Sepasang Ular Naga Disatu Sarang 21

Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Di Langit Singasari episode Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 21 karya Singgih Hadi Mintarjda
Sonny Ogawa
PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 21
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

MAHISA BUNGALAN memandang perempuan itu sejenak, lalu ia pun berdiri sambil berkata, “Nyai, apakah anak ini anak Nyai?”

Perempuan itu justru menjadi ketakutan.

“Kami tidak akan berbuat apa-apa. Kami hanyalah sekedar lewat. Ternyata padukuhan ini terasa sepi dan lengang meskipun hari masih siang.”

Perempuan itu masih tetap berdiam diri.

“Nyai, jika nyai keberatan memberikan keterangan apapun juga, apakah nyai dapat menunjukkan dimana rumah Ki Buyut dari padukuhan ini?”

Perempuan itu tidak segera menyahut.

“Aku kira lebih baik nyai menunjukkan arahnya daripada aku harus mengajak anak nyai bersama kami pergi ke rumah Ki Buyut.”

“Jangan, jangan bawa anak itu.”

Mahisa Bungalan tersenyum. “Tentu tidak jika Nyai berkeberatan Tetapi tolonglah Nyai. Tunjukkan saja di mana rumah Ki Buyut.”

Perempuan itu nampak ragu-ragu. Kecemasan yang sangat telah mencengkam wajahnya. Sekilas dipandanginya anaknya yang kebingungan. Tetapi anak itu justru sudah tidak menangis lagi. “Tetapi, tetapi…” perempuan itu tergagap.

“Nyai tidak usah berbuat apa-apa. Tunjukkan saja di mana rumahnya. Aku tidak berniat buruk.”

“Tetapi” perempuan itu masih ragu-ragu.

“Jika aku berniat buruk Nyai, aku akan melakukannya sekarang. Bahkan meskipun setiap pintu tertutup, aku dapat saja membukanya dengan paksa. Tetapi bukan itu niatku datang kemari.”

Perempuan itu masih meragu. Sekilas dipandanginya anaknya yang berdiri kebingungan. Lalu katanya, “Pergilah sepanjang jalan ini. Di simpang tiga, dekat sebatang pohon nyamplung, berbeloklah kekanan. Kalian akan sampai ke banjar. Di dekat banjar itu adalah rumah Ki Buyut.”

“Terima kasih. Kami akan menemui Ki Buyut.” Perempuan itu tidak menjawab.

Mahisa Bungalan pun kemudian berkata kepada anak kecil itu, “Jangan nakal lagi ya. Aku mempunyai sekeping uang.”

Anak itu ragu-ragu. Tetapi Mahisa Bungalan sambil tersenyum menyelipkan sekeping uang ditangannya.

“Jangan menangis dan jangan berlari-lari di jalan” lalu kepada perempuan itu ia berkata, “terima kasih nyai. Kami akan pergi.”

Ketiganya pun kemudian meloncat ke atas punggung kudanya dan melanjutkan perjalanan seperti yang ditunjukkan oleh perempuan itu, menuju ke rumah Ki Buyut yang belum dikenalnya.

Perempuan yang ditinggalkan itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya tiga ekor kuda yang berlari di jalan padukuhan itu, sehingga ketiganya menjadi semakin lama semakin jauh. Perempuan itu tersadar ketika ia mendengar anaknya itu memanggilnya. Dengan ragu-ragu anak kecil itu menunjukkan sekeping uangnya kepada ibunya. Perempuan itu berjongkok di hadapan anaknya Sambil memeluk anak itu ia berkata, “Kau tidak mengucapkan terima kasih Ngger.”

Anak itu termangu-mangu.

“Seharusnya kau mengatakannya. Terima kasih tuan.”

Anaknya tidak menjawab. Dengan lengannya ia mengusap matanya yang masih basah meskipun ia tak menangis lagi.

“Marilah, kita pulang” berkata ibunya sambil mengangkat anak itu ke dalam dukungannya.

Anak itu tidak meronta lagi. Dipermainkannya sekeping uang di tangannya. Bahkan kemudian ia pun tersenyum.

Sementara itu, Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra telah berbelok di simpang tiga di bawah sebatang pohon nyamplung. Rupanya di bagian yang lebih dalam, padukuhan itu terasa juga sangat lengang. Meskipun demikian, mereka masih melihat satu dua orang lewat dengan tergesa-gesa. Apalagi jika mereka mendengar ada derap kaki kuda, maka mereka pun segera berlari-lari masuk ke dalam rumah.

Seperti yang dikatakan oleh perempuan itu, ketiganya pun kemudian sampai ke dekat sebuah banjar yang tidak begitu besar, sesuai dengan padukuhannya. Di dekat banjar itu terdapat sebuah rumah yang agak lebih besar dari rumah-rumah di padukuhan itu pada umumnya.

“Agaknya rumah itulah rumah Ki Buyut” berkata Mahisa Bungalan.

“Marilah kita lihat” desis Witantra.

Ketiganya pun kemudian dengan ragu-ragu dan hati-hati memasuki regal halaman rumah yang agak besar itu. Terasa juga, betapa lengangnya. Tidak ada seorang pun yang nampak di halaman. Tetapi pintu rumah itu tidak tertutup. Dengan ragu-ragu Mahisa Bungalan pun kemudian berdiri di atas tangga pendapa. Sejenak ia mencoba memandang ke dalam rumah yang lengang itu lewat pintu pringgitan yang terbuka. Tetapi ia tidak melihat seorang pun. Akhirnya Mahisa Bungalan pun memberanikan diri melintasi pendapa dan mengetuk pintu yang terbuka itu.

Baru setelah ia mengetuk beberapa kali terdengar suara seseorang dari dalam, “Siapa di luar?”

“Kami bertiga Kiai. Apakah benar rumah ini rumah Ki Buyut?”

Seorang yang sudah tua, sebaya dengan Witantra keluar dan ruang dalam. Dengan ragu-ragu ia menjengukkan kepalanya lewat lubang pintu yang terbuka. Dengan tegangnya ia memandang Mahisa Bungalan yang berdiri di dekat pintu itu, kemudian dua orang yang masih berada di tangga pendapa.

“Siapakah kalian Ki Sanak?”

“Kami adalah orang-orang Singasari Ki Buyut” jawab Mahisa Bungalan. Ia sadar, bahwa jawabannya tidak boleh membuat orang itu semakin ketakutan.

“Singasari?” Orang itu mengerutkan keningnya, “Lalu apakah keperluanmu?”

“Apakah aku berhadapan dengan Ki Buyut?” Orang itu ragu-ragu. Namun kemudian ia mengangguk. Katanya, “Ya, aku Buyut di padukuhan ini.”

“Terima kasih Ki Buyut. Kami memang mempunyai beberapa kepentingan dengan Ki Buyut.”

Ki Buyut masih tetap ragu-ragu. Ia masih saja berdiri di tempatnya sambil sekali-kali memandang Mahisa Bungalan dan kedua orang kawannya di ujung pendapa.

“Kami adalah hamba istana Singasari Ki Buyut” Mahisa Bungalan menjelaskan.

“Hamba istana? Dan kenapa kalian sampai di tempat ini?”

“Kami sedang dalam perjalanan menjalankan tugas.”

Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Namun menilik sikap dan kata-kata Mahisa Bungalan ia mulai menduga, bahwa ketiga orang itu bukannya orang-orang yang bermaksud jahat. “Duduklah” ia pun kemudian mempersilahkan ketiganya duduk di pendapa. Di atas sehelai tikar pandan yang memang sudah terbentang.

Mahisa Bungalan memberikan isyarat kepada kedua orang pamannya agar mereka pun duduk di tikar itu bersamanya, sementara Ki Buyut masuk ke dalam rumahnya, yang agaknya sedang membenahi pakaiannya.

Sejenak kemudian Ki Buyut itu pun keluar dari ruang dalam. Seperti yang diduga, ia memang membenahi pakaiannya. Bahkan bukan saja pakaiannya, tetapi ia benar-benar menemui tamunya dengan kelengkapan seorang Buyut. Dengan sebilah keris di punggung.

Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan sadar, bahwa padukuhan itu memang sedang dibayangi oleh kecemasan, sehingga nampaknya Ki Buyut pun sangat berhati. Apalagi sejenak kemudian tiga orang anak muda keluar dari rumah itu pula dan duduk di belakang Ki Buyut. Seperti Ki Buyut, maka ketiganya pun menyandang keris pula di punggungnya.

“Mereka adalah anak-anakku” Berkata Ki Buyut.

“O” Mahisa Bungalan mengangguk-angguk, “Ketiga-tiganya Ki Buyut?”

“Anakku enam orang. Seorang di antaranya perempuan. Dua laki-laki yang lain masih berada di belakang.”

Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Sejenak mereka memandangi anak-anak Ki Buyut yang bertubuh kekar dan kuat. Nampaknya mereka adalah anak-anak muda yang dapat dibanggakan.

Dalam pada itu Ki Buyut pun berkata selanjutnya, “Adalah menjadi kebiasaanku untuk membawa anak-anakku yang aku anggap sudah cukup dewasa untuk menerima tamu-tamuku bersamaku.”

“O” Mahisa Bungalan mengangguk-angguk, “Itu adalah kebiasaan yang baik. Ayahku juga banyak memberikan kesempatan kepadaku seperti Ki Buyut. Bahkan ayahku dalam beberapa hal menyerahkan persoalan kepadaku.”

Ki Buyut memandang Mahisa Bungalan sejenak. Kemudian kedua orang tua yang bersamanya. “Yang manakah ayah Ki Sanak?” tiba-tiba saja Ki Buyut bertanya.

“Kedua-duanya bukan” Jawab Mahisa Bungalan, “Kami adalah hamba istana. Meskipun demikian keduanya bukan saja kawan dalam kerja, tetapi juga pamanku.

“O” Ki Buyut mengangguk-angguk.

Sementara itu, Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra melihat beberapa orang yang memasuki regol halaman. Mereka semuanya menyandang senjata masing.

“Ha” desis Ki Buyut, “mereka yang datang adalah bebahu padukuhan ini. Mereka adalah pembantuku yang baik"

“Apakah Ki Buyut memanggil mereka?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Ya. Agaknya salah seorang anak laki-lakiku telah memanggil mereka. Tetapi bukankah sepantasnya hamba-hamba istana mendapat kehormatan di padukuhan kecil seperti ini.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih atas kehormatan yang kami terima. Tetapi apakah hanya sekedar kehormatan itu saja?“

Mahisa Agni menggamit lengan anak muda itu. Tetapi kata-kata itu sudah terucapkan. Bahkan masih juga terlanjur terlontar pertanyaannya, “Apakah ada hubungan lain dengan kehadiran kami Ki Buyut?”

Ki Buyut tidak segera menjawab. Tetapi ia kemudian bangkit dan mempersilahkan beberapa orang bebahu yang berdatangan.

“Ternyata padukuhan ini tidak sekosong yang aku sangka” desah Mahisa Bungalan di dalam hatinya.

Sejenak kemudian mereka pun telah duduk kembali. Kini mereka duduk dalam lingkaran yang semakin luas, karena semakin banyak orang yang ikut serta.

Mahisa Bungalan yang merasa lengannya disentuh oleh Mahisa Agni menjadi ragu-ragu. Tetapi agaknya bahwa Ki Buyut dapat meraba maksud pertanyaan yang telah terlontar. Ternyata ia kemudian bertanya, “Maaf Ki Sanak. Apakah Ki Sanak merasa sesuatu yang lain dari sambutan kami?”

Pertanyaan itu memang membingungkan. Tetapi ternyata Mahisa Bungalan tidak mau menyimpan persoalan sekedar di dalam hati. Karena itu, maka ia pun menjawab, “Agaknya memang demikian Ki Buyut. Sejak aku memasuki padukuhan ini, aku sudah merasa ada suasana yang lain dengan padukuhan-padukuhan yang pernah aku lalui sepanjang perjalananku. Dan kini. suasana penerimaan yang terasa lain dari keramahan yang mantap. Kehadiran anak-anak Ki Buyut dan sekarang para bebahu, tentu bukan sekedar cara untuk menyambut kedatangan hamba istana di padukuhan terpencil dan kecil seperti ini. Tetapi tentu ada hubungannya dengan kelengangan yang nampak .pada padukuhan ini.” Mahisa Bungalan berhenti sejenak, lalu, “Ki Buyut, justru karena itulah, apakah kami dapat bertanya, apakah sebenarnya yang telah terjadi di padukuhan ini?”

Ki Buyut memandang Mahisa Bungalan sejenak. Kemudian ia pun bertanya, “Apakah Ki Sanak masih perlu bertanya?"

Mahisa Bungalan menjadi heran. Tetapi dengan demikian ia menjadi semakin pasti. “Ki Buyut” katanya, “jawaban Ki Buyut itu semakin menjelaskan kepada kami, bahwa Ki Buyut telah mencurigai kami. Tetapi seperti yang telah aku katakan, kami adalah orang-orang yang lewat dan ternyata, menjumpai peristiwa yang agak lain di padukuhan ini.”

“Tiga orang berkuda merupakan sebuah teka-teki besar bagi kami Dan apakah kalian dapat menjawab teka-teki itu sehingga kami tidak mencurigai kalian.”

“Teka-teki yang mana?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Tiga orang berkuda. Seperti kalian juga berjumlah tiga orang.”

Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Ia pun segera teringat kepada tiga orang yang pernah menumbuhkan keributan karena mereka telah membunuh orang-orang berilmu hitam. Yang menurut dugaannya, mereka adalah Linggadadi dan pengiringnya Atau tiga orang yang lain. Mahendra dan kedua anaknya. Tetapi seandainya yang dimaksud adalah Mahendra dan kedua anaknya, tentu mereka tidak akan menumbuhkan kecurigaan dan ketakutan di padukuhan ini.

Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun segera bertanya, seperti keterbukaan hatinya. “Ki Buyut, apakah di padukuhan ini telah terjadi kerusuhan yang ditimbulkan oleh tiga orang berkuda? Karena jumlah kami juga tiga, maka agaknya Ki Buyut telah mencurigai kami. Tetapi seandainya pernah terjadi sesuatu yang ditimbulkan oleh tiga orang berkuda, apakah Ki Buyut dapat menyebutkan ciri-ciri mereka? Jika ciri-ciri mereka sesuai dengan ciri-ciri yang terdapat pada kami. maka sewajarnyalah jika Ki Buyut mencurigai kami dan mungkin akan melakukan tindakan lebih jauh.”

Untuk beberapa saat lamanya Ki Buyut termangu-mangu. Namun kemudian terdengar salah seorang anak Ki Buyut menggeram, “Tentu kami tidak akan dapat mengatakan ciri apapun juga. Seandainya ada juga ciri-ciri itu, maka dalam waktu yang singkat, ciri-ciri semacam itu akan segera dapat dihapuskan dan diganti dengan ciri-ciri yang lain.”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya kedua pamannya berganti-ganti, seolah-olah ia ingin mendapatkan petunjuk, apakah yang sebaiknya dikatakan kepada Ki Buyut dan orang-orangnya.

Mahisa Agni termangu-mangu sejenak. Kemudian ia pun bergeser maju setapak sambil berkata, “Ki Buyut. Memang sulit untuk membuktikan, bahwa kami yang bertiga ini berbeda dengan tiga orang berkuda yang telah datang lebih dahulu di padukuhan ini.”

“Tidak di padukuhan ini” jawab Ki Buyut.

“Tidak di padukuhan ini?” Bertanya Mahisa Bungalan

“Ya. Memang tidak. Di padukuhan ini belum pernah didatangi oleh tiga orang berkuda itu. Tetapi padukuhan di sebelah hutan rindang itu pernah mengalaminya. Padukuhan yang tidak terlalu jauh dari padukuhan ini.”

“Apakah yang telah terjadi?” bertanya Mahisa Agni

“Kalianlah yang harus berceritera, apakah yang telah kalian lakukan di sana.”

Mahisa Agni pun menarik nafas. Lalu, “Ki Sanak, sebenarnyalah bahwa kami tidak mengetahui apa yang telah terjadi. Kami menyadari, seandainya pernah terjadi bencana yang ditimbulkan oleh tiga orang berkuda, dan kebetulan kami juga bertiga, maka kecurigaan kalian terhadap kami adalah wajar. Tetapi karena kami benar-benar tidak mengetahui apa yang telah terjadi, maka perkenankanlah kami bertanya tentang peristiwa itu”

Seorang anak Ki Buyut menyahut, “Kalian ingin melepaskan tanggung jawab dan berbuat seolah-olah tidak bersalah? Ki Sanak. Kalian ternyata telah masuk perangkap. Padukuhan ini memang berbeda dengan padukuhan di sebelah hutan itu. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa akan terjadi sesuatu di padukuhan mereka, sehingga peristiwa itu dapat terjadi. Tetapi kalian tidak dapat berbuat seperti itu di sini. Kecuali padukuhan ini telah siap, maka anak-anak muda di padukuhan ini pun lebih banyak jumlahnya dan lebih tangkas bermain dengan senjata. Di padukuhan ini terdapat seorang bekas prajurit di masa kejayaan Tumapel. Meskipun ia kini sudah terlalu tua, tetapi ternyata ia masih sempat menurunkan ilmunya kepada kami. anak-anak muda. Terutama kami bersaudara."

“Itu bagus sekali” sahut Witantra, “dengan demikian padukuhan ini akan menjadi aman. Namun justru karena itu, sudah barang tentu, kami pun tidak akan berani mengganggu padukuhan ini, siapa pun kami.” Ia berhenti sejenak, lalu, “karena itu, apakah Ki Buyut tidak berkeberatan mengatakan kepada kami, apakah yang telah terjadi itu?”

Ki Buyut mengerutkan keningnya. Lalu katanya. “Baiklah. Aku akan mengatakannya. Mungkin kalian telah lupa apa yang telah kalian lakukan itu.”

Mahisa Bungalan menelan ludahnya. Tetapi ia tidak menjawab.

“Ki Sanak” Berkata Ki Buyut, “Tiga orang berkuda di padukuhan itu telah merampok dan membunuh. Anak-anak muda yang tidak siap mencoba untuk menangkapnya, tetapi justru karena itu, dua orang telah terbunuh. Tiga orang terluka parah, dan lebih dari sepuluh orang yang luka-luka.”

“O, hanya tiga orang dapat berbuat seperti itu?”

“Memang luar biasa. Kematian yang terjadi sangat mengerikan sekali. Kulitnya tersayat-sayat sehingga seolah-olah tidak selapis pun yang tersisa.”

“O” Ketiga orang itu terkejut. Segera mereka menyadari, bahwa yang telah melakukan itu adalah orang-orang berilmu hitam.

“Nah, apakah kalian sudah puas” berkata salah seorang anak Ki Buyut yang lain, “Kalian sudah mendengar, bagaimana orang lain menyebut kalian sebagai orang-orang yang tidak terkalahkan. Tiga orang yang dengan mudah dapat mengalahkan lebih dari duapuluh orang. Bahkan hampir semuanya telah terluka” Ia berhenti sejenak, lalu, “Nah, apakah kalian akan melakukannya di sini?”

Mahisa Bungalan. Mahisa Agni dan Witantra termangu-mangu sejenak. Mereka mencoba membayangkan, apakah yang telah terjadi itu. Namun Mahisa Agni dan Witantra mengambil kesimpulan, bahwa ketiga orang itu tentu bukannya murid-murid perguruan ilmu hitam yang baru merasa dirinya mekar, jika demikian, maka korban tentu akan jatuh jauh lebih banyak lagi. Yang terbunuh tentu bukannya hanya dua orang. Tetapi mungkin semuanya.

“Agaknya justru orang terpenting dari perguruan itulah yang telah melakukannya, sehingga nafsunya untuk membunuh anak-anak tidak seganas murid-muridnya” Berkata Mahisa Agni dan Witantra di dalam hatinya. Agaknya keduanya mempunyai dugaan yang sama. Sedangkan Mahisa Bungalan yang masih muda tidak mempertimbangkan lebih jauh. Baginya, siapa pun orangnya, tetapi tentu orang berilmu hitam itulah yang melakukannya.

Namun dalam pada itu, seorang anak Ki Buyut yang lain berkata, “Nah. apakah yang akan kalian lakukan disini sekarang? Kami sudah siap menghadapi kalian. Meskipun kalian berhasil membunuh di padukuhan di pinggir hutan itu, namun, kalian tidak akan dapat melakukannya di sini. Dan barang kali juga di padukuhan-padukuhan yang lain yang telah menjadi bersiaga pula”

Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra menjadi bingung, bagaimana harus meyakinkan mereka. Rasa-rasanya mereka telah memasuki padukuhan yang salah, yang melibatkan mereka ke dalam kesulitan. Kedatangan mereka di padukuhan itu semata-mata karena mereka ingin bermalam. Hanya itu.

Sementara itu pun langit menjadi semakin buram. Warna merah di langit menjadi semakin pudar pula. Beberapa orang nampak mulai menyalakan obor di serambi pendapa. Tidak hanya dua atau tiga. Tetapi seakan-akan halaman itu pun kemudian menjadi terang benderang.

“Apakah artinya ini?” Desis Mahisa Bungalan tertuju kepada dirinya sendiri.

Karena ketiga orang berkuda itu untuk beberapa saat lamanya hanya termangu-mangu saja, maka seorang anak Ki Buyut pun berkata pula, “Nah, apakah yang akan kalian lakukan?”

“Tentu kami tidak akan berbuat apa-apa. Sejak semula kami memang tidak akan berbuat apa-apa” Jawab Mahisa Agni, “Sebenarnyalah kami hanya ingin bermalam di sini.”

“O” hampir semua orang mengangguk-angguk. Salah seorang bebahu yang bertubuh kekar dan berjambang berkata, “tepat seperti yang dilakukan oleh ketiga orang itu. Mereka bermalam di padukuhan kecil di pinggir hutan itu, Di malam hari mereka mulai merampok milik orang yang telah memberikan tempat bermalam. O, itukah yang akan kalian lakukan di sini? Di malam hari kalian memaksa untuk mengambil pendok emas dan sebuah cincin bermata akik Kuncara Bumi? Heh. kalian tidak akan melakukan tipuan licik itu sampai dua kali.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ternyata usahanya untuk meredakan ketegangan justru sebaliknya. Tiga orang itu pun telah minta sekedar bermalam, tetapi kemudian mereka melakukan kejahatan itu. Dengan demikian, maka seolah-olah semua jalan telah tertutup bagi ketiga orang itu, sehingga mereka pun menjadi semakin bingung. Jika orang-orang di padukuhan itu melakukan; kekerasan, apakah mereka juga akan mengimbanginya atau mereka harus melarikan diri?

Dalam keragu-raguan itu, tiba-tiba saja seorang anak Ki Buyut berkata, “Ki Sanak. Aku kira kalian tidak mempunyai kesempatan apapun juga sekarang. Kalian harus menyerah. Kami ingin menangkap kalian, mengikat dan membawa kepada Ki Buyut di padukuhan yang telah kau lukai dengan membunuh dua orang anak mudanya yang paling baik, melukai beberapa orang yang lain."

Mahisa Agni menarik nafas. Tetapi Witantra sempat menggamit Mahisa Bungalan yang bergeser setapak. Bahkan mendahuluinya berkata, “Apakah menurut pertimbangan kalian, itu merupakan penyelesaian yang paling baik?”

“Ya” Jawab anak Ki Buyut itu dengan tegas. Witantra mengangguk-angguk. Katanya kemudian seolah-olah lebih banyak tertuju kepada dirinya sendiri dan dua orang kawannya, “Baiklah. Kami akan menurut segala perintah kalian. Tetapi dengan syarat.”

Mahisa Bungalan terkejut mendengar kata-kata Witantra itu, karena ia tidak menyangka sama sekali. Tetapi ia tidak sempat memotong, karena Witantra berkata selanjutnya, “Jika kalian bersedia memenuhi syarat itu, maka kami akan menurut.”

“Apakah syarat itu?” bertanya Ki Buyut.

“Jika ternyata orang-orang di padukuhan itu tidak mengenal kami, atau mereka tahu pasti, bahwa yang telah melakukan kejahatan itu bukan kami, maka kami akan dibebaskan dari segala tuduhan dan kami diperkenankan bermalam di sini.”

“Kalian tidak perlu bermalam. Perjalanan ke padukuhan itu memerlukan waktu yang panjang. Kemudian jika benar kalian bersalah, maka kalian akan bermalam untuk waktu yang tidak terbatas."

“Maksudmu” Mahisa Bungalan tidak dapat menahan hati lagi.

“Kalian akan berkubur di padukuhan itu.”

Wajah Mahisa Bungalan menjadi merah. Tetapi untunglah, bahwa cahaya obor yang kemerah-merahan telah menyamun warna yang membara di wajahnya itu.

“Baiklah Ki Sanak” Mahisa Agni pun cepat mendahului Mahisa Bungalan yang menggeram, “kami akan bersedia bersama kalian pergi ke padukuhan itu.

“Kami akan mengikat tangan dan kaki kalian” berkata bebahu yang bertubuh kekar.

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Namun sebelum Mahisa Bungalan menjawab, ia mendahului, “Itu tidak perlu Ki Sanak. Kami sudah menyerah sesuai dengan keputusan kalian dan syarat yang kami ajukan. Bawalah kami dengan kekuatan yang ada. Kami tidak akan mengingkari perjanjian yang telah kami buat. Sebab, jika demikian, maka kami akan mengalami nasib yang tidak baik di sepanjang jalan, karena kami akan berhadapan dengan kekuatan yang tidak terlawan dari padukuhan ini.”

Beberapa saat lamanya Ki Buyut mempertimbangkan kata-kata Mahisa Agni, sementara Mahisa Agni pun menjadi cemas. Adalah tidak akan mungkin Mahisa Bungalan menyerahkan tangan dan kakinya untuk diikat. Dan apakah agaknya ia sendiri dan Witantra bersedia? Namun yang paling mencemaskan adalah Mahisa Bungalan yang sudah menjadi gelisah dan seolah-olah tidak dapat bertahan lebih lama lagi.

Namun ternyata bahwa Ki Buyut dapat mengerti kata Mahisa Agni. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Baiklah Ki Sanak. Agaknya masih ada sisa kepercayaanku kepada kalian. Kalian dapat berkuda tanpa diikat kaki dan tanganmu.”

“Ayah” potong salah seorang anak Ki Buyut.

“Aku masih percaya kepadanya. Tetapi jika mereka ternyata menyalahi janji, maka mereka akan kami cincang di bulak panjang itu dan kulit dagingnya akan kami serakkan sepanjang tanggul untuk menjadi makanan anjing-anjing liar."

Mahisa Bungalan menggigit bibirnya, seolah-olah ia sedang berusaha untuk menahan agar mulutnya tidak terbuka dan meneriakkan kemarahan yang melonjak di dalam dadanya.

“Marilah” Berkata Ki Buyut, “Kita pergi ke padukuhan di dekat hutan itu. Biarlah orang-orang di padukuhan itu menentukan, apakah orang-orang inilah yang telah melakukan kejahatan di padukuhan mereka, dan membunuh dua orang serta melukai banyak orang yang lain."

Nampaknya anak-anak Ki Buyut tidak puas dengan keputusan ayahnya itu. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka harus menurut seperti yang dikatakannya meskipun mereka tidak sependapat. “Kita mengawal mereka dengan kuat” Berkata salah seorang dari anak Ki Buyut itu.

Yang lain tidak menjawab. Tetapi mereka bersiaga untuk membawa ketiga orang itu dan bertindak dengan cepat apabila ketiga orang itu mencoba berbuat sesuatu yang tidak mereka kehendaki di sepanjang jalan.

Ternyata anak-anak Ki Buyut itu merasa bahwa mereka adalah termasuk orang-orang berilmu. Di sekitar padukuhan mereka, maka mereka adalah orang-orang yang paling disegani, karena mereka telah mempelajari ilmu kanuragan dari bekas seorang prajurit di masa kejayaan Tumapel. Meskipun prajurit itu sudah cukup tua, tetapi mereka masih sempat mendapat tuntunan yang memadai bagi keselamatan padukuhannya.

Demikianlah, maka padukuhan itu rasa-rasanya telah berubah menjadi riuh. jika semula padukuhan itu nampak lengang dan sepi, justru semakin gelap, padukuhan itu rasa-rasanya telah terbangun dari tidurnya yang lelap.

Sejenak kemudian, maka sebuah iringan telah meninggalkan halaman rumah Ki Buyut. Tiga orang berkuda dikawal oleh beberapa orang yang dianggap terkuat di padukuhan itu. Semua anak laki-laki Ki Buyut ikut serta bersama Ki Buyut sendiri dan sepuluh orang lain yang pernah mempelajari olah kanuragan pula pada bekas prajurit Tumapel itu. Dengan demikian maka, seolah-olah sepasukan berkuda telah siap berangkat ke medan perang dengan mendambakan kemenangan.

Mahisa Bungalan menjadi sangat gelisah mengalami perlakuan itu. Namun ketika ia berpaling memandangi wajah Mahisa Agni, di dalam keremangan bayangan cahaya obor, nampak ia tersenyum.

“Paman tidak tersinggung mengalami perlakuan ini?” Mahisa Agni menarik nafas. Katanya, “Tentu saja aku merasa tersinggung. Tetapi terhadap orang-orang yang tidak mengerti seperti Ki Buyut dan anaknya, apakah yang sebaiknya kita lakukan?”

Mahisa Bungalan beralih memandang Witantra. Tetapi kesan wajah orang tua itu pun tidak berbeda dengan kesan yang ditangkapnya di wajah Mahisa Agni. Ketika mereka keluar dari jalan padukuhan, dua orang berkuda telah mendahului mereka dan berkuda di paling depan. Sedangkan di antara para pengiring, terdapat beberapa orang yang membawa obor.

Di sepanjang jalan yang mereka lalui, agaknya iring-iringan itu benar-benar telah menarik perhatian- Ketika mereka mendekati sebuah padukuhan, maka padukuhan itu menjadi gempar. Setiap laki-laki segera mencari senjata, jenis apapun yang dapat mereka ketemukan, karena mereka pun telah pernah mendengar berita tentang tiga orang yang telah melakukan kejahatan di padukuhan di dekat hutan kecil itu, sehingga mereka pun telah bertekad untuk bersiaga setiap saat menghadapi segala kemungkinan. Ketika memasuki padukuhan itu, maka dua orang yang sudah dikenal mendahului iring-iringan itu dan memberitahukan siapakah yang akan lewat.

“Tiga orang penjahat itu dapat kalian tangkap tanpa perlawanan?” Bertanya seorang anak muda.

“Ya, Mereka semula ingin bermalam di rumah Ki Buyut. Tetapi langsung Ki Buyut menangkap mereka dan membawa mereka ke padukuhan di pinggir hutan itu untuk meyakinkan apakah benar mereka yang bersalah."

“O” Anak muda itu mengangguk-angguk, “Sudah sepantasnya demikian. Putera-putera Ki Buyut itu adalah anak-anak muda yang tidak ada imbangannya di daerah ini. Adalah nasib malang yang telah membenturkan tiga orang penjahat itu dengan anak-anak Ki Buyut.”

Ternyata Mahisa Bungalan dapat mendengar percakapan itu meskipun tidak seluruhnya. Terasa darah mudanya bagaikan menggelegak di dadanya. Namun setiap kali ia berpaling ke pada kedua orang pamannya, nampaknya mereka masih tetap tenang dan bahkan seakan-akan sama sekali tidak mengacuhkan atas apa yang sedang terjadi.

Dalam pada itu, maka iringkan itu berjalan terus, melalui bulak-bulak panjang dan jalan-jalan padukuhan yang suram. Namun dengan demikian iring-iringan itu rasa-rasanya semakin lama menjadi semakin panjang. Beberapa anak muda yang mempunyai seekor kuda di padukuhan-padukuhan yang dilewati, yang sempat mengambil kuda-kuda mereka, segera menggabungkan diri pada iringkan itu untuk melihat, apa yang akan terjadi di padukuhan yang pernah mengalami bencana itu.

“Jika benar-benar ketiga orang itu yang telah melakukan kejahatan, maka mereka pun akan mengalami nasib yang sama seperti kedua orang yang terbunuh dengan tatu arang keranjang itu” desis seorang anak muda.

“Lebih dari itu. Kemarahan orang-orang di padukuhan itu agaknya tidak akan dapat terbendung lagi. Mungkin mereka bertiga akan dicincang sampai lumat dengan perlahan-lahan” Sahut yang lain.

“Ah, tentu tidak” Berkata seorang anak muda yang sudah nampak lebih matang, “Jika mereka harus dibunuh, mereka akan dibunuh. Tetapi tidak dengan cara yang biadab. Jika kita pun melakukan hal yang serupa, lalu apakah bedanya antara mereka dan kita?”

“Mereka sudah mendahului. Mereka telah membangkitkan kemarahan kami” sahut anak muda yang pertama, “Jika kami melakukannya, itu adalah semacam hukuman yang setimpal bagi mereka.”

“Tetapi kita memiliki perasaan yang seharusnya lebih dalam tentang perikemanusiaan. Itulah yang agaknya tidak mereka miliki”

Yang lain tidak menyahut lagi. Tetapi dari sorot matanya nampak dendam yang menyala meskipun ia tidak mengalami perlakuan yang ganas dari ketiga orang penjahat itu.

Demikianlah iring-iringan berobor itu menjadi semakin lama semakin dekat dengan padukuhan di pinggir hutan itu. Di tengah-tengah bulak nampaknya bagaikan seekor ular yang bersisikkan bara sedang merambat dengan cepat, meluncur seolah-olah sedang menyergap mangsanya.

“Kalian melihat obor-obor itu” tiba-tiba seorang peronda di padukuhan di dekat hutan itu berdesis.

“Ya. Agaknya menuju kemari” Jawab yang lain.

“Apakah mereka kawan-kawan penjahat itu?”

“Jika demikian, kita akan celaka. Bukan hanya dua orang yang akan terbunuh, tetapi semua laki-laki akan mati”

“Agaknya demikian jika kita dengan suka rela menyerahkan kepala kita. Kita sekarang sudah bersiaga. Beberapa saat yang lampau, peristiwa itu terjadi demikian mengejutkan sehingga kita tidak sempat berbuat apa-apa.”

Yang lain mengangguk-angguk. Namun kemudian wajahnya menjadi tegang. “Ya. Mereka menuju kemari.”

“Siapkan semua laki-laki.” Tiba-tiba terdengar perintah pemimpin peronda itu” Seorang dari kalian, pergi ke rumah Ki Buyut dan melaporkan, bahwa iringan berkuda dan berobor sedang menuju kemari.”

Seorang dari mereka pun kemudian dengan tergesa-gesa pergi ke rumah Ki Buyut, sedang yang lain dengan tergesa-gesa pula memanggil setiap orang laki-laki, dengan beruntun yang seorang kepada yang lain

Dengan demikian, maka dalam waktu yang singkat, setiap orang telah mendengar, bahwa sebuah iring-iringan berobor sedang meluncur dengan cepat menuju ke padukuhan mereka. Karena itulah maka mereka pun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Mereka tidak mau membiarkan diri mereka dibantai dengan semena-mena.

“Siapkan kentongan” Perintah Ki Buyut yang kemudian telah berada di antara orang-orangnya, “Jika ternyata mereka penjahat-penjahat, maka bunyikan tengara, agar orang-orang dari padukuhan sebelah menyebelah mendengar dan datang membantu. Kami sudah membuat perjanjian dengan mereka, bahwa dalam keadaan yang gawat, kita akan saling membantu. Bagaimanapun juga kemampuan para penjahat, jika jumlah kita berlipat ganda, maka mereka tidak akan dapat berbuat banyak. Mungkin akan jatuh banyak korban di antara kita. Tetapi mereka harus kita musnahkan.”

Beberapa orang pun kemudian menyiapkan kentongan. Tidak hanya di satu tempat, tetapi di beberapa tempat yang sudah ditentukan.

Padukuhan itu pun bagaikan telah diguncang oleh kegelisahan. Berpuluh-puluh orang laki-laki termasuk anak-anak mudanya telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Meskipun mereka tidak memiliki kemampuan berkelahi, tetapi mereka telah dibakar oleh dendam karena peristiwa yang pernah terjadi. Apalagi mereka telah saling bersepakat dengan orang-orang di padukuhan sebelah menyebelah, jika terjadi sesuatu, maka mereka akan menghadapi bersama-sama.

Sejenak orang-orang di padukuhan itu menunggu. Tetapi mereka tidak berkumpul menjadi satu. Mereka membagi diri dalam kelompok-kelompok yang terpencar. Iring-iringan berkuda itu meluncur semakin dekat. Namun agaknya seperti yang selalu dilakukan, di antara mereka dua orang telah mendahului yang lain untuk memberitahukan, agar tidak terjadi salah paham.

Namun agaknya dendam yang membara di hati setiap laki-laki di padukuhan itu benar-benar telah siap untuk meledak. Itulah sebabnya, maka setiap orang di antara mereka telah mencabut senjata mereka masing-masing untuk menghadapi segala kemungkinan. Namun demikian, mereka masih belum membunyikan tengara untuk memanggil tetangga-tetangga di padukuhan sebelah menyebelah.

Dalam pada itu, ketegangan semakin mencengkam setiap orang yang menunggu kedatangan iring-iringan berkuda itu. Bahkan ada di antara mereka yang sudah tidak sabar lagi untuk menunggu lebih lama di kegelapan. Ternyata kehadiran dua orang yang mendahului iring-iringan itu telah sangat menarik perhatian. Beberapa orang segera berloncatan ke tengah jalan untuk menghentikan kedua orang berkuda yang mendahului iringkan berobor itu. Kedua orang berkuda itu segera menarik kekang, sehingga kedua ekor kuda itu pun berhenti dengan serta-merta.

Sementara itu, beberapa ujung tombak pun segera mengarah ke lambung kedua penunggang kuda itu, sementara seorang yang bertubuh pendek maju mendekat sambil bertanya, “Siapakah kalian he?”

“Kakang Kusung”

“Kau kenal aku?” bertanya Kusung.

“Lihatlah aku baik-baik” jawab orang berkuda itu, “kau pun tentu mengenal aku.”

Kusung memperhatikan orang berkuda itu sejenak. Lalu katanya dengan wajah yang tegang, “He. kau. Apa kerjamu di sini he? Apakah kau yang membawa iringkan berkuda itu?”

“Ya.”

“Apa maksudmu?”

“Kami membawa tiga orang asing”

“Tiga orang?” Kusung menjadi semakin tegang, “Si apakah mereka?”

“Sebentar lagi kau akan melihat. Mereka adalah orang-orang yang memang pantas dicurigai. Kami sudah mendengar apa yang terjadi disini, sehingga karena itu, maka tiga orang itu telah kami tangkap dan kami bawa kemari. Mungkin mereka adalah orang-orang yang pernah datang ke padukuhan ini dan membunuh beberapa orang.”

“Mungkin, mungkin sekali. Dimanakah orang itu?”

“Sebentar lagi, mereka berada di dalam iring-iringan itu”

Orang yang disebut Kusung itu pun tertegun sejenak Namun kemudian katanya, “Pergi kepada Ki Buyut. Katakan apa yang sudah kau dengar.”

Dua orang anak muda yang ada di antara mereka segera berlari-lari mencari Ki Buyut di gardu induk. Mereka melaporkan apa yang mereka dengar tentang tiga orang berkuda itu.

Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan melihat, siapakah mereka itu. Jika mereka benar-benar orang yang telah membunuh saudara-saudara kita disini, maka terserah kepada kalian, apakah yang akan kalian lakukan atas mereka.”

“Cincang saja mereka itu. Cincang sampai lumat seperti apa yang pernah mereka lakukan terhadap saudara-saudara kita.”

Ki Buyut menarik nafas. Kemudian katanya, “Tetapi bagaimana mungkin mereka dapat menangkap ketiga orang itu?"

“Anak Ki Buyut dari padukuhan di ujung bukit itulah yang telah menangkapnya.” Desis seorang berambut putih-

“Darimana kau tahu?” bertanya Ki Buyut.

Orang berambut putih itu mengangkat wajahnya. Desisnya, “Aku tahu benar kemampuan mereka. Bekas prajurit di padukuhan mereka itulah yang telah mengajar mereka, sehingga mereka memiliki kemampuan seperti seorang prajurit. Kemauan mereka mempelajari ilmu itu, agaknya telah mendorong mereka sehingga mereka justru memiliki kemampuan melebihi prajurit kebanyakan.”

Ki Buyut mengangguk-angguk Ia pun pernah mendengar, bahwa anak-anak muda di padukuhan di ujung bukit itu mempunyai kelebihan dari anak-anak muda yang lain.

“Marilah” Katanya kemudian, “Kita menyongsong mereka di luar padukuhan. Mungkin ada persoalan yang tiba-tiba saja terjadi. Agaknya tidak terlampau mudah menangkap tiga orang yang pernah membuat onar disini.”

Dengan tergesa-gesa mereka pun kemudian pergi ke ujung lorong menyongsong iring-iringan yang sudah menjadi semakin dekat. Ki Buyut menjadi semakin ragu-ragu ketika ia mendengar dari kedua orang yang mendahului itu, bahwa ketiga orang itu dapat mereka tangkap tanpa perlawanan.

“Nampaknya mustahil” Berkata Ki Buyut, “Ketiga orang itu nampaknya sangat garang. Apakah mereka dengan begitu mudahnya menyerah? Seandainya putera-putera Ki Buyut itu memiliki kemampuan yang tinggi, ketiga orang itu tentu tidak mengetahuinya. Agaknya sulitlah untuk memaksa mereka menyerah hidup-hidup. Kecuali itu hanya sekedar tipu muslihat”

“Kenapa tipu muslihat?”

“Mereka berpura-pura menyerah. Tetapi pada suatu saat mereka justru akan mengambil korban lebih banyak lagi.”

Orang yang mendengar pertimbangan Ki Buyut itu menjadi ragu-ragu. Juga dua orang yang mendahului iring-iringan itu. “Apakah mungkin begitu Ki Buyut?” Bertanya salah seorang dari kedua orang itu.

“Hanya sekedar dugaan. Tetapi kita memang perlu berhati-hati. Tetapi mungkin pula dugaan itu keliru. Mereka sebenarnya adalah penakut yang mudah menyerah jika lawannya menunjukkan keberanian untuk melawan.”

“Tetapi bukankah di padukuhan ini juga telah terjadi pertempuran saat itu?”

“Tetapi kami menunjukkan keragu-raguan sehingga ketiga orang itu rasa-rasanya telah mendapat kepastian untuk menang.”

Kedua orang itu mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak sempat untuk bertanya lagi, karena iring=iringan itu pun telah menjadi semakin dekat, meskipun tidak terlampau cepat.

Nyala obor yang kemerah-merahan nampak menyusuri bulak panjang, berkelok-kelok di sepanjang jalan di tengah-tengah tanah persawahan yang luas. Karena itulah, maka selagi jaraknya masih panjang, orang-orang di padukuhan itu sudah melihatnya. Bahkan sebelum iring-iringan itu menyusup ke padukuhan kecil yang terakhir sebelum mencapai padukuhan itu.

Kini iring-iringan itu menjadi dekat sekali. Karena itulah maka Ki Buyut pun kemudian melangkah maju menyongsong iring iringan itu. Di paling depan dari iring-iringan itu adalah Ki Buyut yang kemudian menempatkan diri di ujung bersama dua orang anak laki-lakinya, sedangkan anaknya yang lain. berada di sekitar ketiga orang yang telah mereka tangkap tanpa perlawanan.

Ki Buyut dari padukuhan di ujung Bukit itu pun menarik kekang kudanya ketika ia melibat beberapa orang menyongsongnya. Diantara mereka nampak kedua orangnya yang mendahului iring-iringan itu dan Ki Buyut dari padukuhan di sisi hutan rindang, yang telah mengalami bencana itu.

“Selamat datang di padukuhan kami Ki Buyut.” berkata Ki Buyut padukuhan di sisi hutan.

Ki Buyut dan padukuhan di ujung bukit pun segera turun dari kudanya sambil menjawab, “Terima kasih. Kami datang membawa beberapa orang yang barangkali penting bagi padukuhanmu.”

Sejenak mereka pun kemudian berbincang, sementara iring iringan itu terhenti

Mahisa Bungalan yang merasa dirinya diperlakukan tidak adil, hampir tidak dapat menahan hatinya lagi. Namun setiap kali kedua pamannya selalu memberinya isyarat, agar ia tidak berbuat apa-apa. Namun ketiga orang itu pun kemudian tertegun ketika mereka melihat beberapa orang mendekatinya. Diantara mereka adalah Ki Buyut dari padukuhan di pinggir hutan itu

Sejenak Ki Buyut termangu-mangu. Di bawah cahaya obor, ketiganya diamat-amati seperti tertuduh yang akan mendapat pengadilan. “Turunlah” terdengar suara Ki Buyut yang besar dan dalam

Mahisa Bungalan menggigit bibirnya. Namun ketika ke dua orang pamannya telah meloncat turun pula. maka ia pun segera turun betapapun segannya. Agaknya beberapa orang yang sedang mengamat-amatinya masih belum puas melihat ketiganya yang berdiri diam betapapun dada Mahisa Bungalan bergejolak. Betapapun juga, ternyata Mahisa Agni dan Witantra menjadi berdebar-debar juga. Rasa-rasanya mereka memang sedang menunggu keputusan yang akan dijatuhkan atas mereka. Bersalah atau tidak.

Ketiga orang itu sempat melihat Ki Buyut yang kemudian berbicara dengan beberapa orang pembantunya. Sekali-kali anak Ki Buyut dari ujung bukit ikut pula berbicara di antara mereka. Namun ketiga orang yang sedang menjadi pusat perhatian itu tidak mendengar, apakah yang sedang mereka bicarakan itu.

Tetapi ketiga orang itu terkejut ketika mereka tiba-tiba saja mendengar seseorang berbicara cukup keras, “Aku tidak peduli. Mereka tentu kawan-kawan dari tiga orang berkuda yang terdahulu, yang dengan semena-mena telah membunuh di padukuhan ini”

Mahisa Bungalan memandang kedua pamannya berganti-ganti. Meskipun ia tidak mengatakan sesuatu, namun terdengar giginya gemeretak menahan kemarahan yang hampir meledak.

“Tenanglah Bungalan” Bisik Witantra, “Kita menunggu keputusan terakhir.”

“Jika keputusan itu menjerat leher kita. apakah yang akan kita lakukan?”

“Ssss” desis Witantra, “jangan terlampau keras. Jika mereka mendengarnya, tentu akan mempengaruhi keputusan yang akan mereka ambil."

Mahisa Bungalan terdiam. Kini pembicaraan di antara orang-orang padukuhan itu menjadi perlahan-lahan lagi, sehingga Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra tidak dapat mendengarnya. Tetapi mereka mengerti, bahwa agaknya pembicaraan di antara mereka menjadi agak kusut karena nampaknya ada perbedaan pendapat di antara mereka.

Tetapi sekali lagi terdengar suara agak keras, “Kita perlu menelitinya lebih dalam lagi Ki Buyut. Tiga orang bukannya suatu kebetulan saja. Mungkin telah menjadi kebiasaan mereka, untuk selalu berkuda bertiga dalam pengembaraan mereka mencari korban.”

“Tetapi sikap dan tutur katanya tentu akan memberikan ciri yang lebih jelas” Terdengar suara lain.

“Marilah, kita bertanya kepada mereka.”

“Tentu kalian akan terperdaya” Suara itu pernah dikenal oleh ketiga orang yang sedang menjadi pusat pembicaraan itu, “Mereka tentu akan menunjukkan sikap dan sifat yang baik.”

“Anak Ki Buyut” Desis Mahisa Bungalan.

“Ya, anak Ki Buyut.” Sahut Mahisa Agni perlahan-lahan Mahisa Bungalan menjadi semakin geram. Dengan gelisah ia mencoba menahan diri seperti yang dimaksud oleh kedua pamannya.

Sementara itu pembicaraan masih berlangsung. Dan masih terdengar suara, “Ki Buyut, tiga orang yang terdahulu itu juga menunjukkan sikap dan tingkah laku yang nampaknya meyakinkan. Tetapi ternyata bahwa tidak ubahnya seperti iblis yang paling jahat”

“Ya” Sahut yang lain, “Tidak ada pembicaraan apapun yang perlu dilakukan. Kita sudah siap untuk menghukum mereka. Mereka harus menanggung akibal kejahatan yang pernah dilakukan oleh kawan-kawannya.”

“Itu adalah keputusan yang paling baik” Teriak yang lain.

Suasana menjadi semakin dalam dicengkam oleh ketegangan. Terlebih-lebih adalah Mahisa Bungalan. Adalah sangat pahit rasanya untuk dibicarakan oleh sekelompok orang lain tanpa berbuat apa-apa- Apalagi dalam prasangka yang sangat buruk.

Namun dalam pada itu, terdengar suara Ki Buyut justru yang pernah mengalami bencana di padukuhannya, “Tetapi bagaimanapun juga kita tidak boleh tergesa-gesa mengambil kesimpulan”

Ketegangan yang semakin memuncak itu pun kemudian ditambah lagi dengan kata-kata Ki Buyut, “Aku akan bertanya kepada mereka.”

“Tidak ada gunanya.” Terdengar suara lain.

“Berguna atau tidak berguna, tetapi aku wajib meyakinkan diri.”

Sekelompok orang-orang itu pun kemudian menyibak Dua orang Buyut dari kedua padukuhan itu pun kemudian melangkah mendekati Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan.

Mahisa Bungalan ingin meloncat menerkam orang-orang yang mengiringi dua orang buyut itu dan menunjukkan kepada mereka, bahwa mereka tidak pantas membicarakannya dengan prasangka yang buruk, dan apalagi seolah-olah mereka memiliki kekuasaan untuk menentukan nasibnya.

Mahisa Agni dan Witantra menyadari sikap hati Mahisa Bungalan itu. Karena itu, maka mereka berdualah yang kemudian melangkah maju untuk menjawab setiap pertanyaan yang akan diucapkan oleh setiap orang yang mengerumuninya, terutama kedua orang Buyut itu.

Ki Buyut dari padukuhan di ujung hutan itulah yang kemudian mendekati ketiga orang itu lebih dekat dari yang lain. Sejenak ia memandangi ketiga wajah itu di bawah cahaya obor.

“Kalian memang bukan orang-orang yang pernah membunuh saudara-saudaraku sepadukuhan di sini” berkata Ki Buyut

“Baru kali ini aku melalui daerah ini Ki Buyut” Jawab Mahisa Agni

“Tetapi kawan-kawanmu tentu pernah berceritera kepadamu tentang daerah ini” Terdengar seseorang mendahului Ki Buyut.

“Ki Sanak” Berkata Witantra, “Seandainya seorang atau lebih dari kawan-kawanku berceritera tentang daerah ini, maka aku kira justru aku tidak akan tersesat sampai ke daerah ini, karena aku tentu tahu, bahwa daerah ini akan menjadi sangat mudah tersinggung seperti yang sebenarnya terjadi.”

“Jadi, apakah yang mendorong kalian sampai ke tempat ini?” bertanya Ki Buyut-

“Aku pernah mengatakan kepada Ki Buyut dari padukuhan di ujung bukit, bahwa kami adalah hamba-hamba istana yang sedang nganglang untuk melihat kenyataan hidup rakyat Singasari”

“He?” Ki Buyut mengerutkan keningnya. Namun salah seorang di belakangnja berkata, “Setiap orang dapat menyebut dirinya demikian. Hamba istana, bahkan Senapati sekalipun Tetapi dapatkah mereka bertiga menunjukkan pertanda itu?”

“Apakah pertanda yang kau kehendaki?” bertanya Witantra.

Tidak seorang pun yang menjawab. Mereka tidak dapat menyebutkan pertanda apapun bagi hamba istana meskipun mereka sedang bertugas selain pakaiannya apabila ia seorang prajurit dan bagi hamba yang lain adalah ujud lahiriah yang pertama-tama juga nampak pada pakaian yang lain dari orang-orang padesan. Dan nampaknya ketiga orang itu juga berpakaian lebih baik dari orang-orang padukuhan itu.

“Tetapi ketiga orang yang pernah merusak ketenteraman padukuhan ini pun berpakaian lebih baik” kata orang itu di dalam hatinya.

Karena tidak ada yang menjawab, maka Witantra pun berkata selanjutnya, “Ki Buyut. Katakanlah, apa yang harus kami lakukan untuk membuktikan bahwa kami memang bukan orang-orang yang kalian maksud sebagai orang-orang jahat.”

“Ki Buyut menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak ada yang dapat aku katakan. Memang sulit sekali membedakan, siapakah yang jahat, dan siapakah yang bukan sekarang ini.”

“Tetapi apakah keterangan kami tidak meyakinkan?” Bertanya Mahisa Agni, “Kami adalah hamba-hamba istana yang seperti kami katakan, sedang mengalami kehidupan rakyat Singasari. Terakhir kami akan pergi ke Panawijen dan kemudian melihat taman di Padang Karautan, bekas taman yang dibuat pada masa kejayaan Tumapel. Kami harus melaporkan hal itu kepada Maharaja Singasari yang sekarang, karena Baginda mungkin sekali ingin membangun kembali taman yang pernah menjadi taman impian setiap keluarga istana Tumapel itu.”

“Kau mengenal Panawijen?”

“Tentu Ki Buyut.”

“Penjahat-penjahat seperti mereka mengenal setiap padukuhan dimanapun juga. Apalagi padukuhan-padukuhan yang dapat memberikan kemungkinan untuk mendapatkan barang-barang rampasan” Terdengar suara yang serak. Suara anak Ki Buyut di ujung bukit

Mahisa Bungalan menjadi gemetar. Bukan oleh ketakutan. Tetapi darah mudanya yang menggelegak di dadanya, rasa-rasanya sudah tidak tertahankan lagi. Dan jantungnya di dalam dada itu rasa-rasanya memang akan meledak.

“Ki Buyut” berkata Mahisa Agni kemudian, “jika persoalannya menjadi sangat rumit dan ketiadaan keyakinan untuk mempercayai kami, maka kami kira tidak ada jalan lain bagi kami untuk meninggalkan padukuhan yang manapun juga di sekitar daerah ini. Usaha kami untuk dengan jujur bahwa kami bukan penjahat-penjahat itu, namun kami tetap tidak mendapat tempat. Karena itu, baiklah kami mohon diri dan akan pergi sejauh-jauhnya. Karena kami memang akan. pergi ke Panawijen.”

Suasana yang tegang menjadi bertambah tegang. Beberapa orang saling berpandangan. Namun tiba-tiba seorang anak muda yang bertubuh kekar dan berkumis lebat menyibakkan beberapa orang yang mengerumuni sambil berkata, “Kau begitu enaknya akan pergi begitu saja. Adikku telah dibunuh oleh kawan-kawanmu Pamanku terluka parah dan beberapa orang sahabatku terluka pula.”

“Tetapi kami tidak tahu menahu akan hal itu Ki Sanak” Jawab Mahisa Agni.

“Omong kosong. Adikku itu pun tidak lahu menahu apapun tentang kawan-kawanmu itu. Tetapi ia harus menjadi korban bersama beberapa orang lain“ Orang itu menggeram, lalu, “Tidak. Kalian tidak dapat pergi. Kalian akan kami ikat di depan banjar untuk menerima hukum picis.”

Mahisa Bungalan bergeser setapak, tetapi Witantra menggamitnya.

“Ki Sanak” berkata Mahisa Agni, “Kenapa kalian tidak dapat berpikir bening. Jika kami adalah kawan-kawan dari orang-orang yang telah membunuh saudara-saudaramu, maka kami tentu tidak akan dapat kalian paksa untuk menyerah begitu saja, Seandainya jumlah kami terlampau sedikit dibandingkan dengan jumlah kalian, namun percayalah, bahwa jika kami berniat, seperti orang-orang yang kalian sebut kawan-kawan kami itu, tentu akan dapat, membunuh lebih banyak dari dua orang dan melukai lebih dari lima belas”

“Nah, kalian dengar” Teriak anak muda itu kepada kawannya, “Orang ini sudah mengaku.”

“Kau salah paham” Bantah Mahisa Agni, “Maksud kami, jika kami benar-benar kawan orang berkuda ini.”

“Persetan, jangan ingkar. Kepung mereka rapat. Jika mereka melawan, lumpuhkan mereka. Aku tetap menghendaki pembalasan yang setimpal atas kematian adikku dan saudara-saudaraku. Karena itu, aku menghendaki mereka ditangkap hidup-dan mendapat hukuman picis”

Mahisa Bungalan benar tidak lagi dapat menahan hati Dengan suara gemetar ia berbisik di telinga Mahisa Agni, “Dan paman masih akan tetap bersabar?”

Mahisa Agni tidak menghiraukannya. Bahkan ia masih berkata kepada anak muda itu, “Jangan memaksa kami untuk melakukan kekerasan Ki Sanak. Sekali lagi aku minta, lepaskan kami pergi. Kami tidak akan berbuat apa-apa.”

“Setelah terbayang kegagalan dan hukuman yang paling pantas bagi kalian, maka kalian mengambil sikap lain. Tidak. Kalian akan kami tangkap. Kami akan menunggu selama tiga hari. Jika dalam tiga hari kawanmu yang membunuh itu tidak dapat kami tangkap atau datang dengan suka rela untuk membebaskan kalian, maka kalian benar-benar akan kami hukum picis.”

Sebelum Mahisa Agni berkata sesuatu, Mahisa Bungalan sudah berbisik pula, “Dan paman akan dengan sabar menunggu tiga hari? Tidak paman. Aku akan bertindak sekarang.”

Mahisa Agni menarik nafas. Ia sadar, bahwa Mahisa Bungalan tentu tidak akan dapat dikendalikan lagi. Bahkan mungkin ia akan melakukan kekerasan yang tidak terkendalikan karena darah mudanya yang mendidih.

“Ulurkan tangan dan kaki kalian” Teriak anak muda berkumis itu, “Kalian adalah tawanan kami. Kebebasan kalian tergantung sekali kepada ketiga kawan-kawanmu yang telah membunuh dengan semena-mena disini.”

Mahisa Bungalan menggeram. Namun yang terdengar, adalah suara salah seorang anak Ki Buyut di ujung bukit, “Itu adalah keputusan mereka yang mengalami perlakuan di luar peri kemanusiaan. Kami hanya dapat mendukung keputusan itu dan akan ikut melaksanakannya pula. Memang tidak ada pilihan lain bagi kalian. Kesempatan yang tiga hari itu adalah ujud kebaikan hati yang jarang sekali dapat dicari.”

“Nah, sekarang menyerahlah” terdengar suara yang lain.

Ki Buyut dari padukuhan di pinggir hutan itu nampak termangu-mangu. Tetapi ia tidak mengubah sikap anak muda yang bertubuh kekar itu. Menurut pertimbangannya, waktu yang tiga hari itu sudah seimbang dengan kemungkinan-kemungkinan yang manapun juga bagi ketiga orang itu, sesuai dengan kejahatan yang dilakukan oleh kawan-kawan mereka.

“Tetapi bagaimanakah jika mereka benar-benar tidak mengenal ketiga orang itu, dan bahkan mereka adalah benar-benar hamba istana?” Pertanyaan itu kadang-kadang terselip juga di hati Ki Buyut.

Tetapi ia tidak akan berdaya untuk mengubah keputusan anak-anak muda. Beberapa saat suasana dicengkam oleh ketegangan yang memuncak. Mahisa Bungalan benar-benar menjadi gelisah dan gemetar. Rasa-rasanya ia sudah siap meloncat menghantam anak muda bertubuh kekar itu.

“Mereka bukan lawanmu Bungalan” bisik Witantra, “Jika kau tidak mampu mengendalikan perasaanmu, kau akan menambah sakit hati mereka karena kematian yang bertambah-tambah.”

“Jadi lebih baik kita sajakah yang mati?”

“Tentu bukan begitu.”

“Jadi bagaimana?”

Witantra menjadi bingung. Namun ia kemudian menjawab juga, “Seharusnya kita menyelamatkan diri. Tetapi jangan menimbulkan kematian lagi.”

“Itu sulit sekali. Apalagi mereka bersenjata. Mungkin aku tidak sengaja. Tetapi senjataku menusuk di sela-sela rusuk mereka dan menyentuh jantung.”

Witantra benar-benar menjadi bingung karena Mahisa Bungalan pun agaknya telah kehilangan pengendalian diri. Dalam pada itu, orang-orang yang sudah tidak sabar lagi itu pun kemudian mendesak semakin maju mendekati Mahisa Agni, Mahisa Bungalan dan Witantra. Rasa-rasanya tangan mereka sudah menjadi gatal dan tidak terkendali lagi.

Mahisa Agni pun agaknya sudah tidak mampu lagi mencari dalih untuk menghindarkan perkelahian. Tetapi sudah tentu ia tidak akan melakukan seperti apa yang pernah dilakukan oleh ketiga orang yang pernah datang lebih dahulu ke padukuhan itu. Karena itu, maka ia merasa wajib untuk menemukan cara, bagaimana ia harus menghadapi orang-orang yang telah kehilangan akal itu.

Tiba-tiba saja, terbersit suatu pikiran yang mungkin dapat dipergunakan untuk mengatasi kesulitan itu. Karena itu, maka ia pun berkata, “Ki Sanak sekalian. Adalah aneh sekali jika kami bertiga pun harus berkelahi melawan kalian seperti tiga orang yang telah lebih dahulu merusak ketenangan padukuhan ini. Tetapi sudah tentu bahwa kami pun tidak akan dengan suka rela menyerahkan nyawa kami karena kesalahan orang-orang yang tidak kami kenal. Apalagi kami adalah hamba-hamba istana yang membawa tugas negara. Karena itu, jika kalian tidak percaya, baiklah kita akan mengadakan sedikit permainan. Diantara kami terdapat seorang anak muda yang sebaya dengan anak-anak muda padukuhan ini yang sekarang dengan penuh dendam memandang kepada kami. Di antara mereka adalah anak-anak Ki Buyut, justru dari padukuhan di ujung bukit. Karena itu, apabila kalian menghendaki, sebaiknya kita melihat, apakah yang dapat di lakukan oleh kalian atau anak-anak muda yang kalian anggap paling berilmu di padukuhan ini. Dengan demikian, kalian akan mendapat gambaran, apakah yang akan terjadi jika kami terpaksa mempertahankan diri kami bertiga”

Ketegangan rasa-rasanya menjadi semakin memuncak. Namun tiba-tiba seseorang maju sambil bertolak pinggang, “Apakah maksudmu sebenarnya? Apakah kau akan menyombongkan diri, bahwa kau memiliki ilmu yang pilih tanding.”

“Tidak ada jalan lain kecuali dengan menyombongkan diri” Jawab Mahisa Agni, “Sekarang kita buat sebuah arena. Kita akan melihat, apakah kalian sebenarnya mampu menahan kemarahan kami, jika kemarahan itu telah benar-benar mencengkam dada kami.”

“Persetan” Geram salah seorang anak Ki Buyut di ujung bukit.

“Jangankan hanya seorang melawan seorang. Untuk membuktikan bahwa kami adalah hamba-hamba istana dan sekaligus adalah prajurit-prajurit, maka biarlah anak muda di antara kami ini berkelahi melawan lebih dari satu orang. Mungkin, dua, atau tiga

Sejenak anak-anak muda itu menjadi ragu-ragu. Apakah itu bukan sekedar cara untuk meloloskan diri. Atau cara-cara lain yang licik? Namun seorang anak muda yang merasa terhina, tiba-tiba saja berteriak, “Baik, kita akan membuat arena.”

Mahisa Bungalan tiba-tiba bergeser maju. Bisiknya, “Apa yang harus aku lakukan paman?”

“Tunjukkan kemampuanmu. Tetapi ingat, kau tidak boleh kehilangan akal. Kau lihat batu padas di pinggir padukuhan itu?”

“Sebesar kerbau itu?”

“Ya. Batu itu adalah batu padas yang tentu tidak terlampau keras. Berusahalah mendapat kesempatan. Pecahkan batu padas itu dengan tanganmu, sehingga dengan demikian maka kita akan menemukan perkembangan baru di arena itu.”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia harus melakukan permainan yang aneh. Tetapi ia dapat mengerti, bahwa dengan demikian ada kemungkinan bahwa persoalannya akan bergeser.

Demikianlah, maka beberapa orang anak muda yang marah, telah berteriak-teriak, bagaikan memecahkan selaput telinga. "Marilah kita buat arena. Minggir, kita akan melihat, apakah benar-benar mereka bukan manusia biasa.”

Dan yang lain berteriak pula, “Kita pilih tempat yang paling baik.”

“Tidak perlu di tempat yang jauh” Mahisa Agni lah yang menjawab, “Kita buat arena di sini. Pinggir padukuhan itu cukup luas untuk melakukan perkelahian antara anak muda di antara kami dengan siapa pun dari kalian, dua atau tiga orang. Bahkan lebih dari itu, supaya kalian mendapat gambaran kekuatan kami yang sebenarnya.”

“Persetan.”

Anak-anak muda itu pun segera mendesak orang-orang yang sedang berkerumun, seolah-olah mereka tanpa sadar telah menyiapkan sebuah arena.

Namun dalam pada itu Mahisa Bungalan berdesis, “Bagaimana jika mereka memiliki kemampuan yang tinggi, sehingga aku harus mengerahkan segenap kemampuan dan dengan demikian harus ada korban, karena jika tidak demikian, aku sendirilah yang akan menjadi korban?”

“Kau akan dapat membuat perhitungan. Tetapi sejauh jauhnya kau harus menghindari korban.”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa ragu-ragu juga untuk melakukannya. Tetapi itu agaknya adalah cara yang paling baik. Dan dengan demikian ia akan dapat sekedar melepaskan ketegangan.

Sejenak kemudian, maka beberapa orang telah berdiri dalam sebuah lingkaran. Tetapi adalah mendebarkan sekali, bahwa batu padas itu justru dipergunakan oleh beberapa orang untuk berdiri agar mereka dapat melihat, perkelahian itu dengan baik.

Sejenak Mahisa Bungalan justru tertegun diam. Ia mencoba mencari jalan, bagaimanakah sebaiknya yang akan dilakukan. Tetapi Mahisa Bungalan tidak banyak mendapat kesempatan. Beberapa orang anak muda telah berteriak, “Kemarilah. Siapakah di antara kalian bertiga yang akan memasuki arena.”

Mahisa Agni dan Witantra berpandangan sejenak. Kemudian, “biarlah yang termuda diantara kami memasuki arena. Ia adalah orang yang terlemah diantara kami bertiga meskipun mungkin tenaga jasmaniahnya masih utuh. Biarlah ia mendapat dua atau tiga lawan dari anak-anak muda yang terkuat di padukuhan ini.”

Kata-kata Mahisa Agni itu benar-benar telah membakar hati setiap anak muda. Karena itu, seorang yang bertubuh kekar meloncat ke arena, hampir bersamaan dengan salah seorang anak Ki Buyut dari ujung bukit.

“Biar aku sajalah yang membunuhnya di arena ini.” Desis yang bertubuh kekar

“Lepaskan anak itu” berkata anak Ki Buyut, “akulah yang akan mengatakan kepadanya dengan perbuatan, bahwa ia telah kehilangan kesempatan untuk meninggalkan padukuhan ini.”

Ternyata anak Ki Buyut itu memiliki perbawa yang besar, sehingga anak muda bertubuh kekar itu meninggalkan arena.

“Kemarilah” Geram anak Ki Buyut.

“Nah” Berkata Mahisa Agni kepada Mahisa Bungalan, “Majulah. Dan berhati-hatilah. Kau tidak boleh bersenjata”

Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Tetapi ia pun kemudian bertanya, “Senjata yang mana paman?”

Mahisa Bungalan memang membawa sebilah keris yang lebih mirip dengan perhiasan, karena keris itu tetap di punggung meskipun keadaan sudah demikian tegangnya. Beberapa orang padukuhan yang membawa keris, lelah memutar kerisnya sehingga hulunya berada di dada mereka.

Mahisa Agni mengulurkan tangannya tanpa menjawab pertanyaan Mahisa Bungalan. Dan betapapun keragu-raguan mencengkam dadanya, namun Mahisa Bungalan pun kemudian menarik keris di punggungnya dan menyerahkannya kepada Mahisa Agni

Anak Ki Buyut yang melihat Mahisa Bungalan menyerahkan kerisnya menjadi termangu-mangu. Ia membawa sebilah keris yang besar yang hulunya mencuat di atas pundaknya. Tetapi karena Mahisa Bungalan telah meletakkan senjatanya, apakah ia pun menjadi ragu-ragu.

“Jika kau memerlukan senjatamu, janganlah kau letakkan” berkata Mahisa Agni kepada anak Ki Buyut itu.

Tetapi justru karena itu maka anak muda itu merasa tersinggung dan dengan serta merta ia menarik kerisnya dan melemparkan kepada adiknya, “Pegangilah.”

Adiknya dengan tangkas menangkap keris itu. Namun rasanya ia menjadi heran, bahwa kakaknya telah melepaskan senjata di punggungnya justru pada saat ia menghadapi lawan yang disangkanya sangat licik dan kejam. Tetapi jika ia mencoba memperingatkan kakaknya, maka kakaknya tentu akan merasa tersinggung karenanya.

“Apakah hanya seorang saja yang akan memasuki arena?” Bertanya Mahisa Agni.

Beberapa orang anak muda menggeram. Tetapi mereka tidak menjawab. Yang menjawab adalah anak Ki Buyut yang berada di arena, “Jika anak ini dapat membunuhku, maka akan tampil dua orang di arena. Dan jika yang dua itu terbunuh, akan tampil empat orang. Demikian seterusnya.”

Tiba-tiba saja di luar sadarnya, bulu tengkuk Mahisa Bungalan meremang. Bukan karena ia takut menghadapinya, tetapi apakah jika benar-benar harus demikian, akan berarti kematian yang berturut-turut akan memenuhi arena itu? Justru karena itulah maka Mahisa Bungalan teringat pesan pamannya, “Jangan menimbulkan korban.”

Mahisa Bungalan menarik nafas. Dengan ragu-ragu ia melangkah maju memasuki arena yang menjadi terang di bawah cahaya obor di seputarnya.

“Mulailah anak setan” geram anak Ki Buyut, “meskipun aku bukan, orang dari padukuhan ini, tetapi aku merasa wajib untuk membunuhmu, karena akulah yang telah menangkapmu dan membawanya kemari.”

Mahisa Bungalan sama sekali tidak menjawab. Sekilas ditatapnya batu padas yang masih saja menjadi alas beberapa orang yang berdiri di pinggir arena itu

“He, kenapa kau tiba-tiba jadi bisu” geram anak Ki Buyut itu.

Mahisa Bungalan memandanginya sejenak, lalu, “Aku. berkelahi dengan tubuhku, tidak dengan mulutku.”

Jawaban itu sangat menyakitkan hati anak Ki Buyut itu. Karena itu, maka langsung ia pun meloncat menyerang. Mahisa Bungalan yang masih belum mengetahui kekuatan lawannya sama sekali, tidak mau membentur serangan itu. Jika ia salah hitung, maka serangan itu akan dapat berbahaya baginya, atau langsung membahayakan lawan itu sendiri. Karena itulah maka ia pun mengelakkan dengan sebuah langkah ke samping. Namun dengan telapak tangannya ia mencoha menyentuh kaki lawannya untuk sekedat mengetahui, apakah serangan itu cukup berbahaya.

Mahisa Bungalan adalah seorang anak muda yang memiliki pengalaman yang cukup. Karena itu, maka sentuhan tangannya itu, seolah-olah telah dapat menunjukkan kepadanya, bahwa sebenarnyalah tingkat ilmu anak Ki Buyut itu barulah pada tingkat tata gerak dasar dari olah kanuragan meskipun nampaknya cukup garang, dengan kekuatan wantah tubuhnya. Dengan demikian maka Mahisa Bungalan dapat menempatkan dirinya dalam perlawanannya atas anak muda itu.

Di dalam cahaya obor yang kemerah-merahan, maka perkelahian itu pun menjadi semakin cepat. Anak Ki Buyut yang marah itu mengerahkan segenap kemampuan yang ada, sementara Mahisa Bungalan hanyalah sekedar mengimbanginya. Namun untuk memberikan kesan kelebihannya, maka ia ingin mengakhiri perkelahian itu dengan cepat.

Namun sekilas teringatlah ia kepada pesan Mahisa Agni untuk menghantam padas yang justru menjadi alas berdiri beberapa orang di seputar arena itu. Karena itulah, maka ia pun berkelahi sambil mencari akal, agar orang-orang yang berdiri di atas dan sebelah menyebelah batu padas itu menyingkir. Tetapi sebelum ia menemuakn cara itu, maka ia pun masih saja melayani anak Ki Buyut itu. Dengan mudahnya ia dapat menghindari setiap serangan- Bahkan kadang-kadang seolah-olah ia tidak beranjak sama sekali dari tempatnya.

Orang yang berkerumun di seputar arena itu, menjadi heran. Perkelahian itu semakin lama tidak menjadi semakin sengit, meskipun mereka mengerti, bahwa anak Ki Buyut itu menjadi semakin garang. Tetapi lawannya dengan hampir tidak berbuat apa-apa, dengan mudahnya dapat mengimbanginya. Semua serangan anak Ki Buyut itu seolah-olah tidak berarti sama sekali.

Anak Ki Buyut itu mula-mula kurang menyadari keadaannya. Ia mula-mula menyangka, bahwa ia belum saja berhasil mengalahkan lawannya, tetapi lawannya juga tidak berhasil mengalahkannya. Bahkan menyentuhnya dengan serangan. Tetapi kemudian ia menyadari, bahwa lawannya itu tampaknya tidak sedang bersungguh-sungguh.

Orang-orang yang berada di sekeliling arena itu pun menjadi semakin heran. Anak muda di antara ketiga orang berkuda itu tidak berusaha menimbulkan korban sama sekali, bahkan setelah ia dibiarkan turun dalam arena perang tanding tanpa senjata.

Dalam pada itu, ternyata Mahisa Bungalan telah mendapat cara yang paling baik untuk menghantam batu padas itu. Dengan demikian, maka tiba-tiba saja ia menjadi garang. Ia mendesak lawannya ke arah batu padas itu. Namun kemudian dengan serangan yang berputaran ia menyerang anak Ki Buyut itu dari arah yang berbeda-beda, sehingga anak Ki Buyut itu benar-benar menjadi bingung.

Dengan demikian, maka orang-orang yang ada di sekitar batu padas itu pun segera menyibak. Bahkan beberapa orang yang berdiri di atas batu padas itu pun segera berloncatan dan berlari-lari menjauh. Ternyata Mahisa Bungalan dapat mempergunakan saat itu sebaik-baiknya. Ketika orang-orang sudah menyibak, maka ia pun segera mengambil keputusan untuk melakukan pesan Mahisa Agni itu.

Ketika ternyata kemudian anak Ki Buyut itu berdiri terlampau dekat dengan batu padas itu, Mahisa Bungalan pun meloncat dengan sigapnya mendorongnya beberapa langkah ke samping, sehingga anak Ki Buyut itu kehilangan keseimbangan dan jatuh bergulingan di tanah.

Pada saat itulah, Mahisa Bungalan mempersiapkan diri dengan segenap kemampuannya. Dengan garangnya ia berdiri pada kedua kakinya yang sedikit merendah pada lututnya. Satu kakinya agak di depan, sedang kedua tangannya bersilang di depan dadanya.

Yang dilakukan itu hanyalah berlangsung beberapa saat saja. Sedang sekejap kemudian, maka Mahisa Bungalan pun telah meloncat ke arah batu padas itu. Untuk memberikan tekanan dan suasana yang lebih mencengkam, maka Mahisa Bungalan pun berteriak dengan suara yang serasa memecahkan jantung.

Sesaat kemudian setiap orang di sekeliling arena itu benar-benar telah dicengkam oleh peristiwa yang tidak pernah mereka bayangkan dapat terjadi. Darah mereka rasa-rasanya telah membeku di dalam dada. Dalam keremangan cahaya obor, mereka melihat Mahisa Bungalan yang berteriak nyaring itu meloncat seperti lidah api di langit. Sambil mengayunkan tangannya ia bagaikan menerkam batu padas di hadapannya.

Yang terdengar adalah suara ledakan yang tidak begitu keras akibat benturan. Dan yang mereka saksikan hampir tidak masuk di akal mereka, bahkan beberapa orang seolah-olah tidak dapat mempercayai penglihatannya. Batu padas yang sudah terletak di tempat itu berpuluh-puluh tahun itu pun telah pecah berserakan. Debu yang putih mengepul ke udara, dan hanyut didera oleh angin malam yang dingin, sedingin darah orang-orang yang kebingungan melihat peristiwa yang rasanya telah memecahkan jantung mereka masing-masing

Ketika mereka menyadari keadaan yang telah terjadi itu, dan debu yang putih telah tersapu bersih, mereka melihat Mahisa Bungalan itu berdiri tegak menghadap ke arah anak Ki Buyut yang sudah berdiri pula. Tetapi tiba-tiba saja kakinya menjadi gemetar, dan keberaniannya pun bagaikan larut seperti debu putih yang terhapus oleh angin itu.

Mahisa Bungalan memandang kepada orang-orang yang berdiri di sekelilingnya. Tiba-tiba saja terdengar suaranya mengguruh, “Nah, kalian lihat, apa yang dapat aku lakukan. Jika tanganku itu sengaja aku arahkan ke tubuh kalian, maka kalian akan dapat membayangkan apa yang telah terjadi.”

Berpasang-pasang mata memandangnya tanpa berkedip. “Nah, siapakah yang merasa dirinya cukup kuat untuk menangkis pukulanku?”

Suasana yang semula gemuruh oleh kemarahan orang-orang padukuhan itu, tiba-tiba seperti dicengkam oleh kesenyapan yang mati. Tidak seorang pun yang berani menyahut tantangan itu. Bahkan untuk bernafas pun rasa-rasanya mereka sangat berhati-hati agar tidak didengar oleh Mahisa Bungalan.

Mahisa Agni dan Witantra saling berpandangan sejenak. Ternyata cara itu berhasil menghindarkan korban, meskipun agaknya merupakan kesombongan yang cukup besar. Namun Mahisa Bungalan yang masih muda itu ternyata tidak dapat menahan hati lagi. Kejengkelan, kemarahan yang bercampur baur di dalam dadanya, rasa-rasanya masih memerlukan penyaluran lagi. Darah mudanya yang sudah terlanjur mendidih masih menuntut peledakan yang mengejut untuk mengurangi ketegangan jiwanya.

Karena itu, Witantra dan Mahisa Agni terkejut ketika mereka melihat Mahisa Bungalan sekali lagi memusatkan kekuatannya ditangannya. Demikian cepatnya, sehingga sebelum Mahisa Agni dan Witantra berbuat sesuatu. Mahisa Bungalan telah meloncat sekali lagi. Yang menjadi sasarannya kemudian bukanlah batu padas yang sudah menjadi debu itu, tetapi dinding padukuhan itu sendiri yang terbuat dari batu yang tersusun.

Sekali lagi orang-orang yang berada di sekitarnya terkejut dan rasa-rasanya mereka menjadi sangat kecil di hadapan anak muda itu. Sekali lagi terdengar benturan kekuatan Mahisa Bungalan dengan dinding batu padukuhan itu. Yang kemudian disusul oleh gemuruhnya dinding itu pecah dan berguguran. Bukan saja yang disentuh tangan Mahisa Bungalan, tetapi getarannya telah meruntuhkan dinding itu antara tiga atau empat langkah.

Mahisa Agni dan Witantra menarik nafas dalam-dalam. Mereka menyadari, bahwa Mahisa Bungalan menjadi terlalu tegang karena perlakuan yang agak berlebih-lebihan atasnya. Untunglah bahwa Mahisa Bungalan masih .menyadari sepenuhnya dan berhasil menyalurkan ketegangan itu tanpa menimbulkan korban jiwa.

Sesaat kemudian, selagi kecemasan dan ketakutan mencengkam semua orang yang ada di sekitar tempat itu, Mahisa Bungalan meloncat ke atas dinding yang masih berdiri tegak di sebelah guguran karena pukulannya itu.

Dengan suara lantang ia berkata, “Ki Sanak semuanya dari padukuhan yang manapun juga yang ada di tempat ini. Aku tidak mempunyai cara lain untuk meyakinkan kalian, bahwa kami bukanlah tiga orang pembunuh seperti yang pernah dilakukan oleh tiga orang yang terlebih dahulu telah sampai di tempat ini. Jika kami tidak melawan kalian dengan langsung itu adalah karena kami ingin menunjukkan perbedaan antara kami dan orang-orang yang kalian katakan, meskipun jika terpaksa, kalian masih saja ingin menangkap dan membunuh kami, maka kami harus membela diri dengan kemampuan yang ada pada kami. Jika ternyata kemudian kami harus berkelahi, maka aku kira bahwa kami tentu akan membunuh bukan saja hanya dua atau tiga, bahkan lima belas, tetapi puluhan. Aku sendiri sanggup membunuh lebih dari sepuluh orang di antara kalian. Dan kedua pamanku itu masing-masing akan dapat membunuh lima puluh orang. Nah, cobalah bayangkan, bencana apakah yang akan menimpa padukuhan ini jika kalian tetap bersikap bodoh”

Ketakutan yang sangat ternyata telah mencengkam orang-orang yang berada di tempat itu. Kedua orang Buyut dari padukuhan di sisi hutan dan dari padukuhan di ujung Bukit itu pun serasa menggigil segenap tubuhnya. Ketakutan, kecemasan dan penyesalan saling berbenturan di dalam diri mereka. Demikian anak-anak Ki Buyut dari padukuhan di ujung bukit yang merasa diri mereka tidak terkalahkan.

Selama ini mereka hanya melihat, betapa dahsyatnya bekas prajurit Tumapel itu memainkan pedang. Namun mereka tidak pernah melihat kekuatan yang lain, yang jauh lebih dahsyat dari kemampuan prajurit itu, yang tersebar di luar padukuhan mereka. Dan kini ternyata bahwa kemampuannya itu sama sekali tidak berarti dibandingkan dengan kemampuan ketiga orang itu.

“Nah Ki Sanak” berkata Mahisa Bungalan, “Apakah yang sekarang ingin kalian lakukan? Apakah kalian masih tetap akan menangkap kami dan menjatuhkan hukuman picis?”

Tidak seorang pun yang menjawab.

“Cobalah perhatikan” Berkata Mahisa Bungalan, “Jika yang datang kemudian bukannya kami bertiga, tetapi orang lain yang juga kebetulan bertiga, tetapi sama sekali tidak mempunyai sangkut paut dengan ketiga orang yang datang lebih dahulu, apakah kira-kira yang akan terjadi atas mereka? Jika mereka adalah petani-petani yang dalam perjalanan menengok keluarganya yang sakit di tempat yang jauh, atau dengan tergesa-gesa ingin pulang karena anaknya sakit keras menurut berita yang didengarnya, sedangkan mereka itu kalian tangkap di sini dan kalian jatuhi hukuman picis, cobalah bayangkan. Anaknya menangis di rumah merindukan ayahnya, sedang ayahnya tanpa bersalah tergantung di tiang kayu yang tertanam di simpang empat mengalami hukuman picis.”

Wajah-wajah di sekitar tempat itu pun menjadi tegang

“Itukah yang kalian tuntut dari dendam yang membara di hati kalian karena kalian merasa bahwa perikemanusiaan sudah diinjak-injak oleh ketiga orang yang tidak kalian kenal itu? Dan apakah perbuatan kalian itu juga dapat disebut perbuatan yang biadab tanpa mengenal perikemanusiaan?”

Suasana yang sepi itu pun terasa, menjadi semakin sepi. Dan sinar obor, rasa-rasanya mereka sedang melihat Wajah-wajah sendiri. Beberapa orang menundukkan wajahnya dalam-dalam. Mereka tidak berani dengan tengadah menatap sorot mata. Mahisa Bungalan yang meskipun tidak tertuju kepadanya. Rasa-rasanya mata anak muda itu memantulkan cahaya obor dengan cahaya yang berlipat ganda, menusuk langsung ke dalam lubuk hati.

“Nah, sekarang apa yang akan kalian lakukan? Apakah aku harus memecah seluruh dinding batu yang melingkari padukuhan ini, atau masih harus berperang tanding melawan siapa pun juga?”

Tidak ada jawaban sama sekali. Yang terdengar kemudian hanyalah suara angin malam yang berdesah di dedaunan, seakan-akan tanpa menghiraukan apa yang sedang terjadi di ujung padukuhan itu.

Dalam kesenyapan itu, Ki Buyut dari padukuhan di pinggir hutan itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian selangkah ia maju ke arah Mahisa Bungalan. Dengan nada yang dalam ia pun kemudian berkata, “Anak muda yang perkasa. Adalah terlampau sulit untuk melihat kesalahan sendiri. Tetapi biarlah aku yang tua ini mencoba untuk mengakui, betapa bodohnya kami semuanya. Rasa-rasanya yang kau lakukan adalah semacam pengakuan di hati kami masing-masing. bahwa kami tidak lebih dari orang-orang yang dungu dan sombong. Dalam saat-saat yang demikian, kami baru menyadari, alangkah gilanya angan-angan kami yang diwarnai oleh dendam yang tiada taranya.”

“Ketahuilah” Berkata Mahisa Bungalan kemudian, “Agaknya tiga orang yang datang lebih dahulu dari kami adalah orang-orang dari perguruan ilmu hitam. Mereka telah melakukan perbuatan terkutuk dimana-mana. Namun dendam yang membakar hati kalian akan menumbuhkan akibat yang tidak kalah terkutuknya dengan perbuatan orang-orang berilmu hitam itu”

Ki Buyut dari padukuhan di tepi hutan itu mengangguk-angguk. Selangkah ia maju lagi dan berkata, “Sekarang kami menyerahkan semua persoalan kami kepadamu anak muda. Apapun yang kau anggap baik, kami akan menganggapnya baik pula, meskipun itu akan berarti hukuman bagi kami sekalian.”

“Aku tidak berhak menghukum siapa pun. Jika hukuman itu dimaksudkan untuk melepaskan dendam dan kepuasan oleh nyala api kebencian, maka hukuman itu tidak akan berarti apa-apa. Hukuman seharusnya diberikan untuk menghapuskan kesalahan dari diri seseorang. Maksudnya, agar orang itu jera melakukan kesalahan dan kembali mencari jalan yang benar dengan sadar” Mahisa Bungalan berhenti, “Tetapi hal serupa itu tidak harus kalian lakukan dengan menjalani hukuman. Kesadaran akan kesalahan dan penyesalan adalah hukuman yang paling baik. Kemudian bertaubat dan tidak akan melakukannya sekali lagi. Nah, apakah kalian telah bersiap untuk berbuat demikian?”

Ki Buyut termenung sejenak. Lalu, “Alangkah sulitnya untuk menguasai perasaan sendiri. Tetapi biarlah kami mencobanya. Melihat kesalahan diri, menyesali dan bertaubat. Kami tidak akan lagi dengan tergesa-gesa menimpakan kesalahan kepada orang lain yang tidak pasti demikian.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baiklah. Kita akan melihat bersama-sama. Meskipun mungkin di hari mendatang kami tidak akan melalui daerah ini, tetapi daerah ini akan tetap menjadi perhatian pimpinan pemerintahan di Singasari. Seperti yang sudah kami katakan, kami bertiga adalah hamba istana Singasari. Karena itu, jika kami melakukan tindakan apa saja atas nama jabatan kami, maka kami tentu akan dibenarkan oleh pimpinan pemerintahan di Singasari.”

Penjelasan itu membuat setiap orang semakin berdebar-debar. Bahkan anak Ki Buyut dari ujung bukit, seolah-olah terbungkam dan tidak mengetahui, apakah yang harus dilakukannya.

“Nah, jika kalian telah berhasil melihat diri sendiri, maka kami akan segera meninggalkan tempat ini.” berkata Mahisa Bungalan” kembalilah ke rumah masing-masing dan cobalah mengerti apa yang aku katakan. Sebenarnyalah bahwa aku pun seakan-akan telah dicengkam oleh kesesatan nafas karena rasanya dada ini akan retak oleh kemarahan dan gejolak perasaan. Perlakuan kalian atas kami benar-benar membuat darahku mendidih. Untunglah bahwa aku berjalan dengan orang-orang tua yang dapat menenangkan gejolak perasaanku. Jika tidak, maka mungkin aku sudah berbuat lain dari yang aku lakukan, karena aku pun masih cukup muda untuk dikuasai oleh panasnya hati.”

Dalam pada itu, Ki Buyut dari padukuhan di ujung bukit pun tampil sambil berkata dengan suara gemetar, “Ampuni kami. Apalagi setelah kami yakini bahwa anak muda adalah benar hamba istana. Kami akan mempersilahkan anak muda dan kedua kawan anak muda itu untuk bermalam di rumah kami seperti yang semula anak muda kehendaki.”

Sepercik keseganan melonjak di hati Mahisa Bungalan. Seperti anak-anak yang merajuk ia menjawab, “Malam sudah menjadi semakin larut. Jika kami kembali ke rumah Ki Buyut, maka akan segera datang fajar yang merah. Kapankah kami sempat beristirahat malam ini? Istirahat itulah yang kami ingini sehingga kami singgah di padukuhanmu, dan kemudian mengalami perlakukan yang sangat buruk.”

“Kami minta maaf” Ulang Ki Buyut.

Mahisa Agni dan Witantra hanya menarik nafas saja melihat kelakuan Mahisa Bungalan. Tetapi seperti yang dikatakan nya, maka malam memang sudah menjadi semakin larut.

“Jika demikian” sahut Ki Buyut dari padukuhan di pinggir hutan, “apakah anak muda bertiga akan beristirahat saja di padukuhan ini? Meskipun padukuhan ini pun telah sangat mengecewakan anak muda.”

Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Namun nampak bahwa ia berusaha untuk menangkap kesan dari wajah Mahisa Agni dan Witantra yang kemerahan kena sinar obor.bNamun dari wajah-wajah yang tidak begitu jelas itu, Mahisa Bungalan tidak tahu pasti, apakah yang dikehendaki oleh Mahisa Agni dan Witantra.

Dalam keragu-raguan, maka Mahisa Bungalan pun kemudian berkata, “Bagi kami tidak ada bedanya, tidur dan beristirahat dimana pun juga. Bahkan kami dapat juga beristirahat di tengah-tengah bulak sekalipun.”

“Kami mempersilahkan anak muda bertiga untuk beristirahat di rumah kami.” Ki Buyut dari padukuhan di ujung hutan menegaskan.

Tetapi Mahisa Bungalan tetap saja menggeleng, “Tidak. Tetapi jika kalian mempunyai banjar padukuhan, kami akan tidur di banjar, meskipun sekejap lagi fajar akan menyingsing."

“Ah” jawab Ki Buyut, “kalian adalah tamu-tamu kami. Sebaiknya kalian bermalam di rumah kami.”

“Jika kita akan bertengkar terus, maka sampai malam berikutnya aku tidak akan sempat beristirahat. Nah, jika kalian sependapat, tunjukkanlah kepada kami banjar padukuhan kalian. Jika tidak, kami akan melanjutkan perjalanan, dan tidur di pematang.”

“Baiklah, baiklah anak muda” berkata Ki Buyut, “marilah. Aku akan menunjukkan letak banjar padukuhan kami yang buruk itu.“

Demikianlah maka Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra pun segera mengikuti Ki Buyut dari padukuhan di sebelah hutan itu pergi ke banjar. Banjar itu memang tidak besar dan terbuat dari bahan yang sederhana. Dinding bambu wulung yang berwarna ungu menyekat banjar itu. sehingga merupakan bilik-bilik kecil di bagian belakang.

“Inilah banjar padukuhan kami” berkata Ki Buyut.

“Bagus sekali. Dan kami akan tidur di pendapa banjar."

“Kami akan membersihkan bilik-bilik itu.”

“Kami akan tidur di pendapa.” Ulang Mahisa Bungalan tegas.

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya, “Baiklah anak muda. Biarlah seseorang membersihkan pendapa itu.”

Sejenak kemudian, maka seorang anak muda membawa beberapa helai tikar naik ke pendapa :dan dengan tergesa-gesa membersihkan debu dengan sapu ijuk. Kemudian dibentangkannya tikar pandan yang dibawanya masing- masing diberinya rangkap.

“Terima kasih” berkata Mahisa Bungalan yang kemudian menambatkan kudanya pada sebatang pohon perdu di halaman pendapa itu, “aku akan tidur.”

“Kami sedang menjerang air dan menanak nasi.” Desis anak muda yang membentangkan tikar itu.

“Aku akan tidur” Ulang Mahisa Bungalan seolah-olah tidak mendengarkan kata-kata anak muda itu, “jangan bangunkan aku sebelum aku bangun dengan sendirinya.”

“Bagaimana jika nasi masak?” bertanya anak muda itu

“Kau dengar? Jangan bangunkan kami.”

Anak muda itu menjadi bingung, sedang Mahisa Agni dan Witantra menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ketika ada kesempatan Witantra berbisik, “Bungalan, aku lapar. Kenapa kau tidak mau dibangunkan?”

“Aku tidak percaya” jawab Mahisa Bungalan, “paman Witantra dapat bertahan tiga hari tiga malam pati geni tanpa terisi oleh secuwil makanan dan setetes air sekalipun.”

Witantra tersenyum. Namun katanya. "Tetapi bagi sanak padukuhan Mahisa Bungalan, jika kita menolak jamuan yang mereka hidangkan, apalagi setelah mereka dengan tergesa-gesa menyiapkan, maka hati mereka rasa-rasanya telah disakiti”

“Tetapi apakah mereka tidak menyadari, bahwa mereka pun telah menyakiti hatiku? Hati paman Wirantra dan paman Mahisa Agni.”

Witantra mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi kau membalas sakit hatimu dengan cara menyakiti hati mereka pula?”

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia bertanya, “Jadi bagaimana maksud paman?”

“Kalau mereka ingin membangunkan kami, biarlah mereka melakukannya. Dengan begitu kita tidak membuat hati mereka sakit. Apalagi jika mereka tahu, bahwa sikapmu itu adalah sikap seseorang yang sedang merajuk.”

“Ah” Mahisa Bungalan menjadi tegang. Tetapi Witantra dan Mahisa Agni justru tertawa karenanya.

Mahisa Bungalan pun kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Terserahlah kepada paman. Tetapi aku sudah terlanjur mengatakan kepada anak muda itu, bahwa aku tidak mau mereka bangunkan.”

“Terserahlah kepada mereka,” berkata Mahisa Agni kemudian, “apakah mereka akan membangunkan kita atau tidak. Jika mereka memang berhasrat membangunkan kita, kita akan bangun. Jika tidak, tentu saja kita tidak dapat berbuat apa-apa, karena Mahisa Bungalan memang sudah terlanjur mengatakannya.”

Mahisa Bungalan hanya bisa mengangguk kecil. Tapi agaknya ia masih tetap menyimpan kejengkelan dalam hatinya Tanpa membersihkan diri, ia langsung membaringkan dirinya di atas tikar itu.

“Kau tidak mandi?” bertanya Mahisa Agni.

“Jika kau mandi, aku tidak akan beristirahat. Biarlah, nanti jika fajar mulai mewarnai langit, aku akan bangun dan mandi dua kali lipat.”

Mahisa Agni tertawa. Kejengkelan Mahisa Bungalan ternyata membuatnya justru seperti sedang bergurau. Namun Mahisa Bungalan benar-benar tidak bangkit lagi. Bahkan ia meluruskan kakinya dan memejamkan matanya tanpa menghiraukan apapun lagi.

Mahisa Agni dan Witantra ternyata tidak berbuat seperti Mahisa Bungalan. Mereka berdua pergi juga ke sumur untuk mencuci tubuhnya yang kotor oleh keringat dan debu. Bahkan kemudian mereka pun tidak segera berbaring seperti Mahisa Bungalan. Untuk beberapa saat lamanya mereka masih duduk dan bercakap-cakap.

Dalam pada itu, meskipun Mahisa Bungalan sudah berbaring pula, tetapi sebenarnya ia belum tertidur pula. Bahkan rasa-rasanya ia ingin memaksa agar kedua pamannya itu pun segera berbaring dan tertidur.

Tetapi Mahisa Agni dan Witantra justru masih saling berbicara beberapa lamanya. Ternyata bahwa Mahisa Agni dan Witantra masih cukup lama duduk berbicara di atas tikar pandan itu, sehingga kemudian seorang anak muda mendekatinya untuk mempersilahkan mereka makan.

“Anak muda keparat itu lagi” desis Mahisa Bungalan, “Dan agaknya kedua paman itu sengaja menunggu anak muda itu untuk mempersilahkan. Tetapi aku tidak akan bangun dan pergi kemanapun juga untuk makan.”

Tetapi di luar dugaan Mahisa Bungalan, maka Mahisa Agni pun menjawab, “Maaf Ki Sanak. Kami sudah sangat lelah, sehingga kami tidak akan ingin berjalan lagi meskipun hanya selangkah. Sementara itu, biarlah persediaan itu kami makan besok pagi saja. Bukannya kami tidak bersedia menerima kemurahan hati Ki Buyut, tetapi hanya sekedar menunda beberapa lama lagi, karena sebenarnyalah malam pun akan segera digeser oleh kemerahan fajar.”

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Apakah kami harus membawanya kemari Ki Sanak?”

“Itu pun tidak perlu. Biarlah kami yang akan datang. Tetapi tidak sekarang. Nanti pagi-pagi benar kami akan datang ke rumah Ki Buyut sebelum kami meneruskan perjalanan."

Orang itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah Ki Sanak. Kami akan menyampaikannya kepada Ki Buyut."

Ketika anak muda itu pergi, maka Mahisa Bungalan berdesis, “Apakah paman tidak menyakiti hatinya.” “Aku tidak menolak. Aku hanya minta ditunda saja sampai besok”

“Jika demikian, sekarang tidurlah. Nanti sebentar lagi tentu Ki Buyut sendirilah yang akan datang kemari untuk memaksa paman berdua pergi kerumahnya. Tentu paman berdua tidak akan dapat menolaknya.”

Mahisa Agni tersenyum. Jawabnya, “Mudahkan dugaanmu itu tidak benar.”

Tetapi belum lagi Mahisa Agni mengatupkan mulutnya, Mahisa Bungalan sudah menyahut, “Kita bertaruh.”

Witantra lah yang menyahut, “Apakah taruhanmu?”

“Sisa malam ini."

“Maksudmu?”

“Jika aku benar, maka aku akan tidur nyenyak, dan paman berdua harus berjaga-jaga sampai pagi. Tetapi jika aku salah, maka akulah yang akan bangun sampai kita meninggalkan padukuhan ini besok.”

Mahisa Agni dan Witantra tertawa. “Baiklah Mahisa Bungalan” berkata Mahisa Agni, “kita mempertaruhkan sisa malam ini.”

Tetapi belum lagi Mahisa Agni mengakhiri kata-katanya, seperti yang diduga oleh Mahisa Bungalan, maka Ki Buyut pun lelah naik ke pendapa pula.

“Kenapa kalian tidak mau menerima tanda terima kasih kami?” Bertanya Ki Buyut.

“Ha” bisik Mahisa Bungalan, “paman akan berjaga-jaga semalam suntuk.”

Mahisa Agni memandanginya sejenak sambil tersenyum. Namun jawabnya kemudian, “Bukan menolak Ki Buyut. Tetapi sebenarnyalah bahwa aku sangat berterima kasih atas pemberian itu. Namun, baiklah kiranya tanda terima kasih itu dapat kami terima besok pagi.”

“Mumpung nasi masih panas.”

“Terima kasih Ki Buyut. Anak muda itu sudah tertidur.”

“Apakah Ki Sanak tidak dapat membangunkannya sejenak?”

“Anak itu jika sudah tidur seperti juga jika ia berkelahi. Tetapi kami sama sekali tidak menolak. Besok di saat fajar mulai merah, aku akan menerima semuanya dengan senang hati.”

“Tetapi sudah dingin” Sahut Ki Buyut.

Mahisa Agni memandang Witantra sejenak. Namun kemudian katanya, “Terima kasih Kiai. Besok pagi-pagi benar, aku akan datang bersama kedua kawanku ini.”

“O, tentu Ki Sanak tidak usah pergi kemanapun juga. Kami akan mengirimkannya kemari”

“Kami tidak ingin membuat Ki Buyut menjadi bertambah sibuk.”

“Tentu tidak. Tentu tidak.”

Mahisa Agni tidak dapat menolaknya lagi, jika besok pagi-pagi benar ada beberapa orang membawa makan pagi. Sepeninggal orang itu, maka Mahisa Bungalan berkata perlahan-lahan, “Aku menang paman. Sisa-sisa malam ini adalah milikku sepenuhnya dan paman berdua akan berjaga-jaga semalam suntuk sebagai hasil kemenangan taruhan kami.”

Mahisa Agni dan Witantra tersenyum. Sejenak mereka memandang kegelapan. Kemudian Witantra pun berkata, “Ki Buyut masih ada di halaman. Jika ia melihat bahwa kau tidak benar-benar tidur, maka ia merasa dibohongi.”

"Ia sudah jauh. Ia tidak akan mendengar percakapan ini."

“Mungkin ia tidak mendengar. Tetapi dari kejauhan ia dapat melihat, sedang kita tidak dapat melihatnya di dalam pekatnya malam”

Mahisa Bungalan pun mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata, “Paman dapat mengatakan, bahwa aku ternyata telah terbangun.”

Mahisa Agni hanya tersenyum saja mendengarkannya. Tetapi kemudian ia pun memotong percakapan itu, “Nah, menurut taruhan yang sudah kita setujui, sekarang tidurlah. Biarlah kami tetap duduk dan bercakap-cakap saja di sini. Kami memang tidak mengantuk.”

“Terima kasih paman” Sahut Mahisa Bungalan sambil membetulkan letak kakinya.

Namun tiba-tiba ia pun bangkit sambil berkata, “Jadi paman berdua akan tetap duduk saja?”

“Ya, kenapa? Itu akan lebih baik daripada aku harus berbaring, jika demikian, mungkin kami berdua pun akan tertidur pula.”

“Ah, sebaiknya paman juga tidur. Jika paman duduk saja semalam suntuk, maka orang-orang padukuhan ini tentu akan selalu saja mengganggu dengan menawarkan segala macam makanan dan minuman.”

Mahisa Agni dan Witantra tertawa. Bahkan Witantra berkata, “Sebenarnyalah kami mengharapkannya. Apakah keberatanmu sebenarnya?”

“Harga diri paman.”

“Bukan harga diri. Tetapi kau benar-benar sedang merajuk."

“Ah,”

“Jadi apakah kami harus tidur?” tiba-tiba saja Mahisa Agni bertanya.

Mahisa Bungalan tertawa. Jawabnya, “Ya Paman berdua harus tidur seperti aku. Setidak-tidaknya berbaring.”

Keduanya pun tertawa pula. Witantra lah yang menjawab, “Baiklah. Kami akan berbaring dan tidur nyenyak di pendapa ini Mudah-mudahan orang berilmu hitam yang pernah datang kemari tidak mengganggu kami selagi kami masih tidur nyenyak"

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Namun katanya kemudian, “Aku tidak akan dapat tidur. Baiklah. Aku akan berjaga-jaga jika orang-orang berilmu hitam itu datang. Aku akan membunuh mereka dua kali lipat. Mereka sudah mengganggu padukuhan ini dan hampir saja menjerumuskan aku ke tiang hukuman picis.”

“Tetapi menurut perhitunganku mereka tidak akan kembali lagi” Berkata Mahisa Agni, “Setidak-tidaknya untuk waktu yang dekat ini.”

Mahisa Bungalan memandang kedua pamannya berganti-ganti seolah-olah ia ingin mendapat persamaan pendapat dari keduanya.

“Ya” Sahut Witantra kemudian, “Aku sependapat meskipun kita masih harus tetap berhati-hati.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berkata pula, “Silahkan tidur nyenyak paman. Aku tentu tidak akan dapat tidur malam ini. Udara panas, dan hatiku pun masih tetap hangat.”

Mahisa Agni dan Witantra berpandangan sejenak. Namun keduanya pun segera membaringkan dirinya di sebelah Mahisa Bungalan. Namun demikian, ternyata ketiga-tiganya tetap tidak memejamkan matanya. Rasa-rasanya mereka tidak akan dapat mengantuk lagi justru setelah mereka berbaring.

Di luar malam rasa-rasanya menjadi semakin dingin. Angin yang lembab berhembus menyentuh tubuh-tubuh yang terbaring diam, namun yang sama sekali tidak tertidur itu. Dalam pada itu Mahisa Bungalan yang gelisah tiba-tiba berdesis, “Ada dua tiga orang yang berkeliaran di halaman banjar ini paman?”

“Ya” jawab Witantra, “Tetapi mereka adalah peronda-peronda yang dikirim oleh Ki Buyut.”

“Dari mana paman mengetahuinya?”

“Sikapnya yang tenang dan langkahnya yang tetap. Jika mereka orang-orang jahat, maka langkah kakinya tentu memberikan kesan sikap yang berbeda.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Pamannya pun tentu hanya mendengar desir kaki dan tidak melihat orangnya karena pamannya pun masih saja berbaring memandang atap banjar itu. Tetapi dugaanya itu tentu tepat sekali, karena langkah yang didengar memang tidak mencerminkan kegelisahan.

Tetapi belum lagi mereka merasa mapan berbaring di atas tikar pandan itu, mereka telah mendengar suara ayam jantan yang berkokok menjelang fajar. Langit yang menjadi kemerahan telah menguakkan kegelapan yang pekat. Lamat-lamat pepohonan mulai nampak semakin jelas. Regol halaman banjar yang terbuka dan dua orang yang berdiri di muka regol. Sedang seorang yang lain, duduk di atas sebuah batu di ujung halaman.

Perlahan-lahan mereka melangkah keluar pintu. Demikian pula yang duduk itu pun berdiri dan melangkah pula keluar.

“Mereka meninggalkan halaman” desis Mahisa Bungalan.

“Kau memperhatikannya?” Bertanya Mahisa Agni, “Atau barangkali kau curiga?”

“Merekalah yang curiga,”

“Tentu tidak. Apakah yang dapat mereka lakukan?”

Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Dipandanginya orang yang melangkah semakin jauh dan kemudian hilang di balik pintu regol itu.

“Apakah kerja mereka sebenarnya?” Bertanya Mahisa Bungalan.

Mahisa Agni pun kemudian duduk di sebelah Witantra yang telah duduk pula. Sejenak ia memandang ke pintu regol yang terbuka. Lalu katanya, “mereka adalah peronda-peronda yang harus menjaga banjar ini, ada atau tidak ada kita disini.”

“O” Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.

Sejenak kemudian maka cahaya langit pun menjadi semakin cerah. Padukuhan itu pun menjadi terbangun pula dari tidur mereka yang gelisah. Orang-orang laki-laki di padukuhan itu, hampir tidak sempat pulang ke rumah masing-masing. Ada satu dua di antara mereka yang sekedar memberitahukan kepada keluarga mereka, apa yang telah terjadi, agar keluarga mereka tidak menjadi gelisah dan ketakutan.

“Jadi ada seorang yang dapat memecahkan batu padas itu hanya dengan tangannya saja?”

“Ya”

Dan kekaguman itu pun menjalar dari setiap mulut ke mulut yang lain. Dalam pada itu, Mahisa Agni dan Witantra pun segera pergi ke pakiwan untuk membersihkan dirinya, sementara Mahisa Bungalan nampaknya masih agak malas untuk bangun. Tetapi karena cahaya pagi yang semakin terang, maka ia pun kemudian bangkit pula dan menyusul kedua pamannya yang sedang membersihkan dirinya. Ketika mereka bertiga kembali ke pendapa, mereka telah dikejutkan oleh hadirnya beberapa orang yang membawa makanan dan minuman bagi ketiga orang yang mengagumkan itu.

“Bukankah kami tidak memerlukannya” Desis Mahisa Bungalan.

“Perlu atau tidak perlu, marilah kita menerimanya dengan hati terbuka. Kapankah sebenarnya kau mudah sekali dihinggapi perasaan sakit hati seperti itu?”

“Tingkah laku mereka sudah keterlaluan.”

“Ternyata mereka kini telah menyesal” Desis Witantra.

Mahisa Bungalan memandang Witantra sejenak, lalu katanya, “Baiklah paman. Tetapi perlakuan yang menyakitkan hatiku sekali lagi, tidak akan dapat aku maafkan”

“Begitu?” Bertanya Mahisa Agni.

Mahisa Bungalan. hanya menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak menyahut. Sejenak kemudian ketika Ki Buyut dan beberapa orang bebahu datang, maka mereka pun segera duduk berkeliling di atas tikar panjang. Ki Buyut dari ujung bukit itu pun hadir pula. Tetapi tidak dengan anaknya.

Hampir di luar sadarnya, Mahisa Bungalan pun bertanya, “Dimanakah putra-putra Ki Buyut itu?”

Ki Buyut mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun menjawab, “Mereka sudah mendahului pulang Ngger. Tetapi mereka berpesan, bahwa mereka mohon maaf atas kekeliruan yang telah mereka lakukan, seperti aku sendiri juga akan mohon maaf pula.”

Mahisa Bungalan terdiam sejenak. Dipandanginya wajah kedua pamannya berganti-ganti. Sekilas ia melihat senyum yang membayang di wajah kedua orang pamannya itu. Namun ia tidak segera dapat menjawab kata-kata Ki Buyut itu

Mahisa Agni lah yang kemudian berkata, “Ki Buyut. Yang telah lalu, baiklah kita melupakannya. Mudahkan untuk selanjutnya Ki Buyut dan seluruh penghuni padukuhan ini, maupun padukuhan di ujung bukit itu tidak segera bertindak sebelum persoalannya diketahui dengan pasti.”

Kedua Buyut itu mengangguk-angguk.

“Tetapi sebagai peringatan, bahwa masalahnya memang dapat membahayakan, padukuhan-padukuhan ini jangan meninggalkan kewaspadaan” Mahisa Agni berhenti sejenak, lalu, “Kami mengerti bahwa yang telah terjadi telah menggoncangkan sendi kehidupan di padukuban ini sehingga sikap kalian pun rasa-rasanya sukar dikendalikan. Tetapi kalian tidak dapat bertindak membabi buta seperti itu”

“Ya Ki Sanak. Sebenarnya karena ketakutan yang tidak tertahankanlah yang membuat kami kehilangan pengendalian diri.”

“Kami mengerti. Tetapi hampir saja orang lain kau kurbankan tanpa berbuat kesalahan apapun juga.”

“Itulah kekhilafan kami. Dan kami dengan ikhlas mohon maaf.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk Namun kemudian katanya, “Tetapi baiklah kami beritahukan bahwa sebenarnya kalian tidak akan dapat berbuat apa-apa jika ketiga orang yang telah merusakkan padukuhan ini tiba-tiba saja kembali ke daerah ini.”

“Kenapa? Pada saat itu kami benar-benar tidak menduga bahwa kekejian itu akan terjadi. Karena itulah maka agaknya kami tidak bersiaga melawannya.”

Mahisa Agni termangu-mangu sejenak. Namun ketika ia memandang wajah Witantra yang terangguk kecil, maka ia pun kemudian berkata, “Ketahuilah Ki Buyut, kedua-duanya, bahwa tiga orang yang membunuh dua orang di padukuhan ini dengan cara yang khusus itu adalah orang-orang yang disebut berilmu hitam.”

“He?” Orang-orang yang mendengarnya terkejut, “dari mana Ki Sanak mengetahuinya?” Bertanya Ki Buyut dari padukuhan di sebelah hutan.

Suasana pun kemudian menjadi tegang. Beberapa orang yang berada di tempat itu memandang Mahisa Agni dengan tajamnya.

“Kami mengetahui dari keterangan yang telah kalian berikan kepada kami. Kematian yang mengerikan dengan kulit yang tersayat bahkan seolah-olah terkelupas adalah pertanda yang paling meyakinkan, bahwa pembunuhnya adalah orang-orang berilmu hitam itu.”

Wajah-wajah yang nampak menjadi tegang telah menggelitik perasaan Mahisa Bungalan, sehingga tiba-tiba saja ia bertanya, “Apakah kalian mencurigai kami lagi hanya karena kami mengetahui atau membenarkan ceritera tentang pembunuhan itu?”

“Bukan, bukan maksud kami Ki Sanak” sahut Ki Buyut dari sebelah hutan itu dengan serta merta, “Tetapi kami menjadi bertanya-tanya di dalam hati, apakah ciri-ciri pembunuhan yang demikian memang sudah dikenal dimana-mana.”

“Ya” Witantra lah yang menyahut, “seperti yang telah dikatakan, bahwa kematian itu disebabkan oleh bekas tangan orang-orang berilmu hitam.“

Orang-orang yang mendengarkan itu pun mengangguk-angguk.

“Bukankah kalian pernah mendengar serba sedikit tentang orang berilmu hitam?” bertanya Witantra

“Ya. Satu dua orang penghuni padukuhan ini yang baru saja kembali dari mengunjungi sanak kadangnya di padukuhan lain mendengar serba sedikit tentang orang berilmu hitam. Tetapi pada umumnya mereka tidak dapat menyebutkan secara terperinci.”

“Mungkin. Tetapi bahwa orang-orang berilmu hitam itu dapat berbuat sesuatu tanpa menghiraukan perikemanusiaan, telah kalian alami disini.”

Kedua Buyut yang ada di banjar itu mengangguk-angguk. Namun terdengar seseorang bertanya, “Apakah mungkin mereka akan kembali?”

Witantra mengerutkan keningnya Lalu katanya, “Tentu saja kami tidak mengetahuinya. Mungkin ia akan lewat pula di padukuhan ini. Bahkan mungkin ia mendengar peristiwa yang telah terjadi disini, bahwa seorang anak muda telah melakukan pameran kekuatan justru untuk menghindari korban yang sia-sia.”

“Apakah mereka akan menaruh perhatian?”

“Mudah-mudahan mereka memperhitungkannya, agar mereka tidak berbuat sewenang-wenang.”

“Atau bahkan sebaliknya” desis yang lain.

“Mudah-mudahan tidak. Mudah-mudahan mereka menyalurkan kemarahan mereka kepada kami dan mencari kami, karena sebenarnyalah bahwa kami pun berkepentingan dengan mereka.”

“Apakah yang dapat kami katakan tentang kalian jika orang-orang berilmu hitam itu kembali atau sekedar lewat saja di padukuhan ini? Jika mereka mendengar hal-hal yang kalian lakukan disini, tentu mereka ingin mengetahui, siapakah kalian,”

Mahisa Agni dan Witantra berpandangan sejenak. Baru kemudian Witantra menjawab. “Baiklah. Seperti yang sudah kami katakan, kami adalah hamba istana Singasari. Kami memang mendapat tugas untuk melihat-lihat daerah yang terpencil seperti padukuhan ini.”

“Jadi kalian benar-benar prajurit?”

“Kami tidak berbohong. Anak muda ini bukan prajurit istana, tetapi kedudukannya hampir tidak ada bedanya, karena ia pun mengemban tugas Baginda di Singasari.”

Kekecewaan dan penyesalan nampak di wajah-wajah yang tegang di pendapa banjar padukuhan itu. Sementara itu, Witantra pun berkata, “Dan anak muda itu adalah anak muda yang bernama Mahisa Bungalan.”

“He-” seorang yang berkumis lebat tiba-tiba mengangkat kepalanya, “Aku pernah mendengar nama itu ketika aku pergi ke padukuhan kadangku yang agak jauh.”

“Apakah yang kau dengar tentang nama itu?”

“Mahisa Bungalan. Ya, Mahisa Bungalan pembunuh orang-orang berilmu hitam.”

Semua orang berpaling kepadanya. Dan orang itu menegaskan, “Mahisa Bungalan dan Linggadadi. Aku ingat sekarang. Siapakah dari kalian yang bernama Linggadadi?”

Witantra menarik nafas dalam-dalam. Agaknya nama Mahisa Bungalan seolah-olah tidak dapat dipisahkan dengan nama Linggadadi. Meskipun maksudnya tidak demikian, tetapi justru keduanya seakan-akan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

“Suatu perkembangan warta yang salah” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya, “Lebih baik pada suatu ketika aku bertemu dengan Linggadadi dan menyelesaikan masalahnya dengan tuntas, supaya namaku tidak selalu dihubungkannya dengan namanya.”

Dalam pada itu Witantra lah yang menjawab, “Tidak ada Yang bernama Linggadadi diantara kami. Linggadadi adalah orang lain sama sekali yang tidak mempunyai sangkut paut dengan Mahisa Bungalan”

“Tetapi yang aku dengar, bahwa Mahisa Bungalan dan Linggadadi adalah pembunuh orang berilmu hitam.”

“Mungkin keduanya melakukan. Tetapi tentu saja dengan pertimbangan dan tujuan yang berbeda. Mahisa Bungalan adalah petugas yang memikul kewajiban dari Baginda di Singasari, sedang Linggadadi adalah seorang yang berjuang dalam persaingannya dengan orang-orang berilmu hitam.”

“O, keterangan yang aku dengar lain sekali. Keduanya telah bertempur bersama-sama dan telah membunuh puluhan orang berilmu hitam.”

Mahisa Agni dan Witantra saling berpandangan sejenak. Memang hampir setiap orang di daerah itu menyangka demikian. Seolah-olah Mahisa Bungalan dan Linggadadi telah bertempur bersama-sama untuk membunuh orang-orang berilmu hitam.

“Apakah berita yang sampai ke telinga kami itu tidak benar?” Bertanya Ki Buyut dari padukuhan di ujung bukit.

“Tidak benar” Jawab Mahisa Bungalan dengan tegas.

“Jadi bagaimanakah sebenarnya?”

Mahisa Bungalan memandang Mahisa Agni dan Witantra berganti-ganti. Agaknya keduanya mengerti bahwa Mahisa Bungalan agak menjumpai kesulitan untuk menjawab.

“Ki Buyut” berkata Witantra, “sudah aku katakan bahwa mungkin keduanya melakukan. Mungkin, keduanya memang pembunuh orang berilmu hitam, tetapi dengan tujuan yang berbeda. Mahisa Bungalan sama sekali tidak mempunyai sangkut paut dengan Linggadadi. Bahkan keduanya pernah bertempur di Singasari”

“O, sungguh aneh.”

“Tetapi sebaliknya kalian mempercayainya, karena yang ada di hadapan kalian sekarang adalah orang yang bernama Mahisa Bungalan itu sendiri.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Demikian pula orang-orang lain yang mendengarnya. Baru sejenak kemudian Ki Buyut dari sebelah hutan berkata, “Tentu kami mempercayainya. Beruntunglah bahwa kami telah mendengar langsung dari orang yang berkepentingan.”

“Terima kasih Ki Buyut” Sahut Witantra, “Kami tidak berkeberatan jika apabila orang-orang berilmu hitam itu datang dan bertanya sesuatu tentang pendengarannya atas kejadian semalam, katakanlah terus terang bahwa telah datang di padukuhan ini, Mahisa Bungalan dan dua orang pamannya”

“Apakah keuntungannya?” Bertanya seorang yang lain.

“Mudah-mudahan dengan demikian orang-orang berilmu hitam itu menumpahkan segenap perhatiannya kepada kami dan tidak sempat mencoba mengganggu kalian. Karena sebenarnyalah mereka pun harus mengakui bahwa Mahisa Bungalan memang pembunuh orang berilmu hitam seperti Linggadadi, tetapi dengan tujuan yang berbeda.”

“Terima kasih” desis Ki Buyut dari padukuhan di sebelah hutan, “Kami dapat mengerti. Dan kami akan selalu menyebut namamu. Mudah-mudahan dapat memberikan pengaruh atas orang-orang berilmu hitam itu, karena mereka memang harus memperhitungkan Mahisa Bungalan pembunuh orang berilmu hitam.”

“Tetapi membunuh bukanlah tujuanku” tiba-tiba saja Mahisa Bungalan memotong, “meskipun aku bertemu dengan orang-orang berilmu hitam, tetapi tidak melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan kericuhan dan malapetaka, aku akan menghindari benturan Apalagi pembunuhan.”

“Kami dapat mengerti” jawab Ki Buyut dari ujung bukit, “Dan kami sudah menyaksikan, betapa kalian bertiga dengan sungguh-sungguh berusaha menghindarkan korban yang jatuh karena kebodohan kami.”

“Sudahlah,” Sahut Mahisa Agni, “berhati-hatilah di lain kali.”

Orang dari padukuhan di ujung bukit dan di sebelah hutan serta beberapa orang dari padukuhan-padukuhan di sekitamya yang ikut berkerumun di banjar itu mengangguk-angguk.

Namun dalam pada itu, Ki Buyut dari padukuhan di tepi hutan itu pun berkata, “Ah, kami terlampau banyak berbicara. Sekarang kami ingin mempersilahkan kalian makan dan minum sekedarnya, menurut apa yang ada di padukuhan kami.“

Mahisa Agni dan Witantra, di luar sadarnya memandang wajah Mahisa Bungalan. Namun keduanya pun tersenyum ketika mereka melihat Mahisa Bungalan mengangguk.

“Terima kasih Ki Buyut” jawab Mahisa Agni.” kami akan menerima segala pemberian ini dengan perasaan terima kasih yang setulus-tulusnya”

Mahisa Bungalan menggigit bibirnya.

“Jauh daripada memuaskan” Sahut Ki Buyut dari padukuhan di ujung bukit, “Tetapi hendaknya dapat memadai.”

Satu demi satu orang-orang yang berkerumun di banjar itu pun menyingkir. Mereka kemudian memberi kesempatan kepada ketiga orang itu untuk makan tanpa terganggu. Sambil makan Mahisa Bungalan masih saja bergumam, “Adalah berbahaya sekali tindakan yang tergesa-gesa itu. Tetapi apakah orang-orang berilmu hitam itu masih akan kembali paman? Dan kenapa mereka tiba-tiba saja berada di tempat ini?”

“Tentu saja kami tidak tahu” Jawab Mahisa Agni, “Tetapi menilik arah perjalanan yang ditempuhnya, maka ia menuju ke suatu tempat, justru di dekat Kota Raja atau jika mereka berjalan terus, mereka akan menuju ke tempat yang jauh sekali.”

“Mungkin mereka sengaja mendekati Kota Raja.” Berkata Witantra, “Tentu saja dengan tujuan tertentu yang belum kita ketahui.”

Yang lain mengangguk-angguk. Namun kemudian Mahisa Bungalan berkata, “Jika terjadi kematian dan pembunuhan seperti ini, maka agaknya akan mudah bagi kita untuk menemukan jejak mereka.”

“Mungkin. Tetapi tentu tidak selalu mereka melakukan pembunuhan di tempat-tempat yang mereka lalui. Jika tidak ada persoalan yang memaksa, mereka pun tentu tidak akan membunuh, kecuali di saat-saat mereka melakukan pemujaan. Dan itu pun agaknya mereka lakukan di tempat-tempat khusus.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, mereka membuat semacam sanggar seperti yang aku lihat di padukuhan yang dikenal sebagai daerah bayangan hantu”

Mahisa Agni dan Witantra pun ikut mengangguk-angguk pula. Mereka pernah mendengar ceritera Mahisa Bungalan tentang daerah bayangan hantu. Dan mereka pun pernah mendengar ceritera tentang kebiasaan orang-orang berilmu hitam itu dalam upacara-upacara yang sejalan dengan ilmu dan kepercayaan mereka.

Untuk beberapa saat mereka pun kemudian saling berdiam diri, seolah-olah mereka sedang memusatkan perhatian mereka kepada hidangan yang ada di hadapan mereka, meskipun sebenarnya hidangan itu tidak menarik.

Namun agaknya Ki Buyut dari padukuhan di pinggir hutan yang merasa bersalah terhadap ketiga orang itu, sudah berusaha untuk dapat memberikan hidangan yang sebaik-baiknya. Mereka telah memotong beberapa ekor ayam yang paling gemuk. Nasi yang paling putih dan dimasak oleh juru madaran yang paling baik.

“Paman” Berkata Mahisa Bungalan, “Setelah kita menghabiskan hidangan ini, apakah yang akan kita lakukan?”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya, lalu katanya, “Apakah kita akan mempunyai rencana lain?”

“Tentu tidak. Tetapi barangkali ada sesuatu yang perlu kita kerjakan?”

Mahisa Agni menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku tidak mempunyai rencana apa-apa.”

Witantra pun menyahut, “Kita akan langsung menuju ke Panawijen dan barangkali ke Padang Karautan. Bukankah kita akan melihat padukuhan itu dan barangkali kolam yang tentu sudah tidak seindah saat dibuatnya Tetapi kenangan yang akan tumbuh mungkin akan jauh lebih indah dari

peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi sebenarnya.” Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa.

“Lalu bagaimanakah dengan orang-orang berilmu hitam itu?”

“Kita akan pergi sesuai dengan rencana kita. Jika di perjalanan kita bertemu, maka kita akan menentukan sikap.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah paman- Untuk sementara kita akan melupakan orang-orang berilmu hitam itu. Tetapi jika di perjalanan kita menjumpai peristiwa seperti yang terjadi di padukuhan ini, tentu tidak akan dapat tinggal diam.”

Demikianlah, setelah mereka bertiga selesai makan dan minum, maka mereka pun kemudian minta diri kepada orang-orang yang datang kembali ke pendapa. Kedua Buyut yang ada di antara mereka mencoba untuk menahan barang satu dua malam. Tetapi ketiga orang itu tetap pada rencananya untuk meneruskan perjalanan mereka ke padang Karautan.

Beberapa orang, termasuk kedua Buyut itu, mengantarkan mereka sampai ke regol padukuhan. Kemudian mereka melepaskan ketiga orang itu menempuh perjalanan, melintasi bulak yang panjang yang mulai dihangatkan oleh cahaya matahari yang menjadi semakin tinggi.

Dalam pada itu, selagi Mahisa Agni, Wirantra dan Mahisa Bungalan menempuh perjalanan ke Panawijen, maka di arah yang lain tiga orang sedang berpacu pula. Justru menuju ke Kota Raja, meskipun mereka tidak akan memasuki kota itu.

“Kita tidak boleh melakukan pembunuhan lagi” Berkata Empu Baladatu kepada kedua orang pengawalnya.

“Kenapa Empu. Mereka yang tidak mau membantu kita, apa salahnya kita binasakan. Sebenarnya aku ingin membunuh lebih banyak lagi” Jawab pengawalnya.

“Itu adalah satu kebodohan. Dengan demikian maka orang-orang yang sengaja mencari kita akan dengan mudah menemukan jejak kita.”

Kedua orang pengawalnya mengerutkan keningnya, yang seorang kemudian bertanya, “Jadi apakah kita akan dibiarkan diri kita diperlakukan dengan semena-mena?”

“Tidak ada orang yang memperlakukan kita semena-mena. Kita selalu mendapat tempat yang baik dan sambutan yang ramah jika kita juga berlaku ramah.”

“Tetapi padukuhan di pinggir hutan itu telah menerima kita dengan penuh prasangka.”

“Tidak” Jawab Empu Baladatu, “Kalian yang menjadi gila melihat gadis-gadis cantik di padukuhan itu. Itulah sebabnya, maka telah terjadi peristiwa yang dapat menjadi jejak perjalanan kita. Apalagi kalian telah membunuh korbanmu dengan ciri yang dapat memperkenalkan kita.”

“Tidak ada orang yang mengetahuinya. Atau seandainya mereka mengetahuinya, biarlah mereka mengerti, dengan siapa mereka berhadapan.”

“Dan kau kira, untuk seterusnya tidak ada orang lain yang mungkin melalui padukuhan itu?”

Kedua pengawalnya tidak menjawab. Mereka mengerti, bahwa Empu Baladatu terlalu berhati-hati menghadapi Mahisa Bungalan dan Linggadadi yang disebut pembunuh orang-orang berilmu hitam. Bahkan di dalam hati pengawal-pengawal itu berkata, “Sebenarnyalah aku ingin segera bertemu dengan orang yang disebut Mahisa Bungalan dan Linggadadi itu.”

Tetapi mereka tidak dapat mengatakan kepada Empu Baladatu, karena agaknya Empu Baladatu mempunyai pertimbangan lain. Ia akan menyatukan kekuatannya dengan kakaknya, baru kemudian dengan yakin menghancurkan Iawan-lawannya- Tentu saja yang pertama-tama adalah Mahisa Bungalan dan Linggadadi, yang menurut dugaan Empu Baladatu, keduanya mungkin sekali berdiri di antara kekuatan prajurit-prajurit Singasari sehingga untuk menghadapi keduanya diperlukan susunan kekuatan yang memadai.

Dengan demikian, maka kedua pengawal itu tidak mempunyai pilihan lain kecuali mentaati perintah itu. Mereka harus bersikap baik di sepanjang perjalanan. Menahan diri dan sama sekali menyembunyikan ciri-ciri yang ada pada ilmu mereka. Jika mereka masih harus bermalam di perjalanan, maka mereka bertiga telah benar-benar menjadi orang-orang yang baik dan tahu diri. Mereka sama sekali tidak menumbuhkan kesulitan apapun di tempat-tempat yang mereka singgahi.

Karena itulah, maka tidak ada lagi orang yang dengan ketakutan dan kengerian yang sangat, menangisi satu atau dua orang keluarga mereka yang menjadi korban seperti yang telah terjadi di padukuhan di sebelah hutan itu. Bahkan satu dua orang telah memuji mereka sebagai orang-orang yang mengerti dan mematuhi unggah-ungguh.

Bahkan di beberapa tempat, Empu Baladatu telah dengan rendah hati memberikan beberapa pertolongan kepada beberapa orang yang memerlukannya. Dengan bekal ilmu yang ada padanya ia telah berhasil menyembuhkan beberapa orang sakit yang dijumpainya di perjalanan.

Kelicikan Empu Baladatu itulah yang ternyata telah berhasil menghapus jejaknya. Tidak seorang pun yang pernah dijumpainya di perjalanan menduga, bahwa orang yang barambut putih itu adalah orang pertama pada perguruan ilmu hitam yang mulai akan berkembang lagi.

Demikianlah, maka Empu Baladatu itu pun dengan selamat sampai ke rumah kakaknya. Sebuah padepokan kecil yang nampaknya tenang, dikelilingi oleh daerah yang hijau. Pategalan dan sawah yang subur, yang menjadi sumber hidup dari isi padepokan itu.

Semula Empu Baladatu ragu-ragu untuk memasuki padepokan itu. Selama ini ia merasa bahwa dirinya memiliki kemungkinan yang lebih luas dari kakaknya. Empu Baladatu merasa bahwa ilmunya memiliki kekuatan yang lebih besar dari ilmu yang manapun juga, termasuk ilmu yang dikuasai oleh kakaknya.

“Apakah aku akan datang kepadanya dan memberikan tempat yang lebih baik baginya?” Bertanya Empu Baladatu kepada diri sendiri. Namun yang kemudian dijawabnya, “Tidak. Aku akan tetap memiliki kelebihan. Yang aku perlukan adalah kerja sama. Kekuatanku masih belum cukup untuk melawan prajurit Singasari. Itu bukan berarti bahwa akan berada di bawah kemampuan siapa pun juga.”

Sekilas terbayang oleh Empu Baladatu padepokan yang di tinggalkannya. Tidak terlampau besar meskipun lebih besar dari padepokan kakaknya. Murid-muridya pun tidak terlalu banyak. Tetapi jika datang saatnya ia harus bangkit, maka dengan cepat ia akan dapat mengumpulkan kekuatan. Dengan menghasut dan menakut-nakuti, maka ia akan menghimpun pasukan untuk melawan Singasari. Murid-muridnya adalah Senapati-senapati yang baik yang akan dapat mengimbangi para Senapati dari Singasari.

“Aku akan menghimpun kekuatan di seputar Kota Raja. Jika murid-muridku mampu menunjukkan kelebihan mereka dari prajurit-prajurit Singasari, maka tidak terlalu sulit untuk mendapat jumlah prajurit yang diperlukan.” berkata Empu Baladatu di dalam hatinya, “bukankah dengan memberikan janji dan sedikit harapan, banyak orang yang akan melibatkan diri?”

Empu Baladatu akhirnya menetapkan hatinya untuk memasuki padepokan kakaknya. Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat dua orang yang bertubuh tegap dan kekar berdiri di sebelah regol padepokan itu, sambil bersilang tangan di dada, keduanya memandang Empu Baladatu dengan kedua pangawalnya dengan tanpa berkedip.

Empu Baladatu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk hormat sambil bertanya, “Apakah benar ini padepokan Empu Sanggadaru dan bergelar Naga Liar?”

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Kemudian yang seorang bertanya, “Siapakah Ki Sanak?”

“Aku adalah Empu Baladatu. Jika kakang Empu Sanggadaru ada, sampaikan hormatku. Dan sampaikan permohonanku untuk menghadap.”

Kedua orang itu masih saja nampak ragu-ragu.

“Jika Ki Sanak ingin mengetahui” Berkata Empu Baladatu kemudian, “Aku adalah adiknya. Tetapi siapakah Ki Sanak berdua ini?”

“Kami adalah murid-murid dari perguruan ini”

“O” Empu Baladatu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Jadi apakah kakang Sanggadaru ada?”

“Marilah” Berkata salah seorang dari kedua orang itu, “Masuklah ke padepokan kami.”

Empu Baladatu ragu-ragu. Dan bahkan ia bertanya lagi, “Apakah kakang Empu Sanggadaru ada di padepokan?”

Sekali lagi salah seorang dari kedua orang itu mempersilahkan tanpa menjawab pertanyaannya, “Silahkan Empu masuk ke padepokan.”

Sejenak Empu Baladatu termangu-mangu. Namun kemudian ia memberi isyarakat kepada kedua pengawalnya. Mereka bertiga pun kemudian mengikuti kedua orang itu memasuki halaman padepokan yang nampak bersih dan terawat rapi. Di seberang sebuah halaman yang luas, nampak sebuah rumah kecil, tetapi lengkap. Beberapa puluh langkah di sebelah rumah itu, terdapat pula sebuah rumah yang lain. Sementara di bagian belakang dari halaman padepokan itu terdapat beberapa rumah pula di seputar lapangan yang tidak begitu luas.

Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Padepokannya ternyata lebih luas dari padepokan itu. Tetapi padepokan ini mempunyai kesan yang lebih semringah. Warna dedaunan dan bunga-bunga yang tajam rasa-rasanya membuat suasana di padepokan itu menjadi lebih hidup dan gairah dari pada warna-warna yang kusam dan gelap. Kolam yang berair bening dengan warna-warna putih dari beberapa ekor angsa yang berenang, rasa-rasanya memercikkan ketenangan tersendiri. Empu Baladatu termangu-mangu sejenak. Dari wajah padepokannya ia seolah-olah melihat isi hati kakaknya yang sudah agak lama tidak pernah dijumpainya.

“Apakah ia sekarang lebih senang tinggal di padepokannya yang tenang ini tanpa berbuat apapun juga?” Pertanyaan itu telah meloncat di hatinya, “Dan apakah dengan demikian berarti kedatanganku akan sia-sia?”

Tetapi Empu Baladatu masih akan tetap mencoba mengatakan niatnya. Tentu di padepokan ini terdapat beberapa orang yang dapat bersama-sama dengan beberapa orang muridnya untuk menandingi para Senapati di Singasari. Dengan dada yang berdebar-debar, maka mereka pun memasuki pintu penyekat di samping pendapa. Dengan demikian mereka pun telah memasuki longkangan di depan gandok.

Mereka mengerutkan kening, ketika tiba-tiba saja pintu butulan di dinding penyekat itu seolah-olah tertutup dengan sendirinya. Bahkan kemudian selarak yang nampaknya berada di luar, terdengar menyilang.

“Apa artinya ini” Desis Empu Baladatu.

Salah seorang dari kedua orang yang membawanya itu berpaling. Tetapi ia tidak menjawab. Sejenak Empu Baladatu termangu-mangu. Bahkan kedua pengawalnya saling berpandangan dengan penuh curiga. Dengan hati-hati mereka maju selangkah demi selangkah. Sedang hampir tanpa mereka sadari, tangan mereka telah berada di hulu senjata masing-masing.

Sejenak kemudian mereka telah memasuki serambi samping. Namun nampaknya rumah yang tidak terlampau besar itu sangat lengang, seolah-olah sama sekali tidak berpenghuni. Dari sela-sela pintu, Empu Baladatu melihat beberapa ekor binatang buruan yang sudah dikeringkan. Dua ekor harimau. Kijang dan seekor orang hutan yang besar. Bahkan di antara binatang-binatang itu terdapat pula binatang-binatang kecil, seperti kancil dan pelanduk berbintik-bintik.

Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Ketika mereka menyusup pintu serambi dan memasuki bagian belakang rumah itu, langkah mereka tertegun. Di atas serambi belakang, pada pengeret kayu jati, membelit seekor ular raksasa. Tetapi ternyata ular itu pun telah mati dan dikeringkan pula.

“Seorang pemburu yang ulung” Desis Empu Baladatu.

Agaknya kedua orang yang membawanya itu pun mendengar, sehingga mereka berpaling sejenak. Tetapi keduanya sama sekali tidak menyahut. Namun kemudian keduanya berhenti di muka sebuah pintu yang menghubungkan serambi belakang dengan ruangan dalam.

“Duduklah Empu. Aku akan menyampaikan kedatangan Empu kepada guru.”

Empu Baladatu memandang kedua orang itu berganti-ganti. Namun ia tidak dapat menangkap kesan apa pun di wajah mereka.

“Silahkan Empu” Sekali lagi salah seorang dari keduanya itu pun mempersilahkannya duduk.

Empu Baladatu mengangguk sambil menjawab, “Terima kasih.”

Kedua orang itu pun segera meninggalkan Empu Baladatu bersama kedua pengawalnya. Mereka membuka pintu yang tertutup itu dan sejenak kemudian mereka telah hilang di dalamnya. Sejenak kemudian, kedua pintu itu pun telah tertutup pula.

Empu Baladatu termangu-mangu sejenak. Di hadapannya terdapat sebuah amben bambu yang dibentangi dengan sebuah tikar pandan yang panjang. Tetapi Empu Baladatu tidak mau duduk di amben itu. Rasa-rasanya padepokan itu menyimpan banyak hal yang tidak diketahuinya. Sekali-kali ia memandang pintu yang tertutup itu. Tetapi untuk beberapa saat lamanya, pintu itu tetap tertutup rapat.

Kedua pengawalnya pun rasanya menjadi gelisah pula. Namun tanpa mereka sadari, mereka bertiga telah berada di tempat yang terpencar. Wajah Empu Baladatu yang tegang menjadi semakin tegang. Rambutnya yang putih bergerak disentuh angin.

Sejenak mereka bertiga memandang ke longkangan belakang dari rumah itu. Sebuah kebun yang terawat pula seperti halaman depan. Seperti yang nampak dari halaman, maka di belakang rumah itu terdapat sebuah lapangan kecil yang dilingkari oleh beberapa rumah yang lain. Namun ternyata bagian-bagian dari halaman dan kebun itu terdapat dinding-dinding penyekat yang rendah.

“Rumah yang tidak besar itu, agaknya menjadi pusat dari padepokan ini” Berkata Empu Baladatu di dalam hatinya.

Memang agak berbeda dengan padepokannya. Padepokan itu ditandai dengan sebuah rumah yang besar di tengah-tengahnya lengkap dengan gandok dan dapur serta sederet di bagian belakang, yang dihuni oleh beberapa orang pelayan dan juru masak. Baru kemudian terdapat beberapa buah rumah magersari di bagian belakang, di seberang kebun yang ditanami dengan pohon buah-buahan. Tetapi halaman depan padepokannya, ternyata tidak seluas halaman depan padepokan kakaknya ini. Beberapa saat mereka masih harus menunggu. Bahkan kemudian rasa-rasanya kesabaran Empu Baladatu menjadi semakin tipis.

“Aku tidak tahu, apakah aku benar-benar masuk ke dalam padepokan kakakku” Berkata Empu Baladatu di dalam hatinya, “Atau barangkali orang lain telah mengusirnya dan merampas padepokan ini dengan seluruh isinya.

Empu Baladatu tiba-tiba saja teringat kepada orang-orang yang pernah menggemparkan Singasari. Kesatria Putih, kemudian Mahisa Agni, Witantra dan beberapa orang yang lain. Terakhir nama Lembu Ampal pun mulai dikenal.

“Apakah salah seorang dari mereka berada di padepokan yang tidak jauh dari Kota Raja ini dan mengusir kakang karena dianggap berbahaya?”

Untuk beberapa saat Empu Baladatu masih harus berteka-teki, sampai saatnya seseorang keluar dari pintu yang satu itu. Orang ini bukannya orang yang tadi masuk membawa Empu Baladatu bersama pengawalnya. Tetapi orang ini adalah orang yang nampaknya lebih tua.

Dengan hormatnya orang itu mengangguk dalam” sambil berkata, “Apakah aku berhadapan dengan Empu Baladatu?”

“Ya” Sahut Empu Baladatu yang hampir kehilangan kesabaran, “Aku adalah Baladatu. Siapakah kau...?”

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.