Pendekar Lembah Naga Jilid 23
NAMA Raja Sabutai sangat terkenal di seluruh Tiongkok dan di luar tembok besar. Bagi para suku bangsa pengembara, nama ini dikenal sebagai seorang raja besar yang pernah menaklukkan hampir seluruh bangsa pengembara, menyusun kekuatan yang amat besar terdiri dari suku-suku bangsa yang dipersatukan.
Bagi kerajaan di Tiongkok, nama Raja Sabutai juga tak kalah terkenalnya. Siapakah yang tidak mengenal raja liar yang dulu pernah menawan mendiang Kaisar Ceng Tung bahkan kemudian pernah menyerbu masuk ke selatan, melewati tembok besar, bahkan jauh ke selatan dan pernah menjebolkan pertahanan kota raja? Walau pun akhirnya pasukan liar yang dipimpin Raja Sabutai itu berhasil dipukul mundur, namun namanya masih ditakuti dan banyak orang merasa seram dan ngeri apa bila mengingat akan keganasan pasukan Raja Sabutai ketika menyerbu ke selatan.
Bukan hanya terkenal di kalangan suku bangsa pengembara di luar tembok besar serta terkenal di sebelah dalam tembok besar sebagai raja liar yang ganas dan kuat, namun nama Sabutai ini bahkan terkenal pula di dalam dunia persilatan, di kalangan kang-ouw, terutama sekali di wilayah utara, karena selain Sabutai merupakan seorang raja, dia juga terkenal sebagai seorang ahli silat yang lihai sekali, yang kepandaiannya sejajar dengan tingkat para datuk persilatan, karena raja itu adalah murid Hek-hiat Mo-li dan mendiang Pek-hiat Mo-ko.
Bahkan di waktu mudanya, Sabutai pernah pula menggegerkan dunia persilatan dengan mengalahkan banyak tokoh kang-ouw terkenal sehingga namanya menjadi amat terkenal di dunia kang-ouw. Akan tetapi di samping itu semua, dia pun terkenal sebagai seorang raja yang royal terhadap tokoh-tokoh dunia kang-ouw dan dapat menghargai orang-orang kang-ouw sehingga diam-diam dia disuka dan dihormati, terutama sekali oleh golongan hitam atau kaum sesat.
Inilah sebabnya maka ketika terdengar berita bahwa Raja Sabutai mengundang seluruh orang kang-ouw yang berilmu tinggi untuk memasuki pemilihan guru silat untuk mengajar kepada pangeran putera raja itu, banyak orang pandai meninggalkan sarang atau tempat pertapaan mereka untuk pergi ke utara, keluar dari tembok besar. Mereka yang mengejar kedudukan, kemuliaan dan harta, tentu saja mengandung niat untuk memasuki pemilihan jagoan agar dapat dipilih menjadi guru silat.
Akan tetapi kebanyakan di antara mereka hanya datang ke tempat jauh itu karena tertarik dan hendak menonton. Setiap ada kesempatan di mana orang-orang yang berilmu tinggi datang dan saling bertemu, pasti dunia kang-ouw akan menjadi gempar sehingga banyak orang datang hanya untuk berkenalan, nonton adu silat, dan meluaskan pengetahuan dan pengalaman.
Maka, pada waktu hari pemilihan guru silat itu sudah makin mendekat, setiap hari tampak banyak orang menyeberangi tembok besar menuju ke utara, dan mereka ini tentu saja hanyalah orang-orang kang-ouw yang ingin mengunjungi tempat pemilihan guru silat itu, yaitu di Lembah Naga. Jika bukan orang kang-ouw yang memiliki kepandaian dan sudah biasa melakukan perjalanan jauh yang sukar, tentu tidak berani melakukan perjalanan yang selain jauh juga melalui daerah-daerah berbahaya itu.
Sebagian besar dari para tokoh kang-ouw itu adalah orang-orang daerah utara, karena tokoh-tokoh kang-ouw daerah selatan, terutama sekali yang bukan tergolong sesat, tentu saja tidak sudi untuk membantu orang asing, apa lagi bekerja kepada Raja Sabutai yang merupakan musuh rakyat dan negara. Kalau ada juga di antara mereka yang ikut datang, semata-mata mereka itu hanya tertarik dan ingin nonton adu kepandaian tingkat tinggi.
Ceng Han Houw dan Sin Liong melakukan perjalanan cepat dan mereka jarang berhenti, bahkan tidak pernah pula Han Houw bersenang-senang seperti yang dilakukannya ketika dia berada di rumah pembesar Gu, karena waktunya sudah amat mendesak dan dia pun merasa khawatir kalau-kalau dia akan datang terlambat. Maka dia bersama Sin Liong membalapkan kuda, dan setiap berhenti di sebuah kota hanya untuk meminta ganti kuda kepada pembesar setempat yang melayani pangeran ini dengan segala kehormatan.
Ketika mereka sudah melewati tembok besar, Sin Liong mulai mengenal daerah liar yang mendebarkan hatinya. Teringatlah dia akan perjalanannya pada saat keluar dari Lembah Naga, dibawa oleh Kim Hong Liu-nio sebagai tawanan, bersama dengan Han Houw ini, sampai dia dirampas oleh Tok-ong Gak Song Kam, ketua Jeng-hwa-pang, dan mulailah dia dengan perjalanannya ke selatan sampai akhirnya dia menjadi murid Ouwyang Bu Sek, atau lebih tepat lagi, menjadi sute dari kakek aneh itu karena dia bersama kakek itu menjadi murid dari guru mereka yang belum pernah dikenal oleh Sin Liong, yaitu kakek manusia dewa yang hanya baru dikenal namanya dari suheng-nya itu, yakni Bu Beng Hud-couw yang katanya bermukim di puncak Himalaya sebagai orang suci atau dewa!
Apa lagi ketika dia tiba di Rawa Bangkai, di sebelah selatan Lembah Naga, teringatlah dia akan semua pengalamannya pada waktu kecil karena daerah ini amat dikenalnya. Akan tetapi kini sejak dari Rawa Bangkai sudah nampak penjaga-penjaga, yaitu prajurit-prajurit dari pasukan Raja Sabutai, yang menjaga dengan tertib dan gagah, selain menjaga tapal batas itu, juga sekalian sebagai penghormatan terhadap para tamu yang hendak datang berkunjung berkenaan dengan adanya sayembara pemilihan guru silat. Karena itu tidak seperti biasanya, kini para penjaga itu berpakaian seragam baru yang gagah berkilauan, dengan tombak di tangan, dan bendera-bendera tanda kebesaran Raja Sabutai berkibar di mana-mana.
Ketika para penjaga itu melihat datangnya Ceng Han Houw yang mereka kenal sebagai Pangeran Oguthai, mereka menyambut dengan gembira sekali. Sambil memberi hormat mereka berseru, "Hidup Pangeran Oguthai!"
Wajah para prajurit yang tadinya kaku dan gelap, seketika menjadi terang penuh seri dan senyum, bahkan beberapa orang lalu cepat-cepat menunggang kuda untuk mengabarkan kedatangan pangeran ini ke Lembah Naga. Oguthai atau Ceng Han Houw tersenyum dan melambai ke kanan kiri menerima sambutan dan penghormatan anak buah ayahnya, dan ketika ada beberapa orang perwira tinggi besar yang gagah menyambut, diam-diam Sin Liong merasa kagum akan keagungan kakak angkatnya itu.
Pada waktu para perwira tua muda itu mengerumuni Han Houw, memberi hormat dan menyambutnya dengan berbagai cara, bicara dengan ramainya dalam bahasa utara yang dimengerti pula oleh Sin Liong karena anak ini sejak lahir berada di daerah ini, tiba-tiba Han Houw berkata lantang,
"Heiii... para perwira..., kalian beri hormat kepada Liong Sin Liong ini! Dia ini adalah adik angkatku!"
Semua perwira mengangkat alis dan membelalakkan mata, terkejut mendengar ini lantas mereka tergesa-gesa memberi hormat kepada Sin Liong sambil memohon maaf karena mereka tidak tahu bahwa Liong-kongcu ini adalah adik angkat dari Pangeran Oguthai! Dihormati secara berlebihan itu, Sin Liong juga merasa kikuk bukan main dan membalas penghormatan mereka, dipandang oleh Han Houw yang tertawa bergelak karena melihat kekikukan Sin Liong.
Ketika melihat banyaknya orang kang-ouw berbagai suku bangsa berbondong datang ke tempat itu, Sin Liong lalu menarik tangan Han Houw, diajak ke pinggir agar pembicaraan mereka tidak terdengar orang lain, kemudian dia berkata,
"Harap kau maafkan aku, Houw-ko. Akan tetapi aku tidak mungkin dapat ikut bersamamu ke Lembah Naga."
Han Houw memandang heran. "Ehh, kenapa begitu, Liong-te? Jauh-jauh kau sudah ikut bersamaku ke sini, dan sekarang sesudah hampir memasuki Lembah Naga, engkau tidak mau melanjutkan? Kenapa sih?"
Sukar bagi Sin Liong untuk berbicara terus terang. Tentu saja selama ini dia tidak pernah dapat melupakan Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li. Kim Hong Liu-nio telah membunuh ibu kandungnya, Kim Hong Liu-nio pernah menyiksanya dan nyaris membunuhnya, juga Kim Hong Liu-nio bersama Hek-hiat Mo-li sudah menyebabkan kematian kongkong-nya, yaitu Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai, kakeknya yang amat dihormat dan disayangnya itu.
Sekarang, biar pun dia telah menjadi adik angkat Han Houw, biar pun kakak angkatnya itu adalah murid Hek-hiat Mo-li dan sute dari Kim Hong Liu-nio, bagaimana mungkin dia bisa bertemu dengan dua orang musuh besarnya itu tanpa menyerang mereka? Memang dia sudah mengambil keputusan untuk tidak menyerang dua orang itu di hadapan Han Houw melainkan mencari kesempatan bertemu dengan mereka di luar tahu Han Houw agar dia boleh membuat perhitungan tanpa menyinggung perasaan kakak angkatnya. Akan tetapi, tentu saja dia merasa tidak enak kalau harus bicara terus terang kepada Han Houw.
"Maaf, Houw-ko, akan tetapi aku tidak suka ramai-ramai, aku tidak suka dikenal sebagai adik angkatmu lalu dihormati secara berlebihan. Selain itu, aku tidak suka dengan segala peraturan dan peradatan, aku akan merasa canggung dan kikuk bila berhadapan dengan ayahmu, seorang raja. Maka biarlah aku ikut bersama para penonton, dan aku... aku ingin sekali pergi mengunjungi hutan-hutan dan penghuni hutan, bekas teman-temanku. Aku ingin bebas dan sendirian di daerah ini, Houw-ko."
Han Houw mengangguk-angguk. Dia maklum akan perasaan adiknya itu. Dia juga telah mendengar bahwa ketika masih bayi, anak ini diasuh oleh monyet-monyet hutan, maka kalau kini dia merasa rindu akan hutan dan isinya, dia dapat memakluminya. Pula, kalau ayahnya mendengar bahwa dia mengambil seorang anak biasa sebagai adik angkatnya, tentu akan timbul banyak pertanyaan dan hatinya akan kecewa dan merasa tidak enak kalau ayahnya tidak menyetujui pengangkatan saudara itu.
"Baiklah, Liong-te. Akan tetapi jangan lupa untuk menemui aku, karena sesudah selesai menyaksikan pemilihan, aku pun harus kembali lagi ke selatan, ke kota raja menghadap kakanda kaisar, melaporkan perjalananku ke selatan. Dan kita akan melakukan perjalanan bersama lagi ke selatan, menyeberang tembok besar."
Girang sekali hati Sin Liong mendengar jawaban ini. Kakak angkatnya ini memang sangat bijaksana!
"Terima kasih, Houw-ko. Nah, aku pergi dulu."
"Eh, kenapa engkau tidak membawa kudamu? Bawalah, agar engkau tidak terlalu capai."
Sin Liong tersenyum, dan makin berat hatinya untuk menyinggung hati kakak angkatnya ini yang sering sudah memperlihatkan rasa sayang kepadanya. Dia mengangguk, lalu meloncat naik ke atas punggung kuda dan melarikan kudanya, setelah dua kali menoleh ke arah Han Houw yang memandangnya sambil tersenyum.
Sin Liong membalapkan kudanya memasuki hutan. Dia mengambil jalan simpangan, jalan melalui hutan-hutan dan padang-padang rumput yang sudah dikenalnya benar, menuju ke suatu tempat di daerah Lembah Naga, yaitu tanah kuburan yang biasanya dipakai untuk memakamkan seorang di antara para pembantu ayah angkatnya bila ada yang meninggal dunia.
Dia ingin mencari kuburan ibu kandungnya! Dan karena ibu kandungnya tewas di tangan Kim Hong Liu-nio, maka tentu saja dia tidak dapat berterus terang kepada Han Houw. Pula, dia khawatir kalau sampai bertemu dengan Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li, dia tidak akan kuat menekan kemarahan hatinya.
Tidak sukar baginya untuk menemukan makam ibunya, karena di antara beberapa buah makam yang tak banyak jumlahnya itu dia melihat makam di mana terdapat batu nisannya yang bertuliskan huruf-hurut ukiran yang cukup indah karena ditulis oleh Kui Hok Boan yang pandai menulis. Di situ terukir nama Liong Si Kwi atau nyonya Kui Hok Boan!
Sin Liong yang telah mengikat kudanya pada sebatang pohon, sekarang berdiri di depan makam itu, sebuah makam yang terlantar dan tidak terpelihara karena siapa yang akan memeliharanya setelah keluarga Kui diharuskan pergi dari Lembah Naga? Kini makam itu penuh dengan rumput tebal dan tanaman liar.
Hingga lama Sin Liong berdiri termenung memandangi rumput-rumput tebal itu, kemudian terbayanglah wajah ibu kandungnya yang selalu bersikap lembut kepadanya. Sama sekali dia tidak merasa berduka, tidak merasa terharu, hanya merasa marah sekali, marah dan dendam kepada Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li!
Akan tetapi dia juga merasa tidak enak sekali kepada Ceng Han Houw yang begitu baik padanya, bahkan yang sudah pernah menyelamatkan dia dan mengorbankan nyawa anak buahnya sendiri, yaitu Hek-liong-ong untuk menyelamatkannya. Memang betul Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li hutang nyawa ibu kandungnya dan kakeknya kepadanya, akan tetapi dia pun hutang budi kepada Han Houw dan tidak semestinya kalau dia menyakitkan hati Han Houw. Oleh karena itu, dia harus bersabar, dia harus menanti kesempatan dapat bertemu berdua atau bertiga saja dengan dua orang musuh besarnya itu, di luar tahu Han Houw!
"Ibu...!" Dia berbisik. Sin Liong kemudian mempergunakan kedua tangannya untuk membersihkan tempat itu, mencabuti rumput-rumput dan tanaman liar yang tumbuh di atas makam sampai makam itu kelihatan bersih.
Setelah membersihkan makam ibunya dan berlutut di depan makam, Sin Liong kemudian bangkit dan meninggalkan makam, meloncat ke atas punggung kudanya dan memasuki hutan di mana dahulu dijadikan tempatnya bermain bersama para monyet besar. Begitu memasuki hutan, Sin Liong merasa gembira sekali. Ingin dia melepaskan pakaiannya dan berloncatan dari pohon ke pohon seperti dahulu!
Dan dia merasa malu sendiri duduk di atas punggung kuda besar yang sudah berkeringat itu. Dia meloncat turun, menurunkan pelana dan buntalan pakaian, melepaskan kendali dan membiarkan kuda itu bebas, lalu menepuk pinggul kuda itu.
"Nah, kau boleh bebas bermain-main di sini!" katanya.
Kuda itu lari congklang dan lenyap di sebuah tikungan, di antara pohon-pohon. Sin Liong tertawa, lalu dia meloncat ke atas sebuah pohon besar, menaruh pelana, kendali serta buntalan di atas pohon, di antara cabang-cabang yang tinggi, kemudian dia berloncatan dari dahan ke dahan, dari pohon ke pohon, mencari-cari teman-temannya!
Akan tetapi Sin Liong merasa kecewa. Ketika dia bertemu dengan segerombolan monyet, mereka itu memekik dan memperlihatkan taring, bahkan mereka lalu melarikan diri ketika didekatinya. Mereka tidak mengenainya lagi!
Ahh, tentu saja, pikirnya. Pada waktu dia masih bermain-main dengan mereka, dia adalah seorang anak kecil dan kini dia sudah menjadi seorang pemuda, dan monyet-monyet itu sesudah terlalu sering mendapat gangguan dari orang-orang dewasa, dari para pemburu, maka tentu saja mereka menganggap setiap orang manusia dewasa merupakan musuh mereka.
Bagaimana pun juga, Sin Liong merasa senang sekali berada di dalam hutan-hutan yang amat dikenalnya itu. Dia merasa seolah-olah menemukan dunianya kembali, sebab itu dia merasa enggan untuk meninggalkannya lagi. Oleh karena itu, seakan-akan dia telah lupa akan waktu, pemuda itu telah berkeliaran di dalam hutan-hutan itu selama tiga hari tiga malam!
Dia tentu masih akan terus berkeliaran di dalam hutan itu, entah untuk berapa lamanya, makan buah-buahan dan memanggang daging binatang-binatang hutan, tidur di puncak pohon-pohon besar, kalau saja pada pagi hari ke empat itu sesudah matahari naik tinggi dia tidak mendengar suara hiruk-pikuk dari jauh di sebelah utara ketika dia sedang duduk di antara daun-daun di atas pohon.
Sin Liong terkejut dan segera dia memperhatikan suara itu. Maka tahulah dia bahwa itu adalah suara banyak orang yang bersorak-sorak gembira, seolah-olah sedang menonton sesuatu yang menyenangkan sekali. Teringatlah dia akan sayembara pemilihan guru silat yang diadakan oleh raja di situ, ayah dari Ceng Han Houw! Baru dia teringat bahwa telah tiga hari tiga malam dia berada di dalam hutan-hutan itu, dan bahwa kedatangannya di daerah itu adalah karena terbawa oleh pangeran itu.
Sin Liong meloncat turun dari atas pohon, membereskan pakaian dan rambutnya, lantas dia berjalan cepat keluar dari hutan menuju ke arah suara yang terdengar dari jauh itu. Tak lama kemudian tibalah dia di Lembah Naga dan dari jauh saja sudah nampak olehnya sebuah panggung besar dan kokoh kuat dibangun di depan Istana Lembah Naga dan di atas panggung itu nampak dua orang sedang bertanding dengan hebat dan serunya.
Di depan istana itu nampak banyak kursi dan di sana duduk seorang laki-laki tinggi besar berpakaian indah dan mewah, mukanya penuh cambang bauk, muka yang gagah perkasa dan melihat Han Houw duduk di dekatnya bersama seorang wanita cantik jelita berusia kurang lebih empat puluh tahun, maka Sin Liong dapat menduga bahwa tentulah laki-laki gagah yang usianya kurang lebih enam puluh tahun itu adalah ayah Han Houw, raja di daerah itu yang bernama Sabutai.
Di sekeliling raja ini duduk banyak sekali orang, jumlahnya tidak kurang dari tiga puluh orang, dan di luar panggung terdapat banyak penonton yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Akan tetapi banyak pula terdapat orang-orang Han yang aneh-aneh, ada yang berpakaian seperti hwesio yang kepalanya gundul, seperti saikong, seperti tosu dan seperti pertapa, dan banyak pula yang pakaiannya jembel seperti pengemis, seperti para ahli dan guru-guru silat dan lain-lain.
Mereka inilah yang bersorak-sorak, karena mereka ini adalah yang orang-orang kang-ouw yang paling suka menonton orang mengadu kepandaian silat, sedangkan pada saat itu, dua orang yang bertanding di atas panggung memiliki kepandaian tinggi yang seimbang sehingga pertandingan itu amat seru dan menegangkan.
Kini Sin Liong sudah tiba di bawah panggung, menyelinap di antara para penonton yang berjubelan itu, menjaga supaya jangan terlalu dekat dengan tempat duduk raja dan Han Houw agar jangan sampai pangeran itu melihatnya. Kini mulailah dia memperhatikan dua orang yang sedang bertanding di atas panggung itu. Seorang pendeta Lama bertubuh tinggi besar seperti raksasa sedang bertanding melawan seorang laki-laki setengah umur yang pakaiannya seperti seorang tosu.
Pendeta Lama itu, seperti biasa para pendeta Lama dari Tibet, berkepala gundul dan memakai jubah lebar berwarna kuning. Ilmu silatnya bersifat keras dan mengandalkan tenaga yang kuat, gerakan kedua tangannya yang memukul demikian dahsyat sehingga mengeluarkan angin yang bersiutan, dan gerakan tubuhnya juga gesit dan bertenaga kuat sehingga jubah kuning itu berkibar-kibar seperti layar perahu mendapat angin.
Gerakan kakinya memiliki gaya yang gagah, seperti kaki rajawali yang sedang bertanding, ada kalanya berlompatan tetapi kadang-kadang kaki itu melakukan tendangan-tendangan dahsyat, langkahnya lebar-lebar dan sering kali pendeta Lama itu berdiri di atas ujung jari jemari kakinya hingga tubuhnya yang sudah jangkung itu menjadi makin tinggi. Diam-diam Sin Liong mengagumi gaya ilmu silat Pendeta Lama itu, karena memang gagah sekali dan sungguh sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar.
Akan tetapi lawannya, tosu yang tubuhnya sedang itu, juga amat lihai. Dia memiliki gaya yang berlawanan dengan pendeta Lama itu. Melihat betapa lawannya banyak menyerang dari atas, mengandalkan jangkungnya dan lengannya yang panjang, tosu itu banyak main di bawah, seperti seekor ular yang menghadapi serangan rajawali.
Dua kakinya melangkah gesit dan cepat bukan main, tubuhnya menyelinap ke sana sini menghindarkan semua serangan lawan, dan mendadak dia membalas serangan-serangan itu dari bawah dengan sama kuatnya, sungguh pun gerakannya lebih halus dan pukulan-pukulannya kelihatan tidak bertenaga, namun Sin Liong maklum bahwa tosu itu adalah seorang ahli lweekeh yang memiliki pukulan mengandung tenaga dalam yang berbahaya.
Karena sifat ilmu silat kedua orang itu amat berlawanan, maka pertandingan itu kelihatan seru dan menarik bukan main. Yang amat menambah ketegangan adalah sikap sebagian penonton, yaitu kelompok tosu dan kelompok hwesio atau pendeta Lama yang agaknya saling bertentangan, menjagoi teman masing-masing yang sedang bertanding itu. Bahkan antara para tosu dan para pendeta berkepala gundul itu sudah saling pandang dengan mendelik dan saling mengamangkan tinju dengan sikap menantang!
Tentu saja sikap dua rombongan hwesio dan tosu yang saling bertentangan ini menambah tegang suasana. Dan sekarang tahulah Sin Liong bahwa memang terdapat persaingan atau permusuhan antara para hwesio atau para pendeta Lama itu dan para tosu.
Sin Liong tidak tahu bahwa memang terjadi persaingan hebat antara dua golongan ini. Pada waktu itu, Raja Sabutai merupakan kekuatan yang mulai menonjol di utara, bahkan raja ini pernah berhasil menyerang ke selatan, mempunyai tentara yang cukup kuat dan pengaruhnya makin besar di daerah utara itu. Oleh karena itu maka dua golongan ini mulai mengincar daerah ini untuk menjadi ladang penyebaran pelajaran agama masing-masing.
Memang amat mengherankan sekali bagi orang yang mau melihat kenyataan, akan tetapi tidak dapat disangkal bahwa hal ini seperti ini, yaitu persaingan antara agama masih saja terjadi di mana-mana, di mana para penyebar agama saling merebutkan daerah untuk menyebar pelajaran agama masing-masing. Padahal inti pelajaran dari semua agama itu sendiri adalah sejalan, yaitu menjauhi kekerasan, menjauhi permusuhan, menghilangkan kebencian dan memupuk cinta kasih antara manusia!
Memang pada akhirnya, bukan agamanya yang menentukan, tetapi manusianya! Seperti juga segala sesuatu di dunia ini, baik itu benda-benda yang nampak mau pun yang tidak nampak, seperti ilmu agama, ilmu pengetahuan, ilmu silat mau pun ilmu surat, semua itu hanya merupakan alat bagi manusia dan baik buruknya semua itu tergantung kepada si manusia sendiri!
Tidak mungkin memupuk cinta kasih melalui kebencian, memupuk perdamaian melalui peperangan, memupuk kebaikan melalui kejahatan. Di dalam cara terkandung tujuan dan bukanlah tujuan menghalalkan segala cara. Cara yang jahat dan buruk tentu saja akan menghasilkan akhir yang jahat dan buruk pula, seperti juga pohon yang buruk tidak akan mungkin menghasilkan buah yang baik.
Akan tetapi sayang sekali, kita, atau rombongan tosu, dan Lama yang berada di sekitar panggung liu-tai itu, hanya mementingkan buahnya, hanya mementingkan akhir tujuan, sama sekali lupa akan pohonnya, lupa akan caranya, lupa akan tindakan mereka pada saat itu.
Pada waktu itu, memang banyak terdapat golongan-golongan agama yang sedang sibuk meluaskan pengaruh masing-masing. Tentu saja golongan-golongan ini hanya terdiri dari orang-orang yang hanya mengaku beragama, akan tetapi sebetulnya mereka itu adalah orang-orang yang ingin mengejar kesenangan melalui agama. Orang yang benar-benar beragama tidak mungkin mengejar sesuatu, tak mungkin mencari kesenangan untuk diri sendiri apa lagi kalau dalam mengejar kesenangan itu harus mencelakakan orang lain.
Oleh karena persaingan itu, maka ketika Raja Sabutai mengadakan sayembara memilih guru untuk puteranya, golongan-golongan agama yang ingin meluaskan pengaruhnya ini melihat terbukanya kesempatan baik untuk menanamkan pengaruh mereka ke daerah ini, maka mereka lalu berdatangan dan mengajukan jagoan masing-masing untuk merebutkan kedudukan itu.
Tentu saja sebagai orang-orang beragama mereka itu tak lagi mementingkan kedudukan atau harta, tetapi ingin memperlebar atau memperluas pengaruh untuk mengembangkan agama masing-masing melalui kedudukan sebagai guru dari putera Raja Sabutai. Dan bertemunya seorang pendeta Agama To dan pendeta Agama Buddha Lama di panggung lui-tai itu merupakan pertemuan antara dua golongan musuh lama yang selama ratusan tahun memang sudah saling mengejek dan saling menyalahkan ajaran masing-masing. Tentu saja masih banyak golongan agama lain yang saling bersaing pada masa itu, akan tetapi yang merupakan musuh bebuyutan adalah Agama To-kauw den Hud-kauw.
Sin Liong yang sejak kecil sudah menerima gemblengan orang-orang sakti dan memiliki dasar ilmu-ilmu silat tinggi, langsung melihat bahwa pertandingan antara kedua orang itu bukan hanya adu ilmu belaka, melainkan pertandingan yang dikuasai nafsu ingin menang, bila perlu dengan membunuh lawan, karena dia melihat betapa kedua fihak mengeluarkan serangan-serangan maut dengan pengerahan tenaga yang tidak dibatasi lagi.
Maka dia merasa tak senang dan tidak tertarik lagi, karena yang ditontonnya itu bukanlah pibu untuk mengadu kepandaian, melainkan orang berkelahi dengan hati dipenuhi dendam den kemarahan! Oleh karena itu, tidak seperti semua orang lain yang terus mencurahkan perhatian ke atas panggung, dengan hati tegang dan gembira seperti biasa orang-orang kang-ouw yang suka sekali akan adu silat bahkan makin keras dan seru makin baik bagi mereka, Sin Liong mulai mengalihkan perhatiannya dan pandang matanya menyapu ke kanan kiri di antara para penonton yang terdiri dari bermacam-macam orang itu.
Mendadak perhatian Sin Liong tertarik dengan sikap seorang laki-laki yang dianggapnya aneh. Semua orang mencurahkan perhatian mereka ke atas panggung, kecuali sebagian para tosu dan hwesio yang saling ejek dan saling ancam, akan tetapi dia melihat seorang laki-laki yang sikapnya amat mencurigakan.
Laki-laki ini memakai baju hitam, pakaiannya seperti seorang ahli silat, ringkas dan kedua matanya mengerling ke kanan kiri dengan tajam, seperti mata orang yang mempunyai niat buruk dan takut ketahuan orang. Laki-laki itu berusia sekitar enam puluh tahun, jenggot serta kumisnya pendek dan kaku, tubuhnya tegap dan dia berdiri sedikit membungkuk di antara penonton, kemudian dengan gerakan gesit dia menyelinap pergi.
Sin Liong terus memperhatikan orang itu sebab dia sempat melihat betapa orang itu telah mengeluarkan sebatang anak panah. Ujung anak panah itu mengeluarkan sinar kehijauan tanda bahwa anak panah itu ujungnya mengandung racun!
Bagi seorang kang-ouw, membawa senjata bukanlah hal yang aneh, dan andai kata sikap orang ini tidak mencurigakan hati Sin Liong, pemuda ini pun tentu akan menganggap hal itu wajar saja. Akan tetapi orang itu mengusik kecurigaan hatinya, maka diam-diam dia selalu membayangi orang itu dengan pandang matanya, bahkan kakinya mulai bergerak pula menyelinap di antara penonton pada saat dia melihat orang itu semakin mendekati panggung di mana duduk Han Houw dan keluarga raja.
Jantungnya berdebar tegang ketika dia melihat laki-laki itu menggerakkan tangan dan sinar hijau menyambar ke depan ke arah Ceng Han Houw!
"Houw-ko, awas...!" Sin Liong cepat berseru nyaring sekali, mengatasi kegaduhan suara pertandingan di atas panggung dan para penonton.
Teriakannya itu menyadarkan Han Houw yang cepat bangkit berdiri, kemudian dengan tangkasnya pemuda bangsawan itu menggerakkan tangannya sambil miringkan tubuh, berhasil menangkap anak panah yang menyambar ke arahnya tadi.
Sin Liong meloncat ke atas, melemparkan orang yang tadi dia tangkap dan dia pegang tengkuknya tanpa orang itu mampu meloloskan diri atau melawan. Orang itu terbanting ke atas panggung di depan Han Houw.
"Dia inilah yang tadi melepas anak panah. Awas, anak panah itu beracun, Houw-ko!" kata Sin Liong.
Karena adanya keributan ini, otomatis dua orang yang sedang bertanding itu berhenti dan meloncat ke belakang, dan kini semua orang mengarahkan pandang mata mereka ke panggung tempat raja dan keluarga serta pembantu-pembantunya duduk.
"Ha-ha-ha, Liong-te, benarkah begitu? Jika begitu biar dia yang makan racunnya sendiri!" Han Houw menggerakkan tangannya dan anak panah itu segera meluncur secepat kilat, menancap ke pundak kanan orang berbaju hitam itu.
"Aughhhh...!" Orang itu memekik kesakitan dan tubuhnya berkelojotan, karena racun itu adalah racun Jeng-hwa-tok (Racun Kembang Hijau) yang amat ampuh dan kalau saja dia belum mempergunakan obat penawar, tentu dia tewas seketika. Betapa pun juga, racun itu masih mendatangkan rasa nyeri yang hebat.
"Hayo katakan, siapa engkau dan mengapa engkau menyerangku secara menggelap?" Han Houw membentak.
"Huh, kalau melihat anak panah beracun hijau, siapa lagi orang ini kalau bukan anggota Jeng-hwa-pang (Perkumpulan Bunga Hijau)?" Raja Sabutai berkata sambil mengelus-elus jenggotnya, girang melihat bahwa puteranya sudah sedemikian lihainya sehingga mampu menangkap anak panah yang dilepaskan untuk menyerangnya.
"Jeng-hwa-pang...?" Semua orang kang-ouw sangat terkejut mendengar ini dan mereka memandang penuh perhatian.
Melihat bahwa Raja Sabutai yang terkenal lihai itu telah dapat mengenalnya, maka orang berbaju hitam itu mengangguk dan berkata, sikapnya masih keras dan tidak mengandung rasa hormat atau takut,
"Benar, aku adalah anggota Jeng-hwa-pang dan kedatanganku ke sini tak ada urusannya dengan pemilihan guru silat, tiada hubungannya pula dengan kerajaan di sini. Aku datang untuk membalas dendam terhadap wanita iblis Kim Hong Liu-nio, akan tetapi karena aku tidak melihatnya di sini, maka aku tujukan panahku kepada dia yang menjadi sute dari wanita iblis itu!" sambil menahan rasa nyerinya laki-laki itu menuding ke arah Ceng Han Houw.
"Ahhh, kiranya masih ada lagi orang Jeng-hwa-pang yang masih hidup selain ketuanya? Ehh, orang yang bosan hidup. Mana dia Tok-ong Cak Song Kam, ketua Jeng-hwa-pang? Mengapa dia tidak datang sendiri memperlihatkan kebodohannya, akan tetapi mengutus orang tidak ada gunanya macam engkau?" Ceng Han Houw berseru sambil tersenyum mengejek.
"Aku sudah gagal oleh bocah setan itu!" Laki-laki berbaju hitam itu melotot ke arah Sin Liong yang masih berdiri di tepi. "Mau bunuh boleh bunuh, siapa takut mampus? Suheng Gak Song Kam pada suatu hari tentu akan membunuh engkau dan suci-mu, kau tunggu saja!"
"Heh-heh-heh, anjing dari mana ini menggonggong terus-menerus?" Tiba-tiba muncullah seorang nenek yang amat mengerikan.
Entah dari mana munculnya nenek ini dan semua orang memandang kepada nenek yang sudah berdiri di atas panggung itu sambil terkekeh mentertawakan orang Jeng-hwa-pang itu sambil menudingkan telunjuknya yang berkuku panjang sekali dan agak melengkung.
Nenek ini sudah tua sekali, tentu usianya sudah ada seratus tahun, punggungnya sudah bongkok dan tubuhnya kurus sekali seperti cecak kering. Kedua tangannya seperti cakar burung dan tangan kirinya memegang sebatang tongkat butut. Wajahnya yang amat tua itu penuh kerut-merut, mulutnya seperti tidak ada bibirnya, hanya berupa garis melintang yang penuh keriput. Matanya juga hampir tidak nampak karena sangat dalam dan gelap sehingga orang tidak tahu apakah di rongga yang dalam itu ada bola matanya ataukah tidak.
Kalau orang bertemu dengan nenek ini di tempat sunyi apa lagi di waktu malam, dia tentu akan lari lintang-pukang karena seram dan menganggapnya siluman atau iblis. Akan tetapi di antara para tokoh kang-ouw ada yang mengenal nenek itu, dan tentu saja Sin Liong juga mengenalnya karena itulah seorang di antara dua musuh besarnya. Nenek itu adalah Hek-hiat Mo-li!
"Subo baru datang? Silakan duduk!" Raja Sabutai segera berkata saat melihat nenek itu.
Akan tetapi nenek itu tak menjawab, bahkan berkata lagi sambil terkekeh geli, "Heh-heh, anjing, kenapa tidak menggonggong lagi? Apakah racun Jeng-hwa-tok itu kurang manjur? Nah, kau coba rasakan racunku ini!"
Tiba-tiba saja Hek-hiat Mo-li menggerakkan tangan kirinya dan tahu-tahu kuku jari tangan kirinya sudah menggores muka orang itu tanpa dapat dielakkannya, sedangkan tongkat butut itu tahu-tahu telah pindah ke tangan kanan.
Si baju hitam dari Jeng-hwa-pang itu sudah menderita hebat bukan main akibat pengaruh racun Jeng-hwa-tok di ujung anak panah yang menancap di pundaknya, akan tetapi rasa nyeri karena racun itu kalau dibandingkan dengan apa yang dideritanya saat ini, sungguh tidak ada artinya.
Dia merasa betapa tiba-tiba saja pipinya yang kena gores kuku itu menjadi gatal, rasa gatal yang makin menghebat, yang menggerogotinya dari kulit pipi terus masuk ke dalam, ke tulang-tulang pipi terus menjalar sampai ke seluruh muka dan kepala, seolah-olah ada ribuan semut menggerogoti daging-daging serta tulang-tulangnya. Rasanya gatal, pedih, ngilu dan sukar diceritakan bagaimana tepatnya karena seolah-olah segala macam rasa nyeri yang menimbulkan penderitaan berkumpul di situ.
Kiranya tak ada orang yang akan mampu menahan rasa nyeri seperti ini, rasa nyeri yang terlalu hebat namun tidak membuat dia pingsan, akan tetapi juga demikian luar biasanya sehingga tidak tertahankan lagi untuk tidak berteriak, bergulingan, mencakar-cakar muka sendiri dan orang Jeng-hwa-pang itu menjadi seperti gila! Mukanya telah habis dicakarnya sendiri, kulit mukanya pecah-pecah berdarah sehingga muka itu berubah merah seperti dicat, hidungnya remuk dicakar dan dicabiknya, bahkan kemudian, dalam usahanya untuk melenyapkan rasa gatal dan nyeri luar biasa itu, dia mempergunakan jari-jari tangannya untuk mencokel keluar kedua matanya!
Akhirnya, dengan suara pekik terakhir yang sungguh mengerikan, orang yang mukanya sudah tak karuan macamnya itu jatuh berkelojotan di atas panggung, lalu kaki tangannya merentang dan menegang, kaku dan mati!
Menyaksikan peristiwa yang sangat mengerikan ini, sang permaisuri, yaitu Puteri Khamila ibu Ceng Han Houw membuang muka dan Raja Sabutai segera memberi isyarat kepada para dayang dan pengawal untuk mengantar sang permaisuri memasuki Istana Lembah Naga. Juga semua orang yang hadir merasa ngeri bukan kepalang. Belum pernah mereka menyaksikan kekejaman seperti yang diperlihatkan oleh nenek tua renta itu.
Sin Liong sendiri diam-diam merasa menyesal bukan main. Meski pun si baju hitam tadi adalah seorang Jeng-hwa-pang dan utusan ketua Jeng-hwa-pang yang pernah menyiksa dan nyaris membunuhnya, juga walau pun orang tadi berusaha untuk membunuh kakak angkatnya, akan tetapi akhirnya orang itu tewas di bawah siksaan Hek-hiat Mo-li musuh besarnya. Jadi dialah yang sudah membantu musuh besarnya dan kematian orang itu di bawah siksaan keji itu sebagian adalah menjadi tanggung jawabnya.
Atas perintah raja, beberapa orang pengawal cepat turun tangan menyingkirkan mayat yang sudah tidak karuan mukanya itu dari atas panggung. Sementara itu, Hek-hiat Mo-li sudah berkata lantang kepada Raja Sabutai, suaranya masih nyaring sehingga terdengar oleh semua orang yang hadir di situ.
"Sri baginda, apa artinya ini? Saya mendengar bahwa sri baginda tengah mengumpulkan orang-orang tidak berguna ini untuk memilih seorang guru di antara mereka, guru yang akan melatih ilmu silat kepada putera paduka. Benarkah itu?"
Memang Raja Sabutai tidak memberi tahu akan sayembara itu kepada gurunya, Hek-hiat Mo-li. Nenek itu sudah tua, sudah setengah pikun dan wataknya aneh luar biasa, bahkan untuk mengajar Han Houw saja selama itu oleh nenek ini diserahkan kepada Kim Hong Liu-nio dan nenek itu tidak pernah melatih sendiri. Karena itu, Raja Sabutai menganggap bahwa nenek itu telah terlalu tua dan tidak tepat lagi untuk mengajarkan limu kepada Han Houw, maka tanpa memberi tahu dia mengadakan sayembara ini.
Dia sengaja tidak memberi tahu karena takut kalau gurunya itu akan merasa tersinggung. Siapa sangka, nenek yang dianggapnya pikun itu tiba-tiba saja muncul di tengah-tengah panggung dan memperlihatkan kekejaman dan juga kelihaiannya di depan semua orang dan kini malah menegurnya di depan banyak orang dan menyebut para tamu kang-ouw itu sebagai orang tak berguna!
"Harap subo memaklumi," katanya lirih karena dia merasa tidak senang untuk berdebat dengan gurunya di depan banyak orang. "Memang aku mengadakan sayembara memilih guru untuk mendidik Pangeran Oguthai, karena aku tidak ingin merepotkan kepada subo yang sepatutnya beristirahat dan tidak diganggu."
"Jadi paduka menganggap saya sudah terlalu tua untuk menjadi guru pangeran? Hemm, saya mengerti bahwa memang paduka berhak mencarikan guru yang lebih pandai dari pada saya, akan tetapi hendak saya lihat apakah di antara tikus-tikus ini ada yang mampu menandingi saya. Hehh, kalian dua orang tosu dan Lama yang tadi bertanding! Apakah kalian berdua berani maju bersama untuk menandingi aku?" Nenek itu menantang dan menudingkan tongkat bututnya kepada tosu dan pendeta Lama yang tadi bertanding seru dan belum ada ketentuan menang kalahnya kemudian berhenti karena munculnya orang Jeng-hwa-pang.
Ditantang di hadapan begitu banyak orang, dua orang yang masih merasa penasaran itu tentu saja menjadi marah. Mereka merasa dihina oleh nenek kejam itu. Karena mereka tidak mau saling mengalah dan disangka takut, maka bagaikan berlomba keduanya telah meloncat naik lagi ke atas panggung dari kanan kiri, menghadapi nenek tua renta yang berdiri terbongkok-bongkok itu.
Mereka berdua tentu saja tidak berniat mengeroyok nenek itu, karena mereka adalah dua orang saingan yang sedang memperebutkan kedudukan guru pangeran. Namun karena nenek itu menyebut mereka berdua, maka mereka berloncatan naik untuk menunjukkan bahwa mereka tidak mengenal takut.
"He-he-he, betapa lucunya!" Hek-hiat Mo-li tertawa, memandang kepada mereka dengan sikap merendahkan. "Orang-orang semacam kalian ini hendak menjadi guru pangeran? Huh-huh, kebisaan apakah yang kalian miliki? Coba kalian tahan ini!"
Dan tiba-tiba tubuh yang bongkok dan kelihatan kurus kering dan lemah sekali itu sudah bergerak, tongkatnya merupakan sinar hitam menyambar ke kanan kiri dan dalam waktu yang singkat sekali Hek-hiat Mo-li telah melakukan serangan totokan dengan tongkatnya, masing-masing tiga kali ke arah tosu dan Lama itu!
Tosu dan pendeta Lama itu terkejut bukan main karena totokan tongkat itu mendatangkan hawa panas menyengat dan biar pun sudah tua renta, ternyata nenek itu memiliki gerakan yang tiba-tiba dan tak tersangka-sangka, juga cepat sekali, maka mereka pun cepat-cepat menghindarkan diri. Tosu itu mempergunakan kelincahannya untuk mengelak, sedangkan pendeta Lama itu menggunakan kekuatannya untuk menangkis.
"Aduhhhh...!"
"Akhhhhh...!"
Tosu itu terhuyung karena meski pun sudah amat cepat dia mengelak, pundaknya tetap saja keserempet tongkat, sedangkan Lama itu pun terhuyung karena ketika lengannya menangkis, ada hawa panas yang amat hebat menerjangnya dari lengan lalu menjalar ke pundak.
"He-he-he, hanya begini saja jagoan-jagoan yang hendak menjadi guru pangeran?" ejek nenek itu dan kini dia menyerang lagi dengan hebatnya.
Memang tingkat kepandaian nenek ini jauh lebih tinggi dari pada tingkat kedua orang itu, maka meski pun mereka berdua berusaha sedapat mungkin untuk mengelak, akan tetapi lewat dua puluh jurus saja keduanya roboh terlempar ke bawah panggung dalam keadaan tewas. Tosu itu tertusuk ulu hatinya oleh ujung tongkat, ada pun Lama itu kena ditampar pelipisnya oleh tangan kiri Hek-hiat Mo-li yang mengandung tenaga sinkang yang ampuh sekali.
Gegerlah keadaan di tempat itu! Tidak ada yang mengira bahwa kini malah muncul guru dari Raja Sabutai sendiri yang menyebar maut di antara mereka yang hendak memasuki sayembara pemilihan guru!
Orang-orang kang-ouw itu menjadi penasaran, terlebih lagi rombongan tosu dan pendeta Lama. Mereka semuanya telah memandang ke atas panggung, akan tetapi pasukan Raja Sabutai telah menjaga dengan rapi dan teratur, menjaga kalau-kalau terjadi keributan dan pengeroyokan.
Akan tetapi nenek keriput itu masih tetap tenang-tenang saja sambil tersenyum-senyum mengerikan. Mulut ompong keriput itu tersenyum, akan tetapi bukan seperti senyum lagi jadinya.
"Hayo, masih ada lagi yang ingin menjadi guru pangeran? Naiklah, siapa yang sanggup melangkahi mayatku, baru boleh menjadi guru pangeran!" tantangnya.
Semua orang kang-ouw saling pandang dengan alis berkerut. Di antara mereka yang tadinya datang untuk mencoba-coba, tentu saja kini mundur teratur. Siapa orangnya yang mau mempertaruhkan nyawa hanya untuk menjadi guru, biar pun guru seorang pangeran? Apa lagi kalau harus bertanding mati-matian melawan nenek yang mengerikan dan yang lihai seperti iblis itu.
Mereka merasa penasaran sekali. Raja Sabutai mengumumkan pemilihan guru silat, lalu jauh-jauh mereka datang dari balik tembok besar, menempuh bahaya dan kelelahan, akan tetapi setelah sampai di sini mereka hanya dihadapkan kepada Hek-hiat Mo-li, datuk yang sudah amat terkenal tinggi ilmunya itu. Kalau mereka tahu akan begini jadinya, tentu saja mereka tak sudi menempuh jarak sejauh itu hanya untuk dihina! Maka, sambil bersungut-sungut mereka memandang Raja Sabutai, biar pun mulut mereka tak berani menyatakan sesuatu, namun pandang mata mereka mengandung protes.
"He-he-he-ha-ha, hayo, siapa yang berani lagi melawan Hek-hiat Mo-li? Majulah, majulah kalian pengecut-pengecut yang mengejar kedudukan, majulah!" Hek-hiat Mo-li seperti gila menantang-nantang, berjingkrak-jingkrak, menari-nari, dan tertawa-tawa di atas panggung sambil mengayun-ayunkan tongkatnya dan berputaran seperti anak kecil yang kegirangan dan merasa bangga sekali.
Raja Sabutai mengerutkan alisnya dan telah bangkit berdiri untuk menegur subo-nya dan mencegah nenek itu bersikap seperti itu, akan tetapi Han Houw yang melihat kemarahan ayahnya sudah berkata, "Ayah, biarkanlah. Aku pun tidak ingin mencari guru baru karena aku sudah memperoleh seorang guru yang hebat. Biarkan subo supaya dia tidak marah-marah."
Sementara itu, pada saat melihat sikap nenek itu, di antara para tamu ada sebagian yang merasa jeri akan tetapi sebagian lagi merasa muak, maka berturut-turut pergilah mereka meninggalkan tempat itu tanpa pamit lagi! Melihat ini, Hek-hiat Mo-li terkekeh dan terus menantang-nantang,
"He-heh-heh, pengecut-pengecut hina. Siapa berani melawanku? Heh-heh, agaknya tidak ada seorang pun yang berani melawan Hek-hiat Mo-li!"
Rombongan tosu dan rombongan Lama telah mengangkat jenazah kawan masing-masing dan siap pergi pula dari tempat yang mulai kosong itu, sama sekali tidak mempedulikan ulah nenek gila di atas panggung.
"Hayo, siapa yang berani, siapa berani melawan Hek-hiat Mo-li! Apakah tak seorang pun di dunia ini yang berani melawanku?"
"Aku yang berani! Aku berani melawanmu!"
Semua orang yang masih belum meninggalkan tempat itu terkejut bukan main dan cepat memandang ke arah panggung di mana seorang pemuda telah berdiri tegak menghadapi nenek gila itu. Pemuda ini bukan lain adalah Sin Liong!
Semenjak tadi pemuda ini sudah terbakar hatinya melihat musuh besarnya itu, lebih lagi menyaksikan kekejamannya. Kemudian, pada saat melihat kesombongannya menantang-nantang semua orang itu, dia tidak tahan lagi dan di luar kesadarannya dia telah meloncat ke hadapan nenek itu dari menyambut tantangannya.
Bukan hanya para sisa tamu yang memandang dengan hati terkejut dan heran, juga Raja Sabutai, keluarga beserta panglima-panglimanya terkejut sekali dan memandang dengan mata terbelalak ke arah pemuda tanggung yang begitu berani mati menyambut tantangan Hek-hiat Mo-li yang sedang keranjingan itu.
"Liong-te, jangan...!" Han Houw juga terkejut sekali lantas berteriak, akan tetapi terlambat karena pada saat itu pula nenek Hek-hiat Mo-li sudah melakukan serangan maut setelah sesaat dia terbelalak kaget dan heran.
"Heh-heh, mampuslah, bocah!" bentaknya.
Tongkatnya sudah menyambar, disusul tamparan tangan kirinya. Dua serangan ini hebat sekali, keduanya mengandung hawa panas dari pukulan Hwi-tok-ciang (Tangan Racun Api) dan bahkan lebih hebat dari pada ketika nenek tadi menyerang tosu dan Lama. Hal ini adalah karena nenek itu marah sekali ditantang oleh seorang bocah, suatu hal yang dianggap sangat merendahkan dan menghinanya di hadapan orang banyak. Sebab itu dia menyerang hebat, dengan maksud untuk menghancurkan kepala dan memecahkan dada bocah yang lancang dan berani menghinanya itu.
"Krekk...! Plakk...!"
Pertemuan dua pasang tangan dan lengan itu akibatnya cukup mengejutkan. Keduanya terdorong ke belakang, bahkan nenek itu terhuyung dan tongkat bututnya patah menjadi dua potong! Pada waktu itu, Han Houw sudah meloncat dan menghadang di depan Sin Liong sambil berkata kepada Hek-hiat Mo-li yang masih terbelalak memandang kepada tongkatnya yang patah.
"Subo... tahan... jangan serang dia, dia adalah adik angkatku sendiri!"
Hek-hiat Mo-li tercengang. Dia merasa bagaikan mimpi. Ada bocah yang masih ingusan bukan saja sudah berani dan kuat menahan pukulan-pukulannya, bahkan mematahkan tongkatnya lantas membuatnya terdorong mundur dan terhuyung. Dadanya terasa sesak tanda bahwa lawan itu memiliki sinkang yang luar biasa kuatnya!
"Adik angkatmu...? Heh, adik angkat macam apa ini...!" Dia mengomel, akan tetapi nenek itu meloncat jauh dan sebentar saja dia sudah lenyap dari pandangan mata, entah pergi ke mana.
"Maaf, Houw-ko, kesombongannya membuat aku lupa diri...," Sin Liong berkata kepada Han Houw, tidak peduli dengan pandang mata pangeran itu yang penuh kekaguman dan keheranan.
"Oguthai, siapakah dia itu?" Mendadak terdengar suara keras dan ternyata Raja Sabutai telah berdiri di belakang pangeran itu.
"Ayah, ini adalah Liong Sin Liong, adik angkatku."
"Adik angkat? Dia... dia hebat sekali..." Raja Sabutai memandang penuh keheranan dan kekaguman.
Sebagai murid tersayang dari Hek-hiat Mo-li dan mendiang Pek-hiat Mo-ko, tentu saja dia mengenal pukulan subo-nya tadi. Melihat betapa pemuda tanggung ini tidak hanya kuat bertahan terhadap pukulan itu, bahkan dapat menangkis hingga tongkat subo-nya patah dan subo-nya terdorong mundur, dia betul-betul merasa amat takjub. Dan kini mendengar bahwa bocah luar biasa ini adalah adik angkat dari puteranya, dia makin terheran-heran.
"Memang hebat dia, ayah. Dia adik angkatku dan juga suheng-ku."
"Hee? Bagaimana ini?" Raja itu bertanya heran.
"Kami sudah mengangkat saudara, dan karena dia lebih muda, maka dia adalah adik angkatku, akan tetapi karena aku akan belajar kepada gurunya, seperti kukatakan tadi bahwa aku telah mendapatkan seorang guru, maka dia pun terhitung suheng-ku."
"Ahh, begus sekali!" raja itu berseru girang. Melihat kelihaian pemuda tanggung itu yang sudah kuat melawan subo-nya, dia percaya bahwa guru yang didapatkan oleh puteranya itu tentu seorang yang sakti luar biasa. "Siapakah gurumu itu?"
"Aku belum diterima menjadi muridnya, akan tetapi aku ingin berguru kepadanya, ayah. Namanya adalah Bu Beng Hud-couw..."
"Ahh...?!" Raja Sabutai terbelalak kemudian memandang kepada puteranya seperti orang melihat setan di tengah hari. "Bu Beng Hud-couw? Akan tetapi itu... itu adalah nama tokoh dalam dongeng..."
"Akan tetapi buktinya, Liong-te sudah memperoleh ilmu yang hebat, bukan?" bantah Han Houw.
"Orang muda, benarkah..., benarkah engkau murid tokoh dongeng Bu Beng Hud-couw?" Raja Sabutai bertanya, suaranya mengandung ketidakpercayaan.
Sin Liong menjura. "Begitulah menurut keterangan suheng Ouwyang Bu Sek, sri baginda. Akan tetapi terus terang saja, saya sendiri belum pernah jumpa dengan suhu." Kemudian dia menoleh kepada Han Houw lantas berkata, "Houw-ko, maafkan aku, apa bila engkau masih banyak urusan di sini, aku hendak kembali dulu ke selatan."
"Ah, kenapa begitu tergesa-gesa, Liong-te? Aku mau minta bantuanmu," kata Han Houw sambil memegang lengan adik angkatnya.
"Bantuan apakah itu, Houw-ko?"
"Engkau tentu tahu bahwa selama ketua Jeng-hwa-pang masih berkeliaran maka nyawa dan keselamatanku terancam. Karena itu aku sendiri akan mencarinya dan harap engkau suka membantuku."
"Hemmm... kalau begitu baiklah," kata Sin Liong yang tidak mampu menolak karena dia juga tahu bahwa ketua Jeng-hwa-pang adalah seorang manusia keji, tidak kalah kejinya dibandingkan dengan Hek-hiat Mo-li atau Kim Hong Liu-nio, dan bahwa kegagalan utusan tadi tentu membuat ketua Jeng-hwa-pang itu penasaran dan akan turun tangan sendiri.
Terpaksa malam itu Sin Liong bermalam di Istana Lembah Naga, membiarkan Han Houw bertemu dengan ayah bundanya dan menceritakan segala pengalamannya. Raja Sabutai, dan terutama sekali permaisurinya, Ratu Khamila, merasa girang dan bangga bukan main mendengar bahwa Ceng Han Houw kini secara resmi sudah menjadi pangeran Kerajaan Beng-tiauw, menjadi saudara yang terkasih dari kaisar yang baru, yaitu Kaisar Ceng Hwa. Bahkan putera mereka itu menjadi utusan pribadi kaisar untuk mengadakan pemeriksaan ke daerah selatan dengan kekuasaan penuh!
Akan tetapi, lebih girang lagi hati Raja Sabutai setelah mendengar bahwa putera mereka akan dapat berguru kepada seorang tokoh dongeng yang memiliki kepandaian demikian hebatnya, terbukti dari kelihaian Sin Liong yang masih begitu muda.
Dua hari kemudian, berangkatlah Han Houw dan Sin Liong meninggalkan Lembah Naga untuk pergi mencari Tok-ong Gak Song Kam, ketua dari Jeng-hwa-pang. Pada saat Raja Sabutai hendak memberi pengawal sepasukan tentara, Han Houw segera menolak dan mengatakan bahwa dia, dengan bantuan Sin Liong, sudah cukup kuat untuk menghadapi Jeng-hwa-pang. Dia hanya memilih dua ekor kuda yang amat baik untuk mereka berdua, kemudian setelah membawa bekal secukupnya, berangkatlah dua orang muda ini menuju ke selatan kembali karena Han Houw tahu bahwa Jeng-hwa-pang selalu bersarang di daerah perbatasan tembok besar.
Lega rasa hati Sin Liong telah dapat meninggalkan tempat yang banyak menimbulkan kenangan sedih itu. Akan tetapi diam-diam dia masih merasa penasaran bahwa dia belum sempat menjumpai Hek-hiat Mo-li sendirian saja untuk dilawan sebagai musuhnya yang telah menyebabkan tewasnya Cia Keng Hong, kakek dan gurunya yang disayangnya itu.
Dan dia pun masih penasaran tidak melihat adanya Kim Hong Liu-nio, wanita iblis yang menjadi musuh besarnya pula, pembunuh dari ibu kandungnya. Di dalam hati dia berjanji bahwa kalau dia sudah dapat memisahkan diri dari Han Houw, maka dia akan kembali dan mencari kedua orang musuh besar itu.
Di sebuah rumah besar yang sederhana di kota Leng-kok, terdapat suatu perayaan pesta pernikahan yang cukup sederhana, namun sangat meriah karena banyaknya tamu yang berdatangan. Tidaklah mengherankan kalau yang datang banyak terdiri dari orang-orang kang-ouw, bahkan wakil-wakil dari perkumpulan-perkumpulan besar, karena yang punya kerja adalah seorang pendekar yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw, seorang pendekar sakti yang pernah menggegerkan dunia persilatan. Pendekar itu bukan lain adalah Yap Kun Liong.
Walau pun pendekar ini tidak pernah menonjolkan diri dan tidak pernah memperlihatkan kepandaian silatnya yang amat tinggi kalau keadaaan tidak memaksanya, namun setiap orang mengenal belaka siapa adanya pendekar sakti Yap Kun Liong. Di dalam cerita Petualang Asmara dan Dewi Maut, kita sudah cukup lama berkenalan dengan Yap Kun Liong, mengikuti riwayat hidupnya yang penuh suka duka seperti juga riwayat hidup setiap manusia!
Akhirnya, dengan berkah serta restu dari mendiang Cia Keng Hong, pendekar ini berani menempuh hidup berdua bersama wanita yang dikasihinya, yaitu puteri ketua Cin-ling-pai itu, Cia Giok Keng. Mereka hidup sebagai suami isteri yang saling mencinta, dua orang yang keadaannya tidak jauh bedanya.
Yap Kun Liong adalah seorang duda yang sudah ditinggal mati oleh isterinya, sedangkan Cia Giok Keng adalah seorang janda pula, ditinggal mati suaminya dan keadaan kematian isteri dan suami mereka pun sama, yaitu dibunuh orang. Biar pun Yap Kun Liong tidak mendapatkan anak dari isterinya yang terbunuh itu, yaitu Pek Hong Ing, akan tetapi dia mempunyai seorang puteri dari wanita lain sebelum dia menikah dengan Pek Hong Ing, yaitu Yap Mei Lan yang lahir dari ibunya yang bernama Liem Hwi Sian. Ada pun Cia Giok Keng ditinggal mati oleh suaminya dengan dua orang anak, yaitu yang pertama adalah Lie Seng, sedangkan yang ke dua adalah Lie Ciauw Si.
Pesta pernikahan siapakah yang dirayakan di rumah pendekar Yap Kun Liong itu? Pesta pernikahan yang sesungguhnya telah ditunda sampai tiga tahun berhubung dengan masa perkabungan atas kematian kakek Cia Keng Hong, yaitu pernikahan antara Yap Mei Lan dan Souw Kwi Beng!
Antara dua orang muda yang sudah cukup dewasa ini, bahkan sudah terlampau dewasa, timbul perasaan saling cinta yang mendalam dan Souw Kwi Eng, yaitu janda Tio Sun, yang menyampaikan permohonan saudara kembarnya itu untuk meminang Yap Mei Lan kepada Yap Kun Liong. Karena memang sudah ada kontak di antara kedua orang itu, Yap Kun Liong langsung menerimanya dengan baik, akan tetapi pesta pernikahan itu terpaksa harus diundur sampai selesai masa perkabungan atas kematian kakek Cia Keng Hong, yaitu selama tiga tahun.
Sepasang pengantin itu memang sudah agak kasep. Umur Souw Kwi Beng sudah tiga puluh tiga tahun, sedangkan umur Yap Mei Lan sudah dua puluh sembilan tahun! Akan tetapi, cinta tidak mengenal usia, dan bahkan dalam usia sedemikian itu keduanya sudah cukup matang, sudah hilang sifat kekanak-kanakan mereka lagi.
Pendekar Yap Kun Liong sudah berusia lima puluh dua tahun, namun dia masih nampak gagah dan tampan dalam pakaiannya yang baru ketika dia kelihatan menyambut para tamu dengan wajah berseri gembira. Hati siapa yang tak akan gembira menghadapi pesta pernikahan puterinya, untuk pertama kali?
Dalam keadaan seperti itu, seorang pria akan merasakan sesuatu yang istimewa, yang memberi tahu kepadanya bahwa dia sudah memasuki lapisan usia yang tertentu, yaitu mulai mempunyai mantu dan besar kemungkinan dalam waktu satu atau dua tahun dia akan menjadi kakek, mempunyai cucu! Melihat pria ini menyambut tamu dengan senyum ramah dan sikap lembut, tentu tidak akan ada yang menduga bahwa dia adalah seorang pendekar yang sukar dicari bandingnya di waktu itu!
Di sampingnya, nampak seorang wanita cantik sekali juga menyambut para tamu dengan ramah. Wanita ini adalah isteri pendekar itu, Cia Giok Keng, yang sesungguhnya sudah berusia lima puluh satu tahun, akan tetapi sulit dipercaya bila dia sudah berusia setengah abad lebih sebab melihat wajahnya yang cantik dan bentuk tubuhnya yang masih ramping padat, orang akan menyangka bahwa usianya tentu jauh kurang dari empat puluh tahun.
Walau pun Yap Mei Lan hanya anak tirinya, namun nyonya yang pada waktu mudanya merupakan seorang gadis yang berhati baja dan berkepala batu ini menganggap Mei Lan sebagai seorang anak sendiri. Memang terjadi perubahan besar sekali setelah Cia Giok Keng menjadi isteri Yap Kun Liong.
Suami isteri ini amat terkenal. Sang suami adalah pendekar besar di masa itu sedangkan sang isteri juga seorang pendekar wanita, puteri dari kakek Cia Keng Hong, yakni ketua Cin-ling-pai yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Maka, para tamu yang menerima penyambutan mereka semua tersenyum ramah, menghaturkan selamat dan memandang kagum kepada pasangan ini.
Di antara para penyambut, yang sibuk membantu fihak tuan rumah yang punya kerja, nampak terutama sekali Cia Bun Houw dan Yap In Hong. Suami isteri yang berbahagia ini, yang sesungguhnya baru beberapa tahun saja menjadi suami isteri dalam arti yang sesungguhnya, tak kalah terkenalnya dibandingkan dengan Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng.
Pada waktu itu, Cia Bun Houw sudah berusia tiga puluh enam tahun dan Yap In Hong berusia tiga puluh lima tahun dan keduanya merupakan adik-adik kandung dari tuan dan nyonya rumah. Cia Bun Houw adalah adik kandung Cia Giok Keng, sedangkan Yap In Hong adalah adik kandung Yap Kun Liong!
Dalam hal kepandaian silat, kedua orang suami isteri ini bahkan tidak kalah dibandingkan dengan Yap Kun Liong dan isterinya! Apa lagi setelah pasangan suami isteri ini berhasil menggabungkan tenaga Thian-te Sin-ciang, mereka sudah mencapai tingkat yang sangat hebat dalam tenaga sakti peninggalan dari Kok Beng Lama itu. Para tokoh kang-ouw yang datang juga memandang kepada suami isteri muda itu dengan sinar mata kagum.
Selain Cia Bun Houw dan isterinya, masih terdapat pula Souw Kwi Eng, janda Tio Sun yang merupakan adik kembar dari mempelai pria, serta Lie Seng, yaitu putera Cia Giok Keng yang masih sute dari mempelai wanita. Sebagai murid mendiang Kok Beng Lama, tentu saja Lie Seng juga merupakan seorang pemuda yang amat lihai, seperti suci-nya yang kini duduk sebagai mempelai wanita.
Pendeknya, yang punya kerja dan yang menikah merupakan keluarga pendekar-pendekar yang memiliki tingkat kepandaian sangat tinggi, tergolong pendekar-pendekar kelas satu! Maka tidaklah mengherankan apa bila pesta perayaan itu walau pun sederhana namun menjadi amat meriah dengan hadirnya tokoh-tokoh kang-ouw yang kenamaan dan bahkan wakil-wakil dari partai-partai persilatan yang besar.
Hanya ada satu hal yang merupakan ganjalan di dalam hati keluarga itu, terutama dalam hati Cia Giok Keng, yaitu tidak hadirnya Lie Ciauw Si. Seperti telah diceritakan di bagian depan dara ini meninggalkan Cin-ling-san untuk pergi menyusul pamannya, Cia Bun Houw yang kepergiannya mendukakan hati kongkong-nya. Dan semenjak dara itu pergi, sampai sekian lamanya belum juga kembali dan tidak diketahui ke mana perginya. Inilah yang merupakan ganjalan di hati keluarga itu.
Para tamu mulai memenuhi ruangan tamu yang dihiasi dengan bunga-bunga, kertas dan kain beraneka warna, sebagian besar yang diutamakan adalah warna merah, sedangkan meja-meja mulai penuh dikelilingi tamu yang semua memperlihatkan senyum dan wajah berseri-seri seperti yang biasa nampak dalam suatu pesta pernikahan. Suasana gembira mempengaruhi semua orang dan hampir semua tamu membicarakan keluarga tuan rumah dan memuji ketampanan mempelai pria yang berdarah campuran barat itu.
Sekarang tamu yang berdatangan mulai berkurang dan ruangan itu sudah hampir penuh. Tiba-tiba Souw Kwi Eng yang sedang sibuk mengurus dan mengepalai para pelayan itu menahan seruannya, dan matanya yang bersinar tajam dan agak kebiruan itu terbelalak memandang ke depan, ke arah seorang tamu tua yang masuk diiringkan dua orang lagi, dan wajah nyonya muda ini menjadi marah, matanya berkilat-kilat tanda bahwa hatinya menjadi panas dan marah sekali.
Melihat keadaan nyonya janda ini, Lie Seng cepat memandang dan terkejutlah dia ketika mengenal siapa orangnya yang datang itu. Pantas nyonya janda Tio Sun itu kelihatan marah karena yang muncul sebagai tamu dan diiringkan oleh dua orang pembantunya itu, bukan lain adalah seorang kakek yang berpakaian tambal-tambalan akan tetapi semua tambalannya terbuat dari kain baru, kakek yang usianya enam puluh tahun lebih, bertubuh pendek kurus dan mukanya sempit kaya muka tikus, kakek yang bukan lain adalah Hwa-i Sin-kai, ketua dari Hwa-i Kaipang! Kakek yang dituduh sebagai pembunuh suami nyonya janda ini!
Alanglah beraninya Hwa-i Sin-kai datang ke sini, pikir Lie Seng yang juga memandang penuh perhatian ke arah ketua Hwa-i Kaipang yang diikuti oleh dua orang kakek tokoh Hwa-i Kaipang tingkat dua itu.
"Bedebah... kubunuh dia...," desis Souw Kwi Eng, akan tetapi Lie Seng cepat menyentuh lengan janda muda ini.
"Enci... harap tenang dan sabarlah," bisiknya pelan. "Serahkan saja kepada ibu dan ayah sebagai tuan rumah, tidak baik kalau kita membikin kacau pada hari baik ini. Ingat, hari ini adalah hari pernikahan saudaramu, yaitu suami dari suci-ku."
Souw Kwi Eng mengangguk dan menggunakan punggung lengan baju untuk menghapus dua titik air mata dengan cepat, kemudian cepat menyibukkan dirinya dengan pekerjaan, sungguh pun perhatiannya tak pernah lepas dari kakek pengemis yang disambut oleh Yap Kun Liong dan isterinya.
Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng menyambut dengan wajah berseri dan bibir tersenyum ramah seperti ketika menyambut para tamu lainnya, akan tetapi mereka saling bertukar pandang dengan cepat dan sebagai suami isteri yang saling mencinta, yang seolah-olah mempunyai hubungan yang lebih mesra dan lebih dekat dibandingkan pandang mata dan kata-kata biasa, mereka pun telah saling mengerti.
Keduanya merasa heran akan kunjungan ketua perkumpulan pengemis ini. Mereka telah mendengar penuturan Cia Bun Houw, bahkan penuturan mantu mereka mengenai ketua pengemis ini yang disangka adalah pembunuh dari Tio Sun. Mengapa sekarang kakek ini berani datang?
Akan tetapi Yap Kun Liong adalah seorang pendekar yang luas pengetahuannya dan juga tajam pandangannya. Melihat pandang mata dan sikap pengemis tua itu, Yap Kung Liong segera mengerti bahwa kedatangan kakek ini bukan semata-mata untuk menghadiri pesta perayaan, melainkan mengandung maksud lain yang mendalam. Oleh karena itu, ketika menerima ucapan selamat, dia berbisik,
"Apakah pangcu mempunyai sesuatu untuk disampaikan kepada kami secara rahasia?"
Kakek pengemis itu tersenyum dan memandang kagum. "Ah, Yap-taihiap memang hebat, saya akan senang sekali kalau dapat terpenuhi keinginan saya itu."
"Silakan, pangcu, silakan...!" Yap Kun Liong kemudian mendahului tamunya itu, bersama isterinya memasuki ruangan dalam.
Dengan isyarat matanya Yap Kun Liong menyuruh isterinya serta Yap In Hong adiknya untuk mewakilinya menyambut para tamu, kemudian dia bersama tamunya itu memasuki ruangan dalam. Tak lama kemudian muncul pula Souw Kwi Eng, Lie Seng, dan Cia Bun How. Dua orang kakek pengemis tingkat dua sudah dipersilakan duduk di ruangan tamu, karena kalau mereka dibiarkan ikut masuk, akan terlalu menarik perhatian orang.
Melihat wajah Souw Kwi Eng yang merah serta matanya yang memandang dengan sinar mata penuh kebencian kepadanya, ketua Hwa-i Kaipang langsung menjura dan berkata kepada nyonya janda muda itu, "Percayalah, nyonya muda, kegelisahan dan kedukaanku tidak lebih kecil dari pada yang kau derita. Kedatanganku ini untuk menceritakan keadaan yang sebenarnya."
"Duduklah, pangcu, mari kita bicara dengan terbuka," kata Yap Kun Liong mempersilakan semua orang duduk.
"Saya tidak akan mengganggu terlalu lama karena taihiap sekeluarga sedang sibuk, dan maafkan kedatanganku mengganggu. Memang saya sengaja datang pada saat ini supaya tidak menarik perhatian orang. Nah, sekarang harap taihiap sekalian suka mendengarkan penuturanku baik-baik."
Hwa-i Sin-kai lalu mulai menceritakan tentang asal mula sebab permusuhan antara Hwa-i Kaipang dan seorang wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio. "Seorang anggota kami, pengemis she Tio yang berada di Hua-lai telah dibunuh oleh wanita iblis itu tanpa sebab, tanpa kesalahan. Oleh karena itu, fihak kami terus membayanginya sampai dia berada di kota raja dan di sana para tokoh perkumpulan kami lalu minta pertanggungan jawabnya karena telah membunuh seorang anggota kami tanpa sebab. Tetapi wanita iblis itu tidak mempertanggung jawabkan, bahkan merobohkan beberapa orang di antara kami. Itulah asal mula permusuhan antara kami dengan Kim Hong Liu-nio."
Kemudian dia menceritakan tentang kekalahan berturut-turut dari para pembantunya, dan betapa ketika mereka berhasil mengepung wanita itu di luar kota raja, muncul Panglima Lee Siang yang menyelamatkan wanita itu dan membawanya ke gedungnya.
"Oleh karena wanita itu bersembunyi di dalam gedung Lee-ciangkun, maka saya terpaksa menantangnya. Dan ternyata wanita itu menjawab bahkan menantang supaya saya suka datang ke gedung itu pada waktu malam yang ditentukan untuk bertanding. Tentu saja saya penuhi permintaannya itu, dan ketika saya tiba di sana pada malam hari itu, yang muncul bukan wanita iblis itu melainkan Panglima Lee yang langsung menyerang saya. Kemudian, dan sungguh di luar dugaan saya, muncul pula Tio Sun taihiap yang agaknya membela Lee-ciangkun. Padahal Lee-ciangkun adalah orang yang melindungi wanita iblis itu, maka saya menjadi marah hingga terjadi perkelahian antara saya dan Tio-taihiap. Dan di dalam pertandingan itu, entah bagaimana, tahu-tahu Tio-taihiap roboh dan tewas! Saya terkejut sekali, apa lagi ketika muncul wanita itu dan Lee-ciangkun juga mempersiapkan penjaga-penjaga, maka saya lalu melarikan diri membawa keheranan kenapa Tio-taihiap tewas dalam perkelahian melawan saya, padahal saya tidak merasa menjatuhkannya."
"Seorang gagah tidak akan mengelak dari akibat perbuatannya!" Tiba-tiba Souw Kwi Eng berseru. "Sudah jelas bahwa kematian suamiku adalah dalam pertandingan melawanmu, padahal dia bukan hendak memusuhimu, hanya hendak mendamai ciangkun kepadanya. Akan tetapi kau... kau membunuhnya, tentu dengan kecurangan."
"Tenanglah, dan biarkan pangcu menjelaskan dahulu. Bagaimana selanjutnya, pangcu?" tanya Yap Kun Liong.
Bagi kerajaan di Tiongkok, nama Raja Sabutai juga tak kalah terkenalnya. Siapakah yang tidak mengenal raja liar yang dulu pernah menawan mendiang Kaisar Ceng Tung bahkan kemudian pernah menyerbu masuk ke selatan, melewati tembok besar, bahkan jauh ke selatan dan pernah menjebolkan pertahanan kota raja? Walau pun akhirnya pasukan liar yang dipimpin Raja Sabutai itu berhasil dipukul mundur, namun namanya masih ditakuti dan banyak orang merasa seram dan ngeri apa bila mengingat akan keganasan pasukan Raja Sabutai ketika menyerbu ke selatan.
Bukan hanya terkenal di kalangan suku bangsa pengembara di luar tembok besar serta terkenal di sebelah dalam tembok besar sebagai raja liar yang ganas dan kuat, namun nama Sabutai ini bahkan terkenal pula di dalam dunia persilatan, di kalangan kang-ouw, terutama sekali di wilayah utara, karena selain Sabutai merupakan seorang raja, dia juga terkenal sebagai seorang ahli silat yang lihai sekali, yang kepandaiannya sejajar dengan tingkat para datuk persilatan, karena raja itu adalah murid Hek-hiat Mo-li dan mendiang Pek-hiat Mo-ko.
Bahkan di waktu mudanya, Sabutai pernah pula menggegerkan dunia persilatan dengan mengalahkan banyak tokoh kang-ouw terkenal sehingga namanya menjadi amat terkenal di dunia kang-ouw. Akan tetapi di samping itu semua, dia pun terkenal sebagai seorang raja yang royal terhadap tokoh-tokoh dunia kang-ouw dan dapat menghargai orang-orang kang-ouw sehingga diam-diam dia disuka dan dihormati, terutama sekali oleh golongan hitam atau kaum sesat.
Inilah sebabnya maka ketika terdengar berita bahwa Raja Sabutai mengundang seluruh orang kang-ouw yang berilmu tinggi untuk memasuki pemilihan guru silat untuk mengajar kepada pangeran putera raja itu, banyak orang pandai meninggalkan sarang atau tempat pertapaan mereka untuk pergi ke utara, keluar dari tembok besar. Mereka yang mengejar kedudukan, kemuliaan dan harta, tentu saja mengandung niat untuk memasuki pemilihan jagoan agar dapat dipilih menjadi guru silat.
Akan tetapi kebanyakan di antara mereka hanya datang ke tempat jauh itu karena tertarik dan hendak menonton. Setiap ada kesempatan di mana orang-orang yang berilmu tinggi datang dan saling bertemu, pasti dunia kang-ouw akan menjadi gempar sehingga banyak orang datang hanya untuk berkenalan, nonton adu silat, dan meluaskan pengetahuan dan pengalaman.
Maka, pada waktu hari pemilihan guru silat itu sudah makin mendekat, setiap hari tampak banyak orang menyeberangi tembok besar menuju ke utara, dan mereka ini tentu saja hanyalah orang-orang kang-ouw yang ingin mengunjungi tempat pemilihan guru silat itu, yaitu di Lembah Naga. Jika bukan orang kang-ouw yang memiliki kepandaian dan sudah biasa melakukan perjalanan jauh yang sukar, tentu tidak berani melakukan perjalanan yang selain jauh juga melalui daerah-daerah berbahaya itu.
Sebagian besar dari para tokoh kang-ouw itu adalah orang-orang daerah utara, karena tokoh-tokoh kang-ouw daerah selatan, terutama sekali yang bukan tergolong sesat, tentu saja tidak sudi untuk membantu orang asing, apa lagi bekerja kepada Raja Sabutai yang merupakan musuh rakyat dan negara. Kalau ada juga di antara mereka yang ikut datang, semata-mata mereka itu hanya tertarik dan ingin nonton adu kepandaian tingkat tinggi.
Ceng Han Houw dan Sin Liong melakukan perjalanan cepat dan mereka jarang berhenti, bahkan tidak pernah pula Han Houw bersenang-senang seperti yang dilakukannya ketika dia berada di rumah pembesar Gu, karena waktunya sudah amat mendesak dan dia pun merasa khawatir kalau-kalau dia akan datang terlambat. Maka dia bersama Sin Liong membalapkan kuda, dan setiap berhenti di sebuah kota hanya untuk meminta ganti kuda kepada pembesar setempat yang melayani pangeran ini dengan segala kehormatan.
Ketika mereka sudah melewati tembok besar, Sin Liong mulai mengenal daerah liar yang mendebarkan hatinya. Teringatlah dia akan perjalanannya pada saat keluar dari Lembah Naga, dibawa oleh Kim Hong Liu-nio sebagai tawanan, bersama dengan Han Houw ini, sampai dia dirampas oleh Tok-ong Gak Song Kam, ketua Jeng-hwa-pang, dan mulailah dia dengan perjalanannya ke selatan sampai akhirnya dia menjadi murid Ouwyang Bu Sek, atau lebih tepat lagi, menjadi sute dari kakek aneh itu karena dia bersama kakek itu menjadi murid dari guru mereka yang belum pernah dikenal oleh Sin Liong, yaitu kakek manusia dewa yang hanya baru dikenal namanya dari suheng-nya itu, yakni Bu Beng Hud-couw yang katanya bermukim di puncak Himalaya sebagai orang suci atau dewa!
Apa lagi ketika dia tiba di Rawa Bangkai, di sebelah selatan Lembah Naga, teringatlah dia akan semua pengalamannya pada waktu kecil karena daerah ini amat dikenalnya. Akan tetapi kini sejak dari Rawa Bangkai sudah nampak penjaga-penjaga, yaitu prajurit-prajurit dari pasukan Raja Sabutai, yang menjaga dengan tertib dan gagah, selain menjaga tapal batas itu, juga sekalian sebagai penghormatan terhadap para tamu yang hendak datang berkunjung berkenaan dengan adanya sayembara pemilihan guru silat. Karena itu tidak seperti biasanya, kini para penjaga itu berpakaian seragam baru yang gagah berkilauan, dengan tombak di tangan, dan bendera-bendera tanda kebesaran Raja Sabutai berkibar di mana-mana.
Ketika para penjaga itu melihat datangnya Ceng Han Houw yang mereka kenal sebagai Pangeran Oguthai, mereka menyambut dengan gembira sekali. Sambil memberi hormat mereka berseru, "Hidup Pangeran Oguthai!"
Wajah para prajurit yang tadinya kaku dan gelap, seketika menjadi terang penuh seri dan senyum, bahkan beberapa orang lalu cepat-cepat menunggang kuda untuk mengabarkan kedatangan pangeran ini ke Lembah Naga. Oguthai atau Ceng Han Houw tersenyum dan melambai ke kanan kiri menerima sambutan dan penghormatan anak buah ayahnya, dan ketika ada beberapa orang perwira tinggi besar yang gagah menyambut, diam-diam Sin Liong merasa kagum akan keagungan kakak angkatnya itu.
Pada waktu para perwira tua muda itu mengerumuni Han Houw, memberi hormat dan menyambutnya dengan berbagai cara, bicara dengan ramainya dalam bahasa utara yang dimengerti pula oleh Sin Liong karena anak ini sejak lahir berada di daerah ini, tiba-tiba Han Houw berkata lantang,
"Heiii... para perwira..., kalian beri hormat kepada Liong Sin Liong ini! Dia ini adalah adik angkatku!"
Semua perwira mengangkat alis dan membelalakkan mata, terkejut mendengar ini lantas mereka tergesa-gesa memberi hormat kepada Sin Liong sambil memohon maaf karena mereka tidak tahu bahwa Liong-kongcu ini adalah adik angkat dari Pangeran Oguthai! Dihormati secara berlebihan itu, Sin Liong juga merasa kikuk bukan main dan membalas penghormatan mereka, dipandang oleh Han Houw yang tertawa bergelak karena melihat kekikukan Sin Liong.
Ketika melihat banyaknya orang kang-ouw berbagai suku bangsa berbondong datang ke tempat itu, Sin Liong lalu menarik tangan Han Houw, diajak ke pinggir agar pembicaraan mereka tidak terdengar orang lain, kemudian dia berkata,
"Harap kau maafkan aku, Houw-ko. Akan tetapi aku tidak mungkin dapat ikut bersamamu ke Lembah Naga."
Han Houw memandang heran. "Ehh, kenapa begitu, Liong-te? Jauh-jauh kau sudah ikut bersamaku ke sini, dan sekarang sesudah hampir memasuki Lembah Naga, engkau tidak mau melanjutkan? Kenapa sih?"
Sukar bagi Sin Liong untuk berbicara terus terang. Tentu saja selama ini dia tidak pernah dapat melupakan Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li. Kim Hong Liu-nio telah membunuh ibu kandungnya, Kim Hong Liu-nio pernah menyiksanya dan nyaris membunuhnya, juga Kim Hong Liu-nio bersama Hek-hiat Mo-li sudah menyebabkan kematian kongkong-nya, yaitu Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai, kakeknya yang amat dihormat dan disayangnya itu.
Sekarang, biar pun dia telah menjadi adik angkat Han Houw, biar pun kakak angkatnya itu adalah murid Hek-hiat Mo-li dan sute dari Kim Hong Liu-nio, bagaimana mungkin dia bisa bertemu dengan dua orang musuh besarnya itu tanpa menyerang mereka? Memang dia sudah mengambil keputusan untuk tidak menyerang dua orang itu di hadapan Han Houw melainkan mencari kesempatan bertemu dengan mereka di luar tahu Han Houw agar dia boleh membuat perhitungan tanpa menyinggung perasaan kakak angkatnya. Akan tetapi, tentu saja dia merasa tidak enak kalau harus bicara terus terang kepada Han Houw.
"Maaf, Houw-ko, akan tetapi aku tidak suka ramai-ramai, aku tidak suka dikenal sebagai adik angkatmu lalu dihormati secara berlebihan. Selain itu, aku tidak suka dengan segala peraturan dan peradatan, aku akan merasa canggung dan kikuk bila berhadapan dengan ayahmu, seorang raja. Maka biarlah aku ikut bersama para penonton, dan aku... aku ingin sekali pergi mengunjungi hutan-hutan dan penghuni hutan, bekas teman-temanku. Aku ingin bebas dan sendirian di daerah ini, Houw-ko."
Han Houw mengangguk-angguk. Dia maklum akan perasaan adiknya itu. Dia juga telah mendengar bahwa ketika masih bayi, anak ini diasuh oleh monyet-monyet hutan, maka kalau kini dia merasa rindu akan hutan dan isinya, dia dapat memakluminya. Pula, kalau ayahnya mendengar bahwa dia mengambil seorang anak biasa sebagai adik angkatnya, tentu akan timbul banyak pertanyaan dan hatinya akan kecewa dan merasa tidak enak kalau ayahnya tidak menyetujui pengangkatan saudara itu.
"Baiklah, Liong-te. Akan tetapi jangan lupa untuk menemui aku, karena sesudah selesai menyaksikan pemilihan, aku pun harus kembali lagi ke selatan, ke kota raja menghadap kakanda kaisar, melaporkan perjalananku ke selatan. Dan kita akan melakukan perjalanan bersama lagi ke selatan, menyeberang tembok besar."
Girang sekali hati Sin Liong mendengar jawaban ini. Kakak angkatnya ini memang sangat bijaksana!
"Terima kasih, Houw-ko. Nah, aku pergi dulu."
"Eh, kenapa engkau tidak membawa kudamu? Bawalah, agar engkau tidak terlalu capai."
Sin Liong tersenyum, dan makin berat hatinya untuk menyinggung hati kakak angkatnya ini yang sering sudah memperlihatkan rasa sayang kepadanya. Dia mengangguk, lalu meloncat naik ke atas punggung kuda dan melarikan kudanya, setelah dua kali menoleh ke arah Han Houw yang memandangnya sambil tersenyum.
Sin Liong membalapkan kudanya memasuki hutan. Dia mengambil jalan simpangan, jalan melalui hutan-hutan dan padang-padang rumput yang sudah dikenalnya benar, menuju ke suatu tempat di daerah Lembah Naga, yaitu tanah kuburan yang biasanya dipakai untuk memakamkan seorang di antara para pembantu ayah angkatnya bila ada yang meninggal dunia.
Dia ingin mencari kuburan ibu kandungnya! Dan karena ibu kandungnya tewas di tangan Kim Hong Liu-nio, maka tentu saja dia tidak dapat berterus terang kepada Han Houw. Pula, dia khawatir kalau sampai bertemu dengan Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li, dia tidak akan kuat menekan kemarahan hatinya.
Tidak sukar baginya untuk menemukan makam ibunya, karena di antara beberapa buah makam yang tak banyak jumlahnya itu dia melihat makam di mana terdapat batu nisannya yang bertuliskan huruf-hurut ukiran yang cukup indah karena ditulis oleh Kui Hok Boan yang pandai menulis. Di situ terukir nama Liong Si Kwi atau nyonya Kui Hok Boan!
Sin Liong yang telah mengikat kudanya pada sebatang pohon, sekarang berdiri di depan makam itu, sebuah makam yang terlantar dan tidak terpelihara karena siapa yang akan memeliharanya setelah keluarga Kui diharuskan pergi dari Lembah Naga? Kini makam itu penuh dengan rumput tebal dan tanaman liar.
Hingga lama Sin Liong berdiri termenung memandangi rumput-rumput tebal itu, kemudian terbayanglah wajah ibu kandungnya yang selalu bersikap lembut kepadanya. Sama sekali dia tidak merasa berduka, tidak merasa terharu, hanya merasa marah sekali, marah dan dendam kepada Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li!
Akan tetapi dia juga merasa tidak enak sekali kepada Ceng Han Houw yang begitu baik padanya, bahkan yang sudah pernah menyelamatkan dia dan mengorbankan nyawa anak buahnya sendiri, yaitu Hek-liong-ong untuk menyelamatkannya. Memang betul Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li hutang nyawa ibu kandungnya dan kakeknya kepadanya, akan tetapi dia pun hutang budi kepada Han Houw dan tidak semestinya kalau dia menyakitkan hati Han Houw. Oleh karena itu, dia harus bersabar, dia harus menanti kesempatan dapat bertemu berdua atau bertiga saja dengan dua orang musuh besarnya itu, di luar tahu Han Houw!
"Ibu...!" Dia berbisik. Sin Liong kemudian mempergunakan kedua tangannya untuk membersihkan tempat itu, mencabuti rumput-rumput dan tanaman liar yang tumbuh di atas makam sampai makam itu kelihatan bersih.
Setelah membersihkan makam ibunya dan berlutut di depan makam, Sin Liong kemudian bangkit dan meninggalkan makam, meloncat ke atas punggung kudanya dan memasuki hutan di mana dahulu dijadikan tempatnya bermain bersama para monyet besar. Begitu memasuki hutan, Sin Liong merasa gembira sekali. Ingin dia melepaskan pakaiannya dan berloncatan dari pohon ke pohon seperti dahulu!
Dan dia merasa malu sendiri duduk di atas punggung kuda besar yang sudah berkeringat itu. Dia meloncat turun, menurunkan pelana dan buntalan pakaian, melepaskan kendali dan membiarkan kuda itu bebas, lalu menepuk pinggul kuda itu.
"Nah, kau boleh bebas bermain-main di sini!" katanya.
Kuda itu lari congklang dan lenyap di sebuah tikungan, di antara pohon-pohon. Sin Liong tertawa, lalu dia meloncat ke atas sebuah pohon besar, menaruh pelana, kendali serta buntalan di atas pohon, di antara cabang-cabang yang tinggi, kemudian dia berloncatan dari dahan ke dahan, dari pohon ke pohon, mencari-cari teman-temannya!
Akan tetapi Sin Liong merasa kecewa. Ketika dia bertemu dengan segerombolan monyet, mereka itu memekik dan memperlihatkan taring, bahkan mereka lalu melarikan diri ketika didekatinya. Mereka tidak mengenainya lagi!
Ahh, tentu saja, pikirnya. Pada waktu dia masih bermain-main dengan mereka, dia adalah seorang anak kecil dan kini dia sudah menjadi seorang pemuda, dan monyet-monyet itu sesudah terlalu sering mendapat gangguan dari orang-orang dewasa, dari para pemburu, maka tentu saja mereka menganggap setiap orang manusia dewasa merupakan musuh mereka.
Bagaimana pun juga, Sin Liong merasa senang sekali berada di dalam hutan-hutan yang amat dikenalnya itu. Dia merasa seolah-olah menemukan dunianya kembali, sebab itu dia merasa enggan untuk meninggalkannya lagi. Oleh karena itu, seakan-akan dia telah lupa akan waktu, pemuda itu telah berkeliaran di dalam hutan-hutan itu selama tiga hari tiga malam!
Dia tentu masih akan terus berkeliaran di dalam hutan itu, entah untuk berapa lamanya, makan buah-buahan dan memanggang daging binatang-binatang hutan, tidur di puncak pohon-pohon besar, kalau saja pada pagi hari ke empat itu sesudah matahari naik tinggi dia tidak mendengar suara hiruk-pikuk dari jauh di sebelah utara ketika dia sedang duduk di antara daun-daun di atas pohon.
Sin Liong terkejut dan segera dia memperhatikan suara itu. Maka tahulah dia bahwa itu adalah suara banyak orang yang bersorak-sorak gembira, seolah-olah sedang menonton sesuatu yang menyenangkan sekali. Teringatlah dia akan sayembara pemilihan guru silat yang diadakan oleh raja di situ, ayah dari Ceng Han Houw! Baru dia teringat bahwa telah tiga hari tiga malam dia berada di dalam hutan-hutan itu, dan bahwa kedatangannya di daerah itu adalah karena terbawa oleh pangeran itu.
Sin Liong meloncat turun dari atas pohon, membereskan pakaian dan rambutnya, lantas dia berjalan cepat keluar dari hutan menuju ke arah suara yang terdengar dari jauh itu. Tak lama kemudian tibalah dia di Lembah Naga dan dari jauh saja sudah nampak olehnya sebuah panggung besar dan kokoh kuat dibangun di depan Istana Lembah Naga dan di atas panggung itu nampak dua orang sedang bertanding dengan hebat dan serunya.
Di depan istana itu nampak banyak kursi dan di sana duduk seorang laki-laki tinggi besar berpakaian indah dan mewah, mukanya penuh cambang bauk, muka yang gagah perkasa dan melihat Han Houw duduk di dekatnya bersama seorang wanita cantik jelita berusia kurang lebih empat puluh tahun, maka Sin Liong dapat menduga bahwa tentulah laki-laki gagah yang usianya kurang lebih enam puluh tahun itu adalah ayah Han Houw, raja di daerah itu yang bernama Sabutai.
Di sekeliling raja ini duduk banyak sekali orang, jumlahnya tidak kurang dari tiga puluh orang, dan di luar panggung terdapat banyak penonton yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Akan tetapi banyak pula terdapat orang-orang Han yang aneh-aneh, ada yang berpakaian seperti hwesio yang kepalanya gundul, seperti saikong, seperti tosu dan seperti pertapa, dan banyak pula yang pakaiannya jembel seperti pengemis, seperti para ahli dan guru-guru silat dan lain-lain.
Mereka inilah yang bersorak-sorak, karena mereka ini adalah yang orang-orang kang-ouw yang paling suka menonton orang mengadu kepandaian silat, sedangkan pada saat itu, dua orang yang bertanding di atas panggung memiliki kepandaian tinggi yang seimbang sehingga pertandingan itu amat seru dan menegangkan.
Kini Sin Liong sudah tiba di bawah panggung, menyelinap di antara para penonton yang berjubelan itu, menjaga supaya jangan terlalu dekat dengan tempat duduk raja dan Han Houw agar jangan sampai pangeran itu melihatnya. Kini mulailah dia memperhatikan dua orang yang sedang bertanding di atas panggung itu. Seorang pendeta Lama bertubuh tinggi besar seperti raksasa sedang bertanding melawan seorang laki-laki setengah umur yang pakaiannya seperti seorang tosu.
Pendeta Lama itu, seperti biasa para pendeta Lama dari Tibet, berkepala gundul dan memakai jubah lebar berwarna kuning. Ilmu silatnya bersifat keras dan mengandalkan tenaga yang kuat, gerakan kedua tangannya yang memukul demikian dahsyat sehingga mengeluarkan angin yang bersiutan, dan gerakan tubuhnya juga gesit dan bertenaga kuat sehingga jubah kuning itu berkibar-kibar seperti layar perahu mendapat angin.
Gerakan kakinya memiliki gaya yang gagah, seperti kaki rajawali yang sedang bertanding, ada kalanya berlompatan tetapi kadang-kadang kaki itu melakukan tendangan-tendangan dahsyat, langkahnya lebar-lebar dan sering kali pendeta Lama itu berdiri di atas ujung jari jemari kakinya hingga tubuhnya yang sudah jangkung itu menjadi makin tinggi. Diam-diam Sin Liong mengagumi gaya ilmu silat Pendeta Lama itu, karena memang gagah sekali dan sungguh sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar.
Akan tetapi lawannya, tosu yang tubuhnya sedang itu, juga amat lihai. Dia memiliki gaya yang berlawanan dengan pendeta Lama itu. Melihat betapa lawannya banyak menyerang dari atas, mengandalkan jangkungnya dan lengannya yang panjang, tosu itu banyak main di bawah, seperti seekor ular yang menghadapi serangan rajawali.
Dua kakinya melangkah gesit dan cepat bukan main, tubuhnya menyelinap ke sana sini menghindarkan semua serangan lawan, dan mendadak dia membalas serangan-serangan itu dari bawah dengan sama kuatnya, sungguh pun gerakannya lebih halus dan pukulan-pukulannya kelihatan tidak bertenaga, namun Sin Liong maklum bahwa tosu itu adalah seorang ahli lweekeh yang memiliki pukulan mengandung tenaga dalam yang berbahaya.
Karena sifat ilmu silat kedua orang itu amat berlawanan, maka pertandingan itu kelihatan seru dan menarik bukan main. Yang amat menambah ketegangan adalah sikap sebagian penonton, yaitu kelompok tosu dan kelompok hwesio atau pendeta Lama yang agaknya saling bertentangan, menjagoi teman masing-masing yang sedang bertanding itu. Bahkan antara para tosu dan para pendeta berkepala gundul itu sudah saling pandang dengan mendelik dan saling mengamangkan tinju dengan sikap menantang!
Tentu saja sikap dua rombongan hwesio dan tosu yang saling bertentangan ini menambah tegang suasana. Dan sekarang tahulah Sin Liong bahwa memang terdapat persaingan atau permusuhan antara para hwesio atau para pendeta Lama itu dan para tosu.
Sin Liong tidak tahu bahwa memang terjadi persaingan hebat antara dua golongan ini. Pada waktu itu, Raja Sabutai merupakan kekuatan yang mulai menonjol di utara, bahkan raja ini pernah berhasil menyerang ke selatan, mempunyai tentara yang cukup kuat dan pengaruhnya makin besar di daerah utara itu. Oleh karena itu maka dua golongan ini mulai mengincar daerah ini untuk menjadi ladang penyebaran pelajaran agama masing-masing.
Memang amat mengherankan sekali bagi orang yang mau melihat kenyataan, akan tetapi tidak dapat disangkal bahwa hal ini seperti ini, yaitu persaingan antara agama masih saja terjadi di mana-mana, di mana para penyebar agama saling merebutkan daerah untuk menyebar pelajaran agama masing-masing. Padahal inti pelajaran dari semua agama itu sendiri adalah sejalan, yaitu menjauhi kekerasan, menjauhi permusuhan, menghilangkan kebencian dan memupuk cinta kasih antara manusia!
Memang pada akhirnya, bukan agamanya yang menentukan, tetapi manusianya! Seperti juga segala sesuatu di dunia ini, baik itu benda-benda yang nampak mau pun yang tidak nampak, seperti ilmu agama, ilmu pengetahuan, ilmu silat mau pun ilmu surat, semua itu hanya merupakan alat bagi manusia dan baik buruknya semua itu tergantung kepada si manusia sendiri!
Tidak mungkin memupuk cinta kasih melalui kebencian, memupuk perdamaian melalui peperangan, memupuk kebaikan melalui kejahatan. Di dalam cara terkandung tujuan dan bukanlah tujuan menghalalkan segala cara. Cara yang jahat dan buruk tentu saja akan menghasilkan akhir yang jahat dan buruk pula, seperti juga pohon yang buruk tidak akan mungkin menghasilkan buah yang baik.
Akan tetapi sayang sekali, kita, atau rombongan tosu, dan Lama yang berada di sekitar panggung liu-tai itu, hanya mementingkan buahnya, hanya mementingkan akhir tujuan, sama sekali lupa akan pohonnya, lupa akan caranya, lupa akan tindakan mereka pada saat itu.
Pada waktu itu, memang banyak terdapat golongan-golongan agama yang sedang sibuk meluaskan pengaruh masing-masing. Tentu saja golongan-golongan ini hanya terdiri dari orang-orang yang hanya mengaku beragama, akan tetapi sebetulnya mereka itu adalah orang-orang yang ingin mengejar kesenangan melalui agama. Orang yang benar-benar beragama tidak mungkin mengejar sesuatu, tak mungkin mencari kesenangan untuk diri sendiri apa lagi kalau dalam mengejar kesenangan itu harus mencelakakan orang lain.
Oleh karena persaingan itu, maka ketika Raja Sabutai mengadakan sayembara memilih guru untuk puteranya, golongan-golongan agama yang ingin meluaskan pengaruhnya ini melihat terbukanya kesempatan baik untuk menanamkan pengaruh mereka ke daerah ini, maka mereka lalu berdatangan dan mengajukan jagoan masing-masing untuk merebutkan kedudukan itu.
Tentu saja sebagai orang-orang beragama mereka itu tak lagi mementingkan kedudukan atau harta, tetapi ingin memperlebar atau memperluas pengaruh untuk mengembangkan agama masing-masing melalui kedudukan sebagai guru dari putera Raja Sabutai. Dan bertemunya seorang pendeta Agama To dan pendeta Agama Buddha Lama di panggung lui-tai itu merupakan pertemuan antara dua golongan musuh lama yang selama ratusan tahun memang sudah saling mengejek dan saling menyalahkan ajaran masing-masing. Tentu saja masih banyak golongan agama lain yang saling bersaing pada masa itu, akan tetapi yang merupakan musuh bebuyutan adalah Agama To-kauw den Hud-kauw.
Sin Liong yang sejak kecil sudah menerima gemblengan orang-orang sakti dan memiliki dasar ilmu-ilmu silat tinggi, langsung melihat bahwa pertandingan antara kedua orang itu bukan hanya adu ilmu belaka, melainkan pertandingan yang dikuasai nafsu ingin menang, bila perlu dengan membunuh lawan, karena dia melihat betapa kedua fihak mengeluarkan serangan-serangan maut dengan pengerahan tenaga yang tidak dibatasi lagi.
Maka dia merasa tak senang dan tidak tertarik lagi, karena yang ditontonnya itu bukanlah pibu untuk mengadu kepandaian, melainkan orang berkelahi dengan hati dipenuhi dendam den kemarahan! Oleh karena itu, tidak seperti semua orang lain yang terus mencurahkan perhatian ke atas panggung, dengan hati tegang dan gembira seperti biasa orang-orang kang-ouw yang suka sekali akan adu silat bahkan makin keras dan seru makin baik bagi mereka, Sin Liong mulai mengalihkan perhatiannya dan pandang matanya menyapu ke kanan kiri di antara para penonton yang terdiri dari bermacam-macam orang itu.
Mendadak perhatian Sin Liong tertarik dengan sikap seorang laki-laki yang dianggapnya aneh. Semua orang mencurahkan perhatian mereka ke atas panggung, kecuali sebagian para tosu dan hwesio yang saling ejek dan saling ancam, akan tetapi dia melihat seorang laki-laki yang sikapnya amat mencurigakan.
Laki-laki ini memakai baju hitam, pakaiannya seperti seorang ahli silat, ringkas dan kedua matanya mengerling ke kanan kiri dengan tajam, seperti mata orang yang mempunyai niat buruk dan takut ketahuan orang. Laki-laki itu berusia sekitar enam puluh tahun, jenggot serta kumisnya pendek dan kaku, tubuhnya tegap dan dia berdiri sedikit membungkuk di antara penonton, kemudian dengan gerakan gesit dia menyelinap pergi.
Sin Liong terus memperhatikan orang itu sebab dia sempat melihat betapa orang itu telah mengeluarkan sebatang anak panah. Ujung anak panah itu mengeluarkan sinar kehijauan tanda bahwa anak panah itu ujungnya mengandung racun!
Bagi seorang kang-ouw, membawa senjata bukanlah hal yang aneh, dan andai kata sikap orang ini tidak mencurigakan hati Sin Liong, pemuda ini pun tentu akan menganggap hal itu wajar saja. Akan tetapi orang itu mengusik kecurigaan hatinya, maka diam-diam dia selalu membayangi orang itu dengan pandang matanya, bahkan kakinya mulai bergerak pula menyelinap di antara penonton pada saat dia melihat orang itu semakin mendekati panggung di mana duduk Han Houw dan keluarga raja.
Jantungnya berdebar tegang ketika dia melihat laki-laki itu menggerakkan tangan dan sinar hijau menyambar ke depan ke arah Ceng Han Houw!
"Houw-ko, awas...!" Sin Liong cepat berseru nyaring sekali, mengatasi kegaduhan suara pertandingan di atas panggung dan para penonton.
Teriakannya itu menyadarkan Han Houw yang cepat bangkit berdiri, kemudian dengan tangkasnya pemuda bangsawan itu menggerakkan tangannya sambil miringkan tubuh, berhasil menangkap anak panah yang menyambar ke arahnya tadi.
Sin Liong meloncat ke atas, melemparkan orang yang tadi dia tangkap dan dia pegang tengkuknya tanpa orang itu mampu meloloskan diri atau melawan. Orang itu terbanting ke atas panggung di depan Han Houw.
"Dia inilah yang tadi melepas anak panah. Awas, anak panah itu beracun, Houw-ko!" kata Sin Liong.
Karena adanya keributan ini, otomatis dua orang yang sedang bertanding itu berhenti dan meloncat ke belakang, dan kini semua orang mengarahkan pandang mata mereka ke panggung tempat raja dan keluarga serta pembantu-pembantunya duduk.
"Ha-ha-ha, Liong-te, benarkah begitu? Jika begitu biar dia yang makan racunnya sendiri!" Han Houw menggerakkan tangannya dan anak panah itu segera meluncur secepat kilat, menancap ke pundak kanan orang berbaju hitam itu.
"Aughhhh...!" Orang itu memekik kesakitan dan tubuhnya berkelojotan, karena racun itu adalah racun Jeng-hwa-tok (Racun Kembang Hijau) yang amat ampuh dan kalau saja dia belum mempergunakan obat penawar, tentu dia tewas seketika. Betapa pun juga, racun itu masih mendatangkan rasa nyeri yang hebat.
"Hayo katakan, siapa engkau dan mengapa engkau menyerangku secara menggelap?" Han Houw membentak.
"Huh, kalau melihat anak panah beracun hijau, siapa lagi orang ini kalau bukan anggota Jeng-hwa-pang (Perkumpulan Bunga Hijau)?" Raja Sabutai berkata sambil mengelus-elus jenggotnya, girang melihat bahwa puteranya sudah sedemikian lihainya sehingga mampu menangkap anak panah yang dilepaskan untuk menyerangnya.
"Jeng-hwa-pang...?" Semua orang kang-ouw sangat terkejut mendengar ini dan mereka memandang penuh perhatian.
Melihat bahwa Raja Sabutai yang terkenal lihai itu telah dapat mengenalnya, maka orang berbaju hitam itu mengangguk dan berkata, sikapnya masih keras dan tidak mengandung rasa hormat atau takut,
"Benar, aku adalah anggota Jeng-hwa-pang dan kedatanganku ke sini tak ada urusannya dengan pemilihan guru silat, tiada hubungannya pula dengan kerajaan di sini. Aku datang untuk membalas dendam terhadap wanita iblis Kim Hong Liu-nio, akan tetapi karena aku tidak melihatnya di sini, maka aku tujukan panahku kepada dia yang menjadi sute dari wanita iblis itu!" sambil menahan rasa nyerinya laki-laki itu menuding ke arah Ceng Han Houw.
"Ahhh, kiranya masih ada lagi orang Jeng-hwa-pang yang masih hidup selain ketuanya? Ehh, orang yang bosan hidup. Mana dia Tok-ong Cak Song Kam, ketua Jeng-hwa-pang? Mengapa dia tidak datang sendiri memperlihatkan kebodohannya, akan tetapi mengutus orang tidak ada gunanya macam engkau?" Ceng Han Houw berseru sambil tersenyum mengejek.
"Aku sudah gagal oleh bocah setan itu!" Laki-laki berbaju hitam itu melotot ke arah Sin Liong yang masih berdiri di tepi. "Mau bunuh boleh bunuh, siapa takut mampus? Suheng Gak Song Kam pada suatu hari tentu akan membunuh engkau dan suci-mu, kau tunggu saja!"
"Heh-heh-heh, anjing dari mana ini menggonggong terus-menerus?" Tiba-tiba muncullah seorang nenek yang amat mengerikan.
Entah dari mana munculnya nenek ini dan semua orang memandang kepada nenek yang sudah berdiri di atas panggung itu sambil terkekeh mentertawakan orang Jeng-hwa-pang itu sambil menudingkan telunjuknya yang berkuku panjang sekali dan agak melengkung.
Nenek ini sudah tua sekali, tentu usianya sudah ada seratus tahun, punggungnya sudah bongkok dan tubuhnya kurus sekali seperti cecak kering. Kedua tangannya seperti cakar burung dan tangan kirinya memegang sebatang tongkat butut. Wajahnya yang amat tua itu penuh kerut-merut, mulutnya seperti tidak ada bibirnya, hanya berupa garis melintang yang penuh keriput. Matanya juga hampir tidak nampak karena sangat dalam dan gelap sehingga orang tidak tahu apakah di rongga yang dalam itu ada bola matanya ataukah tidak.
Kalau orang bertemu dengan nenek ini di tempat sunyi apa lagi di waktu malam, dia tentu akan lari lintang-pukang karena seram dan menganggapnya siluman atau iblis. Akan tetapi di antara para tokoh kang-ouw ada yang mengenal nenek itu, dan tentu saja Sin Liong juga mengenalnya karena itulah seorang di antara dua musuh besarnya. Nenek itu adalah Hek-hiat Mo-li!
"Subo baru datang? Silakan duduk!" Raja Sabutai segera berkata saat melihat nenek itu.
Akan tetapi nenek itu tak menjawab, bahkan berkata lagi sambil terkekeh geli, "Heh-heh, anjing, kenapa tidak menggonggong lagi? Apakah racun Jeng-hwa-tok itu kurang manjur? Nah, kau coba rasakan racunku ini!"
Tiba-tiba saja Hek-hiat Mo-li menggerakkan tangan kirinya dan tahu-tahu kuku jari tangan kirinya sudah menggores muka orang itu tanpa dapat dielakkannya, sedangkan tongkat butut itu tahu-tahu telah pindah ke tangan kanan.
Si baju hitam dari Jeng-hwa-pang itu sudah menderita hebat bukan main akibat pengaruh racun Jeng-hwa-tok di ujung anak panah yang menancap di pundaknya, akan tetapi rasa nyeri karena racun itu kalau dibandingkan dengan apa yang dideritanya saat ini, sungguh tidak ada artinya.
Dia merasa betapa tiba-tiba saja pipinya yang kena gores kuku itu menjadi gatal, rasa gatal yang makin menghebat, yang menggerogotinya dari kulit pipi terus masuk ke dalam, ke tulang-tulang pipi terus menjalar sampai ke seluruh muka dan kepala, seolah-olah ada ribuan semut menggerogoti daging-daging serta tulang-tulangnya. Rasanya gatal, pedih, ngilu dan sukar diceritakan bagaimana tepatnya karena seolah-olah segala macam rasa nyeri yang menimbulkan penderitaan berkumpul di situ.
Kiranya tak ada orang yang akan mampu menahan rasa nyeri seperti ini, rasa nyeri yang terlalu hebat namun tidak membuat dia pingsan, akan tetapi juga demikian luar biasanya sehingga tidak tertahankan lagi untuk tidak berteriak, bergulingan, mencakar-cakar muka sendiri dan orang Jeng-hwa-pang itu menjadi seperti gila! Mukanya telah habis dicakarnya sendiri, kulit mukanya pecah-pecah berdarah sehingga muka itu berubah merah seperti dicat, hidungnya remuk dicakar dan dicabiknya, bahkan kemudian, dalam usahanya untuk melenyapkan rasa gatal dan nyeri luar biasa itu, dia mempergunakan jari-jari tangannya untuk mencokel keluar kedua matanya!
Akhirnya, dengan suara pekik terakhir yang sungguh mengerikan, orang yang mukanya sudah tak karuan macamnya itu jatuh berkelojotan di atas panggung, lalu kaki tangannya merentang dan menegang, kaku dan mati!
Menyaksikan peristiwa yang sangat mengerikan ini, sang permaisuri, yaitu Puteri Khamila ibu Ceng Han Houw membuang muka dan Raja Sabutai segera memberi isyarat kepada para dayang dan pengawal untuk mengantar sang permaisuri memasuki Istana Lembah Naga. Juga semua orang yang hadir merasa ngeri bukan kepalang. Belum pernah mereka menyaksikan kekejaman seperti yang diperlihatkan oleh nenek tua renta itu.
Sin Liong sendiri diam-diam merasa menyesal bukan main. Meski pun si baju hitam tadi adalah seorang Jeng-hwa-pang dan utusan ketua Jeng-hwa-pang yang pernah menyiksa dan nyaris membunuhnya, juga walau pun orang tadi berusaha untuk membunuh kakak angkatnya, akan tetapi akhirnya orang itu tewas di bawah siksaan Hek-hiat Mo-li musuh besarnya. Jadi dialah yang sudah membantu musuh besarnya dan kematian orang itu di bawah siksaan keji itu sebagian adalah menjadi tanggung jawabnya.
Atas perintah raja, beberapa orang pengawal cepat turun tangan menyingkirkan mayat yang sudah tidak karuan mukanya itu dari atas panggung. Sementara itu, Hek-hiat Mo-li sudah berkata lantang kepada Raja Sabutai, suaranya masih nyaring sehingga terdengar oleh semua orang yang hadir di situ.
"Sri baginda, apa artinya ini? Saya mendengar bahwa sri baginda tengah mengumpulkan orang-orang tidak berguna ini untuk memilih seorang guru di antara mereka, guru yang akan melatih ilmu silat kepada putera paduka. Benarkah itu?"
Memang Raja Sabutai tidak memberi tahu akan sayembara itu kepada gurunya, Hek-hiat Mo-li. Nenek itu sudah tua, sudah setengah pikun dan wataknya aneh luar biasa, bahkan untuk mengajar Han Houw saja selama itu oleh nenek ini diserahkan kepada Kim Hong Liu-nio dan nenek itu tidak pernah melatih sendiri. Karena itu, Raja Sabutai menganggap bahwa nenek itu telah terlalu tua dan tidak tepat lagi untuk mengajarkan limu kepada Han Houw, maka tanpa memberi tahu dia mengadakan sayembara ini.
Dia sengaja tidak memberi tahu karena takut kalau gurunya itu akan merasa tersinggung. Siapa sangka, nenek yang dianggapnya pikun itu tiba-tiba saja muncul di tengah-tengah panggung dan memperlihatkan kekejaman dan juga kelihaiannya di depan semua orang dan kini malah menegurnya di depan banyak orang dan menyebut para tamu kang-ouw itu sebagai orang tak berguna!
"Harap subo memaklumi," katanya lirih karena dia merasa tidak senang untuk berdebat dengan gurunya di depan banyak orang. "Memang aku mengadakan sayembara memilih guru untuk mendidik Pangeran Oguthai, karena aku tidak ingin merepotkan kepada subo yang sepatutnya beristirahat dan tidak diganggu."
"Jadi paduka menganggap saya sudah terlalu tua untuk menjadi guru pangeran? Hemm, saya mengerti bahwa memang paduka berhak mencarikan guru yang lebih pandai dari pada saya, akan tetapi hendak saya lihat apakah di antara tikus-tikus ini ada yang mampu menandingi saya. Hehh, kalian dua orang tosu dan Lama yang tadi bertanding! Apakah kalian berdua berani maju bersama untuk menandingi aku?" Nenek itu menantang dan menudingkan tongkat bututnya kepada tosu dan pendeta Lama yang tadi bertanding seru dan belum ada ketentuan menang kalahnya kemudian berhenti karena munculnya orang Jeng-hwa-pang.
Ditantang di hadapan begitu banyak orang, dua orang yang masih merasa penasaran itu tentu saja menjadi marah. Mereka merasa dihina oleh nenek kejam itu. Karena mereka tidak mau saling mengalah dan disangka takut, maka bagaikan berlomba keduanya telah meloncat naik lagi ke atas panggung dari kanan kiri, menghadapi nenek tua renta yang berdiri terbongkok-bongkok itu.
Mereka berdua tentu saja tidak berniat mengeroyok nenek itu, karena mereka adalah dua orang saingan yang sedang memperebutkan kedudukan guru pangeran. Namun karena nenek itu menyebut mereka berdua, maka mereka berloncatan naik untuk menunjukkan bahwa mereka tidak mengenal takut.
"He-he-he, betapa lucunya!" Hek-hiat Mo-li tertawa, memandang kepada mereka dengan sikap merendahkan. "Orang-orang semacam kalian ini hendak menjadi guru pangeran? Huh-huh, kebisaan apakah yang kalian miliki? Coba kalian tahan ini!"
Dan tiba-tiba tubuh yang bongkok dan kelihatan kurus kering dan lemah sekali itu sudah bergerak, tongkatnya merupakan sinar hitam menyambar ke kanan kiri dan dalam waktu yang singkat sekali Hek-hiat Mo-li telah melakukan serangan totokan dengan tongkatnya, masing-masing tiga kali ke arah tosu dan Lama itu!
Tosu dan pendeta Lama itu terkejut bukan main karena totokan tongkat itu mendatangkan hawa panas menyengat dan biar pun sudah tua renta, ternyata nenek itu memiliki gerakan yang tiba-tiba dan tak tersangka-sangka, juga cepat sekali, maka mereka pun cepat-cepat menghindarkan diri. Tosu itu mempergunakan kelincahannya untuk mengelak, sedangkan pendeta Lama itu menggunakan kekuatannya untuk menangkis.
"Aduhhhh...!"
"Akhhhhh...!"
Tosu itu terhuyung karena meski pun sudah amat cepat dia mengelak, pundaknya tetap saja keserempet tongkat, sedangkan Lama itu pun terhuyung karena ketika lengannya menangkis, ada hawa panas yang amat hebat menerjangnya dari lengan lalu menjalar ke pundak.
"He-he-he, hanya begini saja jagoan-jagoan yang hendak menjadi guru pangeran?" ejek nenek itu dan kini dia menyerang lagi dengan hebatnya.
Memang tingkat kepandaian nenek ini jauh lebih tinggi dari pada tingkat kedua orang itu, maka meski pun mereka berdua berusaha sedapat mungkin untuk mengelak, akan tetapi lewat dua puluh jurus saja keduanya roboh terlempar ke bawah panggung dalam keadaan tewas. Tosu itu tertusuk ulu hatinya oleh ujung tongkat, ada pun Lama itu kena ditampar pelipisnya oleh tangan kiri Hek-hiat Mo-li yang mengandung tenaga sinkang yang ampuh sekali.
Gegerlah keadaan di tempat itu! Tidak ada yang mengira bahwa kini malah muncul guru dari Raja Sabutai sendiri yang menyebar maut di antara mereka yang hendak memasuki sayembara pemilihan guru!
Orang-orang kang-ouw itu menjadi penasaran, terlebih lagi rombongan tosu dan pendeta Lama. Mereka semuanya telah memandang ke atas panggung, akan tetapi pasukan Raja Sabutai telah menjaga dengan rapi dan teratur, menjaga kalau-kalau terjadi keributan dan pengeroyokan.
Akan tetapi nenek keriput itu masih tetap tenang-tenang saja sambil tersenyum-senyum mengerikan. Mulut ompong keriput itu tersenyum, akan tetapi bukan seperti senyum lagi jadinya.
"Hayo, masih ada lagi yang ingin menjadi guru pangeran? Naiklah, siapa yang sanggup melangkahi mayatku, baru boleh menjadi guru pangeran!" tantangnya.
Semua orang kang-ouw saling pandang dengan alis berkerut. Di antara mereka yang tadinya datang untuk mencoba-coba, tentu saja kini mundur teratur. Siapa orangnya yang mau mempertaruhkan nyawa hanya untuk menjadi guru, biar pun guru seorang pangeran? Apa lagi kalau harus bertanding mati-matian melawan nenek yang mengerikan dan yang lihai seperti iblis itu.
Mereka merasa penasaran sekali. Raja Sabutai mengumumkan pemilihan guru silat, lalu jauh-jauh mereka datang dari balik tembok besar, menempuh bahaya dan kelelahan, akan tetapi setelah sampai di sini mereka hanya dihadapkan kepada Hek-hiat Mo-li, datuk yang sudah amat terkenal tinggi ilmunya itu. Kalau mereka tahu akan begini jadinya, tentu saja mereka tak sudi menempuh jarak sejauh itu hanya untuk dihina! Maka, sambil bersungut-sungut mereka memandang Raja Sabutai, biar pun mulut mereka tak berani menyatakan sesuatu, namun pandang mata mereka mengandung protes.
"He-he-he-ha-ha, hayo, siapa yang berani lagi melawan Hek-hiat Mo-li? Majulah, majulah kalian pengecut-pengecut yang mengejar kedudukan, majulah!" Hek-hiat Mo-li seperti gila menantang-nantang, berjingkrak-jingkrak, menari-nari, dan tertawa-tawa di atas panggung sambil mengayun-ayunkan tongkatnya dan berputaran seperti anak kecil yang kegirangan dan merasa bangga sekali.
Raja Sabutai mengerutkan alisnya dan telah bangkit berdiri untuk menegur subo-nya dan mencegah nenek itu bersikap seperti itu, akan tetapi Han Houw yang melihat kemarahan ayahnya sudah berkata, "Ayah, biarkanlah. Aku pun tidak ingin mencari guru baru karena aku sudah memperoleh seorang guru yang hebat. Biarkan subo supaya dia tidak marah-marah."
Sementara itu, pada saat melihat sikap nenek itu, di antara para tamu ada sebagian yang merasa jeri akan tetapi sebagian lagi merasa muak, maka berturut-turut pergilah mereka meninggalkan tempat itu tanpa pamit lagi! Melihat ini, Hek-hiat Mo-li terkekeh dan terus menantang-nantang,
"He-heh-heh, pengecut-pengecut hina. Siapa berani melawanku? Heh-heh, agaknya tidak ada seorang pun yang berani melawan Hek-hiat Mo-li!"
Rombongan tosu dan rombongan Lama telah mengangkat jenazah kawan masing-masing dan siap pergi pula dari tempat yang mulai kosong itu, sama sekali tidak mempedulikan ulah nenek gila di atas panggung.
"Hayo, siapa yang berani, siapa berani melawan Hek-hiat Mo-li! Apakah tak seorang pun di dunia ini yang berani melawanku?"
"Aku yang berani! Aku berani melawanmu!"
Semua orang yang masih belum meninggalkan tempat itu terkejut bukan main dan cepat memandang ke arah panggung di mana seorang pemuda telah berdiri tegak menghadapi nenek gila itu. Pemuda ini bukan lain adalah Sin Liong!
Semenjak tadi pemuda ini sudah terbakar hatinya melihat musuh besarnya itu, lebih lagi menyaksikan kekejamannya. Kemudian, pada saat melihat kesombongannya menantang-nantang semua orang itu, dia tidak tahan lagi dan di luar kesadarannya dia telah meloncat ke hadapan nenek itu dari menyambut tantangannya.
Bukan hanya para sisa tamu yang memandang dengan hati terkejut dan heran, juga Raja Sabutai, keluarga beserta panglima-panglimanya terkejut sekali dan memandang dengan mata terbelalak ke arah pemuda tanggung yang begitu berani mati menyambut tantangan Hek-hiat Mo-li yang sedang keranjingan itu.
"Liong-te, jangan...!" Han Houw juga terkejut sekali lantas berteriak, akan tetapi terlambat karena pada saat itu pula nenek Hek-hiat Mo-li sudah melakukan serangan maut setelah sesaat dia terbelalak kaget dan heran.
"Heh-heh, mampuslah, bocah!" bentaknya.
Tongkatnya sudah menyambar, disusul tamparan tangan kirinya. Dua serangan ini hebat sekali, keduanya mengandung hawa panas dari pukulan Hwi-tok-ciang (Tangan Racun Api) dan bahkan lebih hebat dari pada ketika nenek tadi menyerang tosu dan Lama. Hal ini adalah karena nenek itu marah sekali ditantang oleh seorang bocah, suatu hal yang dianggap sangat merendahkan dan menghinanya di hadapan orang banyak. Sebab itu dia menyerang hebat, dengan maksud untuk menghancurkan kepala dan memecahkan dada bocah yang lancang dan berani menghinanya itu.
"Krekk...! Plakk...!"
Pertemuan dua pasang tangan dan lengan itu akibatnya cukup mengejutkan. Keduanya terdorong ke belakang, bahkan nenek itu terhuyung dan tongkat bututnya patah menjadi dua potong! Pada waktu itu, Han Houw sudah meloncat dan menghadang di depan Sin Liong sambil berkata kepada Hek-hiat Mo-li yang masih terbelalak memandang kepada tongkatnya yang patah.
"Subo... tahan... jangan serang dia, dia adalah adik angkatku sendiri!"
Hek-hiat Mo-li tercengang. Dia merasa bagaikan mimpi. Ada bocah yang masih ingusan bukan saja sudah berani dan kuat menahan pukulan-pukulannya, bahkan mematahkan tongkatnya lantas membuatnya terdorong mundur dan terhuyung. Dadanya terasa sesak tanda bahwa lawan itu memiliki sinkang yang luar biasa kuatnya!
"Adik angkatmu...? Heh, adik angkat macam apa ini...!" Dia mengomel, akan tetapi nenek itu meloncat jauh dan sebentar saja dia sudah lenyap dari pandangan mata, entah pergi ke mana.
"Maaf, Houw-ko, kesombongannya membuat aku lupa diri...," Sin Liong berkata kepada Han Houw, tidak peduli dengan pandang mata pangeran itu yang penuh kekaguman dan keheranan.
"Oguthai, siapakah dia itu?" Mendadak terdengar suara keras dan ternyata Raja Sabutai telah berdiri di belakang pangeran itu.
"Ayah, ini adalah Liong Sin Liong, adik angkatku."
"Adik angkat? Dia... dia hebat sekali..." Raja Sabutai memandang penuh keheranan dan kekaguman.
Sebagai murid tersayang dari Hek-hiat Mo-li dan mendiang Pek-hiat Mo-ko, tentu saja dia mengenal pukulan subo-nya tadi. Melihat betapa pemuda tanggung ini tidak hanya kuat bertahan terhadap pukulan itu, bahkan dapat menangkis hingga tongkat subo-nya patah dan subo-nya terdorong mundur, dia betul-betul merasa amat takjub. Dan kini mendengar bahwa bocah luar biasa ini adalah adik angkat dari puteranya, dia makin terheran-heran.
"Memang hebat dia, ayah. Dia adik angkatku dan juga suheng-ku."
"Hee? Bagaimana ini?" Raja itu bertanya heran.
"Kami sudah mengangkat saudara, dan karena dia lebih muda, maka dia adalah adik angkatku, akan tetapi karena aku akan belajar kepada gurunya, seperti kukatakan tadi bahwa aku telah mendapatkan seorang guru, maka dia pun terhitung suheng-ku."
"Ahh, begus sekali!" raja itu berseru girang. Melihat kelihaian pemuda tanggung itu yang sudah kuat melawan subo-nya, dia percaya bahwa guru yang didapatkan oleh puteranya itu tentu seorang yang sakti luar biasa. "Siapakah gurumu itu?"
"Aku belum diterima menjadi muridnya, akan tetapi aku ingin berguru kepadanya, ayah. Namanya adalah Bu Beng Hud-couw..."
"Ahh...?!" Raja Sabutai terbelalak kemudian memandang kepada puteranya seperti orang melihat setan di tengah hari. "Bu Beng Hud-couw? Akan tetapi itu... itu adalah nama tokoh dalam dongeng..."
"Akan tetapi buktinya, Liong-te sudah memperoleh ilmu yang hebat, bukan?" bantah Han Houw.
"Orang muda, benarkah..., benarkah engkau murid tokoh dongeng Bu Beng Hud-couw?" Raja Sabutai bertanya, suaranya mengandung ketidakpercayaan.
Sin Liong menjura. "Begitulah menurut keterangan suheng Ouwyang Bu Sek, sri baginda. Akan tetapi terus terang saja, saya sendiri belum pernah jumpa dengan suhu." Kemudian dia menoleh kepada Han Houw lantas berkata, "Houw-ko, maafkan aku, apa bila engkau masih banyak urusan di sini, aku hendak kembali dulu ke selatan."
"Ah, kenapa begitu tergesa-gesa, Liong-te? Aku mau minta bantuanmu," kata Han Houw sambil memegang lengan adik angkatnya.
"Bantuan apakah itu, Houw-ko?"
"Engkau tentu tahu bahwa selama ketua Jeng-hwa-pang masih berkeliaran maka nyawa dan keselamatanku terancam. Karena itu aku sendiri akan mencarinya dan harap engkau suka membantuku."
"Hemmm... kalau begitu baiklah," kata Sin Liong yang tidak mampu menolak karena dia juga tahu bahwa ketua Jeng-hwa-pang adalah seorang manusia keji, tidak kalah kejinya dibandingkan dengan Hek-hiat Mo-li atau Kim Hong Liu-nio, dan bahwa kegagalan utusan tadi tentu membuat ketua Jeng-hwa-pang itu penasaran dan akan turun tangan sendiri.
Terpaksa malam itu Sin Liong bermalam di Istana Lembah Naga, membiarkan Han Houw bertemu dengan ayah bundanya dan menceritakan segala pengalamannya. Raja Sabutai, dan terutama sekali permaisurinya, Ratu Khamila, merasa girang dan bangga bukan main mendengar bahwa Ceng Han Houw kini secara resmi sudah menjadi pangeran Kerajaan Beng-tiauw, menjadi saudara yang terkasih dari kaisar yang baru, yaitu Kaisar Ceng Hwa. Bahkan putera mereka itu menjadi utusan pribadi kaisar untuk mengadakan pemeriksaan ke daerah selatan dengan kekuasaan penuh!
Akan tetapi, lebih girang lagi hati Raja Sabutai setelah mendengar bahwa putera mereka akan dapat berguru kepada seorang tokoh dongeng yang memiliki kepandaian demikian hebatnya, terbukti dari kelihaian Sin Liong yang masih begitu muda.
Dua hari kemudian, berangkatlah Han Houw dan Sin Liong meninggalkan Lembah Naga untuk pergi mencari Tok-ong Gak Song Kam, ketua dari Jeng-hwa-pang. Pada saat Raja Sabutai hendak memberi pengawal sepasukan tentara, Han Houw segera menolak dan mengatakan bahwa dia, dengan bantuan Sin Liong, sudah cukup kuat untuk menghadapi Jeng-hwa-pang. Dia hanya memilih dua ekor kuda yang amat baik untuk mereka berdua, kemudian setelah membawa bekal secukupnya, berangkatlah dua orang muda ini menuju ke selatan kembali karena Han Houw tahu bahwa Jeng-hwa-pang selalu bersarang di daerah perbatasan tembok besar.
Lega rasa hati Sin Liong telah dapat meninggalkan tempat yang banyak menimbulkan kenangan sedih itu. Akan tetapi diam-diam dia masih merasa penasaran bahwa dia belum sempat menjumpai Hek-hiat Mo-li sendirian saja untuk dilawan sebagai musuhnya yang telah menyebabkan tewasnya Cia Keng Hong, kakek dan gurunya yang disayangnya itu.
Dan dia pun masih penasaran tidak melihat adanya Kim Hong Liu-nio, wanita iblis yang menjadi musuh besarnya pula, pembunuh dari ibu kandungnya. Di dalam hati dia berjanji bahwa kalau dia sudah dapat memisahkan diri dari Han Houw, maka dia akan kembali dan mencari kedua orang musuh besar itu.
********************
Di sebuah rumah besar yang sederhana di kota Leng-kok, terdapat suatu perayaan pesta pernikahan yang cukup sederhana, namun sangat meriah karena banyaknya tamu yang berdatangan. Tidaklah mengherankan kalau yang datang banyak terdiri dari orang-orang kang-ouw, bahkan wakil-wakil dari perkumpulan-perkumpulan besar, karena yang punya kerja adalah seorang pendekar yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw, seorang pendekar sakti yang pernah menggegerkan dunia persilatan. Pendekar itu bukan lain adalah Yap Kun Liong.
Walau pun pendekar ini tidak pernah menonjolkan diri dan tidak pernah memperlihatkan kepandaian silatnya yang amat tinggi kalau keadaaan tidak memaksanya, namun setiap orang mengenal belaka siapa adanya pendekar sakti Yap Kun Liong. Di dalam cerita Petualang Asmara dan Dewi Maut, kita sudah cukup lama berkenalan dengan Yap Kun Liong, mengikuti riwayat hidupnya yang penuh suka duka seperti juga riwayat hidup setiap manusia!
Akhirnya, dengan berkah serta restu dari mendiang Cia Keng Hong, pendekar ini berani menempuh hidup berdua bersama wanita yang dikasihinya, yaitu puteri ketua Cin-ling-pai itu, Cia Giok Keng. Mereka hidup sebagai suami isteri yang saling mencinta, dua orang yang keadaannya tidak jauh bedanya.
Yap Kun Liong adalah seorang duda yang sudah ditinggal mati oleh isterinya, sedangkan Cia Giok Keng adalah seorang janda pula, ditinggal mati suaminya dan keadaan kematian isteri dan suami mereka pun sama, yaitu dibunuh orang. Biar pun Yap Kun Liong tidak mendapatkan anak dari isterinya yang terbunuh itu, yaitu Pek Hong Ing, akan tetapi dia mempunyai seorang puteri dari wanita lain sebelum dia menikah dengan Pek Hong Ing, yaitu Yap Mei Lan yang lahir dari ibunya yang bernama Liem Hwi Sian. Ada pun Cia Giok Keng ditinggal mati oleh suaminya dengan dua orang anak, yaitu yang pertama adalah Lie Seng, sedangkan yang ke dua adalah Lie Ciauw Si.
Pesta pernikahan siapakah yang dirayakan di rumah pendekar Yap Kun Liong itu? Pesta pernikahan yang sesungguhnya telah ditunda sampai tiga tahun berhubung dengan masa perkabungan atas kematian kakek Cia Keng Hong, yaitu pernikahan antara Yap Mei Lan dan Souw Kwi Beng!
Antara dua orang muda yang sudah cukup dewasa ini, bahkan sudah terlampau dewasa, timbul perasaan saling cinta yang mendalam dan Souw Kwi Eng, yaitu janda Tio Sun, yang menyampaikan permohonan saudara kembarnya itu untuk meminang Yap Mei Lan kepada Yap Kun Liong. Karena memang sudah ada kontak di antara kedua orang itu, Yap Kun Liong langsung menerimanya dengan baik, akan tetapi pesta pernikahan itu terpaksa harus diundur sampai selesai masa perkabungan atas kematian kakek Cia Keng Hong, yaitu selama tiga tahun.
Sepasang pengantin itu memang sudah agak kasep. Umur Souw Kwi Beng sudah tiga puluh tiga tahun, sedangkan umur Yap Mei Lan sudah dua puluh sembilan tahun! Akan tetapi, cinta tidak mengenal usia, dan bahkan dalam usia sedemikian itu keduanya sudah cukup matang, sudah hilang sifat kekanak-kanakan mereka lagi.
Pendekar Yap Kun Liong sudah berusia lima puluh dua tahun, namun dia masih nampak gagah dan tampan dalam pakaiannya yang baru ketika dia kelihatan menyambut para tamu dengan wajah berseri gembira. Hati siapa yang tak akan gembira menghadapi pesta pernikahan puterinya, untuk pertama kali?
Dalam keadaan seperti itu, seorang pria akan merasakan sesuatu yang istimewa, yang memberi tahu kepadanya bahwa dia sudah memasuki lapisan usia yang tertentu, yaitu mulai mempunyai mantu dan besar kemungkinan dalam waktu satu atau dua tahun dia akan menjadi kakek, mempunyai cucu! Melihat pria ini menyambut tamu dengan senyum ramah dan sikap lembut, tentu tidak akan ada yang menduga bahwa dia adalah seorang pendekar yang sukar dicari bandingnya di waktu itu!
Di sampingnya, nampak seorang wanita cantik sekali juga menyambut para tamu dengan ramah. Wanita ini adalah isteri pendekar itu, Cia Giok Keng, yang sesungguhnya sudah berusia lima puluh satu tahun, akan tetapi sulit dipercaya bila dia sudah berusia setengah abad lebih sebab melihat wajahnya yang cantik dan bentuk tubuhnya yang masih ramping padat, orang akan menyangka bahwa usianya tentu jauh kurang dari empat puluh tahun.
Walau pun Yap Mei Lan hanya anak tirinya, namun nyonya yang pada waktu mudanya merupakan seorang gadis yang berhati baja dan berkepala batu ini menganggap Mei Lan sebagai seorang anak sendiri. Memang terjadi perubahan besar sekali setelah Cia Giok Keng menjadi isteri Yap Kun Liong.
Suami isteri ini amat terkenal. Sang suami adalah pendekar besar di masa itu sedangkan sang isteri juga seorang pendekar wanita, puteri dari kakek Cia Keng Hong, yakni ketua Cin-ling-pai yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Maka, para tamu yang menerima penyambutan mereka semua tersenyum ramah, menghaturkan selamat dan memandang kagum kepada pasangan ini.
Di antara para penyambut, yang sibuk membantu fihak tuan rumah yang punya kerja, nampak terutama sekali Cia Bun Houw dan Yap In Hong. Suami isteri yang berbahagia ini, yang sesungguhnya baru beberapa tahun saja menjadi suami isteri dalam arti yang sesungguhnya, tak kalah terkenalnya dibandingkan dengan Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng.
Pada waktu itu, Cia Bun Houw sudah berusia tiga puluh enam tahun dan Yap In Hong berusia tiga puluh lima tahun dan keduanya merupakan adik-adik kandung dari tuan dan nyonya rumah. Cia Bun Houw adalah adik kandung Cia Giok Keng, sedangkan Yap In Hong adalah adik kandung Yap Kun Liong!
Dalam hal kepandaian silat, kedua orang suami isteri ini bahkan tidak kalah dibandingkan dengan Yap Kun Liong dan isterinya! Apa lagi setelah pasangan suami isteri ini berhasil menggabungkan tenaga Thian-te Sin-ciang, mereka sudah mencapai tingkat yang sangat hebat dalam tenaga sakti peninggalan dari Kok Beng Lama itu. Para tokoh kang-ouw yang datang juga memandang kepada suami isteri muda itu dengan sinar mata kagum.
Selain Cia Bun Houw dan isterinya, masih terdapat pula Souw Kwi Eng, janda Tio Sun yang merupakan adik kembar dari mempelai pria, serta Lie Seng, yaitu putera Cia Giok Keng yang masih sute dari mempelai wanita. Sebagai murid mendiang Kok Beng Lama, tentu saja Lie Seng juga merupakan seorang pemuda yang amat lihai, seperti suci-nya yang kini duduk sebagai mempelai wanita.
Pendeknya, yang punya kerja dan yang menikah merupakan keluarga pendekar-pendekar yang memiliki tingkat kepandaian sangat tinggi, tergolong pendekar-pendekar kelas satu! Maka tidaklah mengherankan apa bila pesta perayaan itu walau pun sederhana namun menjadi amat meriah dengan hadirnya tokoh-tokoh kang-ouw yang kenamaan dan bahkan wakil-wakil dari partai-partai persilatan yang besar.
Hanya ada satu hal yang merupakan ganjalan di dalam hati keluarga itu, terutama dalam hati Cia Giok Keng, yaitu tidak hadirnya Lie Ciauw Si. Seperti telah diceritakan di bagian depan dara ini meninggalkan Cin-ling-san untuk pergi menyusul pamannya, Cia Bun Houw yang kepergiannya mendukakan hati kongkong-nya. Dan semenjak dara itu pergi, sampai sekian lamanya belum juga kembali dan tidak diketahui ke mana perginya. Inilah yang merupakan ganjalan di hati keluarga itu.
Para tamu mulai memenuhi ruangan tamu yang dihiasi dengan bunga-bunga, kertas dan kain beraneka warna, sebagian besar yang diutamakan adalah warna merah, sedangkan meja-meja mulai penuh dikelilingi tamu yang semua memperlihatkan senyum dan wajah berseri-seri seperti yang biasa nampak dalam suatu pesta pernikahan. Suasana gembira mempengaruhi semua orang dan hampir semua tamu membicarakan keluarga tuan rumah dan memuji ketampanan mempelai pria yang berdarah campuran barat itu.
Sekarang tamu yang berdatangan mulai berkurang dan ruangan itu sudah hampir penuh. Tiba-tiba Souw Kwi Eng yang sedang sibuk mengurus dan mengepalai para pelayan itu menahan seruannya, dan matanya yang bersinar tajam dan agak kebiruan itu terbelalak memandang ke depan, ke arah seorang tamu tua yang masuk diiringkan dua orang lagi, dan wajah nyonya muda ini menjadi marah, matanya berkilat-kilat tanda bahwa hatinya menjadi panas dan marah sekali.
Melihat keadaan nyonya janda ini, Lie Seng cepat memandang dan terkejutlah dia ketika mengenal siapa orangnya yang datang itu. Pantas nyonya janda Tio Sun itu kelihatan marah karena yang muncul sebagai tamu dan diiringkan oleh dua orang pembantunya itu, bukan lain adalah seorang kakek yang berpakaian tambal-tambalan akan tetapi semua tambalannya terbuat dari kain baru, kakek yang usianya enam puluh tahun lebih, bertubuh pendek kurus dan mukanya sempit kaya muka tikus, kakek yang bukan lain adalah Hwa-i Sin-kai, ketua dari Hwa-i Kaipang! Kakek yang dituduh sebagai pembunuh suami nyonya janda ini!
Alanglah beraninya Hwa-i Sin-kai datang ke sini, pikir Lie Seng yang juga memandang penuh perhatian ke arah ketua Hwa-i Kaipang yang diikuti oleh dua orang kakek tokoh Hwa-i Kaipang tingkat dua itu.
"Bedebah... kubunuh dia...," desis Souw Kwi Eng, akan tetapi Lie Seng cepat menyentuh lengan janda muda ini.
"Enci... harap tenang dan sabarlah," bisiknya pelan. "Serahkan saja kepada ibu dan ayah sebagai tuan rumah, tidak baik kalau kita membikin kacau pada hari baik ini. Ingat, hari ini adalah hari pernikahan saudaramu, yaitu suami dari suci-ku."
Souw Kwi Eng mengangguk dan menggunakan punggung lengan baju untuk menghapus dua titik air mata dengan cepat, kemudian cepat menyibukkan dirinya dengan pekerjaan, sungguh pun perhatiannya tak pernah lepas dari kakek pengemis yang disambut oleh Yap Kun Liong dan isterinya.
Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng menyambut dengan wajah berseri dan bibir tersenyum ramah seperti ketika menyambut para tamu lainnya, akan tetapi mereka saling bertukar pandang dengan cepat dan sebagai suami isteri yang saling mencinta, yang seolah-olah mempunyai hubungan yang lebih mesra dan lebih dekat dibandingkan pandang mata dan kata-kata biasa, mereka pun telah saling mengerti.
Keduanya merasa heran akan kunjungan ketua perkumpulan pengemis ini. Mereka telah mendengar penuturan Cia Bun Houw, bahkan penuturan mantu mereka mengenai ketua pengemis ini yang disangka adalah pembunuh dari Tio Sun. Mengapa sekarang kakek ini berani datang?
Akan tetapi Yap Kun Liong adalah seorang pendekar yang luas pengetahuannya dan juga tajam pandangannya. Melihat pandang mata dan sikap pengemis tua itu, Yap Kung Liong segera mengerti bahwa kedatangan kakek ini bukan semata-mata untuk menghadiri pesta perayaan, melainkan mengandung maksud lain yang mendalam. Oleh karena itu, ketika menerima ucapan selamat, dia berbisik,
"Apakah pangcu mempunyai sesuatu untuk disampaikan kepada kami secara rahasia?"
Kakek pengemis itu tersenyum dan memandang kagum. "Ah, Yap-taihiap memang hebat, saya akan senang sekali kalau dapat terpenuhi keinginan saya itu."
"Silakan, pangcu, silakan...!" Yap Kun Liong kemudian mendahului tamunya itu, bersama isterinya memasuki ruangan dalam.
Dengan isyarat matanya Yap Kun Liong menyuruh isterinya serta Yap In Hong adiknya untuk mewakilinya menyambut para tamu, kemudian dia bersama tamunya itu memasuki ruangan dalam. Tak lama kemudian muncul pula Souw Kwi Eng, Lie Seng, dan Cia Bun How. Dua orang kakek pengemis tingkat dua sudah dipersilakan duduk di ruangan tamu, karena kalau mereka dibiarkan ikut masuk, akan terlalu menarik perhatian orang.
Melihat wajah Souw Kwi Eng yang merah serta matanya yang memandang dengan sinar mata penuh kebencian kepadanya, ketua Hwa-i Kaipang langsung menjura dan berkata kepada nyonya janda muda itu, "Percayalah, nyonya muda, kegelisahan dan kedukaanku tidak lebih kecil dari pada yang kau derita. Kedatanganku ini untuk menceritakan keadaan yang sebenarnya."
"Duduklah, pangcu, mari kita bicara dengan terbuka," kata Yap Kun Liong mempersilakan semua orang duduk.
"Saya tidak akan mengganggu terlalu lama karena taihiap sekeluarga sedang sibuk, dan maafkan kedatanganku mengganggu. Memang saya sengaja datang pada saat ini supaya tidak menarik perhatian orang. Nah, sekarang harap taihiap sekalian suka mendengarkan penuturanku baik-baik."
Hwa-i Sin-kai lalu mulai menceritakan tentang asal mula sebab permusuhan antara Hwa-i Kaipang dan seorang wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio. "Seorang anggota kami, pengemis she Tio yang berada di Hua-lai telah dibunuh oleh wanita iblis itu tanpa sebab, tanpa kesalahan. Oleh karena itu, fihak kami terus membayanginya sampai dia berada di kota raja dan di sana para tokoh perkumpulan kami lalu minta pertanggungan jawabnya karena telah membunuh seorang anggota kami tanpa sebab. Tetapi wanita iblis itu tidak mempertanggung jawabkan, bahkan merobohkan beberapa orang di antara kami. Itulah asal mula permusuhan antara kami dengan Kim Hong Liu-nio."
Kemudian dia menceritakan tentang kekalahan berturut-turut dari para pembantunya, dan betapa ketika mereka berhasil mengepung wanita itu di luar kota raja, muncul Panglima Lee Siang yang menyelamatkan wanita itu dan membawanya ke gedungnya.
"Oleh karena wanita itu bersembunyi di dalam gedung Lee-ciangkun, maka saya terpaksa menantangnya. Dan ternyata wanita itu menjawab bahkan menantang supaya saya suka datang ke gedung itu pada waktu malam yang ditentukan untuk bertanding. Tentu saja saya penuhi permintaannya itu, dan ketika saya tiba di sana pada malam hari itu, yang muncul bukan wanita iblis itu melainkan Panglima Lee yang langsung menyerang saya. Kemudian, dan sungguh di luar dugaan saya, muncul pula Tio Sun taihiap yang agaknya membela Lee-ciangkun. Padahal Lee-ciangkun adalah orang yang melindungi wanita iblis itu, maka saya menjadi marah hingga terjadi perkelahian antara saya dan Tio-taihiap. Dan di dalam pertandingan itu, entah bagaimana, tahu-tahu Tio-taihiap roboh dan tewas! Saya terkejut sekali, apa lagi ketika muncul wanita itu dan Lee-ciangkun juga mempersiapkan penjaga-penjaga, maka saya lalu melarikan diri membawa keheranan kenapa Tio-taihiap tewas dalam perkelahian melawan saya, padahal saya tidak merasa menjatuhkannya."
"Seorang gagah tidak akan mengelak dari akibat perbuatannya!" Tiba-tiba Souw Kwi Eng berseru. "Sudah jelas bahwa kematian suamiku adalah dalam pertandingan melawanmu, padahal dia bukan hendak memusuhimu, hanya hendak mendamai ciangkun kepadanya. Akan tetapi kau... kau membunuhnya, tentu dengan kecurangan."
"Tenanglah, dan biarkan pangcu menjelaskan dahulu. Bagaimana selanjutnya, pangcu?" tanya Yap Kun Liong.
Selanjutnya,