Pendekar Lembah Naga Jilid 41
SEPERTI telah kita kenal di bagian depan cerita ini, juga dalam cerita Dewi Maut, dahulunya Kim Hwa Cinjin adalah seorang jai-hwa-cat. Dan kini, setelah usianya menjadi amat lanjut, kecabulannya berubah dan kini dia mencari kenikmatan dengan cara menonton kecabulan berlangsung, bukan melakukannya sendiri.
Tokoh ini sudah biasa menghadiahkan wanita-wanita cantik kepada para muridnya yang dianggap berjasa, lalu diam-diam dia mengintai bagaimana para muridnya itu menikmati hadiah yang diberikannya kepada mereka itu. Kini setelah melihat Bi Cu sebagai seorang dara remaja yang cantik manis dan bertulang baik, dia tertarik sekali.
Kalau dara seperti ini menjadi muridnya dan dihadiahkan kepada para murid terbaik, kelak kalau sampai dara ini melahirkan keturunan, maka keturunan itu tentu dapat diharapkan menjadi anggota Pek-lian-kauw yang sangat hebat! Inilah yang terutama mendorongnya untuk menolong Bi Cu dan mengambilnya sebagai murid.
Baik itu dinamakan kecabulan, kemaksiatan, yang menjurus pada perbuatan kejahatan, mau pun yang dinamakan pengejaran cita-cita, ambisi yang menjurus kepada persaingan dan perebutan kedudukan sampai kepada perang, atau kepada pengejaran terhadap apa yang dianggap murni dan agung, seperti daya upaya untuk menjadi orang baik, orang suci, atau tempat yang damai di alam baka, semua itu mempunyai dasar dan sifat yang sama, yaitu pamrih untuk menyenangkan diri sendiri!
Mengejar dan memperebutkan uang, kedudukan, wanita, nama besar, kehormatan dan sebagainya itu memang dapat mendatangkan kesenangan! Begitu pula, orang mengejar kedamaian baik di alam fana mau pun baka karena mengganggap bahwa kedamaian itu menyenangkan. Boleh saja dipakai kata lain untuk kesenangan, misalnya kebahagiaan.
Karena menganggap bahwa semua yang dikejar itu akan mendatangkan kebahagiaan, maka terjadilah pengejaran-pengejaran itu. Jadi, semua tindakan itu selalu didasari oleh keinginan memperoleh sesuatu! Yaitu pamrih! Kita seakan lupa bahwa segala sesuatu yang didorong oleh pamrih sudah pasti akan mendatangkan konflik dan pertentangan.
Pamrih adalah pementingan diri pribadi, dan pementingan diri pribadi ini yang sering kali menimbulkan konflik, baik konflik dalam batin sendiri atau konflik dengan orang lain. Orang yang mengejar-ngejar uang akan menyamakan dirinya dengan uang itu dan uang dianggap lebih penting dari pada apa saja. Demikian halnya dengan pengejaran terhadap kedudukan, dan sebagainya. Jadi yang terpenting bukan si kedudukan, si kehormatan, si bangsa, si keluarga, si uang, melainkan si aku!
Maka terjadilah demikian: Yang dibela mati-matian adalah kedudukanku, kehormatanku, bangsaku, keluargaku, agamaku dan seterusnya yang berpusat pada si aku. Uang orang lain, kehormatan orang lain, bangsa orang lain, agama orang lain, sama sekali tak masuk hitungan! Tentu saja sikap ini memancing datangnya pertentangan. Ini sudah amat jelas, bukan?
Apakah kita dapat hidup tanpa pamrih ini, tanpa adanya si aku yang mendorong segala perbuatan kita menjadi tindakan pementingan si aku? Hanya kalau sudah begini, maka uang, kedudukan, kehormatan, keluarga, bangsa, agama dan lain-lain memiliki arti dan nilai yang sama sekali berbeda!
Orang semacam Kim Hwa Cinjin semenjak kecil telah menjadi budak dari nafsu-nafsunya sendiri, yaitu selalu mengejar kesenangan! Kesenangan itu dapat berbentuk seribu satu macam, tercipta dari keadaan lingkungan, tradisi, pendidikan, kebiasaan dan sebagainya.
Sampai berusia setua itu, Kim Hwa Cinjin masih saja diperhamba oleh akunya yang selalu mendambakan kesenangan. Sifat kesenangannya sama saja, hanya bentuknya berubah menurut perubahan usianya. Dari pengejaran-pengejaran kesenangan ini maka timbullah segala macam maksiat, kejahatan dan kekacauan di dunia ini!
Bi Cu yang berada di bawah pengaruh sihir itu seperti seekor domba dituntun ke tempat jagal. Dia menurut saja ketika diajak ke sarang Pek-lian-kauw yang pada waktu itu berada di puncak pegunungan di depan. Ada juga naluri sehat yang membuat dara ini meragu, dan ketika mereka mendaki sebuah bukit, dara itu berkata,
"Suhu...!"
"Eh, ada apakah, Bi Cu yang manis?" Kim Hwa Cinjin berhenti dan menoleh kepada dara itu yang berdiri dengan muka pucat dan pandang mata meragu.
"Teecu... teecu tidak ingin naik ke sana... teecu ingin... pergi mencari Sin Liong..."
"Sin Liong? Siapa itu?"
"Dia... dia seorang sahabatku yang amat baik..."
"Hemm, engkau adalah muridku, Bi Cu, maka engkau harus ikut denganku dan menurut semua perintahku."
"Tapi, suhu..."
"Agaknya engkau belum yakin akan kemampuan gurumu, ya? Nah, kau lihatlah ini!" Kim Hwa Cinjin menghampiri sebongkah batu yang besarnya seperti kerbau bunting. Dengan kakinya dia mengungkit batu itu dan melontarkannya ke atas, lalu dengan tongkatnya dia menerima batu itu, diputar-putar di atas ujung tongkat. Melihat permainan sulap ini, Bi Cu menjadi bengong dan kagum.
"Hiaaaattt...!"
Kim Hwa Cinjin melontarkan batu dengan ujung tongkat. Batu melambung tinggi dan turun menimpa kepala kakek itu. Bi Cu hampir menjerit, akan tetapi ketika batu itu tiba di atas kepala, Kim Hwa Cinjin menggerakkan tangan kirinya menampar.
"Blaaarrr...!" Batu besar itu pecah berkeping-keping.
"Dan kau lihat pukulan api dari tanganku ini!" katanya pula menghampiri sebatang pohon.
Dengan tangan kirinya dia menampar ke arah batang pohon. Terdengarlah suara keras seperti ledakan dan... pohon itu terbakar dan api menyala tinggi! Tentu saja Bi Cu makin terbelalak kagum. Dia tidak tahu bahwa yang dipertunjukkan itu bukanlah ilmu pukulan yang sesungguhnya, melainkan ilmu sihir! Demikian kagum rasa hati dara itu sehingga dia menjatuhkan diri berlutut dengan hati penuh takluk dan kagum.
"Nah, apakah engkau ingin mempelajari semua kesaktian itu, Bi Cu?"
"Tentu saja, suhu, teecu ingin sekali."
"Kalau begitu, mulai saat ini engkau harus mentaati segala perintahku."
"Baik suhu, teecu akan taat."
Girang bukan main hati Kim Hwa Cinjin dan dia langsung mengajak dara itu melanjutkan perjalanan menulu sarang Pek-lian-kauw. Sebulan lagi Pek-lian-kauw akan mengadakan pesta ulang tahunnya, dan di dalam pesta itulah dia akan menghadiahkan Bi Cu kepada beberapa orang muridnya yang berjasa.
Sambil terus melangkah, diikuti oleh muridnya yang baru, kakek ini tersenyum-senyum, mengelus jenggotnya dan memilih-milih, siapa di antara muridnya akan dihadiahi dara ini! Bi Cu tidak sadar akan bahaya yang mengancam dirinya, seperti seekor domba dituntun oleh harimau ke dalam sarangnya!
Sin Liong mendaki bukit yang nampak sunyi itu dengan hati-hati. Dia sudah menemukan jejak Bi Cu! Di dusun terakhir di kaki pegunungan ini, dia mendengar dari seorang petani bahwa hampir sebulan yang lalu ada seorang dara remaja yang wajahnya mirip dengan yang dia gambarkan datang ke dusun itu, bahkan bermalam di dalam rumah keluarga petani itu. Dari penuturan mereka, dia tidak ragu-ragu lagi bahwa tentu dara itu Bi Cu.
Yang meyakinkan dia adalah karena Bi Cu juga bertanya-tanya tentang dia, mencari-cari dia! Hatinya berdebar girang dan penuh harapan ketika dia mendaki bukit itu. Biar pun dia sudah ketinggalan hampir satu bulan, akan tetapi kini dia telah menemukan jejaknya dan tentu akan bisa memperoleh keterangan lebih lanjut di sana, atau di balik pegunungan itu.
Akan tetapi, timbul kekhawatiran di dalam hatinya pada waktu dia mendengar keterangan dari seorang pemburu yang dijumpainya di dalam hutan di lereng gunung, bahwa daerah pegunungan itu termasuk pula wilayah yang secara diam-diam dikuasai oleh perkumpulan Pek-lian-kauw yang membuka sarang di puncak pegunungan.
Mendengar disebutnya nama Pek-lian-kauw dia merasa amat khawatir. Bi Cu telah tiba di wilayah ini, daerah kekuasaan Pek-lian-kauw dan dia tahu betapa berbahayanya bagi dara itu apa bila melewati daerah ini. Maka timbullah kecurigaannya dan dia harus lebih dahulu menyelidiki sarang Pek-lian-kauw. Kalau di sana tidak terdapat Bi Cu, baru dia akan pergi meninggalkan tempat itu sebab ia sendiri tak ingin berurusan dengan fihak Pek-lian-kauw. Mudah-mudahan saja Bi Cu tidak bertemu dengan fihak mereka, pikirnya.
Setelah tiba di lereng gunung itu, nampaklah olehnya bangunan-bangunan Pek-lian-kauw yang merupakan perkampungan tersendiri, terletak di dekat puncak. Dan mulai terdengar olehnya suara musik yang membuatnya merasa heran bukan main. Pek-lian-kauw adalah perkumpulan agama, mengapa kini terdengar suara musik seakan-akan di sana diadakan pesta, di mana orang bergembira ria? Melihat betapa tempat pendakian itu sunyi saja, Sin Liong lalu mempercepat pendakiannya menuju ke perkampungan di dekat puncak itu.
Setelah melewati daerah yang berbatu-batu lalu dia sampai di padang rumput yang penuh dengan rumput tebal dan subur. Rumput itu sampai setinggi lututnya dan Sin Liong berlari terus karena dusun Pek-lian-kauw itu berada di ujung padang rumput itu.
Tiba-tiba kakinya tersangkut semacam tali halus yang tidak nampak karena tersembunyi di dalam rumput. Begitu kakinya tersangkut, terdengar suara berdesir dan bercuitan dari bawah. Sin Liong terkejut bukan main, maklum bahwa ada penyerangan gelap dari bawah maka seketika dia sudah meloncat ke atas lalu berjungkir balik di udara sampai tiga kali.
Benar saja, dari bawah menyambar empat batang tombak dari depan, belakang, kiri dan kanan. Agaknya ketika tali halus tadi tersangkut di kakinya, secara otomatis alat rahasia sudah menggerakkan empat batang tombak itu! Sin Liong lalu melompat turun kembali ke depan, kurang lebih empat meter dari tempat di mana kakinya tersangkut tali penggerak alat yang melucurkan tombak-tombak itu.
"Blussss...!"
Begitu kedua kakinya menginjak tanah di bawah rerumputan, tiba-tiba dia berseru keras karena ternyata kedua kakinya menginjak tempat kosong! Ternyata di bawah itu adalah lubang yang ditutupi rumput, sebuah lubang jebakan yang amat berbahaya! Karena tidak mengira sama sekali, tentu saja Sin Liong tidak dapat mencegah tubuhnya terjeblos. Dia cepat melihat ke bawah dan ternyata lubang sumur itu dipasangi tombak-tombak runcing yang siap menerima tubuhnya yang terjeblos ke bawah!
Kalau orang hanya memiliki kepandaian ginkang biasa saja, agaknya tidak akan mungkin dapat lolos dari ancaman maut ini. Tubuh Sin Liong sudah meluncur turun dan di bawah nampak ujung tombak-tombak runcing seperti deretan gigi mulut raksasa yang sudah siap mencaplok dan menggigitnya.
Sin Liong memiliki ketenangan yang luar biasa. Dia tidak mudah putus asa, maka dengan waspada dia memandang ke bawah, mengerahkan ginkang-nya dan ketika dekat dengan ujung-ujung runcing itu, dia malah hinggap di atas dua ujung tombak sambil mengerahkan sinkang pada telapak kakinya sehingga ujung tombak yang menembus sepatunya itu tak mampu melukai kaki dan dia lalu mengenjot tubuhnya, meloncat ke atas, keluar lagi dari sumur itu!
Dia tiba di luar sumur, berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, waspada memandang ke sekeliling, akan tetapi tidak nampak gerakan seorang pun manusia, tanda bahwa dia tadi hanya menjadi korban jebakan-jebakan saja yang diatur sedemikian baiknya hingga amat membahayakan orang yang terjeblos ke dalamnya. Dia melangkah terus, sekarang dengan hati-hati supaya tidak sampai terjeblos ke dalam perangkap lagi. Kalau kakinya menginjak sesuatu yang tidak wajar, dia cepat meloncat jauh ke depan, melewati daerah yang dipasangi jebakan itu.
Akhirnya dia keluar dari padang rumput itu dengan selamat dan sampailah dia di sebuah taman penuh dengan pohon-pohon besar yang merupakan pekarangan depan yang luas dari perkampungan Pek-lian-kauw. Suara musik makin jelas terdengar, berasal dari pusat perkampungan itu. Perkampungan Pek-lian-kauw terkurung dinding tembok putih, dan tak nampak seorang pun di luar tembok.
"Syet-syet-syetttt...!"
Tiba-tiba nampak sinar-sinar berkelebatan dan tahu-tahu ada belasan batang anak panah menyambar dari atas, menancap di atas tanah di hadapan Sin Liong, merupakan pagar anak panah yang menghadang perjalanannya. Melihat ini, Sin Liong mengerling ke atas dan melihat bayangan orang-orang di atas pohon besar.
"Hemmm, beginikah cara Pek-lian-kauw menyambut kedatangan seorang tamu? Dengan perangkap-perangkap dan anak panah?" tanyanya dengan suara yang melengking nyaring sehingga suara itu berdengung sampai jauh.
Hening sejenak sesudah terdengar suara nyaring dari Sin Liong ini. Kemudian terdengar suitan-suitan tanda rahasia, dan tidak lama lagi banyak bayangan orang melayang turun dari atas pohon, dan ternyata orang ini adalah seorang yang berjubah pendeta, berusia kurang lebih lima puluh tahun. Setelah dia melayang turun berturut-turut tampak bayangan orang berloncatan turun dari atas pohon-pohon sekitar tempat itu dan dalam waktu singkat saja ada tujuh orang tosu Pek-lian-kauw yang berdiri menghadapi Sin Liong, memandang pemuda itu penuh perhatian dan kecurigaan.
"Sicu datang dari daerah terlarang, bukan sebagai tamu undangan, maka maafkan kami yang melepas anak panah peringatan tadi. Siapakah sicu dan ada urusan apa sicu datang ke tempat kami?" tanya seorang di antara mereka, pendeta yang pertama melayang turun tadi.
Sin Liong mengangkat tangan menjura kepada mereka, lantas menjawab dengan tenang, "Saya adalah seorang pelancong yang sedang melakukan perjalanan lewat di daerah ini. Mendengar suara musik dari perkampungan Pek-lian-kauw, hati saya amat tertarik untuk mengunjungi dan berkenalan dengan para pemimpin Pek-lian-kauw, sedikit pun saya tidak mempunyai niat untuk melakukan hal yang tidak bersahabat," jawabnya karena memang dia tidak berniat bermusuhan dengan fihak Pek-lian-kauw, tentu saja kalau Pek-lian-kauw juga tidak melakukan sesuatu terhadap Bi Cu, misalnya. Dan dia tidak mau menyebutkan namanya kepada mereka, kecuali kepada para pimpinan Pek-lian-kauw sendiri.
Tiba-tiba melayang turun seorang pendeta lain yang menghampiri pendeta penanya tadi, dan orang baru ini kemudian berbisik. Dialah pendeta yang melapor ke dalam, dan ketua Pek-lian-kauw memberi perintah bahwa kalau orang muda yang datang itu bukan musuh dan bermaksud baik, boleh saja diterima sebagai tamu, sebab pada hari itu Pek-lian-kauw memang sedang merayakan hari ulang tahunnya.
Pendeta pembicara itu kemudian tersenyum. "Baiklah, sicu. Ketua kami menyuruh kami menerima sicu sebagai tamu, dan mari kami persilakan sicu untuk masuk ke dalam dan berkenalan dengan para pimpinan kami."
Perkumpulan Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang selalu menentang pemerintah, oleh karena itu kalau merayakan ulang tahun tidak pernah mengundang umum karena mereka selalu menyembunyikan tempat atau sarangnya, dan hanya mengundang golongan atau kawan-kawan sendiri yang sudah dipercaya penuh saja. Dan undangan itu pun baru akan dilaksanakan beberapa hari sesudah mereka merayakannya sendiri sampai beberapa hari lamanya. Pada saat itu, hari undangan bagi para kawan mereka belum tiba dan pada hari itu mereka sedang merayakan hari ulang tahun perkumpulan mereka tanpa ada seorang pun tamu dari luar.
Akan tetapi seluruh anggota, juga termasuk yang berada dan bertugas jauh dari tempat itu, pada hari itu sudah hadir sehingga suasana menjadi amat meriah dan penjagaan pun tidak begitu ketat seperti biasanya hingga Sin Liong sampai dapat memasuki pekarangan itu dan baru setelah tiba di situ dia dihadang oleh para anggota Pek-lian-kauw. Kini pintu gerbang dibuka dan Sin Liong diantar masuk ke dalam perkampungan yang cukup luas.
Semua rumah di perkampungan itu dihias dengan kertas-kertas merah hingga suasana di sana cukup meriah. Di bangunan induk berkumpul para pimpinan, di mana para anggota bagian musik sedang memeriahkan suasana dengan permainan musik dan nyanyian serta tarian.
Munculnya pemuda ini tentu saja menimbulkan sedikit keheranan dan kecurigaan, akan tetapi karena Kim Hwa Cinjin sendiri yang memerintahkan pemuda itu disambut sebagai tamu, maka kini Sin Liong diiringkan memasuki bangunan induk, terus masuk ke dalam ruangan luas di mana terdapat Kim Hwa Cinjin sendiri bersama para tokoh Pek-lian-kauw dan para murid terkasih. Semua orang lalu memandang kepada pemuda yang melangkah masuk dengan tenang itu.
Kim Hwa Cinjin sendiri masih tetap duduk sambil menatap wajah pemuda yang masuk itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dari kedudukan serta sikap kakek yang memiliki sepasang mata tajam dan aneh menyeramkan seperti mata iblis dalam dongeng itu, Sin Liong dapat menduga tentulah kakek tua yang menyambutnya dengan duduk saja itulah ketua Pek-lian-kauw, maka dia lalu berhenti di hadapan Kim Hwa Cinjin, menjura dengan hormat sambil berkata,
"Harap kauwcu (ketua agama) suka memaafkan kalau saya datang mengganggu."
Pada waktu masuk tadi, Sin Liong sudah mencari-cari dengan pandang matanya, namun dia tidak melihat adanya Bi Cu di sana, maka dia merasa agak lega dan dia pun bersikap sopan agar tidak menyinggung orang-orang Pek-lian-kauw.
Kim Hwa Cinjin mengangguk-angguk. "Hemm, dari pelaporan anak buah kami mendengar bahwa engkau mempunyai kepandaian yang tinggi, sicu. Sungguh membuat kami merasa kagum bahwa seorang pemuda seperti sicu sudah dapat memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Tentu sicu murid seorang sakti dan siapakah nama sicu?"
"Nama saya Sin Liong," jawab pemuda ini tanpa menyebutkan she (nama keturunan), dan ternyata ketua Pek-lian-kauw itu pun tidak bertanya tentang hal itu tanda bahwa ketua ini bersikap ramah dan menanyakan nama hanyalah untuk membalas sikapnya yang sopan saja padahal sebenarnya ketua ini tidak memandang dia sebagai orang penting!
"Saya kebetulan lewat dekat sini dan mendengar suara musik, saya merasa tertarik dan memasuki daerah ini tanpa memiliki niat yang buruk."
Kim Hwa Cinjin hanya mengangguk. Mendadak terdengar suara merdu di sebelah kanan kakek itu, "Suhu, dalam suasana gembira ini kita kedatangan tamu terhormat, bagaimana kalau teecu (murid) mempersiapkan hidangan untuk tamu agung?"
Sin Liong cepat memandang dan ternyata yang bicara ini adalah salah seorang di antara sekelompok wanita-wanita muda yang duduk di dekat kakek itu. Wanita-wanita itu berusia antara dua puluh sampai hampir empat puluh tahun, rata-rata berwajah cantik dan dari sikapnya jelas menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang pandai ilmu silat.
Memang mereka itu adalah murid-murid dari Kim Hwa Cinjin, murid-murid wanita yang berbakat. Yang bicara tadi adalah seorang wanita cantik berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun, pakaiannya indah dan rambutnya digelung rapi, dihiasi burung hong terbuat dari emas dan permata yang berkilauan. Di antara para murid wanita itu, wanita inilah yang paling cantik, kerling matanya tajam dan senyumnya amat manis.
Ketika Sin Liong memandang kepadanya, wanita itu pun menatapnya dengan sinar mata yang demikian menantang dan penuh gairah sehingga Sin Liong langsung menundukkan mukanya kembali.
"Ha-ha-ha-ha, Ciauw Ki, kita sedang berulang tahun maka biarlah kuturuti permintaanmu sebagai hadiahku tahun ini. Memang benar sekali, kita harus menjamu tamu agung, nah, kau layanilah sicu ini!"
Sin Liong menjadi kikuk sekali, akan tetapi dia sudah terlanjur masuk ke situ dan memang dia berniat menyelidiki apakah Bi Cu berada di situ, maka ketika wanita cantik itu bangkit dan menghampirinya, lalu dengan sikap manis mempersilakan dia duduk di atas sebuah kursi menghadapi meja yang masih kosong, tidak jauh dari situ, dia pun tidak membantah, mengangguk dan menjura menyatakan terima kasihnya. Ciauw Ki, murid wanita Kim Hwa Cinjin itu, lalu mengeluarkan hidangan dan arak, diatur di atas meja di depan Sin Liong.
Pada waktu wanita itu melakukan semua ini dengan senyum manis dan kerling mata yang menyambar-nyambar penuh tantangan, Sin Liong mencium keharuman keluar dari sapu tangan dan pakaian wanita itu. Dia merasa semakin kikuk, akan tetapi juga tidak berani menolak ketika Kim Hwa Cinjin sendiri dari tempat duduknya mempersilakan dia makan minum. Betapa heran rasa hatinya ketika dia melihat Ciauw Ki duduk di hadapannya dan melayaninya, mengisi cawannya dengan arak bila sudah kosong, menawarkan masakan ini dan itu, dengan sikap amat mesranya.
Padahal di situ terdapat banyak orang, terdapat banyak murid pria, mengapa justru murid wanita cantik ini yang harus melayaninya? Sin Liong yang tidak pernah dilayani wanita seperti itu, tentu saja menjadi gugup dan kikuk sekali, dan sikapnya ini agaknya semakin menarik hati Ciauw Ki.
Oleh karena Ciauw Ki terus mengisi cawan araknya dan mempersilakan minum, akhirnya pengaruh arak membuat Sin Liong agak nanar juga. Ketika tari-tarian yang dilakukan oleh wanita-wanita cantik, nyanyian yang diiringi musik merdu dipertunjukkan, Sin Liong tidak lagi merasa heran, bahkan menonton dengan gembira sambil mendengarkan pula obrolan Ciauw Ki yang bercerita dengan suara merdu.
"Ini adalah perayaan ulang tahun kami yang ke delapan, sicu, sudah delapan tahun kami menggunakan tempat ini sebagai pusat dan tak pernah mengalami gangguan. Dan pesta ulang tahun sekarang ini bagiku paling indah berkesan karena kehadiranmu..."
Sin Liong hanya tersenyum. Telinganya penuh dengan suara-suara merdu merayu yang mempesona dan membuat dirinya lengah. Pada waktu itu para wanita yang menari sudah mengundurkan diri, lantas suara tambur dipukul gencar, musik mengalunkan lagu perang yang dahsyat. Lalu muncullah dua orang wanita dan Sin Liong terbelalak.
Dua orang wanita muda itu mengenakan pakaian tipis yang membayangkan bentuk tubuh mereka, dan kedua tangan mereka memegang dua batang obor yang belum dinyalakan. Sesudah mereka menjatuhkan diri berlutut di hadapan sang ketua, lalu Kim Hwa Cinjin meraih dan obor-obor itu menyala! Seperti main sulap saja!
Kini kedua orang wanita muda itu mulai menari dengan obor-obor di kedua tangan. Sinar obor yang merah itu menyoroti tubuh mereka dan mereka itu seperti telanjang bulat saja karena cahaya itu menembus pakaian yang tipis, memperlihatkan semua lekuk lengkung tubuh mereka yang masih muda dan padat berisi. Para murid Pek-lian-kauw bersorak dan bertepuk-tepuk tangan mengikuti irama musik hingga suasana penuh dengan pesona dan gairah!
Mendadak Sin Liong merasa betapa ada tangan halus yang membelai jari-jari tangannya yang terletak di atas meja. Dia terkejut saat melihat betapa yang mengelus tangannya itu adalah tangan Ciauw Ki! Sin Liong cepat mengibaskan tangannya dan menarik tangan itu dari atas meja. Ciauw Ki menahan jeritnya karena tangannya terasa agak nyeri. Matanya terbelalak menatap wajah Sin Liong, akan tetapi sinar matanya segera melembut kembali dan senyumnya makin manis memikat.
Dari tempat duduknya, Kim Hwa Cinjin melihat adegan ini. Tiba-tiba saja dia mengangkat kedua tangannya ke atas, menghadap ke arah Sin Liong lalu mulutnya berkemak-kemik. Ketika itu Sin Liong masih menentang pandang mata Ciauw Ki. Tiba-tiba saja dia merasa seperti ada dorongan yang mengharuskan dia menoleh, memandang kepada dua orang penari wanita yang menggerak-gerakkan obor mereka. Sinar obor itu menyilaukan kedua matanya dan Sin Liong mengeluh.
Tiba-tiba dia melihat dua buah mata, sepasang mata yang tajam liar dan menyeramkan, seperti mata iblis sendiri, memandangnya sedemikian rupa sehingga dia terbelalak. Sang mata iblis ini seperti menari-nari di antara obor yang bergerak-gerak itu dan mendadak dia merasa tubuhnya lemas serta matanya mengantuk. Rasa kantuk itu tak tertahankan lagi olehnya. Kepalanya terasa berat, dan obor-obor yang bernyala itu kini terputar-putar. Sin Liong lalu memejamkan mata dan merebahkan kepalanya di atas lengannya yang dipakai sebagai bantal di atas meja. Tiba-tiba dia merasa tengkuknya diraba orang dan tubuhnya semakin lemas lalu dia tidak ingat apa-apa lagi!
Pemuda itu sama sekali tidak tahu bahwa semenjak pertama kali memasuki rumah induk di mana Kim Hwa Cinjin dan para murid dan pembantunya merayakan pesta ulang tahun mereka, dia telah memasuki perangkap yang amat berbahaya. Mula-mula Kim Hwa Cinjin memperlihatkan sikap ramah sehingga lenyaplah kecurigaan di hati Sin Liong. Pada saat Ciauw Ki, seorang di antara murid-murid wanita yang terkasih, memperlihatkan keinginan untuk memiliki pemuda tampan itu, Kim Hwa Cinjin menyetujuinya.
Sin Liong mulai dijamu dan diperlakukan dengan manis penuh pikatan oleh Ciauw Ki. Biar pun ketika itu Sin Liong sudah terpengaruh arak, namun melihat gadis itu berusaha untuk memikatnya dengan sentuhan tangan, pemuda ini terkejut dan cepat menolak. Kim Hwa Cinjin melihat ini dan dia tidak mau mengecewakan muridnya, maka diam-diam dia lalu mempergunakan ilmu sihirnya.
Sin Liong yang sedang lengah itu sama sekali tidak tahu bahwa dia diserang dengan ilmu sihir, maka dengan bantuan suara musik serta penglihatan indah dari tari obor oleh dua orang murid wanita itu, cahaya obor yang menyilaukan, akhirnya dia berhasil menyihir Sin Liong sehingga pemuda itu tertidur sebelum dia dapat menyadari keadaannya. Ciauw Ki juga cepat mempergunakan jari-jari tangannya menotok dan membuat pemuda itu tidak sadar.
Sin Liong membuka matanya dan pertama kali yang dirasakannya adalah kepalanya yang berdenyut-denyut pening. Dia mengeluh lirih dan mencium bau arak yang memuakkan. Teringatlah dia bahwa dia terlalu banyak minum arak. Ingin dia memijat-mijat kepalanya, akan tetapi ketika dia hendak menggerakkan tangan, dia terkejut dan heran.
Cepat dia membuka mata dan terbelalak memandang pada kedua lengannya yang sudah terbelenggu. Dua lengannya itu terikat di bagian pergelangan tangan. Suara tertawa kecil membuat dia semakin sadar dan sekarang dia memandang wanita yang duduk di pinggir pembaringan itu dengan sinar mata penuh keheranan.
Kini dia sudah rebah di atas pembaringan yang empuk, bersih dan harum, dalam sebuah kamar yang diterangi oleh tiga batang lilin. Wanita itu bukan lain adalah Ciauw Ki yang duduk sambil memegangi sebuah cawan arak dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri wanita itu mengelus-elus pahanya!
Sin Liong lalu menggerakkan kaki untuk mundur dan ternyata bahwa pergelangan kedua kakinya juga terikat! Agaknya Ciauw Ki mendengar dari para saudara seperguruannya akan kelihaian Sin Liong maka biar pun pemuda itu telah ditotoknya, tetap saja dia masih merasa khawatir dan mengikat pergelangan kaki dan tangan pemuda itu.
"Apa... apa artinya ini...?" Sin Liong bertanya sambil mengangkat kepalanya dari bantal.
"Hik-hik...!" Ciauw Ki tertawa genit dengan kepala agak bergoyang-goyang. Wanita cantik ini agaknya sudah setengah mabok.
Diam-diam Sin Liong memperhatikan keadaan sekeliling. Tentu malam telah tiba, pikirnya heran. Betapa lamanya dia pingsan atau tertidur di tempat ini. Dia mengingat-ingat dan ketika dia teringat akan sepasang mata yang membuatnya mengantuk, diam-diam dia lalu mengutuk. Dia sudah disihir! Tidak ragu-ragu lagi dia. Pek-lian-kauw terkenal dengan ilmu sihirnya. Dalam keadaan lengah dan tidak waspada dia telah kena disihir.
"Artinya, orang ganteng... bahwa engkau sedang berada di kamarku dan kita... kita akan bersenang-senang malam ini sepuas hati kita... hik-hik...!"
Diam-diam Sin Liong merasakan betapa masih ada sisa pengaruh totokan di tubuhnya, maka dia segera mengerahkan sinkang melancarkan kembali jalan darahnya. Dia masih belum mau mengambil tindakan keras, otaknya berpikir dan timbul kembali kecurigaannya bahwa jangan-jangan Bi Cu juga menjadi korban seperti dia. Maka dia pura-pura tidak berdaya, dan berkata, "Mengapa aku dibelenggu kaki tanganku?"
"Aku khawatir engkau akan menolak, sayang. Aku membelenggumu, akan tetapi lihatlah, belenggu itu dari ikat pinggang suteraku, baunya amat harum, kau ciumlah, hik-hik. Kalau engkau bersikap manis, tentu belenggumu itu akan kulepaskan. Sekarang, kau minumlah secawan arak ini. Arak ini pemberian suhu, arak istimewa, kau minumlah, sayang, setelah itu baru kubebaskan engkau dan kita bersenang-senang..."
Cawan arak itu didekatkan pada mulut Sin Liong dan dia mencium bau arak bercampur bau yang aneh. Mengertilah Sin Liong bahwa arak ini pun tidak wajar, bukan sembarang arak, karena itu tentu saja dia tidak mau minum.
"Nanti dulu... aku masih pening karena terlalu banyak minum... sebenarnya... aku sedang mencari seseorang... saudaraku..." Sin Liong membohong. Yang dicarinya adalah seorang gadis, jika dia bilang sahabat tentu akan menimbulkan kecurigaan, maka dia mengatakan saudaranya.
"Hemm, saudaramu? Siapakah saudaramu dan mengapa kau mencarinya di sini?" tanya wanita yang mukanya sudah merah karena setengah mabuk itu dan tangan kirinya masih mengelus paha Sin Liong yang membuat pemuda itu merasa geli.
"Saudaraku seorang gadis bernama Bi Cu..." Sin Liong berhenti berbicara karena melihat perubahan pada wajah gadis itu, sepasang mata yang tadinya nampak penuh gairah dan setengah terpejam itu mendadak agak terbelalak. Jantungnya berdebar dan yakinlah dia bahwa wanita ini tahu tentang diri Bi Cu.
Tentu saja Ciauw Ki mengetahui tentang Bi Cu, murid baru gurunya itu. Dia merasa iri hati kepada Bi Cu yang muda dan cantik, dan yang oleh suhu-nya dipilih sebagai kembang untuk diperebutkan pada perayaan ulang tahun itu! Apa bila tidak ada Bi Cu, tentu dialah yang akan diperebutkan, bukan Bi Cu. Dan karena iri hati itulah maka dia sengaja minta ganti kepada suhu-nya ketika dia melihat Sin Liong!
"Aihhh... kiranya engkau saudaranya! Jangan khawatir, orang tampan, saudaramu itu kini sedang dilimpahi kesenangan oleh tiga orang murid Pek-lian-kauw yang paling gagah dan tampan! Akan tetapi engkau pun tidak kalah mujurnya karena engkau mendapatkan aku... heiii... ahhh, aupppp...!"
Tiba-tiba saja Sin Liong menggunakan sinkang-nya hingga semua ikatan tangan kakinya putus. Ketika melihat dia mematahkan belenggu dan tahu-tahu sudah bangkit duduk itu, Ciauw Ki terkejut bukan main dan sebelum dia sempat menjerit, jari tangan kiri Sin Liong telah mendekap mulut yang tadinya tersenyum manis penuh pikatan itu dan meremasnya perlahan sehingga mulut yang manis itu kini nampak peot dan buruk, mata yang tadinya setengah terpejam penuh gairah dan nafsu birahi itu kini terbelalak ketakutan.
"Hemm, kuhancurkan mulutmu jika engkau tidak mengaku terus terang!" desis Sin Liong yang sudah merasa marah dan khawatir sekali. Tidak salah dugaannya, Bi Cu terjatuh ke tangan mereka dan kini agaknya terancam bahaya besar.
"Aa... aku... ahhhhh..." Sukar sekali Ciauw Ki bicara karena mulutnya masih didekap oleh jari tangan Sin Liong.
Tiba-tiba Ciauw Ki menggunakan tangan yang memegang cawan arak untuk menghantam ke arah muka Sin Liong. Akan tetapi Sin Liong menepuk pundaknya, dia pun terkulai lemas dan tidak mampu bergerak lagi. Ketika Sin Liong melepaskan dekapannya pada mulut itu, tubuh Ciauw Ki terkulai di atas pembaringan.
"Hayo katakan, di mana Bi Cu?"
Dengan suara lemah, Ciauw Ki berkata, "Bunuhlah, murid Pek-lian-kauw tidak takut mati! Bi Cu kini tentu sudah habis-habisan diperkosa oleh tiga orang suheng-ku...!"
"Plakkk!"
Tangan Sin Liong menampar dan wanita itu pingsan. Mulutnya berdarah dan beberapa buah gigi di mulutnya patah-patah. Tentu kecantikannya akan banyak berkurang karena tamparan itu, kalau tidak membuat wajahnya kelak bahkan menjadi buruk.
Cepat Sin Liong meloncat keluar dari kamar itu. Dengan beberapa loncatan saja dia telah berada di atas genteng. Pesta kaum Pek-lian-kauw itu masih dilanjutkan dengan meriah, maka sangat mudah baginya untuk melakukan penyelidikan, mencari-cari di mana Bi Cu disembunyikan.
Dia tidak perlu terus memaksa Ciauw Ki agar supaya mengaku sebab wanita itu agaknya merupakan tokoh Pek-lian-kauw yang tak akan mau membuka rahasia perkumpulan, biar diancam atau disiksa sekali pun. Dan Sin Liong takkan tega untuk menyiksa orang, maka dia lalu mengambil keputusan untuk mencari sendiri setelah menampar wanita itu sampai pingsan dalam keadaan tertotok agar tidak membuat gaduh selagi dia mencari tempat Bi Cu disembunyikan.
Dia mengintai dari genteng, sambil melihat ke dalam kamar-kamar yang banyak terdapat di perumahan itu. Banyak dia melihat kecabulan-kecabulan yang menjijikkan hatinya dan membuat dia tidak mengerti mengapa perkumpulan agama seperti Pek-lian-kauw ternyata memiliki pimpinan dan anggota-anggota yang menjadi hamba-hamba nafsu birahi seperti itu. Hampir di setiap kamar dia melihat para anggota Pek-lian-kauw bermain cinta dengan pasangan masing-masing dalam keadaan mabuk.
Tiba-tiba dia melihat bayangan berkelebat di bawah. Gerakan bayangan itu bukan main ringannya, maka dia langsung mengintai. Dengan heran dia melihat bahwa bayangan itu bukan lain adalan bayangan Kim Hwa Cinjin, ketua Pek-lian-kauw sendiri. Dan kakek tua itu kini berindap-indap menghampiri jendela sebuah kamar dan sinar lampu yang menimpa wajah tua itu memperlihatkan senyum iblis yang membuat Sin Liong bergidik.
Melihat kakek itu kini mengintai dari jendela, dia tertarik dan cepat dia melayang ke atas genteng lalu dengan hati-hati membuka genteng untuk melihat apa yang sedang terjadi di dalam kamar yang diintai sendiri oleh ketua Pek-lian-kauw itu. Dan hampir saja Sin Liong terjengkang di atas genteng, hampir saja dia berseru keras sesudah melihat apa yang ada di dalam kamar itu!
Kamar itu besar, tidak seperti kamar Ciauw Ki tadi. Di sudut kamar, mengelilingi sebuah meja yang penuh masakan dan arak sehingga bau arak sampai tercium olehnya dari atas genteng, duduk tiga orang lelaki yang hampir telanjang bulat, hanya mengenakan cawat saja! Mereka itu minum arak sambil tertawa-tawa gembira.
Salah satu di antara ketiga orang itu berusia kurang lebih empat puluh tahun, kumisnya tebal pendek dan jenggotnya terpelihara rapi, yang dua orang berusia sekitar tiga puluh tahun dengan muka halus. Ketiganya bertubuh tegap dan rata-rata wajah mereka dapat dikatakan tampan dan gagah, rambut mereka digelung ke atas seperti rambut para tosu Pek-lian-kauw.
Akan tetapi bukan ketiga orang itu yang mengejutkan hati Sin Liong, melainkan apa yang nampak di atas sebuah pembaringan yang ada di tengah kamar itu. Di atas pembaringan itu rebah seorang wanita, rebah terlentang dan lekuk lengkung tubuhnya nampak nyata di bawah pakaian dalam yang tipis sekali. Sedangkan pakaian luar wanita itu berserakan di bawah tempat tidur dan wanita itu kelihatan seperti orang yang tidur nyenyak.
Dapat dibayangkan alangkah terkejut rasa hati Sin Liong ketika melihat wanita ini karena dia mengenalnya sebagai Bi Cu! Dan dara itu tentu dibius, pikirnya dengan kedua tangan dikepal dan mulai berubah merah, sepasang matanya mencorong seperti mata naga yang marah!
"Sayang dia terpaksa dibius," kata si kumis tebal. "Kalau tidak dia tentu akan menolak dan melawan mati-matian!"
"Aku lebih senang apa bila dia melawan dan meronta, tidak seperti sekarang ini, mirip mayat!" cela orang ke dua sambil menenggak araknya.
"Dan aku lebih senang kalau dia itu mau menyerahkan diri dengan manis dan suka rela. Mengapa suhu tidak mempergunakan obat perangsang saja?"
"Seorang dara yang berhati baja seperti dia itu sukar dapat dipengaruhi obat perangsang, ah, betapa pun juga, dia mulus dan masih remaja. Hemm, biarlah kalian menonton dulu, aku akan menjadi orang pertama..."
"Ah, jangan begitu, suheng! Engkau harus mengalah kepadaku! Biarlah aku dulu yang..."
"Tidak, aku dulu! Aku yang termuda dan aku lebih pantas baginya!"
Si kumis tebal tertawa. "Ha-ha-ha, kita berebutan seperti anak kecil, seolah-olah kita tidak pernah mendapatkan seorang perawan remaja. Sudahlah, lebih baik kita undi saja!"
"Atau kita berpetak tangan, siapa menang dia mendapatkan dulu!"
Mendengar percakapan itu lega bukan main rasa hati Sin Liong. Jelaslah bahwa mereka itu belum sempat mengganggu Bi Cu. Bi Cu belum ternoda dan kedatangannya belum terlambat! Dia tidak mau membuang waktu lagi.
Saat tiga orang tosu itu sedang main petak tangan untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan tubuh dara itu lebih dulu, tiba-tiba terdengar suara keras di atas kamar dan juga di luar rumah. Suara keras di atas kamar itu terjadi karena Sin Liong menerjang genteng sampai bobol lantas tubuhnya melayang ke dalam kamar laksana seekor naga melayang dari angkasa menerobos awan gelap. Sedangkan suara ke dua lebih keras lagi, yaitu suara sorak-sorai yang gegap-gempita dari banyak orang berkelahi dan beradunya senjata-senjata tajam!
Semua orang yang berada di kamar itu terkejut. Demikian pula dengan Kim Hwa Cinjin yang sedang mengintai dengan hati berdebar penuh ketegangan nafsu birahi itu menjadi terkejut bukan main. Dia melihat betapa pemuda yang menjadi tamunya, dan yang telah ditundukkannya dengan ilmu sihir lalu diserahkan kepada Ciauw Ki untuk dimiliki wanita muridnya itu untuk malam ini dan dia sendiri akan mengintai di kamar Ciauw Ki, tiba-tiba melayang turun ke dalam kamar. Akan tetapi lebih kaget lagi ketika dia mendengar suara hiruk-pikuk di luar.
Perhatiannya terbagi, akan tetapi dia menganggap keadaan di luar situ lebih berbahaya, maka tanpa mempedulikan keadaan di dalam kamar itu, karena dia memandang rendah kepada Sin Liong dan percaya bahwa tiga orang muridnya akan dapat menghadapinya, Kim Hwa Cinjin cepat melompat keluar.
Dia terkejut sekali melihat bahwa yang menimbulkan suara gaduh itu adalah penyerbuan dari pasukan pemerintah terhadap sarang Pek-lian-kauw. Anggota-anggota Pek-lian-kauw yang tadinya masih berpesta-pora, kini menghadapi serbuan pasukan pemerintah dengan gugup. Bahkan ada beberapa orang muridnya yang masih telanjang bulat terpaksa harus melawan musuh, karena mereka itu tadi sedang bersenang-senang dengan pasangannya di dalam kamar, dikejutkan oleh suara itu sehingga keluar dan lupa memakai pakaiannya!
Sementara itu, dengan ringan sekali Sin Liong telah melayang turun ke dalam kamar. Dia pun mendengar suara ribut-ribut di luar dan dia merasa khawatir. Dia harus dapat cepat melarikan Bi Cu dari kamar ini dan keluar dari perkampungan Pek-lian-kauw, karena apa bila sampai dia dikepung oleh semua tokoh beserta anggota Pek-lian-kauw, akan sulitlah baginya untuk dapat menolong Bi Cu. Apa lagi Bi Cu berada dalam keadaan pingsan terbius seperti itu, tidak mampu bergerak sendiri.
Ketiga orang tosu Pek-lian-kauw yang memenangkan hadiah murid wanita baru itu juga terkejut bukan main. Mereka segera mengenal pemuda yang menjadi tamu ketua mereka dan yang siang tadi sudah ditawan kemudian diberikan kepada sumoi mereka. Marahlah mereka dan serentak mereka maju menerjang Sin Liong, biar pun mereka dalam keadaan hampir telanjang seperti itu.
Melihat gerakan mereka, tahulah Sin Liong bahwa mereka itu ternyata adalah tokoh-tokoh besar Pek-lian-kauw, dan tentu merupakan murid-murid utama dari ketua Pek-lian-kauw. Maka dia pun cepat mengelak dan menangkis, kemudian dengan beberapa jurus San-in Kun-hoat, dengan mengisi kedua tangannya dengan Thian-te Sin-ciang, Sin Liong balas menyerang.
Tiga orang tosu itu cepat menangkis tetapi seorang demi seorang berteriak kaget sekali, dan tubuh mereka terlempar lalu menabrak dinding kamar karena mereka itu tidak tahan beradu lengan yang terisi Thian-te Sin-ciang itu. Sejenak mereka nanar dan pusing akibat terbanting keras pada dinding kamar dan kesempatan ini digunakan oleh Sin Liong untuk menyambar tubuh Bi Cu.
Tanpa mempedulikan keadaan tubuh dara itu yang hanya tertutup pakaian dalam tipis, dia lalu memondongnya dan melarikan diri meloncat keluar melalui lubang di atas genteng, kemudian dengan cepat dia pun meloncat ke tempat yang agak sunyi di belakang rumah karena di banyak tempat kini nampak obor-obor dan orang-orang berkelahi dengan hebat dan mati-matian! Dia tidak tahu apa yang telah terjadi, siapa yang sedang bertempur itu, dan dia pun tidak peduli. Yang paling penting adalah menyelamatkan Bi Cu dan selama dia masih berada di dalam perkampungan itu, keselamatan Bi Cu terancam bahaya.
Maka larilah dia, menyusup-nyusup di antara tempat-tempat yang gelap. Beberapa kali dia berpapasan dengan anggota Pek-lian-kauw atau anggota pasukan penyerbu sehingga terpaksa dia merobohkan mereka ini dengan tendangan-tendangan kakinya.
Tiba-tiba terdengar suara yang sangat nyaring melengking, seolah-olah datang dari atas langit. "Liong-te... di mana engkau...?!"
Sin Liong terkejut bukan main seolah-olah mendengar kilat menggelegar pada siang hari yang panas. Tentu saja dia mengenal suara itu! Suara Ceng Han Houw! Celaka, pikirnya, kiranya para penyerbu Pek-lian-kauw itu adalah pasukan pemerintah yang agaknya telah dipimpin sendiri oleh Ceng Han Houw. Pangeran ini malah jauh lebih lihai dan berbahaya dari pada semua orang Pek-lian-kauw.
Maka Sin Liong mempercepat larinya, berloncatan dan akhirnya dia berhasil keluar dari perkampungan Pek-lian-kauw yang geger itu. Setelah memasuki sebuah hutan yang amat gelap, cukup jauh dari perkampungan itu, hatinya lega. Akan tetapi dia pun tidak mungkin dapat melanjutkan larinya karena hutan itu gelap sekali.
Maka dia mencari tempat yang bersih lantas dia merebahkan tubuh Bi Cu ke atas tanah berumput tebal di bawah pohon-pohon besar. Dia berusaha menyadarkan Bi Cu, akan tetapi dara yang sudah terbius ini sama sekali tidak mungkin dapat siuman sebelum obat biusnya habis pengaruhnya. Dia seperti orang pingsan, atau orang yang tertidur nyenyak sekali.
Sin Liong yang maklum bahwa bahaya masih belum lewat dan tentu kaum Pek-lian-kauw, bahkan yang lebih berbahaya lagi, pasukan yang dipimpin Han Houw tentu akan mengejar dan mencarinya, tak berani membuat api unggun sehingga untuk melindungi tubuh Bi Cu yang setengah telanjang itu dari serangan nyamuk dan hawa dingin, dia lalu melepaskan bajunya dan menyelimuti Bi Cu dengan baju itu. Kemudian dia memegang kedua tangan Bi Cu, menyalurkan sinkang sehingga hawa hangat memasuki tubuh dara itu, melindungi tubuhnya dari hawa dingin yang menusuk tulang.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sin Liong sudah mendengar suara orang-orang memasuki hutan itu. Terpaksa dia memondong lagi tubuh Bi Cu yang masih juga belum siuman. Dia merasa marah sekali. Orang-orang Pek-lian-kauw itu sungguh keji, membius Bi Cu sampai semalam suntuk belum juga siuman, tentu dengan maksud yang amat kotor dan keji! Dengan bantuan sinar matahari pagi yang remang-remang, dia terus melangkah memasuki hutan sambil memondong tubuh Bi Cu.
Tiba-tiba saja dari balik pohon-pohon besar berloncatan tiga orang tosu, seorang di antara mereka yang berkumis tebal membentak, "Pemuda iblis, mau lari ke mana engkau?!"
Sin Liong kaget sekali dan dia segera mengenal bahwa tiga orang tosu ini adalah mereka yang tadi malam hendak memperkosa Bi Cu di dalam kamar itu. Akan tetapi karena dia menduga bahwa selain mereka tentu masih terdapat banyak orang Pek-lian-kauw yang agaknya sudah tersebar di dalam hutan, dan mengingat lagi bahwa mungkin akan muncul Ceng Han Houw sehingga akan menyukarkan dia melindungi Bi Cu, dia lalu membalikkan tubuh dan berlari tanpa berkata apa-apa.
Tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu mengejar dengan marah. Sesudah beberapa lamanya berlari, Sin Liong menoleh dan mengerling ke belakang. Ternyata pengejarnya tetap hanya tiga orang tosu itu. Giranglah hatinya dan dia pun cepat menurunkan tubuh Bi Cu ke atas rumput, kemudian dengan tenang dia menanti kedatangan mereka.
Tiga orang tosu itu adalah murid-murid pilihan dari Kim Hwa Cinjin. Kalau pada waktu Sin Liong masuk ke dalam kamar untuk menolong Bi Cu mereka itu tidak sempat melakukan perlawanan yang gigih adalah disebabkan mereka bertiga berada dalam keadaan hampir telanjang. Kini mereka sudah siap siaga dengan pakaian lengkap.
Melihat pemuda itu sudah menurunkan tubuh dara yang telah menjadi sumoi mereka dan menjadi kekasih mereka bertiga sebab oleh suhu mereka telah diberikan kepada mereka, tiga orang tosu ini segera menerjang ke depan. Semalam, setelah mengenakan pakaian, mereka lalu melakukan pengejaran, tanpa mempedulikan kegegeran yang terjadi di dalam perkampungan Pek-lian-kauw dan melihat pemuda itu lenyap di dalam hutan, mereka lalu mencari-cari sampai jauh ke dalam hutan. Karena keadaan sangat gelap, maka mereka menunggu dan pada pagi hari itu, benar saja mereka melihat pemuda yang dikejarnya berjalan memondong tubuh calon korban mereka.
Tokoh ini sudah biasa menghadiahkan wanita-wanita cantik kepada para muridnya yang dianggap berjasa, lalu diam-diam dia mengintai bagaimana para muridnya itu menikmati hadiah yang diberikannya kepada mereka itu. Kini setelah melihat Bi Cu sebagai seorang dara remaja yang cantik manis dan bertulang baik, dia tertarik sekali.
Kalau dara seperti ini menjadi muridnya dan dihadiahkan kepada para murid terbaik, kelak kalau sampai dara ini melahirkan keturunan, maka keturunan itu tentu dapat diharapkan menjadi anggota Pek-lian-kauw yang sangat hebat! Inilah yang terutama mendorongnya untuk menolong Bi Cu dan mengambilnya sebagai murid.
Baik itu dinamakan kecabulan, kemaksiatan, yang menjurus pada perbuatan kejahatan, mau pun yang dinamakan pengejaran cita-cita, ambisi yang menjurus kepada persaingan dan perebutan kedudukan sampai kepada perang, atau kepada pengejaran terhadap apa yang dianggap murni dan agung, seperti daya upaya untuk menjadi orang baik, orang suci, atau tempat yang damai di alam baka, semua itu mempunyai dasar dan sifat yang sama, yaitu pamrih untuk menyenangkan diri sendiri!
Mengejar dan memperebutkan uang, kedudukan, wanita, nama besar, kehormatan dan sebagainya itu memang dapat mendatangkan kesenangan! Begitu pula, orang mengejar kedamaian baik di alam fana mau pun baka karena mengganggap bahwa kedamaian itu menyenangkan. Boleh saja dipakai kata lain untuk kesenangan, misalnya kebahagiaan.
Karena menganggap bahwa semua yang dikejar itu akan mendatangkan kebahagiaan, maka terjadilah pengejaran-pengejaran itu. Jadi, semua tindakan itu selalu didasari oleh keinginan memperoleh sesuatu! Yaitu pamrih! Kita seakan lupa bahwa segala sesuatu yang didorong oleh pamrih sudah pasti akan mendatangkan konflik dan pertentangan.
Pamrih adalah pementingan diri pribadi, dan pementingan diri pribadi ini yang sering kali menimbulkan konflik, baik konflik dalam batin sendiri atau konflik dengan orang lain. Orang yang mengejar-ngejar uang akan menyamakan dirinya dengan uang itu dan uang dianggap lebih penting dari pada apa saja. Demikian halnya dengan pengejaran terhadap kedudukan, dan sebagainya. Jadi yang terpenting bukan si kedudukan, si kehormatan, si bangsa, si keluarga, si uang, melainkan si aku!
Maka terjadilah demikian: Yang dibela mati-matian adalah kedudukanku, kehormatanku, bangsaku, keluargaku, agamaku dan seterusnya yang berpusat pada si aku. Uang orang lain, kehormatan orang lain, bangsa orang lain, agama orang lain, sama sekali tak masuk hitungan! Tentu saja sikap ini memancing datangnya pertentangan. Ini sudah amat jelas, bukan?
Apakah kita dapat hidup tanpa pamrih ini, tanpa adanya si aku yang mendorong segala perbuatan kita menjadi tindakan pementingan si aku? Hanya kalau sudah begini, maka uang, kedudukan, kehormatan, keluarga, bangsa, agama dan lain-lain memiliki arti dan nilai yang sama sekali berbeda!
Orang semacam Kim Hwa Cinjin semenjak kecil telah menjadi budak dari nafsu-nafsunya sendiri, yaitu selalu mengejar kesenangan! Kesenangan itu dapat berbentuk seribu satu macam, tercipta dari keadaan lingkungan, tradisi, pendidikan, kebiasaan dan sebagainya.
Sampai berusia setua itu, Kim Hwa Cinjin masih saja diperhamba oleh akunya yang selalu mendambakan kesenangan. Sifat kesenangannya sama saja, hanya bentuknya berubah menurut perubahan usianya. Dari pengejaran-pengejaran kesenangan ini maka timbullah segala macam maksiat, kejahatan dan kekacauan di dunia ini!
Bi Cu yang berada di bawah pengaruh sihir itu seperti seekor domba dituntun ke tempat jagal. Dia menurut saja ketika diajak ke sarang Pek-lian-kauw yang pada waktu itu berada di puncak pegunungan di depan. Ada juga naluri sehat yang membuat dara ini meragu, dan ketika mereka mendaki sebuah bukit, dara itu berkata,
"Suhu...!"
"Eh, ada apakah, Bi Cu yang manis?" Kim Hwa Cinjin berhenti dan menoleh kepada dara itu yang berdiri dengan muka pucat dan pandang mata meragu.
"Teecu... teecu tidak ingin naik ke sana... teecu ingin... pergi mencari Sin Liong..."
"Sin Liong? Siapa itu?"
"Dia... dia seorang sahabatku yang amat baik..."
"Hemm, engkau adalah muridku, Bi Cu, maka engkau harus ikut denganku dan menurut semua perintahku."
"Tapi, suhu..."
"Agaknya engkau belum yakin akan kemampuan gurumu, ya? Nah, kau lihatlah ini!" Kim Hwa Cinjin menghampiri sebongkah batu yang besarnya seperti kerbau bunting. Dengan kakinya dia mengungkit batu itu dan melontarkannya ke atas, lalu dengan tongkatnya dia menerima batu itu, diputar-putar di atas ujung tongkat. Melihat permainan sulap ini, Bi Cu menjadi bengong dan kagum.
"Hiaaaattt...!"
Kim Hwa Cinjin melontarkan batu dengan ujung tongkat. Batu melambung tinggi dan turun menimpa kepala kakek itu. Bi Cu hampir menjerit, akan tetapi ketika batu itu tiba di atas kepala, Kim Hwa Cinjin menggerakkan tangan kirinya menampar.
"Blaaarrr...!" Batu besar itu pecah berkeping-keping.
"Dan kau lihat pukulan api dari tanganku ini!" katanya pula menghampiri sebatang pohon.
Dengan tangan kirinya dia menampar ke arah batang pohon. Terdengarlah suara keras seperti ledakan dan... pohon itu terbakar dan api menyala tinggi! Tentu saja Bi Cu makin terbelalak kagum. Dia tidak tahu bahwa yang dipertunjukkan itu bukanlah ilmu pukulan yang sesungguhnya, melainkan ilmu sihir! Demikian kagum rasa hati dara itu sehingga dia menjatuhkan diri berlutut dengan hati penuh takluk dan kagum.
"Nah, apakah engkau ingin mempelajari semua kesaktian itu, Bi Cu?"
"Tentu saja, suhu, teecu ingin sekali."
"Kalau begitu, mulai saat ini engkau harus mentaati segala perintahku."
"Baik suhu, teecu akan taat."
Girang bukan main hati Kim Hwa Cinjin dan dia langsung mengajak dara itu melanjutkan perjalanan menulu sarang Pek-lian-kauw. Sebulan lagi Pek-lian-kauw akan mengadakan pesta ulang tahunnya, dan di dalam pesta itulah dia akan menghadiahkan Bi Cu kepada beberapa orang muridnya yang berjasa.
Sambil terus melangkah, diikuti oleh muridnya yang baru, kakek ini tersenyum-senyum, mengelus jenggotnya dan memilih-milih, siapa di antara muridnya akan dihadiahi dara ini! Bi Cu tidak sadar akan bahaya yang mengancam dirinya, seperti seekor domba dituntun oleh harimau ke dalam sarangnya!
********************
Sin Liong mendaki bukit yang nampak sunyi itu dengan hati-hati. Dia sudah menemukan jejak Bi Cu! Di dusun terakhir di kaki pegunungan ini, dia mendengar dari seorang petani bahwa hampir sebulan yang lalu ada seorang dara remaja yang wajahnya mirip dengan yang dia gambarkan datang ke dusun itu, bahkan bermalam di dalam rumah keluarga petani itu. Dari penuturan mereka, dia tidak ragu-ragu lagi bahwa tentu dara itu Bi Cu.
Yang meyakinkan dia adalah karena Bi Cu juga bertanya-tanya tentang dia, mencari-cari dia! Hatinya berdebar girang dan penuh harapan ketika dia mendaki bukit itu. Biar pun dia sudah ketinggalan hampir satu bulan, akan tetapi kini dia telah menemukan jejaknya dan tentu akan bisa memperoleh keterangan lebih lanjut di sana, atau di balik pegunungan itu.
Akan tetapi, timbul kekhawatiran di dalam hatinya pada waktu dia mendengar keterangan dari seorang pemburu yang dijumpainya di dalam hutan di lereng gunung, bahwa daerah pegunungan itu termasuk pula wilayah yang secara diam-diam dikuasai oleh perkumpulan Pek-lian-kauw yang membuka sarang di puncak pegunungan.
Mendengar disebutnya nama Pek-lian-kauw dia merasa amat khawatir. Bi Cu telah tiba di wilayah ini, daerah kekuasaan Pek-lian-kauw dan dia tahu betapa berbahayanya bagi dara itu apa bila melewati daerah ini. Maka timbullah kecurigaannya dan dia harus lebih dahulu menyelidiki sarang Pek-lian-kauw. Kalau di sana tidak terdapat Bi Cu, baru dia akan pergi meninggalkan tempat itu sebab ia sendiri tak ingin berurusan dengan fihak Pek-lian-kauw. Mudah-mudahan saja Bi Cu tidak bertemu dengan fihak mereka, pikirnya.
Setelah tiba di lereng gunung itu, nampaklah olehnya bangunan-bangunan Pek-lian-kauw yang merupakan perkampungan tersendiri, terletak di dekat puncak. Dan mulai terdengar olehnya suara musik yang membuatnya merasa heran bukan main. Pek-lian-kauw adalah perkumpulan agama, mengapa kini terdengar suara musik seakan-akan di sana diadakan pesta, di mana orang bergembira ria? Melihat betapa tempat pendakian itu sunyi saja, Sin Liong lalu mempercepat pendakiannya menuju ke perkampungan di dekat puncak itu.
Setelah melewati daerah yang berbatu-batu lalu dia sampai di padang rumput yang penuh dengan rumput tebal dan subur. Rumput itu sampai setinggi lututnya dan Sin Liong berlari terus karena dusun Pek-lian-kauw itu berada di ujung padang rumput itu.
Tiba-tiba kakinya tersangkut semacam tali halus yang tidak nampak karena tersembunyi di dalam rumput. Begitu kakinya tersangkut, terdengar suara berdesir dan bercuitan dari bawah. Sin Liong terkejut bukan main, maklum bahwa ada penyerangan gelap dari bawah maka seketika dia sudah meloncat ke atas lalu berjungkir balik di udara sampai tiga kali.
Benar saja, dari bawah menyambar empat batang tombak dari depan, belakang, kiri dan kanan. Agaknya ketika tali halus tadi tersangkut di kakinya, secara otomatis alat rahasia sudah menggerakkan empat batang tombak itu! Sin Liong lalu melompat turun kembali ke depan, kurang lebih empat meter dari tempat di mana kakinya tersangkut tali penggerak alat yang melucurkan tombak-tombak itu.
"Blussss...!"
Begitu kedua kakinya menginjak tanah di bawah rerumputan, tiba-tiba dia berseru keras karena ternyata kedua kakinya menginjak tempat kosong! Ternyata di bawah itu adalah lubang yang ditutupi rumput, sebuah lubang jebakan yang amat berbahaya! Karena tidak mengira sama sekali, tentu saja Sin Liong tidak dapat mencegah tubuhnya terjeblos. Dia cepat melihat ke bawah dan ternyata lubang sumur itu dipasangi tombak-tombak runcing yang siap menerima tubuhnya yang terjeblos ke bawah!
Kalau orang hanya memiliki kepandaian ginkang biasa saja, agaknya tidak akan mungkin dapat lolos dari ancaman maut ini. Tubuh Sin Liong sudah meluncur turun dan di bawah nampak ujung tombak-tombak runcing seperti deretan gigi mulut raksasa yang sudah siap mencaplok dan menggigitnya.
Sin Liong memiliki ketenangan yang luar biasa. Dia tidak mudah putus asa, maka dengan waspada dia memandang ke bawah, mengerahkan ginkang-nya dan ketika dekat dengan ujung-ujung runcing itu, dia malah hinggap di atas dua ujung tombak sambil mengerahkan sinkang pada telapak kakinya sehingga ujung tombak yang menembus sepatunya itu tak mampu melukai kaki dan dia lalu mengenjot tubuhnya, meloncat ke atas, keluar lagi dari sumur itu!
Dia tiba di luar sumur, berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, waspada memandang ke sekeliling, akan tetapi tidak nampak gerakan seorang pun manusia, tanda bahwa dia tadi hanya menjadi korban jebakan-jebakan saja yang diatur sedemikian baiknya hingga amat membahayakan orang yang terjeblos ke dalamnya. Dia melangkah terus, sekarang dengan hati-hati supaya tidak sampai terjeblos ke dalam perangkap lagi. Kalau kakinya menginjak sesuatu yang tidak wajar, dia cepat meloncat jauh ke depan, melewati daerah yang dipasangi jebakan itu.
Akhirnya dia keluar dari padang rumput itu dengan selamat dan sampailah dia di sebuah taman penuh dengan pohon-pohon besar yang merupakan pekarangan depan yang luas dari perkampungan Pek-lian-kauw. Suara musik makin jelas terdengar, berasal dari pusat perkampungan itu. Perkampungan Pek-lian-kauw terkurung dinding tembok putih, dan tak nampak seorang pun di luar tembok.
"Syet-syet-syetttt...!"
Tiba-tiba nampak sinar-sinar berkelebatan dan tahu-tahu ada belasan batang anak panah menyambar dari atas, menancap di atas tanah di hadapan Sin Liong, merupakan pagar anak panah yang menghadang perjalanannya. Melihat ini, Sin Liong mengerling ke atas dan melihat bayangan orang-orang di atas pohon besar.
"Hemmm, beginikah cara Pek-lian-kauw menyambut kedatangan seorang tamu? Dengan perangkap-perangkap dan anak panah?" tanyanya dengan suara yang melengking nyaring sehingga suara itu berdengung sampai jauh.
Hening sejenak sesudah terdengar suara nyaring dari Sin Liong ini. Kemudian terdengar suitan-suitan tanda rahasia, dan tidak lama lagi banyak bayangan orang melayang turun dari atas pohon, dan ternyata orang ini adalah seorang yang berjubah pendeta, berusia kurang lebih lima puluh tahun. Setelah dia melayang turun berturut-turut tampak bayangan orang berloncatan turun dari atas pohon-pohon sekitar tempat itu dan dalam waktu singkat saja ada tujuh orang tosu Pek-lian-kauw yang berdiri menghadapi Sin Liong, memandang pemuda itu penuh perhatian dan kecurigaan.
"Sicu datang dari daerah terlarang, bukan sebagai tamu undangan, maka maafkan kami yang melepas anak panah peringatan tadi. Siapakah sicu dan ada urusan apa sicu datang ke tempat kami?" tanya seorang di antara mereka, pendeta yang pertama melayang turun tadi.
Sin Liong mengangkat tangan menjura kepada mereka, lantas menjawab dengan tenang, "Saya adalah seorang pelancong yang sedang melakukan perjalanan lewat di daerah ini. Mendengar suara musik dari perkampungan Pek-lian-kauw, hati saya amat tertarik untuk mengunjungi dan berkenalan dengan para pemimpin Pek-lian-kauw, sedikit pun saya tidak mempunyai niat untuk melakukan hal yang tidak bersahabat," jawabnya karena memang dia tidak berniat bermusuhan dengan fihak Pek-lian-kauw, tentu saja kalau Pek-lian-kauw juga tidak melakukan sesuatu terhadap Bi Cu, misalnya. Dan dia tidak mau menyebutkan namanya kepada mereka, kecuali kepada para pimpinan Pek-lian-kauw sendiri.
Tiba-tiba melayang turun seorang pendeta lain yang menghampiri pendeta penanya tadi, dan orang baru ini kemudian berbisik. Dialah pendeta yang melapor ke dalam, dan ketua Pek-lian-kauw memberi perintah bahwa kalau orang muda yang datang itu bukan musuh dan bermaksud baik, boleh saja diterima sebagai tamu, sebab pada hari itu Pek-lian-kauw memang sedang merayakan hari ulang tahunnya.
Pendeta pembicara itu kemudian tersenyum. "Baiklah, sicu. Ketua kami menyuruh kami menerima sicu sebagai tamu, dan mari kami persilakan sicu untuk masuk ke dalam dan berkenalan dengan para pimpinan kami."
Perkumpulan Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang selalu menentang pemerintah, oleh karena itu kalau merayakan ulang tahun tidak pernah mengundang umum karena mereka selalu menyembunyikan tempat atau sarangnya, dan hanya mengundang golongan atau kawan-kawan sendiri yang sudah dipercaya penuh saja. Dan undangan itu pun baru akan dilaksanakan beberapa hari sesudah mereka merayakannya sendiri sampai beberapa hari lamanya. Pada saat itu, hari undangan bagi para kawan mereka belum tiba dan pada hari itu mereka sedang merayakan hari ulang tahun perkumpulan mereka tanpa ada seorang pun tamu dari luar.
Akan tetapi seluruh anggota, juga termasuk yang berada dan bertugas jauh dari tempat itu, pada hari itu sudah hadir sehingga suasana menjadi amat meriah dan penjagaan pun tidak begitu ketat seperti biasanya hingga Sin Liong sampai dapat memasuki pekarangan itu dan baru setelah tiba di situ dia dihadang oleh para anggota Pek-lian-kauw. Kini pintu gerbang dibuka dan Sin Liong diantar masuk ke dalam perkampungan yang cukup luas.
Semua rumah di perkampungan itu dihias dengan kertas-kertas merah hingga suasana di sana cukup meriah. Di bangunan induk berkumpul para pimpinan, di mana para anggota bagian musik sedang memeriahkan suasana dengan permainan musik dan nyanyian serta tarian.
Munculnya pemuda ini tentu saja menimbulkan sedikit keheranan dan kecurigaan, akan tetapi karena Kim Hwa Cinjin sendiri yang memerintahkan pemuda itu disambut sebagai tamu, maka kini Sin Liong diiringkan memasuki bangunan induk, terus masuk ke dalam ruangan luas di mana terdapat Kim Hwa Cinjin sendiri bersama para tokoh Pek-lian-kauw dan para murid terkasih. Semua orang lalu memandang kepada pemuda yang melangkah masuk dengan tenang itu.
Kim Hwa Cinjin sendiri masih tetap duduk sambil menatap wajah pemuda yang masuk itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dari kedudukan serta sikap kakek yang memiliki sepasang mata tajam dan aneh menyeramkan seperti mata iblis dalam dongeng itu, Sin Liong dapat menduga tentulah kakek tua yang menyambutnya dengan duduk saja itulah ketua Pek-lian-kauw, maka dia lalu berhenti di hadapan Kim Hwa Cinjin, menjura dengan hormat sambil berkata,
"Harap kauwcu (ketua agama) suka memaafkan kalau saya datang mengganggu."
Pada waktu masuk tadi, Sin Liong sudah mencari-cari dengan pandang matanya, namun dia tidak melihat adanya Bi Cu di sana, maka dia merasa agak lega dan dia pun bersikap sopan agar tidak menyinggung orang-orang Pek-lian-kauw.
Kim Hwa Cinjin mengangguk-angguk. "Hemm, dari pelaporan anak buah kami mendengar bahwa engkau mempunyai kepandaian yang tinggi, sicu. Sungguh membuat kami merasa kagum bahwa seorang pemuda seperti sicu sudah dapat memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Tentu sicu murid seorang sakti dan siapakah nama sicu?"
"Nama saya Sin Liong," jawab pemuda ini tanpa menyebutkan she (nama keturunan), dan ternyata ketua Pek-lian-kauw itu pun tidak bertanya tentang hal itu tanda bahwa ketua ini bersikap ramah dan menanyakan nama hanyalah untuk membalas sikapnya yang sopan saja padahal sebenarnya ketua ini tidak memandang dia sebagai orang penting!
"Saya kebetulan lewat dekat sini dan mendengar suara musik, saya merasa tertarik dan memasuki daerah ini tanpa memiliki niat yang buruk."
Kim Hwa Cinjin hanya mengangguk. Mendadak terdengar suara merdu di sebelah kanan kakek itu, "Suhu, dalam suasana gembira ini kita kedatangan tamu terhormat, bagaimana kalau teecu (murid) mempersiapkan hidangan untuk tamu agung?"
Sin Liong cepat memandang dan ternyata yang bicara ini adalah salah seorang di antara sekelompok wanita-wanita muda yang duduk di dekat kakek itu. Wanita-wanita itu berusia antara dua puluh sampai hampir empat puluh tahun, rata-rata berwajah cantik dan dari sikapnya jelas menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang pandai ilmu silat.
Memang mereka itu adalah murid-murid dari Kim Hwa Cinjin, murid-murid wanita yang berbakat. Yang bicara tadi adalah seorang wanita cantik berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun, pakaiannya indah dan rambutnya digelung rapi, dihiasi burung hong terbuat dari emas dan permata yang berkilauan. Di antara para murid wanita itu, wanita inilah yang paling cantik, kerling matanya tajam dan senyumnya amat manis.
Ketika Sin Liong memandang kepadanya, wanita itu pun menatapnya dengan sinar mata yang demikian menantang dan penuh gairah sehingga Sin Liong langsung menundukkan mukanya kembali.
"Ha-ha-ha-ha, Ciauw Ki, kita sedang berulang tahun maka biarlah kuturuti permintaanmu sebagai hadiahku tahun ini. Memang benar sekali, kita harus menjamu tamu agung, nah, kau layanilah sicu ini!"
Sin Liong menjadi kikuk sekali, akan tetapi dia sudah terlanjur masuk ke situ dan memang dia berniat menyelidiki apakah Bi Cu berada di situ, maka ketika wanita cantik itu bangkit dan menghampirinya, lalu dengan sikap manis mempersilakan dia duduk di atas sebuah kursi menghadapi meja yang masih kosong, tidak jauh dari situ, dia pun tidak membantah, mengangguk dan menjura menyatakan terima kasihnya. Ciauw Ki, murid wanita Kim Hwa Cinjin itu, lalu mengeluarkan hidangan dan arak, diatur di atas meja di depan Sin Liong.
Pada waktu wanita itu melakukan semua ini dengan senyum manis dan kerling mata yang menyambar-nyambar penuh tantangan, Sin Liong mencium keharuman keluar dari sapu tangan dan pakaian wanita itu. Dia merasa semakin kikuk, akan tetapi juga tidak berani menolak ketika Kim Hwa Cinjin sendiri dari tempat duduknya mempersilakan dia makan minum. Betapa heran rasa hatinya ketika dia melihat Ciauw Ki duduk di hadapannya dan melayaninya, mengisi cawannya dengan arak bila sudah kosong, menawarkan masakan ini dan itu, dengan sikap amat mesranya.
Padahal di situ terdapat banyak orang, terdapat banyak murid pria, mengapa justru murid wanita cantik ini yang harus melayaninya? Sin Liong yang tidak pernah dilayani wanita seperti itu, tentu saja menjadi gugup dan kikuk sekali, dan sikapnya ini agaknya semakin menarik hati Ciauw Ki.
Oleh karena Ciauw Ki terus mengisi cawan araknya dan mempersilakan minum, akhirnya pengaruh arak membuat Sin Liong agak nanar juga. Ketika tari-tarian yang dilakukan oleh wanita-wanita cantik, nyanyian yang diiringi musik merdu dipertunjukkan, Sin Liong tidak lagi merasa heran, bahkan menonton dengan gembira sambil mendengarkan pula obrolan Ciauw Ki yang bercerita dengan suara merdu.
"Ini adalah perayaan ulang tahun kami yang ke delapan, sicu, sudah delapan tahun kami menggunakan tempat ini sebagai pusat dan tak pernah mengalami gangguan. Dan pesta ulang tahun sekarang ini bagiku paling indah berkesan karena kehadiranmu..."
Sin Liong hanya tersenyum. Telinganya penuh dengan suara-suara merdu merayu yang mempesona dan membuat dirinya lengah. Pada waktu itu para wanita yang menari sudah mengundurkan diri, lantas suara tambur dipukul gencar, musik mengalunkan lagu perang yang dahsyat. Lalu muncullah dua orang wanita dan Sin Liong terbelalak.
Dua orang wanita muda itu mengenakan pakaian tipis yang membayangkan bentuk tubuh mereka, dan kedua tangan mereka memegang dua batang obor yang belum dinyalakan. Sesudah mereka menjatuhkan diri berlutut di hadapan sang ketua, lalu Kim Hwa Cinjin meraih dan obor-obor itu menyala! Seperti main sulap saja!
Kini kedua orang wanita muda itu mulai menari dengan obor-obor di kedua tangan. Sinar obor yang merah itu menyoroti tubuh mereka dan mereka itu seperti telanjang bulat saja karena cahaya itu menembus pakaian yang tipis, memperlihatkan semua lekuk lengkung tubuh mereka yang masih muda dan padat berisi. Para murid Pek-lian-kauw bersorak dan bertepuk-tepuk tangan mengikuti irama musik hingga suasana penuh dengan pesona dan gairah!
Mendadak Sin Liong merasa betapa ada tangan halus yang membelai jari-jari tangannya yang terletak di atas meja. Dia terkejut saat melihat betapa yang mengelus tangannya itu adalah tangan Ciauw Ki! Sin Liong cepat mengibaskan tangannya dan menarik tangan itu dari atas meja. Ciauw Ki menahan jeritnya karena tangannya terasa agak nyeri. Matanya terbelalak menatap wajah Sin Liong, akan tetapi sinar matanya segera melembut kembali dan senyumnya makin manis memikat.
Dari tempat duduknya, Kim Hwa Cinjin melihat adegan ini. Tiba-tiba saja dia mengangkat kedua tangannya ke atas, menghadap ke arah Sin Liong lalu mulutnya berkemak-kemik. Ketika itu Sin Liong masih menentang pandang mata Ciauw Ki. Tiba-tiba saja dia merasa seperti ada dorongan yang mengharuskan dia menoleh, memandang kepada dua orang penari wanita yang menggerak-gerakkan obor mereka. Sinar obor itu menyilaukan kedua matanya dan Sin Liong mengeluh.
Tiba-tiba dia melihat dua buah mata, sepasang mata yang tajam liar dan menyeramkan, seperti mata iblis sendiri, memandangnya sedemikian rupa sehingga dia terbelalak. Sang mata iblis ini seperti menari-nari di antara obor yang bergerak-gerak itu dan mendadak dia merasa tubuhnya lemas serta matanya mengantuk. Rasa kantuk itu tak tertahankan lagi olehnya. Kepalanya terasa berat, dan obor-obor yang bernyala itu kini terputar-putar. Sin Liong lalu memejamkan mata dan merebahkan kepalanya di atas lengannya yang dipakai sebagai bantal di atas meja. Tiba-tiba dia merasa tengkuknya diraba orang dan tubuhnya semakin lemas lalu dia tidak ingat apa-apa lagi!
Pemuda itu sama sekali tidak tahu bahwa semenjak pertama kali memasuki rumah induk di mana Kim Hwa Cinjin dan para murid dan pembantunya merayakan pesta ulang tahun mereka, dia telah memasuki perangkap yang amat berbahaya. Mula-mula Kim Hwa Cinjin memperlihatkan sikap ramah sehingga lenyaplah kecurigaan di hati Sin Liong. Pada saat Ciauw Ki, seorang di antara murid-murid wanita yang terkasih, memperlihatkan keinginan untuk memiliki pemuda tampan itu, Kim Hwa Cinjin menyetujuinya.
Sin Liong mulai dijamu dan diperlakukan dengan manis penuh pikatan oleh Ciauw Ki. Biar pun ketika itu Sin Liong sudah terpengaruh arak, namun melihat gadis itu berusaha untuk memikatnya dengan sentuhan tangan, pemuda ini terkejut dan cepat menolak. Kim Hwa Cinjin melihat ini dan dia tidak mau mengecewakan muridnya, maka diam-diam dia lalu mempergunakan ilmu sihirnya.
Sin Liong yang sedang lengah itu sama sekali tidak tahu bahwa dia diserang dengan ilmu sihir, maka dengan bantuan suara musik serta penglihatan indah dari tari obor oleh dua orang murid wanita itu, cahaya obor yang menyilaukan, akhirnya dia berhasil menyihir Sin Liong sehingga pemuda itu tertidur sebelum dia dapat menyadari keadaannya. Ciauw Ki juga cepat mempergunakan jari-jari tangannya menotok dan membuat pemuda itu tidak sadar.
Sin Liong membuka matanya dan pertama kali yang dirasakannya adalah kepalanya yang berdenyut-denyut pening. Dia mengeluh lirih dan mencium bau arak yang memuakkan. Teringatlah dia bahwa dia terlalu banyak minum arak. Ingin dia memijat-mijat kepalanya, akan tetapi ketika dia hendak menggerakkan tangan, dia terkejut dan heran.
Cepat dia membuka mata dan terbelalak memandang pada kedua lengannya yang sudah terbelenggu. Dua lengannya itu terikat di bagian pergelangan tangan. Suara tertawa kecil membuat dia semakin sadar dan sekarang dia memandang wanita yang duduk di pinggir pembaringan itu dengan sinar mata penuh keheranan.
Kini dia sudah rebah di atas pembaringan yang empuk, bersih dan harum, dalam sebuah kamar yang diterangi oleh tiga batang lilin. Wanita itu bukan lain adalah Ciauw Ki yang duduk sambil memegangi sebuah cawan arak dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri wanita itu mengelus-elus pahanya!
Sin Liong lalu menggerakkan kaki untuk mundur dan ternyata bahwa pergelangan kedua kakinya juga terikat! Agaknya Ciauw Ki mendengar dari para saudara seperguruannya akan kelihaian Sin Liong maka biar pun pemuda itu telah ditotoknya, tetap saja dia masih merasa khawatir dan mengikat pergelangan kaki dan tangan pemuda itu.
"Apa... apa artinya ini...?" Sin Liong bertanya sambil mengangkat kepalanya dari bantal.
"Hik-hik...!" Ciauw Ki tertawa genit dengan kepala agak bergoyang-goyang. Wanita cantik ini agaknya sudah setengah mabok.
Diam-diam Sin Liong memperhatikan keadaan sekeliling. Tentu malam telah tiba, pikirnya heran. Betapa lamanya dia pingsan atau tertidur di tempat ini. Dia mengingat-ingat dan ketika dia teringat akan sepasang mata yang membuatnya mengantuk, diam-diam dia lalu mengutuk. Dia sudah disihir! Tidak ragu-ragu lagi dia. Pek-lian-kauw terkenal dengan ilmu sihirnya. Dalam keadaan lengah dan tidak waspada dia telah kena disihir.
"Artinya, orang ganteng... bahwa engkau sedang berada di kamarku dan kita... kita akan bersenang-senang malam ini sepuas hati kita... hik-hik...!"
Diam-diam Sin Liong merasakan betapa masih ada sisa pengaruh totokan di tubuhnya, maka dia segera mengerahkan sinkang melancarkan kembali jalan darahnya. Dia masih belum mau mengambil tindakan keras, otaknya berpikir dan timbul kembali kecurigaannya bahwa jangan-jangan Bi Cu juga menjadi korban seperti dia. Maka dia pura-pura tidak berdaya, dan berkata, "Mengapa aku dibelenggu kaki tanganku?"
"Aku khawatir engkau akan menolak, sayang. Aku membelenggumu, akan tetapi lihatlah, belenggu itu dari ikat pinggang suteraku, baunya amat harum, kau ciumlah, hik-hik. Kalau engkau bersikap manis, tentu belenggumu itu akan kulepaskan. Sekarang, kau minumlah secawan arak ini. Arak ini pemberian suhu, arak istimewa, kau minumlah, sayang, setelah itu baru kubebaskan engkau dan kita bersenang-senang..."
Cawan arak itu didekatkan pada mulut Sin Liong dan dia mencium bau arak bercampur bau yang aneh. Mengertilah Sin Liong bahwa arak ini pun tidak wajar, bukan sembarang arak, karena itu tentu saja dia tidak mau minum.
"Nanti dulu... aku masih pening karena terlalu banyak minum... sebenarnya... aku sedang mencari seseorang... saudaraku..." Sin Liong membohong. Yang dicarinya adalah seorang gadis, jika dia bilang sahabat tentu akan menimbulkan kecurigaan, maka dia mengatakan saudaranya.
"Hemm, saudaramu? Siapakah saudaramu dan mengapa kau mencarinya di sini?" tanya wanita yang mukanya sudah merah karena setengah mabuk itu dan tangan kirinya masih mengelus paha Sin Liong yang membuat pemuda itu merasa geli.
"Saudaraku seorang gadis bernama Bi Cu..." Sin Liong berhenti berbicara karena melihat perubahan pada wajah gadis itu, sepasang mata yang tadinya nampak penuh gairah dan setengah terpejam itu mendadak agak terbelalak. Jantungnya berdebar dan yakinlah dia bahwa wanita ini tahu tentang diri Bi Cu.
Tentu saja Ciauw Ki mengetahui tentang Bi Cu, murid baru gurunya itu. Dia merasa iri hati kepada Bi Cu yang muda dan cantik, dan yang oleh suhu-nya dipilih sebagai kembang untuk diperebutkan pada perayaan ulang tahun itu! Apa bila tidak ada Bi Cu, tentu dialah yang akan diperebutkan, bukan Bi Cu. Dan karena iri hati itulah maka dia sengaja minta ganti kepada suhu-nya ketika dia melihat Sin Liong!
"Aihhh... kiranya engkau saudaranya! Jangan khawatir, orang tampan, saudaramu itu kini sedang dilimpahi kesenangan oleh tiga orang murid Pek-lian-kauw yang paling gagah dan tampan! Akan tetapi engkau pun tidak kalah mujurnya karena engkau mendapatkan aku... heiii... ahhh, aupppp...!"
Tiba-tiba saja Sin Liong menggunakan sinkang-nya hingga semua ikatan tangan kakinya putus. Ketika melihat dia mematahkan belenggu dan tahu-tahu sudah bangkit duduk itu, Ciauw Ki terkejut bukan main dan sebelum dia sempat menjerit, jari tangan kiri Sin Liong telah mendekap mulut yang tadinya tersenyum manis penuh pikatan itu dan meremasnya perlahan sehingga mulut yang manis itu kini nampak peot dan buruk, mata yang tadinya setengah terpejam penuh gairah dan nafsu birahi itu kini terbelalak ketakutan.
"Hemm, kuhancurkan mulutmu jika engkau tidak mengaku terus terang!" desis Sin Liong yang sudah merasa marah dan khawatir sekali. Tidak salah dugaannya, Bi Cu terjatuh ke tangan mereka dan kini agaknya terancam bahaya besar.
"Aa... aku... ahhhhh..." Sukar sekali Ciauw Ki bicara karena mulutnya masih didekap oleh jari tangan Sin Liong.
Tiba-tiba Ciauw Ki menggunakan tangan yang memegang cawan arak untuk menghantam ke arah muka Sin Liong. Akan tetapi Sin Liong menepuk pundaknya, dia pun terkulai lemas dan tidak mampu bergerak lagi. Ketika Sin Liong melepaskan dekapannya pada mulut itu, tubuh Ciauw Ki terkulai di atas pembaringan.
"Hayo katakan, di mana Bi Cu?"
Dengan suara lemah, Ciauw Ki berkata, "Bunuhlah, murid Pek-lian-kauw tidak takut mati! Bi Cu kini tentu sudah habis-habisan diperkosa oleh tiga orang suheng-ku...!"
"Plakkk!"
Tangan Sin Liong menampar dan wanita itu pingsan. Mulutnya berdarah dan beberapa buah gigi di mulutnya patah-patah. Tentu kecantikannya akan banyak berkurang karena tamparan itu, kalau tidak membuat wajahnya kelak bahkan menjadi buruk.
Cepat Sin Liong meloncat keluar dari kamar itu. Dengan beberapa loncatan saja dia telah berada di atas genteng. Pesta kaum Pek-lian-kauw itu masih dilanjutkan dengan meriah, maka sangat mudah baginya untuk melakukan penyelidikan, mencari-cari di mana Bi Cu disembunyikan.
Dia tidak perlu terus memaksa Ciauw Ki agar supaya mengaku sebab wanita itu agaknya merupakan tokoh Pek-lian-kauw yang tak akan mau membuka rahasia perkumpulan, biar diancam atau disiksa sekali pun. Dan Sin Liong takkan tega untuk menyiksa orang, maka dia lalu mengambil keputusan untuk mencari sendiri setelah menampar wanita itu sampai pingsan dalam keadaan tertotok agar tidak membuat gaduh selagi dia mencari tempat Bi Cu disembunyikan.
Dia mengintai dari genteng, sambil melihat ke dalam kamar-kamar yang banyak terdapat di perumahan itu. Banyak dia melihat kecabulan-kecabulan yang menjijikkan hatinya dan membuat dia tidak mengerti mengapa perkumpulan agama seperti Pek-lian-kauw ternyata memiliki pimpinan dan anggota-anggota yang menjadi hamba-hamba nafsu birahi seperti itu. Hampir di setiap kamar dia melihat para anggota Pek-lian-kauw bermain cinta dengan pasangan masing-masing dalam keadaan mabuk.
Tiba-tiba dia melihat bayangan berkelebat di bawah. Gerakan bayangan itu bukan main ringannya, maka dia langsung mengintai. Dengan heran dia melihat bahwa bayangan itu bukan lain adalan bayangan Kim Hwa Cinjin, ketua Pek-lian-kauw sendiri. Dan kakek tua itu kini berindap-indap menghampiri jendela sebuah kamar dan sinar lampu yang menimpa wajah tua itu memperlihatkan senyum iblis yang membuat Sin Liong bergidik.
Melihat kakek itu kini mengintai dari jendela, dia tertarik dan cepat dia melayang ke atas genteng lalu dengan hati-hati membuka genteng untuk melihat apa yang sedang terjadi di dalam kamar yang diintai sendiri oleh ketua Pek-lian-kauw itu. Dan hampir saja Sin Liong terjengkang di atas genteng, hampir saja dia berseru keras sesudah melihat apa yang ada di dalam kamar itu!
Kamar itu besar, tidak seperti kamar Ciauw Ki tadi. Di sudut kamar, mengelilingi sebuah meja yang penuh masakan dan arak sehingga bau arak sampai tercium olehnya dari atas genteng, duduk tiga orang lelaki yang hampir telanjang bulat, hanya mengenakan cawat saja! Mereka itu minum arak sambil tertawa-tawa gembira.
Salah satu di antara ketiga orang itu berusia kurang lebih empat puluh tahun, kumisnya tebal pendek dan jenggotnya terpelihara rapi, yang dua orang berusia sekitar tiga puluh tahun dengan muka halus. Ketiganya bertubuh tegap dan rata-rata wajah mereka dapat dikatakan tampan dan gagah, rambut mereka digelung ke atas seperti rambut para tosu Pek-lian-kauw.
Akan tetapi bukan ketiga orang itu yang mengejutkan hati Sin Liong, melainkan apa yang nampak di atas sebuah pembaringan yang ada di tengah kamar itu. Di atas pembaringan itu rebah seorang wanita, rebah terlentang dan lekuk lengkung tubuhnya nampak nyata di bawah pakaian dalam yang tipis sekali. Sedangkan pakaian luar wanita itu berserakan di bawah tempat tidur dan wanita itu kelihatan seperti orang yang tidur nyenyak.
Dapat dibayangkan alangkah terkejut rasa hati Sin Liong ketika melihat wanita ini karena dia mengenalnya sebagai Bi Cu! Dan dara itu tentu dibius, pikirnya dengan kedua tangan dikepal dan mulai berubah merah, sepasang matanya mencorong seperti mata naga yang marah!
"Sayang dia terpaksa dibius," kata si kumis tebal. "Kalau tidak dia tentu akan menolak dan melawan mati-matian!"
"Aku lebih senang apa bila dia melawan dan meronta, tidak seperti sekarang ini, mirip mayat!" cela orang ke dua sambil menenggak araknya.
"Dan aku lebih senang kalau dia itu mau menyerahkan diri dengan manis dan suka rela. Mengapa suhu tidak mempergunakan obat perangsang saja?"
"Seorang dara yang berhati baja seperti dia itu sukar dapat dipengaruhi obat perangsang, ah, betapa pun juga, dia mulus dan masih remaja. Hemm, biarlah kalian menonton dulu, aku akan menjadi orang pertama..."
"Ah, jangan begitu, suheng! Engkau harus mengalah kepadaku! Biarlah aku dulu yang..."
"Tidak, aku dulu! Aku yang termuda dan aku lebih pantas baginya!"
Si kumis tebal tertawa. "Ha-ha-ha, kita berebutan seperti anak kecil, seolah-olah kita tidak pernah mendapatkan seorang perawan remaja. Sudahlah, lebih baik kita undi saja!"
"Atau kita berpetak tangan, siapa menang dia mendapatkan dulu!"
Mendengar percakapan itu lega bukan main rasa hati Sin Liong. Jelaslah bahwa mereka itu belum sempat mengganggu Bi Cu. Bi Cu belum ternoda dan kedatangannya belum terlambat! Dia tidak mau membuang waktu lagi.
Saat tiga orang tosu itu sedang main petak tangan untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan tubuh dara itu lebih dulu, tiba-tiba terdengar suara keras di atas kamar dan juga di luar rumah. Suara keras di atas kamar itu terjadi karena Sin Liong menerjang genteng sampai bobol lantas tubuhnya melayang ke dalam kamar laksana seekor naga melayang dari angkasa menerobos awan gelap. Sedangkan suara ke dua lebih keras lagi, yaitu suara sorak-sorai yang gegap-gempita dari banyak orang berkelahi dan beradunya senjata-senjata tajam!
Semua orang yang berada di kamar itu terkejut. Demikian pula dengan Kim Hwa Cinjin yang sedang mengintai dengan hati berdebar penuh ketegangan nafsu birahi itu menjadi terkejut bukan main. Dia melihat betapa pemuda yang menjadi tamunya, dan yang telah ditundukkannya dengan ilmu sihir lalu diserahkan kepada Ciauw Ki untuk dimiliki wanita muridnya itu untuk malam ini dan dia sendiri akan mengintai di kamar Ciauw Ki, tiba-tiba melayang turun ke dalam kamar. Akan tetapi lebih kaget lagi ketika dia mendengar suara hiruk-pikuk di luar.
Perhatiannya terbagi, akan tetapi dia menganggap keadaan di luar situ lebih berbahaya, maka tanpa mempedulikan keadaan di dalam kamar itu, karena dia memandang rendah kepada Sin Liong dan percaya bahwa tiga orang muridnya akan dapat menghadapinya, Kim Hwa Cinjin cepat melompat keluar.
Dia terkejut sekali melihat bahwa yang menimbulkan suara gaduh itu adalah penyerbuan dari pasukan pemerintah terhadap sarang Pek-lian-kauw. Anggota-anggota Pek-lian-kauw yang tadinya masih berpesta-pora, kini menghadapi serbuan pasukan pemerintah dengan gugup. Bahkan ada beberapa orang muridnya yang masih telanjang bulat terpaksa harus melawan musuh, karena mereka itu tadi sedang bersenang-senang dengan pasangannya di dalam kamar, dikejutkan oleh suara itu sehingga keluar dan lupa memakai pakaiannya!
Sementara itu, dengan ringan sekali Sin Liong telah melayang turun ke dalam kamar. Dia pun mendengar suara ribut-ribut di luar dan dia merasa khawatir. Dia harus dapat cepat melarikan Bi Cu dari kamar ini dan keluar dari perkampungan Pek-lian-kauw, karena apa bila sampai dia dikepung oleh semua tokoh beserta anggota Pek-lian-kauw, akan sulitlah baginya untuk dapat menolong Bi Cu. Apa lagi Bi Cu berada dalam keadaan pingsan terbius seperti itu, tidak mampu bergerak sendiri.
Ketiga orang tosu Pek-lian-kauw yang memenangkan hadiah murid wanita baru itu juga terkejut bukan main. Mereka segera mengenal pemuda yang menjadi tamu ketua mereka dan yang siang tadi sudah ditawan kemudian diberikan kepada sumoi mereka. Marahlah mereka dan serentak mereka maju menerjang Sin Liong, biar pun mereka dalam keadaan hampir telanjang seperti itu.
Melihat gerakan mereka, tahulah Sin Liong bahwa mereka itu ternyata adalah tokoh-tokoh besar Pek-lian-kauw, dan tentu merupakan murid-murid utama dari ketua Pek-lian-kauw. Maka dia pun cepat mengelak dan menangkis, kemudian dengan beberapa jurus San-in Kun-hoat, dengan mengisi kedua tangannya dengan Thian-te Sin-ciang, Sin Liong balas menyerang.
Tiga orang tosu itu cepat menangkis tetapi seorang demi seorang berteriak kaget sekali, dan tubuh mereka terlempar lalu menabrak dinding kamar karena mereka itu tidak tahan beradu lengan yang terisi Thian-te Sin-ciang itu. Sejenak mereka nanar dan pusing akibat terbanting keras pada dinding kamar dan kesempatan ini digunakan oleh Sin Liong untuk menyambar tubuh Bi Cu.
Tanpa mempedulikan keadaan tubuh dara itu yang hanya tertutup pakaian dalam tipis, dia lalu memondongnya dan melarikan diri meloncat keluar melalui lubang di atas genteng, kemudian dengan cepat dia pun meloncat ke tempat yang agak sunyi di belakang rumah karena di banyak tempat kini nampak obor-obor dan orang-orang berkelahi dengan hebat dan mati-matian! Dia tidak tahu apa yang telah terjadi, siapa yang sedang bertempur itu, dan dia pun tidak peduli. Yang paling penting adalah menyelamatkan Bi Cu dan selama dia masih berada di dalam perkampungan itu, keselamatan Bi Cu terancam bahaya.
Maka larilah dia, menyusup-nyusup di antara tempat-tempat yang gelap. Beberapa kali dia berpapasan dengan anggota Pek-lian-kauw atau anggota pasukan penyerbu sehingga terpaksa dia merobohkan mereka ini dengan tendangan-tendangan kakinya.
Tiba-tiba terdengar suara yang sangat nyaring melengking, seolah-olah datang dari atas langit. "Liong-te... di mana engkau...?!"
Sin Liong terkejut bukan main seolah-olah mendengar kilat menggelegar pada siang hari yang panas. Tentu saja dia mengenal suara itu! Suara Ceng Han Houw! Celaka, pikirnya, kiranya para penyerbu Pek-lian-kauw itu adalah pasukan pemerintah yang agaknya telah dipimpin sendiri oleh Ceng Han Houw. Pangeran ini malah jauh lebih lihai dan berbahaya dari pada semua orang Pek-lian-kauw.
Maka Sin Liong mempercepat larinya, berloncatan dan akhirnya dia berhasil keluar dari perkampungan Pek-lian-kauw yang geger itu. Setelah memasuki sebuah hutan yang amat gelap, cukup jauh dari perkampungan itu, hatinya lega. Akan tetapi dia pun tidak mungkin dapat melanjutkan larinya karena hutan itu gelap sekali.
Maka dia mencari tempat yang bersih lantas dia merebahkan tubuh Bi Cu ke atas tanah berumput tebal di bawah pohon-pohon besar. Dia berusaha menyadarkan Bi Cu, akan tetapi dara yang sudah terbius ini sama sekali tidak mungkin dapat siuman sebelum obat biusnya habis pengaruhnya. Dia seperti orang pingsan, atau orang yang tertidur nyenyak sekali.
Sin Liong yang maklum bahwa bahaya masih belum lewat dan tentu kaum Pek-lian-kauw, bahkan yang lebih berbahaya lagi, pasukan yang dipimpin Han Houw tentu akan mengejar dan mencarinya, tak berani membuat api unggun sehingga untuk melindungi tubuh Bi Cu yang setengah telanjang itu dari serangan nyamuk dan hawa dingin, dia lalu melepaskan bajunya dan menyelimuti Bi Cu dengan baju itu. Kemudian dia memegang kedua tangan Bi Cu, menyalurkan sinkang sehingga hawa hangat memasuki tubuh dara itu, melindungi tubuhnya dari hawa dingin yang menusuk tulang.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sin Liong sudah mendengar suara orang-orang memasuki hutan itu. Terpaksa dia memondong lagi tubuh Bi Cu yang masih juga belum siuman. Dia merasa marah sekali. Orang-orang Pek-lian-kauw itu sungguh keji, membius Bi Cu sampai semalam suntuk belum juga siuman, tentu dengan maksud yang amat kotor dan keji! Dengan bantuan sinar matahari pagi yang remang-remang, dia terus melangkah memasuki hutan sambil memondong tubuh Bi Cu.
Tiba-tiba saja dari balik pohon-pohon besar berloncatan tiga orang tosu, seorang di antara mereka yang berkumis tebal membentak, "Pemuda iblis, mau lari ke mana engkau?!"
Sin Liong kaget sekali dan dia segera mengenal bahwa tiga orang tosu ini adalah mereka yang tadi malam hendak memperkosa Bi Cu di dalam kamar itu. Akan tetapi karena dia menduga bahwa selain mereka tentu masih terdapat banyak orang Pek-lian-kauw yang agaknya sudah tersebar di dalam hutan, dan mengingat lagi bahwa mungkin akan muncul Ceng Han Houw sehingga akan menyukarkan dia melindungi Bi Cu, dia lalu membalikkan tubuh dan berlari tanpa berkata apa-apa.
Tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu mengejar dengan marah. Sesudah beberapa lamanya berlari, Sin Liong menoleh dan mengerling ke belakang. Ternyata pengejarnya tetap hanya tiga orang tosu itu. Giranglah hatinya dan dia pun cepat menurunkan tubuh Bi Cu ke atas rumput, kemudian dengan tenang dia menanti kedatangan mereka.
Tiga orang tosu itu adalah murid-murid pilihan dari Kim Hwa Cinjin. Kalau pada waktu Sin Liong masuk ke dalam kamar untuk menolong Bi Cu mereka itu tidak sempat melakukan perlawanan yang gigih adalah disebabkan mereka bertiga berada dalam keadaan hampir telanjang. Kini mereka sudah siap siaga dengan pakaian lengkap.
Melihat pemuda itu sudah menurunkan tubuh dara yang telah menjadi sumoi mereka dan menjadi kekasih mereka bertiga sebab oleh suhu mereka telah diberikan kepada mereka, tiga orang tosu ini segera menerjang ke depan. Semalam, setelah mengenakan pakaian, mereka lalu melakukan pengejaran, tanpa mempedulikan kegegeran yang terjadi di dalam perkampungan Pek-lian-kauw dan melihat pemuda itu lenyap di dalam hutan, mereka lalu mencari-cari sampai jauh ke dalam hutan. Karena keadaan sangat gelap, maka mereka menunggu dan pada pagi hari itu, benar saja mereka melihat pemuda yang dikejarnya berjalan memondong tubuh calon korban mereka.
Selanjutnya,