Pendekar Lembah Naga Jilid 39

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Episode Pendekar Lembah Naga Jilid 39 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Pendekar Lembah Naga Jilid 39

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Han Houw hanya tersenyum-senyum saja menghadapi serangan mereka, namun begitu kedua tangannya bergerak cepat, tahu-tahu dua orang dara itu melongo dan memandang pedang mereka yang telah pindah ke dalam kedua tangan Han Houw! Kiranya pangeran yang amat lihai itu tadi telah memapaki serangan mereka dengan dorongan kedua tangan yang mendatangkan hawa pukulan amat kuat, membuat tangan mereka yang memegang pedang tertahan, kemudian dalam satu detik itu juga, tangan kanan dan kiri dari pangeran itu telah berhasil merebut pedang!

Akan tetapi hanya sejenak saja dua orang dara kembar itu tertegun, karena di lain saat mereka telah menyerbu lagi dengan nekat, menggunakan kepalan tangan mereka!

Terdengar suara bak-bik-buk ketika empat buah kepalan kecil itu menghujankan pukulan ke tubuh Han Houw, akan tetapi pangeran itu hanya tersenyum saja, bahkan lalu berkata, "Lain kali kalau memijiti tubuhku bukan begini caranya, sayang!"

Tentu saja dua orang dara itu terkejut dan makin marah. Kini mereka menyerang ke arah kedua mata pangeran itu! Han Houw melangkah mundur dan dua kali tangannya bergerak sehingga dua orang dara itu terkulai lemas karena sudah kena ditotoknya.

"Kwan Siong Bu! Bawa mereka ini ke dalam kereta!" perintah Han Houw.

Siong Bu cepat masuk dan dia melihat betapa kedua orang piauw-moinya itu sudah rebah di atas lantai dengan lemah lunglai. Dia lalu memanggul tubuh dua orang adik misannya itu dan membawa mereka ke dalam kereta. Pangeran Ceng Han Houw mengikutinya dari belakang dan setelah mereka masuk ke dalam, kereta lalu dijalankan menuju ke istana di mana Han Houw tinggal kalau dia berada di kota raja.

Semua orang yang melihat peristiwa ini hanya tertawa dan menganggapnya lucu sekali bahwa pangeran ini mengambil dua orang dara yang bersikap demikian aneh dan berani menentang, juga berita tentang kebolehan pangeran itu menundukkan dua orang gadis itu segera tersiar di mana-mana dan orang-orang memuji kelihaian pangeran itu.

Setibanya di istana, Han Houw kemudian menjanjikan kedudukan kepada Siong Bu, dan pemuda yang sejak tadi dalam kereta tak berani menatap wajah dua orang piauw-moinya yang memandangnya penuh kebencian itu, menjadi girang bukan kepalang. Apa lagi saat pangeran itu mengatakan bahwa kelak apa bila dia sudah bosan, dia akan menyerahkan kembali dua orang gadis itu kepada Siong Bu!

Dan seperti telah diceritakan pada bagian depan, Siong Bu lalu bertemu dengan Beng Sin, kemudian terjadi perkelahian yang mengakibatkan tewasnya Siong Bu sehingga pemuda ini tidak sempat menikmati semua yang telah dijanjikan oleh pangeran kepadanya.

Sementara itu, walau pun sudah tertawan, kedua orang dara kembar itu tetap menolak dengan keras segala bujuk rayu Pangeran Ceng Han Houw! Mereka sudah bertekad lebih baik mati dari pada harus menuruti kehendak pangeran itu, yaitu menyerahkan diri secara suka rela kepadanya.

"Hemm, kalian benar-benar dua orang dara yang keras hati dan keras kepala!" Han Houw berkata sambil memandang dua orang dara yang masih lemas tertotok dan rebah di atas pembaringan kamamya itu. "Kalian telah memperoleh derajat tinggi menjadi pilihanku, dan kalian berani menolak? Hemmm, apa bila sekarang juga aku memperkosa kalian, apakah kalian dapat mengelak?"

Walau pun masih dalam keadaan tertotok sehingga tidak mampu bergerak, Kui Lan yang memandang dengan penuh kebencian itu berkata, "Manusia rendah! Apa kau kira kelak kami berdua tidak akan mampu bunuh diri? Kami telah tertawan, mau bunuh, mau apakan terserah, akan tetapi untuk menyerah dengan suka rela, jangan harap!"

Ceng Han Houw adalah seorang pemuda yang angkuh dan terlalu percaya terhadap diri sendiri. Dia anggap dirinya terlalu tinggi. Sebagai seorang putera tunggal Raja Sabutai, kemudian sebagai putera Kaisar Kerajaan Beng-tiauw, bahkan kemudian diakui sebagai adik Kaisar Ceng Hwa yang amat menyayanginya, Han Houw menganggap dirinya seperti seorang pria yang tidak akan mungkin ditolak oleh wanita!

Semenjak masih di utara dahulu, wanita mana pun akan berlutut dan menyerahkan diri kepadanya dengan suka rela serta penuh kepasrahan, bahkan penuh gairah. Dia sangat membanggakan dirinya sendiri, kedudukannya, ketampanannya, kepandaiannya dan pada akhir-akhir ini kepandaian silatnya. Setiap orang wanita, tidak peduli siapa pun, tentu akan berlutut dan siap melayaninya dengan gembira sekali begitu dia mengejapkan mata untuk memberi isyarat, demikianlah anggapannya selalu.

Karena itu dapat dibayangkan betapa marah dan penasaran, juga terhina dan tersinggung keangkuhannya ketika dia menghadapi dua orang dara kembar yang berani menolaknya ini! Padahal dua orang dara kembar itu hanyalah puteri seorang manusia rendah macam Kui Hok Boan! Terlebih lagi kedua orang dara kembar itu bukanlah wanita-wanita secantik bidadari, sungguh pun mereka itu amat manis. Dan mereka berani menampik dia! Hal ini benar-benar amat menyakitkan hati Ceng Han Houw.

Entah sudah berapa banyak perempuan, baik perawan, janda mau pun isteri orang, yang dengan suka rela jatuh ke dalam pelukannya kemudian melayaninya dengan senang hati. Ketika dia baru berada di istana Kerajaan Beng, pernah ada seorang wanita, yaitu puteri seorang pembesar di kota raja yang menggerakkan birahinya, bersikap agak ‘jual mahal’ pula terhadap dirinya. Dia merayunya dan sesudah dia berhasil menundukkan wanita itu, yang kemudian berbalik malah sangat mencintanya, untuk memperlihatkan kekuasaannya terhadap wanita, dia menyuruh wanita cantik ini untuk menjilati sepatunya dan mengemis cintanya! Demikian sombong watak Han Houw yang terdorong oleh kebanggaannya akan diri sendiri.

Dan sekarang dua orang dara kembar itu menampiknya, bahkan berani pula memaki dan mengutuknya. Kebanggaannya, yang sudah dibangunnya semacam benteng awan itu kini hancur oleh penolakan dua orang dara ini!

Dia tak sudi untuk melakukan perkosaan kepada wanita, karena perkosaan membuktikan bahwa wanita itu tidak mau kepadanya! Dan ini jelas merupakan pengakuannya bahwa dia kalah oleh wanita itu, bahwa wanita itu tidak mau tunduk kepadanya. Maka, dia tidak sudi memperkosa, dia masih belum putus asa. Dengan uring-uringan pangeran ini lantas keluar dari kamar itu, memerintahkan dua orang wanita pembujuk agar memasuki kamar itu untuk membujuk agar dua orang dara kembar itu suka melayaninya dengan suka rela.

Akan tetapi, begitu kedua orang dara kembar itu terbebas dari totokan sesudah dengan sendirinya jalan darahnya mengalir lancar, mereka mengamuk sehingga dua orang wanita tukang bujuk yang sedang membujuk-bujuk mereka, menggambarkan alangkah enak dan senangnya menjadi selir-selir pangeran itu, lari sambil mengaduh-aduh, keluar dari kamar itu dengan mulut berdarah dan beberapa buah gigi mereka copot!

Kini marahlah Han Houw. Dia sendiri memasuki kamar itu dan ketika Lan Lan dan Lin Lin menyambutnya dengan serangan nekat, kembali dengan mudah dia merobohkan mereka dengan totokan. Han Houw lalu memanggil pengawal yang segera datang berlari-lari. Dua orang pengawal itu bersikap hormat dan menanti perintah.

"Belenggu kaki tangan mereka, akan tetapi perlakukan mereka dengan halus, kemudian masukkan mereka ke dalam kamar tahanan di belakang!" perintahnya.

Dua orang pengawal itu cepat mengambil tali sutera dan membelenggu kaki tangan dua orang gadis yang lumpuh tertotok itu, kemudian dengan hati-hati mereka memanggul dua orang gadis itu keluar kamar. Mereka adalah pengawal-pengawal yang taat karena takut terhadap pangeran itu dan karena maklum bahwa dua orang gadis cantik ini adalah calon selir-selir pangeran, tentu saja mereka tak berani bersikap kasar dan kurang ajar. Kepala pengawal yang dipanggil segera menghadap.

"Jaga mereka baik-baik jangan sampai lolos. Akan tetapi jangan ada yang bersikap kasar, biarkan mereka berdua sendiri saja di kamar tahanan dan jangan beri makan atau minum sampai mereka minta. Kalau mereka minta makan atau minum, jangan beri akan tetapi beri tahu padaku!"

Kepala pengawal memberi hormat dan menyatakan baik, kemudian pergi meninggalkan Han Houw yang masih panas hatinya. Sungguh dua orang dara kembar itu membuat dia sangat kecewa dan marah sekali, juga amat tersinggung hatinya. Dua orang bocah dusun itu berani menampiknya!

Setiap malam, dengan sengaja Han Houw selalu makan minum di dalam kamar tahanan itu untuk menyiksa dua orang dara yang tentu saja kelaparan itu! Dia sengaja melakukan ini tanpa berbicara apa-apa, hanya makan dan minum dengan lahapnya. Maksudnya agar kedua orang gadis itu tidak kuat bertahan lagi kemudian bertobat, tunduk dan menyerah kepadanya karena kehausan dan kelaparan memaksa mereka.

Namun, sejak malam pertama, Lan Lan dan Lin Lin selalu memandang kepada pemuda yang makan minum itu sama sekali bukan dengan mata penuh keinginan untuk makan dan minum itu, melainkan sebaliknya pandang mata mereka itu penuh dengan kebencian! Mereka berdua sudah saling bermufakat untuk mempertahankan diri sampai mati, selagi masih hidup tidak akan menyerahkan diri kepada pangeran yang hanya tampan wajahnya namun buruk sekali wataknya itu.

Dan andai kata mereka akhirnya diperkosa di luar kehendak mereka, mereka juga sudah bermufakat untuk membunuh diri begitu terbuka kesempatan! Pendek kata, jangan harap pangeran itu akan dapat membuat mereka menyerahkan diri secara suka rela!

Penyerahan diri seorang wanita memang terdorong atau didasari bermacam pamrih! Akan tetapi selama didasari pamrih, penyerahan diri itu adalah kotor dan rendah. Ada wanita menyerahkan diri kepada seorang pria karena menginginkan harta kekayaan, atau karena menginginkan kedudukan tinggi, ada pula yang menyerahkan diri kepada seorang lelaki karena dorongan nafsu birahi semata. Hubungan badan dengan dasar seperti ini adalah kotor. Hanya kalau ada cinta kasih, maka segala perbuatan, termasuk hubungan badan antara wanita dan pria, adalah indah, wajar dan benar.

Han Houw adalah seorang pemuda yang mempunyai segala-galanya dalam keduniawian. Berkedudukan tinggi, kaya raya, tampan, masih muda, serta memiliki kepandaian tinggi, baik dalam hal bun (sastera) dan bu (silat). Akan tetapi semua itu tak ada artinya, bahkan hanya mendatangkan kerusakan dan kekacauan belaka, baik kepada diri sendiri mau pun kepada orang lain, selama dia tidak memiliki batin yang bersih.

Batinnya kotor oleh nafsu-nafsu keinginan yang berupa nafsu ingin menang sendiri! Ingin tinggi sendiri, nafsu birahi dan sebagainya. Dia begitu sombong hingga dia menganggap semua wanita pasti akan bertekuk lutut di hadapannya, bahwa semua wanita pasti akan dengan senang dan suka rela menyerahkan diri kepadanya kalau dia menghendakinya!

Sungguh suatu pandangan yang sesat karena keangkuhan! Sekali ini dia kecelik, karena sampai tiga hari tiga malam, biar pun setiap malam dia menggoda dengan makan minum di hadapan dua orang dara kembar itu, Lan Lan dan Lin Lin tetap saja tidak mau tunduk, tidak pernah minta-minta air atau makan, biar pun tubuh mereka sudah mulai lemas dan setengah pingsan setelah lewat tiga hari tiga malam!

********************

Sin Liong merasa bingung sekali. Perasaan hatinya terpecah menjadi dua, sebagian dia ingin mencari-cari musuh besarnya, yaitu Kim Hong Liu-nio, tetapi sebagian lagi dia ingin mencari Bi Cu.

Setelah dia mencegah terbunuhnya Kim Hong Liu-nio di tangan ayah kandungnya, yaitu Cia Bun Houw yang mendesak wanita iblis itu bersama isterinya, Sin Liong lalu pergi dan diam-diam mengikuti jejak Kim Hong Liu-nio. Hatinya merasa lega sekali bahwa dia telah mencegah Kim Hong Liu-nio tewas di tangan ayah kandungnya dan ibu tirinya! Pertama, berarti dia sudah membalas budi Kim Hong Liu-nio ketika iblis betina itu menyelamatkan dia, Bi Cu, dan Tiong Pek pada waktu keluarga Na Ceng Han diserbu musuh. Ke dua, dia tidak ingin wanita iblis itu terbunuh oleh orang lain kecuali dengan tangannya sendiri untuk membalas kematian ibu kandungnya. Dan yang ke tiga, dia telah berhasil memperlihatkan kepada ayah kandungnya serta isteri ayah kandungnya itu bahwa dia bukanlah seorang bocah yang lemah!

Akan tetapi, ketika dilihatnya jejak Kim Hong Liu-nio akhirnya menuju ke utara, dia dapat menduga bahwa iblis betina itu tentu hendak kembali keluar tembok besar, maka dia tidak melanjutkan pengejarannya. Dia harus menemukan dulu Bi Cu karena dia amat khawatir dengan keselamatan dara itu. Bi Cu adalah seorang dara sebatang kara. Hidup sendirian tidak ada yang melindunginya. Maka dia tidak mungkin membiarkan Bi Cu hidup terlantar seperti itu.

Kalau dia ingat akan semua yang telah dialaminya bersama Bi Cu, hatinya tidak tega dan tidak dapat membiarkan dara itu hanyut dibawa nasibnya sendiri. Tidak, dia harus dapat menemukan Bi Cu, dia harus melindungi dara itu. Ada sesuatu yang mendorongnya untuk melindungi dara itu. Maka, ketika melihat Kim Hong Liu-nio ke utara, dia lalu kembali ke kota raja. Dia tidak akan ke utara lebih dulu kalau tidak bersama Bi Cu, karena bukankah dara itu hendak menyelidiki kematian ayahnya? Akan tetapi dia tidak tahu ke mana harus mencari Bi Cu.

Setibanya di kota raja, Sin Liong segera menghubungi para pengemis di pasar kemudian bertanya-tanya mengenai Bi Cu yang di antara mereka terkenal dengan sebutan Kim-gan Yan-cu. Namun, para pengemis muda itu hanya menggeleng kepala dengan sikap duka. Mereka semua sangat mencinta Kim-gan Yan-cu dan sesudah pemimpin wanita ini tidak ada, maka kehidupan mereka pun kocar-kacir dan cerai-berai, tak ada lagi pengatur siasat yang pandai.

Karena tidak berhasil mendapatkan keterangan tentang dara itu di kota raja, akhirnya Sin Liong lalu mengambil keputusan untuk pergi saja ke dusun Pek-jun. Dia hendak bertanya kalau-kalau Lan Lan atau Lin Lin atau siapa saja dari keluarga Kui itu mengetahui tentang Bi Cu. Selain itu, dia kini juga hendak secara langsung menegur Kui Hok Boan, dan kalau perlu memberi hajaran kepada orang yang hatinya kejam ini.

Sin Liong tiba di dusun itu pada waktu senja. Dia sengaja menunggu sampai malam tiba, barulah dengan hati-hati dia menghampiri rumah yang nampak sunyi itu. Sungguh sangat mengherankan hatinya, rumah itu sunyi bukan main dan biar pun malam sudah tiba, akan tetapi tak nampak ada lampu penerangan di rumah itu. Apakah keluarga Kui telah pindah, pikirnya.

Dia terus memasuki pekarangan hingga akhirnya tiba di halaman rumah itu. Ahh, ternyata rumah itu kosong. Tidak ada sepotong pun perabot rumah di halaman depan. Dia terus masuk karena pintu depan terbuka, akan tetapi di dalam yang gelap itu pun kosong saja, tidak ada sepotong pun perabot rumah. Tentu sudah pindah. Dia terlambat datang.

Akan tetapi pada waktu Sin Liong hendak keluar, dia mendengar suara orang menangis di sebelah dalam rumah yang gelap kosong itu. Hampir saja Sin Liong lari, bulu tengkuk itu bangkit berdiri karena seramnya. Rumah kosong gelap tetapi ada suara orang menangis! Tentu setan, pikirnya.

Akan tetapi, penggemblengan dirinya semenjak kecil membuat Sin Liong menjadi seorang pemberani. Walau pun permainan pikiran yang membayangkan hal yang ngeri-ngeri dan bukan-bukan itu mendatangkan rasa takut, namun dia nekat memasuki rumah kosong itu.

Sungguh pun hatinya kebat-kebit, akan tetapi seluruh panca inderanya waspada dan siap menghadapi apa pun juga. Berindap-indap dia menghampiri suara tangis itu dan ternyata suara itu datang dari sebuah kamar. Dari luar kamar itu sudah terlihat cahaya penerangan kecil keluar dari kamar itu.

Bukan setan, pikirnya. Jika setan apakah perlu membuat api penerangan? Bukan, bukan setan, melainkan manusia yang sedang dirundung susah hati. Dengan hati-hati Sin Liong mendekati pintu kamar itu.

"Huuu-hu-huuu... anak-anakku... anak-anakku... kalian di mana saja...? Hu-huuu, kenapa aku kalian tinggal sendirian?" Orang itu menangis terguguk dengan amat menyedihkan.

Tergerak hati Sin Liong oleh rasa iba dan tangannya sudah menyentuh daun pintu hendak membukanya, akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main karena suara menangis itu kini berubah sama sekali, menjadi tertawa terbahak-bahak!

"Ha-ha-ha-ha! Kalian hendak menghalangi aku? Ha-ha-ha, aku suka dia, dia manis cantik, hemmm... Tee Kang, kau hendak menghalangi aku? Ha-ha-ha, kau sudah bosan hidup! Aku suka pada Cui Hwa, dia manis, ha-ha-ha...! Aku memang suka wanita cantik, siapa peduli? Siang Li, kau janda manis dan pandai merayu... ha-ha, dan kau pun hebat sekali, Liong Si Kwi! Sayang tanganmu buntung, namun kau memang pandai bercinta, ha-ha-ha! Ehh, Bhe Coan, kau hendak menghalangi aku bermain cinta dengan isterimu? Ahhh, kau memang bosan hidup, harus kubunuh kau agar binimu dapat menemaniku setiap malam, ha-ha-ha...!"

Wajah Sin Liong berubah pucat mendengar ini semua. Hampir dia tidak percaya kepada telinganya sendiri. Itulah suara Kui Hok Boan! Jelas, apa lagi dia telah menyebut-nyebut nama ibunya segala. Dan nama Bhe Coan, ayah dari Bi Cu! Karena tidak percaya kepada telinganya sendiri, Sin Liong segera membuka pintu untuk melihat dengan mata sendiri. Dan apa yang dilihatnya membuat dia terbelalak seperti melihat setan!

Di situ, di dalam kamar kosong itu, yang sama sekali tidak ada perabotnya, Kui Hok Boan duduk di atas lantai, di atas sehelai tikar butut dan pakaian orang ini pun butut laksana pakaian pengemis. Wajahnya kotor tidak terpelihara, matanya liar dan merah, mata orang gila! D! sudut kamar itu terdapat sebatang lilin bernyala.

"Paman Kui...!" Sin Liong berseru memanggil.

Kui Hok Boan yang sudah gila itu menengok, memandang kepadanya lalu tertawa lagi, tertawa bergelak, lalu berkata, "Ha-ha, kau mau mengambil Lan Lan dan Lin Lin? Ha-ha, kini mereka telah menjadi kekasih-kekasih pangeran, dan aku menjadi mertua pangeran! Ha-ha-ha, aku adalah mertua pangeran, dan kau harus berlutut menyembahku!" Kui Hok Boan tertawa-tawa lagi.

Sin Liong memandang dengan muka pucat bukan main. Pamannya ini, suami mendiang ibu kandungnya, telah menjadi orang gila! Betapa pun penasaran dan marahnya terhadap orang ini atas semua kecurangan dan kejahatannya, kini melihat dia menjadi orang gila dengan pakaian seperti jembel itu, terharu dan kasihan juga rasa hati Sin Liong.

"Paman Kui, ini aku, Sin Liong...!"

Orang yang sedang tertawa-tawa itu tiba-tiba saja memandang. Sin Liong melihat betapa sepasang mata yang liar itu kemerahan di bawah sinar api lilin, dan mulut yang sedang menyeringai itu berbusa. Sungguh mengerikan keadaan orang ini, pikirnya.

"Sin Liong? Kau... kau setan cilik, engkau layak mampus!"

Tiba-tiba saja Kui Hok Boan menubruk seperti seekor harimau kelaparan dan gerakannya kacau-balau, caranya menyerang seperti binatang buas dan agaknya dia sudah lupa akan ilmu silatnya! Tentu saja Sin Liong tidak mau melayaninya, dan dengan mudah mengelak sehingga tubrukan orang gila itu mengenai dinding, membuatnya terguling lantas kembali Kui Hok Boan menangis sambil menjambak-jambak rambutnya sendiri.

"Siong Bu... anakku... kenapa kau mati meninggalkan aku? Siong Bu, anakku... hu-huu! Beng Sin, engkau anakku, kenapa kau membunuh saudaramu sendiri...? Hu-hu-hu... kau minggat ke mana, anakku? Lan Lan dan Lin Lin... bila mana engkau sudah resmi menjadi permaisuri kelak, jangan lupa beri sebuah mahkota untukku, ha-ha-ha!"

Mendengar semua ucapan ini, diam-diam Sin Liong terkejut bukan main. Siong Bu mati? Dan Beng Sin yang membunuhnya? Tetapi... kenapa pamannya ini menyebut mereka itu anak-anaknya? Dan Lan Lan berdua Lin Lin ke mana?

"Paman Kui!" bentaknya keras. "Di mana Lan-moi dan Lin-moi?"

Dibentak dengan keras begitu, Kui Hok Boan menjawab dengan cepat pula, "Di mana lagi kalau tidak di kamar Ceng Han Houw? Ha-ha-ha-ha, mereka itu, anak-anakku yang cantik manis, pantas menjadi selir-selir pangeran..."

Sin Liong sudah tidak mendengarkan lagi karena dia telah berkelebat cepat meninggalkan rumah itu, kemudian dia langsung pergi menuju ke kota raja. Lan Lan dan Lin Lin tentu telah ditangkap oleh Ceng Han Houw, pikirnya. Entah bagaimana caranya karena dia tak pernah mendengar tentang hal itu semenjak dia melarikan diri bersama Bi Cu. Bagaimana pun juga, dia harus mencari Ceng Han Houw, dia harus menyelamatkan kedua orang adik tirinya itu dari mala petaka!

Dengan cepat karena dia menggunakan ginkang-nya, Sin Liong menuju ke kota raja dan malam itu juga dia mengunjungi istana Pangeran Ceng Han Houw! Para prajurit pengawal tentu saja mengenal Sin Liong yang mereka tahu adalah adik angkat dari sang pangeran, saling pandang dengan bingung dan ragu melihat kunjungan yang dilakukan pada waktu tengah malam ini! Akan tetapi dengan sikap hormat mereka lalu mempersilakan Sin Liong untuk menanti di ruangan tamu, dan mereka kemudian mengabarkan tentang kedatangan pemuda ini kepada pengawal yang bertugas di dalam.

Akan tetapi karena sang pangeran telah berada di dalam kamar dan mungkin sudah tidur, tak ada seorang pun di antara para pengawal dan pelayan yang berani mengganggunya. Maka pengawal itu langsung kembali keluar menemui Sin Liong dan mengatakan bahwa sang pangeran telah berada di dalam kamarnya dan tidak ada yang berani mengganggu untuk membangunkannya dan memberi laporan.

"Antarkan aku ke kamarnya, biar aku sendiri yang memberitahukan kedatanganku!" kata Sin Liong yang tidak ingin menunda lagi pertemuannya dengan kakak angkat itu.

"Akan tetapi... kongcu..."

"Sudahlah!" Sin Liong berseru tidak sabar. "Aku mempunyai urusan yang sangat penting untuk kusampaikan kepadanya! Biarlah nanti aku yang membangunkannya dan kalau dia marah, akulah yang bertanggung jawab, bukan kalian!"

Melihat sikap ini, para pengawal merasa sangat khawatir. Akan tetapi karena Sin Liong sudah berkata demikian dan mereka memang tahu bahwa pemuda ini adalah adik angkat sang pangeran, akhirnya mereka mengantarkan Sin Liong sampai ke depan kamar Ceng Han Houw.

Tanpa ragu-ragu, terdorong oleh panasnya hati dan kekhawatirannya akan nasib Lan Lan dan Lin Lin, Sin Liong segera mengetuk pintu kamar yang terbuat dari kayu terukir indah itu, lalu disusul suaranya yang lantang karena dia mengerahkan khikang supaya suaranya menembus ke dalam kamar di balik daun pintu itu.

"Houw-ko...! Ini aku Sin Liong datang menghadap dan ingin bicara dengan Houw-ko...!"

Semua pengawal secara diam-diam gemetar ketakutan karena mereka menduga bahwa tentu sang pangeran akan menjadi marah sekali akibat tidurnya diganggu seperti itu.

Akan tetapi tak lama kemudian terdengar seruan dari dalam, seruan girang!

"Liong-te...!"

Daun pintu segera terbuka kemudian muncullah sang pangeran dengan rambut kusut dan pakaian dalam setengah terbuka. Pada saat melihat para pengawal, pangeran itu segera menggerakkan tangan dan mengusir mereka pergi.

"Liong-te, kau baru datang? Masuklah, masuklah saja!"

Sin Liong mengangguk dan memasuki pintu kamar itu. Dia melihat ada dua orang wanita cantik dengan pakaian dalam tidak karuan bangkit dan bergerak di balik kelambu tempat tidur. Sedetik jantungnya berdebar, akan tetapi sesudah dia melihat bahwa mereka itu bukan Lan Lan dan Lin Lin, maka legalah rasa hatinya dan dia cepat membuang muka agar jangan melihat kulit putih membayang keluar dari pakaian dalam mereka itu.

"Kalian keluarlah...!" kata Han Houw dengan suara lembut dan mulut tersenyum.

Dua orang wanita muda itu cepat-cepat mengenakan pakaian dan keluar dari kamar itu meninggalkan bau harum semerbak yang keluar dari minyak wangi yang mereka pakai.

Sesudah dua orang selir itu keluar dan daun pintu kamar itu tertutup kembali, Han Houw tertawa gembira dan dia mengamati Sin Liong mulai dari kepala sampai ke kaki, seperti menaksir-naksir dengan pandang matanya.

"Ha-ha-ha, girang sekali bertemu dengan adikku yang gagah perkasa! Engkau memang hebat, adikku, dan setengah tahun yang lalu, memang engkau pantas disebut Pendekar Lembah Naga! Akan tetapi sekarang... ha-ha, sekarang ada aku di sini, Liong-te! Dan aku pun sudah menerima petunjuk-petunjuk langsung dari suhu kita, yaitu Bu Beng Hud-couw sendiri! Aku telah mewarisi ilmu-ilmu yang malah lebih tinggi dari pada ilmu silat yang pernah kau pelajari."

Diam-diam Sin Liong terkejut dan heran. Dia sendiri, biar pun menguasai ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw, tapi dia mempelajari kitab-kitab itu hanya di bawah petunjuk Ouwyang Bu Sek, dan selamanya dia belum pernah bertemu dengan manusia dewa yang disebut Bu Beng Hud-couw itu, bahkan dalam mimpi pun belum pernah. Akan tetapi pangeran ini mengatakan menerima bimbingan langsung! Membualkah dia?

"Jika begitu, aku mengucapkan selamat untukmu, Houw-ko!" katanya dengan wajar sebab betapa pun juga, dia merasa girang bahwa kakak angkatnya ini dapat mencapai apa yang telah diinginkannya.

Han Houw tertawa. "Akan tetapi aku belum merasa puas apa bila belum membuktikan apakah ilmu-ilmuku dapat mengatasi ilmu-ilmumu, Liong-te. Betapa pun juga, biar engkau adalah adik angkatku, akan tetapi engkau lebih dahulu mewarisi ilmu dari suhu Bu Beng Hud-couw sehingga menurut tingkat, engkau adalah suheng-ku! Hanya kalau kita sudah saling mengukur kepandaian, barulah dapat ditentukan siapa yang lebih unggul dan patut menjadi suheng. Maka, aku ingin sekali mengadu ilmu melawanmu, Liong-te!"

Sin Liong terkejut dan cepat dia menggelengkan kepalanya. Dia tahu alangkah hausnya pangeran ini akan kemenangan. "Tidak, biarlah tanpa diuji pun aku menyerahkan gelar suheng itu kepadamu, Houw-ko. Kedatanganku ini hanya untuk bertemu denganmu dan bertanya tentang Lan-moi dan Lin-moi." Dia menatap tajam wajah pangeran yang masih tersenyum itu. "Houw-ko, di manakah Lan-moi dan Lin-moi sekarang? Aku tahu bahwa mereka telah kau tawan. Dengan mengingat akan hubungan antara kita, kuharap engkau suka membebaskan mereka. Biarkan aku membawa mereka pergi Houw-ko."

Han Houw mengerutkan alisnya, kelihatan tidak senang, akan tetapi dia segera menutupi ketidak senangan itu dengan senyuman lebar. Memang hatinya tidak senang sekali begitu Sin Liong menyebut nama dua orang dara itu. Dia diingatkan kembali akan kekalahannya menghadapi dua orang dara kembar itu! Sampai sekarang, kedua orang dara kembar itu masih belum sudi menyerahkan kehormatan mereka, tidak sudi menerima cintanya.

Untuk menghilangkan rasa kesal, kecewa dan marahnya, dia menenggelamkan diri dalam pelukan selir-selir lainnya, namun tetap saja dia masih tidak puas dan merasa penasaran. Kini, Sin Liong muncul dan minta agar dua orang dara itu dibebaskan! Hal ini menambah kekesalan dan kemarahan hatinya, namun pangeran yang pandai menguasai perasaan ini tersenyum lebar dengan ramahnya.

"Mengapa engkau bertekad benar untuk minta aku membebaskan mereka, Liong-te?"

"Houw-ko! Tentu engkau pun tahu bahwa Lan-moi dan Lin-moi adalah saudara-saudaraku sekandung, seibu! Oleh karena aku adalah adik angkatmu, maka tentu saja mereka itu pun bukan merupakan orang-orang lain bagimu. Mengapa engkau memilih mereka kalau di dunia ini masih banyak gadis lain yang akan suka menjadi selir-selirmu? Harap engkau suka bebaskan mereka, Houw-ko, demi hubungan persaudaraan kita!"

"Hemmm... bebaskan sih mudah, Liong-te. Akan tetapi hal itu harus kupikirkan baik-baik. Karena itu, kau pergilah dan tiga hari kemudian, pagi-pagi sekali, tunggulah aku di tengah hutan di sebelah selatan kota raja. Aku akan menemuimu di sana untuk membicarakan pembebasan Lan Lan dan Lin Lin."

"Tapi, Houw-ko..."

Melihat sepasang mata adik angkatnya itu mencorong, Han Houw terkejut. Bukan main pemuda ini, pikirnya, pastilah merupakan lawan berbahaya. "Liong-te, apakah engkau tak percaya lagi kepadaku? Kalau aku bilang tiga hari kita bicara, maka hal itu akan terjadi, dan jangan khawatir, aku yang menjamin keselamatan dua orang adik kembarmu itu."

Lega hati Sin Liong. Dia tahu benar bahwa betapa pun kejamnya kadang-kadang kakak angkatnya ini, namun satu hal adalah pasti, yaitu bahwa pangeran ini tidak akan pernah menjilat ludahnya sendiri, tidak akan pernah mengingkari janji. Maka dia lalu mengangguk dan berkata, "Tiga hari lagi, pagi-pagi aku menantimu di hutan itu, Houw-ko."

Dengan cepat dia lalu melangkah keluar kamar itu dan langsung keluar dari istana. Para pengawal cepat memberi hormat dengan tubuh tegak kepada pemuda yang menjadi adik angkat pangeran itu.

Sin Liong sama sekali tidak sadar bahwa Han Houw memberi waktu tiga hari itu adalah untuk membuat persiapan untuk mengadu kepandaian dengan Sin Liong. Pada keesokan harinya, Han Houw sudah mengutus orang-orangnya untuk menyebar berita di kalangan tokoh-tokoh kang-ouw di kota raja dan sekitarnya bahwa pada tiga hari mendatang, pada pagi hari, di hutan sebelah selatan kota raja akan diadakan pertandingan adu ilmu antara tokoh-tokoh kang-ouw terbesar untuk menentukan siapa yang patut digelari jagoan nomor satu di kota raja!

Sekarang Han Houw tak mau bertindak tergesa-gesa memperebutkan gelar jagoan nomor satu di dunia, melainkan hendak bertindak dari pusat, dari kota raja terlebih dahulu baru kemudian nama dan gelarnya diperluas sampai ke seluruh dunia kang-ouw. Boleh jadi Sin Liong belum mempunyai nama besar di dunia kang-ouw, akan tetapi dia tahu betul bahwa pemuda itu adalah lawan tangguh dan tidak sembarang orang kang-ouw akan sanggup mengalahkannya! Karena itulah dia ingin semua orang kang-ouw melihat dia mengajak Sin Liong mengadu ilmu.

Itulah sebabnya ketika pada tiga hari berikutnya pagi-pagi sekali Sin Liong pergi ke dalam hutan yang dimaksudkan oleh Han Houw, dia tidak hanya melihat pangeran itu berdiri dengan angkuhnya pada suatu tempat terbuka dalam hutan itu, akan tetapi juga terdapat banyak sekali orang-orang yang semuanya merupakan tokoh-tokoh kang-ouw di kota raja dan sekitarnya.

Pangeran Ceng Houw berdiri dengan sikap angkuh sekali, pakaiannya indah dan bajunya ditutup dengan jubah kulit, sepatunya mengkilap baru, kepalanya memakai topi bulu yang baru pula, dengan bulu burung berwarna biru di atas. Tangan kirinya bertolak pinggang dan tangannya memegang sebatang cambuk kuda. Kuda itu sendiri, seekor kuda pilihan yang amat besar dan baik, berdiri tidak jauh di belakangnya.

Pada saat Sin Liong datang, pangeran itu sedang bercakap-cakap dan didengarkan oleh banyak tokoh kang-ouw. Pangeran itu agaknya menceritakan mengenai Sin Liong, karena pemuda ini masih dapat menangkap beberapa kata-kata dalam kalimat terakhir.

"...dia putera dari pendekar besar Cia Bun Houw..." akan tetapi pangeran itu langsung menghentikan kata-katanya ketika melihat Sin Liong datang.

Sin Liong mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang mendengar pangeran itu membuka rahasianya di hadapan orang banyak! Akan tetapi hal itu sudah dilakukannya, maka dia pun tidak banyak bicara lagi, melainkan segera menghampiri Han Houw dan memandang dengan sinar mata tajam mencorong.

"Aha, Liong-te, engkau sungguh gagah dan memenuhi janji! Nah, mari kita lekas memulai saja, Liong-te!"

"Mulai apa, Houw-ko?" kata Sin Liong.

Para orang kang-ouw yang mendengarkan percakapan itu diam-diam merasa heran sekali akan cara bicara kedua orang itu. Pemuda sederhana itu bicara terhadap sang pangeran dengan sikap begitu seenaknya tanpa hormat seperti bicara terhadap kakaknya sendiri saja!

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.