Pendekar Lembah Naga Jilid 15

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Episode Pendekar Lembah Naga Jilid 15 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Pendekar Lembah Naga Jilid 15

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Yap Mei Lan adalah puteri tunggal dari Yap Kun Liong bersama isterinya yang bernama Pek Hong Ing. Akan tetapi, sesungguhnya ibu kandung Mei Lan bukanlah Pek Hong Ing, melainkan seorang wanita bernama Liem Hwi Sian. Rahasia ini tidak diketahui oleh Mei Lan yang menganggap Pek Hong Ing adalah ibu kandungnya. Pada suatu hari, dalam percekcokan mulut antara Cia Giok Keng, puteri dari ketua Cin-ling-pai, dengan Pek Hong Ing, Mei Lan mendengar akan rahasia itu dan larilah dia meninggalkan rumah ibunya itu.

Dalam pelariannya karena kecewa dan berduka ini, bertemulah dia dengan kakek sakti Bun Hoat Tosu dan menjadi murid kakek sakti yang sudah tua renta itu. Kemudian, ketika kakek Bun Hoat Tosu meninggal dunia, dia ‘dioperkan’ oleh kakek itu kepada seorang kakek lain yang sakti dan aneh, yaitu Kok Beng Lama sehingga dia menjadi murid Kok Beng Lama yang telah ditinggali ilmu-ilmu oleh Bun Hoat Tosu untuk disampaikan kepada Mei Lan sesuai dengan ‘taruhan’ antara dua orang kakek sakti ini ketika mereka berdua bertanding catur!

Demikianlah, Mei Lan lalu menjadi murid Kok Beng Lama bersama pemuda pendiam itu yang bukan lain adalah Lie Seng, putera dari mendiang Lie Kong Tek dan Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai. Semua ini telah diceritakan dalam cerita Dewi Maut.

Selama sebelas tahun lebih, Mei Lan beserta Lie Seng pergi meninggalkan keluarga dan dunia ramai, dibawa oleh Kok Beng Lama ke Pegunungan Himalaya di dunia barat, di mana kedua orang anak ini digembleng oleh kakek sakti itu. Karena mewarisi ilmu-ilmu dari mendiang Bun Hoat Tosu dan Kok Beng Lama, maka dua orang muda itu sekarang menjadi orang-orang yang mempunyai kepandaian luar biasa sekali, sebab hampir semua kepandaian Kok Beng Lama diwarisi oleh mereka, demikian pula ilmu-ilmu yang paling hebat dari Bun Hoat Tosu telah mereka warisi melalui Kok Beng Lama.

Mereka berdua baru saja tiba dari Pegunungan Himalaya sebab guru mereka menyatakan bahwa tiba saatnya bagi mereka untuk turun gunung dan mencari keluarga mereka. Dan secara kebetulan, mereka melihat ribut-ribut di dalam hutan itu lalu cepat menghampiri.

Begitu melihat Kwi Beng, tentu saja Mei Lan segera teringat kepada pemuda ini. Tidaklah sukar untuk mengenal Kwi Beng, pemuda yang tampan, gagah dan juga memiliki ciri-ciri khas pada mata dan rambutnya. Maka, tanpa diminta tentu saja Mei Lan lalu turun tangan membantu Kwi Beng dan Kwi Eng yang belum dikenalnya, akan tetapi melihat persamaan antara wanita ini dengan Kwi Beng, dia dapat menduga bahwa wanita itu tentulah saudara kembar dari Kwi Beng, seperti yang pernah didengarnya dahulu.

Setelah Kwi Beng kini mendapat kenyataan bahwa gadis cantik itu adalah Yap Mei Lan, puteri dari pendekar sakti Yap Kun Liong, tentu saja dia menjadi girang sekali dan tentu saja dia tak lagi merasa enggan dibantu, karena Yap Mei Lan bukanlah ‘orang luar’, maka cepat dia berkata, "Adik Mei Lan, jembel tua bangka itu sudah membunuh iparku, suami dari adikku yang bernama Tio Sun!"

"Apa...?!" Mei Lan terkejut bukan main.

Tentu saja dia masih ingat kepada Tio Sun, pendekar yang gagah perkasa, yang dahulu pernah menyerbu di Lembah Naga bersama Kwi Beng dan juga telah tertawan di Lembah Naga. Jadi, Tio Sun sudah menjadi suami adik kembar dari Kwi Beng dan Tio Sun telah terbunuh oleh ketua Hwa-i Kaipang? Tentu saja berita ini membuatnya kaget bukan main.

"Pangcu, benarkah apa yang dikatakan oleh sahabatku itu? Betulkah bahwa engkau telah membunuh seorang pendekar seperti Tio Sun?" tanya Mei Lan sambil melangkah maju mendekati ketua Hwa-i Kaipang itu.

Ketua Hwa-i Kaipang menegakkan kepalanya dan sambil menatap tajam dia menjawab, "Mendiang Tio-taihiap mencari kematiannya sendiri. Kami bermusuhan dengan seorang iblis betina di rumah Panglima Lee Siang, namun dia membela iblis betina itu sehingga bentrok dengan kami. Dalam pertempuran antara dia dengan kami, dia kalah dan tewas, sama sekali kami tidak bermaksud membunuhnya karena antara dia dan kami tidak ada permusuhan apa-apa."

Mei Lan mengerutkan alisnya. Dia juga sudah mendengar berita tentang pengaruh Hwa-i Kaipang yang tentu saja menjadi agak sewenang-wenang, seperti yang biasa dimiliki oleh semua golongan yang berpengaruh dan ditakuti. Akan tetapi jika memang Tio Sun tewas dalam pertandingan yang adil, maka tewas di dalam pertandingan merupakan hal yang lumrah bagi seorang pendekar.

Betapa pun juga, dia sudah mengenal siapa Tio Sun, seorang pendekar gagah perkasa yang budiman. Maka andai kata terdapat perselisihan faham antara pendekar itu dengan para pengemis ini, sudah dapat dipastikan bahwa tentu para pengemis ini yang bersalah. Betapa pun juga, dia harus membela Kwi Beng!

Tiba-tiba Lie Seng, pemuda berusia dua puluh tiga tahun yang semenjak tadi diam saja, menyentuh lengan Mei Lan sambil berkata. "Lan-ci, biarkan aku bicara sebentar dengan dia."

Mei Lan memandang heran karena adik seperguruannya ini jarang sekali mau bicara jika tidak penting, maka kini tentu mempunyai alasan kuat untuk bicara. Dia mengangguk.

Lie Seng yang bersikap tenang sekali itu melangkah maju, memandang pada kakek yang bertubuh pendek kurus itu, lalu berkata, "Pangcu, aku pernah mendengar bahwa pangcu adalah seorang kenalan baik dari ketua Cin-ling-pai. Benarkah itu?"

Sepasang mata pangcu itu terbelalak. "Tentu saja! Bahkan kami telah berhutang budi kepada Cia-locianpwe, pangcu dari Cin-ling-pai. Orang muda, mengapa engkau bertanya demikian?"

"Ketahuilah bahwa aku adalah cucu luar dari ketua Cin-ling-pai."

"Ahhh...!"

"Bukan itu saja, akan tetapi mendiang Tio Sun yang kau bunuh itupun merupakan sahabat baik dari kakekku. Mendiang Tio Sun terkenal sebagai seorang pendekar yang gagah dan budiman, oleh karena itu, sungguh amat mengherankan mengapa engkau, yang mengaku kenal dengan kakekku sampai membunuhnya!"

Kakek itu menarik napas panjang. "Aku sendiri masih bingung memikirkan. Ketika aku menantang wanita iblis itu, yang kutantang tidak muncul, sebaliknya yang muncul adalah Tio-taihiap, dan kami memang bertanding, akan tetapi sebelum aku menyentuhnya, dia telah roboh dan tewas..."

"Jembel sombong! Kau terlalu menghina suamiku! Suamiku tidak selemah itu!" Kwi Eng berteriak. "Mari kita mengadu nyawa, aku tidak akan berhenti sebelum dapat membalas kematian suamiku!"

Hwa-i Sin-kai adalah seorang pangcu, maka karena semenjak tadi orang-orang muda itu menghinanya, dia menjadi marah juga. "Aku sudah bicara, dan bagaimana pun juga, tidak kusangkal bahwa aku telah bertanding melawan Tio Sun dan dia roboh dan tewas dalam pertandingan itu. Sekarang, aku siap mempertanggung jawabkan perbuatanku dan kalau ada yang hendak menuntut balas, tentu saja akan kulayani dengan baik!"

"Bagus!" Mei Lan berseru. "Kalau begitu, dengarlah baik-baik, pangcu dari Hwa-i Kaipang. Aku datang mewakili keluarga Tio untuk menuntut balas. Majulah dan mari kita main-main sebentar, ingin sekali kulihat sampai di mana kelihaian orang yang suka mengandalkan kepandaian untuk menghina dan membunuh orang lain yang tidak berdosa."

"Kalian bocah-bocah yang sombong dan tidak tahu diri!" Hek-bin Mo-kai yang sejak tadi sudah menahan kemarahannya itu kini membentak dan meloncat ke depan. "Siapa sih yang takut kepada kalian? Jelas bahwa orang she Tio itu bersalah kepada ketua kami dan kalau dia mampus, hal itu adalah kesalahannya sendiri. Kalau kalian mau menuntut balas, atau mau mengikutinya pergi ke neraka, majulah!"

Dengan sikapnya yang galak, pengemis bermuka hitam tingkat tiga dari Hwa-i Kaipang itu telah berdiri di depan Mei Lan, dengan tongkatnya melintang di depan dadanya, matanya kemerahan dan mukanya makin hitam akibat marah. Mei Lan sudah ingin menandinginya, akan tetapi Lie Seng melangkah maju dan berkata,

"Suci, biarlah aku menghadapinya."

Mei Lan mengangguk dan melangkah mundur. Lie Seng lalu mendekati pengemis muka hitam itu dan dengan kedua tangan kosong pemuda ini berdiri seenaknya, sama sekali tidak memasang kuda-kuda seperti orang hendak bertanding.

"Mulailah, lo-kai!"

Hek-bin Mo-kai yang sudah marah itu ingin sekali membersihkan mukanya dan menebus kekalahan-kekalahan yang pernah dideritanya, maka kini dia tanpa sungkan-sungkan lagi sudah menggerakkan tongkatnya lantas menerjang dengan dahsyatnya, menghantamkan ujung tongkatnya itu ke arah kepala pemuda yang tenang itu. Gerakannya begitu dahsyat sehingga sebelum tongkatnya tiba, tongkat itu mengeluarkan suara dan angin menyambar ke arah Lie Seng.

Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng kini sudah berdiri di pinggir sambil menonton dengan hati tegang. Mereka berdua melihat betapa tongkat itu menyambar dahsyat dan kelihatan pemuda itu masih enak-enak saja sampai tongkat sudah menyambar dekat sekali dengan kepalanya.

"Wuuuttttt...!"

Sedikit saja Lie Seng miringkan kepalanya dan tongkat itu pun menyambar luput. Melihat ini, Hek-bin Mo-kai terkejut. Pemuda ini tenang bukan main dan gerakannya yang hanya sedikit sekali itu, akan tetapi cukup berhasil, membuktikan bahwa pemuda itu benar-benar seorang ahli silat tingkat tinggi.

Makin tinggi tingkat ilmu silat seseorang, semakin tenanglah gerakannya karena dia tidak lagi menggunakan kembangan-kembangan gerakan yang tidak ada gunanya, dan setiap gerakannya sudah diperhitungkan dengan masak-masak sehingga setiap gerakan selalu mendatangkan hasil.

"Sambutlah ini!" Hek-bin Mo-kai membentak dan kini tongkatnya diputar cepat sehingga lenyaplah bentuk tongkatnya, berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung dan bagaikan ombak samudra, sinar bergulung-gulung ini menyerbu ke arah Lie Seng.

Namun pemuda ini tidak menjadi bingung menghadapi serbuan yang hebat itu. Dia tidak terpengaruh oleh sinar yang bergulung-gulung itu, namun memandang tajam sehingga dia dapat melihat di mana tongkat bersembunyi di dalam serangan itu. Dia tak mempedulikan bayangan tongkat yang banyak dan membentuk gulungan sinar, melainkan memandang ke arah tongkat yang dapat dia ikuti gerakannya, maka pada waktu tongkat itu menusuk ke arah lambungnya, dia menggeser kaki dan miringkan tubuh sehingga tongkat lewat di dekat lambungnya, lalu secepat kilat menyambar, tangan kirinya yang dibuka membacok dari atas ke arah tongkat lawan itu.

"Krakkkk!"

Tongkat itu patah menjadi dua potong! Wajah hitam dari Hek-bin Mo-kai menjadi agak pucat, matanya terbelalak lebar memandang tongkat di tangannya yang tinggal sepotong, sedangkan telapak tangannya berdarah!

Tidak pernah dia membayangkan betapa tongkatnya yang dianggapnya sebagai senjata pusaka itu bisa dipatahkan lawan hanya dengan hantaman telapak tangan miring, padahal senjata tajam pun tidak akan mampu mematahkannya. Kekagetan serta keheranannya berubah menjadi kemarahan, maka sambil mengeluarkan suara gerengan, dia menubruk kembali dengan tongkat sepotong. Tongkat yang menjadi pendek itu menghantam kepala, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah pusar. Serangan maut!

"Plak! Desss...! Bruuukkk!"

Cepat sekali terjadinya hal itu. Serangan kakek muka hitam itu disambut dengan elakan dan tangkisan yang dilanjutkan dengan cengkeraman pada tengkuk kakek itu dan sekali dia membuat gerakan melemparkan, tubuh Hek-bin Mo-kai terlempar sampai jauh, tidak kurang dari sepuluh meter kemudian terbanting di atas tanah!

Semua orang memandang bengong, karena tidak mengira bahwa pemuda itu akan dapat mengalahkan Hek-bin Mo-kai sedemikian mudahnya. Akan tetapi, Hek-bin Mo-kai yang terbanting itu tidak mengalami luka berat, hanya agak nanar saja dan pinggulnya terasa nyeri. Dia cepat-cepat meloncat berdiri dengan muka yang makin hitam, dan pada saat temannya, Tiat-ciang Sin-kai, juga tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kaipang, menerjang maju dengan tongkatnya menyerang Lie Seng, dia sendiri pun sudah berlari menghampiri dan membantu temannya ini mengeroyok Lie Seng!

"Jembel-jembel busuk! Pengecut yang main keroyok!" Kwi Beng memaki-maki pada saat melihat betapa Lie Seng yang bertangan kosong itu dikeroyok dua, dan dia sudah maju hendak membantu. Akan tetapi, Mei Lan mencegahnya.

"Biarkan saja, saudara Souw. Sute tidak akan kalah."

Dan memang apa yang dikatakan oleh Mei Lan ini merupakan kenyataan. Lie Seng masih tetap tenang saja, berdiri tanpa bergerak, bahkan tidak memasang kuda-kuda karena dia berdiri tegak dengan dua tangan tergantung di kanan kirinya, hanya matanya saja dengan tajam memandang kepada dua orang pengemis tua yang sudah datang menyerangnya dari kanan kiri itu.

Tiat-ciang Sin-kai maklum akan kelihaian pemuda yang tadi dengan mudah mengalahkan temannya itu, maka kini dia menyerang dengan tongkatnya di tangan kanan, ditusukkan ke arah dada lawan sedangkan tangan kirinya yang ampuh dan keras seperti besi hingga dia mendapat julukan Tiat-ciang (Si Tangan Besi), telah menyambar pula dengan pukulan dahsyat ke arah pelipis kanan lawan.

Dan pada saat itu pula, Hek-bin Mo-kai yang sudah menyambar sebatang tongkat dari seorang pengemis yang berada di dekatnya, telah menyerang pula sambil menggerakkan tongkatnya dengan jurus dari Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat. Tongkatnya membentuk lingkaran-lingkaran.

Seperti tadi, Lie Seng hanya bergerak sedikit saja dan serangan Tiat-ciang Sin-kai sudah dapat dielakkan, sedangkan serangan si muka hitam itu dibiarkannya saja, hanya setelah dekat, sekali pemuda itu menggerakkan kakinya, dia telah meloncat dan tubuhnya lenyap dari depan kedua orang pengeroyoknya itu!

Dua orang kakek pengemis itu sangat terkejut dan karena merasa betapa angin loncatan pemuda tadi menyambar ke arah belakang mereka, keduanya cepat membalikkan tubuh dan benar saja, pemuda itu sudah berada di belakang mereka, berdiri tegak dan tenang. Kembali mereka menyerbu dengan gerakan yang lebih dahsyat lagi karena mereka sudah menjadi marah sekali.

Akan tetapi sekali ini, Lie Seng tidak mengelak, melainkan dia malah maju memapaki! Dua pasang kaki dan tangannya bergerak secara aneh dan semua orang melihat betapa dua orang kakek pengemis itu terpelanting bagaikan disambar petir, roboh ke kanan kiri terdorong oleh hawa pukulan dan tendangan yang amat cepat itu!

Melihat ini, Lo-thian Sin-kai, tokoh tingkat dua dari Hwa-i Kaipang, menjadi marah sekali. "Bocah sombong, sambut ini!" bentaknya.

Dia lalu menyerang dengan tangan kirinya yang menampar keras. Tamparan ini bukanlah tamparan biasa, namun tamparan yang dilakukan dengan pengerahan sinkang sehingga mengeluarkan angin keras dan tenaga pukulannya sangat ampuh. Melihat ini, Lie Seng tidak mengelak melainkan mengangkat tangan menangkis.

"Dukkk!"

Dua lengan bertemu dan Lo-thian Sin-kai mengeluarkan seruan kaget karena kuda-kuda kakinya tergempur, membuat dirinya hampir terpelanting kalau saja dia tidak cepat-cepat menggunakan tongkatnya yang ditekan di atas tanah sehingga dia berhasil memulihkan keseimbangan tubuhnya. Marahlah kakek ini, juga dua orang kakek tingkat tiga itu sudah bangkit kembali.

Tanpa banyak cakap lagi, Lo-thian Sin-kai menggerakkan tongkatnya menyerang dengan Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat, sedangkan Hek-bin Mo-kai dan Tiat-ciang Sin-kai juga sudah maju. Kini Lie Seng dikeroyok tiga!

Akan tetapi pemuda itu tetap tenang saja, bahkan Mei Lan juga masih menonton sambil tersenyum. Gadis ini berpikir bahwa yang menjadi musuh-musuh dari dua orang saudara kembar she Souw ini adalah Hwa-i Sin-kai pribadi dan tidak ada sangkut-pautnya dengan perkumpulan Hwa-i Kaipang, akan tetapi ternyata kini pangcu itu hanya diam saja malah membiarkan anak buahnya yang turun tangan. Karena itu, dia mengerling ke arah ketua itu yang memandang dengan alis berkerut melihat betapa pembantu-pembantu utamanya jelas bukan tandingan pemuda perkasa itu.

"Orang yang gagah selalu mempertanggung jawabkan sendiri semua perbuatannya, akan tetapi sungguh aneh, seorang pangcu dari perkumpulan besar dan terkenal seperti Hwa-i Kaipang ternyata berlindung kepada anak buahnya!"

Merahlah wajah ketua Hwa-i Kaipang mendengar ucapan ini. Memang semenjak tadi dia sudah hendak turun tangan sendiri, akan tetapi melihat para pembantunya sudah turun tangan untuk membelanya, dia mendiamkannya saja karena dia pun ingin melihat sampai di mana kelihaian dua orang muda yang datang membantu dua orang saudara kembar yang nekat itu.

Terkejutlah dia tadi melihat gerakan-gerakan Lie Seng dan selagi dia melihat ketiga orang pembantu utamanya mengeroyok pemuda itu, sekarang gadis cantik yang menjadi suci dari pemuda itu telah menyindirnya. Maka dia lalu melangkah maju.

"Nona, kalau kau hendak mewakili keluarga Tio, majulah. Siapa takut kepadamu?"

Mei Lan tersenyum. "Bagus, hal ini sudah kutunggu-tunggu, pangcu. Nah, aku sudah siap menghadapi tongkat bututmu. Mulailah!"

"Sambutlah, gadis sombong!" Kakek itu menggerakkan tongkatnya dan terdengar suara mencicit nyaring keluar dari sinar tongkat yang menyambar gadis itu. Mei Lan terkejut juga dan cepat mengelak.

"Trakkk!"

Batang pohon yang berada di belakang gadis itu patah terkena sambaran hawa pukulan tongkat itu! Maklumlah Mei Lan bahwa ketua ini benar-benar seorang jagoan yang lihai, maka dia pun dengan tenang lalu menghadapinya dengan waspada.

Memang Hwa-i Sin-kai, ketua dari perkumpulan pengemis itu sudah marah sekali melihat para pembantunya kalah, maka begitu menyerang dia telah mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa dan mengerahkan sinkang sehingga sambaran tongkatnya mendatangkan angin pukulan yang amat ganas. Akan tetapi, serangan pertama tadi dapat dihindarkan oleh gadis itu secara mudah saja, maka dia menjadi penasaran dan sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor singa, dia sudah menerjang lagi dengan dahsyat.

Dan terjadilah pertandingan yang membuat Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng melongo penuh kekaguman. Gadis cantik itu tiba-tiba saja lenyap dan tubuhnya berubah menjadi sosok bayangan yang sukar diikuti pandang mata, bayangan yang berkelebatan di antara gulungan sinar tongkat kakek itu yang sudah menyerang dengan hebatnya, karena kakek itu mengeluarkan ilmunya Ta-houw Sin-ciang yang mengeluarkan hawa dingin, pukulan-pukulan tangan kiri yang amat ampuh untuk membantu Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat yang sudah mencapai tingkat tinggi.

Akan tetapi gadis itu seperti bertubuh kapas saja, begitu ringan dan setiap kali disambar tongkat, seolah-olah angin sambaran itu sudah mendorongnya sehingga selalu tongkat itu sendiri tidak dapat mengenai tubuhnya. Dan hebatnya, setiap kali tangan yang kecil dan halus itu menangkis pukulan Ta-houw Sin-ciang yang dingin sekali, nampaklah uap putih keluar dari pertemuan kedua tangan mereka, dan kakek itu merasa betapa tangan kirinya menjadi panas seperti dibakar! Bukan itu saja, malah kakek itu selalu merasa lengannya tergetar hebat pada setiap pertemuan tangan.

Hwa-i Sin-kai sesungguhnya bukanlah orang sembarangan. Dia memiliki ilmu kepandaian yang sudah amat tinggi tingkatnya, sehingga dia boleh dibilang merupakan seorang datuk ilmu silat di dunia kang-ouw. Namanya dikenal luas oleh semua jago-jago silat, baik dari golongan putih mau pun dari golongan hitam.

Ilmu tongkatnya yang disebut Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) sudah amat terkenal dan sukar dilawan, karena kalau dia mainkan ilmu tongkat ini, sama saja dengan lima batang tongkat yang dimainkan oleh lima orang. Terlebih lagi ilmu pukulannya yang disebut Ta-houw Sin-ciang itu, diberi nama demikian sebab kabarnya dengan sekali pukul saja kakek ini dulu pernah menewaskan seekor harimau yang menjadi pecah kepalanya!

Ta-houw Sin-ciang (Ilmu Tangan Sakti Pemukul Harimau) digerakkan dengan pengerahan sinkang yang mengandung hawa dingin menusuk tulang, maka lihainya bukan kepalang. Inilah sebabnya, karena merasa bahwa dia adalah seorang cabang atas, seorang datuk persilatan, Hwa-i Sin-kai merasa marah sekali dengan adanya gangguan dari Kim Hong Liu-nio yang berani memusuhi perkumpulannya, seolah-olah berani menentang dirinya.

Akan tetapi, setelah bertanding selama hampir tiga puluh jurus, kakek itu segera menjadi terheran-heran dan kaget setengah mati melihat betapa gadis itu benar-benar luar biasa sekali! Ginkang dari gadis itu membuat tubuh si gadis ini seperti dapat menghilang saja, bahkan dapat berkelebatan di antara sinar-sinar tongkatnya yang telah mengurung rapat.

Yang lebih hebat lagi, gadis itu berani dan kuat menangkis pukulan Ta-houw Sin-ciang! Bukan hanya berani dan kuat, bahkan dapat membuat dia merasakan hawa panas yang luar biasa menyerang lengannya. Padahal seingatnya, belum pernah ada tokoh persilatan yang dapat menghadapi Ta-houw Sin-ciang seperti ini!

Secara diam-diam kakek ini menjadi bingung dan khawatir karena tidak pernah mengira bahwa di dunia persilatan akan muncul seorang gadis yang begini lihai bersama adiknya atau sute-nya yang juga lihai bukan main! Dia segera mengerahkan seluruh tenaganya, mengeluarkan seluruh kepandaiannya karena bagaimana pun juga, dia tidak boleh kalah oleh seorang gadis muda seperti ini. Kekalahan itu tentu akan langsung menghancurkan nama besarnya.

Meski pun dia dikeroyok tiga orang kakek lihai, namun dibandingkan dengan suci-nya, Lie Seng menghadapi lawan yang jauh lebih lunak. Dengan enaknya pemuda ini menghadapi serbuan-serbuan itu bagai seekor kucing yang mempermainkan tiga ekor tikus. Dia hanya kadang-kadang mendorong untuk membuat tiga orang pengeroyoknya terhuyung-huyung atau pun terpelanting, tanpa menjatuhkan tangan keras untuk melukai mereka, apa lagi membunuh mereka.

Akan tetapi, begitu dia melihat suci-nya sudah bertanding melawan ketua Hwa-i Kaipang dan mendapat kenyataan betapa kakek itu sangat lihai, Lie Seng ingin berjaga-jaga dan kalau perlu melindungi suci-nya, maka dia lalu berseru keras, dan gerakannya berubah menjadi cepat bukan main.

Pada saat itu, dia baru saja menghindar dari sambaran tongkat Lo-thian Sin-kai yang jauh lebih lihai dari pada dua orang kakek pengemis yang lain. Begitu tongkat itu luput, kakek tingkat kedua ini langsung menghantam dengan tangan kirinya yang mengandung tenaga sinkang dahsyat. Akan tetapi Lie Seng yang ingin cepat menyelesaikan pertempuran itu tidak lagi mengelak, melainkan menggerakkan tangannya, dengan sengaja dia memapaki hantaman itu dengan sambutan tangan kanannya.

"Plakkk...!"

Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya tubuh Lo-thian Sin-kai terguling dan kakek ini roboh lemas, tidak dapat bangkit kembali karena tubuhnya terasa lumpuh semua.

Dua orang kakek tingkat tiga yang melihat ini menjadi terkejut dan menubruk dari kanan kiri, namun Lie Seng memapaki mereka dengan tamparan-tamparan yang ampuh hingga kedua orang ini pun terpelanting dan tidak mampu bangun kembali karena sekali ini Lie Seng mempergunakan tenaga yang agak besar sehingga mereka yang kena ditampar itu roboh pingsan!

Walau pun tubuhnya seperti lumpuh, Lo-thian Sin-kai masih mampu berseru kepada para pengemis lainnya, "Maju semua! Keroyok dia...!" Dan bergeraklah semua anggota Hwa-i Kaipang maju menyerbu dan mengeroyok Lie Seng!

"Hemm, kalian benar-benar jahat!" Lie Seng berseru.

Pemuda ini lalu mengamuk, merobohkan para pengeroyok dengan tamparan tangan dan tendangan kakinya. Melihat ini, Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng juga tidak mau tinggal diam, mereka berdua lalu mengamuk pula, tidak mempedulikan tubuh mereka yang sudah sakit-sakit akibat dihajar oleh ketua Hwa-i Kaipang tadi. Kini mereka dapat melampiaskan kemarahan dan sakit hati mereka kepada anggota kaipang itu, bertempur bahu-membahu dengan Lie Seng yang gagah perkasa.

Sementara itu, pertempuran antara Mei Lan dan Hwa-i Sin-kai juga makin hebat. Melihat betapa sute-nya dan dua orang saudara kembar itu dikeroyok oleh para anggota Hwa-i Kaipang, Mei Lan berkata mengejek,

"Jembel-jembel busuk benar-benar tak tahu malu!"

Dan dia pun lantas menggerakkan tubuhnya dengan cepat sekali, maka lenyaplah bentuk tubuh gadis ini, berubah menjadi bayangan yang banyak dan yang mengeluarkan angin menyambar-nyambar ke arah kakek ketua kaipang itu. Inilah Pat-hong Sin-kun, ilmu silat tangan kosong yang amat sakti dari mendiang Bun Hoat Tosu!

Hwa-i Sin-kai terkejut bukan main, mengenal ilmu silat yang amat tinggi dan biar pun dia sudah memutar tongkatnya dengan cepat dan kuat, tetap saja angin menyambar ke arah lehernya dan dia cepat miringkan tubuhnya.

"Brettttt...!" angin itu masih menyambar leher bajunya yang menjadi robek seketika!

"Uhhhhh...!" Kakek itu meloncat jauh ke belakang dengan muka pucat.

Maklumlah dia bahwa kalau dia melanjutkan pertempuran, akan terjadi pertempuran adu nyawa dengan dara yang ternyata luar biasa lihainya itu. Dia tidak mau memperpanjang urusan dan permusuhan, apa lagi tadi dia mendengar bahwa pemuda itu adalah cucu luar dari ketua Cin-ling-pai! Dan kini dia melihat betapa anak buahnya sudah kocar-kacir dan mulai dihajar habis-habisan oleh pemuda perkasa itu yang dibantu oleh sepasang saudara kembar. Dia merasa menyesal sekali dan cepat kakek ini berseru nyaring,

"Semua saudara pengemis, mundur!" Dan dia mendahului meloncat dan melarikan diri.

Mendengar seruan ini, para pengemis terkejut. Belum pernah selama mereka menjadi anggota Hwa-i Kaipang, ada perintah mundur dari ketua mereka, apa lagi melihat ketua mereka melarikan diri. Tentu saja hal ini membuat nyali mereka menjadi kecil dan tanpa diperintah dua kali, para pengemis itu langsung meninggalkan gelanggang pertempuran, melarikan diri sambil menyeret tubuh teman-teman mereka yang terluka atau pingsan.

Sebentar saja sunyilah di halaman kuil kosong itu, tidak nampak seorang pun pengemis. Banyak pengemis yang roboh oleh amukan Lie Seng, namun tidak seorang pun tewas karena pemuda ini tidak mau membunuh, hanya merobohkan mereka sehingga ada yang patah tulang, salah urat dan pingsan karena pening.

Setelah semua pengemis pergi, Kwi Eng teringat kembali pada suaminya dan dia segera menjatuhkan diri berlutut di atas tanah sambil menangis. Melihat keadaan adiknya ini, Kwi Beng cepat menghampiri akan tetapi tiba-tiba pemuda ini terguling roboh dan pingsan!

"Ahh...!" hanya dengan sekali loncatan saja Mei Lan sudah menyambar tubuh pemuda itu sehingga kepala Kwi Beng tidak sampai terbanting. Cepat Mei Lan merebahkan tubuh Kwi Beng dan memeriksa luka-lukanya.

Memang keadaan pemuda ini lebih parah dari pada adiknya, akan tetapi dengan hati lega Mei Lan mendapat kenyataan bahwa luka-luka itu hanyalah luka-luka luar saja dan tidak ada yang berbahaya bagi keselamatan nyawanya. Diam-diam Mei Lan mengakui bahwa ketua Hwa-i Kaipang itu sebenarnya bukanlah seorang yang kejam sebab kalau memang dikehendakinya tentu dengan mudah kakek itu dapat membunuh dua orang kakak beradik kembar itu.

Dengan bantuan Lie Seng, Mei Lan kemudian mengobati kakak beradik kembar itu dan perlahan-lahan Kwi Beng siluman. Ketika dia melihat dirinya sendiri rebah terlentang dan di dekatnya nampak gadis cantik dan gagah perkasa tadi sedang berlutut, Kwi Beng lalu memandang.

Dua pasang mata bertemu, bertaut dan melekat penuh dengan macam perasaan haru. Akhirnya Mei Lan menundukkan mukanya dan Kwi Beng merasa mukanya agak panas. Dia tidak tahu betapa mukanya menjadi merah sekali dan dia lalu bangkit duduk sambil memegangi kepalanya.

"Bagaimana rasanya kepalamu?" tanya Mei Lan.

Gadis ini biasanya lincah jenaka dan tidak pernah merasa sungkan terhadap siapa pun, akan tetapi dia sendiri tidak mengerti mengapa kini sesudah berhadapan dengan pemuda yang bermata biru dan rambutnya agak menguning keemasan ini, dia merasakan suatu hal yang luar biasa, yang membuatnya merasa agak malu-malu.

"Tidak apa-apa... hanya agak pening sedikit. Agaknya engkau sudah menolongku ketika aku roboh pingsan, adik Mei Lan. Ahhh, seperti baru kemarin saja engkau menolongku, melepaskan aku dari ikatan di Lembah Naga dahulu itu..."

"Kalian berdua sungguh terlampau berani menentang Hwa-i Kaipang." Mei Lan menegur. "Pangcu itu lihai sekali. Sebenarnya apakah yang sudah terjadi dan bagaimana saudara Tio Sun sampai tewas di tangan mereka?"

Mendengar pertanyaan ini, Kwi Eng menangis ada pun Kwi Beng menarik napas panjang berulang kali. Kwi Eng tidak mampu bicara karena sedang menangis dan berduka, maka Kwi Beng kemudian mewakili adiknya bercerita kepada Lie Seng dan Mei Lan.

"Kami sendiri tidak tahu bagaimana asal mulanya urusan ini. Iparku itu hanya berpamit kepada isterinya hendak pergi mengunjungi Panglima Kim-i-wi yang bernama Lee Siang, katanya dimintai tolong oleh panglima itu untuk menjadi orang penengah atau pendamai. Akan tetapi, tahu-tahu dia telah diantar pulang oleh panglima itu, dalam keadaan sudah tewas dan menurut cerita Panglima Lee, iparku telah dibunuh oleh pangcu Hwa-i Kaipang tanpa sebab, diserang setelah iparku berusaha untuk mendamaikan mereka. Demikianlah penuturan dari Panglima Lee Siang." Kwi Beng berhenti bercerita lantas menarik napas panjang, berduka karena teringat akan kematian iparnya sehingga adiknya yang masih muda telah menjadi janda.

"Lalu kalian mendatangi ketua Hwa-i Kaipang dan menantangnya?" Mei Lan bertanya.

Kwi Beng mengangguk. "Tentu saja kami berdua tidak mau menerima begitu saja, sebab sepanjang pengetahuan kami, keluarga kami tak pernah bermusuhan dengan fihak Hwa-i Kaipang, dan iparku itu bukan ingin membela Panglima Lee, melainkan hendak menjadi orang penengah yang mendamaikan. Ketika kami bertemu dengan ketua Hwa-i Kaipang, dia berkata bahwa dia tidak bermusuhan dengan iparku, tak sengaja membunuhnya, dan dia bertempur dengan iparku karena iparku itu hendak melindungi Kim Hong Liu-nio yang dibela oleh Panglima Lee Siang. Dan dia mengatakan bahwa kalau ada yang menuntut balas, dia siap untuk melayani karena dia merasa tidak bersalah."

Mei Lan mengerutkan alisnya. "Hemm, kurasa dia tidak berbohong."

Kakak beradik kembar itu mengangkat muka memandang dengan perasaan heran. "Tidak berbohong? Jembel tua itu...!" Kwi Eng berseru, penasaran bukan main.

Mei Lan membuat gerakan dengan tangannya untuk menyabarkan. "Harap kalian berdua ingat bahwa kalau kakek itu mempunyai niat jahat, tentu kalian berdua telah dibunuhnya. Apa sukarnya bagi ketua itu yang dibantu oleh anak buahnya? Tidak, dia tidak membunuh kalian, dan ini saja sudah membuktikan bahwa dia tidak bermaksud buruk, tidak berniat memusuhi keluargamu dan karena itu maka kematian saudara Tio Sun ini perlu diselidiki lebih lanjut lagi. Yang menjadi biang keladi adalah panglima she Lee itu, dan siapakah gerangan wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio, yang dimusuhi ketua Hwa-i Kaipang itu?"

Kwi Eng menjawab, "Menurut penuturan suamiku yang mendengar dari Panglima Lee, wanita itu adalah seorang yang berjasa besar terhadap kaisar, bahkan penyelamat nyawa kaisar ketika terjadi pemberontakan. Dia adalah utusan dari Raja Sabutai." Kwi Eng lalu bercerita tentang Kim Hong Liu-nio seperti yang didengarnya dari penuturan suaminya.

"Ahh...!" Mei Lan terkejut sekali mendengar semua itu, lalu dia pun mengangguk-angguk. "Urusan menjadi makin berbelit. Dan kenapa pula Kim Hong Liu-nio bermusuhan dengan pangcu dari Hwa-i Kaipang?"

"Kabarnya, wanita itu pernah bentrok dengan seorang anggota Hwa-i Kaipang sehingga anggota perkumpulan itu tewas, kemudian dia mengalahkan beberapa orang tokoh Hwa-i Kaipang sehingga pada suatu hari dia dikepung oleh banyak anggota Hwa-i Kaipang di luar pintu gerbang di utara. Pada saat itulah Lee-ciangkun menyelamatkannya," kata pula Kwi Eng.

"Hemmm, urusan dendam-mendendam!" Mei Lan kembali mengangguk-angguk. "Kini kita mengerti bahwa agaknya saudara Tio terlibat dalam urusan dendam pribadi antara pangcu Hwa-i Kaipang dan Kim Hong Liu-nio. Dia dimintai tolong untuk melerai akan tetapi timbul kesalah fahaman dan terjadi pertempuran sehingga saudara Tio tewas di tangan pangcu itu. Tewas dalam suatu pertempuran yang adil memang menjadi resiko orang gagah, dan sesungguhnya tidak ada yang patut dibuat sakit hati."

"Akan tetapi, jembel tua itu sudah membikin sengsara kehidupan adikku yang kehilangan suaminya dan keponakanku yang kehilangan ayahnya. Bagaimana mungkin kami dapat mendiamkannya saja?" bantah Kwi Beng penasaran. "Dan iparku tewas bukannya karena urusan pribadi, melainkan sebagai seorang penengah yang mendamaikan. Bukankah hal itu menimbulkan penasaran sekali?"

Mei Lan yang merupakan seorang gadis muda berusia dua puluh lima tahun itu menarik napas panjang, lantas keluarlah kata-kata yang padat dan penuh pengertian, "Penasaran selalu timbul pada fihak yang merasa dirugikan, akan tetapi orang bijaksana memandang persoalan sesuai dengan kenyataannya tanpa dipengaruhi oleh rugi untung bagi dirinya sendiri. Urusan ini menyangkut fihak-fihak yang amat berpengaruh. Hwa-i Kaipang adalah sebuah perkumpulan besar yang berpengaruh sekali, karena itu tentu mempunyai banyak sekutunya. Di lain fihak, apa bila benar Kim Hong Liu-nio itu adalah utusan Raja Sabutai bahkan penyelamat jiwa kaisar, maka tentu saja dia pun memiliki kedudukan yang kuat dan pengaruhnya besar. Maka, jika kalian berdua tidak berkeberatan, marilah kalian ikut bersama kami ke Cin-ling-san. Kami hendak menghadap Cia-locianpwe, kongkong dari sute Lie Seng dan mengingat bahwa Cia-locianpwe mengenal pula ketua Hwa-i Kaipang, maka tentu nasehat beliau amat berharga untuk dipertimbangkan."

"Baik, aku setuju. Mari kita ikut pergi ke Cin-ling-san, Eng-moi," kata Kwi Beng seketika. Dengan amat cepat seperti tanpa dipikirkannya lagi dia telah menyetujui, karena memang hatinya membisikkan bahwa dia tidak ingin berpisah dengan gadis cantik yang amat lihai itu, yang sejak tadi telah begitu menarik hatinya!

Di lain fihak, sesudah mendengar ajakannya sendiri, Mei Lan juga terheran dan bahkan terkejut sekali kenapa dia mengajak kedua orang kembar itu untuk melakukan perjalanan bersamanya ke Cin-ling-san! Mukanya menjadi merah sekali sebab diam-diam dia harus mengakui bahwa selamanya belum pernah dia merasakan hal seperti ini, dan dia tahu bahwa dirinya tidak ingin berjauhan dari pemuda tampan dan gagah yang mengagumkan hatinya itu!

Berangkatlah empat orang muda yang gagah perkasa itu menuju ke Cin-ling-san, dan di dalam perjalanan ini tumbuh perasaan yang mesra di dalam dada Kwi Beng dan Mei Lan. Hal ini tentu saja dimengerti pula oleh Kwi Eng yang diam-diam, dalam kedukaan akibat kehilangan suami tercinta, merasa girang dan senang sekali kalau kakak kembarnya itu mungkin dapat berjodoh dengan seorang gadis seperti Yap Mei Lan yang demikian gagah perkasa.

Lie Seng yang juga sudah cukup dewasa itu pun dapat merasakan adanya kemesraan antara suci-nya dan pemuda bermata kebiruan dan berambut kekuningan itu, akan tetapi karena dia seorang pendiam yang tentu saja merasa sungkan kepada suci-nya, maka dia pura-pura tidak tahu saja. Sungguh sute yang penuh pengertian.

********************

Ui-eng Piauwkiok dengan tanda kebesarannya berupa bendera piauwkiok yang dasarnya berwarna merah dengan lukisan seekor burung garuda kuning sudah sangat terkenal di seluruh Propinsi Ho-pei sebagai perusahaan ekspedisi yang boleh dipercaya. Tentu saja setiap perusahaan apa pun dapat maju atau mundur, jatuh atau bangun tergantung dari kebijaksanaan sang pimpinan.

Dan di dalam hal ini, Na Ceng Han termasuk seorang yang pandai berusaha di samping kejujuran serta kegagahannya yang membuat perusahaan ekspedisinya sampai terkenal dan dipercaya orang. Na-piauwsu memang pandai bergaul dan hubungannya luas sekali dengan para tokoh dunia persilatan, baik dengan golongan pendekar atau golongan putih mau pun dengan golongan hitam atau kaum perampok dan bajak.

Karena mempunyai hubungan yang luas inilah maka barang-barang yang dikawal oleh perusahaannya tak pernah diganggu penjahat sebab hampir semua golongan liok-lim dan kang-ouw merasa enggan untuk mengganggu barang-barang yang dikawal oleh piauwsu yang mereka kenal sebagai seorang yang ringan tangan dan suka membantu itu, selain ini, juga setiap orang pendekar tentu akan membantu kalau mendengar betapa piauwsu ini diganggu orang.

Akan tetapi, sungguh pun Na Ceng Han tidak pernah memusuhi orang lain, hal itu bukan berarti bahwa tidak ada orang lain yang memusuhi dirinya! Kita ini hidup di dalam dunia di mana masyarakat telah diracuni oleh iri hati! Di segala lapangan nampak jelas iri hati ini yang hampir mengotori setiap orang manusia.

Na Ceng Han tidak terluput dari incaran mata orang lain yang mengandung iri hati seperti itu, bahkan juga mengandung dendam. Yang mengincar dari jauh itu adalah mata Ciok Khun, juga seorang piauwsu yang tinggal di kota Kun-ting itu. Ciok Khun adalah piauwsu yang membuka piauwkiok yang bernama Gin-to Piauwkiok (Perusahaan Ekspedisi Golok Perak). Nama ini diambil dari senjatanya yang terkenal, yaitu sebatang golok dari perak. Bendera piauwkiok-nya berdasar hitam dengan lukisan sebatang golok putih.

Telah menjadi penyakit umum di antara manusia untuk saling bersaing dalam kehidupan. Penyakit ini memang sudah dipupuk semenjak kecil. Pada waktu manusia masih menjadi kanak-kanak pun para orang tua dan gurunya sudah selalu menekankan agar dia ‘tidak kalah’ dari orang lain. Penekanan yang memupuk jiwa persaingan itulah, yang dilakukan oleh kita semua tanpa kita sadari bahwa kita telah menanamkan benih-benih yang akan menimbulkan sengketa dan kekerasan dalam diri anak-anak kita!

Semenjak kecil, setiap orang anak telah dirangsang oleh orang tuanya, guru-gurunya, dan masyarakat yang menerima hal itu sebagai suatu kehormatan serta kebudayaan, untuk menonjolkan dirinya sendiri, supaya tidak kalah oleh siapa pun juga. Di dalam kelas saja sudah terdapat penekanan ini berupa angka-angka tertinggi untuk nilai-nilai kepandaian, pujian bagi yang pintar dan celaan-celaan bagi yang bodoh, penghormatan-penghormatan bagi yang kaya dan penghinaan-penghinaan bagi yang miskin, memandang tinggi bagi yang berkedudukan tinggi dan memandang rendah kepada yang berkedudukan rendah. Inilah yang membentuk jiwa seseorang sehingga seperti keadaan kita sekarang ini!

Kita bersaing dalam hal apa pun juga. Dalam perdagangan, dalam perusahaan, dalam kedudukan, dalam olah raga, dalam semua kehidupan kita. Persaingan ini, dalam bentuk apa pun juga, tidak mungkin tidak menimbulkan kekerasan dan konflik, biar pun dengan seribu macam alasan kita mau memperhalus persaingan dengan tambahan kata ‘sehat’. Persaingan sehat! Mana mungkin ini? Karena persaingan itu sendiri adalah sama sekali tidak sehat!

Keinginan menonjolkan diri agar ‘tidak kalah’ oleh orang lain ini menimbulkan persaingan, menimbulkan konflik, menimbulkan iri hati. Iri hati timbul karena perbandingan, jika kita membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain yang lebih pandai, kedudukannya lebih tinggi, lebih kaya, dan segala macam lebih lagi. Hidup akan menjadi sesuatu yang lain sama sekali dari pada sekarang ini bila tidak ada perbandingan, tak ada persaingan, tak ada keinginan menonjolkan diri.

Dapatkah kita hidup bebas dari persaingan? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini, kita harus menghayatinya, bukan hanya sekedar memikirkan dan berteori lalu berbantahan dengan kata-kata kosong belaka. Penghayatan dapat dilakukan kalau kita mengenal diri sendiri setiap saat, mengenal iri hati diri sendiri, mengenal keinginan menonjolkan diri sendiri, mengenal kesukaan diri sendiri untuk bersaing dan menang!


Demikianlah, tanpa disadari sendiri oleh Na Ceng Han, diam-diam terdapat seorang yang amat membencinya, bukan hanya didorong oleh iri hati dan persaingan dalam perusahaan yang sama sifatnya, melainkan juga kebencian yang terdorong oleh dendam dan sakit hati!

Sebelum menjadi piauwsu, tadinya Ciok Khun adalah seorang perampok tunggal. Tentu saja hubungannya dengan para penjahat di dunia liok-lim lebih erat dibandingkan dengan hubungan Na-piauwsu terhadap mereka. Dan sesudah Ciok Khun menjadi piauwsu, dia melihat kesempatan-kesempatan baik. Bukan hanya dia dapat mengawal barang-barang dengan aman karena tidak akan diganggu teman-temannya, atau bekas rekan-rekannya, melainkan juga dia dapat bersekongkol dengan para penjahat itu untuk memeras para pengirim barang yang dipercayakan kepadanya!

Beberapa kali sudah terjadi kalau ada kiriman barang-barang berharga yang dikawalnya, Ciok Khun bersekutu dengan teman-temannya kemudian di tengah jalan teman-temannya itu mengganggu dan merampas barang-barang yang berharga di bawah pengetahuan si pemilik barang sendiri. Kalau sudah begitu, Ciok Khun menawarkan jasa-jasa baiknya dan barang-barang itu tentu akan dapat diperolehnya kembali asal saja si pemilik barang suka ‘menyogok’ para perampok yang dikenalnya itu. Padahal, yang mengatur kesemuanya itu tentu saja adalah Ciok Khun sendiri!

Praktek-praktek pemerasan seperti ini tak hanya dilakukan oleh orang-orang seperti Ciok Khun yang memang tadinya adalah seorang perampok, tetapi dilakukan oleh kebanyakan orang yang mempunyai kedudukan atau juga yang mempunyai banyak kesempatan untuk melakukannya.

Sejak jaman kuno hingga sekarang, dapatlah dilihat betapa banyaknya orang-orang yang bertugas menjadi penjaga dan pelindung keselamatan tapi malah melakukan pemerasan kepada mereka yang mestinya dijaga atau dilindungi keselamatannya! Justru penjagaan atau perlindungan itulah yang dijadikan sebagai jalan untuk melakukan pemerasan.

Keadaan seperti ini sungguh amat mengherankan dan menyedihkan, tapi kenyataannya memang demikian. Dan semuanya itu, seperti juga bentuk kemaksiatan atau kejahatan apa pun juga, didorong oleh keinginan manusia untuk mencari kesenangan sendiri. Jadi sumbernya adalah pada diri kita sendiri! Kitalah yang harus berubah, bukan keadaannya, bukan sekeliling kita, bukan masyarakat, bukan dunia, melainkan kita sendiri, masing-masing harus berubah seketika!

Tanpa adanya perubahan dalam diri kita masing-masing jangan mengharapkan keadaan sekeliling atau masyarakat akan bisa berubah. Biar pun diatur bagaimana juga, selama diri kita belum berubah, maka peraturan itu hanya akan menjadi alat baru untuk saling memperebutkan kesenangan bagi kita sendiri dan karenanya pasti timbul pelbagai bentuk kemaksiatan dan kejahatan baru.

Apa bila kita sudah berubah, maka akan terjadilah perubahan dalam segala hal. Harta, kedudukan, pendeknya segala macam antar hubungan akan mempunyai arti yang lain sama sekali.


Mengapa Ciok Khun menaruh dendam dan sakit hati terhadap Na-piauwsu? Apa bila dia merasa iri hati, maka hal itu sudah jelas karena dalam hal persaingan pekerjaan sebagai piauwsu, Ciok Khun kalah jauh. Para pedagang besar dan pembesar-pembesar lebih suka mengirimkan barang-barang berharga milik mereka di bawah lindungan bendera Ui-eng Piauwkiok dari pada dilindungi oleh bendera Gin-to Piauwkiok.

Akan tetapi, dendam dan sakit hati di hati Ciok Khun timbul karena urusan pribadi, yaitu karena dulu Na-piauwsu pernah menentang praktek-prakteknya yang memeras seorang pedagang yang mengirim barangnya di bawah perlindungan Gin-to Piauwkiok. Na-piauwsu yang menghentikan pemerasan itu dan yang dengan terang-terangan mendatanginya dan menegurnya karena pedagang itu merupakan seorang kenalan baik dari Na-piauwsu yang datang menceritakan pemerasan yang ditimpakan kepadanya itu.

Ciok Khun tidak berani menentang secara berterang dan pada lahirnya dia menurut, akan tetapi diam-diam timbul ganjalan di dalam hatinya, melahirkan dendam dan setiap hari dia mencari kesempatan supaya dia dapat membalas kepada Na-piauwsu yang dianggapnya musuh besarnya itu. Hanya karena dia tahu bahwa dalam hal ilmu kepandaian dia tidak akan mampu menandingi Na-piauwsu, maka dia masih belum turun tangan dan menanti saat sampai bertahun-tahun lamanya.

Kesempatan yang dinanti-nantikan itu akhirnya tibalah. Dia berkenalan dengan seorang yang bernama Lu Seng Ok, yaitu seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang memiliki kepandaian tinggi. Lu Seng Ok ini adalah seorang bekas tokoh Hwa-i Kaipang yang murtad dan telah dikeluarkan dari Hwa-i Kaipang karena ketahuan telah melakukan kejahatan dengan jalan minta-minta secara paksa kepada para penghuni sebuah dusun.

Walau pun hanya merupakan sebuah perkumpulan pengemis, akan tetapi Hwa-i Kaipang memiliki peraturan keras terhadap para anggotanya. Mereka dilarang untuk melakukan pencurian atau perampokan, maka perbuatan Lu Seng Ok yang menjadi tokoh tingkat tiga itu dianggap perampokan dan dia pun dikeluarkan dari Hwa-i Kaipang oleh ketua Hwa-i Kaipang sendiri.

Sesudah keluar dari perkumpulan itu, tentu saja Lu Seng Ok menjadi seorang penjahat yang suka menggunakan kekerasan dan ilmu silatnya yang tinggi. Akhirnya, bertemulah Lu Seng Ok dengan Ciok Khun dan menjadi sahabat baik.

Pada suatu malam yang gelap dan sunyi. Hujan turun sejak sore tadi, dan biar pun kini hujan tinggal rintik-rintik kecil, namun hawa yang dingin membuat orang merasa enggan untuk keluar dari pintu, apa lagi air hujan membuat jalan di luar rumah menjadi becek dan berlumpur. Toko-toko sudah tutup sejak tadi ketika hujan turun deras karena dibuka pun percuma saja, tidak ada pembeli, bahkan jalan-jalan sunyi tidak ada orang lewat.

Hawa udara yang sejuk dan nyaman membuat orang sore-sore sudah memasuki kamar mereka, dan membuat orang merasa betah tinggal di rumah. Di rumah keluarga Na juga sudah sepi sekali. Na Ceng Han serta isterinya sudah memasuki kamar, bercakap-cakap dan mereka berdua membicarakan tentang diri Sin Liong yang sudah satu setengah tahun berada di rumah mereka.

Suami isteri ini merasa suka sekali kepada Sin Liong yang tahu diri dan rajin membantu pekerjaan rumah, dan juga rajin sekali berlatih silat serta belajar membaca dan menulis, mendalami kitab-kitab kuno, dan selain kerajinan ini, juga Sin Liong adalah seorang anak yang patuh dan tidak banyak bicara.

Para pembantu rumah tangga, juga para piauwsu yang berada di kantor, semua sudah beristirahat di tempat masing-masing. Bhe Bi Cu sudah tidur di dalam kamarnya, ada pun Na Tiong Pek, putera tunggal Na-piauwsu, sejak sore tadi memanggil Sin Liong ke dalam kamarnya dan mengajak anak itu bermain catur.

Kini Tiong Pek sudah rebah di atas pembaringan, sedangkan Sin Liong masih membaca kitab di kamar Tiong Pek. Suasana sangat sunyi dan dari celah-celah jendela kamar itu dapat terdengar hembusan angin malam yang kadang-kadang mengeluarkan bunyi yang menyeramkan, seperti iblis meniup-niup di luar rumah, di antara pohon-pohon yang gelap.

Dan kalau saja pada waktu itu ada penghuni rumah keluarga Na yang mengintai keluar, mungkin dia akan dapat melihat keadaan yang menyeramkan di sekitar rumah keluarga Na itu. Beberapa bayangan orang berkelebat cepat dan sebentar saja ada bayangan tujuh orang berada di sekitar tempat itu, menyelinap di antara bayangan-bayangan gelap dan pohon-pohon.

Suara angin yang bertiup keras pada daun-daun pohon di luar rumah menyelimuti suara golok seorang di antara mereka yang mencokel daun pintu hingga terbuka dan bagaikan bayangan-bayangan iblis mereka lantas berloncatan masuk dari pintu samping yang telah mereka bongkar. Ternyata bahwa mereka itu adalah tujuh orang laki-laki yang bermuka bengis dan di tangan mereka tampak golok atau pedang yang berkilauan tertimpa sinar api lampu yang tergantung di tempat itu.

Seorang di antara mereka adalah seorang lelaki yang bermuka bengis, dengan alis tebal dan dia memegang sebatang golok yang berwarna putih berkilauan. Inilah Si Golok Perak Ciok Khun sendiri yang sedang memimpin penyerbuan secara diam-diam itu.

Di sebelahnya berdiri seorang lelaki berusia lebih dari empat puluh tahun, mukanya kecil bagaikan tikus dan orang ini memegang sebatang toya baja yang kelihatan berat sekali. Tubuhnya tinggi kurus, dan muka yang laksana tikus dengan sepasang mata yang agak menjuling itu telah membayangkan adanya watak yang culas dan curang. Orang ini bukan lain adalah Lu Seng Ok, bekas tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kaipang yang murtad dan telah dikeluarkan dari perkumpulan itu.

Ada pun lima orang lainnya adalah para pembantu Ciok Khun, yaitu para piauwsu dari Gin-to Piauwkiok. Beberapa di antara mereka ini ada yang memegang golok, akan tetapi ada pula yang berpedang, sesuai dengan kepandaian masing-masing.

Malam itu memang hendak digunakan oleh Ciok Khun untuk melaksanakan niatnya yang sudah ditahan-tahan sampai bertahun-tahun, yaitu melampiaskan dendamnya kepada Na Ceng Han! Tentu saja dia dibantu oleh sahabat barunya, yaitu Lu Seng Ok yang hendak diandalkannya untuk dapat menandingi Na-piauwsu yang lihai.

"Lepaskan api sekarang!" bisik Ciok Khun sesudah mereka semua berhasil membongkar daun pintu dan menyelinap masuk. Sebelumnya memang telah mereka rencanakan untuk melepaskan api agar mengacaukan keadaan dan memancing keluar Na Ceng Han, juga untuk membuat bingung dan berpencaran para piauwsu yang berada di situ.

Dua orang anak buahnya yang bertugas untuk melepas api mengangguk, lalu berpencar ke kanan kiri dan mereka segera mengeluarkan alat-alat untuk menimbulkan kebakaran, yaitu minyak, kain dan api. Sebentar saja terjadilah kebakaran di kanan kiri. Api segera menjilat-jilat dan asap mengepul tinggi.

"Api...! Kebakaran...!" Terdengar teriakan seorang pelayan yang lebih dulu melihat api.

Kamar Na Ceng Han terbuka dan piauwsu itu dengan mata terbelalak berseru, "Di mana kebakaran?!"

Akan tetapi dia langsung meloncat kembali ke dalam kamarnya ketika ada sinar senjata berkelebat. Ketika dia meloncat ke dalam dan memandang ternyata yang menyerangnya adalah Ciok Khun yang tadi begitu melihat munculnya musuh besar ini telah menerjang dengan golok peraknya.

"Ahhh, ternyata engkau, penjahat keji!" bentak Na Ceng Han sambil meloncat ke dekat pembaringan lantas menyambar pedangnya. Isterinya yang sudah tidur terkejut dan turun dari pembaringan, mukanya pucat ketika melihat ada dua orang asing di dalam kamarnya.

"Lu-twako, inilah dia orangnya!" kata Ciok Khun kepada laki-laki yang memegang toya.

Biasanya, ketika masih menjadi tokoh Hwa-i Kaipang Lu Seng Ok tentu saja bersenjata sebatang tongkat seperti semua tokoh perkumpulan pengemis itu. Akan tetapi setelah dia dikeluarkan dari Hwa-i Kaipang dan tidak lagi berpakaian pengemis, tentu saja dia pun tidak mau mempergunakan tongkat dan sebagai gantinya dia lalu membeli sebatang toya baja yang kokoh kuat dan berat itu. Mendengar seruan Ciok Khun, Lu Seng Ok langsung menggerakkan toyanya dan berdesirlah angin yang kuat ketika toya itu menyambar ke arah kepala Na Ceng Han!

Na Ceng Han marah sekali. Tak pernah diduganya bahwa Ciok Khun, kepala dari Gin-to Piauwkiok yang dia tahu adalah bekas perampok dan melakukan pemerasan kepada para pengirim barang itu, akan berani melakukan penyerbuan dengan cara pengecut seperti perampok-perampok. Cepat dia menggerakkan pedangnya menangkis serangan toya dari orang tinggi kurus yang tidak dikenalnya itu.

"Tranggg...!"

Bunga api berpijar dan terkejutlah Na Ceng Han sebab tangkisan itu membuat pedangnya terpental dan telapak tangannya terasa nyeri. Tahulah dia bahwa orang yang memegang toya ini lihai dan memiliki tenaga yang kuat bukan main.

"Siapakah engkau?! Mengapa engkau memusuhi aku?!" bentaknya dengan heran sambil memandang tajam.

Lu Seng Ok tertawa mengejek. "Orang she Na, siapa adanya aku tidak perlu kau ketahui, diberi tahukan juga apa artinya karena engkau akan mampus!" toyanya menyambar lagi dengan sangat dahsyat sehingga Na Ceng Han segera meloncat ke belakang, kemudian menggerakkan pedangnya untuk membalas dengan tusukan kilat.

Akan tetapi ternyata pemegang toya itu lihai sekali dan dengan mudah dapat mengelak pula. Terjadilah pertandingan yang sangat seru dan hebat antara Na-piauwsu dan bekas tokoh Hwa-i Kaipang itu. Ciok Khun juga tidak tinggal diam dan dia sudah menerjang maju membantu kawannya mengeroyok Na-piauwsu.

"Ihhh... tolooonggg...!" Nyonya Na berteriak ketika melihat api dari pintu kamarnya dan melihat suaminya dikeroyok dua. Dia teringat kepada puteranya dan kepada Bi Cu, maka saking khawatirnya nyonya ini lalu menjerit-jerit di atas pembaringannya untuk memanggil para pembantu suaminya yang berada di kamar.

Mendengar jeritan ini, Ciok Khun cepat meloncat dan goloknya digerakkan dengan cepat. Melihat ini, Na Ceng Han membentak keras, "Orang she Ciok, jangan ganggu isteriku!"

Namun terlambat sudah. Golok itu sudah membacok.

"Crokkk...!"

Dada dan leher nyonya itu terobek, darah menyembur keluar dan tubuh nyonya itu roboh menelungkup, mulai pinggang ke bawah masih berada di atas pembaringan, akan tetapi dari pinggang ke atas berada di bawah pembaringan, tergantung dan darah membasahi lantai di bawahnya.

"Jahanam keji...!" Na Ceng Han terbelalak melihat isterinya terbunuh.

Dia meloncat meninggalkan Lu Seng Ok, tidak mempedulikan lagi kepada lawan bertoya ini karena saking marahnya, dia hanya melihat Ciok Khun dan pedangnya menyambar. Akan tetapi, kemarahannya yang meluap ini malah mencelakakan dia. Karena dia hanya memandang kepada Ciok Khun, dan tidak mempedulikan lawan yang lebih lihai itu. Ketika dia meloncat, toya di tangan Lu Seng Ok menyambar dan menyodok punggungnya.

"Dukkk...!"

Tubuh Na Ceng Han yang sedang meloncat dan menyerang Ciok Khun itu terhuyung dan saat itu dipergunakan oleh Ciok Khun untuk membalik dan menggerakkan goloknya yang baru saja membunuh nyonya Na itu untuk membacok!

Na Ceng Han merasa punggungnya nyeri bukan main dan ketika melihat bacokan golok, dia mencoba untuk miringkan tubuhnya. Akan tetapi, biar pun dia berhasil mengelak dari bacokan golok itu, sebelum dia bisa mengatur keseimbangan tubuhnya, dari belakangnya kembali toya yang berat itu menyambar, kini membabat ke arah kedua kakinya.

Na Ceng Han masih sempat meloncat ke atas, membalikkan tubuh kemudian pedangnya meluncur untuk membalas serangan musuh. Akan tetapi pada saat itu, golok Ciok Khun membacok dari belakang, sedangkan toya di tangan Lu Seng Ok menyambar dari depan.

Na-piauwsu sudah terluka parah di sebelah dalam tubuhnya akibat hantaman toya pada punggungnya tadi, maka gerakannya menjadi kaku dan lambat. Dia berhasil menangkis toya, akan tetapi golok Giok Khun mengenai bahu kirinya sampai terbabat hampir putus! Dia terguling roboh dan ketika terguling, tangan kanan yang memegang pedang bergerak. Pedang itu meluncur ke arah Lu Seng Ok di depannya.

Bekas tokoh Hwa-i Kaipang ini terkejut sekali dan menangkis dengan toyanya, akan tetapi demikian cepatnya luncuran pedang itu sehingga biar pun tertangkis, masih saja meleset hingga mengenai pangkal pahanya, menyerempet merobek celana berikut kulit sehingga pangkal paha itu berdarah. Akan tetapi, Ciok Khun sudah meloncat ke depan dan sekali goloknya berkelebat, leher Na-piauwsu terbacok hampir putus. Darah muncrat-muncrat membasahi lantai kamar dan tubuh Na Ceng Han tidak bergerak lagi, tewas seperti juga isterinya yang telah mendahuluinya.

"Keparat...!" Lu Seng Ok mengomel sambil memeriksa luka pada pangkal pahanya, akan tetapi hatinya lega karena luka itu tidak hebat.

"Mari kita bantu teman-teman di luar!" kata Ciok Khun dengan wajah berseri. Hatinya lega sekali karena dia telah berhasil membunuh musuh besarnya itu beserta isterinya. Mereka berdua cepat berloncatan keluar.

Ternyata lima orang piauwsu dari Gin-to Piauwkiok sedang bertempur melawan tiga orang anak yang dibantu oleh tujuh orang piauwsu dari Ui-eng Piauwkiok. Ketika para piauwsu dari Ui-eng Piauwkiok melihat munculnya Ciok Khun serta seorang pemegang toya yang lihai, yang dalam beberapa gebrakan saja sudah merobohkan dua orang piauwsu Ui-eng Piauwkiok, maka mereka menjadi jeri dan segera melarikan diri! Hanya tiga orang anak itu yang masih terus melawan dengan gigih dan nekat. Tiga orang anak kecil itu adalah Sin Liong, Na Tiong Pek, dan Bhe Bi Cu.

Sin Liong mempergunakan senjata sebatang toya sedangkan Na Tiong Pek bersenjata pedang, juga Bhe Bi Cu memegang sebatang pedang. Ketika tadi Sin Liong yang masih membaca kitab di dalam kamar Tiong Pek mendengar ribut-ribut, dia cepat berlari keluar dan dia melihat kebakaran-kebakaran itu. Cepat dia menyambar sebatang toya kemudian membantu para pelayan untuk memadamkan api, memukuli barang-barang yang terbakar agar tidak menjalar naik.

Sedangkan Tiong Pek yang juga terkejut karena baru saja akan pulas, cepat berlari ke luar dan dia melihat beberapa orang asing yang berada di halaman belakang. Maka dia langsung menggerakkan pedangnya menyerang. Tak lama kemudian muncul Bi Cu yang segera membantu suheng-nya.

Akan tetapi, dua orang di antara para piauwsu Gin-to Piauwkiok tentu saja memandang rendah terhadap dua orang anak itu dan mereka ini hanya menghadapi mereka dengan tangan kosong sambil mentertawakan. Melihat ini, Bi Cu langsung menjerit minta tolong, maksudnya minta tolong kepada paman Na dan para piauwsu lainnya.

Yang pertama kali muncul adalah Sin Liong! Anak ini mendengar jerit Bi Cu cepat berlari ke ruangan belakang dan segera dia membantu dan menyerang seorang musuh dengan toyanya. Akan tetapi, lima orang pembantu Ciok Khun itu adalah orang-orang pilihan yang mempunyai kepandaian, karena itu tentu saja Sin Liong bukanlah lawan seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar. Dengan mudah saja Sin Liong ditampar dan ditendang sampai berkali-kali roboh.

Akan tetapi anak ini tidak pernah mengenal takut. Dia bangun kembali dan walau pun bajunya sudah robek-robek, dia tetap menyerang terus. Demikian pula dengan Tiong Pek dan Bi Cu yang terus memutar pedang mereka dengan nekat.

Akhirnya muncullah tujuh orang piauwsu Ui-eng Piauwkiok, maka terjadilah pertempuran kecil yang hebat itu. Sayangnya, para piauwsu ini menjadi jeri melihat munculnya Ciok Khun dan Lu Seng Ok, dan mereka cepat-cepat melarikan diri untuk minta bantuan dan melaporkan kepada para penjaga keamanan kota. Tinggal Sin Liong, Tiong Pek, dan Bi Cu yang tidak pernah mau menyerah, apa lagi melarikan diri!

Ciok Khun yang sudah berhasil membunuh musuh besarnya, segera berkata, "Mari kita pergi, jangan layani anak-anak!" Dia bersama Lu Seng Ok sudah mendahului meloncat keluar, dan lima orang pembantunya sudah berlarian keluar pula.

"Penjahat-penjahat busuk, kalian hendak lari ke mana?!" Sin Liong membentak dan anak ini cepat mengejar, diikuti pula oleh Tiong Pek dan Bi Cu.

Sesudah tiba di depan rumah, kembali Sin liong, Tiong Pek, dan Bi Cu menyerang tiga orang di antara mereka yang menjadi marah.

"Kalian ini anak-anak setan, sudah bosan hidupkah?!" bentak seorang di antara mereka yang cepat memukul ke arah kepala Sin Liong.

Akan tetapi Sin Liong mengelak sambil menggerakkan toyanya untuk balas menyerang. Tiong Pek juga meloncat seperti seekor burung garuda, pedangnya digerakkan menusuk seorang di antara mereka pula. Demikian pula Bi Cu juga menyerang seorang musuh.

"Cepat robohkan mereka, jangan main-main. Kita harus lekas pergi!" Ciok Khun berseru karena dia tidak ingin ada orang yang melihat bahwa dialah yang telah menyerbu rumah Na-piauwsu.

"Baik!" kata tiga orang pembantunya yang menghadapi tiga orang anak itu.

Kini mereka bertiga hendak memperlihatkan kepandaian. Akan tetapi terdengar teriakan bergantian, tiga kali berturut-turut dan tiga orang itu roboh dengan tubuh berkelojotan, lalu diam dan tewas!

Ciok Khun dan Lu Seng Ok terkejut setengah mati. Juga ketiga orang anak itu terkejut sekali karena mereka sendiri tidak tahu kenapa tiga orang lawan mereka itu tiba-tiba saja roboh dan berkelojotan lalu mati! Bahkan Bi Cu menjadi ngeri melihat bekas lawannya berkelojotan itu, dia melempar pedang dan menutupi kedua mata dengan tangan mengira bahwa pedangnyalah yang membunuh orang itu.

Akan tetapi Lu Seng Ok tadi melihat menyambarnya sinar merah dan tahulah dia bahwa ada orang yang datang membantu fihak tuan rumah. Cepat dia membalik dan benar saja dugaannya. Di situ telah berdiri seorang wanita yang luar biasa cantiknya, seorang wanita yang berdiri tegak sambil tersenyum, sinar lampu di depan rumah yang muram itu hanya menggambarkan garis muka yang manis, yang memiliki sepasang mata jeli dan tajam, dan tangan wanita itu mempermainkan sehelai sabuk merah yang sebagian masih terikat pada pinggangnya yang kecil ramping!

Dia tak mengenal wanita itu, akan tetapi maklum bahwa wanita itu adalah seorang pandai, maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu memutar toya bajanya dan menyerang dengan dahsyat. Pada saat itu, Ciok Khun yang melihat betapa dua orang pembantunya tewas, menjadi marah sekali dan dia pun segera memutar goloknya menyerang dan mengeroyok.

Akan tetapi, wanita cantik itu dengan tenang-tenang saja menyambut serangan mereka berdua sambil tersenyum dan membentak dengan suara halus, "Kalian dua orang jahat yang tak tahu malu dan suka menyerang anak-anak kecil layak mampus!" Sambil berkata demikian, tangannya bergerak, sabuk merah berubah menjadi sinar merah menyambar-nyambar dan terdengar pekik mengerikan ketika dua orang penyerang itu pun roboh dan tewas!

Semua piauwsu dari Gin-to Piauwkiok menjadi terkejut bukan main. Kepala mereka dan pembantu mereka yang lihai itu dalam segebrakan saja roboh dan tewas! Tentu saja nyali mereka terbang dan mereka berusaha untuk melarikan diri, akan tetapi para piauwsu dari Ui-eng Piauwkiok tentu saja tidak membiarkan mereka lari dan sisa tiga orang piauwsu dari Gin-to-piawkiok itu akhirnya roboh dan tewas semua oleh pengeroyokan para anak buah Ui-eng Piauwkiok.

Ketika semua orang mencari-cari wanita cantik yang menolong mereka tadi, mereka pun melongo karena wanita itu telah lenyap dan bersama dia lenyap pula Sin Liong! Tiong Pek dan Bi Cu memanggil-manggil Sin Liong, akan tetapi pada waktu mereka berdua masih mencari-cari, terdengarlah jerit-jerit dan tangis di sebelah dalam rumah.

Mereka dan para piauwsu yang sudah merasa terheran-heran mengapa Na-piauwsu tidak muncul dalam keributan itu, cepat berlari masuk dan dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri hati mereka ketika melihat bahwa Na-piauwsu serta isterinya ternyata sudah tewas dalam keadaan yang amat mengerikan! Tiong Pek dan Bi Cu menubruk mayat-mayat itu sambil menjerit-jerit menangis, dan gegerlah di dalam rumah keluarga Na itu.

Siapakah adanya wanita cantik yang amat lihai dan yang telah menyelamatkan tiga orang anak dari ancaman maut di tangan para piauwsu Gin-to Piauwkiok itu? Wanita ini bukan lain adalah Kim Hong Liu-nio. Seperti kita ketahui, dengan bantuan Panglima Lee Siang, wanita ini berhasil membunuh Tio Sun, seorang di antara musuh-musuh besar gurunya yang harus dibunuhnya dengan jalan meminjam nama Hwa-i Kaipangcu.

Pada waktu keluarga Tio bertangis-tangisan dan berkabung, Kim Hong Liu-nio bersama Panglima Lee Siang merayakan kemenangan dan hasil siasat mereka itu dengan pesta di dalam kamar, di mana mereka berdua saling mencurahkan rasa kasih sayang di antara mereka.

Akan tetapi tetap saja Kim Hong Liu-nio masih bertahan dan tidak mau menyerahkan diri sebelum semua musuhnya terbasmi habis, yang kini tinggal dua orang lagi, yaitu Cia Bun Houw dan Yap In Hong. Panglima Lee Siang tidak berani memaksa karena hal itu amat membahayakan keselamatan wanita yang dicintanya, maka dia berjanji akan membantu dan menyebar mata-mata untuk menyelidiki di mana adanya dua orang musuh besar itu.

Sesudah mencurahkan kasih sayang mereka dengan mesra namun terbatas, dan saling berjanji untuk bersetia sampai kelak terbuka kesempatan bagi mereka untuk bisa menjadi suami isteri, maka pergilah Kim Hong Liu-nio ke utara untuk melapor kepada Raja Sabutai tentang segala yang dialaminya dan tentang keadaan Pangeran Oguthai atau Ceng Han Houw kepada raja dan permaisuri yang mendengarkan dengan hati gembira.

Akan tetapi, Raja Sabutai masih merasa sangsi dan curiga untuk berkunjung ke selatan. Di dalam istana kaisar, satu-satunya orang yang dipercayanya hanyalah Kaisar Ceng Tung seorang, dan kini kaisar itu sudah meninggal dunia, maka dia merasa sangsi dan mengkhawatirkan keselamatannya. Juga para menteri pembantunya menasehatkan agar raja ini jangan lengah dan membiarkan dirinya terancam bahaya jika mengunjungi selatan.

Oleh karena itu, Raja Sabutai tidak datang menghadiri hari penobatan kaisar baru, yaitu Kaisar Ceng Hwa dan mengutus Kim Hong Liu-nio untuk kembali ke selatan, membawa barang sumbangannya kepada kaisar dan mewakilkan kehadirannya kepada puteranya, pangeran Oguthai.

Sebelum berangkat, Kim Hong Liu-nio lebih dahulu menghadap subo-nya, Hek-hiat Mo-li, menceritakan tentang hasilnya membunuh seorang di antara musuh-musuh itu, yaitu Tio Sun. Nenek tua renta itu terkekeh senang, dia berkata,

"Bagus, muridku. Hanya sayang bahwa yang kau bunuh itu merupakan orang yang paling lemah di antara musuh-musuhku. Kau harus cepat mencari yang dua orang lagi itu. Dan aku sendiri akan ikut pergi ke selatan, muridku, karena aku sangsi apakah engkau akan mampu menanggulangi mereka."

Giranglah hati Kim Hong Liu-nio karena dengan bantuan subo-nya, dia merasa yakin akan dapat dengan cepat membunuh dua orang musuh besar yang lain itu sehingga dia akan dapat segera bebas dan bisa melangsungkan pernikahannya dengan Panglima Lee yang telah menjatuhkan hatinya itu. Maka berangkatlah guru dan murid itu meninggalkan utara.

Raja Sabutai ketika mendengar bahwa Hek-hiat Mo-li hendak merantau ke selatan untuk mencari musuh-musuh besarnya, merasa tidak tega karena gurunya itu sudah tua sekali, maka dia lalu mengutus seorang panglima membawa sepasukan pilihan yang mengawal nenek itu secara diam-diam, dengan menyamar. Jumlah pasukan yang membantu nenek ini ada selosin orang-orang pilihan yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi.

Setelah menghadiri perayaan di istana ketika Kaisar Ceng Hwa dinobatkan sebagai kaisar baru, Kim Hong Liu-nio lalu mulai dengan penyelidikannya mencari musuh-musuh besar gurunya. Subo-nya sendiri yang sudah tua itu tentu saja tidak ikut mencari hanya menanti di dalam sebuah gedung di kota raja, menunggu sampai muridnya berhasil menemukan dua musuh besar itu. Dalam usaha mencari jejak musuh-musuhnya ini, Kim Hong Liu-nio dibantu oleh kekasihnya, Panglima Lee Siang yang telah menyebar kaki tangannya untuk menyelidiki di mana adanya pendekar Cia Bun Houw dan pendekar wanita Yap In Hong.

Demikianlah, di dalam penyelidikannya, pada hari itu secara kebetulan Kim Hong Liu-nio lewat di kota Kun-ting, di sebelah selatan kota raja dan dia melihat keributan yang terjadi di dalam rumah keluarga Na-piauwsu.

Wanita ini pada hakekatnya bukanlah seorang jahat, bahkan dia condong untuk bersikap sebagai pendekar wanita yang tidak suka menyaksikan penindasan. Dia dapat bersikap kejam dan ganas hanya terhadap musuh-musuhnya, atau musuh-musuh gurunya yang harus dibasminya, sesuai dengan sumpahnya. Maka begitu melihat tiga orang anak kecil diserang oleh orang-orang dari Gin-to Piauwkiok, dia menjadi marah dan segera turun tangan menghajar, bahkan membunuh Ciok Khun, Lu Seng Ok, dan tiga orang anak buah mereka itu.

Kemudian, dalam keributan itu, Kim Hong Liu-nio yang sudah berhasil membunuh Ciok Khun dan Lu Seng Ok, melihat Sin Liong dan wanita ini terkejut bukan main! Anak setan itu masih hidup! Padahal dia telah memasukkan racun Hui-tok-san ke tubuh anak itu. Dan anak itu dahulu sudah ditawan oleh ketua Jeng-hwa-pang yang kejam, maka dia mengira bahwa anak itu tentu telah tewas. Akan tetapi, sekarang dia melihat bocah itu masih segar bugar!

Dan menurut pengakuannya sendiri anak ini adalah putera Cia Bun Houw, tokoh utama yang menjadi musuh besar subo-nya. Tentu saja hati wanita itu menjadi girang sekali. Tak disangkanya dia akan bertemu lagi dengan bocah ini yang tentu akan dapat menunjukkan jalan ke tempat musuh besarnya she Cia itu!

Maka dia tak mau lagi mempedulikan segala keributan di tempat itu, dan sekali tubuhnya bergerak, dia telah menangkap Sin Liong kemudian menotok bocah itu sebelum Sin Liong mampu berteriak atau bergerak, lantas sekali berkelebat lenyaplah wanita itu bersama Sin Liong dari situ!

********************

Begitu tubuhnya ditangkap dan dibawa lari seperti terbang, Sin Liong memandang dan tahulah dia bahwa dia terjatuh ke dalam tangan musuh lamanya! Tadi pada waktu Kim Hong Liu-nio membunuh tiga orang penyerbu rumah keluarga Na, dia pun telah mengenal wanita itu dan saking heran dan terkejutnya dia sampai tidak mampu berkata apa-apa.

Kini, melihat dirinya ditawan, dia tidak berusaha meronta karena dia pun tahu bahwa dia telah tertotok dan tidak akan mampu membebaskan diri dari cengkeraman wanita yang amat lihai ini. Akan tetapi, sekali ini Sin Liong tidak menjadi marah, bahkan diam-diam dia berterima kasih kepada wanita ini.

Dia tahu bahwa tanpa adanya wanita aneh ini, tentu Tiong Pek dan Bi Cu sudah tewas, juga dia sendiri. Wanita aneh ini telah menyelamatkan nyawa mereka bertiga, maka kalau sekarang menawannya bahkan hendak membunuhnya sekali pun, dia tidak akan merasa penasaran!

Cepat bukan kepalang larinya Kim Hong Liu-nio dan dia membawa Sin Liong ke sebuah puncak pegunungan yang tandus dan kering, sunyi bagaikan kuburan. Setelah tiba di atas puncak yang sangat sunyi dan panas, Kim Hong Liu-nio melemparkan tubuh Sin Liong ke atas tanah.

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.