, sedangkan dia sendiri menghadapi pengeroyokan beberapa orang anak buah Lembah Naga.
“Ha-ha-ha-ha, kiranya sahabatmu itu orang Pek-lian-kauw? Pantas saja!”
Kok Beng Lama mendesak hebat, akan tetapi Bouw Thaisu adalah seorang yang tinggi ilmunya pula maka dia dapat menghindar dengan gesit dan membalas dengan serangan yang cukup dahsyat untuk merobohkan lawannya yang selalu tertawa mengejeknya itu. Lengan bajunya menyambar-nyambar dengan ganas dan dari ujung kedua lengan baju itu menyambar tenaga sinkang yang cukup kuat untuk menghancurkan batu karang atau pun menumbangkan sebatang pohon sebesar tubuh manusia!
Akan tetapi dengan enaknya Kok Beng Lama menangkis kedua ujung lengan baju yang menyambar-nyambar itu dengan kedua tangan kosong saja, bahkan setiap tangkisannya membuat kedua lengan baju Bouw Thaisu tergetar hebat...
Hek I Siankouw juga menghadapi lawan yang terlalu berat baginya, yaitu pendekar Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai! Walau pun dia telah memainkan pedang hitamnya dengan sekuat tenaga, juga kadang kala dia mempersiapkan Hek-tok-ting (Paku Beracun Hitam) yang berbahaya itu, namun dia tidak banyak berdaya menghadapi ketua Cin-ling-pai ini. Padahal pendekar sakti ini sama sekali tak menggunakan senjata, hanya menggerakkan kedua tangan dan kaki untuk menghadapi nenek berpakaian hitam ini.
Pedang hitam di tangan Hek I Siankouw mengeluarkan suara berdesing saat menyambar-nyambar ganas, namun semua sambaran itu dapat dielakkan oleh Cia Keng Hong dengan mudah, dan kalau sekali-kali ada sinar hitam paku beracun yang menyambar, paku itu tahu-tahu sudah dapat dijepit oleh jari-jari tangan ketua Cin-ling-pai itu dan dikembalikan kepada pemiliknya, membuat Hek I Siankouw terkejut dan hampir termakan oleh senjata rahasianya sendiri. Sesudah tiga kali selalu berakibat membahayakan dirinya sendiri, dia tidak berani lagi menggunakan paku-paku beracun dan hanya mainkan pedang hitamnya dengan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.
Ang-bin Ciu-kwi juga menghadapi lawan yang terlampau tangguh bagiriya, yaitu Yap Kun Liong, ada pun isterinya, Coa-tok Sian-li diserang dengan hebat oleh Cia Giok Keng yang dibantu oleh Tio Sun. Tentu saja suami isteri ini menjadi repot sekali dan hanya mampu menangkis dan mempertahankan diri saja tanpa dapat membalas sedikit pun juga.
Sementara itu, Tio Hok Gwan, komandan pasukan, dibantu oleh Souw Kwi Beng beserta semua anggota pasukan. Bahkan tampak pula Lie Seng yang mengamuk bahu membahu dengan Yap Mei Lan, menghadapi para anggota Lembah Naga yang berkelahi dengan nekat dan mati-matian sungguh pun mereka terdesak hebat dan satu demi satu mereka roboh oleh fihak lawan yang lebih banyak dan lebih kuat itu.
Di antara para tokoh Lembah Naga, yang lebih dahulu roboh adalah Bouw Thaisu. Kedua ujung lengan bajunya berhasil ditangkap oleh cengkeraman tangan Kok Beng Lama yang tertawa bergelak dan ketika Bouw Thaisu mengerahkan tenaganya sehingga ujung lengan bajunya terobek lantas sepasang telapak tangannya menghantam dada Kok Beng Lama, pendeta raksasa ini sambil tertawa juga mendorongkan kedua telapak tangannya.
Kedua pasang telapak tangan yang penuh dengan tenaga sinkang itu bertemu di udara. Hebat bukan main getaran hawa yang terasa oleh semua orang yang sedang bertempur. Bumi seolah-olah berguncang dibuatnya.
Tubuh Bouw Thaisu tergetar hebat seperti orang sakit demam, kemudian dia terhuyung ke belakang, kedua tangan memegang dadanya, dari mulutnya keluar darah segar lantas dia terpelanting dan roboh miring di atas tanah dengan nyawa putus!
Kok Beng Lama tertawa bergelak kemudian berkata, "Omitohud, kedua tanganku kembali berlepotan darah...!"
Tidak lama sesudah Bouw Thaisu roboh, menyusul Hek I Siankouw yang roboh dengan pedang hitam menembus dadanya sendiri! Pada saat dia menyerang dengan jurus nekat, yaitu seluruh tubuh mendoyong dan pedangnya menusuk ke arah dada Cia Keng Hong, pendekar sakti ini terkejut. Serangan itu hebat bukan main dan penuh dengan tenaga sakti karena nenek itu sudah nekat, mengerahkan seluruh tenaganya dan didorong oleh loncatan tubuhnya.
Cia Keng Hong maklum bahwa kalau mengelak, dia menghadapi bahaya, maka dia lalu mengerahkan tenaga sakti pada kedua tangannya lalu dia menangkis dari samping sambil mengeluarkan lengkingan keras. Itulah sebuah jurus dari Thai-kek Sin-kun.
Tangkisan ini mengandung kekuatan yang demikian dahsyatnya sehingga saat mengenai pedang maka pedang itu membalik dengan cepatnya dan menusuk dada Hek I Siankouw sendiri sampai tembus di punggung! Tentu saja nenek itu terjengkang roboh dan tewas seketika.
Cia Keng Hong berdiri terbelalak memandang. Dia tak sengaja membunuh nenek itu dan dia menarik napas panjang, merasa ngeri dan menyesal mengapa dalam usia tuanya dia masih harus membunuh orang sengeri itu keadaanya.
Ang-bin Ciu-kwi yang kasar itu pun roboh tewas akibat tamparan tangan kiri Kun Liong, sedangkan isterinya pun roboh dan tewas oleh pedang di tangan Cia Giok Keng sesudah hampir saja wanita perkasa ini menjadi korban jarum racun ular yang dilepas oleh Coa-tok Sian-li.
Sedangkan pasukan Lembah Naga tinggal sedikit lagi yang masih terus bertahan, namun mereka terdesak hebat dan tidak lama kemudian, orang terakhir dari mereka pun roboh. Memang hebat bukan main pasukan yang diberikan oleh Raja Sabutai kepada gurunya itu, karena pasukan itu merupakan pasukan berani mati yang melawan musuh sampai orang terakhir roboh dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang melarikan diri sungguh pun mereka sudah dari tadi tahu bahwa fihak mereka sudah pasti kalah. Sekarang tinggal kakek serta nenek iblis itu saja yang ternyata masih sanggup bertahan melawan Bun Houw dan In Hong!
Bukan main hebatnya pertandingan antara mereka ini dan walau pun In Hong dan Bun Houw sudah berhasil menguasai Ilmu Thian-te Sin-ciang secara sempurna, akan tetapi ternyata tidak mudah bagi mereka untuk mengalahkan dua orang tua iblis itu. Kekebalan tubuh mereka memang menggiriskan sekali.
Sungguh pun dua orang muda itu sudah memperoleh petunjuk melalui Mei Lan tentang kelemahan mereka dan telah terus-menerus menujukan serangan mereka ke arah bawah lutut kaki, namun mereka belum juga berhasil. Selain kedua orang kakek dan nenek itu terus melindungi kaki mereka, juga dua orang muda itu tidak tahu dengan pasti di mana letak kelemahan itu dan biar pun mereka telah beberapa kali berhasil menghantam betis, tulang kering dan mata kaki, namun kedua orang itu hanya terlempar dan bergulingan, akan tetapi ternyata bukan di situlah letak kelemahan itu karena mereka masih mampu melawan makin dahsyat dan nekat! Memang kakek dan nenek iblis itu telah nekat ketika mereka melihat bahwa semua teman mereka telah roboh!
Cia Giok Keng dan Tio Sun sudah bergerak maju hendak membantu, akan tetapi Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong mengangkat tangan melarang mereka atau siapa pun juga membantu! Mereka ini melihat betapa Bun Houw dan In Hong mampu menandingi kakek dan nenek itu, dan agaknya dua orang muda itu tahu akan kelemahan lawan yang jelas dapat diduga tentu berada di kaki mereka. Buktinya mereka selalu melindungi kaki mereka dan kelihatan terkejut dan gugup ketika kaki mereka terus-menerus diserang.
Tanpa sengaja Cia Keng Hong berdiri di sebelah Kok Beng Lama. Mereka saling pandang dan melalui pandang mata mereka, kedua orang sakti ini mengerti akan keadaan yang sedang bertanding. Mereka tadi pun sudah mengukur tenaga dengan kakek dan nenek iblis itu dan mendapat kenyataan bahwa mereka berdua itu memang memiliki kekebalan yang mukjijat.
"Hemm, di kaki sebelah mana agaknya kelemahan mereka?" Kok Beng Lama mengomel seorang diri, suaranya lirih akan tetapi terdengar oleh Cia Keng Hong.
"Di mana kalau menurut dugaan locianpwe?" Cia Keng Hong bertanya sambil menoleh. Keduanya saling pandang dan keduanya berpikir keras, menggali ingatan mereka tentang pengetahuan mengenai ilmu-ilmu yang mukjijat dan aneh.
"Dan dugaan taihiap?" tanya pula Kok Beng Lama.
Kedua orang sakti itu lalu menggunakan ujung sepatu mereka untuk menggores-gores di atas tanah dan keduanya lalu saling membaca tulisan kaki mereka. Ternyata keduanya berbunyi sama, yaitu, ‘telapak kaki’. Mereka tertawa dan mengangguk-angguk.
"Locianpwe harap suka memberi tahu kepada In Hong, saya akan memberi tahu kepada Bun Houw," kata Cia Keng Hong.
Kok Beng Lama mengangguk dan kedua orang sakti ini lalu mengerahkan ilmu mereka yang hebat, yaitu Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jarak Jauh) dengan kekuatan khikang mereka. Bibir mereka bergerak-gerak dan tidak ada orang lain yang mendengar suara mereka kecuali orang yang ditujunya!
Bun Houw mendengar bisikan suara ayahnya dan In Hong juga mendengar bisikan suara Kok Beng Lama yang parau, "Kelemahan mereka itu mungkin sekali terletak pada telapak kaki mereka."
Tentu saja kedua orang muda itu merasa girang mendengar ini. Sudah sejak tadi mereka menyerang ke arah kaki tanpa hasil dan kini mereka bahkan mulai meragukan kebenaran pemberi tahuan yang ditulis di atas daun itu. Melihat kenyataan betapa kakek dan nenek itu mati-matian melindungi dua kaki mereka, agaknya pemberi tahuan itu memang benar, akan tetapi mengapa semua serangan mereka yang berhasil mengenai bagian kaki tidak merobohkan mereka?
Mengapa kedua orang sakti, Cia Keng Hong dan Kok Beng Lama dapat menduga bahwa mungkin sekali kelemahan kakek dan nenek itu berada di telapak kaki? Mereka teringat akan ilmu kekebalan mukjijat golongan hitam atau kaum sesat, yang berbeda dengan latihan limu kekebalan kaum putih yang melatihnya dengan dasar sinkang yang kuat.
Golongan sesat melatih ilmu kekebalan dengan bermacam cara, dicampur dengan ilmu hitam, ilmu sihir dan dengan ramuan-ramuan racun yang berbahaya. Mereka lalu teringat bahwa latihan ilmu kekebalan yang menghasilkan kekebalan seperti yang dimiliki kakek dan nenek itu hanya mungkin bila tubuh mereka itu sudah seperti mati sehingga pukulan-pukulan sakti tak lagi mempengaruhi tubuh mereka, dan tubuh yang seperti mati itu hanya dapat dicapai dengan melumurinya dengan racun-racun yang luar biasa.
Biasanya, bagian yang dilumuri racun itu tidak boleh tertutup dan harus dibiarkan terkena angin, sinar matahari bahkan sinar bulan sehingga ada kemungkinan mereka bertapa sampai berbulan-bulan dengan tubuh dilumuri racun-racun setiap saat. Akan tetapi, tidak mungkin orang dapat melumuri racun seluruh bagian tubuhnya, misalnya andai kata dia rebah terlentang, tentu punggungnya terlewat, kalau duduk tentu pantatnya, dan kalau sambil berdiri tentulah telapak kakinya.
Kini, melihat betapa punggung, pantat bahkan seluruh bagian tubuh kakek dan nenek itu benar-benar kebal, agaknya satu-satunya tempat yang lemah tentu di telapak kaki dan sangat boleh jadi ketika bertapa sambil melumuri tubuh dengan racun, kakek dan nenek itu menyiksa diri dengan berdiri terus selama entah berapa hari atau berapa bulan!
Jadi, kalau seluruh anggota tubuh itu seolah-olah sudah mati, hanya kedua telapak kaki itu yang hidup! Tentu saja, selain bagian lemah ini, kedua mata mereka pun merupakan bagian lemah, akan tetapi mereka selalu melindungi kedua mata mereka, apa lagi setelah mata kiri Hek-hiat Mo-li menjadi buta oleh jarum rahasia dari arca kaisar di istana dahulu itu ketika dia dan Pek-hiat Mo-ko menyerbu istana.
Biar pun Bun Houw dan In Hong menjadi girang sekali mendengar bisikan dua orang sakti itu, namun tidaklah mudah bagi mereka untuk menyerang bagian lemah itu. Bagaimana dapat menyerang telapak kaki lawan? Telapak kaki selalu tertutup atau terlindung karena dipakai untuk menginjak tanah! Mana mungkin bisa diserang? Kelihatan pun tidak! Dua orang muda perkasa itu menjadi bingung.
Dengan ilmunya yang tinggi, lebih tinggi dari kepandaian In Hong, Bun Houw tentu saja dapat mengatasi Pek-hiat Mo-ko dengan baik. Pemuda ini sudah mewarisi ilmu-ilmu yang amat hebat dari ayahnya dan dari Kok Beng Lama, ilmu silatnya bermacam-macam dan kesemuanya merupakan ilmu-ilmu silat pilihan yang bertingkat tinggi.
Kalau saja Pek-hiat Mo-ko tidak mengandalkan ilmu kekebalannya yang mukjijat itu, tentu sudah sejak tadi dia roboh oleh pemuda perkasa ini. Akan tetapi, kekebalan yang amat hebat itu melindunginya sehingga sungguh pun dia sudah belasan kali terpelanting oleh pukulan yang amat hebat, pukulan yang akan menewaskan lawan-lawan yang bahkan lebih lihai sekali pun, namun tidak membuat Pek-hiat Mo-ko terluka dan kakek ini dapat meloncat bangun kembali sambil tertawa mengejek dan menyerang dengan dahsyatnya yang juga dapat dielakkan atau ditangkis oleh Bun Houw dengan mudahnya. Baik dalam hal ilmu silat mau pun dalam hal tenaga sinkang, pemuda ini lebih tinggi tingkatnya dari pada lawannya. Akan tetapi kekebalan itu membuat dia tidak berdaya.
In Hong juga bukan seorang gadis sembarangan. Dia telah mewarisi ilmu-ilmu silat yang amat hebat dari gurunya, pewaris pusaka milik mendiang Panglima Sakti The Hoo. Meski pun tingkatnya belum dapat dibandingkan dengan tingkat Bun Houw, akan tetapi ilmu-ilmu silat yang murni dan bernilai tinggi itu membuat dia cukup kuat untuk bisa mengimbangi kepandaian nenek Hek-hiat Mo-li yang lihai.
Dia dengan menguasai Thian-te Sin-ciang yang sudah menjadi sempurna karena dilatih secara bergabung dengan Bun Houw, maka boleh dibilang gadis ini memiliki tenaga yang lebih kuat dari pada si nenek iblis. Akan tetapi, karena dia pun tidak berdaya menghadapi kekebalan nenek itu, keadaannya menjadi berimbang, bahkan kadang-kadang dia seperti terdesak oleh Hek-hiat Mo-li yang menyerang tanpa mempedulikan tubuhnya sendiri yang dilindungi oleh kekebalan sehingga kadang-kadang In Hong menjadi repot juga dan harus melindungi diri dengan bergerak mundur.
Kini mereka sudah mendengar bisikan dua orang sakti itu, akan tetapi tetap saja mereka tidak tahu bagaimana mereka akan dapat menyerang telapak kaki lawan! In Hong terus melindungi dirinya dari serangkaian serangan Hek-hiat Mo-li yang hanya bermata satu itu sambil memutar otak mencari akal.
Untuk melindungi diri sendiri, ilmu silatnya cukup tinggi dan tenaganya pun cukup besar sehingga dia tidak usah khawatir akan celaka oleh serangan-serangan dahsyat itu yang dapat dielakkan atau ditangkisnya secara pasti dan tidak begitu sukar, sungguh pun tentu saja dia menjadi terdesak karenanya.
Sementara itu, Bun Houw sudah memikirkan akal untuk merobohkan lawan, atau paling tidak supaya dapat menyerang telapak kaki lawan yang diharapkannya akan merobohkan lawannya. Dia tahu bahwa memaksa lawan memperlihatkan telapak kakinya tentu saja tidak mungkin, maka dia harus mempergunakan akal dan dia pura-pura tidak menyangka bahwa kelemahan itu berada di telapak kaki lawan itu. Kini dia harus dapat melakukan pertempuran jarak dekat, pikirnya.
Tadi dia menganggap bahwa tongkat kakek bermuka putih itu tidak berbahaya, bahkan dia membiarkan kakek itu menghadapinya dengan senjata tongkat itu karena dia hendak membiarkan kakek itu lengah karena merasa lebih untung keadaannya yang bersenjata melawan dia yang bertangan kosong dan dia hendak menggunakan kelengahan itu untuk menyerang ke arah kaki.
Akan tetapi setelah dia mendengar bisikan Cia Keng Hong tadi, dia percaya penuh akan kelihaian serta ketajaman mata ayahnya, maka untuk dapat menyerang telapak kaki lebih dahulu dia harus menyingkirkan tongkat lawan agar mereka dapat bartempur dalam jarak yang lebih berdekatan.
Pada saat tongkat itu menyambar dengan tusukan ganas ke arah tenggorokan, Bun Houw sengaja memperlambat gerakannya sehingga tongkat itu sudah tiba dekat sekali dengan lehernya. Tiba-tiba saja dia miringkan tubuhnya, membiarkan tongkat lewat dan anginnya sudah terasa oleh kulit lehernya, lalu mendadak dia menyerang kakek itu dengan jari-jari tangan terbuka ke arah matanya. Cepat bukan main serangannya itu.
Tentu saja selain bagian tubuh yang dirahasiakannya, sepasang mata sama sekali tidak terlindung oleh kekebalan. Kakek itu terkejut dan cepat menarik mundur tubuhnya bagian atas, sedangkan tangan kirinya menangkis dari samping. Akan tetapi betapa terkejutnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa serangan itu tidak dilanjutkan oleh lawan, dan kini tongkatnya yang kena ditangkap oleh tangan kanan pemuda yang lihai bukan main itu.
"Haiiiiitttt...!" Pek-hiat Mo-ko mengeluarkan teriakan keras dan tangan kirinya menyambar ke arah kepala Bun Houw dengan cengkeraman maut, sedangkan tangan kanannya tetap memegang ujung tongkat sambil menarik dengan sentakan kuat.
"Hemmm!" Bun Houw mengeluarkan suara gerengan dalam dada, tangan kiri digerakkan menangkis dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dan juga menggunakan tangan kanan yang memegang ujung tongkat untuk menarik.
"Plakk! Krekkk...!"
Untuk ke sekian kalinya tubuh Pek-hiat Mo-ko terlempar ke belakang dan tongkatnya patah menjadi dua potong, yang sepotong tertinggal di tangan Bun Houw. Tangkisan hebat tadi membuat tubuhnya terlempar dan karena dia mempertahankan tongkatnya, maka tongkat itulah yang tidak kuat menahan dan menjadi patah.
Muka Pek-hiat Mo-ko yang putih pucat itu berubah sedikit merah, akan tetapi lalu menjadi putih kembali dan dia memandang tongkat di tangannya dengan kedua mata terbelalak, seolah-olah masih belum mau percaya melihat tongkat pusakanya itu dapat patah.
Padahal ada kepercayaan tahyul di dalam hatinya bahwa patahnya tongkat pusaka yang dianggap tidak mungkin dapat pulih itu berarti kematiannya! Maka dia menjadi nekat. Dia membuang tongkat yang sudah patah itu dan dengan teriakan ganas dia menubruk maju, menghantam dengan dahsyat ke arah lawannya.
Bun Houw juga telah membuang tongkat patah itu dan cepat menyambut serangan lawan dengan kedua tangan pula. Akan tetapi sekali ini dia tidak mengadu pukulan, melainkan menangkap kedua pergelangan tangan lawan.
"Ihhhhh…!" Pek-hiat Mo-ko terkejut dan marah.
Kedua pergelangan tangannya sudah ditangkap oleh tangan pemuda itu, tangkapan yang sangat kuat dan walau pun dia sudah mengerahkan seluruh kekuatan sinkang-nya untuk menarik kedua tangannya, tetap saja dia tak mampu meloloskan diri. Dia menjadi marah. Ditangkap kedua pergelangan tangannya seperti itu tidak ada artinya dan dengan cara demikian pemuda itu pun tidak akan mampu menang, maka dia tertawa mengejek.
"Ha-ha-ha, engkau takut melanjutkan pertempuran?"
"Pek-hiat Mo-ko, hendak kulihat bagaimana engkau dapat melepaskan peganganku!" Bun Houw juga mengejek lantas memperkuat pegangannya sehingga agaknya kalau kakek itu mengerahkan seluruh tenaga untuk memaksa, cekalan itu tidak akan terlepas akan tetapi kedua lengan kakek itu yang akan copot atau patah seperti tongkat tadi!
Pek-hiat Mo-ko maklum akan hal ini, maka dia menjadi makin gelisah dan marah. Semua pengikutnya telah tewas, hanya tinggal Hek-hiat Mo-li yang masih bertanding mati-matian melawan gadis perkasa itu dan ternyata kawannya itu pun tidak mampu mendesak gadis bertangan kosong itu yang sekarang memiliki tenaga Thian-te Sin-ciang yang luar biasa kuatnya pula. Dipengaruhi oleh patahnya tongkat pusakanya yang dianggapnya sebagai pertanda akhir hidupnya, maka kakek yang marah ini menjadi nekat.
"Lepaskan tanganku!" bentaknya dan dia menendang ke arah bawah pusar Bun Houw.
Inilah yang dikehendaki oleh pemuda itu! Dia hendak memaksa lawannya agar melakukan tendangan karena hanya pada waktu menendang sajalah telapak kaki dari lawannya itu ‘terbuka’ dan tidak terlindung atau tersembunyi. Akan tetapi Bun Houw memang cerdik.
Dia tidak terlalu membiarkan kegirangan menguasainya dan dia maklum bahwa sekali dia tidak berhasil merobohkan kakek itu melalui serangan pada telapak kakinya, berarti dia gagal dan kakek itu tentu akan menjadi lebih berhati-hati menyembunyikan rahasianya. Maka dia masih berpura-pura tidak tahu bahwa rahasia kelemahan itu terletak di telapak kaki, dan ketika tendangan menyambar ke arah bawah pusar, dia cepat-cepat miringkan tubuhnya untuk mengelak, kemudian dengan mengurangi kecepatan gerakan elakannya dia sengaja membiarkan pahanya tertendang.
"Dessss...!"
Bun Houw menyeringai tanda kesakitan dan kakek itu tertawa bergelak, merasa bahwa dia berada dalam keadaan unggul maka selagi pemuda itu menyeringai kesakitan, dia sudah menggerakkan kaki kirinya menendang kembali, mengarah paha yang baru saja tertendang, yang dianggapnya merupakan tempat yang baik untuk dihantam terus selagi bagian itu terasa nyeri.
Namun, pemuda perkasa itu telah memperhitungkan saat ini dengan tepat dan dia sudah mengumpulkan seluruh tenaga Thian-te Sin-ciang ke dalam lengan kanannya sampai ke ujung jari kanan. Melihat kaki kiri mulai menyambar, secara mendadak dia melepaskan cekalan tangan kanannya dari pergelangan tangan lawan dan tangan itu menyambar ke bawah, cepat mencengkeram ke arah telapak kaki kiri lawan dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang yang dahsyat bukan main. Batu karang yang bagaimana kerasnya pun tentu akan hancur lebur oleh cengkeraman yang mengandung tenaga mukjijat Thian-te Sin-ciang sepenuhnya itu.
Dan ternyata, tidak seperti anggota badan pada bagian lainnya yang sudah membuktikan kekebalannya terhadap kedahsyatan Thian-te Sin-ciang, pada waktu telapak kaki kiri dari Pek-hiat Mo-ko itu kena dicengkeram, kaki itu menjadi remuk-remuk tulangnya dan hancur kulit dagingnya!
Pek-hiat Mo-ko mengeluarkan pekik mengerikan, matanya terbelalak ketika mulutnya memekik dan pada saat itu pula tangan kiri Bun Houw yang sudah melepaskan pegangan pada pergelangan tangan lawan langsung menyambar dengan kecepatan seperti kilat ke arah dadanya.
"Krekkkk...!"
Tubuh Pek-hiat Mo-ko terpelanting, tulang iganya patah-patah dan seluruh isi dadanya terguncang hebat. Kekebalannya langsung lenyap setelah telapak kakinya hancur. Tetapi, dalam keadaan yang sudah seperti itu, yang tentu merupakan sebab kematian bagi orang lain yang bagaimana kuat pun, kakek bermuka putih itu masih bisa meloncat bangun dan seperti sebuah mayat hidup dia menubruk ke arah Bun Houw! Namun, pemuda ini dengan gerakan lincah telah menggeser kaki miringkan tubuh dan kakinya menyambar.
"Desssss...!"
Tubuh yang seperti mayat hidup itu terjengkang, roboh terbanting dan tidak bergerak lagi karena memang Pek-hiat Mo-ko sudah menghembuskan napas terakhir pada waktu dia mengerahkan seluruh tenaga terakhir untuk menubruk tadi.
"Hong-moi, mundurlah, biarkan aku menghadapinya," kata Bun Houw sambil mendekati In Hong yang masih bertempur dengan mati-matian melawan Hek-hiat Mo-li.
"Tidak, aku harus dapat merobohkan dia sendiri, Houw-ko. Engkau mundurlah dan jangan khawatir!" In Hong menjawab.
Gadis ini merasa penasaran sekali. Bun Houw telah berhasil merobohkan lawan, namun dia masih juga belum berhasil. Dia tahu bahwa memang Bun Houw mempunyai tingkat kepandaian yang amat tinggi, akan tetapi dengan ilmu kepandainya, apa lagi setelah dia berhasil menyempurnakan tenaga Thian-te Sin-ciang, dia merasa sanggup mengalahkan nenek ini, lebih-lebih lagi karena dia sudah mendapat bisikan dari Kok Beng Lama.
Akan tetapi, biar pun dia terus mengarahkan semua serangan pukulan mautnya ke arah kaki dan sudah beberapa kali mengenai kaki lawan, tetap saja nenek itu belum dapat dia robohkan. Dia tak dapat melihat bagaimana Bun Houw tadi merobohkan Pek-hiat Mo-ko, maka dia pun belum tahu di mana sesungguhnya letak kelemahan lawannya. Akan tetapi, walau pun demikian, dia merasa enggan dan malu kalau harus menyerahkan lawan ini kepada Bun Houw, apa lagi karena pertempuran itu sedang ditonton oleh banyak orang, di antaranya terdapat kakak kandungnya sendiri yaitu Yap Kun Liong, ada lagi Cia Giok Keng, Cia Keng Hong, Kok Beng Lama, Souw Kwi Beng, Tio Sun dan masih banyak lagi yang lain, bahkan semua prajurit pasukan kota raja juga menonton!
Dengan alis berkerut Bun Houw mundur lagi kemudian dia berlari meninggalkan tempat itu menuju ke sebelah dalam dan tak lama kemudian muncullah pemuda ini membawa sebatang pedang yang bukan lain adalah pedangnya sendiri yang tadinya dirampas oleh musuh, yaitu pedang Hong-cu-kiam. Dia menanti kesempatan baik kemudian melontarkan pedang itu ke arah In Hong sambil berseru,
"Hong-moi, pakailah pedangmu ini!"
Sekali ini In Hong tidak menolak. Dia menyambut pedang itu dan diputarnya sehingga merupakan gulungan sinar emas yang menyilaukan mata. Dia mau menggunakan pedang karena bukankah lawannya juga menggunakan tongkat? Begitu Hong-cu-kiam berada di tangannya, semangat In Hong berkobar lagi. Dia harus mampu merobohkan lawannya. Harus!
"Cring-cring-tranggg...!"
Bunga api berpijar-pijar pada saat pedang bertemu bertubi-tubi dengan tongkat di tangan Hek-hiat Mo-li dan nenek itu terhuyung ke belakang ketika tangan kiri In Hong menyusul dengan dorongan-dorongan yang mengandung tenaga mukjijat Thian-te Sin-ciang.
Aku harus menyerang kakinya bawah lutut. Akan tetapi bagian yang mana? Demikian In Hong berpikir.
"Telapak kakinya... telapak kakinya...!" Tiba-tiba dia mendengar bisikan suara Bun Houw.
In Hong mengerling dengan bibir tersenyum dan mata berkilat penuh kegirangan. Tahulah dia sekarang. Kiranya di telapak kaki! Pantas saja semua pukulannya yang mengenai kaki tadi tidak berhasil. Habis, siapa yang dapat memukul telapak kaki? Kiranya begitu baik rahasia kelemahan itu tersembunyi.
Akan tetapi, In Hong adalah seorang dara yang selain cantik jelita dan gagah perkasa, juga cerdik sekali. Setelah dia mendengar bisikan ini, tiba-tiba saja dia merubah caranya menyerang lawan dan kini dia melempar diri ke atas tanah, lalu bergulingan hingga sinar emas menyambar-nyambar ke bawah kaki lawan!
"Ihhhh...!" Hek-hiat Mo-li terkejut bukan main dan memutar tongkat melindungi kakinya.
"Tranggg...!"
Bunga api berpijar dan seperti seekor burung terbang cepatnya, In Hong bergulingan ke arah kiri nenek itu dan tiba-tiba sinar emas pedangnya mencuat ke atas menusuk ke arah mata kanan lawan.
"Ihhhh...!" Nenek itu menjerit dan cepat melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik.
Hampir saja matanya yang tinggal sebelah menjadi korban. Karena mata kirinya sudah buta, maka pada waktu lawannya tadi bergulingan ke sebelah kirinya, dia tidak dapat memandang dengan cukup jelas gerakan lawan dan tahu-tahu sinar emas menyambar ke arah mata kanannya, padahal sejak tadi dia mencurahkan perhatian untuk melindungi kakinya! Dan ketika dia berhasil menyelamatkan mata kanannya dan baru saja kakinya menginjak tanah, sinar emas itu menyambar ke bawah, membabat tanah di bawah kaki Hek-hiat Mo-li.
Tepat pada saat itu, Hek-hiat Mo-li sendiri yang menjadi marah sedang menghantamkan tongkatnya ke arah kepala In Hong! Melihat dara itu hanya miringkan kepalanya sehingga hantaman tongkat itu masih menyambar ke pundak, nenek itu menjadi girang sehingga dia kurang waspada. Baru sesudah sinar emas itu membabat tanah dan terus mengenai telapak kaki kirinya, dia menjerit mengerikan.
"Dessss!”
“Crottttt...!"
Tubuh In Hong terlempar dan bergulingan sedangkan nenek itu mengangkat kaki kirinya yang berdarah sambil berteriak-teriak kesakitan. Bagian belakang telapak kaki kirinya telah terbabat dan terluka oleh Hong-cu-kiam, sedangkan pundak In Hong juga terkena pukulan tongkat.
"Hong-moi...!" Bun Houw berseru kaget, akan tetapi hatinya lega ketika dia melihat In Hong dapat bangkit kembali dan dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan dia siap untuk mengejar dan membunuh Hek-hiat Mo-li yang masih mengangkat kaki kiri yang berdarah sambil menjerit-jerit kesakitan.
Akan tetapi pada saat itu terdengar bunyi terompet dan tambur. Semua orang menengok dan terkejutlah mereka karena tempat itu sudah dikurung oleh pasukan yang sedikitnya tentu ada seribu orang jumlahnya.
"Keparat!" Kok Beng Lama berseru dengan suaranya yang besar. "Mari kita mengamuk kepada mereka!"
"Nanti dulu, locianpwe. Jumlah mereka terlalu banyak dan dalam keadaan seperti ini lebih baik bagi kita untuk menunggu dan membela diri, dari pada menyerang," kata Cia Keng Hong dan Kok Beng Lama tidak jadi bergerak. Kepala pasukan itu, Panglima Lee Cin, juga menyerukan aba-aba supaya semua pasukan tidak bergerak, melainkan membentuk barisan pertahanan.
"Tahan semua senjata!" Mendadak terdengar bentakan nyaring dan dari dalam pasukan besar itu muncullah seorang tinggi besar yang kemudian ternyata adalah Raja Sabutai sendiri!
Semua orang terkejut dan memandang raja liar itu, akan tetapi agaknya In Hong tidak mau peduli dan dia sudah melangkah maju menghampiri Hek-hiat Mo-li dengan pedang di tangan.
"In Hong jangan bergerak...!" Yap Kun Liong berseru kepada adiknya.
Mendengar kesungguhan di dalam suara kakaknya itu, In Hong meragu lantas menoleh kepada kakaknya. Seperti juga Cia Keng Hong, Kun Liong melihat ancaman bahaya. Kalau saja Raja Sabutai memerintahkan pasukannya menyerbu, biar pun mereka memiliki kepandaian tinggi, tentu mereka semua akhirnya akan tewas dalam pengeroyokan ribuan orang prajurit musuh.
Dengan cepat Bun Houw meloncat ke dekat In Hong dan memegang lengan dara itu dengan mesra. "Suheng berkata benar, Hong-moi. Bagaimana dengan pundakmu? Mari kuobati..."
Dengan sikap mesra Bun Houw segera memeriksa pundak yang terpukul tongkat tadi, kemudian melihat betapa pundak itu tidak terluka, hanya berwarna merah kebiruan, dia merasa lega, karena tulang pundak dara itu pun tidak patah. Dengan penyaluran sinkang yang hangat, dia mengusir rasa nyeri pada pundak itu. Tentu saja semua orang melihat kemesraan itu, juga Souw Kwi Beng melihat dengan muka berubah pucat sekali.
Sementara itu, melihat bahwa Raja Sabutai melangkah maju ke dalam kurungan ribuan prajurit itu, menghampiri mereka dan raja itu membawa sebatang pedang yang dikenalnya baik, ketua Cin-ling-pai Pendekar Sakti Cia Keng Hong lalu melangkah maju menyambut dan menjura kepada raja itu.
"Apa maksud sri baginda datang bersama pasukan dan menghentikan pertandingan?" tanya Cia Keng Hong dengan sikap tenang.
Raja Sabutai tertawa dan memandang kepada mayat-mayat yang bergelimpangan di situ, mayat dari semua pengikut dua orang gurunya, bahkan suhu-nya, Pek-hiat Mo-ko, juga telah tewas. Dia berhenti tertawa dan menarik napas panjang.
"Cia-taihiap, kami melihat betapa semua pengikut suhu dan subo sudah tewas, bahkan suhu telah tewas dan subo terluka hebat. Suhu dan subo tidak mau mendengar bujukan kami bahwa memusuhi jagoan-jagoan dari kota raja merupakan hal yang bodoh sekali. Sekarang mereka telah merasakan sendiri akibatnya dan tentu suhu sudah kapok. Urusan ini dimulai dengan pedang Siang-bhok-kiam. Nah, kini kami datang untuk mengembalikan Siang-bhok-kiam yang oleh suhu dititipkan kepada kami kepada pemiliknya, akan tetapi sebagai gantinya, kami harap taihiap bersama semua teman taihiap suka membebaskan subo."
Cia Keng Hong maklum bahwa di balik ucapan itu terkandung ancaman hebat. Kalau dia dan teman-temannya tidak mau menerima penukaran itu, tentu raja ini akan mengerahkan ribuan pasukan mengeroyoknya dan tak mungkin melawan ribuan orang lawan! Maka dia menjura dan menjawab,
"Kami semua datang bukan hanya karena ingin minta kembali Siang-bhok-kiam, namun juga untuk menyelamatkan nona Yap In Hong yang diculik oleh kedua guru sri baginda. Sesudah sekarang nona Yap In Hong selamat, tentu saja kami pun tidak akan terlampau mendesak. Terima kasih atas kebaikan sri baginda yang suka mengembalikan pedang pusaka kepada yang berhak memiliki."
"Ha-ha-ha, Cia-taihiap sebagai ketua Cin-ling-pai memang berpandangan bijaksana. Nah, terimalah Siang-bhok-kiam ini," kata Sabutai sambil menyerahkan Pedang Kayu Harum itu kepada Cia Keng Hong yang menerimanya dengan sikap penuh hormat.
"Subo, marilah pergi bersama kami!" Sabutai berkata sambil menghampiri nenek itu, lalu dia memondong nenek yang mata kirinya buta dan kaki kirinya terluka pula itu.
Semua orang memandang dengan penuh kagum kepada Raja Sabutai. Ternyata orang yang gagah perkasa ini bukan hanya merupakan seorang yang sanggup menundukkan orang-orang liar di antara para Suku Nomad di utara, akan tetapi juga mempunyai watak gagah dan berbakti terhadap gurunya. Oleh karena itu semua orang diam saja ketika Raja Sabutai memerintahkan pasukannya untuk mengangkat semua mayat dari gurunya serta para pengikutnya, lalu pergilah pasukan itu sesudah Raja Sabutai menjura kepada para orang gagah dan berkata sambil tersenyum kepada Tio Sun,
"Jangan lupa untuk menyampaikan apa yang telah kau lihat di tempat kami kepada kaisar, Tio-sicu!"
Tio Sun maklum apa yang dimaksudkan oleh raja itu, maka dia pun mengangguk. Maka berangkatlah Raja Sabutai pergi meninggalkan Lembah Naga, diiringi oleh ribuan orang pasukannya.
Sesudah pasukan itu pergi, barulah semua orang dapat kembali kepada urusan pribadi masing-masing. Cia Giok Keng dan Lie Seng saling berlari menghampiri dan ibu dengan anaknya ini saling berpelukan dengan linangan air mata. Demikian pula Mei Lan berlutut di hadapan kaki Yap Kun Liong dan ayah itu dengan air mata berlinang juga merangkul puterinya.
Pertemuan yang mengharukan antara ibu dan anak, dan ayah dan anak ini terjadi tanpa banyak kata terucap, hanya pandang mata yang berlinang air mata dari mereka sudah bicara banyak sekali. Semua orang memandang dengan hati penuh keharuan, karena melihat Giok Keng berlutut dan mendekap puteranya sedangkan Kun Liong mengangkat bangun Mei Lan dan dipeluknya puterinya itu penuh kasih sayang dan dengan air mata membasahi pipi karena tentu saja pertemuannya dengan Mei Lan ini mengingatkan Kun Liong akan kematian isterinya.
"Ayah... maafkan aku..." bisik Mei Lan lirih. Kun Liong menggunakan jari-jari tangannya untuk meraba dan menutup bibir mulut puterinya itu, seolah-olah hendak mencegah gadis cilik itu bicara lebih lanjut karena dia sudah dapat memahami semua persoalannya.
Pada saat itu, nampak seorang wanita berpakaian serba merah berlari menghampiri Bun Houw dan menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda yang telah selesai mengobati luka di dalam pundak In Hong.
"Taihiap... saya harap taihiap suka mengasihani saya... harap taihiap sudi menerima saya menghambakan diri... setelah semua yang telah terjadi..." Wanita yang bukan lain adalah Liong Si Kwi itu menangis, tangan kanan mengusap air matanya yang bercucuran, juga tangan kirinya yang buntung itu ikut bergerak ke depan mukanya sehingga kelihatan amat mengerikan sekaligus menyedihkan.
Wajah Bun Houw berubah pucat ketika dia memandang Si Kwi. Terbayanglah semua yang telah terjadi antara dia dan Si Kwi di dalam kamar wanita itu dan marahlah hatinya. Dia tahu bahwa Si Kwi mencinta dirinya, akan tetapi dia marah sekali mengingat betapa wanita ini menggunakan kesempatan saat dia tercengkeram oleh pengaruh hawa beracun yang membangkitkan birahinya, sudah melakukan hubungan kelamin dengan dia dan dia merasa malu, menyesal dan marah sekali dengan terjadinya hal itu.
Kalau saja di sana tidak terdapat banyak orang, di antaranya malah ada ayahnya sendiri, tentu wanita itu telah ditendangnya. Akan tetapi dia menahan kemarahannya dan berkata dengan suara dingin. "Engkau bukan wanita baik-baik. Pergilah kau dari sini!"
"Taihiap...!" Wajah Si Kwi pucat sekali, matanya terbelalak memandang kepada pemuda yang dipuja dan dicintanya itu.
"Pergilah!"
Si Kwi bangkit berdiri, menangis sesenggukan dan lari meninggalkan tempat itu. Semua orang memandang sampai bayangan wanita itu lenyap di antara pohon dan kini Cia Keng Hong memandang puteranya dengan sinar mata penuh selidik. Dia tidak senang melihat sikap puteranya terhadap Si Kwi tadi, yang dianggapnya amat keras dan kejam, sungguh pun dia sendiri tidak tahu apa dan siapa wanita berpakaian merah yang tangan kirinya buntung itu.
"Bun Houw...!" Cia Keng Hong memanggil.
Pemuda itu terkejut, menoleh kepada ayahnya, kemudian dia menggandeng tangan In Hong dan berbisik kepada dara itu untuk ikut bersamanya menghadap ayahnya. In Hong menatap wajah pemuda itu dengan senyum dan sinar mata penuh kemesraan, kemudian mengangguk. Keduanya lalu menghadap Cia Keng Hong dan mereka berdua menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar sakti itu.
Melihat sikap pemuda dan gadis itu, Souw Kwi Beng menarik napas panjang dan ketika dia merasa betapa tangan Tio Sun memegang lengannya, dia menoleh dan tersenyum getir kepada pemuda itu. Mereka sudah sama maklum dan Tio Sun menatapnya dengan sinar mata mengandung iba.
"Houw-ji, bagaimana engkau bisa berada di sini dan tertawan bersama In Hong?" tanya ayah itu yang merasa tak senang melihat puteranya yang bergandengan tangan demikian mesranya di depan orang banyak dengan In Hong. Jelas kelihatan oleh semua orang yang berada di situ bahwa ada pertalian cinta kasih mesra antara puteranya dan In Hong, sedikit pun mereka berdua tidak menyembunyikan perasaan saling mencinta itu.
"Ayah, di kota raja aku mendengar bahwa Hong-moi diculik orang, maka aku melupakan segalanya dan segera mengejar ke sini. Untuk menyelamatkan Hong-moi, terpaksa aku membiarkan diriku ditawan dan... untung sekali bahwa ayah, suhu dan para sahabat yang gagah datang menolong..."
"Dan surat untuk ke Yen-tai itu...?"
"Maaf, ayah. Belum sempat kusampaikan... sebab... sesungguhnya aku… aku tidak dapat melaksanakan tali perjodohan itu, ayah..."
"Apa...?!" Ayahnya membentak.
"Maaf, ayah. Aku... aku dan Hong-moi... kami... saling mencinta dan sudah berjanji untuk hidup berdua dan mati bersama..."
Jantung Cia Keng Hong terasa tergetar hebat yang tidak dia ketahui apa sebabnya, entah marah entah girang. Memang sejak dahulu dia ingin sekali mempunyai mantu keturunan Yap Cong San dan Gui Yan Cu. Mula-mula, niatnya untuk menjodohkan puterinya Giok Keng dengan Kun Liong mengalami kegagalan karena ternyata puterinya tidak mencinta Kun Liong dan Kun Liong pun mencinta gadis lain.
Kemudian, dia ingin sekali mengambil adik Kun Liong, yaitu Yap In Hong untuk menjadi mantunya, dijodohkan dengan puteranya, Cia Bun Houw. Tetapi hal itu pun mengalami kegagalan ketika In Hong mengantar Yalima ke Cin-ling-san dan secara kasar dan keras memutuskan hubungan atau ikatan perjodohan antara In Hong dan Bun Houw itu.
Hal ini sangat menyedihkan dan menyakitkan hatinya dan baru saja sakit hati itu sedikit terobati pada saat dia dapat menjodohkan puteranya dengan keturunan Souw Li Hwa dan sekarang tiba-tiba saja dia melihat puteranya dengan In Hong berlutut di depannya dan menyatakan bahwa mereka saling mencinta!
Selanjutnya,