Pendekar Lembah Naga Jilid 40

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Episode Pendekar Lembah Naga Jilid 40 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Pendekar Lembah Naga Jilid 40

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
DIAM-DIAM, disamping kekaguman mereka, juga terdapat perasaan iri hati yang sangat besar. Pemuda sederhana ini sungguh beruntung, sudah menjadi cucu ketua Cin-ling-pai yang ternama kemudian menjadi keluarga yang dianggap pemberontak, masih diaku adik oleh Pangeran Ceng Han Houw yang memiliki kedudukan demikian tingginya!

"Eh, mulai apa lagi, Liong-te? Kita datang ke sini untuk menguji ilmu kepandaian masing-masing, bukan? Hayo mulailah agar semua saudara kang-ouw ini tahu siapa di antara kita yang patut dijuluki Pendekar Lembah Naga!"

Sin Liong terkejut bukan main. Tidak disangkanya bahwa Han Houw akan berbuat seperti itu, sengaja mengumpulkan orang kang-ouw dan mendesaknya agar saling mengadu ilmu kepandaian. Tentu saja dalam hatinya dia merasa penasaran dan menolak keras.

"Houw-ko! Engkau tahu benar bahwa aku datang ke sini atas undanganmu untuk bicara tentang dua orang adikku, sama sekali bukan untuk mengadu ilmu kepandaian!"

"Akan tetapi aku ingin sekali mengadu kepandaian denganmu, Liong-te. Urusan dua orang adikmu itu boleh nanti kita bicarakan. Sekarang, kau tandingilah aku, biar semua orang tahu siapa di antara kita yang lebih unggul!"

"Tidak, Hauw-ko, aku tidak akan mau mengadu ilmu silat, apa lagi terhadap engkau yang menjadi kakak angkatku sendiri. Harap engkau tidak memaksaku, Houw-ko!"

"Liong-te! Apakah engkau hendak membikin malu padaku? Masa adik angkatku seorang pengecut dan mau menjadi buah tertawaan orang-orang lain? Hayo mulailah, cepat kau serang aku dengan ilmu silatmu yang tinggi!"

"Tidak, Houw-ko. Aku datang untuk minta engkau membebaskan Lan-moi dan Lin-moi."

"Aku akan membebaskan mereka, bukankah aku sudah memberi janjiku? Akan tetapi kita bertanding dulu."

"Maaf, aku tidak dapat, Houw-ko."

"Kalau aku memaksamu?"

"Apa maksudmu?"

"Kalau aku menyerangmu?"

"Aku tak percaya bahwa seorang gagah seperti engkau akan menyerang orang lain yang tak mau melawan!" kata Sin Liong dengan tenang karena dia merasa yakin bahwa kakak angkatnya ini tidak mau bersikap curang seperti itu.

"Kalau engkau tetap tidak mau, berarti engkau menghinaku dan aku akan menghajarmu dengan cambuk ini!" Han Houw mengangkat cambuknya ke atas, lalu memutarnya di atas kepala dan menggerakkan pergelangan tangannya yang mengandung tenaga sangat kuat itu.

"Tar-tar-tarrr…!"

Tiga kali cambuk itu meledak di udara. Suaranya sedemikian nyaring hingga mengejutkan semua orang, juga nampak asap mengepul dari ujung cambuk itu! Akan tetapi Sin Liong tetap tenang saja.

"Kalau Houw-ko menganggap aku bersalah dan hendak menghukum, silakan. Akan tetapi aku sama sekali bukan bermaksud menghinamu," Sin Liong berkata.

Dia adalah seorang pemuda yang tenang dan juga cerdik. Dia tahu bahwa kalau dia kena dipancing kemudian menjadi marah sehingga terjadi adu tenaga yang sebenarnya tiada bedanya dengan perkelahian, maka makin jauhlah harapan untuk menolong Lan Lan dan Lin Lin. Dua orang adiknya itu berada di tangan Han Houw, maka sebelum mereka itu bebas, dia terpaksa harus mengalah dalam segala hal.

"Liong-te, kau sungguh-sungguh terlalu hingga membuatku marah! Hendak kulihat apakah benar engkau tidak akan mau menyerangku kalau kupaksa!" katanya.

Kembali dia menggerakkan cambuknya keatas, kemudian cambuk itu meluncur kebawah mengeluarkan bunyi amat nyaring.

"Tar-tar-tarrr…!" Tiga kali cambuk itu menyambar, pertama ke arah mata kiri Sin Liong, kemudian ke arah leher dan ke tiga ke arah pundak.

Sin Liong tetkejut. Kiranya pangeran itu bukan hanya menggertak saja dan benar-benar menyerangnya. Akan tetapi Sin Liong tetap tidak melawan, dia hanya mengangkat tangan menangkis sambaran ke arah mata dan leher, kemudian membiarkan cambuk mengenai pundaknya. Baju pundaknya robek oleh lecutan ujung cambuk yang menggigit bagaikan patuk ular itu, akan tetapi karena Sin Liong mengerahkan sinkang, kulitnya tidak terluka, bahkan lecet pun tidak.

Cambuk itu terus meledak-ledak dan menyambar-nyambar, mengikuti gerak tangan Han Houw yang hendak memancing kemarahan Sin Liong agar supaya pemuda itu membalas serangannya. Namun Sin Liong sama sekali tak pernah membalas, juga tidak mengelak, hanya melindungi bagian-bagian tubuh lemah. Bajunya robek-robek, di pundak, di lengan, di paha, namun dia tidak pernah menderita nyeri dan tubuhnya tidak ada yang lecet.

Diam-diam Han Houw merasa terkejut dan kagum, juga penasaran sekali akan keteguhan batin adik angkatnya itu yang terus mandah saja dicambuki sehingga akhirnya dia merasa jengah dan malu sendiri! Pada lain fihak, Sin Liong diam saja dan di dalam hatinya dia sengaja tidak mau melawan, pertama sekali untuk melindungi keselamatan Lan Lan dan Lin Lin, dan kedua kalinya karena dia pernah berhutang budi kepada kakak angkatnya ini, maka biarlah dia menerima cambukan yang hanya merusak pakaian itu.

"Sin Liong, apakah engkau demikian pengecut sehingga menerima cambukan-cambukan tanpa berani membalas sama sekali? Apakah engkau takut padaku? Hayo katakan bahwa engkau takut kepadaku!" Han Houw membentak marah dan penasaran bukan main sebab semua mata orang kang-ouw memandang peristiwa itu dengan penuh perhatian dan dari pandang mata mereka itu dia tahu bahwa para tokoh kang-ouw itu tidak dapat menyetujui perbuatannya yang menyerang dan mencambuki orang yang tidak mau melawan.

Sin Liong memeluk dada dengan kedua lengannya. Wajahnya tetap tenang dan sepasang matanya mencorong. Ia pun menggelengkan kepalanya. "Tidak, Houw-ko, aku tidak takut kepadamu, akan tetapi aku tidak mau melawan karena memang aku tak ingin bertanding dengan kakak angkatku. Aku hanya ingin menuntut supaya engkau suka membebaskan Lan-moi dan Lin-moi, lain tidak."

"Jadi engkau tidak mau menandingi ilmu silatku?"

"Tidak, Houw-ko."

"Jadi dengan demikian engkau juga tidak mengakui bahwa aku adalah Pendekar Lembah Naga, dan jagoan nomor satu di kota raja?"

"Hemm, engkau boleh saja memakai julukan Pendekar Lembah Naga dan jagoan nomor satu di kota raja atau di dunia. Aku tidak peduli, Houw-ko. Aku hanya minta agar engkau suka membebaskan Lan-moi dan Lin-moi, lain tidak."

Pangeran itu tersenyum. Girang juga hatinya sebab pengakuan ini sudah cukup dan telah didengar oleh semua orang kang-ouw. Betapa pun juga, dia harus dapat memperlihatkan kekuasaannya terhadap pemuda yang dia tahu amat lihai ini.

"Kau ingin Lan Lan dan Lin Lin bebas? Baik, akan kubebaskan mereka, namun engkau harus berlutut dan memberi hormat tiga kali kepadaku!"

Sin Liong terkejut. Ini penghinaan namanya! Apa lagi hal itu harus dilakukan di hadapan banyak orang kang-ouw, sungguh merupakan hinaan yang cukup berat. Hampir saja dia marah dan memang inilah yang dikehendaki oleh Han Houw.

Akan tetapi Sin Liong langsung teringat akan hal ini, dan dia tahu bahwa pangeran itu memang memancing-mancing kemarahannya dan dia harus ingat pula akan keselamatan Lan Lan dan Lin Lin yang sudah dijanjikan kebebasan mereka oleh pangeran ini. Maka tanpa ragu-ragu lagi dia pun segera menjatuhkan diri berlutut di depan pangeran itu, lalu memberi hormat tiga kali!

Melihat ini, diam-diam Han Houw makin kagum dan juga khawatir. Pemuda ini sungguh-sungguh memiliki kekerasan hati yang luar biasa dan ketenangan yang amat kuat hingga mampu menahan segala penghinaan dan amat sulit dipancing. Menghadapi lawan seperti ini betul-betul amat berbahaya! Karena itu dia lalu sengaja tertawa bergelak, memegangi cambuknya dan berdiri dengan angkuhnya.

"Ha-ha-ha-ha, cu-wi sekalian sudah melihat dan mendengarnya. Bocah ini telah mengakui saya sebagai jagoan nomor satu di kota raja! Dan karena kami sudah tahu betul bahwa kepandaiannya amat tinggi, maka pengakuannya itu mengokohkan kedudukanku sebagai Pendekar Lembah Naga dan jagoan nomor satu di kota raja yang kelak akan menjadi jagoan nomor satu di dunia sesudah kami mempunyai kesempatan untuk mencoba dan merobohkan semua pendekar-pendekar besar seperti Yap Kun Liong, Cia Bun Houw dan lain-lain."

Tiba-tiba saja terdengar suara beberapa orang tertawa. Seorang gendut pendek dengan kepala bulat tanpa leher karena kepalanya seperti menempel di atas pundak tanpa leher, yang berdiri dengan kedua tangan di belakang tubuh, terkekeh lalu berkata,

"Heh-heh-heh, pemuda ini paduka katakan amat lihai? Kalau menurut pendapat kami, dia ini tidak lain hanya seorang bocah yang penakut dan pengecut, mana dapat dimasukkan di dalam kelompok orang-orang besar di dunia kang-ouw? Kalau paduka memang sudah kami ketahui kelihaiannya, akan tetapi bocah ini...?"

"Ha-ha-ha, seperti jembel!"

"Lihat wajahnya sudah pucat begitu, mana ada tenaga dia?"

Tujuh orang jagoan yang berada di belakang Sin Liong itu tertawa-tawa dan mengejek, sedangkan tokoh-tokoh lain hanya turut tertawa saja. Mereka mentertawakan Sin Liong, namun hal ini juga merupakan protes halus bahwa pangeran itu mengangkat diri sendiri setelah menundukkan seorang bocah seperti itu yang mereka anggap pengecut dan tidak punya harga diri sebagai sebrang gagah di dunia kang-ouw.

Semenjak tadi Sin Liong telah menahan diri. Api kemarahan terhadap semua penghinaan Han Houw telah berkobar di dadanya dan hanya karena ingin menyelamatkan dua orang adiknya itu saja, maka dia selalu bertahan diri dan menerima semua itu dengan tenang. Namun kini terdengar kata-kata menghina dan suara ketawa menghina dari orang-orang di belakangnya, tentu saja dia tidak mau menerima penghinaan ini dari orang-orang lain.

Dengan tenang namun sepasang matanya makin tajam mencorong dia lalu membalikkan tubuh dalam keadaan masih berlutut. Dipandangnya tujuh orang yang masih tertawa-tawa sambil menuding-nuding kepadanya, lalu tiba-tiba saja Sin Liong mengeluarkan bentakan nyaring, tubuhnya bergerak ke depan dengan kedua tangan digerak-gerakkan.

Tujuh orang itu terkejut dan mereka sebagai tokoh-tokoh kang-ouw yang kenamaan dan memiliki kepandaian tinggi tentu saja tahu bahwa mereka diserang dengan pukulan yang mengandung sinkang kuat maka mereka cepat bergerak untuk menangkis atau mengelak. Akan tetapi sungguh aneh sekali, tetap saja hawa pukulan yang amat kuat itu menembus semua tangkisan dan terus mengejar meski pun ada yang telah mengelak dan akibatnya, berturut-turut tujuh orang itu terjengkang dan terpental, terbanting keras dan tak bergerak lagi karena mereka semua telah roboh pingsan!

Seketika keadaan menjadi lengang, semua mata terbelalak memandang pada tujuh orang itu dengan terkejut, kemudian memandang Sin Liong dengan muka pucat, penuh kagum, heran dan jeri.

Perlahan-lahan Sin Liong bangkit menghadapi mereka semua. Perlahan-lahan kepalanya bergerak memandangi mereka semua dengan sepasang mata bagai mata naga sehingga mereka yang bernyali kecil bergidik saat melihat sinar mata ini dan otomatis kaki mereka melangkah mundur. Kemudian terdengar suara pemuda itu, tenang namun terdengar oleh semua telinga, suara yang keluar satu-satu.

"Aku tidak mau melawan pangeran adalah urusanku sendiri! Akan tetapi kalau di antara kalian ada yang mau mengujiku… silakan maju!"

Suasana menjadi sunyi sekali setelah Sin Liong mengeluarkan kata-kata ini, semua orang kelihatan jeri. Melihat ini Han Houw mengerutkan alisnya. Sekumpulan manusia apakah yang diundang oleh para utusannya ini? Tokoh-tokoh kang-ouw kota raja dan sekitarnya ataukah hanya sekumpulan gentong kosong tempat nasi belaka?

"Sin Liong sudah mengajukan tantangan terhadap cu-wi sekalian. Apakah benar-benar di antara cu-wi tidak ada satu orang pun yang berani menandinginya? Cu-wi yang terkenal sebagai tokoh-tokoh kang-ouw tidak berani menghadapi pemuda remaja ini? Betapa amat menggelikan dan memalukan!" Han Houw benar-benar merasa penasaran sekali, karena biar pun Sin Liong tidak mau melayaninya, namun dia ingin melihat gerakan-gerakan Sin Liong kalau menghadapi lawan tangguh sehingga dia sendiri dapat menilainya.

"Maaf, pangeran. Sesungguhnya bukan kami takut, akan tetapi kami merasa sungkan dan segan karena bukankah sicu yang muda ini adalah adik angkat paduka sendiri?" tanya seorang di antara mereka, yang bermuka hitam dan bertubuh tinggi besar dan berpakaian sebagai seorang ahli silat, pakaian yang ringkas, dan sepatunya memakai lapis baja.

"Hemmmm, apakah kalau begitu kalian juga mengakui keunggulanku karena aku seorang pangeran? Itu penghinaan namanya!" bentak Han Houw.

"Tentu tidak, pangeran," kata Si Muka Hitam. "Hamba Twa-to Hek-houw (Macan Hitam Bergolok Besar) sudah mengenal semua tokoh kang-ouw, dan hamba tahu benar siapa adanya paduka dan sampai di mana kelihaian paduka. Hamba tahu bahwa paduka adalah masih sute dari Kim Hong Liu-nio penyelamat kaisar, dan bahwa paduka sudah memiliki nama besar di utara. Akan tetapi sicu muda ini... betapa pun juga dia adalah adik angkat paduka, maka kami..."

"Tidak perlu sungkan! Dunia kang-ouw tak mengenal kedudukan dan pangkat, melainkan mengenal kekerasan kepalan dan kelihaian kaki tangan. Apa bila ada yang berani, hayo maju dan lawanlah dia, aku tidak akan menganggap dia sebagai adik atau apa pun juga. Kalah menang dan mati hidup dalam sebuah pibu tidak ada dosanya!"

"Kalau begitu, maafkan, biarkan hamba yang mencoba kelihaiannya!" Twa-to Hek-houw berseru.

Dia sudah meloncat ke depan, tangan kanannya bergerak dan dari punggungnya dia telah mencabut sebatang golok besar yang berkilauan saking tajamnya. Golok itu sangat besar dan berat, namun dia dapat menggerakkannya seperti sebuah benda yang ringan saja.

Sambil tertawa lebar, Si Muka Hitam itu berkata, "Orang muda, marilah kita main-main sebentar dan kau boleh keluarkan senjatamu!"

Macan Hitam ini memang licik. Dia tadi sudah melihat betapa dengan tangan kosong Sin Liong mengalahkan tujuh orang dengan satu kali gebrakan saja. Maka dia dapat menduga bahwa pemuda itu adalah seorang ahli silat tangan kosong yang amat lihai, dan memiliki tenaga sinkang yang kuat. Maka dia tidak mau sembrono, menghadapinya dengan tangan kosong, melainkan mengandalkan goloknya yang telah mengangkat namanya itu.

Sin Liong merasa sebal sekali. Semua rasa mendongkol dan amarahnya terhadap Han Houw sekarang semuanya ditujukan kepada orang-orang yang memandang rendah dan meremehkan serta menghinanya. Dia melangkah maju dan berkata,

"Untuk melawanmu tak perlu aku bersenjata. Majulah!" tantangnya.

Memang Si Muka Hitam itu sudah merasa jeri, maka kini giranglah hatinya mendengar jawaban Sin Liong yang tentu juga didengar oleh semua orang. Dia tidak akan tercela kalau menyerang pemuda ini dengan goloknya karena bukankah pemuda itu sendiri yang menantangnya? Maka sambil mengeluarkan seruan nyaring dia telah menyerang dengan senjata tajam itu. Terdengar suara mengaung ketika golok itu menyambar.

Sin Liong kelihatan tak bergerak, hanya sedikit miringkan badan sambil menggeser kaki, dan ketika golok itu menyambar lewat dekat sekali dengan telinganya, tangannya segera menyambar seperti kilat dari samping, dengan tangan terbuka dan miring dia menghantam ke arah punggung golok.

"Krekkk!"

Golok itu patah menjadi dua, sedangkan orang itu kena ditampar hingga tubuhnya roboh terpelanting dengan tulang pundak patah! Si Macam Hitam itu mengaduh-aduh dan cepat ditarik mundur oleh teman-temannya!

Melihat betapa Twa-to Hek-houw yang sebenarnya bukan tokoh sembarangan melainkan seorang jago silat yang amat disegani di kota raja itu roboh hanya dalam segebrakan saja menghadapi pemuda itu, barulah semua tokoh yang berada di situ terkejut dan tahu benar sekarang bahwa pemuda yang menjadi adik angkat pangeran itu benar-benar mempunyai ilmu kepandaian yang amat tinggi dan hebat.

"Hayo, siapa lagi yang hendak maju? Siapa yang tidak mau maju boleh pergi karena kami bukanlah tontonan!" Sin Liong berkata, suaranya kereng dan sepasang matanya menyapu dengan sinar mata yang mencorong.

Di antara para tokoh kang-ouw itu tentu saja banyak terdapat orang pandai, akan tetapi mereka ini adalah orang-orang yang segan untuk mencampuri urusan pangeran dan adik angkatnya itu. Tanpa ada alasannya, tentu saja bagi orang-orang kang-ouw itu tidak ingin melibatkan diri dengan urusan pangeran karena hal ini amatlah berbahaya.

Karena itu, mendengar ucapan Sin Liong, mereka yang benar-benar tokoh kang-ouw dan bukan penjilat-penjilat pangeran, langsung meninggalkan tempat itu. Perbuatan ini diturut oleh yang lainnya sehingga akhirnya tempat itu menjadi sunyi, hanya Pangeran Ceng Han Houw dan Sin Liong saja masih berada di situ.

"Nah, kini kuharap engkau suka memenuhi janjimu, Houw-ko. Di mana adanya Lan-moi dan Lin-moi? Aku minta agar mereka segera kau bebaskan."

Diam-diam Han Houw merasa mendongkol dan kurang puas. Meski pun di depan banyak orang kang-ouw dia sudah memperlihatkan kekuasaannya, dan adik angkatnya ini sama sekali tidak membalas penghinaannya, namun ternyata Sin Liong dapat memperlihatkan sikap gagah yang tentu menimbulkan kesan dalam hati para orang kang-ouw itu.

Akan tetapi dia tersenyum dan mengangguk, lalu menuding dengan cambuknya ke arah utara, "Sebentar lagi mereka datang."

Benar saja, terdengar suara kaki kuda dan roda kereta, dan tak lama kemudian muncullah sebuah kereta indah yang ditarik oleh dua ekor kuda. Kereta yang dikendarai oleh prajurit pengawal itu berhenti di situ, lantas seorang pengawal lain yang tadi berdiri di belakang kereta cepat melompat turun dan membukakan pintu kereta. Dua orang gadis turun dari kereta itu dan girang bukan main rasa hati Sin Liong mengenal dua orang dara kembar itu dengan pakaian indah turun dari kereta. Mereka itu bukan lain adalah Lan Lan dan Lin Lin!

Dua orang dara ini turun dari kereta dengan wajah berseri dan begitu melihat Han Houw berada di situ, mereka lalu cepat berlutut di depan pangeran itu! Tentu saja melihat hal ini, Sin Liong mengerutkan alisnya!

"Kami menghaturkan terima kasih bahwa paduka telah memegang janji," kata Kui Lan.

"Terima kasih bahwa kami benar-benar sudah ditemukan dengan Liong-koko," sambung pula Kui Lin.

Pangeran Ceng Han Houw hanya mengangguk-angguk saja sambil tersenyum. Tetapi Sin Liong yang mengenal senyum itu, senyum yang mempunyai daya pikat dan daya tarik yang banyak menjatuhkan hati wanita, dan dia tahu pula orang macam apa adanya kakak angkatnya yang amat tampan ini, pemikat dan pemuda mata keranjang yang tentu akan merusak hati wanita-wanita yang jatuh hati kepadanya, sudah cepat melangkah maju dan memegang tangan dua orang adiknya.

"Lan-moi dan Lin-moi, hayo kita pergi sekarang dari sini!" Dan dia lalu menarik mereka bangkit.

"Akan tetapi, Liong-ko... pangeran telah memberi kereta itu kepada kami...," Kui Lan coba membantah karena merasa tidak enak kalau harus meninggalkan kereta pemberian itu begitu saja!

"Sudahlah, marilah kita pergi... ayahmu menanti-nanti kalian," kata pula Sin Liong lalu dia menarik dua orang adik tirinya itu cepat-cepat pergi meninggalkan tempat itu tanpa pamit lagi kepada Han Houw yang hanya memandang sambil tersenyum lebar.

Setelah ketiga orang itu lenyap di balik pohon-pohon, sang pangeran lalu masuk ke dalam kereta dan memerintahkan orang-orangnya agar membawanya pulang kembali ke istana. Seorang pengawal menunggangi kuda pangeran itu dan mengawal di belakang kereta yang dijalankan dengan cepat menuju ke utara.

********************

Sementara itu, sambil berjalan menuju ke dusun tempat tinggal keluarga Kui, Sin Liong bertanya apa yang telah terjadi dengan kedua orang dara kembar itu. Mereka itu secara bergilir lalu bercerita tentang pengalaman mereka. Betapa mereka berdua melarikan diri ketika ayahnya menerima pinangan pangeran dan hendak dijadikan selir pangeran itu.

"Kami melarikan diri ke selatan, tadinya hendak mencarimu, Liong-koko, akan tetapi tidak berhasil. Kami terlunta-lunta dan hampir saja celaka, tapi ditolong oleh Ciang-piauwsu di Su-couw."

Dan selanjutnya Kui Lin menceritakan mengenai keadaan mereka selama berbulan-bulan tinggal di Su-couw, sampai kemudian muncullah Kwan Siong Bu secara tidak disangka di Su-couw dan mengajak mereka pulang ke dusun Pek-jun.

"Tidak disangka, Kwan Siong Bu itu seorang manusia yang berhati keji," Kui Lin berkata dan diam-diam dia merasa menyesal sekali mengingat betapa dahulu dia merasa tertarik kepada kakak misan ini yang disangka mencintainya.

"Ternyata dia telah menjadi kaki tangan Pangeran Ceng Han Houw dan dia menyerahkan kita kepada pangeran itu!" Sekarang Kui Lan yang bercerita tentang pengalaman mereka sehingga mereka terjatuh ke tangan Pangeran Ceng Han Houw dan mengalami siksaan tidak diberi makan minum dan betapa mereka dibujuk-bujuk oleh sang pangeran supaya suka menjadi selir-selirnya.

Sin Liong mengepal tinjunya. "Hemm, memang sejak dahulu Siong Bu mempunyai watak yang kurang baik! Akan tetapi pangeran itu... sesudah apa yang dia lakukan terhadap kalian, mengapa tadi kulihat kalian bersikap demikian hormat dan bahkan berterima kasih kepadanya?" Ucapan terakhir ini terdengar penuh rasa penasaran.

Pangeran itu telah bersikap buruk, tidak saja terhadap dirinya, bahkan telah menyiksa dua orang adiknya ini, menawan mereka, membuat mereka kelaparan bahkan digoda secara hebat agar mereka itu menderita dan mau menyerahkan diri, akan tetapi dua orang dara ini malah menghormatinya dan berterima kasih!

"Ah, engkau tidak tahu, Liong-ko! Pangeran itu ternyata baik sekali dan semua perlakuan yang dia perbuat di istana terhadap kami itu hanyalah ujian belaka!" Kui Lin berseru.

"Hemm... ujian bagaimana maksudmu?"

"Begini, Liong-ko," Kui Lan berkata. "Baru kemarin pangeran itu membebaskan kami dari belenggu, bahkan dia membawa obat untuk mengobati luka-luka kecil di kaki dan tangan kami akibat belenggu itu, juga membawakan makanan dan minuman, lalu dia minta maaf kepada kami, menyatakan bahwa semua itu hanya merupakan ujian belaka darinya untuk mengetahui watak dan sifat kami. Katanya, sebagai adik-adikmu kami berdua seharusnya merupakan dua orang wanita yang gagah dan tidak mudah menyerah terhadap bujukan mau pun siksaan, maka dia sengaja menguji kami dan kami lulus! Dia menyatakan rasa kekagumannya dan memberi kami pakaian, lalu mengantar kami dengan kereta..."

"Sudahlah, kalian tidak tahu betapa jahat sesungguhnya dia itu! Yang penting, kalian telah terbebas, maka kita harus cepat pulang, ayah kalian amat membutuhkan kalian berdua..."

"Ayah? Ahh, dia hendak menjerumuskan kami!" kata Kui Lan.

"Apa yang terjadi dengan ayah?" tanya Kui Lin.

"Terjadi banyak sekali hal dalam keluarga kalian semenjak kalian berdua ditangkap oleh pangeran. Banyak sekali hal! Pertama-tama, harap kalian tidak kaget, menurut apa yang kudengar dari ayahmu, Siong Bu dan Beng Sin adalah saudara-saudara tiri kalian, seayah berlainan ibu."

"Ahhh!"

"Ihh...?"

"Dan sekarang Siong Bu telah tewas, terbunuh oleh Beng Sin sendiri."

Dua orang dara itu melongo, mata mereka terbelalak memandang Sin Liong.

"Dan... dan... ayah kalian sakit berat... aku tak dapat menceritakan, lebih baik kalian lihat sendiri."

Betapa pun juga, tentu saja dua orang dara kembar itu menjadi terkejut bukan kepalang ketika mendengar bahwa ayah mereka sakit berat. Memang perbuatan ayah mereka amat menyakitkan hati mereka, akan tetapi betapa pun juga rasa kasihan dan sayang di dalam hati mereka terhadap ayah kandung masih ada, maka kini mereka segera mempercepat jalan mereka, setengah berlari-lari menuju ke dusun Pek-jun.

Jika di waktu malamnya rumah kosong itu nampak menyeramkan sekali, kini pada waktu siang tempat itu nampak amat menyedihkan. Melihat keadaan rumah mereka, begitu tiba di halaman Lan Lan dan Lin Lin tertegun, lalu mereka berlari-lari memasuki rumah kosong itu. Mereka semakin terkejut dan merasa khawatir sekali ketika melihat bahwa keadaan di dalam rumah itu pun sama saja, kosong tanpa ada secuwil pun perabot rumah yang dulu amat mewah dan lengkap!

"Apa yang telah terjadi?" teriak Kui Lan.

"Di mana ayah?" Kui Lin berseru.

Tiba-tiba mereka terkejut mendengar suara tangis orang. Cepat mereka berlari ke kamar ayah mereka, mendorong pintu dan seketika keduanya berdiri dengan muka pucat sekali, memandang kepada ayah mereka yang berpakaian seperti jembel dan sedang menangis tersedu-sedu di atas lantai kamar yang kosong itu.

"Ayaaahhh...!" Jerit ini keluar berbareng dari dua mulut dara kembar itu dan mereka lalu menubruk ayah mereka.

Kui Hok Boan mengangkat muka dan sesudah melihat kedua orang anaknya, tangisnya makin menghebat. Dia merangkul dua orang anaknya itu sambil menangis. "Ya Tuhan... Lan Lan dan Lin Lin... kalian… hidup kembali...? Ahh... ampun... ampunkan ayahmu ini... ampunkan ayahmu ini...!" Dan orang tua itu kemudian terkulai lemas dan roboh pingsan, pertama karena selama beberapa lama ini tubuhnya memang tak terawat, dan keduanya karena batinnya terguncang melihat dua orang puterinya.

Sin Liong lalu membantu Hok Boan dengan pengerahan sinkang sehingga orang tua itu siuman kembali. Agaknya pertemuan dengan kedua orang puterinya membuat dia waras kembali, maka menangislah orang tua ini.

Lan Lan dan Lin Lin kemudian mencari keterangan dari para tetangga, maka berceritalah para tetangga bahwa sesudah menguburkan jenazah Siong Bu, Kui Hok Boan menjadi berubah ingatannya. Dia membagi-bagikan seluruh barangnya kepada para tetangga dan siapa saja yang mau sampai rumah itu kosong sama sekali. Kini, para tetangga yang baik hati mengembalikan barang-barang yang pernah diterimanya dari Kui Hok Boan.

Akan tetapi, atas usul Sin Liong, kedua orang dara itu hanya menerima kembali barang-barang berharga dan uang, dan meninggalkan atau memberikan semua perabot-perabot rumah kepada para tetangga, kemudian pemuda itu mengajak mereka berunding.

"Sebaiknya, kalian jangan tetap tinggal di tempat ini," katanya. "Karena aku masih belum yakin benar bahwa Ceng Han Houw akan memegang janji dan tidak akan mengganggu kalian. Sebaiknya kalian membawa ayah kalian pergi mengungsi dari tempat ini."

"Ke mana kami harus pergi...?" Kui Lan bertanya khawatir.

"Menurut penuturan kalian tadi, Ciang-piauwsu di Su-couw itu adalah orang yang sangat baik," kata Sin Liong. "Bagaimana kalau kalian membawa ayah ke sana? Dengan uang dan benda-benda berharga yang kalian bawa, ayah kalian mempunyai modal yang cukup besar untuk memulai dengan kehidupan baru di sana."

Setelah dibujuk oleh Sin Liong, akhirnya dua orang adik kembar itu setuju dan mereka lalu membawa ayah mereka yang kini keadaannya seperti seorang manusia tanpa semangat itu untuk melarikan diri ke selatan. Sin Liong merasa tidak tega terhadap dua orang adik tirinya itu, maka dia pun lalu mengawal sampai mereka tiba di Su-couw.

Dan tepat seperti dugaan Sin Liong, Ciang-piauwsu menerima dua orang dara kembar itu dengan riang gembira. Dia beserta isterinya memang sudah menganggap Lan Lan dan Lin Lin sebagai anak mereka sendiri, maka tentu saja mereka menerima dua orang dara kembar itu dengan gembira, bahkan keluarga Ciang-piauwsu ini juga menerima Kui Hok Boan sebagai saudara angkat.

Sesudah melihat betapa dua orang adik tirinya memperoleh tempat yang aman, Sin Liong lalu berpamit dan mulailah dia pergi mencari Bi Cu. Ke manakah Sin Liong harus mencari Bi Cu? Apa yang terjadi dengan dara itu semenjak dia berpisah dari Sin Liong?

Seperti yang sudah kita ketahui, Bi Cu tadinya tertawan oleh Pangeran Ceng Han Houw dan hanya sesudah Sin Liong memberikan janjinya untuk membawa pangeran itu kepada suheng-nya sehingga pangeran itu akhirnya diterima menjadi murid Bu Beng Hud-couw, maka Bi Cu dibebaskan oleh sang pangeran. Tentu saja secara diam-diam pangeran ini meninggalkan pesan kepada orang-orangnya agar terus mengamat-amati dara itu karena betapa pun juga, Bi Cu adalah murid mendiang Hwa-i Kaipang, dan karenanya dianggap sebagai musuh pemerintah pula.

Semenjak berpisah dari Sin Liong, Bi Cu merasa betapa hidupnya menjadi berbeda sama sekali. Bila tadinya sebagai Kim-gan Yan-cu, pemimpin para pengemis muda, biasa hidup lincah dan gembira, kini dia merasa betapa hidupnya sunyi dan tidak ada kegembiraan lagi.

Dia tidak berani kembali ke kota raja setelah dia dianggap sebagai pemberontak pula. Kini dia terlunta-lunta, mencoba untuk mencari-cari Sin Liong, berkelana dengan hati duka ke barat dan ke selatan. Semenjak berpisah dari Sin Liong, terasa lagi kesengsaran yang menindih hatinya semenjak dia masih kecil, bahkan kini semakin parah kedukaan melukai hatinya.

Semenjak kecil, Bi Cu amat merindukan kasih sayang orang tuanya. Sejak kecil dia telah kematian ibu kandungnya, kemudian oleh ayah kandungnya dia diberikan kepada orang lain! Setelah dia agak besar mulai mengerti, hal ini lalu mencabik-cabik perasaan hatinya, kedukaan yang pertama kali terasa olehnya. Dia merasa dikesampingkan, bahkan merasa dibuang, merasa sangat diremehkan oleh orang yang menjadi ayah kandungnya sendiri, satu-satunya orang tuanya setelah ibu kandungnya meninggal!

Ayah kandungnya, satu-satunya orang di dunia ini yang menjadi darah dagingnya, sudah menyingkirkannya karena hendak menikah dengan wanita lain setelah ibunya meninggal! Hatinya terasa amat perih, bukan karena ayahnya menikah dengan wanita lain, melainkan karena dia merasa telah dibuang oleh ayahnya!

Kadang-kadang, dia merasa penasaran, dia merasa kesepian dan marah, sehingga ada kalanya timbul perasaan benci terhadap ayah kandungnya. Di dalam keadaan seperti itu, kadang-kadang dia merasa betapa dunia ini merupakan tempat yang gelap pekat, sempit dan tidak menyenangkan.

Kehidupannya mulai terhibur karena kebaikan Na-piauwsu, akan tetapi kemudian piauwsu ini tewas oleh musuh-musuhnya di depan matanya. Dia merasa seolah-olah dunia kiamat. Satu-satunya pengganti orang tuanya, Na-piauwsu yang demikian baik kepadanya, sudah tewas dalam keadaan menyedihkan, ada pun putera piauwsu itu, Na Tiong Pek, agaknya hendak memaksa hasrat hatinya, hendak memperisterinya di luar kehendak hatinya.

Dalam keadaan seperti itu dia terlunta-lunta hingga akhirnya dia memperoleh penerangan jiwa lagi ketika dia menjadi murid Hwa-i Sin-kai, ketua Hwa-i Kaipang yang juga amat baik kepadanya dan kemudian dia masih dapat hidup gembira ketika gurunya ini meninggal dunia dan dia memimpin para pengemis muda. Akan tetapi, sedikit cahaya terang ini pun padam dan dia menjadi buronan pemerintah!

Namun, hidupnya mengalami perubahan besar, kegembiraan mulai memenuhi batinnya setelah dia bertemu dengan Sin Liong, dan ternyata kebahagiaan bersama Sin Liong ini pun direnggut orang dari tangannya! Dia kini terpisah dari pemuda itu, dan kembali dia hidup terlunta-lunta, seorang diri saja di dunia ini, kesepian, dan kekeringan! Mau rasanya dia mati saja dari pada hidup dalam penderitaan batin tiada hentinya itu.

Dia haus akan cinta kasih, dan sikap Sin Liong membayangkan cinta kasih yang dapat memenuhi hatinya, sebagai pengganti cinta kasih ayah bundanya. Namun, kini dia tidak tahu apakah Sin Liong masih hidup dan dapat menyelamatkan diri dari tangan pangeran yang amat dibencinya itu.

Bi Cu menjatuhkan dirinya duduk di bawah pohon besar dan tanpa tertahankan lagi dia menangis. Air matanya bercucuran tak dapat ditahannya, namun dia pun tidak berusaha menahannya. Dia merasa amat lelah, lelah lahir batin.

Kakinya lelah karena sehari penuh dia berjalan kaki, seluruh tubuh lelah karena sehari itu tidak pernah ada makanan memasuki perutnya dan dia pun tidak ada nafsu makan sama sekali. Batinnya juga lelah, karena digerogoti kesepian dan kerinduan akan kasih sayang. Pada saat itu dia merasa betapa sia-sia hidupnya, betapa kosong tak ada artinya sama sekali.

Bi Cu menangis mengguguk. Air matanya bercucuran, ujung hidungnya menjadi merah dan dia tersedu-sedu. Iba diri semakin menggerogoti hatinya, iba diri yang datang dari pikiran membayangkan kesengsaraan yang dideritanya, menciptakan tangan maut yang mencengkeram hatinya dan meremas-remas hatinya sehingga berdarah!

Bukan hanya Bi Cu yang mendambakan cinta kasih, merindukan supaya kasih sayang dilimpahkan kepadanya. Kita semua rindu akan kasih sayang. Kita semua menghendaki agar semua orang di dunia ini suka dan cinta kepada kita! Kita haus akan cinta kasih!

Dari manakah datangnya kehausan ini? Mengapa kita dahaga akan cinta kasih orang lain terhadap diri kita.

Kita tidak pernah mau sadar melihat kenyataan bahwa yang terpenting dari pada segala keinginan dicinta orang itu adalah pertanyaan: apakah KITA suka atau mencinta kepada SEMUA orang? Sesungguhnya di sinilah letak sumber dari pada segalanya.

Tanpa adanya cinta kasih di dalam batin kita sendiri terhadap semua orang dan segala sesuatu, kita akan selalu haus akan cinta kasih lain orang! Akan tetapi apa bila hati ini penuh cinta kasih, maka kita tidak akan kehausan lagi. Karena batin tidak ada cinta kasih inilah maka kita selalu dahaga akan cinta kasih terhadap diri kita, laksana sumur kering merindukan air. Apa bila sumur itu penuh air, dia tidak akan lagi rindu akan air, bahkan airnya yang berlimpah-limpah itu menghilangkan dahaga SIAPA SAJA!

Sungguh sayang, kita tidak pernah mengamati apakah ada cinta kasih di dalam diri kita terhadap sesama manusia atau sesama hidup. Sebaliknya malah, kita selalu mengamati apakah ada cinta kasih dari orang lain untuk kita! Kalau ada maka kita merasa senang dan kalau tidak, kita merasa sebaliknya.

Kita baru dapat bicara tentang cinta kasih kalau batin ini sudah kosong dan bersih dari pada kebencian, iri hati dan pementingan diri sendiri. Selama semua ini ada di dalam batin, jangan harap akan ada sinar cinta kasih dalam diri kita. Dan bila semua itu sudah bersih, lalu ada cinta kasih di dalam hati, jelaslah bahwa kita tidak MENGHARAPKAN lagi cinta kasih orang lain terhadap kita, bahkan kita TAK MENGHARAPKAN APA-APA LAGI!

Hati yang penuh cinta kasih tidak mengharapkan apa-apa lagi, bagai cawan yang penuh anggur tidak menghendaki apa-apa lagi. Tidak ada lagi rasa khawatir, tidak ada lagi rasa takut tidak akan dicinta orang, tidak ada lagi rasa takut akan dibenci orang. Yang takut tidak dicinta, yang takut dibenci, adalah si aku, yaitu pikiran yang mengaung-ngaungkan si aku, yang memupuk iba diri. Akan tetapi, kalau hati penuh dengan cinta kasih, tidak ada lagi si aku yang ingin ini dan itu.


Bi Cu masih menangis sesenggukan. Tangisnya mulai mereda, hanya tinggal isak-isak pelepas ganjalan hati. Suka mau pun duka selalu ada batasnya. Permainan pikiran selalu terbatas. Penghamburan tenaga sakti berupa senang dan susah mendatangkan kelelahan dan biasanya orang akan merasa lelah dan lemah sesudah penumpahan rasa duka mau pun suka ini.

Demikian pula dengan Bi Cu. Sesudah air matanya dikuras, seolah-olah hendak mencuci bersih hal-hal yang mengganjal hatinya, dia merasa lelah dan dia rebah di atas rumput, berbantal sepasang lengannya, merenung dan melamun menatap langit. Dengan pesona yang aneh matanya mengamati dan mengikuti gerakan awan-awan putih berarak di langit biru, seperti sekumpulan domba-domba yang bulunya tebal dan lunak.

Pada waktu ada segumpal awan memanjang dan khayalnya membentuk gumpalan awan itu sebagai seorang anak laki-laki penggembala domba-domba itu, teringatlah dia kembali kepada Sin Liong dan dia mengeluh lirih. Dia tidak tahu betapa dalam waktu beberapa menit tadi dia mengamati awan berarak, pikirannya kosong sama sekali, maka semua duka lenyap tanpa bekas dan pada waktu itulah dia berada dalam keadaan kosong dan bersih! Namun, begitu pikirannya teringat kembali, bekerja kembali, dia pun dilontarkan kembali ke dunia penuh pertentangan antara suka dan duka ini.

Bentuk itu mengingatkan dia kepada Sin Liong dan dia termenung. Semenjak dia bertemu kembali dengan Sin Liong, dia merasakan sesuatu yang hanya dapat dirasakan olehnya sendiri saja. Dia tidak tahu apakah adanya perasaan itu. Cinta kasihkah? Atau apa? Yang jelas, dia selalu terbayang-bayang kepada Sin Liong, wajahnya, gerak-geriknya, bahkan pakaiannya, dan suaranya seperti selalu bergema di dalam telinganya. Dan semua ini menimbulkan kerinduan yang amat sangat, kerinduan terhadap Sin Liong.

Dia tahu bahwa Sin Liong telah mengorbankan diri untuknya, dia tahu bahwa pemuda itu telah menolongnya bebas dari tangan pangeran yang dibencinya itu. Akan tetapi dia tidak tahu apakah adanya urusan antara Sin Liong dan pangeran itu.

Teringat akan pengorbanan pemuda itu, dia menjadi semakin rindu padanya. Terbayang betapa gembiranya pada waktu dia melakukan perjalanan di samping Sin Liong, bahkan teringat betapa mesranya ketika mereka bersama-sama menghadapi maut, ketika mereka hanyut dalam arus air dan menghadapi maut di ujung anak-anak panah yang dilepas oleh para prajurit.

Bayangan Sin Liong ini mendatangkan keharuan, kerinduan, tetapi juga membangkitkan semangatnya kembali. Aku harus mencarinya, aku harus bisa menemukannya, demikian pikiran yang mendatangkan semangat itu. Aku tidak boleh mati sebelum bertemu kembali dengan Sin Liong!

Dara itu pun bangkit berdiri dan memandang ke depan. Di atas lereng bukit yang berdiri di depan nampak genteng-genteng rumah dusun. Dia harus mencapai dusun itu sebelum gelap menyelubungi bumi. Perutnya sangat lapar dan di mana ada genteng rumah, tentu ada manusia dan di mana ada orang tentu ada makanan. Dia pun lalu berlari ke depan, menuju ke dusun di lereng bukit itu.

Sampai berbulan lamanya Bi Cu berkelana ke barat, berputar-putar kemudian ke selatan. Di setiap tempat yang dilaluinya, dia selalu mencari keterangan tentang Sin Liong, akan tetapi agaknya orang di dunia ini tidak ada yang mengenal nama Sin Liong dan dia tidak pernah menemukan jejaknya.

Bi Cu sama sekali tidak tahu betapa ketika dia memasuki dusun itu dan langsung menuju ke sebuah kedai makanan, ada beberapa pasang mata memandangnya dengan penuh perhatian. Beberapa pasang mata ini makin lama makin bertambah banyak dan belasan orang itu terus mengintainya dari jauh. Bahkan mereka selalu membayanginya ketika dia sehabis makan mondok di rumah sekeluarga petani yang ramah.

Malam itu Bi Cu tidur dengan nyenyaknya. Setelah perutnya diisi, dia merasa tenaganya pulih kembali dan dia mengambil keputusan untuk besok pagi-pagi mulai kembali dengan pencariannya. Dia akan mencari Sin Liong sampai jumpa, biar ke ujung dunia sekali pun!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bi Cu sudah sarapan di warung makanan dan karena dia hendak pergi melintasi bukit-bukit di depan, maka dia memesan roti kering untuk bekal di jalan, kalau-kalau hari itu dia tidak akan bertemu dengan dusun. Kemudian Bi Cu berangkat meninggalkan dusun itu, sama sekali tidak tahu betapa tak lama setelah dia pergi, ada lima belas orang prajurit menunggang kuda membalapkan kuda keluar dari dusun itu dan melakukan pengejaran kepadanya.

Bi Cu masih belum sadar akan datangnya bahaya ketika dia mendengar derap kaki kuda dari sebelah belakangnya. Dia hanya menduga ada serombongan orang berkuda hendak lewat, maka dia cepat minggir ke tepi jalan lalu menundukkan mukanya supaya jangan terlihat oleh rombongan itu.

Dia sudah sering kali mengalami hal-hal yang tidak enak jika memperlihatkan muka dan berjumpa dengan kaum lelaki di tempat sunyi. Hanya karena mengandalkan kepandaian silatnya maka selama ini dia dapat menghindarkan segala bencana yang mungkin datang dari pria-pria hidung belang atau mata keranjang.

Akan tetapi ketika rombongan berkuda itu lewat, dia amat terkejut melihat bahwa mereka itu berpakaian seragam, dan baru dia tahu akan bahaya pada saat mereka berturut-turut berloncatan turun dari atas kuda dan telah mengepungnya dengan wajah bengis! Tahulah dia bahwa para prajurit ini telah mengenalnya dan tentu hendak menangkapnya!

Seorang di antara mereka yang mengenakan pakaian komandan, sambil tersenyum lebar melangkah maju. Pria ini usianya lebih dari tiga puluh tahun, kumisnya tebal dan matanya lebar. Sambil tersenyum mengejek komandan itu berkata. "Kim-gan Yan-cu, susah payah kami mencari-carimu, kiranya engkau berada di sini. Ha-ha, engkau hendak lari ke mana sekarang?"

Disebut nama julukannya, timbullah semangat dalam diri Bi Cu. Ketika dia masih menjadi pemimpin para pengemis, hidupnya penuh petualangan dan dia tak pernah merasa takut terhadap apa pun juga. Berkelahi merupakan ‘pekerjaan’ sehari-hari, maka kini begitu dia disebut Kim-gan Yan-cu, semangatnya segera terbangun dan biar pun dia dikepung oleh lima belas orang prajurit, dia bersikap tenang saja dan memanggul buntalan terisi pakaian dan bekal roti kering.

"Hemm, kalian adalah prajurit-prajurit kerajaan, apakah tidak malu mengganggu seorang wanita di tengah jalan sunyi dalam hutan? Kalian mau apakah?"

"Ha-ha-ha-ha, tidak perlu kau berpura-pura lagi, Kim-gan Yan-cu. Engkau adalah seorang pemberontak, dan kami adalah prajurit-prajurit kerajaan maka kalau kami bertemu dengan seorang pemberontak, lantas mau apa? Tentu saja hendak menangkap dan meringkusmu untuk kami bawa ke kota raja dan dijebloskan ke dalam penjara!" kata komandan itu.

"Biarkan aku menangkapnya!"

"Aku saja!"

"Aku saja!"

Di antara empat belas orang prajurit itu beramai-ramai hendak berebut. Mereka tentu saja tak berani bertindak lebih sebelum memperoleh ijin dari komandan mereka. Pula mereka tahu bahwa dara ini pernah berurusan langsung dengan Pangeran Ceng Han Houw, maka tentu saja mereka tidak berani mencoba untuk melakukan hal yang berlebihan. Tapi, jika diperbolehkan menangkap, setidaknya mereka mendapatkan kesempatan untuk sekedar merangkul, meraba dan mencolek tubuh dara remaja yang sedang mekarnya ini!

Melihat kegairahan anak buahnya, komandan itu tersenyum lebar. "Kalian semua boleh maju dan coba tangkap dia, akan tetapi jangan sampai dia terluka. Ingat, dia itu seorang buronan yang amat penting dan beliau sudah memesan khusus kepadaku agar berusaha menangkapnya tanpa mengganggunya!"

Empat belas orang prajurit itu bersorak dan tiba-tiba mereka itu saling bergerak berlomba untuk lebih dulu meraba tubuh Bi Cu yang memang mulai dewasa seperti buah meranum atau bunga sedang terbuka kuncupnya. Seorang prajurit bertubuh tinggi kurus menubruk dari depan. Akan tetapi Bi Cu sudah menggerakkan kakinya.

"Dukkk!”

“Waaahhh…!" Orang itu terjengkang karena perutnya kena ditendang ujung sepatu Bi Cu. Orang ke dua dari kiri juga disambar tendangan, tepat mengenai lututnya sehingga orang itu jatuh berlutut.

"Wah, A-piauw, begitu hebatkah engkau tergila-gila padanya sampai berlutut?" komandan itu mengejek anak buahnya ini.

Maka terjadilah perkelahian yang ribut bukan main dan Bi Cu mengamuk dengan pukulan-pukulan, tamparan dan tendangan-tendangan. Akan tetapi para pengeroyoknya terdiri dari orang-orang yang bertubuh kuat dan karena jumlahnya banyak, dia kewalahan juga.

Tiba-tiba, saat dia menghadapi lawan yang mendesak dari depan, seorang prajurit berhasil menubruk dan menyikapnya dari belakang dan kedua tangan dengan jari-jari yang panjang itu mencengkeram ke arah dadanya! Bi Cu menjerit lirih.

"Heh-heh, lihat, aku berhasil menangkapnya!" seru prajurit itu sambil tertawa-tawa.

"Ngekkk!" Tiba-tiba dia meringis, kemudian kedua tangannya yang nakal itu terlepas dari pegangannya karena hidungnya pecah dan berdarah ketika dihantam oleh siku kanan Bi Cu.

"Desss...!”

“Auuuughh...!" Sekarang dia terhuyung lalu roboh terjengkang, kedua tangan memegangi bawah pusarnya karena tadi dengan kemarahan meluap-luap Bi Cu sudah menyepakkan kakinya ke belakang, seperti seekor kuda betina yang diganggu dari belakang.

Tumit sepatu dengan tepat mengenai anggota tubuh di bawah pusar sehingga laki-laki itu langsung mengaduh-aduh bagaikan seekor babi disembelih. Hanya mereka yang pernah merasakannya sajalah yang mampu menggambarkan betapa nyeri, kiut-miut rasanya jika bagian itu kena tendang!

Bi Cu sudah marah sekali. Sekarang dia bukan sekedar membela diri, melainkan balas menyerang untuk membunuh! Dia seperti seekor harimau betina yang sudah tersudut dan menjadi buas dan liar! Kedua tangannya menampar dengan pengerahan seluruh tenaga, dan ketika ada seorang prajurit menjerit kesakitan dan sebuah biji matanya copot kena ditusuk jari tangan Bi Cu, kaget dan marahlah komandan pasukan kecil itu.

"Robohkan dia!" bentaknya.

Kini para prajurit yang juga marah setelah melihat betapa seorang teman mereka cedera demikian parah, lalu mendesak maju dan mulai menyerang dengan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan, tak seperti tadi yang hanya sekedar ingin menangkap dan meraba saja!

Dan mulailah Bi Cu merasa kewalahan! Beberapa pukulan dan tendangan telah mengenai tubuhnya, membuat dia terhuyung-huyung. Namun dia sama sekali tidak mau menyerah, bahkan mengamuk seperti seekor harimau memukul, mencakar, kalau perlu menggigit!

"Hantam perempuan liar ini! Baru kita ringkus!" bentak lagi komandan yang juga pernah kebagian tendangan kaki Bi Cu yang mengenai betisnya hingga menimbulkan kenyerian yang cukup membuat dia menjadi semakin marah.

Para prajurit itu yang seperti sekumpulan srigala mengeroyok seekor harimau betina, kini menubruk dari empat jurusan, menampar, menjambak sehingga akhirnya robohlah Bi Cu karena kakinya kena ditangkap dan ditarik. Begitu dia roboh, para prajurit itu bersorak dan mereka berlomba untuk menubruk dan meringkus Bi Cu.

"Siancai...! Anjing-anjing pemerintah lalim kembali menghina rakyat…!" Suara ini tiba-tiba saja terdengar, disusul teriakan dua orang prajurit yang terpelanting ke kanan kiri dengan kepala pecah karena ada tongkat butut yang menyambar dan menghantam kepala dua orang itu secara cepat sekali.

Tongkat itu berada di tangan seorang kakek renta yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih, berpakaian jubah pendeta berwarna putih kumal dan rambutnya yang sudah putih semua itu digelung ke atas, seperti seorang tosu yang baru saja keluar dari tempat pertapaannya.

Melihat robohnya dua orang teman mereka yang tewas dengan kepala pecah itu, semua prajurit terkejut bukan main dan mereka segera mengurung pertapa itu, meninggalkan Bi Cu yang masih rebah. Bi Cu bangkit duduk, mengelus-elus kaki kirinya yang terasa nyeri sekali terkena tendangan keras dari si komandan, lantas dengan heran dia memandang kepada kakek yang tak dikenalnya itu.

"Pertapa jahat!" komandan itu membentak dan menundingkan telunjuknya ke arah muka kakek itu. "Berani engkau membunuh dua orang prajurit kerajaan?"

"Huh, siapa yang tidak berani? Kalau bisa aku akan membunuh seluruh prajurit kerajaan yang lalim dan menindas rakyat!" jawab pendeta itu.

"Kakek pemberontak!" Komandan itu berteriak lalu dia memberi aba-aba. "Tangkap atau bunuh dia!"

Komandan itu sendiri kini mencabut pedangnya, dan semua anak buahnya juga mencabut golok masing-masing. Ketika mereka mengeroyok Bi Cu tadi, tidak seorang pun di antara mereka yang menggunakan senjata, karena memang mereka hendak menangkap Bi Cu hidup-hidup, pula mereka agak memandang ringan terhadap dara muda remaja itu. Akan tetapi sekarang, melihat betapa kakek itu sudah membunuh dua orang kawan mereka, tentu saja mereka menjadi marah dan sinar kejam dalam mata semua prajurit itu.

"Ha-ha-ha, marilah kuantar nyawa kalian ke neraka!" Kakek itu tertawa dan si komandan sudah menerjang dengan pedangnya, diikuti oleh anak buahnya.

Tiba-tiba terdengar suara angin bercuitan dan tongkat itu lenyap berubah menjadi cahaya bergulung-gulung yang menyambar semua prajurit yang sudah menyerang. Terdengarlah teriakan-teriakan mengerikan dan disusul robohnya para prajurit itu seorang demi seorang! Golok-golok beterbangan dan akhirnya, dalam waktu yang sangat singkat, seluruh prajurit termasuk komandannya telah roboh dan tewas sebab semua roboh dengan kepala pecah!

Melihat ini, diam-diam Bi Cu terkejut dan juga merasa ngeri sekali. Dia hanya duduk dan terbelalak memandang kepada kakek yang kini sedang berdiri tegak dengan tongkat butut di tangan kanan, tangan kiri bertolak pinggang dan kakek itu tertawa menyeramkan.

Betapa pun, karena mengingat bahwa kakek yang amat kejam dan menyeramkan ini telah menyelamatkanya, Bi Cu lalu bangkit dan dengan terpincang-pincang menghampiri kakek itu sambil berkata, "Terima kasih atas pertolongan locianpwe."

Kakek itu sudah berhenti tertawa, lalu membersihkan ujung tongkatnya yang berlumuran darah itu pada baju yang menutupi tubuh salah seorang di antara para korbannya yang terdekat. Kemudian dia menunduk dan memandang kepada dara remaja itu, berkata lirih,

"Anak yang baik, kau angkatlah mukamu dan pandang aku."

Biar pun merasa seram, Bi Cu mengangkat muka memandang. Kakek itu sudah tua, akan tetapi mulutnya yang selalu tersenyum itu membayangkan ketampanan, terutama sekali sepasang matanya mencorong menakutkan.

Bi Cu terkejut dan ingin mengalihkan pandang matanya, akan tetapi dia tidak sanggup! Sinar matanya seperti melekat atau tertangkap oleh sinar mata kakek itu, membuat dia tidak mampu menggerakkan mata untuk mengalihkan pandangan!

Kakek itu mengangguk-angguk, kelihatan puas. "Bagus, engkau seorang perawan remaja yang cantik manis, berdarah bersih serta bertulang baik. Engkau patut menjadi muridku. Siapakah namamu?"

Dengan suara gemetar yang seakan-akan keluar di luar kehendaknya, Bi Cu menjawab, "Nama saya adalah Bhe Bi Cu..."

"Bagus! Nah Bi Cu, mulai sekarang engkau kuambil sebagai muridku."

Di dalam batinnya Bi Cu menolak, akan tetapi anehnya, dia tak kuasa untuk menolaknya! Dia sudah ditolong, diselamatkan nyawanya, bagaimana mungkin dia menolak kehendak kakek sakti ini yang hendak mengangkatnya sebagai murid? Selain dia tidak mempunyai kekuatan untuk menolak, juga dia tidak akan berani! Dan yang lebih aneh lagi, bagaikan digerakkan oleh tenaga yang tidak nampak, dia lalu memberi hormat dan berkata,

"Suhu...!" Bi Cu merasa heran sendiri mengapa dia melakukan hal ini.

"Ha-ha-ha-ha, bagus sekali, Bi Cu. Engkau akan hidup senang menjadi murid Kim Hwa Cinjin! Hayo, kau ikutlah bersamaku."

Kakek itu tertawa girang dan Bi Cu lalu bangkit berdiri dengan taat. Dia sudah terlanjur mengangkat kakek ini sebagai guru, kakek yang namanya Kim Hwa Cinjin! Tentu saja dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa kakek ini adalah seorang tokoh besar, ketua dari perkumpulan Pek-lian-kauw di selatan!

Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang menentang pemerintah, oleh karena itu tidaklah mengherankan bila Kim Hwa Cinjin membunuh semua prajurit kerajaan itu, semata-mata bukan untuk menyelamatkan Bi Cu. Dan Bi Cu juga sama sekali tidak tahu bahwa Kim Hwa Cinjin dahulu di waktu mudanya adalah seorang penjahat cabul yang sangat ditakuti semua wanita.

Lebih lagi dia tidak pernah mimpi bahwa biar pun pada lahirnya dia diambil murid, namun istilah mengambil murid dari ketua Pek-lian-kauw ini mengandung maksud lain yang lebih buruk lagi, bahkan maksud yang sangat keji terhadap diri Bi Cu. Tanpa disadarinya, dara remaja ini sudah terjatuh ke dalam tangan ketua Pek-lian-kauw yang telah menggunakan kekuatan sihirnya, membuat dara itu tunduk dan kehilangan kekuatan dan kemauan untuk menolak ketika diambil sebagai murid.

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.