PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 05
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 05
Karya Singgih Hadi Mintardja
SEPERTI yang dikatakan oleh Tohjaya, maka pertarungan kedua ekor ayam tanpa pisau di kaki itu, merupakan pertarungan yang justru paling sengit. Perkelahian itu tidak segera diakhiri dengan ujung pisau yang membelah kulit. Tetapi dengan demikian hampir di seluruh tubuh ayam jantan yang sedang berlaga itu dipenuhi oleh luka yang berdarah.
Orang-orang yang berkerumun di sekitar arena kini benar-benar telah dicengkam oleh pertarungan dua ekor ayam jantan yang semakin dahsyat itu. Pertarungan yang jarang sekali mereka saksikan. Keduanya memerlukan waktu berlipat ganda dari pertarungan yang biasa di arena itu. Namun pertarungan itu bagaikan sebuah pesona yang mencengkam seluruh perhatian para penonton di sekitarnya. Mereka seakan-akan tidak menyadari lagi apa yang terjadi di sekitarnya selain kedua ekor ayam yang sedang bersabung itu.
Dalam pada itu, Agnibhaya dengan tergesa-gesa melintasi halaman istana diiringi oleh dua orang prajurit. Meskipun Agnibhaya masih terlalu muda, tetapi terasa sesuatu bergerak di dalam dadanya. Ibunya yang dengan tiba-tiba saja memerintahkannya memanggil kakandanya, didengar atau tidak didengar, membuatnya bertanya-tanya di dalam hati.
“Ibunda baru saja duduk di ruang depan.” berkata anak muda itu di dalam hatinya, “namun tiba-tiba saja ibunda menjadi sakit, apalagi sakit keras.”
Tanpa sesadarnya ia berpaling kepada kedua prajurit yang mengawalnya. Dilihatnya wajah-wajah yang kosong dan buram itu. Tiba-tiba saja hampir di luar sadarnya Agnibhaya bertanya kepada pengawalnya, “He, kenapa kau mengikuti aku?”
Pengawal itu menjadi heran mendengar pertanyaan Agnibhaya. Tetapi salah seorang dari mereka menjawab, “Hamba hanya menjalankan perintah, tuanku.”
Agnibhaya mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu, “Jika demikian biarlah aku pergi sendiri.”
“Hamba tidak berani melanggar perintah itu.”
“Manakah yang lebih tinggi antara perintah pemimpinmu dan perintahku.”
Prajurit itu termangu-mangu sejenak, lalu, “Perintah tuanku terlampau tinggi bagi hamba. Tetapi hamba seharusnya menjalankan perintah atasan hamba langsung. Karena itu, sebaiknya tuanku menjatuhkan perintah kepada Senapati yang hari ini bertugas di istana, dan Senapati itu akan memerintahkan kepada pemimpin hamba itu.”
Agnibhaya menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar bahwa ia tidak akan dapat berbicara banyak dengan orang-orang yang hanya sekedar menjalankan perintah. Karena itu, betapapun hatinya kurang mapan karena kedua prajurit itu, ia tidak lagi berniat untuk melepaskan diri. Tetapi sejenak kemudian timbullah pikiran yang lain di dalam hatinya. Tiba-tiba saja ia merasa bahwa kedua prajurit itu bukan sekedar mengawalnya. Tetapi keduanya tentu sedang mengawasinya dan memperlakukannya sebagai seorang yang telah kehilangan sebagian dari kebebasannya.
Namun demikian Agnibhaya tidak berbuat apa-apa. Katanya di dalam hati, “Asal keduanya tidak mengganggu kehadiranku.”
Namun demikian rasa-rasanya ada sesuatu yang mengganggu perasaan. Semakin dekat Agnibhaya dengan regol yang memisahkan bagian-bagian dari istana Singasari itu, hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Apalagi ketika kakinya menginjak tangga regol itu. Terasa sesuatu menghentak dadanya. Dari kejauhan ia sudah melihat arena sabung ayam yang riuh dan keributan yang semakin lama menjadi semakin kisruh. Dada Agnibhaya menjadi semakin berdebar-debar. Karena itulah maka iapun menjadi semakin tergesa-gesa mendekat.
Dalam pada itu, kedua ayam aduan itu sudah sampai ke puncak kemampuannya. Justru keduanya mulai menjadi lemah. Keduanya tidak lagi saling menyerang. Tetapi keduanya seolah-olah hanya membelitkan leher dan sekali-sekali mematuk. Para penontonnyalah yang menjadi riuh. Mereka bersorak-sorak seakan-akan tidak telaten lagi melihat perkelahian yang menjadi lamban. Bukan kebiasaan mereka melihat ayam bersabung sampai demikian lama dan lamban. Luka-luka yang kemerah-merahan menjadi semakin banyak memenuhi tubuh ayam itu.
“Bunuh saja.” seorang berteriak, “bunuh saja, dan biarlah yang lain turun ke gelanggang.”
“Menjemukan. Bunuh saja.” sahut yang lain.
Tetapi terdengar seseorang berteriak, “Mengerikan, jangan biarkan mereka menderita terlalu lama. Bunuh saja.”
“Bunuh saja. Bunuh saja.” hampir berbarengan orang-orang itu berteriak-teriak.
Pada saat kekisruhan karena kejemuan dan sebagian iba hati itu menjadi semakin memuncak, maka Anusapati pun menjadi semakin gelisah. Ia pun menjadi sangat iba melihat kedua ayam jantan yang menjadi semakin lemah. Bahkan kadang-kadang mereka jatuh bersama-sama dan seolah-olah sudah tidak mampu lagi untuk bangkit lagi.
Dalam pada itu, para penonton menjadi semakin ribut. Keributan yang berbeda-beda nadanya. Namun yang terdengar jelas adalah suara, “Bunuh saja, bunuh saja.”
Anusapati pun akhirnya tidak tahan lagi. Seperti orang-orang lain ia ingin menghentikan pertarungan dua ekor ayam yang sudah tidak berdaya oleh kelelahan dan luka-luka yang arang kranjang itu. Pada saat itu semua perhatian orang yang ada di sekitar arena itu tertuju kepada kedua ekor ayam yang berada di arena. Setiap mata hampir tidak berkedip dan semua hati menjadi berdebaran.
Tidak seorang pun memperhatikan orang-orang lain di sekitarnya. Bahkan orang yang berada di sampingnya. Demikian juga Anusapati. Perhatiannya terampas oleh kedua ekor ayam di arena itu, sehingga ia tidak memperhatikan apapun juga di sekitarnya. Demikian juga para pengawalnya. Dalam keadaan yang demikian, sebenarnya bukan semua orang seakan-akan telah kehilangan kesadaran.
Dengan diam-diam seseorang merayap mendekati Tohjaya yang duduk di samping kakandanya, Anusapati. Perlahan-lahan, ia menggamit kaki Tohjaya sambil menunjuk kelambungnya. Tohjaya berpaling sesaat. Ia pun kemudian mengangguk kecil.
“Inilah saatnya.” berkata Tohjaya di dalam hatinya.
Dengan demikian maka perlahan-lahan ia meraba sesuatu di lambung orang yang mendekatinya itu. Ketika tangannya menyentuh hulu keris yang kasar, yang terbuat dari sepotong kayu cangkring, maka Tohjaya itu pun tersenyum. Perlahan-lahan ia menarik hulu keris itu. Sedang orang yang duduk di sampingnya sama sekali tidak mengacuhkannya, sehingga orang-orang yang ada di sekitarnya sama sekali tidak tertarik perhatiannya kepada kehadiran dan sikapnya.
Keris yang kini telah berada di tangan Tohjaya itu adalah keris Empu Gandring. Sejenak ia memandang keris itu, kemudian memandang kakandanya yang sedang memusatkan perhatiannya kepada dua ekor ayam jantan di arena. Namun ternyata ada seorang yang melihat keris di tangan Tohjaya itu. Karena itu hatinya menjadi bergerak. Sejenak ia termangu-mangu. Jika ia berteriak memperingatkan Anusapati, maka keris itu justru akan segera menghunjam kelambung.
“Yang akan terjadi, kini ternyata telah terjadi.” desisnya. Namun ia tidak dapat berdiam diri. Perlahan-lahan ia pun bergeser mendekat. Ia tidak mau mengejutkan Tohjaya dan mempercepat gerak tangannya.
Namun, orang itu merasa bahwa sangat sulit untuk melakukannya. Rasa-rasanya tidak akan tercegah lagi, bahwa Anusapati memang harus meninggalkan tahta Singasari dalam keadaan yang serupa dengan ayahandanya Tunggul Ametung dan ayahandanya Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi. Sambil menahan nafas maka orang itupun bergeser semakin dekat. Tetapi belum lagi jarak itu mencapai sepanjang jangkauan tangannya, Tohjaya sudah mulai menggerakkan tangannya.
Hampir di luar sadarnya orang itu berteriak nyaring sehingga suaranya bagikan memecahkah selaput telinga. “Tuanku Anusapati, hati-hati atas sebuah serangan yang licik.”
Tetapi suara itu menyentuh telinga Anusapati berbareng dengan ayunan tangan Tohjaya. Anusapati yang mendengar suara itupun terkejut. Tetapi ia lebih terkejut lagi ketika terasa tangan Tohjaya menarik lengannya sedang tangan yang lain menghujamkan keris Empu Gandring di lambungnya. Anusapati tidak sempat berbuat sesuatu. Meskipun ia memiliki kemampuan yang tinggi, yang jauh lebih tinggi dari Tohjaya, namun kelengahannya itulah yang mengantarkannya ke pintu kematian.
Terdengar Anusapati mengaduh perlahan-lahan. Ia masih sempat menatap mata Tohjaya dengan pandangan yang sedih. Sedih melihat kelakuan Tohjaya yang sama sekali tidak menunjukkan sifat kesatria, dan yang bahkan, memang sudah direncanakan.
Pengawal-pengawal Anusapati tidak dapat berbuat apa-apa melihat keris Empu Gandring menghunjam di lambung Anusapati. Namun demikian mereka adalah pengawal-pengawal yang setia. Pengawal-pengawal khusus yang langsung ditunjuk oleh Anusapati sendiri. Karena itulah, mereka tiba-tiba saja telah menarik senjata masing-masing.
Empat orang pengawal khusus Anusapati itu bagaikan orang kehilangan akal. Tiba-tiba saja mereka mengamuk seperti seekor banteng yang terluka. Senjatanya terayun-ayun dengan dahsyatnya menyambar siapa pun yang berada di dekatnya. Namun serentak mereka berusaha menyerang Tohjaya yang telah membunuh kakandanya sendiri dengan cara yang licik sekali.
Tetapi Tohjaya sudah menyiapkan pengawalnya yang kuat. Karena itu, maka pengawalnya itulah yang kemudian berusaha menyelamatkannya. Namun demikian, di dalam kemarahan yang memuncak itu, ke empat pengawal khusus Anusapati itu telah membunuh lebih dari lima orang yang berada di sekitarnya. Tiba-tiba seorang prajurit yang lain tewas pula seketika. Dan sejumlah yang lain telah dilukainya sebelum para pengawal Tohjaya berhasil mengurung mereka di dalam kepungan yang rapat.
Arena Sabung ayam itu menjadi kacau balau. Sehingga dari mereka yang berada di gelanggang memang orang yang telah dipasang oleh Tohjaya. Tetapi beberapa orang yang lain tidak tahu menahu sama sekali tentang apa yang terjadi, sehingga mereka hanya dapat berlari-larian kian kemari tanpa arah.
Dalam kebingungan yang sangat itu, telah terjadi pertempuran antara para pengawal yang setia kepada Anusapati, melawan orang-orang yang memang sudah disiapkan dengan baik oleh Tohjaya. Dan sebenarnyalah bahwa sebagian besar dari para prajurit di dalam istana itu sudah dikuasainya, karena para Panglimanya sudah dikuasainya pula.
Empat orang pengawal yang setia itu bertempur membabi buta. Mereka tidak rela melihat Maharajanya mati ditusuk dengan cara yang sangat licik itu. Bagi mereka, adalah lebih baik mati bersama Anusapati daripada hidup di dalam dera siksaan batin mereka sendiri. Mereka merasa bahwa mereka telah gagal menjalankan tugas dan menyia-nyiakan kepercayaan Maharaja Singasari atas mereka.
Namun perlahan-lahan keempatnya berhasil dikuasai oleh para prajurit yang sudah berpihak kepada Tohjaya. Sementara itu di seluruh halaman istana itupun telah dilakukan penguasaan serentak atas segala segi pemerintahan. Tetapi, keempat orang pengawal itu sama sekali tidak akan menyerah. Mereka akan berkelahi sampai mati. Dan justru karena itu, maka mereka menjadi kehilangan kekangan atas diri sendiri. Ujung senjata mereka bagaikan seekor burung sikatan yang meloncat-loncat menyebarkan maut.
Meskipun mereka berempat sudah terkurung, namun mereka masih sempat menaburkan korban di sekitar mereka. Justru karena mereka adalah pengawal pilihan yang memiliki kemampuan melampaui kemampuan prajurit-prajurit yang lain, bahkan melampaui kemampuan senapati-senapatinya.
Tetapi yang mengepung mereka adalah prajurit dalam jumlah yang jauh lebih banyak. Apalagi ketika hadir di antara perkelahian itu Panglima Pelayan Dalam yang memang telah mengatur semua yang akan terjadi itu bersama Panglima pasukan Pengawal yang tidak lagi dapat melepaskan diri dari cengkaman tangan Tohjaya.
“Biarlah aku membunuh mereka.” geram Panglima Pelayan Dalam itu, “lepaskan mereka seorang demi seorang. Aku akan membunuh mereka seperti membunuh penjahat yang paling terkutuk di Singasari.”
Para pengawal yang setia itu melihat kehadiran Panglima Pelayan Dalam. Salah seorang dari mereka tiba-tiba saja berteriak, “Pengkhianat. Kau memang pengkhianat. Aku sudah mencurigaimu sejak lama.”
Panglima itu tertawa. Katanya, “Kau jangan banyak berbicara lagi. Sebentar lagi kau akan mati.”
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja terdengar suara yang lain. “Panglima yang perkasa. Biarlah prajurit-prajurit itu bertempur di antara mereka. Jika kau masih juga ingin berkelahi, marilah kita berkelahi.”
Semua orang berpaling kearah suara itu. Mereka melihat seorang yang meningkat ke usia tuanya berdiri tegak mamandang Panglima Pelayan Dalam yang sedang berusaha untuk menangani sendiri prajurit-prajurit pengawal yang setia kepada Anusapati.
“Apa yang dikatakan itu benar.” berkata orang itu, “kalian adalah pengkhianat-pengkhianat. Nah, sebaiknya kalian bertanding dengan orang-orang yang pantas melawanmu. Bukan prajurit-prajurit yang setia itu.”
“Siapa kau?” bertanya Panglima itu.
“Aku ingin tahu, apakah kau akan bersikap jantan setelah kau mendengar namaku, atau kau akan bersikap seperti tuanmu yang membunuh tuanku Anusapati dengan cara yang sangat licik.”
“Persetan, aku dapat memerintahkan menangkap dan membunuhmu.”
“Tentu. Tetapi itu sama halnya dengan perbuatan pengecut. Padahal kau adalah seorang Panglima. Aku tantang kau berperang tanding.”
“Siapa kau?”
“Aku adalah orang yang banyak sekali menyerahkan ayam jantan aduan kepada tuanku Tohjaya. Tetapi katakan, bahwa kau terima tantanganku untuk berperang tanding. Aku akan menyebutkan namaku.”
Panglima Pelayan Dalam itu ragu-ragu. Sejenak ia memandang prajurit-prajuritnya dengan ragu. Kemudian dipandanginya pula berganti-ganti ke empat orang pengawal setia Anusapati yang berdiri tegak mematung karena pertempuran itupun tiba-tiba terhenti karena kehadiran orang yang menjelang umur tuanya itu.
“Sebutkan kesediaanmu. Kemudian aku akan menyebut namaku. Jika tidak, dan kau akan memerintahkan prajuritmu mengeroyok aku, aku akan mati tanpa nama. Tetapi setiap orang yang ada di sini, meskipun sebagian besar adalah anak buahmu akan mengingat peristiwa ini, bahwa seorang Panglima telah berlaku licik.”
“Baiklah. Aku terima tantanganmu,”
“Semua menjadi saksi.”
“Semua menjadi saksi.”
“Panglima-panglima yang lain menjadi saksi.”
“Ya.”
“Dimana tuanku Tohjaya.”
Semua mata mencarinya. Dan mereka melihat Tohjaya berdiri tidak begitu jauh sambil memegangi tangan seorang anak yang sudah remaja.
“Lepaskan aku kakanda.” teriak anak muda itu.
“Tenanglah Adinda Agnibaya. Yang terjadi adalah di luar kekuasaan adinda.”
“Apa yang telah terjadi atas Kakanda Anusapati.”
“Kita sama-sama tidak tahu dengan pasti. Karena itu, tinggallah di sini. Jangan mendekati kekacauan itu.”
“Bagaimana dengan Kakanda Anusapati.” teriak Agnibhaya.
Orang yang berdiri berhadapan dengan Panglima Pelayan Dalam itu tidak sampai hati meneriakkan kenyataan tentang Anusapati. Tetapi salah seorang dari keempat pengawal setia Anusapati itulah yang berkata lantang. “Tuanku Anusapati telah terbunuh. Yang membunuh dengan licik adalah tuanku Tohjaya sendiri.”
Wajah Agnibaya menjadi merah. Tiba-tiba saja ia menyerang Tohjaya dengan sengitnya. Tetapi Agnibaya masih terlampau muda. Ilmunya masih belum mencukupi sama sekali untuk melakukan pembelaan dengan kekerasan. Karena itu, maka sejenak kemudian dua orang prajurit dengan mudahnya telah menguasainya. Keduanya memegang lengan Agnibaya dengan eratnya. Sedang Tohjaya yang berdiri di hadapannya berkata, “Tenanglah adinda. Kakanda akan menjelaskan persoalannya nanti. Tetapi sekarang, menepilah. Jangan berada di tempat yang masih kacau ini.”
Dalam pada itu, prajurit yang setia kepada Anusapati itu pun berteriak, “Kenapa tidak kau bunuh sama sekali adinda tuanku Anusapati itu.”
“Diam kau.” teriak Panglima Pelayan Dalam.
Dan orang yang menjelang usia tua itu tertawa sambil berkata, “Biarlah mereka meneriakkan kebenaran. Kenapa kau menjadi bingung.”
“Persetan, sebut namamu cepat, sebelum kau mati.”
“Baiklah. Kita akan berperang tanding. Bersiaplah.”
“Sebut namamu lebih dahulu.”
Orang itu menjadi ragu-ragu sejenak, namun kemudian katanya, “Aku juga pernah menjadi seorang Pelayan Dalam. Dan aku adalah Pelayan Dalam yang pada saat itu pernah meninggalkan tugasku. Hampir berkhianat pula seperti kau. Tetapi kini aku sadar, bahwa pengkhianatan itu tidak akan menguntungkan bagi diriku dan bagi setiap pengkhianat.”
“Tutup mulutmu, sebut namamu.”
Orang itu termangu-mangu. Sejenak ia memandang berkeliling. Dilihatnya beberapa orang prajurit telah mengerumuninya. Mereka hampir melupakan keempat prajurit yang setia kepada Anusapati itu. Orang itu menjadi berdebar-debar ketika ia melihat beberapa orang perwira yang sebaya dengan umurnya. Perwira-perwira tua yang masih berada di lingkungan keprajuritan. Agaknya tenaga mereka masih dibutuhkan sehingga mereka masih harus tetap memikul kuwajibannya.
“Salah seorang dari Perwira-perwira tua itu dapat mengenal aku.” berkata orang itu.
Tetapi tidak seorang pun yang menyebut namanya. Dan Panglima Pelayan Dalam itu berteriak kepada para prajurit. “Siapa yang mengenal orang ini?”
Orang-orang yang ada di sekitarnya masih tetap berdiam diri.
“Tentu ada seorang yang mengalami menjadi hamba Akuwu Tunggul Ametung. Dan bertanyalah kepadanya.”
Beberapa orang tua mengerutkan keningnya. Mereka mencoba untuk mengenali orang yang kini berdiri berhadapan dengan Panglima itu.
“Apakah tidak ada seorangpun lagi yang mengenal aku?”
Tiba-tiba salah searang perwira yang sudah sebaya dengan orang itu mendekatinya. Perlahan-lahan ia bergumam, “Aku memang pernah melihatmu.”
Orang itu tersenyum. Agaknya ia pun mengenal perwira itu. Maka katanya, “Kaukah yang pernah dijuluki harimau lapar di medan pertempuran. Nah, kau tentu ingat aku.”
Perwira itu merenung sejenak. Dipandanginya orang itu dengan saksama sambil berdesis, “Kau benar. Dahulu aku adalah seekor harimau lapar di medan pertempuran. Namun kemudian aku tidak lebih dari seekor harimau tua yang sudah tidak bergigi.” Orang itu berhenti sejenak, lalu, “he, kau si Kuda liar itu?”
Orang itu tersenyum. Katanya, “Apakah kau sekedar menebak atau kau benar-benar mengenal aku?”
“Kedua-keduanya. Rasa-rasanya aku sudah mengenalmu, dan karena itu aku telah menebak sebutanmu di antara para Pelayan Dalam.”
“Kau benar. Akulah itu.”
“Kuda Sempana?”
“Ya, Kuda Sempana.”
Beberapa orang terkejut mendengar nama itu. Nama yang telah lama hilang dari istana. Justru sejak masa Akuwu Tunggul Ametung masih berkuasa. Bahkan beberapa orang tua-tua masih teringat, apa yang pernah terjadi, ketika Kuda Sempana masih seorang anak muda yang perkasa. Ia pernah berusaha melarikan Ken Dedes dari padepokannya. Namun yang ternyata telah dikehendaki oleh Akuwu Tunggul Ametung sendiri. Dan kini Kuda Sempana itu tiba-tiba telah muncul kembali.
“Kuda Sempana.” Tohjaya bergumam.
“Ya, aku adalah Kuda Sempana. Seorang Pelayan Dalam pada masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung.”
“Dan apakah yang kau kehendaki sekarang?”
“Aku tidak tahu, apakah yang sebenarnya telah terjadi di dalam diriku. Aku tidak tahu, perkembangan apakah yang tumbuh di dalam jiwaku. Namun sekarang, yang aku ketahui bahwa aku berpihak kepada tuanku Anusapati, putera tuan Puteri Ken Dedes.”
“Kau pernah menculiknya.” tiba-tiba seorang perwira yang lain berdesis.
“Ya. Aku pernah mencintainya. Mungkin ada hubungannya dengan keputusanku sekarang, bahwa aku berpihak kepada tuanku Anusapati, putera tuan Puteri Ken Dedes itu.”
“Persetan.” Tohjaya menggeram, “cepat, selesaikan orang itu.”
Panglima Pelayan Dalam itu memang tidak dapat bersabar lagi. Karena itu, maka ia pun segera bersiap untuk bertempur melawan orang yang bernama Kuda Sempana itu.
Kuda Sempana pun kemudian mempersiapkan dirinya pula. Sekali lagi berkata, “Kita berperang tanding. Dan aku ingin melihat, apakah para perwira di Jaman Singasari yang besar ini lebih baik dari para perwira pada masa Akuwu Tunggul Ametung berkuasa di sebuah daerah yang sempit yang disebut Tumapel.”
“Persetan. Jangan menyesal kalau kau mati di arena ini seperti seekor ayam yang mati di dalam arena sabungan.”
“Justru aku akan berbangga, bahwa kematianku adalah kematian seorang prajurit.”
Panglima itu tidak dapat menahan hatinya lagi. Tiba-tiba saja ia menyerang Kuda Sempana dengan sepenuh kemampuannya. Tetapi Kuda Sempana pun telah bersiap pula. Dengan tangkasnya ia berhasil menghindar dan bahkan kemudian iapun telah menyerang kembali dengan cepatnya. Sejenak kemudian keduanya telah terlibat di dalam perkelahian yang seru. Prajurit-prajurit yang lain bagaikan terpesona melihat pertempuran yang dahsyat itu. Mereka seakan-akan telah melupakan, bahwa di antara mereka masih terdapat beberapa orang pengawal Anusapati yang setia.
Ternyata bahwa Panglima itu benar-benar memiliki kemampuan bertempur melampaui para prajurit dan Senapati. Ia memiliki ilmu yang dahsyat dan tata gerak yang kadang-kadang di luar perhitungan. Namun lawannya, Kuda Sempana, telah memperdalam ilmunya sampai tuntas. Bukan saja olah keprajuritan dengan segala macam kemungkinannya, tetapi ia adalah murid Empu Sada yang telah berhasil mewarisi segenap ilmu dan kemampuannya.
Itulah sebabnya, maka Panglima yang berada di puncak jabatan keprajuritan itu tidak segera dapat menguasainya. Bahkan semakin lama semakin ternyata bahwa Kuda Sempana masih memiliki beberapa kelebihan dari padanya. Berbagai perasaan bercampur baur di dalam hati Panglima itu. Ia merasa malu jika ia tidak dapat mengalahkan orang yang menyebut dirinya seorang Pelayan Dalam dari jaman Akuwu Tunggul Ametung. Namun bagaimanapun juga, akhirnya ia tidak dapat lari dari kenyataan, bahwa Kuda Sempana adalah benar-benar seorang yang pilih tanding.
Dengan demikian maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin seru. Panglima Pelayan Dalam itu semakin dibakar oleh perasaan marah, cemas dan nafsu untuk segera dapat mengalahkan lawannya. Jika ia sekarang seorang Panglima di dalam masa kejayaan Singasari tidak dapat mengalahkan hanya seorang Pelayan Dalam di masa pemerintahan seorang Akuwu kecil bernama Tunggul Ametung, maka ia tentu akan mengalami penderitaan batin tiada taranya. Meskipun demikian Panglima itu tidak segera berhasil menguasai Kuda Sempana. Bahkan semakin lama Kuda Sempana semakin mendesaknya dan tidak memberinya kesempatan untuk menyerang.
Kuda Sempana lah yang kemudian seakan-akan menguasai arena. Panglima Pelayan Dalam yang bagi bawahannya dan kawannya merupakan seorang yang pilih tanding itu, hampir tidak dapat berbuat apa-apa di hadapan Kuda Sempana, yang hanya seorang Pelayan Dalam dan yang kemudian menjadi seorang yang setiap kali datang membawa ayam aduan. Tetapi bagi Tohjaya, persoalannya semakin lama menjadi semakin jelas baginya. Tentu Kuda Sempana itu dengan sengaja telah dikirim oleh Anusapati kepadanya. Anusapati ingin mengetahui apa yang telah terjadi di arena.
“Agaknya kakanda Anusapati telah mencurigai aku selama ini.” berkata Tohjaya di dalam hati, “tetapi kenapa, ia masih bersedia hadir di arena hari ini? Jika orang itu menyampaikan semua peristiwa yang ada di arena ini, tentu kakanda Anusapati akan berkeberatan memenuhi undanganku.”
Dalam kebimbangan, Tohjaya yang tidak dapat menahan perasaannya itu tiba-tiba berteriak, “He Kuda Sempana. Ternyata bahwa kau sengaja dikirim oleh kakanda Anusapati kemari.”
“Ya.” Kuda Sempana tidak lagi berusaha untuk menyelubungi dirinya lagi. Sambil bertempur ia menjawab lebih lanjut, “hamba adalah utusan Kakanda Anusapati.”
“Jika demikian kau adalah seorang kepercayaan yang bodoh. Akhirnya Kakanda Anusapati terbunuh pula di arena ini.”
“Tidak.” Kuda Sempana masih sempat berbicara meskipun ia masih harus bertempur terus, “kakanda tuanku adalah orang yang paling baik di muka bumi. Hamba telah melaporkan semuanya yang hamba ketahui. Bahkan kecurigaan hamba terhadap tuanku Tohjaya. Sebenarnya tuanku Anusapati dapat menghubungkan semua laporan hamba dengan keris yang tuanku minta kepadanya. Kemudian undangan tuanku yang tentu sangat aneh ini. Tetapi tuanku Anusapati sengaja memerangi kecurigaa di dalam dirinya karena tuanku Anusapati menganggap bahwa tuanku Tohjaya adalah adiknya sendiri yang selama ini diberinya kesempatan untuk mengembangkan semua kesenangan, keinginan dan cita-citanya. Tetapi dengan demikian kepribadian tuanku Tohjayapun berkembang. Kepribadian seorang yang dengki dan tamak, sehingga akhirnya sampai hati membunuh saudara sendiri.”
“Ia bukan saudaraku. Kakanda Anusapati ternyata bukan saudaraku. Ia telah membunuh Ayahanda Ken Arok. Aku yakin. Dan aku telah membalaskan dendam Ayahanda Sri Rajasa.”
“Jika demikian maka tuanku harus tahu sebabnya, kenapa tuanku Anusapati sampai pada kesimpulan untuk membunuh tuanku Sri Rajasa jika itu benar.” Kuda Sempana berhenti sejenak, karena serangan Panglima itu hampir saja menyambar hidungnya. “Tunggu.” berkata Kuda Sempana kemudian, “beri kesempatan aku berbicara.”
“Beri kesempatan ia berbicara sebelum ia mati.” berkata Tohjaya kemudian.
Panglima itu terhenti sejenak. Tapi sebenarnya kesempatan itu amat menguntungkannya. Ia dapat menarik nafas sepuas-puasnya dan sedikit beristirahat, karena tenaganya sudah mulai susut.
“Cepat katakan, apa yang telah dilakukan kakanda Anusapati.”
“Bukan yang dilakukan oleh tuanku Anusapati, tetapi oleh tuanku Sri Rajasa. Tuanku harus mengetahuinya bahwa sebenarnya tuanku Anusapati bukan kakanda tuanku. Tetapi kakanda Anusapati adalah putera Akuwu Tunggul Ametung.”
“Aku sudah tahu, aku sudah tahu.” teriak Tohjaya.
“Dan apakah tuanku sudah tahu, kenapa tuanku Tunggul Ametung terbunuh.”
“Kebo Ijo membunuhnya.”
“Tidak. Kebo Ijo sekedar korban fitnah ayahanda tuanku Sri Rajasa. Yang membunuh ayahanda tuanku Anusapati adalah Ken Arok yang kemudian bergelah Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi.”
“Bohong.”
“Bertanyalah kepada ibunda tuanku Ken Umang. Tentu ayahanda pernah berceritera kepadanya, karena tuan puteri Ken Umang merupakan tumpuan perasaan tuanku Ken Arok setelah ia melupakan tuan puteri Ken Dedes. Dan sebaiknya tuanku mengetahui, bahwa kekuasaan atas Tumapel saat itu tidak ada pada tuanku Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa tetapi ada pada tuan puteri Ken Dedes, sehingga tuanku Anusapati lah yang berhak atas tahta dari Singasari yang merupakan kelanjutan dari Tumapel. Sepeninggal tuanku Anusapati, maka keturunannyalah yang berhak atas tahta, atau putera Sri Rajasa yang lahir dari tuan puteri Ken Dedes. Tidak dari tuan Putri Ken Umang yang diketemukan oleh tuanku Sri Rajasa di dalam perburuan dengan cara yang paling hina, sehingga lahirlah tuanku Tohjaya.”
Wajah Tohjaya menjadi merah padam. Rasa-rasanya telinganya telah tersentuh bara api tempurung. Karena itu dengan gigi gemeretak ia berteriak. “Bunuh orang gila itu.”
Tetapi Kuda Sempana masih sempat tertawa. Katanya, “seharusnya aku sudah mati sejak lama. Tetapi Mahisa Agni yang mempunyai hak untuk membunuhku karena seribu alasan tidak melakukannya. Karenanya itu, jika aku sekarang mati maka aku masih harus mengucapkan terima kasih kepada Mahisa Agni itu.”
Suara Kuda Sempana terputus. Panglima itu menyerangnya dengan garang. Namun Kuda Sempana masih sempat mengelak. Perkelahian itupun kini terulang kembali dengan dahsyatnya. Namun karena Panglima itu tidak akan dapat berhasil mengalahkan Kuda Sempana, maka Tohjaya pun berteriak.
“Bunuh orang itu. Aku memerintahkan kepada semua prajurit yang ada di sini.”
“He.” sahut Kuda Sempana, “tuanku akan menyiksa Panglima tuanku untuk selamanya? Perasaannya tentu akan terhina karena ia sudah berjanji atas nama kejantanannya, bahwa ia akan melakukan perang tanding.”
“Persetan. Aku perintahkan kepada semua prajurit, Senapati, dan Panglima yang ada di sini.”
Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Sekilas ia melihat semua prajurit bersiaga dan bahkan beberapa orang telah maju mendekatinya. Sekali ia menarik nafas. Namun hatinya telah mapan. Seakan-akan ia melihat maut telah siap untuk menjemputnya. Dan ia tidak akan lari. Ia sudah siap untuk mati karena menurut perasaannya, hidupnya sudah cukup panjang. Seperti yang dikatakannya, seharusnya ia sudah lama mati. Tetapi ia masih tetap hidup sampai saat itu. Karena itu, maka mati bukan lagi sesuatu yang menakutkan baginya.
Tetapi Kuda Sempana tidak mau mati begitu saja. Ia ingin mati seperti seorang prajurit. Rasa-rasanya ia kini kembali menjadi seorang Pelayan Dalam yang ada di medan pertempuran. Karena itulah maka ketika ia melihat beberapa orang prajurit mengepungnya, ia justru tersenyum. Namun dalam pada itu, ia sempat menyilangkan tangan di dadanya. Kuda Sempana masih sempat membangunkan puncak kekuatannya pada aji yang diwarisinya dari Empu Sada. Kala Bama.
Beberapa orang terkejut melihat sikapnya. Tetapi mereka tidak sempat berbuat banyak. Panglima Pelayan Dalam yang sedang berusaha menangkapnyapun terkejut. Ia mencoba untuk memusatkan segenap kekuatannya untuk melawan kekuatan yang tidak dapat diduganya lebih dahulu itu. Tetapi ia telah terlambat. Sejenak kemudian Kuda Sempana yang sudah mapan untuk mati itu telah meloncat dan mengayunkan tangannya kearah Panglima Pelayan Dalam itu.
Yang terjadi adalah sebuah benturan yang dahsyat. Tetapi tidak seimbang. Kuda Sempana sudah ada di puncak kekuatannya, sedang Panglima itu sama sekali belum berhasil mengimbanginya, karena bekalnya memang belum cukup untuk menyogsong aji Kala Bama yang dahsyat itu.
Orang-orang yang menyaksikan benturan itu memalingkan wajahnya. Mereka melihat tubuh Panglima Pelayan Dalam itu terhempas di tanah, dan tidak sempat lagi untuk menggeliat. Agaknya tulang belulangnya telah hancur menjadi debu di dalam tubuhnya. Yang tampak hanyalah darah meleleh dari mulutnya pada saat ia sudah tidak bernafas lagi.
Sejenak Tohjaya terpesona. Namun kemuidan ia berteriak sekali lagi. “Bunuh orang gila ini.”
Betapapun setiap hati dicengkam oleh kengerian, namun para prajurit itu pun mengepungnya semakin rapat. Kini yang ada di antara mereka adalah Panglima Pasukan Pengawal yang memiliki bekal lebih lengkap dari Panglima Pelayan Dalam untuk melawan Kuda Sempana. Namun demikian ia masih memerlukan para Senapati pilihan untuk membantunya.
Kuda Sempana tiba-tiba menjadi liar. Matanya menjadi merah, dan rasa-rasanya ia telah kehilangan sifatnya yang lembut. Ia benar-benar telah menjadi seorang prajurit di medan perang brubuh. Karena itulah, maka iapun segera mengamuk dalam puncak ilmu Kala Bama. Setiap sentuhan tangannya telah melemparkan lawannya dan membantingnya jatuh ke tanah tanpa dapat bangun lagi untuk selama-lamanya.
Dalam pada itu, selagi Kuda Sempana harus berjuang menghadapi sepasukan prajurit, maka pengawal-pengawal Anusapati yang setiapun mulai bangkit kembali. Tiba-tiba saja mereka pun mengayun-ayunkan senjatanya, menyerang siapa saja yang dekat padanya. Karena itu, maka arena itu pun menjadi semakin kisruh. Korban berjatuhan satu-satu dengan cepatnya. Tangan Kuda Sempana yang terayun-ayun dalam puncak ilmunya itu bagaikan tangan dewa maut yang memungut nyawa orang-orang yang dikehendakinya. Sedang senjata keempat pengawal Anusapati itupun terayun-ayun tanpa kekang.
Namun jumlah lawan mereka jauh lebih banyak. Karena para prajurit dan Senapati tidak berhasil mendekati Kuda Sempana, maka merekapun mulai menghujani Kuda Sempana dengan senjata. Mula-mula Kuda Sempana berhasil menangkis senjata-senjata itu dan melontarkan kembali ke arah prajurit yang mengepungnya dan menyambar beberapa orang korban di antara mereka. Tetapi lambat laun, senjata yang menyerangnya bagaikan hujan yang semakin lebat. Karena itu, satu-satu senjata-senjata itu mulai menyentuh tubuhnya.
Agnibaya yang melihat semuanya yang terjadi meronta-ronta sekuat tenaganya. Tetapi ia tidak banyak dapat berbuat. Tangannya bagaikan dicengkam oleh kekuatan raksasa, karena beberapa orang prajurit masih saja memeganginya. Sementara itu, Kuda Sempana semakin lama menjadi semakin garang. Ia sudah pasrah diri kepada maut yang siap merenggutnya. Namun justru karena itu, maka iapun menjadi semakin tenang meskipun senjata yang menyentuh tubuhnya menjadi semakin banyak. Lukanya menjadi bagaikan arang kranjang. Keringat yang bercampur warna darah telah membasahi seluruh tubuhnya.
Namun satu demi satu korban di pihak lawannya pun berjatuhan. Sisa-sisa kekuatan aji pamungkasnya masih berhasil merenggut beberapa orang korban sebelum kemudian cucuran darahnya yang tidak terbendung membuatnya semakin tidak berdaya. Akhirnya, Kuda Sempana menjadi kehilangan segenap kekuatannya. Pukulannya yang terakhir dengan kekuatan puncaknya masih menyentuh Panglima Pasukan Pengawal.
Tetapi kekuatan puncaknya itu sudah susut, sehingga akibatnya pun tidak terlampau parah bagi lawannya, meskipun Panglima itupun terdorong beberapa langkah surut dan hampir tidak berhasil mempertahankan keseimbangannya. Tapi dengan mengerahkan seluruh kemampuannya itu, Kuda Sempana telah melepaskan segenap sisa tenaga yang ada padanya.
Disaat terakhir Kuda Sempana masih melihat seorang dari keempat pengawai yang setia kepada Anusapati itu mengayunkan senjatanya, namun iapun segera jatuh menelungkup dengan luka tidak terhitung jumlahnya. Meskipun mereka adalah pengawal pilihan, tetapi mereka tidak mampu melawan prajurit yang jumlahnya berlipat ganda. Dorongan ujung tombak seorang Senapati telah mendorong Kuda Sempana yang lemah itu. Sejenak ia menggeliat. Namun kemudian iapun terlentang di tanah dengan lemahnya.
Akan tetapi Kuda Sempana masih sempat tersenyum melihat para prajurit yang sudah mengerumuninya dengan senjata telanjang. Bahkan ia masih dapat berkata, “Nah, bukankah kau lihat, bahwa seorang Pelayan Dalam pada masa Akuwu Tunggul Ametung jauh lebih baik dari Panglima di masa kini?”
Tidak seorang pun yang menjawab. Beberapa orang menjadi termangu-mangu. Namun mereka kemudian melihat Kuda Sempana memejamkan matanya. Seperti Sumekar, adik seperguruannya, Kuda Sempana merasa bahwa ia telah memberikan pengorbanan dengan nyawanya bagi keturunan Ken Dedes yang dianggapnya memang berhak atas tahta Singasari. Tetapi lebih daripada itu, Kuda Sempana merasa berdosa, karena ialah sumber malapetaka yang sebenarnya bagi Ken Dedes. Jika ia tidak tergila-gila kepada gadis itu dan mengambilnya dari Panawijen, sebagai ternyata berakibat kematian Wiraprana, maka Ken Dedes tidak akan mengalami kepahitan hidup yang seolah-olah tidak kunjung berakhir.
Karena itu, kematiannya seakan-akan merupakan sebagian tebusan bagi dosanya itu. Meskipun demikian, di saat terakhir itu Kuda Sempana tidak dapat lagi menghindari penyesalan yang mendalam. Bahwa semuanya itu harus terjadi. Namun demikian, meskipun terlambat, rasa-rasanya ia telah mengurangi dosa yang pernah dibuatnya atas Ken Dedes dan Mahisa Agni. Karena itulah, maka seakan-akan di dalam saat terakhir dari hidupnya itu, ia masih sempat tersenyum.
Kematian Kuda Sempana di arena itu, benar-benar telah menggemparkan. Berita tentang kehadirannya segera tersebar sampai keujung kota. Kuda Sempana, seorang Pelayan Dalam pada masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung, telah terbunuh di halaman istana bersama dengan tuanku Anusapati. Namun pada saat berita itu tersebar, prajurit yang berpihak kepada Tohjaya benar-benar telah berhasil menguasai seluruh kota Singasari dan sekitarnya.
Maka berlakulah satu lagi kutuk Empu Purwa dari Panawijen atas orang-orang yang melarikan anaknya. Bahwa mereka akan mati ditikam dengan keris. Pada Kuda Sempana bukan saja luka oleh keris yang menyobek dadanya, tetapi lukanya yang arang kranjang itu adalah bekas luka oleh segala jenis senjata.
Rasa-rasanya Agnibaya akan pingsan melihat peristiwa itu. Tetapi ia masih berhasil untuk tetap mempertahankan kesadarannya. Meskipun ia masih sangat muda, namun ia berhasil menghubungkan peristiwa yang baru saja terjadi dengan prajurit-prajurit yang banyak berkeliaran di halaman istana. Bahkan ketika ia akan pergi ke arena sabung ayam ini pun, dua orang prjurit telah mengawalnya.
Berita kematian Anusapati itu benar-benar telah menggemparkan Singasari. Terlebih-lebih lagi seluruh isi istana. Para emban, pemimpin pemerintahan yang tidak ikut serta di dalam perencanaan yang ternyata cukup matang. Terapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Istana Singasari bagaikan di pihak Tohjaya. Terutama para Pelayan Dalam dan Para Pengawal.
Ketika Ken Dedes mendengar berita itu, ia tidak dapat menahan kejutan yang seakan-akan menghantam dadanya. Sesaat ia memegangi dadanya, namun iapun kemudian jatuh pingsan di pembaringannya. Para emban dan hamba-hambanya menjadi bingung. Mereka berlarikan kian kemari. Orang-orang yang agak mengerti tentang obat-obatan pun segera berusaha membangunkan Ken Dedes. Minyak kelapa, kunir dan jahe. Beberapa jenis akar dan dedaunan. Yang lain memijit-mijit kakinya dan di bawah telinganya sebelah menyebelah.
Namun dalam kekisruhan itu, seorang emban yang sudah menjadi semakin tua menangis dengan nada yang sangat pedih. Ia adalah pemomong Anusapati yang kemudian berada di bangsal Ken Dedes. Anusapati baginya tidak kurang dari anaknya sendiri. Ia sudah berkhianat kepada Ken Umang, dan mengasuh Anusapati sebaik-baiknya sejak kanak-kanak. Ia tidak mampu memaksa dirinya untuk membentuk anak itu menjadi seorang yang dungu dan bebal. Bahkan ia tidak dapat berkhianat meskipun ia tahu bahwa Anusapati mendapat banyak pengaruh dan ilmu dari pamannya Mahisa Agni, meskipun emban itu pernah mendengar siapakah sebenarnya Mahisa Agni itu dari Jun Rumanti, ibu Mahisa Agni yang menjadi emban pemomong Ken Dedes.
Kini Anusapati itu terbunuh. Belum cukup lama ia duduk di atas tahta. Namun agaknya ia harus menerima pembalasan dendam dari adiknya, Tohjaya. Yang Sebenarnya telah diketahuinya, bahwa antara Anusapati dan Tohjaya itu tidak ada sangkut pautnya kekeluargaan sama sekali.
“Itulah bedanya tuanku Anusapati dengan tuanku Sri Rajasa.” berkata emban itu di dalam hatinya seperti banyak orang yang berkata demikian pula kepada diri sendiri. “Anusapati tidak dapat melupakan peristiwa yang menyangkut namanya pada kematian Sri Rajasa. Tetapi Sri Rajasa dapat berbuat seakan-akan benar-benar tidak bersalah pada saat kematian Tunggul Ametung.”
Tetapi bagaimanapun juga Anusapati sudah tidak ada lagi. Ia terbunuh bersama keempat pengawalnya yang paling setia dan Kuda Sempana.
Dalam pada itu ketika Ken Dedes mulai menyadari keadaannya, maka iapun telah terbenam di dalam air matanya yang mengalir hampir tidak ada hentinya sepanjang hari. Kematian anaknya itu benar-benar merupakan suatu pukulan yang dahsyat bagi hidupnya. Ia sudah banyak mengalami penderitaan dan menahan perasaan. Tetapi kali ini, duka citanya hampir tidak tertanggungkan lagi sehingga, di dalam sisa hidupnya, rasa-rasanya Ken Dedes sudah tidak lagi memiliki niat dan kemauan lagi. Ia seolah-olah telah mati di dalam hidupnya yang pahit.
Demikianlah, perubahan telah terjadi dengan cepatnya di istana Singasari yang kemudian menjalar ke seluruh kota. Para utusan dan penghubung, hilir mudik di seluruh kota dan daerah di sekitarnya. Kuda-kuda yang tegar berlari-larian membawa berita dan perintah-perintah bagi para Senapati yang telah berada di bawah pengaruh Tohjaya.
Pada saat seorang Senapati melaporkan kematian Anusapati kepada Ken Umang, maka ibunda Tohjaya itu tidak dapat menahan gejolak perasaannya. Tiba-tiba suara tertawanya terlontar lepas tanpa bisa dikendalikan lagi, sehingga beberapa orang hambanya menjadi heran. Suara tertawa itu bagaikan ringkik iblis betina yang mendapatkan korban sesajian beberapa sosok mayat yang baru.
“Aku akan menguasai seluruh Singasari.” katanya di sela-sela tertawanya, “dan anakku akan menjadi Maharaja sangat dihormati melampaui anak Ken Dedes, gadis Panawijen yang dungu itu. Ia menganggap bahwa dirinya masih saja seorang ratu sampai saat terakhir tubuhnya menjadi kurus kering dimakan penyakit. Kini ia harus tahu, bahwa akulah yang berkuasa. Bukan gadis Panawijen itu. Kakaknya tidak akan dapat lagi menyombongkan dirinya, menghinakan aku sejak aku masih seorang gadis yang sangat cantik. Ia harus segera dipanggil dari Kediri, bersimpuh dan mencium kakiku sebagai permintaan maaf atas kesombongannya. Tetapi ia tidak akan dapat lagi berbuat apa-apa terhadapku sekarang, karena aku adalah seorang yang paling berkuasa, ibunda Maharaja Singasari yang besar.”
Dan suara tertawa Ken Umang pun mengumandang di seluruh bangsal. Berkepanjangan bagaikan gelombang laut yang tidak hentinya melanda pantai. Susul menyusul, sehingga akhirnya perempuan itu menjadi kelelahan, kemudian terduduk dengan lemahnya di atas pembaringannya.
“Minum, ambilkan aku minum.” Ken Umang berteriak.
Seorang emban dengan bergegas bergeser surut untuk mengambil mangkuk minuman.
“Cepat, he, Cepat. Kini aku berkuasa melampaui permaisuri itu. Aku memiliki wewenang berbuat apa saja atas nama anakku yang akan menjadi Maharaja di Singasari.”
Emban itupun menjadi gemetar. Justru karena ia menjadi sangat tergesa-gesa, maka di luar bilik iapun tergelincir jatuh. Dengan tertatih-tatih ia cepat-cepat bangkit dan berlari-lari mengambil mangkuk minuman Ken Umang.
Pada hari itu juga Tohjaya benar-benar sudah duduk di Tahta Singasari. Ia mengadakan paseban agung yang pertama, kemudian mengangkat dirinya sendiri menjadi Maharaja di Singasari. Tidak seorang pun dapat melawan kehendaknya. Di luar paseban prajurit segelar sepapan berbaris lengkap dengan senjata telanjang. Demikian pula di setiap regol istana dan hilir mudik di jalan-jalan kota Singasari yang justru menjadi sangat sepi. Namun, Tohjaya tidak dapat memaksa setiap hati untuk menyetujui sikapnya meskipun untuk sementara mereka harus tetap diam.
Sementara itu seekor kuda yang berwarna putih bagaikan terbang di jalan-jalan padesan, mengambil jalan memintas dan bahkan menyusup hutan-hutan perdu menuju ke Kediri. Penunggangnya seorang yang menjelang usia lanjutnya dengan tangkas mengemudikan kudanya yang lari bagaikan dikejar hantu.
“Aku harus datang mendahului setiap utusan dari Singasari.” berkata orang itu.
Dengan demikian, maka orang itu seakan-akan tidak beristirahat sama sekali selain memberi kesempatan kudanya minum beberapa teguk dan sedikit rerumputan yang hijau yang tumbuh di tanggul-tanggul parit di pinggir jalan. Ketika malam menjadi semakin kelam, ia sampai di regol istana Penguasa yang mewakili Maharaja Singasari di Kediri, hatinya terasa bergetar semakin cepat. Meskipun regol itu nampak sepi, namun di dalamnya api yang setiap saat dapat menyala dan membakar seluruh Singasari.
“Aku harus menemukan kata-kata yang paling baik untuk menyampaikan berita ini.” berkata orang itu di dalam hatinya. Dengan ragu-ragu orang itu pun kemudian mendekati regol istana yang besar itu. Perlahan-lahan ia mengetuk pintunya yang tertutup.
Seorang kemudian menjengukkan kepalanya pada sebuah lubang di regol itu sambil bertanya, “Siapa?”
Orang itu termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia tidak mau membuang-buang waktu lagi. Katanya, “Aku Witantra. Aku ingin menghadap tuanku Mahisa Agni.”
“Dimalam hari begini?”
“Ya. Ada persoalan yang penting sekali.”
“Tunda sampai besok. Tuanku Mahisa Agni tentu sedang tidur nyenyak.”
“Maaf. Ada persoalan yang penting sekali meskipun persoalan keluarga. Aku datang dari Panawijen.”
“Tunda sampai besok.” terdengar suara yang lain lagi.
“Jika tertunda sampai besok, maka aku akan dimarahinya. Bahkan mungkin kepalaku akan dapat dipenggalnya. Persoalan keluarga ini sudah diserahkan kepadaku. Jika persoalan yang penting ini terjadi, kapanpun, siang atau malam, aku harus menghadap dan memberitahukan kepadanya. Jika tidak, aku akan mati sia-sia. Meskipun umurku sudah mendekati saat kelam, tetapi aku tidak ingin mati dicekiknya.”
Para penjaga itu berpikir sejenak, lalu, “Siapa namamu?”
“Witantra. Jika kalian menyampaikan nama itu kepada tuanku Mahisa Agni, maka aku tentu akan diijinkannya menghadap. Justru karena pesan tuanku Mahisa Agni sendiri.”
Sejenak Witantra menunggu. Ketika ia mendengar regol itu berderit dan terbuka, hatinya menjadi sedikit lega. Seorang yang bertubuh tinggi kekar, yang agaknya menjadi pemimpin penjaga yang bertugas malam itupun mendekatinya dan berkata, “Apakah kau salah seorang anggauta keluarganya.”
“Ya. Aku adalah kakak sepupunya. Aku masih tetap tinggal di padepokan Panawijen.”
“Masuklah. Tunggulah di regol sebentar. Biarlah para pelayan menyampaikannya. Tetapi jika kau berbohong, dan tuanku Mahisa Agni menjadi marah, kau pun akan mengalami perlakuan yang buruk sekali dari kami.”
“Baiklah. Aku bersedia menanggung semua akibat.”
Witantra itupun kemudian dibawanya masuk dan dipersilahkan menunggu di regol itu setelah mengikat kudanya pada sebatang pohon perdu di sebelah regol itu. Tidak banyak yang dibicarakan dengan para penjaga. Sedang seorang penjaga yang ditugaskan masuk kebagian belakang istana itu dan berbicara dengan seorang pelayan.
“Biarlah seorang emban menyampaikan.”
“Hus.” desis pelayan itu, “tidak ada seorang emban pun yang boleh masuk di malam hari.”
“O.” prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Jadi.”
“Kenapa tidak menunggu sampai besok?”
“Orang itu memaksa. Kami menjadi kasihan melihatnya, jika tidak disampaikannya berita yang dikatakannya sangat penting itu, ia akan dapat dicekik oleh tuanku Mahisa Agni. Karena, baiklah kita mencoba.”
Pelayan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah. Biarlah berita ini disampaikan. Jika tidak kebetulan ada hantu lewat, tuanku Mahisa Agni biasanya tidak marah.”
“Ya. Karena kami mengetahui bahwa bukan kebiasaannya cepat menjadi marah, maka kami berani menerima keluarganya itu di malam hari.”
Demikianlah, seorang pelayan telah membangunkan Mahisa Agni meskipun dengan ragu-ragu. Ketika Mahisa Agni mendengar pintu biliknya diketuk, ia terkejut bukan kepalang. Tiba-tiba saja ia sudah meloncat dan berdiri tegak di sisi pembaringannya. Namun sesaat kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam. Bahkan kemudian diusapnya wajahnya yang berkeringat.
“Aku mimpi buruk.” katanya di dalam hati. “Tetapi ketukan pintu itu benar-benar aku dengar.” Karena iu, maka iapun bertanya, “Siapa di luar?”
“Hamba tuanku.”
Karena itu, maka iapun bertanya, “Siapa di luar?”
“Seseorang telah memaksa menghadap tuanku malam ini. Menurut katanya, ada berita yang sangat penting bagi tuanku Mahisa Agni.”
Mahisa Agni termangu-mangu sejenak. Ia mencoba untuk mengingat-ingat, apakah kira-kira yang dapat terjadi dalam waktu yang dekat.
“Tuanku.” berkata pelayan itu kemudian, “orang itu mengaku datang dari padukuhan. Tuanku telah berpesan kepadanya untuk menyampaikan berita yang penting ini pada saatnya. Jika tidak, orang itu akan mendapat hukuman.”
“Apakah harus malam ini?” bertanya Mahisa Agni.
“Ketika para penjaga bertanya kepadanya, maka jika ia terlambat sampai esok, ia akan dapat digantung.”
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Ia tidak pernah berpesan kepada siapa pun tentang sesuatu yang sangat penting di padukuhannya. Namun demikian akhirnya Mahisa Agni bertanya, “Apakah kau tahu nama orang itu?”
“Menurut pengakuannya, namanya Witantra.”
“Witantra.” Mahisa Agni mengulang. Namun dalam pada itu jantungnya serasa berdentangan semakin cepat. Jika benar orang itu Witantra, apakah ia akan menyebut namanya. Tetapi dengan demikian, justru ia menjadi sangat tertarik untuk menerima orang itu. Karena itu maka katanya, “Baiklah. Bawalah ia ke ruang dalam. Aku akan menerimanya di sana.”
“Hamba tuanku.”
Mahisa Agni mendengar langkah pelayan itu menjauh. Sementara itu iapun kemudian berkemas dan pergi ke ruang dalam menunggu tamunya yang menyebut dirinya bernama Witantra. Ketika seorang prajurit mengantarkan tamunya itu masuk, maka sebenarnyalah orang itu Witantra.
“Witantra.” Mahisa Agni menjadi berdebar-debar.
Witantra tersenyum. Ia tidak mau melontarkan kesan yang dengan tiba-tiba telah membuat Mahisa Agni menjadi tegang. Namun demikian kehadirannya di malam hari itu telah menumbuhkan persoalan di dalam hati Mahisa Agni. “Maafkan aku Agni.” berkata Witantra sepeninggal prajurit yang mengantarkannya, “aku memaksa untuk menghadapmu di malam hari.”
“Aku tidak berkeberatan Witantra. Tetapi kehadiranmu ini membuat aku menjadi berdebar-debar. Tentu ada persoalan yang sangat penting yang ingin kau sampaikan kepadaku. Jika tidak maka kau tidak akan datang di malam hari begini. Seandainya demikian, bukanlah kau telah mempunyai pintu tersendiri di belakang?”
Witantra masih saja tersenyum. Katanya, “Kali ini aku datang dengan kepentingan khusus. Lagipula aku belum memberitahukan bahwa aku akan datang dengan melalui jalan yang biasa aku lalui setelah agak lama tidak aku lakukan.”
“Aku menjadi berdebar-debar. Sebaiknya kau segera menyebut keperluanmu itu.”
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Sesaat ia memandang berkeliling, seakan-akan ingin meyakinkan bahwa tidak ada orang lain di dalam bilik itu.
“Berkatalah Witantra. Tidak ada orang lain yang dapat mendengar pembicaraan kita dari luar ruangan ini.” berkata Mahisa Agni.
Witantra memandang Mahisa Agni sejenak. Kini wajahnya mulai menjadi berkerut merut dan bersungguh-sungguh. “Agni.” berkata Witantra dengan nada yang dalam dan datar. “Memang ada sesuatu yang sangat penting yang akan aku sampaikan kepadamu. Aku kira lebih baik bagimu mendengar dari mulutku daripada orang lain.”
“Kau membuat aku gelisah sekali.”
“Baiklah.” Witantra termangu-mangu sejenak, lalu, “sebuah berita sedih dari Singasari.”
“He.” Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
“Ternyata kita telah lengah. Tuanku Anusapati pun telah lengah.”
“Maksudmu? Bukankah kolam itu berhasil melindunginya di dalam tidurnya yang nyenyak di malam hari, sedang di siang hari tuanku Anusapati akan dapat melindungi dirinya sendiri.”
“Kau benar Agni. Tetapi jika lawan kita adalah orang-orang jantan yang berani beradu dada.” sahut Witantra.
“Katakan. Katakanlah dahulu apa yang terjadi.”
“Tuanku Anusapati telah terbunuh.”
“He?” nafas Mahisa Agni bagaikan berhenti mengalir dan jantungnya serasa berhenti berdenyut. Sejenak ia diam mematung. Ditatapnya Witantra seakan ingin melihat langsung ke dalam lubuk hatinya. “Apakah kau bergurau Witantra?” bertanya Manis Agni kemudian.
“Kali ini tidak Agni.”
Mahisa Agni tiba-tiba menjadi gemetar. Dengan suara yang dalam ia bergumam, “Katakanlah yang telah terjadi.”
Witantrapun kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi, yang didengarnya dari orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu di arena sabung ayam. Anusapati terbunuh bersama pengawal-pengawalnya yang setia dan Kuda Sempana.
Mahisa Agni menekan dadanya dengan telapak tangannya. Seakan-akan menahan ledakan jantungnya, yang hampir tidak dapat ditahankannya lagi. “Jadi hal itu telah terjadi?” ia bergumam.
“Ya. Dengan licik sekali.”
“Kuda Sempana dan pengawal-pengawal yang malang. Mereka telah mengorbankan nyawanya. Tetapi keadaan sama sekali tidak akan dapat ditolong lagi.”
Mahisa Agni menundukkan kepalanya dalam-dalam. Terasa tenggorokannya menjadi panas. Kecemasannya tentang keselamatan Anusapati ternyata kini telah terjadi betapapun sudah diusahakan untuk melindunginya. Dengan pengawal-pengawal yang setia, dengan kolam di seputar bangsalnya dan dengan usaha-usaha yang lain. Namun agaknya Anusapati sendiri selalu dikejar oleh perasaan bersalah karena kematian Sri Rajasa, sehingga karena itu justru tidak dapat berbuat sesuatu untuk menolak permintaan Tohjaya. Ia sudah memberikan keris Empu Gandring kepadanya. Kemudian memenuhi undangannya di arena sabung ayam yang kisruh.
“Mahisa Agni.” berkata Witantra kemudian, “kau adalah orang yang paling dekat dengan Anusapati sejak ia masih anak-anak. Setiap orang kini mengetahui bahwa kau adalah gurunya. Karena itu di dalam pergolakan ini kau harus dapat menempatkan dirimu.”
“Aku menyadari Witantra.” sahut Mahisa Agni, “aku harus memilih tindakan yang paling tepat. Sebenarnyalah bahwa aku tidak rela membiarkan Anusapati mati terbunuh dengan cara yang sangat licik itu.”
“Apakah yang akan kau lakukan itu.”
“Kabut yang gelap akan menyelubungi Singasari untuk beberapa saat lamanya.” berkata Mahisa Agni kemudian, “yang terjadi itu tentu akan terasa juga akibatnya bagi Kediri. Bukan saja prajurit-prajurit Singasari yang ada di Kediri, tetapi bagi keluarga bangsawan-bangsawan Kediri.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan ragu-ragu ia pun bertanya, “Apakah kau akan tetap berada di Kediri dan berbuat sesuatu?”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Witantra sejenak, lalu, “Aku harus memilih Witantra. Apakah aku akan memanjakan perasaanku yang bergejolak ini, atau aku harus mengingat kepentingan Singasari dan hari depannya. Jika aku memanjakan perasaanku, dan bukannya sekedar sikap yang sombong dan tidak berperhitungan apabila aku aka dapat membuat kekuatan tandingan bagi Tohjaya. Aku dapat membangunkan Kediri yang sedang tidur ini. Aku masih mempunyai modal. Prajurit Singasari yang setia, yang kini berada di Kediri dan prajurit-prajurit Kediri yang sampai saat ini masih tetap ada meskipun kekuatannya sangat kecil. Tetapi aku masih sanggup membangun suatu pasukan yang kuat, yang dapat membendung kekuatan Tohjaya yang tentu tidak akan dalam waktu yang sangat singkat, menguasai seluruh pasukan. Jika ada pihak yang berdiri berseberangan dengan kekuasaannya, maka aku kira masih banyak prajurit yang bersedia membantu.” Mahisa Agni berhenti sejenak, lalu, “namun dengan demikiai Singasari akan terpecah belah. Negeri yang sebenarnya sudah mulai berkembang ini akan berserakan kembali.”
“Jadi apakah yang akan kau lakukan? Jika sekiranya Tohjaya memanggilmu menghadap, apakah kau akan datang?”
“Aku akan dihadapkan ke tiang gantungan.” sahut Mahisa Agni, “aku adalah pendukung yang paling baik bagi Anusapati bukan saja karena aku mempunyai sikap dan pandangan yang sama bagi Singasari, tetapi aku adalah pamannya aku adalah gurunya dan akulah yang selama ini berdiri di belakangnya di dalam perang yang berlangsung dengan diam-diam di istana antara Tohjaya dan Anusapati.”
Witantra mengerutkan keningnya. Dilihatnya wajah Mahisa Agni menjadi tegang. Sesuatu telah membayang di rongga matanya meskipun tidak dikatakannya kepada Witantra. Ken Umang bagi Mahisa Agni adalah sesosok hantu betina yang sangat mengerikan. Justru lebih mengerikan dari Tohjaya sendiri. Sejak mudanya Ken Umang telah membuatnya gelisah. Kini Ken Umang memiliki kekuasaan yang tidak terbatas. Bahkan mungkin melampaui kekuasaan Tohjaya sendiri yang tentu akan segera mengangkat dirinya menjadi Maharaja di Singasari. Ken Umang yang mendendamnya itu tentu akan mempergunakan kekuasaannya untuk memuaskan dirinya sendiri.
“Bahkan mungkin sesuatu yang sangat mengerikan dapat terjadi atasku.” tiba-tiba saja ia bergumam.
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun Mahisa Agni tidak mengatakan, namun rasa-rasanya getaran di dalam dadanya terasa juga pada Witantra, karena Witantra mengetahui serba sedikit sikap Ken Umang itu terhadap Mahisa Agni sejak ia masih seorang gadis.
“Witantra.” berkata Mahisa Agni kemudian, “keadaan ini sangat tidak menguntungkan bagi Singasari. Tetapi aku kira, aku akan dapat mengendalikan diri agar aku tidak ikut merobek-robek kesatuan Singasari yang masih ada.”
“Jadi kau akan menjadi penonton saja setelah ini?”
“Bukan maksudku Witantra.” jawab Mahisa Agni, “aku masih harus melihat apa yang dilakukan oleh Tohjaya. Jika yang dilakukan oleh Tohjaya akan menguntungkan Singasari, maka apa boleh buat. Aku hanya sebutir debu di atas tanah ini. Aku sama sekali tidak berarti dibandingkan dengan kepentingan Singasari yang besar. Karena itu jika Tohjaya kelak dapat memimpin Singasari dengan baik, biarlah, aku tidak berbuat sesuatu.”
“Lalu bagaimana dengan tuan puteri Ken Dedes dan putera-puteranya yang lain?”
“Sikap Tohjaya terhadap mereka termasuk penilaianku atasnya. Apakah ia seorang yang berjiwa besar atau berjiwa kerdil.”
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Sekilas terbayang betapa pahit penderitaan yang harus dialami oleh, Ken Dedes sepeninggal Anusapati justru karena Witantra mengenal sifat dan watak Ken Umang. Karena itu maka ia berdesis. “Apakah kau sampai hati membiarkan tuanku Ken Dedes di dalam kepedihan dan menanggungkannya sendiri?”
“Aku harus mempertimbangkan, Witantra.” berkata Mahisa Agni, “tetapi jika aku datang ke Singasari dan digantung di alun-alun, maka ia akan menjadi semakin menderita. Karena itu, biarlah aku tetap hidup. Aku akan menilai sikap dan perbuatan Tohjaya, terutama bagi Singasari. Jika ia berjalan di atas jalan yang sesat, adalah kuwajiban kita bersama untuk menyelamatkan Singasari. Tetapi jika ia berhasil mengendalikan pemerintahan seperti ayahandanya Sri Rajasa, biarlah aku menekan perasaan dalam-dalam, karena sebenarnyalah bahwa kepentingan Singasari jauh lebih besar dari dendam dan kebencian di dalam hatiku.”
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi semakin hormat kepada Mahisa Agni atas sikapnya. Sebenarnya ia dapat berbuat banyak untuk menentang kekuasaan Tohjaya. Bahkan jika Mahisa Agni menghendaki, ia dapat membangun Kediri yang besar, yang memang sudah didasari oleh perasaan dendam kepada Sri Rajasa di Singasari. Apalagi yang kini menjadi Maharaja di Singasari adalah anak Sri Rajasa dari isterinya yang kedua. Mahisa Agni adalah orang yang mumpuni. Ia mempunyai banyak kawan dan pengikut, baik di Kediri maupun di Singasari. Tetapi Mahisa Agni memandang kepentingan Singasari lebih besar daripada dendam yang melonjak di hatinya.
“Baiklah Mahisa Agni.” berkata Witantra, “aku tidak mau membakar hatimu yang tetap dingin menghadapi persoalan yang sebenarnya cukup mengguncangkan Singasari. Agaknya kau memang berjiwa besar, dan sejak mula-mula kau tampil di dalam pergaulan dari yang paling sempit sehingga yang paling luas seperti sekarang ini, kau tidak dikendalikan oleh pamrih pribadimu. Ketika aku belum mengenal sifatmu dengan baik, hampir saja aku kehilangan akal karena kau pernah mengalahkan Mahendra di dalam perang tanding memperebutkan Ken Dedes. Tetapi kau tidak berkelahi atas namamu sendiri, tetapi atas nama orang lain, Wiraprana. Dan sekarang sifatmu yang seperti itu aku lihat lagi. Betapa kau dilanda oleh kekecewaan dan dendam karena kematian kemenakanmu itu, namun kau masih dapat melihat dengan terang, bahwa kepentingan Singasari ada di atas segala kepentingan.”
“Tentu aku mempunyai pamrih pribadi Witantra. Tetapi sudahlah. Jangan memuji. Aku hanya sekedar tidak ingin melihat perang berkecamuk lagi di atas Singasari yang baru tumbuh kembali setelah terguncang karena terbunuhnya Sri Rajasa. Muda-mudahan kematian Anusapati merupakan bebanten yang justru membuat Singasari bertambah kuat.”
“Apakah kau benar-benar bermaksud demikian?”
“Kau menguji aku Witantra. Tetapi sudah barang tentu aku harus memilih salah satu di antara dua. Perasaanku atau nalarku. Aku dapat bersikap jujur terhadap perasaanku, bahwa sebenarnya aku memang mendendam. Aku tidak rela Anusapati terbunuh. Aku tidak rela melihat Tohjaya duduk di atas tahta. Apalagi aku merasa bahwa aku mempunyai kekuatan. Tetapi jika aku ingin jujur terhadap pertimbangan nalarku, maka aku harus menahan diri. Dan kau tentu mengerti, bahwa demikianlah isi dari hidup kita ini. Pertentangan yang tidak kunjung berakhir. Baik di dalam diri kita sendiri sebagai suatu dunia kecil maupun di dalam hidup kita di dalam dunia yang besar. Peperangan demi peperangan telah terjadi. Dan hampir setiap pihak mengatakan bahwa peperangan itu terpaksa dilakukan justru melindungi perikemanusiaan, sedang di dalam setiap peperangan maka perikemanusiaan itu telah dikorbankan.”
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Ia sendiri bagaikan terjun ke dalam pusaran air yang memutarnya tanpa arah, menurut tepi sebuah lingkaran tanpa ujung dan pangkal. Bahkan di luar sadarnya ia berdesis, “Sebenarnyalah demikian Agni. Kehidupan ini selalu dibayangi oleh ketidak pastian sikap dan perbuatan.”
“Dan aku telah menentukan sikap yang pasti di dalam ketidak pastian itu Witantra.”
Witantra memandang Mahisa Agni sejenak, lalu, “Baiklah. Kau tidak akan berbuat apa-apa. Tetapi apakah kau akan tetap tinggal di istana ini?”
“Aku akan menunggu utusan dari Singasari. Menurut perhitunganku, utusan itu akan segera datang. Mungkin besok, mungkin lusa.”
“Jika demikian, aku akan mencoba menyesuaikan diriku dengan sikapmu Mahisa Agni. Sebenarnya bagiku, hidup di padepokan terpencil, tidak akan banyak terpengaruh oleh pergantian pimpinan pemerintahan seperti ini. Tetapi karena hubungan di antara kita sajalah yang membuat aku ikut merasa tersentuh oleh peristiwa yang mengejutkan ini.”
“Sebaiknya kau tetap di sini untuk beberapa hari Witantra. Jika utusan itu datang, maka aku harus segera mengambil keputusan, apakah yang akan aku lakukan. Mungkin aku tidak dapat mengelak lagi untuk menghadap Tohjaya. Tetapi mungkin aku masih mempunyai pilihan lain atau justru hatiku yang nampaknya kini tetap dingin itu akan menyala dan membakar perasaanku.”
Witantra mengerutkan keningnya. Sebenarnyalah hidup Mahisa Agni pun tidak luput dari ketidak pastian itu, sehingga yang dikatakannya sudah pasti itu pun masih bukan suatu kepastian. Setelah merenung sejenak, maka Witantra pun berkata, “Baiklah Agni, aku akan tetap tinggal di sini untuk beberapa lama. Bahkan mungkin tidak lebih dari satu atau dua hari, karena menurut dugaanku, Singasari tentu akan segera mengirimkan utusan kemari. Apapun maksudnya.”
“Ya. Tentu, Dan aku berharap bahwa utusan itu tidak memaksa aku menjadi gila.”
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata apapun lagi. Demikianlah maka percakapan merekapun terhenti. Mahisa Agni mempersilahkan Witantra menempati salah satu bilik di dalam bangsalnya sebagai Witantra. Tidak lagi dengan diam-diam masuk lewat pintu butulan. Sedang seorang pelayan telah diperintahkannya untuk mengurusi kuda Witantra yang masih berada di sisi regol depan.
“He, akan kau bawa kemana kuda itu.” bertanya seorang prajurit penjaga regol.
“Ke gedogan.”
“Bagaimana dengan Witantra itu?”
“Ia akan bermalam di sini atas perintah tuanku Mahisa Agni.”
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Siapakah yang memberikan perintah membawa kuda itu ke kandang? Witantra atau tuanku Mahisa Agni.”
“Tuanku Mahisa Agni.”
Prajurit itu tidak bertanya lagi. Ternyata bahwa tamunya benar-benar keluarga Mahisa Agni. Apalagi ia mendapat kesempatan untuk bermalam di bangsal itu pula.
Dihari berikutnya, tidak ada seorang utusanpun yang datang dari Singasari. Namun berita kematian Anusapati sudah mulai terdengar di pinggir-pinggir kota. Pedagang yang hilir mudik antara Singasari dan Kediri membawa berita itu sebagai berita yang diragukan kebenarannya. Namun demikian Kediripun segera menjadi sibuk membicarakan.
“Dari siapa kau dengar?” bertanya seorang buyut di pinggir kota kepada seorang pedagang kain beludru dari seberang.
“Orang-orang di Singasari memperbincangkannya.”
“Kapan hal itu terjadi?”
“Kemarin pagi.”
“Bohong. Jika itu terjadi kemarin pagi, kau tentu belum mendengarnya, karena saat ini kau sudah ada di sini.”
“Setelah mendengar berita itu aku segera kembali. Bahkan aku berjalan terus di malam hari.”
“Meskipun kau berjalan semalam suntuk, sekarang kau belum akan tiba di sini.”
“Maksudku, aku tidak berjalan kaki. Aku berjalan terus di malam hari dengan naik seekor kuda yang tegar dan baik.”
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, “Tetapi apakahan benar tuanku Anusapati terbunuh?”
“Menurut pendengaranku. Tetapi sudah tentu aku tidak dapat mengatakan kepastiannya.”
Berita itu pun kemudian tersebar sampai ke segenap sudut Kediri. Orang-orang yang pergi kepasar memperbincangkannya sehingga seluruh isi pasar mendengarnya. Ketika mereka pulang maka merekapun menceriterakannya kepada tetangga-tetangga mereka, sehingga sepadukuhan mendengar pula karenanya.
Seorang prajurit yang mendengar cerita itu pun segera menceriterakannya di dalam lingkungannya, sehingga akhirnya seorang pelayan di istana Mahisa Agni pun mendengarnya pula. Mahisa Agni yang sudah mengetahui peristiwa itu melihat kegelisahan di kalangan para prajurit. Karena itu ia segera mengerti, bahwa berita kematian Anusapati telah sampai ke telinga mereka, lebih cepat dari utusan yang resmi memberitahukan hal itu kepadanya. Karena itu, maka dipanggillah pemimpin prajurit yang ada di regol halaman istananya.
“Apa yang kalian percakapkan dengan gelisah?” bertanya Mahisa Agni.
Pemimpin prajurit yang sedang bertugas di regol itu ragu-ragu sejenak. Namun katanya kemudian, “Sebuah berita lewat dendang pedagang di sepanjang jalan tuanku. Tetapi hamba sudah memerintahkan agar anak buah hamba menghentikan kabar yang menggelisahkan itu.”
“Berita apakah yang kalian dengar?”
Prajurit itu ragu-ragu sejenak, dan Mahisa Agnipun berkata selanjutnya, “Jangan ragu-ragu. Katakanlah bahwa kau telah mendengar berita penting dari Singasari.”
Prajurit itu termangu-mangu.
“Bukankah kau mendengar berita dari Singasari tentang tuanku Anusapati?”
“Tuanku sudah mendengarnya?”
“Seperti kau, aku mendengar desas-desus. Nah katakanlah apa yang kau dengar.”
Dengan ragu-ragu prajurit itu berkata, “Tuanku Anusapati terbunuh.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya, lalu, “Siapakah yang membunuhnya?”
Prajurit itu masih tetap ragu-ragu.
“Katakanlah. Aku tahu bahwa bukan kaulah yang membuat ceritera itu, tetapi desas-desus yang tersebar luas.”
“Menurut pendengaran hamba, rakyat Singasari lah yang telah membunuh tuanku Anusapati.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba menekan perasaannya yang justru mulai melonjak. Pada saat ia mendengar bahwa Anusapati terhunuh oleh Tohjaya dari Witantra, meskipun dengan susah payah, ia berhasil menguasai perasaannya. Namun kini rasa-rasanya perasaannya itu telah terungkat kembali. Justru karena ia mendengar ceritera yang tidak benar sama sekali. Tetapi Mahisa Agni masih tetap bersikap tenang. Dengan nada yang datar ia bertanya, “Bagaimanakah tuanku Anusapati itu terbunuh menurut pendengaranmu?”
“Rakyat yang bergolak telah menyerbu ke istana di saat tuanku Anusapati melihat sabung ayam di arena. Mereka tidak dapat dicegah oleh para prajurit dan pengawal.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. “Teruskan.” katanya.
Prajurit itu menjadi ragu-ragu. Bahkan ia bertanya, “Tetapi tuanku sudah mendengarnya. Apakah pendengaran hamba tidak sesuai?”
“Sebagian besar sesuai. Teruskan.”
“Setelah rakyat membunuh tuanku Anusapati, pengawal-pengawalnya yang setia dan seorang yang menyebut dirinya bernama Kuda Sempana, yang mencoba melindungi tuanku Anusapati dari kemarahan rakyat, maka rakyat itupun kemudian meneriakkan nama tuanku Tohjaya untuk menggantikan kedudukan tuanku Anusapati.”
“Begitu?” suara Mahisa Agni mulai menjadi tegang.
Sambil mengerutkan lehernya prajurit itu menjawab, “Sekedar menurut pendengaran hamba. Sama sekali bukan pendapat hamba.”
Mahisa Agni menyadari hal itu. Karena itu betapapun perasaannya bergetar, ia masih tetap bersikap tenang. “Apakah kau percaya?” tiba-tiba ia bertanya.
Prajurit itu termenung sejenak. Ia tidak mengerti arah pembicaraan Mahisa Agni. Bahkan ia tidak mengerti, dimanakah sebenarnya Mahisa Agni berdiri. “Tetapi tuanku Mahisa Agni adalah guru tuanku Anusapati sejak mudanya.” berkata prajurit itu di dalam hati, sehingga karena itu ia berkata, “Tidak tuanku. Sudah barang tentu hamba tidak percaya. Hamba tahu bahwa rakyat Singasari mencintai tuanku Anusapati sejak tuanku Anusapati belum naik ke atas tahta. Sejak tuanku Anusapati masih sering disebut sebagai Kesaria Putih.”
“Tetapi bagaimana hal itu dapat terjadi?” bertanya Mahisa Agni kemudian.
“Hamba tidak dapat membayangkan, apakah sebenarnya yang telah terjadi.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja ia memerintahkan prajurit itu memanggil Senapati tertinggi pasukan Singasari yang berada di Kediri. Ketika Senapati itu menghadap, maka dipanggilnya pula Witantra yang memang masih berada di dalam istananya untuk bersama-sama menemui Senapati itu.
“Kau adalah Senapati Singasari yang termasuk angkatan yang tua. Sejak tuanku Sri Rajasa masih seorang prajurit, kau sudah menjadi hamba di istana Tumapel, meskipun saat itu kau masih muda sekali.”
“Hamba tuanku.” jawab Senapati itu.
“Tetapi aku kira kau sudah dapat mengenal beberapa orang pemimpin prajurit Tumapel waktu itu.”
“Tentu tuanku. Hamba sudah mengenal beberapa orang pimpinan prajurit. Hamba kenal juga tuanku Sri Rajasa, yang waktu itu masih disebut Ken Arok.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Dan sekarang kita menjadi semakin tua. Tetapi apakah kau masih dapat mengenal seseorang yang waktu itu menjadi seorang Panglima di Tumapel.”
“Tentu tuanku. Jika aku bertemu dengan para Panglima itu. Tetapi tidak seorang pun dari mereka yang masih ada beritanya. Sebagian dari mereka telah meninggalkan istana dan menyepi ke tempat yang jauh.”
“Jika tiba-tiba mereka kembali?”
“Hamba akan mengenalnya.”
“Kau kenal Witantra?”
“Witantra.” orang itu mengingat-ingat, “O, tentu tuanku. Witantra adalah Panglima Pasukan Pengawal yang paling terkenal.”
“Kau tahu dimanakah ia sekarang tinggal?”
“Tidak tuanku.”
“Jika ia berada di sini?”
“Ah.” orang itu mengerutkan keningnya. Lalu dipandanginya Witantra yang tersenyum.
“Kenalilah tamuku kali ini.”
“Tuan. Tuankah Panglima itu?”
Witantra tertawa kecil. Jawabnya, “Ternyata kau tidak dapat mengenali aku lagi.”
“O, jadi tuankah yang bernama Witantra.” Senapati itu terdiam sejenak, lalu, “tentu, sekarang aku ingat. Meskipun tuan menjadi tua, aku masih tetap mengingat garis-garis wajah tuan. Tentu tidak dengan segera. Tetapi sekarang aku ingat benar, bahwa tuan adalah Panglima itu.”
Witantra masih saja tertawa. Lalu katanya, “Tetapi aku tidak ada artinya lagi sekarang. Aku memang sudah lama pergi menyepi.”
“Dan tuan muncul kembali di dalam keadaan yang buram ini”
“Apakah yang kau maksud?” bertanya Mahisa Agni.
“Hamba memang akan datang menghadap seandainya tuanku tidak memanggil hamba. Ada berita yang memanaskan telinga hamba datang dari Singasari.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Tetapi ia mengerti bahwa yang dimaksud oleh Senapati itu tentu berita tentang terbunuhnya Anusapati. Meskipun demikian ia masih juga bertanya, “Berita apakah yang kau maksudkan memanaskan telinga itu.”
“Apakah tuanku belum mendengarnya?”
“Mungkin sudah. Tetapi jika yang kau maksud lain, maka lebih baik kau katakan saja.”
“Tuan.” berkata Senapati itu, “meskipun berita ini bukan berita resmi, tetapi hamba dapat mempercayainya. Memang mungkin berita ini sudah jauh menyimpang dari keadaan yang sebenarnya, namun, bahwa aku melihat asap, tentu ada apinya.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tuan. Hamba mendengar berita bahwa rakyat Singasari yang marah telah membunuh tuanku Anusapati.” Senapati itu berhenti sejenak lalu, “tetapi tentu tidak begitu yang terjadi sebenarnya. Hamba tahu pasti perasaan rakyat Singasari terhadap tuanku Anusapati, sehingga karena itu tidak mungkin mereka melakukan perbuatan itu.”
“Aku juga mendengar. Dan Witantra pun mendengar.”
“Apakah benar seperti berita itu?”
“Bagaimana tanggapanmu sebenarnya.”
Senapati itu ragu-ragu sejenak. Dipandanginya Mahisa Agni dan Witantra berganti-ganti.
“Katakanlah tanggapanmu dengan jujur. Aku ingin mendengar pendapat seseorang yang tidak dipengaruhi oleh tekanan-tekanan dari atasannya. Aku berjanji, sependapat atau tidak dengan tanggapanmu, aku tidak akan berbuat apa-apa atasmu.”
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “tuan, sebenarnyalah hamba berpendapat, bahwa tentu bukan rakyat Singasari yang melakukan. Mungkin memang demikianlah yang kasat mata. Tetapi jiwa dari pembunuhan itu tentu dilakukan oleh tuanku Tohjaya. Jika benar-benar dugaan hamba, maka sebagian dari prajurit yang berada di Singasari agaknya telah berada di bawah pengaruhnya. Seandainya benar rakyat yang membunuhnya, tentu rakyat yang telah diupahnya pula untuk melakukan pembunuhan itu sekedar membuang bekas.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Dan iapun kemudian bertanya, “Apakah demikian tanggapan prajurit Singasari yang berada di Kediri.”
“Ya. Dan hamba yakin bahwa kami tetap setia kepada tuanku Anusapati, hambapun yakin bahwa jika tuanku menjatuhkan perintah, hamba akan bersedia menghimpun kekuatan yang ada di dalam maupun di luar kota Kediri. Bahkan di sekitar Singasari itu sendiri. Hamba berjanji bahwa hamba akan memasuki kota Singasari dan menjalankan semua perintah tuan.”
Mahisa Agni tidak segera menyahut. Dan karena Mahisa Agni masih tetap berdiam diri Senapati itu berkata seterusnya, “Kediri adalah kekutan yang sampai sekarang bagaikan tertidur karena tuan ada di sini. Tetapi jika kami membangunkannya, maka kekuatan yang akan kami dapatkan daripadanya akan mengejutkan sekali.”
“Terima kasih.” berkata Mahisa Agni, “apakah kau yakin bahwa kau akan dapat merebut Singasari.”
“Hamba yakin.”
“Dengan kekerasan.”
“Dengan kekerasan.”
“Perang?”
Senapati itu termenung sejenak. Ia pun mulai sadar dengan siapa ia berbicara. Dan mulailah Senapati itu melihat seperti yang selalu dilihatnya, sikap Mahisa Agni yang lemah. Sambil menarik nafas dalam. Senapati itu berkata, “Hamba mengerti apa yang akan tuanku katakan. Kita tidak dapat saling membunuh di antara kita sendiri.”
Mahisa Agni mengangguk. Katanya, “Perang akan membuat Singasari semakin lemah.”
“Tuan. Hamba kadang-kadang tidak mengerti. Kenapa perang harus terjadi. Tetapi hamba pun tidak mengerti, kenapa perang kadang-kadang tidak dapat dihindari. Bagi kami, para prajurit, lebih baik membunuh musuh di peperangan daripada kita harus menyerahkan nyawa kami. Dan hamba tahu, tuanku pun seorang prajurit, tetapi tuanku tidak berjiwa prajurit, meskipun tuanku berjiwa kesatria sejati.”
“Sudahlah. Jangan menilai aku lagi. Tetapi sebenarnyalah bahwa yang kau katakan itu telah terjadi. Dan seperti yang kau katakan, ceritera itu sudah menyimpang dari kenyataan yang sebenarnya. Yang terjadi adalah, bahwa tuanku Anusapati telah dibunuh oleh tuanku Tohjaya yang selalu dibayangi oleh dendam kepada kakaknya, karena Tohjaya menuduh Anusapati lah yang telah membunuh Sri Rajasa. Kemudian terbunuh pula ke empat pengawal khususnya yang setia dan seorang sahabatku bernama Kuda Sempana setelah Kuda Sempana berhasil membunuh seorang Panglima Pelayan Dalam.”
“Kuda Sempana?”
“Tentu kau mengenalnya. Ia juga seorang Pelayan Dalam selama pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi ia pernah meninggalkan tugasnya karena Akuwu mengambil Ken Dedes dari padanya.”
Senapati itu mencoba mengingat-ingat. Meskipun tidak jelas sekali namun lamat-lamat ia dapat mengingatnya. “Ya, Kuda Sempana. Dimanakah ia berdiri sebelum matinya?”
“Ia berdiri di pihak tuanku Anusapati.”
Senapati itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil memandang ke kejauhan ia berkata, “Sebenarnya masih banyak sekali orang yang akan berdiri di pihak tuanku Anusapati. Perbuatan tuanku Tohjaya adalah perbuatan yang sangat berbahaya. Ia tentu belum dapat meyakini bahwa ia akan dapat mempertahankan kedudukannya jika mereka yang setia kepada tuanku Anusapati mengangkat senjata.”
“Tetapi apakah kau dapat membayangkan, akibat yang dapat terjadi karena orang-orang yang setia kepada tuanku Anusapati akan bertahan. Peperangan besar-besaran akan memecah Singasari.” Mahisa Agni berhenti sejenak, lalu, “orang yang paling sedih atas kematian Anusapati selain ibunya adalah aku, pamannya. Tetapi aku tidak akan dapat menangis untuk kesekian kalinya melihat Singasari menyobek-nyobek dirinya sendiri.”
“Jadi maksud tuanku?”
“Biarlah yang sudah terjadi. Tetapi kita tidak berarti sama sekali tidak menghiraukan kelanjutan dari peristiwa ini. Jika Tohjaya berjalan di atas jalan yang lurus, marilah kita melupakan dendam di dalam hati, karena Singasari lebih berarti bagi kita daripada kepentingan yang manapun juga.”
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu, “Aku mengerti tuanku. Tetapi bagaimanakah kira-kira nasib kita sendiri? Nasib kita masing-masing. Seandainya tuanku Tohjaya memutuskan untuk membantai orang-orang yang dianggapnya setia kepada tuanku Anusapati, apakah kita akan menyerahkan leher kita?”
“Kita sudah bertekad untuk melihat jalan yang akan dilalui oleh Tohjaya. Jika ia memilih jalan yang menyimpang, maka kita akan berdiri di atas jalan yang lurus.”
Tetapi wajah Senapati itu masih tetap muram. “Mungkin tuanku. Tetapi mungkin pula kita melihat setelah terlambat. Tentu tuanku Tohjaya tidak akan melakukannya dengan sekaligus. Tetapi perlahan-lahan. Hari ini hamba, besok seorang Senapati yang lain, dan sepekan lagi orang lain lagi, sehingga akhirnya kita akan punah tanpa kita sadari.”
Mahisa Agni memandang Senapati itu dengan saksama, lalu, “Jangan terlampau berprasangka. Marilah kita melihatnya untuk beberapa saat, sehingga cukup waktu bagi kita untuk menilai.”
“Sebelum leher ini dijerat di tiang gantungan.”
Mahisa Agni mengerti perasaan Senapati itu. Ia adalah orang setia kepada Anusapati, tetapi juga mencemaskan nasib dirinya sendiri. Namun demikian Mahisa Agni berkata, “Baiklah kita tidak berbuat setelah terlambat. Aku akan melihat semua peristiwa yang akan terjadi di Singasari. Jika kau masih percaya kepadaku, aku akan sangat berterima kasih.”
Senapati itu terdiam sejenak. Namun kemudian ia berdesis, “Hamba percaya kepada tuanku.”
“Terima kasih. Aku berharap, mudah-mudahan Singasari terhindar dari malapetaka karena kesalahan Tohjaya. Mungkin aku adalah orang yang berhati lemah. Tetapi aku kira, aku mencintai Singasari lebih dari segala-galanya.” Mahisa Agni terdiam sejenak, lalu, “namun demikian, kita tidak boleh menunjukkan kekecilan arti kita masing-masing.”
“Maksud tuanku?”
“Tentu akan ada sesuatu terjadi. Maksudku perubahan-perubahan yang mungkin cukup besar. Dan akupun tentu akan dipanggil ke Istana Singasari apapun alasannya.”
“Apakah tuanku akan pergi?”
“Mungkin aku akan digantung.”
“Sebaiknya tuanku tidak usah pergi.”
Mahisa Agni terdiam sejenak, tetapi kemudian, “Aku akan pergi jika aku dipanggil,”
“Bukankah itu berarti membunuh diri?”
“Tidak. Aku harus meyakini, bahwa aku tidak akan digantung. Atau aku harus berbuat sesuatu, supaya aku tidak digantung.”
“Apakah tuanku akan membawa pengawal segelar sepapan?”
“Hampir seperti itu, tetapi tidak usah mengikuti perjalanan ke Singasari.”
“Maksud tuanku.”
Suara Mahisa Agni merendah, “Siapkan seluruh kekuatan yang ada di Kediri. Pasukan Singasari yang ada di Kediri dan sekitarnya harus kau tarik ke dalam kota. Kemudian kau siapkan pula pasukan keamanan yang terdiri dari orang-orang Kediri sendiri, yang meskipun sedikit, tetapi dapat menambah kebesaran seluruh gelar perang yang akan kau siapkan di alun-alun.”
“Tetapi apakah maksudnya?”
“Tidak apa-apa. Kita akan menunjukkan saja kepada utusan dari Singasari, bahwa kita memiliki kekuatan.”
Senapati itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Hamba tuanku. Hamba mengerti. Hamba akan menyiapkan seluruh pasukan di bawah pimpinan hamba. Pasukan keamanan Kediri pun akan hamba siapkan pula. Sepasukan prajurit berkuda akan berada di dalam gelar itu pula.”
“Hanya beberapa orang.”
“Tidak tuanku. Di Kediri ada beberapa ratus kuda tegar yang dapat kita pinjam.”
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Kau benar-benar mengerti akan maksudku.”
“Hambapun dapat berlindung pula pada gelar itu.”
“Baiklah.” tiba-tiba Mahisa Agni berpaling kepada Witantra, “Sudah saatnya kau menyebut namamu di dalam gelar itu.”
Witantra terkejut, lalu, “Apakah ada gunanya?”
“Mudah-mudahan ada.” jawab Mahisa Agni.
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia merenungi kata-kata Mahisa Agni, bahwa sudah saatnya ia menyebut namanya. “Agni.” berkata Witantra kemudian, “jika hal ini kau anggap bermanfaat, aku serahkan saja kepada keputusanmu.”
“Baiklah. Kita tidak akan berbuat apa-apa. Tetapi kita pun tidak akan diam.”
Demikianlah Senapati itupun mohon diri. Namun ia langsung menghubungi Perwira-perwira di bawah pimpinannya. “Kita siapkan semua kekuatan Singasari yang ada di Kediri. Dan kita ikut sertakan pasukan keamanan Kediri seluruhnya. Setiap saat mereka akan kita panggil dan kita pasang di dalam gelar di alun-alun.”
Para perwira mengerutkan keningnya, karena mereka masih belum mengerti, apakah gunanya memasang gelar di alun-alun Kediri. Tetapi Senapati itu pun kemudian memberikan penjelasan dengan singkat. Diterangkannya keadaan yang terjadi di Singasari menurut pendengaran Witantra. Dan bagi Senapati itu, berita itulah yang paling dapat dipercayainya. Diterangkannya pula rencana kepergian Mahisa Agni apabila ia dipanggil menghadap oleh Tohjaya yang tentu sudah duduk di atas tahta kekuasaan Singasari.
“Ketika menunggu pernyataan resmi dari istana yang barangkali tidak seperti yang terjadi sebenarnya. Tetapi kita sudah menentukan sikap seperti yang dimaksudkan oleh tuanku Mahisa Agni.” Senapati itu mengakhiri.
Beberapa orang perwira menjadi kecewa sekali. Mereka memang mengenal Mahisa Agni sebagai seorang prajurit yang memiliki ilmu dahsyat, yang dapat mengimbangi kekuatan ilmu Sri Rajasa, tetapi hatinya selunak hati seorang Pendeta yang menjauhkan diri dari rasa dendam dan kebencian.
“Tetapi ia tidak akan dapat memimpin pemerintahan yang berisikan watak dan sifat yang beraneka ragam dari manusia-manusianya.” berkata seorang perwira kepada kawannya.
“Ia akan menekan dadanya, dan mengendapkan kesalahan setiap orang di dalam hatinya. Ia akan melihat kepada dirinya sendiri, kenapa orang lain telah melakukan kesalahan. Dan dicarinya sebab kesalahan orang lain itu di dalam dirinya.” sahut kawannya.
Namun perintah itu telah mereka dengar. Mereka tidak akan melakukan kekerasan dalam bentuk apapun, selain sekedar menampakkan diri di alun-alun Kediri.
“Kami bukannya prajurit-prajurit yang bersenjata telanjang. Tetapi kami adalah penari-penari yang harus mempertunjukkan tari perang dengan senjata di dalam sarungnya.” desis seorang perwira muda yang berjambang hampir sepenuh wajahnya.
Senapati itu mengerti, kenapa para perwira di bawah pimpinannya itu menjadi kecewa. Tetapi ia tidak dapat melanggar perintah Mahisa Agni. Yang dilakukan kemudian adalah berusaha untuk meyakinkan mereka agar mereka tidak berbuat di luar pengawasannya. Namun agaknya Tohjaya tidak segera teringat untuk memberikan perintah atau memanggil Mahisa Agni. Baru pada hari yang ketiga ia berbicara tentang pemerintahan Singasari yang ada di Kediri.
“Mahisa Agni harus dipanggil.” berkata seorang Panglima yang merasa dirinya ikut berkuasa.
“Siapakah yang akan pergi memanggil Pamanda Mahisa Agni.” bertanya Tohjaya.
“Sekelompok perwira tertinggi.” berkata Panglima itu, “Mahisa Agni adalah orang yang paling berbahaya.”
“Apa yang akan kita lakukan atasnya? Menangkapnya?”
“Tuanku.” berkata Panglima itu, “kita tidak akan dapat membiarkan Mahisa Agni berkeliaran. Ia adalah orang yang paling dekat dengan tuanku Anusapati. Kematian tuanku Anusapati tentu akan menumbuhkan dendam di dalam hatinya. Dan dendam itu akan sangat berbahaya bagi Singasari.”
“Jadi menurut pertimbanganmu Mahisa Agni harus ditangkap?”
“Dilenyapkan. Ia merupakan duri di dalam pemerintahan tuanku sekarang.”
“Apakah ia tidak mempunyai kekuatan?”
“Kita lihat. Kita akan mengirimkan beberapa orang perwira tertinggi untuk memanggil Mahisa Agni. Tetapi juga mengadakan pertemuan dengan Senapati yang ada di Kediri.”
“Senapati itu tentu berada di bawah pengaruh Mahisa Agni.”
“Kita dapat menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Singasari sepenuhnya telah kita kuasai. Karena itu tidak akan ada gunanya untuk melawan.”
“Baiklah. Jika demikian, maka kau sajalah yang akan berangkat menemui pamanda Mahisa Agni dan membawanya kembali ke Singasari. Kau jugalah yang mendapat limpahan kekuasaanku untuk menemui Senapati itu.”
Tiba-tiba wajah Panglima itu menegang. Katanya, “Kenapa harus hamba tuanku. Bukankah tugas hamba masih terlampau banyak. Hamba harus melindungi tuanku dan mengamankan seluruh Singasari.”
Tohjaya termangu-mangu sejenak, lalu, “Jadi siapa menurut pertimbanganmu?”
“Panglima Pelayan Dalam yang baru itu.”
Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia berpaling memandang Panglima yang baru, menggantikan Panglima yang terbunuh oleh Kuda Sempana, dilihatnya wajah Panglima itu menjadi pucat. Sejenak Tohjaya memandanginya. Tetapi agaknya ia dibayangi oleh keragu-raguan untuk memberikan perintah kepadanya. Panglima itu baru saja diangkatnya. Dengan demikian maka Tohjaya belum mengenal dengan pasti kemampuannya menjalankan tugasnya sebagai seorang Panglima.
Namun demikian, agaknya pantas juga tugas itu diberikan kepadanya sebagai ujian di dalam jabatannya yang baru. Sejenak Tohjaya termangu-mangu. Dipandanginya Panglima Pelayan Dalam itu sejenak. Kemudian dipandanginya pula beberapa orang perwira tertinggi yang lain, yang sudah dikenalnya pula sebagai perwira yang baik dan setia kepadanya. Karena itu, maka Tohjaya pun kemudian berkata, “Baiklah. Aku akan memerintahkan beberapa orang perwira tertinggi di Singasari yang akan dipimpin oleh Panglima Pelayan Dalam yang baru aku angkat.”
Panglima itu menarik nafas dalam-dalam. Betapa kecut hatinya, namun ia tidak ingin segera terusir dari jabatannya yang baru saja diterimanya. Karena itu, dengan menyembunyikan debar di dadanya ia menyahut. “Ampun tuanku. Hamba tentu akan menjalankan tugas yang manapun yang dibebankan kepada hamba. Jangankan pergi ke Kediri sekedar memanggil tuanku Mahisa Agni atau menangkapnya. Bahkan menjadikan Kediri lautan api, hamba tidak akan ingkar.”
“Tentu tidak. Kediri kini merupakan bagian dari Singasari.” sahut Tohjaya, lalu, “tugasmu hanyalah memanggil pamanda Mahisa Agni dan membawanya menghadap kepadaku. Jika ia menolak, terserahlah kepadamu. Kau aku beri wewenang mempergunakan seluruh pasukan Singasari yang berada di Kediri dan sekitarnya.”
Panglima itu mengerutkan keningnya.
“Kau dapat membawa panji-panji dengan tunggul kerajaan. Kau merupakan wakil yang mendapat limpahan kekuasaan dari Maharaja di Kediri.”
Tiba-tiba saja Panglima itu membusungkan dadanya. Ia akan menerima panji-panji dan tunggul kerajaan sebagai bukti limpahan kekuasaan yang tidak terbatas. Karena itu maka katanya dengan nada bergetar. “Ampun tuanku. Adalah suatu kebanggaan yang tiada taranya, bahwa hamba diperkenankan untuk membawa panji-panji dan tunggul kerajaan. Hamba akan melakukan tugas hamba sebaik-baiknya. Hamba akan membawa tuanku Mahisa Agni menghadap.”
“Adalah wewenangmu. Kau harus membawanya hidup atau mati.”
“Hamba tuanku.”
“Tentu ia sudah mendengar tentang peristiwa di istana ini. Mungkin ia justru sudah menyiapkan pasukan. Tetapi panji-panji dan tunggul kerajaan itu akan menundukkan setiap hati dari prajurit-prajurit Singasari yang ada di Kediri.” Tohjaya berhenti sejenak, lalu, “meskipun demikian, sebaiknya kalian mengirimkan satu dua orang yang akan memasuki kota lebih dahulu. Jika kota itu tidak dikelilingi oleh sebuah pertahanan yang kuat, maka kalian akan aman memasukinya.”
Demikianlah maka Panglima Pelayan Dalam diantar oleh beberapa perwira tinggi dan sepasukan pengawal segera mempersiapkan diri. Ketika matahari terbit dipagi berikutnya, maka mereka pun segera berangkat ke Kediri. Di sepanjang jalan, prajurit-prajurit Singasari itu selalu dibayangi oleh berbagai macam perasaan. Kadang-kadang mereka berbangga melihat panji-panji dan tunggul kerajaan. Namun kadang-kadang mereka menjadi cemas, justru karena mereka mengetahui, siapakah Mahisa Agni itu.
“Tentu prajurit Singasari di Kediri sudah dipengaruhinya.”
“Aku belum yakin.” berkata Panglima Pelayan Dalam itu, “aku akan berbicara dengan Senapati tertingginya.”
Perwira-perwira yang lainpun hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Namun menurut perhitungan mereka, kekuatan di Kediri memang tidak akan berani menentang Singasari. Meskipun demikian sepercik kecemasan masih melekat pula di dalam hati para prajurit itu. Yang diperhitungkan sampai saat terakhir adalah kekuatan yang dapat dilihat di Singasari dan sekitarnya. Tetapi Singasari seluruhnya bukannya kota Singasari yang sekedar mengelilingi benteng istana.
“Mahisa Agni tidak akan berani berbuat apapun juga.” berkata Panglima itu sambil tersenyum, “sejak dipaseban sebenarnya aku sudah mempunyai gagasan yang tidak akan salah. Bukankah di halaman istana masih ada tuan puteri Ken Dedes dan beberapa orang putera dan puterinya? Nah, apakah yang dapat dilakukan oleh Mahisa Agni jika tuan Puteri Ken Dedes ada di bawah kekuasaan kami?”
Para perwira yang lain mengerutkan keningnya. Namun sejenak kemudian merekapun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum, “Kau benar. Ken Dedes dan putera-puteranya akan memudahkan usaha kita menangkap dan membawa Mahisa Agni menghadap Tuanku Tohjaya.”
Panglima Pelayan Dalam itupun kemudian menjadi yakin bahwa ia akan berhasil. Namun demikian ia masih tetap berhati-hati. Ia tidak segera membawa pasukannya masuk kota Kediri. Tetapi ia berhenti dalam jarak yang cukup dan mengirimkan dua orang petugas sandinya untuk melihat Kediri dari dekat.
“Cepat kembali. Jika kau tidak segera kembali, aku akan mengambil kesimpulan bahwa kau tertangkap, dan aku akan mengambil sikap khusus.” berkata Panglima itu, “aku tunggu sampai bintang gubug penceng tepat berada di atas ujung Selatan.”
Kedua orang prajurit sandi itu mendengarkan perintah Panglima Pelayan Dalam yang baru saja diangkat itu dengan saksama. Kemudian mereka menganggukkan kepalanya. Salah seorang dari mereka berkata, “Kami akan melakukan tegas kami sebaik-baiknya. Sebelum bintang gubug penceng tepat berada di atas ujung Selatan, aku berdua tentu sudah kembali.”
“Cepat. Lakukanlah tugasmu baik-baik.”
Kedua orang itupun kemudian mendekati kota Kediri tanpa membawa kuda sama sekali. Mereka merayap dengan hati-hati mendekati regol kota. Namun agaknya regol itu nampak sepi. Yang bertugas tidak lebih dari beberapa orang prajurit seperti hari-hari yang lewat tanpa ada kesan bahwa telah terjadi perubahan dalam tata pemerintahan.
“Berapa orang?”
“Tidak lebih dari enam orang.”
Keduanya merayap semakin dekat. Dibawah lampu minyak yang redup mereka melihat dua orang berdiri sebelah menyebelah regol sedang empat orang yang lain berada di dalam gardu. Dua diantara mereka duduk bersandar tiang terkantuk-terkantuk. Agaknya mereka mendapat kesempatan lebih dahulu untuk tidur, meskipun hanya sekedar sambil bersandar.
“Kita masuk ke dalam.”
“Lewat regol?”
“Tidak. Kita akan terlampau banyak menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.”
“Jadi?”
“Kita meloncati dinding batu.”
Keduanya pun kemudian bergeser menjauhi regol. Dengan hati-hati mereka merayap semakin maju. Di tempat yang gelap dan dibayangi oleh rimbunnya batang-batang perdu, maka keduanya pun kemudian meloncat ke atas dinding yang cukup tinggi. Ternyata bahwa tidak seorang pun yang melihat mereka. Dengan leluasa mereka dapat menjelajahi daerah di sebelah dinding batu itu. Bahkan lewat lorong-lorong yang sempit dan gelap mereka berhasil melihat beberapa bagian dari Kota Kediri.
“Tidak ada persiapan apapun juga.” desis salah seorang dari mereka.
“Ya. Di dekat istana itu pun tidak banyak prajurit yang berjaga-jaga.”
“Bagaimana dengan Istana Mahisa Agni?”
Keduanya pun berhasil mendekati Istana Mahisa Agni. Ternyata yang mereka lihat adalah keadaan seperti biasanya. Mereka tidak melihat kesibukan apapun juga. Obor yang terpancang di muka regol pun adalah obor yang redup, seperti yang dipasang sehari-hari. Untuk beberapa lamanya mereka mengawasi regol itu. Karena tidak ada sesuatu yang menarik perhatian, maka salah seorang dari mereka berkata, “Apakah kau yakin bahwa Mahisa Agni memiliki kemampuan yang sempurna seperti tuanku Sri Rajasa semasa hidupnya?”
“Mungkin sekali.” jawab yang lain.
“Aku kurang yakin.”
“Maksudmu?”
“Memang ia memiliki kelebihan, tetapi tidak lebih dari para Panglima kita.”
“Mungkin.”
Kawannya terdiam sejenak, namun tiba-tiba, “Aku ingin melihat keadaan di dalam halaman istananya.”
“Ah, jangan mencari perkara.”
“Kau takut?”
“Bukan takut. Tetapi kita sedang mengemban tugas. Jangan melakukan hal-hal yang tidak ada manfaatnya. Mungkin akan dapat mendapatkan bencana.”
Kawannya tidak menyahut. Namun ia mengerti keberatannya sehingga karena itu, maka ia pun tidak memaksanya. Dengan demikian, maka ketika mereka sudah yakin, bahwa Kediri sama sekali tidak menyiapkan pasukan untuk melawan kekuatan Tohjaya, maka kedua petugas itu pun segera kembali kepada induk pasukan kecilnya untuk melaporkan kepada Panglimanya.
Dalam pada itu, selagi para prajurit Singasari mempunyai kepastian bahwa Kediri akan dapat dengan mudah dikuasai, maka pada saat itu Mahasi Agni masih duduk dengan gelisah di dalam biliknya. Meskipun ia berhasil menguasai perasaannya dengan nalar, karena ia seorang Senapati Besar yang mengabdikan dirinya semata bagi Singasari, namun sebagai manusia ia tidak segera dapat melepaskan diri dari goncangan perasaan. Beberapa malam, Mahisa Agni digelitik oleh perasaan yang rasa-rasanya justru semakin membara. Kematian Anusapati benar-benar merupakan suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat diterimanya.
Namun setiap kali jantung membara, maka mulailah membayang Singasari yang menjadi karang abang. Perempuan menangis melolong-melolong dan anak-anak berteriak memanggil nama ibu dan ayahnya. Perawan-perawan meratap kehilangan kekasih dan perempuan akan menjadi janda. Kematian akan berkuasa di seluruh kota Singasari. Darah akan membasahi jalan-jalan kota dan mayat bagaikan ditebarkan di sepanjang lorong.
“Perang selalu mengerikan.” berkata Mahisa Agni. Terbayang kematian yang saling susul menyusul. Kematian Tunggul Ametung, Kebo Ijo, Sri Rajasa, Pangalasan Batil, disusul oleh Anusapati dan Kuda Sempana.
Meskipun Mahisa Agni tidak mendengar, tetapi rasa-rasanya ia yakin bahwa Empu Gandring tentu pernah melepaskan kutuk bagi Ken Arok yang membunuhnya. Betapapun baik hati Empu Gandring tetapi mengalami perlakuan yang sama sekali tidak adil dari Ken Arok, maka Empu Gandring tentu tidak dapat menerimanya begitu saja. Apalagi ia tidak sempat berpikir dengan nalar, sehingga ia idak sempat memaafkan kesalahan Ken Arok.
“Meskipun tidak terucapkan, tetapi goncangan hatinya akan tercermin pada keris buatannya yang menuntut kematian demi kematian.” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya.
Apalagi ketika teringat olehnya kemarahan Empu Purwa ketika anak gadisnya yang bernama Ken Dedes itu hilang. Ia tanpa dapat mengendalikan dirinya telah memecahkan bendungan dan mengeringkan Panawijen sehingga harus dibuat sebuah padukuhan baru di padang Karautan. Kemudian betapa hatinya melonjak ternyata di dalam kutuknya, siapa yang ikut serta melarikan anak gadisnya, akan mati tertusuk keris.
“Kutuk dari dua orang Empu yang memiliki pancaran nurani yang tajam.” berkata Mahisa Agni di dalam hati. Dan kini ia melihat beberapa orang yang terlibat di dalam usaha untuk melarikan itu seorang demi seorang telah terbunuh. Tunggul Ametung, Kuda Sempana, dan Ken Arok yang meskipun pada waktu itu ia tidak lebih dari seorang prajurit yang belum tahu apa-apa, yang hanya sekedar mengikuti perintah Akuwu Tunggul Ametung. Sedang Witantra yang saat itu menyatakan tidak ikut campur dengan usaha penculikan itu, masih tetap selamat sampai hari tuanya.
“Jika dendam ini masih harus dinyalakan di dalam hati, maka Singasari tidak akan sempat mengemasi dirinya. Singasari tentu akan disibukkan saja oleh dendam yang tiada henti-hentinya.” berkata Mahisa Agni kepada dirinya sendiri.
Karena itulah, maka Mahisa Agni masih tetap berusaha mengekang diri, agar tidak terbakar oleh dendam di dalam dadanya. Ia sadar bahwa ia adalah seorang manusia biasa, manusia yang lemah hati. Meskipun kini ia berhasil menguasai perasaannya, namun Mahisa Agni sendiri sadar, bahwa hati yang goyah masih mungkin saja berubah pendirian jika ada sesuatu rangsangan yang tajam menyentuh perasaannya. Namun Mahisa Agni masih selalu berusaha.
Ketika matahari di atas Singasari terbit di pagi berikutnya, maka pasukan kecil Singasari yang dipimpin oleh Panglima Pelayan Dalam yang baru itupun telah berkemas untuk memasuki kota Kediri. Agar tidak menimbulkan kegelisahan, maka pasukan itu pun sama sekali tidak menunjukkan sikap yang garang. Meskipun mereka membawa tanda-tanda limpahan kekuasaan dari Maharaja Singasari, namun mereka mendekati kota dengan sikap yang tenang dan tidak tergesa-gesa.
Namun demikian, kehadiran mereka di pintu gerbang kota benar-benar telah menarik perhatian. Apalagi berita tentang kematian Anusapati benar-benar telah tersebar di seluruh pelosok kota. Sedangkan sebab kematian itu masih merupakan desas-desus yang bersimpang siur.
“Utusan tuanku Tohjaya, yang kini untuk sementara memegang kendali pemerintahan.” berkata seseorang yang berdiri di pinggir jalan menyaksikan iring-iringan itu memasuki kota.
“Tunggul Kerajaan.” berkata yang lain, “tentu ada perintah bagi tuanku Mahisa Agni di sini atas nama pimpinan tertinggi dari Kerajaan Singasari.”
Orang-orang yang menyaksikan tunggul dan panji-panji itu membuat penilaian sendiri-sendiri yang berbeda-beda. Namun pada umumnya mereka menduga, bahwa akan jatuh perintah yang penting bagi Mahisa Agni dari Maharaja Singasari yang baru.
“Tuanku Mahisa Agni dekat sekali dengan tuanku Anusapati yang terbunuh itu.” berkata seseorang yang berjanggut putih.
“Ya. Mungkin tuanku Mahisa Agni akan ditarik dan diganti oleh orang lain yang dianggap lebih sesuai bagi Kediri.”
“Bukan bagi Kediri, tetapi yang dapat menyalurkan keinginan tuanku Tohjaya di Kediri.”
“Begitulah. Ya, begitu.”
Betapapun Panglima Pelayan Dalam itu berusaha, namun ternyata masih saja menumbuhkan kegelisahan dikalangan rakyat Kediri. Bahkan ketika berita itu sampai ke telinga para bangsawan yang masih mempunyai kekuasaan yang betapapun kecilnya, telah menumbuhkan dugaan yang bermacam-macam. Bagi mereka Mahisa Agni adalah orang yang paling baik karena Mahisa Agni dapat mengerti setiap keinginan mereka, meskipun tidak selalu terpenuhi. Namun bagi orang-orang dan para bangsawan Kediri, apa yang dilakukan Mahisa Agni adalah yang paling jauh dapat mereka jangkau.
“Apakah akan ada kemungkinan orang lain yang akan dikuasakan di Kediri?” desis para bangsawan.
Demikianlah maka pasukan kecil itupun kemudian berhenti di depan gerbang di dalam kota. Panglima yang memimpin pasukan itu memerintahkan dua orang mendahului dan menghadap Mahisa Agni untuk menyampaikan dengan resmi, bahwa utusan kerajaan dengan tanda-tanda kebesaran dan panji-panji serta tunggul kerajaan telah datang untuk menemui Mahisa Agni sebagai wakil pemerintah Singasari di Kediri sebelum utusan itu akan menguraikan dengan resmi sebab-sebab kematian Anusapati kepada para Senapati dan para bangsawan yang masih mempunyai jalur pemerintahan terhadap lingkungan keluarga mereka sendiri.
“Aku akan menerima dengan senang hati.” berkata Mahisa Agni yang memang sudah mengharap utusan itu datang di Kediri.
Kedua utusan itupun segera menyampaikan kepada Panglima Pelayan Dalam yang memimpin pasukan Singasari itu, bahwa Mahisa Agni sudah siap untuk menerimanya.
“Aku datang dengan tanda-tanda kebesaran.” berkata Panglima itu kepada anak buahnya, “dengan demikian maka aku datang seperti tuanku Tohjaya sendiri yang datang di Kediri.”
Para prajurit yang ada di dalam pasukannya menjadi semakin mantap, bahwa mereka telah mendapat kepercayaan ikut di dalam pasukan yang membawa kekuasaan tertinggi, seperti kekuasaan Maharaja Singasari itu sendiri. Di istananya, Mahisa Agni pun segera mempesiapkan diri untuk menerima kedatangan utusan dari Singasari yang membawa amanat dari Maharaya Singasari yang baru itu. Namun ternyata bahwa panji-panji dan tunggul kerajaan itu telah membuat Panglima yang baru itu merasa dirinya terlampau besar. Seakan-akan ia sendirilah yang telah menjadi Maharaja di Singasari.
Ketika Panglima itu memasuki istana Mahisa Agni, maka ia sama sekali tidak mau turun dari kudanya sebelum kudanya itu berhenti di depan tangga pendapa. Bahkan pasukannya pun mengikutinya pula di belakangnya. Mahisa Agni menunggu di pendapa bersama beberapa orang Senapati yang telah dipanggilnya menahan gejolak perasaan yang bagaikan menghentak-hentak dada. Namun agaknya mereka tidak ingin membuat suasana menjadi bertambah keruh.
Ketika Panglima itu sudah meloncat turun dari kudanya, maka Mahisa Agnipun segera menyambutnya dan mempersilahkan mereka naik kependapa. Di pendapa telah tersedia beberapa buah tempat duduk dari batu yang paling keras berwarna kehitam-hitaman yang terukir lembut, dialasi dengan kulit rusa yang berwarna coklat kemerah-merahan. Sedang di sekitarnya terbentang tikar pandan putih yang tebal dengan hiasan berwarna hitam di sudut-sudutnya.
“Silahkanlah.” berkata Mahisa Agni mempersilahkan tamunya, “kami di Kediri menyambut kedatangan kalian dengan penuh gairah. Sudah lama kami tidak menerima kedatangan utusan dari Singasari.”
“Baru beberapa hari ini kami sempat mengingat kedudukan Singasari di Kediri.” jawab Panglima itu, “dan baru setelah aku menjabat kedudukanku sekarang, semua persoalan Singasari mulai dilihat satu demi satu dengan saksama.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Menarik sekali. Tentu seluruh rakyat Singasari mengharapkan hasil dari perubahan yang telah terjadi dalam pimpinan pemerintahan di Singasari.”
Panglima itu tertawa. Perlahan-lahan ia naik kependapa dan duduk di atas sebuah batu berukir yang besar di tengah-tengah pendapa itu. Sedang seorang Senapati duduk di sampingnya sambil memegangi panji-panji yang terikat pada tunggul kerajaan sebagai lambang kekuasaan yang dibawa oleh Panglima itu.
Sejenak Mahisa Agni sempat menanyakan keselamatan pasukan itu dan sedikit tentang keselamatan para pemimpin di Singasari. Namun sebelum ia bertanya lebih lanjut, tentang kepentingan kunjungan Panglima itu ke Kediri, maka Panglima Pelayan Dalam yang baru itu sudah mendahului “Kami datang dengan menjunjung perintah tuanku Tohjaya bagi Senapati Agung Mahisa Agni.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Tetapi di luar dugaannya, seorang Senapati yang tidak dapat menahan hati melihat sikap Panglima itu menyahut hampir di luar sadarnya. “Dan wakil Sri Maharaja di Singasari bagi Kediri.”
Panglima itu berpaling. Dilihatnya seorang Senapati yang masih muda memandanginya dengan tajamnya. “O, ya.” berkata Panglima itu, “Senapati Agung dan yang dikuasakan oleh pimpinan pemerintah Singasari di Kediri.”
“Ya.” Senapati muda itu masih menyahut lagi.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dikedipkannya matanya untuk memberi isyarat kepada Senapati muda itu agar berusaha mengendalikan perasaannya.
“Bagus.” berkata Panglima Pelayan Dalam itu, “aku memang berhadapan dengan penguasa Singasari atas Kediri. Dan akupun mendapat perintah dari Maharaja Singasari bagi Mahisa Agni. Bukan sekedar sebuah kunjungan biasa dari seorang utusan, tetapi aku membawa panji-panji dan tunggul kerajaan.”
“Dan karena itu, aku mempunyai kekuasaan tidak terbatas.”
“Aku sudah mengerti. Tetapi yang tidak terbatas itu pun tentu ada batasnya. Kau hanya mendapat limpahan kekuasaan Maharaja di Singasari. Bukan kaulah Maharaja di Singasari itu.”
Panglima itu merenung sejenak. Ketika ia mengedarkan tatapan matanya, dilihatnya beberapa orang Senapati tertinggi dari Singasari yang berada di Kediri memandanginya dengan tajamnya, sehingga Panglima itu pun kemudian menyadari, bahwa ia tidak dapat mengabaikan mereka di dalam setiap tindakannya di Kediri. Karena itu maka Panglima itupun kemudian tersenyum sambil berkata, “Kau benar Mahisa Agni. Tetapi bahwa aku sekarang berada dalam kedudukan tertinggi harus kau ketahui.”
“Aku mengerti. Dan aku menerima kau dalam kedudukanmu sekarang.”
Panglima itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun dalam pada itu, beberapa orang Senapati Singasari yang bertugas di Kediri menjadi panas. Meskipun mereka berusaha untuk menahan diri, namun tampak juga kegelisahan membayang di wajah mereka. Kebanyakan dari para Senapati itu mengenal, siapakah yang telah diangkat menjadi Panglima Pelayan Dalam, dan yang sekaligus mendapat kepercayaan tertinggi dari Tohjaya itu. Tetapi karena Mahisa Agni masih tetap bersikap tenang, para Senapatipun tidak berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan persoalan.
Sejenak kemudian maka Panglima itupun berkata, “Mahisa Agni. Kedatanganku kali ini membawa berita yang penting bagimu dan bagi para Senapati. Di dalam kesempatan berikutnya aku ingin bertemu dengan para Senapati dan pemimpin prajurit Singasari dalam jumlah yang lebih besar. Aku ingin menjelaskan apa yang sebenarnya sudah terjadi.”
“Katakanlah. Aku dapat menyambung berita yang kau bawa dan menyampaikan kepada para Senapati dan prajurit.”
“Aku akan bertemu dengan mereka sendiri.”
“Apakah akan ada gunanya?”
“Tentu.” jawab Panglima itu, “ingat, aku adalah Panglima yang mendapat limpahan kekuasaan tertinggi.”
“Jangan kau ulang-ulang. Aku sudah mengerti. Tetapi kaupun harus menyadari, bahwa kekuasaanmu yang tidak terbatas di dalam batas-batasnya itu, hanya berlaku untuk beberapa hari. Jika lusa kau kembali ke Singasari dan menyerahkan panji-panji dan tunggul kerajaan itu, kau tidak lebih dari seorang Panglima Pelayan Dalam. Sedang aku tanpa atau dengan panj dan tunggul kerajaan adalah penguasa dan wakil raja di Kediri.” sahut Mahisa Agni.
Panglima itu menjadi tegang sejenak. Namun ia menjawab, “Biarlah apa yang akan terjadi lusa. Tetapi sekarang kekuasaanku ada di atas kekuasaanmu. Di Singasari dan di Kediri, karena aku membawa panji-panji dan tunggul kerajaan.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia keberatan membawa Panglima itu di hadapan Senapati yang lebih luas lagi dari Senapati tertinggi di Kediri. Jika mereka kehilangan kendali karena sikap Panglima yang tidak menarik sama sekali itu, maka keadaan akan menjadi kisruh, dan bahkan mungkin akan timbul akibat yang tidak menyenangkan. Bukan saja bagi Panglima itu, tetapi juga bagi Singasari.
Tetapi Mahisa Agni tidak dapat menolak keinginan itu agar tidak timbul salah paham. Jika ia tetap menolak, maka Panglima itu akan menganggap bahwa ia takut kehilangan pengaruh di Kediri karena kedatangan Panglima itu.
“Aku minta kau dapat menyiapkan pertemuan itu secepatnya Mahisa Agni.” perintah Panglima itu.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ketika sekilas terpandang olehnya wajah para Senapati, maka rasa-rasan Mahisa Agni tidak akan sanggup mengendalikannya apabila terjadi pertemuan yang lebih besar lagi. Namun demikian Mahisa Agni terpaksa mejalankan perintah itu, yang bernilai seperti perintah Maharaja di Singasari itu sendiri.
“Kapan pertemuan yang agak lebih besar dari pertemuan ini harus aku adakan?” bertanya Mahisa Agni.
“Secepatnya.”
“Ya, secepatnya. Tetapi kapan. Sekarang, atau nanti sore atau besok pagi? Cepat yang kau maksudkan tergantung sekali pada rencanamu berapa hari kau akan tinggal di Kediri.”
Panglima itu merenung sejenak, lalu, “Sore nanti. Mereka harus datang ke pendapa ini sebelum matahari menjadi kemerahan menjelang senja. Kita akan banyak berbicara, sehingga pertemuan itu akan berlangsung cukup lama.”
“Baiklah. Kami akan menyelenggarakannya.”
“Dan sebelumnya, sebaiknya kau mendengar lebih dahulu apa yang akan aku sampaikan kepada mereka.”
“Aku tidak berkeberatan.” jawab Mahisa Agni.
“Berkeberatan atau tidak berkeberatan, ini adalah kewajibanmu.”
Terasa telinga Mahisa Agni menjadi panas. Tetapi ia tetap duduk dengan tenang di tempatnya.
“Nah, perintahkan kepada Senapatimu untuk memanggil Senapati-senapati bawahan mereka, dan para pemimpin prajurit yang lain.”
“Nanti akan aku perintahkan. Tetapi sebaiknya sekarang kau berbicara tentang keadaan di Singasari yang terakhir agar kami tidak selalu dibingungkan oleh berita-berita yang belum pasti kebenarannya.”
Panglima itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya prajurit yang membawa panji-panji dan tunggul kerajaan itu sejenak, lalu katanya, “Baiklah. Atas nama Maharaja di Singasari tuanku Tohjaya, aku memberitahukan bahwa di Singasari telah terjadi perubahan pimpinan pemerintahan.”
Tidak seorangpun yang menyahut. Panglima itupun kemudian menceriterakan apa yang sudah terjadi di halaman istana, di arena sabung ayam.
“Yang mula-mula terjadi adalah sebuah kerusuhan kecil. Seorang Panglima dari Singasari telah terbunuh oleh seorang bekas Pelayan Dalam semasa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung. Agaknya hal itu menumbuhkan kemarahan pada para prajurit dan terlebih-lebih lagi Pelayan Dalam. Kerusuhan tidak dapat dicegah lagi, dan di luar kemampuan para pengawal maka tuanku Anusapati pun terbunuh oleh kebencian yang sudah terlalu lama tersimpan di hati rakyat.”
Yang mendengar keterangan Panglima itu mengerutkan keningnya. Berita serupa itulah yang tersiar di seluruh Singasari. Dan agaknya bahwa memang berita itulah yang disebarkan oleh Tohjaya dan orang-orangnya yang dipercayainya.
Beberapa saat Panglima Pelayan Dalam yang baru itu terdiam, sehingga Mahisa Agni mendesaknya, “Bagaimana kelanjutan dari keteranganmu itu?”
“Untuk kali ini aku tidak akan memberikan keterangan lebih dari itu.”
“Kami menunggu penjelasan. Bagaimana peristiwa itu terjadi. Dimana saat itu tuanku Anusapati berada. Dimana terjadinya kerusuhan itu dan bagaimana dengan keluarga istana yang lain lain.”
“Sudah aku katakan. Aku tidak akan memberikan keterangan lebih dari itu. Nanti sore aku akan menjelaskan persoalannya.”
“Kau belum memberikan gambaran yang jelas bagi kami.” desis Mahisa Agni.
“Memang. Tidak itu pun tidak mengapa. Sore nanti aku akan memberikan keterangan sejelas- jelasnya.”
Mahisa Agni tidak mendesaknya lagi. Katanya, “Baiklah. Berita itu sudah cukup bagi kami sekarang. Bahkan jika kau memberi penjelasan semakin panjang, semakin banyak pertanyaan akan timbul di hati kami.”
“Apa maksudmu?”
“Tidak apa.”
“Tentu ada maksud tersembunyi pada kata-katamu.” Pelayan Dalam itulah yang mendesak.
“Persoalannya akan jelas jika aku sudah mendengar semua keterangan yang terperinci.” jawab Mahisa Agni.
Pelayan Dalam itu mengerutkan keningnya. Namun iapun menjawab, “Baik. Semua persoalan akan menjadi jelas nanti sore. Sebelum para Senapati mendengar keterangan langsung daripadaku, mereka tidak boleh mendengar keterangan ini dari orang lain agar tidak terjadi salah paham. Jika aku menjelaskannya sekarang, maka setiap orang akan berusaha memberikan penjelasan menurut tanggapannya masing. Dan ini tidak boleh terjadi.”
Demikianlah maka pertemuan itupun berakhir. Mahisa Agni menyediakan ruang yang khusus bagi Pelayan Dalam yang mendapat limpahan kekuasaan Maharaja Kediri itu di dalam istananya, di sebelah biliknya sendiri. Sedang para pengikutnya ditempatkannya di gandok sebelah menyebelah, dipisahkan oleh sebuah longkangan kecil. Namun dalam pada itu dua orang pengawal Pelayan Dalam itu selalu berada di ruang dalam, berjaga-jaga di depan bilik Panglimanya.
Sementara itu Witantra pun masih tetap berada di istana. Namun ia berada di bilik belakang, sebuah bilik yang tersekat dari ruang dalam, yang disediakan bagi tamu-tamu yang kurang penting bagi jabatan Mahisa Agni. Namun Witantra, bukan karena ia kurang penting bagi Mahisa Agni, tetapi Witantra memang harus terpisah dari tamu-tamu yang datang dari Singasari itu. Tetapi dalam saat-saat tertentu Witantra dapat menemuinya tanpa menumbuhkan kecurigaan bagi tamu-tamunya dari Singasari.
Diluar pengetahuan Mahisa Agni, Panglima Pelayan Dalam itu telah memerintahkan beberapa orang perajuritnya untuk mengamati keadaan di Kediri. Apakah dalam waktu yang singkat itu Mahisa Agni telah mengadakan persiapan yang dapat membahayakan kedudukannya. Tetapi ternyata Kediri tetap sepi. Tidak ada kesibukan pasukan sama sekali. Meskipun Mahisa Agni telah memerintahkan beberapa orang Senapati menghubungi kawan-kawannya dalam lingkungan yang lebih luas, namun kesibukan itu terbatas sekali pada para perwira saja.
“Mahisa Agni agaknya sama sekali tidak ingin berbuat sesuatu, apalagi yang bersifat menentang kekuasaan pimpinan pemerintahan yang baru.” berkata salah seorang prajurit.
“Ia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.” sahut yang lain.
“Seandainya demikian, seandainya ia mengerti bahwa tuanku Anusapati telah dibunuh oleh tuanku Tohjaya, namun Mahisa Agni harus mengingat, bahwa karma telah berlaku. Menurut dugaan beberapa orang, tuanku Anusapati pun telah membunuh tuanku Sri Rajasa dan merahasiakan pembunuhan itu. Bukankah berita yang tersiar, seorang Pangalasan telah membunuh tuanku Sri Rajasa dan kemudian dibunuh oleh tuanku Anusapati? Dan berita itupun tentu bukan berita yang sebenarnya.”
“Dan sekarang karma itu berlaku. Apakah dengan demikian akan terjadi bunuh membunuh tidak hentinya? Dan apakah dengan demikian seumur kita tidak akan mengalami masa tenang di Singasari?”
Prajurit yang lain tidak menyahut. Namun katanya kemudian, “Kita laporkan kepada Panglima bahwa tidak ada persiapan apapun di Kediri.”
Tetapi sebenarnyalah para prajurit yang menyamar sebagai rakyat biasa itu tidak melihat bahwa setiap prajurit justru telah bersiap di dalam barak masing-masing. Mereka seakan-akan tetap tenang, namun mereka selalu siap untuk berbuat sesuatu apabila diperlukan, karena persiapan yang diam itu justru sudah dimulai sejak Panglima dari Singasari itu belum datang di Kediri. Tetapi seperti yang dimaksud oleh Mahisa Agni, persiapan itu memang bukan suatu persiapan untuk perang, meskipun seandainya perang itu pecah, maka mereka tidak akan mengecewakan.
Ketika Panglima Pelayan Dalam itu mendengar laporan petugas-petugas sandinya, maka ia pun mulai tenang dan dapat beristirahat dengan tanpa dibayangi oleh kecurigaan. Ia menganggap bahwa Mahisa Agni tidak akan dapat berbuat apa-apa di Singasari meskipun anggapan itu belum dapat diyakininya, karena masih ada kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat terjadi.
“Ada dua sebab, kenapa tidak ada tindakan apapun yang dilakukan oleh Mahisa Agni.” berkata Pelayan Dalam itu kepada pengawal kepercayaannya. “Mahisa Agni tidak mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi, atau Mahisa Agni tidak lagi mempunyai pengaruh yang luas di kalangan para prajurit Singasari di Kediri.”
Pengawal kepercayaan Pelayan Dalam itu mengiakannya saja. Ketika matahari menjadi semakin condong ke Barat dan kemudian langit menjadi merah, para Senapati pun mulai berdatangan ke halaman istana Mahisa Agni. Mereka duduk di atas tikar pandan di pendapa. Sedang di sudut pendapa di hadapan mereka terdapat batu-batu berukir yang beralaskan kulit kijang berwarna coklat kemerah-merahan.
Ketika para Senapati dan pimpinan para prajurit Singasari dan beberapa orang pimpinan pasukan keamanan Kediri telah lengkap di pendapa, maka Panglima Pelayan Dalam yang mendapat limpahan kekuasaan Maharaja Singasari, dengan pertanda panji-panji dan tunggul kerajaan itupun keluar dari pintu tengah diiringi oleh Mahisa Agni dan pengawal-pengawal kepercayaannya serta tanda-tanda kebesaran itu.
Beberapa orang Senapati menundukkan kepala ketika terpandang oleh mereka panji-panji dan tunggul kerajaan itu. Ada semacam ketidak seimbangan di dalam tanggapan mereka. Mereka hormat kepada panji-panji dan tunggul Kerajaan. Tetapi mereka tidak dapat berbuat demikian terhadap Panglima yang kini mendapat limpahan kekuasaan dengan pertanda panji-panji dan tunggul itu.
Meskipun demikian para Senapati itu tetap duduk tenang sambil menundukkan kepalanya. Mereka mencoba untuk menenteramkan hati dan mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh Panglima itu. Namun sebenarnya mereka telah membawa bekal di dalam hati, bahwa ada sesuatu yang tidak benar di dalam keterangan yang akan dikatakan oleh Panglima itu.
Tetapi para Senapati yang dekat dengan Mahisa Agni telah berpesan kepada mereka, jangan tunjukkan sikap yang dapat menimbulkan persoalan yang tidak dikehendaki. Jika mereka benar-benar seorang yang setia kepada Singasari, maka mereka harus dapat mementingkan persoalan Singasari di atas segala macam persoalan.
“Jika ternyata bahwa siapapun akan merugikan Singasari maka barulah kita akan berbuat sesuatu. Termasuk terhadap Tohjaya.”
Sebenarnya para Senapati tidak dapat mengerti pendirian Mahisa Agni, dan sebagian terbesar dari mereka mengangap bahwa sikap itu adalah sikap yang lemah sekali. Tetapi mereka masih dicengkam oleh pengaruh wibawa Mahisa Agni yang besar atas mereka.
“Tuanku Mahisa Agni tentu mempunyai perhitungan yang jauh lebih luas dari perhitungan kita yang sekedar menilai setiap keadaan berdasarkan tajamnya pedang.” berkata seorang Senapati kepada kawannya.
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mudah-mudahanan tajamnya pedang itu tidak memotong leher kita sebelum kita menyadari apa yang telah terjadi sebenarnya.”
Keduanyapun terdiam. Dan kini mereka dihadapkan kepada seorang Panglima yang baru saja menjabat kedudukannya. Karena mereka adalah prajurit-prajurit Singasari, maka sebagian dari prajurit Singasari yang ada di Kediri telah mengetahui siapakah Panglima itu, dan sampai berapa jauh kemampuannya memegang pimpinan dan di dalam olah kanuragan.
Setelah memandangi para Senapati yang duduk sambil menundukkan kepalanya itu, maka Panglima yang mendapat limpahan wewenang Maharaja Singasari itu mulai membuka pembicaraan. Disampaikannya salam sejahtera dari Maharaja Singasari kepada mereka. Mudah-mudahan merekapun selamat sejahtera. Para Senapati masih tetap menundukkan kepalanya. Sejenak kemudian maka mulailah Panglima itu memberikan keterangan tentang keadaan istana Singasari. Diberinya beberapa kata pengantar secukupnya untuk memberikan arah berpikir bagi para Senapati itu.
“Kami, para pemimpin yang ada di sekitar Tuanku Anusapati sudah berusaha untuk mengelakkan hal yang akan terjadi. Beberapa kali kami telah memberikan peringatan, agar sikap tuanku Anusapati dapat berubah sedikit demi sedikit, sehingga sakit hati yang semakin lama semakin bertimbun di hati rakyat itu dapat dikurangi.” Panglima itu berhenti sejenak, lalu, “namun agaknya tuanku Anusapati tidak menghiraukannya. Untunglah bahwa tuanku Tohjaya bersikap baik terhadap rakyat, bahkan ia sempat memberikan tempat hiburan yang mapan di halaman bangsalnya sendiri. Dengan sikap itu, maka rakyat menjadi segan untuk berbuat sesuatu terhadap tuanku Anusapati, justru karena mereka memandang kecintaan tuanku Tohjaya terhadap mereka. Tetapi tuanku Anusapati masih saja membuat banyak kesalahan. Sebagai seorang Maharaja yang masih cukup muda, maka ia terlampau banyak menaruh minat kepada perempuan. Dan yang parah, kadang-kadang perempuan-perempuan yang dikehendakinya itu adalah perempuan-perempuan yang sudah bersuami.”
Pendapa itu dicengkam oleh suasana yang aneh. Tetapi para Senapati itu pun masih tetap diam di tempatnya. Panglima Pelayan Dalam yang sedang memberikan keterangan tentang keadaan di Singasari itu mencoba mengamati tanggapan dari kata-katanya. Tetapi para Senapati di Kediri itu menundukkan kepala sehingga kesan yang tersirat di wajah mereka tidak segera dapat dilihatnya.
“Akhirnya.” Panglima itu meneruskan, “terjadilah peristiwa yang menyedihkan itu. Semula yang terjadi adalah pertentangan kecil. Tidak seorang pun tahu dengan pasti sebab-sebabnya. Tetapi yang terjadi, Panglima Pelayan Dalam itu terbunuh. Tentu saja dengan licik. Kemarahan para prajurit telah menyebabkan orang yang menyebut dirinya Kuda Sempana itu mati. Tetapi kerusuhan tidak berhenti. Tanpa dapat dicegah lagi, rakyat yang sudah lama membenci tuanku Anusapati seolah-olah mendapat kesempatan. Maka terbunuhlah tuanku Anusapati. Untunglah tuanku Tohjaya ada di tempat itu, sehingga atas pengaruhnya maka kerusuhan yang lebih besar dapat dicegah.”
Terasa gejolak di setiap hati para Senapati yang ada di pendapa itu. Namun seperti pesan Mahisa Agni, mereka harus dapat menahan perasaan. Seorang Senapati muda hampir pingsan justru karena ia menahan hati dan berusaha untuk tetap diam sambil mendengarkan keterangan yang bagaikan menyobek jantungnya.
Sejenak kemudian Panglima itu meneruskan, “Kalian kini berada di Kediri, agak jauh dari pusat pemerintahan. Tentu kalian tidak dapat membayangkan apa yang sebenarnya terjadi. Kalian tentu tidak dapat mengerti, kenapa rakyat yang marah itu tidak dapat dikuasai dan tidak dapat dicegah lagi membunuh Maharaja Singasari yang Agung. Tetapi sebaiknya kalian menyadari, bahwa kemarahan, kekecewaan dan ketidak pastian yang tertahan, pada suatu saat akan dapat meledak. Ledakan itu tidak mengingat lagi sasaran, akibat dan apapun yang akan terjadi.” Panglima itu berhenti sejenak, lalu, “sekali lagi aku katakan, hanya wibawa tuanku Tohjaya sajalah yang dapat menghentikan semuanya itu.”
Para Senapati itu semakin menundukkan kepalanya. Bukan karena mereka melihat kebenaran di dalam keterangan itu, namun justru karena mereka berusaha menyembunyikan perasaan yang tersirat di wajah mereka itu.
Karena Panglima itu sama sekali tidak dapat menjajagi tanggapan para Senapati yang mendengarkannya, maka ia menjadi agak ragu-ragu. Namun apabila disadarinya bahwa disisinya ada panji-panji dan tunggul kerajaan, maka hatinya menjadi kembang, dan mulailah ia berkata lagi dengan tegas. “Kalian harus menyesuaikan diri dengan perubahan ini. Tuanku Tohjaya untuk sementara memegang pimpinan kerajaan. Tidak ada orang kuat yang lain yang pantas duduk di atas Singgasana Singasari selain tuanku Tohjaya itu.”
Beberapa orang Senapati hampir bersamaan mengangkat wajahnya. Rasa-rasanya ada sesuatu yang ingin mereka tanyakan. Tetapi tidak sepatah katapun yang terlontar dari mulut mereka ketika mereka melihat Mahisa Agni masih saja duduk dengan tenang, betapapun jantung di dadanya berdenyut semakin cepat.
“Nah.” berkata Panglima itu, “apakah ada yang ingin mendapatkan keterangan yang lain? Ketika kami baru saja datang di tempat ini, Mahisa Agni ingin mengajukan beberapa pertanyaan yang tidak aku jawab. Sekarang, aku persilahkan jika ada di antara kalian yang masih memerlukan penjelasan lebih banyak...”
Orang-orang yang berkerumun di sekitar arena kini benar-benar telah dicengkam oleh pertarungan dua ekor ayam jantan yang semakin dahsyat itu. Pertarungan yang jarang sekali mereka saksikan. Keduanya memerlukan waktu berlipat ganda dari pertarungan yang biasa di arena itu. Namun pertarungan itu bagaikan sebuah pesona yang mencengkam seluruh perhatian para penonton di sekitarnya. Mereka seakan-akan tidak menyadari lagi apa yang terjadi di sekitarnya selain kedua ekor ayam yang sedang bersabung itu.
Dalam pada itu, Agnibhaya dengan tergesa-gesa melintasi halaman istana diiringi oleh dua orang prajurit. Meskipun Agnibhaya masih terlalu muda, tetapi terasa sesuatu bergerak di dalam dadanya. Ibunya yang dengan tiba-tiba saja memerintahkannya memanggil kakandanya, didengar atau tidak didengar, membuatnya bertanya-tanya di dalam hati.
“Ibunda baru saja duduk di ruang depan.” berkata anak muda itu di dalam hatinya, “namun tiba-tiba saja ibunda menjadi sakit, apalagi sakit keras.”
Tanpa sesadarnya ia berpaling kepada kedua prajurit yang mengawalnya. Dilihatnya wajah-wajah yang kosong dan buram itu. Tiba-tiba saja hampir di luar sadarnya Agnibhaya bertanya kepada pengawalnya, “He, kenapa kau mengikuti aku?”
Pengawal itu menjadi heran mendengar pertanyaan Agnibhaya. Tetapi salah seorang dari mereka menjawab, “Hamba hanya menjalankan perintah, tuanku.”
Agnibhaya mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu, “Jika demikian biarlah aku pergi sendiri.”
“Hamba tidak berani melanggar perintah itu.”
“Manakah yang lebih tinggi antara perintah pemimpinmu dan perintahku.”
Prajurit itu termangu-mangu sejenak, lalu, “Perintah tuanku terlampau tinggi bagi hamba. Tetapi hamba seharusnya menjalankan perintah atasan hamba langsung. Karena itu, sebaiknya tuanku menjatuhkan perintah kepada Senapati yang hari ini bertugas di istana, dan Senapati itu akan memerintahkan kepada pemimpin hamba itu.”
Agnibhaya menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar bahwa ia tidak akan dapat berbicara banyak dengan orang-orang yang hanya sekedar menjalankan perintah. Karena itu, betapapun hatinya kurang mapan karena kedua prajurit itu, ia tidak lagi berniat untuk melepaskan diri. Tetapi sejenak kemudian timbullah pikiran yang lain di dalam hatinya. Tiba-tiba saja ia merasa bahwa kedua prajurit itu bukan sekedar mengawalnya. Tetapi keduanya tentu sedang mengawasinya dan memperlakukannya sebagai seorang yang telah kehilangan sebagian dari kebebasannya.
Namun demikian Agnibhaya tidak berbuat apa-apa. Katanya di dalam hati, “Asal keduanya tidak mengganggu kehadiranku.”
Namun demikian rasa-rasanya ada sesuatu yang mengganggu perasaan. Semakin dekat Agnibhaya dengan regol yang memisahkan bagian-bagian dari istana Singasari itu, hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Apalagi ketika kakinya menginjak tangga regol itu. Terasa sesuatu menghentak dadanya. Dari kejauhan ia sudah melihat arena sabung ayam yang riuh dan keributan yang semakin lama menjadi semakin kisruh. Dada Agnibhaya menjadi semakin berdebar-debar. Karena itulah maka iapun menjadi semakin tergesa-gesa mendekat.
Dalam pada itu, kedua ayam aduan itu sudah sampai ke puncak kemampuannya. Justru keduanya mulai menjadi lemah. Keduanya tidak lagi saling menyerang. Tetapi keduanya seolah-olah hanya membelitkan leher dan sekali-sekali mematuk. Para penontonnyalah yang menjadi riuh. Mereka bersorak-sorak seakan-akan tidak telaten lagi melihat perkelahian yang menjadi lamban. Bukan kebiasaan mereka melihat ayam bersabung sampai demikian lama dan lamban. Luka-luka yang kemerah-merahan menjadi semakin banyak memenuhi tubuh ayam itu.
“Bunuh saja.” seorang berteriak, “bunuh saja, dan biarlah yang lain turun ke gelanggang.”
“Menjemukan. Bunuh saja.” sahut yang lain.
Tetapi terdengar seseorang berteriak, “Mengerikan, jangan biarkan mereka menderita terlalu lama. Bunuh saja.”
“Bunuh saja. Bunuh saja.” hampir berbarengan orang-orang itu berteriak-teriak.
Pada saat kekisruhan karena kejemuan dan sebagian iba hati itu menjadi semakin memuncak, maka Anusapati pun menjadi semakin gelisah. Ia pun menjadi sangat iba melihat kedua ayam jantan yang menjadi semakin lemah. Bahkan kadang-kadang mereka jatuh bersama-sama dan seolah-olah sudah tidak mampu lagi untuk bangkit lagi.
Dalam pada itu, para penonton menjadi semakin ribut. Keributan yang berbeda-beda nadanya. Namun yang terdengar jelas adalah suara, “Bunuh saja, bunuh saja.”
Anusapati pun akhirnya tidak tahan lagi. Seperti orang-orang lain ia ingin menghentikan pertarungan dua ekor ayam yang sudah tidak berdaya oleh kelelahan dan luka-luka yang arang kranjang itu. Pada saat itu semua perhatian orang yang ada di sekitar arena itu tertuju kepada kedua ekor ayam yang berada di arena. Setiap mata hampir tidak berkedip dan semua hati menjadi berdebaran.
Tidak seorang pun memperhatikan orang-orang lain di sekitarnya. Bahkan orang yang berada di sampingnya. Demikian juga Anusapati. Perhatiannya terampas oleh kedua ekor ayam di arena itu, sehingga ia tidak memperhatikan apapun juga di sekitarnya. Demikian juga para pengawalnya. Dalam keadaan yang demikian, sebenarnya bukan semua orang seakan-akan telah kehilangan kesadaran.
Dengan diam-diam seseorang merayap mendekati Tohjaya yang duduk di samping kakandanya, Anusapati. Perlahan-lahan, ia menggamit kaki Tohjaya sambil menunjuk kelambungnya. Tohjaya berpaling sesaat. Ia pun kemudian mengangguk kecil.
“Inilah saatnya.” berkata Tohjaya di dalam hatinya.
Dengan demikian maka perlahan-lahan ia meraba sesuatu di lambung orang yang mendekatinya itu. Ketika tangannya menyentuh hulu keris yang kasar, yang terbuat dari sepotong kayu cangkring, maka Tohjaya itu pun tersenyum. Perlahan-lahan ia menarik hulu keris itu. Sedang orang yang duduk di sampingnya sama sekali tidak mengacuhkannya, sehingga orang-orang yang ada di sekitarnya sama sekali tidak tertarik perhatiannya kepada kehadiran dan sikapnya.
Keris yang kini telah berada di tangan Tohjaya itu adalah keris Empu Gandring. Sejenak ia memandang keris itu, kemudian memandang kakandanya yang sedang memusatkan perhatiannya kepada dua ekor ayam jantan di arena. Namun ternyata ada seorang yang melihat keris di tangan Tohjaya itu. Karena itu hatinya menjadi bergerak. Sejenak ia termangu-mangu. Jika ia berteriak memperingatkan Anusapati, maka keris itu justru akan segera menghunjam kelambung.
“Yang akan terjadi, kini ternyata telah terjadi.” desisnya. Namun ia tidak dapat berdiam diri. Perlahan-lahan ia pun bergeser mendekat. Ia tidak mau mengejutkan Tohjaya dan mempercepat gerak tangannya.
Namun, orang itu merasa bahwa sangat sulit untuk melakukannya. Rasa-rasanya tidak akan tercegah lagi, bahwa Anusapati memang harus meninggalkan tahta Singasari dalam keadaan yang serupa dengan ayahandanya Tunggul Ametung dan ayahandanya Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi. Sambil menahan nafas maka orang itupun bergeser semakin dekat. Tetapi belum lagi jarak itu mencapai sepanjang jangkauan tangannya, Tohjaya sudah mulai menggerakkan tangannya.
Hampir di luar sadarnya orang itu berteriak nyaring sehingga suaranya bagikan memecahkah selaput telinga. “Tuanku Anusapati, hati-hati atas sebuah serangan yang licik.”
Tetapi suara itu menyentuh telinga Anusapati berbareng dengan ayunan tangan Tohjaya. Anusapati yang mendengar suara itupun terkejut. Tetapi ia lebih terkejut lagi ketika terasa tangan Tohjaya menarik lengannya sedang tangan yang lain menghujamkan keris Empu Gandring di lambungnya. Anusapati tidak sempat berbuat sesuatu. Meskipun ia memiliki kemampuan yang tinggi, yang jauh lebih tinggi dari Tohjaya, namun kelengahannya itulah yang mengantarkannya ke pintu kematian.
Terdengar Anusapati mengaduh perlahan-lahan. Ia masih sempat menatap mata Tohjaya dengan pandangan yang sedih. Sedih melihat kelakuan Tohjaya yang sama sekali tidak menunjukkan sifat kesatria, dan yang bahkan, memang sudah direncanakan.
Pengawal-pengawal Anusapati tidak dapat berbuat apa-apa melihat keris Empu Gandring menghunjam di lambung Anusapati. Namun demikian mereka adalah pengawal-pengawal yang setia. Pengawal-pengawal khusus yang langsung ditunjuk oleh Anusapati sendiri. Karena itulah, mereka tiba-tiba saja telah menarik senjata masing-masing.
Empat orang pengawal khusus Anusapati itu bagaikan orang kehilangan akal. Tiba-tiba saja mereka mengamuk seperti seekor banteng yang terluka. Senjatanya terayun-ayun dengan dahsyatnya menyambar siapa pun yang berada di dekatnya. Namun serentak mereka berusaha menyerang Tohjaya yang telah membunuh kakandanya sendiri dengan cara yang licik sekali.
Tetapi Tohjaya sudah menyiapkan pengawalnya yang kuat. Karena itu, maka pengawalnya itulah yang kemudian berusaha menyelamatkannya. Namun demikian, di dalam kemarahan yang memuncak itu, ke empat pengawal khusus Anusapati itu telah membunuh lebih dari lima orang yang berada di sekitarnya. Tiba-tiba seorang prajurit yang lain tewas pula seketika. Dan sejumlah yang lain telah dilukainya sebelum para pengawal Tohjaya berhasil mengurung mereka di dalam kepungan yang rapat.
Arena Sabung ayam itu menjadi kacau balau. Sehingga dari mereka yang berada di gelanggang memang orang yang telah dipasang oleh Tohjaya. Tetapi beberapa orang yang lain tidak tahu menahu sama sekali tentang apa yang terjadi, sehingga mereka hanya dapat berlari-larian kian kemari tanpa arah.
Dalam kebingungan yang sangat itu, telah terjadi pertempuran antara para pengawal yang setia kepada Anusapati, melawan orang-orang yang memang sudah disiapkan dengan baik oleh Tohjaya. Dan sebenarnyalah bahwa sebagian besar dari para prajurit di dalam istana itu sudah dikuasainya, karena para Panglimanya sudah dikuasainya pula.
Empat orang pengawal yang setia itu bertempur membabi buta. Mereka tidak rela melihat Maharajanya mati ditusuk dengan cara yang sangat licik itu. Bagi mereka, adalah lebih baik mati bersama Anusapati daripada hidup di dalam dera siksaan batin mereka sendiri. Mereka merasa bahwa mereka telah gagal menjalankan tugas dan menyia-nyiakan kepercayaan Maharaja Singasari atas mereka.
Namun perlahan-lahan keempatnya berhasil dikuasai oleh para prajurit yang sudah berpihak kepada Tohjaya. Sementara itu di seluruh halaman istana itupun telah dilakukan penguasaan serentak atas segala segi pemerintahan. Tetapi, keempat orang pengawal itu sama sekali tidak akan menyerah. Mereka akan berkelahi sampai mati. Dan justru karena itu, maka mereka menjadi kehilangan kekangan atas diri sendiri. Ujung senjata mereka bagaikan seekor burung sikatan yang meloncat-loncat menyebarkan maut.
Meskipun mereka berempat sudah terkurung, namun mereka masih sempat menaburkan korban di sekitar mereka. Justru karena mereka adalah pengawal pilihan yang memiliki kemampuan melampaui kemampuan prajurit-prajurit yang lain, bahkan melampaui kemampuan senapati-senapatinya.
Tetapi yang mengepung mereka adalah prajurit dalam jumlah yang jauh lebih banyak. Apalagi ketika hadir di antara perkelahian itu Panglima Pelayan Dalam yang memang telah mengatur semua yang akan terjadi itu bersama Panglima pasukan Pengawal yang tidak lagi dapat melepaskan diri dari cengkaman tangan Tohjaya.
“Biarlah aku membunuh mereka.” geram Panglima Pelayan Dalam itu, “lepaskan mereka seorang demi seorang. Aku akan membunuh mereka seperti membunuh penjahat yang paling terkutuk di Singasari.”
Para pengawal yang setia itu melihat kehadiran Panglima Pelayan Dalam. Salah seorang dari mereka tiba-tiba saja berteriak, “Pengkhianat. Kau memang pengkhianat. Aku sudah mencurigaimu sejak lama.”
Panglima itu tertawa. Katanya, “Kau jangan banyak berbicara lagi. Sebentar lagi kau akan mati.”
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja terdengar suara yang lain. “Panglima yang perkasa. Biarlah prajurit-prajurit itu bertempur di antara mereka. Jika kau masih juga ingin berkelahi, marilah kita berkelahi.”
Semua orang berpaling kearah suara itu. Mereka melihat seorang yang meningkat ke usia tuanya berdiri tegak mamandang Panglima Pelayan Dalam yang sedang berusaha untuk menangani sendiri prajurit-prajurit pengawal yang setia kepada Anusapati.
“Apa yang dikatakan itu benar.” berkata orang itu, “kalian adalah pengkhianat-pengkhianat. Nah, sebaiknya kalian bertanding dengan orang-orang yang pantas melawanmu. Bukan prajurit-prajurit yang setia itu.”
“Siapa kau?” bertanya Panglima itu.
“Aku ingin tahu, apakah kau akan bersikap jantan setelah kau mendengar namaku, atau kau akan bersikap seperti tuanmu yang membunuh tuanku Anusapati dengan cara yang sangat licik.”
“Persetan, aku dapat memerintahkan menangkap dan membunuhmu.”
“Tentu. Tetapi itu sama halnya dengan perbuatan pengecut. Padahal kau adalah seorang Panglima. Aku tantang kau berperang tanding.”
“Siapa kau?”
“Aku adalah orang yang banyak sekali menyerahkan ayam jantan aduan kepada tuanku Tohjaya. Tetapi katakan, bahwa kau terima tantanganku untuk berperang tanding. Aku akan menyebutkan namaku.”
Panglima Pelayan Dalam itu ragu-ragu. Sejenak ia memandang prajurit-prajuritnya dengan ragu. Kemudian dipandanginya pula berganti-ganti ke empat orang pengawal setia Anusapati yang berdiri tegak mematung karena pertempuran itupun tiba-tiba terhenti karena kehadiran orang yang menjelang umur tuanya itu.
“Sebutkan kesediaanmu. Kemudian aku akan menyebut namaku. Jika tidak, dan kau akan memerintahkan prajuritmu mengeroyok aku, aku akan mati tanpa nama. Tetapi setiap orang yang ada di sini, meskipun sebagian besar adalah anak buahmu akan mengingat peristiwa ini, bahwa seorang Panglima telah berlaku licik.”
“Baiklah. Aku terima tantanganmu,”
“Semua menjadi saksi.”
“Semua menjadi saksi.”
“Panglima-panglima yang lain menjadi saksi.”
“Ya.”
“Dimana tuanku Tohjaya.”
Semua mata mencarinya. Dan mereka melihat Tohjaya berdiri tidak begitu jauh sambil memegangi tangan seorang anak yang sudah remaja.
“Lepaskan aku kakanda.” teriak anak muda itu.
“Tenanglah Adinda Agnibaya. Yang terjadi adalah di luar kekuasaan adinda.”
“Apa yang telah terjadi atas Kakanda Anusapati.”
“Kita sama-sama tidak tahu dengan pasti. Karena itu, tinggallah di sini. Jangan mendekati kekacauan itu.”
“Bagaimana dengan Kakanda Anusapati.” teriak Agnibhaya.
Orang yang berdiri berhadapan dengan Panglima Pelayan Dalam itu tidak sampai hati meneriakkan kenyataan tentang Anusapati. Tetapi salah seorang dari keempat pengawal setia Anusapati itulah yang berkata lantang. “Tuanku Anusapati telah terbunuh. Yang membunuh dengan licik adalah tuanku Tohjaya sendiri.”
Wajah Agnibaya menjadi merah. Tiba-tiba saja ia menyerang Tohjaya dengan sengitnya. Tetapi Agnibaya masih terlampau muda. Ilmunya masih belum mencukupi sama sekali untuk melakukan pembelaan dengan kekerasan. Karena itu, maka sejenak kemudian dua orang prajurit dengan mudahnya telah menguasainya. Keduanya memegang lengan Agnibaya dengan eratnya. Sedang Tohjaya yang berdiri di hadapannya berkata, “Tenanglah adinda. Kakanda akan menjelaskan persoalannya nanti. Tetapi sekarang, menepilah. Jangan berada di tempat yang masih kacau ini.”
Dalam pada itu, prajurit yang setia kepada Anusapati itu pun berteriak, “Kenapa tidak kau bunuh sama sekali adinda tuanku Anusapati itu.”
“Diam kau.” teriak Panglima Pelayan Dalam.
Dan orang yang menjelang usia tua itu tertawa sambil berkata, “Biarlah mereka meneriakkan kebenaran. Kenapa kau menjadi bingung.”
“Persetan, sebut namamu cepat, sebelum kau mati.”
“Baiklah. Kita akan berperang tanding. Bersiaplah.”
“Sebut namamu lebih dahulu.”
Orang itu menjadi ragu-ragu sejenak, namun kemudian katanya, “Aku juga pernah menjadi seorang Pelayan Dalam. Dan aku adalah Pelayan Dalam yang pada saat itu pernah meninggalkan tugasku. Hampir berkhianat pula seperti kau. Tetapi kini aku sadar, bahwa pengkhianatan itu tidak akan menguntungkan bagi diriku dan bagi setiap pengkhianat.”
“Tutup mulutmu, sebut namamu.”
Orang itu termangu-mangu. Sejenak ia memandang berkeliling. Dilihatnya beberapa orang prajurit telah mengerumuninya. Mereka hampir melupakan keempat prajurit yang setia kepada Anusapati itu. Orang itu menjadi berdebar-debar ketika ia melihat beberapa orang perwira yang sebaya dengan umurnya. Perwira-perwira tua yang masih berada di lingkungan keprajuritan. Agaknya tenaga mereka masih dibutuhkan sehingga mereka masih harus tetap memikul kuwajibannya.
“Salah seorang dari Perwira-perwira tua itu dapat mengenal aku.” berkata orang itu.
Tetapi tidak seorang pun yang menyebut namanya. Dan Panglima Pelayan Dalam itu berteriak kepada para prajurit. “Siapa yang mengenal orang ini?”
Orang-orang yang ada di sekitarnya masih tetap berdiam diri.
“Tentu ada seorang yang mengalami menjadi hamba Akuwu Tunggul Ametung. Dan bertanyalah kepadanya.”
Beberapa orang tua mengerutkan keningnya. Mereka mencoba untuk mengenali orang yang kini berdiri berhadapan dengan Panglima itu.
“Apakah tidak ada seorangpun lagi yang mengenal aku?”
Tiba-tiba salah searang perwira yang sudah sebaya dengan orang itu mendekatinya. Perlahan-lahan ia bergumam, “Aku memang pernah melihatmu.”
Orang itu tersenyum. Agaknya ia pun mengenal perwira itu. Maka katanya, “Kaukah yang pernah dijuluki harimau lapar di medan pertempuran. Nah, kau tentu ingat aku.”
Perwira itu merenung sejenak. Dipandanginya orang itu dengan saksama sambil berdesis, “Kau benar. Dahulu aku adalah seekor harimau lapar di medan pertempuran. Namun kemudian aku tidak lebih dari seekor harimau tua yang sudah tidak bergigi.” Orang itu berhenti sejenak, lalu, “he, kau si Kuda liar itu?”
Orang itu tersenyum. Katanya, “Apakah kau sekedar menebak atau kau benar-benar mengenal aku?”
“Kedua-keduanya. Rasa-rasanya aku sudah mengenalmu, dan karena itu aku telah menebak sebutanmu di antara para Pelayan Dalam.”
“Kau benar. Akulah itu.”
“Kuda Sempana?”
“Ya, Kuda Sempana.”
Beberapa orang terkejut mendengar nama itu. Nama yang telah lama hilang dari istana. Justru sejak masa Akuwu Tunggul Ametung masih berkuasa. Bahkan beberapa orang tua-tua masih teringat, apa yang pernah terjadi, ketika Kuda Sempana masih seorang anak muda yang perkasa. Ia pernah berusaha melarikan Ken Dedes dari padepokannya. Namun yang ternyata telah dikehendaki oleh Akuwu Tunggul Ametung sendiri. Dan kini Kuda Sempana itu tiba-tiba telah muncul kembali.
“Kuda Sempana.” Tohjaya bergumam.
“Ya, aku adalah Kuda Sempana. Seorang Pelayan Dalam pada masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung.”
“Dan apakah yang kau kehendaki sekarang?”
“Aku tidak tahu, apakah yang sebenarnya telah terjadi di dalam diriku. Aku tidak tahu, perkembangan apakah yang tumbuh di dalam jiwaku. Namun sekarang, yang aku ketahui bahwa aku berpihak kepada tuanku Anusapati, putera tuan Puteri Ken Dedes.”
“Kau pernah menculiknya.” tiba-tiba seorang perwira yang lain berdesis.
“Ya. Aku pernah mencintainya. Mungkin ada hubungannya dengan keputusanku sekarang, bahwa aku berpihak kepada tuanku Anusapati, putera tuan Puteri Ken Dedes itu.”
“Persetan.” Tohjaya menggeram, “cepat, selesaikan orang itu.”
Panglima Pelayan Dalam itu memang tidak dapat bersabar lagi. Karena itu, maka ia pun segera bersiap untuk bertempur melawan orang yang bernama Kuda Sempana itu.
Kuda Sempana pun kemudian mempersiapkan dirinya pula. Sekali lagi berkata, “Kita berperang tanding. Dan aku ingin melihat, apakah para perwira di Jaman Singasari yang besar ini lebih baik dari para perwira pada masa Akuwu Tunggul Ametung berkuasa di sebuah daerah yang sempit yang disebut Tumapel.”
“Persetan. Jangan menyesal kalau kau mati di arena ini seperti seekor ayam yang mati di dalam arena sabungan.”
“Justru aku akan berbangga, bahwa kematianku adalah kematian seorang prajurit.”
Panglima itu tidak dapat menahan hatinya lagi. Tiba-tiba saja ia menyerang Kuda Sempana dengan sepenuh kemampuannya. Tetapi Kuda Sempana pun telah bersiap pula. Dengan tangkasnya ia berhasil menghindar dan bahkan kemudian iapun telah menyerang kembali dengan cepatnya. Sejenak kemudian keduanya telah terlibat di dalam perkelahian yang seru. Prajurit-prajurit yang lain bagaikan terpesona melihat pertempuran yang dahsyat itu. Mereka seakan-akan telah melupakan, bahwa di antara mereka masih terdapat beberapa orang pengawal Anusapati yang setia.
Ternyata bahwa Panglima itu benar-benar memiliki kemampuan bertempur melampaui para prajurit dan Senapati. Ia memiliki ilmu yang dahsyat dan tata gerak yang kadang-kadang di luar perhitungan. Namun lawannya, Kuda Sempana, telah memperdalam ilmunya sampai tuntas. Bukan saja olah keprajuritan dengan segala macam kemungkinannya, tetapi ia adalah murid Empu Sada yang telah berhasil mewarisi segenap ilmu dan kemampuannya.
Itulah sebabnya, maka Panglima yang berada di puncak jabatan keprajuritan itu tidak segera dapat menguasainya. Bahkan semakin lama semakin ternyata bahwa Kuda Sempana masih memiliki beberapa kelebihan dari padanya. Berbagai perasaan bercampur baur di dalam hati Panglima itu. Ia merasa malu jika ia tidak dapat mengalahkan orang yang menyebut dirinya seorang Pelayan Dalam dari jaman Akuwu Tunggul Ametung. Namun bagaimanapun juga, akhirnya ia tidak dapat lari dari kenyataan, bahwa Kuda Sempana adalah benar-benar seorang yang pilih tanding.
Dengan demikian maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin seru. Panglima Pelayan Dalam itu semakin dibakar oleh perasaan marah, cemas dan nafsu untuk segera dapat mengalahkan lawannya. Jika ia sekarang seorang Panglima di dalam masa kejayaan Singasari tidak dapat mengalahkan hanya seorang Pelayan Dalam di masa pemerintahan seorang Akuwu kecil bernama Tunggul Ametung, maka ia tentu akan mengalami penderitaan batin tiada taranya. Meskipun demikian Panglima itu tidak segera berhasil menguasai Kuda Sempana. Bahkan semakin lama Kuda Sempana semakin mendesaknya dan tidak memberinya kesempatan untuk menyerang.
Kuda Sempana lah yang kemudian seakan-akan menguasai arena. Panglima Pelayan Dalam yang bagi bawahannya dan kawannya merupakan seorang yang pilih tanding itu, hampir tidak dapat berbuat apa-apa di hadapan Kuda Sempana, yang hanya seorang Pelayan Dalam dan yang kemudian menjadi seorang yang setiap kali datang membawa ayam aduan. Tetapi bagi Tohjaya, persoalannya semakin lama menjadi semakin jelas baginya. Tentu Kuda Sempana itu dengan sengaja telah dikirim oleh Anusapati kepadanya. Anusapati ingin mengetahui apa yang telah terjadi di arena.
“Agaknya kakanda Anusapati telah mencurigai aku selama ini.” berkata Tohjaya di dalam hati, “tetapi kenapa, ia masih bersedia hadir di arena hari ini? Jika orang itu menyampaikan semua peristiwa yang ada di arena ini, tentu kakanda Anusapati akan berkeberatan memenuhi undanganku.”
Dalam kebimbangan, Tohjaya yang tidak dapat menahan perasaannya itu tiba-tiba berteriak, “He Kuda Sempana. Ternyata bahwa kau sengaja dikirim oleh kakanda Anusapati kemari.”
“Ya.” Kuda Sempana tidak lagi berusaha untuk menyelubungi dirinya lagi. Sambil bertempur ia menjawab lebih lanjut, “hamba adalah utusan Kakanda Anusapati.”
“Jika demikian kau adalah seorang kepercayaan yang bodoh. Akhirnya Kakanda Anusapati terbunuh pula di arena ini.”
“Tidak.” Kuda Sempana masih sempat berbicara meskipun ia masih harus bertempur terus, “kakanda tuanku adalah orang yang paling baik di muka bumi. Hamba telah melaporkan semuanya yang hamba ketahui. Bahkan kecurigaan hamba terhadap tuanku Tohjaya. Sebenarnya tuanku Anusapati dapat menghubungkan semua laporan hamba dengan keris yang tuanku minta kepadanya. Kemudian undangan tuanku yang tentu sangat aneh ini. Tetapi tuanku Anusapati sengaja memerangi kecurigaa di dalam dirinya karena tuanku Anusapati menganggap bahwa tuanku Tohjaya adalah adiknya sendiri yang selama ini diberinya kesempatan untuk mengembangkan semua kesenangan, keinginan dan cita-citanya. Tetapi dengan demikian kepribadian tuanku Tohjayapun berkembang. Kepribadian seorang yang dengki dan tamak, sehingga akhirnya sampai hati membunuh saudara sendiri.”
“Ia bukan saudaraku. Kakanda Anusapati ternyata bukan saudaraku. Ia telah membunuh Ayahanda Ken Arok. Aku yakin. Dan aku telah membalaskan dendam Ayahanda Sri Rajasa.”
“Jika demikian maka tuanku harus tahu sebabnya, kenapa tuanku Anusapati sampai pada kesimpulan untuk membunuh tuanku Sri Rajasa jika itu benar.” Kuda Sempana berhenti sejenak, karena serangan Panglima itu hampir saja menyambar hidungnya. “Tunggu.” berkata Kuda Sempana kemudian, “beri kesempatan aku berbicara.”
“Beri kesempatan ia berbicara sebelum ia mati.” berkata Tohjaya kemudian.
Panglima itu terhenti sejenak. Tapi sebenarnya kesempatan itu amat menguntungkannya. Ia dapat menarik nafas sepuas-puasnya dan sedikit beristirahat, karena tenaganya sudah mulai susut.
“Cepat katakan, apa yang telah dilakukan kakanda Anusapati.”
“Bukan yang dilakukan oleh tuanku Anusapati, tetapi oleh tuanku Sri Rajasa. Tuanku harus mengetahuinya bahwa sebenarnya tuanku Anusapati bukan kakanda tuanku. Tetapi kakanda Anusapati adalah putera Akuwu Tunggul Ametung.”
“Aku sudah tahu, aku sudah tahu.” teriak Tohjaya.
“Dan apakah tuanku sudah tahu, kenapa tuanku Tunggul Ametung terbunuh.”
“Kebo Ijo membunuhnya.”
“Tidak. Kebo Ijo sekedar korban fitnah ayahanda tuanku Sri Rajasa. Yang membunuh ayahanda tuanku Anusapati adalah Ken Arok yang kemudian bergelah Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi.”
“Bohong.”
“Bertanyalah kepada ibunda tuanku Ken Umang. Tentu ayahanda pernah berceritera kepadanya, karena tuan puteri Ken Umang merupakan tumpuan perasaan tuanku Ken Arok setelah ia melupakan tuan puteri Ken Dedes. Dan sebaiknya tuanku mengetahui, bahwa kekuasaan atas Tumapel saat itu tidak ada pada tuanku Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa tetapi ada pada tuan puteri Ken Dedes, sehingga tuanku Anusapati lah yang berhak atas tahta dari Singasari yang merupakan kelanjutan dari Tumapel. Sepeninggal tuanku Anusapati, maka keturunannyalah yang berhak atas tahta, atau putera Sri Rajasa yang lahir dari tuan puteri Ken Dedes. Tidak dari tuan Putri Ken Umang yang diketemukan oleh tuanku Sri Rajasa di dalam perburuan dengan cara yang paling hina, sehingga lahirlah tuanku Tohjaya.”
Wajah Tohjaya menjadi merah padam. Rasa-rasanya telinganya telah tersentuh bara api tempurung. Karena itu dengan gigi gemeretak ia berteriak. “Bunuh orang gila itu.”
Tetapi Kuda Sempana masih sempat tertawa. Katanya, “seharusnya aku sudah mati sejak lama. Tetapi Mahisa Agni yang mempunyai hak untuk membunuhku karena seribu alasan tidak melakukannya. Karenanya itu, jika aku sekarang mati maka aku masih harus mengucapkan terima kasih kepada Mahisa Agni itu.”
Suara Kuda Sempana terputus. Panglima itu menyerangnya dengan garang. Namun Kuda Sempana masih sempat mengelak. Perkelahian itupun kini terulang kembali dengan dahsyatnya. Namun karena Panglima itu tidak akan dapat berhasil mengalahkan Kuda Sempana, maka Tohjaya pun berteriak.
“Bunuh orang itu. Aku memerintahkan kepada semua prajurit yang ada di sini.”
“He.” sahut Kuda Sempana, “tuanku akan menyiksa Panglima tuanku untuk selamanya? Perasaannya tentu akan terhina karena ia sudah berjanji atas nama kejantanannya, bahwa ia akan melakukan perang tanding.”
“Persetan. Aku perintahkan kepada semua prajurit, Senapati, dan Panglima yang ada di sini.”
Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Sekilas ia melihat semua prajurit bersiaga dan bahkan beberapa orang telah maju mendekatinya. Sekali ia menarik nafas. Namun hatinya telah mapan. Seakan-akan ia melihat maut telah siap untuk menjemputnya. Dan ia tidak akan lari. Ia sudah siap untuk mati karena menurut perasaannya, hidupnya sudah cukup panjang. Seperti yang dikatakannya, seharusnya ia sudah lama mati. Tetapi ia masih tetap hidup sampai saat itu. Karena itu, maka mati bukan lagi sesuatu yang menakutkan baginya.
Tetapi Kuda Sempana tidak mau mati begitu saja. Ia ingin mati seperti seorang prajurit. Rasa-rasanya ia kini kembali menjadi seorang Pelayan Dalam yang ada di medan pertempuran. Karena itulah maka ketika ia melihat beberapa orang prajurit mengepungnya, ia justru tersenyum. Namun dalam pada itu, ia sempat menyilangkan tangan di dadanya. Kuda Sempana masih sempat membangunkan puncak kekuatannya pada aji yang diwarisinya dari Empu Sada. Kala Bama.
Beberapa orang terkejut melihat sikapnya. Tetapi mereka tidak sempat berbuat banyak. Panglima Pelayan Dalam yang sedang berusaha menangkapnyapun terkejut. Ia mencoba untuk memusatkan segenap kekuatannya untuk melawan kekuatan yang tidak dapat diduganya lebih dahulu itu. Tetapi ia telah terlambat. Sejenak kemudian Kuda Sempana yang sudah mapan untuk mati itu telah meloncat dan mengayunkan tangannya kearah Panglima Pelayan Dalam itu.
Yang terjadi adalah sebuah benturan yang dahsyat. Tetapi tidak seimbang. Kuda Sempana sudah ada di puncak kekuatannya, sedang Panglima itu sama sekali belum berhasil mengimbanginya, karena bekalnya memang belum cukup untuk menyogsong aji Kala Bama yang dahsyat itu.
Orang-orang yang menyaksikan benturan itu memalingkan wajahnya. Mereka melihat tubuh Panglima Pelayan Dalam itu terhempas di tanah, dan tidak sempat lagi untuk menggeliat. Agaknya tulang belulangnya telah hancur menjadi debu di dalam tubuhnya. Yang tampak hanyalah darah meleleh dari mulutnya pada saat ia sudah tidak bernafas lagi.
Sejenak Tohjaya terpesona. Namun kemuidan ia berteriak sekali lagi. “Bunuh orang gila ini.”
Betapapun setiap hati dicengkam oleh kengerian, namun para prajurit itu pun mengepungnya semakin rapat. Kini yang ada di antara mereka adalah Panglima Pasukan Pengawal yang memiliki bekal lebih lengkap dari Panglima Pelayan Dalam untuk melawan Kuda Sempana. Namun demikian ia masih memerlukan para Senapati pilihan untuk membantunya.
Kuda Sempana tiba-tiba menjadi liar. Matanya menjadi merah, dan rasa-rasanya ia telah kehilangan sifatnya yang lembut. Ia benar-benar telah menjadi seorang prajurit di medan perang brubuh. Karena itulah, maka iapun segera mengamuk dalam puncak ilmu Kala Bama. Setiap sentuhan tangannya telah melemparkan lawannya dan membantingnya jatuh ke tanah tanpa dapat bangun lagi untuk selama-lamanya.
Dalam pada itu, selagi Kuda Sempana harus berjuang menghadapi sepasukan prajurit, maka pengawal-pengawal Anusapati yang setiapun mulai bangkit kembali. Tiba-tiba saja mereka pun mengayun-ayunkan senjatanya, menyerang siapa saja yang dekat padanya. Karena itu, maka arena itu pun menjadi semakin kisruh. Korban berjatuhan satu-satu dengan cepatnya. Tangan Kuda Sempana yang terayun-ayun dalam puncak ilmunya itu bagaikan tangan dewa maut yang memungut nyawa orang-orang yang dikehendakinya. Sedang senjata keempat pengawal Anusapati itupun terayun-ayun tanpa kekang.
Namun jumlah lawan mereka jauh lebih banyak. Karena para prajurit dan Senapati tidak berhasil mendekati Kuda Sempana, maka merekapun mulai menghujani Kuda Sempana dengan senjata. Mula-mula Kuda Sempana berhasil menangkis senjata-senjata itu dan melontarkan kembali ke arah prajurit yang mengepungnya dan menyambar beberapa orang korban di antara mereka. Tetapi lambat laun, senjata yang menyerangnya bagaikan hujan yang semakin lebat. Karena itu, satu-satu senjata-senjata itu mulai menyentuh tubuhnya.
Agnibaya yang melihat semuanya yang terjadi meronta-ronta sekuat tenaganya. Tetapi ia tidak banyak dapat berbuat. Tangannya bagaikan dicengkam oleh kekuatan raksasa, karena beberapa orang prajurit masih saja memeganginya. Sementara itu, Kuda Sempana semakin lama menjadi semakin garang. Ia sudah pasrah diri kepada maut yang siap merenggutnya. Namun justru karena itu, maka iapun menjadi semakin tenang meskipun senjata yang menyentuh tubuhnya menjadi semakin banyak. Lukanya menjadi bagaikan arang kranjang. Keringat yang bercampur warna darah telah membasahi seluruh tubuhnya.
Namun satu demi satu korban di pihak lawannya pun berjatuhan. Sisa-sisa kekuatan aji pamungkasnya masih berhasil merenggut beberapa orang korban sebelum kemudian cucuran darahnya yang tidak terbendung membuatnya semakin tidak berdaya. Akhirnya, Kuda Sempana menjadi kehilangan segenap kekuatannya. Pukulannya yang terakhir dengan kekuatan puncaknya masih menyentuh Panglima Pasukan Pengawal.
Tetapi kekuatan puncaknya itu sudah susut, sehingga akibatnya pun tidak terlampau parah bagi lawannya, meskipun Panglima itupun terdorong beberapa langkah surut dan hampir tidak berhasil mempertahankan keseimbangannya. Tapi dengan mengerahkan seluruh kemampuannya itu, Kuda Sempana telah melepaskan segenap sisa tenaga yang ada padanya.
Disaat terakhir Kuda Sempana masih melihat seorang dari keempat pengawai yang setia kepada Anusapati itu mengayunkan senjatanya, namun iapun segera jatuh menelungkup dengan luka tidak terhitung jumlahnya. Meskipun mereka adalah pengawal pilihan, tetapi mereka tidak mampu melawan prajurit yang jumlahnya berlipat ganda. Dorongan ujung tombak seorang Senapati telah mendorong Kuda Sempana yang lemah itu. Sejenak ia menggeliat. Namun kemudian iapun terlentang di tanah dengan lemahnya.
Akan tetapi Kuda Sempana masih sempat tersenyum melihat para prajurit yang sudah mengerumuninya dengan senjata telanjang. Bahkan ia masih dapat berkata, “Nah, bukankah kau lihat, bahwa seorang Pelayan Dalam pada masa Akuwu Tunggul Ametung jauh lebih baik dari Panglima di masa kini?”
Tidak seorang pun yang menjawab. Beberapa orang menjadi termangu-mangu. Namun mereka kemudian melihat Kuda Sempana memejamkan matanya. Seperti Sumekar, adik seperguruannya, Kuda Sempana merasa bahwa ia telah memberikan pengorbanan dengan nyawanya bagi keturunan Ken Dedes yang dianggapnya memang berhak atas tahta Singasari. Tetapi lebih daripada itu, Kuda Sempana merasa berdosa, karena ialah sumber malapetaka yang sebenarnya bagi Ken Dedes. Jika ia tidak tergila-gila kepada gadis itu dan mengambilnya dari Panawijen, sebagai ternyata berakibat kematian Wiraprana, maka Ken Dedes tidak akan mengalami kepahitan hidup yang seolah-olah tidak kunjung berakhir.
Karena itu, kematiannya seakan-akan merupakan sebagian tebusan bagi dosanya itu. Meskipun demikian, di saat terakhir itu Kuda Sempana tidak dapat lagi menghindari penyesalan yang mendalam. Bahwa semuanya itu harus terjadi. Namun demikian, meskipun terlambat, rasa-rasanya ia telah mengurangi dosa yang pernah dibuatnya atas Ken Dedes dan Mahisa Agni. Karena itulah, maka seakan-akan di dalam saat terakhir dari hidupnya itu, ia masih sempat tersenyum.
Kematian Kuda Sempana di arena itu, benar-benar telah menggemparkan. Berita tentang kehadirannya segera tersebar sampai keujung kota. Kuda Sempana, seorang Pelayan Dalam pada masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung, telah terbunuh di halaman istana bersama dengan tuanku Anusapati. Namun pada saat berita itu tersebar, prajurit yang berpihak kepada Tohjaya benar-benar telah berhasil menguasai seluruh kota Singasari dan sekitarnya.
Maka berlakulah satu lagi kutuk Empu Purwa dari Panawijen atas orang-orang yang melarikan anaknya. Bahwa mereka akan mati ditikam dengan keris. Pada Kuda Sempana bukan saja luka oleh keris yang menyobek dadanya, tetapi lukanya yang arang kranjang itu adalah bekas luka oleh segala jenis senjata.
Rasa-rasanya Agnibaya akan pingsan melihat peristiwa itu. Tetapi ia masih berhasil untuk tetap mempertahankan kesadarannya. Meskipun ia masih sangat muda, namun ia berhasil menghubungkan peristiwa yang baru saja terjadi dengan prajurit-prajurit yang banyak berkeliaran di halaman istana. Bahkan ketika ia akan pergi ke arena sabung ayam ini pun, dua orang prjurit telah mengawalnya.
Berita kematian Anusapati itu benar-benar telah menggemparkan Singasari. Terlebih-lebih lagi seluruh isi istana. Para emban, pemimpin pemerintahan yang tidak ikut serta di dalam perencanaan yang ternyata cukup matang. Terapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Istana Singasari bagaikan di pihak Tohjaya. Terutama para Pelayan Dalam dan Para Pengawal.
Ketika Ken Dedes mendengar berita itu, ia tidak dapat menahan kejutan yang seakan-akan menghantam dadanya. Sesaat ia memegangi dadanya, namun iapun kemudian jatuh pingsan di pembaringannya. Para emban dan hamba-hambanya menjadi bingung. Mereka berlarikan kian kemari. Orang-orang yang agak mengerti tentang obat-obatan pun segera berusaha membangunkan Ken Dedes. Minyak kelapa, kunir dan jahe. Beberapa jenis akar dan dedaunan. Yang lain memijit-mijit kakinya dan di bawah telinganya sebelah menyebelah.
Namun dalam kekisruhan itu, seorang emban yang sudah menjadi semakin tua menangis dengan nada yang sangat pedih. Ia adalah pemomong Anusapati yang kemudian berada di bangsal Ken Dedes. Anusapati baginya tidak kurang dari anaknya sendiri. Ia sudah berkhianat kepada Ken Umang, dan mengasuh Anusapati sebaik-baiknya sejak kanak-kanak. Ia tidak mampu memaksa dirinya untuk membentuk anak itu menjadi seorang yang dungu dan bebal. Bahkan ia tidak dapat berkhianat meskipun ia tahu bahwa Anusapati mendapat banyak pengaruh dan ilmu dari pamannya Mahisa Agni, meskipun emban itu pernah mendengar siapakah sebenarnya Mahisa Agni itu dari Jun Rumanti, ibu Mahisa Agni yang menjadi emban pemomong Ken Dedes.
Kini Anusapati itu terbunuh. Belum cukup lama ia duduk di atas tahta. Namun agaknya ia harus menerima pembalasan dendam dari adiknya, Tohjaya. Yang Sebenarnya telah diketahuinya, bahwa antara Anusapati dan Tohjaya itu tidak ada sangkut pautnya kekeluargaan sama sekali.
“Itulah bedanya tuanku Anusapati dengan tuanku Sri Rajasa.” berkata emban itu di dalam hatinya seperti banyak orang yang berkata demikian pula kepada diri sendiri. “Anusapati tidak dapat melupakan peristiwa yang menyangkut namanya pada kematian Sri Rajasa. Tetapi Sri Rajasa dapat berbuat seakan-akan benar-benar tidak bersalah pada saat kematian Tunggul Ametung.”
Tetapi bagaimanapun juga Anusapati sudah tidak ada lagi. Ia terbunuh bersama keempat pengawalnya yang paling setia dan Kuda Sempana.
Dalam pada itu ketika Ken Dedes mulai menyadari keadaannya, maka iapun telah terbenam di dalam air matanya yang mengalir hampir tidak ada hentinya sepanjang hari. Kematian anaknya itu benar-benar merupakan suatu pukulan yang dahsyat bagi hidupnya. Ia sudah banyak mengalami penderitaan dan menahan perasaan. Tetapi kali ini, duka citanya hampir tidak tertanggungkan lagi sehingga, di dalam sisa hidupnya, rasa-rasanya Ken Dedes sudah tidak lagi memiliki niat dan kemauan lagi. Ia seolah-olah telah mati di dalam hidupnya yang pahit.
Demikianlah, perubahan telah terjadi dengan cepatnya di istana Singasari yang kemudian menjalar ke seluruh kota. Para utusan dan penghubung, hilir mudik di seluruh kota dan daerah di sekitarnya. Kuda-kuda yang tegar berlari-larian membawa berita dan perintah-perintah bagi para Senapati yang telah berada di bawah pengaruh Tohjaya.
Pada saat seorang Senapati melaporkan kematian Anusapati kepada Ken Umang, maka ibunda Tohjaya itu tidak dapat menahan gejolak perasaannya. Tiba-tiba suara tertawanya terlontar lepas tanpa bisa dikendalikan lagi, sehingga beberapa orang hambanya menjadi heran. Suara tertawa itu bagaikan ringkik iblis betina yang mendapatkan korban sesajian beberapa sosok mayat yang baru.
“Aku akan menguasai seluruh Singasari.” katanya di sela-sela tertawanya, “dan anakku akan menjadi Maharaja sangat dihormati melampaui anak Ken Dedes, gadis Panawijen yang dungu itu. Ia menganggap bahwa dirinya masih saja seorang ratu sampai saat terakhir tubuhnya menjadi kurus kering dimakan penyakit. Kini ia harus tahu, bahwa akulah yang berkuasa. Bukan gadis Panawijen itu. Kakaknya tidak akan dapat lagi menyombongkan dirinya, menghinakan aku sejak aku masih seorang gadis yang sangat cantik. Ia harus segera dipanggil dari Kediri, bersimpuh dan mencium kakiku sebagai permintaan maaf atas kesombongannya. Tetapi ia tidak akan dapat lagi berbuat apa-apa terhadapku sekarang, karena aku adalah seorang yang paling berkuasa, ibunda Maharaja Singasari yang besar.”
Dan suara tertawa Ken Umang pun mengumandang di seluruh bangsal. Berkepanjangan bagaikan gelombang laut yang tidak hentinya melanda pantai. Susul menyusul, sehingga akhirnya perempuan itu menjadi kelelahan, kemudian terduduk dengan lemahnya di atas pembaringannya.
“Minum, ambilkan aku minum.” Ken Umang berteriak.
Seorang emban dengan bergegas bergeser surut untuk mengambil mangkuk minuman.
“Cepat, he, Cepat. Kini aku berkuasa melampaui permaisuri itu. Aku memiliki wewenang berbuat apa saja atas nama anakku yang akan menjadi Maharaja di Singasari.”
Emban itupun menjadi gemetar. Justru karena ia menjadi sangat tergesa-gesa, maka di luar bilik iapun tergelincir jatuh. Dengan tertatih-tatih ia cepat-cepat bangkit dan berlari-lari mengambil mangkuk minuman Ken Umang.
Pada hari itu juga Tohjaya benar-benar sudah duduk di Tahta Singasari. Ia mengadakan paseban agung yang pertama, kemudian mengangkat dirinya sendiri menjadi Maharaja di Singasari. Tidak seorang pun dapat melawan kehendaknya. Di luar paseban prajurit segelar sepapan berbaris lengkap dengan senjata telanjang. Demikian pula di setiap regol istana dan hilir mudik di jalan-jalan kota Singasari yang justru menjadi sangat sepi. Namun, Tohjaya tidak dapat memaksa setiap hati untuk menyetujui sikapnya meskipun untuk sementara mereka harus tetap diam.
Sementara itu seekor kuda yang berwarna putih bagaikan terbang di jalan-jalan padesan, mengambil jalan memintas dan bahkan menyusup hutan-hutan perdu menuju ke Kediri. Penunggangnya seorang yang menjelang usia lanjutnya dengan tangkas mengemudikan kudanya yang lari bagaikan dikejar hantu.
“Aku harus datang mendahului setiap utusan dari Singasari.” berkata orang itu.
Dengan demikian, maka orang itu seakan-akan tidak beristirahat sama sekali selain memberi kesempatan kudanya minum beberapa teguk dan sedikit rerumputan yang hijau yang tumbuh di tanggul-tanggul parit di pinggir jalan. Ketika malam menjadi semakin kelam, ia sampai di regol istana Penguasa yang mewakili Maharaja Singasari di Kediri, hatinya terasa bergetar semakin cepat. Meskipun regol itu nampak sepi, namun di dalamnya api yang setiap saat dapat menyala dan membakar seluruh Singasari.
“Aku harus menemukan kata-kata yang paling baik untuk menyampaikan berita ini.” berkata orang itu di dalam hatinya. Dengan ragu-ragu orang itu pun kemudian mendekati regol istana yang besar itu. Perlahan-lahan ia mengetuk pintunya yang tertutup.
Seorang kemudian menjengukkan kepalanya pada sebuah lubang di regol itu sambil bertanya, “Siapa?”
Orang itu termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia tidak mau membuang-buang waktu lagi. Katanya, “Aku Witantra. Aku ingin menghadap tuanku Mahisa Agni.”
“Dimalam hari begini?”
“Ya. Ada persoalan yang penting sekali.”
“Tunda sampai besok. Tuanku Mahisa Agni tentu sedang tidur nyenyak.”
“Maaf. Ada persoalan yang penting sekali meskipun persoalan keluarga. Aku datang dari Panawijen.”
“Tunda sampai besok.” terdengar suara yang lain lagi.
“Jika tertunda sampai besok, maka aku akan dimarahinya. Bahkan mungkin kepalaku akan dapat dipenggalnya. Persoalan keluarga ini sudah diserahkan kepadaku. Jika persoalan yang penting ini terjadi, kapanpun, siang atau malam, aku harus menghadap dan memberitahukan kepadanya. Jika tidak, aku akan mati sia-sia. Meskipun umurku sudah mendekati saat kelam, tetapi aku tidak ingin mati dicekiknya.”
Para penjaga itu berpikir sejenak, lalu, “Siapa namamu?”
“Witantra. Jika kalian menyampaikan nama itu kepada tuanku Mahisa Agni, maka aku tentu akan diijinkannya menghadap. Justru karena pesan tuanku Mahisa Agni sendiri.”
Sejenak Witantra menunggu. Ketika ia mendengar regol itu berderit dan terbuka, hatinya menjadi sedikit lega. Seorang yang bertubuh tinggi kekar, yang agaknya menjadi pemimpin penjaga yang bertugas malam itupun mendekatinya dan berkata, “Apakah kau salah seorang anggauta keluarganya.”
“Ya. Aku adalah kakak sepupunya. Aku masih tetap tinggal di padepokan Panawijen.”
“Masuklah. Tunggulah di regol sebentar. Biarlah para pelayan menyampaikannya. Tetapi jika kau berbohong, dan tuanku Mahisa Agni menjadi marah, kau pun akan mengalami perlakuan yang buruk sekali dari kami.”
“Baiklah. Aku bersedia menanggung semua akibat.”
Witantra itupun kemudian dibawanya masuk dan dipersilahkan menunggu di regol itu setelah mengikat kudanya pada sebatang pohon perdu di sebelah regol itu. Tidak banyak yang dibicarakan dengan para penjaga. Sedang seorang penjaga yang ditugaskan masuk kebagian belakang istana itu dan berbicara dengan seorang pelayan.
“Biarlah seorang emban menyampaikan.”
“Hus.” desis pelayan itu, “tidak ada seorang emban pun yang boleh masuk di malam hari.”
“O.” prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Jadi.”
“Kenapa tidak menunggu sampai besok?”
“Orang itu memaksa. Kami menjadi kasihan melihatnya, jika tidak disampaikannya berita yang dikatakannya sangat penting itu, ia akan dapat dicekik oleh tuanku Mahisa Agni. Karena, baiklah kita mencoba.”
Pelayan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah. Biarlah berita ini disampaikan. Jika tidak kebetulan ada hantu lewat, tuanku Mahisa Agni biasanya tidak marah.”
“Ya. Karena kami mengetahui bahwa bukan kebiasaannya cepat menjadi marah, maka kami berani menerima keluarganya itu di malam hari.”
Demikianlah, seorang pelayan telah membangunkan Mahisa Agni meskipun dengan ragu-ragu. Ketika Mahisa Agni mendengar pintu biliknya diketuk, ia terkejut bukan kepalang. Tiba-tiba saja ia sudah meloncat dan berdiri tegak di sisi pembaringannya. Namun sesaat kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam. Bahkan kemudian diusapnya wajahnya yang berkeringat.
“Aku mimpi buruk.” katanya di dalam hati. “Tetapi ketukan pintu itu benar-benar aku dengar.” Karena iu, maka iapun bertanya, “Siapa di luar?”
“Hamba tuanku.”
Karena itu, maka iapun bertanya, “Siapa di luar?”
“Seseorang telah memaksa menghadap tuanku malam ini. Menurut katanya, ada berita yang sangat penting bagi tuanku Mahisa Agni.”
Mahisa Agni termangu-mangu sejenak. Ia mencoba untuk mengingat-ingat, apakah kira-kira yang dapat terjadi dalam waktu yang dekat.
“Tuanku.” berkata pelayan itu kemudian, “orang itu mengaku datang dari padukuhan. Tuanku telah berpesan kepadanya untuk menyampaikan berita yang penting ini pada saatnya. Jika tidak, orang itu akan mendapat hukuman.”
“Apakah harus malam ini?” bertanya Mahisa Agni.
“Ketika para penjaga bertanya kepadanya, maka jika ia terlambat sampai esok, ia akan dapat digantung.”
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Ia tidak pernah berpesan kepada siapa pun tentang sesuatu yang sangat penting di padukuhannya. Namun demikian akhirnya Mahisa Agni bertanya, “Apakah kau tahu nama orang itu?”
“Menurut pengakuannya, namanya Witantra.”
“Witantra.” Mahisa Agni mengulang. Namun dalam pada itu jantungnya serasa berdentangan semakin cepat. Jika benar orang itu Witantra, apakah ia akan menyebut namanya. Tetapi dengan demikian, justru ia menjadi sangat tertarik untuk menerima orang itu. Karena itu maka katanya, “Baiklah. Bawalah ia ke ruang dalam. Aku akan menerimanya di sana.”
“Hamba tuanku.”
Mahisa Agni mendengar langkah pelayan itu menjauh. Sementara itu iapun kemudian berkemas dan pergi ke ruang dalam menunggu tamunya yang menyebut dirinya bernama Witantra. Ketika seorang prajurit mengantarkan tamunya itu masuk, maka sebenarnyalah orang itu Witantra.
“Witantra.” Mahisa Agni menjadi berdebar-debar.
Witantra tersenyum. Ia tidak mau melontarkan kesan yang dengan tiba-tiba telah membuat Mahisa Agni menjadi tegang. Namun demikian kehadirannya di malam hari itu telah menumbuhkan persoalan di dalam hati Mahisa Agni. “Maafkan aku Agni.” berkata Witantra sepeninggal prajurit yang mengantarkannya, “aku memaksa untuk menghadapmu di malam hari.”
“Aku tidak berkeberatan Witantra. Tetapi kehadiranmu ini membuat aku menjadi berdebar-debar. Tentu ada persoalan yang sangat penting yang ingin kau sampaikan kepadaku. Jika tidak maka kau tidak akan datang di malam hari begini. Seandainya demikian, bukanlah kau telah mempunyai pintu tersendiri di belakang?”
Witantra masih saja tersenyum. Katanya, “Kali ini aku datang dengan kepentingan khusus. Lagipula aku belum memberitahukan bahwa aku akan datang dengan melalui jalan yang biasa aku lalui setelah agak lama tidak aku lakukan.”
“Aku menjadi berdebar-debar. Sebaiknya kau segera menyebut keperluanmu itu.”
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Sesaat ia memandang berkeliling, seakan-akan ingin meyakinkan bahwa tidak ada orang lain di dalam bilik itu.
“Berkatalah Witantra. Tidak ada orang lain yang dapat mendengar pembicaraan kita dari luar ruangan ini.” berkata Mahisa Agni.
Witantra memandang Mahisa Agni sejenak. Kini wajahnya mulai menjadi berkerut merut dan bersungguh-sungguh. “Agni.” berkata Witantra dengan nada yang dalam dan datar. “Memang ada sesuatu yang sangat penting yang akan aku sampaikan kepadamu. Aku kira lebih baik bagimu mendengar dari mulutku daripada orang lain.”
“Kau membuat aku gelisah sekali.”
“Baiklah.” Witantra termangu-mangu sejenak, lalu, “sebuah berita sedih dari Singasari.”
“He.” Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
“Ternyata kita telah lengah. Tuanku Anusapati pun telah lengah.”
“Maksudmu? Bukankah kolam itu berhasil melindunginya di dalam tidurnya yang nyenyak di malam hari, sedang di siang hari tuanku Anusapati akan dapat melindungi dirinya sendiri.”
“Kau benar Agni. Tetapi jika lawan kita adalah orang-orang jantan yang berani beradu dada.” sahut Witantra.
“Katakan. Katakanlah dahulu apa yang terjadi.”
“Tuanku Anusapati telah terbunuh.”
“He?” nafas Mahisa Agni bagaikan berhenti mengalir dan jantungnya serasa berhenti berdenyut. Sejenak ia diam mematung. Ditatapnya Witantra seakan ingin melihat langsung ke dalam lubuk hatinya. “Apakah kau bergurau Witantra?” bertanya Manis Agni kemudian.
“Kali ini tidak Agni.”
Mahisa Agni tiba-tiba menjadi gemetar. Dengan suara yang dalam ia bergumam, “Katakanlah yang telah terjadi.”
Witantrapun kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi, yang didengarnya dari orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu di arena sabung ayam. Anusapati terbunuh bersama pengawal-pengawalnya yang setia dan Kuda Sempana.
Mahisa Agni menekan dadanya dengan telapak tangannya. Seakan-akan menahan ledakan jantungnya, yang hampir tidak dapat ditahankannya lagi. “Jadi hal itu telah terjadi?” ia bergumam.
“Ya. Dengan licik sekali.”
“Kuda Sempana dan pengawal-pengawal yang malang. Mereka telah mengorbankan nyawanya. Tetapi keadaan sama sekali tidak akan dapat ditolong lagi.”
Mahisa Agni menundukkan kepalanya dalam-dalam. Terasa tenggorokannya menjadi panas. Kecemasannya tentang keselamatan Anusapati ternyata kini telah terjadi betapapun sudah diusahakan untuk melindunginya. Dengan pengawal-pengawal yang setia, dengan kolam di seputar bangsalnya dan dengan usaha-usaha yang lain. Namun agaknya Anusapati sendiri selalu dikejar oleh perasaan bersalah karena kematian Sri Rajasa, sehingga karena itu justru tidak dapat berbuat sesuatu untuk menolak permintaan Tohjaya. Ia sudah memberikan keris Empu Gandring kepadanya. Kemudian memenuhi undangannya di arena sabung ayam yang kisruh.
“Mahisa Agni.” berkata Witantra kemudian, “kau adalah orang yang paling dekat dengan Anusapati sejak ia masih anak-anak. Setiap orang kini mengetahui bahwa kau adalah gurunya. Karena itu di dalam pergolakan ini kau harus dapat menempatkan dirimu.”
“Aku menyadari Witantra.” sahut Mahisa Agni, “aku harus memilih tindakan yang paling tepat. Sebenarnyalah bahwa aku tidak rela membiarkan Anusapati mati terbunuh dengan cara yang sangat licik itu.”
“Apakah yang akan kau lakukan itu.”
“Kabut yang gelap akan menyelubungi Singasari untuk beberapa saat lamanya.” berkata Mahisa Agni kemudian, “yang terjadi itu tentu akan terasa juga akibatnya bagi Kediri. Bukan saja prajurit-prajurit Singasari yang ada di Kediri, tetapi bagi keluarga bangsawan-bangsawan Kediri.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan ragu-ragu ia pun bertanya, “Apakah kau akan tetap berada di Kediri dan berbuat sesuatu?”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Witantra sejenak, lalu, “Aku harus memilih Witantra. Apakah aku akan memanjakan perasaanku yang bergejolak ini, atau aku harus mengingat kepentingan Singasari dan hari depannya. Jika aku memanjakan perasaanku, dan bukannya sekedar sikap yang sombong dan tidak berperhitungan apabila aku aka dapat membuat kekuatan tandingan bagi Tohjaya. Aku dapat membangunkan Kediri yang sedang tidur ini. Aku masih mempunyai modal. Prajurit Singasari yang setia, yang kini berada di Kediri dan prajurit-prajurit Kediri yang sampai saat ini masih tetap ada meskipun kekuatannya sangat kecil. Tetapi aku masih sanggup membangun suatu pasukan yang kuat, yang dapat membendung kekuatan Tohjaya yang tentu tidak akan dalam waktu yang sangat singkat, menguasai seluruh pasukan. Jika ada pihak yang berdiri berseberangan dengan kekuasaannya, maka aku kira masih banyak prajurit yang bersedia membantu.” Mahisa Agni berhenti sejenak, lalu, “namun dengan demikiai Singasari akan terpecah belah. Negeri yang sebenarnya sudah mulai berkembang ini akan berserakan kembali.”
“Jadi apakah yang akan kau lakukan? Jika sekiranya Tohjaya memanggilmu menghadap, apakah kau akan datang?”
“Aku akan dihadapkan ke tiang gantungan.” sahut Mahisa Agni, “aku adalah pendukung yang paling baik bagi Anusapati bukan saja karena aku mempunyai sikap dan pandangan yang sama bagi Singasari, tetapi aku adalah pamannya aku adalah gurunya dan akulah yang selama ini berdiri di belakangnya di dalam perang yang berlangsung dengan diam-diam di istana antara Tohjaya dan Anusapati.”
Witantra mengerutkan keningnya. Dilihatnya wajah Mahisa Agni menjadi tegang. Sesuatu telah membayang di rongga matanya meskipun tidak dikatakannya kepada Witantra. Ken Umang bagi Mahisa Agni adalah sesosok hantu betina yang sangat mengerikan. Justru lebih mengerikan dari Tohjaya sendiri. Sejak mudanya Ken Umang telah membuatnya gelisah. Kini Ken Umang memiliki kekuasaan yang tidak terbatas. Bahkan mungkin melampaui kekuasaan Tohjaya sendiri yang tentu akan segera mengangkat dirinya menjadi Maharaja di Singasari. Ken Umang yang mendendamnya itu tentu akan mempergunakan kekuasaannya untuk memuaskan dirinya sendiri.
“Bahkan mungkin sesuatu yang sangat mengerikan dapat terjadi atasku.” tiba-tiba saja ia bergumam.
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun Mahisa Agni tidak mengatakan, namun rasa-rasanya getaran di dalam dadanya terasa juga pada Witantra, karena Witantra mengetahui serba sedikit sikap Ken Umang itu terhadap Mahisa Agni sejak ia masih seorang gadis.
“Witantra.” berkata Mahisa Agni kemudian, “keadaan ini sangat tidak menguntungkan bagi Singasari. Tetapi aku kira, aku akan dapat mengendalikan diri agar aku tidak ikut merobek-robek kesatuan Singasari yang masih ada.”
“Jadi kau akan menjadi penonton saja setelah ini?”
“Bukan maksudku Witantra.” jawab Mahisa Agni, “aku masih harus melihat apa yang dilakukan oleh Tohjaya. Jika yang dilakukan oleh Tohjaya akan menguntungkan Singasari, maka apa boleh buat. Aku hanya sebutir debu di atas tanah ini. Aku sama sekali tidak berarti dibandingkan dengan kepentingan Singasari yang besar. Karena itu jika Tohjaya kelak dapat memimpin Singasari dengan baik, biarlah, aku tidak berbuat sesuatu.”
“Lalu bagaimana dengan tuan puteri Ken Dedes dan putera-puteranya yang lain?”
“Sikap Tohjaya terhadap mereka termasuk penilaianku atasnya. Apakah ia seorang yang berjiwa besar atau berjiwa kerdil.”
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Sekilas terbayang betapa pahit penderitaan yang harus dialami oleh, Ken Dedes sepeninggal Anusapati justru karena Witantra mengenal sifat dan watak Ken Umang. Karena itu maka ia berdesis. “Apakah kau sampai hati membiarkan tuanku Ken Dedes di dalam kepedihan dan menanggungkannya sendiri?”
“Aku harus mempertimbangkan, Witantra.” berkata Mahisa Agni, “tetapi jika aku datang ke Singasari dan digantung di alun-alun, maka ia akan menjadi semakin menderita. Karena itu, biarlah aku tetap hidup. Aku akan menilai sikap dan perbuatan Tohjaya, terutama bagi Singasari. Jika ia berjalan di atas jalan yang sesat, adalah kuwajiban kita bersama untuk menyelamatkan Singasari. Tetapi jika ia berhasil mengendalikan pemerintahan seperti ayahandanya Sri Rajasa, biarlah aku menekan perasaan dalam-dalam, karena sebenarnyalah bahwa kepentingan Singasari jauh lebih besar dari dendam dan kebencian di dalam hatiku.”
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi semakin hormat kepada Mahisa Agni atas sikapnya. Sebenarnya ia dapat berbuat banyak untuk menentang kekuasaan Tohjaya. Bahkan jika Mahisa Agni menghendaki, ia dapat membangun Kediri yang besar, yang memang sudah didasari oleh perasaan dendam kepada Sri Rajasa di Singasari. Apalagi yang kini menjadi Maharaja di Singasari adalah anak Sri Rajasa dari isterinya yang kedua. Mahisa Agni adalah orang yang mumpuni. Ia mempunyai banyak kawan dan pengikut, baik di Kediri maupun di Singasari. Tetapi Mahisa Agni memandang kepentingan Singasari lebih besar daripada dendam yang melonjak di hatinya.
“Baiklah Mahisa Agni.” berkata Witantra, “aku tidak mau membakar hatimu yang tetap dingin menghadapi persoalan yang sebenarnya cukup mengguncangkan Singasari. Agaknya kau memang berjiwa besar, dan sejak mula-mula kau tampil di dalam pergaulan dari yang paling sempit sehingga yang paling luas seperti sekarang ini, kau tidak dikendalikan oleh pamrih pribadimu. Ketika aku belum mengenal sifatmu dengan baik, hampir saja aku kehilangan akal karena kau pernah mengalahkan Mahendra di dalam perang tanding memperebutkan Ken Dedes. Tetapi kau tidak berkelahi atas namamu sendiri, tetapi atas nama orang lain, Wiraprana. Dan sekarang sifatmu yang seperti itu aku lihat lagi. Betapa kau dilanda oleh kekecewaan dan dendam karena kematian kemenakanmu itu, namun kau masih dapat melihat dengan terang, bahwa kepentingan Singasari ada di atas segala kepentingan.”
“Tentu aku mempunyai pamrih pribadi Witantra. Tetapi sudahlah. Jangan memuji. Aku hanya sekedar tidak ingin melihat perang berkecamuk lagi di atas Singasari yang baru tumbuh kembali setelah terguncang karena terbunuhnya Sri Rajasa. Muda-mudahan kematian Anusapati merupakan bebanten yang justru membuat Singasari bertambah kuat.”
“Apakah kau benar-benar bermaksud demikian?”
“Kau menguji aku Witantra. Tetapi sudah barang tentu aku harus memilih salah satu di antara dua. Perasaanku atau nalarku. Aku dapat bersikap jujur terhadap perasaanku, bahwa sebenarnya aku memang mendendam. Aku tidak rela Anusapati terbunuh. Aku tidak rela melihat Tohjaya duduk di atas tahta. Apalagi aku merasa bahwa aku mempunyai kekuatan. Tetapi jika aku ingin jujur terhadap pertimbangan nalarku, maka aku harus menahan diri. Dan kau tentu mengerti, bahwa demikianlah isi dari hidup kita ini. Pertentangan yang tidak kunjung berakhir. Baik di dalam diri kita sendiri sebagai suatu dunia kecil maupun di dalam hidup kita di dalam dunia yang besar. Peperangan demi peperangan telah terjadi. Dan hampir setiap pihak mengatakan bahwa peperangan itu terpaksa dilakukan justru melindungi perikemanusiaan, sedang di dalam setiap peperangan maka perikemanusiaan itu telah dikorbankan.”
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Ia sendiri bagaikan terjun ke dalam pusaran air yang memutarnya tanpa arah, menurut tepi sebuah lingkaran tanpa ujung dan pangkal. Bahkan di luar sadarnya ia berdesis, “Sebenarnyalah demikian Agni. Kehidupan ini selalu dibayangi oleh ketidak pastian sikap dan perbuatan.”
“Dan aku telah menentukan sikap yang pasti di dalam ketidak pastian itu Witantra.”
Witantra memandang Mahisa Agni sejenak, lalu, “Baiklah. Kau tidak akan berbuat apa-apa. Tetapi apakah kau akan tetap tinggal di istana ini?”
“Aku akan menunggu utusan dari Singasari. Menurut perhitunganku, utusan itu akan segera datang. Mungkin besok, mungkin lusa.”
“Jika demikian, aku akan mencoba menyesuaikan diriku dengan sikapmu Mahisa Agni. Sebenarnya bagiku, hidup di padepokan terpencil, tidak akan banyak terpengaruh oleh pergantian pimpinan pemerintahan seperti ini. Tetapi karena hubungan di antara kita sajalah yang membuat aku ikut merasa tersentuh oleh peristiwa yang mengejutkan ini.”
“Sebaiknya kau tetap di sini untuk beberapa hari Witantra. Jika utusan itu datang, maka aku harus segera mengambil keputusan, apakah yang akan aku lakukan. Mungkin aku tidak dapat mengelak lagi untuk menghadap Tohjaya. Tetapi mungkin aku masih mempunyai pilihan lain atau justru hatiku yang nampaknya kini tetap dingin itu akan menyala dan membakar perasaanku.”
Witantra mengerutkan keningnya. Sebenarnyalah hidup Mahisa Agni pun tidak luput dari ketidak pastian itu, sehingga yang dikatakannya sudah pasti itu pun masih bukan suatu kepastian. Setelah merenung sejenak, maka Witantra pun berkata, “Baiklah Agni, aku akan tetap tinggal di sini untuk beberapa lama. Bahkan mungkin tidak lebih dari satu atau dua hari, karena menurut dugaanku, Singasari tentu akan segera mengirimkan utusan kemari. Apapun maksudnya.”
“Ya. Tentu, Dan aku berharap bahwa utusan itu tidak memaksa aku menjadi gila.”
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata apapun lagi. Demikianlah maka percakapan merekapun terhenti. Mahisa Agni mempersilahkan Witantra menempati salah satu bilik di dalam bangsalnya sebagai Witantra. Tidak lagi dengan diam-diam masuk lewat pintu butulan. Sedang seorang pelayan telah diperintahkannya untuk mengurusi kuda Witantra yang masih berada di sisi regol depan.
“He, akan kau bawa kemana kuda itu.” bertanya seorang prajurit penjaga regol.
“Ke gedogan.”
“Bagaimana dengan Witantra itu?”
“Ia akan bermalam di sini atas perintah tuanku Mahisa Agni.”
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Siapakah yang memberikan perintah membawa kuda itu ke kandang? Witantra atau tuanku Mahisa Agni.”
“Tuanku Mahisa Agni.”
Prajurit itu tidak bertanya lagi. Ternyata bahwa tamunya benar-benar keluarga Mahisa Agni. Apalagi ia mendapat kesempatan untuk bermalam di bangsal itu pula.
Dihari berikutnya, tidak ada seorang utusanpun yang datang dari Singasari. Namun berita kematian Anusapati sudah mulai terdengar di pinggir-pinggir kota. Pedagang yang hilir mudik antara Singasari dan Kediri membawa berita itu sebagai berita yang diragukan kebenarannya. Namun demikian Kediripun segera menjadi sibuk membicarakan.
“Dari siapa kau dengar?” bertanya seorang buyut di pinggir kota kepada seorang pedagang kain beludru dari seberang.
“Orang-orang di Singasari memperbincangkannya.”
“Kapan hal itu terjadi?”
“Kemarin pagi.”
“Bohong. Jika itu terjadi kemarin pagi, kau tentu belum mendengarnya, karena saat ini kau sudah ada di sini.”
“Setelah mendengar berita itu aku segera kembali. Bahkan aku berjalan terus di malam hari.”
“Meskipun kau berjalan semalam suntuk, sekarang kau belum akan tiba di sini.”
“Maksudku, aku tidak berjalan kaki. Aku berjalan terus di malam hari dengan naik seekor kuda yang tegar dan baik.”
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, “Tetapi apakahan benar tuanku Anusapati terbunuh?”
“Menurut pendengaranku. Tetapi sudah tentu aku tidak dapat mengatakan kepastiannya.”
Berita itu pun kemudian tersebar sampai ke segenap sudut Kediri. Orang-orang yang pergi kepasar memperbincangkannya sehingga seluruh isi pasar mendengarnya. Ketika mereka pulang maka merekapun menceriterakannya kepada tetangga-tetangga mereka, sehingga sepadukuhan mendengar pula karenanya.
Seorang prajurit yang mendengar cerita itu pun segera menceriterakannya di dalam lingkungannya, sehingga akhirnya seorang pelayan di istana Mahisa Agni pun mendengarnya pula. Mahisa Agni yang sudah mengetahui peristiwa itu melihat kegelisahan di kalangan para prajurit. Karena itu ia segera mengerti, bahwa berita kematian Anusapati telah sampai ke telinga mereka, lebih cepat dari utusan yang resmi memberitahukan hal itu kepadanya. Karena itu, maka dipanggillah pemimpin prajurit yang ada di regol halaman istananya.
“Apa yang kalian percakapkan dengan gelisah?” bertanya Mahisa Agni.
Pemimpin prajurit yang sedang bertugas di regol itu ragu-ragu sejenak. Namun katanya kemudian, “Sebuah berita lewat dendang pedagang di sepanjang jalan tuanku. Tetapi hamba sudah memerintahkan agar anak buah hamba menghentikan kabar yang menggelisahkan itu.”
“Berita apakah yang kalian dengar?”
Prajurit itu ragu-ragu sejenak, dan Mahisa Agnipun berkata selanjutnya, “Jangan ragu-ragu. Katakanlah bahwa kau telah mendengar berita penting dari Singasari.”
Prajurit itu termangu-mangu.
“Bukankah kau mendengar berita dari Singasari tentang tuanku Anusapati?”
“Tuanku sudah mendengarnya?”
“Seperti kau, aku mendengar desas-desus. Nah katakanlah apa yang kau dengar.”
Dengan ragu-ragu prajurit itu berkata, “Tuanku Anusapati terbunuh.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya, lalu, “Siapakah yang membunuhnya?”
Prajurit itu masih tetap ragu-ragu.
“Katakanlah. Aku tahu bahwa bukan kaulah yang membuat ceritera itu, tetapi desas-desus yang tersebar luas.”
“Menurut pendengaran hamba, rakyat Singasari lah yang telah membunuh tuanku Anusapati.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba menekan perasaannya yang justru mulai melonjak. Pada saat ia mendengar bahwa Anusapati terhunuh oleh Tohjaya dari Witantra, meskipun dengan susah payah, ia berhasil menguasai perasaannya. Namun kini rasa-rasanya perasaannya itu telah terungkat kembali. Justru karena ia mendengar ceritera yang tidak benar sama sekali. Tetapi Mahisa Agni masih tetap bersikap tenang. Dengan nada yang datar ia bertanya, “Bagaimanakah tuanku Anusapati itu terbunuh menurut pendengaranmu?”
“Rakyat yang bergolak telah menyerbu ke istana di saat tuanku Anusapati melihat sabung ayam di arena. Mereka tidak dapat dicegah oleh para prajurit dan pengawal.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. “Teruskan.” katanya.
Prajurit itu menjadi ragu-ragu. Bahkan ia bertanya, “Tetapi tuanku sudah mendengarnya. Apakah pendengaran hamba tidak sesuai?”
“Sebagian besar sesuai. Teruskan.”
“Setelah rakyat membunuh tuanku Anusapati, pengawal-pengawalnya yang setia dan seorang yang menyebut dirinya bernama Kuda Sempana, yang mencoba melindungi tuanku Anusapati dari kemarahan rakyat, maka rakyat itupun kemudian meneriakkan nama tuanku Tohjaya untuk menggantikan kedudukan tuanku Anusapati.”
“Begitu?” suara Mahisa Agni mulai menjadi tegang.
Sambil mengerutkan lehernya prajurit itu menjawab, “Sekedar menurut pendengaran hamba. Sama sekali bukan pendapat hamba.”
Mahisa Agni menyadari hal itu. Karena itu betapapun perasaannya bergetar, ia masih tetap bersikap tenang. “Apakah kau percaya?” tiba-tiba ia bertanya.
Prajurit itu termenung sejenak. Ia tidak mengerti arah pembicaraan Mahisa Agni. Bahkan ia tidak mengerti, dimanakah sebenarnya Mahisa Agni berdiri. “Tetapi tuanku Mahisa Agni adalah guru tuanku Anusapati sejak mudanya.” berkata prajurit itu di dalam hati, sehingga karena itu ia berkata, “Tidak tuanku. Sudah barang tentu hamba tidak percaya. Hamba tahu bahwa rakyat Singasari mencintai tuanku Anusapati sejak tuanku Anusapati belum naik ke atas tahta. Sejak tuanku Anusapati masih sering disebut sebagai Kesaria Putih.”
“Tetapi bagaimana hal itu dapat terjadi?” bertanya Mahisa Agni kemudian.
“Hamba tidak dapat membayangkan, apakah sebenarnya yang telah terjadi.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja ia memerintahkan prajurit itu memanggil Senapati tertinggi pasukan Singasari yang berada di Kediri. Ketika Senapati itu menghadap, maka dipanggilnya pula Witantra yang memang masih berada di dalam istananya untuk bersama-sama menemui Senapati itu.
“Kau adalah Senapati Singasari yang termasuk angkatan yang tua. Sejak tuanku Sri Rajasa masih seorang prajurit, kau sudah menjadi hamba di istana Tumapel, meskipun saat itu kau masih muda sekali.”
“Hamba tuanku.” jawab Senapati itu.
“Tetapi aku kira kau sudah dapat mengenal beberapa orang pemimpin prajurit Tumapel waktu itu.”
“Tentu tuanku. Hamba sudah mengenal beberapa orang pimpinan prajurit. Hamba kenal juga tuanku Sri Rajasa, yang waktu itu masih disebut Ken Arok.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Dan sekarang kita menjadi semakin tua. Tetapi apakah kau masih dapat mengenal seseorang yang waktu itu menjadi seorang Panglima di Tumapel.”
“Tentu tuanku. Jika aku bertemu dengan para Panglima itu. Tetapi tidak seorang pun dari mereka yang masih ada beritanya. Sebagian dari mereka telah meninggalkan istana dan menyepi ke tempat yang jauh.”
“Jika tiba-tiba mereka kembali?”
“Hamba akan mengenalnya.”
“Kau kenal Witantra?”
“Witantra.” orang itu mengingat-ingat, “O, tentu tuanku. Witantra adalah Panglima Pasukan Pengawal yang paling terkenal.”
“Kau tahu dimanakah ia sekarang tinggal?”
“Tidak tuanku.”
“Jika ia berada di sini?”
“Ah.” orang itu mengerutkan keningnya. Lalu dipandanginya Witantra yang tersenyum.
“Kenalilah tamuku kali ini.”
“Tuan. Tuankah Panglima itu?”
Witantra tertawa kecil. Jawabnya, “Ternyata kau tidak dapat mengenali aku lagi.”
“O, jadi tuankah yang bernama Witantra.” Senapati itu terdiam sejenak, lalu, “tentu, sekarang aku ingat. Meskipun tuan menjadi tua, aku masih tetap mengingat garis-garis wajah tuan. Tentu tidak dengan segera. Tetapi sekarang aku ingat benar, bahwa tuan adalah Panglima itu.”
Witantra masih saja tertawa. Lalu katanya, “Tetapi aku tidak ada artinya lagi sekarang. Aku memang sudah lama pergi menyepi.”
“Dan tuan muncul kembali di dalam keadaan yang buram ini”
“Apakah yang kau maksud?” bertanya Mahisa Agni.
“Hamba memang akan datang menghadap seandainya tuanku tidak memanggil hamba. Ada berita yang memanaskan telinga hamba datang dari Singasari.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Tetapi ia mengerti bahwa yang dimaksud oleh Senapati itu tentu berita tentang terbunuhnya Anusapati. Meskipun demikian ia masih juga bertanya, “Berita apakah yang kau maksudkan memanaskan telinga itu.”
“Apakah tuanku belum mendengarnya?”
“Mungkin sudah. Tetapi jika yang kau maksud lain, maka lebih baik kau katakan saja.”
“Tuan.” berkata Senapati itu, “meskipun berita ini bukan berita resmi, tetapi hamba dapat mempercayainya. Memang mungkin berita ini sudah jauh menyimpang dari keadaan yang sebenarnya, namun, bahwa aku melihat asap, tentu ada apinya.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tuan. Hamba mendengar berita bahwa rakyat Singasari yang marah telah membunuh tuanku Anusapati.” Senapati itu berhenti sejenak lalu, “tetapi tentu tidak begitu yang terjadi sebenarnya. Hamba tahu pasti perasaan rakyat Singasari terhadap tuanku Anusapati, sehingga karena itu tidak mungkin mereka melakukan perbuatan itu.”
“Aku juga mendengar. Dan Witantra pun mendengar.”
“Apakah benar seperti berita itu?”
“Bagaimana tanggapanmu sebenarnya.”
Senapati itu ragu-ragu sejenak. Dipandanginya Mahisa Agni dan Witantra berganti-ganti.
“Katakanlah tanggapanmu dengan jujur. Aku ingin mendengar pendapat seseorang yang tidak dipengaruhi oleh tekanan-tekanan dari atasannya. Aku berjanji, sependapat atau tidak dengan tanggapanmu, aku tidak akan berbuat apa-apa atasmu.”
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “tuan, sebenarnyalah hamba berpendapat, bahwa tentu bukan rakyat Singasari yang melakukan. Mungkin memang demikianlah yang kasat mata. Tetapi jiwa dari pembunuhan itu tentu dilakukan oleh tuanku Tohjaya. Jika benar-benar dugaan hamba, maka sebagian dari prajurit yang berada di Singasari agaknya telah berada di bawah pengaruhnya. Seandainya benar rakyat yang membunuhnya, tentu rakyat yang telah diupahnya pula untuk melakukan pembunuhan itu sekedar membuang bekas.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Dan iapun kemudian bertanya, “Apakah demikian tanggapan prajurit Singasari yang berada di Kediri.”
“Ya. Dan hamba yakin bahwa kami tetap setia kepada tuanku Anusapati, hambapun yakin bahwa jika tuanku menjatuhkan perintah, hamba akan bersedia menghimpun kekuatan yang ada di dalam maupun di luar kota Kediri. Bahkan di sekitar Singasari itu sendiri. Hamba berjanji bahwa hamba akan memasuki kota Singasari dan menjalankan semua perintah tuan.”
Mahisa Agni tidak segera menyahut. Dan karena Mahisa Agni masih tetap berdiam diri Senapati itu berkata seterusnya, “Kediri adalah kekutan yang sampai sekarang bagaikan tertidur karena tuan ada di sini. Tetapi jika kami membangunkannya, maka kekuatan yang akan kami dapatkan daripadanya akan mengejutkan sekali.”
“Terima kasih.” berkata Mahisa Agni, “apakah kau yakin bahwa kau akan dapat merebut Singasari.”
“Hamba yakin.”
“Dengan kekerasan.”
“Dengan kekerasan.”
“Perang?”
Senapati itu termenung sejenak. Ia pun mulai sadar dengan siapa ia berbicara. Dan mulailah Senapati itu melihat seperti yang selalu dilihatnya, sikap Mahisa Agni yang lemah. Sambil menarik nafas dalam. Senapati itu berkata, “Hamba mengerti apa yang akan tuanku katakan. Kita tidak dapat saling membunuh di antara kita sendiri.”
Mahisa Agni mengangguk. Katanya, “Perang akan membuat Singasari semakin lemah.”
“Tuan. Hamba kadang-kadang tidak mengerti. Kenapa perang harus terjadi. Tetapi hamba pun tidak mengerti, kenapa perang kadang-kadang tidak dapat dihindari. Bagi kami, para prajurit, lebih baik membunuh musuh di peperangan daripada kita harus menyerahkan nyawa kami. Dan hamba tahu, tuanku pun seorang prajurit, tetapi tuanku tidak berjiwa prajurit, meskipun tuanku berjiwa kesatria sejati.”
“Sudahlah. Jangan menilai aku lagi. Tetapi sebenarnyalah bahwa yang kau katakan itu telah terjadi. Dan seperti yang kau katakan, ceritera itu sudah menyimpang dari kenyataan yang sebenarnya. Yang terjadi adalah, bahwa tuanku Anusapati telah dibunuh oleh tuanku Tohjaya yang selalu dibayangi oleh dendam kepada kakaknya, karena Tohjaya menuduh Anusapati lah yang telah membunuh Sri Rajasa. Kemudian terbunuh pula ke empat pengawal khususnya yang setia dan seorang sahabatku bernama Kuda Sempana setelah Kuda Sempana berhasil membunuh seorang Panglima Pelayan Dalam.”
“Kuda Sempana?”
“Tentu kau mengenalnya. Ia juga seorang Pelayan Dalam selama pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi ia pernah meninggalkan tugasnya karena Akuwu mengambil Ken Dedes dari padanya.”
Senapati itu mencoba mengingat-ingat. Meskipun tidak jelas sekali namun lamat-lamat ia dapat mengingatnya. “Ya, Kuda Sempana. Dimanakah ia berdiri sebelum matinya?”
“Ia berdiri di pihak tuanku Anusapati.”
Senapati itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil memandang ke kejauhan ia berkata, “Sebenarnya masih banyak sekali orang yang akan berdiri di pihak tuanku Anusapati. Perbuatan tuanku Tohjaya adalah perbuatan yang sangat berbahaya. Ia tentu belum dapat meyakini bahwa ia akan dapat mempertahankan kedudukannya jika mereka yang setia kepada tuanku Anusapati mengangkat senjata.”
“Tetapi apakah kau dapat membayangkan, akibat yang dapat terjadi karena orang-orang yang setia kepada tuanku Anusapati akan bertahan. Peperangan besar-besaran akan memecah Singasari.” Mahisa Agni berhenti sejenak, lalu, “orang yang paling sedih atas kematian Anusapati selain ibunya adalah aku, pamannya. Tetapi aku tidak akan dapat menangis untuk kesekian kalinya melihat Singasari menyobek-nyobek dirinya sendiri.”
“Jadi maksud tuanku?”
“Biarlah yang sudah terjadi. Tetapi kita tidak berarti sama sekali tidak menghiraukan kelanjutan dari peristiwa ini. Jika Tohjaya berjalan di atas jalan yang lurus, marilah kita melupakan dendam di dalam hati, karena Singasari lebih berarti bagi kita daripada kepentingan yang manapun juga.”
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu, “Aku mengerti tuanku. Tetapi bagaimanakah kira-kira nasib kita sendiri? Nasib kita masing-masing. Seandainya tuanku Tohjaya memutuskan untuk membantai orang-orang yang dianggapnya setia kepada tuanku Anusapati, apakah kita akan menyerahkan leher kita?”
“Kita sudah bertekad untuk melihat jalan yang akan dilalui oleh Tohjaya. Jika ia memilih jalan yang menyimpang, maka kita akan berdiri di atas jalan yang lurus.”
Tetapi wajah Senapati itu masih tetap muram. “Mungkin tuanku. Tetapi mungkin pula kita melihat setelah terlambat. Tentu tuanku Tohjaya tidak akan melakukannya dengan sekaligus. Tetapi perlahan-lahan. Hari ini hamba, besok seorang Senapati yang lain, dan sepekan lagi orang lain lagi, sehingga akhirnya kita akan punah tanpa kita sadari.”
Mahisa Agni memandang Senapati itu dengan saksama, lalu, “Jangan terlampau berprasangka. Marilah kita melihatnya untuk beberapa saat, sehingga cukup waktu bagi kita untuk menilai.”
“Sebelum leher ini dijerat di tiang gantungan.”
Mahisa Agni mengerti perasaan Senapati itu. Ia adalah orang setia kepada Anusapati, tetapi juga mencemaskan nasib dirinya sendiri. Namun demikian Mahisa Agni berkata, “Baiklah kita tidak berbuat setelah terlambat. Aku akan melihat semua peristiwa yang akan terjadi di Singasari. Jika kau masih percaya kepadaku, aku akan sangat berterima kasih.”
Senapati itu terdiam sejenak. Namun kemudian ia berdesis, “Hamba percaya kepada tuanku.”
“Terima kasih. Aku berharap, mudah-mudahan Singasari terhindar dari malapetaka karena kesalahan Tohjaya. Mungkin aku adalah orang yang berhati lemah. Tetapi aku kira, aku mencintai Singasari lebih dari segala-galanya.” Mahisa Agni terdiam sejenak, lalu, “namun demikian, kita tidak boleh menunjukkan kekecilan arti kita masing-masing.”
“Maksud tuanku?”
“Tentu akan ada sesuatu terjadi. Maksudku perubahan-perubahan yang mungkin cukup besar. Dan akupun tentu akan dipanggil ke Istana Singasari apapun alasannya.”
“Apakah tuanku akan pergi?”
“Mungkin aku akan digantung.”
“Sebaiknya tuanku tidak usah pergi.”
Mahisa Agni terdiam sejenak, tetapi kemudian, “Aku akan pergi jika aku dipanggil,”
“Bukankah itu berarti membunuh diri?”
“Tidak. Aku harus meyakini, bahwa aku tidak akan digantung. Atau aku harus berbuat sesuatu, supaya aku tidak digantung.”
“Apakah tuanku akan membawa pengawal segelar sepapan?”
“Hampir seperti itu, tetapi tidak usah mengikuti perjalanan ke Singasari.”
“Maksud tuanku.”
Suara Mahisa Agni merendah, “Siapkan seluruh kekuatan yang ada di Kediri. Pasukan Singasari yang ada di Kediri dan sekitarnya harus kau tarik ke dalam kota. Kemudian kau siapkan pula pasukan keamanan yang terdiri dari orang-orang Kediri sendiri, yang meskipun sedikit, tetapi dapat menambah kebesaran seluruh gelar perang yang akan kau siapkan di alun-alun.”
“Tetapi apakah maksudnya?”
“Tidak apa-apa. Kita akan menunjukkan saja kepada utusan dari Singasari, bahwa kita memiliki kekuatan.”
Senapati itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Hamba tuanku. Hamba mengerti. Hamba akan menyiapkan seluruh pasukan di bawah pimpinan hamba. Pasukan keamanan Kediri pun akan hamba siapkan pula. Sepasukan prajurit berkuda akan berada di dalam gelar itu pula.”
“Hanya beberapa orang.”
“Tidak tuanku. Di Kediri ada beberapa ratus kuda tegar yang dapat kita pinjam.”
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Kau benar-benar mengerti akan maksudku.”
“Hambapun dapat berlindung pula pada gelar itu.”
“Baiklah.” tiba-tiba Mahisa Agni berpaling kepada Witantra, “Sudah saatnya kau menyebut namamu di dalam gelar itu.”
Witantra terkejut, lalu, “Apakah ada gunanya?”
“Mudah-mudahan ada.” jawab Mahisa Agni.
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia merenungi kata-kata Mahisa Agni, bahwa sudah saatnya ia menyebut namanya. “Agni.” berkata Witantra kemudian, “jika hal ini kau anggap bermanfaat, aku serahkan saja kepada keputusanmu.”
“Baiklah. Kita tidak akan berbuat apa-apa. Tetapi kita pun tidak akan diam.”
Demikianlah Senapati itupun mohon diri. Namun ia langsung menghubungi Perwira-perwira di bawah pimpinannya. “Kita siapkan semua kekuatan Singasari yang ada di Kediri. Dan kita ikut sertakan pasukan keamanan Kediri seluruhnya. Setiap saat mereka akan kita panggil dan kita pasang di dalam gelar di alun-alun.”
Para perwira mengerutkan keningnya, karena mereka masih belum mengerti, apakah gunanya memasang gelar di alun-alun Kediri. Tetapi Senapati itu pun kemudian memberikan penjelasan dengan singkat. Diterangkannya keadaan yang terjadi di Singasari menurut pendengaran Witantra. Dan bagi Senapati itu, berita itulah yang paling dapat dipercayainya. Diterangkannya pula rencana kepergian Mahisa Agni apabila ia dipanggil menghadap oleh Tohjaya yang tentu sudah duduk di atas tahta kekuasaan Singasari.
“Ketika menunggu pernyataan resmi dari istana yang barangkali tidak seperti yang terjadi sebenarnya. Tetapi kita sudah menentukan sikap seperti yang dimaksudkan oleh tuanku Mahisa Agni.” Senapati itu mengakhiri.
Beberapa orang perwira menjadi kecewa sekali. Mereka memang mengenal Mahisa Agni sebagai seorang prajurit yang memiliki ilmu dahsyat, yang dapat mengimbangi kekuatan ilmu Sri Rajasa, tetapi hatinya selunak hati seorang Pendeta yang menjauhkan diri dari rasa dendam dan kebencian.
“Tetapi ia tidak akan dapat memimpin pemerintahan yang berisikan watak dan sifat yang beraneka ragam dari manusia-manusianya.” berkata seorang perwira kepada kawannya.
“Ia akan menekan dadanya, dan mengendapkan kesalahan setiap orang di dalam hatinya. Ia akan melihat kepada dirinya sendiri, kenapa orang lain telah melakukan kesalahan. Dan dicarinya sebab kesalahan orang lain itu di dalam dirinya.” sahut kawannya.
Namun perintah itu telah mereka dengar. Mereka tidak akan melakukan kekerasan dalam bentuk apapun, selain sekedar menampakkan diri di alun-alun Kediri.
“Kami bukannya prajurit-prajurit yang bersenjata telanjang. Tetapi kami adalah penari-penari yang harus mempertunjukkan tari perang dengan senjata di dalam sarungnya.” desis seorang perwira muda yang berjambang hampir sepenuh wajahnya.
Senapati itu mengerti, kenapa para perwira di bawah pimpinannya itu menjadi kecewa. Tetapi ia tidak dapat melanggar perintah Mahisa Agni. Yang dilakukan kemudian adalah berusaha untuk meyakinkan mereka agar mereka tidak berbuat di luar pengawasannya. Namun agaknya Tohjaya tidak segera teringat untuk memberikan perintah atau memanggil Mahisa Agni. Baru pada hari yang ketiga ia berbicara tentang pemerintahan Singasari yang ada di Kediri.
“Mahisa Agni harus dipanggil.” berkata seorang Panglima yang merasa dirinya ikut berkuasa.
“Siapakah yang akan pergi memanggil Pamanda Mahisa Agni.” bertanya Tohjaya.
“Sekelompok perwira tertinggi.” berkata Panglima itu, “Mahisa Agni adalah orang yang paling berbahaya.”
“Apa yang akan kita lakukan atasnya? Menangkapnya?”
“Tuanku.” berkata Panglima itu, “kita tidak akan dapat membiarkan Mahisa Agni berkeliaran. Ia adalah orang yang paling dekat dengan tuanku Anusapati. Kematian tuanku Anusapati tentu akan menumbuhkan dendam di dalam hatinya. Dan dendam itu akan sangat berbahaya bagi Singasari.”
“Jadi menurut pertimbanganmu Mahisa Agni harus ditangkap?”
“Dilenyapkan. Ia merupakan duri di dalam pemerintahan tuanku sekarang.”
“Apakah ia tidak mempunyai kekuatan?”
“Kita lihat. Kita akan mengirimkan beberapa orang perwira tertinggi untuk memanggil Mahisa Agni. Tetapi juga mengadakan pertemuan dengan Senapati yang ada di Kediri.”
“Senapati itu tentu berada di bawah pengaruh Mahisa Agni.”
“Kita dapat menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Singasari sepenuhnya telah kita kuasai. Karena itu tidak akan ada gunanya untuk melawan.”
“Baiklah. Jika demikian, maka kau sajalah yang akan berangkat menemui pamanda Mahisa Agni dan membawanya kembali ke Singasari. Kau jugalah yang mendapat limpahan kekuasaanku untuk menemui Senapati itu.”
Tiba-tiba wajah Panglima itu menegang. Katanya, “Kenapa harus hamba tuanku. Bukankah tugas hamba masih terlampau banyak. Hamba harus melindungi tuanku dan mengamankan seluruh Singasari.”
Tohjaya termangu-mangu sejenak, lalu, “Jadi siapa menurut pertimbanganmu?”
“Panglima Pelayan Dalam yang baru itu.”
Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia berpaling memandang Panglima yang baru, menggantikan Panglima yang terbunuh oleh Kuda Sempana, dilihatnya wajah Panglima itu menjadi pucat. Sejenak Tohjaya memandanginya. Tetapi agaknya ia dibayangi oleh keragu-raguan untuk memberikan perintah kepadanya. Panglima itu baru saja diangkatnya. Dengan demikian maka Tohjaya belum mengenal dengan pasti kemampuannya menjalankan tugasnya sebagai seorang Panglima.
Namun demikian, agaknya pantas juga tugas itu diberikan kepadanya sebagai ujian di dalam jabatannya yang baru. Sejenak Tohjaya termangu-mangu. Dipandanginya Panglima Pelayan Dalam itu sejenak. Kemudian dipandanginya pula beberapa orang perwira tertinggi yang lain, yang sudah dikenalnya pula sebagai perwira yang baik dan setia kepadanya. Karena itu, maka Tohjaya pun kemudian berkata, “Baiklah. Aku akan memerintahkan beberapa orang perwira tertinggi di Singasari yang akan dipimpin oleh Panglima Pelayan Dalam yang baru aku angkat.”
Panglima itu menarik nafas dalam-dalam. Betapa kecut hatinya, namun ia tidak ingin segera terusir dari jabatannya yang baru saja diterimanya. Karena itu, dengan menyembunyikan debar di dadanya ia menyahut. “Ampun tuanku. Hamba tentu akan menjalankan tugas yang manapun yang dibebankan kepada hamba. Jangankan pergi ke Kediri sekedar memanggil tuanku Mahisa Agni atau menangkapnya. Bahkan menjadikan Kediri lautan api, hamba tidak akan ingkar.”
“Tentu tidak. Kediri kini merupakan bagian dari Singasari.” sahut Tohjaya, lalu, “tugasmu hanyalah memanggil pamanda Mahisa Agni dan membawanya menghadap kepadaku. Jika ia menolak, terserahlah kepadamu. Kau aku beri wewenang mempergunakan seluruh pasukan Singasari yang berada di Kediri dan sekitarnya.”
Panglima itu mengerutkan keningnya.
“Kau dapat membawa panji-panji dengan tunggul kerajaan. Kau merupakan wakil yang mendapat limpahan kekuasaan dari Maharaja di Kediri.”
Tiba-tiba saja Panglima itu membusungkan dadanya. Ia akan menerima panji-panji dan tunggul kerajaan sebagai bukti limpahan kekuasaan yang tidak terbatas. Karena itu maka katanya dengan nada bergetar. “Ampun tuanku. Adalah suatu kebanggaan yang tiada taranya, bahwa hamba diperkenankan untuk membawa panji-panji dan tunggul kerajaan. Hamba akan melakukan tugas hamba sebaik-baiknya. Hamba akan membawa tuanku Mahisa Agni menghadap.”
“Adalah wewenangmu. Kau harus membawanya hidup atau mati.”
“Hamba tuanku.”
“Tentu ia sudah mendengar tentang peristiwa di istana ini. Mungkin ia justru sudah menyiapkan pasukan. Tetapi panji-panji dan tunggul kerajaan itu akan menundukkan setiap hati dari prajurit-prajurit Singasari yang ada di Kediri.” Tohjaya berhenti sejenak, lalu, “meskipun demikian, sebaiknya kalian mengirimkan satu dua orang yang akan memasuki kota lebih dahulu. Jika kota itu tidak dikelilingi oleh sebuah pertahanan yang kuat, maka kalian akan aman memasukinya.”
Demikianlah maka Panglima Pelayan Dalam diantar oleh beberapa perwira tinggi dan sepasukan pengawal segera mempersiapkan diri. Ketika matahari terbit dipagi berikutnya, maka mereka pun segera berangkat ke Kediri. Di sepanjang jalan, prajurit-prajurit Singasari itu selalu dibayangi oleh berbagai macam perasaan. Kadang-kadang mereka berbangga melihat panji-panji dan tunggul kerajaan. Namun kadang-kadang mereka menjadi cemas, justru karena mereka mengetahui, siapakah Mahisa Agni itu.
“Tentu prajurit Singasari di Kediri sudah dipengaruhinya.”
“Aku belum yakin.” berkata Panglima Pelayan Dalam itu, “aku akan berbicara dengan Senapati tertingginya.”
Perwira-perwira yang lainpun hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Namun menurut perhitungan mereka, kekuatan di Kediri memang tidak akan berani menentang Singasari. Meskipun demikian sepercik kecemasan masih melekat pula di dalam hati para prajurit itu. Yang diperhitungkan sampai saat terakhir adalah kekuatan yang dapat dilihat di Singasari dan sekitarnya. Tetapi Singasari seluruhnya bukannya kota Singasari yang sekedar mengelilingi benteng istana.
“Mahisa Agni tidak akan berani berbuat apapun juga.” berkata Panglima itu sambil tersenyum, “sejak dipaseban sebenarnya aku sudah mempunyai gagasan yang tidak akan salah. Bukankah di halaman istana masih ada tuan puteri Ken Dedes dan beberapa orang putera dan puterinya? Nah, apakah yang dapat dilakukan oleh Mahisa Agni jika tuan Puteri Ken Dedes ada di bawah kekuasaan kami?”
Para perwira yang lain mengerutkan keningnya. Namun sejenak kemudian merekapun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum, “Kau benar. Ken Dedes dan putera-puteranya akan memudahkan usaha kita menangkap dan membawa Mahisa Agni menghadap Tuanku Tohjaya.”
Panglima Pelayan Dalam itupun kemudian menjadi yakin bahwa ia akan berhasil. Namun demikian ia masih tetap berhati-hati. Ia tidak segera membawa pasukannya masuk kota Kediri. Tetapi ia berhenti dalam jarak yang cukup dan mengirimkan dua orang petugas sandinya untuk melihat Kediri dari dekat.
“Cepat kembali. Jika kau tidak segera kembali, aku akan mengambil kesimpulan bahwa kau tertangkap, dan aku akan mengambil sikap khusus.” berkata Panglima itu, “aku tunggu sampai bintang gubug penceng tepat berada di atas ujung Selatan.”
Kedua orang prajurit sandi itu mendengarkan perintah Panglima Pelayan Dalam yang baru saja diangkat itu dengan saksama. Kemudian mereka menganggukkan kepalanya. Salah seorang dari mereka berkata, “Kami akan melakukan tegas kami sebaik-baiknya. Sebelum bintang gubug penceng tepat berada di atas ujung Selatan, aku berdua tentu sudah kembali.”
“Cepat. Lakukanlah tugasmu baik-baik.”
Kedua orang itupun kemudian mendekati kota Kediri tanpa membawa kuda sama sekali. Mereka merayap dengan hati-hati mendekati regol kota. Namun agaknya regol itu nampak sepi. Yang bertugas tidak lebih dari beberapa orang prajurit seperti hari-hari yang lewat tanpa ada kesan bahwa telah terjadi perubahan dalam tata pemerintahan.
“Berapa orang?”
“Tidak lebih dari enam orang.”
Keduanya merayap semakin dekat. Dibawah lampu minyak yang redup mereka melihat dua orang berdiri sebelah menyebelah regol sedang empat orang yang lain berada di dalam gardu. Dua diantara mereka duduk bersandar tiang terkantuk-terkantuk. Agaknya mereka mendapat kesempatan lebih dahulu untuk tidur, meskipun hanya sekedar sambil bersandar.
“Kita masuk ke dalam.”
“Lewat regol?”
“Tidak. Kita akan terlampau banyak menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.”
“Jadi?”
“Kita meloncati dinding batu.”
Keduanya pun kemudian bergeser menjauhi regol. Dengan hati-hati mereka merayap semakin maju. Di tempat yang gelap dan dibayangi oleh rimbunnya batang-batang perdu, maka keduanya pun kemudian meloncat ke atas dinding yang cukup tinggi. Ternyata bahwa tidak seorang pun yang melihat mereka. Dengan leluasa mereka dapat menjelajahi daerah di sebelah dinding batu itu. Bahkan lewat lorong-lorong yang sempit dan gelap mereka berhasil melihat beberapa bagian dari Kota Kediri.
“Tidak ada persiapan apapun juga.” desis salah seorang dari mereka.
“Ya. Di dekat istana itu pun tidak banyak prajurit yang berjaga-jaga.”
“Bagaimana dengan Istana Mahisa Agni?”
Keduanya pun berhasil mendekati Istana Mahisa Agni. Ternyata yang mereka lihat adalah keadaan seperti biasanya. Mereka tidak melihat kesibukan apapun juga. Obor yang terpancang di muka regol pun adalah obor yang redup, seperti yang dipasang sehari-hari. Untuk beberapa lamanya mereka mengawasi regol itu. Karena tidak ada sesuatu yang menarik perhatian, maka salah seorang dari mereka berkata, “Apakah kau yakin bahwa Mahisa Agni memiliki kemampuan yang sempurna seperti tuanku Sri Rajasa semasa hidupnya?”
“Mungkin sekali.” jawab yang lain.
“Aku kurang yakin.”
“Maksudmu?”
“Memang ia memiliki kelebihan, tetapi tidak lebih dari para Panglima kita.”
“Mungkin.”
Kawannya terdiam sejenak, namun tiba-tiba, “Aku ingin melihat keadaan di dalam halaman istananya.”
“Ah, jangan mencari perkara.”
“Kau takut?”
“Bukan takut. Tetapi kita sedang mengemban tugas. Jangan melakukan hal-hal yang tidak ada manfaatnya. Mungkin akan dapat mendapatkan bencana.”
Kawannya tidak menyahut. Namun ia mengerti keberatannya sehingga karena itu, maka ia pun tidak memaksanya. Dengan demikian, maka ketika mereka sudah yakin, bahwa Kediri sama sekali tidak menyiapkan pasukan untuk melawan kekuatan Tohjaya, maka kedua petugas itu pun segera kembali kepada induk pasukan kecilnya untuk melaporkan kepada Panglimanya.
Dalam pada itu, selagi para prajurit Singasari mempunyai kepastian bahwa Kediri akan dapat dengan mudah dikuasai, maka pada saat itu Mahasi Agni masih duduk dengan gelisah di dalam biliknya. Meskipun ia berhasil menguasai perasaannya dengan nalar, karena ia seorang Senapati Besar yang mengabdikan dirinya semata bagi Singasari, namun sebagai manusia ia tidak segera dapat melepaskan diri dari goncangan perasaan. Beberapa malam, Mahisa Agni digelitik oleh perasaan yang rasa-rasanya justru semakin membara. Kematian Anusapati benar-benar merupakan suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat diterimanya.
Namun setiap kali jantung membara, maka mulailah membayang Singasari yang menjadi karang abang. Perempuan menangis melolong-melolong dan anak-anak berteriak memanggil nama ibu dan ayahnya. Perawan-perawan meratap kehilangan kekasih dan perempuan akan menjadi janda. Kematian akan berkuasa di seluruh kota Singasari. Darah akan membasahi jalan-jalan kota dan mayat bagaikan ditebarkan di sepanjang lorong.
“Perang selalu mengerikan.” berkata Mahisa Agni. Terbayang kematian yang saling susul menyusul. Kematian Tunggul Ametung, Kebo Ijo, Sri Rajasa, Pangalasan Batil, disusul oleh Anusapati dan Kuda Sempana.
Meskipun Mahisa Agni tidak mendengar, tetapi rasa-rasanya ia yakin bahwa Empu Gandring tentu pernah melepaskan kutuk bagi Ken Arok yang membunuhnya. Betapapun baik hati Empu Gandring tetapi mengalami perlakuan yang sama sekali tidak adil dari Ken Arok, maka Empu Gandring tentu tidak dapat menerimanya begitu saja. Apalagi ia tidak sempat berpikir dengan nalar, sehingga ia idak sempat memaafkan kesalahan Ken Arok.
“Meskipun tidak terucapkan, tetapi goncangan hatinya akan tercermin pada keris buatannya yang menuntut kematian demi kematian.” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya.
Apalagi ketika teringat olehnya kemarahan Empu Purwa ketika anak gadisnya yang bernama Ken Dedes itu hilang. Ia tanpa dapat mengendalikan dirinya telah memecahkan bendungan dan mengeringkan Panawijen sehingga harus dibuat sebuah padukuhan baru di padang Karautan. Kemudian betapa hatinya melonjak ternyata di dalam kutuknya, siapa yang ikut serta melarikan anak gadisnya, akan mati tertusuk keris.
“Kutuk dari dua orang Empu yang memiliki pancaran nurani yang tajam.” berkata Mahisa Agni di dalam hati. Dan kini ia melihat beberapa orang yang terlibat di dalam usaha untuk melarikan itu seorang demi seorang telah terbunuh. Tunggul Ametung, Kuda Sempana, dan Ken Arok yang meskipun pada waktu itu ia tidak lebih dari seorang prajurit yang belum tahu apa-apa, yang hanya sekedar mengikuti perintah Akuwu Tunggul Ametung. Sedang Witantra yang saat itu menyatakan tidak ikut campur dengan usaha penculikan itu, masih tetap selamat sampai hari tuanya.
“Jika dendam ini masih harus dinyalakan di dalam hati, maka Singasari tidak akan sempat mengemasi dirinya. Singasari tentu akan disibukkan saja oleh dendam yang tiada henti-hentinya.” berkata Mahisa Agni kepada dirinya sendiri.
Karena itulah, maka Mahisa Agni masih tetap berusaha mengekang diri, agar tidak terbakar oleh dendam di dalam dadanya. Ia sadar bahwa ia adalah seorang manusia biasa, manusia yang lemah hati. Meskipun kini ia berhasil menguasai perasaannya, namun Mahisa Agni sendiri sadar, bahwa hati yang goyah masih mungkin saja berubah pendirian jika ada sesuatu rangsangan yang tajam menyentuh perasaannya. Namun Mahisa Agni masih selalu berusaha.
Ketika matahari di atas Singasari terbit di pagi berikutnya, maka pasukan kecil Singasari yang dipimpin oleh Panglima Pelayan Dalam yang baru itupun telah berkemas untuk memasuki kota Kediri. Agar tidak menimbulkan kegelisahan, maka pasukan itu pun sama sekali tidak menunjukkan sikap yang garang. Meskipun mereka membawa tanda-tanda limpahan kekuasaan dari Maharaja Singasari, namun mereka mendekati kota dengan sikap yang tenang dan tidak tergesa-gesa.
Namun demikian, kehadiran mereka di pintu gerbang kota benar-benar telah menarik perhatian. Apalagi berita tentang kematian Anusapati benar-benar telah tersebar di seluruh pelosok kota. Sedangkan sebab kematian itu masih merupakan desas-desus yang bersimpang siur.
“Utusan tuanku Tohjaya, yang kini untuk sementara memegang kendali pemerintahan.” berkata seseorang yang berdiri di pinggir jalan menyaksikan iring-iringan itu memasuki kota.
“Tunggul Kerajaan.” berkata yang lain, “tentu ada perintah bagi tuanku Mahisa Agni di sini atas nama pimpinan tertinggi dari Kerajaan Singasari.”
Orang-orang yang menyaksikan tunggul dan panji-panji itu membuat penilaian sendiri-sendiri yang berbeda-beda. Namun pada umumnya mereka menduga, bahwa akan jatuh perintah yang penting bagi Mahisa Agni dari Maharaja Singasari yang baru.
“Tuanku Mahisa Agni dekat sekali dengan tuanku Anusapati yang terbunuh itu.” berkata seseorang yang berjanggut putih.
“Ya. Mungkin tuanku Mahisa Agni akan ditarik dan diganti oleh orang lain yang dianggap lebih sesuai bagi Kediri.”
“Bukan bagi Kediri, tetapi yang dapat menyalurkan keinginan tuanku Tohjaya di Kediri.”
“Begitulah. Ya, begitu.”
Betapapun Panglima Pelayan Dalam itu berusaha, namun ternyata masih saja menumbuhkan kegelisahan dikalangan rakyat Kediri. Bahkan ketika berita itu sampai ke telinga para bangsawan yang masih mempunyai kekuasaan yang betapapun kecilnya, telah menumbuhkan dugaan yang bermacam-macam. Bagi mereka Mahisa Agni adalah orang yang paling baik karena Mahisa Agni dapat mengerti setiap keinginan mereka, meskipun tidak selalu terpenuhi. Namun bagi orang-orang dan para bangsawan Kediri, apa yang dilakukan Mahisa Agni adalah yang paling jauh dapat mereka jangkau.
“Apakah akan ada kemungkinan orang lain yang akan dikuasakan di Kediri?” desis para bangsawan.
Demikianlah maka pasukan kecil itupun kemudian berhenti di depan gerbang di dalam kota. Panglima yang memimpin pasukan itu memerintahkan dua orang mendahului dan menghadap Mahisa Agni untuk menyampaikan dengan resmi, bahwa utusan kerajaan dengan tanda-tanda kebesaran dan panji-panji serta tunggul kerajaan telah datang untuk menemui Mahisa Agni sebagai wakil pemerintah Singasari di Kediri sebelum utusan itu akan menguraikan dengan resmi sebab-sebab kematian Anusapati kepada para Senapati dan para bangsawan yang masih mempunyai jalur pemerintahan terhadap lingkungan keluarga mereka sendiri.
“Aku akan menerima dengan senang hati.” berkata Mahisa Agni yang memang sudah mengharap utusan itu datang di Kediri.
Kedua utusan itupun segera menyampaikan kepada Panglima Pelayan Dalam yang memimpin pasukan Singasari itu, bahwa Mahisa Agni sudah siap untuk menerimanya.
“Aku datang dengan tanda-tanda kebesaran.” berkata Panglima itu kepada anak buahnya, “dengan demikian maka aku datang seperti tuanku Tohjaya sendiri yang datang di Kediri.”
Para prajurit yang ada di dalam pasukannya menjadi semakin mantap, bahwa mereka telah mendapat kepercayaan ikut di dalam pasukan yang membawa kekuasaan tertinggi, seperti kekuasaan Maharaja Singasari itu sendiri. Di istananya, Mahisa Agni pun segera mempesiapkan diri untuk menerima kedatangan utusan dari Singasari yang membawa amanat dari Maharaya Singasari yang baru itu. Namun ternyata bahwa panji-panji dan tunggul kerajaan itu telah membuat Panglima yang baru itu merasa dirinya terlampau besar. Seakan-akan ia sendirilah yang telah menjadi Maharaja di Singasari.
Ketika Panglima itu memasuki istana Mahisa Agni, maka ia sama sekali tidak mau turun dari kudanya sebelum kudanya itu berhenti di depan tangga pendapa. Bahkan pasukannya pun mengikutinya pula di belakangnya. Mahisa Agni menunggu di pendapa bersama beberapa orang Senapati yang telah dipanggilnya menahan gejolak perasaan yang bagaikan menghentak-hentak dada. Namun agaknya mereka tidak ingin membuat suasana menjadi bertambah keruh.
Ketika Panglima itu sudah meloncat turun dari kudanya, maka Mahisa Agnipun segera menyambutnya dan mempersilahkan mereka naik kependapa. Di pendapa telah tersedia beberapa buah tempat duduk dari batu yang paling keras berwarna kehitam-hitaman yang terukir lembut, dialasi dengan kulit rusa yang berwarna coklat kemerah-merahan. Sedang di sekitarnya terbentang tikar pandan putih yang tebal dengan hiasan berwarna hitam di sudut-sudutnya.
“Silahkanlah.” berkata Mahisa Agni mempersilahkan tamunya, “kami di Kediri menyambut kedatangan kalian dengan penuh gairah. Sudah lama kami tidak menerima kedatangan utusan dari Singasari.”
“Baru beberapa hari ini kami sempat mengingat kedudukan Singasari di Kediri.” jawab Panglima itu, “dan baru setelah aku menjabat kedudukanku sekarang, semua persoalan Singasari mulai dilihat satu demi satu dengan saksama.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Menarik sekali. Tentu seluruh rakyat Singasari mengharapkan hasil dari perubahan yang telah terjadi dalam pimpinan pemerintahan di Singasari.”
Panglima itu tertawa. Perlahan-lahan ia naik kependapa dan duduk di atas sebuah batu berukir yang besar di tengah-tengah pendapa itu. Sedang seorang Senapati duduk di sampingnya sambil memegangi panji-panji yang terikat pada tunggul kerajaan sebagai lambang kekuasaan yang dibawa oleh Panglima itu.
Sejenak Mahisa Agni sempat menanyakan keselamatan pasukan itu dan sedikit tentang keselamatan para pemimpin di Singasari. Namun sebelum ia bertanya lebih lanjut, tentang kepentingan kunjungan Panglima itu ke Kediri, maka Panglima Pelayan Dalam yang baru itu sudah mendahului “Kami datang dengan menjunjung perintah tuanku Tohjaya bagi Senapati Agung Mahisa Agni.”
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Tetapi di luar dugaannya, seorang Senapati yang tidak dapat menahan hati melihat sikap Panglima itu menyahut hampir di luar sadarnya. “Dan wakil Sri Maharaja di Singasari bagi Kediri.”
Panglima itu berpaling. Dilihatnya seorang Senapati yang masih muda memandanginya dengan tajamnya. “O, ya.” berkata Panglima itu, “Senapati Agung dan yang dikuasakan oleh pimpinan pemerintah Singasari di Kediri.”
“Ya.” Senapati muda itu masih menyahut lagi.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dikedipkannya matanya untuk memberi isyarat kepada Senapati muda itu agar berusaha mengendalikan perasaannya.
“Bagus.” berkata Panglima Pelayan Dalam itu, “aku memang berhadapan dengan penguasa Singasari atas Kediri. Dan akupun mendapat perintah dari Maharaja Singasari bagi Mahisa Agni. Bukan sekedar sebuah kunjungan biasa dari seorang utusan, tetapi aku membawa panji-panji dan tunggul kerajaan.”
“Dan karena itu, aku mempunyai kekuasaan tidak terbatas.”
“Aku sudah mengerti. Tetapi yang tidak terbatas itu pun tentu ada batasnya. Kau hanya mendapat limpahan kekuasaan Maharaja di Singasari. Bukan kaulah Maharaja di Singasari itu.”
Panglima itu merenung sejenak. Ketika ia mengedarkan tatapan matanya, dilihatnya beberapa orang Senapati tertinggi dari Singasari yang berada di Kediri memandanginya dengan tajamnya, sehingga Panglima itu pun kemudian menyadari, bahwa ia tidak dapat mengabaikan mereka di dalam setiap tindakannya di Kediri. Karena itu maka Panglima itupun kemudian tersenyum sambil berkata, “Kau benar Mahisa Agni. Tetapi bahwa aku sekarang berada dalam kedudukan tertinggi harus kau ketahui.”
“Aku mengerti. Dan aku menerima kau dalam kedudukanmu sekarang.”
Panglima itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun dalam pada itu, beberapa orang Senapati Singasari yang bertugas di Kediri menjadi panas. Meskipun mereka berusaha untuk menahan diri, namun tampak juga kegelisahan membayang di wajah mereka. Kebanyakan dari para Senapati itu mengenal, siapakah yang telah diangkat menjadi Panglima Pelayan Dalam, dan yang sekaligus mendapat kepercayaan tertinggi dari Tohjaya itu. Tetapi karena Mahisa Agni masih tetap bersikap tenang, para Senapatipun tidak berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan persoalan.
Sejenak kemudian maka Panglima itupun berkata, “Mahisa Agni. Kedatanganku kali ini membawa berita yang penting bagimu dan bagi para Senapati. Di dalam kesempatan berikutnya aku ingin bertemu dengan para Senapati dan pemimpin prajurit Singasari dalam jumlah yang lebih besar. Aku ingin menjelaskan apa yang sebenarnya sudah terjadi.”
“Katakanlah. Aku dapat menyambung berita yang kau bawa dan menyampaikan kepada para Senapati dan prajurit.”
“Aku akan bertemu dengan mereka sendiri.”
“Apakah akan ada gunanya?”
“Tentu.” jawab Panglima itu, “ingat, aku adalah Panglima yang mendapat limpahan kekuasaan tertinggi.”
“Jangan kau ulang-ulang. Aku sudah mengerti. Tetapi kaupun harus menyadari, bahwa kekuasaanmu yang tidak terbatas di dalam batas-batasnya itu, hanya berlaku untuk beberapa hari. Jika lusa kau kembali ke Singasari dan menyerahkan panji-panji dan tunggul kerajaan itu, kau tidak lebih dari seorang Panglima Pelayan Dalam. Sedang aku tanpa atau dengan panj dan tunggul kerajaan adalah penguasa dan wakil raja di Kediri.” sahut Mahisa Agni.
Panglima itu menjadi tegang sejenak. Namun ia menjawab, “Biarlah apa yang akan terjadi lusa. Tetapi sekarang kekuasaanku ada di atas kekuasaanmu. Di Singasari dan di Kediri, karena aku membawa panji-panji dan tunggul kerajaan.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia keberatan membawa Panglima itu di hadapan Senapati yang lebih luas lagi dari Senapati tertinggi di Kediri. Jika mereka kehilangan kendali karena sikap Panglima yang tidak menarik sama sekali itu, maka keadaan akan menjadi kisruh, dan bahkan mungkin akan timbul akibat yang tidak menyenangkan. Bukan saja bagi Panglima itu, tetapi juga bagi Singasari.
Tetapi Mahisa Agni tidak dapat menolak keinginan itu agar tidak timbul salah paham. Jika ia tetap menolak, maka Panglima itu akan menganggap bahwa ia takut kehilangan pengaruh di Kediri karena kedatangan Panglima itu.
“Aku minta kau dapat menyiapkan pertemuan itu secepatnya Mahisa Agni.” perintah Panglima itu.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ketika sekilas terpandang olehnya wajah para Senapati, maka rasa-rasan Mahisa Agni tidak akan sanggup mengendalikannya apabila terjadi pertemuan yang lebih besar lagi. Namun demikian Mahisa Agni terpaksa mejalankan perintah itu, yang bernilai seperti perintah Maharaja di Singasari itu sendiri.
“Kapan pertemuan yang agak lebih besar dari pertemuan ini harus aku adakan?” bertanya Mahisa Agni.
“Secepatnya.”
“Ya, secepatnya. Tetapi kapan. Sekarang, atau nanti sore atau besok pagi? Cepat yang kau maksudkan tergantung sekali pada rencanamu berapa hari kau akan tinggal di Kediri.”
Panglima itu merenung sejenak, lalu, “Sore nanti. Mereka harus datang ke pendapa ini sebelum matahari menjadi kemerahan menjelang senja. Kita akan banyak berbicara, sehingga pertemuan itu akan berlangsung cukup lama.”
“Baiklah. Kami akan menyelenggarakannya.”
“Dan sebelumnya, sebaiknya kau mendengar lebih dahulu apa yang akan aku sampaikan kepada mereka.”
“Aku tidak berkeberatan.” jawab Mahisa Agni.
“Berkeberatan atau tidak berkeberatan, ini adalah kewajibanmu.”
Terasa telinga Mahisa Agni menjadi panas. Tetapi ia tetap duduk dengan tenang di tempatnya.
“Nah, perintahkan kepada Senapatimu untuk memanggil Senapati-senapati bawahan mereka, dan para pemimpin prajurit yang lain.”
“Nanti akan aku perintahkan. Tetapi sebaiknya sekarang kau berbicara tentang keadaan di Singasari yang terakhir agar kami tidak selalu dibingungkan oleh berita-berita yang belum pasti kebenarannya.”
Panglima itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya prajurit yang membawa panji-panji dan tunggul kerajaan itu sejenak, lalu katanya, “Baiklah. Atas nama Maharaja di Singasari tuanku Tohjaya, aku memberitahukan bahwa di Singasari telah terjadi perubahan pimpinan pemerintahan.”
Tidak seorangpun yang menyahut. Panglima itupun kemudian menceriterakan apa yang sudah terjadi di halaman istana, di arena sabung ayam.
“Yang mula-mula terjadi adalah sebuah kerusuhan kecil. Seorang Panglima dari Singasari telah terbunuh oleh seorang bekas Pelayan Dalam semasa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung. Agaknya hal itu menumbuhkan kemarahan pada para prajurit dan terlebih-lebih lagi Pelayan Dalam. Kerusuhan tidak dapat dicegah lagi, dan di luar kemampuan para pengawal maka tuanku Anusapati pun terbunuh oleh kebencian yang sudah terlalu lama tersimpan di hati rakyat.”
Yang mendengar keterangan Panglima itu mengerutkan keningnya. Berita serupa itulah yang tersiar di seluruh Singasari. Dan agaknya bahwa memang berita itulah yang disebarkan oleh Tohjaya dan orang-orangnya yang dipercayainya.
Beberapa saat Panglima Pelayan Dalam yang baru itu terdiam, sehingga Mahisa Agni mendesaknya, “Bagaimana kelanjutan dari keteranganmu itu?”
“Untuk kali ini aku tidak akan memberikan keterangan lebih dari itu.”
“Kami menunggu penjelasan. Bagaimana peristiwa itu terjadi. Dimana saat itu tuanku Anusapati berada. Dimana terjadinya kerusuhan itu dan bagaimana dengan keluarga istana yang lain lain.”
“Sudah aku katakan. Aku tidak akan memberikan keterangan lebih dari itu. Nanti sore aku akan menjelaskan persoalannya.”
“Kau belum memberikan gambaran yang jelas bagi kami.” desis Mahisa Agni.
“Memang. Tidak itu pun tidak mengapa. Sore nanti aku akan memberikan keterangan sejelas- jelasnya.”
Mahisa Agni tidak mendesaknya lagi. Katanya, “Baiklah. Berita itu sudah cukup bagi kami sekarang. Bahkan jika kau memberi penjelasan semakin panjang, semakin banyak pertanyaan akan timbul di hati kami.”
“Apa maksudmu?”
“Tidak apa.”
“Tentu ada maksud tersembunyi pada kata-katamu.” Pelayan Dalam itulah yang mendesak.
“Persoalannya akan jelas jika aku sudah mendengar semua keterangan yang terperinci.” jawab Mahisa Agni.
Pelayan Dalam itu mengerutkan keningnya. Namun iapun menjawab, “Baik. Semua persoalan akan menjadi jelas nanti sore. Sebelum para Senapati mendengar keterangan langsung daripadaku, mereka tidak boleh mendengar keterangan ini dari orang lain agar tidak terjadi salah paham. Jika aku menjelaskannya sekarang, maka setiap orang akan berusaha memberikan penjelasan menurut tanggapannya masing. Dan ini tidak boleh terjadi.”
Demikianlah maka pertemuan itupun berakhir. Mahisa Agni menyediakan ruang yang khusus bagi Pelayan Dalam yang mendapat limpahan kekuasaan Maharaja Kediri itu di dalam istananya, di sebelah biliknya sendiri. Sedang para pengikutnya ditempatkannya di gandok sebelah menyebelah, dipisahkan oleh sebuah longkangan kecil. Namun dalam pada itu dua orang pengawal Pelayan Dalam itu selalu berada di ruang dalam, berjaga-jaga di depan bilik Panglimanya.
Sementara itu Witantra pun masih tetap berada di istana. Namun ia berada di bilik belakang, sebuah bilik yang tersekat dari ruang dalam, yang disediakan bagi tamu-tamu yang kurang penting bagi jabatan Mahisa Agni. Namun Witantra, bukan karena ia kurang penting bagi Mahisa Agni, tetapi Witantra memang harus terpisah dari tamu-tamu yang datang dari Singasari itu. Tetapi dalam saat-saat tertentu Witantra dapat menemuinya tanpa menumbuhkan kecurigaan bagi tamu-tamunya dari Singasari.
Diluar pengetahuan Mahisa Agni, Panglima Pelayan Dalam itu telah memerintahkan beberapa orang perajuritnya untuk mengamati keadaan di Kediri. Apakah dalam waktu yang singkat itu Mahisa Agni telah mengadakan persiapan yang dapat membahayakan kedudukannya. Tetapi ternyata Kediri tetap sepi. Tidak ada kesibukan pasukan sama sekali. Meskipun Mahisa Agni telah memerintahkan beberapa orang Senapati menghubungi kawan-kawannya dalam lingkungan yang lebih luas, namun kesibukan itu terbatas sekali pada para perwira saja.
“Mahisa Agni agaknya sama sekali tidak ingin berbuat sesuatu, apalagi yang bersifat menentang kekuasaan pimpinan pemerintahan yang baru.” berkata salah seorang prajurit.
“Ia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.” sahut yang lain.
“Seandainya demikian, seandainya ia mengerti bahwa tuanku Anusapati telah dibunuh oleh tuanku Tohjaya, namun Mahisa Agni harus mengingat, bahwa karma telah berlaku. Menurut dugaan beberapa orang, tuanku Anusapati pun telah membunuh tuanku Sri Rajasa dan merahasiakan pembunuhan itu. Bukankah berita yang tersiar, seorang Pangalasan telah membunuh tuanku Sri Rajasa dan kemudian dibunuh oleh tuanku Anusapati? Dan berita itupun tentu bukan berita yang sebenarnya.”
“Dan sekarang karma itu berlaku. Apakah dengan demikian akan terjadi bunuh membunuh tidak hentinya? Dan apakah dengan demikian seumur kita tidak akan mengalami masa tenang di Singasari?”
Prajurit yang lain tidak menyahut. Namun katanya kemudian, “Kita laporkan kepada Panglima bahwa tidak ada persiapan apapun di Kediri.”
Tetapi sebenarnyalah para prajurit yang menyamar sebagai rakyat biasa itu tidak melihat bahwa setiap prajurit justru telah bersiap di dalam barak masing-masing. Mereka seakan-akan tetap tenang, namun mereka selalu siap untuk berbuat sesuatu apabila diperlukan, karena persiapan yang diam itu justru sudah dimulai sejak Panglima dari Singasari itu belum datang di Kediri. Tetapi seperti yang dimaksud oleh Mahisa Agni, persiapan itu memang bukan suatu persiapan untuk perang, meskipun seandainya perang itu pecah, maka mereka tidak akan mengecewakan.
Ketika Panglima Pelayan Dalam itu mendengar laporan petugas-petugas sandinya, maka ia pun mulai tenang dan dapat beristirahat dengan tanpa dibayangi oleh kecurigaan. Ia menganggap bahwa Mahisa Agni tidak akan dapat berbuat apa-apa di Singasari meskipun anggapan itu belum dapat diyakininya, karena masih ada kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat terjadi.
“Ada dua sebab, kenapa tidak ada tindakan apapun yang dilakukan oleh Mahisa Agni.” berkata Pelayan Dalam itu kepada pengawal kepercayaannya. “Mahisa Agni tidak mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi, atau Mahisa Agni tidak lagi mempunyai pengaruh yang luas di kalangan para prajurit Singasari di Kediri.”
Pengawal kepercayaan Pelayan Dalam itu mengiakannya saja. Ketika matahari menjadi semakin condong ke Barat dan kemudian langit menjadi merah, para Senapati pun mulai berdatangan ke halaman istana Mahisa Agni. Mereka duduk di atas tikar pandan di pendapa. Sedang di sudut pendapa di hadapan mereka terdapat batu-batu berukir yang beralaskan kulit kijang berwarna coklat kemerah-merahan.
Ketika para Senapati dan pimpinan para prajurit Singasari dan beberapa orang pimpinan pasukan keamanan Kediri telah lengkap di pendapa, maka Panglima Pelayan Dalam yang mendapat limpahan kekuasaan Maharaja Singasari, dengan pertanda panji-panji dan tunggul kerajaan itupun keluar dari pintu tengah diiringi oleh Mahisa Agni dan pengawal-pengawal kepercayaannya serta tanda-tanda kebesaran itu.
Beberapa orang Senapati menundukkan kepala ketika terpandang oleh mereka panji-panji dan tunggul kerajaan itu. Ada semacam ketidak seimbangan di dalam tanggapan mereka. Mereka hormat kepada panji-panji dan tunggul Kerajaan. Tetapi mereka tidak dapat berbuat demikian terhadap Panglima yang kini mendapat limpahan kekuasaan dengan pertanda panji-panji dan tunggul itu.
Meskipun demikian para Senapati itu tetap duduk tenang sambil menundukkan kepalanya. Mereka mencoba untuk menenteramkan hati dan mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh Panglima itu. Namun sebenarnya mereka telah membawa bekal di dalam hati, bahwa ada sesuatu yang tidak benar di dalam keterangan yang akan dikatakan oleh Panglima itu.
Tetapi para Senapati yang dekat dengan Mahisa Agni telah berpesan kepada mereka, jangan tunjukkan sikap yang dapat menimbulkan persoalan yang tidak dikehendaki. Jika mereka benar-benar seorang yang setia kepada Singasari, maka mereka harus dapat mementingkan persoalan Singasari di atas segala macam persoalan.
“Jika ternyata bahwa siapapun akan merugikan Singasari maka barulah kita akan berbuat sesuatu. Termasuk terhadap Tohjaya.”
Sebenarnya para Senapati tidak dapat mengerti pendirian Mahisa Agni, dan sebagian terbesar dari mereka mengangap bahwa sikap itu adalah sikap yang lemah sekali. Tetapi mereka masih dicengkam oleh pengaruh wibawa Mahisa Agni yang besar atas mereka.
“Tuanku Mahisa Agni tentu mempunyai perhitungan yang jauh lebih luas dari perhitungan kita yang sekedar menilai setiap keadaan berdasarkan tajamnya pedang.” berkata seorang Senapati kepada kawannya.
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mudah-mudahanan tajamnya pedang itu tidak memotong leher kita sebelum kita menyadari apa yang telah terjadi sebenarnya.”
Keduanyapun terdiam. Dan kini mereka dihadapkan kepada seorang Panglima yang baru saja menjabat kedudukannya. Karena mereka adalah prajurit-prajurit Singasari, maka sebagian dari prajurit Singasari yang ada di Kediri telah mengetahui siapakah Panglima itu, dan sampai berapa jauh kemampuannya memegang pimpinan dan di dalam olah kanuragan.
Setelah memandangi para Senapati yang duduk sambil menundukkan kepalanya itu, maka Panglima yang mendapat limpahan wewenang Maharaja Singasari itu mulai membuka pembicaraan. Disampaikannya salam sejahtera dari Maharaja Singasari kepada mereka. Mudah-mudahan merekapun selamat sejahtera. Para Senapati masih tetap menundukkan kepalanya. Sejenak kemudian maka mulailah Panglima itu memberikan keterangan tentang keadaan istana Singasari. Diberinya beberapa kata pengantar secukupnya untuk memberikan arah berpikir bagi para Senapati itu.
“Kami, para pemimpin yang ada di sekitar Tuanku Anusapati sudah berusaha untuk mengelakkan hal yang akan terjadi. Beberapa kali kami telah memberikan peringatan, agar sikap tuanku Anusapati dapat berubah sedikit demi sedikit, sehingga sakit hati yang semakin lama semakin bertimbun di hati rakyat itu dapat dikurangi.” Panglima itu berhenti sejenak, lalu, “namun agaknya tuanku Anusapati tidak menghiraukannya. Untunglah bahwa tuanku Tohjaya bersikap baik terhadap rakyat, bahkan ia sempat memberikan tempat hiburan yang mapan di halaman bangsalnya sendiri. Dengan sikap itu, maka rakyat menjadi segan untuk berbuat sesuatu terhadap tuanku Anusapati, justru karena mereka memandang kecintaan tuanku Tohjaya terhadap mereka. Tetapi tuanku Anusapati masih saja membuat banyak kesalahan. Sebagai seorang Maharaja yang masih cukup muda, maka ia terlampau banyak menaruh minat kepada perempuan. Dan yang parah, kadang-kadang perempuan-perempuan yang dikehendakinya itu adalah perempuan-perempuan yang sudah bersuami.”
Pendapa itu dicengkam oleh suasana yang aneh. Tetapi para Senapati itu pun masih tetap diam di tempatnya. Panglima Pelayan Dalam yang sedang memberikan keterangan tentang keadaan di Singasari itu mencoba mengamati tanggapan dari kata-katanya. Tetapi para Senapati di Kediri itu menundukkan kepala sehingga kesan yang tersirat di wajah mereka tidak segera dapat dilihatnya.
“Akhirnya.” Panglima itu meneruskan, “terjadilah peristiwa yang menyedihkan itu. Semula yang terjadi adalah pertentangan kecil. Tidak seorang pun tahu dengan pasti sebab-sebabnya. Tetapi yang terjadi, Panglima Pelayan Dalam itu terbunuh. Tentu saja dengan licik. Kemarahan para prajurit telah menyebabkan orang yang menyebut dirinya Kuda Sempana itu mati. Tetapi kerusuhan tidak berhenti. Tanpa dapat dicegah lagi, rakyat yang sudah lama membenci tuanku Anusapati seolah-olah mendapat kesempatan. Maka terbunuhlah tuanku Anusapati. Untunglah tuanku Tohjaya ada di tempat itu, sehingga atas pengaruhnya maka kerusuhan yang lebih besar dapat dicegah.”
Terasa gejolak di setiap hati para Senapati yang ada di pendapa itu. Namun seperti pesan Mahisa Agni, mereka harus dapat menahan perasaan. Seorang Senapati muda hampir pingsan justru karena ia menahan hati dan berusaha untuk tetap diam sambil mendengarkan keterangan yang bagaikan menyobek jantungnya.
Sejenak kemudian Panglima itu meneruskan, “Kalian kini berada di Kediri, agak jauh dari pusat pemerintahan. Tentu kalian tidak dapat membayangkan apa yang sebenarnya terjadi. Kalian tentu tidak dapat mengerti, kenapa rakyat yang marah itu tidak dapat dikuasai dan tidak dapat dicegah lagi membunuh Maharaja Singasari yang Agung. Tetapi sebaiknya kalian menyadari, bahwa kemarahan, kekecewaan dan ketidak pastian yang tertahan, pada suatu saat akan dapat meledak. Ledakan itu tidak mengingat lagi sasaran, akibat dan apapun yang akan terjadi.” Panglima itu berhenti sejenak, lalu, “sekali lagi aku katakan, hanya wibawa tuanku Tohjaya sajalah yang dapat menghentikan semuanya itu.”
Para Senapati itu semakin menundukkan kepalanya. Bukan karena mereka melihat kebenaran di dalam keterangan itu, namun justru karena mereka berusaha menyembunyikan perasaan yang tersirat di wajah mereka itu.
Karena Panglima itu sama sekali tidak dapat menjajagi tanggapan para Senapati yang mendengarkannya, maka ia menjadi agak ragu-ragu. Namun apabila disadarinya bahwa disisinya ada panji-panji dan tunggul kerajaan, maka hatinya menjadi kembang, dan mulailah ia berkata lagi dengan tegas. “Kalian harus menyesuaikan diri dengan perubahan ini. Tuanku Tohjaya untuk sementara memegang pimpinan kerajaan. Tidak ada orang kuat yang lain yang pantas duduk di atas Singgasana Singasari selain tuanku Tohjaya itu.”
Beberapa orang Senapati hampir bersamaan mengangkat wajahnya. Rasa-rasanya ada sesuatu yang ingin mereka tanyakan. Tetapi tidak sepatah katapun yang terlontar dari mulut mereka ketika mereka melihat Mahisa Agni masih saja duduk dengan tenang, betapapun jantung di dadanya berdenyut semakin cepat.
“Nah.” berkata Panglima itu, “apakah ada yang ingin mendapatkan keterangan yang lain? Ketika kami baru saja datang di tempat ini, Mahisa Agni ingin mengajukan beberapa pertanyaan yang tidak aku jawab. Sekarang, aku persilahkan jika ada di antara kalian yang masih memerlukan penjelasan lebih banyak...”