Pendekar Lembah Naga Jilid 27
DALAM cerita Dewi Maut, para pendekar pun sampai kewalahan menghadapi kekebalan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, sampai kemudian sepasang pendekar Cia Bun Houw dan Yap In Hong mengetahui rahasia kelemahan mereka yang dibuka oleh Khamila, ratu dari Raja Sabutai, bahwa kelemahan kakek dan nenek iblis itu berada pada telapak kaki mereka hingga akhirnya sepasang pendekar itu berhasil menewaskan Pek-hiat Mo-ko dan melukai Hek-hiat Mo-li. Kini, ternyata ilmu yang luar biasa itu telah diturunkan pula kepada Ceng Han Houw dan hanya pangeran ini sendiri yang tahu rahasia kelemahannya sendiri!
Sesudah menguji kekebalannya sendiri, Han Houw tertawa dan kini seenaknya saja dia menghadapi serangan rantai itu, bahkan kadang-kadang dia menerima gebukan rantai itu dengan tubuhnya! Makin pucatlah wajah Bouw Song Khi dan tiba-tiba saja tangan kirinya bergerak. Uap hitam menyambar ke arah muka Han Houw dan itu adalah bubuk beracun yang mengandung obat bius, yang biasa dipergunakan oleh jai-hwa-cat ini untuk membius wanita yang diculiknya.
Akan tetapi, perbuatannya inilah yang mendatangkan mala petaka baginya. Kalau tadinya Han Houw masih ragu-ragu untuk membunuh orang yang dianggapnya tidak ada sangkut-pautnya dengan Jeng-hwa-pang, kini melihat orang itu mempergunakan racun, pangeran muda ini menjadi marah.
Han Houw meloncat untuk menghindari dan tiba-tiba dari mulutnya menyambar sinar putih sedemikian cepat dan tidak terduga sehingga walau pun Bouw Song Khi sudah berusaha menghindar, namun tetap saja mata kirinya harus menerima sambaran pek-ciam (jarum putih) yang tersebar dari mulut pangeran itu.
Bouw Song Khi menjerit keras, rantainya terlepas dan kedua tangannya cepat mendekap matanya karena dia merasakan kenyerian yang menyusup sampai ke dalam jantungnya. Han Houw menggerakkan pedangnya yang semenjak tadi hanya dipakai menangkis saja. Pedang itu menembus dada dan ketika dicabutnya, darah muncrat dari tubuh lawan yang terjengkang dan tewaslah Bouw Song Khi.
Melihat ini, Gak Song Kam menjadi terkejut bukan main, juga amat marah. Dia berteriak mengeluarkan aba-aba kepada semua anak buahnya agar maju mengeroyok, sedangkan dia sendiri lalu menggerakkan pedangnya yang ampuh, pedang yang mengandung racun amat jahat, menerjang ke depan dan disambut oleh Sin Liong! Han Houw mengeluarkan suara tertawa mengejek dan pangeran ini segera menggerakkan pedangnya mengamuk, dikeroyok oleh puluhan orang anak buah Jeng-hwa-pang.
"Ha-ha-ha-ha, kalian orang-orang Jeng-hwa-pang benar-benar tidak tahu diri maka sudah selayaknya mampus! Kami adalah sepasang pendekar dari Lembah Naga! Kami adalah Harimau Sakti dan Naga Sakti dari Lembah Naga, dan pada hari ini Jeng-hwa-pang akan terbasmi habis oleh kami!"
Diam-diam Sin Liong terkejut mendengar suara yang sangat congkak ini, dan dia merasa ngeri ketika melihat betapa Han Houw mengamuk dengan pedangnya, merobohkan para anggota Jeng-hwa-pang seperti orang membabat rumput saja. Tentu saja para anggota Jeng-hwa-pang itu bukan lawan pangeran yang lihai itu. Sambil tertawa-tawa Han Houw merobohkan mereka seorang demi seorang. Darah muncrat-muncrat membasahi bumi dan teriakan-teriakan mengerikan terdengar susul-menyusul.
Melihat keadaan yang tidak menguntungkan ini, Gak Song Kam merasa khawatir sekali. Apa lagi saat dia mendapat kenyataan betapa semua gerakan pedangnya yang ditujukan untuk menyerang pemuda remaja itu tak pernah berhasil mengenai sasaran, dia semakin gelisah dan maklum bahwa keadaannya amat berhahaya.
Ketua Jeng-hwa-pang ini memang seorang pengecut. Dulu pun pada saat Jeng-hwa-pang diserbu oleh Kim Hong Liu-nio, begitu dia tahu bahwa tidak ada harapan baginya untuk menang, diam-diam dia lalu melarikan diri sambil membawa pergi Sin Liong. Kini, ternyata kedua orang pemuda remaja itu tidak kalah lihainya dibandingkan dengan wanita iblis itu, bahkan sute-nya telah tewas dan anak buahnya banyak yang tewas pula dan kini sisanya sedang dihajar habis-habisan oleh pemuda yang berpakaian indah dan memakai sorban berhiaskan batu permata itu!
"Heiiiiikkkkk...!" Tiba-tiba ketua Jeng-hwa-pang itu mengeluarkan teriakan nyaring.
Begitu kedua tangannya bergerak, dari tangan kirinya meluncur paku-paku hitam dan dari pangkal pedang dekat gagang juga meluncur jarum-jarum hitam. Baik paku-paku mau pun jarum-jarum itu semua mengandung racun yang sangat ampuh dan menyambar dengan cepat sekali ke arah Sin Liong!
Untung bahwa pemuda remaja ini pernah digembleng oleh orang-orang sakti seperti Cia Keng Hong dan Ouwyang Bu Sek hingga dia telah memiliki kematangan dan ketenangan batin yang luar biasa. Penyerangan jarum-jarum dan paku-paku itu sangat tiba-tiba dan sama sekali tidak tersangka-sangka, juga dilakukan dari jarak dekat. Kalau dia gugup dan menangkis, sedikit lecet saja pada lengannya akan cukup membahayakan sebab senjata-senjata rahasia itu direndam racun yang amat jahat.
Namun Sin Liong sudah tahu bahwa ketua Jeng-hwa-pang itu adalah ahli racun, maka dia pun secara otomatis melempar tubuhnya ke belakang, berjungkir balik sehingga terhindar dari sambaran senjata-senjata gelap yang beracun ini. Akan tetapi, kesempatan itu cepat digunakan oleh Gak Song Kam untuk melempar-lemparkan alat peledak yang kemudian mengeluarkan asap hitam tebal. Sambil tersenyum lega dia cepat meloncat melalui asap hitam yang beracun itu dan yang tidak mengganggu dirinya untuk melarikan diri seperti yang telah dilakukannya ketika Kim Hong Liu-nio menyerbu Jeng-hwa-pang dahulu.
Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu pemuda remaja yang menjadi lawannya tadi sudah berdiri di depannya, menghalanginya sambil tersenyum mengejek dan tidak kurang suatu apa. Dia tidak tahu bahwa Sin Liong masih ingat akan lihainya alat-alat peledak itu, maka saat melihat lawannya tadi melontar-lontarkan benda-benda itu, Sin Liong menggunakan ginkang-nya untuk menghindar jauh ke tempat gelap, lalu dia berkelebat menghadang ketika melihat ketua Jeng-hwa-pang itu hendak melarikan diri.
"Jangan harap kau akan dapat lari lagi seperti dahulu, pangcu!" Sin Liong berkata.
Dia merasa muak sekali akan kecurangan ketua yang pengecut ini, yang selalu hendak pergi meninggalkan anak buahnya dan menyelamatkan diri sendiri secara curang apa bila keadaan berbahaya baginya, sama sekali tidak patut dilakukan oleh seorang ketua yang tidak mempedulikan keadaan anak buahnya.
Akan tetapi, melihat pemuda yang luar biasa itu sudah menghadangnya, Gak Song Kam yang makin panik itu segera menubruk dengan pedangnya, mengirim serangan maut dan nekat karena dia maklum bahwa kalau dia tidak dapat segera melarikan diri dan pangeran yang sedang mengamuk itu turun tangan pula, tak mungkin lagi dia menyelamatkan diri.
Melihat serangan yang dilakukan dengan nekat ini, Sin Liong lalu merendahkan tubuhnya dan dari samping lengannya cepat mengibas. Serangkum hawa yang luar biasa kuatnya menyambar dan langsung menyerbu dada ketua Jeng-hwa-pang itu.
Gak Song Kam mengeluh, pedangnya terlepas kemudian dia terpelanting, roboh pingsan! Kiranya Sin Liong sudah menggunakan lagi sebuah jurus Cap-sha-ciang yang ampuh itu, dan akibatnya, baru terkena angin pukulannya saja lawan sudah terpelanting dan roboh pingsan. Memang dalam hati Sin Liong sama sekali tak terkandung niat untuk membunuh orang, maka dia pun tidak melanjutkan serangan dan hanya memandang kepada tubuh lawan yang tak bergerak itu.
"Ha-ha-ha, bagus. Liong-te, engkau telah berhasil merobohkannya!" Terdengar suara Han Houw bersorak dan Sin Liong melihat tubuh kakak angkatnya itu berkelebat, lalu cahaya pedang menyambar ke arah leher ketua Jeng-hwa-pang yang masih pingsan.
"Houw-ko, jangan...!" teriaknya, akan tetapi dia segera memejamkan mata ketika melihat darah muncrat-muncrat dan kakak angkatnya itu sudah memegang kepala yang buntung itu pada rambutnya, mengangkatnya tinggi-tinggi sambil tertawa-tawa!
Semenjak tadi, para anak buah Jeng-hwa-pang memang sudah gentar dan panik. Melihat betapa pasukan obor telah roboh semua oleh Sin Liong, disusul robohnya sute dari ketua mereka oleh Han Houw yang lantas mengamuk dan merobohkan banyak kawan mereka, para anak buah Jeng-hwa-pang itu sudah menjadi ketakutan. Hanya karena ketua mereka masih melawan Sin Liong mati-matian sajalah mereka masih mempunyai harapan untuk mengalahkan dua orang muda perkasa itu.
Akan tetapi, begitu Gak Song Kam roboh dan tewas, kemudian kepalanya dijambak dan diangkat oleh pangeran itu, nyali mereka terbang dan dengan ketakutan sisa anak buah Jeng-hwa-pang itu lalu melarikan diri dari tempat itu!
Han Houw tertawa bergelak dan menyambitkan kepala yang buntung lehernya itu ke arah anak buah yang melarikan diri.
"Trakkkk!"
Dengan tepat kepala dari Gak Song Kam itu menimpa kepala anak buah yang sedang lari, maka robohlah orang itu dengan kepala retak!
Ceng Han Houw lalu mengambil obor yang banyak dilempar di atas tanah oleh para anak buah Jeng-hwa-pang, kemudian dia membakari rumah-rumah yang berada di situ. Dalam waktu singkat saja, sarang Jeng-hwa-pang menjadi lautan api! Para wanita yang tadinya bersembunyi di dalam, kini berlari-larian keluar dalam keadaan panik, ditertawakan oleh Han Houw yang menganggap keributan itu sebagai tontonan yang lucu.
"Tolooooonggg...! Ayah... ibu... tolonggg...!"
Suara jerit wanita yang keluar dari sebuah di antara bangunan itu menarik perhatian Sin Liong dan dia cepat mendekati rumah terbakar dari mana terdengar jerit wanita itu. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat dan kiranya dia sudah didahului oleh Han Houw yang telah menerjang daun pintu rumah itu dan melompat ke sebelah dalam.
Hati Sin Liong merasa kagum dan girang. Bagaimana pun garang serta ganasnya sikap pangeran itu terhadap musuh-musuhnya, tapi di dalam dadanya terdapat watak pendekar juga yang siap menolong orang yang patut ditolong, seperti wanita yang menjerit-jerit itu.
Tak lama kemudian, di antara berkobarnya api yang mulai memakan daun pintu rumah itu, nampak Han Houw meloncat keluar sambil memondong tubuh seorang wanita muda yang manis dan kelihatan ketakutan.
Sambil tersenyum Han Houw berhenti di depan Sin Liong, menggunakan jari tangan kiri mencolek dagu gadis manis itu sambil berkata, "Dia ini perawan dusun yang diculik Bouw Song Khi dan belum sempat diganggu! Liong-te, tugas kita sudah selesai dan aku mau bersenang-senang. Banyak wanita cantik berlarian ke sana, engkau boleh pilih sesukamu. Aku cukup dengan perawan dusun ini, ha-ha-ha!" Pangeran itu lalu lari sambil memondong gadis itu.
Sin Liong berdiri dengan alis berkerut. Dilihatnya gadis itu meronta-ronta, menangis dalam pondongan Han Houw, namun tentu saja tak berdaya dalam pondongan lengan pangeran yang kuat itu.
"Houw-ko..., lepaskan dia...!" Tiba-tiba Sin Liong berseru dan berlari mengejar.
Dia tidak ingin melihat kakak angkatnya melakukan hal yang amat jahat itu! Kalau gadis itu mau melayani kakak angkatnya, dia tidak peduli, seperti yang dilihatnya ketika kakak angkatnya dilayani oleh wanita-wanita cantik dalam rumah-rumah pembesar yang mereka lewati dahulu. Akan tetapi, gadis dusun itu meronta sambil menangis, dan dia tidak ingin melihat kakak angkatnya itu menjadi seorang penjahat yang memaksa wanita.
Akan tetapi hanya terdengar suara ketawa dan pangeran itu berlari terus memasuki hutan di mana mereka meninggalkan kuda mereka. Sin Liong mengejar terus, dan pada waktu dia melihat pangeran itu melanjutkan larinya dengan naik kuda sambil memeluk tubuh perawan dusun yang ditelungkupkan melintang di atas punggung kuda, dia pun langsung meloncat ke atas punggung kudanya dan mengejar. Terjadilah kejar-kejaran pada malam hari itu dan Han Houw tertawa-tawa sambil membalapkan kudanya, terus dikejar oleh Sin Liong.
"Houw-ko, lepaskanlah gadis itu. Banyak wanita yang mau dengan suka rela melayanimu, mengapa engkau harus memaksa seorang gadis yang tidak mau?" berkali-kali Sin Liong berteriak dan membujuk.
Melihat ada orang mengejar dan agaknya hendak menolongnya, gadis itu berteriak minta tolong, akan tetapi Han Houw terus melarikannya sambil tertawa-tawa. Agaknya pangeran itu merasa gembira dengan permainan ini dan karena kudanya memang jauh lebih baik dari pada kuda yang ditunggangi Sin Liong, maka adik angkatnya itu belum juga mampu menyusulnya.
Kejar-kejaran itu berlangsung hingga pagi! Tentu saja gadis dusun itu tersiksa bukan main harus menelungkup di atas pangkuan Han Houw sambil terguncang-guncang. Dia sudah setengah pingsan dan tidak mampu berteriak lagi.
Dan kini timbul kemarahan di dalam hati Han Houw. Tadinya dia menganggap bahwa adik angkatnya itu hanya main-main saja, akan tetapi setelah melihat betapa Sin Liong terus mengejar, dia mulai merasa terganggu dan marah. Setelah tiba di lapangan rumput yang terbuka, Han Houw memperlambat larinya kuda yang sudah megap-megap kelelahan itu.
"Houw-ko, berhentilah dahulu, aku mau bicara...!" Terdengar teriakan Sin Liong dari arah belakangnya.
Han Houw menoleh. Melihat adik angkatnya itu sudah mengejar dekat, dia mengerutkan alisnya dan tiba-tiba dia menghentikan kudanya, lalu melemparkan tubuh gadis itu ke atas rumput. Gadis itu mengeluh dan terguling di atas rumput, hanya merintih dan menangis karena seluruh tubuhnya terasa lelah dan sakit-sakit, tidak mampu bangkit.
Han Houw melompat turun dari kudanya. Melihat ini, Sin Liong juga meloncat turun dari atas punggung kudanya dan membiarkan kuda yang sudah kelelahan itu beristirahat. Dua orang kakak beradik angkat itu kini berdiri saling berhadapan, dua pasang mata saling menentang pandang dan saling menyelidik.
"Sin Liong, kalau engkau menghendaki gadis itu, nah, kau ambillah dia! Kalau kau minta baik-baik pun tentu akan kuberikan, tidak perlu kau mengejar-ngejarku semalam suntuk!"
Sin Liong menarik napas panjang. "Houw-ko, maafkanlah aku apabila aku mengganggu kesenanganmu. Akan tetapi engkau tahu bahwa aku mengejar-ngejar sama sekali bukan bermaksud mendapatkan wanita itu, melainkan aku ingin mencegah agar Houw-ko tidak melakukan perbuatan jahat terhadap wanita itu."
"Melakukan perbuatan jahat? Apa maksudmu?" Ceng Han Houw bertanya, suaranya kaku dan sinar matanya memancarkan kemarahan.
Sin Liong memandang tajam. Marahlah dia. Apakah Han Houw hendak mempermainkan dia sehingga masih berpura-pura bertanya lagi padahal sudah jelas betapa pemuda itu melarikan dan hendak memaksa seorang gadis yang tidak mau menuruti kehendaknya?
"Houw-ko, jelas bahwa engkau melarikan gadis itu, hendak memperkosa dan memaksa dia, dan engkau masih bertanya apakah maksudku?" dia berkata dengan suara bernada teguran.
Kini Han Houw memandang dengan sinar mata berapi dan mukanya yang tampan gagah itu menjadi merah sekali, matanya yang lebar itu terbelalak dan dia menggerakkan kedua tangannya bertolak pinggang. "Cia Sin Liong! Kau berani menuduhku demikian? Kau kira aku ini laki-laki macam apa? Sungguh engkau menghinaku, karena itu tidak mungkin aku membiarkan saja penghinaan itu!" Tiba-tiba tubuhnya menerjang ke depan dan pangeran ini sudah menyerang Sin Liong dengan hebatnya!
"Ehhh...!" Sin Liong terkejut bukan main dan cepat dia mengelak kemudian meloncat ke belakang.
Akan tetapi, kini Han Houw sudah melanjutkan serangannya dengan tendangan berantai, tendangan Soan-hong-twi yang bertubi-tubi karena kedua kakinya bergerak seperti angin puyuh, bergantian menyambar dengan amat kuat dan cepatnya.
"Plakk! Plakk!"
Sin Liong mengelak dan terpaksa menangkis sebab bila mengelak terus akan berbahaya. Akan tetapi dia tidak mengerahkan seluruh tenaganya karena sebenarnya dia tidak ingin berkelahi dengan kakak angkatnya ini.
"Houw-ko, jangan...!"
"Sin Liong, apakah engkau akan menjadi pengecut? Sudah berani menghina tidak berani menanggung akibatnya?" bentak Han Houw.
Dia terus menyerang lagi, kini mengerahkan seluruh kepandaiannya karena memang dia ingin menguji adik angkatnya ini. Serangan demi serangan yang amat hebat dilancarkan oleh Han Houw, bahkan pemuda bangsawan ini juga segera mengerahkan sinkang-nya yang membuat tubuhnya kebal, maka Sin Liong terdesak hebat sekali. Saat dia mengelak dan mengatur langkah untuk menghindarkan diri tanpa membalas, tetap saja pundaknya kena sambaran pukulan Han Houw.
"Dessss...!"
Tubuh Sin Liong terguling. Pukulan tadi keras bukan main dan hanya karena ada tenaga Sin-ciang saja maka pundaknya terlindung dan tidak sampai terluka atau patah tulangnya. Namun Sin Liong menderita kenyerian yang membuat dia meringis. Han Houw gembira dapat merobohkan Sin Liong, maka dia lalu menubruknya dengan susulan pukulan yang amat keras.
Dalam keadaan bergulingan itu Sin Liong melihat datangnya pukulan keras, maka dia pun mengerahkan tenaganya dan menangkis dari bawah.
"Dukkk...!"
Tubuh Han Houw terpental sampai dua meter, akan tetapi dia dapat cepat berjungkir balik sehingga tidak sampai terbanting jatuh. Diam-diam Han Houw merasa kagum sekali dan juga penasaran. Pemuda ini semenjak kecil bukan saja digembleng dengan ilmu-ilmu silat tinggi oleh suci-nya dan juga oleh subo-nya, akan tetapi selain ilmu silat juga dia memiliki kepandaian seperti suci-nya, yaitu waspada dan bisa mengenal ilmu-ilmu silat orang lain, mudah menangkap dan mencatat ilmu-ilmu asing.
Maka ketika dia menyerang Sin Liong, dia sudah memasang mata untuk mencatat semua gerakan adik angkatnya itu. Seperti biasa, seperti yang diajarkan oleh suci-nya pula, dia ingin mencuri ilmu silat lawan yang tinggi. Akan tetapi sekali ini dia kecele.
Saat dia menyerang sambil memperhatikan gerakan Sin Liong, adik angkatnya itu hanya mengelak atau menangkis saja, sama sekali tidak mau balas menyerang sehingga dia tidak dapat mengenal perkembangan setiap gerakan. Apa lagi, gerakan Sin Liong terlalu sederhana, seperti bukan gerakan silat lagi, melainkan gerak otomatis melindungi diri dari bahaya.
Memang demikianlah. Makin tinggi dan makin matang ilmu silat yang dimiliki seseorang, makin lenyap pula kembangan-kembangan yang tidak ada gunanya, yang hanya bertugas sebagai hiasan belaka.
Sin Liong yang digembleng oleh orang-orang sakti telah membuat ilmu-ilmu yang tinggi itu mendarah daging dan menjadi satu dengan syaraf tubuhnya sehingga setiap gerakannya, biar tidak sedang berkelahi sekali pun, telah mengandung unsur-unsur melindungi diri ini. Oleh karena itu, begitu dia diserang, dia langsung bergerak tanpa hafalan ilmu silat lagi, melainkan secara otomatis dan gerakannya tidak lagi dibatasi oleh gerak hafalan. Setiap jurus yang dimainkannya hanya keluar intinya saja, yang disesuaikan dan dimanfaatkan dengan datangnya setiap bahaya.
Oleh karena itu, maka Han Houw yang memperhatikan dan ingin mempelajarinya, hanya melihat gerakan sederhana tanpa tahu ujung pangkalnya. Padahal, untuk menghindarkan diri dari semua serangan Han Houw yang sungguh amat berbahaya tadi, Sin Liong telah mempergunakan ilmu silat yang tinggi, di antaranya jurus-jurus dari San-in Kun-hoat dan Thai-kek Sin-kun, dan dia menggerakkan pula hawa sakti dari tubuhnya yang diwarisi dari Kok Beng Lama, yaitu Thian-te Sin-ciang.
Tidaklah aneh bahwa semua serangan Han Houw bisa dihindarkan oleh Sin Liong karena anak itu mempergunakan inti dari ilmu-ilmu yang sangat tinggi itu. Akan tetapi Han Houw menjadi makin penasaran.
"Sin Liong, coba kau sambut serangan pedangku!" Dia telah mencabut pedangnya lantas menyerang.
"Houw-ko... mengapa kau... hendak membunuhku?" Sin Liong berseru kaget, akan tetapi pedang itu sudah meluncur ke arah lehernya.
Tentu saja Sin Liong tidak mau dibunuh begitu saja. Melihat pedang meluncur dengan cepat ke lehernya, dia mulai merasa marah. Bagaimanakah kakak angkatnya ini? Sudah gilakah? Setelah dia mengenal kekuatan kakak angkatnya yang lihai, dia pun tahu bahwa serangan pedang itu tidak boleh dipandang ringan. Maka secara otomatis Sin Liong cepat menggerakkan tangan kanannya dengan mengerahkan Thian-te Sin-ciang yang membuat lengan dan tangannya menjadi kebal, menangkis ke arah pedang lalu mencengkeramnya.
"Plakkk!"
Pedang itu kena dicengkeram dan tangan kirinya lantas menangkap pergelangan tangan Han Houw.
"Ihhhhh...!" Han Houw berseru dan kaget bukan main.
Ia merasa betapa tenaga sinkang-nya memberobot keluar dari lengannya yang terpegang adik angkatnya itu. Maka tahulah dia bahwa Sin Liong telah menggunakan Thi-khi I-beng yang mukjijat, dan dia juga kagum melihat betapa adik angkatnya itu berani menyambut pedang dengan tangan kosong dan memiliki kekebalan yang tak kalah ampuhnya dengan ilmu kekebalan yang dimilikinya sendiri.
Tentu saja Han Houw tidak mau menerima kalah begitu saja. Dalam kekagetannya akibat tenaga sinkang-nya tersedot keluar, tangan kirinya langsung bergerak dan jari-jari tangan itu menusuk ke arah mata Sin Liong! Mata merupakan bagian tubuh yang tentu saja tidak mungkin dibikin kebal, maka serangan ini amat mengejutkan hati Sin Liong yang terpaksa melepaskan pedang dan lengan lawan, lalu melangkah mundur sambil mengelak dengan miringkan kepalanya.
Akan tetapi Han Houw benar-benar hebat. Baru saja pedang dan tangannya terlepas, dia menyusuli tusukan jari tangan ke arah mata tadi dengan tusukan pedang ke arah pusar dan tangan kirinya mencengkeram dengan ganas sambil mengerahkan tenaga sehingga dari telapak tangan kiri itu mengepul uap hitam.
Itulah pukulan beracun sejenis Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang mengeluarkan uap hitam. Baru bau uapnya itu saja telah cukup untuk merobohkan atau membuat pening lawan, apa lagi pukulannya sendiri!
Diserang seperti itu, Sin Liong kembali terkejut dan dia harus mengakui bahwa Han Houw merupakan lawan yang luar biasa lihainya dan kalau dia tidak segera mengeluarkan ilmu simpanannya, jangan-jangan dia akan celaka di tangan kakak angkatnya. Maka dia cepat meloncat ke belakang dan ketika kakaknya mendesak, dia merendahkan tubuhnya, dua tangannya bergerak aneh, mendorong ke depan.
"Eihhh...! Brukkkk!"
Tubuh Han Houw terbanting cukup keras sehingga dia menjadi pening! Dia hanya dapat bangkit duduk dan memejamkan mata sambil mengguncang-guncang kepalanya karena bumi seperti terputar di sekelilingnya.
"Houw-ko, maafkan aku...!" Sin Liong cepat menghampiri.
Han Houw mengangkat muka memandang, kemudian menarik napas panjang. Dia tidak membantah ketika adik angkatnya mengulurkan tangan dan membantunya bangkit berdiri. Disimpannya pedangnya dan dia bertanya dengan pandang mata penuh kagum,
"Liong-te, bukankah pukulanmu yang terakhir tadi merupakan sebuah jurus dari ilmu silat yang diajarkan oleh suhu Bu Beng Hud-couw?"
Sin Liong mengangguk. "Dari kitabnya karena aku belum pernah diajar secara langsung." Sin Liong mengingatkan.
"Ahhh, bukan main! Baru belajar tidak langsung saja sudah begitu hebat. Apa lagi kalau diajar oleh manusia sakti itu sendiri. Ah, aku harus menemuinya dan berguru kepadanya! Liong-te, engkau hebat sekali."
"Maafkan aku, Houw-ko. Akan tetapi mengapakah engkau menyerangku seperti itu?" Sin Liong bertanya, nadanya menegur.
Han Houw memandangnya kemudian tersenyum. "Aku ingin mengujimu saja, adikku. Dan pula, mengapa engkau menghinaku dan menuduhku yang bukan-bukan? Kau menuduhku hendak memaksa dan memperkosa wanita!"
Sin Liong menengok dan melihat gadis itu sudah duduk dengan muka pucat, matanya terbelalak dan kelihatan takut sekali. Semenjak tadi dia tak berani bergerak, hanya duduk dan melihat perkelahian itu.
"Akan tetapi... mengapa engkau melarikan gadis itu?"
Han Houw menoleh ke arah gadis itu dan tersenyum lebar. "Kau kira aku ini orang apa? Aku adalah Pangeran Oguthai, lupakah engkau, adikku? Memperkosa wanita? Ahhh, apa perlunya? Semua wanita akan suka sekali melayaniku, kenapa aku harus memperkosa? Betapa hina dan rendahnya!"
"Tapi... tapi dia itu tidak mau dan berteriak-teriak..." Sin Liong berkata bingung.
"Ha-ha-ha, karena gelap dan karena dia tidak tahu aku siapa! Disangkanya aku sama dengan si laknat Bouw Song Khi yang menculiknya. Kini kau lihat saja, adikku, dan coba buktikan apakah aku memperkosa wanita ataukah tidak?" Setelah berkata demikian, Han Houw lalu mengebut-ngebutkan pakaiannya, memakai kembali topinya yang tadi terjatuh, kemudian dengan langkah lembut dia berjalan menghampiri gadis yang masih duduk di atas rumput.
Melihat pemuda tampan bertopi indah itu menghampirinya, gadis itu memandang dengan mata terbelalak. Baru sekarang dia melihat betapa orang yang semalam melarikannya itu ternyata adalah seorang pemuda yang sedemikian tampan dan gagahnya! Hal ini sama sekali tidak disangkanya, maka dia menjadi terheran-heran, juga hatinya ragu-ragu dan masih takut-takut.
Han Houw tersenyum manis dan memang wajah pangeran ini amat tampan dan sikapnya halus serta gagah. Dia mempergunakan bahasa daerah, dengan lembut dia lalu berkata kepada gadis dusun itu.
"Nona, aku sudah menolongmu dari rumah yang terbakar, membebaskanmu dari tangan penjahat-penjahat kejam, mengapa engkau malah meronta-ronta dan menangis semalam suntuk sehingga saudaraku ini mengira yang bukan-bukan?" Suara itu halus dan dengan muka manis sehingga dara itu kehilangan rasa takutnya.
"Maafkan saya... saya tidak tahu dan menyangka... kawanan penjahat itu yang melarikan saya..."
"Hemm, anak manis. Engkau tidak tahu siapa aku maka kau mengira aku seorang jahat? Coba pandang wajahku dengan teliti. Apakah engkau belum pernah mendengar tentang Pangeran Oguthai?"
Dara itu terbelalak dan memandang wajah pangeran itu dengan takjub. "Pangeran... pangeran..."
"Akulah Pangeran Oguthai, putera Raja Sabutai!"
"Ahhh... ampunkan hamba, pangeran..." Dan gadis dusun itu langsung menjatuhkan diri berlutut sampai hampir menelungkup di atas tanah, di depan kaki pangeran itu.
Han Houw tersenyum dan menoleh ke arah Sin Liong yang hanya memandang dengan penuh perhatian. "Bangunlah, manis. Aku tidak ingin melihat pakaian dan wajahmu yang manis itu kotor oleh tanah. Bangunlah, aku mengampunimu."
Gadis itu bangun tapi masih berlutut, lalu menengadah, wajahnya berseri dan bertambah manis. "Ahhh, terima kasih, pangeran..." Sikapnya berubah sama sekali, kini sama sekali tidak lagi kelihatan takut, bahkan tersenyum manis sekali!
"Manis, engkau cantik dan aku suka padamu. Kalau aku minta padamu agar engkau suka melayaniku, karena aku cinta padamu, apakah engkau akan menolak?"
Wajah yang berseri itu seketika menjadi merah sekali dan wajah itu menunduk kelihatan malu-malu akan tetapi bibirnya tetap tersenyum. Gadis itu menggelengkan kepala karena rasa malu membuat dia sukar untuk menjawab dengan mulut.
"Bagus!" kata Han Houw sambil tertawa dan mengangkat bangun gadis itu.
Pada saat berdiri, ternyata gadis itu hanya setinggi pundaknya. Gadis dusun itu bertubuh ramping padat dan kini wajahnya yang merah itu kelihatan bertambah manis.
"Kini, untuk membuktikan kepada saudaraku bahwa aku tidak memaksamu..." Pangeran itu mendekatkan mulutnya di telinga dara itu dan berbisik-bisik.
Gadis dusun itu menahan ketawa dan mukanya makin tersipu-sipu, matanya melirik ke arah Sin Liong dan akhirnya, tiba-tiba saja dia menahan ketawa dan merangkulkan kedua lengannya ke leher Han How, mencium pipi pangeran itu di depan Sin Liong! Kiranya itulah yang diminta oleh Han Houw kepada dara dusun itu untuk membuktikan kepada Sin Liong bahwa dia tidak perlu memperkosa wanita! Ketika gadis itu menciumnya, Han Houw tertawa dan menoleh ke arah Sin Liong. Ketawanya makin kenas ketika dia melihat Sin Liong membuang muka dan cemberut.
"Ha-ha-ha, adikku yang baik, kau tunggulah di situ sebentar!" kata Han Houw yang masih tertawa gembira lalu pangeran itu memondong tubuh gadis dusun yang masih merangkul lehernya, dibawanya menghilang ke balik semak-semak tak jauh dari tempat itu!
Sin Liong mendengar suara ketawa tertahan kedua orang itu dan dia merasa muak, lalu dijauhinya tempat itu sampai dia tidak mendengar apa-apa lagi. Dia lalu menghempaskan dirinya duduk di atas tanah berumput sambil termenung. Dia mengusir bayangan yang muncul dalam benaknya, bayangan Han Houw dan gadis itu dan dia menggigit bibirnya.
Ceng Han Houw bukan manusia baik-baik! Suara ini terdengar olehnya, seperti dibisikkan oleh hatinya. Memang benar bahwa Han Houw tidak memperkosa gadis itu dengan cara kekerasan, akan tetapi apa bedanya pemerkosaan dengan kekerasan kalau dibandingkan dengan bujukan? Gadis itu memang tidak menyerahkan diri karena paksaan, akan tetapi menyerahkan diri karena silau oleh kedudukan dan ketampanan yang akhirnya toh sama juga!
Dia tahu benar bahwa Han Houw tidak melakukan perbuatan itu karena cintanya kepada gadis yang sama sekali tidak dikenalnya itu, melainkan terdorong oleh nafsu seperti yang sering dilakukannya dengan wanita-wanita muda suguhan dari para pembesar. Ceng Han Houw adalah seorang pemuda mata keranjang, seorang laki-laki yang gila perempuan, hamba dari nafsu birahinya sendiri!
Betapa pun juga sikapnya amat baik kepadanya! Dan penyerangan Han Houw tadi pun hanya untuk menguji kepandaiannya! Dan di dalam dasar hatinya memang terdapat rasa suka kepada pangeran itu. Sin Liong merasa bingung dan penuh keraguan. Haruskah dia melanjutkan pendekatan diri dengan pangeran itu? Ataukah seharusnya dia cepat pergi meninggalkannya?
Kesenangan atau kenikmatan, yakni perasaan menikmati kesenangan, adalah berkah yang dimiliki setiap manusia. Namun, berkah ini berubah menjadi sumber kesengsaraan kalau kesenangan sudah mencengkeram dan memperbudak kita. Suatu peristiwa apa pun dapat mendatangkan suka cita, mendatangkan kebahagiaan pada saat itu juga.
Akan tetapi jika pikiran kita mencatat pengalaman itu, mengingatkan dan menginginkan terulangnya kembali pengalaman penuh nikmat itu, maka suka cita itu berubah menjadi kesenangan yang dikejar-kejar dan setelah kita menjadi pengejar kegenangan, muncullah pelbagai konflik dan terseretlah kita ke dalam kesengsaraan.
Memang selera manusia berbeda-beda, tergantung dari lingkungan hidup dan pendidikan masing-masing. Setiap orang manusia tentu merasa benar dalam pengejarannya masing-masing terhadap sesuatu yang dinamakan cita-cita, yang dianggap benar dan akan dapat mendatangkan kebahagiaan hidup.
Seorang saterawan akan mengejar dan mendewa-dewakan kesusasteraan dan dia akan menganggap bahwa kesusasteraan itulah yang paling berharga dalam kehidupan, yang dianggapnya merupakan satu-satunya sarana menuju kebahagiaan. Seorang ahli silat akan mengejar-ngejar ilmu sliat dan menganggap ilmu silat sebagai satu-satunya hal yang terpenting dalam hidup. Seorang hartawan akan mengejar-ngejar harta dan menganggap bahwa hanya hartalah yang akan dapat membahagiakan kehidupan manusia. Seorang pembesar akan mengejar kedudukan atau nama yang dianggapnya terpenting di dunia ini. Seorang pendeta akan mengejar-ngejar kedamaian batin, dan sebagainya lagi.
Semua pengejaran itu, meski diselimuti dengan nama apa pun, yang rendah atau yang tinggi, yang hina atau yang agung, pada hakekatnya adalah sama saja! Segala sesuatu yang dikejar-kejar dan diinginkan, atau merupakan suatu hal yang dianggap akan bisa mendatangkan kesenangan, baik berupa kesenangan lahir mau pun kesenangan batin yang sesungguhnya sama saja, bagi si pengejar!
Dan karena pandangan setiap orang pengejar terhadap kesenangan itu berbeda-beda, tergantung pada keadaan dirinya yang dibentuk oleh lingkungan dan pendidikan, maka semua pengejaran kesenangan dalam berbagai bentuk itu hanya merupakan perpecahan. Yang dikejar-kejar itu hanya merupakan sebagian saja dari kehidupan, sebagian yang dipentingkan. Oleh karena itu, akhirnya akan mendatangkan kekecewaan karena tanpa yang lain-lain, maka satu yang dikejarnya itu takkan lengkap!
Si pengejar uang, biar pun berhasil menumpuk uang banyak, namun kalau tidak memiliki kesehatan, akan merasa kecewa dan sengsara. Si kaya dan sehat, kalau merasa rendah kedudukannya dan tidak terpandang, akan merasa kecewa juga. Begitulah, pengejaran selalu menimbulkan pengejaran akan suatu yang lain lagi dan tidak akan ada habisnya sebelum kita mati!
Kita akan menjadi hamba dari keinginan ini, selama hidup mengejar-ngejar apa yang kita anggap akan membahagiakan kehidupan kita, seperti mengejar bayangan sendiri yang tidak akan mungkin pernah dapat tertangkap. Pengejaran menunjukkan adanya ketidak puasan, dan hati yang tidak puas, mengejar dan memperoleh apa pun juga akan tetap tidak puas dan akan terus mengejar yang lain, yang dianggap lebih menyenangkan dari pada apa yang telah diperoleh atau dimiliki. Beginilah kenyataannya dalam kehidupan kita sehari-hari.
Oleh karena itu, timbul pertanyaan yang sangat penting bagi kita semua, yaitu: Apakah mungkin bagi kita untuk hidup tanpa mengejar apa pun? Bukan berarti kita lalu tidur pulas atau bermalas-malasan, bukan berarti kita menjadi tidak pedulian, bukan berarti kita putus asa! Sama sekali bukan! Bahkan sebaliknya!
Dengan bebas dari keinginan mengejar kesenangan, kita akan benar-benar hidup! Kita benar-benar waspada akan kehidupan saat demi saat, membuka mata melihat segala sesuatu yang terjadi di dalam kehidupan kita, tidak dibuai oleh khayalan dan bayangan cita-cita yang abstrak. Dan kalau kita sudah tidak ingin apa-apa yang tidak ada, maka barulah kita dapat waspada terhadap apa yang ada!
Sesungguhnya, kebahagiaan hanya terdapat dalam apa yang ada! Dan perhatian terhadap apa yang ada setiap saat ini, tanpa membiarkan diri diseret oleh lingkaran setan berupa kenangan masa lalu dan bayangan atau harapan masa depan, adalah benar-benar hidup yang sesungguhnya. Hidup adalah kenyataan setiap saat ini, bukan kenangan masa lalu, bukan pula bayangan khayal masa depan.
Sekali lagi, dapatkah kita hidup tanpa mengejar kesenangan dalam bentuk apa pun? Apa bila sudah begitu, mungkin akan nampak jelas oleh kita bahwa kebahagiaan terdapat di mana-mana, dalam segala waktu dan keadaan, karena kebahagiaan bukanlah soal di luar diri, melainkan soal batin, dan mungkin mata kita akan dapat melihat keindahan di mana-mana, dalam senyuman seorang manusia lain, dalam pandang mata isteri, suami, anak atau siapa saja, dalam lambaian ujung daun, dalam cahaya matahari, dalam awan berarak, dalam air hujan, dalam apa saja!
"Liong-te, apakah engkau sekarang masih menuduhku pemerkosa dan pemaksa wanita?"
Suara ini mengejutkan Sin Liong yang sedang melamun. Dia bangkit berdiri, membalikkan tubuhnya dan ternyata Ceng Han Houw telah berdiri di situ, wajahnya berseri dan lengan kirinya merangkul leher dan pundak gadis tadi yang sekarang berdiri dengan muka merah dan malu-malu namun matanya juga bersinar-sinar dan berseri penuh kegembiraan.
Sejenak Sin Liong memandang keduanya dengan sinar mata marah. Dia merasa amat jijik terhadap mereka, kemudian dengan bersungut-sungut dia meninggalkan mereka, mencari kudanya.
"Manis, kau pulanglah ke dusunmu. Kelak aku akan datang mencarimu," terdengar Han Houw berkata.
Gadis itu mengeluh, kemudian menangis ingin ikut. Han Houw membentaknya dan gadis itu diam. Dengan sudut matanya Sin Liong melihat betapa mereka berciuman, kemudian gadis itu pergi dengan muka tertunduk. Dan tidak lama kemudian Han Houw juga sudah meloncat ke atas kudanya.
"Ha-ha-ha, Liong-te, jangan murung. Mari kita pergi!"
"Aku akan kembali ke selatan!" Sin Liong berkata, suaranya masih kaku.
"Aku juga akan kembali ke selatan. Ingat, kita hendak mencari suhu Bu Beng Hud-couw bersama-sama. Mari kita pergi ke kota Ceng-lun di tepi Sungai Luan, kemudian di sana aku akan menyuruh orang mengabarkan kepada ayahku bahwa tugas kita sudah selesai dan Jeng-hwa-pang telah kita basmi."
Sin Liong tidak banyak membantah. Hatinya masih terasa panas dan tak enak. Dia masih marah karena urusan gadis dusun tadi. Akan tetapi Han Houw bersikap ramah sekali dan di sepanjang perjalanan dia bicara dengan gembira, menceritakan mengenai daerah yang mereka lewati.
Sebagai seorang putera raja, tentu saja dia banyak mempelajari tentang daerah-daerah di luar tembok besar. Dengan bangga dia menceritakan betapa ayahnya, Raja Sabutai telah menjelajahi seluruh daerah itu dan bahkan pernah menaklukkan hampir semua daerah di luar tembok besar. Karena sikap ramah dan ceritanya menarik, mau tidak mau Sin Liong mendengarkan dengan hati tertarik hingga sikap kakak angkatnya itu sebentar saja sudah menghapus rasa marah dari dalam hatinya.
Pangeran ini memang mata keranjang dan senang bermain gila dengan wanita, pikirnya. Akan tetapi dia melihat pula kenyataan bahwa walau pun pangeran ini mempergunakan kedudukan dan ketampanannya untuk menjatuhkan hati wanita, tetapi si wanita sendirilah yang salah. Dia melihat kenyataan bahwa wanita itu memang lemah, mudah terbujuk dan secara murah saja menyerahkan dirinya. Kalau wanita itu berhati bersih, tidak mungkin mau menyerahkan diri secara sedemikian mudah dan murahnya. Dan dia berjanji dalam hati bahwa bila dia bertemu dengan wanita seperti itu, maka dia akan melindunginya dan kalau perlu dia akan menentang kakak angkatnya!
Beberapa kali Sin Liong menoleh ke arah kakak angkatnya yang menjalankan kudanya perlahan di sampingnya. Dia heran melihat pangeran ini. Sekarang kelihatan begitu baik, begitu ramah, dan seakan-akan pengalaman dengan wanita tadi, perkelahiannya dengan dia, hanya merupakan hal remeh yang boleh dilupakan dalam sekejap mata saja!
"Houw-ko..."
"Ada apakah, Liong-te?" Han Houw menoleh dan tersenyum.
"Siapakah nama perempuan tadi?"
Han Houw terbelalak, senyumnya melebar. "Ahhh...? Mana aku tahu?"
Sin Liong mengerutkan alisnya, keheranannya membesar. "Tidak tahu namanya?" Amat sukar dipercaya bahwa orang yang sudah berhubungan selekat itu masih belum diketahui namanya!
"Ha-ha, Liong-te. Perempuan seperti itu saja, mana pantas kita ingat namanya? Di dunia ini terdapat laksaan perempuan seperti itu, yang menyerah dengan mudah karena bangga melayani kita. Kalau kita harus memperhatikan mereka, wah, kiranya tidak ada apa-apa lagi yang dapat kita pikir karena sudah penuh dengan nama-nama mereka. Ha-ha-ha! Dia tidak ada harganya untuk diingat."
"Tapi... tapi... dia seorang gadis, dan kau... kau sudah... dan kau janjikan dia, kau suruh menanti di dusunnya..."
Kembali pangeran itu tertawa bergelak. "Wah, adikku yang baik. Engkau sungguh hijau, jujur dan masih polos benar-benar! Kalau aku tidak muncul dalam waktu beberapa bulan saja, dia, gadis seperti itu, tentu sudah memperoleh penggantiku. Ehh, Sin Liong, apakah benar-benar engkau tidak suka kepada wanita?"
Sin Liong mengerutkan alisnya, masih terlalu kaget dan terheran mendengar keterangan kakak angkatnya. Pangeran ini menganggap hubungan antara pria dan wanita demikian remehnya! Kemudian pertanyaan terakhir itu mengejutkannya sehingga wajahnya kembali menjadi merah.
"Aku bukannya tidak suka atau suka, akan tetapi jelas aku tak akan melakukan perbuatan seperti yang kau lakukan itu, Houw-ko!" katanya tegas dan dia menyuruh kudanya lari congklang. Han Houw tertawa bergelak dan mengejar.
Kota Ceng-lun adalah sebuah kota di pinggir Sungai Luan yang berada di sebelah utara Peking dan berada di luar tembok besar. Kota ini cukup ramai dan dulu kota ini pernah diduduki oleh pasukan Raja Sabutai, bahkan dijadikan benteng ketika raja ini memimpin pasukannya untuk menyerbu ke dalam tembok besar di selatan. Biar pun kini daerah itu dikepalai oleh pasukan liar dari bangsa Nomad lain yang bersahabat dengan pemerintah Kerajaan Beng-tiauw pada waktu itu, akan tetapi suku bangsa ini pun masih tunduk akan kekuasaan Raja Sabutai yang sangat kuat dan yang merupakan bahaya lebih dekat dan lebih besar bagi suku bangsa itu dari pada bahaya yang datang dari dalam tembok besar.
Inilah sebabnya maka ketika Pangeran Oguthai atau Ceng Han Houw bersama Sin Liong sampai di kota Ceng-lun, para pembesar setempat mengenal pangeran ini, dan dua orang muda itu disambut dengan hormat dan meriah! Apa lagi sesudah Ceng Han Houw dapat membuktikan dirinya sebagai seorang pangeran Kerajaan Beng, dan dapat menunjukkan tanda kekuasaan yang diperolehnya dari Kaisar Beng yang baru, maka semua orang makin menyembah-nyembahnya!
Kembali Sin Liong melihat dengan hati tidak senang betapa kakak angkatnya itu bersikap congkak dan tinggi hati, menganggap fihak tuan rumah, yaitu para pembesar seperti anak buah saja, dan anehnya, yang diperlakukan seperti itu malah terlihat senang dan menjilat-jilat!
Lebih lagi ketika mereka berdua dijamu dengan hidangan yang serba mewah dan dilayani makan minum oleh sekumpulan gadis-gadis cantik. Sin Liong merasa sungkan, malu dan juga muak.
Sejak kecil dia sudah hidup bebas dan seadanya, sederhana, akan tetapi kebebasannya mendatangkan rasa nikmat dan bahagia yang luar biasa. Maka sekarang, keadaan yang mewah serta dikurung kesopanan dan peraturan yang memuakkan hatinya itu, tentu saja dia merasa tidak enak dan tidak senang.
Bagi Sin Liong yang berjiwa bebas, yaitu kebebasan yang diperolehnya karena keadaan hidupnya di waktu kecil, semua peraturan dan sopan santun, semua kebudayaan yang jelas kelihatan amat palsu olehnya itu, tentu saja nampak tidak menyenangkan dan malah merepotkan.
Memang, bila mana kita mau membuka mata dan melihat apa adanya, akan nampak oleh kita betapa kita ini hidup di alam kepalsuan! Sikap kita, senyum kita, ucapan-ucapan kita, semua itu terkendali, semua itu munafik dan palsu, tidak sewajarnya, semua itu demi kesopanan. Apakah sikap yang dibuat-buat itu sopan?
Kalau kita bicara dengan orang lain, terutama kalau kita bicara dengan orang yang lebih tinggi kedudukannya dari pada kita, atau lebih kaya, atau lebih pintar menurut anggapan kita, maka otomatis muncullah kepalsuan kita, senyum kita, pandang mata kita, kata-kata kita, semua itu disesuaikan dalam pertemuan itu sehingga kita menjadi manusia lain, yang berbeda dengan pembantu kita, yang berbeda dengan keluarga kita dan sebagainya!
Sopan santun pura-pura dan palsu! Beginikah kebudayaan kita? Beginikah peradaban kita? Betapa menyedihkan bila hal itu kita namakan kebudayaan, peradaban yang hanya merupakan kepintaran berpura-pura belaka, pandai bermanis selagi perasaan sepahit-pahitnya, pandai menghormat dan bersikap sopan selagi hati menghina dan membenci! Dan kita telah terdidik semenjak kecil untuk berpura-pura seperti itu!
Semenjak kecil kita dijejali pelajaran-pelajaran bagaimana harus bersikap sebagai orang yang sopan, sebagai yang orang berbudaya, terpelajar dan sebagainya! Kita tak pernah diperkenalkan kepada apa yang dinamakan kesopanan itu, dalam arti kata menyelami, mendalami, mengerti dan menghayati, dan bukan sekedar sikap lahiriah yang pura-pura belaka!
Kalau sudah ada rasa hormat dalam batin kita terhadap sesamanya, rasa hormat yang timbul bukan karena pura-pura, bukan karena penjilatan, melainkan rasa hormat yang dengan sendirinya muncul di mana terdapat cinta kasih terhadap sesama, apa bila sudah ada rasa cinta seperti itu di dalam batin kita, maka segala kepura-puraan itu, segala kesopanan hampa, segala kemunafikan, akan sirna dan hubungan antara manusia akan menjadi lain sama sekali!
Kalau segala kepalsuan itu sudah tidak ada, dan bila mana hubungan antara manusia didasari cinta kasih, maka hubungan itu baru benar-benar akan ada! Tetapi sebaliknya, hubungan seperti yang ada sekarang ini, hanyalah hubungan semu belaka, hubungan antara dua gambaran dari aku dan engkau yang keduanya palsu, tidak sewajarnya, tidak seadanya, dan dalam hubungan seperti itu, tentu saja muncul pertentangan-pertentangan.
Saat Han Houw minta kepada pembesar kota Ceng-lung untuk menyampaikan laporannya kepada Raja Sabutai tentang hasilnya membasmi Jeng-hwa-pang, pembesar itu terkejut bukan main, akan tetapi dengan tergopoh-gopoh dia cepat mengutus pasukan kecil untuk menyampaikan berita itu ke utara.
Para pembesar itu baru tahu bahwa dua orang pemuda ini ternyata memiliki kepandaian luar biasa, karena kalau tidak demikian, mana mungkin dua orang itu mampu membasmi perkumpulan Jeng-hwa-pang yang amat ditakuti itu?
Pada malam harinya, kembali dua orang muda itu dijamu secara besar-besaran oleh para pejabat di Ceng-lun. Han Houw nampak gembira bukan main dan minum sampai hampir mabuk. Malam makin larut dan akhirnya para pembesar itu minta diri, meninggalkan dua orang muda itu melanjutkan bersenang-senang dengan dilayani oleh delapan orang gadis cantik manis yang melayani sambil tersenyum-senyum. Karena dipaksa dan dibujuk oleh Han Houw, Sin Liong minum arak agak banyak pula. Meski pun dia tidak sampai mabuk, akan tetapi seluruh tubuhnya terasa panas dan dia mulai pening.
"Houw-ko, aku pun hendak mengaso. Biarlah aku kembali ke kamar lebih dulu dan kalau engkau belum puas, kau lanjutkan sendiri pesta ini," katanya sambil bangkit sendiri.
Han Houw tertawa bergelak dan mengangkat cawan yang penuh arak. "Ha-ha-ha, engkau sudah hendak tidur? Ha-ha-ha! Bagus, bagus, dan selamat Liong-te, selamat bersenang-senang, ha-ha-ha!"
Sin Liong memandang kakak angkatnya dengan alis berkerut, dia tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakaknya itu. Akan tetapi Han Houw hanya tertawa sambil merangkul pinggang salah seorang di antara empat orang gadis cantik yang berpakaian serba merah, maka dia pun mengira bahwa kakak angkatnya itu sudah mabuk.
Dia tersenyum, menggeleng kepala lalu membalikkan tubuhnya meninggalkan ruangan itu untuk pergi ke kamar yang sudah disediakan untuknya. Dia tidak tahu bahwa empat orang yang berpakaian serba hijau saling pandang, tersenyum lalu mereka pun membayanginya dari jauh.
Karena terlalu banyak minum, Sin Liong segera melempar tubuhnya ke atas pembaringan tanpa membuka pakaian atau sepatunya. Kepalanya terasa pening dan tubuhnya panas. Tiba-tiba dia terkejut karena biar pun dia pening dan mengantuk, namun pendengarannya masih tajam sekali sehingga sedikit gerakan di pintu itu cukup membuat dia terkejut dan menoleh.
Dia terbelalak heran ketika melihat empat orang gadis berpakaian serba hijau yang tadi melayaninya makan minum, kini memasuki kamarnya itu dan gadis terakhir menutupkan pintu kamar. Mereka itu tersenyum-senyum memandang kepadanya dengan sikap sangat genit.
"Hee! Mau apa kalian masuk ke sini...?" Sin Liong sudah bangkit duduk lantas menegur dengan gugup.
Empat orang pelayan yang muda dan cantik-cantik itu sangat genit, dan tadi pada waktu melayaninya makan minum sudah membuat dia bingung dan gugup sehingga dia tidak dapat menolak mereka yang ikut-ikut Han Houw membujuknya sehingga dia minum terlalu banyak.
Empat orang itu tertawa cekikikan sesudah mendengar pertanyaan ini, dan mereka lalu mulai menanggalkan pakaian luar mereka! Dengan sikap genit seorang di antara mereka berkata, "Ah, kongcu..., masih bertanya mau apa? Hik-hik, apa pun mau asal kongcu yang menyuruh...! Kami berempat memang ditugaskan untuk melayanimu, kongcu..."
Sepasang mata Sin Liong makin terbelalak ketika dia melihat betapa empat orang wanita itu kini tinggal memakai pakaian dalam yang tipis berwarna hijau muda sehingga terkena sorotan lampu, nampak lekuk lengkung tubuh mereka membayang di balik pakaian dalam yang tipis itu.
"Tidak..., tidak...! Kalian layani saja Houw-ko..."
"Ahh, kongcu tidak usah khawatir. Pangeran sudah ada yang melayani, yaitu empat orang gadis berpakaian merah tadi. Kami bertugas melayanimu, kongcu, dan kami beruntung sekali karena kami merasa lebih senang melayanimu..."
"Ehh, mengapa?" Sin Liong merasa heran mendengar bahwa mereka ini lebih senang melayaninya dari pada melayani Han Houw.
"Hik-hik, karena... semua orang pun dapat melihat bahwa kongcu adalah seorang perjaka tulen..."
Wajah Sin Liong menjadi merah dan jantungnya berdebar kencang ketika melihat empat orang gadis cantik itu dengan langkah memikat maju menghampirinya, lenggang mereka seperti empat orang penari.
"Mari kubantu kongcu menanggalkan pakaian. Hawanya begini panas..."
"Biar kupijit badanmu, kongcu, engkau tentu lelah..."
"Kongcu hendak minum apa?"
"Aku yang akan mengipasimu, kongcu..."
Akan tetapi Sin Liong meloncat menghindarkan mereka. "Aku... aku... mau mencari hawa sejuk..." katanya gagap dan seperti orang takut setan pemuda ini lari keluar dari kamar itu.
Tentu saja empat orang gadis itu melongo, saling pandang lalu tertawa cekikikan. Sikap pemuda itu malah menimbulkan gairah di hati mereka karena jelaslah bahwa pemuda itu belum pernah berdekatan dengan wanita, dan hal ini sangat menarik hati mereka. Sambil tertawa-tawa mereka menyambar pakaian luar mereka, memakainya kembali dan mereka lalu keluar dari kamar, cekikikan dan berlomba untuk mencari pemuda itu.
Tiba-tiba muncullah Han Houw dan dia lalu berbisik-bisik dengan mereka, seperti orang yang mengatur siasat dan disambut oleh empat orang pelayan itu dengan tertawa geli.
Sementara itu, Sin Liong melarikan diri ke dalam taman dengan jantung berdebar tegang. Tubuhnya penuh keringat karena pengalaman tadi membuat dia menjadi sangat tegang. Dia sudah mengenal taman ini siang tadi dan tahu bahwa di situ terdapat sebuah telaga buatan kecil yang airnya jernih. Taman itu sunyi, dan di bagian utara telaga kecil itu amat indahnya.
Malam itu bulan bersinar terang dan cahayanya membuat permukaan air telaga kuning keemasan. Air sedemikian heningnya sehingga bulan bagaikan tenggelam ke dasarnya, tersenyum kepadanya. Ketika Sin Liong berdiri di tepi telaga dan memandang, bulan yang bundar itu membentuk wajah. Wajah yang berubah-ubah, wajah keempat orang pelayan wanita tadi yang kini tersenyum memikat kepadanya.
Dia bergidik, walau pun tubuhnya terasa gerah. Sin Liong mengusir semua bayangan itu dengan duduk di tepi telaga yang sunyi dan menujukan pikirannya kepada pelajaran ilmu yang pernah dilatihnya di bawah bimbingan dan petunjuk Ouwyang Bu Sek. Di antara ilmu yang didapatinya di dalam kitab pemberian guru mereka yang pernah dilihatnya, yaitu Bu Beng Hud-couw, terdapat ilmu semedhi untuk menghimpun tenaga Im-kang dan waktunya tepat sekali pada saat itu.
Ilmu itu harus dilakukan dengan cara merendam diri di dalam air, di bawah sinar bulan purnama. Dan saat itu bulan purnama, dan di depannya terdapat air telaga yang bening dan jernih. Dia akan dapat melakukan ilmu menyedot dan menghimpun hawa Im dengan sebaiknya. Apa lagi dia memang sedang merasa panas, dan latihan itu dapat mengusir gangguan bayangan empat orang wanita tadi yang telah mengejarnya!
Karena taman itu sunyi dan tidak kelihatan ada seorang pun kecuali dirinya, Sin Liong tidak ragu-ragu lagi lalu menanggalkan semua pakaiannya, dan dengan hati-hati dia lalu turun ke dalam air telaga. Air yang sejuk sekali menyambutnya hingga dia merasa segar sekali. Dia terus melangkah ke tengah telaga di mana airnya mencapai perutnya, namun ketika dia duduk bersila, air merendam tubuhnya sampai ke leher.
Mulailah Sin Liong bersemedhi dan mengatur napas menurut pelajaran yang ada di dalam kitab ciptaan Bu Beng Hud-couw dan mulailah dia menghimpun tenaga dari hawa Im yang berlimpahan bersama dengan sinar bulan purnama memenuhi telaga itu!
Dia segera merasakan betapa hawa yang sangat dingin itu meresap ke dalam tubuhnya, bergerak-gerak di dalam pusar karena hawa di dalam tubuhnya segera menolak hawa Im yang amat kuat itu. Namun dengan menurutkan petunjuk pelajaran itu dia tidak menolak, melainkan menghimpun dan menerima.
Mula-mula memang tubuhnya menggigil, akan tetapi makin lama hawa dingin itu semakin berkurang dan dia mulai merasa nyaman sehingga kalau dia tidak waspada, dia dapat tertidur dan akibatnya tentu akan berbahaya sekali baginya.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa cekikikan yang amat mengejutkan hati Sin Liong dan dia terbelalak memandang ke pinggir telaga di mana empat orang pelayan cantik tadi sudah berdiri sambil tertawa-tawa dan mereka itu mulai menanggalkan pakaian mereka dengan cepat! Kini bukan hanya pakaian luar yang mereka tanggalkan, melainkan berikut pakaian dalam pula sehingga mereka itu semua berbugil!
"Aihhh, kongcu mandi mengapa tidak mengajak kami?"
"Mari kugosokkan punggungmu, kongcu."
"Kongcu, kau ajari aku renang, hi-hik!"
Tiga orang sudah terjun, kemudian sambil tertawa-tawa menghampiri dan mengurung Sin Liong, bersiram-siraman air dengan tangan mereka sambil tertawa-tawa. Orang ke empat sudah tergesa-gesa menanggalkan pakaian untuk terjun pula.
Empat orang wanita itu tertawa semakin geli ketika melihat keadaan Sin Liong. Memang lucu sekali keadaan pemuda ini. Dia bengong dan tetap mendekam dalam air, tidak berani bergerak sama sekali! Dia bertelanjang bulat, bagaimana dia berani bergerak? Kalau dia melarikan diri, tentu ketelanjangannya akan terlihat orang! Akan tetapi berdiam saja di situ juga tak mungkin. Empat orang wanita itu telah mendekatinya, bahkan mulai meraba-raba sambil tertawa-tawa.
"Jangan... pergilah kalian... pergilah..." Dia berkata gagap, akan tetapi keempat orang itu semakin geli tertawa-tawa, memperlihatkan dada mereka yang terbuka sambil melakukan gerakan-gerakan memikat di hadapan Sin Liong sehingga pemuda ini memejamkan mata agar tidak melihat semua pemandangan itu.
"Aihh, kongcu, mengapa malu-malu?"
"Malu-malu kucing, hi-hik..."
"Kongcu, berilah cium padaku..."
Sin Liong tidak dapat bertahan lagi. Dia membuka sepasang matanya dan tiba-tiba kedua tangannya bergerak. Air terpercik ke sekelilingnya.
"Aduhhh...!"
"Ahh, mataku..."
Empat orang wanita itu menjerit, cepat menggunakan kedua tangan menutupi muka dan mereka memejamkan mata karena percikan air itu bagaikan jarum-jarum saja menusuki muka mereka! Mereka hanya merasakan air bergerak kuat, kemudian sunyi.
Ketika akhirnya mereka berani membuka mata, ternyata pemuda yang tadi merendam diri bertelanjang di antara mereka itu telah lenyap. Demikian pula tumpukan pakaian pemuda itu di tepi telaga telah lenyap pula!
Dengan kecewa dan juga terheran-heran empat orang gadis cantik itu keluar dari dalam telaga. Muncullah Han Houw dan dengan kecewa pula dia berkata, "Ah, kalian sungguh bodoh! Mengapa kalian tidak memeganginya dan tidak berhasil menundukkannya? Tolol!"
Dan dengan gemas pangeran ini pun pergi dari sana, kembali ke dalam kamarnya. Dia merasa amat penasaran karena belum juga dapat berhasil menggoda adik angkatnya itu. Selama adik angkatnya itu dapat bertahan dan tinggal menjadi seorang perjaka, dia akan selalu merasa salah dan hal ini amat tidak enak baginya. Dia tidak mau kalah, dalam hal apa pun juga.
Dan apa bila dia sudah berhasil menemukan guru adik angkatnya itu, dia pun tidak akan mau kalah dalam hal ilmu silat. Akan tetapi sekarang, dia tidak saja kalah dalam ilmu silat, bahkan kalah pula dalam keteguhan hati mempertahankan kemurnian dirinya. Dia hanya menang dalam kedudukan dan pangeran ini mulai merasa menyesal dan kecewa.
Sementara itu, ketika tadi dia menggunakan akal untuk membuat empat orang wanita itu terpaksa menutupi muka mereka, Sin Liong berhasil melarikan diri tanpa mereka lihat dan pada saat dia melarikan diri, dia melihat Han Houw mengintai dari balik sebatang pohon, tidak jauh dari telaga buatan itu! Hatinya merasa penasaran bukan main karena dia dapat menduga bahwa kembali kakak angkatnya itulah yang tadi berusaha untuk menyeret dan menjatuhkannya dalam pelukan wanita-wanita itu!
Mulailah Sin Liong merasa betapa berbahayanya bila dia melanjutkan perjalanan bersama kakak angkatnya itu. Ada ketidak cocokan dalam banyak hal di antara mereka, meski pun harus diakuinya bahwa dia merasa suka kepada Han Houw dan mengagumi pangeran itu.
Karena dia merasa marah dengan perbuatan Han Houw yang jelas hendak menyeretnya jatuh ke dalam permainan cinta kotor dengan wanita-wanita itu, Sin Liong tidak kembali ke dalam kamarnya, melainkan terus melarikan diri pergi dari kota Ceng-lun. Bahkan kuda tunggangnya tidak diambilnya dan dia melanjutkan perjalanan seorang diri, menggunakan ilmunya berlari cepat melintasi padang pasir dan menyeberangi tembok besar, memasuki daerah selatan. Dia meninggalkan Han Houw begitu saja!
Sin Liong melakukan perjalanan jauh menuju selatan yang harus ditempuh dengan susah payah. Betapa jauh bedanya dengan saat dia melakukan perjalanan bersama Han Houw. Ketika dia melakukan perjalanan bersama pangeran dari selatan, jauh sekali dari selatan, dia dan Han Houw menunggang kuda dan selalu berhenti di setiap kota besar, disambut dengan penuh kehormatan oleh para pembesar, dijamu dengan hidangan-hidangan lezat, dilayani dan diberi tempat penginapan di kamar istimewa yang bersih dan mewah.
Kini, setelah dia meninggalkan Han Houw di Ceng-lun dan melakukan perjalanan dengan jalan kaki ke selatan, dia melakukan perjalanan seorang diri yang luar biasa melelahkan, bahkan sering kali kurang makan sehingga terpaksa dia makan seadanya, malah pernah dia terpaksa minta makan pada keluarga petani yang miskin!
Akhirnya dia tiba di kota raja, tempat yang memang ditujunya. Dia ingin mencari Kim Hong Liu-nio, wanita yang bukan saja telah membunuh ibu kandungnya, akan tetapi juga yang menyebabkan kematian kakeknya.
Akan tetapi, sesudah dia sampai di kota raja, kota yang besar dan ramai itu, mulailah dia merasa bingung. Ke mana dia harus mencari Kim Hong Liu-nio di tempat ramai dan besar ini? Dan mulai pula dia bingung karena tidak tahu bagaimana dia harus mencari makan!
Kalau dia berada di dalam hutan, mudah baginya untuk menangkap binatang hutan atau tetumbuhan untuk dimakan, akan tetapi di kota besar seperti kota raja ini, bagaimana dia bisa mendapatkan makan? Mengemis? Dia tidak sampai hati untuk mengemis makanan. Jalan satu-satunya hanyalah bekerja. Akan tetapi bekerja apakah?
Sin Liong merasa bingung sekali. Sudah dua hari dia tidak makan dan pada pagi hari itu, dia berdiri di depan sebuah restoran yang baru saja membuka pintu pintunya. Dia berdiri di situ karena asap dan uap masakan yang keluar dari rumah makan itu sungguh sangat sedap tercium hidungnya, membuat perutnya terasa makin lapar, hampir tak tertahankan lagi.
Sin Liong adalah seorang laki-laki muda yang berwajah tampan. Pakaiannya pun adalah pakaian yang tadinya sangat indah dan mahal, pemberian dari pembesar-pembesar yang menyambut Han Houw. Biar pun telah beberapa lama pakaian itu tidak dicuci atau diganti, sudah nampak kotor, namun masih mudah dikenal bahwa pakaian itu tadinya merupakan pakaian mahal.
Oleh karena itu, saat melihat pemuda ini berdiri bengong di depan rumah makan, majikan rumah makan itu menjadi amat tertarik. Dia memandang penuh perhatian dan keheranan. Kalau pemuda itu seorang kongcu, tentu sudah masuk restoran dan memesan makanan untuk sarapan pagi, akan tetapi kalau seorang tuan muda, biar pakaian dan sepatunya menunjukkan demikian, pakaian itu sudah terlalu kotor. Sebaliknya, kalau pengemis, tidak pantas pula. Wajah dan pakaian pemuda itu, juga sikapnya, sama sekali tidak memberi tanda bahwa pemuda itu seorang pengemis.
"Engkau... ada apakah berdiri di situ, orang muda?" Akhirnya majikan rumah makan itu berdiri di depan pintunya dan bertanya.
Ditegur orang, Sin Liong gelagapan dan dia menelan ludahnya, "Ah, aku... lapar sekali..."
Hemm, bukan pengemis, pikir majikan rumah makan itu. Kalau pengemis tentu dia sudah minta-minta.
"Kalau lapar, boleh membeli makanan," pancingnya.
Sin Liong makin gelisah. "Aku... aku tidak punya uang..."
Majikan rumah makan itu mengerutkan alisnya lantas memandang dengan teliti dari atas sampai ke bawah. "Lalu dengan apa engkau akan membayar makanan kalau tidak punya uang?"
Pertanyaan ini seolah-olah membuka kesempatan bagi Sin Liong. "Lopek, kalau engkau sudi memberi makanan kepadaku, aku dapat membayarnya dengan tenagaku. Aku mau bekerja apa saja untukmu!"
Majikan rumah makan itu mengelus jenggotnya yang jarang dan pendek. Hemmm, orang muda ini tidak kelihatan jahat, sikapnya halus dan tubuhnya kelihatan kuat.
"Kau mau menjadi pelayan?"
"Aku mau!"
"Apakah engkau bisa?"
"Aku dapat mempelajarinya."
"Siapa namamu, orang muda?"
"Namaku... panggil saja A-sin!"
"Di mana rumahmu?"
"Lopek, harap percaya padaku, aku bukan orang jahat. Akan tetapi aku tak punya rumah, dan aku pun tidak mau mengemis. Aku ingin bekerja untuk mendapatkan makan."
Sikap tegas dan gagah ini segera menarik hati majikan rumah makan itu. "Sudah berapa hari engkau tidak makan?"
"Sudah dua hari dua malam, dan aku telah melakukan perjalanan jauh sekali."
"Masuklah!"
Sin Liong segera masuk dan majikan rumah makan itu dengan penuh perhatian memberi hidangan bubur panas kepadanya. Sin Liong makan dengan lahapnya dan sebentar saja sudah menghabiskan bubur empat mangkok besar! Sesudah selesai makan, pemuda ini lalu bangkit berdiri, menjura kepada pemilik rumah makan sambil berkata lantang, "Lopek yang baik. Terima kasih atas kebaikanmu, dan sekarang aku mau bekerja untukmu!"
Mulailah Sin Liong bekerja di rumah makan itu. Mula-mula dia disuruh membantu tukang masak, mengambil air, membelah kayu, mencuci mangkok piring dan sebagainya. Karena pemuda itu sangat rajin dan pandai membawa diri, dia disuka dan sebentar saja majikan memberi kepercayaan kepadanya untuk menjadi pelayan.
Wajahnya yang tampan serta usianya yang masih muda itu dianggap memenuhi syarat untuk menjadi pelayan yang baik dan menyenangkan tamu, dan pekerjaan ini memang amat menyenangkan hati Sin Liong karena membuka kesempatan baginya untuk bertemu dengan macam-macam orang sehingga dari percakapan para tamu dia dapat mengetahui keadaan di luar, dan bahkan dari para tamu yang terdiri dari orang-orang kang-ouw dia mendapat kesempatan untuk mendengar banyak mengenai dunia persilatan sehingga dia dapat melakukan penyelidikan mengenai musuh besarnya.
Hingga berbulan-bulan lamanya Sin Liong bekerja sebagai seorang pelayan restoran, dan selama itu pula dia tidak pernah lalai untuk selalu melatih ilmu-ilmunya, bahkan dia makin memperdalam ilmu-ilmu aneh yang dahulu dipelajarinya dari kitab-kitab ciptaan Bu Beng Hud-couw. Namun tidak ada seorang pun tahu akan keadaan dirinya ini karena Sin Liong amat pandai menyembunyikan semua kepandaiannya itu. Dia selalu menjauhkan diri dari masalah yang menimbulkan pertentangan atau keributan. Dia selalu mengalah sehingga tidak ada orang pernah memusuhinya.
Ketika melayani para tamu yang datang makan di restoran itu, Sin Liong selalu waspada sehingga dia tidak pernah melewatkan percakapan di antara tamu yang penting. Dengan kepandaiannya yang tinggi, dia dapat mempergunakan ketajaman pendengarannya untuk menangkap semua percakapan, meski pun yang dilakukan oleh tamu yang duduk di ujung restoran dan jauh dari tempat dia berdiri sekali pun.
Dengan jalan inilah dia mendengar pula mengenai tokoh-tokoh kang-ouw yang berada di kota raja dan sekitarnya. Bahkan dengan hati kaget dia mendengar pula betapa keluarga mendiang kakeknya di Cin-ling-pai, yaitu Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong telah dicap sebagai pemberontak-pemberontak buruan pemerintah!
Berita ini membuatnya termenung sejenak. Betapa pun juga, seorang di antara mereka, yaitu Cia Bun Houw, adalah ayah kandungnya! Cerita tentang peristiwa itu selalu masuk dalam benaknya sungguh pun dia sudah selalu mengusirnya dengan ingatan bahwa ayah kandungnya itu adalah orang yang tidak baik, yang telah menyia-nyiakan ibu kandungnya sehingga dia terlahir tanpa ayah dan semenjak lahir tidak pernah ditengok ayahnya!
Pada suatu pagi, rumah makan itu ramai dikunjungi tamu. Hari itu kebetulan jatuh pada Pek-gwe Cap-go (tanggal lima belas bulan delapan), yaitu merupakan salah satu di antara hari-hari besar di Tiongkok, karena pada tanggal itu orang-orang melakukan sembahyang Tiong-ciu.
Seperti biasa, pada hari besar itu banyak penduduk dari luar kota raja berduyun-duyun datang ke kota raja, ada yang hanya berpesiar, akan tetapi sebagian besar untuk membeli kue-kue tiong-cu-pia yang lezat dan juga untuk berbelanja segala macam barang yang tidak bisa mereka dapatkan di dusun-dusun. Restoran di mana Sin Liong bekerja penuh dengan tamu sehingga semua pelayan menjadi sibuk, bahkan majikan rumah makan itu sendiri turut pula menyambut tamu di pintu depan dengan wajah berseri gembira karena keramaian itu seolah meramalkan bahwa hari itu akan memperoleh keuntungan yang tak sedikit.
Empat orang tamu baru saja memasuki rumah makan itu. Mereka ini terdiri dari dua orang pemuda dan dua orang gadis, Melihat empat orang muda yang dari pakaiannya saja telah menunjukkan bahwa mereka orang-orang kaya itu berdiri termangu-mangu dan ragu-ragu karena restoran itu amat penuhnya, majikan restoran itu cepat-cepat menyambut mereka dengan senyum ramah.
"Silakan masuk, ji-wi siocia dan ji-wi kongcu, di sebelah dalam masih ada tempat duduk yang kosong. A-sin...! Lekas kau sambut tamu-tamu kita ini!" teriaknya kepada Sin Liong yang cepat berjalan keluar untuk menyambut tamu-tamu itu seperti yang diteriakkan oleh majikannya.
Begitu melihat empat orang tamu itu, wajah Sin Liong berubah dan jantungnya berdegup tegang. Cepat dia membungkuk-bungkuk untuk menyembunyikan wajahnya kemudian dia mempersilakan mereka masuk karena di sudut sebelah dalam memang masih ada meja yang kosong, baru saja ditinggalkan tamu lain dan sudah dibersihkannya.
Dia segera mengenal dua orang gadis itu. Andai kata dia salah mengenal dua orang gadis itu dan salah seorang di antara pemudanya, akan tetapi tak mungkin dia salah mengenal pemuda ke dua itu.
Pemuda itu sudah pasti adalah Beng Sin! Wajahnya yang bulat, tubuhnya yang gendut, mulut yang seperti selalu tersenyum dan mata yang lucu itu! Siapa lagi kalau bukan si gendut Beng Sin, seorang di antara keponakan Kui Hok Boan, ayah tirinya?
Dan dua orang gadis itu, yang sukar dibedakan satu antara yang lain, tentulah si kembar Lan Lan dan Lin Lin, adik-adik tirinya! Ada pun pemuda tampan gagah itu siapa lagi kalau bukan Siong Bu? Masih nampak pesolek, angkuh dan gagah saja pemuda itu! Dan Lan Lan berdua Lin Lin, kini telah menjadi dara-dara remaja yang cantik manis.
Sesudah menguji kekebalannya sendiri, Han Houw tertawa dan kini seenaknya saja dia menghadapi serangan rantai itu, bahkan kadang-kadang dia menerima gebukan rantai itu dengan tubuhnya! Makin pucatlah wajah Bouw Song Khi dan tiba-tiba saja tangan kirinya bergerak. Uap hitam menyambar ke arah muka Han Houw dan itu adalah bubuk beracun yang mengandung obat bius, yang biasa dipergunakan oleh jai-hwa-cat ini untuk membius wanita yang diculiknya.
Akan tetapi, perbuatannya inilah yang mendatangkan mala petaka baginya. Kalau tadinya Han Houw masih ragu-ragu untuk membunuh orang yang dianggapnya tidak ada sangkut-pautnya dengan Jeng-hwa-pang, kini melihat orang itu mempergunakan racun, pangeran muda ini menjadi marah.
Han Houw meloncat untuk menghindari dan tiba-tiba dari mulutnya menyambar sinar putih sedemikian cepat dan tidak terduga sehingga walau pun Bouw Song Khi sudah berusaha menghindar, namun tetap saja mata kirinya harus menerima sambaran pek-ciam (jarum putih) yang tersebar dari mulut pangeran itu.
Bouw Song Khi menjerit keras, rantainya terlepas dan kedua tangannya cepat mendekap matanya karena dia merasakan kenyerian yang menyusup sampai ke dalam jantungnya. Han Houw menggerakkan pedangnya yang semenjak tadi hanya dipakai menangkis saja. Pedang itu menembus dada dan ketika dicabutnya, darah muncrat dari tubuh lawan yang terjengkang dan tewaslah Bouw Song Khi.
Melihat ini, Gak Song Kam menjadi terkejut bukan main, juga amat marah. Dia berteriak mengeluarkan aba-aba kepada semua anak buahnya agar maju mengeroyok, sedangkan dia sendiri lalu menggerakkan pedangnya yang ampuh, pedang yang mengandung racun amat jahat, menerjang ke depan dan disambut oleh Sin Liong! Han Houw mengeluarkan suara tertawa mengejek dan pangeran ini segera menggerakkan pedangnya mengamuk, dikeroyok oleh puluhan orang anak buah Jeng-hwa-pang.
"Ha-ha-ha-ha, kalian orang-orang Jeng-hwa-pang benar-benar tidak tahu diri maka sudah selayaknya mampus! Kami adalah sepasang pendekar dari Lembah Naga! Kami adalah Harimau Sakti dan Naga Sakti dari Lembah Naga, dan pada hari ini Jeng-hwa-pang akan terbasmi habis oleh kami!"
Diam-diam Sin Liong terkejut mendengar suara yang sangat congkak ini, dan dia merasa ngeri ketika melihat betapa Han Houw mengamuk dengan pedangnya, merobohkan para anggota Jeng-hwa-pang seperti orang membabat rumput saja. Tentu saja para anggota Jeng-hwa-pang itu bukan lawan pangeran yang lihai itu. Sambil tertawa-tawa Han Houw merobohkan mereka seorang demi seorang. Darah muncrat-muncrat membasahi bumi dan teriakan-teriakan mengerikan terdengar susul-menyusul.
Melihat keadaan yang tidak menguntungkan ini, Gak Song Kam merasa khawatir sekali. Apa lagi saat dia mendapat kenyataan betapa semua gerakan pedangnya yang ditujukan untuk menyerang pemuda remaja itu tak pernah berhasil mengenai sasaran, dia semakin gelisah dan maklum bahwa keadaannya amat berhahaya.
Ketua Jeng-hwa-pang ini memang seorang pengecut. Dulu pun pada saat Jeng-hwa-pang diserbu oleh Kim Hong Liu-nio, begitu dia tahu bahwa tidak ada harapan baginya untuk menang, diam-diam dia lalu melarikan diri sambil membawa pergi Sin Liong. Kini, ternyata kedua orang pemuda remaja itu tidak kalah lihainya dibandingkan dengan wanita iblis itu, bahkan sute-nya telah tewas dan anak buahnya banyak yang tewas pula dan kini sisanya sedang dihajar habis-habisan oleh pemuda yang berpakaian indah dan memakai sorban berhiaskan batu permata itu!
"Heiiiiikkkkk...!" Tiba-tiba ketua Jeng-hwa-pang itu mengeluarkan teriakan nyaring.
Begitu kedua tangannya bergerak, dari tangan kirinya meluncur paku-paku hitam dan dari pangkal pedang dekat gagang juga meluncur jarum-jarum hitam. Baik paku-paku mau pun jarum-jarum itu semua mengandung racun yang sangat ampuh dan menyambar dengan cepat sekali ke arah Sin Liong!
Untung bahwa pemuda remaja ini pernah digembleng oleh orang-orang sakti seperti Cia Keng Hong dan Ouwyang Bu Sek hingga dia telah memiliki kematangan dan ketenangan batin yang luar biasa. Penyerangan jarum-jarum dan paku-paku itu sangat tiba-tiba dan sama sekali tidak tersangka-sangka, juga dilakukan dari jarak dekat. Kalau dia gugup dan menangkis, sedikit lecet saja pada lengannya akan cukup membahayakan sebab senjata-senjata rahasia itu direndam racun yang amat jahat.
Namun Sin Liong sudah tahu bahwa ketua Jeng-hwa-pang itu adalah ahli racun, maka dia pun secara otomatis melempar tubuhnya ke belakang, berjungkir balik sehingga terhindar dari sambaran senjata-senjata gelap yang beracun ini. Akan tetapi, kesempatan itu cepat digunakan oleh Gak Song Kam untuk melempar-lemparkan alat peledak yang kemudian mengeluarkan asap hitam tebal. Sambil tersenyum lega dia cepat meloncat melalui asap hitam yang beracun itu dan yang tidak mengganggu dirinya untuk melarikan diri seperti yang telah dilakukannya ketika Kim Hong Liu-nio menyerbu Jeng-hwa-pang dahulu.
Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu pemuda remaja yang menjadi lawannya tadi sudah berdiri di depannya, menghalanginya sambil tersenyum mengejek dan tidak kurang suatu apa. Dia tidak tahu bahwa Sin Liong masih ingat akan lihainya alat-alat peledak itu, maka saat melihat lawannya tadi melontar-lontarkan benda-benda itu, Sin Liong menggunakan ginkang-nya untuk menghindar jauh ke tempat gelap, lalu dia berkelebat menghadang ketika melihat ketua Jeng-hwa-pang itu hendak melarikan diri.
"Jangan harap kau akan dapat lari lagi seperti dahulu, pangcu!" Sin Liong berkata.
Dia merasa muak sekali akan kecurangan ketua yang pengecut ini, yang selalu hendak pergi meninggalkan anak buahnya dan menyelamatkan diri sendiri secara curang apa bila keadaan berbahaya baginya, sama sekali tidak patut dilakukan oleh seorang ketua yang tidak mempedulikan keadaan anak buahnya.
Akan tetapi, melihat pemuda yang luar biasa itu sudah menghadangnya, Gak Song Kam yang makin panik itu segera menubruk dengan pedangnya, mengirim serangan maut dan nekat karena dia maklum bahwa kalau dia tidak dapat segera melarikan diri dan pangeran yang sedang mengamuk itu turun tangan pula, tak mungkin lagi dia menyelamatkan diri.
Melihat serangan yang dilakukan dengan nekat ini, Sin Liong lalu merendahkan tubuhnya dan dari samping lengannya cepat mengibas. Serangkum hawa yang luar biasa kuatnya menyambar dan langsung menyerbu dada ketua Jeng-hwa-pang itu.
Gak Song Kam mengeluh, pedangnya terlepas kemudian dia terpelanting, roboh pingsan! Kiranya Sin Liong sudah menggunakan lagi sebuah jurus Cap-sha-ciang yang ampuh itu, dan akibatnya, baru terkena angin pukulannya saja lawan sudah terpelanting dan roboh pingsan. Memang dalam hati Sin Liong sama sekali tak terkandung niat untuk membunuh orang, maka dia pun tidak melanjutkan serangan dan hanya memandang kepada tubuh lawan yang tak bergerak itu.
"Ha-ha-ha, bagus. Liong-te, engkau telah berhasil merobohkannya!" Terdengar suara Han Houw bersorak dan Sin Liong melihat tubuh kakak angkatnya itu berkelebat, lalu cahaya pedang menyambar ke arah leher ketua Jeng-hwa-pang yang masih pingsan.
"Houw-ko, jangan...!" teriaknya, akan tetapi dia segera memejamkan mata ketika melihat darah muncrat-muncrat dan kakak angkatnya itu sudah memegang kepala yang buntung itu pada rambutnya, mengangkatnya tinggi-tinggi sambil tertawa-tawa!
Semenjak tadi, para anak buah Jeng-hwa-pang memang sudah gentar dan panik. Melihat betapa pasukan obor telah roboh semua oleh Sin Liong, disusul robohnya sute dari ketua mereka oleh Han Houw yang lantas mengamuk dan merobohkan banyak kawan mereka, para anak buah Jeng-hwa-pang itu sudah menjadi ketakutan. Hanya karena ketua mereka masih melawan Sin Liong mati-matian sajalah mereka masih mempunyai harapan untuk mengalahkan dua orang muda perkasa itu.
Akan tetapi, begitu Gak Song Kam roboh dan tewas, kemudian kepalanya dijambak dan diangkat oleh pangeran itu, nyali mereka terbang dan dengan ketakutan sisa anak buah Jeng-hwa-pang itu lalu melarikan diri dari tempat itu!
Han Houw tertawa bergelak dan menyambitkan kepala yang buntung lehernya itu ke arah anak buah yang melarikan diri.
"Trakkkk!"
Dengan tepat kepala dari Gak Song Kam itu menimpa kepala anak buah yang sedang lari, maka robohlah orang itu dengan kepala retak!
Ceng Han Houw lalu mengambil obor yang banyak dilempar di atas tanah oleh para anak buah Jeng-hwa-pang, kemudian dia membakari rumah-rumah yang berada di situ. Dalam waktu singkat saja, sarang Jeng-hwa-pang menjadi lautan api! Para wanita yang tadinya bersembunyi di dalam, kini berlari-larian keluar dalam keadaan panik, ditertawakan oleh Han Houw yang menganggap keributan itu sebagai tontonan yang lucu.
"Tolooooonggg...! Ayah... ibu... tolonggg...!"
Suara jerit wanita yang keluar dari sebuah di antara bangunan itu menarik perhatian Sin Liong dan dia cepat mendekati rumah terbakar dari mana terdengar jerit wanita itu. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat dan kiranya dia sudah didahului oleh Han Houw yang telah menerjang daun pintu rumah itu dan melompat ke sebelah dalam.
Hati Sin Liong merasa kagum dan girang. Bagaimana pun garang serta ganasnya sikap pangeran itu terhadap musuh-musuhnya, tapi di dalam dadanya terdapat watak pendekar juga yang siap menolong orang yang patut ditolong, seperti wanita yang menjerit-jerit itu.
Tak lama kemudian, di antara berkobarnya api yang mulai memakan daun pintu rumah itu, nampak Han Houw meloncat keluar sambil memondong tubuh seorang wanita muda yang manis dan kelihatan ketakutan.
Sambil tersenyum Han Houw berhenti di depan Sin Liong, menggunakan jari tangan kiri mencolek dagu gadis manis itu sambil berkata, "Dia ini perawan dusun yang diculik Bouw Song Khi dan belum sempat diganggu! Liong-te, tugas kita sudah selesai dan aku mau bersenang-senang. Banyak wanita cantik berlarian ke sana, engkau boleh pilih sesukamu. Aku cukup dengan perawan dusun ini, ha-ha-ha!" Pangeran itu lalu lari sambil memondong gadis itu.
Sin Liong berdiri dengan alis berkerut. Dilihatnya gadis itu meronta-ronta, menangis dalam pondongan Han Houw, namun tentu saja tak berdaya dalam pondongan lengan pangeran yang kuat itu.
"Houw-ko..., lepaskan dia...!" Tiba-tiba Sin Liong berseru dan berlari mengejar.
Dia tidak ingin melihat kakak angkatnya melakukan hal yang amat jahat itu! Kalau gadis itu mau melayani kakak angkatnya, dia tidak peduli, seperti yang dilihatnya ketika kakak angkatnya dilayani oleh wanita-wanita cantik dalam rumah-rumah pembesar yang mereka lewati dahulu. Akan tetapi, gadis dusun itu meronta sambil menangis, dan dia tidak ingin melihat kakak angkatnya itu menjadi seorang penjahat yang memaksa wanita.
Akan tetapi hanya terdengar suara ketawa dan pangeran itu berlari terus memasuki hutan di mana mereka meninggalkan kuda mereka. Sin Liong mengejar terus, dan pada waktu dia melihat pangeran itu melanjutkan larinya dengan naik kuda sambil memeluk tubuh perawan dusun yang ditelungkupkan melintang di atas punggung kuda, dia pun langsung meloncat ke atas punggung kudanya dan mengejar. Terjadilah kejar-kejaran pada malam hari itu dan Han Houw tertawa-tawa sambil membalapkan kudanya, terus dikejar oleh Sin Liong.
"Houw-ko, lepaskanlah gadis itu. Banyak wanita yang mau dengan suka rela melayanimu, mengapa engkau harus memaksa seorang gadis yang tidak mau?" berkali-kali Sin Liong berteriak dan membujuk.
Melihat ada orang mengejar dan agaknya hendak menolongnya, gadis itu berteriak minta tolong, akan tetapi Han Houw terus melarikannya sambil tertawa-tawa. Agaknya pangeran itu merasa gembira dengan permainan ini dan karena kudanya memang jauh lebih baik dari pada kuda yang ditunggangi Sin Liong, maka adik angkatnya itu belum juga mampu menyusulnya.
Kejar-kejaran itu berlangsung hingga pagi! Tentu saja gadis dusun itu tersiksa bukan main harus menelungkup di atas pangkuan Han Houw sambil terguncang-guncang. Dia sudah setengah pingsan dan tidak mampu berteriak lagi.
Dan kini timbul kemarahan di dalam hati Han Houw. Tadinya dia menganggap bahwa adik angkatnya itu hanya main-main saja, akan tetapi setelah melihat betapa Sin Liong terus mengejar, dia mulai merasa terganggu dan marah. Setelah tiba di lapangan rumput yang terbuka, Han Houw memperlambat larinya kuda yang sudah megap-megap kelelahan itu.
"Houw-ko, berhentilah dahulu, aku mau bicara...!" Terdengar teriakan Sin Liong dari arah belakangnya.
Han Houw menoleh. Melihat adik angkatnya itu sudah mengejar dekat, dia mengerutkan alisnya dan tiba-tiba dia menghentikan kudanya, lalu melemparkan tubuh gadis itu ke atas rumput. Gadis itu mengeluh dan terguling di atas rumput, hanya merintih dan menangis karena seluruh tubuhnya terasa lelah dan sakit-sakit, tidak mampu bangkit.
Han Houw melompat turun dari kudanya. Melihat ini, Sin Liong juga meloncat turun dari atas punggung kudanya dan membiarkan kuda yang sudah kelelahan itu beristirahat. Dua orang kakak beradik angkat itu kini berdiri saling berhadapan, dua pasang mata saling menentang pandang dan saling menyelidik.
"Sin Liong, kalau engkau menghendaki gadis itu, nah, kau ambillah dia! Kalau kau minta baik-baik pun tentu akan kuberikan, tidak perlu kau mengejar-ngejarku semalam suntuk!"
Sin Liong menarik napas panjang. "Houw-ko, maafkanlah aku apabila aku mengganggu kesenanganmu. Akan tetapi engkau tahu bahwa aku mengejar-ngejar sama sekali bukan bermaksud mendapatkan wanita itu, melainkan aku ingin mencegah agar Houw-ko tidak melakukan perbuatan jahat terhadap wanita itu."
"Melakukan perbuatan jahat? Apa maksudmu?" Ceng Han Houw bertanya, suaranya kaku dan sinar matanya memancarkan kemarahan.
Sin Liong memandang tajam. Marahlah dia. Apakah Han Houw hendak mempermainkan dia sehingga masih berpura-pura bertanya lagi padahal sudah jelas betapa pemuda itu melarikan dan hendak memaksa seorang gadis yang tidak mau menuruti kehendaknya?
"Houw-ko, jelas bahwa engkau melarikan gadis itu, hendak memperkosa dan memaksa dia, dan engkau masih bertanya apakah maksudku?" dia berkata dengan suara bernada teguran.
Kini Han Houw memandang dengan sinar mata berapi dan mukanya yang tampan gagah itu menjadi merah sekali, matanya yang lebar itu terbelalak dan dia menggerakkan kedua tangannya bertolak pinggang. "Cia Sin Liong! Kau berani menuduhku demikian? Kau kira aku ini laki-laki macam apa? Sungguh engkau menghinaku, karena itu tidak mungkin aku membiarkan saja penghinaan itu!" Tiba-tiba tubuhnya menerjang ke depan dan pangeran ini sudah menyerang Sin Liong dengan hebatnya!
"Ehhh...!" Sin Liong terkejut bukan main dan cepat dia mengelak kemudian meloncat ke belakang.
Akan tetapi, kini Han Houw sudah melanjutkan serangannya dengan tendangan berantai, tendangan Soan-hong-twi yang bertubi-tubi karena kedua kakinya bergerak seperti angin puyuh, bergantian menyambar dengan amat kuat dan cepatnya.
"Plakk! Plakk!"
Sin Liong mengelak dan terpaksa menangkis sebab bila mengelak terus akan berbahaya. Akan tetapi dia tidak mengerahkan seluruh tenaganya karena sebenarnya dia tidak ingin berkelahi dengan kakak angkatnya ini.
"Houw-ko, jangan...!"
"Sin Liong, apakah engkau akan menjadi pengecut? Sudah berani menghina tidak berani menanggung akibatnya?" bentak Han Houw.
Dia terus menyerang lagi, kini mengerahkan seluruh kepandaiannya karena memang dia ingin menguji adik angkatnya ini. Serangan demi serangan yang amat hebat dilancarkan oleh Han Houw, bahkan pemuda bangsawan ini juga segera mengerahkan sinkang-nya yang membuat tubuhnya kebal, maka Sin Liong terdesak hebat sekali. Saat dia mengelak dan mengatur langkah untuk menghindarkan diri tanpa membalas, tetap saja pundaknya kena sambaran pukulan Han Houw.
"Dessss...!"
Tubuh Sin Liong terguling. Pukulan tadi keras bukan main dan hanya karena ada tenaga Sin-ciang saja maka pundaknya terlindung dan tidak sampai terluka atau patah tulangnya. Namun Sin Liong menderita kenyerian yang membuat dia meringis. Han Houw gembira dapat merobohkan Sin Liong, maka dia lalu menubruknya dengan susulan pukulan yang amat keras.
Dalam keadaan bergulingan itu Sin Liong melihat datangnya pukulan keras, maka dia pun mengerahkan tenaganya dan menangkis dari bawah.
"Dukkk...!"
Tubuh Han Houw terpental sampai dua meter, akan tetapi dia dapat cepat berjungkir balik sehingga tidak sampai terbanting jatuh. Diam-diam Han Houw merasa kagum sekali dan juga penasaran. Pemuda ini semenjak kecil bukan saja digembleng dengan ilmu-ilmu silat tinggi oleh suci-nya dan juga oleh subo-nya, akan tetapi selain ilmu silat juga dia memiliki kepandaian seperti suci-nya, yaitu waspada dan bisa mengenal ilmu-ilmu silat orang lain, mudah menangkap dan mencatat ilmu-ilmu asing.
Maka ketika dia menyerang Sin Liong, dia sudah memasang mata untuk mencatat semua gerakan adik angkatnya itu. Seperti biasa, seperti yang diajarkan oleh suci-nya pula, dia ingin mencuri ilmu silat lawan yang tinggi. Akan tetapi sekali ini dia kecele.
Saat dia menyerang sambil memperhatikan gerakan Sin Liong, adik angkatnya itu hanya mengelak atau menangkis saja, sama sekali tidak mau balas menyerang sehingga dia tidak dapat mengenal perkembangan setiap gerakan. Apa lagi, gerakan Sin Liong terlalu sederhana, seperti bukan gerakan silat lagi, melainkan gerak otomatis melindungi diri dari bahaya.
Memang demikianlah. Makin tinggi dan makin matang ilmu silat yang dimiliki seseorang, makin lenyap pula kembangan-kembangan yang tidak ada gunanya, yang hanya bertugas sebagai hiasan belaka.
Sin Liong yang digembleng oleh orang-orang sakti telah membuat ilmu-ilmu yang tinggi itu mendarah daging dan menjadi satu dengan syaraf tubuhnya sehingga setiap gerakannya, biar tidak sedang berkelahi sekali pun, telah mengandung unsur-unsur melindungi diri ini. Oleh karena itu, begitu dia diserang, dia langsung bergerak tanpa hafalan ilmu silat lagi, melainkan secara otomatis dan gerakannya tidak lagi dibatasi oleh gerak hafalan. Setiap jurus yang dimainkannya hanya keluar intinya saja, yang disesuaikan dan dimanfaatkan dengan datangnya setiap bahaya.
Oleh karena itu, maka Han Houw yang memperhatikan dan ingin mempelajarinya, hanya melihat gerakan sederhana tanpa tahu ujung pangkalnya. Padahal, untuk menghindarkan diri dari semua serangan Han Houw yang sungguh amat berbahaya tadi, Sin Liong telah mempergunakan ilmu silat yang tinggi, di antaranya jurus-jurus dari San-in Kun-hoat dan Thai-kek Sin-kun, dan dia menggerakkan pula hawa sakti dari tubuhnya yang diwarisi dari Kok Beng Lama, yaitu Thian-te Sin-ciang.
Tidaklah aneh bahwa semua serangan Han Houw bisa dihindarkan oleh Sin Liong karena anak itu mempergunakan inti dari ilmu-ilmu yang sangat tinggi itu. Akan tetapi Han Houw menjadi makin penasaran.
"Sin Liong, coba kau sambut serangan pedangku!" Dia telah mencabut pedangnya lantas menyerang.
"Houw-ko... mengapa kau... hendak membunuhku?" Sin Liong berseru kaget, akan tetapi pedang itu sudah meluncur ke arah lehernya.
Tentu saja Sin Liong tidak mau dibunuh begitu saja. Melihat pedang meluncur dengan cepat ke lehernya, dia mulai merasa marah. Bagaimanakah kakak angkatnya ini? Sudah gilakah? Setelah dia mengenal kekuatan kakak angkatnya yang lihai, dia pun tahu bahwa serangan pedang itu tidak boleh dipandang ringan. Maka secara otomatis Sin Liong cepat menggerakkan tangan kanannya dengan mengerahkan Thian-te Sin-ciang yang membuat lengan dan tangannya menjadi kebal, menangkis ke arah pedang lalu mencengkeramnya.
"Plakkk!"
Pedang itu kena dicengkeram dan tangan kirinya lantas menangkap pergelangan tangan Han Houw.
"Ihhhhh...!" Han Houw berseru dan kaget bukan main.
Ia merasa betapa tenaga sinkang-nya memberobot keluar dari lengannya yang terpegang adik angkatnya itu. Maka tahulah dia bahwa Sin Liong telah menggunakan Thi-khi I-beng yang mukjijat, dan dia juga kagum melihat betapa adik angkatnya itu berani menyambut pedang dengan tangan kosong dan memiliki kekebalan yang tak kalah ampuhnya dengan ilmu kekebalan yang dimilikinya sendiri.
Tentu saja Han Houw tidak mau menerima kalah begitu saja. Dalam kekagetannya akibat tenaga sinkang-nya tersedot keluar, tangan kirinya langsung bergerak dan jari-jari tangan itu menusuk ke arah mata Sin Liong! Mata merupakan bagian tubuh yang tentu saja tidak mungkin dibikin kebal, maka serangan ini amat mengejutkan hati Sin Liong yang terpaksa melepaskan pedang dan lengan lawan, lalu melangkah mundur sambil mengelak dengan miringkan kepalanya.
Akan tetapi Han Houw benar-benar hebat. Baru saja pedang dan tangannya terlepas, dia menyusuli tusukan jari tangan ke arah mata tadi dengan tusukan pedang ke arah pusar dan tangan kirinya mencengkeram dengan ganas sambil mengerahkan tenaga sehingga dari telapak tangan kiri itu mengepul uap hitam.
Itulah pukulan beracun sejenis Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang mengeluarkan uap hitam. Baru bau uapnya itu saja telah cukup untuk merobohkan atau membuat pening lawan, apa lagi pukulannya sendiri!
Diserang seperti itu, Sin Liong kembali terkejut dan dia harus mengakui bahwa Han Houw merupakan lawan yang luar biasa lihainya dan kalau dia tidak segera mengeluarkan ilmu simpanannya, jangan-jangan dia akan celaka di tangan kakak angkatnya. Maka dia cepat meloncat ke belakang dan ketika kakaknya mendesak, dia merendahkan tubuhnya, dua tangannya bergerak aneh, mendorong ke depan.
"Eihhh...! Brukkkk!"
Tubuh Han Houw terbanting cukup keras sehingga dia menjadi pening! Dia hanya dapat bangkit duduk dan memejamkan mata sambil mengguncang-guncang kepalanya karena bumi seperti terputar di sekelilingnya.
"Houw-ko, maafkan aku...!" Sin Liong cepat menghampiri.
Han Houw mengangkat muka memandang, kemudian menarik napas panjang. Dia tidak membantah ketika adik angkatnya mengulurkan tangan dan membantunya bangkit berdiri. Disimpannya pedangnya dan dia bertanya dengan pandang mata penuh kagum,
"Liong-te, bukankah pukulanmu yang terakhir tadi merupakan sebuah jurus dari ilmu silat yang diajarkan oleh suhu Bu Beng Hud-couw?"
Sin Liong mengangguk. "Dari kitabnya karena aku belum pernah diajar secara langsung." Sin Liong mengingatkan.
"Ahhh, bukan main! Baru belajar tidak langsung saja sudah begitu hebat. Apa lagi kalau diajar oleh manusia sakti itu sendiri. Ah, aku harus menemuinya dan berguru kepadanya! Liong-te, engkau hebat sekali."
"Maafkan aku, Houw-ko. Akan tetapi mengapakah engkau menyerangku seperti itu?" Sin Liong bertanya, nadanya menegur.
Han Houw memandangnya kemudian tersenyum. "Aku ingin mengujimu saja, adikku. Dan pula, mengapa engkau menghinaku dan menuduhku yang bukan-bukan? Kau menuduhku hendak memaksa dan memperkosa wanita!"
Sin Liong menengok dan melihat gadis itu sudah duduk dengan muka pucat, matanya terbelalak dan kelihatan takut sekali. Semenjak tadi dia tak berani bergerak, hanya duduk dan melihat perkelahian itu.
"Akan tetapi... mengapa engkau melarikan gadis itu?"
Han Houw menoleh ke arah gadis itu dan tersenyum lebar. "Kau kira aku ini orang apa? Aku adalah Pangeran Oguthai, lupakah engkau, adikku? Memperkosa wanita? Ahhh, apa perlunya? Semua wanita akan suka sekali melayaniku, kenapa aku harus memperkosa? Betapa hina dan rendahnya!"
"Tapi... tapi dia itu tidak mau dan berteriak-teriak..." Sin Liong berkata bingung.
"Ha-ha-ha, karena gelap dan karena dia tidak tahu aku siapa! Disangkanya aku sama dengan si laknat Bouw Song Khi yang menculiknya. Kini kau lihat saja, adikku, dan coba buktikan apakah aku memperkosa wanita ataukah tidak?" Setelah berkata demikian, Han Houw lalu mengebut-ngebutkan pakaiannya, memakai kembali topinya yang tadi terjatuh, kemudian dengan langkah lembut dia berjalan menghampiri gadis yang masih duduk di atas rumput.
Melihat pemuda tampan bertopi indah itu menghampirinya, gadis itu memandang dengan mata terbelalak. Baru sekarang dia melihat betapa orang yang semalam melarikannya itu ternyata adalah seorang pemuda yang sedemikian tampan dan gagahnya! Hal ini sama sekali tidak disangkanya, maka dia menjadi terheran-heran, juga hatinya ragu-ragu dan masih takut-takut.
Han Houw tersenyum manis dan memang wajah pangeran ini amat tampan dan sikapnya halus serta gagah. Dia mempergunakan bahasa daerah, dengan lembut dia lalu berkata kepada gadis dusun itu.
"Nona, aku sudah menolongmu dari rumah yang terbakar, membebaskanmu dari tangan penjahat-penjahat kejam, mengapa engkau malah meronta-ronta dan menangis semalam suntuk sehingga saudaraku ini mengira yang bukan-bukan?" Suara itu halus dan dengan muka manis sehingga dara itu kehilangan rasa takutnya.
"Maafkan saya... saya tidak tahu dan menyangka... kawanan penjahat itu yang melarikan saya..."
"Hemm, anak manis. Engkau tidak tahu siapa aku maka kau mengira aku seorang jahat? Coba pandang wajahku dengan teliti. Apakah engkau belum pernah mendengar tentang Pangeran Oguthai?"
Dara itu terbelalak dan memandang wajah pangeran itu dengan takjub. "Pangeran... pangeran..."
"Akulah Pangeran Oguthai, putera Raja Sabutai!"
"Ahhh... ampunkan hamba, pangeran..." Dan gadis dusun itu langsung menjatuhkan diri berlutut sampai hampir menelungkup di atas tanah, di depan kaki pangeran itu.
Han Houw tersenyum dan menoleh ke arah Sin Liong yang hanya memandang dengan penuh perhatian. "Bangunlah, manis. Aku tidak ingin melihat pakaian dan wajahmu yang manis itu kotor oleh tanah. Bangunlah, aku mengampunimu."
Gadis itu bangun tapi masih berlutut, lalu menengadah, wajahnya berseri dan bertambah manis. "Ahhh, terima kasih, pangeran..." Sikapnya berubah sama sekali, kini sama sekali tidak lagi kelihatan takut, bahkan tersenyum manis sekali!
"Manis, engkau cantik dan aku suka padamu. Kalau aku minta padamu agar engkau suka melayaniku, karena aku cinta padamu, apakah engkau akan menolak?"
Wajah yang berseri itu seketika menjadi merah sekali dan wajah itu menunduk kelihatan malu-malu akan tetapi bibirnya tetap tersenyum. Gadis itu menggelengkan kepala karena rasa malu membuat dia sukar untuk menjawab dengan mulut.
"Bagus!" kata Han Houw sambil tertawa dan mengangkat bangun gadis itu.
Pada saat berdiri, ternyata gadis itu hanya setinggi pundaknya. Gadis dusun itu bertubuh ramping padat dan kini wajahnya yang merah itu kelihatan bertambah manis.
"Kini, untuk membuktikan kepada saudaraku bahwa aku tidak memaksamu..." Pangeran itu mendekatkan mulutnya di telinga dara itu dan berbisik-bisik.
Gadis dusun itu menahan ketawa dan mukanya makin tersipu-sipu, matanya melirik ke arah Sin Liong dan akhirnya, tiba-tiba saja dia menahan ketawa dan merangkulkan kedua lengannya ke leher Han How, mencium pipi pangeran itu di depan Sin Liong! Kiranya itulah yang diminta oleh Han Houw kepada dara dusun itu untuk membuktikan kepada Sin Liong bahwa dia tidak perlu memperkosa wanita! Ketika gadis itu menciumnya, Han Houw tertawa dan menoleh ke arah Sin Liong. Ketawanya makin kenas ketika dia melihat Sin Liong membuang muka dan cemberut.
"Ha-ha-ha, adikku yang baik, kau tunggulah di situ sebentar!" kata Han Houw yang masih tertawa gembira lalu pangeran itu memondong tubuh gadis dusun yang masih merangkul lehernya, dibawanya menghilang ke balik semak-semak tak jauh dari tempat itu!
Sin Liong mendengar suara ketawa tertahan kedua orang itu dan dia merasa muak, lalu dijauhinya tempat itu sampai dia tidak mendengar apa-apa lagi. Dia lalu menghempaskan dirinya duduk di atas tanah berumput sambil termenung. Dia mengusir bayangan yang muncul dalam benaknya, bayangan Han Houw dan gadis itu dan dia menggigit bibirnya.
Ceng Han Houw bukan manusia baik-baik! Suara ini terdengar olehnya, seperti dibisikkan oleh hatinya. Memang benar bahwa Han Houw tidak memperkosa gadis itu dengan cara kekerasan, akan tetapi apa bedanya pemerkosaan dengan kekerasan kalau dibandingkan dengan bujukan? Gadis itu memang tidak menyerahkan diri karena paksaan, akan tetapi menyerahkan diri karena silau oleh kedudukan dan ketampanan yang akhirnya toh sama juga!
Dia tahu benar bahwa Han Houw tidak melakukan perbuatan itu karena cintanya kepada gadis yang sama sekali tidak dikenalnya itu, melainkan terdorong oleh nafsu seperti yang sering dilakukannya dengan wanita-wanita muda suguhan dari para pembesar. Ceng Han Houw adalah seorang pemuda mata keranjang, seorang laki-laki yang gila perempuan, hamba dari nafsu birahinya sendiri!
Betapa pun juga sikapnya amat baik kepadanya! Dan penyerangan Han Houw tadi pun hanya untuk menguji kepandaiannya! Dan di dalam dasar hatinya memang terdapat rasa suka kepada pangeran itu. Sin Liong merasa bingung dan penuh keraguan. Haruskah dia melanjutkan pendekatan diri dengan pangeran itu? Ataukah seharusnya dia cepat pergi meninggalkannya?
Kesenangan atau kenikmatan, yakni perasaan menikmati kesenangan, adalah berkah yang dimiliki setiap manusia. Namun, berkah ini berubah menjadi sumber kesengsaraan kalau kesenangan sudah mencengkeram dan memperbudak kita. Suatu peristiwa apa pun dapat mendatangkan suka cita, mendatangkan kebahagiaan pada saat itu juga.
Akan tetapi jika pikiran kita mencatat pengalaman itu, mengingatkan dan menginginkan terulangnya kembali pengalaman penuh nikmat itu, maka suka cita itu berubah menjadi kesenangan yang dikejar-kejar dan setelah kita menjadi pengejar kegenangan, muncullah pelbagai konflik dan terseretlah kita ke dalam kesengsaraan.
Memang selera manusia berbeda-beda, tergantung dari lingkungan hidup dan pendidikan masing-masing. Setiap orang manusia tentu merasa benar dalam pengejarannya masing-masing terhadap sesuatu yang dinamakan cita-cita, yang dianggap benar dan akan dapat mendatangkan kebahagiaan hidup.
Seorang saterawan akan mengejar dan mendewa-dewakan kesusasteraan dan dia akan menganggap bahwa kesusasteraan itulah yang paling berharga dalam kehidupan, yang dianggapnya merupakan satu-satunya sarana menuju kebahagiaan. Seorang ahli silat akan mengejar-ngejar ilmu sliat dan menganggap ilmu silat sebagai satu-satunya hal yang terpenting dalam hidup. Seorang hartawan akan mengejar-ngejar harta dan menganggap bahwa hanya hartalah yang akan dapat membahagiakan kehidupan manusia. Seorang pembesar akan mengejar kedudukan atau nama yang dianggapnya terpenting di dunia ini. Seorang pendeta akan mengejar-ngejar kedamaian batin, dan sebagainya lagi.
Semua pengejaran itu, meski diselimuti dengan nama apa pun, yang rendah atau yang tinggi, yang hina atau yang agung, pada hakekatnya adalah sama saja! Segala sesuatu yang dikejar-kejar dan diinginkan, atau merupakan suatu hal yang dianggap akan bisa mendatangkan kesenangan, baik berupa kesenangan lahir mau pun kesenangan batin yang sesungguhnya sama saja, bagi si pengejar!
Dan karena pandangan setiap orang pengejar terhadap kesenangan itu berbeda-beda, tergantung pada keadaan dirinya yang dibentuk oleh lingkungan dan pendidikan, maka semua pengejaran kesenangan dalam berbagai bentuk itu hanya merupakan perpecahan. Yang dikejar-kejar itu hanya merupakan sebagian saja dari kehidupan, sebagian yang dipentingkan. Oleh karena itu, akhirnya akan mendatangkan kekecewaan karena tanpa yang lain-lain, maka satu yang dikejarnya itu takkan lengkap!
Si pengejar uang, biar pun berhasil menumpuk uang banyak, namun kalau tidak memiliki kesehatan, akan merasa kecewa dan sengsara. Si kaya dan sehat, kalau merasa rendah kedudukannya dan tidak terpandang, akan merasa kecewa juga. Begitulah, pengejaran selalu menimbulkan pengejaran akan suatu yang lain lagi dan tidak akan ada habisnya sebelum kita mati!
Kita akan menjadi hamba dari keinginan ini, selama hidup mengejar-ngejar apa yang kita anggap akan membahagiakan kehidupan kita, seperti mengejar bayangan sendiri yang tidak akan mungkin pernah dapat tertangkap. Pengejaran menunjukkan adanya ketidak puasan, dan hati yang tidak puas, mengejar dan memperoleh apa pun juga akan tetap tidak puas dan akan terus mengejar yang lain, yang dianggap lebih menyenangkan dari pada apa yang telah diperoleh atau dimiliki. Beginilah kenyataannya dalam kehidupan kita sehari-hari.
Oleh karena itu, timbul pertanyaan yang sangat penting bagi kita semua, yaitu: Apakah mungkin bagi kita untuk hidup tanpa mengejar apa pun? Bukan berarti kita lalu tidur pulas atau bermalas-malasan, bukan berarti kita menjadi tidak pedulian, bukan berarti kita putus asa! Sama sekali bukan! Bahkan sebaliknya!
Dengan bebas dari keinginan mengejar kesenangan, kita akan benar-benar hidup! Kita benar-benar waspada akan kehidupan saat demi saat, membuka mata melihat segala sesuatu yang terjadi di dalam kehidupan kita, tidak dibuai oleh khayalan dan bayangan cita-cita yang abstrak. Dan kalau kita sudah tidak ingin apa-apa yang tidak ada, maka barulah kita dapat waspada terhadap apa yang ada!
Sesungguhnya, kebahagiaan hanya terdapat dalam apa yang ada! Dan perhatian terhadap apa yang ada setiap saat ini, tanpa membiarkan diri diseret oleh lingkaran setan berupa kenangan masa lalu dan bayangan atau harapan masa depan, adalah benar-benar hidup yang sesungguhnya. Hidup adalah kenyataan setiap saat ini, bukan kenangan masa lalu, bukan pula bayangan khayal masa depan.
Sekali lagi, dapatkah kita hidup tanpa mengejar kesenangan dalam bentuk apa pun? Apa bila sudah begitu, mungkin akan nampak jelas oleh kita bahwa kebahagiaan terdapat di mana-mana, dalam segala waktu dan keadaan, karena kebahagiaan bukanlah soal di luar diri, melainkan soal batin, dan mungkin mata kita akan dapat melihat keindahan di mana-mana, dalam senyuman seorang manusia lain, dalam pandang mata isteri, suami, anak atau siapa saja, dalam lambaian ujung daun, dalam cahaya matahari, dalam awan berarak, dalam air hujan, dalam apa saja!
"Liong-te, apakah engkau sekarang masih menuduhku pemerkosa dan pemaksa wanita?"
Suara ini mengejutkan Sin Liong yang sedang melamun. Dia bangkit berdiri, membalikkan tubuhnya dan ternyata Ceng Han Houw telah berdiri di situ, wajahnya berseri dan lengan kirinya merangkul leher dan pundak gadis tadi yang sekarang berdiri dengan muka merah dan malu-malu namun matanya juga bersinar-sinar dan berseri penuh kegembiraan.
Sejenak Sin Liong memandang keduanya dengan sinar mata marah. Dia merasa amat jijik terhadap mereka, kemudian dengan bersungut-sungut dia meninggalkan mereka, mencari kudanya.
"Manis, kau pulanglah ke dusunmu. Kelak aku akan datang mencarimu," terdengar Han Houw berkata.
Gadis itu mengeluh, kemudian menangis ingin ikut. Han Houw membentaknya dan gadis itu diam. Dengan sudut matanya Sin Liong melihat betapa mereka berciuman, kemudian gadis itu pergi dengan muka tertunduk. Dan tidak lama kemudian Han Houw juga sudah meloncat ke atas kudanya.
"Ha-ha-ha, Liong-te, jangan murung. Mari kita pergi!"
"Aku akan kembali ke selatan!" Sin Liong berkata, suaranya masih kaku.
"Aku juga akan kembali ke selatan. Ingat, kita hendak mencari suhu Bu Beng Hud-couw bersama-sama. Mari kita pergi ke kota Ceng-lun di tepi Sungai Luan, kemudian di sana aku akan menyuruh orang mengabarkan kepada ayahku bahwa tugas kita sudah selesai dan Jeng-hwa-pang telah kita basmi."
Sin Liong tidak banyak membantah. Hatinya masih terasa panas dan tak enak. Dia masih marah karena urusan gadis dusun tadi. Akan tetapi Han Houw bersikap ramah sekali dan di sepanjang perjalanan dia bicara dengan gembira, menceritakan mengenai daerah yang mereka lewati.
Sebagai seorang putera raja, tentu saja dia banyak mempelajari tentang daerah-daerah di luar tembok besar. Dengan bangga dia menceritakan betapa ayahnya, Raja Sabutai telah menjelajahi seluruh daerah itu dan bahkan pernah menaklukkan hampir semua daerah di luar tembok besar. Karena sikap ramah dan ceritanya menarik, mau tidak mau Sin Liong mendengarkan dengan hati tertarik hingga sikap kakak angkatnya itu sebentar saja sudah menghapus rasa marah dari dalam hatinya.
Pangeran ini memang mata keranjang dan senang bermain gila dengan wanita, pikirnya. Akan tetapi dia melihat pula kenyataan bahwa walau pun pangeran ini mempergunakan kedudukan dan ketampanannya untuk menjatuhkan hati wanita, tetapi si wanita sendirilah yang salah. Dia melihat kenyataan bahwa wanita itu memang lemah, mudah terbujuk dan secara murah saja menyerahkan dirinya. Kalau wanita itu berhati bersih, tidak mungkin mau menyerahkan diri secara sedemikian mudah dan murahnya. Dan dia berjanji dalam hati bahwa bila dia bertemu dengan wanita seperti itu, maka dia akan melindunginya dan kalau perlu dia akan menentang kakak angkatnya!
Beberapa kali Sin Liong menoleh ke arah kakak angkatnya yang menjalankan kudanya perlahan di sampingnya. Dia heran melihat pangeran ini. Sekarang kelihatan begitu baik, begitu ramah, dan seakan-akan pengalaman dengan wanita tadi, perkelahiannya dengan dia, hanya merupakan hal remeh yang boleh dilupakan dalam sekejap mata saja!
"Houw-ko..."
"Ada apakah, Liong-te?" Han Houw menoleh dan tersenyum.
"Siapakah nama perempuan tadi?"
Han Houw terbelalak, senyumnya melebar. "Ahhh...? Mana aku tahu?"
Sin Liong mengerutkan alisnya, keheranannya membesar. "Tidak tahu namanya?" Amat sukar dipercaya bahwa orang yang sudah berhubungan selekat itu masih belum diketahui namanya!
"Ha-ha, Liong-te. Perempuan seperti itu saja, mana pantas kita ingat namanya? Di dunia ini terdapat laksaan perempuan seperti itu, yang menyerah dengan mudah karena bangga melayani kita. Kalau kita harus memperhatikan mereka, wah, kiranya tidak ada apa-apa lagi yang dapat kita pikir karena sudah penuh dengan nama-nama mereka. Ha-ha-ha! Dia tidak ada harganya untuk diingat."
"Tapi... tapi... dia seorang gadis, dan kau... kau sudah... dan kau janjikan dia, kau suruh menanti di dusunnya..."
Kembali pangeran itu tertawa bergelak. "Wah, adikku yang baik. Engkau sungguh hijau, jujur dan masih polos benar-benar! Kalau aku tidak muncul dalam waktu beberapa bulan saja, dia, gadis seperti itu, tentu sudah memperoleh penggantiku. Ehh, Sin Liong, apakah benar-benar engkau tidak suka kepada wanita?"
Sin Liong mengerutkan alisnya, masih terlalu kaget dan terheran mendengar keterangan kakak angkatnya. Pangeran ini menganggap hubungan antara pria dan wanita demikian remehnya! Kemudian pertanyaan terakhir itu mengejutkannya sehingga wajahnya kembali menjadi merah.
"Aku bukannya tidak suka atau suka, akan tetapi jelas aku tak akan melakukan perbuatan seperti yang kau lakukan itu, Houw-ko!" katanya tegas dan dia menyuruh kudanya lari congklang. Han Houw tertawa bergelak dan mengejar.
********************
Kota Ceng-lun adalah sebuah kota di pinggir Sungai Luan yang berada di sebelah utara Peking dan berada di luar tembok besar. Kota ini cukup ramai dan dulu kota ini pernah diduduki oleh pasukan Raja Sabutai, bahkan dijadikan benteng ketika raja ini memimpin pasukannya untuk menyerbu ke dalam tembok besar di selatan. Biar pun kini daerah itu dikepalai oleh pasukan liar dari bangsa Nomad lain yang bersahabat dengan pemerintah Kerajaan Beng-tiauw pada waktu itu, akan tetapi suku bangsa ini pun masih tunduk akan kekuasaan Raja Sabutai yang sangat kuat dan yang merupakan bahaya lebih dekat dan lebih besar bagi suku bangsa itu dari pada bahaya yang datang dari dalam tembok besar.
Inilah sebabnya maka ketika Pangeran Oguthai atau Ceng Han Houw bersama Sin Liong sampai di kota Ceng-lun, para pembesar setempat mengenal pangeran ini, dan dua orang muda itu disambut dengan hormat dan meriah! Apa lagi sesudah Ceng Han Houw dapat membuktikan dirinya sebagai seorang pangeran Kerajaan Beng, dan dapat menunjukkan tanda kekuasaan yang diperolehnya dari Kaisar Beng yang baru, maka semua orang makin menyembah-nyembahnya!
Kembali Sin Liong melihat dengan hati tidak senang betapa kakak angkatnya itu bersikap congkak dan tinggi hati, menganggap fihak tuan rumah, yaitu para pembesar seperti anak buah saja, dan anehnya, yang diperlakukan seperti itu malah terlihat senang dan menjilat-jilat!
Lebih lagi ketika mereka berdua dijamu dengan hidangan yang serba mewah dan dilayani makan minum oleh sekumpulan gadis-gadis cantik. Sin Liong merasa sungkan, malu dan juga muak.
Sejak kecil dia sudah hidup bebas dan seadanya, sederhana, akan tetapi kebebasannya mendatangkan rasa nikmat dan bahagia yang luar biasa. Maka sekarang, keadaan yang mewah serta dikurung kesopanan dan peraturan yang memuakkan hatinya itu, tentu saja dia merasa tidak enak dan tidak senang.
Bagi Sin Liong yang berjiwa bebas, yaitu kebebasan yang diperolehnya karena keadaan hidupnya di waktu kecil, semua peraturan dan sopan santun, semua kebudayaan yang jelas kelihatan amat palsu olehnya itu, tentu saja nampak tidak menyenangkan dan malah merepotkan.
Memang, bila mana kita mau membuka mata dan melihat apa adanya, akan nampak oleh kita betapa kita ini hidup di alam kepalsuan! Sikap kita, senyum kita, ucapan-ucapan kita, semua itu terkendali, semua itu munafik dan palsu, tidak sewajarnya, semua itu demi kesopanan. Apakah sikap yang dibuat-buat itu sopan?
Kalau kita bicara dengan orang lain, terutama kalau kita bicara dengan orang yang lebih tinggi kedudukannya dari pada kita, atau lebih kaya, atau lebih pintar menurut anggapan kita, maka otomatis muncullah kepalsuan kita, senyum kita, pandang mata kita, kata-kata kita, semua itu disesuaikan dalam pertemuan itu sehingga kita menjadi manusia lain, yang berbeda dengan pembantu kita, yang berbeda dengan keluarga kita dan sebagainya!
Sopan santun pura-pura dan palsu! Beginikah kebudayaan kita? Beginikah peradaban kita? Betapa menyedihkan bila hal itu kita namakan kebudayaan, peradaban yang hanya merupakan kepintaran berpura-pura belaka, pandai bermanis selagi perasaan sepahit-pahitnya, pandai menghormat dan bersikap sopan selagi hati menghina dan membenci! Dan kita telah terdidik semenjak kecil untuk berpura-pura seperti itu!
Semenjak kecil kita dijejali pelajaran-pelajaran bagaimana harus bersikap sebagai orang yang sopan, sebagai yang orang berbudaya, terpelajar dan sebagainya! Kita tak pernah diperkenalkan kepada apa yang dinamakan kesopanan itu, dalam arti kata menyelami, mendalami, mengerti dan menghayati, dan bukan sekedar sikap lahiriah yang pura-pura belaka!
Kalau sudah ada rasa hormat dalam batin kita terhadap sesamanya, rasa hormat yang timbul bukan karena pura-pura, bukan karena penjilatan, melainkan rasa hormat yang dengan sendirinya muncul di mana terdapat cinta kasih terhadap sesama, apa bila sudah ada rasa cinta seperti itu di dalam batin kita, maka segala kepura-puraan itu, segala kesopanan hampa, segala kemunafikan, akan sirna dan hubungan antara manusia akan menjadi lain sama sekali!
Kalau segala kepalsuan itu sudah tidak ada, dan bila mana hubungan antara manusia didasari cinta kasih, maka hubungan itu baru benar-benar akan ada! Tetapi sebaliknya, hubungan seperti yang ada sekarang ini, hanyalah hubungan semu belaka, hubungan antara dua gambaran dari aku dan engkau yang keduanya palsu, tidak sewajarnya, tidak seadanya, dan dalam hubungan seperti itu, tentu saja muncul pertentangan-pertentangan.
Saat Han Houw minta kepada pembesar kota Ceng-lung untuk menyampaikan laporannya kepada Raja Sabutai tentang hasilnya membasmi Jeng-hwa-pang, pembesar itu terkejut bukan main, akan tetapi dengan tergopoh-gopoh dia cepat mengutus pasukan kecil untuk menyampaikan berita itu ke utara.
Para pembesar itu baru tahu bahwa dua orang pemuda ini ternyata memiliki kepandaian luar biasa, karena kalau tidak demikian, mana mungkin dua orang itu mampu membasmi perkumpulan Jeng-hwa-pang yang amat ditakuti itu?
Pada malam harinya, kembali dua orang muda itu dijamu secara besar-besaran oleh para pejabat di Ceng-lun. Han Houw nampak gembira bukan main dan minum sampai hampir mabuk. Malam makin larut dan akhirnya para pembesar itu minta diri, meninggalkan dua orang muda itu melanjutkan bersenang-senang dengan dilayani oleh delapan orang gadis cantik manis yang melayani sambil tersenyum-senyum. Karena dipaksa dan dibujuk oleh Han Houw, Sin Liong minum arak agak banyak pula. Meski pun dia tidak sampai mabuk, akan tetapi seluruh tubuhnya terasa panas dan dia mulai pening.
"Houw-ko, aku pun hendak mengaso. Biarlah aku kembali ke kamar lebih dulu dan kalau engkau belum puas, kau lanjutkan sendiri pesta ini," katanya sambil bangkit sendiri.
Han Houw tertawa bergelak dan mengangkat cawan yang penuh arak. "Ha-ha-ha, engkau sudah hendak tidur? Ha-ha-ha! Bagus, bagus, dan selamat Liong-te, selamat bersenang-senang, ha-ha-ha!"
Sin Liong memandang kakak angkatnya dengan alis berkerut, dia tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakaknya itu. Akan tetapi Han Houw hanya tertawa sambil merangkul pinggang salah seorang di antara empat orang gadis cantik yang berpakaian serba merah, maka dia pun mengira bahwa kakak angkatnya itu sudah mabuk.
Dia tersenyum, menggeleng kepala lalu membalikkan tubuhnya meninggalkan ruangan itu untuk pergi ke kamar yang sudah disediakan untuknya. Dia tidak tahu bahwa empat orang yang berpakaian serba hijau saling pandang, tersenyum lalu mereka pun membayanginya dari jauh.
Karena terlalu banyak minum, Sin Liong segera melempar tubuhnya ke atas pembaringan tanpa membuka pakaian atau sepatunya. Kepalanya terasa pening dan tubuhnya panas. Tiba-tiba dia terkejut karena biar pun dia pening dan mengantuk, namun pendengarannya masih tajam sekali sehingga sedikit gerakan di pintu itu cukup membuat dia terkejut dan menoleh.
Dia terbelalak heran ketika melihat empat orang gadis berpakaian serba hijau yang tadi melayaninya makan minum, kini memasuki kamarnya itu dan gadis terakhir menutupkan pintu kamar. Mereka itu tersenyum-senyum memandang kepadanya dengan sikap sangat genit.
"Hee! Mau apa kalian masuk ke sini...?" Sin Liong sudah bangkit duduk lantas menegur dengan gugup.
Empat orang pelayan yang muda dan cantik-cantik itu sangat genit, dan tadi pada waktu melayaninya makan minum sudah membuat dia bingung dan gugup sehingga dia tidak dapat menolak mereka yang ikut-ikut Han Houw membujuknya sehingga dia minum terlalu banyak.
Empat orang itu tertawa cekikikan sesudah mendengar pertanyaan ini, dan mereka lalu mulai menanggalkan pakaian luar mereka! Dengan sikap genit seorang di antara mereka berkata, "Ah, kongcu..., masih bertanya mau apa? Hik-hik, apa pun mau asal kongcu yang menyuruh...! Kami berempat memang ditugaskan untuk melayanimu, kongcu..."
Sepasang mata Sin Liong makin terbelalak ketika dia melihat betapa empat orang wanita itu kini tinggal memakai pakaian dalam yang tipis berwarna hijau muda sehingga terkena sorotan lampu, nampak lekuk lengkung tubuh mereka membayang di balik pakaian dalam yang tipis itu.
"Tidak..., tidak...! Kalian layani saja Houw-ko..."
"Ahh, kongcu tidak usah khawatir. Pangeran sudah ada yang melayani, yaitu empat orang gadis berpakaian merah tadi. Kami bertugas melayanimu, kongcu, dan kami beruntung sekali karena kami merasa lebih senang melayanimu..."
"Ehh, mengapa?" Sin Liong merasa heran mendengar bahwa mereka ini lebih senang melayaninya dari pada melayani Han Houw.
"Hik-hik, karena... semua orang pun dapat melihat bahwa kongcu adalah seorang perjaka tulen..."
Wajah Sin Liong menjadi merah dan jantungnya berdebar kencang ketika melihat empat orang gadis cantik itu dengan langkah memikat maju menghampirinya, lenggang mereka seperti empat orang penari.
"Mari kubantu kongcu menanggalkan pakaian. Hawanya begini panas..."
"Biar kupijit badanmu, kongcu, engkau tentu lelah..."
"Kongcu hendak minum apa?"
"Aku yang akan mengipasimu, kongcu..."
Akan tetapi Sin Liong meloncat menghindarkan mereka. "Aku... aku... mau mencari hawa sejuk..." katanya gagap dan seperti orang takut setan pemuda ini lari keluar dari kamar itu.
Tentu saja empat orang gadis itu melongo, saling pandang lalu tertawa cekikikan. Sikap pemuda itu malah menimbulkan gairah di hati mereka karena jelaslah bahwa pemuda itu belum pernah berdekatan dengan wanita, dan hal ini sangat menarik hati mereka. Sambil tertawa-tawa mereka menyambar pakaian luar mereka, memakainya kembali dan mereka lalu keluar dari kamar, cekikikan dan berlomba untuk mencari pemuda itu.
Tiba-tiba muncullah Han Houw dan dia lalu berbisik-bisik dengan mereka, seperti orang yang mengatur siasat dan disambut oleh empat orang pelayan itu dengan tertawa geli.
Sementara itu, Sin Liong melarikan diri ke dalam taman dengan jantung berdebar tegang. Tubuhnya penuh keringat karena pengalaman tadi membuat dia menjadi sangat tegang. Dia sudah mengenal taman ini siang tadi dan tahu bahwa di situ terdapat sebuah telaga buatan kecil yang airnya jernih. Taman itu sunyi, dan di bagian utara telaga kecil itu amat indahnya.
Malam itu bulan bersinar terang dan cahayanya membuat permukaan air telaga kuning keemasan. Air sedemikian heningnya sehingga bulan bagaikan tenggelam ke dasarnya, tersenyum kepadanya. Ketika Sin Liong berdiri di tepi telaga dan memandang, bulan yang bundar itu membentuk wajah. Wajah yang berubah-ubah, wajah keempat orang pelayan wanita tadi yang kini tersenyum memikat kepadanya.
Dia bergidik, walau pun tubuhnya terasa gerah. Sin Liong mengusir semua bayangan itu dengan duduk di tepi telaga yang sunyi dan menujukan pikirannya kepada pelajaran ilmu yang pernah dilatihnya di bawah bimbingan dan petunjuk Ouwyang Bu Sek. Di antara ilmu yang didapatinya di dalam kitab pemberian guru mereka yang pernah dilihatnya, yaitu Bu Beng Hud-couw, terdapat ilmu semedhi untuk menghimpun tenaga Im-kang dan waktunya tepat sekali pada saat itu.
Ilmu itu harus dilakukan dengan cara merendam diri di dalam air, di bawah sinar bulan purnama. Dan saat itu bulan purnama, dan di depannya terdapat air telaga yang bening dan jernih. Dia akan dapat melakukan ilmu menyedot dan menghimpun hawa Im dengan sebaiknya. Apa lagi dia memang sedang merasa panas, dan latihan itu dapat mengusir gangguan bayangan empat orang wanita tadi yang telah mengejarnya!
Karena taman itu sunyi dan tidak kelihatan ada seorang pun kecuali dirinya, Sin Liong tidak ragu-ragu lagi lalu menanggalkan semua pakaiannya, dan dengan hati-hati dia lalu turun ke dalam air telaga. Air yang sejuk sekali menyambutnya hingga dia merasa segar sekali. Dia terus melangkah ke tengah telaga di mana airnya mencapai perutnya, namun ketika dia duduk bersila, air merendam tubuhnya sampai ke leher.
Mulailah Sin Liong bersemedhi dan mengatur napas menurut pelajaran yang ada di dalam kitab ciptaan Bu Beng Hud-couw dan mulailah dia menghimpun tenaga dari hawa Im yang berlimpahan bersama dengan sinar bulan purnama memenuhi telaga itu!
Dia segera merasakan betapa hawa yang sangat dingin itu meresap ke dalam tubuhnya, bergerak-gerak di dalam pusar karena hawa di dalam tubuhnya segera menolak hawa Im yang amat kuat itu. Namun dengan menurutkan petunjuk pelajaran itu dia tidak menolak, melainkan menghimpun dan menerima.
Mula-mula memang tubuhnya menggigil, akan tetapi makin lama hawa dingin itu semakin berkurang dan dia mulai merasa nyaman sehingga kalau dia tidak waspada, dia dapat tertidur dan akibatnya tentu akan berbahaya sekali baginya.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa cekikikan yang amat mengejutkan hati Sin Liong dan dia terbelalak memandang ke pinggir telaga di mana empat orang pelayan cantik tadi sudah berdiri sambil tertawa-tawa dan mereka itu mulai menanggalkan pakaian mereka dengan cepat! Kini bukan hanya pakaian luar yang mereka tanggalkan, melainkan berikut pakaian dalam pula sehingga mereka itu semua berbugil!
"Aihhh, kongcu mandi mengapa tidak mengajak kami?"
"Mari kugosokkan punggungmu, kongcu."
"Kongcu, kau ajari aku renang, hi-hik!"
Tiga orang sudah terjun, kemudian sambil tertawa-tawa menghampiri dan mengurung Sin Liong, bersiram-siraman air dengan tangan mereka sambil tertawa-tawa. Orang ke empat sudah tergesa-gesa menanggalkan pakaian untuk terjun pula.
Empat orang wanita itu tertawa semakin geli ketika melihat keadaan Sin Liong. Memang lucu sekali keadaan pemuda ini. Dia bengong dan tetap mendekam dalam air, tidak berani bergerak sama sekali! Dia bertelanjang bulat, bagaimana dia berani bergerak? Kalau dia melarikan diri, tentu ketelanjangannya akan terlihat orang! Akan tetapi berdiam saja di situ juga tak mungkin. Empat orang wanita itu telah mendekatinya, bahkan mulai meraba-raba sambil tertawa-tawa.
"Jangan... pergilah kalian... pergilah..." Dia berkata gagap, akan tetapi keempat orang itu semakin geli tertawa-tawa, memperlihatkan dada mereka yang terbuka sambil melakukan gerakan-gerakan memikat di hadapan Sin Liong sehingga pemuda ini memejamkan mata agar tidak melihat semua pemandangan itu.
"Aihh, kongcu, mengapa malu-malu?"
"Malu-malu kucing, hi-hik..."
"Kongcu, berilah cium padaku..."
Sin Liong tidak dapat bertahan lagi. Dia membuka sepasang matanya dan tiba-tiba kedua tangannya bergerak. Air terpercik ke sekelilingnya.
"Aduhhh...!"
"Ahh, mataku..."
Empat orang wanita itu menjerit, cepat menggunakan kedua tangan menutupi muka dan mereka memejamkan mata karena percikan air itu bagaikan jarum-jarum saja menusuki muka mereka! Mereka hanya merasakan air bergerak kuat, kemudian sunyi.
Ketika akhirnya mereka berani membuka mata, ternyata pemuda yang tadi merendam diri bertelanjang di antara mereka itu telah lenyap. Demikian pula tumpukan pakaian pemuda itu di tepi telaga telah lenyap pula!
Dengan kecewa dan juga terheran-heran empat orang gadis cantik itu keluar dari dalam telaga. Muncullah Han Houw dan dengan kecewa pula dia berkata, "Ah, kalian sungguh bodoh! Mengapa kalian tidak memeganginya dan tidak berhasil menundukkannya? Tolol!"
Dan dengan gemas pangeran ini pun pergi dari sana, kembali ke dalam kamarnya. Dia merasa amat penasaran karena belum juga dapat berhasil menggoda adik angkatnya itu. Selama adik angkatnya itu dapat bertahan dan tinggal menjadi seorang perjaka, dia akan selalu merasa salah dan hal ini amat tidak enak baginya. Dia tidak mau kalah, dalam hal apa pun juga.
Dan apa bila dia sudah berhasil menemukan guru adik angkatnya itu, dia pun tidak akan mau kalah dalam hal ilmu silat. Akan tetapi sekarang, dia tidak saja kalah dalam ilmu silat, bahkan kalah pula dalam keteguhan hati mempertahankan kemurnian dirinya. Dia hanya menang dalam kedudukan dan pangeran ini mulai merasa menyesal dan kecewa.
Sementara itu, ketika tadi dia menggunakan akal untuk membuat empat orang wanita itu terpaksa menutupi muka mereka, Sin Liong berhasil melarikan diri tanpa mereka lihat dan pada saat dia melarikan diri, dia melihat Han Houw mengintai dari balik sebatang pohon, tidak jauh dari telaga buatan itu! Hatinya merasa penasaran bukan main karena dia dapat menduga bahwa kembali kakak angkatnya itulah yang tadi berusaha untuk menyeret dan menjatuhkannya dalam pelukan wanita-wanita itu!
Mulailah Sin Liong merasa betapa berbahayanya bila dia melanjutkan perjalanan bersama kakak angkatnya itu. Ada ketidak cocokan dalam banyak hal di antara mereka, meski pun harus diakuinya bahwa dia merasa suka kepada Han Houw dan mengagumi pangeran itu.
Karena dia merasa marah dengan perbuatan Han Houw yang jelas hendak menyeretnya jatuh ke dalam permainan cinta kotor dengan wanita-wanita itu, Sin Liong tidak kembali ke dalam kamarnya, melainkan terus melarikan diri pergi dari kota Ceng-lun. Bahkan kuda tunggangnya tidak diambilnya dan dia melanjutkan perjalanan seorang diri, menggunakan ilmunya berlari cepat melintasi padang pasir dan menyeberangi tembok besar, memasuki daerah selatan. Dia meninggalkan Han Houw begitu saja!
Sin Liong melakukan perjalanan jauh menuju selatan yang harus ditempuh dengan susah payah. Betapa jauh bedanya dengan saat dia melakukan perjalanan bersama Han Houw. Ketika dia melakukan perjalanan bersama pangeran dari selatan, jauh sekali dari selatan, dia dan Han Houw menunggang kuda dan selalu berhenti di setiap kota besar, disambut dengan penuh kehormatan oleh para pembesar, dijamu dengan hidangan-hidangan lezat, dilayani dan diberi tempat penginapan di kamar istimewa yang bersih dan mewah.
Kini, setelah dia meninggalkan Han Houw di Ceng-lun dan melakukan perjalanan dengan jalan kaki ke selatan, dia melakukan perjalanan seorang diri yang luar biasa melelahkan, bahkan sering kali kurang makan sehingga terpaksa dia makan seadanya, malah pernah dia terpaksa minta makan pada keluarga petani yang miskin!
Akhirnya dia tiba di kota raja, tempat yang memang ditujunya. Dia ingin mencari Kim Hong Liu-nio, wanita yang bukan saja telah membunuh ibu kandungnya, akan tetapi juga yang menyebabkan kematian kakeknya.
Akan tetapi, sesudah dia sampai di kota raja, kota yang besar dan ramai itu, mulailah dia merasa bingung. Ke mana dia harus mencari Kim Hong Liu-nio di tempat ramai dan besar ini? Dan mulai pula dia bingung karena tidak tahu bagaimana dia harus mencari makan!
Kalau dia berada di dalam hutan, mudah baginya untuk menangkap binatang hutan atau tetumbuhan untuk dimakan, akan tetapi di kota besar seperti kota raja ini, bagaimana dia bisa mendapatkan makan? Mengemis? Dia tidak sampai hati untuk mengemis makanan. Jalan satu-satunya hanyalah bekerja. Akan tetapi bekerja apakah?
Sin Liong merasa bingung sekali. Sudah dua hari dia tidak makan dan pada pagi hari itu, dia berdiri di depan sebuah restoran yang baru saja membuka pintu pintunya. Dia berdiri di situ karena asap dan uap masakan yang keluar dari rumah makan itu sungguh sangat sedap tercium hidungnya, membuat perutnya terasa makin lapar, hampir tak tertahankan lagi.
Sin Liong adalah seorang laki-laki muda yang berwajah tampan. Pakaiannya pun adalah pakaian yang tadinya sangat indah dan mahal, pemberian dari pembesar-pembesar yang menyambut Han Houw. Biar pun telah beberapa lama pakaian itu tidak dicuci atau diganti, sudah nampak kotor, namun masih mudah dikenal bahwa pakaian itu tadinya merupakan pakaian mahal.
Oleh karena itu, saat melihat pemuda ini berdiri bengong di depan rumah makan, majikan rumah makan itu menjadi amat tertarik. Dia memandang penuh perhatian dan keheranan. Kalau pemuda itu seorang kongcu, tentu sudah masuk restoran dan memesan makanan untuk sarapan pagi, akan tetapi kalau seorang tuan muda, biar pakaian dan sepatunya menunjukkan demikian, pakaian itu sudah terlalu kotor. Sebaliknya, kalau pengemis, tidak pantas pula. Wajah dan pakaian pemuda itu, juga sikapnya, sama sekali tidak memberi tanda bahwa pemuda itu seorang pengemis.
"Engkau... ada apakah berdiri di situ, orang muda?" Akhirnya majikan rumah makan itu berdiri di depan pintunya dan bertanya.
Ditegur orang, Sin Liong gelagapan dan dia menelan ludahnya, "Ah, aku... lapar sekali..."
Hemm, bukan pengemis, pikir majikan rumah makan itu. Kalau pengemis tentu dia sudah minta-minta.
"Kalau lapar, boleh membeli makanan," pancingnya.
Sin Liong makin gelisah. "Aku... aku tidak punya uang..."
Majikan rumah makan itu mengerutkan alisnya lantas memandang dengan teliti dari atas sampai ke bawah. "Lalu dengan apa engkau akan membayar makanan kalau tidak punya uang?"
Pertanyaan ini seolah-olah membuka kesempatan bagi Sin Liong. "Lopek, kalau engkau sudi memberi makanan kepadaku, aku dapat membayarnya dengan tenagaku. Aku mau bekerja apa saja untukmu!"
Majikan rumah makan itu mengelus jenggotnya yang jarang dan pendek. Hemmm, orang muda ini tidak kelihatan jahat, sikapnya halus dan tubuhnya kelihatan kuat.
"Kau mau menjadi pelayan?"
"Aku mau!"
"Apakah engkau bisa?"
"Aku dapat mempelajarinya."
"Siapa namamu, orang muda?"
"Namaku... panggil saja A-sin!"
"Di mana rumahmu?"
"Lopek, harap percaya padaku, aku bukan orang jahat. Akan tetapi aku tak punya rumah, dan aku pun tidak mau mengemis. Aku ingin bekerja untuk mendapatkan makan."
Sikap tegas dan gagah ini segera menarik hati majikan rumah makan itu. "Sudah berapa hari engkau tidak makan?"
"Sudah dua hari dua malam, dan aku telah melakukan perjalanan jauh sekali."
"Masuklah!"
Sin Liong segera masuk dan majikan rumah makan itu dengan penuh perhatian memberi hidangan bubur panas kepadanya. Sin Liong makan dengan lahapnya dan sebentar saja sudah menghabiskan bubur empat mangkok besar! Sesudah selesai makan, pemuda ini lalu bangkit berdiri, menjura kepada pemilik rumah makan sambil berkata lantang, "Lopek yang baik. Terima kasih atas kebaikanmu, dan sekarang aku mau bekerja untukmu!"
Mulailah Sin Liong bekerja di rumah makan itu. Mula-mula dia disuruh membantu tukang masak, mengambil air, membelah kayu, mencuci mangkok piring dan sebagainya. Karena pemuda itu sangat rajin dan pandai membawa diri, dia disuka dan sebentar saja majikan memberi kepercayaan kepadanya untuk menjadi pelayan.
Wajahnya yang tampan serta usianya yang masih muda itu dianggap memenuhi syarat untuk menjadi pelayan yang baik dan menyenangkan tamu, dan pekerjaan ini memang amat menyenangkan hati Sin Liong karena membuka kesempatan baginya untuk bertemu dengan macam-macam orang sehingga dari percakapan para tamu dia dapat mengetahui keadaan di luar, dan bahkan dari para tamu yang terdiri dari orang-orang kang-ouw dia mendapat kesempatan untuk mendengar banyak mengenai dunia persilatan sehingga dia dapat melakukan penyelidikan mengenai musuh besarnya.
Hingga berbulan-bulan lamanya Sin Liong bekerja sebagai seorang pelayan restoran, dan selama itu pula dia tidak pernah lalai untuk selalu melatih ilmu-ilmunya, bahkan dia makin memperdalam ilmu-ilmu aneh yang dahulu dipelajarinya dari kitab-kitab ciptaan Bu Beng Hud-couw. Namun tidak ada seorang pun tahu akan keadaan dirinya ini karena Sin Liong amat pandai menyembunyikan semua kepandaiannya itu. Dia selalu menjauhkan diri dari masalah yang menimbulkan pertentangan atau keributan. Dia selalu mengalah sehingga tidak ada orang pernah memusuhinya.
Ketika melayani para tamu yang datang makan di restoran itu, Sin Liong selalu waspada sehingga dia tidak pernah melewatkan percakapan di antara tamu yang penting. Dengan kepandaiannya yang tinggi, dia dapat mempergunakan ketajaman pendengarannya untuk menangkap semua percakapan, meski pun yang dilakukan oleh tamu yang duduk di ujung restoran dan jauh dari tempat dia berdiri sekali pun.
Dengan jalan inilah dia mendengar pula mengenai tokoh-tokoh kang-ouw yang berada di kota raja dan sekitarnya. Bahkan dengan hati kaget dia mendengar pula betapa keluarga mendiang kakeknya di Cin-ling-pai, yaitu Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong telah dicap sebagai pemberontak-pemberontak buruan pemerintah!
Berita ini membuatnya termenung sejenak. Betapa pun juga, seorang di antara mereka, yaitu Cia Bun Houw, adalah ayah kandungnya! Cerita tentang peristiwa itu selalu masuk dalam benaknya sungguh pun dia sudah selalu mengusirnya dengan ingatan bahwa ayah kandungnya itu adalah orang yang tidak baik, yang telah menyia-nyiakan ibu kandungnya sehingga dia terlahir tanpa ayah dan semenjak lahir tidak pernah ditengok ayahnya!
Pada suatu pagi, rumah makan itu ramai dikunjungi tamu. Hari itu kebetulan jatuh pada Pek-gwe Cap-go (tanggal lima belas bulan delapan), yaitu merupakan salah satu di antara hari-hari besar di Tiongkok, karena pada tanggal itu orang-orang melakukan sembahyang Tiong-ciu.
Seperti biasa, pada hari besar itu banyak penduduk dari luar kota raja berduyun-duyun datang ke kota raja, ada yang hanya berpesiar, akan tetapi sebagian besar untuk membeli kue-kue tiong-cu-pia yang lezat dan juga untuk berbelanja segala macam barang yang tidak bisa mereka dapatkan di dusun-dusun. Restoran di mana Sin Liong bekerja penuh dengan tamu sehingga semua pelayan menjadi sibuk, bahkan majikan rumah makan itu sendiri turut pula menyambut tamu di pintu depan dengan wajah berseri gembira karena keramaian itu seolah meramalkan bahwa hari itu akan memperoleh keuntungan yang tak sedikit.
Empat orang tamu baru saja memasuki rumah makan itu. Mereka ini terdiri dari dua orang pemuda dan dua orang gadis, Melihat empat orang muda yang dari pakaiannya saja telah menunjukkan bahwa mereka orang-orang kaya itu berdiri termangu-mangu dan ragu-ragu karena restoran itu amat penuhnya, majikan restoran itu cepat-cepat menyambut mereka dengan senyum ramah.
"Silakan masuk, ji-wi siocia dan ji-wi kongcu, di sebelah dalam masih ada tempat duduk yang kosong. A-sin...! Lekas kau sambut tamu-tamu kita ini!" teriaknya kepada Sin Liong yang cepat berjalan keluar untuk menyambut tamu-tamu itu seperti yang diteriakkan oleh majikannya.
Begitu melihat empat orang tamu itu, wajah Sin Liong berubah dan jantungnya berdegup tegang. Cepat dia membungkuk-bungkuk untuk menyembunyikan wajahnya kemudian dia mempersilakan mereka masuk karena di sudut sebelah dalam memang masih ada meja yang kosong, baru saja ditinggalkan tamu lain dan sudah dibersihkannya.
Dia segera mengenal dua orang gadis itu. Andai kata dia salah mengenal dua orang gadis itu dan salah seorang di antara pemudanya, akan tetapi tak mungkin dia salah mengenal pemuda ke dua itu.
Pemuda itu sudah pasti adalah Beng Sin! Wajahnya yang bulat, tubuhnya yang gendut, mulut yang seperti selalu tersenyum dan mata yang lucu itu! Siapa lagi kalau bukan si gendut Beng Sin, seorang di antara keponakan Kui Hok Boan, ayah tirinya?
Dan dua orang gadis itu, yang sukar dibedakan satu antara yang lain, tentulah si kembar Lan Lan dan Lin Lin, adik-adik tirinya! Ada pun pemuda tampan gagah itu siapa lagi kalau bukan Siong Bu? Masih nampak pesolek, angkuh dan gagah saja pemuda itu! Dan Lan Lan berdua Lin Lin, kini telah menjadi dara-dara remaja yang cantik manis.
Selanjutnya,