Pendekar Lembah Naga Jilid 04
SEJAK ditantang tadi muka Coa Lok sudah merah. Kini matanya terbelalak dan tahulah dia bahwa sasterawan itu memang sengaja datang untuk mencari perkara, untuk memusuhi dirinya dan ternyata bahwa sasterawan itu memang bukan orang biasa, namun seorang yang lihai. Dipegangnya tombaknya erat-erat.
Akan tetapi pada saat itu pula si brewok yang merasa penasaran telah bangkit berdiri dan lari menerjang lawan yang masih berdiri di atas gagang golok. Coa Lok mendiamkannya saja karena dia ingin melihat sampai di mana kelihaian lawan itu. Para anggota perampok yang lain sekarang juga memandang dengan penuh perhatian tidak lagi mentertawakan si pemuda sasterawan yang ternyata adalah seorang pandai itu.
“Haiiiitttt...!" Si brewok itu mengeluarkan bentakan nyaring.
Sekali ini dia tidak mau bertindak sembrono lagi. Kini dia sudah tahu bahwa lawannya memang amat pandai, maka dia tidak lagi menubruk secara membabi-buta seperti tadi, melainkan menyerang dengan gerakan ilmu silat, memukul bertubi-tubi dengan sepasang tangannya yang berlengan panjang. Pukulannya keras sekali hingga mengeluarkan bunyi angin bersiutan.
"Plakk-plakk-plakkk!"
Semua pukulan dapat ditangkis dengan tenang saja oleh Hok Boan, bahkan setiap kali tertangkis, lengan si brewok yang amat kuat dan besar itu lantas terpental dan mulutnya meringis karena tangkisan itu membuat lengannya terasa nyeri, tulangnya seperti akan pecah rasanya.
"Babi gendut, kau masih juga belum jera? Nah, robohlah!" Tiba-tiba Hok Boan meloncat turun dan sekali kakinya bergerak, kaki kiri itu melayang ke arah muka si brewok.
Tentu saja si brewok terkejut bukan main dan langsung mengangkat kedua tangan untuk menangkis dan menangkap kaki lawan, akan tetapi tiba-tiba dia merasa kakinya lumpuh dan dia pun terguling roboh. Kiranya tendangan kaki ke arah muka itu hanya pancingan belaka, namun yang sungguh-sungguh menyerang adalah kaki yang sebelah lagi. Sambil melompat, kaki ini menendang lututnya sehingga dia roboh dengan sambungan tulang lutut terlepas! Dia hanya dapat rebah dan memegangi lututnya sambil mengeluh panjang pendek.
Hok Boan membungkuk dan sekali cabut, golok itu sudah berada pada tangannya. Dia memandang kepada si brewok dan berkata, "Kalau aku mau, alangkah mudahnya untuk membunuhmu, babi! Akan tetapi telah kukatakan, aku membutuhkan kalian untuk menjadi anak buahku, maka aku tidak akan membunuhmu!" Setelah berkata demikian, dengan kedua tangannya, dia menekuk-nekuk golok itu.
Terdengar suara nyaring lantas golok itu pun patah-patah menjadi beberapa potong yang kemudian dilemparkannya ke atas tanah. Potongan-potongan golok itu menancap dan lenyap amblas ke dalam tanah, hanya tinggal gagangnya saja yang dibuangnya dengan sikap tidak peduli.
Semua anak buah perampok terkejut setengah mati. Si brewok memandang pucat, lalu dia merangkak menjauhkan diri. Coa Lok yang menyaksikan ini semakin kaget dan tahu bahwa dia benar-benar menghadapi seorang lawan berat. Maka timbullah kecurangannya dan dia lalu membentak, "Hayo maju semua, keroyok dan bunuh pengacau ini!"
Para perampok itu sudah biasa dengan perintah Coa Lok, maka mendengar bentakan ini mereka lalu mengacungkan senjata masing-masing, siap untuk maju mengeroyok.
Hok Boan yang melihat hal ini, meloncat dan tubuhnya melayang ke dekat pohon di mana dia menyimpan pedang dan buntalannya. Sekali sambar dia sudah mengambil pedangnya sekalian menghunusnya, pedang yang kelihatan masih kasar namun mengeluarkan sinar menyeramkan, pedang buatan ahli pedang Bhe Coan itu. Dengan pedang melintang di depan dadanya, Hok Boan membentak dengan suara yang menggetarkan jantung karena dia membentak dengan pengerahan tenaga khikang dari pusar.
"Tahan semua! Dengar baik-baik! Aku datang untuk memimpin kalian dan aku menjanjikan kepada kalian penghidupan yang baik dan jauh lebih makmur dari pada sekarang! Bukan berarti aku takut kepada kalian. Akan tetapi kalau kalian maju mengeroyok, terpaksa aku akan membunuh kalian semua dan aku harus bersusah payah mengumpulkan anak buah dari dusun-dusun. Biarkanlah aku berhadapan dengan kepala kalian dan kita lihat, siapa di antara kami berdua yang lebih patut menjadi pemimpin kalian, menjadi majikan Padang Bangkai!"
Kiranya ucapan itu berpengaruh dan semua perampok menjadi ragu-ragu. Kesempatan ini digunakan oleh Hok Boan yang cerdik, untuk mencari kedudukan yang menguntungkan.
"Hai, engkau si muka berpenyakitan yang berlagak jagoan dengan tombakmu dan hendak memimpin sekelompok orang gagah ini! Dengarlah baik-baik! Kalau benar engkau jagoan, hayo kau maju melawan aku, dan aku akan menghadapi tombakmu itu dengan ranting ini saja. Pedangku tak akan kugunakan. Ha-ha-ha, mukamu makin pucat dan engkau hanya seorang banci, seorang pengecut, seorang penakut yang beraninya hanya mengandalkan bantuan banyak anak buah saja. Engkau tidak patut menjadi pemimpin!"
Wajah Sin-jio Coa Lok menjadi pucat saking marahnya. Kehormatannya tersinggung. Dia bukanlah seorang lemah. Sama sekali bukan. Tombaknya ditakuti banyak orang, bahkan dia pun telah dijuluki Si Tombak Sakti. Jika tadi dia hendak menggunakan pengeroyokan adalah karena dia ingin lebih yakin mengalahkan lawan ini. Sekarang ditantang seperti itu, tentu saja dia tidak sudi untuk memperlihatkan sikap takut.
"Mundur semua! Kerbau-kerbau tolol, mundur semuanya!" bentaknya marah kepada anak buahnya yang tidak cepat-cepat menyerang lawan sehingga memberi kesempatan kepada lawan untuk mengejek dirinya. "Mundur dan lihat tombakku akan mengeluarkan ususnya yang busuk!"
Perintah ini tak perlu diulang dua kali karena semua anak buah perampok sudah serentak melangkah mundur. Mereka ingin sekali melihat apakah kepala mereka itu benar-benar akan mampu membunuh pemuda sasterawan yang amat berani itu.
Janji yang tadi diucapkan oleh pemuda sasterawan itu menarik hati mereka. Juga mereka telah terkesan sekali ketika melihat betapa pemuda itu tadi tidak membunuh si brewok tinggi besar yang menjadi teman mereka, padahal kalau pemuda itu mau, tentu si brewok itu telah tewas. Pemuda itu tidaklah sekejam dan seganas Si Tombak Sakti, maka hal ini saja sudah menimbulkan kesan baik di hati mereka.
Sin-jio Coa Lok yang sudah marah sekali itu maklum bahwa kini dia berhadapan dengan seorang lawan yang tangguh, akan tetapi tentu saja dia sama sekali tidak merasa takut. Dia terlalu percaya kepada tombaknya, maka dia telah menubruk dengan kecepatan kilat, tombaknya digerakkan dan tampaklah cahaya terang menyambar-nyambar ketika tombak itu membuat gerakan bergulung-gulung bagaikan ombak dahsyat menerjang ke arah Kui Hok Boan.
Orang she Kui ini tidak melanggar janjinya, dia sudah menyambar ranting yang tadinya berada di bawah pohon. Melihat gerakan lawan yang amat hebat itu, diam-diam dia pun terkejut dan cepat dia menggerakkan rantingnya untuk melindungi dirinya. Akan tetapi dia maklum bahwa senjata rantingnya tak mungkin dapat digunakan untuk menangkis tombak lawan yang terbuat dari baja kuat itu, maka dia hanya mengandalkan ginkang-nya, terus mengelak dari sambaran tombak sambil menggerakkan ranting untuk menotok jalan darah lawan di beberapa bagian dengan kecepatan kilat yang bertubi-tubi.
Serangan itu sudah merupakan penghambat bagi terjangan Coa Lok, karena Si Tombak Sakti itu tentu saja maklum akan bahayanya totokan-totokan yang walau pun dilakukan dengan sebatang ranting saja, namun didorong oleh tenaga sakti yang kuat.
Ilmu tombak yang dimainkan oleh Coa Lok adalah ilmu tombak keturunan yang sangat hebat. Semenjak nenek besarnya, secara turun-temurun keluarga Coa telah mempelajari ilmu tombak itu dan selama beberapa keturunan, ilmu tombak itu telah mengangkat tinggi nama keluarga Coa.
Sebagai ilmu simpanan keluarga, maka ilmu tombaknya itu berbeda sifat dan gerakannya dengan ilmu tombak yang diajarkan oleh partai-partai persilatan umum, maka menghadapi ilmu tombak yang tidak dikenalnya itu, Kui Hok Boan menjadi repot dan kewalahan juga. Ujung tombak itu tergetar-getar sehingga menjadi beberapa batang banyaknya dan setiap batang seolah-olah bergerak sendiri-sendiri menyerang dari pelbagai jurusan.
Sebaliknya, Kui Hok Boan, anak murid Go-bi-pai itu, meski telah mempelajari permainan delapan belas macam senjata, tapi terutama memiliki keahlian dalam permainan pedang. Padahal, apa bila dibandingkan dengan Coa Lok tingkat kepandaiannya hanya lebih tinggi setingkat saja, maka kini dengan menggunakan sebatang ranting sebagai senjata, tentu saja kemenangan tingkatnya menjadi tak banyak artinya, sebab jika lawan menggunakan senjata yang menjadi keahliannya, sebaliknya dia hanya mempergunakan senjata yang sama sekali tidak dapat menonjolkan kepandaiannya.
Betapa pun juga, Hok Boan memang patut dipuji. Sampai hampir seratus jurus mereka bertanding, namun belum juga tombak di tangan Coa Lok mampu merobohkannya, meski pun kadang kala membuat sasterawan itu repot bukan main dengan elakan ke sana-sini. Bahkan nyaris saja perutnya tertembus tombak ketika dia mengelak dan untung bagi dia, hanya bajunya yang tertembus dan robek. Dia terkejut sekali dan terdengar suara tertawa mengejek dari para anak buah perampok yang menonton pertempuran mati-matian itu.
"Ha-ha-ha, kutu buku sombong, bersiaplah kau untuk mampus!" Sin-jio Coa Lok tertawa mengejek dan kembali menubruk dengan tombaknya, memutar-mutar tombaknya hingga lenyaplah mata tombak itu dan berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung menerjang ke arah Hok Boan.
Hok Boan maklum bahwa kalau dia mempertahankan terus senjata rantingnya, akhirnya dia akan kalah dan celaka. Dia tidak perlu menjaga kehormatannya terhadap orang-orang yang tidak terhormat ini, pikirnya. Bahkan omongan besarnya hendak menghadapi kepala perampok ini dengan sebatang ranting, dapat dia gunakan demi keuntungannya, pikirnya pula.
Dengan menggunakan ranting sehingga dia terdesak hebat, kepala perampok ini menjadi lengah oleh bayangan kemenangannya. Karena itu dia sengaja melambatkan gerakannya sehingga dia terdesak makin hebat dan bermain mundur terus. Seperti tidak disengaja, kakinya tergelincir dan dia jatuh ke atas tanah.
"Ha-ha-ha, mampuslah kau...!" Coa Lok mengejar dengan tombaknya.
Akan tetapi Hok Boan terus menggerakkan tubuhnya menggelundung dan menjauh. Pada saat Si Tombak Sakti itu mengejar terus sambil tertawa-tawa dan berusaha menusukkan tombaknya ke arah tubuh lawan yang bergulingan, tiba-tiba saja Hok Boan mengeluarkan bentakan nyaring, tangan kanannya bergerak dan ranting itu meluncur seperti anak panah menuju ke arah dada Coa Lok!
"Ehhhhhh...!" Coa Lok terkejut, cepat menangkis dengan tombaknya dan mematahkan ranting itu.
“Krekk-krekkk...!"
Akan tetapi pada saat itu nampak sinar berkelebat dari depan. Coa Lok terkejut melihat kecurangan lawan, namun sudah terlambat karena pedang yang ditangkisnya itu masih meleset dan meluncur memasuki perutnya.
"Blessss...!"
Pedang itu menembus perutnya, lalu oleh Hok Boan diputar ke atas hingga perut kepala perampok itu robek. Kepala perampok itu mengeluarkan teriakan mengerikan, tombaknya terlepas dan dia langsung roboh terjengkang ketika Hok Boan mencabut pedang sambil menendangnya.
Para anak buah perampok memandang dengan mata terbelalak ke arah Coa Lok yang berkelojotan di atas tanah, kemudian memandang kepada Hok Boan yang berdiri tegak dengan pedang yang berlumuran darah itu di tangan kanan sambil tersenyum.
"Nah, kepala kalian telah mampus. Apakah di antara kalian ada yang ingin menemaninya ke neraka? Ataukah kalian mau mengangkat aku menjadi pemimpin kalian yang baru?" tantang Hok Boan.
Para perampok itu saling pandang. Mereka merasa ngeri karena maklum bahwa pemuda sasterawan ini benar-benar amat lihai. Beberapa orang di antara mereka yang termasuk tokoh-tokohnya lalu menjatuhkan diri berlutut, tentu saja segera diturut oleh yang lain dan mereka memberi hormat sambil berkata,
"Tai-ong... kami mentaati perintah tai-ong...!"
Kui Hok Boan tersenyum dan menyimpan pedangnya setelah membersihkan darah dari pedang itu ke atas tubuh Coa Lok yang sudah tidak bergerak lagi. Dia berkata dengan suara halus namun penuh wibawa. "Kalian tidak akan menyesal mengangkatku menjadi pemimpin kalian. Aku akan membuat Padang Bangkai ini menjadi tempat yang indah dan baik, juga makmur sesudah kalian membantuku mencari harta pusaka yang terpendam di sini. Aku bisa menduga bahwa kalian tentulah gerombolan perampok, bukan? Nah, mulai sekarang kita tidak perlu merampok lagi. Untuk apa melakukan pekerjaan yang hina dan memalukan itu kalau kita dapat mencari kekayaan dengan cara lain yang lebih mudah? Sekarang perintahku yang pertama adalah, kalian tidak boleh menyebutku tai-ong. Aku bukan perampok. Kalian harus menyebutku taihiap (pendekar besar), mengerti? Namaku Kui Hok Boan maka kalian menyebutku Kui-taihiap, tak kurang tak lebih! Dan ingat, siapa yang berani melanggar perintahku, akan kulemparkan ke lumpur maut!"
Setelah berkata demikian, Hok Boan lantas menyambar tangan mayat Coa Lok kemudian mengerahkan tenaga, melontarkan mayat itu yang terlempar jauh hingga terjatuh ke atas rumput hijau yang menyembunyikan lumpur di mana kudanya menjadi korban kemarin dulu. Lumpur itu menerima mayat Coa Lok dan karena mayat itu menimpa lumpur dengan kekuatan besar, seketika mayat itu lenyap ditelan lumpur.
Semua anggota perampok itu mengangguk-angguk dengan muka pucat sekali. Pemuda sasterawan ini kelihatan halus, ramah dan tidak kasar, akan tetapi mempunyai sikap yang menyeramkan dan lebih menakutkan dari sikap Coa Lok yang kasar.
"Sekarang kalian tunjukkan aku jalan masuk ke dalam Padang Bangkai ini dan kita mulai dengan mencari harta pusaka yang tersimpan di suatu tempat yang sudah kuselidiki dari peta yang kudapat."
Tiga puluh orang itu bersorak girang lalu mengantar ketua mereka yang baru memasuki padang yang luas itu menuju sarang mereka, dusun yang dikelilingi air itu. Memang tujuan utama Hok Boan datang ke Padang Bangkai dan Lembah Naga adalah untuk mencari harta-harta pusaka itu, yang dia dengar dari berita angin di antara para pasukan kerajaan. Bahkan secara teliti dia sudah melakukan penyelidikan, mengumpulkan berita-berita itu dan menemukan sebuah peta tua yang menunjukkan di mana kiranya harta-harta pusaka itu disimpan di kedua tempat yang penuh rahasia itu.
Sesungguhnya berita yang didengarnya dari mulut ke mulut itu bukanlah hanya dongeng belaka. Harta pusaka itu merupakan harta hasil rampokan dan rampasan dari pasukan-pasukan liar di bawah pimpinan Raja Sabutai ketika raja liar ini menaklukkan banyak suku bangsa Nomad di sekitar daerah padang dan gurun di utara. Karena tidak mungkin bagi pasukan itu untuk membawa-bawa harta yang amat banyak dan berat dalam perjalanan mereka menaklukkan suku-suku lain, maka sebagian dari harta itu mereka sembunyikan dan mereka tanam di beberapa tempat, di antaranya di Padang Bangkai dan lebih lagi di Lembah Naga.
Raja Sabutai sendiri tidak tahu akan hal ini, karena pekerjaan itu dilakukan oleh para anak buahnya yang ingin menyembunyikan sebagian dari harta rampasan itu. Dalam perang dan pertempuran-pertempuran selanjutnya, para penyimpan harta itu sudah gugur semua dan yang tinggal hanya cerita mereka yang diteruskan oleh teman-teman.
Akhirnya Hok Boan si petualang itulah yang berhasil menemukan penggambaran petanya dan yang percaya akan adanya harta itu, malah kini benar-benar melakukan penyelidikan dan pencarian. Orang lain, walau pun percaya akan adanya harta itu, merasa jeri untuk menyelidiki karena di samping tempat itu berada di wilayah kekuasaan Raja Sabutai, juga di sana banyak terdapat suku-suku liar dan kedua tempat itu pun kabarnya merupakan daerah berbahaya yang tak mungkin dimasuki orang luar.
Dalam waktu setahun saja terjadilah perubahan besar-besaran di Padang Bangkai. Dusun di tengah padang yang dikelilingi air sungai itu, yang tadinya hanya terdiri dari beberapa rumah petak sederhana, sekarang sudah berubah menjadi bangunan besar dan megah, dikelilingi taman bunga dan dipasangi jembatan-jembatan indah di atas sungai itu.
Juga jalan menuju ke Padang Bangkai dibangun dan dibuat lebar dan tidak berbahaya. Bahkan kini mulai ada penduduk tinggal di luar padang itu, tidak lagi takut seperti dulu sehingga Padang Bangkai kini bukan lagi menjadi daerah ‘angker’ yang menyeramkan dan tidak ada orang berani mendekati.
Padang Bangkai sekarang berubah menjadi sebuah dusun makmur milik Kui-kongcu yang dikenal sebagai seorang hartawan yang ramah dan manis budi. Semua perubahan ini dapat diadakan oleh Kui Hok Boan yang ternyata berhasil menemukan harta pusaka itu di sebuah goa. Harta pusaka yang amat banyak, terdiri dari emas permata yang mahal.
Dengan harta pusaka ini, maka dibangunlah tempat itu, bukan hanya rumah gedung untuk dia sendiri, juga rumah-rumah petak yang indah untuk para anak buahnya yang tiga puluh orang banyaknya itu, dan pakaian-pakaian untuk mereka. Bahkan kini para anak buah itu ada yang mengambil isteri dan membentuk keluarga di Padang Bangkai.
Hidup mereka tentram dan tenang, tidak lagi harus merampok seperti dahulu, melainkan mengusahakan tanah yang subur di daerah itu untuk bercocok tanam. Selain dari hasil ini, juga secara halus Hok Boan mulai menentukan semacam ‘pajak’ bagi para penghuni yang tinggal di sekitar Padang Bangkai, dengan dalih bahwa anak buah Padang Bangkai yang menjamin keselamatan mereka dari gangguan siapa pun juga.
Karena sikap Hok Boan yang halus, juga anak buahnya yang tidak boleh menggunakan kekerasan, maka para penghuni itu dengan senang hati suka menyerahkan sebagian dari hasil mereka sebagai semacam pajak atau upah menjaga keamanan mereka!
Telah beberapa kali Hok Boan ingin pergi melakukan penyelidikan ke Lembah Naga sebab memang dia ingin mencari pula harta pusaka yang terpendam di tempat itu. Bahkan menurut kabar, harta yang berada di sana lebih banyak lagi di samping adanya sebuah istana di Lembah Naga itu sebagai peninggalan Raja Sabutai. Namun berkali-kali anak buahnya memperingatkan Hok Boan agar jangan sembarangan menyerbu atau memasuki Lembah Naga.
"Mendiang ketua kami yang dulu, Coa Lok, dengan keras melarang kami untuk mendekati istana itu, taihiap. Dan memang kami semua sudah jera untuk memasuki daerah Istana Lembah Naga, sesudah lima orang teman kami tewas secara mengerikan oleh iblis betina itu." Demikian antara lain anak buahnya memperingatkan.
Hok Boan lalu mendengarkan cerita mereka tentang wanita cantik bertangan kiri buntung yang amat hebat kepandaiannya. Betapa dahulu mendiang Coa Lok sendiri tidak mampu mengalahkannya, dan betapa lima orang di antara mereka tewas oleh wanita itu.
"Kepandaiannya seperti iblis, taihiap, gerakannya cepat seperti pandai menghilang saja. Akan tetapi selama ini dia tidak pernah mengganggu kami. Oleh karena itu, apakah tidak sebaiknya kalau kita juga tidak mengganggunya? Kita sudah hidup senang dan makmur di sini berkat kebijaksanaan taihiap, dan kami sudah puas."
Biar pun mulutnya tidak berkata apa-apa, namun di dalam hatinya Kui Hok Boan merasa amat penasaran. Makin tertariklah hatinya untuk mengunjungi istana itu, di mana menurut cerita para anak buahnya tinggal wanita cantik yang kepandaiannya seperti iblis betina itu, ditemani oleh lima orang pelayan wanita yang cantik-cantik pula.
Mendengar wanita-wanita cantik, jantung sasterawan muda ini sudah berdebar tegang dan girang. Sudah terlalu lama dia kesepian, semenjak dia meninggalkan Leng Ci yang cantik dan genit.
Memang di antara para penghuni dusun terdapat pula wanita-wanita muda, dan dia telah mengunjungi dan menghibur dirinya dengan dua tiga orang di antara mereka, akan tetapi hatinya tidak puas. Mereka adalah wanita-wanita dusun yang sederhana, bodoh dan juga berkulit kasar dan kehitaman karena kerja berat dan terbakar cahaya matahari di sawah ladang.
Karena dia tidak ingin mengganggu ketentraman hidup para anak buahnya, maka dia lalu mengambil keputusan untuk menyelidiki sendiri saja. Dia tahu bahwa anak-anak buahnya adalah bekas-bekas perampok yang berjiwa kasar serta ganas. Kini, oleh keadaan yang makmur dan tentram, anak-anak buahnya itu seperti harimau-harimau yang kekenyangan dan tidur bermalas-malasan.
Kalau sampai digerakkan kemudian bangkit kembali keganasan mereka, maka akan repot jugalah dia untuk menanggulangi mereka. Maka biarlah mereka menjadi harimau-harimau jinak karena memang dia sedang tidak membutuhkan tenaga mereka. Di tempat seperti itu, agaknya tidak akan ada musuh yang mengganggu.
Demikianlah, pada suatu pagi, tanpa diketahui oleh orang lain, diam-diam Kui Hok Boan memasuki daerah Lembah Naga dari arah selatan. Daerah yang luas dan indah, tanahnya subur dan tidak lama kemudian, ketika jalan itu mulai menanjak berat, dia sudah melihat genteng istana dari jauh, kemerahan dan tinggi.
Akan tetapi selagi dia melenggang seenaknya, tiba-tiba saja terdengar bentakan nyaring dan merdu, "Hei, berhenti! Tidak boleh memasuki tempat itu tanpa ijin!"
Dengan tenang Hok Boan menoleh dan melihat lima orang wanita bermunculan. Melihat kaki dan tangan mereka yang masih berlepotan lumpur, tahulah dia bahwa mereka tadi sedang asyik bekerja di sawah ketika mereka melihat kedatangannya dan menghadang di sini.
Wanita-wanita itu tidak terlalu cantik, akan tetapi bila dibandingkan dengan wanita-wanita dusun, mereka ini jauh lebih bersih menarik. Bahkan ada seorang di antara mereka, yang berbaju hijau, tentu belum ada tiga puluh tahun usianya, dan wajahnya manis. Dia sudah menduga bahwa tentu mereka inilah yang oleh anak buahnya disebut pelayan-pelayan dari wanita cantik bertangan buntung itu, maka dia tersenyum manis dan memasang aksi yang ramah.
Kui Hok Boan memang berwajah tampan. Apa lagi pagi hari itu dia sengaja mengenakan pakaian baru yang indah dan bersih. Ketika melihat pemuda itu tersenyum dan sikapnya yang sopan dan lemah lembut, lima orang itu tercengang, kemudian seorang di antara mereka, kebetulan yang muda berbaju hijau itu, berseru,
"Ahh, bukankah Kui-taihiap... dari Padang Bangkai...?"
Seperti diketahui, kadang-kadang, untuk memenuhi keperluan mereka, tentu ada di antara para pelayan dari istana lembah itu yang turun dari lembah dan pergi ke dusun-dusun untuk membeli keperluan mereka. Oleh karena, itu maka mereka mendengar belaka akan semua perubahan yang terjadi di Padang Bangkai.
Mereka sudah melapor kepada majikan mereka, yaitu Liong Si Kwi, bahwa kini Padang Bangkai sudah memiliki majikan atau pemimpin baru, dan betapa Padang Bangkai sudah dibangun dan banyak penghuni dusun yang berdatangan lantas membuka dusun-dusun baru di luar Padang Bangkai.
Akan tetapi Si Kwi tidak mau mencampuri urusan itu. Untuk apa dia mencampuri urusan para perampok di Padang Bangkai itu? Biar berganti pimpinan seribu kali pun tetap saja perampok dan dia tidak sudi berurusan dengan para perampok. Maka dia hanya berpesan kepada para pelayannya supaya mereka jangan berhubungan atau mencampuri urusan orang Padang Bangkai. Dia tidak akan peduli selama orang-orang Padang Bangkai tidak mengganggu Lembah Naga.
Akan tetapi, lima pelayan itu telah mendengar bahwa kepala di Padang Bangkai sekarang adalah seorang pemuda sasterawan yang tampan dan halus, dan yang disebut Kui-taihiap oleh para anak buah Padang Bangkai dan juga oleh semua penduduk dusun di sekitarnya. Dan pada saat seorang dua orang di antara mereka pergi berbelanja, mereka mendengar penuturan para penduduk bahwa majikan Padang Bangkai itu amat ramah dan baik hati, sama sekali bukan bersikap sebagai kepala perampok, dan bahwa tidak pernah ada satu pun anggota Padang Bangkai yang mengganggu dusun-dusun baru itu.
A Ciauw, pelayan berbaju hijau itu, sudah pernah satu kali melihat Kui Hok Boan dari kejauhan, maka kini dia mengenal pemuda itu. Mendengar teguran A Ciauw, empat orang temannya memandang penuh perhatian, tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, biar pun majikan mereka sudah berpesan bahwa tidak ada orang luar, siapa pun juga dia itu, yang boleh masuk ke Lembah Naga.
Hok Boan memperlebar senyumnya sehingga terlihat giginya yang putih, lalu dia memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan di depan dada. "Ahhh, kiranya cu-wi (anda sekalian) sudah mengenal saya? Saya memang Kui Hok Boan, dari Padang Bangkai. Dan karena di antara kita adalah tetangga, maka saya ingin sekali datang mengunjungi Istana Lembah Naga, untuk berkenalan."
Biar pun hanya A Ciauw seorang saja di antara mereka yang pernah melihat majikan Padang Bangkai yang disohorkan orang itu, namun mereka semua telah lama mendengar nama sasterawan muda itu dan kini melihat orangnya dengan sikapnya yang demikian halus dan ramah, lima orang pelayan itu merasa tidak enak kalau harus bersikap kasar. Bahkan untuk mengusirnya sekali pun mereka merasa malu hati. Maka kini mereka hanya saling pandang atau menatap wajah tampan itu dengan bingung.
Akhirnya, A Ciauw yang merasa betapa pandang mata kongcu itu terutama ditujukan kepadanya dengan sangat mesra, dengan kedua pipi berubah merah lalu menjura dengan hormat sambil berkata, "Maafkan kami, Kui-taihiap. Bukan keinginan kami untuk bersikap kurang hormat terhadap taihiap. Akan tetapi kami berlima hanyalah pelayan-pelayan dari nona kami yang mentaati perintah beliau..."
"Ahhh, ternyata cici (kakak) berlima adalah pelayan-pelayan dari Istana Lembah Naga? Sungguh mati, siapa dapat percaya hal ini kalau tidak mendengar sendiri? Meski pun cici berlima berlepotan lumpur karena habis kerja di ladang, namun melihat wajah dan sikap kalian... ahh, sudahlah, betapa pun juga, saya merasa amat gembira dapat bertemu dan berkenalan dengan kalian. Sekarang, cici berlima yang manis, tolonglah antar saya untuk menjumpai dan berkenalan dengan nona majikan kalian."
"Itulah yang kami tidak berani lakukan, taihiap. Bahkan kalau bukan taihiap yang bertemu dengan kami di sini, tentu sejak tadi telah kami minta untuk segera meninggalkan tempat ini. Ketahuilah, Kui-taihiap, bahwa nona majikan kami telah berulang kali memesan bahwa tidak boleh orang luar datang memasuki Lembah Naga, apa lagi hendak bertemu dengan beliau. Oleh karena itu, demi kebaikan kita bersama, taihiap, kami mohon dengan hormat sukalah taihiap kembali saja ke Padang Bangkai dan kami akan menyampaikan kepada nona majikan kami betapa baiknya keadaan dan sikap taihiap terhadap kami."
Kui Hok Boan tersenyum dan memainkan matanya, lantas berkata, "Aih, cici yang manis, mengapa demikian? Sudah setahun saya tinggal di Padang Bangkai dan sudah banyak saya mendengar tentang nona majikanmu yang kabarnya cantik seperti bidadari dan juga manis budi. Kami adalah tetangga, mengapa saya tidak boleh menjumpai dan berkenalan dengan dia? Tidak, sekarang juga saya harus menemuinya, kalau tidak maka saya Kui Hok Boan tentu akan mati penasaran, setidaknya malam ini saya tidak akan dapat tidur."
A Ciauw dan teman-temannya menjadi semakin khawatir. "Jangan, taihiap, harap taihiap jangan memaksa, harap taihiap suka kembali saja..."
"Hemm, kalau saya tidak mau kembali, bagaimana? Saya mendengar bahwa lima orang dayang Istana Lembah Naga memiliki kepandaian tinggi, apakah kalian hendak menghajar saya dan memaksa saya pergi dari sini?"
"Ahhh, mana kami berani? Akan tetapi, kalau kami membiarkan saja taihiap memasuki istana, kami tentu akan mendapat marah besar dari nona majikan kami..."
"Karena itu, kalian jangan membiarkan aku masuk, cobalah kalian menghalangiku. Tentu saja aku juga tidak ingin menyusahkan kalian, para enci yang manis," Hok Boan berkata dengan sikap main-main dan lebih akrab.
A Ciauw dan teman-temannya saling pandang, kemudian A ciauw menarik napas panjang dan berkata, "Apa boleh buat, Kui-taihiap. Kami hanyalah pelayan yang harus mentaati perintah nona majikan kami, bila kami ingin selamat. Maafkan kami, terpaksa kami akan menghalangi taihiap. Harap saja taihiap menaruh kasihan kepada kami." A Ciauw sudah memasang kuda-kuda diikuti oleh empat orang temannya.
"Mana mungkin aku sampai hati untuk menyusahkan kalian?" jawab Hok Boan dan dia pun lalu menerjang ke depan.
Lima orang wanita itu menubruknya dan membuat gerakan menyerang untuk menangkap atau merobohkan tamu yang nekat ini, akan tetapi tentu saja mereka semua sama sekali bukan tandingan Kui Hok Boan. Dengan gerakan yang cepat bukan main, Hok Boan lalu membagi-bagi totokan, maka robohlah lima orang itu dalam keadaan lemas dan lumpuh tertotok!
Hok Boan tersenyum, lalu menghampiri A Ciauw, berlutut di dekatnya dan berkata, "Aku menyesal sekali, harap kalian memaafkan aku. Akan tetapi hal ini perlu agar kalian tidak sampai mendapat marah. Kau manis sekali!" berkata demikian, Hok Boan mendekatkan mukanya dan mencium mulut wanita baju hijau itu, tangannya mengusap dan membelai.
A Ciauw tak mampu bergerak dan hanya mengeluarkan suara di tenggorokannya seperti orang merintih atau mengeluh, matanya dipejamkan dan setelah pria itu pergi cukup lama, A Ciauw masih rebah terlentang dengan mata terpejam dan pikiran melayang jauh entah ke mana!
Sementara itu, dengan ilmu berlari cepat, Hok Boan telah pergi meninggalkan lima orang wanita yang dirobohkannya dengan totokan yang untuk beberapa lamanya akan membuat mereka lumpuh tak berdaya, akan tetapi juga tidak membahayakan keselamatan nyawa mereka itu. Dia menuju ke istana, akan tetapi ketika mendengar suara anak kecil tertawa dan suara seorang wanita, dia tertarik dan mengalihkan langkahnya ke jalan kecil yang menuju ke dinding gunung penuh goa dari mana suara itu tadi datang.
Tak lama kemudian dia melihat seorang anak laki-laki kecil, usianya tentu antara dua dan tiga tahun, tubuhnya sehat dan kuat, sedang bermain-main di depan goa. Tidak jauh dari situ nampak seorang wanita, dan Kui Hok Boan pun tercengang dan terpesona!
Dia bukan seorang laki-laki yang hijau, sama sekali bukan. Dia adalah seorang petualang asmara, seorang kongcu hidung belang dan mata keranjang yang sudah sangat terbiasa mempermainkan wanita dan mengobral cintanya di antara banyak sekali wanita. Dia telah banyak bertemu, bahkan bercinta dengan wanita-wanita cantik. Akan tetapi melihat wanita yang duduk di atas batu itu, jantungnya berdebar keras dan dia tertarik sekali.
Usia wanita itu belum ada tiga puluh tahun, wajahnya manis sekali dan pada wajah itu terbayang watak seorang wanita yang memiliki harga diri tinggi, yang memandang dunia dengan pandang mata seorang ratu, agung dan angkuh akan tetapi justru sikap semacam itulah yang bagi pandang mata Hok Boan kelihatan begitu menarik dan mempesona.
Dia sudah terlalu biasa bertemu dengan wanita yang ‘murahan’ seperti sikap lima orang pelayan tadi, atau wanita yang ‘jual mahal’ agar dapat dinilai lebih tinggi. Namun wanita yang duduk di atas batu depan goa besar itu lain sama sekali, sikapnya wajar dan begitu agung, tangan kirinya yang buntung sebatas pergelangan itu tidak membuat dia menjadi buruk, bahkan menimbulkan rasa iba di hati Hok Boan.
Wajah wanita itu manis sekali, berbentuk bulat dengan dagu meruncing dan mulut kecil. Sepasang matanya tajam dan dingin, akan tetapi mengandung kesuraman dan kesayuan. Rambutnya digelung sederhana dengan hiasan tusuk konde dari perak terukir dan diikat dengan pita rambut yang berwarna kuning.
Pakaiannya juga sederhana bentuknya, tapi terbuat dari sutera halus dengan baju warna merah darah. Kombinasi warna pakaian yang menyolok sekali, dan anehnya, kebetulan sekali warna merah memang paling disuka oleh Hok Boan untuk dipakai oleh wanita! Dia sendiri merasa heran bukan kepalang mengapa hatinya begitu tergetar dan tertarik sekali melihat wanita yang mempunyai bentuk tubuh yang sudah matang itu, padat dan dengan lekuk lengkung yang sempurna!
Wanita itu bukan lain adalah Liong Si Kwi. Seperti sudah diceritakan pada bagian depan, sejak wanita ini menemukan Sin Liong yang dia yakin adalah anak kandungnya sendiri, terjadi perubahan besar dalam kehidupannya. Dia tidak lagi melamun dan terpendam ke dalam kedukaan. Timbul kembali gairah hidupnya, timbul pula kegembiraannya, bahkan dia mendatangkan lima orang wanita sebagai pelayannya untuk mengurus istana yang besar itu, melayaninya dan menjadi temannya tinggal di tempat yang sunyi itu.
Meski pun Sin Liong masih suka bermain-main dengan monyet-monyet besar, akan tetapi karena tahu bahwa monyet-monyet itu adalah kawan-kawan pertama Sin Liong semenjak lahir dan setelah dia yakin bahwa binatang-binatang itu tak pernah mengganggu anaknya sama sekali, maka dia pun tidak pernah melarang lagi. Kadang-kadang dia sendiri yang menemani Sin Liong bermain-main dan pagi hari itu pun dia sedang menemani anak itu bermain-main, suatu kesibukan yang mendatangkan kegembiraan besar di hati wanita itu.
Biar pun Sin Liong belum pernah menerima gemblengan ilmu silat, namun nalurinya lebih tajam dari pada manusia biasa. Hal ini agaknya dia dapatkan dari air susu monyet yang menghidupinya sejak dia masih kecil, maka kedatangan Hok Boan lebih dulu dia ketahui sebelum ibunya, wanita yang telah digembleng ilmu silat tinggi itu mengetahui.
"Eeehhh...?" Sin Liong mengeluarkan teriakan dan menudingkan telunjuknya ke arah pria yang melangkah datang hati-hati itu.
Si Kwi cepat meloncat turun dari atas batu lantas membalikkan tubuh. Matanya berkilat bercahaya pada waktu dia melihat datangnya seorang laki-laki muda tampan berpakaian sasterawan dan diam-diam dia memperhatikan kanan dan kiri karena dia merasa heran mengapa lima orang pelayannya membiarkan orang asing ini memasuki Lembah Naga!
Kui Hok Boan sudah lebih dahulu menggunakan senjatanya yang biasanya amat ampuh dalam menghadapi wanita. Dia memainkan matanya, menggerakkan alisnya yang tebal sambil tersenyum manis, lalu menjura dan merangkapkan kedua tangan di depan dada, memberi hormat dengan sikap sopan sekali.
"Harap nona sudi memaafkan kelancanganku kalau aku mengganggu."
Si Kwi mengerutkan alisnya, tidak menjawab, malah dia menoleh ke kanan kiri, merasa semakin heran dan penasaran, bagaimana kelima orang pelayannya yang setia itu sama sekali tidak mengetahui akan kedatangan orang ini.
Jantung Hok Boan berdebar melihat wanita yang mempesona itu mengerutkan ails dan dengan sikap angkuh tidak menjawab kata-katanya melainkan memandang ke kanan kiri. Bukan main cantik dan manisnya wanita ini, pikirnya heran. Sudah banyak dia melihat wanita cantik, akan tetapi belum pernah ada yang menggerakkan hatinya seperti wanita bertangan kiri buntung ini! Dia maklum atau dapat menduga apa yang dicari oleh wanita itu, maka dia kembali menjura dan berkata halus,
"Kalau nona sedang mencari lima orang pembantumu itu, ketahuilah bahwa mereka tadi sudah menghadang dan ingin menghalangiku untuk datang berkunjung ke Istana Lembah Naga ini, oleh karena itu secara terpaksa sekali aku menidurkan mereka secara lembut dengan totokan. Akan tetapi totokan itu sama sekali tidak berbahaya, nona, sama sekali tidak berbahaya..."
Sinar mata itu berkilat menatap wajah Hok Boan, sinar mata itu merayap dari atas ke bawah, dalam sekejap saja sudah meneliti keadaan jasmani pemuda itu, lalu sinar mata yang sangat tajam itu kembali menentang wajah Hok Boan. Bibir yang merah tipis dan manis itu terbuka, bergerak dan terdengar bentakan halus,
"Siapa engkau? Apa kehendakmu datang ke tempat ini secara memaksa?" Pertanyaan yang mendesak dan mengandung teguran biar pun hati Si Kwi sama sekali tidak merasa heran kalau pemuda ini dapat menotok roboh lima orang pelayannya karena mereka itu baru dua tahun dilatih silat.
Melihat keadaan pemuda yang lemah lembut ini, dia menduga bahwa tentu pemuda ini mempunyai kepandaian tinggi. Dia sudah terbiasa akan hal ini. Sebagai orang muda yang berdarah panas, maka setiap pemuda yang memiliki kepandaian sedikit saja tentu akan bersikap sombong dan suka berkelahi. Akan tetapi, seorang pemuda yang bisa membawa diri, bersikap tenang dan halus, tak mau menonjolkan kepandaian, pemuda seperti itulah yang berbahaya, dan biasanya menyembunyikan kepandaian yang sangat hebat.
Seperti Cia Bun Houw misalnya! Teringat ini, kedua pipi Si Kwi menjadi merah dan cepat diusirnya bayangan pemuda itu dan nama pemuda itu.
Mendengar pertanyaan yang singkat dan penuh teguran itu, kembali Hok Boan menjura dan menjawab halus, "Sekali lagi harap nona sudi memaafkan aku. Sebenarnya, aku Kui Hok Boan sama sekali tidak mempunyai niat buruk terhadap nona atau semua penghuni Istana Lembah Naga. Seperti mungkin nona telah mengenal namaku..."
"Aku tidak mengenal namamu!" Si Kwi memotong cepat dan ketus.
Hok Boan tidak merasa menyesal apa lagi menjadi marah ketika mendengar pemotongan kata-katanya yang ketus itu. Dia tetap memandang dengan wajah berseri, lalu tersenyum dan berkata lagi, "Maaf, agaknya aku lupa bahwa penghuni Istana Lembah Naga tentu saja tidak mengenal nama seorang yang tidak berharga seperti aku ini. Karena itu, baiklah dalam kesempatan ini aku memperkenalkan namaku. Aku she Kui bernama Hok Boan dan aku memimpin teman-teman di Padang Bangkai."
"Hemm, kiranya kepala perampok yang baru?"
Hok Boan mengerutkan alisnya. "Nona boleh memandang rendah kepadaku, akan tetapi harap suka melihat dengan jelas dan dapat membedakan orang. Aku datang ke Padang Bangkai kurang lebih setahun yang lalu, dalam pertempuran membunuh kepala perampok Sin-jio Coa Lok dan karena kasihan kepada tiga puluh orang anak buahnya yang sudah menyerah maka aku memimpin mereka menuju ke jalan benar. Dan sekarang mereka itu bukanlah perampok lagi, nona. Padang Bangkai sudah mengalami perubahan besar dan bukan merupakan tempat angker dan menyeramkan lagi bagi manusia. Dusun-dusun baru telah mulai dibangun oleh mereka yang berdatangan."
Si Kwi merasa tersindir. Memang dia sudah mendengar dari pelayan-pelayannya akan kemajuan Padang Bangkai dan betapa tempat itu kini mulai ramai dengan para penduduk baru yang membangun dusun-dusun, sementara itu Lembah Naga masih saja merupakan tempat angker yang tidak boleh didatangi orang luar.
"Cukup, tak perlu kau memamerkan dan mempropagandakan Padang Bangkai kepadaku. Sekarang katakan apa keperluannya datang ke sini!"
Kembali Hok Boan menjura dengan hormat. "Tidak ada keperluan lainnya kecuali datang berkunjung sebagai tetangga, sebagai sahabat..."
"Seorang sahabat macam apa engkau ini! Begitu datang telah menotok roboh lima orang pelayanku."
"Akan tetapi mereka yang memaksaku, nona..."
"Hemmm, agaknya sesudah engkau berhasil merampas Padang Bangkai, engkau hendak main gila di sini mengandalkan kepandaianmu, ya? Kau kira aku takut menghadapimu? Kau kira akan mudah saja merampas Istana Lembah Naga seperti yang telah kau lakukan dengan Padang Bangkai?"
"Ehh... ahhh... bukan begitu, nona..."
"Cerewet! Perlihatkan kepandaianmu!" Si Kwi sudah menghardiknya dan seketika itu pula dia menerjang dengan tamparan tangan kanannya ke arah pipi Hok Boan.
Pemuda sasterawan ini terkejut bukan main. Dia hanya melihat wanita itu menggerakkan tangan dan tahu-tahu ada angin menyambar dahsyat dan tangan itu sudah menyambar dekat sekali dengan pipinya! Hanya dengan jalan melempar tubuh atas ke belakang saja dia berhasil menghindarkan diri dari tamparan itu. Angin tamparan itu masih menyambar pipinya, dingin dan kuat sekali. Bukan main, pikirnya. Pantas saja wanita ini ditakuti orang, kiranya memiliki gerakan yang sedemikian cepatnya.
Sementara itu, Si Kwi menjadi penasaran juga ketika tamparannya yang dilakukan cepat tadi dapat dielakkan lawan. Dia merasa gemas dan sambil mengeluarkan lengking nyaring dia menyerang secara hebat dan bertubi-tubi. Tubuhnya berkelebatan dan kadang-kadang meloncat tinggi sambil menerkam dan menyerang, kecepatannya seperti seekor burung walet terbang!
"Eh... ohh... nanti dulu, nona...!" Hok Boan berseru kaget dan mengelak atau menangkis kalang kabut.
Nona itu hanya mempunyai satu tangan kanan saja, akan tetapi tangan kiri yang buntung itu ternyata dipergunakan pula untuk menyerang, dengan jalan menotok jalan darah! Yang sangat mengagumkan hati Hok Boan adalah kecepatan wanita itu, kecepatan yang luar biasa dan dia harus mengakui bahwa dalam hal limu ginkang, agaknya dia sendiri tidak akan mampu menandingi nona ini.
Karena dia berseru dan berkali-kali menahan, hampir saja sebuah tendangan mengenai dagunya, sebuah tendangan kilat yang dilakukan selagi tubuh wanita itu berada di atas. Dia terkejut dan mengeluarkan keringat dingin ketika tubuhnya dia lempar ke belakang sambil berjungkir balik, membuat salto.
"Tahan, nona. Aku bukan musuh..."
"Tidak peduli. Engkau sudah merobohkan lima orang pelayanku, berarti engkau adalah musuhku!" Si Kwi membentak dan kembali menyerang karena hatinya makin penasaran melihat betapa serangan-serangannya yang sudah dilakukan sebanyak belasan jurus itu tidak pernah mengenai sasarannya.
"Baiklah, agaknya engkau berpegang kepada kebiasaan dunia kang-ouw bahwa sebelum bertanding tidak kenal!" Hok Boan berkata dan mulailah dia membalas serangan Si Kwi. Pemuda sasterawan ini amat tertarik kepada Si Kwi dan kini dia ingin mengukur sampai di mana tingkat kepandaian wanita yang amat menyentuh perasaan hatinya ini.
Perkelahian hebat terjadi di depan goa. Melihat ini, Sin Liong mengeluarkan suara marah dan dia sudah melangkah maju perlahan-lahan, matanya mengeluarkan sinar berapi dan dia menyeringai, memperlihatkan giginya yang kecil-kecil seperti laku seekor monyet bila sedang marah!
Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan monyet besar dan biang monyet yang selama ini selalu membayangi dan menjaga Sin Liong, cepat meloncat ke bawah dan menyambar tubuh Sin Long, segera dipondongnya dan dibawanya berloncatan naik melalui batu-batu di samping goa, terus dibawanya naik ke atas pohon di mana dia duduk nongkrong sambil memondong Sin Liong dan diajaknya anak itu menjadi penonton dari tempat yang aman itu.
Legalah hati Si Kwi melihat ini. Dia tadi sudah khawatir kalau-kalau Sin Liong yang masih mempunyai watak liar dan kadang-kadang seperti seekor monyet yang susah dijinakkan itu akan menjadi marah dan maju membantunya. Kalau hal itu sampai terjadi, tentu saja akan membahayakan keselamatan anak itu sendiri. Lawannya ini seorang yang pandai, dan siapa tahu apa yang akan dilakukan oleh ketua Padang Bangkai ini terhadap anak itu kalau Sin Liong berani maju membantunya.
Melihat Sin Liong dalam keadaan aman di pohon tinggi, dijaga oleh monyet betina besar itu, kini Si Kwi dapat mencurahkan seluruh perhatiannya kepada gerakan kaki tangannya dan mulailah dia menyerang dengan hebat. Dia tidak membawa pedang atau pun senjata rahasianya yang amat lihai, yaitu paku Hek-tok-ting, akan tetapi karena dia melihat bahwa pemuda sasterawan itu pun tidak membawa senjata apa pun, maka dia tidak merasa khawatir.
Liong Si Kwi adalah murid seorang tokoh besar dunia kang-ouw, yaitu mendiang Hek I Siankouw, bahkan dia menerima banyak gemblengan ilmu silat tinggi pula dari kekasih gurunya itu, yaitu Hwa Hwa Cinjin. Dari dua orang kakek dan nenek ini dia menerima ilmu silat gabungan yang diberi nama Im-yang Lian-hoan-kun, yaitu ilmu yang dapat dimainkan dengan tangan kosong mau pun dengan senjata.
Selain itu Si Kwi pun pandai sekali main silat dengan siang-kiam, yaitu sepasang pedang namun kini setelah tangan kirinya buntung, tentu saja dia tidak lagi dapat memainkan dua pedang, melainkan tinggal sebuah saja yang biasa dimainkan dengan tangan kanannya. Dan di samping ilmu senjata rahasia Hek-tok-ting, paku beracun hitam yang berbahaya sekali, juga dia adalah seorang ahli ilmu ginkang. Karena kecepatan gerakannya inilah maka pada waktu dia belum bersembunyi di Istana Lembah Naga, di dunia kang-ouw dia dijuluki orang Ang-yang-cu (Burung Walet Merah) karena gerakannya seperti terbang dan pakaiannya selalu berwarna merah.
Kini, dalam keadaan marah serta penasaran, Liong Si Kwi menghadapi Hok Boan dan memainkan Ilmu Silat Im-yang Lian-hoan-kun yang hebat. Tubuhnya seperti beterbangan menyambar-nyambar dan dalam serangkaian serangan selama tiga puluh jurus pertama, Hok Boan yang terkejut dan kagum itu terdesak hebat!
Namun, pemuda sasterawan ini adalah bekas murid Go-bi-pai yang pandai, ditambah lagi dengan pengalamannya yang sangat banyak di dunia kang-ouw, maka dia masih berhasil mempertahankan diri dengan baik. Tentu saja dia tak dapat mengandalkan kegesitannya untuk bergerak.
Ketika dia menghadapi mendiang Sin-jio Coa Lok, dia kelihatan sangat lincah dan gesit karena dia memang menang gesit dibandingkan dengan Coa Lok. Akan tetapi sekarang, bertemu dengan Si Kwi, dia kelihatan lamban! Dia kalah gesit, kalah cepat sehingga tidak mungkin dia sanggup mengimbangi dan menandingi lawan ini apa bila dia mengandalkan kecepatan.
Maka dia tidak mau banyak mengelak, khawatir kalau didahului lawan yang lebih cepat. Dia lebih bersikap tenang sambil mengandalkan pertahanannya yang kokoh kuat dengan jalan menangkis dan hanya kadang kala saja dia mengelak. Tiap tangkisannya dilakukan dengan pengerahan tenaga karena pemuda yang cerdik ini segera mengerti bahwa biar pun dalam hal ginkang dia kalah cepat, namun dalam hal sinkang dia menang kuat.
Setelah tiga puluh jurus lewat dan selama itu Hok Boan hanya dapat mempertahankan diri selalu, kini mulailah dia balas menyerang! Serangan-serangan Hok Boan sangat kuatnya, mendatangkan angin bersiutan sehingga Si Kwi harus berhati-hati. Sebaliknya dari lawan, dia mengandalkan kecepatan gerakan ketika menghadapi serangan pemuda itu.
Diam-diam Si Kwi terkejut dan juga kagum. Sasterawan muda yang bersikap sopan dan halus ini ternyata benar-benar sangat hebat! Dia teringat akan Cia Bun Houw, pendekar sakti pujaan hatinya yang juga kelihatan seperti seorang pemuda sasterawan lemah tapi sesungguhnya memiliki kesaktian yang amat luar biasa. Meski pun pemuda ini tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan pendekar muda yang sakti itu, namun keadaan pemuda yang menjadi ketua Padang Bangkai ini cukup menimbulkan rasa kagum di dalam hati Si Kwi.
Seratus jurus lewat dan pertandingan itu bertambah seru. Kalau diam-diam Si Kwi kagum bukan main dan rasa penasaran di hatinya mulai lenyap karena memang harus diakuinya bahwa lawan ini berbeda dengan Coa Lok dan memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, sebaliknya Hok Boan juga kagum bukan main dan kekagumannya diucapkan berkali-kali oleh mulutnya.
"Hebat sekali!"
"Ahh, engkau amat cepat, nona!"
Si Kwi tidak mempedulikan pujian-pujian ini, akan tetapi sebenarnya di dalam hati wanita ini telah timbul semacam perasaan yang aneh. Tadi dia merasa penasaran dan membenci pemuda ini yang dianggap menghinanya. Akan tetapi sekarang lenyap rasa penasaran di hatinya kerena dia mengakui kehebatan pemuda ini, dan perlahan-lahan rasa bencinya juga menipis mendengar betapa pemuda itu memuji-mujinya dengan suara bersungguh-sungguh, bukan pujian yang bersifat mengejek. Apa lagi ketika dia melihat munculnya lima orang pelayannya dalam keadaan sehat dan tidak mengalami cedera.
"Nona, cukuplah. Harap nona suka memaafkan aku, sungguh aku tidak bermaksud untuk memusuhi nona. Cukuplah, biar aku mengaku kalah!" berkali-kali Hok Boan berkata.
Akan tetapi Si Kwi masih terus mendesaknya. Wanita ini merasa malu ketika lima orang pelayannya muncul dan melihat pertempuran itu, malu bahwa dia masih juga belum dapat merobohkan laki-laki ini. Kalau tidak ada lima orang pelayan itu, agaknya dia masih akan mempertimbangkan permintaan Kui Hok Boan ini, akan tetapi di depan para pelayannya, dia tak ingin dilihat bahwa dia memperoleh kemenangan karena lawannya telah mengalah dan mengaku kalah padahal sebenarnya tidak demikian!
"A Ciauw, kau cepat ambilkan pedangku!" teriaknya sambil terus menerjang.
Melihat A Ciauw mentaati perintah nona majikannya itu dan berlari-lari menuju ke istana, hati Hok Boan merasa tidak enak. Dia tidak takut biar pun nona ini menggunakan pedang, akan tetap hal itu hanya akan membuat permusuhan makin menjadi-jadi, dan dia sama sekali tidak menghendaki ini. Tidak, dia tidak bisa bermusuhan dengan nona yang telah mencuri hatinya ini!
Diam-diam dia telah jatuh hati, jatuh cinta kepada Si Kwi dan dia sendiri merasa heran mengapa dia begini tertarik kepada Si Kwi yang tangan kirinya buntung, dan yang meski pun cantik manis, akan tetapi tidak lebih cantik dari pada kebanyakan wanita yang pernah dijumpai dan diperolehnya.
Dia tidak tahu mengapa dia begitu tertarik dan suka kepada nona majikan istana lembah itu! Segala sesuatunya pada diri wanita itu menarik hatinya, bahkan buntungnya tangan kiri itu tidak menimbulkan rasa jijik dan buruk, sebaliknya bahkan menimbulkan rasa iba dan juga kagum betapa dengan tangan kiri buntung nona itu masih demikian hebat!
Kalau sampai nona itu menggunakan pedang, maka tak mungkin dia membiarkan dirinya terancam bahaya begitu saja, dan melawan orang yang bersenjata, apa lagi kalau lawan itu selihai nona ini, akan memaksa dia menggunakan tangan besi pula dan sama sekali dia tidak menghendaki hal ini.
"Nona, kenapa engkau mendesak aku? Aku datang dengan niat baik, biarlah aku mohon maaf dan mohon diri, lain hari bila mana hatimu sudah dingin kembali, aku akan datang berkunjung lagi. Selamat tinggal, nona." Hok Boan lalu meloncat ke belakang, jauh sekali lalu melarikan diri dari tempat itu setelah melambaikan tangannya kepada Si Kwi sambil meninggalkan senyum dan lirikan matanya yang amat mesra dan memikat.
Si Kwi tidak mengejar dan sampai beberapa lamanya dia berdiri bengong memandang ke arah lenyapnya bayangan sasterawan muda itu. A Ciauw datang membawa pedang, akan tetapi melihat lawan nonanya sudah pergi, dia lalu berkata,
"Memang sebaiknya kalau dia pergi. Kui-taihiap itu tidak berniat buruk maka sangat tidak baik kalau sampai dia tewas di sini." Ucapan itu ditujukan kepada teman-temannya atau kepada diri sendiri.
Si Kwi menoleh lantas memandang kepada pelayan manis berbaju hijau itu. Dia sudah menggerakkan bibirnya akan tetapi tidak mengeluarkan kata-kata, melainkan mengambil pedangnya dari tangan A Ciauw dan mencari-cari Sin Liong dengan matanya. Akan tetapi di atas pohon itu sudah tidak nampak Sin Liong yang tadi dipondong monyet besar, maka dia lalu kembali ke istana.
Di dalam hatinya ada rasa malu untuk bicara tentang pria itu dengan para pelayannya. Ada pun tentang Sin Liong dia tidak merasa khawatir karena kini dia maklum bahwa anak itu mempunyai dua dunia, yaitu dunia bersama monyet-monyet di atas pohon dan dunia bersama dia di dalam istana.
Dia tidak mengganggu lagi karena yakin bahwa nanti sebelum malam tiba, Sin Liong tentu akan pulang atau diantar pulang oleh monyet-monyet itu. Dugaannya benar karena sore hari itu, selagi duduk termenung di dalam kamarnya, Sin Liong meloncat masuk melalui jendela!
Semenjak peristiwa pertempurannya dengan Hok Boan itu, sering kali Si Kwi nampak duduk termenung di dalam kamarnya atau kadang-kadang di taman bunga di belakang istana. Apa lagi semenjak hari itu, sering kali ada kiriman dari Padang Bangkai! Kadang-kadang ada kiriman emas dan permata berbentuk hiasan rambut, sutera halus, sepatu baru model terakhir, bahkan kadang-kadang ada kiriman masakan yang masih panas!
Mula-mula ditolaknya kiriman-kiriman yang datang dari Kui Hok Boan dan sengaja dikirim kepadanya itu, akan tetapi dibacanya surat terlampir yang berisi sajak-sajak indah yang memuji-muji kecantikannya, menghibur kesunyiannya. Huruf-huruf indah itu mengandung rasa cinta dan iba yang amat mengharukan hatinya. Akhirnya, diterimanya juga kiriman-kiriman itu, bahkan beberapa bulan kemudian, Kui Hok Boan yang datang berkunjung secara resmi itu, diterimanya sebagai seorang tamu terhormat!
Memang tidak terlalu mengherankan jika melihat kekerasan hati Liong Si Kwi mencair. Dia adalah seorang wanita yang masih muda, belum tiga puluh tahun usianya. Dia pernah jatuh cinta, pernah merasakan belaian cinta kasih seorang pria sungguh pun hal itu terjadi di luar kesadaran pria itu.
Dia mencinta Cia Bun Houw dan di dalam batinnya dia sudah menyerahkan seluruh jiwa raganya kepada pemuda itu. Akan tetapi, setelah Cia Bun Houw pergi meninggalkannya, dia melihat kenyataan yang mengerikan dan amat pahit. Cintanya ditolak. Hatinya hancur luluh.
Kemudian, hati itu menjadi dingin membeku. Betapa pun juga, dia adalah seorang wanita normal yang masih muda, yang di balik kebekuannya itu sebenarnya bernyala api gairah yang besar, bersembunyi kehausan akan belaian kasih sayang seorang pria. Keadaan di Istana Lembah Naga yang sunyi, jauh dari dunia ramai, jauh dari kaum laki-laki, sedikit banyak telah menolong dan menghiburnya, mempertebal kebekuan hatinya terhadap pria.
Namun, kini muncul Kui Hok Boan, seorang pria yang masih muda, tampang halus dan juga lihai. Walau pun tidak sesakti Cia Bun Houw, setidaknya merupakah pemuda yang keadaannya seperti Bun Houw. Apa lagi Hok Boan pandai merayu, pandai memuji-muji, dan dari sinar mata pemuda itu memancar kasih sayang yang besar dan mesra. Maka, herankah bila hati wanita itu menjadi terbakar, bila kebekuan itu mencair dan jantungnya berdebar penuh gairah?
Anehkah itu kalau sebulan kemudian semenjak kunjungan resmi dari Hok Boan, dia mau pula membalas kunjungan pemuda itu, pergi ke Padang Bangkai dan mengagumi segala kemajuan yang dicapai oleh daerah itu di bawah pimpinan Kui Hok Boan? Dan anehkah jika dia tidak marah, melainkan tunduk dengan muka merah dan jantung berdebar ketika pada suatu hari Kui Hok Boan menyatakan cintanya dan mengajukan pinangan padanya?
Dia tidak mampu menjawab dan hanya menunduk. Kedua pipinya merah sekali, bibirnya tersenyum malu-malu dan jari tangan kanannya memilin-milin rambutnya yang terlepas dari sanggul dan berjuntai ke depan dadanya.
"Liong-moi, engkau tahu bahwa lamaranku ini keluar dari hati yang tulus dan mencintamu, maka harap engkau bersikap jujur untuk menjawabku supaya aku tidak tersiksa di dalam kebimbangan." Kui Hok Boan mengulang dan mendesak. Setelah berkenalan kurang lebih dua bulan saja, dia sudah menyebut moi-moi (adik) kepada Si Kwi dan wanita itu pun menyebutnya ko-ko (kakak)!
Jantung di dalam dada Si Kwi berdebar. Sungguh dia sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa akan ada seorang laki-laki yang dapat jatuh cinta kepadanya, bahkan yang akan meminangnya sebagai isteri! Apa lagi seorang pria setampan dan selihai Kui Hok Boan!
Tentu saja hatinya menerima pinangan ini dengan rasa gembira dan terharu, akan tetapi dia bukanlah seorang wanita muda yang sembrono. Dia maklum bahwa ikatan pernikahan adalah hal yang tidak boleh dipandang ringan, dan merupakan suatu ikatan selama hidup.
Karena itu, sebelum diambil keputusan untuk mengikatkan diri di dalam suatu pernikahan, dia harus bersikap terus terang. Antara kedua fihak harus membuka diri, sehingga tidak terdapat rahasia lagi di antara mereka yang kelak hanya akan menggagalkan ikatan itu. Biar pun hal yang dikeluarkan itu amat sukar dan membuatnya merasa malu sehingga dia bicara sambil menundukkan terus mukanya, namun akhirnya dapat juga dia bicara.
"Kui-koko, sebelum aku menjawab, sebaiknya engkaulah yang harus mempertimbangkan terlebih dahulu pinanganmu itu dengan baik dan tidak tergesa-gesa karena engkau belum mengenal betul siapa adanya diriku."
"Liong-moi, apa lagi yang harus kupertimbangkan? Meski pun baru selama dua bulan kita berkenalan, akan tetapi rasanya aku sudah mengenalmu bertahun-tahun lamanya. Aku tahu bahwa engkau adalah Liong Si Kwi, akan tetapi aku lebih tahu lagi bahwa engkau adalah seorang wanita yang hidup sebatang kara di tempat sunyi ini, hidup ditemani lima orang pelayan serta seorang anak angkat yang diasuh oleh monyet-monyet itu. Engkau belum mau menceritakan kepadaku mengapa engkau sampai kehilangan tangan kirimu, akan tetapi agaknya hal itu yang membuat engkau merasa malu dan menyembunyikan diri di sini. Bagiku, engkau adalah seorang wanita yang pandai dan yang menimbulkan rasa iba dalam hatiku, yang membuat aku ingin menghibur hatimu yang seperti tertekan, selalu melindungi dirimu yang seperti orang putus asa itu. Dan lebih dari semua itu, aku meminangmu karena aku cinta padamu, moi-moi."
Si Kwi memejamkan matanya. Hatinya terharu sekali. Pernyataan itu dahulu dia rindukan dari mulut Bun Houw, akan tetapi pernyataan itu tidak kunjung muncul, dan kini keluar dari mulut Hok Boan! Selama hidupnya, baru kali ini ada seorang pria mengaku cinta padanya, pengakuan yang dia tahu amat jujur dan setulus hati. Hampir dia menangis.
"Kui-koko...," katanya dengan suara gemetar. "Engkau belum tahu akan riwayatku, akan latar belakang hidupku..."
"Aku tak peduli, moi-moi. Tak peduli apa pun latar belakang hidupmu, apa pun riwayatmu yang telah lalu, yang kucinta bukanlah Liong Si Kwi yang dahulu, melainkan Liong Si Kwi sekarang ini, yang duduk di depanku ini!"
"Tetapi, koko... aku... aku bukanlah seorang perawan seperti yang mungkin kau duga..." Muka wanita itu menjadi pucat dan dia tidak berani mengangkat muka.
"Hemm, perawan atau bukan bagiku tidak ada bedanya, moi-moi. Akan tetapi... apakah engkau sudah menikah? Ataukah seorang janda?"
Liong Si Kwi menggelengkan kepalanya, lalu mengangkat muka menatap wajah pria itu penuh selidik dan hatinya girang melihat bahwa pernyataan bahwa dia bukan perawan itu, agaknya tidak merobah sikap pria itu terhadap dirinya.
"Aku tidak pernah menikah, karena itu tentu saja bukan janda. Akan tetapi..." kembali dia menunduk, "Aku bukan perawan, bahkan aku... aku pernah melahirkan anak..."
Hening sejenak setelah kata-kata ini. Akan tetapi Hok Boan tidak terkejut. Bagi seorang petualang asmara seperti dia, soal perawan atau bukan tidaklah penting, apa lagi kini dia benar-benar jatuh cinta kepada wanita ini. Dan dia pun bukan seorang bodoh. Dia sudah banyak pengalaman sehingga ketika pertama jumpa saja dia pun sudah tahu bahwa Si Kwi bukanlah seorang perawan. Dan dia tidak peduli.
Akan tetapi, ketika mendengar bahwa Si Kwi pernah melahirkan, membuat dia terkejut juga. Bukan main-main kalau begitu hubungan antara Si Kwi dengan ayah dari anak yang dilahirkannya itu.
"Dan di mana sekarang dia? Ayah dari anak itu? Apakah masih ada ikatan antara engkau dan dia?" tanyanya meragu.
Si Kwi kembali mengangkat mukanya. Terheran dia, juga girang karena kembali tidak ada perubahan sikap Hok Boan sesudah mendengar bahwa dia pernah melahirkan! Ahh, dia tidak boleh bertindak terlalu jauh.
Pria ini hebat, penuh pengertian dan penyabar! Akan tetapi tentu ada batasnya, karena itu sekali-kali dia tidak boleh mengemukakan dugaannya Sin Liong adalah anak kandungnya yang dibesarkan oleh monyet. Hal itu tentu kelak akan mendatangkan hal-hal yang tidak enak! Pria ini baik sekali, akan tetapi dia tidak boleh terlalu mendesaknya, tidak boleh mengujinya terlalu berat.
"Dia? Dia masih hidup, entah di mana, akan tetapi, Kui-koko, bagiku dia telah mati."
"Apakah dia mencintamu?"
Si Kwi menggeleng kepala keras-keras. "Sama sekali tidak! Seujung rambut pun tidak!"
"Hemmm... dan kau? Cintakah kau kepadanya, moi-moi?"
Kembali Si Kwi menggeleng kepala, akan tetapi tidaklah begitu keras. "Tidak, kukira tidak, aku menganggapnya telah mati."
"Baik sekali, kalau begitu berarti engkau bebas, moi-moi! Dan anak itu?"
"Dia... dia mati ketika terlahir."
"Ahhh, kalau begitu, sama sekali tidak ada hal yang memberatkanmu untuk menerima pinanganku, Liong-moi!"
Si Kwi mengangkat mukanya, menatap wajah pemuda itu penuh selidik bercampur rasa keheranan. "Koko! Engkau sudah mendengar semua itu dan engkau masih melanjutkan pinanganmu kepadaku? Engkau seorang pemuda sasterawan yang pandai dalam hal bun dan bu, bahkan engkau telah menjadi majikan Padang Bangkai yang terhormat, seorang pemuda pilihan dan yang akan mudah saja mencari isteri seorang dara cantik yang jauh lebih baik dari pada aku! Koko, berpikirlah dulu sebelum kelak engkau menyesal!"
"Ha-ha-ha, engkau terlalu merendahkan diri, sayang. Aku sendiri, biar pun belum menikah dalam usia tiga puluh tahun lebih ini, mana berani mengaku perjaka? Ha-ha-ha, apa sih artinya perjaka atau... atau bukan? Yang terpenting adalah kita saling mencinta. Dan aku cinta kepadamu, moi-moi, Dengan cintaku ini, aku menerimamu seperti apa adanya, aku menerima engkau baik dengan keperawananmu mau pun dengan kejandaanmu, dengan segala kebaikan berikut semua cacad-cacadmu. Nah, engkau sudah mendengar semua, Liong-moi, sekarang jawablah, maukah engkau menerima pinanganku? Apakah engkau bersedia menjadi isteriku?"
Sepasang mata itu tak dapat menahan lagi air mata yang bercucuran keluar membasahi kedua pipinya. "Koko... engkau... engkau baik sekali... baik sekali..."
Hok Boan bangkit berdiri dan menghampiri wanita itu yang duduk sambil menangis dan menundukkan mukanya. Dengan lembut dan mesra, Hok Boan memegang dagu wanita itu, mengangkat muka yang basah itu menghadap kepadanya, lalu dia bertanya, "Jawablah, moi-moi, maukah kau...?"
Dengan air mata masih bercucuran, Si Kwi menggerakkan kepalanya mengangguk dan bibirnya hanya dapat berbisik serak. "Aku mau... aku mau... ahhh, aku mau, koko..."
"Moi-moi...!" Hok Boan sudah mencium mulut itu, menciumi muka yang basah air mata itu, kemudian mencium lagi mulut Si Kwi.
Si Kwi tersedu, kemudian menggerakkan kedua lengannya, merangkul leher Hok Boan dan menariknya sehingga mereka berpelukan ketat.
Segala menjadi indah kalau cinta sudah berpadu. Cinta tidak membedakan baik buruk, tidak membedakan derajat dan tingkat. Cinta tidak memandang kedudukan, kepandaian, harta, kebangsaan, agama, kepercayaan, dan sebagainya lagi. Semua itu hanya pakaian belaka.
Bagi cinta, yang mutlak adalah manusianya dan semua embel-embel itu sudah tercakup di dalamnya. Bagi cinta, yang terpenting adalah si dia! Apa pun adanya dia, bagaimana pun adanya dia, karena dalam cinta dia menjadi suatu kebutuhan dalam kehidupan, dan tanpa si dia yang dicinta, hidup menjadi tidak lengkap!
Dengan cinta, kita menjadi bijaksana dan kebijaksanaan itu membuat kita dapat melihat bahwa tidak ada yang tanpa cacad di dunia ini. Setiap kali kita menilai segi kebaikannya, sudah pasti muncul segi keburukannya karena baik dan buruk adalah saudara kembar, seperti senang dan susah. Tiada sesuatu yang tanpa cacad, dan si dia yang kita cinta itu pun termasuk di dalam segala sesuatu yang pasti ada cacadnya, itu kebaikannya dan juga ada keburukannya.
Padang Bangkai yang kini sudah menjadi tempat yang indah dan tidak berbahaya untuk dikunjungi orang luar itu terhias meriah. Semua anak buah Padang Bangkai sibuk, dibantu oleh para penghuni dusun di sekitar tempat itu, dan suasana yang gembira dan meriah diramaikan oleh suara musik itu menandakan bahwa di tempat itu sedang diadakan pesta.
Memang demikianlah. Hari itu adalah hari yang gembira, semua orang bergembira karena hari itu adalah hari pernikahan antara majikan Padang Bangkai, Kui Hok Boan, dengan penghuni Istana Lembah Naga, Liong Si Kwi!
Dalam kesempatan ini, Kui Hok Boan memperlihatkan kepopulerannya di dunia kang-ouw dengan mengundang banyak tokoh kang-ouw! Dengan sejumlah besar harta pusaka yang ditemukannya di Padang Bangkai, tentu saja dia dapat mengadakan pesta besar dengan mengundang tukang-tukang masak dari selatan.
Daerah kaki Pegunungan Khing-an-san yang biasanya amat sunyi dan jarang dikunjungi orang itu, pada hari itu menjadi ramai dan sejak kemarin sudah berdatangan tamu-tamu dari selatan yang sebagian besar terdiri dari orang-orang kang-ouw yang bersikap gagah. Dan memang hanya orang-orang kang-ouw saja yang berani dan sanggup mengadakan perjalanan sejauh dan sesukar itu.
Yang sangat menggirangkan dan mengharukan hati Hok Boan adalah ketika dia melihat munculnya seorang hwesio tinggi besar yang bermuka hitam dan bermata lebar. Hwesio ini adalah Lan Kong Hwesio, seorang tokoh Go-bi-pai. Lan Kong Hwesio masih terhitung sute dari Kauw Kong Hwesio, guru Hok Boan yang telah meninggal dunia. Pada saat Hok Boan mengirim undangan kepada bekas gurunya, ternyata gurunya itu sudah meninggal dunia dan sebagai wakilnya kini yang datang adalah Lan Kong Hwesio atau susiok-nya (paman gurunya).
Sebenarnya, kedatangan Lan Kong Hwesio, tokoh Go-bi-pai yang sudah berusia enam puluh lima tahun ini, sama sekali bukan hanya untuk menghadiri pernikahan bekas murid keponakannya itu. Akan tetapi sesungguhnya dia berkewajiban untuk menyelidiki, apakah murid Go-bi-pai yang telah diusir oleh mendiang suheng-nya dan tak boleh mengaku lagi sebagai murid Go-bi-pai itu telah berubah menjadi orang yang baik dan benar-benar tidak lagi mencemarkan atau menggunakan nama Go-bi-pai.
Dan giranglah hati Lan Kong Hwesio ketika mendapat berita betapa Kui Hok Boan yang dikenal sebagai Kui-taihiap di daerah Khing-an-san, sama sekali tidak pernah menyebut Go-bi-pai, dan lebih lagi, nama sasterawan muda itu cukup baik, bahkan berjasa dalam membangun Padang Bangkai yang tadinya merupakan daerah maut yang berbahaya itu menjadi daerah terbuka dan maju. Maka hwesio ini memasuki ruangan pesta dengan hati gembira.
Di samping tokoh Go-bi-pai ini, banyak pula wakil-wakil dari partai-partai persilatan lainnya yang hadir, akan tetapi lebih banyak lagi adalah tokoh-tokoh dari golongan yang biasanya disebut golongan hitam atau golongan sesat! Memang Kui Hok Boan memiliki hubungan yang sangat luas di dunia kang-ouw, oleh karena itu pesta pernikahannya itu merupakan pertemuan di antara dua golongan yang menamakan dirinya golongan putih dan golongan hitam sehingga di dalam pesta itu terdapat ketegangan-ketegangan yang berbahaya.
Namun karena mereka semua menghormat tuan rumah yang menjadi pengantin, dan juga karena kedua fihak bersikap hati-hati mengingat bahwa mereka bukan berada di daerah sendiri, melainkan daerah liar yang sesungguhnya termasuk wilayah kekuasaan raja liar Sabutai, maka mereka tidak berani menimbulkan kekacauan dan bersikap sabar menanti serta berjaga-jaga saja.
Akan tetapi pada saat itu pula si brewok yang merasa penasaran telah bangkit berdiri dan lari menerjang lawan yang masih berdiri di atas gagang golok. Coa Lok mendiamkannya saja karena dia ingin melihat sampai di mana kelihaian lawan itu. Para anggota perampok yang lain sekarang juga memandang dengan penuh perhatian tidak lagi mentertawakan si pemuda sasterawan yang ternyata adalah seorang pandai itu.
“Haiiiitttt...!" Si brewok itu mengeluarkan bentakan nyaring.
Sekali ini dia tidak mau bertindak sembrono lagi. Kini dia sudah tahu bahwa lawannya memang amat pandai, maka dia tidak lagi menubruk secara membabi-buta seperti tadi, melainkan menyerang dengan gerakan ilmu silat, memukul bertubi-tubi dengan sepasang tangannya yang berlengan panjang. Pukulannya keras sekali hingga mengeluarkan bunyi angin bersiutan.
"Plakk-plakk-plakkk!"
Semua pukulan dapat ditangkis dengan tenang saja oleh Hok Boan, bahkan setiap kali tertangkis, lengan si brewok yang amat kuat dan besar itu lantas terpental dan mulutnya meringis karena tangkisan itu membuat lengannya terasa nyeri, tulangnya seperti akan pecah rasanya.
"Babi gendut, kau masih juga belum jera? Nah, robohlah!" Tiba-tiba Hok Boan meloncat turun dan sekali kakinya bergerak, kaki kiri itu melayang ke arah muka si brewok.
Tentu saja si brewok terkejut bukan main dan langsung mengangkat kedua tangan untuk menangkis dan menangkap kaki lawan, akan tetapi tiba-tiba dia merasa kakinya lumpuh dan dia pun terguling roboh. Kiranya tendangan kaki ke arah muka itu hanya pancingan belaka, namun yang sungguh-sungguh menyerang adalah kaki yang sebelah lagi. Sambil melompat, kaki ini menendang lututnya sehingga dia roboh dengan sambungan tulang lutut terlepas! Dia hanya dapat rebah dan memegangi lututnya sambil mengeluh panjang pendek.
Hok Boan membungkuk dan sekali cabut, golok itu sudah berada pada tangannya. Dia memandang kepada si brewok dan berkata, "Kalau aku mau, alangkah mudahnya untuk membunuhmu, babi! Akan tetapi telah kukatakan, aku membutuhkan kalian untuk menjadi anak buahku, maka aku tidak akan membunuhmu!" Setelah berkata demikian, dengan kedua tangannya, dia menekuk-nekuk golok itu.
Terdengar suara nyaring lantas golok itu pun patah-patah menjadi beberapa potong yang kemudian dilemparkannya ke atas tanah. Potongan-potongan golok itu menancap dan lenyap amblas ke dalam tanah, hanya tinggal gagangnya saja yang dibuangnya dengan sikap tidak peduli.
Semua anak buah perampok terkejut setengah mati. Si brewok memandang pucat, lalu dia merangkak menjauhkan diri. Coa Lok yang menyaksikan ini semakin kaget dan tahu bahwa dia benar-benar menghadapi seorang lawan berat. Maka timbullah kecurangannya dan dia lalu membentak, "Hayo maju semua, keroyok dan bunuh pengacau ini!"
Para perampok itu sudah biasa dengan perintah Coa Lok, maka mendengar bentakan ini mereka lalu mengacungkan senjata masing-masing, siap untuk maju mengeroyok.
Hok Boan yang melihat hal ini, meloncat dan tubuhnya melayang ke dekat pohon di mana dia menyimpan pedang dan buntalannya. Sekali sambar dia sudah mengambil pedangnya sekalian menghunusnya, pedang yang kelihatan masih kasar namun mengeluarkan sinar menyeramkan, pedang buatan ahli pedang Bhe Coan itu. Dengan pedang melintang di depan dadanya, Hok Boan membentak dengan suara yang menggetarkan jantung karena dia membentak dengan pengerahan tenaga khikang dari pusar.
"Tahan semua! Dengar baik-baik! Aku datang untuk memimpin kalian dan aku menjanjikan kepada kalian penghidupan yang baik dan jauh lebih makmur dari pada sekarang! Bukan berarti aku takut kepada kalian. Akan tetapi kalau kalian maju mengeroyok, terpaksa aku akan membunuh kalian semua dan aku harus bersusah payah mengumpulkan anak buah dari dusun-dusun. Biarkanlah aku berhadapan dengan kepala kalian dan kita lihat, siapa di antara kami berdua yang lebih patut menjadi pemimpin kalian, menjadi majikan Padang Bangkai!"
Kiranya ucapan itu berpengaruh dan semua perampok menjadi ragu-ragu. Kesempatan ini digunakan oleh Hok Boan yang cerdik, untuk mencari kedudukan yang menguntungkan.
"Hai, engkau si muka berpenyakitan yang berlagak jagoan dengan tombakmu dan hendak memimpin sekelompok orang gagah ini! Dengarlah baik-baik! Kalau benar engkau jagoan, hayo kau maju melawan aku, dan aku akan menghadapi tombakmu itu dengan ranting ini saja. Pedangku tak akan kugunakan. Ha-ha-ha, mukamu makin pucat dan engkau hanya seorang banci, seorang pengecut, seorang penakut yang beraninya hanya mengandalkan bantuan banyak anak buah saja. Engkau tidak patut menjadi pemimpin!"
Wajah Sin-jio Coa Lok menjadi pucat saking marahnya. Kehormatannya tersinggung. Dia bukanlah seorang lemah. Sama sekali bukan. Tombaknya ditakuti banyak orang, bahkan dia pun telah dijuluki Si Tombak Sakti. Jika tadi dia hendak menggunakan pengeroyokan adalah karena dia ingin lebih yakin mengalahkan lawan ini. Sekarang ditantang seperti itu, tentu saja dia tidak sudi untuk memperlihatkan sikap takut.
"Mundur semua! Kerbau-kerbau tolol, mundur semuanya!" bentaknya marah kepada anak buahnya yang tidak cepat-cepat menyerang lawan sehingga memberi kesempatan kepada lawan untuk mengejek dirinya. "Mundur dan lihat tombakku akan mengeluarkan ususnya yang busuk!"
Perintah ini tak perlu diulang dua kali karena semua anak buah perampok sudah serentak melangkah mundur. Mereka ingin sekali melihat apakah kepala mereka itu benar-benar akan mampu membunuh pemuda sasterawan yang amat berani itu.
Janji yang tadi diucapkan oleh pemuda sasterawan itu menarik hati mereka. Juga mereka telah terkesan sekali ketika melihat betapa pemuda itu tadi tidak membunuh si brewok tinggi besar yang menjadi teman mereka, padahal kalau pemuda itu mau, tentu si brewok itu telah tewas. Pemuda itu tidaklah sekejam dan seganas Si Tombak Sakti, maka hal ini saja sudah menimbulkan kesan baik di hati mereka.
Sin-jio Coa Lok yang sudah marah sekali itu maklum bahwa kini dia berhadapan dengan seorang lawan yang tangguh, akan tetapi tentu saja dia sama sekali tidak merasa takut. Dia terlalu percaya kepada tombaknya, maka dia telah menubruk dengan kecepatan kilat, tombaknya digerakkan dan tampaklah cahaya terang menyambar-nyambar ketika tombak itu membuat gerakan bergulung-gulung bagaikan ombak dahsyat menerjang ke arah Kui Hok Boan.
Orang she Kui ini tidak melanggar janjinya, dia sudah menyambar ranting yang tadinya berada di bawah pohon. Melihat gerakan lawan yang amat hebat itu, diam-diam dia pun terkejut dan cepat dia menggerakkan rantingnya untuk melindungi dirinya. Akan tetapi dia maklum bahwa senjata rantingnya tak mungkin dapat digunakan untuk menangkis tombak lawan yang terbuat dari baja kuat itu, maka dia hanya mengandalkan ginkang-nya, terus mengelak dari sambaran tombak sambil menggerakkan ranting untuk menotok jalan darah lawan di beberapa bagian dengan kecepatan kilat yang bertubi-tubi.
Serangan itu sudah merupakan penghambat bagi terjangan Coa Lok, karena Si Tombak Sakti itu tentu saja maklum akan bahayanya totokan-totokan yang walau pun dilakukan dengan sebatang ranting saja, namun didorong oleh tenaga sakti yang kuat.
Ilmu tombak yang dimainkan oleh Coa Lok adalah ilmu tombak keturunan yang sangat hebat. Semenjak nenek besarnya, secara turun-temurun keluarga Coa telah mempelajari ilmu tombak itu dan selama beberapa keturunan, ilmu tombak itu telah mengangkat tinggi nama keluarga Coa.
Sebagai ilmu simpanan keluarga, maka ilmu tombaknya itu berbeda sifat dan gerakannya dengan ilmu tombak yang diajarkan oleh partai-partai persilatan umum, maka menghadapi ilmu tombak yang tidak dikenalnya itu, Kui Hok Boan menjadi repot dan kewalahan juga. Ujung tombak itu tergetar-getar sehingga menjadi beberapa batang banyaknya dan setiap batang seolah-olah bergerak sendiri-sendiri menyerang dari pelbagai jurusan.
Sebaliknya, Kui Hok Boan, anak murid Go-bi-pai itu, meski telah mempelajari permainan delapan belas macam senjata, tapi terutama memiliki keahlian dalam permainan pedang. Padahal, apa bila dibandingkan dengan Coa Lok tingkat kepandaiannya hanya lebih tinggi setingkat saja, maka kini dengan menggunakan sebatang ranting sebagai senjata, tentu saja kemenangan tingkatnya menjadi tak banyak artinya, sebab jika lawan menggunakan senjata yang menjadi keahliannya, sebaliknya dia hanya mempergunakan senjata yang sama sekali tidak dapat menonjolkan kepandaiannya.
Betapa pun juga, Hok Boan memang patut dipuji. Sampai hampir seratus jurus mereka bertanding, namun belum juga tombak di tangan Coa Lok mampu merobohkannya, meski pun kadang kala membuat sasterawan itu repot bukan main dengan elakan ke sana-sini. Bahkan nyaris saja perutnya tertembus tombak ketika dia mengelak dan untung bagi dia, hanya bajunya yang tertembus dan robek. Dia terkejut sekali dan terdengar suara tertawa mengejek dari para anak buah perampok yang menonton pertempuran mati-matian itu.
"Ha-ha-ha, kutu buku sombong, bersiaplah kau untuk mampus!" Sin-jio Coa Lok tertawa mengejek dan kembali menubruk dengan tombaknya, memutar-mutar tombaknya hingga lenyaplah mata tombak itu dan berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung menerjang ke arah Hok Boan.
Hok Boan maklum bahwa kalau dia mempertahankan terus senjata rantingnya, akhirnya dia akan kalah dan celaka. Dia tidak perlu menjaga kehormatannya terhadap orang-orang yang tidak terhormat ini, pikirnya. Bahkan omongan besarnya hendak menghadapi kepala perampok ini dengan sebatang ranting, dapat dia gunakan demi keuntungannya, pikirnya pula.
Dengan menggunakan ranting sehingga dia terdesak hebat, kepala perampok ini menjadi lengah oleh bayangan kemenangannya. Karena itu dia sengaja melambatkan gerakannya sehingga dia terdesak makin hebat dan bermain mundur terus. Seperti tidak disengaja, kakinya tergelincir dan dia jatuh ke atas tanah.
"Ha-ha-ha, mampuslah kau...!" Coa Lok mengejar dengan tombaknya.
Akan tetapi Hok Boan terus menggerakkan tubuhnya menggelundung dan menjauh. Pada saat Si Tombak Sakti itu mengejar terus sambil tertawa-tawa dan berusaha menusukkan tombaknya ke arah tubuh lawan yang bergulingan, tiba-tiba saja Hok Boan mengeluarkan bentakan nyaring, tangan kanannya bergerak dan ranting itu meluncur seperti anak panah menuju ke arah dada Coa Lok!
"Ehhhhhh...!" Coa Lok terkejut, cepat menangkis dengan tombaknya dan mematahkan ranting itu.
“Krekk-krekkk...!"
Akan tetapi pada saat itu nampak sinar berkelebat dari depan. Coa Lok terkejut melihat kecurangan lawan, namun sudah terlambat karena pedang yang ditangkisnya itu masih meleset dan meluncur memasuki perutnya.
"Blessss...!"
Pedang itu menembus perutnya, lalu oleh Hok Boan diputar ke atas hingga perut kepala perampok itu robek. Kepala perampok itu mengeluarkan teriakan mengerikan, tombaknya terlepas dan dia langsung roboh terjengkang ketika Hok Boan mencabut pedang sambil menendangnya.
Para anak buah perampok memandang dengan mata terbelalak ke arah Coa Lok yang berkelojotan di atas tanah, kemudian memandang kepada Hok Boan yang berdiri tegak dengan pedang yang berlumuran darah itu di tangan kanan sambil tersenyum.
"Nah, kepala kalian telah mampus. Apakah di antara kalian ada yang ingin menemaninya ke neraka? Ataukah kalian mau mengangkat aku menjadi pemimpin kalian yang baru?" tantang Hok Boan.
Para perampok itu saling pandang. Mereka merasa ngeri karena maklum bahwa pemuda sasterawan ini benar-benar amat lihai. Beberapa orang di antara mereka yang termasuk tokoh-tokohnya lalu menjatuhkan diri berlutut, tentu saja segera diturut oleh yang lain dan mereka memberi hormat sambil berkata,
"Tai-ong... kami mentaati perintah tai-ong...!"
Kui Hok Boan tersenyum dan menyimpan pedangnya setelah membersihkan darah dari pedang itu ke atas tubuh Coa Lok yang sudah tidak bergerak lagi. Dia berkata dengan suara halus namun penuh wibawa. "Kalian tidak akan menyesal mengangkatku menjadi pemimpin kalian. Aku akan membuat Padang Bangkai ini menjadi tempat yang indah dan baik, juga makmur sesudah kalian membantuku mencari harta pusaka yang terpendam di sini. Aku bisa menduga bahwa kalian tentulah gerombolan perampok, bukan? Nah, mulai sekarang kita tidak perlu merampok lagi. Untuk apa melakukan pekerjaan yang hina dan memalukan itu kalau kita dapat mencari kekayaan dengan cara lain yang lebih mudah? Sekarang perintahku yang pertama adalah, kalian tidak boleh menyebutku tai-ong. Aku bukan perampok. Kalian harus menyebutku taihiap (pendekar besar), mengerti? Namaku Kui Hok Boan maka kalian menyebutku Kui-taihiap, tak kurang tak lebih! Dan ingat, siapa yang berani melanggar perintahku, akan kulemparkan ke lumpur maut!"
Setelah berkata demikian, Hok Boan lantas menyambar tangan mayat Coa Lok kemudian mengerahkan tenaga, melontarkan mayat itu yang terlempar jauh hingga terjatuh ke atas rumput hijau yang menyembunyikan lumpur di mana kudanya menjadi korban kemarin dulu. Lumpur itu menerima mayat Coa Lok dan karena mayat itu menimpa lumpur dengan kekuatan besar, seketika mayat itu lenyap ditelan lumpur.
Semua anggota perampok itu mengangguk-angguk dengan muka pucat sekali. Pemuda sasterawan ini kelihatan halus, ramah dan tidak kasar, akan tetapi mempunyai sikap yang menyeramkan dan lebih menakutkan dari sikap Coa Lok yang kasar.
"Sekarang kalian tunjukkan aku jalan masuk ke dalam Padang Bangkai ini dan kita mulai dengan mencari harta pusaka yang tersimpan di suatu tempat yang sudah kuselidiki dari peta yang kudapat."
Tiga puluh orang itu bersorak girang lalu mengantar ketua mereka yang baru memasuki padang yang luas itu menuju sarang mereka, dusun yang dikelilingi air itu. Memang tujuan utama Hok Boan datang ke Padang Bangkai dan Lembah Naga adalah untuk mencari harta-harta pusaka itu, yang dia dengar dari berita angin di antara para pasukan kerajaan. Bahkan secara teliti dia sudah melakukan penyelidikan, mengumpulkan berita-berita itu dan menemukan sebuah peta tua yang menunjukkan di mana kiranya harta-harta pusaka itu disimpan di kedua tempat yang penuh rahasia itu.
Sesungguhnya berita yang didengarnya dari mulut ke mulut itu bukanlah hanya dongeng belaka. Harta pusaka itu merupakan harta hasil rampokan dan rampasan dari pasukan-pasukan liar di bawah pimpinan Raja Sabutai ketika raja liar ini menaklukkan banyak suku bangsa Nomad di sekitar daerah padang dan gurun di utara. Karena tidak mungkin bagi pasukan itu untuk membawa-bawa harta yang amat banyak dan berat dalam perjalanan mereka menaklukkan suku-suku lain, maka sebagian dari harta itu mereka sembunyikan dan mereka tanam di beberapa tempat, di antaranya di Padang Bangkai dan lebih lagi di Lembah Naga.
Raja Sabutai sendiri tidak tahu akan hal ini, karena pekerjaan itu dilakukan oleh para anak buahnya yang ingin menyembunyikan sebagian dari harta rampasan itu. Dalam perang dan pertempuran-pertempuran selanjutnya, para penyimpan harta itu sudah gugur semua dan yang tinggal hanya cerita mereka yang diteruskan oleh teman-teman.
Akhirnya Hok Boan si petualang itulah yang berhasil menemukan penggambaran petanya dan yang percaya akan adanya harta itu, malah kini benar-benar melakukan penyelidikan dan pencarian. Orang lain, walau pun percaya akan adanya harta itu, merasa jeri untuk menyelidiki karena di samping tempat itu berada di wilayah kekuasaan Raja Sabutai, juga di sana banyak terdapat suku-suku liar dan kedua tempat itu pun kabarnya merupakan daerah berbahaya yang tak mungkin dimasuki orang luar.
Dalam waktu setahun saja terjadilah perubahan besar-besaran di Padang Bangkai. Dusun di tengah padang yang dikelilingi air sungai itu, yang tadinya hanya terdiri dari beberapa rumah petak sederhana, sekarang sudah berubah menjadi bangunan besar dan megah, dikelilingi taman bunga dan dipasangi jembatan-jembatan indah di atas sungai itu.
Juga jalan menuju ke Padang Bangkai dibangun dan dibuat lebar dan tidak berbahaya. Bahkan kini mulai ada penduduk tinggal di luar padang itu, tidak lagi takut seperti dulu sehingga Padang Bangkai kini bukan lagi menjadi daerah ‘angker’ yang menyeramkan dan tidak ada orang berani mendekati.
Padang Bangkai sekarang berubah menjadi sebuah dusun makmur milik Kui-kongcu yang dikenal sebagai seorang hartawan yang ramah dan manis budi. Semua perubahan ini dapat diadakan oleh Kui Hok Boan yang ternyata berhasil menemukan harta pusaka itu di sebuah goa. Harta pusaka yang amat banyak, terdiri dari emas permata yang mahal.
Dengan harta pusaka ini, maka dibangunlah tempat itu, bukan hanya rumah gedung untuk dia sendiri, juga rumah-rumah petak yang indah untuk para anak buahnya yang tiga puluh orang banyaknya itu, dan pakaian-pakaian untuk mereka. Bahkan kini para anak buah itu ada yang mengambil isteri dan membentuk keluarga di Padang Bangkai.
Hidup mereka tentram dan tenang, tidak lagi harus merampok seperti dahulu, melainkan mengusahakan tanah yang subur di daerah itu untuk bercocok tanam. Selain dari hasil ini, juga secara halus Hok Boan mulai menentukan semacam ‘pajak’ bagi para penghuni yang tinggal di sekitar Padang Bangkai, dengan dalih bahwa anak buah Padang Bangkai yang menjamin keselamatan mereka dari gangguan siapa pun juga.
Karena sikap Hok Boan yang halus, juga anak buahnya yang tidak boleh menggunakan kekerasan, maka para penghuni itu dengan senang hati suka menyerahkan sebagian dari hasil mereka sebagai semacam pajak atau upah menjaga keamanan mereka!
Telah beberapa kali Hok Boan ingin pergi melakukan penyelidikan ke Lembah Naga sebab memang dia ingin mencari pula harta pusaka yang terpendam di tempat itu. Bahkan menurut kabar, harta yang berada di sana lebih banyak lagi di samping adanya sebuah istana di Lembah Naga itu sebagai peninggalan Raja Sabutai. Namun berkali-kali anak buahnya memperingatkan Hok Boan agar jangan sembarangan menyerbu atau memasuki Lembah Naga.
"Mendiang ketua kami yang dulu, Coa Lok, dengan keras melarang kami untuk mendekati istana itu, taihiap. Dan memang kami semua sudah jera untuk memasuki daerah Istana Lembah Naga, sesudah lima orang teman kami tewas secara mengerikan oleh iblis betina itu." Demikian antara lain anak buahnya memperingatkan.
Hok Boan lalu mendengarkan cerita mereka tentang wanita cantik bertangan kiri buntung yang amat hebat kepandaiannya. Betapa dahulu mendiang Coa Lok sendiri tidak mampu mengalahkannya, dan betapa lima orang di antara mereka tewas oleh wanita itu.
"Kepandaiannya seperti iblis, taihiap, gerakannya cepat seperti pandai menghilang saja. Akan tetapi selama ini dia tidak pernah mengganggu kami. Oleh karena itu, apakah tidak sebaiknya kalau kita juga tidak mengganggunya? Kita sudah hidup senang dan makmur di sini berkat kebijaksanaan taihiap, dan kami sudah puas."
Biar pun mulutnya tidak berkata apa-apa, namun di dalam hatinya Kui Hok Boan merasa amat penasaran. Makin tertariklah hatinya untuk mengunjungi istana itu, di mana menurut cerita para anak buahnya tinggal wanita cantik yang kepandaiannya seperti iblis betina itu, ditemani oleh lima orang pelayan wanita yang cantik-cantik pula.
Mendengar wanita-wanita cantik, jantung sasterawan muda ini sudah berdebar tegang dan girang. Sudah terlalu lama dia kesepian, semenjak dia meninggalkan Leng Ci yang cantik dan genit.
Memang di antara para penghuni dusun terdapat pula wanita-wanita muda, dan dia telah mengunjungi dan menghibur dirinya dengan dua tiga orang di antara mereka, akan tetapi hatinya tidak puas. Mereka adalah wanita-wanita dusun yang sederhana, bodoh dan juga berkulit kasar dan kehitaman karena kerja berat dan terbakar cahaya matahari di sawah ladang.
Karena dia tidak ingin mengganggu ketentraman hidup para anak buahnya, maka dia lalu mengambil keputusan untuk menyelidiki sendiri saja. Dia tahu bahwa anak-anak buahnya adalah bekas-bekas perampok yang berjiwa kasar serta ganas. Kini, oleh keadaan yang makmur dan tentram, anak-anak buahnya itu seperti harimau-harimau yang kekenyangan dan tidur bermalas-malasan.
Kalau sampai digerakkan kemudian bangkit kembali keganasan mereka, maka akan repot jugalah dia untuk menanggulangi mereka. Maka biarlah mereka menjadi harimau-harimau jinak karena memang dia sedang tidak membutuhkan tenaga mereka. Di tempat seperti itu, agaknya tidak akan ada musuh yang mengganggu.
Demikianlah, pada suatu pagi, tanpa diketahui oleh orang lain, diam-diam Kui Hok Boan memasuki daerah Lembah Naga dari arah selatan. Daerah yang luas dan indah, tanahnya subur dan tidak lama kemudian, ketika jalan itu mulai menanjak berat, dia sudah melihat genteng istana dari jauh, kemerahan dan tinggi.
Akan tetapi selagi dia melenggang seenaknya, tiba-tiba saja terdengar bentakan nyaring dan merdu, "Hei, berhenti! Tidak boleh memasuki tempat itu tanpa ijin!"
Dengan tenang Hok Boan menoleh dan melihat lima orang wanita bermunculan. Melihat kaki dan tangan mereka yang masih berlepotan lumpur, tahulah dia bahwa mereka tadi sedang asyik bekerja di sawah ketika mereka melihat kedatangannya dan menghadang di sini.
Wanita-wanita itu tidak terlalu cantik, akan tetapi bila dibandingkan dengan wanita-wanita dusun, mereka ini jauh lebih bersih menarik. Bahkan ada seorang di antara mereka, yang berbaju hijau, tentu belum ada tiga puluh tahun usianya, dan wajahnya manis. Dia sudah menduga bahwa tentu mereka inilah yang oleh anak buahnya disebut pelayan-pelayan dari wanita cantik bertangan buntung itu, maka dia tersenyum manis dan memasang aksi yang ramah.
Kui Hok Boan memang berwajah tampan. Apa lagi pagi hari itu dia sengaja mengenakan pakaian baru yang indah dan bersih. Ketika melihat pemuda itu tersenyum dan sikapnya yang sopan dan lemah lembut, lima orang itu tercengang, kemudian seorang di antara mereka, kebetulan yang muda berbaju hijau itu, berseru,
"Ahh, bukankah Kui-taihiap... dari Padang Bangkai...?"
Seperti diketahui, kadang-kadang, untuk memenuhi keperluan mereka, tentu ada di antara para pelayan dari istana lembah itu yang turun dari lembah dan pergi ke dusun-dusun untuk membeli keperluan mereka. Oleh karena, itu maka mereka mendengar belaka akan semua perubahan yang terjadi di Padang Bangkai.
Mereka sudah melapor kepada majikan mereka, yaitu Liong Si Kwi, bahwa kini Padang Bangkai sudah memiliki majikan atau pemimpin baru, dan betapa Padang Bangkai sudah dibangun dan banyak penghuni dusun yang berdatangan lantas membuka dusun-dusun baru di luar Padang Bangkai.
Akan tetapi Si Kwi tidak mau mencampuri urusan itu. Untuk apa dia mencampuri urusan para perampok di Padang Bangkai itu? Biar berganti pimpinan seribu kali pun tetap saja perampok dan dia tidak sudi berurusan dengan para perampok. Maka dia hanya berpesan kepada para pelayannya supaya mereka jangan berhubungan atau mencampuri urusan orang Padang Bangkai. Dia tidak akan peduli selama orang-orang Padang Bangkai tidak mengganggu Lembah Naga.
Akan tetapi, lima pelayan itu telah mendengar bahwa kepala di Padang Bangkai sekarang adalah seorang pemuda sasterawan yang tampan dan halus, dan yang disebut Kui-taihiap oleh para anak buah Padang Bangkai dan juga oleh semua penduduk dusun di sekitarnya. Dan pada saat seorang dua orang di antara mereka pergi berbelanja, mereka mendengar penuturan para penduduk bahwa majikan Padang Bangkai itu amat ramah dan baik hati, sama sekali bukan bersikap sebagai kepala perampok, dan bahwa tidak pernah ada satu pun anggota Padang Bangkai yang mengganggu dusun-dusun baru itu.
A Ciauw, pelayan berbaju hijau itu, sudah pernah satu kali melihat Kui Hok Boan dari kejauhan, maka kini dia mengenal pemuda itu. Mendengar teguran A Ciauw, empat orang temannya memandang penuh perhatian, tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, biar pun majikan mereka sudah berpesan bahwa tidak ada orang luar, siapa pun juga dia itu, yang boleh masuk ke Lembah Naga.
Hok Boan memperlebar senyumnya sehingga terlihat giginya yang putih, lalu dia memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan di depan dada. "Ahhh, kiranya cu-wi (anda sekalian) sudah mengenal saya? Saya memang Kui Hok Boan, dari Padang Bangkai. Dan karena di antara kita adalah tetangga, maka saya ingin sekali datang mengunjungi Istana Lembah Naga, untuk berkenalan."
Biar pun hanya A Ciauw seorang saja di antara mereka yang pernah melihat majikan Padang Bangkai yang disohorkan orang itu, namun mereka semua telah lama mendengar nama sasterawan muda itu dan kini melihat orangnya dengan sikapnya yang demikian halus dan ramah, lima orang pelayan itu merasa tidak enak kalau harus bersikap kasar. Bahkan untuk mengusirnya sekali pun mereka merasa malu hati. Maka kini mereka hanya saling pandang atau menatap wajah tampan itu dengan bingung.
Akhirnya, A Ciauw yang merasa betapa pandang mata kongcu itu terutama ditujukan kepadanya dengan sangat mesra, dengan kedua pipi berubah merah lalu menjura dengan hormat sambil berkata, "Maafkan kami, Kui-taihiap. Bukan keinginan kami untuk bersikap kurang hormat terhadap taihiap. Akan tetapi kami berlima hanyalah pelayan-pelayan dari nona kami yang mentaati perintah beliau..."
"Ahhh, ternyata cici (kakak) berlima adalah pelayan-pelayan dari Istana Lembah Naga? Sungguh mati, siapa dapat percaya hal ini kalau tidak mendengar sendiri? Meski pun cici berlima berlepotan lumpur karena habis kerja di ladang, namun melihat wajah dan sikap kalian... ahh, sudahlah, betapa pun juga, saya merasa amat gembira dapat bertemu dan berkenalan dengan kalian. Sekarang, cici berlima yang manis, tolonglah antar saya untuk menjumpai dan berkenalan dengan nona majikan kalian."
"Itulah yang kami tidak berani lakukan, taihiap. Bahkan kalau bukan taihiap yang bertemu dengan kami di sini, tentu sejak tadi telah kami minta untuk segera meninggalkan tempat ini. Ketahuilah, Kui-taihiap, bahwa nona majikan kami telah berulang kali memesan bahwa tidak boleh orang luar datang memasuki Lembah Naga, apa lagi hendak bertemu dengan beliau. Oleh karena itu, demi kebaikan kita bersama, taihiap, kami mohon dengan hormat sukalah taihiap kembali saja ke Padang Bangkai dan kami akan menyampaikan kepada nona majikan kami betapa baiknya keadaan dan sikap taihiap terhadap kami."
Kui Hok Boan tersenyum dan memainkan matanya, lantas berkata, "Aih, cici yang manis, mengapa demikian? Sudah setahun saya tinggal di Padang Bangkai dan sudah banyak saya mendengar tentang nona majikanmu yang kabarnya cantik seperti bidadari dan juga manis budi. Kami adalah tetangga, mengapa saya tidak boleh menjumpai dan berkenalan dengan dia? Tidak, sekarang juga saya harus menemuinya, kalau tidak maka saya Kui Hok Boan tentu akan mati penasaran, setidaknya malam ini saya tidak akan dapat tidur."
A Ciauw dan teman-temannya menjadi semakin khawatir. "Jangan, taihiap, harap taihiap jangan memaksa, harap taihiap suka kembali saja..."
"Hemm, kalau saya tidak mau kembali, bagaimana? Saya mendengar bahwa lima orang dayang Istana Lembah Naga memiliki kepandaian tinggi, apakah kalian hendak menghajar saya dan memaksa saya pergi dari sini?"
"Ahhh, mana kami berani? Akan tetapi, kalau kami membiarkan saja taihiap memasuki istana, kami tentu akan mendapat marah besar dari nona majikan kami..."
"Karena itu, kalian jangan membiarkan aku masuk, cobalah kalian menghalangiku. Tentu saja aku juga tidak ingin menyusahkan kalian, para enci yang manis," Hok Boan berkata dengan sikap main-main dan lebih akrab.
A Ciauw dan teman-temannya saling pandang, kemudian A ciauw menarik napas panjang dan berkata, "Apa boleh buat, Kui-taihiap. Kami hanyalah pelayan yang harus mentaati perintah nona majikan kami, bila kami ingin selamat. Maafkan kami, terpaksa kami akan menghalangi taihiap. Harap saja taihiap menaruh kasihan kepada kami." A Ciauw sudah memasang kuda-kuda diikuti oleh empat orang temannya.
"Mana mungkin aku sampai hati untuk menyusahkan kalian?" jawab Hok Boan dan dia pun lalu menerjang ke depan.
Lima orang wanita itu menubruknya dan membuat gerakan menyerang untuk menangkap atau merobohkan tamu yang nekat ini, akan tetapi tentu saja mereka semua sama sekali bukan tandingan Kui Hok Boan. Dengan gerakan yang cepat bukan main, Hok Boan lalu membagi-bagi totokan, maka robohlah lima orang itu dalam keadaan lemas dan lumpuh tertotok!
Hok Boan tersenyum, lalu menghampiri A Ciauw, berlutut di dekatnya dan berkata, "Aku menyesal sekali, harap kalian memaafkan aku. Akan tetapi hal ini perlu agar kalian tidak sampai mendapat marah. Kau manis sekali!" berkata demikian, Hok Boan mendekatkan mukanya dan mencium mulut wanita baju hijau itu, tangannya mengusap dan membelai.
A Ciauw tak mampu bergerak dan hanya mengeluarkan suara di tenggorokannya seperti orang merintih atau mengeluh, matanya dipejamkan dan setelah pria itu pergi cukup lama, A Ciauw masih rebah terlentang dengan mata terpejam dan pikiran melayang jauh entah ke mana!
Sementara itu, dengan ilmu berlari cepat, Hok Boan telah pergi meninggalkan lima orang wanita yang dirobohkannya dengan totokan yang untuk beberapa lamanya akan membuat mereka lumpuh tak berdaya, akan tetapi juga tidak membahayakan keselamatan nyawa mereka itu. Dia menuju ke istana, akan tetapi ketika mendengar suara anak kecil tertawa dan suara seorang wanita, dia tertarik dan mengalihkan langkahnya ke jalan kecil yang menuju ke dinding gunung penuh goa dari mana suara itu tadi datang.
Tak lama kemudian dia melihat seorang anak laki-laki kecil, usianya tentu antara dua dan tiga tahun, tubuhnya sehat dan kuat, sedang bermain-main di depan goa. Tidak jauh dari situ nampak seorang wanita, dan Kui Hok Boan pun tercengang dan terpesona!
Dia bukan seorang laki-laki yang hijau, sama sekali bukan. Dia adalah seorang petualang asmara, seorang kongcu hidung belang dan mata keranjang yang sudah sangat terbiasa mempermainkan wanita dan mengobral cintanya di antara banyak sekali wanita. Dia telah banyak bertemu, bahkan bercinta dengan wanita-wanita cantik. Akan tetapi melihat wanita yang duduk di atas batu itu, jantungnya berdebar keras dan dia tertarik sekali.
Usia wanita itu belum ada tiga puluh tahun, wajahnya manis sekali dan pada wajah itu terbayang watak seorang wanita yang memiliki harga diri tinggi, yang memandang dunia dengan pandang mata seorang ratu, agung dan angkuh akan tetapi justru sikap semacam itulah yang bagi pandang mata Hok Boan kelihatan begitu menarik dan mempesona.
Dia sudah terlalu biasa bertemu dengan wanita yang ‘murahan’ seperti sikap lima orang pelayan tadi, atau wanita yang ‘jual mahal’ agar dapat dinilai lebih tinggi. Namun wanita yang duduk di atas batu depan goa besar itu lain sama sekali, sikapnya wajar dan begitu agung, tangan kirinya yang buntung sebatas pergelangan itu tidak membuat dia menjadi buruk, bahkan menimbulkan rasa iba di hati Hok Boan.
Wajah wanita itu manis sekali, berbentuk bulat dengan dagu meruncing dan mulut kecil. Sepasang matanya tajam dan dingin, akan tetapi mengandung kesuraman dan kesayuan. Rambutnya digelung sederhana dengan hiasan tusuk konde dari perak terukir dan diikat dengan pita rambut yang berwarna kuning.
Pakaiannya juga sederhana bentuknya, tapi terbuat dari sutera halus dengan baju warna merah darah. Kombinasi warna pakaian yang menyolok sekali, dan anehnya, kebetulan sekali warna merah memang paling disuka oleh Hok Boan untuk dipakai oleh wanita! Dia sendiri merasa heran bukan kepalang mengapa hatinya begitu tergetar dan tertarik sekali melihat wanita yang mempunyai bentuk tubuh yang sudah matang itu, padat dan dengan lekuk lengkung yang sempurna!
Wanita itu bukan lain adalah Liong Si Kwi. Seperti sudah diceritakan pada bagian depan, sejak wanita ini menemukan Sin Liong yang dia yakin adalah anak kandungnya sendiri, terjadi perubahan besar dalam kehidupannya. Dia tidak lagi melamun dan terpendam ke dalam kedukaan. Timbul kembali gairah hidupnya, timbul pula kegembiraannya, bahkan dia mendatangkan lima orang wanita sebagai pelayannya untuk mengurus istana yang besar itu, melayaninya dan menjadi temannya tinggal di tempat yang sunyi itu.
Meski pun Sin Liong masih suka bermain-main dengan monyet-monyet besar, akan tetapi karena tahu bahwa monyet-monyet itu adalah kawan-kawan pertama Sin Liong semenjak lahir dan setelah dia yakin bahwa binatang-binatang itu tak pernah mengganggu anaknya sama sekali, maka dia pun tidak pernah melarang lagi. Kadang-kadang dia sendiri yang menemani Sin Liong bermain-main dan pagi hari itu pun dia sedang menemani anak itu bermain-main, suatu kesibukan yang mendatangkan kegembiraan besar di hati wanita itu.
Biar pun Sin Liong belum pernah menerima gemblengan ilmu silat, namun nalurinya lebih tajam dari pada manusia biasa. Hal ini agaknya dia dapatkan dari air susu monyet yang menghidupinya sejak dia masih kecil, maka kedatangan Hok Boan lebih dulu dia ketahui sebelum ibunya, wanita yang telah digembleng ilmu silat tinggi itu mengetahui.
"Eeehhh...?" Sin Liong mengeluarkan teriakan dan menudingkan telunjuknya ke arah pria yang melangkah datang hati-hati itu.
Si Kwi cepat meloncat turun dari atas batu lantas membalikkan tubuh. Matanya berkilat bercahaya pada waktu dia melihat datangnya seorang laki-laki muda tampan berpakaian sasterawan dan diam-diam dia memperhatikan kanan dan kiri karena dia merasa heran mengapa lima orang pelayannya membiarkan orang asing ini memasuki Lembah Naga!
Kui Hok Boan sudah lebih dahulu menggunakan senjatanya yang biasanya amat ampuh dalam menghadapi wanita. Dia memainkan matanya, menggerakkan alisnya yang tebal sambil tersenyum manis, lalu menjura dan merangkapkan kedua tangan di depan dada, memberi hormat dengan sikap sopan sekali.
"Harap nona sudi memaafkan kelancanganku kalau aku mengganggu."
Si Kwi mengerutkan alisnya, tidak menjawab, malah dia menoleh ke kanan kiri, merasa semakin heran dan penasaran, bagaimana kelima orang pelayannya yang setia itu sama sekali tidak mengetahui akan kedatangan orang ini.
Jantung Hok Boan berdebar melihat wanita yang mempesona itu mengerutkan ails dan dengan sikap angkuh tidak menjawab kata-katanya melainkan memandang ke kanan kiri. Bukan main cantik dan manisnya wanita ini, pikirnya heran. Sudah banyak dia melihat wanita cantik, akan tetapi belum pernah ada yang menggerakkan hatinya seperti wanita bertangan kiri buntung ini! Dia maklum atau dapat menduga apa yang dicari oleh wanita itu, maka dia kembali menjura dan berkata halus,
"Kalau nona sedang mencari lima orang pembantumu itu, ketahuilah bahwa mereka tadi sudah menghadang dan ingin menghalangiku untuk datang berkunjung ke Istana Lembah Naga ini, oleh karena itu secara terpaksa sekali aku menidurkan mereka secara lembut dengan totokan. Akan tetapi totokan itu sama sekali tidak berbahaya, nona, sama sekali tidak berbahaya..."
Sinar mata itu berkilat menatap wajah Hok Boan, sinar mata itu merayap dari atas ke bawah, dalam sekejap saja sudah meneliti keadaan jasmani pemuda itu, lalu sinar mata yang sangat tajam itu kembali menentang wajah Hok Boan. Bibir yang merah tipis dan manis itu terbuka, bergerak dan terdengar bentakan halus,
"Siapa engkau? Apa kehendakmu datang ke tempat ini secara memaksa?" Pertanyaan yang mendesak dan mengandung teguran biar pun hati Si Kwi sama sekali tidak merasa heran kalau pemuda ini dapat menotok roboh lima orang pelayannya karena mereka itu baru dua tahun dilatih silat.
Melihat keadaan pemuda yang lemah lembut ini, dia menduga bahwa tentu pemuda ini mempunyai kepandaian tinggi. Dia sudah terbiasa akan hal ini. Sebagai orang muda yang berdarah panas, maka setiap pemuda yang memiliki kepandaian sedikit saja tentu akan bersikap sombong dan suka berkelahi. Akan tetapi, seorang pemuda yang bisa membawa diri, bersikap tenang dan halus, tak mau menonjolkan kepandaian, pemuda seperti itulah yang berbahaya, dan biasanya menyembunyikan kepandaian yang sangat hebat.
Seperti Cia Bun Houw misalnya! Teringat ini, kedua pipi Si Kwi menjadi merah dan cepat diusirnya bayangan pemuda itu dan nama pemuda itu.
Mendengar pertanyaan yang singkat dan penuh teguran itu, kembali Hok Boan menjura dan menjawab halus, "Sekali lagi harap nona sudi memaafkan aku. Sebenarnya, aku Kui Hok Boan sama sekali tidak mempunyai niat buruk terhadap nona atau semua penghuni Istana Lembah Naga. Seperti mungkin nona telah mengenal namaku..."
"Aku tidak mengenal namamu!" Si Kwi memotong cepat dan ketus.
Hok Boan tidak merasa menyesal apa lagi menjadi marah ketika mendengar pemotongan kata-katanya yang ketus itu. Dia tetap memandang dengan wajah berseri, lalu tersenyum dan berkata lagi, "Maaf, agaknya aku lupa bahwa penghuni Istana Lembah Naga tentu saja tidak mengenal nama seorang yang tidak berharga seperti aku ini. Karena itu, baiklah dalam kesempatan ini aku memperkenalkan namaku. Aku she Kui bernama Hok Boan dan aku memimpin teman-teman di Padang Bangkai."
"Hemm, kiranya kepala perampok yang baru?"
Hok Boan mengerutkan alisnya. "Nona boleh memandang rendah kepadaku, akan tetapi harap suka melihat dengan jelas dan dapat membedakan orang. Aku datang ke Padang Bangkai kurang lebih setahun yang lalu, dalam pertempuran membunuh kepala perampok Sin-jio Coa Lok dan karena kasihan kepada tiga puluh orang anak buahnya yang sudah menyerah maka aku memimpin mereka menuju ke jalan benar. Dan sekarang mereka itu bukanlah perampok lagi, nona. Padang Bangkai sudah mengalami perubahan besar dan bukan merupakan tempat angker dan menyeramkan lagi bagi manusia. Dusun-dusun baru telah mulai dibangun oleh mereka yang berdatangan."
Si Kwi merasa tersindir. Memang dia sudah mendengar dari pelayan-pelayannya akan kemajuan Padang Bangkai dan betapa tempat itu kini mulai ramai dengan para penduduk baru yang membangun dusun-dusun, sementara itu Lembah Naga masih saja merupakan tempat angker yang tidak boleh didatangi orang luar.
"Cukup, tak perlu kau memamerkan dan mempropagandakan Padang Bangkai kepadaku. Sekarang katakan apa keperluannya datang ke sini!"
Kembali Hok Boan menjura dengan hormat. "Tidak ada keperluan lainnya kecuali datang berkunjung sebagai tetangga, sebagai sahabat..."
"Seorang sahabat macam apa engkau ini! Begitu datang telah menotok roboh lima orang pelayanku."
"Akan tetapi mereka yang memaksaku, nona..."
"Hemmm, agaknya sesudah engkau berhasil merampas Padang Bangkai, engkau hendak main gila di sini mengandalkan kepandaianmu, ya? Kau kira aku takut menghadapimu? Kau kira akan mudah saja merampas Istana Lembah Naga seperti yang telah kau lakukan dengan Padang Bangkai?"
"Ehh... ahhh... bukan begitu, nona..."
"Cerewet! Perlihatkan kepandaianmu!" Si Kwi sudah menghardiknya dan seketika itu pula dia menerjang dengan tamparan tangan kanannya ke arah pipi Hok Boan.
Pemuda sasterawan ini terkejut bukan main. Dia hanya melihat wanita itu menggerakkan tangan dan tahu-tahu ada angin menyambar dahsyat dan tangan itu sudah menyambar dekat sekali dengan pipinya! Hanya dengan jalan melempar tubuh atas ke belakang saja dia berhasil menghindarkan diri dari tamparan itu. Angin tamparan itu masih menyambar pipinya, dingin dan kuat sekali. Bukan main, pikirnya. Pantas saja wanita ini ditakuti orang, kiranya memiliki gerakan yang sedemikian cepatnya.
Sementara itu, Si Kwi menjadi penasaran juga ketika tamparannya yang dilakukan cepat tadi dapat dielakkan lawan. Dia merasa gemas dan sambil mengeluarkan lengking nyaring dia menyerang secara hebat dan bertubi-tubi. Tubuhnya berkelebatan dan kadang-kadang meloncat tinggi sambil menerkam dan menyerang, kecepatannya seperti seekor burung walet terbang!
"Eh... ohh... nanti dulu, nona...!" Hok Boan berseru kaget dan mengelak atau menangkis kalang kabut.
Nona itu hanya mempunyai satu tangan kanan saja, akan tetapi tangan kiri yang buntung itu ternyata dipergunakan pula untuk menyerang, dengan jalan menotok jalan darah! Yang sangat mengagumkan hati Hok Boan adalah kecepatan wanita itu, kecepatan yang luar biasa dan dia harus mengakui bahwa dalam hal limu ginkang, agaknya dia sendiri tidak akan mampu menandingi nona ini.
Karena dia berseru dan berkali-kali menahan, hampir saja sebuah tendangan mengenai dagunya, sebuah tendangan kilat yang dilakukan selagi tubuh wanita itu berada di atas. Dia terkejut dan mengeluarkan keringat dingin ketika tubuhnya dia lempar ke belakang sambil berjungkir balik, membuat salto.
"Tahan, nona. Aku bukan musuh..."
"Tidak peduli. Engkau sudah merobohkan lima orang pelayanku, berarti engkau adalah musuhku!" Si Kwi membentak dan kembali menyerang karena hatinya makin penasaran melihat betapa serangan-serangannya yang sudah dilakukan sebanyak belasan jurus itu tidak pernah mengenai sasarannya.
"Baiklah, agaknya engkau berpegang kepada kebiasaan dunia kang-ouw bahwa sebelum bertanding tidak kenal!" Hok Boan berkata dan mulailah dia membalas serangan Si Kwi. Pemuda sasterawan ini amat tertarik kepada Si Kwi dan kini dia ingin mengukur sampai di mana tingkat kepandaian wanita yang amat menyentuh perasaan hatinya ini.
Perkelahian hebat terjadi di depan goa. Melihat ini, Sin Liong mengeluarkan suara marah dan dia sudah melangkah maju perlahan-lahan, matanya mengeluarkan sinar berapi dan dia menyeringai, memperlihatkan giginya yang kecil-kecil seperti laku seekor monyet bila sedang marah!
Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan monyet besar dan biang monyet yang selama ini selalu membayangi dan menjaga Sin Liong, cepat meloncat ke bawah dan menyambar tubuh Sin Long, segera dipondongnya dan dibawanya berloncatan naik melalui batu-batu di samping goa, terus dibawanya naik ke atas pohon di mana dia duduk nongkrong sambil memondong Sin Liong dan diajaknya anak itu menjadi penonton dari tempat yang aman itu.
Legalah hati Si Kwi melihat ini. Dia tadi sudah khawatir kalau-kalau Sin Liong yang masih mempunyai watak liar dan kadang-kadang seperti seekor monyet yang susah dijinakkan itu akan menjadi marah dan maju membantunya. Kalau hal itu sampai terjadi, tentu saja akan membahayakan keselamatan anak itu sendiri. Lawannya ini seorang yang pandai, dan siapa tahu apa yang akan dilakukan oleh ketua Padang Bangkai ini terhadap anak itu kalau Sin Liong berani maju membantunya.
Melihat Sin Liong dalam keadaan aman di pohon tinggi, dijaga oleh monyet betina besar itu, kini Si Kwi dapat mencurahkan seluruh perhatiannya kepada gerakan kaki tangannya dan mulailah dia menyerang dengan hebat. Dia tidak membawa pedang atau pun senjata rahasianya yang amat lihai, yaitu paku Hek-tok-ting, akan tetapi karena dia melihat bahwa pemuda sasterawan itu pun tidak membawa senjata apa pun, maka dia tidak merasa khawatir.
Liong Si Kwi adalah murid seorang tokoh besar dunia kang-ouw, yaitu mendiang Hek I Siankouw, bahkan dia menerima banyak gemblengan ilmu silat tinggi pula dari kekasih gurunya itu, yaitu Hwa Hwa Cinjin. Dari dua orang kakek dan nenek ini dia menerima ilmu silat gabungan yang diberi nama Im-yang Lian-hoan-kun, yaitu ilmu yang dapat dimainkan dengan tangan kosong mau pun dengan senjata.
Selain itu Si Kwi pun pandai sekali main silat dengan siang-kiam, yaitu sepasang pedang namun kini setelah tangan kirinya buntung, tentu saja dia tidak lagi dapat memainkan dua pedang, melainkan tinggal sebuah saja yang biasa dimainkan dengan tangan kanannya. Dan di samping ilmu senjata rahasia Hek-tok-ting, paku beracun hitam yang berbahaya sekali, juga dia adalah seorang ahli ilmu ginkang. Karena kecepatan gerakannya inilah maka pada waktu dia belum bersembunyi di Istana Lembah Naga, di dunia kang-ouw dia dijuluki orang Ang-yang-cu (Burung Walet Merah) karena gerakannya seperti terbang dan pakaiannya selalu berwarna merah.
Kini, dalam keadaan marah serta penasaran, Liong Si Kwi menghadapi Hok Boan dan memainkan Ilmu Silat Im-yang Lian-hoan-kun yang hebat. Tubuhnya seperti beterbangan menyambar-nyambar dan dalam serangkaian serangan selama tiga puluh jurus pertama, Hok Boan yang terkejut dan kagum itu terdesak hebat!
Namun, pemuda sasterawan ini adalah bekas murid Go-bi-pai yang pandai, ditambah lagi dengan pengalamannya yang sangat banyak di dunia kang-ouw, maka dia masih berhasil mempertahankan diri dengan baik. Tentu saja dia tak dapat mengandalkan kegesitannya untuk bergerak.
Ketika dia menghadapi mendiang Sin-jio Coa Lok, dia kelihatan sangat lincah dan gesit karena dia memang menang gesit dibandingkan dengan Coa Lok. Akan tetapi sekarang, bertemu dengan Si Kwi, dia kelihatan lamban! Dia kalah gesit, kalah cepat sehingga tidak mungkin dia sanggup mengimbangi dan menandingi lawan ini apa bila dia mengandalkan kecepatan.
Maka dia tidak mau banyak mengelak, khawatir kalau didahului lawan yang lebih cepat. Dia lebih bersikap tenang sambil mengandalkan pertahanannya yang kokoh kuat dengan jalan menangkis dan hanya kadang kala saja dia mengelak. Tiap tangkisannya dilakukan dengan pengerahan tenaga karena pemuda yang cerdik ini segera mengerti bahwa biar pun dalam hal ginkang dia kalah cepat, namun dalam hal sinkang dia menang kuat.
Setelah tiga puluh jurus lewat dan selama itu Hok Boan hanya dapat mempertahankan diri selalu, kini mulailah dia balas menyerang! Serangan-serangan Hok Boan sangat kuatnya, mendatangkan angin bersiutan sehingga Si Kwi harus berhati-hati. Sebaliknya dari lawan, dia mengandalkan kecepatan gerakan ketika menghadapi serangan pemuda itu.
Diam-diam Si Kwi terkejut dan juga kagum. Sasterawan muda yang bersikap sopan dan halus ini ternyata benar-benar sangat hebat! Dia teringat akan Cia Bun Houw, pendekar sakti pujaan hatinya yang juga kelihatan seperti seorang pemuda sasterawan lemah tapi sesungguhnya memiliki kesaktian yang amat luar biasa. Meski pun pemuda ini tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan pendekar muda yang sakti itu, namun keadaan pemuda yang menjadi ketua Padang Bangkai ini cukup menimbulkan rasa kagum di dalam hati Si Kwi.
Seratus jurus lewat dan pertandingan itu bertambah seru. Kalau diam-diam Si Kwi kagum bukan main dan rasa penasaran di hatinya mulai lenyap karena memang harus diakuinya bahwa lawan ini berbeda dengan Coa Lok dan memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, sebaliknya Hok Boan juga kagum bukan main dan kekagumannya diucapkan berkali-kali oleh mulutnya.
"Hebat sekali!"
"Ahh, engkau amat cepat, nona!"
Si Kwi tidak mempedulikan pujian-pujian ini, akan tetapi sebenarnya di dalam hati wanita ini telah timbul semacam perasaan yang aneh. Tadi dia merasa penasaran dan membenci pemuda ini yang dianggap menghinanya. Akan tetapi sekarang lenyap rasa penasaran di hatinya kerena dia mengakui kehebatan pemuda ini, dan perlahan-lahan rasa bencinya juga menipis mendengar betapa pemuda itu memuji-mujinya dengan suara bersungguh-sungguh, bukan pujian yang bersifat mengejek. Apa lagi ketika dia melihat munculnya lima orang pelayannya dalam keadaan sehat dan tidak mengalami cedera.
"Nona, cukuplah. Harap nona suka memaafkan aku, sungguh aku tidak bermaksud untuk memusuhi nona. Cukuplah, biar aku mengaku kalah!" berkali-kali Hok Boan berkata.
Akan tetapi Si Kwi masih terus mendesaknya. Wanita ini merasa malu ketika lima orang pelayannya muncul dan melihat pertempuran itu, malu bahwa dia masih juga belum dapat merobohkan laki-laki ini. Kalau tidak ada lima orang pelayan itu, agaknya dia masih akan mempertimbangkan permintaan Kui Hok Boan ini, akan tetapi di depan para pelayannya, dia tak ingin dilihat bahwa dia memperoleh kemenangan karena lawannya telah mengalah dan mengaku kalah padahal sebenarnya tidak demikian!
"A Ciauw, kau cepat ambilkan pedangku!" teriaknya sambil terus menerjang.
Melihat A Ciauw mentaati perintah nona majikannya itu dan berlari-lari menuju ke istana, hati Hok Boan merasa tidak enak. Dia tidak takut biar pun nona ini menggunakan pedang, akan tetap hal itu hanya akan membuat permusuhan makin menjadi-jadi, dan dia sama sekali tidak menghendaki ini. Tidak, dia tidak bisa bermusuhan dengan nona yang telah mencuri hatinya ini!
Diam-diam dia telah jatuh hati, jatuh cinta kepada Si Kwi dan dia sendiri merasa heran mengapa dia begini tertarik kepada Si Kwi yang tangan kirinya buntung, dan yang meski pun cantik manis, akan tetapi tidak lebih cantik dari pada kebanyakan wanita yang pernah dijumpai dan diperolehnya.
Dia tidak tahu mengapa dia begitu tertarik dan suka kepada nona majikan istana lembah itu! Segala sesuatunya pada diri wanita itu menarik hatinya, bahkan buntungnya tangan kiri itu tidak menimbulkan rasa jijik dan buruk, sebaliknya bahkan menimbulkan rasa iba dan juga kagum betapa dengan tangan kiri buntung nona itu masih demikian hebat!
Kalau sampai nona itu menggunakan pedang, maka tak mungkin dia membiarkan dirinya terancam bahaya begitu saja, dan melawan orang yang bersenjata, apa lagi kalau lawan itu selihai nona ini, akan memaksa dia menggunakan tangan besi pula dan sama sekali dia tidak menghendaki hal ini.
"Nona, kenapa engkau mendesak aku? Aku datang dengan niat baik, biarlah aku mohon maaf dan mohon diri, lain hari bila mana hatimu sudah dingin kembali, aku akan datang berkunjung lagi. Selamat tinggal, nona." Hok Boan lalu meloncat ke belakang, jauh sekali lalu melarikan diri dari tempat itu setelah melambaikan tangannya kepada Si Kwi sambil meninggalkan senyum dan lirikan matanya yang amat mesra dan memikat.
Si Kwi tidak mengejar dan sampai beberapa lamanya dia berdiri bengong memandang ke arah lenyapnya bayangan sasterawan muda itu. A Ciauw datang membawa pedang, akan tetapi melihat lawan nonanya sudah pergi, dia lalu berkata,
"Memang sebaiknya kalau dia pergi. Kui-taihiap itu tidak berniat buruk maka sangat tidak baik kalau sampai dia tewas di sini." Ucapan itu ditujukan kepada teman-temannya atau kepada diri sendiri.
Si Kwi menoleh lantas memandang kepada pelayan manis berbaju hijau itu. Dia sudah menggerakkan bibirnya akan tetapi tidak mengeluarkan kata-kata, melainkan mengambil pedangnya dari tangan A Ciauw dan mencari-cari Sin Liong dengan matanya. Akan tetapi di atas pohon itu sudah tidak nampak Sin Liong yang tadi dipondong monyet besar, maka dia lalu kembali ke istana.
Di dalam hatinya ada rasa malu untuk bicara tentang pria itu dengan para pelayannya. Ada pun tentang Sin Liong dia tidak merasa khawatir karena kini dia maklum bahwa anak itu mempunyai dua dunia, yaitu dunia bersama monyet-monyet di atas pohon dan dunia bersama dia di dalam istana.
Dia tidak mengganggu lagi karena yakin bahwa nanti sebelum malam tiba, Sin Liong tentu akan pulang atau diantar pulang oleh monyet-monyet itu. Dugaannya benar karena sore hari itu, selagi duduk termenung di dalam kamarnya, Sin Liong meloncat masuk melalui jendela!
Semenjak peristiwa pertempurannya dengan Hok Boan itu, sering kali Si Kwi nampak duduk termenung di dalam kamarnya atau kadang-kadang di taman bunga di belakang istana. Apa lagi semenjak hari itu, sering kali ada kiriman dari Padang Bangkai! Kadang-kadang ada kiriman emas dan permata berbentuk hiasan rambut, sutera halus, sepatu baru model terakhir, bahkan kadang-kadang ada kiriman masakan yang masih panas!
Mula-mula ditolaknya kiriman-kiriman yang datang dari Kui Hok Boan dan sengaja dikirim kepadanya itu, akan tetapi dibacanya surat terlampir yang berisi sajak-sajak indah yang memuji-muji kecantikannya, menghibur kesunyiannya. Huruf-huruf indah itu mengandung rasa cinta dan iba yang amat mengharukan hatinya. Akhirnya, diterimanya juga kiriman-kiriman itu, bahkan beberapa bulan kemudian, Kui Hok Boan yang datang berkunjung secara resmi itu, diterimanya sebagai seorang tamu terhormat!
Memang tidak terlalu mengherankan jika melihat kekerasan hati Liong Si Kwi mencair. Dia adalah seorang wanita yang masih muda, belum tiga puluh tahun usianya. Dia pernah jatuh cinta, pernah merasakan belaian cinta kasih seorang pria sungguh pun hal itu terjadi di luar kesadaran pria itu.
Dia mencinta Cia Bun Houw dan di dalam batinnya dia sudah menyerahkan seluruh jiwa raganya kepada pemuda itu. Akan tetapi, setelah Cia Bun Houw pergi meninggalkannya, dia melihat kenyataan yang mengerikan dan amat pahit. Cintanya ditolak. Hatinya hancur luluh.
Kemudian, hati itu menjadi dingin membeku. Betapa pun juga, dia adalah seorang wanita normal yang masih muda, yang di balik kebekuannya itu sebenarnya bernyala api gairah yang besar, bersembunyi kehausan akan belaian kasih sayang seorang pria. Keadaan di Istana Lembah Naga yang sunyi, jauh dari dunia ramai, jauh dari kaum laki-laki, sedikit banyak telah menolong dan menghiburnya, mempertebal kebekuan hatinya terhadap pria.
Namun, kini muncul Kui Hok Boan, seorang pria yang masih muda, tampang halus dan juga lihai. Walau pun tidak sesakti Cia Bun Houw, setidaknya merupakah pemuda yang keadaannya seperti Bun Houw. Apa lagi Hok Boan pandai merayu, pandai memuji-muji, dan dari sinar mata pemuda itu memancar kasih sayang yang besar dan mesra. Maka, herankah bila hati wanita itu menjadi terbakar, bila kebekuan itu mencair dan jantungnya berdebar penuh gairah?
Anehkah itu kalau sebulan kemudian semenjak kunjungan resmi dari Hok Boan, dia mau pula membalas kunjungan pemuda itu, pergi ke Padang Bangkai dan mengagumi segala kemajuan yang dicapai oleh daerah itu di bawah pimpinan Kui Hok Boan? Dan anehkah jika dia tidak marah, melainkan tunduk dengan muka merah dan jantung berdebar ketika pada suatu hari Kui Hok Boan menyatakan cintanya dan mengajukan pinangan padanya?
Dia tidak mampu menjawab dan hanya menunduk. Kedua pipinya merah sekali, bibirnya tersenyum malu-malu dan jari tangan kanannya memilin-milin rambutnya yang terlepas dari sanggul dan berjuntai ke depan dadanya.
"Liong-moi, engkau tahu bahwa lamaranku ini keluar dari hati yang tulus dan mencintamu, maka harap engkau bersikap jujur untuk menjawabku supaya aku tidak tersiksa di dalam kebimbangan." Kui Hok Boan mengulang dan mendesak. Setelah berkenalan kurang lebih dua bulan saja, dia sudah menyebut moi-moi (adik) kepada Si Kwi dan wanita itu pun menyebutnya ko-ko (kakak)!
Jantung di dalam dada Si Kwi berdebar. Sungguh dia sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa akan ada seorang laki-laki yang dapat jatuh cinta kepadanya, bahkan yang akan meminangnya sebagai isteri! Apa lagi seorang pria setampan dan selihai Kui Hok Boan!
Tentu saja hatinya menerima pinangan ini dengan rasa gembira dan terharu, akan tetapi dia bukanlah seorang wanita muda yang sembrono. Dia maklum bahwa ikatan pernikahan adalah hal yang tidak boleh dipandang ringan, dan merupakan suatu ikatan selama hidup.
Karena itu, sebelum diambil keputusan untuk mengikatkan diri di dalam suatu pernikahan, dia harus bersikap terus terang. Antara kedua fihak harus membuka diri, sehingga tidak terdapat rahasia lagi di antara mereka yang kelak hanya akan menggagalkan ikatan itu. Biar pun hal yang dikeluarkan itu amat sukar dan membuatnya merasa malu sehingga dia bicara sambil menundukkan terus mukanya, namun akhirnya dapat juga dia bicara.
"Kui-koko, sebelum aku menjawab, sebaiknya engkaulah yang harus mempertimbangkan terlebih dahulu pinanganmu itu dengan baik dan tidak tergesa-gesa karena engkau belum mengenal betul siapa adanya diriku."
"Liong-moi, apa lagi yang harus kupertimbangkan? Meski pun baru selama dua bulan kita berkenalan, akan tetapi rasanya aku sudah mengenalmu bertahun-tahun lamanya. Aku tahu bahwa engkau adalah Liong Si Kwi, akan tetapi aku lebih tahu lagi bahwa engkau adalah seorang wanita yang hidup sebatang kara di tempat sunyi ini, hidup ditemani lima orang pelayan serta seorang anak angkat yang diasuh oleh monyet-monyet itu. Engkau belum mau menceritakan kepadaku mengapa engkau sampai kehilangan tangan kirimu, akan tetapi agaknya hal itu yang membuat engkau merasa malu dan menyembunyikan diri di sini. Bagiku, engkau adalah seorang wanita yang pandai dan yang menimbulkan rasa iba dalam hatiku, yang membuat aku ingin menghibur hatimu yang seperti tertekan, selalu melindungi dirimu yang seperti orang putus asa itu. Dan lebih dari semua itu, aku meminangmu karena aku cinta padamu, moi-moi."
Si Kwi memejamkan matanya. Hatinya terharu sekali. Pernyataan itu dahulu dia rindukan dari mulut Bun Houw, akan tetapi pernyataan itu tidak kunjung muncul, dan kini keluar dari mulut Hok Boan! Selama hidupnya, baru kali ini ada seorang pria mengaku cinta padanya, pengakuan yang dia tahu amat jujur dan setulus hati. Hampir dia menangis.
"Kui-koko...," katanya dengan suara gemetar. "Engkau belum tahu akan riwayatku, akan latar belakang hidupku..."
"Aku tak peduli, moi-moi. Tak peduli apa pun latar belakang hidupmu, apa pun riwayatmu yang telah lalu, yang kucinta bukanlah Liong Si Kwi yang dahulu, melainkan Liong Si Kwi sekarang ini, yang duduk di depanku ini!"
"Tetapi, koko... aku... aku bukanlah seorang perawan seperti yang mungkin kau duga..." Muka wanita itu menjadi pucat dan dia tidak berani mengangkat muka.
"Hemm, perawan atau bukan bagiku tidak ada bedanya, moi-moi. Akan tetapi... apakah engkau sudah menikah? Ataukah seorang janda?"
Liong Si Kwi menggelengkan kepalanya, lalu mengangkat muka menatap wajah pria itu penuh selidik dan hatinya girang melihat bahwa pernyataan bahwa dia bukan perawan itu, agaknya tidak merobah sikap pria itu terhadap dirinya.
"Aku tidak pernah menikah, karena itu tentu saja bukan janda. Akan tetapi..." kembali dia menunduk, "Aku bukan perawan, bahkan aku... aku pernah melahirkan anak..."
Hening sejenak setelah kata-kata ini. Akan tetapi Hok Boan tidak terkejut. Bagi seorang petualang asmara seperti dia, soal perawan atau bukan tidaklah penting, apa lagi kini dia benar-benar jatuh cinta kepada wanita ini. Dan dia pun bukan seorang bodoh. Dia sudah banyak pengalaman sehingga ketika pertama jumpa saja dia pun sudah tahu bahwa Si Kwi bukanlah seorang perawan. Dan dia tidak peduli.
Akan tetapi, ketika mendengar bahwa Si Kwi pernah melahirkan, membuat dia terkejut juga. Bukan main-main kalau begitu hubungan antara Si Kwi dengan ayah dari anak yang dilahirkannya itu.
"Dan di mana sekarang dia? Ayah dari anak itu? Apakah masih ada ikatan antara engkau dan dia?" tanyanya meragu.
Si Kwi kembali mengangkat mukanya. Terheran dia, juga girang karena kembali tidak ada perubahan sikap Hok Boan sesudah mendengar bahwa dia pernah melahirkan! Ahh, dia tidak boleh bertindak terlalu jauh.
Pria ini hebat, penuh pengertian dan penyabar! Akan tetapi tentu ada batasnya, karena itu sekali-kali dia tidak boleh mengemukakan dugaannya Sin Liong adalah anak kandungnya yang dibesarkan oleh monyet. Hal itu tentu kelak akan mendatangkan hal-hal yang tidak enak! Pria ini baik sekali, akan tetapi dia tidak boleh terlalu mendesaknya, tidak boleh mengujinya terlalu berat.
"Dia? Dia masih hidup, entah di mana, akan tetapi, Kui-koko, bagiku dia telah mati."
"Apakah dia mencintamu?"
Si Kwi menggeleng kepala keras-keras. "Sama sekali tidak! Seujung rambut pun tidak!"
"Hemmm... dan kau? Cintakah kau kepadanya, moi-moi?"
Kembali Si Kwi menggeleng kepala, akan tetapi tidaklah begitu keras. "Tidak, kukira tidak, aku menganggapnya telah mati."
"Baik sekali, kalau begitu berarti engkau bebas, moi-moi! Dan anak itu?"
"Dia... dia mati ketika terlahir."
"Ahhh, kalau begitu, sama sekali tidak ada hal yang memberatkanmu untuk menerima pinanganku, Liong-moi!"
Si Kwi mengangkat mukanya, menatap wajah pemuda itu penuh selidik bercampur rasa keheranan. "Koko! Engkau sudah mendengar semua itu dan engkau masih melanjutkan pinanganmu kepadaku? Engkau seorang pemuda sasterawan yang pandai dalam hal bun dan bu, bahkan engkau telah menjadi majikan Padang Bangkai yang terhormat, seorang pemuda pilihan dan yang akan mudah saja mencari isteri seorang dara cantik yang jauh lebih baik dari pada aku! Koko, berpikirlah dulu sebelum kelak engkau menyesal!"
"Ha-ha-ha, engkau terlalu merendahkan diri, sayang. Aku sendiri, biar pun belum menikah dalam usia tiga puluh tahun lebih ini, mana berani mengaku perjaka? Ha-ha-ha, apa sih artinya perjaka atau... atau bukan? Yang terpenting adalah kita saling mencinta. Dan aku cinta kepadamu, moi-moi, Dengan cintaku ini, aku menerimamu seperti apa adanya, aku menerima engkau baik dengan keperawananmu mau pun dengan kejandaanmu, dengan segala kebaikan berikut semua cacad-cacadmu. Nah, engkau sudah mendengar semua, Liong-moi, sekarang jawablah, maukah engkau menerima pinanganku? Apakah engkau bersedia menjadi isteriku?"
Sepasang mata itu tak dapat menahan lagi air mata yang bercucuran keluar membasahi kedua pipinya. "Koko... engkau... engkau baik sekali... baik sekali..."
Hok Boan bangkit berdiri dan menghampiri wanita itu yang duduk sambil menangis dan menundukkan mukanya. Dengan lembut dan mesra, Hok Boan memegang dagu wanita itu, mengangkat muka yang basah itu menghadap kepadanya, lalu dia bertanya, "Jawablah, moi-moi, maukah kau...?"
Dengan air mata masih bercucuran, Si Kwi menggerakkan kepalanya mengangguk dan bibirnya hanya dapat berbisik serak. "Aku mau... aku mau... ahhh, aku mau, koko..."
"Moi-moi...!" Hok Boan sudah mencium mulut itu, menciumi muka yang basah air mata itu, kemudian mencium lagi mulut Si Kwi.
Si Kwi tersedu, kemudian menggerakkan kedua lengannya, merangkul leher Hok Boan dan menariknya sehingga mereka berpelukan ketat.
Segala menjadi indah kalau cinta sudah berpadu. Cinta tidak membedakan baik buruk, tidak membedakan derajat dan tingkat. Cinta tidak memandang kedudukan, kepandaian, harta, kebangsaan, agama, kepercayaan, dan sebagainya lagi. Semua itu hanya pakaian belaka.
Bagi cinta, yang mutlak adalah manusianya dan semua embel-embel itu sudah tercakup di dalamnya. Bagi cinta, yang terpenting adalah si dia! Apa pun adanya dia, bagaimana pun adanya dia, karena dalam cinta dia menjadi suatu kebutuhan dalam kehidupan, dan tanpa si dia yang dicinta, hidup menjadi tidak lengkap!
Dengan cinta, kita menjadi bijaksana dan kebijaksanaan itu membuat kita dapat melihat bahwa tidak ada yang tanpa cacad di dunia ini. Setiap kali kita menilai segi kebaikannya, sudah pasti muncul segi keburukannya karena baik dan buruk adalah saudara kembar, seperti senang dan susah. Tiada sesuatu yang tanpa cacad, dan si dia yang kita cinta itu pun termasuk di dalam segala sesuatu yang pasti ada cacadnya, itu kebaikannya dan juga ada keburukannya.
Padang Bangkai yang kini sudah menjadi tempat yang indah dan tidak berbahaya untuk dikunjungi orang luar itu terhias meriah. Semua anak buah Padang Bangkai sibuk, dibantu oleh para penghuni dusun di sekitar tempat itu, dan suasana yang gembira dan meriah diramaikan oleh suara musik itu menandakan bahwa di tempat itu sedang diadakan pesta.
Memang demikianlah. Hari itu adalah hari yang gembira, semua orang bergembira karena hari itu adalah hari pernikahan antara majikan Padang Bangkai, Kui Hok Boan, dengan penghuni Istana Lembah Naga, Liong Si Kwi!
Dalam kesempatan ini, Kui Hok Boan memperlihatkan kepopulerannya di dunia kang-ouw dengan mengundang banyak tokoh kang-ouw! Dengan sejumlah besar harta pusaka yang ditemukannya di Padang Bangkai, tentu saja dia dapat mengadakan pesta besar dengan mengundang tukang-tukang masak dari selatan.
Daerah kaki Pegunungan Khing-an-san yang biasanya amat sunyi dan jarang dikunjungi orang itu, pada hari itu menjadi ramai dan sejak kemarin sudah berdatangan tamu-tamu dari selatan yang sebagian besar terdiri dari orang-orang kang-ouw yang bersikap gagah. Dan memang hanya orang-orang kang-ouw saja yang berani dan sanggup mengadakan perjalanan sejauh dan sesukar itu.
Yang sangat menggirangkan dan mengharukan hati Hok Boan adalah ketika dia melihat munculnya seorang hwesio tinggi besar yang bermuka hitam dan bermata lebar. Hwesio ini adalah Lan Kong Hwesio, seorang tokoh Go-bi-pai. Lan Kong Hwesio masih terhitung sute dari Kauw Kong Hwesio, guru Hok Boan yang telah meninggal dunia. Pada saat Hok Boan mengirim undangan kepada bekas gurunya, ternyata gurunya itu sudah meninggal dunia dan sebagai wakilnya kini yang datang adalah Lan Kong Hwesio atau susiok-nya (paman gurunya).
Sebenarnya, kedatangan Lan Kong Hwesio, tokoh Go-bi-pai yang sudah berusia enam puluh lima tahun ini, sama sekali bukan hanya untuk menghadiri pernikahan bekas murid keponakannya itu. Akan tetapi sesungguhnya dia berkewajiban untuk menyelidiki, apakah murid Go-bi-pai yang telah diusir oleh mendiang suheng-nya dan tak boleh mengaku lagi sebagai murid Go-bi-pai itu telah berubah menjadi orang yang baik dan benar-benar tidak lagi mencemarkan atau menggunakan nama Go-bi-pai.
Dan giranglah hati Lan Kong Hwesio ketika mendapat berita betapa Kui Hok Boan yang dikenal sebagai Kui-taihiap di daerah Khing-an-san, sama sekali tidak pernah menyebut Go-bi-pai, dan lebih lagi, nama sasterawan muda itu cukup baik, bahkan berjasa dalam membangun Padang Bangkai yang tadinya merupakan daerah maut yang berbahaya itu menjadi daerah terbuka dan maju. Maka hwesio ini memasuki ruangan pesta dengan hati gembira.
Di samping tokoh Go-bi-pai ini, banyak pula wakil-wakil dari partai-partai persilatan lainnya yang hadir, akan tetapi lebih banyak lagi adalah tokoh-tokoh dari golongan yang biasanya disebut golongan hitam atau golongan sesat! Memang Kui Hok Boan memiliki hubungan yang sangat luas di dunia kang-ouw, oleh karena itu pesta pernikahannya itu merupakan pertemuan di antara dua golongan yang menamakan dirinya golongan putih dan golongan hitam sehingga di dalam pesta itu terdapat ketegangan-ketegangan yang berbahaya.
Namun karena mereka semua menghormat tuan rumah yang menjadi pengantin, dan juga karena kedua fihak bersikap hati-hati mengingat bahwa mereka bukan berada di daerah sendiri, melainkan daerah liar yang sesungguhnya termasuk wilayah kekuasaan raja liar Sabutai, maka mereka tidak berani menimbulkan kekacauan dan bersikap sabar menanti serta berjaga-jaga saja.
Selanjutnya,