Sepasang Ular Naga Disatu Sarang 18

Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Di Langit Singasari episode sepasang ular naga disatu sarang jilid 18 karya Singgih Hadi Mintarjda
Sonny Ogawa
PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 18
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

ORANG bertutup wajah itu tertawa, meskipun terdengar pahit. “Ki Sanak. Aku dapat juga tertawa dalam kepedihan karena seorang kawanku meninggal. Memang kalian adalah orang-orang yang memiliki kelebihan, sehingga kalian berhasil membunuh seorang kawanku. Tetapi sekarang, kalian berdua tidak akan lepas dari tanganku.”

Linggadadi lah yang tertawa. Katanya, “Apa saja yang kau igaukan. Kau memang belum mengenal Linggadadi. Tetapi baiklah. Marilah kita coba, siapakah yang akan mati terbunuh.”

Sejenak mereka mempersiapkan diri, sementara Mahisa Bungalan bergeser mendekati Witantra sambil berbisik, “Paman. Mereka sudah siap untuk bertempur lagi.”

Witantra mengangguk-angguk. Desisnya, “Aku agak bingung, apakah yang sebaiknya kita lakukan.”

“Kita menangkap mereka bertiga.”

Witantra mengangguk. “Aku sependapat. Tetapi baiklah kita melihat kemampuan orang yang bernama Linggadadi itu sejenak.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Memang agaknya perlu untuk mengetahui sampai betapa tingginya ilmu orang yang belum dikenalnya itu. Karena itu, maka untuk beberapa saat mereka berdua masih tetap berdiri di dalam kegelapan meskipun mereka sadar, bahwa orang yang bernama Linggadadi itu telah menanyakan tentang mereka.

Sejenak kemudian, maka Linggadadi dan seorang kawannya pun bergeser menjauhi yang satu dengan yang lain sambil menyiapkan serangan atas lawannya. Selangkah lawannya mundur. Dengan penuh kewaspadaan ia mengawasi kedua lawannya yang sudah bersiaga pula. Sejenak kemudian, maka Linggadadi pun telah meloncat menyerang. Disusul oleh kawannya yang menyerang pula dari arah yang berbeda.

Ternyata lawannya berhasil menghindar dengan gerakan yang aneh sekali. Ia merendah sedikit, kemudian, meloncat selangkah sambil menjatuhkan dirinya. Dengan menjelujurkan tubuhnya lurus ia berguling beberapa kali, disusul dengan sebuah loncatan yang cepat, seperti seekor ulat yang melenting. Sejenak kemudian ia sudah berdiri di atas tanah, siap menghadapi segala kemungkinan.

Linggadadi dan kawannya pun segera memburu. Namun lawannya itu segera berlari-larian melingkar dan melakukan gerakan yang aneh. Di tangannya tergenggam senjata yang terayun-terayun mengerikan.

“Betapa kasarnya.“ desis Mahisa Bungalan.

Witantra mengangguk. Tetapi ia pun kemudian menahan nafasnya ketika ia melihat Linggadadi mulai mengurung musuhnya yang aneh itu dengan kemampuannya bergerak yang cepat sekali. Ia berhasil memotong gerak lawannya yang terdiri atas gerakan-gerakan lengkung dan melingkar. Setiap kali Linggadadi meloncat memutuskan gerakan-gerakan yang aneh dan membingungkan bagi lawannya yang tidak memiliki kelincahan bergerak seperti Linggadadi.

Tetapi Linggadadi adalah orang yang mempunyai kelebihan dari kawan-kawannya. Itulah sebabnya ia berhasil menguasai ruang gerak yang melingkar-lingkar, meskipun seandainya ia hanya seorang diri. Apalagi ia bertempur berpasangan.

“Mahisa Bungalan.“ berkata Witantra kemudian, “Kau harus memilih lawan. Tetapi sebaiknya biarlah aku melawan Linggadadi dengan kawannya. Cobalah menjinakkan iblis berilmu hitam itu. Kau sudah melihat, Linggadadi berhasil memutuskan tata geraknya yang aneh. Kau dapat berbuat demikian pula, sehingga justru orang berilmu iblis itulah yang akan menjadi bingung. Jangan terseret oleh kemudaanmu, sehingga kau terpancing oleh gerak-geraknya yang kasar. Kau mengerti?”

“Ya paman.”

“Aku akan mencoba melawan Linggadadi dengan seorang kawannya. Mudahkan kita dapat menangkap mereka hidup-hidup, sehingga kita akan mendapatkan beberapa keterangan. Tetapi agaknya mustahil, karena orang semacam Linggadadi ini tentu tidak akan membiarkan dirinya menyerah hidup-hidup.”

“Kita akan mencoba paman.”

“Bagus. Kaupun harus mencoba. Tetapi jangan mengorbankan dirimu sendiri. Maksudku, jika kau mengalami kesulitan, kau harus melawan dengan akibat apapun pada lawanmu.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Witantra. Jika ia dapat bertahan lagi karena ia ingin menangkap lawannya hidup-hidup, maka ia tidak dapat berbuat lain daripada bertempur dengan segenap kemampuannya meskipun itu akan berakibat, lawannya itu terbunuh.

“Aku berharap bahwa bukan akulah yang mati terkapar dengan kulit yang terkelupas seperti pisang.” berkata Mahisa Bungalan.

Witantra mengangguk-angguk. Katanya, “Tentu. Dan kau pernah mengalami perkelahian dengan orang-orang yang memiliki ilmu semacam itu. Bahkan tiga orang sekaligus.”

“Tetapi ilmu orang-orang ini agaknya jauh lebih matang dari ketiga orang yang aku lihat di daerah bayangan hantu, meskipun ketiga orang didaerah bayangan hantu itu tidak kalah kasarnya dengan orang ini.”

”Marilah, hati-hatilah.”

Demikianlah maka kedua orang itu pun kemudian melangkah keluar dari bayangan yang pekat. Setapak demi setapak mereka mendekati arena perkelahian yang semakin seru itu, namun yang menjadi semakin jelas, bahwa orang berilmu hitam itu telah menjadi semakin terdesak.

“Kita bunuh orang itu seperti caranya membunuh lawannya.“ berkata Linggadadi, “Aku pernah mendengar dari seseorang, bahwa ia membunuh lawannya dan mengelupas kulitnya seperti mengelupas pisang.”

“Gila.“ teriak orang berilmu hitam.

“Kawanmu di daerah terpencil, telah berhasil menguasai seorang Buyut yang bodoh. He, apa katamu? Tiga orang kawanmu mati oleh seorang anak muda yang tidak banyak dikenal.”

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya, la seakan-akan merasa bahwa dirinyalah yang dimaksud oleh orang yang bernama Linggadadi itu. Tetapi ia tidak menyahut sama sekali.

Namun dalam pada itu, ketika ia menjadi semakin dekat, tiba-tiba Linggadadi itu berkata, “He, apakah yang akan kalian lakukan? Tetaplah berada di kegelapan, agar bukan kau yang harus menjadi korban kebiadaban orang berilmu hitam ini.”

Witantra dan Mahisa Bungalan sama sekali tidak menjawab. Tetapi mereka melangkah terus mendekati arena perkelahian itu.

“Berhentilah disitu.“ desis Linggadadi, “Kalian adalah orang-orang gila yang tidak mengerti, betapa hitamnya ilmu hitam ini. Kalian akan menyesal jika kalian mengetahui apa yang pernah mereka lakukan.”

“Melingkar-lingkar.“ desis Mahisa Bungalan, “Kemudian melibat lawannya dalam lingkaran dan menggoreskan senjatanya sambil berlari berputaran, sehingga lawannya benar-benar menjadi seperti terkelupas.”

“He, darimana kau tahu? Ia tidak sempat melakukannya meskipun ia dapah membunuh seorang kawanku.”

“Aku pernah mendengar, bahwa Buyut yang dikuasainya itu, pernah berusaha melawannya. Beberapa orang kawan dan bebahunya telah terbunuh dengan cara yang sangat mengerikan di daerah yang disebut daerah bayangan hantu.”

“Persetan, siapa kau?“ teriak orang berilmu hitam itu.

“Tidak ada artinya kau mengenal aku. Tetapi sebaiknya kalian menghentikan pertempuran itu. Kalian akan bersama-sama dengan kami pergi menghadap Senapati Singasari untuk mendapat perlindungan, karena kalian bertiga akan menjadi lumat jika kalian jatuh ketangan prajurit Singasari yang masih muda.“

“Gila.“ teriak Linggadadi. Namun dengan demikian iapun telah meloncat surut, sehingga perkelahian itupun telah terhenti.

“Siapakah kalian sebenarnya.“ Linggadadi pun bertanya pula.

“Sudahlah Ki Sanak.“ Witantra lah yang kemudian menjawab, “Sebaiknya kita tidak usah mempersoalkan siapakah kita masing-masing. Aku berharap bahwa kita dapat mengakhiri perkelahian ini. Dua orang telah mati menjadi korban. Aku kira itu sudah cukup. Jangan ditambah lagi. Marilah, seperti yang dikatakan oleh kemenakanku, kita pergi menghadap Senapati prajurit Singasari.”

“Gila, benar-benar gila.“ teriak Linggadadi semakin keras, “Apakah kalian prajurit-prajurit Singasari?”

“Tidak tepat seperti yang kau katakan. Tetapi kami adalah orang tua yang merasa wajib mencegah pertumpahan darah yang berlarut-larut. Karena itu, sudahlah. Pertengkaran ini tidak perlu dilanjutkan. Di Singasari ada petugas yang akan dapat mengadili persoalan kalian.”

“Jangan berpura-pura pikun orang tua.“ sahut Linggadadi, “Kenapa kau membuka mulutmu juga jika kau tahu bahwa kata-katamu itu tidak ada gunanya? Kau tentu tahu, bahwa kami tidak akan berbuat sebodoh itu.”

Witantra mengerutkan keningnya. Ternyata ia benar-benar berhadapan dengan seorang yang memiliki nalar yang tajam. Karena itu, maka ia pun menjadi semakin berhati-hati.

“He orang tua dan kau yang disebut kemanakannya.“ berkata Linggadadi kemudian, “Bagaimanapun juga, maka kita akan berada dalam lingkaran perkelahian. Kau tentu tidak akan berani mendekat jika kau tidak sudah memperhitungkan akan terjadi demikian, dan kau memang ingin melibatkan dirimu, entah sebagai prajurit sandi Singasari atau karena kau sudah menjadi gila dan ingin membunuh dirimu dengan mempergunakan tanganku.”

“Kau terlampau sombong.“ desis Mahisa Bungalan yang darah mudanya mulai menjadi panas.

Namun dalam pada itu Witantra masih juga dapat tersenyum. Bahkan sambil menggamit Mahisa Bungalan ia berkata, “Jangan kau turutkan darah mudamu. Cobalah menahan diri sedikit.”

Mahisa Bungalan menarik nafas. Sementara orang yang berilmu hitam itupun berkata, “Nah, pilihlah, dimana kau akan berpihak.”

“Sudah barang tentu kami tidak akan berpihak siapapun juga Ki Sanak.“ jawab Witantra, “Kami ingin mempersilahkan kalian bertiga untuk mengikuti kami.”

“Sudahlah.“ potong Linggadadi, “Jangan berbicara lagi. Kita akan saling bertempur. Aku tidak memilih lawan. Siapakah di antara kalian yang bersiap melawan aku, marilah. Aku akan membunuh kalian semuanya.”

Orang berilmu hitam itulah yang menyahut, “Aku ingin membuktikan, bahwa kematian kawanku adalah karena kelengahan semata-mata. Bukan karena ilmu kami ada di bawah ilmumu.”

“Bagus.“ teriak Linggadadi, “Aku akan melawan kau seorang diri. Kita berperang tanding. Biarlah kawanku menyingkirkan kedua orang gila itu dari halaman rumah ini.”

“Terima kasih atas keberanianmu.“ jawab orang berilmu hitam itu, “Aku benar-benar akan mengelupas kulitmu dari ujung jari sampai keubun-ubun. Barulah orang-orang Singasari menyadari bahwa ilmu yang kau sebut ilmu hitam itu adalah ilmu yang tidak terkalahkan. Jika kehadiran ilmu itu sudah terlanjur dikenal, maka kami tentu akan mengambil jalan lain. Bukan sekedar bersembunyi-sembunyi. Setiap hari aku akan mengelupas kulit seorang prajurit, sehingga prajurit Singasari akan mati ketakutan sebelum kami datang membawa kemenangan mutlak atas tahta yang sebenarnya direbut oleh Ranggawuni dan Mahisa Campaka dengan licik pula.”

“Apa yang kau ketahui tentang tahta Ki Sanak.“ Witantra yang memotong, “Sebaiknya kita tidak berbicara tentang sesuatu yang tidak kita mengerti. Juga tentang tahta. Biarlah kita berbicara tentang diri kita sekarang ini.”

“Persetan.“ teriak Linggadadi. Lalu ia pun berkata kepada kawannya, “Usirlah mereka. Jika mereka berkeras kepala, bunuh sajalah sama sekali.”

“Aku sudah bersiap.“ sahut orang berilmu hitam itu, “Tetapi jangan menyesal jika kau bertempur seorang diri dan mayatmu yang arang kranjang akan tergolek di halaman ini.”

Kedua orang itu pun tiba-tiba saja telah bersiap untuk bertempur, sedang kawan Linggadadi itu pun melangkah mendekati Witantra dan Mahisa Bungalan sambil berkata, “Pergilah, atau aku harus mempergunakan kekerasan?”

Mahisa Bungalan benar-benar tersinggung karenanya. Tetapi ia mencoba untuk bersabar. Namun demikian terdengar suaranya gemetar, “Kau akan ikut menyombongkan dirimu pula? Sudahlah, kenapa kalian tidak mau menurut kata-kata pamanku?”

“Jangan gila. Lebih baik kau pergi daripada kau akan mati di sini.”

Mahisa Bungalan menggeram. Tetapi ia pun kemudian mendekati pamannya sambil bertanya, “Bagaimana dengan kedua orang yang lain itu paman?”

Witantra memperhatikan keduanya sejenak. Namun agaknya keduanya benar-benar tidak dapat menahan hatinya. Sekejap kemudian merekapun telah bertempur dengan sengitnya.

“Kita harus mencegahnya.“ berkata Witantra, “Ambillah orang berilmu hitam itu. Aku akan melawan Linggadadi.”

“He, jangan mengigau.“ desis kawan Linggadadi itu.

Witantra tidak menghiraukannya. Sekali lagi ia mendesak Mahisa Bungalan, “Cepatlah.”

Mahisa Bungalan pun tidak menghiraukan lagi orang yang berada di hadapannya. Ia bergeser sedikit, kemudian melangkah ke arena. Kawan Linggadadi itu benar-benar menjadi heran dan termangu-mangu sejenak. Bahkan kemudian anak muda itu seolah sama sekali tidak menghiraukannya lagi.

“He, kau benar-benar sudah gila?“ teriak orang itu.

Namun ketika ia siap menyerang Mahisa Bungalan yang tidak menghiraukannya itu, Witantra meloncat sambil berkata, “Sebaiknya kau menangkap aku saja Ki Sanak.”

Orang itu bergeser setapak. Tetapi niatnya untuk menerkam Mahisa Bungalanpun diurungkannya. “Kau juga menjadi gila?“ orang itu bertanya.

Witantra tidak menghiraukannya. Bahkan iapun telah menyerang orang itu. Tetapi serangan Witantra bukanlah serangan yang menentukan. Ia sekedar mengambil perhatian orang itu dari Mahisa Bungalan yang mendekati arena. Sejenak Witantra telah bertempur melawan kawan Linggadadi itu. Ia berusaha memancingnya mendekati arena perkelahian yang semakin seru itu, sementara Mahisa Bungalan telah berdiri dekat dengan arena perkelahian itu pula.

“Aku akan ikut bertempur.“ berkata Mahisa Bungalan.

“Kau memang gila.“ teriak Linggadadi. Sementara lawannya juga berteriak, “Pergilah sebelum kau mati.”

“Aku tidak akan pergi.”

“Persetan.“ desis Linggadadi. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Marilah kita bunuh saja anak itu. Barulah kita mendapat keleluasaan untuk bertempur.”

“Aku setuju.“ sahut orang yang berilmu hitam itu.

Mahisa Bungalan justru menjadi berdebar-debar. Ternyata diluar dugaan kedua orang itu justru akan berkelahi melawannya. Tetapi Mahisa Bungalan sama sekali tidak gentar. Ia benar-benar sudak bersiap menghadapi segala kemungkinan. Juga melawan kedua orang itu, karena Mahisa Bungalan pun yakin, bahwa keduanya tidak akan dapat bekerja sama dengan serasi.

Tetapi ternyata bahwa Witantra tidak tinggal diam. Pada perkelahian antara Linggadadi dan orang berilmu hitam itu terhenti, iapun dengan tiba-tiba telah menekan lawannya sehingga mengalami kesulitan. Linggadadi sempat melihat keadaan kawanya. Karena itu hampir di luar sadarnya iapun melompat menolongnya. Langsung ia menyerang Witantra yang hampir saja mencekik lawannya yang terdesak.

Serangan Linggadadi itulah yang memang diharapkan oleh Witantra. Karena itulah maka ia pun segera mempersiapkan diri menghadapi dua orang lawan sekaligus. Dengan demikian maka Mahisa Bungalan akan dapat memusatkan perhatiannya kepada orang yang berilmu hitam itu.

“Nah.“ berkata Mahisa Bungalan kemudian, “Ternyata bahwa kau telah kehilangan lawan dan sekaligus kawan. Kita masing-masing kini bebas untuk menentukan akhir dari persoalan kita tanpa orang lain.”

“Anak muda.“ berkata orang berilmu hitam itu, “Aku tidak menyangka bahwa kau berani turun ke gelanggang. Ketika aku melihat kalian di rumah saudagar itu, aku benar-benar menganggap kalian sebagai tamu yang ketakutan. Tetapi ternyata bahwa kau adalah anak yang bengal.”

“Sebenarnya aku sama sekali tidak ingin mencampuri persoalanmu dengan siapapun. Tetapi karena agaknya kalian akan dapat mengganggu ketenangan Kota Raja, maka terpaksa aku menawarkan penyelesaian yang barangkali dapat kita tempuh bersama.”

“Itu artinya adalah, bahwa kau akan menangkap aku.”

“Tidak. Jika prajurit-prajurit Singasari kemudian menangkapmu itu adalah persoalan lain.”

“Persetan.“ geram orang itu, “Kita memang akan bertempur. Setelah kau dan orang yang kau katakan ayahmu itu mati, aku dapat menyelesaikan persoalanku dengan Linggadadi yang sombong itu.”

“Tidak ada gunanya.”

“Pergilah, atau kau yang akan mati lebih dahulu?”

“Tidak.”

Orang itu tertawa, katanya, “Kali ini aku bersikap sangat baik. Biasanya aku senang sekali menghadapi anak-anak muda yang sombong seperti kau, karena darahmu merupakan pupuk yang segar bagi ilmuku.”

“Aku memang pernah mendengar bahwa ilmumu memerlukan tetesan darah.”

“Dan kau sudah menyediakannya.”

“Tidak Ki Sanak.“ Mahisa Bungalan menggeleng, “Aku tidak akan menyerahkan darahku. Tetapi aku akan menghentikan kegiatan ilmu hitam semacam ilmumu itu.”

Orang berilmu hitam itu sudah kehilangan kesabaran, karena pada dasarnya ia memang bukan orang yang dapat bersabar. Karena itulah maka ia pun menggeram sambil berkata, “Bagus anak muda. Jika kau memang berkeras kepala, aku akan berterima kasih kepadamu, bahwa kau sudah memberikan darahmu.”

Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi ia sudah bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Dan dugaannya pun ternyata segera terjadi. Orang berilmu hitam itupun segera meloncat menyerangnya. Mahisa Bungalan segera mengelak. Ia bergeser sambil berputar setengah lingkaran. Kemudian ia pun telah mencoba menyerang pula dengan ayunan kakinya yang melingkar.

Tetapi Mahisa Bungalan mengurungkan serangannya ketika lawannya dengan tangkasnya meloncat menghindarkan diri. Bahkan, tiba-tiba saja lawannya telah membuat suatu gerakan yang mewarnai ciri tata perkelahian dari mereka yang berilmu hitam. Berlari-lari melingkari lawannya. Mahisa Bungalan sudah pernah mengalami serangan yang demikian. Bahkan tidak hanya seorang. Tetapi rasa-rasanya kali ini ia menghadapi lawan yang lebih berat dari ketiga orang yang pernah dilawannya.

Meskipun hanya seorang, namun putaran orang berilmu hitam itu rasa-rasanya jauh lebih cepat dari tiga orang yang pernah dikenalnya. Tetapi dalam waktu yang singkat Mahisa Bungalan pun telah menyempurnakan ilmunya dibawah bimbingan ayahnya, Witantra dan Mahisa Agni. Karena itu, maka ia pun segera dapat menyesuaikan dirinya dengan tata gerak lawannya.

Sejenak ia ingat pesan Witantra. Dengan cara yang ditempuh oleh Linggadadi. ia akan dapat membingungkan lawannya. Dengan loncatan-loncatan panjang memutuskan gerak putarannya. Tetapi tiba-tiba saja terbersit suatu keinginan yang lain. Keinginan seorang anak muda yang masih lebih senang menjajagi sesuatu yang kurang dikenalnya. Karena itulah maka Mahisa Bungalan tidak segera mempergunakan cara yang dilakukan oleh Linggadadi. Ia memilih cara tersendiri untuk menghadapi lawannya.

“Aku ingin tahu, sampai berapa lamanya ia dapat bertahan dengan cara yang sangat melelahkan itu. Betapa kuat daya tahan dan kemampuannya mengatur pernafasan, namun pada saat tertentu ia akan kehabisan tenaga.“ berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.

Itulah sebabnya, maka Mahisa Bungalan tidak segera melakukan perlawanan dengan loncatan-loncatan panjang. Tetapi ia mengikuti saja gerak berputar lawannya. Dengan tajamnya ia tidak melepaskan senjata lawannya dari tatapan matanya, karena setiap saat senjata lawannya itu akan dapat mematuknya dan menyobek kulitnya. Dalam sekejap, kulitnya akan penuh dengan luka-luka yang silang menyilang.

Sementara itu, Witantra telah bertempur melawan dua orang lawan. Yang seorang adalah Linggadadi. Seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Ia adalah adik kandung Linggapati yang telah mempersiapkan dirinya untuk mengimbangi kekuatan Singasari. Karena itulah maka Witantra pun tidak menjadi lengah. Ia sadar bahwa lawannya adalah seorang yang pilih tanding.

Tetapi, sementara itu Linggadadi pun menjadi heran. Ia sengaja berusaha melumpuhkan lawannya dengan segera, karena dendamnya kepada orang berilmu hitam itu telah benar-benar mencengkam jantung. Seorang kawannya telah terbunuh. Karena itu ia harus menuntut balas, meskipun kematian kawannya itu telah membawa korban pula pada pihak lawannya.

Ternyata, bahwa orang yang mengaku tamu dari pemilik rumah itu dapat menghindari serangan-serangannya. Bahkan berdua dengan kawannya. Karena itulah maka timbullah pertanyaan dihati Linggadadi tentang lawannya itu. Ia tidak percaya bahwa lawannya itu adalah orang kebanyakan yang kebetulan saja berani bertempur melawan dirinya karena ia tidak mengenalnya dengan baik.

“Sikap dan perlawanannya sangat meyakinkan.“ berkata Linggadadi di dalam hatinya.

Namun demikian Linggadadi tidak segera menjadi bingung. Ia masih menganggap bahwa ketergesa-gesaannya yang membuat geraknya menjadi agak kurang mapan. Namun setelah bertempur beberapa lama, justru Linggadadi menjadi semakin yakin, bahwa lawannya adalah seorang prajurit atau seorang pengawal yang memiliki kelebihan. Karena bukan dirinya dan kawannyalah yang berhasil mendesaknya. Tetapi justru sebaliknya. Orang itu mampu melawan dua orang sekaligus dengan baik. Bahkan seolah-olah sama sekali tidak mengalami kesulitan apapun juga.

“Apakah aku sudah terjebak.“ desis Linggadadi di dalam hatinya.

Sekilas ia berusaha menilai arena perkelahian yang lain. Ia melihat orang berilmu hitam itu masih berusaha melingkari lawannya dengan senjata teracu-acu.

“Ia akan terbunuh dalam lingkaran maut itu.“ katanya di dalam hati.

Tetapi ternyata bahwa Mahisa Bungalan tidak segera terbunuh. Dengan tangkasnya ia selalu berhasil menangkis setiap patukan senjata betapapun membingungkan. Mahisa Bungalan yang sudah berlatih menghadapi medan yang betapapun beratnya, dan ilmu yang betapapun peliknya, mampu melihat permainan senjata orang yang berlari-lari melingkarinya itu.

Tetapi Witantra lah yang mencemaskannya. Bahkan di dalam hati ia berkata, “Mahisa Bungalan memang nakal. Sesuai dengan masa perkembangan ilmunya, ia masih ingin mencoba menghadapi lawan dengan caranya. Tetapi lawan yang satu itu benar-benar berbahaya baginya.”

Namun demikian Witantra tidak dapat memberi peringatan kepada anak muda itu. Jika ia masih memberikan tuntunan justru sudah di medan, maka lawannya akan mempunyai penilaian lain terhadap Mahisa Bungalan, yang tentu masih dianggap terlampau hijau menghadapi arena.

“Anak itu sudah mempunyai bekal yang cukup.“ berkata Witantra kepada diri sendiri, “Tetapi keinginannya mencoba justru selagi ia menghadapi lawan yang aneh itulah yang berbahaya baginya.”

Tetapi untuk sementara Witantra belum melihat bahaya yang mengancam Mahisa Bungalan. Anak muda itu masih selalu berhasil menyesuaikan dirinya, meskipun dengan demikian ia tidak segera dapat merintis jalan kemenangan. Dalam keadaannya Mahisa Bungalan hanya dapat mempertahankan dirinya, dan sekali-sekali mencoba untuk menyerang garis putaran lawannya. Tetapi serangannya sama sekali tidak membahayakan lawannya yang berputaran itu.

“Mahisa Bungalan tentu ingin tahu, berapa lama orang berilmu hitam itu dapat bertahan dengan gerak putarnya.“ berkata Witantra di dalam hatinya pula. Seolah-olah ia dapat membaca apa yang tersirat di hati anak muda itu.

Ternyata bukan hanya Witantra sajalah yang dapat menebak maksud Mahisa Bungalan. Ternyata Linggadadi pun nampaknya dapat menduga, bahwa sebenarnya Mahisa Bungalan tidak sedang dalam kebingungan berada di dalam putaran itu. Justru karena Linggadadi dan Witantra tidak terlibat dalam perkelahian melawan Mahisa Bungalan, maka mereka dapat menilai perlawanannya lebih baik dari orang berilmu hitam itu sendiri.

Untuk beberapa saat orang berilmu hitam itu salah menilai anak muda itu. Ia menganggap bahwa Mahisa Bungalan tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi tata geraknya. Namun beberapa saat kemudian ia mulai menyadari bahwa yang berada di dalam putaran itu bukanlah orang kebanyakan, yang dengan mudah dapat digores dengan senjatanya di seluruh bagian tubuhnya, sehingga seolah-olah kulitnya menjadi terkelupas. Beberapa kali ternyata serangannya membentur senjata Mahisa Bungalan yang dapat menangkisnya. Bahkan seujung rambut pun, orang berilmu hitam itu masih belum berhasil melukai Mahisa Bungalan.

Namun dengan demikian orang berilmu hitam itu menjadi semakin cepat berputar. Senjatanya semakin cepat pula bergerak. Dan semakin lama memang semakin membingungkan bagi Mahisa Bungalan, sehingga pada suatu saat, Witantra yang masih saja bertempur melawan Linggadadi dan kawannya, melihat, bahwa Mahisa Bungalan yang masih selalu ingin mengerti apa yang dilihatnya itu benar-benar menjadi pening.

Dengan demikian maka kecepatannya bergerak pun menjadi susut. Lawannya yang menjadi berhati-hati sekali menghadapinyapun dapat merasakan, ada perubahan pada anak muda itu. Karena itulah, maka orang berilmu hitam itu justru berusaha untuk mempercepat gerak lingkarnya, agar Mahisa Bungalan menjadi semakin pening dan kehilangan ketepatan perhitungan.

Orang yang melingkar-lingkar itu bagi Mahisa Bungalan rasa-rasanya menjadi semakin kabur. Namun ia masih tetap dapat menguasai dirinya dan memperhitungkan setiap serangan lawannya di dalam gerak putarnya.

Tetapi seperti yang ingin diketahui oleh Mahisa Bungalan, sebenarnyalah bahwa kemampuan seseorang memang terbatas. Demikian juga mereka yang berada di dalam arena perkelahian itu. Termasuk Mahisa Bungalan sendiri dan orang berilmu hitam itu. Betapapun berat latihan yang pernah dilakukan, tetapi putaran yang dilakukan di tempat yang tetap itu pun tidak saja berpengaruh atas orang yang dilingkarinya, tetapi juga pada dirinya sendiri.

Meskipun demikian, orang berilmu hitam itu masih mencoba bertahan. Ketika ia mengetahui bahwa anak muda yang ada di dalam putaran itu mulai menjadi pening, maka ia justru me¬ngerahkan sisa tenaganya. Ia berharap bahwa pada kesempatan terakhir ia masih mampu melakukan sesuatu atas lawannya. Itulah sebabnya, justru pada saat tenaganya mulai susut, orang berilmu hitam itu meloncat dengan kecepatan yang lebih tinggi. Senjata terayun lebih dahsyat pula dengan kejutan-kejutan yang kadang-kadang kurang dimengerti.

Mahisa Bungalan yang rasa-rasanya ikut dalam putaran itu terkejut. Apalagi ketika terasa olehnya, ujung senjata lawannya berhasil menyusup di antara kerapatan pertahanannya, menyentuh kulitnya. Lengan Mahisa Bungalan telah disengat oleh perasaan pedih. Ternyata bahwa lawannya berhasil membuatnya bingung dan melukainya meskipun tidak begitu dalam. Namun luka yang segores itu membuat anak muda itu terbakar oleh kemarahan yang meluap-meluap.


“Aku ingin mengetahui sampai dimana daya tahannya.“ berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya. Tetapi ternyata bahwa ialah yang telah disentuh oleh senjata lawan.

Dengan kemarahan yang meluap di dadanya, Mahisa Bungalan pun kemudian berketetapan hati untuk tidak membiarkan dirinya diputar oleh perasaan pening, sehingga perlawanannya menjadi kabur. Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan diri untuk merubah perlawanannya. Ia sudah siap untuk meloncat dalam perhitungan yang tepat, memotong gerak melingkar orang berilmu hitam itu.

Mahisa Bungalan pun kemudian memusatkan segenap kekuatannya untuk melawan perasaan peningnya dan untuk menghadapi kemungkinan pada saat ia memotong gerak lingkar lawannya. Jika ia salah hitung, maka akibatnya akan tidak menyenangkan sekali baginya. Mungkin goresan lukanya akan bertambah atau justru luka silang menyilang akan menyobek kulit dagingnya.

Sementara itu, orang yang berilmu hitam itupun mencoba pula mempergunakan sisa tenaganya. Senjatanya telah melukai lawannya, tetapi itu belum berarti bahwa ia sudah menang. Ia harus berhasil menggoreskan senjatanya di segenap permukaan kulit lawannya, sehingga tubuh itu akan menjadi merah oleh darah.

Tetapi orang berilmu hitam itu agaknya tidak mempertimbangkan bahwa Mahisa Bungalan telah menyadari keadaannya, dan berusaha mempergunakan cara yang lain untuk melawannya. Apalagi iapun tidak mau melihat dan mengakui kenyataan, bahwa tenaganya memang terbatas.

Itulah sebabnya, maka ia tidak melihat, betapa Mahisa Bungalan mempersiapkan dirinya dengan cara yang baru. Sebelum ia benar-benar kehilangan kemampuan untuk mengatasi perasaan pening yang seolah-olah telah menyeretnya dalam putaran yang semakin lama semakin cepat dan membingungkan.

Demikianlah, maka ketika Mahisa Bungalan menganggap waktunya sudah tepat, tiba-tiba saja ia menggeram sambil melompat memotong gerak melingkar lawannya yang masih juga berusaha untuk mempertahankan tata geraknya. Demikian cepatnya ia bergerak, sehingga lawannya hampir tidak melihatnya bahwa tiba-tiba saja anak muda itu telah berada di garis putarnya.

Orang berilmu hitam itu terkejut. Dengan serta merta ia meloncat ke samping untuk menyalurkan sisa daya dorongnya. Namun pada saat yang demikian itulah, terasa bahwa sebenarnya kekuatannya telah hampir punah. Nafasnya terasa telah menyesak di dadanya. Selama ia berlari-larian melingkari lawannya dengan gerak yang cepat dan keras, ia telah mengerahkan segenap tenaga yang ada padanya.

Tetapi Mahisa Bungalan pun tidak segera berhasil membebaskan dirinya dari pengaruh putaran yang memeningkannya. Ia memang berhasil dengan tepat meloncat ke garis edar putaran lawannya dan menghentikan dengan serta merta gerakan berputar itu, sehingga lawannya justru harus melompat ke samping. Tetapi setelah itu, Mahisa Bungalan masih terhuyung-huyung sejenak karena perasaan pening yang telah mencengkamnya.

Meskipun demikian Mahisa Bungalan tetap sadar. Dengan dada yang berdebar-debar ia melihat lawannya yang meloncat ke samping itu telah berdiri tegak memandanginya, selagi ia masih seakan-akan berdiri di atas bumi yang berguncang. Tetapi Mahisa Bungalan masih dapat melihat lawannya dengan kesadaran bahwa sebenarnya lawannya itu sudah tidak berputar-putar lagi mengelilinginya.

Sejenak Mahisa Bungalan termangu-mangu. Ternyata lawannya tidak segera menyerangnya. Bahkan kemudian nampak lawannya itu surut selangkah. Perlahan-lahan Mahisa Bungalan dapat menguasai dirinya. Meskipun kepalanya masih terasa pening, dan benda-benda di sekitarnya bagaikan bergoyang-goyang, namun ia sudah menjadi semakin mapan. Dalam keadaan yang demikian itulah ia mulai dapat menilai keadaan lawannya.

Sementara itu Witantra pun menarik nafas pula dalam-dalam meskipun ia masih harus bertempur melawan dua orang lawan. Semula ia benar-benar menjadi cemas dan bahkan hampir saja ia berteriak memperingatkan Mahisa Bungalan yang kurang berhati-hati didorong oleh perasaan ingin tahunya. Namun kemudian ternyata bahwa tepat pada waktunya Mahisa Bungalan telah memperbaiki perlawanannya.

Witantra mendapat kesempatan untuk memperhatikan Mahisa Bungalan justru karena Linggadadi pun agak terpengaruh pula oleh cara yang ditempuh oleh Mahisa Bungalan. Iapun sudah menebak bahwa Mahisa Bungalan tidak akan berhasil. Tetapi pada saat terakhir Linggadadi itu mengumpat, “Anak gila itu berhasil melepaskan diri dari putaran iblis berilmu hitam itu.”

Sebenarnyalah bahwa Mahisa Bungalan benar-benar telah dapat membebaskan diri. Lawannya sama sekali tidak berhasil mengelupas kulitnya. Dan kini mereka telah berdiri berhadapan, tidak di dalam putaran. Sejenak Mahisa Bungalan menunggu. Namun lawannya tidak segera menyerangnya. Dengan demikian Mahisa Bungalan justru menjadi curiga.

“Apakah ia mempunyai cara yang lebih gila dari cara yang sudah dilakukannya?“ pertanyaan itu melonjak di hati Mahisa Bungalan.

Namun akhirnya Mahisa Bungalan yang hatinya sedang membara oleh luka di tubuhnya ia menangkap desah nafas lawannya. Rasa-rasanya suara nafas itu berkejaran di lubang hidungnya. Karena itulah maka Mahisa Bungalan mempunyai pertimbangan lain. Seperti yang diharapkan, maka akhirnya ia pun berhasiI mengetahui sampai dimana daya tahan jasmaniah lawannya yang berilmu hitam itu.

“Ia sudah kelelahan setelah berlari-larian tidak henti-hentinya. Dan saat inilah yang aku tunggu.”

Meskipun demikian Mahisa Bungalan tidak mau lengah. Karena itulah maka ia pun kemudian mencoba menjajagi keadaan lawannya. Dengan hati-hati ia menjulurkan senjatanya, menyerang dengan loncatan pendek. Namun ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Juga jika lawannya melakukan gerakan-gerakan lain yang belum dikenalnya.

“Agaknya ia telah mengerahkan segenap kemampuannya.“ berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya. Karena itulah maka ia merasa, bahwa saatnya telah tiba bahwa ialah yang harus mengambil sikap kemudian untuk menentukan akhir dari pertempuran itu.

Mahisa Bungalan yang dengan perlahan-lahan telah berhasil menyingkirkan perasaan pening itu justru telah ditumbuhi oleh keinginan yang aneh pula. Karena menurut perhitungannya lawannya telah tidak banyak mempunyai sisa tenaga, maka mulailah ia dengan permainannya yang dikendalikan oleh kemauannya.

Tiba-tiba saja Mahisa Bungalan itu pun meloncat berlari-lari, justru ialah yang berputaran mengelilingi lawannya. Sambil menyerang dari arah yang berubah menurut arah larinya, ia berusaha membuat lawannya menjadi bingung.

Ternyata bahwa lawannya benar-benar kehilangan kemampuannya untuk bertahan. Selain tenaganya benar-benar telah diperas habis, juga, karena ia benar-benar menjadi bingung dengan tata gerak Mahisa Bungalan. Apalagi arah lari Mahisa Bungalan yang tidak mempelajari ilmu hitam itu, berlawanan dengan arah yang telah ditempuh oleh lawannya. Bahkan kadang-kadang geraknya itu sama sekali tidak menunjukkan pola ilmu tertentu, dengan loncatan-loncatan yang aneh dan benar-benar membingungkan.

Sekali lagi Witantra menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia dapat mengerti, Mahisa Bungalan benar-benar telah dikuasai oleh sifat ingin tahu. Orang berilmu hitam yang hampir kehabisan tenaga itu mengeluh pendek. Ternyata ia berhadapan dengan anak muda yang memiliki kemampuan jauh di atas perhitungannya.

Tetapi ia bukan seorang yang dungu. Ia sadar, bahwa lawannya benar-benar sedang mencoba mempermainkannya. Itulah sebabnya ia bertahan pada keadaannya. Ia berdiri saja mematung dan sekali-sekali menangkis serangan Mahisa Bungalan. Dengan cerdik ia menunggu, pada saatnya Mahisa Bungalan akan menjadi lengah. Justru karena ia masih terlampau muda.

Kesempatan itu dipergunakan oleh orang berilmu hitam itu sebaik-baiknya untuk beristirahat. Meskipun ia masih tetap berpura-pura kehabisan tenaga. Bahkan sekali ia membiarkan ujung senjata Mahisa Bungalan menyentuh tubuhnya dan menitikkan darahnya.

“Ia akan kehilangan kewaspadaan.“ berkata orang itu di dalam hatinya.

Mahisa Bungalan yang berlari-lari mengelilingi lawannya, memang menganggap bahwa lawannya telah menjadi semakin lemah, sehingga perlawanannya pun menjadi tidak berarti lagi. Karena itu, seperti yang diduga oleh lawannya, ia pun menjadi lengah karenanya.

Dalam pada itu Linggadadi yang melihat tingkah laku anak muda itupun menggeram sambil bergumam, “Anak gila. Jika lehernya terjerat oleh ketamakan dan kesombongannya barulah ia mengerti.”

Witantra menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Linggadadi pun dapat melihat kelemahan Mahisa Bungalan justru pada usianya yang masih muda, usia yang banyak ingin mengetahui dan mencoba. Dan sebenarnyalah Witantra benar-benar telah mencemaskan keadaan Mahisa Bungalan.

Namun Witantra tidak dapat berbuat banyak. Ia harus bertempur melawan Linggadadi dan seorang kawannya yang memiliki ilmu yang cukup kuat. Dan Witantra pun masih belum berniat untuk berteriak memperingatkan anak muda itu, karena dengan demikian justru akan menunjukkan kelemahan itu, maka peringatan yang demikian akan merupakan pemberitahuan baginya bahwa saat untuk menguasai anak muda itu sudah terbuka.

Sejenak kemudian, orang berilmu hitam itu merasa bahwa badannya menjadi semakin baik. Ia mendapat kesempatan untuk mengatur pernafasannya meskipun ia harus melawan serangan-serangan Mahisa Bungalan, karena serangan Mahisa Bungalan dalam sikap yang aneh itu sama sekali tidak berbahaya. Dihadapan orang berilmu hitam itu, cara-cara yang ditempuh oleh Mahisa Bungalan tidak banyak memberikan tekanan. Meskipun semula ia menjadi bingung, namun lambat laun ia berhasil menyesuaikan diri dengan perbuatan anak muda yang didorong oleh sifat ingin tahunya.

Karena itulah, maka pada saat yang telah dipersiapkan, setelah ia mengorbankan dirinya digores oleh senjata Mahisa Bungalan, orang berilmu hitam itupun berteriak nyaring. Sebuah loncatan yang diluar dugaan, telah menyilang gerak Mahisa Bungalan.

Mahisa Bungalan benar-benar telah dikejutkan oleh gerakan yang tiba-tiba itu. Dengan serta merta ia menghentikan gerak putarnya dan bersiap menghadapi serangan lawannya. Tetapi ia agak terlambat. Kelengahannya lah yang telah menyeretnya kedalam kesulitan. Ia sadar ketika terasa sekali lagi sebuah goresan di pundaknya. Goresan yang telah menyobek kulitnya.

Sekejap Mahisa Bungalan menjadi bingung, la melihat lawannya telah memasuki gerak edarnya. Ia agaknya ingin mengulangi cara yang pernah dilakukannya dan membuat Mahisa Bungalan menjadi pening. Karena itulah maka pada saat yang telah dipersiapkan, setelah ia mengorbankan dirinya digores oleh senjata Mahisa Bungalan, orang berilmu hitam itu pun berteriak nyaring. Sebuah loncatan yang diluar dugaan, telah menyilang gerak Mahisa Bungalan.

Tetapi kali ini Mahisa Bungalan agak telah terbangun. Ia sadar, bahwa menghadapi orang berilmu hitam ini, ia tidak dapat sekedar mencari pengalaman. Ia harus benar-benar bertempur dan bertaruh nyawa. Ternyata ia telah tergores senjata lawannya untuk kedua kalinya.

Sementara itu, orang berilmu hitam itupun nampaknya menjadi semakin bernafsu. Bau darah rasa-rasanya membuatnya menjadi semakin segar. Luka di pundak Mahisa Bungalan nampaknya lebih dalam dari lukanya yang terdahulu.

“Darahmu sudah membasahi senjataku.“ geram orang berilmu hitam itu. “Sebentar lagi kulitmu akan terkelupas sampai ke ujung ubun-ubun. Dan aku akan berkesempatan untuk membunuh orang yang bernama Linggadadi itu setelah ia membunuh lawannya pula.”

Mahisa Bungalan yang muda itu benar-benar terbakar hatinya. Ia tidak mau tenggelam di dalam pusaran ilmu lawannya. Ia sudah merasa betapa pening kepalanya hampir saja mengaburkan kesadarannya. Karena itu, ia tidak mau mencoba-coba lagi. Ia tidak mau bermain-main dengan nyawanya. Itulah sebabnya, maka ia pun segera mempergunakan cara yang dinasehatkan oleh Witantra. Ia tidak lagi mambiarkan lawannya berputaran di sekitarnya sambil menggoreskan ujung senjata dikulitnya.

Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan pun segera mengambil sikap. Dengan perhitungan yang tepat, maka ia pun segera berloncatan memotong arah putaran lawannya, sekaligus dengan sebuah serangan yang langsung mematuk jantung. Tetapi lawannya mampu pula bergerak cepat. Sekali ia meloncat ke samping. Namun kemudian iapun telah siap untuk berlari berputaran lagi.

Namun kemudian ia tidak berkesempatan lagi melakukannya. Mahisa Bungalan yang marah kemudian justru menyerangnya seperti angin prahara. Setiap usaha untuk melingkarinya. Sekali-sekali dipotongnya dengan gerakan yang cepat dan berbahaya, dilandasi oleh kemarahan yang menghentak-hentak jantung. Semakin pedih luka-lukanya, maka dadanya serasa menjadi semakin panas. Dengan demikian maka lawannya pun segera menghadapi kekuatan yang sebenarnya dari Mahisa Bungalan. Kini ia semakin sadar, bahwa ilmu lawannya benar-benar ilmu yang sulit untuk diatasinya.

Karena itulah maka orang berilmu hitam itupun kemudian terdesak terus. Bagaimanapun ia berusaha, namun sama sekali tidak berarti lagi. Apalagi kemampuan tubuhnya yang terbatas itupun mulai lagi mempengaruhi perlawanannya. Kemampuannya untuk menghimpun kembali tenaganya, ternyata sama sekali tidak dapat mengimbangi ketahanan tubuh anak muda yang bernama Mahisa Bungalan yang kemudian bertempur dengan dahsyatnya seperti seekor banteng yang terluka.

Orang berilmu hitam itupun terdesak terus betapapun ia berusaha dengan segala macam cara. Ia tidak mampu lagi berlari-larian mengitari Mahisa Bungalan. Bukan saja karena Mahisa Bungalan dengan tepat selalu berhasil memotong garis putarnya, tetapi juga karena kekuatan tenaganya menjadi semakin lemah pula.

Witantra menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak perlu mencemaskan lagi nasib Mahisa Bungalan yang sudah terbangun itu. Meskipun anak muda itu sudah terluka, tetapi nampaknya ia akan dapat mengalahkan lawannya. Sambil bertempur Witantra sempat melihat Mahisa Bungalan mendesak lawannya terus menerus, sehingga pada suatu saat kemarahan Mahisa Bungalam karena luka-lukanya tidak dapat terbendung lagi.

Linggadadi lah yang kemudian menjadi cemas. Di hati kecilnya ia mengharap orang berilmu hitam itulah yang menang, karena dengan demkian, ia hanya akan berhadapan dengan seorang saja. Meskipun seandainya ia belum berhasil mengalahkan lawannya, maka orang berilmu hitam itu tidak akan mencampuri pertempurannya. Tetapi jika anak muda itu menang, maka ia tentu akan mengambil alih salah seorang lawan dari orang tua itu. Dirinya atau kawannya. Atau bahkan ia pun akan berkelahi perpasangan pula.

Namun tidak seorang pun dapat mencegah Mahisa Bungalan, lagi. Titik darah dari lukanya membuatnya kehilangan kesabaran dengan pengekangan diri sama sekali. Karena itulah maka ketika orang berilmu hitam itu tidak dapat melangkah surut lagi karena dinding halaman, ia mempergunakan saat itu sebaik-baiknya untuk mengalahkan lawannya.

Tetapi orang berilmu hitam itu tidak menyerah kepada kekalahannya. Demikian serangan Mahisa Bungalan tidak terelakkan lagi, maka iapun segera mengerahkan sisa tenaganya untuk meloncat ke atas dinding. Mahisa Bungalan benar-benar telah kehilangan pertimbangan. Ia tidak mau melepaskan orang yang berbahaya itu. Karena itu maka dengan kecepatan melampaui kecepatan lawannya iapun meloncat sambil menyerang dengan senjatanya.

Serangan Mahisa Bungalan itu tidak tertahankan lagi. Senjata anak muda itu tidak dapat ditangkisnya disaat kakinya menjejak dinding. Yang terdengar adalah sebuah jerit ngeri yang tertahan Kemudian, tubuh yang baru saja melayang naik itu terjatuh kembali kebahagian dalam halaman yang luas itu.

Witantra terkejut melihat sergapan Mahisa Bungalan yang langsung mematikan itu. Agaknya Mahisa Bungalan tidak sadar lagi, bahwa sebaiknya ia menangkap lawannya hidup-hidup. Jika terpaksa melumpuhkannya, maka ia harus berusaha membiarkan ia terluka, tetapi tidak terbunuh. Yang terdengar adalah suara Witantra “Jangan dibunuh.”

Tetapi ia sudah terlambat. Tubuh itu sudah terbanting di tanah dan tidak akan bangun lagi selama-lamanya. Mahisa Bungalan pun mendengar peringatan paman gurunya. Tetapi semuanya sudah terjadi. Senjatanya sudah terbenam terlalu dalam dan sekaligus membunuh lawannya. Kemarahannnya dan darah mudanya, ternyata tidak mampu menahan dirinya untuk melakukan pembunuhan itu.

Witantra tidak dapat berbuat banyak. Kematian orang berilmu hitam itu telah memutuskan kemungkinan untuk mengetahui lebih banyak lagi tentang keadaan mereka. Linggadadi pun menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa ternyata lawannya berusaha untuk menangkap orang berilmu hitam itu hidup-hidup.

“Ia tentu akan berbuat serupa atasku.“ berkata Linggadadi di dalam hatinya, lalu, “Tetapi aku tidak sudi menjadi tawanan. Lebih baik mati, atau menyingkir dari arena ini.”

Demikianlah, maka ketika Linggadadi akhirnya menyadari bahwa ia tidak dapat mengalahkan orang tua itu. meskipun ia berdua, dan apalagi anak muda yang terluka itu sudah kehilangan lawan dan akan dapat membantu orang tua itu, iapun memutuskan untuk melepaskan diri dari kemungkinan tertangkap hidup. Sesaat kemudian terdengar Linggadadi memberikan isyarat kepada kawannya. Isyarat yang tidak diketahui artinya oleh Witantra dan Mahisa Bungalan.

Dengan demikian Mahisa Bungalan pun menjadi semakin berhati-hati. Ia masih berdiri termangu-mangu. Namun sejenak kemudian ia menyadari, bahwa ia harus berbuat sesuatu untuk menangkap Linggadadi hidup-hidup. Tetapi ia sudah terlambat pula sesaat. Isyarat yang diberikan oleh Linggadadi adalah isyarat, bahwa mereka harus berusaha melepaskan diri dari tangkapan lawannya.

Linggadadi sempat meloncat meninggalkan arena. Tanpa menghiraukan harga dirinya lagi, maka ia pun segera menghilang di dalam kegelapan. Namun kawannya ternyata tidak selincah Linggadadi. Serangan Witantra benar-benar telah mengikatnya, sehingga ia tidak sempat berlari meninggalkan arena.

Witantra tidak mau kehilangan kedua-duanya. Itulah sebabnya ia dengan sengaja tidak mengejar Linggadadi. Ia sadar, bahwa sulit baginya menangkap Linggadadi hidup. Tetapi agaknya berbeda dengan yang seorang lagi.

Mahisa Bungalan pun menyadarinya pula. Karena itu ketika Witantra menyebut namanya, ia mengerti. Anak muda yang sudah terluka dan kehilangan banyak tenaga dalam perkelahiannya itupun tidak mengejar Linggadadi. Ia mencoba mencegat kawan orang yang telah melarikan diri itu. Tetapi Witantra dani Mahisa Bungalan itu terkejut ketika ia melihat orang itu justru terhuyung-huyung dan terjatuh di tanah.

Untuk sesaat Witantra dan Mahisa Bungalan termangu-mangu. Mereka memandang orang yang terbujur diam itu. Berbagai pertanyaan telah memercik di dalam hati mereka. Namun sesaat kemudian, setelah mereka yakin bahwa orang itu tidak bergerak lagi, maka keduanya pun mendekatinya. Dengan ragu-ragu Witantra meraba tubuh itu. Ternyata tubuh itu sudah menjadi beku.

“Mati “desis Witantra.

“Kenapa paman?“ bertanya Mahisa Bungalan.

Witantra tidak segera menjawab. Namun kemudian ia berkata, ”Ambillah lampu minyak di pendapa itu. Aku ingin melihat, apakah yang menyebabkannya mati. Aku tidak melihat luka dan darah di tubuhnya. Mungkin dengan lampu minyak itu kita akan dapat mengetahui, apakah sebab kematiannya.”

Mahisa Bungalan pun kemudian berlari kependapa. Diambilnya lampu minyak yang berkerdipan disentuh angin. Dengan hati-hati ia membawa lampu itu turun ke halaman, ke dekat mayat yang sudah terbujur diam itu. Di bawah cahaya lampu minyak yang kemerah-merahan Witantra mengamati tubuh yang terbaring itu. Tiba-tiba ia menarik nafas sambil berdesis “Racun. Lihat luka ini.”

“Siapakah yang telah menusuk dengan senjata beracun itu paman?”

Witantra termangu-mangu. Katanya “Agaknya Linggadadi memang mempergunakan senjata beracun. Racun yang sangat tajam.”

“Tetapi bukankah orang ini kawan Linggadadi?“

Witantra menjadi ragu-ragu. Tetapi iapun kemudian berkata, “Agaknya Linggadadi memang tidak yakin bahwa orang ini akan berbasil meloloskan dirinya. Karena itu, maka sambil lari ia telah menghunjamkan senjatanya pada kawannya sendiri agar orang ini tidak dapat kami tangkap hidup-hidup dan memberikan keterangan tentang lingkungan mereka.”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba Witantra bertanya, “Mahisa Bungalan, bagaimana dengan lukamu sendiri?”

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Katanya, “Lukaku terasa pedih paman. Apakah senjata orang berilmu hitam itu juga beracun?”

Witantra menggeleng. Katanya “Dari lukamu mengalir darah yang berwarna merah wajar. Tentu senjatanya tidak mengandung racun.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.

“Tetapi luka itu pun harus segera diobati.”

“Ya paman.“ Sahut Mahisa Bungalan. “Untunglah bahwa senjata itu tidak beracun seperti senjata Linggadadi. Jika senjata itu beracun, maka aku pun tidak akan sempat keluar dari halaman ini.”

“Tentu tidak secepat itu Mahisa Bungalan.“ jawab Witantra, ”Kau tentu sempat menelan obat yang kau bawa untuk bertahan terhadap racun.”

“Tetapi kematian itu datang begitu cepat paman. Apalagi dalam keadaan yang sibuk karena perkelahian yang sengit. Jika aku menyempatkan diri mengambil obat itu, maka mungkin kematian dari sebab lain akan menerkam aku. Ujung senjata lawan itupun akan dapat menghunjam di jantung.”

“Dan kematian orang ini bukan karena kecepatan racun sajalah yang menyebabkannya. Jika kita tidak segera dapat melihat lukanya, karena darah di luka itu segera membeku. Tetapi luka itu sendiri agaknya cukup dalam meskipun tidak terlampau besar, sehingga tanpa darah dan di dalam kegelapan, luka itu tidak segera nampak.”

“Darah itu langsung membeku di mulut luka paman”

“Itulah kerja racun itu Bungalan.”

Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Suatu pengalaman baru telah didapatkannya. Seseorang dengan tanpa ragu-ragu telah membunuh kawan sendiri, dan senjata beracun yang kuat yang harus mendapat perhatian khusus di setiap arena pertempuran. Meskipun ayahnya maupun Mahisa Agni selalu memperingatkannya agar ia membawa bekal obat penawar racun, tetapi ia harus tetap memperhitungkan waktu dan kekuatan racun. Meskipun ia membawa obat yang betapapun besar kasiatnya, tetapi jika ia tidak sempat menelannya atau membaurkan pada lukanya, maka obat itu tidak akan dapat menolongnya sama sekali.

Dalam pada itu, maka Witantra pun kemudian menyuruh Mahisa Bungalan mengobati lukanya, karena betapapun juga, luka itu akan dapat mempengaruhinya. Jika terlampau banyak darah keluar, maka tubuhnya akan menjadi lemah.

“Kau mempunyai obat itu bukan?”

“Ya paman.”

“Berikanlah. Biarlah aku yang menaburkan obat itu di lukamu.”

Mahisa Bungalan pun kemudian mengambil sebuah bumbung kecil yang berisi obat untuk memampatkan darah. Karena ia sendiri tidak dapat membaurkan dilukanya, maka Witantralah yang menolongnya. Baru kemudian keduanya membicarakan keempat mayat yang terbaring di halaman itu.

“Mau tidak mau kita harus memberitahukan kepada saudagar itu.“ berkata Witantra.

“Aku ragu-ragu paman. Apakah ia tidak justru menjadi ketakutan?”

“Tetapi mayat itu harus dikuburkan. Dan barangkali ia pun telah mengetahui bahwa ada diantara orang-orang yang berkelahi di halamannya ini terbunuh.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin paman. Bagaimanapun juga, agaknya ia memang harus mengetahuinya.”

Witantra mengangguk-angguk. Memang kematian di halaman itu tentu tidak akan dapat disembunyikannya lagi kepada pemilik halaman itu sendiri. “Marilah.“ berkata Witantra, “Kita menemui saudagar ternak itu.”

Mahisa Bungalan pun kemudian menyimpan bumbung obatnya kembali di dalam kantong ikat pinggangnya. Bersama Witantra maka iapun segera menemui saudagar ternak yang ketakutan di dalam rumahnya.

Demikian saudagar itu melihat Witantra dan Mahisa Bungalan masuk, maka iapun dengan tergopoh-tergopoh mendapatkannya sambil bertanya dengan serta merta. “Apa yang telah terjadi?” Namun kemudian wajahnya menjadi pucat ketika ia melihat darah pada pakaian Mahisa Bungalan. “He anak muda, kau terluka?”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun menjawab, “Tidak seberapa paman.”

“Tetapi kenapa luka itu? Apakah kau terlibat dalam perkelahian atau orang-orang itu telah menyakitimu?”

Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Namun dalam pada itu Witantra lah yang berkata, “Ki Saudagar. Ternyata bahwa Pegatmega bukan seorang pengecut. Bagaimanapun juga ia telah mempertahankan dirinya terhadap orang-orang yang bermaksud jahat dan saling bertempur itu.”

“Paman Sempulur telah menyelamatkan aku.“ desis Mahisa Bungalan kemudian.

“Kemarilah, kemarilah.“ desis saudagar itu dengan suara yang bergetar.

Witantra dan Mahisa Bungalan pun kemudian duduk di ruang dalam. Ternyata saudagar itu benar menjadi ketakutan dan tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan.

“Ki Saudagar.“ berkata Witantra kemudian, “Ketahuilah bahwa di halaman rumah Ki Saudagar ini terdapat beberapa sosok mayat dari orang-orang yang sedang bertempur itu. Mereka saling membunuh di antara mereka.”

“Oh.”

“Mereka berempat telah terbunuh.”

“Semuanya?“ bertanya saudagar itu, “Malang sekali nasibku ini.”

“Kenapa justru Ki Saudagar yang merasa bernasib malang, bukan orang-orang yang terbunuh itu?”

“Mereka saling berbunuhan di halaman rumahku. Jika kawan-kawan mereka saling mendendam maka aku tentu akan menjadi sasaran. Setidak-tidaknya sasaran pertanyaan mereka, siapakah yang telah membunuh kawan-kawan mereka.”

“Mereka semuanya terbunuh. Tidak ada yang dapat memberi keterangan tentang paman.“ berkata Mahisa Bungalan, meskipun terbayang juga di dalam pikirannya, bahwa Linggadadi akan dapat berbuat demikian. Tetapi tentu Linggadadi pun mempunyai pertimbangan bahwa saudagar itu tidak terlibat sama sekali di dalamnya.

“Tetapi ternyata mereka yang berilmu hitam dan Linggadadi tidak banyak berbeda tabiat dan wataknya.“ Mahisa Bungalan berkata kepada diri sendiri, “Ternyata bahwa Linggadadi sampai hati membunuh kawannya sendiri untuk mengamankan lingkunngannya.”

Dalam pada itu Saudagar itupun kemudian bertanya, ”Jadi bagaimana menurut pertimbanganmu Ki Sempulur? Apakah aku harus melaporkannya kepada prajurit-prajurit Singasari?”

“Sebaiknya demikian Ki Saudagar. Dengan demikian maka prajurit Singasari telah mengambil tanggung jawab pula atas kemungkinan yang dapat terjadi kemudian.”

Saudagar itu termangu-mangu.

“Paman.“ desak Mahisa Bungalan, ”Aku sependapat dengan paman dan paman Sempulur. Tak ada yang lebih baik dari menyerahkan semua persoalan kepada yang berkewajiban menanganinya. Prajurit Singasari adalah kekuatan yang akan dapat melindungi kita semuanya.”

“Tetapi apakah aku tidak akan terlibat dalam banyak kesulitan? Apakah prajurit Singasari tidak akan justru menuduh aku terlibat dalam lingkungan kejahatan? Jika yang terjadi adalah perselisihan di antara kelompok-kelompok penjahat, dan justru ajang perselisihan itu adalah halaman rumahku, maka prajurit Singasari dapat mengaitkan pertentangan itu dengan aku sendiri.“

“Tidak Ki Saudagar. Aku dan Pegatmega adalah saksi yang dapat memberikan banyak penjelasan, justru karena aku melihat apa yang sudah terjadi. Mudah-mudahan keteranganku dapat dimengerti oleh prajurit-prajurit Singasari, justru aku sendiri adalah bekas seorang prajurit. Dan barangkali Ki Mahisa Agni akan dapat dihubungi untuk melepaskan Ki Saudagar dari kemungkinan yang buruk itu.”

Sardagar itu mengangguk-angguk. Kemudian, “Jadi apa yang dapat aku kerjakan sekarang?”

“Melaporkan peristiwa ini kepada prajurit Singasari di gardu penjagaan terdekat.“ tetapi Witantra pun kemudian berkata kepada Mahisa Bungalan, “Bersihkan dirimu dan berganti pakaian. Kita akan memberikan keterangan kepada para prajurit itu bahwa kita tidak terlibat. Kau juga tidak. Yang terjadi adalah pertempuran di antara penjahat-penjahat itu sendiri. Mereka telah sampyuh.”

“Tetapi letak mayat itu?“ desis Mahisa Bungalan.

“Yang seorang berusaha untuk melarikan diri dalam ke adaan luka. Tetapi ia gagal meloncati dinding batu, karena lukanya yang parah. Kita tidak usah merubah letak mayat itu sampai prajurit-prajurit itu datang.”

Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Ada sesuatu yang akan dikatakannya, tetapi agaknya ia harus berhati-hati, agar tidak didengar oleh Ki Saudagar.

“Baiklah paman.“ berkata Mahisa Bungalan kemudian, “Aku akan membersihkan diri. “Namun kemudian ia berbisik sambil melangkah, “Apakah paman Mahisa Agni tidak diberi tahukan lebih dahulu?”

Witantra mengangguk-angguk. Namun jawabnya, “Cepatlah sedikit agar semuanya segera dapat diselesaikan.”

Mahisa Bungalan pun kemudian meninggalkan ruang itu. Tetapi Witantra segera menyusulnya sambil berkata kepada saudagar ternak itu, “Tunggu sebentar Ki Saudagar.”

Saudagar itu hanya tercenung ditempatnya. Ia sudah tidak mampu memikirkan, apa yang harus segera dilakukannya. Di ruang belakang Mahisa Bungalan dan Witantra sejenak berbincang. Apakah Mahisa Agni sebaiknya segera diberitahu atau tidak.

“Laporan hal ini akan sampai juga padanya.“ berkata Witantra.

“Tetapi sementara itu, mungkin Senapati yang bertanggung jawab sudah menentukan kebijaksanaan lain.”

“Apakah pemberitahuan kepadanya tidak melibatkan pamanmu Mahisa Agni secara langsung?”

“Hanya sekedar diberitahu paman. Mungkin ada gunanya.”

Witantra mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan pergi bersama Ki Saudagar. Kami akan melaporkan kepada prajurit Singasari digardu terdekat. Tetapi sementara itu aku akan pergi menemui pamanmu Mahisa Agni.”

Mahisa Bungalan hanya mengangguk-angguk saja. Memang tidak ada cara lain yang lebih baik Jika mereka langsung menyampaikannya kepada Mahisa Agni tanpa memberitahukan kepada prajurit yang bertugas, tentu akan menumbuhkan pertanyaan pula, kenapa persoalannya langsung ditangani oleh Mahisa Agni.

Karena itu, maka Witantra mencoba menempuh cara yang paling baik, dengan memberitahukan kedua-duanya. Mungkin Mahisa Agni dapat menemukan jalan yang baik untuk memecahkan persoalannya.

Demikianlah setelah Mahisa Bungalan selesai membersihkan diri, maka Witantra pun segera pergi bersama saudagar ternak itu. Tetapi ternyata mereka tidak dapat dengan begitu saja memasuki halaman istana di malam hari tanpa alasan yang kuat.

“Aku akan memanjat dinding.“ berkata Witantra di dalam hatinya.

Karena itu, maka ia pun mengajak saudagar itu singgah sejenak di belakang dinding istana, ditempat yang sepi. “Tunggulah disini.”

“Aku tidak mengerti. Kita tidak langsung ke gardu terdekat.”

“Aku akan singgah kerumah kawanku sebentar untuk mendapatkan nasehatnya.”

“Dimana rumah kawanmu?”

“Di sebelah.”

“Kenapa aku harus menunggu disini. Apakah aku tidak boleh ikut?”

“Aku hanya sebentar.”

Witantra tidak menunggu lagi. ia langsung meloncat melintasi jalan, justru keseberang dinding istana. Tetapi ditempat lain ia menyeberang kembali dan langsung meloncat dinding. Ternyata penjagaan istana Singasari tidak sekuat masa-masa lampau. Rasa-rasanya keamanan sudah berangsur baik, sehingga prajurit-prajurit tdak perlu mengawasi setiap jengkal dinding yang melingkari halaman.

Witantra tidak menemui kesulitan untuk mencapai bangsal Mahisa Agni. Dengan isyarat yang sudah biasa diberikan, maka iapun segera dapat menemui Mahisa, Agni dan mengatakan peristiwa yang sudah terjadi.

“Aku sependapat dengan kau.“ berkata Mahisa Agni, “Prajurit di gardu terdekat harus diberitahu. Katakan apa yang kau lihat dan apa yang telah terjadi.”

“Bagaimanakah jika Senapati prajurit itu mengenal aku?”

Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Tidak apa-apa. Persoalan itu sudah menjadi persoalan prajurit Singasari, sehingga kau tidak usah bersembunyi lagi. Tetapi sebaiknya untuk sementara nama Mahisa Bungalan masih harus disembunyikan, agar orang orang berilmu hitam itu tidak semakin mendendamnya. Jika pada. suatu saat, mereka mencium kabar kematian kawan-kawanyna di rumah saudagar itu melawan orang-orang yang tidak dikenal, tetapi bahwa di rumah itu ada Mahisa Bungalan, maka sasaran kemarahan mereka tentu pada anak muda itu.”

Witantra mengangguk-angguk, lalu katanya, “Jadi biarlah kita sebar kabar, bahwa orang berilmu hitam itu telah mati dibunuh oleh sorang yang bernama Linggadadi.”

“Mungkin ada keuntungan yang kita peroleh, meskipun Linggadadi tentu akan menyebarkan ceritera lain.”

“Baiklah.“ berkata Witantra kemudian, “Saudagar itu menunggu aku di luar dinding ini.”

Witantra pun kemudian segera minta diri, kembali kepada saudagar yang menunggunya dengan gelisah. Demikianlah maka mereka berdua pun segera pergi ke gardu prajurit Singasari yang terdekat dengan peristiwa yang meng gemparkan itu. Ternyata bahwa berita tentang empat orang penjahat dari dua kelompok yang saling bermusuhan itu segera tersebar di seluruh kota.

Namun seperti yang dikehendaki oleh Witantra, bahwa kematian orang-orang berilmu hitam itu adalah sampyuh dengan anak buah Linggadadi, sedang Linggadadi sendiri berhasil melarikan diri.

Dalam waktu yang singkat, maka beberapa orang prajurit dibawah pimpinan seorang perwira yang sedang bertugas malam itu telah datang ke halaman rumah saudagar ternak itu. Dengan saksama mereka memperhatikan keadaan di sekitar arena pertempuran yang berlangsung dengan sengitnya itu.

Untunglah bahwa perwira yang masih muda itu tidak mengenal Witantra, apalagi dalam pakaian orang kebanyakan. Apalagi Mahisa Bungalan yang memang belum lama berada di kota Singasari. Beberapa hal telah menumbuhkan keheranan di hati perwira itu. Namun ia tidak mendapatkan petunjuk-petunjuk lain kecuali empat sosok mayat dengan lukanya masing-masing. Seorang di antaranya telah terluka oleh senjata yang mengandung racun.

“Kami tidak menemukan senjata beracun itu.“ berkata perwira itu kepada prajuritnya.

“Mungkin senjata itu adalah senjata seorang yang bernama Linggadadi dan sempat melarikan dirinya.“ gumam salah seorang prajuritnya.

Perwira itu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih memerlukan keterangan tentang peristiwa itu dari penghuni rumah itu.

“Aku tidak melihat apapun juga.“ berkata saudagar itu.

“Siapakah yang telah melihatnya.”

“Sempulur.“ jawab saudagar itu, “Ia adalah…”

Witantra yang berdiri di dekatnya menggamitnya. Dan ialah yang kemudian mengatakan, “Aku adalah saudara tua Ki Saudagar meskipun dalam hubungan yang jauh. Tua dalam hitungan umur dan tua menurut garis keturunan yang jauh itu.”

“Kau melihat perkelahian itu?”

“Ya tuan. Aku melihat pertempuran itu, karena aku berada di dalam kegelapan, di bawah pohon di sudut halaman.”

“Ceriterakan apa yang kau lihat.”

Witantra pun kemudian menceriterakan apa yang telah dilihatnya meskipun ia berusaha untuk tidak melibatkan dirinya dan Mahisa Bungalan.

“Apakah kau mengetahuinya, barangkali dari pembicaraan mereka selama mereka bertempur, siapakah mereka itu?”

“Aku hanya mendengar salah seorang dari mereka bernama Linggadadi. Justru ialah yang berhasil keluar dari perkelahian itu.”

“Yang lain?”

Witantra menggeleng. Namun kemudian katanya, “Tetapi aku mendengar pula Linggadadi menyebut lawannya sebagai iblis berilmu hitam.”

“Berilmu hitam?”

“Demikianlah. Aku tidak tahu kebenarannya.“

Perwira itu termangu-mangu sejenak. Kemudian iapun bertanya, “Yang manakah yang berilmu hitam?”

“Lawan Linggadadi.”

“Ya, yang mana?”

Witantra pun kemudian menunjukkan dua orang berilmu hitam yang terbunuh.

Perwira itu merenung sejenak. Lalu tiba-tiba saja ia bertanya, “Dengan demikian maka orang yang mati karena racun itu adalah kawan Linggadadi.”

Witantra mengerutkan keningnya. Tetapi cepat ia menjawab, “Tetapi aku tidak tahu pasti, apakah yang aku sebutkan itu benar seluruhnya. Bagiku pertempuran itu sangat membingungkan.”

Perwira ku mengangguk-angguk. Sementara itu Saudagar ternak itupun menjadi bingung. Menurut Mahisa Agni yang dikenalnya dengan baik. Witantra yang disebutnya bernama Sempulur itu adalah seorang bekas prajurit. Tetapi sikapnya sangat mengherankannya. Ia pun tidak mau mengatakan seluruhnya yang diketahuinya. Juga agaknya ia merahasiakan anak muda yang bernama Pegatmega yang telah terluka di dalam perkelahian itu. Bahkan agaknya ia pun telah merahasiakan dirinya sendiri.

Tiba-tiba saja di hati saudagar itu telah menyelinap kecurigaannya kepada Witantra dan Mahisa Bungalan meskipun bukan prasangka yang buruk. Ia percaya kepada Mahisa Agni yang sudah tentu tidak akan mencelakainya. Tetapi justru kedua orang itu mampu mengatasi jika keluarganya akan ditimpa oleh malapetaka.

“Siapakah sebenarnya kedua orang itu.“ bertanya saudagar itu di dalam hatinya. Tetapi ia akan tetap menyimpannya sehingga pada suatu saat ia dapat bertemu dengan Mahisa Agni.

Demikianlah, setelah perwira bersama beberapa orang prajurit itu mendapat keterangan yang cukup tentang empat orang yang terbunuh di halaman itu, maka mereka pun segera memerintahkan tetangga-tetangga saudagar yang terbangun dan berkemurun di luar halaman itu untuk membantu menyelenggarakan penguburan mayat itu.

Di pagi harinya, hampir setiap mulut telah memperkatakan peristiwa yang mengerikan itu. Bahkan kemudian berita tentang dua orang yang sering datang ke beberapa rumah dan mengambil uang itupun telah membubui ceritera tentang kematian empat orang itu.

Dalam pada itu, saudagar ternak yang masih diselimuti oleh kecemasan dan kebingungan itu sempat bertanya kepada Witantra. “Aku tidak mengerti apa yang kau lakukan selama ini di rumahku. Kau dan anak muda yang bernama Pegatmega itu membuatku bertanya-tanya. Ada rahasia yang menyelimuti dirimu. Dan apakah sudah waktunya aku mengerti?”

Witantra tersenyum. Katanya, “Tidak ada rahasia apa-apa. Jika ada yang aku sembunyikan kepada prajurit-prajurit itu, adalah karena kita harus berhati-hati. Orang-orang yang mati itu tentu masih mempunyai kawan yang dapat membalas dendam. Jika mereka disebut sampyuh, maka biarlah golongan-golongan penjahat itu saling mendendam, tampa melibatkan kita disini.”

Saudagar itu mengangguk-angguk. Tetapi ia sama sekali tidak puas oleh jawaban itu, sehingga ia masih tetap berhasrat untuk bertemu dengan Mahisa Agni dan bertanya tentang dua orang yang diserahkannya kepadanya itu dengan alasan yang berbeda.

Sementara itu Witantra dan Mahisa Bungalan pun mencoba untuk mengurai keadaan yang mereka hadapi. Justru karena Linggadadi sempat meninggalkan arena, maka persoalannya tentu masih akan berkepanjangan.

“Paman.“ berkata Mahisa Bungalan, “Apakah pada suatu saat Linggadadi tidak akan datang kemari?”

Witantra mengangguk-angguk. Katanya, “Itulah yang aku cemaskan. Jika yang tetap hidup itu orang lain. maka mereka telah mendengar jawaban kita selagi kita masih ada di dalam bilik, bahwa kita adalah tamu di rumah ini. Tetapi Linggadadi tentu menganggap bahwa kita, penghuni rumah ini telah terlibat langsung. Dan ini berarti bahaya bagi saudagar ternak itu.”

“Dan sudah barang tentu bahwa kita tidak akan dapat tetap tinggal disini untuk seterusnya. Jika saja kita tahu kapan Linggadadi akan datang. Tetapi ia pasti akan datang seperti pencuri di malam hari. Diam-diam. Namun, tiba-tiba saja ia sudah mencengkam dengan sengitnya. Meskipun Linggadadi tidak berilmu hitam, tetapi tingkah lakunya tidak ada ubahnya. Ia sampai hati membunuh kawannya sendiri untuk menghindarkan diri dan kelompoknya dari pengamatan prajurit Singasari.“ sahut Mahisa Bungalan.

“Kita akan bertemu dengan Mahisa Agni.”

“Segera paman.“ gumam Mahisa Bungalan, “Tetapi bagaimana jika Ki Saudagar itu diminta untuk pindah saja?”

“Tidak banyak artinya. Linggadadi akan dengan mudah mencari tempat tinggalnya yang baru.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Memang sebaiknya kita bertemu dengan paman Mahisa Agni.”

Demikianlah ternyata bahwa Witantra dan Mahisa Bungalan telah mendahului saudagar ternak itu untuk bertemu dengan Mahisa Agni. Meskipun mereka tidak berterus terang dengan Saudagar yang kecil hati itu, namun mereka sempat meninggalkan rumah itu bersama-sama.

“Apakah kau juga akan pergi Pegatmega?“ bertanya Ki Saudagar ketika Mahisa Bungalan minta diri untuk mengikuti Sempulur keluar sebentar.

“Hanya sebentar paman. Aku akan segera kembali.”

“Kenapa kalian pergi bersama-sama. Sebaiknya kalian bergantian tinggal di rumah.”

“Di siang hari tidak akan ada seorang pun yang berani mengganggu paman.”

Demikianlah maka Witantra dan Mahisa Bungalan pun pergi ke istana, menghadap Mahisa Agni. Mahisa Agni mengangguk-angguk mendengar semua laporan itu. Katanya, “Aku sudah memikirkannya. Sejak kau datang malam itu, maka aku sudah mempertimbangkan kemungkinan seperti yang kau katakan.”

“Jadi apakah dapat diusahakan perlindungan bagi Saudagar ternak itu?”

Mahisa Agni merenung sejenak. Lalu, “Sebenarnya aku menganggap bahwa kakang Witantra tidak perlu lagi menyembunyikan diri. Jika akhirnya diketahui bahwa orang yang bertempur melawan Linggadadi itu adalah Witantra yang bergelar Panji Pati-Pati, maka tentu Linggadadi akan berpikir lagi untuk membalas dendam.”

Witantra mengangguk-angguk.

“Tetapi aku masih ingin melindungi nama Mahisa Bungalan. Jika namanya disebut satu kali lagi, maka orang-orang berilmu hitam akan semakin mendendamnya. Bahkan mungkin juga Linggadadi, sehingga tidak mustahil, bahwa untuk melepaskan sakit hati, kedua pihak itu dapat bekerja bersama, meskipun hanya untuk sementara.”

“Aku tidak berkeberatan.“ jawab Witantra, “Jika hal itu dapat melindungi nama Saudagar ternak itu.”

“Aku kira tidak ada cara yang lebih baik.”

“Jadi, untuk itu, apakah yang harus aku lakukan?”

“Tentu para prajurit masih akan mendengar keteranganmu. Untuk itu kau dapat menjawab tentang dirimu sendiri sesuai dengan maksudmu untuk melindungi nama Saudagar itu.”

“Apakah para prajurit akan percaya? Menurut penglihatanku mereka adalah Senapati-senapati dan perwira-perwira muda yang masih belum mengenal aku.”

“Sebutlah namamu. Mereka akan segera mengenalmu.“

Witantra mengangguk-angguk. Katanya kepada Mahisa Bungalan, “Nah, kau dengar. Perananku sudah selesai. Tetapi kau masih harus tetap bermain dengan nama Pegatmega.”

Mahisa Bungalan tersenyum. Namun ia masih bertanya kepada Mahisa Agni, “Paman, apakah salahnya jika orang-orang berilmu hitam itu mengetahui tentang diriku?”

“Mahisa Bungalan, sebenarnyalah kita belum tahu pasti, bahkan gambaran yang samar-samar pun belum, tentang kekuatan yang sebenarnya dari orang-orang berilmu hitam itu dan juga kelompok Linggadadi. Karena itu tidak ada salahnya jika untuk sementara kau tetap bersembunyi.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah paman. Tetapi pada suatu saat, mereka juga akan tahu.”

“Sementara itu kita mencoba mengetahui serba sedikit tentang ilmu hitam itu. Aku akan mencoba mencari jejak mereka di tempat-tempat yang pernah aku dengar menjadi sarang orang-orang berilmu hitam.”

Witantra dan Mahisa Bungalan dapat mengerti pendapat Mahisa Agni. Karena itu maka mereka masih saja mengangguk. Agaknya untuk melindungi Saudagar itu, tidak ada nama lain yang lebih berwibawa dari nama Witantra.

Karena itulah maka kemudian ketika para prajurit masih memerlukan keterangan lagi mengenai empat sosok mayat di halaman rumah Saudagar ternak itu, maka mereka bertemu dengan seseorang yang tidak lagi merasa perlu untuk menyembunyikan namanya.

“Apakah keterangan yang pernah aku berikan masih belum cukup?“ bertanya Witantra kepada perwira yang menemuinya.

“Jika sudah cukup, aku tidak perlu memanggilmu lagi.“ Jawab perwira muda itu.

Witantra memandang Mahisa Bungalan dan Saudagar ternak yang juga hadir bersamanya. Mahisa Bungalan tersenyum sedikit, sedang Saudagar ternak itu nampak bersungguh-sungguh mendengarkan pertanyaan-pertanyaan perwira muda itu.

“Ki Sempulur.“ berkata perwira itu, “Sulit untuk mengerti bahwa keempat mayat itu telah sampyuh. Keteranganmu mengenai salah seorang dari mereka yang mati karena racun memberikan banyak arti yang bersimpang siur. Senjata beracun itu tidak kami ketemukan di halaman itu. Sudah tentu senjataku harus berada di tangan orang berilmu hitam karena yang mati itu adalah kawan Linggadadi.”

Witantra menarik nafas dalam-dalam. Dalam pada ku, Saudagar ternak itupun justru ingin mengetahui, peran apakah yang sebenarnya dilakukan oleh Sempulur. Karena itu tiba-tiba saja ia berkata, “Sempulur, bukankah kau dapat memberikan keterangan yang lebih jelas? Kau tentu mengetahui apa yang telah terjadi di peperangan itu karena kau adalah bekas seoarng prajurit.”

Witantra mengerutkan keningnya. Dan perwira itu agaknya tertarik pada keterangan saudagar itu. “Siapakah yang bekas seorang prajurit?”

“Sempulur.“ desis Saudagar itu.

“Benar kau bekas seorang prajurit?”

“Jika tidak.“ potong Saudagar ternak itu. “Ia tidak akan berani keluar halaman dalam perkelahian yang mengerikan itu.”

Prajurit itu mengangguk-angguk. Dipandanginya Witantra sejenak, lalu iapun bertanya lagi, “Kau memang pantas untuk menjadi seorang prajurit. Tetapi sayang, aku belum pernah mengenalmu. Bahkan namamu pun belum pernah aku dengar.”

“Ada berapa ribu prajurit di seluruh daerah Singasari yang luas ini.“ desis Witantra, “Adalah wajar, bahwa ada di antara mereka yang tidak saling mengenal.”

“Kau benar. Tetapi katakanlah, apakah benar kau bekas seorang prajurit?”

Witantra mengangguk. Jawabnya, “Ya, aku memang bekas seorang prajurit.”

“Jika demikian keteranganmu memang perkelahian di halaman itu tentu tidak lengkap. Ada bagian yang kau sembunyikan.”

“Ya.”

“Apakah kau seorang pengecut yang takut bertanggung jawab atas peristiwa yang kau saksikan itu? Dan barangkali telah melibatkan kau dalam perkelahian di halaman itu?”

“Demikianlah. Semula aku mencoba menghindarkan diri dari keterlibatan yang lebih jauh. Mungkin kawan-kawan dari mereka yang terbunuh itu akan menuntut balas. Tetapi ternyata aku tidak akan dapat melepaskan diri untuk seterusnya.”

“Kau mempersulit kami. Kau harus memberikan keterangan yang jelas. Nah, katakan, apalagi yang harus kau lengkapi pada keteranganmu yang samar-samar itu.”

“Agaknya ada beberapa hal yang tidak tepat seperti yang aku katakan. Sebenarnyalah bahwa orang yang mati karena racun itu memang kawan Linggadadi. dan ia memang mati oleh Linggadadi sendiri.”

“Bagaimana mungkin demikian?”

“Tentu Linggadadi ingin menghilangkan jejak, karena orang itu tidak sempat melarikan diri lagi.”

“Kenapa tidak sempat? Tidak ada luka yang lain kecuali luka beracun itu.”

“Ya. Tetapi aku dapat menguasainya. Bahkan berdua dengan Linggadadi, sehingga terpaksa ia dibunuh agar ia tidak dapat tertangkap hidup-hidup.”

“Kau bertempur melawan keduanya?”

“Ya. Setelah dua orang terbunuh. Benar-benar sampyuh.”

“Kau berpihak kepada orang-orang berilmu hitam?”

“Tidak. Aku ingin menangkap siapapun diantara mereka untuk mendapatkan keterangan.”

Perwira itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Kau terlampau yakin akan dirimu. He, apakah kau sangka bahwa orang-orang itu dapat kau kalahkan? Ceriteramu menjadi mirip sebuah dongeng. Dan tokoh dari dongeng itu adalah dirimu sendiri.”

Witantra menarik keningnya. Lalu katanya, “Ceriteraku kali ini benar. Aku tidak membual karena aku terpaksa memberikan keterangan yang sebenarnya.”

Perwira itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia bertanya, “Apakah kau mempunyai gelar di dalam tugas keprajuritan sehingga barangkali aku dapat mengenalmu?”

Witantra merenung sejenak. Kemudian iapun menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Ya. Aku memang mempunyai gelar keprajuritan.”

Senapati yang bertanya kepadanya menjadi termangu-mangu. Keterangan Witantra agak berbelit-belit menurut penilaiannya. Baginya terasa memang ada sesuatu yang tersembunyi. Dan kini orang itu mengaku bahwa ia mempunyai gelar ke prajuritan. Sejenak Senapati itu memandang Witantra dengan tajamnya. Kemudian iapuun medesaknya, “Coba, sebutkan gelar keprajuritanmu agar aku dapat bersikap sewajarnya. Bagiku keteranganmu masih membingungkan.”

Witantra masih agak ragu-ragu. Namun dalam pada itu Saudagar ternak itupun mendesaknya pula. “Kenapa kau tidak mau segera menyebut gelarmu?”

Witantra masih mengangguk-angguk. Sekilas dipandanginya wajah Mahisa Bungalan. Anak muda itu nampak tersenyum. Teta pi ia tidak mengatakan sesuatu. “Baiklah. Jika kau pernah mendengar gelarku, syukurlah. Tetapi ada beribu-ribu prajurit di Singasari, sehingga mungkin sekali kau tidak mengenal gelarku pula seperti kau tidak mengenal namaku.”

“Sebutlah.“ Senapati itu menjadi jengkel. “Apakah kau Pengawal Istana, atau Pelayan Dalam atau yang lain?”

“Aku pernah ditempatkan di Kediri untuk beberapa saat yang tidak terlalu lama.”

“Ya sebutlah.”

“Gelarku Panji Pati-Pati.”

“Panji Pati-Pati?“ Senapati muda dan Saudagar ternak itu mengulang bersama-sama.

“Ya, aku adalah Panji Pati-Pati. Kenapa? Apakah kau pernah mendengar?”

Senapati muda itu termangu-mangu sejenak. Diamatinya Witantra dengan saksama. Dan Witantra pun menjelaskan. “Namaku adalah Witantra.”

“Tetapi…“ prajurit muda itu termangu-mangu.

“O.“ desis Saudagar ternak, “Bukan main. Ternyata kakang Mahisa Agni senang bergurau. Tetapi kali ini benar-benar membuat aku bingung.”

“Kau menyebut nama Ki Mahisa Agni?“ bertanya Senapati itu.

“Ya. Ki Mahisa Agni lah yang menempatkan Ki Witantra yang bergelar Panji Pati-Pati di rumahku. Tetapi katanya namanya Sempulur.“ ia berhenti sejenak, lalu, “Sebenarnya aku sudah curiga, bahwa tentu ada sesuatu yang tersembunyi padanya. Dan siapakah anak muda yang disebut Pegatmega itu?”

“Pegatmega. Ia adalah Pegatmega. Anak muda itu sebenarnya bernama Pegatmega.”

Witantra melihat wajah Saudagar ternak yang ragu-ragu. Tetapi sambil tersenyum ia berkata, “Ia adalah kemanakanku. Juga kemanakan Mahisa Agni. Sebenarnyalah bahwa anak itu harus mendapat asuhan tentang unggah-ungguh.”

Saudagar ternak itu termangu-mangu, sementara Senapati muda yang kebingungan itu masih juga berdesis di luar sadarnya, “Jadi apakah benar aku berhadapan dengan Panji Pati-Pati?”

“Aku yakin sekarang.“ berkata Saudagar itu, “Yang membawa Ki Sempulur dan ternyata adalah Ki Witantra yang bergelar Panji Pati-Pati adalah Ki Mahisa Agni.”

Senapati itu mengangguk dalam-dalam. Katanya, “Jika demikian benarlah tuan Panji Pati-Pati. Aku mohon maaf bahwa aku sudah bertindak deksura.”

“Kau tidak bersalah.“ berkata Witantra, “Kau sedang menjalankan tugasmu.”

“Sekarang aku justru menjadi jelas. Ki Mahisa Agni sudah mengetahui bahwa rumah ini akan mengalami gangguan. Bukan oleh penjahat biasa yang dapat ditangani oleh prajurit yang bertugas. Tetapi yang datang adalah orang-orang berilmu Hitam dan anak buah Linggadadi yang masih gelap bagi Singasari.”

“Begitulah kira-kira persoalannya.“ jawab Witantra, “Orang-orang berilmu hitam itu memang sulit untuk dilawan. Karena itu memang harus ada orang-orang khusus yang mendapat tugas untuk melawannya. Tetapi sampai saat ini semuanya masih gelap. Aku mengharap untuk dapat menangkap hidup-hidup salah seorang dari mereka, atau salah seorang anak buah Linggadadi yang hampir tidak ada bedanya dengan orang-orang berilmu hitam itu.”

Senapati muda itu mengangguk-angguk.

“Tetapi aku gagal. Aku harus membunuh orang-orang berilmu hitam itu.”

Saudagar ternak itu mengangguk-angguk. Namun diluar sadarnya ia berkata, “Tetapi kenapa angger Pegatmega terluka?”

Witantra mengerutkan keningnya. Lalu, “Anak nakal. Aku sudah menyuruhnya menyingkir. Tetapi ia terlampau dekat dari arena sehingga senjata orang berilmu hitam itu sempat menyentuhnya.”

Prajurit itu menggangguk. Kini semuanya menjadi agak terang baginya. Justru setelah ia mengenal bahwa orang yang bernama Sempulur itu adalah Witantra yang bergelar Panji Pati-Pati. Namun dengan demikian prajurit itupun sadar, bahwa yang mereka hadapi bukanlah lawan yang ringan. Tetapi Mahisa Agni menganggap perlu bahwa orang-orang itu harus langsung dihadapi oleh seorang Senapati yang bergelar Panji Pati-Pati.

“Singasari harus bersiaga.“ desis Senapati muda itu di dalam hatinya, “Ada dua golongan yang mengancam kedamaian negeri ini.”

Namun Senapati itu yakin bahwa Singasari masih tetap memiliki kemampuan untuk mengatasi setiap kesulitan. Maharaja dan Ratu Angabaya semakin lama menjadi semakin masak dalam pimpinan pemerintahan, sementara orang-orang terpenting sejak masa pemerintahan Sri Rajasa, kini masih ada. Meskipun umur mereka menjadi semakin tua.

Demikianlah, maka seperti yang diharapkan, maka tersebarlah berita baru tentang kematian kedua orang berilmu hitam yang dikabarkan sampyuh dengan dua orang golongan penjahat yang lain. Setiap orangpun kemudian memperbincangkan berita yang kemudian tersebar di seluruh Singasari.

“Bukan sampyuh.” desis seseorang yang merasa dirinya paling mengetahui, “Tetapi Ki Witantra yang bergelar Panji Pati-Pati lah yang telah membunuh mereka.”

“Keempatnya?“ bertanya kawannya.

Orang itu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak tahu, tetapi orang terakhir mati karena Panji Pati-Pati.”

Berita itulah yang kemudian tersebar luas, sehingga akhirnya telinga Linggadadi pun mendengarnya pula.

“Gila “ geramnya “Suatu tantangan bagi orang-orang berilmu hitam itu.”

“Kenapa?“ bertanya Linggapati.

“Semula orang-orang Singasari ingin membenturkan kita dengan orang-orang berilmu hitam itu. Mereka menyebarkan berita bahwa kedua orang berilmu hitam itu mati sampyuh dengan anak buah Linggadadi, tetapi Linggadadi berhasil melarikan diri. Kini mereka memperbaiki berita itu, dan dengan tegas mereka menyebut nama Witantra yang bergetar Panji Pati-Pati.”

“Tetapi siapakah sebenarnya yang telah membunuhnya?”

“Bukan aku.“ Linggadadi menarik nafas dalam-dalam, “Mungkin benar Witantra.”

“Yang seorang dari orang berilmu hitam itu? Bukankah yang membunuh adalah anak muda yang kau katakan? Bukan orang tua yang mungkin benar bernama Witantra dan bergelar Panji Pati-Pati itu?”

“Menurut penglihatanku demikian. Orang tua itu bertempur melawan kami berdua. Aku melihat anak muda itu berhasil membunuh orang berilmu hitam itu setelah hampir saja ia terjerat oleh kesombongannya sendiri karena ia mencoba-coba mempergunakan berbagai cara untuk melawannya. Ketika ia terluka barulah ia sadar akan kesalahannya, bahwa melawan orang berilmu hitam itu tidak dapat dilakukannya dengan mencoba-coba.”

“Gila.“ geram Linggapati. “Tentu ada maksud tersembunyi. Apakah kau mendengar kabar tentang anak muda itu?”

“Namanya Pegatmega.”

“Itu tentu bukan namanya. Kau tahu, bahwa Witantra itu tidak mempergunakan namanya sendiri. Menurut pendengaran orang-orang kita, ia mempergunakan nama Sempulur untuk menjebak orang berilmu hitam. Tetapi kedua orang kita pun terjebak pula dan mati bersama kedua orang berilmu hitam itu.”

Linggadadi mengangguk-angguk.

“Meskipun yang seorang sempat kau dahului, karena betapapun juga ia akan mati. Mati dalam segala arti.”

Linggadadi masih mengangguk-angguk.

“Tetapi bukankah pernyataan orang-orang Singasari itu agaknya dapat sedikit mengurangi tanggung jawab kita?”

“Kita tidak tahu, apakah orang-orang berilmu hitam itu percaya. Kehadiran kita di halaman itu tentu menimbulkan kecurigaan mereka meskipun tidak ada seorang pun yang dapat mengatakan, apa yang sudah kita lakukan. Tetapi bahwa dua orang dari mereka terbunuh, meskipun Witantra menyatakan dirinya bertanggung jawab, namun orang-orang berilmu hitam itu akan tetap mendendam kita.”

Linggadadi mengangguk-angguk. Katanya, “Kita tidak usah cemas. Orang-orang berilmu iblis itu bukannya iblis itu sendiri. Kita mempunyai kekuatan cukup untuk melawan mereka. Bahkan aku berniat untuk mencari mereka di pusat sarangnya.”

“Maksudmu?”

“Kita pernah mendengar ceritera tentang orang-orang berilmu hitam dari beberapa daerah. Tentu yang masih tinggal sekarang dan mulai berkembang adalah peninggalan dari salah satu daerah itu.”

“Kita akan menjelajahi tempat-tempat yang pernah disebut di dalam dongeng-dongeng tentang jin, peri, perayangan itu?”

“Bukan kita yang harus pergi. Tetapi satu dua orang yang dapat kita percaya. Namun demikian, mumpung kita masih belum mempunyai kesibukan apapun menjelang rencana kita dalam jangka waktu yang panjang itu, sebaiknya kita sekali-kali juga menempuh perjalanan yang panjang.”

Linggadadi mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin menyenangkan juga menjelajahi daerah dongeng tentang orang-orang berilmu hitam. Tetapi nyatanya ilmu itu tidak terlampau mengerikan. Ternyata seorang anak muda dapat melawannya. Akupun sudah mencoba bertempur melawan orang berilmu hitam itu sebelum anak muda itu mengambil alih, karena aku harus bertempur melawan Witantra.”

“Dan kau tidak terdesak oleh ilmu itu.“ desis Linggapati.

“Ya. Aku berhasil memotong gerakannya yang membingungkan. Dengan demikian maka orang berilmu hitam itupun kehilangan kesempatan untuk bertempur menurut caranya.”

“Dan anak muda itu berbuat demikian pula.”

“Ya. Sesudah ia mencoba-coba dengan cara yang lain, yang sekedar didorong oleh perasaan ingin tahu saja. Ia mencoba ikut berputaran, bahkan dengan gila ia mencoba mengitari lawannya yang kelelahan. Tetapi hampir saja ia. harus menebus kegilaan yang kekanak-anakan itu dengan nyawanya.”

“Anak yang luar biasa. Ia akan dapat menjadi orang yang ditakuti oleh kawan dan lawan. Ia akan menguasai berbagai macam ilmu. Bahkan ilmu hitam itu pun akan dikuasainya. Percayalah bahwa Witantra dan anak muda itu tentu akan mencari tempat yang tersebut dalam dongeng tentang orang berilmu hitam itu.”

Linggadadi mengangguk-angguk. Ia pun mengira bahwa Witantra, dan bahkan mungkin atas perintah Maharaja Singasari, beberapa orang akan mencari sarang orang-orang berilmu hitam sesuai dengan ceritera tentang mereka pada masa lampau.

“Tetapi dongeng itu sudah hampir lenyap. Tidak banyak lagi yang diketahui tentang orang-orang berilmu hitam itu.“ desis Linggapati.

“Tetapi ilmu itu sekarang telah tumbuh dan berkembang. Yang datang ke Singasari itu tentu bukan orang terpenting diantara mereka. Ada dua orang yang terbunuh di Singasari.“ sahut Linggadadi.

“Tetapi cobalah, kau ingat lagi ceritera Tapak Lamba tentang anak muda yang berada dipadukuhan yang disebutnya daerah bayangan hantu. Apakah mungkin anak muda yang berada di Singasari itu juga anak muda yang telah membunuh tiga orang berilmu hitam di daerah bayangan hantu itu?”

“Memang mungkin. Tetapi namanya berbeda. Orang yang menurut Tapak Lamba berbasil membunuh tiga orang berilmu hitam itu bernama Mahisa Bungalan. Ia menyebut dirinya anak Mahendra.”

“Siapakah Mahendra itu menurut pendengaranmu. Tentu kau pernah mendengar hubungan antara Mahendra dan Witantra.”

“Tetapi menurut pendengaranku, anak muda yang berada di Singasari itu bernama Pegatmega.”

“Dan orang yang bernama Witantra itu pernah disebut Sempulur.”

Keduanya mengangguk-angguk. Ternyata bahwa mereka telah hampir menemukan persamaan uraian tentang anak muda yang bernama Pegatmega itu. Beberapa orang yang mereka kirimkan untuk mengetahui kabar yang tersebar, berhasil mengumpulkan beberapa keterangan tentang Pegatmega dan Sempulur, sehingga akhirnya Linggapati mengambil kesimpulan.

“Aku condong kepada dugaan bahwa Pegatmega adalah Mahisa Bungalan.”

“Apakah ia anak muda yang licik?“ sahut Linggadadi, “Kenapa ia harus bersembunyi dibalik nama lain? Apakah ia tidak berani mempertanggung jawabkan perbuatannya?”

“Aku kira bukan atas kehendaknya sendiri. Jika ia menyebut namanya, maka ia akan menjadi pusat perhatian orang-orang berilmu hitam yang kehilangan kawan-kawannya di daerah bayangan hantu itu.”

“Apakah orang-orang berilmu hitam tidak akan sampai pada dugaan seperti kita bahwa orang yang dekat dengan Witantra itu adalah orang yang telah membunuh tiga kawannya?”

“Kita akan meyakinkan.“ berkata Linggapati kemudian, “Dan kita akan memalingkan perhatian orang-orang berilmu hitam itu dengan sebuah ceritera yang lain.”

“Tentang Mahisa Bungalan?“ bertanya Linggadadi.

“Ya. Seperti orang-orang Singasari yang dengan sengaja melindungi nama Mahisa Bungalan, maka kita dapat menyebar berita bahwa Mahisa Bungalan lah yang telah membunuh orang-orang berilmu hitam, sedang Witantra membunuh salah seorang pembantu kita.”

Linggadadi mengangguk-angguk. Desisnya, “Pendapat yang baik. Setidak-tidaknya kita dapat mengurangi ketegangan disaat yang pendek, sementara kita akan mengelilingi daerah di sekitar Singasari.”

“Mungkin ke daerah yang agak jauh.”

“Menyenangkan sekali. Kita dapat menikmati kemelutnya asap Gunung berapi, melihat hijaunya lembah-lembah dan mengenal berbagai macam ilmu yang mungkin kita jumpai di sepanjang perjalanan.”

“Tetapi masih ada kemungkinan lain.”

“Maksudmu?”

“Kita tidak akan dapat kembali lagi.”

Linggadadi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Itupun akibat yang wajar yang dapat terjadi. Aku akan menerimanya jika memang harus demikian yang terjadi.”

“Bagus. Kita akan segera menentukan saat kita berangkat menyusuri daerah dongeng tentang orang berilmu hitam. Mungkin kita akan menyusuri pantai Selatan, sampai kepusar pulau ini. Mungkin kita akan berjalan lebih jauh.”

“Kita akan pergi berdua atau kita memerlukan satu dua orang kawan?”

“Kita akan pergi bertiga.”

“Siapakah yang seorang? Tapak Lamba?”

Linggapati mengerutkan keningnya. Katanya, “Selama ini ia rajin sekali melatih diri. Tetapi ia masih jauh dari sempurna, sehingga aku kurang mempercayainya bahwa ia justru tidak menghambat perjalanan.”

“Jadi siapa?”

“Paman Daranambang.”

“Orang tua itu?”

“Justru ia orang tua. Tetapi kau tahu bahwa ia masih tetap memiliki kemampuan masa mudanya. Dan ia adalah seorang pengembara yang tidak ada duanya.”

Linggadadi mengangguk-angguk. Gumamnya, “Baiklah. Ia dapat menjadi penunjuk jalan.”

“Tetapi ia juga dapat setidak-tidaknya menjaga dirinya sendiri meskipun seandainya kita bertemu dengan anak muda yang menurut pendengaranku bernama Pegatmega. Bahkan seandainya benar dugaan kita bahwa Pegatmega, kemanakan Witantra yang mengaku bernama Sempulur itu adalah anak Mahendra itu.”

“Lebih dari itu. Karena mungkin diperjalanan kita akan bertemu dengan Witantra dan Mahendra itu sendiri.”

Linggapati tersenyum. Katanya, “Aku justru ingin mengetahui kemampuan orang-orang yang merupakan orang terpenting di Singasari itu. Termasuk Mahisa Agni.”

Linggapati pun tersenyum pula. Ia mengenal betul sifat adiknya. Karena itu maka katanya kemudian, “Kau harus mencoba untuk mengendalikan dirimu Linggadadi. Bermain-main dengan Mahisa Agni dapat menumbuhkan akibat yang tidak kita kehendaki.”

“Tetapi kita belum pernah membuktikannya.”

“Adalah sulit untuk membuktikan dan kemudian mengakuinya, karena dapat terjadi bahwa kita akan kehilangan kesempatan untuk mengetahui akhir dari pembuktian kita.”

Linggadadi tertawa berkepanjangan. Gumamnya di antara derai tertawanya. “Kau masih harus dipengaruhi oleh perasaan bahwa aku adalah seorang adik yang masih terlampau kanak-kanakan. Kakang Linggapati, lihatlah. Aku sudah terlalu tua untuk disebut sudah dewasa.”

“Benar Linggadadi. Tetapi kau harus selalu ingat, bahwa Mahisa Agni adalah rangkapan dari Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi. Aku kira, tidak ada orang yang dapat mengimbangi kemampuan Sri Rajasa selain Mahisa Agni. Bahkan Witantra dan Mahendra pun tidak.”

“Sayang, bahwa Sri Rajasa itu pun sudah tidak ada lagi. Anaknya yang bernama Anusapati yang dianggap memiliki kemampuan mendekati Sri Rajasa pun tidak ada pula.”

“Jangan mengigau. Persiapkan dirimu untuk suatu perjalanan yang panjang. Dalam waktu yang agak lama kita tidak akan dapat berbuat apa-apa atas Singasari. Prajurit Singasari kini tentu telah bangun dan berjaga-jaga karena peristiwa yang bodoh, yang dilakukan oleh orang-orang berilmu hitam itu.”

“Baiklah kakang.“ jawab Linggadadi, “Aku akan berkemas. Agaknya perjalanan itu akan sangat menyenangkan. Aku ingin kita singgah di Kota Raja barang satu dua hari untuk melihat apa saja yang dilakukan oleh prajurit-prajurit Singasari setelah mereka mengetahui peristiwa itu.”

Linggapati termenung sejenak. Kemudian ia pun mengangguk kecil, “Baiklah Linggadadi. Tetapi kau jangan berbuat gila di Kota Raja agar perjalanan kita yang menyenangkan itu tidak terganggu sama sekali.”

“Baiklah kakang.”

“Kau harus berjanji.”

“Aku berjanji.”

Linggapati mengangguk-angguk. Meskipun ia agak ragu-ragu bahwa adiknya akan dapat mengekang diri selama perjalanan dan selama mereka singgah di Kota Raja. “Tetapi ingat Linggadadi.“ berkata Linggapati kemudian, “Namamu sudah dikenal di Kota Raja, karena justru Witantra mendengar namamu disebut.”

“Aku tidak akan memasang selembar rontal bertuliskan nama di dadaku kakang. Tetapi kau pun harus menjaga agar kau tidak menyebut namaku di hadapan orang lain dan sebaliknya. Karena namamu pun mirip sekali dengan namaku.”

“Pokoknya kita harus berhati-hati selama kita berada di Kota Raja.“ potong Linggapati.

Demikianlah maka keduanya pun segera mempersiapkan diri. Seorang yang akan ikut bersama merekapun telah diberitahukannya pula.

“Akhirnya aku masih harus mengembara.“ desis Daranambang.

“Sebagai seorang pengembara maka pengembaraan ini pun akan dapat menyegarkan tubuhmu paman.“ berkata Linggapati.

“Mungkin Linggapati. Tetapi aku tentu sudah tidak setangkas beberapa puluh tahun yang lalu, ketika aku masih muda dan kuat.”

“Tetapi paman sekarang menjadi semakin masak. Ilmu yang paman miliki sekarang memang berbeda di dalam pengetrapannya dengan saat paman masih muda. Tetapi tentu tidak kalah berbahayanya.”

Daranambang tersenyum. Katanya, “Baiklah. Aku akan pergi mengembara. Aku memang pernah mendengar dongeng tentang orang berilmu hitam yang mengerikan itu. Tetapi mereka bukan hantu atau dewa dari langit. Mereka terdiri dari kulit daging seperti kita. Bahkan menurut pendengaran kita, beberapa di antara mereka telah terbunuh.”

“Ya. Linggadadi pun telah melihatnya.”

“Baiklah. Baiklah. Menyenangkan sekali bertemu dengan mereka pada suatu saat. Tetapi jika mereka bersedia, apakah tidak sebaiknya mereka di bawa serta dalam lingkungan kita?”

“Mereka akan menelan kita.”

“Kita harus cekatan. Setelah kita tidak memerlukan mereka lagi, secepatnya harus kita hancurkan. Bukankah demikian pula yang akan kau lakukan atas Tapak Lamba?”

“O, tidak paman. Tikus itu sama sekali tidak berbahaya. Aku hanya memerlukannnya untuk mempengaruhi bekas kawannya pada masa pemerintahan Tohjaya, agar mereka dapat kita hubungi dan setidak-tidaknya tidak mengganggu rencana kita kelak. Tetapi, Tapak Lamba sendiri akan berterima kasih dan tidak akan berbuat apa-apa, jika kepadanya aku berikan sekedar jabatan yang tidak penting.”

Daranambang mengangguk-angguk. Memang Tapak lamba tidak berbahaya bagi Linggapati. Apalagi pada saat-saat ia berada di dalam lingkungannya. Demikianlah maka ketika semuanya sudah siap, ketiga orang itupun meninggalkan tempat tinggalnya, dan berusaha menempuh perjalanan yang tidak terbatas. Mereka ingin mengetahui keadaan yang masih samar-samar dari orang-orang berilmu hitam. Dengan demikian maka mereka akan dapat menentukan sikap. Apakah golongan itu harus dibinasakan, atau dimanfaatkan. Atau jika mungkin dengan sengaja membenturkan mereka dengan kekuatan Singasari sebelum Linggapati sendiri akan tampil setelah Singasari menjadi semakin lemah karena benturan itu.

Sedangkan Linggadadi yang akan ikut dalam perjalanan itu menganggap bahwa perjalanan itu adalah perjalanan yang penuh dengan kegembiraan. Selain ia akan, dapat mengenal daerah yang lebih luas, maka pengalaman dan penglihatannyapun akan semakin bertambah.

“Sementara ini kita tidak mempunyai pekerjaan apapun di rumah.“ berkata Linggadadi, “Sudah tentu merupakan suatu masa yang menjemukan sekali. Kita tidak tahu sampai kapan kita harus menunggu prajurit Singasari tertidur kembali. Sementara itu orang-orang berilmu hitam akan selalu membangunkannya setiap kali.”

“Tetapi perjalanan ini bukan perjalanan tamasya.“ berkata Daranambang, “Perjalanan kita adalah perjalanan yang dibayangi oleh bahaya.”

“Itulah yang menarik.“ sahut Linggadadi, “Perjalanan yang tidak ada gejolak antara manis dan pahit adalah perjalanan yang mati.”

Daranambang tidak menjawab lagi. Ia mengerti bahwa Linggadadi adalah seorang yang memiliki gejolak hidup yang bergelora di dalam dadanya. Sedangkan Linggapati yang lebih masak agak lebih tenang menanggapi keadaan.

Dengan demikian maka perjalanan mereka bertiga agaknya akan merupakan perjalanan yang diwarnai oleh ketiga sifat dari ketiga orang itu. Linggadadi yang bergejolak, Linggapati tenang tetapi cerdik, dan Daranambang yang tidak lagi banyak mempunyai rencana apapun selama perjalanan, selain mengikuti kedua orang kemanakannya.

Dalam pada itu, selagi ketiga orang itu mulai dengan perjalanannya, yang mula-mula akan singgah di Kota Raja, Mahisa Agni telah menyampaikan persoalan itu kepada Maharaja di Singasari. Ranggawununi dan Mahisa Campaka yang memerintah Singasari tanpa dapat saling berpisah dalam banyak hal, mendengarkan keterangan Mahisa Agni dengan saksama.

“Nampaknya hanya persoalan kecil tuanku.“ berkata Mahisa Agni kemudian, “Seolah-olah hanyalah beberapa orang penjahat kecil yang saling bersaing memperebutkan sumber penghidupan. Tetapi jika ditelusur lebih jauh lagi, nampaknya akan menjadi persoalan yang cukup gawat.”

Ranggawuni mengangguk-angguk. Kemudian dengan nada yang datar ia bertanya, “Apakah paman sudah mendapatkan gambaran yang agak jelas tentang keduanya?”

Mahisa Agni menggeleng. Katanya, “Belum tuanku. Hamba masih belum dapat mengatakan, siapakah sebenarnya mereka itu. Dan siapakah sebenarnya orang yang berdiri di belakang mereka. Salah seorang dari orang-orang yang mungkin termasuk penting diantara mereka bernama Linggadadi. Selebihnya hamba tidak mengetahui apapun juga. Bahkan kakang Witantra yang terlibat langsung dalam pertempuran itupun tidak banyak dapat memberikan keterangan.”

Ranggawuni dan Mahisa Campaka yang bergelar Wisnuwardhana dan Narasinga, ternyata sangat tertarik kepada laporan itu. Bahkan seperti pendapat Mahisa Agni, bahwa persoalannya bukanlah sekedar persoalan kecil.

“Tuanku.“ berkata Mahisa Agni kemudian, “Rahasia yang sampai saat terakhir tidak dapat kami ketahui, kenapa orang-orang berilmu hitam itu setiap kali memasuki rumah seseorang, tidak mengambil lebih dari beberapa keping uang yang diperlukan, meskipun di dalam rumah itu ada berkampil-kampil uang dan perhiasan. Tentu hal itu mempunyai maksud tertentu, yang sampai saat terakhir masih belum dapat kita ketahui. Sayang bahwa kami tidak berhasil menangkap salah seorang dari mereka hidup-hidup.”

“Paman.“ berkata Ranggawuni, “Tentu kita harus meningkatkan kewaspadaan. Aku akan memerintahkan kepada para Senapati untuk bersiaga. Menilik tingkah laku mereka, maka akibatnya tentu akan berkepanjangan. Setidaknya antara kedua golongan itu akan timbul permusuhan yang dapat mengganggu ketenangan Singasari yang sedikit demi sedikit sudah dapat kita pulihkan.“

“Tentu tuanku. Sebenarnyalah bahwa setiap prajurit harus bersiaga. Namun selebihnya, hamba akan mohon diri, perkenankanlah hamba mengenang masa muda hamba dengan sebuah pengembaraan. Agaknya orang berilmu hitam itu sangat menarik perhatian.”

“Maksud paman?”

“Kami akan mencari sarang dari orang-orang yang disebut berilmu hitam.”

“Apakah paman dapat mengatakan, dimanakah kira-kira letaknya?”

“Ampun tuanku, hamba sama sekali tidak dapat menyebutkannya. Tetapi hamba akan mencoba mencari berdasarkan ceritera-ceritera lama yang pernah hamba dengar, daerah yang pernah menjadi sarang orang-orang berilmu hitam, meskipun kadang-kadang sumber itu bersimpang siur. Namun pengembaraan hamba mungkin akan sampai pada tujuannya jika hamba menyusuri segala tempat yang pernah hamba dengar itu, karena pada saat ini, kita tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa orang-orang berilmu hitam itu masih ada, dan bahkan berkembang. Mahisa Bungalan pernah menjumpai orang-orang berilmu hitam itu di dua tempat. Di daerah yang disebut daerah bayangan hantu, dan di dalam Kota Raja ini.”

Ranggawuni termangu-mangu sejenak Dipandanginya wajah Mahisa Cempaka, seolah-olah minta pertimbangannya. Mahisa Cempaka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi bukan pencaharian yang mutlak paman. Maksudku, jika sekiranya paman harus segera kembali.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Mahisa Cempaka yang bergelar Narasima, sebagai Ratu Angabaya di Singasari. “Tuanku.“ berkata Mahisa Agni, “Hamba tidak akan menempuh perjalanan tanpa batas. Seandainya hamba masih mempunyai harapan untuk menemukan daerah hitam itu sekalipun, pada saat-saat tertentu hamba akan kembali. Tentu hamba akan sangat rindu kepada tuanku berdua.”

Ranggawuni yang bergelar Wisnuwardhana tersenyum. Katanya, “Terima kasih paman. Paman adalah orang tua kami. Istana ini akan menjadi sepi tanpa paman.”

“Tentu tidak tuanku. Pamanda tuanku masih ada di istana. Beberapa orang Senapati yang akan menjaga ketenangan Singasari. Dan masih banyak yang tuanku dapatkan di istana ini sebagai kawan berbincang dan barangkali juga berdebat.”

Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mengangguk-angguk. Namun bagi mereka Mahisa Agni adalah guru dalam olah kanuragan, Tetapi juga guru yang banyak memberikan bimbingan jiwani kepada mereka berdua.

“Paman.“ berkata Ranggawuni kemudian, “Kapankah menurut pertimbangan paman, paman akan berangkat?”

“Hamba akan mengadakan persiapan secukupnya tuanku. Hamba akan menghubungi beberapa orang sahabat. Dan pada saatnya paman akan mohon diri kepada tuanku.”

“Baiklah paman. Selama ini paman harus mengadakan persiapan yang saksama. Bukankah keadaan pada saat terakhir nampak agak buram, justru karena perbuatan orang-orang berilmu hitam itu pula?”

“Ya, dan orang yang berada di dalam lingkungan gerombolan Linggadadi. Itupun harus diketahui sumbernya dan lingkungan luasnya.”

“Semuanya harus sudah dapat diatur mapan sebelum paman berangkat.”

Demikianlah maka di hari berikutnya Mahisa Agni dan beberapa Senapati telah mengatur penjagaan dan pengamanan Singasari dalam keseluruhan. Jika pada saat-saat tertentu orang-orang berilmu hitam itu datang ke Kota Raja, maka kesiagaan prajurit Singasari telah cukup mantap untuk menghadapi mereka. Juga kesulitan yang dapat timbul dari pihak manapun juga.

Gardu-gardu peronda menjadi semakin banyak dan perajurit-perajurit yang bertugaspun menjadi semakin banyak pula. Gelombang perondan di padukuhan-padukuhan yang dilakukan oleh anak-anak muda yang dibantu para prajuritpun berjalan semakin tertib. Baru ketika Kota Raja dan sekitarnya sudah meyakinkan, maka Mahisa Agni mulai dengan sungguh-sungguh persiapan untuk menempuh perjalanan yang panjang.

Namun belum lagi ia berangkat, maka ia telah dikejutkan oleh desas-desus yang tersebar di Kota Raja, bahwa sebenarnya yang telah membunuh orang-orang berilmu hitam di rumah saudagar ternak itu adalah Witantra dan seorang anak muda yang sebenarnya bernama Mahisa Bungalan, seorang anak muda yang mempergunakan nama samaran Pegatmega.

Desas-desus itu telah mendebarkan jantung Mahisa Agni. Nama Witantra memang sudah tidak perlu disembunyikannya lagi. Para prajurit pun kemudian mengetahui bahwa orang itu adalah Witantra yang bergelar Panji Pati-Pati. Tetapi tidak seorang pun yang pernah mengatakan, bahwa Pegatmega itu sebenarnya adalah Mahisa Bungalan yang belum banyak dikenal di Kota Raja. Dengan heran Witantra pun kemudian menemui Mahisa Agni untuk membicarakan desas desus yang mulai tersebar luas itu.

“Mungkin ada orang yang pernah mengenal Mahisa Bungalan dan melihatnya di rumah saudagar ternak itu.“ berkata Witantra, “Karena Mahisa Bungalan pun tidak dapat di katakan, tidak dikenal sama sekali di Singasari, Ia tentu mempunyai kawan yang tidak akan dapat dikelabuinya lagi dengan nama Pegatmega, kecuali mereka yang dengan sengaja sudah diberitahukan lebih dahulu, seperti di kalangan beberapa orang prajurit pengawal istana.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, maka persoalannya akan menjadi sangat sederhana. Meskipun akibatnya dapat merugikan Mahisa Bungalan. Tetapi jika ada pihak lain yang dengan sengaja menyebarkan ceritera itu, maka kita harus menemukan latar belakang dari ceritera itu.”

Witantra mengangguk.

“Mahisa Bungalan memang pernah membunuh orang-orang berilmu hitam di padukuhan terpencil yang disebutnya daerah bayangan hantu Mungkin orang-orang berilmu hitam itu menganggap, bahwa pembunuhnya di Kota Raja ini adalah Mahisa Bungalan pula, karena di daerah Bayangan hantu itu ia sama sekali tidak merahasiakan dirinya.“ sambung Mahisa Agni.

“Jadi, apakah orang-orang berilmu hitam itu yang sengaja menyebarkan desas-desus tersebut.“ bertanya Witantra.

“Mungkin sekali. Tetapi kami tidak tahu, apakah orang-orang Linggadadi yang terlibat pula dalam perkelahian itu telah menyebarkan ceritera tersebut agar mereka terhindar dari kemungkian pembalasan dendam orang-orang berilmu hitam itu Dengan demikian mereka sudah berusaha untuk melawan ceritera yang tersebar sebelumnya, bahwa dua gerombolan telah saling berbenturan. Yang segolongan adalah mereka yang berilmu hitam, sedang yang lain adalah gerombolan Linggadadi.”

“Tetapi bagaimana mereka dapat menyebut nama Mahisa Bungalan.“ desis Witantra.

“Mahisa Bungalan sendiri masih terlampau muda untuk menyelebungi diri sebaik-baiknya.”

Witantra mengangguk-angguk. Ia pun menyadari bahwa Mahisa Bungalan yang memiliki ilmu yang sudah masak itu sebenarnya adalah anak muda yang kadang-kadang masih kekanak-kanakan. Bahkan di dalam arena yang gawat, ia masih juga mencoba-coba menjajagi ilmu lawannya yang hampir saja merenggut nyawanya.

“Jika memang sudah diketahui oleh semua pihak, maka aku kira memang tidak ada lagi gunanya untuk bersembunyi, selain harus berhati-hati.“ berkata Witantra.

“Ya.“ jawab Mahisa Agni, “Tetapi sebentar lagi, Mahisa Bungalan akan berada di dalam perjalanan pengembaraan.”

“Mungkin didalam pengembaraan itu ia akan terhindar dari kemungkinan yang berbahaya baginya.”

“Atau justru sebaliknya.”

Witantra mengangguk-angguk. Lalu katanya “Memang semua kemungkinan dapat terjadi. Aku memang kurang berpengalaman didalam pengambaraan seperti itu, karena pada masa mudaku aku terjerat pada jabatan keprajuritan di Tumapel, dan dimasa tua ku, aku terbuang ke alam keasingan di sebuah padepokan.”

“Ah.“ desis Mahisa Agni, “Pengalaman itu kau dapatkan dari segi yang lain. Tetapi jika kita akan pergi saat ini, mungkin sekali pengalamanku tidak akan dapat diterapkan lagi, karena telah banyak sekali perubahan yang terjadi selama ini, sejak aku menjelajahi daerah Tumapel lama dan yang kemudian disatukan dalam daerah yang lebih luas yang bernama Singasari.”

Witantra mengangguk-angguk. Lalu, “Baiklah kita mencari pengalaman baru Mahisa Agni. Kita akan menempuh pengembaraan yang akan sangat menarik”

Ternyata Mahisa Agni tidak merubah rencananya meskipun nama Mahisa Bungalan justru sedang menjadi pembicaraan. Bahkan dengan sengaja ceritera itu mempertentangkan Mahisa Bungalan dengan orang-orang yang berilmu hitam, dengan memberikan gelar tersendiri bagi anak muda itu. Mahisa Bungalan pembunuh ilmu hitam.

Mahisa Bungalan sendiri agaknya tidak berkeberatan. Tetapi ketika ia bertemu dengan Mahisa Agni, maka ia mulai menyadari bahaya yang mengancamnya.

“Mungkin kau dapat berbangga dengan sebutan itu, Mahisa Bungalan.“ berkata Mahisa Agni, “Tetapi akibatnya, setiap saat kau harus memeluk senjatamu. Siang dan malam. Jaga atau tidur sekalipun.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.

“Karena itu, kau memang harus bersiaga setiap saat menghadapi kemungkinan, karena gelar tidak resmi itu mempunyai akibat yang sangat luas. Dengan sengaja orang yang menyebarkan sebutan itu berusaha membenturkan kau dengan orang-orang berilmu hitam untuk menarik keuntungan bagi pihak itu sendiri. Ingat, bukankah ada tiga pihak yang bertempur di halaman itu?”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.

“Nah, baiklah.“ berkata Mahisa Agni kemudian, “Kita akan meneruskan rencana kita menempuh perjalanan yang panjang. Pamanmu Witantra akan serta bersama kita.”

“Baiklah paman.“ berkata Mahisa Bungalan.

“Kita harus segera mempersiapkan diri lahir dan batin. Kita akan segera berangkat dan berusaha bukan saja mencari lingkunugan orang-orang berilmu hitam, tetapi juga untuk mengetahui siapakah Linggadadi itu.”

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Kita akan pergi bertiga untuk mencari yang belum dapat kami katakan dimana letaknya.“ tetapi anak muda itu kemudian tersenyum, “Menyenangkan sekali. Apakah kita akan singgah sebentar ke rumah untuk bertemu dengan ayah?”

“Tidak ada keberatan apapun juga Bungalan. Bahkan aku akan minta ayahmu untuk berada di Kota Raja pada saat-saat tertentu. Kadang-kadang tuanku Maharaja dan Ratu Angabaya memerlukan kawan berbincang selain para Senapati dan pimpinan pemerintahan yang lain.”

Namun Mahisa Agni tidak dapat begitu saja meninggalkan Kota Raja dalam bayangan ceritera yang beraneka ragam. Sebelum berangkat ia telah memberikan banyak gambaran tentang masalah yang dihadapi oleh Ranggawuni dan Mahisa Campaka.

“Para Senapati akan selalu menjalankan tugasnya dengan baik tuanku.“ berkata Mahisa Agni pada saat ia minta diri, “Semuanya sudah aku atur. Petugas-petugas sandi sudah tahu apa yang harus dilakukan. Mereka akan selalu menyampaikan bahan-bahan penting bagi tuanku.”

“Terima kasih paman.”

“Mahendra akan berada di Kota Raja setiap kali. Ia akan dapat tuanku panggil menghadap dan berbincang tentang beberapa hal jika diperlukan. Sebagai seorang pedagang ia mempunyai hubungan yang luas di daerah-daerah yang jauh. Mungkin ceriteranya akan menarik perhatian.”

“Baiklah paman. Tetapi aku harap bahwa seperti yang paman katakan, setiap kali paman harus kembali ke kota Raja.”

“Hamba tuanku. Hamba akan selalu kembali pada saat-saat tertentu.”

Demikianlah setelah Witantra dan Mahisa Bungalan menghadap pula, maka ketiganya pun meninggalkan Kota Raja untuk menempuh suatu perjalanan. Justru pada saat-saat Linggadadi ada di Kota Raja bersama Linggapati dan pamannya Daranambang. Namun para petugas sandi dan para prajurit Singasari telah bersiaga sepenuhnya menghadapi setiap kemungkinan, sehingga Linggapati tidak banyak mendapat kesempatan untuk berbuat apapun juga di Kota Raja.

“Rumah itu selalu diawasi.“ desis Linggadadi pada saat-saat ia lewat di rumah saudagar ternak itu.

Linggapati mengangguk-angguk. Ia pun menyadari bahwa rumah yang ditunjukkan oleh Linggadadi sebagai ajang perkelahian itu memang mendapat pengawasan yang khusus. Sebuah gardu telah didirikan tepat di muka rumah itu. Bukan hanya dua tiga orang prajurit yang bertugas. Tetapi menurut penglihatan Linggapati, ada lima orang prajurit yang berada di luar gardu yang cukup besar itu. Bahkan mungkin masih ada satu dua yang ada di dalamnya.

“Kita tidak akan membuat keributan.“ berkata Linggapati, “Meskipun barangkali kita bertiga dapat melenyapkan lima orang prajurit itu. Tetapi dengan demikian mungkin akan dapat menimbulkan kesulitan jika Senapati-senapati Singasari ikut mencampurinya.”

“Ternyata saudagar ternak itu sama sekali bukan orang yang dapat dijadikan sumber penjelasan mengenai yang telah terjadi di rumahnya. Semuanya tentu telah diatur oleh Witantra untuk menjebak orang berilmu hitam itu. Tetapi kami yang tidak mengetahui persoalan itu telah terlibat, justru karena kami tidak menghendaki terjadinya kerusuhan di Singasari.”

“Sudahlah. Biarlah yang telah terjadi. Beberapa saat kemudian, prajurit-prajurit Singasari akan terlupa. Mereka akan tertidur lagi. Asal orang-orang berilmu hitam itu tidak membuat keonaran baru.”

“Kita akan dapat menentukan sikap kemudian.”

Yang lain mengangguk-angguk. Ternyata perjalanan mereka sekedar melihat-lihat keadaan kota yang telah bersiaga. Nampaknya prajurit Singasari siap bertindak apapun juga terhadap siapa pun juga. Namun ketiga orang itu sama sekali tidak mengetahui bahwa pada saat itu Mahisa Agni dan Witantra bersama Mahisa Bungalan telah meninggalkan kota.

“Tidak ada yang menarik di Kota Raja.“ berkata Linggapati, “Marilah kita mulai menempuh perjalanan kita yang agaknya akan sangat menyenangkan itu.”

“Baiklah.“ jawab Linggadadi, “Tetapi dengan demikian kau sudah melihat sendiri keadaan di Kota Raja.”

Demikianlah mereka bertiga pun meninggalkan Kota Raja setelah mereka bermalam satu malam. Mereka bermalam di sudut kota yang sepi yang hampir tidak pernah dijamah oleh penghuni kota itu. Pagi-pagi mereka telah meninggalkan gerbang kota tanpa menimbulkan kecurigaan, karena mereka nampaknya seperti orang kebanyakan yang hilir mudik keluar masuk kota untuk menjual hasil tanah dan membeli keperluan mereka sehari-hari.

Sementara itu Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan telah berada di rumah Mahendra. Dengan jelas mereka menguraikan maksud mereka untuk mengembara bersama Mahisa Bungalan, mencari daerah yang pernah mereka dengar dari ceritera-ceritera yang tersebar tentang orang berilmu hitam.

Mahendra mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berkata, “Aku tidak berkeberatan melepaskan Mahisa Bungalan pergi. Apalagi bersama kakang Witantra dan Mahisa Agni. Tetapi aku ingin berpesan kepada Mahisa Bungalan untuk sedikit mengekang diri.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.

“Agaknya kau masih terlampau dikuasai oleh kemudaanmu. Memang tidak terlalu buruk untuk berbangga diri. Tetapi jika kemudian menjadi bentuk kesombongan, itu akan berbahaya bagimu.”

Mahisa Bungalan masih mengangguk-angguk.

“Nah jika demikian, kau tidak sewajarnya mempergunakan gelar pembunuh orang-orang berilmu hitam.”

Mahisa Bungalan terkejut. Bahkan Witantra dan Mahisa Agni pun terkejut pula.

“Bukan maksudku memakai gelar itu ayah.“ jawab Mahisa Bungalan.

“Jadi siapakah yang mengenakan gelar itu di belakang namamu?”

“Tentu bukan aku.”

Mahendra mengerutkan keningnya. Namun Mahisa Agni lah yang kemudian bertanya, “Darimana kau dengar gelar itu Mahendra?”

“Hampir setiap orang sudah membicarakannya. Mahisa Bungalan, pembunuh orang-orang berilmu hitam.”

“Jadi desas desus itu sudah kau dengar pula di padukuhan yang agak jauh dari Kota Raja ini?”

“Ya.”

“Itu bukan salah Mahisa Bungalan. Justru ada golongan tertentu yang akan membenturkan Mahisa Bungalan dengan mereka yang berilmu hitam itu.”

Mahendra mengerutkan keningnya. Sementara itu Mahisa Agni pun berusaha menjelaskan kepada Mahendra tentang desas desus yang berkembang di Kota Raja. Mahendra kemudian menarik nafas dalam-dalam. Bahkan kemudian ia berkata, “Jika demikian keadaan Mahisa Bungalan, kau memang harus benar-benar berhati-hati, sebab kau akan dapat menjadi sasaran dari kedua belah pihak.”

“Ya ayah.“ jawab Mahisa Bungalan.

“Tetapi aku percaya kepada kedua pamanmu, bahwa kau akan selalu mendapat perlindungannya, asal kau selalu menurut perintah dan nasehatnya. Kau jangan menuruti kesenanganmu sendiri dan mencoba-coba sesuatu yang dapat membahayakan jiwamu.”

“Baik ayah“ jawab Mahisa Bungalan dengan kepala tunduk.

Yang kemudian merengek-rengek agar diperbolehkan ikut dalam pengembaraan itu adalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka yang merasa dirinya telah dewasa pula, ingin ikut dalam pengembaraan untuk mendapatkan pengalaman.

Tetapi Mahisa Agni berkata, “Jika kau berdua juga ikut pergi, siapakah yang akan membantu ayah di rumah. Mungkin ayah menghadapi pekerjaan yang banyak. Tetapi juga mungkin ayah menghadapi ancaman dari orang-orang yang tidak kalian kenal, karena orang-orang berilmu hitam itu mengetahui, bahwa Mahendra adalah ayah Mahisa Bungalan yang telah membunuh orang-orang berilmu hitam di daerah bayangan hantu dan di Kota Raja. Kemudian datang sepuluh orang berilmu hitam. Nah, kalian berdua yang telah menjadi dewasa, wajib membantu ayah.”

Mahisa Murti mengerutkan keningnya, lalu, “Tentu bukan begitu. Paman tentu masih segan membawa kami berdua, karena kami masih akan menjadi beban paman.”

“Dan paman masih membayangkan masa kanak-anak kami. Merengek dan bahkan menangis karena lapar.“ sambung Mahisa Pukat.

Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Mungkin kedua-duanya. Karena kalian masih belum sepenuhnya dewasa, tetapi juga karena ayah memerlukan kalian di rumah.”

Wajah kedua anak-anak muda itu menjadi buram. Sementara Witantra pun berkata, “Pada suatu saat kalian akan pergi bersama kami. Seperti pesan Maharaja Wisnuwardhana dan Ratu Angabaya, bahwa kami harus kembali ke Kota Raja setiap kali. Dengan demikian maka perjalanan kami bukannya perjalanan pengembaraan yang panjang, tetapi terputus-putus.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang kecewa tidak menyahut. Sekali-sekali ditatapnya wajah ayahnya yang kadang-kadang tegang, namun kadang-kadang membayangkan sebuah senyuman.

“Sudahlah Murti dan Pukat.“ berkata Mahendra kemudian, “Tinggallah di rumah untuk menyempurnakan ilmu kalian yang sebenarnya masih belum cukup kalian pergunakan sebagai bekal perjalanan. Aku tahu bahwa kedua pamanmu tidak mau menyakiti hatimu dengan mengatakan, bahwa kalian masih harus banyak belajar.”

“Ah, sebenarnya bukan itu.“ potong Witantra, “Keduanya telah memiliki ilmu yang baik. Tetapi dibanding dengan medan yang akan ditempuh, maka sebaiknya kalian tinggal di rumah membantu ayah.”

Mahendra tertawa. Katanya, “Hanya nadanya saja yang berbeda.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat memaksakan kehendaknya. Tetapi di dalam hati mereka berjanji kepada diri sendiri, bahwa mereka harus menjadi anak muda yang memiliki bekal cukup untuk melakukan pengembaraan serupa dengan kakaknya Mahisa Bungalan. Ketika keduanya kemudian pergi ke ruang dalam, mereka saling berbincang, “Tetapi pada saat kami dianggap cukup memiliki bekal ilmu, mereka tidak pergi kemanapun juga. Semuanya sudah tenang, dan tidak ada persoalan apapun lagi.“ desis Mahisa Pukat.

“Kita dapat mengembara berdua. Setiap jaman kita tentu masih akan tetap memerangi kejahatan.“ sahut Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk, seolah telah terbayang keduanya mengembara di sepanjang lembah dan ngarai, melawan setiap kejahatan, melindungi mereka yang lemah dan mengalami perlakuan yang tidak adil.

Sementara itu Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan pun segera mempersiapkan diri. Setelah mereka bermalam di rumah Mahendra, maka merekapun akan segera melanjutkan perjalanan mereka.

“Setiap kali, datanglah menghadap tuanku Ranggawuni dan Mahisa Campaka.“ berkata Mahisa Agni kepada Mahendra.

“Baiklah. Aku akan selalu datang menghadap.”

“Bawalah kedua anak-anakmu. Mungkin berbahaya bagi mereka di rumah tanpa kau, justru karena orang-orang berilmu hitam itu mengetahui bahwa Mahisa Bungalan adalah anak Mahendra.”

Demikianlah maka dengan kecewa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melepaskan kakaknya pergi bersama Mahisa Agni dan Witantra. Namun untuk mengurangi perasaan kecewa itu, maka ayahnya berjanji untuk dalam waktu yang singkat memberikan kelengkapan ilmu kanuragan yang sudah dipelajarinya.

“Tinggal beberapa unsur gerak yang harus kau pelajari. Kemudian lengkaplah ilmu yang kalian terima. Soalnya kemudian adalah mematangkan ilmu itu dengan pengalaman.”

“Tentu sebuah perjalanan.“ sahut Mahisa Murti.

“Tidak selalu.“ jawab ayahnya, “Namun sebaiknya kalian dengan sungguh-sungguh memperdalam ilmu kalian.”

Seperti yang dijanjikan, maka dihari-hari kemudian, Mahendra lelah menempa kedua anaknya semakin tekun. Setiap saat ia berada di daerah yang terpisah dari tetangga-tetangganya untuk memberikan berbagai macam unsur gerak dari ilmunya yang masih harus dipelajari oleh kedua anaknya sebagai pelengkap ilmu yang sudah dimilikinya. Ternyata bahwa kedua anaknya tidak mengecewakan. Mahendra yang pernah ikut membina Ranggawuni dan Mahisa Cempaka di masa mereka masih terlampau muda. telah melakukan yang serupa bagi anak-anaknya sendiri.

“Anak-anak itu pun harus menyerahkan pengabdian bagi sesama dan bagi Singasari sejauh dapat mereka lakukan.“ gumam Mahendra di dalam hatinya.

Karena itulah maka ia pun dengan sungguh-sungguh berusaha membuat anak-anaknya menjadi manusia yang berguna, lewat tempaan olah kanuragan yang tidak mengenal jemu. Apalagi kedua anaknya memang merupakan tempat penuangan ilmu yang sangat baik, sehingga seolah-olah apa yang diajarkannya, tidak pernah mengecewakannya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang memiliki tetesan darah ayahnya didalam olah kanuragan. Betapapun beratnya latihan-latihan yang harus mereka lakukan, namun mereka sama sekali tidak mengeluh. Bahkan mereka merasa bahwa kemajuan mereka masih terlalu lamban. Mereka ingin meloncat maju sehingga mereka mendapat kesempatan seperti kakaknya, Mahisa Bungalan.

“Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.“ berkata Mahendra ketika mereka sedang berlatih di pinggir hutan yang terlindung, “Agaknya ilmu yang aku wariskan kepadamu sudah hampir tuntas. Namun aku masih ingin memperkenalkan kepadamu, berbagai macam ilmu dengan ciri-cirinya yang khusus. Mungkin pada suatu ketika kau akan menjumpainya. Jika kau berdua sudah mengenal cirinya, maka kau dapat membuat pertimbangan-pertimbangan untuk menghadapinya.“ Mahendra berhenti sejenak, lalu, “Selain itu, kau dapat memanfaatkan unsur-unsur gerak dari perguruan lain itu sebagai pelengkap dari unsur gerakmu sendiri, asalkan kau dapat menyusunnya sehingga luluh tanpa meninggalkan ciri-ciri perguruan kita.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Apapun yang baik dan bermanfaat bagi mereka berdua, akan mereka terima dengan senang hati.

Mahendrapun tidak lagi menunda-nunda ilmunya. Kedua anaknya yang muda itu agaknya sudah cukup mapan untuk menerima semua ilmu yang ada, meskipun tidak akan dengan sekaligus menjadi masak dan sempurna. Untuk menjadi matang, masih diperlukan jarak yang agak panjang, meskipun dengan berbagai usaha dapat dipercepat. Tetapi juga tidak terlalu tergesa-gesa.

Dengan demikian, maka disaat-saat berikutnya, di hari-hari dan dipekan-pekan mendatang, Mahendra telah memperkenalkan berbagai macam ilmu yang diketahuinya. Baik sebagai pengenalan sewajarnya maupun dalam rangka menjajagi penggunaan unsur-unsur gerak yang serasi dengan ilmunya sendiri.

“Kelak, jika pamanmu Mahisa Agni datang, ia akan dapat memberikan lebih banyak ciri-ciri perguruan Panawijen kepada kalian seperti yang diberikan kepada kakakmu Mahisa Bungalan. Bahkan pamanmu Mahisa Agni mengenal pula berbagai macam unsur gerak yang diperolehnya dari Empu Sada, dan bahkan dari ilmu yang paling kasar yang dimiliki oleh orang yang bersama Kebo Sindet. Di sebuah gundukan tanah terpencil di tengah-tengah rawa pamanmu Mahisa Agni pernah mempelajari dan mengetrapkan kemungkinan-kemungkinan dari luluhnya berbagai macam ilmu, sehingga akhirnya ia dapat mengalahkan penjahat yang paling ditakuti.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kadang-kadang merasa iri, bahwa seseorang mendapatkan kesempatan untuk mempelajari berbagai macam cabang ilmu kanuragan seperti Mahisa Agni. Namun setiap kali ayahnya berkata, “Kaupun akan mendapatkan kesempatan seperti pamanmu Mahisa Agni dan kakakmu Mahisa Bungalan. Pamanmu Mahisa Agni akan membimbingmu.”

Meskipun belum terjadi, namun rasa-rasanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah menjadi bangga atas kesempatan yang akan didapatinya itu. Namun di samping olah kanuragan, Mahendra juga tidak hentinya memberikan bimbingan dalam olah kajiwan. Mahendra menginginkan anaknya memiliki jiwa pengabdian dan selebihnya adalah manusia yang baik dalam sikap dan tingkah laku.

“Kau harus mengabdi dengan penuh cinta kasih kepada dua sasaran utama.“ berkata Mahendra kepada anak-anaknya juga selalu dikatakannya kepada Mahisa Bungalan, “Yang pertama, kepada Yang Maha Agung, sumber dari segalanya. Kemudian, kau harus mengabdi dengan penuh cinta kasih pula kepada sesama.”

Kedua anak-anaknya yang muda itu selalu memperhatikan nasehat itu dengan saksama seperti kakaknya.

“Tetapi ingat.“ berkata Mahendra kepada kedua anak-anaknya itu, “Jangan menganggap bahwa olah kanuragan adalah akhir dari semuanya. Di dunia ini, kadang-kadang olah kanuragan memang merupakan perisai yang baik bagi seseorang. Tetapi bahwa sikap yang lemah lembut dan budi yang luhur adalah sikap yang paling utama. Dengan kekerasan tidak semua persoalan dapat dipecahkan. Ada orang yang bersedia mati sebagai akibat ilmu yang dipelajarinya, sehingga dengan hati yang keras ia tidak mau tunduk kepada ilmu yang lain. meskipun ia harus mengingkari kenyataan. Tetapi dengan sikap yang lemah lembut dan budi yang luhur, kadang-kadang seseorang yang sama sekali tidak memiliki ilmu kekerasan dan kekasaran itu dapat menundukkan hati seorang yang lebih buas dari serigala lapar.”

Kedua anaknya mengangguk-angguk. Nasehat serupa itu merupakan bekal yang sangat berguna baginya dikemudian hari, karena betapapun juga, mereka akan dilontarkan oleh keadaan ke dalam lautan pergaulan yang luas. Sentuhan yang mungkin mempunyai banyak akibat diantara sesama dengan sifat, sikap dan watak yang berbeda-beda. Dalam pada itu, keduanya pun dengan cepat menjadi semakin dewasa lahir dan batin. Sehingga pada suatu saat, ayahnya menganggap bahwa pelajaran yang dapat diberikannya sudah cukup lengkap.

“Tidak ada lagi yang dapat aku berikan kepada kalian berdua. Selebihnya kalian harus mencari sendiri. Di luasnya dunia ini, dan di dalam dirimu sendiri. Karena hubungan dunia yang luas ini dengan dunia di dalam dirimu adalah tali-temali dan tidak dapat diurai tanpa pendalaman yang tekun, dalam kedudukannya masing-masing...”

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.