PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 08
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 08
Karya Singgih Hadi Mintardja
MAHISA AGNI memasuki ruangan depan bangsal itu dengan hati yang berdebar-debar, apalagi ketika kemudian seorang pelayan dalam berkata kepadanya, “Tuanku ditunggu di ruang dalam.”
Sejenak Mahisa Agni termangu-mangu. Apakah di ruangan dalam sudah berhimpun para panglima dan senapati yang akan menangkapnya? Sekilas terbayang beberapa ekor ikan emas yang berenang di kolam. Ikan emas yang menghindarkan diri dari cengkeraman maut.
“Silakan Tuanku,” berkata pelayan dalam itu dengan hormatnya.
Mahisa Agni tidak membantah. Dengan ragu-ragu ia melangkahkan kakinya masuk ke ruang dalam. Namun tiba-tiba saja langkahnya terhenti, seperti juga darahnya serasa berhenti mengalir ketika dilihatnya Ken Umang berada di bangsal itu bersama Tohjaya.
“Marilah, Kakang Mahisa Agni,” Ken Umang mempersilakan sambil tertawa.
Wajah Mahisa Agni menjadi tegang. Untuk beberapa saat ia masih diam mematung.
“Silakan, Paman,” berkata Tohjaya kemudian. Mahisa Agni pun kemudian bergeser maju. Dengan kepala tunduk ia duduk menghadap Tohjaya.
“Sudah lama kita tidak berjumpa, Kakang,” berkata Ken Umang kemudian.
“Ya, Tuan Putri,” sahut Mahisa Agni singkat.
Tohjaya memandang ibundanya sejenak. Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu Ken Umang sudah mendahuluinya,” Aku mengenal Mahisa Agni sejak mudaku Tohjaya.”
Tohjaya tidak menyahut. “Kakang Mahisa Agni sering kali datang ke rumah kakak iparku. Witantra.”
“Witantra?” sahut Tohjaya.
“Ya, kenapa?”
Tohjaya merenung sejenak. Rasa-rasanya ia pernah mendengar nama itu. Tetapi ia tidak berkata sesuatu.
“Sejak mudanya Kakang Mahisa Agni adalah orang yang paling sombong yang pernah aku temui. Jauh lebih sombong dari ayahandamu, Sri Rajasa.”
Tohjaya tidak menyahut. Namun dalam pada itu terasa dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Ia sadar bahwa dendam yang tersimpan di hati Ken Umang yang pernah merasa dihinakannya itu tidak akan hilang sampai akhir hayatnya. Tetapi ia masih tetap berdiam diri.
“Bukankah begitu Kakang Mahisa Agni,” berkata Ken Umang kemudian, “tetapi tidak selamanya kau dapat menyombongkan diri. Aku adalah istri kedua dari Sri Rajasa, Maharaja di Singasari. Mungkin kau masih dapat berbangga pula karena kau adalah saudara Tuanku Permaisuri pada masa pemerintahan Sri Rajasa, dan apalagi kau mendapat kedudukan yang tinggi di Kediri. Tetapi sekarang aku adalah ibunda dari maharaja itu sendiri. Semua kata-kataku adalah kata-kata putraku Tohjaya. Dan kau tahu arti dari kata-katanya.”
Mahisa Agni masih belum menyahut.
“Mahisa Agni,” berkata Ken Umang kemudian, “apakah dalam keadaanmu sekarang, kau masih dapat menyombongkan dirimu? Nah, katakan sebelum aku mengambil sikap yang lain sesuai dengan perbuatan yang pernah kau lakukan atasku, apakah kau melihat Ranggawuni dan Mahisa Cempaka?”
Mahisa Agni mengangkat wajahnya, lalu, “Ampun Tuan Putri, hamba sama sekali tidak melihat Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Pada saat hamba mendengar kedua cucu kemenakan hamba itu hilang, hamba sudah datang menghadap Tuanku Tohjaya dan mohon perlindungannya. Karena kedua cucu kemenakan hamba itu adalah permata bagi ibundanya. Apa lagi Ranggawuni. Ibunya tidak memiliki apapun lagi kecuali anak laki-laki itu.”
Ken Umang tertawa. Katanya, “Tentu kau dapat ingkar Mahisa Agni. Tetapi apakah sebenarnya maksudmu mengambil kedua anak-anak itu? Bukankah ia mendapat haknya di istana ini?”
“Sekali lagi hamba mengatakan, bahwa justru hambalah yang harus bertanya, di manakah kedua anak-anak itu.”
“Mahisa Agni,” berkata Ken Umang, “kau tahu bahwa di sini ada Tohjaya yang kini memegang kekuasaan. Dan aku adalah ibundanya. Ketahuilah Mahisa Agni, bahwa sebenarnya aku dapat menjatuhkan hukuman apapun terhadapmu karena penghinaan yang pernah kau lemparkan kepadaku saat itu, seolah-olah aku adalah perempuan yang tidak berharga. Tetapi semuanya itu tergantung atas pengakuanmu. Jika kau tidak mau menunjukkan di mana Ranggawuni dan Mahisa Cempaka kau sembunyikan, maka aku dapat menjatuhkan hukuman yang paling berat atasmu. Tidak ada orang yang dapat mencegahnya. Kekuasaan putraku adalah mutlak. Kau tidak akan dapat membanggakan pengikut- pengikutmu yang ada di Kediri, karena tidak semuanya dapat kau kuasai.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Memang Ken Umang memiliki kelebihan dari Ken Dedes. Ken Dedes adalah seorang istri yang baik dan seorang ibu yang baik. Tetapi kadang-kadang memang diperlukan seorang perempuan yang ingin mengetahui banyak hal dari keadaan di sekitarnya. Meskipun Ken Dedes kadang-kadang juga berbincang dengan Sri Rajasa pada masa hidupnya, namun Ken Dedes tidak terlampau banyak ingin mengerti dan bahkan kemudian menentukan sikap atas pemerintahan di Singasari. Ken Dedes lebih banyak mendorong dan membesarkan hati suaminya.
Tetapi Ken Umang kadang-kadang mempunyai sikapnya sendiri. Bukan saja karena kini ia ikut berkuasa bersama anak laki-lakinya, tetapi sejak masa pemerintahan Sri Rajasa, Ken Umang memang banyak menunjukkan sikapnya. Namun agaknya perempuan yang demikianlah yang menarik hati Sri Rajasa. Perempuan yang memiliki gairah yang menyala-nyala.
“Kenapa kau diam saja Mahisa Agni?” berkata Ken Umang, “Apakah kau telah terlempar ke dalam sikap masa bodoh? Seharusnya kau tetap pada sikapmu sebagai seorang kesatria yang berani bertanggung jawab. Nah, katakan. Di mana Ranggawuni dan Mahisa Cempaka supaya aku tidak melipat gandakan hukuman yang dapat aku jatuhkan atasmu. Mungkin aku akan dapat memaafkanmu, asal kau dapat menunjukkan kedua anak-anak itu.”
Mahisa Agni masih tetap berdiam diri sambil menundukkan kepalanya.
“Mahisa Agni,” suara Ken Umang meninggi, “apakah aku harus memaksamu berbicara?”
“Tuan Putri,” berkata Mahisa Agni kemudian sambil memandang wajah Tohjaya sejenak, “hamba sudah mengatakan bahwa hamba tidak tahu. Justru hamba mohon perlindungan kepada Tuanku Tohjaya.”
“Jangan memperbodoh kami!” bentak Ken Umang, “Orang-orangmu yang ada di bangsalmu itu berbuat aneh-aneh pada malam hari itu juga. Apakah kau masih akan ingkar?”
“Hamba tidak mengerti Tuan Putri. Tuan Putri jangan memaksa hamba mengatakan yang hamba tidak mengetahui. Hamba memang dapat menyebut nama-nama tempat. Tetapi tentu saja tidak ada hubungannya dengan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.”
Ken Umang menjadi semakin marah. Dengan lantang ia berkata, “Tohjaya, Mahisa Agni masih tetap sombong seperti dahulu. Jika ia tetap keras tidak mau mengatakan apapun juga, maka jangan kau anggap ia seorang yang memiliki hak lebih banyak dari orang lain. Jika ia kau anggap bersalah tentu kau dapat menghukumnya.”
Tohjaya justru menjadi bingung mendengar kata-kata ibunya. Namun agaknya ia pun terpengaruh juga. Apalagi ketika ibunya berkata lebih lanjut, “Kau jangan silau memandang pengaruhnya yang sebenarnya tidak begitu besar. Apalagi ia sekarang berada di sini. Kau dapat memanggil para senapati yang ada di luar. Jika Mahisa Agni hendak melawan, maka ia dapat dibunuh di sini seperti kalian membunuh seekor ular berbisa.”
Ken Umang memang sangat berpengaruh atas putranya. Karena itu Tohjaya mulai mempertimbangkan pendapat ibunya. Baginya, dugaan bahwa Mahisa Agni tahu benar ke mana perginya Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, agaknya perlu mendapat perhatian yang besar.
“Tohjaya, kenapa kau menjadi termangu-mangu. Kau dapat memaksanya berbicara.”
Tohjaya masih juga ragu-ragu. Ia masih saja teringat kepada Lembu Ampal. “Jika ternyata Lembu Ampal yang membawa Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, maka akan timbul keributan tanpa arti,” katanya di dalam hati. Sehingga dengan demikian Tohjaya masih belum dapat mengambil keputusan. Tetapi sudah barang tentu bahwa ia tidak akan dapat mengatakannya langsung di hadapan Mahisa Agni.
Dalam keragu-raguan itu Tohjaya masih mendengar ibunya berkata, “Tohjaya. Kau tidak usah mempertimbangkan lagi, meskipun Mahisa Agni adalah saudara ibundamu Ken Dedes. Ken Dedes kini bukan permaisuri lagi. Hidupnya tergantung pada belas kasihanmu. Jika Ken Dedes saja tergantung pada kebesaran jiwamu, apalagi orang yang bernama Mahisa Agni ini. Anak pedesaan yang tidak tahu peruntungan nasibnya, yang justru kini berusaha mengacaukan pemerintahanmu dengan menyembunyikan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Apakah arti anak Panawijen ini bagimu sekarang?”
Betapapun Mahisa Agni mencoba menahan hatinya, namun terasa darahnya bagaikan mendidih. Ia sadar, bahwa ia telah masuk ke dalam perangkap. Mahisa Agni itu sadar sepenuhnya bahwa kini di sekitar bangsal itu telah siap sepasukan prajurit Singasari terpilih. Para panglima dan senapati.
Sekilas Mahisa Agni teringat kepada para pengawalnya yang sudah siap pula mempertaruhkan jiwanya. Jika terjadi sesuatu, maka mereka tentu akan bergerak pula. Adalah tidak mustahil baginya berusaha untuk melarikan diri dari tangkapan para prajurit Singasari bersama para pengawalnya. Namun yang selalu memberati hatinya adalah akibat yang timbul kemudian. Jika benar terjadi benturan senjata, maka Singasari akan benar-benar menjadi koyak.
Tetapi Mahisa Agni pun tidak dapat dengan suka rela menyerahkan lehernya sendiri. Jika ia yakin bahwa dengan kematiannya Singasari akan menjadi tenteram dan damai, maka Mahisa Agni sama sekali tidak akan mengelak. Tetapi dalam kekuasaan Tohjaya dan ibundanya Ken Umang, keadaannya tentu akan terjadi sebaliknya. Karena itu, untuk sementara Mahisa Agni memutuskan, jika terjadi tindakan kekerasan atas dirinya, maka ia harus berusaha menghindar, apapun cara yang dapat dipergunakannya.
Dalam pada itu, karena Tohjaya masih juga ragu-ragu, Ken Umang berkata, “Kenapa kau masih belum bertindak apapun juga Tohjaya? Bukankah kau tinggal memanggil para senapati? Cepat! Sebelum orang yang sombong ini berusaha melakukan pengkhianatan yang lebih banyak lagi. Seandainya Mahisa Agni ternyata tidak menyembunyikan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka pun, kau tidak akan kehilangan apapun juga karena kematian anak Panawijen ini, yang tentu akan segera disusul oleh adiknya Ken Dedes yang sudah sakit-sakitan itu.”
Dada Mahisa Agni rasa-rasanya akan meledak mendengar hinaan yang tiada henti-hentinya itu. Betapapun ia menahan hati, namun akhirnya tepercik jugalah kemarahan yang ditahankannya itu. Ia tidak dapat menerima hinaan terus menerus tanpa membela diri, karena ia masih juga mempunyai telinga dan hati.
“Ampun Tuan Putri,” berkata Mahisa Agni kemudian, “sebenarnyalah yang Tuan Putri katakan itu benar semata-mata. Tetapi sudah barang tentu bahwa hamba sama sekali tidak bermaksud menyombongkan diri. Apa yang pernah hamba lakukan justru karena hamba merasa diri hamba terlampau kecil. Juga saat ini hamba tidak akan berani berbuat apa-apa selain mohon perlindungan Tuanku Tohjaya.”
“Bohong! Kau pernah menyakiti hatiku,” bentak Ken Umang, “dan dendam itu masih tetap membara sampai sekarang.”
Tak ada jalan lain bagi Mahisa Agni selain mempertahankan diri meskipun ia masih mencari jalan yang lebih baik dari kekerasan. Katanya, “Tuan Putri, bagaimana, mungkin hamba dapat menyakiti hati Tuan Putri? Jika sekiranya demikian, kenapa Tuan Putri tidak mengambil tindakan apapun juga saat itu?”
Pertanyaan itu membuat hati Ken Umang tergetar. Namun ia masih menyahut, “Sikap sombongmu itulah yang menyakiti hatiku karena kau merasa dirimu keluarga terdekat dari Ken Dedes yang kini terpaksa berlindung di bawah kebaikan hati anakku.”
Sakit di hati Mahisa Agni menjadi semakin pedih, sehingga terloncat dari bibirnya, “Apakah benar demikian?”
Wajah Ken Umang menjadi semakin merah, dan bibirnya bergetar menahan marah. Ternyata kesombongan Mahisa Agni masih juga terasa olehnya sampai di hari tua. “Mahisa Agni,” berkata Ken Umang, “kau sekarang tidak akan dapat menyombongkan dirimu lagi. Jika kemarahan hatiku tidak terkendali, maka akibatnya akan menyentuh adikmu yang pernah menjadi seorang permaisuri di Singasari. Jika putraku mengibaskan perlindungan atasnya, maka ia akan mengalami nasib seburuk suaminya dan anak laki-lakinya.”
“Itu lebih baik Tuan Putri,” dengan lantang Mahisa Agni menyahut, “ia memang sudah semakin tua. Tetapi ia tetap seorang perempuan yang bersih dari noda-noda yang memercik dari nafsu dan ketamakan.”
“Agni, apakah maksudmu?” bentak Ken Umang dengan membelalakkan matanya.
Ternyata Mahisa Agni tidak dapat menahan diri lagi. Maka meluncurlah kata-katanya, “Ken Dedes tidak pernah melakukan perbuatan nista. Ia diambil oleh Akuwu Tunggul Ametung dengan paksa. Dan ia kemudian diperistri oleh Sri Rajasa sepeninggal Akuwu Tunggul Ametung. Ken Dedes tidak pernah dengan sengaja menawarkan dirinya, apalagi menjebaknya di tengah-tengah hutan perburuan. Di daerah jelajah binatang-binatang liar.”
“Mahisa Agni!” Ken Umang hampir berteriak.
Tetapi suara Mahisa Agni yang hampir tidak tertahankan itu pun mengatasinya, “Tuan Putri. Hamba tidak akan dapat menutup mata, bahwa hal itu telah terjadi di hutan perburuan pada saat Sri Rajasa berburu bersama beberapa orang pengawal. Meskipun tidak ada orang yang melihat apa yang telah terjadi, tetapi yang telah terjadi itu telah tercium oleh beberapa orang pengawal. Dan bukankah Sri Rajasa sendiri bukannya orang yang dapat menyembunyikan perasaannya terhadap seorang perempuan. Ketika hal itu terjadi, maka tidak ada jalan lain bagi Sri Rajasa selain bertanggung jawab sebagai seorang laki-laki. Maka Tuan Putri pun telah berhasil memaksa Maharaja yang paling berkuasa itu untuk tunduk di bawah kemauan Tuan Putri.”
Kemarahan yang memuncak telah membakar jantung Ken Umang, sehingga hampir tanpa disadarinya ia telah berdiri dan meloncat mendekati Mahisa Agni. Dengan derasnya tangan Ken Umang itu terayun menampar wajah Mahisa Agni yang masih tetap duduk di tempatnya.
“Ibunda!” Tohjaya pun meloncat mencegahnya. Tetapi ayunan tangan Ken Umang telah mengenai wajah Mahisa Agni, meskipun bagi Mahisa Agni yang telah terbiasa berada di medan itu hampir tidak merasakannya.
“Bunuh orang gila ini, Tohjaya! Bunuh orang gila ini sekarang juga!”
“Bunuhlah hamba,” berkata Mahisa Agni, “tetapi sebaiknya Tuanku Tohjaya mendengarkannya, bahwa karena itulah maka Tuanku Tohjaya dilahirkan.”
“Gila, gila, gila!” teriak Ken Umang.
“Ibunda,” Tohjaya termangu-mangu, Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Apa yang telah terjadi Paman Mahisa Agni?”
“Jangan biarkan mulutnya berbicara, kau dapat membunuhnya sekarang.”
Teriakan Ken Umang agaknya telah menarik perhatian beberapa orang senapati yang memang bertugas di luar bangsal. Karena itu, karena mereka tidak tahu pasti apa yang telah terjadi beberapa orang telah berdiri di muka pintu untuk melakukan tugas apabila perintah Tohjaya tiba-tiba saja jatuh. Atau bahkan mereka merasa cemas bahwa sesuatu telah terjadi di luar dugaan, karena Mahisa Agni adalah seorang yang memiliki ilmu yang jarang imbangnya.
Namun agaknya Tohjaya yang mulai dipengaruhi oleh kata-kata Mahisa Agni itu membentak keras sekali, “Pergi! Pergi kalian! Aku tidak memerlukan kalian sekarang.”
Para senapati itu pun surut beberapa langkah. Mereka pun kemudian meninggalkan bangsal itu dan berdiri termangu-mangu di atas jembatan kecil di atas kolam yang ditaburi dengan berjenis-jenis ikan itu.
Sepeninggal para senapati maka Tohjaya pun sekali lagi bertanya kepada Mahisa Agni, “Paman, cobalah katakan. Apa yang telah terjadi dengan ibunda.”
“Oh,” tiba-tiba Ken Umang menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Sambil menangis ia berkata, “Jangan biarkan ia berbicara. Ia berbohong semata-mata. Sekedar untuk memburukkan namaku dan namamu Tohjaya.”
“Katakan Paman. Tetapi jika Paman berbohong aku akan menghukum Paman dengan hukuman picis di alun-alun. Hukuman yang paling berat yang dapat dijatuhkan kepada seseorang.”
“Hamba tidak berbohong Tuanku. Ibunda Tuanku telah berhasil menjerat ayahanda Sri Rajasa di hutan perburuan.”
“Di hutan perburuan?”
“Ya. Di hutan perburuan. Dan terjadilah hal itu. Jika kemudian lahir seorang putra, maka Tuankulah putra ibunda Tuanku yang pertama. Ayahanda Sri Rajasa tidak dapat ingkar lagi. Sebagai laki-laki, maka terpaksalah ayahanda Sri Rajasa mengambil ibunda Tuanku menjadi istrinya yang kedua.”
“Begitu? Ibunda, benarkah begitu?” teriak Tohjaya.
“Bohong, bohong!. Sama sekali bohong!”
“Memang tidak ada saksi selain hati nurani Tuan Putri sendiri.”
“Tidak, tidak.”
Tohjaya pun kemudian dengan lemahnya terduduk di tempat duduknya sambil menekan dadanya yang serasa retak. Sejenak ruangan itu dicengkam sepi. Yang terdengar hanyalah desah-desah nafas yang semakin cepat berkejaran di lubang hidung, dan isak Ken Umang yang semakin menyesak di dadanya. Tohjaya masih duduk dengan kepala tunduk. Di dalam angan-angannya tanpa disadarinya, terjadilah peristiwa itu. Seakan-akan ia melihat apa yang telah terjadi.
“Alangkah nistanya,” desisnya tiba-tiba.
“Tohjaya, “suara ibunya yang gemetar, “jangan kau percaya kata-katanya. Ia memang dengan sengaja memfitnah aku. Ia merasa bahwa ia tidak lagi mempunyai kekuatan untuk menyelamatkan diri karena ia telah melarikan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Jika ia berhasil dan aku mempercayainya, maka kau sudah terjebak di dalam akal liciknya.”
Tiba-tiba Tohjaya meloncat bangkit. Dengan garangnya ia berkata, “Benarkah begitu? Jadi kau sekedar berusaha menyelamatkan dirimu dengan fitnah yang keji itu?”
“Tuanku Tohjaya,” sahut Mahisa Agni, “seandainya Tuanku Sri Rajasa masih hidup, maka tentu ia akan mengiakannya. Tentu ia akan mengatakan bahwa semuanya itu memang sudah terjadi. Seandainya ibunda Tuanku tetap pada kata-katanya maka aku dapat menyebut rahasia yang lebih banyak lagi yang menyangkut ibunda Tuanku.”
“Bohong!” teriak Ken Umang.
“Hamba tidak berbohong Tuanku. Dan Tuanku dapat bertanya kepada orang yang bernama Witantra itu. Ia adalah saudara ipar ibunda Tuanku.”
“Tidak ada orang bernama Witantra!” Ken Umang masih berteriak.
“Ibunda telah menyebut namanya,” sahut Tohjaya.
Ken Umang terdiam. Tetapi ketegangan yang sangat telah mencengkam jantungnya. Karena itu maka ia masih saja berteriak, “Bunuh saja orang itu! Bunuh saja sekarang!”
Tohjaya masih berdiri termangu-mangu. Sekali lagi membayang saat-saat dari permulaan hidupnya. Mahisa Agni memandang keduanya berganti-ganti. Tetapi ia tidak mau kehilangan kesempatan. Karena itu maka katanya kemudian, “Tuanku Tohjaya. Sebaiknya Tuanku tidak usah menyesalinya. Bagaimanapun juga yang terjadi, tetapi Tuan Putri Ken Umang adalah ibunda Tuanku.”
Terdengar Tohjaya menggeretakkan giginya. Dan Mahisa Agni berkata seterusnya, “Tuanku pun tidak usah menyesali. Justru karena Tuanku tahu. Betapa seorang manusia telah lahir dari kenistaan. Namun adalah suatu kenyataan bahwa Tuanku kini adalah seorang maharaja. Seperti juga setiap orang mengetahui siapakah Anusapati, maka sebenarnya setiap orang pun akhirnya mengetahui, bagaimana Tuanku dapat terjadi.”
Tohjaya hampir kehilangan seluruh tenaganya ketika Mahisa Agni melanjutkan, “Namun bagaimanapun juga, Tuanku masih lebih baik dari Anusapati. Anusapati adalah bukan putra Sri Rajasa. Setiap orang mengetahui, terutama yang sudah berusia lanjut, bahwa pada saat Tuanku Sri Rajasa mengawini Ken Dedes, Tuan Putri Ken Dedes sudah mengandung. Tetapi orang-orang itu tetap berdiam diri untuk menjaga perasaan Anusapati dan Ken Dedes itu sendiri. Kemudian, seperti halnya Ken Dedes, maka setiap orang pun tahu meskipun mula-mula bersumber dari kalangan istana sendiri, dari orang-orang yang dekat dengan Sri Rajasa yang saat itu masih sangat muda dan berbangga diri atas peristiwa yang telah terjadi, bahwa demikianlah adanya.”
Tetapi Tohjaya seolah-olah telah tidak mendengar lagi. Kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk, sedang keringat dingin telah membasahi seluruh tubuhnya. Ia yang kini duduk di atas tahta Singasari, ternyata adalah anak yang lahir dari perbuatan nista ibundanya, justru di hutan perburuan seperti perbuatan sepasang kijang yang tidak mengenal peradaban.
“Maaf Tuanku,” berkata Mahisa Agni pula, “bukan maksud hamba melukai hati, Tuanku. Tetapi semata-mata karena hamba tidak lagi dapat berdusta kepada diri sendiri, karena hamba pun mendengar peristiwa itu telah terjadi.”
Tiba-tiba saja Tohjaya menjadi liar. Dipandanginya seisi ruangan itu. Sejenak kemudian ia pun berlari ke luar bilik tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi. Ia telah melupakan kedudukannya sebagai seorang maharaja. Ia telah melupakan sikap dan suba sita. Sebagai manusia ia telah terhempas ke dalam jurang kekecewaan yang dalam tiada taranya.
Ketika seorang prajurit yang berdiri di ujung jembatan mencoba menunggu perintahnya dengan mulut ternganga melihat sikap Tohjaya itu, maka prajurit itu telah ditendangnya sehingga ia terdorong jatuh ke dalam kolam. Dengan tergesa-gesa Tohjaya berjalan meninggalkan bangsal itu. Sekejap ia berdiri termangu-mangu di luar regol di ujung jembatan tanpa menghiraukan para prajurit yang ikut menjadi kebingungan melihat sikapnya.
“Tuanku?” pemimpin prajurit yang bertugas di regol itu mencoba bertanya. Tetapi sebuah pukulan telah melayang menampar pipinya sehingga pemimpin prajurit itu mengaduh tertahan.
Sementara itu Tohjaya pun kemudian berjalan dengan tergesa-gesa meninggalkan bangsal itu menuju ke bangsalnya sendiri sebelum ia tinggal di bangsal yang dikitari oleh kolam yang dibuat oleh Anusapati itu. Dua orang pengawalnya berlari-lari menyusulnya. Tetapi keduanya pun tidak berani bertanya sepatah kata pun selain mengikutinya sambil berlari-lari kecil.
Sementara itu, di dalam bangsal di tengah-tengah kolam itu, Ken Umang menangis sambil menutup wajahnya, sedang Mahisa Agni duduk termangu-mangu di tempatnya.
“Kau gila!” terdengar suara Ken Umang di sela-sela isaknya, “Kau telah membalas sakit hatimu dengan cara yang keji sekali.”
“Ampun Tuan Putri,” jawab Mahisa Agni, “bukan hamba yang berusaha membalas dendam dan sakit hati. Tetapi Tuan Putri sendiri. Hamba hanya sekedar mencoba mempertahankan diri.”
“Tetapi kau telah menyiksa perasaannya. Perasaan Tohjaya. Kau dapat menghinakan aku sekali lagi dan sekali lagi. Tetapi kau jangan mematahkan gairah hidup Tohjaya karena ia mengetahui bahwa yang telah terjadi itu adalah perbuatan yang nista.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Betapa keras hatinya, namun ia merasa iba juga melihat Ken Umang yang menangis sehingga nafasnya serasa menjadi sesak. Namun tiba-tiba Ken Umang itu mengangkat wajahnya. Dengan gelisah ia bergumam, “Aku harus memberi penjelasan kepada Tohjaya. Aku akan menemuinya sendiri. Tidak bersamamu karena kau ingin memanfaatkan keadaan ini untuk keuntunganmu. Keuntungan pribadimu.”
“Tuan Putri,” berkata Mahisa Agni yang mulai lirih, “sebenarnya bukan maksud hamba untuk menghinakan Tuan Putri. Tetapi karena hamba harus berhadapan dengan maut, maka terpaksa hamba membela diri sekedar untuk menyelamatkan hamba dari hukuman mati atau hukuman apapun yang dapat menjerat hamba karena hilangnya kedua anak-anak muda itu, yang justru hambalah orang yang ikut kehilangan mereka.”
“Persetan!” geram Ken Umang, “Aku akan memberikan penjelasan kepada Tohjaya.” Dan tiba-tiba pula Ken Umang itu pun segera meloncat berlari keluar bangsal.
Mahisa Agni yang untuk beberapa saat dicengkam oleh keragu-raguan, segera meloncat pula mengikuti Ken Umang keluar bangsal. Para prajurit yang bertugas menjadi heran. Mereka melihat Tohjaya dengan sikap yang aneh meninggalkan bangsal itu. Kemudian Ken Umang diikuti oleh Mahisa Agni. Sedangkan para prajurit itu pun melihat, bendul di pelupuk mata Ken Umang yang merah.
“Apakah Tuanku Tohjaya telah berselisih dengan Tuan Putri?” salah seorang dari para prajurit itu bergumam.
“Tidak seorang pun yang tahu. Kami hanya mendengar lamat-lamat Tuan Putri berteriak-teriak. Tetapi kami tidak mendengarnya dengan jelas. Tetapi hal itu memang mungkin sekali terjadi.”
“Tetapi apakah yang mereka persoalkan?”
“Bodoh kau, tentu aku tidak mengetahuinya.”
Prajurit itu pun kemudian berdiam diri sejenak. Mereka memandang Ken Umang yang berlari-lari kecil sampai hilang di longkangan dalam.
Dalam pada itu, sejenak Mahisa Agni mengikutinya dari belakang ke mana Ken Umang pergi. Namun ia pun kemudian terhenti dan berjalan kembali ke bangsalnya sendiri. Di sepanjang langkahnya Mahisa Agni masih saja mencoba menilai persoalan yang baru saja terjadi. Agaknya Tohjaya benar-benar tersinggung karena peristiwa yang telah terjadi di hutan perburuan, justru yang kemudian mengakibatkan Tohjaya itu lahir di dunia.
Agaknya Tohjaya tidak mau menerima kenyataan itu. Kenyataan yang nista dan tidak pernah dibayangkannya. Namun Tohjaya tidak dapat menolak pengakuan bahwa hal itu memang telah terjadi. Menurut sorot mata dan warna wajah ibunya, Tohjaya mempunyai keyakinan bahwa yang dikatakan oleh Mahisa Agni itu bukan berbohong. Terlebih parah lagi apabila terbayang di angan-angan Tohjaya bahwa sebenarnya orang di seluruh Singasari sudah mengetahui apa yang telah terjadi atas ibunya.
“Tentu Ayahanda yang waktu itu masih muda, telah bercerita kepada orang terdekat. Bahkan mungkin justru sebagai kebanggaan atas kehinaan Ibunda,” berkata Tohjaya di dalam hati, “dan kini setiap orang akan mempercakapkannya kembali. Mereka akan dapat bersikap lebih kasar lagi di bawah perintah Tohjaya ini. Bahkan mungkin bukan sekedar mempercakapkan, tetapi tentu ada yang berani merendahkan martabatnya sebagai seorang maharaja di Singasari. Dan berita itu akan segera tersebar. Tersebar sampai ke ujung negeri ini.” Tohjaya menutup wajahnya.
Selagi Tohjaya tenggelam di dalam kecemasan, malu dan bingung, ibunya perlahan-lahan mendekatinya. Dengan nada yang dalam diselubungi isaknya yang tertahan ia berkata, “Tohjaya, cobalah kau dengarkan penjelasanku.”
Tohjaya mengangkat wajahnya. Namun kemudian ia melangkah menjauhi ibunya sambil berkata, “Ibunda, ternyata Ibunda telah menghinakan diri sendiri dan keturunan Ibunda. Apalagi kini aku menjadi pusat perhatian seluruh rakyat Singasari. Dan apakah kata mereka tentang aku, jika cerita itu kemudian tersebar?”
“Ada jalan yang dapat kau tempuh,” berkata ibundanya.
“Apa?”
“Membungkam Mahisa Agni untuk selama-lamanya.”
Tohjaya terdiam sejenak. Dipandanginya bayangan yang bergerak-gerak di kejauhan. Namun kemudian ia berpaling dan berkata kepada ibunya, “Tidak ada gunanya. Membunuh Mahisa Agni akan sama halnya dengan mengaduk abu kering. Debunya akan beterbangan dan justru tersebar merata.”
“Kenapa?” bertanya ibundanya.
“Karena orang-orang yang berpihak kepada Mahisa Agni akan menyebarkan berita itu semakin cepat. Dan orang-orang yang memang pernah mendengarnya dahulu akan menganggukkan kepalanya, mengiakannya.”
“Tohjaya, apakah kau percaya bahwa cerita itu benar dan memang pernah terjadi?”
Tohjaya menjadi ragu-ragu.
“Jawablah.”
Namun ternyata jawab Tohjaya sangat mengejutkan Ken Umang, “Aku percaya Ibunda.”
“Oh,” Ken Umang terduduk lesu sambil tersedu, “Jadi kau lebih percaya kepada Mahisa Agni, kepada orang yang kini berniat memusnahkan ibundamu dan keturunannya termasuk kau daripada kepada ibundamu sendiri?”
“Ibunda,” bertanya Tohjaya, “jika demikian, apakah sebabnya Ibunda mendendamnya? Apakah alasan Ibunda menyimpan dendam sampai sekarang dan bahkan berusaha membunuhnya? Menurut pertimbanganku, Mahisa Agni tentu mengetahui sesuatu rahasia Ibunda yang paling besar.”
“Cukup Tohjaya! Cukup!”
“Kenapa ibunda?” desak Tohjaya, “jika Mahisa Agni Ibunda sebut sebagai orang yang paling menyombongkan diri, apa pula alasannya?”
“Jangan kau ulang pertanyaan itu Tohjaya, jangan!”
Tohjaya terdiam. Tetapi ia menjadi semakin yakin bahwa apa yang dikatakan Mahisa Agni itu benar, atau setidak-tidaknya sebagian terbesar adalah benar.
“Tohjaya, apakah kau benar-benar tidak mempunyai kepercayaan lagi kepadaku?”
“Ibunda, siapakah sebenarnya Witantra itu?”
“Witantra adalah kakak iparku.”
“Di mana ia sekarang?”
“Tidak ada orang yang tahu.”
“Apakah benar ia berada di Kediri seperti yang pernah disebut-sebut oleh panglima pelayan dalam yang aku tugaskan ke Kediri untuk memanggil Mahisa Agni?”
“Tentu bukan. Witantra sudah lama hilang. Barangkali ia sudah mati.”
“Aku akan memanggil panglima pelayan dalam itu. Ia akan dapat bercerita tentang orang yang bernama Witantra itu.”
“Tidak perlu, itu tidak perlu.”
“Kenapa tidak Ibunda? Ia akan dapat banyak bercerita tentang orang yang bernama Witantra. Yang menurut pendengarannya adalah bekas seorang panglima di masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung di Tumapel.”
“Tidak, jangan.”
“Ibunda, jika orang itulah yang dimaksud, kebetulan sekali. Dengan demikian Ibunda akan dapat bertemu dengan kakak perempuan Ibunda, dan sudah tentu aku akan memanggilnya Bibi.”
“Tidak. Itu tidak perlu!”
“Nah,” suara Tohjaya tiba-tiba menjadi berat, “itu adalah pertanda bahwa kehidupan Ibunda memang dibayangi oleh rahasia yang dengan sengaja akan Ibunda sembunyikan. Tetapi rahasia itu sebagian tentu apa yang dikatakan oleh Mahisa Agni.”
“Oh,” Ken Umang menangis semakin keras.
Beberapa orang emban mengintip dari balik pintu yang tidak tertutup rapat. Namun mereka pun segera pergi karena mereka menjadi ketakutan. Jika mereka mendengar rahasia maharaja, atau diduga mendengarnya, maka mereka akan dapat dihukum mati tanpa sebab.
“Ibunda,” berkata Tohjaya dengan nada yang meninggi, “Jika demikian, rahasia yang menyelubungi Ibunda ternyata sebuah rahasia yang besar. Dan angan-anganku pun menjadi berkembang karenanya. Jika Ibunda telah memasrahkan harga diri, dan bahkan tubuh Ibunda untuk sekedar mengejar keinginan lahiriah, maka Ibunda tentu pernah melakukan kecemaran yang serupa.”
“Tidak, tidak! Demi dewa-dewa aku bersumpah,” teriak Ken Umang.
Tohjaya menarik nafas dalam-dalam. Samar ia mulai membayangkan apa yang pernah terjadi atas dirinya. Apa yang dilakukan ibundanya selama ini. Ibundanya yang telah mendorongnya untuk melakukan apa saja agar ia sampai pada puncak tertinggi dari seluruh kekuasaan yang ada di Singasari. Sejak kecil ibundanya sudah mengajarinya membenci Anusapati yang kemudian disebut sebagai anak Tunggul Ametung. Kemudian berusaha mendesaknya dan menyingkirkannya. Kebencian kepada Anusapati dan adik-adiknya yang lahir dari Ken Dedes telah mendorongnya sampai ke puncaknya dengan segala macam usaha untuk membunuh Anusapati.
“Tetapi Anusapati telah membunuh Sri Rajasa,” Tohjaya mencoba membela sikapnya sendiri di dalam hatinya.
Namun kemudian ia terlempar pada suatu kenyataan, bahwa ibunyalah yang telah membentuknya menjadi seorang manusia yang dicengkam oleh kebencian, dendam dan permusuhan. Tohjaya menggigit bibirnya. Terasa dadanya menjadi sesak oleh kegelisahan.
Ken Umang masih saja menangis tertahan-tahan. Penyesalan yang dalam, bukan karena ia telah melakukan sesuatu yang hina, tetapi ia telah memberi kesempatan kepada Mahisa Agni untuk membuka rahasia itu. Dan karena Tohjaya yang ternyata tidak mau menerima kenyataan itu dengan senang hati.
“Terkutuklah Mahisa Agni!” berkata Ken Umang di dalam hatinya, “Ia harus mati. Jika tidak ia tentu akan membuka rahasiaku yang lain, bahwa aku telah mencoba untuk membujuknya. Bahkan setelah aku sudah menjadi istri Sri Rajasa.”
Ken Umang terperanjat ketika ia kemudian mendengar Tohjaya berkata, “Ibunda, tinggalkan aku sendiri.”
“Tohjaya,” desis Ken Umang, “aku sebenarnya perlu memberikan banyak sekali penjelasan. Kau seharusnya tidak mempercayai fitnah yang keji itu.”
“Aku akan memikirkannya. Tetapi silakan Ibunda meninggalkan aku sendiri.”
Ken Umang termangu-mangu. Namun ia pun kemudian melangkah meninggalkan anak laki-lakinya yang duduk merenungi dirinya sendiri.
Sepeninggal ibunya, maka Tohjaya semakin dapat melihat kenyataan hidupnya yang pernah dilaluinya. Sejak ia masih kanak-kanak. Hubungannya dengan Anusapati memang tidak begitu baik. Ia dibentuk oleh ibunya untuk membenci Anusapati, apalagi setelah Anusapati diangkat oleh Sri Rajasa menjadi Pangeran Pati.
Sekilas terlintas di angan-angannya yang melambung tinggi ke masa silamnya, Anusapati. Namun ternyata bahwa justru karena itu, yang terjadi adalah sebaliknya. Bukan Anusapati yang tersisih dari hati rakyat ternyata bahwa Pangeran Pati itu mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Perang tanding di alun-alun, yang maksudnya untuk menunjukkan bahwa ia adalah anak muda yang terbaik di Singasari, ternyata muncul seorang yang menyebut dirinya Kesatria Putih yang ternyata adalah Anusapati.
“Waktu itu aku hampir tidak mau menerima kenyataan bahwa aku memang tidak dapat mengalahkan kakanda Anusapati apapun caranya,” katanya di dalam hati, “dan yang terakhir aku memang berhasil membunuhnya dengan curang.”
Namun setelah Tohjaya berhasil duduk di atas tahta, ia justru mengetahui tentang dirinya sendiri. Dan yang lebih parah, ia mengetahui bahwa sebenarnya rahasia ibunya itu telah banyak diketahui orang, terutama yang sebaya dengan Mahisa Agni. Tetapi karena ayahandanya adalah seorang raja yang besar, maka tidak seorang pun yang berani mengatakannya.
Sementara itu, Ken Umang yang mendendam hatinya serasa menjadi semakin membara. Mahisa Agni baginya adalah hantu yang paling menakutkan meskipun pada masa mudanya ia pernah tergila-gila kepadanya. Karena itu, tidak ada cara lain untuk melapangkan hatinya selain membunuh Mahisa Agni, disetujui atau tidak oleh anaknya.
“Tidak ada kekuatan yang cukup untuk menumbangkan kekuasaan Tohjaya. Pengikut-pengikut Mahisa Agni tidak akan mampu berbuat apapun juga untuk membelanya,” Ken Umang bergumam di dalam dadanya yang bagaikan akan retak.
Sejenak itulah maka Ken Umang mulai berusaha sepenuh hati untuk menemukan orang yang dapat diupahnya untuk membunuh Mahisa Agni dengan cara yang kasar atau halus. Namun Mahisa Agni pun ternyata telah menyadari bahwa kemungkinan yang demikian itu akan terjadi. Itulah sebabnya maka ia menjadi semakin berhati-hati.
Di hari-hari berikutnya, para pemimpin di Singasari melihat perubahan yang terjadi atas maharajanya yang sedang memerintah. Tohjaya menjadi pendiam dan lebih murung. Tidak banyak persoalan yang diperbincangkannya di dalam paseban. Bahkan bicaranya pun rasa-rasanya telah berubah pula. Suaranya menjadi serak dan dalam.
“Hilangnya kedua anak-anak itu membuat Tuanku Tohjaya menjadi sangat murung,” berkata seorang senapati yang kurang mengetahui persoalan yang sebenarnya.
Namun sebenarnyalah persoalan yang berurutan telah membuat Tohjaya semakin murung. Tidak seorang pun yang kemudian berhasil menemukan Lembu Ampal. Tidak seorang pun pula yang dapat mengatakan di manakah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
“Tuanku,” berkata Pranaraja, “Lembu Ampal itu bagaikan hilang tidak ada bekasnya. Kedua anak-anak muda itu pun tidak lagi diketahui nasibnya. Setiap hari hamba mengirimkan prajurit-prajurit sandi menjelajahi kota ini. Tetapi mereka tidak pernah mendengar berita tentang keduanya dan Lembu Ampal.”
Tetapi Rasa-rasanya Tohjaya tidak tertarik lagi meskipun setiap kali ia teringat usaha pembunuhan itu, dadanya rasanya berdesir.
“Mungkin Lembu Ampal sudah berhasil,” desis Pranaraja.
Tohjaya tidak menyahut. Dan Pranaraja berkata seterusnya, “Jika demikian, tidak akan ada orang lagi yang akan dapat merintangi kekuasaan Tuanku.”
Tetapi di dalam hatinya Pranaraja berkata kepada diri sendiri, “Jika Lembu Ampal berhasil, ia tentu akan segera kembali untuk menerima hadiahnya.” Tetapi Pranaraja tidak mengatakannya. Ia masih belum tahu pasti, apakah sebenarnya yang sedang mempengaruhi sikapnya.
Kemurungan Tohjaya memang menimbulkan banyak pertanyaan di hati para pemimpin di Singasari. Namun tidak seorang pun yang dapat menebak arti dari kemurungan wajah ini selain Tohjaya sendiri dan ibundanya.
Dalam pada itu Ken Umang masih saja memikirkan cara untuk dapat menyingkirkan Mahisa Agni. Sebenarnya Ken Umang sendiri sangsi, apakah dengan demikian rahasianya akan ikut terkubur bersama lenyapnya Mahisa Agni. Apakah Tohjaya dapat melupakan semua persoalan yang pernah dikatakan oleh Mahisa Agni?
Namun demikian dendam yang membara dihatinya telah mendorongnya untuk melakukannya. Ia tidak peduli apakah lenyapnya Mahisa Agni akan berpengaruh pada Singasari, pada kepercayaan Tohjaya terhadapnya atau kepada apapun juga. Ia ingin melepaskan dendam, kemarahan dan kebencian. Apalagi setelah Mahisa Agni membuka rahasianya di hadapan anak laki-lakinya yang dimanjakannya selama ini. Ken Umang menyadari betapa sulitnya pekerjaan yang akan dilakukannya itu. Ia menyadari bahwa Mahisa Agni adalah orang yang pilih tanding, sehingga dengan demikian ia tidak akan dapat berbuat tanpa perhitungan yang sebaik-baiknya.
Karena Ken Umang tidak dapat memecahkan cara yang akan ditempuhnya, maka ia pun kemudian memanggil Pranaraja pula. Karena Ken Umang tahu pula, bahwa Pranarajalah yang mendorong usaha untuk menyingkirkan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
“Kau tidak dapat ingkar bahwa kaulah yang telah menyebabkan kedua anak-anak itu lenyap dari istana. Apakah hal itu karena Lembu Ampal benar-benar telah berhasil membunuhnya, atau karena orang lain yang mendengar rencana itu kemudian menyelamatkannya.”
“Hamba memang tidak akan dapat ingkar Tuan Putri. Apa lagi di hadapan Tuan Putri dan Tuanku Tohjaya.”
“Pranaraja,” berkata Ken Umang, “Aku minta pertimbanganmu, karena kau tidak akan dapat lari dari tangan Mahisa Agni jika ia mendengarnya.”
Pranaraja mengerutkan keningnya. Lalu dengan ragu-ragu ia pun bertanya, “Maksud Tuan Putri?”
“Baiklah kita menyeberang terus, karena kita memang telah basah kuyup.”
Pranaraja tidak menyahut. “Karena itu, kenapa kau sekedar berusaha menyingkirkan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka saja? Kenapa bukan Mahisa Agni dan kemudian Ken Dedes dan anak-anaknya yang lain?”
“Oh,” Pranaraja termangu-mangu, “begitu banyak orang yang harus dikorbankan?”
“Jika kau hanya sekedar menyingkirkan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, itu tidak akan banyak artinya. Keduanya memang orang-orang yang penting di Singasari. Tetapi kau harus memperhitungkan pula anak-anak Ken Dedes yang lain. Mereka adalah adik-adik Tohjaya, dan mereka adalah anak-anak Sri Rajasa yang lahir dari permaisuri.”
Pranaraja mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi semuanya itu akan dapat kau lakukan jika Mahisa Agni sudah tidak ada. Karena itu, yang pertama-tama dari kerja yang besar dan meyakinkan itu adalah membunuh Mahisa Agni terlebih dahulu.”
Pranaraja masih tetap ragu-ragu. Usaha untuk membunuh beberapa orang sekaligus, dan mereka itu adalah orang-orang yang penting di Singasari tentu akan menimbulkan banyak persoalan bagi Singasari sendiri. Namun Pranaraja pun mengetahui bahwa tekanan dari pembunuhan itu adalah pada Mahisa Agni. Jika Mahisa Agni sudah mati, maka semuanya itu seolah-olah sudah tidak akan mempunyai kekuatan apapun juga.
“Bagaimana pendapatmu Pranaraja?”
“Ampun Tuan Putri,” jawab Pranaraja, “sampai sekarang Tuan Putri Ken Umang apakah sudah pernah membicarakannya dengan Tuanku Tohjaya. Karena menurut pengamatan hamba, Tuanku Tohjaya masih agak berkeberatan untuk langsung berhadapan atas dasar kekerasan dengan Mahisa Agni.”
“Persetan!” desis Ken Umang, “Tohjaya masih terlampau kanak-kanak. Ia masih selalu dipengaruhi oleh perasaan anak-anaknya daripada pertimbangan nalar seorang maharaja. Menurut pendapatku tidak ada yang perlu dicemaskan pada Mahisa Agni.”
“Tuan Putri,” berkata Pranaraja, “tetapi hampir setiap pemimpin dan senapati di Singasari memberikan peringatan itu.”
“Peringatan apa?”
“Bahwa Mahisa Agni mempunyai pengaruh yang sangat kuat pada anak buahnya, terutama di Kediri. Sementara itu panglima pelayan dalam yang datang langsung ke Kediri telah melihat pihak-pihak yang tentu tidak akan tinggal diam. Dengan tiba-tiba saja telah muncul seorang bekas panglima pada masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung dan bernama Witantra. Tentu ia bukan orang kebanyakan. Dan tentu ia mempunyai pengaruh atas lingkungan tertentu. Dan ternyata Witantra itu berpihak kepada Mahisa Agni.”
“Apa artinya orang yang bernama Witantra itu?”
“Apakah Tuan Putri tidak pernah mendengar sesuatu tentang dirinya?”
“Tidak.”
“Apakah Tuan Putri lupa, bahwa hamba adalah orang yang banyak mengetahui semasa Akuwu Tunggul Ametung berkuasa, dan hamba mengetahui pula hubungan keluarga antara Tuan Putri dengan Witantra.”
Ken Umang tersentak mendengar jawaban Pranaraja itu. Namun kemudian ia memaksa dirinya untuk tetap tegak sambil berkata, “Baiklah jika kau memang mengetahuinya Pranaraja. Tetapi kita sama-sama orang yang sekarang mempunyai cela masing-masing. Kita di hadapan Mahisa Agni adalah orang-orang yang penuh dengan noda. Aku mendendamnya, dan kau telah berusaha melenyapkan kedua anak-anak itu.”
“Tetapi Tuan Putri, perintah untuk membunuh kedua anak-anak muda itu keluar dari Tuanku Tohjaya sendiri.”
“Semula ia tidak bermaksud demikian. Namun kaulah yang telah memaksanya atau setidak-tidaknya mempengaruhinya.”
Pranaraja menarik nafas. “Sekarang, usahakan agar kita terlepas dari tangan Mahisa Agni jika pada saatnya ia mengetahuinya. Jika ia tahu bahwa kau adalah otak dari usaha membinasakan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, maka lehermu akan dicekiknya sampai mati tanpa kesulitan apapun karena setiap orang berpendapat, bahwa membunuh Mahisa Agni akan sama dengan memecah Singasari.”
Pranaraja termenung sejenak. “Nah, pikirkan masak-masak.”
“Tuan Putri,” berkata Pranaraja kemudian, “membunuh Mahisa Agni adalah pekerjaan yang sangat sulit. Ia adalah seorang yang memiliki kemampuan hampir di luar batas kemampuan siapa pun juga selain Tuanku Sri Rajasa semasa hidupnya.”
“Kau bodoh. Sudah barang tentu tidak akan dilakukan oleh satu dua orang. Tetapi dengan sekelompok orang yang atas dasar perhitungan, pasti dapat mengalahkannya.”
“Sepuluh orang maksud Tuan Putri?”
“Kira-kira. Atau jika perlu dua puluh orang, atau tiga puluh.”
“Kita menyerang bangsalnya?”
“Kau memang dungu sekali. Tentu tidak. Tentu tidak di halaman istana ini,” geram Ken Umang, “tetapi kau harus memancingnya keluar dengan alasan apapun. Misalnya seseorang melihat tempat persembunyian Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, dan memberikan petunjuk kepadanya agar ia mengambilnya dengan diam-diam.”
Pranaraja mengerutkan keningnya. “Sepeninggal Mahisa Agni, kau dapat menjebak pengawal-pengawal yang ada di bangsal itu.”
“Jika pengawal-pengawal itu menyertainya?”
“Mereka adalah pengawal-pengawal biasa. Berapa jumlahnya dapat diperhitungkan. Jika seorang senapati pilihan membawa pasukan segelar sepapan, tentu akan dapat membunuhnya, betapapun ia seorang yang memiliki ilmu yang sempurna.”
Pranaraja termangu-mangu. “Dengan demikian kau pun akan terbebas dari tangannya jika pada saatnya rahasia rencana pembunuhan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka dapat diketahui orang.”
Pranaraja tidak segera menjawab. “Pranaraja,” berkata Ken Umang kemudian, “kau mempunyai banyak hubungan dengan para senapati. Jika sekiranya Tohjaya tidak menghendaki pembunuhan ini terjadi, kau tidak perlu minta pertimbangannya. Kau dapat menawarkannya kepada seorang senapati dengan pasukan pilihan. Kau dapat menawarkan upah yang tinggi baginya. Aku akan menyediakannya. Aku mempunyai seperti permata yang nilainya tidak terhitung besarnya. Aku dapat memberikannya segenggam mutiara atau intan berlian yang dapat dibagikan kepada para prajurit itu. Atau jika masih kurang, aku dapat memberikan seperempat dari seluruh isi peti itu kepada mereka.”
Pranaraja mengangguk-angguk kecil. Katanya kemudian, “Tuan Putri. Jika demikian hamba akan mencobanya. Hamba akan menghubungi seorang senapati yang pernah menunjukkan keunggulannya bersama pasukannya. Seperempat peti permata akan menjadi pendorong kepada mereka untuk menerima tawaran Tuan Putri itu.”
“Tetapi hati-hatilah. Kau tentu tidak akan mengatakan bahwa akulah yang telah memerintahkan kepadanya.”
“Maksud Tuan Putri?”
“Jangan menambah orang-orang yang mengetahui rahasiaku. Kau tidak perlu mengatakan siapa yang akan mengupah mereka. Tetapi kau dapat meyakinkan bahwa upah itu mempunyai jaminan akan terbayar.”
“Dan Tuan Putri akan membayarnya kelak?”
“Kau gila! Jika aku ingkar, kau dapat membuka rahasia ini kepada siapa pun juga.”
“Baiklah Tuan Putri. Hamba akan mencoba mencari jalan, tetapi untuk mendapatkan orang yang berani menanggung akibat perlawanan dengan kekerasan menghadapi Mahisa Agni bukannya pekerjaan yang mudah meskipun sepasukan segelar sepapan.”
“Kau dapat menghubungi salah seorang panglima yang paling membenci Mahisa Agni, atau yang dapat kau libatkan dalam usaha pembunuhan Anusapati. Seperti kau sendiri, maka setiap orang yang terlibat saat kematian Anusapati, mempunyai kemungkinan serupa di hadapan Mahisa Agni.”
“Baiklah Tuan Putri. Mahisa Agni pun sebenarnya adalah seorang manusia biasa. Pada saatnya tentu ada orang yang akan mampu membinasakannya.”
“Tetapi cepat-cepatlah bekerja.”
“Hamba Tuan Putri. Hamba akan segera melakukannya.”
“Ingat, bahwa kau sendiri adalah sasaran dendam Mahisa Agni itu, seperti juga aku, dan orang-orang yang terlibat kematian Anusapati, yang sebenarnya termasuk Tohjaya sendiri. Jika kau mengingkari persepakatan kita, kau akan dicekiknya sampai mati.”
Pranaraja tidak dapat bersikap lain. Ia harus memenuhi permintaan Ken Umang. Bahkan sebenarnyalah ia sendiri memang ingin menyingkirkan Mahisa Agni untuk selama-lamanya. Bukan hanya Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Sementara itu, maka Pranaraja pun mulai mencari-cari keterangan, siapakah yang sebaliknya dipergunakannya untuk membunuh Mahisa Agni. Kini ia sudah mendapatkan jaminan untuk mengupah orang itu dari Ken Umang. Upah yang cukup banyak bagi mereka yang berhasil. Seperempat dari isi sebuah peti yang penuh dengan permata.
Tetapi Pranaraja tidak dapat berbuat tergesa-gesa. Jika ia salah sasaran, maka persoalannya akan menjadi lain. Dan barangkali ia sendirilah yang akan lebih dahulu dipeluk oleh maut daripada Mahisa Agni.
Dalam pada itu, Ranggawuni dan Mahisa Cempaka telah berada di sebuah padepokan terpencil. Padepokan yang dibangun oleh Witantra pada saat ia membuang diri dari pergaulan setelah ia dikalahkan oleh Mahisa Agni di dalam perang tanding. Di padepokan itulah ia kemudian mendapatkan kesempurnaan dari ilmu yang diturunkan oleh gurunya. Di padepokan yang terpencil itulah ia bersama adik seperguruan Mahendra, mencoba mencari-cari dan menyusun kelengkapan dari ilmu yang disadapnya dari gurunya, sehingga keduanya berhasil mencapai tingkat tertinggi dari olah kanuragan.
Kini ia tidak tinggal sendiri dan keluarganya saja di padepokan itu, tetapi ia kini bersama dengan dua orang dari istana Singasari yang memencilkan diri, diiringi oleh beberapa orang prajurit yang mengawalnya.
“Apakah kalian kerasan tinggal di sini?” bertanya Witantra kepada kedua anak-anak muda itu.
“Tentu Paman. Di sini Rasa-rasanya kami mendapatkan ketenangan,” jawab Ranggawuni.
“Di sini udaranya sangat sejuk. Dan seakan-akan padepokan ini merupakan daerah yang paling damai dari seluruh wilayah Singasari,” sahut Mahisa Cempaka.
Witantra tersenyum. Katanya, “Mungkin kedamaian dan ketenangan ini pada suatu saat akan segera berubah, jika petugas sandi dari istana Singasari mencium berita bahwa kalian berdua ada di sini, maka keadaan akan segera berubah.”
“Karena itu, kalian harus tetap berhati-hati. Jangan bermain-main terlampau jauh, dan ingat, jangan hanya berdua. Jika kalian ingin berjalan-jalan keluar padepokan ini, kalian harus disertai oleh dua atau tiga orang pengawal. Mungkin kalian tiba-tiba saja bertemu dengan petugas-petugas yang bertebaran di seluruh Singasari untuk mencari kalian.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun pesan itu rasa-rasanya telah mengusik perasaan damai dan tenang selama mereka di padepokan itu. Tetapi mereka pun menyadari bahwa setiap kelengahan akan berakibat bencana. Karena itulah maka setiap hari keduanya selalu berjalan-jalan bersama dua tiga orang pengawal. Apalagi jika mereka keluar dari padepokan dan menyusuri tanah pategalan.
“Beberapa orang penghuni padepokan ini rasa-rasanya mempunyai sifat dan tabiat yang lain dengan orang-orang Singasari,” desis Mahisa Cempaka.
“Sudah tentu,” jawab Ranggawuni, “mereka adalah orang-orang yang dengan sengaja memencilkan diri. Menyerahkan hidup mereka kepada ketenangan dan kedamaian. Mereka tidak ingin berbuat lebih banyak dari yang mereka lakukan. Tetapi mereka dengan demikian merasa dekat dengan Penciptanya.”
Mahisa Cempaka mengerutkan keningnya. Dan Ranggawuni berkata seterusnya, “Bukankah begitu kata Paman Witantra kepada kita?”
Mahisa Cempaka tersenyum sambil mengangguk,” Ya, mereka tidak mempunyai cita-cita yang lain dari ketenteraman hidup. Kini dan kelak yang abadi.”
“Nah bukankah begitu?”
“Tetapi siapakah mereka sebenarnya?” Mahisa Cempaka tiba-tiba bertanya, “mereka seakan-akan terlempar ke daerah ini dengan diselubungi oleh rahasia yang tidak dapat ditebak.”
Ranggawuni menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tentu kita tidak tahu. Tapi kita dapat menduga, bahwa mereka terlempar ke daerah ini tanpa kesengajaan. Mungkin mereka perantau yang jemu melihat kehidupan di tempat-tempat aman. Ketika mereka melintasi daerah yang tenang ini, mereka minta izin untuk tinggal di sini pula. Atau barangkali sebagian memang datang bersama Paman Witantra. Mungkin pelayannya semasa lampau. Bukankah Paman Witantra itu dahulu seorang panglima dari Tumapel.”
Mahisa Cempaka menganggukkan kepalanya. Tetapi keduanya kemudian tidak membicarakan lebih lanjut. Mereka hanya merenungi saja orang-orang yang bekerja dengan tidak banyak berbicara. Orang yang nampaknya jarang sekali berhubungan dengan dunia di luar mereka. Wajah mereka selalu bersungguh-sungguh. Namun terbayang ketenangan dan kedamaian di hati mereka. Harapan yang mantap bagi hidup mereka yang abadi kelak. Hidup abadi dalam pelepasan segala macam derita kehidupan fana.
Namun dalam pada itu, kedua anak-anak itu tidak hanya sekedar bersembunyi, dan sekali-kali menghirup udara pagi di padepokan yang sepi. Sejak mereka berada di padepokan itu, Witantra sudah mulai memperkenalkan mereka dengan olah kanuragan.
“Jangan mengganggu ketenangan orang di padepokan ini dengan tingkah yang bagi mereka tentu dianggap aneh,” berkata Witantra, “sudah beberapa lamanya mereka memusatkan hidup mereka di dalam nafas kedamaian.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka termangu-mangu sejenak. Mereka tidak mengerti maksud Witantra. Meskipun anak-anak itu tidak bertanya, namun agaknya Witantra dapat menangkap perasaan mereka. Karena itu maka katanya,
“Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Penduduk padepokan ini yang hanya beberapa keluarga sudah lama sekali tidak melihat kekerasan. Mereka tidak pernah lagi memikirkan kemungkinan seseorang mempergunakan olah kanuragan. Apa lagi olah kanuragan untuk memaksakan kehendaknya atas orang lain.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mendengarkan kata-kata Witantra itu dengan seksama. Dan Witantra meneruskan, “Selama ini mereka merasa bahwa di tempat ini mereka menemukan kehidupan yang tenang dan damai. Mereka dapat bekerja tanpa gangguan apapun juga, berbakti kepada Penciptanya dengan hikmat. Tidak ada persoalan apapun yang timbul di dalam keluarga kecil di padepokan ini.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang masih terlalu mu da itu termenung sejenak. Namun kemudian Ranggawuni berkata, “Tetapi kehidupan yang demikian itu agaknya memang sangat menarik, Paman. Sebenarnya aku pun menjadi jemu hidup di lingkungan orang-orang yang selalu bertengkar. Aku kini menyadari bahwa usaha untuk membunuh aku berdua dengan Adinda Mahisa Cempaka adalah akibat dari pertentangan yang pernah terjadi di Singasari. Pertentangan yang selalu diselesaikan dengan kekerasan. Sehingga dengan demikian, aku justru ingin hidup di padepokan ini dengan tata kehidupannya yang tenang dan damai.”
Witantra menarik nafas. Katanya, “Kau dapat bersikap damai Ranggawuni. Tetapi kau adalah seorang kesatria. Tugasmu sebagai kesatria menuntut cara hidup yang berbeda dengan mereka yang mengasingkan diri di padepokan ini. Sebagai kesatria kau mempunyai tugas untuk membantu membersihkan segala bentuk yang salah di muka bumi. Kau tidak dapat berpangku tangan, menikmati kedamaian hatimu sendiri, sedangkan di bagian lain dari bumi ini orang-orang lain mengalami penindasan dan perlakuan yang tidak adil. Kau harus bangkit dan berusaha untuk membantu mereka yang diperlakukan tidak adil itu.”
Kedua anak-anak muda itu menganggukkan kepalanya.
“Kau berdua masih terlalu muda. Pada saatnya kau berdua akan melihat, bahwa masih banyak tugas yang belum terselesaikan. Dan agaknya di sepanjang jaman, masih saja perlakuan yang tidak adil itu akan terjadi. Dan karena itulah maka kesatria di sepanjang jaman harus selalu berdiri tegak menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya, sehingga pada suatu saat yang tidak dimengerti, manusia menemukan ketenangan dan kedamaian yang sejati.”
“Tetapi apakah saat itu akan datang, Paman?” bertanya Mahisa Cempaka.
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya kedua anak-anak itu sejenak, lalu katanya dengan nada yang dalam, “Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Sebagai manusia kita memang mengharap bahwa pada suatu saat kita akan hidup tenang dan damai. Dan agaknya setiap orang memang mendambakan ketenangan dan kedamaian itu. Namun sifat manusiawi tidak terkendali telah mendorong manusia untuk saling bertengkar. Usaha untuk menemukan ketenangan dan kedamaian agaknya memang diusahakan oleh manusia. Tetapi rasa-rasanya bagaikan membagi sebuah bilangan. Semakin lama menjadi semakin kecil, namun kita tidak akan pernah sampai pada ketiadaan bilangan itu.”
Mahisa Cempaka dan Ranggawuni mengangguk-angguk. Mereka tidak begitu mengerti, tetapi mereka dapat menangkap maksud kata-kata Witantra itu. Karena itulah maka kedua anak-anak itu kemudian mempelajari oleh kanuragan di tempat yang terpencil. Untuk beberapa saat Mahendra masih berada di padepokan itu, sehingga mereka berdua mendapat tuntunan dari Witantra dan Mahendra berganti-ganti.
Ternyata kedua anak-anak muda itu memiliki daya serap yang tinggi. Mereka dengan segera menguasai dasar-dasar tata gerak dari ilmu yang diturunkan oleh Witantra dan Mahendra. Meskipun nampaknya baru meloncat-loncat dan berlari-lari saja, tetapi pada dasarnya mereka sudah mulai memasuki latihan-latihan yang mapan. Hampir setiap hari Ranggawuni dan Mahisa Cempaka di bawa oleh Witantra masuk ke dalam hutan yang tidak begitu lebat. Kadang-kadang bersama dengan Mahendra, namun kadang-kadang dengan Mahendra seorang diri. Tetapi yang diberikan oleh Witantra dan Mahendra sama sekali tidak ada bedanya.
Dalam pada itu, selagi Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mulai dengan mesu diri mempelajari ilmu kanuragan, di Singasari Pranaraja sedang sibuk mencari kemungkinan untuk menyingkirkan Mahisa Agni. Segala cara yang mungkin dapat di tempuh, telah dicobanya dengan sangat berhati-hati. Pranaraja tidak mau justru terjerumus ke dalam kesulitan. Jika masalahnya diketahui oleh Mahisa Agni, maka tentu ialah yang akan lebih dahulu terbunuh.
“Tentu usaha untuk membunuh Ranggawuni dan Mahisa Cempaka itu telah diketahui lebih dahulu oleh orang-orang yang kemudian melindunginya,” berkata Pranaraja di dalam hati. Dan ia pun tidak mempunyai sasaran lain kecuali Mahisa Agni. Apa lagi kemudian Lembu Ampal pun telah hilang pula dari istana.
“Lembu Ampal tentu sudah berkhianat dan berhubungan dengan Mahisa Agni untuk menyelamatkan kedua anak-anak itu.”
Tetapi ternyata ia tidak lagi dapat berbicara dengan Tohjaya. Tohjaya semakin lama nampak menjadi semakin murung. Dan semakin lama sifat pemarahnya semakin menjadi-jadi. Setiap kali Tohjaya tentu berteriak-teriak dan membentak-bentak. Orang-orang yang sebelumnya sangat dekat dengannya dan yang selalu diajaknya berbicara mengenai bidang masing-masing pun tidak luput dari sifatnya yang aneh itu.
Hampir setiap orang selalu nampak bersalah di matanya. Para panglima pun menjadi bingung, bagaimana melayani Tohjaya yang semakin aneh. Paseban tidak lagi menarik baginya. Bahkan seolah-olah Tohjaya tidak mau berbicara di dalam sidang. Apalagi sidang yang besar.
“Kenapa Tuanku Tohjaya seakan-akan berubah mengasingkan dirinya,” berkata panglima pelayan dalam kepada kawannya, para panglima yang lain.
Kawan-kawannya hanya dapat menggelengkan kepalanya. “Ada perubahan sifat yang jelas padanya,” desis yang lain pula.
Namun dalam pada itu Pranaraja berkata pula di antara mereka, “Mungkin ada sesuatu yang sedang mengganggu ketenangan pikirannya. Pada saatnya ia tentu akan segera pulih kembali, dan semuanya akan berjalan seperti biasa. Ia masih terlalu muda untuk menghadapi Singasari yang besar.”
“Tetapi arah perkembangannya agaknya berlawanan dengan sifat-sifatnya terdahulu. Kami pernah mencemaskan bahwa ia akan menjadi seorang raja yang terlalu membanggakan diri pada kekuasaannya. Bahkan mungkin agak sewenang-wenang. Tetapi ternyata sebaliknya. Kini ia lebih senang mengurung diri meskipun sifat pemarahnya justru berkembang dengan cepatnya.”
“Ia sangat mudah tersinggung dan seolah-olah kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri,” desis seorang senapati.
“Kalian keliru,” sahut Pranaraja, “semuanya itu akan segera berakhir. Kalian tidak usah cemas.”
Para panglima dan senapati itu mempercayainya. Karena itu mereka dengan sabar menunggu, pada saatnya Tohjaya akan sembuh dari sifat-sifat anehnya. Tetapi ternyata perhitungan mereka itu keliru. Tohjaya justru semakin lama semakin murung. Semakin dicengkam oleh sifat-sifat pemarahnya. Dan para pemimpin Singasari itu pun menjadi semakin heran karena Tohjaya pun semakin lama nampak semakin jauh dari ibundanya. Ibundanya yang sebelumnya adalah orang yang sangat dekat dengannya. Ibundanya yang seolah-olah memegang kendali atasnya.
Dengan demikian orang-orang di dalam pemerintahan mulai memperbandingkan Tohjaya yang pemarah itu dengan Anusapati yang telah terbunuh. Meskipun pada umumnya mereka yang kini berkuasa adalah orang-orang yang telah bersepakat untuk menyingkirkan Anusapati, namun sifat-sifat Tohjaya yang semakin aneh itu telah membingungkan mereka. Bahkan seorang dua orang pemimpin yang berkuasa mulai dijalari oleh perasaan kecewa. Dan terlebih-lebih dari itu mereka mulai menyesal, bahwa dengan demikian Singasari tidak berkembang justru menjadi semakin suram dan susut.
Dalam pada itu Ken Umang pun menjadi seperti orang yang kebingungan. Setiap hari ia selalu gelisah. Ia tidak lagi menghiraukan anak-anaknya yang lain. Setiap kali ia mencoba untuk bertemu dengan Tohjaya. Tetapi setiap kali Tohjaya telah menghindar dan bahkan membentak-bentak dan berteriak-teriak. Dengan demikian, maka Ken Umang pun lalu menjadi terasing karena tingkahnya sendiri. Bahkan ia seolah-olah selalu diserang oleh perasaan malu.
Jika Ken Umang bertemu dengan Pranaraja, maka ia pun selalu bertanya, “Kenapa kau belum berhasil membinasakan Mahisa Agni? Apakah kau menunggu kau sendiri terbunuh?”
“Tuan Putri,” jawab Pranaraja, “keadaan ini lambat laun telah berubah. Hamba tidak mengerti, apakah sebabnya Tuanku Tohjaya kini bertabiat aneh.”
“Omong kosong! Anakku tidak apa-apa.”
“Apakah Tuan Putri tidak merasakan perubahan itu? Tuan Putri, tuan adalah ibundanya. Barangkali Tuan Putri dapat berbuat jauh lebih banyak dari kami semuanya. Barangkali Tuan Putri dapat mengetahui sebabnya, sehingga kami bersama-sama akan dapat berusaha memulihkan kegembiraannya, gairah hidupnya dan terlebih lagi bagi kepentingan Singasari.”
Ibunda Tohjaya tidak segera menyahut. “Tuan Putri, Tolonglah kami. Tolonglah rakyat Singasari yang menjadi bingung dan tidak menentu.”
Ken Umang masih saja termenung.
“Tentu Tuan Putri dapat melakukannya, karena Tuan Putri adalah ibundanya. Tentang Mahisa Agni, serahkanlah kepada kami. Kami akan selalu berusaha. Jika Tuanku Tohjaya mendapatkan gairah hidupnya kembali, maka kami akan segera melakukannya.
“Bohong!” bentak Ken Umang, “Kalian akan menipu aku. Jika kalian memang dapat membunuh Mahisa Agni, bunuhlah. Tentu Tohjaya akan menjadi gembira, karena musuhnya yang paling berbahaya telah lenyap, seperti lenyapnya dua anak yang sampai saat ini tidak terdengar kabar beritanya itu lagi.”
“Tetapi Tuanku Tohjaya tidak pernah menyetujui pembunuhan atas Mahisa Agni itu.”
“Bohong, bohong. Lakukanlah, dan aku akan membujuk Tohjaya agar ia meninggalkan sifatnya yang baru tumbuh itu. Dan hal itu tentu bukan karena sifat-sifatnya dan pembawaannya. Tentu hanya karena ada sesuatu sebab. Dan sebab itu adalah Mahisa Agni.”
Dalam pada itu Pranaraja semakin terdorong ke dalam kesulitan. Tohjaya sama sekali tidak lagi dapat diketahui kehendaknya dengan pasti. Sedang usaha untuk membunuh Mahisa Agni seperti yang diperintahkan oleh Ken Umang, kadang-kadang membayanginya seperti hantu yang siap mencekik lehernya. Melakukan atau tidak melakukan, Pranaraja merasa dirinya terancam oleh Mahisa Agni yang meskipun nampaknya tidak ingin berbuat apa-apa. Tetapi justru karena ia masih saja nampak tenang-tenang di istana Singasari bersama pengawalnya itulah, maka Pranaraja merasa dirinya dikejar oleh kegelisahan yang sangat.
“Apakah Mahisa Agni mengetahui, bahwa akulah yang mula-mula mendorong Tuanku Tohjaya untuk membunuh Ranggawuni dan Mahisa Cempaka?” ia selalu dikejar oleh pertanyaan itu. Dan setiap kali Pranaraja merasa bahwa tangan-tangan Mahisa Agni seolah-olah telah mencengkamnya. Namun kadang-kadang ketakutannya itulah yang telah memaksanya untuk berteriak di dalam hatinya sendiri, “Aku harus membunuhnya. Harus!”
Selagi Pranaraja dicengkam oleh kegelisahan dan ketakutan itu, maka di padukuhan terpencil Lembu Ampal berusaha menyembunyikan dirinya. Setelah beberapa saat ia terpisah dari kehidupan di istana, maka ia pun mulai jemu dengan kehidupannya yang terpencil itu. Namun Lembu Ampal masih juga selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan. Di dalam angan-angan Lembu Ampal selalu nampak prajurit-prajurit Singasari mencarinya dari pintu ke pintu. Bukan saja di dalam kota, tetapi juga di pedesaan dan padukuhan-padukuhan terpencil.
Lembu Ampal sama sekali tidak mengetahui bahwa Tohjaya seakan-akan sudah tidak mengacuhkannya lagi. Lembu Ampal sama sekali tidak membayangkan bahwa Tohjaya telah berubah menjadi seorang yang hidupnya dipenuhi oleh kekecewaan, malu dan rendah diri karena sifat-sifat ibunya. Namun untuk menutupi perasaan itu, ia justru menjadi seorang pemarah yang tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Perintahnya meledak-ledak tanpa arah, dan hubungannya dengan para pembantunya, para panglima yang pernah mendukungnya menjadi semakin tidak teratur lagi.
Untunglah bahwa para panglima yang sudah terlanjur melangkahkan kaki mereka di belakang Tohjaya, masih bersabar. Mereka menganggap bahwa Tohjaya sedang dihinggapi oleh perasaan bersalah atas kematian Anusapati. Namun pada saatnya ia akan menjadi tenang dan akan memerintah Singasari dengan sebaik-baiknya.
Dalam kegelisahan dan kejemuan itulah maka Lembu Ampal menilai keadaan dirinya. Ia tidak dapat mengabaikan Mahisa Agni. Hilangnya kedua anak-anak yang harus dibunuhnya itu, tentu atas usaha Mahisa Agni pula.
“Tidak ada orang yang mampu melakukannya selain Mahisa Agni. Adalah mustahil bahwa seseorang dapat melemparkan kedua anak-anak itu keluar halaman istana tanpa diketahui oleh penjaga. Baru setelah mereka berada di luar, kebetulan seorang penjaga melihat. Seseorang melintasi jalan,” katanya di dalam hati.
Dengan demikian Lembu Ampal merasa dirinya bukan saja dikejar oleh prajurit-prajurit istana karena ia lari dari tugasnya, tetapi ia merasa ngeri juga setiap ia mengenangkan nama Mahisa Agni.
“Jika Mahisa Agni mengetahui bahwa Ranggawuni dan Mahisa Cempaka ada di dalam bahaya, maka ia pun tentu tahu bahwa akulah yang akan melakukannya. Pendeta itu tentu mengatakan selengkapnya.”
Karena itulah maka Lembu Ampal tidak pernah merasa tenang tinggal di satu tempat dalam waktu yang cukup lama. Ia selalu berpindah-pindah dari padukuhan yang satu ke padukuhan yang lain. Kadang-kadang ia berganti nama dan kadang-kadang ia berusaha mengubah wajahnya dengan membiarkan kumis dan janggutnya tumbuh tidak teratur. Namun kemudian memotongnya dan memeliharanya dengan rapi.
Dalam kegelisahan itulah maka kemudian Lembu Ampal menjadi seorang pengembara. Ia pergi tanpa tujuan. Ia mempergunakan nama yang berbeda-beda dan bentuk yang berubah-ubah. Ia menyusuri jalan-jalan pedesaan yang sepi dan bahkan sampai ke pinggir hutan. Menjelajahi padepokan-padepokan yang tidak dikenal namanya dan kadang-kadang bermalam di tempat-tempat yang tidak diketahuinya sendiri.
“Aku telah diburu oleh dosa-dosaku sendiri,” keluhnya di dalam hati, “meskipun aku belum melakukannya, tetapi kesediaanku menerima tugas itu telah membuat aku terlempar dari kehidupan yang wajar ini.”
Karena itu maka Lembu Ampal berusaha untuk menebus dosanya dengan berbuat kebaikan. Di perjalanan ia melakukan tapa ngrame. Ia menolong setiap orang yang memerlukan pertolongannya, apapun juga. Sementara itu, ia pun telah berusaha di setiap perjumpaannya dengan kejahatan, untuk membasminya. Sebagai seorang prajurit Lembu Ampal mempunyai bekal yang cukup. Ia adalah seorang yang berilmu tinggi, karena ia adalah seorang senapati terpilih di Singasari.
Dalam pada itu. di dalam pengembaraannya, tidak disadarinya, Lembu Ampal semakin lama justru semakin mendekati padepokan Witantra. Tempat kedua anak-anak muda yang dilarikan dari istana Singasari itu bersembunyi. Sebagai seorang perantau maka Lembu Ampal telah berubah sama sekali. Tidak seorang pun yang mengenalnya, bahwa ia adalah seorang senapati pilihan dari Singasari.
Setiap padukuhan yang terpencil memang sangat menarik perhatian Lembu Ampal. Kadang-kadang ia menemukan sesuatu yang baru di dalam hidupnya. Di padukuhan atau padepokan kecil dan terpencil ia menemukan manusia yang mendambakan suara nurani kemanusiaannya. Manusia yang hidup dalam jalinan yang erat. Mendatar dan meninggi. Antara sesama manusia dan hubungan dengan Penciptanya. Lembu Ampal berjalan terus.
Namun sekali-kali Lembu Ampal masih juga harus mempergunakan kekerasan. Jika ia menemukan perampok-perampok yang tanpa belas kasihan mengganggu penduduk yang memang sudah hidup dalam kesederhanaan, maka ia pun telah berbuat sesuatu, meskipun seandainya harus menimbulkan kematian. Karena dengan demikian Lembu Ampal merasa bahwa dirinya telah ikut serta membantu berkurangnya kejahatan.
Tetapi pada suatu saat, Rasa-rasanya dada Lembu Ampal terguncang. Ketika ia berjalan menyusuri pinggir hutan yang tidak terlampau lebat, ia melihat tiga orang berjalan beriringan. Seorang yang sudah setengah umur, sedang kedua yang lain justru masih terlampau muda. Sekilas orang yang setengah umur itu memandang kepadanya. Namun perhatiannya pun kemudian terlempar ke arah yang lain. Agaknya orang itu menganggapnya seorang yang sedang bepergian jauh, atau seorang perantau yang berjalan tanpa tujuan. Tetapi dalam pada itu, kehadirannya di tempat itu telah membuatnya jadi sangat gelisah. Kedua anak-anak itu ternyata adalah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
“Gila!” desis Lembu Ampal, “Ternyata kedua anak-anak itu bersembunyi di tempat ini.” Namun kemudian timbul persoalan di dalam dirinya, “Apakah yang seharusnya aku lakukan?” Lembu Ampal menjadi bimbang. Dari kejauhan ia mengikuti ketiga orang itu melintasi pematang. Kemudian menuju ke sebuah padepokan kecil tidak jauh dari hutan rindang itu.
“Aku dapat membunuhnya,” Lembu Ampal menggeram.
Namun ia pun kemudian terlempar dalam pertentangan di dalam dirinya sendiri. Sudah beberapa lama ia merantau dan berusaha berbuat kebajikan karena ia merasa dikejar oleh dosa-dosanya. Namun ketika ia melihat kedua anak-anak itu di sebuah padepokan kecil, maka ia telah diguncang lagi oleh nafsu manusiawi yang memang sudah ada di dalam dirinya.
“Jika aku dapat membunuhnya dan membawa bukti kematiannya, aku akan dapat kembali ke Singasari. Aku akan menunjukkan kesetiaanku kepada Tuanku Tohjaya,” berkata Lembu Ampal di dalam hatinya. Namun yang kemudian dibantahnya sendiri, “Sudah sekian lama aku berbuat kebajikan. Apa salahnya jika aku pura-pura saja tidak tahu. bahwa keduanya ada di tempat yang terpencil ini.”
Lembu Ampal justru menjadi bingung. Karena itu, maka ia pun kemudian justru masuk ke dalam hutan dan duduk bersandar sebatang pohon. Ia ingin menemukan keputusan yang mantap. Apakah yang sebaiknya dilakukannya. Sejenak Lembu Ampal mencoba merenungi dirinya sendiri. Kehidupan selama ini. Berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain. Bersembunyi dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain menghindari pengamatan petugas-petugas sandi dari Singasari dan mungkin juga Mahisa Agni.
“Sudah cukup lama aku menderita,” katanya kepada diri sendiri, “dan sudah cukup banyak aku berbuat kebaikan. Apa salahnya jika aku sekarang memikirkan diriku sendiri. Jika aku berhasil membunuh keduanya, maka aku akan dapat kembali ke Singasari. Bahkan mungkin aku akan menerima hadiah. Aku akan hidup sebagai seorang senapati yang terhormat. Aku tidak perlu lagi ketakutan dikejar oleh petugas-petugas sandi atau oleh Mahisa Agni, karena ia berada di lingkungan keprajuritan.”
Lembu Ampal menggeretakkan giginya. Dihentakkannya tangannya sambil menggeram, “Aku harus membunuhnya.”
Tetapi tiba-tiba ia teringat kepada Mahisa Agni. Katanya kemudian, “Apakah Mahisa Agni ada di padepokan ini pula?”
Sejenak Lembu Ampal termangu-mangu. Namun kemudian ia berdesis, “Tentu Mahisa Agni tidak berada di padepokan ini. Tempat ini tentu sekedar menjadi tempat persembunyian saja.”
Tetapi Lembu Ampal tidak segera dapat mengambil sikap. Persoalan yang lain segera menyusul berurutan. Bukan persoalan duniawi semata-mata, tetapi sudah sekian lamanya ia merasa berjalan semakin dekat dengan Yang Maha Agung. “Apakah aku harus menjauhinya lagi.”
Namun demikian, rasanya ada sesuatu yang mengikatnya di tempat itu. Ternyata bahwa Lembu Ampal tidak berhasrat untuk segera meninggalkan tempat itu. Rasa-rasanya ia masih ingin mengetahui, apakah Mahisa Agni ada di padukuhan itu atau tidak.
“Persetan!” ia menggeram, “Aku sudah jemu hidup seperti serigala liar. Aku ingin kembali ke Singasari sebagai seorang senapati besar. Aku ingin hidup di lingkungan istana kembali, dikelilingi oleh serba kebendaan yang menyenangkan. Di daerah perantauan aku hidup seperti seekor burung di udara. Kadang-kadang hinggap sehari dua hari, kemudian terbang lagi mencari sesuap makanan.”
Lembu Ampal tiba-tiba mengepalkan tinjunya. Dipukulnya sebongkah batu padas dengan sepenuh kekuatannya, sehingga batu padas itu menjadi pecah berserakan. “Tanganku masih cukup kuat. Ilmuku masih cukup mapan untuk membunuh kedua kelinci itu. Tanpa Mahisa Agni keduanya adalah kelinci-kelinci yang malang.”
Tiba-tiba Lembu Ampal telah dicengkam oleh nafsu duniawinya kembali. Jika selama ini ia sudah melakukan tapa ngrame, menolong setiap insan yang memerlukan pertolongannya, bukan saja seseorang, tetapi juga menolong seekor katak yang akan disergap oleh seekor ular, kini ialah yang telah siap untuk menyergap Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Dengan membawa bukti kematian kedua anak-anak itu, maka ia akan dapat kembali ke istana dengan sebutan kebesarannya. Satu dua hari Lembu Ampal mempergunakannya untuk menyelidiki apakah Mahisa Agni ada di pedesaan itu.
Ternyata ia tidak pernah melihat Mahisa Agni ada di antara Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Setiap kali Ranggawuni dan Mahisa Cempaka hanya ditemani oleh seseorang yang belum dikenalnya dengan baik. Ketika Lembu Ampal melihat Ranggawuni dan Mahisa Cempaka berjalan menuju ke bagian dalam dari hutan yang rindang itu, ia menjadi heran. Apakah yang akan dikerjakannya? Kedua anak-anak itu hanyalah ditemani oleh seorang yang setengah umur dan nampaknya hanyalah seorang penghuni padepokan terpencil itu. Kesempatan itu akan dipergunakan oleh Lembu Ampal melakukan maksudnya. Tetapi tiba-tiba ia mengurungkan niatnya. Ia ingin melihat, apa saja yang dilakukan oleh kedua anak itu.
Di tengah hutan rindang itu Ranggawuni dan Mahisa Cempaka sudah siap untuk melakukan latihan seperti biasanya. Namun tiba-tiba saja orang yang menemaninya itu berkata, “Hari ini kita tidak akan berbuat apa-apa.”
“Kenapa Paman?”
“Kita beristirahat. Kita melihat saja keadaan di hutan ini. Meskipun kalian telah cukup lama ada di sini, tetapi kalian tentu belum pernah melihat isinya sampai ke ujung.”
“Hutan ini amat luas.”
“Tidak. Hutan ini adalah hutan kecil. Tetapi jika kalian tidak ingin menelusuri sampai ke ujung, baiklah kita kembali saja ke padepokan.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka sama sekali tidak mengerti. Kenapa mereka tidak berbuat apa-apa sama sekali. Adalah di luar kebiasaan, bahwa mereka tanpa sebab tidak melakukan latihan apapun juga. Tetapi keduanya tidak membantah. Mereka mengikuti saja kembali ke padepokan tanpa melakukan apa-apa.
Lembu Ampal termangu-mangu melihat ketiga orang itu pergi. Sejenak ia berpikir. Tetapi ia tidak mengetahui apa yang sebenarnya telah dilakukan oleh ketiganya. “Aku terlampau bodoh,” berkata Lembu Ampal agak menyesal, “jika aku tidak dipengaruhi oleh keinginanku untuk mengetahui apa saja yang mereka lakukan, maka aku sudah berhasil membunuh mereka dan membawa bukti kematian mereka menghadap Tuanku Tohjaya. Dan besok aku sudah diperkenankan memakai pakaian kebesaranku dengan segenap kehormatan.”
Namun demikian Lembu Ampal tidak kehabisan akal. Ia yakin, bahwa anak-anak itu akan datang kembali. Atau setidak-tidaknya ia akan mendapat kesempatan yang lain. Dengan demikian, maka Lembu Ampal pun masih tetap menunggu. Jika sekali lagi anak-anak itu pergi ke hutan, maka mereka tentu akan segera disergapnya. Di hari berikutnya, Lembu Ampal sudah mengawasi padepokan itu dari kejauhan. Hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat beberapa orang keluar dari padepokan itu pergi ke sawah. Ia mengharap bahwa kedua anak-anak itu akan ada pula di antara mereka. Tetapi ia menjadi kecewa. Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak beserta dengan orang-orang yang akan pergi ke sawah itu.
“Apakah anak-anak itu akan pergi ke hutan lagi?” Dengan sabar Lembu Ampal menunggu. Ia selalu mengawasi mulut padepokan itu. Sekejap pun ia tidak melewatkannya. Setiap orang yang keluar dari padepokan tidak terlepas dari pengawasannya. Tetapi kedua anak-anak itu masih belum dilihatnya.
“Apakah aku harus menyerbu masuk ke padepokan itu dan langsung membunuhnya di sana?” ia bertanya kepada diri sendiri.
“Biarlah. Aku akan menunggu sampai lewat tengah hari. Jika sampai lewat tengah hari kedua anak-anak itu belum juga keluar, maka aku akan memasuki padepokan itu. Aku tidak peduli, bahwa penduduknya akan menjadi ketakutan.”
Namun ternyata Lembu Ampal tidak perlu menunggu sampai lewat tengah hari. Tiba-tiba saja ia melihat kedua anak muda itu berlari-lari. Di belakangnya orang yang dilihatnya kemarin menyertai anak-anak muda itu ke hutan, berjalan pula di belakangnya.
“Jangan berlari-lari,” berkata orang yang mengikutinya itu, “kita pergi ke hutan. Jika aku tidak meleset, aku akan mencari seseorang untuk menjadi kawan kita berlatih hari ini.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka menjadi heran. Sehingga Ranggawuni pun bertanya, “Siapa Paman?”
“Nanti aku akan memberitahukan.”
Keduanya tidak mendesaknya lagi meskipun mereka masih tetap ingin tahu. Pamannya itu tentu tidak akan mau memberitahukan sampai saat yang dikehendakinya.
Dalam pada itu Lembu Ampal menjadi semakin berdebar-debar. Kedua anak-anak itu benar-benar pergi ke hutan seperti dilihatnya kemarin. “Aku tidak peduli apa saja yang dilakukannya Aku ingin membunuhnya sekarang.”
Dengan demikian maka Lembu Ampal pun merayap mengikuti Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Ia berlindung dan balik sebatang pohon ke sebatang pohon yang lain, sehingga akhirnya ia melihat Ranggawuni dan Mahisa Cempaka berhenti di sebuah tempat terbuka yang agak luas. “Apakah yang akan mereka lakukan?” bertanya Lembu Ampal kepada diri sendiri.
Sejenak Lembu Ampal menunggu sambil berlindung di sebuah gerumbul yang agak lebat. Dari tempatnya ia dapat melihat tiga orang yang berada di tempat yang terbuka itu. Tetapi Lembu Ampal tidak melihat mereka berbuat sesuatu. Mereka bertiga pun kemudian duduk berhadapan sambil berbicara. Tetapi Lembu Ampal tidak dapat mendengar pembicaraan mereka dari tempatnya bersembunyi.
“Gila!” desis Lembu Ampal, “Aku tidak peduli. Sudah saatnya aku bertindak. Besok aku tentu akan disambut dengan penuh kehormatan di Singasari.”
Lembu Ampal telah benar-benar melupakan penyesalan yang pernah mencengkam hatinya, seakan-akan ia merasa telah dikejar oleh perasaan berdosa, sehingga tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi baginya. Namun ketika kedua orang anak-anak muda itu telah berada di depan hidungnya, maka semuanya itu tidak lagi membekas di dadanya. Sejenak Lembu Ampal menunggu. Tetapi karena ketiganya masih saja duduk sambil berbicara perlahan-lahan, maka ia menjadi tidak bersabar lagi. Karena itu, maka ia pun segera bersiap untuk menerkam Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Sementara itu, Ranggawuni dan Mahisa Cempaka masih saja duduk tanpa mengetahui bahaya yang mengancamnya. Bahkan Ranggawuni pun kemudian bertanya, “Paman, apakah kita hanya akan duduk diam saja?”
“Tunggulah sejenak. Aku sudah mendengar sesuatu.”
Ranggawuni menjadi heran. Dan Mahisa Cempaka pun bertanya, “Paman mendengar apa?”
“Seperti yang aku dengar kemarin. Desah nafas yang selalu mengikuti kita,” sejenak ia berhenti, lalu, “nah bersiaplah. Orang yang akan menemani kita latihan sudah siap untuk menjerang.”
Sekali lagi ia berhenti dan terdengarlah kemudian aba-aba dari mulutnya, “Cepat berdiri! Menghadap ke timur. Berpencaran dua langkah.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka sudah beberapa lama mengikuti latihan-latihan yang berat. Aba-aba semacam itu sudah sering didengarnya dan dilakukannya dengan baik. Demikian ketika mereka mendengar aba-aba itu, maka mereka pun dapat melakukannya dengan baik. Keduanya serentak meloncat berdiri, menghadap ke timur dan meloncat pula masing-masing dua langkah saling menjauhi.
Pada saat itulah Lembu Ampal meloncat dari persembunyiannya untuk menerkam anak-anak itu. Tetapi melihat sikap Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, Lembu Ampal terkejut bukan buatan, sehingga untuk beberapa saat ia berdiri termangu-mangu.
Dalam pada itu, Ranggawuni dan Mahisa Cempaka pun terkejut melihat seseorang yang meloncat dengan senjata telanjang di tangannya. Namun sesaat kemudian terdengar suara Ranggawuni, “Paman Lembu Ampal.”
Lembu Ampal tidak menjawab. Dipandanginya Ranggawuni dengan tajamnya. Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang sama sekali tidak tahu menahu tentang maksud Lembu Ampal itu pun kemudian melangkah mendekatinya. Mahisa Cempakalah yang kemudian bertanya,
“Paman, kenapa Paman berada di sini? Hampir aku tidak dapat mengenal Paman lagi. Keadaan Paman rasa-rasanya sudah sangat berubah. Wajah Paman ditumbuhi janggut dan kumis. Tetapi aku tidak lupa pada tatapan mata Paman yang tajam. Dan, yang membuat aku segera teringat akan Paman, adalah bentuk hidung Paman yang agak lain dari hidung kebanyakan orang. Mancung, dan sedikit melengkung.”
Mahisa Cempaka tertawa. Ranggawuni pun tertawa pula. “Apakah Paman memang mendapat perintah untuk mencariku? Kasihan. Paman tentu sudah berjalan sangat jauh, sehingga pakaian Paman sudah menjadi kumal. Bahkan sudah bukan pakaian seorang prajurit lagi,” berkata Ranggawuni kemudian.
Lembu Ampal tidak segera dapat menjawab. Dipandanginya kedua anak-anak muda yang nampaknya masih terlampau bening hatinya. Keduanya sama sekali tidak berprasangka apapun kepadanya. Namun demikian yang sangat mengherankan bagi Lembu Ampal, kenapa keduanya dengan cepat dapat mengenalinya. Meskipun hidungnya agak lain dari hidung kebanyakan orang, namun orang lain akan memerlukan waktu untuk dapat mengenalnya kembali.
“Ternyata keduanya memiliki kecerdasan ingatan yang luar biasa,” berkata Lembu Ampal di dalam hatinya.
“Paman,” desak Mahisa Cempaka, “kenapa Paman justru menjadi patung. Kami adalah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Apakah Paman lupa?”
“Tidak, tidak. Tuanku adalah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.”
“Nah, sekarang, aku ingin tahu, kenapa Paman ada di sini sekarang?”
Lembu Ampal tidak segera menjawab. Di dalam dadanya telah terjadi pergulatan yang sengit. Namun tiba-tiba ia menggeretakkan giginya sambil berkata di dalam hatinya, “Persetan! Bahwa aku bertemu dengan keduanya di sini adalah karunia. Agaknya waktu prihatin memang telah lampau, dan aku akan mendapat kesempatan untuk menikmati kebesaranku kembali.”
Karena Lembu Ampal tidak segera menjawab, maka Ranggawuni pun berkata pula, “Paman, siapakah yang memerintahkan Paman datang ke tempat ini? Barangkali mencari aku?”
Lembu Ampal menghentakkan tangannya. Ia tidak mau terpengaruh lagi. Ia harus membunuh keduanya. “Tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Sebenarnyalah bahwa hamba harus mencari Tuanku.”
“Oh,” desis Mahisa Cempaka, “Siapakah memerintahkan Paman kemari dan dari mana Paman tahu bahwa aku ada di sini?”
Lembu Ampal termangu-mangu sejenak, lalu, “Semua orang mencari Tuanku berdua. Terutama ibunda Tuanku. Hamba telah mendapat perintah dari ibunda Tuanku untuk mencari. Tidak seorang pun yang tahu bahwa Tuanku ada di sini. Karena itu, sebaiknya Tuanku segera kembali. Biarlah hamba mengantarkannya.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka termangu-mangu sejenak. Kemudian dipandanginya seorang yang berdiri sambil menyilangkan tangannya di dada.
“Paman, apakah benar Paman Lembu Ampal mendapat perintah dari Ibunda?”
Orang itu tersenyum. Katanya, “Ki Sanak. Baiklah aku memperkenalkan diri. Aku adalah penghuni padepokan ini. Dan dari kedua anak-anak muda ini aku mengenal namamu. Lembu Ampal.”
“Ya. Namaku Lembu Ampal,” sahut Lembu Ampal, “aku adalah seorang senapati. Kedua anak-anak muda ini tentu mengetahuinya.”
“Ya, keduanya sudah menyebut namamu dan jabatanmu. Mereka mengatakan bahwa Ki Sanak adalah seorang prajurit.”
“Karena itu, biarlah aku membawa keduanya.”
“Nanti dahulu. Jangan tergesa-gesa. Aku akan mempersilakan Ki Sanak singgah sebentar di padepokan. Biarlah aku membicarakannya dengan Kakang tentang kedua anak-anak muda ini. Aku kira, jika benar-benar kau mendapat perintah untuk mengambilnya, Kakang tidak akan berkeberatan.”
Lembu Ampal termangu-mangu sejenak. Namun rasa-rasanya ia selalu dikejar oleh waktu. Ia ingin cepat selesai dan kemudian cepat kembali ke Singasari. Karena itu maka ia pun menjawab, “Aku kira tidak perlu Ki Sanak. Aku tidak perlu singgah di padepokanmu. Aku minta diri untuk membawa kedua anak-anak ini.”
“Ah, kau aneh. Keduanya harus minta diri dahulu. Keduanya harus mempersiapkan diri dan pakaian mereka. Mereka tentu tidak akan dapat pergi begitu saja tanpa bekal apapun. Mungkin kita orang-orang tua tidak banyak terganggu perasaan lapar dan haus di perjalanan. Tetapi kanak-kanak?”
“Banyak minuman dan makanan di sepanjang jalan. Seperti saat ia pergi, maka keduanya pun tidak membawa bekal apa-apa sama sekali.”
“Oh. Tetapi, kenapa mereka harus kembali setelah mereka pergi dengan tergesa-gesa dan tanpa membawa apapun juga?”
“Itu bukan persoalanmu,” Lembu Ampal berhenti sejenak lalu, “sebaiknya kau tidak mempersoalkannya lagi. Aku akan membawa keduanya.”
“Aku tidak dapat melepaskan Ki Sanak. Aku adalah pemomongnya di sini.”
“Aku pemomongnya di istana.”
Tetapi tiba-tiba saja Ranggawuni berkata, “Ah. Paman bergurau. Bukankah Paman seorang senapati? Tentu bukan seorang pemomong di istana. Paman adalah pemomong sepasukan prajurit di medan perang.”
Wajah Lembu Ampal menegang. Namun jantungnya berdesir ketika ia melihat wajah Ranggawuni yang bersih bening. Kata-kata itu diucapkan tanpa prasangka apapun juga. Namun Lembu Ampal menghentakkan tangannya sambil berkata, “Aku tidak mempunyai banyak waktu. Minggirlah!”
Lalu katanya kepada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, “Marilah Tuanku berdua. Hamba akan membawa Tuanku kembali ke istana.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka menjadi termangu-mangu. Sementara itu orang setengah umur yang menyertainya berkata, “Kedua anak-anak itu sudah mengerti, apa yang akan terjadi atas dirinya jika mereka kembali ke istana. Itulah sebabnya keduanya melarikan diri. Bahkan sampai saat ini pun keduanya masih selalu dikejar-kejar.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Ki Sanak, kenapa kau mencari keduanya sampai ke tempat terpencil itu? Kenapa kau tidak membiarkannya hidup tenang di sini? Keduanya tidak mempunyai kesalahan apapun juga.”
Wajah Lembu Ampal menjadi tegang. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Jadi kau sudah mengetahui tentang kedua anak-anak itu, Ki Sanak? Kau mengetahui bahwa keduanya harus dibunuh?”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka terkejut mendengar pengakuan Lembu Ampal yang tiba-tiba. Meskipun mereka menyadari bahaya yang mengancam, tetapi mereka semula tidak menyangka bahwa Lembu Ampal yang datang dalam pakaian yang kumal dan wajah yang kehitam-hitaman dibakar oleh sinar matahari dan ditumbuhi oleh janggut dan kumis dengan tidak teratur itu adalah dalam rangkaian usaha pembunuhan itu pula.
“Baiklah aku tidak akan berbelit-belit lagi,” berkata Lembu Ampal, “aku minta kedua anak itu. Aku akan membunuhnya dan membawa bukti kematiannya kepada Tuanku Tohjaya.”
Orang yang mengawani kedua anak-anak muda itu justru tersenyum sambil berkata, “Sebaiknya kau berkata berterus terang. Tetapi aku kira kedua anak-anak muda itu tidak akan membiarkan dirinya terbunuh. Adalah haknya untuk membela diri mereka sendiri.”
Lembu Ampal menjadi tegang. Tetapi juga Ranggawuni dan Mahisa Cempaka menjadi tegang.
“Ki Sanak,” berkata orang yang bersama kedua anak-anak muda itu, “setiap makhluk hidup akan mempertahankan hidupnya secara naluriah. Seekor kelinci akan mencoba melarikan dirinya dari kuku-kuku anjing liar. Apalagi kedua anak-anak muda itu.”
“Aku tidak peduli!” teriak Lembu Ampal, “Membela diri atau tidak, keduanya akan aku bunuh.”
“Kami bertiga Ki Sanak. Kau hanya seorang diri.”
Lembu Ampal mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tertawa berkepanjangan. Katanya, “Apakah artinya kalian bertiga. Apa artinya Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Mungkin kau mempunyai sedikit kemampuan untuk mempertahankan diri beberapa saat. Namun keduanya tidak akan dapat membantumu.”
“Betapapun juga, kami akan bertahan. Jika perlu, aku akan berkelahi, sementara kedua anak-anak muda itu sempat melarikan dirinya.”
Sekali lagi Lembu Ampal tertawa. Katanya, “Setiap perlawanan akan membuat kalian bertiga semakin menderita menjelang hari-hari kematianmu.”
“Paman Lembu Ampal,” tiba-tiba saja Ranggawuni memotong, “aku tidak menyangka bahwa Paman adalah salah seorang dari mereka yang akan mencelakai aku. Tetapi sebenarnyalah bahwa kami tidak akan menyerah tanpa berbuat apa-apa.”
Dan tiba-tiba saja Mahisa Cempaka menyela sambil memandang kepada orang yang menyertainya, “Jadi orang inikah yang Paman maksudkan sebagai kawan berlatih?”
Orang itu tersenyum. Katanya, “Ya, inilah yang aku maksud.”
“Dari mana Paman tahu, bahwa ia berada di hutan ini?”
“Bukankah ia sendiri datang kepada kita?”
“Tetapi Paman tentu sudah tahu lebih dahulu. Sejak kita memasuki hutan ini, Paman sudah mengatakan bahwa Paman akan memberikan seorang kawan untuk berlatih.”
Lembu Ampal terkejut mendengar pembicaraan itu. Ternyata kedatangannya sudah diketahui terlebih dahulu. Dan itu sama sekali tidak diduganya. Karena itu ia menjadi ragu-ragu. Siapakah yang sudah melihatnya berkeliaran di padepokan ini? Tentu orang-orang dari istana pula. Tidak ada orang lain yang dengan mudah mengenalnya jika orang itu tidak mengenalnya sehari-hari
Namun dalam pada itu, sebelum ia sempat bertanya, Ranggawuni telah berkata, “Paman Lembu Ampal. Sebenarnyalah bahwa kedatangan Paman benar-benar membuat aku gembira. Kehadiran salah seorang yang aku kenal dari lingkungan istana memberikan sedikit obat kerinduan terhadap keluargaku. Tetapi ternyata kedatangan Paman justru sebaliknya.”
Ranggawuni berhenti sejenak, lalu, “Tetapi kami adalah anak-anak yang masih ingin hidup lebih lama lagi. Sudah tentu kami tidak akan menyerahkan leher kami, meskipun kepada Paman Lembu Ampal.”
Wajah Lembu Ampal menjadi merah. Anak-anak itu sudah berani menantangnya berkelahi. Mereka dengan berani menengadahkan wajah mereka memandang matanya. Mereka sama sekali tidak menjadi gemetar ketakutan. Harga diri Lembu Ampal sebagai seorang senapati telah tersinggung. Ia berkeinginan, bahwa kedua anak-anak itu merengek dan minta ampun. Jika demikian, barangkali hatinya akan menjadi luluh dan mengurungkan niatnya. Tetapi anak-anak itu sudah menantangnya dengan berani.
Karena itu, untuk menguatkan sikapnya, Lembu Ampal pun menggeram, “Kalian akan mati karena kesombongan kalian. Sebenarnya aku tidak sampai hati melakukannya. Tetapi karena kalian menjadi sombong, aku akan membunuhmu segera.”
Tiba-tiba saja Ranggawuni dan Mahisa Cempaka itu bergeser saling menjauhi. Bahkan Mahisa Cempaka yang nampaknya selalu tidak bersungguh-sungguh itu tertawa, “Kita benar-benar mendapat kawan berlatih yang baik sekali. Aku tahu, Paman Lembu Ampal adalah seorang senapati. Jika kami dapat, setidak-tidaknya bertahan untuk beberapa saat lamanya, maka kami sudah memiliki kebanggaan.”
Ranggawuni memandang adik sepupunya sejenak. Tetapi ia menyadari bahwa itu adalah kebiasaannya. Dalam pada itu kemarahan Lembu Ampal telah sampai ke puncaknya. Karena itu, ia sama sekali tidak mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain lagi kecuali membunuh kedua anak-anak itu, dan kemudian orang yang menyaksikan pembunuhan itu. Dengan demikian Lembu Ampal tidak berbicara terlalu banyak. Senjatanya masih berada di tangannya.
Sementara itu Mahisa Cempaka masih juga berkata, “Sekarang aku tahu, kenapa Paman membawa senjata telanjang. Aku sangka bahwa perjalanan Paman yang berat, atau barangkali keragu-raguan Paman terhadap kamilah yang memaksa Paman untuk bersiaga dengan senjata itu. Ternyata bahwa sebenarnya senjata itu akan disarungkan di dalam tubuh kami berdua.”
Lembu Ampal tidak menjawab lagi. Dihentakkannya kakinya untuk menghindarkan segala macam pertimbangan yang lain. Kemudian ia pun segera meloncat menyerang Mahisa Cempaka. Tetapi Mahisa Cempaka bukan anak-anak yang masih merengek dalam ketakutan melihat perang. Ia pun segera mengelak. Bahkan sekejap kemudian ia sudah menggenggam senjatanya pula. Senjata yang akan dipergunakannya untuk berlatih. Tetapi seperti yang diharapkannya, ia mendapat kawan berlatih yang lain dari biasanya.
Sementara itu, Ranggawuni pun telah siap pula dengan senjatanya pula. Sebuah pedang tipis seperti yang berada di dalam genggaman tangan Mahisa Cempaka. Sikap dan tandang kedua anak muda itu mengejutkan Lembu Ampal. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa keduanya sudah memiliki dasar-dasar olah kanuragan. Bahkan ternyata keduanya adalah anak yang lincah dan cekatan. Kemudian ia pun segera meloncat menyerang Mahisa Cempaka.
Sejenak kemudian maka Lembu Ampal sudah harus bertempur melayani kedua anak muda itu. Keduanya bertempur berpasangan. Dengan kemampuan yang sudah mereka miliki, maka mereka berusaha untuk mengurung Lembu Ampal dengan serangan-serangan yang tiada hentinya, agar Lembu Ampal tidak mempunyai banyak kesempatan.
Untuk beberapa saat Lembu Ampal hanya dapat menangkis dan menghindari serangan kedua anak-anak muda itu. Ia masih saja terheran-heran, bahwa dalam waktu yang singkat keduanya berhasil memiliki dasar-dasar olah kanuragan yang cukup. Tetapi sesaat kemudian Lembu Ampal segera dapat mengatur dirinya. Ia adalah seorang senapati besar di Singasari. Sehingga karena itu, maka ia pun akan dengan segera dapat mengatasi kedua lawannya.
Perlahan Lembu Ampal kemudian menemukan sikap yang mapan. Ia sudah berhasil menyingkirkan pengaruh perasaannya yang heran melihat kemampuan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Dengan demikian maka Lembu Ampal pun kemudian mulai mengatur serangan-serangannya terhadap kedua anak-anak muda yang berkelahi berpasangan itu.
Dengan segera nampak, bahwa Lembu Ampal memang bukan lawan kedua anak muda itu meskipun keduanya berkelahi bersama-sama. Dalam beberapa saat kemudian keduanya segera terdesak. Sekali-kali keduanya harus menghindari serangan ganda Lembu Ampal yang berbahaya. Bahkan kadang-kadang mereka harus berloncatan menjauh.
Ketika kemungkinan untuk bertahan kedua anak itu semakin pudar, terdengar suara Lembu Ampal, “Tidak ada gunanya lagi perlawanan Tuan. Sebentar lagi Tuan berdua akan mati terkapar di tanah. Sebaiknya Tuan berdua mengetahui, bahwa aku akan membawa bukti kematian Tuan berdua. Bukti yang paling dapat dipercaya adalah membawa kepala Tuan berdua menghadap Tuanku Tohjaya. Sebenarnyalah Tuanku Tohjaya menghendaki kematian Tuan berdua, karena Tuan berdua dapat membahayakan kedudukannya yang didapatkannya, dengan kekerasan, karena Tuanku Tohjaya telah membunuh Anusapati.”
Terasa bulu tengkuk Ranggawuni dan Mahisa Cempaka meremang. Rasa-rasanya leher mereka sudah mulai terasa dingin, seolah-olah mata pedang Lembu Ampal telah mulai menyentuhnya.
“Berhentilah berkelahi,” teriak Lembu Ampal, “berjongkoklah, agar aku dapat memenggal kepala Tuan dengan mudah. Jika Tuan berdua masih saja melawan, mungkin aku akan mengambil sikap lain, dan membunuh Tuan berdua dengan cara yang tentu tidak akan Tuan sukai.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak segera menjawab. Mereka masih sibuk membebaskan diri dari serangan Lembu Ampal yang bagaikan arus banjir bandang.
“Cepat, lemparkan senjata Tuan,” teriak Lembu Ampal.
Tetapi Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak melepaskan senjatanya. Mereka masih berusaha melawan dengan gigihnya. Lembu Ampal menjadi semakin marah, sehingga serangannya menjadi semakin berat. Katanya, “Tuan berdua memang sedang sekarat, tuan berdua memilih jalan yang pahit.”
“Kau akan dikutuk oleh rakyat Singasari,” teriak Ranggawuni kemudian, “kau pengkhianat seperti Pamanda Tohjaya. Kematian bukan lagi sesuatu yang menakutkan bagi kami.”
“Persetan!” bentak Lembu Ampal, “aku akan menyumpal mulutmu dengan ujung pedang.”
“Ki Sanak,” tiba-tiba orang yang selama itu menyaksikan perkelahian yang sengit itu berkata, “kau tidak akan dapat membunuhnya di hadapan seorang saksi. Aku adalah saksi yang dapat menceritakan apa yang telah terjadi di sini.”
“Kau pun harus mati.”
“Tidak. Aku tidak mau mati.”
Jawaban itu mengejutkan Lembu Ampal. Namun kemudian ia menggeram, “Aku akan membunuhmu.”
Tetapi orang itu tertawa. Katanya, “Tentu Ranggawuni dan Mahisa Cempaka masih senang melakukan latihan yang agak berat itu. Namun dengan demikian mereka dapat mengukur sampai di manakah sebenarnya kemampuan mereka.”
Kemarahan Lembu Ampal telah mendesak kedua anak muda itu sehingga keduanya seolah-olah hanya dapat berloncat-loncatan bergantian. Untuk mengurangi tekanan pada yang seorang, yang lain mencoba menyerang. Namun semua pasti, bahwa mereka tidak akan mampu menyelamatkan diri berdasarkan atas kemampuan mereka itu sendiri.
Karena itulah, maka orang yang menyertainya itu pun maju beberapa langkah sambil berkata, “Agaknya latihan untuk hari ini sudah cukup. Kawanmu berlatih masih terlampau berat bagimu berdua.” Kata-kata itu benar-benar tidak dapat dimengerti oleh Lembu Ampal. Yang terasa olehnya adalah suatu penghinaan yang tidak dapat dimaafkannya lagi.
Sementara itu, Ranggawuni dan Mahisa Cempaka pun berusaha untuk melepaskan diri dari lawannya. Tetapi Lembu Ampal yang dibakar oleh kemarahan yang menyala di dadanya itu tidak mau melepaskan kedua anak-anak itu sama sekali.
“Baiklah,” berkata orang yang menyertai Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, “jika kau tidak mau memberi kesempatan kedua anak-anak itu berhenti, aku akan memaksanya berhenti.”
Kata-kata itu memang mendebarkan jantung. Tetapi Lembu Ampal tidak segera percaya bahwa orang itu mampu melakukannya. Karena itu, ia masih memusatkan serangannya kepada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Keduanya harus mati. Dan bukti kematian keduanya akan membawanya kepada kedudukannya yang semula. Tetapi betapa ia terkejut ketika tiba-tiba saja ia bagaikan terbentur pada kekuatan yang tidak diduganya sama sekali.
Ketika pedangnya sedang memburu dan bahkan hampir saja mematuk tubuh Ranggawuni, terasa kekuatan yang luar biasa telah mendorong serangannya, sehingga serangannya itu pun terpotong karenanya. Bukan saja ia harus menarik senjatanya, namun terasa tangan dan lengannya menjadi sakit dan nyeri. Sesaat Lembu Ampal mematung. Dengan wajah tegang dipandanginya orang yang telah berdiri di hadapannya. Dan yang lebih menegangkan adalah kenyataan bahwa orang itu sama sekali tidak memegang senjata apapun.
“Dengan apa ia memotong serangan pedangku,” bertanya Lembu Ampal di dalam hatinya.
Orang yang berdiri di hadapan Lembu Ampal itu memandanginya dengan tajamnya. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Maaf Ki Sanak. Aku sudah mengatakan, jika kau tidak mau memberi kesempatan kedua anak muda itu berhenti, maka aku terpaksa menghentikanmu.”
Lembu Ampal masih berdiri tegak. Ia masih mencoba mencari senjata apakah yang telah membentur senjatanya. Namun Lembu Ampal tidak menemukannya.
“Nah, sekarang terserah kepadamu,” berkata orang itu, “apakah kau masih ingin melanjutkan latihan ini. Tetapi karena kedua anak muda itu sudah lelah, maka biarlah aku yang mengawanimu bermain pedang.”
“Persetan!” Lembu Ampal menggeram, “Kau mencoba untuk menunjukkan kelebihanmu. Tetapi jangan sangka bahwa kau dapat menakut-nakuti aku dengan caramu itu.”
“Oh,” orang itu tersenyum, “kenapa aku menakut-nakutimu? Aku tidak berbuat apa-apa.”
“Siapakah kau sebenarnya? bertanya Lembu Ampal.
“Aku salah seorang cantrik dari padepokan ini. Padepokan ini adakah padepokan Panji Pati-pati. Seorang prajurit Singasari yang berada di Kediri.”
“Bohong! Aku mengenal semua prajurit Singasari yang ada di Kediri.”
“Kecuali yang satu itu. Ia adalah seorang prajurit baru yang diangkat oleh Tuanku Mahisa Agni sebelum ia dipanggil menghadap ke Singasari. Sebelumnya ia adalah seorang yang sudah mengasingkan diri di padepokan ini. Kini pun ia seakan-akan berada di dua tempat. Kadang-kadang di padepokan ini, kadang-kadang ia pergi ke Kediri untuk melakukan kewajibannya di sana. Jika demikian, maka akulah yang diserahi untuk mengawani kedua anak-anak muda ini.”
“Siapa kau sebenarnya? Kau belum menjawab pertanyaanku.”
“Aku seorang cantrik dari padepokan ini. Aku adalah cantrik yang paling dungu, sehingga aku tidak dibebani pekerjaan lain kecuali bermain-main dengan keduanya.”
“Cukup! Kau jangan mengigau. Apakah kau tidak berani menyebut namamu sendiri sehingga kau tidak menjawab pertanyaanku. Aku bukan anak-anak yang dapat kau tipu. Kau sebut bahwa kau adalah cantrik yang paling dungu, agar aku membayangkan bahwa ada orang yang lebih baik dari kau. Apalagi gurunya itu adalah cara yang licik dan tidak masuk akalku.”
Orang itu menarik nafas dalam. Lalu, “Kau memang cerdas. Pantas kau mendapat tugas untuk membunuh kedua anak muda itu. Baiklah. Aku memang bukan cantrik yang paling dungu. Tetapi bahwa Panji Pati-pati sekarang tidak ada di padepokan itu benar. Ia memang sedang pergi ke Kediri seperti yang dilakukannya setiap kali. Tetapi karena ia sudah beberapa hari pergi, menurut rencananya, hari ini ia akan kembali.”
“Aku bertanya namamu.”
“Oh. Baiklah. Namaku Mahendra.”
“Mahendra. Apa hubunganmu dengan kedua anak muda itu?”
“Kita adalah sesama. Kita sama-sama dilahirkan oleh kuasa Yang Maha Pencipta. Seperti juga kau.”
“Jadi?”
“Kita wajib tolong menolong. Itulah hubungannya.”
Lembu Ampal menggeretakkan giginya. Kemudian dengan marahnya ia berkata, “Mahendra. Jika kau keras untuk melindungi kedua anak muda itu. maka aku akan membunuhmu. Aku sudah bertekad melakukan tugasku sebaik-baiknya.
“Kau memang akan membunuh aku. Jika aku tidak berbuat apa-apa pun kau sudah berniat membunuhku juga, karena aku akan dapat menjadi saksi di dalam pembunuhan ini. Karena itu, daripada aku bersalah terhadap kewajibanku bagi sesama, maka sebaiknya aku mencoba untuk mengurungkan niatmu.”
Lembu Ampal menjadi tidak sabar lagi. Sambil beringsut setapak mendekat ia berkata, “Jika demikian, kau yang harus aku bunuh lebih dahulu. Kemudian membunuh kedua kelinci itu tidak akan ada sulitnya.”
“Jika aku tidak mampu melawan kau seorang diri, kami akan bertempur bertiga. Agaknya kedua anak muda itu akan berpengaruh juga atas perkelahian kita, setelah ternyata mereka mempertahankan diri mereka untuk beberapa saat lamanya.”
Lembu Ampal tidak menjawab lagi. Ia pun kemudian mempersiapkan dirinya. Selangkah ia maju lagi. Pedangnya pun kemudian mulai merunduk. Tetapi hatinya menjadi berdebar-debar melihat orang yang menyebut dirinya bernama Mahendra itu masih tetap berdiri di tempatnya tanpa memegang senjata apapun. Dengan demikian Lembu Ampal menduga, bahwa orang itu memang merasa dirinya memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi daripadanya.
Namun Lembu Ampal tidak yakin. Ia adalah seorang senapati kepercayaan Tohjaya. Hanya Mahisa Agnilah orang yang pantas disegani di Singasari sepeninggal Anusapati dan Sri Rajasa. Tetapi orang itu agaknya terlampau yakin akan dirinya sendiri. Meskipun demikian. Lembu Ampal masih juga menggeram, “Cepat, ambil senjatamu!”
Mahendra tertawa. Katanya, “Aku tidak membawa senjata apapun, karena aku memang tidak berniat untuk berkelahi.”
“Ambil senjata anak-anak itu.”
“Biarlah mereka memegang senjata masing-masing. Mereka harus tetap waspada karena merekalah yang sebenarnya menjadi sasaranmu saat ini.”
Lembu Ampal menggeretakkan giginya. Sejenak ia memandang wajah Mahendra yang masih tetap tenang. Katanya dengan nada yang dalam, “Jika kau mati, itu adalah akibat dari kesombonganmu.”
Mahendra tidak menjawab. Tetapi ia sudah siap menghadapi setiap kemungkinan, meskipun nampaknya ia masih berdiri saja di tempatnya. Lembu Ampal yang sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi itu pun mulai menjulurkan pedangnya. Sambil menggerakkan ujung pedang itu, ia pun mulai bergeser. Mahendra merendahkan tubuhnya sedikit. Ia menghadap ke mana saja Lembu Ampal bergerak. Namun tiba-tiba saja Lembu Ampal yang marah itu meloncat menyerang. Pedangnya tidak saja mematuk lawannya, tetapi pedang itu kemudian telah terayun mendatar menyambar leher Mahendra.
Mahendra yang sudah siap menghadapi kemungkinan itu, meloncat surut sambil merendahkan tubuhnya sehingga pedang itu terbang hanya sejengkal di atas kepalanya. Namun dalam pada itu. selagi tangan Lembu Ampal masih terayun. Mahendra dengan cepatnya memiringkan tubuhnya. Diangkatnya sebelah kakinya menyambar lambung lawannya. Lembu Ampal masih sempat melihat serangan itu. Ia tidak menahan tangannya. Tetapi ia justru berputar setengah lingkaran dan kemudian berdiri tegak di atas kedua kakinya yang renggang sambil menyilangkan pedang di dadanya.
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Lembu Ampal cukup cekatan. Tetapi yang dilakukan oleh Mahendra adalah sekedar peringatan bagi lawannya, bahwa serangan yang tergesa-gesa itu sama sekali tidak akan dapat mengenai sasarannya. Namun bagi Lembu Ampal, peringatan itu terasa mendebarkan jantungnya. Sejak semula ia sudah tergetar melihat sikap Mahendra. Dan ternyata Mahendra itu mampu bergerak lebih cepat dari ayunan pedangnya.
Meskipun demikian, Lembu Ampal tidak segera terpengaruh. Sekali lagi bersiap. Pedangnya kini bergerak lebih cepat. Seolah-olah pedang itu akan mematuk dari segala arah. Mahendra bergerak selangkah. Dengan tajamnya ia memandang lawannya. Tidak pada ujung pedangnya, tetapi pada matanya.
Dalam pada itu, Ranggawuni dan Mahisa Cempaka memperhatikan perkelahian itu dengan seksama. Kadang-kadang mereka menjadi cemas. Namun kadang-kadang mereka tersenyum.
Ketika perkelahian itu kemudian berlangsung pula dan menjadi semakin sengit, keduanya benar-benar terpukau. Serangan-serangan Lembu Ampal dengan pedangnya meluncur bagaikan angin pusaran. Ujung pedangnya mematuk dari segala arah dan kemudian menyambar dengan dahsyatnya. Namun lawannya mampu mengimbangi kecepatan bergerak Lembu Ampal. Bahkan kadang-kadang Mahendra berhasil mendahuluinya.
Selagi Lembu Ampal mengangkat pedangnya, tiba-tiba saja terasa lambungnya terdorong dengan kuatnya, sehingga hampir saja ia kehilangan keseimbangan. Ternyata Mahendra mempergunakan saat itu dengan tepat, dan kakinya meluncur dengan derasnya menyambar tubuh lawannya. Pada saat-saat berikutnya, agaknya Mahendra sudah mulai menekan lawannya. Perkelahian itu mulai nampak berat sebelah. Meskipun Mahendra tidak bersenjata, tetapi ia mampu menguasai Lembu Ampal yang bagaikan kehilangan akal. Pedangnya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Namun semakin lama justru semakin kehilangan arah.
“Gila!” Lembu Ampal mengumpat di dalam hati, “Setan manakah yang menyusup pada orang ini, sehingga ia mampu bergerak secepat burung sikatan.”
Tetapi Lembu Ampal tidak sempat berangan-angan terlalu lama. Setiap kali tangan dan kaki lawannya telah menyentuh tubuhnya. Semakin lama semakin keras, sehingga tubuhnya terasa semakin sakit dan nyeri. Namun Lembu Ampal, adalah seorang senapati. Ia tidak mau menyerah pada keadaan yang sedang dihadapinya. Ia masih melawan dengan gigihnya. Segala ilmu yang ada pada dirinya diperasnya sampai tuntas.
Namun Lembu Ampal tidak berhasil mempertahankan dirinya lebih lama lagi. Ia menjadi semakin terdesak. Tubuhnya menjadi semakin lemah. Ketika ia sempat melihat kedua anak muda yang berada di luar lingkaran perkelahian, hatinya menjadi berdebar-debar. Keduanya melonjak-lonjak kegirangan seperti sedang melihat ayam aduannya menang di arena.
Bahkan Mahisa Cempaka mengacu-acukan senjatanya sambil berteriak, “Ayo Paman. Tangkap saja. Nanti aku akan mencabuti kumis dan janggutnya.”
Lembu Ampal menjadi semakin marah. Tetapi ia pun menyadari bahwa tubuhnya menjadi semakin lemah. Perlawanannya menjadi semakin tidak berarti. Apalagi ketika ia sadar pula, bahwa lawannya masih tetap segar meskipun ia tidak bersenjata. Bagaimanapun juga, sebagai seorang yang berpengalaman Lembu Ampal harus melihat kenyataan itu, bahwa lawannya benar-benar seorang yang mumpuni di dalam olah kanuragan.
“Aku tidak menyangka, bahwa di padepokan kecil ini masih ada orang yang mempunyai kemampuan bertempur demikian tinggi. Hampir seperti Mahisa Agni,” gumam Lembu Ampal di dalam hatinya. Meskipun Lembu Ampal benar-benar pantang menyerah, tetapi perlawanannya sudah tidak berarti sama sekali. Pedangnya hampir tidak lagi dapat diayunkannya, karena tangannya menjadi sangat lemah, seolah-olah telah kehilangan tulang-tulangnya sama sekali.
Karena itu, ketika Mahendra menyerangnya mendatar dengan kakinya, Lembu Ampal yang sudah lemah itu tidak berhasil menghindarkan diri. Ia mencoba melindungi dirinya dengan menjulurkan pedangnya. Tetapi serangan mendatar itu tiba-tiba saja diurungkannya, ketika Mahendra melihat pedang itu masih mampu bergerak. Namun dengan sebuah loncatan, Mahendra tiba-tiba saja sudah berdiri di sebelah lawannya. Dengan tangannya, Mahendra memukul tengkuk Lembu Ampal.
Lembu Ampal yang memang sudah kehilangan tenaga itu terdorong beberapa langkah. Rasa-rasanya tengkuknya bagaikan menjadi patah. Sejenak ia kehilangan keseimbangan, dan matanya menjadi berkunang-kunang. Lembu Ampal tidak dapat bertahan untuk berdiri. Tiba-tiba ia sudah terhuyung-huyung dan jatuh tertelungkup. Untunglah bahwa ia masih sadar, bahwa pedangnya akan dapat melukai tubuhnya sendiri, sehingga ia dapat menjulurkan pedangnya ke samping
Meskipun demikian Lembu Ampal tidak menyerah dan pasrah. Ia masih mencoba untuk bangkit berdiri. Tetapi tenaganya benar-benar telah sampai pada batas kemungkinannya. Sehingga meskipun ia berhasil bangkit dan berjongkok pada lututnya, namun Lembu Ampal sudah tidak dapat berdiri lagi meskipun ia bertelekan pada pedangnya. Dengan nafas terengah-engah ia melihat Mahendra berdiri tegak di hadapannya. Dengan sorot mata yang bagaikan menusuk langsung ke pusat jantungnya.
Mahendra memandang tubuh Lembu Ampal yang sudah tidak bertenaga lagi itu. “Nah, apakah kau masih akan melawan?” bertanya Mahendra.
Lembu Ampal memandang Mahendra sekilas. Kemudian ditatapnya wajah kedua anak-anak yang sudah berada di belakang Mahendra. Tetapi wajah anak-anak muda itu sudah berubah. Meskipun mereka masih menggenggam senjata, tetapi mereka tidak lagi bersorak-sorak dan berloncat-loncatan. Wajah mereka kini menjadi bersungguh-sungguh.
Lembu Ampal yang belum berhasil berdiri itu kemudian menggeram, “Aku akan membunuh mereka.”
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Jika kau seorang jantan, kau tentu mengakui bahwa kau tidak dapat memenangkan perkelahian ini. Apalagi sekarang kau sudah kehilangan segenap kekuatanmu. Berdiri pun kau sudah tidak mampu lagi. Jika aku berniat membunuhmu, maka aku akan dapat melakukannya dengan mudah.”
“Bunuhlah jika kau memang mampu melakukannya. Mati adalah kemungkinan yang sudah disadari akan terjadi atas seorang prajurit yang menjalankan tugasnya.”
“Jadi kau benar-benar tidak mau menyadari kekalahanmu dan kesalahanmu?”
“Aku tidak bersalah. Aku menjalankan tugas.”
“Kau yakin bahwa tugas yang dibebankan kepadamu itu benar?”
“Itu bukan urusanku.”
“Itulah kebodohanmu. Dan kebodohan seperti itulah yang dapat menjerumuskan Singasari ke dalam bencana.”
“Persetan! Kau bukan pemimpinku. Kau tidak dapat memberikan perintah kepadaku,” nafas Lembu Ampal bagaikan terputus, lalu, “cepat, kalau kau akan membunuhku lakukanlah.”
Mahendra berdiri termangu-mangu. Tetapi ia tidak segera berbuat sesuatu.
“Cepat!” Lembu Ampal berteriak, “Apakah kau ingin berbangga menikmati kemenanganmu berlama-lama?”
Mahendra mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia berbuat sesuatu, terdengar suara Ranggawuni, “Paman. Apakah Paman akan membunuh Paman Lembu Ampal?”
Mahendra berpaling. Tetapi ia tidak segera menjawab. “Apakah Paman dapat membiarkannya hidup?” desak Ranggawuni.
Mahendra masih berdiam diri. Tetapi kerut-merut di keningnya menjadi semakin dalam.
“Jika kau membiarkan aku hidup, pada suatu saat aku akan membunuh anak-anak itu,” teriak Lembu Ampal yang merasa terhina.
Tetapi Mahisa Cempaka seolah-olah tidak mendengarnya dan berkata, “Jangan dibunuh, Paman. Paman Lembu Ampal sehari-hari adalah orang yang baik. Ia hanya sekedar menjalankan tugas seperti yang dikatakannya.”
Mahendra masih berdiri termangu-mangu. Sebenarnya bahwa ia memang tidak ingin segera mengambil keputusan untuk membunuh Lembu Ampal. Karena itu ia masih saja berdiri termangu-mangu. Namun demikian sikap kedua anak-anak itu telah membuatnya menjadi heran. Anak-anak yang melonjak-lonjak melihat perkelahian yang terjadi itu karena mereka melihat kemenangan Mahendra, tiba-tiba dapat berpikir dengan sungguh-sungguh, dan bahkan menyatakan keberatannya apabila Lembu Ampal dibunuhnya.
Ternyata bukan saja Mahendra, tetapi Lembu Ampal sendiri menjadi bingung menanggapi sikap kedua anak-anak itu. Dorongan apakah yang telah membuat kedua anak-anak itu menjadi demikian sabar dan bahkan terasa agung. “Apakah memang sudah ada sifat-sifat itu di dalam diri mereka berdua?” bertanya Lembu Ampal kepada diri sendiri, “sehingga mereka benar-benar akan menjadi orang yang berjiwa besar dan pengampun.” Pertanyaan itulah yang kemudian membuat Lembu Ampal menjadi ragu-ragu untuk meneriakkan harga dirinya. Mulutnya yang sudah hampir terbuka dan mengumpat, tiba-tiba telah terkatup lagi.
“Ranggawuni dan Mahisa Cempaka,” Mahendralah yang kemudian berbicara, “kau sudah melihat sendiri apa yang terjadi. Kau sudah menyaksikan sikap dan tekad Lembu Ampal. Meskipun demikian, aku tidak akan mengambil keputusan. Kalian berdualah yang pantas menentukan, apakah yang sebaiknya diperbuat atas orang ini.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka menjadi termangu-mangu. Sesaat mereka menatap wajah Lembu Ampal. Namun wajah itu telah berubah. Wajah itu tidak lagi memancarkan kebencian dan dendam.
Sebenarnyalah di dalam diri Lembu Ampal telah terjadi pergolakan. Sekilas ia teringat kepada sikap pendeta istana yang bersedia mengalami apapun untuk keselamatan kedua anak-anak muda itu. Bahkan ia sendiri telah dicengkam deh keraguan sehingga keduanya mendapat kesempatan untuk melarikan diri sampai ke padepokan ini. Apalagi selama pengembaraannya, Lembu Ampal seakan-akan menemukan jalan yang lurus mendekati Yang Maha Agung. Tetapi ternyata ketika ia melihat kedua anak-anak itu nafsunya telah melonjak kembali untuk mendapatkan kamukten. Tetapi sekedar kamukten duniawi.
Meskipun demikian, sepercik harga diri masih terloncat dari bibirnya meskipun dengan nada yang datar dan dalam, “Kenapa Tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak mengambil keputusan untuk membunuhku? Bukankah aku sudah berniat untuk membunuh Tuanku berdua?”
Namun terasa bahwa nada kata-kata Lembu Ampal telah berubah. Apalagi bagi Mahendra. Ketajaman inderanya segera menangkap geseran perasaan Lembu Ampal yang masih berdiri pada lututnya dan bertelekan pedangnya. Sejenak orang-orang yang masih belum beranjak dari tempatnya itu saling berdiam diri. Tetapi Lembu Ampal sudah tidak lagi menengadahkan dadanya. Perlahan-lahan kepalanya menjadi tunduk.
Lembu Ampal sama sekali tidak menjadi cemas atas keselamatannya. Ia sama sekali tidak takut ujung pedang lawannya. Tetapi justru kebesaran jiwa kedua anak muda itu telah membuat hatinya menjadi luluh. Kedua anak muda yang sadar bahwa mereka akan dibunuh olehnya karena perintah Tohjaya yang tidak mau melihat keduanya menjadi dewasa penuh dan berpengaruh atas rakyat Singasari karena nama-nama orang tua mereka.
“Kenapa mereka tidak berniat untuk membunuhku saja,” ia mengeluh di dalam hatinya, “sikap itu sangat menyiksaku. Apalagi jika Lembu Ampal mengenang perkembangan sikapnya sendiri. Penyesalan yang mendalam mulai merayapi hatinya. Ia sudah hampir menemukan jalan yang benar. Tetapi kenapa ia tiba-tiba telah terjerumus kembali ke dalam ketamakan dan nafsu kebendaan semata-mata.
Dalam kebimbangan itu kemudian terdengar Mahendra berkata, “Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Ambil suatu sikap. Aku akan mematuhinya.”
Ranggawuni memandang Mahendra sejenak, lalu dipandanginya Lembu Ampal yang tunduk. Katanya kemudian, “Paman. Apakah Paman dapat memaafkannya? Barangkali Paman Lembu Ampal dapat melepaskan diri dari tugasnya. Aku kira Paman Lembu Ampal sendiri tidak mempunyai kepentingan apapun untuk membunuhku.”
Mahendra menarik nafas. Katanya, “Jika itu keputusanmu aku tidak berkeberatan. Terserah kepada Lembu Ampal sendiri. Apakah ia dapat berbuat demikian?”
Ranggawuni memandang Lembu Ampal yang masih tunduk. Namun sebelum ia berkata sesuatu, Mahisa Cempaka sudah mendahuluinya hampir di luar sadarnya, “Selama Paman Lembu Ampal masih terikat kepada pengabdiannya kepada Pamanda Tohjaya, maka Paman Lembu Ampal tentu akan tetap melakukan tugasnya. Karena itu, bagaimana jika Paman Lembu Ampal tidak usah kembali ke istana Singasari? Kita bertiga akan menjadi orang-orang buruan yang dengan aman bersembunyi di padepokan ini. Paman pun harus tetap bersembunyi jika Paman tidak berhasil melakukan tugas Paman sebaik-baiknya. Tetapi menurut pendapatku, hidup di padepokan yang tenang dan tenteram ini jauh lebih baik dari mati atau harus dikejar oleh dosa sendiri karena telah melakukan pembunuhan tanpa arti.”
Lembu Ampal menjadi semakin tunduk. Sama sekali tidak terlintas di dalam pikirannya, bahwa anak muda itu mampu berpikir sedemikian jauh dan jernih. Tetapi Lembu Ampal tidak dapat segera menjawab. Terasa sesuatu berbenturan di dalam dadanya. Harga diri, penyesalan, kecurigaan dan campur baurnya kecemasan dan ketakutan atas dosa. yang akan mengejarnya.
Dalam pada itu, Mahendra pun kemudian berkata, “Ki Sanak, kau sudah mendengar pendapat kedua anak-anak muda itu. Cobalah meyakini bahwa kata-katanya bukan sekedar tata krama. Tetapi menurut anggapanku, yang dikatakan oleh Ranggawuni itu adalah kata hati nuraninya. Apakah kau merasakannya Ki Sanak?”
Lembu Ampal tidak segera menjawab.
“Kenapa kau masih tetap diam saja? Apakah kau masih dibayangi oleh kecurigaan?”
Lembu Ampal mengangkat wajahnya. Sekali lagi ia mencoba berdiri bertelekan pedangnya. Dan kali ini ia berhasil. Mahendra memandang Lembu Ampal dengan ragu. Tetapi nampak bahwa ia telah mempersiapkan dirinya pula. Sesaat mereka diam dalam ketegangan. Ranggawuni dan Mahisa Cempaka pun menjadi tegang pula. Mereka memandang Mahendra dan Lembu Ampal berganti-ganti.
Namun tiba-tiba mereka melihat Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Dengan dada yang berdebar-debar mereka melihat pula Lembu Ampal mengangkat pedangnya di hadapan wajahnya. Namun kemudian nafas mereka pun bagaikan terhenti ketika mereka melihat Lembu Ampal justru melemparkan senjatanya sambil berkata, “Tuanku berdua. Betapa besar jiwa Tuanku berdua. Adalah pertanda kasih Yang Maha Agung, bahwa di dalam usia Tuanku yang masih semuda itu, Tuanku telah mempertimbangkan untuk memberikan maaf terhadap orang yang sudah bertekad untuk membunuh Tuanku.”
Mahendra memandang Lembu Ampal sejenak. Seakan-akan ia ingin meyakinkan sikap orang itu. Namun kemudian ia melangkah maju sambil berkata, “Terpujilah kebesaran jiwamu Ki Sanak. Ternyata kau benar-benar seorang senapati yang memiliki sikap sebenarnya jantan. Sikap jantan bukan berarti membunuh dirinya sendiri di peperangan karena putus asa. Tetapi berani melihat kenyataan dan mengakui kebenaran. Dan Ki Sanak sudah melakukannya.”
“Sebutan itu tidak sepantasnya bagiku. Aku memang seorang pengecut yang tidak berani mempertanggungjawabkan sikap dan perbuatanku. Itulah sebabnya maka aku mohon maaf kepadamu Ki Sanak. Dan kepada kedua anak muda yang mulia itu.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka pun kemudian melangkah maju. Dengan wajah yang bening keduanya memandang Lembu Ampal yang tiba-tiba saja bersujud di hadapan mereka. “Kau kenapa Paman?” bertanya Ranggawuni, “Berdirilah! Tidak pantas kau berlutut di hadapanku.”
“Tuanku. Ternyata selama ini aku telah tersesat. Aku adalah salah seorang yang telah mendukung usaha Tuanku Tohjaya untuk menduduki tahta. Dan setiap orang sebenarnya tahu apa yang sudah dilakukannya atas Tuanku Anusapati, ayahanda Tuanku Ranggawuni. Namun demikian, karena kebohongannya yang cukup besar, dan seolah-olah tanpa malu-malu memaksakan kenyataan yang palsu, Tuanku Tohjaya berhasil mempertahankan kedudukannya di atas tahta Singasari. Dan aku adalah salah seorang yang telah melibatkan diri di dalamnya.”
“Sudahlah,” potong Mahendra, “penyesalanmu adalah sebagian dari kebenaran yang sudah kau akui.”
Lembu Ampal memandang Mahendra sejenak, lalu sambil menundukkan kepalanya ia berkata, “Aku sudah tidak berhak lagi mengatakan tentang kebenaran.”
“Ah, tentu kau tetap berhak. Justru kau sudah menemukan kebenaran itu. Karena itu tangkaplah, dan peganglah dengan teguh, agar kebenaran itu tidak terlepas lagi dari tanganmu.”
Lembu Ampal termenung sejenak. Tetapi seakan-akan nampak di rongga matanya, bahwa sebenarnyalah ia telah berhasil menangkap kebenaran itu meskipun tidak seutuhnya. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Mahendra, kebenaran itu memang sudah lepas lagi dari tangannya, justru ketika ia bertemu dengan kedua anak muda itu. Nafsunya telah membakar jantungnya. Ia masih disilaukan oleh kedudukan yang memberikan banyak keuntungan jasmaniah, sehingga ia telah terperosok kembali ke dalam niat jahatnya.
“Aku harus mengucapkan syukur, bahwa Ki Sanak berada di sini,” tiba-tiba saja suara Lembu Ampal bagaikan melingkar di dalam dadanya saja.
“Kenapa?” bertanya Mahendra.
“Ki Sanak telah melepaskan aku dari kejaran dosa dan penyesalan. Jika Ki Sanak tidak ada di sini, sehingga aku mendapat kesempatan untuk membunuh Tuanku berdua, maka hidupku untuk selamanya tidak akan mengalami ketenteraman dan kedamaian.”
“Bersukurlah kepada Penciptamu.”
“Ya, Ki Sanak. Aku bersukur kepada Yang Maha Agung.” Lembu Ampal berhenti sejenak, lalu, “Tetapi kemudian apakah yang patut aku lakukan?”
“Tidak ada yang harus kau lakukan selain selalu ingat akan penyesalan ini.”
“Mungkin aku harus menebus kesalahanku sekarang ini?”
“Aku tidak mengerti,” sahut Ranggawuni.
“Hutang harus dibayar. Hutang pati harus dibayar dengan jiwanya pula.”
“Maksudmu?”
“Tuanku Tohjaya telah berhutang jiwa.”
Ranggawuni mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya ia berpaling memandang Mahisa Cempaka yang termangu-mangu. Dan Lembu Ampal pun berkata pula, “Tuanku, berilah aku perintah. Aku akan melakukan apa saja. Seandainya Tuanku memerintahkan aku untuk membunuh Tuanku Tohjaya, maka aku akan melakukannya juga.”
“Ah,” Ranggawuni berdesah.
Mahendra menjadi berdebar-debar. Tetapi ia tidak menyahut, ia ingin mendengar jawaban yang meloncat dari mulut Ranggawuni sendiri. Agaknya pertanyaan Lembu Ampal itu di luar sadarnya telah menjajaki watak dan sifat Ranggawuni.
Sejenak kemudian Ranggawuni pun menjawab, “Paman Lembu Ampal. Jika hutang jiwa harus dibayar dengan jiwa maka kematian akan disusul dengan kematian. Setiap dendam akan menuntut. Dan dendam itu sendiri akan berkembang sejalan dengan perkembangan manusia. Tetapi akhirnya manusia akan lenyap ditelan oleh dendam mereka sendiri.”
Lembu Ampal bergeser selangkah, lalu, “Jadi maksud Tuanku?”
“Biarlah yang sudah terjadi. Aku merasa mendapat kedamaian hati di padepokan ini.”
Lembu Ampal yang berlutut itu pun kemudian menundukkan kepalanya dalam-dalam hampir menyentuh tanah. Katanya, “Tuanku memang berbudi luhur. Namun Tuanku harus mempertimbangkan. Bahkan Tuanku mempunyai kewajiban seorang kesatria. Tuanku tidak akan dapat membiarkan kebatilan terjadi dan berkembang.”
“Paman Lembu Ampal. Aku belum berbicara mengenai Singasari. Akan tetapi aku tidak sependapat, bahwa dendam harus dipelihara di dalam hati. Jika kelak aku berbuat sesuatu untuk Singasari, sama sekali bukan berdasarkan atas dendamku karena aku telah kehilangan bapakku...”
Sejenak Mahisa Agni termangu-mangu. Apakah di ruangan dalam sudah berhimpun para panglima dan senapati yang akan menangkapnya? Sekilas terbayang beberapa ekor ikan emas yang berenang di kolam. Ikan emas yang menghindarkan diri dari cengkeraman maut.
“Silakan Tuanku,” berkata pelayan dalam itu dengan hormatnya.
Mahisa Agni tidak membantah. Dengan ragu-ragu ia melangkahkan kakinya masuk ke ruang dalam. Namun tiba-tiba saja langkahnya terhenti, seperti juga darahnya serasa berhenti mengalir ketika dilihatnya Ken Umang berada di bangsal itu bersama Tohjaya.
“Marilah, Kakang Mahisa Agni,” Ken Umang mempersilakan sambil tertawa.
Wajah Mahisa Agni menjadi tegang. Untuk beberapa saat ia masih diam mematung.
“Silakan, Paman,” berkata Tohjaya kemudian. Mahisa Agni pun kemudian bergeser maju. Dengan kepala tunduk ia duduk menghadap Tohjaya.
“Sudah lama kita tidak berjumpa, Kakang,” berkata Ken Umang kemudian.
“Ya, Tuan Putri,” sahut Mahisa Agni singkat.
Tohjaya memandang ibundanya sejenak. Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu Ken Umang sudah mendahuluinya,” Aku mengenal Mahisa Agni sejak mudaku Tohjaya.”
Tohjaya tidak menyahut. “Kakang Mahisa Agni sering kali datang ke rumah kakak iparku. Witantra.”
“Witantra?” sahut Tohjaya.
“Ya, kenapa?”
Tohjaya merenung sejenak. Rasa-rasanya ia pernah mendengar nama itu. Tetapi ia tidak berkata sesuatu.
“Sejak mudanya Kakang Mahisa Agni adalah orang yang paling sombong yang pernah aku temui. Jauh lebih sombong dari ayahandamu, Sri Rajasa.”
Tohjaya tidak menyahut. Namun dalam pada itu terasa dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Ia sadar bahwa dendam yang tersimpan di hati Ken Umang yang pernah merasa dihinakannya itu tidak akan hilang sampai akhir hayatnya. Tetapi ia masih tetap berdiam diri.
“Bukankah begitu Kakang Mahisa Agni,” berkata Ken Umang kemudian, “tetapi tidak selamanya kau dapat menyombongkan diri. Aku adalah istri kedua dari Sri Rajasa, Maharaja di Singasari. Mungkin kau masih dapat berbangga pula karena kau adalah saudara Tuanku Permaisuri pada masa pemerintahan Sri Rajasa, dan apalagi kau mendapat kedudukan yang tinggi di Kediri. Tetapi sekarang aku adalah ibunda dari maharaja itu sendiri. Semua kata-kataku adalah kata-kata putraku Tohjaya. Dan kau tahu arti dari kata-katanya.”
Mahisa Agni masih belum menyahut.
“Mahisa Agni,” berkata Ken Umang kemudian, “apakah dalam keadaanmu sekarang, kau masih dapat menyombongkan dirimu? Nah, katakan sebelum aku mengambil sikap yang lain sesuai dengan perbuatan yang pernah kau lakukan atasku, apakah kau melihat Ranggawuni dan Mahisa Cempaka?”
Mahisa Agni mengangkat wajahnya, lalu, “Ampun Tuan Putri, hamba sama sekali tidak melihat Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Pada saat hamba mendengar kedua cucu kemenakan hamba itu hilang, hamba sudah datang menghadap Tuanku Tohjaya dan mohon perlindungannya. Karena kedua cucu kemenakan hamba itu adalah permata bagi ibundanya. Apa lagi Ranggawuni. Ibunya tidak memiliki apapun lagi kecuali anak laki-laki itu.”
Ken Umang tertawa. Katanya, “Tentu kau dapat ingkar Mahisa Agni. Tetapi apakah sebenarnya maksudmu mengambil kedua anak-anak itu? Bukankah ia mendapat haknya di istana ini?”
“Sekali lagi hamba mengatakan, bahwa justru hambalah yang harus bertanya, di manakah kedua anak-anak itu.”
“Mahisa Agni,” berkata Ken Umang, “kau tahu bahwa di sini ada Tohjaya yang kini memegang kekuasaan. Dan aku adalah ibundanya. Ketahuilah Mahisa Agni, bahwa sebenarnya aku dapat menjatuhkan hukuman apapun terhadapmu karena penghinaan yang pernah kau lemparkan kepadaku saat itu, seolah-olah aku adalah perempuan yang tidak berharga. Tetapi semuanya itu tergantung atas pengakuanmu. Jika kau tidak mau menunjukkan di mana Ranggawuni dan Mahisa Cempaka kau sembunyikan, maka aku dapat menjatuhkan hukuman yang paling berat atasmu. Tidak ada orang yang dapat mencegahnya. Kekuasaan putraku adalah mutlak. Kau tidak akan dapat membanggakan pengikut- pengikutmu yang ada di Kediri, karena tidak semuanya dapat kau kuasai.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Memang Ken Umang memiliki kelebihan dari Ken Dedes. Ken Dedes adalah seorang istri yang baik dan seorang ibu yang baik. Tetapi kadang-kadang memang diperlukan seorang perempuan yang ingin mengetahui banyak hal dari keadaan di sekitarnya. Meskipun Ken Dedes kadang-kadang juga berbincang dengan Sri Rajasa pada masa hidupnya, namun Ken Dedes tidak terlampau banyak ingin mengerti dan bahkan kemudian menentukan sikap atas pemerintahan di Singasari. Ken Dedes lebih banyak mendorong dan membesarkan hati suaminya.
Tetapi Ken Umang kadang-kadang mempunyai sikapnya sendiri. Bukan saja karena kini ia ikut berkuasa bersama anak laki-lakinya, tetapi sejak masa pemerintahan Sri Rajasa, Ken Umang memang banyak menunjukkan sikapnya. Namun agaknya perempuan yang demikianlah yang menarik hati Sri Rajasa. Perempuan yang memiliki gairah yang menyala-nyala.
“Kenapa kau diam saja Mahisa Agni?” berkata Ken Umang, “Apakah kau telah terlempar ke dalam sikap masa bodoh? Seharusnya kau tetap pada sikapmu sebagai seorang kesatria yang berani bertanggung jawab. Nah, katakan. Di mana Ranggawuni dan Mahisa Cempaka supaya aku tidak melipat gandakan hukuman yang dapat aku jatuhkan atasmu. Mungkin aku akan dapat memaafkanmu, asal kau dapat menunjukkan kedua anak-anak itu.”
Mahisa Agni masih tetap berdiam diri sambil menundukkan kepalanya.
“Mahisa Agni,” suara Ken Umang meninggi, “apakah aku harus memaksamu berbicara?”
“Tuan Putri,” berkata Mahisa Agni kemudian sambil memandang wajah Tohjaya sejenak, “hamba sudah mengatakan bahwa hamba tidak tahu. Justru hamba mohon perlindungan kepada Tuanku Tohjaya.”
“Jangan memperbodoh kami!” bentak Ken Umang, “Orang-orangmu yang ada di bangsalmu itu berbuat aneh-aneh pada malam hari itu juga. Apakah kau masih akan ingkar?”
“Hamba tidak mengerti Tuan Putri. Tuan Putri jangan memaksa hamba mengatakan yang hamba tidak mengetahui. Hamba memang dapat menyebut nama-nama tempat. Tetapi tentu saja tidak ada hubungannya dengan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.”
Ken Umang menjadi semakin marah. Dengan lantang ia berkata, “Tohjaya, Mahisa Agni masih tetap sombong seperti dahulu. Jika ia tetap keras tidak mau mengatakan apapun juga, maka jangan kau anggap ia seorang yang memiliki hak lebih banyak dari orang lain. Jika ia kau anggap bersalah tentu kau dapat menghukumnya.”
Tohjaya justru menjadi bingung mendengar kata-kata ibunya. Namun agaknya ia pun terpengaruh juga. Apalagi ketika ibunya berkata lebih lanjut, “Kau jangan silau memandang pengaruhnya yang sebenarnya tidak begitu besar. Apalagi ia sekarang berada di sini. Kau dapat memanggil para senapati yang ada di luar. Jika Mahisa Agni hendak melawan, maka ia dapat dibunuh di sini seperti kalian membunuh seekor ular berbisa.”
Ken Umang memang sangat berpengaruh atas putranya. Karena itu Tohjaya mulai mempertimbangkan pendapat ibunya. Baginya, dugaan bahwa Mahisa Agni tahu benar ke mana perginya Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, agaknya perlu mendapat perhatian yang besar.
“Tohjaya, kenapa kau menjadi termangu-mangu. Kau dapat memaksanya berbicara.”
Tohjaya masih juga ragu-ragu. Ia masih saja teringat kepada Lembu Ampal. “Jika ternyata Lembu Ampal yang membawa Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, maka akan timbul keributan tanpa arti,” katanya di dalam hati. Sehingga dengan demikian Tohjaya masih belum dapat mengambil keputusan. Tetapi sudah barang tentu bahwa ia tidak akan dapat mengatakannya langsung di hadapan Mahisa Agni.
Dalam keragu-raguan itu Tohjaya masih mendengar ibunya berkata, “Tohjaya. Kau tidak usah mempertimbangkan lagi, meskipun Mahisa Agni adalah saudara ibundamu Ken Dedes. Ken Dedes kini bukan permaisuri lagi. Hidupnya tergantung pada belas kasihanmu. Jika Ken Dedes saja tergantung pada kebesaran jiwamu, apalagi orang yang bernama Mahisa Agni ini. Anak pedesaan yang tidak tahu peruntungan nasibnya, yang justru kini berusaha mengacaukan pemerintahanmu dengan menyembunyikan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Apakah arti anak Panawijen ini bagimu sekarang?”
Betapapun Mahisa Agni mencoba menahan hatinya, namun terasa darahnya bagaikan mendidih. Ia sadar, bahwa ia telah masuk ke dalam perangkap. Mahisa Agni itu sadar sepenuhnya bahwa kini di sekitar bangsal itu telah siap sepasukan prajurit Singasari terpilih. Para panglima dan senapati.
Sekilas Mahisa Agni teringat kepada para pengawalnya yang sudah siap pula mempertaruhkan jiwanya. Jika terjadi sesuatu, maka mereka tentu akan bergerak pula. Adalah tidak mustahil baginya berusaha untuk melarikan diri dari tangkapan para prajurit Singasari bersama para pengawalnya. Namun yang selalu memberati hatinya adalah akibat yang timbul kemudian. Jika benar terjadi benturan senjata, maka Singasari akan benar-benar menjadi koyak.
Tetapi Mahisa Agni pun tidak dapat dengan suka rela menyerahkan lehernya sendiri. Jika ia yakin bahwa dengan kematiannya Singasari akan menjadi tenteram dan damai, maka Mahisa Agni sama sekali tidak akan mengelak. Tetapi dalam kekuasaan Tohjaya dan ibundanya Ken Umang, keadaannya tentu akan terjadi sebaliknya. Karena itu, untuk sementara Mahisa Agni memutuskan, jika terjadi tindakan kekerasan atas dirinya, maka ia harus berusaha menghindar, apapun cara yang dapat dipergunakannya.
Dalam pada itu, karena Tohjaya masih juga ragu-ragu, Ken Umang berkata, “Kenapa kau masih belum bertindak apapun juga Tohjaya? Bukankah kau tinggal memanggil para senapati? Cepat! Sebelum orang yang sombong ini berusaha melakukan pengkhianatan yang lebih banyak lagi. Seandainya Mahisa Agni ternyata tidak menyembunyikan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka pun, kau tidak akan kehilangan apapun juga karena kematian anak Panawijen ini, yang tentu akan segera disusul oleh adiknya Ken Dedes yang sudah sakit-sakitan itu.”
Dada Mahisa Agni rasa-rasanya akan meledak mendengar hinaan yang tiada henti-hentinya itu. Betapapun ia menahan hati, namun akhirnya tepercik jugalah kemarahan yang ditahankannya itu. Ia tidak dapat menerima hinaan terus menerus tanpa membela diri, karena ia masih juga mempunyai telinga dan hati.
“Ampun Tuan Putri,” berkata Mahisa Agni kemudian, “sebenarnyalah yang Tuan Putri katakan itu benar semata-mata. Tetapi sudah barang tentu bahwa hamba sama sekali tidak bermaksud menyombongkan diri. Apa yang pernah hamba lakukan justru karena hamba merasa diri hamba terlampau kecil. Juga saat ini hamba tidak akan berani berbuat apa-apa selain mohon perlindungan Tuanku Tohjaya.”
“Bohong! Kau pernah menyakiti hatiku,” bentak Ken Umang, “dan dendam itu masih tetap membara sampai sekarang.”
Tak ada jalan lain bagi Mahisa Agni selain mempertahankan diri meskipun ia masih mencari jalan yang lebih baik dari kekerasan. Katanya, “Tuan Putri, bagaimana, mungkin hamba dapat menyakiti hati Tuan Putri? Jika sekiranya demikian, kenapa Tuan Putri tidak mengambil tindakan apapun juga saat itu?”
Pertanyaan itu membuat hati Ken Umang tergetar. Namun ia masih menyahut, “Sikap sombongmu itulah yang menyakiti hatiku karena kau merasa dirimu keluarga terdekat dari Ken Dedes yang kini terpaksa berlindung di bawah kebaikan hati anakku.”
Sakit di hati Mahisa Agni menjadi semakin pedih, sehingga terloncat dari bibirnya, “Apakah benar demikian?”
Wajah Ken Umang menjadi semakin merah, dan bibirnya bergetar menahan marah. Ternyata kesombongan Mahisa Agni masih juga terasa olehnya sampai di hari tua. “Mahisa Agni,” berkata Ken Umang, “kau sekarang tidak akan dapat menyombongkan dirimu lagi. Jika kemarahan hatiku tidak terkendali, maka akibatnya akan menyentuh adikmu yang pernah menjadi seorang permaisuri di Singasari. Jika putraku mengibaskan perlindungan atasnya, maka ia akan mengalami nasib seburuk suaminya dan anak laki-lakinya.”
“Itu lebih baik Tuan Putri,” dengan lantang Mahisa Agni menyahut, “ia memang sudah semakin tua. Tetapi ia tetap seorang perempuan yang bersih dari noda-noda yang memercik dari nafsu dan ketamakan.”
“Agni, apakah maksudmu?” bentak Ken Umang dengan membelalakkan matanya.
Ternyata Mahisa Agni tidak dapat menahan diri lagi. Maka meluncurlah kata-katanya, “Ken Dedes tidak pernah melakukan perbuatan nista. Ia diambil oleh Akuwu Tunggul Ametung dengan paksa. Dan ia kemudian diperistri oleh Sri Rajasa sepeninggal Akuwu Tunggul Ametung. Ken Dedes tidak pernah dengan sengaja menawarkan dirinya, apalagi menjebaknya di tengah-tengah hutan perburuan. Di daerah jelajah binatang-binatang liar.”
“Mahisa Agni!” Ken Umang hampir berteriak.
Tetapi suara Mahisa Agni yang hampir tidak tertahankan itu pun mengatasinya, “Tuan Putri. Hamba tidak akan dapat menutup mata, bahwa hal itu telah terjadi di hutan perburuan pada saat Sri Rajasa berburu bersama beberapa orang pengawal. Meskipun tidak ada orang yang melihat apa yang telah terjadi, tetapi yang telah terjadi itu telah tercium oleh beberapa orang pengawal. Dan bukankah Sri Rajasa sendiri bukannya orang yang dapat menyembunyikan perasaannya terhadap seorang perempuan. Ketika hal itu terjadi, maka tidak ada jalan lain bagi Sri Rajasa selain bertanggung jawab sebagai seorang laki-laki. Maka Tuan Putri pun telah berhasil memaksa Maharaja yang paling berkuasa itu untuk tunduk di bawah kemauan Tuan Putri.”
Kemarahan yang memuncak telah membakar jantung Ken Umang, sehingga hampir tanpa disadarinya ia telah berdiri dan meloncat mendekati Mahisa Agni. Dengan derasnya tangan Ken Umang itu terayun menampar wajah Mahisa Agni yang masih tetap duduk di tempatnya.
“Ibunda!” Tohjaya pun meloncat mencegahnya. Tetapi ayunan tangan Ken Umang telah mengenai wajah Mahisa Agni, meskipun bagi Mahisa Agni yang telah terbiasa berada di medan itu hampir tidak merasakannya.
“Bunuh orang gila ini, Tohjaya! Bunuh orang gila ini sekarang juga!”
“Bunuhlah hamba,” berkata Mahisa Agni, “tetapi sebaiknya Tuanku Tohjaya mendengarkannya, bahwa karena itulah maka Tuanku Tohjaya dilahirkan.”
“Gila, gila, gila!” teriak Ken Umang.
“Ibunda,” Tohjaya termangu-mangu, Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Apa yang telah terjadi Paman Mahisa Agni?”
“Jangan biarkan mulutnya berbicara, kau dapat membunuhnya sekarang.”
Teriakan Ken Umang agaknya telah menarik perhatian beberapa orang senapati yang memang bertugas di luar bangsal. Karena itu, karena mereka tidak tahu pasti apa yang telah terjadi beberapa orang telah berdiri di muka pintu untuk melakukan tugas apabila perintah Tohjaya tiba-tiba saja jatuh. Atau bahkan mereka merasa cemas bahwa sesuatu telah terjadi di luar dugaan, karena Mahisa Agni adalah seorang yang memiliki ilmu yang jarang imbangnya.
Namun agaknya Tohjaya yang mulai dipengaruhi oleh kata-kata Mahisa Agni itu membentak keras sekali, “Pergi! Pergi kalian! Aku tidak memerlukan kalian sekarang.”
Para senapati itu pun surut beberapa langkah. Mereka pun kemudian meninggalkan bangsal itu dan berdiri termangu-mangu di atas jembatan kecil di atas kolam yang ditaburi dengan berjenis-jenis ikan itu.
Sepeninggal para senapati maka Tohjaya pun sekali lagi bertanya kepada Mahisa Agni, “Paman, cobalah katakan. Apa yang telah terjadi dengan ibunda.”
“Oh,” tiba-tiba Ken Umang menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Sambil menangis ia berkata, “Jangan biarkan ia berbicara. Ia berbohong semata-mata. Sekedar untuk memburukkan namaku dan namamu Tohjaya.”
“Katakan Paman. Tetapi jika Paman berbohong aku akan menghukum Paman dengan hukuman picis di alun-alun. Hukuman yang paling berat yang dapat dijatuhkan kepada seseorang.”
“Hamba tidak berbohong Tuanku. Ibunda Tuanku telah berhasil menjerat ayahanda Sri Rajasa di hutan perburuan.”
“Di hutan perburuan?”
“Ya. Di hutan perburuan. Dan terjadilah hal itu. Jika kemudian lahir seorang putra, maka Tuankulah putra ibunda Tuanku yang pertama. Ayahanda Sri Rajasa tidak dapat ingkar lagi. Sebagai laki-laki, maka terpaksalah ayahanda Sri Rajasa mengambil ibunda Tuanku menjadi istrinya yang kedua.”
“Begitu? Ibunda, benarkah begitu?” teriak Tohjaya.
“Bohong, bohong!. Sama sekali bohong!”
“Memang tidak ada saksi selain hati nurani Tuan Putri sendiri.”
“Tidak, tidak.”
Tohjaya pun kemudian dengan lemahnya terduduk di tempat duduknya sambil menekan dadanya yang serasa retak. Sejenak ruangan itu dicengkam sepi. Yang terdengar hanyalah desah-desah nafas yang semakin cepat berkejaran di lubang hidung, dan isak Ken Umang yang semakin menyesak di dadanya. Tohjaya masih duduk dengan kepala tunduk. Di dalam angan-angannya tanpa disadarinya, terjadilah peristiwa itu. Seakan-akan ia melihat apa yang telah terjadi.
“Alangkah nistanya,” desisnya tiba-tiba.
“Tohjaya, “suara ibunya yang gemetar, “jangan kau percaya kata-katanya. Ia memang dengan sengaja memfitnah aku. Ia merasa bahwa ia tidak lagi mempunyai kekuatan untuk menyelamatkan diri karena ia telah melarikan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Jika ia berhasil dan aku mempercayainya, maka kau sudah terjebak di dalam akal liciknya.”
Tiba-tiba Tohjaya meloncat bangkit. Dengan garangnya ia berkata, “Benarkah begitu? Jadi kau sekedar berusaha menyelamatkan dirimu dengan fitnah yang keji itu?”
“Tuanku Tohjaya,” sahut Mahisa Agni, “seandainya Tuanku Sri Rajasa masih hidup, maka tentu ia akan mengiakannya. Tentu ia akan mengatakan bahwa semuanya itu memang sudah terjadi. Seandainya ibunda Tuanku tetap pada kata-katanya maka aku dapat menyebut rahasia yang lebih banyak lagi yang menyangkut ibunda Tuanku.”
“Bohong!” teriak Ken Umang.
“Hamba tidak berbohong Tuanku. Dan Tuanku dapat bertanya kepada orang yang bernama Witantra itu. Ia adalah saudara ipar ibunda Tuanku.”
“Tidak ada orang bernama Witantra!” Ken Umang masih berteriak.
“Ibunda telah menyebut namanya,” sahut Tohjaya.
Ken Umang terdiam. Tetapi ketegangan yang sangat telah mencengkam jantungnya. Karena itu maka ia masih saja berteriak, “Bunuh saja orang itu! Bunuh saja sekarang!”
Tohjaya masih berdiri termangu-mangu. Sekali lagi membayang saat-saat dari permulaan hidupnya. Mahisa Agni memandang keduanya berganti-ganti. Tetapi ia tidak mau kehilangan kesempatan. Karena itu maka katanya kemudian, “Tuanku Tohjaya. Sebaiknya Tuanku tidak usah menyesalinya. Bagaimanapun juga yang terjadi, tetapi Tuan Putri Ken Umang adalah ibunda Tuanku.”
Terdengar Tohjaya menggeretakkan giginya. Dan Mahisa Agni berkata seterusnya, “Tuanku pun tidak usah menyesali. Justru karena Tuanku tahu. Betapa seorang manusia telah lahir dari kenistaan. Namun adalah suatu kenyataan bahwa Tuanku kini adalah seorang maharaja. Seperti juga setiap orang mengetahui siapakah Anusapati, maka sebenarnya setiap orang pun akhirnya mengetahui, bagaimana Tuanku dapat terjadi.”
Tohjaya hampir kehilangan seluruh tenaganya ketika Mahisa Agni melanjutkan, “Namun bagaimanapun juga, Tuanku masih lebih baik dari Anusapati. Anusapati adalah bukan putra Sri Rajasa. Setiap orang mengetahui, terutama yang sudah berusia lanjut, bahwa pada saat Tuanku Sri Rajasa mengawini Ken Dedes, Tuan Putri Ken Dedes sudah mengandung. Tetapi orang-orang itu tetap berdiam diri untuk menjaga perasaan Anusapati dan Ken Dedes itu sendiri. Kemudian, seperti halnya Ken Dedes, maka setiap orang pun tahu meskipun mula-mula bersumber dari kalangan istana sendiri, dari orang-orang yang dekat dengan Sri Rajasa yang saat itu masih sangat muda dan berbangga diri atas peristiwa yang telah terjadi, bahwa demikianlah adanya.”
Tetapi Tohjaya seolah-olah telah tidak mendengar lagi. Kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk, sedang keringat dingin telah membasahi seluruh tubuhnya. Ia yang kini duduk di atas tahta Singasari, ternyata adalah anak yang lahir dari perbuatan nista ibundanya, justru di hutan perburuan seperti perbuatan sepasang kijang yang tidak mengenal peradaban.
“Maaf Tuanku,” berkata Mahisa Agni pula, “bukan maksud hamba melukai hati, Tuanku. Tetapi semata-mata karena hamba tidak lagi dapat berdusta kepada diri sendiri, karena hamba pun mendengar peristiwa itu telah terjadi.”
Tiba-tiba saja Tohjaya menjadi liar. Dipandanginya seisi ruangan itu. Sejenak kemudian ia pun berlari ke luar bilik tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi. Ia telah melupakan kedudukannya sebagai seorang maharaja. Ia telah melupakan sikap dan suba sita. Sebagai manusia ia telah terhempas ke dalam jurang kekecewaan yang dalam tiada taranya.
Ketika seorang prajurit yang berdiri di ujung jembatan mencoba menunggu perintahnya dengan mulut ternganga melihat sikap Tohjaya itu, maka prajurit itu telah ditendangnya sehingga ia terdorong jatuh ke dalam kolam. Dengan tergesa-gesa Tohjaya berjalan meninggalkan bangsal itu. Sekejap ia berdiri termangu-mangu di luar regol di ujung jembatan tanpa menghiraukan para prajurit yang ikut menjadi kebingungan melihat sikapnya.
“Tuanku?” pemimpin prajurit yang bertugas di regol itu mencoba bertanya. Tetapi sebuah pukulan telah melayang menampar pipinya sehingga pemimpin prajurit itu mengaduh tertahan.
Sementara itu Tohjaya pun kemudian berjalan dengan tergesa-gesa meninggalkan bangsal itu menuju ke bangsalnya sendiri sebelum ia tinggal di bangsal yang dikitari oleh kolam yang dibuat oleh Anusapati itu. Dua orang pengawalnya berlari-lari menyusulnya. Tetapi keduanya pun tidak berani bertanya sepatah kata pun selain mengikutinya sambil berlari-lari kecil.
Sementara itu, di dalam bangsal di tengah-tengah kolam itu, Ken Umang menangis sambil menutup wajahnya, sedang Mahisa Agni duduk termangu-mangu di tempatnya.
“Kau gila!” terdengar suara Ken Umang di sela-sela isaknya, “Kau telah membalas sakit hatimu dengan cara yang keji sekali.”
“Ampun Tuan Putri,” jawab Mahisa Agni, “bukan hamba yang berusaha membalas dendam dan sakit hati. Tetapi Tuan Putri sendiri. Hamba hanya sekedar mencoba mempertahankan diri.”
“Tetapi kau telah menyiksa perasaannya. Perasaan Tohjaya. Kau dapat menghinakan aku sekali lagi dan sekali lagi. Tetapi kau jangan mematahkan gairah hidup Tohjaya karena ia mengetahui bahwa yang telah terjadi itu adalah perbuatan yang nista.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Betapa keras hatinya, namun ia merasa iba juga melihat Ken Umang yang menangis sehingga nafasnya serasa menjadi sesak. Namun tiba-tiba Ken Umang itu mengangkat wajahnya. Dengan gelisah ia bergumam, “Aku harus memberi penjelasan kepada Tohjaya. Aku akan menemuinya sendiri. Tidak bersamamu karena kau ingin memanfaatkan keadaan ini untuk keuntunganmu. Keuntungan pribadimu.”
“Tuan Putri,” berkata Mahisa Agni yang mulai lirih, “sebenarnya bukan maksud hamba untuk menghinakan Tuan Putri. Tetapi karena hamba harus berhadapan dengan maut, maka terpaksa hamba membela diri sekedar untuk menyelamatkan hamba dari hukuman mati atau hukuman apapun yang dapat menjerat hamba karena hilangnya kedua anak-anak muda itu, yang justru hambalah orang yang ikut kehilangan mereka.”
“Persetan!” geram Ken Umang, “Aku akan memberikan penjelasan kepada Tohjaya.” Dan tiba-tiba pula Ken Umang itu pun segera meloncat berlari keluar bangsal.
Mahisa Agni yang untuk beberapa saat dicengkam oleh keragu-raguan, segera meloncat pula mengikuti Ken Umang keluar bangsal. Para prajurit yang bertugas menjadi heran. Mereka melihat Tohjaya dengan sikap yang aneh meninggalkan bangsal itu. Kemudian Ken Umang diikuti oleh Mahisa Agni. Sedangkan para prajurit itu pun melihat, bendul di pelupuk mata Ken Umang yang merah.
“Apakah Tuanku Tohjaya telah berselisih dengan Tuan Putri?” salah seorang dari para prajurit itu bergumam.
“Tidak seorang pun yang tahu. Kami hanya mendengar lamat-lamat Tuan Putri berteriak-teriak. Tetapi kami tidak mendengarnya dengan jelas. Tetapi hal itu memang mungkin sekali terjadi.”
“Tetapi apakah yang mereka persoalkan?”
“Bodoh kau, tentu aku tidak mengetahuinya.”
Prajurit itu pun kemudian berdiam diri sejenak. Mereka memandang Ken Umang yang berlari-lari kecil sampai hilang di longkangan dalam.
Dalam pada itu, sejenak Mahisa Agni mengikutinya dari belakang ke mana Ken Umang pergi. Namun ia pun kemudian terhenti dan berjalan kembali ke bangsalnya sendiri. Di sepanjang langkahnya Mahisa Agni masih saja mencoba menilai persoalan yang baru saja terjadi. Agaknya Tohjaya benar-benar tersinggung karena peristiwa yang telah terjadi di hutan perburuan, justru yang kemudian mengakibatkan Tohjaya itu lahir di dunia.
Agaknya Tohjaya tidak mau menerima kenyataan itu. Kenyataan yang nista dan tidak pernah dibayangkannya. Namun Tohjaya tidak dapat menolak pengakuan bahwa hal itu memang telah terjadi. Menurut sorot mata dan warna wajah ibunya, Tohjaya mempunyai keyakinan bahwa yang dikatakan oleh Mahisa Agni itu bukan berbohong. Terlebih parah lagi apabila terbayang di angan-angan Tohjaya bahwa sebenarnya orang di seluruh Singasari sudah mengetahui apa yang telah terjadi atas ibunya.
“Tentu Ayahanda yang waktu itu masih muda, telah bercerita kepada orang terdekat. Bahkan mungkin justru sebagai kebanggaan atas kehinaan Ibunda,” berkata Tohjaya di dalam hati, “dan kini setiap orang akan mempercakapkannya kembali. Mereka akan dapat bersikap lebih kasar lagi di bawah perintah Tohjaya ini. Bahkan mungkin bukan sekedar mempercakapkan, tetapi tentu ada yang berani merendahkan martabatnya sebagai seorang maharaja di Singasari. Dan berita itu akan segera tersebar. Tersebar sampai ke ujung negeri ini.” Tohjaya menutup wajahnya.
Selagi Tohjaya tenggelam di dalam kecemasan, malu dan bingung, ibunya perlahan-lahan mendekatinya. Dengan nada yang dalam diselubungi isaknya yang tertahan ia berkata, “Tohjaya, cobalah kau dengarkan penjelasanku.”
Tohjaya mengangkat wajahnya. Namun kemudian ia melangkah menjauhi ibunya sambil berkata, “Ibunda, ternyata Ibunda telah menghinakan diri sendiri dan keturunan Ibunda. Apalagi kini aku menjadi pusat perhatian seluruh rakyat Singasari. Dan apakah kata mereka tentang aku, jika cerita itu kemudian tersebar?”
“Ada jalan yang dapat kau tempuh,” berkata ibundanya.
“Apa?”
“Membungkam Mahisa Agni untuk selama-lamanya.”
Tohjaya terdiam sejenak. Dipandanginya bayangan yang bergerak-gerak di kejauhan. Namun kemudian ia berpaling dan berkata kepada ibunya, “Tidak ada gunanya. Membunuh Mahisa Agni akan sama halnya dengan mengaduk abu kering. Debunya akan beterbangan dan justru tersebar merata.”
“Kenapa?” bertanya ibundanya.
“Karena orang-orang yang berpihak kepada Mahisa Agni akan menyebarkan berita itu semakin cepat. Dan orang-orang yang memang pernah mendengarnya dahulu akan menganggukkan kepalanya, mengiakannya.”
“Tohjaya, apakah kau percaya bahwa cerita itu benar dan memang pernah terjadi?”
Tohjaya menjadi ragu-ragu.
“Jawablah.”
Namun ternyata jawab Tohjaya sangat mengejutkan Ken Umang, “Aku percaya Ibunda.”
“Oh,” Ken Umang terduduk lesu sambil tersedu, “Jadi kau lebih percaya kepada Mahisa Agni, kepada orang yang kini berniat memusnahkan ibundamu dan keturunannya termasuk kau daripada kepada ibundamu sendiri?”
“Ibunda,” bertanya Tohjaya, “jika demikian, apakah sebabnya Ibunda mendendamnya? Apakah alasan Ibunda menyimpan dendam sampai sekarang dan bahkan berusaha membunuhnya? Menurut pertimbanganku, Mahisa Agni tentu mengetahui sesuatu rahasia Ibunda yang paling besar.”
“Cukup Tohjaya! Cukup!”
“Kenapa ibunda?” desak Tohjaya, “jika Mahisa Agni Ibunda sebut sebagai orang yang paling menyombongkan diri, apa pula alasannya?”
“Jangan kau ulang pertanyaan itu Tohjaya, jangan!”
Tohjaya terdiam. Tetapi ia menjadi semakin yakin bahwa apa yang dikatakan Mahisa Agni itu benar, atau setidak-tidaknya sebagian terbesar adalah benar.
“Tohjaya, apakah kau benar-benar tidak mempunyai kepercayaan lagi kepadaku?”
“Ibunda, siapakah sebenarnya Witantra itu?”
“Witantra adalah kakak iparku.”
“Di mana ia sekarang?”
“Tidak ada orang yang tahu.”
“Apakah benar ia berada di Kediri seperti yang pernah disebut-sebut oleh panglima pelayan dalam yang aku tugaskan ke Kediri untuk memanggil Mahisa Agni?”
“Tentu bukan. Witantra sudah lama hilang. Barangkali ia sudah mati.”
“Aku akan memanggil panglima pelayan dalam itu. Ia akan dapat bercerita tentang orang yang bernama Witantra itu.”
“Tidak perlu, itu tidak perlu.”
“Kenapa tidak Ibunda? Ia akan dapat banyak bercerita tentang orang yang bernama Witantra. Yang menurut pendengarannya adalah bekas seorang panglima di masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung di Tumapel.”
“Tidak, jangan.”
“Ibunda, jika orang itulah yang dimaksud, kebetulan sekali. Dengan demikian Ibunda akan dapat bertemu dengan kakak perempuan Ibunda, dan sudah tentu aku akan memanggilnya Bibi.”
“Tidak. Itu tidak perlu!”
“Nah,” suara Tohjaya tiba-tiba menjadi berat, “itu adalah pertanda bahwa kehidupan Ibunda memang dibayangi oleh rahasia yang dengan sengaja akan Ibunda sembunyikan. Tetapi rahasia itu sebagian tentu apa yang dikatakan oleh Mahisa Agni.”
“Oh,” Ken Umang menangis semakin keras.
Beberapa orang emban mengintip dari balik pintu yang tidak tertutup rapat. Namun mereka pun segera pergi karena mereka menjadi ketakutan. Jika mereka mendengar rahasia maharaja, atau diduga mendengarnya, maka mereka akan dapat dihukum mati tanpa sebab.
“Ibunda,” berkata Tohjaya dengan nada yang meninggi, “Jika demikian, rahasia yang menyelubungi Ibunda ternyata sebuah rahasia yang besar. Dan angan-anganku pun menjadi berkembang karenanya. Jika Ibunda telah memasrahkan harga diri, dan bahkan tubuh Ibunda untuk sekedar mengejar keinginan lahiriah, maka Ibunda tentu pernah melakukan kecemaran yang serupa.”
“Tidak, tidak! Demi dewa-dewa aku bersumpah,” teriak Ken Umang.
Tohjaya menarik nafas dalam-dalam. Samar ia mulai membayangkan apa yang pernah terjadi atas dirinya. Apa yang dilakukan ibundanya selama ini. Ibundanya yang telah mendorongnya untuk melakukan apa saja agar ia sampai pada puncak tertinggi dari seluruh kekuasaan yang ada di Singasari. Sejak kecil ibundanya sudah mengajarinya membenci Anusapati yang kemudian disebut sebagai anak Tunggul Ametung. Kemudian berusaha mendesaknya dan menyingkirkannya. Kebencian kepada Anusapati dan adik-adiknya yang lahir dari Ken Dedes telah mendorongnya sampai ke puncaknya dengan segala macam usaha untuk membunuh Anusapati.
“Tetapi Anusapati telah membunuh Sri Rajasa,” Tohjaya mencoba membela sikapnya sendiri di dalam hatinya.
Namun kemudian ia terlempar pada suatu kenyataan, bahwa ibunyalah yang telah membentuknya menjadi seorang manusia yang dicengkam oleh kebencian, dendam dan permusuhan. Tohjaya menggigit bibirnya. Terasa dadanya menjadi sesak oleh kegelisahan.
Ken Umang masih saja menangis tertahan-tahan. Penyesalan yang dalam, bukan karena ia telah melakukan sesuatu yang hina, tetapi ia telah memberi kesempatan kepada Mahisa Agni untuk membuka rahasia itu. Dan karena Tohjaya yang ternyata tidak mau menerima kenyataan itu dengan senang hati.
“Terkutuklah Mahisa Agni!” berkata Ken Umang di dalam hatinya, “Ia harus mati. Jika tidak ia tentu akan membuka rahasiaku yang lain, bahwa aku telah mencoba untuk membujuknya. Bahkan setelah aku sudah menjadi istri Sri Rajasa.”
Ken Umang terperanjat ketika ia kemudian mendengar Tohjaya berkata, “Ibunda, tinggalkan aku sendiri.”
“Tohjaya,” desis Ken Umang, “aku sebenarnya perlu memberikan banyak sekali penjelasan. Kau seharusnya tidak mempercayai fitnah yang keji itu.”
“Aku akan memikirkannya. Tetapi silakan Ibunda meninggalkan aku sendiri.”
Ken Umang termangu-mangu. Namun ia pun kemudian melangkah meninggalkan anak laki-lakinya yang duduk merenungi dirinya sendiri.
Sepeninggal ibunya, maka Tohjaya semakin dapat melihat kenyataan hidupnya yang pernah dilaluinya. Sejak ia masih kanak-kanak. Hubungannya dengan Anusapati memang tidak begitu baik. Ia dibentuk oleh ibunya untuk membenci Anusapati, apalagi setelah Anusapati diangkat oleh Sri Rajasa menjadi Pangeran Pati.
Sekilas terlintas di angan-angannya yang melambung tinggi ke masa silamnya, Anusapati. Namun ternyata bahwa justru karena itu, yang terjadi adalah sebaliknya. Bukan Anusapati yang tersisih dari hati rakyat ternyata bahwa Pangeran Pati itu mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Perang tanding di alun-alun, yang maksudnya untuk menunjukkan bahwa ia adalah anak muda yang terbaik di Singasari, ternyata muncul seorang yang menyebut dirinya Kesatria Putih yang ternyata adalah Anusapati.
“Waktu itu aku hampir tidak mau menerima kenyataan bahwa aku memang tidak dapat mengalahkan kakanda Anusapati apapun caranya,” katanya di dalam hati, “dan yang terakhir aku memang berhasil membunuhnya dengan curang.”
Namun setelah Tohjaya berhasil duduk di atas tahta, ia justru mengetahui tentang dirinya sendiri. Dan yang lebih parah, ia mengetahui bahwa sebenarnya rahasia ibunya itu telah banyak diketahui orang, terutama yang sebaya dengan Mahisa Agni. Tetapi karena ayahandanya adalah seorang raja yang besar, maka tidak seorang pun yang berani mengatakannya.
Sementara itu, Ken Umang yang mendendam hatinya serasa menjadi semakin membara. Mahisa Agni baginya adalah hantu yang paling menakutkan meskipun pada masa mudanya ia pernah tergila-gila kepadanya. Karena itu, tidak ada cara lain untuk melapangkan hatinya selain membunuh Mahisa Agni, disetujui atau tidak oleh anaknya.
“Tidak ada kekuatan yang cukup untuk menumbangkan kekuasaan Tohjaya. Pengikut-pengikut Mahisa Agni tidak akan mampu berbuat apapun juga untuk membelanya,” Ken Umang bergumam di dalam dadanya yang bagaikan akan retak.
Sejenak itulah maka Ken Umang mulai berusaha sepenuh hati untuk menemukan orang yang dapat diupahnya untuk membunuh Mahisa Agni dengan cara yang kasar atau halus. Namun Mahisa Agni pun ternyata telah menyadari bahwa kemungkinan yang demikian itu akan terjadi. Itulah sebabnya maka ia menjadi semakin berhati-hati.
Di hari-hari berikutnya, para pemimpin di Singasari melihat perubahan yang terjadi atas maharajanya yang sedang memerintah. Tohjaya menjadi pendiam dan lebih murung. Tidak banyak persoalan yang diperbincangkannya di dalam paseban. Bahkan bicaranya pun rasa-rasanya telah berubah pula. Suaranya menjadi serak dan dalam.
“Hilangnya kedua anak-anak itu membuat Tuanku Tohjaya menjadi sangat murung,” berkata seorang senapati yang kurang mengetahui persoalan yang sebenarnya.
Namun sebenarnyalah persoalan yang berurutan telah membuat Tohjaya semakin murung. Tidak seorang pun yang kemudian berhasil menemukan Lembu Ampal. Tidak seorang pun pula yang dapat mengatakan di manakah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
“Tuanku,” berkata Pranaraja, “Lembu Ampal itu bagaikan hilang tidak ada bekasnya. Kedua anak-anak muda itu pun tidak lagi diketahui nasibnya. Setiap hari hamba mengirimkan prajurit-prajurit sandi menjelajahi kota ini. Tetapi mereka tidak pernah mendengar berita tentang keduanya dan Lembu Ampal.”
Tetapi Rasa-rasanya Tohjaya tidak tertarik lagi meskipun setiap kali ia teringat usaha pembunuhan itu, dadanya rasanya berdesir.
“Mungkin Lembu Ampal sudah berhasil,” desis Pranaraja.
Tohjaya tidak menyahut. Dan Pranaraja berkata seterusnya, “Jika demikian, tidak akan ada orang lagi yang akan dapat merintangi kekuasaan Tuanku.”
Tetapi di dalam hatinya Pranaraja berkata kepada diri sendiri, “Jika Lembu Ampal berhasil, ia tentu akan segera kembali untuk menerima hadiahnya.” Tetapi Pranaraja tidak mengatakannya. Ia masih belum tahu pasti, apakah sebenarnya yang sedang mempengaruhi sikapnya.
Kemurungan Tohjaya memang menimbulkan banyak pertanyaan di hati para pemimpin di Singasari. Namun tidak seorang pun yang dapat menebak arti dari kemurungan wajah ini selain Tohjaya sendiri dan ibundanya.
Dalam pada itu Ken Umang masih saja memikirkan cara untuk dapat menyingkirkan Mahisa Agni. Sebenarnya Ken Umang sendiri sangsi, apakah dengan demikian rahasianya akan ikut terkubur bersama lenyapnya Mahisa Agni. Apakah Tohjaya dapat melupakan semua persoalan yang pernah dikatakan oleh Mahisa Agni?
Namun demikian dendam yang membara dihatinya telah mendorongnya untuk melakukannya. Ia tidak peduli apakah lenyapnya Mahisa Agni akan berpengaruh pada Singasari, pada kepercayaan Tohjaya terhadapnya atau kepada apapun juga. Ia ingin melepaskan dendam, kemarahan dan kebencian. Apalagi setelah Mahisa Agni membuka rahasianya di hadapan anak laki-lakinya yang dimanjakannya selama ini. Ken Umang menyadari betapa sulitnya pekerjaan yang akan dilakukannya itu. Ia menyadari bahwa Mahisa Agni adalah orang yang pilih tanding, sehingga dengan demikian ia tidak akan dapat berbuat tanpa perhitungan yang sebaik-baiknya.
Karena Ken Umang tidak dapat memecahkan cara yang akan ditempuhnya, maka ia pun kemudian memanggil Pranaraja pula. Karena Ken Umang tahu pula, bahwa Pranarajalah yang mendorong usaha untuk menyingkirkan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
“Kau tidak dapat ingkar bahwa kaulah yang telah menyebabkan kedua anak-anak itu lenyap dari istana. Apakah hal itu karena Lembu Ampal benar-benar telah berhasil membunuhnya, atau karena orang lain yang mendengar rencana itu kemudian menyelamatkannya.”
“Hamba memang tidak akan dapat ingkar Tuan Putri. Apa lagi di hadapan Tuan Putri dan Tuanku Tohjaya.”
“Pranaraja,” berkata Ken Umang, “Aku minta pertimbanganmu, karena kau tidak akan dapat lari dari tangan Mahisa Agni jika ia mendengarnya.”
Pranaraja mengerutkan keningnya. Lalu dengan ragu-ragu ia pun bertanya, “Maksud Tuan Putri?”
“Baiklah kita menyeberang terus, karena kita memang telah basah kuyup.”
Pranaraja tidak menyahut. “Karena itu, kenapa kau sekedar berusaha menyingkirkan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka saja? Kenapa bukan Mahisa Agni dan kemudian Ken Dedes dan anak-anaknya yang lain?”
“Oh,” Pranaraja termangu-mangu, “begitu banyak orang yang harus dikorbankan?”
“Jika kau hanya sekedar menyingkirkan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, itu tidak akan banyak artinya. Keduanya memang orang-orang yang penting di Singasari. Tetapi kau harus memperhitungkan pula anak-anak Ken Dedes yang lain. Mereka adalah adik-adik Tohjaya, dan mereka adalah anak-anak Sri Rajasa yang lahir dari permaisuri.”
Pranaraja mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi semuanya itu akan dapat kau lakukan jika Mahisa Agni sudah tidak ada. Karena itu, yang pertama-tama dari kerja yang besar dan meyakinkan itu adalah membunuh Mahisa Agni terlebih dahulu.”
Pranaraja masih tetap ragu-ragu. Usaha untuk membunuh beberapa orang sekaligus, dan mereka itu adalah orang-orang yang penting di Singasari tentu akan menimbulkan banyak persoalan bagi Singasari sendiri. Namun Pranaraja pun mengetahui bahwa tekanan dari pembunuhan itu adalah pada Mahisa Agni. Jika Mahisa Agni sudah mati, maka semuanya itu seolah-olah sudah tidak akan mempunyai kekuatan apapun juga.
“Bagaimana pendapatmu Pranaraja?”
“Ampun Tuan Putri,” jawab Pranaraja, “sampai sekarang Tuan Putri Ken Umang apakah sudah pernah membicarakannya dengan Tuanku Tohjaya. Karena menurut pengamatan hamba, Tuanku Tohjaya masih agak berkeberatan untuk langsung berhadapan atas dasar kekerasan dengan Mahisa Agni.”
“Persetan!” desis Ken Umang, “Tohjaya masih terlampau kanak-kanak. Ia masih selalu dipengaruhi oleh perasaan anak-anaknya daripada pertimbangan nalar seorang maharaja. Menurut pendapatku tidak ada yang perlu dicemaskan pada Mahisa Agni.”
“Tuan Putri,” berkata Pranaraja, “tetapi hampir setiap pemimpin dan senapati di Singasari memberikan peringatan itu.”
“Peringatan apa?”
“Bahwa Mahisa Agni mempunyai pengaruh yang sangat kuat pada anak buahnya, terutama di Kediri. Sementara itu panglima pelayan dalam yang datang langsung ke Kediri telah melihat pihak-pihak yang tentu tidak akan tinggal diam. Dengan tiba-tiba saja telah muncul seorang bekas panglima pada masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung dan bernama Witantra. Tentu ia bukan orang kebanyakan. Dan tentu ia mempunyai pengaruh atas lingkungan tertentu. Dan ternyata Witantra itu berpihak kepada Mahisa Agni.”
“Apa artinya orang yang bernama Witantra itu?”
“Apakah Tuan Putri tidak pernah mendengar sesuatu tentang dirinya?”
“Tidak.”
“Apakah Tuan Putri lupa, bahwa hamba adalah orang yang banyak mengetahui semasa Akuwu Tunggul Ametung berkuasa, dan hamba mengetahui pula hubungan keluarga antara Tuan Putri dengan Witantra.”
Ken Umang tersentak mendengar jawaban Pranaraja itu. Namun kemudian ia memaksa dirinya untuk tetap tegak sambil berkata, “Baiklah jika kau memang mengetahuinya Pranaraja. Tetapi kita sama-sama orang yang sekarang mempunyai cela masing-masing. Kita di hadapan Mahisa Agni adalah orang-orang yang penuh dengan noda. Aku mendendamnya, dan kau telah berusaha melenyapkan kedua anak-anak itu.”
“Tetapi Tuan Putri, perintah untuk membunuh kedua anak-anak muda itu keluar dari Tuanku Tohjaya sendiri.”
“Semula ia tidak bermaksud demikian. Namun kaulah yang telah memaksanya atau setidak-tidaknya mempengaruhinya.”
Pranaraja menarik nafas. “Sekarang, usahakan agar kita terlepas dari tangan Mahisa Agni jika pada saatnya ia mengetahuinya. Jika ia tahu bahwa kau adalah otak dari usaha membinasakan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, maka lehermu akan dicekiknya sampai mati tanpa kesulitan apapun karena setiap orang berpendapat, bahwa membunuh Mahisa Agni akan sama dengan memecah Singasari.”
Pranaraja termenung sejenak. “Nah, pikirkan masak-masak.”
“Tuan Putri,” berkata Pranaraja kemudian, “membunuh Mahisa Agni adalah pekerjaan yang sangat sulit. Ia adalah seorang yang memiliki kemampuan hampir di luar batas kemampuan siapa pun juga selain Tuanku Sri Rajasa semasa hidupnya.”
“Kau bodoh. Sudah barang tentu tidak akan dilakukan oleh satu dua orang. Tetapi dengan sekelompok orang yang atas dasar perhitungan, pasti dapat mengalahkannya.”
“Sepuluh orang maksud Tuan Putri?”
“Kira-kira. Atau jika perlu dua puluh orang, atau tiga puluh.”
“Kita menyerang bangsalnya?”
“Kau memang dungu sekali. Tentu tidak. Tentu tidak di halaman istana ini,” geram Ken Umang, “tetapi kau harus memancingnya keluar dengan alasan apapun. Misalnya seseorang melihat tempat persembunyian Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, dan memberikan petunjuk kepadanya agar ia mengambilnya dengan diam-diam.”
Pranaraja mengerutkan keningnya. “Sepeninggal Mahisa Agni, kau dapat menjebak pengawal-pengawal yang ada di bangsal itu.”
“Jika pengawal-pengawal itu menyertainya?”
“Mereka adalah pengawal-pengawal biasa. Berapa jumlahnya dapat diperhitungkan. Jika seorang senapati pilihan membawa pasukan segelar sepapan, tentu akan dapat membunuhnya, betapapun ia seorang yang memiliki ilmu yang sempurna.”
Pranaraja termangu-mangu. “Dengan demikian kau pun akan terbebas dari tangannya jika pada saatnya rahasia rencana pembunuhan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka dapat diketahui orang.”
Pranaraja tidak segera menjawab. “Pranaraja,” berkata Ken Umang kemudian, “kau mempunyai banyak hubungan dengan para senapati. Jika sekiranya Tohjaya tidak menghendaki pembunuhan ini terjadi, kau tidak perlu minta pertimbangannya. Kau dapat menawarkannya kepada seorang senapati dengan pasukan pilihan. Kau dapat menawarkan upah yang tinggi baginya. Aku akan menyediakannya. Aku mempunyai seperti permata yang nilainya tidak terhitung besarnya. Aku dapat memberikannya segenggam mutiara atau intan berlian yang dapat dibagikan kepada para prajurit itu. Atau jika masih kurang, aku dapat memberikan seperempat dari seluruh isi peti itu kepada mereka.”
Pranaraja mengangguk-angguk kecil. Katanya kemudian, “Tuan Putri. Jika demikian hamba akan mencobanya. Hamba akan menghubungi seorang senapati yang pernah menunjukkan keunggulannya bersama pasukannya. Seperempat peti permata akan menjadi pendorong kepada mereka untuk menerima tawaran Tuan Putri itu.”
“Tetapi hati-hatilah. Kau tentu tidak akan mengatakan bahwa akulah yang telah memerintahkan kepadanya.”
“Maksud Tuan Putri?”
“Jangan menambah orang-orang yang mengetahui rahasiaku. Kau tidak perlu mengatakan siapa yang akan mengupah mereka. Tetapi kau dapat meyakinkan bahwa upah itu mempunyai jaminan akan terbayar.”
“Dan Tuan Putri akan membayarnya kelak?”
“Kau gila! Jika aku ingkar, kau dapat membuka rahasia ini kepada siapa pun juga.”
“Baiklah Tuan Putri. Hamba akan mencoba mencari jalan, tetapi untuk mendapatkan orang yang berani menanggung akibat perlawanan dengan kekerasan menghadapi Mahisa Agni bukannya pekerjaan yang mudah meskipun sepasukan segelar sepapan.”
“Kau dapat menghubungi salah seorang panglima yang paling membenci Mahisa Agni, atau yang dapat kau libatkan dalam usaha pembunuhan Anusapati. Seperti kau sendiri, maka setiap orang yang terlibat saat kematian Anusapati, mempunyai kemungkinan serupa di hadapan Mahisa Agni.”
“Baiklah Tuan Putri. Mahisa Agni pun sebenarnya adalah seorang manusia biasa. Pada saatnya tentu ada orang yang akan mampu membinasakannya.”
“Tetapi cepat-cepatlah bekerja.”
“Hamba Tuan Putri. Hamba akan segera melakukannya.”
“Ingat, bahwa kau sendiri adalah sasaran dendam Mahisa Agni itu, seperti juga aku, dan orang-orang yang terlibat kematian Anusapati, yang sebenarnya termasuk Tohjaya sendiri. Jika kau mengingkari persepakatan kita, kau akan dicekiknya sampai mati.”
Pranaraja tidak dapat bersikap lain. Ia harus memenuhi permintaan Ken Umang. Bahkan sebenarnyalah ia sendiri memang ingin menyingkirkan Mahisa Agni untuk selama-lamanya. Bukan hanya Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Sementara itu, maka Pranaraja pun mulai mencari-cari keterangan, siapakah yang sebaliknya dipergunakannya untuk membunuh Mahisa Agni. Kini ia sudah mendapatkan jaminan untuk mengupah orang itu dari Ken Umang. Upah yang cukup banyak bagi mereka yang berhasil. Seperempat dari isi sebuah peti yang penuh dengan permata.
Tetapi Pranaraja tidak dapat berbuat tergesa-gesa. Jika ia salah sasaran, maka persoalannya akan menjadi lain. Dan barangkali ia sendirilah yang akan lebih dahulu dipeluk oleh maut daripada Mahisa Agni.
Dalam pada itu, Ranggawuni dan Mahisa Cempaka telah berada di sebuah padepokan terpencil. Padepokan yang dibangun oleh Witantra pada saat ia membuang diri dari pergaulan setelah ia dikalahkan oleh Mahisa Agni di dalam perang tanding. Di padepokan itulah ia kemudian mendapatkan kesempurnaan dari ilmu yang diturunkan oleh gurunya. Di padepokan yang terpencil itulah ia bersama adik seperguruan Mahendra, mencoba mencari-cari dan menyusun kelengkapan dari ilmu yang disadapnya dari gurunya, sehingga keduanya berhasil mencapai tingkat tertinggi dari olah kanuragan.
Kini ia tidak tinggal sendiri dan keluarganya saja di padepokan itu, tetapi ia kini bersama dengan dua orang dari istana Singasari yang memencilkan diri, diiringi oleh beberapa orang prajurit yang mengawalnya.
“Apakah kalian kerasan tinggal di sini?” bertanya Witantra kepada kedua anak-anak muda itu.
“Tentu Paman. Di sini Rasa-rasanya kami mendapatkan ketenangan,” jawab Ranggawuni.
“Di sini udaranya sangat sejuk. Dan seakan-akan padepokan ini merupakan daerah yang paling damai dari seluruh wilayah Singasari,” sahut Mahisa Cempaka.
Witantra tersenyum. Katanya, “Mungkin kedamaian dan ketenangan ini pada suatu saat akan segera berubah, jika petugas sandi dari istana Singasari mencium berita bahwa kalian berdua ada di sini, maka keadaan akan segera berubah.”
“Karena itu, kalian harus tetap berhati-hati. Jangan bermain-main terlampau jauh, dan ingat, jangan hanya berdua. Jika kalian ingin berjalan-jalan keluar padepokan ini, kalian harus disertai oleh dua atau tiga orang pengawal. Mungkin kalian tiba-tiba saja bertemu dengan petugas-petugas yang bertebaran di seluruh Singasari untuk mencari kalian.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun pesan itu rasa-rasanya telah mengusik perasaan damai dan tenang selama mereka di padepokan itu. Tetapi mereka pun menyadari bahwa setiap kelengahan akan berakibat bencana. Karena itulah maka setiap hari keduanya selalu berjalan-jalan bersama dua tiga orang pengawal. Apalagi jika mereka keluar dari padepokan dan menyusuri tanah pategalan.
“Beberapa orang penghuni padepokan ini rasa-rasanya mempunyai sifat dan tabiat yang lain dengan orang-orang Singasari,” desis Mahisa Cempaka.
“Sudah tentu,” jawab Ranggawuni, “mereka adalah orang-orang yang dengan sengaja memencilkan diri. Menyerahkan hidup mereka kepada ketenangan dan kedamaian. Mereka tidak ingin berbuat lebih banyak dari yang mereka lakukan. Tetapi mereka dengan demikian merasa dekat dengan Penciptanya.”
Mahisa Cempaka mengerutkan keningnya. Dan Ranggawuni berkata seterusnya, “Bukankah begitu kata Paman Witantra kepada kita?”
Mahisa Cempaka tersenyum sambil mengangguk,” Ya, mereka tidak mempunyai cita-cita yang lain dari ketenteraman hidup. Kini dan kelak yang abadi.”
“Nah bukankah begitu?”
“Tetapi siapakah mereka sebenarnya?” Mahisa Cempaka tiba-tiba bertanya, “mereka seakan-akan terlempar ke daerah ini dengan diselubungi oleh rahasia yang tidak dapat ditebak.”
Ranggawuni menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tentu kita tidak tahu. Tapi kita dapat menduga, bahwa mereka terlempar ke daerah ini tanpa kesengajaan. Mungkin mereka perantau yang jemu melihat kehidupan di tempat-tempat aman. Ketika mereka melintasi daerah yang tenang ini, mereka minta izin untuk tinggal di sini pula. Atau barangkali sebagian memang datang bersama Paman Witantra. Mungkin pelayannya semasa lampau. Bukankah Paman Witantra itu dahulu seorang panglima dari Tumapel.”
Mahisa Cempaka menganggukkan kepalanya. Tetapi keduanya kemudian tidak membicarakan lebih lanjut. Mereka hanya merenungi saja orang-orang yang bekerja dengan tidak banyak berbicara. Orang yang nampaknya jarang sekali berhubungan dengan dunia di luar mereka. Wajah mereka selalu bersungguh-sungguh. Namun terbayang ketenangan dan kedamaian di hati mereka. Harapan yang mantap bagi hidup mereka yang abadi kelak. Hidup abadi dalam pelepasan segala macam derita kehidupan fana.
Namun dalam pada itu, kedua anak-anak itu tidak hanya sekedar bersembunyi, dan sekali-kali menghirup udara pagi di padepokan yang sepi. Sejak mereka berada di padepokan itu, Witantra sudah mulai memperkenalkan mereka dengan olah kanuragan.
“Jangan mengganggu ketenangan orang di padepokan ini dengan tingkah yang bagi mereka tentu dianggap aneh,” berkata Witantra, “sudah beberapa lamanya mereka memusatkan hidup mereka di dalam nafas kedamaian.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka termangu-mangu sejenak. Mereka tidak mengerti maksud Witantra. Meskipun anak-anak itu tidak bertanya, namun agaknya Witantra dapat menangkap perasaan mereka. Karena itu maka katanya,
“Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Penduduk padepokan ini yang hanya beberapa keluarga sudah lama sekali tidak melihat kekerasan. Mereka tidak pernah lagi memikirkan kemungkinan seseorang mempergunakan olah kanuragan. Apa lagi olah kanuragan untuk memaksakan kehendaknya atas orang lain.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mendengarkan kata-kata Witantra itu dengan seksama. Dan Witantra meneruskan, “Selama ini mereka merasa bahwa di tempat ini mereka menemukan kehidupan yang tenang dan damai. Mereka dapat bekerja tanpa gangguan apapun juga, berbakti kepada Penciptanya dengan hikmat. Tidak ada persoalan apapun yang timbul di dalam keluarga kecil di padepokan ini.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang masih terlalu mu da itu termenung sejenak. Namun kemudian Ranggawuni berkata, “Tetapi kehidupan yang demikian itu agaknya memang sangat menarik, Paman. Sebenarnya aku pun menjadi jemu hidup di lingkungan orang-orang yang selalu bertengkar. Aku kini menyadari bahwa usaha untuk membunuh aku berdua dengan Adinda Mahisa Cempaka adalah akibat dari pertentangan yang pernah terjadi di Singasari. Pertentangan yang selalu diselesaikan dengan kekerasan. Sehingga dengan demikian, aku justru ingin hidup di padepokan ini dengan tata kehidupannya yang tenang dan damai.”
Witantra menarik nafas. Katanya, “Kau dapat bersikap damai Ranggawuni. Tetapi kau adalah seorang kesatria. Tugasmu sebagai kesatria menuntut cara hidup yang berbeda dengan mereka yang mengasingkan diri di padepokan ini. Sebagai kesatria kau mempunyai tugas untuk membantu membersihkan segala bentuk yang salah di muka bumi. Kau tidak dapat berpangku tangan, menikmati kedamaian hatimu sendiri, sedangkan di bagian lain dari bumi ini orang-orang lain mengalami penindasan dan perlakuan yang tidak adil. Kau harus bangkit dan berusaha untuk membantu mereka yang diperlakukan tidak adil itu.”
Kedua anak-anak muda itu menganggukkan kepalanya.
“Kau berdua masih terlalu muda. Pada saatnya kau berdua akan melihat, bahwa masih banyak tugas yang belum terselesaikan. Dan agaknya di sepanjang jaman, masih saja perlakuan yang tidak adil itu akan terjadi. Dan karena itulah maka kesatria di sepanjang jaman harus selalu berdiri tegak menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya, sehingga pada suatu saat yang tidak dimengerti, manusia menemukan ketenangan dan kedamaian yang sejati.”
“Tetapi apakah saat itu akan datang, Paman?” bertanya Mahisa Cempaka.
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya kedua anak-anak itu sejenak, lalu katanya dengan nada yang dalam, “Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Sebagai manusia kita memang mengharap bahwa pada suatu saat kita akan hidup tenang dan damai. Dan agaknya setiap orang memang mendambakan ketenangan dan kedamaian itu. Namun sifat manusiawi tidak terkendali telah mendorong manusia untuk saling bertengkar. Usaha untuk menemukan ketenangan dan kedamaian agaknya memang diusahakan oleh manusia. Tetapi rasa-rasanya bagaikan membagi sebuah bilangan. Semakin lama menjadi semakin kecil, namun kita tidak akan pernah sampai pada ketiadaan bilangan itu.”
Mahisa Cempaka dan Ranggawuni mengangguk-angguk. Mereka tidak begitu mengerti, tetapi mereka dapat menangkap maksud kata-kata Witantra itu. Karena itulah maka kedua anak-anak itu kemudian mempelajari oleh kanuragan di tempat yang terpencil. Untuk beberapa saat Mahendra masih berada di padepokan itu, sehingga mereka berdua mendapat tuntunan dari Witantra dan Mahendra berganti-ganti.
Ternyata kedua anak-anak muda itu memiliki daya serap yang tinggi. Mereka dengan segera menguasai dasar-dasar tata gerak dari ilmu yang diturunkan oleh Witantra dan Mahendra. Meskipun nampaknya baru meloncat-loncat dan berlari-lari saja, tetapi pada dasarnya mereka sudah mulai memasuki latihan-latihan yang mapan. Hampir setiap hari Ranggawuni dan Mahisa Cempaka di bawa oleh Witantra masuk ke dalam hutan yang tidak begitu lebat. Kadang-kadang bersama dengan Mahendra, namun kadang-kadang dengan Mahendra seorang diri. Tetapi yang diberikan oleh Witantra dan Mahendra sama sekali tidak ada bedanya.
Dalam pada itu, selagi Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mulai dengan mesu diri mempelajari ilmu kanuragan, di Singasari Pranaraja sedang sibuk mencari kemungkinan untuk menyingkirkan Mahisa Agni. Segala cara yang mungkin dapat di tempuh, telah dicobanya dengan sangat berhati-hati. Pranaraja tidak mau justru terjerumus ke dalam kesulitan. Jika masalahnya diketahui oleh Mahisa Agni, maka tentu ialah yang akan lebih dahulu terbunuh.
“Tentu usaha untuk membunuh Ranggawuni dan Mahisa Cempaka itu telah diketahui lebih dahulu oleh orang-orang yang kemudian melindunginya,” berkata Pranaraja di dalam hati. Dan ia pun tidak mempunyai sasaran lain kecuali Mahisa Agni. Apa lagi kemudian Lembu Ampal pun telah hilang pula dari istana.
“Lembu Ampal tentu sudah berkhianat dan berhubungan dengan Mahisa Agni untuk menyelamatkan kedua anak-anak itu.”
Tetapi ternyata ia tidak lagi dapat berbicara dengan Tohjaya. Tohjaya semakin lama nampak menjadi semakin murung. Dan semakin lama sifat pemarahnya semakin menjadi-jadi. Setiap kali Tohjaya tentu berteriak-teriak dan membentak-bentak. Orang-orang yang sebelumnya sangat dekat dengannya dan yang selalu diajaknya berbicara mengenai bidang masing-masing pun tidak luput dari sifatnya yang aneh itu.
Hampir setiap orang selalu nampak bersalah di matanya. Para panglima pun menjadi bingung, bagaimana melayani Tohjaya yang semakin aneh. Paseban tidak lagi menarik baginya. Bahkan seolah-olah Tohjaya tidak mau berbicara di dalam sidang. Apalagi sidang yang besar.
“Kenapa Tuanku Tohjaya seakan-akan berubah mengasingkan dirinya,” berkata panglima pelayan dalam kepada kawannya, para panglima yang lain.
Kawan-kawannya hanya dapat menggelengkan kepalanya. “Ada perubahan sifat yang jelas padanya,” desis yang lain pula.
Namun dalam pada itu Pranaraja berkata pula di antara mereka, “Mungkin ada sesuatu yang sedang mengganggu ketenangan pikirannya. Pada saatnya ia tentu akan segera pulih kembali, dan semuanya akan berjalan seperti biasa. Ia masih terlalu muda untuk menghadapi Singasari yang besar.”
“Tetapi arah perkembangannya agaknya berlawanan dengan sifat-sifatnya terdahulu. Kami pernah mencemaskan bahwa ia akan menjadi seorang raja yang terlalu membanggakan diri pada kekuasaannya. Bahkan mungkin agak sewenang-wenang. Tetapi ternyata sebaliknya. Kini ia lebih senang mengurung diri meskipun sifat pemarahnya justru berkembang dengan cepatnya.”
“Ia sangat mudah tersinggung dan seolah-olah kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri,” desis seorang senapati.
“Kalian keliru,” sahut Pranaraja, “semuanya itu akan segera berakhir. Kalian tidak usah cemas.”
Para panglima dan senapati itu mempercayainya. Karena itu mereka dengan sabar menunggu, pada saatnya Tohjaya akan sembuh dari sifat-sifat anehnya. Tetapi ternyata perhitungan mereka itu keliru. Tohjaya justru semakin lama semakin murung. Semakin dicengkam oleh sifat-sifat pemarahnya. Dan para pemimpin Singasari itu pun menjadi semakin heran karena Tohjaya pun semakin lama nampak semakin jauh dari ibundanya. Ibundanya yang sebelumnya adalah orang yang sangat dekat dengannya. Ibundanya yang seolah-olah memegang kendali atasnya.
Dengan demikian orang-orang di dalam pemerintahan mulai memperbandingkan Tohjaya yang pemarah itu dengan Anusapati yang telah terbunuh. Meskipun pada umumnya mereka yang kini berkuasa adalah orang-orang yang telah bersepakat untuk menyingkirkan Anusapati, namun sifat-sifat Tohjaya yang semakin aneh itu telah membingungkan mereka. Bahkan seorang dua orang pemimpin yang berkuasa mulai dijalari oleh perasaan kecewa. Dan terlebih-lebih dari itu mereka mulai menyesal, bahwa dengan demikian Singasari tidak berkembang justru menjadi semakin suram dan susut.
Dalam pada itu Ken Umang pun menjadi seperti orang yang kebingungan. Setiap hari ia selalu gelisah. Ia tidak lagi menghiraukan anak-anaknya yang lain. Setiap kali ia mencoba untuk bertemu dengan Tohjaya. Tetapi setiap kali Tohjaya telah menghindar dan bahkan membentak-bentak dan berteriak-teriak. Dengan demikian, maka Ken Umang pun lalu menjadi terasing karena tingkahnya sendiri. Bahkan ia seolah-olah selalu diserang oleh perasaan malu.
Jika Ken Umang bertemu dengan Pranaraja, maka ia pun selalu bertanya, “Kenapa kau belum berhasil membinasakan Mahisa Agni? Apakah kau menunggu kau sendiri terbunuh?”
“Tuan Putri,” jawab Pranaraja, “keadaan ini lambat laun telah berubah. Hamba tidak mengerti, apakah sebabnya Tuanku Tohjaya kini bertabiat aneh.”
“Omong kosong! Anakku tidak apa-apa.”
“Apakah Tuan Putri tidak merasakan perubahan itu? Tuan Putri, tuan adalah ibundanya. Barangkali Tuan Putri dapat berbuat jauh lebih banyak dari kami semuanya. Barangkali Tuan Putri dapat mengetahui sebabnya, sehingga kami bersama-sama akan dapat berusaha memulihkan kegembiraannya, gairah hidupnya dan terlebih lagi bagi kepentingan Singasari.”
Ibunda Tohjaya tidak segera menyahut. “Tuan Putri, Tolonglah kami. Tolonglah rakyat Singasari yang menjadi bingung dan tidak menentu.”
Ken Umang masih saja termenung.
“Tentu Tuan Putri dapat melakukannya, karena Tuan Putri adalah ibundanya. Tentang Mahisa Agni, serahkanlah kepada kami. Kami akan selalu berusaha. Jika Tuanku Tohjaya mendapatkan gairah hidupnya kembali, maka kami akan segera melakukannya.
“Bohong!” bentak Ken Umang, “Kalian akan menipu aku. Jika kalian memang dapat membunuh Mahisa Agni, bunuhlah. Tentu Tohjaya akan menjadi gembira, karena musuhnya yang paling berbahaya telah lenyap, seperti lenyapnya dua anak yang sampai saat ini tidak terdengar kabar beritanya itu lagi.”
“Tetapi Tuanku Tohjaya tidak pernah menyetujui pembunuhan atas Mahisa Agni itu.”
“Bohong, bohong. Lakukanlah, dan aku akan membujuk Tohjaya agar ia meninggalkan sifatnya yang baru tumbuh itu. Dan hal itu tentu bukan karena sifat-sifatnya dan pembawaannya. Tentu hanya karena ada sesuatu sebab. Dan sebab itu adalah Mahisa Agni.”
Dalam pada itu Pranaraja semakin terdorong ke dalam kesulitan. Tohjaya sama sekali tidak lagi dapat diketahui kehendaknya dengan pasti. Sedang usaha untuk membunuh Mahisa Agni seperti yang diperintahkan oleh Ken Umang, kadang-kadang membayanginya seperti hantu yang siap mencekik lehernya. Melakukan atau tidak melakukan, Pranaraja merasa dirinya terancam oleh Mahisa Agni yang meskipun nampaknya tidak ingin berbuat apa-apa. Tetapi justru karena ia masih saja nampak tenang-tenang di istana Singasari bersama pengawalnya itulah, maka Pranaraja merasa dirinya dikejar oleh kegelisahan yang sangat.
“Apakah Mahisa Agni mengetahui, bahwa akulah yang mula-mula mendorong Tuanku Tohjaya untuk membunuh Ranggawuni dan Mahisa Cempaka?” ia selalu dikejar oleh pertanyaan itu. Dan setiap kali Pranaraja merasa bahwa tangan-tangan Mahisa Agni seolah-olah telah mencengkamnya. Namun kadang-kadang ketakutannya itulah yang telah memaksanya untuk berteriak di dalam hatinya sendiri, “Aku harus membunuhnya. Harus!”
Selagi Pranaraja dicengkam oleh kegelisahan dan ketakutan itu, maka di padukuhan terpencil Lembu Ampal berusaha menyembunyikan dirinya. Setelah beberapa saat ia terpisah dari kehidupan di istana, maka ia pun mulai jemu dengan kehidupannya yang terpencil itu. Namun Lembu Ampal masih juga selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan. Di dalam angan-angan Lembu Ampal selalu nampak prajurit-prajurit Singasari mencarinya dari pintu ke pintu. Bukan saja di dalam kota, tetapi juga di pedesaan dan padukuhan-padukuhan terpencil.
Lembu Ampal sama sekali tidak mengetahui bahwa Tohjaya seakan-akan sudah tidak mengacuhkannya lagi. Lembu Ampal sama sekali tidak membayangkan bahwa Tohjaya telah berubah menjadi seorang yang hidupnya dipenuhi oleh kekecewaan, malu dan rendah diri karena sifat-sifat ibunya. Namun untuk menutupi perasaan itu, ia justru menjadi seorang pemarah yang tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Perintahnya meledak-ledak tanpa arah, dan hubungannya dengan para pembantunya, para panglima yang pernah mendukungnya menjadi semakin tidak teratur lagi.
Untunglah bahwa para panglima yang sudah terlanjur melangkahkan kaki mereka di belakang Tohjaya, masih bersabar. Mereka menganggap bahwa Tohjaya sedang dihinggapi oleh perasaan bersalah atas kematian Anusapati. Namun pada saatnya ia akan menjadi tenang dan akan memerintah Singasari dengan sebaik-baiknya.
Dalam kegelisahan dan kejemuan itulah maka Lembu Ampal menilai keadaan dirinya. Ia tidak dapat mengabaikan Mahisa Agni. Hilangnya kedua anak-anak yang harus dibunuhnya itu, tentu atas usaha Mahisa Agni pula.
“Tidak ada orang yang mampu melakukannya selain Mahisa Agni. Adalah mustahil bahwa seseorang dapat melemparkan kedua anak-anak itu keluar halaman istana tanpa diketahui oleh penjaga. Baru setelah mereka berada di luar, kebetulan seorang penjaga melihat. Seseorang melintasi jalan,” katanya di dalam hati.
Dengan demikian Lembu Ampal merasa dirinya bukan saja dikejar oleh prajurit-prajurit istana karena ia lari dari tugasnya, tetapi ia merasa ngeri juga setiap ia mengenangkan nama Mahisa Agni.
“Jika Mahisa Agni mengetahui bahwa Ranggawuni dan Mahisa Cempaka ada di dalam bahaya, maka ia pun tentu tahu bahwa akulah yang akan melakukannya. Pendeta itu tentu mengatakan selengkapnya.”
Karena itulah maka Lembu Ampal tidak pernah merasa tenang tinggal di satu tempat dalam waktu yang cukup lama. Ia selalu berpindah-pindah dari padukuhan yang satu ke padukuhan yang lain. Kadang-kadang ia berganti nama dan kadang-kadang ia berusaha mengubah wajahnya dengan membiarkan kumis dan janggutnya tumbuh tidak teratur. Namun kemudian memotongnya dan memeliharanya dengan rapi.
Dalam kegelisahan itulah maka kemudian Lembu Ampal menjadi seorang pengembara. Ia pergi tanpa tujuan. Ia mempergunakan nama yang berbeda-beda dan bentuk yang berubah-ubah. Ia menyusuri jalan-jalan pedesaan yang sepi dan bahkan sampai ke pinggir hutan. Menjelajahi padepokan-padepokan yang tidak dikenal namanya dan kadang-kadang bermalam di tempat-tempat yang tidak diketahuinya sendiri.
“Aku telah diburu oleh dosa-dosaku sendiri,” keluhnya di dalam hati, “meskipun aku belum melakukannya, tetapi kesediaanku menerima tugas itu telah membuat aku terlempar dari kehidupan yang wajar ini.”
Karena itu maka Lembu Ampal berusaha untuk menebus dosanya dengan berbuat kebaikan. Di perjalanan ia melakukan tapa ngrame. Ia menolong setiap orang yang memerlukan pertolongannya, apapun juga. Sementara itu, ia pun telah berusaha di setiap perjumpaannya dengan kejahatan, untuk membasminya. Sebagai seorang prajurit Lembu Ampal mempunyai bekal yang cukup. Ia adalah seorang yang berilmu tinggi, karena ia adalah seorang senapati terpilih di Singasari.
Dalam pada itu. di dalam pengembaraannya, tidak disadarinya, Lembu Ampal semakin lama justru semakin mendekati padepokan Witantra. Tempat kedua anak-anak muda yang dilarikan dari istana Singasari itu bersembunyi. Sebagai seorang perantau maka Lembu Ampal telah berubah sama sekali. Tidak seorang pun yang mengenalnya, bahwa ia adalah seorang senapati pilihan dari Singasari.
Setiap padukuhan yang terpencil memang sangat menarik perhatian Lembu Ampal. Kadang-kadang ia menemukan sesuatu yang baru di dalam hidupnya. Di padukuhan atau padepokan kecil dan terpencil ia menemukan manusia yang mendambakan suara nurani kemanusiaannya. Manusia yang hidup dalam jalinan yang erat. Mendatar dan meninggi. Antara sesama manusia dan hubungan dengan Penciptanya. Lembu Ampal berjalan terus.
Namun sekali-kali Lembu Ampal masih juga harus mempergunakan kekerasan. Jika ia menemukan perampok-perampok yang tanpa belas kasihan mengganggu penduduk yang memang sudah hidup dalam kesederhanaan, maka ia pun telah berbuat sesuatu, meskipun seandainya harus menimbulkan kematian. Karena dengan demikian Lembu Ampal merasa bahwa dirinya telah ikut serta membantu berkurangnya kejahatan.
Tetapi pada suatu saat, Rasa-rasanya dada Lembu Ampal terguncang. Ketika ia berjalan menyusuri pinggir hutan yang tidak terlampau lebat, ia melihat tiga orang berjalan beriringan. Seorang yang sudah setengah umur, sedang kedua yang lain justru masih terlampau muda. Sekilas orang yang setengah umur itu memandang kepadanya. Namun perhatiannya pun kemudian terlempar ke arah yang lain. Agaknya orang itu menganggapnya seorang yang sedang bepergian jauh, atau seorang perantau yang berjalan tanpa tujuan. Tetapi dalam pada itu, kehadirannya di tempat itu telah membuatnya jadi sangat gelisah. Kedua anak-anak itu ternyata adalah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
“Gila!” desis Lembu Ampal, “Ternyata kedua anak-anak itu bersembunyi di tempat ini.” Namun kemudian timbul persoalan di dalam dirinya, “Apakah yang seharusnya aku lakukan?” Lembu Ampal menjadi bimbang. Dari kejauhan ia mengikuti ketiga orang itu melintasi pematang. Kemudian menuju ke sebuah padepokan kecil tidak jauh dari hutan rindang itu.
“Aku dapat membunuhnya,” Lembu Ampal menggeram.
Namun ia pun kemudian terlempar dalam pertentangan di dalam dirinya sendiri. Sudah beberapa lama ia merantau dan berusaha berbuat kebajikan karena ia merasa dikejar oleh dosa-dosanya. Namun ketika ia melihat kedua anak-anak itu di sebuah padepokan kecil, maka ia telah diguncang lagi oleh nafsu manusiawi yang memang sudah ada di dalam dirinya.
“Jika aku dapat membunuhnya dan membawa bukti kematiannya, aku akan dapat kembali ke Singasari. Aku akan menunjukkan kesetiaanku kepada Tuanku Tohjaya,” berkata Lembu Ampal di dalam hatinya. Namun yang kemudian dibantahnya sendiri, “Sudah sekian lama aku berbuat kebajikan. Apa salahnya jika aku pura-pura saja tidak tahu. bahwa keduanya ada di tempat yang terpencil ini.”
Lembu Ampal justru menjadi bingung. Karena itu, maka ia pun kemudian justru masuk ke dalam hutan dan duduk bersandar sebatang pohon. Ia ingin menemukan keputusan yang mantap. Apakah yang sebaiknya dilakukannya. Sejenak Lembu Ampal mencoba merenungi dirinya sendiri. Kehidupan selama ini. Berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain. Bersembunyi dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain menghindari pengamatan petugas-petugas sandi dari Singasari dan mungkin juga Mahisa Agni.
“Sudah cukup lama aku menderita,” katanya kepada diri sendiri, “dan sudah cukup banyak aku berbuat kebaikan. Apa salahnya jika aku sekarang memikirkan diriku sendiri. Jika aku berhasil membunuh keduanya, maka aku akan dapat kembali ke Singasari. Bahkan mungkin aku akan menerima hadiah. Aku akan hidup sebagai seorang senapati yang terhormat. Aku tidak perlu lagi ketakutan dikejar oleh petugas-petugas sandi atau oleh Mahisa Agni, karena ia berada di lingkungan keprajuritan.”
Lembu Ampal menggeretakkan giginya. Dihentakkannya tangannya sambil menggeram, “Aku harus membunuhnya.”
Tetapi tiba-tiba ia teringat kepada Mahisa Agni. Katanya kemudian, “Apakah Mahisa Agni ada di padepokan ini pula?”
Sejenak Lembu Ampal termangu-mangu. Namun kemudian ia berdesis, “Tentu Mahisa Agni tidak berada di padepokan ini. Tempat ini tentu sekedar menjadi tempat persembunyian saja.”
Tetapi Lembu Ampal tidak segera dapat mengambil sikap. Persoalan yang lain segera menyusul berurutan. Bukan persoalan duniawi semata-mata, tetapi sudah sekian lamanya ia merasa berjalan semakin dekat dengan Yang Maha Agung. “Apakah aku harus menjauhinya lagi.”
Namun demikian, rasanya ada sesuatu yang mengikatnya di tempat itu. Ternyata bahwa Lembu Ampal tidak berhasrat untuk segera meninggalkan tempat itu. Rasa-rasanya ia masih ingin mengetahui, apakah Mahisa Agni ada di padukuhan itu atau tidak.
“Persetan!” ia menggeram, “Aku sudah jemu hidup seperti serigala liar. Aku ingin kembali ke Singasari sebagai seorang senapati besar. Aku ingin hidup di lingkungan istana kembali, dikelilingi oleh serba kebendaan yang menyenangkan. Di daerah perantauan aku hidup seperti seekor burung di udara. Kadang-kadang hinggap sehari dua hari, kemudian terbang lagi mencari sesuap makanan.”
Lembu Ampal tiba-tiba mengepalkan tinjunya. Dipukulnya sebongkah batu padas dengan sepenuh kekuatannya, sehingga batu padas itu menjadi pecah berserakan. “Tanganku masih cukup kuat. Ilmuku masih cukup mapan untuk membunuh kedua kelinci itu. Tanpa Mahisa Agni keduanya adalah kelinci-kelinci yang malang.”
Tiba-tiba Lembu Ampal telah dicengkam oleh nafsu duniawinya kembali. Jika selama ini ia sudah melakukan tapa ngrame, menolong setiap insan yang memerlukan pertolongannya, bukan saja seseorang, tetapi juga menolong seekor katak yang akan disergap oleh seekor ular, kini ialah yang telah siap untuk menyergap Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Dengan membawa bukti kematian kedua anak-anak itu, maka ia akan dapat kembali ke istana dengan sebutan kebesarannya. Satu dua hari Lembu Ampal mempergunakannya untuk menyelidiki apakah Mahisa Agni ada di pedesaan itu.
Ternyata ia tidak pernah melihat Mahisa Agni ada di antara Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Setiap kali Ranggawuni dan Mahisa Cempaka hanya ditemani oleh seseorang yang belum dikenalnya dengan baik. Ketika Lembu Ampal melihat Ranggawuni dan Mahisa Cempaka berjalan menuju ke bagian dalam dari hutan yang rindang itu, ia menjadi heran. Apakah yang akan dikerjakannya? Kedua anak-anak itu hanyalah ditemani oleh seorang yang setengah umur dan nampaknya hanyalah seorang penghuni padepokan terpencil itu. Kesempatan itu akan dipergunakan oleh Lembu Ampal melakukan maksudnya. Tetapi tiba-tiba ia mengurungkan niatnya. Ia ingin melihat, apa saja yang dilakukan oleh kedua anak itu.
Di tengah hutan rindang itu Ranggawuni dan Mahisa Cempaka sudah siap untuk melakukan latihan seperti biasanya. Namun tiba-tiba saja orang yang menemaninya itu berkata, “Hari ini kita tidak akan berbuat apa-apa.”
“Kenapa Paman?”
“Kita beristirahat. Kita melihat saja keadaan di hutan ini. Meskipun kalian telah cukup lama ada di sini, tetapi kalian tentu belum pernah melihat isinya sampai ke ujung.”
“Hutan ini amat luas.”
“Tidak. Hutan ini adalah hutan kecil. Tetapi jika kalian tidak ingin menelusuri sampai ke ujung, baiklah kita kembali saja ke padepokan.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka sama sekali tidak mengerti. Kenapa mereka tidak berbuat apa-apa sama sekali. Adalah di luar kebiasaan, bahwa mereka tanpa sebab tidak melakukan latihan apapun juga. Tetapi keduanya tidak membantah. Mereka mengikuti saja kembali ke padepokan tanpa melakukan apa-apa.
Lembu Ampal termangu-mangu melihat ketiga orang itu pergi. Sejenak ia berpikir. Tetapi ia tidak mengetahui apa yang sebenarnya telah dilakukan oleh ketiganya. “Aku terlampau bodoh,” berkata Lembu Ampal agak menyesal, “jika aku tidak dipengaruhi oleh keinginanku untuk mengetahui apa saja yang mereka lakukan, maka aku sudah berhasil membunuh mereka dan membawa bukti kematian mereka menghadap Tuanku Tohjaya. Dan besok aku sudah diperkenankan memakai pakaian kebesaranku dengan segenap kehormatan.”
Namun demikian Lembu Ampal tidak kehabisan akal. Ia yakin, bahwa anak-anak itu akan datang kembali. Atau setidak-tidaknya ia akan mendapat kesempatan yang lain. Dengan demikian, maka Lembu Ampal pun masih tetap menunggu. Jika sekali lagi anak-anak itu pergi ke hutan, maka mereka tentu akan segera disergapnya. Di hari berikutnya, Lembu Ampal sudah mengawasi padepokan itu dari kejauhan. Hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat beberapa orang keluar dari padepokan itu pergi ke sawah. Ia mengharap bahwa kedua anak-anak itu akan ada pula di antara mereka. Tetapi ia menjadi kecewa. Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak beserta dengan orang-orang yang akan pergi ke sawah itu.
“Apakah anak-anak itu akan pergi ke hutan lagi?” Dengan sabar Lembu Ampal menunggu. Ia selalu mengawasi mulut padepokan itu. Sekejap pun ia tidak melewatkannya. Setiap orang yang keluar dari padepokan tidak terlepas dari pengawasannya. Tetapi kedua anak-anak itu masih belum dilihatnya.
“Apakah aku harus menyerbu masuk ke padepokan itu dan langsung membunuhnya di sana?” ia bertanya kepada diri sendiri.
“Biarlah. Aku akan menunggu sampai lewat tengah hari. Jika sampai lewat tengah hari kedua anak-anak itu belum juga keluar, maka aku akan memasuki padepokan itu. Aku tidak peduli, bahwa penduduknya akan menjadi ketakutan.”
Namun ternyata Lembu Ampal tidak perlu menunggu sampai lewat tengah hari. Tiba-tiba saja ia melihat kedua anak muda itu berlari-lari. Di belakangnya orang yang dilihatnya kemarin menyertai anak-anak muda itu ke hutan, berjalan pula di belakangnya.
“Jangan berlari-lari,” berkata orang yang mengikutinya itu, “kita pergi ke hutan. Jika aku tidak meleset, aku akan mencari seseorang untuk menjadi kawan kita berlatih hari ini.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka menjadi heran. Sehingga Ranggawuni pun bertanya, “Siapa Paman?”
“Nanti aku akan memberitahukan.”
Keduanya tidak mendesaknya lagi meskipun mereka masih tetap ingin tahu. Pamannya itu tentu tidak akan mau memberitahukan sampai saat yang dikehendakinya.
Dalam pada itu Lembu Ampal menjadi semakin berdebar-debar. Kedua anak-anak itu benar-benar pergi ke hutan seperti dilihatnya kemarin. “Aku tidak peduli apa saja yang dilakukannya Aku ingin membunuhnya sekarang.”
Dengan demikian maka Lembu Ampal pun merayap mengikuti Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Ia berlindung dan balik sebatang pohon ke sebatang pohon yang lain, sehingga akhirnya ia melihat Ranggawuni dan Mahisa Cempaka berhenti di sebuah tempat terbuka yang agak luas. “Apakah yang akan mereka lakukan?” bertanya Lembu Ampal kepada diri sendiri.
Sejenak Lembu Ampal menunggu sambil berlindung di sebuah gerumbul yang agak lebat. Dari tempatnya ia dapat melihat tiga orang yang berada di tempat yang terbuka itu. Tetapi Lembu Ampal tidak melihat mereka berbuat sesuatu. Mereka bertiga pun kemudian duduk berhadapan sambil berbicara. Tetapi Lembu Ampal tidak dapat mendengar pembicaraan mereka dari tempatnya bersembunyi.
“Gila!” desis Lembu Ampal, “Aku tidak peduli. Sudah saatnya aku bertindak. Besok aku tentu akan disambut dengan penuh kehormatan di Singasari.”
Lembu Ampal telah benar-benar melupakan penyesalan yang pernah mencengkam hatinya, seakan-akan ia merasa telah dikejar oleh perasaan berdosa, sehingga tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi baginya. Namun ketika kedua orang anak-anak muda itu telah berada di depan hidungnya, maka semuanya itu tidak lagi membekas di dadanya. Sejenak Lembu Ampal menunggu. Tetapi karena ketiganya masih saja duduk sambil berbicara perlahan-lahan, maka ia menjadi tidak bersabar lagi. Karena itu, maka ia pun segera bersiap untuk menerkam Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Sementara itu, Ranggawuni dan Mahisa Cempaka masih saja duduk tanpa mengetahui bahaya yang mengancamnya. Bahkan Ranggawuni pun kemudian bertanya, “Paman, apakah kita hanya akan duduk diam saja?”
“Tunggulah sejenak. Aku sudah mendengar sesuatu.”
Ranggawuni menjadi heran. Dan Mahisa Cempaka pun bertanya, “Paman mendengar apa?”
“Seperti yang aku dengar kemarin. Desah nafas yang selalu mengikuti kita,” sejenak ia berhenti, lalu, “nah bersiaplah. Orang yang akan menemani kita latihan sudah siap untuk menjerang.”
Sekali lagi ia berhenti dan terdengarlah kemudian aba-aba dari mulutnya, “Cepat berdiri! Menghadap ke timur. Berpencaran dua langkah.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka sudah beberapa lama mengikuti latihan-latihan yang berat. Aba-aba semacam itu sudah sering didengarnya dan dilakukannya dengan baik. Demikian ketika mereka mendengar aba-aba itu, maka mereka pun dapat melakukannya dengan baik. Keduanya serentak meloncat berdiri, menghadap ke timur dan meloncat pula masing-masing dua langkah saling menjauhi.
Pada saat itulah Lembu Ampal meloncat dari persembunyiannya untuk menerkam anak-anak itu. Tetapi melihat sikap Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, Lembu Ampal terkejut bukan buatan, sehingga untuk beberapa saat ia berdiri termangu-mangu.
Dalam pada itu, Ranggawuni dan Mahisa Cempaka pun terkejut melihat seseorang yang meloncat dengan senjata telanjang di tangannya. Namun sesaat kemudian terdengar suara Ranggawuni, “Paman Lembu Ampal.”
Lembu Ampal tidak menjawab. Dipandanginya Ranggawuni dengan tajamnya. Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang sama sekali tidak tahu menahu tentang maksud Lembu Ampal itu pun kemudian melangkah mendekatinya. Mahisa Cempakalah yang kemudian bertanya,
“Paman, kenapa Paman berada di sini? Hampir aku tidak dapat mengenal Paman lagi. Keadaan Paman rasa-rasanya sudah sangat berubah. Wajah Paman ditumbuhi janggut dan kumis. Tetapi aku tidak lupa pada tatapan mata Paman yang tajam. Dan, yang membuat aku segera teringat akan Paman, adalah bentuk hidung Paman yang agak lain dari hidung kebanyakan orang. Mancung, dan sedikit melengkung.”
Mahisa Cempaka tertawa. Ranggawuni pun tertawa pula. “Apakah Paman memang mendapat perintah untuk mencariku? Kasihan. Paman tentu sudah berjalan sangat jauh, sehingga pakaian Paman sudah menjadi kumal. Bahkan sudah bukan pakaian seorang prajurit lagi,” berkata Ranggawuni kemudian.
Lembu Ampal tidak segera dapat menjawab. Dipandanginya kedua anak-anak muda yang nampaknya masih terlampau bening hatinya. Keduanya sama sekali tidak berprasangka apapun kepadanya. Namun demikian yang sangat mengherankan bagi Lembu Ampal, kenapa keduanya dengan cepat dapat mengenalinya. Meskipun hidungnya agak lain dari hidung kebanyakan orang, namun orang lain akan memerlukan waktu untuk dapat mengenalnya kembali.
“Ternyata keduanya memiliki kecerdasan ingatan yang luar biasa,” berkata Lembu Ampal di dalam hatinya.
“Paman,” desak Mahisa Cempaka, “kenapa Paman justru menjadi patung. Kami adalah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Apakah Paman lupa?”
“Tidak, tidak. Tuanku adalah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.”
“Nah, sekarang, aku ingin tahu, kenapa Paman ada di sini sekarang?”
Lembu Ampal tidak segera menjawab. Di dalam dadanya telah terjadi pergulatan yang sengit. Namun tiba-tiba ia menggeretakkan giginya sambil berkata di dalam hatinya, “Persetan! Bahwa aku bertemu dengan keduanya di sini adalah karunia. Agaknya waktu prihatin memang telah lampau, dan aku akan mendapat kesempatan untuk menikmati kebesaranku kembali.”
Karena Lembu Ampal tidak segera menjawab, maka Ranggawuni pun berkata pula, “Paman, siapakah yang memerintahkan Paman datang ke tempat ini? Barangkali mencari aku?”
Lembu Ampal menghentakkan tangannya. Ia tidak mau terpengaruh lagi. Ia harus membunuh keduanya. “Tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Sebenarnyalah bahwa hamba harus mencari Tuanku.”
“Oh,” desis Mahisa Cempaka, “Siapakah memerintahkan Paman kemari dan dari mana Paman tahu bahwa aku ada di sini?”
Lembu Ampal termangu-mangu sejenak, lalu, “Semua orang mencari Tuanku berdua. Terutama ibunda Tuanku. Hamba telah mendapat perintah dari ibunda Tuanku untuk mencari. Tidak seorang pun yang tahu bahwa Tuanku ada di sini. Karena itu, sebaiknya Tuanku segera kembali. Biarlah hamba mengantarkannya.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka termangu-mangu sejenak. Kemudian dipandanginya seorang yang berdiri sambil menyilangkan tangannya di dada.
“Paman, apakah benar Paman Lembu Ampal mendapat perintah dari Ibunda?”
Orang itu tersenyum. Katanya, “Ki Sanak. Baiklah aku memperkenalkan diri. Aku adalah penghuni padepokan ini. Dan dari kedua anak-anak muda ini aku mengenal namamu. Lembu Ampal.”
“Ya. Namaku Lembu Ampal,” sahut Lembu Ampal, “aku adalah seorang senapati. Kedua anak-anak muda ini tentu mengetahuinya.”
“Ya, keduanya sudah menyebut namamu dan jabatanmu. Mereka mengatakan bahwa Ki Sanak adalah seorang prajurit.”
“Karena itu, biarlah aku membawa keduanya.”
“Nanti dahulu. Jangan tergesa-gesa. Aku akan mempersilakan Ki Sanak singgah sebentar di padepokan. Biarlah aku membicarakannya dengan Kakang tentang kedua anak-anak muda ini. Aku kira, jika benar-benar kau mendapat perintah untuk mengambilnya, Kakang tidak akan berkeberatan.”
Lembu Ampal termangu-mangu sejenak. Namun rasa-rasanya ia selalu dikejar oleh waktu. Ia ingin cepat selesai dan kemudian cepat kembali ke Singasari. Karena itu maka ia pun menjawab, “Aku kira tidak perlu Ki Sanak. Aku tidak perlu singgah di padepokanmu. Aku minta diri untuk membawa kedua anak-anak ini.”
“Ah, kau aneh. Keduanya harus minta diri dahulu. Keduanya harus mempersiapkan diri dan pakaian mereka. Mereka tentu tidak akan dapat pergi begitu saja tanpa bekal apapun. Mungkin kita orang-orang tua tidak banyak terganggu perasaan lapar dan haus di perjalanan. Tetapi kanak-kanak?”
“Banyak minuman dan makanan di sepanjang jalan. Seperti saat ia pergi, maka keduanya pun tidak membawa bekal apa-apa sama sekali.”
“Oh. Tetapi, kenapa mereka harus kembali setelah mereka pergi dengan tergesa-gesa dan tanpa membawa apapun juga?”
“Itu bukan persoalanmu,” Lembu Ampal berhenti sejenak lalu, “sebaiknya kau tidak mempersoalkannya lagi. Aku akan membawa keduanya.”
“Aku tidak dapat melepaskan Ki Sanak. Aku adalah pemomongnya di sini.”
“Aku pemomongnya di istana.”
Tetapi tiba-tiba saja Ranggawuni berkata, “Ah. Paman bergurau. Bukankah Paman seorang senapati? Tentu bukan seorang pemomong di istana. Paman adalah pemomong sepasukan prajurit di medan perang.”
Wajah Lembu Ampal menegang. Namun jantungnya berdesir ketika ia melihat wajah Ranggawuni yang bersih bening. Kata-kata itu diucapkan tanpa prasangka apapun juga. Namun Lembu Ampal menghentakkan tangannya sambil berkata, “Aku tidak mempunyai banyak waktu. Minggirlah!”
Lalu katanya kepada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, “Marilah Tuanku berdua. Hamba akan membawa Tuanku kembali ke istana.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka menjadi termangu-mangu. Sementara itu orang setengah umur yang menyertainya berkata, “Kedua anak-anak itu sudah mengerti, apa yang akan terjadi atas dirinya jika mereka kembali ke istana. Itulah sebabnya keduanya melarikan diri. Bahkan sampai saat ini pun keduanya masih selalu dikejar-kejar.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Ki Sanak, kenapa kau mencari keduanya sampai ke tempat terpencil itu? Kenapa kau tidak membiarkannya hidup tenang di sini? Keduanya tidak mempunyai kesalahan apapun juga.”
Wajah Lembu Ampal menjadi tegang. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Jadi kau sudah mengetahui tentang kedua anak-anak itu, Ki Sanak? Kau mengetahui bahwa keduanya harus dibunuh?”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka terkejut mendengar pengakuan Lembu Ampal yang tiba-tiba. Meskipun mereka menyadari bahaya yang mengancam, tetapi mereka semula tidak menyangka bahwa Lembu Ampal yang datang dalam pakaian yang kumal dan wajah yang kehitam-hitaman dibakar oleh sinar matahari dan ditumbuhi oleh janggut dan kumis dengan tidak teratur itu adalah dalam rangkaian usaha pembunuhan itu pula.
“Baiklah aku tidak akan berbelit-belit lagi,” berkata Lembu Ampal, “aku minta kedua anak itu. Aku akan membunuhnya dan membawa bukti kematiannya kepada Tuanku Tohjaya.”
Orang yang mengawani kedua anak-anak muda itu justru tersenyum sambil berkata, “Sebaiknya kau berkata berterus terang. Tetapi aku kira kedua anak-anak muda itu tidak akan membiarkan dirinya terbunuh. Adalah haknya untuk membela diri mereka sendiri.”
Lembu Ampal menjadi tegang. Tetapi juga Ranggawuni dan Mahisa Cempaka menjadi tegang.
“Ki Sanak,” berkata orang yang bersama kedua anak-anak muda itu, “setiap makhluk hidup akan mempertahankan hidupnya secara naluriah. Seekor kelinci akan mencoba melarikan dirinya dari kuku-kuku anjing liar. Apalagi kedua anak-anak muda itu.”
“Aku tidak peduli!” teriak Lembu Ampal, “Membela diri atau tidak, keduanya akan aku bunuh.”
“Kami bertiga Ki Sanak. Kau hanya seorang diri.”
Lembu Ampal mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tertawa berkepanjangan. Katanya, “Apakah artinya kalian bertiga. Apa artinya Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Mungkin kau mempunyai sedikit kemampuan untuk mempertahankan diri beberapa saat. Namun keduanya tidak akan dapat membantumu.”
“Betapapun juga, kami akan bertahan. Jika perlu, aku akan berkelahi, sementara kedua anak-anak muda itu sempat melarikan dirinya.”
Sekali lagi Lembu Ampal tertawa. Katanya, “Setiap perlawanan akan membuat kalian bertiga semakin menderita menjelang hari-hari kematianmu.”
“Paman Lembu Ampal,” tiba-tiba saja Ranggawuni memotong, “aku tidak menyangka bahwa Paman adalah salah seorang dari mereka yang akan mencelakai aku. Tetapi sebenarnyalah bahwa kami tidak akan menyerah tanpa berbuat apa-apa.”
Dan tiba-tiba saja Mahisa Cempaka menyela sambil memandang kepada orang yang menyertainya, “Jadi orang inikah yang Paman maksudkan sebagai kawan berlatih?”
Orang itu tersenyum. Katanya, “Ya, inilah yang aku maksud.”
“Dari mana Paman tahu, bahwa ia berada di hutan ini?”
“Bukankah ia sendiri datang kepada kita?”
“Tetapi Paman tentu sudah tahu lebih dahulu. Sejak kita memasuki hutan ini, Paman sudah mengatakan bahwa Paman akan memberikan seorang kawan untuk berlatih.”
Lembu Ampal terkejut mendengar pembicaraan itu. Ternyata kedatangannya sudah diketahui terlebih dahulu. Dan itu sama sekali tidak diduganya. Karena itu ia menjadi ragu-ragu. Siapakah yang sudah melihatnya berkeliaran di padepokan ini? Tentu orang-orang dari istana pula. Tidak ada orang lain yang dengan mudah mengenalnya jika orang itu tidak mengenalnya sehari-hari
Namun dalam pada itu, sebelum ia sempat bertanya, Ranggawuni telah berkata, “Paman Lembu Ampal. Sebenarnyalah bahwa kedatangan Paman benar-benar membuat aku gembira. Kehadiran salah seorang yang aku kenal dari lingkungan istana memberikan sedikit obat kerinduan terhadap keluargaku. Tetapi ternyata kedatangan Paman justru sebaliknya.”
Ranggawuni berhenti sejenak, lalu, “Tetapi kami adalah anak-anak yang masih ingin hidup lebih lama lagi. Sudah tentu kami tidak akan menyerahkan leher kami, meskipun kepada Paman Lembu Ampal.”
Wajah Lembu Ampal menjadi merah. Anak-anak itu sudah berani menantangnya berkelahi. Mereka dengan berani menengadahkan wajah mereka memandang matanya. Mereka sama sekali tidak menjadi gemetar ketakutan. Harga diri Lembu Ampal sebagai seorang senapati telah tersinggung. Ia berkeinginan, bahwa kedua anak-anak itu merengek dan minta ampun. Jika demikian, barangkali hatinya akan menjadi luluh dan mengurungkan niatnya. Tetapi anak-anak itu sudah menantangnya dengan berani.
Karena itu, untuk menguatkan sikapnya, Lembu Ampal pun menggeram, “Kalian akan mati karena kesombongan kalian. Sebenarnya aku tidak sampai hati melakukannya. Tetapi karena kalian menjadi sombong, aku akan membunuhmu segera.”
Tiba-tiba saja Ranggawuni dan Mahisa Cempaka itu bergeser saling menjauhi. Bahkan Mahisa Cempaka yang nampaknya selalu tidak bersungguh-sungguh itu tertawa, “Kita benar-benar mendapat kawan berlatih yang baik sekali. Aku tahu, Paman Lembu Ampal adalah seorang senapati. Jika kami dapat, setidak-tidaknya bertahan untuk beberapa saat lamanya, maka kami sudah memiliki kebanggaan.”
Ranggawuni memandang adik sepupunya sejenak. Tetapi ia menyadari bahwa itu adalah kebiasaannya. Dalam pada itu kemarahan Lembu Ampal telah sampai ke puncaknya. Karena itu, ia sama sekali tidak mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain lagi kecuali membunuh kedua anak-anak itu, dan kemudian orang yang menyaksikan pembunuhan itu. Dengan demikian Lembu Ampal tidak berbicara terlalu banyak. Senjatanya masih berada di tangannya.
Sementara itu Mahisa Cempaka masih juga berkata, “Sekarang aku tahu, kenapa Paman membawa senjata telanjang. Aku sangka bahwa perjalanan Paman yang berat, atau barangkali keragu-raguan Paman terhadap kamilah yang memaksa Paman untuk bersiaga dengan senjata itu. Ternyata bahwa sebenarnya senjata itu akan disarungkan di dalam tubuh kami berdua.”
Lembu Ampal tidak menjawab lagi. Dihentakkannya kakinya untuk menghindarkan segala macam pertimbangan yang lain. Kemudian ia pun segera meloncat menyerang Mahisa Cempaka. Tetapi Mahisa Cempaka bukan anak-anak yang masih merengek dalam ketakutan melihat perang. Ia pun segera mengelak. Bahkan sekejap kemudian ia sudah menggenggam senjatanya pula. Senjata yang akan dipergunakannya untuk berlatih. Tetapi seperti yang diharapkannya, ia mendapat kawan berlatih yang lain dari biasanya.
Sementara itu, Ranggawuni pun telah siap pula dengan senjatanya pula. Sebuah pedang tipis seperti yang berada di dalam genggaman tangan Mahisa Cempaka. Sikap dan tandang kedua anak muda itu mengejutkan Lembu Ampal. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa keduanya sudah memiliki dasar-dasar olah kanuragan. Bahkan ternyata keduanya adalah anak yang lincah dan cekatan. Kemudian ia pun segera meloncat menyerang Mahisa Cempaka.
Sejenak kemudian maka Lembu Ampal sudah harus bertempur melayani kedua anak muda itu. Keduanya bertempur berpasangan. Dengan kemampuan yang sudah mereka miliki, maka mereka berusaha untuk mengurung Lembu Ampal dengan serangan-serangan yang tiada hentinya, agar Lembu Ampal tidak mempunyai banyak kesempatan.
Untuk beberapa saat Lembu Ampal hanya dapat menangkis dan menghindari serangan kedua anak-anak muda itu. Ia masih saja terheran-heran, bahwa dalam waktu yang singkat keduanya berhasil memiliki dasar-dasar olah kanuragan yang cukup. Tetapi sesaat kemudian Lembu Ampal segera dapat mengatur dirinya. Ia adalah seorang senapati besar di Singasari. Sehingga karena itu, maka ia pun akan dengan segera dapat mengatasi kedua lawannya.
Perlahan Lembu Ampal kemudian menemukan sikap yang mapan. Ia sudah berhasil menyingkirkan pengaruh perasaannya yang heran melihat kemampuan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Dengan demikian maka Lembu Ampal pun kemudian mulai mengatur serangan-serangannya terhadap kedua anak-anak muda yang berkelahi berpasangan itu.
Dengan segera nampak, bahwa Lembu Ampal memang bukan lawan kedua anak muda itu meskipun keduanya berkelahi bersama-sama. Dalam beberapa saat kemudian keduanya segera terdesak. Sekali-kali keduanya harus menghindari serangan ganda Lembu Ampal yang berbahaya. Bahkan kadang-kadang mereka harus berloncatan menjauh.
Ketika kemungkinan untuk bertahan kedua anak itu semakin pudar, terdengar suara Lembu Ampal, “Tidak ada gunanya lagi perlawanan Tuan. Sebentar lagi Tuan berdua akan mati terkapar di tanah. Sebaiknya Tuan berdua mengetahui, bahwa aku akan membawa bukti kematian Tuan berdua. Bukti yang paling dapat dipercaya adalah membawa kepala Tuan berdua menghadap Tuanku Tohjaya. Sebenarnyalah Tuanku Tohjaya menghendaki kematian Tuan berdua, karena Tuan berdua dapat membahayakan kedudukannya yang didapatkannya, dengan kekerasan, karena Tuanku Tohjaya telah membunuh Anusapati.”
Terasa bulu tengkuk Ranggawuni dan Mahisa Cempaka meremang. Rasa-rasanya leher mereka sudah mulai terasa dingin, seolah-olah mata pedang Lembu Ampal telah mulai menyentuhnya.
“Berhentilah berkelahi,” teriak Lembu Ampal, “berjongkoklah, agar aku dapat memenggal kepala Tuan dengan mudah. Jika Tuan berdua masih saja melawan, mungkin aku akan mengambil sikap lain, dan membunuh Tuan berdua dengan cara yang tentu tidak akan Tuan sukai.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak segera menjawab. Mereka masih sibuk membebaskan diri dari serangan Lembu Ampal yang bagaikan arus banjir bandang.
“Cepat, lemparkan senjata Tuan,” teriak Lembu Ampal.
Tetapi Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak melepaskan senjatanya. Mereka masih berusaha melawan dengan gigihnya. Lembu Ampal menjadi semakin marah, sehingga serangannya menjadi semakin berat. Katanya, “Tuan berdua memang sedang sekarat, tuan berdua memilih jalan yang pahit.”
“Kau akan dikutuk oleh rakyat Singasari,” teriak Ranggawuni kemudian, “kau pengkhianat seperti Pamanda Tohjaya. Kematian bukan lagi sesuatu yang menakutkan bagi kami.”
“Persetan!” bentak Lembu Ampal, “aku akan menyumpal mulutmu dengan ujung pedang.”
“Ki Sanak,” tiba-tiba orang yang selama itu menyaksikan perkelahian yang sengit itu berkata, “kau tidak akan dapat membunuhnya di hadapan seorang saksi. Aku adalah saksi yang dapat menceritakan apa yang telah terjadi di sini.”
“Kau pun harus mati.”
“Tidak. Aku tidak mau mati.”
Jawaban itu mengejutkan Lembu Ampal. Namun kemudian ia menggeram, “Aku akan membunuhmu.”
Tetapi orang itu tertawa. Katanya, “Tentu Ranggawuni dan Mahisa Cempaka masih senang melakukan latihan yang agak berat itu. Namun dengan demikian mereka dapat mengukur sampai di manakah sebenarnya kemampuan mereka.”
Kemarahan Lembu Ampal telah mendesak kedua anak muda itu sehingga keduanya seolah-olah hanya dapat berloncat-loncatan bergantian. Untuk mengurangi tekanan pada yang seorang, yang lain mencoba menyerang. Namun semua pasti, bahwa mereka tidak akan mampu menyelamatkan diri berdasarkan atas kemampuan mereka itu sendiri.
Karena itulah, maka orang yang menyertainya itu pun maju beberapa langkah sambil berkata, “Agaknya latihan untuk hari ini sudah cukup. Kawanmu berlatih masih terlampau berat bagimu berdua.” Kata-kata itu benar-benar tidak dapat dimengerti oleh Lembu Ampal. Yang terasa olehnya adalah suatu penghinaan yang tidak dapat dimaafkannya lagi.
Sementara itu, Ranggawuni dan Mahisa Cempaka pun berusaha untuk melepaskan diri dari lawannya. Tetapi Lembu Ampal yang dibakar oleh kemarahan yang menyala di dadanya itu tidak mau melepaskan kedua anak-anak itu sama sekali.
“Baiklah,” berkata orang yang menyertai Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, “jika kau tidak mau memberi kesempatan kedua anak-anak itu berhenti, aku akan memaksanya berhenti.”
Kata-kata itu memang mendebarkan jantung. Tetapi Lembu Ampal tidak segera percaya bahwa orang itu mampu melakukannya. Karena itu, ia masih memusatkan serangannya kepada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Keduanya harus mati. Dan bukti kematian keduanya akan membawanya kepada kedudukannya yang semula. Tetapi betapa ia terkejut ketika tiba-tiba saja ia bagaikan terbentur pada kekuatan yang tidak diduganya sama sekali.
Ketika pedangnya sedang memburu dan bahkan hampir saja mematuk tubuh Ranggawuni, terasa kekuatan yang luar biasa telah mendorong serangannya, sehingga serangannya itu pun terpotong karenanya. Bukan saja ia harus menarik senjatanya, namun terasa tangan dan lengannya menjadi sakit dan nyeri. Sesaat Lembu Ampal mematung. Dengan wajah tegang dipandanginya orang yang telah berdiri di hadapannya. Dan yang lebih menegangkan adalah kenyataan bahwa orang itu sama sekali tidak memegang senjata apapun.
“Dengan apa ia memotong serangan pedangku,” bertanya Lembu Ampal di dalam hatinya.
Orang yang berdiri di hadapan Lembu Ampal itu memandanginya dengan tajamnya. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Maaf Ki Sanak. Aku sudah mengatakan, jika kau tidak mau memberi kesempatan kedua anak muda itu berhenti, maka aku terpaksa menghentikanmu.”
Lembu Ampal masih berdiri tegak. Ia masih mencoba mencari senjata apakah yang telah membentur senjatanya. Namun Lembu Ampal tidak menemukannya.
“Nah, sekarang terserah kepadamu,” berkata orang itu, “apakah kau masih ingin melanjutkan latihan ini. Tetapi karena kedua anak muda itu sudah lelah, maka biarlah aku yang mengawanimu bermain pedang.”
“Persetan!” Lembu Ampal menggeram, “Kau mencoba untuk menunjukkan kelebihanmu. Tetapi jangan sangka bahwa kau dapat menakut-nakuti aku dengan caramu itu.”
“Oh,” orang itu tersenyum, “kenapa aku menakut-nakutimu? Aku tidak berbuat apa-apa.”
“Siapakah kau sebenarnya? bertanya Lembu Ampal.
“Aku salah seorang cantrik dari padepokan ini. Padepokan ini adakah padepokan Panji Pati-pati. Seorang prajurit Singasari yang berada di Kediri.”
“Bohong! Aku mengenal semua prajurit Singasari yang ada di Kediri.”
“Kecuali yang satu itu. Ia adalah seorang prajurit baru yang diangkat oleh Tuanku Mahisa Agni sebelum ia dipanggil menghadap ke Singasari. Sebelumnya ia adalah seorang yang sudah mengasingkan diri di padepokan ini. Kini pun ia seakan-akan berada di dua tempat. Kadang-kadang di padepokan ini, kadang-kadang ia pergi ke Kediri untuk melakukan kewajibannya di sana. Jika demikian, maka akulah yang diserahi untuk mengawani kedua anak-anak muda ini.”
“Siapa kau sebenarnya? Kau belum menjawab pertanyaanku.”
“Aku seorang cantrik dari padepokan ini. Aku adalah cantrik yang paling dungu, sehingga aku tidak dibebani pekerjaan lain kecuali bermain-main dengan keduanya.”
“Cukup! Kau jangan mengigau. Apakah kau tidak berani menyebut namamu sendiri sehingga kau tidak menjawab pertanyaanku. Aku bukan anak-anak yang dapat kau tipu. Kau sebut bahwa kau adalah cantrik yang paling dungu, agar aku membayangkan bahwa ada orang yang lebih baik dari kau. Apalagi gurunya itu adalah cara yang licik dan tidak masuk akalku.”
Orang itu menarik nafas dalam. Lalu, “Kau memang cerdas. Pantas kau mendapat tugas untuk membunuh kedua anak muda itu. Baiklah. Aku memang bukan cantrik yang paling dungu. Tetapi bahwa Panji Pati-pati sekarang tidak ada di padepokan itu benar. Ia memang sedang pergi ke Kediri seperti yang dilakukannya setiap kali. Tetapi karena ia sudah beberapa hari pergi, menurut rencananya, hari ini ia akan kembali.”
“Aku bertanya namamu.”
“Oh. Baiklah. Namaku Mahendra.”
“Mahendra. Apa hubunganmu dengan kedua anak muda itu?”
“Kita adalah sesama. Kita sama-sama dilahirkan oleh kuasa Yang Maha Pencipta. Seperti juga kau.”
“Jadi?”
“Kita wajib tolong menolong. Itulah hubungannya.”
Lembu Ampal menggeretakkan giginya. Kemudian dengan marahnya ia berkata, “Mahendra. Jika kau keras untuk melindungi kedua anak muda itu. maka aku akan membunuhmu. Aku sudah bertekad melakukan tugasku sebaik-baiknya.
“Kau memang akan membunuh aku. Jika aku tidak berbuat apa-apa pun kau sudah berniat membunuhku juga, karena aku akan dapat menjadi saksi di dalam pembunuhan ini. Karena itu, daripada aku bersalah terhadap kewajibanku bagi sesama, maka sebaiknya aku mencoba untuk mengurungkan niatmu.”
Lembu Ampal menjadi tidak sabar lagi. Sambil beringsut setapak mendekat ia berkata, “Jika demikian, kau yang harus aku bunuh lebih dahulu. Kemudian membunuh kedua kelinci itu tidak akan ada sulitnya.”
“Jika aku tidak mampu melawan kau seorang diri, kami akan bertempur bertiga. Agaknya kedua anak muda itu akan berpengaruh juga atas perkelahian kita, setelah ternyata mereka mempertahankan diri mereka untuk beberapa saat lamanya.”
Lembu Ampal tidak menjawab lagi. Ia pun kemudian mempersiapkan dirinya. Selangkah ia maju lagi. Pedangnya pun kemudian mulai merunduk. Tetapi hatinya menjadi berdebar-debar melihat orang yang menyebut dirinya bernama Mahendra itu masih tetap berdiri di tempatnya tanpa memegang senjata apapun. Dengan demikian Lembu Ampal menduga, bahwa orang itu memang merasa dirinya memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi daripadanya.
Namun Lembu Ampal tidak yakin. Ia adalah seorang senapati kepercayaan Tohjaya. Hanya Mahisa Agnilah orang yang pantas disegani di Singasari sepeninggal Anusapati dan Sri Rajasa. Tetapi orang itu agaknya terlampau yakin akan dirinya sendiri. Meskipun demikian. Lembu Ampal masih juga menggeram, “Cepat, ambil senjatamu!”
Mahendra tertawa. Katanya, “Aku tidak membawa senjata apapun, karena aku memang tidak berniat untuk berkelahi.”
“Ambil senjata anak-anak itu.”
“Biarlah mereka memegang senjata masing-masing. Mereka harus tetap waspada karena merekalah yang sebenarnya menjadi sasaranmu saat ini.”
Lembu Ampal menggeretakkan giginya. Sejenak ia memandang wajah Mahendra yang masih tetap tenang. Katanya dengan nada yang dalam, “Jika kau mati, itu adalah akibat dari kesombonganmu.”
Mahendra tidak menjawab. Tetapi ia sudah siap menghadapi setiap kemungkinan, meskipun nampaknya ia masih berdiri saja di tempatnya. Lembu Ampal yang sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi itu pun mulai menjulurkan pedangnya. Sambil menggerakkan ujung pedang itu, ia pun mulai bergeser. Mahendra merendahkan tubuhnya sedikit. Ia menghadap ke mana saja Lembu Ampal bergerak. Namun tiba-tiba saja Lembu Ampal yang marah itu meloncat menyerang. Pedangnya tidak saja mematuk lawannya, tetapi pedang itu kemudian telah terayun mendatar menyambar leher Mahendra.
Mahendra yang sudah siap menghadapi kemungkinan itu, meloncat surut sambil merendahkan tubuhnya sehingga pedang itu terbang hanya sejengkal di atas kepalanya. Namun dalam pada itu. selagi tangan Lembu Ampal masih terayun. Mahendra dengan cepatnya memiringkan tubuhnya. Diangkatnya sebelah kakinya menyambar lambung lawannya. Lembu Ampal masih sempat melihat serangan itu. Ia tidak menahan tangannya. Tetapi ia justru berputar setengah lingkaran dan kemudian berdiri tegak di atas kedua kakinya yang renggang sambil menyilangkan pedang di dadanya.
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Lembu Ampal cukup cekatan. Tetapi yang dilakukan oleh Mahendra adalah sekedar peringatan bagi lawannya, bahwa serangan yang tergesa-gesa itu sama sekali tidak akan dapat mengenai sasarannya. Namun bagi Lembu Ampal, peringatan itu terasa mendebarkan jantungnya. Sejak semula ia sudah tergetar melihat sikap Mahendra. Dan ternyata Mahendra itu mampu bergerak lebih cepat dari ayunan pedangnya.
Meskipun demikian, Lembu Ampal tidak segera terpengaruh. Sekali lagi bersiap. Pedangnya kini bergerak lebih cepat. Seolah-olah pedang itu akan mematuk dari segala arah. Mahendra bergerak selangkah. Dengan tajamnya ia memandang lawannya. Tidak pada ujung pedangnya, tetapi pada matanya.
Dalam pada itu, Ranggawuni dan Mahisa Cempaka memperhatikan perkelahian itu dengan seksama. Kadang-kadang mereka menjadi cemas. Namun kadang-kadang mereka tersenyum.
Ketika perkelahian itu kemudian berlangsung pula dan menjadi semakin sengit, keduanya benar-benar terpukau. Serangan-serangan Lembu Ampal dengan pedangnya meluncur bagaikan angin pusaran. Ujung pedangnya mematuk dari segala arah dan kemudian menyambar dengan dahsyatnya. Namun lawannya mampu mengimbangi kecepatan bergerak Lembu Ampal. Bahkan kadang-kadang Mahendra berhasil mendahuluinya.
Selagi Lembu Ampal mengangkat pedangnya, tiba-tiba saja terasa lambungnya terdorong dengan kuatnya, sehingga hampir saja ia kehilangan keseimbangan. Ternyata Mahendra mempergunakan saat itu dengan tepat, dan kakinya meluncur dengan derasnya menyambar tubuh lawannya. Pada saat-saat berikutnya, agaknya Mahendra sudah mulai menekan lawannya. Perkelahian itu mulai nampak berat sebelah. Meskipun Mahendra tidak bersenjata, tetapi ia mampu menguasai Lembu Ampal yang bagaikan kehilangan akal. Pedangnya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Namun semakin lama justru semakin kehilangan arah.
“Gila!” Lembu Ampal mengumpat di dalam hati, “Setan manakah yang menyusup pada orang ini, sehingga ia mampu bergerak secepat burung sikatan.”
Tetapi Lembu Ampal tidak sempat berangan-angan terlalu lama. Setiap kali tangan dan kaki lawannya telah menyentuh tubuhnya. Semakin lama semakin keras, sehingga tubuhnya terasa semakin sakit dan nyeri. Namun Lembu Ampal, adalah seorang senapati. Ia tidak mau menyerah pada keadaan yang sedang dihadapinya. Ia masih melawan dengan gigihnya. Segala ilmu yang ada pada dirinya diperasnya sampai tuntas.
Namun Lembu Ampal tidak berhasil mempertahankan dirinya lebih lama lagi. Ia menjadi semakin terdesak. Tubuhnya menjadi semakin lemah. Ketika ia sempat melihat kedua anak muda yang berada di luar lingkaran perkelahian, hatinya menjadi berdebar-debar. Keduanya melonjak-lonjak kegirangan seperti sedang melihat ayam aduannya menang di arena.
Bahkan Mahisa Cempaka mengacu-acukan senjatanya sambil berteriak, “Ayo Paman. Tangkap saja. Nanti aku akan mencabuti kumis dan janggutnya.”
Lembu Ampal menjadi semakin marah. Tetapi ia pun menyadari bahwa tubuhnya menjadi semakin lemah. Perlawanannya menjadi semakin tidak berarti. Apalagi ketika ia sadar pula, bahwa lawannya masih tetap segar meskipun ia tidak bersenjata. Bagaimanapun juga, sebagai seorang yang berpengalaman Lembu Ampal harus melihat kenyataan itu, bahwa lawannya benar-benar seorang yang mumpuni di dalam olah kanuragan.
“Aku tidak menyangka, bahwa di padepokan kecil ini masih ada orang yang mempunyai kemampuan bertempur demikian tinggi. Hampir seperti Mahisa Agni,” gumam Lembu Ampal di dalam hatinya. Meskipun Lembu Ampal benar-benar pantang menyerah, tetapi perlawanannya sudah tidak berarti sama sekali. Pedangnya hampir tidak lagi dapat diayunkannya, karena tangannya menjadi sangat lemah, seolah-olah telah kehilangan tulang-tulangnya sama sekali.
Karena itu, ketika Mahendra menyerangnya mendatar dengan kakinya, Lembu Ampal yang sudah lemah itu tidak berhasil menghindarkan diri. Ia mencoba melindungi dirinya dengan menjulurkan pedangnya. Tetapi serangan mendatar itu tiba-tiba saja diurungkannya, ketika Mahendra melihat pedang itu masih mampu bergerak. Namun dengan sebuah loncatan, Mahendra tiba-tiba saja sudah berdiri di sebelah lawannya. Dengan tangannya, Mahendra memukul tengkuk Lembu Ampal.
Lembu Ampal yang memang sudah kehilangan tenaga itu terdorong beberapa langkah. Rasa-rasanya tengkuknya bagaikan menjadi patah. Sejenak ia kehilangan keseimbangan, dan matanya menjadi berkunang-kunang. Lembu Ampal tidak dapat bertahan untuk berdiri. Tiba-tiba ia sudah terhuyung-huyung dan jatuh tertelungkup. Untunglah bahwa ia masih sadar, bahwa pedangnya akan dapat melukai tubuhnya sendiri, sehingga ia dapat menjulurkan pedangnya ke samping
Meskipun demikian Lembu Ampal tidak menyerah dan pasrah. Ia masih mencoba untuk bangkit berdiri. Tetapi tenaganya benar-benar telah sampai pada batas kemungkinannya. Sehingga meskipun ia berhasil bangkit dan berjongkok pada lututnya, namun Lembu Ampal sudah tidak dapat berdiri lagi meskipun ia bertelekan pada pedangnya. Dengan nafas terengah-engah ia melihat Mahendra berdiri tegak di hadapannya. Dengan sorot mata yang bagaikan menusuk langsung ke pusat jantungnya.
Mahendra memandang tubuh Lembu Ampal yang sudah tidak bertenaga lagi itu. “Nah, apakah kau masih akan melawan?” bertanya Mahendra.
Lembu Ampal memandang Mahendra sekilas. Kemudian ditatapnya wajah kedua anak-anak yang sudah berada di belakang Mahendra. Tetapi wajah anak-anak muda itu sudah berubah. Meskipun mereka masih menggenggam senjata, tetapi mereka tidak lagi bersorak-sorak dan berloncat-loncatan. Wajah mereka kini menjadi bersungguh-sungguh.
Lembu Ampal yang belum berhasil berdiri itu kemudian menggeram, “Aku akan membunuh mereka.”
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Jika kau seorang jantan, kau tentu mengakui bahwa kau tidak dapat memenangkan perkelahian ini. Apalagi sekarang kau sudah kehilangan segenap kekuatanmu. Berdiri pun kau sudah tidak mampu lagi. Jika aku berniat membunuhmu, maka aku akan dapat melakukannya dengan mudah.”
“Bunuhlah jika kau memang mampu melakukannya. Mati adalah kemungkinan yang sudah disadari akan terjadi atas seorang prajurit yang menjalankan tugasnya.”
“Jadi kau benar-benar tidak mau menyadari kekalahanmu dan kesalahanmu?”
“Aku tidak bersalah. Aku menjalankan tugas.”
“Kau yakin bahwa tugas yang dibebankan kepadamu itu benar?”
“Itu bukan urusanku.”
“Itulah kebodohanmu. Dan kebodohan seperti itulah yang dapat menjerumuskan Singasari ke dalam bencana.”
“Persetan! Kau bukan pemimpinku. Kau tidak dapat memberikan perintah kepadaku,” nafas Lembu Ampal bagaikan terputus, lalu, “cepat, kalau kau akan membunuhku lakukanlah.”
Mahendra berdiri termangu-mangu. Tetapi ia tidak segera berbuat sesuatu.
“Cepat!” Lembu Ampal berteriak, “Apakah kau ingin berbangga menikmati kemenanganmu berlama-lama?”
Mahendra mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia berbuat sesuatu, terdengar suara Ranggawuni, “Paman. Apakah Paman akan membunuh Paman Lembu Ampal?”
Mahendra berpaling. Tetapi ia tidak segera menjawab. “Apakah Paman dapat membiarkannya hidup?” desak Ranggawuni.
Mahendra masih berdiam diri. Tetapi kerut-merut di keningnya menjadi semakin dalam.
“Jika kau membiarkan aku hidup, pada suatu saat aku akan membunuh anak-anak itu,” teriak Lembu Ampal yang merasa terhina.
Tetapi Mahisa Cempaka seolah-olah tidak mendengarnya dan berkata, “Jangan dibunuh, Paman. Paman Lembu Ampal sehari-hari adalah orang yang baik. Ia hanya sekedar menjalankan tugas seperti yang dikatakannya.”
Mahendra masih berdiri termangu-mangu. Sebenarnya bahwa ia memang tidak ingin segera mengambil keputusan untuk membunuh Lembu Ampal. Karena itu ia masih saja berdiri termangu-mangu. Namun demikian sikap kedua anak-anak itu telah membuatnya menjadi heran. Anak-anak yang melonjak-lonjak melihat perkelahian yang terjadi itu karena mereka melihat kemenangan Mahendra, tiba-tiba dapat berpikir dengan sungguh-sungguh, dan bahkan menyatakan keberatannya apabila Lembu Ampal dibunuhnya.
Ternyata bukan saja Mahendra, tetapi Lembu Ampal sendiri menjadi bingung menanggapi sikap kedua anak-anak itu. Dorongan apakah yang telah membuat kedua anak-anak itu menjadi demikian sabar dan bahkan terasa agung. “Apakah memang sudah ada sifat-sifat itu di dalam diri mereka berdua?” bertanya Lembu Ampal kepada diri sendiri, “sehingga mereka benar-benar akan menjadi orang yang berjiwa besar dan pengampun.” Pertanyaan itulah yang kemudian membuat Lembu Ampal menjadi ragu-ragu untuk meneriakkan harga dirinya. Mulutnya yang sudah hampir terbuka dan mengumpat, tiba-tiba telah terkatup lagi.
“Ranggawuni dan Mahisa Cempaka,” Mahendralah yang kemudian berbicara, “kau sudah melihat sendiri apa yang terjadi. Kau sudah menyaksikan sikap dan tekad Lembu Ampal. Meskipun demikian, aku tidak akan mengambil keputusan. Kalian berdualah yang pantas menentukan, apakah yang sebaiknya diperbuat atas orang ini.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka menjadi termangu-mangu. Sesaat mereka menatap wajah Lembu Ampal. Namun wajah itu telah berubah. Wajah itu tidak lagi memancarkan kebencian dan dendam.
Sebenarnyalah di dalam diri Lembu Ampal telah terjadi pergolakan. Sekilas ia teringat kepada sikap pendeta istana yang bersedia mengalami apapun untuk keselamatan kedua anak-anak muda itu. Bahkan ia sendiri telah dicengkam deh keraguan sehingga keduanya mendapat kesempatan untuk melarikan diri sampai ke padepokan ini. Apalagi selama pengembaraannya, Lembu Ampal seakan-akan menemukan jalan yang lurus mendekati Yang Maha Agung. Tetapi ternyata ketika ia melihat kedua anak-anak itu nafsunya telah melonjak kembali untuk mendapatkan kamukten. Tetapi sekedar kamukten duniawi.
Meskipun demikian, sepercik harga diri masih terloncat dari bibirnya meskipun dengan nada yang datar dan dalam, “Kenapa Tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak mengambil keputusan untuk membunuhku? Bukankah aku sudah berniat untuk membunuh Tuanku berdua?”
Namun terasa bahwa nada kata-kata Lembu Ampal telah berubah. Apalagi bagi Mahendra. Ketajaman inderanya segera menangkap geseran perasaan Lembu Ampal yang masih berdiri pada lututnya dan bertelekan pedangnya. Sejenak orang-orang yang masih belum beranjak dari tempatnya itu saling berdiam diri. Tetapi Lembu Ampal sudah tidak lagi menengadahkan dadanya. Perlahan-lahan kepalanya menjadi tunduk.
Lembu Ampal sama sekali tidak menjadi cemas atas keselamatannya. Ia sama sekali tidak takut ujung pedang lawannya. Tetapi justru kebesaran jiwa kedua anak muda itu telah membuat hatinya menjadi luluh. Kedua anak muda yang sadar bahwa mereka akan dibunuh olehnya karena perintah Tohjaya yang tidak mau melihat keduanya menjadi dewasa penuh dan berpengaruh atas rakyat Singasari karena nama-nama orang tua mereka.
“Kenapa mereka tidak berniat untuk membunuhku saja,” ia mengeluh di dalam hatinya, “sikap itu sangat menyiksaku. Apalagi jika Lembu Ampal mengenang perkembangan sikapnya sendiri. Penyesalan yang mendalam mulai merayapi hatinya. Ia sudah hampir menemukan jalan yang benar. Tetapi kenapa ia tiba-tiba telah terjerumus kembali ke dalam ketamakan dan nafsu kebendaan semata-mata.
Dalam kebimbangan itu kemudian terdengar Mahendra berkata, “Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Ambil suatu sikap. Aku akan mematuhinya.”
Ranggawuni memandang Mahendra sejenak, lalu dipandanginya Lembu Ampal yang tunduk. Katanya kemudian, “Paman. Apakah Paman dapat memaafkannya? Barangkali Paman Lembu Ampal dapat melepaskan diri dari tugasnya. Aku kira Paman Lembu Ampal sendiri tidak mempunyai kepentingan apapun untuk membunuhku.”
Mahendra menarik nafas. Katanya, “Jika itu keputusanmu aku tidak berkeberatan. Terserah kepada Lembu Ampal sendiri. Apakah ia dapat berbuat demikian?”
Ranggawuni memandang Lembu Ampal yang masih tunduk. Namun sebelum ia berkata sesuatu, Mahisa Cempaka sudah mendahuluinya hampir di luar sadarnya, “Selama Paman Lembu Ampal masih terikat kepada pengabdiannya kepada Pamanda Tohjaya, maka Paman Lembu Ampal tentu akan tetap melakukan tugasnya. Karena itu, bagaimana jika Paman Lembu Ampal tidak usah kembali ke istana Singasari? Kita bertiga akan menjadi orang-orang buruan yang dengan aman bersembunyi di padepokan ini. Paman pun harus tetap bersembunyi jika Paman tidak berhasil melakukan tugas Paman sebaik-baiknya. Tetapi menurut pendapatku, hidup di padepokan yang tenang dan tenteram ini jauh lebih baik dari mati atau harus dikejar oleh dosa sendiri karena telah melakukan pembunuhan tanpa arti.”
Lembu Ampal menjadi semakin tunduk. Sama sekali tidak terlintas di dalam pikirannya, bahwa anak muda itu mampu berpikir sedemikian jauh dan jernih. Tetapi Lembu Ampal tidak dapat segera menjawab. Terasa sesuatu berbenturan di dalam dadanya. Harga diri, penyesalan, kecurigaan dan campur baurnya kecemasan dan ketakutan atas dosa. yang akan mengejarnya.
Dalam pada itu, Mahendra pun kemudian berkata, “Ki Sanak, kau sudah mendengar pendapat kedua anak-anak muda itu. Cobalah meyakini bahwa kata-katanya bukan sekedar tata krama. Tetapi menurut anggapanku, yang dikatakan oleh Ranggawuni itu adalah kata hati nuraninya. Apakah kau merasakannya Ki Sanak?”
Lembu Ampal tidak segera menjawab.
“Kenapa kau masih tetap diam saja? Apakah kau masih dibayangi oleh kecurigaan?”
Lembu Ampal mengangkat wajahnya. Sekali lagi ia mencoba berdiri bertelekan pedangnya. Dan kali ini ia berhasil. Mahendra memandang Lembu Ampal dengan ragu. Tetapi nampak bahwa ia telah mempersiapkan dirinya pula. Sesaat mereka diam dalam ketegangan. Ranggawuni dan Mahisa Cempaka pun menjadi tegang pula. Mereka memandang Mahendra dan Lembu Ampal berganti-ganti.
Namun tiba-tiba mereka melihat Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Dengan dada yang berdebar-debar mereka melihat pula Lembu Ampal mengangkat pedangnya di hadapan wajahnya. Namun kemudian nafas mereka pun bagaikan terhenti ketika mereka melihat Lembu Ampal justru melemparkan senjatanya sambil berkata, “Tuanku berdua. Betapa besar jiwa Tuanku berdua. Adalah pertanda kasih Yang Maha Agung, bahwa di dalam usia Tuanku yang masih semuda itu, Tuanku telah mempertimbangkan untuk memberikan maaf terhadap orang yang sudah bertekad untuk membunuh Tuanku.”
Mahendra memandang Lembu Ampal sejenak. Seakan-akan ia ingin meyakinkan sikap orang itu. Namun kemudian ia melangkah maju sambil berkata, “Terpujilah kebesaran jiwamu Ki Sanak. Ternyata kau benar-benar seorang senapati yang memiliki sikap sebenarnya jantan. Sikap jantan bukan berarti membunuh dirinya sendiri di peperangan karena putus asa. Tetapi berani melihat kenyataan dan mengakui kebenaran. Dan Ki Sanak sudah melakukannya.”
“Sebutan itu tidak sepantasnya bagiku. Aku memang seorang pengecut yang tidak berani mempertanggungjawabkan sikap dan perbuatanku. Itulah sebabnya maka aku mohon maaf kepadamu Ki Sanak. Dan kepada kedua anak muda yang mulia itu.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka pun kemudian melangkah maju. Dengan wajah yang bening keduanya memandang Lembu Ampal yang tiba-tiba saja bersujud di hadapan mereka. “Kau kenapa Paman?” bertanya Ranggawuni, “Berdirilah! Tidak pantas kau berlutut di hadapanku.”
“Tuanku. Ternyata selama ini aku telah tersesat. Aku adalah salah seorang yang telah mendukung usaha Tuanku Tohjaya untuk menduduki tahta. Dan setiap orang sebenarnya tahu apa yang sudah dilakukannya atas Tuanku Anusapati, ayahanda Tuanku Ranggawuni. Namun demikian, karena kebohongannya yang cukup besar, dan seolah-olah tanpa malu-malu memaksakan kenyataan yang palsu, Tuanku Tohjaya berhasil mempertahankan kedudukannya di atas tahta Singasari. Dan aku adalah salah seorang yang telah melibatkan diri di dalamnya.”
“Sudahlah,” potong Mahendra, “penyesalanmu adalah sebagian dari kebenaran yang sudah kau akui.”
Lembu Ampal memandang Mahendra sejenak, lalu sambil menundukkan kepalanya ia berkata, “Aku sudah tidak berhak lagi mengatakan tentang kebenaran.”
“Ah, tentu kau tetap berhak. Justru kau sudah menemukan kebenaran itu. Karena itu tangkaplah, dan peganglah dengan teguh, agar kebenaran itu tidak terlepas lagi dari tanganmu.”
Lembu Ampal termenung sejenak. Tetapi seakan-akan nampak di rongga matanya, bahwa sebenarnyalah ia telah berhasil menangkap kebenaran itu meskipun tidak seutuhnya. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Mahendra, kebenaran itu memang sudah lepas lagi dari tangannya, justru ketika ia bertemu dengan kedua anak muda itu. Nafsunya telah membakar jantungnya. Ia masih disilaukan oleh kedudukan yang memberikan banyak keuntungan jasmaniah, sehingga ia telah terperosok kembali ke dalam niat jahatnya.
“Aku harus mengucapkan syukur, bahwa Ki Sanak berada di sini,” tiba-tiba saja suara Lembu Ampal bagaikan melingkar di dalam dadanya saja.
“Kenapa?” bertanya Mahendra.
“Ki Sanak telah melepaskan aku dari kejaran dosa dan penyesalan. Jika Ki Sanak tidak ada di sini, sehingga aku mendapat kesempatan untuk membunuh Tuanku berdua, maka hidupku untuk selamanya tidak akan mengalami ketenteraman dan kedamaian.”
“Bersukurlah kepada Penciptamu.”
“Ya, Ki Sanak. Aku bersukur kepada Yang Maha Agung.” Lembu Ampal berhenti sejenak, lalu, “Tetapi kemudian apakah yang patut aku lakukan?”
“Tidak ada yang harus kau lakukan selain selalu ingat akan penyesalan ini.”
“Mungkin aku harus menebus kesalahanku sekarang ini?”
“Aku tidak mengerti,” sahut Ranggawuni.
“Hutang harus dibayar. Hutang pati harus dibayar dengan jiwanya pula.”
“Maksudmu?”
“Tuanku Tohjaya telah berhutang jiwa.”
Ranggawuni mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya ia berpaling memandang Mahisa Cempaka yang termangu-mangu. Dan Lembu Ampal pun berkata pula, “Tuanku, berilah aku perintah. Aku akan melakukan apa saja. Seandainya Tuanku memerintahkan aku untuk membunuh Tuanku Tohjaya, maka aku akan melakukannya juga.”
“Ah,” Ranggawuni berdesah.
Mahendra menjadi berdebar-debar. Tetapi ia tidak menyahut, ia ingin mendengar jawaban yang meloncat dari mulut Ranggawuni sendiri. Agaknya pertanyaan Lembu Ampal itu di luar sadarnya telah menjajaki watak dan sifat Ranggawuni.
Sejenak kemudian Ranggawuni pun menjawab, “Paman Lembu Ampal. Jika hutang jiwa harus dibayar dengan jiwa maka kematian akan disusul dengan kematian. Setiap dendam akan menuntut. Dan dendam itu sendiri akan berkembang sejalan dengan perkembangan manusia. Tetapi akhirnya manusia akan lenyap ditelan oleh dendam mereka sendiri.”
Lembu Ampal bergeser selangkah, lalu, “Jadi maksud Tuanku?”
“Biarlah yang sudah terjadi. Aku merasa mendapat kedamaian hati di padepokan ini.”
Lembu Ampal yang berlutut itu pun kemudian menundukkan kepalanya dalam-dalam hampir menyentuh tanah. Katanya, “Tuanku memang berbudi luhur. Namun Tuanku harus mempertimbangkan. Bahkan Tuanku mempunyai kewajiban seorang kesatria. Tuanku tidak akan dapat membiarkan kebatilan terjadi dan berkembang.”
“Paman Lembu Ampal. Aku belum berbicara mengenai Singasari. Akan tetapi aku tidak sependapat, bahwa dendam harus dipelihara di dalam hati. Jika kelak aku berbuat sesuatu untuk Singasari, sama sekali bukan berdasarkan atas dendamku karena aku telah kehilangan bapakku...”