Pendekar Lembah Naga Jilid 12

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Episode Pendekar Lembah Naga Jilid 12 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Pendekar Lembah Naga Jilid 12

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
KINI Bi Cu memandang kepada paman dan bibinya, lalu menatap wajah pamannya untuk mendengar mengenai satu-satunya orang yang menjadi keluarga terdekat baginya akan tetapi yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya itu karena dia masih bayi pada saat berpisah dari ayahnya, sedangkan ibunya telah meninggal dunia ketika melahirkan dia.

Na-piauwsu menarik napas panjang dan menatap kepada Bi Cu dengan penuh perasaan kasihan. Dia mencinta anak ini seperti anaknya sendiri, begitu pula isterinya mencinta Bi Cu seperti anak sendiri. Biar pun Bi Cu tak pernah berdekatan dengan ayah kandungnya sehingga tentu saja tak ada pertalian rasa kasih sayang, akan tetapi untuk menceritakan tentang kematian ayah kandung anak itu dia merasa ragu-ragu dan tak enak juga. Betapa pun, dia tidak boleh merahasiakan hal itu dan harus dia ceritakan kepada Bi Cu.

"Ahh, berita yang kubawa mengenai saudara Bhe Coan amatlah buruknya...," kembali dia menarik napas panjang "...sudah lama terjadinya, sudah bertahun-tahun yang lalu, kurang lebih sepuluh tahun yang lalu...bahkan belum lama setelah Bi Cu berada di sini..."

"Apa yang terjadi dengan dia?" tanya Na-hujin dengan wajah berubah dan dia memandang kepada Bi Cu yang hanya mendengarkan dengan alis berkerut.

"Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, saudara Bhe Coan telah dibunuh orang..."

"Ahhhh...!" Nyonya Na menjerit.

Melihat Bi Cu memandang suaminya dengan wajah yang tiba-tiba menjadi pucat sekali, nyonya ini lalu merangkul Bi Cu dan menangislah nyonya Na karena dia merasa kasihan sekali terhadap Bi Cu. Akan tetapi, Bi Cu sendiri tidak menangis, dia hanya memandang dengan muka pucat kepada Na Ceng Han! Anak ini sama sekali tidak merasa berduka!

Hal ini tidaklah aneh. Dia tak pernah melihat wajah ayah kandungnya, hanya tahu bahwa dia mempunyai seorang ayah kandung. Karena tidak pernah bertemu, tentu saja tidak ada ikatan di dalam hatinya, tidak ada dia merasa kehilangan ketika mendengar bahwa ayah kandungnya meninggal dunia. Memang ada perasaan nyeri mendengar ayah kandungnya dibunuh orang, akan tetapi duka sama sekali tidak dirasakannya.

"Paman, siapakah yang membunuh ayahku?" tanyanya dengan suara lirih.

Na Ceng Han menarik napas panjang. "Dia tewas bersama isterinya, yaitu ibu tirimu, di dalam kamar. Begitulah menurut cerita para tetangganya. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang melihat pembunuhnya, tidak ada yang tahu siapa yang membunuh Bhe Coan beserta isterinya. Bahkan sebelum aku datang ke sana, selama beberapa tahun ini para pendekar yang datang ke sana untuk memesan pedang, yang juga telah mengenal baik ayahmu, merasa penasaran dan juga menyelidiki, akan tetapi sampai sekarang agaknya tidak ada orang yang dapat menemukan siapa pembunuh Bhe Coan dan isterinya itu."

Bi Cu melepaskan rangkulan bibinya. "Aku... aku mau mengaso ke kamarku...," katanya.

Paman dan bibinya mengangguk dan memandang kepada anak yang pergi dengan kepala tunduk itu dengan hati kasihan. Mereka merasa kasihan sekali dan merasa makin sayang kepada Bi Cu.

"Kasihan dia...," nyonya itu terisak.

"Baiknya dia tidak sampai terpukul oleh berita ini," kata Na Ceng Han.

"Sebaiknya dia kita jadikan anak kita saja..."

Isterinya menggeleng dan berkata lirih, "Lebih baik begini saja. Bukankah kita juga sudah memperlakukan dia tiada bedanya dengan anak sendiri? Biarlah dia menyebut kita paman dan bibi, karena aku... aku mempunyai niat... dia dan Tiong Pek..."

Wajah Na Ceng Han berseri-seri. "Ahh, begitukah? Baik sekali pikiran itu, dan aku setuju sepenuhnya!"

Suami isteri itu membayangkan betapa akan bahagia mereka kalau Bi Cu kelak menjadi isteri Tiong Pek. Tidak akan keliru lagi pilihan ini karena merekalah yang mendidik Bi Cu semenjak kecil! Dan mereka berdua membayangkan betapa mereka akan sayang sekali kepada cucu yang terlahir dari Bi Cu dan Tiong Pek!

Sementara itu, Sin Liong mengagumi mainan-mainan yang dimiliki oleh Tiong Pek. Anak ini memang amat ramah setelah berkenalan, bahkan Tiong Pek lalu memamerkan ilmu silatnya yang dia latih bersama Bi Cu di bawah pimpinan ayahnya sendiri.

"Kau tahu, Sin Liong. Kepandaian kami adalah kepandaian warisan. Ilmu silat keluarga Na sangat terkenal di daerah ini dan ayah sudah turun-temurun menjadi piauwsu. Kelak aku pun ingin menjadi seorang piauwsu yang baik. Semenjak kakek masih hidup nama Ui-eng Piauwkiok telah terkenal!"

Sin Liong memandang kagum ketika melihat Tiong Pek bersilat dengan sangat cekatan. Dia melihat betapa Tiong Pek sungguh tak kalah bila dibandingkan dengan Siong Bu atau Beng Sin. Bahkan Tiong Pek yang hendak memamerkan kepandaiannya kepada sahabat barunya ini dapat pula mainkan bermacam-macam senjata! Terutama pedang dapat dia mainkan dengan indah karena memang senjata utama dari keluarga Na adalah sebatang pedang.

"Sin Liong, kau tinggallah saja di sini! Kau menjadi murid ayah sehingga kita bisa berlatih bersama-sama!"

Sin Liong hanya tersenyum.

"Ehh, mana sumoi?"

"Siapakah sumoi-mu?"

"Tadi engkau telah melihatnya. Bi Cu adalah sumoi-ku. Murid ayah hanya dua orang, aku sendiri dan Bi Cu."

"Akan tetapi bukankah dia itu keponakan ayahmu?"

"Hanya keponakan luar belaka, bukan keluarga Na. Dia adalah puteri dari paman Bhe Coan. Ibu kandungnya, adik ayahku, meninggal ketika melahirkan dia. Ayahnya kawin lagi maka semenjak bayi dia dirawat oleh ayah dan ibuku. Mari kita cari dia. Dia juga harus memperlihatkan ilmu silatnya kepadamu. Wah, dia juga lihai sekali. Dalam hal kecepatan, aku tidak pernah dapat menandinginya!"

Tiong Pek lalu mengajak Sin Liong mencari Bi Cu. Akan tetapi anak itu tidak berada di dalam kamarnya. Pada saat mereka mencari ke dalam taman, ternyata Bi Cu menangis di atas bangku yang terpencil di dekat empang ikan. Melihat ini, Tiong Pek terkejut bukan main.

"Sumoi tidak pernah kulihat menangis! Ada apakah?" Dia segera berlari-lari menghampiri sumoi-nya, diikuti oleh Sin Liong dari belakang.

Di dalam hatinya, Sin Liong merasa kasihan sekali terhadap Bi Cu. Dia sudah mendengar dari Na-piauwsu bahwa ayah kandung Bi Cu yang bernama Bhe Coan itu sudah dibunuh orang. Agaknya tentu anak yang sudah tidak beribu lagi itu sudah mendengar mengenai kematian ayahnya. Kini Bi Cu sudah tidak lagi mempunyai ayah dan ibu!

Setelah sampai di hadapan Bi Cu yang menangis sambil menutupi muka dengan kedua tangannya, Tiong Pek cepat duduk di samping sumoi-nya, memegang lengan sumoi-nya dan berkata dengan sikap cemas, "Sumoi, ada apakah? Kenapa kau menangis?"

Melihat sikap ini Sin Liong berdiri agak jauh dan memandang saja. Dia kini tahu bahwa Tiong Pek adalah seorang anak yang baik dan jelas nampak bahwa Tiong Pek sayang sekali kepada sumoi-nya itu. Hal ini memang tidaklah aneh. Semenjak mereka berdua masih anak-anak yang kecil, keduanya telah bermain bersama-sama sehingga tentu saja timbul rasa sayang di dalam hati masing-masing.

Bi Cu mengangkat mukanya yang basah air mata. Melihat Tiong Pek yang memandang kepadanya penuh kegelisahan itu, tangisnya makin mengguguk!

"Sumoi, katakanlah, apa yang terjadi? Mengapa kau menangis?" tanya Tiong Pek makin gugup dan gelisah.

"Suheng... ibu... ibuku sudah mati semenjak melahirkan aku... dan sekarang... sekarang ayahku..."

"Ayahmu kenapa?"

"Ayahku telah mati pula dibunuh orang sepuluh tahun yang lalu..." Dan anak perempuan itu menangis makin sedih.

"Ahhh!" Tiong Pek bangkit berdiri, mengepal tinju, matanya berapi-api, akan tetapi dia lalu duduk kembali. "Siapa bilang? Ayah?"

Dara cilik itu mengangguk.

"Siapa yang membunuhnya?"

"Paman... paman juga tidak tahu, tidak ada yang tahu siapa yang membunuh ayahku sepuluh tahun yang lalu..."

"Sudahlah, sumoi, jangan berduka. Hal itu sudah terjadi sepuluh tahun yang lalu, akan tetapi percayalah, kelak aku yang akan membantumu mencari siapa pembunuh ayahmu itu!" Tiong Pek bicara penuh semangat sehingga terhibur juga hati Bi Cu. Ketika dilihatnya bahwa Sin Liong juga berada di situ, tangisnya segera terhenti karena dia merasa malu untuk menangis di depan anak yang baru datang ini.

Ketika dibujuk oleh keluarga Na, dan melihat betapa keluarga itu amat baik kepadanya, akhirnya Sin Liong menerima juga untuk tinggal di situ dan mempelajari ilmu silat dari Na Ceng Han.

Na-piauwsu maklum bahwa di dalam diri Sin Liong terdapat rahasia yang luar biasa, dan bahwa anak ini tentu bukan anak sembarangan, maka dia tidak berani menjadi guru anak itu. Dalam bujukannya yang meyakinkan hati Sin Liong sehingga anak itu mau menerima tawarannya, dia berkata,

"Sin Liong, ketahuilah bahwa di dunia ini banyak sekaii orang-orang yang sangat pandai akan tetapi juga sangat jahat. Oleh karena itu, mengandalkan perantauan seorang diri di dunia ramai ini seharusnya membawa bekal sedikit ilmu untuk melindungi diri sendiri dari mara bahaya. Aku tidak berani menjadi gurumu, akan tetapi berilah kesempatan padaku untuk membalas budimu dengan menurunkan sedikit ilmu pembelaan diri kepadamu. Kau mempelajari ilmu dan mengenal keadaan dunia kang-ouw, sehingga satu atau dua tahun kemudian engkau boleh melanjutkan perantauanmu tanpa meninggalkan rasa khawatir di dalam hati kami."

Demikianlah, mulai hari itu, Sin Liong tinggal di rumah Na-piauwsu dan setiap hari anak ini dilatih ilmu silat oleh Na Ceng Han. Diam-diam Na Ceng Han terkejut karena ternyata olehnya bahwa anak ini telah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi yang aneh. Tentu saja dia tidak tahu bahwa memang ibu kandung anak ini sudah mengajarkan dasar ilmu silat tinggi, dan ibu anak ini adalah murid terkasih mendiang Hek I Siankouw, karena itu tidak mengherankan kalau Sin Liong telah mempelajari dasar-dasar ilmu silat tinggi!

Karena tidak memperoleh banyak kesempatan untuk mempelajari ilmu silat pada saat dia tinggal di Istana Lembah Naga, maka ketika dilatih ilmu silat oleh Na Ceng Han, gerakan-gerakannya sangat kaku sehingga Tiong Pek dan Bi Cu yang menonton kadang-kadang tertawa. Akan tetapi mereka bukanlah mentertawakan untuk mengejek, hanya karena hati mereka terasa geli melihat gerakan yang kaku itu.

Betapa pun, ketika mereka mengadakan latihan bersama, segera nampak jelas oleh Na Ceng Han betapa dalam hal kecepatan, Sin Liong memiliki kecepatan yang wajar dan luar biasa sekali, kecepatan yang diperoleh dari kehidupannya bersama para monyet sehingga Bi Cu yang memiliki bakat baik sekali untuk ilmu ginkang sehingga tidak dapat ditandingi oleh suheng-nya itu pun masih kalah cepat dibandingkan dengan Sin Liong yang sudah sejak kecil mengandalkan tenaga untuk melindungi diri di hutan, dengan berayun-ayun, bahkan masih mengatasi Tiong Pek.

Dengan demikian, kalau anak ini sudah dilatih ilmu silat dan sudah menguasai ilmu itu, sudah pasti bahwa dia akan lebih cepat dari Bi Cu dan lebih kuat dari Tiong Pek, berarti lebih lihai dari pada mereka!

Pergaulannya dengan Tiong Pek dan Bi Cu akrab sekali karena dalam pergaulan itu tidak ada sesuatu yang menghalangi seperti pergaulannya dengan anak-anak di Istana Lembah Naga. Dan ternyata bahwa Na Ceng Han dan isterinya benar-benar merupakan suami isteri yang berbudi dan ramah sehingga Sin Liong merasa suka sekali kepada keluarga ini dan betah tinggal di rumah mereka.

Dia bahkan kadang-kadang ikut dengan rombongan piauwsu mengawal barang. Hal ini memang atas anjuran Na Ceng Han yang ingin agar anak ini dapat memiliki pandangan luas dan pengalaman sebagai bekal niatnya untuk merantau. Dia dapat menduga bahwa tentu ada sesuatu yang mendorong anak ini untuk merantau, akan tetapi dia tahu bahwa membujuk anak itu untuk mengaku akan percuma belaka, karena itu dia pun tidak pernah bertanya.

Sin Liong berlatih rajin. Dia tidak memanggil suheng atau sumoi kepada Tiong Pek dan Bi Cu, dan juga sebaliknya dua orang anak itu tidak menyebutnya saudara seperguruan. Hal ini memang kehendak dari Na-piauwsu yang tidak berani menerima anak ajaib itu sebagai muridnya. Dia tidak mau mengikat Sin Liong, dan tentu saja kalau anak itu sendiri yang mengangkat dia sebagai guru, maka dia tentu akan menerimanya.

Akan tetapi karena dia tidak tahu betul siapa adanya anak itu, maka dia pun tidak berani mengambil anak itu menjadi muridnya. Dan ternyata agaknya Sin Liong juga tidak mau terikat, maka anak itu pun diam saja, tetap memanggil paman Na kepada piauwsu itu, walau pun dia berlatih silat dengan amat tekun sehingga dua orang anak itu pun terseret dan ikut pula menjadi tekun. Hal ini amat menggirangkan hati Na-piauwsu.

********************

Istana kaisar sedang dalam keadaan prihatin karena Kaisar Ceng Tung sedang menderita sakit keras. Tidak nampak senyum pada wajah semua orang yang berada di istana, dari penjaga sampai pelayan dalam istana, dari pengawal sampai para panglima yang keluar masuk untuk menjenguk keadaan kaisar.

Semua ahli pengobatan istana dikerahkan, bahkan juga didatangkan ahli-ahli pengobatan dari luar, tidak ketinggalan pula para ahli mengusir setan untuk membuat persembahan dan memasang benda-benda yang dinamakan HU yang dianggap sebagai tumbal atau jimat penolak bahaya! Akan tetapi, penyakit yang diderita oleh kaisar tidak menjadi makin ringan, bahkan makin hari makin berat saja.

Pada suatu hari, ketika kota raja mulai sibuk dengan arus manusia yang berlalu-lalang dan kesibukan para pedagang yang mulai dengan perlombaan mereka mencari untung hari itu, nampak dua orang yang mau tak mau menarik perhatian banyak orang dari pintu gerbang sebelah utara kota raja. Di antara banyak pintu gerbang kota raja, pintu gerbang sebelah utara merupakan pintu yang terbesar dan dijaga paling kuat.

Dua orang ini bukan lain adalah Pangeran Oguthai atau Ceng Han How, putera dari Raja Sabutai yang memasuki kota raja bersama dengan Kim Hong Liu-nio. Tentu saja banyak orang tertarik melihat seorang wanita yang cantik sekali dan berpakaian mewah, tata rambutnya seperti seorang puteri, akan tetapi langkahnya begitu tegap dan tenang seperti langkah seorang ahli silat yang biasa melakukan perantauan. Dan keadaan Ceng Han Houw juga menarik perhatian orang karena pemuda ini bertubuh tinggi tegap, tampan dan halus gerak-geriknya sedangkan sepasang matanya memiliki sinar yang tajam penuh wibawa.

Akan tetapi karena banyaknya bermacam-macam orang memasuki kota raja, keadaaan mereka itu tidak menimbulkan kecurigaan, terlebih lagi karena Kim Hong Liu-nio bersikap hati-hati sekali sesudah memasuki daerah kota raja yang diketahuinya terdapat banyak orang pandai itu. Dia tak lagi menonjolkan papan kayu salib yang bertuliskan nama-nama marga musuh besar gurunya seperti biasa, bahkan dia pun lebih banyak berdiam dan tidak melayani pandang mata banyak pria yang memandangnya dengan penuh kagum.

Ceng Han Houw tiada henti-hentinya mengagumi keadaan kota raja. Wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar pada saat dia menyaksikan jalan-jalan raya yang rata dan bersih, rumah-rumah besar serta istana-istana yang indah dan megah.

Dia pun merasa sekali betapa suci-nya mendadak menjadi ‘alim’ dan pendiam semenjak memasuki wilayah kota raja, padahal sebelum itu, semenjak di penyeberangan Tembok Besar, ketika melalui dusun dan kota, sudah belasan orang menjadi korban suci-nya itu yang tidak mau mengampuni setiap orang yang kebetulan memiliki nama keturunan atau marga Cia, Yap dan Tio.

Tentu saja perbuatannya itu amat menggemparkan dan sebentar saja nama Kim Hong Liu-nio dikenal orang sebagai nama yang amat ditakuti seperti iblis. Akan tetapi, setelah tiba di perbatasan kota raja, Ceng Han Houw melihat betapa suci-nya itu tidak pernah lagi bertanya-tanya kepada orang, apakah di situ ada orang-orang yang memiliki tiga macam nama marga itu.

"Suci, benarkah banyak orang lihai di sini?" bisiknya kepada suci-nya pada waktu mereka sedang berjalan di sepanjang jalan raya di kota raja. Pertanyaan itu diajukannya dengan menggunakan bahasa Mongol.

"Ssttt, jangan bicara yang bukan-bukan, sute," wanita itu menjawab dalam bahasa Han. "Bericaralah dengan bahasa Han supaya kita tidak menarik perhatian orang, dan mari kita langsung saja pergi ke istana."

Sejak dia berusia sepuluh tahun, Han Houw sudah mendengar dari ibunya bahwa kaisar yang maha besar di selatan itu adalah ayah kandungnya! Rahasia ini dibuka oleh ibunya karena dia dianggap sudah cukup besar untuk dapat menyimpan rahasia dan diam-diam Han Houw mempunyai rasa bangga yang amat besar.

Ayahnya sendiri adalah seorang raja di utara, akan tetapi bila dibandingkan dengan kaisar, maka kedudukan ayahnya itu sama sekali tidak ada artinya. Ayahnya hanya menguasai tanah-tanah yang masih liar, dan mempunyai pasukan yang banyaknya hanyalah ribuan orang, sedangkan menurut buku-buku yang dibacanya, kaisar di selatan adalah seorang yang amat berkuasa, menguasai daerah yang tak terukur luasnya dan orang-orang serta pasukan yang tak terhitung banyaknya. Bahkan banyak sekali raja-raja kecil yang tunduk kepada kekuasaan kaisar. Dan orang ini adalah ayah kandungnya!

Maka mendengar ucapan suci-nya, dia mengerutkan alisnya sambil memandang kepada pakaiannya. Pakaian yang dikenakannya memang cukup baik, namun sudah agak kotor berdebu akibat perjalanan terakhir memasuki kota raja. Dan dia tidak ingin menghadap ayahnya yang amat berkuasa itu dalam pakaian kotor! "Aku harus berganti pakaian lebih dulu, suci."

Pada waktu dia hendak berangkat, ibunya sendiri yang memesan kepadanya agar kalau menghadap kaisar dia mengenakan pakaian terbaik yang telah sengaja dipersiapkan oleh ibunya, dan bahkan ibunya mengajarkannya pula bagaimana dia harus bersopan santun di dalam istana sebagai seorang pangeran putera kaisar!

Kim Hong Liu-nio menoleh dan memandang wajah sute-nya. Tidak biasanya sute-nya ini membantah kata-katanya, karena sute-nya menganggap dia seperti guru juga. Meski pun sute-nya ini murid dari Hek-hiat Mo-li juga, akan tetapi selama ini dialah yang lebih banyak membimbing sute-nya ini dalam berlatih ilmu silat.

Han Houw tahu bahwa suci-nya memandang kepadanya, maka dia berkata, "Untuk pergi menghadap kaisar, aku harus mengenakan pakaian bersih, begitu pesan ibu kepadaku."

Kim Hong Liu-nio mengangguk. Dia tahu bahwa bagaimana pun juga, sute-nya ini adalah seorang junjungannya yang harus ditaatinya, karena itu dalam hal-hal tertentu, dia sama sekali tidak boleh dan tidak berani membantah.

"Kalau begitu, terlebih dahulu kita mencari sebuah rumah penginapan," katanya singkat. Mereka lalu pergi mencari rumah penginapan dan tentu saja amat mudah mencari rumah penginapan di kota raja yang besar dan ramai itu.

Setelah tiba di rumah penginapan dan memesan dua buah kamar besar, Kim Hong Liu-nio mempersilakan Pangeran Oguthai atau Ceng Han Houw untuk mandi kemudian bertukar pakaian sedangkan dia sendiri juga membersihkan diri dan menukar pakaian yang bersih. Setelah selesai, Han Houw mengajak wanita itu untuk makan dulu.

"Siapa tahu, di istana kita harus menanti sampai lama," kata Han Houw. "Menurut cerita ibu, di istana kita harus sopan dan sama sekali tidak boleh bergerak, berkata atau berbuat apa saja sebelum diperintah. Kalau di sana kita harus menunggu lama dan perutku lapar tanpa berani minta makan atau pergi mencari makan, wah, bisa kelaparan aku! Mari kita makan dulu sekenyangnya, baru kita pergi menghadap ke istana, suci. Dan menurut ibu, kabarnya di kota raja ini kita bisa makan apa pun juga! Bahkan segala macam daging pun bisa pesan. Kata ayah di sini orang-orangnya pandai sekali memasak, seperti dewa, bisa menyulap daging-daging ular, buaya, harimau, biruang, dan lain-lain menjadi masakan-masakan sedap. Bahkan kalau mau memesan daging paha burung hong, atau lidah naga laut, kabarnya bisa juga."

Kim Hong Liu-nio tersenyum mendengar omongan sute-nya itu, dan begitu dia tersenyum, lenyaplah sifat dingin menyeramkan dari wanita ini. Sebenarnya Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang berwajah cantik dan manis sekali, apa lagi kalau tersenyum seperti itu, karena selain dia memiliki bentuk bibir yang indah, juga giginya putih dan rapi.

"Sute, di jaman sekarang ini, mana ada segala macam burung hong, naga atau pun kilin? Itu hanya pandainya para pemilik restoran saja. Yang dimaksudkan dengan paha burung hong bukan lain adalah paha burung dara, dan lidah naga adalah lidah ular tertentu yang memang lezat dimasak, kalau yang masaknya pandai. Harimau itu paling-paling daging kucing, dan biruang itu tak salah lagi tentu daging anjing. Tidak salah bahwa memang di sini banyak terdapat ahli masak yang pandai dan memang segala macam daging itu yang enak apanya sih? Tanpa bumbu, mana bisa enak? Yang enak adalah bumbunya!"

Mereka segera pergi ke sebuah restoran yang besar dan banyak tamunya. Karena Han Houw ingin melihat keadaan di luar restoran di mana terdapat arus lalu lintas yang cukup ramai, maka dia memilih tempat duduk paling pinggir, di sebelah luar menghadapi pintu dan jendela terbuka. Selain di sini tidak begitu panas karena jauh dari api dapur dan juga memperoleh hawa langsung dari luar yang terbuka, juga dia dapat melihat-lihat keadaan di luar restoran.

Benar saja, pada saat mereka membaca menu masakan, terdapat istilah-istilah masakan yang amat hebat dan muluk-muluk seperti sop jantung harimau, jari kaki biruang masak kecap, goreng otak kilin, ca jamur dewa, dan sebagainya sehingga Han Houw tertawa geli membacanya.

Sebagai seorang pangeran tentu saja dia berwatak royal dan dia memesan hampir semua masakan yang namanya aneh-aneh itu sehingga lebih dari dua belas macam masakan! Tentu saja pelayan memandang dengan mata terbelalak melihat betapa hanya dua orang saja memesan masakan sedemikian banyaknya, yang cukup banyak untuk dimakan oleh enam orang!

"Ramai sekali di sini!" kata Han Houw ketika suci-nya menuliskan pesanan di atas kertas.

Pelayan yang melayani mereka itu membungkuk-bungkuk. Dari pakaian dua orang tamu ini saja dia bisa menduga bahwa mereka ini tentulah keluarga bangsawan atau hartawan dari luar kota raja yang datang berkunjung ke kota raja, maka dia bersikap menghormat.

"Biasanya jauh lebih ramai lagi, kongcu. Sebetulnya, biasanya pada bulan seperti ini tentu ada pesta di lapangan belakang pasar, di kuil besar dan di jembatan kuning. Akan tetapi semenjak sri baginda kaisar yang mulia menderita sakit, semua pesta untuk sementara dibatalkan..."

"Sri baginda kaisar sakit...?" Han Houw bertanya, terkejut.

"Ehh, kongcu belum tahu? Seluruh penduduk kota raja berprihatin karena sakit beliau itu agak berat..." Pelayan lalu menerima catatan pesanan dan tidak berani lagi lebih banyak membicarakan kaisar yang pada masa itu masih dianggap sebagai seorang manusia yang setingkat dengan utusan atau wakil Tuhan sehingga tidak boleh banyak disebut-sebut!

Han Houw saling berpandangan dengan suci-nya. Kaisar sakit?

"Ahh, kalau begitu kita terpaksa menunda sampai beberapa hari, sampai beliau sembuh, sute. Kalau beliau sakit, mana mungkin kita diperbolehkan menghadap?" bisik Kim Hong Liu-nio kepada sute-nya.

Han Houw hanya mengangguk, akan tetapi diam-diam hatinya khawatir sekali. Memang ibunya sudah mendengar berita bahwa kaisar sakit, akan tetapi tidak disangkanya bahwa penyakitnya berat sehingga sampai sekarang pun masih sakit sehingga semua penghuni kota raja pun sampai berprihatin dan segala macam pesta ditiadakan!

Berita itu mengurangi kegembiraan Han Houw, sungguh pun dia masih dapat menikmati hidangan masakan yang memang betul-betul lezat dan yang belum pernah dirasakannya itu. Ketika mereka sedang asyik makan minum, tiba-tiba pandang mata Han Houw tertarik oleh tiga orang kakek pengemis yang berpakaian menyolok sekali.

Tiga orang kakek itu usianya tentu kurang lebih lima puluh tahun, namun tubuh mereka masih tegap dan sehat kuat. Yang menyolok adalah pakaian mereka, karena ketiga orang kakek pengemis itu memakai pakaian tambal-tambalan yang terbuat dari macam-macam kain berkembang yang beraneka warna, sehingga dari jauh mereka itu tampak seperti tiga orang yang aneh sekali, pakaian mereka dari baju sampai ke celana semua berkembang-kembang dan bertotol-totol dengan warna-warna menyolok.

Mereka itu dapat dikenal sebagai pengemis-pengemis karena mereka memegang tongkat dan tempat makanan dari kayu, dan sepatu mereka berlubang-lubang, juga pakaian yang aneh itu walau pun warnanya menyolok sekali akan tetapi tambal-tambalan! Di punggung mereka nampak tumpukan buntalan, entah buntalan apa, warnanya kuning.

"Suci, orang-orang apakah mereka bertiga itu?" tanya Han Houw sambil menunjuk dengan gerakan dagunya.

Kim Hong Liu-nio yang duduknya saling berhadapan dengan Han Houw, kini menoleh dan sejenak matanya menyambar sambil memandang kepada tiga orang kakek yang berjalan mendatangi itu dengan tajam dan penuh perhatian. Diam-diam dia terkejut juga melihat cara tiga orang kakek itu melangkahkan kaki mereka. Begitu ringan dan penuh tenaga! Jelaslah bahwa mereka itu bukan orang-orang sembarangan dan pakaian mereka itu jelas pula merupakan tanda golongan mereka!

Dia mengingat-ingat. Apakah mereka itu yang disebut-sebut sebagai orang-orang Hwa-i Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) yang menurut cerita amat berkuasa di daerah kota raja ini? Agaknya tidak salah lagi. Akan tetapi melihat lima tumpuk buntalan kuning di punggung tiga orang kakek itu, Kim Hong Liu-nio memandang tak acuh karena dia tahu bahwa mereka itu hanyalah tokoh-tokoh tingkat rendahan saja, tingkat lima!

"Sute, jangan pedulikan mereka. Agaknya mereka adalah tokoh-tokoh kaipang," bisiknya kepada sute-nya.

"Haii, Sam-wi Lo-sin-kai (Tiga Orang Pengemis Tua Sakti)! Sam-wi hendak ke manakah?" tiba-tiba terdengar teriakan orang yang duduk di dalam restoran itu, yaitu seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun yang bertubuh tegap dan sedang menghadapi meja penuh dengan masakan bersama tiga orang lainnya yang juga memandang gembira melihat tiga orang pengemis itu.

"Ahh, kiranya Yu-kamsu (guru silat Yu) dari Cin-an dan tiga orang saudara dari Sin-houw Piauwkiok!" kata seorang di antara tiga kakek pengemis itu sambil berhenti melangkah di depan restoran, di luar jendela di mana empat orang itu duduk.

"Mari silakan duduk makan minum bersama kami!" kata pula guru silat she Yu itu dengan sikap ramah dan gembira, menandakan bahwa mereka itu adalah kawan-kawan baiknya.

"Terima kasih, Yu-kauwsu, kami masih harus menyelesaikan urusan penting. Nanti saja kalau urusan kami sudah selesai, kami tergesa-gesa!"

"Ha-ha-ha-ha, kalau begitu biarlah dari sini saja aku menyuguhkan masakan dan arak!" Sesudah berkata demikian, sambil tertawa-tawa Yu-kauwsu bersama tiga orang piauwsu yang menjadi temannya itu melempar-lemparkan mangkok yang penuh masakan dan juga seguci arak ke luar jendela, ke arah tiga orang pengemis tua itu!

Han Houw memandang penuh perhatian dan diam-diam juga kagum. Tiga orang kakek itu, benar seperti yang sudah diduga suci-nya, adalah tokoh-tokoh yang berkepandalan tinggi. Masing-masing sudah menangkap dua buah mangkok masakan yang terbang ke arah mereka, dan kakek pertama bahkan mampu menerima guci arak dengan sundulan kepalanya sehingga guci itu berdiri tegak di atas kepalanya. Semua ini mereka lakukan dengan cekatan dan tidak ada arak atau kuah masakan yang tumpah.

Sambil tertawa-tawa mereka makan masakan itu dari mangkok begitu saja tanpa sumpit, kemudian mereka melempar-lemparkan mangkok kosong itu ke dalam jendela. Mangkok-mangkok itu berputaran dan kemudian hinggap di atas meja di depan kauwsu itu tanpa menimbulkan banyak suara bising, dan tidak pecah! Begitu pula guci arak setelah araknya mereka teguk bergantian sampai habis.

Tiga orang kakek pengemis itu kelihatan gembira sekali karena banyak orang menonton demonstrasi mereka dengan penuh kagum. Nama Hwa-i Kaipang memang sudah amat terkenal dan di mana pun mereka berada, tentu akan terjadi sesuatu yang menarik karena mereka itu rata-rata memiliki kepandaian silat yang tinggi.

"Wah, terima kasih, Yu-kauwsu dan sam-wi piauwsu. Dengan suguhan itu, kami tak perlu lagi minta sumbangan dari para tamu restoran ini, kecuali terhadap seorang tamu yang datang dari tempat jauh." Mereka mengusap-usap perut mereka, kemudian melangkah maju menghampiri meja Han Houw!

Pangeran dari utara ini, biar pun masih muda, namun dia telah memiliki kepandaian tinggi, maka pertunjukan tadi biar pun membuatnya kagum, akan tetapi dianggapnya bukanlah ilmu yang aneh. Sedangkan Kim Hong Liu-nio sama sekali tidak mempedulikan mereka, dan ketika tiga orang pengemis itu tiba-tiba berhenti melangkah di depan jendela mereka dan mereka bertiga memandang kepadanya dengan mata tidak pernah berkedip, dengan sinar mata yang tajam dan mengandung kemarahan, Kim Hong Liu-nio masih mengambil sikap tidak peduli!

"Toanio, kasihanilah kami tiga orang pengemis tua...," kata yang seorang.

"Kami bertiga mohon dermaan dari toanio...," sambung yang ke dua.

"Semoga Thian memberkahi kebaikan toanio...," sambung pula yang ke tiga.

Melihat suci-nya bersikap acuh tak acuh, Han Houw cepat mengeluarkan tiga keping uang perak dan menyerahkan tiga keping uang itu kepada mereka sambil berkata, "Ini sedikit sumbangan dari kami, harap diterima dengan senang."

Tiga orang kakek pengemis itu menerima tiga keping uang perak itu, masing-masing satu keping, akan tetapi mata mereka mendelik dan salah seorang di antara mereka berkata, "Kongcu menganggap kami ini orang apa maka memberi sumbangan uang perak?" Dan tiba-tiba mereka melemparkan tiga keping uang perak itu di atas meja depan Han How.

"Cep! Cep! Cepp!" Tiga keping uang perak itu menancap ke dalam papan meja sampai hampir rata dengan permukaan meja.

Ketiga orang pengemis tua itu mengira bahwa tentu pemuda cilik yang tanpa disengaja telah menghina tiga orang tokoh tingkat lima dari Hwa-i Kaipang akan menjadi terkejut, setidak-tidaknya tentu akan pucat mukanya karena lontaran uang perak itu saja sudah menunjukkan kehebatan mereka. Akan tetapi, ketiga orang kakek pengemis itu saling lirik ketika melihat pemuda yang berpakaian mewah itu sama sekali tidak terkejut, bahkan lalu tersenyum!

"Ahh, kiranya sam-wi tidak membutuhkan uang perak lagi. Terpaksa kusimpan kembali!" Setelah berkata demikian, Han Houw menggerakkan tangan kanannya ke arah tiga keping uang perak yang menancap dan berjajar di atas meja itu, menjepit tiga keping uang perak itu di antara jari-jari tangannya, mengerahkan sinkang lantas dengan enak saja dia sudah mencabut keluar tiga uang perak itu kemudian mengantonginya! Pemuda itu kemudian melanjutkan makan tanpa mempedulikan lagi kepada mereka!

"Waspadalah, sute. Di kota raja ini banyak sekali srigala bertopeng domba, dan di depan restoran ini terlalu banyak lalat hijau! Sungguh menjijikkan!" kata Kim Hong Liu-nio.

Merahlah wajah tiga orang kakek itu. Tadi mereka kaget bukan main menyaksikan betapa anak laki-laki itu sedemikian mudahnya mencabut uang perak dari atas meja. Maklumlah mereka bahwa anak laki-laki itu lihai sekali. Maka kini mereka tidak mau berpura-pura lagi, dan yang tertua di antara mereka segera berkata,

"Toanio, kami mohon sumbangan untuk menyembahyangi arwah dari seorang pengemis she Tio di kota Huai-lai sebelah utara yang mati beberapa hari yang lalu. Perkabungan dengan sebatang hio saja masih belum mencukupi!"

Diam-diam Kim Hong Liu-nio terkejut sekali. Ahh, kiranya pengemis yang dibunuhnya di kota Huai-lai itu juga merupakan anggota Hwa-i Kaipang? Akan tetapi kenapa pakaiannya tidak berkembang?

Dia tidak tahu bahwa Hwa-i Kaipang merupakan perkumpulan pengemis yang amat besar kekuasaannya sehingga seluruh pengemis, baik yang berkelompok di dalam perkumpulan lain mau pun yang tidak memasuki perkumpulan, semuanya menganggap Hwa-i Kaipang sebagai induk perkumpulan yang bisa mereka andalkan untuk membela kaum pengemis, dan sebaliknya Hwa-i Kaipang juga menganggap seluruh pengemis dari mana pun juga sebagai ‘umat’ mereka!

Itulah sebabnya pada saat pengemis she Tio yang kebetulan berjumpa dengan Kim Hong Liu-nio di Huai-lai dan dibunuh oleh wanita ini, maka hal itu terdengar oleh para anggota Hwa-i Kaipang sehingga tiga orang pengemis tokoh Hwa-i Kaipang tingkat lima itu segera melakukan pengejaran dan pengintaian sampai ke kota raja.

Kim Hong Liu-nio segera maklum bahwa tidak mungkin lagi dia dapat menghindarkan diri dari bentrokan. Akan tetapi dia pun tidak ingin mendapat gangguan, dan tidak ingin pula mengikat tali permusuhan dengan Hwa-i Kaipang, maka dia mengambil keputusan untuk menghajar tiga orang kakek pengemis ini tanpa membunuh mereka, hanya ingin sekedar memperingatkan mereka supaya tidak main-main dengan dia.

Diambilnya sekeping uang emas dari dalam saku bajunya, karena dia bermaksud hendak menyumbang sekeping uang emas, sebuah sumbangan yang luar biasa besarnya, untuk membuat para pengemis puas dan tidak mengganggunya lagi.

"Pengemis itu sial karena dia memiliki she Tio," katanya. "Akan tetapi jika kalian hendak berkabung, biarlah aku menyumbang ini!" Dia lalu melemparkan sekeping uang emas tadi ke arah pengemis tertua.

Pengemis itu menyambar kepingan uang emas itu dengan tangannya, lalu dipandangnya uang emas di atas telapak tangannya sambil menyeringai, "He-heh-heh, selembar nyawa dibeli dengan sekeping uang emas! Betapa murahnya engkau menghargai selembar jiwa pengemis, toanio. Tidak, tidak cukup!"

Dan pengemis itu mengepalkan tangan, mengerahkan tenaga lalu mengembalikan uang itu dengan melemparkannya ke atas meja di hadapan Kim Hong Liu-nio. Terdengar suara berdencing dan kepingan uang emas itu kini telah menjadi gepeng!

Kim Hong Liu-nio mengerutkan kedua alisnya. "Tidak cukup? Apa yang kalian kehendaki, orang-orang yang tamak?" tanyanya, mulai kehilangan kesabarannya.

"Jiwa seorang pengemis memang tidak ada harganya, akan tetapi kiranya sangat pantas untuk ditukar dengan sebatang jari tangan pembunuhnya. Serahkan jari telunjuk atau jari tengahmu dan kami akan pergi tanpa banyak tingkah lagi."

Tentu saja Kim Hong Liu-nio menjadi marah bukan main. Disambarnya uang emas itu dan dia berkata, "Sekali bicara tidak biasa menarik kembali, sekali menyerahkan sumbangan tidak akan diambil kembali. Terimalah sumbangan ini kemudian pergilah!" Dan wanita itu melontarkan kepingan emas kepada si pengemis tua yang cepat menyambutnya karena lontaran itu kuat sekali.

"Crottt...!”

“Ahhh...!" Pengemis tua itu segera menyeringai kesakitan ketika telapak tangannya yang menyambut kepingan emas itu ditembusi oleh kepingan emas yang kini telah gepeng itu sehingga menembus ke punggung tangannya! Darah mengalir dari telapak dan punggung tangan, sedangkan kepingan uang emas itu terjatuh ke atas tanah!

Dapat dibayangkan betapa nyerinya tangan yang ditembusi benda seperti itu, akan tetapi pengemis tua itu menahan rasa nyerinya lantas memandang kepada Kim Hong Liu-nio dengan melotot. Dua orang pengemis yang lainnya menjadi terkejut dan marah. Mereka lalu menggerakkan tongkat mereka hendak menyerang ke dalam.

Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio yang setelah melontarkan uang emas tadi lalu mengambil tim ikan emas dan makan ikan itu dengan enaknya, ketika melihat dua orang pengemis lainnya mulai menggerakkan tongkat, dia telah menoleh dan mulutnya menghardik, "Tidak lekas pergi?!"

Ketika dia membentak itu, dari mulutnya yang kecil meluncur beberapa batang duri ikan emas yang menyambar dengan luar biasa cepatnya ke arah dua orang pengemis yang sedang menggerakkan tongkatnya itu.

Dua orang kakek itu kaget bukan main, dan cepat berusaha untuk mengelak. Akan tetapi, jarak antara mereka dan wanita itu terlalu dekat, dan duri-duri itu merupakan benda ringan yang bergerak cepat bukan main tanpa suara, maka yang nampak hanya sinar berkelebat dan tahu-tahu mereka berdua merasakan wajah mereka sakit bukan main seperti ditusuk jarum, terutama di tepi mata mereka.

Saat mereka meraba, ternyata bahwa beberapa batang duri ikan telah menancap sampai dalam di bawah bola mata, di pipi dan di hidung mereka sehingga terasa nyeri dan tidak dapat dicabut karena sudah masuk semua! Kedua orang kakek itu menggunakan tangan kiri menutupi mata mereka dan darah mulai menetes keluar dari beberapa tempat pada wajah mereka yang terkena duri ikan.

Melihat hal ini, kakek yang tangannya ditembus uang emas itu maklum bahwa wanita itu terlampau lihai bagi mereka. Sejenak dia memandang tajam, kemudian menghela napas, memungut uang emas yang menembus lengannya tadi, memasukkannya di dalam saku, kemudian membalikkan tubuh dan menyentuh tangan seorang temannya dengan tongkat.

Teman ini memegang tongkat itu, lalu dia juga menyentuh teman di belakangnya dengan tongkat. Kakek ke tiga juga memegang tongkat itu dan dengan saling tuntun karena yang dua orang tidak dapat membuka mata, mereka meninggalkan tempat itu dengan berjalan terseok-seok seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu dengan mereka.

Tidak banyak orang menyaksikan peristiwa aneh dan hebat ini. Akan tetapi, guru silat dan tiga orang piauwsu yang tadi menyapa kakek-kakek pengemis itu dapat melihat karena selain kebetulan mereka juga duduk di luar, juga mereka sejak tadi memperhatikan tiga orang kakek itu dan agaknya mereka adalah orang-orang yang pandai ilmu silat maka mereka dapat menyaksikan semua itu.

Setelah tiga orang kakek pengemis itu tak nampak lagi, laki-laki yang berpakaian seperti guru silat itu cepat bangkit dan menghampiri meja Han Houw dan Kim Hong Liu-nio. Sute dan suci ini bersiap-siap akan tetapi bersikap tenang-tenang saja.

"Lihiap, kepandaian lihiap sungguh sangat tinggi. Akan tetapi sebaiknya lihiap cepat-cepat meninggalkan tempat ini karena mereka tadi merupakan tokoh-tokoh ke lima dari Hwa-i Kaipang dan sesudah peristiwa tadi, tentu tokoh-tokoh yang jauh lebih tinggi tingkatnya akan datang. Jumlah mereka banyak sekali, mereka berpengaruh besar dan dipimpin oleh orang-orang yang amat pandai, maka bila lihiap tak segera pergi, tentu akan menghadapi bencana!"

Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang berhati keras, pemberani, dan tidak biasa dinasehati orang. Mendengar kata-kata orang itu, dia lalu mengangkat muka memandang. Orang itu terkejut bukan main menyaksikan wajah cantik itu dingin bukan main dan kedua mata wanita itu seperti ujung dua batang pedang yang hendak menusuknya, sehingga dia mundur selangkah.

"Kami datang atau pergi sesuka hati kami, tidak ada setan pun yang boleh memaksa atau mencegah kami!"

"Ahhh, maaf...!" Guru silat itu menjadi merah mukanya.

"Kulihat tadi engkau adalah sahabat-sahabat dari tiga orang kakek pengemis itu, kenapa sekarang tiba-tiba saja memberi nasehat kepada kami?" tanya Kim Hong Liu-nio dengan suara yang nadanya menegur atau sebagai alasan akan sikapnya yang ketus tadi.

"Ah, lihiap tidak tahu rupanya. Siapakah yang tak akan bersikap bersahabat dengan para tokoh Hwa-i Kaipang? Tadi menyaksikan kelihaian lihiap, maka saya merasa khawatir dan lancang bicara, akan tetapi saya telah cukup banyak berbicara dan maafkan kalau saya lancang menasehati lihiap."

Guru silat itu lalu menjura dan kembali ke mejanya. Tak lama kemudian empat orang yang tidak terdengar bicara lagi itu meninggalkan restoran, agaknya mereka berempat merasa jeri setelah tadi guru silat itu menasehati Kim Hong Liu-nio.

Wanita cantik ini tak mempedulikan mereka. Wataknya memang aneh dan hatinya keras dan dingin sekali, karena itu sikap guru silat tadi pun tak membuatnya merasa menyesal sama sekali. Dia beserta sute-nya melanjutkan makan minum seenaknya hingga mereka selesai.

"Sute, kau lihat betapa banyak bahaya di kota raja dan betapa banyaknya orang pandai. Oleh karena itu, lebih baik kita sekarang juga pergi menghadap ke istana."

"Akan tetapi, suci, mana bisa... kalau kaisar sedang menderita sakit..."

"Kurasa malah lebih baik lagi, kita dapat menggunakan alasan untuk menengok. Biar pun kaisar, tetap saja beliau seorang manusia dan menengok orang yang sedang sakit adalah perbuatan yang layak, tentu lebih mudah bagi kita untuk memasuki istana."

Han Houw tidak membantah lagi dan mereka lalu meninggalkan restoran, berkemas lalu berangkatlah mereka menuju ke istana kaisar yang tentu saja dapat mudah mereka cari di kota raja itu.

Gentar juga rasa hati Kim Hong Liu-nio melihat keagungan dan kemegahan istana yang dikurung pagar tembok, dijaga ketat oleh pasukan pengawal yang sangat kuat. Dari balik pintu gerbang sudah nampak bangunan istana yang amat besar, megah dan indah, yang membayangkan keindahan, keagungan dan kekuasaan besar itu.

Bukan hanya di pintu gerbang istana itu saja yang penuh dengan pasukan penjaga yang bersenjata lengkap dan melakukan penjagaan ketat, namun juga nampak berkilauannya senjata dan pakaian penjaga yang melakukan penjagaan di atas tembok, dan Kim Hong Liu-nio maklum bahwa makin ke dalam tentu istana itu makin dijaga dengan ketat oleh pengawal-pengawal yang berkepandaian tinggi.

Oleh karena itu, hanya orang gila sajalah kiranya yang akan berani memasuki istana itu tanpa ijin. Betapa pun pandainya seseorang, kiranya tak mungkin akan dapat menembus penjagaan-penjagaan yang amat ketat itu, apa lagi kalau diingat bahwa di sebelah dalam lingkungan tembok istana itu tentu terdapat pengawal-pengawal yang sangat tinggi ilmu kepandaiannya.

Ketika para penjaga melihat ada seorang wanita cantik dan seorang pemuda tanggung, keduanya berpakaian mewah serta indah berhenti di pintu gerbang, tentu saja mereka menaruh perhatian dan sebentar saja suci dan sute itu telah dikurung oleh para penjaga! Pada waktu dengan sikap tenang dan suara halus Kim Hong Liu-nio menyatakan bahwa mereka hendak menghadap kaisar, tentu saja para penjaga itu menjadi curiga sekali dan juga terheran-heran sehingga keinginan itu ditolak dengan keras.

"Ahhh, apakah dikira mudah saja hendak pergi menghadap kaisar?" kata kepala penjaga sambil memandang wajah cantik itu dengan tajam dan penuh selidik.

"Jangankan selagi sri baginda menderita kaisar sakit dan tak boleh diganggu sama sekali, sedangkan andai kata beliau sedang sehat sekali pun, tak akan mudah memasuki istana menghadap beliau begitu saja tanpa tanda-tanda khusus untuk itu."

"Kami adalah utusan dari utara, dari Sri Baginda Raja Sabutai!" berkata Kim Hong Liu-nio yang mulai merasa tidak sabar.

Semua penjaga tertegun. Tentu saja mereka telah mendengar nama Raja Sabutai di utara yang pernah menggegerkan kota raja dengan penyerbuan-penyerbuannya itu. Akan tetapi tentu saja mereka pun tidak percaya bahwa raja besar yang ditakuti atau pernah ditakuti itu mengirim utusan berupa seorang wanita cantik dan seorang pemuda tanggung!

"Toanio, tentu saja engkau boleh mengaku utusan dari mana pun, akan tetapi apa tanda-tandanya dan bagaimana kami bisa tahu bahwa kalian adalah utusan raja? Apakah kalian memiliki kenalan seorang pembesar di kota raja? Hanya dengan perantaraan pembesar yang memang mempunyai kekuasaan saja kami dapat mempercaya."

"Suci, perlihatkan benda pemberian ibu itu," mendadak Han Houw berkata dalam bahasa Mongol kepada suci-nya. Dia pun merasa terhina dan tak senang. Katanya kaisar adalah ayah kandungnya, jadi dia adalah seorang pangeran, namun kini penjaga-penjaga biasa saja melarangnya untuk memasuki istana ayah kandungnya!

Kim Hong Liu-nio mengerutkan kedua alisnya. "Harap kalian suka memanggil komandan pengawal agar kami dapat bicara dengan dia sendiri!"

Pada waktu itu kaisar sedang sakit, semua penjaga mengalami suasana yang sunyi dan tertekan karena mereka tidak diperkenankan untuk bergembira seperti biasa. Suasana ini sangat menegangkan dan mencekam hati, membuat mereka menjadi muram dan mudah bercuriga.

Akan tetapi melihat pakaian wanita dan pemuda tanggung itu, mereka menduga bahwa dua orang ini tentu bukan orang kang-ouw yang hendak menyelundup sebagai mata-mata atau hendak melakukan sesuatu yang tak baik terhadap kaisar. Betapa pun juga, mereka tidak kehilangan kewaspadaan dan setelah sekarang wanita cantik itu minta dihadapkan kepada komandan, salah seorang di antara mereka segera lari ke sebelah dalam untuk melaporkan kepada komandan jaga yang berada di dalam kantor.

Komandan jaga itu adalah seorang perwira gemuk pendek dan amat galak, akan tetapi di samping kegalakannya ini, dia juga mempunyai watak mata keranjang. Ketika mendengar laporan bahwa ada seorang wanita cantik yang minta untuk menghadap kaisar, maka dia langsung menghampiri cermin, mengurut kumisnya lalu membereskan pakaiannya, baru kemudian bergegas keluar menuju ke pintu gerbang di mana dua orang tamu itu masih dikepung oleh anak buahnya.

Cuping hidung perwira gemuk itu kembang-kempis ketika dia melihat bahwa wanita yang datang dan hendak bertemu dengan dia benar-benar adalah seorang wanita yang cantik manis sekali! Dia menyeringai, kemudian dengan suaranya yang sudah biasa menghardik dan membentak bawahannya dia berkata,

"Minggir semua! Biarlah aku memeriksanya!"

Para anak buah pasukan penjaga lalu minggir dan mundur menjauh. Perwira gendut itu menghampiri Kim Hong Liu-nio, matanya yang berminyak itu mengamati wajah wanita itu, kemudian sinar matanya meraba-raba dari atas ke bawah seperti hendak menggerayangi wajah dan tubuh yang padat di balik pakaian yang mewah itu.

Menyaksikan sikap ini saja, diam-diam Kim Hong Liu-nio telah merasa mendongkol bukan main. Akan tetapi dia segera maklum bahwa di tempat ini dia harus sanggup menahan kesabarannya dan tidak boleh menimbulkan keributan. Maka dia segera berkata, "Ciangkun, kami berdua adalah utusan dari utara, dari Raja Sabutai untuk menghadap sri baginda kaisar."

Perwira itu agaknya baru sadar bahwa wanita itu baru saja mengajak dia bicara. Tadi dia memandang seperti orang terpesona karena memang dia tertarik sekali oleh kecantikan wanita itu.

"Apa? Ahh, menghadap sri baginda kaisar? Mana bisa, beliau sedang sakit dan..."

"Justru karena mendengar beliau sedang sakit maka Sri Baginda Raja Sabutai mengutus kami untuk menengok dan melihat keadaan sri baginda kaisar," jawab Kim Hong Liu-nio cepat-cepat.

Perwira itu berpikir sejenak, lalu dia berkata, "Hal ini tidak dapat dilakukan secara begitu mudah dan sembarangan. Akan saya laporkan dulu ke dalam, kepada kepala pengawal dan sementara itu kalian harus menunggu di dalam kantorku untuk pemeriksaan. Kalian harus diperiksa."

"Diperiksa?" Kim Hong Liu-nio bertanya.

"Ya, diperiksa kalau-kalau kalian membawa senjata. Aku sendiri yang harus memeriksa, karena setiap orang yang ingin memasuki istana tanpa ada surat ijin atau surat perintah resmi, harus dicurigai dan diperiksa."

"Akan tetapi, aku tidak membawa senjata dan dia ini... tentu saja dia membawa pedang karena dia adalah seorang pangeran, dia putera Sri Baginda Raja Sabutai!"

Agaknya perwira itu tidak percaya dengan keterangan ini, akan tetapi karena pikirannya sudah membayangkan betapa dia akan ‘memeriksa’ atau menggeledah tubuh wanita ini untuk mencari senjata, padahal tentu saja maksudnya supaya memperoleh kesempatan untuk menggerayangi tubuhnya dengan kedua tangannya dan kalau mungkin, siapa tahu, membujuk wanita itu agar suka melayaninya di kamar kantornya, maka dia tidak begitu menaruh perhatian.

"Pangeran atau bukan, harus diperiksa dulu. Marilah, nona, mari ikut bersamaku ke dalam kantorku untuk digeledah, baru aku akan melaporkan ke dalam untuk melihat keputusan apakah kalian bisa diperkenankan masuk ataukah tidak." Sambil berkata demikian, tanpa ragu-ragu lagi perwira itu lalu mengulurkan tangan hendak menggandeng tangan yang kecil halus berkulit putih itu.

Akan tetapi dia tidak tahu bahwa Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang selama hidupnya belum pernah bermesraan dengan pria, belum pernah disentuh oleh pria, maka melihat dia mengulurkan tangan hendak menggandeng, hampir saja tangannya bergerak membunuh perwira itu dengan sekali pukul. Untung bahwa dia masih teringat dan cepat dia menarik tangannya sehingga pegangan perwita itu luput dan Kim Hong Liu-nio cepat melangkah mundur sambil mengerutkan alisnya.

"Ciangkun, kami adalah orang-orang terhormat yang tidak selayaknya digeledah. Kalau memang engkau hendak melaporkan keadaan kami ke dalam istana, silakan, kami akan menunggu di sini!" kata Kim Hong Liu-nio dengan suara tegas.

"Hemm, tidak bisa! Kalian harus kugeledah. Mari, kalian ikutlah aku memasuki kantorku."

Melihat sikap keras ini, Kim Hong Liu-nio menjadi semakin marah. "Kalau kami tidak sudi digeledah?"

"Hemm, kalau begitu kalian harus ditahan!"

"Bagus! Dengan tuduhan apa pula?"

"Tuduhan bahwa kalian mungkin sekali mata-mata musuh!"

Hampir saja Kini Hong Liu-nio tidak dapat menahan lagi kesabarannya, akan tetapi pada saat itu pula muncul seorang laki-laki berpakaian panglima yang datang dari dalam istana dengan langkah kaki tergesa-gesa. Panglima ini adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, berpakaian sebagai panglima yang gagah, sikapnya gagah dan berwajah jantan. Kedua matanya yang lebar itu berpandangan tajam dan jujur, tubuhnya tinggi besar tegap dan kelihatan jelas bahwa dia memiliki tenaga yang besar. Seorang panglima yang benar-benar gagah perkasa, perutnya kecil, dadanya bidang, tidak seperti kebanyakan panglima yang perutnya besar-besar.

Semua orang, juga termasuk perwira pendek gemuk, cepat bersiap dan memberi hormat kepada panglima yang baru keluar ini. Panglima itu membalas penghormatan mereka dan ketika dia melihat wanita cantik berpakaian indah dan seorang pemuda tanggung berdiri di situ, dia lantas tercengang. Apa lagi ketika dia menatap wajah Han Houw, dia kelihatan terkejut dan cepat dia bertanya, "Apakah yang terjadi di sini? Siapakah adanya nona dan orang muda ini?"

Si perwira tadi cepat-cepat menjawab, "Mereka ini adalah orang-orang mencurigakan yang katanya hendak mohon menghadap sri baginda kaisar."

Panglima itu kelihatan kaget dan sekarang kembali dia memandang dua orang itu penuh perhatian, sambil dia bertanya kepada perwira gendut. "Dan kau sudah melaporkannya ke kantor pengawal di dalam?"

"Be... belum..."

"Kenapa belum?!" panglima itu menghardik.

"Karena... karena... saya curiga dan hendak menggeledah mereka dulu..."

Panglima itu tampak marah. Dia pernah mendengar dan sudah tahu praktek-praktek kotor yang dilaksanakan oleh para penjaga pintu gerbang, gangguan-gangguan terhadap wanita cantik, uang-uang sogokan bagi mereka yang ingin masuk, dan sebagainya. Akan tetapi sebelum dia memperlihatkan kemarahannya kepada perwira gendut itu, Kim Hong Liu-nio yang melihat sikap panglima ini segera melangkah maju.

"Ciangkun, kami berdua datang dari utara, saya adalah utusan dari Sri Baginda Sabutai..."

"Ahhh...!" Panglima itu terkejut sekali.

"Dan dia ini adalah pangeran dari kerajaan kami."

Makin kagetlah panglima itu dan cepat dia menjura. "Maafkan kami dan maafkan sikap para penjaga kami," dia mengerling penuh kemarahan kepada perwira gendut yang cepat melangkah mundur dengan sikap jeri. "Akan tetapi, hendaknya nona dapat memahami peraturan kami bahwa yang hendak memasuki istana harus memiliki tanda pengenal diri yang sah. Nona sebagai utusan tentu saja membawa tanda kuasa atau surat perintah dari Raja Sabutai sebagai utusan beliau."

"Ciangkun, kami berdua hanya membawa ini, yang memberikan adalah sang permaisuri dari kerajaan kami sendiri."

Kim Hong Liu-nio mengeluarkan kotak kecil dan membuka tutupnya dengan sikap hormat. Ketika panglima itu melihat sebuah kalung di dalamnya serta sesampul surat, dia makin terkejut. Tentu saja dia mengenal benda pusaka kerajaan itu, kalung kaisar yang tak ada ke duanya! Dan pembawa atau pemegang benda pusaka ini berarti sudah mendapatkan kekuasaan dari sri baginda kaisar sendiri!

Maka dia cepat-cepat memberi hormat, kemudian untuk kedua kalinya dia melirik penuh kemarahan kepada perwira gendut yang menjadi pucat mukanya.

"Saya panglima pengawal Lee Siang menghaturkan selamat datang dan memohon maaf sebesarnya atas penyambutan yang tidak layak ini karena kami tidak tahu sebelumnya akan kedatangan paduka. Silakan masuk bersama saya untuk melapor kepada pengawal dalam istana."

Kim Hong Liu-nio tersenyum dan Ceng Han Houw juga bernapas lega. Dengan muka manis wanita itu menghaturkan terima kasih kepada panglima yang gagah itu, kemudian bersama sute-nya dia melangkah masuk diiringkan oleh panglima itu.

Panglima itu bukan orang sembarangan, melainkan seorang kepercayaan kaisar karena dia bersama kakaknya yang bernama Lee Cin, semenjak muda sudah menjadi panglima pengawal Kim-i-wi (Pasukan Pengawal Baju Emas). Dalam usia empat puluh tahun itu, Panglima Lee Siang telah menjadi duda, kematian isterinya tanpa meninggalkan seorang pun anak keturunan. Dan biar pun isterinya telah meninggal lima tahun yang lalu, sampai sekarang dia belum juga mau beristeri lagi.

Kim Hong Liu-nio melihat betapa penjagaan amat ketat, makin ke dalam istana, semakin hebat dan kuatlah penjagaannya sehingga sepasukan besar musuh pun tentu akan sukar menembus istana yang dijaga kuat ini. Dia tidak tahu bahwa hal ini berbeda dari biasanya.

Dia tidak tahu pula bahwa di dalam istana terjadi ketegangan-ketegangan, bukan hanya karena kaisar menderita penyakit yang cukup berat, akan tetapi terutama sekali karena adanya desas-desus bahwa akan timbul pemberontakan di dalam istana! Karena itulah, maka para panglima pengawal, juga termasuk Lee Siang dan kakaknya, Lee Cin, selalu kelihatan sibuk mengatur penjagaan untuk mencegah terlaksananya desas-desus tentang pemberotakan itu.

Panglima Lee Siang mengajak mereka berhenti sebentar di ruangan dalam yang luas, di mana berkumpul beberapa orang berpakaian panglima yang sudah berusia tua, dan ada pula yang berpakaian sebagai pembesar sipil. Akan tetapi semuanya menunjukkan bahwa mereka itu adalah pembesar-pembesar tinggi.

Kim Hong Liu-nio dan Han Houw hanya berdiri di tempat agak jauh ketika mereka melihat betapa Panglima Lee Siang bercakap-cakap lirih dengan mereka itu, memperlihatkan isi kotak kecil dan mereka itu pun kelihatan terkejut dan tegang. Mereka semua memandang kepada Han Houw dan akhirnya Panglima Lee Siang mengajak mereka berdua untuk melanjutkan lagi perjalanan melewati lorong-lorong dan ruangan-ruangan indah, agaknya telah memperoleh persetujuan para pembesar itu.

Ceng Han Houw menjadi kagum bukan main melihat kemewahan dan keindahan di dalam istana ini. Bukan main besarnya istana itu, dan di setiap ruangan terdapat perabot-perabot ruangan yang sangat indah dan megah. Pada setiap ruangan atau lorong tentu terdapat pengawal-pengawal yang berjaga dengan berdiri tegak dan sikap waspada, dan di sana sini terdapat pula dayang-dayang istana yang cantik-cantik, sutera-sutera beraneka warna bergantungan di mana-mana dan tak nampak sedikit pun debu di dalam ruangan-ruangan itu.

Akhirnya tibalah mereka di depan sebuah kamar besar dan kembali di depan kamar ini terdapat sepasukan pengawal yang sangat gagah karena pakaian mereka semua terdiri dari baju bersulam benang emas. Inilah pasukan Kim-i-wi yang sangat terkenal, pasukan pengawal pribadi kaisar yang terdiri dari orang-orang yang gagah perkasa.

Pada saat melihat dua orang ini dikawal oleh panglima mereka sendiri, para pengawal itu cepat memberi hormat dan memberi jalan. Dua orang dayang cantik membukakan pintu dan Panglima Lee mengawal dua orang tamu itu memasuki kamar.

Kamar itu indah sekali dan sangat luas. Kaisar nampak rebah terlentang dengan bantal tinggi mengganjal kepala dan punggungnya, wajahnya pucat akan tetapi sikapnya tenang. Banyak orang berlutut di atas lantai menghadap ke pembaringan sri baginda, terdapat beberapa orang laki-laki tua berpakaian sipil, ada juga yang berpakaian panglima, dan ada pula seorang laki-laki muda berpakaian mewah.

Pemuda ini adalah Pangeran Ceng Su Liat, salah seorang di antara pangeran-pangeran yang ada di kerajaan itu. Juga di dalam kamar besar ini ada sembilan orang pengawal yang selalu memegang tombak di tangan, siap untuk melindungi kaisar bila mana terjadi sesuatu. Dayang-dayang cantik dan muda berkumpul di sudut, siap melaksanakan segala perintah kaisar.

Suasana dalam ruangan itu sunyi dan agaknya semua orang tidak berani bergerak karena kaisar sedang beristirahat. Akan tetapi kaisar tidak tidur karena ketika melihat masuknya Kim Hong Liu-nio bersama Ceng Han Houw yang dikawal oleh Panglima Lee Siang, sri baginda kaisar mengangkat muka memandang.

Begitu memasuki pintu, Lee Siang langsung mengajak dua orang itu berlutut, kemudian menggeser kaki mendekat ke pembaringan. Akan tetapi sejak tadi, perhatian kaisar telah tercurah kepada Han Houw yang beberapa kali mengangkat muka dan memandang, akan tetapi begitu bertemu dengan pandangan kaisar, dia segera menunduk kembali. Keadaan yang sangat angker di dalam kamar itu membuat jantung berdebar tegang juga. Segala sesuatu di dalam kamar itu penuh wibawa yang menakutkan!

"Mohon beribu ampun dari paduka sri baginda kaisar atas kelancangan hamba mengawal masuk dua orang utusan dari Sri Baginda Sabutai yang mohon menghadap," Panglima Lee Siang berkata dengan suara halus agar tidak mengejutkan kaisar.

Akan tetapi kaisar yang semenjak tadi memperhatikan Han Houw, menjadi tertarik sekali mendengar disebutnya nama Sabutai, dan kaisar segera miringkan tubuhnya menghadapi Han Houw yang masih berlutut.

"Utusan Sabutai...?"

Kim Hong Liu-nio cepat memberi hormat lalu mengeluarkan kotak itu, mengangkatnya tinggi di atas kepala sambil berkata dengan kepala menunduk. "Hamba Kim Hong Liu-nio diutus oleh yang mulia Permasuri Khamila agar menghaturkan isi kotak ini kepada paduka yang mulia sri baginda kaisar!"

"Kha... Khamila...?" Kaisar terbelalak dan wajahnya berseri sejenak, lalu dia mengangguk kepada panglima pengawal lain yang sudah berusia enam puluh tahun dan yang berlutut di dekat pembaringan.

Panglima ini adalah panglima pengawal Lee Cin yang setia. Panglima ini lalu melangkah menghampiri Kim Hong Liu-nio, menerima kotak itu lantas membukanya untuk meneliti bahwa isinya tidak mengandung sesuatu yang membahayakan kaisar. Sesudah melihat bahwa kalung dan sampul surat itu tidak mengadung sesuatu dan yang mencurigakan, dia baru menyerahkan kotak yang sudah dibukanya itu kepada kaisar. Kaisar mengambil kalung dan sampul surat itu.

Kaisar Ceng Tung yang oleh dua orang dayang dibantu duduk sambil bersandar dengan bantal pada punggungnya, sejenak memandang kalung itu. Wajahnya termenung karena memang kaisar ini terkenang akan Khamila, permaisuri Sabutai yang menjadi kekasihnya, wanita yang sesungguhnya berkenan merampas hatinya dan amat dicintanya. Dia teringat bahwa dia telah memberikan kalung itu kepada Khamila pada waktu mereka harus saling berpisah.

Dibelainya kalung itu di antara jari-jemari tangannya, kalung yang dia percaya selama ini tentu telah tergantung di leher yang panjang, berkulit putih halus dan amat dikenalnya itu. Kemudian kaisar teringat bahwa dia tidak berada seorang diri di dalam kamar itu, maka kalung itu pun digenggamnya erat-erat dan dia lalu membuka sampul surat dan dibacanya huruf-huruf tulisan Khamila!

Sri Baginda Kaisar Ceng Tung pujaan hamba!

Perkenankanlah hamba untuk memperkenalkan anak Ceng Han Houw kepada paduka, dan sudilah paduka memberkahi anak yang haus akan doa restu serta kasih sayang ayahandanya itu.

Hamba yang rendah, Khamila


Kaisar Ceng Tung memejamkan matanya dan surat itu terlepas dari jari-jari tangannya, melayang turun ke atas dadanya. Untuk sejenak terbayang wajah yang cantik jelita dan lembut, terngiang-ngiang di telinganya suara yang merdu halus itu. Kemudian dia kembali membuka mata dan menoleh. Sepasang mata kaisar itu agak basah saat dia memandang kepada Han Houw.

"Namamu Han Houw...?" tanyanya.

Ceng Han Houw terkejut, cepat dia memberi hormat sampai dahinya membentur lantai.

"Kau angkat mukamu dan pandang padaku!" kata kaisar dengan halus.

Han Houw mengangkat mukanya memandang dan dia melihat wajah seorang yang amat tampan dan pucat, yang memandang kepadanya dengan penuh perasaan haru.

"Majulah ke sini!" perintah kaisar.

Ceng Han Houw merasa takut, akan tetapi dari belakangnya, suci-nya segera berbisik, "Majulah...!"

Dia lalu menggeser kakinya maju menghampiri pembaringan. Kaisar lalu menggerakkan tangannya, menyentuh kepala anak laki-laki yang usianya sudah hampir dewasa itu, lalu dia mengambil kalung pusaka kerajaan itu dan mengalungkan ke leher Han Houw. Semua orang terkejut melihat ini, karena kalung itu adalah benda yang biasanya hanya dipakai oleh para pangeran sebagai tanda bahwa dia adalah keturunan darah keluarga kaisar!

"Ketahuilah kalian semua yang hadir di sini. Ini adalah Ceng Han Houw, Pangeran Ceng Han Houw, seorang puteraku! Ibunya adalah puteri yang mulia dari utara, hendaknya dia diperlakukan sebagai seorang pangeran, sebagai puteraku!"

Semua orang menyatakan setuju dan memberi hormat dengan berlutut. Pada waktu itu, dari pintu muncul pula seorang pemuda dan ketika Kim Hong Liu-nio menoleh, dia terkejut bukan kepalang. Pemuda yang baru muncul ini bagaikan pinang dibelah dua saja apa bila dibandingkan dengan sute-nya. Wajah mereka begitu mirip!

"Pangeran mahkota datang menghadap sri baginda!" seorang dayang memberi tahukan dengan suara halus.

Kaisar mengangkat muka dan Panglima Lee Siang lalu menarik tangan Han Houw agar mundur dan bersama Kim Hong Liu-nio berlutut di pinggir untuk memberi jalan kepada pangeran mahkota yang baru tiba. Pangeran muda ini bukan lain adalah Pangeran Ceng Hwa, yaitu pangeran yang telah dipilih untuk menjadi pangeran mahkota, calon pengganti kaisar! Tentu saja semua orang menghormat calon kaisar ini.

Dengan sikap tenang Pangeran Ceng Hwa melangkah maju menghampiri pembaringan ayahnya setelah dia melempar kerling ke kanan kiri dan tersenyum kepada semua orang yang amat dikenalnya dengan baik sebagai orang-orang yang dekat dengan ayahnya itu. Hanya dia agak heran ketika melihat Han Houw dan Kim Hong Liu-nio, akan tetapi dia tidak menyatakan keheranannya dan langsung menghampiri pembaringan ayahnya, lalu duduk di tepi pembaringan.

"Semoga Thian senantiasa memberkahi ayahanda kaisar dengan kebahagiaan dan usia panjang hingga selaksa tahun," kata pangeran itu dengan ucapan yang sungguh-sungguh dan penuh hormat, ucapan yang menjadi kebiasaan atau kesopanan di dalam istana.

Kaisar tersenyum mendengar kata-kata ini dan dengan tangannya dia menyentuh pundak puteranya yang disayangnya itu seolah-olah menjadi pengganti rasa terima kasihnya.

"Bagaimanakah keadaan paduka? Semoga sudah lebih baik," kata sang pangeran.

"Aku gembira hari ini!" sang kaisar berkata. "Lihat, dia itu adalah saudaramu! Dia adalah Ceng Han Houw, ibunya adalah seorang puteri di utara!"

Ceng Hwa bangkit berdiri dan memandang. Pada saat itu, Han Houw juga mengangkat muka memandang sehingga kini semua orang dapat melihat betapa miripnya dua orang pangeran ini! Agaknya sri baginda sendiri melihat kemiripan ini, maka dia tersenyum lebar dan berseru dengan girang,

"Betapa miripnya kalian! Ahhh... sungguh mirip seperti kembar...!" Agaknya kegembiraan itu sedemikian besarnya sehingga tidak dapat tertahan oleh jantung yang telah lemah itu. Sri baginda kaisar terguling dan dari keadaan duduk itu dia terguling.

Cepat Pangeran Mahkota Ceng Hwa merangkul ayahnya dan pada saat itu pula terjadilah hal-hal luar biasa yang mengejutkan semua orang. Pada saat kaisar terguling dan dipeluk oleh Pangeran Ceng Hwa itu, melompatlah seorang yang berpakaian panglima, berusia lima puluh tahun, dengan muka penuh brewok. Panglima itu berseru, "Sekarang...!"

Dan dengan pedang yang sudah dicabutnya dia segera menubruk ke depan, menyerang Pangeran Mahkota Ceng Hwa dengan tusukan pedangnya dari belakang! Semua orang terperanjat dan saking kagetnya sampai tidak mampu berbuat sesuatu. Akan tetapi pada saat itu, Ceng Han Houw sudah berteriak nyaring dan tubuhnya langsung mencelat ke depan, menerjang kepada panglima yang menyerang pangeran mahkota itu!

Dengan tangkisan nekat, Han Houw mengejutkan panglima tua itu sehingga pedangnya menyeleweng dan melukai lengan kiri Han Houw lalu terus meluncur dan melukai pundak kanan pangeran mahkota! Dan pada saat itu pula, Kim Hong Liu-nio telah bergerak dan nampaklah sinar merah meluncur dan menyerang panglima itu ketika dia menggerakkan sabuk merahnya!

Pada saat itu pula tujuh di antara sembilan orang pengawal pribadi kaisar telah bergerak, tombak mereka berkelebatan dan mereka mulai menyerang ke arah pangeran mahkota dan kaisar yang masih berpelukan di atas pembaringan!

Akan tetapi Han Houw sudah menerjang dan menyambut mereka dengan pedangnya dan pemuda cilik ini mengamuk dengan hebatnya, sedangkan di fihak lain Kim Hong Liu-nio sudah mendesak sang panglima pemberontak dengan sabuk merahnya.

Barulah para panglima beserta pembesar yang berada di sana menjadi geger dan sadar bahwa telah terjadi pemberontakan. Ternyata pemberontakan yang didesas-desuskan itu, yang kemudian hendak dicegah dengan penjagaan ketat, tidak datang dari luar, melainkan dari dalam, bahkan komplotan pemberontak itu telah berkumpul di dalam kamar kaisar!

Panglima Lee Cin dan Lee Siang cepat bergerak pula membantu Han Houw menghadapi tujuh orang pengawal pemberontak. Dengan adanya Kim Hong Liu-nio di situ, bersama juga Han Houw yang biar pun lengan kirinya sudah terluka namun masih mengamuk dan sebentar saja dia sudah merobohkan dua orang pengawal pemberontak, maka akhirnya pemberontak itu dapat dihancurkan sebelum menjalar keluar.

Dengan sabuk suteranya, Kim Hong Liu-nio berhasil menotok leher dan sepasang lengan panglima pemberontak sehingga panglima itu roboh pingsan sedangkan Han Houw yang dibantu oleh dua orang Panglima Lee telah dapat menewaskan tujuh orang pengawal itu.

"Jangan bunuh panglima khianat itu!" kata Panglima Lee Siang kepada Kim Hong Liu-nio maka wanita ini pun tidak bergerak untuk membunuhnya.

Dia tahu bahwa tentu panglima pemberontak ini akan dipaksa mengaku siapa penggerak pemberontakan. Akan tetapi, mendadak terdengar jerit mengerikan dan orang muda yang sejak tadi sudah berada di situ, yaitu Pangeran Ceng Su Kiat, sudah roboh dengan dada tertusuk pedang pendek yang dipegang oleh tangan kanannya. Kiranya pangeran ini telah membunuh diri di situ setelah melihat betapa usaha pemberontakan itu gagal!

Semua mayat dan panglima yang tertawan itu sudah dibawa keluar dengan cepat, lantas tempat itu dibersihkan. Akan tetapi sri baginda kaisar minta dipindahkan ke kamar lain, mengajak pangeran mahkota yang sudah diobati pundaknya, Han Houw yang juga telah dibalut lengannya, dan ditemani pula oleh Kim Hong Liu-nio, Panglima Lee Siang beserta para panglima lain.

Di dalam kamar ini sri baginda kaisar dan pangeran mahkota menyatakan kekaguman dan terima kasih mereka kepada Ceng Han Houw dan Kim Hong Liu-nio, karena harus diakui bahwa kalau tadi tidak ada mereka, keadaan pangeran dan kaisar sungguh bisa terancam bahaya maut. Apa lagi Pangeran Ceng Hwa, dia tahu betul bahwa serangan tiba-tiba dari panglima tadi tentu akan menewaskannya kalau di sana tidak ada Han Houw yang cepat menangkis dengan mengorbankan lengannya sendiri sehingga terluka itu.

Panglima pemberontak yang tentu saja dijatuhi hukuman mati itu, sebelum tewas sudah mengakui bahwa pemberontakan itu diatur oleh Pangeran Ceng Su Liat. Sesungguhnya bukan merupakan pemberontakan umum yang besar-besaran, namun hanya merupakan niat untuk membunuh pangeran mahkota supaya Pangeran Ceng Su Liat memperoleh kesempatan untuk menggantikan pangeran mahkota kalau pangeran ini tewas.

Maka tadi ketika melihat sri baginda kaisar terguling karena serangan jantung, panglima pengkhianat itu menyangka bahwa sri baginda telah meninggal dunia, maka dia melihat kesempatan bagus sekali untuk turun tangan, sesuai dengan perintah Pangeran Ceng Su Liat yang menjanjikan pengampunan bahkan kedudukan tinggi apa bila usaha itu berhasil!

Tentu saja Ceng Han Houw serta Kim Hong Liu-nio menjadi orang-orang yang berjasa besar di dalam istana kaisar! Mereka menjadi orang-orang terhormat yang dikagumi, dan karena Ceng Han Houw sudah diumumkan oleh kaisar sendiri sebagai pangeran, maka tentu saja di mana-mana dia diterima dengan terhormat.

Ada pun Kim Hong Liu-nio yang dikenal sebagai pengasuh sekaligus pengawalnya, juga dikagumi orang karena di samping cantik jelita dan bersikap agung pendiam, juga semua orang kagum bahwa wanita cantik ini mampu menundukkan seorang yang telah demikian terkenal sebagai seorang panglima yang pandai ilmu silat seperti Panglima Boan yang membantu pemberontakan atau pengkhianatan Pangeran Ceng Su Liat itu.

Akan tetapi, peristiwa di dalam kamar kaisar itu membuat penyakit yang diderita kaisar menjadi makin berat. Perbuatan puteranya sendiri yang hampir saja membunuh pangeran mahkota dan dia sendiri, mendatangkan kedukaan yang sangat hebat sehingga sesudah menderita serangan jantung berkali-kali, akhirnya sebulan kemudian Kaisar Ceng Tung meninggal dunia!

Seluruh istana berkabung, bahkan seluruh rakyat diharuskan untuk berkabung. Sesudah ikut hadir dalam pemakaman kaisar dan turut pula berkabung, Han Houw yang merasa kehilangan ayah kandungnya kemudian merasa bahwa tidak ada perlunya lagi baginya untuk lebih lama tinggal di istana Kerajaan Beng.

Juga suci-nya membujuk kepadanya untuk segera berpamit dan kembali ke utara, karena suci-nya selalu merasa tidak enak hati bila teringat akan ancaman orang-orang kang-ouw kepadanya, seperti yang telah terjadi sebelum mereka memasuki istana, yaitu pada saat mereka bertemu dengan tokoh-tokoh Hwa-i Kaipang.

Han Houw lalu menghadap Pangeran Ceng Hwa untuk mohon diri pulang ke utara. akan tetapi Pangeran Ceng Hwa menahannya. Pangeran ini merasa suka sekali kepada Han Houw, yang biar pun hanya seorang pangeran kelahiran utara, di daerah setengah liar itu, tapi ternyata tak mengecewakan menjadi seorang Pangeran Beng, karena selain pandai ilmu silat, juga pangeran muda ini cukup luas pengetahuannya yang didapatkannya dari kitab-kitab yang dia pelajari di utara. Pangeran Ceng Hwa menahan Han Houw agar suka tinggal di kota raja hingga hari penobatannya sebagai kaisar pengganti ayah mereka yang telah meninggal dunia.

"Sebaiknya biar Kim Hong Liu-nio kembali lebih dulu ke utara untuk memberi laporan dan menyampaikan undangan kami kepada Raja Sabutal untuk menghadiri hari penobatan kami sebagai kaisar." demikian Pangeran Ceng Hwa berkata.

Akhirnya diputuskan bahwa Kim Hong Liu-nio akan kembali dulu ke utara dan Ceng Han Houw untuk sementara tinggal di istana. Kim Hong Liu-nio tidak merasa keberatan karena keamanan sute-nya itu tentu saja akan terjamin selama berada di dalam istana Kerajaan Beng. Maka berpamitlah dia dan berangkatlah wanita perkasa yang cantik jelita itu keluar dari istana, di mana dia telah hidup terhormat sampai lebih dari satu bulan lamanya.

Kita tinggalkan dulu keadaan Ceng Han Houw yang masih tinggal di istana, dan Kim Hong Liu-nio yang melakukan perjalanan kembali ke utara, dan mari kita menengok keadaan Sin Liong untuk memperlancar jalannya cerita.

Seperti kita ketahui, Sin Liong kini tinggal di rumah Na-piauwsu, yaitu Na Ceng Han yang gagah perkasa dan ramah sekali itu. Pada waktu itu, tanpa terasa lagi, Sin Liong sudah hampir satu tahun tinggal di dalam rumah keluarga Na. Setiap hari dia berlatih ilmu silat dari Na Ceng Han, bersama-sama dengan Na Tiong Pek dan Bhe Bi Cu. Dia bersahabat akrab sekali dengan dua orang yang disebut sumoi dan suheng itu. Usia Sin Liong kini sudah empat belas tahun, sebaya dengan Tiong Pek, sedangkan Bi Cu telah berusia dua belas tahun.

Bi Cu memang manis sekali. Biar pun usianya baru dua belas tahun, namun jelas nampak sudah bahwa dia merupakan seorang dara yang sangat manis. Dan Sin Liong juga dapat melihat betapa Tiong Pek selalu bersikap manis kepada Bi Cu, agak berlebihan malah, membuktikan bahwa pemuda tanggung itu agaknya amat menyukai dan mencinta sumoi mereka! Bahkan kadang kala nampak Tiong Pek bermanis-manis muka, membujuk rayu, sehingga kalau melihat hal ini, Sin Liong cepat menjauhkan diri karena dia merasa malu sendiri.

Diakuinya bahwa Tiong Pek amat ramah dan baik, akan tetapi dia melihat bahwa sikap Tiong Pek kepada Bi Cu agaknya terlalu mendesak dan selalu mencoba untuk mengambil hati anak perempuan itu. Dan dia melihat betapa Bi Cu selalu bersikap hormat dan manis kepada Tiong Pek, bahkan demikianlah sikap Bi Cu kepada seisi rumah keluarga Na. Hal ini dapat dimengerti oleh Sin Liong karena tentu dara kecil itu merasa betapa dia adalah seorang yang menumpang hidup di dalam rumah keluarga Na!

Diam-diam Sin Liong merasa kasihan kepada anak perempuan ini karena merasa betapa mereka berdua mempunyai nasib yang hampir mirip. Memang benar bahwa dia tidak seperti Bi Cu, hanya ditinggal mati ibu dan masih mempunyai seorang ayah, akan tetapi dia tidak tahu di mana ayahnya berada dan selamanya belum pernah bertemu dengan ayahnya, sehingga dibandingkan dengan Bi Cu yang kematian ayahnya, agaknya tidaklah begitu banyak bedanya.

Pada suatu hari, Sin Liong yang sudah selesai melakukan pekerjaan sehari-hari di rumah itu, ingin sekali berlatih silat dan dia lalu mencari-cari dua orang suheng dan sumoi-nya itu. Rumah itu nampak kosong karena keluarga wanita sibuk di belakang, di dapur, ada pun Na-piauwsu sedang pergi ke luar kota untuk mengawal sendiri barang kiriman yang penting. Maka rumah itu kelihatan sunyi.

Sin Liong merasa heran kenapa suheng dan sumoi-nya itu tidak nampak. Padahal, tadi mereka masih kelihatan di ruangan depan. Dia tidak berani memanggil-manggil, karena takut menimbulkan bising dan mengganggu seorang bibi keluarga yang tidur di kamarnya karena bibi tua ini sedang tidak enak badan. Maka dia terus mencari dan akhirnya dia pergi mencari ke kamar Bi Cu.

Ketika dia tiba di luar kamar itu, dia mendengar sesuatu di dalam kamar. Dia mendekati pintu kamar dan mendengarkan.

"Jangan... suheng...," terdengar Bi Cu berkata lirih sambil menahan tangis.

"Sumoi, mengapa engkau tidak mau bersikap manis kepadaku? Kurang baik apakah aku kepadamu? Kurang banyakkah budi yang dilimpahkan oleh kami sekeluarga kepadamu?"

Terdengar Bi Cu terisak. "Aku berterima kasih... uh-uhhh... aku berterima kasih kepada kalian... tapi... tapi..."

"Aku tak akan mengganggumu, aku tak ingin menyakitimu, aku hanya ingin engkau tahu bahwa aku suka sekali kepadamu, sumoi..."

Sin Liong tidak dapat menahan lagi ketegangan hatinya dan dia mendorong pintu kamar itu dengan keras. Dia melihat Tiong Pek sedang memegangi kedua tangan Bi Cu dan hendak memaksa untuk merangkul dara cilik itu, sedangkan Bi Cu terlihat menolak halus. Mereka bersitegang sampai Bi Cu jatuh berlutut di atas lantai dan Tiong Pek berusaha untuk mendekatkan mukanya, untuk mencium wajah yang manis akan tetapi agak pucat ketakutan itu.

"Tiong Pek!" Sin Liong membentak dan mencengkeram baju pundak Tiong Pek sambil menariknya ke belakang.

Memang Sin Liong tidak pernah menyebut suheng dan sumoi kepada Tiong Pek dan Bi Cu, karena memang dia tidak dianggap sebagai murid oleh Na Ceng Han, sungguh pun dia dilatih ilmu silat dan dia selalu berlatih bersama dengan dua orang anak itu. Mereka bertiga itu seperti teman-teman baik, bukan seperti kakak beradik seperguruan.

Tiong Pek terkejut sekali dan segera menengok dengan alis berkerut. Dia melepaskan kedua lengan tangan Bi Cu yang tadi dipegangnya, kemudian dia menggerakkan tangan kanannya menangkis ke belakang.

"Dukkk!"

Tangan itu menyampok tangan Sin Liong yang mencengkeram baju pundaknya sehingga terlepas dan bajunya robek. Tiong Pek meloncat bangun dan berdiri dengan muka merah menandakan bahwa dia marah bukan main. Akan tetapi Sin Liong juga sudah menentang pandang matanya dengan bengis.

"Sin Liong!" Tiong Pek berseru marah sekali. "Engkau berani lancang mencampuri urusan orang lain? Sungguh tidak tahu malu engkau hendak menghalangi cinta orang? Apakah engkau merasa iri hati?"

Diserang dengan kata-kata seperti itu, tiba-tiba saja muka Sin Liong menjadi merah dan dia menjadi bingung. "Akan tetapi kau... kau..." Sukar baginya untuk melanjutkan karena hatinya masih menilai-nilai apakah artinya perbuatan yang dilakukan Tiong Pek terhadap Bi Cu tadi.

"Aku cinta kepada Bi Cu sumoi, kau mau apa? Aku siap untuk bertanding melawan siapa pun juga untuk memperebutkan sumoi! Hayo, apakah kau hendak memperebutkan sumoi dengan aku?" Pemuda tanggung itu mengepal tinju dan siap untuk berkelahi!

Sin Liong menjadi semakin bingung. Kalau tadi dia bersikap kasar terhadap Tiong Pek adalah akibat dia melihat seolah-olah Tiong Pek hendak melakukan pemaksaan terhadap Bi Cu, akan tetapi sekarang dia menjadi bingung ketika ditantang dan ditanya apakah dia hendak memperebutkan Bi Cu dengan pemuda itu!

"Ahh, siapa yang akan memperebutkan siapa?" katanya masih bingung.

Akan tetapi dia dapat menekan dan menenangkan perasaannya, lalu memandang kepada Tiong Pek dengan sikap lebih tenang, sungguh pun kemarahannya belum mereda karena dia melihat Bi Cu sekarang berdiri dengan kepala menunduk dan masih kadang-kadang menahan isak.

"Tiong Pek, Bi Cu bukanlah sebuah benda yang boleh diperebutkan oleh siapa pun juga. Dalam hal rasa suka... hal itu Bi Cu berhak menentukan sendiri, jangan kau memaksa-maksanya seperti itu."

"Bi Cu juga cinta kepadaku! Kau mau apa?" Tiong Pek yang masih marah itu menyerang lagi dengan kata-katanya yang penuh tantangan.

Dia memang marah bukan main karena merasa terganggu. Kalau Sin Liong tidak datang mengganggu, tentu dia sudah berhasil mencium Bi Cu, suatu hal yang sudah sering kali direnungkan dan diimpikan itu!

Mendengar ucapan ini, Sin Liong memandang kepada Bi Cu penuh keraguan. Benarkah itu? Kalau Bi Cu benar mencinta Tiong Pek, mengapa tadi bersikap seperti menentang? Dan apa gerangan yang hendak dilakukah oleh Tiong Pek terhadap Bi Cu tadi? Sin Liong sudah berusia empat belas tahun, atau hampir, akan tetapi dia belum tahu benar tentang cinta kasih antara pria dengan wanita. Melihat Bi Cu menunduk dan kini mukanya tidak sepucat tadi, bahkan menjadi agak kemerahan, dia lalu melangkah menghampiri.

"Bi Cu, apakah Tiong Pek... ehh, hendak berlaku jahat kepadamu?" Dia tidak tahu bagai mana harus menanyakan urusan tadi.

Bi Cu mengangkat muka dan ketika dia bertemu pandang dengan Sin Liong, dia cepat menunduk kembali, jari-jemari tangannya bermain dengan ujung rambutnya yang panjang terurai, lalu kepalanya digelengkannya sebagai jawaban pertanyaan Sin Liong tadi.

"Dan kau... kau... cinta kepada Tiong Pek?"

Muka Bi Cu menjadi merah sekali dan kepalanya makin menunduk. Sekali ini dia sama sekali tidak mau menjawab.

"Bagaimana, Bi Cu? Jawablah, apakah benar kau cinta kepada Tiong Pek?" Sin Liong mendesak.

Dara cilik itu mengangkat muka dengan gugup, memandang kepada Sin Liong sebentar, lalu memandang kepada Tiong Pek, dan menunduk kembali tanpa menjawab, hanya ada dua titik air matanya yang turun mengalir di sepanjang kedua pipinya yang merah.

Melihat ini, kembali timbul rasa kasihan di dalam hati Sin Liong dan teringatlah dia akan percakapan yang didengarnya tadi. Dia kembali menghadapi Tiong Pek kemudian berkata dengan alis berkerut,

"Tiong Pek, sungguh tidak patut sekali kalau engkau hendak mempergunakan kekerasan. Apakah engkau ingin menjadi penjahat hina? Aku tadi mendengar engkau membujuk dan juga melihat engkau menggunakan kekerasan. Engkau menonjolkan jasa-jasa serta budi keluargamu yang kau limpahkan kepada Bi Cu. Apakah itu kebaikan namanya kalau kau tonjolkan dan kalau engkau minta imbalan dari pertolongan yang kalian berikan kepada Bi Cu?"

"Sin Liong, kau ini siapa berani bermulut selancang ini?" Tiong Pek marah sekali dan dia segera menerjang dengan pukulan ke arah mulut Sin Liong. Akan tetapi Sin Liong cepat mengelak dan ketika Tiong Pek menerjang lagi, dia menangkis kemudian bersiap untuk melawan.

Akan tetapi, sambil menangis Bi Cu cepat melerai dengan melompat ke tengah-tengah antara mereka, "Jangan berkelahi... ahh, harap jangan berkelahi...!"

Tentu saja Sin Liong cepat meloncat mundur, dan Tiong Pek juga tidak mendesak setelah melihat Bi Cu menangis sambil melerai itu. Kedua orang pemuda tanggung itu sekarang memandang kepada Bi Cu yang menangis sesenggukan di tengah-tengah antara mereka, menutupi muka dengan kedua tangannya. Mereka berdua menjadi bingung.

"Sumoi, jangan menangis, sumoi. Maafkanlah kalau aku bersalah...," akhirnya terdengar Tiong Pek berkata halus. "Aku tadi hanya ingin menciummu... jahatkah perbuatan itu... padahal aku hanya ingin membuktikan cintaku...?"

Mendengar kata-kata itu, diam-diam Sin Liong menjadi jengah sekaligus terheran-heran bagaimana Tiong Pek berani bicara terang-terangan seperti itu!

Bi Cu menahan isaknya dan tangisnya agar mereda, kemudian terdengarlah kata-katanya lirih di antara isaknya, "Aku tidak tahu... aku tidak tahu apa itu cinta! Aku... aku suka kepada suheng karena suheng baik sekali, dan seluruh keluarga suheng baik kepadaku, menganggap aku seperti keluarga sendiri. Aku telah berhutang budi besar sekali kepada suheng sekeluarga, akan tetapi... aku tidak tahu tentang cinta, dan aku tidak tahu... jahat atau tidak di... dicium, akan tetapi aku takut sekali..."

Diam-diam Sin Liong tersenyum. Biar pun usia mereka berdua ini sebaya dengan dia, Bi Cu berusia dua belas tahun dan Tiong Pek empat belas tahun, namun mereka berdua ini seperti anak-anak yang masih kecil saja! Anak-anak kecil yang ingin masuk ke permainan orang-orang dewasa!

"Tiong Pek, apa bila engkau tahu bahwa Bi Cu takut, kenapa kau hendak memaksanya? Kalau engkau memang kasihan dan suka kepadanya, tidak mungkin engkau main paksa membikin dia takut dan menangis..."

Tiong Pek menarik napas panjang, kini dia melihat bahwa dia telah benar-benar membuat Bi Cu berduka, takut dan malu. Seakan-akan baru sekarang dia merasa sadar, sesudah gairah aneh yang membuat seluruh tubuhnya panas, membuat dia ingin sekali mencium Bi Cu itu kini mendingin dan lenyap. Baru dia tahu bahwa dia memang bersalah.

"Maafkan aku, Bi Cu. Kau benar, Sin Liong, aku memang layak dipukul karena aku telah membikin sumoi ketakutan dan menangis. Sumoi, sekali lagi, kau maafkanlah aku."

Bi Cu menghapus air matanya. Kini barulah dia dapat memandang suheng-nya itu dengan senyum yang tampak mulai berkembang mengusir kedukaannya. "Tidak kenapa, suheng, kita lupakan saja hal tadi."

"Seorang yang dapat menyadari kesalahannya sendiri barulah patut disebut orang gagah, Tiong Pek," kata Sin Liong.

"Ahh, benarkah itu?" Tiong Pek berkata girang, sekarang wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar penuh kenakalan.

"Akan tetapi jangan hal itu membuat engkau keenakan dan setiap kali ingin menjadi orang gagah lalu melakukan kesalahan lebih dulu untuk kemudian disadari!" sambung Sin Liong. Tiong Pek tertawa, Bi Cu juga tertawa dan mereka berdamai kembali. Lenyaplah semua dendam dan kemarahan.

"Eh, kalau kalian berdua benar-benar sudah memaafkan aku, harus kalian buktikan dulu!" tiba-tiba Tiong Pek berkata.

"Buktikan bagaimana?" Sin Liong menuntut dan memandang tajam. Jangan-jangan bocah nakal ini minta bukti aneh-aneh, seperti cium dari Bi Cu misalnya! Kalau begitu dia tentu tidak akan ragu-ragu untuk menjotosnya!

"Buktinya adalah bahwa kalian tak akan mengatakan sesuatu tentang urusan tadi kepada ayah."

"Kau tahu bahwa aku tidak akan berkata apa-apa kepada paman, suheng," kata Bi Cu cepat.

"Akan tetapi aku hanya mau berjanji tidak akan menyampaikan kepada paman Na asal engkau pun berjanji tidak akan mengulangi perbuatan sesat tadi!" kata Sin Liong. "Sesat? Ahhh, memang salah akan tetapi jangan namakan itu sesat, Sin Liong. Baiklah, dengarkan kalian. Aku berjanji tidak akan mencoba untuk mencium Bi Cu kecuali kalau memang sumoi Bi Cu mau kucium!"

Tentu saja mendengar janji yang seperti itu, seketika wajah Bi Cu kembali menjadi merah sekali.

"Dasar engkau setan!" Sin Liong menegur sambil tertawa dan Tiong Pek juga tertawa. Bi Cu terpaksa ikut pula tertawa dan ketiga orang anak itu kemudian memasuki lian-bu-thia (ruangan berlatih sliat) di mana mereka berlatih silat dengan tekunnya.

********************

Wanita cantik itu melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa menuju ke pintu gerbang kota raja sebelah utara. Para penjaga di pintu gerbang itu segera berdiri dengan sikap menghormat ketika wanita itu berjalan keluar dari pintu gerbang. Bahkan komandan jaga yang bertubuh tinggi besar itu memberi hormat dan berkata, "Selamat jalan, lihiap!"

Wanita itu bukan lain adalah Kim Hong Liu-nio. Semenjak terjadi peristiwa pemberontakan di dalam istana yang bermaksud membunuh pangeran mahkota dan kaisar, dan usaha jahat itu digagalkan oleh Kim Hong Liu-nio dan Ceng Han Houw, maka wanita ini menjadi seorang tokoh yang terkenal di kota raja, terutama di lingkungan istana dan di antara para pengawal. Oleh karena itu, ketika dia keluar dari pintu gerbang, semua penjaga memberi hormat, bahkan komandan jaga menghaturkan selamat jalan.

Seperti kita ketahui, Kim Hong Liu-nio terpaksa berangkat pulang ke utara seorang diri saja, meninggalkan sute-nya di istana karena Pangeran Mahkota Ceng Hwa, calon kaisar, atau juga saudara tiri dari Han Houw, menahan pemuda tanggung itu untuk tidak lebih dahulu meninggalkan istana sampai hari penobatannya sebagai kaisar. Maka Kim Hong Liu-nio pulang seorang diri untuk melaporkan semua peristiwa yang dialami oleh sute-nya itu kepada Raja Sabutai dan Permaisuri Khamila, dan di samping itu juga menyampaikan undangan pangeran mahkota kepada Raja Sabutai untuk menghadiri hari penobatannya sebagai kaisar pengganti ayahnya.

Hati Kim Hong Liu-nio lega karena sute-nya itu berada dalam keadaan aman, maka dia melakukan perjalanan cepat sekali, tak mempedulikan orang-orang yang memandangnya dengan heran. Siapa orangnya tidak akan terheran-heran melihat seorang wanita cantik berjalan sedemikian cepatnya seperti terbang saja? Sebentar saja dia sudah keluar dari pintu gerbang itu diikuti oleh pandang mata semua penjaga sampai bayangannya lenyap.

Akan tetapi ketika dia tiba di padang rumput di sebelah utara pintu gerbang utara kota raja itu, tiba-tiba saja dia memandang ke depan dengan alis berkerut karena jauh di depannya dia melihat banyak orang sedang berdiri menghadangnya dan dari jauh saja dapat dilihat pakaian mereka yang berkembang-kembang dan tangan mereka yang memegang tongkat dengan punggung memanggul buntalan-buntalan kuning. Orang-orang Hwa-i Kaipang!

Setelah agak dekat Kim Hong Liu-nio melihat bahwa di antara mereka terdapat beberapa orang yang memanggul buntalan sedikit saja. Ada dua orang yang memanggul tiga buah buntalan kuning, bahkan ada seorang yang memanggul dua buntalan saja, berarti bahwa di antara mereka itu ada dua orang tokoh Hwa-i Kaipang tingkat tiga dan bahkan ada seorang tokoh tingkat dua!

Jantung Kim Hong Liu-nio berdebar tegang. Dia maklum bahwa yang menghadangnya adalah tokoh-tokoh Hwa-i Kaipang tingkat tinggi! Dan selain tiga orang tokoh yang tinggi tingkatnya itu, dia melihat tokoh-tokoh tingkat empat dan lima yang jumlahnya ada tujuh belas orang!

Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio adalah murid terkasih dari Hek-hiat Mo-li, dan dia sama sekali tidak pernah mengenal arti takut. Dengan sikap tenang penuh kewaspadaan dia berjalan terus dengan cepat tanpa mengurangi pengerahan ginkang-nya, maka sebentar saja dia sudah berhadapan dengan belasan orang yang sengaja menghadang memenuhi jalan itu. Terpaksa Kim Hong Liu-nio berhenti dan memandang mereka dengan sinar mata mengejek, tak mempedulikan pandang mata belasan orang itu yang ditujukan kepadanya dengan penuh kemarahan.

Yang menjadi perhatian Kim Hong Liu-nio adalah tiga orang kakek di depan itu, yaitu dua orang tokoh tingkat tiga dan seorang yang bertingkat dua, karena dia tidak memandang sebelah mata kepada mereka yang bertingkat empat dan lima.

"Perlahan dulu, nona!" kata pengemis baju kembang yang memanggul dua buah buntalan kuning di punggungnya.

Pengemis ini usianya tentu mendekati enam puluh tahun, tubuhnya kurus kering seperti cecak mati saking kurusnya sehingga tubuh yang tingginya biasa saja itu kelihatan lebih jangkung. Pakaiannya sederhana akan tetapi bersih dan berpakaian tambal-tambalan dari kain-kain berkembang dan berwarna itu nampak lucu karena banyak merahnya, mungkin menjadi tanda bahwa pemakainya memang mempunyai kesukaan akan warna merah.

"Hemmm, kulihat kalian ini tentulah tokoh-tokoh Hwa-i Kaipang," jawab Kim Hong Liu-nio sambil mengerling ke arah tiga orang kakek pengemis yang pernah dikalahkannya tempo hari, yaitu mereka yang bertingkat lima. "Apakah orang-orang Hwa-i Kaipang yang sangat tersohor itu kini sudah berubah menjadi segerombolan perampok yang suka menghadang orang lewat di jalan raya?"

Kakek kurus kering itu tersenyum lebar. Biar pun dia marah sekali, akan tetapi kakek ini dapat menguasai kemarahannya dan menghadapi wanita yang dia dengar sangat lihai itu dengan tenang. "Andai kata kami menjadi perampok sekali pun, kami tak akan merampok nyawa orang yang tidak berdosa seperti yang telah kau lakukan pada seorang pengemis she Tio di kota Huai-lai."

Kim Hong Liu-nio sudah tahu mengapa para pengemis itu menghadangnya, maka dengan jujur dan penuh keberanian dia berkata, "Memang aku telah membunuh pengemis she Tio itu."

Mendengar jawaban yang berani itu, para pengemis kelihatan makin marah dan terdengar mereka ramai-ramai mengeluarkan suara sehingga keadaan menjadi bising. Akan tetapi Kim Hong Liu-nio sama sekali tidak mempedulikan mereka.

"Kenapa?" bentak tokoh kedua Hwa-i Kaipang. Kakek ini memiliki julukan Lo-thian Sin-kai (Pengemis Sakti Pengacau Langit). "Setiap orang akan merasa kasihan kepada seorang pengemis yang hidup serba kekurangan, akan tetapi mengapa engkau malah membunuh pengemis tidak berdosa itu?"

"Karena dia she Tio! Baik dia pengemis mau pun seorang raja, karena dia she Tio, maka berjumpa dengan aku dia harus mati! Dia yang she Tio atau yang she Cia dan yang she Yap!" kata Kim Hong Liu-nio dan tahu-tahu dia telah mengeluarkan papan kayu sallb yang bertuliskan nama keluarga Tio, Yap, dan Cia itu.

"Apa?!" Lo-thian Sin-kai terbelalak. "Kau hendak membunuh semua orang yang memiliki tiga macam she itu? Jadi engkau membunuh pengemis she Tio itu tanpa ada permusuhan pribadi sama sekali?"

"Kenal pun tidak aku kepadanya, hanya aku mendengar dia she Tio maka dia harus mati."

"Iblis betina keji!" Terdengar bentakan marah.

Dua orang tokoh Hwa-i Kaipang tingkat tiga yang sejak tadi hanya mendengarkan saja, agaknya sudah tidak mampu menahan kemarahan mereka dan kini mereka berdua sudah menerjang maju, menggerakkan tongkat mereka dari kanan dan kiri menyerang Kim Hong Liu-nio. Yang memaki itu adalah kakek pengemis yang punggungnya agak bongkok.

"Hutang nyawa bayar nyawa!" bentak kakek pengemis kedua yang mukanya hitam sekali, agaknya hitam karena bekas penyakit karena melihat leher serta tangannya, sebetulnya dia berkulit putih.

Kakek bongkok dan kakek muka hitam ini berusia kurang lebih lima puluhan tahun dan mereka merupakan tokoh-tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kaipang, maka tentu saja mereka mempunyai kepandaian silat yang tinggi. Yang punggungnya bongkok itu terkenal dengan julukan Tiat-ciang Sin-kai (Pengemis Sakti Tangan Besi), sedangkan yang bermuka hitam berjuluk Hek-bin Mo-kai (Pengemis Iblis Muka Hitam). Mereka berdua pun maklum betapa lihainya wanita itu karena sudah mendengar dari tiga orang pengemis tingkat lima, maka mereka maju berbareng dan serentak telah menyerang dengan senjata tongkat mereka.

Melihat cara menyambarnya tongkat-tongkat itu, maklumlah Kim Hong Liu-nio bahwa dia menghadapi lawan yang cukup tangguh dan cepat dia menggerakkan tubuhnya mengelak ke belakang. Dua sinar hitam dari tongkat itu menyambar dahsyat di dekat tubuhnya.

"Wuuut…! Wuuutt…!"

Sebelum menyentuh tanah, ujung-ujung tongkat itu telah ditahan oleh para pemegangnya dan kelihatan ujung tongkat itu menggetar hebat.

"Wiirrrrrrr…!"

Ujung tongkat sampai mengeluarkan suara saking kerasnya sambaran itu dan kini ditahan oleh dua orang kakek pengemis itu. Kemudian tongkat itu menyambar lagi dan Kim Hong Liu-nio sudah didesak dan dihujani serangan bertubi-tubi yang kesemuanya mengandung tenaga kuat sekali.

"Hemm, kalian mencari penyakit!" bentak wanita itu.

Begitu dua tangannya bergerak, tampak sinar merah yang panjang bergulung-gulung dan ternyata wanita ini dengan tenang namun cepat bukan main sudah menggerakkan sabuk merahnya dan sambil mengelak dia telah balas menyerang!

"Wirrrrr... syuuuuttt...!”

“Plakkk!"

Sabuk merah itu hebat bukan main, menyambar dahsyat menyilaukan mata dan hampir saja leher Hek-bin Mo-kai kena totok. Untung dia dapat menangkis dengan cepat dan kini tongkatnya terlibat ujung sabuk merah yang bergerak seperti ular itu. Pada saat Hek-bin Mo-kai bersitegang untuk melepaskan tongkat dari libatan sabuk, Tiat-ciang Sin-kai sudah menghantamkan tongkatnya dari samping ke arah kepala wanita itu.

"Cringgg...!"

Tiat-ciang Sin-kai terkejut bukan main. Tongkatnya yang menghantam kepala itu ditangkis oleh lengan kecil halus yang bergelang kerincing. Tapi anehnya, lengan kecil dan gelang-gelang emas kecil itu tidak saja mampu menangkis tongkatnya, malah dia sendiri sampai terhuyung ke belakang saking kuatnya tangkisan itu! Dengan marah dia cepat mengatur keseimbangan tubuhnya lantas menubruk lagi, kini tongkatnya menusuk ke arah lambung dari sebelah kanan wanita itu.

Pada saat itu, ujung sabuk merah masih melibat ujung tongkat di tangan Hek-bin Mo-kai dan agaknya Kim Hong Liu-nio tidak akan dapat menghindarkan diri dari tusukan tongkat kakek pengemis bongkok. Akan tetapi tiba-tiba Kim Hong Liu-nio mengeluarkan bentakan nyaring dan bentakan ini disusul teriakan keras Hek-bin Mo-kai yang tak dapat menguasai tongkatnya lagi. Bagai ditarik tenaga gajah, tongkatnya yang terlibat itu terbetot sehingga dia tidak mampu mempertahankan ketika tongkatnya itu bergerak ke kiri.

"Takkkkk...!"

Keras bukan main pertemuan antara tongkat Hek-bin Mo-kai itu yang menangkis tongkat Tiat-ciang Sin-kai yang menusuk tadi sehingga keduanya merasa betapa telapak tangan mereka nyeri dan senjata mereka itu hampir saja terlepas dari tangan. Keduanya memang memiliki tenaga yang seimbang dan tadi mereka sudah mempergunakan seluruh tenaga, yang seorang ingin menarik kembali tongkatnya ada pun yang ke dua sedang menyerang.

"Wuuuttt...!" Baru saja kedua tongkat itu bertemu tiba-tiba sinar merah menyambar dan tahu-tahu ujung sabuk telah melibat kedua batang tongkat itu dengan eratnya!

"Iblis jahat...!" Tiat-ciang Sin-kai berseru marah dan dia menerjang maju dengan tangan kanannya, mengirim pukulan yang sangat dahsyat. Kakek bongkok ini berjuluk Tiat-ciang (Si Tangan Besi) maka tentu saja dia memiliki tangan gemblengan yang amat hebat, kuat seperti besi dan ketika dia melancarkan pukulan itu tangannya berubah agak kehitaman!

Akan tetapi, melihat datangnya pukulan itu, Kim Hong Liu-nio sama sekali tak mengelak, bahkan dia segera mengangkat tangan kirinya menerima pukulan itu dengan tangkisan, gerakannya seenaknya saja seolah-olah dia tidak tahu bahwa pukulan itu adalah pukulan ampuh, bukan sembarang pukulan. Melihat ini, giranglah kakek pengemis bongkok itu. Remuk tulang tanganmu sekarang, pikirnya girang, dan dia mengerahkan seluruh tenaga Tiat-ciang-kang ke dalam tangannya itu.

"Dessss...!"

Hebat sekali pertemuan ke dua tangan itu kemudian terdengar Tiat-ciang Sin-kai berteriak kesakitan dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Dia melepaskan tongkatnya yang masih terlibat menjadi satu dengan tongkat Hek-bin Mo-kai dan pada saat yang sama, Kim Hong Liu-nio membetot sabuknya dengan kuat dan ketika Hek-bin Mo-kai mempertahankan, dia tiba-tiba melepaskan libatan sabuknya sehingga si muka hitam ini pun terhuyung seperti temannya!

Tiat-ciang Sin-kai menyeringai karena tangan kanannya terasa nyeri bukan main, seperti patah-patah rasa tulang-tulang tangannya. Dia tidak tahu bahwa wanita cantik itu tadi telah melindungi tangannya yang kecil berkulit halus itu dengan sarung tangannya yang istimewa, yaitu sarung tangan halus dengan warna sama dengan kulitnya. Sarung tangan ini dapat dipakai untuk menyambut senjata tajam, apa lagi hanya pukulan tangan kosong, biar pun tangan itu sama kerasnya dengan besi!

"Wanita kejam, engkau boleh juga!" Tiba-tiba saja terdengar bentakan halus dan si kakek kurus kering, Lo-thian Sin-kai, tokoh tingkat dua dari Hwa-i Kaipang, telah menerjang dan menyerang Kim Hong Liu-nio dengan tongkatnya.

Terdengar suara berdesir-desir dan kini tongkat yang digerakkan secara istimewa itu telah membentuk lingkaran-lingkaran yang lima buah banyaknya. Itulah Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat yang sangat hebat! Lima lingkaran sinar tongkat itu bergerak-gerak, lantas dari setiap lingkaran menyambar-nyambar ujung tongkat yang mengeluarkan suara berdesing tanda bahwa tongkat yang terlihat seperti kayu itu ternyata menyembunyikan benda logam keras di dalamnya dan tenaga yang dipergunakan untuk menggerakkan tongkat itu amat kuatnya!

"Hemm! Kalian benar-benar hendak memusuhi aku? Majulah!" bentak Kim Hong Liu-nio. Dia sama sekali tidak merasa jeri menghadapi ilmu tongkat lawan ini, bahkan dia merasa gembira sekali.


Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.