Pendekar Lembah Naga Jilid 34
Cincin bermata biru itu adalah cincin tanda kekuasaan Pangeran Ceng Han Houw yang diperolehnya dari kaisar sendiri dan semua pejabat tinggi tentu saja mengenali cincin ini! Maka Lee Cin lalu memberi hormat sambil menjura.
"Maafkan kami, kami mentaati perintah," katanya lalu dia memberi aba-aba kepada para prajurit untuk mundur.
Biar pun terheran-heran, tentu saja semua prajurit tak berani membangkang dan mereka itu terpaksa mundur, dan terus menjauhkan diri dari tempat itu sesuai dengan perintah yang dikeluarkan oleh Panglima Lee Cin.
Dua orang bengcu selatan yang dipilih oleh Ceng Han Houw itu, yaitu Phang Tek dan Phang Sun, terpaksa ikut pula mengundurkan diri, akan tetapi setelah pasukan bergerak meninggalkan tempat itu, Hai-liong-ong Phang Tek yang merasa amat penasaran berkata,
"Tapi... tapi, ciangkun...! Kita sudah hampir dapat menguasai dan menangkap mereka...!"
Tanpa menghentikan langkahnya memimpin para pasukan yang meninggalkan tempat itu, Lee Cin lalu berkata, "Apakah locianpwe berani membantah dan membangkang terhadap cincin kekuasaan Pangeran Ceng Han Houw?"
"Tapi... tapi gadis itu..."
"Locianpwe, cincin yang diperlihatkan oleh nona itu adalah cincin kekuasaan beliau!"
Mendengar ucapan ini, dua orang kakek itu bungkam dan diam-diam terkejut dan heran. Bukankah menurut Panglima Lee Cin ini, dara itu adalah cucu ketua Cin-ling-pai pula? Keluarga Cin-ling-pai dianggap pemberontak dan buronan yang harus ditangkap, bahkan mereka berdua itu dipanggil ke kota raja supaya membantu Kim Hong Liu-nio menangkap pemberontak dan buronan ini, maka dengan sendirinya seorang cucu ketua Cin-ling-pai tentu merupakan buronan pula. Akan tetapi mengapa nona itu tadi malah memiliki cincin tanda kekuasaan dari Ceng Han Houw? Mereka bingung akan tetapi menghadapi cincin kekuasaan pangeran yang mereka takuti itu, tentu saja mereka tidak berani membantah lagi, apa pula melihat sikap Panglima Lee yang begitu takut menghadapi cincin tadi.
Sementara itu, sesudah semua pasukan itu mundur, barulah Ciauw Si yang berdiri tegak dengan gagah memandang kakaknya sambil tersenyum dan mengembangkan sepasang lengannya.
"Koko...!"
Pemuda dan pemudi itu lari saling menghampiri kemudian saling berangkulan. Suasana menjadi amat mengharukan saat kakak beradik ini berangkulan ketat tanpa mengeluarkan sepatah pun kata, dan dara yang gagah perkasa itu tidak mampu menahan air matanya yang mengalir turun.
"Seng-ko... betapa rinduku kepadamu...!"
"Ahhh, Ciauw Si, engkau adikku yang nakal...!"
Mereka melepaskan rangkulan, saling pandang dan keduanya tersenyum lebar walau pun wajah Ciauw Si masih basah air mata dan dua titik air mata juga membasahi bulu mata pemuda perkasa itu.
"Engkau... sungguh cantik dan gagah, adikku!"
"Dan engkau pun tampan dan gagah koko. Engkau tadi mengamuk seperti seekor naga sakti!"
"Ha-ha-ha, kalau engkau tidak keburu datang aku sudah menjadi naga tanpa nyawa!"
"Koko, siapakah enci yang manis itu?"
Wajah Lie Seng berubah merah, akan tetapi karena merasa sudah cukup dewasa, dia tidak mau menyembunyikan lagi persoalannya dengan Sun Eng. Dia menggapai Sun Eng dan gadis ini melangkah maju mendekat, saling berpandangan dengan Ciauw Si.
"Eng-moi, ini adalah adik kandungku, seperti yang pernah kuceritakan kepadamu. Adikku, dia ini bernama Sun Eng, dia adalah... ehh... calon soso-mu (kakak iparmu)!"
"Aihhh...!" Ciauw Si berseru girang dan dia cepat memberi hormat yang dibalas oleh Sun Eng dengan muka merah, kemudian Ciauw Si memegang lengan calon kakak iparnya itu. "Engkau sungguh cantik, soso...!"
"Ihh, Si-moi, belum waktunya engkau menyebut soso. Kami belum menikah!" kata Sun Eng tertawa.
"Maaf, Eng-cici, aku hanya bergurau. Akan tetapi aku ingin segera memanggilmu soso. Seng-koko, engkau sekarang sudah menjadi seorang pendekar perkasa setelah engkau belajar kepada locianpwe Kok Beng Lama! Hayo ceritakan semua pengalamanmu sejak engkau meninggalkan kami, koko!"
Mereka bertiga lantas duduk di atas rumput, maka berceritalah Lie Seng tentang semua pengalamannya semenjak dia meninggalkan rumah untuk ikut belajar kepada Kok Beng Lama sampai dia kembali, sampai dia bertemu dengan Sun Eng dan sampai perjumpaan mereka pada saat itu. Semua dia ceritakan secara singkat, akan tetapi tentu saja dia tidak pernah menyinggung tentang riwayat atau pun asal-usul Sun Eng, bahkan dia juga tidak menceritakan kepada adiknya bahwa calon isterinya itu adalah murid dari paman mereka Cia Bun How.
"Sekarang engkau harus ceritakan semua pengalamanmu, adikku yang nakal. Aku hanya bisa ikut merasa gelisah pada saat tidak melihatmu di Cin-ling-san dan hanya mendengar bahwa engkau minggat dari Cin-ling-san! Ke mana saja engkau pergi?"
Ciauw Si menarik napas panjang. Dia sudah merasa menyesal sekali setelah mendengar penuturan ibu kandungnya yang telah diselamatkannya dari kepungan pasukan kerajaan, mendengar bahwa kongkong-nya telah tewas, bahwa ibunya, ayah tirinya, dan pamannya serta isteri pamannya telah menjadi orang-orang buronan, dianggap sebagai pemberontak oleh kerajaan.
Dengan singkat dia pun menceritakan semua pengalamannya. Lie Seng merasa gembira sekali mendengar bahwa adiknya ini sudah menyelamatkan ibu kandungnya serta isteri pamannya yang sedang mengandung.
"Dan ke mana sekarang perginya ibu beserta bibi In Hong?" tanyanya. "Apakah mereka bersembunyi di rumah suci di Yen-tai?"
Ciauw Si menggeleng kepalanya. "Memang tadinya ibu dan bibi Hong bermaksud untuk pergi mengungsi ke sana, akan tetapi kemudian kami berpendapat bahwa hal itu akan amat membahayakan keselamatan keluarga enci Mei Lan sendiri. Tentu para penyelidik akan mudah diketahui orang. Maka, untuk sementara ini kutitipkan ibu dan bibi Hong ke tempat tinggal seorang sahabat baikku di Yen-ping."
"Di Yen-ping? Siapakah dia?"
"Ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Kebetulan aku pernah menyelamatkan dia dan kurasa tempat itu sangat aman bagi ibu untuk menjadi tempat tinggal atau tempat bersembunyi sementara, sambil menanti bibi Hong melahirkan."
"Dan bagaimana dengan... paman Kun Liong dan paman Bun Houw?" Sampai sekarang sukarlah bagi Lie Seng untuk menyebut ayah kepada Kun Liong yang telah menjadi ayah tirinya, maka dia masih menyebutnya paman.
"Setelah aku menitipkan ibu dan bibi Hong kepada perkumpulan itu, aku lalu pergi ke kota Yen-tai untuk mengabarkan hal itu kepada enci Mei Lan. Di sana aku bertemu dengan mereka berdua. Malah bersama mereka aku kembali lagi ke Yen-ping, dan kini mereka semua berkumpul di sana."
"Kau sekarang ini sedang hendak ke sana, Si-moi?"
"Tadinya aku hendak pergi ke kota raja..."
"Kau? Ke kota raja? Keluarga kita dituduh memberontak dan kau malah hendak ke kota raja? Apakah mencari celaka?"
"Tidak, aku hendak mencari Pangeran Ceng Han Houw..."
"Ah, pangeran yang cincinnya engkau bawa dan telah menjadi jimat yang menyelamatkan kami tadi? Ehh, Si-moi, bagaimana engkau bisa memperoleh cincin pangeran itu?"
Jantung Ciauw Si berdebar kencang dan mukanya menjadi merah, akan tetapi cepat dia menekan perasaannya yang terguncang. "Aku bertemu dengan dia di selatan dan kami telah menjadi sahabat baik. Dia kemudian memberikan cincin ini kepadaku sebagai tanda persahabatan dan agar mudah bagiku kalau hendak mencarinya di kota raja. Sungguh tidak kusangka cincin ini dapat kupergunakan untuk mengundurkan semua pasukan itu. Baru kuketahui bahwa kekuasaan pangeran itu benar-benar tinggi."
"Lalu mau apa engkau mencarinya di kota raja?"
"Aku dapat menduga niat yang bijaksana dari adik Ciauw Si," tiba-tiba saja Sun Eng ikut bicara. "Setelah mempunyai sahabat seorang pangeran yang kedudukannya begitu tinggi, yang memiliki cincin kekuasaan yang mampu mengundurkan pasukan kerajaan itu, tentu adik Ciauw Si ingin minta bantuan pangeran itu untuk membersihkan nama Cin-ling-pai, bukan?"
Ciauw Si memandang kepada wanita cantik itu dengan kagum, lalu mengerling kepada kakaknya dan berkata, "Wah, calon soso-ku rupanya jauh lebih cerdik dari pada engkau, Seng-ko! Memang dugaannya itu tepat sekali!"
Lie Seng tersenyum bangga. "Kalau tidak cerdik, masa dia menjadi pilihanku?" Mereka tertawa gembira.
"Karena pertemuan ini, biarlah terlebih dahulu kuantar kalian ke Yen-ping menjumpai ibu sebelum aku melanjutkan perjalananku ke kota raja. Marilah koko, mari enci Eng."
Akan tetapi Ciauw Si merasa heran sekali melihat mereka berdua itu saling memandang penuh keraguan, terlebih lagi Sun Eng yang memandang calon suaminya dengan wajah berubah agak pucat.
"Kau... kau bilang yang di Yen-ping itu... ibu kandungmu dan... dan...," Sun Eng tidak melanjutkan kata-katanya.
"Yang berada di rumah ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang adalah ibu, ayah tiriku, paman Cia Bun Houw dan bibi Yap In Hong. Tidak ada siapa-siapa lagi," sambung Ciauw Si.
Sun Eng kelihatan ngeri mendengar dua nama terakhir itu. Akan tetapi tiba-tiba Lie Seng berkata penuh semangat, "Mari kita pergi! Memang aku ingin sekali bertemu dengan ibu dan membicarakan urusan perjodohanku!" Dengan kata-kata ini dia memandang kepada Sun Eng dan seakan-akan berjanji melalui pandangan matanya bahwa dialah yang akan menanggung semua urusan yang mungkin timbul bila calon isterinya itu bertemu dengan Cia Bun Houw dan Yap In Hong.
Melihat sinar mata calon suaminya ini, Sun Eng menundukkan kepala dan mengangguk. Maka mereka bertiga berangkat menuju ke Yen-ping dan di sepanjang perjalanan, kakak dan adik ini tiada hentinya saling menceritakan pengalaman mereka masing-masing lebih lanjut.
Sun Eng tidak banyak berbicara karena wanita itu tenggelam dalam lamunannya sendiri, lamunan penuh penyesalan karena kini dia akan dijumpakan dengan bekas suhu-nya dan subo-nya, dan mengingat mereka maka teringat pula dia akan segala penyelewengannya yang amat memalukan.
Akan tetapi bila mana dia menoleh kepada Lie Seng, dan calon suaminya itu pun menoleh kepadanya, dia merasa memperoleh sandaran yang kuat karena dia maklum bahwa yang terpenting baginya adalah Lie Seng dan orang lain tidak masuk hitungan lagi! Bila sudah begini, maka kuatlah hatinya dan dia sanggup menghadapi apa pun juga di samping Lie Seng, satu-satunya pria di dunia ini yang masih sanggup mencintanya dengan tulus ikhlas sungguh pun telah mendengar semua penuturannya tentang penyelewengan pada masa lampau.
Mereka berempat itu, Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong dua orang kakak beradik yang menjadi dua pasang suami isteri itu, pendekar-pendekar sakti yang menjadi tokoh-tokoh utama dari Cin-ling-pai yang kini sudah bubar setelah pendekar Cia Keng Hong meninggal, kini menjadi buronan-buronan pemerintah yang terpaksa harus menyembunyikan diri dalam salah sebuah di antara rumah-rumah di pusat perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang.
Mereka berempat jarang keluar dari rumah itu, dan mereka dilayani sebagai tamu-tamu agung oleh dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yaitu Gu Kok Ban dan Tong Siok. Tentu saja dua orang ketua ini pun merasa sangat gelisah dengan adanya empat orang pendekar sakti itu yang menjadi orang-orang buronan pemerintah. Namun karena mereka merasa berhutang budi kepada Ciauw Si, apa lagi karena mereka memang merasa amat kagum kepada para pendekar Cin-ling-pai yang sakti itu, maka mereka berdua menerima mereka dengan penuh kehormatan dan menyatakan tidak keberatan melindungi mereka sampai nyonya muda yang mengandung itu melahirkan.
Kandungan Yap In Hong sudah berumur delapan bulan dan mereka berempat itu selalu menyembunyikan diri, tak pernah berhubungan dengan orang luar kecuali hanya dengan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu saja. Bahkan para anggota perkumpulan itu hanya tahu bahwa ketua mereka menerima tamu-tamu yang terhormat, akan tetapi mereka pun tidak diberi tahu siapa adanya tamu-tamu itu.
Ketika Ciauw Si datang kembali bersama Lie Seng dan Sun Eng, dua orang ketua itu menyambut dengan gembira. Mereka selalu merasa kagum dan penuh hormat terhadap Ciauw Si, maka ketika nona itu memperkenalkan Lie Seng sebagai kakak kandungnya dan Sun Eng sebagai calon kakak iparnya, dua orang ketua itu memberi hormat kepada mereka. Kemudian, tiga orang muda ini langsung memasuki rumah yang menjadi tempat persembunyian dua pasang suami isteri pendekar itu.
Empat orang itu sedang duduk di ruangan lebar dan mereka sudah merasa girang sekali mendengar akan kedatangan kembali Ciauw Si bersama Lie Seng. Pada saat tiga orang muda itu memasuki rumah ruangan, serta-merta Lie Seng dan Ciauw Si menghampiri ibu mereka dengan girang, dan Sun Eng yang ikut masuk pula dengan wajah pucat, langsung menjatuhkan diri berlutut menghadap Bun Houw dan In Hong sambil berkata lirih,
"Suhu... subo...!"
Suami isteri ini terbelalak memandang pada saat mereka mengenal Sun Eng. Berubahlah wajah Bun Houw dan In Hong, menjadi kemerahan. Mereka tidak ingin orang lain, apa lagi keluarga mereka, mendengar tentang diri murid murtad yang memalukan ini, tetapi siapa kira, murid ini sekarang berani mati muncul di depan mereka, di tempat persembunyian dan di depan para keluarga!
"Mau apa kau ke sini?" bentak Bun Houw.
"Hayo pergi! Pergi kau dari sini cepat, atau... kuhajar engkau!" bentak In Hong pula sambil bangkit berdiri. Dengan wajah merah dan sepasang mata menyinarkan cahaya kemerahan Suami isteri itu sudah berdiri menghadapi Sun Eng yang masih berlutut.
Melihat ini, tiba-tiba Lie Seng meloncat dan dia telah berdiri di depan Sun Eng, melindungi dara itu dan menghadapi paman dan bibinya dengan mata bersinar-sinar.
"Paman dan bibi, harap sabar dan mundur dahulu...!" katanya sambil mengangkat kedua tangannya.
"Minggir kau, Seng-ji, biar kami hajar bocah murtad ini!" bentak Bun Houw yang semakin marah melihat keponakannya ingin melindungi gadis yang dianggap sudah mencemarkan nama baiknya itu!
Mendengar ini, habislah kesabaran Lie Seng dan sikapnya menentang. "Paman dan bibi, siapa pun juga di dunia ini tidak boleh menyentuh Eng-moi, apa lagi hendak menghajar dia! Kalau paman dan bibi hendak memukulnya, kalian harus lebih dulu membunuh aku!"
Cia Bun Houw dan Yap In Hong terkejut bukan kepalang mendengar ini. Mereka berdua terbelalak memandang wajah Lie Seng, kemudian Cia Bun Houw berseru, "Apa yang kau katakan ini, Lie Seng? Jangan kau mencampuri, dia itu adalah bekas murid kami yang murtad dan..."
"Aku tahu, paman. Akan tetapi hendaknya paman dan bibi juga mengetahui bahwa dia ini adalah calon isteriku yang tercinta!"
"Apa...?!" Bun Houw dan In Hong berseru hampir berbareng.
Sementara itu, Cia Giok Keng yang merasa terkejut sekali menyaksikan sikap tiga orang itu terhadap gadis cantik yang berlutut itu, kini sudah bangkit pula dan bertanya dengan gelisah, "Apakah artinya semua ini?"
"Cici, perempuan ini adalah murid kami yang murtad!"
"Ibu, nona Sun Eng ini adalah calon isteriku yang hendak kuperkenalkan kepada ibu..."
"Tidak boleh jadi! Aku tidak sudi membiarkan keponakanku menikah dengan perempuan hina..."
"Paman! Harap paman jangan melanjutkan kata-kata itu!" bentak Lie Seng dengan marah.
Melihat suasana yang panas itu, Yap Kun Liong segera bangkit berdiri dan menghampiri mereka, berdiri di tengah-tengah, kemudian dengan suara halus tetapi berwibawa dia pun berkata, "Hentikan semua kekerasan ini! Kita adalah di antara keluarga sendiri, kalau ada urusan dapat dibicarakan dengan tenang dan dengan kepala dingin. Agaknya terdapat perbedaan faham antara adik-adikmu dan puteramu, mari kita bicara baik-baik," sambung Kun Liong kepada isterinya yang menjadi bingung dan yang sudah pucat wajahnya itu.
Giok Keng mengangguk kemudian dia menoleh kepada Ciauw Si sambil berkata, "Engkau pergilah keluar dulu, Ciauw Si."
Ciauw Si mengerti bahwa ada apa-apa yang tidak beres dengan tunangan kakaknya itu, dan sebagai seorang gadis agaknya dia tidak diperbolehkan turut mendengarkan perkara yang hendak dibicarakan, maka dia pun mengangguk dan bangkit, hendak meninggalkan ruangan itu.
"Si-moi, jangan pergi!" Lie Seng berkata, dan pemuda ini nampak marah.
Memang dia telah menduga bahwa urusannya dengan Sun Eng pasti akan mendatangkan keributan dalam keluarganya, apa lagi guru-guru kekasihnya berada di situ pula, namun apa pun yang akan terjadi dan keadaan betapa pahit pun akan dihadapinya.
"Si-moi engkau sudah dewasa dan engkau pun anggota keluarga kita, karena itu biarlah engkau juga ikut mendengarkan dan mempertimbangkan. Apa yang dikatakan oleh paman Yap Kun Liong benar. kita harus berterus terang dan membuka kartu, dan biarlah nasib perjodohanku dibicarakan antara keluarga kita sampai selesai!"
Mendengar ucapan kakaknya dan melihat sikap yang keras itu, Ciauw Si menunduk dan tidak jadi pergi, diam-diam dia merasa sangat khawatir. Suasana menjadi hening sekali sesudah Lie Seng mengeluarkan kata-katanya terhadap adiknya ini, hening yang sangat menegangkan hati. Sejenak mereka semua hanya saling pandang, terutama sekali Cia Giok Keng yang masih bingung menghadapi peristiwa yang tidak disangka-sangkanya itu. Dalam beberapa saat ini hatinya mengalami guncangan-guncangan hebat.
Tadinya, ketika dia mendengar puteranya memperkenalkan wanita yang cantik gagah ini sebagai calon isterinya dia merasa girang. Akan tetapi ketika mendengar bahwa wanita inilah murid dari adiknya yang murtad, dia terkejut dan bimbang.
"Seng-ji, apakah artinya semua ini?" Akhirnya dia bertanya dengan suara gemetar dan biar pun pertanyaan ini diajukannya kepada puteranya, tapi pandang matanya diarahkan kepada Sun Eng yang masih berlutut.
"Ibu, sebetulnya tidak ada apa-apa yang aneh. Anakmu ini sudah berusia dua puluh enam tahun lebih, dan sekarang aku datang hendak memperkenalkan calon isteriku kepada ibu. Ibu, aku dan Sun Eng sudah saling mencinta dan kami berdua telah saling mengikat janji untuk menjadi suami isteri."
Menurut pandangan Giok Keng, wanita muda yang menjadi pilihan puteranya itu sudah tepat memang, cantik manis dan memiliki sifat gagah, akan tetapi tentu saja dia terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa wanita itu adalah murid adiknya, murid yang murtad, bahkan pernah melakukan penyelewengan hebat seperti yang pernah didengarnya dari cerita adiknya ketika mereka berempat berada di dalam kamar tahanan dan ketika gadis itu berusaha untuk menolong mereka.
"Cici, Lie Seng sama sekali tidak boleh menikah dengan perempuan ini! Inilah murid kami yang murtad itu, yang tak tahu malu, yang hina dan kotor..."
"Murid durhaka!" In Hong membentak Sun Eng. "Berani engkau memikat hati keponakan kami? Apakah engkau tidak ingat akan semua perbuatanmu yang hina dan engkau berani merayu mendekatinya?"
Dengan muka pucat yang selalu menunduk, Sun Eng berkata lirih, "Subo... teecu sudah... sudah menceritakan semua riwayat teecu kepada kakanda Lie Seng..."
"Heh?!" Bun Houw berteriak dan memandang kepada Lie Seng dengan mata terbelalak. "Benarkah itu, Seng-ji? Engkau sudah tahu akan riwayatnya yang busuk?"
Lie Seng mengangguk gagah. "Benar, paman. Aku sudah tahu dan aku tidak peduli! Aku cinta kepadanya, dan cintaku tidak membiarkan aku mengingat-ingat akan hal lalu! Kami saling mencinta dan apa pun yang telah, sedang dan akan terjadi, kami akan tetap saling mencinta. Kami sudah mengambil keputusan untuk hidup bersama, untuk menjadi suami isteri!"
"Tidak! Tidak mungkin itu, Cici, engkau harus melarang Seng-ji untuk menikah dengan perempuan rendah ini!"
Cia Giok Keng menjadi semakin bingung, apa lagi melihat sikap adiknya dan puteranya makin berkeras itu. Wajahnya menjadi pucat dan lesu, pandang matanya sayu. "Houw-te, belum tentu keponakanmu telah mengetahui semua riwayat muridmu yang murtad, maka sebaiknya kau ceritakan kembali supaya dia mendengar sendiri bagaimana perbuatan dari wanita yang dicintanya itu." Suara nyonya ini cemas agar puteranya dapat melepaskan wanita yang sama sekali tidak patut menjadi calon isterinya itu.
Sun Eng menangis. Lie Seng cepat mendekatinya lalu merangkulnya sambil berlutut pula. "Tenangkan hatimu, Eng-moi, aku akan melindungimu...," bisiknya.
"Ahh... koko... aku tidak tega melihat engkau direndahkan... biarlah aku pergi saja... aku... aku memang tidak pantas menjadi... menjadi...," dia sesenggukan.
"Houw-te, lekas ceritakan supaya urusan ini menjadi terang, biar Seng-ji mendengarnya sendiri!" kata Cia Giok Keng.
Bun Houw masih merasa tidak enak, maka dia memandang kepada Lie Seng, kemudian berkatalah dia kepada keponakannya itu, "Seng-ji, engkau tentu tahu bahwa sekali-kali bukanlah kami ingin menghalangi kebahagiaanmu, akan tetapi kami melakukan ini malah demi kebahagiaanmu. Sekarang kami terpaksa membongkar rahasia perempuan ini untuk mencegah agar engkau tidak sampai terjebak dalam perangkapnya."
"Paman Bun Houw, kebahagiaan seseorang mana mungkin bisa diatur oleh orang lain? Tentang riwayat Eng-moi yang lalu, aku tidak peduli dan kalau engkau mau menceritakan hal itu kepada siapa pun juga, terserah saja, karena hal itu tidak akan merubah cintaku kepadanya." Lie Seng merangkul kekasihnya dengan erat, seakan-akan hendak memberi kekuatan kepada wanita itu untuk menghadapi penghinaan ini.
Kembali Bun Houw meragu. Betapa pun juga dia merasa sayang kepada keponakannya dan dia merasa tidak enak untuk membongkar rahasia orang, apa lagi orang itu adalah bekas muridnya yang dulu amat disayangnya. Dia pernah menceritakan tentang Sun Eng secara singkat kepada cici-nya dan kepada Yap Kun Liong, dan sebagai seorang gagah, berat rasa hatinya untuk mengulang-ulang kebusukan orang lain.
Melihat keraguan adiknya, Giok Keng kemudian berkata, "Houw-te, lekas ceritakanlah. Ini menyangkut perjodohan puteraku, maka segala sesuatunya harus jelas agar supaya dia mengerti!"
Bun Houw menarik napas panjang, menelan ludah beberapa kali lantas berkata, suaranya amat lirih, "Seng-ji, dengarlah baik-baik. Perempuan ini pernah menjadi muridku dan dia... perempuan cabul ini... dia pernah memasuki kamarku untuk menggodaku... secara tidak tahu malu! Bukan itu saja, dia bahkan bukan perawan lagi, dia telah menyerahkan dirinya kepada banyak orang, seperti seperti pelacur saja..." Dia berhenti sebentar, "aku pernah menceritakan ini kepada ibumu..."
"Cukup!" Cia Giok Keng membentak "Nah, sudah dengarkah engkau, Lie Seng?"
Giok Keng mengharapkan puteranya itu akan insyaf, namun alangkah gelisahnya melihat puteranya itu nampaknya tidak kaget mendengar cerita Bun Houw itu!
"Aku sudah tahu, ibu, Eng-moi telah menceritakan segalanya kepadaku..."
"Dan engkau masih nekat hendak mengambil dia sebagai isterimu?"
"Ibu, kami saling mencinta..."
"Tidak! Bohong! Dia tentu telah merayumu, menggunakan ilmu sihir... engkau tidak boleh menikah dengan seorang pelacur!"
"Ibu...!"
"Cukup! Dia... biar aku sendiri yang menghajarnya!" Cia Giok Keng maju dengan kedua tangan dikepalkan.
"Tidak, enci, biarkan aku yang menghajarnya. Dia itu bekas muridku, dan kini dia berani menggoda puteramu!" kata In Hong yang juga telah bergerak maju ke depan, siap untuk menghajar bekas muridnya yang dianggap sudah menimbulkan banyak sengketa ini dan dia merasa bahwa sebagai seorang bekas guru dia harus bertanggung jawab. Akan tetapi Lie Seng bangkit berdiri dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi.
"Siapa pun tidak boleh menyentuhnya! Siapa yang hendak mengganggu Eng-moi, harus membunuh aku lebih dulu!" bentaknya.
Tentu saja In Hong mundur kembali dan Giok Keng menghadapi puteranya dengan hati marah. "Seng-ji, butakah engkau? Ibumu dan pamanmu, juga bibimu berbuat begini demi kebahagiaanmu! Aku tidak rela melihat anakku tergoda dan terpikat oleh rayuan seorang pelacur!"
"Ibu! Itukah perbuatan yang membahagiakan aku? Tidak, ibu malah akan menghancurkan kebahagiaanku. Jika ibu ingin membahagiakan aku, jangan halangi perjodohanku dengan Eng-moi. Akan tetapi kalau ibu dan paman hendak menentang, lebih baik bunuh saja aku lebih dulu sebelum menyentuh selembar rambut dari Eng-moi!"
Wajah Cia Giok Keng semakin pucat dan kata-kata itu seakan-akan merupakan pukulan sehingga dia mengeluh lantas terhuyung. Suaminya, Yap Kun Liong, cepat merangkulnya dan berbisik, "Kau tenanglah..."
"Lie Seng!" Bun Houw membentak keponakannya. "Begitukah sikap seorang pria gagah? Kau hendak mencemarkan nama keluarga, hendak menghancurkan hati ibu kandungmu, hendak membela seorang perempuan hina macam Sun Eng?"
"Paman, cukuplah segala omong kosong ini!" Lie Seng membentak, mukanya merah dan matanya liar. "Apakah paman hendak mengulangi lagi riwayat menyedihkan dari keluarga kita? Lupakah paman betapa mendiang kongkong juga pernah melarang paman menikah dengan bibi In Hong? Dan bagaimana sikap paman sendiri? Paman rela meninggalkan keluarga demi bibi In Hong karena paman mencintainya! Sekarang kenapa paman begitu tidak mau melihat kenyataan dan hendak bersikap tidak adil, menentang perjodohanku dengan wanita yang kucinta?"
"Anak bodoh! Dengan aku urusannya lain sama sekali! Bibimu In Hong adalah seorang wanita suci, baik-baik dan gagah! Tentu saja aku melindunginya dan rela meninggalkan keluarga..."
"Itu adalah karena paman mencintainya! Paman menganggap bibi In Hong wanita paling baik di dunia! Aku pun demikian. Aku menganggap Eng-moi wanita paling baik di dunia karena aku mencintanya dan siapa pun tidak boleh mengganggunya, seperti paman dulu membela dan melindungi bibi In Hong! Ahhh, betapa kalian telah kehilangan keadilan! Ibu, kalau ibu tidak setuju aku berjodoh dengan Eng-moi, biarlah aku pergi saja!"
"Seng-ji... apakah engkau mengira ibumu tidak ingin melihat anaknya bahagia hidupnya? Engkau keliru, nak. Aku melihat bahwa engkau hendak melakukan keputusan yang keliru, engkau akan menderita dan sengsara kalau engkau mengambil seorang wanita yang hina sebagai isterimu! Sebab itu aku melarang. Ibu mana yang benar-benar mencinta anaknya tak akan melarang kalau melihat anaknya itu mendekati tempat berbahaya yang mungkin akan mencelakakannya? Menurut cerita pamanmu tadi, wanita itu tak patut menjadi untuk calon isterimu. Dia pernah menyeleweng, tidak saja secara tak tahu malu menggoda guru sendiri, akan tetapi juga sudah hidup sebagai seorang pelacur, menjadi kekasih banyak orang! Bagaimana mungkin aku mempunyai mantu seperti itu?"
"Tetapi ibu! Mengapa ibu memandang Eng-moi dengan bayangan riwayat yang lalu itu? Pandanglah Eng-moi sekarang ini sebagai calon mantu ibu, sebagai kekasihku, sebagai wanita yang saling cinta denganku. Eng-moi yang dahulu sama sekali tidak sama dengan Eng-moi sekarang!"
"Tidak... tidak... aku tidak bisa merestui..." Giok Keng semakin pucat dan dia tentu sudah roboh kalau tidak dirangkul suaminya.
"Kalau begitu, selamat tinggal, ibu. Aku lebih memilih hidup bersama dengan Eng-moi dari pada harus hidup di dekat keluarga akan tetapi harus jauh dari orang yang kucinta!" Lie Seng kemudian bangkit berdiri sambil merangkul pinggang kekasihnya, "Eng-moi, marilah kita pergi!"
Sun Eng melangkah dengan tubuh lemas dan kaki gemetar, mukanya ditundukkan. Terlalu hebat dan menegangkan peristiwa yang kini dihadapinya dan diam-diam dia merasa amat terharu atas sikap Lie Seng yang betul-betul telah membelanya seperti itu. Dia menangis sambil berjalan terhuyung dalam rangkulan Lie Seng.
"Seng-ji... ahhh, Seng-ji...!" Cia Giok Keng menjerit dan ibu yang terguncang batinnya ini menjadi lemas.
Melihat isterinya pingsan, Yap Kun Liong segera memondongnya dan merebahkannya di atas kursi panjang kemudian mengurut punggung serta tengkuknya sehingga nyonya itu mengeluh dan siuman kembali.
Bun Houw meloncat dan sekali bergerak saja dia sudah menghadang Lie Seng. Dengan alis berkerut dan kedua mata bersinar tajam dia berkata, "Seng-ji, aku tidak ingin melihat keponakanku menjadi anak durhaka! Lihat, ibumu sampai menderita hebat akibat ulahmu. Hayo kau kembali kepada ibumu dan biarkan perempuan ini pergi sendiri!"
Lie Seng yang sudah marah itu memandang pamannya dengan bengis. "Paman Cia Bun Houw, engkau dulu tidak takut terhadap ancaman mendiang kongkong, apa kau kira aku kini takut menghadapi ancamanmu untuk melindungi kekasihku? Jika engkau mau bunuh, majulah, dan jangan engkau mengeluarkan kata-kata kasar terhadap calon isteriku!"
Bun Houw sudah bergerak hendak menyerang. Dia bermaksud turun tangan membunuh Sun Eng yang menjadi biang keladi keributan itu. Akan tetapi nampak sesosok bayangan berkelebat dan Ciauw Si sudah berdiri di samping kakaknya.
"Paman, jangan...!" seru dara ini. Melihat keponakannya yang perempuan juga membela Lie Seng, Bun Houw menjadi tertegun dan bingung.
"Houw-ko...!" Tiba-tiba terdengar keluhan panjang.
Bun Houw terkejut sekali dan cepat menengok. Dia melihat isterinya memejamkan mata, memegangi perutnya dan kelihatan limbung.
"Hong-moi...!" Bun Houw cepat meloncat mendekati isterinya dan merangkul. "Kau... kau kenapa, Hong-moi...?"
"Aku... perutku...ahhh, sakit...!"
Cia Giok Keng cepat menghampiri. "Bawa dia masuk... jangan-jangan dia akan segera melahirkan...!"
Bun Houw terkejut dan cepat memondong isterinya lalu membawanya masuk ke dalam kamar. Sementara itu Lie Seng sudah menggandeng tangan Sun Eng dan mengajaknya lari pergi dari tempat itu.
"Seng-ji...!" Cia Giok Keng berseru, kemudian menangis dalam rangkulan suaminya ketika puteranya itu tidak mau menoleh dan berlari terus di samping kekasihnya.
Ciauw Si lalu mendekati ibunya dan memegang lengan ibunya, dia pun menangis terisak menyaksikan kedukaan ibunya. Semenjak tadi dara ini mendengarkan semua peristiwa itu dengan bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Diam-diam dia teringat kepada Pangeran Ceng Han Houw dan hatinya terasa ngeri.
Betapa pun juga, ibunya telah dituduh sebagai pemberontak hingga menjadi orang buruan pemerintah, maka sedikit banyak tentulah ibunya membenci para pangeran dan keluarga kaisar. Bila dia kelak menghadap ibunya bersama dengan Pangeran Ceng Han Houw dan memperkenalkannya sebagai calon suaminya, dia ngeri kalau membayangkan apa yang akan menjadi sikap ibunya.
Pertemuan keluarga yang tadinya diharapkan akan mendatangkan rasa gembira bahagia itu berubah menjadi suasana yang amat menyedihkan. Peristiwa semacam ini akan selalu terjadi apa bila manusia terlalu mementingkan diri sendiri masing-masing.
Betapa banyaknya orang-orang tua yang berkeras dengan sikap mereka yang menolak pilihan calon isteri atau suami dari anak mereka. Tentu saja mereka ini, orang-orang tua ini, merasa yakin bahwa sikap mereka itu terdorong oleh perasaan ingin membahagiakan anak, seperti juga Cia Giok Keng yang merasa yakin bahwa puteranya akan celaka, akan cemar, akan sengsara kalau melanjutkan perjodohannya dengan Sun Eng yang dianggap tidak patut menjadi isteri puteranya!
Namun sesungguhnya, di dasar lubuk hati orang-orang tua seperti ini terdapat perasaan mementingkan diri sendiri yang amat besar! DIA lah yang akan merasa sengsara, kecewa dan tidak puas apa bila perjodohan itu dilanjutkan, DIA lah yang akan merasa terhina, tercemar, dan malu!
Sesungguhnya, perjodohan adalah urusan antara dua orang yang hendak menjalaninya, urusan dua orang yang terikat oleh rasa kasih sayang, dan orang lain sama sekali tidak berhak ikut mencampurinya! Orang-orang tua yang bijaksana, yang benar-benar mencinta anaknya, tak akan mementingkan perasaan hatinya sendiri, tak akan menuruti seleranya sendiri saja. Namun bukan berarti bahwa orang tua harus tidak peduli, bersikap masa bodoh, bukan demikian.
Orang tua sudah selayaknya kalau memperingatkan anaknya agar anaknya jangan salah pilih, agar anaknya itu memilih dengan dasar cinta kasihnya, bukan hanya dorongan nafsu birahi yang tertarik oleh lahiriah belaka. Namun, semua ini dilakukan demi si anak, bukan demi kepentingan perasaan sendiri dan lepas dari pada selera sendiri. Namun semua keputusan terakhir haruslah diberikan kepada si anak yang hendak menjalani perjodohan itu! Si anaklah yang memilih calon jodohnya, si anak sendiri pula yang kelak langsung menghadapi segala akibatnya!
Kita condong untuk menganggap bahwa orang yang pernah melakukan penyelewengan dalam hidup itu adalah orang yang selamanya tidak akan baik! Kita begitu pendendam terhadap orang lain, sebaliknya begitu murah hati terhadap diri sendiri sehingga semua kesalahan sendiri akan mudah saja dimaafkan, bahkan dibela dengan berbagai alasan! Kesalahan diri sendiri berarti kesalahan keluarga sendiri pula, yang bisa dikembangkan menjadi kelompok sendiri, teman sendiri, sekaum, sesuku, sebangsa dan sebagainya. Semua itu bersumber kepada pemusatan kepada si aku.
Mengapa kita tidak ingat bahwa setiap orang manusia di dunia ini sudah pasti pernah melakukan kesalahan, termasuk diri kita sendiri? Kenapa kita tidak mau membuka mata melihat kenyataan bahwa hidup ini adalah suatu gerakan terus menerus, sehingga kita tidak mungkin bisa menilai kehidupan seseorang dari satu peristiwa atau satu perbuatan saja? Orang-orang tua yang terlalu mementingkan dirinya sendiri tidak merasakan ini, dan mereka itu beranggapan bahwa mereka menoleh atau memilih calon jodoh anaknya demi untuk kebahagiaan anaknya! Betapa piciknya anggapan seperti ini!
Orang-orang tua yang beranggapan seperti itu agaknya menganggap kehidupan anaknya itu sebagai sesuatu yang mati, sesuatu yang tidak berubah-ubah lagi, sesuatu yang telah dapat dirumuskan dan dipastikan! Maka mereka ini merasa dapat menentukan bahwa kalau anaknya berjodoh dengan orang ini kelak akan hidup sengsara dan kalau berjodoh dengan orang itu barulah akan berbahagia! Betapa picik dan dangkalnya pendapat seperti ini!
Perjodohan, seperti urusan apa pun juga di mana terdapat hubungan antara manusia, seperti persahabatan dan sebagainya, sudahlah tepat dan benar di mana ada landasan cinta kasih! Dan cinta kasih sama sekali bukanlah pementingan diri sendiri! Bahkan di mana ada keinginan menyenangkan diri sendiri, di sana tidak mungkin ada cinta kasih, yang ada hanyalah cinta terhadap diri sendiri untuk mencari kesenangan, lantas segala sesuatu di luar dirinya hanya akan diperalat untuk mencapai kesenangan diri sendiri itu!
Tentu saja hal ini bukan berarti bahwa orang tua hanya akan memejamkan mata saja. Tidak, orang tua harus mengamati dan memperingatkan, menunjukkan apa bila anaknya memilih secara membuta, kalau anaknya hanya terbuai oleh nafsu birahi semata, terbuai oleh kemilaunya emas atau kedudukan atau keelokan rupa belaka. Tetapi, bila orang tua melihat cinta kasih yang menghubungkan anaknya dengan orang yang dipilihnya, maka orang tua yang bijaksana akan menyetujui tanpa memasukkan pendapat-pendapatnya sendiri tentang pilihan anaknya itu!
Beberapa hari kemudian setelah terjadi peristiwa yang menimbulkan kedukaan di antara keluarga pendekar itu, Yap In Hong melahirkan seorang anak laki-laki dengan selamat. Dan atas usul para pimpinan Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yang lama-lama merasa khawatir juga kalau-kalau akan ketahuan dan akan dianggap menyembunyikan buruan pemerintah, juga atas persetujuan para pendekar yang maklum bahwa mereka menaruh perkumpulan itu di tempat yang berbahaya, mereka lalu pindah dan tinggal di sebuah lereng bukit di seberang Sungai Min-kiang. Di lereng sunyi itu didirikan dua buah rumah kecil, di pinggir sebuah dusun yang menjadi tempat tinggal para petani yang merangkap pula sebagai nelayan-nelayan Sungai Min-kiang, dan di situlah mereka tinggal.
Lie Ciauw Si membantu ibunya dan pamannya pindah, dan sepekan kemudian sesudah mereka pindah, dia berpamit untuk mengulang lagi perjalanannya yang tertunda karena pertemuannya dengan Lie Seng, yaitu ke kota raja. Dia akan mencari Pangeran Ceng Han Houw untuk minta pertolongan pangeran itu, supaya ibu dan pamannya sekeluarga dapat dibebaskan dari tuduhan memberontak.
Tinggal mondok di rumah orang lain, betapa pun baiknya orang yang mempunyai rumah itu, memang merupakan hal yang amat tidak enak. Apa lagi bagi suami isteri, dua pasang pendekar itu. Bahkan semakin baik pemilik rumah, makin sungkanlah hati mereka.
Oleh karena itu, sesudah kini pindah dan tinggal di dalam dusun kecil di lereng bukit itu, Yap Kun Liong yang tinggal serumah dengan isterinya, dan Cia Bun Houw yang tinggal di dalam rumah lain bersama isterinya serta anaknya, merasa gembira dan tenteram. Dua orang pendekar sakti itu berpakaian seperti para petani, bahkan mereka juga bertani, bahkan kadang-kadang juga ikut pula mencari ikan seperti para penduduk dusun itu. Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa musuh besar mereka tidak pernah mengenal lelah dalam mencari jejak mereka.
Tadinya, Kim Hong Liu-nio memusuhi keluarga Cin-ling-pai terutama orang-orang she Cia dan Yap hanya karena tugasnya sebagai murid dari Hek-hiat Mo-li, dan dia menganggap para pendekar Cin-ling-pai itu sebagai musuh-musuh gurunya yang harus dibasminya.
Akan tetapi sekarang, wanita cantik ini mencari-cari musuh-musuhnya bukan hanya demi membalas sakit hati gurunya, melainkan terutama sekali karena dendam pribadinya atas kematian kekasihnya, yaitu mendiang Panglima Lee Siang.
Sesudah dia menggunakan kecantikannya dan dapat memikat hati kaisar sehingga selain menjadi wanita gagah penyelamat kaisar juga kini menjadi wanita cantik penghibur kaisar, dia memperoleh kekuasaan memimpin pasukan besar untuk mencari musuh-musuh yang telah berhasil dicapnya sebagai para pemberontak dan buronan itu. Kim Hong Liu-nio tak pernah berhenti mencari dan menyebar mata-matanya sehingga akhirnya tahulah dia di mana tempat sembunyi para musuhnya yang amat dibencinya itu!
Yap In Hong, ibu muda yang baru satu bulan melahirkan, dengan wajah berseri pulang dari pasar. Wajahnya cantik jelita dan gilang-gemilang seperti biasanya wanita muda yang menyusui anaknya dan belum lama melahirkan. Memang ada cahaya yang aneh selalu nampak pada wajah wanita yang mulai mengandung tua dan sampai dia melahirkan dan menyusui bayinya, cahaya berseri yang membuat wajahnya cantik menarik dan gemilang.
In Hong baru saja kembali dari pasar. Dia tadi berangkat pagi sekali membawa hasil ikan yang semalam diperoleh suaminya bersama para nelayan lain. Memang kadang-kadang dialah yang membawa ikan hasil tangkapan suaminya itu ke pasar, untuk dijual kemudian dibelikan bahan-bahan atau bumbu-bumbu masak lainnya.
Hidup sebagai seorang dusun, yang bebas dan tenang ini, benar-benar amat disukainya, dirasakannya begitu aman dan jauh sengketa, tidak seperti kehidupan wanita kang-ouw yang selalu harus mempergunakan kekerasan karena dunianya adalah dunia kekerasan. Begitu ringan langkah In Hong, seringan hatinya yang riang sekali di pagi hari itu sehingga hampir dia bernyanyi-nyanyi kalau saja dia tidak merasa malu karena kadang-kadang dia bertemu dengan penduduk dusun yang pergi ke ladang.
Ketika dia tiba di luar dusun, dari jauh dia melihat seorang wanita yang berjalan perlahan dengan tenang. Dari jauh saja In Hong sudah merasa sangat tertarik dan terheran. Dia dapat melihat bahwa wanita itu memakai pakaian yang indah, jelas bukan seorang wanita dusun. Sama sekali bukan, karena dari jauh saja sudah kelihatan betapa rambut wanita itu digelung indah dan di rambut itu nampak kilauan permata dan kedua lengannya juga memakai gelang emas yang berkilauan.
Setelah mereka saling berhadapan, barulah hati In Hong terkejut bukan main! Dari jauh tadi dia tidak mengenal wanita cantik ini, akan tetapi setelah dekat, melihat pedang yang tergantung di pinggang ramping itu, melihat kayu salib tergantung di punggung, barulah dia teringat bahwa wanita ini adalah musuh besar keluarga Cin-ling-pai Kim Hong Liu-nio!
Juga Kim Hong Liu-nio terkejut bukan kepalang setelah dia berhadapan dengan In Hong, karena dia pun tidak menyangka bahwa wanita dusun yang cantik dan kelihatan riang itu bukan lain adalah Yap In Hong, seorang di antara musuh-musuhnya yang terlihai! Baru satu kali dia bertemu dengan pendekar wanita gagah perkasa ini, maka tadi dia pun tidak mengenal In Hong, apa lagi karena pendekar itu memakai pakaian seorang wanita dusun.
Begitu mengenal musuh besar ini, maka giranglah hati Kim Hong Liu-nio. Memang dia baru memperoleh berita dari seorang di antara para penyelidik yang disebarnya di seluruh daerah bahwa keempat orang musuh besar yang sudah dicapnya sebagai pelarian dan buronan pemberontak itu berada di dusun itu. Begitu mendapat berita ini dia segera pergi sendiri mengadakan penyelidikan. Sungguh tidak disangkanya bahwa dia akan berjumpa dengan Yap In Hong di luar dusun.
Tadinya dia sudah merasa putus asa karena tak ada seorang pun penduduk dusun yang sederhana itu yang mengenal keempat nama pendekar yang dicarinya itu. Hal ini adalah karena memang dua pasang suami isteri pendekar itu mempergunakan nama palsu dan memang kehidupan mereka selayaknya petani-petani dan nelayan-nelayan biasa, sama sekali tidak seperti pendekar.
"Bagus, kiranya para pemberontak bersembunyi di dusun ini!" katanya sambil tersenyum mengejek.
Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang tinggi sekali ilmu silatnya, bahkan dia telah mewarisi hampir semua kepandaian subo-nya, maka bertemu dengan hanya seorang saja di antara musuh-musuhnya, dia sama sekali tidak merasa gentar. Apa lagi dia memang telah menyiapkan pasukan yang setiap waktu akan dapat membantunya, yang kini sudah memasang barisan pendam di sekitar tempat itu, sudah mengurung dusun itu dengan ketat!
Kekagetan hati In Hong juga hanya sebentar saja. Mendengar ucapan Kim Hong Liu-nio, dia sudah menjadi marah sekali. Tentu saja dia tidak takut menghadapi musuh ini. Yap In Hong adalah seorang pendekar wanita yang sakti, yang sukar dicari tandingannya. Biar pun semenjak dia mengalami guncangan batin akibat kemunculan Lie Seng yang hendak memperisteri Sun Eng, muridnya yang murtad itu kemudian dia melahirkan anak agak di bawah waktu, membuat kesehatannya terganggu dan dia belum boleh terlampau banyak mengerahkan tenaga, namun dia sama sekali tidak menjadi jeri.
"Iblis betina, kalau engkau tidak menemukan kami akhirnya akulah yang akan mencarimu untuk membunuhmu dengan tanganku sendiri!"
Kim Hong Liu-nio tersenyum mengejek. Kedua tangannya yang kecil dan yang memakai sarung tangan tipis, yang tak kentara sebab warnanya sama dengan kulitnya itu bergerak perlahan mengeluarkan beberapa batang hio. Sekali jari yang kecil-kecil itu memegang tangkai hio dan kedua tangannya bergerak, terdengarlah benturan dua buah gelangnya, terdengar nyaring dan nampak api bernyala dan... bagaikan main sulap saja, hio-hio di tangannya itu telah terbakar ujungnya dan terciumlah bau harum!
In Hong tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi, akan tetapi dia tidak merasa heran. Sebagai seorang pendekar wanita yang sudah banyak menjelajah di dunia kang-ouw, dia sudah banyak melihat hal-hal yang aneh. Biar pun dia tidak tahu bagaimana akal musuh itu membakar hio, namun dia mengerti bahwa tentu ada cara tertentu dan dia tidak perlu merasa heran.
Memang benarlah dugaannya. Di ujung hio-hio yang istimewa itu memang telah dipasangi obat bakar, maka sekali terkena sentuhan benda keras, ujung-ujung hio itu akan terbakar. Semua ini dilakukan oleh Kim Hong Liu-nio untuk mengikat perhatian lawannya, karena tiba-tiba saja kedua tangannya bergerak dan nampak sinar-sinar terang meluncur seperti kembang-kembang api ke arah jalan-jalan darah di bagian depan tubuh In Hong!
Inilah keistimewaan Kim Hong Liu-nio, dan itulah bahayanya hio-hio itu. Pertama-tama dia bermain sulap dengan pembakaran hio sehingga calon korbannya menjadi lengah karena perhatiannya tertarik pada sulapan itu sehingga kalau tiba-tiba diserang dengan sambitan hio-hio itu lawan akan terkejut dan sukar menyelamatkan diri.
Namun, In Hong bukanlah seorang pendekar biasa. Semenjak tadi pun dia sama sekali tidak merasa heran, maka dia masih terus bersikap waspada dan kedua matanya dengan mudah sekali dapat menangkap gerakan tangan lawan dan luncuran hio-hio itu.
Memang serangan itu berbahaya sekali, maka In Hong juga tidak berani bersikap lambat. Dia tidak berani pula menangkis karena dia belum mengenal sifat hio-hio yang digunakan oleh lawan sebagai senjata-senjata rahasia itu. Maka dia sudah mengenjotkan kakinya ke atas tanah dan tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat ke atas, berjungkir balik dan hio-hio itu lewat di bawah tubuhnya.
Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio masih menyambitkan sisa-sisa hio mengejar tubuh In Hong sehingga kini pendekar wanita itu terpaksa harus melayang lagi ke bawah dengan kepala lebih dulu dan dia menggunakan kedua tangannya untuk menyampok dan menggunakan hawa pukulannya membuat hio-hio itu runtuh ke atas tanah. Di lain saat In Hong sudah turun lagi ke atas tanah dengan sikap tenang, namun wajahnya agak pucat dan napasnya agak memburu, tanda bahwa gerakan-gerakan tadi membuat tubuhnya yang belum sehat benar itu menjadi lelah.
Dia marah sekali melihat kesombongan dan kecurangan wanita iblis itu. Maka, sekarang tangannya tiba-tiba saja bergerak dan sinar hijau yang mendatangkan hawa dingin sudah melesat dan menyambar ke arah muka dan dada lawannya.
Kim Hong Liu-nio juga cepat meloncat ke kiri untuk menghindarkan dirinya dan wanita ini tersenyum lebar. Dia dapat melihat dengan pandang matanya yang tajam itu betapa wajah lawannya pucat dan napasnya pun memburu, juga serangan dengan Siang-tok-swa (Pasir Beracun Wangi) itu dilakukan tidak dengan tenaga sepenuhnya.
Tahulah dia bahwa wanita cantik yang wajahnya berseri gemilang ini sebenarnya sedang dalam keadaan tidak sehat benar. Maka dia pun cepat menubruk maju. Dia harus dapat membunuh wanita musuh besar gurunya dan juga musuh pribadinya ini sebelum yang lain-lain muncul!
"Cring-cringgg...!"
Gelang-gelang yang menghias pergelangan tangan Kim Hong Liu-nio mengeluarkan bunyi nyaring dan kedua tangannya membuat gerakan-gerakan bersilang. Telapak tangan yang putih halus itu perlahan-lahan berubah kemerahan, dan semakin lama makin menghitam ketika wanita itu mulai melancarkan pukulan-pukulan dengan tamparan-tamparan tangan terbuka. Terdengar suara angin bersuitan tanda bahwa di dalam tamparan-tamparan itu terkandung tenaga dahsyat,
Melihat warna kedua telapak tangan itu, In Hong segera maklum bahwa lawannya telah menyerangnya dengan pukulan beracun! Namun dia tidak menjadi gentar. Dengan lincah dia menggeser kaki, membiarkan tamparan-tamparan itu lewat dan yang terlalu dekat lalu ditangkisnya dengan gerakan tangan yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang.
"Plak-plak-plakk!"
Pertemuan antara dua pasang tangan yang sama kecil dan halus kulitnya itu merupakan pertemuan dua tenaga dahsyat yang mengakibatkan tubuh Kim Hong Liu-nio terdorong ke belakang. Namun In Hong merasa betapa kulit tangan yang bertemu dengan lawan itu panas dan nyeri sehingga perasaan nyeri ini kelihatan pada wajahnya yang pucat, atau nampak pada bibirnya yang bergerak. Hal ini dapat dilihat oleh Kim Hong Liu-nio. Wanita ini tertawa merdu dan kembali menubruk dengan pukulan-pukulan yang lebih hebat lagi.
In Hong kembali mengelak dan kini dia pun membalas dengan pukulan-pukulan Thian-te Sin-ciang yang tidak kalah dahsyatnya. Sesungguhnya, kalau saja In Hong tidak sedang dalam keadaan lemah, Kim Hong Liu-nio tentu akan menghadapi lawan yang luar biasa kuatnya karena nyonya muda ini bahkan pernah mengalahkan subo-nya, Hek-hiat Mo-li. Walau pun Kim Hong Liu-nio sudah mewarisi ilmu kepandaian nenek bermuka hitam itu, namun dasar ilmu silatnya dari golongan sesat itu tidak mungkin mampu mengatasi dasar ilmu silat In Hong yang kuat dan murni.
Akan tetapi, ibu muda itu sedang lemah, dan kini Kim Hong Liu-nio sudah memperoleh kemajuan pesat karena dia selalu menggembleng diri dengan ilmu-ilmu silat tinggi, maka perkelahian ini membuat In Hong cepat merasa lelah hingga gerakan-gerakannya kurang kokoh. Beberapa kali ibu muda ini terhuyung bila mana mereka saling mengadu tenaga dengan pertemuan tangan.
"Plakkk! Plakkk!"
Kembali dua tangan mereka bertemu dua kali dan akibatnya, In Hong yang terhuyung. Kalau dalam pertemuan pertama kali tadi Kim Hong Liu-nio yang terhuyung, kini keadaan menjadi membalik, tanda bahwa tenaga ibu muda itu makin berkurang atau tidak berani mengerahkan seluruh tenaga karena begitu dia mengerahkan tenaga, perutnya langsung terasa sakit dan kepalanya pening.
"Hik-hik-hik, mampuslah engkau!" Kim Hong Liu-nio yang melihat lawan terhuyung lantas menerjang, mengirim tamparan cepat ke arah kepala lawan.
Melihat ini, kembali In Hong menangkis sambil mundur, namun dia tidak tahu bahwa di belakangnya terdapat sebuah batu. Maka kakinya menginjak permukaan batu licin dan dia pun tergelincir dan jatuh!
Terdengar suara ketawa merdu dan wanita iblis itu sudah menubruk dan menghantamkan kakinya ke arah kepala In Hong! Namun ibu muda yang sudah dalam keadaan berbahaya ini, cepat menggulingkan tubuhnya sehingga terluput dari injakan kaki lawan.
Kim Hong Liu-nio merasa penasaran, meloncat lantas menendang sambil terus mengejar ke arah mana tubuh lawan bergulingan. Setiap kali In Hong hendak meloncat bangun, dia menghantam dengan kedua tangannya yang ditangkis oleh In Hong sehingga kembali ibu muda ini terguling. Keadaan Yap In Hong sungguh terancam bahaya maut!
Akan tetapi pada saat itu pula nampak bayangan putih berkelebat dan tiba-tiba muncullah pendekar Cia Bun Houw di tempat itu. Dapat dibayangkan betapa marahnya pendekar ini melihat isterinya yang dia tahu masih belum sehat benar itu didesak hebat oleh wanita yang dikenalnya sebagai musuh besar keluarganya.
"Hong-moi, mundurlah dan serahkan iblis ini kepadaku!" bentaknya.
Sekali dia meloncat, dia sudah berada di depan Kim Hong Liu-nio dan mengirim pukulan dengan tangan kirinya. Hebat bukan main pukulan yang datang ini, mengandung tenaga dahsyat sekali. Kim Hong Liu-nio terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi pukulan aneh itu terus mengejarnya sehingga terpaksa dia menangkis.
"Dukkk!"
Tubuh Kim Hong Liu-nio tergetar sehingga dia pun terpaksa meloncat ke belakang untuk mematahkan tenaga amat dahsyat yang mendorongnya secara hebat itu. Hatinya merasa menyesal sekali. Mengapa dia tidak cepat-cepat menewaskan Yap In Hong tadi?
Harus diakuinya bahwa dia tadi sengaja hendak mempermainkan nyonya itu lebih dahulu untuk memuaskan hatinya. Apa bila dia tadi menghendaki, tentu sudah dapat membunuh musuh besar itu. Kini muncul suami wanita itu, Cia Bun Houw yang memiliki kepandaian hebat sekali sehingga kini dialah yang terancam bahaya.
"Siluman betina, engkaulah biang keladi kematian ayahku! Kini bersiaplah untuk mampus di tanganku!" kata Bun Houw yang tidak mau memberi kesempatan kepada lawan. Kini pendekar itu sudah menyerang lagi dengan pukulan-pukulan dahsyat yang membuat Kim Hong Liu-nio terdesak hebat.
Wanita itu amat menyesal tidak sempat untuk melarikan diri, karena pendekar itu sudah menerjang dirinya dan mengirim pukulan bertubi-tubi, setiap pukulan merupakan serangan maut yang hebat sekali sehingga diam-diam Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main.
Dahulu dia pernah berhadapan dengan ketua Cin-ling-pai, yaitu pendekar sakti Cia Keng Hong yang amat sakti, dan kini puteranya ini ternyata mempunyai kelihaian yang agaknya tidak kalah oleh ayahnya itu! Celaka, pikirnya, mengapa dia begini ceroboh, berani datang sendirian saja menghadapi orang-orang yang sakti seperti ini? Belum lagi kalau muncul pendekar Yap Kun Liong dan isterinya!
Maka dia pun segera menggerakkan kaki tangannya dan menghadapi desakan Cia Bun Houw sambil mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya, mengandalkan keampuhan sarung tangan yang melindungi kedua tangannya. Memang, tanpa perlindungan sarung tangan itu, tentu kedua tangannya tak akan kuat menghadapi sepasang tangan Cia Bun Houw yang ampuh.
Sementara itu, pada saat melihat suaminya muncul tadi, Yap In Hong yang tadinya masih bergulingan, lalu bangkit duduk dan bersila, mengatur napas mengumpulkan hawa murni, selain untuk menjaga supaya di sebelah dalam tubuhnya tidak sampai terluka, juga untuk memulihkan tenaganya. Oleh karena dia memang belum pernah terkena pukulan secara langsung, maka dia tidak menderita luka sehingga sebentar saja keadaannya sudah pulih kembali.
Dia membuka mata, melihat betapa suaminya mendesak wanita iblis itu. Dia tahu bahwa tidak lama lagi suaminya tentu akan mampu merobohkan Kim Hong Liu-nio. Kini timbullah perasaan marah di hatinya.
Wanita itu tadi nyaris membunuhnya, menggunakan kesempatan saat dia dalam keadaan tidak sehat. Hal ini dianggapnya sebagai penghinaan sehingga menimbulkan kemarahan di hatinya. Dia lalu bangkit dan menghampiri tempat perkelahian itu.
"Jangan bunuh dia dulu, aku harus memberi satu dua pukulan dahulu kepada iblis betina ini!" katanya dan nyonya muda ini lalu ikut menerjang ke depan, menghantamkan kedua tangannya dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang, akan tetapi tentu saja dia tidak berani mempergunakan seluruh tenaga, hanya seperempat bagian saja.
Kim Hong Liu-nio tentu saja makin terdesak. Baru melawan sang suami itu saja dia telah kewalahan, apa lagi kini sang isteri maju mengeroyoknya! Dia berusaha untuk menangkis, tahu akan kelemahan Yap In Hong, akan tetapi tangkisannya itu terhenti oleh tangan Bun Houw dan pukulan In Hong datang menuju ke dadanya. Dia miringkan tubuh tetapi tidak mampu menghindarkan diri.
"Bukkk!"
Pundaknya kena pukulan In Hong itu. Memang tidak dengan tenaga sepenuhnya, namun cukup hebat tenaga Thian-te Sin-ciang yang hanya seperempat bagian itu dan Kim Hong Liu-nio merasa dadanya sesak, tubuhnya terjengkang!
Akan tetapi dia sudah meloncat lagi dan ketika dia hendak melarikan diri, Cia Bun Houw sudah menghadangnya! Agaknya pendekar ini yang tahu akan kemarahan isterinya, ingin memuaskan hati isterinya itu, karena itu dia tidak merobohkan wanita ini dan kembali dia menahan dengan tangannya ketika isterinya melakukan tamparan keras.
Kim Hong Liu-nio berusaha mengelak, namun kembali gerakannya tertahan oleh tangan Bun Houw sehingga dia tidak mampu menghindarkan diri ketika tamparan nyonya muda itu mengenai punggungnya.
"Plakkk!"
Kim Hong Liu-nio kembali terpelanting dan sekali ini dia muntahkan darah segar, lalu dia bangkit sambil mengeluarkan teriakan melengking berkali-kali dan menggunakan seluruh tenaganya untuk menangkis pukulan-pukulan suami isteri yang terus mendesaknya itu. Dia tahu bahwa kalau tidak segera datang bala bantuan yang sudah dipanggilnya melalui suara lengkingan tadi, tentu dia akan binasa. Melarikan diri pun tidak ada gunanya karena pendekar Cia Bun Houw itu benar-benar hebat!
Kembali suami isteri itu memukul dari depan. Kim Hong Liu-nio segera menyilangkan dua tangannya, hendak mengandalkan gelang-gelangnya untuk menangkis. Pada saat itu juga terdengar teriakan,
"Jangan bunuh dia...!" Dan nampaklah seorang pemuda remaja datang berlari-lari dengan cepat sekali ke tempat itu. Pemuda ini bukan lain adalah Sin Liong!
Seperti kita ketahui, Sin Liong yang ingin melindungi Bi Cu terpaksa mengantar Ceng Han Houw bertemu dengan Ouwyang Bu Sek sesuai dengan janjinya. Dan setelah suheng-nya menerima pangeran itu, Sin Liong segera meninggalkannya dan pemuda ini pergi mencari musuh besarnya, yaitu Kim Hong Liu-nio.
Dia mendengar bahwa musuh besarnya itu sekarang memimpin pasukan dan melakukan pencarian untuk memburu keluarga Cin-ling-pai yang dituduh memberontak. Maka tidak begitu sukar baginya untuk mengikuti jejak wanita itu dan akhirnya dia mendengar bahwa wanita itu berada di pegunungan dekat Sungai Min-kiang Propinsi Hok-kian itu.
Saat dia tiba di luar dusun dan melihat betapa Kim Hong Liu-nio dikeroyok oleh pendekar Cia Bun Houw dan isterinya, dan keadaan wanita iblis yang menjadi musuh besarnya itu terdesak hebat dan robohnya sudah boleh dipastikan akan terjadi tak lama lagi, terjadi hal aneh dalam hati Sin Liong yang mendorongnya untuk berteriak mencegah suami isteri itu membunuh wanita iblis itu! Ada dua hal yang menimbulkan perasaan ini di hati Sin Liong.
Pertama-tama, ketika melihat wanita itu dikeroyok dan didesak hebat, teringatlah dia akan peristiwa beberapa tahun yang lalu ketika dia, Bi Cu dan Tiong Pek putera mendiang Na Ceng Han terancam bahaya didesak oleh musuh-musuh yang menyerbu rumah keluarga Na itu. Pada waktu itu muncul pula Kim Hong Liu-nio ini yang membunuh para musuh itu sehingga bagaimana pun juga, wanita iblis ini pernah menyelamatkan nyawanya. Teringat akan hal itu, timbullah niatnya untuk sekali ini menolongnya pula dari ancaman kematian sebagai pembalasan atau pertolongannya dahulu itu!
Dan ke dua, ada rasa tidak rela di hatinya melihat wanita iblis ini akan terbunuh orang lain, biar pun orang lain itu adalah ayah kandungnya sendiri dan ibu tirinya! Dia ingin agar kematian wanita pembunuh ibu kandungnya dan pembunuh kakeknya itu di tangannya, bukan di tangan orang lain. Dialah yang harus menuntut balas kepada Kim Hong Liu-nio. Inilah sebabnya mengapa Sin Liong berteriak melarang mereka membunuh wanita iblis itu.
Akan tetapi Bun Houw dan In Hong yang tidak ingat lagi siapa adanya pemuda remaja itu, melihat pemuda itu berlari cepat sekali, mereka maklum bahwa pemuda itu mempunyai kepandaian pula dan menyangka bahwa pemuda itu tentulah kawan dari wanita iblis ini. Karena itu, maka Bun Houw dan In Hong memperhebat desakannya sehingga ketika Kim Hong Liu-nio menangkis dengan kedua tangannya dia terjengkang!
Melihat ini, Bun Houw segera menggerakkan tangannya, melakukan pukulan maut untuk membunuh wanita yang menjadi musuh keluarganya itu.
"Dukkk!"
Tangan pendekar itu bertemu dengan tangan Sin Liong dan Bun Houw merasa betapa lengannya tergetar keras. Dia terkejut, namun dia menggerakkan tangan kirinya, memukul lagi ke arah Kim Hong Liu-nio.
"Desss!"
Kembali Sin Liong menangkis dan sekali ini pertemuan tenaga antara mereka sedemikian kuatnya sehingga keduanya terdorong ke belakang! Kim Hong Liu-nio mempergunakan kesempatan ini untuk meloncat ke belakang dan melarikan diri!
Bukan main marahnya hati Bun Houw pada waktu dia memandang kepada Sin Liong dan mengenal pemuda remaja ini sebagai anak yang dulu pernah dipelihara dan dididik oleh mendiang ayahnya di Cin-ling-san.
"Engkau...?!" bentaknya. "Engkau melindungi iblis itu...?"
"Aku tidak ingin orang lain membunuhnya...," jawab Sin Liong.
Sejenak kedua orang ini saling pandang dengan sinar tajam. Jantung Sin Liong berdebar rasanya. Inilah ayah kandungnya! Namun Bun Houw sama sekali tidak tahu akan hal ini dan dia hanya menganggap pemuda ini seorang yang tak tahu diri, yang sekarang malah membela musuh padahal anak ini tahu bahwa wanita tadi adalah biang keladi kematian ketua Cin-ling-pai!
"Bocah keparat, kau harus dihajar!" bentaknya dan dia sudah mengirim pukulan ke arah dada Sin Liong.
"Desss...!" Tubuh Sin Liong terlempar bergulingan.
"Houw-ko, jangan...!" In Hong berseru kaget.
Dia pun mengenal Sin Liong sebagai anak yang dahulu dicinta oleh mendiang Cia Keng Hong dan karena pernah menjadi murid ketua Cin-ling-pai itu, maka sebetulnya dia masih terhitung sute dan masih saudara seperguruan. Dia merasa khawatir kalau-kalau pukulan tadi menewaskan Sin Liong, karena dia tahu betapa hebatnya pukulan dari suaminya.
Akan tetapi, Sin Liong sama sekali tidak mati, bahkan tidak terluka oleh pukulan tadi. Dia tadi sudah mengerahkan sinkang-nya untuk melindungi dada sehingga tubuhnya menjadi seperti sebuah bola penuh hawa saja yang bisa dipukul hingga terpental dan bergulingan, namun tidak sampai melukainya, baik luka di luar mau pun di dalam.
Kini Sin Liong sudah meloncat bangun dan sepasang matanya memandang tajam, penuh rasa penasaran kepada Bun Houw. Ayah kandungnya ini sudah memukulnya, memukul anak kandung sendiri! Betapa kejamnya!
Bun Houw menjadi semakin marah dan penasaran ketika melihat betapa pukulannya tadi tidak merobohkan Sin Liong. Dia adalah seorang pendekar besar dan tentu saja hatinya tidak kejam. Dia tadi memukul dengan perhitungan yang masak sehingga pukulan itu tak akan membunuh dan yang dipukulnya bukanlah tempat berbahaya, namun cukup untuk merobohkan bocah itu.
Akan tetapi nyatanya bocah itu sama sekali tidak roboh bahkan terluka sedikit pun tidak. Dengan marah dia lalu menerjang kembali dan sekali ini dia memperkuat tenaga dalam pukulannya.
"Dukkk!"
Sekali ini Sin Liong menangkis dengan pengerahan tenaga pula, dan karena dia sudah mengerahkan tenaga yang lebih besar, maka akibatnya tubuh Bun Houw yang terjengkang ke belakang! Baiknya pendekar ini sudah cepat berjungkir balik sehingga tidak sampai terbanting roboh. Matanya terbelalak karena dia tidak menyangka bahwa Sin Liong akan memiliki tenaga sekuat itu!
"Bocah setan...!" Dia memaki dan menyerang lagi.
Sin Liong cepat menggerakkan kaki mengelak dan menangkis. "Aku tidak ingin berkelahi denganmu!" katanya berkali-kali sambil terus mengelak dan menangkis, main mundur.
Bun Houw menjadi makin penasaran. Bocah ini hebat benar, semua serangannya dapat dilumpuhkan dengan elakan cepat dan tangkisan kuat!
Pada saat itu pula datang Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng berlari-larian.
"Tahan, jangan berkelahi...!" Yap Kun Liong langsung berseru sesudah dia mengenal Sin Liong sebagai anak yang pernah diambil murid oleh ayah mertuanya.
Dia pun mengenal gerakan kaki anak itu yang bergerak dengan langkah-langkah Thai-kek Sin-kun, akan tetapi dia tidak mengenal gerakan tangannya saat melancarkan tangkisan-tangkisan itu. Dia merasa amat heran melihat betapa Bun Houw yang telah mengerahkan tenaga sepenuhnya itu ternyata tak mampu merobohkan Sin Liong, dan setiap kali kedua tangan mereka saling bertemu, keduanya tergetar dan sama sekali tidak kelihatan anak itu kalah kuat!
Karena penasaran dan marah, Bun Houw tidak menghentikan serangan-serangannya biar pun sudah diteriaki oleh Kun Liong. Pada saat itu pula terdengar bunyi gemuruh kemudian datanglah pasukan besar yang dipimpin oleh Kim Hong Liu-nio!
Melihat munculnya pasukan besar ini, empat orang pendekar itu terkejut bukan main dan otomatis Bun Houw menghentikan serangannya dan Sin Liong juga sudah melompat jauh ke belakang. Bagaikan banjir yang datang mengamuk, pasukan itu langsung menerjang, dipimpin oleh Kim Hong Liu-nio sendiri yang tadi merasa terheran-heran melihat Sin Liong bertanding melawan Cia Bun Houw.
"Larilah kalian! Lekas, larilah!" tiba-tiba Sin Liong berseru, seruan yang ditujukan kepada empat orang pendekar itu dan dia sendiri lantas berlari ke depan, menyambut datangnya para prajurit yang menyerbu!
Sejenak empat orang pendekar itu tertegun menyaksikan pemuda remaja itu mengamuk seperti seekor naga sakti. Sekali bergerak, kedua kakinya telah merobohkan empat orang prajurit dan kedua tangannya menangkap masing-masing seorang prajurit, lantas diputar-putarnya dan dilemparkan kepada para prajurit yang datang bagai air bah menyerang itu.
"Mari kita cepat pergi!" Yap Kun Liong berkata.
Keempat orang itu lalu berlari cepat memasuki dusun untuk mengambil anak bayi putera Bun Houw yang dititipkan kepada seorang wanita tua petani ketika ibunya pergi ke pasar tadi. Kemudian, In Hong menggendong anaknya dan melarikan diri keluar dari dusun itu dikawal oleh suaminya dan oleh Yap Kun Liong bersama isterinya.
Berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, mereka dapat berlari cepat sekali dan tentu saja pasukan itu tidak mampu menyusul mereka, sedangkan Kim Hong Liu-nio yang juga memiliki ginkang yang tinggi tidak berani melakukan pengejaran seorang diri saja karena empat orang buruan itu terlalu lihai baginya dan dia sendiri tidak mempunyai pembantu yang cukup pandai. Diam-diam dia menyesal mengapa dia tidak mengajak subo-nya.
Sementara itu Sin Liong terus saja mengamuk sampai lama untuk mencegah pasukan itu melakukan pengejaran. Setelah merasa cukup lama dan dia pun sudah terlampau banyak merobohkan prajurit tanpa membunuh mereka, Sin Liong lalu meloncat jauh dan hendak melarikan diri. Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio menghadangnya bersama beberapa orang perwira yang memiliki kepandaian lumayan.
"Engkau hendak lari ke mana?" Kim Hong Liu-nio menubruk sambil menggunakan kedua tangannya menyerang.
"Plakk! Plakk!"
Tubuh Kim Hong Liu-nio terpelanting. Para perwira cepat menyerang dan menghujankan senjata mereka kepada Sin Liong sehingga pemuda remaja itu tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan serangannya terhadap wanita iblis yang menjadi musuh besarnya itu. Dia lalu meloncat lagi dan dengan beberapa kali loncatan jauh dia lalu menghilang di balik hutan yang lebat.
Kim Hong Liu-nio bangkit berdiri dan memandang ke arah hutan itu, alisnya berkerut dan dia terheran-heran. Bocah itu kini lihai bukan main, pikirnya. Akan tetapi dia tak mengerti bagaimana pendirian anak itu! Ketika dia terancam bahaya maut di tangan Cia Bun Houw dan Yap In Hong tadi, jelas bahwa anak itu sudah melindungi dan bahkan menyelamatkan dirinya dari ancaman maut, sampai anak itu bertanding melawan pendekar sakti Cia Bun Houw.
Padahal, menurut pengakuan anak itu dahulu, bukankah anak itu adalah putera kandung dari pendekar Cia Bun Houw? Mengapa anak itu menyelamatkan dia dan melawan ayah sendiri? Dan yang lebih aneh lagi, sesudah bocah itu melakukan hal yang luar biasa itu, mengapa tiba-tiba anak itu berbalik melindungi keempat orang pendekar buronan itu dan mengamuk, melawan pasukan kerajaan? Sungguh anak yang amat luar biasa sekali!
"Aku harus waspada terhadap dia... bocah itu berbahaya...!" Kim Hong Liu-nio mengepal tinju dan dia terpaksa lalu memerintahkan pasukannya untuk kembali dan tetap menyebar mata-mata untuk mengikuti jejak empat orang pendekar yang lolos itu.
"Maafkan kami, kami mentaati perintah," katanya lalu dia memberi aba-aba kepada para prajurit untuk mundur.
Biar pun terheran-heran, tentu saja semua prajurit tak berani membangkang dan mereka itu terpaksa mundur, dan terus menjauhkan diri dari tempat itu sesuai dengan perintah yang dikeluarkan oleh Panglima Lee Cin.
Dua orang bengcu selatan yang dipilih oleh Ceng Han Houw itu, yaitu Phang Tek dan Phang Sun, terpaksa ikut pula mengundurkan diri, akan tetapi setelah pasukan bergerak meninggalkan tempat itu, Hai-liong-ong Phang Tek yang merasa amat penasaran berkata,
"Tapi... tapi, ciangkun...! Kita sudah hampir dapat menguasai dan menangkap mereka...!"
Tanpa menghentikan langkahnya memimpin para pasukan yang meninggalkan tempat itu, Lee Cin lalu berkata, "Apakah locianpwe berani membantah dan membangkang terhadap cincin kekuasaan Pangeran Ceng Han Houw?"
"Tapi... tapi gadis itu..."
"Locianpwe, cincin yang diperlihatkan oleh nona itu adalah cincin kekuasaan beliau!"
Mendengar ucapan ini, dua orang kakek itu bungkam dan diam-diam terkejut dan heran. Bukankah menurut Panglima Lee Cin ini, dara itu adalah cucu ketua Cin-ling-pai pula? Keluarga Cin-ling-pai dianggap pemberontak dan buronan yang harus ditangkap, bahkan mereka berdua itu dipanggil ke kota raja supaya membantu Kim Hong Liu-nio menangkap pemberontak dan buronan ini, maka dengan sendirinya seorang cucu ketua Cin-ling-pai tentu merupakan buronan pula. Akan tetapi mengapa nona itu tadi malah memiliki cincin tanda kekuasaan dari Ceng Han Houw? Mereka bingung akan tetapi menghadapi cincin kekuasaan pangeran yang mereka takuti itu, tentu saja mereka tidak berani membantah lagi, apa pula melihat sikap Panglima Lee yang begitu takut menghadapi cincin tadi.
Sementara itu, sesudah semua pasukan itu mundur, barulah Ciauw Si yang berdiri tegak dengan gagah memandang kakaknya sambil tersenyum dan mengembangkan sepasang lengannya.
"Koko...!"
Pemuda dan pemudi itu lari saling menghampiri kemudian saling berangkulan. Suasana menjadi amat mengharukan saat kakak beradik ini berangkulan ketat tanpa mengeluarkan sepatah pun kata, dan dara yang gagah perkasa itu tidak mampu menahan air matanya yang mengalir turun.
"Seng-ko... betapa rinduku kepadamu...!"
"Ahhh, Ciauw Si, engkau adikku yang nakal...!"
Mereka melepaskan rangkulan, saling pandang dan keduanya tersenyum lebar walau pun wajah Ciauw Si masih basah air mata dan dua titik air mata juga membasahi bulu mata pemuda perkasa itu.
"Engkau... sungguh cantik dan gagah, adikku!"
"Dan engkau pun tampan dan gagah koko. Engkau tadi mengamuk seperti seekor naga sakti!"
"Ha-ha-ha, kalau engkau tidak keburu datang aku sudah menjadi naga tanpa nyawa!"
"Koko, siapakah enci yang manis itu?"
Wajah Lie Seng berubah merah, akan tetapi karena merasa sudah cukup dewasa, dia tidak mau menyembunyikan lagi persoalannya dengan Sun Eng. Dia menggapai Sun Eng dan gadis ini melangkah maju mendekat, saling berpandangan dengan Ciauw Si.
"Eng-moi, ini adalah adik kandungku, seperti yang pernah kuceritakan kepadamu. Adikku, dia ini bernama Sun Eng, dia adalah... ehh... calon soso-mu (kakak iparmu)!"
"Aihhh...!" Ciauw Si berseru girang dan dia cepat memberi hormat yang dibalas oleh Sun Eng dengan muka merah, kemudian Ciauw Si memegang lengan calon kakak iparnya itu. "Engkau sungguh cantik, soso...!"
"Ihh, Si-moi, belum waktunya engkau menyebut soso. Kami belum menikah!" kata Sun Eng tertawa.
"Maaf, Eng-cici, aku hanya bergurau. Akan tetapi aku ingin segera memanggilmu soso. Seng-koko, engkau sekarang sudah menjadi seorang pendekar perkasa setelah engkau belajar kepada locianpwe Kok Beng Lama! Hayo ceritakan semua pengalamanmu sejak engkau meninggalkan kami, koko!"
Mereka bertiga lantas duduk di atas rumput, maka berceritalah Lie Seng tentang semua pengalamannya semenjak dia meninggalkan rumah untuk ikut belajar kepada Kok Beng Lama sampai dia kembali, sampai dia bertemu dengan Sun Eng dan sampai perjumpaan mereka pada saat itu. Semua dia ceritakan secara singkat, akan tetapi tentu saja dia tidak pernah menyinggung tentang riwayat atau pun asal-usul Sun Eng, bahkan dia juga tidak menceritakan kepada adiknya bahwa calon isterinya itu adalah murid dari paman mereka Cia Bun How.
"Sekarang engkau harus ceritakan semua pengalamanmu, adikku yang nakal. Aku hanya bisa ikut merasa gelisah pada saat tidak melihatmu di Cin-ling-san dan hanya mendengar bahwa engkau minggat dari Cin-ling-san! Ke mana saja engkau pergi?"
Ciauw Si menarik napas panjang. Dia sudah merasa menyesal sekali setelah mendengar penuturan ibu kandungnya yang telah diselamatkannya dari kepungan pasukan kerajaan, mendengar bahwa kongkong-nya telah tewas, bahwa ibunya, ayah tirinya, dan pamannya serta isteri pamannya telah menjadi orang-orang buronan, dianggap sebagai pemberontak oleh kerajaan.
Dengan singkat dia pun menceritakan semua pengalamannya. Lie Seng merasa gembira sekali mendengar bahwa adiknya ini sudah menyelamatkan ibu kandungnya serta isteri pamannya yang sedang mengandung.
"Dan ke mana sekarang perginya ibu beserta bibi In Hong?" tanyanya. "Apakah mereka bersembunyi di rumah suci di Yen-tai?"
Ciauw Si menggeleng kepalanya. "Memang tadinya ibu dan bibi Hong bermaksud untuk pergi mengungsi ke sana, akan tetapi kemudian kami berpendapat bahwa hal itu akan amat membahayakan keselamatan keluarga enci Mei Lan sendiri. Tentu para penyelidik akan mudah diketahui orang. Maka, untuk sementara ini kutitipkan ibu dan bibi Hong ke tempat tinggal seorang sahabat baikku di Yen-ping."
"Di Yen-ping? Siapakah dia?"
"Ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Kebetulan aku pernah menyelamatkan dia dan kurasa tempat itu sangat aman bagi ibu untuk menjadi tempat tinggal atau tempat bersembunyi sementara, sambil menanti bibi Hong melahirkan."
"Dan bagaimana dengan... paman Kun Liong dan paman Bun Houw?" Sampai sekarang sukarlah bagi Lie Seng untuk menyebut ayah kepada Kun Liong yang telah menjadi ayah tirinya, maka dia masih menyebutnya paman.
"Setelah aku menitipkan ibu dan bibi Hong kepada perkumpulan itu, aku lalu pergi ke kota Yen-tai untuk mengabarkan hal itu kepada enci Mei Lan. Di sana aku bertemu dengan mereka berdua. Malah bersama mereka aku kembali lagi ke Yen-ping, dan kini mereka semua berkumpul di sana."
"Kau sekarang ini sedang hendak ke sana, Si-moi?"
"Tadinya aku hendak pergi ke kota raja..."
"Kau? Ke kota raja? Keluarga kita dituduh memberontak dan kau malah hendak ke kota raja? Apakah mencari celaka?"
"Tidak, aku hendak mencari Pangeran Ceng Han Houw..."
"Ah, pangeran yang cincinnya engkau bawa dan telah menjadi jimat yang menyelamatkan kami tadi? Ehh, Si-moi, bagaimana engkau bisa memperoleh cincin pangeran itu?"
Jantung Ciauw Si berdebar kencang dan mukanya menjadi merah, akan tetapi cepat dia menekan perasaannya yang terguncang. "Aku bertemu dengan dia di selatan dan kami telah menjadi sahabat baik. Dia kemudian memberikan cincin ini kepadaku sebagai tanda persahabatan dan agar mudah bagiku kalau hendak mencarinya di kota raja. Sungguh tidak kusangka cincin ini dapat kupergunakan untuk mengundurkan semua pasukan itu. Baru kuketahui bahwa kekuasaan pangeran itu benar-benar tinggi."
"Lalu mau apa engkau mencarinya di kota raja?"
"Aku dapat menduga niat yang bijaksana dari adik Ciauw Si," tiba-tiba saja Sun Eng ikut bicara. "Setelah mempunyai sahabat seorang pangeran yang kedudukannya begitu tinggi, yang memiliki cincin kekuasaan yang mampu mengundurkan pasukan kerajaan itu, tentu adik Ciauw Si ingin minta bantuan pangeran itu untuk membersihkan nama Cin-ling-pai, bukan?"
Ciauw Si memandang kepada wanita cantik itu dengan kagum, lalu mengerling kepada kakaknya dan berkata, "Wah, calon soso-ku rupanya jauh lebih cerdik dari pada engkau, Seng-ko! Memang dugaannya itu tepat sekali!"
Lie Seng tersenyum bangga. "Kalau tidak cerdik, masa dia menjadi pilihanku?" Mereka tertawa gembira.
"Karena pertemuan ini, biarlah terlebih dahulu kuantar kalian ke Yen-ping menjumpai ibu sebelum aku melanjutkan perjalananku ke kota raja. Marilah koko, mari enci Eng."
Akan tetapi Ciauw Si merasa heran sekali melihat mereka berdua itu saling memandang penuh keraguan, terlebih lagi Sun Eng yang memandang calon suaminya dengan wajah berubah agak pucat.
"Kau... kau bilang yang di Yen-ping itu... ibu kandungmu dan... dan...," Sun Eng tidak melanjutkan kata-katanya.
"Yang berada di rumah ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang adalah ibu, ayah tiriku, paman Cia Bun Houw dan bibi Yap In Hong. Tidak ada siapa-siapa lagi," sambung Ciauw Si.
Sun Eng kelihatan ngeri mendengar dua nama terakhir itu. Akan tetapi tiba-tiba Lie Seng berkata penuh semangat, "Mari kita pergi! Memang aku ingin sekali bertemu dengan ibu dan membicarakan urusan perjodohanku!" Dengan kata-kata ini dia memandang kepada Sun Eng dan seakan-akan berjanji melalui pandangan matanya bahwa dialah yang akan menanggung semua urusan yang mungkin timbul bila calon isterinya itu bertemu dengan Cia Bun Houw dan Yap In Hong.
Melihat sinar mata calon suaminya ini, Sun Eng menundukkan kepala dan mengangguk. Maka mereka bertiga berangkat menuju ke Yen-ping dan di sepanjang perjalanan, kakak dan adik ini tiada hentinya saling menceritakan pengalaman mereka masing-masing lebih lanjut.
Sun Eng tidak banyak berbicara karena wanita itu tenggelam dalam lamunannya sendiri, lamunan penuh penyesalan karena kini dia akan dijumpakan dengan bekas suhu-nya dan subo-nya, dan mengingat mereka maka teringat pula dia akan segala penyelewengannya yang amat memalukan.
Akan tetapi bila mana dia menoleh kepada Lie Seng, dan calon suaminya itu pun menoleh kepadanya, dia merasa memperoleh sandaran yang kuat karena dia maklum bahwa yang terpenting baginya adalah Lie Seng dan orang lain tidak masuk hitungan lagi! Bila sudah begini, maka kuatlah hatinya dan dia sanggup menghadapi apa pun juga di samping Lie Seng, satu-satunya pria di dunia ini yang masih sanggup mencintanya dengan tulus ikhlas sungguh pun telah mendengar semua penuturannya tentang penyelewengan pada masa lampau.
********************
Mereka berempat itu, Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong dua orang kakak beradik yang menjadi dua pasang suami isteri itu, pendekar-pendekar sakti yang menjadi tokoh-tokoh utama dari Cin-ling-pai yang kini sudah bubar setelah pendekar Cia Keng Hong meninggal, kini menjadi buronan-buronan pemerintah yang terpaksa harus menyembunyikan diri dalam salah sebuah di antara rumah-rumah di pusat perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang.
Mereka berempat jarang keluar dari rumah itu, dan mereka dilayani sebagai tamu-tamu agung oleh dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yaitu Gu Kok Ban dan Tong Siok. Tentu saja dua orang ketua ini pun merasa sangat gelisah dengan adanya empat orang pendekar sakti itu yang menjadi orang-orang buronan pemerintah. Namun karena mereka merasa berhutang budi kepada Ciauw Si, apa lagi karena mereka memang merasa amat kagum kepada para pendekar Cin-ling-pai yang sakti itu, maka mereka berdua menerima mereka dengan penuh kehormatan dan menyatakan tidak keberatan melindungi mereka sampai nyonya muda yang mengandung itu melahirkan.
Kandungan Yap In Hong sudah berumur delapan bulan dan mereka berempat itu selalu menyembunyikan diri, tak pernah berhubungan dengan orang luar kecuali hanya dengan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu saja. Bahkan para anggota perkumpulan itu hanya tahu bahwa ketua mereka menerima tamu-tamu yang terhormat, akan tetapi mereka pun tidak diberi tahu siapa adanya tamu-tamu itu.
Ketika Ciauw Si datang kembali bersama Lie Seng dan Sun Eng, dua orang ketua itu menyambut dengan gembira. Mereka selalu merasa kagum dan penuh hormat terhadap Ciauw Si, maka ketika nona itu memperkenalkan Lie Seng sebagai kakak kandungnya dan Sun Eng sebagai calon kakak iparnya, dua orang ketua itu memberi hormat kepada mereka. Kemudian, tiga orang muda ini langsung memasuki rumah yang menjadi tempat persembunyian dua pasang suami isteri pendekar itu.
Empat orang itu sedang duduk di ruangan lebar dan mereka sudah merasa girang sekali mendengar akan kedatangan kembali Ciauw Si bersama Lie Seng. Pada saat tiga orang muda itu memasuki rumah ruangan, serta-merta Lie Seng dan Ciauw Si menghampiri ibu mereka dengan girang, dan Sun Eng yang ikut masuk pula dengan wajah pucat, langsung menjatuhkan diri berlutut menghadap Bun Houw dan In Hong sambil berkata lirih,
"Suhu... subo...!"
Suami isteri ini terbelalak memandang pada saat mereka mengenal Sun Eng. Berubahlah wajah Bun Houw dan In Hong, menjadi kemerahan. Mereka tidak ingin orang lain, apa lagi keluarga mereka, mendengar tentang diri murid murtad yang memalukan ini, tetapi siapa kira, murid ini sekarang berani mati muncul di depan mereka, di tempat persembunyian dan di depan para keluarga!
"Mau apa kau ke sini?" bentak Bun Houw.
"Hayo pergi! Pergi kau dari sini cepat, atau... kuhajar engkau!" bentak In Hong pula sambil bangkit berdiri. Dengan wajah merah dan sepasang mata menyinarkan cahaya kemerahan Suami isteri itu sudah berdiri menghadapi Sun Eng yang masih berlutut.
Melihat ini, tiba-tiba Lie Seng meloncat dan dia telah berdiri di depan Sun Eng, melindungi dara itu dan menghadapi paman dan bibinya dengan mata bersinar-sinar.
"Paman dan bibi, harap sabar dan mundur dahulu...!" katanya sambil mengangkat kedua tangannya.
"Minggir kau, Seng-ji, biar kami hajar bocah murtad ini!" bentak Bun Houw yang semakin marah melihat keponakannya ingin melindungi gadis yang dianggap sudah mencemarkan nama baiknya itu!
Mendengar ini, habislah kesabaran Lie Seng dan sikapnya menentang. "Paman dan bibi, siapa pun juga di dunia ini tidak boleh menyentuh Eng-moi, apa lagi hendak menghajar dia! Kalau paman dan bibi hendak memukulnya, kalian harus lebih dulu membunuh aku!"
Cia Bun Houw dan Yap In Hong terkejut bukan kepalang mendengar ini. Mereka berdua terbelalak memandang wajah Lie Seng, kemudian Cia Bun Houw berseru, "Apa yang kau katakan ini, Lie Seng? Jangan kau mencampuri, dia itu adalah bekas murid kami yang murtad dan..."
"Aku tahu, paman. Akan tetapi hendaknya paman dan bibi juga mengetahui bahwa dia ini adalah calon isteriku yang tercinta!"
"Apa...?!" Bun Houw dan In Hong berseru hampir berbareng.
Sementara itu, Cia Giok Keng yang merasa terkejut sekali menyaksikan sikap tiga orang itu terhadap gadis cantik yang berlutut itu, kini sudah bangkit pula dan bertanya dengan gelisah, "Apakah artinya semua ini?"
"Cici, perempuan ini adalah murid kami yang murtad!"
"Ibu, nona Sun Eng ini adalah calon isteriku yang hendak kuperkenalkan kepada ibu..."
"Tidak boleh jadi! Aku tidak sudi membiarkan keponakanku menikah dengan perempuan hina..."
"Paman! Harap paman jangan melanjutkan kata-kata itu!" bentak Lie Seng dengan marah.
Melihat suasana yang panas itu, Yap Kun Liong segera bangkit berdiri dan menghampiri mereka, berdiri di tengah-tengah, kemudian dengan suara halus tetapi berwibawa dia pun berkata, "Hentikan semua kekerasan ini! Kita adalah di antara keluarga sendiri, kalau ada urusan dapat dibicarakan dengan tenang dan dengan kepala dingin. Agaknya terdapat perbedaan faham antara adik-adikmu dan puteramu, mari kita bicara baik-baik," sambung Kun Liong kepada isterinya yang menjadi bingung dan yang sudah pucat wajahnya itu.
Giok Keng mengangguk kemudian dia menoleh kepada Ciauw Si sambil berkata, "Engkau pergilah keluar dulu, Ciauw Si."
Ciauw Si mengerti bahwa ada apa-apa yang tidak beres dengan tunangan kakaknya itu, dan sebagai seorang gadis agaknya dia tidak diperbolehkan turut mendengarkan perkara yang hendak dibicarakan, maka dia pun mengangguk dan bangkit, hendak meninggalkan ruangan itu.
"Si-moi, jangan pergi!" Lie Seng berkata, dan pemuda ini nampak marah.
Memang dia telah menduga bahwa urusannya dengan Sun Eng pasti akan mendatangkan keributan dalam keluarganya, apa lagi guru-guru kekasihnya berada di situ pula, namun apa pun yang akan terjadi dan keadaan betapa pahit pun akan dihadapinya.
"Si-moi engkau sudah dewasa dan engkau pun anggota keluarga kita, karena itu biarlah engkau juga ikut mendengarkan dan mempertimbangkan. Apa yang dikatakan oleh paman Yap Kun Liong benar. kita harus berterus terang dan membuka kartu, dan biarlah nasib perjodohanku dibicarakan antara keluarga kita sampai selesai!"
Mendengar ucapan kakaknya dan melihat sikap yang keras itu, Ciauw Si menunduk dan tidak jadi pergi, diam-diam dia merasa sangat khawatir. Suasana menjadi hening sekali sesudah Lie Seng mengeluarkan kata-katanya terhadap adiknya ini, hening yang sangat menegangkan hati. Sejenak mereka semua hanya saling pandang, terutama sekali Cia Giok Keng yang masih bingung menghadapi peristiwa yang tidak disangka-sangkanya itu. Dalam beberapa saat ini hatinya mengalami guncangan-guncangan hebat.
Tadinya, ketika dia mendengar puteranya memperkenalkan wanita yang cantik gagah ini sebagai calon isterinya dia merasa girang. Akan tetapi ketika mendengar bahwa wanita inilah murid dari adiknya yang murtad, dia terkejut dan bimbang.
"Seng-ji, apakah artinya semua ini?" Akhirnya dia bertanya dengan suara gemetar dan biar pun pertanyaan ini diajukannya kepada puteranya, tapi pandang matanya diarahkan kepada Sun Eng yang masih berlutut.
"Ibu, sebetulnya tidak ada apa-apa yang aneh. Anakmu ini sudah berusia dua puluh enam tahun lebih, dan sekarang aku datang hendak memperkenalkan calon isteriku kepada ibu. Ibu, aku dan Sun Eng sudah saling mencinta dan kami berdua telah saling mengikat janji untuk menjadi suami isteri."
Menurut pandangan Giok Keng, wanita muda yang menjadi pilihan puteranya itu sudah tepat memang, cantik manis dan memiliki sifat gagah, akan tetapi tentu saja dia terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa wanita itu adalah murid adiknya, murid yang murtad, bahkan pernah melakukan penyelewengan hebat seperti yang pernah didengarnya dari cerita adiknya ketika mereka berempat berada di dalam kamar tahanan dan ketika gadis itu berusaha untuk menolong mereka.
"Cici, Lie Seng sama sekali tidak boleh menikah dengan perempuan ini! Inilah murid kami yang murtad itu, yang tak tahu malu, yang hina dan kotor..."
"Murid durhaka!" In Hong membentak Sun Eng. "Berani engkau memikat hati keponakan kami? Apakah engkau tidak ingat akan semua perbuatanmu yang hina dan engkau berani merayu mendekatinya?"
Dengan muka pucat yang selalu menunduk, Sun Eng berkata lirih, "Subo... teecu sudah... sudah menceritakan semua riwayat teecu kepada kakanda Lie Seng..."
"Heh?!" Bun Houw berteriak dan memandang kepada Lie Seng dengan mata terbelalak. "Benarkah itu, Seng-ji? Engkau sudah tahu akan riwayatnya yang busuk?"
Lie Seng mengangguk gagah. "Benar, paman. Aku sudah tahu dan aku tidak peduli! Aku cinta kepadanya, dan cintaku tidak membiarkan aku mengingat-ingat akan hal lalu! Kami saling mencinta dan apa pun yang telah, sedang dan akan terjadi, kami akan tetap saling mencinta. Kami sudah mengambil keputusan untuk hidup bersama, untuk menjadi suami isteri!"
"Tidak! Tidak mungkin itu, Cici, engkau harus melarang Seng-ji untuk menikah dengan perempuan rendah ini!"
Cia Giok Keng menjadi semakin bingung, apa lagi melihat sikap adiknya dan puteranya makin berkeras itu. Wajahnya menjadi pucat dan lesu, pandang matanya sayu. "Houw-te, belum tentu keponakanmu telah mengetahui semua riwayat muridmu yang murtad, maka sebaiknya kau ceritakan kembali supaya dia mendengar sendiri bagaimana perbuatan dari wanita yang dicintanya itu." Suara nyonya ini cemas agar puteranya dapat melepaskan wanita yang sama sekali tidak patut menjadi calon isterinya itu.
Sun Eng menangis. Lie Seng cepat mendekatinya lalu merangkulnya sambil berlutut pula. "Tenangkan hatimu, Eng-moi, aku akan melindungimu...," bisiknya.
"Ahh... koko... aku tidak tega melihat engkau direndahkan... biarlah aku pergi saja... aku... aku memang tidak pantas menjadi... menjadi...," dia sesenggukan.
"Houw-te, lekas ceritakan supaya urusan ini menjadi terang, biar Seng-ji mendengarnya sendiri!" kata Cia Giok Keng.
Bun Houw masih merasa tidak enak, maka dia memandang kepada Lie Seng, kemudian berkatalah dia kepada keponakannya itu, "Seng-ji, engkau tentu tahu bahwa sekali-kali bukanlah kami ingin menghalangi kebahagiaanmu, akan tetapi kami melakukan ini malah demi kebahagiaanmu. Sekarang kami terpaksa membongkar rahasia perempuan ini untuk mencegah agar engkau tidak sampai terjebak dalam perangkapnya."
"Paman Bun Houw, kebahagiaan seseorang mana mungkin bisa diatur oleh orang lain? Tentang riwayat Eng-moi yang lalu, aku tidak peduli dan kalau engkau mau menceritakan hal itu kepada siapa pun juga, terserah saja, karena hal itu tidak akan merubah cintaku kepadanya." Lie Seng merangkul kekasihnya dengan erat, seakan-akan hendak memberi kekuatan kepada wanita itu untuk menghadapi penghinaan ini.
Kembali Bun Houw meragu. Betapa pun juga dia merasa sayang kepada keponakannya dan dia merasa tidak enak untuk membongkar rahasia orang, apa lagi orang itu adalah bekas muridnya yang dulu amat disayangnya. Dia pernah menceritakan tentang Sun Eng secara singkat kepada cici-nya dan kepada Yap Kun Liong, dan sebagai seorang gagah, berat rasa hatinya untuk mengulang-ulang kebusukan orang lain.
Melihat keraguan adiknya, Giok Keng kemudian berkata, "Houw-te, lekas ceritakanlah. Ini menyangkut perjodohan puteraku, maka segala sesuatunya harus jelas agar supaya dia mengerti!"
Bun Houw menarik napas panjang, menelan ludah beberapa kali lantas berkata, suaranya amat lirih, "Seng-ji, dengarlah baik-baik. Perempuan ini pernah menjadi muridku dan dia... perempuan cabul ini... dia pernah memasuki kamarku untuk menggodaku... secara tidak tahu malu! Bukan itu saja, dia bahkan bukan perawan lagi, dia telah menyerahkan dirinya kepada banyak orang, seperti seperti pelacur saja..." Dia berhenti sebentar, "aku pernah menceritakan ini kepada ibumu..."
"Cukup!" Cia Giok Keng membentak "Nah, sudah dengarkah engkau, Lie Seng?"
Giok Keng mengharapkan puteranya itu akan insyaf, namun alangkah gelisahnya melihat puteranya itu nampaknya tidak kaget mendengar cerita Bun Houw itu!
"Aku sudah tahu, ibu, Eng-moi telah menceritakan segalanya kepadaku..."
"Dan engkau masih nekat hendak mengambil dia sebagai isterimu?"
"Ibu, kami saling mencinta..."
"Tidak! Bohong! Dia tentu telah merayumu, menggunakan ilmu sihir... engkau tidak boleh menikah dengan seorang pelacur!"
"Ibu...!"
"Cukup! Dia... biar aku sendiri yang menghajarnya!" Cia Giok Keng maju dengan kedua tangan dikepalkan.
"Tidak, enci, biarkan aku yang menghajarnya. Dia itu bekas muridku, dan kini dia berani menggoda puteramu!" kata In Hong yang juga telah bergerak maju ke depan, siap untuk menghajar bekas muridnya yang dianggap sudah menimbulkan banyak sengketa ini dan dia merasa bahwa sebagai seorang bekas guru dia harus bertanggung jawab. Akan tetapi Lie Seng bangkit berdiri dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi.
"Siapa pun tidak boleh menyentuhnya! Siapa yang hendak mengganggu Eng-moi, harus membunuh aku lebih dulu!" bentaknya.
Tentu saja In Hong mundur kembali dan Giok Keng menghadapi puteranya dengan hati marah. "Seng-ji, butakah engkau? Ibumu dan pamanmu, juga bibimu berbuat begini demi kebahagiaanmu! Aku tidak rela melihat anakku tergoda dan terpikat oleh rayuan seorang pelacur!"
"Ibu! Itukah perbuatan yang membahagiakan aku? Tidak, ibu malah akan menghancurkan kebahagiaanku. Jika ibu ingin membahagiakan aku, jangan halangi perjodohanku dengan Eng-moi. Akan tetapi kalau ibu dan paman hendak menentang, lebih baik bunuh saja aku lebih dulu sebelum menyentuh selembar rambut dari Eng-moi!"
Wajah Cia Giok Keng semakin pucat dan kata-kata itu seakan-akan merupakan pukulan sehingga dia mengeluh lantas terhuyung. Suaminya, Yap Kun Liong, cepat merangkulnya dan berbisik, "Kau tenanglah..."
"Lie Seng!" Bun Houw membentak keponakannya. "Begitukah sikap seorang pria gagah? Kau hendak mencemarkan nama keluarga, hendak menghancurkan hati ibu kandungmu, hendak membela seorang perempuan hina macam Sun Eng?"
"Paman, cukuplah segala omong kosong ini!" Lie Seng membentak, mukanya merah dan matanya liar. "Apakah paman hendak mengulangi lagi riwayat menyedihkan dari keluarga kita? Lupakah paman betapa mendiang kongkong juga pernah melarang paman menikah dengan bibi In Hong? Dan bagaimana sikap paman sendiri? Paman rela meninggalkan keluarga demi bibi In Hong karena paman mencintainya! Sekarang kenapa paman begitu tidak mau melihat kenyataan dan hendak bersikap tidak adil, menentang perjodohanku dengan wanita yang kucinta?"
"Anak bodoh! Dengan aku urusannya lain sama sekali! Bibimu In Hong adalah seorang wanita suci, baik-baik dan gagah! Tentu saja aku melindunginya dan rela meninggalkan keluarga..."
"Itu adalah karena paman mencintainya! Paman menganggap bibi In Hong wanita paling baik di dunia! Aku pun demikian. Aku menganggap Eng-moi wanita paling baik di dunia karena aku mencintanya dan siapa pun tidak boleh mengganggunya, seperti paman dulu membela dan melindungi bibi In Hong! Ahhh, betapa kalian telah kehilangan keadilan! Ibu, kalau ibu tidak setuju aku berjodoh dengan Eng-moi, biarlah aku pergi saja!"
"Seng-ji... apakah engkau mengira ibumu tidak ingin melihat anaknya bahagia hidupnya? Engkau keliru, nak. Aku melihat bahwa engkau hendak melakukan keputusan yang keliru, engkau akan menderita dan sengsara kalau engkau mengambil seorang wanita yang hina sebagai isterimu! Sebab itu aku melarang. Ibu mana yang benar-benar mencinta anaknya tak akan melarang kalau melihat anaknya itu mendekati tempat berbahaya yang mungkin akan mencelakakannya? Menurut cerita pamanmu tadi, wanita itu tak patut menjadi untuk calon isterimu. Dia pernah menyeleweng, tidak saja secara tak tahu malu menggoda guru sendiri, akan tetapi juga sudah hidup sebagai seorang pelacur, menjadi kekasih banyak orang! Bagaimana mungkin aku mempunyai mantu seperti itu?"
"Tetapi ibu! Mengapa ibu memandang Eng-moi dengan bayangan riwayat yang lalu itu? Pandanglah Eng-moi sekarang ini sebagai calon mantu ibu, sebagai kekasihku, sebagai wanita yang saling cinta denganku. Eng-moi yang dahulu sama sekali tidak sama dengan Eng-moi sekarang!"
"Tidak... tidak... aku tidak bisa merestui..." Giok Keng semakin pucat dan dia tentu sudah roboh kalau tidak dirangkul suaminya.
"Kalau begitu, selamat tinggal, ibu. Aku lebih memilih hidup bersama dengan Eng-moi dari pada harus hidup di dekat keluarga akan tetapi harus jauh dari orang yang kucinta!" Lie Seng kemudian bangkit berdiri sambil merangkul pinggang kekasihnya, "Eng-moi, marilah kita pergi!"
Sun Eng melangkah dengan tubuh lemas dan kaki gemetar, mukanya ditundukkan. Terlalu hebat dan menegangkan peristiwa yang kini dihadapinya dan diam-diam dia merasa amat terharu atas sikap Lie Seng yang betul-betul telah membelanya seperti itu. Dia menangis sambil berjalan terhuyung dalam rangkulan Lie Seng.
"Seng-ji... ahhh, Seng-ji...!" Cia Giok Keng menjerit dan ibu yang terguncang batinnya ini menjadi lemas.
Melihat isterinya pingsan, Yap Kun Liong segera memondongnya dan merebahkannya di atas kursi panjang kemudian mengurut punggung serta tengkuknya sehingga nyonya itu mengeluh dan siuman kembali.
Bun Houw meloncat dan sekali bergerak saja dia sudah menghadang Lie Seng. Dengan alis berkerut dan kedua mata bersinar tajam dia berkata, "Seng-ji, aku tidak ingin melihat keponakanku menjadi anak durhaka! Lihat, ibumu sampai menderita hebat akibat ulahmu. Hayo kau kembali kepada ibumu dan biarkan perempuan ini pergi sendiri!"
Lie Seng yang sudah marah itu memandang pamannya dengan bengis. "Paman Cia Bun Houw, engkau dulu tidak takut terhadap ancaman mendiang kongkong, apa kau kira aku kini takut menghadapi ancamanmu untuk melindungi kekasihku? Jika engkau mau bunuh, majulah, dan jangan engkau mengeluarkan kata-kata kasar terhadap calon isteriku!"
Bun Houw sudah bergerak hendak menyerang. Dia bermaksud turun tangan membunuh Sun Eng yang menjadi biang keladi keributan itu. Akan tetapi nampak sesosok bayangan berkelebat dan Ciauw Si sudah berdiri di samping kakaknya.
"Paman, jangan...!" seru dara ini. Melihat keponakannya yang perempuan juga membela Lie Seng, Bun Houw menjadi tertegun dan bingung.
"Houw-ko...!" Tiba-tiba terdengar keluhan panjang.
Bun Houw terkejut sekali dan cepat menengok. Dia melihat isterinya memejamkan mata, memegangi perutnya dan kelihatan limbung.
"Hong-moi...!" Bun Houw cepat meloncat mendekati isterinya dan merangkul. "Kau... kau kenapa, Hong-moi...?"
"Aku... perutku...ahhh, sakit...!"
Cia Giok Keng cepat menghampiri. "Bawa dia masuk... jangan-jangan dia akan segera melahirkan...!"
Bun Houw terkejut dan cepat memondong isterinya lalu membawanya masuk ke dalam kamar. Sementara itu Lie Seng sudah menggandeng tangan Sun Eng dan mengajaknya lari pergi dari tempat itu.
"Seng-ji...!" Cia Giok Keng berseru, kemudian menangis dalam rangkulan suaminya ketika puteranya itu tidak mau menoleh dan berlari terus di samping kekasihnya.
Ciauw Si lalu mendekati ibunya dan memegang lengan ibunya, dia pun menangis terisak menyaksikan kedukaan ibunya. Semenjak tadi dara ini mendengarkan semua peristiwa itu dengan bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Diam-diam dia teringat kepada Pangeran Ceng Han Houw dan hatinya terasa ngeri.
Betapa pun juga, ibunya telah dituduh sebagai pemberontak hingga menjadi orang buruan pemerintah, maka sedikit banyak tentulah ibunya membenci para pangeran dan keluarga kaisar. Bila dia kelak menghadap ibunya bersama dengan Pangeran Ceng Han Houw dan memperkenalkannya sebagai calon suaminya, dia ngeri kalau membayangkan apa yang akan menjadi sikap ibunya.
Pertemuan keluarga yang tadinya diharapkan akan mendatangkan rasa gembira bahagia itu berubah menjadi suasana yang amat menyedihkan. Peristiwa semacam ini akan selalu terjadi apa bila manusia terlalu mementingkan diri sendiri masing-masing.
Betapa banyaknya orang-orang tua yang berkeras dengan sikap mereka yang menolak pilihan calon isteri atau suami dari anak mereka. Tentu saja mereka ini, orang-orang tua ini, merasa yakin bahwa sikap mereka itu terdorong oleh perasaan ingin membahagiakan anak, seperti juga Cia Giok Keng yang merasa yakin bahwa puteranya akan celaka, akan cemar, akan sengsara kalau melanjutkan perjodohannya dengan Sun Eng yang dianggap tidak patut menjadi isteri puteranya!
Namun sesungguhnya, di dasar lubuk hati orang-orang tua seperti ini terdapat perasaan mementingkan diri sendiri yang amat besar! DIA lah yang akan merasa sengsara, kecewa dan tidak puas apa bila perjodohan itu dilanjutkan, DIA lah yang akan merasa terhina, tercemar, dan malu!
Sesungguhnya, perjodohan adalah urusan antara dua orang yang hendak menjalaninya, urusan dua orang yang terikat oleh rasa kasih sayang, dan orang lain sama sekali tidak berhak ikut mencampurinya! Orang-orang tua yang bijaksana, yang benar-benar mencinta anaknya, tak akan mementingkan perasaan hatinya sendiri, tak akan menuruti seleranya sendiri saja. Namun bukan berarti bahwa orang tua harus tidak peduli, bersikap masa bodoh, bukan demikian.
Orang tua sudah selayaknya kalau memperingatkan anaknya agar anaknya jangan salah pilih, agar anaknya itu memilih dengan dasar cinta kasihnya, bukan hanya dorongan nafsu birahi yang tertarik oleh lahiriah belaka. Namun, semua ini dilakukan demi si anak, bukan demi kepentingan perasaan sendiri dan lepas dari pada selera sendiri. Namun semua keputusan terakhir haruslah diberikan kepada si anak yang hendak menjalani perjodohan itu! Si anaklah yang memilih calon jodohnya, si anak sendiri pula yang kelak langsung menghadapi segala akibatnya!
Kita condong untuk menganggap bahwa orang yang pernah melakukan penyelewengan dalam hidup itu adalah orang yang selamanya tidak akan baik! Kita begitu pendendam terhadap orang lain, sebaliknya begitu murah hati terhadap diri sendiri sehingga semua kesalahan sendiri akan mudah saja dimaafkan, bahkan dibela dengan berbagai alasan! Kesalahan diri sendiri berarti kesalahan keluarga sendiri pula, yang bisa dikembangkan menjadi kelompok sendiri, teman sendiri, sekaum, sesuku, sebangsa dan sebagainya. Semua itu bersumber kepada pemusatan kepada si aku.
Mengapa kita tidak ingat bahwa setiap orang manusia di dunia ini sudah pasti pernah melakukan kesalahan, termasuk diri kita sendiri? Kenapa kita tidak mau membuka mata melihat kenyataan bahwa hidup ini adalah suatu gerakan terus menerus, sehingga kita tidak mungkin bisa menilai kehidupan seseorang dari satu peristiwa atau satu perbuatan saja? Orang-orang tua yang terlalu mementingkan dirinya sendiri tidak merasakan ini, dan mereka itu beranggapan bahwa mereka menoleh atau memilih calon jodoh anaknya demi untuk kebahagiaan anaknya! Betapa piciknya anggapan seperti ini!
Orang-orang tua yang beranggapan seperti itu agaknya menganggap kehidupan anaknya itu sebagai sesuatu yang mati, sesuatu yang tidak berubah-ubah lagi, sesuatu yang telah dapat dirumuskan dan dipastikan! Maka mereka ini merasa dapat menentukan bahwa kalau anaknya berjodoh dengan orang ini kelak akan hidup sengsara dan kalau berjodoh dengan orang itu barulah akan berbahagia! Betapa picik dan dangkalnya pendapat seperti ini!
Perjodohan, seperti urusan apa pun juga di mana terdapat hubungan antara manusia, seperti persahabatan dan sebagainya, sudahlah tepat dan benar di mana ada landasan cinta kasih! Dan cinta kasih sama sekali bukanlah pementingan diri sendiri! Bahkan di mana ada keinginan menyenangkan diri sendiri, di sana tidak mungkin ada cinta kasih, yang ada hanyalah cinta terhadap diri sendiri untuk mencari kesenangan, lantas segala sesuatu di luar dirinya hanya akan diperalat untuk mencapai kesenangan diri sendiri itu!
Tentu saja hal ini bukan berarti bahwa orang tua hanya akan memejamkan mata saja. Tidak, orang tua harus mengamati dan memperingatkan, menunjukkan apa bila anaknya memilih secara membuta, kalau anaknya hanya terbuai oleh nafsu birahi semata, terbuai oleh kemilaunya emas atau kedudukan atau keelokan rupa belaka. Tetapi, bila orang tua melihat cinta kasih yang menghubungkan anaknya dengan orang yang dipilihnya, maka orang tua yang bijaksana akan menyetujui tanpa memasukkan pendapat-pendapatnya sendiri tentang pilihan anaknya itu!
Beberapa hari kemudian setelah terjadi peristiwa yang menimbulkan kedukaan di antara keluarga pendekar itu, Yap In Hong melahirkan seorang anak laki-laki dengan selamat. Dan atas usul para pimpinan Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yang lama-lama merasa khawatir juga kalau-kalau akan ketahuan dan akan dianggap menyembunyikan buruan pemerintah, juga atas persetujuan para pendekar yang maklum bahwa mereka menaruh perkumpulan itu di tempat yang berbahaya, mereka lalu pindah dan tinggal di sebuah lereng bukit di seberang Sungai Min-kiang. Di lereng sunyi itu didirikan dua buah rumah kecil, di pinggir sebuah dusun yang menjadi tempat tinggal para petani yang merangkap pula sebagai nelayan-nelayan Sungai Min-kiang, dan di situlah mereka tinggal.
Lie Ciauw Si membantu ibunya dan pamannya pindah, dan sepekan kemudian sesudah mereka pindah, dia berpamit untuk mengulang lagi perjalanannya yang tertunda karena pertemuannya dengan Lie Seng, yaitu ke kota raja. Dia akan mencari Pangeran Ceng Han Houw untuk minta pertolongan pangeran itu, supaya ibu dan pamannya sekeluarga dapat dibebaskan dari tuduhan memberontak.
Tinggal mondok di rumah orang lain, betapa pun baiknya orang yang mempunyai rumah itu, memang merupakan hal yang amat tidak enak. Apa lagi bagi suami isteri, dua pasang pendekar itu. Bahkan semakin baik pemilik rumah, makin sungkanlah hati mereka.
Oleh karena itu, sesudah kini pindah dan tinggal di dalam dusun kecil di lereng bukit itu, Yap Kun Liong yang tinggal serumah dengan isterinya, dan Cia Bun Houw yang tinggal di dalam rumah lain bersama isterinya serta anaknya, merasa gembira dan tenteram. Dua orang pendekar sakti itu berpakaian seperti para petani, bahkan mereka juga bertani, bahkan kadang-kadang juga ikut pula mencari ikan seperti para penduduk dusun itu. Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa musuh besar mereka tidak pernah mengenal lelah dalam mencari jejak mereka.
Tadinya, Kim Hong Liu-nio memusuhi keluarga Cin-ling-pai terutama orang-orang she Cia dan Yap hanya karena tugasnya sebagai murid dari Hek-hiat Mo-li, dan dia menganggap para pendekar Cin-ling-pai itu sebagai musuh-musuh gurunya yang harus dibasminya.
Akan tetapi sekarang, wanita cantik ini mencari-cari musuh-musuhnya bukan hanya demi membalas sakit hati gurunya, melainkan terutama sekali karena dendam pribadinya atas kematian kekasihnya, yaitu mendiang Panglima Lee Siang.
Sesudah dia menggunakan kecantikannya dan dapat memikat hati kaisar sehingga selain menjadi wanita gagah penyelamat kaisar juga kini menjadi wanita cantik penghibur kaisar, dia memperoleh kekuasaan memimpin pasukan besar untuk mencari musuh-musuh yang telah berhasil dicapnya sebagai para pemberontak dan buronan itu. Kim Hong Liu-nio tak pernah berhenti mencari dan menyebar mata-matanya sehingga akhirnya tahulah dia di mana tempat sembunyi para musuhnya yang amat dibencinya itu!
Yap In Hong, ibu muda yang baru satu bulan melahirkan, dengan wajah berseri pulang dari pasar. Wajahnya cantik jelita dan gilang-gemilang seperti biasanya wanita muda yang menyusui anaknya dan belum lama melahirkan. Memang ada cahaya yang aneh selalu nampak pada wajah wanita yang mulai mengandung tua dan sampai dia melahirkan dan menyusui bayinya, cahaya berseri yang membuat wajahnya cantik menarik dan gemilang.
In Hong baru saja kembali dari pasar. Dia tadi berangkat pagi sekali membawa hasil ikan yang semalam diperoleh suaminya bersama para nelayan lain. Memang kadang-kadang dialah yang membawa ikan hasil tangkapan suaminya itu ke pasar, untuk dijual kemudian dibelikan bahan-bahan atau bumbu-bumbu masak lainnya.
Hidup sebagai seorang dusun, yang bebas dan tenang ini, benar-benar amat disukainya, dirasakannya begitu aman dan jauh sengketa, tidak seperti kehidupan wanita kang-ouw yang selalu harus mempergunakan kekerasan karena dunianya adalah dunia kekerasan. Begitu ringan langkah In Hong, seringan hatinya yang riang sekali di pagi hari itu sehingga hampir dia bernyanyi-nyanyi kalau saja dia tidak merasa malu karena kadang-kadang dia bertemu dengan penduduk dusun yang pergi ke ladang.
Ketika dia tiba di luar dusun, dari jauh dia melihat seorang wanita yang berjalan perlahan dengan tenang. Dari jauh saja In Hong sudah merasa sangat tertarik dan terheran. Dia dapat melihat bahwa wanita itu memakai pakaian yang indah, jelas bukan seorang wanita dusun. Sama sekali bukan, karena dari jauh saja sudah kelihatan betapa rambut wanita itu digelung indah dan di rambut itu nampak kilauan permata dan kedua lengannya juga memakai gelang emas yang berkilauan.
Setelah mereka saling berhadapan, barulah hati In Hong terkejut bukan main! Dari jauh tadi dia tidak mengenal wanita cantik ini, akan tetapi setelah dekat, melihat pedang yang tergantung di pinggang ramping itu, melihat kayu salib tergantung di punggung, barulah dia teringat bahwa wanita ini adalah musuh besar keluarga Cin-ling-pai Kim Hong Liu-nio!
Juga Kim Hong Liu-nio terkejut bukan kepalang setelah dia berhadapan dengan In Hong, karena dia pun tidak menyangka bahwa wanita dusun yang cantik dan kelihatan riang itu bukan lain adalah Yap In Hong, seorang di antara musuh-musuhnya yang terlihai! Baru satu kali dia bertemu dengan pendekar wanita gagah perkasa ini, maka tadi dia pun tidak mengenal In Hong, apa lagi karena pendekar itu memakai pakaian seorang wanita dusun.
Begitu mengenal musuh besar ini, maka giranglah hati Kim Hong Liu-nio. Memang dia baru memperoleh berita dari seorang di antara para penyelidik yang disebarnya di seluruh daerah bahwa keempat orang musuh besar yang sudah dicapnya sebagai pelarian dan buronan pemberontak itu berada di dusun itu. Begitu mendapat berita ini dia segera pergi sendiri mengadakan penyelidikan. Sungguh tidak disangkanya bahwa dia akan berjumpa dengan Yap In Hong di luar dusun.
Tadinya dia sudah merasa putus asa karena tak ada seorang pun penduduk dusun yang sederhana itu yang mengenal keempat nama pendekar yang dicarinya itu. Hal ini adalah karena memang dua pasang suami isteri pendekar itu mempergunakan nama palsu dan memang kehidupan mereka selayaknya petani-petani dan nelayan-nelayan biasa, sama sekali tidak seperti pendekar.
"Bagus, kiranya para pemberontak bersembunyi di dusun ini!" katanya sambil tersenyum mengejek.
Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang tinggi sekali ilmu silatnya, bahkan dia telah mewarisi hampir semua kepandaian subo-nya, maka bertemu dengan hanya seorang saja di antara musuh-musuhnya, dia sama sekali tidak merasa gentar. Apa lagi dia memang telah menyiapkan pasukan yang setiap waktu akan dapat membantunya, yang kini sudah memasang barisan pendam di sekitar tempat itu, sudah mengurung dusun itu dengan ketat!
Kekagetan hati In Hong juga hanya sebentar saja. Mendengar ucapan Kim Hong Liu-nio, dia sudah menjadi marah sekali. Tentu saja dia tidak takut menghadapi musuh ini. Yap In Hong adalah seorang pendekar wanita yang sakti, yang sukar dicari tandingannya. Biar pun semenjak dia mengalami guncangan batin akibat kemunculan Lie Seng yang hendak memperisteri Sun Eng, muridnya yang murtad itu kemudian dia melahirkan anak agak di bawah waktu, membuat kesehatannya terganggu dan dia belum boleh terlampau banyak mengerahkan tenaga, namun dia sama sekali tidak menjadi jeri.
"Iblis betina, kalau engkau tidak menemukan kami akhirnya akulah yang akan mencarimu untuk membunuhmu dengan tanganku sendiri!"
Kim Hong Liu-nio tersenyum mengejek. Kedua tangannya yang kecil dan yang memakai sarung tangan tipis, yang tak kentara sebab warnanya sama dengan kulitnya itu bergerak perlahan mengeluarkan beberapa batang hio. Sekali jari yang kecil-kecil itu memegang tangkai hio dan kedua tangannya bergerak, terdengarlah benturan dua buah gelangnya, terdengar nyaring dan nampak api bernyala dan... bagaikan main sulap saja, hio-hio di tangannya itu telah terbakar ujungnya dan terciumlah bau harum!
In Hong tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi, akan tetapi dia tidak merasa heran. Sebagai seorang pendekar wanita yang sudah banyak menjelajah di dunia kang-ouw, dia sudah banyak melihat hal-hal yang aneh. Biar pun dia tidak tahu bagaimana akal musuh itu membakar hio, namun dia mengerti bahwa tentu ada cara tertentu dan dia tidak perlu merasa heran.
Memang benarlah dugaannya. Di ujung hio-hio yang istimewa itu memang telah dipasangi obat bakar, maka sekali terkena sentuhan benda keras, ujung-ujung hio itu akan terbakar. Semua ini dilakukan oleh Kim Hong Liu-nio untuk mengikat perhatian lawannya, karena tiba-tiba saja kedua tangannya bergerak dan nampak sinar-sinar terang meluncur seperti kembang-kembang api ke arah jalan-jalan darah di bagian depan tubuh In Hong!
Inilah keistimewaan Kim Hong Liu-nio, dan itulah bahayanya hio-hio itu. Pertama-tama dia bermain sulap dengan pembakaran hio sehingga calon korbannya menjadi lengah karena perhatiannya tertarik pada sulapan itu sehingga kalau tiba-tiba diserang dengan sambitan hio-hio itu lawan akan terkejut dan sukar menyelamatkan diri.
Namun, In Hong bukanlah seorang pendekar biasa. Semenjak tadi pun dia sama sekali tidak merasa heran, maka dia masih terus bersikap waspada dan kedua matanya dengan mudah sekali dapat menangkap gerakan tangan lawan dan luncuran hio-hio itu.
Memang serangan itu berbahaya sekali, maka In Hong juga tidak berani bersikap lambat. Dia tidak berani pula menangkis karena dia belum mengenal sifat hio-hio yang digunakan oleh lawan sebagai senjata-senjata rahasia itu. Maka dia sudah mengenjotkan kakinya ke atas tanah dan tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat ke atas, berjungkir balik dan hio-hio itu lewat di bawah tubuhnya.
Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio masih menyambitkan sisa-sisa hio mengejar tubuh In Hong sehingga kini pendekar wanita itu terpaksa harus melayang lagi ke bawah dengan kepala lebih dulu dan dia menggunakan kedua tangannya untuk menyampok dan menggunakan hawa pukulannya membuat hio-hio itu runtuh ke atas tanah. Di lain saat In Hong sudah turun lagi ke atas tanah dengan sikap tenang, namun wajahnya agak pucat dan napasnya agak memburu, tanda bahwa gerakan-gerakan tadi membuat tubuhnya yang belum sehat benar itu menjadi lelah.
Dia marah sekali melihat kesombongan dan kecurangan wanita iblis itu. Maka, sekarang tangannya tiba-tiba saja bergerak dan sinar hijau yang mendatangkan hawa dingin sudah melesat dan menyambar ke arah muka dan dada lawannya.
Kim Hong Liu-nio juga cepat meloncat ke kiri untuk menghindarkan dirinya dan wanita ini tersenyum lebar. Dia dapat melihat dengan pandang matanya yang tajam itu betapa wajah lawannya pucat dan napasnya pun memburu, juga serangan dengan Siang-tok-swa (Pasir Beracun Wangi) itu dilakukan tidak dengan tenaga sepenuhnya.
Tahulah dia bahwa wanita cantik yang wajahnya berseri gemilang ini sebenarnya sedang dalam keadaan tidak sehat benar. Maka dia pun cepat menubruk maju. Dia harus dapat membunuh wanita musuh besar gurunya dan juga musuh pribadinya ini sebelum yang lain-lain muncul!
"Cring-cringgg...!"
Gelang-gelang yang menghias pergelangan tangan Kim Hong Liu-nio mengeluarkan bunyi nyaring dan kedua tangannya membuat gerakan-gerakan bersilang. Telapak tangan yang putih halus itu perlahan-lahan berubah kemerahan, dan semakin lama makin menghitam ketika wanita itu mulai melancarkan pukulan-pukulan dengan tamparan-tamparan tangan terbuka. Terdengar suara angin bersuitan tanda bahwa di dalam tamparan-tamparan itu terkandung tenaga dahsyat,
Melihat warna kedua telapak tangan itu, In Hong segera maklum bahwa lawannya telah menyerangnya dengan pukulan beracun! Namun dia tidak menjadi gentar. Dengan lincah dia menggeser kaki, membiarkan tamparan-tamparan itu lewat dan yang terlalu dekat lalu ditangkisnya dengan gerakan tangan yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang.
"Plak-plak-plakk!"
Pertemuan antara dua pasang tangan yang sama kecil dan halus kulitnya itu merupakan pertemuan dua tenaga dahsyat yang mengakibatkan tubuh Kim Hong Liu-nio terdorong ke belakang. Namun In Hong merasa betapa kulit tangan yang bertemu dengan lawan itu panas dan nyeri sehingga perasaan nyeri ini kelihatan pada wajahnya yang pucat, atau nampak pada bibirnya yang bergerak. Hal ini dapat dilihat oleh Kim Hong Liu-nio. Wanita ini tertawa merdu dan kembali menubruk dengan pukulan-pukulan yang lebih hebat lagi.
In Hong kembali mengelak dan kini dia pun membalas dengan pukulan-pukulan Thian-te Sin-ciang yang tidak kalah dahsyatnya. Sesungguhnya, kalau saja In Hong tidak sedang dalam keadaan lemah, Kim Hong Liu-nio tentu akan menghadapi lawan yang luar biasa kuatnya karena nyonya muda ini bahkan pernah mengalahkan subo-nya, Hek-hiat Mo-li. Walau pun Kim Hong Liu-nio sudah mewarisi ilmu kepandaian nenek bermuka hitam itu, namun dasar ilmu silatnya dari golongan sesat itu tidak mungkin mampu mengatasi dasar ilmu silat In Hong yang kuat dan murni.
Akan tetapi, ibu muda itu sedang lemah, dan kini Kim Hong Liu-nio sudah memperoleh kemajuan pesat karena dia selalu menggembleng diri dengan ilmu-ilmu silat tinggi, maka perkelahian ini membuat In Hong cepat merasa lelah hingga gerakan-gerakannya kurang kokoh. Beberapa kali ibu muda ini terhuyung bila mana mereka saling mengadu tenaga dengan pertemuan tangan.
"Plakkk! Plakkk!"
Kembali dua tangan mereka bertemu dua kali dan akibatnya, In Hong yang terhuyung. Kalau dalam pertemuan pertama kali tadi Kim Hong Liu-nio yang terhuyung, kini keadaan menjadi membalik, tanda bahwa tenaga ibu muda itu makin berkurang atau tidak berani mengerahkan seluruh tenaga karena begitu dia mengerahkan tenaga, perutnya langsung terasa sakit dan kepalanya pening.
"Hik-hik-hik, mampuslah engkau!" Kim Hong Liu-nio yang melihat lawan terhuyung lantas menerjang, mengirim tamparan cepat ke arah kepala lawan.
Melihat ini, kembali In Hong menangkis sambil mundur, namun dia tidak tahu bahwa di belakangnya terdapat sebuah batu. Maka kakinya menginjak permukaan batu licin dan dia pun tergelincir dan jatuh!
Terdengar suara ketawa merdu dan wanita iblis itu sudah menubruk dan menghantamkan kakinya ke arah kepala In Hong! Namun ibu muda yang sudah dalam keadaan berbahaya ini, cepat menggulingkan tubuhnya sehingga terluput dari injakan kaki lawan.
Kim Hong Liu-nio merasa penasaran, meloncat lantas menendang sambil terus mengejar ke arah mana tubuh lawan bergulingan. Setiap kali In Hong hendak meloncat bangun, dia menghantam dengan kedua tangannya yang ditangkis oleh In Hong sehingga kembali ibu muda ini terguling. Keadaan Yap In Hong sungguh terancam bahaya maut!
Akan tetapi pada saat itu pula nampak bayangan putih berkelebat dan tiba-tiba muncullah pendekar Cia Bun Houw di tempat itu. Dapat dibayangkan betapa marahnya pendekar ini melihat isterinya yang dia tahu masih belum sehat benar itu didesak hebat oleh wanita yang dikenalnya sebagai musuh besar keluarganya.
"Hong-moi, mundurlah dan serahkan iblis ini kepadaku!" bentaknya.
Sekali dia meloncat, dia sudah berada di depan Kim Hong Liu-nio dan mengirim pukulan dengan tangan kirinya. Hebat bukan main pukulan yang datang ini, mengandung tenaga dahsyat sekali. Kim Hong Liu-nio terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi pukulan aneh itu terus mengejarnya sehingga terpaksa dia menangkis.
"Dukkk!"
Tubuh Kim Hong Liu-nio tergetar sehingga dia pun terpaksa meloncat ke belakang untuk mematahkan tenaga amat dahsyat yang mendorongnya secara hebat itu. Hatinya merasa menyesal sekali. Mengapa dia tidak cepat-cepat menewaskan Yap In Hong tadi?
Harus diakuinya bahwa dia tadi sengaja hendak mempermainkan nyonya itu lebih dahulu untuk memuaskan hatinya. Apa bila dia tadi menghendaki, tentu sudah dapat membunuh musuh besar itu. Kini muncul suami wanita itu, Cia Bun Houw yang memiliki kepandaian hebat sekali sehingga kini dialah yang terancam bahaya.
"Siluman betina, engkaulah biang keladi kematian ayahku! Kini bersiaplah untuk mampus di tanganku!" kata Bun Houw yang tidak mau memberi kesempatan kepada lawan. Kini pendekar itu sudah menyerang lagi dengan pukulan-pukulan dahsyat yang membuat Kim Hong Liu-nio terdesak hebat.
Wanita itu amat menyesal tidak sempat untuk melarikan diri, karena pendekar itu sudah menerjang dirinya dan mengirim pukulan bertubi-tubi, setiap pukulan merupakan serangan maut yang hebat sekali sehingga diam-diam Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main.
Dahulu dia pernah berhadapan dengan ketua Cin-ling-pai, yaitu pendekar sakti Cia Keng Hong yang amat sakti, dan kini puteranya ini ternyata mempunyai kelihaian yang agaknya tidak kalah oleh ayahnya itu! Celaka, pikirnya, mengapa dia begini ceroboh, berani datang sendirian saja menghadapi orang-orang yang sakti seperti ini? Belum lagi kalau muncul pendekar Yap Kun Liong dan isterinya!
Maka dia pun segera menggerakkan kaki tangannya dan menghadapi desakan Cia Bun Houw sambil mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya, mengandalkan keampuhan sarung tangan yang melindungi kedua tangannya. Memang, tanpa perlindungan sarung tangan itu, tentu kedua tangannya tak akan kuat menghadapi sepasang tangan Cia Bun Houw yang ampuh.
Sementara itu, pada saat melihat suaminya muncul tadi, Yap In Hong yang tadinya masih bergulingan, lalu bangkit duduk dan bersila, mengatur napas mengumpulkan hawa murni, selain untuk menjaga supaya di sebelah dalam tubuhnya tidak sampai terluka, juga untuk memulihkan tenaganya. Oleh karena dia memang belum pernah terkena pukulan secara langsung, maka dia tidak menderita luka sehingga sebentar saja keadaannya sudah pulih kembali.
Dia membuka mata, melihat betapa suaminya mendesak wanita iblis itu. Dia tahu bahwa tidak lama lagi suaminya tentu akan mampu merobohkan Kim Hong Liu-nio. Kini timbullah perasaan marah di hatinya.
Wanita itu tadi nyaris membunuhnya, menggunakan kesempatan saat dia dalam keadaan tidak sehat. Hal ini dianggapnya sebagai penghinaan sehingga menimbulkan kemarahan di hatinya. Dia lalu bangkit dan menghampiri tempat perkelahian itu.
"Jangan bunuh dia dulu, aku harus memberi satu dua pukulan dahulu kepada iblis betina ini!" katanya dan nyonya muda ini lalu ikut menerjang ke depan, menghantamkan kedua tangannya dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang, akan tetapi tentu saja dia tidak berani mempergunakan seluruh tenaga, hanya seperempat bagian saja.
Kim Hong Liu-nio tentu saja makin terdesak. Baru melawan sang suami itu saja dia telah kewalahan, apa lagi kini sang isteri maju mengeroyoknya! Dia berusaha untuk menangkis, tahu akan kelemahan Yap In Hong, akan tetapi tangkisannya itu terhenti oleh tangan Bun Houw dan pukulan In Hong datang menuju ke dadanya. Dia miringkan tubuh tetapi tidak mampu menghindarkan diri.
"Bukkk!"
Pundaknya kena pukulan In Hong itu. Memang tidak dengan tenaga sepenuhnya, namun cukup hebat tenaga Thian-te Sin-ciang yang hanya seperempat bagian itu dan Kim Hong Liu-nio merasa dadanya sesak, tubuhnya terjengkang!
Akan tetapi dia sudah meloncat lagi dan ketika dia hendak melarikan diri, Cia Bun Houw sudah menghadangnya! Agaknya pendekar ini yang tahu akan kemarahan isterinya, ingin memuaskan hati isterinya itu, karena itu dia tidak merobohkan wanita ini dan kembali dia menahan dengan tangannya ketika isterinya melakukan tamparan keras.
Kim Hong Liu-nio berusaha mengelak, namun kembali gerakannya tertahan oleh tangan Bun Houw sehingga dia tidak mampu menghindarkan diri ketika tamparan nyonya muda itu mengenai punggungnya.
"Plakkk!"
Kim Hong Liu-nio kembali terpelanting dan sekali ini dia muntahkan darah segar, lalu dia bangkit sambil mengeluarkan teriakan melengking berkali-kali dan menggunakan seluruh tenaganya untuk menangkis pukulan-pukulan suami isteri yang terus mendesaknya itu. Dia tahu bahwa kalau tidak segera datang bala bantuan yang sudah dipanggilnya melalui suara lengkingan tadi, tentu dia akan binasa. Melarikan diri pun tidak ada gunanya karena pendekar Cia Bun Houw itu benar-benar hebat!
Kembali suami isteri itu memukul dari depan. Kim Hong Liu-nio segera menyilangkan dua tangannya, hendak mengandalkan gelang-gelangnya untuk menangkis. Pada saat itu juga terdengar teriakan,
"Jangan bunuh dia...!" Dan nampaklah seorang pemuda remaja datang berlari-lari dengan cepat sekali ke tempat itu. Pemuda ini bukan lain adalah Sin Liong!
Seperti kita ketahui, Sin Liong yang ingin melindungi Bi Cu terpaksa mengantar Ceng Han Houw bertemu dengan Ouwyang Bu Sek sesuai dengan janjinya. Dan setelah suheng-nya menerima pangeran itu, Sin Liong segera meninggalkannya dan pemuda ini pergi mencari musuh besarnya, yaitu Kim Hong Liu-nio.
Dia mendengar bahwa musuh besarnya itu sekarang memimpin pasukan dan melakukan pencarian untuk memburu keluarga Cin-ling-pai yang dituduh memberontak. Maka tidak begitu sukar baginya untuk mengikuti jejak wanita itu dan akhirnya dia mendengar bahwa wanita itu berada di pegunungan dekat Sungai Min-kiang Propinsi Hok-kian itu.
Saat dia tiba di luar dusun dan melihat betapa Kim Hong Liu-nio dikeroyok oleh pendekar Cia Bun Houw dan isterinya, dan keadaan wanita iblis yang menjadi musuh besarnya itu terdesak hebat dan robohnya sudah boleh dipastikan akan terjadi tak lama lagi, terjadi hal aneh dalam hati Sin Liong yang mendorongnya untuk berteriak mencegah suami isteri itu membunuh wanita iblis itu! Ada dua hal yang menimbulkan perasaan ini di hati Sin Liong.
Pertama-tama, ketika melihat wanita itu dikeroyok dan didesak hebat, teringatlah dia akan peristiwa beberapa tahun yang lalu ketika dia, Bi Cu dan Tiong Pek putera mendiang Na Ceng Han terancam bahaya didesak oleh musuh-musuh yang menyerbu rumah keluarga Na itu. Pada waktu itu muncul pula Kim Hong Liu-nio ini yang membunuh para musuh itu sehingga bagaimana pun juga, wanita iblis ini pernah menyelamatkan nyawanya. Teringat akan hal itu, timbullah niatnya untuk sekali ini menolongnya pula dari ancaman kematian sebagai pembalasan atau pertolongannya dahulu itu!
Dan ke dua, ada rasa tidak rela di hatinya melihat wanita iblis ini akan terbunuh orang lain, biar pun orang lain itu adalah ayah kandungnya sendiri dan ibu tirinya! Dia ingin agar kematian wanita pembunuh ibu kandungnya dan pembunuh kakeknya itu di tangannya, bukan di tangan orang lain. Dialah yang harus menuntut balas kepada Kim Hong Liu-nio. Inilah sebabnya mengapa Sin Liong berteriak melarang mereka membunuh wanita iblis itu.
Akan tetapi Bun Houw dan In Hong yang tidak ingat lagi siapa adanya pemuda remaja itu, melihat pemuda itu berlari cepat sekali, mereka maklum bahwa pemuda itu mempunyai kepandaian pula dan menyangka bahwa pemuda itu tentulah kawan dari wanita iblis ini. Karena itu, maka Bun Houw dan In Hong memperhebat desakannya sehingga ketika Kim Hong Liu-nio menangkis dengan kedua tangannya dia terjengkang!
Melihat ini, Bun Houw segera menggerakkan tangannya, melakukan pukulan maut untuk membunuh wanita yang menjadi musuh keluarganya itu.
"Dukkk!"
Tangan pendekar itu bertemu dengan tangan Sin Liong dan Bun Houw merasa betapa lengannya tergetar keras. Dia terkejut, namun dia menggerakkan tangan kirinya, memukul lagi ke arah Kim Hong Liu-nio.
"Desss!"
Kembali Sin Liong menangkis dan sekali ini pertemuan tenaga antara mereka sedemikian kuatnya sehingga keduanya terdorong ke belakang! Kim Hong Liu-nio mempergunakan kesempatan ini untuk meloncat ke belakang dan melarikan diri!
Bukan main marahnya hati Bun Houw pada waktu dia memandang kepada Sin Liong dan mengenal pemuda remaja ini sebagai anak yang dulu pernah dipelihara dan dididik oleh mendiang ayahnya di Cin-ling-san.
"Engkau...?!" bentaknya. "Engkau melindungi iblis itu...?"
"Aku tidak ingin orang lain membunuhnya...," jawab Sin Liong.
Sejenak kedua orang ini saling pandang dengan sinar tajam. Jantung Sin Liong berdebar rasanya. Inilah ayah kandungnya! Namun Bun Houw sama sekali tidak tahu akan hal ini dan dia hanya menganggap pemuda ini seorang yang tak tahu diri, yang sekarang malah membela musuh padahal anak ini tahu bahwa wanita tadi adalah biang keladi kematian ketua Cin-ling-pai!
"Bocah keparat, kau harus dihajar!" bentaknya dan dia sudah mengirim pukulan ke arah dada Sin Liong.
"Desss...!" Tubuh Sin Liong terlempar bergulingan.
"Houw-ko, jangan...!" In Hong berseru kaget.
Dia pun mengenal Sin Liong sebagai anak yang dahulu dicinta oleh mendiang Cia Keng Hong dan karena pernah menjadi murid ketua Cin-ling-pai itu, maka sebetulnya dia masih terhitung sute dan masih saudara seperguruan. Dia merasa khawatir kalau-kalau pukulan tadi menewaskan Sin Liong, karena dia tahu betapa hebatnya pukulan dari suaminya.
Akan tetapi, Sin Liong sama sekali tidak mati, bahkan tidak terluka oleh pukulan tadi. Dia tadi sudah mengerahkan sinkang-nya untuk melindungi dada sehingga tubuhnya menjadi seperti sebuah bola penuh hawa saja yang bisa dipukul hingga terpental dan bergulingan, namun tidak sampai melukainya, baik luka di luar mau pun di dalam.
Kini Sin Liong sudah meloncat bangun dan sepasang matanya memandang tajam, penuh rasa penasaran kepada Bun Houw. Ayah kandungnya ini sudah memukulnya, memukul anak kandung sendiri! Betapa kejamnya!
Bun Houw menjadi semakin marah dan penasaran ketika melihat betapa pukulannya tadi tidak merobohkan Sin Liong. Dia adalah seorang pendekar besar dan tentu saja hatinya tidak kejam. Dia tadi memukul dengan perhitungan yang masak sehingga pukulan itu tak akan membunuh dan yang dipukulnya bukanlah tempat berbahaya, namun cukup untuk merobohkan bocah itu.
Akan tetapi nyatanya bocah itu sama sekali tidak roboh bahkan terluka sedikit pun tidak. Dengan marah dia lalu menerjang kembali dan sekali ini dia memperkuat tenaga dalam pukulannya.
"Dukkk!"
Sekali ini Sin Liong menangkis dengan pengerahan tenaga pula, dan karena dia sudah mengerahkan tenaga yang lebih besar, maka akibatnya tubuh Bun Houw yang terjengkang ke belakang! Baiknya pendekar ini sudah cepat berjungkir balik sehingga tidak sampai terbanting roboh. Matanya terbelalak karena dia tidak menyangka bahwa Sin Liong akan memiliki tenaga sekuat itu!
"Bocah setan...!" Dia memaki dan menyerang lagi.
Sin Liong cepat menggerakkan kaki mengelak dan menangkis. "Aku tidak ingin berkelahi denganmu!" katanya berkali-kali sambil terus mengelak dan menangkis, main mundur.
Bun Houw menjadi makin penasaran. Bocah ini hebat benar, semua serangannya dapat dilumpuhkan dengan elakan cepat dan tangkisan kuat!
Pada saat itu pula datang Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng berlari-larian.
"Tahan, jangan berkelahi...!" Yap Kun Liong langsung berseru sesudah dia mengenal Sin Liong sebagai anak yang pernah diambil murid oleh ayah mertuanya.
Dia pun mengenal gerakan kaki anak itu yang bergerak dengan langkah-langkah Thai-kek Sin-kun, akan tetapi dia tidak mengenal gerakan tangannya saat melancarkan tangkisan-tangkisan itu. Dia merasa amat heran melihat betapa Bun Houw yang telah mengerahkan tenaga sepenuhnya itu ternyata tak mampu merobohkan Sin Liong, dan setiap kali kedua tangan mereka saling bertemu, keduanya tergetar dan sama sekali tidak kelihatan anak itu kalah kuat!
Karena penasaran dan marah, Bun Houw tidak menghentikan serangan-serangannya biar pun sudah diteriaki oleh Kun Liong. Pada saat itu pula terdengar bunyi gemuruh kemudian datanglah pasukan besar yang dipimpin oleh Kim Hong Liu-nio!
Melihat munculnya pasukan besar ini, empat orang pendekar itu terkejut bukan main dan otomatis Bun Houw menghentikan serangannya dan Sin Liong juga sudah melompat jauh ke belakang. Bagaikan banjir yang datang mengamuk, pasukan itu langsung menerjang, dipimpin oleh Kim Hong Liu-nio sendiri yang tadi merasa terheran-heran melihat Sin Liong bertanding melawan Cia Bun Houw.
"Larilah kalian! Lekas, larilah!" tiba-tiba Sin Liong berseru, seruan yang ditujukan kepada empat orang pendekar itu dan dia sendiri lantas berlari ke depan, menyambut datangnya para prajurit yang menyerbu!
Sejenak empat orang pendekar itu tertegun menyaksikan pemuda remaja itu mengamuk seperti seekor naga sakti. Sekali bergerak, kedua kakinya telah merobohkan empat orang prajurit dan kedua tangannya menangkap masing-masing seorang prajurit, lantas diputar-putarnya dan dilemparkan kepada para prajurit yang datang bagai air bah menyerang itu.
"Mari kita cepat pergi!" Yap Kun Liong berkata.
Keempat orang itu lalu berlari cepat memasuki dusun untuk mengambil anak bayi putera Bun Houw yang dititipkan kepada seorang wanita tua petani ketika ibunya pergi ke pasar tadi. Kemudian, In Hong menggendong anaknya dan melarikan diri keluar dari dusun itu dikawal oleh suaminya dan oleh Yap Kun Liong bersama isterinya.
Berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, mereka dapat berlari cepat sekali dan tentu saja pasukan itu tidak mampu menyusul mereka, sedangkan Kim Hong Liu-nio yang juga memiliki ginkang yang tinggi tidak berani melakukan pengejaran seorang diri saja karena empat orang buruan itu terlalu lihai baginya dan dia sendiri tidak mempunyai pembantu yang cukup pandai. Diam-diam dia menyesal mengapa dia tidak mengajak subo-nya.
Sementara itu Sin Liong terus saja mengamuk sampai lama untuk mencegah pasukan itu melakukan pengejaran. Setelah merasa cukup lama dan dia pun sudah terlampau banyak merobohkan prajurit tanpa membunuh mereka, Sin Liong lalu meloncat jauh dan hendak melarikan diri. Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio menghadangnya bersama beberapa orang perwira yang memiliki kepandaian lumayan.
"Engkau hendak lari ke mana?" Kim Hong Liu-nio menubruk sambil menggunakan kedua tangannya menyerang.
"Plakk! Plakk!"
Tubuh Kim Hong Liu-nio terpelanting. Para perwira cepat menyerang dan menghujankan senjata mereka kepada Sin Liong sehingga pemuda remaja itu tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan serangannya terhadap wanita iblis yang menjadi musuh besarnya itu. Dia lalu meloncat lagi dan dengan beberapa kali loncatan jauh dia lalu menghilang di balik hutan yang lebat.
Kim Hong Liu-nio bangkit berdiri dan memandang ke arah hutan itu, alisnya berkerut dan dia terheran-heran. Bocah itu kini lihai bukan main, pikirnya. Akan tetapi dia tak mengerti bagaimana pendirian anak itu! Ketika dia terancam bahaya maut di tangan Cia Bun Houw dan Yap In Hong tadi, jelas bahwa anak itu sudah melindungi dan bahkan menyelamatkan dirinya dari ancaman maut, sampai anak itu bertanding melawan pendekar sakti Cia Bun Houw.
Padahal, menurut pengakuan anak itu dahulu, bukankah anak itu adalah putera kandung dari pendekar Cia Bun Houw? Mengapa anak itu menyelamatkan dia dan melawan ayah sendiri? Dan yang lebih aneh lagi, sesudah bocah itu melakukan hal yang luar biasa itu, mengapa tiba-tiba anak itu berbalik melindungi keempat orang pendekar buronan itu dan mengamuk, melawan pasukan kerajaan? Sungguh anak yang amat luar biasa sekali!
"Aku harus waspada terhadap dia... bocah itu berbahaya...!" Kim Hong Liu-nio mengepal tinju dan dia terpaksa lalu memerintahkan pasukannya untuk kembali dan tetap menyebar mata-mata untuk mengikuti jejak empat orang pendekar yang lolos itu.
********************
Selanjutnya,