Pendekar Lembah Naga Jilid 29
GADIS yang baru berusia dua belas tahun itu mengangkat mukanya dan kini nampak mukanya agak pucat dan kedua matanya basah. Akan tetapi suaranya cukup tegas ketika terdengar dia berkata, "Susiok sekalian agaknya hanya mengingat keluarga sepihak saja, mengingat akan pesan dari suhu, yaitu ayah dari suheng. Agaknya sama sekali susiok sekalian tidak pernah mau mengingat keluargaku, tak mengingat orang tuaku sendiri sehingga aku diharuskan untuk memutuskan sendiri tentang perjodohanku."
Louw Kiat Hui terkejut sekali. Kembali dia saling berpandangan dengan teman-temannya, kemudian dia berkata dengan suara lembut, "Ahh, Bi Cu, janganlah engkau beranggapan seperti itu. Andai kata kami tahu bahwa engkau masih mempunyai orang tua, sudah tentu kami tidak akan berani lancang dan tentu kami akan minta pendapat orang tuamu. Akan tetapi, kita semua tahu bahwa ibumu telah tiada, sedangkan ayahmu..."
"Ayah dibunuh orang dan hingga sekarang aku belum tahu di mana kuburnya! Pantaskah aku sebagai anak tunggalnya kini memutuskan sendiri perjodohanku tanpa mempedulikan keadaan ayah? Tidak, susiok, sebelum aku tahu siapa pembunuh ayah, dan sebelum aku dapat bersembahyang di depan makam ayah kandungku, maka tidak mungkin aku bisa memutuskan tentang ikatan jodoh ini." Setelah berkata demikian, sambil menangis Bi Cu bangkit berdiri kemudian berlari memasuki kamarnya di mana dia langsung membanting dirinya menelungkup dan menangis di atas pembaringan.
"Sudahlah, susiok. Bi Cu memang benar, dan kita kurang memperhatikan hal itu. Biarlah pertunangan resmi diundurkan dulu, bagaimana pun juga kami toh sudah dapat dibilang bertunangan, biar pun belum resmi. Dan sebaiknya kalau susiok sekalian mencoba untuk menyelidiki tentang kematian ayah kandung sumoi di utara," kata Tiong Pek yang merasa terharu juga melihat sikap Bi Cu yang dicintanya.
Akan tetapi, para piauwsu yang sibuk dengan pekerjaan itu, mana memiliki kesempatan untuk dapat menyelidiki tentang kematian ayah Bi Cu jauh di utara, di luar tembok besar? Memang mereka ini sekali-kali pernah juga mengawal barang atau orang sampai keluar tembok besar, akan tetapi tidak sejauh tempat yang pernah menjadi tempat tinggal Bhe Coan, ayah kandung dari Bhe Bi Cu itu. Dan kalau mendiang Na-piauwsu sendiri pernah menyelidiki ke sana dan tidak berhasil mengetahui siapa pembunuh Bhe Coan, apa pula yang bisa mereka lakukan?
Sesudah terjadi peristiwa itu, Bi Cu merasa semakin gelisah dan tidak kerasan berada di rumah Tiong Pek. Dia merasa betapa dia sudah berhutang budi terhadap keluarga Na, betapa pemuda itu memang sangat baik kepadanya. Inilah yang menyebabkan dia makin gelisah. Tiong Pek amat baik kepadanya dan dia tidak ingin menghancurkan hati pemuda itu, akan tetapi dia pun tidak mungkin dapat membalas cinta Tiong Pek.
Setiap hari Bi Cu termenung duka, apa lagi setelah lewat berbulan-bulan, belum juga ada berita tentang hasil usaha Louw Kiat Hui beserta para paman lainnya yang mencari atau menyelidiki tentang pembunuh ayahnya. Sementara itu, sikap Tiong Pek makin hari makin mendesak dan semakin mesra, pandangan mata pemuda itu seperti hendak menembus hatinya dan senyum yang merayu itu mendatangkan rasa iba dalam hatinya.
Akhirnya Bi Cu tidak kuat menahan lagi dan pada suatu malam, dengan bekal beberapa potong pakaian, maka larilah dia meninggalkan rumah Tiong Pek untuk pergi ke utara dan melakukan penyelidikan sendiri!
Pada keesokan harinya, Tiong Pek bersama para tokoh Ui-eng Piauwkiok menjadi geger melihat kepergian Bi Cu yang tak meninggalkan pesan apa pun. Mereka menjadi bingung dan segera melakukan pengejaran ke utara karena mereka dapat menduga bahwa tentu dara cilik itu nekat pergi ke utara untuk menyelidiki tentang pembunuh ayah kandungnya.
Dugaan semua tokoh Ui-eng Piauwkiok itu ternyata tepat. Setelah melakukan pengejaran selama sehari penuh, akhirnya pada malam harinya Louw Kiat Hui beserta empat orang temannya, juga bersama Tiong Pek sendiri, telah dapat menyusul Bi Cu yang beristirahat di rumah seorang petani di dusun sebelah selatan kota raja. Mudah saja mencari jejak seorang gadis kecil yang melakukan perjalanan seorang diri pada waktu itu. Bi Cu terkejut dan menangis ketika lima orang pamannya itu bersama Tiong Pek muncul.
"Marilah kita pulang ke Kun-ting, Bi Cu," Louw Kiat Hui berkata dengan sikap halus tanpa banyak kata-kata teguran.
"Tidak, aku tidak mau...!" Bi Cu menangis. "Aku hendak pergi mencari pembunuh ayah. Tinggalkan aku sendiri!"
Tiong Pek menghampiri Bi Cu kemudian memegangi tangannya. "Sumoi, kenapa engkau hendak meninggalkan aku? Apakah kesalahanku kepadamu?"
"Tidak, suheng, engkau tak bersalah, kalian semua tidak bersalah. Akulah yang bersalah, akan tetapi... biarkan aku pergi, biarkan aku mencari sendiri pembunuh ayahku, jangan memaksa aku kembali ke Kun-ting."
Louw Kiat Hui memandang gadis yang menangis terisak-isak itu. "Bi Cu, engkau harus ikut kami kembali ke Kun-ting dan marilah di sana kita bicara."
Mendengar ucapan Louw Kiat Hui agak mendesak karena orang tinggi besar ini memang sudah tidak sabar lagi melihat Bi Cu menangis dan memang diam-diam dia pun merasa amat penasaran dan marah melihat gadis kecil itu nekat melarikan diri tanpa pamit, Bi Cu mengangkat mukanya memandang.
"Louw-susiok, mengapa susiok hendak memaksa aku kembali ke sana? Aku tidak mau kembali! Apakah susiok demikian jahat...?"
Louw Kiat Hui memandang tajam kepada murid keponakan itu. "Bi Cu!" Sekarang suaranya terdengar tegas dan menunjukkan kemarahan, "Omongan apa yang kau keluarkan ini? Kalau kami membiarkan engkau pergi, melakukan perjalanan berbahaya seorang diri sehingga akhirnya engkau mendapat celaka, maka barulah kami benar-benar jahat! Sebaliknya, kalau engkau memaksa hendak pergi minggat begitu saja meninggalkan rumah di mana engkau dibesarkan dan dirawat penuh kasih sayang, maka engkau adalah seorang anak yang tak mengenal budi dan jahat!"
Bi Cu adalah seorang anak yang wataknya pendiam dan keras. Mendengar ucapan itu dia lalu membantah, "Dan kalau aku akan dipaksa menikah hanya untuk membalas budi, apa itu namanya, paman?"
Sejenak Louw Kiat Hui terperanjat, akan tetapi dia lalu berkata, kembali suaranya halus, "Sudahlah. Mari kita semua pulang dulu ke Kun-ting dan segala sesuatu bisa dibicarakan dengan tenang di sana."
Louw Kiat Hui lalu mengeluarkan uang dan membayar secukupnya kepada pemilik rumah dusun itu yang telah mau menampung Bi Cu, kemudian dengan memaksa dia mengajak Bi Cu untuk kembali ke Kun-ting malam itu juga! Tindakan Louw Kiat Hui ini dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa dia telah melakukan hal yang benar.
Dia harus melindungi keselamatan Bi Cu, kalau perlu dengan paksaan. Dia tahu bahwa kalau dia membiarkan Bi Cu melanjutkan perjalanan seorang diri, sudah pasti gadis kecil ini akan mengalami mala petaka di tengah jalan. Ilmu silat yang dikuasai gadis itu masih terlampau rendah untuk dapat dipakai menjaga diri.
Karena lelah, maka akhirnya di tengah perjalanan mereka bermalam di sebuah kuil. Kuil itu adalah kuil milik seorang tosu yang merawat kuil bersama beberapa orang muridnya. Dengan ramah tosu-tosu itu menerima kedatangan Louw Kiat Hui yang terkenal sebagai seorang piauwsu yang budiman, dan mereka semua mendapatkan kamar.
Untuk mencegah gadis itu nekat melarikan diri lagi, maka Louw Kiat Hui sendiri bersama empat orang pembantunya menjaga di luar, tidur bergiliran, sedangkan Tiong Pek yang kelelahan sudah lebih dulu tidur di atas sebuah pembaringan di kamar sebelah.
Malam itu sunyi sekali. Semua penghuni dusun di mana kuil itu berdiri sudah tidur karena waktu itu menjelang tengah malam. Para tosu dan sebagian dari para piauwsu juga sudah tidur nyenyak. Hanya Louw Kiat Hui sendiri bersama seorang piauwsu lain yang bergilir melakukan penjagaan masih duduk di depan kamar Bi Cu. Di sebelah dalam kamar itu, Bi Cu sendiri juga tidak dapat tidur, masih menangis perlahan karena merasa tidak berdaya. Dia diharuskan kembali lagi ke rumah itu!
Tiba-tiba kesunyian malam itu terganggu oleh suara batuk-batuk kecil, kemudian disusul menyambarnya sebuah batu kecil yang dengan tepat mengenai lampu yang tergantung di luar kamar Bi Cu. Tentu saja tempat itu seketika menjadi gelap dan Louw Kiat Hui cepat meloncat berdiri, diikuti oleh piauwsu lainnya.
"Siapa di situ?" bentak Louw Kiat Hui yang sudah mencabut pedangnya, lalu dia meloncat ke arah suara batuk tadi.
Akan tetapi pada saat itu dia merasa ada angin menyambar dan ada orang berkelebat di dekatnya. Nampak bayangan remang-remang karena cuaca yang gelap dan yang hanya mendapat penerangan dari lampu yang tergantung agak jauh dari situ. Akan tetapi dapat dibayangkan alangkah kaget hati orang she Louw ini ketika melihat betapa bayangan itu telah mendorong daun pintu dan memasuki kamar Bi Cu!
"Heiii... tahan...!" Dia meloncat ke kamar, akan tetapi cepat menghindar ketika dari dalam kamar itu meloncat bayangan tadi, kini sudah mengempit tubuh Bi Cu!
"Lepaskan dia!" bentak piauwsu yang lain sambil menubruk dengan goloknya.
"Plakk! Tranggg...!" Piauwsu itu roboh dan goloknya terlempar.
"Berhenti! Siapa engkau berani menculik orang?!" teriak Louw Kiat Hui sambil mengejar.
Bayangan itu membalik dan Louw Kiat Hui yang tidak dapat melihat jelas muka orang itu karena cuaca yang terlampau gelap, sudah mendorong dengan tangan kirinya. Dia tidak berani lancang mempergunakan pedangnya. Akan tetapi bayangan itu tidak mengelak, melainkan menangkis dorongan itu dengan satu gerakan sembarangan.
"Plakkk!"
"Ahhhh...!" Louw Kiat Hui terhuyung dan merasa betapa tangkisan itu membuat lengan kirinya seperti lumpuh rasanya. Maklumlah dia bahwa dia menghadapi lawan tangguh, maka dia sudah menubruk lagi dengan pedangnya, membabatkan pedang ke arah kedua kaki lawan, dilanjutkan dengan tusukan ke arah lambung.
Akan tetapi dengan lincah dan mudahnya bayangan itu mengelak terus hingga lima jurus. Kemudian dia membentak dan sebatang tongkat menangkis pedang itu sedemikian kuat hingga pedang terlepas dari tangan Kiat Hui dan sebelum piauwsu ini mampu mengelak, dia sudah roboh tertotok.
Para piauwsu lainnya terbangun akibat suara gaduh. Akan tetapi selagi mereka hendak mengeroyok, bayangan itu sudah meloncat ke atas dan lenyap ditelan kegelapan malam sambil membawa pergi tubuh Bi Cu!
Gegerlah para piauwsu. Setelah Louw Kiat Hui dibebaskan totokannya, dia bersama para piauwsu lainnya mengejar dan mencari-cari, tapi mereka tidak berhasil menemukan jejak bayangan tadi. Mereka menanyakan kepada para tosu, namun para tosu yang lemah itu pun tidak dapat memberi keterangan.
Louw Kiat Hui dengan teman-temannya lalu mencari terus, sampai beberapa hari mereka mencari di sekitar tempat itu, akan tetapi jangankan menemukan jejak orang itu, bahkan keterangan tentang orang itu pun tak bisa mereka dapatkan. Mereka tidak tahu siapakah bayangan yang sedemikian lihainya, bayangan yang mempergunakan tongkat!
Louw Kiat Hui menghibur Tiong Pek yang merasa berduka dan khawatir sekali. Mereka terpaksa lalu kembali ke Kun-ting dengan tangan kosong dan meski pun para piauwsu itu masih selalu mencari-cari, namun mereka tidak pernah berhasil dan Bi Cu tetap lenyap tanpa meninggalkan jejak.
Siapakah yang menculik Bi Cu? Mari kita ikuti pengalaman dara cilik ini semenjak malam dia lenyap dari kuil itu. Pada saat itu, Bi Cu masih menangis perlahan ketika tiba-tiba dia mendengar suara gaduh lantas pintu kamarnya jebol. Dia hanya melihat bayangan orang menyerbu masuk dan sebelum dia tahu apa yang sudah terjadi, bayangan orang itu telah meloncat ke depan pembaringannya dan berkata,
"Mari kau ikut bersamaku melarikan diri dari mereka, anak yang baik."
Bayangan itu lalu menyambar tubuhnya dan Bi Cu tak mampu bergerak lagi. Dia merasa bingung harus berbuat apa, menyerah atau melawan. Apa bila menyerah, dia belum tahu siapa adanya orang ini, kalau melawan, dia merasa tertarik oleh kata-kata yang sifatnya hendak menolongnya membebaskan diri dari Tiong Pek dan para piauwsu itu. Lebih lagi ketika orang yang membawanya itu kemudian bertanding, dia merasa makin bingung dan khawatir.
Namun ketika dia dibawa pergi dengan berloncatan demikian cepatnya ke atas genteng, maka tahulah Bi Cu bahwa pembawanya adalah seorang yang berilmu tinggi. Apa lagi kini dia sempat melihat orang itu, seorang kakek tua yang berpakaian aneh, bajunya penuh tambalan layaknya baju pengemis, namun tambalan-tambalan itu berkembang-kembang, tubuhnya pendek kurus dan mukanya seperti tikus!
Sesudah terbebas dari pengejaran para piauwsu, kakek itu menurunkan tubuh Bi Cu dan memegang tangannya, menggandengnya dan mengajaknya berjalan kaki menuju ke kota raja.
"Nah, engkau kini sudah terbebas dari mereka, anak baik. Aku melihatmu dibawa mereka dan engkau menangis di sepanjang jalan, maka aku segera tahu bahwa engkau tak suka mereka bawa dan ingin bebas. Siapakah namamu dan mengapa engkau mereka paksa untuk ikut dengan mereka?"
Mendengar keterangan kakek ini, Bi Cu lalu menceritakan keadaan dirinya. "Aku hendak mencari pembunuh ayah kandungku, akan tetapi mereka melarangku, oleh karena itu aku berduka dan menangis, kek." Dia menutup penuturannya.
Kakek itu tersenyum. "Ha-ha-ha-ha, engkau sungguh keras hati dan berbakti. Akan tetapi engkau hanya seorang anak perempuan yang lemah, mana mungkin sendirian saja pergi ke tempat begitu jauh, di luar tembok besar mencari seorang musuh pembunuh ayahmu? Bagaimana kalau engkau belajar ilmu silat dahulu dariku, kemudian setelah pandai baru engkau pergi mencari musuhmu?"
Bi Cu tadi sudah menyaksikan kelihaian kakek ini, maka dia menjadi girang dan segera menjatuhkan diri berlutut. "Terima kasih atas perhatian suhu terhadap diri teecu!" katanya.
Kakek itu tertawa girang dan segera mengangkatnya bangun. "Ketahuilah, bahwa gurumu ini dinamakan orang Hwa-i Sin-kai dan aku pemimpin seluruh pengemis Hwa-i Kaipang untuk daerah kota raja dan sekelilingnya. Engkau boleh menjadi muridku, akan tetapi Hwa-i Kaipang memiliki suatu peraturan yang melarang menerima anggota wanita. Oleh karena itu, biar pun engkau ini muridku, namun engkau tidak boleh menjadi anggota perkumpulan Hwa-i Kaipang. Mengertikah engkau, Bi Cu?"
"Teecu mengerti, dan pula, teecu memang tidak ingin menjadi pengemis!"
Hwa-i Sin-kai tertawa lagi. "Dan mulai saat ini juga engkau tidak boleh memperkenalkan namamu, karena para piauwsu dari Ui-eng Piauwkiok itu tentu akan mencarimu. Maka kalau sampai ada orang yang mengenal namamu, tentu akan mudah bagi mereka untuk menemukanmu dan aku merasa tidak enak kalau harus bentrok dengan mereka. Mereka terkenal sebagai piauwsu-piauwsu yang baik. Tadi pun untuk menolongmu, aku terpaksa harus menggunakan kecepatan agar tidak sampai dikenal oleh mereka."
"Kalau tidak memakai nama teecu, habis lalu memakai nama apa, suhu?"
"Sudah kuperhatikan dirimu. Matamu amat tajam dan indah, merupakan ciri khas bagimu, maka sepatutnya kalau engkau memakai julukan Kim-gan (Si Mata Emas) dan mengingat engkau seorang anak perempuan kecil hidup sendirian di dunia ini dan sesudah menjadi muridku engkau kelak tentunya akan memiliki kegesitan, maka biarlah engkau tambahkan julukan Yan-cu (Burung Walet). Jadi mulai sekarang kalau kau terpaksa memperkenalkan nama, maka pakailah nama Kim-gan Yan-cu."
Mulai saat itu, Bi Cu menjadi murid Hwa-i Sin-kai, diajak pergi ke dalam hutan di sebelah utara kota raja, tinggal di dalam kuil tua dan di situ dia digembleng ilmu oleh kakek yang lihai itu. Dan mulai saat itu pula dia dikenal di antara para anggota Hwa-i Kaipang sebagai Kim-gan Yan-cu, murid dari ketua mereka.
Biar pun Bi Cu tidak menjadi anggota Hwa-i Kaipang, akan tetapi dia dikenal oleh semua anggota dan disuka oleh para anggota muda, apa lagi karena dia dikagumi sebagai murid sang ketua dan memang Bi Cu amat berbakat sehingga ilmu silatnya maju secara pesat. Dan karena pergaulan inilah maka sedikit demi sedikit sifat pendiam Bi Cu mulai berubah, menjadi lincah, gembira dan juga cekatan dan cerdas sekali.
Demikianlah riwayat Bi Cu seperti yang diceritakannya kepada Sin Liong dan didengarkan dengan penuh perhatian oleh pemuda remaja itu.
"Menurut ceritamu tadi, engkau tidak boleh menjadi anggota perkumpulan pengemis itu, akan tetapi mengapa engkau kini malah menjadi pemimpin para pengemis muda di pasar itu, Bi Cu?" Sin Liong menegur setelah dara itu selesai bercerita.
"Karena terpaksa. Hal ini terjadi setelah Hwa-i Kaipang bubar!"
"Ehhh?! Bubar? Mengapa?"
"Karena dituduh pemberontak oleh pemerintah dan semenjak suhu tewas."
"Suhu-mu, kakek pangcu yang lihai itu tewas? Siapa yang membunuhnya?"
"Dikeroyok oleh pasukan pemerintah. Saat itu suhu sedang menghadiri pesta pernikahan keluarga pendekar sakti Yap Kun Liong, dan entah mengapa aku sendiri tidak tahu, pesta itu diserbu oleh pasukan tentara, dan suhu tewas dalam serbuan itu oleh pengeroyokan pasukan, sedang para pendekar Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw bersama isteri mereka kabarnya ditangkap pasukan."
"Ahhh...?" Tentu saja Sin Liong terkejut bukan main mendengar berita penangkapan atas diri ayah kandungnya itu.
"Akan tetapi menurut kabar, mereka berempat itu berhasil meloloskan diri lagi dan kini menjadi buronan pemerintah. Pemerintah memang sangat sewenang-wenang, masa suhu dan para pendekar sakti itu dianggap pemberontak! Terpaksa Hwa-i Kaipang bubar dan karena tidak puas dengan kelaliman pemerintah, maka aku lalu memimpin para pengemis muda itu yang sebagian besar merupakan keturunan para anggota Hwa-i Kaipang, untuk sekedar mengacau pemerintah! Dan itu pula sebabnya maka ketika pasukan mengejarmu dan menuduhmu sebagai pemberontak buronan, kami menolongmu mati-matian."
Sin Liong menarik napas panjang. Ternyata dara remaja ini pun mengalami hal-hal yang sangat pahit. Akan tetapi dia mengusir semua itu dari kenangannya dan dia tersenyum memandang wajah yang manis itu. "Aih, kiranya engkau sekarang telah menjadi seorang pendekar wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi!"
"Tidak berani aku menganggap diri begitu, Sin Liong. Memang benar aku telah menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi dari mendiang suhu sehingga kalau dibandingkan dengan dulu pada waktu kita masih sama-sama belajar kepada Na-piauwsu, tentu saja aku telah mendapatkan kemajuan yang sangat pesat. Akan tetapi sesudah berkecimpung di dunia kang-ouw, aku tahu benar bahwa kepandaianku masih belum masuk hitungan! Aku harus mematangkan kepandaianku lebih dahulu, barulah aku akan berangkat ke utara mencari pembunuh ayah."
"Aku akan membantumu, Bi Cu. Kita akan mencari keterangan dari ayah tiriku, kemudian aku akan menemanimu mencari ke utara. Ingat, aku datang dari Lembah Naga sehingga aku mengenal daerah di utara."
Bi Cu tersenyum. "Dan aku pun tadi telah berjanji untuk membantumu menghadapi musuh besarmu."
Sin Liong mengangguk. "Memang sebaiknya kalau kita saling bantu. Bersama-sama kita mencari pembunuh ayahmu dan pembunuh ibuku, kita berdua adalah orang-orang yatim piatu, maka memang sudah selayaknya saling bantu."
"Engkau baik sekali, Sin Liong. Aku girang dapat bertemu denganmu."
"Dan aku pun juga girang sekali. Mari kita percepat jalan kita, itu dusun di mana tinggal keluarga Kui sudah nampak. Hari sudah hampir gelap."
Mereka kemudian mempercepat jalan mereka, setengah berlari-larian menuju ke dusun di depan dan waktu itu sudah hampir senja. Akhirnya mereka berjalan memasuki dusun itu dan mereka berdiri di luar pekarangan sebuah rumah yang cukup besar. Sampai di sini Bi Cu termangu-mangu.
"Sin Liong, kau masuklah saja dulu," bisiknya. "Aku merasa malu, karena kalau kuingat betapa aku telah mencopet barang-barang mereka..."
"Ahh, mereka tidak akan tahu..."
"Kau masuklah dahulu, kalau engkau lihat tidak ada halangan bagiku untuk masuk, baru engkau panggil aku. Kau boleh beri tahukan dulu kepada mereka tentang kehadiranku..."
Akhirnya Sin Liong menyetujui juga karena memang dia sendiri baru saja akan bertemu dengan keluarga Kui, maka tidak enaklah jika datang-datang dia membawa teman. Lebih baik dia melihat gelagat lebih dulu, kalau sekiranya keluarga itu tidak keberatan menerima Bi Cu, baru dia akan memanggil dara itu. Andai kata mereka berkeberatan menerima Bi Cu, dia sendiri pun tidak akan mau tinggal di situ!
"Baik, kau tunggu di sini sebentar," katanya dan dia lalu melangkah masuk.
Pekarangan rumah itu sunyi saja, bahkan pada serambi depan juga kelihatan sunyi tidak terlihat adanya seorang pun. Karena merasa bahwa dia adalah seorang anggota keluarga ini, maka Sin Liong ingin mengejutkan mereka dengan kemunculan yang tiba-tiba melalui pintu belakang. Dia lantas mengambil jalan memutar, melewati samping rumah di mana terdapat sebuah kebun yang cukup luas.
Selagi dia jalan berindap-indap dengan jantung berdebar tegang penuh kegembiraan dan membayangkan betapa keluarga itu akan kaget sekali melihat kemunculan yang tiba-tiba dan betapa akan gembiranya pertemuan antara dia dengan keluarga itu, terutama dengan adik-adiknya, Lan Lan dan Lin Lin, tiba-tiba saja terdengar bentakan-bentakan halus dan nyaring lantas dari ujung tikungan dinding rumah itu berloncatan keluar dua orang gadis remaja yang cantik-cantik dan lincah, yang bukan lain adalah Lan Lan dan Lin Lin. Dua orang dara remaja kembar ini masing-masing memegang sebatang pedang dan tanpa banyak cakap lagi mereka sudah menyerang Sin Liong dengan ganasnya!
Diserang secara mendadak itu Sin Liong tidak menjadi gugup, dan dengan beberapa kali melangkah ke belakang saja dia sudah dapat menghindarkan serangan-serangan pedang itu.
"Ehh... ohhh... nanti dulu...!" serunya.
"Maling hina, engkau sudah bosan hidup!" bentak salah seorang di antara sepasang dara kembar itu dan dengan loncatan cepat dia sudah menyerbu dan menusukkan pedangnya ke arah dada Sin Liong!
"Dia tentu kawan-kawan para pencopet itu, enci Lan. Hajar saja!" bentak dara ke dua lalu dia pun menerjang ke depan dan mengayun pedangnya menyerang ke arah kedua kaki Sin Liong!
"Eittttt... tahan dulu...!" Sin Liong membuat gerakan kaku menarik tubuh atas ke belakang dengan menekuk lututnya sehingga tusukan pedang Lan Lan tadi luput dan ujung pedang itu berhenti di depan hidungnya, sedangkan ketika pedang Lin Lin menyambar lutut, dia cepat meloncat ke belakang menghindarkan diri. Sungguh pun gerakannya kaku karena memang Sin Liong tidak ingin memamerkan kepandaian, akan tetapi tentu saja gerakan ini dengan mudah dapat membebaskan dia dari serangan yang tiba-tiba itu.
"Lan Lan dan Lin Lin, tahan dulu...!" teriaknya ketika melihat mereka menyerang kembali sehingga terpaksa dia meloncat ke sana-sini seperti monyet menari-nari, namun semua serangan bertubi-tubi itu luput semua.
Mendengar disebutnya nama panggilan sehari-hari mereka, kedua orang dara kembar itu menjadi semakin marah. "Kurang ajar kau!" bentak mereka hampir berbareng dan kini pedang mereka digerakkan makin gencar, bertubi-tubi mendesak ke arah Sin Liong.
Diam-diam Sin Liong gembira menyaksikan gerakan dua orang adik tirinya itu karena dia mendapat kenyataan bahwa gerakan mereka cukup gesit dan juga mengandung tenaga sinkang yang lumayan. Maka dia pun tak mau memperkenalkan diri lebih dulu karena dia ingin menguji lebih jauh sampai di mana tingkat kepandaian dua orang adik kembarnya. Tentu saja dia selalu membuat gerakan kaku dan terdesak, akan tetapi tak pernah ujung kedua batang pedang itu dapat menyentuh ujung bajunya sekali pun.
Mendadak nampak bayangan orang berkelebat dan ternyata Bi Cu sudah meloncat cepat ke tempat itu dan tangan kanannya memegang sebatang ranting kayu sebesar lengan. Dengan gerakan indah dia menangkis dengan ranting kayu itu.
"Trakk! Trakkk!"
Dua batang pedang itu terpukul mundur. Ternyata tangkisan ranting kayu yang digetarkan hebat itu membuat kedua orang dara kembar ini terkejut karena mereka merasa betapa pedang mereka tergetar dan tangan mereka nyeri!
"Jangan takut, Sin Liong, biar aku menghadapi mereka!" bentak Bi Cu.
Dua orang dara kembar itu terkejut dan heran. Mereka terbelalak memandang kepada Sin Liong dan dengan berbareng bibir mereka bergerak, "Sin Liong...?"
"Lan-moi dan Lin-moi, apakah kalian tidak mengenal kakakmu sendiri? Aku adalah Sin Liong...," kata Sin Liong dengan suara gemetar karena terharu.
Dua orang gadis itu terbelalak, lantas melemparkan pedang dan mereka langsung berlari menghampiri pemuda itu. "Liong koko...!"
Lan Lan dan Lin Lin merangkul dengan wajah berseri gembira. Sin Liong teringat ibunya. Dia merangkul dua orang dara kembar itu dengan penuh kasih sayang.
"Lan-moi dan Lin-moi, kalian sudah menjadi dua orang dara yang amat manis dan cantik jelita, juga kepandaianmu hebat, hampir saja aku kalian jadikan bakso!"
Akan tetapi dua orang dara remaja kembar itu tiba-tiba menoleh dan memandang kepada Bi Cu yang masih berdiri bengong sambil tetap memegang ranting kayu pada tangannya yang tadi digunakannya untuk melindungi Sin Liong. Dia memang mempunyai kepandaian istimewa dalam memainkan senjata tongkat, yaitu ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) yang dipelajarinya dari mendiang Hwa-i Sin-kai.
"Liong-ko, siapakah dia?" tanya Lan Lan.
Sin Liong baru teringat kepada Bi Cu, maka cepat-cepat dia memperkenalkan. "Bi Cu, inilah adik-adikku itu, Kui Lan dan Kui Lin. Lan-moi dan Lin-moi, ini adalah Bhe Bi Cu, yang pernah menjadi sumoi-ku."
"Ahhh...!" Dua orang dara kembar itu berseru girang dan mereka segera tersenyum ramah kepada Bi Cu. Lenyaplah kemarahan Bi Cu tadi ketika melihat dua orang dara kembar itu tersenyum demikian manisnya.
"Liong-ko, engkau mengagetkan orang saja!" Lan Lan menegur, "Mengapa tidak langsung masuk dari pintu depan?"
Sin Liong tersenyum. "Aku memang ingin membikin kalian terkejut. Bagaimana keadaan kalian sekeluarga?"
"Ayah pasti akan girang sekali mendengar kedatanganmu. Mari, Liong-ko, ayah berada di dalam. Mari kita temui dia! Enci Bi Cu, mari ikut!" kata Lin Lin yang mendahului mereka lari melalui pintu samping ke dalam rumah sambil berteriak-teriak.
"Ayah. Liong-koko telah pulang...!"
Sin Liong hanya tersenyum penuh keharuan pada saat dia menggandeng tangan Lan Lan mengikuti Lin Lin, ada pun Bi Cu mengikuti pula dari belakang. Dia ikut gembira melihat penyambutan dua orang dara kembar itu terhadap kedatangan kakaknya dan diam-diam dia merasa iri hati terhadap Sin Liong. Biar pun seperti juga dia, Sin Liong sudah yatim piatu, akan tetapi setidaknya Sin Liong mempunyai adik-adik tiri semanis dua orang dara kembar itu! Sedangkan dia, dia tidak mempunyai siapa-siapa.
Kui Hok Boan tercengang ketika mendengar bahwa Sin Liong muncul secara tiba-tiba di rumahnya. Diam-diam dia merasa tidak senang dan menganggap kedatangan ini sebagai gangguan. Selama beberapa tahun ini, sejak mereka pindah dari Lembah Naga, dia hidup tenteram sebagai seorang hartawan dan tuan tanah yang disegani di dusun itu.
Seperti yang telah diceritakan di bagian depan, semenjak kematian isterinya, yaitu Liong Si Kwi ibu kandung Sin Liong, Kui Hok Boan yang tampan dan selalu berpakaian seperti sasterawan ini segera meninggalkan Lembah Naga karena memang hal ini diharuskan oleh Raja Sabutai. Ketika meninggalkan Lembah Naga, Kui Hok Boan membawa harta bendanya, yaitu harta pusaka yang diperolehnya di Istana Lembah Naga, maka dia dapat hidup sebagai seorang hartawan besar di dusun dekat kota raja itu dan memiliki sawah yang luas sekali.
Dia hidup dengan tenteram, mendidik dua orang puterinya dan dua orang keponakannya, yaitu Kwan Siong Bu dan Tee Beng Sin. Selama ini dia mengambil beberapa orang selir, akan tetapi tidak pernah menikah kembali, dan di antara selir-selirnya tidak ada seorang pun yang memiliki anak. Dia tidak pernah lagi ingat kepada Sin Liong yang dianggapnya dan diharapkannya telah meninggal dunia.
Maka, tentu saja dia amat tercengang ketika mendengar suara Lin Lin yang meneriakkan kedatangan Sin Liong. Betapa pun juga, Kui Hok Boan adalah seorang yang cerdik. Dia dapat menekan perasaan tidak senangnya dan dengan muka berseri dan senyum lebar dia keluar menyambut kedatangan anak tirinya itu. Alisnya terangkat ketika dia melihat Bi Cu ikut masuk bersama dua orang puterinya dan Sin Liong.
Akan tetapi sepasang matanya membuat Bi Cu diam-diam mencatat bahwa tuan rumah ini tergolong seorang laki-laki yang matanya berkilat dan berminyak apa bila memandang wanita! Sebagai seorang dara remaja yang sudah biasa bergaul dan setiap hari berada di pasar, tentu saja Bi Cu dapat mengenal pandang mata para laki-laki yang memandang dirinya.
Sejenak Kui Hok Boan dan Sin Liong saling pandang dan dalam waktu singkat itu masing-masing sudah menilai. Bagi Sin Liong, ayah tirinya itu nampak lebih kurus dari biasanya, dan kini telah berkumis dan berjenggot pendek. Di lain fihak, Kui Hok Boan memandang wajah Sin Liong penuh perhatian dan dia harus mengakui bahwa kini anak tirinya ini telah menjadi seorang pemuda remaja yang amat tampan dan membawa sifat-sifat gagah yang tersembunyi. Karena itu dia bersikap hati-hati sekali dan sambil tersenyum lebar dia maju menghampiri.
"Ahh, anak Sin Liong, ke mana saja engkau selama bertahun-tahun ini?" tegurnya ramah.
"Saya merantau sampai jauh, paman, hingga akhirnya saya tinggal di kota raja, bekerja sebagai pelayan rumah makan," jawab Sin Liong yang sampai sekarang tetap tidak mau menyebut ayah kepada ayah tirinya itu, melainkan menyebut paman, Hok Boan agaknya juga tidak peduli akan hal ini dan dia mendengarkan penuturan Sin Liong dengan penuh perhatian.
"Ahh, bagus sekali kalau begitu! Dan sekarang engkau datang ke sini, apakah hanya ingin berkunjung ataukah ada keperluan yang lain? Dan siapakah nona ini?" Dia memandang kepada Bi Cu dan kembali dara ini melihat sinar mata laki-laki ini berkilat, membuat dia makin tidak senang dan segera menundukkan mukanya.
"Saya datang hendak meminta pertolongan dan perlindungan dari paman Kui," Sin Liong berkata, "Saya dituduh pemberontak dan dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah."
Berubah wajah Kui Hok Boan mendengar ini, dan jelas bahwa dia nampak terkejut sekali dan juga terheran-heran. "Duduklah kalian berdua, dan ceritakanlah semuanya kepadaku, Sin Liong."
Sin Liong dan Bi Cu duduk saling berhadapan dengan orang she Kui itu, sedangkan Lan Lan dan Lin Lin duduk di samping ikut mendengarkan dengan penuh perhatian.
Karena memang mengharapkan perlindungan di dalam rumah keluarga itu, Sin Liong lalu dengan singkat akan tetapi jelas menuturkan keadaannya tanpa menyebut-nyebut tentang hubungannya dengan pemberontak Cia Bun Houw, bahkan dia tak menyinggung tentang kepandaiannya. Akan tetapi karena dia tahu bahwa Kui Hok Boan sudah mengenal Kim Hong Liu-nio, bahkan menjadi musuh besarnya sebab Kim Hong Liu-nio adalah pembunuh ibu kandungnya, juga ibu kandung Lan Lan dan Lin Lin, maka dia tidak menyembunyikan tentang wanita iblis itu.
"Ketika saya sedang bekerja di rumah makan itu, tiba-tiba saja muncul iblis betina musuh besar kita itu, paman, dan dia berteriak menuduh saya sebagai pemberontak. Saya lalu melarikan diri dan dikejar-kejar oleh pasukan. Untung ada nona Bhe Bi Cu ini yang telah menolong saya dan menyembunyikan saya sehingga pasukan itu tidak menemukan saya, kemudian saya mengajaknya untuk melarikan diri ke sini dengan harapan paman akan suka menolong kami dan memberi perlindungan di sini sampai keadaan menjadi aman."
Diam-diam Kui Hok Boan terkejut dan gentar bukan main mendengar penuturan Sin Liong itu. Baru mendengar bahwa wanita iblis itu muncul di kota raja dan melakukan pengejaran terhadap Sin Liong saja sudah mendatangkan rasa ngeri di dalam hatinya, apa lagi ketika mendengar bahwa Sin Liong sekarang dianggap pemberontak sehingga dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah.
Tentu saja dia merasa gentar, takut kalau-kalau wanita itu akan terus mengejar sehingga sampai ke situ, apa lagi kalau sampai pasukan pemerintah tahu bahwa Sin Liong tinggal di rumahnya, tentulah dia akan dituduh sebagai orang yang melindungi pemberontak dan akan menerima hukuman berat! Akan tetapi di wajahnya tidak kelihatan tanda sesuatu.
"Ayah, kita harus melindungi Liong-koko!" tiba-tiba Lan Lan berkata.
"Betul, ayah. Liong-ko dan enci Bi Cu biar tinggal dan bersembunyi dulu di sini!" sambung Lin Lin.
Kui Hok Boan memandang kedua orang puterinya itu dan dia semakin merasa tidak enak untuk menolak permintaan Sin Liong tadi. Dia sendiri memang tidak mempunyai perasaan apa pun terhadap Sin Liong karena memang anak ini bukan apa-apanya, hanya anak tiri, akan tetapi bagi Lan Lan dan Lin Lin, Sin Liong merupakan saudara seibu dan sekandung, biar pun berlainan ayah.
"Hemm, tentu saja aku tidak keberatan dan suka melindungimu, Sin Liong, hanya kita harus pikirkan baik-baik akan bahayanya kalau sampai wanita iblis itu mengejar ke sini."
"Kita akan lawan bersama!" teriak Lan Lan. "Apa lagi di sini ada enci Bi Cu. Ayah, enci Bi Cu ini lihai bukan main, tadi kami salah sangka menyerang Liong-koko, akan tetapi hanya dengan sebatang ranting saja enci Bi Cu dapat menangkis pedang kami!"
Bi Cu tersenyum dan dia tak pernah bosan memandang dua orang dara kembar itu yang dianggapnya sangat manis dan juga demikian serupa bentuk wajah serta gerak-geriknya sehingga biar pun dia tadi sudah diperkenalkan, dia tetap saja tidak mampu membedakan dan tidak dapat mengenal lagi yang mana Lan Lan dan yang mana Lin Lin.
Akan tetapi, tentu saja bagi Sin Liong tidak sukar untuk membedakan kedua adiknya itu karena dia tahu bahwa Lan Lan mempunyai titik kecil merah pada leher kirinya, dan yang sikapnya terbuka, lincah dan gembira adalah Lan Lan, sedangkan Lin Lin lebih pendiam.
Mendengar ucapan Lan Lan itu, Kui Hok Boan semakin tertarik kepada Bi Cu, maka dia memandang penuh perhatian. Kini sinar kekaguman terpancar dari kedua matanya tanpa disembunyikan lagi sehingga Bi Cu merasa makin kikuk.
"Ahh, kiranya nona mempunyai kepandaian silat yang tinggi? Kalau boleh saya bertanya, siapakah nama guru nona?" Laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh lima tahun itu tersenyum seramahnya kepada dara remaja yang cantik manis itu.
Bi Cu hanya memandang sebentar lalu menunduk kembali, mengerutkan alisnya karena dia merasa ragu untuk mengaku. Akan tetapi Sin Liong maklum akan kekerasan hati ayah tirinya, dan ketidak terus terangan Bi Cu akan menimbulkan curiga. Maka dia lalu cepat menerangkan,
"Paman Kui, Bi Cu adalah murid dari mendiang Hwa-i Sin-kai."
"Ahhhh...!" Kui Hok Boan benar-benar terkejut bukan main mendengar disebutnya nama ini. Siapa orangnya yang tidak mengenal nama ketua Hwa-i Kaipang yang tersohor di kota raja dan sekelilingnya itu? Apa lagi sesudah perkumpulan itu dianggap pemberontak dan dimusuhi oleh pemerintah!
"Hwa-i Kaipangcu...? Bukankah... bukankah perkumpulan itu...?" Dia tidak melanjutkan dan menatap wajah dara itu dengan tajam.
Bi Cu yang merasa bahwa sekarang dia tak perlu merahasiakannya lagi setelah Sin Liong menceritakan siapa gurunya, dan pula terhadap keluarga ayah tiri Sin Liong memang tak perlu merahasiakan hal itu karena bukankah dia dan Sin Liong hendak berlindung di sini? Maka dia mengangguk.
"Benar, paman. Guruku adalah mendiang ketua perkumpulan Hwa-i Kaipang yang dituduh pemberontak pula. Akan tetapi semuanya itu hanyalah fitnah, Hwa-i Kaipang yang sudah dimusuhi dan kini terpaksa dibubarkan itu tidak pernah memberontak, dan aku pun sama sekali tidak ada hubungannya dengan Hwa-i Kaipang, bahkan bukan menjadi anggotanya biar pun aku menjadi murid mendiang suhu yang menjadi ketua perkumpulan itu."
Selama Bi Cu bicara yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Hok Boan, orang ini sudah dapat menekan hatinya yang terkejut tadi dan kini dia tersenyum dan memandang kagum. "Ah, kiranya nona adalah murid seorang sakti! Tentu ilmu kepandaian nona amat tinggi. Mengingat akan bahaya yang mengancam kalian berdua, biarlah untuk sementara waktu kalian boleh bersembunyi di sini, akan tetapi kuharap kalian tidak memperlihatkan diri keluar karena kalian sendiri tahu bahwa kalau pasukan pemerintah menemukan kalian di sini, berarti keluarga kami akan binasa."
"Baiklah, paman dan banyak terima kasih kami haturkan atas kebaikan paman menolong kami. Kami pun hanya akan bersembunyi sampai keadaan mereda sehingga kami dapat melanjutkan perjalanan kami menuju ke utara."
"Apa? Engkau hendak ke sana...? Ke Lembah Naga...?" Hok Boan bertanya kaget.
Sin Liong menggelengkan kepala. "Bukan ke Lembah Naga, paman, melainkan ke dusun Pek-hwa-cung di kaki Pegunungan Khing-an-san..." Sin Liong berhenti dan memandang wajah ayah tirinya karena dia melihat perubahan pada wajah itu yang menjadi agak pucat dan matanya terbelalak, tanda bahwa ayah tirinya itu terkejut dan heran bukan kepalang mendengar disebutnya nama dusun itu.
"Pek-hwa-cung...?" Khi Hok Boan mengulang nama dusun itu dan matanya memandang jauh.
"Benar, paman, dan Bi Cu ingin menanyakan sesuatu kepada paman, mengingat bahwa paman sudah banyak menjelajah di sekitar daerah utara."
Ucapan ini memberi kesempatan kepada Kui Hok Boan untuk menenangkan jantungnya yang berdebar akibat kaget mendengar nama dusun yang mendatangkan kembali kenang-kenangan hebat yang pernah dialaminya di dusun itu. Dia tersenyum kembali dengan sikap tenang, menoleh ke arah Bi Cu dan memandang gadis itu dengan sikap ramah, lalu bertanya, suaranya biasa lagi.
"Nona, apakah yang hendak kau tanyakan padaku? Memang banyak juga aku mengenal tempat-tempat di sana, dan dusun Pek-hwa-cung tidak asing bagiku."
Berdebar jantung dalam dada Bi Cu, penuh ketegangan dan harapan. Siapa tahu dia akan berhasil memperoleh keterangan tentang ayahnya dari orang ini.
"Paman Kui, sebelumnya terima kasih atas kebaikanmu. Kami hanya ingin mengetahui apakah paman mengenal seorang laki-laki yang bernama Bhe Coan dan pernah tinggal di dusun Pek-hwa-cung sana?"
Kembali Kui Hok Boan mengalami guncangan batin hebat, akan tetapi kini dia sudah siap menghadapi segala sesuatu, maka wajahnya tidak memperlihatkan perubahan meski pun dia hampir terlonjak saking kagetnya. Sin Liong yang sejak tadi mengawasi ayah tirinya itu, diam-diam merasakan kekagetan ayah tirinya yang ditekan-tekan itu, namun dia diam saja.
"Bhe Coan...?" Kui Hok Boan pura-pura mengingat-ingat dan mengerutkan alisnya sambil menekan perasaannya yang terlontar melalui pengulangan nama yang sangat dikenalnya itu sehingga suaranya tadi terdengar agak sumbang dan gemetar.
"Ya, Bhe Coan, seorang pandai besi, seorang ahli pembuat pedang!" Bi Cu yang sedang dilanda ketegangan serta harapan itu tidak mendengar getaran suara itu dan cepat-cepat melengkapi keterangannya sambil memandang kepada wajah Hok Boan penuh perhatian dan pengharapan.
"Ahh, Bhe Coan...? Bhe Coan si pandai besi, ahli pembuat pedang itu? Tentu saja aku mengenal mendiang Bhe Coan! Dia telah meninggal dunia..."
Wajah Bi Cu gembira bukan main. "Memang dia sudah meninggal dunia, paman Kui. Aku tahu bahwa ayahku telah meninggal dunia dan karena itulah maka aku bertanya kepada paman..."
"Ayahmu...? Ahh, sungguh tak terduga! Jadi engkau ini anaknya...?" Hampir saja Kui Hok Boan kelepasan bicara.
Memang dahulu dia pernah mendengar dari Bhe Coan bahwa ahli pembuat pedang itu mempunyai seorang anak perempuan yang dititipkannya pada seorang sahabat baiknya ketika dia menikah dengan janda yang bernama Leng Ci. Menurut penuturan mendiang Bhe Coan, sahabatnya itu ialah seorang piauwsu she Na yang tinggal di kota Shen-yang di Propinsi Liao-ning. Tentu saja dia tidak tahu bahwa Na-piauwsu semenjak menerima Bi Cu sebagai anak angkat atau muridnya, telah pindah ke kota Kun-ting di Propinsi Ho-pei, sebelah selatan kota raja. Dia tidak tahu pula mala petaka yang menimpa keluarga Na itu.
"Benar, paman Kui. Aku adalah anak tunggal dari mendiang ayahku itu, dan yang hendak kutanyakan kepada paman adalah tentang kematian ayahku. Paman mengenalnya, tentu paman mendengar pula bagaimana ayah meninggal dunia." Sepasang mata yang jernih itu memandang dengan penuh perhatian dan juga penuh harapan kepada Kui Hok Boan yang tentu saja amat terguncang batinnya.
Segera terbayang semua peristiwa yang dialaminya di dalam rumah Bhe Coan, belasan tahun yang lalu itu. Seperti telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, Kui Hok Boan yang ketika itu masih merupakan seorang pria berusia tiga puluh tahun yang tampan dan gagah, berpakaian sasterawan dan gerak-geriknya halus, datang bertamu ke rumah ahli pembuat pedang atau pandai besi yang terkenal itu untuk memesan sebatang pedang. Karena pandainya bersikap manis, Bhe Coan yang jujur tertarik dan mempersilakan Kui Hok Boan untuk bermalam dan tinggal di rumahnya selagi dia membuatkan pedang yang dipesannya.
Dalam kesempatan ini, Kui Hok Boan yang terkenal mata keranjang itu tentu saja tidak dapat melewatkan seorang wanita cantik seperti isteri Bhe Coan begitu saja. Dirayunya isteri Bhe Coan, bekas janda Leng Ci yang cantik genit itu dan mereka lalu mengadakan hubungan perjinahan di dalam rumah Bhe Coan sendiri!
Akhirnya, sesudah pedang selesai, Bhe Coan menangkap basah dua orang yang sedang berjinah di dalam kamarnya itu. Dengan kemarahan meluap-luap Bhe Coan menusukkan pedang yang baru selesai dibuatnya itu ke arah Hok Boan.
Hok Boan mengelak dan pedang itu menembus dada Leng Ci! Kemudian, terpaksa Hok Boan mempergunakan kepandaiannya untuk membunuh Bhe Coan, dan tanpa diketahui siapa pun dia meninggalkan dua jenazah itu dalam kamar dan melarikan diri!
"Bagaimana, paman Kui? Apakah paman dapat menceritakan kepadaku tentang kematian ayahku itu?" Bi Cu mengulangi pertanyaannya pada waktu dia melihat tuan rumah duduk termenung seperti tidak pernah mendengar pertanyaannya yang pertama tadi.
"Ohh? Tidak... aku tidak tahu, aku hanya mendengar bahwa dia meninggal dunia. Sudah lama aku tidak bertemu lagi dengan dia semenjak aku memesan pedang kepadanya, kau tunggu... pedang itu masih kusimpan sampai sekarang..." Kui Hok Boan segera bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu melalui pintu sebelah dalam.
Melihat sikap tuan rumah yang seolah-olah tergesa-gesa itu, diam-diam Sin Liong merasa heran sekali. Dia melihat seakan-akan ayah tirinya menjadi gugup dan bingung pada saat ditanya tentang kematian ayah kandung Bi Cu!
Sementara itu, begitu menutupkan daun pintu yang menembus ke ruangan itu, Kui Hok Boan cepat berlari memasuki kamarnya dengan napas agak memburu. Celaka, pikirnya, siapa sangka bahwa dia akan bertemu muka dengan puteri Bhe Coan yang dibunuhnya itu! Dan lebih celaka lagi, dara itu justru bertanya kepadanya tentang kematian ayahnya! Ini berbahaya! Kalau dia tidak cepat bertindak dan rahasia itu sampai terbuka, berarti dara itu merupakan musuh besar yang tentu akan selalu berusaha untuk membalas kematian ayahnya.
Dia menduga-duga sampai berapa jauh dara itu mengetahui tentang kematian ayahnya. Sementara itu, otaknya bekerja cepat dalam usahanya merencanakan suatu siasat untuk menyelamatkan dirinya dan menghancurkan orang-orang yang tidak disenanginya.
Di lain saat Kui Hok Boan telah menulis sehelai surat dalam kamarnya. Jari-jari tangannya yang memang cekatan dan pandai menulis itu kemudian bergerak cepat menyelesaikan sebuah surat yang dimasukkannya dalam sampul dan ditutupnya rapat-rapat. Setelah itu, dengan tergesa-gesa dia mengantongi surat itu dan mengeluarkan seguci arak dari dalam almari, berikut sebungkus obat putih dari saku bajunya. Dituangkannya sedikit bubuk putih ke dalam guci arak, kemudian setelah menyimpan kembali bungkusan obat bubuk itu, dia memanggil pelayan.
"Sediakan makanan untuk dua orang dan juga arak ini, lalu hidangkan ke kamar tamu!" perintahnya kepada pelayan wanita yang segera datang memenuhi panggilannya. "Dan coba panggil dulu kedua orang nona ke sini!"
Pelayan itu cepat-cepat berlalu menuju ke depan, ke ruangan di mana Lan Lan dan Lin Lin sedang bercakap-cakap dengan gembira bersama Sin Liong dan Bi Cu.
"Ehhh, Lan-moi, di mana adanya Siong Bu dan Beng Sin? Mengapa aku tidak melihat mereka?" tanya Sin Liong.
"Mereka disuruh oleh ayah untuk menagih uang sewa tanah, dan sore nanti baru akan pulang," jawab yang ditanya.
Pada saat itu muncullah pelayan yang menyampaikan panggilan Kui Hok Boan kepada dua orang puterinya. Dua orang dara kembar itu merasa agak heran, akan tetapi mereka segera minta maaf dan meninggalkan dua orang tamunya, langsung pergi ke kamar ayah mereka bersama pelayan yang juga kembali ke dalam untuk mengambil guci arak dan mempersiapkan hidangan untuk dua orang tamu seperti dipesan oleh majikannya.
"Ayah memanggil kami?" tanya Lan Lan.
"Ya, ayah mempunyai urusan yang amat penting. Kalian cepat pergilah kepada komandan Kwan di kota raja dan serahkan suratku ini kepadanya. Pergilah cepat-cepat dan kembali cepat."
"Tapi, ayah, di sini ada Liong-koko. Mengapa ayah tidak menyuruh seorang pelayan saja, atau menanti sampai Bu-ko atau Sin-ko pulang?" Lan Lan membantah.
"Urusan ini penting sekali, kalian harus cepat serahkan surat ini dan jangan membantah!" bentak Kui Hok Boan sambil menyerahkan surat itu. "Kalian naik kuda saja agar cepat!"
"Biar aku sendiri yang mengantar surat itu, biar enci Lan menemani Liong-ko dan enci Bi Cu," kata Lin Lin.
"Tidak! Tidak baik seorang gadis pergi sendirian saja. Kalian pergi berdua, jangan kalian khawatir tentang Sin Liong dan Bi Cu, aku yang akan menemani mereka. Aku masih ingin bicara banyak dengan mereka."
Dua orang gadis kembar itu saling pandang. Lin Lin adalah seorang gadis pendiam, lebih pendiam dibandingkan dengan watak Lan Lan yang lincah dan jenaka, akan tetapi karena pendiam ini dia lebih cerdas.
"Ayah, Liong-ko dan enci Bi Cu sedang dicari-cari pasukan pemerintah. Sekarang ayah mengirim surat kepada komandan Kwan, seorang komandan pengawal istana. Apakah ada hubungannya dengan kedatangan Liong-ko?"
Kui Hok Boan memandang wajah puterinya ini dan mengangguk-angguk. "Engkau cerdas sekali, Lin Lin. Memang benar sekali dugaanmu itu. Kalian tahu, mereka berdua itu harus bersembunyi di sini untuk beberapa pekan lamanya sampai keadaan mereda. Bagaimana kalau tiba-tiba Kwan-ciangkun berkunjung ke sini seperti biasanya? Oleh karena itu, aku mengirim surat kepadanya, memberi tahu bahwa hari ini aku hendak berangkat pergi ke selatan selama satu bulan sehingga dengan demikian, sebelum lewat satu bulan dia tentu tidak akan datang ke sini. Nah, cepat kalian sampaikan surat ini kepadanya!"
Mendengar ini, Lan Lan dan Lin Lin tidak banyak cakap lagi, lalu mereka berganti pakaian dan segera berangkat meninggalkan rumah mereka, menunggang dua ekor kuda pilihan. Sementara itu, Kui Hok Boan mengambil sebatang pedang dari dalam almari, kemudian membawa pedang itu ke luar kamar, kembali ke ruangan tamu di mana Sin Liong dan Bi Cu menanti tuan rumah yang pergi begitu lama, dan juga Lan Lan dan Lin Lin yang tidak nampak kembali, bahkan mereka tadi dengan jelas mendengar derap kaki dua ekor kuda membalap meninggalkan rumah itu.
"Sin Liong, perasaanku tidak enak sekali... aku... aku tidak kerasan tinggal di sini," bisik Bi Cu.
"Ssttt, kita terpaksa, Bi Cu. Hanya untuk beberapa hari sampai keadaan mereda. Jangan kahwatir, andai kata ayah tiriku itu kurang begitu suka kepadaku, tapi jelas bahwa kedua orang adikku Lan Lan dan Lin Lin itu amat sayang kepadaku."
Mendengar jawaban ini, legalah hati Bi Cu karena dia pun dapat melihat sendiri betapa sikap kedua orang dara kembar itu amat baik dan ramah. Mereka segera diam pada saat mendengar langkah kaki, kemudian muncullah Kui Hok Boan dengan wajah berseri dan tangannya membawa sebatang pedang yang sarungnya terukir indah.
"Maaf, karena ada keperluan lain, maka terpaksa agak lama aku meninggalkan kalian di sini," katanya.
"Paman, di manakah adik Lan dan Lin?" Sin Liong bertanya, teringat akan bunyi derap kaki dua ekor kuda tadi.
"Ahh, mereka sedang pergi, kusuruh menyusul Siong Bu dan Beng Sin," jawab Hok Boan yang memang sudah siap-siap menghadapi pertanyaan itu. Sin Liong menjadi girang dan hilanglah kecurigaannya.
"Nona Bhe, inilah pedang buatan mendiang saudara Bhe Coan itu. Dan hanya satu kali itulah aku berjumpa dengan dia ketika aku berkunjung dan memesan pedang ini," Hok Boan mengulurkan tangan yang memegang pedang kepada Bi Cu.
Dara remaja ini segera menerima pedang, lalu menghunus pedang itu. Sebatang pedang yang amat baik. Tiba-tiba saja keharuan dan kedukaan menyerang hati Bi Cu dan dara ini tersedu sambil mendekap pedang dan mencium mata pedang buatan ayahnya, merasa seakan-akan dia sedang mencium tangan ayahnya. Sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa pedang yang diciumnya itu dahulu pernah digunakan oleh ayah kandungnya untuk menyerang tuan rumah ini dan pedang itu menembus dada ibu tirinya. Akan tetapi hanya sebentar dia menangis karena Bi Cu sudah dapat mengusai guncangan batinnya kembali, lalu mengembalikan pedang itu kepada pemiliknya.
Pada saat itu, Lan Lan dan Lin Lin sudah pergi jauh dengan kuda mereka yang mereka balapkan menuju ke kota raja. Debu mengepul tinggi di belakang kaki kuda mereka yang lari kencang. Akan tetapi ketika mereka berada di jalan di antara sawah ladang yang sepi, tiba-tiba Lin Lin berseru kepada enci-nya agar berhenti.
"Ada apakah?" Lan Lan bertanya setelah dia menahan kendali kudanya dan kedua ekor kuda itu berhenti di tengah jalan.
"Enci Lan, hatiku sungguh merasa tidak enak," kata si adik yang biasanya pendiam itu.
"Aih, jangan bilang bahwa engkau takut untuk melewati hutan di depan itu, Lin-moi. Sudah beberapa ratus kali kita lewat di situ dan tak pernah terjadi sesuatu. Pula, siapakah yang akan berani mengganggu kita? Andai kata ada yang berani mengganggu kita, kita pun tak usah takut! Pedang kita akan menghadapi dan menghajar siapa yang berani mengganggu kita!" Lan Lan menepuk pedang yang tergantung di pinggangnya.
Lin Lin menggeleng kepala. "Hatiku merasa tidak enak bukan mengkhawatirkan diri kita, enci, melainkan diri Liong-koko."
Lan Lan membelalakkan mata dengan heran. "Ehh, apa maksudmu, Lin Lin?"
"Surat yang kau bawa itu, enci. Liong-koko dituduh pemberontak dan kini berada di dalam rumah kita. Namun sekarang ayah mengirim surat kepada Kwan-ciangkun. Benar-benar aneh dan mengkhawatirkan."
"Kau mencurigai ayah?"
"Aku tahu bahwa mencurigai ayah sendiri adalah hal tidak baik, akan tetapi aku pun tahu betapa ayah tidak suka kepada Liong-ko, kalau bukannya membenci malah. Lupakah kau akan sikap ayah terhadap Liong-ko dahulu? Aku khawatir sekali, enci."
Lan Lan juga menjadi bimbang. Diambilnya surat bersampul tertutup rapat itu dari dalam saku bajunya dan ditimang-timangnya. "Habis, bagaimana?" tanyanya bingung.
"Kita buka dan baca dulu isinya!"
"Ahhh...!" Lan Lan meragu. "Surat ini bersampul dan tertutup rapat..."
"Aku sengaja membawa perekat dari rumah, enci. Kita buka, baca dan tutup lagi dengan perekat ini." Lin Lin lalu mengeluarkan sebungkus perekat. Kiranya sejak dari rumah tadi gadis ini sudah menaruh curiga dan telah merencanakan untuk membuka surat ayahnya itu kemudian membaca isinya.
"Engkau benar, adikku. Sungguh pun perbuatan kita ini tidak patut, akan tetapi kita harus mencegah ayah melakukan hal yang jahat."
Mereka berdua segera turun dari punggung kuda, bersama-sama mereka lalu membuka sampul surat itu dengan hati-hati agar jangan sampai terobek, kemudian bersama-sama pula mereka membaca isi surat dalam sampul.
Kwan-ciangkun yang terhormat
Harap segera membawa pasukan untuk menangkap pemberontak-pemberontak Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu yang berada di rumah saya. Cepat agar jangan terlambat!
Hormat saya. yang setia kepada negara, Kui Hok Boan
Wajah kedua orang dara kembar itu menjadi pucat seketika. "Celaka, kiranya dugaanmu benar sekali, Lin-moi!" seru Lan Lan dengan gemas. "Ayah sudah mengkhianati mereka! Ahhh, sungguh celaka!"
Lin Lin juga menjadi bingung sejenak, akan tetapi gadis yang cerdik ini lalu berkata, "Kita harus menggunakan akal, enci."
"Bagalmana akalnya? Ahh, betapa jahatnya ayah...!"
"Ssst, jangan berkata demikian, enci! Mungkin ayah melakukan hal itu terdorong oleh rasa setia kepada negara, atau juga karena rasa tidak sukanya terhadap Liong-koko. Betapa pun juga, kita harus menolong Liong-ko."
"Engkau benar, akan tetapi bagaimana caranya? Kalau kita tidak menyampaikan surat ini, tentu ayah akan marah sekali kepada kita dan hal itu pun bukan berarti sudah menolong Liong-ko terbebas dari ancaman bahaya."
"Kita harus cerdik, enci Lan. Surat itu tetap harus kita sampaikan kepada alamatnya, akan tetapi tidak perlu kita berdua yang ke kota raja. Sebaiknya engkau sendiri saja yang melanjutkan perjalanan ke kota raja dan menyampaikan surat ini kepada Kwan-ciangkun, dan aku sendiri akan kembali ke rumah dan aku akan memberi tahu kepada Liong-ko agar dia dan enci Bi Cu dapat melarikan diri sebelum pasukan itu datang."
"Bagus! Akan tetapi bagaimana jika ayah curiga kemudian marah melihat engkau pulang sendiri dan tidak menemaniku ke kota raja?"
"Jangan khawatir, hal itu dapat kuatur. Lagi pula, setelah tiba di rumah, tentu malam telah tiba dan aku dapat secara diam-diam melakukan hal itu. Engkau sendiri harap melakukan perjalanan lambat saja, semakin lambat semakin baik, enci Lan. Atau, dapat pula engkau menyerahkan surat itu besok pagi-pagi saja, dengan alasan bahwa malam-malam tidak enak datang berkunjung ke rumah Kwan-ciangkun. Sementara itu, malam ini Liong-koko dan enci Bi Cu sudah dapat menyelamatkan diri."
Lan Lan merangkul dan mencium pipi adik kembarnya. "Engkau hebat! Nah, kita berpisah di sini dan membagi tugas masing-masing."
"Surat itu harus direkat kembali lebih dulu, enci," kata Lin Lin.
Mereka berdua lalu merapatkan kembali sampul surat dan setelah Lan Lan memasukkan sampul surat itu ke dalam sakunya, keduanya lantas meloncat ke atas punggung kuda masing-masing, akan tetapi mereka berpisah jalan. Lan Lan terus melanjutkan perjalanan ke kota raja sedangkan Lin Lin kembali ke dusun. Lan Lan menjalankan kudanya lambat-lambat, akan tetapi Lin Lin membalap.
Di sepanjang perjalanan, Lan Lan termenung sedih. Biar pun ada kemungkinan ayahnya melakukan pengkhianatan terhadap Sin Liong itu karena terdorong oleh keinginan berbakti kepada negara dan membantu penangkapan orang yang dituduh pemberontak, akan tetapi perbuatan itu kejam dan jahat. Betapa pun juga, Sin Liong adalah putera ibu kandungnya, dan anak tiri dari ayahnya, semenjak kecil tinggal serumah. Kenapa ayahnya begitu tega dan kejam untuk melakukan siasat penangkapan terhadap Sin Liong itu?
Lagi pula, siapa mau percaya bahwa Sin Liong adalah seorang pemberontak? Itu hanya tuduhan keji, fitnah keji. Tanpa terasa lagi sepasang mata Lan Lan menjadi basah karena hatinya amat sedih melihat kenyataan betapa ayahnya adalah seorang yang kejam dan jahat.
Kenyataan ini membuat dia semakin rindu kepada ibu kandungnya, dan teringat olehnya betapa ibu kandungnya adalah seorang wanita yang gagah perkasa. Dan hal ini membuat dia teringat pula akan kematian ibunya itu sehingga membuat hatinya semakin sakit dan mendendam kepada wanita iblis yang telah membunuh ibunya.
"Kim Hong Liu-nio iblis betina! Sekali waktu aku pasti akan memenggal batang lehermu!" teriaknya.
Dia lalu mencabut pedangnya, diputar-putar di atas kepalanya sehingga kudanya menjadi terkejut dan berlari kencang. Peluapan rasa marah dan dendam di hati Lan Lan ini sedikit banyak menghapus kedukaan dan kekecewaan hatinya melihat sikap ayahnya yang amat kejam terhadap Sin Liong.
Louw Kiat Hui terkejut sekali. Kembali dia saling berpandangan dengan teman-temannya, kemudian dia berkata dengan suara lembut, "Ahh, Bi Cu, janganlah engkau beranggapan seperti itu. Andai kata kami tahu bahwa engkau masih mempunyai orang tua, sudah tentu kami tidak akan berani lancang dan tentu kami akan minta pendapat orang tuamu. Akan tetapi, kita semua tahu bahwa ibumu telah tiada, sedangkan ayahmu..."
"Ayah dibunuh orang dan hingga sekarang aku belum tahu di mana kuburnya! Pantaskah aku sebagai anak tunggalnya kini memutuskan sendiri perjodohanku tanpa mempedulikan keadaan ayah? Tidak, susiok, sebelum aku tahu siapa pembunuh ayah, dan sebelum aku dapat bersembahyang di depan makam ayah kandungku, maka tidak mungkin aku bisa memutuskan tentang ikatan jodoh ini." Setelah berkata demikian, sambil menangis Bi Cu bangkit berdiri kemudian berlari memasuki kamarnya di mana dia langsung membanting dirinya menelungkup dan menangis di atas pembaringan.
"Sudahlah, susiok. Bi Cu memang benar, dan kita kurang memperhatikan hal itu. Biarlah pertunangan resmi diundurkan dulu, bagaimana pun juga kami toh sudah dapat dibilang bertunangan, biar pun belum resmi. Dan sebaiknya kalau susiok sekalian mencoba untuk menyelidiki tentang kematian ayah kandung sumoi di utara," kata Tiong Pek yang merasa terharu juga melihat sikap Bi Cu yang dicintanya.
Akan tetapi, para piauwsu yang sibuk dengan pekerjaan itu, mana memiliki kesempatan untuk dapat menyelidiki tentang kematian ayah Bi Cu jauh di utara, di luar tembok besar? Memang mereka ini sekali-kali pernah juga mengawal barang atau orang sampai keluar tembok besar, akan tetapi tidak sejauh tempat yang pernah menjadi tempat tinggal Bhe Coan, ayah kandung dari Bhe Bi Cu itu. Dan kalau mendiang Na-piauwsu sendiri pernah menyelidiki ke sana dan tidak berhasil mengetahui siapa pembunuh Bhe Coan, apa pula yang bisa mereka lakukan?
Sesudah terjadi peristiwa itu, Bi Cu merasa semakin gelisah dan tidak kerasan berada di rumah Tiong Pek. Dia merasa betapa dia sudah berhutang budi terhadap keluarga Na, betapa pemuda itu memang sangat baik kepadanya. Inilah yang menyebabkan dia makin gelisah. Tiong Pek amat baik kepadanya dan dia tidak ingin menghancurkan hati pemuda itu, akan tetapi dia pun tidak mungkin dapat membalas cinta Tiong Pek.
Setiap hari Bi Cu termenung duka, apa lagi setelah lewat berbulan-bulan, belum juga ada berita tentang hasil usaha Louw Kiat Hui beserta para paman lainnya yang mencari atau menyelidiki tentang pembunuh ayahnya. Sementara itu, sikap Tiong Pek makin hari makin mendesak dan semakin mesra, pandangan mata pemuda itu seperti hendak menembus hatinya dan senyum yang merayu itu mendatangkan rasa iba dalam hatinya.
Akhirnya Bi Cu tidak kuat menahan lagi dan pada suatu malam, dengan bekal beberapa potong pakaian, maka larilah dia meninggalkan rumah Tiong Pek untuk pergi ke utara dan melakukan penyelidikan sendiri!
Pada keesokan harinya, Tiong Pek bersama para tokoh Ui-eng Piauwkiok menjadi geger melihat kepergian Bi Cu yang tak meninggalkan pesan apa pun. Mereka menjadi bingung dan segera melakukan pengejaran ke utara karena mereka dapat menduga bahwa tentu dara cilik itu nekat pergi ke utara untuk menyelidiki tentang pembunuh ayah kandungnya.
Dugaan semua tokoh Ui-eng Piauwkiok itu ternyata tepat. Setelah melakukan pengejaran selama sehari penuh, akhirnya pada malam harinya Louw Kiat Hui beserta empat orang temannya, juga bersama Tiong Pek sendiri, telah dapat menyusul Bi Cu yang beristirahat di rumah seorang petani di dusun sebelah selatan kota raja. Mudah saja mencari jejak seorang gadis kecil yang melakukan perjalanan seorang diri pada waktu itu. Bi Cu terkejut dan menangis ketika lima orang pamannya itu bersama Tiong Pek muncul.
"Marilah kita pulang ke Kun-ting, Bi Cu," Louw Kiat Hui berkata dengan sikap halus tanpa banyak kata-kata teguran.
"Tidak, aku tidak mau...!" Bi Cu menangis. "Aku hendak pergi mencari pembunuh ayah. Tinggalkan aku sendiri!"
Tiong Pek menghampiri Bi Cu kemudian memegangi tangannya. "Sumoi, kenapa engkau hendak meninggalkan aku? Apakah kesalahanku kepadamu?"
"Tidak, suheng, engkau tak bersalah, kalian semua tidak bersalah. Akulah yang bersalah, akan tetapi... biarkan aku pergi, biarkan aku mencari sendiri pembunuh ayahku, jangan memaksa aku kembali ke Kun-ting."
Louw Kiat Hui memandang gadis yang menangis terisak-isak itu. "Bi Cu, engkau harus ikut kami kembali ke Kun-ting dan marilah di sana kita bicara."
Mendengar ucapan Louw Kiat Hui agak mendesak karena orang tinggi besar ini memang sudah tidak sabar lagi melihat Bi Cu menangis dan memang diam-diam dia pun merasa amat penasaran dan marah melihat gadis kecil itu nekat melarikan diri tanpa pamit, Bi Cu mengangkat mukanya memandang.
"Louw-susiok, mengapa susiok hendak memaksa aku kembali ke sana? Aku tidak mau kembali! Apakah susiok demikian jahat...?"
Louw Kiat Hui memandang tajam kepada murid keponakan itu. "Bi Cu!" Sekarang suaranya terdengar tegas dan menunjukkan kemarahan, "Omongan apa yang kau keluarkan ini? Kalau kami membiarkan engkau pergi, melakukan perjalanan berbahaya seorang diri sehingga akhirnya engkau mendapat celaka, maka barulah kami benar-benar jahat! Sebaliknya, kalau engkau memaksa hendak pergi minggat begitu saja meninggalkan rumah di mana engkau dibesarkan dan dirawat penuh kasih sayang, maka engkau adalah seorang anak yang tak mengenal budi dan jahat!"
Bi Cu adalah seorang anak yang wataknya pendiam dan keras. Mendengar ucapan itu dia lalu membantah, "Dan kalau aku akan dipaksa menikah hanya untuk membalas budi, apa itu namanya, paman?"
Sejenak Louw Kiat Hui terperanjat, akan tetapi dia lalu berkata, kembali suaranya halus, "Sudahlah. Mari kita semua pulang dulu ke Kun-ting dan segala sesuatu bisa dibicarakan dengan tenang di sana."
Louw Kiat Hui lalu mengeluarkan uang dan membayar secukupnya kepada pemilik rumah dusun itu yang telah mau menampung Bi Cu, kemudian dengan memaksa dia mengajak Bi Cu untuk kembali ke Kun-ting malam itu juga! Tindakan Louw Kiat Hui ini dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa dia telah melakukan hal yang benar.
Dia harus melindungi keselamatan Bi Cu, kalau perlu dengan paksaan. Dia tahu bahwa kalau dia membiarkan Bi Cu melanjutkan perjalanan seorang diri, sudah pasti gadis kecil ini akan mengalami mala petaka di tengah jalan. Ilmu silat yang dikuasai gadis itu masih terlampau rendah untuk dapat dipakai menjaga diri.
Karena lelah, maka akhirnya di tengah perjalanan mereka bermalam di sebuah kuil. Kuil itu adalah kuil milik seorang tosu yang merawat kuil bersama beberapa orang muridnya. Dengan ramah tosu-tosu itu menerima kedatangan Louw Kiat Hui yang terkenal sebagai seorang piauwsu yang budiman, dan mereka semua mendapatkan kamar.
Untuk mencegah gadis itu nekat melarikan diri lagi, maka Louw Kiat Hui sendiri bersama empat orang pembantunya menjaga di luar, tidur bergiliran, sedangkan Tiong Pek yang kelelahan sudah lebih dulu tidur di atas sebuah pembaringan di kamar sebelah.
Malam itu sunyi sekali. Semua penghuni dusun di mana kuil itu berdiri sudah tidur karena waktu itu menjelang tengah malam. Para tosu dan sebagian dari para piauwsu juga sudah tidur nyenyak. Hanya Louw Kiat Hui sendiri bersama seorang piauwsu lain yang bergilir melakukan penjagaan masih duduk di depan kamar Bi Cu. Di sebelah dalam kamar itu, Bi Cu sendiri juga tidak dapat tidur, masih menangis perlahan karena merasa tidak berdaya. Dia diharuskan kembali lagi ke rumah itu!
Tiba-tiba kesunyian malam itu terganggu oleh suara batuk-batuk kecil, kemudian disusul menyambarnya sebuah batu kecil yang dengan tepat mengenai lampu yang tergantung di luar kamar Bi Cu. Tentu saja tempat itu seketika menjadi gelap dan Louw Kiat Hui cepat meloncat berdiri, diikuti oleh piauwsu lainnya.
"Siapa di situ?" bentak Louw Kiat Hui yang sudah mencabut pedangnya, lalu dia meloncat ke arah suara batuk tadi.
Akan tetapi pada saat itu dia merasa ada angin menyambar dan ada orang berkelebat di dekatnya. Nampak bayangan remang-remang karena cuaca yang gelap dan yang hanya mendapat penerangan dari lampu yang tergantung agak jauh dari situ. Akan tetapi dapat dibayangkan alangkah kaget hati orang she Louw ini ketika melihat betapa bayangan itu telah mendorong daun pintu dan memasuki kamar Bi Cu!
"Heiii... tahan...!" Dia meloncat ke kamar, akan tetapi cepat menghindar ketika dari dalam kamar itu meloncat bayangan tadi, kini sudah mengempit tubuh Bi Cu!
"Lepaskan dia!" bentak piauwsu yang lain sambil menubruk dengan goloknya.
"Plakk! Tranggg...!" Piauwsu itu roboh dan goloknya terlempar.
"Berhenti! Siapa engkau berani menculik orang?!" teriak Louw Kiat Hui sambil mengejar.
Bayangan itu membalik dan Louw Kiat Hui yang tidak dapat melihat jelas muka orang itu karena cuaca yang terlampau gelap, sudah mendorong dengan tangan kirinya. Dia tidak berani lancang mempergunakan pedangnya. Akan tetapi bayangan itu tidak mengelak, melainkan menangkis dorongan itu dengan satu gerakan sembarangan.
"Plakkk!"
"Ahhhh...!" Louw Kiat Hui terhuyung dan merasa betapa tangkisan itu membuat lengan kirinya seperti lumpuh rasanya. Maklumlah dia bahwa dia menghadapi lawan tangguh, maka dia sudah menubruk lagi dengan pedangnya, membabatkan pedang ke arah kedua kaki lawan, dilanjutkan dengan tusukan ke arah lambung.
Akan tetapi dengan lincah dan mudahnya bayangan itu mengelak terus hingga lima jurus. Kemudian dia membentak dan sebatang tongkat menangkis pedang itu sedemikian kuat hingga pedang terlepas dari tangan Kiat Hui dan sebelum piauwsu ini mampu mengelak, dia sudah roboh tertotok.
Para piauwsu lainnya terbangun akibat suara gaduh. Akan tetapi selagi mereka hendak mengeroyok, bayangan itu sudah meloncat ke atas dan lenyap ditelan kegelapan malam sambil membawa pergi tubuh Bi Cu!
Gegerlah para piauwsu. Setelah Louw Kiat Hui dibebaskan totokannya, dia bersama para piauwsu lainnya mengejar dan mencari-cari, tapi mereka tidak berhasil menemukan jejak bayangan tadi. Mereka menanyakan kepada para tosu, namun para tosu yang lemah itu pun tidak dapat memberi keterangan.
Louw Kiat Hui dengan teman-temannya lalu mencari terus, sampai beberapa hari mereka mencari di sekitar tempat itu, akan tetapi jangankan menemukan jejak orang itu, bahkan keterangan tentang orang itu pun tak bisa mereka dapatkan. Mereka tidak tahu siapakah bayangan yang sedemikian lihainya, bayangan yang mempergunakan tongkat!
Louw Kiat Hui menghibur Tiong Pek yang merasa berduka dan khawatir sekali. Mereka terpaksa lalu kembali ke Kun-ting dengan tangan kosong dan meski pun para piauwsu itu masih selalu mencari-cari, namun mereka tidak pernah berhasil dan Bi Cu tetap lenyap tanpa meninggalkan jejak.
Siapakah yang menculik Bi Cu? Mari kita ikuti pengalaman dara cilik ini semenjak malam dia lenyap dari kuil itu. Pada saat itu, Bi Cu masih menangis perlahan ketika tiba-tiba dia mendengar suara gaduh lantas pintu kamarnya jebol. Dia hanya melihat bayangan orang menyerbu masuk dan sebelum dia tahu apa yang sudah terjadi, bayangan orang itu telah meloncat ke depan pembaringannya dan berkata,
"Mari kau ikut bersamaku melarikan diri dari mereka, anak yang baik."
Bayangan itu lalu menyambar tubuhnya dan Bi Cu tak mampu bergerak lagi. Dia merasa bingung harus berbuat apa, menyerah atau melawan. Apa bila menyerah, dia belum tahu siapa adanya orang ini, kalau melawan, dia merasa tertarik oleh kata-kata yang sifatnya hendak menolongnya membebaskan diri dari Tiong Pek dan para piauwsu itu. Lebih lagi ketika orang yang membawanya itu kemudian bertanding, dia merasa makin bingung dan khawatir.
Namun ketika dia dibawa pergi dengan berloncatan demikian cepatnya ke atas genteng, maka tahulah Bi Cu bahwa pembawanya adalah seorang yang berilmu tinggi. Apa lagi kini dia sempat melihat orang itu, seorang kakek tua yang berpakaian aneh, bajunya penuh tambalan layaknya baju pengemis, namun tambalan-tambalan itu berkembang-kembang, tubuhnya pendek kurus dan mukanya seperti tikus!
Sesudah terbebas dari pengejaran para piauwsu, kakek itu menurunkan tubuh Bi Cu dan memegang tangannya, menggandengnya dan mengajaknya berjalan kaki menuju ke kota raja.
"Nah, engkau kini sudah terbebas dari mereka, anak baik. Aku melihatmu dibawa mereka dan engkau menangis di sepanjang jalan, maka aku segera tahu bahwa engkau tak suka mereka bawa dan ingin bebas. Siapakah namamu dan mengapa engkau mereka paksa untuk ikut dengan mereka?"
Mendengar keterangan kakek ini, Bi Cu lalu menceritakan keadaan dirinya. "Aku hendak mencari pembunuh ayah kandungku, akan tetapi mereka melarangku, oleh karena itu aku berduka dan menangis, kek." Dia menutup penuturannya.
Kakek itu tersenyum. "Ha-ha-ha-ha, engkau sungguh keras hati dan berbakti. Akan tetapi engkau hanya seorang anak perempuan yang lemah, mana mungkin sendirian saja pergi ke tempat begitu jauh, di luar tembok besar mencari seorang musuh pembunuh ayahmu? Bagaimana kalau engkau belajar ilmu silat dahulu dariku, kemudian setelah pandai baru engkau pergi mencari musuhmu?"
Bi Cu tadi sudah menyaksikan kelihaian kakek ini, maka dia menjadi girang dan segera menjatuhkan diri berlutut. "Terima kasih atas perhatian suhu terhadap diri teecu!" katanya.
Kakek itu tertawa girang dan segera mengangkatnya bangun. "Ketahuilah, bahwa gurumu ini dinamakan orang Hwa-i Sin-kai dan aku pemimpin seluruh pengemis Hwa-i Kaipang untuk daerah kota raja dan sekelilingnya. Engkau boleh menjadi muridku, akan tetapi Hwa-i Kaipang memiliki suatu peraturan yang melarang menerima anggota wanita. Oleh karena itu, biar pun engkau ini muridku, namun engkau tidak boleh menjadi anggota perkumpulan Hwa-i Kaipang. Mengertikah engkau, Bi Cu?"
"Teecu mengerti, dan pula, teecu memang tidak ingin menjadi pengemis!"
Hwa-i Sin-kai tertawa lagi. "Dan mulai saat ini juga engkau tidak boleh memperkenalkan namamu, karena para piauwsu dari Ui-eng Piauwkiok itu tentu akan mencarimu. Maka kalau sampai ada orang yang mengenal namamu, tentu akan mudah bagi mereka untuk menemukanmu dan aku merasa tidak enak kalau harus bentrok dengan mereka. Mereka terkenal sebagai piauwsu-piauwsu yang baik. Tadi pun untuk menolongmu, aku terpaksa harus menggunakan kecepatan agar tidak sampai dikenal oleh mereka."
"Kalau tidak memakai nama teecu, habis lalu memakai nama apa, suhu?"
"Sudah kuperhatikan dirimu. Matamu amat tajam dan indah, merupakan ciri khas bagimu, maka sepatutnya kalau engkau memakai julukan Kim-gan (Si Mata Emas) dan mengingat engkau seorang anak perempuan kecil hidup sendirian di dunia ini dan sesudah menjadi muridku engkau kelak tentunya akan memiliki kegesitan, maka biarlah engkau tambahkan julukan Yan-cu (Burung Walet). Jadi mulai sekarang kalau kau terpaksa memperkenalkan nama, maka pakailah nama Kim-gan Yan-cu."
Mulai saat itu, Bi Cu menjadi murid Hwa-i Sin-kai, diajak pergi ke dalam hutan di sebelah utara kota raja, tinggal di dalam kuil tua dan di situ dia digembleng ilmu oleh kakek yang lihai itu. Dan mulai saat itu pula dia dikenal di antara para anggota Hwa-i Kaipang sebagai Kim-gan Yan-cu, murid dari ketua mereka.
Biar pun Bi Cu tidak menjadi anggota Hwa-i Kaipang, akan tetapi dia dikenal oleh semua anggota dan disuka oleh para anggota muda, apa lagi karena dia dikagumi sebagai murid sang ketua dan memang Bi Cu amat berbakat sehingga ilmu silatnya maju secara pesat. Dan karena pergaulan inilah maka sedikit demi sedikit sifat pendiam Bi Cu mulai berubah, menjadi lincah, gembira dan juga cekatan dan cerdas sekali.
Demikianlah riwayat Bi Cu seperti yang diceritakannya kepada Sin Liong dan didengarkan dengan penuh perhatian oleh pemuda remaja itu.
********************
"Menurut ceritamu tadi, engkau tidak boleh menjadi anggota perkumpulan pengemis itu, akan tetapi mengapa engkau kini malah menjadi pemimpin para pengemis muda di pasar itu, Bi Cu?" Sin Liong menegur setelah dara itu selesai bercerita.
"Karena terpaksa. Hal ini terjadi setelah Hwa-i Kaipang bubar!"
"Ehhh?! Bubar? Mengapa?"
"Karena dituduh pemberontak oleh pemerintah dan semenjak suhu tewas."
"Suhu-mu, kakek pangcu yang lihai itu tewas? Siapa yang membunuhnya?"
"Dikeroyok oleh pasukan pemerintah. Saat itu suhu sedang menghadiri pesta pernikahan keluarga pendekar sakti Yap Kun Liong, dan entah mengapa aku sendiri tidak tahu, pesta itu diserbu oleh pasukan tentara, dan suhu tewas dalam serbuan itu oleh pengeroyokan pasukan, sedang para pendekar Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw bersama isteri mereka kabarnya ditangkap pasukan."
"Ahhh...?" Tentu saja Sin Liong terkejut bukan main mendengar berita penangkapan atas diri ayah kandungnya itu.
"Akan tetapi menurut kabar, mereka berempat itu berhasil meloloskan diri lagi dan kini menjadi buronan pemerintah. Pemerintah memang sangat sewenang-wenang, masa suhu dan para pendekar sakti itu dianggap pemberontak! Terpaksa Hwa-i Kaipang bubar dan karena tidak puas dengan kelaliman pemerintah, maka aku lalu memimpin para pengemis muda itu yang sebagian besar merupakan keturunan para anggota Hwa-i Kaipang, untuk sekedar mengacau pemerintah! Dan itu pula sebabnya maka ketika pasukan mengejarmu dan menuduhmu sebagai pemberontak buronan, kami menolongmu mati-matian."
Sin Liong menarik napas panjang. Ternyata dara remaja ini pun mengalami hal-hal yang sangat pahit. Akan tetapi dia mengusir semua itu dari kenangannya dan dia tersenyum memandang wajah yang manis itu. "Aih, kiranya engkau sekarang telah menjadi seorang pendekar wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi!"
"Tidak berani aku menganggap diri begitu, Sin Liong. Memang benar aku telah menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi dari mendiang suhu sehingga kalau dibandingkan dengan dulu pada waktu kita masih sama-sama belajar kepada Na-piauwsu, tentu saja aku telah mendapatkan kemajuan yang sangat pesat. Akan tetapi sesudah berkecimpung di dunia kang-ouw, aku tahu benar bahwa kepandaianku masih belum masuk hitungan! Aku harus mematangkan kepandaianku lebih dahulu, barulah aku akan berangkat ke utara mencari pembunuh ayah."
"Aku akan membantumu, Bi Cu. Kita akan mencari keterangan dari ayah tiriku, kemudian aku akan menemanimu mencari ke utara. Ingat, aku datang dari Lembah Naga sehingga aku mengenal daerah di utara."
Bi Cu tersenyum. "Dan aku pun tadi telah berjanji untuk membantumu menghadapi musuh besarmu."
Sin Liong mengangguk. "Memang sebaiknya kalau kita saling bantu. Bersama-sama kita mencari pembunuh ayahmu dan pembunuh ibuku, kita berdua adalah orang-orang yatim piatu, maka memang sudah selayaknya saling bantu."
"Engkau baik sekali, Sin Liong. Aku girang dapat bertemu denganmu."
"Dan aku pun juga girang sekali. Mari kita percepat jalan kita, itu dusun di mana tinggal keluarga Kui sudah nampak. Hari sudah hampir gelap."
Mereka kemudian mempercepat jalan mereka, setengah berlari-larian menuju ke dusun di depan dan waktu itu sudah hampir senja. Akhirnya mereka berjalan memasuki dusun itu dan mereka berdiri di luar pekarangan sebuah rumah yang cukup besar. Sampai di sini Bi Cu termangu-mangu.
"Sin Liong, kau masuklah saja dulu," bisiknya. "Aku merasa malu, karena kalau kuingat betapa aku telah mencopet barang-barang mereka..."
"Ahh, mereka tidak akan tahu..."
"Kau masuklah dahulu, kalau engkau lihat tidak ada halangan bagiku untuk masuk, baru engkau panggil aku. Kau boleh beri tahukan dulu kepada mereka tentang kehadiranku..."
Akhirnya Sin Liong menyetujui juga karena memang dia sendiri baru saja akan bertemu dengan keluarga Kui, maka tidak enaklah jika datang-datang dia membawa teman. Lebih baik dia melihat gelagat lebih dulu, kalau sekiranya keluarga itu tidak keberatan menerima Bi Cu, baru dia akan memanggil dara itu. Andai kata mereka berkeberatan menerima Bi Cu, dia sendiri pun tidak akan mau tinggal di situ!
"Baik, kau tunggu di sini sebentar," katanya dan dia lalu melangkah masuk.
Pekarangan rumah itu sunyi saja, bahkan pada serambi depan juga kelihatan sunyi tidak terlihat adanya seorang pun. Karena merasa bahwa dia adalah seorang anggota keluarga ini, maka Sin Liong ingin mengejutkan mereka dengan kemunculan yang tiba-tiba melalui pintu belakang. Dia lantas mengambil jalan memutar, melewati samping rumah di mana terdapat sebuah kebun yang cukup luas.
Selagi dia jalan berindap-indap dengan jantung berdebar tegang penuh kegembiraan dan membayangkan betapa keluarga itu akan kaget sekali melihat kemunculan yang tiba-tiba dan betapa akan gembiranya pertemuan antara dia dengan keluarga itu, terutama dengan adik-adiknya, Lan Lan dan Lin Lin, tiba-tiba saja terdengar bentakan-bentakan halus dan nyaring lantas dari ujung tikungan dinding rumah itu berloncatan keluar dua orang gadis remaja yang cantik-cantik dan lincah, yang bukan lain adalah Lan Lan dan Lin Lin. Dua orang dara remaja kembar ini masing-masing memegang sebatang pedang dan tanpa banyak cakap lagi mereka sudah menyerang Sin Liong dengan ganasnya!
Diserang secara mendadak itu Sin Liong tidak menjadi gugup, dan dengan beberapa kali melangkah ke belakang saja dia sudah dapat menghindarkan serangan-serangan pedang itu.
"Ehh... ohhh... nanti dulu...!" serunya.
"Maling hina, engkau sudah bosan hidup!" bentak salah seorang di antara sepasang dara kembar itu dan dengan loncatan cepat dia sudah menyerbu dan menusukkan pedangnya ke arah dada Sin Liong!
"Dia tentu kawan-kawan para pencopet itu, enci Lan. Hajar saja!" bentak dara ke dua lalu dia pun menerjang ke depan dan mengayun pedangnya menyerang ke arah kedua kaki Sin Liong!
"Eittttt... tahan dulu...!" Sin Liong membuat gerakan kaku menarik tubuh atas ke belakang dengan menekuk lututnya sehingga tusukan pedang Lan Lan tadi luput dan ujung pedang itu berhenti di depan hidungnya, sedangkan ketika pedang Lin Lin menyambar lutut, dia cepat meloncat ke belakang menghindarkan diri. Sungguh pun gerakannya kaku karena memang Sin Liong tidak ingin memamerkan kepandaian, akan tetapi tentu saja gerakan ini dengan mudah dapat membebaskan dia dari serangan yang tiba-tiba itu.
"Lan Lan dan Lin Lin, tahan dulu...!" teriaknya ketika melihat mereka menyerang kembali sehingga terpaksa dia meloncat ke sana-sini seperti monyet menari-nari, namun semua serangan bertubi-tubi itu luput semua.
Mendengar disebutnya nama panggilan sehari-hari mereka, kedua orang dara kembar itu menjadi semakin marah. "Kurang ajar kau!" bentak mereka hampir berbareng dan kini pedang mereka digerakkan makin gencar, bertubi-tubi mendesak ke arah Sin Liong.
Diam-diam Sin Liong gembira menyaksikan gerakan dua orang adik tirinya itu karena dia mendapat kenyataan bahwa gerakan mereka cukup gesit dan juga mengandung tenaga sinkang yang lumayan. Maka dia pun tak mau memperkenalkan diri lebih dulu karena dia ingin menguji lebih jauh sampai di mana tingkat kepandaian dua orang adik kembarnya. Tentu saja dia selalu membuat gerakan kaku dan terdesak, akan tetapi tak pernah ujung kedua batang pedang itu dapat menyentuh ujung bajunya sekali pun.
Mendadak nampak bayangan orang berkelebat dan ternyata Bi Cu sudah meloncat cepat ke tempat itu dan tangan kanannya memegang sebatang ranting kayu sebesar lengan. Dengan gerakan indah dia menangkis dengan ranting kayu itu.
"Trakk! Trakkk!"
Dua batang pedang itu terpukul mundur. Ternyata tangkisan ranting kayu yang digetarkan hebat itu membuat kedua orang dara kembar ini terkejut karena mereka merasa betapa pedang mereka tergetar dan tangan mereka nyeri!
"Jangan takut, Sin Liong, biar aku menghadapi mereka!" bentak Bi Cu.
Dua orang dara kembar itu terkejut dan heran. Mereka terbelalak memandang kepada Sin Liong dan dengan berbareng bibir mereka bergerak, "Sin Liong...?"
"Lan-moi dan Lin-moi, apakah kalian tidak mengenal kakakmu sendiri? Aku adalah Sin Liong...," kata Sin Liong dengan suara gemetar karena terharu.
Dua orang gadis itu terbelalak, lantas melemparkan pedang dan mereka langsung berlari menghampiri pemuda itu. "Liong koko...!"
Lan Lan dan Lin Lin merangkul dengan wajah berseri gembira. Sin Liong teringat ibunya. Dia merangkul dua orang dara kembar itu dengan penuh kasih sayang.
"Lan-moi dan Lin-moi, kalian sudah menjadi dua orang dara yang amat manis dan cantik jelita, juga kepandaianmu hebat, hampir saja aku kalian jadikan bakso!"
Akan tetapi dua orang dara remaja kembar itu tiba-tiba menoleh dan memandang kepada Bi Cu yang masih berdiri bengong sambil tetap memegang ranting kayu pada tangannya yang tadi digunakannya untuk melindungi Sin Liong. Dia memang mempunyai kepandaian istimewa dalam memainkan senjata tongkat, yaitu ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) yang dipelajarinya dari mendiang Hwa-i Sin-kai.
"Liong-ko, siapakah dia?" tanya Lan Lan.
Sin Liong baru teringat kepada Bi Cu, maka cepat-cepat dia memperkenalkan. "Bi Cu, inilah adik-adikku itu, Kui Lan dan Kui Lin. Lan-moi dan Lin-moi, ini adalah Bhe Bi Cu, yang pernah menjadi sumoi-ku."
"Ahhh...!" Dua orang dara kembar itu berseru girang dan mereka segera tersenyum ramah kepada Bi Cu. Lenyaplah kemarahan Bi Cu tadi ketika melihat dua orang dara kembar itu tersenyum demikian manisnya.
"Liong-ko, engkau mengagetkan orang saja!" Lan Lan menegur, "Mengapa tidak langsung masuk dari pintu depan?"
Sin Liong tersenyum. "Aku memang ingin membikin kalian terkejut. Bagaimana keadaan kalian sekeluarga?"
"Ayah pasti akan girang sekali mendengar kedatanganmu. Mari, Liong-ko, ayah berada di dalam. Mari kita temui dia! Enci Bi Cu, mari ikut!" kata Lin Lin yang mendahului mereka lari melalui pintu samping ke dalam rumah sambil berteriak-teriak.
"Ayah. Liong-koko telah pulang...!"
Sin Liong hanya tersenyum penuh keharuan pada saat dia menggandeng tangan Lan Lan mengikuti Lin Lin, ada pun Bi Cu mengikuti pula dari belakang. Dia ikut gembira melihat penyambutan dua orang dara kembar itu terhadap kedatangan kakaknya dan diam-diam dia merasa iri hati terhadap Sin Liong. Biar pun seperti juga dia, Sin Liong sudah yatim piatu, akan tetapi setidaknya Sin Liong mempunyai adik-adik tiri semanis dua orang dara kembar itu! Sedangkan dia, dia tidak mempunyai siapa-siapa.
Kui Hok Boan tercengang ketika mendengar bahwa Sin Liong muncul secara tiba-tiba di rumahnya. Diam-diam dia merasa tidak senang dan menganggap kedatangan ini sebagai gangguan. Selama beberapa tahun ini, sejak mereka pindah dari Lembah Naga, dia hidup tenteram sebagai seorang hartawan dan tuan tanah yang disegani di dusun itu.
Seperti yang telah diceritakan di bagian depan, semenjak kematian isterinya, yaitu Liong Si Kwi ibu kandung Sin Liong, Kui Hok Boan yang tampan dan selalu berpakaian seperti sasterawan ini segera meninggalkan Lembah Naga karena memang hal ini diharuskan oleh Raja Sabutai. Ketika meninggalkan Lembah Naga, Kui Hok Boan membawa harta bendanya, yaitu harta pusaka yang diperolehnya di Istana Lembah Naga, maka dia dapat hidup sebagai seorang hartawan besar di dusun dekat kota raja itu dan memiliki sawah yang luas sekali.
Dia hidup dengan tenteram, mendidik dua orang puterinya dan dua orang keponakannya, yaitu Kwan Siong Bu dan Tee Beng Sin. Selama ini dia mengambil beberapa orang selir, akan tetapi tidak pernah menikah kembali, dan di antara selir-selirnya tidak ada seorang pun yang memiliki anak. Dia tidak pernah lagi ingat kepada Sin Liong yang dianggapnya dan diharapkannya telah meninggal dunia.
Maka, tentu saja dia amat tercengang ketika mendengar suara Lin Lin yang meneriakkan kedatangan Sin Liong. Betapa pun juga, Kui Hok Boan adalah seorang yang cerdik. Dia dapat menekan perasaan tidak senangnya dan dengan muka berseri dan senyum lebar dia keluar menyambut kedatangan anak tirinya itu. Alisnya terangkat ketika dia melihat Bi Cu ikut masuk bersama dua orang puterinya dan Sin Liong.
Akan tetapi sepasang matanya membuat Bi Cu diam-diam mencatat bahwa tuan rumah ini tergolong seorang laki-laki yang matanya berkilat dan berminyak apa bila memandang wanita! Sebagai seorang dara remaja yang sudah biasa bergaul dan setiap hari berada di pasar, tentu saja Bi Cu dapat mengenal pandang mata para laki-laki yang memandang dirinya.
Sejenak Kui Hok Boan dan Sin Liong saling pandang dan dalam waktu singkat itu masing-masing sudah menilai. Bagi Sin Liong, ayah tirinya itu nampak lebih kurus dari biasanya, dan kini telah berkumis dan berjenggot pendek. Di lain fihak, Kui Hok Boan memandang wajah Sin Liong penuh perhatian dan dia harus mengakui bahwa kini anak tirinya ini telah menjadi seorang pemuda remaja yang amat tampan dan membawa sifat-sifat gagah yang tersembunyi. Karena itu dia bersikap hati-hati sekali dan sambil tersenyum lebar dia maju menghampiri.
"Ahh, anak Sin Liong, ke mana saja engkau selama bertahun-tahun ini?" tegurnya ramah.
"Saya merantau sampai jauh, paman, hingga akhirnya saya tinggal di kota raja, bekerja sebagai pelayan rumah makan," jawab Sin Liong yang sampai sekarang tetap tidak mau menyebut ayah kepada ayah tirinya itu, melainkan menyebut paman, Hok Boan agaknya juga tidak peduli akan hal ini dan dia mendengarkan penuturan Sin Liong dengan penuh perhatian.
"Ahh, bagus sekali kalau begitu! Dan sekarang engkau datang ke sini, apakah hanya ingin berkunjung ataukah ada keperluan yang lain? Dan siapakah nona ini?" Dia memandang kepada Bi Cu dan kembali dara ini melihat sinar mata laki-laki ini berkilat, membuat dia makin tidak senang dan segera menundukkan mukanya.
"Saya datang hendak meminta pertolongan dan perlindungan dari paman Kui," Sin Liong berkata, "Saya dituduh pemberontak dan dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah."
Berubah wajah Kui Hok Boan mendengar ini, dan jelas bahwa dia nampak terkejut sekali dan juga terheran-heran. "Duduklah kalian berdua, dan ceritakanlah semuanya kepadaku, Sin Liong."
Sin Liong dan Bi Cu duduk saling berhadapan dengan orang she Kui itu, sedangkan Lan Lan dan Lin Lin duduk di samping ikut mendengarkan dengan penuh perhatian.
Karena memang mengharapkan perlindungan di dalam rumah keluarga itu, Sin Liong lalu dengan singkat akan tetapi jelas menuturkan keadaannya tanpa menyebut-nyebut tentang hubungannya dengan pemberontak Cia Bun Houw, bahkan dia tak menyinggung tentang kepandaiannya. Akan tetapi karena dia tahu bahwa Kui Hok Boan sudah mengenal Kim Hong Liu-nio, bahkan menjadi musuh besarnya sebab Kim Hong Liu-nio adalah pembunuh ibu kandungnya, juga ibu kandung Lan Lan dan Lin Lin, maka dia tidak menyembunyikan tentang wanita iblis itu.
"Ketika saya sedang bekerja di rumah makan itu, tiba-tiba saja muncul iblis betina musuh besar kita itu, paman, dan dia berteriak menuduh saya sebagai pemberontak. Saya lalu melarikan diri dan dikejar-kejar oleh pasukan. Untung ada nona Bhe Bi Cu ini yang telah menolong saya dan menyembunyikan saya sehingga pasukan itu tidak menemukan saya, kemudian saya mengajaknya untuk melarikan diri ke sini dengan harapan paman akan suka menolong kami dan memberi perlindungan di sini sampai keadaan menjadi aman."
Diam-diam Kui Hok Boan terkejut dan gentar bukan main mendengar penuturan Sin Liong itu. Baru mendengar bahwa wanita iblis itu muncul di kota raja dan melakukan pengejaran terhadap Sin Liong saja sudah mendatangkan rasa ngeri di dalam hatinya, apa lagi ketika mendengar bahwa Sin Liong sekarang dianggap pemberontak sehingga dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah.
Tentu saja dia merasa gentar, takut kalau-kalau wanita itu akan terus mengejar sehingga sampai ke situ, apa lagi kalau sampai pasukan pemerintah tahu bahwa Sin Liong tinggal di rumahnya, tentulah dia akan dituduh sebagai orang yang melindungi pemberontak dan akan menerima hukuman berat! Akan tetapi di wajahnya tidak kelihatan tanda sesuatu.
"Ayah, kita harus melindungi Liong-koko!" tiba-tiba Lan Lan berkata.
"Betul, ayah. Liong-ko dan enci Bi Cu biar tinggal dan bersembunyi dulu di sini!" sambung Lin Lin.
Kui Hok Boan memandang kedua orang puterinya itu dan dia semakin merasa tidak enak untuk menolak permintaan Sin Liong tadi. Dia sendiri memang tidak mempunyai perasaan apa pun terhadap Sin Liong karena memang anak ini bukan apa-apanya, hanya anak tiri, akan tetapi bagi Lan Lan dan Lin Lin, Sin Liong merupakan saudara seibu dan sekandung, biar pun berlainan ayah.
"Hemm, tentu saja aku tidak keberatan dan suka melindungimu, Sin Liong, hanya kita harus pikirkan baik-baik akan bahayanya kalau sampai wanita iblis itu mengejar ke sini."
"Kita akan lawan bersama!" teriak Lan Lan. "Apa lagi di sini ada enci Bi Cu. Ayah, enci Bi Cu ini lihai bukan main, tadi kami salah sangka menyerang Liong-koko, akan tetapi hanya dengan sebatang ranting saja enci Bi Cu dapat menangkis pedang kami!"
Bi Cu tersenyum dan dia tak pernah bosan memandang dua orang dara kembar itu yang dianggapnya sangat manis dan juga demikian serupa bentuk wajah serta gerak-geriknya sehingga biar pun dia tadi sudah diperkenalkan, dia tetap saja tidak mampu membedakan dan tidak dapat mengenal lagi yang mana Lan Lan dan yang mana Lin Lin.
Akan tetapi, tentu saja bagi Sin Liong tidak sukar untuk membedakan kedua adiknya itu karena dia tahu bahwa Lan Lan mempunyai titik kecil merah pada leher kirinya, dan yang sikapnya terbuka, lincah dan gembira adalah Lan Lan, sedangkan Lin Lin lebih pendiam.
Mendengar ucapan Lan Lan itu, Kui Hok Boan semakin tertarik kepada Bi Cu, maka dia memandang penuh perhatian. Kini sinar kekaguman terpancar dari kedua matanya tanpa disembunyikan lagi sehingga Bi Cu merasa makin kikuk.
"Ahh, kiranya nona mempunyai kepandaian silat yang tinggi? Kalau boleh saya bertanya, siapakah nama guru nona?" Laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh lima tahun itu tersenyum seramahnya kepada dara remaja yang cantik manis itu.
Bi Cu hanya memandang sebentar lalu menunduk kembali, mengerutkan alisnya karena dia merasa ragu untuk mengaku. Akan tetapi Sin Liong maklum akan kekerasan hati ayah tirinya, dan ketidak terus terangan Bi Cu akan menimbulkan curiga. Maka dia lalu cepat menerangkan,
"Paman Kui, Bi Cu adalah murid dari mendiang Hwa-i Sin-kai."
"Ahhhh...!" Kui Hok Boan benar-benar terkejut bukan main mendengar disebutnya nama ini. Siapa orangnya yang tidak mengenal nama ketua Hwa-i Kaipang yang tersohor di kota raja dan sekelilingnya itu? Apa lagi sesudah perkumpulan itu dianggap pemberontak dan dimusuhi oleh pemerintah!
"Hwa-i Kaipangcu...? Bukankah... bukankah perkumpulan itu...?" Dia tidak melanjutkan dan menatap wajah dara itu dengan tajam.
Bi Cu yang merasa bahwa sekarang dia tak perlu merahasiakannya lagi setelah Sin Liong menceritakan siapa gurunya, dan pula terhadap keluarga ayah tiri Sin Liong memang tak perlu merahasiakan hal itu karena bukankah dia dan Sin Liong hendak berlindung di sini? Maka dia mengangguk.
"Benar, paman. Guruku adalah mendiang ketua perkumpulan Hwa-i Kaipang yang dituduh pemberontak pula. Akan tetapi semuanya itu hanyalah fitnah, Hwa-i Kaipang yang sudah dimusuhi dan kini terpaksa dibubarkan itu tidak pernah memberontak, dan aku pun sama sekali tidak ada hubungannya dengan Hwa-i Kaipang, bahkan bukan menjadi anggotanya biar pun aku menjadi murid mendiang suhu yang menjadi ketua perkumpulan itu."
Selama Bi Cu bicara yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Hok Boan, orang ini sudah dapat menekan hatinya yang terkejut tadi dan kini dia tersenyum dan memandang kagum. "Ah, kiranya nona adalah murid seorang sakti! Tentu ilmu kepandaian nona amat tinggi. Mengingat akan bahaya yang mengancam kalian berdua, biarlah untuk sementara waktu kalian boleh bersembunyi di sini, akan tetapi kuharap kalian tidak memperlihatkan diri keluar karena kalian sendiri tahu bahwa kalau pasukan pemerintah menemukan kalian di sini, berarti keluarga kami akan binasa."
"Baiklah, paman dan banyak terima kasih kami haturkan atas kebaikan paman menolong kami. Kami pun hanya akan bersembunyi sampai keadaan mereda sehingga kami dapat melanjutkan perjalanan kami menuju ke utara."
"Apa? Engkau hendak ke sana...? Ke Lembah Naga...?" Hok Boan bertanya kaget.
Sin Liong menggelengkan kepala. "Bukan ke Lembah Naga, paman, melainkan ke dusun Pek-hwa-cung di kaki Pegunungan Khing-an-san..." Sin Liong berhenti dan memandang wajah ayah tirinya karena dia melihat perubahan pada wajah itu yang menjadi agak pucat dan matanya terbelalak, tanda bahwa ayah tirinya itu terkejut dan heran bukan kepalang mendengar disebutnya nama dusun itu.
"Pek-hwa-cung...?" Khi Hok Boan mengulang nama dusun itu dan matanya memandang jauh.
"Benar, paman, dan Bi Cu ingin menanyakan sesuatu kepada paman, mengingat bahwa paman sudah banyak menjelajah di sekitar daerah utara."
Ucapan ini memberi kesempatan kepada Kui Hok Boan untuk menenangkan jantungnya yang berdebar akibat kaget mendengar nama dusun yang mendatangkan kembali kenang-kenangan hebat yang pernah dialaminya di dusun itu. Dia tersenyum kembali dengan sikap tenang, menoleh ke arah Bi Cu dan memandang gadis itu dengan sikap ramah, lalu bertanya, suaranya biasa lagi.
"Nona, apakah yang hendak kau tanyakan padaku? Memang banyak juga aku mengenal tempat-tempat di sana, dan dusun Pek-hwa-cung tidak asing bagiku."
Berdebar jantung dalam dada Bi Cu, penuh ketegangan dan harapan. Siapa tahu dia akan berhasil memperoleh keterangan tentang ayahnya dari orang ini.
"Paman Kui, sebelumnya terima kasih atas kebaikanmu. Kami hanya ingin mengetahui apakah paman mengenal seorang laki-laki yang bernama Bhe Coan dan pernah tinggal di dusun Pek-hwa-cung sana?"
Kembali Kui Hok Boan mengalami guncangan batin hebat, akan tetapi kini dia sudah siap menghadapi segala sesuatu, maka wajahnya tidak memperlihatkan perubahan meski pun dia hampir terlonjak saking kagetnya. Sin Liong yang sejak tadi mengawasi ayah tirinya itu, diam-diam merasakan kekagetan ayah tirinya yang ditekan-tekan itu, namun dia diam saja.
"Bhe Coan...?" Kui Hok Boan pura-pura mengingat-ingat dan mengerutkan alisnya sambil menekan perasaannya yang terlontar melalui pengulangan nama yang sangat dikenalnya itu sehingga suaranya tadi terdengar agak sumbang dan gemetar.
"Ya, Bhe Coan, seorang pandai besi, seorang ahli pembuat pedang!" Bi Cu yang sedang dilanda ketegangan serta harapan itu tidak mendengar getaran suara itu dan cepat-cepat melengkapi keterangannya sambil memandang kepada wajah Hok Boan penuh perhatian dan pengharapan.
"Ahh, Bhe Coan...? Bhe Coan si pandai besi, ahli pembuat pedang itu? Tentu saja aku mengenal mendiang Bhe Coan! Dia telah meninggal dunia..."
Wajah Bi Cu gembira bukan main. "Memang dia sudah meninggal dunia, paman Kui. Aku tahu bahwa ayahku telah meninggal dunia dan karena itulah maka aku bertanya kepada paman..."
"Ayahmu...? Ahh, sungguh tak terduga! Jadi engkau ini anaknya...?" Hampir saja Kui Hok Boan kelepasan bicara.
Memang dahulu dia pernah mendengar dari Bhe Coan bahwa ahli pembuat pedang itu mempunyai seorang anak perempuan yang dititipkannya pada seorang sahabat baiknya ketika dia menikah dengan janda yang bernama Leng Ci. Menurut penuturan mendiang Bhe Coan, sahabatnya itu ialah seorang piauwsu she Na yang tinggal di kota Shen-yang di Propinsi Liao-ning. Tentu saja dia tidak tahu bahwa Na-piauwsu semenjak menerima Bi Cu sebagai anak angkat atau muridnya, telah pindah ke kota Kun-ting di Propinsi Ho-pei, sebelah selatan kota raja. Dia tidak tahu pula mala petaka yang menimpa keluarga Na itu.
"Benar, paman Kui. Aku adalah anak tunggal dari mendiang ayahku itu, dan yang hendak kutanyakan kepada paman adalah tentang kematian ayahku. Paman mengenalnya, tentu paman mendengar pula bagaimana ayah meninggal dunia." Sepasang mata yang jernih itu memandang dengan penuh perhatian dan juga penuh harapan kepada Kui Hok Boan yang tentu saja amat terguncang batinnya.
Segera terbayang semua peristiwa yang dialaminya di dalam rumah Bhe Coan, belasan tahun yang lalu itu. Seperti telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, Kui Hok Boan yang ketika itu masih merupakan seorang pria berusia tiga puluh tahun yang tampan dan gagah, berpakaian sasterawan dan gerak-geriknya halus, datang bertamu ke rumah ahli pembuat pedang atau pandai besi yang terkenal itu untuk memesan sebatang pedang. Karena pandainya bersikap manis, Bhe Coan yang jujur tertarik dan mempersilakan Kui Hok Boan untuk bermalam dan tinggal di rumahnya selagi dia membuatkan pedang yang dipesannya.
Dalam kesempatan ini, Kui Hok Boan yang terkenal mata keranjang itu tentu saja tidak dapat melewatkan seorang wanita cantik seperti isteri Bhe Coan begitu saja. Dirayunya isteri Bhe Coan, bekas janda Leng Ci yang cantik genit itu dan mereka lalu mengadakan hubungan perjinahan di dalam rumah Bhe Coan sendiri!
Akhirnya, sesudah pedang selesai, Bhe Coan menangkap basah dua orang yang sedang berjinah di dalam kamarnya itu. Dengan kemarahan meluap-luap Bhe Coan menusukkan pedang yang baru selesai dibuatnya itu ke arah Hok Boan.
Hok Boan mengelak dan pedang itu menembus dada Leng Ci! Kemudian, terpaksa Hok Boan mempergunakan kepandaiannya untuk membunuh Bhe Coan, dan tanpa diketahui siapa pun dia meninggalkan dua jenazah itu dalam kamar dan melarikan diri!
"Bagaimana, paman Kui? Apakah paman dapat menceritakan kepadaku tentang kematian ayahku itu?" Bi Cu mengulangi pertanyaannya pada waktu dia melihat tuan rumah duduk termenung seperti tidak pernah mendengar pertanyaannya yang pertama tadi.
"Ohh? Tidak... aku tidak tahu, aku hanya mendengar bahwa dia meninggal dunia. Sudah lama aku tidak bertemu lagi dengan dia semenjak aku memesan pedang kepadanya, kau tunggu... pedang itu masih kusimpan sampai sekarang..." Kui Hok Boan segera bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu melalui pintu sebelah dalam.
Melihat sikap tuan rumah yang seolah-olah tergesa-gesa itu, diam-diam Sin Liong merasa heran sekali. Dia melihat seakan-akan ayah tirinya menjadi gugup dan bingung pada saat ditanya tentang kematian ayah kandung Bi Cu!
Sementara itu, begitu menutupkan daun pintu yang menembus ke ruangan itu, Kui Hok Boan cepat berlari memasuki kamarnya dengan napas agak memburu. Celaka, pikirnya, siapa sangka bahwa dia akan bertemu muka dengan puteri Bhe Coan yang dibunuhnya itu! Dan lebih celaka lagi, dara itu justru bertanya kepadanya tentang kematian ayahnya! Ini berbahaya! Kalau dia tidak cepat bertindak dan rahasia itu sampai terbuka, berarti dara itu merupakan musuh besar yang tentu akan selalu berusaha untuk membalas kematian ayahnya.
Dia menduga-duga sampai berapa jauh dara itu mengetahui tentang kematian ayahnya. Sementara itu, otaknya bekerja cepat dalam usahanya merencanakan suatu siasat untuk menyelamatkan dirinya dan menghancurkan orang-orang yang tidak disenanginya.
Di lain saat Kui Hok Boan telah menulis sehelai surat dalam kamarnya. Jari-jari tangannya yang memang cekatan dan pandai menulis itu kemudian bergerak cepat menyelesaikan sebuah surat yang dimasukkannya dalam sampul dan ditutupnya rapat-rapat. Setelah itu, dengan tergesa-gesa dia mengantongi surat itu dan mengeluarkan seguci arak dari dalam almari, berikut sebungkus obat putih dari saku bajunya. Dituangkannya sedikit bubuk putih ke dalam guci arak, kemudian setelah menyimpan kembali bungkusan obat bubuk itu, dia memanggil pelayan.
"Sediakan makanan untuk dua orang dan juga arak ini, lalu hidangkan ke kamar tamu!" perintahnya kepada pelayan wanita yang segera datang memenuhi panggilannya. "Dan coba panggil dulu kedua orang nona ke sini!"
Pelayan itu cepat-cepat berlalu menuju ke depan, ke ruangan di mana Lan Lan dan Lin Lin sedang bercakap-cakap dengan gembira bersama Sin Liong dan Bi Cu.
"Ehhh, Lan-moi, di mana adanya Siong Bu dan Beng Sin? Mengapa aku tidak melihat mereka?" tanya Sin Liong.
"Mereka disuruh oleh ayah untuk menagih uang sewa tanah, dan sore nanti baru akan pulang," jawab yang ditanya.
Pada saat itu muncullah pelayan yang menyampaikan panggilan Kui Hok Boan kepada dua orang puterinya. Dua orang dara kembar itu merasa agak heran, akan tetapi mereka segera minta maaf dan meninggalkan dua orang tamunya, langsung pergi ke kamar ayah mereka bersama pelayan yang juga kembali ke dalam untuk mengambil guci arak dan mempersiapkan hidangan untuk dua orang tamu seperti dipesan oleh majikannya.
"Ayah memanggil kami?" tanya Lan Lan.
"Ya, ayah mempunyai urusan yang amat penting. Kalian cepat pergilah kepada komandan Kwan di kota raja dan serahkan suratku ini kepadanya. Pergilah cepat-cepat dan kembali cepat."
"Tapi, ayah, di sini ada Liong-koko. Mengapa ayah tidak menyuruh seorang pelayan saja, atau menanti sampai Bu-ko atau Sin-ko pulang?" Lan Lan membantah.
"Urusan ini penting sekali, kalian harus cepat serahkan surat ini dan jangan membantah!" bentak Kui Hok Boan sambil menyerahkan surat itu. "Kalian naik kuda saja agar cepat!"
"Biar aku sendiri yang mengantar surat itu, biar enci Lan menemani Liong-ko dan enci Bi Cu," kata Lin Lin.
"Tidak! Tidak baik seorang gadis pergi sendirian saja. Kalian pergi berdua, jangan kalian khawatir tentang Sin Liong dan Bi Cu, aku yang akan menemani mereka. Aku masih ingin bicara banyak dengan mereka."
Dua orang gadis kembar itu saling pandang. Lin Lin adalah seorang gadis pendiam, lebih pendiam dibandingkan dengan watak Lan Lan yang lincah dan jenaka, akan tetapi karena pendiam ini dia lebih cerdas.
"Ayah, Liong-ko dan enci Bi Cu sedang dicari-cari pasukan pemerintah. Sekarang ayah mengirim surat kepada komandan Kwan, seorang komandan pengawal istana. Apakah ada hubungannya dengan kedatangan Liong-ko?"
Kui Hok Boan memandang wajah puterinya ini dan mengangguk-angguk. "Engkau cerdas sekali, Lin Lin. Memang benar sekali dugaanmu itu. Kalian tahu, mereka berdua itu harus bersembunyi di sini untuk beberapa pekan lamanya sampai keadaan mereda. Bagaimana kalau tiba-tiba Kwan-ciangkun berkunjung ke sini seperti biasanya? Oleh karena itu, aku mengirim surat kepadanya, memberi tahu bahwa hari ini aku hendak berangkat pergi ke selatan selama satu bulan sehingga dengan demikian, sebelum lewat satu bulan dia tentu tidak akan datang ke sini. Nah, cepat kalian sampaikan surat ini kepadanya!"
Mendengar ini, Lan Lan dan Lin Lin tidak banyak cakap lagi, lalu mereka berganti pakaian dan segera berangkat meninggalkan rumah mereka, menunggang dua ekor kuda pilihan. Sementara itu, Kui Hok Boan mengambil sebatang pedang dari dalam almari, kemudian membawa pedang itu ke luar kamar, kembali ke ruangan tamu di mana Sin Liong dan Bi Cu menanti tuan rumah yang pergi begitu lama, dan juga Lan Lan dan Lin Lin yang tidak nampak kembali, bahkan mereka tadi dengan jelas mendengar derap kaki dua ekor kuda membalap meninggalkan rumah itu.
"Sin Liong, perasaanku tidak enak sekali... aku... aku tidak kerasan tinggal di sini," bisik Bi Cu.
"Ssttt, kita terpaksa, Bi Cu. Hanya untuk beberapa hari sampai keadaan mereda. Jangan kahwatir, andai kata ayah tiriku itu kurang begitu suka kepadaku, tapi jelas bahwa kedua orang adikku Lan Lan dan Lin Lin itu amat sayang kepadaku."
Mendengar jawaban ini, legalah hati Bi Cu karena dia pun dapat melihat sendiri betapa sikap kedua orang dara kembar itu amat baik dan ramah. Mereka segera diam pada saat mendengar langkah kaki, kemudian muncullah Kui Hok Boan dengan wajah berseri dan tangannya membawa sebatang pedang yang sarungnya terukir indah.
"Maaf, karena ada keperluan lain, maka terpaksa agak lama aku meninggalkan kalian di sini," katanya.
"Paman, di manakah adik Lan dan Lin?" Sin Liong bertanya, teringat akan bunyi derap kaki dua ekor kuda tadi.
"Ahh, mereka sedang pergi, kusuruh menyusul Siong Bu dan Beng Sin," jawab Hok Boan yang memang sudah siap-siap menghadapi pertanyaan itu. Sin Liong menjadi girang dan hilanglah kecurigaannya.
"Nona Bhe, inilah pedang buatan mendiang saudara Bhe Coan itu. Dan hanya satu kali itulah aku berjumpa dengan dia ketika aku berkunjung dan memesan pedang ini," Hok Boan mengulurkan tangan yang memegang pedang kepada Bi Cu.
Dara remaja ini segera menerima pedang, lalu menghunus pedang itu. Sebatang pedang yang amat baik. Tiba-tiba saja keharuan dan kedukaan menyerang hati Bi Cu dan dara ini tersedu sambil mendekap pedang dan mencium mata pedang buatan ayahnya, merasa seakan-akan dia sedang mencium tangan ayahnya. Sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa pedang yang diciumnya itu dahulu pernah digunakan oleh ayah kandungnya untuk menyerang tuan rumah ini dan pedang itu menembus dada ibu tirinya. Akan tetapi hanya sebentar dia menangis karena Bi Cu sudah dapat mengusai guncangan batinnya kembali, lalu mengembalikan pedang itu kepada pemiliknya.
Pada saat itu, Lan Lan dan Lin Lin sudah pergi jauh dengan kuda mereka yang mereka balapkan menuju ke kota raja. Debu mengepul tinggi di belakang kaki kuda mereka yang lari kencang. Akan tetapi ketika mereka berada di jalan di antara sawah ladang yang sepi, tiba-tiba Lin Lin berseru kepada enci-nya agar berhenti.
"Ada apakah?" Lan Lan bertanya setelah dia menahan kendali kudanya dan kedua ekor kuda itu berhenti di tengah jalan.
"Enci Lan, hatiku sungguh merasa tidak enak," kata si adik yang biasanya pendiam itu.
"Aih, jangan bilang bahwa engkau takut untuk melewati hutan di depan itu, Lin-moi. Sudah beberapa ratus kali kita lewat di situ dan tak pernah terjadi sesuatu. Pula, siapakah yang akan berani mengganggu kita? Andai kata ada yang berani mengganggu kita, kita pun tak usah takut! Pedang kita akan menghadapi dan menghajar siapa yang berani mengganggu kita!" Lan Lan menepuk pedang yang tergantung di pinggangnya.
Lin Lin menggeleng kepala. "Hatiku merasa tidak enak bukan mengkhawatirkan diri kita, enci, melainkan diri Liong-koko."
Lan Lan membelalakkan mata dengan heran. "Ehh, apa maksudmu, Lin Lin?"
"Surat yang kau bawa itu, enci. Liong-koko dituduh pemberontak dan kini berada di dalam rumah kita. Namun sekarang ayah mengirim surat kepada Kwan-ciangkun. Benar-benar aneh dan mengkhawatirkan."
"Kau mencurigai ayah?"
"Aku tahu bahwa mencurigai ayah sendiri adalah hal tidak baik, akan tetapi aku pun tahu betapa ayah tidak suka kepada Liong-ko, kalau bukannya membenci malah. Lupakah kau akan sikap ayah terhadap Liong-ko dahulu? Aku khawatir sekali, enci."
Lan Lan juga menjadi bimbang. Diambilnya surat bersampul tertutup rapat itu dari dalam saku bajunya dan ditimang-timangnya. "Habis, bagaimana?" tanyanya bingung.
"Kita buka dan baca dulu isinya!"
"Ahhh...!" Lan Lan meragu. "Surat ini bersampul dan tertutup rapat..."
"Aku sengaja membawa perekat dari rumah, enci. Kita buka, baca dan tutup lagi dengan perekat ini." Lin Lin lalu mengeluarkan sebungkus perekat. Kiranya sejak dari rumah tadi gadis ini sudah menaruh curiga dan telah merencanakan untuk membuka surat ayahnya itu kemudian membaca isinya.
"Engkau benar, adikku. Sungguh pun perbuatan kita ini tidak patut, akan tetapi kita harus mencegah ayah melakukan hal yang jahat."
Mereka berdua segera turun dari punggung kuda, bersama-sama mereka lalu membuka sampul surat itu dengan hati-hati agar jangan sampai terobek, kemudian bersama-sama pula mereka membaca isi surat dalam sampul.
Kwan-ciangkun yang terhormat
Harap segera membawa pasukan untuk menangkap pemberontak-pemberontak Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu yang berada di rumah saya. Cepat agar jangan terlambat!
Hormat saya. yang setia kepada negara, Kui Hok Boan
Wajah kedua orang dara kembar itu menjadi pucat seketika. "Celaka, kiranya dugaanmu benar sekali, Lin-moi!" seru Lan Lan dengan gemas. "Ayah sudah mengkhianati mereka! Ahhh, sungguh celaka!"
Lin Lin juga menjadi bingung sejenak, akan tetapi gadis yang cerdik ini lalu berkata, "Kita harus menggunakan akal, enci."
"Bagalmana akalnya? Ahh, betapa jahatnya ayah...!"
"Ssst, jangan berkata demikian, enci! Mungkin ayah melakukan hal itu terdorong oleh rasa setia kepada negara, atau juga karena rasa tidak sukanya terhadap Liong-koko. Betapa pun juga, kita harus menolong Liong-ko."
"Engkau benar, akan tetapi bagaimana caranya? Kalau kita tidak menyampaikan surat ini, tentu ayah akan marah sekali kepada kita dan hal itu pun bukan berarti sudah menolong Liong-ko terbebas dari ancaman bahaya."
"Kita harus cerdik, enci Lan. Surat itu tetap harus kita sampaikan kepada alamatnya, akan tetapi tidak perlu kita berdua yang ke kota raja. Sebaiknya engkau sendiri saja yang melanjutkan perjalanan ke kota raja dan menyampaikan surat ini kepada Kwan-ciangkun, dan aku sendiri akan kembali ke rumah dan aku akan memberi tahu kepada Liong-ko agar dia dan enci Bi Cu dapat melarikan diri sebelum pasukan itu datang."
"Bagus! Akan tetapi bagaimana jika ayah curiga kemudian marah melihat engkau pulang sendiri dan tidak menemaniku ke kota raja?"
"Jangan khawatir, hal itu dapat kuatur. Lagi pula, setelah tiba di rumah, tentu malam telah tiba dan aku dapat secara diam-diam melakukan hal itu. Engkau sendiri harap melakukan perjalanan lambat saja, semakin lambat semakin baik, enci Lan. Atau, dapat pula engkau menyerahkan surat itu besok pagi-pagi saja, dengan alasan bahwa malam-malam tidak enak datang berkunjung ke rumah Kwan-ciangkun. Sementara itu, malam ini Liong-koko dan enci Bi Cu sudah dapat menyelamatkan diri."
Lan Lan merangkul dan mencium pipi adik kembarnya. "Engkau hebat! Nah, kita berpisah di sini dan membagi tugas masing-masing."
"Surat itu harus direkat kembali lebih dulu, enci," kata Lin Lin.
Mereka berdua lalu merapatkan kembali sampul surat dan setelah Lan Lan memasukkan sampul surat itu ke dalam sakunya, keduanya lantas meloncat ke atas punggung kuda masing-masing, akan tetapi mereka berpisah jalan. Lan Lan terus melanjutkan perjalanan ke kota raja sedangkan Lin Lin kembali ke dusun. Lan Lan menjalankan kudanya lambat-lambat, akan tetapi Lin Lin membalap.
Di sepanjang perjalanan, Lan Lan termenung sedih. Biar pun ada kemungkinan ayahnya melakukan pengkhianatan terhadap Sin Liong itu karena terdorong oleh keinginan berbakti kepada negara dan membantu penangkapan orang yang dituduh pemberontak, akan tetapi perbuatan itu kejam dan jahat. Betapa pun juga, Sin Liong adalah putera ibu kandungnya, dan anak tiri dari ayahnya, semenjak kecil tinggal serumah. Kenapa ayahnya begitu tega dan kejam untuk melakukan siasat penangkapan terhadap Sin Liong itu?
Lagi pula, siapa mau percaya bahwa Sin Liong adalah seorang pemberontak? Itu hanya tuduhan keji, fitnah keji. Tanpa terasa lagi sepasang mata Lan Lan menjadi basah karena hatinya amat sedih melihat kenyataan betapa ayahnya adalah seorang yang kejam dan jahat.
Kenyataan ini membuat dia semakin rindu kepada ibu kandungnya, dan teringat olehnya betapa ibu kandungnya adalah seorang wanita yang gagah perkasa. Dan hal ini membuat dia teringat pula akan kematian ibunya itu sehingga membuat hatinya semakin sakit dan mendendam kepada wanita iblis yang telah membunuh ibunya.
"Kim Hong Liu-nio iblis betina! Sekali waktu aku pasti akan memenggal batang lehermu!" teriaknya.
Dia lalu mencabut pedangnya, diputar-putar di atas kepalanya sehingga kudanya menjadi terkejut dan berlari kencang. Peluapan rasa marah dan dendam di hati Lan Lan ini sedikit banyak menghapus kedukaan dan kekecewaan hatinya melihat sikap ayahnya yang amat kejam terhadap Sin Liong.
Selanjutnya,