Dewi Maut Jilid 43

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Episode Dewi Maut Jilid 43 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

CIA KENG HONG mengelus jenggotnya. Dia seperti lupa bahwa banyak sekali orang melihat dan mendengar apa yang terjadi di situ, akan tetapi dia tidak merahasiakan urusan pribadi keluarganya dan langsung dia bertanya kepada In Hong, "Yap In Hong, benarkah bahwa engkau mencinta Bun Houw?"

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo

Wajah In Hong seketika berubah merah. Sungguh luar biasa sekali ketua Cin-ling-pai ini! Bertanya kepada seorang gadis tentang cinta di depan begitu banyak orang! Akan tetapi, sejak kecil In Hong hidup dalam keadaan penuh kekerasan, penuh keanehan dan penuh bahaya, maka hanya sebentar saja dia merasa canggung dan malu, kemudian dengan lantang dia menjawab, "Benar, supek, saya mencinta Houw-ko seperti juga dia mencinta saya."

"Hemm... benarkah itu? Lupakah engkau, In Hong, baru beberapa bulan yang lalu engkau pernah datang ke Cin-ling-san dan apakah yang kau katakan kepada kami orang tua dari Bun Houw? Bukankah engkau telah memutuskan tali perjodohan yang tadinya telah diikat antara kau dan Bun Houw oleh kakakmu Yap Kun Liong dan kami?"

"Benar, supek, dan saya tidak lupa akan hal itu," jawab In Hong dengan suara lantang dan tenang.

"Dan engkau sekarang...?"

"Supek, sudah tentu saja keadaannya jauh berbeda antara waktu itu dan sekarang ini. Pada waktu itu, saya dan Houw-koko tidak saling mengenal, bahkan belum pernah saling bertemu. Mana mungkin ada rasa cinta kasih di antara kami berdua? Lagi pula, karena penuturan Yalima tentang dia dengan Houw-koko, mana mungkin saya menerima ikatan jodoh dari seseorang yang sudah memiliki pacar? Sekarang lain lagi keadaannya. Yalima telah bersuami dan urusan dia telah jernih, tidak menghalangi hubungan antara Houw-ko dan saya, dan kami sudah saling mencinta."

Ketika mengeluarkan kata-kata ini, In Hong masih berlutut di samping Bun Houw, malah tangan kanannya masih saling bergandengan dengan tangan kiri pemuda itu, dan jari-jari tangan kiri Bun Houw tergetar dan pegangannya makin erat ketika dia mendengar ucapan kekasihnya dan melihat sikap yang demikian tabah dan tegas.

"Ayah, harap ayah sudi mengampuni semua kesalahanku dan kesalahan Hong-moi, dan sudi merestui cinta kasih antara kami..."

Namun Cia Keng Hong menggeleng kepalanya dengan tegas, wajahnya membayangkan kekerasan dan kedukaan, dua tangannya dikepal dan dia menarik napas panjang setelah menggelengkan kepalanya. "Tidak bisa, Bun Houw. Tidak mungkin aku dapat memberi restu dan persetujuanku dan tidak boleh aku membiarkan engkau menjadi seorang yang melanggar peraturan dan kesusilaan. Engkau sudah kami tunangkan dengan puteri Yuan de Gama dan Souw Li Hwa, engkau sudah menjadi calon suami Souw Kwi Eng di kota Yen-tai."

"Tidak, ayah! Tidak, aku tidak mau!" tiba-tiba Bun Houw berkata dengan keras, mukanya berubah merah.

"Hemmm, kehormatan lebih berharga dari pada nyawa, anakku."

"Maksud ayah...?"

"Engkau boleh memilih karena aku sebagai ayahmu hanya ingin melihat engkau antara dua pilihan itu, menjadi suami Souw Kwi Eng atau mati sebelum melanggar kehormatan yang akan menjatuhkan nama baik keluarga!"

"Ayah, aku memilih mati! Lebih baik aku mati dari pada harus berpisah dari Hong-moi!" jawab pemuda itu sambil berlutut dan sikapnya menantang.

"Hemmm...!" Wajah pendekar sakti ketua Cin-ling-pai itu berubah agak pucat.

"Dan sebelum supek membunuh Houw-ko, lebih dulu supek harus membunuh saya!" In Hong juga berkata dan menggeser kedua lututnya, berlutut di depan kekasihnya untuk melindunginya!

"Hemmm, kalian mengira aku akan mengingkari kehormatan demi nyawa anak?" Sambil berkata demikian, tangan kanan Cia Keng Hong sudah memegang gagang pedang Siang-bhok-kiam kemudian menghunusnya dari sarung pedang!

Bun Houw dan In Hong masih berlutut dan dahi mereka hampir menempel tanah. Mereka siap untuk menyerahkan nyawa mereka berdua, rela untuk mati bersama jika tidak boleh hidup sebagai suami isteri.

"Ho-ho, nanti dulu, Cia Keng Hong!" Terdengar suara nyaring dan Kok Beng Lama sudah melompat maju ke hadapan ketua Cin-ling-pai itu dengan muka merah dan senyumnya mengandung ancaman, matanya mengeluarkan cahaya mencorong. "Enak saja engkau hendak membunuh muridku! Jangan engkau lupa, Bun Houw dan In Hong adalah murid-muridku dan seorang guru tidak nanti akan membiarkan murid-muridnya dibunuh orang begitu saja, sungguh pun orang itu adalah ayahnya! Selama hidupku, belum pernah aku melihat seorang ayah begitu kejam dan tega untuk membunuh puteranya. Bahkan seekor harimau pun tidak akan membunuh anaknya. Apakah harus kukatakan bahwa Cia Keng Hong adalah seorang manusia yang lebih buas dari pada harimau?"

Cia Keng Hong, pendekar sakti yang terkenal gagah perkasa itu, yang namanya pernah menggegerkan dunia kang-ouw, kini menjadi makin berduka, akan tetapi dia menentang pandang mata pendeta Lama itu yang amat dia kagumi, lalu menarik napas panjang dan dengan pedang Siang-bhok-kiam tetap di tangannya, dia berkata dengan suara tenang tidak dikuasai perasaan.

"Kok Beng Lama locianpwe, hidup di dunia tidaklah lama, hanya beberapa puluh tahun yang kalau tidak betul-betul dirasakan seperti hanya beberapa hari saja lamanya. Apakah artinya hidup sependek itu apa bila tidak diisi dengan kehormatan? Apakah artinya hidup tanpa menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan yang dicita-citakan oleh semua manusia? Manusia haruslah mempunyai cita-cita, menjunjung tinggi cita-cita, tidak hanya menuruti hati yang lemah. Dan cita-cita seorang pendekar hanyalah menjunjung tinggi kegagahan dan kehormatan, menjaga nama agar bersih sampai tujuh turunan!"

"Ha-ha-ha, betapa waspadanya kakek Bun Hwat Tosu! Ha-ha-ha, baru saja dia membuka mataku dan bicara tentang cita-cita, dan sekarang... ha-ha, ketua Cin-ling-pai juga bicara tentang cita-cita dan pandangannya persis seperti pandanganku pada saat itu! Ha-ha-ha, Cia-taihiap, bicaramu mengenai cita-cita itu justru merupakan kebodohan manusia pada umumnya yang terbuai oleh kehormatan palsu, oleh cita-cita yang merusak kewajaran hidup, yang menyelewengkan kemurnian hidup."

Cia Keng Hong mengerutkan alisnya. Cita-cita dan kehormatan adalah ‘pegangan’ semua orang gagah, mengapa dikatakan merusak dan menyelewengkan? "Hemmm, locianpwe, apa maksud locianpwe?"

"Bun Hwat Tosu," Kok Beng Lama memandang ke angkasa, "semoga saja kenyataan yang akan kubicarakan ini akan dapat membuka kesadaran orang-orang lain seperti telah membuka kesadaranku." Kemudian dia melangkah maju mendekati Cia Keng Hong dan berkata lagi, suaranya tenang, "Cia-taihiap, apakah artinya cita-cita? Bukankah cita-cita hanyalah merupakan bayangan yang tidak ada, merupakan sesuatu yang dianggap lebih indah dari pada kenyataan yang ada, merupakan bayangan khayal yang dikejar-kejar oleh manusia yang ingin mencapainya? Bukankah cita-cita itu merupakan sesuatu yang telah digambarkan, merupakan bayang-bayang yang dipuja-puja sebagai teladan untuk dicapai dengan cara bagaimana pun." "Agaknya benarlah demikian, locianpwe. Cita-cita adalah sesuatu yang sangat baik, yang menjadi arah tujuan hidup. Tanpa cita-cita yang tinggi, hidup akan menyeleweng."

"Benarkah demikian? Apakah tidak sebaliknya? Apakah bukan justru karena mengejar cita-cita itu maka manusia saling gempur, saling jegal, dan saling hantam demi mencapai cita-citanya masing-masing? Apakah bukan cita-cita yang malah menimbulkan perbuatan-perbuatan kejam, keras, dan pengejarannya membuat kita menyeleweng dari kebenaran? Cita-cita adalah suatu contoh yang sudah digambarkan lebih dulu, dan jika kita memaksa diri menjangkaunya, mengekornya, bukankah kita menjadi manusia-manusia yang paling munafik dan palsu? Kita bercita-cita menjadi orang baik, akan tetapi kalau memang kita tidak baik, maka kita akhirnya menjadi orang baik yang palsu, baik pura-pura hanya untuk memenuhi gambaran contoh yang dicita-citakan itu belaka!"

"Tidak begitu, locianpwe. Cita-cita membawa orang yang bodoh menjadi pintar, yang tidak baik menjadi baik, membawa dan mendorong manusia agar mendapat kemajuan. Tanpa cita-cita kita akan mandeg!" bantah Keng Hong.

"Ha-ha-ha, persis seperti pandanganku tempo hari!" Kakek raksasa itu tertawa, kemudian menjawab dengan suara tenang kembali. "Andai kata orang bodoh itu telah mengenal diri sendiri dan melihat kebodohannya, dia sudah bukan orang bodoh lagi! Sebaliknya, orang bodoh yang tidak melihat kebodohannya dan merasa diri pintar, dialah sebodoh-bodohnya orang, taihiap! Begitu pula andaikata orang tidak baik itu mengenal diri sendiri dan melihat ketidak baikannya, maka pengertian ini menimbulkan kesadaran dan dia bukan lagi orang tidak baik dan dia tidak perlu mencari untuk menjadi orang baik lagi! Sebaliknya, dalam keadaan tidak baik lalu mengejar untuk menjadi orang baik, maka pengejarannya itu akan menimbulkan banyak ketidak baikan, mungkin dia akan pura-pura berbuat baik, mungkin dia akan menggunakan kekerasan, kedudukan, harta benda, untuk dapat disebut orang baik sehingga di dalam semua kebaikan yang dilakukan oleh orang tidak baik terkandung ketidak baikan yang paling jahat! Kita sudah terbiasa menganggap bahwa cita-cita akan mendatangkan kemajuan, anggapan kuno yang sudah mendarah daging dan kita terima begitu saja tanpa penyelidikan akan kebenarannya. Mendatangkan kemajuan? Kemajuan yang bagaimanakah? Kita bercita-cita menjadi seorang berkedudukan tinggi maka dalam mengejar cita-cita itu, sudah hampir bisa dipastikan terjadi perebutan, terjadi penyogokan, terjadi kekerasan, bahkan mungkin kita harus menginjak orang lain sebagai batu loncatan dan setelah kita berhasil mencapai cita-cita itu, memperoleh kedudukan tinggi, apakah itu kemajuan namanya?"

Semua orang yang mendengarkan memandang dengan mata terbelalak karena baru satu kali ini mereka mendengar perdebatan yang aneh itu...

Pendekar Sakti Cia Keng Hong memandang dengan muka pucat, lalu berkata, "Eh... nanti dulu, locianpwe... saya menjadi agak bingung. Jadi menurut locianpwe, kita tidak harus bercita-cita, harus puas dengan keadaan yang sekarang ini saja? Kita tidak boleh mencari kemajuan? Berarti menjadi orang biasa saja tidak ada artinya?"

"Ha-ha-ha-ha, lucu...! Lucu...! Kenapa pandangan kita pada umumnya begitu persis dan sama? Justru demikian pula yang kukatakan kepada Bun Hwat Tosu saat aku membantah tosu itu!" Dia tertawa bergelak, kemudian berkata lagi, sikapnya kembali tenang.

"Cia-taihiap, jangan mencari contoh dari anggapan atau pandangan orang lain! Marilah kita selidiki bersama, jangan hanya menyandarkan kepada pandanganku atau pandangan siapa pun juga. Tidak perlu kita berpegang kepada pelajaran mati, harus bercita-citakah, atau tidak haruskah, atau harus puas atau tidak puaskah? Apa sih artinya harus ini atau tidak harus itu? Kalau puas ya puas saja, dan kalau tidak puas ya tidak puas saja, jangan dipaksakan menjadi sebaliknya karena hal itu akan menimbulkan pertentangan batin dan kepalsuan belaka. Mengapa kita tidak puas dengan keadaan saat ini? Sekali tidak puas, sampai mati pun kita selalu akan tidak puas, bukan? Keadaan setiap saat berubah, akan tetapi ketidak puasan yang timbul akibat mengejar keadaan yang lain itu tak akan pernah berubah dan akan menekan kita selama hidup. Tidak ada yang tidak membolehkan orang mencari kemajuan, akan tetapi harus dimengerti lebih dahulu, apa sih kemajuan yang kita cari-cari itu? Taihiap mengatakan bahwa hal itu berarti menjadi orang biasa saja. Apa salahnya menjadi orang biasa? Mengapa semua orang ingin menjadi orang yang LUAR BIASA? Ha-ha-ha, justru inilah yang menjadi sebab dan sumber timbulnya segala malapetaka di dunia, segala permusuhan dari perorangan sampai pada kelompok dan bangsa. Ingin menjadi luar biasa, lain dari pada yang lain, paling hebat, paling jempol, haus akan pujian. Padahal semuanya itu kosong belaka, hanya angin yang akan memenuhi kepala menjadi besar dan tolol! Kita semua takut untuk menjadi orang yang dianggap tidak ada artinya! Padahal kita baru dipandang bilamana kita sudah dapat mengalahkan orang lain, memperlihatkan kekuatan dan kekuasaan kita. Tidak anehlah kalau pendidikan macam ini membentuk kita menjadi manusia-manusia kejam yang hanya mementingkan kesenangan diri pribadi. Ya, itulah cita-cita dan pengejarannya! Cita-cita yang diagung-agungkan itu bukan lain hanyalah keinginan untuk menyenangkan diri pribadi. Kesenangan, kedudukan, cita-cita, kekayaan, kemulyaan, dan sebagainya tidaklah buruk, tapi PENGEJARANNYA itulah yang sangat jahat! Kekayaan, misalnya, itu tidak buruk, akan tetapi pengejarannya, mengejar kekayaan itulah yang menciptakan pelbagai perbuatan jahat yang kejam. Sebab pengejaran ini yang membutakan mata batin, dalam mengejar sesuatu yang kita inginkan untuk menyenangkan diri, yang diselimuti dengan nama indah cita-cita, kita menjadi buta dan melakukan apa saja demi tercapainya cita-cita itu. Bukankah demikian yang kita lihat di sekitar kita setiap hari?"

Cia Keng Hong menundukkan kepala dan memejamkan matanya. Mata lahirnya terpejam, tapi mata batinnya mulai terbuka. Nampak jelas olehnya betapa cita-cita dan kehormatan yang dipertahankannya mati-matian itu pun sebenarnya memang mempunyai dasar untuk menyenangkan hatinya sendiri, agar dia dianggap orang gagah betul, dipuji-puji di seluruh dunia sebagai orang yang berani mengorbankan anak demi kehormatan!

Terbukalah matanya bahwa demi menyenangkan diri sendiri agar dipuji, dia hampir saja membunuh anaknya! Demi kesenangan diri sendiri, dia tidak mempedulikan lagi keadaan anaknya! Terkejutlah dia melihat kenyataan ini dan dia kembali membuka matanya yang memandang agak sayu pada Kok Beng Lama yang tersenyum dan matanya mencorong itu.

"Locianpwe, saya masih agak bingung. Tadinya saya menganggap bahwa apa yang saya lakukan ini bukan hanya demi kehormatan saya, melainkan kehormatan dan nama baik Bun Houw! Saya ingin dia menjadi orang yang gagah dan baik, dan keinginan itu tentu timbul karena saya cinta kepada anak saya. Apakah ini tidak baik dan benar?"

"Cia-taihiap," kata Kok Beng Lama dengan suara sungguh-sungguh. "Coba dengarkan kata-kata taihiap tadi baik-baik. Saya ingin dia menjadi orang yang gagah dan baik! Nah, jawabannya sudah ada di situ, bukan? Taihiaplah yang INGIN dia menjadi orang gagah dan baik, dan semua orang tua selalu bilang cinta kepada anak-anaknya, bahwa mereka ingin anak-anaknya menjadi orang begitu atau begini. Coba teliti yang benar. Bukankah keinginan itu didorong oleh hati yang ingin menyenangkan diri sendiri? Ingin senang lewat anaknya! Taihiap akan senang kalau anak taihiap menjadi begini atau begitu menurut yang taihiap inginkan. Bukankah begitu? Maka, kalau si anak tidak mau menaati, lalu dimaki, dibenci, bahkan hampir dibunuh! Bukan demi cita-cita, bukan demi kehormatan, bukan pula sama sekali demi cinta, melainkan demi menyenangkan diri taihiap sendiri. Karena si anak menolak, berarti tidak menyenangkan, dan berubahlah cinta itu menjadi benci dan kekejaman, sehingga rela hampir membunuh anak. Dapatkah taihiap melihatnya? Begitu jelas!"

"Ahh, locianpwe..." Pedang Siang-bhok-kiam terlepas dari tangan Cia Keng Hong dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan Kok Beng Lama!

Sejenak kakek raksasa ini tertawa bergelak, suara ketawanya seperti menggoncang bumi dan menggetarkan udara, akan tetapi dia segera memeluk Keng Hong dan mengangkat bangun pendekar sakti itu yang kedua matanya menjadi basah.

"Cia-taihiap, yang terpenting adalah kesadaran dan pengenalan diri sendiri berikut semua kesalahan-kesalahan kita sendiri. Makin waspada kita memandang dan membuka mata, semakin nampak jelaslah seluruh kenyataan hidup ini, taihiap. Pengekoran terhadap guru atau pelajaran yang lampau hanya akan membuat kita menutup mata saja, dan hal itu dapat menimbulkan penyelewengan." Kakek itu menarik napas panjang. "Dan sebetulnya, mata saya pun baru beberapa hari saja terbuka pada waktu saya bermain catur melawan mendiang Bun Hwat Tosu..."

"Mendiang...?" Tiba-tiba Mei Lan berseru keras dan meloncat ke dekat Kok Beng Lama, memegang tangan kakek raksasa itu. "Apakah yang kau maksudkan, locianpwe? Di mana suhu?"

Kok Beng Lama menarik napas panjang, lalu mengeluarkan sebuah bungkusan kain dari dalam saku bajunya yang lebar dan memberikannya kepada Mei Lan. "Kau menanyakan suhu-mu? Nah, ini dia. Maksudku, inilah abu dari jenazahnya yang telah kubakar sesuai dengan permintaannya sebelum dia meninggal dunia."

"Aihhh... suhu...!" Mei Lan lalu menangis sambil memeluk bungkusan abu itu.

Semua orang memandang dan mendengarkan dengan terharu. Kun Liong juga langsung menjatuhkan diri berlutut di dekat puterinya. Bun Hwat Tosu telah menjadi guru puterinya! Dan dia sendiri pun adalah murid Bun Hwat Tosu yang kini dikabarkan mati oleh Kok Beng Lama dan yang abu jenazahnya kini dipeluk oleh puterinya.

"Heh, diam engkau! Mulai sekarang, engkau harus mendengar kata-kataku karena akulah yang menjadi gurumu. Bun Hwat Tosu yang bermain catur dan bertaruh dengan aku telah berjanji untuk menurunkan tiga macam ilmu kepadamu, dan dia pun telah menyerahkan tiga macam ilmunya untuk kuajarkan kepada muridku, Lie Seng. Sudah, diamlah, jangan menangis. Kalau gurumu masih dapat melihat dan mendengar, dia tentu akan marah jika kematiannya ditangisi. Hayo kau katakan, kenapa engkau menangis mendengar gurumu mati?" tanya kakek yang wataknya memang aneh itu kepada Mei Lan.

Mei Lan yang masih sesenggukan itu memandang kepada kakek itu dengan mata merah dan air mata bercucuran, sukar untuk menjawab. Kun Liong yang masih berlutut di dekat puterinya menghela napas dan berkata,

"Gak-hu ayah mertua bolehkah saya mewakili anak saya untuk menjawab pertanyaan itu?"

"Anakmu? Dia ini anakmu? Hemmm... ya, teringat aku sekarang... engkau mempunyai seorang anak perempuan bernama Mei Lan! Jadi dia inikah anaknya?"

Mei Lan yang sedang menangisi kematian suhu-nya yang kini hanya menjadi abu, amat terkejut dan terheran-heran mendengar semua itu. Dengan mata masih bercucuran air mata, dia mengangkat muka memandang kepada kakek raksasa itu.

Teringatlah dia akan penuturan ibunya bahwa ibunya adalah anak seorang pendeta Lama di Tibet yang amat sakti, dan bahwa kongkongnya itu memang mengasingkan diri di Tibet, tidak pernah terjun ke dunia ramai dan tidak pernah menjenguk mereka. Kiranya pendeta raksasa inilah ayah dari ibunya itu! Dan sekarang akan menjadi gurunya!

Kedukaan karena kematian Bun Hwat Tosu, kekagetan dan keheranan mendengar bahwa kakek raksasa ini kongkong-nya, dan ketegangan yang dirasakan dalam peristiwa hebat yang baru lalu dalam pertempuran itu, membuat dia bengong dan tak dapat berkata-kata hanya menangis saja.

"Hayo katakan, kenapa kalian ayah dan anak menangis? Mengapa?" kembali terdengar suara Kok Beng Lama mengguntur.

Kun Liong menyusut air matanya. "Ketahuilah, gak-hu, bahwa Bun Hwat Tosu adalah guru saya pula. Baru sekarang saya mengetahui bahwa anak saya sudah menjadi murid beliau. Kenapa kami ayah dan anak, murid-murid beliau, menangis saat mendengar akan kematiannya? Mengapa orang menangisi orang yang mati? Banyak sekali jawabannya, tentu saja sesuai dan tergantung dengan keadaan masing-masing orang. Akan tetapi bagi saya, gak-hu, dan saya yakin juga bagi Mei Lan, kami menangis karena kami merasa berduka ditinggalkan oleh seorang tua yang bijaksana dan berbudi mulia, kami menangis karena ditinggalkan oleh seorang yang telah melimpahkan banyak kebaikan kepada kami tanpa kami berkesempatan untuk membalasnya."

"Ho-ho-ho, jadi bukan menangisi dia? Jadi kalian menangisi diri sendiri?"

"Sebenarnyalah, gak-hu. Bagaimana kami akan menangisi suhu yang tidak kami ketahui bagaimana keadaannya sekarang? Memang kami menangisi diri sendiri yang ditinggalkan oleh seorang yang kami junjung tinggi dan hormati."

"Ha-ha, bagus! Engkau adalah seorang yang jujur, Kun Liong. Memang, menangisi orang mati sebenarnya hanyalah menangisi diri sendiri, karena iba diri, dan sama sekali bukan menangisi si mati karena kalau demi cintanya terhadap yang mati, mungkin banyak sekali orang dapat bersyukur dan bergirang bahwa orang yang dicintanya itu sedikitnya terbebas dari segala derita hidup. Ha-ha-ha! Eh, Mei Lan, setelah suhu-mu menjadi abu, mau kau apakan sekarang?"

Mei Lan kelihatan terkejut dan menoleh kepada ayahnya. Akan tetapi Kun Liong sekali ini tidak mau mewakili anaknya menjawab. Mei Lan lalu menyerahkan bungkusan itu kepada Kok Beng Lama dan berkata, suaranya gemetar bercampur isak,

"Kongkong... saya tidak sangka bahwa kongkonglah ayah dari ibu... saya serahkan abu ini kepada kebijaksanaan kongkong mau diapakan juga, terserah..."

"Ha-ha-ha engkau mewarisi kejujuran ayahmu. Baik sekali, Mei Lan. Memang ini hanyalah abu! Bukan gurumu lagi! Andai kata engkau memeliharanya dan menyembahyanginya pula, tak lain perbuatanmu itu tentu akan didorong untuk kepentingan dirimu sendiri, untuk mencari kesenangan bagi dirimu sendiri, karena di dalam sembahyangmu engkau tentu minta diberkahi, minta ini dan minta itu. Padahal memelihara abu nenek moyang atau guru dimaksudkan agar si pemelihara abu itu senantiasa ingat kepada nenek moyangnya dan dapat menjaga agar dia menjadi manusia yang benar dan tidak mencemarkan nama baik nenek moyangnya. Tetapi kenyataannya tidak demikian, pemeliharaan abu berubah menjadi semacam jimat pelindung dan tempat untuk dimintai berkah agar selamat, agar kaya, agar untung dan sebagainya. Kasihanlah bila sudah menjadi abu pun masih hendak diperalat demi kesenangan dari kita sendiri! Nah, abu tinggal abu, tiada bedanya dengan tanah dan sebaiknya kalau diserahkan kembali kepada tanah. Bagaimana?"

"Terserah kepada kongkong," jawab Mei Lan.

"Kau simpanlah. Kelak akan kita sebarkan abu ini di tempat yang baik. Nah, Cia-taihiap, karena urusan keluargamu itu menyangkut diri muridku yang pertama, Cia Bun Houw, aku berhak untuk mengetahui bagaimana selanjutnya keputusan terhadap dia dan In Hong," Kakek raksasa itu kembali menghadapi Cia Keng Hong.

Semenjak tadi Keng Hong mengerutkan alisnya dan kini dia menjawab, "Locianpwe telah membuka mata saya untuk melihat betapa sesungguhnya dasar dari semua sikap saya adalah mementingkan diri pribadi. Oleh karena itu, saya tidak menghendaki Bun Houw bertindak guna kepentingan diri pribadi pula. Kalau dia bertekad untuk berjodoh dengan In Hong, bukankah hal itu merupakan tindakan pementingan diri pribadi dan dia sama sekali tidak mengingat akan keadaan Souw Kwi Eng serta orang tuanya? Ikatan jodoh antara mereka telah dilakukan, mana bisa diputuskan begitu saja? Hal ini tentu akan merupakan penghinaan bagi keluarga Souw Kwi Eng. Apa yang harus kita lakukan? Mohon bantuan locianpwe untuk mempertimbangkan."

Kok Beng Lama mengerutkan alisnya, lalu beberapa kali dia menggelengkan kepala dan menghela napas. "Hemmm... benar juga...! Betapa hidup kita ini telah terikat oleh belitan-belitan hukum yang amat membatasi gerak kita."

Tiba-tiba Souw Kwi Beng yang semenjak melihat kemesraan antara dara yang dicintanya, yaitu In Hong, dengan Bun Houw, bersikap diam sambil menundukkan kepala terbenam dalam kedukaannya, kini mendengar tentang adik kembarnya, dia cepat menghadap Cia Keng Hong dan menjura dengan penuh hormat.

"Harap locianpwe sudi memaafkan saya yang lancang mencampuri bicara dalam urusan ini sebab menyangkut keadaan adik saya dan keluarga saya. Orang tua saya mempunyai pandangan yang sangat luas mengenai perjodohan, terutama sekali ayah saya. Setelah saya melihat dan mendengar semua, sudahlah jelas bahwa Cia Bun Houw taihiap sama sekali tidak ada hubungan cinta kasih dengan saudara saya, Kwi Eng. Dan sudah menjadi keyakinan kami sekeluarga bahwa perjodohan haruslah didasari dengan saling mencinta. Oleh karena itu, biarlah saya yang akan menyadarkan adik saya Kwi Eng karena dia pun pasti menyadari bahwa cinta sepihak hanya menimbulkan kesengsaraan dalam kehidupan suami isteri. Agaknya ada banyak kesalah sangkaan dalam urusan ini, yaitu saya... ehhh, adik saya, menyangka bahwa orang yang dicintanya itu pun membalas cintanya. Saya yakin bahwa saya akan dapat menyampaikan kepada adik saya agar dia bisa menyadari kenyataan pahit dan berpisah dari tunangannya, karena hal ini jauh lebih baik dari pada kelak menjadi suami isteri yang menderita karena cinta sepihak."

Cia Keng Hong memandang kepada pemuda tampan itu dengan wajah membayangkan keharuan. "Betapa baiknya keluarga Yuan de Gama, sebaliknya, betapa hal itu semakin menyeret keluarga kami ke jurang kehinaan! Ahhh, bagaimana aku dapat membiarkan keluarga kami menyakiti perasaan keluarga Souw Li Hwa?"

"Ayah, harap ayah sudi mengingat akan semua pengalamanku sehingga dapat bersikap bijaksana dalam memutuskan urusan adik Bun Houw." Tiba-tiba Giok Keng yang sejak tadi memeluk Lie Seng, kini bangkit dan menghadapi ayahnya. "Tentu ayah masih ingat betapa karena sikapku sendiri yang tak mau mempedulikan perasaan dan keadaan orang lain, yang dahulu selalu menuruti kebenaran diri sendiri, kebenaran yang kaku, kuno dan berdasarkan kebiasaan yang ditanamkan oleh nenek moyang, sehingga sikap itu akhirnya mendatangkan banyak sekali malapetaka. Ayah, kalau benar ayah mencinta Bun Houw seperti yang saya percaya demikian, apakah ayah tak ingin melihat dia berbahagia? Dan kalau kebahagiannya itu hanya dapat dirasakan apa bila dia berjodoh dengan In Hong, tegakah ayah untuk menghalanginya dan menghancurkan kebahagiaan mereka?"

"Aihhh, betapa tepatnya apa yang kau katakan semua itu, sumoi!" terdengar Kun Liong berkata perlahan sambil menarik napas panjang. "Betapa kita semua, selama ini hanya mementingkan diri pribadi, mencari kesenangan diri pribadi, hendak memperalat seluruh manusia beserta semua isi alam demi memenuhi keinginan kita untuk bersenang hati dan karenanya menciptakan malapetaka dan kesengsaraan hidup..."

Cia Keng Hong adalah seorang pendekar besar dan mungkin karena kegagahannya itulah yang membuat dia agak keras kepala, tidak mudah tunduk oleh apa pun juga. Diam-diam dia telah memikirkan isterinya yang tentu akan menentang semua ini. Tentu akan terjadi pertentangan antara dia dan isterinya kalau dia membiarkan Bun Houw memutuskan tali pertunangannya dengan Souw Kwi Eng dan kalau dia membiarkan Bun Houw menikah dengan In Hong, dan dia tidak berani menghadapi peristiwa itu. Kalau Bun Houw pulang ke Cin-ling-san bersama In Hong, dia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi karena dia tahu betapa keras hati isterinya kadang-kadang.

"Aku tidak akan melarang, akan tetapi bagaimana pun juga, aku tidak dapat pula memberi persetujuan...," katanya sambil menggeleng kepala dan menarik napas panjang, wajahnya kelihatan tiba-tiba saja menjadi beberapa tahun lebih tua!

Dengan sepasang mata basah oleh air mata, Bun Houw yang masih berlutut lalu memberi hormat kepada ayahnya. "Kalau begitu... ampunkan aku, ayah... terpaksa aku akan pergi bersama Hong-moi... ke mana saja asal kami dapat hidup berdua..." Dia lalu bangkit dan menggandeng tangan In Hong yang juga mencucurkan air mata hendak pergi dari situ.

"Houw-te...!" Giok Keng menghampiri dan mereka berangkulan. "Adikku, ke mana engkau hendak pergi? Bagaimana aku dapat bertemu kembali denganmu?" Kakak yang merasa terharu ini menangis.

Bun Houw menepuk-nepuk bahu kakaknya. "Enci Keng, biarkanlah kami pergi, entah ke mana dan kalau Thian menghendaki, tentu kelak kita dapat saling bertemu kembali."

"Hong-moi, mengapa engkau tidak mengajak Bun Houw tinggal di Leng-kok saja?" Kun Liong juga berkata kepada adiknya. "Tinggallah di sana sambil menanti sampai supek Cia Keng Hong dan supek-bo kelak dapat merestui kalian."

Akan tetapi In Hong yang masih basah kedua pipinya itu tersenyum dan menoleh ke arah Bun Houw, lalu menjawab, "Kakakku yang baik, mulai saat ini aku menyerahkan jiwa ragaku ke tangan dia, dan terserah dia hendak pergi ke mana, ke neraka sekali pun aku akan ikut dengan dia."

"Ahh... kau benar... kau benar...," Kun Liong hanya dapat berkata lemah.

"Nah, selamat tinggal semuanya dan maafkan semua kesalahan kami," kata Bun Houw sambil melambaikan tangan. "Adik Kwi Beng, sampaikan hormatku dan maafku kepada seluruh keluargamu."

Kwi Beng hanya mengangguk dan dua orang muda yang masih bergandengan tangan itu pergi dari situ, diikuti pandang mata semua orang dan ada dua titik air tergantung di sudut mata Pendekar Sakti Cia Keng Hong, namun dengan kekerasan hatinya, dua titik air mata itu ditahannya dan tidak juga mau jatuh.

Sementara itu, atas pertanyaan Mei Lan dan Kun Liong, kakek raksasa dari Tibet ini lalu menceritakan mengenai pertemuannya dengan Bun Hwat Tosu. Betapa mereka berdua telah bermain catur sampai dua hari dua malam dan saling bertaruh untuk menyerahkan semacam ilmu kepada murid lawan kalau dikalahkan dalam satu pertandingan. Akhirnya, mereka itu saling menang tiga kali dan kalah tiga kali dan pada keesokan harinya yang ketiga, sambil tersenyum terdengar Bun Hwat Tosu berkata lemah,

"Aku puas sudah... memperoleh lawan seperti engkau..." Dan kakek tua renta itu tidak bergerak lagi. Ketika Kok Beng Lama memeriksanya, ternyata kakek itu sudah menarik napas terakhir dengan biji-biji catur masih digenggamnya!

"Wah, sungguh licik! Engkau masih hutang tiga macam ilmu untuk muridku!" Kok Beng Lama berteriak penasaran dan membuka tangan yang menggenggam biji-biji catur itu. Gerakan ini membuat tubuh kakek tua renta itu tertarik lantas roboh dan sebuah kitab terjatuh pula keluar dari jubahnya. Kok Beng Lama girang bukan main ketika memeriksa kitab itu dan melihat bahwa kitab itu mengandung tiga macam ilmu.

"Sahabatku yang baik, maafkan pinceng, kiranya engkau adalah orang yang memegang janjimu dengan baik," kata Kok Beng Lama kepada jenazah itu dan teringatlah dia akan semua percakapan yang mereka lakukan selama mereka berdua bermain catur.

Di dalam percakapan dua hari dua malam itu, antara lain tosu itu menyatakan alangkah baiknya bagi orang yang telah meninggal dunia untuk dibakar. Teringat akan percakapan itu, Kok Beng Lama tidak merasa ragu-ragu lagi maka dibakarlah jenazah itu, kemudian abunya dibungkus dalam kain dan dibawa pergi ke Lembah Naga ketika dia mendengar suara ribut-ribut di tempat itu.

"Nah, dengan kematian tosu itu, maka berarti Mei Lan juga menjadi muridku karena aku berhutang tiga macam ilmu kepadanya, sesuai dengan pertaruhan itu. Siapa kira, ternyata dia adalah cucuku sendiri, ha-ha-ha!" Kok Beng Lama berkata pada akhir penuturannya.

Yap Kun Liong sudah mengenal baik siapa kakek ini yang menjadi ayah mertuanya, yang selain mempunyai kesaktian hebat juga sangat bijaksana. Biar pun Mei Lan bukan anak kandung dari Hong Ing, tetapi oleh mendiang isterinya itu dianggap sebagai anak sendiri, karena itu boleh dibilang juga masih cucu dari Kok Beng Lama. Tentu saja dia rela untuk menyerahkan puterinya agar digembleng oleh kakek itu.

"Mei Lan, lekas berlutut menghaturkan terima kasih kepada suhu-mu yang juga adalah kongkong-mu, karena beliau ini adalah ayah kandung dari mendiang ibumu."

Mendengar ucapan ayahnya, Mei Lan merasa terkejut sekali dan dia cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Kok Beng Lama, namun mukanya menoleh kepada ayahnya dan air matanya bercucuran ketika dia bertanya, "Ibu... ibu... kenapa, ayah?"

Kun Liong menarik napas panjang, dan hanya berkata, "Kelak engkau dapat mendengar tentang kematian ibumu dari kongkong-mu."

"Tapi... tapi..." Mei Lan sesenggukan.

Pada saat itu, Giok Keng tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia segera melepaskan puteranya dan menghampiri Mei Lan. Melihat Giok Keng, Mei Lan mengerutkan alisnya dan wajahnya kelihatan tak senang. Akan tetapi Giok Keng tetap saja merangkulnya dan berkata halus,

"Mei Lan, aku pernah bersalah pada ibumu dan kepadamu akan tetapi aku telah merasa menyesal sekali dan harap kau dapat melupakan sikapku yang dulu itu. Ketahuilah, ibumu telah dibunuh oleh seorang iblis wanita bernama Yo Bi Kiok, akan tetapi iblis itu sudah tewas pula di tangan ayahmu."

"Ahhh, ibu...!" Mei Lan menjerit dan tangisnya mengguguk.

"Mei Lan, diam kau!" Tiba-tiba saja terdengar bentakan Kok Beng Lama dengan suaranya yang menggeledek, mengejutkan semua orang dan Mei Lan sendiri juga terkejut, segera mengangkat muka, memandang wajah kakeknya yang bengis itu.

"Sudah kukatakan tadi, apa gunanya menangisi orang yang sudah mati? Pada saat aku mendengar ibumu dibunuh orang, aku sampai menjadi gila dan hal itu sama sekali tidak ada manfaatnya, bahkan mendatangkan kekacauan belaka. Anakku itu sudah mati, dan pembunuhnya sudah terbalas, tidak ada apa-apa lagi yang perlu ditangisi. Hayo kau ikut bersamaku pergi. Lie Seng, hayo kita pergi!"

Mei Lan menoleh kepada ayahnya ada pun Lie Seng menoleh kepada ibunya. Dua orang anak ini memang suka sekali untuk menjadi murid Kok Beng Lama yang lihai, akan tetapi baru saja mereka bertemu dengan orang tua mereka dan belum melepaskan kerinduan hati mereka.

Giok Keng dan Kun Liong saling pandang dan pendekar ini dapat menduga apa yang dipikirkan oleh Giok Keng, maka dia lalu berkata kepada Kok Beng Lama, "Gak-hu, tentu saja kami berdua merasa bersyukur dan berterima kasih bahwa gak-hu sudi membimbing mereka. Akan tetapi hendaknya gak-hu ingat bahwa dengan perginya mereka, baik saya mau pun Cia-sumoi hidup sebatang kara. Oleh karena itu, kami harap gak-hu tidak lebih dari tiga tahun membimbing mereka berdua dan mengembalikan mereka kepada kami."

Kok Beng Lama mengangguk. "Baik, lewat tiga tahun dari sekarang aku akan mengantar mereka ke tempat tinggal kalian masing-masing." Sesudah berkata demikian, Kok Beng Lama mengangguk kepada Cia Keng Hong, kemudian menggandeng Mei Lan dan Lie Seng dengan kedua tangannya, lalu pergi dari tempat itu dengan cepat sekali.

Cia Keng Hong menarik napas panjang dan memandang ke arah para prajurit yang sejak tadi sibuk menggali lubang dan mengubur para jenazah teman-teman mereka yang tadi roboh menjadi korban pertempuran, dipimpin oleh komandan mereka. Dia memandang kepada puterinya dan berkata,

"Giok Keng, kalau engkau merasa kesepian, mari ikut bersamaku ke Cin-ling-san."

Giok Keng menggelengkan kepalanya. "Aku hendak kembali ke Sin-yang, ayah. Kelak sewaktu-waktu aku akan berkunjung ke sana."

"Kalau begitu, aku akan kembali lebih dulu." Kemudian pendekar ini mengangguk kepada semua orang yang berada di situ dan pergi membawa pedang pusaka Siang-bhok-kiam, kembali ke Cin-ling-san.

Tio Sun juga pergi bersama Kwi Beng. Pemuda peranakan Portugis ini sudah cepat dapat menguasai kekecewaan hatinya. Bahkan ketika dia mendengar percakapan antara Cia Keng Hong dan Kok Beng Lama tadi, terbuka pula mata batinnya dan dia maklum bahwa memang In Hong lebih cocok untuk menjadi jodoh Bun Houw. Dia merasa malu kepada diri sendiri, merasa betapa bodohnya dia. Dan kini dia pun dapat mengerti akan keadaan Tio Sun, maka dia mengajak Tio Sun untuk pergi bersama dia ke Yen-tai.

"Engkau harus membantuku, twako, membantuku untuk memberi penjelasan kepada ibu dan kepada Kwi Eng," demikian dia berkata kepada Tio Sun ketika dia membujuk agar Tio Sun suka menemani dia pulang.

Padahal dia hendak mempertemukan pemuda perkasa ini dengan Kwi Eng dan sekarang tidak ada lagi halangannya sesudah jelas bahwa pertunangan antara Kwi Eng dan Bun Houw telah putus. Dan memang diam-diam timbul pula harapan di hati Tio Sun setelah melihat betapa Bun Houw memilih In Hong sebagai jodohnya, timbul harapan di hatinya terhadap Kwi Eng yang membuatnya setiap malam bermimpi!

Kini tinggallah Giok Keng dan Kun Liong di tempat itu. Sejenak mereka saling pandang tanpa kata-kata. Akhirnya Giok Keng menundukkan mukanya dan berkata lirih,

"Selamat berpisah, suheng. Sebaiknya kita berpisah di sini."

"Kurasa sebaiknya begitu, sumoi, Biarlah kita saling mendoakan dan dengan mengingat bahwa anak-anak kita berkumpul menjadi satu di bawah bimbingan ayah mertuaku, hal itu akan banyak menolong kita untuk melawan kesunyian. Aku akan selalu ingat kepadamu, sumoi."

"Dan aku selamanya tak akan melupakan engkau, suheng."

Mereka kembali saling pandang dan sinar mata mereka penuh dengan kasih sayang dan perasaan iba karena mereka merasa senasib sependeritaan, merasakan dengan jelas betapa cinta kasih di dalam hati mereka yang dulunya seolah-olah terpendam kini tumbuh dengan suburnya, namun kesadaran mereka menjauhkan cinta kasih itu dari pengotoran nafsu birahi.

Mereka saling mencinta, sebagai suheng dan sumoi, sebagai pria dengan wanita, sebagai sahabat senasib sependeritaan, tanpa adanya hasrat untuk saling memiliki sungguh pun mereka ingin sekali untuk saling menghibur dan meringankan beban derita batin masing-masing. Akhirnya mereka berpisah, Kun Liong kembali ke Leng-kok di mana dia hidup tenteram menanti kembalinya puterinya, dan Giok Keng kembali ke Sin-yang, juga hidup menjanda dan menyepi menanti kembalinya puteranya.

Pasukan Kim-i-wi yang mengubur semua jenazah sudah selesai pula dengan pekerjaan mereka, lalu mereka berbaris pergi, kembali ke kota raja. Lembah Naga ditinggal sunyi. Tidak ada seorang pun manusia di situ. Sunyi menyeramkan karena tempat itu baru saja menjadi gelanggang pertempuran yang mengorbankan nyawa puluhan orang manusia, sungguh pun kini yang nampak hanya bekas-bekasnya saja, ceceran darah di sana-sini, tumbangnya pohon-pohon dan rusaknya rumput yang terinjak-injak.

Akan tetapi, malam hari itu nampak sesosok tubuh wanita berjalan seorang diri di lembah itu, berjalan sambil menundukkan muka dan menangis. Wanita ini adalah Liong Si Kwi, murid mendiang Hek I Siankouw yang sudah buntung tangan kirinya, wanita yang cantik namun bernasib malang.

Cintanya terhadap Bun Houw ditolak oleh pemuda itu, padahal dia sudah menyerahkan kehormatannya, menyerahkan dirinya. Di dalam lubuk hatinya dia merasa bahwa semua perbuatannya itu tentu akan mendatangkan akibat!

Kini gurunya sudah tiada, hidupnya seorang diri, kehilangan tangan kiri dan kehilangan semangat dan hati yang dibawa terbang pergi oleh bayangan Bun Houw. Maka dia tidak mau meninggalkan Lembah Naga dan mengambil keputusan untuk tinggal selamanya di situ, di tempat di mana dia telah menyerahkan tubuhnya kepada Bun Houw, satu-satunya pria di dunia ini yang pernah dicintanya.

********************

"Ke mana kita sekarang, Hong-moi?"

"Terserah kepadamu, koko."

"Aku tidak mempunyai tujuan."

"Kalau begitu kita membuat tujuan bersama."

"Ke mana?"

"Ke mana pun kau pergi, aku harus selalu bersamamu, Houw-koko."

"Aku tidak dapat kembali ke Cin-ling-san."

"Kalau begitu jangan ke Cin-ling-san."

"Habis ke mana?"

"Sesukamulah, biar ke neraka sekali pun, aku ikut denganmu. Selamanya kita tidak boleh berpisah lagi, aku tidak mau berpisah lagi dari sampingmu."

Mereka berjalan berdampingan di dalam hutan itu dan kini Bun Houw tiba-tiba berhenti, memegang kedua lengan In Hong. Mereka berdiri berhadapan, saling memandang wajah masing-masing di bawah sinar matahari senja yang kemerahan.

"Hong-moi, walau pun telingaku sudah mendengar sendiri akan pengakuanmu di depan ayah, akan tetapi aku masih belum puas karena kata-katamu tidak kau tujukan kepadaku. Hong-moi, benarkah bahwa engkau cinta padaku?"

Bibir itu tersenyum manis sedangkan sepasang pipi yang halus itu menjadi merah sekali. Tatapan sinar mata Bun Houw membuat In Hong merasa malu.

"Ihhh, pandang matamu begitu... mengerikan, koko!"

Bun Houw tertawa. "Katakanlah, moi-moi, katakanlah."

"Aku cinta padamu, Houw-koko. Aku cinta kepadamu sejak pertama kali bertemu dengan dirimu!"

Bun Houw merangkulnya dan mereka berpelukan dengan ketat. Bun Houw berbisik di dekat telinga kekasihnya, "Hong-moi, aku pun cinta kepadamu, aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku, dengan seluruh hati dan sukmaku."

"Aku tahu, koko."

"Akan tetapi..." Suara Bun Houw mengejutkan In Hong dan dia melepaskan pelukannya, menarik tubuh ke belakang agar dapat memandang wajah kekasihnya.

Dia memandang penuh selidik dan makin terkejutlah hatinya pada saat dia melihat wajah kekasihnya itu kelihatan berduka dan penuh kekhawatiran.

"Ada apakah, koko? Sejak meninggalkan Lembah Naga, kau pendiam dan kelihatan ada sesuatu yang mengganggumu. Aku bisa merasakannya itu dan dapat kulihat dari kerut di antara matamu. Houw-koko, di antara kita tidak boleh ada rahasia. Kita sudah merupakan dua badan satu hati, kebahagiaan dan penderitaan kita menjadi satu, kita nikmati dan kita pikul bersama."

"Hong-moi..." Bun Houw memeluk dan dengan terharu dia mendekatkan mukanya.

Biar pun jantungnya berdebar keras penuh rasa malu dan ketegangan, namun In Hong menyambutnya dengan bibir tersenyum dan setengah terbuka, menunggu apa yang akan dilakukan oleh kekasihnya itu terhadap dirinya penuh keikhlasan.

In Hong memejamkan mata dengan jantung berdebar tegang pada saat merasa betapa bibirnya tersentuh bibir Bun Houw, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu menarik diri dan ketika In Hong membuka matanya, dia melihat pemuda itu mengerutkan alisnya dan kelihatan cemas sekali.

"Houw-koko, ada apakah?" dia bertanya merasa khawatir juga.

"Moi-moi, aku tidak berhak menyentuhmu sebelum kau mengetahui segalanya!" kata Bun Houw.

"Sudah kuduga tentu ada sesuatu, koko, maka ceritakanlah kepadaku. Tidak boleh ada rahasia menghalang di antara kita."

Bun Houw melepaskan pelukannya dan dia lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol keluar dari tanah. In Hong juga duduk di atas batu di depannya. Sampai lama In Hong menanti, namun pemuda itu diam saja, mukanya agak pucat. Setelah berulang-ulang dia mendesak, barulah Bun Houw bicara.

"Betapa sukarnya menceritakan hal itu kepadamu, Hong-moi. Peristiwa terkutuk itu terjadi ketika kita berdua terpengaruh oleh racun perangsang itu, pada waktu kita berada dalam tahanan..."

"Ahhhh...!" In Hong teringat semua itu dan wajahnya makin merah.

Dia masih merasa malu dan jengah kalau teringat betapa di bawah pengaruh racun, dia telah bersikap luar biasa sekali, sikap yang membuatnya malu bukan main.

"Akan tetapi... mengapa hal itu sekarang membuatmu risau, koko? Bukankah kita berdua telah berhasil melawan pengaruh racun, berkat keteguhan hatimu?"

"Bukan berkat keteguhan hatiku, namun berkat kemurnian hatimu, moi-moi. Sedangkan aku... ahhh, aku manusia lemah!"

"Tapi kita tidak melakukan pelanggaran, koko!"

"Benar, denganmu memang tidak karena engkau seorang dara yang suci dan hatimu bersih. Aku masih berterima kasih kepadamu karena keteguhan dan ketahanan hatimu di waktu itu. Akan tetapi, ahhh...!" Bun Houw menarik napas lagi. Sungguh berat rasanya untuk menceritakan peristiwa itu kepada kekasihnya.

"Ceritakanlah, koko. Ingat, di antara kita tidak boleh ada rahasia."

"Benar, aku harus menceritakan kepadamu, betapa pun berat dan sukarnya. Dengarlah, pada waktu engkau terlena dalam keadaan pingsan akibat pengaruh racun itu, tiba-tiba di sudut ruangan itu nampak lubang dan ternyata pembuat lubang itu adalah Liong Si Kwi, gadis murid Hek I Siankouw itu. Ingatkah kau?"

In Hong mengangguk. "Aku ingat padanya. Nah, lalu bagaimana?"

"Liong Si Kwi muncul dari dalam lubang dan ternyata lubang itu digalinya dari kamarnya sampai menembus ke tempat tahanan kita. Maksudnya membuat lubang itu adalah untuk menolongku, menyelamatkan aku..."

"Hemm, rupanya dia jatuh cinta kepadamu sampai berlaku begitu nekat dan berbahaya, koko."

"Demikianlah agaknya. Dia lalu memondongku dan membawaku melalui lubang itu hingga sampai di dalam kamarnya. Niat dia memang hendak membebaskan aku, akan tetapi... ah, keparat racun itu... dan dia... dia berbeda dengan engkau, Hong-moi... dalam keadaan seperti itu, dia malah merayuku... dan aku... aku tidak sadar sama sekali dan aku... tidak kuat bertahan dan..." Bun Houw tidak melanjutkan ceritanya, menutupi mukanya dengan kedua tangan, tidak berani memandang wajah kekasihnya.

Berkerut kedua alis In Hong. Sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat, wajahnya sebentar pucat sebentar merah, hatinya dibakar oleh api cemburu, napasnya mulai agak memburu. Akhirnya, perlahan-lahan cahaya matanya melembut kembali, napasnya teratur lagi dan dia bertanya, suaranya agak gemetar dan tersendat,

"Jadi kau... kau dan dia... telah... bermain cinta?"

Bun Houw mengepal kedua tangannya. "Hong-moi, harap jangan gunakan istilah itu. Memang kami sudah melakukan hubungan kelamin, kau tahu bahwa aku sama sekali tidak cinta kepadanya, akan tetapi di bawah pengaruh racun yang amat kuat itu... dan ditambah rayuan wanita tak tahu malu itu..." Bun Houw membuka matanya yang menjadi merah. "Kalau tidak ada suhu dan ayah, tentu sudah kubunuh wanita itu!"

"Hushhh... engkau jangan bicara sembarangan saja, koko. Dia cinta padamu, dia sudah mengorbankan tangan kirinya. Kita patut merasa kasihan kepadanya."

Bun Houw menoleh kepada In Hong dengan mata terbelalak. "Apa...? Kau... kau tidak marah...?"

In Hong mengangguk dan tersenyum. "Tentu saja hatiku penuh iri dan cemburu dan marah, akan tetapi aku dapat memaklumi keadaanmu dan aku maafkan engkau, Houw-koko."

"Hong-moi... terima kasih, Hong-moi...!"

Mereka berangkulan dan kini dua mulut pemuda yang saling mencinta itu bertemu dalam ciuman yang sangat mesra, ciuman yang mengandung getaran hati mereka sepenuhnya, seolah-olah dua perasaan hati bertemu menjadi satu lewat ciuman itu, bertaut dan tidak akan terpisahkan lagi. Mereka seperti lupa diri, masing-masing melimpahkan kemesraan tanpa mengenal bosan dan matahari senja agaknya cepat menyingkir untuk memberikan kesempatan kepada dua orang muda itu untuk berasyik mesra.

"Hong-mol..." Bun Houw berbisik sambil mengelus-elus rambut hitam panjang dan halus itu.

"Hemm..." In Hong berbisik kembali dari atas dada kekasihnya di mana dia menyandarkan kepalanya setelah debar jantungnya agak tenang sehabis diamuk badai kemesraan tadi.

"Engkau masih ingat kepada Liok Sun?"

"Heh? Liok Sun? Siapakah dia?"

"Yang berjuluk Kiam-mo (Pedang Setan), pemilik perjudian Hok-pokoan di Kiang-shi."

"Ahh, di mana engkau dahulu menjadi pengawainya? Majikanmu itukah?"

"Hushhh, jangan menghina aku!" Bun Houw menghardik sambil mencubit pipi kekasihnya dengan mesra. "Kau tahu bahwa aku bukan pengawalnya, melainkan hanya menyamar sebagai pengawalnya untuk menyelidiki keadaan Lima Bayangan Dewa."

"Aku tahu, koko. Nah, ada apa dengan dia?"

"Dia sudah tewas, moi-moi, dan betapa pun juga, dia adalah seorang yang mempunyai setia kawan dan seorang sahabat yang baik. Sebelum dia mati, dia telah meninggalkan pesan kepadaku, pesan yang sudah kusanggupi."

"Heh, kau memang terlalu baik hati, Houw-ko. Apa itu kesanggupanmu?"

"Sebelum tewas dia telah meninggalkan pesan bahwa dia menitipkan anaknya kepadaku. Anaknya itu bernama Sun Eng, seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun yang ditinggalkan di Kiang-shi."

"Dia bershe Liok, kenapa anaknya she Sun?" In Hong bertanya heran.

"Sesungguhnya dahulu namanya adalah Sun Bian Ek, nama Liok Sun hanya nama untuk penyamaran saja agar dapat menyembunyikan diri."

"Hemm, belum juga menjadi isterimu sudah harus mempunyai seorang anak perempuan yang berusia sepuluh tahun!" In Hong mengomel. "Sedangkan kita belum menikah belum mempunyai rumah."

"Bukan anak, moi-moi, melainkan... yah, anggap saja seorang murid. Tidak mungkin aku mengingkari janji kepada seorang yang telah mati."

In Hong lalu menghela napas panjang, sengaja hendak menggoda kekasihnya. "Baiklah... baiklah... memang sudah nasibku, menjadi jodoh seorang yang belum mempunyai tempat tinggal tertentu akan tetapi sudah dibebani seorang anak yang besar. Hehhh…, enaknya menjadi jodoh pendekar sakti Cia Bun Houw!"

Bun Houw menjadi gemas sekali dan menggelitik leher dan lambung kekasihnya. In Hong terkekeh kegelian, meronta akan tetapi kedua lengan Bun Houw telah merangkulnya, dan ketika dia mencium mulut yang terbuka itu, In Hong menghentikan gerakannya meronta dan kedua lengannya seperti dua ekor ular merayap dan melingkari leher pemuda itu.

TAMAT
Selanjutnya seri ke 4
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.