PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 06
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 06
Karya Singgih Hadi Mintardja
PARA Senapati hanya memandang Mahisa Agni saja. Seolah-olah mereka ingin menitipkan pertanyaan yang berdesakan di hati mereka.
“Tetapi yang penting.“ berkata Panglima itu kemudian, “bahwa aku telah membawa panji-panji dan tunggul kerajaan. Kalian harus tetap terikat dengan kesetiaan kalian terhadap Singasari. Dan Panji-panji serta tunggul ini adalah lambang kekuasaan Singasari. Meskipun barangkali aku belum menjatuhkan perintah yang harus kalian kerjakan, namun kalian harus sudah mendasarkan diri kepada kesetiaan kalian terhadap panji-panji dan tunggul ini. Bukan terhadapku.”
Tidak seorang pun yang menyahut. Mahisa Agnipun tidak. Dan Panglima itu kemudian berbicara lagi. “Baiklah. Kalian barangkali baru mencernakan keteranganku. Masih banyak waktu. Aku tidak berkeberatan jika kita semalam suntuk duduk di sini berbicara tentang Singasari dan hari depannya. Namun yang penting kalian ketahui, selain keterangan yang harus aku sampaikan kepada kalian, aku pun telah membawa perintah yang penting bagi pimpinan pemerintahan Singasari yang dikuasakan di Kediri.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Panglima itu berkata selanjutnya. “Nah, dengarlah, perintah ini. Atas nama kekuasaan tertinggi di Singasari, aku perintahkan kepada Mahisa Agni untuk mengikuti aku kembali ke Istana Singasari untuk menghadap Tuanku Tohjaya.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
“Kau tidak akan dapat membantah.”
Mahisa Agni memandang Panglima itu sejenak, lalu, “Aku Tidak akan membantah. Tetapi sebaiknya kau mempergunakan istilah lain yang lebih baik dari istilahmu itu?”
“Maksudmu?”
“Kau dapat berkata, bahwa atas perintah tuanku Tohjaya, aku harus menghadap, atau istilah-istilah lain seperti itu. Tidak seperti yang kau ucapkan.”
“Apakah salahnya? Aku membawa panji dan tunggul kerajaan.”
Mahisa Agni hampir tidak dapat menguasai perasaannya. Hanya karena ia menyadari sepenuhnya, bahwa persoalan Singasari berada di atas persoalan apapun, ia masih berhasil menahan dirinya. Jika ia saat itu kehilangan pengamatan diri, dan berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan keributan di dalam pendapa itu, maka persoalan yang sekedar memercik di pendapa itu akan menjalar ke seluruh Singasari.
Meskipun demikian ia masih menjawab, “Siapapun yang membawa panji-panji dan tunggul itu adalah mereka yang mendapat limpahan kekuasaan dari tuanku Tohjaya. Karena itu apapun yang kau lakukan adalah sekedar menyampaikan perintahnya. Bukan kau sendirilah yang memerintahkannya. Apalagi aku adalah wakil kekuasaan Singasari di Kediri.”
Sejenak Panglima itu menjadi termangu-mangu. Dipandanginya para Senapati yang ada di sekitarnya. Kemudian para pengawalnya yang sebagian berada di luar pendapa. Namun ketika terpandang olehnya wajah Mahisa Agni, maka tiba-tiba saja ia telah melontarkan tatapan matanya. Bagaimanapun juga ia tidak dapat mengatasi wibawa wakil Mahkota yang ada di Kediri itu. Untuk melontarkan kegelisahan yang mencengkamnya, maka tiba-tiba saja ia berkata lantang tanpa memandang Mahisa Agni. “Apapun bunyinya, tetapi kau harus menghadap tuanku Tohjaya di Singasari.”
“Baiklah. Aku akan menghadap. Kapan kita akan berangkat.”
“Besok pagi. Semakin cepat semakin baik.”
“Besok pagi adalah waktu yang paling cepat dapat kita lakukan.”
“Ya.”
Mahisa Agni pun kemudian memandang para Senapati yang ada di pendapa itu. Katanya, “Baiklah. Besok aku akan berangkat ke Singasari. Tetapi aku akan minta diri dahulu kepada para prajurit dan para pengawal di Kediri. Usahakan agar mereka dapat berkumpul di alun-alun. Sebagian yang mungkin dapat dihubungi tanpa menimbulkan kegelisahan. Tidak ada apa-apa, selain aku akan minta diri kepada mereka. Bukan saja para Senapati yang berkumpul sekarang, tetapi juga beberapa golongan prajurit dan pengawal yang pernah berhubungan dengan tugasku.”
Panglima Pelayan Dalam yang hadir di pendapa itu pun menjadi berdebar-debar pula. Persiapan itu akan dapat disalah gunakan oleh Mahisa Agni, sehingga karena itu, maka Panglima itupun berkata, “Itu tidak perlu. Tidak boleh ada kesibukan keprajuritan yang dapat menimbulkan kesan yang tidak aku kehendaki.”
“O.“ Mahisa Agni tersenyum, “kau berprasangka? Jika aku ingin memberontak, aku tidak perlu menunggu kau datang dan duduk di pendapa ini. Aku dapat menyongsongmu di regol dan membunuhmu tanpa banyak perlawanan.”
Wajah Panglima itu menjadi merah. Sambil menggeram ia menjawab. “Tetapi kau akan dipancung di alun-alun Singasari atau dihukum picis di perapatan.”
“Itu soal kemudian. Jika aku sudah bertekad untuk memulai, tentu aku tidak akan takut dipancung atau dihukum picis. Tetapi soalnya tidak begitu sederhana. Soalnya adalah Singasari yang dengan susah payah diperjuangkan sejak masa pemerintahan Sri Rajasa. Tentu, aku yang ikut mempersatukan Kediri dan Tumapel sehingga menjadi Singasari yang besar tidak akan dengan mudah ikut menghancurkannya. Memang berbeda dengan kau. Kau hadir pada saat Singasari sudah utuh seperti sekarang. Dengan mengorbankan harga diri sedikit saja kau sudah dapat menduduki jabatan tertinggi di Singasari yang sudah menjadi besar.”
“Cukup.“ Panglima itu membentak, “apakah kau tidak sadar bahwa kau berhadapan dengan Panglima yang mendapat limpahan kekuasaan tertinggi di Singasari.”
“Ya.”
“Kau sudah menodai kedudukanku.”
“Tidak. Aku tidak mengatakan apapun tentang panji dan tunggul itu. Tetapi aku mengatakan tentang kau. Tentang seorang Panglima Pelayan Dalam. Tanpa panji-panji dan tunggul itu.”
“Persetan. Tetapi aku sekarang membawa panji-panji dan tunggul itu.”
“Kita semua harus menghormati panji-panji dan tunggul itu. Karena itu, sebaiknya panji-panji dan tunggul itu tidak dipergunakan untuk memaksakan kepada orang lain bagi kepentingan pribadi. Kau tidak dapat memaksa aku dan para Senapati yang lain untuk menghormatimu sebagai suatu pribadi meskipun kau membawa panji-panji dan tunggul itu karena kami semuanya sudah mengetahui siapakah kau sebenarnya.”
Wajah Panglima itu menjadi semakin tegang. Dengan suara gemetar ia berkata, “Aku dapat menjatuhkan hukuman apapun terhadapmu seperti tuanku Tohjaya melakukan, selama panji-panji dan tunggul itu ada padaku.”
“Jangan membakar Singasari. Mungkin kau tidak begitu mencintainya karena kau tidak ikut membangunnya seperti aku.”
“Kau justru menghina Singasari.”
Sambil tersenyum Mahisa Agni menjawab, “Sadarilah. Jika kau memaksa aku melawan, maka itu berarti Singasari akan mengoyak dadanya sendiri. Dan kaulah penyebabnya. Dan kau tentu akan dihukum sesuai dengan kesalahan itu. Mungkin aku juga jika aku tertangkap hidup-hidup, karena aku dapat mati di dalam pemberontakan itu, sehingga kita akan bersama-sama menjalani hukuman picis yang dahsyat itu.”
Panglima Pelayan Dalam itu memandang Mahisa Agni dengan tatapan mata yang tegang. Kini ia menyadari sepenuhnya, bahwa Mahisa Agni adalah orang yang matang di dalam setiap tingkah lakunya, meskipun bagi para Senapati di Kediri, sikap itu dianggap terlampau lemah.
“Apakah karena sikap itulah maka Panglima Pasukan Pengawal berkeberatan pergi ke Kediri dan memberikan tugas ini kepadaku?“ Panglima Pelayan Dalam itu bertanya kepada diri sendiri.
Namun demikian ia tidak boleh menunjukkan kelemahannya. Ia harus tetap bersikap sebagai seorang Panglima yang mendapat limpahan kekuasaan Singasari. Karena itu maka katanya, “Mahisa Agni. Jangan bersikap seperti seorang penyamun yang menakut-nakuti korbannya di bulak yang sepi. Aku bukan pengecut dan bukan pula kanak-kanak yang dapat kau ancam. Aku adalah seorang Panglima dan lebih dari itu aku membawa lambang kekuasaan atas Singasari.”
“O. Jangan salah menilai kata-kataku. Aku tahu kau seorang yang berani. Jika tidak, kau tidak akan dapat memanjat sampai jabatanmu yang sekarang. Tetapi aku sekedar ingin memperingatkanmu, bahwa jika kau salah langkah, kau akan menjadi penyebab hancurnya Singasari. Soalnya bukannya apakah kau seorang pengecut atau seorang pemberani. Seorang pengkhianat biasanya seorang pemberani. Tetapi jarang sekali seseorang yang menyediakan dirinya untuk menjadi seorang pengkhianat.”
“Cukup.“ potong Panglima itu, “aku tidak memerlukan sesorahmu. Besok kau harus pergi bersamaku ke Singasari.”
“Bukankah aku tidak membantah?“ sahut Mahisa Agni, lalu, “nah, sekali lagi aku ingin minta kepada para Senapati agar besok berkumpul di alun-alun dengan para prajurit yang ada saja. Yang mungkin dapat diberi tahu dan diperintahkan berkumpul. Yang kira-kira agak sulit tidak perlu. Yang bertugas di tempat yang agak jauh, cukup diberitahu sesudah aku berangkat. Aku minta diri kepada mereka.”
“Kau tidak akan pergi ke Singasari untuk digantung.“ potong Panglima itu, “kau masih mungkin kembali pada tugasmu di sini.”
“Ya, aku tahu. Tetapi biarlah aku minta diri kepada mereka. Keberatanmu hanya sekedar berdasarkan atas prasangka saja.”
Panglima itu tidak melarangnya lagi. Ia tahu bahwa Mahisa Agni masih selalu mengekang diri, jika ia bertindak lebih keras lagi, maka mungkin sekali Mahisa Agni akan bersikap lain, dan tugasnya akan gagal sama sekali.
Demikianlah maka Senapati yang ada di pendapa itupun kemudian meninggalkan tempatnya. Panglima yang mendapat tugas ke Kediri itu sama sekali bukan seorang yang pandai menyesuaikan diri dengan lingkungan yang di datanginya. Ia hanya sekedar membanggakan kekuasaan yang ada padanya, karena ia membawa panji-panji dan tunggul kerajaan.
Beberapa orang Senapati masih saja berbincang di sepanjang jalan. Mereka menyadari bahwa mereka berhadapan dengan kekuasaan tertinggi. Dan mereka tidak dapat menggambarkan dengan sesungguhnya, sikap prajurit-prajurit Singasari di daerah lain.
“Yang penting, tuanku Mahisa Agni tidak ingin melihat pertumpahan darah terjadi lagi di Singasari.“ berkata seorang Senapati yang sudah menginjak setengah abad.
“Tetapi dengan mengorbankan harga diri dan kedudukan kita seperti ini?“ jawab Senapati yang masih muda.
“Kita akan melihat perkembangannya.“ jawab yang lain, “tetapi kita harus menyatakan diri bahwa kita cukup kuat untuk diperhitungkan. Besok kita akan membawa pasukan yang kuat ke alun-alun. Semuanya sudah lama siap. Perintah akan menjalar dengan cepat ke seluruh kota dan bahkan keluar kota tanpa menimbulkan kesan yang menggelisahkan.”
“Panglima itu tentu akan mengirimkan petugas sandinya keluar dan mengamati kegiatan di kota ini.”
“Tidak akan ada tanda-tanda apapun. Hubungan dapat berlangsung dengan tenang. Yang nampak hanyalah dua tiga ekor kuda saja di jalan-jalan raya. Tidak lebih.”
Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Semuanya memang sudah disusun sebelum Panglima itu datang, sehingga dengan isyarat yang sederhana, setiap prajurit tahu apa yang harus mereka lakukan. Dan yang mereka lakukan pun bukannya persiapan perang, karena mereka hanya harus berkumpul di alun-alun, meskipun dengan perlengkapan perang.
Seperti yang diduga oleh para Senapati, sebenarnyalah bahwa Panglima itu telah mengirimkan beberapa orangnya untuk mengamati keadaan kota. Tetapi seperti yang sudah diperhitungkan pula oleh para Senapati, mereka tidak melihat kesibukan yang dapat menumbuhkan kecurigaan. Karena itu, maka mereka menganggap bahwa tidak akan timbul kerusuhan apapun di Kediri.
Meskipun demikian Panglima Pelayan Dalam itu masih juga selalu dibayangi oleh prasangka. Karena itu, hampir semalam suntuk ia tidak dapat tidur nyenyak meskipun di muka biliknya dua orang pengawalnya selalu berjaga-jaga bergantian.
Dalam pada itu, Mahisa Agni sempat juga menemui Witantra di biliknya. Seperti yang sudah direncanakan, maka Mahisa Agni minta agar Witantra besok hadir di alun-alun. Ada sesuatu yang akan menarik perhatian para prajurit. Witantra hanya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil.
Demikianlah maka di malam itu telah terjadi kesibukan di antara para prajurit. Kesibukan yang tidak begitu nampak bagi orang lain, karena mereka sudah mempersiapkannya lebih dahulu. Yang tampak hanyalah satu dua ekor kuda yang menghubungkan dari barak yang satu kebarak yang lain. Sesudah itu, maka perintah itu mengalir bagaikan air yang sudah disediakan salurannya.
Karena itulah, maka Kediri rasa-rasanya tetap tenang. Petugas-petugas sandi yang berkeliaran di dalam kota hanya melihat hubungan yang wajar, karena Mahisa Agni ingin minta diri kepada prajurit dari kalangan yang lebih luas lagi di alun-alun. Dan menurut pengamatan para prajurit sandi itu, sama sekali tidak ada persiapan perlawanan dari para prajurit di Kediri.
“Jika mereka ingin melakukan pelawanan dan membinasakan kami, maka mereka tidak perlu memanggil setiap prajurit yang ada di Singasari.“ berkata salah seorang prajurit sandi kepada kawannya.
“Ya. Para Senapati yang tadi berkumpul di pendapa itu pun sudah cukup kuat untuk membinasakan kami semua. Panglima Pelayan Dalam itu tentu tidak akan dapat melawan tuanku Mahisa Agni yang memiliki kemampuan dan ilmu setingkat dengan Sri Rajasa. Sedang jumlah para Senapati yang ada di pendapa dan para petugas yang meronda di istana tuanku Mahisa Agni itu cukup banyak untuk menghancurkan kami.”
Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Untunglah bahwa tuanku Mahisa Agni tidak mau berbuat sesuatu. Ia memiliki hak juga atas Singasari betapapun kecilnya. Ia adalah saudara laki-laki tuanku Permaisuri Ken Dedes. Dan ia ikut mempersatuan Kediri dengan Singasari. Jika ia bangkit dan mengadakan perlawanan atas tuanku Tohjaya, maka Singasari benar-benar akan hancur karena tingkahnya sendiri.”
“Kau dengar apa yang dikatakan di pendapa itu?”
“Ya. Ia tidak mau membelah jantung sendiri.”
Para prajurit sandi itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka tidak dapat menutup kenyataan, bahwa Mahisa Agni adalah orang yang jauh lebih berwibawa dari Panglima Pelayan Dalam itu, meskipun membawa panji-panji dan tunggul kerajaan.
Menjelang fajar para prajurit yang bertugas mengawal Panglima dari Singasari itu sudah berkumpul di halaman istana wakil Mahkota di Kediri. Mereka tidak membawa laporan apapun yang dapat menggelisahkan hati Panglimanya, karena rasa-rasanya Kediri tetap tenang.
“Hari ini kita kembali sambil membawa Mahisa Agni.“ berkata Panglima itu, “betapa sombongnya orang itu, namun ia tidak akan berani melawan perintahku.”
Pengawalnya tidak menyahut. Namun terasa di dalam hati mereka, bahwa Panglima yang baru saja diangkat itu telah merasa dirinya terlampau besar, karena prajurit-prajurit itu pun mengetahui, siapakah Panglima itu sebelum ia diangkat menggantikan Panglima yang terbunuh oleh Kuda Sempana di dalam kerusuhan di arena sabung ayam itu.
Demikianlah ketika matahari terbit di Timur, Panglima yang hampir semalam suntuk tidak tidur dan selalu menghubungi petugas-petugas sandinya itu, sudah siap. Dengan gelisah ia menunggu Mahisa Agni yang masih berada di biliknya.
“Bangunkan Mahisa Agni.“ perintah Panglima itu, “kita akan berangkat pagi-pagi benar.”
Pengawalnya yang mendapat perintah itu menjadi ragu-ragu. Katanya, “Bukankah di istana ini ada pelayan yang dapat membangunkannya? Tentu pelayan itu tahu kebiasaan tuanku Mahisa Agni, dan tahu bagaimana caranya membangunkannya.”
“Cepat, cari pelayan itu.”
Pengawal itupun kemudian mencari pelayan yang bertugas di dalam istana hari itu, dan menyuruhnya membangunkan Mahisa Agni. Pelayan itu tidak dapat membantah. Karena itu meskipun ia agak ragu-ragu, tetapi iapun pergi ke bilik Mahisa Agni dan membangunkannya. Tetapi pelayan itu terkejut ketika tangannya baru saja menyentuh pintu, maka pintu itu sudah terbuka.
“Ampun tuanku.“ berkata pelayan itu, “hamba mendapat perintah dari para pengawal Panglima Pelayan Dalam itu untuk membangunkan tuanku.”
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Aku sudah bangun sejak pagi-pagi tadi. Tetapi aku memang sengaja untuk tinggal saja di dalam bilik.”
“O.“ pelayan itu hanya menundukkan kepalanya.
“Katakan kepada pengawal itu bahwa aku sudah bangun.”
Pelayan itupun kemudian meninggalkan bilik Mahisa Agni dan mengatakan kepada pengawal itu bahwa Mahisa Agni telah bangun.
“Panglima menunggunya, agar ia segera siap. “ berkata pengawal itu.
“Tuanku Mahisa Agni sudah mengatakannya, bahwa ia akan segera siap.”
Pengawal itu pun kemudian melaporkannya kepada Panglimanya bahwa Mahisa Agni akan segera siap. Tetapi persiapan Mahisa Agni memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga Panglima itu menjadi gelisah. Bahkan kemudian dengan tidak sabar ia memerintahkan pengawalnya untuk menghubungi Mahisa Agni.
“Tuan.“ berkata pengawal itu, “Panglima sudah lama siap. Kita harus segera berangkat.”
Mahisa Agni tersenyum sambil menepuk bahu pengawal itu. Katanya, “Biarlah Panglima belajar bersabar sedikit. Katakan, aku hampir selesai.”
Pengawal itu hanya dapat mengangguk dalam-dalam. Ia tidak mempunyai keberanian cukup untuk mendesak agar Mahisa Agni bersiap lebih cepat lagi, meskipun ia sadar bahwa Panglimanya tentu akan membentak-bentaknya lagi. Karena itu, ketika Panglima Pelayan Dalam itu benar-benar membentaknya, pengawal itu sudah tidak terkejut lagi.
“Gila. Kita harus segera berangkat. Katakan kepadanya, bahwa aku telah memerintahkannya.“ Panglima itu hampir berteriak sehingga sebenarnya Mahisa Agni telah mendengarnya.
“Sebentar lagi tuanku Mahisa Agni tentu telah siap.“ jawab pengawal itu.
“Aku menghendaki ia siap sekarang.”
“Baiklah.“ gumam pengawal itu seakan-akan kepada diri sendiri.
Tetapi sebelum ia berdiri dan melangkah Mahisa Agni telah berdiri di ruang dalam itu sambil berkata, “Aku sudah siap.”
Panglima itu berpaling. Sambil menggeram ia berkata, “Kau berbenah diri seperti perempuan. Aku tidak telaten. Kita akan segera berangkat.”
“Bukankah kita akan pergi ke alun-alun sejenak untuk minta diri kepada para Senapati dan prajurit yang sempat dihubungi malam tadi? Tentu prajurit yang ada di sekitar istana ini saja. Namun bagiku yang sudah lama bekerja bersama dengan mereka menganggap perlu untuk sekedar minta diri.”
“Kau tidak akan pergi berperang dan mati di peperangan.”
“O, tentu. Tetapi anak-anak yang pergi bermain-main keluar rumah pun sebaiknya minta diri.”
“Persetan. Bagaimana jika aku menganggap hal itu tidak perlu?”
“Akulah yang akan minta diri kepada mereka. Bukan kau.”
“Aku dapat memerintahkan kepadamu untuk membatalkan rencanamu bertemu dengan prajurit-prajurit itu.”
“Tentu kau dapat melakukannya. Tetapi apakah kau menganggap hal itu perlu kau lakukan? Sekali lagi aku peringatkan, sebaiknya kau jangan mempersoalkan masalah-masalah yang sebenarnya tidak penting sehingga akan membakar Singasari menjadi abu. Jika kau tidak keras kepala, dan merasa dirimu terlampau besar, jauh lebih besar yang sebenarnya, kau tidak akan memberikan perintah yang aneh-aneh. Seandainya yang datang kemari tuanku Tohjaya sendiri, tentu ia tidak akan berkeberatan. Bahkan ia akan berbangga bertemu dengan prajurit-prajuritnya yang ada di Kediri. Dan kau pun akan berbangga berdiri di hadapan prajurit dan Senapati yang sebagian besar sudah kau kenal itu dengan panji-panji dan tunggul kerajaan.”
Panglima itu menggeram. Tetapi ia tidak dapat menolak lagi. Meskipun demikian ia masih membentak, “Aku beri waktu sampai matahari naik ke ujung pepohonan. Kita akan berangkat sebelum panas matahari itu menyengat kulit.”
“Tidak banyak bedanya. Apakah kita berangkat segera atau kita akan menunggu tengah hari. Kita tidak akan dapat mencapai Singasari hari ini. Perjalanan di daerah yang masih berhutan-hutan itu akan memerlukan waktu yang panjang. Kita akan bermalam di perjalanan.”
“Tidak. Kita akan mencapai Singasari meskipun sudah gelap. Karena itu, cepat, lakukan jika kau akan minta diri kepada para prajurit di alun-alun.”
“Baiklah.“ berkata Mahisa Agni, “aku akan pergi ke alun-alun. Tetapi sebaiknya kau pergi juga untuk melihat pasukan Singasari yang ada di Kediri. Panji-panji dan tunggul itu akan dapat menjadi pertanggungan jawabku kepada mereka, karena aku telah meninggalkan Kediri untuk waktu yang tidak ditentukan.”
“Kau memang banyak tingkah. Bahkan kau selama ini hilir mudik antara Kediri dan Singasari?”
“Tetapi keadaan Singasari tidak seperti sekarang ini. Kita berada disuatu masa perpindahan yang belum pasti.“
“Sudah pasti. Kau jangan mengada-ada.”
“Baiklah. Aku tidak memerlukan waktu yang lama. Tetapi aku persilahkan kau pergi juga ke alun-alun dengan panji-panji dan tunggul itu.”
Panglima itu termenung sejenak. Memang senang sekali dapat menunjukkan limpahan kekuasaan Maharaja Singasari kepadanya itu kepada prajurit-prajurit dan Senapati yang memang sebagian besar telah dikenalnya. Bahkan Senapati yang dahulu merupakan perwira sejajarnya. Kini ia telah jauh mendahuluinya, dan menjabat sebagai seorang Panglima di Singasari.
“Apakah kau tidak berkeberatan?“ bertanya Mahisa Agni.
“Baiklah. Aku akan pergi bersamamu dan para pengawal yang aku bawa dari Singasari.”
“Terima kasih atas kesediaanmu. Aku sudah siap. Dan kita akan segera berangkat.”
Demikianlah maka para pengawal pun segera menyiapkan kuda dan perlengkapan yang akan mereka bawa ke alun-alun. Sementara itu beberapa orang pengawal Mahisa Agni pun bersiap pula. Di antara mereka terdapat Witantra yang berpakaian seperti seorang prajurit biasa.
Meskipun mula-mula pemimpin pengawal Mahisa Agni menjadi agak segan setelah ia mengetahui bahwa orang itu adalah Witantra, seorang Panglima Pasukan Pengawal di Tumapel pada masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung. Namun kemudian iapun berhasil membiasakan diri dengan sikapnya sebagai pemimpin.
Demikianlah maka rombongan itu pun segera keluar dari regol istana. Yang berada di paling depan adalah dua orang pengawal dari Singasari. Kemudian Panglima itu berkuda bersama-sama dengan Mahisa Agni. Di belakangnya pengawalnya yang membawa panji-panji dan tunggul kerajaan, lambang kekuasaan yang dilimpahkan kepadanya oleh Maharaja yang berkuasa di Singasari.
Perlahan-lahan iring-iringan itu menyusuri jalan kota menuju ke alun-alun di muka istana Maharaja Kediri yang telah gugur melawan Sri Rajasa, dan yang kemudian istana itu seakan-akan tidak lagi mempunyai arti di dalam pemerintahan. Meskipun demikian di dalam istana itu masih tetap tinggal keluarga dan keturunan raja di Kediri.
Panglima Pelayan Dalam yang memiliki limpahan kekuasaan itu tiba-tiba saja menjadi bertambah bangga melihat rakyat Kediri berdiri berderet di pinggir jalan. Mereka melihat kemegahan panji-panji dan tunggul kerajaan Singasari itu. Namun dengan demikian maka mereka pun tahu bahwa yang datang itu tentu sekedar seorang pemimpin Singasari yang membawa kekuasaan Mahkota. Tentu bukan Maharaja itu sendiri. Karena itu, maka Rakyat di Kediri tidak perlu berjongkok di sepanjang jalan. Mereka tetap berdiri meskipun agak jauh dari jalan yang dilalui oleh iring-iringan itu.
Dihadapan istana Kediri beberapa orang Senapati telah siap menerima iringan itu ketika seorang penghubung berkuda yang mendahului iringan itu memberi tahukan bahwa utusan dari Singasari dan Mahisa Agni sedang menuju ke alun-alun. Namun yang sangat mengejutkan Panglima Pelayan Dalam itu dan para pengawalnya adalah sambutan yang mereka terima ketika mereka mendekati regol alun-alun itu.
“Mahisa Agni.“ desis Panglima itu, “apakah artinya ini?”
“Tidak berarti apa-apa. Bukankah aku akan minta diri kepada mereka?”
Panglima itu menjadi tegang. Ternyata yang dilihatnya di alun-alun itu adalah pasukan segelar sepapan. Pasukan Singasari yang ada di Kediri dan pasukan pengawal keamanan yang disusun oleh Mahisa Agni di Kediri itu sendiri. Sejenak Panglima itu termangu-mangu. Kemudian dipanggilnya seorang Senapati pengawalnya mendekat. Katanya, “Gila, apa yang dilakukan oleh petugas-petugasmu yang mengawasi keadaan? Apakah mereka sama sekali tidak melihat kesibukan apapun sehingga di alun-alun dapat terkumpul sekian banyak orang?”
Senapati itu tidak segera menjawab. Ia sendiri heran, bahwa di Kediri sempat dikumpulkan sekian banyak prajurit yang lengkap dengan senjata masing-masing. Namun sebelum Senapati itu menjawab, Mahisa Agnilah yang menyahut, “Apakah kau sudah melepaskan petugas-petugas sandi?”
Panglima itu tidak menjawab. Tetapi dipandanginya Mahisa Agni dengan tajamnya.
“Aku sudah menyusun jalur hubungan yang sebaik-baiknya di Kediri. Setiap perintah akan mengalir melalui aluran yang sudah ditentukan. Apa salahnya? Bukankah tuanku Sri Rajasa dahulu sudah mulai menyusun saluran perintah yang teratur dan tuanku Anusapati pun berusaha untuk menyempurnakan? Namun agaknya di saat terakhir, terutama di Singasari, jalur itu telah terputus-putus. Setiap pimpinan dan Senapati memilih jalurnya masing-masing.”
“Omong kosong.“ potong Panglima itu.
“O, kau tidak merasakannya?”
“Tidak. Semuanya berjalan wajar.”
“Jika demikian yang kau lihat inipun adalah hasil usaha yang tekun untuk mempercepat semua perintah lewat saluran yang dari sedikit aku sempurnakan. Agaknya hasilnya cukup memuaskan. Nah, sebaiknya kau laporkan pula nanti jika kita menghadap, bahwa saluran perintah di Kediri sudah berjalan sesuai dengan keinginan para pemimpin di Singasari sejak masa pemerintahan Sri Rajasa.”
Panglima itu tidak menyahut. Tetapi terdengar giginya gemeretak. Ketika ia memasuki alun-alun, maka terasa dadanya bergetar. Ia melihat prajurit-prajurit Singasari di Kediri dan para pengawal dari Kediri sendiri telah siap menunggu kedatangan mereka di alun-alun. Di bagian depan terdapat sebuah panggungan kecil yang dibuat dengan tergesa-gesa, sekedar dipergunakan untuk berbicara.
“Marilah.“ ajak Mahisa Agni, “kita pergi ke panggung kecil itu.”
Panglima itu tidak menjawab. Seorang penunjuk jalan segera mendampingi kedua orang berkuda yang ada di depan Panglima Pelayan Dalam itu dan membawanya ke hadapan para prajurit diikuti oleh iringkan itu. Panglima Pelayan Dalam itu benar-benar tidak menyangka, bahwa Mahisa Agni sempat mengumpulkan prajurit sebanyak itu.
Maka mulailah ia menyadari kesalahan prajurit sandinya, yang justru melihat-lihat Kediri di malam hari, tidak saat menjelang fajar. Di malam hari Kediri itu memang sepi, tetapi menjelang fajar, semua jalan menuju ke alun-alun itu telah dipenuhi oleh pasukan yang akan berkumpul di alun-alun, justru saat pasukan sandinya tidak lagi mencurigai adanya kegiatan prajurit di Kediri.
Dengan dada yang berdebar-debar maka iring-iringan prajurit utusan dari Singasari itu menuju kehadapan para prajurit yang sudah berkumpul itu. Dibelakang panggung kecil itu mereka berhenti dan disambut oleh beberapa orang Senapati yang semalam telah mendengarkan penjelasan dari Panglima Pelayan Dalam itu.
“Kami mengucapkan selamat datang.“ berkata salah seorang Senapati itu, “agaknya ada baiknya pula memperkenalkan diri sebagai seorang Panglima yang baru di Singasari.”
Dada Panglima itu menjadi semakin berdebar-debar. Dipandanginya Senapati yang mengucapkan selamat datang kepadanya itu. Ia tidak dapat mengelak lagi, bahwa Senapati itu adalah Senapati yang pernah dikenalnya di dalam pasukan pengawal sebelum ia mendapat tugas di dalam pasukan Pelayan Dalam.
“Panglima.“ berkata Senapati itu, “apakah Panglima lupa kepadaku? Kita pernah berada di dalam satu medan perang. Tentu Panglima masih ingat, selagi kita berada di hutan Kusu.”
Panglima itu terpaksa menganggukkan kepalanya. Katanya, “Ya aku ingat. Tetapi itu sudah lama terjadi.”
“Ya. Sudah lama.”
“Ternyata selama ini kau masih saja seperti keadaanmu dahulu. Kau sama sekali tidak maju di dalam segala hal. Aku kini datang membawa panji-panji dan tunggul kerajaan.”
“Aku sudah melihat.“ jawab Senapati itu, “aku akan mengucapkan selamat atas pengangkatanmu menjadi seorang Panglima.”
Panglima itu tidak menjawab, meskipun kepalanya terangguk-angguk kecil. Ketika seorang prajurit siap menerima kudanya, maka Panglima itu pun kemudian turun dari kudanya diikuti oleh para pengawalanya, Mahisa Agni dan prajurit-prajurit Singasari yang mengiringinya. Sejenak mereka berdiri berderet bersama dengan Senapati yang sudah berada di Kediri. Beberapa orang Senapati itupun berganti-ganti mengucapkan selamat kepada Panglima yang baru pertama kali berada di Kediri.
“Nah.“ berkata Mahisa Agni, “biarlah aku minta diri kepada para prajurit dan biarlah aku menunjuk seorang perwira yang dapat mewakili aku selama aku tidak ada di Kediri.”
“Hanya Maharaja di Kediri yang berhak menunjuk seorang wakil Mahkota.”
“Aku tidak menunjuk wakil Mahkota di Kediri. Aku hanya ingin menyerahkan pengawasan prajurit-prajurit yang ada di Kediri kepada seorang perwira yang aku percaya.”
Panglima itu tidak menjawab lagi. Dipandanginya saja Mahisa Agni yang kemudian melangkah mendekati panggung kecil itu dan kemudian memanjat naik. Sebelum Mahisa Agni berbicara sepatahpun, terdengar tepuk tangan dan sorak yang bagaikan meledak menyambutnya dengan sepenuh hati. Tepuk tangan dan sorak sorai itu bagaikan menghentak-hentak dada Panglima itu. Ia sadar bahwa agaknya pergantian pimpinan pemerintahan di Singasari tidak mendapat sambutan yang baik di Kediri. Dan iapun sadar, bahwa kekuatan di Kediri tampaknya melampaui kekuatan yang diketahui oleh Singasari.
“Kekuatan di Kediri ini harus mendapat perhatian yang sungguh-sungguh.” berkata Panglima itu dalam hatinya.
Dalam pada itu Mahisa Agni yang sudah berada di atas panggung kecil itu menerima sambutan dengan lambaian tangan. Namun sejenak kemudian maka iapun memberikan isyarat agar para prajurit itu menjadi tenang.
“Saudara-saudaraku.“ berkata Mahisa Agni kemudian, “aku berdiri di sini atas nama kekuasaan tertinggi yang berada di Kediri. Namun di sini kini ada kekuasaan yang lebih tinggi lagi, yaitu Panglima Pelayan Dalam yang baru yang kini membawa limpahan kekuasaan Maharaja di Singasari dengan pertanda panji-panji dan tunggul kerajaan.”
Alun-alun itu justru menjadi hening. Para prajurit yang memang sudah mengetahui kehadiran Panglima itu hanya memandangi panji-panji dan tunggul itu saja tanpa memberikan sambutan apapun.
Terasa sesuatu berdesir di dada Panglima itu. Jika Mahisa Agni ternyata akan berbuat curang, maka tidak banyak yang dapat dilakukan dihadapan prajurit yang sekian banyaknya lengkap dengan senjata masing-masing. Adalah pekerjaan yang hampir tidak berarti, seandainya Mahisa Agni memerintahkan pasukannya untuk menangkapnya dan merampas panji-panji dan tunggul itu. Apalagi setiap orang mengetahui bahwa Mahisa Agni memiliki kemampuan yang tidak ada taranya. Hampir tidak ada tandingnya di seluruh lingkungan istana Singasari. Apalagi Maharaja yang baru saja duduk di atas tahtanya itu.
Namun agaknya Mahisa Agni tidak ingin berbuat demikian. Seperti yang dikatakan, ia ternyata hanya minta diri kepada prajuritnya, bahwa ia dipanggil oleh tuanku Tohjaya, yang kini duduk di atas tahta Singasari.
“Aku akan menghadap.“ berkata Mahisa Agni, “mudah-mudahan aku akan mendapat perintah yang akan dapat menempatkan kedudukan kita semua bertambah baik. Agaknya kini sudah waktunya kita memikirkan keadaan kita seorang demi seorang. Bukan saja para prajurit, tetapi seluruh rakyat yang berada dilingknngan Kerajaan Singasari.”
Panglima itu masih saja berdebar-debar. Mahisa Agni masih berbicara terus. Kadang-kadang sambutan yang bagaikan menyentuh langit terdengar memekakkan telinga. Dan setiap kali sambutan itu meledak, maka dada Panglima itu menjadi berdebar-debar.
Dalam pada itu Mahisa Agni yang dengan sengaja ingin menunjukkan kekuatan yang ada di Kediri agaknya telah mencapai maksudnya. Ia sudah berhasil memberikan kesan, kekuatan yang tidak boleh diabaikan. Bukan saja prajurit yang cukup jumlahnya, namun mereka adalah prajurit-prajurit yang memiliki kemampuan berbuat sesuatu dengan cepat.
Panglima Pelayan Dalam yang baru itu berserta para pengawalnya termenung saja di tempatnya. Setiap kali para prajurit itu bertepuk atau bersorak menyambut kata-kata Mahisa Agni, maka rasa-rasanya hati mereka pun tergores karenanya. Namun akhirnya Mahisa Agni selesai juga berbicara. Tidak ada tanda-tanda bahwa Mahisa Agni telah menghasut mereka untuk melakukan perlawanan.
Dengan demikian maka perlahan-lahan tumbuh pula kebanggaan mereka atas panji-panji dan tunggul kerajaan itu. Karena itu, maka ketika Mahisa Agni telah turun dari panggung kecil itu, maka Panglima Pelayan Dalam itupun berkata kepadanya, “Aku juga akan berbicara dengan mereka atas nama kekuasaan tertinggi di Singasari.”
“Apa yang akan kau bicarakan?“ bertanya Mahisa Agni.
“Tentang keadaan terakhir di Singasari.”
“Kau akan menyampaikan dongengmu seperti semalam?”
“Dongeng yang mana?”
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Sama sekali tidak perlu. Biarlah para Senapati yang semalam telah mendengarkan sesorahmu nanti menyampaikannya kepada para prajurit. Kini kepentinganku sudah selesai. Bukankah kau ingin berangkat lebih cepat?”
”Tetapi aku akan berbicara.“ desak Panglima.
“Itu tidak perlu.”
Tetapi Panglima itu selalu mendesak. Bahkan kemudian ia mengancam, “Aku datang dengan panji-panji dan tunggul kerajaan. Apakah kau akan menolak perintahku?”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sejenak ia berdiam diri memandang Panglima itu dengan tajamnya, sehingga suasana menjadi tegang sejenak. Para Senapati yang ada di sekitar menunggu dengan hati yang berdebar-debar.
“Jika kau memaksa.“ berkata Mahisa Agni, “terserahlah kepadamu. Kau memang berhak. Tetapi kau tidak akan dapat menguasai keadaan. Kau harus mengetahui jiwa setiap prajurit Singasari yang ada di Kediri. Kau harus mengetahui jiwa prajurit Singasari dari semua lingkungan dan pasukan. Bukan sekedar Pelayan Dalam.”
“Aku memahami. Dan aku akan berbicara dengan mereka.”
“Jika demikian aku akan pergi. Aku akan mendahului menghadap tuanku Tohjaya. Karena aku tidak yakin bahwa kau akan berhasil menguasai perasaan para prajurit itu. Kau tentu tidak akan dapat meyakinkan mereka, bahwa tuanku Anusapati telah dibunuh oleh rakyat Singasari karena bagi mereka tuanku Anusapati adalah seorang pahlawan yang sangat dicintai rakyatnya. Sejak ia masih seorang Pangeran Pati dengan ujudnya sebagai Kesatria Putih, namanya sudah dikenal dan disuyuti.”
Panglima itu termangu-mangu sejenak.
“Sekarang terserahlah kepada pilihanmu.“ berkata Mahisa Agni kemudian.
Panglima itu menjadi termangu-mangu. Ia berdiri di simpang jalan yang sulit. Sebagai seorang yang membawa panji-panji dan tunggul kerajaan, makan kata-katanya seharusnya berlaku sebagai ketentuan yang tidak dapat dirubah. Tetapi jika ia benar-benar berbicara dihadapan prajurit-prajurit itu, peringatan Mahisa Agni itu merupakan pertanda buruk baginya. Jika Kediri bergolak justru karena kesalahannya, maka ia tentu harus mempertanggung jawabkannya. Sejenak Panglima itu termangu-mangu. Namun demikian ia berkata, “Aku akan tetap naik keatas panggung. Dan aku perintahkan kau tetap berada di sini.”
“Apakah kau takut sendirian berdiri di atas panggung itu? Jika demikian, baiklah, aku kawani kau sebentar. Tetapi yang terjadi kemudian bukan tanggung jawabku.”
Jawaban Mahisa Agni benar-benar telah menusuk jantungnya. Sejenak ia memandang wajah pengawalnya. Namun pengawalnya sama sekali tidak mengangkat wajahnya. Kepala mereka tertunduk lesu, seperti dedaunan yang dipanggang diteriknya matahari. Ketika Panglima itu mencoba memandang wajah para Senapati Singasari yang ada di Kediri, dilihatnya para Senapati itu memalingkan wajah-wajah mereka, seakan-akan mereka tidak mendengar percakapannya dengan Mahisa Agni.
Untuk beberapa lamanya Panglima itu termangu-mangu. Tetapi ia adalah seorang prajurit. Ia tidak dapat begitu saja meninggalkan ucapan tanpa melaksanakannya hanya karena orang lain mencegahnya. Padahal ia membawa panji-panji dan tunggul kerajaan lambang kekuasaan tertinggi. Sejenak kemudian maka Panglima itupun membulatkan hati. Sambil menggeretakkan giginya iapun kemudian memanjat tangga dan naik ke atas panggung kecil itu.
Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Bukan karena ia harus mentaati perintah Panglima itu, atau bukan karena ia merasa tersinggung karena ia tidak berhasil mencegahnya. Namun justru jika Panglima itu salah lidah, akibatnya akan sangat parah. Tetapi Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam ketika ternyata Panglima itu hanya berbicara beberapa patah kata saja, katanya,
“Aku, atas nama kekuasaan tertinggi Singasari telah diperintahkan untuk memanggil Mahisa Agni. Dan aku, atas nama kekuasaan tertinggi telah memberikan wewenang kepada Mahisa Agni untuk menunjuk seseorang sebagai kepercayaannya selama ia berada di Singasari. Kata-kataku berlaku sebagai sabda Maharaja Singasari.”
Ketika Panglima itu terdiam maka tiba-tiba saja dada Mahisa Agni telah menjadi berdebar-debar kembali. Sejenak ia memperhatikan Panglima Pelayan Dalam itu. Jika ia masih akan berbicara lagi, maka akan membuka kemungkinan pembicaraannya tersesat dan membakar hati para prajurit itu. Kalimat yang pertama diucapkan agaknya sama sekali tidak mendapat tanggapan yang baik. Semakin banyak yang akan dibicarakan, maka akan semakin banyak terdapat lubang-lubang yang dapat menyeretnya terperosok ke dalamnya.
Namun agaknya Panglima itu sadar, bahwa ia tidak mendapat sambutan yang baik dari para prajurit. Maka iapun segera menyelesaikan kata-katanya. “Aku tidak akan banyak berbicara di hadapan kalian. Semuanya akan dijelaskan oleh para Senapati.”
Panglima itupun kemudian melangkah turun dari panggung kecil itu tanpa sambutan apapun dari para prajurit. “Kita segera kembali ke Singasari.“ geramnya.
Tetapi Mahisa Agni berkata, “Bukankah aku masih harus menunjuk seorang wakilku?”
Panglima itu menarik nafas dalam-dalam. “Aku akan menunjuk dan membawanya naik kepanggung kecil itu untuk memperkenalkannya kepada para prajurit.”
“Mereka pasti sudah kenal.”
“Ya. Tetapi aku ingin meyakinkan mereka, bahwa benar orang itulah yang aku tunjuk.”
Panglima itu terdiam sejenak, lalu, “Cepat, waktu kita akan habis disini.”
Mahisa Agni pun kemudian berbicara dengan beberapa orang Senapati. Kemudian merekapun sepakat menunjuk seorang Senapati yang tertua di antara mereka. “Aku akan membawanya naik dan mengumumkannya.“ berkata Mahisa Agni kemudian.
Demikianlah maka Mahisa Agnipun membawa Senapati tertua itu naik keatas panggung kecil itu. Sambil mengacukan tangan kanan Senapati tertua itu Mahisa Agni berkata, “Berdasarkan kekuasaan yang ada pada Panglima Pelayan Dalam yang membawa panji-panji dan tunggul kerajaan, maka aku menunjuk Senapati ini sebagai wakilku selama aku tidak ada di Kediri.”
Para prajurit Singasari yang ada di Kediri itu pun menyambutnya dengan sorak yang gemuruh. Senapati itu sudah dikenal oleh setiap prajurit. Ia adalah seorang Senapati yang senang sekali bergurau meskipun masih tetap dalam batas-batas yang wajar. Apalagi Senapati itu memiliki kemampuan yang cukup dibidangnya dan di dalam olah kanuragan.
“Selama aku tidak ada, maka kalian harus mentaati perintahnya.“ berkata Mahisa Agni kemudian, lalu, “tetapi di samping Senapati tertua itu, aku akan mengangkat seorang penasehat baginya. Ia akan selalu mendampinginya dan memberikan pertimbangan dan nasehat. Diminta atau tidak diminta. Tetapi Senapati ini pun dapat menerima atau menolak nasehat itu.”
Semua menjadi hening. Mereka mulai menebak-nebak siapakah yang akan menjadi penasehat itu. Tetapi agaknya para prajurit itu tidak begitu banyak menaruh perhatian, karena jabatan itu mereka anggap tidak begitu penting dan tidak begitu banyak pengaruhnya bagi kedudukan wakil Mahisa Agni itu.
“Nah.“ berkata Mahisa Agni kemudian, “aku menunjuk seorang prajurit tua dari pasukan pengawal yang selama ini mengawal aku di istana. Ia banyak mengetahui tentang rencana yang pernah aku susun. Ia mengetahui kelemahan-kelemahannya dan ia mengetahui manakah yang baik dan berarti.“ sejenak Mahisa Agni terdiam. Ia mencoba melihat apakah keterangannya itu mendapat tanggapan. Tetapi agaknya para prajurit itu menjadi acuh tidak acuh saja terhadap kedudukan yang kurang mereka kenal itu.
Namun kemudian Mahisa Agnipun berkata, “Saudara-saudaraku, para prajurit. Mungkin kalian sudah ada yang mengenalnya. Sudah lama sekali tidak menampakkan diri dengan namanya sendiri. Tetapi ia berada di antara kita dengan nama yang lain. Pati-pati. Dan sekarang aku harap Pati-pati itu tampil ke atas panggung ini.”
Tidak seorang pun yang bergerak dari tempatnya. Tidak seorang pun yang biasa disebut Pati-pati. Namun Mahisa Agni pun kemudian menjelaskan, “Orang itu sebenarnya bukan orang baru. Tetapi ia adalah seorang prajurit yang justru sudah terlampau lama berada di lingkungannya.”
Semua mata saling mencari, siapakah agaknya yang disebut oleh Mahisa Agni. Mereka yang mula-mula tidak begitu berminatpun menjadi tertarik juga mendengarkan penjelasan itu. Bukan karena mereka tertarik pada jabatan yang kurang mereka kenal itu, tetapi mereka tertarik kepada orang yang bernama Pati-pati itu.
Karena tidak ada seorang pun yang bergerak, maka Mahisa Agnipun kemudian berkata, “Ia berada di antara pasukan pengawalku.“ Dan sambil berpaling kepada seorang yang berpakaian prajurit di belakang panggung ia berkata, “Naiklah bersama kami.”
Orang itu ragu-ragu sejenak. Namun iapun sadar, bahwa ia agaknya memang diperlukan oleh Mahisa Agni. Karena itulah maka dengan ragu-ragu ia melangkah mendekati panggung dan memanjat naik. Dengan termangu-mangu ia pun kemudian berdiri di samping Mahisa Agni dan Senapati tertua yang akan mewakili Mahisa Agni selama ia tidak berada di tempatnya.
“Nah, inilah prajurit itu.“ berkata Mahisa Agni kemudian.
Semua mata kini tertuju kepada prajurit yang berdiri di sebelah Mahisa Agni. Prajurit yang sebenarnya sudah cukup tua. Tetapi dari sepasang matanya memancar kepribadian yang mengesankan. Namun di dalam lingkungan para prajurit itupun timbullah keheranan yang sangat. Justru karena sebagian terbesar dari mereka belum pernah mengenal prajurit yang disebut bernama Pati-pati itu. Juga prajurit dari Pasukan Pengawal sendiri kecuali beberapa orang prajurit yang kebetulan pada hari itu bertugas Mahisa Agni dan mendapat pesan langsung tentang orang yang disebut bernama Pati-pati itu.
Dalam keheranan itu para prajurit mendengar Mahisa Agni berkata lantang, “Para prajurit dan Senapati. Orang yang bernama Pati-pati ini adalah orang yang sebenarnya pernah kalian kenal jauh sebelum ini. Terlebih-lebih mereka yang usianya sudah cukup untuk mengenang masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung.”
Para prajurit yang mendengar keterangan Mahisa Agni itu menjadi semakin heran. Bahkan Panglima Pelayan Dalam yang mendapat limpahan kekuasaan Maharaja Singasari itu pun menjadi berdebar-debar pula. “Apakah hubungannya dengan masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung?“ Panglima itu bertanya di dalam hatinya.
Namun sebelum ia sempat berbuat apa-apa, Mahisa Agni telah melanjutkan keterangannya, “Nah, para prajurit. Orang yang bernama Pati-pati ini adalah orang yang mempunyai kedudukan penting di masa itu. Meskipun orang ini pada waktu itu tidak dikenal sebagai seorang yang bernama Pati-pati. Tetapi pada waktu itu ia bernama Witantra. Seorang Panglima Pasukan Pengawal.”
Ternyata sebutan itu telah mendebarkan setiap jantung sehingga untuk beberapa saat terdengar suara menggeramang di antara mereka. Beberapa orang mengulangi nama dan sebutan itu. Witantra, Panglima Pasukan Pengawal pada masa Akuwu Tunggul Ametung.
Namun dalam pada itu, selagi orang-orang itu sibuk berbicara diantara mereka, maka Panglima Pelayan Dalam yang memegang kekuasaan tertinggi itu berkata lantang dari belakang panggung kecil itu. “He, Mahisa Agni. Apakah maksudmu dengan Panglima Pasukan Pengawal di masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung itu? Pemerintahan yang hanya berkisar di sekitar daerah Tumapel. Apakah artinya seorang Panglima dari seorang Akuwu.”
Mahisa Agni memandang Panglima itu sejenak, lalu, “Persoalannya bukannya karena ia seorang Panglima, meskipun dari pemerintahan yang jauh lebih kecil dari Singasari sekarang. Tetapi bahwa Witantra mempunyai pengalaman yang luas dan pengetahuan yang cukup akan dapat dimanfaatkan di dalam keadaan seperti ini.”
“Mahisa Agni.“ sahut Panglima itu, “betapa banyaknya pengalaman dan betapa tingginya pengetahuannya, agaknya di Singasari dapat diketemukan puluhan orang seperti Witantra. Karena itu, apakah kau memandang perlu sekali mempergunakan orang itu di Kediri?”
“Panglima Pelayan Dalam yang kebetulan membawa kekuasaan tertinggi. Sebenarnyalah aku mempercayainya. Selama ini ia adalah pengawalku dan penasehatku meskipun tidak secara resmi diangkat. Aku mengetahui banyak tentang dirinya. Dan jika kau menyebut puluhan orang terdapat di Singasari yang memiliki pengalaman dan pengetahuan seperti orang ini, maka aku dapat mengatakan bahwa itu sama sekali tidak benar. Ada berapa orang Singasari yang memiliki kemampuan seperti tuanku Sri Rajasa? Nah, jika kau dapat menyebut namanya, maka orang itu dapat disejajarkan dengan orang yang bernama Witantra ini meskipun barangkali Witantra masih belum sepenuhnya dapat diseimbangkan dengan Sri Rajasa. Namun agaknya di Singasari sekarang tidak ada lagi orang yang menyamainya.“ Mahisa Agni berhenti sejenak, lalu, “seorang di antara mereka yang memiliki kelebihan adalah Kuda Sempana. Dan kau tahu, bahwa Kuda Sempana bekas Pelayan Dalam di masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung itu, ternyata memiliki kemampuan lebih besar dari Panglima Pelayan Dalam yang terbunuh dan yang kedudukannya dilimpahkan kepadamu.”
Panglima itu menjadi tegang. Sejenak ia diam mematung. Bukan saja karena menurut keterangan Mahisa Agni, Witantra memiliki kemampuan setingkat Sri Rajasa, namun yang lebih mendebarkan jantungnya adalah bahwa Mahisa Agni dapat menyebutkan bahwa Panglima Pelayan Dalam itu telah mati terbunuh oleh Kuda Sempana, dan yang disebutnya pula bahwa ia adalah bekas seorang Pelayan Dalam di masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung. Apakah dengan demikian berarti bahwa Mahisa Agni telah mengetahui dengan pasti apakah yang terjadi di halaman istana itu?
Dalam pada itu Mahisa Agnipun melanjutkannya, “Nah, orang yang kini berada di sisiku ini bukan sekedar seorang Pelayan Dalam seperti Kuda Sempana itu, tetapi ia adalah seorang Panglima pada waktu itu. Karena itu, sebaiknya yang sudah aku tetapkan ini berlaku. Biarlah Kuda Sempana sudah mati terbunuh di dalam kerusuhan yang terjadi di halaman istana itu, kerusuhan yang sudah direncanakan sebaik-baiknya. Tetapi aku tidak akan mempersoalkan kerusuhan itu sendiri karena kau sudah langsung memberikan penjelasan kepada para Senapati.”
Wajah Panglima Pelayan Dalam itu menjadi merah. Meskipun kata-kata Mahisa Agni itu ditujukan kepadanya, sehingga tidak banyak didengar oleh para prajurit yang berada di depan panggung kecil itu, namun dengan demikian Mahisa Agni seakan-akan ingin menjelaskan kepadanya, bahwa ia tidak percaya sama sekali dengan keterangannya, bahwa tuanku Anusapati mati di dalam kerusuhan yang tiba-tiba saja meledak, meskipun bibit kebencian itu sudah lama ada dihati rakyat. Karena itu, untuk beberapa saat lamanya Panglima itu justru diam mematung menahan gejolak di dadanya.
Dalam pada itu karena Panglima itu tidak segera menyahut Mahisa Agni pun melanjutkan kata-katanya kepada pada prajurit. “Nah, demikianlah ketetapanku sebelum aku berangkat ke Singasari. Aku sudah menunjuk wakilku dan seorang penasehatnya. Aku yakin bahwa pemerintahan di Kediri akan tetap berjalan seperti biasa dengan bantuan para pemimpin di Kediri sendiri.”
Mahisa Agni tidak menunggu jawaban dari Panglima itu, dan berkata seterusnya, “Baiklah, aku sekarang minta diri untuk segera berangkat ke Kediri, Lakukanlah tugas kalian baik-baik. Aku akan segera kembali.“ lalu ia berpaling kepada Panglima Pelayan Dalam itu sambil bertanya, “Bukankah aku akan segera kembali?”
Pertanyaan itu benar-benar menyakitkan hatinya. Belum lagi ia berhasil menguasai perasaannya Mahisa Agni sudah berkata kepada para prajurit. “Nah, bukankah ia mengiakan. Karena itu, lakukanlah tugas kalian sebaik-baiknya sehingga pada saatnya aku kembali.” Mahisa Agni kemudian mengangkat tangannya sambil mengucapkan selamat tinggal.
Sambutan yang gemuruh bagaikan memecahkan langit. Setiap prajurit telah melambaikan tangannya. Tetapi ketika beberapa orang prajurit yang ada di depan panggung kecil itu tiba-tiba menarik senjatanya dan mengacukannya, maka yang lainpun menarik senjata mereka dan mengacukannya pula sambil meneriakkan nama Mahisa Agni.
Mahisa Agni tersenyum. Rencananya berjalan seperti yang diharapkan untuk memberikan kesan tersendiri kepada utusan Maharaja di Singasari. Pasukan yang ada di Kediri adalah pasukan yang cukup kuat ditambah dengan pasukan pengawal Kediri sendiri. Meskipun pasukan itu tidak begitu besar, tetapi dalam waktu yang singkat, Mahisa Agni tentu berhasil mengumpulkan jumlah yang belipat. Apalagi jika diingat saat-saat Singasari memasuki kota Kediri. Mahisa Agni memimpin sepasukan orang-orang Kediri yang tidak puas terhadap sikap pemimpin pemerintahannya sendiri saat itu.
Sambil melambaikan tangannya Mahisa Agnipun surut selangkah. Ia memberikan beberapa pesan kepada Senapati tertua yang telah diserahi pimpinan atas para prajurit yang berada di Kediri dan kepada seorang prajurit yang bernama Pati-pati dan yang sebenarnya adalah bekas seorang Panglima Pasukan Pengawal pada masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung. Nama Pati-pati maupun Witantra sebenarnya asing bagi para prajurit. Tetapi sebutan bekas Panglima itu sangat menarik perhatian mereka.
Mahisa Agnipun kemudian turun dari panggung kecil itu. Perlahan-lahan sambil tersenyum ia mendekati Panglima Pelayan Dalam itu sambil berkata, “Aku sudah minta diri. Marilah kita berangkat. Barangkali kau ingin cepat kembali meskipun kita pasti akan memasuki kota Singasari di malam hari atau bermalam di perjalanan.”
Panglima itu termangu-mangu sejenak, namun kemudian iapun berkata, “Kita akan memasuki istana Singasari meskipun lewat tengah malam.”
Panglima itupun kemudian memerintahkan pengawalnya untuk menyediakan kudanya. Sejenak ia memperhatikan para prajurit yang masih saja mengacukan senjata mereka sambil meneriakkan nama Mahisa Agni.
“Kita segera pergi.“ geram Panglima itu. Panglima Pelayan Dalam dan para pengawalnya beserta Mahisa Agni dan para pengawalnya pun kemudian meloncat ke punggung kuda masing-masing. Mereka pun segera meninggalkan alun-alun dengan kesannya masing-masing. Sedang para prajurit di alun-alun masih saja melambai-lambaikan senjata mereka sebagai penghormatan kepada Mahisa Agni.
Baru ketika Mahisa Agni telah hilang dari pandangan mereka, maka mereka pun mulai menyadari bahwa seorang Senapati telah mendapat limpahan tugas Mahisa Agni bersama seorang prajurit bernama Pati-pati.
“Kita akan melakukan tugas kita sebaik-baiknya.“ berkata Senapati tertua itu, “dan aku akan selalu berhubungan dengan penasehat yang telah ditunjuk oleh tuanku Mahisa Agni.“ Senapati itu berhenti sejenak, lalu, “apalagi penasehat ini adalah bekas seorang Panglima yang mendapat kepercayaan di masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung.”
Demikianlah maka para prajurit yang berada di alun-alun itupun kemudian kembali ke barak mereka masing-masing. Beberapa orang Senapati kemudian mengadakan pembicaraan-pembicaraan yang penting menanggapi keadaan yang berubah dengan cepatnya. Namun bagaimanapun juga mereka tidak akan dapat melepaskan diri dari sikap Mahisa Agni sendiri, sehingga Senapati tertua yang mewakilinya itu pun selalu memperingatkan bahwa para prajurit di Kediri harus tetap dapat menahan hati sehingga tidak menumbuhkan persoalan-persoalan yang harus diselesaikan dengan kekerasan.
Dalam pada itu, sebuah iring-iringan dengan cepatnya telah meninggalkan kota Kediri. Di paling depan seorang pengawal berkuda dengan dada tengadah. Kemudian Panglima Pelayan Dalam yang membawa Mahisa Agni menghadap bersama pengawalnya yang membawa panji-panji dan tunggul kerajaan. Baru kemudian Mahisa Agni berkuda sambil merenung, apakah kira-kira yang akan dihadapinya di Singasari.
Namun bagi Mahisa Agni, sebagian besar rencananya telah berhasil. Ia dapat menunjukkan kepada Panglima Pelayan Dalam itu, bahwa Mahisa Agni tidak berdiri sendiri. Ia berdiri dihadapan sepasukan prajurit yang kuat, sehingga Tohjaya yang baru saja naik tahta itu akan selalu mempertimbangkannya. Apalagi di antara mereka telah disebut nama Witantra yang juga bergelar Panji Pati-pati. Seorang bekas Panglima pada masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung. Meskipun Witantra tidak berbuat apa-apa, namun kehadirannya di antara para prajurit memang perlu dipertimbangkan.
Demikianlah agaknya yang sedang berkecamuk di dalam angan-angan Panglima itu. Ternyata ia sedang merenungi kekuatan prajurit Singasari yang ada di Kediri.
“Demikian banyaknya.“ berkata Panglima itu di dalam hatinya, “sungguh di luar dugaan. Mahisa Agni tentu sudah menarik pasukan Singasari yang terpencar di tempat-tempat yang terpencil. Mungkin sebelum aku datang.”
Dan di dalam dada Panglima itupun berkecamuk berbagai macam pertimbangan yang harus diperhitungkan tentang kekuatan yang berdiri di belakang Mahisa Agni, termasuk seorang bekas Panglima Tumapel.
“Tentu Mahisa Agni sengaja menyusun kekuatan itu.“ berkata Panglima itu pula di dalam hatinya. Sekilas ia dapat meraba bahwa Mahisa Agni dengan sengaja memamerkan kekuatan itu kepadanya. Namun sebenarnyalah bahwa kekuatan itu tidak dapat diabaikan.
Di sepanjang perjalanan ke Singasari hampir tidak ada persoalan dan kesulitan apapun. Mahisa Agni dengan para pengawalnya tidak pernah membicarakan tentang diri mereka dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Jika seseorang bertanya kepada mereka, maka mereka pun menjawabnya. Jika tidak maka mereka berbicara di antara mereka sendiri tentang beberapa macam persoalan yang sama sekali tidak berarti. Tentang sawah yang mereka lihat di sebelah menyebelah jalan. Tentang hutan yang mereka lewati dan tentang binatang buruan.
Seperti yang telah diduga oleh Mahisa Agni, maka Panglima itu ingin langsung menghadap kapan pun mereka memasuki kota. Hanya sekali-sekali mereka berhenti, memberi kesempatan kuda mereka beristirahat sejenak, untuk minum dan sedikit makan rumput di pinggir-pinggir jalan. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan langsung menuju ke istana.
Kedatangan iring-iringan itu dilewat tengah malam sangat mengejutkan para penjaga istana. Tetapi ketika mereka melihat panji-panji dan tunggul kerajaan, maka mereka pun menyibak dan membiarkan iring-iringan itu lewat dengan letihnya, setelah mereka melintasi bulak yang panjang, hutan perdu dan bukit-bukit padas. Bahkan kadang-kadang mereka hanya dapat merayap sangat lambat maju jika mereka melintasi lereng-lereng bukit dan hutan-hutan yang masih cukup lebat.
Demikian mereka memasuki halaman istana, maka Mahisa Agni pun menarik nafas dalam-dalam. Sudah terlalu lama ia tidak datang ke istana Singasari. Dan itu barangkali merupakan suatu kekhilafan juga sehingga ia tidak dapat mengikuti perkembangan keadaan istana itu dengan saksama.
“Yang terjadi kemudian adalah Anusapati telah terbunuh.“ berkata Mahisa Agni di dalam hatinya.
Dalam pada itu, maka Mahisa Agni dan pengawalnya pun kemudian dipersilahkannya masuk ke dalam bangsal yang selalu dipergunakan oleh Mahisa Agni jika ia berada di Singasari. Tetapi bangsal itu sudah banyak berubah. Dan yang pada saat itu, mendapat pengawasan yang kuat sekali. Meskipun tidak semata-mata, tetapi Mahisa Agni mengerti, bahwa di seberang longkangan-longkangan kecil, di sudut-sudut bangsal di sebelah menyebelah, dan di belakang dinding batu di dalam halaman istana yang menyekat halaman itu, penuh dengan prajurit yang mengawasinya.
“Pergunakan waktu istirahat ini sebaik-baiknya.“ berkata Mahisa Agni kepada para pengawalnya, “mungkin besok kita akan sibuk, atau mungkin ada tugas-tugas lain yang harus kita lakukan.”
Demikianlah Mahisa Agni sendiri, seakan-akan tidak menghiraukan apa yang dapat terjadi atas dirinya. Iapun kemudian masuk ke dalam biliknya dan berbaring di pembaringan tanpa membersihkan diri lebih dahulu selain mengusap peluh yang membasahi tubuhnya. Sedang beberapa orang pengawalnya pun kemudian berbaring di atas tikar yang terbentang di serambi belakang. Sedang dua orang di antara mereka tetap berjaga-jaga di ruang depan.
Tetapi, meskipun Mahisa Agni seakan-akan tidak menghiraukan apapun lagi, namun ia tidak segera dapat tertidur nyenyak. Tubuhnya terasa panas dan gatal-gatal. Dan lebih dari pada itu, sebenarnyalah bahwa ia merasa gelisah jika ia mengenang Ken Dedes dan isteri Anusapati serta anaknya.
“Apakah yang dapat mereka lakukan di dalam keadaan serupa ini, dan apakah yang diperlakukan atas mereka?“ pertanyaan itu selalu mengganggunya, “Dan bagaimanakah dengan Mahisa Wonga Teleng dan adiknya?”
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang membebani perasaannya, sehingga meskipun ia berbaring sambil memejamkan matanya, namun Mahisa Agni hampir tidak tertidur sama sekali di sisa malam yang tidak terlampau panjang itu.
Pada malam itu juga Panglima Pelayan Dalam yang membawa panji-panji dan tunggul kerajaan itu berusaha untuk menghadap tuanku Tohjaya. Demikian mendesaknya gejolak di dalam dadanya sehingga rasa-rasanya ia tidak dapat menunggu sampai besok. Pasukan yang kuat di Kediri masih terbayang di wajahnya, dan seorang Panglima di masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung yang bernama Witantra. Meskipun orang itu sudah setua, bahkan mungkin melampaui umur Mahisa Agni, namun agaknya ilmu justru menjadi semakin masak.
Namun ternyata bahwa tidak seorang pun yang sependapat dengan Panglima itu untuk membangunkan Tohjaya di malam hari. Senapati yang bertugas berjalan-jalan di depan bangsal menyarankan agar Panglima Pelayan Dalam itu menunggu saja sampai besok.
“Aku baru datang dari Kediri.“ berkata Panglima itu, “aku harus segera menghadap tuanku Tohjaya.”
“Apakah salahnya jika ditunda sampai besok? Tuanku Tohjaya sedang marah-marah saja sehari penuh.”
“Kenapa?”
“Adik-adiknya memerlukan banyak sekali perhatian. Pimpinan pemerintahan yang belum mapan dan persoalan-persoalan yang lain yang perlu dipecahkan segera justru disaat pemindahan kekuasaan ini.”
Panglima Pelayan Dalam itu menarik nafas. Ia mengerti bahwa waktunya memang kurang tepat untuk menghadap. Karena itu maka katanya, “Baiklah, aku akan menunggu sampai besok pagi. Aku tetap berada di halaman istana. Pengawal-pengawalku akan tetap mengawasi Mahisa Agni.”
“Ia tidak akan berbuat apa-apa. Jika ia ingin melakukan perlawanan, maka yang paling tepat adalah dilakukan di Kediri atau di perjalanan. Tidak di sini.”
“Kau terlalu yakin. Mungkin Mahisa Agni mempunyai pertimbangan lain.”
“Aku yakin.”
Panglima Pelayan Dalam itu terdiam sejenak. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, “Baiklah. Aku akan menunggu. Tetapi kau jangan lengah. Mahisa Agni adalah orang yang luar biasa. Mungkin ia dapar berbuat sesuatu yang sama sekali tidak kita duga sebelumnya.”
“Baiklah. Aku sudah menyiapkan sepasukan terpilih untuk mengawasi isi halaman istana, terutama bangsal Mahisa Agni. Sebenarnyalah bahwa aku sudah menduga bahwa kau akan memasuki halaman di malam hari. Sebaiknya kau percaya kepadaku, bahwa di setiap sudut halaman ini telah bersiap-siap pengawal-pengawal pilihan.”
“Terima kasih. Meskipun kau yakin bahwa Mahisa Agni tidak berbuat apa-apa di sini, ternyata kau sudah bersiap juga.”
Senapati itu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak mengucapkannya meskipun di dalam hatinya ia berkata, “Tuanku Tohjaya lah yang menjadi ketakutan. Bukan aku.”
Pelayan Dalam yang memegang panji-panji dan tunggul kerajaan itupun kemudian pergi ke bangsal di sebelah bangsal induk yang kemudian dipergunakan oleh Tohjaya itu. Bersama para pengawalnya itu pun kemudian beristirahat sambil menunggu fajar. Tenyata bahwa perjalanan mereka adalah perjalanan yang melelahkan. Bukan saja karena jarak yang jauh, tetapi juga karena hati yang tegang penuh kecurigaan.
Sisa malam itu terasa menjadi sangat panjang. Panglima itu sama sekali tidak dapat memejamkan matanya. Namun rasa-rasanya matahari menjadi sangat lambat terbit, sehingga karena itu, maka ia pun menjadi sangat gelisah. Bahkan kadang-kadang ia bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir di dalam biliknya. Kemudian duduk sejenak, berbaring dan bangkit lagi berjalan mondar-mandir.
Namun akhirnya terdengar juga kokok ayam jantan bersahutan. Ketika Panglima itu keluar dari bangsalnya di lihatnya cahaya kemerah-merahan sudah membayang di ujung Timur. Rasa-rasanya tidak sabar lagi ia menunggu. Karena itu maka ia pun segera mengirimkan seorang utusan untuk menjumpai Senapati yang bertugas. Apakah ia sudah sepantasnya menghadap.
Senapati itu pun kemudian berpesan, agar Panglima itu bersiap-siap. Ia akan menyampaikannya kepada tuanku Tohjaya. Demikianlah maka sejenak kemudian, utusan Senapati itu sudah menemui Panglima Pelayan Dalam untuk menyampaikan pesan bahwa Tohjaya sudah dapat menerimanya.
“Tetapi jangan dibawa Mahisa Agni itu dahulu.“ pesan utusan itu.
Panglima Pelayan Dalam yang membawa panji-panji dan tunggul kerajaan itu pun dengan tergesa-gesa mempersiapkan dirinya. Ia merasa bahwa sebagai seorang Panglima yang baru, tugasnya sudah dapat diselesaikan sebaik-baiknya sehingga ia akan dapat menghadap dengan kepala tengadah. Bersama beberapa pengawalnya Panglima itu pun kemudian pergi ke bangsal induk di tengah-tengah halaman istana. Bangsal yang dikelilingi oleh kolam yang berair bening. Bangsal yang semula dipergunakan oleh Anusapati.
“Silahkan menghadap di bangsal itu. Tidak perlu menunggu paseban. Tuanku Tohjaya pun segera ingin mengetahui apakah kau sudah berhasil.”
“Tentu.“ sahut Panglima itu, “aku tidak pernah gagal. Apalagi dengan panji-panji dan tunggul kerajaan.”
Senapati yang sedang bertugas itu pun mengerutkan keningnya. Namun ia tidak memberikan tanggapan apapun juga. Dalam pada itu, Panglima itupun kemudian naik ke bangsal lewat sebuah jembatan kecil di atas kolam yang mengelilingi bangsal itu. Para pengawalnya berada di luar regol selain seorang yang membawa panji-panji dan tunggul kerajaan. Di ruang tengah Tohjaya sudah menunggunya dengan gelisah. Karena itu, ketika Panglima itu memasuki ruang depan, dengan tergesa-gesa Tohjaya pun segera memanggilnya.
“Suruh masuk kemari.“ perintahnya kepada seorang Pelayan Dalam yang sedang bertugas.
Pelayan Dalam itu pun kemudian menyampaikannya kepada Panglimanya, bahwa tuanku Tohjaya sudah berkenan menerimanya di ruang tengah. Ketika Panglima itu memasuki ruangan, dilihatnya Tohjaya duduk di atas sebuah batu berukir beralaskan kulit harimau berbelang-belang. Wajahnya yang tegang membayangkan kegelisahan di hatinya.
“Ampun tuanku.“ berkata Panglima Pelayan Dalam itu, “hamba sudah menghadap.”
“Bagaimana dengan Mahisa Agni?”
“Hamba sudah membawanya tuanku. Setiap saat Mahisa Agni dapat tuanku panggil menghadap. Ia berada di bangsalnya di bawah pengawasan yang kuat.”
“Apakah ia datang sebagai orang yang bebas?”
“Hamba tuanku.”
“Ia harus ditangkap. Mahisa Agni adalah orang yang paling berbahaya bagi kedudukanku sekarang. Ia adalah orang yang tidak ada tandingnya. Dan ia adalah orang yang mempunyai pengaruh yang kuat.”
Panglima itu mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia sempat berbicara, Tohjaya sudah mendahuluinya, “Kerahkan semua orang yang memiliki kemampuan tertinggi. Betapapun dahsyatnya ilmu Mahisa Agni, namun melawan sepasukan prajurit pilihan, para Senapati dan Panglima, ia tidak akan dapat meloloskan dirinya lagi.”
“Tuanku.“ Panglima itupun dengan tergesa-gesa mencoba menyela, “ampun tuanku. Apakah hamba dapat memberikan sedikit gambaran tentang Mahisa Agni dan kedudukannya di Kediri?”
Tohjaya mengerutkan keningnya, lalu, “Apa yang akan kau katakan.”
“Tuanku, sebenarnyalah bahwa hamba telah melihat pengaruh Mahisa Agni itu di Kediri.”
“Apa yang kau lihat?”
“Tuanku.“ berkata Panglima itu, “adalah diluar dugaan hamba bahwa Mahisa Agni di Kediri mempunyai wewenang seperti tuanku Tonjaya sendiri.”
“Itu adalah kesalahan Kakanda Anusapati.”
“Hamba tuanku. Agaknya tuanku Anusapati terlampau percaya, atau dengan sengaja membesarkan Mahisa Agni. Kekuasaannya hampir seperti kekuasaan seorang raja. Meskipun keturunan Sri Rajasa di Kediri masih berkuasa di dalam lingkungan keluarga dan istana, serta sedikit kekuasaan di dalam adat dan tata kehidupan, namun sebenarnyalah bahwa Mahisa Agni lah yang menguasai segala-galanya. Agaknya Mahisa Agni sudah mendengar apa yang terjadi di Singasari sehingga ia telah menyiapkan suatu pameran kekuatan yang mengasyikkan.”
“Kekuatan prajurit?”
“Hamba tuanku. Kekuatan prajurit yang diberikan oleh tuanku Anusapati melampaui dugaan hamba.”
“Apa saja yang diperlihatkan kepadamu?”
Panglima Pelayan dalam itu pun kemudian menceriterakan pameran kekuatan di alun-alun Kediri. Prajurit Singasari yang kuat, pasukan keamanan di Kediri dan seorang yang menyebut dirinya bernama Pati-pati, bekas seorang Panglima di masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung.
“Seorang Panglima pada masa pemerintahan Tumapel?“ Tohjaya mengulang.
“Hamba tuanku.”
“Tentu orang itu sudah tua.”
“Hamba tuanku. Sudah melampaui setengah abad. Tetapi ia masih tetap nampak segar.”
Tohjaya menggeretakkan giginya. Ditatapnya Panglima itu sejenak, lalu katanya, “Apakah maksudnya dengan menampilkan orang bernama Pati-pati itu?”
“Hamba kurang tahu tuanku. Tetapi Pati-pati yang juga bernama Witantra itu adalah seorang Panglima yang sangat disegani saat itu. Mungkin Mahisa Agni ingin meyakinkan bahwa kekuatannya di Kediri dapat mengimbangi kekuatan seluruh Singasari.”
“Omong kosong. Kediri, apalagi kota Kediri saja, adalah bagian kecil dari seluruh Singasari. Jika aku berniat, maka untuk menggilas Kediri aku tidak memerlukan waktu lima hari.”
Panglima itu mengangkat wajahnya sejenak. Namun kepala itupun segera tertunduk kembali. Sebenarnyalah bahwa ia meragukan keterangan Tohjaya. Singasari memang besar, tetapi apakah seluruh Singasari meyakini kebesaran Tohjaya. Panglima itu menarik nafas dalam-dalam. Ia sendiri merasa heran, bahwa tiba-tiba saja ia meragukan kekuasaan Tohjaya. Diluar sadarnya ia berpaling, memandang panji-panji dan tunggul yang dibawanya ke Kediri. Panji-panji dan tunggul itu adalah pertanda limpahan kekuasaan Tohjaya. Tetapi sampai betapa jauhnya kekuasaan Tohjaya itu sendiri atas Singasari yang besar ini.
Yang dapat dilihatnya kekuasaan Tohjaya barulah di dalam lingkungan istana dan kota Singasari saja. Tetapi bagaimanakah sikap para Senapati yang terpisah dan ditempatkan di kota-kota lain, di pesisir dan sikap para Akuwu, Buyut dan rakyat seluruhnya?
Namun dalam pada itu Tohjaya itu pun berkata, “Mahisa Agni harus ditangkap. Siapapun yang akan membelanya harus dimusnakan.”
“Tuanku.“ berkata Panglima itu, “hamba melihat sendiri apa yang terjadi di Kediri.”
“Kau adalah seorang Panglima. Kau dapat memerintahkan Senapati di dalam lingkunganmu yang bertugas di istana Kediri dan di istana Mahisa Agni untuk bersikap lain. Panglima pasukan medanpun dapat berbuat serupa, sehingga Mahisa Agni akan kehilangan kewibawaannya. Jika setiap Senapati menjalankan perintah Panglimanya, maka apa artinya Mahisa Agni bagi Singasari.”
“Itulah yang meragukan tuanku.”
“He.“ wajah Tohjaya menjadi merah, “kau adalah seorang Panglima. Dan kau meragukan kesetiaan Senapati-senapatimu?”
“Ampun tuanku. Hamba adalah seorang Panglima yang baru. Jika tidak ada kesetiaan atas perintah hamba, maka itu adalah kelanjutan dari sikap mereka yang dahulu. Apalagi di Kediri di dalam susunan pemerintahan tuanku Anusapati, Mahisa Agni memiliki kekuasaan tunggal yang mewakili Mahkota sehingga para Senapati di dalam tata pemerintahan sehari-hari tunduk pada perintah Mahisa Agni.”
“Tetapi aku berpendapat lain. Tidak ada kekuasaan lain di Kediri. Semua Senapati harus tunduk kepada Panglimanya masing-masing. Aku tidak memerlukan seorang Mahisa Agni.”
“Tetapi perubahan itu memerlukan waktu di dalam pelaksanaannya tuanku. Hamba mengerti bahwa tuanku dapat mangambil kebijaksanaan itu. Tetapi tidak sekarang dan begitu tiba-tiba.”
Tohjaya menjadi semakin marah. Namun ia dapat mengerti keterangan Panglimanya itu, sehingga karena itu maka ia pun menggeram, “Aku akan mengumumkan perubahan ini secepatnya. Tetapi aku tidak akan melepaskan Mahisa Agni pergi. Jika ada Senapati yang tidak mau tunduk kepada perintah para Panglimanya masing-masing, maka itu adalah suatu pengkhianatan.”
“Benar tuanku. Itu adalah suatu Pengkhianatan. Tetapi jika pengkhianatan itu terlampau kuat, maka itu harus dipertimbangkan sebaik-baiknya. Hamba masih belum yakin bahwa persoalannya dapat di atasi dalam waktu singkat. Sedang tuanku masih harus mempertimbangkan kesetiaan para Akuwu dan para Buyut yang juga mempunyai kekuatan keprajuritan di luar susunan keprajuritan Singasari.”
“Kekuatan mereka tidak berarti.”
“Tuanku harus ingat, bahwa pemerintahan Tumapel yang kecil dibawah tuanku Sri Rajasa sebelum memerintah Singasari sepeninggal Akuwu Tunggul Ametung telah berhasil mengalahkan Kediri yang besar. Karena itu, tuanku sebaiknya selalu memperhitungkan kekuatan para Akuwu di wilayah Singasari sekarang, agar tidak terulang kembali peristiwa yang pahit bagi Kediri.”
Tohjaya merenungi kata-kata Panglima itu. Namun kemudian ia membentak. “Kau jangan mengajari aku. Aku selalu mendengar laporan tentang seluruh wilayah Singasari. Sejak aku belum menjadi seorang Maharaja seperti sekarang, aku sudah menempatkan orang-orangku di seluruh wilayah Singasari sehingga aku yakin bahwa mereka kini akan tetap tunduk kepadaku.”
Panglima itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba untuk menindas keragu-raguan yang tiba-tiba saja berkembang di dalam hatinya. Sebelum ia pergi ke Kediri dan sebelum ia bertemu dan berbicara dengan Mahisa Agni, hatinya sudah dibayangi oleh kecemasan bahwa ia akan menghadapi perlawanan di Kediri. Tetapi ketika ia melihat langsung kekuatan di Kediri meskipun ternyata tidak mengadakan perlawanan apapun, namun hatinya justru menjadi semakin berdebar-debar dan cemas. Menurut penilaiannya Kediri justru diam karena yakin akan kekuatannya. Setiap saat mereka dapat bertindak sesuatu untuk memaksakan kehendak mereka.
Karena Panglima itu tidak segera menyahut, maka Tohjayapun membentaknya pula, “He, kenapa kau diam saja? Apa pendapatmu tentang Mahisa Agni?”
“Hamba sudah menyatakan pendapat hamba.”
“Persetan.“ Tohjaya menggeram. Tetapi ia mulai berpikir tentang kekuatan prajurit Singasari sendiri yang berada di Kediri. Agaknya memang berbeda dari laporan yang disampaikan kepadanya, bahwa kekuatan yang perlu diperhatikan di Kediri adalah Mahisa Agni sebagai pribadi.
Tetapi menurut laporan Panglima itu, kekuatan di Kediri adalah kekuatan yang jauh lebih besar dari yang diperkirakan. “Apakah laporan-laporan yang lain juga meragukan seperti ini?“ bertanya Tohjaya di dalam hatinya.
Karena itu maka katanya kemudian, “Aku akan memanggil para Panglima. Aku akan berbicara tentang Mahisa Agni. Kau tetap disini untuk memberikan gambaran seperti yang kau katakan tentang Kediri. Dan biarlah Mahisa Agni tetap berada di bangsalnya sampai aku memanggilnya. Aku akan mengirimkan utusan agar memerintahkan kepada Mahisa Agni, untuk tetap berada di bangsal itu. Setiap saat aku memerlukannya ia harus segera datang.”
“Suatu cara yang baik untuk menahannya tuanku.“ sahut Panglima itu.
Tohjaya pun kemudian mengirimkan seorang prajurit untuk menyampaikan perintahnya kepada Mahisa Agni agar ia tetap berada di tempat karena setiap saat ia memerlukannya, sedang beberapa orang prajurit yang lain diperintahkannya untuk memanggil para Panglima dan Senapati terpenting di Singasari.
Ketika perintah itu sampai kepada Mahisa Agni, maka Mahisa Agni pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya kepada prajurit itu. “Apakah itu berarti bahwa aku tidak boleh keluar dari bangsal ini?”
“Ampun tuanku Mahisa Agni. Hamba tidak mengerti maksud perintah itu selain menyampaikannya seperti bunyi yang diucapkan oleh tuanku Tohjaya.”
“Ya, ya. Kau tentu tidak dapat memberikan arti perintah itu sendiri. Baiklah. Aku akan mematuhi perintahnya. Tetapi katakan kepada tuanku Tohjaya, bahwa aku akan pergi menengok tuan Puteri Ken Dedes yang menurut pendengaranku menjadi samakin lemah.”
“Hamba tuanku. Tuan Puteri Ken Dedes memang sudah semakin lemah. Apalagi sepeninggal tuanku Anusapati. Tidak ada lagi kehendaknya untuk bertahan, sehingga kadang kadang keadaannya sangat mencemaskan.”
“Apakah yang sudah dilakukan oleh Tohjaya?”
Prajurit itu terdiam sejenak.
“Aku sudah tahu jawabnya justru karena kau diam.”
“Hamba tuanku. Tetapi tuanku Mahisa Wonga Teleng hampir tidak pernah beranjak dari sampingnya.”
“Dan adik-adiknya?”
“Mereka semuanya menunggui dengan tekun. Dan mereka adalah hiburan yang paling baik bagi tuan Puteri Ken Dedes dalam saat terakhirnya.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Meskipun prajurit itu tidak menyebutnya, tetapi Mahisa Agni dapat membayangkan bahwa Ken Dedes yang berkali-kali kehilangan orang-orang yang dicintainya itu telah kehilangan segalanya. Juga kehilangan nafsunya untuk tetap hidup. “Aku akan menengoknya,“ berkata Mahisa Agni.
Prajurit itu mengerutkan keningnya, lalu, “Tetapi, ampun tuanku. Pesan tuanku Tohjaya, tuan tidak boleh meninggalkan bangsal ini.”
Mahisa Agni tertawa kecil. Katanya, “Katakan kepada tuanku Tohjaya, bahwa Mahisa Agni akan pergi ke bangsal tuan puteri Ken Dedes untuk menengoknya. Aku tidak akan melarikan diri. Jika setiap saat tuanku Tohjaya memerlukan aku, aku akan menghadap, jika aku tidak berada di sini, berarti aku ada di bangsal tuan Puteri.”
“Tetapi.“ prajurit itu termangu-mangu.
“Tidak apa-apa. Kau sampaikan saja pesan ini, seperti kau menyampaikan perintah itu kepadaku.”
Prajurit itu bingung sejenak. Ia tidak mengerti maksud Mahisa Agni, sehingga untuk sejenak ia tidak dapat berkata apa-apa.
Mahisa Agni melihat kebingungan itu. Lalu katanya, “Sudahlah, jangan bingung. Kembalilah kepada tuanku Tohjaya dan katakan bahwa aku akan menjunjung perintahnya. Tetapi bahwa Mahisa Agni akan pergi lebih dahulu ke bangsal tuan Puteri Ken Dedes.”
“Tuan.“ berkata prajurit itu, “hamba benar-benar tidak mengerti. Hamba hanya menyampaikan perintah tuanku Tohjaya, seorang yang kini telah menjadi seorang Maharaja di Singasari meskipun hari penobatannya secara resmi masih akan ditentukan dalam waktu yang dekat. Tetapi hamba kira perintah itu sama sekali tidak boleh diartikan lain atau diberi perubahan bagaimanapun bentuknya.”
“Kau adalah prajurit yang baik.“ berkata Mahisa Agni, “akupun mengerti, bahwa perintah itu berarti bahwa aku harus menunggu di sini sampai tuanku Tohjaya memanggil. Tetapi barangkali aku dapat memanfaatkan waktu sebelum aku harus menghadap. Dan sampaikan saja, aku berada di bangsal tuan Puteri Ken Dedes, jika aku tidak ada di sini.”
Prajurit itu masih saja termangu-mangu. Sebelum ia sempat berkata apapun juga Mahisa Agni melangkah mendekatinya. Sambil menepuk bahunya ia berkata, “Sudahlah. Jangan pikirkan apapun lagi. Pergilah menghadap tuanku Tohjaya.”
Prajurit itu tidak dapat berbuat lain. Iapun kemudian meninggalkan bangsal Mahisa Agni dan kembali menghadap Tohjaya menyampaikan pesan Mahisa Agni.
“Gila. Ia sudah membantah perintahku.“ teriak Tohjaya, “apakah tidak kau katakan bahwa itu adalah perintah kekuasaan tertinggi di Singasari sekarang?”
“Hamba sudah mengatakan tuanku.”
“Jadi bagaimana?”
“Tuanku Mahisa Agni hanya tertawa saja sambil mengatakan bahwa ia akan tetap pergi kebangsal tuan Puteri Ken Dedes.”
“Gila. Apakah tidak ada prajurit yang menjaganya?”
Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Lalu jawabnya, “Hamba kira penjagaan di sekitar bangsal itu ada tuanku. Tetapi hamba tidak tahu perintah apakah yang sudah diberikan oleh para Senapatinya kepada mereka, karena hamba tidak termasuk di dalam pasukan yang bertugas di bangsal itu.”
“Aku sudah tahu.“ bentak Tohjaya, lalu katanya kepada Panglima Pelayan Dalam, “apa perintah Senapati bagi para prajuritnya?”
Prajurit itu tidak dapat berbuat lain. “Bukankah hamba baru datang dari Kediri tuanku. Tetapi menurut pembicaraan kami terdahulu, mereka hanya sekedar mengawasi Mahisa Agni.”
Wajah Tohjaya menjadi tegang. Namun sejenak ia justru berdiam diri. Ia sendiri tidak mengerti, apakah yang harus dilakukan oleh para prajurit jika Mahisa Agni benar-benar meninggalkan bangsalnya. Dalam pada itu, selagi Tohjaya termangu-mangu, maka beberapa orang Senapati dan Panglima telah datang menghadapnya. Seperti yang diperintahkannya, maka para Panglima dan Senapati itu harus datang secepatnya untuk berbicara tentang Mahisa Agni dan tindakan-tindakan yang akan mereka ambil. Agaknya Tohjaya tidak mau membuang waktu. Apalagi karena prajurit yang menyampaikan pesan kepada Mahisa Agni mengatakan, bahwa Mahisa Agni tidak menghiraukan perintah Tohjaya itu.
“Apakah kita akan menangkapnya?” bertanya Tohjaya kepada para Senapati dan Panglima.
Tidak seorangpun yang menjawab. Yang sebenarnya mereka tunggu adalah sebuah perintah. Bukan sebuah pertanyaan.
“He, apa pendapat kalian?” Tohjaya itu membentak.
Sejenak para Panglima dan Senapati itu saling berpandangan. Akhirnya mereka seakan-akan memusatkan perhatian mereka kepada Panglima Pelayan Dalam yang telah membawa Mahisa Agni dari Kediri. Panglima Pelayan Dalam itupun merasa, bahwa mereka menunggu keterangan daripadanya. Tetapi Panglima Pelayan Dalam yang membawa panji-panji dan tunggul Kerajaan ke Kediri itu tidak berani melakukannya sebelum mendapat perintah dari Tohjaya.
Tetapi Tohjaya pun menyadari persoalannya sehingga katanya, “Katakan kepada mereka, apa yang kau lihat di Kediri, dan kemudian kita akan memutuskan apakah yang sebaiknya kita lakukan atas Mahisa Agni.”
Sekali lagi Panglima Pelayan Dalam itu menceriterakan tentang Mahisa Agni. Sikapnya, wibawanya, dan kemudian kesiagaannya. Panglima itu pun menceriterakan jumlah prajurit di Kediri yang ternyata melampaui perhitungan mereka. Apalagi kehadiran seorang yang menyebut dirinya Pati-Pati yang juga bernama Witantra, bekas seorang Panglima di masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung.
Para Panglima dan Senapati itu merenungi keterangan Panglima Pelayan Dalam itu. Namun kemudian seorang Senapati memberanikan diri berkata, “Ampun tuanku Tohjaya. Sebenarnya pasukan Singasari di Kediri sama sekali tidak melampaui jumlah yang ditetapkan. Pasukan Singasari di Kediri dengan pasti diketahui. Nama-nama mereka tercantum di dalam urutan nama yang tertulis di dalam rontal. Jika jumlah mereka cukup banyak, maka mereka tentu terdiri dari prajurit-prajurit Singasari yang berada di Kediri dan sekitarnya. Di daerah-daerah terpencil yang semula tidak aman. Dan daerah-daerah yang dianggap masih mungkin berbahaya.”
Tohjaya memandang Senapati itu sejenak, lalu katanya, “Tetapi kenapa mereka itu berkumpul semua di Kediri? Dan apakah Mahisa Agni sempat memanggil mereka dalam waktu semalam?”
“Tentu mereka sudah dipersiapkan sebelumnya tuanku.”
“Sengaja untuk memamerkan kekuatan?”
Kenapa itu tidak menjawab. Tetapi iapun terkejut ketika Tohjaya memanggil namanya dengan keras, “Lembu Ampal. Apa katamu tentang Mahisa Agni?”
Senapati yang bernama Lembu Ampal itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil bergeser setapak ia berkata, “Tuanku. Menurut ceritera Panglima Pelayan Dalam yang mendapat limpahan kekuasaan tuanku memanggil Mahisa Agni, agaknya telah memperingatkan kepada kita, bahwa kita harus berhati-hati. Kita tidak akan dapat bertindak sesuai dengan selera kita saja tanpa menghiraukan keadaan yang sebenarnya.”
“Cukup, cukup. Tetapi apakah yang harus kita lakukan. Itu yang aku tanyakan kepadamu.”
Lembu Ampal termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak segera dapat menjawab pertanyaan Tohjaya itu. Wajah Tohjaya yang tegang menjadi semakin tegang. Hampir berteriak ia bertanya kepada para Panglima dan Senapati, “He, apakah kalian menjadi bisu? Mahisa Agni sekarang sudah ada di halaman istana ini. Aku sudah memerintahkannya agar ia tetap berada di bangsalnya. Tetapi agaknya ia tetap berkeras kepala.”
Para Panglima terkejut mendengar keterangan itu. Tetapi tidak seorang pun yang segera bertanya tentang Mahisa Agni. Mereka menunggu saja Tohjaya menjelaskannya. Namun dalam pada itu, sebelum Tohjaya sempat menjelaskan sikapnya dan sikap Mahisa Agni, seorang Senapati yang bertugas di luar bangsal yang di kelilingi oleh sebuah kolam itu dengan ragu-ragu memasuki ruangan dan duduk di muka pintu sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“He, kenapa kau menghadap tanpa aku panggil?” bertanya Tohjaya.
Baru setelah Tohjaya mengajukan pertanyaan itu, Senapati itu berani menyampaikan keperluannya, “Ampun tuan ku. Para prajurit yang bertugas mengawasi tuanku Mahisa Agni melaporkan bahwa tuanku Mahisa Agni telah meninggalkan bangsalnya.”
“He.“ wajah Tohjaya menjadi merah, “kalian tidak menahannya?”
“Kami belum mendapat perintah itu tuanku. Kami tidak dapat berbuat sesuatu. Jika tuanku menjatuhkan perintah, hamba akan melanjutkan perintah itu kepada para prajurit.”
Tohjaya justru menjadi bingung. Wajahnya menegang Sedang matanya menjadi merah. Tetapi dari mulutnya sama sekali tidak meloncat sebuah perintah pun.
Dalam pada itu, Mahisa Agni sudah di halaman bangsalnya. Ketika seorang prajurit bertanya kepadanya maka dengan sebuah senyuman di bibirnya ia berkata, “Aku akan pergi mengunjungi tuan puteri Ken Dedes.”
“Tetapi apakah tuan tidak menunggu perintah tuanku Tohjaya?”
Mahisa Agni justru tertawa. Jawabnya, “Aku akan selalu menunggu perintahnya. Tetapi aku dapat menunggu di bangsal ini, tetapi juga dapat di bangsal tuan puteri Ken Dedes. Aku sudah mengatakannya kepada prajurit yang membawa pesan dari tuanku Tohjaya.”
Prajurit itu termangu-mangu. Memang tidak ada perintah untuk menahan Mahisa Agni di bangsalnya. Itulah sebabnya ia menjadi bingung. Sedang kawannya yang melaporkan bahwa Mahisa Agni telah keluar dari bangsalnya dan berjalan hilir mudik masih belum datang kembali membawa ketegasan bagaimana mereka harus bersikap. Jika para prajurit itu menahan Mahisa Agni di tempatnya, mungkin ia justru telah melakukan kesalahan. Tetapi jika mereka membiarkan, maka hal itupun mungkin pula keliru. Pengawasan yang ketat di sekitar bangsal itu memang lebih condong kepada usaha untuk membatasi gerak Mahisa Agni. Tetapi perintah yang pasti masih belum mereka dengar.
Sebelum prajurit yang melaporkan hal itu datang kembali Mahisa Agni telah melalui penjagaan di regol depan dari bangsalnya. Seperti tidak terjadi apapun ia berjalan saja seenaknya. Sekali-sekali ia berpaling dan mengangguk sambil tertawa kepada para prajurit yang termangu-mangu mengawasinya. Bahkan kemudian Mahisa Agni berhenti di sudut longkangan mendekati dua orang prajurit yang berdiri dan bersiaga sepenuhnya, “Kenapa kau berjaga-jaga disitu? Sejak tuanku Sri Rajasa bertahta di Singasari, tempat itu tidak pernah dijaga.”
Kedua prajurit itu menjadi bingung, sehingga mereka tidak segera dapat menjawab.bTetapi Mahisa Agni tertawa sambil berkata, “Apakah tugasmu sebenarnya?”
Kedua prajurit itu sama sekali tidak dapat menjawab pertanyaan itu.
“Apa.“ Mahisa Agni membelalakkan matanya, “cepat jawab. Untuk apa kau berdiri disitu he?”
Perbawa Mahisa Agni benar-benar telah menggoncangkan jantung kedua prajurit itu, sehingga hampir di luar sadarnya mereka menjawab, “Maksud kami, kami bertugas atas perintah pemimpin kami.”
“Tentu.“ sahut Mahisa Agni, “kau mendapat tugas dari pemimpinmu. Tetapi tugas apa yang harus kau kerjakan? Apakah perintah itu berbunyi “berdiri disudut tanpa tujuan.“ begitu?”
“Tidak tuan.”
“Nah, apakah yang harus kau kerjakan.”
Keduanya termangu-mangu. Namun ketika Mahisa Agni melangkah setapak maju, maka dengan gemetar salah seorang berkata, “Kami harus mengawasi tuan.”
Mahisa Agni memandang prajurit itu dengan tajamnya. Namun kemudian iapun tersenyum. Ditepuknya bahu prajurit itu sambil berkata, “Kau adalah orang yang jujur. Tetapi aku tidak tahu, apakah kau benar-benar jujur, atau karena sekedar ketakutan.”
Kedua prajurit itu hanya berdiri termangu-mangu saja ketika Mahisa Agni kemudian pergi meninggalkan mereka. Prajurit-prajurit yang lain, yang melihat dari kejauhan pembicaraan itu pun segera mendekatinya dan saling mendahului bertanya apa saja yang telah mereka percakapkan. Kedua prajurit itu tidak dapat ingkar, bahwa mereka telah mengatakan, apakah tugas mereka sebenarnya.
“Aku tidak dapat berkata lain.“ prajurit yang seorang menjadi ketakutan, “aku tidak tahu apakah yang sudah aku katakan.”
“Tidak penting.“ tiba-tiba kawannya bergumam, “kau jelaskan atau tidak, Mahisa Agni tentu sudah tahu bahwa kami sedang mengawasinya. Nah, apakah kau tahu, apakah yang dilakukan oleh para pengawalnya di bangsal itu.”
Kawan-kawannya menggelengkan kepalanya. “Mereka semuanya menyelipkan keris mereka tidak di punggung, tetapi dilambung kanan. Di leher mereka tersangkut kain berwarna putih. Nah, kalian tahu artinya.”
Para prajurit itu menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka adalah prajurit yang cukup berpengalaman, namun mendengar keterangan kawannya itu, hati mereka menjadi berdebar. Dengan demikian mereka mengetahui bahwa para pengawal Mahisa Agni yang ditinggalkan di bangsal itu, telah pasrah untuk mati apabila diperlukan.
“Dibawah pimpinan Mahisa Agni, serombongan kecil orang-orang di bangsal itu akan merupakan kekuatan yang luar biasa. Kau tahu, ketika tuanku Anusapati terbunuh. Empat orang pengawal yang mengamuk ditambah seorang bekas Pelayan yang telah menjatuhkan korban yang tidak terhitung meskipun akhirnya mereka dapat dikuasai. Nah, berapa banyak korban yang bakal jatuh jika Mahisa Agni dan pengawalnya mengamuk.“ desis seorang prajurit.
Kawan-kawannya yang mendengarkan keterangan itu saling berdiam diri. Tetapi mereka semuanya sependapat, bahwa jika-benar-benar hal itu terjadi, maka halaman istana itu tentu akan kacau. Meskipun akhirnya Mahisa Agni akan dapat dikuasai, tetapi korban akan sangat banyak berjatuhan.
Dalam pada itu Mahisa Agni berjalan perlahan-lahan menuju ke bangsal Ken Dedes yang sudah lama tidak dikunjunginya. Setiap kali dilihatnya beberapa orang prajurit termangu-mangu mengawasinya. Tetapi tidak seorang pun diantara mereka yang menegurnya.
Dalam pada itu, di bangsal yang lain Tohjaya sedang kebingungan. Apakah yang harus dilakukan oleh para Senapati terhadap Mahisa Agni. Namun selagi Tohjaya termangu-mangu para Panglima dan Senapati yang ada di bangsal itu berkata kepada diri masing-masing, “Mahisa Agni tentu sudah berada di bangsal tuan Puteri Ken Dedes sebelum tuanku Tohjaya menjatuhkan pilihan.”
Tohjaya yang termangu-mangu itupun akhirnya berkata keras, “He, kenapa kalian seperti kehilangan akal setelah Mahisa Agni itu ada di bangsalnya?”
Tidak seorangpun yang menjawab.
“He, kenapa kalian tiba-tiba saja menjadi patung yang beku. Sekarang, pergilah dan tangkap Mahisa Agni dengan para pengawalnya. Bukankah Mahisa Agni membawa beberapa orang pengawal. Tentu pengawal-pengawal itu pengawal pilihan. Tetapi kalian adalah Panglima dan Senapati pilihan. Bawalah prajurit secukupnya.”
Senapati yang datang menghadap itu pun memberanikan diri untuk menyela, “Ampun tuanku. Memang tuanku Mahisa Agni membawa beberapa orang pengawal terpilih. Hamba mengenal beberapa di antara mereka. Mereka bukan saja prajurit pilihan, tetapi Senapati-senapati pilihan. Menurut laporan yang hamba terima, mereka tidak menyelipkan keris di punggung, tetapi di lambung. Sedang di leher mereka tersangkut sehelai kain berwarna putih.”
Dada Tohjaya menjadi semakin ber-debar-debar. Apalagi ketika ia melihat wajah-wajah para Panglima dan Senapati yang gelisah. “Jadi bagaimana menurut pertimbangan kalian? Bagaimana?”
Dalam keadaan yang serba tidak menentu itu, Panglima Pelayan Dalam yang pergi ke Kediri akhirnya mencoba untuk berkata, “Ampun tuanku. Menurut pendapat hamba, berdasarkan atas kenyataan yang kita hadapi, sebaiknya tuanku tidak menjatuhkan perintah untuk menangkap Mahisa Agni sekarang. Kita harus mengingat perkembangan keadaan. Jika keadaan memungkinkan, maka terserahlah kepada tuanku di saat mendatang. Tetapi adalah sangat berbahaya untuk melakukannya sekarang.”
“Kenapa?“ Tohjaya membelalakkan matanya.
“Berdasarkan atas pertimbangan yang luas. Hamba tahu tuanku, bahwa sebenarnya Mahisa Agni menolak tata pemerintahan Singasari di bawah pemerintahan tuanku Tohjaya, karena menurut pertimbangan Mahisa Agni, tuanku Anusapati masih mempunyai adik seibu.”
“Tentu, karena ia kakak ibunda Ken Dedes. Menurut kepentingan pribadinya, putera ibunda Ken Dedes memiliki hak lebih daripada aku. Tetapi aku adalah putera tertua dari ayahanda Sri Rajasa.”
“Demikianlah agaknya tuanku. Namun ternyata Mahisa Agni tidak dapat melakukan perlawanan. Ia dapat saja membunuh dirinya sendiri, menghasut perlawanan sampai mati. Mahisa Agni adalah seorang yang tidak takut mati untuk mempertahankan keyakinannya. Tetapi ia tidak melakukan karena ia ingin melihat Singasari yang tetap utuh itu saja.”
“Bohong. Bohong.“ teriak Tohjaya.
“Tuanku.“ Lembu Ampal pun kemudian menyela, “hamba sependapat tuanku. Kurang bijaksana untuk menangkap tuanku Mahisa Agni dalam keadaan seperti sekarang. Korban akan terlampau banyak di halaman istana ini, dan setelah itu, orang yang menyebut dirinya bernama Pati-pati dan disebut juga Witantra, bekas Panglima Pasukan Pengawal dimasa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung, dan yang sekarang berada di antara pasukan Singasari di Kediri itu tentu akan melakukan suatu tindakan. Ia tentu tidak akan membuat pertimbangan sejauh Mahisa Agni untuk mempertahankan persatuan dan keutuhan Singasari dan daerah-daerah yang sudah dipersatukan. Bahkan mungkin ia masih dibebani dendam pribadi. Dan itu pulalah agaknya Mahisa Agni memilihnya untuk menjadikannya penasehat Senapati yang dikuasakannya di Kediri.”
“Pengecut. Jadi kalian sudah menjadi pengecut sekarang. Kalian dalam jumlah yang banyak itu tidak berani menangkap Mahisa Agni?“ Tohjaya membentak, “dan setelah itu kalian pun takut menghadapi pemberontakan di Kediri? Jika demikian tidak ada artinya aku memilih kalian menjadi Panglima dan Senapati.”
Para Panglima dan Senapati itu saling berpandangan sejenak. Namun mereka tidak mengatakan apapun lagi.
“Lembu Ampal.“ teriak Tohjaya, “bagaimana pendapatmu he?”
“Bukankah sudah hamba katakan?”
“Kau tetap ketakutan? Dan bagaimana dengan kau?“ bertanya Tohjaya kepada Panglima Pelayan Dalam.
“Hambapun telah mencoba untuk menyatakan pendapat hamba tuanku.”
Wajah Tohjaya menjadi merah padam. Ternyata para Senapati dan Panglimanya tidak berani bertindak tegas atas Mahisa Agni sehingga karena itu, maka Mahisa Agni masih tetap dapat berbuat sesuka hatinya di halaman istana. Namun Tohjaya sendiri pun tidak berani berbuat apa-apa. Ia hanya dapat berteriak memberikan perintah, aba dan marah. Namun ia sendiri bukannya seseorang yang memiliki kemampuan untuk bertindak jika para Panglima dan Senapatinya tidak mampu melakukannya.
Berbeda dengan Anusapati apalagi Sri Rajasa, bahwa mereka adalah orang-orang yang menghayati sendiri pertempuran-pertempuran jika diperlukan. Menghadapi persoalan Mahisa Agni itu pun Tohjaya hanya dapat mengumpat-umpat karena para Panglima dan Senapatinya berpendapat lain. Mereka mengusulkan agar Tohjaya tidak menjatuhkan perintah untuk menangkapnya karena pertimbangan-pertimbangan yang luas.
“Jadi bagaimana menurut pendapat kalian sekarang? Apakah Mahisa Agni kita biarkan saja berkeliaran? Dan he, apakah gunanya Mahisa Agni itu dibawa kemari?“ bertanya Tohjaya sambil membentak-bentak.
Tidak seorangpun yang menjawabnya.
“Baiklah. Aku menunggu perkembangan keadaan. Nanti kita akan bertemu lagi di paseban. Sekarang, apakah yang pertama-pertama harus aku lakukan atas Mahisa Agni jika aku tidak menangkapnya?”
Para Panglima dan Senapati termangu-mangu sejenak. Tohjaya hampir tidak pernah mengambil sikap. Tetapi ia selalu bertanya kepada orang lain apapun yang akan dilakukannya.
“Tuanku.“ berkata Panglima Pasukan Pengawal, “tuanku dapat memanggilnya. Memberikan penjelasan tentang keadaan Singasari sekarang. Kemudian tuanku dapat memberikan perintah-perintah kepada Mahisa Agni untuk mengurangi kekuasaannya.”
“Perintah apa yang harus aku berikan?”
“Misalnya dengan menarik Mahisa Agni ke Singasari agar ia dapat mengawasi tuan puterti Ken Dedes yang sedang sakit. Untuk sementara Mahisa Agni dibebaskan dari tugasnya di Kediri sampai ada ketentuan lebih lanjut kelak.”
Tohjaya mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Persoalan ibunda Ken Dedes tentu menarik perhatiannya. Aku akan memanggilnya dan memerintahkan kepadanya untuk tetap berada di Singasari menunggui Ibunda Ken Dedes.” namun kemudian, “tetapi apakah hal itu justru tidak menjadi sangat berbahaya? Ia berada di dekat kita semuanya.”
“Kita kirimkan pengawalnya kembali ke Kediri.”
“Tetapi bagaimanakah jika ia berusaha melakukan pembalasan dengan cara yang pernah dilakukan oleh Anusapati terhadap Ayahanda Sri Rajasa.”
“Tuanku. Jika Mahisa Agni berada di halaman istana, maka kita akan dapat mengawasinya. Jika tidak, maka hal itu akan menjadi lebih berbahaya lagi. Jika ia kehendaki maka ia akan dapat masuk setiap saat ke halaman ini meskipun ia berada di luar. Dan jika ia menghendaki maka ia tentu akan dapat melakukan pembalasan dengan cara yang licik. Tetapi jika ia berada di dalam halaman, maka kita dapat selalu mengawasinya sehari semalam penuh dengan prajurit yang cukup.”
Tohjaya mengangguk-angguk kecil. Lalu katanya, “Baik. Sekarang panggil Mahisa Agni.”
Seorang Senapatipun kemudian diperintahkan untuk memanggil Mahisa Agni. Seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni, maka ia harus dicari di bangsalnya atau di bangsal tuan puteri Ken Dedes. Dalam pada itu, Mahisa Agni memang sudah berada di dalam bilik Ken Dedes. Permaisuri Sri Rajasa dan ibu Anusapati itu hanya dapat menitikkan air mata menyambut kedatangan Mahisa Agni. Ia kini telah kehilangan semuanya. Sehingga karena itu maka hidup baginya sudah tidak ada gunanya lagi.
Mahisa Agni melihat keadaan badan Ken Dedes yang sudah menjadi semakin lemah dengan debar di dalam dadanya. Tetapi ia dapat mengerti sepenuhnya, bahwa betapa teguhnya hati, seorang ibu, namun jika ia mengalami peristiwa-peristiwa yang berturut-turut menimpa seperti yang dialami Ken Dedes, maka hatinya pasti akan menjadi kuncup.
“Sebaiknya tuan puteri melupakan semuanya.“ berkata Mahisa Agni kemudian.
“Apakah hal itu mungkin dilakukan oleh seseorang kakang?”
“Maksud hamba, tuan puteri tinggal menyerahkan diri kapada Yang Maha Agung. Tentu tuan puteri tidak dapat melupakan semuanya. Namun dengan pasrah diri, tuan puteri akan mendapatkan sekedar penghiburan. Daripada-Nyalah segalanya terjadi dan kepada Nyalah kita pasrah diri.”
Ken Dedes mengangguk-angguk. Katanya, “Memang tidak ada lain dari kekuasaan dan kebesaran Yang Maha Agung yang harus dipuji. Dan aku memang sudah menyandarkan seluruh hidupku kepada-Nya.”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi sebenarnya hatinya bagaikan tergores duri melihat keadaan Ken Dedes yang nampaknya semakin mundur. Untunglah bahwa anaknya yang lain selalu mencoba membesarkan hati ibunya. Mahisa Wonga Teleng selalu datang membawa anaknya. Namun setiap kali Mahisa Wonga Teleng masih harus juga menjaga kakak ipar dan kemanakannya sepeninggal Anusapati.
Mahisa Agni melihat keluarga yang besar itu bagaikan belanga yang terbanting di atas batu hitam. Pecah berserakan berkeping-berkeping. Masing-masing saling menyimpan dendam di dalam hati. Dendam yang sulit untuk dihapuskan. Bahkan dendam itu rasa-rasanya semakin lama menjadi semakin dalam. Tuntutan untuk membalas kematian dengan kematian pasti akan membakar Singasari yang akan hangus menjadi abu. Dalam pada itu, selagi Mahisa Agni duduk menghadapi Ken Dedes yang keadaan jasmaniahnya menjadi semakin mundur, seorang Senapati masuk ke dalam bangsal itu dan mohon untuk menyampaikan pesan bagi Mahisa Agni.
“Pesan dari siapa?“ bertanya Mahisa Agni.
“Dari tuanku Tohjaya.“ jawab prajurit itu.
“Apa katanya?”
Prajurit itu termangu-mangu sejenak, lalu, “Tuan dipanggil menghadap tuanku Tohjaya.”
“Kapan?”
“Sekarang tuan.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya, lalu katanya. “Baiklah aku akan segera menghadap. Tetapi tidak sekarang. Secepatnya jika aku sudah selesai.”
“Kakang Mahisa Agni.“ Ken Dedeslah yang memotong.
Mahisa Agni berpaling. Ditatapnya mata Ken Dedes sejenak, lalu sambil tersenyum ia berkata, “Aku sudah mempertimbangkannya tuan puteri.”
“Tetapi kakang, kini yang memegang kekuasaan adalah Ananda Tohjaya. Meskipun masih akan diadakan wisuda, namun ia sudah mengangkat dirinya menjadi Maharaja di Singasari. Dan kau tidak akan dapat menolak perintahnya.”
“Tentu tuan puteri. Hamba tidak akan dapat menolak perintahnya. Karena itu hamba akan datang menghadap. Tetapi tidak sekarang. Sebentar lagi, jika aku sudah puas menemui tuan puteri.”
Ken Dedes menjadi berdebar-debar. Apakah itu berarti tantangan dari Mahisa Agni bagi Tohjaya? Jika demikian, apabila benar-benar terjadi benturan kekerasan, maka Singasari pasti akan menjadi semakin terkoyak-koyak dan akan hancur dengan sendirinya.
“Sudahlah tuan puteri.“ berkata Mahisa Agni kemudian sebelum Ken Dedes sempat mengatakan sesuatu, “sebaiknya tuan puteri tidak usah menghiraukan hamba. Hamba akan berbuat sebaik-baiknya tanpa menimbulkan keributan apapun. Hamba percaya akan kebesaran jiwa tuanku Tohjaya sehingga tidak akan menolak permohonan hamba itu.”
Ken Dedes hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, dan Mahisa Agni berkata pula kepada Senapati yang membawa pesan itu. “Berjalanlah dahulu. Aku akan segera menyusulmu memenuhi perintah tuanku Tohjaya.”
Tetapi Senapati itu menjadi bingung. Ia tidak biasa mendengar jawaban seperti itu jika ia sedang menjalankan perintah Maharajanya. Karena itu, maka ia tidak segera beranjak dari tempatnya.
“Kenapa kau menjadi bingung?“ bertanya Mahisa Agni, “pergilah dan katakan, aku akan segera menghadap. Sekarang aku masih berada di bangsal tuan puteri Ken Dedes untuk menengok kesehatannya. Kau dengar?”
“Ampun tuan. Tetapi tuanku Tohjaya memerintahkan kepada tuan untuk menghadap sekarang.”
“Aku tidak menolak perintah itu. Kau sudah menyampaikan perintah itu kepadaku. Dan aku sudah mendengarnya. Sekarang kau kembali menyampaikan apa yang kau lakukan dan kau dengar dari mulutku kepada tuanku Tohjaya. Dengan demikian kau sudah melakukan tugasmu dengan baik.”
Prajurit itu masih tetap bingung.
“Pergilah.“ ulang Mahisa Agni, “kau adalah seorang utusan. Dan kau sudah melakukan tugasmu. Nah, apalagi yang kau tunggu sekarang?”
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sorot mata Mahisa Agni bagaikan meretakkan dadanya, sehingga Senapati itu merasa lebih baik ia mendengar Tohjaya membentak-bentak daripada harus menatap sorot mata yang tidak terlawan perbawanya itu. Demikianlah maka Senapati itupun kemudian mohon diri sambil berkata, “Tuan. Hamba adalah sekedar seorang utusan. Hamba akan menyampaikan semuanya kepada tuanku Tohjaya. Hamba tidak tahu sikap apakah yang akan diambil oleh tuanku Tohjaya itu.”
“Tentu, kau tidak tahu apa-apa. Pergilah.”
Senapati itupun kemudian meninggalkan bangsal Ken Dedes dengan hati yang berdebaran. Ia tentu akan dibentak-bentak oleh Tohjaya. Tetapi baginya hal itu tidak banyak mempengaruhi perasaan. Laporan Senapati itu telah menggetarkan jantung Tohjaya. Seperti yang sudah diduga, maka Tohjaya itupun kemudian membentak-bentak sambil berteriak, “Gila. Kau harus membawanya menghadap sekarang.”
“Hamba sudah mengatakannya tuanku. Tetapi tuanku Mahisa Agni mohon waktu beberapa saat. Ia sedang menengok kesehatan tuan puteri Ken Dedes.”
“Apa peduliku dengan ibunda Ken Dedes?“ teriak Tohjaya, “ia sama sekali tidak berarti bagiku.”
Kata-kata Tohjaya itu ternyata telah menyentuh setiap hati. Bagaimanapun juga orang-orang yang ada di ruangan itu mengenal, bahwa Ken Dedes adalah isteri tertua dari Sri Rajasa. Dan ia adalah ibu tiri dari Tohjaya. Bagaimanapun juga ia harus tetap menghormatinya. Tetapi tidak seorang pun yang mengucapkannya. Para Panglima dan Senapati yang ada di ruangan itu justru menunggu, apa yang akan diperintahkan oleh Tohjaya.
“He.“ Tohjaya itupun kemudian berteriak lagi, “kenapa kalian diam saja. Berbuatlah sesuatu. Mahisa Agni tidak boleh menentang perintahku, siapapun dia. Jika ia masih saja mementingkan ibunda Ken Dedes dari perintahku, maka ibunda Ken Dedes akan aku singkirkan.”
“Ampun tuanku.“ tiba saja Panglima Pelayan Dalam yang baru saja menjabat kedudukannya itu berkata, “sebaiknya tuanku tidak berbuat demikian terhadap ibunda tuanku. Bagaimanapun juga ibunda tuanku adalah permaisuri dimasa pemerintahan ayahanda tuanku. Karena itu, jika tuanku marah kepada Mahisa Agni, tuanku dapat menjatuhkan perintah apapun yang akan kami lakukan. Tetapi menurut hamba, tuanku masih harus tetap mempertimbangkan keadaan.”
“Gila. Kau jangan mengajar aku. Aku mengerti apa yang patut aku lakukan atas ibunda Ken Dedes. Tetapi bagaimana dengan Mahisa Agni? Kalian harus berbuat sesuatu.”
“Kami menunggu perintah tuanku.“ berkata Panglima Pengawal.
Namun justru dengan demikian Tohjaya menjadi bingung. Sejenak ia termangu-mangu tanpa dapat mengucapkan sepatah katapun. Senapati yang memanggil Mahisa Agni itupun duduk dengan gelisahnya. Sekali-sekali ia mencoba memandang wajah Tohjaya dengan sudut matanya.
Namun tiba-tiba saja ia terkejut ketika Tohjaya itu berteriak memerintahkan kepadanya, “Kau pergi sekali lagi kepadanya, dan bawa Mahisa Agni itu menghadap. Ia harus menghadap sekarang.”
Senapati itu menjadi berdebar-debar. Jika Mahisa Agni masih tetap tidak mau pergi bersamanya, apakah yang harus dilakukannya.
”Cepat. Kenapa kau menjadi bingung?”
“Ampun tuanku.“ Senapati itu memberanikan diri untuk bertanya, “Jika tuanku Mahisa Agni tetap tidak bersedia menghadap bersama hamba, apakah yang harus hamba lakukan.”
“Aku tidak peduli. Tetapi ia harus menghadap.”
“Apakah dengan demikian berarti bahwa hamba harus memaksanya dengan kekerasan.“
“Aku tidak peduli. Aku tidak tahu apa yang harus kau lakukan. Tetapi Mahisa Agni harus menghadap. Ia tidak boleh menolak perintah seorang Maharaja. Akulah orang yang paling berkuasa sekarang di Singasari.”
Senapati itu masih saja menjadi bingung. Ia tidak mengerti maksud Tohjaya yang sebenarnya. Apakah dengan demikian ia akan dibenarkan apabila ia mempergunakan sepasukan prajurit untuk menangkap Mahisa Agni meskipun itu akan berarti sebuah peperangan kecil di halaman istana, karena tentu para Pengawal Mahisa Agni pun akan bertindak. Karena itu untuk beberapa saat ia masih tetap berada di tempatnya.
“He, apakah kau benar-benar menjadi gila?” bentak Tohjaya, “cepat pergi kepada Mahisa Agni dan bawa ia kemari apapun caranya.”
“Hamba tuanku. Jika demikian hamba akan menyiapkan sepasukan prajurit pilihan.”
Wajah Tohjaya menjadi tegang. Sejenak ia memandang Senapati itu dengan penuh kebimbangan.
“Ampun tuanku. Hamba mohon diri. Mudahkan hamba berhasil. Untuk itu hamba memerlukan sepasukan prajurit yang kuat, karena hamba harus menghadapi para pengawal tuanku Mahisa Agni.”
Tohjaya ternyata tidak dapat segera menanggapinya. Sehingga ketika Senapati itu bergeser, Panglima Pelayan Dalamlah yang berkata, “Tuanku, apakah tuanku sudah mengizinkannya?”
Tohjaya tidak segera menyahut.
“Hamba masih tetap pada pendirian hamba, bahwa tuanku harus mempertimbangkan segala segi untuk melangkah ke arah kekerasan.”
Senapati yang memancing persoalan itu menarik nafas. Dengan demikian sikap itu akan dibicarakan dan dipertanggung jawabkan bersama. Namun selagi mereka sibuk berbincang tentang Mahisa Agni, maka seorang Senapati yang bertugas di luar merayap masuk ke dalam ruang itu.
“He, kenapa kau masuk tanpa dipanggil?“ bertanya Tohjaya yang masih kebingungan.
“Ampun tuanku. Tuanku Mahisa Agni mohon untuk menghadap.”
“Mahisa Agni.“ ulang Tohjaya.
“Hamba tuanku.”
“Suruh ia masuk.”
Senapati itu mundur dari ruangan untuk mempersilahkan Mahisa Agni. Sedang orang-orang yang ada di ruang itu menarik nafas dalam-dalam. Seperti yang dikatakan oleh Senapati itu, maka sejenak kemudian Mahisa Agni pun memasuki ruangan. Meskipun iapun kemudian duduk di antara para Panglima namun kepalanya masih tetap tengadah dengan senyum di bibirnya. Sebelum Tohjaya bertanya, maka yang tidak lazim telah dilakukan pula oleh Mahisa Agni, “Apakah tuanku Tohjaya memerlukan hamba?”
Pertanyaan yang tidak diduga-duga itu telah mengejutkan bukan saja Tohjaya, tetapi juga para Panglima dan Senapati. Namun beberapa orang di antara mereka harus mengakui betapa besar perbawa Mahisa Agni, sehingga pertanyaannya itu bagaikan telah mencengkam semua perhatian orang-orang yang mendengarnya.
Sejenak Tohjaya termangu-mangu. Ialah yang seharusnya bertanya lebih dahulu, baru Mahisa Agni menjawabnya. Tetapi karena Mahisa Agni lah yang telah bertanya lebih dahulu, maka Tohjayapun untuk sesaat dibayangi oleh keragu-raguan. Namun kemudian Tohjaya menghentakkan giginya untuk mengatasi gejolak perasaan. Dengan suara yang lantang ia berkata, “Akulah yang harus bertanya kepadamu, kenapa kau terlambat menghadap?”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Namun iapun tersenyum pula sambil menjawab, “Ampun tuanku. Hamba baru berada di bangsal tuan puteri Ken Dedes ketika utusan tuanku menjumpai hamba.”
“Seharusnya kau berjalan seiring dengan Senapati itu. Tetapi kenapa kau suruh ia berjalan dahulu?”
“O, apakah ada bedanya? Bukankah hamba sudah menghadap.”
“Tetapi kau harus berjalan bersamanya. Kau tidak boleh datang kemudian.”
“Baiklah tuanku. Lain kali hamba akan menyuruh utusan tuanku menunggu sampai selesai, supaya hamba dapat datang menghadap bersama utusan tuanku.”
Jawaban itu bagaikan sebuah goresan bara di telinga Tohjaya, sehingga karena itu wajahnya menjadi merah padam. Beberapa orang Panglima dan Senapati pun bergeser di tempat duduknya. Namun Mahisa Agni masih tetap tenang sambil tengadah. Ketika tatapan mata Tohjaya yang membara membentur pandangan mata Mahisa Agni, terasa sesuatu bergetar di dalam hatinya dan tanpa sesadarnya Tohjaya melontarkan tatapan matanya jauh-jauh.
Namun dengan demikian sekali lagi ia mencoba mengatasi kegelisahannya sambil berteriak, “Mahisa Agni. Kau sudah melakukan kesalahan. Kau tahu, bahwa tidak seorang pun yang menunda perintahku, perintah Maharaja Singasari yang besar. Kaupup tidak. Meskipun kau menjabat pangkat tertinggi dan memangku kedudukan yang tidak ada duanya, namun kau tetap hamba Maharaja Singasari yang besar. Dengan demikian kau tidak boleh membantah semua perintah yang aku berikan lewat siapapun juga. Karena utusanku yang membawakan perintah atau pesan itu tidak ubahnya seperti aku sendiri.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Hamba tuanku. Hamba tidak akan menunda lagi perintah tuanku.”
Tohjaya mengerutkan keningnya, dan orang-orang yang ada di ruangan itupun menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Mahisa Agni tidak menjadi keras kepala. Dan diluar dugaan maka Tohjaya kemudian menyahut, “Terima kasih paman. Aku harap kau dapat menempatkan dirimu di dalam suasana yang baru ini.“ namun kemudian segera disusul, “maksudku, kau harus patuh menjalankan semua perintahku. Aku tidak perlu mengucapkan terima kasih kepadamu. Itu sudah menjadi kewajibanmu dan kewajiban semua orang di dalam kerajaan Singasari ini. Semua orang harus mematuhi perintah Maharaja Singasari yang besar.”
“Hamba tuanku, Singasari yang besar memang harus mendapat tempat tertinggi di hati rakyatnya.”
Tohjaya termangu-mangu sejenak, lalu, “Apa maksudmu?”
Mahisa Agni memandang Tohjaya dengan heran. Lalu, “Maksud hamba sudah jelas. Singasari memang sebuah negara yang besar. Dan tuanku adalah seorang Maharaja dari sebuah kerajaan yang besar.”
“Kedua-duanya.“ teriak Tohjaya, “bukan saja Singasari yang besar Tetapi aku adalah seorang Maharaja yang besar. Aku adalah Maharaja yang besar dari Singasari yang besar.”
Mahisa Agni mengangguk kecil, tetapi ia tidak menanggapinya.
“Paman.“ berkata Tohjaya kemudian, “apakah paman sudah mengetahui perkembangan keadaan di saat terakhir di Singasari?”
“Sudah tuanku.”
“Dari siapa kau tahu? Desas-desus atau kabar yang dibawa oleh pedagang, di sepanjang jalan?”
“Bukan tuanku, hamba mendengar langsung dari utusan tuanku, Panglima Pelayan dalam yang baru, yang datang ke Kediri sambil membawa panji-panji dan tunggul kerajaan sebagai lambang limpahan kekuasaan tuanku kepadanya.”
“O. jadi kau mendengar daripadanya?”
“Hamba tuanku. Bahkan tuanku Anusapati sudah tuanku singkirkan.”
“He, apa katamu.“ Tohjaya membelalakkan matanya. Wajahnya menjadi merah padam.
“O, maksud hamba, tuanku Anusapati terbunuh dalam kerusuhan yang terjadi di arena sabung ayam itu.“ lalu iapun berpaling kepada Panglima Pelayan Dalam, “bukankah begitu?”
Panglima itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu kepalanya terangguk kecil, “Ya. Tuanku Anusapati menjadi korban kekecewaan rakyat Singasari yang sudah lama tependam.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling memandang Tohjaya yang duduk di atas batu beralaskan kulit berwarna suram dilihatnya Tohjaya itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan kemudian iapun berkata, “Nah, kau dengar bahwa kakanda Anusapati telah menjadi korban kekecewaan hati rakyat? Dan itu adalah kekurangannya. Meskipun ia pernah dikagumi sebagai Kesatria Putih, namun ketika ia sudah menjadi seorang Maharaja, semua tingkah lakunya segera berubah. Rakyat yang semula mencintainya telah membunuhnya karena kekecewaan yang tidak tertahankan lagi.”
Mahisa Agni mengangguk kecil. Katanya. “Jika demikian tuanku, maka rakyat yang telah membunuh rajanya adalah pengkhianat. Hamba mohon tuanku sebagai penggantinya akan memegang pemerintahan dengan adil. Hamba mohon tuanku mengusut, mencari dan menghukum mereka-mereka yang telah melakukan pengkhianatan terhadap rajanya. Jika sekelompok rakyat yang tidak puas itu dibiarkan saja, maka hukum tidak akan berlaku sebaik-baiknya di Singasari.”
“Apa yang harus aku lakukan terhadap rakyat yang sedang marah itu? Tentu aku tidak dapat berbuat apa-apa sekarang, karena mereka menganggap kakanda Anusapati tidak adil dan tidak jujur di dalam pemerintahannya.”
“Dan bagaimana anggapan tuanku? Apakah tuanku juga termasuk orang yang menganggap bahwa tuanku Anusapati adalah orang yang tidak tepat berada di atas Singasari? Apakah tuanku Tohjaya juga menganggap bahwa tuanku Anusapati harus disingkirkan?”
“O, tentu tidak. Aku tidak beranggapan demikian.“
Dan tanpa diduga-duga Mahisa Agni memotong, “Jika demikian tuanku harus bertindak. Tuanku adalah seorang Maharaja. Jika tuanku menganggap bahwa tuanku Anusapati tidak bersalah, tidak seperti yang dituduhkan atasnya menurut keterangan tuanku sendiri, maka tuanku harus berbuat sesuatu. Hamba menuntut orang-orang yang telah membunuh tuanku Anusapati dicari dan ditangkap, kemudian dihukum sesuai dengan kesalahannya.”
Wajah Tohjaya menjadi merah padam. Sejenak ia termangu-mangu. Ketika ia memandang wajah Panglima dan Senapati merekapun agaknya menjadi bingung.
“Tuanku.“ berkata Mahisa Agni, “tuanku tidak usah berbuat apa-apa. Hamba bersedia menerima perintah tuanku, mengusut persoalan ini dan menghadap tuanku dengan membawa orang-orang yang bersalah itu menghadap.”
Sejenak Tohjaya tidak dapat menjawab. Gejolak perasaannya membayang di wajahnya yang kemerah-merahan. Ia sama sekali tidak siap menghadapi persoalan yang dilontarkan oleh Mahisa Agni itu. Namun ternyata bukan saja Tohjaya yang menjadi gelisah mendengar permintaan Mahisa Agni itu. Para Panglima yang terlibat di dalam hal itu menjadi gelisah pula. Demikian juga para Senapati yang berada di ruangan itu. Jika Mahisa Agni berhasil mendesak Tohjaya untuk mendapat perintah itu, maka persoalannya akan menjadi sulit bagi mereka.
Karena itu, maka Panglima Pengawal yang sebenarnya bertanggung jawab atas peristiwa itu berkata, “Tuan Mahisa Agni. Tuan adalah orang yang mendapat kekuasaan memerintah Kediri atas nama Singasari. Tuan adalah orang yang penting bagi jalur pemerintahan di Kediri. Karena itu mungkin tuan tidak dapat membayangkan apa yang telah terjadi. Dalam kerusuhan serupa itu, tidak seorang pun yang akan dapat dicari sebagai sumber kesalahan. Yang terjadi adalah tiba-tiba. Tiba-tiba saja. Sebagai pimpinan pemerintahan yang menghormati kehendak rakyat, maka kita tidak akan dapat melakukan pengusutan, apabila menjatuhkan hukuman kepada mereka yang menyatakan pendapat dengan caranya.”
“O.” Mahisa Agni meng-anggukkan kepalanya, “bagus sekali. Adalah menarik sekali jawaban itu. Aku sependapat bahwa Singasari harus menghormati pendapat rakyatnya. Tetapi jika setiap kelompok rakyat Singasari dapat bertindak sendiri atas siapapun juga, bahkan atas pimpinan pemerintahannya, apakah jadinya negeri ini. Pada suatu saat sekelompok rakyat bertindak sendiri atas tuanku Anusapati. Di hari mendatang, apakah kita akan dapat menjawab seperti jawaban itu jika sekelompok rakyat beramai-ramai membunuh tuanku Tohjaya karena tidak puas dengan sikap dan caranya memerintah?”
Panglima itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian, “Itu memang tidak boleh terjadi. Yang terjadi pada tuanku Anusapati akan menjadi pengalaman yang pahit bagi Singasari sehingga hal serupa itu tidak boleh terulang.”
“Dan yang sudah terjadi biarlah terjadi tanpa pengusutan.”
“Pengusutan hanya akan menambah persoalan di saat serupa ini. Tuanku Tohjaya harus menunjukkan kebesaran jiwanya. Meskipun kakandanya terbunuh, namun ia tidak mendendam dengan syarat, bahwa rakyat akan menjadi tenang.”
“Jangan menjawab seperti kanak-kanak.“ wajah Mahisa Agni menegang, “jika pengusutan hanya akan menambah persoalan, maka tidak perlu kita mencari dan menemukan orang-orang yang telah melakukan kejahatan. Juga apabila kelak seseorang telah melakukan kejahatan atas tuanku Tohjaya.”
Panglima itu terdiam sejenak. Namun agaknya Tohjaya sendiri tidak dapat lagi menahan kemarahannya mendengar pembicaraan itu sehingga katanya, “Mahisa Agni. Sekarang akulah yang berkuasa. Akulah yarig menentukan segala-galanya.”
Mahisa Agni memandang Tohjaya dengan tajamnya. Namun iapun kemudian menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Tentu tuaku. Tuankulah yang sekarang paling berkuasa di Singasari setelah tuanku Anusapati tidak ada lagi. Nah, sekarang kita, rakyat Singasari akan menilai, apakah Maharaja yang sekarang akan berindak lebih baik atau tidak daripada Maharaja yang menjadi korban kekecewaan rakyat itu. Jika yang sekarang ini lebih baik, maka akan ada harapan, bahwa pemerintahan tuanku Tohjaya akan langgeng. Tetapi jika tidak maka pemerintahan ini umurnya tidak akan lebih panjang dari masa pemerintahan tuanku Anusapati yang pendek itu.”
Wajah Tohjaya menjadi semakin merah. Namun para Panglima dan Senapati justru menjadi semakin cemas. Mahisa Agni bukan seorang yang dungu. Bukan pula seorang yang mudah berputus asa dan kemudian membunuh diri. Jika ia berani menengadahkan dadanya di hadapan tuanku Tohjaya, tentu bukannya sekedar kebodohan, kesombongan atau suatu cara untuk membunuh diri. Apalagi Panglima yang melihat sendiri betapa kekuatan Singasari di Kediri sepenuhnya dikuasai oleh Mahisa Agni. Dan bahkan pasukan keamanan yang disusun oleh keluarga istana Kediri sendiri.
“Mungkin Mahisa Agni sudah menyiapkan pasukan itu, dan kini pasukan itu telah merayap mendekati kota Singasari dalam gelar yang mapan.“ berkata Panglima itu di dalam hatinya, “selagi kita di halaman ini terlibat dalam pertempuran dengan Mahisa Agni dan pengikutnya, maka dari luar, pasukan yang datang dari Kediri memecah gerbang dan menduduki seluruh kota Singasari.”
Dan ternyata angan-angan itu telah membuatnya lebih berhati-hati lagi menghadapi Mahisa Agni. Tetapi dalam pada itu, Tohjaya yang merasa dirinya berkuasa, tidak dapat mengendalikan perasaannya lagi. Ternyata jawaban Mahisa Agni itu membuatnya sangat marah, sehingga katanya dengan suara bergetar,
“Mahisa Agni. Aku tahu bahwa kau adalah saudara ibunda Ken Dedes. Tetapi meskipun demikian hakmu sebagai seorang keluarga dari ibunda Ken Dedespun terbatas sebagai juga hakmu sebagai orang yang paling berhak di Kediri. Karena itu, jika perlu, aku dapat menjatuhkan perintah untuk menangkapmu, atau membunuhmu sama sekali.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Kemudian diedarkannya tatapan matanya kepada semua orang yang ada di dalam ruangan itu. Namun para Senapati dan Panglima itupun memalingkan wajahnya atau menundukkan kepalanya, jika tatapan mata mereka membentur tatapan mata Mahisa Agni. Baru sejenak kemudian Mahisa Agni berkata,
“Tuanku Tohjaya. Memang tuanku mempunyai kekuasaan tertinggi, dan bahkan kekuasaan yang tidak terbatas. Tuanku memang dapat menangkap hamba dan bahkan membunuhnya sama sekali. Dan jika memang tidak ada cara yang lebih baik menurut pertimbangan tuanku, karena hanya ada satu-satunya cara untuk menenteramkan Singasari dengan jalan melenyapkan hamba pula, maka terserahlah kepada kebijaksanaan tuanku.”
Wajah Tohjaya menjadi semakin merah. Yang dikatakan oleh Mahisa Agni adalah suatu tantangan. Tantangan bagi seorang Maharaja yang paling berkuasa. Namun sebelum Tohjaya berkata dengan sepenuhnya luapan kemarahan, seorang Senapati yang dekat dengan Tohjaya selain para Panglima, yaitu Lembu Ampal, berkata,
“Ampun tuanku. Sebaiknya tuanku segera menjatuhkan perintah yang wajar bagi tuanku Mahisa Agni. Bukankah dengan demikian segala macam kesalah pahaman dapat dikurangi. Dan bukankah menurut pertimbangan tuanku, tuan puteri Ken Dedes sedang menderita sakit yang semakin lama menjadi semakin parah? Dengan demikian, langkah baiknya jika tuanku Mahisa Agni bersedia untuk beberapa saat lamanya, menunggui tuan puteri Ken Dedes, karena menurut keterangan tuan Puteri sendiri, agaknya tuan puteri sudah rindu kepada tuanku Mahisa Agni. Jika kelak keadaan tuan puteri menjadi berangsur baik, maka akan diambil keputusan baru bagi tuanku Mahisa Agni. Apakah tuanku Mahisa Agni akan tetap berada di istana atau akan dikirim kembali ke Kediri.”
Tohjaya mengerutkan keningnya, sedang Panglima Pelayan Dalam menyahut, “Hamba sependapat tuanku.”
Tetapi Tohjaya tetap ragu-ragu. Sejenak ia termenung. Dan karena ia tidak segera menyahut, maka Panglima pasukan Pengawalpun berkata, “Demikianlah tuanku. Itu adalah pemecahan suasana yang paling baik. Mungkin tuanku Mahisa Agni memang berniat demikian. Hanya karena kesetiaannya kepada tugasnya sajalah yang memaksanya untuk kembali ke Kediri jika tuanku tidak menjatuhkan perintah lain.”
Tohjaya merenungi kata-kata para Panglima dan Senapatinya. Dengan demikian ia dapat mengambil kesimpulan bahwa para Panglima dan Senapatinya tentu belum siap menghadapi peristiwa yang mungkin akan dipergunakan kekerasan. Karena itu, ia tidak dapat mengambil jalan lain daripada menyetujuinya seperti yang pernah mereka perbincangkan sebelumnya.
“Baiklah.“ berkata Tohjaya, “aku beri kau waktu untuk menunggui ibunda Ken Dedes. Tetapi setiap saat akan jatuh perintah yang lain atasmu. Mungkin kau harus kembali ke Kediri, dan mungkin kau akan mendapat tugas baru.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti arti perintah itu. Namun ia memang sudah menduga bahwa ia tidak akan segera dapat kembali ke Kediri. Tetapi Mahisa Agni tidak menjadi gelisah karenanya. Ia sudah menunjuk seseorang yang dapat dipercaya di Kediri dan seorang penasehat yang bernama Witantra. Untuk waktu yang dekat pimpinan pemerintahan di Singasari tentu tidak akan dapat mengambil tindakan apapun atas mereka. Jika Tohjaya merencanakan untuk menarik perwira tertua yang diserahinya memegang kekuasaannya di Kediri, maka Tohjaya masih harus memikirkan akibatnya, karena Mahisa Agni sendiri masih belum kembali. Untuk itu Mahisa Agni akan dapat memerintahkan seorang pengawalnya untuk menyampaikan pesan kepada Witantra.
Dalam pada itu, maka Mahisa Agni pun hanya dapat mengiakan saja perintah Tohjaya untuk menunggui Ken Dedes di istana. Bagi Mahisa Agni, perintah itu merupakan perintah yang paling baik baginya, daripada perintah-perintah dan tugas yang lain di istana. Apalagi jauh lebih baik daripada dimasukkan ke dalam bilik yang gelap dan tidak diperkenankan untuk keluar setiap saat. Demikianlah maka Mahisa Agni pun kemudian diperkenankan meninggalkan ruangan itu, sementara para Panglima dan Senapati masih akan melanjutkan pembicaraan.
Sepeninggal Mahisa Agni, maka dengan cemas Tohjaya berkata, “Kalian memang tidak mempunyai otak. Bukankah ibunda Ken Dedes dapat mengatakan kepada Mahisa Agni, apa yang sebenarnya telah terjadi di istana Singasari atas kakanda Anusapati?”
“Tuanku.“ berkata Panglima Pelayan Dalam, “menurut dugaan hamba, sebenarnyalah bahwa Mahisa Agni sudah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Karena itu, jika tuan puteri Ken Dedes mengatakannya juga, maka pengaruhnya tidak akan begitu besar lagi. Menurut penilikan hamba, Mahisa Agni memang tidak ingin melakukan tindakan kekerasan, justru karena Mahisa Agni tidak ingin melihat Singasari terpesah belah. Untuk sementara kita dapat memanfaatkannya. Tetapi jika keadaan memaksa, mungkin ia mengambil sikap lain, sehingga karena itu, maka kita harus berhati-hati menilai setiap sikapnya.”
Tohjaya mengerutkan keningnya. Mahisa Agni baginya merupakan persoalan yang ternyata jauh lebih gawat dari sepasukan prajurit yang menentang kehadirannya di atas tahta di daerah yang manapun juga dalam wilayah Singasari.
“Jika demikian.“ berkata Tohjaya kemudian, “kalian harus menempatkan Senapati-senapati pilihan untuk selalu mengawasinya. Di bangsalnya dan di bangsal ibunda Ken Dedes. Kalian harus juga memperhitungkan Adinda Mahisa Wonga Teleng yang nampaknya sampai saat ini tidak berani bertindak apapun juga. Tetapi meskipun masih terlampau muda, adinda Agnibaya harus mendapat perhatian yang khusus. Ia menyaksikan sendiri apa yang terjadi. Usahakan agar ia tidak terlalu banyak bergaul dengan Mahisa Agni.”
“Tuanku.“ berkata seorang Senapati, “selain tuanku Mahisa Agni, di bangsal itu masih ada beberapa orang pengawal.”
“Biarkan saja.“ sahut Panglima Pelayan Dalam. Namun ketika ia sadar bahwa ia berada dihadapan Tohjaya, dengan tergesa-gesa ia menyambung, “Ampun tuanku. Maksud hamba, bahwa hamba berpendapat para pengawal itu tidak akan lebih berbahaya dari tuanku Mahisa Agni sendiri. Jika untuk beberapa saat kita dapat membendung perasaan tuanku Mahisa Agni, maka untuk beberapa saat kita tidak akan diganggunya.”
Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Panglima yang lain dan para Senapati pun mempercayai kata-kata Panglima itu, karena Panglima itulah yang mengetahui dan melihat sendiri keadaan Mahisa Agni di Kediri dan kekuatan pasukannya. Seperti Panglima Pelayan Dalam itu, maka para Panglima dan Senapati berkata di dalam hati mereka, “Jika Mahisa Agni ingin mengangkat senjata, maka ia akan mulai dari Kediri. Tidak setelah ia berada di dalam lingkungan istana ini.”
“Tetapi bagaimana jika saat ini pasukan Kediri itu sedang merayap mendekati kota Singasari.“ pertanyaan itupun timbul pula di antara mereka. Sehingga para Panglima itu, meskipun tidak berjanji, berniat untuk mengirimkan petugas-petugas sandinya agar mereka mengawasi jalur-jalur jalan yang memasuki kota Singasari bukan saja dari arah Kediri, tetapi dari segala arah.
Karena persoalan Mahisa Agni dianggap untuk sementara sudah di atasi, dengan menahan agar Mahisa Agni tidak meninggalkan halaman istana, maka pembicaraan itu pun berkisar pada persoalan yang lain. Tohjaya memutuskan agar kedudukannya sebagai Maharaja segera diresmikan di dalam suatu upacara yang meskipun sederhana, tetapi berwibawa.
“Aku akan mengadakan paseban agung yang pertama. Semua pimpinan pemerintahan, para Panglima dan Senapati akan aku perkenankan menghadap.“ berkata Tohjaya kemudian, “aku akan menyatakan diri secara resmi dihadapan paseban agung, bahwa aku adalah Maharaja yang berkuasa di atas Singasari. Para Akuwu dan para bangsawanpun aku perkenankan hadir di dalam paseban agung itu.”
Para Panglima menarik nafas dalam-dalam. Itu berarti suatu tugas yang sangat berat bagi mereka. Mereka harus mengamankan sidang di paseban itu, sehingga memberikan kesan kewibawaan Maharaja yang baru itu. Namun mereka sudah bersedia untuk mendukung kedudukan Tohjaya sehingga tugas itupun harus mereka lakukan sebaik-baiknya.
Di hari-hari berikutnya, Mahisa Agni yang merasa dirinya menjadi seorang yang selalu diawasi itu pun sama sekali tidak menghiraukan lagi. Ia berbuat apa saja yang ingin dilakukannya. Namun ia masih tetap berada di dalam batas-batas yang tidak memungkinkan timbulnya kerusuhan yang akan dapat menjalar dan membakar Singasari. Waktunya sehari-hari selalu dipergunakannya untuk menengok Ken Dedes yang sebenarnya memang sedang sakit. Perasaan yang menekan membuatnya semakin parah.
Namun di saat-saat yang senggang, Mahisa Agni yang menjadi semakin tua itupun sempat bermain-main dengan kedua cucu Ken Dedes. Keduanya adalah anak Anusapati dan anak Mahisa Wonga Teleng. Kadang-kadang Mahisa Agni merasa bahwa apa yang pernah terjadi di istana Singasari ini terulang kembali. Pada saat Anusapati masih terlampau muda. Pada saat itu, ia dengan sembunyi-sembunyi menurunkan ilmunya kepada Anusapati, sehingga Anusapati itu kemudian memiliki kemampuan yang cukup untuk bekal pada saat ia naik keatas tahta.
Namun ternyata kelicikan telah terjadi, sehingga Anusapati sama sekali tidak sempat mempergunakan ilmunya, karena dalam keadaan yang tidak diduga-duga sebilah keris yang tidak ada duanya telah mengakhiri hidupnya. Dan kini yang dihadapinya adalah dua orang anak yang masih sangat muda pula. Anak-anak yang memiliki jiwa yang membara seperti orang tua mereka.
Dalam kesempatan yang ada, Mahisa Agni sering mengajak kedua anak-anak yang masih sangat muda itu berjalan-jalan di halaman. Kemudian berlari-lari dan kadang-kadang berkejaran. Disaat yang lain diajaknya kedua anak-anak muda itu ke tempat yang sepi dan diajaknya anak-anak itu melonjak-lonjak dan meloncat-loncat menggapai cabang-cabang pepohonan. Kemudian diajaknya kedua anak-anak itu berguling-berguling di atas rerumputan.
Ternyata yang dilakukan oleh Mahisa Agni itu telah membuat para pengawal yang mengawasinya menjadi cemas. Tidak seperti pada saat Anusapati mulai mempelajari ilmunya dahulu. Saat itu Mahisa Agni berhasil melepaskan diri dari pengawasan. Tetapi kini tidak. Setiap kali Mahisa Agni menyadari, bahwa para Senapati terpilih sedang mengawasinya dari kejauhan, apapun yang sedang dilakukannya...
“Tetapi yang penting.“ berkata Panglima itu kemudian, “bahwa aku telah membawa panji-panji dan tunggul kerajaan. Kalian harus tetap terikat dengan kesetiaan kalian terhadap Singasari. Dan Panji-panji serta tunggul ini adalah lambang kekuasaan Singasari. Meskipun barangkali aku belum menjatuhkan perintah yang harus kalian kerjakan, namun kalian harus sudah mendasarkan diri kepada kesetiaan kalian terhadap panji-panji dan tunggul ini. Bukan terhadapku.”
Tidak seorang pun yang menyahut. Mahisa Agnipun tidak. Dan Panglima itu kemudian berbicara lagi. “Baiklah. Kalian barangkali baru mencernakan keteranganku. Masih banyak waktu. Aku tidak berkeberatan jika kita semalam suntuk duduk di sini berbicara tentang Singasari dan hari depannya. Namun yang penting kalian ketahui, selain keterangan yang harus aku sampaikan kepada kalian, aku pun telah membawa perintah yang penting bagi pimpinan pemerintahan Singasari yang dikuasakan di Kediri.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Panglima itu berkata selanjutnya. “Nah, dengarlah, perintah ini. Atas nama kekuasaan tertinggi di Singasari, aku perintahkan kepada Mahisa Agni untuk mengikuti aku kembali ke Istana Singasari untuk menghadap Tuanku Tohjaya.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
“Kau tidak akan dapat membantah.”
Mahisa Agni memandang Panglima itu sejenak, lalu, “Aku Tidak akan membantah. Tetapi sebaiknya kau mempergunakan istilah lain yang lebih baik dari istilahmu itu?”
“Maksudmu?”
“Kau dapat berkata, bahwa atas perintah tuanku Tohjaya, aku harus menghadap, atau istilah-istilah lain seperti itu. Tidak seperti yang kau ucapkan.”
“Apakah salahnya? Aku membawa panji dan tunggul kerajaan.”
Mahisa Agni hampir tidak dapat menguasai perasaannya. Hanya karena ia menyadari sepenuhnya, bahwa persoalan Singasari berada di atas persoalan apapun, ia masih berhasil menahan dirinya. Jika ia saat itu kehilangan pengamatan diri, dan berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan keributan di dalam pendapa itu, maka persoalan yang sekedar memercik di pendapa itu akan menjalar ke seluruh Singasari.
Meskipun demikian ia masih menjawab, “Siapapun yang membawa panji-panji dan tunggul itu adalah mereka yang mendapat limpahan kekuasaan dari tuanku Tohjaya. Karena itu apapun yang kau lakukan adalah sekedar menyampaikan perintahnya. Bukan kau sendirilah yang memerintahkannya. Apalagi aku adalah wakil kekuasaan Singasari di Kediri.”
Sejenak Panglima itu menjadi termangu-mangu. Dipandanginya para Senapati yang ada di sekitarnya. Kemudian para pengawalnya yang sebagian berada di luar pendapa. Namun ketika terpandang olehnya wajah Mahisa Agni, maka tiba-tiba saja ia telah melontarkan tatapan matanya. Bagaimanapun juga ia tidak dapat mengatasi wibawa wakil Mahkota yang ada di Kediri itu. Untuk melontarkan kegelisahan yang mencengkamnya, maka tiba-tiba saja ia berkata lantang tanpa memandang Mahisa Agni. “Apapun bunyinya, tetapi kau harus menghadap tuanku Tohjaya di Singasari.”
“Baiklah. Aku akan menghadap. Kapan kita akan berangkat.”
“Besok pagi. Semakin cepat semakin baik.”
“Besok pagi adalah waktu yang paling cepat dapat kita lakukan.”
“Ya.”
Mahisa Agni pun kemudian memandang para Senapati yang ada di pendapa itu. Katanya, “Baiklah. Besok aku akan berangkat ke Singasari. Tetapi aku akan minta diri dahulu kepada para prajurit dan para pengawal di Kediri. Usahakan agar mereka dapat berkumpul di alun-alun. Sebagian yang mungkin dapat dihubungi tanpa menimbulkan kegelisahan. Tidak ada apa-apa, selain aku akan minta diri kepada mereka. Bukan saja para Senapati yang berkumpul sekarang, tetapi juga beberapa golongan prajurit dan pengawal yang pernah berhubungan dengan tugasku.”
Panglima Pelayan Dalam yang hadir di pendapa itu pun menjadi berdebar-debar pula. Persiapan itu akan dapat disalah gunakan oleh Mahisa Agni, sehingga karena itu, maka Panglima itupun berkata, “Itu tidak perlu. Tidak boleh ada kesibukan keprajuritan yang dapat menimbulkan kesan yang tidak aku kehendaki.”
“O.“ Mahisa Agni tersenyum, “kau berprasangka? Jika aku ingin memberontak, aku tidak perlu menunggu kau datang dan duduk di pendapa ini. Aku dapat menyongsongmu di regol dan membunuhmu tanpa banyak perlawanan.”
Wajah Panglima itu menjadi merah. Sambil menggeram ia menjawab. “Tetapi kau akan dipancung di alun-alun Singasari atau dihukum picis di perapatan.”
“Itu soal kemudian. Jika aku sudah bertekad untuk memulai, tentu aku tidak akan takut dipancung atau dihukum picis. Tetapi soalnya tidak begitu sederhana. Soalnya adalah Singasari yang dengan susah payah diperjuangkan sejak masa pemerintahan Sri Rajasa. Tentu, aku yang ikut mempersatukan Kediri dan Tumapel sehingga menjadi Singasari yang besar tidak akan dengan mudah ikut menghancurkannya. Memang berbeda dengan kau. Kau hadir pada saat Singasari sudah utuh seperti sekarang. Dengan mengorbankan harga diri sedikit saja kau sudah dapat menduduki jabatan tertinggi di Singasari yang sudah menjadi besar.”
“Cukup.“ Panglima itu membentak, “apakah kau tidak sadar bahwa kau berhadapan dengan Panglima yang mendapat limpahan kekuasaan tertinggi di Singasari.”
“Ya.”
“Kau sudah menodai kedudukanku.”
“Tidak. Aku tidak mengatakan apapun tentang panji dan tunggul itu. Tetapi aku mengatakan tentang kau. Tentang seorang Panglima Pelayan Dalam. Tanpa panji-panji dan tunggul itu.”
“Persetan. Tetapi aku sekarang membawa panji-panji dan tunggul itu.”
“Kita semua harus menghormati panji-panji dan tunggul itu. Karena itu, sebaiknya panji-panji dan tunggul itu tidak dipergunakan untuk memaksakan kepada orang lain bagi kepentingan pribadi. Kau tidak dapat memaksa aku dan para Senapati yang lain untuk menghormatimu sebagai suatu pribadi meskipun kau membawa panji-panji dan tunggul itu karena kami semuanya sudah mengetahui siapakah kau sebenarnya.”
Wajah Panglima itu menjadi semakin tegang. Dengan suara gemetar ia berkata, “Aku dapat menjatuhkan hukuman apapun terhadapmu seperti tuanku Tohjaya melakukan, selama panji-panji dan tunggul itu ada padaku.”
“Jangan membakar Singasari. Mungkin kau tidak begitu mencintainya karena kau tidak ikut membangunnya seperti aku.”
“Kau justru menghina Singasari.”
Sambil tersenyum Mahisa Agni menjawab, “Sadarilah. Jika kau memaksa aku melawan, maka itu berarti Singasari akan mengoyak dadanya sendiri. Dan kaulah penyebabnya. Dan kau tentu akan dihukum sesuai dengan kesalahan itu. Mungkin aku juga jika aku tertangkap hidup-hidup, karena aku dapat mati di dalam pemberontakan itu, sehingga kita akan bersama-sama menjalani hukuman picis yang dahsyat itu.”
Panglima Pelayan Dalam itu memandang Mahisa Agni dengan tatapan mata yang tegang. Kini ia menyadari sepenuhnya, bahwa Mahisa Agni adalah orang yang matang di dalam setiap tingkah lakunya, meskipun bagi para Senapati di Kediri, sikap itu dianggap terlampau lemah.
“Apakah karena sikap itulah maka Panglima Pasukan Pengawal berkeberatan pergi ke Kediri dan memberikan tugas ini kepadaku?“ Panglima Pelayan Dalam itu bertanya kepada diri sendiri.
Namun demikian ia tidak boleh menunjukkan kelemahannya. Ia harus tetap bersikap sebagai seorang Panglima yang mendapat limpahan kekuasaan Singasari. Karena itu maka katanya, “Mahisa Agni. Jangan bersikap seperti seorang penyamun yang menakut-nakuti korbannya di bulak yang sepi. Aku bukan pengecut dan bukan pula kanak-kanak yang dapat kau ancam. Aku adalah seorang Panglima dan lebih dari itu aku membawa lambang kekuasaan atas Singasari.”
“O. Jangan salah menilai kata-kataku. Aku tahu kau seorang yang berani. Jika tidak, kau tidak akan dapat memanjat sampai jabatanmu yang sekarang. Tetapi aku sekedar ingin memperingatkanmu, bahwa jika kau salah langkah, kau akan menjadi penyebab hancurnya Singasari. Soalnya bukannya apakah kau seorang pengecut atau seorang pemberani. Seorang pengkhianat biasanya seorang pemberani. Tetapi jarang sekali seseorang yang menyediakan dirinya untuk menjadi seorang pengkhianat.”
“Cukup.“ potong Panglima itu, “aku tidak memerlukan sesorahmu. Besok kau harus pergi bersamaku ke Singasari.”
“Bukankah aku tidak membantah?“ sahut Mahisa Agni, lalu, “nah, sekali lagi aku ingin minta kepada para Senapati agar besok berkumpul di alun-alun dengan para prajurit yang ada saja. Yang mungkin dapat diberi tahu dan diperintahkan berkumpul. Yang kira-kira agak sulit tidak perlu. Yang bertugas di tempat yang agak jauh, cukup diberitahu sesudah aku berangkat. Aku minta diri kepada mereka.”
“Kau tidak akan pergi ke Singasari untuk digantung.“ potong Panglima itu, “kau masih mungkin kembali pada tugasmu di sini.”
“Ya, aku tahu. Tetapi biarlah aku minta diri kepada mereka. Keberatanmu hanya sekedar berdasarkan atas prasangka saja.”
Panglima itu tidak melarangnya lagi. Ia tahu bahwa Mahisa Agni masih selalu mengekang diri, jika ia bertindak lebih keras lagi, maka mungkin sekali Mahisa Agni akan bersikap lain, dan tugasnya akan gagal sama sekali.
Demikianlah maka Senapati yang ada di pendapa itupun kemudian meninggalkan tempatnya. Panglima yang mendapat tugas ke Kediri itu sama sekali bukan seorang yang pandai menyesuaikan diri dengan lingkungan yang di datanginya. Ia hanya sekedar membanggakan kekuasaan yang ada padanya, karena ia membawa panji-panji dan tunggul kerajaan.
Beberapa orang Senapati masih saja berbincang di sepanjang jalan. Mereka menyadari bahwa mereka berhadapan dengan kekuasaan tertinggi. Dan mereka tidak dapat menggambarkan dengan sesungguhnya, sikap prajurit-prajurit Singasari di daerah lain.
“Yang penting, tuanku Mahisa Agni tidak ingin melihat pertumpahan darah terjadi lagi di Singasari.“ berkata seorang Senapati yang sudah menginjak setengah abad.
“Tetapi dengan mengorbankan harga diri dan kedudukan kita seperti ini?“ jawab Senapati yang masih muda.
“Kita akan melihat perkembangannya.“ jawab yang lain, “tetapi kita harus menyatakan diri bahwa kita cukup kuat untuk diperhitungkan. Besok kita akan membawa pasukan yang kuat ke alun-alun. Semuanya sudah lama siap. Perintah akan menjalar dengan cepat ke seluruh kota dan bahkan keluar kota tanpa menimbulkan kesan yang menggelisahkan.”
“Panglima itu tentu akan mengirimkan petugas sandinya keluar dan mengamati kegiatan di kota ini.”
“Tidak akan ada tanda-tanda apapun. Hubungan dapat berlangsung dengan tenang. Yang nampak hanyalah dua tiga ekor kuda saja di jalan-jalan raya. Tidak lebih.”
Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Semuanya memang sudah disusun sebelum Panglima itu datang, sehingga dengan isyarat yang sederhana, setiap prajurit tahu apa yang harus mereka lakukan. Dan yang mereka lakukan pun bukannya persiapan perang, karena mereka hanya harus berkumpul di alun-alun, meskipun dengan perlengkapan perang.
Seperti yang diduga oleh para Senapati, sebenarnyalah bahwa Panglima itu telah mengirimkan beberapa orangnya untuk mengamati keadaan kota. Tetapi seperti yang sudah diperhitungkan pula oleh para Senapati, mereka tidak melihat kesibukan yang dapat menumbuhkan kecurigaan. Karena itu, maka mereka menganggap bahwa tidak akan timbul kerusuhan apapun di Kediri.
Meskipun demikian Panglima Pelayan Dalam itu masih juga selalu dibayangi oleh prasangka. Karena itu, hampir semalam suntuk ia tidak dapat tidur nyenyak meskipun di muka biliknya dua orang pengawalnya selalu berjaga-jaga bergantian.
Dalam pada itu, Mahisa Agni sempat juga menemui Witantra di biliknya. Seperti yang sudah direncanakan, maka Mahisa Agni minta agar Witantra besok hadir di alun-alun. Ada sesuatu yang akan menarik perhatian para prajurit. Witantra hanya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil.
Demikianlah maka di malam itu telah terjadi kesibukan di antara para prajurit. Kesibukan yang tidak begitu nampak bagi orang lain, karena mereka sudah mempersiapkannya lebih dahulu. Yang tampak hanyalah satu dua ekor kuda yang menghubungkan dari barak yang satu kebarak yang lain. Sesudah itu, maka perintah itu mengalir bagaikan air yang sudah disediakan salurannya.
Karena itulah, maka Kediri rasa-rasanya tetap tenang. Petugas-petugas sandi yang berkeliaran di dalam kota hanya melihat hubungan yang wajar, karena Mahisa Agni ingin minta diri kepada prajurit dari kalangan yang lebih luas lagi di alun-alun. Dan menurut pengamatan para prajurit sandi itu, sama sekali tidak ada persiapan perlawanan dari para prajurit di Kediri.
“Jika mereka ingin melakukan pelawanan dan membinasakan kami, maka mereka tidak perlu memanggil setiap prajurit yang ada di Singasari.“ berkata salah seorang prajurit sandi kepada kawannya.
“Ya. Para Senapati yang tadi berkumpul di pendapa itu pun sudah cukup kuat untuk membinasakan kami semua. Panglima Pelayan Dalam itu tentu tidak akan dapat melawan tuanku Mahisa Agni yang memiliki kemampuan dan ilmu setingkat dengan Sri Rajasa. Sedang jumlah para Senapati yang ada di pendapa dan para petugas yang meronda di istana tuanku Mahisa Agni itu cukup banyak untuk menghancurkan kami.”
Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Untunglah bahwa tuanku Mahisa Agni tidak mau berbuat sesuatu. Ia memiliki hak juga atas Singasari betapapun kecilnya. Ia adalah saudara laki-laki tuanku Permaisuri Ken Dedes. Dan ia ikut mempersatuan Kediri dengan Singasari. Jika ia bangkit dan mengadakan perlawanan atas tuanku Tohjaya, maka Singasari benar-benar akan hancur karena tingkahnya sendiri.”
“Kau dengar apa yang dikatakan di pendapa itu?”
“Ya. Ia tidak mau membelah jantung sendiri.”
Para prajurit sandi itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka tidak dapat menutup kenyataan, bahwa Mahisa Agni adalah orang yang jauh lebih berwibawa dari Panglima Pelayan Dalam itu, meskipun membawa panji-panji dan tunggul kerajaan.
Menjelang fajar para prajurit yang bertugas mengawal Panglima dari Singasari itu sudah berkumpul di halaman istana wakil Mahkota di Kediri. Mereka tidak membawa laporan apapun yang dapat menggelisahkan hati Panglimanya, karena rasa-rasanya Kediri tetap tenang.
“Hari ini kita kembali sambil membawa Mahisa Agni.“ berkata Panglima itu, “betapa sombongnya orang itu, namun ia tidak akan berani melawan perintahku.”
Pengawalnya tidak menyahut. Namun terasa di dalam hati mereka, bahwa Panglima yang baru saja diangkat itu telah merasa dirinya terlampau besar, karena prajurit-prajurit itu pun mengetahui, siapakah Panglima itu sebelum ia diangkat menggantikan Panglima yang terbunuh oleh Kuda Sempana di dalam kerusuhan di arena sabung ayam itu.
Demikianlah ketika matahari terbit di Timur, Panglima yang hampir semalam suntuk tidak tidur dan selalu menghubungi petugas-petugas sandinya itu, sudah siap. Dengan gelisah ia menunggu Mahisa Agni yang masih berada di biliknya.
“Bangunkan Mahisa Agni.“ perintah Panglima itu, “kita akan berangkat pagi-pagi benar.”
Pengawalnya yang mendapat perintah itu menjadi ragu-ragu. Katanya, “Bukankah di istana ini ada pelayan yang dapat membangunkannya? Tentu pelayan itu tahu kebiasaan tuanku Mahisa Agni, dan tahu bagaimana caranya membangunkannya.”
“Cepat, cari pelayan itu.”
Pengawal itupun kemudian mencari pelayan yang bertugas di dalam istana hari itu, dan menyuruhnya membangunkan Mahisa Agni. Pelayan itu tidak dapat membantah. Karena itu meskipun ia agak ragu-ragu, tetapi iapun pergi ke bilik Mahisa Agni dan membangunkannya. Tetapi pelayan itu terkejut ketika tangannya baru saja menyentuh pintu, maka pintu itu sudah terbuka.
“Ampun tuanku.“ berkata pelayan itu, “hamba mendapat perintah dari para pengawal Panglima Pelayan Dalam itu untuk membangunkan tuanku.”
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Aku sudah bangun sejak pagi-pagi tadi. Tetapi aku memang sengaja untuk tinggal saja di dalam bilik.”
“O.“ pelayan itu hanya menundukkan kepalanya.
“Katakan kepada pengawal itu bahwa aku sudah bangun.”
Pelayan itupun kemudian meninggalkan bilik Mahisa Agni dan mengatakan kepada pengawal itu bahwa Mahisa Agni telah bangun.
“Panglima menunggunya, agar ia segera siap. “ berkata pengawal itu.
“Tuanku Mahisa Agni sudah mengatakannya, bahwa ia akan segera siap.”
Pengawal itu pun kemudian melaporkannya kepada Panglimanya bahwa Mahisa Agni akan segera siap. Tetapi persiapan Mahisa Agni memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga Panglima itu menjadi gelisah. Bahkan kemudian dengan tidak sabar ia memerintahkan pengawalnya untuk menghubungi Mahisa Agni.
“Tuan.“ berkata pengawal itu, “Panglima sudah lama siap. Kita harus segera berangkat.”
Mahisa Agni tersenyum sambil menepuk bahu pengawal itu. Katanya, “Biarlah Panglima belajar bersabar sedikit. Katakan, aku hampir selesai.”
Pengawal itu hanya dapat mengangguk dalam-dalam. Ia tidak mempunyai keberanian cukup untuk mendesak agar Mahisa Agni bersiap lebih cepat lagi, meskipun ia sadar bahwa Panglimanya tentu akan membentak-bentaknya lagi. Karena itu, ketika Panglima Pelayan Dalam itu benar-benar membentaknya, pengawal itu sudah tidak terkejut lagi.
“Gila. Kita harus segera berangkat. Katakan kepadanya, bahwa aku telah memerintahkannya.“ Panglima itu hampir berteriak sehingga sebenarnya Mahisa Agni telah mendengarnya.
“Sebentar lagi tuanku Mahisa Agni tentu telah siap.“ jawab pengawal itu.
“Aku menghendaki ia siap sekarang.”
“Baiklah.“ gumam pengawal itu seakan-akan kepada diri sendiri.
Tetapi sebelum ia berdiri dan melangkah Mahisa Agni telah berdiri di ruang dalam itu sambil berkata, “Aku sudah siap.”
Panglima itu berpaling. Sambil menggeram ia berkata, “Kau berbenah diri seperti perempuan. Aku tidak telaten. Kita akan segera berangkat.”
“Bukankah kita akan pergi ke alun-alun sejenak untuk minta diri kepada para Senapati dan prajurit yang sempat dihubungi malam tadi? Tentu prajurit yang ada di sekitar istana ini saja. Namun bagiku yang sudah lama bekerja bersama dengan mereka menganggap perlu untuk sekedar minta diri.”
“Kau tidak akan pergi berperang dan mati di peperangan.”
“O, tentu. Tetapi anak-anak yang pergi bermain-main keluar rumah pun sebaiknya minta diri.”
“Persetan. Bagaimana jika aku menganggap hal itu tidak perlu?”
“Akulah yang akan minta diri kepada mereka. Bukan kau.”
“Aku dapat memerintahkan kepadamu untuk membatalkan rencanamu bertemu dengan prajurit-prajurit itu.”
“Tentu kau dapat melakukannya. Tetapi apakah kau menganggap hal itu perlu kau lakukan? Sekali lagi aku peringatkan, sebaiknya kau jangan mempersoalkan masalah-masalah yang sebenarnya tidak penting sehingga akan membakar Singasari menjadi abu. Jika kau tidak keras kepala, dan merasa dirimu terlampau besar, jauh lebih besar yang sebenarnya, kau tidak akan memberikan perintah yang aneh-aneh. Seandainya yang datang kemari tuanku Tohjaya sendiri, tentu ia tidak akan berkeberatan. Bahkan ia akan berbangga bertemu dengan prajurit-prajuritnya yang ada di Kediri. Dan kau pun akan berbangga berdiri di hadapan prajurit dan Senapati yang sebagian besar sudah kau kenal itu dengan panji-panji dan tunggul kerajaan.”
Panglima itu menggeram. Tetapi ia tidak dapat menolak lagi. Meskipun demikian ia masih membentak, “Aku beri waktu sampai matahari naik ke ujung pepohonan. Kita akan berangkat sebelum panas matahari itu menyengat kulit.”
“Tidak banyak bedanya. Apakah kita berangkat segera atau kita akan menunggu tengah hari. Kita tidak akan dapat mencapai Singasari hari ini. Perjalanan di daerah yang masih berhutan-hutan itu akan memerlukan waktu yang panjang. Kita akan bermalam di perjalanan.”
“Tidak. Kita akan mencapai Singasari meskipun sudah gelap. Karena itu, cepat, lakukan jika kau akan minta diri kepada para prajurit di alun-alun.”
“Baiklah.“ berkata Mahisa Agni, “aku akan pergi ke alun-alun. Tetapi sebaiknya kau pergi juga untuk melihat pasukan Singasari yang ada di Kediri. Panji-panji dan tunggul itu akan dapat menjadi pertanggungan jawabku kepada mereka, karena aku telah meninggalkan Kediri untuk waktu yang tidak ditentukan.”
“Kau memang banyak tingkah. Bahkan kau selama ini hilir mudik antara Kediri dan Singasari?”
“Tetapi keadaan Singasari tidak seperti sekarang ini. Kita berada disuatu masa perpindahan yang belum pasti.“
“Sudah pasti. Kau jangan mengada-ada.”
“Baiklah. Aku tidak memerlukan waktu yang lama. Tetapi aku persilahkan kau pergi juga ke alun-alun dengan panji-panji dan tunggul itu.”
Panglima itu termenung sejenak. Memang senang sekali dapat menunjukkan limpahan kekuasaan Maharaja Singasari kepadanya itu kepada prajurit-prajurit dan Senapati yang memang sebagian besar telah dikenalnya. Bahkan Senapati yang dahulu merupakan perwira sejajarnya. Kini ia telah jauh mendahuluinya, dan menjabat sebagai seorang Panglima di Singasari.
“Apakah kau tidak berkeberatan?“ bertanya Mahisa Agni.
“Baiklah. Aku akan pergi bersamamu dan para pengawal yang aku bawa dari Singasari.”
“Terima kasih atas kesediaanmu. Aku sudah siap. Dan kita akan segera berangkat.”
Demikianlah maka para pengawal pun segera menyiapkan kuda dan perlengkapan yang akan mereka bawa ke alun-alun. Sementara itu beberapa orang pengawal Mahisa Agni pun bersiap pula. Di antara mereka terdapat Witantra yang berpakaian seperti seorang prajurit biasa.
Meskipun mula-mula pemimpin pengawal Mahisa Agni menjadi agak segan setelah ia mengetahui bahwa orang itu adalah Witantra, seorang Panglima Pasukan Pengawal di Tumapel pada masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung. Namun kemudian iapun berhasil membiasakan diri dengan sikapnya sebagai pemimpin.
Demikianlah maka rombongan itu pun segera keluar dari regol istana. Yang berada di paling depan adalah dua orang pengawal dari Singasari. Kemudian Panglima itu berkuda bersama-sama dengan Mahisa Agni. Di belakangnya pengawalnya yang membawa panji-panji dan tunggul kerajaan, lambang kekuasaan yang dilimpahkan kepadanya oleh Maharaja yang berkuasa di Singasari.
Perlahan-lahan iring-iringan itu menyusuri jalan kota menuju ke alun-alun di muka istana Maharaja Kediri yang telah gugur melawan Sri Rajasa, dan yang kemudian istana itu seakan-akan tidak lagi mempunyai arti di dalam pemerintahan. Meskipun demikian di dalam istana itu masih tetap tinggal keluarga dan keturunan raja di Kediri.
Panglima Pelayan Dalam yang memiliki limpahan kekuasaan itu tiba-tiba saja menjadi bertambah bangga melihat rakyat Kediri berdiri berderet di pinggir jalan. Mereka melihat kemegahan panji-panji dan tunggul kerajaan Singasari itu. Namun dengan demikian maka mereka pun tahu bahwa yang datang itu tentu sekedar seorang pemimpin Singasari yang membawa kekuasaan Mahkota. Tentu bukan Maharaja itu sendiri. Karena itu, maka Rakyat di Kediri tidak perlu berjongkok di sepanjang jalan. Mereka tetap berdiri meskipun agak jauh dari jalan yang dilalui oleh iring-iringan itu.
Dihadapan istana Kediri beberapa orang Senapati telah siap menerima iringan itu ketika seorang penghubung berkuda yang mendahului iringan itu memberi tahukan bahwa utusan dari Singasari dan Mahisa Agni sedang menuju ke alun-alun. Namun yang sangat mengejutkan Panglima Pelayan Dalam itu dan para pengawalnya adalah sambutan yang mereka terima ketika mereka mendekati regol alun-alun itu.
“Mahisa Agni.“ desis Panglima itu, “apakah artinya ini?”
“Tidak berarti apa-apa. Bukankah aku akan minta diri kepada mereka?”
Panglima itu menjadi tegang. Ternyata yang dilihatnya di alun-alun itu adalah pasukan segelar sepapan. Pasukan Singasari yang ada di Kediri dan pasukan pengawal keamanan yang disusun oleh Mahisa Agni di Kediri itu sendiri. Sejenak Panglima itu termangu-mangu. Kemudian dipanggilnya seorang Senapati pengawalnya mendekat. Katanya, “Gila, apa yang dilakukan oleh petugas-petugasmu yang mengawasi keadaan? Apakah mereka sama sekali tidak melihat kesibukan apapun sehingga di alun-alun dapat terkumpul sekian banyak orang?”
Senapati itu tidak segera menjawab. Ia sendiri heran, bahwa di Kediri sempat dikumpulkan sekian banyak prajurit yang lengkap dengan senjata masing-masing. Namun sebelum Senapati itu menjawab, Mahisa Agnilah yang menyahut, “Apakah kau sudah melepaskan petugas-petugas sandi?”
Panglima itu tidak menjawab. Tetapi dipandanginya Mahisa Agni dengan tajamnya.
“Aku sudah menyusun jalur hubungan yang sebaik-baiknya di Kediri. Setiap perintah akan mengalir melalui aluran yang sudah ditentukan. Apa salahnya? Bukankah tuanku Sri Rajasa dahulu sudah mulai menyusun saluran perintah yang teratur dan tuanku Anusapati pun berusaha untuk menyempurnakan? Namun agaknya di saat terakhir, terutama di Singasari, jalur itu telah terputus-putus. Setiap pimpinan dan Senapati memilih jalurnya masing-masing.”
“Omong kosong.“ potong Panglima itu.
“O, kau tidak merasakannya?”
“Tidak. Semuanya berjalan wajar.”
“Jika demikian yang kau lihat inipun adalah hasil usaha yang tekun untuk mempercepat semua perintah lewat saluran yang dari sedikit aku sempurnakan. Agaknya hasilnya cukup memuaskan. Nah, sebaiknya kau laporkan pula nanti jika kita menghadap, bahwa saluran perintah di Kediri sudah berjalan sesuai dengan keinginan para pemimpin di Singasari sejak masa pemerintahan Sri Rajasa.”
Panglima itu tidak menyahut. Tetapi terdengar giginya gemeretak. Ketika ia memasuki alun-alun, maka terasa dadanya bergetar. Ia melihat prajurit-prajurit Singasari di Kediri dan para pengawal dari Kediri sendiri telah siap menunggu kedatangan mereka di alun-alun. Di bagian depan terdapat sebuah panggungan kecil yang dibuat dengan tergesa-gesa, sekedar dipergunakan untuk berbicara.
“Marilah.“ ajak Mahisa Agni, “kita pergi ke panggung kecil itu.”
Panglima itu tidak menjawab. Seorang penunjuk jalan segera mendampingi kedua orang berkuda yang ada di depan Panglima Pelayan Dalam itu dan membawanya ke hadapan para prajurit diikuti oleh iringkan itu. Panglima Pelayan Dalam itu benar-benar tidak menyangka, bahwa Mahisa Agni sempat mengumpulkan prajurit sebanyak itu.
Maka mulailah ia menyadari kesalahan prajurit sandinya, yang justru melihat-lihat Kediri di malam hari, tidak saat menjelang fajar. Di malam hari Kediri itu memang sepi, tetapi menjelang fajar, semua jalan menuju ke alun-alun itu telah dipenuhi oleh pasukan yang akan berkumpul di alun-alun, justru saat pasukan sandinya tidak lagi mencurigai adanya kegiatan prajurit di Kediri.
Dengan dada yang berdebar-debar maka iring-iringan prajurit utusan dari Singasari itu menuju kehadapan para prajurit yang sudah berkumpul itu. Dibelakang panggung kecil itu mereka berhenti dan disambut oleh beberapa orang Senapati yang semalam telah mendengarkan penjelasan dari Panglima Pelayan Dalam itu.
“Kami mengucapkan selamat datang.“ berkata salah seorang Senapati itu, “agaknya ada baiknya pula memperkenalkan diri sebagai seorang Panglima yang baru di Singasari.”
Dada Panglima itu menjadi semakin berdebar-debar. Dipandanginya Senapati yang mengucapkan selamat datang kepadanya itu. Ia tidak dapat mengelak lagi, bahwa Senapati itu adalah Senapati yang pernah dikenalnya di dalam pasukan pengawal sebelum ia mendapat tugas di dalam pasukan Pelayan Dalam.
“Panglima.“ berkata Senapati itu, “apakah Panglima lupa kepadaku? Kita pernah berada di dalam satu medan perang. Tentu Panglima masih ingat, selagi kita berada di hutan Kusu.”
Panglima itu terpaksa menganggukkan kepalanya. Katanya, “Ya aku ingat. Tetapi itu sudah lama terjadi.”
“Ya. Sudah lama.”
“Ternyata selama ini kau masih saja seperti keadaanmu dahulu. Kau sama sekali tidak maju di dalam segala hal. Aku kini datang membawa panji-panji dan tunggul kerajaan.”
“Aku sudah melihat.“ jawab Senapati itu, “aku akan mengucapkan selamat atas pengangkatanmu menjadi seorang Panglima.”
Panglima itu tidak menjawab, meskipun kepalanya terangguk-angguk kecil. Ketika seorang prajurit siap menerima kudanya, maka Panglima itu pun kemudian turun dari kudanya diikuti oleh para pengawalanya, Mahisa Agni dan prajurit-prajurit Singasari yang mengiringinya. Sejenak mereka berdiri berderet bersama dengan Senapati yang sudah berada di Kediri. Beberapa orang Senapati itupun berganti-ganti mengucapkan selamat kepada Panglima yang baru pertama kali berada di Kediri.
“Nah.“ berkata Mahisa Agni, “biarlah aku minta diri kepada para prajurit dan biarlah aku menunjuk seorang perwira yang dapat mewakili aku selama aku tidak ada di Kediri.”
“Hanya Maharaja di Kediri yang berhak menunjuk seorang wakil Mahkota.”
“Aku tidak menunjuk wakil Mahkota di Kediri. Aku hanya ingin menyerahkan pengawasan prajurit-prajurit yang ada di Kediri kepada seorang perwira yang aku percaya.”
Panglima itu tidak menjawab lagi. Dipandanginya saja Mahisa Agni yang kemudian melangkah mendekati panggung kecil itu dan kemudian memanjat naik. Sebelum Mahisa Agni berbicara sepatahpun, terdengar tepuk tangan dan sorak yang bagaikan meledak menyambutnya dengan sepenuh hati. Tepuk tangan dan sorak sorai itu bagaikan menghentak-hentak dada Panglima itu. Ia sadar bahwa agaknya pergantian pimpinan pemerintahan di Singasari tidak mendapat sambutan yang baik di Kediri. Dan iapun sadar, bahwa kekuatan di Kediri tampaknya melampaui kekuatan yang diketahui oleh Singasari.
“Kekuatan di Kediri ini harus mendapat perhatian yang sungguh-sungguh.” berkata Panglima itu dalam hatinya.
Dalam pada itu Mahisa Agni yang sudah berada di atas panggung kecil itu menerima sambutan dengan lambaian tangan. Namun sejenak kemudian maka iapun memberikan isyarat agar para prajurit itu menjadi tenang.
“Saudara-saudaraku.“ berkata Mahisa Agni kemudian, “aku berdiri di sini atas nama kekuasaan tertinggi yang berada di Kediri. Namun di sini kini ada kekuasaan yang lebih tinggi lagi, yaitu Panglima Pelayan Dalam yang baru yang kini membawa limpahan kekuasaan Maharaja di Singasari dengan pertanda panji-panji dan tunggul kerajaan.”
Alun-alun itu justru menjadi hening. Para prajurit yang memang sudah mengetahui kehadiran Panglima itu hanya memandangi panji-panji dan tunggul itu saja tanpa memberikan sambutan apapun.
Terasa sesuatu berdesir di dada Panglima itu. Jika Mahisa Agni ternyata akan berbuat curang, maka tidak banyak yang dapat dilakukan dihadapan prajurit yang sekian banyaknya lengkap dengan senjata masing-masing. Adalah pekerjaan yang hampir tidak berarti, seandainya Mahisa Agni memerintahkan pasukannya untuk menangkapnya dan merampas panji-panji dan tunggul itu. Apalagi setiap orang mengetahui bahwa Mahisa Agni memiliki kemampuan yang tidak ada taranya. Hampir tidak ada tandingnya di seluruh lingkungan istana Singasari. Apalagi Maharaja yang baru saja duduk di atas tahtanya itu.
Namun agaknya Mahisa Agni tidak ingin berbuat demikian. Seperti yang dikatakan, ia ternyata hanya minta diri kepada prajuritnya, bahwa ia dipanggil oleh tuanku Tohjaya, yang kini duduk di atas tahta Singasari.
“Aku akan menghadap.“ berkata Mahisa Agni, “mudah-mudahan aku akan mendapat perintah yang akan dapat menempatkan kedudukan kita semua bertambah baik. Agaknya kini sudah waktunya kita memikirkan keadaan kita seorang demi seorang. Bukan saja para prajurit, tetapi seluruh rakyat yang berada dilingknngan Kerajaan Singasari.”
Panglima itu masih saja berdebar-debar. Mahisa Agni masih berbicara terus. Kadang-kadang sambutan yang bagaikan menyentuh langit terdengar memekakkan telinga. Dan setiap kali sambutan itu meledak, maka dada Panglima itu menjadi berdebar-debar.
Dalam pada itu Mahisa Agni yang dengan sengaja ingin menunjukkan kekuatan yang ada di Kediri agaknya telah mencapai maksudnya. Ia sudah berhasil memberikan kesan, kekuatan yang tidak boleh diabaikan. Bukan saja prajurit yang cukup jumlahnya, namun mereka adalah prajurit-prajurit yang memiliki kemampuan berbuat sesuatu dengan cepat.
Panglima Pelayan Dalam yang baru itu berserta para pengawalnya termenung saja di tempatnya. Setiap kali para prajurit itu bertepuk atau bersorak menyambut kata-kata Mahisa Agni, maka rasa-rasanya hati mereka pun tergores karenanya. Namun akhirnya Mahisa Agni selesai juga berbicara. Tidak ada tanda-tanda bahwa Mahisa Agni telah menghasut mereka untuk melakukan perlawanan.
Dengan demikian maka perlahan-lahan tumbuh pula kebanggaan mereka atas panji-panji dan tunggul kerajaan itu. Karena itu, maka ketika Mahisa Agni telah turun dari panggung kecil itu, maka Panglima Pelayan Dalam itupun berkata kepadanya, “Aku juga akan berbicara dengan mereka atas nama kekuasaan tertinggi di Singasari.”
“Apa yang akan kau bicarakan?“ bertanya Mahisa Agni.
“Tentang keadaan terakhir di Singasari.”
“Kau akan menyampaikan dongengmu seperti semalam?”
“Dongeng yang mana?”
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Sama sekali tidak perlu. Biarlah para Senapati yang semalam telah mendengarkan sesorahmu nanti menyampaikannya kepada para prajurit. Kini kepentinganku sudah selesai. Bukankah kau ingin berangkat lebih cepat?”
”Tetapi aku akan berbicara.“ desak Panglima.
“Itu tidak perlu.”
Tetapi Panglima itu selalu mendesak. Bahkan kemudian ia mengancam, “Aku datang dengan panji-panji dan tunggul kerajaan. Apakah kau akan menolak perintahku?”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sejenak ia berdiam diri memandang Panglima itu dengan tajamnya, sehingga suasana menjadi tegang sejenak. Para Senapati yang ada di sekitar menunggu dengan hati yang berdebar-debar.
“Jika kau memaksa.“ berkata Mahisa Agni, “terserahlah kepadamu. Kau memang berhak. Tetapi kau tidak akan dapat menguasai keadaan. Kau harus mengetahui jiwa setiap prajurit Singasari yang ada di Kediri. Kau harus mengetahui jiwa prajurit Singasari dari semua lingkungan dan pasukan. Bukan sekedar Pelayan Dalam.”
“Aku memahami. Dan aku akan berbicara dengan mereka.”
“Jika demikian aku akan pergi. Aku akan mendahului menghadap tuanku Tohjaya. Karena aku tidak yakin bahwa kau akan berhasil menguasai perasaan para prajurit itu. Kau tentu tidak akan dapat meyakinkan mereka, bahwa tuanku Anusapati telah dibunuh oleh rakyat Singasari karena bagi mereka tuanku Anusapati adalah seorang pahlawan yang sangat dicintai rakyatnya. Sejak ia masih seorang Pangeran Pati dengan ujudnya sebagai Kesatria Putih, namanya sudah dikenal dan disuyuti.”
Panglima itu termangu-mangu sejenak.
“Sekarang terserahlah kepada pilihanmu.“ berkata Mahisa Agni kemudian.
Panglima itu menjadi termangu-mangu. Ia berdiri di simpang jalan yang sulit. Sebagai seorang yang membawa panji-panji dan tunggul kerajaan, makan kata-katanya seharusnya berlaku sebagai ketentuan yang tidak dapat dirubah. Tetapi jika ia benar-benar berbicara dihadapan prajurit-prajurit itu, peringatan Mahisa Agni itu merupakan pertanda buruk baginya. Jika Kediri bergolak justru karena kesalahannya, maka ia tentu harus mempertanggung jawabkannya. Sejenak Panglima itu termangu-mangu. Namun demikian ia berkata, “Aku akan tetap naik keatas panggung. Dan aku perintahkan kau tetap berada di sini.”
“Apakah kau takut sendirian berdiri di atas panggung itu? Jika demikian, baiklah, aku kawani kau sebentar. Tetapi yang terjadi kemudian bukan tanggung jawabku.”
Jawaban Mahisa Agni benar-benar telah menusuk jantungnya. Sejenak ia memandang wajah pengawalnya. Namun pengawalnya sama sekali tidak mengangkat wajahnya. Kepala mereka tertunduk lesu, seperti dedaunan yang dipanggang diteriknya matahari. Ketika Panglima itu mencoba memandang wajah para Senapati Singasari yang ada di Kediri, dilihatnya para Senapati itu memalingkan wajah-wajah mereka, seakan-akan mereka tidak mendengar percakapannya dengan Mahisa Agni.
Untuk beberapa lamanya Panglima itu termangu-mangu. Tetapi ia adalah seorang prajurit. Ia tidak dapat begitu saja meninggalkan ucapan tanpa melaksanakannya hanya karena orang lain mencegahnya. Padahal ia membawa panji-panji dan tunggul kerajaan lambang kekuasaan tertinggi. Sejenak kemudian maka Panglima itupun membulatkan hati. Sambil menggeretakkan giginya iapun kemudian memanjat tangga dan naik ke atas panggung kecil itu.
Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Bukan karena ia harus mentaati perintah Panglima itu, atau bukan karena ia merasa tersinggung karena ia tidak berhasil mencegahnya. Namun justru jika Panglima itu salah lidah, akibatnya akan sangat parah. Tetapi Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam ketika ternyata Panglima itu hanya berbicara beberapa patah kata saja, katanya,
“Aku, atas nama kekuasaan tertinggi Singasari telah diperintahkan untuk memanggil Mahisa Agni. Dan aku, atas nama kekuasaan tertinggi telah memberikan wewenang kepada Mahisa Agni untuk menunjuk seseorang sebagai kepercayaannya selama ia berada di Singasari. Kata-kataku berlaku sebagai sabda Maharaja Singasari.”
Ketika Panglima itu terdiam maka tiba-tiba saja dada Mahisa Agni telah menjadi berdebar-debar kembali. Sejenak ia memperhatikan Panglima Pelayan Dalam itu. Jika ia masih akan berbicara lagi, maka akan membuka kemungkinan pembicaraannya tersesat dan membakar hati para prajurit itu. Kalimat yang pertama diucapkan agaknya sama sekali tidak mendapat tanggapan yang baik. Semakin banyak yang akan dibicarakan, maka akan semakin banyak terdapat lubang-lubang yang dapat menyeretnya terperosok ke dalamnya.
Namun agaknya Panglima itu sadar, bahwa ia tidak mendapat sambutan yang baik dari para prajurit. Maka iapun segera menyelesaikan kata-katanya. “Aku tidak akan banyak berbicara di hadapan kalian. Semuanya akan dijelaskan oleh para Senapati.”
Panglima itupun kemudian melangkah turun dari panggung kecil itu tanpa sambutan apapun dari para prajurit. “Kita segera kembali ke Singasari.“ geramnya.
Tetapi Mahisa Agni berkata, “Bukankah aku masih harus menunjuk seorang wakilku?”
Panglima itu menarik nafas dalam-dalam. “Aku akan menunjuk dan membawanya naik kepanggung kecil itu untuk memperkenalkannya kepada para prajurit.”
“Mereka pasti sudah kenal.”
“Ya. Tetapi aku ingin meyakinkan mereka, bahwa benar orang itulah yang aku tunjuk.”
Panglima itu terdiam sejenak, lalu, “Cepat, waktu kita akan habis disini.”
Mahisa Agni pun kemudian berbicara dengan beberapa orang Senapati. Kemudian merekapun sepakat menunjuk seorang Senapati yang tertua di antara mereka. “Aku akan membawanya naik dan mengumumkannya.“ berkata Mahisa Agni kemudian.
Demikianlah maka Mahisa Agnipun membawa Senapati tertua itu naik keatas panggung kecil itu. Sambil mengacukan tangan kanan Senapati tertua itu Mahisa Agni berkata, “Berdasarkan kekuasaan yang ada pada Panglima Pelayan Dalam yang membawa panji-panji dan tunggul kerajaan, maka aku menunjuk Senapati ini sebagai wakilku selama aku tidak ada di Kediri.”
Para prajurit Singasari yang ada di Kediri itu pun menyambutnya dengan sorak yang gemuruh. Senapati itu sudah dikenal oleh setiap prajurit. Ia adalah seorang Senapati yang senang sekali bergurau meskipun masih tetap dalam batas-batas yang wajar. Apalagi Senapati itu memiliki kemampuan yang cukup dibidangnya dan di dalam olah kanuragan.
“Selama aku tidak ada, maka kalian harus mentaati perintahnya.“ berkata Mahisa Agni kemudian, lalu, “tetapi di samping Senapati tertua itu, aku akan mengangkat seorang penasehat baginya. Ia akan selalu mendampinginya dan memberikan pertimbangan dan nasehat. Diminta atau tidak diminta. Tetapi Senapati ini pun dapat menerima atau menolak nasehat itu.”
Semua menjadi hening. Mereka mulai menebak-nebak siapakah yang akan menjadi penasehat itu. Tetapi agaknya para prajurit itu tidak begitu banyak menaruh perhatian, karena jabatan itu mereka anggap tidak begitu penting dan tidak begitu banyak pengaruhnya bagi kedudukan wakil Mahisa Agni itu.
“Nah.“ berkata Mahisa Agni kemudian, “aku menunjuk seorang prajurit tua dari pasukan pengawal yang selama ini mengawal aku di istana. Ia banyak mengetahui tentang rencana yang pernah aku susun. Ia mengetahui kelemahan-kelemahannya dan ia mengetahui manakah yang baik dan berarti.“ sejenak Mahisa Agni terdiam. Ia mencoba melihat apakah keterangannya itu mendapat tanggapan. Tetapi agaknya para prajurit itu menjadi acuh tidak acuh saja terhadap kedudukan yang kurang mereka kenal itu.
Namun kemudian Mahisa Agnipun berkata, “Saudara-saudaraku, para prajurit. Mungkin kalian sudah ada yang mengenalnya. Sudah lama sekali tidak menampakkan diri dengan namanya sendiri. Tetapi ia berada di antara kita dengan nama yang lain. Pati-pati. Dan sekarang aku harap Pati-pati itu tampil ke atas panggung ini.”
Tidak seorang pun yang bergerak dari tempatnya. Tidak seorang pun yang biasa disebut Pati-pati. Namun Mahisa Agni pun kemudian menjelaskan, “Orang itu sebenarnya bukan orang baru. Tetapi ia adalah seorang prajurit yang justru sudah terlampau lama berada di lingkungannya.”
Semua mata saling mencari, siapakah agaknya yang disebut oleh Mahisa Agni. Mereka yang mula-mula tidak begitu berminatpun menjadi tertarik juga mendengarkan penjelasan itu. Bukan karena mereka tertarik pada jabatan yang kurang mereka kenal itu, tetapi mereka tertarik kepada orang yang bernama Pati-pati itu.
Karena tidak ada seorang pun yang bergerak, maka Mahisa Agnipun kemudian berkata, “Ia berada di antara pasukan pengawalku.“ Dan sambil berpaling kepada seorang yang berpakaian prajurit di belakang panggung ia berkata, “Naiklah bersama kami.”
Orang itu ragu-ragu sejenak. Namun iapun sadar, bahwa ia agaknya memang diperlukan oleh Mahisa Agni. Karena itulah maka dengan ragu-ragu ia melangkah mendekati panggung dan memanjat naik. Dengan termangu-mangu ia pun kemudian berdiri di samping Mahisa Agni dan Senapati tertua yang akan mewakili Mahisa Agni selama ia tidak berada di tempatnya.
“Nah, inilah prajurit itu.“ berkata Mahisa Agni kemudian.
Semua mata kini tertuju kepada prajurit yang berdiri di sebelah Mahisa Agni. Prajurit yang sebenarnya sudah cukup tua. Tetapi dari sepasang matanya memancar kepribadian yang mengesankan. Namun di dalam lingkungan para prajurit itupun timbullah keheranan yang sangat. Justru karena sebagian terbesar dari mereka belum pernah mengenal prajurit yang disebut bernama Pati-pati itu. Juga prajurit dari Pasukan Pengawal sendiri kecuali beberapa orang prajurit yang kebetulan pada hari itu bertugas Mahisa Agni dan mendapat pesan langsung tentang orang yang disebut bernama Pati-pati itu.
Dalam keheranan itu para prajurit mendengar Mahisa Agni berkata lantang, “Para prajurit dan Senapati. Orang yang bernama Pati-pati ini adalah orang yang sebenarnya pernah kalian kenal jauh sebelum ini. Terlebih-lebih mereka yang usianya sudah cukup untuk mengenang masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung.”
Para prajurit yang mendengar keterangan Mahisa Agni itu menjadi semakin heran. Bahkan Panglima Pelayan Dalam yang mendapat limpahan kekuasaan Maharaja Singasari itu pun menjadi berdebar-debar pula. “Apakah hubungannya dengan masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung?“ Panglima itu bertanya di dalam hatinya.
Namun sebelum ia sempat berbuat apa-apa, Mahisa Agni telah melanjutkan keterangannya, “Nah, para prajurit. Orang yang bernama Pati-pati ini adalah orang yang mempunyai kedudukan penting di masa itu. Meskipun orang ini pada waktu itu tidak dikenal sebagai seorang yang bernama Pati-pati. Tetapi pada waktu itu ia bernama Witantra. Seorang Panglima Pasukan Pengawal.”
Ternyata sebutan itu telah mendebarkan setiap jantung sehingga untuk beberapa saat terdengar suara menggeramang di antara mereka. Beberapa orang mengulangi nama dan sebutan itu. Witantra, Panglima Pasukan Pengawal pada masa Akuwu Tunggul Ametung.
Namun dalam pada itu, selagi orang-orang itu sibuk berbicara diantara mereka, maka Panglima Pelayan Dalam yang memegang kekuasaan tertinggi itu berkata lantang dari belakang panggung kecil itu. “He, Mahisa Agni. Apakah maksudmu dengan Panglima Pasukan Pengawal di masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung itu? Pemerintahan yang hanya berkisar di sekitar daerah Tumapel. Apakah artinya seorang Panglima dari seorang Akuwu.”
Mahisa Agni memandang Panglima itu sejenak, lalu, “Persoalannya bukannya karena ia seorang Panglima, meskipun dari pemerintahan yang jauh lebih kecil dari Singasari sekarang. Tetapi bahwa Witantra mempunyai pengalaman yang luas dan pengetahuan yang cukup akan dapat dimanfaatkan di dalam keadaan seperti ini.”
“Mahisa Agni.“ sahut Panglima itu, “betapa banyaknya pengalaman dan betapa tingginya pengetahuannya, agaknya di Singasari dapat diketemukan puluhan orang seperti Witantra. Karena itu, apakah kau memandang perlu sekali mempergunakan orang itu di Kediri?”
“Panglima Pelayan Dalam yang kebetulan membawa kekuasaan tertinggi. Sebenarnyalah aku mempercayainya. Selama ini ia adalah pengawalku dan penasehatku meskipun tidak secara resmi diangkat. Aku mengetahui banyak tentang dirinya. Dan jika kau menyebut puluhan orang terdapat di Singasari yang memiliki pengalaman dan pengetahuan seperti orang ini, maka aku dapat mengatakan bahwa itu sama sekali tidak benar. Ada berapa orang Singasari yang memiliki kemampuan seperti tuanku Sri Rajasa? Nah, jika kau dapat menyebut namanya, maka orang itu dapat disejajarkan dengan orang yang bernama Witantra ini meskipun barangkali Witantra masih belum sepenuhnya dapat diseimbangkan dengan Sri Rajasa. Namun agaknya di Singasari sekarang tidak ada lagi orang yang menyamainya.“ Mahisa Agni berhenti sejenak, lalu, “seorang di antara mereka yang memiliki kelebihan adalah Kuda Sempana. Dan kau tahu, bahwa Kuda Sempana bekas Pelayan Dalam di masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung itu, ternyata memiliki kemampuan lebih besar dari Panglima Pelayan Dalam yang terbunuh dan yang kedudukannya dilimpahkan kepadamu.”
Panglima itu menjadi tegang. Sejenak ia diam mematung. Bukan saja karena menurut keterangan Mahisa Agni, Witantra memiliki kemampuan setingkat Sri Rajasa, namun yang lebih mendebarkan jantungnya adalah bahwa Mahisa Agni dapat menyebutkan bahwa Panglima Pelayan Dalam itu telah mati terbunuh oleh Kuda Sempana, dan yang disebutnya pula bahwa ia adalah bekas seorang Pelayan Dalam di masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung. Apakah dengan demikian berarti bahwa Mahisa Agni telah mengetahui dengan pasti apakah yang terjadi di halaman istana itu?
Dalam pada itu Mahisa Agnipun melanjutkannya, “Nah, orang yang kini berada di sisiku ini bukan sekedar seorang Pelayan Dalam seperti Kuda Sempana itu, tetapi ia adalah seorang Panglima pada waktu itu. Karena itu, sebaiknya yang sudah aku tetapkan ini berlaku. Biarlah Kuda Sempana sudah mati terbunuh di dalam kerusuhan yang terjadi di halaman istana itu, kerusuhan yang sudah direncanakan sebaik-baiknya. Tetapi aku tidak akan mempersoalkan kerusuhan itu sendiri karena kau sudah langsung memberikan penjelasan kepada para Senapati.”
Wajah Panglima Pelayan Dalam itu menjadi merah. Meskipun kata-kata Mahisa Agni itu ditujukan kepadanya, sehingga tidak banyak didengar oleh para prajurit yang berada di depan panggung kecil itu, namun dengan demikian Mahisa Agni seakan-akan ingin menjelaskan kepadanya, bahwa ia tidak percaya sama sekali dengan keterangannya, bahwa tuanku Anusapati mati di dalam kerusuhan yang tiba-tiba saja meledak, meskipun bibit kebencian itu sudah lama ada dihati rakyat. Karena itu, untuk beberapa saat lamanya Panglima itu justru diam mematung menahan gejolak di dadanya.
Dalam pada itu karena Panglima itu tidak segera menyahut Mahisa Agni pun melanjutkan kata-katanya kepada pada prajurit. “Nah, demikianlah ketetapanku sebelum aku berangkat ke Singasari. Aku sudah menunjuk wakilku dan seorang penasehatnya. Aku yakin bahwa pemerintahan di Kediri akan tetap berjalan seperti biasa dengan bantuan para pemimpin di Kediri sendiri.”
Mahisa Agni tidak menunggu jawaban dari Panglima itu, dan berkata seterusnya, “Baiklah, aku sekarang minta diri untuk segera berangkat ke Kediri, Lakukanlah tugas kalian baik-baik. Aku akan segera kembali.“ lalu ia berpaling kepada Panglima Pelayan Dalam itu sambil bertanya, “Bukankah aku akan segera kembali?”
Pertanyaan itu benar-benar menyakitkan hatinya. Belum lagi ia berhasil menguasai perasaannya Mahisa Agni sudah berkata kepada para prajurit. “Nah, bukankah ia mengiakan. Karena itu, lakukanlah tugas kalian sebaik-baiknya sehingga pada saatnya aku kembali.” Mahisa Agni kemudian mengangkat tangannya sambil mengucapkan selamat tinggal.
Sambutan yang gemuruh bagaikan memecahkan langit. Setiap prajurit telah melambaikan tangannya. Tetapi ketika beberapa orang prajurit yang ada di depan panggung kecil itu tiba-tiba menarik senjatanya dan mengacukannya, maka yang lainpun menarik senjata mereka dan mengacukannya pula sambil meneriakkan nama Mahisa Agni.
Mahisa Agni tersenyum. Rencananya berjalan seperti yang diharapkan untuk memberikan kesan tersendiri kepada utusan Maharaja di Singasari. Pasukan yang ada di Kediri adalah pasukan yang cukup kuat ditambah dengan pasukan pengawal Kediri sendiri. Meskipun pasukan itu tidak begitu besar, tetapi dalam waktu yang singkat, Mahisa Agni tentu berhasil mengumpulkan jumlah yang belipat. Apalagi jika diingat saat-saat Singasari memasuki kota Kediri. Mahisa Agni memimpin sepasukan orang-orang Kediri yang tidak puas terhadap sikap pemimpin pemerintahannya sendiri saat itu.
Sambil melambaikan tangannya Mahisa Agnipun surut selangkah. Ia memberikan beberapa pesan kepada Senapati tertua yang telah diserahi pimpinan atas para prajurit yang berada di Kediri dan kepada seorang prajurit yang bernama Pati-pati dan yang sebenarnya adalah bekas seorang Panglima Pasukan Pengawal pada masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung. Nama Pati-pati maupun Witantra sebenarnya asing bagi para prajurit. Tetapi sebutan bekas Panglima itu sangat menarik perhatian mereka.
Mahisa Agnipun kemudian turun dari panggung kecil itu. Perlahan-lahan sambil tersenyum ia mendekati Panglima Pelayan Dalam itu sambil berkata, “Aku sudah minta diri. Marilah kita berangkat. Barangkali kau ingin cepat kembali meskipun kita pasti akan memasuki kota Singasari di malam hari atau bermalam di perjalanan.”
Panglima itu termangu-mangu sejenak, namun kemudian iapun berkata, “Kita akan memasuki istana Singasari meskipun lewat tengah malam.”
Panglima itupun kemudian memerintahkan pengawalnya untuk menyediakan kudanya. Sejenak ia memperhatikan para prajurit yang masih saja mengacukan senjata mereka sambil meneriakkan nama Mahisa Agni.
“Kita segera pergi.“ geram Panglima itu. Panglima Pelayan Dalam dan para pengawalnya beserta Mahisa Agni dan para pengawalnya pun kemudian meloncat ke punggung kuda masing-masing. Mereka pun segera meninggalkan alun-alun dengan kesannya masing-masing. Sedang para prajurit di alun-alun masih saja melambai-lambaikan senjata mereka sebagai penghormatan kepada Mahisa Agni.
Baru ketika Mahisa Agni telah hilang dari pandangan mereka, maka mereka pun mulai menyadari bahwa seorang Senapati telah mendapat limpahan tugas Mahisa Agni bersama seorang prajurit bernama Pati-pati.
“Kita akan melakukan tugas kita sebaik-baiknya.“ berkata Senapati tertua itu, “dan aku akan selalu berhubungan dengan penasehat yang telah ditunjuk oleh tuanku Mahisa Agni.“ Senapati itu berhenti sejenak, lalu, “apalagi penasehat ini adalah bekas seorang Panglima yang mendapat kepercayaan di masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung.”
Demikianlah maka para prajurit yang berada di alun-alun itupun kemudian kembali ke barak mereka masing-masing. Beberapa orang Senapati kemudian mengadakan pembicaraan-pembicaraan yang penting menanggapi keadaan yang berubah dengan cepatnya. Namun bagaimanapun juga mereka tidak akan dapat melepaskan diri dari sikap Mahisa Agni sendiri, sehingga Senapati tertua yang mewakilinya itu pun selalu memperingatkan bahwa para prajurit di Kediri harus tetap dapat menahan hati sehingga tidak menumbuhkan persoalan-persoalan yang harus diselesaikan dengan kekerasan.
Dalam pada itu, sebuah iring-iringan dengan cepatnya telah meninggalkan kota Kediri. Di paling depan seorang pengawal berkuda dengan dada tengadah. Kemudian Panglima Pelayan Dalam yang membawa Mahisa Agni menghadap bersama pengawalnya yang membawa panji-panji dan tunggul kerajaan. Baru kemudian Mahisa Agni berkuda sambil merenung, apakah kira-kira yang akan dihadapinya di Singasari.
Namun bagi Mahisa Agni, sebagian besar rencananya telah berhasil. Ia dapat menunjukkan kepada Panglima Pelayan Dalam itu, bahwa Mahisa Agni tidak berdiri sendiri. Ia berdiri dihadapan sepasukan prajurit yang kuat, sehingga Tohjaya yang baru saja naik tahta itu akan selalu mempertimbangkannya. Apalagi di antara mereka telah disebut nama Witantra yang juga bergelar Panji Pati-pati. Seorang bekas Panglima pada masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung. Meskipun Witantra tidak berbuat apa-apa, namun kehadirannya di antara para prajurit memang perlu dipertimbangkan.
Demikianlah agaknya yang sedang berkecamuk di dalam angan-angan Panglima itu. Ternyata ia sedang merenungi kekuatan prajurit Singasari yang ada di Kediri.
“Demikian banyaknya.“ berkata Panglima itu di dalam hatinya, “sungguh di luar dugaan. Mahisa Agni tentu sudah menarik pasukan Singasari yang terpencar di tempat-tempat yang terpencil. Mungkin sebelum aku datang.”
Dan di dalam dada Panglima itupun berkecamuk berbagai macam pertimbangan yang harus diperhitungkan tentang kekuatan yang berdiri di belakang Mahisa Agni, termasuk seorang bekas Panglima Tumapel.
“Tentu Mahisa Agni sengaja menyusun kekuatan itu.“ berkata Panglima itu pula di dalam hatinya. Sekilas ia dapat meraba bahwa Mahisa Agni dengan sengaja memamerkan kekuatan itu kepadanya. Namun sebenarnyalah bahwa kekuatan itu tidak dapat diabaikan.
Di sepanjang perjalanan ke Singasari hampir tidak ada persoalan dan kesulitan apapun. Mahisa Agni dengan para pengawalnya tidak pernah membicarakan tentang diri mereka dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Jika seseorang bertanya kepada mereka, maka mereka pun menjawabnya. Jika tidak maka mereka berbicara di antara mereka sendiri tentang beberapa macam persoalan yang sama sekali tidak berarti. Tentang sawah yang mereka lihat di sebelah menyebelah jalan. Tentang hutan yang mereka lewati dan tentang binatang buruan.
Seperti yang telah diduga oleh Mahisa Agni, maka Panglima itu ingin langsung menghadap kapan pun mereka memasuki kota. Hanya sekali-sekali mereka berhenti, memberi kesempatan kuda mereka beristirahat sejenak, untuk minum dan sedikit makan rumput di pinggir-pinggir jalan. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan langsung menuju ke istana.
Kedatangan iring-iringan itu dilewat tengah malam sangat mengejutkan para penjaga istana. Tetapi ketika mereka melihat panji-panji dan tunggul kerajaan, maka mereka pun menyibak dan membiarkan iring-iringan itu lewat dengan letihnya, setelah mereka melintasi bulak yang panjang, hutan perdu dan bukit-bukit padas. Bahkan kadang-kadang mereka hanya dapat merayap sangat lambat maju jika mereka melintasi lereng-lereng bukit dan hutan-hutan yang masih cukup lebat.
Demikian mereka memasuki halaman istana, maka Mahisa Agni pun menarik nafas dalam-dalam. Sudah terlalu lama ia tidak datang ke istana Singasari. Dan itu barangkali merupakan suatu kekhilafan juga sehingga ia tidak dapat mengikuti perkembangan keadaan istana itu dengan saksama.
“Yang terjadi kemudian adalah Anusapati telah terbunuh.“ berkata Mahisa Agni di dalam hatinya.
Dalam pada itu, maka Mahisa Agni dan pengawalnya pun kemudian dipersilahkannya masuk ke dalam bangsal yang selalu dipergunakan oleh Mahisa Agni jika ia berada di Singasari. Tetapi bangsal itu sudah banyak berubah. Dan yang pada saat itu, mendapat pengawasan yang kuat sekali. Meskipun tidak semata-mata, tetapi Mahisa Agni mengerti, bahwa di seberang longkangan-longkangan kecil, di sudut-sudut bangsal di sebelah menyebelah, dan di belakang dinding batu di dalam halaman istana yang menyekat halaman itu, penuh dengan prajurit yang mengawasinya.
“Pergunakan waktu istirahat ini sebaik-baiknya.“ berkata Mahisa Agni kepada para pengawalnya, “mungkin besok kita akan sibuk, atau mungkin ada tugas-tugas lain yang harus kita lakukan.”
Demikianlah Mahisa Agni sendiri, seakan-akan tidak menghiraukan apa yang dapat terjadi atas dirinya. Iapun kemudian masuk ke dalam biliknya dan berbaring di pembaringan tanpa membersihkan diri lebih dahulu selain mengusap peluh yang membasahi tubuhnya. Sedang beberapa orang pengawalnya pun kemudian berbaring di atas tikar yang terbentang di serambi belakang. Sedang dua orang di antara mereka tetap berjaga-jaga di ruang depan.
Tetapi, meskipun Mahisa Agni seakan-akan tidak menghiraukan apapun lagi, namun ia tidak segera dapat tertidur nyenyak. Tubuhnya terasa panas dan gatal-gatal. Dan lebih dari pada itu, sebenarnyalah bahwa ia merasa gelisah jika ia mengenang Ken Dedes dan isteri Anusapati serta anaknya.
“Apakah yang dapat mereka lakukan di dalam keadaan serupa ini, dan apakah yang diperlakukan atas mereka?“ pertanyaan itu selalu mengganggunya, “Dan bagaimanakah dengan Mahisa Wonga Teleng dan adiknya?”
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang membebani perasaannya, sehingga meskipun ia berbaring sambil memejamkan matanya, namun Mahisa Agni hampir tidak tertidur sama sekali di sisa malam yang tidak terlampau panjang itu.
Pada malam itu juga Panglima Pelayan Dalam yang membawa panji-panji dan tunggul kerajaan itu berusaha untuk menghadap tuanku Tohjaya. Demikian mendesaknya gejolak di dalam dadanya sehingga rasa-rasanya ia tidak dapat menunggu sampai besok. Pasukan yang kuat di Kediri masih terbayang di wajahnya, dan seorang Panglima di masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung yang bernama Witantra. Meskipun orang itu sudah setua, bahkan mungkin melampaui umur Mahisa Agni, namun agaknya ilmu justru menjadi semakin masak.
Namun ternyata bahwa tidak seorang pun yang sependapat dengan Panglima itu untuk membangunkan Tohjaya di malam hari. Senapati yang bertugas berjalan-jalan di depan bangsal menyarankan agar Panglima Pelayan Dalam itu menunggu saja sampai besok.
“Aku baru datang dari Kediri.“ berkata Panglima itu, “aku harus segera menghadap tuanku Tohjaya.”
“Apakah salahnya jika ditunda sampai besok? Tuanku Tohjaya sedang marah-marah saja sehari penuh.”
“Kenapa?”
“Adik-adiknya memerlukan banyak sekali perhatian. Pimpinan pemerintahan yang belum mapan dan persoalan-persoalan yang lain yang perlu dipecahkan segera justru disaat pemindahan kekuasaan ini.”
Panglima Pelayan Dalam itu menarik nafas. Ia mengerti bahwa waktunya memang kurang tepat untuk menghadap. Karena itu maka katanya, “Baiklah, aku akan menunggu sampai besok pagi. Aku tetap berada di halaman istana. Pengawal-pengawalku akan tetap mengawasi Mahisa Agni.”
“Ia tidak akan berbuat apa-apa. Jika ia ingin melakukan perlawanan, maka yang paling tepat adalah dilakukan di Kediri atau di perjalanan. Tidak di sini.”
“Kau terlalu yakin. Mungkin Mahisa Agni mempunyai pertimbangan lain.”
“Aku yakin.”
Panglima Pelayan Dalam itu terdiam sejenak. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, “Baiklah. Aku akan menunggu. Tetapi kau jangan lengah. Mahisa Agni adalah orang yang luar biasa. Mungkin ia dapar berbuat sesuatu yang sama sekali tidak kita duga sebelumnya.”
“Baiklah. Aku sudah menyiapkan sepasukan terpilih untuk mengawasi isi halaman istana, terutama bangsal Mahisa Agni. Sebenarnyalah bahwa aku sudah menduga bahwa kau akan memasuki halaman di malam hari. Sebaiknya kau percaya kepadaku, bahwa di setiap sudut halaman ini telah bersiap-siap pengawal-pengawal pilihan.”
“Terima kasih. Meskipun kau yakin bahwa Mahisa Agni tidak berbuat apa-apa di sini, ternyata kau sudah bersiap juga.”
Senapati itu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak mengucapkannya meskipun di dalam hatinya ia berkata, “Tuanku Tohjaya lah yang menjadi ketakutan. Bukan aku.”
Pelayan Dalam yang memegang panji-panji dan tunggul kerajaan itupun kemudian pergi ke bangsal di sebelah bangsal induk yang kemudian dipergunakan oleh Tohjaya itu. Bersama para pengawalnya itu pun kemudian beristirahat sambil menunggu fajar. Tenyata bahwa perjalanan mereka adalah perjalanan yang melelahkan. Bukan saja karena jarak yang jauh, tetapi juga karena hati yang tegang penuh kecurigaan.
Sisa malam itu terasa menjadi sangat panjang. Panglima itu sama sekali tidak dapat memejamkan matanya. Namun rasa-rasanya matahari menjadi sangat lambat terbit, sehingga karena itu, maka ia pun menjadi sangat gelisah. Bahkan kadang-kadang ia bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir di dalam biliknya. Kemudian duduk sejenak, berbaring dan bangkit lagi berjalan mondar-mandir.
Namun akhirnya terdengar juga kokok ayam jantan bersahutan. Ketika Panglima itu keluar dari bangsalnya di lihatnya cahaya kemerah-merahan sudah membayang di ujung Timur. Rasa-rasanya tidak sabar lagi ia menunggu. Karena itu maka ia pun segera mengirimkan seorang utusan untuk menjumpai Senapati yang bertugas. Apakah ia sudah sepantasnya menghadap.
Senapati itu pun kemudian berpesan, agar Panglima itu bersiap-siap. Ia akan menyampaikannya kepada tuanku Tohjaya. Demikianlah maka sejenak kemudian, utusan Senapati itu sudah menemui Panglima Pelayan Dalam untuk menyampaikan pesan bahwa Tohjaya sudah dapat menerimanya.
“Tetapi jangan dibawa Mahisa Agni itu dahulu.“ pesan utusan itu.
Panglima Pelayan Dalam yang membawa panji-panji dan tunggul kerajaan itu pun dengan tergesa-gesa mempersiapkan dirinya. Ia merasa bahwa sebagai seorang Panglima yang baru, tugasnya sudah dapat diselesaikan sebaik-baiknya sehingga ia akan dapat menghadap dengan kepala tengadah. Bersama beberapa pengawalnya Panglima itu pun kemudian pergi ke bangsal induk di tengah-tengah halaman istana. Bangsal yang dikelilingi oleh kolam yang berair bening. Bangsal yang semula dipergunakan oleh Anusapati.
“Silahkan menghadap di bangsal itu. Tidak perlu menunggu paseban. Tuanku Tohjaya pun segera ingin mengetahui apakah kau sudah berhasil.”
“Tentu.“ sahut Panglima itu, “aku tidak pernah gagal. Apalagi dengan panji-panji dan tunggul kerajaan.”
Senapati yang sedang bertugas itu pun mengerutkan keningnya. Namun ia tidak memberikan tanggapan apapun juga. Dalam pada itu, Panglima itupun kemudian naik ke bangsal lewat sebuah jembatan kecil di atas kolam yang mengelilingi bangsal itu. Para pengawalnya berada di luar regol selain seorang yang membawa panji-panji dan tunggul kerajaan. Di ruang tengah Tohjaya sudah menunggunya dengan gelisah. Karena itu, ketika Panglima itu memasuki ruang depan, dengan tergesa-gesa Tohjaya pun segera memanggilnya.
“Suruh masuk kemari.“ perintahnya kepada seorang Pelayan Dalam yang sedang bertugas.
Pelayan Dalam itu pun kemudian menyampaikannya kepada Panglimanya, bahwa tuanku Tohjaya sudah berkenan menerimanya di ruang tengah. Ketika Panglima itu memasuki ruangan, dilihatnya Tohjaya duduk di atas sebuah batu berukir beralaskan kulit harimau berbelang-belang. Wajahnya yang tegang membayangkan kegelisahan di hatinya.
“Ampun tuanku.“ berkata Panglima Pelayan Dalam itu, “hamba sudah menghadap.”
“Bagaimana dengan Mahisa Agni?”
“Hamba sudah membawanya tuanku. Setiap saat Mahisa Agni dapat tuanku panggil menghadap. Ia berada di bangsalnya di bawah pengawasan yang kuat.”
“Apakah ia datang sebagai orang yang bebas?”
“Hamba tuanku.”
“Ia harus ditangkap. Mahisa Agni adalah orang yang paling berbahaya bagi kedudukanku sekarang. Ia adalah orang yang tidak ada tandingnya. Dan ia adalah orang yang mempunyai pengaruh yang kuat.”
Panglima itu mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia sempat berbicara, Tohjaya sudah mendahuluinya, “Kerahkan semua orang yang memiliki kemampuan tertinggi. Betapapun dahsyatnya ilmu Mahisa Agni, namun melawan sepasukan prajurit pilihan, para Senapati dan Panglima, ia tidak akan dapat meloloskan dirinya lagi.”
“Tuanku.“ Panglima itupun dengan tergesa-gesa mencoba menyela, “ampun tuanku. Apakah hamba dapat memberikan sedikit gambaran tentang Mahisa Agni dan kedudukannya di Kediri?”
Tohjaya mengerutkan keningnya, lalu, “Apa yang akan kau katakan.”
“Tuanku, sebenarnyalah bahwa hamba telah melihat pengaruh Mahisa Agni itu di Kediri.”
“Apa yang kau lihat?”
“Tuanku.“ berkata Panglima itu, “adalah diluar dugaan hamba bahwa Mahisa Agni di Kediri mempunyai wewenang seperti tuanku Tonjaya sendiri.”
“Itu adalah kesalahan Kakanda Anusapati.”
“Hamba tuanku. Agaknya tuanku Anusapati terlampau percaya, atau dengan sengaja membesarkan Mahisa Agni. Kekuasaannya hampir seperti kekuasaan seorang raja. Meskipun keturunan Sri Rajasa di Kediri masih berkuasa di dalam lingkungan keluarga dan istana, serta sedikit kekuasaan di dalam adat dan tata kehidupan, namun sebenarnyalah bahwa Mahisa Agni lah yang menguasai segala-galanya. Agaknya Mahisa Agni sudah mendengar apa yang terjadi di Singasari sehingga ia telah menyiapkan suatu pameran kekuatan yang mengasyikkan.”
“Kekuatan prajurit?”
“Hamba tuanku. Kekuatan prajurit yang diberikan oleh tuanku Anusapati melampaui dugaan hamba.”
“Apa saja yang diperlihatkan kepadamu?”
Panglima Pelayan dalam itu pun kemudian menceriterakan pameran kekuatan di alun-alun Kediri. Prajurit Singasari yang kuat, pasukan keamanan di Kediri dan seorang yang menyebut dirinya bernama Pati-pati, bekas seorang Panglima di masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung.
“Seorang Panglima pada masa pemerintahan Tumapel?“ Tohjaya mengulang.
“Hamba tuanku.”
“Tentu orang itu sudah tua.”
“Hamba tuanku. Sudah melampaui setengah abad. Tetapi ia masih tetap nampak segar.”
Tohjaya menggeretakkan giginya. Ditatapnya Panglima itu sejenak, lalu katanya, “Apakah maksudnya dengan menampilkan orang bernama Pati-pati itu?”
“Hamba kurang tahu tuanku. Tetapi Pati-pati yang juga bernama Witantra itu adalah seorang Panglima yang sangat disegani saat itu. Mungkin Mahisa Agni ingin meyakinkan bahwa kekuatannya di Kediri dapat mengimbangi kekuatan seluruh Singasari.”
“Omong kosong. Kediri, apalagi kota Kediri saja, adalah bagian kecil dari seluruh Singasari. Jika aku berniat, maka untuk menggilas Kediri aku tidak memerlukan waktu lima hari.”
Panglima itu mengangkat wajahnya sejenak. Namun kepala itupun segera tertunduk kembali. Sebenarnyalah bahwa ia meragukan keterangan Tohjaya. Singasari memang besar, tetapi apakah seluruh Singasari meyakini kebesaran Tohjaya. Panglima itu menarik nafas dalam-dalam. Ia sendiri merasa heran, bahwa tiba-tiba saja ia meragukan kekuasaan Tohjaya. Diluar sadarnya ia berpaling, memandang panji-panji dan tunggul yang dibawanya ke Kediri. Panji-panji dan tunggul itu adalah pertanda limpahan kekuasaan Tohjaya. Tetapi sampai betapa jauhnya kekuasaan Tohjaya itu sendiri atas Singasari yang besar ini.
Yang dapat dilihatnya kekuasaan Tohjaya barulah di dalam lingkungan istana dan kota Singasari saja. Tetapi bagaimanakah sikap para Senapati yang terpisah dan ditempatkan di kota-kota lain, di pesisir dan sikap para Akuwu, Buyut dan rakyat seluruhnya?
Namun dalam pada itu Tohjaya itu pun berkata, “Mahisa Agni harus ditangkap. Siapapun yang akan membelanya harus dimusnakan.”
“Tuanku.“ berkata Panglima itu, “hamba melihat sendiri apa yang terjadi di Kediri.”
“Kau adalah seorang Panglima. Kau dapat memerintahkan Senapati di dalam lingkunganmu yang bertugas di istana Kediri dan di istana Mahisa Agni untuk bersikap lain. Panglima pasukan medanpun dapat berbuat serupa, sehingga Mahisa Agni akan kehilangan kewibawaannya. Jika setiap Senapati menjalankan perintah Panglimanya, maka apa artinya Mahisa Agni bagi Singasari.”
“Itulah yang meragukan tuanku.”
“He.“ wajah Tohjaya menjadi merah, “kau adalah seorang Panglima. Dan kau meragukan kesetiaan Senapati-senapatimu?”
“Ampun tuanku. Hamba adalah seorang Panglima yang baru. Jika tidak ada kesetiaan atas perintah hamba, maka itu adalah kelanjutan dari sikap mereka yang dahulu. Apalagi di Kediri di dalam susunan pemerintahan tuanku Anusapati, Mahisa Agni memiliki kekuasaan tunggal yang mewakili Mahkota sehingga para Senapati di dalam tata pemerintahan sehari-hari tunduk pada perintah Mahisa Agni.”
“Tetapi aku berpendapat lain. Tidak ada kekuasaan lain di Kediri. Semua Senapati harus tunduk kepada Panglimanya masing-masing. Aku tidak memerlukan seorang Mahisa Agni.”
“Tetapi perubahan itu memerlukan waktu di dalam pelaksanaannya tuanku. Hamba mengerti bahwa tuanku dapat mangambil kebijaksanaan itu. Tetapi tidak sekarang dan begitu tiba-tiba.”
Tohjaya menjadi semakin marah. Namun ia dapat mengerti keterangan Panglimanya itu, sehingga karena itu maka ia pun menggeram, “Aku akan mengumumkan perubahan ini secepatnya. Tetapi aku tidak akan melepaskan Mahisa Agni pergi. Jika ada Senapati yang tidak mau tunduk kepada perintah para Panglimanya masing-masing, maka itu adalah suatu pengkhianatan.”
“Benar tuanku. Itu adalah suatu Pengkhianatan. Tetapi jika pengkhianatan itu terlampau kuat, maka itu harus dipertimbangkan sebaik-baiknya. Hamba masih belum yakin bahwa persoalannya dapat di atasi dalam waktu singkat. Sedang tuanku masih harus mempertimbangkan kesetiaan para Akuwu dan para Buyut yang juga mempunyai kekuatan keprajuritan di luar susunan keprajuritan Singasari.”
“Kekuatan mereka tidak berarti.”
“Tuanku harus ingat, bahwa pemerintahan Tumapel yang kecil dibawah tuanku Sri Rajasa sebelum memerintah Singasari sepeninggal Akuwu Tunggul Ametung telah berhasil mengalahkan Kediri yang besar. Karena itu, tuanku sebaiknya selalu memperhitungkan kekuatan para Akuwu di wilayah Singasari sekarang, agar tidak terulang kembali peristiwa yang pahit bagi Kediri.”
Tohjaya merenungi kata-kata Panglima itu. Namun kemudian ia membentak. “Kau jangan mengajari aku. Aku selalu mendengar laporan tentang seluruh wilayah Singasari. Sejak aku belum menjadi seorang Maharaja seperti sekarang, aku sudah menempatkan orang-orangku di seluruh wilayah Singasari sehingga aku yakin bahwa mereka kini akan tetap tunduk kepadaku.”
Panglima itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba untuk menindas keragu-raguan yang tiba-tiba saja berkembang di dalam hatinya. Sebelum ia pergi ke Kediri dan sebelum ia bertemu dan berbicara dengan Mahisa Agni, hatinya sudah dibayangi oleh kecemasan bahwa ia akan menghadapi perlawanan di Kediri. Tetapi ketika ia melihat langsung kekuatan di Kediri meskipun ternyata tidak mengadakan perlawanan apapun, namun hatinya justru menjadi semakin berdebar-debar dan cemas. Menurut penilaiannya Kediri justru diam karena yakin akan kekuatannya. Setiap saat mereka dapat bertindak sesuatu untuk memaksakan kehendak mereka.
Karena Panglima itu tidak segera menyahut, maka Tohjayapun membentaknya pula, “He, kenapa kau diam saja? Apa pendapatmu tentang Mahisa Agni?”
“Hamba sudah menyatakan pendapat hamba.”
“Persetan.“ Tohjaya menggeram. Tetapi ia mulai berpikir tentang kekuatan prajurit Singasari sendiri yang berada di Kediri. Agaknya memang berbeda dari laporan yang disampaikan kepadanya, bahwa kekuatan yang perlu diperhatikan di Kediri adalah Mahisa Agni sebagai pribadi.
Tetapi menurut laporan Panglima itu, kekuatan di Kediri adalah kekuatan yang jauh lebih besar dari yang diperkirakan. “Apakah laporan-laporan yang lain juga meragukan seperti ini?“ bertanya Tohjaya di dalam hatinya.
Karena itu maka katanya kemudian, “Aku akan memanggil para Panglima. Aku akan berbicara tentang Mahisa Agni. Kau tetap disini untuk memberikan gambaran seperti yang kau katakan tentang Kediri. Dan biarlah Mahisa Agni tetap berada di bangsalnya sampai aku memanggilnya. Aku akan mengirimkan utusan agar memerintahkan kepada Mahisa Agni, untuk tetap berada di bangsal itu. Setiap saat aku memerlukannya ia harus segera datang.”
“Suatu cara yang baik untuk menahannya tuanku.“ sahut Panglima itu.
Tohjaya pun kemudian mengirimkan seorang prajurit untuk menyampaikan perintahnya kepada Mahisa Agni agar ia tetap berada di tempat karena setiap saat ia memerlukannya, sedang beberapa orang prajurit yang lain diperintahkannya untuk memanggil para Panglima dan Senapati terpenting di Singasari.
Ketika perintah itu sampai kepada Mahisa Agni, maka Mahisa Agni pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya kepada prajurit itu. “Apakah itu berarti bahwa aku tidak boleh keluar dari bangsal ini?”
“Ampun tuanku Mahisa Agni. Hamba tidak mengerti maksud perintah itu selain menyampaikannya seperti bunyi yang diucapkan oleh tuanku Tohjaya.”
“Ya, ya. Kau tentu tidak dapat memberikan arti perintah itu sendiri. Baiklah. Aku akan mematuhi perintahnya. Tetapi katakan kepada tuanku Tohjaya, bahwa aku akan pergi menengok tuan Puteri Ken Dedes yang menurut pendengaranku menjadi samakin lemah.”
“Hamba tuanku. Tuan Puteri Ken Dedes memang sudah semakin lemah. Apalagi sepeninggal tuanku Anusapati. Tidak ada lagi kehendaknya untuk bertahan, sehingga kadang kadang keadaannya sangat mencemaskan.”
“Apakah yang sudah dilakukan oleh Tohjaya?”
Prajurit itu terdiam sejenak.
“Aku sudah tahu jawabnya justru karena kau diam.”
“Hamba tuanku. Tetapi tuanku Mahisa Wonga Teleng hampir tidak pernah beranjak dari sampingnya.”
“Dan adik-adiknya?”
“Mereka semuanya menunggui dengan tekun. Dan mereka adalah hiburan yang paling baik bagi tuan Puteri Ken Dedes dalam saat terakhirnya.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Meskipun prajurit itu tidak menyebutnya, tetapi Mahisa Agni dapat membayangkan bahwa Ken Dedes yang berkali-kali kehilangan orang-orang yang dicintainya itu telah kehilangan segalanya. Juga kehilangan nafsunya untuk tetap hidup. “Aku akan menengoknya,“ berkata Mahisa Agni.
Prajurit itu mengerutkan keningnya, lalu, “Tetapi, ampun tuanku. Pesan tuanku Tohjaya, tuan tidak boleh meninggalkan bangsal ini.”
Mahisa Agni tertawa kecil. Katanya, “Katakan kepada tuanku Tohjaya, bahwa Mahisa Agni akan pergi ke bangsal tuan puteri Ken Dedes untuk menengoknya. Aku tidak akan melarikan diri. Jika setiap saat tuanku Tohjaya memerlukan aku, aku akan menghadap, jika aku tidak berada di sini, berarti aku ada di bangsal tuan Puteri.”
“Tetapi.“ prajurit itu termangu-mangu.
“Tidak apa-apa. Kau sampaikan saja pesan ini, seperti kau menyampaikan perintah itu kepadaku.”
Prajurit itu bingung sejenak. Ia tidak mengerti maksud Mahisa Agni, sehingga untuk sejenak ia tidak dapat berkata apa-apa.
Mahisa Agni melihat kebingungan itu. Lalu katanya, “Sudahlah, jangan bingung. Kembalilah kepada tuanku Tohjaya dan katakan bahwa aku akan menjunjung perintahnya. Tetapi bahwa Mahisa Agni akan pergi lebih dahulu ke bangsal tuan Puteri Ken Dedes.”
“Tuan.“ berkata prajurit itu, “hamba benar-benar tidak mengerti. Hamba hanya menyampaikan perintah tuanku Tohjaya, seorang yang kini telah menjadi seorang Maharaja di Singasari meskipun hari penobatannya secara resmi masih akan ditentukan dalam waktu yang dekat. Tetapi hamba kira perintah itu sama sekali tidak boleh diartikan lain atau diberi perubahan bagaimanapun bentuknya.”
“Kau adalah prajurit yang baik.“ berkata Mahisa Agni, “akupun mengerti, bahwa perintah itu berarti bahwa aku harus menunggu di sini sampai tuanku Tohjaya memanggil. Tetapi barangkali aku dapat memanfaatkan waktu sebelum aku harus menghadap. Dan sampaikan saja, aku berada di bangsal tuan Puteri Ken Dedes, jika aku tidak ada di sini.”
Prajurit itu masih saja termangu-mangu. Sebelum ia sempat berkata apapun juga Mahisa Agni melangkah mendekatinya. Sambil menepuk bahunya ia berkata, “Sudahlah. Jangan pikirkan apapun lagi. Pergilah menghadap tuanku Tohjaya.”
Prajurit itu tidak dapat berbuat lain. Iapun kemudian meninggalkan bangsal Mahisa Agni dan kembali menghadap Tohjaya menyampaikan pesan Mahisa Agni.
“Gila. Ia sudah membantah perintahku.“ teriak Tohjaya, “apakah tidak kau katakan bahwa itu adalah perintah kekuasaan tertinggi di Singasari sekarang?”
“Hamba sudah mengatakan tuanku.”
“Jadi bagaimana?”
“Tuanku Mahisa Agni hanya tertawa saja sambil mengatakan bahwa ia akan tetap pergi kebangsal tuan Puteri Ken Dedes.”
“Gila. Apakah tidak ada prajurit yang menjaganya?”
Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Lalu jawabnya, “Hamba kira penjagaan di sekitar bangsal itu ada tuanku. Tetapi hamba tidak tahu perintah apakah yang sudah diberikan oleh para Senapatinya kepada mereka, karena hamba tidak termasuk di dalam pasukan yang bertugas di bangsal itu.”
“Aku sudah tahu.“ bentak Tohjaya, lalu katanya kepada Panglima Pelayan Dalam, “apa perintah Senapati bagi para prajuritnya?”
Prajurit itu tidak dapat berbuat lain. “Bukankah hamba baru datang dari Kediri tuanku. Tetapi menurut pembicaraan kami terdahulu, mereka hanya sekedar mengawasi Mahisa Agni.”
Wajah Tohjaya menjadi tegang. Namun sejenak ia justru berdiam diri. Ia sendiri tidak mengerti, apakah yang harus dilakukan oleh para prajurit jika Mahisa Agni benar-benar meninggalkan bangsalnya. Dalam pada itu, selagi Tohjaya termangu-mangu, maka beberapa orang Senapati dan Panglima telah datang menghadapnya. Seperti yang diperintahkannya, maka para Panglima dan Senapati itu harus datang secepatnya untuk berbicara tentang Mahisa Agni dan tindakan-tindakan yang akan mereka ambil. Agaknya Tohjaya tidak mau membuang waktu. Apalagi karena prajurit yang menyampaikan pesan kepada Mahisa Agni mengatakan, bahwa Mahisa Agni tidak menghiraukan perintah Tohjaya itu.
“Apakah kita akan menangkapnya?” bertanya Tohjaya kepada para Senapati dan Panglima.
Tidak seorangpun yang menjawab. Yang sebenarnya mereka tunggu adalah sebuah perintah. Bukan sebuah pertanyaan.
“He, apa pendapat kalian?” Tohjaya itu membentak.
Sejenak para Panglima dan Senapati itu saling berpandangan. Akhirnya mereka seakan-akan memusatkan perhatian mereka kepada Panglima Pelayan Dalam yang telah membawa Mahisa Agni dari Kediri. Panglima Pelayan Dalam itupun merasa, bahwa mereka menunggu keterangan daripadanya. Tetapi Panglima Pelayan Dalam yang membawa panji-panji dan tunggul Kerajaan ke Kediri itu tidak berani melakukannya sebelum mendapat perintah dari Tohjaya.
Tetapi Tohjaya pun menyadari persoalannya sehingga katanya, “Katakan kepada mereka, apa yang kau lihat di Kediri, dan kemudian kita akan memutuskan apakah yang sebaiknya kita lakukan atas Mahisa Agni.”
Sekali lagi Panglima Pelayan Dalam itu menceriterakan tentang Mahisa Agni. Sikapnya, wibawanya, dan kemudian kesiagaannya. Panglima itu pun menceriterakan jumlah prajurit di Kediri yang ternyata melampaui perhitungan mereka. Apalagi kehadiran seorang yang menyebut dirinya Pati-Pati yang juga bernama Witantra, bekas seorang Panglima di masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung.
Para Panglima dan Senapati itu merenungi keterangan Panglima Pelayan Dalam itu. Namun kemudian seorang Senapati memberanikan diri berkata, “Ampun tuanku Tohjaya. Sebenarnya pasukan Singasari di Kediri sama sekali tidak melampaui jumlah yang ditetapkan. Pasukan Singasari di Kediri dengan pasti diketahui. Nama-nama mereka tercantum di dalam urutan nama yang tertulis di dalam rontal. Jika jumlah mereka cukup banyak, maka mereka tentu terdiri dari prajurit-prajurit Singasari yang berada di Kediri dan sekitarnya. Di daerah-daerah terpencil yang semula tidak aman. Dan daerah-daerah yang dianggap masih mungkin berbahaya.”
Tohjaya memandang Senapati itu sejenak, lalu katanya, “Tetapi kenapa mereka itu berkumpul semua di Kediri? Dan apakah Mahisa Agni sempat memanggil mereka dalam waktu semalam?”
“Tentu mereka sudah dipersiapkan sebelumnya tuanku.”
“Sengaja untuk memamerkan kekuatan?”
Kenapa itu tidak menjawab. Tetapi iapun terkejut ketika Tohjaya memanggil namanya dengan keras, “Lembu Ampal. Apa katamu tentang Mahisa Agni?”
Senapati yang bernama Lembu Ampal itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil bergeser setapak ia berkata, “Tuanku. Menurut ceritera Panglima Pelayan Dalam yang mendapat limpahan kekuasaan tuanku memanggil Mahisa Agni, agaknya telah memperingatkan kepada kita, bahwa kita harus berhati-hati. Kita tidak akan dapat bertindak sesuai dengan selera kita saja tanpa menghiraukan keadaan yang sebenarnya.”
“Cukup, cukup. Tetapi apakah yang harus kita lakukan. Itu yang aku tanyakan kepadamu.”
Lembu Ampal termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak segera dapat menjawab pertanyaan Tohjaya itu. Wajah Tohjaya yang tegang menjadi semakin tegang. Hampir berteriak ia bertanya kepada para Panglima dan Senapati, “He, apakah kalian menjadi bisu? Mahisa Agni sekarang sudah ada di halaman istana ini. Aku sudah memerintahkannya agar ia tetap berada di bangsalnya. Tetapi agaknya ia tetap berkeras kepala.”
Para Panglima terkejut mendengar keterangan itu. Tetapi tidak seorang pun yang segera bertanya tentang Mahisa Agni. Mereka menunggu saja Tohjaya menjelaskannya. Namun dalam pada itu, sebelum Tohjaya sempat menjelaskan sikapnya dan sikap Mahisa Agni, seorang Senapati yang bertugas di luar bangsal yang di kelilingi oleh sebuah kolam itu dengan ragu-ragu memasuki ruangan dan duduk di muka pintu sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“He, kenapa kau menghadap tanpa aku panggil?” bertanya Tohjaya.
Baru setelah Tohjaya mengajukan pertanyaan itu, Senapati itu berani menyampaikan keperluannya, “Ampun tuan ku. Para prajurit yang bertugas mengawasi tuanku Mahisa Agni melaporkan bahwa tuanku Mahisa Agni telah meninggalkan bangsalnya.”
“He.“ wajah Tohjaya menjadi merah, “kalian tidak menahannya?”
“Kami belum mendapat perintah itu tuanku. Kami tidak dapat berbuat sesuatu. Jika tuanku menjatuhkan perintah, hamba akan melanjutkan perintah itu kepada para prajurit.”
Tohjaya justru menjadi bingung. Wajahnya menegang Sedang matanya menjadi merah. Tetapi dari mulutnya sama sekali tidak meloncat sebuah perintah pun.
Dalam pada itu, Mahisa Agni sudah di halaman bangsalnya. Ketika seorang prajurit bertanya kepadanya maka dengan sebuah senyuman di bibirnya ia berkata, “Aku akan pergi mengunjungi tuan puteri Ken Dedes.”
“Tetapi apakah tuan tidak menunggu perintah tuanku Tohjaya?”
Mahisa Agni justru tertawa. Jawabnya, “Aku akan selalu menunggu perintahnya. Tetapi aku dapat menunggu di bangsal ini, tetapi juga dapat di bangsal tuan puteri Ken Dedes. Aku sudah mengatakannya kepada prajurit yang membawa pesan dari tuanku Tohjaya.”
Prajurit itu termangu-mangu. Memang tidak ada perintah untuk menahan Mahisa Agni di bangsalnya. Itulah sebabnya ia menjadi bingung. Sedang kawannya yang melaporkan bahwa Mahisa Agni telah keluar dari bangsalnya dan berjalan hilir mudik masih belum datang kembali membawa ketegasan bagaimana mereka harus bersikap. Jika para prajurit itu menahan Mahisa Agni di tempatnya, mungkin ia justru telah melakukan kesalahan. Tetapi jika mereka membiarkan, maka hal itupun mungkin pula keliru. Pengawasan yang ketat di sekitar bangsal itu memang lebih condong kepada usaha untuk membatasi gerak Mahisa Agni. Tetapi perintah yang pasti masih belum mereka dengar.
Sebelum prajurit yang melaporkan hal itu datang kembali Mahisa Agni telah melalui penjagaan di regol depan dari bangsalnya. Seperti tidak terjadi apapun ia berjalan saja seenaknya. Sekali-sekali ia berpaling dan mengangguk sambil tertawa kepada para prajurit yang termangu-mangu mengawasinya. Bahkan kemudian Mahisa Agni berhenti di sudut longkangan mendekati dua orang prajurit yang berdiri dan bersiaga sepenuhnya, “Kenapa kau berjaga-jaga disitu? Sejak tuanku Sri Rajasa bertahta di Singasari, tempat itu tidak pernah dijaga.”
Kedua prajurit itu menjadi bingung, sehingga mereka tidak segera dapat menjawab.bTetapi Mahisa Agni tertawa sambil berkata, “Apakah tugasmu sebenarnya?”
Kedua prajurit itu sama sekali tidak dapat menjawab pertanyaan itu.
“Apa.“ Mahisa Agni membelalakkan matanya, “cepat jawab. Untuk apa kau berdiri disitu he?”
Perbawa Mahisa Agni benar-benar telah menggoncangkan jantung kedua prajurit itu, sehingga hampir di luar sadarnya mereka menjawab, “Maksud kami, kami bertugas atas perintah pemimpin kami.”
“Tentu.“ sahut Mahisa Agni, “kau mendapat tugas dari pemimpinmu. Tetapi tugas apa yang harus kau kerjakan? Apakah perintah itu berbunyi “berdiri disudut tanpa tujuan.“ begitu?”
“Tidak tuan.”
“Nah, apakah yang harus kau kerjakan.”
Keduanya termangu-mangu. Namun ketika Mahisa Agni melangkah setapak maju, maka dengan gemetar salah seorang berkata, “Kami harus mengawasi tuan.”
Mahisa Agni memandang prajurit itu dengan tajamnya. Namun kemudian iapun tersenyum. Ditepuknya bahu prajurit itu sambil berkata, “Kau adalah orang yang jujur. Tetapi aku tidak tahu, apakah kau benar-benar jujur, atau karena sekedar ketakutan.”
Kedua prajurit itu hanya berdiri termangu-mangu saja ketika Mahisa Agni kemudian pergi meninggalkan mereka. Prajurit-prajurit yang lain, yang melihat dari kejauhan pembicaraan itu pun segera mendekatinya dan saling mendahului bertanya apa saja yang telah mereka percakapkan. Kedua prajurit itu tidak dapat ingkar, bahwa mereka telah mengatakan, apakah tugas mereka sebenarnya.
“Aku tidak dapat berkata lain.“ prajurit yang seorang menjadi ketakutan, “aku tidak tahu apakah yang sudah aku katakan.”
“Tidak penting.“ tiba-tiba kawannya bergumam, “kau jelaskan atau tidak, Mahisa Agni tentu sudah tahu bahwa kami sedang mengawasinya. Nah, apakah kau tahu, apakah yang dilakukan oleh para pengawalnya di bangsal itu.”
Kawan-kawannya menggelengkan kepalanya. “Mereka semuanya menyelipkan keris mereka tidak di punggung, tetapi dilambung kanan. Di leher mereka tersangkut kain berwarna putih. Nah, kalian tahu artinya.”
Para prajurit itu menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka adalah prajurit yang cukup berpengalaman, namun mendengar keterangan kawannya itu, hati mereka menjadi berdebar. Dengan demikian mereka mengetahui bahwa para pengawal Mahisa Agni yang ditinggalkan di bangsal itu, telah pasrah untuk mati apabila diperlukan.
“Dibawah pimpinan Mahisa Agni, serombongan kecil orang-orang di bangsal itu akan merupakan kekuatan yang luar biasa. Kau tahu, ketika tuanku Anusapati terbunuh. Empat orang pengawal yang mengamuk ditambah seorang bekas Pelayan yang telah menjatuhkan korban yang tidak terhitung meskipun akhirnya mereka dapat dikuasai. Nah, berapa banyak korban yang bakal jatuh jika Mahisa Agni dan pengawalnya mengamuk.“ desis seorang prajurit.
Kawan-kawannya yang mendengarkan keterangan itu saling berdiam diri. Tetapi mereka semuanya sependapat, bahwa jika-benar-benar hal itu terjadi, maka halaman istana itu tentu akan kacau. Meskipun akhirnya Mahisa Agni akan dapat dikuasai, tetapi korban akan sangat banyak berjatuhan.
Dalam pada itu Mahisa Agni berjalan perlahan-lahan menuju ke bangsal Ken Dedes yang sudah lama tidak dikunjunginya. Setiap kali dilihatnya beberapa orang prajurit termangu-mangu mengawasinya. Tetapi tidak seorang pun diantara mereka yang menegurnya.
Dalam pada itu, di bangsal yang lain Tohjaya sedang kebingungan. Apakah yang harus dilakukan oleh para Senapati terhadap Mahisa Agni. Namun selagi Tohjaya termangu-mangu para Panglima dan Senapati yang ada di bangsal itu berkata kepada diri masing-masing, “Mahisa Agni tentu sudah berada di bangsal tuan Puteri Ken Dedes sebelum tuanku Tohjaya menjatuhkan pilihan.”
Tohjaya yang termangu-mangu itupun akhirnya berkata keras, “He, kenapa kalian seperti kehilangan akal setelah Mahisa Agni itu ada di bangsalnya?”
Tidak seorangpun yang menjawab.
“He, kenapa kalian tiba-tiba saja menjadi patung yang beku. Sekarang, pergilah dan tangkap Mahisa Agni dengan para pengawalnya. Bukankah Mahisa Agni membawa beberapa orang pengawal. Tentu pengawal-pengawal itu pengawal pilihan. Tetapi kalian adalah Panglima dan Senapati pilihan. Bawalah prajurit secukupnya.”
Senapati yang datang menghadap itu pun memberanikan diri untuk menyela, “Ampun tuanku. Memang tuanku Mahisa Agni membawa beberapa orang pengawal terpilih. Hamba mengenal beberapa di antara mereka. Mereka bukan saja prajurit pilihan, tetapi Senapati-senapati pilihan. Menurut laporan yang hamba terima, mereka tidak menyelipkan keris di punggung, tetapi di lambung. Sedang di leher mereka tersangkut sehelai kain berwarna putih.”
Dada Tohjaya menjadi semakin ber-debar-debar. Apalagi ketika ia melihat wajah-wajah para Panglima dan Senapati yang gelisah. “Jadi bagaimana menurut pertimbangan kalian? Bagaimana?”
Dalam keadaan yang serba tidak menentu itu, Panglima Pelayan Dalam yang pergi ke Kediri akhirnya mencoba untuk berkata, “Ampun tuanku. Menurut pendapat hamba, berdasarkan atas kenyataan yang kita hadapi, sebaiknya tuanku tidak menjatuhkan perintah untuk menangkap Mahisa Agni sekarang. Kita harus mengingat perkembangan keadaan. Jika keadaan memungkinkan, maka terserahlah kepada tuanku di saat mendatang. Tetapi adalah sangat berbahaya untuk melakukannya sekarang.”
“Kenapa?“ Tohjaya membelalakkan matanya.
“Berdasarkan atas pertimbangan yang luas. Hamba tahu tuanku, bahwa sebenarnya Mahisa Agni menolak tata pemerintahan Singasari di bawah pemerintahan tuanku Tohjaya, karena menurut pertimbangan Mahisa Agni, tuanku Anusapati masih mempunyai adik seibu.”
“Tentu, karena ia kakak ibunda Ken Dedes. Menurut kepentingan pribadinya, putera ibunda Ken Dedes memiliki hak lebih daripada aku. Tetapi aku adalah putera tertua dari ayahanda Sri Rajasa.”
“Demikianlah agaknya tuanku. Namun ternyata Mahisa Agni tidak dapat melakukan perlawanan. Ia dapat saja membunuh dirinya sendiri, menghasut perlawanan sampai mati. Mahisa Agni adalah seorang yang tidak takut mati untuk mempertahankan keyakinannya. Tetapi ia tidak melakukan karena ia ingin melihat Singasari yang tetap utuh itu saja.”
“Bohong. Bohong.“ teriak Tohjaya.
“Tuanku.“ Lembu Ampal pun kemudian menyela, “hamba sependapat tuanku. Kurang bijaksana untuk menangkap tuanku Mahisa Agni dalam keadaan seperti sekarang. Korban akan terlampau banyak di halaman istana ini, dan setelah itu, orang yang menyebut dirinya bernama Pati-pati dan disebut juga Witantra, bekas Panglima Pasukan Pengawal dimasa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung, dan yang sekarang berada di antara pasukan Singasari di Kediri itu tentu akan melakukan suatu tindakan. Ia tentu tidak akan membuat pertimbangan sejauh Mahisa Agni untuk mempertahankan persatuan dan keutuhan Singasari dan daerah-daerah yang sudah dipersatukan. Bahkan mungkin ia masih dibebani dendam pribadi. Dan itu pulalah agaknya Mahisa Agni memilihnya untuk menjadikannya penasehat Senapati yang dikuasakannya di Kediri.”
“Pengecut. Jadi kalian sudah menjadi pengecut sekarang. Kalian dalam jumlah yang banyak itu tidak berani menangkap Mahisa Agni?“ Tohjaya membentak, “dan setelah itu kalian pun takut menghadapi pemberontakan di Kediri? Jika demikian tidak ada artinya aku memilih kalian menjadi Panglima dan Senapati.”
Para Panglima dan Senapati itu saling berpandangan sejenak. Namun mereka tidak mengatakan apapun lagi.
“Lembu Ampal.“ teriak Tohjaya, “bagaimana pendapatmu he?”
“Bukankah sudah hamba katakan?”
“Kau tetap ketakutan? Dan bagaimana dengan kau?“ bertanya Tohjaya kepada Panglima Pelayan Dalam.
“Hambapun telah mencoba untuk menyatakan pendapat hamba tuanku.”
Wajah Tohjaya menjadi merah padam. Ternyata para Senapati dan Panglimanya tidak berani bertindak tegas atas Mahisa Agni sehingga karena itu, maka Mahisa Agni masih tetap dapat berbuat sesuka hatinya di halaman istana. Namun Tohjaya sendiri pun tidak berani berbuat apa-apa. Ia hanya dapat berteriak memberikan perintah, aba dan marah. Namun ia sendiri bukannya seseorang yang memiliki kemampuan untuk bertindak jika para Panglima dan Senapatinya tidak mampu melakukannya.
Berbeda dengan Anusapati apalagi Sri Rajasa, bahwa mereka adalah orang-orang yang menghayati sendiri pertempuran-pertempuran jika diperlukan. Menghadapi persoalan Mahisa Agni itu pun Tohjaya hanya dapat mengumpat-umpat karena para Panglima dan Senapatinya berpendapat lain. Mereka mengusulkan agar Tohjaya tidak menjatuhkan perintah untuk menangkapnya karena pertimbangan-pertimbangan yang luas.
“Jadi bagaimana menurut pendapat kalian sekarang? Apakah Mahisa Agni kita biarkan saja berkeliaran? Dan he, apakah gunanya Mahisa Agni itu dibawa kemari?“ bertanya Tohjaya sambil membentak-bentak.
Tidak seorangpun yang menjawabnya.
“Baiklah. Aku menunggu perkembangan keadaan. Nanti kita akan bertemu lagi di paseban. Sekarang, apakah yang pertama-pertama harus aku lakukan atas Mahisa Agni jika aku tidak menangkapnya?”
Para Panglima dan Senapati termangu-mangu sejenak. Tohjaya hampir tidak pernah mengambil sikap. Tetapi ia selalu bertanya kepada orang lain apapun yang akan dilakukannya.
“Tuanku.“ berkata Panglima Pasukan Pengawal, “tuanku dapat memanggilnya. Memberikan penjelasan tentang keadaan Singasari sekarang. Kemudian tuanku dapat memberikan perintah-perintah kepada Mahisa Agni untuk mengurangi kekuasaannya.”
“Perintah apa yang harus aku berikan?”
“Misalnya dengan menarik Mahisa Agni ke Singasari agar ia dapat mengawasi tuan puterti Ken Dedes yang sedang sakit. Untuk sementara Mahisa Agni dibebaskan dari tugasnya di Kediri sampai ada ketentuan lebih lanjut kelak.”
Tohjaya mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Persoalan ibunda Ken Dedes tentu menarik perhatiannya. Aku akan memanggilnya dan memerintahkan kepadanya untuk tetap berada di Singasari menunggui Ibunda Ken Dedes.” namun kemudian, “tetapi apakah hal itu justru tidak menjadi sangat berbahaya? Ia berada di dekat kita semuanya.”
“Kita kirimkan pengawalnya kembali ke Kediri.”
“Tetapi bagaimanakah jika ia berusaha melakukan pembalasan dengan cara yang pernah dilakukan oleh Anusapati terhadap Ayahanda Sri Rajasa.”
“Tuanku. Jika Mahisa Agni berada di halaman istana, maka kita akan dapat mengawasinya. Jika tidak, maka hal itu akan menjadi lebih berbahaya lagi. Jika ia kehendaki maka ia akan dapat masuk setiap saat ke halaman ini meskipun ia berada di luar. Dan jika ia menghendaki maka ia tentu akan dapat melakukan pembalasan dengan cara yang licik. Tetapi jika ia berada di dalam halaman, maka kita dapat selalu mengawasinya sehari semalam penuh dengan prajurit yang cukup.”
Tohjaya mengangguk-angguk kecil. Lalu katanya, “Baik. Sekarang panggil Mahisa Agni.”
Seorang Senapatipun kemudian diperintahkan untuk memanggil Mahisa Agni. Seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni, maka ia harus dicari di bangsalnya atau di bangsal tuan puteri Ken Dedes. Dalam pada itu, Mahisa Agni memang sudah berada di dalam bilik Ken Dedes. Permaisuri Sri Rajasa dan ibu Anusapati itu hanya dapat menitikkan air mata menyambut kedatangan Mahisa Agni. Ia kini telah kehilangan semuanya. Sehingga karena itu maka hidup baginya sudah tidak ada gunanya lagi.
Mahisa Agni melihat keadaan badan Ken Dedes yang sudah menjadi semakin lemah dengan debar di dalam dadanya. Tetapi ia dapat mengerti sepenuhnya, bahwa betapa teguhnya hati, seorang ibu, namun jika ia mengalami peristiwa-peristiwa yang berturut-turut menimpa seperti yang dialami Ken Dedes, maka hatinya pasti akan menjadi kuncup.
“Sebaiknya tuan puteri melupakan semuanya.“ berkata Mahisa Agni kemudian.
“Apakah hal itu mungkin dilakukan oleh seseorang kakang?”
“Maksud hamba, tuan puteri tinggal menyerahkan diri kapada Yang Maha Agung. Tentu tuan puteri tidak dapat melupakan semuanya. Namun dengan pasrah diri, tuan puteri akan mendapatkan sekedar penghiburan. Daripada-Nyalah segalanya terjadi dan kepada Nyalah kita pasrah diri.”
Ken Dedes mengangguk-angguk. Katanya, “Memang tidak ada lain dari kekuasaan dan kebesaran Yang Maha Agung yang harus dipuji. Dan aku memang sudah menyandarkan seluruh hidupku kepada-Nya.”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi sebenarnya hatinya bagaikan tergores duri melihat keadaan Ken Dedes yang nampaknya semakin mundur. Untunglah bahwa anaknya yang lain selalu mencoba membesarkan hati ibunya. Mahisa Wonga Teleng selalu datang membawa anaknya. Namun setiap kali Mahisa Wonga Teleng masih harus juga menjaga kakak ipar dan kemanakannya sepeninggal Anusapati.
Mahisa Agni melihat keluarga yang besar itu bagaikan belanga yang terbanting di atas batu hitam. Pecah berserakan berkeping-berkeping. Masing-masing saling menyimpan dendam di dalam hati. Dendam yang sulit untuk dihapuskan. Bahkan dendam itu rasa-rasanya semakin lama menjadi semakin dalam. Tuntutan untuk membalas kematian dengan kematian pasti akan membakar Singasari yang akan hangus menjadi abu. Dalam pada itu, selagi Mahisa Agni duduk menghadapi Ken Dedes yang keadaan jasmaniahnya menjadi semakin mundur, seorang Senapati masuk ke dalam bangsal itu dan mohon untuk menyampaikan pesan bagi Mahisa Agni.
“Pesan dari siapa?“ bertanya Mahisa Agni.
“Dari tuanku Tohjaya.“ jawab prajurit itu.
“Apa katanya?”
Prajurit itu termangu-mangu sejenak, lalu, “Tuan dipanggil menghadap tuanku Tohjaya.”
“Kapan?”
“Sekarang tuan.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya, lalu katanya. “Baiklah aku akan segera menghadap. Tetapi tidak sekarang. Secepatnya jika aku sudah selesai.”
“Kakang Mahisa Agni.“ Ken Dedeslah yang memotong.
Mahisa Agni berpaling. Ditatapnya mata Ken Dedes sejenak, lalu sambil tersenyum ia berkata, “Aku sudah mempertimbangkannya tuan puteri.”
“Tetapi kakang, kini yang memegang kekuasaan adalah Ananda Tohjaya. Meskipun masih akan diadakan wisuda, namun ia sudah mengangkat dirinya menjadi Maharaja di Singasari. Dan kau tidak akan dapat menolak perintahnya.”
“Tentu tuan puteri. Hamba tidak akan dapat menolak perintahnya. Karena itu hamba akan datang menghadap. Tetapi tidak sekarang. Sebentar lagi, jika aku sudah puas menemui tuan puteri.”
Ken Dedes menjadi berdebar-debar. Apakah itu berarti tantangan dari Mahisa Agni bagi Tohjaya? Jika demikian, apabila benar-benar terjadi benturan kekerasan, maka Singasari pasti akan menjadi semakin terkoyak-koyak dan akan hancur dengan sendirinya.
“Sudahlah tuan puteri.“ berkata Mahisa Agni kemudian sebelum Ken Dedes sempat mengatakan sesuatu, “sebaiknya tuan puteri tidak usah menghiraukan hamba. Hamba akan berbuat sebaik-baiknya tanpa menimbulkan keributan apapun. Hamba percaya akan kebesaran jiwa tuanku Tohjaya sehingga tidak akan menolak permohonan hamba itu.”
Ken Dedes hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, dan Mahisa Agni berkata pula kepada Senapati yang membawa pesan itu. “Berjalanlah dahulu. Aku akan segera menyusulmu memenuhi perintah tuanku Tohjaya.”
Tetapi Senapati itu menjadi bingung. Ia tidak biasa mendengar jawaban seperti itu jika ia sedang menjalankan perintah Maharajanya. Karena itu, maka ia tidak segera beranjak dari tempatnya.
“Kenapa kau menjadi bingung?“ bertanya Mahisa Agni, “pergilah dan katakan, aku akan segera menghadap. Sekarang aku masih berada di bangsal tuan puteri Ken Dedes untuk menengok kesehatannya. Kau dengar?”
“Ampun tuan. Tetapi tuanku Tohjaya memerintahkan kepada tuan untuk menghadap sekarang.”
“Aku tidak menolak perintah itu. Kau sudah menyampaikan perintah itu kepadaku. Dan aku sudah mendengarnya. Sekarang kau kembali menyampaikan apa yang kau lakukan dan kau dengar dari mulutku kepada tuanku Tohjaya. Dengan demikian kau sudah melakukan tugasmu dengan baik.”
Prajurit itu masih tetap bingung.
“Pergilah.“ ulang Mahisa Agni, “kau adalah seorang utusan. Dan kau sudah melakukan tugasmu. Nah, apalagi yang kau tunggu sekarang?”
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sorot mata Mahisa Agni bagaikan meretakkan dadanya, sehingga Senapati itu merasa lebih baik ia mendengar Tohjaya membentak-bentak daripada harus menatap sorot mata yang tidak terlawan perbawanya itu. Demikianlah maka Senapati itupun kemudian mohon diri sambil berkata, “Tuan. Hamba adalah sekedar seorang utusan. Hamba akan menyampaikan semuanya kepada tuanku Tohjaya. Hamba tidak tahu sikap apakah yang akan diambil oleh tuanku Tohjaya itu.”
“Tentu, kau tidak tahu apa-apa. Pergilah.”
Senapati itupun kemudian meninggalkan bangsal Ken Dedes dengan hati yang berdebaran. Ia tentu akan dibentak-bentak oleh Tohjaya. Tetapi baginya hal itu tidak banyak mempengaruhi perasaan. Laporan Senapati itu telah menggetarkan jantung Tohjaya. Seperti yang sudah diduga, maka Tohjaya itupun kemudian membentak-bentak sambil berteriak, “Gila. Kau harus membawanya menghadap sekarang.”
“Hamba sudah mengatakannya tuanku. Tetapi tuanku Mahisa Agni mohon waktu beberapa saat. Ia sedang menengok kesehatan tuan puteri Ken Dedes.”
“Apa peduliku dengan ibunda Ken Dedes?“ teriak Tohjaya, “ia sama sekali tidak berarti bagiku.”
Kata-kata Tohjaya itu ternyata telah menyentuh setiap hati. Bagaimanapun juga orang-orang yang ada di ruangan itu mengenal, bahwa Ken Dedes adalah isteri tertua dari Sri Rajasa. Dan ia adalah ibu tiri dari Tohjaya. Bagaimanapun juga ia harus tetap menghormatinya. Tetapi tidak seorang pun yang mengucapkannya. Para Panglima dan Senapati yang ada di ruangan itu justru menunggu, apa yang akan diperintahkan oleh Tohjaya.
“He.“ Tohjaya itupun kemudian berteriak lagi, “kenapa kalian diam saja. Berbuatlah sesuatu. Mahisa Agni tidak boleh menentang perintahku, siapapun dia. Jika ia masih saja mementingkan ibunda Ken Dedes dari perintahku, maka ibunda Ken Dedes akan aku singkirkan.”
“Ampun tuanku.“ tiba saja Panglima Pelayan Dalam yang baru saja menjabat kedudukannya itu berkata, “sebaiknya tuanku tidak berbuat demikian terhadap ibunda tuanku. Bagaimanapun juga ibunda tuanku adalah permaisuri dimasa pemerintahan ayahanda tuanku. Karena itu, jika tuanku marah kepada Mahisa Agni, tuanku dapat menjatuhkan perintah apapun yang akan kami lakukan. Tetapi menurut hamba, tuanku masih harus tetap mempertimbangkan keadaan.”
“Gila. Kau jangan mengajar aku. Aku mengerti apa yang patut aku lakukan atas ibunda Ken Dedes. Tetapi bagaimana dengan Mahisa Agni? Kalian harus berbuat sesuatu.”
“Kami menunggu perintah tuanku.“ berkata Panglima Pengawal.
Namun justru dengan demikian Tohjaya menjadi bingung. Sejenak ia termangu-mangu tanpa dapat mengucapkan sepatah katapun. Senapati yang memanggil Mahisa Agni itupun duduk dengan gelisahnya. Sekali-sekali ia mencoba memandang wajah Tohjaya dengan sudut matanya.
Namun tiba-tiba saja ia terkejut ketika Tohjaya itu berteriak memerintahkan kepadanya, “Kau pergi sekali lagi kepadanya, dan bawa Mahisa Agni itu menghadap. Ia harus menghadap sekarang.”
Senapati itu menjadi berdebar-debar. Jika Mahisa Agni masih tetap tidak mau pergi bersamanya, apakah yang harus dilakukannya.
”Cepat. Kenapa kau menjadi bingung?”
“Ampun tuanku.“ Senapati itu memberanikan diri untuk bertanya, “Jika tuanku Mahisa Agni tetap tidak bersedia menghadap bersama hamba, apakah yang harus hamba lakukan.”
“Aku tidak peduli. Tetapi ia harus menghadap.”
“Apakah dengan demikian berarti bahwa hamba harus memaksanya dengan kekerasan.“
“Aku tidak peduli. Aku tidak tahu apa yang harus kau lakukan. Tetapi Mahisa Agni harus menghadap. Ia tidak boleh menolak perintah seorang Maharaja. Akulah orang yang paling berkuasa sekarang di Singasari.”
Senapati itu masih saja menjadi bingung. Ia tidak mengerti maksud Tohjaya yang sebenarnya. Apakah dengan demikian ia akan dibenarkan apabila ia mempergunakan sepasukan prajurit untuk menangkap Mahisa Agni meskipun itu akan berarti sebuah peperangan kecil di halaman istana, karena tentu para Pengawal Mahisa Agni pun akan bertindak. Karena itu untuk beberapa saat ia masih tetap berada di tempatnya.
“He, apakah kau benar-benar menjadi gila?” bentak Tohjaya, “cepat pergi kepada Mahisa Agni dan bawa ia kemari apapun caranya.”
“Hamba tuanku. Jika demikian hamba akan menyiapkan sepasukan prajurit pilihan.”
Wajah Tohjaya menjadi tegang. Sejenak ia memandang Senapati itu dengan penuh kebimbangan.
“Ampun tuanku. Hamba mohon diri. Mudahkan hamba berhasil. Untuk itu hamba memerlukan sepasukan prajurit yang kuat, karena hamba harus menghadapi para pengawal tuanku Mahisa Agni.”
Tohjaya ternyata tidak dapat segera menanggapinya. Sehingga ketika Senapati itu bergeser, Panglima Pelayan Dalamlah yang berkata, “Tuanku, apakah tuanku sudah mengizinkannya?”
Tohjaya tidak segera menyahut.
“Hamba masih tetap pada pendirian hamba, bahwa tuanku harus mempertimbangkan segala segi untuk melangkah ke arah kekerasan.”
Senapati yang memancing persoalan itu menarik nafas. Dengan demikian sikap itu akan dibicarakan dan dipertanggung jawabkan bersama. Namun selagi mereka sibuk berbincang tentang Mahisa Agni, maka seorang Senapati yang bertugas di luar merayap masuk ke dalam ruang itu.
“He, kenapa kau masuk tanpa dipanggil?“ bertanya Tohjaya yang masih kebingungan.
“Ampun tuanku. Tuanku Mahisa Agni mohon untuk menghadap.”
“Mahisa Agni.“ ulang Tohjaya.
“Hamba tuanku.”
“Suruh ia masuk.”
Senapati itu mundur dari ruangan untuk mempersilahkan Mahisa Agni. Sedang orang-orang yang ada di ruang itu menarik nafas dalam-dalam. Seperti yang dikatakan oleh Senapati itu, maka sejenak kemudian Mahisa Agni pun memasuki ruangan. Meskipun iapun kemudian duduk di antara para Panglima namun kepalanya masih tetap tengadah dengan senyum di bibirnya. Sebelum Tohjaya bertanya, maka yang tidak lazim telah dilakukan pula oleh Mahisa Agni, “Apakah tuanku Tohjaya memerlukan hamba?”
Pertanyaan yang tidak diduga-duga itu telah mengejutkan bukan saja Tohjaya, tetapi juga para Panglima dan Senapati. Namun beberapa orang di antara mereka harus mengakui betapa besar perbawa Mahisa Agni, sehingga pertanyaannya itu bagaikan telah mencengkam semua perhatian orang-orang yang mendengarnya.
Sejenak Tohjaya termangu-mangu. Ialah yang seharusnya bertanya lebih dahulu, baru Mahisa Agni menjawabnya. Tetapi karena Mahisa Agni lah yang telah bertanya lebih dahulu, maka Tohjayapun untuk sesaat dibayangi oleh keragu-raguan. Namun kemudian Tohjaya menghentakkan giginya untuk mengatasi gejolak perasaan. Dengan suara yang lantang ia berkata, “Akulah yang harus bertanya kepadamu, kenapa kau terlambat menghadap?”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Namun iapun tersenyum pula sambil menjawab, “Ampun tuanku. Hamba baru berada di bangsal tuan puteri Ken Dedes ketika utusan tuanku menjumpai hamba.”
“Seharusnya kau berjalan seiring dengan Senapati itu. Tetapi kenapa kau suruh ia berjalan dahulu?”
“O, apakah ada bedanya? Bukankah hamba sudah menghadap.”
“Tetapi kau harus berjalan bersamanya. Kau tidak boleh datang kemudian.”
“Baiklah tuanku. Lain kali hamba akan menyuruh utusan tuanku menunggu sampai selesai, supaya hamba dapat datang menghadap bersama utusan tuanku.”
Jawaban itu bagaikan sebuah goresan bara di telinga Tohjaya, sehingga karena itu wajahnya menjadi merah padam. Beberapa orang Panglima dan Senapati pun bergeser di tempat duduknya. Namun Mahisa Agni masih tetap tenang sambil tengadah. Ketika tatapan mata Tohjaya yang membara membentur pandangan mata Mahisa Agni, terasa sesuatu bergetar di dalam hatinya dan tanpa sesadarnya Tohjaya melontarkan tatapan matanya jauh-jauh.
Namun dengan demikian sekali lagi ia mencoba mengatasi kegelisahannya sambil berteriak, “Mahisa Agni. Kau sudah melakukan kesalahan. Kau tahu, bahwa tidak seorang pun yang menunda perintahku, perintah Maharaja Singasari yang besar. Kaupup tidak. Meskipun kau menjabat pangkat tertinggi dan memangku kedudukan yang tidak ada duanya, namun kau tetap hamba Maharaja Singasari yang besar. Dengan demikian kau tidak boleh membantah semua perintah yang aku berikan lewat siapapun juga. Karena utusanku yang membawakan perintah atau pesan itu tidak ubahnya seperti aku sendiri.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Hamba tuanku. Hamba tidak akan menunda lagi perintah tuanku.”
Tohjaya mengerutkan keningnya, dan orang-orang yang ada di ruangan itupun menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Mahisa Agni tidak menjadi keras kepala. Dan diluar dugaan maka Tohjaya kemudian menyahut, “Terima kasih paman. Aku harap kau dapat menempatkan dirimu di dalam suasana yang baru ini.“ namun kemudian segera disusul, “maksudku, kau harus patuh menjalankan semua perintahku. Aku tidak perlu mengucapkan terima kasih kepadamu. Itu sudah menjadi kewajibanmu dan kewajiban semua orang di dalam kerajaan Singasari ini. Semua orang harus mematuhi perintah Maharaja Singasari yang besar.”
“Hamba tuanku, Singasari yang besar memang harus mendapat tempat tertinggi di hati rakyatnya.”
Tohjaya termangu-mangu sejenak, lalu, “Apa maksudmu?”
Mahisa Agni memandang Tohjaya dengan heran. Lalu, “Maksud hamba sudah jelas. Singasari memang sebuah negara yang besar. Dan tuanku adalah seorang Maharaja dari sebuah kerajaan yang besar.”
“Kedua-duanya.“ teriak Tohjaya, “bukan saja Singasari yang besar Tetapi aku adalah seorang Maharaja yang besar. Aku adalah Maharaja yang besar dari Singasari yang besar.”
Mahisa Agni mengangguk kecil, tetapi ia tidak menanggapinya.
“Paman.“ berkata Tohjaya kemudian, “apakah paman sudah mengetahui perkembangan keadaan di saat terakhir di Singasari?”
“Sudah tuanku.”
“Dari siapa kau tahu? Desas-desus atau kabar yang dibawa oleh pedagang, di sepanjang jalan?”
“Bukan tuanku, hamba mendengar langsung dari utusan tuanku, Panglima Pelayan dalam yang baru, yang datang ke Kediri sambil membawa panji-panji dan tunggul kerajaan sebagai lambang limpahan kekuasaan tuanku kepadanya.”
“O. jadi kau mendengar daripadanya?”
“Hamba tuanku. Bahkan tuanku Anusapati sudah tuanku singkirkan.”
“He, apa katamu.“ Tohjaya membelalakkan matanya. Wajahnya menjadi merah padam.
“O, maksud hamba, tuanku Anusapati terbunuh dalam kerusuhan yang terjadi di arena sabung ayam itu.“ lalu iapun berpaling kepada Panglima Pelayan Dalam, “bukankah begitu?”
Panglima itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu kepalanya terangguk kecil, “Ya. Tuanku Anusapati menjadi korban kekecewaan rakyat Singasari yang sudah lama tependam.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling memandang Tohjaya yang duduk di atas batu beralaskan kulit berwarna suram dilihatnya Tohjaya itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan kemudian iapun berkata, “Nah, kau dengar bahwa kakanda Anusapati telah menjadi korban kekecewaan hati rakyat? Dan itu adalah kekurangannya. Meskipun ia pernah dikagumi sebagai Kesatria Putih, namun ketika ia sudah menjadi seorang Maharaja, semua tingkah lakunya segera berubah. Rakyat yang semula mencintainya telah membunuhnya karena kekecewaan yang tidak tertahankan lagi.”
Mahisa Agni mengangguk kecil. Katanya. “Jika demikian tuanku, maka rakyat yang telah membunuh rajanya adalah pengkhianat. Hamba mohon tuanku sebagai penggantinya akan memegang pemerintahan dengan adil. Hamba mohon tuanku mengusut, mencari dan menghukum mereka-mereka yang telah melakukan pengkhianatan terhadap rajanya. Jika sekelompok rakyat yang tidak puas itu dibiarkan saja, maka hukum tidak akan berlaku sebaik-baiknya di Singasari.”
“Apa yang harus aku lakukan terhadap rakyat yang sedang marah itu? Tentu aku tidak dapat berbuat apa-apa sekarang, karena mereka menganggap kakanda Anusapati tidak adil dan tidak jujur di dalam pemerintahannya.”
“Dan bagaimana anggapan tuanku? Apakah tuanku juga termasuk orang yang menganggap bahwa tuanku Anusapati adalah orang yang tidak tepat berada di atas Singasari? Apakah tuanku Tohjaya juga menganggap bahwa tuanku Anusapati harus disingkirkan?”
“O, tentu tidak. Aku tidak beranggapan demikian.“
Dan tanpa diduga-duga Mahisa Agni memotong, “Jika demikian tuanku harus bertindak. Tuanku adalah seorang Maharaja. Jika tuanku menganggap bahwa tuanku Anusapati tidak bersalah, tidak seperti yang dituduhkan atasnya menurut keterangan tuanku sendiri, maka tuanku harus berbuat sesuatu. Hamba menuntut orang-orang yang telah membunuh tuanku Anusapati dicari dan ditangkap, kemudian dihukum sesuai dengan kesalahannya.”
Wajah Tohjaya menjadi merah padam. Sejenak ia termangu-mangu. Ketika ia memandang wajah Panglima dan Senapati merekapun agaknya menjadi bingung.
“Tuanku.“ berkata Mahisa Agni, “tuanku tidak usah berbuat apa-apa. Hamba bersedia menerima perintah tuanku, mengusut persoalan ini dan menghadap tuanku dengan membawa orang-orang yang bersalah itu menghadap.”
Sejenak Tohjaya tidak dapat menjawab. Gejolak perasaannya membayang di wajahnya yang kemerah-merahan. Ia sama sekali tidak siap menghadapi persoalan yang dilontarkan oleh Mahisa Agni itu. Namun ternyata bukan saja Tohjaya yang menjadi gelisah mendengar permintaan Mahisa Agni itu. Para Panglima yang terlibat di dalam hal itu menjadi gelisah pula. Demikian juga para Senapati yang berada di ruangan itu. Jika Mahisa Agni berhasil mendesak Tohjaya untuk mendapat perintah itu, maka persoalannya akan menjadi sulit bagi mereka.
Karena itu, maka Panglima Pengawal yang sebenarnya bertanggung jawab atas peristiwa itu berkata, “Tuan Mahisa Agni. Tuan adalah orang yang mendapat kekuasaan memerintah Kediri atas nama Singasari. Tuan adalah orang yang penting bagi jalur pemerintahan di Kediri. Karena itu mungkin tuan tidak dapat membayangkan apa yang telah terjadi. Dalam kerusuhan serupa itu, tidak seorang pun yang akan dapat dicari sebagai sumber kesalahan. Yang terjadi adalah tiba-tiba. Tiba-tiba saja. Sebagai pimpinan pemerintahan yang menghormati kehendak rakyat, maka kita tidak akan dapat melakukan pengusutan, apabila menjatuhkan hukuman kepada mereka yang menyatakan pendapat dengan caranya.”
“O.” Mahisa Agni meng-anggukkan kepalanya, “bagus sekali. Adalah menarik sekali jawaban itu. Aku sependapat bahwa Singasari harus menghormati pendapat rakyatnya. Tetapi jika setiap kelompok rakyat Singasari dapat bertindak sendiri atas siapapun juga, bahkan atas pimpinan pemerintahannya, apakah jadinya negeri ini. Pada suatu saat sekelompok rakyat bertindak sendiri atas tuanku Anusapati. Di hari mendatang, apakah kita akan dapat menjawab seperti jawaban itu jika sekelompok rakyat beramai-ramai membunuh tuanku Tohjaya karena tidak puas dengan sikap dan caranya memerintah?”
Panglima itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian, “Itu memang tidak boleh terjadi. Yang terjadi pada tuanku Anusapati akan menjadi pengalaman yang pahit bagi Singasari sehingga hal serupa itu tidak boleh terulang.”
“Dan yang sudah terjadi biarlah terjadi tanpa pengusutan.”
“Pengusutan hanya akan menambah persoalan di saat serupa ini. Tuanku Tohjaya harus menunjukkan kebesaran jiwanya. Meskipun kakandanya terbunuh, namun ia tidak mendendam dengan syarat, bahwa rakyat akan menjadi tenang.”
“Jangan menjawab seperti kanak-kanak.“ wajah Mahisa Agni menegang, “jika pengusutan hanya akan menambah persoalan, maka tidak perlu kita mencari dan menemukan orang-orang yang telah melakukan kejahatan. Juga apabila kelak seseorang telah melakukan kejahatan atas tuanku Tohjaya.”
Panglima itu terdiam sejenak. Namun agaknya Tohjaya sendiri tidak dapat lagi menahan kemarahannya mendengar pembicaraan itu sehingga katanya, “Mahisa Agni. Sekarang akulah yang berkuasa. Akulah yarig menentukan segala-galanya.”
Mahisa Agni memandang Tohjaya dengan tajamnya. Namun iapun kemudian menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Tentu tuaku. Tuankulah yang sekarang paling berkuasa di Singasari setelah tuanku Anusapati tidak ada lagi. Nah, sekarang kita, rakyat Singasari akan menilai, apakah Maharaja yang sekarang akan berindak lebih baik atau tidak daripada Maharaja yang menjadi korban kekecewaan rakyat itu. Jika yang sekarang ini lebih baik, maka akan ada harapan, bahwa pemerintahan tuanku Tohjaya akan langgeng. Tetapi jika tidak maka pemerintahan ini umurnya tidak akan lebih panjang dari masa pemerintahan tuanku Anusapati yang pendek itu.”
Wajah Tohjaya menjadi semakin merah. Namun para Panglima dan Senapati justru menjadi semakin cemas. Mahisa Agni bukan seorang yang dungu. Bukan pula seorang yang mudah berputus asa dan kemudian membunuh diri. Jika ia berani menengadahkan dadanya di hadapan tuanku Tohjaya, tentu bukannya sekedar kebodohan, kesombongan atau suatu cara untuk membunuh diri. Apalagi Panglima yang melihat sendiri betapa kekuatan Singasari di Kediri sepenuhnya dikuasai oleh Mahisa Agni. Dan bahkan pasukan keamanan yang disusun oleh keluarga istana Kediri sendiri.
“Mungkin Mahisa Agni sudah menyiapkan pasukan itu, dan kini pasukan itu telah merayap mendekati kota Singasari dalam gelar yang mapan.“ berkata Panglima itu di dalam hatinya, “selagi kita di halaman ini terlibat dalam pertempuran dengan Mahisa Agni dan pengikutnya, maka dari luar, pasukan yang datang dari Kediri memecah gerbang dan menduduki seluruh kota Singasari.”
Dan ternyata angan-angan itu telah membuatnya lebih berhati-hati lagi menghadapi Mahisa Agni. Tetapi dalam pada itu, Tohjaya yang merasa dirinya berkuasa, tidak dapat mengendalikan perasaannya lagi. Ternyata jawaban Mahisa Agni itu membuatnya sangat marah, sehingga katanya dengan suara bergetar,
“Mahisa Agni. Aku tahu bahwa kau adalah saudara ibunda Ken Dedes. Tetapi meskipun demikian hakmu sebagai seorang keluarga dari ibunda Ken Dedespun terbatas sebagai juga hakmu sebagai orang yang paling berhak di Kediri. Karena itu, jika perlu, aku dapat menjatuhkan perintah untuk menangkapmu, atau membunuhmu sama sekali.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Kemudian diedarkannya tatapan matanya kepada semua orang yang ada di dalam ruangan itu. Namun para Senapati dan Panglima itupun memalingkan wajahnya atau menundukkan kepalanya, jika tatapan mata mereka membentur tatapan mata Mahisa Agni. Baru sejenak kemudian Mahisa Agni berkata,
“Tuanku Tohjaya. Memang tuanku mempunyai kekuasaan tertinggi, dan bahkan kekuasaan yang tidak terbatas. Tuanku memang dapat menangkap hamba dan bahkan membunuhnya sama sekali. Dan jika memang tidak ada cara yang lebih baik menurut pertimbangan tuanku, karena hanya ada satu-satunya cara untuk menenteramkan Singasari dengan jalan melenyapkan hamba pula, maka terserahlah kepada kebijaksanaan tuanku.”
Wajah Tohjaya menjadi semakin merah. Yang dikatakan oleh Mahisa Agni adalah suatu tantangan. Tantangan bagi seorang Maharaja yang paling berkuasa. Namun sebelum Tohjaya berkata dengan sepenuhnya luapan kemarahan, seorang Senapati yang dekat dengan Tohjaya selain para Panglima, yaitu Lembu Ampal, berkata,
“Ampun tuanku. Sebaiknya tuanku segera menjatuhkan perintah yang wajar bagi tuanku Mahisa Agni. Bukankah dengan demikian segala macam kesalah pahaman dapat dikurangi. Dan bukankah menurut pertimbangan tuanku, tuan puteri Ken Dedes sedang menderita sakit yang semakin lama menjadi semakin parah? Dengan demikian, langkah baiknya jika tuanku Mahisa Agni bersedia untuk beberapa saat lamanya, menunggui tuan puteri Ken Dedes, karena menurut keterangan tuan Puteri sendiri, agaknya tuan puteri sudah rindu kepada tuanku Mahisa Agni. Jika kelak keadaan tuan puteri menjadi berangsur baik, maka akan diambil keputusan baru bagi tuanku Mahisa Agni. Apakah tuanku Mahisa Agni akan tetap berada di istana atau akan dikirim kembali ke Kediri.”
Tohjaya mengerutkan keningnya, sedang Panglima Pelayan Dalam menyahut, “Hamba sependapat tuanku.”
Tetapi Tohjaya tetap ragu-ragu. Sejenak ia termenung. Dan karena ia tidak segera menyahut, maka Panglima pasukan Pengawalpun berkata, “Demikianlah tuanku. Itu adalah pemecahan suasana yang paling baik. Mungkin tuanku Mahisa Agni memang berniat demikian. Hanya karena kesetiaannya kepada tugasnya sajalah yang memaksanya untuk kembali ke Kediri jika tuanku tidak menjatuhkan perintah lain.”
Tohjaya merenungi kata-kata para Panglima dan Senapatinya. Dengan demikian ia dapat mengambil kesimpulan bahwa para Panglima dan Senapatinya tentu belum siap menghadapi peristiwa yang mungkin akan dipergunakan kekerasan. Karena itu, ia tidak dapat mengambil jalan lain daripada menyetujuinya seperti yang pernah mereka perbincangkan sebelumnya.
“Baiklah.“ berkata Tohjaya, “aku beri kau waktu untuk menunggui ibunda Ken Dedes. Tetapi setiap saat akan jatuh perintah yang lain atasmu. Mungkin kau harus kembali ke Kediri, dan mungkin kau akan mendapat tugas baru.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti arti perintah itu. Namun ia memang sudah menduga bahwa ia tidak akan segera dapat kembali ke Kediri. Tetapi Mahisa Agni tidak menjadi gelisah karenanya. Ia sudah menunjuk seseorang yang dapat dipercaya di Kediri dan seorang penasehat yang bernama Witantra. Untuk waktu yang dekat pimpinan pemerintahan di Singasari tentu tidak akan dapat mengambil tindakan apapun atas mereka. Jika Tohjaya merencanakan untuk menarik perwira tertua yang diserahinya memegang kekuasaannya di Kediri, maka Tohjaya masih harus memikirkan akibatnya, karena Mahisa Agni sendiri masih belum kembali. Untuk itu Mahisa Agni akan dapat memerintahkan seorang pengawalnya untuk menyampaikan pesan kepada Witantra.
Dalam pada itu, maka Mahisa Agni pun hanya dapat mengiakan saja perintah Tohjaya untuk menunggui Ken Dedes di istana. Bagi Mahisa Agni, perintah itu merupakan perintah yang paling baik baginya, daripada perintah-perintah dan tugas yang lain di istana. Apalagi jauh lebih baik daripada dimasukkan ke dalam bilik yang gelap dan tidak diperkenankan untuk keluar setiap saat. Demikianlah maka Mahisa Agni pun kemudian diperkenankan meninggalkan ruangan itu, sementara para Panglima dan Senapati masih akan melanjutkan pembicaraan.
Sepeninggal Mahisa Agni, maka dengan cemas Tohjaya berkata, “Kalian memang tidak mempunyai otak. Bukankah ibunda Ken Dedes dapat mengatakan kepada Mahisa Agni, apa yang sebenarnya telah terjadi di istana Singasari atas kakanda Anusapati?”
“Tuanku.“ berkata Panglima Pelayan Dalam, “menurut dugaan hamba, sebenarnyalah bahwa Mahisa Agni sudah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Karena itu, jika tuan puteri Ken Dedes mengatakannya juga, maka pengaruhnya tidak akan begitu besar lagi. Menurut penilikan hamba, Mahisa Agni memang tidak ingin melakukan tindakan kekerasan, justru karena Mahisa Agni tidak ingin melihat Singasari terpesah belah. Untuk sementara kita dapat memanfaatkannya. Tetapi jika keadaan memaksa, mungkin ia mengambil sikap lain, sehingga karena itu, maka kita harus berhati-hati menilai setiap sikapnya.”
Tohjaya mengerutkan keningnya. Mahisa Agni baginya merupakan persoalan yang ternyata jauh lebih gawat dari sepasukan prajurit yang menentang kehadirannya di atas tahta di daerah yang manapun juga dalam wilayah Singasari.
“Jika demikian.“ berkata Tohjaya kemudian, “kalian harus menempatkan Senapati-senapati pilihan untuk selalu mengawasinya. Di bangsalnya dan di bangsal ibunda Ken Dedes. Kalian harus juga memperhitungkan Adinda Mahisa Wonga Teleng yang nampaknya sampai saat ini tidak berani bertindak apapun juga. Tetapi meskipun masih terlampau muda, adinda Agnibaya harus mendapat perhatian yang khusus. Ia menyaksikan sendiri apa yang terjadi. Usahakan agar ia tidak terlalu banyak bergaul dengan Mahisa Agni.”
“Tuanku.“ berkata seorang Senapati, “selain tuanku Mahisa Agni, di bangsal itu masih ada beberapa orang pengawal.”
“Biarkan saja.“ sahut Panglima Pelayan Dalam. Namun ketika ia sadar bahwa ia berada dihadapan Tohjaya, dengan tergesa-gesa ia menyambung, “Ampun tuanku. Maksud hamba, bahwa hamba berpendapat para pengawal itu tidak akan lebih berbahaya dari tuanku Mahisa Agni sendiri. Jika untuk beberapa saat kita dapat membendung perasaan tuanku Mahisa Agni, maka untuk beberapa saat kita tidak akan diganggunya.”
Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Panglima yang lain dan para Senapati pun mempercayai kata-kata Panglima itu, karena Panglima itulah yang mengetahui dan melihat sendiri keadaan Mahisa Agni di Kediri dan kekuatan pasukannya. Seperti Panglima Pelayan Dalam itu, maka para Panglima dan Senapati berkata di dalam hati mereka, “Jika Mahisa Agni ingin mengangkat senjata, maka ia akan mulai dari Kediri. Tidak setelah ia berada di dalam lingkungan istana ini.”
“Tetapi bagaimana jika saat ini pasukan Kediri itu sedang merayap mendekati kota Singasari.“ pertanyaan itupun timbul pula di antara mereka. Sehingga para Panglima itu, meskipun tidak berjanji, berniat untuk mengirimkan petugas-petugas sandinya agar mereka mengawasi jalur-jalur jalan yang memasuki kota Singasari bukan saja dari arah Kediri, tetapi dari segala arah.
Karena persoalan Mahisa Agni dianggap untuk sementara sudah di atasi, dengan menahan agar Mahisa Agni tidak meninggalkan halaman istana, maka pembicaraan itu pun berkisar pada persoalan yang lain. Tohjaya memutuskan agar kedudukannya sebagai Maharaja segera diresmikan di dalam suatu upacara yang meskipun sederhana, tetapi berwibawa.
“Aku akan mengadakan paseban agung yang pertama. Semua pimpinan pemerintahan, para Panglima dan Senapati akan aku perkenankan menghadap.“ berkata Tohjaya kemudian, “aku akan menyatakan diri secara resmi dihadapan paseban agung, bahwa aku adalah Maharaja yang berkuasa di atas Singasari. Para Akuwu dan para bangsawanpun aku perkenankan hadir di dalam paseban agung itu.”
Para Panglima menarik nafas dalam-dalam. Itu berarti suatu tugas yang sangat berat bagi mereka. Mereka harus mengamankan sidang di paseban itu, sehingga memberikan kesan kewibawaan Maharaja yang baru itu. Namun mereka sudah bersedia untuk mendukung kedudukan Tohjaya sehingga tugas itupun harus mereka lakukan sebaik-baiknya.
Di hari-hari berikutnya, Mahisa Agni yang merasa dirinya menjadi seorang yang selalu diawasi itu pun sama sekali tidak menghiraukan lagi. Ia berbuat apa saja yang ingin dilakukannya. Namun ia masih tetap berada di dalam batas-batas yang tidak memungkinkan timbulnya kerusuhan yang akan dapat menjalar dan membakar Singasari. Waktunya sehari-hari selalu dipergunakannya untuk menengok Ken Dedes yang sebenarnya memang sedang sakit. Perasaan yang menekan membuatnya semakin parah.
Namun di saat-saat yang senggang, Mahisa Agni yang menjadi semakin tua itupun sempat bermain-main dengan kedua cucu Ken Dedes. Keduanya adalah anak Anusapati dan anak Mahisa Wonga Teleng. Kadang-kadang Mahisa Agni merasa bahwa apa yang pernah terjadi di istana Singasari ini terulang kembali. Pada saat Anusapati masih terlampau muda. Pada saat itu, ia dengan sembunyi-sembunyi menurunkan ilmunya kepada Anusapati, sehingga Anusapati itu kemudian memiliki kemampuan yang cukup untuk bekal pada saat ia naik keatas tahta.
Namun ternyata kelicikan telah terjadi, sehingga Anusapati sama sekali tidak sempat mempergunakan ilmunya, karena dalam keadaan yang tidak diduga-duga sebilah keris yang tidak ada duanya telah mengakhiri hidupnya. Dan kini yang dihadapinya adalah dua orang anak yang masih sangat muda pula. Anak-anak yang memiliki jiwa yang membara seperti orang tua mereka.
Dalam kesempatan yang ada, Mahisa Agni sering mengajak kedua anak-anak yang masih sangat muda itu berjalan-jalan di halaman. Kemudian berlari-lari dan kadang-kadang berkejaran. Disaat yang lain diajaknya kedua anak-anak muda itu ke tempat yang sepi dan diajaknya anak-anak itu melonjak-lonjak dan meloncat-loncat menggapai cabang-cabang pepohonan. Kemudian diajaknya kedua anak-anak itu berguling-berguling di atas rerumputan.
Ternyata yang dilakukan oleh Mahisa Agni itu telah membuat para pengawal yang mengawasinya menjadi cemas. Tidak seperti pada saat Anusapati mulai mempelajari ilmunya dahulu. Saat itu Mahisa Agni berhasil melepaskan diri dari pengawasan. Tetapi kini tidak. Setiap kali Mahisa Agni menyadari, bahwa para Senapati terpilih sedang mengawasinya dari kejauhan, apapun yang sedang dilakukannya...