PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 25
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 25
Karya Singgih Hadi Mintardja
JUSTRU sesudah keadaan menjadi tenang, maka orang-orang di padepokan Sanggadaru bisa melihat dengan jelas hubungan dari peristiwa-peristiwa yang susul menyusul terjadi. Serigala Putih dan gambar Serigala dengan mulut menganga itu ternyata telah berusaha melepaskan dendamnya, namun yang terjadi adalah sebaliknya.
“Aku tidak sampai hati untuk membinasakan mereka yang telah menyerah” berkata Empu Sanggadaru kepada orang-orangnya, “meskipun aku sadar, bahwa mungkin sekali pada suatu saat dendam itu menyala lagi didalam hati mereka meskipun mereka mengatakan, bahwa mereka tidak akan mempergunakan senjatanya lagi selain untuk membela, diri.”
“Pada suatu saat mereka akan merasa kuat lagi” berkata salah seorang cantriknya, “jika demikian maka mereka akan datang dan mencoba untuk menebus kekalahannya.”
“Tetapi sudah tentu tidak dalam waktu yang dekat” jawab Empu Sanggadaru.
“Kecuali jika mereka mendapatkan bantuan dari pihak lain, atau pihak yang sengaja ingin mendapatkan, keuntungan dari benturan itu.”
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Katanya, “Karena itu jangan pernah menjadi lengah, kapanpun juga. Setiap saat kita akan dapat menjadi sasaran dendam.”
Para cantrik dari padepokan itu pun menyadari bahwa dendam itu memang setiap saat dapat membakar padepokannya, sehingga karena itu, maka merekapun tidak meninggalkan kewaspadaan.
Dalam pada itu, maka orang-orang Serigala Putih itupun ternyata telah selamat sampai ke padepokan mereka. Meskipun demikian, ternyata kedatangan mereka dengan membawa mayat kedua orang kawannya, bahkan salah seorang dari keduanya yang terbunuh itu adalah pemimpin mereka, telah membuat seisi padepokan itu menjadi cemas dan marah. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apapun juga, setelah kawan-kawan mereka yang mengalami pertempuran yang dahsyat itu menceriterakan betapa lawan mereka memiliki ilmu yang tinggi.
“Apakah kalian berkata sebenarnya?” bertanya salah seorang dari mereka yang tinggal di padepokan sehingga tidak dapat melihat sendiri, apa yang telah terjadi.
“Kau sangka bahwa kami ini sekelompok pengecut? Kami menyadari, bahwa kami adalah orang-orang terbaik dari padepokan ini. Apa yang kami katakan, tentu dapat kalian bayangkan. Jika kalian yang mengalaminya, maka kalian tentu akan mati membeku ditempat.”
Tidak ada yang menjawab. Tetapi dari wajah-wajah mereka nampak keheranan dan bahkan kurang mengerti apa yang sebenarnya terjadi, bahwa pemimpin mereka yang mereka kagumi itu telah terbunuh.
“Kita harus merahasiakannya sejauh dapat kita lakukan” berkata seorang yang tertua diantara mereka. Yang lain menyadari, bahwa kematian itu akan dapat berakibat buruk bagi padepokan mereka. Karena itu salah seorang dari mereka berkata, “Orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang tentu akan memanfaatkan kematian ini. Dan itu berarti bencana.”
“Kita jangan terlampau terpengaruh oleh kematian satu atau dua orang dari antara kami. Jumlah kami masih cukup banyak untuk menghadapi orang-orang Macan Kumbang. Tetapi jangan ingkar akan kenyataan yang kita hadapi. Jika kita salah menilai diri sendiri, maka akibatnya akan sangat pahit. Kematian pemimpin kita merupakan kelemahan yang tidak akan dapat kita tutup-tutupi lagi jika kita benar-benar telah berhadapan dengan orang-orang Macan Kumbang. Pemimpin gerombolan Macan Kumbang yang juga menyebut dirinya bernama Macan Kumbang itu, merupakan orang yang sangat berbahaya. Hanya pemimpin kita sajalah yang akan dapat menghadapinya.”
“Kita hadapi dengan sebuah kelompok kecil yang terdiri dari tiga atau empat orang pilihan.”
“Kau sangka ia datang seorang diri? Tentu merekapun akan dapat menyingkirkan yang tiga atau empat orang itu dengan tiga atau empat orang dari lingkungan mereka.”
Yang lain mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Baiklah” berkata orang tertua, “kita tetap melihat kenyataan itu. Tetapi kita jangan mati ketakutan. Mungkin jika terjadi benturan, kita akan tumpas. Tetapi tentu lebih separo dari mereka pun akan terbunuh.”
Kawan-kawannya memandanginya dengan tajam. Namun kemudian salah seorang dari mereka bergumam, “Kau benar. Kita adalah laki-laki yang telah berani menamakan diri Serigala Putih.”
Dengan rahasia, orang-orang Serigala Putih itu menguburkan pemimpin mereka yang terbunuh itu, agar gerombolan mereka kemudian tidak menjadi liar, maka mereka telah memilih orang tertua di antara mereka, bukan saja umurnya, tetapi juga ilmunya untuk memimpin mereka.
“Aku bersedia saja. Tetapi kalian harus patuh meskipun tidak seperti terhadap pemimpin kita yang sudah terbunuh” berkata orang tertua itu, “selanjutnya, kalian harus berusaha sejak sekarang, untuk meningkatkan ilmu. Jauh lebih tekun dari waktu yang sudah-sudah. Kehilangan yang kita alami, akan kita tebus dengan meningkatnya kemampuan kita seorang-seorang. Dengan demikian, maka kita tidak akan menjadi terlalu lemah, seperti seekor kijang di hutan belantara yang dihuni oleh harimau dan serigala liar.”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Salah seorang menyahut. “Kami akan melakukannya dengan sepenuh hati. Kami akan melatih diri sejauh dapat kami lakukan. Karena kami yakin, bahwa orang-orang Macan Kumbang itu tentu akan datang, lambat atau cepat.”
Orang tertua itu mengangguk-angguk. Ia sama sekali tidak menunjukkan kecemasan yang sebenarnya tetap mencengkam hatinya karena ia lidak dapat menyembunyikan pengakuan, bahwa tidak akan ada kekuatan yang dapat mencegah orang-orang dari Macan Kumbang dengan pemimpinnya yang ditakuti, untuk menghancurkan orang-orang Serigala Putih yang seolah-olah telah kehilangan taring itu.
“Pemimpin kami pun masih harus mempertimbangkan berulang kali jika terpaksa harus berperang tanding dengan pemimpin Macan Kumbang yang garang itu. Apalagi tanpa orang yang kita anggap sebagai pelindung itu, kita tentu akan dengan mudah dapat dihancurkannya.”
Tetapi seperti yang dikatakannya, orang-orang Serigala Putih itu dengan tekun melatih diri. Seorang-seorang tanpa mengenal lelah. Dengan cara yang paling kasar sekalipun. Bahkan mereka seolah-olah telah benar-benar menjadi liar dan buas seperti sekelompok Serigala yang kelaparan. Mereka memenuhi semua keinginan yang tumbuh di dalam hati, untuk menyatakan diri dalam kebulatan tekad, karena keinginan yang belum terpenuhi pada hakekatnya akan dapat menjadi penghambat semua usaha dan pemusatan pikiran dan kehendak.
Dengan demikian orang-orang dari Serigala Putih itu sama sekali tidak mempertimbangkan cara-cara pemenuhan keinginannya, meskipun cara itu oleh kebanyakan orang dianggap melanggar segi-segi peradaban sekalipun. Namun demikian, rasa-rasanya perkembangan ilmu mereka itu maju dengan lambatnya. Apalagi sudah tidak ada lagi dari antara mereka yang dapat membimbing dan memberi petunjuk-petunjuk yang berarti. Beberapa orang yang sudah mendapat kepercayaan untuk menularkan ilmunya kepada para pengikut yang lebih muda dalam usia dan ilmunya, hanya mampu mendorong mereka itu untuk maju selangkah demi selangkah yang pendek dan lemban.
Meskipun demikian mereka berjalan terus. Maju dengan lambat adalah jauh lebih baik dari tidak bergerak sama sekali. Namun, sebelum mereka mencapai kemampuan yang mereka harapkan, ternyata yang mereka cemaskan itu telah datang. Dengan hati yang kecut, seorang pengikut gerombolan Serigala Putih telah bertemu dengan tiga orang yang tidak mereka kenal, yang agaknya dengan sengaja telah menjumpainya. Dengan sengaja ketiga orang itu berdiri berjajar di tengah jalan memasuki padepokan gerombolan Serigala Putih.
“Kau memang luar biasa” desis salah seorang dari ketiga orang itu.
“Kau siapa?” bertanya orang Serigala Putih.
Ketiga orang itu tertawa. Katanya, “Kau terlampau berani keluar seorang diri dari padepokanmu. He, darimana kau sebenarnya?”
“Aku baru saja kepategalan.”
Ketiga orang itu saling berpandangan sejenak. Lalu yang seorang berkata, “Kita bunuh saja tikus ini.”
Yang tertua di antara ketiga orang itu menggeleng, “Jangan. Ia harus dapat kita jadikan alat untuk menyampaikan kepada kawan-kawannya, bahwa saat ajal mereka telah tiba.”
“Mereka akan pergi mengungsi.”
“Dan kita akan bertepuk sambil bersorak-sorak. Perguruan Serigala Putih yang terkenal, ternyata hanya berisi serigala betina yang ketakutan melihat taring seekor Macan Kumbang.”
“Kau dari Macan Kumbang?” tiba-tiba saja orang dari Serigala Putih itu bertanya.
Ketiga orang itu tertawa bersamaan. Salah seorang menjawab. ”Seharusnya kau sudah mengetahuinya, bahwa aku adalah orang-orang Macan Kumbang meskipun di antara kami jarang sekali yang membuat ciri-ciri gambar seperti di pergelangan tangan orang Serigala Putih, atau di lengannya, di kakinya bahkan di perutnya.”
Ketiga orang Macan Kumbang itu tertawa. Yang seorang pun kemudian berkata, “He, apakah kau kira kami tidak mengetahui bahwa pemimpinmu sudah mati.”
Orang Serigala Putih itu terkejut.
“Jangan terkejut. Betapapun kau mencoba merahasiakannya, tetapi kami sudah mengetahuinya. Meskipun kami belum berhasil mendapat keterangan, siapakah yang telah membunuh pemimpinmu itu.”
“Kau bermimpi” sahut orang Serigala Putih, “pemimpin kami tidak akan dapat mati sampai saatnya matahari itu merunduk sampai ke ujung Tanah Singasari. He, apakah kau sedang mengigau orang Macan kelaparan.”
Ketiga orang itu terdiam sejenak. Namun salah seorang berkata, “kata-katamu tidak meyakinkan. Besok atau lusa, kami pun akan segera mengetahui, siapakah yang telah membunuhnya. Mungkin sekelompok prajurit Singasari, tetapi mungkin orang yang namanya lamat-lamat pernah kami dengar, Mahisa Bungalan dan Linggadadi, pembunuh orang-orang berilmu hitam. Nah, apakah kau menyadari bahwa ilmumu dan ilmuku itu bersama-sama mengambil sumber dari ilmu hitam.”
“Persetan dengan orang yang bernama Mahisa Bungalan dan Linggadadi. Ternyata, seorangpun dari antara kami belum ada yang menjadi korbannya.”
“Namun tiba-tiba langsung pemimpinmu.”
“Tidak. Ia tidak mati karena Mahisa Bungalan atau Linggadadi.”
“Jadi siapa?”
“Angan-angan yang cukup gila. Sudah aku katakan, bahwa pemimpin dan guruku itu tidak akan dapat mati sampai akhir jaman. Kau ingat, sampai akhir jaman. Dan kau akan mati lebih dahulu daripadanya.”
Orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang itu tertawa terbahak-bahak. Salah seorang dari mereka berkata di antara suara tertawanya, “Kau sudah gila. Kematian pemimpinmu membuat orang-orangnya menjadi gila seperti kau. Apakah kau benar menganggap bahwa gurumu belum mati?”
Pertanyaan itu cukup membingungkan. Tetapi ia masih tetap menjawab, “Ya. Aku menganggap bahwa pemimpinku masih belum mati.”
“Jangan hiraukan kata-katanya. Sebaiknya orang itu di bunuh saja. Biarlah orang-orang Serigala Putih marah. Jika benar pemimpinnya masih hidup, biarlah ia datang kepadepokan kami untuk menuntut balas.”
Orang dari gerombolan Serigala Putih itu menjadi berdebar. Jika ketiga orang itu benar-benar akan membunuhnya, maka sudah tentu ia tidak akan dapat melawan. Tetapi lebih baik baginya membawa salah seorang dari mereka mati daripada menyerahkan lehernya untuk dijerat dan diseret sepanjang jalan.
Tetapi ternyata salah seorang dari ketiga orang itu mencegahnya. Katanya, “Biarkan ia hidup. Biarlah ia berceritera kepada kawannya, bahwa gerombolan Serigala Putih dimata orang-orang Macan Kumbang sudah tidak berarti lagi. Mereka adalah segerombolan orang yang perlu dikasihani dan dilindungi.”
“Gila” teriak orang dari gerombolan Secigala Putih. ”Aku akan dapat membunuh kalian bertiga.”
Orang yang mencegah untuk membunuhnya tertawa berkepanjangan. Katanya, “Ternyata kau masih mempunyai harga diri. Tetapi kami tidak akan merubah keputusan ini. Kau kami beri kesempatan untuk tetap hidup. Dengan demikian kau harus berterima kasih kepada kami, bahwa nyawamu yang sebenarnya tergantung di tangan kami itu, tidak kami renggut dari tubuhmu.”
“Persetan. Kalian akan menyesal bahwa kalian tidak membunuhku sekarang.”
Orang dari gerombolan Macan Kumbang itu masih tertawa, “Pulanglah. Jangan merajuk. Katakan kepada orang-orangmu. Yang ingin tetap hidup, supaya meninggalkan padepokannya dan mengungsi kemana saja yang mereka kehendaki. Tetapi jika kalian jantan, tunggulah kehadiran kami bersama kawan-kawan kami. Kami akan datang untuk menumpas kalian. Meskipun kau tetap berkeras, bahwa pemimpinmu masih tetap hidup sampai sekarang.”
Orang dari gerombolan Seriggla Putih itu menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apapun juga ketika orang-orang gerombolan Macan Kumbang itu dengan penuh hinaan meninggalkannya. Orang dari gerombolan Serigala Putih itu termangu-mangu. Namun kemudian iapun melangkah dengan hati yang berdebar-debar. Tentu ketiga orang itu tidak hanya sekedar mengancam. Mereka tentu akan melakukannya. Ketika ia sampai di padepokannya, maka ia pun segera melaporkan apa yang baru saja dialaminya kepada orang yang untuk sementara dianggap sebagai pemimpinnya.
Orang tertua itu pun mengerutkan keningnya. Dengan suara yang dalam ia berkata, “Dugaan kita benar. Mereka pada suatu saat tentu akan mengetahuinya dan akan datang kepadepokan ini.”
“Siapakah yang telah membocorkan rahasia ini?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Kita tidak usah mencari-cari. Dengan demikian tentu akan timbul kecurigaan di antara kita masing-masing. Yang penting sekarang, bagaimana kita menghadapi mereka.”
Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itu menjadi tegang. Kehadiran orang-orang Macan Kumbang dapat menghancurkan mereka sama sekali, sehingga apa yang telah mereka bangunkan selama itu akan lenyap begitu saja.
“Ternyata pemimpin kita salah hitung. Pemburu yang memakai pakaian kulit harimau itu, memiliki ilmu yang tidak ada taranya. Sekarang, ternyata kita mengalami akibat yang parah. Dengan tidak langsung kita sudah mengumpankan diri kita ke mulut gerombolan harimau liar itu.”
Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi semuanya itu sudah terjadi sehingga tidak akan ada lagi gunanya untuk disesali.
“Ada beberapa kemungkinan” orang tertua itu berkata, “jika kita ingin menyelamatkan diri untuk sementara, kita masih mempunyai waktu, kita dapat meninggalkan padepokan ini. Tetapi dengan janji di dalam hati, bahwa kita akan kembali pada saat yang tepat. Sedang kemungkinan yang lain adalah, kita melawan sampai orang terakhir. Jika kita memilih yang kedua, maka kita akan melepaskan perempuan dari lingkungan padepokan ini bersama anak-anak. Mereka sama sekali tidak akan berarti dalam pertempuran semacam itu. Biarlah mereka mencari jalan hidup mereka masing-masing.”
“Kenapa kita harus memikirkan mereka? Bagi kita, apapun yang akan terjadi atas mereka, tidak akan berarti apa-apa. Perempuan-Perempuan itu hanya akan membebani kita dengan berbagai macam kesulitan.”
“Bukan mereka. Tetapi anak keturunan kita harus di selamatkan. Itulah tugas mereka. Perempuan-Perempuan itu harus dapat menyelamatkan anak-anak, terutama anak-anak laki, sehingga kelak mereka akan dapat mengambil kembali padepokan ini.”
“Jangan hiraukan. Sekarang, yang penting, apakah kita akan melawan atau melarikan diri untuk sementara.”
Orang tertua dari gerombolan Serigala Putih itupun kemudian berkata, “Kita akan tetap tinggal di sini. Bagaimana pendapat kalian?”
Kawan-kawannya pun nampak berpikir sejenak. Ada keragu-raguan di dalam hati masing-masing. Sebagian benar-benar menjadi cemas. Namun sebagian yang lain ingin mempertimbangkan kemungkinan itu dengan nalar.
“Apakah dengan demikian kita sudah melakukan hal yang sia-sia” berkata salah seorang dari mereka, “kita tidak lagi harus bermimpi. Tanpa pemimpin dan guru kita, kita tidak akan dapat melawan orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang. Itu sudah kita sadari. Jika demikian apakah ada gunanya kita bertahan?”
“Lebih baik kita menyingkir. Tetapi pada saatnya kita akan kembali” sahut yang lain, “apakah bukan begitu?”
“Kita bukan pengecut” seorang yang bertubuh raksasa memotong, “tidak ada gunanya kita lari. Mereka tentu akan mengejar terus. Kita tahu, bukan padepokan inilah yang sebenarnya mereka cari. Tetapi kita. Daripada kita hidup dengan kecemasan dan merasa diri kita selalu dikejar-kejar oleh orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang, alangkah baiknya jika kita mati bersama mereka. Jika kita akan tumpas, maka yang akan tetap hidup di dalam lingkungan orang-orang gerombolan Macan Kumbang tentu tinggal pemimpinnya itu saja.”
Kata-kata orang bertubuh raksasa itu ternyata, telah menyentuh perasaan setiap orang yang mendengarkannya. Bahkan orang tertua itupun segera menambah, “Itu adalah sifat jantan. Kita akan mati di atas tanah padepokan ini, dimana kita mendapat ilmu yang selama ini telah membekali setiap kerja yang kita lakukan.”
“Aku sependapat. Perempuan harus menyingkirkan anak-anak kita. Mereka boleh membawa bekal dari barang-barang yang masih ada di dalam persediaan kita. Hasil-hasil yang kita peroleh selama ini dengan menjelajahi daerah-daerah yang terasing dari pengawasan prajurit Singasari, dapat, dijadikan bekal untuk menumbuhkan anak-anak kita yang kelak akan mengambil padepokan ini kembali.” sahut orang bertubuh raksasa itu.
“Tetapi bagaimana jika Perempuan-Perempuan itu ternyata mementingkan diri mereka sendiri, dan bukan mementingkan anak-anak kita.”
“Kita akan membunuhnya dan melemparkannya ke dalam sungai.”
“Siapakah yang akan melakukannya jika kita semua sudah mati?”
“Tidak. Orang-orang tua pun akan pergi bersama perempuan-perempuan itu. Laki-laki yang meskipun sudah tua, dapat membunuh Perempuan-Perempuan yang ingkar akan kewajibannya terhadap anak-anak dan mementingkan diri sendiri.”
Orang-Orang dari gerombolan Serigala Putih yang berilmu hitam itu mengangguk-angguk.
“Nah” berkata orang tertua, “kita akan menunggu. Hari ini, besok atau lusa. Kita akan tetap berlatih dengan sekuat tenaga, meskipun kemampuan kita hanya akan bertambah seujung rambut. Tetapi itu lebih baik daripada tidak sama sekali.”
“Ya. Kita akan berlatih agar kita tetap dalam kesiagaan tertinggi.”
“Tetapi” orang tertua itu memperingatkan, “jangan kalian habiskan tenaga kalian, agar jika kita benar-benar harus bertempur kita tidak akan kelelahan.”
“Ya. Kita harus menghemat tenaga” sahut yang lain.
“Sekarang” berkata orang tertua itu, “suruhlah perempuan-perempuan pergi dengan membawa anak-anak. Mereka bertanggung jawab. Berilah mereka bekal. Suruhlah laki-laki tua mengawasi Perempuan-Perempuan itu. Yang lain tetap disini dan bertempur sampai orang terakhir.”
“Kemanakah anak-anak kita harus dibawa.”
“Sekehendak perempuan-perempuan itu sendiri.”
“Berilah petunjuk. Jika kita tidak dapat ditumpas oleh orang-orang gerombolan Macan Kumbang, kita akan menjemput anak-anak kita.”
Orang tertua itu kemudian berbicara dengan beberapa orang yang dianggapnya mengenal daerah di sekitar padepokan itu dengan baik. “Biarlah mereka memasuki hutan Dandarau. Mereka harus tinggal disana satu hari satu malam. Jika tidak ada orang yang datang menjemput mereka, berarti bahwa mereka harus berusaha mencari hidup masing-masing dan anak-anak yang mereka jaga." berkata salah seorang dari mereka.
Yang lain mengangguk-angguk, sehingga akhirnya orang tertua itu mengumumkan, “Suruhlah mereka bersembunyi di hutan Dandarau untuk satu hari satu malam.”
Demikianlah, maka Perempuan-Perempuan itupun kemudian dikumpulkan. Mereka mendapat penjelasan apa yang harus mereka lakukan. Tidak ada seorang pun yang memberikan tanggapan. Bagi perempuan, apapun yang dikatakan oleh laki-laki, harus dijalani meskipun tanpa dapat mereka mengerti.
Karena itulah, maka perempuan-perempuan itupun segera berkemas. Dengan dikawal oleh beberapa orang laki-laki tua mereka meninggalkan padepokan sambil membawa barang-barang berharga yang berhasil dikumpulkan oleh gerombolan Serigala Putih dengan cara apapun juga. Kadang-kadang memang dengan cara yang liar, seliar serigala kelaparan.
Sepeninggal perempuan dan kanak-anak yang dikawal oleh laki-laki tua, maka orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itupun segera bersiap untuk menghadapi kemungkinan. Mereka menyadari bahwa satu di antara kemungkinan-kemungkinan itu adalah mati. Semuanya, sampai orang terakhir. Namun karena demikian, hati mereka seolah-olah justru menjadi tenang. Seolah-olah mereka telah pasrah diri dalam kesetiaan untuk membela perguruan mereka. Harga diri yang mereka junjung justru karena mereka berhadapan dengan orang-orang yang memiliki sumber ilmu yang sama.
“Kenapa kita memilih menyerah dan mengorbankan harga diri kita kepada pemburu-pemburu dan prajurit. Singasari?” Tiba-tiba saja salah seorang dari mereka yang ikut bertempur melawan Empu Sanggadaru dan kawan-kawannya bertanya.
Orang tertua diantara mereka menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan hati-hati ia menjawab, “Yang kita hadapi memang tidak sama. Jika kita menyerah kepada prajurit Singasari atau kepada mereka yang bersikap seperti prajurit, maka kita masih mempunyai harga diri karena mereka tidak semata-mata ingin membunuh seperti orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang. Terasa pada diri kita, sesuatu yang lain pada sikap mereka, apalagi jika kita dapat memandang dari segi yang lurus, bahwa mereka sedang melakukan kewajiban. Ternyata bahwa nafsu membunuh itu sama sekali tidak ada ketika kita sudah melepaskan senjata kita. Bahkan kita diperbolehkan mengambil kembali senjata-senjata itu meskipun dengan bermacam-macam janji.”
Orang yang bertanya itupun mengangguk-angguk. Tetapi justru timbul pertanyaan pada orang yang lain, yang tidak melihat pertempuran yang telah terjadi itu. “Tetapi, apakah itu bukan berarti penghinaan yang paling dalam?”
Orang tertua itu memandang dengan tajamnya. Kemudian jawabnya, “Jika yang melakukan itu orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang, maka itu adalah penghinaan yang paling keji yang pernah kita alami. Tetapi kita harus dapat membedakan, niat apakah yang sebenarnya tersembunyi didalam hati mereka yang telah memberikan belas kasihan kepada kita.”
Orang itupun terdiam. “Baiklah. Kita sekarang sudah mendapat ketetapan hati. Kita akan melakukan semuanya dengan mantap. Apapun yang akan terjadi, itu adalah pilihan kita. Dan kita tidak akan dapat ingkar lagi meskipun tebusannya adalah nyawa kita.”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. “Kita harus berlatih terus. Tidak ada henti-hentinya. Tetapi kita harus menjaga, agar tenaga kita tidak terperas habis, sehingga pada saatnya kita perlukan, kita sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi.”
Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itupun kemudian melanjutkan usaha mereka dengan tekun. Mereka melatih diri mempergunakan senjata sebaik-baiknya. Bagaimana mereka harus menangkis, bagaimana mereka harus menghindar, dan bagaimana mereka harus menyerang. Dasar-dasar ilmu kanuragan yang sudah mereka miliki, mereka kembangkan sejauh-jauh dapat mereka lakukan meskipun sebagian dari mereka menganggap bahwa hal itu sudah tidak ada gunanya lagi, karena, semuanya sudah terlambat.
Dalam pada itu, maka orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang memang sudah mendengar, bahwa gerombolan Serigala Putih telah kehilangan pimpinan. Mereka tidak lagi mempunyai kekuatan pokok yang dapat mereka percaya lagi. Karena itulah, dengan sengaja orang-orang gerombolan Macan Kumbang telah menakut-nakutinya. Mereka telah membuat perhitungan tertentu untuk menghadapi orang-orang dari gerombolan Serigala Putih yang selama itu dianggap menjadi saingan yang memang harus disingkirkan.
“Kita akan datang segera ke padepokan mereka” berkata pemimpin gerombolan Macan Kumbang setelah mendapat laporan dari orang-orang yang dengan sengaja menjumpai salah seorang dari gerombolan Serigala Putih.
“Aku tidak membunuhnya” berkata salah seorang dari mereka, “kematian memang menakutkan. Tetapi jika orang itu tetap hidup, ia akan dapat mengatakan apa saja yang kita katakan dan sengaja membuat mereka ketakutan.”
Pemimpinnya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Seorang yang aku tugaskan untuk mengamat-amati mereka sudah melihat, perempuan dan anak-anak telah menyingkir.”
“Uh, sejak kapan orang-orang gerombolan Serigala Putih memikirkan perempuan?”
“Tentu mereka ingin menyelamatkan anak-anak mereka.” desis yang lain.
Pemimpinnya tertawa. Katanya, “Mungkin. Tetapi akan datang saatnya kita menghancurkan mereka semuanya. Setelah kita binasakan orang-orang yang sombong itu, maka akan kita binasakan pula semua perempuan dan anak-anak.”
“Anak-anak saja.”
Suara tertawa pun kemudian meledak. Namun dalam pada itu, salah seorang berkata, “Tetapi kita masih harus bekerja keras. Dengan menyingkirkan anak-anak, itu berarti bahwa orang-orang dari gerombolan Serigala Putih siap untuk melakukan perlawanan. Meskipun barangkali mereka sudah mengira bahwa mereka akan mati.”
Sambil mengangguk-angguk pemimpinnya menyahut, “Ya. Tetapi akhir dari pertempuran yang mungkin akan terjadi itu sudah dapat dibayangkan. Mereka sudah kehilangan pemimpinnya. Meskipun sebenarnya mereka masih mempunyai kemampuan untuk melawan, tetapi benturan yang pertama sudah akan merontokan isi dada mereka, sehingga mereka tidak akan berani bertempur lebih lama lagi.”
“Apakah itu artinya mereka menyerahkan leher mereka?”
Pemimpinnya tidak menyahut. Namun katanya kemudian, “Kita akan melihat. Dan kita akan melakukan apa saja yang kita kehendaki kemudian atas mereka yang selama ini merasa lebih kuat dari kita.”
Orang-orang gerombolan Macan Kumbang itupun mengangguk-angguk dengan kebanggaan didalam diri mereka karena angan-angan mereka itu. Karena itulah, maka rencana mereka untuk membinasakan orang-orang yang selama ini menjadi saingan mereka itu, merupakan orang-orang yang menyenangkan. Sebelum mereka melihat hasil dari pekerjaan mereka, maka mereka sudah lebih dahulu menikmatinya.
Dihari berikutnya seorang petugas yang lain telah melaporkan pula, bahwa perempuan dan anak-anak telah menghilang di sekitar hutan yang lebat di sebelah padepokan gerombolan Serigala Putih itu.
“Biarlah orang-orang yang tamak itu merasakan lebih lama lagi kegelisahan dan ketakutan” berkata pemimpin gerombolan Macan Kumbang.
“Tetapi jika kita tidak segera menyerang mereka, maka mereka akan lepas dari tangan kita.”
“Kenapa?”
“Jika mereka tidak tahan lagi menahan kegelisahan dan ketakutan, maka mereka tentu akan menyingkir.”
Pemimpin gerombolan Macan Kumbang berpikir sejenak, lalu, “Kau benar. Kifa harus segera melenyapkan mereka. Pekerjaan yang meskipun berat tetapi menyenangkan ini, harus segera kita lakukan.”
Pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu pun segera mengumpulkan anak buahnya. Orang-orang yang memiliki ilmu yang bersumber pada ilmu hitam meskipun mempunyai beberapa segi kelainan, namun ilmu mereka adalah ilmu yang serupa dengan ilmu orang-orang dari gerombolan Serigala Putih.
“Besok kita akan menyerang dan membinasakan orang-orang dari gerombolan Serigala Putih” berkata pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu.
Orang-orangnya pun dengan serta merta menyambut dengan sorak yang gemuruh.
“Nah, tanggapan kalian telah membesarkan hatiku. Mungkin jumlah kita hampir sama dengan jumlah orang-orang dari gerombolan Serigala Putih. Tetapi kita masih lengkap. Kalian mempunyai seorang pemimpin yang memiliki banyak kelebihan dari kalian dan setiap orang dari orang-orang gerombolan Serigala Putih. Karena itu, kita, akan membinasakan mereka. Membunuh setiap orang dan mencincangnya sampai lumat. Baru kemudian kita akan mencari dan membunuh anak-anak mereka di hutan sebelah padepokan mereka itu.”
“Bagaimana dengan Perempuan-Perempuan?”
“Terserah kepada kalian. Perempuan tidak sepantasnya dibicarakan.”
Orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang mengangguk-angguk.
“Sejak sekarang, berkemaslah” pemimpinnya melanjutkan, “kalian dapat melihat senjata kalian, apakah sudah cukup memadai untuk memenggal leher orang-orang dari gerombolan Serigala Putih yang sombong dan keras kepala itu.”
Orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang itupun kemudian menyiapkan senjata masing-masing. Betapapun juga, namun mereka tetap sadar, bahwa orang-orang dari gerombolan Serigala Putih benar-benar memiliki kemampuan seperti seekor serigala lapar. Karena itu, maka merekapun telah menyiapkan senjata yang paling baik yang ada pada mereka.
“Disarang gerombolan Serigala Putih itu tentu terdapat timbunan harta benda rampasan” berkata salah seorang gerombolan Macan Kumbang itu.
“Tentu. Persediaan mereka tentu jauh lebih banyak dari persediaan yang ada pada kita” jawab kawannya.
“Tidak sia-sia kita menyerang mereka. Kita akan meratakan padepokan mereka dengan tanah. Jika harta benda itu tidak kita ketemukan dipadepokan itu, tentu sudah dibawa oleh laki-laki yang terhitung sudah tua dan mengantarkan anak cucunya bersama Perempuan-Perempuan yang harus melayani anak-anak itu.”
“Mereka tidak akan jauh dari padepokan itu. Tentu mereka akan tetap bersembunyi di dalam hutan. Jika keadaan sudah reda, mereka akan mempergunakannya bagi anak-anak yang mereka bawa. Tetapi mereka tidak akan pernah dapat melakukannya.”
Kawannya mengangguk-angguk. Tidak ada pilihan lain bagi orang-orang gerombolan Serigala Putih itu daripada mati. Mati dengan perlawanan, tetapi dengan demikian mereka akan mengalami saat-saat kematian yang pahit, atau menyerahkan kepala mereka untuk dipenggal, sehingga mereka tidak akan menderita terlalu lama.
Dalam pada itu, perempuan dan anak-anak yang mengungsi dari padepokan gerombolan Serigala Putih telah berada di tengah hutan. Untuk beberapa saat mereka dicengkam oleh ketakutan oleh suara binatang buas dikejauhan. Beberapa orang anak menangis dan meronta-ronta. Namun kemudian mereka menjadi tenang ketika beberapa orang laki-laki yang meskipun sudah terhitung tua, bersiaga dengan senjata ditangan.
Salah seorang dari mereka berkata, “Kitalah yang akan memburu binatang-binatang buas untuk makan kita. Bukan binatang-binatang buas itulah yang akan memburu kita.”
Perempuan-Perempuan mengangguk-angguk. Mereka mencoba menenangkan anak-anak mereka, karena mereka sadar, bahwa hidup mereka tergantung pada anak-anak mereka. Jika seorang perempuan dianggap tidak berarti lagi bagi anaknya, maka iapun akan disingkirkan tanpa ampun.
Ternyata bahwa laki-laki tua yang ada di antara mereka, bukannya laki-laki yang sama sekali tidak berdaya. Mereka adalah laki-laki dari gerombolan Serigala Putih meskipun sudah menjadi semakin tua. Sehingga karena itu, maka jari-jari mereka, kemampuan bidik mereka dengan anak panah dan busur, masih mampu menangkap beberapa ekor binatang buruan yang dapat mereka pergunakan untuk makan anak-anak dan sisanya untuk Perempuan-Perempuan.
Tetapi mereka tidak mengetahui dengan pasti, berapa lama mereka harus bersembunyi dan kemudian menghilang diantara kehidupan yang sewajarnya untuk menyelamatkan anak-anak mereka dengan bekal yang ada. Pada suatu saat mereka akan mengumpulkan anak-anak laki-laki mereka dan mendorong mereka untuk menyatukan diri dan merebut kembali padepokan mereka. Namun apabila laki-laki yang tetap dipadepokan gerombolan Serigala Putih berhasil bertahan, maka merekapun akan segera kembali menyatukan diri lagi dengan ayah-ayah mereka.
Sementara itu, orang-orang gerombolan Serigala Putih benar-benar telah berada dalam kesiagaan. Rasa-rasanya mereka tidak sabar lagi menunggu kedatangan orang-orang Macan Kumbang yang akan datang menerkam mereka.
“Mereka sengaja membiarkan kita dicengkam kegelisahan. Itu adalah sebagian dari kemenangan yang sudah mereka capai tanpa berbuat apa-apa.”
“Kita jangan menjadi gelisah.” sahut yang lain.
“Dapatkah kita berbuat demikian?”
Kawannya menarik nafas. Tetapi nampak diwajahnya, bahwa sebenarnyalah setiap orang telah dicengkam oleh kegelisahan yang tidak terhindarkan.
Sementara itu, orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang telah bersiap. Ketika pagi hari yang cerah menjadi semakin panas karena matahari yang merayap naik dikaki langit, sekelompok orang-orang berkuda berpacu dijalan berdebu di bulak-bulak panjang menuju kepadepokan orang-orang dari gerombolan Serigala Putih, dan siap untuk mencincang mereka. Rasa-rasanya tidak ada seorang pun yang dapat mencegah mereka. Kuda-kuda itu berpacu seperti iring-iringan hantu maut yang siap menumpas korban-korbannya tanpa ampun.
Namun dalam pada itu, yang tidak terduga-duga adalah perjalanan sekelompok orang yang sama sekali tidak tahu menahu tentang bertentangan yang bakal meledak antara Orang-Orang dari gerombolan Serigala Patih dan orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang. Sekelompok orang itu dengan tenangnya berkuda menuju kepadepokan orang-orang Serigala Putih yang sedang dicengkam oleh kecemasan. Nampaknya sekelompok orang-orang itu masih belum tahu dimanakah letak padepokan itu. Namun dengan beberapa petunjuk dan ancar-ancar, mereka berhasil mendekati.
“Batang pohon jambe itu” desis salah seorang dari mereka.
“Ya. Hutan yang dikatakan itu tentu hutan yang nampak dikejauhan itu. Kita akan melalui pohon jambe itu dan langsung menuju kepadepokan. Agaknya sudah tidak begitu jauh lagi.”
Kuda itupun kemudian berpacu. Semakin lama mereka menjadi semakin dekat dengan padepokan gerombolan Serigala Putih yang sedang diliputi oleh ketegangan.
"Kita berada dijalur jalan yang mereka lalui itu akan menuju kesebuah pategalan. Mereka harus menempuh lorong sempit beberapa puluh langkah. Barulah kemudian mereka akan sampai pada jalan yang seolah-olah diapit oleh lereng yang rendah sebagai pintu gerbang."
Sejenak kemudian, maka iring-iringan, orang berkuda itupun telah mendekati gerbang padepokan itu. Namun mereka sama sekali tidak melihat tanda-tanda kesibukan apapun juga.
“Apalah padepokan itu kosong” desis salah seorang dari mereka.
“Entahlah” sahut yang lain., “Kita akan menyaksikannya.”
Dengan ragu-ragu iring-iringan itupun mendekat. Ketika mereka memperlambat derap kaki Kuda-kuda mereka. “Sepi” desis yang berkuda dipaling depan.
“Lihat” berkata kawannya, “kita sudah sampai di pintu gerbang. Seperti yang dikatakan oleh orang-orang yang pernah melihat padepokan ini, di belakang gerbang alam, ada gerbang yang sebenarnya.”
Mereka pun kemudian mendekati gerbang yang tertutup rapat itu, Beberapa langkah dimuka pintu gerbang itu mereka berhenti.
“He, apakah ada orang yang menjaga gerbang ini di dalam?” salah seorang dari mereka berteriak.
Tidak terdengar jawaban.
“He, apakah padepokan ini telah kosong?” yang lain berteriak.
Teriakan-teriakan itu ternyata terdengar aneh ditelinga orang-orang dari gerombolan Serigala Putih. Jika yang datang itu adalah orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang, mereka tentu tidak akan bertanya seperti itu.
“He, jika ada seorangpun didalam, bukalah pintu. Aku ingin datang mengunjungi kalian. Bertanyalah kepada kawan-kawan kalian bahwa mereka telah mengenal kami.”
Tidak ada jawaban. Tetapi Teriakan-teriakan itu memang sangat menarik.
“Cobalah, lihatlah dari lubang gerbang itu” perintah orang tertua dari gerombolan Serigala Putih yang sebenarnya sedang menanti kedatangan lawannya. Mereka sudah hampir menjadi jemu oleh ketegangan yang menyiksa.
Seorang penjaga pintu gerbang itupun mendekati lubang dipintu itu dengan ragu-ragu. Sekilas dilihatnya beberapa orang kawan-kawannya yang mendekat dengan hati-hati karena mereka mendengar teriakan diluar pintu. Namun orang-orang yang ada didalam gerbang itu telah menyiapkan senjata-senjata mereka apabila yang datang itu adalah orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang.
Orang tertua yang untuk sementara memimpin kawan-kawan-nya dari gerombolan Serigala Putih itupun telah memberikan isyarat kepada orang-orangnya, agar mereka mengambil tempat seperti yang telah diaturnya, apabila orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang datang dan memaksa memasuki gerbang itu.
Orang-orang gerombolan Serigala Putih itu telah bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Jika yang datang itu orang dari gerombolan Macan Kumbang yang akan memaksa dengan merusak pintu gerbang, maka demikian mereka menyerbu masuk, mereka akan terjebak dalam serangan ujung senjata lawannya yang sudah menunggu. Bahkan beberapa orang telah memegang senjata rangkap. Tombak pendek yang siap dilemparkan, dan pedang yang masih tergantung dilambung masing-masing.
Tetapi orang yang kemudian melihat dari lubang pintu gerbang itu menjadi heran. Mereka tidak melihat sepasukan orang-orang berkuda dari gerombolan Macan Kumbang. Tetapi mereka melihat sekelompok kecil orang-orang yang belum mereka ketahui. Dengan isyarat orang itu memanggil pemimpinnya, agar iapun ikut melihat, siapakah yang berada diluar pintu. Orang tertua itupun ternyata terkejut pula. Yang dilihatnya adalah salah seorang dari mereka yang dijumpainya di hutan perburuan.
“Bukankah orang itu adik Empu Sanggadaru?” desisnya, “he, siapakah yang ikut bersama aku pada saat guru terbunuh?”
Tiga orang maju bersama-sama. Berganti-ganti mereka melihat dari lubang itu. Dan mereka pun sepakat, bahwa orang itu adalah Empu Baladaru yang mereka jumpai ditengah hutan perburuan.
“Apakah maksudnya?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Tetapi nampaknya mereka tidak bermaksud buruk?”
“Ya. Dan mereka datang dalam jumlah yang kecil. Tak lebih dari enam atau tujuh orang.“
Sejenak mereka berbincang tentang Empu Baladatu. Dan sejenak kemudian merekapun mendengar suara dari luar pintu gerbang, “Apakah kalian tidak percaya kepadaku?”
Orang tertua itupun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kita akan membuka pintu gerbang itu, karena nampaknya mereka tidak bermaksud jahat.”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Dalam perselisihan dihutan perburuan itu, nampaknya Empu Baladatu bersikap terlalu lunak, sehingga kecurigaan merekapun lambat laun menjadi susut.
“Bukalah” desisnya kemudian.
Meskipun ragu-ragu, namun orang itupun kemudian telah mengangkat selarak gerbang yang besar itu dibantu oleh seorang kawannya, sedangkan yang lain sama sekali tidak meninggalkan kewaspadaan. Mereka telah bersiap jika tiba-tiba saja mereka harus bertempur siapapun lawannya. Tetapi ternyata ketika gerbang itu terbuka, sekelompok orang berkuda iru sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda untuk melakukan kekerasan. Bahkan orang yang berkuda dipaling depan menjadi heran, bahwa mereka telah disambut dengan senjata terhunus.
“Apakah kedatanganku tidak kalian kehendaki?” bertanya orang itu.
“O, tidak Empu” jawab orang tertua, “tetapi, kami sedang dalam kesiagaan.”
“Kenapa? Apakah kalian mendendam? Apakah kalian menduga, bahwa aku atau kakang Sanggadaru pada suatu saat akan datang menyerang kalian? Atau barangkali kalian bercuriga terhadap para prajurit Singasari?”
“Tidak. Tidak Empu. Sama sekali tidak. Tetapi kami sedang menunggu orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang yang telah mengancam akan datang menyerang kami. Mereka sudah mengetahui bahwa kami telah kehilangan pemimpin kami. Dengan demikian mereka mengharap, bahwa mereka akan dapat menghancurkan kami dan memiliki padepokan seisinya. Mungkin barang-barang rampasan yang kami punyai disini. Seterusnya maka mereka akan merasa tidak kami saingi lagi didalam segala kegiatan.”
Empu Baladatu mengangguk-angguk.
“Karena itu Empu, bukannya kami tidak mau menerima kedatangan Empu, atau lebih-lebih lagi mencurigai. Kami mengenal kelunakan sikap Empu pada saat kami bertemu di hutan perburuan itu. Tetapi sebaiknya Empu menghindarkan diri dari keterlibatan lebih jauh lagi dalam pertentangan kami, dengan orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang.”
“Apakah kalian sudah berjanji akan bertempur.”
“Sudah kami katakan. Mereka mengancam akan menyerang.”
“Sekarang?”
“Mungkin. Kami sudah menunggu dua tiga hari”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Lalu, “Aku akan berada di sini. Mudah-mudahan aku tidak akan menggangggu kalian saat kalian mempertahankan padepokan kalian.”
“Tetapi mereka tidak dapat membedakan, siapapun yg berada di sini, tentu akan dibinasakannya.”
“Kenapa baru sekarang mereka melakukannya?”
“Setelah pemimpin kami tidak ada. Mereki merasa kekuatan kami susut, dan bahkan kami menjadi tidak berdaya sama sekali.”
“Sebelumnya, apakah mereka menganggap kalian cakup kuat?”
Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itu termangu-mangu. Setelah saling berpandangan sejenak, maka orang tertua diantara mereka itupun menjawab, “Mungkin demikian. Tetapi saat-saat pemimpin kami masih hidup, kami merasa bahwa kekuatan kami seimbang dengan kekuatan gerombolan Macan Kumbang, sehingga saat pemimpin kami terbunuh, maka keseimbangan itupun segera berubah.”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Lalu iapun bertanya dengan ragu-ragu, “Apakah kedatanganku dapat mengembilikan keseimbangan itu?”
“Maksud Empu?”
“Aku berada dipihak kalian.”
Orang tertua itu termangu-mangu sejenak. Namun kamudian katanya, “Sebaiknya Empu meninggalkan padepokan ini. Aku tindak ingin Empu terlibat dalam kesulitan.”
Empu Baladatu memandang orang-orang dalam gerombolan Serigala Putih itu dengan tatapan mata yang aneh. Namun kemudian iapun tersenyum sambil berkata, “Aku sudah berada di sini sekarang. Aku akan tetap berada di sini.”
Sejenak suasana bagaikan membeku. Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itu melihat Empu Baladatu tersenyum.
“Tutuplah pintu gerbangmu. Atau barangkali lebih baik jika kalian menempatkan satu dua orang pengawas di antara batu padas yang seolah-olah disediakan oleh alam bagi pintu gerbang padepokanmu ini.”
“Untuk apa mereka berada disana? Pengawasan itu tidak banyak artinya. Mereka tetap akan datang sampai kemulut regol ini dan dengan paksa memecahkan pintunya.”
“Tetapi kalian sudah mengetahuinya saat yang tepat dari kedatangan orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang itu. Ketika mereka masih berada di kejauhan, kalian sudah dapat mempersiapkan diri sebaik-baiknya.”
“Dihadapan kedua batu padas itu banyak terdapat pepohonan sehingga pengawas itu tidak akan dapat melihat ke jarak yang jauh.”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Lalu, “Jika demikian, selaraklah pintu gerbangmu. Aku disini. Barangkali aku dengan beberapa orang-orangku akan dapat mengganti kekuatanmu yang hilang itu.”
“Tetapi ketika kami jumpai Empu dihutan itu, Empu tidak membawa pengawal.”
“Ada dua orang. Aku sempat kembali kepadepokanku. Dan aku tidak dapat mencegah keinginanku untuk datang ke mari. Tetapi aku membawa pengawal lebih dari dua orang. Dan seperti yang kalian lihat, aku datang bersama lima orang pengawalku yang terpercaya. Apakah menurut perhitunganmu, aku dan kelima orang pengawalku ini tidak dapat mengganti kekuatan dua orang kawanmu yang terbunuh dihutan perburuan itu?”
Orang tertua itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Tentu dapat Empu. Tetapi apakah Empu tidak sekedar membuang waktu dan tenaga saja membela kami yang sudah kehilangan pegangan?”
“Aku akan mencoba memberikan sandaran baru dalam padepokan ini.”
Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itu menjadi heran. Tetapi sebelum seorangpun yang menyahut, sekali lagi Empu Baladatu berkata, “Selaraklah pintu gerbang itu”
Beberapa orangpun kemudian mendorong pintu gerbang dan mengangkat selarak.
“Nah, sekarang, semuanya menjadi semakin jelas. Aku akan ikut bertempur jika orang-orang gerombolan Macan Kumbang itu benar-benar menyerangmu hari ini. Tetapi jika saatnya aku pergi dan mereka belum juga datang, maka aku akan pergi juga.”
Orang tertua dari gerombolan Serigala Putih itu seolah-olah telah tersadar. Karena itu, maka iapun segera mempersilahkan tamunya untuk memasuki padepokannya yang sebenarnya tidak begitu besar.
Empu Baladatu pun kemudian mengikuti orang tertua itu menuju kesebuah rumah yang cukup besar dibelakang sebuah halaman yang agak luas. Di sebelah menyebelah nampak beberapa rumah yang lain. Agaknya dibagian belakang dari rumah yang agak besar itu terdapat pula beberapa rumah. Sedangkan, halaman padepokan itu ternyata telah dilingkari oleh dinding batu yang tinggi diantara batang-batang pering ori.
“Padepokan ini ternyata merupakan yang rapat sekali” desis Empu Baladatu.
“Rumpun-rumpun bambu itu memang sudah ada sejak sebelum tempat ini menjadi padepokan. Kami tinggal mengatur dan memanfaatkannya dengan menambah beberapa langkah dinding batu, sehingga seakan-akan padepokan kami telah dilingkari oleh benteng yang kuat.”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Memang sulit untuk memasuki halaman padepokan itu tanpa melalui gerbang yang di beri pintu dan selarak yang kuat. Tetapi bukan berarti bahwa gerbang itu tidak dapat dirusak dari luar.
Sejenak kemudian Empu Baladatu sudah duduk di pendapa rumah yang terletak di tengah-tengah padepokan itu bersama kelima pengiringnya. Namun ketika seorang pengawal padepokan itu sedang menghidangkan minuman yang dingin, karena tidak ada seorang perempuan pun yang sempat merebus air seperti biasanya, maka pengawal yang lain datang dengan tergesa-gesa sambil berkata, “Ada tiga orang berkuda di luar regol.”
Berita itu sangat mengherankan bagi orang tertua dipadepokan itu. Sama sekali tidak diketahui, siapa lagi agaknya yang datang hanya bertiga. Karena itulah maka iapun kemudian bertanya, “Apakah mereka tamu yang pernah kalian kenal?”
Orang itu menggeleng. Jawabnya, “Belum. Mereka ingin berbicara dengan pemimpin dari gerombolan Serigala Putih dipadepokan ini.”
Orang tertua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bangkit sambil berkata, “Aku akan datang.”
“Aku ikut bersamamu.” berkata Empu Baladatu.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Lalu, “Baiklah Empu. Tetapi apakah tidak sebaiknya Empu duduk saja disini?”
Empu Baladatu tertawa. Ia pun kemudian ikut bersama orang tertua dipadepokan Serigala Putih itu. Dengan ragu-ragu orang tertua itu mendekati regol yang masih tertutup. Kemudian dari lubang dipintu regol ia menjenguk ketiga orang berkuda itu.
“Siapakah kalian?” bertanya pemimpin Serigala Putih itu.
“Kami akan bertemu dengan pemimpin kalian.”
“Pemimpin kami sedang pergi. Sebentar lagi ia kembali. Apakah keperluan kalian.”
“Jika demikian aku ingin bertemu dengan orang yang dianggap pemimpin di sini sekarang ini.”
“Aku orang tertua disini.”
“Tertua? He, berapa umurmu?”
“Bukan tertua umurnya, tetapi tertua didalam olah kanuragan. Ilmu tertua disini.”
Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak. Namun salah seorang dari mereka berkata, “Sebaiknya kalian berkata terus terang. Kami sudah mengetahui bahwa pemimpinmu telah terbunuh.”
“Apa maksudmu sebenarnya. Jika kalian sudah mengetahui, apakah gunanya kalian bertanya?”
“Kami adalah tiga orang utusan dari kelompok Macan Kumbang.”
Orang tertua itu menjadi berdebar-debar. Tapi nampaknya ia berusaha untuk tetap tenang dan menjawab, “Aku sudah menduga bahwa tampang-tampang yang datang ini adalah orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang. Akupun sudah tahu bahwa kedatanganmu sekedar ingin mengancam dan menakuti, kemudian memaksa kami menyerahkan kepala kami untuk dipancung. Bukankah begitu?”
Ketiga orang itu termangu-mangu. Namun salah seorang dari merekapun tertawa sambil menjawab, “Ya. Kau memang cerdik. Aku memang akan melakukan hal itu. Karena itu, sebaiknya kalian membuka pintu gerbangmu, karena pemimpinku akan segera datang. Aturlah orang-orangmu agar datang berurutan seorang demi seorang, membungkuk dihadapannya untuk dipancung dengan pedang. Tetapi jangan takut merasa kesakitan karena pedangnya sangat tajam, sehingga sekali ayun kepala kalian akan terpenggal.”
Jawaban itu membuat darah orang tertua dipadepokan Serigala Putih itu mendidih. Dengan tubuh gemetar ia masih mencoba menyabarkan diri. Jawabnya, “Mungkin pedang pemimpinmu itu dapat memenggal leher gajah sekali tebas. Tetapi maaf, bahwa pedang itu tidak akan dapat mengelupas kulit kami, karena sebenarnyalah bahwa kami adalah orang-orang yang tidak ada taranya dimuka bumi ini. Tetapi jika pemimpinmu itu benar-benar akan datang dan melihat kemampuan kami, maka dengan senang hati kami akan menerimanya. Kami akan membuka regol ini dan dengan senang hati mempersilahkannya masuk. Kami akan menyerahkan seorang anak bayi kepadanya, untuk membuktikan bahwa pedangnya tidak akan berarti apa-apa bagi kami.”
Ketiga orang itupun menjadi marah pula. Salah seorang dari mereka berteriak, “He, sudah gila. Kau harus berterima kasih bahwa pemimpinku bersedia melakukannya. Membunuh dengan cara yang paling baik bagi kalian. Tetapi kalian adalah orang-orang yang tidak tahu diri. Tanpa pemimpinmu yang sombong itu, maka kalian tidak akan berarti apa-apa bagi kami.”
“Ah” jawab orang tertua dipadepokan Serigala Putih itu, “kau masih juga mengigau disitu. Kembalilah. Katakan kepada pemimpinmu yang aku tahu, tentu sudah berada dibalik batu padas itu. Bahkan kami akan menyambut kedatangannya seperti penyambut sepasang pengantin baru. Nah, kau dengar.”
“Gila. Kau sudah menjerumuskan dirimu sendiri dan orang-orangmu kedalam neraka yang paling dalam.”
Betapapun kemarahan meledak dihati orang tertua dipadepokan itu, namun ia memaksa diri untuk tertawa. Katanya, “Jangan marah. Tidak ada kesempatan yang paling baik untuk melihat pemimpin datang merengek-rengek dipadepokan ini kecuali sekarang ini. Aku sama sekali tidak menduga, bahwa pada suatu saat datang kesempatan bagiku untuk melihat hal yang sangat menarik hati ini.”
“Kau akan menyesal. Pemimpinku memang sudah berada di ambang pintu. Tetapi jika ia datang dan pintu regolmu masih tertutup, maka kau akan melihat akibatnya. Padepokanmu akan menjadi karang abang, dan kalian akan mati dengan siksaan yang paling keji yang pernah dialami oleh seseorang yang jatuh ditangannya.”
“Akupun mampu melakukan siksaan melampaui hukuman picis. Pergilah, dan katakanlah kepada pemimpinmu bahwa kami sudah siap menyambutnya.”
Ketiga orang yang berada di luar regol itu menggeram. Ternyata orang-orang dari gerombolan Serigala Putih masih mempunyai harga diri dan ingin bertahan meskipun kematian tidak akan dapat mereka elakkan lagi. Karena itu, maka salah seorang dari merekapun berkata. “Baiklah. Mungkin kali ini adalah untuk yang terakhir kalinya permintaanmu dipenuhi.” orang itu berhenti sejenak lalu, “tunggulah. Setelah kami membinasakan kalian, maka kami akan membinasakan anak-anak kalian yang sedang mengungsi itu, agar mereka tidak akan menjadi sebab kesulitan pada anak keturunan kami.”
Orang tertua itu menggeram, “Pengecut. Cepatlah jika kau ingin membawa pemimpinmu kemari dan berlutut dihadapan regol ini.”
“Gila. Anak setan. Kau akan dicincang hidup-hidup. Kau akan mengalami akibat sikapmu yang liar itu, maka kau akan mengalami kematian yang lambat sekali. Anggauta badanmu akan berkurang setiap hari satu sehingga sepekan kemudian baru akan mati.”
“Cepat, pergilah. Aku masih menghormati kalian, karena belas kasihan. Sebenarnya kami dapat membunuh kalian sekarang ini juga.”
Ketiga orang itu tidak dapat menahan kemarahan yang menyesak didalam dada. Karena itu, maka merekapun segera kembali keinduk pasukannya yang sebenarnya memang sudah bersedia untuk menyerang.
Pemimpin yang diangkat dari mereka diantara gerombolan Serigala Putih itupun segera mengatur anak buahnya. Beberapa orang telah siap melontarkan tombak mereka, jika beberapa orang memecahkan pintu gerbang. Sementara yang lain telah mengambil tempat yang sebaik-baiknya untuk menyergap.
“Jangan menunggu” berkata orang tertua itu, “kita akan memanfaatkan benturan yang pertama itu sebaik-baiknya, agar kekuatan lawan langsung dapat kita kurangi.”
Orang-orangnya mengangguk-angguk. Mereka benar-benar sudah siap, karena mati di pertempuran seperti itu, akan jauh lebih baik daripada mati dicincang atau diikat di sarang semut yang liar dan buas. Atau dimasukkan ke dalam rawa-rawa yang penuh dengan buaya-buaya kerdil dilembah pegunungan.
Dalam pada itu, Empu Baladatu pun telah siap pula diantara mereka meskipun nampaknya ia acuh tidak acuh saja melihat kesibukan orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itu.
“Bagaimana dengan Empu” bertanya ornag tertua itu.
“Sudah aku katakan. Aku tetap disini.” Jawab Empu Baladatu, “aku ingin melihat, apakah yang dapat dilakukan oleh orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang itu.”
“Tetapi jika terjadi sesuatu dengan Empu? Empu adalah tamu kami disini. Tetapi bagaimana jika kami tidak dapat berbuat sesuatu untuk keselamatan Empu?”
“O, aku akan mencoba menjaga keselamatanku sendiri”
Orang tertua itu mengangguk-angguk. Sekilas dipandanginya orang-orang dari gerombolan Serigala Putih yang sudah siap menerima lawan mereka, jika mereka memecahkan pintu gerbang. Namun beberapa orang terkejut karenanya ketika mereka mendengar derap kaki-kaki kuda yang memencar. Salah seorang dari orang-orang gerombolan Serigala Putih itu mencoba untuk mengintip dari lubang regol yang dibukanya sedikit.
Dengan tegang ia pun kemudian berlari memberitahukan kepada orang tertua dipadepokan itu, “Mereka ternyata memencar di sekeliling padepokan ini”
Orang tertua itu termangu-mangu sejenak. Ketika ia menebarkan matanya di sekitar halaman itu, dilihatnya dinding batu yang tinggi diantara Rumpun-rumpun pring ori yang penuh dengan duri.
“Mereka tentu akan meloncati dinding itu” berkata Empu Baladatu.
“Terlalu sulit.”
“Mungkin mereka membawa tangga atau alat serupa.” Belum lagi orang tertua itu menjawab, mereka sudah melihat sebuah kepala yang tersembul.
“Lihat” teriaknya. Kemudian, “Memencarlah. Mereka tidak akan melalui gerbang yang tertutup itu. Mereka akan memanjat dinding. Cepat, cepat.”
Teriakan itu terdengar di seluruh halaman. Tetapi beberapa orang justru menjadi bingung ia terpaksa mengulangi .”Lihat, mereka telah memanjat dinding batu di sela-sela rumpun pering ori. Cegah mereka.”
Orang-orang yang sudah bersiaga, dan bahkan mencoba memasang perangkap berlapis dihadapan pintu gerbang itupun segera memencar. Tetapi karena mereka sama sekali tidak bersiap menghadapi hal itu, maka beberapa orang menjadi bingung dan mengikut saja teman-teman di sekitarnya..Karena itulah, maka arah mereka tidak menentu. Tetapi merekapun segera memilih lawan.
Sejenak kemudian orang-orang gerombolan Serigala Putih yg mengerumuni regol itupun telah berlari-larian tercerai berai untuk melawan orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang yang mulai memanjat dinding dan satu-satu telah mulai berada diatas dinding yang agak tinggi itu.
Tetapi pada saat mereka mulai meloncat turun, maka orang-orang Serigala Putih telah berpencar. Meskipun mereka belum siap benar, namun mereka sudah dapat mulai menghambat. Tetapi dengan demikian, maka rencana mereka untuk mengurangi jumlah lawan pada benturan pertama dengan melontarkan tombak-tombak pendek ternyata, telah gagal, karena orang-orang yang mereka tunggu, ternyata tidak memecah regol dan berdesakan memasuki padepokan itu.
Ketika orang-orang dari gerombolan Serigala Putih mencapai dinding batu, maka orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang telah mulai maju beberapa langkah, sehingga sejenak kemudian pertempuran pun segera terjadi, hampir di segala sudut padepokan.
Empu Baladatu masih berdiri termangu-mangu bersama beberapa orang pengawalnya. Orang tertua dipadepokan itupun kemudian berkata, “Empu. Aku harus ikut serta dalam pertempuran itu, agar orang-orangku tidak merasa berkecil hati.”
“Apakah pemimpin gerombolan Macan Kumbang telah ada di antara mereka?”
Orang itu menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku belum melihatnya. Tetapi mereka tentu akan datang.”
“Seharusnya kau menunggunya.”
“Aku akan menunggu sambil bertempur. Aku akan melawannya meskipun aku tahu, bahwa kemampuanku belum dapat mengimbanginya.”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya, “Silahkan agar kehadiranku disini tidak mengganggu.”
“Sebaiknya Empu menyingkir agar tidak terlibat dalam kesulitan karena kami.”
Empu Baladatu masih sempat tersenyum. Katanya, “Jangan pikirkan aku lagi.”
Orang tertua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun segera meloncat mengikuti kawan-kawannya. Setelah menilai pertempuran yang terjadi dihalaman itu, maka iapun segera memilih tempat yang paling ribut, agar ia dapat membantu kawan-kawannya yang agaknya mengalami kesulitan.
Ternyata bahwa orang-orang dari Serigala Putih itupun dapat segera menyesuaikan diri dengan lawan yang datang. Yang merasa terlampau banyak, telah berkisar ke tempat yang nampak terlampau lemah karena lawan yang lebih banyak. Meskipun rencana yang disusun oleh gerombolan Serigala Putih itu telah rusak karena kedatangan lawan yang ttidak seperti yang diperhitungkan, namun mereka berusaha sejauh mungkin untuk mengimbangi.
Karena keduanya bersumber dari ilmu yang sama, tetapi dalam perkembangannya kemudian justru telah terjadi persaingan diantara mereka, maka pertempuran yang berkobar itupun segera menjadi sangat seru. Masing-masing bertempur dengan cara dan kemampuan yang seimbang. Kasar, buas dan liar. Di segala sudut terdengar teriakan-teriakan nyaring, dan sumpah serapah yang tidak henti-hentinya disamping jerit ngeri karena luka yang membelah tubuh.
Sementara itu, orang tertua didalam kematangan ilmu dari gerombolan Serigala Putih telah ikut serta di dalam pertempuran itu, sehingga dengan demikian, maka ia berhasil memperingan tekanan kawan-kawannya didalam kelompoknya. Namun dalam pada itu, ternyata bahwa kekuatan keduanya seimbang, sehingga pertempuran yang seru dan kasar itu menjadi semakin sengit. Tidak ada seorang pun dari kedua belah pihak yang mencoba untuk mencari penyelesaian lain daripada membunuh atau dibunuh.
Dengan demikian maka mayat pun telah mulai berjatuhan ditanah dari kedua belah pihak. Korban-korban pertama itu telah membakar hati kawan-kawan mereka sehingga dendam pun semakin menyala di dalam dada masing-masing.
Empu Baladatu masih tetap berdiri diam bersama pengawalnya. Sejenak ia memperhatikan perkelahian yang sengit itu. Namun sejenak kemudian ia berkata kepada para pengawalnya, “Sebentar lagi beberapa orang dari mereka tentu akan menyerang kita. Bersiaplah. Kita tidak akan dapat berdiam diri dalam kekisruhan semacam ini.”
“Pengawal-pengawalnya pun mengangguk-angguk.”
“Melihat pertempuran itu, kalian tidak usah berkecil hati. Mereka tidak lebih dari kebanyakan orang-orang kita. Menurut penilaianku, kau berada selapis lebih tinggi dari kebanyakan mereka.”
Pengawalnya itu meng-angguk-angguk pula. Ternyata dugaan Empu Baladatu itu segera terjadi. Beberapa orang dari gerombolan Macan Kumbang yang melihat Empu Baladatu dan pengawalnya masih berdiri termangu-mangu dibawah tangga pendapa, segera mendekatinya.
Tetapi sementara itu, tiba-tiba halaman padepokan itu telah digetarkan oleh suara tertawa yang meledak diatas regol. Ternyata bahwa pemimpin gerombolan Macan Kumbang tidak berusaha memecahkan regol, tetapi bersama beberapa orang pengawalnya telah meloncat keatas regol itu.
“Bagus” teriaknya kemudian, “bunuh saja semua orang gerombolan Serigala Putih. Tetapi sisakanlah yang mungkin kalian tangkap hidup-hidup. Mereka akan merupakan hiburan yang mengasyikan setelah bertempur mempertaruhkan nyawa. Aku ingin mendapat beberapa orang mainan di antara orang-orang yang menyebut dirinya gerombolan Serigala Putih.”
Suara itu benar-benar telah menggetarkan setiap orang yang berada dipadepokan itu. Apalagi ketika mereka melihat seorang yang bertubuh tinggi tegap berdada bidang sambil menggenggam sebuah kapak bertangkai pendek.
“Agaknya orang itulah yang disebut pemimpin gerombolan Macan Kumbang” desis Empu Baladatu.
“Ya” sahut salah seorang pengawalnya, “meskipun ia tidak mengenakan kulit harimau seperti Empu Sanggadaru.”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Orang yang berdiri diatas regol itu nampaknya memang meyakinkan. Tetapi jika kemampuannya tidak lebih dari pemimpin gerombolan Serigala Putih yang terbunuh itu, maka agaknya Empu Baladatu masih dapat membuat pertimbangan untuk melawannya seorang diri. Namun dalam pada itu, sambil mengerutkan keningnya, Empu Baladatu berkata, “Tetapi kau lihat ikat pinggangnya?”
“Ya” sahut salah seorang pengawalnya, “ikat pinggang yang besar itu dibuat dari kulit harimau kumbang.”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Agaknya orang itu tetap ingin menunjukkan sesuatu yang dapat dia kaitkan dengan nama gerombolannya. Macan Kumbang. “Bersiaplah” berkata Empu Baladatu kemudian, “kita akan ikut dalam pertempuran ini seperti yang aku katakan. Mudah-mudahan dengan demikian rencanaku akan bertambah lancar.”
Kelima orang pengawalnya pun kemudian melangkah mendekat sambil mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu, orang yang berdiri diatas regol itu berkata, dengan suara yang lantang, “Bekerjalah lebih cepat. Aku tidak mempunyai banyak waktu untuk melayani tikus yang telah kehilangan induknya. Kita akan merampas apa saja yang ada dipadepokan ini. Jika kita tidak menemukan apa-apa, maka akan kita ketemukan pada perempuan dan anak-anak yang telah mengungsi lebih dahulu.”
“Persetan” tiba-tiba orang tertua dari gerombolan Serigala Putih itupun menjawab, “Kau jangan menyombongkan diri. Jangan kau sangka bahwa kami tidak akan berani melawanmu?”
Orang yang berdiri diatas regol bersama beberapa orang pengawalnya itu tertawa. Katanya, “Kau masih juga berani menyombongkan diri? Nah, aku akan minta kepada orang-orangku untuk menyelamatkanmu. Aku sendiri ingin berurusan dengan kau. Seorang yang sombong biasanya mengalami saat-saat kematian yang tidak menyenangkan. Dan kaupun akan mengalaminya.”
“Persetan” teriak orang tertua itu, “turunlah. Kita akan melihat apakah sebenarnya pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu benar-benar memiliki kemampuan bertempur atau sekedar hanya berani berteriak-teriak diantara para pengawalnya.”
“Gila” teriak pemimpin gerombolan Macan Kumbang, “aku akan sanggup membunuh beberapa orang sekaligus.”
“Dan kau tidak berbuat apa-apa.”
“Gila.”
Orang tertua itu terdiam sejenak. Namun kemudian timbullah pertimbangannya yang lain. Lebih baik ia membiarkan orang itu berdiri saja di atas regol sementara ia dapat melayani orang-orang lain dari pasukan lawannya. Sehingga karena itulah, maka iapun tidak menyahut lagi. Bahkan iapun melanjutkan pertempuran yang seru melawan orang-orang Macan Kumbang yang ada di sekitarnya.
Pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu termangu-mangu sejenak. Ia melihat orang tertua dari gerombolan Serigala Putih itu agak lebih tinggi ilmunya daripada kebanyakan anak buahnya. Namun baginya orang itu masih belum dianggap membahayakan.
Dalam pada itu, pertempuran itupun menjadi bertambah seru. Masing-masing bertempur semakin kasar dan liar. Sementara orang yang berdiri diatas regol itu masih saja bediri termangu-mangu. Sementara pertempuran berlangsung dengan sengitnya, maka beberapa orang yang terhenti karena suara pemimpinnya yang berdiri diatas regol, segera menyadari bahwa masih ada orang yang belum mendapat lawan. Mereka adalah orang-orang yang sedang mempersiapkan diri untuk menyerang orang yang berdiri termangu-mangu itu. Karena itulah maka merekapun segera meloncat, melanjutkan langkahnya, berlari menuju ketempat Empu Baladatu dan kelima pengawalnya.
“Mereka adalah orang-orang yang sedang membunuh diri” berkata Empu Baladatu.
“Apakah kita akan membunuhnya?”
“Ya. Kita harus mengejutkan orang yang sombong, yang berdiri di atas regol itu.”
“Membunuh begitu saja?”
“Hanya tiga orang” desis Empu Baladatu, “orang-orang yang malang. Mereka belum mengenal kita. Kita akan langsung menerima mereka, membunuh dengan cara kita.”
“Melukainya arang kranjang?”
“Di sini kita adalah tidak dipadepokan. Disini tidak ada kakang Empu Sanggadaru atau orang-orang dari istana Singasari.”
Kelima orang pengawalnya termangu-mangu. Tetapi mereka tidak sempat berpikir lebih lama lagi. Tiga orang lawan telah menjadi semakin dekat.
“Mereka belum mengenal kita.” geram Empu Baladatu, “itulah agaknya mereka berani menghina Empu Baladatu. Kita berenam, dan mereka hanya bertiga. Mereka sangka masing-masing dapat membunuh kita berdua.”
Tiba-tiba saja salah seorang pengawal Empu Baladatu tertawa tidak tertahankan lagi, sehingga ketiga orang lawan yang menjadi semakin dekat itu tertegun.
“He, kalian mau apa?” terdengar suara pengawal yang tertawa itu.
“Kami akan membunuhmu” geram salah seorang dari ketiga orang itu.
“Kami berenam, dan kalian hanya bertiga.”
Tiga orang itu ragu-ragu. Tetapi orang yang berdiri diatas regol, yang agaknya memperhatikan tingkah ketiga orang anak buahnya itu berteriak, “Bunuh mereka berenam.”
Ketiga orang itu tidak menunggu lebih lama lagi. Perintah itu telah menggerakkan mereka serentak menyerang Empu Baladatu dan kelima pengawalnya.
Empu Baladatu benar-benar merasa terhina. Karena itu, ia pun segera memberi aba, “Bunuh secepat dapat kita lakukan.”
Perintah Empu Baladatu itu merupakan imbangan dari perintah orang yang berdiri diatas regol itu. Jika pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu terlalu yakin akan kemampuan orang-orangnya, maka Empu Baladatu yang marah pun berusaha untuk meyakinkan lawannya, bahwa yang dihadapinya kali ini bukannya orang-orang yang ketakutan dari gerombolan Serigala Putih.
Demikian ketiga orang itu mendekat, maka Empu Baladatupun berteriak, “Sekarang. Kelupas mereka sampai ketulangnya.”
Perintah yang sangat mengerikan. Tetapi kelima pengawalnya sama sekali tidak ragu-ragu. Mereka sudah terbiasa melakukan sesuatu yang sangat mengerikan itu. Sejenak kemudian keenam orang itupun segera meloncat dalam lingkaran. Demikian ketiga orang itu mendekat, maka tiba-tiba saja mereka sudah berada di dalam kepungan. Belum lagi mereka menyadari keadaannya, maka lingkaran itu telah berputar dengan cepatnya.
Masih terdengar teriakan tertahan. Namun tidak seorang yang mengetahui, apa yang sudah dilakukan oleh keenam orang yang berputaran dalam lingkaran itu. Orang yang berdiri diatas regol itupun tidak. Tetapi setiap mata pun kemudian terbelalak ketika mereka mendengar Empu Baladatu berteriak,
“He, siapa lagi yang akan menyusul? Inilah Empu Baladatu. Penguasa dari segala ilmu yang disebut ilmu hitam.”
Rasa-rasanya pertempuran itu pun terhenti sejenak. Orang yang berdiri diatas regol itu bagaikan membeku ditempatnya ketika mereka melihat ketiga orangnya itu terbaring ditanah. Tidak lagi dapat dilihat bentuk tubuhnya selain warna darah yang merah. Sejenak orang diatas regol itu terbungkam. Meskipun ia adalah orang yang paling ganas didaerah yang dikuasainya, namun ketika ia melihat korban yang jatuh ditanah itu, rasa-rasanya tubuhnya telah menggigil.
“Sekarang kalian mengenal aku, siapakah Empu Baladatu yang sebenarnya.”
Orang-orang dari kedua pihak menjadi semakin tegang. Namun bagaimanapun juga, kematian yang mengerikan itu telah membakar hati pemimpin gerombolan Macan Kumbang yang berdiri diatas regol. Sambil berteriak nyaring orang itupun kemudian meloncat turun, diikuti oleh para pengawalnya. Dengan suara yang gemetar ia berkata,
“Empu Baladatu, ternyata bahwa ilmumu masih lebih dekat dengan sumber ilmu yang disebut ilmu hitam. Aku dapat mengenalinya dengan cara yang kau lakukan. Cara yang sudah lama ditinggalkan oleh cabang perguruan Macan Kumbang. Namun itu bukan berarti bahwa kami tidak akan mampu mengimbangi ilmumu yang gila itu. Meskipun belum dalam keseluruhan orang-orangku, tetapi setidak-tidaknya aku sendiri menguasai cara yang paling baik untuk melawan keliaran dan kebuasanmu itu.”
Empu Baladatu tertawa. Jawabnya, “Soalnya bukan sekedar kesombongan dan bual yang memuakkan. Kita akan bertempur. Dan diantara kita akan menjadi korban dari keganasan kita masing-masing. Akupun sadar, bahwa bagaimanapun juga ujud dari perkembangan ilmumu, namun ciri yang tidak dapat kita tinggalkan, adalah kekasaran yang buas dan liar. Aku sudah menunjukkannya, dan kau sudah melihat akibatnya. Sekarang, cobalah. Apa yang dapat kau lakukan dengan kapakmu. Kau tentu akan menyayat kulit korbanmu seperti sayatan kuku Macan Kumbang. Tetapi jika demikian, maka senjata yang paling tepat adalah senjata berujung runcing. Bukan sebuah kapak.”
“Kau salah. Aku tidak pernah meninggalkan korban seperti bekas sayatan kuku harimau. Tetapi aku selalu meninggalkan korbanku yang terpisah-pisah anggauta tubuhnya. Mungkin kepalanya, mungkin kedua kaki dan lengannya, atau mungkin isi perutnya. Nah, kau mengerti?”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Namun suara tertawanya telah meledak lagi. Suara tertawa iblis yang mengerikan. Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih yang melihatnya di hutan, sebagai seorang yang baik dan pengampun, menjadi heran melihatnya sekarang sebagai iblis yang buas. Rasa-rasanya Empu Baladatu yang berada di hutan perburuan itu sama sekali lain dengan Empu Baladatu yang telah mengotori tangannya dengan darah.
Namun mereka tidak dapat ingkar, bahwa dua kekuatan dari ilmu hitam sedang berhadapan. Keduanya adalah orang-orang yang liar dan buas. Cara mereka membunuh lawannya benar-benar tidak masuk akal. Mereka sudah melihat akibat tangan Empu Baladatu. Sedangkan mereka sudah mendengar pula, bagaimana pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu membunuh seseorang. Seperti yang dikatakan, maka dengan kapaknya, ia dapat berbuat apa saja atas korbannya yang sudah dibunuhnya.
Sejenak kemudian, kedua orang yang memiliki ilmu hitam itu telah bersiap. Para pengawalnya telah menghadapi lawannya masing-masing pula, sehingga mereka tidak akan bertempur dalam kelompok betapapun kecilnya. Sejenak kemudian, tiba-tiba saja telah terdengar teriakan nyaring yang terlontar dari mulut pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu. Dan itupun merupakan aba-aba yang telah menggerakkan seluruh anak buahnya yang termangu-mangu melihat kebiadaban Empu Baladatu yang semula sama sekali tidak disangka-sangkanya
Pertempuran segera berkobar lagi diseluruh halaman. Orang-orang dari kedua gerombolan itu pun segera mengerahkan kemampuan masing-masing dengan segala macam kekasaran, kebuasan dan kebiadaban. Mereka menyadari bahwa tidak ada cara yang lebih baik untuk membinasakan lawan. Apalagi mereka masing-masing memang dibesarkan dalam ilmunya, dengan cara yang demikian.
Itulah sebabnya, pertempuran yang terjadi kemudian adalah pertempuran yang paling gila. Empu Baiadatu pun sama sekali tidak mengekang dirinya lagi. Ia berbuat apa saja yang dapat dilakukannya tanpa mempertimbangkan apapun juga. Demikian juga lawannya, pemimpin gerombolan Macan Kumbang. Ia telah melihat akibat tangan Empu Baladatu dengan pisau-pisau belati panjangnya. Ketiga orangnya itu bagaikan di sayat kulitnya di seluruh tubuh.
Dalam pada itu, Empu Baladatu bertempur dengan sepasang pisau belati panjang, yang merupakan senjata utamanya dalam puncak kemampuannya sebagai ciri gerombolannya yang buas dan liar. Sedangkan lawannya mempergunakan sebuah kapak yang tajamnya berkilat-kilat disentuh sinar matahari.
Kedua orang itu ternyata telah terlibat dalam perkelahian yang dahsyat dan paling kasar. Bahkan orang-orang dari kedua gerombolan itupun seolah-olah belum pernah melihat pertempuran yang membingungkan. Keduanya bergerak dengan cepat dan membingungkan. Namun setiap kali terdengar teriakan dan umpatan. Bahkan Kadang-kadang salah seorang dari mereka telah mempergunakan ludah mereka sebagai senjata untuk mematuk mata. Tetapi seakan-akan masing-masing telah memiliki kemampuan untuk mengatasi setiap serangan yang betapapun ganasnya.
“Kau tidak akan dapat menyombongkan ilmu putaran itu disini” geram pemimpin Macan Kumbang.
“Dan kapakmu tidak akan mengejutkan aku” jawab Empu Baladatu, “hentakan yang mengejut itu sama sekali tidak dapat mempengaruhi keseimbangan perlawananku.”
“Persetan” geram pemimpin gerombolan Macan Kumbang.
“Tidak ada gunanya kau mengumpat. Sebentar lagi kau akan mati dengan kulit terkelupas.”
“Kau yang akan mati dengan tubuh yang terpotong-potong.”
Tetapi suara pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu terputus karena tiba-tiba saja Empu Baladatu sempat mencungkil segumpal tanah yang dilontarkan pada mata lawannya. Untunglah bahwa pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu sempat mengelak. Bahkan ia pun kemudian dengan sengaja melemparkan segenggam pasir kewajah lawannya. Namun tidak juga mengenai sasarannya. Perkelahian yang kasar itu telah terjadi pula diantara setiap orang didalam gerombolan yang jumlahnya memang tidak terpaut banyak itu.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Empu Baladatu memang memiliki kelebihan dari lawannya. Meskipun menurut penilaian orang-orang gerombolan Serigala Putih sendiri, bahwa, pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu memang mempunyai kelebihan betapapun kecilnya dari pemimpinnya yang terbunuh, namun didalam bertaruh nyawa, belum pasti bahwa pemimpinnyalah yang akan kalah. Apalagi jika sempat satu atau dua orang membantunya, maka kemungkinan yang lain masih dapat terjadi.
Tetapi setelah pertempuran yang kasar itu terjadi beberapa saat lamanya, maka pemimpin germbolan Macan Kumbang itu mulai terdesak surut. Beberapa kali ia menghindar dengan loncatan panjang, jika Empu Baladatu sudah mulai bergerak dalam garis lingkaran. Namun dengan demikian maka usaha Empu Baladatu untuk mengitarinya pun telah gagal pula.
Meskipun demikian, namun Empu Baladatu masih mampu membuat lawannya terdesak surut dengan serangan-serangannya yang kasar. Meskipun pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu tidak kalah kasarnya, tetapi nampaknya Empu Baladatu memang mempunyai kecepatan yang lebih tinggi dari lawannya. Dengan demikian, maka meskipun Empu Baladatu sendiri tidak dapat mengitari lawannya, namun sepasang senjatanya bagaikan mematuk-matuk dari segenap penjuru. Bayangan yang bulat membujur bagaikan angin yang bergulung-gulung melanda pemimpin gerombolan Macan Kumbang.
Tetapi kapak bertangkai pendek itu ternyata merupakan senjata yang dahsyat pula. Sekali-kali kapak itu melayang bagaikan hendak membelah langit. Namun kemudian terayun mendatar setinggi lambung. Ketika kapak itu terayun dengan cepatnya, Empu Baladatu yang berdiri didekat sebatang pohon kemuning, sempat mengelakkan diri. Tetapi demikian derasnya ayunan kapak itu sehingga batang kemuning sebesar paha itupun putus sekali sentuh.
Tetapi pada saat yang bersamaan Empu Baladatu meloncat dengan cepatnya dan berlari berputaran. Namun lawannya tidak menyerah. Ia masih sempat meloncati batang yang roboh dan menginjakkan kakinya dibelakang garis lingkaran yang mulai terbentuk.
“Setan alas” teriak Empu Baladatu.
Lawannya tidak menyahut. Ia masih berdiri ditentang batang yang roboh oleh satu sentuhan kapaknya itu. Sejenak kemudian mereka mencari kesempatan. Namun sekejap berikutnya, pertempuran telah membakar keduanya bagaikan api yang menjilat-jilat sampai ketepi mega.
Dengan demikian maka halaman padepokan Serigala Putih itupun kemudian telah dipenuhi dengan kekerasan senjata antara dua kelompok yang dibekali dengan ilmu hitam. Di tambah dengan kehadiran Empu Baladatu yang juga menyadap ilmu dari sumber yang sama, yang bahkan masih memiliki tanda-tanda yang jauh lebih mengerikan dari ilmu hitam itu. Di setiap sudut halaman telah mulai dibasahi oleh darah dari kedua belah pihak. Mayat mulai bergelimpangan dengan luka yang mengerikan disetiap tubuh.
Empu Baladatu yang bertempur bagaikan iblis itu mendapat perlawanan yang gigih dari pemimpin gerombolan Macan Kumbang. Masing-masing mampu melakukan sesuatu yang sama sekali tidak di-sangka-sangka oleh masing-masing pihak. Tetapi dalam pada itu, pemimpin gerombolan Macan Kumbang merasa menghadapi keadaan yang tidak diduga-duganya. Ia sama sekali tidak memperhitungkan kehadiran seseorang yang ternyata memiliki kemampuan bukan saja menyamai pemimpin gerombolan Serigala Putih yang sudah terbunuh, tetapi ternyata memiliki ilmu yang lebih tinggi dan lebih mengerikan.
Dengan demikian maka kemarahan yang menyala didadanya bagaikan telah membakar jantung. Dengan kapaknya ia kemudian mengerahkan segenap ilmu. dan kemampuan yang ada padanya, ilmu yang disebut ilmu hitam meskipun sudah mengalami perkembangan tersendiri dari ilmu yang dimiliki oleh Empu Baladatu. Namun bagaimanapun juga, pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu tidak mampu menyamai keganasan Empu Baladatu, sehingga dengan demikian maka semakin lama iapun menjadi semakin terdesak surut, sehingga pada suatu sudut yang tidak lagi dapat memberi kesempatan kepadanya untuk melangkah surut lagi.
Kemarahan yang membara bagaikan terpancar dari matanya yang merah. Darahnya bagaikan mendidih di dalam jantungnya. Dengan tangan bergetar, ia pun kemudian mengayunkan kapaknya bagaikan tabir baja yang melindungi dirinya. Tetapi Empu Baladatu tidak melepaskannya. Kedua ujung pisau belati panjangnya, setiap kali berhasil menyusup disela-sela putaran kapaknya. Rasa-rasanya semakin lama menjadi semakin dekat dengan dadanya.
Dalam pada itu, pertempuran yang terjadi di seluruh halaman ilu seolah-olah tidak akan selesai sebelum kedua belah pihak binasa seluruhnya. Hanya tinggal seorang saja yang akan tinggal hidup. Teriakan dan umpatan menggemuruh di sela-sela jerit dan pekik kesakitan yang tidak tertahankan. Sehingga campur baur bunyi yang memekakkan telinga telah menggetarkan udara padepokan itu.
Sementara itu, pemimpin gerombolan Macan Kumbang yang telah tersudut tidak mau menyerah tanpa usaha apapun juga untuk menyelamatkan dirinya. Karena itu, maka sejenak kemudian terdengar isyarat yang meloncat dari mulutnya. Sebuah suitan yang nyaring, yang seolah-olah melengking dari dasar bumi. Ternyata isyarat itu adalah isyarat untuk memanggil beberapa orang pengawalnya, yang dengan serta merta telah meninggalkan beberapa orang lawannya untuk menyerang Empu Baladatu.
Tetapi Empu Baladatu pun tidak sendiri. Kelima orang pengawalnya yang telah curiga dengan isyarat yang terlontar dari mulut pemimpin gerombolan Matan Kumbang itu, telah menjadi isyarat pula bagi mereka. Demikian mereka melihat beberapa orang menyerang Empu Baladatu dari segala penjuru, maka merekapun segera meninggalkan lawan-lawannya sambil berteriak kepada orang-orang Serigala Putih yang ditinggalkan lawannya pula,
“He, kemarilah kalian yang kehilangan lawan.”
Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itupun dapat menangkap maksudnya. Karena itu, maka merekapun segera berlari-larian mendapatkan lawan para pengawal Empu Baladatu. Dengan demikian maka para pengawal dari pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu tidak berhasil membantu pemimpinnya melawan Empu Baladatu, karena para pengawal Empu Baladatu pun segera mengambil alih perlawanan terhadap mereka.
Pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu menggeram. Ia benar-benar telah terperosok kedalam suatu keadaan yang tidak diduganya. Namun demikian ia tidak menjadi putus asa. Ia sadar, bahwa ilmu orang yang tidak diperhitungkan itu ternyata lebih tinggi dari ilmunya. Namun ia masih mengharap dapat menemukan kelemahannya. Tetapi akhirnya ternyata bahwa kesempatan itu tidak kunjung datang.
Empu Baladatu bertempur dengan sebaik-baiknya karena ia tidak ingin membuat kesalahan betapapun kecilnya. Meskipun serangan dari gerombolan Macan Kumbang itu tidak diketahuinya lebih dahulu, namun ia justru dapat memanfaatkannya dengan baik.
Itulah sebabnya ia bertekad untuk memenangkan perkelahian yang dahsyat itu. Iapun sudah siap menunjukkan betapa kasar dan biadabnya ilmu hitam yang dimilikinya, melampaui ilmu hitam dari gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang. Dengan demikian, maka Empu Baladatu pun mendesak lawannya semakin ke sudut sehingga benar-benar tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk mengelakkan diri.
Kegelisahan telah memuncak pada setiap dada orang-orang dari gerombolan Maran Kumbang. Pada saat-saat tertentu mereka sempat melihat, bahwa pemimpinnya sudah terdesak sehingga tidak dapat bergerak sama sekali. Namun demikian pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu sama sekali tidak berputus asa. Ia tetap bertempur dengan segenap sisa kemampuannya.
Dalam pada itu, ternyata bahwa Empu Baladatu yang kasar dan liar itu masih sempat berpikir. Seperti rencana yang sudah disusunnya saat ia mengunjungi padepokan gerombolan Serigala Putih yang sudah kehilangan pemimpinnya itu, maka persoalan yang tiba-tiba saja dijumpainya itupun akan dimanfaatkannya pula. Karena itu, ketika ia sudah berhasil mengurung lawannya sehingga tidak mungkin untuk dapat lolos lagi, maka iapun berteriak, “Menyerahlah. Aku masih dapat berbicara dengan kepala yang dingin.”
“Persetan” geram lawannya.
“Jangan keras kepala. Kau tahu, aku dapat membunuhmu sekarang. Tetapi aku masih mempunyai rencana yang panjang yang barangkali dapat kita susun bersama.”
Tidak ada jawaban.
“Jika kau pernah mendengar nama Mahisa Bungalan dan Linggadadi pembunuh orang-orang berilmu hitam, maka kau tentu akan menganggap pertempuran kita ini bermanfaat.”
Masih belum ada jawaban.
“Jika kau hentikan niatmu menguasai padepokan ini, dan bersedia bekerja bersama kami, maka kau akan melihat jalan lurus yang licin yang akan sampai ke tempat yang diinginkan oleh setiap orang. Kamukten.”
Pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu masih tetap berdiam diri.
“Jawablah. Supaya aku tidak terlanjur membunuhmu. Kita akan bersama-sama membinasakan Linggadadi dan Mahisa Bungalan. Kemudian kita akan menguasai seluruh Singasari. Kau mengerti.”
“Sebuah mimpi yang menakjubkan. Tetapi mentertawakan” jawab pemimpin gerombolan Macan Kumbang.
“Mungkin jika kau bercermin pada dirimu sendiri. Tetapi kau harus melihat kepada keadaan dan kesempatan diluar lingkunganmu yang sempit, sesempit tempurung. Kau hanya tahu rumah-rumah yang berlaEmpu terang dimalam hari. Mengetuk pintunya dan merampok harta bendanya. Selebihnya kau bersembunyi didalam padepokanmu.”
“Kau menghina.”
“Aku menawarkan kerja sama yang saling menguntungkan. Kau sekarang harus mengakui, bahwa kau tidak dapat mengalahkan aku. Apakah kau masih akan menyombongkan diri? Jika kedua padepokan yang selama ini bermusuhan ini dapat bergabung, demikian pula dengan padepokanku, maka kita akan merupakan kekuatan yang disebut kekuatan hitam yang tidak terlawan.”
Pemimpin gerombolan Maran Kumbang termangu-mangu sejenak. Pada tatapan matanya nampak, bahwa ia sedang mencoba memikirkan kata-kata Empu Baladatu itu. “Apakah kau berkata sebenarnya,” tiba-tiba saja ia bertanya.
“Aku berkata sebenarnya.”
“Atau hanya karena kau tidak sempat berbuat lain daripada menawarkan bekerja bersama.”
“Kau memang gila. Sekarang akulah yang pada kedudukan yang menguntungkan. Bukan kau. Dan sekarang kau mencoba untuk menyombongkan diri.”
“Kau sangat licik. Aku selalu curiga kepadamu. Jika aku mati saat ini, maka persoalanku sudah selesai. Tetapi jika aku menerima, tawaranmu, maka aku masih harus membuat perhitungan-perhitungan dan pertimbangan-pertimbangan tersendiri dikemudian hari.”
“Kau memang sombong. Tetapi kau nampak jujur dalam hal ini. Aku senang menghadapi orang sekeras batu akik. Tetapi cobalah, pikirkan tawaranku.”
Orang itu termangu-mangu. Namun kapaknya tidak lagi menyambar. Bahkan nampak bahwa tangannya mulai mengendor ketika Empu Baladatu menghentikan tekanannya. “Apakah kau dapat aku percaya? Atau barangkali kau sekedar ingin mendapatkan cara yang paling baik untuk membunuhku menurut caramu.”
“Kali ini aku berkata sebenarnya. Aku tidak ingin kehilangan kesempatan seperti sekarang ini. Semula aku hanya ingin bergabung dengan gerombolan Serigala Putih yang kehilangan pemimpinnya. Tetapi tanpa aku duga-duga, kalian ada disini.”
Pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu mengerutkan keningnya. Lalu, “Apakah buktinya bahwa kau benar-benar berniat baik.”
“Kau curiga?”
“Aku curiga.”
”Dan kau sadar bahwa aku dapat membunuhmu?”
“Ya. Aku sadar. Tetapi aku tidak ingin mengemis belas kasihanmu. Jika kau ingin membunuh, lakukanlah. Itu jika kau benar-benar mampu.”
“Kau memang sombong.” sahut Empu Baladatu, “tetapi baiklah. Aku benar-benar tidak ingin berbuat licik kali ini, meskipun aku memang seorang yang licik.”
Sejenak keduanya berdiri dengan tegang. Namun kemudian Empu Baladatu tersenyum sambil melangkah mundur, “Aku akan membuktikannya.”
Perkelahian dihalaman padepokan itu seolah-olah telah berhenti dengan sendirinya. Kedua belah pihak dengan dada yang berdebar-debar memperhatikan, apa yang akan dilakukan oleh Empu Baladatu dan lawannya.
Sejenak Empu Baladatu termangu-mangu. Namun iapun kemudian melangkah mundur beberapa langkah sambil berkata, “Kau telah aku bebaskan dari kesulitan. Kau tidak lagi terjepit di sudut yang gawat. Sekarang keluarlah dan bicaralah dengan orang-orangmu, bahwa perkelahian telah berakhir. Katakanlah bahwa kau telah setuju untuk bekerja bersama dengan kami menjelang hari-hari yang gemilang.”
Pemimpin gerombolan Macan Kumbang itupun termangu-mangu. Namun ia pun kemudian melangkah maju sambil berkata, “Jangan menunggu aku lengah. Aku akan tetap bersiap menghadapi sergapanmu yang tiba-tiba.”
Empu Baladatu tertawa. Bahkan ia pun kemudian menyarungkan kedua pisau belatinya sambil melangkah menjauhi lawannya. “Kita berasal dari sumber yang sama. Kenapa kita harus bertengkar. Jika kita memang ingin bertengkar, marilah. Aku akan menunjukkan jalan bagi kalian. Baik mereka dari gerombolan Serigala Putih maupun mereka dari gerombolan Macan Kumbang.”
Orang-orang dari kedua gerombolan itu termangu-mangu. Empu Baladatu benar-benar berusaha memperlihatkan kepada setiap orang, bahwa ia telah melepaskan niatnya untuk membunuh dan bertengkar diantara mereka sendiri. Pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu maju selangkah demi selangkah ketika kemudian Empu Baladatu menjauhinya. Bahkan membelakanginya menghadap orang-orang yang menjadi bingung menanggapi keadaan yang tidak menentu itu.
“Jangan bingung” teriak Empu Baladatu. Lalu katanya sambil berpaling kepada pemimpin gerombolan Macan Kumbang yang masih ragu-ragu, “berbicaralah.”
“Kau pengecut” geramnya, “jika aku sedang berbicara kau akan menikam aku.”
“Aku tidak memegang senjata lagi” berkata Empu Baladatu sambil merentangkan tangannya yang sudah tidak bersenjata.
Kesempatan itu ternyata tidak disia-siakan. Diluar dugaan setiap orang, juga orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang sendiri, bahwa tiba-tiba saja pemimpin gerombolan Macan Kumbang itupun meloncat sambil mengayunkan kapaknya langsung keubun-ubun Empu Baladatu.
Serangan itu benar-benar mengejutkan dan tidak terduga-duga. Karena itulah, maka Empu Baladatu yang sedang berusaha meyakinkan lawannya itupun terkejut bukan buatan. Ia sadar, bahwa maut benar-benar sedang menerkamnya dengan licik sekali. Empu Baladatu merasa bahwa ialah yang telah lengah saat itu. Ia telah kehilangan kewaspadaan menghadapi lawan yang licik dan pengecut.
Namun semuanya sudah terjadi. Sekarang kapak itu sedang terayun untuk membelah kepalanya. Dengan mempergunakan segenap kemampuan yang ada, maka Empu Baladatu yang tidak bersenjata itupun berusaha untuk mengelak. Secepat-cepat dapat dilakukan ia telah memiringkan kepalanya sambil bergeser. Tetapi serangan itu datang begitu cepat dan tiba-tiba, sehingga ternyata bahwa Empu Baladatu tidak lagi dapat melepaskan dirinya sepenuhnya dari ayunan kapak lawannya.
Ternyata Empu Baladatu masih sempat menyelamatkan kepalanya. Tetapi ayunan yang deras dan cepat itu masih sempat menyambar pundaknya, sehingga sentuhan kapak itu ternyata telah bukan saja mengelupas kulitnya, tetapi segumpal daging dilengan kirinya telah sobek.
Kemarahan yang tiada taranya telah menyengat dada Empu Baladatu. Namun ia masih harus meloncat surut, ketika dengan serta merta, maka serangan berikutnyapun telah menyusul dengan dahsyatnya. Pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu benar bagaikan gila. Serangan-serangan beruntun mengejar Empu Baladatu seperti angin pusaran yang melibatnya. Kapak itu seakan-akan telah berterbangan mengitarinya dengan desing yang menggetarkan jantung.Namun akhirnya, Empu Baladatu yang terluka itu berhasil mengambil jarak. Dengan kemarahan yang meluap, maka ia pun kemudian berusaha mencabut senjatanya yang sudah di sarungkannya.
Tetapi Empu Baladatu mengeram ketika terasa seolah-olah tangan kirinya yang robek oleh kapak lawannya itu menjadi lemah dan nyeri. “Gila, kau hantu licik yang tidak tahu diri” teriak Empu Baladatu.
Yang terdengar adalah suara tertawa yang memenuhi halaman itu. Pemimpin Macan Kumbang berkata disela-sela suara tertawanya, “Kau memang luar biasa Empu. Kau masih sempat mengelakkan kapakku yang siap membelah kepalamu. Tetapi meskipun demikian, tangan kirimu tentu menjadi lumpuh, sehingga kau tidak akan dapat lagi mempertahankan sepasang belati panjangmu. Dengan mudah aku akan membinasakanmu, jangan kau mengharap bantuan para pengawalmu karena mereka akan tetap terikal pada perkelahian dengan pengawalku yang memiliki kemampuan lebih baik dari pengawalamu yang malang itu”
Empu Baladatu tidak menjawab. Yang terdengar adalah gemeretak giginya karena kemarahan yang meledak di dalam dadanya. Luka ditangan kirinya itu benar-benar, telah menyalakan api kemarahan yang tidak tertahan lagi. Seolah-olah ia ingin me loncat menerkam dan menelan lawannya bulat-bulat. Tetapi Empu Baladatu memiliki pengalaman yang luas. Ia tidak mau tenggelam dalam kemarahannya tanpa sempat mempergunakan akalnya.
Itulah sebabnya, maka betapun juga, ia masih tetap mencoba mempergunakan akalnya. Ia membuat perhitungan dan penimbangan untuk melawan pemimpin gerombolan Macan Kumbang yang licik itu. Apalagi ia seolah-olah hanya mampu tangan kirinya yang terluka itu bagaikan telah lumpuh. Sejenak kemudian, maka halaman itu telah dibakar kembali oleh api pertempuran yang dahsyat. Kedua belah pihak ternyata telah dijalari oleh kemarahan seperti yang membakar dada kedua orang yang sedang bertempur dengan sengitnya.
Dalam pada itu, serangan pemimpin gerombolan Macan Kumbang itupun menjadi semakin dahsyat. Kapaknya menyambar tanpa henti-hentinya. Kelemahan Empu Baladatu benar-benar telah dimanfaatkan oleh lawannya, sehingga serangan-serangannya seolah-olah telah datang dari sebelah sisi.
Tetapi Empu Baladatu cukup lincah. Ia berusaha mengisi kekurangan pada tangan kirinya dengan kecepatan gerak kakinya. Itulah sebabnya, maka Empu Baladatu pun kemudian berloncatan seperti kijang direrumputan.
“Aku harus cepat menyelesaikan pertempuran ini sebelum aku kehabisan darah” geram Empu Baladatu di dalam hatinya.
Namun sementara itu lawannya berkata kepada diri sendiri, “Aku harus memperlambat pertempuran ini, agar orang itu mati karena kehabisan darah. Ia akan segera menjadi lemah dan tidak berdaya.”
Tetapi kemarahan Empu Baladatu tidak tertahankan lagi. Dengan cermat ia memperhitungkan setiap langkahnya justru karena ia hanya mempergunakan tangan sebelah. Lawannya benar-benar tidak menduga, bahwa meskipun tangan kiri Empu Baladatu sudah tidak dapat mengangkat pisau belatinya, namun kelincahan kakinya selalu membingungkannya
Empu Baladatu yang tidak mau sekedar hanyut dalam arus kemarahannya itu, tiba-tiba telah mempergunakan ilmunya yang paling dibanggakan. Dengan lincah dan cepat, tiba-tiba saja ia sudah berada dalam lingkaran di seputar lawannya. Demikian cepatnya, sehingga pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu seolah-olah telah dicengkam oleh kebingungan dan tidak sempat memotong putaran itu. Empu Baladatu meskipun mempergunakan sebelah tangannya, namun ternyata, didalam putaran yang cepat, pisaunya mulai berhasil menggores lawannya, sehingga kulitnya pun mulai terluka.
Pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu menggeram. Lawannya telah terluka, dan darah mengalir dengan derasnya. Sebenarnya ia tinggal menunggu lawannya itu akan jatuh dengan lemahnya, karena darahnya menjadi kering. Tetapi ternyata lawannya itu masih berhasil menggoreskan ujung pisaunya meskipun lukanya tidak menimbulkan kekhawatiran apapun juga.
Namun luka itu seolah-olah telah membangunkannya, bahwa lawannya yang terluka itu masih mampu memberikan perlawanan yang kuat. Perlawanan yang dapal membahayakan jiwanya. Itulah sebabnya, maka pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu menjadi semakin berhati-hati. Dengan tajamnya ia mengamati putaran lawannya. Dan dengan tiba-tiba saja iapun kemudian meloncat panjang sambil mengayunkan kapaknya memotong putaran Empu Baladatu.
Empu Baladatu sempat meloncat kesamping, sehingga serangan itu tidak mengenainya. Namun dengan demikian, pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu berhasil memotong putaran lawannya yang membuatnya menjadi pening. Sebenarnyalah bahwa kekuatan Empu Baladatu rasa-rasanya sudah mulai dipengaruhi oleh lukanya. Darahnya yang mengalir terus menerus, benar-benar membuatnya semakin lemah. Namun justru karena itulah maka ia bertekad untuk segera mengakhiri perkelahian.
Pada saat-saat yang menentukan itu, ternyata keduanya mempunyai perhitungan masing-masing. Lawannya berusaha selalu mengambil jarak dari Empu Baladatu. Hanya pada saat-saat ia yakin, maka serangannya datang bagaikan badai. Tetapi sejenak kemudian, iapun segera meloncat surut menjauhinya.
Empu Baladatu lah yang tidak mau melepaskannya membuat jarak yang panjang. Dengan cepat Empu Baladatu selalu memburunya jika lawannya meloncat mundur. Semakin lama semakin cepat, sehingga akhirnya pertempuran itu terjadi seolah-olah tanpa jarak.
Senjata dari kedua belah pihak terayun-ayun mengerikan. Dalam jarak yang pendek, masing-masing berusaha untuk menangkis dan menghindar sambil menyerang pada saat-saat yang hampir bersamaan. Jika ujung belati Empu Baladatu mematuk, maka lawannya menggeliat dengan geseran kecil sambil mengayunkan kapaknya pada dada lawannya. Tetapi Jawannya sempat memiringkan tubuhnya, sekaligus merubah arah pisaunya mendatar. Tetapi lawannya masih sempat mengelak pula.
Dalam pertempuran yang semakin cepat itu, Empu Baladatu perlahan-lahan mulai bergeser dalam satu arah putaran. Semakin lama semakin cepat, sehingga akhirnya ia kembali berada pada puncak ilmunya yang membingungkan lawannya. Pemimpin gerombolan Macan Kumbang menjadi bingung menghadapi kenyataan itu. Putaran itu demikian cepat dan dekat, sehingga serasa tidak ada kesempatan baginya untuk berbuat sesuatu.
Namun ia adalah seorang yang mempunyai pengalaman cukup. Itulah sebabnya, maka tiba-tiba saja ia berputar justru pada putaran yang berlawanan, dalam jarak yang lebih pendek dari putaran lawannya. Empu Baladatu menggeram. Terasa luka ditangannya menjadi semakin pedih. Namun ia masih mempunyai cukup kesempatan, karena ia yakin sepenuhnya, bahwa lawannya sedang menghadapi kesulitan.
Dalam pada itu, ternyata bahwa kemarahan Empu Baladatu yang sudah berada dipuncaknya itu, tidak dapat terbendung lagi. Apalagi Empu Baladatu yang marah itu dengan sadar mempergunakan nalarnya didalam perkelahian yang semakin seru dan sengit. Meskipun ia telah terluka, dan sebelah tangannya seolah-olah tidak lagi mampu dipergunakan, namun ternyata bahwa puncak ilmunya masih dapat dituntaskan di atas batas kemampuan lawannya.
Karena itulah, maka sejenak kemudian, terdengar sebuah keluhan yang tertahan. Ternyata bahwa ujung pisau belati Empu Baladatu masih sempat menggores ditubuh lawannya yang telah melukainya dengan licik. Luka itu agaknya benar-benar telah berpengaruh pada pertempuran yang berlangsung semakin seru, karena masing-masing benar-benar telah dibakar oleh kemarahan yang tidak tertahankan.
Namun agaknya Empu Baladatu masih mempunyai ketenangan yang melampaui lawannya. Betapapun kemarahan serasa memecahkan jantung, tetapi ia masih sempat berpikir, apakah yang sebaiknya dilakukan. Perhitungannya masih cukup cermat dan mengarah. Dengan demikian, maka sejenak kemudian, sekali lagi terdengar sebuah keluhan. Tetapi hanya desis yang lemah, karena tiba-tiba suara itu terputus oleh sebuah teriakan nyaring yang terloncat dari mulut Empu Baladatu.
Dengan sekuat tenaga yang tersisa, Empu Baladatu kemudian meloncat sambil berteriak ketika pisaunya mematuk langsung kedada lawannya. Sesaat kemudian Empu Baladatu menarik pisaunya yang terhunjam ditubuh lawannya. Tetapi Empu Baladatu telah bertekad untuk menunjukkan, bahwa ia adalah pemimpin dari golongan yang disebut berilmu hitam yang paling besar.
Karena itulah, maka ia tidak melepaskan lawannya yang sudah tidak sempat menyelamatkan dirinya itu. Demikian pisaunya ditarik, dan tubuh itu mulai terhuyung-huyung, maka nampaklah betapa buasnya Empu Baladatu, pemimpin yang merasa, dirinya terbesar dari golongannya itu. Sesaat sebelum tubuh pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu jatuh ditanah, maka tubuhnya sudah tidak dapat di kenalinya lagi. Goresan, luka dan bahkan kulit yang terkelupas dan daging yang tersayat, membuat setiap orang yang melihatnya menjadi pening dan muak. Ketika tubuh itu jatuh terguling ditanah, maka tidak seorang pun lagi yang dapat mengenal, siapakah yang telah dibunuh oleh Empu Baladatu itu.
Dalam pada itu, pertempuran di halaman itu pun seolah-olah telah dicengkam oleh kengerian yang memuncak. Orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang seolah-olah telah kehilangan kekuatannya sama sekali. Bukan saja pemimpinnya telah terbunuh, tetapi juga karena kematian yang mendebarkan jantung itu.
Empu Baladatu yang memegang pisau belati yang berlumuran darah dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya masih terkulai oleh lukanya, kemudian berdiri sambil memandang orang-orang yang bagaikan telah dicengkam oleh pesona yang mendebarkan itu.
“Orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang “ geramnya kemudian, “betapa hati menjadi sakit dan dendam melihat kelicikan pemimpinmu. Tetapi aku bukan orang yang tidak mempunyai nalar dan perhitungan. Aku dapat mempergunakan pikiranku dengan baik menghadapi kegilaan pemimpin dan kalian semuanya, jika aku menghendaki, maka sebentar lagi kalian akan mengalami nasib yang sama seperti pemimpinmu yang licik.” Empu Baladatu berhenti sejenak, lalu, “tetapi terserah kepadamu. Apakah kau akan berbuat licik seperti pemimpinmu, atau akan memilih jalan lain, mengakui kenyataan yang kalian hadapi.”
Orang-orang yang berada di halaman itu, baik dari gerombolan Serigala Putih maupun dari gerombolan Macan Kumbang, seolah diam mematung.
“Bersikaplah” berkata Empu Baladatu, “aku telah merasakan kejujuran sikap orang-orang dari gerombolan Serigala Putih. Sekarang, apa katamu, hai orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang?”
Tidak seorangpun yang menjawab. Tetapi halaman itu benar-benar telah dicengkam oleh kesenyapan yang tegang.
“Aku adalah orang yang paling buas dari antara orang-orang yang disebut berilmu hitam. Tetapi aku adalah orang yang bercita-cita.” berkata Empu Baladatu kemudian.
Halaman itu menjadi sunyi dan tegang. Semua orang memandang wajah Empu Baladatu yang seolah-olah telah berubah menjadi wajah iblis yang paling buas. Orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang yang terkenal liar itupun menjadi kecut. Mereka tidak menduga, bahwa pada saat itu mereka akan menjumpai orang lain yang lebih ganas dan buas dari pemimpin gerombolan Serigala Putih yang sudah terbunuh. Karena kenyataan yang tidak terduga-duga itulah mereka justru menjadi bingung. Apalagi pemimpin merekapun telah terbunuh pula dengan cara yang paling mengerikan.
“He, kenapa kalian menjadi bisu?” teriak Empu Baladatu, “ingat. Aku dapat meneriakkan perintah kepada orang-orang dari gerombolan Serigala Putih yang mengakui kehadiranku disini sebagai seorang tamu yang pantas dihormati, dan yang telah membuktikan diri bahwa aku dapat menyelamatkan padepokan ini”
Terasa hati orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang menjadi semakin kecut.
“Dengarlah” Empu Baladatu melanjutkan, “kedua gerombolan ini sudah tidak mempunyai pemimpin-pemimpinnya lagi. Karena itu, maka aku akan menawarkan diriku untuk menerima kalian bergabung dengan kekuatan kami. Seperti kalian, maka kamipun disebut orang-orang yang berilmu hitam. Karena itu, maka sudah sewajarnya jika kita menyusun kekuatan dalam lingkungan yang sama.”
Tidak terdengar seorangpun yang menyahut.
“Nah, pikirkan” berkata emPu Baladatu seterusnya, “jika kalian bersedia, maka aku akan menawarkan, siapakah yang akan menjadi pemimpin kita semuanya. Jika ada seseorang yang menginginkannya, aku tidak berkeberatan sama sekali.”
Halaman itu masih dicengkam kediaman. Dan Empu Baladatu masih berbicara lagi, “Jangan segan. Aku akan menerima dengan senang hati dan akan menyerahkan kekuatan yang ada dipadepokanku kepada siapapun yang akan memimpin kita sekalian. Aku mempunyai kekuatan sebesar kedua kelompok yang sekarang ada disini.”
Sejenak orang-orang yang berada dihalarnan itu saling berpandangan. Salah seorang dari mereka berbisik ditelinga kawannya, “Apakah mungkin ada orang lain yang dapat menyamainya? Ia mendapat serangan yang tiba-tiba dari pemimpin gerombolan Macan Kumbang. Namun akhirnya ia dapat membunuhnya dengan caranya sendiri.”
Kawannya tidak menjawab.
“Nah, jawablah.” Tidak ada jawaban.
“Apakah kediaman kalian berarti bahwa tidak ada seorang pun yang tertarik kepada tawaranku, atau tidak ada seorang pun yang mau mengambil alih pimpinan kedua kelompok yang ada dihalaman ini.”
Semuanya masih tetap diam, sehingga Empu Baladatu akhirnya membentak, “He, apakah aku berbicara dengan batu?”
Orang tertua didalam lingkungan gerombolan Serigala Putih itupun kemudian melangkah maju sambil berkata, “Empu, tidak ada seorang pun diantara kami yang merasa berhak mewakili pendapat kami. Karena itu, tidak seorang pun yang memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan Empu.”
“Lalu, apakah sebenarnya yang kalian kehendaki.”
“Empu” berkata orang itu, “sebenarnya bagi orang-orang dari Gerombolan Serigala Putih tidak akan ada keberatan lagi jika kekuatan yang tidak seberapa dipadepokan ini di perbolehkan berlindungan dibawah pimpinan Empu. Selanjutnya terserah kepada orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang yang telah kehilangan pemimpinnya pula.”
“Nah, kalian dengar?” Teriakan Empu Baladatu, “terserah kepada orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang. Jika kalian ingin bergabung dengan kami, kami akan menerima dengan senang hati. Tetapi jika kalian menolak, kita akan bertempur terus. Sedangkan bila kalian berpura-pura seperti pemimpinmu, maka setiap orang akan mengalami nasib seperti orang yang licik itu.”
Tiba-tiba saja seorang yang bertubuh tinggi meskipun kekurus-kurusan maju selangkah. Katanya, “Tidak ada seorang pun diantara kami yang berhak mewakili seluruh gerombolan sepeninggal pemimpin kami. Tetapi perkenankanlah aku menyatakan perasaanku sendiri.”
“Katakan.”
“Aku bersedia dengan tulus berlindung di bawah pimpinan Empu seperti orang-orang dari gerombolan Serigala Putih.”
Empu Baladatu memandang orang itu sejenak, lalu, “Kau berkata sebenarnya?”
“Ya.”
“Bertanyalah kepada kawan-kawanmu, apakah yang akan mereka kehendaki seperti yang kau kehendaki pula?”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berdiri menghadap kepada kawan-kawannya sambil berteriak, “Siapakah yang berkeberatan, nyatakanlah kepada kami.”
Wajah-wajah itupun menjadi tegang. Tetapi tidak seorangpun yang menyahut.
“Nah, sudah Empu saksikan sendiri. Tidak seorangpun yang merasa keberatan.”
Empu Baladatu tertawa. Katanya, “Kaulah yang licik. Pertanyaanmu sudah menjurus. Tetapi kediaman bukan jawaban yang mantap. Aku hanya menerima pengakuan yang mereka ucapkan. Bukan sekedar kediaman oleh pertanyaan yang licik.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sekali lagi ia menghadap kepada kawan-kawannya sambil berteriak, “Katakanlah yang ingin kalian katakan. Kau tidak terikat kepada sikapku, karena kedudukan kita sejajar.”
Nampak wajah-wajah yang ragu-ragu.
“Cepatlah. Kalian bersedia menerima Empu Baladatu sebagai pemimpin kita, atau tidak.”
Sejenak masih nampak ke-ragu-raguan. Namun kemudian terdengar jawaban, “Kami menerimanya. Kami menerimanya“
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Empu sekarang sudah mendengar pengakuan mereka. Bukan sekedar sikap yang diam.”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih. Dengan demikian kalian telah mengakui aku. Dan akupun akan bertanggung jawab atas pengakuan kalian. Aku harus menjadi seorang pemimpin yang memiliki sesuatu yang tidak kalian miliki. Yang pertama adalah kelebihan ilmu. Berikutnya, aku akan menunjukkan bahwa aku akan berusaha membawa kalian kesasaran yang pasti. Bukan sekedar melakukan perampokan dan kejahatan yang lain tanpa tujuan.”
Orang-orang yang berada dihalaman itu termangu-mangu. Dan Empu Baladatupun berkata lebih lanjut, “Camkanlah. Aku adalah orang yang bercita-cita. Bukan sekedar melakukan kejahatan. Sejak kini kalian harus menyesuaikan diri. Kalian bukan lagi perampok-perampok yang hanya sempat memungut jemuran dan menangkap ayam diluar kandang. Tetapi kalian harus memandang istana Singasari.”
Orang-orang itu mengerutkan keningnya.
“Kalian harus mempersiapkan diri untuk melakukan sesuatu yang besar, karena kalian adalah orang-orang yang memiliki sesuatu. Kalian memiliki kemampuan seperti seorang prajurit. Bahkan mungkin lebih daripada itu. Karena itulah sejak sekarang kalian harus menyempurnakan ilmu itu sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang akan aku berikan. Pada suatu saat kalian akan bangkit sebagai seorang prajurit dari negara yang besar. Yang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya akan aku angkat menjadi lurah prajurit atau seorang tumenggung, atau jabatan-jabatan lain yang memadai. Sedangkan yang memiliki perjuangan yang sempurna, tentu akan menjadi seorang Akuwu atau jabatan-jabatan lain yang pantas.”
Orang-orang itu masih diam mematung.
“Nah, renungkan. Aku tidak mengingini jawaban. Tetapi aku mengingini perbuatan yang nyata.”
Orang-orang itu saling berpandangan sejenak. Namun mereka masih tetap diam.
“Sekarang, kalian harus melenyapkan rasa permusuhan yang ada. Pulihkan ketenangan di padepokan ini dan padepokan Macan Kumbang. Kita harus menempa diri, agar pada saatnya kita tidak akan mengecewakan.”
Orang-orang dari kedua padepokan itu mengangguk-angguk meskipun mereka masih belum jelas.
Empu Baladatu agaknya dapat membaca rasa kebingungan yang membayang disetiap wajah, sehingga karena itu, maka katanya, “Kalian memang orang-orang dungu. Kalian hanya mengetahui satu cara untuk mengisi hidupmu yang gersang. Merampok harta benda. Hanya itu. Tetapi aku tidak. Aku bukan hanya ingin harta benda. Tetapi aku ingin kedudukan, pangkat, kekuasaan, dan kemudian dengan sendirinya aku akan mendapatkan harta benda jauh melampaui yang kalian dapatkan dengan menyabung nyawa.”
Orang-orang itu mengangguk-angguk.
“Tegasnya, aku akan mengatakannya kemudian. Bahkan aku mengharap bahwa kalian akan mengerti dengan sendirinya.”
Sejenak halaman itu dicengkam kembali oleh ketegangan. Bahkan seorang dari mereka kemudian berbisik, “Aku tidak mengerti.”
Kawannya tidak menjawab.
“Kenapa kalian tiba-tiba saja benar-benar menjadi orang-orang yang paling dungu? Jika kalian tidak mengetahui, sebaiknya kalian bertanya.”
Orang tertua dari gerombolan Serigala Putih memberanikan diri untuk melangkah maju sambil bertanya, “Apakah maksud Empu, pada suatu saat kita akan memberontak terhadap Singasari?”
“Tepat” jawab Empu Baladatu, “aku sudah mengira, bahwa kaulah orang yang paling pandai di antara kalian. Pada suatu saat, kita akan memberontak terhadap Singasari yang selama ini telah memusuhi golongan yang mereka namakan golongan berilmu hitam.”
Orang-orang itu mengangguk-angguk.
“Kemudian, kita harus memperhatikan pula orang-orang yang bernama Linggadadi dan Mahisa Bungalan. Mereka menamakan diri pembunuh orang-orang berilmu hitam. Karena itu, pada suatu saat kita harus menemukannya dan membunuh mereka tanpa ampun, agar ternyata bagi kita dan kawan-kawan orang yang bernama Linggadadi dan Mahisa Bungalan itu, bahwa orang-orang yang mereka sebut berilmu hitam memiliki kekuatan yang tidak terlawan.”
Orang-orang yang mendengarkan penjelasan Hu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja diangan-angan mereka telah terbersit harapan-harapan yang cerah dimasa datang. Harapan-harapan yang selama itu tidak pernah mereka bayangkan.
“Mengalahkan Singasari” desis seseorang sambil mengerutkan keningnya, “apakah kata-kata itu benar seperti yang aku dengar?”
Orang yang berdiri disampingnya berpaling. Tetapi kerut merut dikeningnyapun menggambarkan keragu-raguan meskipun tidak dikatakannya. Namun dalam pada itu, Empu Baladatu yang seolah-olah mengerti keragu-raguan yang mencengkam beberapa orang yang mendengarkan sesorahnya itu berkata, “Memang kedengarannya seperti ceritera tentang mimpi. Tetapi aku benar-benar ingin melakukan segala usaha, agar yang aku katakan itu benar-benar terjadi. Jika itu suatu mimpi, maka hendaknya mimpi daradasih.”
Orang-orang yang mendengarnya mengangguk-angguk.
“Nah, aku tidak akan berbicara lebih banyak lagi. Aku harap kalian kali ini jujur meskipun kita bukannya orang-orang yang dapat jujur sepanjang waktu.”
Orang-orang itupun termangu-mangu.
“Orang-orang dari padepokan Macan Kumbang. Kembalilah kepadepokanmu. Bawalah pemimpinmu yang sudah tidak dapat dikenal lagi. Aku akan datang kepadepokanmu pada suatu saat. Karena aku adalah pemimpinmu. Mungkin aku akan datang dengan beberapa orang pengawal. Tetapi mungkin aku akan datang seorang diri untuk mengetahui apakah kalian benar-benar orang yang dapat dipercaya meskipun hanya untuk kali ini.”
Sejenak halaman itu menjadi sepi.
“Pergilah.”
Orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang itu termangu-mangu. Namun sejenak kemudian merekapun menyadari keadaan mereka masing-masing. Orang yang mula-mula sekali menyatakan pendapatnya, nampaknya telah berbuat lebih dahulu pula.
“Kami mohon diri Empu. Kami menunggu kehadiran Empu dipadepokan kami."
"Terima kasih. Pada saatnya aku akan datang. Aku atau orang yang aku beri kuasa untuk mengunjungi padepokanmu.”
Orang-orang itupun kemudian bergeser surut. Tidak banyak yang mereka katakan. Apalagi dengan orang-orang dari perguruan Serigala Putih. Meskipun mereka kemudian telah dipersatukan oleh suatu ikatan yang dibuat oleh Empu Baladatu, namun rasa-rasanya mereka masih belum dapat luluh menjadi satu keluarga. Sejenak kemudian, maka orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang itupun telah meninggalkan halaman. Mereka telah membawa pemimpin mereka yang telah terbunuh betapapun mereka merasa ngeri.
Sepeninggal orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang, maka Empu Baladatu pun kemudian mengumpulkan orang-orang dari gerombolan Serigala Putih. Nampaknya Empu Baladatu pun sempat memperhatikan padepokan yang lengang itu. Seolah-olah padepokan itu adalah padepokan laki-laki semata-mata.
“Bawalah mereka kembali” berkata Empu Baladatu, “kalian memerlukan mereka.”
Orang tertua dari padepokan itu menyahut, “Maksud kami, kami telah menyelamatkan mereka.”
“Susullah. Mereka akan menjadi kawan yang baik untuk melanjutkan kehadiranmu dimuka bumi ini. Bahkan mereka akan dapat mengasuh anak-anak yang akan melanjutkan cita-citamu, serta memelihara apa yang pernah kau capai selama hidupmu.”
Orang tertua itu mengangguk-angguk.
“Jangan menunggu. Mereka akan berpencaran jika mereka merasa bahwa mereka tidak akan mendapat kesempatan kembali kepadepokan ini. Jika mereka menduga bahwa padepokan ini benar-benar telah hancur, maka mereka akan mencari jalan keselamatan mereka masing-masing. Orang-orang laki-laki yang ada diantara mereka tentu mampu memperhitungkan, bahwa lawan kalian akan menyusul mereka.”
“Baiklah. Aku akan segera menyuruh beberapa orang menyusul mereka.”
“Kenapa tidak sekarang?”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Baiklah. Aku akan menyuruh beberapa orang untuk pergi sekarang.”
Sejenak kemudian, maka orang itupun telah memanggil tiga orang yang paling dipercaya. Mereka mendapat tugas untuk menyusul perempuan dan anak-anak yang sedang menyingkir. Mereka harus segera kembali dan berada kembali dipadepokan.
“Pergilah. Tetapi kalian memang harus ber-hati-hati. Jika terjadi sesuatu, segera berusaha salah seorang dari kalian membebaskan diri dan memberikan kabar kapada kami.”
Ketiga orang itu mengangguk-angguk.
“Perlakukan perempuan itu dengan baik” pesan Empu Baladatu, “jangan kau perlakukan seperti memperlakukan seekor binatang peliharaan. Tetapi mereka sebagai kawan hidupmu.”
Ketiga orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ketika terlihat oleh mereka sorot mata Empu Baladatu yang garang, maka mereka mengangguk sambil menjawab, “Baiklah Empu. Kami akan melakukannya sebaik-baiknya.”
Sejenak kemudian maka ketiga orang itu pun segera meninggalkan padepokan. Mereka berpacu dengan hati segan. Tetapi mereka tidak berani menentang pesan Empu Baladatu yang sudah mereka ketahui kemampuan dan kekerasan hatinya. Bahkan kekejamannya.
Dalam pada itu, orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itupun merasa semakin senang kepada Empu Baladatu. Jika semula beberapa orang menganggapnya sebagai seorang yang baik hati dan pemurah, karena perlakuannya atas mereka dihutan perburuan itu, maka kini mereka menganggap bahwa Empu Baladatu adalah penguasa maut yang menakutkan.
Namun dalam pada itu, sikap Empu Baladatu nampaknya cukup meyakinkan, bahwa ia benar-benar akan melakukan seperti apa yang dikatakannya. Mencari jalan bagi kemungkinan terbaik dihari depan. Untuk beberapa lama Empu Baladatu masih berada di padepokan itu. Ketika malam kemudian turun, maka orang tertua dari antara gerombolan Serigala Putih itu mengharap Empu Baladatu untuk bermalam.
“Aku akan berada disini sampai Perempuan-Perempuan yang mengungsi itu datang kembali.”
Orang tertua itu mengerutkan keningnya. Tetapi nampaknya ia mulai disentuh oleh kecurigaan, bahwa Empu Baladatu yang ternyata mengerikan itu, mempunyai pamrih yang lain.
“Ia nampaknya mengetahui bahwa perempuan yang mengungsi itu telah membawa barang-barang berharga yang disediakan bagi anak-anak dan hidup mereka sendiri, sekedar untuk melayani kelangsungan hidup anak-anak itu. Dan agaknya perempuan-perempuan itu tidak akan berani melanggar pesan yang pernah diberikan kepada mereka. Bahkan seandainya orang-orang yang memberikan pesan itu sudah mati terbunuh sekalipun. Karena Empu Baladatu mengetahuinya, maka ia telah mengambil sikap yang keras untuk mengambil orang-orang yang telah mengungsi itu.”
Dalam pada itu, ketiga orang itupun berkuda semakin cepat. Mereka berharap bahwa mereka akan sampai ketempat tujuan sebelum malam menjadi semakin dalam. Agaknya ketiga orang itu tidak terlambat. Perempuan dan anak-anak yang dijaga oleh beberapa orang laki-laki tua masih berada ditempatnya. Kedatangan ketiga orang itu membuat mereka terkejut dan cemas. Namun setelah ketiga orang itu menjelaskan, merekapun menjadi lega.
“Jadi kami dapat kembali kepadepokan” bertanya seorang laki-laki berambut putih dan berpedang dilambung.
“Ya.”
“Kami sudah cemas. Hampir saja kami memutuskan untuk meninggalkan tempat ini dan memencar seperti yang direncanakan. Tempat ini rasa-rasanya menjadi semakin miskin, karena binatang-binatang buruannya telah kami tangkap setiap saat.”
“Hutan ini tidak akan kehabisan binatang buruan meskipun bukan hutan yang terlampau lebat.”
“Sukurlah, bahwa kami sudah boleh kembali.” desis laki-laki yang lain, yang rambutnya justru sudah hampir habis rontok sehelai demi sehelai.
Orang-orang yang mengungsi dihutan itupun segera bersiap-siap. Mereka berharap bahwa mereka akan dapat hidup lebih baik dan tenang, setelah kawan-kawannya menceriterakan kematian orang yang paling berbahaya bagi gerombolannya.
“Tetapi pemimpin kami yang baru itu bukannya tidak mendebarkan jantung” desis salah seorang dari ketiga orang yang menjemput mereka.
“Kenapa?”
Orang itupun kemudian menceriterakan serba sedikit, apa yang sudah dilakukannya. Bagaimana ia membunuh dan seolah-olah telah mengelupas kulit pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu.
Perempuan yang mendengarnya menjadi ngeri. Tetapi seperti biasanya, tidak seorangpun dari mereka yang menyatakan pendapatnya. Mereka adalah orang-orang yang seakan-akan tidak diperhitungkan selain untuk memberikan air susu kepada bayi-bayi yang dilahirkan. Bayi-bayi laki-laki akan mendapat tempat, sedang bayi-bayi perempuan akan mengalami nasib serupa dengan ibunya. Tetapi karena kebiasaan itu sudah berlaku dalam waktu yang panjang, maka rasa-rasanya mereka tidak lagi dapat mempersoalkannya, selain menjalani dengan hati yang Kadang-kadang me mang terasa pahit.
“Kita akan berangkat pagi-pagi benar” berkata salah seorang dari tiga orang ang menyusul mereka itu.
“Perempuan-perempuan harus mengemasi barang-barang kita semuanya dan siap di dini hari“ teriak salah seorang laki-laki tua yang ikut mengawasi mereka.
Tidak seorangpun yang dapat mengeluh. Meskipun mata mereka kantuk, namun merekapun mulai bekerja, mengatur barang-barang yang telah mereka bawa dan yang akan mereka bawa kembali kepadepokan, termasuk barang-barang berharga yang mereka sisihkan, agar tidak jatuh ketangan gerombolan Macan Kumbang. Ternyata bahwa mereka masih sempat beristirahat dan tidur beberapa lama menjelang dini hari, sehingga rasa-rasanya tubuh mereka telah menjadi segar.
Demikianlah, ketika fajar menyingsing maka iring-iringan itu keluar dari persembunyian mereka. Seperti yang mereka lakukan saat mereka pergi, maka merekapun maju dengan sangat berhati-hati menyusuri jalan-jalan sepi dipinggir hutan dan padang yang kosong.
“Kita akan memasuki daerah yang berpenghuni dimalam hari,” berkata salah seorang dari tiga orang yang menjemput mereka.
“Ya” sahut yang lain, “kita akan berhenti setiap kali, untuk memberi kesempatan anak-anak beristirahat.”
Tidak seperti saat ketiga orang yang menyusul mereka, yang dapat menempuh jarak itu jauh lebih cepat karena mereka berkuda, maka perjalanan kembali itu terasa sangat lamban. Mereka harus mengiringi beberapa orang anak-anak yang berjalan, karena tidak ada orang lagi yang dapat mendukungnya. Hampir setiap perempuan telah mendukung anak-anak mereka yg paling kecil, sehingga anak-anak yang agak lebih besar harus menempuh perjalanan mereka dengan berjalan sendiri.
Itulah sebabnya, maka jarak yang tidak terlampau jauh di pinggir hutan itu harus mereka tempuh dalam waktu yang sangat lama. Belum lagi mereka sempat meninggalkan hutan itu setelah mereka berhasil keluar, anak-anak sudah mulai letih, sehingga mereka harus beristirahat. Betapapun kejemuan terasa mengganggu perasaan beberapa orang diantara mereka, namun mereka tidak dapat meninggalkan anak-anak mereka.
Karena itulah, maka perjalanan mereka terasa terlalu lama. Bahkan seolah-olah mereka tidak bergerak sama sekali. Anak-anak yang kelelahan, haus dan lapar mulai merengek, sehingga orang-orang tua yang ada diantara mereka harus berusaha untuk mendapatkan air dan makan.
Ketika mereka kemudian berada di padang semak-semak, sebelum mereka turun kedaerah yang berpenghuni, maka iring-iringan itupun sengaja beristirahat cukup lama. Orang-orang tua mencoba menidurkan anak-anak mereka, karena mereka kemudian akan menempuh perjalanan dimalam hari, agar tidak banyak menimbulkan pertanyaan dari orang-orang yang melihat iring-iringan itu di sepanjang jalan padukuhan.
Tetapi akhirnya perjalanan yang sulit itu dapat juga mereka selesaikan. Meskipun Perempuan-Perempuan itu seolah tidak mendapat perlakuan yang sewajarnya dari setiap laki-laki yang ada dipadepokannya, namun ketika mereka melihat pintu gerbang dari padepokan yang sudah lama mereka huni, terasa juga perasaan mereka menjadi berdebar-debar.
Hampir semalam suntuk mereka berjalan. Anak-anak yang tidak mampu lagi berjalan, dinaikan ke atas punggung kuda yang dituntun di antara mereka. Bahkan terpaksa beberapa orang perempuan harus mendukung dua orang sekaligus. Ketika mereka memasuki padepokan mereka, terasa dipipi mereka menitik air yang hangat. Meskipun mereka harus menghadapi tata kehidupan yang pahit, namun itu agaknya, lebih baik daripada mereka harus berada diperantauan yang tidak menentu, atau di hutan yang gelap dan mengerikan, apalagi di perjalanan yang berat.
Ternyata Empu Baladatu masih menuggu kedatangan perempuan dan anak-anak. Beberapa orang penghuni padepokan itu menerima kedatangan anak-anak mereka dengan gembira. Terutama mereka yang mempunyai anak laki-laki. Tetapi kecemasan yang sangat telah menjalari dada orang tertua dari padepokan Serigala Putih itu. Ia melihat beberapa orang laki-laki tua yang mengawasi perempuan dan anak-anak itu masih membawa barang-barang berharga yang memang diperuntukkan bagi bekal anak-anak mereka yang akan bertebaran jika padepokan itu benar-benar dikuasai oleh orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang.
“Empu Baladatu adalah orang yang sama sekali tidak dapat dimengerti watak dan tabibatnya” berkata orang tertua itu didalam hatinya.
Namun, orang itu berusaha menghapus semua kesan itu dari wajahnya. Bahkan ia masih sempat berkata lantang, “kembalilah ketempat kalian masing-masing. Padepokan kita tidak mengalami kerusakan apapun juga.”
Demikianlah, maka perempuan dan anak-anak itupun segera kembali ketempat masing-masing. Mereka benar-benar masih menemukan tempat tinggal mereka seperti saat mereka tinggalkan.
Orang tertua dari padepokan itu menjadi berdebar-debar ketika Empu Baladatu bertanya kepadanya, “Apakah semua dapat diselamatkan?”
Sejenak orang itu termangu-mangu. Namun kemudian iapun bertanya, “Maksud Empu?”
“Perempuan dan anak-anak” jawab Empu Baladatu.
“O, ya, ya Empu. Semua dapat diselamatkan.”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Tetapi senyum dibirnya membuat orang tertua itu tetap berdebar-debar. Tetapi beberapa saat ia menunggu Empu Baladatu tidak bertanya lebih lanjut meskipun nampaknya ia sangat memperhatikan barang-barang yang dibawa oleh orang-orang yang baru saja datang itu.
Tetapi sampai orang terakhir pergi ketempat mereka masing-masing, Empu Baladatu tidak menanyakan apapun juga tentang barang-barang itu. Bahkan iapun kemudian berkata, “lihatlah orang-orang yang baru datang. Tenangkan hati mereka, agar mereka tidak mengalami gangguan jiwa untuk waktu yang lama. Apalagi Perempuan-Perempuan.”
Orang tertua itu kurang mengerti maksudnya, sehingga Empu Baladatu tertawa, “Kau tidak pernah menghargai perempuan, apalagi mencoba mengerti tentang mereka. Cobalah sekarang. Bertanyalah apakah keadaan mereka baik, atau katakanlah kepada mereka, bahwa mereka tidak usah gelisah dan takut, karena gerombolan Macan Kumbang tidak akan datang mengganggu lagi.”
Orang tertua itu mengangguk-angguk. Namun baginya Empu Baladatu tetap merupakan teka-teki. Terutama yang berhubungan dengan barang-barang mereka yang telah dibawa kembali kepadepokan mereka itu. Meskipun dengan segan, tetapi orang tertua dari padepokan Serigala Putih itu pergi juga menemui perempuan dan anak-anak. Dengan ragu-ragu ia mencoba menjelaskan bahwa mereka tidak usah cemas lagi karena orang-orang Macan Kumbang tidak akan datang mengganggu.
“Kita sudah mendapatkan seorang pemimpin yang baru yang sekaligus menjadi pemimpin gerombolan Macan Kumbang karena ia sudah membunuh pemimpin mereka.” berkata orang tertua itu, “karena itu, maka gerombolan Macan Kumbang sejak saat itu tidak akan mengganggu kita lagi.”
Perempuan dan anak-anak itu mengangguk-angguk. Ada sedikit perasaan asing pada Perempuan-Perempuan itu. Orang tertua itu nampaknya mulai memperhatikan mereka. Tetapi yang dikatakan oleh orang tertua itu tidak lebih dari sebuah pemberitahuan. Namun demikian pemberitahuan itu terasa sangat berarti bagi Perempuan-Perempuan itu. Mereka memang menjadi tenang, dan terlebih-lebih lagi tanpa mereka sadari tumbuh harapan yang tidak mereka mengerti.
Hari itu Empu Baladatu masih tetap berada dipadepokan Serigala Putih, sedang orang tertua dipadepokan itu masih tetap dibayangi oleh kegelisahan apabila pada suatu saat barang-barang mereka akan dirampas. Dengan alasan apapun juga maka hal itu akan sangat kemungkinan sekali terjadi...
“Aku tidak sampai hati untuk membinasakan mereka yang telah menyerah” berkata Empu Sanggadaru kepada orang-orangnya, “meskipun aku sadar, bahwa mungkin sekali pada suatu saat dendam itu menyala lagi didalam hati mereka meskipun mereka mengatakan, bahwa mereka tidak akan mempergunakan senjatanya lagi selain untuk membela, diri.”
“Pada suatu saat mereka akan merasa kuat lagi” berkata salah seorang cantriknya, “jika demikian maka mereka akan datang dan mencoba untuk menebus kekalahannya.”
“Tetapi sudah tentu tidak dalam waktu yang dekat” jawab Empu Sanggadaru.
“Kecuali jika mereka mendapatkan bantuan dari pihak lain, atau pihak yang sengaja ingin mendapatkan, keuntungan dari benturan itu.”
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Katanya, “Karena itu jangan pernah menjadi lengah, kapanpun juga. Setiap saat kita akan dapat menjadi sasaran dendam.”
Para cantrik dari padepokan itu pun menyadari bahwa dendam itu memang setiap saat dapat membakar padepokannya, sehingga karena itu, maka merekapun tidak meninggalkan kewaspadaan.
Dalam pada itu, maka orang-orang Serigala Putih itupun ternyata telah selamat sampai ke padepokan mereka. Meskipun demikian, ternyata kedatangan mereka dengan membawa mayat kedua orang kawannya, bahkan salah seorang dari keduanya yang terbunuh itu adalah pemimpin mereka, telah membuat seisi padepokan itu menjadi cemas dan marah. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apapun juga, setelah kawan-kawan mereka yang mengalami pertempuran yang dahsyat itu menceriterakan betapa lawan mereka memiliki ilmu yang tinggi.
“Apakah kalian berkata sebenarnya?” bertanya salah seorang dari mereka yang tinggal di padepokan sehingga tidak dapat melihat sendiri, apa yang telah terjadi.
“Kau sangka bahwa kami ini sekelompok pengecut? Kami menyadari, bahwa kami adalah orang-orang terbaik dari padepokan ini. Apa yang kami katakan, tentu dapat kalian bayangkan. Jika kalian yang mengalaminya, maka kalian tentu akan mati membeku ditempat.”
Tidak ada yang menjawab. Tetapi dari wajah-wajah mereka nampak keheranan dan bahkan kurang mengerti apa yang sebenarnya terjadi, bahwa pemimpin mereka yang mereka kagumi itu telah terbunuh.
“Kita harus merahasiakannya sejauh dapat kita lakukan” berkata seorang yang tertua diantara mereka. Yang lain menyadari, bahwa kematian itu akan dapat berakibat buruk bagi padepokan mereka. Karena itu salah seorang dari mereka berkata, “Orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang tentu akan memanfaatkan kematian ini. Dan itu berarti bencana.”
“Kita jangan terlampau terpengaruh oleh kematian satu atau dua orang dari antara kami. Jumlah kami masih cukup banyak untuk menghadapi orang-orang Macan Kumbang. Tetapi jangan ingkar akan kenyataan yang kita hadapi. Jika kita salah menilai diri sendiri, maka akibatnya akan sangat pahit. Kematian pemimpin kita merupakan kelemahan yang tidak akan dapat kita tutup-tutupi lagi jika kita benar-benar telah berhadapan dengan orang-orang Macan Kumbang. Pemimpin gerombolan Macan Kumbang yang juga menyebut dirinya bernama Macan Kumbang itu, merupakan orang yang sangat berbahaya. Hanya pemimpin kita sajalah yang akan dapat menghadapinya.”
“Kita hadapi dengan sebuah kelompok kecil yang terdiri dari tiga atau empat orang pilihan.”
“Kau sangka ia datang seorang diri? Tentu merekapun akan dapat menyingkirkan yang tiga atau empat orang itu dengan tiga atau empat orang dari lingkungan mereka.”
Yang lain mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Baiklah” berkata orang tertua, “kita tetap melihat kenyataan itu. Tetapi kita jangan mati ketakutan. Mungkin jika terjadi benturan, kita akan tumpas. Tetapi tentu lebih separo dari mereka pun akan terbunuh.”
Kawan-kawannya memandanginya dengan tajam. Namun kemudian salah seorang dari mereka bergumam, “Kau benar. Kita adalah laki-laki yang telah berani menamakan diri Serigala Putih.”
Dengan rahasia, orang-orang Serigala Putih itu menguburkan pemimpin mereka yang terbunuh itu, agar gerombolan mereka kemudian tidak menjadi liar, maka mereka telah memilih orang tertua di antara mereka, bukan saja umurnya, tetapi juga ilmunya untuk memimpin mereka.
“Aku bersedia saja. Tetapi kalian harus patuh meskipun tidak seperti terhadap pemimpin kita yang sudah terbunuh” berkata orang tertua itu, “selanjutnya, kalian harus berusaha sejak sekarang, untuk meningkatkan ilmu. Jauh lebih tekun dari waktu yang sudah-sudah. Kehilangan yang kita alami, akan kita tebus dengan meningkatnya kemampuan kita seorang-seorang. Dengan demikian, maka kita tidak akan menjadi terlalu lemah, seperti seekor kijang di hutan belantara yang dihuni oleh harimau dan serigala liar.”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Salah seorang menyahut. “Kami akan melakukannya dengan sepenuh hati. Kami akan melatih diri sejauh dapat kami lakukan. Karena kami yakin, bahwa orang-orang Macan Kumbang itu tentu akan datang, lambat atau cepat.”
Orang tertua itu mengangguk-angguk. Ia sama sekali tidak menunjukkan kecemasan yang sebenarnya tetap mencengkam hatinya karena ia lidak dapat menyembunyikan pengakuan, bahwa tidak akan ada kekuatan yang dapat mencegah orang-orang dari Macan Kumbang dengan pemimpinnya yang ditakuti, untuk menghancurkan orang-orang Serigala Putih yang seolah-olah telah kehilangan taring itu.
“Pemimpin kami pun masih harus mempertimbangkan berulang kali jika terpaksa harus berperang tanding dengan pemimpin Macan Kumbang yang garang itu. Apalagi tanpa orang yang kita anggap sebagai pelindung itu, kita tentu akan dengan mudah dapat dihancurkannya.”
Tetapi seperti yang dikatakannya, orang-orang Serigala Putih itu dengan tekun melatih diri. Seorang-seorang tanpa mengenal lelah. Dengan cara yang paling kasar sekalipun. Bahkan mereka seolah-olah telah benar-benar menjadi liar dan buas seperti sekelompok Serigala yang kelaparan. Mereka memenuhi semua keinginan yang tumbuh di dalam hati, untuk menyatakan diri dalam kebulatan tekad, karena keinginan yang belum terpenuhi pada hakekatnya akan dapat menjadi penghambat semua usaha dan pemusatan pikiran dan kehendak.
Dengan demikian orang-orang dari Serigala Putih itu sama sekali tidak mempertimbangkan cara-cara pemenuhan keinginannya, meskipun cara itu oleh kebanyakan orang dianggap melanggar segi-segi peradaban sekalipun. Namun demikian, rasa-rasanya perkembangan ilmu mereka itu maju dengan lambatnya. Apalagi sudah tidak ada lagi dari antara mereka yang dapat membimbing dan memberi petunjuk-petunjuk yang berarti. Beberapa orang yang sudah mendapat kepercayaan untuk menularkan ilmunya kepada para pengikut yang lebih muda dalam usia dan ilmunya, hanya mampu mendorong mereka itu untuk maju selangkah demi selangkah yang pendek dan lemban.
Meskipun demikian mereka berjalan terus. Maju dengan lambat adalah jauh lebih baik dari tidak bergerak sama sekali. Namun, sebelum mereka mencapai kemampuan yang mereka harapkan, ternyata yang mereka cemaskan itu telah datang. Dengan hati yang kecut, seorang pengikut gerombolan Serigala Putih telah bertemu dengan tiga orang yang tidak mereka kenal, yang agaknya dengan sengaja telah menjumpainya. Dengan sengaja ketiga orang itu berdiri berjajar di tengah jalan memasuki padepokan gerombolan Serigala Putih.
“Kau memang luar biasa” desis salah seorang dari ketiga orang itu.
“Kau siapa?” bertanya orang Serigala Putih.
Ketiga orang itu tertawa. Katanya, “Kau terlampau berani keluar seorang diri dari padepokanmu. He, darimana kau sebenarnya?”
“Aku baru saja kepategalan.”
Ketiga orang itu saling berpandangan sejenak. Lalu yang seorang berkata, “Kita bunuh saja tikus ini.”
Yang tertua di antara ketiga orang itu menggeleng, “Jangan. Ia harus dapat kita jadikan alat untuk menyampaikan kepada kawan-kawannya, bahwa saat ajal mereka telah tiba.”
“Mereka akan pergi mengungsi.”
“Dan kita akan bertepuk sambil bersorak-sorak. Perguruan Serigala Putih yang terkenal, ternyata hanya berisi serigala betina yang ketakutan melihat taring seekor Macan Kumbang.”
“Kau dari Macan Kumbang?” tiba-tiba saja orang dari Serigala Putih itu bertanya.
Ketiga orang itu tertawa bersamaan. Salah seorang menjawab. ”Seharusnya kau sudah mengetahuinya, bahwa aku adalah orang-orang Macan Kumbang meskipun di antara kami jarang sekali yang membuat ciri-ciri gambar seperti di pergelangan tangan orang Serigala Putih, atau di lengannya, di kakinya bahkan di perutnya.”
Ketiga orang Macan Kumbang itu tertawa. Yang seorang pun kemudian berkata, “He, apakah kau kira kami tidak mengetahui bahwa pemimpinmu sudah mati.”
Orang Serigala Putih itu terkejut.
“Jangan terkejut. Betapapun kau mencoba merahasiakannya, tetapi kami sudah mengetahuinya. Meskipun kami belum berhasil mendapat keterangan, siapakah yang telah membunuh pemimpinmu itu.”
“Kau bermimpi” sahut orang Serigala Putih, “pemimpin kami tidak akan dapat mati sampai saatnya matahari itu merunduk sampai ke ujung Tanah Singasari. He, apakah kau sedang mengigau orang Macan kelaparan.”
Ketiga orang itu terdiam sejenak. Namun salah seorang berkata, “kata-katamu tidak meyakinkan. Besok atau lusa, kami pun akan segera mengetahui, siapakah yang telah membunuhnya. Mungkin sekelompok prajurit Singasari, tetapi mungkin orang yang namanya lamat-lamat pernah kami dengar, Mahisa Bungalan dan Linggadadi, pembunuh orang-orang berilmu hitam. Nah, apakah kau menyadari bahwa ilmumu dan ilmuku itu bersama-sama mengambil sumber dari ilmu hitam.”
“Persetan dengan orang yang bernama Mahisa Bungalan dan Linggadadi. Ternyata, seorangpun dari antara kami belum ada yang menjadi korbannya.”
“Namun tiba-tiba langsung pemimpinmu.”
“Tidak. Ia tidak mati karena Mahisa Bungalan atau Linggadadi.”
“Jadi siapa?”
“Angan-angan yang cukup gila. Sudah aku katakan, bahwa pemimpin dan guruku itu tidak akan dapat mati sampai akhir jaman. Kau ingat, sampai akhir jaman. Dan kau akan mati lebih dahulu daripadanya.”
Orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang itu tertawa terbahak-bahak. Salah seorang dari mereka berkata di antara suara tertawanya, “Kau sudah gila. Kematian pemimpinmu membuat orang-orangnya menjadi gila seperti kau. Apakah kau benar menganggap bahwa gurumu belum mati?”
Pertanyaan itu cukup membingungkan. Tetapi ia masih tetap menjawab, “Ya. Aku menganggap bahwa pemimpinku masih belum mati.”
“Jangan hiraukan kata-katanya. Sebaiknya orang itu di bunuh saja. Biarlah orang-orang Serigala Putih marah. Jika benar pemimpinnya masih hidup, biarlah ia datang kepadepokan kami untuk menuntut balas.”
Orang dari gerombolan Serigala Putih itu menjadi berdebar. Jika ketiga orang itu benar-benar akan membunuhnya, maka sudah tentu ia tidak akan dapat melawan. Tetapi lebih baik baginya membawa salah seorang dari mereka mati daripada menyerahkan lehernya untuk dijerat dan diseret sepanjang jalan.
Tetapi ternyata salah seorang dari ketiga orang itu mencegahnya. Katanya, “Biarkan ia hidup. Biarlah ia berceritera kepada kawannya, bahwa gerombolan Serigala Putih dimata orang-orang Macan Kumbang sudah tidak berarti lagi. Mereka adalah segerombolan orang yang perlu dikasihani dan dilindungi.”
“Gila” teriak orang dari gerombolan Secigala Putih. ”Aku akan dapat membunuh kalian bertiga.”
Orang yang mencegah untuk membunuhnya tertawa berkepanjangan. Katanya, “Ternyata kau masih mempunyai harga diri. Tetapi kami tidak akan merubah keputusan ini. Kau kami beri kesempatan untuk tetap hidup. Dengan demikian kau harus berterima kasih kepada kami, bahwa nyawamu yang sebenarnya tergantung di tangan kami itu, tidak kami renggut dari tubuhmu.”
“Persetan. Kalian akan menyesal bahwa kalian tidak membunuhku sekarang.”
Orang dari gerombolan Macan Kumbang itu masih tertawa, “Pulanglah. Jangan merajuk. Katakan kepada orang-orangmu. Yang ingin tetap hidup, supaya meninggalkan padepokannya dan mengungsi kemana saja yang mereka kehendaki. Tetapi jika kalian jantan, tunggulah kehadiran kami bersama kawan-kawan kami. Kami akan datang untuk menumpas kalian. Meskipun kau tetap berkeras, bahwa pemimpinmu masih tetap hidup sampai sekarang.”
Orang dari gerombolan Seriggla Putih itu menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apapun juga ketika orang-orang gerombolan Macan Kumbang itu dengan penuh hinaan meninggalkannya. Orang dari gerombolan Serigala Putih itu termangu-mangu. Namun kemudian iapun melangkah dengan hati yang berdebar-debar. Tentu ketiga orang itu tidak hanya sekedar mengancam. Mereka tentu akan melakukannya. Ketika ia sampai di padepokannya, maka ia pun segera melaporkan apa yang baru saja dialaminya kepada orang yang untuk sementara dianggap sebagai pemimpinnya.
Orang tertua itu pun mengerutkan keningnya. Dengan suara yang dalam ia berkata, “Dugaan kita benar. Mereka pada suatu saat tentu akan mengetahuinya dan akan datang kepadepokan ini.”
“Siapakah yang telah membocorkan rahasia ini?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Kita tidak usah mencari-cari. Dengan demikian tentu akan timbul kecurigaan di antara kita masing-masing. Yang penting sekarang, bagaimana kita menghadapi mereka.”
Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itu menjadi tegang. Kehadiran orang-orang Macan Kumbang dapat menghancurkan mereka sama sekali, sehingga apa yang telah mereka bangunkan selama itu akan lenyap begitu saja.
“Ternyata pemimpin kita salah hitung. Pemburu yang memakai pakaian kulit harimau itu, memiliki ilmu yang tidak ada taranya. Sekarang, ternyata kita mengalami akibat yang parah. Dengan tidak langsung kita sudah mengumpankan diri kita ke mulut gerombolan harimau liar itu.”
Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi semuanya itu sudah terjadi sehingga tidak akan ada lagi gunanya untuk disesali.
“Ada beberapa kemungkinan” orang tertua itu berkata, “jika kita ingin menyelamatkan diri untuk sementara, kita masih mempunyai waktu, kita dapat meninggalkan padepokan ini. Tetapi dengan janji di dalam hati, bahwa kita akan kembali pada saat yang tepat. Sedang kemungkinan yang lain adalah, kita melawan sampai orang terakhir. Jika kita memilih yang kedua, maka kita akan melepaskan perempuan dari lingkungan padepokan ini bersama anak-anak. Mereka sama sekali tidak akan berarti dalam pertempuran semacam itu. Biarlah mereka mencari jalan hidup mereka masing-masing.”
“Kenapa kita harus memikirkan mereka? Bagi kita, apapun yang akan terjadi atas mereka, tidak akan berarti apa-apa. Perempuan-Perempuan itu hanya akan membebani kita dengan berbagai macam kesulitan.”
“Bukan mereka. Tetapi anak keturunan kita harus di selamatkan. Itulah tugas mereka. Perempuan-Perempuan itu harus dapat menyelamatkan anak-anak, terutama anak-anak laki, sehingga kelak mereka akan dapat mengambil kembali padepokan ini.”
“Jangan hiraukan. Sekarang, yang penting, apakah kita akan melawan atau melarikan diri untuk sementara.”
Orang tertua dari gerombolan Serigala Putih itupun kemudian berkata, “Kita akan tetap tinggal di sini. Bagaimana pendapat kalian?”
Kawan-kawannya pun nampak berpikir sejenak. Ada keragu-raguan di dalam hati masing-masing. Sebagian benar-benar menjadi cemas. Namun sebagian yang lain ingin mempertimbangkan kemungkinan itu dengan nalar.
“Apakah dengan demikian kita sudah melakukan hal yang sia-sia” berkata salah seorang dari mereka, “kita tidak lagi harus bermimpi. Tanpa pemimpin dan guru kita, kita tidak akan dapat melawan orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang. Itu sudah kita sadari. Jika demikian apakah ada gunanya kita bertahan?”
“Lebih baik kita menyingkir. Tetapi pada saatnya kita akan kembali” sahut yang lain, “apakah bukan begitu?”
“Kita bukan pengecut” seorang yang bertubuh raksasa memotong, “tidak ada gunanya kita lari. Mereka tentu akan mengejar terus. Kita tahu, bukan padepokan inilah yang sebenarnya mereka cari. Tetapi kita. Daripada kita hidup dengan kecemasan dan merasa diri kita selalu dikejar-kejar oleh orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang, alangkah baiknya jika kita mati bersama mereka. Jika kita akan tumpas, maka yang akan tetap hidup di dalam lingkungan orang-orang gerombolan Macan Kumbang tentu tinggal pemimpinnya itu saja.”
Kata-kata orang bertubuh raksasa itu ternyata, telah menyentuh perasaan setiap orang yang mendengarkannya. Bahkan orang tertua itupun segera menambah, “Itu adalah sifat jantan. Kita akan mati di atas tanah padepokan ini, dimana kita mendapat ilmu yang selama ini telah membekali setiap kerja yang kita lakukan.”
“Aku sependapat. Perempuan harus menyingkirkan anak-anak kita. Mereka boleh membawa bekal dari barang-barang yang masih ada di dalam persediaan kita. Hasil-hasil yang kita peroleh selama ini dengan menjelajahi daerah-daerah yang terasing dari pengawasan prajurit Singasari, dapat, dijadikan bekal untuk menumbuhkan anak-anak kita yang kelak akan mengambil padepokan ini kembali.” sahut orang bertubuh raksasa itu.
“Tetapi bagaimana jika Perempuan-Perempuan itu ternyata mementingkan diri mereka sendiri, dan bukan mementingkan anak-anak kita.”
“Kita akan membunuhnya dan melemparkannya ke dalam sungai.”
“Siapakah yang akan melakukannya jika kita semua sudah mati?”
“Tidak. Orang-orang tua pun akan pergi bersama perempuan-perempuan itu. Laki-laki yang meskipun sudah tua, dapat membunuh Perempuan-Perempuan yang ingkar akan kewajibannya terhadap anak-anak dan mementingkan diri sendiri.”
Orang-Orang dari gerombolan Serigala Putih yang berilmu hitam itu mengangguk-angguk.
“Nah” berkata orang tertua, “kita akan menunggu. Hari ini, besok atau lusa. Kita akan tetap berlatih dengan sekuat tenaga, meskipun kemampuan kita hanya akan bertambah seujung rambut. Tetapi itu lebih baik daripada tidak sama sekali.”
“Ya. Kita akan berlatih agar kita tetap dalam kesiagaan tertinggi.”
“Tetapi” orang tertua itu memperingatkan, “jangan kalian habiskan tenaga kalian, agar jika kita benar-benar harus bertempur kita tidak akan kelelahan.”
“Ya. Kita harus menghemat tenaga” sahut yang lain.
“Sekarang” berkata orang tertua itu, “suruhlah perempuan-perempuan pergi dengan membawa anak-anak. Mereka bertanggung jawab. Berilah mereka bekal. Suruhlah laki-laki tua mengawasi Perempuan-Perempuan itu. Yang lain tetap disini dan bertempur sampai orang terakhir.”
“Kemanakah anak-anak kita harus dibawa.”
“Sekehendak perempuan-perempuan itu sendiri.”
“Berilah petunjuk. Jika kita tidak dapat ditumpas oleh orang-orang gerombolan Macan Kumbang, kita akan menjemput anak-anak kita.”
Orang tertua itu kemudian berbicara dengan beberapa orang yang dianggapnya mengenal daerah di sekitar padepokan itu dengan baik. “Biarlah mereka memasuki hutan Dandarau. Mereka harus tinggal disana satu hari satu malam. Jika tidak ada orang yang datang menjemput mereka, berarti bahwa mereka harus berusaha mencari hidup masing-masing dan anak-anak yang mereka jaga." berkata salah seorang dari mereka.
Yang lain mengangguk-angguk, sehingga akhirnya orang tertua itu mengumumkan, “Suruhlah mereka bersembunyi di hutan Dandarau untuk satu hari satu malam.”
Demikianlah, maka Perempuan-Perempuan itupun kemudian dikumpulkan. Mereka mendapat penjelasan apa yang harus mereka lakukan. Tidak ada seorang pun yang memberikan tanggapan. Bagi perempuan, apapun yang dikatakan oleh laki-laki, harus dijalani meskipun tanpa dapat mereka mengerti.
Karena itulah, maka perempuan-perempuan itupun segera berkemas. Dengan dikawal oleh beberapa orang laki-laki tua mereka meninggalkan padepokan sambil membawa barang-barang berharga yang berhasil dikumpulkan oleh gerombolan Serigala Putih dengan cara apapun juga. Kadang-kadang memang dengan cara yang liar, seliar serigala kelaparan.
Sepeninggal perempuan dan kanak-anak yang dikawal oleh laki-laki tua, maka orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itupun segera bersiap untuk menghadapi kemungkinan. Mereka menyadari bahwa satu di antara kemungkinan-kemungkinan itu adalah mati. Semuanya, sampai orang terakhir. Namun karena demikian, hati mereka seolah-olah justru menjadi tenang. Seolah-olah mereka telah pasrah diri dalam kesetiaan untuk membela perguruan mereka. Harga diri yang mereka junjung justru karena mereka berhadapan dengan orang-orang yang memiliki sumber ilmu yang sama.
“Kenapa kita memilih menyerah dan mengorbankan harga diri kita kepada pemburu-pemburu dan prajurit. Singasari?” Tiba-tiba saja salah seorang dari mereka yang ikut bertempur melawan Empu Sanggadaru dan kawan-kawannya bertanya.
Orang tertua diantara mereka menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan hati-hati ia menjawab, “Yang kita hadapi memang tidak sama. Jika kita menyerah kepada prajurit Singasari atau kepada mereka yang bersikap seperti prajurit, maka kita masih mempunyai harga diri karena mereka tidak semata-mata ingin membunuh seperti orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang. Terasa pada diri kita, sesuatu yang lain pada sikap mereka, apalagi jika kita dapat memandang dari segi yang lurus, bahwa mereka sedang melakukan kewajiban. Ternyata bahwa nafsu membunuh itu sama sekali tidak ada ketika kita sudah melepaskan senjata kita. Bahkan kita diperbolehkan mengambil kembali senjata-senjata itu meskipun dengan bermacam-macam janji.”
Orang yang bertanya itupun mengangguk-angguk. Tetapi justru timbul pertanyaan pada orang yang lain, yang tidak melihat pertempuran yang telah terjadi itu. “Tetapi, apakah itu bukan berarti penghinaan yang paling dalam?”
Orang tertua itu memandang dengan tajamnya. Kemudian jawabnya, “Jika yang melakukan itu orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang, maka itu adalah penghinaan yang paling keji yang pernah kita alami. Tetapi kita harus dapat membedakan, niat apakah yang sebenarnya tersembunyi didalam hati mereka yang telah memberikan belas kasihan kepada kita.”
Orang itupun terdiam. “Baiklah. Kita sekarang sudah mendapat ketetapan hati. Kita akan melakukan semuanya dengan mantap. Apapun yang akan terjadi, itu adalah pilihan kita. Dan kita tidak akan dapat ingkar lagi meskipun tebusannya adalah nyawa kita.”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. “Kita harus berlatih terus. Tidak ada henti-hentinya. Tetapi kita harus menjaga, agar tenaga kita tidak terperas habis, sehingga pada saatnya kita perlukan, kita sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi.”
Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itupun kemudian melanjutkan usaha mereka dengan tekun. Mereka melatih diri mempergunakan senjata sebaik-baiknya. Bagaimana mereka harus menangkis, bagaimana mereka harus menghindar, dan bagaimana mereka harus menyerang. Dasar-dasar ilmu kanuragan yang sudah mereka miliki, mereka kembangkan sejauh-jauh dapat mereka lakukan meskipun sebagian dari mereka menganggap bahwa hal itu sudah tidak ada gunanya lagi, karena, semuanya sudah terlambat.
Dalam pada itu, maka orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang memang sudah mendengar, bahwa gerombolan Serigala Putih telah kehilangan pimpinan. Mereka tidak lagi mempunyai kekuatan pokok yang dapat mereka percaya lagi. Karena itulah, dengan sengaja orang-orang gerombolan Macan Kumbang telah menakut-nakutinya. Mereka telah membuat perhitungan tertentu untuk menghadapi orang-orang dari gerombolan Serigala Putih yang selama itu dianggap menjadi saingan yang memang harus disingkirkan.
“Kita akan datang segera ke padepokan mereka” berkata pemimpin gerombolan Macan Kumbang setelah mendapat laporan dari orang-orang yang dengan sengaja menjumpai salah seorang dari gerombolan Serigala Putih.
“Aku tidak membunuhnya” berkata salah seorang dari mereka, “kematian memang menakutkan. Tetapi jika orang itu tetap hidup, ia akan dapat mengatakan apa saja yang kita katakan dan sengaja membuat mereka ketakutan.”
Pemimpinnya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Seorang yang aku tugaskan untuk mengamat-amati mereka sudah melihat, perempuan dan anak-anak telah menyingkir.”
“Uh, sejak kapan orang-orang gerombolan Serigala Putih memikirkan perempuan?”
“Tentu mereka ingin menyelamatkan anak-anak mereka.” desis yang lain.
Pemimpinnya tertawa. Katanya, “Mungkin. Tetapi akan datang saatnya kita menghancurkan mereka semuanya. Setelah kita binasakan orang-orang yang sombong itu, maka akan kita binasakan pula semua perempuan dan anak-anak.”
“Anak-anak saja.”
Suara tertawa pun kemudian meledak. Namun dalam pada itu, salah seorang berkata, “Tetapi kita masih harus bekerja keras. Dengan menyingkirkan anak-anak, itu berarti bahwa orang-orang dari gerombolan Serigala Putih siap untuk melakukan perlawanan. Meskipun barangkali mereka sudah mengira bahwa mereka akan mati.”
Sambil mengangguk-angguk pemimpinnya menyahut, “Ya. Tetapi akhir dari pertempuran yang mungkin akan terjadi itu sudah dapat dibayangkan. Mereka sudah kehilangan pemimpinnya. Meskipun sebenarnya mereka masih mempunyai kemampuan untuk melawan, tetapi benturan yang pertama sudah akan merontokan isi dada mereka, sehingga mereka tidak akan berani bertempur lebih lama lagi.”
“Apakah itu artinya mereka menyerahkan leher mereka?”
Pemimpinnya tidak menyahut. Namun katanya kemudian, “Kita akan melihat. Dan kita akan melakukan apa saja yang kita kehendaki kemudian atas mereka yang selama ini merasa lebih kuat dari kita.”
Orang-orang gerombolan Macan Kumbang itupun mengangguk-angguk dengan kebanggaan didalam diri mereka karena angan-angan mereka itu. Karena itulah, maka rencana mereka untuk membinasakan orang-orang yang selama ini menjadi saingan mereka itu, merupakan orang-orang yang menyenangkan. Sebelum mereka melihat hasil dari pekerjaan mereka, maka mereka sudah lebih dahulu menikmatinya.
Dihari berikutnya seorang petugas yang lain telah melaporkan pula, bahwa perempuan dan anak-anak telah menghilang di sekitar hutan yang lebat di sebelah padepokan gerombolan Serigala Putih itu.
“Biarlah orang-orang yang tamak itu merasakan lebih lama lagi kegelisahan dan ketakutan” berkata pemimpin gerombolan Macan Kumbang.
“Tetapi jika kita tidak segera menyerang mereka, maka mereka akan lepas dari tangan kita.”
“Kenapa?”
“Jika mereka tidak tahan lagi menahan kegelisahan dan ketakutan, maka mereka tentu akan menyingkir.”
Pemimpin gerombolan Macan Kumbang berpikir sejenak, lalu, “Kau benar. Kifa harus segera melenyapkan mereka. Pekerjaan yang meskipun berat tetapi menyenangkan ini, harus segera kita lakukan.”
Pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu pun segera mengumpulkan anak buahnya. Orang-orang yang memiliki ilmu yang bersumber pada ilmu hitam meskipun mempunyai beberapa segi kelainan, namun ilmu mereka adalah ilmu yang serupa dengan ilmu orang-orang dari gerombolan Serigala Putih.
“Besok kita akan menyerang dan membinasakan orang-orang dari gerombolan Serigala Putih” berkata pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu.
Orang-orangnya pun dengan serta merta menyambut dengan sorak yang gemuruh.
“Nah, tanggapan kalian telah membesarkan hatiku. Mungkin jumlah kita hampir sama dengan jumlah orang-orang dari gerombolan Serigala Putih. Tetapi kita masih lengkap. Kalian mempunyai seorang pemimpin yang memiliki banyak kelebihan dari kalian dan setiap orang dari orang-orang gerombolan Serigala Putih. Karena itu, kita, akan membinasakan mereka. Membunuh setiap orang dan mencincangnya sampai lumat. Baru kemudian kita akan mencari dan membunuh anak-anak mereka di hutan sebelah padepokan mereka itu.”
“Bagaimana dengan Perempuan-Perempuan?”
“Terserah kepada kalian. Perempuan tidak sepantasnya dibicarakan.”
Orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang mengangguk-angguk.
“Sejak sekarang, berkemaslah” pemimpinnya melanjutkan, “kalian dapat melihat senjata kalian, apakah sudah cukup memadai untuk memenggal leher orang-orang dari gerombolan Serigala Putih yang sombong dan keras kepala itu.”
Orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang itupun kemudian menyiapkan senjata masing-masing. Betapapun juga, namun mereka tetap sadar, bahwa orang-orang dari gerombolan Serigala Putih benar-benar memiliki kemampuan seperti seekor serigala lapar. Karena itu, maka merekapun telah menyiapkan senjata yang paling baik yang ada pada mereka.
“Disarang gerombolan Serigala Putih itu tentu terdapat timbunan harta benda rampasan” berkata salah seorang gerombolan Macan Kumbang itu.
“Tentu. Persediaan mereka tentu jauh lebih banyak dari persediaan yang ada pada kita” jawab kawannya.
“Tidak sia-sia kita menyerang mereka. Kita akan meratakan padepokan mereka dengan tanah. Jika harta benda itu tidak kita ketemukan dipadepokan itu, tentu sudah dibawa oleh laki-laki yang terhitung sudah tua dan mengantarkan anak cucunya bersama Perempuan-Perempuan yang harus melayani anak-anak itu.”
“Mereka tidak akan jauh dari padepokan itu. Tentu mereka akan tetap bersembunyi di dalam hutan. Jika keadaan sudah reda, mereka akan mempergunakannya bagi anak-anak yang mereka bawa. Tetapi mereka tidak akan pernah dapat melakukannya.”
Kawannya mengangguk-angguk. Tidak ada pilihan lain bagi orang-orang gerombolan Serigala Putih itu daripada mati. Mati dengan perlawanan, tetapi dengan demikian mereka akan mengalami saat-saat kematian yang pahit, atau menyerahkan kepala mereka untuk dipenggal, sehingga mereka tidak akan menderita terlalu lama.
Dalam pada itu, perempuan dan anak-anak yang mengungsi dari padepokan gerombolan Serigala Putih telah berada di tengah hutan. Untuk beberapa saat mereka dicengkam oleh ketakutan oleh suara binatang buas dikejauhan. Beberapa orang anak menangis dan meronta-ronta. Namun kemudian mereka menjadi tenang ketika beberapa orang laki-laki yang meskipun sudah terhitung tua, bersiaga dengan senjata ditangan.
Salah seorang dari mereka berkata, “Kitalah yang akan memburu binatang-binatang buas untuk makan kita. Bukan binatang-binatang buas itulah yang akan memburu kita.”
Perempuan-Perempuan mengangguk-angguk. Mereka mencoba menenangkan anak-anak mereka, karena mereka sadar, bahwa hidup mereka tergantung pada anak-anak mereka. Jika seorang perempuan dianggap tidak berarti lagi bagi anaknya, maka iapun akan disingkirkan tanpa ampun.
Ternyata bahwa laki-laki tua yang ada di antara mereka, bukannya laki-laki yang sama sekali tidak berdaya. Mereka adalah laki-laki dari gerombolan Serigala Putih meskipun sudah menjadi semakin tua. Sehingga karena itu, maka jari-jari mereka, kemampuan bidik mereka dengan anak panah dan busur, masih mampu menangkap beberapa ekor binatang buruan yang dapat mereka pergunakan untuk makan anak-anak dan sisanya untuk Perempuan-Perempuan.
Tetapi mereka tidak mengetahui dengan pasti, berapa lama mereka harus bersembunyi dan kemudian menghilang diantara kehidupan yang sewajarnya untuk menyelamatkan anak-anak mereka dengan bekal yang ada. Pada suatu saat mereka akan mengumpulkan anak-anak laki-laki mereka dan mendorong mereka untuk menyatukan diri dan merebut kembali padepokan mereka. Namun apabila laki-laki yang tetap dipadepokan gerombolan Serigala Putih berhasil bertahan, maka merekapun akan segera kembali menyatukan diri lagi dengan ayah-ayah mereka.
Sementara itu, orang-orang gerombolan Serigala Putih benar-benar telah berada dalam kesiagaan. Rasa-rasanya mereka tidak sabar lagi menunggu kedatangan orang-orang Macan Kumbang yang akan datang menerkam mereka.
“Mereka sengaja membiarkan kita dicengkam kegelisahan. Itu adalah sebagian dari kemenangan yang sudah mereka capai tanpa berbuat apa-apa.”
“Kita jangan menjadi gelisah.” sahut yang lain.
“Dapatkah kita berbuat demikian?”
Kawannya menarik nafas. Tetapi nampak diwajahnya, bahwa sebenarnyalah setiap orang telah dicengkam oleh kegelisahan yang tidak terhindarkan.
Sementara itu, orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang telah bersiap. Ketika pagi hari yang cerah menjadi semakin panas karena matahari yang merayap naik dikaki langit, sekelompok orang-orang berkuda berpacu dijalan berdebu di bulak-bulak panjang menuju kepadepokan orang-orang dari gerombolan Serigala Putih, dan siap untuk mencincang mereka. Rasa-rasanya tidak ada seorang pun yang dapat mencegah mereka. Kuda-kuda itu berpacu seperti iring-iringan hantu maut yang siap menumpas korban-korbannya tanpa ampun.
Namun dalam pada itu, yang tidak terduga-duga adalah perjalanan sekelompok orang yang sama sekali tidak tahu menahu tentang bertentangan yang bakal meledak antara Orang-Orang dari gerombolan Serigala Patih dan orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang. Sekelompok orang itu dengan tenangnya berkuda menuju kepadepokan orang-orang Serigala Putih yang sedang dicengkam oleh kecemasan. Nampaknya sekelompok orang-orang itu masih belum tahu dimanakah letak padepokan itu. Namun dengan beberapa petunjuk dan ancar-ancar, mereka berhasil mendekati.
“Batang pohon jambe itu” desis salah seorang dari mereka.
“Ya. Hutan yang dikatakan itu tentu hutan yang nampak dikejauhan itu. Kita akan melalui pohon jambe itu dan langsung menuju kepadepokan. Agaknya sudah tidak begitu jauh lagi.”
Kuda itupun kemudian berpacu. Semakin lama mereka menjadi semakin dekat dengan padepokan gerombolan Serigala Putih yang sedang diliputi oleh ketegangan.
"Kita berada dijalur jalan yang mereka lalui itu akan menuju kesebuah pategalan. Mereka harus menempuh lorong sempit beberapa puluh langkah. Barulah kemudian mereka akan sampai pada jalan yang seolah-olah diapit oleh lereng yang rendah sebagai pintu gerbang."
Sejenak kemudian, maka iring-iringan, orang berkuda itupun telah mendekati gerbang padepokan itu. Namun mereka sama sekali tidak melihat tanda-tanda kesibukan apapun juga.
“Apalah padepokan itu kosong” desis salah seorang dari mereka.
“Entahlah” sahut yang lain., “Kita akan menyaksikannya.”
Dengan ragu-ragu iring-iringan itupun mendekat. Ketika mereka memperlambat derap kaki Kuda-kuda mereka. “Sepi” desis yang berkuda dipaling depan.
“Lihat” berkata kawannya, “kita sudah sampai di pintu gerbang. Seperti yang dikatakan oleh orang-orang yang pernah melihat padepokan ini, di belakang gerbang alam, ada gerbang yang sebenarnya.”
Mereka pun kemudian mendekati gerbang yang tertutup rapat itu, Beberapa langkah dimuka pintu gerbang itu mereka berhenti.
“He, apakah ada orang yang menjaga gerbang ini di dalam?” salah seorang dari mereka berteriak.
Tidak terdengar jawaban.
“He, apakah padepokan ini telah kosong?” yang lain berteriak.
Teriakan-teriakan itu ternyata terdengar aneh ditelinga orang-orang dari gerombolan Serigala Putih. Jika yang datang itu adalah orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang, mereka tentu tidak akan bertanya seperti itu.
“He, jika ada seorangpun didalam, bukalah pintu. Aku ingin datang mengunjungi kalian. Bertanyalah kepada kawan-kawan kalian bahwa mereka telah mengenal kami.”
Tidak ada jawaban. Tetapi Teriakan-teriakan itu memang sangat menarik.
“Cobalah, lihatlah dari lubang gerbang itu” perintah orang tertua dari gerombolan Serigala Putih yang sebenarnya sedang menanti kedatangan lawannya. Mereka sudah hampir menjadi jemu oleh ketegangan yang menyiksa.
Seorang penjaga pintu gerbang itupun mendekati lubang dipintu itu dengan ragu-ragu. Sekilas dilihatnya beberapa orang kawan-kawannya yang mendekat dengan hati-hati karena mereka mendengar teriakan diluar pintu. Namun orang-orang yang ada didalam gerbang itu telah menyiapkan senjata-senjata mereka apabila yang datang itu adalah orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang.
Orang tertua yang untuk sementara memimpin kawan-kawan-nya dari gerombolan Serigala Putih itupun telah memberikan isyarat kepada orang-orangnya, agar mereka mengambil tempat seperti yang telah diaturnya, apabila orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang datang dan memaksa memasuki gerbang itu.
Orang-orang gerombolan Serigala Putih itu telah bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Jika yang datang itu orang dari gerombolan Macan Kumbang yang akan memaksa dengan merusak pintu gerbang, maka demikian mereka menyerbu masuk, mereka akan terjebak dalam serangan ujung senjata lawannya yang sudah menunggu. Bahkan beberapa orang telah memegang senjata rangkap. Tombak pendek yang siap dilemparkan, dan pedang yang masih tergantung dilambung masing-masing.
Tetapi orang yang kemudian melihat dari lubang pintu gerbang itu menjadi heran. Mereka tidak melihat sepasukan orang-orang berkuda dari gerombolan Macan Kumbang. Tetapi mereka melihat sekelompok kecil orang-orang yang belum mereka ketahui. Dengan isyarat orang itu memanggil pemimpinnya, agar iapun ikut melihat, siapakah yang berada diluar pintu. Orang tertua itupun ternyata terkejut pula. Yang dilihatnya adalah salah seorang dari mereka yang dijumpainya di hutan perburuan.
“Bukankah orang itu adik Empu Sanggadaru?” desisnya, “he, siapakah yang ikut bersama aku pada saat guru terbunuh?”
Tiga orang maju bersama-sama. Berganti-ganti mereka melihat dari lubang itu. Dan mereka pun sepakat, bahwa orang itu adalah Empu Baladaru yang mereka jumpai ditengah hutan perburuan.
“Apakah maksudnya?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Tetapi nampaknya mereka tidak bermaksud buruk?”
“Ya. Dan mereka datang dalam jumlah yang kecil. Tak lebih dari enam atau tujuh orang.“
Sejenak mereka berbincang tentang Empu Baladatu. Dan sejenak kemudian merekapun mendengar suara dari luar pintu gerbang, “Apakah kalian tidak percaya kepadaku?”
Orang tertua itupun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kita akan membuka pintu gerbang itu, karena nampaknya mereka tidak bermaksud jahat.”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Dalam perselisihan dihutan perburuan itu, nampaknya Empu Baladatu bersikap terlalu lunak, sehingga kecurigaan merekapun lambat laun menjadi susut.
“Bukalah” desisnya kemudian.
Meskipun ragu-ragu, namun orang itupun kemudian telah mengangkat selarak gerbang yang besar itu dibantu oleh seorang kawannya, sedangkan yang lain sama sekali tidak meninggalkan kewaspadaan. Mereka telah bersiap jika tiba-tiba saja mereka harus bertempur siapapun lawannya. Tetapi ternyata ketika gerbang itu terbuka, sekelompok orang berkuda iru sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda untuk melakukan kekerasan. Bahkan orang yang berkuda dipaling depan menjadi heran, bahwa mereka telah disambut dengan senjata terhunus.
“Apakah kedatanganku tidak kalian kehendaki?” bertanya orang itu.
“O, tidak Empu” jawab orang tertua, “tetapi, kami sedang dalam kesiagaan.”
“Kenapa? Apakah kalian mendendam? Apakah kalian menduga, bahwa aku atau kakang Sanggadaru pada suatu saat akan datang menyerang kalian? Atau barangkali kalian bercuriga terhadap para prajurit Singasari?”
“Tidak. Tidak Empu. Sama sekali tidak. Tetapi kami sedang menunggu orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang yang telah mengancam akan datang menyerang kami. Mereka sudah mengetahui bahwa kami telah kehilangan pemimpin kami. Dengan demikian mereka mengharap, bahwa mereka akan dapat menghancurkan kami dan memiliki padepokan seisinya. Mungkin barang-barang rampasan yang kami punyai disini. Seterusnya maka mereka akan merasa tidak kami saingi lagi didalam segala kegiatan.”
Empu Baladatu mengangguk-angguk.
“Karena itu Empu, bukannya kami tidak mau menerima kedatangan Empu, atau lebih-lebih lagi mencurigai. Kami mengenal kelunakan sikap Empu pada saat kami bertemu di hutan perburuan itu. Tetapi sebaiknya Empu menghindarkan diri dari keterlibatan lebih jauh lagi dalam pertentangan kami, dengan orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang.”
“Apakah kalian sudah berjanji akan bertempur.”
“Sudah kami katakan. Mereka mengancam akan menyerang.”
“Sekarang?”
“Mungkin. Kami sudah menunggu dua tiga hari”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Lalu, “Aku akan berada di sini. Mudah-mudahan aku tidak akan menggangggu kalian saat kalian mempertahankan padepokan kalian.”
“Tetapi mereka tidak dapat membedakan, siapapun yg berada di sini, tentu akan dibinasakannya.”
“Kenapa baru sekarang mereka melakukannya?”
“Setelah pemimpin kami tidak ada. Mereki merasa kekuatan kami susut, dan bahkan kami menjadi tidak berdaya sama sekali.”
“Sebelumnya, apakah mereka menganggap kalian cakup kuat?”
Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itu termangu-mangu. Setelah saling berpandangan sejenak, maka orang tertua diantara mereka itupun menjawab, “Mungkin demikian. Tetapi saat-saat pemimpin kami masih hidup, kami merasa bahwa kekuatan kami seimbang dengan kekuatan gerombolan Macan Kumbang, sehingga saat pemimpin kami terbunuh, maka keseimbangan itupun segera berubah.”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Lalu iapun bertanya dengan ragu-ragu, “Apakah kedatanganku dapat mengembilikan keseimbangan itu?”
“Maksud Empu?”
“Aku berada dipihak kalian.”
Orang tertua itu termangu-mangu sejenak. Namun kamudian katanya, “Sebaiknya Empu meninggalkan padepokan ini. Aku tindak ingin Empu terlibat dalam kesulitan.”
Empu Baladatu memandang orang-orang dalam gerombolan Serigala Putih itu dengan tatapan mata yang aneh. Namun kemudian iapun tersenyum sambil berkata, “Aku sudah berada di sini sekarang. Aku akan tetap berada di sini.”
Sejenak suasana bagaikan membeku. Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itu melihat Empu Baladatu tersenyum.
“Tutuplah pintu gerbangmu. Atau barangkali lebih baik jika kalian menempatkan satu dua orang pengawas di antara batu padas yang seolah-olah disediakan oleh alam bagi pintu gerbang padepokanmu ini.”
“Untuk apa mereka berada disana? Pengawasan itu tidak banyak artinya. Mereka tetap akan datang sampai kemulut regol ini dan dengan paksa memecahkan pintunya.”
“Tetapi kalian sudah mengetahuinya saat yang tepat dari kedatangan orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang itu. Ketika mereka masih berada di kejauhan, kalian sudah dapat mempersiapkan diri sebaik-baiknya.”
“Dihadapan kedua batu padas itu banyak terdapat pepohonan sehingga pengawas itu tidak akan dapat melihat ke jarak yang jauh.”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Lalu, “Jika demikian, selaraklah pintu gerbangmu. Aku disini. Barangkali aku dengan beberapa orang-orangku akan dapat mengganti kekuatanmu yang hilang itu.”
“Tetapi ketika kami jumpai Empu dihutan itu, Empu tidak membawa pengawal.”
“Ada dua orang. Aku sempat kembali kepadepokanku. Dan aku tidak dapat mencegah keinginanku untuk datang ke mari. Tetapi aku membawa pengawal lebih dari dua orang. Dan seperti yang kalian lihat, aku datang bersama lima orang pengawalku yang terpercaya. Apakah menurut perhitunganmu, aku dan kelima orang pengawalku ini tidak dapat mengganti kekuatan dua orang kawanmu yang terbunuh dihutan perburuan itu?”
Orang tertua itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Tentu dapat Empu. Tetapi apakah Empu tidak sekedar membuang waktu dan tenaga saja membela kami yang sudah kehilangan pegangan?”
“Aku akan mencoba memberikan sandaran baru dalam padepokan ini.”
Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itu menjadi heran. Tetapi sebelum seorangpun yang menyahut, sekali lagi Empu Baladatu berkata, “Selaraklah pintu gerbang itu”
Beberapa orangpun kemudian mendorong pintu gerbang dan mengangkat selarak.
“Nah, sekarang, semuanya menjadi semakin jelas. Aku akan ikut bertempur jika orang-orang gerombolan Macan Kumbang itu benar-benar menyerangmu hari ini. Tetapi jika saatnya aku pergi dan mereka belum juga datang, maka aku akan pergi juga.”
Orang tertua dari gerombolan Serigala Putih itu seolah-olah telah tersadar. Karena itu, maka iapun segera mempersilahkan tamunya untuk memasuki padepokannya yang sebenarnya tidak begitu besar.
Empu Baladatu pun kemudian mengikuti orang tertua itu menuju kesebuah rumah yang cukup besar dibelakang sebuah halaman yang agak luas. Di sebelah menyebelah nampak beberapa rumah yang lain. Agaknya dibagian belakang dari rumah yang agak besar itu terdapat pula beberapa rumah. Sedangkan, halaman padepokan itu ternyata telah dilingkari oleh dinding batu yang tinggi diantara batang-batang pering ori.
“Padepokan ini ternyata merupakan yang rapat sekali” desis Empu Baladatu.
“Rumpun-rumpun bambu itu memang sudah ada sejak sebelum tempat ini menjadi padepokan. Kami tinggal mengatur dan memanfaatkannya dengan menambah beberapa langkah dinding batu, sehingga seakan-akan padepokan kami telah dilingkari oleh benteng yang kuat.”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Memang sulit untuk memasuki halaman padepokan itu tanpa melalui gerbang yang di beri pintu dan selarak yang kuat. Tetapi bukan berarti bahwa gerbang itu tidak dapat dirusak dari luar.
Sejenak kemudian Empu Baladatu sudah duduk di pendapa rumah yang terletak di tengah-tengah padepokan itu bersama kelima pengiringnya. Namun ketika seorang pengawal padepokan itu sedang menghidangkan minuman yang dingin, karena tidak ada seorang perempuan pun yang sempat merebus air seperti biasanya, maka pengawal yang lain datang dengan tergesa-gesa sambil berkata, “Ada tiga orang berkuda di luar regol.”
Berita itu sangat mengherankan bagi orang tertua dipadepokan itu. Sama sekali tidak diketahui, siapa lagi agaknya yang datang hanya bertiga. Karena itulah maka iapun kemudian bertanya, “Apakah mereka tamu yang pernah kalian kenal?”
Orang itu menggeleng. Jawabnya, “Belum. Mereka ingin berbicara dengan pemimpin dari gerombolan Serigala Putih dipadepokan ini.”
Orang tertua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bangkit sambil berkata, “Aku akan datang.”
“Aku ikut bersamamu.” berkata Empu Baladatu.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Lalu, “Baiklah Empu. Tetapi apakah tidak sebaiknya Empu duduk saja disini?”
Empu Baladatu tertawa. Ia pun kemudian ikut bersama orang tertua dipadepokan Serigala Putih itu. Dengan ragu-ragu orang tertua itu mendekati regol yang masih tertutup. Kemudian dari lubang dipintu regol ia menjenguk ketiga orang berkuda itu.
“Siapakah kalian?” bertanya pemimpin Serigala Putih itu.
“Kami akan bertemu dengan pemimpin kalian.”
“Pemimpin kami sedang pergi. Sebentar lagi ia kembali. Apakah keperluan kalian.”
“Jika demikian aku ingin bertemu dengan orang yang dianggap pemimpin di sini sekarang ini.”
“Aku orang tertua disini.”
“Tertua? He, berapa umurmu?”
“Bukan tertua umurnya, tetapi tertua didalam olah kanuragan. Ilmu tertua disini.”
Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak. Namun salah seorang dari mereka berkata, “Sebaiknya kalian berkata terus terang. Kami sudah mengetahui bahwa pemimpinmu telah terbunuh.”
“Apa maksudmu sebenarnya. Jika kalian sudah mengetahui, apakah gunanya kalian bertanya?”
“Kami adalah tiga orang utusan dari kelompok Macan Kumbang.”
Orang tertua itu menjadi berdebar-debar. Tapi nampaknya ia berusaha untuk tetap tenang dan menjawab, “Aku sudah menduga bahwa tampang-tampang yang datang ini adalah orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang. Akupun sudah tahu bahwa kedatanganmu sekedar ingin mengancam dan menakuti, kemudian memaksa kami menyerahkan kepala kami untuk dipancung. Bukankah begitu?”
Ketiga orang itu termangu-mangu. Namun salah seorang dari merekapun tertawa sambil menjawab, “Ya. Kau memang cerdik. Aku memang akan melakukan hal itu. Karena itu, sebaiknya kalian membuka pintu gerbangmu, karena pemimpinku akan segera datang. Aturlah orang-orangmu agar datang berurutan seorang demi seorang, membungkuk dihadapannya untuk dipancung dengan pedang. Tetapi jangan takut merasa kesakitan karena pedangnya sangat tajam, sehingga sekali ayun kepala kalian akan terpenggal.”
Jawaban itu membuat darah orang tertua dipadepokan Serigala Putih itu mendidih. Dengan tubuh gemetar ia masih mencoba menyabarkan diri. Jawabnya, “Mungkin pedang pemimpinmu itu dapat memenggal leher gajah sekali tebas. Tetapi maaf, bahwa pedang itu tidak akan dapat mengelupas kulit kami, karena sebenarnyalah bahwa kami adalah orang-orang yang tidak ada taranya dimuka bumi ini. Tetapi jika pemimpinmu itu benar-benar akan datang dan melihat kemampuan kami, maka dengan senang hati kami akan menerimanya. Kami akan membuka regol ini dan dengan senang hati mempersilahkannya masuk. Kami akan menyerahkan seorang anak bayi kepadanya, untuk membuktikan bahwa pedangnya tidak akan berarti apa-apa bagi kami.”
Ketiga orang itupun menjadi marah pula. Salah seorang dari mereka berteriak, “He, sudah gila. Kau harus berterima kasih bahwa pemimpinku bersedia melakukannya. Membunuh dengan cara yang paling baik bagi kalian. Tetapi kalian adalah orang-orang yang tidak tahu diri. Tanpa pemimpinmu yang sombong itu, maka kalian tidak akan berarti apa-apa bagi kami.”
“Ah” jawab orang tertua dipadepokan Serigala Putih itu, “kau masih juga mengigau disitu. Kembalilah. Katakan kepada pemimpinmu yang aku tahu, tentu sudah berada dibalik batu padas itu. Bahkan kami akan menyambut kedatangannya seperti penyambut sepasang pengantin baru. Nah, kau dengar.”
“Gila. Kau sudah menjerumuskan dirimu sendiri dan orang-orangmu kedalam neraka yang paling dalam.”
Betapapun kemarahan meledak dihati orang tertua dipadepokan itu, namun ia memaksa diri untuk tertawa. Katanya, “Jangan marah. Tidak ada kesempatan yang paling baik untuk melihat pemimpin datang merengek-rengek dipadepokan ini kecuali sekarang ini. Aku sama sekali tidak menduga, bahwa pada suatu saat datang kesempatan bagiku untuk melihat hal yang sangat menarik hati ini.”
“Kau akan menyesal. Pemimpinku memang sudah berada di ambang pintu. Tetapi jika ia datang dan pintu regolmu masih tertutup, maka kau akan melihat akibatnya. Padepokanmu akan menjadi karang abang, dan kalian akan mati dengan siksaan yang paling keji yang pernah dialami oleh seseorang yang jatuh ditangannya.”
“Akupun mampu melakukan siksaan melampaui hukuman picis. Pergilah, dan katakanlah kepada pemimpinmu bahwa kami sudah siap menyambutnya.”
Ketiga orang yang berada di luar regol itu menggeram. Ternyata orang-orang dari gerombolan Serigala Putih masih mempunyai harga diri dan ingin bertahan meskipun kematian tidak akan dapat mereka elakkan lagi. Karena itu, maka salah seorang dari merekapun berkata. “Baiklah. Mungkin kali ini adalah untuk yang terakhir kalinya permintaanmu dipenuhi.” orang itu berhenti sejenak lalu, “tunggulah. Setelah kami membinasakan kalian, maka kami akan membinasakan anak-anak kalian yang sedang mengungsi itu, agar mereka tidak akan menjadi sebab kesulitan pada anak keturunan kami.”
Orang tertua itu menggeram, “Pengecut. Cepatlah jika kau ingin membawa pemimpinmu kemari dan berlutut dihadapan regol ini.”
“Gila. Anak setan. Kau akan dicincang hidup-hidup. Kau akan mengalami akibat sikapmu yang liar itu, maka kau akan mengalami kematian yang lambat sekali. Anggauta badanmu akan berkurang setiap hari satu sehingga sepekan kemudian baru akan mati.”
“Cepat, pergilah. Aku masih menghormati kalian, karena belas kasihan. Sebenarnya kami dapat membunuh kalian sekarang ini juga.”
Ketiga orang itu tidak dapat menahan kemarahan yang menyesak didalam dada. Karena itu, maka merekapun segera kembali keinduk pasukannya yang sebenarnya memang sudah bersedia untuk menyerang.
Pemimpin yang diangkat dari mereka diantara gerombolan Serigala Putih itupun segera mengatur anak buahnya. Beberapa orang telah siap melontarkan tombak mereka, jika beberapa orang memecahkan pintu gerbang. Sementara yang lain telah mengambil tempat yang sebaik-baiknya untuk menyergap.
“Jangan menunggu” berkata orang tertua itu, “kita akan memanfaatkan benturan yang pertama itu sebaik-baiknya, agar kekuatan lawan langsung dapat kita kurangi.”
Orang-orangnya mengangguk-angguk. Mereka benar-benar sudah siap, karena mati di pertempuran seperti itu, akan jauh lebih baik daripada mati dicincang atau diikat di sarang semut yang liar dan buas. Atau dimasukkan ke dalam rawa-rawa yang penuh dengan buaya-buaya kerdil dilembah pegunungan.
Dalam pada itu, Empu Baladatu pun telah siap pula diantara mereka meskipun nampaknya ia acuh tidak acuh saja melihat kesibukan orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itu.
“Bagaimana dengan Empu” bertanya ornag tertua itu.
“Sudah aku katakan. Aku tetap disini.” Jawab Empu Baladatu, “aku ingin melihat, apakah yang dapat dilakukan oleh orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang itu.”
“Tetapi jika terjadi sesuatu dengan Empu? Empu adalah tamu kami disini. Tetapi bagaimana jika kami tidak dapat berbuat sesuatu untuk keselamatan Empu?”
“O, aku akan mencoba menjaga keselamatanku sendiri”
Orang tertua itu mengangguk-angguk. Sekilas dipandanginya orang-orang dari gerombolan Serigala Putih yang sudah siap menerima lawan mereka, jika mereka memecahkan pintu gerbang. Namun beberapa orang terkejut karenanya ketika mereka mendengar derap kaki-kaki kuda yang memencar. Salah seorang dari orang-orang gerombolan Serigala Putih itu mencoba untuk mengintip dari lubang regol yang dibukanya sedikit.
Dengan tegang ia pun kemudian berlari memberitahukan kepada orang tertua dipadepokan itu, “Mereka ternyata memencar di sekeliling padepokan ini”
Orang tertua itu termangu-mangu sejenak. Ketika ia menebarkan matanya di sekitar halaman itu, dilihatnya dinding batu yang tinggi diantara Rumpun-rumpun pring ori yang penuh dengan duri.
“Mereka tentu akan meloncati dinding itu” berkata Empu Baladatu.
“Terlalu sulit.”
“Mungkin mereka membawa tangga atau alat serupa.” Belum lagi orang tertua itu menjawab, mereka sudah melihat sebuah kepala yang tersembul.
“Lihat” teriaknya. Kemudian, “Memencarlah. Mereka tidak akan melalui gerbang yang tertutup itu. Mereka akan memanjat dinding. Cepat, cepat.”
Teriakan itu terdengar di seluruh halaman. Tetapi beberapa orang justru menjadi bingung ia terpaksa mengulangi .”Lihat, mereka telah memanjat dinding batu di sela-sela rumpun pering ori. Cegah mereka.”
Orang-orang yang sudah bersiaga, dan bahkan mencoba memasang perangkap berlapis dihadapan pintu gerbang itupun segera memencar. Tetapi karena mereka sama sekali tidak bersiap menghadapi hal itu, maka beberapa orang menjadi bingung dan mengikut saja teman-teman di sekitarnya..Karena itulah, maka arah mereka tidak menentu. Tetapi merekapun segera memilih lawan.
Sejenak kemudian orang-orang gerombolan Serigala Putih yg mengerumuni regol itupun telah berlari-larian tercerai berai untuk melawan orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang yang mulai memanjat dinding dan satu-satu telah mulai berada diatas dinding yang agak tinggi itu.
Tetapi pada saat mereka mulai meloncat turun, maka orang-orang Serigala Putih telah berpencar. Meskipun mereka belum siap benar, namun mereka sudah dapat mulai menghambat. Tetapi dengan demikian, maka rencana mereka untuk mengurangi jumlah lawan pada benturan pertama dengan melontarkan tombak-tombak pendek ternyata, telah gagal, karena orang-orang yang mereka tunggu, ternyata tidak memecah regol dan berdesakan memasuki padepokan itu.
Ketika orang-orang dari gerombolan Serigala Putih mencapai dinding batu, maka orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang telah mulai maju beberapa langkah, sehingga sejenak kemudian pertempuran pun segera terjadi, hampir di segala sudut padepokan.
Empu Baladatu masih berdiri termangu-mangu bersama beberapa orang pengawalnya. Orang tertua dipadepokan itupun kemudian berkata, “Empu. Aku harus ikut serta dalam pertempuran itu, agar orang-orangku tidak merasa berkecil hati.”
“Apakah pemimpin gerombolan Macan Kumbang telah ada di antara mereka?”
Orang itu menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku belum melihatnya. Tetapi mereka tentu akan datang.”
“Seharusnya kau menunggunya.”
“Aku akan menunggu sambil bertempur. Aku akan melawannya meskipun aku tahu, bahwa kemampuanku belum dapat mengimbanginya.”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya, “Silahkan agar kehadiranku disini tidak mengganggu.”
“Sebaiknya Empu menyingkir agar tidak terlibat dalam kesulitan karena kami.”
Empu Baladatu masih sempat tersenyum. Katanya, “Jangan pikirkan aku lagi.”
Orang tertua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun segera meloncat mengikuti kawan-kawannya. Setelah menilai pertempuran yang terjadi dihalaman itu, maka iapun segera memilih tempat yang paling ribut, agar ia dapat membantu kawan-kawannya yang agaknya mengalami kesulitan.
Ternyata bahwa orang-orang dari Serigala Putih itupun dapat segera menyesuaikan diri dengan lawan yang datang. Yang merasa terlampau banyak, telah berkisar ke tempat yang nampak terlampau lemah karena lawan yang lebih banyak. Meskipun rencana yang disusun oleh gerombolan Serigala Putih itu telah rusak karena kedatangan lawan yang ttidak seperti yang diperhitungkan, namun mereka berusaha sejauh mungkin untuk mengimbangi.
Karena keduanya bersumber dari ilmu yang sama, tetapi dalam perkembangannya kemudian justru telah terjadi persaingan diantara mereka, maka pertempuran yang berkobar itupun segera menjadi sangat seru. Masing-masing bertempur dengan cara dan kemampuan yang seimbang. Kasar, buas dan liar. Di segala sudut terdengar teriakan-teriakan nyaring, dan sumpah serapah yang tidak henti-hentinya disamping jerit ngeri karena luka yang membelah tubuh.
Sementara itu, orang tertua didalam kematangan ilmu dari gerombolan Serigala Putih telah ikut serta di dalam pertempuran itu, sehingga dengan demikian, maka ia berhasil memperingan tekanan kawan-kawannya didalam kelompoknya. Namun dalam pada itu, ternyata bahwa kekuatan keduanya seimbang, sehingga pertempuran yang seru dan kasar itu menjadi semakin sengit. Tidak ada seorang pun dari kedua belah pihak yang mencoba untuk mencari penyelesaian lain daripada membunuh atau dibunuh.
Dengan demikian maka mayat pun telah mulai berjatuhan ditanah dari kedua belah pihak. Korban-korban pertama itu telah membakar hati kawan-kawan mereka sehingga dendam pun semakin menyala di dalam dada masing-masing.
Empu Baladatu masih tetap berdiri diam bersama pengawalnya. Sejenak ia memperhatikan perkelahian yang sengit itu. Namun sejenak kemudian ia berkata kepada para pengawalnya, “Sebentar lagi beberapa orang dari mereka tentu akan menyerang kita. Bersiaplah. Kita tidak akan dapat berdiam diri dalam kekisruhan semacam ini.”
“Pengawal-pengawalnya pun mengangguk-angguk.”
“Melihat pertempuran itu, kalian tidak usah berkecil hati. Mereka tidak lebih dari kebanyakan orang-orang kita. Menurut penilaianku, kau berada selapis lebih tinggi dari kebanyakan mereka.”
Pengawalnya itu meng-angguk-angguk pula. Ternyata dugaan Empu Baladatu itu segera terjadi. Beberapa orang dari gerombolan Macan Kumbang yang melihat Empu Baladatu dan pengawalnya masih berdiri termangu-mangu dibawah tangga pendapa, segera mendekatinya.
Tetapi sementara itu, tiba-tiba halaman padepokan itu telah digetarkan oleh suara tertawa yang meledak diatas regol. Ternyata bahwa pemimpin gerombolan Macan Kumbang tidak berusaha memecahkan regol, tetapi bersama beberapa orang pengawalnya telah meloncat keatas regol itu.
“Bagus” teriaknya kemudian, “bunuh saja semua orang gerombolan Serigala Putih. Tetapi sisakanlah yang mungkin kalian tangkap hidup-hidup. Mereka akan merupakan hiburan yang mengasyikan setelah bertempur mempertaruhkan nyawa. Aku ingin mendapat beberapa orang mainan di antara orang-orang yang menyebut dirinya gerombolan Serigala Putih.”
Suara itu benar-benar telah menggetarkan setiap orang yang berada dipadepokan itu. Apalagi ketika mereka melihat seorang yang bertubuh tinggi tegap berdada bidang sambil menggenggam sebuah kapak bertangkai pendek.
“Agaknya orang itulah yang disebut pemimpin gerombolan Macan Kumbang” desis Empu Baladatu.
“Ya” sahut salah seorang pengawalnya, “meskipun ia tidak mengenakan kulit harimau seperti Empu Sanggadaru.”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Orang yang berdiri diatas regol itu nampaknya memang meyakinkan. Tetapi jika kemampuannya tidak lebih dari pemimpin gerombolan Serigala Putih yang terbunuh itu, maka agaknya Empu Baladatu masih dapat membuat pertimbangan untuk melawannya seorang diri. Namun dalam pada itu, sambil mengerutkan keningnya, Empu Baladatu berkata, “Tetapi kau lihat ikat pinggangnya?”
“Ya” sahut salah seorang pengawalnya, “ikat pinggang yang besar itu dibuat dari kulit harimau kumbang.”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Agaknya orang itu tetap ingin menunjukkan sesuatu yang dapat dia kaitkan dengan nama gerombolannya. Macan Kumbang. “Bersiaplah” berkata Empu Baladatu kemudian, “kita akan ikut dalam pertempuran ini seperti yang aku katakan. Mudah-mudahan dengan demikian rencanaku akan bertambah lancar.”
Kelima orang pengawalnya pun kemudian melangkah mendekat sambil mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu, orang yang berdiri diatas regol itu berkata, dengan suara yang lantang, “Bekerjalah lebih cepat. Aku tidak mempunyai banyak waktu untuk melayani tikus yang telah kehilangan induknya. Kita akan merampas apa saja yang ada dipadepokan ini. Jika kita tidak menemukan apa-apa, maka akan kita ketemukan pada perempuan dan anak-anak yang telah mengungsi lebih dahulu.”
“Persetan” tiba-tiba orang tertua dari gerombolan Serigala Putih itupun menjawab, “Kau jangan menyombongkan diri. Jangan kau sangka bahwa kami tidak akan berani melawanmu?”
Orang yang berdiri diatas regol bersama beberapa orang pengawalnya itu tertawa. Katanya, “Kau masih juga berani menyombongkan diri? Nah, aku akan minta kepada orang-orangku untuk menyelamatkanmu. Aku sendiri ingin berurusan dengan kau. Seorang yang sombong biasanya mengalami saat-saat kematian yang tidak menyenangkan. Dan kaupun akan mengalaminya.”
“Persetan” teriak orang tertua itu, “turunlah. Kita akan melihat apakah sebenarnya pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu benar-benar memiliki kemampuan bertempur atau sekedar hanya berani berteriak-teriak diantara para pengawalnya.”
“Gila” teriak pemimpin gerombolan Macan Kumbang, “aku akan sanggup membunuh beberapa orang sekaligus.”
“Dan kau tidak berbuat apa-apa.”
“Gila.”
Orang tertua itu terdiam sejenak. Namun kemudian timbullah pertimbangannya yang lain. Lebih baik ia membiarkan orang itu berdiri saja di atas regol sementara ia dapat melayani orang-orang lain dari pasukan lawannya. Sehingga karena itulah, maka iapun tidak menyahut lagi. Bahkan iapun melanjutkan pertempuran yang seru melawan orang-orang Macan Kumbang yang ada di sekitarnya.
Pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu termangu-mangu sejenak. Ia melihat orang tertua dari gerombolan Serigala Putih itu agak lebih tinggi ilmunya daripada kebanyakan anak buahnya. Namun baginya orang itu masih belum dianggap membahayakan.
Dalam pada itu, pertempuran itupun menjadi bertambah seru. Masing-masing bertempur semakin kasar dan liar. Sementara orang yang berdiri diatas regol itu masih saja bediri termangu-mangu. Sementara pertempuran berlangsung dengan sengitnya, maka beberapa orang yang terhenti karena suara pemimpinnya yang berdiri diatas regol, segera menyadari bahwa masih ada orang yang belum mendapat lawan. Mereka adalah orang-orang yang sedang mempersiapkan diri untuk menyerang orang yang berdiri termangu-mangu itu. Karena itulah maka merekapun segera meloncat, melanjutkan langkahnya, berlari menuju ketempat Empu Baladatu dan kelima pengawalnya.
“Mereka adalah orang-orang yang sedang membunuh diri” berkata Empu Baladatu.
“Apakah kita akan membunuhnya?”
“Ya. Kita harus mengejutkan orang yang sombong, yang berdiri di atas regol itu.”
“Membunuh begitu saja?”
“Hanya tiga orang” desis Empu Baladatu, “orang-orang yang malang. Mereka belum mengenal kita. Kita akan langsung menerima mereka, membunuh dengan cara kita.”
“Melukainya arang kranjang?”
“Di sini kita adalah tidak dipadepokan. Disini tidak ada kakang Empu Sanggadaru atau orang-orang dari istana Singasari.”
Kelima orang pengawalnya termangu-mangu. Tetapi mereka tidak sempat berpikir lebih lama lagi. Tiga orang lawan telah menjadi semakin dekat.
“Mereka belum mengenal kita.” geram Empu Baladatu, “itulah agaknya mereka berani menghina Empu Baladatu. Kita berenam, dan mereka hanya bertiga. Mereka sangka masing-masing dapat membunuh kita berdua.”
Tiba-tiba saja salah seorang pengawal Empu Baladatu tertawa tidak tertahankan lagi, sehingga ketiga orang lawan yang menjadi semakin dekat itu tertegun.
“He, kalian mau apa?” terdengar suara pengawal yang tertawa itu.
“Kami akan membunuhmu” geram salah seorang dari ketiga orang itu.
“Kami berenam, dan kalian hanya bertiga.”
Tiga orang itu ragu-ragu. Tetapi orang yang berdiri diatas regol, yang agaknya memperhatikan tingkah ketiga orang anak buahnya itu berteriak, “Bunuh mereka berenam.”
Ketiga orang itu tidak menunggu lebih lama lagi. Perintah itu telah menggerakkan mereka serentak menyerang Empu Baladatu dan kelima pengawalnya.
Empu Baladatu benar-benar merasa terhina. Karena itu, ia pun segera memberi aba, “Bunuh secepat dapat kita lakukan.”
Perintah Empu Baladatu itu merupakan imbangan dari perintah orang yang berdiri diatas regol itu. Jika pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu terlalu yakin akan kemampuan orang-orangnya, maka Empu Baladatu yang marah pun berusaha untuk meyakinkan lawannya, bahwa yang dihadapinya kali ini bukannya orang-orang yang ketakutan dari gerombolan Serigala Putih.
Demikian ketiga orang itu mendekat, maka Empu Baladatupun berteriak, “Sekarang. Kelupas mereka sampai ketulangnya.”
Perintah yang sangat mengerikan. Tetapi kelima pengawalnya sama sekali tidak ragu-ragu. Mereka sudah terbiasa melakukan sesuatu yang sangat mengerikan itu. Sejenak kemudian keenam orang itupun segera meloncat dalam lingkaran. Demikian ketiga orang itu mendekat, maka tiba-tiba saja mereka sudah berada di dalam kepungan. Belum lagi mereka menyadari keadaannya, maka lingkaran itu telah berputar dengan cepatnya.
Masih terdengar teriakan tertahan. Namun tidak seorang yang mengetahui, apa yang sudah dilakukan oleh keenam orang yang berputaran dalam lingkaran itu. Orang yang berdiri diatas regol itupun tidak. Tetapi setiap mata pun kemudian terbelalak ketika mereka mendengar Empu Baladatu berteriak,
“He, siapa lagi yang akan menyusul? Inilah Empu Baladatu. Penguasa dari segala ilmu yang disebut ilmu hitam.”
Rasa-rasanya pertempuran itu pun terhenti sejenak. Orang yang berdiri diatas regol itu bagaikan membeku ditempatnya ketika mereka melihat ketiga orangnya itu terbaring ditanah. Tidak lagi dapat dilihat bentuk tubuhnya selain warna darah yang merah. Sejenak orang diatas regol itu terbungkam. Meskipun ia adalah orang yang paling ganas didaerah yang dikuasainya, namun ketika ia melihat korban yang jatuh ditanah itu, rasa-rasanya tubuhnya telah menggigil.
“Sekarang kalian mengenal aku, siapakah Empu Baladatu yang sebenarnya.”
Orang-orang dari kedua pihak menjadi semakin tegang. Namun bagaimanapun juga, kematian yang mengerikan itu telah membakar hati pemimpin gerombolan Macan Kumbang yang berdiri diatas regol. Sambil berteriak nyaring orang itupun kemudian meloncat turun, diikuti oleh para pengawalnya. Dengan suara yang gemetar ia berkata,
“Empu Baladatu, ternyata bahwa ilmumu masih lebih dekat dengan sumber ilmu yang disebut ilmu hitam. Aku dapat mengenalinya dengan cara yang kau lakukan. Cara yang sudah lama ditinggalkan oleh cabang perguruan Macan Kumbang. Namun itu bukan berarti bahwa kami tidak akan mampu mengimbangi ilmumu yang gila itu. Meskipun belum dalam keseluruhan orang-orangku, tetapi setidak-tidaknya aku sendiri menguasai cara yang paling baik untuk melawan keliaran dan kebuasanmu itu.”
Empu Baladatu tertawa. Jawabnya, “Soalnya bukan sekedar kesombongan dan bual yang memuakkan. Kita akan bertempur. Dan diantara kita akan menjadi korban dari keganasan kita masing-masing. Akupun sadar, bahwa bagaimanapun juga ujud dari perkembangan ilmumu, namun ciri yang tidak dapat kita tinggalkan, adalah kekasaran yang buas dan liar. Aku sudah menunjukkannya, dan kau sudah melihat akibatnya. Sekarang, cobalah. Apa yang dapat kau lakukan dengan kapakmu. Kau tentu akan menyayat kulit korbanmu seperti sayatan kuku Macan Kumbang. Tetapi jika demikian, maka senjata yang paling tepat adalah senjata berujung runcing. Bukan sebuah kapak.”
“Kau salah. Aku tidak pernah meninggalkan korban seperti bekas sayatan kuku harimau. Tetapi aku selalu meninggalkan korbanku yang terpisah-pisah anggauta tubuhnya. Mungkin kepalanya, mungkin kedua kaki dan lengannya, atau mungkin isi perutnya. Nah, kau mengerti?”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Namun suara tertawanya telah meledak lagi. Suara tertawa iblis yang mengerikan. Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih yang melihatnya di hutan, sebagai seorang yang baik dan pengampun, menjadi heran melihatnya sekarang sebagai iblis yang buas. Rasa-rasanya Empu Baladatu yang berada di hutan perburuan itu sama sekali lain dengan Empu Baladatu yang telah mengotori tangannya dengan darah.
Namun mereka tidak dapat ingkar, bahwa dua kekuatan dari ilmu hitam sedang berhadapan. Keduanya adalah orang-orang yang liar dan buas. Cara mereka membunuh lawannya benar-benar tidak masuk akal. Mereka sudah melihat akibat tangan Empu Baladatu. Sedangkan mereka sudah mendengar pula, bagaimana pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu membunuh seseorang. Seperti yang dikatakan, maka dengan kapaknya, ia dapat berbuat apa saja atas korbannya yang sudah dibunuhnya.
Sejenak kemudian, kedua orang yang memiliki ilmu hitam itu telah bersiap. Para pengawalnya telah menghadapi lawannya masing-masing pula, sehingga mereka tidak akan bertempur dalam kelompok betapapun kecilnya. Sejenak kemudian, tiba-tiba saja telah terdengar teriakan nyaring yang terlontar dari mulut pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu. Dan itupun merupakan aba-aba yang telah menggerakkan seluruh anak buahnya yang termangu-mangu melihat kebiadaban Empu Baladatu yang semula sama sekali tidak disangka-sangkanya
Pertempuran segera berkobar lagi diseluruh halaman. Orang-orang dari kedua gerombolan itu pun segera mengerahkan kemampuan masing-masing dengan segala macam kekasaran, kebuasan dan kebiadaban. Mereka menyadari bahwa tidak ada cara yang lebih baik untuk membinasakan lawan. Apalagi mereka masing-masing memang dibesarkan dalam ilmunya, dengan cara yang demikian.
Itulah sebabnya, pertempuran yang terjadi kemudian adalah pertempuran yang paling gila. Empu Baiadatu pun sama sekali tidak mengekang dirinya lagi. Ia berbuat apa saja yang dapat dilakukannya tanpa mempertimbangkan apapun juga. Demikian juga lawannya, pemimpin gerombolan Macan Kumbang. Ia telah melihat akibat tangan Empu Baladatu dengan pisau-pisau belati panjangnya. Ketiga orangnya itu bagaikan di sayat kulitnya di seluruh tubuh.
Dalam pada itu, Empu Baladatu bertempur dengan sepasang pisau belati panjang, yang merupakan senjata utamanya dalam puncak kemampuannya sebagai ciri gerombolannya yang buas dan liar. Sedangkan lawannya mempergunakan sebuah kapak yang tajamnya berkilat-kilat disentuh sinar matahari.
Kedua orang itu ternyata telah terlibat dalam perkelahian yang dahsyat dan paling kasar. Bahkan orang-orang dari kedua gerombolan itupun seolah-olah belum pernah melihat pertempuran yang membingungkan. Keduanya bergerak dengan cepat dan membingungkan. Namun setiap kali terdengar teriakan dan umpatan. Bahkan Kadang-kadang salah seorang dari mereka telah mempergunakan ludah mereka sebagai senjata untuk mematuk mata. Tetapi seakan-akan masing-masing telah memiliki kemampuan untuk mengatasi setiap serangan yang betapapun ganasnya.
“Kau tidak akan dapat menyombongkan ilmu putaran itu disini” geram pemimpin Macan Kumbang.
“Dan kapakmu tidak akan mengejutkan aku” jawab Empu Baladatu, “hentakan yang mengejut itu sama sekali tidak dapat mempengaruhi keseimbangan perlawananku.”
“Persetan” geram pemimpin gerombolan Macan Kumbang.
“Tidak ada gunanya kau mengumpat. Sebentar lagi kau akan mati dengan kulit terkelupas.”
“Kau yang akan mati dengan tubuh yang terpotong-potong.”
Tetapi suara pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu terputus karena tiba-tiba saja Empu Baladatu sempat mencungkil segumpal tanah yang dilontarkan pada mata lawannya. Untunglah bahwa pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu sempat mengelak. Bahkan ia pun kemudian dengan sengaja melemparkan segenggam pasir kewajah lawannya. Namun tidak juga mengenai sasarannya. Perkelahian yang kasar itu telah terjadi pula diantara setiap orang didalam gerombolan yang jumlahnya memang tidak terpaut banyak itu.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Empu Baladatu memang memiliki kelebihan dari lawannya. Meskipun menurut penilaian orang-orang gerombolan Serigala Putih sendiri, bahwa, pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu memang mempunyai kelebihan betapapun kecilnya dari pemimpinnya yang terbunuh, namun didalam bertaruh nyawa, belum pasti bahwa pemimpinnyalah yang akan kalah. Apalagi jika sempat satu atau dua orang membantunya, maka kemungkinan yang lain masih dapat terjadi.
Tetapi setelah pertempuran yang kasar itu terjadi beberapa saat lamanya, maka pemimpin germbolan Macan Kumbang itu mulai terdesak surut. Beberapa kali ia menghindar dengan loncatan panjang, jika Empu Baladatu sudah mulai bergerak dalam garis lingkaran. Namun dengan demikian maka usaha Empu Baladatu untuk mengitarinya pun telah gagal pula.
Meskipun demikian, namun Empu Baladatu masih mampu membuat lawannya terdesak surut dengan serangan-serangannya yang kasar. Meskipun pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu tidak kalah kasarnya, tetapi nampaknya Empu Baladatu memang mempunyai kecepatan yang lebih tinggi dari lawannya. Dengan demikian, maka meskipun Empu Baladatu sendiri tidak dapat mengitari lawannya, namun sepasang senjatanya bagaikan mematuk-matuk dari segenap penjuru. Bayangan yang bulat membujur bagaikan angin yang bergulung-gulung melanda pemimpin gerombolan Macan Kumbang.
Tetapi kapak bertangkai pendek itu ternyata merupakan senjata yang dahsyat pula. Sekali-kali kapak itu melayang bagaikan hendak membelah langit. Namun kemudian terayun mendatar setinggi lambung. Ketika kapak itu terayun dengan cepatnya, Empu Baladatu yang berdiri didekat sebatang pohon kemuning, sempat mengelakkan diri. Tetapi demikian derasnya ayunan kapak itu sehingga batang kemuning sebesar paha itupun putus sekali sentuh.
Tetapi pada saat yang bersamaan Empu Baladatu meloncat dengan cepatnya dan berlari berputaran. Namun lawannya tidak menyerah. Ia masih sempat meloncati batang yang roboh dan menginjakkan kakinya dibelakang garis lingkaran yang mulai terbentuk.
“Setan alas” teriak Empu Baladatu.
Lawannya tidak menyahut. Ia masih berdiri ditentang batang yang roboh oleh satu sentuhan kapaknya itu. Sejenak kemudian mereka mencari kesempatan. Namun sekejap berikutnya, pertempuran telah membakar keduanya bagaikan api yang menjilat-jilat sampai ketepi mega.
Dengan demikian maka halaman padepokan Serigala Putih itupun kemudian telah dipenuhi dengan kekerasan senjata antara dua kelompok yang dibekali dengan ilmu hitam. Di tambah dengan kehadiran Empu Baladatu yang juga menyadap ilmu dari sumber yang sama, yang bahkan masih memiliki tanda-tanda yang jauh lebih mengerikan dari ilmu hitam itu. Di setiap sudut halaman telah mulai dibasahi oleh darah dari kedua belah pihak. Mayat mulai bergelimpangan dengan luka yang mengerikan disetiap tubuh.
Empu Baladatu yang bertempur bagaikan iblis itu mendapat perlawanan yang gigih dari pemimpin gerombolan Macan Kumbang. Masing-masing mampu melakukan sesuatu yang sama sekali tidak di-sangka-sangka oleh masing-masing pihak. Tetapi dalam pada itu, pemimpin gerombolan Macan Kumbang merasa menghadapi keadaan yang tidak diduga-duganya. Ia sama sekali tidak memperhitungkan kehadiran seseorang yang ternyata memiliki kemampuan bukan saja menyamai pemimpin gerombolan Serigala Putih yang sudah terbunuh, tetapi ternyata memiliki ilmu yang lebih tinggi dan lebih mengerikan.
Dengan demikian maka kemarahan yang menyala didadanya bagaikan telah membakar jantung. Dengan kapaknya ia kemudian mengerahkan segenap ilmu. dan kemampuan yang ada padanya, ilmu yang disebut ilmu hitam meskipun sudah mengalami perkembangan tersendiri dari ilmu yang dimiliki oleh Empu Baladatu. Namun bagaimanapun juga, pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu tidak mampu menyamai keganasan Empu Baladatu, sehingga dengan demikian maka semakin lama iapun menjadi semakin terdesak surut, sehingga pada suatu sudut yang tidak lagi dapat memberi kesempatan kepadanya untuk melangkah surut lagi.
Kemarahan yang membara bagaikan terpancar dari matanya yang merah. Darahnya bagaikan mendidih di dalam jantungnya. Dengan tangan bergetar, ia pun kemudian mengayunkan kapaknya bagaikan tabir baja yang melindungi dirinya. Tetapi Empu Baladatu tidak melepaskannya. Kedua ujung pisau belati panjangnya, setiap kali berhasil menyusup disela-sela putaran kapaknya. Rasa-rasanya semakin lama menjadi semakin dekat dengan dadanya.
Dalam pada itu, pertempuran yang terjadi di seluruh halaman ilu seolah-olah tidak akan selesai sebelum kedua belah pihak binasa seluruhnya. Hanya tinggal seorang saja yang akan tinggal hidup. Teriakan dan umpatan menggemuruh di sela-sela jerit dan pekik kesakitan yang tidak tertahankan. Sehingga campur baur bunyi yang memekakkan telinga telah menggetarkan udara padepokan itu.
Sementara itu, pemimpin gerombolan Macan Kumbang yang telah tersudut tidak mau menyerah tanpa usaha apapun juga untuk menyelamatkan dirinya. Karena itu, maka sejenak kemudian terdengar isyarat yang meloncat dari mulutnya. Sebuah suitan yang nyaring, yang seolah-olah melengking dari dasar bumi. Ternyata isyarat itu adalah isyarat untuk memanggil beberapa orang pengawalnya, yang dengan serta merta telah meninggalkan beberapa orang lawannya untuk menyerang Empu Baladatu.
Tetapi Empu Baladatu pun tidak sendiri. Kelima orang pengawalnya yang telah curiga dengan isyarat yang terlontar dari mulut pemimpin gerombolan Matan Kumbang itu, telah menjadi isyarat pula bagi mereka. Demikian mereka melihat beberapa orang menyerang Empu Baladatu dari segala penjuru, maka merekapun segera meninggalkan lawan-lawannya sambil berteriak kepada orang-orang Serigala Putih yang ditinggalkan lawannya pula,
“He, kemarilah kalian yang kehilangan lawan.”
Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itupun dapat menangkap maksudnya. Karena itu, maka merekapun segera berlari-larian mendapatkan lawan para pengawal Empu Baladatu. Dengan demikian maka para pengawal dari pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu tidak berhasil membantu pemimpinnya melawan Empu Baladatu, karena para pengawal Empu Baladatu pun segera mengambil alih perlawanan terhadap mereka.
Pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu menggeram. Ia benar-benar telah terperosok kedalam suatu keadaan yang tidak diduganya. Namun demikian ia tidak menjadi putus asa. Ia sadar, bahwa ilmu orang yang tidak diperhitungkan itu ternyata lebih tinggi dari ilmunya. Namun ia masih mengharap dapat menemukan kelemahannya. Tetapi akhirnya ternyata bahwa kesempatan itu tidak kunjung datang.
Empu Baladatu bertempur dengan sebaik-baiknya karena ia tidak ingin membuat kesalahan betapapun kecilnya. Meskipun serangan dari gerombolan Macan Kumbang itu tidak diketahuinya lebih dahulu, namun ia justru dapat memanfaatkannya dengan baik.
Itulah sebabnya ia bertekad untuk memenangkan perkelahian yang dahsyat itu. Iapun sudah siap menunjukkan betapa kasar dan biadabnya ilmu hitam yang dimilikinya, melampaui ilmu hitam dari gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang. Dengan demikian, maka Empu Baladatu pun mendesak lawannya semakin ke sudut sehingga benar-benar tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk mengelakkan diri.
Kegelisahan telah memuncak pada setiap dada orang-orang dari gerombolan Maran Kumbang. Pada saat-saat tertentu mereka sempat melihat, bahwa pemimpinnya sudah terdesak sehingga tidak dapat bergerak sama sekali. Namun demikian pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu sama sekali tidak berputus asa. Ia tetap bertempur dengan segenap sisa kemampuannya.
Dalam pada itu, ternyata bahwa Empu Baladatu yang kasar dan liar itu masih sempat berpikir. Seperti rencana yang sudah disusunnya saat ia mengunjungi padepokan gerombolan Serigala Putih yang sudah kehilangan pemimpinnya itu, maka persoalan yang tiba-tiba saja dijumpainya itupun akan dimanfaatkannya pula. Karena itu, ketika ia sudah berhasil mengurung lawannya sehingga tidak mungkin untuk dapat lolos lagi, maka iapun berteriak, “Menyerahlah. Aku masih dapat berbicara dengan kepala yang dingin.”
“Persetan” geram lawannya.
“Jangan keras kepala. Kau tahu, aku dapat membunuhmu sekarang. Tetapi aku masih mempunyai rencana yang panjang yang barangkali dapat kita susun bersama.”
Tidak ada jawaban.
“Jika kau pernah mendengar nama Mahisa Bungalan dan Linggadadi pembunuh orang-orang berilmu hitam, maka kau tentu akan menganggap pertempuran kita ini bermanfaat.”
Masih belum ada jawaban.
“Jika kau hentikan niatmu menguasai padepokan ini, dan bersedia bekerja bersama kami, maka kau akan melihat jalan lurus yang licin yang akan sampai ke tempat yang diinginkan oleh setiap orang. Kamukten.”
Pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu masih tetap berdiam diri.
“Jawablah. Supaya aku tidak terlanjur membunuhmu. Kita akan bersama-sama membinasakan Linggadadi dan Mahisa Bungalan. Kemudian kita akan menguasai seluruh Singasari. Kau mengerti.”
“Sebuah mimpi yang menakjubkan. Tetapi mentertawakan” jawab pemimpin gerombolan Macan Kumbang.
“Mungkin jika kau bercermin pada dirimu sendiri. Tetapi kau harus melihat kepada keadaan dan kesempatan diluar lingkunganmu yang sempit, sesempit tempurung. Kau hanya tahu rumah-rumah yang berlaEmpu terang dimalam hari. Mengetuk pintunya dan merampok harta bendanya. Selebihnya kau bersembunyi didalam padepokanmu.”
“Kau menghina.”
“Aku menawarkan kerja sama yang saling menguntungkan. Kau sekarang harus mengakui, bahwa kau tidak dapat mengalahkan aku. Apakah kau masih akan menyombongkan diri? Jika kedua padepokan yang selama ini bermusuhan ini dapat bergabung, demikian pula dengan padepokanku, maka kita akan merupakan kekuatan yang disebut kekuatan hitam yang tidak terlawan.”
Pemimpin gerombolan Maran Kumbang termangu-mangu sejenak. Pada tatapan matanya nampak, bahwa ia sedang mencoba memikirkan kata-kata Empu Baladatu itu. “Apakah kau berkata sebenarnya,” tiba-tiba saja ia bertanya.
“Aku berkata sebenarnya.”
“Atau hanya karena kau tidak sempat berbuat lain daripada menawarkan bekerja bersama.”
“Kau memang gila. Sekarang akulah yang pada kedudukan yang menguntungkan. Bukan kau. Dan sekarang kau mencoba untuk menyombongkan diri.”
“Kau sangat licik. Aku selalu curiga kepadamu. Jika aku mati saat ini, maka persoalanku sudah selesai. Tetapi jika aku menerima, tawaranmu, maka aku masih harus membuat perhitungan-perhitungan dan pertimbangan-pertimbangan tersendiri dikemudian hari.”
“Kau memang sombong. Tetapi kau nampak jujur dalam hal ini. Aku senang menghadapi orang sekeras batu akik. Tetapi cobalah, pikirkan tawaranku.”
Orang itu termangu-mangu. Namun kapaknya tidak lagi menyambar. Bahkan nampak bahwa tangannya mulai mengendor ketika Empu Baladatu menghentikan tekanannya. “Apakah kau dapat aku percaya? Atau barangkali kau sekedar ingin mendapatkan cara yang paling baik untuk membunuhku menurut caramu.”
“Kali ini aku berkata sebenarnya. Aku tidak ingin kehilangan kesempatan seperti sekarang ini. Semula aku hanya ingin bergabung dengan gerombolan Serigala Putih yang kehilangan pemimpinnya. Tetapi tanpa aku duga-duga, kalian ada disini.”
Pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu mengerutkan keningnya. Lalu, “Apakah buktinya bahwa kau benar-benar berniat baik.”
“Kau curiga?”
“Aku curiga.”
”Dan kau sadar bahwa aku dapat membunuhmu?”
“Ya. Aku sadar. Tetapi aku tidak ingin mengemis belas kasihanmu. Jika kau ingin membunuh, lakukanlah. Itu jika kau benar-benar mampu.”
“Kau memang sombong.” sahut Empu Baladatu, “tetapi baiklah. Aku benar-benar tidak ingin berbuat licik kali ini, meskipun aku memang seorang yang licik.”
Sejenak keduanya berdiri dengan tegang. Namun kemudian Empu Baladatu tersenyum sambil melangkah mundur, “Aku akan membuktikannya.”
Perkelahian dihalaman padepokan itu seolah-olah telah berhenti dengan sendirinya. Kedua belah pihak dengan dada yang berdebar-debar memperhatikan, apa yang akan dilakukan oleh Empu Baladatu dan lawannya.
Sejenak Empu Baladatu termangu-mangu. Namun iapun kemudian melangkah mundur beberapa langkah sambil berkata, “Kau telah aku bebaskan dari kesulitan. Kau tidak lagi terjepit di sudut yang gawat. Sekarang keluarlah dan bicaralah dengan orang-orangmu, bahwa perkelahian telah berakhir. Katakanlah bahwa kau telah setuju untuk bekerja bersama dengan kami menjelang hari-hari yang gemilang.”
Pemimpin gerombolan Macan Kumbang itupun termangu-mangu. Namun ia pun kemudian melangkah maju sambil berkata, “Jangan menunggu aku lengah. Aku akan tetap bersiap menghadapi sergapanmu yang tiba-tiba.”
Empu Baladatu tertawa. Bahkan ia pun kemudian menyarungkan kedua pisau belatinya sambil melangkah menjauhi lawannya. “Kita berasal dari sumber yang sama. Kenapa kita harus bertengkar. Jika kita memang ingin bertengkar, marilah. Aku akan menunjukkan jalan bagi kalian. Baik mereka dari gerombolan Serigala Putih maupun mereka dari gerombolan Macan Kumbang.”
Orang-orang dari kedua gerombolan itu termangu-mangu. Empu Baladatu benar-benar berusaha memperlihatkan kepada setiap orang, bahwa ia telah melepaskan niatnya untuk membunuh dan bertengkar diantara mereka sendiri. Pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu maju selangkah demi selangkah ketika kemudian Empu Baladatu menjauhinya. Bahkan membelakanginya menghadap orang-orang yang menjadi bingung menanggapi keadaan yang tidak menentu itu.
“Jangan bingung” teriak Empu Baladatu. Lalu katanya sambil berpaling kepada pemimpin gerombolan Macan Kumbang yang masih ragu-ragu, “berbicaralah.”
“Kau pengecut” geramnya, “jika aku sedang berbicara kau akan menikam aku.”
“Aku tidak memegang senjata lagi” berkata Empu Baladatu sambil merentangkan tangannya yang sudah tidak bersenjata.
Kesempatan itu ternyata tidak disia-siakan. Diluar dugaan setiap orang, juga orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang sendiri, bahwa tiba-tiba saja pemimpin gerombolan Macan Kumbang itupun meloncat sambil mengayunkan kapaknya langsung keubun-ubun Empu Baladatu.
Serangan itu benar-benar mengejutkan dan tidak terduga-duga. Karena itulah, maka Empu Baladatu yang sedang berusaha meyakinkan lawannya itupun terkejut bukan buatan. Ia sadar, bahwa maut benar-benar sedang menerkamnya dengan licik sekali. Empu Baladatu merasa bahwa ialah yang telah lengah saat itu. Ia telah kehilangan kewaspadaan menghadapi lawan yang licik dan pengecut.
Namun semuanya sudah terjadi. Sekarang kapak itu sedang terayun untuk membelah kepalanya. Dengan mempergunakan segenap kemampuan yang ada, maka Empu Baladatu yang tidak bersenjata itupun berusaha untuk mengelak. Secepat-cepat dapat dilakukan ia telah memiringkan kepalanya sambil bergeser. Tetapi serangan itu datang begitu cepat dan tiba-tiba, sehingga ternyata bahwa Empu Baladatu tidak lagi dapat melepaskan dirinya sepenuhnya dari ayunan kapak lawannya.
Ternyata Empu Baladatu masih sempat menyelamatkan kepalanya. Tetapi ayunan yang deras dan cepat itu masih sempat menyambar pundaknya, sehingga sentuhan kapak itu ternyata telah bukan saja mengelupas kulitnya, tetapi segumpal daging dilengan kirinya telah sobek.
Kemarahan yang tiada taranya telah menyengat dada Empu Baladatu. Namun ia masih harus meloncat surut, ketika dengan serta merta, maka serangan berikutnyapun telah menyusul dengan dahsyatnya. Pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu benar bagaikan gila. Serangan-serangan beruntun mengejar Empu Baladatu seperti angin pusaran yang melibatnya. Kapak itu seakan-akan telah berterbangan mengitarinya dengan desing yang menggetarkan jantung.Namun akhirnya, Empu Baladatu yang terluka itu berhasil mengambil jarak. Dengan kemarahan yang meluap, maka ia pun kemudian berusaha mencabut senjatanya yang sudah di sarungkannya.
Tetapi Empu Baladatu mengeram ketika terasa seolah-olah tangan kirinya yang robek oleh kapak lawannya itu menjadi lemah dan nyeri. “Gila, kau hantu licik yang tidak tahu diri” teriak Empu Baladatu.
Yang terdengar adalah suara tertawa yang memenuhi halaman itu. Pemimpin Macan Kumbang berkata disela-sela suara tertawanya, “Kau memang luar biasa Empu. Kau masih sempat mengelakkan kapakku yang siap membelah kepalamu. Tetapi meskipun demikian, tangan kirimu tentu menjadi lumpuh, sehingga kau tidak akan dapat lagi mempertahankan sepasang belati panjangmu. Dengan mudah aku akan membinasakanmu, jangan kau mengharap bantuan para pengawalmu karena mereka akan tetap terikal pada perkelahian dengan pengawalku yang memiliki kemampuan lebih baik dari pengawalamu yang malang itu”
Empu Baladatu tidak menjawab. Yang terdengar adalah gemeretak giginya karena kemarahan yang meledak di dalam dadanya. Luka ditangan kirinya itu benar-benar, telah menyalakan api kemarahan yang tidak tertahan lagi. Seolah-olah ia ingin me loncat menerkam dan menelan lawannya bulat-bulat. Tetapi Empu Baladatu memiliki pengalaman yang luas. Ia tidak mau tenggelam dalam kemarahannya tanpa sempat mempergunakan akalnya.
Itulah sebabnya, maka betapun juga, ia masih tetap mencoba mempergunakan akalnya. Ia membuat perhitungan dan penimbangan untuk melawan pemimpin gerombolan Macan Kumbang yang licik itu. Apalagi ia seolah-olah hanya mampu tangan kirinya yang terluka itu bagaikan telah lumpuh. Sejenak kemudian, maka halaman itu telah dibakar kembali oleh api pertempuran yang dahsyat. Kedua belah pihak ternyata telah dijalari oleh kemarahan seperti yang membakar dada kedua orang yang sedang bertempur dengan sengitnya.
Dalam pada itu, serangan pemimpin gerombolan Macan Kumbang itupun menjadi semakin dahsyat. Kapaknya menyambar tanpa henti-hentinya. Kelemahan Empu Baladatu benar-benar telah dimanfaatkan oleh lawannya, sehingga serangan-serangannya seolah-olah telah datang dari sebelah sisi.
Tetapi Empu Baladatu cukup lincah. Ia berusaha mengisi kekurangan pada tangan kirinya dengan kecepatan gerak kakinya. Itulah sebabnya, maka Empu Baladatu pun kemudian berloncatan seperti kijang direrumputan.
“Aku harus cepat menyelesaikan pertempuran ini sebelum aku kehabisan darah” geram Empu Baladatu di dalam hatinya.
Namun sementara itu lawannya berkata kepada diri sendiri, “Aku harus memperlambat pertempuran ini, agar orang itu mati karena kehabisan darah. Ia akan segera menjadi lemah dan tidak berdaya.”
Tetapi kemarahan Empu Baladatu tidak tertahankan lagi. Dengan cermat ia memperhitungkan setiap langkahnya justru karena ia hanya mempergunakan tangan sebelah. Lawannya benar-benar tidak menduga, bahwa meskipun tangan kiri Empu Baladatu sudah tidak dapat mengangkat pisau belatinya, namun kelincahan kakinya selalu membingungkannya
Empu Baladatu yang tidak mau sekedar hanyut dalam arus kemarahannya itu, tiba-tiba telah mempergunakan ilmunya yang paling dibanggakan. Dengan lincah dan cepat, tiba-tiba saja ia sudah berada dalam lingkaran di seputar lawannya. Demikian cepatnya, sehingga pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu seolah-olah telah dicengkam oleh kebingungan dan tidak sempat memotong putaran itu. Empu Baladatu meskipun mempergunakan sebelah tangannya, namun ternyata, didalam putaran yang cepat, pisaunya mulai berhasil menggores lawannya, sehingga kulitnya pun mulai terluka.
Pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu menggeram. Lawannya telah terluka, dan darah mengalir dengan derasnya. Sebenarnya ia tinggal menunggu lawannya itu akan jatuh dengan lemahnya, karena darahnya menjadi kering. Tetapi ternyata lawannya itu masih berhasil menggoreskan ujung pisaunya meskipun lukanya tidak menimbulkan kekhawatiran apapun juga.
Namun luka itu seolah-olah telah membangunkannya, bahwa lawannya yang terluka itu masih mampu memberikan perlawanan yang kuat. Perlawanan yang dapal membahayakan jiwanya. Itulah sebabnya, maka pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu menjadi semakin berhati-hati. Dengan tajamnya ia mengamati putaran lawannya. Dan dengan tiba-tiba saja iapun kemudian meloncat panjang sambil mengayunkan kapaknya memotong putaran Empu Baladatu.
Empu Baladatu sempat meloncat kesamping, sehingga serangan itu tidak mengenainya. Namun dengan demikian, pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu berhasil memotong putaran lawannya yang membuatnya menjadi pening. Sebenarnyalah bahwa kekuatan Empu Baladatu rasa-rasanya sudah mulai dipengaruhi oleh lukanya. Darahnya yang mengalir terus menerus, benar-benar membuatnya semakin lemah. Namun justru karena itulah maka ia bertekad untuk segera mengakhiri perkelahian.
Pada saat-saat yang menentukan itu, ternyata keduanya mempunyai perhitungan masing-masing. Lawannya berusaha selalu mengambil jarak dari Empu Baladatu. Hanya pada saat-saat ia yakin, maka serangannya datang bagaikan badai. Tetapi sejenak kemudian, iapun segera meloncat surut menjauhinya.
Empu Baladatu lah yang tidak mau melepaskannya membuat jarak yang panjang. Dengan cepat Empu Baladatu selalu memburunya jika lawannya meloncat mundur. Semakin lama semakin cepat, sehingga akhirnya pertempuran itu terjadi seolah-olah tanpa jarak.
Senjata dari kedua belah pihak terayun-ayun mengerikan. Dalam jarak yang pendek, masing-masing berusaha untuk menangkis dan menghindar sambil menyerang pada saat-saat yang hampir bersamaan. Jika ujung belati Empu Baladatu mematuk, maka lawannya menggeliat dengan geseran kecil sambil mengayunkan kapaknya pada dada lawannya. Tetapi Jawannya sempat memiringkan tubuhnya, sekaligus merubah arah pisaunya mendatar. Tetapi lawannya masih sempat mengelak pula.
Dalam pertempuran yang semakin cepat itu, Empu Baladatu perlahan-lahan mulai bergeser dalam satu arah putaran. Semakin lama semakin cepat, sehingga akhirnya ia kembali berada pada puncak ilmunya yang membingungkan lawannya. Pemimpin gerombolan Macan Kumbang menjadi bingung menghadapi kenyataan itu. Putaran itu demikian cepat dan dekat, sehingga serasa tidak ada kesempatan baginya untuk berbuat sesuatu.
Namun ia adalah seorang yang mempunyai pengalaman cukup. Itulah sebabnya, maka tiba-tiba saja ia berputar justru pada putaran yang berlawanan, dalam jarak yang lebih pendek dari putaran lawannya. Empu Baladatu menggeram. Terasa luka ditangannya menjadi semakin pedih. Namun ia masih mempunyai cukup kesempatan, karena ia yakin sepenuhnya, bahwa lawannya sedang menghadapi kesulitan.
Dalam pada itu, ternyata bahwa kemarahan Empu Baladatu yang sudah berada dipuncaknya itu, tidak dapat terbendung lagi. Apalagi Empu Baladatu yang marah itu dengan sadar mempergunakan nalarnya didalam perkelahian yang semakin seru dan sengit. Meskipun ia telah terluka, dan sebelah tangannya seolah-olah tidak lagi mampu dipergunakan, namun ternyata bahwa puncak ilmunya masih dapat dituntaskan di atas batas kemampuan lawannya.
Karena itulah, maka sejenak kemudian, terdengar sebuah keluhan yang tertahan. Ternyata bahwa ujung pisau belati Empu Baladatu masih sempat menggores ditubuh lawannya yang telah melukainya dengan licik. Luka itu agaknya benar-benar telah berpengaruh pada pertempuran yang berlangsung semakin seru, karena masing-masing benar-benar telah dibakar oleh kemarahan yang tidak tertahankan.
Namun agaknya Empu Baladatu masih mempunyai ketenangan yang melampaui lawannya. Betapapun kemarahan serasa memecahkan jantung, tetapi ia masih sempat berpikir, apakah yang sebaiknya dilakukan. Perhitungannya masih cukup cermat dan mengarah. Dengan demikian, maka sejenak kemudian, sekali lagi terdengar sebuah keluhan. Tetapi hanya desis yang lemah, karena tiba-tiba suara itu terputus oleh sebuah teriakan nyaring yang terloncat dari mulut Empu Baladatu.
Dengan sekuat tenaga yang tersisa, Empu Baladatu kemudian meloncat sambil berteriak ketika pisaunya mematuk langsung kedada lawannya. Sesaat kemudian Empu Baladatu menarik pisaunya yang terhunjam ditubuh lawannya. Tetapi Empu Baladatu telah bertekad untuk menunjukkan, bahwa ia adalah pemimpin dari golongan yang disebut berilmu hitam yang paling besar.
Karena itulah, maka ia tidak melepaskan lawannya yang sudah tidak sempat menyelamatkan dirinya itu. Demikian pisaunya ditarik, dan tubuh itu mulai terhuyung-huyung, maka nampaklah betapa buasnya Empu Baladatu, pemimpin yang merasa, dirinya terbesar dari golongannya itu. Sesaat sebelum tubuh pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu jatuh ditanah, maka tubuhnya sudah tidak dapat di kenalinya lagi. Goresan, luka dan bahkan kulit yang terkelupas dan daging yang tersayat, membuat setiap orang yang melihatnya menjadi pening dan muak. Ketika tubuh itu jatuh terguling ditanah, maka tidak seorang pun lagi yang dapat mengenal, siapakah yang telah dibunuh oleh Empu Baladatu itu.
Dalam pada itu, pertempuran di halaman itu pun seolah-olah telah dicengkam oleh kengerian yang memuncak. Orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang seolah-olah telah kehilangan kekuatannya sama sekali. Bukan saja pemimpinnya telah terbunuh, tetapi juga karena kematian yang mendebarkan jantung itu.
Empu Baladatu yang memegang pisau belati yang berlumuran darah dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya masih terkulai oleh lukanya, kemudian berdiri sambil memandang orang-orang yang bagaikan telah dicengkam oleh pesona yang mendebarkan itu.
“Orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang “ geramnya kemudian, “betapa hati menjadi sakit dan dendam melihat kelicikan pemimpinmu. Tetapi aku bukan orang yang tidak mempunyai nalar dan perhitungan. Aku dapat mempergunakan pikiranku dengan baik menghadapi kegilaan pemimpin dan kalian semuanya, jika aku menghendaki, maka sebentar lagi kalian akan mengalami nasib yang sama seperti pemimpinmu yang licik.” Empu Baladatu berhenti sejenak, lalu, “tetapi terserah kepadamu. Apakah kau akan berbuat licik seperti pemimpinmu, atau akan memilih jalan lain, mengakui kenyataan yang kalian hadapi.”
Orang-orang yang berada di halaman itu, baik dari gerombolan Serigala Putih maupun dari gerombolan Macan Kumbang, seolah diam mematung.
“Bersikaplah” berkata Empu Baladatu, “aku telah merasakan kejujuran sikap orang-orang dari gerombolan Serigala Putih. Sekarang, apa katamu, hai orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang?”
Tidak seorangpun yang menjawab. Tetapi halaman itu benar-benar telah dicengkam oleh kesenyapan yang tegang.
“Aku adalah orang yang paling buas dari antara orang-orang yang disebut berilmu hitam. Tetapi aku adalah orang yang bercita-cita.” berkata Empu Baladatu kemudian.
Halaman itu menjadi sunyi dan tegang. Semua orang memandang wajah Empu Baladatu yang seolah-olah telah berubah menjadi wajah iblis yang paling buas. Orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang yang terkenal liar itupun menjadi kecut. Mereka tidak menduga, bahwa pada saat itu mereka akan menjumpai orang lain yang lebih ganas dan buas dari pemimpin gerombolan Serigala Putih yang sudah terbunuh. Karena kenyataan yang tidak terduga-duga itulah mereka justru menjadi bingung. Apalagi pemimpin merekapun telah terbunuh pula dengan cara yang paling mengerikan.
“He, kenapa kalian menjadi bisu?” teriak Empu Baladatu, “ingat. Aku dapat meneriakkan perintah kepada orang-orang dari gerombolan Serigala Putih yang mengakui kehadiranku disini sebagai seorang tamu yang pantas dihormati, dan yang telah membuktikan diri bahwa aku dapat menyelamatkan padepokan ini”
Terasa hati orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang menjadi semakin kecut.
“Dengarlah” Empu Baladatu melanjutkan, “kedua gerombolan ini sudah tidak mempunyai pemimpin-pemimpinnya lagi. Karena itu, maka aku akan menawarkan diriku untuk menerima kalian bergabung dengan kekuatan kami. Seperti kalian, maka kamipun disebut orang-orang yang berilmu hitam. Karena itu, maka sudah sewajarnya jika kita menyusun kekuatan dalam lingkungan yang sama.”
Tidak terdengar seorangpun yang menyahut.
“Nah, pikirkan” berkata emPu Baladatu seterusnya, “jika kalian bersedia, maka aku akan menawarkan, siapakah yang akan menjadi pemimpin kita semuanya. Jika ada seseorang yang menginginkannya, aku tidak berkeberatan sama sekali.”
Halaman itu masih dicengkam kediaman. Dan Empu Baladatu masih berbicara lagi, “Jangan segan. Aku akan menerima dengan senang hati dan akan menyerahkan kekuatan yang ada dipadepokanku kepada siapapun yang akan memimpin kita sekalian. Aku mempunyai kekuatan sebesar kedua kelompok yang sekarang ada disini.”
Sejenak orang-orang yang berada dihalarnan itu saling berpandangan. Salah seorang dari mereka berbisik ditelinga kawannya, “Apakah mungkin ada orang lain yang dapat menyamainya? Ia mendapat serangan yang tiba-tiba dari pemimpin gerombolan Macan Kumbang. Namun akhirnya ia dapat membunuhnya dengan caranya sendiri.”
Kawannya tidak menjawab.
“Nah, jawablah.” Tidak ada jawaban.
“Apakah kediaman kalian berarti bahwa tidak ada seorang pun yang tertarik kepada tawaranku, atau tidak ada seorang pun yang mau mengambil alih pimpinan kedua kelompok yang ada dihalaman ini.”
Semuanya masih tetap diam, sehingga Empu Baladatu akhirnya membentak, “He, apakah aku berbicara dengan batu?”
Orang tertua didalam lingkungan gerombolan Serigala Putih itupun kemudian melangkah maju sambil berkata, “Empu, tidak ada seorang pun diantara kami yang merasa berhak mewakili pendapat kami. Karena itu, tidak seorang pun yang memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan Empu.”
“Lalu, apakah sebenarnya yang kalian kehendaki.”
“Empu” berkata orang itu, “sebenarnya bagi orang-orang dari Gerombolan Serigala Putih tidak akan ada keberatan lagi jika kekuatan yang tidak seberapa dipadepokan ini di perbolehkan berlindungan dibawah pimpinan Empu. Selanjutnya terserah kepada orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang yang telah kehilangan pemimpinnya pula.”
“Nah, kalian dengar?” Teriakan Empu Baladatu, “terserah kepada orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang. Jika kalian ingin bergabung dengan kami, kami akan menerima dengan senang hati. Tetapi jika kalian menolak, kita akan bertempur terus. Sedangkan bila kalian berpura-pura seperti pemimpinmu, maka setiap orang akan mengalami nasib seperti orang yang licik itu.”
Tiba-tiba saja seorang yang bertubuh tinggi meskipun kekurus-kurusan maju selangkah. Katanya, “Tidak ada seorang pun diantara kami yang berhak mewakili seluruh gerombolan sepeninggal pemimpin kami. Tetapi perkenankanlah aku menyatakan perasaanku sendiri.”
“Katakan.”
“Aku bersedia dengan tulus berlindung di bawah pimpinan Empu seperti orang-orang dari gerombolan Serigala Putih.”
Empu Baladatu memandang orang itu sejenak, lalu, “Kau berkata sebenarnya?”
“Ya.”
“Bertanyalah kepada kawan-kawanmu, apakah yang akan mereka kehendaki seperti yang kau kehendaki pula?”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berdiri menghadap kepada kawan-kawannya sambil berteriak, “Siapakah yang berkeberatan, nyatakanlah kepada kami.”
Wajah-wajah itupun menjadi tegang. Tetapi tidak seorangpun yang menyahut.
“Nah, sudah Empu saksikan sendiri. Tidak seorangpun yang merasa keberatan.”
Empu Baladatu tertawa. Katanya, “Kaulah yang licik. Pertanyaanmu sudah menjurus. Tetapi kediaman bukan jawaban yang mantap. Aku hanya menerima pengakuan yang mereka ucapkan. Bukan sekedar kediaman oleh pertanyaan yang licik.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sekali lagi ia menghadap kepada kawan-kawannya sambil berteriak, “Katakanlah yang ingin kalian katakan. Kau tidak terikat kepada sikapku, karena kedudukan kita sejajar.”
Nampak wajah-wajah yang ragu-ragu.
“Cepatlah. Kalian bersedia menerima Empu Baladatu sebagai pemimpin kita, atau tidak.”
Sejenak masih nampak ke-ragu-raguan. Namun kemudian terdengar jawaban, “Kami menerimanya. Kami menerimanya“
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Empu sekarang sudah mendengar pengakuan mereka. Bukan sekedar sikap yang diam.”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih. Dengan demikian kalian telah mengakui aku. Dan akupun akan bertanggung jawab atas pengakuan kalian. Aku harus menjadi seorang pemimpin yang memiliki sesuatu yang tidak kalian miliki. Yang pertama adalah kelebihan ilmu. Berikutnya, aku akan menunjukkan bahwa aku akan berusaha membawa kalian kesasaran yang pasti. Bukan sekedar melakukan perampokan dan kejahatan yang lain tanpa tujuan.”
Orang-orang yang berada dihalaman itu termangu-mangu. Dan Empu Baladatupun berkata lebih lanjut, “Camkanlah. Aku adalah orang yang bercita-cita. Bukan sekedar melakukan kejahatan. Sejak kini kalian harus menyesuaikan diri. Kalian bukan lagi perampok-perampok yang hanya sempat memungut jemuran dan menangkap ayam diluar kandang. Tetapi kalian harus memandang istana Singasari.”
Orang-orang itu mengerutkan keningnya.
“Kalian harus mempersiapkan diri untuk melakukan sesuatu yang besar, karena kalian adalah orang-orang yang memiliki sesuatu. Kalian memiliki kemampuan seperti seorang prajurit. Bahkan mungkin lebih daripada itu. Karena itulah sejak sekarang kalian harus menyempurnakan ilmu itu sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang akan aku berikan. Pada suatu saat kalian akan bangkit sebagai seorang prajurit dari negara yang besar. Yang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya akan aku angkat menjadi lurah prajurit atau seorang tumenggung, atau jabatan-jabatan lain yang memadai. Sedangkan yang memiliki perjuangan yang sempurna, tentu akan menjadi seorang Akuwu atau jabatan-jabatan lain yang pantas.”
Orang-orang itu masih diam mematung.
“Nah, renungkan. Aku tidak mengingini jawaban. Tetapi aku mengingini perbuatan yang nyata.”
Orang-orang itu saling berpandangan sejenak. Namun mereka masih tetap diam.
“Sekarang, kalian harus melenyapkan rasa permusuhan yang ada. Pulihkan ketenangan di padepokan ini dan padepokan Macan Kumbang. Kita harus menempa diri, agar pada saatnya kita tidak akan mengecewakan.”
Orang-orang dari kedua padepokan itu mengangguk-angguk meskipun mereka masih belum jelas.
Empu Baladatu agaknya dapat membaca rasa kebingungan yang membayang disetiap wajah, sehingga karena itu, maka katanya, “Kalian memang orang-orang dungu. Kalian hanya mengetahui satu cara untuk mengisi hidupmu yang gersang. Merampok harta benda. Hanya itu. Tetapi aku tidak. Aku bukan hanya ingin harta benda. Tetapi aku ingin kedudukan, pangkat, kekuasaan, dan kemudian dengan sendirinya aku akan mendapatkan harta benda jauh melampaui yang kalian dapatkan dengan menyabung nyawa.”
Orang-orang itu mengangguk-angguk.
“Tegasnya, aku akan mengatakannya kemudian. Bahkan aku mengharap bahwa kalian akan mengerti dengan sendirinya.”
Sejenak halaman itu dicengkam kembali oleh ketegangan. Bahkan seorang dari mereka kemudian berbisik, “Aku tidak mengerti.”
Kawannya tidak menjawab.
“Kenapa kalian tiba-tiba saja benar-benar menjadi orang-orang yang paling dungu? Jika kalian tidak mengetahui, sebaiknya kalian bertanya.”
Orang tertua dari gerombolan Serigala Putih memberanikan diri untuk melangkah maju sambil bertanya, “Apakah maksud Empu, pada suatu saat kita akan memberontak terhadap Singasari?”
“Tepat” jawab Empu Baladatu, “aku sudah mengira, bahwa kaulah orang yang paling pandai di antara kalian. Pada suatu saat, kita akan memberontak terhadap Singasari yang selama ini telah memusuhi golongan yang mereka namakan golongan berilmu hitam.”
Orang-orang itu mengangguk-angguk.
“Kemudian, kita harus memperhatikan pula orang-orang yang bernama Linggadadi dan Mahisa Bungalan. Mereka menamakan diri pembunuh orang-orang berilmu hitam. Karena itu, pada suatu saat kita harus menemukannya dan membunuh mereka tanpa ampun, agar ternyata bagi kita dan kawan-kawan orang yang bernama Linggadadi dan Mahisa Bungalan itu, bahwa orang-orang yang mereka sebut berilmu hitam memiliki kekuatan yang tidak terlawan.”
Orang-orang yang mendengarkan penjelasan Hu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja diangan-angan mereka telah terbersit harapan-harapan yang cerah dimasa datang. Harapan-harapan yang selama itu tidak pernah mereka bayangkan.
“Mengalahkan Singasari” desis seseorang sambil mengerutkan keningnya, “apakah kata-kata itu benar seperti yang aku dengar?”
Orang yang berdiri disampingnya berpaling. Tetapi kerut merut dikeningnyapun menggambarkan keragu-raguan meskipun tidak dikatakannya. Namun dalam pada itu, Empu Baladatu yang seolah-olah mengerti keragu-raguan yang mencengkam beberapa orang yang mendengarkan sesorahnya itu berkata, “Memang kedengarannya seperti ceritera tentang mimpi. Tetapi aku benar-benar ingin melakukan segala usaha, agar yang aku katakan itu benar-benar terjadi. Jika itu suatu mimpi, maka hendaknya mimpi daradasih.”
Orang-orang yang mendengarnya mengangguk-angguk.
“Nah, aku tidak akan berbicara lebih banyak lagi. Aku harap kalian kali ini jujur meskipun kita bukannya orang-orang yang dapat jujur sepanjang waktu.”
Orang-orang itupun termangu-mangu.
“Orang-orang dari padepokan Macan Kumbang. Kembalilah kepadepokanmu. Bawalah pemimpinmu yang sudah tidak dapat dikenal lagi. Aku akan datang kepadepokanmu pada suatu saat. Karena aku adalah pemimpinmu. Mungkin aku akan datang dengan beberapa orang pengawal. Tetapi mungkin aku akan datang seorang diri untuk mengetahui apakah kalian benar-benar orang yang dapat dipercaya meskipun hanya untuk kali ini.”
Sejenak halaman itu menjadi sepi.
“Pergilah.”
Orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang itu termangu-mangu. Namun sejenak kemudian merekapun menyadari keadaan mereka masing-masing. Orang yang mula-mula sekali menyatakan pendapatnya, nampaknya telah berbuat lebih dahulu pula.
“Kami mohon diri Empu. Kami menunggu kehadiran Empu dipadepokan kami."
"Terima kasih. Pada saatnya aku akan datang. Aku atau orang yang aku beri kuasa untuk mengunjungi padepokanmu.”
Orang-orang itupun kemudian bergeser surut. Tidak banyak yang mereka katakan. Apalagi dengan orang-orang dari perguruan Serigala Putih. Meskipun mereka kemudian telah dipersatukan oleh suatu ikatan yang dibuat oleh Empu Baladatu, namun rasa-rasanya mereka masih belum dapat luluh menjadi satu keluarga. Sejenak kemudian, maka orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang itupun telah meninggalkan halaman. Mereka telah membawa pemimpin mereka yang telah terbunuh betapapun mereka merasa ngeri.
Sepeninggal orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang, maka Empu Baladatu pun kemudian mengumpulkan orang-orang dari gerombolan Serigala Putih. Nampaknya Empu Baladatu pun sempat memperhatikan padepokan yang lengang itu. Seolah-olah padepokan itu adalah padepokan laki-laki semata-mata.
“Bawalah mereka kembali” berkata Empu Baladatu, “kalian memerlukan mereka.”
Orang tertua dari padepokan itu menyahut, “Maksud kami, kami telah menyelamatkan mereka.”
“Susullah. Mereka akan menjadi kawan yang baik untuk melanjutkan kehadiranmu dimuka bumi ini. Bahkan mereka akan dapat mengasuh anak-anak yang akan melanjutkan cita-citamu, serta memelihara apa yang pernah kau capai selama hidupmu.”
Orang tertua itu mengangguk-angguk.
“Jangan menunggu. Mereka akan berpencaran jika mereka merasa bahwa mereka tidak akan mendapat kesempatan kembali kepadepokan ini. Jika mereka menduga bahwa padepokan ini benar-benar telah hancur, maka mereka akan mencari jalan keselamatan mereka masing-masing. Orang-orang laki-laki yang ada diantara mereka tentu mampu memperhitungkan, bahwa lawan kalian akan menyusul mereka.”
“Baiklah. Aku akan segera menyuruh beberapa orang menyusul mereka.”
“Kenapa tidak sekarang?”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Baiklah. Aku akan menyuruh beberapa orang untuk pergi sekarang.”
Sejenak kemudian, maka orang itupun telah memanggil tiga orang yang paling dipercaya. Mereka mendapat tugas untuk menyusul perempuan dan anak-anak yang sedang menyingkir. Mereka harus segera kembali dan berada kembali dipadepokan.
“Pergilah. Tetapi kalian memang harus ber-hati-hati. Jika terjadi sesuatu, segera berusaha salah seorang dari kalian membebaskan diri dan memberikan kabar kapada kami.”
Ketiga orang itu mengangguk-angguk.
“Perlakukan perempuan itu dengan baik” pesan Empu Baladatu, “jangan kau perlakukan seperti memperlakukan seekor binatang peliharaan. Tetapi mereka sebagai kawan hidupmu.”
Ketiga orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ketika terlihat oleh mereka sorot mata Empu Baladatu yang garang, maka mereka mengangguk sambil menjawab, “Baiklah Empu. Kami akan melakukannya sebaik-baiknya.”
Sejenak kemudian maka ketiga orang itu pun segera meninggalkan padepokan. Mereka berpacu dengan hati segan. Tetapi mereka tidak berani menentang pesan Empu Baladatu yang sudah mereka ketahui kemampuan dan kekerasan hatinya. Bahkan kekejamannya.
Dalam pada itu, orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itupun merasa semakin senang kepada Empu Baladatu. Jika semula beberapa orang menganggapnya sebagai seorang yang baik hati dan pemurah, karena perlakuannya atas mereka dihutan perburuan itu, maka kini mereka menganggap bahwa Empu Baladatu adalah penguasa maut yang menakutkan.
Namun dalam pada itu, sikap Empu Baladatu nampaknya cukup meyakinkan, bahwa ia benar-benar akan melakukan seperti apa yang dikatakannya. Mencari jalan bagi kemungkinan terbaik dihari depan. Untuk beberapa lama Empu Baladatu masih berada di padepokan itu. Ketika malam kemudian turun, maka orang tertua dari antara gerombolan Serigala Putih itu mengharap Empu Baladatu untuk bermalam.
“Aku akan berada disini sampai Perempuan-Perempuan yang mengungsi itu datang kembali.”
Orang tertua itu mengerutkan keningnya. Tetapi nampaknya ia mulai disentuh oleh kecurigaan, bahwa Empu Baladatu yang ternyata mengerikan itu, mempunyai pamrih yang lain.
“Ia nampaknya mengetahui bahwa perempuan yang mengungsi itu telah membawa barang-barang berharga yang disediakan bagi anak-anak dan hidup mereka sendiri, sekedar untuk melayani kelangsungan hidup anak-anak itu. Dan agaknya perempuan-perempuan itu tidak akan berani melanggar pesan yang pernah diberikan kepada mereka. Bahkan seandainya orang-orang yang memberikan pesan itu sudah mati terbunuh sekalipun. Karena Empu Baladatu mengetahuinya, maka ia telah mengambil sikap yang keras untuk mengambil orang-orang yang telah mengungsi itu.”
Dalam pada itu, ketiga orang itupun berkuda semakin cepat. Mereka berharap bahwa mereka akan sampai ketempat tujuan sebelum malam menjadi semakin dalam. Agaknya ketiga orang itu tidak terlambat. Perempuan dan anak-anak yang dijaga oleh beberapa orang laki-laki tua masih berada ditempatnya. Kedatangan ketiga orang itu membuat mereka terkejut dan cemas. Namun setelah ketiga orang itu menjelaskan, merekapun menjadi lega.
“Jadi kami dapat kembali kepadepokan” bertanya seorang laki-laki berambut putih dan berpedang dilambung.
“Ya.”
“Kami sudah cemas. Hampir saja kami memutuskan untuk meninggalkan tempat ini dan memencar seperti yang direncanakan. Tempat ini rasa-rasanya menjadi semakin miskin, karena binatang-binatang buruannya telah kami tangkap setiap saat.”
“Hutan ini tidak akan kehabisan binatang buruan meskipun bukan hutan yang terlampau lebat.”
“Sukurlah, bahwa kami sudah boleh kembali.” desis laki-laki yang lain, yang rambutnya justru sudah hampir habis rontok sehelai demi sehelai.
Orang-orang yang mengungsi dihutan itupun segera bersiap-siap. Mereka berharap bahwa mereka akan dapat hidup lebih baik dan tenang, setelah kawan-kawannya menceriterakan kematian orang yang paling berbahaya bagi gerombolannya.
“Tetapi pemimpin kami yang baru itu bukannya tidak mendebarkan jantung” desis salah seorang dari ketiga orang yang menjemput mereka.
“Kenapa?”
Orang itupun kemudian menceriterakan serba sedikit, apa yang sudah dilakukannya. Bagaimana ia membunuh dan seolah-olah telah mengelupas kulit pemimpin gerombolan Macan Kumbang itu.
Perempuan yang mendengarnya menjadi ngeri. Tetapi seperti biasanya, tidak seorangpun dari mereka yang menyatakan pendapatnya. Mereka adalah orang-orang yang seakan-akan tidak diperhitungkan selain untuk memberikan air susu kepada bayi-bayi yang dilahirkan. Bayi-bayi laki-laki akan mendapat tempat, sedang bayi-bayi perempuan akan mengalami nasib serupa dengan ibunya. Tetapi karena kebiasaan itu sudah berlaku dalam waktu yang panjang, maka rasa-rasanya mereka tidak lagi dapat mempersoalkannya, selain menjalani dengan hati yang Kadang-kadang me mang terasa pahit.
“Kita akan berangkat pagi-pagi benar” berkata salah seorang dari tiga orang ang menyusul mereka itu.
“Perempuan-perempuan harus mengemasi barang-barang kita semuanya dan siap di dini hari“ teriak salah seorang laki-laki tua yang ikut mengawasi mereka.
Tidak seorangpun yang dapat mengeluh. Meskipun mata mereka kantuk, namun merekapun mulai bekerja, mengatur barang-barang yang telah mereka bawa dan yang akan mereka bawa kembali kepadepokan, termasuk barang-barang berharga yang mereka sisihkan, agar tidak jatuh ketangan gerombolan Macan Kumbang. Ternyata bahwa mereka masih sempat beristirahat dan tidur beberapa lama menjelang dini hari, sehingga rasa-rasanya tubuh mereka telah menjadi segar.
Demikianlah, ketika fajar menyingsing maka iring-iringan itu keluar dari persembunyian mereka. Seperti yang mereka lakukan saat mereka pergi, maka merekapun maju dengan sangat berhati-hati menyusuri jalan-jalan sepi dipinggir hutan dan padang yang kosong.
“Kita akan memasuki daerah yang berpenghuni dimalam hari,” berkata salah seorang dari tiga orang yang menjemput mereka.
“Ya” sahut yang lain, “kita akan berhenti setiap kali, untuk memberi kesempatan anak-anak beristirahat.”
Tidak seperti saat ketiga orang yang menyusul mereka, yang dapat menempuh jarak itu jauh lebih cepat karena mereka berkuda, maka perjalanan kembali itu terasa sangat lamban. Mereka harus mengiringi beberapa orang anak-anak yang berjalan, karena tidak ada orang lagi yang dapat mendukungnya. Hampir setiap perempuan telah mendukung anak-anak mereka yg paling kecil, sehingga anak-anak yang agak lebih besar harus menempuh perjalanan mereka dengan berjalan sendiri.
Itulah sebabnya, maka jarak yang tidak terlampau jauh di pinggir hutan itu harus mereka tempuh dalam waktu yang sangat lama. Belum lagi mereka sempat meninggalkan hutan itu setelah mereka berhasil keluar, anak-anak sudah mulai letih, sehingga mereka harus beristirahat. Betapapun kejemuan terasa mengganggu perasaan beberapa orang diantara mereka, namun mereka tidak dapat meninggalkan anak-anak mereka.
Karena itulah, maka perjalanan mereka terasa terlalu lama. Bahkan seolah-olah mereka tidak bergerak sama sekali. Anak-anak yang kelelahan, haus dan lapar mulai merengek, sehingga orang-orang tua yang ada diantara mereka harus berusaha untuk mendapatkan air dan makan.
Ketika mereka kemudian berada di padang semak-semak, sebelum mereka turun kedaerah yang berpenghuni, maka iring-iringan itupun sengaja beristirahat cukup lama. Orang-orang tua mencoba menidurkan anak-anak mereka, karena mereka kemudian akan menempuh perjalanan dimalam hari, agar tidak banyak menimbulkan pertanyaan dari orang-orang yang melihat iring-iringan itu di sepanjang jalan padukuhan.
Tetapi akhirnya perjalanan yang sulit itu dapat juga mereka selesaikan. Meskipun Perempuan-Perempuan itu seolah tidak mendapat perlakuan yang sewajarnya dari setiap laki-laki yang ada dipadepokannya, namun ketika mereka melihat pintu gerbang dari padepokan yang sudah lama mereka huni, terasa juga perasaan mereka menjadi berdebar-debar.
Hampir semalam suntuk mereka berjalan. Anak-anak yang tidak mampu lagi berjalan, dinaikan ke atas punggung kuda yang dituntun di antara mereka. Bahkan terpaksa beberapa orang perempuan harus mendukung dua orang sekaligus. Ketika mereka memasuki padepokan mereka, terasa dipipi mereka menitik air yang hangat. Meskipun mereka harus menghadapi tata kehidupan yang pahit, namun itu agaknya, lebih baik daripada mereka harus berada diperantauan yang tidak menentu, atau di hutan yang gelap dan mengerikan, apalagi di perjalanan yang berat.
Ternyata Empu Baladatu masih menuggu kedatangan perempuan dan anak-anak. Beberapa orang penghuni padepokan itu menerima kedatangan anak-anak mereka dengan gembira. Terutama mereka yang mempunyai anak laki-laki. Tetapi kecemasan yang sangat telah menjalari dada orang tertua dari padepokan Serigala Putih itu. Ia melihat beberapa orang laki-laki tua yang mengawasi perempuan dan anak-anak itu masih membawa barang-barang berharga yang memang diperuntukkan bagi bekal anak-anak mereka yang akan bertebaran jika padepokan itu benar-benar dikuasai oleh orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang.
“Empu Baladatu adalah orang yang sama sekali tidak dapat dimengerti watak dan tabibatnya” berkata orang tertua itu didalam hatinya.
Namun, orang itu berusaha menghapus semua kesan itu dari wajahnya. Bahkan ia masih sempat berkata lantang, “kembalilah ketempat kalian masing-masing. Padepokan kita tidak mengalami kerusakan apapun juga.”
Demikianlah, maka perempuan dan anak-anak itupun segera kembali ketempat masing-masing. Mereka benar-benar masih menemukan tempat tinggal mereka seperti saat mereka tinggalkan.
Orang tertua dari padepokan itu menjadi berdebar-debar ketika Empu Baladatu bertanya kepadanya, “Apakah semua dapat diselamatkan?”
Sejenak orang itu termangu-mangu. Namun kemudian iapun bertanya, “Maksud Empu?”
“Perempuan dan anak-anak” jawab Empu Baladatu.
“O, ya, ya Empu. Semua dapat diselamatkan.”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Tetapi senyum dibirnya membuat orang tertua itu tetap berdebar-debar. Tetapi beberapa saat ia menunggu Empu Baladatu tidak bertanya lebih lanjut meskipun nampaknya ia sangat memperhatikan barang-barang yang dibawa oleh orang-orang yang baru saja datang itu.
Tetapi sampai orang terakhir pergi ketempat mereka masing-masing, Empu Baladatu tidak menanyakan apapun juga tentang barang-barang itu. Bahkan iapun kemudian berkata, “lihatlah orang-orang yang baru datang. Tenangkan hati mereka, agar mereka tidak mengalami gangguan jiwa untuk waktu yang lama. Apalagi Perempuan-Perempuan.”
Orang tertua itu kurang mengerti maksudnya, sehingga Empu Baladatu tertawa, “Kau tidak pernah menghargai perempuan, apalagi mencoba mengerti tentang mereka. Cobalah sekarang. Bertanyalah apakah keadaan mereka baik, atau katakanlah kepada mereka, bahwa mereka tidak usah gelisah dan takut, karena gerombolan Macan Kumbang tidak akan datang mengganggu lagi.”
Orang tertua itu mengangguk-angguk. Namun baginya Empu Baladatu tetap merupakan teka-teki. Terutama yang berhubungan dengan barang-barang mereka yang telah dibawa kembali kepadepokan mereka itu. Meskipun dengan segan, tetapi orang tertua dari padepokan Serigala Putih itu pergi juga menemui perempuan dan anak-anak. Dengan ragu-ragu ia mencoba menjelaskan bahwa mereka tidak usah cemas lagi karena orang-orang Macan Kumbang tidak akan datang mengganggu.
“Kita sudah mendapatkan seorang pemimpin yang baru yang sekaligus menjadi pemimpin gerombolan Macan Kumbang karena ia sudah membunuh pemimpin mereka.” berkata orang tertua itu, “karena itu, maka gerombolan Macan Kumbang sejak saat itu tidak akan mengganggu kita lagi.”
Perempuan dan anak-anak itu mengangguk-angguk. Ada sedikit perasaan asing pada Perempuan-Perempuan itu. Orang tertua itu nampaknya mulai memperhatikan mereka. Tetapi yang dikatakan oleh orang tertua itu tidak lebih dari sebuah pemberitahuan. Namun demikian pemberitahuan itu terasa sangat berarti bagi Perempuan-Perempuan itu. Mereka memang menjadi tenang, dan terlebih-lebih lagi tanpa mereka sadari tumbuh harapan yang tidak mereka mengerti.
Hari itu Empu Baladatu masih tetap berada dipadepokan Serigala Putih, sedang orang tertua dipadepokan itu masih tetap dibayangi oleh kegelisahan apabila pada suatu saat barang-barang mereka akan dirampas. Dengan alasan apapun juga maka hal itu akan sangat kemungkinan sekali terjadi...