Pendekar Lembah Naga Jilid 45
Han Houw lalu membalikkan tubuh itu dengan memegang pundaknya. Sesudah tubuh itu membalik, dia pun terbelalak. Wanita ini masih amat muda dan cantik manis bukan main! Wajah itu pucat, akan tetapi kulitnya halus bukan main dan agaknya tadinya terpelihara baik-baik, dengan alis yang seperti dilukis saja, mata terpejam dengan bulu mata panjang, hidung kecil mancung dan mulut yang mengg4irahkan, dengan bibir penuh lembut serta lehernya panjang, putih mulus berbentuk indah.
Usia wanita ini tak akan lebih dari dua puluh tahun, dan di balik pakaian yang robek-robek itu, bahkan di bagian dada juga robek, membayanglah bu4h dada yang padat dan lekuk lengkung tubuh yang penuh berisi, tubuh seorang wanita muda yang mulai masak!
Han Houw cepat-cepat meraba nadi pergelangan tangan wanita itu. Lemah sekali! Dari pengetahuannya yang cukup tentang keadaan tubuh manusia, dia mengerti bahwa wanita ini tidak terluka, hanya sangat lelah dan mungkin sekali kelaparan! Wanita itu pun tidak pingsan, melainkan setengah sadar karena dia menggerakkan mata dan mulut. Mata itu terbuka perlahan dan untuk kedua kalinya Han Houw terpesona. Mata itu pun demikian indahnya, bening dan penuh perasaan, hanya terselimut duka yang mendalam.
Bibir yang kemerahan dan lunak itu berbisik-bisik, "Biarkan aku mati... ahhh, biarkan aku mati..."
"Hemm, engkau masih muda dan cantik, kenapa ingin mati, nona?"
Wanita muda itu menangis sesenggukkan. "...lebih baik mati dari pada hidup merana... aku akan tersiksa..."
"Hemmm, jangan takut! Setelah aku berada di sampingmu, biar raja setan neraka sekali pun takkan berani mengganggumu. Aku akan melindungimu. Mari engkau ikut denganku, nona."
Wanita itu lalu bangkit duduk dengan lemah, matanya yang seperti hendak terpejam saja, seperti mata orang mengantuk karena lemahnya itu, memandang wajah pria yang tampan itu. "Kau... kau... siapakah...?"
Wajah tampan itu tersenyum penuh gaya. "Aku adalah Pangeran Ceng Han Houw...!"
"Aduh...! Ampunkan hamba...!" Wanita itu cepat-cepat berlutut dan memberi hormat, akan tetapi karena badannya lemah dia terguling dan tentu sudah roboh lagi kalau tidak cepat dirangkul Han Houw.
"Siapa namamu?"
"Hamba... hamba she Sun bernama Eng..."
Han Houw yang merangkul wanita itu mendekatkan mukanya dan mencium bau sedap, membuat hatinya makin berdebar penuh gairah.
"Maukah engkau ikut bersamaku, menikmati hidup dan terlepas dari penderitaanmu?" Dia berbisik dekat telinga wanita itu, hidungnya menyentuh pipi dengan lembut.
"Hamba... hamba mau... akan tetapi suami hamba..."
Sepasang alis pangeran itu berkerut, akan tetapi hatinya sudah terlampau tertarik dengan kecantikan dan kelembutan yang sudah terasa oleh kedua tangannya yang merangkul dan sudah tercium oleh hidungnya. "Suamimu...?"
"Hamba... melarikan diri dari suami hamba... kalau dia tahu hamba... hamba tentu akan dibunuhnya..."
Lega rasa hati Han Houw dan dia tersenyum. "Engkau lari darinya? Mengapa engkau lari dari suamimu?"
"Hamba... hamba dipaksa menikah dengan suami yang tua bangka itu... biar pun dia kaya raya, hamba tidak suka... dan setelah tiga bulan menjadi isterinya, hamba tidak sanggup menahan lagi maka hamba lalu melarikan diri. Sampai tiga hari tiga malam hamba lari... hamba tidak makan dan..."
Semakin giranglah hati Han Houw. Diciumnya mata kanan yang bening itu dengan ujung hidungnya. Sun Eng memejamkan matanya kemudian membuat suara dengan napasnya seperti tersentak kaget, sikap seorang wanita yang tidak biasa bermain gila dengan pria lain!
"Pangeran...! Jangan..."
Tentu saja sikap ini sangat menyenangkan bagi Han Houw, maka dia tersenyum. "Kalau begitu jangan khawatir, mari kau ikut bersamaku dan hidup senang di kota raja. Tentang suamimu tua bangka itu, kalau dia berani muncul, akan kujebloskan ke dalam penjara!" Tanpa menanti jawaban lagi, dia lalu memondong tubuh Sun Eng kemudian dibawanya ke dalam kereta.
Tirai kereta ditutup lantas dengan suara lantang gembira Han Houw memerintahkan kusir untuk membalapkan kereta itu menuju ke kota raja!Dapatlah dibayangkan alangkah senangnya hati Han Houw menemukan seorang wanita secantik manis Sun Eng. Selama dalam perjalanan itu dia membelai dan membujuk rayu sehingga wanita itu tidak berani banyak berkutik atau bersuara karena merasa malu sekali terhadap kusir yang duduk di depan. Dia terpaksa diam saja ketika dipeluk, diciumi dan digerayangi oleh pangeran itu.
Sun Eng hanya memejamkan matanya, bahkan dicobanya untuk membayangkan bahwa yang diciuminya itu adalah Lie Seng, pria yang amat dicintanya! Hatinya perih bukan main bahwa dia terpaksa harus melakukan hal ini, terpaksa harus menyerahkan dirinya kepada seorang pria lain, betapa pun tampan, gagah dan tingginya kedudukan pria yang sedang memangkunya ini. Dia melakukan akal ini dengan perasaan hancur.
Hanya ini satu-satunya jalan, pikirnya. Satu-satunya jalan untuk mengorbankan diri demi kebaikan keluarga Lie Seng. Pertama, dia akan dapat berusaha menyelamatkan keluarga Cin-ling-pai dengan cara menundukkan pangeran yang berkuasa ini. Ke dua, dia pun bisa memutuskan hubungannya dengan Lie Seng karena dia insyaf bahwa sesungguhnya dia tidak patut menerima cinta yang demikian besarnya dari Lie Seng.
Diam-diam Sun Eng merasa heran, betapa cintanya terhadap Lie Seng sudah merubah dirinya sama sekali, merubah perasaan hatinya. Dia tahu pasti bahwa dulu, sebelum dia berjumpa dengan Lie Seng, tentu dia akan merasa bangga, merasa gembira bukan main bila bertemu dengan seorang seperti pangeran ini. Masih muda, tampan, pandai merayu, pandai bermain cinta, berkepandaian tinggi sekali, serta berkedudukan tinggi pula! Akan tetapi mengapa kini dia menerima belaian dan peluk cium pangeran ini dengan hati yang demikian perihnya?
"Ehh, mengapa engkau menangis?" bisik pangeran itu di dekat telinganya sesudah puas menciuminya dan melihat ada beberapa butir air mata menuruni kedua pipi yang halus dan kemerahan itu.
"Hamba... hamba takut...," bisik Sun Eng.
"Takut? Ha-ha-ha, aku suka padamu, Eng-moi, jangan takut, aku akan melindungimu dan mulai saat ini, semua orang akan menghormatimu. Hai, kusir, kita berhenti di kota ini dan pergi ke rumah kepala daerah!" Pangeran Ceng Han Houw berkata ketika melihat bahwa keretanya memasuki pintu gerbang sebuah kota.
Sun Eng digandeng turun sesudah kereta berhenti di depan gedung kepala daerah, dan pangeran itu bersama Sun Eng lalu disambut dengan penuh kehormatan. Memang benar seperti yang dijanjikan oleh pangeran itu, karena dia datang sambil digandeng oleh sang pangeran, maka Sun Eng disambut dengan penuh penghormatan!
Han Houw diberi kamar yang terindah di gedung itu, dan atas perintah Han Houw, kepala daerah itu bergegas mencarikan pakaian-pakaian yang paling indah untuk Sun Eng! Dan mereka berdua pun lalu dijamu dengan hidangan-hidangan istimewa yang serba lezat dan mahal! Sun Eng merasa seakan-akan dia hidup di dalam mimpi. Kepala daerah kota itu mengadakan pesta untuk menghormati dan menyenangkan dia!
Akan tetapi kembali dia menangis dan hatinya terasa hancur ketika pada malam itu dia terpaksa harus melayani sang pangeran bermain cinta. Dia hanya bisa menyerah, bahkan demi tercapainya rencana yang sedang dijalankannya, dia tidak hanya melayani dengan pasrah dan diam saja, bahkan sebaliknya dari pada itu, dia mempergunakan kepandaian dan pengalamannya untuk menyenangkan pangeran itu.
Pangeran Ceng Han Houw makin tergila-gila kepada Sun Eng dan pangeran yang cerdik ini merangkul dan bertanya, "Eng-moi, dari mana engkau mempelajari semua kelihaianmu yang penuh gairah ini?"
Sun Eng tersenyum dan bersikap malu-malu, lalu mencubit lengan pangeran itu.
"Ah, pangeran... saya yang setiap hari harus menderita... merasa tersiksa dalam pelukan seorang tua bangka yang napasnya sudah empas-empis, yang untuk mengangkat tubuh sendiri saja sudah tidak kuat... betapa setiap saat saya selalu merindukan seorang pria yang muda, kuat dan tampan seperti paduka... karena itu, tentu saja saya merasa sangat berterima kasih dan girang..."
Han Houw tertawa dan malam itu mereka bermain cinta tanpa mengenal lelah atau puas. Pada keesokan harinya, Han Houw melanjutkan perjalanan ke kota raja. Mulai saat itu, Sun Eng menjadi selir yang terkasih dari Han How. Selir baru ini, seperti biasa, diterima dengan penuh kerelaan dan sikap manis oleh selir-selir yang lain.
Pada jaman itu, selir-selir dari seorang bangsawan atau hartawan tidak ada yang berani menentang apa bila suami mereka yang lebih tepat disebut majikan mengambil selir baru. Apa lagi selir-selir Pangeran Ceng Han Houw yang kesemuanya tunduk dan takut sekali terhadap sang pangeran, di samping rasa kagum mereka dan keinginan mereka untuk menjadi orang yang paling dikasihi.
Sun Eng memang mengalami kehidupan yang mewah dan enak. Setiap hari dilayani para pelayan, hidup serba mewah, dan satu-satunya pekerjaan hanyalah bersama para selir lain melayani sang pangeran, berusaha menyenangkan hati pangeran sebaik mungkin. Dia terkenal sebagai selir baru yang pendiam terhadap lain selir, akan tetapi amat manis budi dan menarik terhadap sang pangeran sehingga sampai beberapa bulan lamanya dia menjadi selir terkasih dan paling dipercaya oleh Han Houw.
Menggunakan saat-saat sang pangeran terbuai oleh pelayanannya di dalam kamar, pada waktu pangeran muda itu dalam keadaan setengah mabuk oleh rayuannya, sedikit demi sedikit Sun Eng dapat memperkuat kepercayaan pangeran itu kepadanya hingga sedikit demi sedikit pula dia dapat mengorek rahasia pribadi sang pangeran!
"Aku adalah putera tiri dari Raja Sabutai yang besar!" demikian Han Houw berbisik dalam mabuknya sambil membelai Sun Eng penuh gairah birahi. "Dan aku akan menjadi orang terbesar di seluruh dunia! Aku mewarisi ilmu kepandaian yang amat tinggi dan aku harus menjadi Jago Nomor Satu di dunia ini!"
Perlahan-lahan, dengan beberapa pertanyaan yang seolah-olah mengagumi dan memuji, dengan sikap manja yang amat menarik, disertai ciuman-ciuman hangat dan penyerahan diri penuh gairah, Sun Eng berhasil menuntun Han Houw sehingga pangeran muda ini akhirnya menceritakan semua cita-citanya.
Dia ingin menjadi jago nomor satu di dunia bukan sekedar memuaskan hatinya melainkan mengandung niat yang lebih besar. Yaitu, sesudah menjadi jagoan nomor satu, dia akan dapat menghimpun seluruh kekuatan kang-ouw untuk berdiri di belakangnya! Dan dia pun perlahan-lahan hendak menguasai para pimpinan bala tentara Kerajaan Beng-tiauw agar mereka pun berdiri di belakangnya. Kemudian, dengan bantuan ayah tirinya, Raja Sabutai yang akan melakukan penyerbuan lagi ke selatan, dia yang sudah siap di sebelah dalam ini akan menjatuhkan kekuasaan Kaisar Ceng Hwa, yaitu saudara tirinya, dan merebut tahta kerajaan.
"Ha-ha-ha, kekasihku, akulah yang patut menjadi kaisar, bukan?"
Sun Eng merangkul manja. "Tentu saja, pangeran. Di dunia ini tidak ada seorang pria lain mana pun yang lebih pantas menjadi kaisar selain paduka."
Han Houw tertawa dan mencium bibir yang setengah terbuka dan menantang itu. "Dan engkau mungkin menjadi permaisuriku!"
"Ahhh... pangeran, mana hamba ada harga untuk itu..."
"Kau cukup berharga, atau setidaknya engkau akan menjadi permaisuri ke dua, ke tiga atau selir terkasih."
"Ahhh, terima kasih, pangeran junjungan hamba..."
Demikianlah, dengan segala kepandaian yang ada padanya, Sun Eng membikin pangeran itu tergila-gila kepadanya dan mabuk rayuannya sehingga dia percaya benar dalam waktu kurang dari dua bulan saja.
Pada suatu senja, Pangeran Ceng Han Houw sedang mengaso di ruangan dekat taman. Dia duduk di atas sebuah kursi panjang yang dibuat amat indahnya, sebuah kursi rotan yang kepalanya berupa kepala seekor ular raksasa. Dengan santai pangeran itu duduk dengan kedua kaki lurus di atas kursi panjang itu, tersenyum nikmat dikelilingi oleh para selirnya terkasih.
Sun Eng duduk paling dekat dengannya, bahkan Sun Eng inilah yang bertugas memijati tubuh pangeran itu. Sun Eng memijati atau lebih tepat disebut membelai paha pangeran itu. Ada pula selir yang mengipasi leher pangeran karena hawa senja hari itu agak panas. Seorang selir lainnya membawa buah-buahan segar, dan ada seorang selir yang sedang melakukan tari sutera yang indah dengan diiringi suara musik merdu yang dimainkan oleh beberapa orang selir lain dengan yang-kim dan suling. Para selir itu semua cantik-cantik dan muda-muda, akan tetapi agaknya memang Sun Eng yang menjadi selir terkasih saat itu.
Sun Eng kelihatan diam termenung. Memang hatinya sedang gelisah sekali sesudah apa yang didengarnya dan dapat dikoreknya dari Pangeran Ceng Han Houw semalam, ketika dia melayani pangeran itu. Untung bahwa saat itu pangeran sedang kelelahan dan malas memperhatikan sesuatu sehingga tak nampak oleh sang pangeran betapa kekasihnya itu termenung. Pangeran itu terlampau lelah karena sesudah semalam dia hampir tidak tidur dan berenang dalam lautan permainan asmara bersama Sun Eng, pada siang hari tadi dia masih mengumbar nafsu birahinya dengan para selir lain.
Di dalam hati Sun Eng terjadi keraguan akan hasil dari pada semua pengorbanannya. Dia mendengar dari pangeran ini bahwa yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai bukanlah kaisar atau pemerintah. Kaisar hanya terkena hasutan dari Kim Hong Liu-nio yang mendendam kepada keluarga Cin-ling-pai karena dua hal.
Pertama, karena keluarga itu adalah musuh besar subo-nya. Ke dua karena Kim Hong Liu-nio merasa sakit hati atas kematian Panglima Lee Siang, dan justru pembunuh dari panglima kekasih Kim Hong Liu-nio itu adalah Lie Seng! Jadi bukan pangeran inilah yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai!
Apa bila demikian, percuma saja dia menghambakan diri kepada pangeran ini! Hampir dia putus asa, akan tetapi setidaknya dia hendak mempergunakan pengaruhnya sebagai selir terkasih, menggunakan pengaruh tangannya pula! Dia harus membongkar semua rahasia Pangeran Ceng Han Houw ini kepada kaisar! Akan tetapi bagaimana caranya dan mana buktinya? Tanpa bukti, tentu saja tidak mungkin hal itu dilakukan. Kaisar tentu akan jauh lebih mempercayai seorang adik tiri dari pada seorang selir pangeran!
Pada waktu itu, selagi Pangeran Ceng Han Houw hampir tertidur karena keenakan dibuai oleh suara musik dan dipijati Sun Eng, dengan silirnya kebutan kipas, mendadak seorang pengawal melaporkan bahwa ada tamu dari utara yang hendak datang menghadap. Saat mendengar kedatangan tamu dari utara, Pangeran Ceng Han Houw seketika bangkit dan wajahnya membayangkan kesungguhan serta penuh semangat, kemudian dengan berseri dia berkata,
"Suruh dia menanti di ruangan baca di dalam."
Pengawal itu memberi hormat kemudian cepat keluar. Ruangan baca merupakan ruangan di sebelah dalam yang menjadi kamar rahasia dari pangeran itu. Biasanya siapa pun tidak boleh memasukinya. Kalau sekarang seorang tamu dipersilakan masuk ke dalam ruangan itu, maka mudah diduga bahwa tamu itu tentu seorang yang amat penting.
"Pangeran, bolehkah hamba ikut?" tiba-tiba Sun Eng berbisik.
Pangeran menoleh dan sudah bersiap untuk menolak dan menyuruhnya pergi, akan tetapi pada saat dia memandang sinar mata lembut penuh cinta kasih itu, mata dan mulut yang membayangkan permohonan mendalam agar diperkenankan selalu di dekatnya, maka dia tersenyum, merangkul dan mencium bibir Sun Eng sampai lama, dipandang dengan rasa iri tersembunyi oleh para selir lainnya.
"Hanya engkau saja yang boleh, aku percaya kepadamu," bisik pangeran itu yang segera menggandeng tangannya dan diajaklah selir terkasih ini ke dalam menuju ke kamar baca itu.
Tiga orang yang duduk di dalam kamar yang luas dengan diterangi lampu-lampu besar itu langsung bangkit berdiri dan mereka cepat menjatuhkan diri berlutut di hadapan Pangeran Ceng Han Houw. Pangeran itu lantas menggerakkan tangannya menyuruh mereka berdiri, lalu dia sendiri duduk di atas kursi kepala, menarik tangan Sun Eng dan menyuruh selir ini duduk di samping kirinya.
"Duduklah dan ceritakan hasil dari tugas-tugas kalian," katanya tenang.
Tiga orang itu kelihatan ragu-ragu dan dengan alis berkerut mereka memandang kepada Sun Eng, agaknya merasa heran, bingung dan khawatir. Sang pangeran tersenyum ketika melihat sikap mereka itu. Sambil merangkul pundak selimya dia berkata,
"Jangan kalian meragu. Dia ini adalah selirku yang tercinta, orang yang paling kupercaya di sini. Kalian boleh bicara tanpa ragu-ragu."
Sun Eng menundukkan mukanya untuk menyembunyikan perasaannya sebab saat itu dia merasa tegang bukan main. Dia tidak mengenal ketiga orang ini dan tadi dia memandang penuh perhatian.
Salah seorang di antara mereka adalah seorang kakek berusia enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar, mukanya hitam brewok menyeramkan. Dia tidak tahu bahwa orang ini adalah seorang tokoh selatan yang sangat terkenal, karena dia adalah Hai-liong-ong Phang Tek, orang pertama dari Lam-hai Sam-lo yang amat ditakuti orang.
Ada pun orang ke dua dan ke tiga adalah orang asing, kemungkinan orang Mongol, dan pandang mata mereka itu tajam sekali, tanda bahwa mereka adalah orang-orang cerdik. Salah seorang di antara keduanya, yang usianya kurang dari lima puluh tahun, sesudah membungkuk-bungkuk dengan hormat kemudian bicara singkat dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Sun Eng kepada pangeran.
Dan sambil tersenyum-senyum sang pangeran menjawab dalam bahasa itu pula, agaknya menghibur dan menenangkan hati orang Mongol itu. Orang ke dua yang usianya kurang lebih enam puluh tahun membuat Sun Eng merasa tidak enak karena sinar mata orang ke dua ini seolah-olah mampu menelanjanginya. Mata pria yang cabul.
"Nah, sam-wi, silakan sekarang membuat laporan. Selirku yang satu ini sama saja dengan isteriku, maka boleh dipercaya sepenuhnya."
Kembali orang Mongol yang lebih tua itu bicara dalam bahasa Mongol, lalu menyerahkan sebuah kotak hitam. Sun Eng ingin sekali mengetahui, akan tetapi karena tidak mengerti bahasa mereka, dia hanya termangu-mangu. Girang hatinya ketika dia melihat pangeran membuka peti itu lantas mengeluarkan gulungan kertas yang merupakan surat dari Raja Sabutai kepada puteranya! Sang pangeran membaca surat itu lalu tertawa.
"Ha-ha-ha, ayahanda Raja Sabutai masih suka menggunakan peraturan kuno, mengirim surat secara resmi! Syukurlah bahwa kini di utara telah diadakan persiapan. Nah, Phang-lo-enghiong, ketahuilah bahwa sekutu kita di utara sudah siap. Karena itu kita juga harus cepat-cepat mempersiapkan diri. Apakah engkau telah menghubungi fihak Pek-lian-kauw yang sudah kutundukkan?"
Dengan sikap sangat menghormat, kakek tua yang tinggi besar itu mengangguk. "Sudah, pangeran, Kim Hwa Cinjin sudah menyatakan bahwa seluruh anggota Pek-lian-kauw telah siap untuk membantu paduka."
"Bagus! Kalau demikian tinggal menghimpun orang-orang kang-ouw, dan untuk itu perlu lebih dulu diadakan pertemuan besar untuk memperebutkan gelar jago nomor satu. Kalau aku dapat merebut gelar itu, tentu mudah untuk mempengaruhi mereka. Kau boleh atur pertemuan besar itu..."
"Baik, pangeran."
Melihat selirnya yang tercinta itu kelihatan kesal karena agaknya tidak tertarik, Pangeran Ceng Han Houw lalu memegang lengannya dan berkata, "Eng-moi, kau lebih baik pergi mengaso dulu. Ehh, baiknya kotak ini kau bawa dan kau simpan dulu baik-baik di dalam kamarmu. Aku masih hendak mengadakan perundingan penting dengan para tamu ini dan engkau tidak perlu mendengarkan karena engkau tentu tidak tertarik."
Sun Eng menyembunyikan debar jantungnya karena girang. Dia memberi hormat dengan sikap manis dan berkata, "Baik, pangeran. Hamba akan menanti paduka dan menyiapkan segalanya untuk menyenangkan paduka..." Dalam ucapan ini terkandung janji-janji yang hanya diketahui oleh mereka berdua. Wajah pangeran itu berseri-seri akan tetapi dia lalu mengerutkan alisnya dan berkata dengan suara lirih.
"Ah, agaknya malam ini kami akan berunding sampai jauh malam, mungkin sampai pagi. Kau mengasolah saja, Eng-moi, engkau perlu beristirahat setelah..." dia tidak melanjutkan kata-katanya, hanya tersenyum dan Sun Eng berhasil memperlihatkan sikap tersipu-sipu.
Memang selama hampir dua bulan itu, hampir setiap malam sang pangeran tentu berada di dalam kamarnya dan mereka itu seperti sepasang pengantin baru berbulan madu saja. Kembali dia memberi hormat, lalu mengundurkan diri membawa kotak hitam terukir indah itu.
Setelah tiba di dalam kamamya, Sun Eng cepat-cepat mengeluarkan alat tulis dan kertas kosong, lalu dengan cepat dia mengerahkan seluruh ingatannya untuk menyusun sebuah surat pelaporan kepada kaisar! Ditulisnya semua rahasia dari Pangeran Ceng Han Houw, betapa pangeran ini sudah mengadakan persekutuan dengan Raja Sabutai dan dengan orang-orang kang-ouw, bahkan dengan Pek-lian-kauw yang telah siap membantu apa bila Raja Sabutai mengadakan serbuan!
Betapa keluarga Cin-ling-pai difitnah oleh Kim Hong Liu-nio, diceritakannya selengkapnya dalam pelaporan itu tentang asal mula keluarga Cin-ling-pai kena fitnah. Semua ini telah didengarnya sendiri dari penuturan Pangeran Ceng Han Houw!
Sesudah selesai membuat surat itu, Sun Eng berganti pakaian ringkas yang disimpannya secara sembunyi, kemudian dia meninggalkan gedung besar itu melalui jendela dan terus berloncatan di atas genteng. Selir yang biasanya sangat manja dan lemah lembut penuh daya tarik kewanitaan itu, kini berubah menjadi bayangan yang amat gesit dan ringan.
Selama menjadi selir terkasih Pangeran Ceng Han Houw, merayu pangeran itu di dalam belaiannya, Sun Eng telah pula mengenal nama-nama para pejabat tinggi yang dianggap musuh oleh sang pangeran, sebab pejabat itu merupakan pembesar-pembesar yang amat setia kepada kaisar.
Oleh karena itu bayangan hitam yang berkelebatan pada malam hari berlompatan di atas genteng-genteng itu kini menuju sebuah gedung besar, yaitu tempat tinggal dari Menteri Liang, seorang menteri tua yang terkenal sangat setia terhadap pemerintah. Akan tetapi karena kedudukannya hanyalah sebagai menteri bagian kebudayaan, maka kejujuran dan keadilannya tak dapat berbuat banyak terhadap para menteri durna yang lain. Maklumlah, kedudukannya tidak mengijinkan dia mencampuri urusan-urusan lain yang lebih penting dan lebih dekat dengan kaisar.
Para pengawal cepat mengepung Sun Eng ketika wanita ini tiba di pintu gerbang besar menteri itu, "Saya bernama Sun Eng, dan saya mohon menghadap Liang-taijin karena ada urusan yang amat penting sekali. Urusan yang menyangkut keamanan negara."
Mendengar ini, para pengawal segera melaporkan kepada Liang-taijin. Pembesar ini tidak pernah takut menghadapi apa pun juga, maka mendengar betapa malam-malam begitu ada seorang wanita cantik yang diduga adalah seorang wanita kang-ouw ingin menghadap membawa berita penting, tentang keamanan negara, dia segera menyuruh para pengawal mengantar wanita itu ke ruang tamu. Tentu saja demi keamanan dirinya sendiri, dia juga memerintahkan para pengawal untuk berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan.
Dengan jantung berdebar Sun Eng lalu memasuki kamar tamu, diiringkan oleh belasan orang pengawal yang memegang tombak. Sesudah dia berjumpa dengan pembesar tua yang berwibawa itu, dia segera menjatuhkan diri berlutut. "Hamba adalah seorang selir baru dari Pangeran Ceng Han Houw..."
"Ahhh...!" Menteri tua itu bangkit dari tempat duduknya dan memandang dengan penuh selidik.
"Hamba sengaja menjadi selirnya hanya untuk menyelidiki keadaan Pangeran Ceng Han Houw dan inilah hasil penyelidikan hamba, harap paduka sudi melaporkannya kepada sri baginda kaisar untuk menyelamatkan kerajaan." Dengan singkat tetapi jelas Sun Eng lalu menceritakan kedatangan tamu dari utara yang membawa surat dari Raja Sabutai itu, dan menambahkan, "Semua fitnah yang dijatuhkan kepada keluarga Cin-ling-pai telah hamba tulis dalam laporan ini. Sekarang hamba mohon diri sebelum hamba ditangkap oleh sang pangeran di tempat ini. Hamba harus cepat melarikan diri."
Melihat wanita cantik itu memberikan sebuah bungkusan kain berwarna kuning, menteri itu tidak berani lancang menerima dan menyuruh seorang kepala pengawal menerimanya dan melihat wanita itu sudah bangkit dan hendak pergi, dia cepat bertanya. "Nanti dulu, nona. Kami ingin mengetahui siapakah nona dan mengapa nona melakukan semua ini?"
"Hamba adalah seorang yang berhutang budi kepada keluarga Cin-ling-pai, maka hamba sengaja melakukan ini demi untuk menolong keluarga Cin-ling-pai. Selamat tinggal, taijin."
Dengan mempergunakan ginkang-nya, Sun Eng sudah melompat dan lenyap dari tempat itu. Gerakannya sedemikian cepat dan gesitnya sehingga membuat menteri itu terkejut. Ketika para pengawalnya bergerak hendak mengejar, dia memberi tanda dengan tangan mencegah mereka kemudian dia menyuruh pengawal membuka buntalan itu.
Di lain saat Liang-taijin sudah memeriksa gulungan surat dalam kotak hitam dengan mata terbelalak seolah-olah dia tidak percaya akan apa yang dilihat dan dibacanya. Jelaslah isi surat dalam bahasa Mongol itu bahwa Raja Sabutai mengatur rencana pemberontakan lagi dan kini dibantu oleh putera angkatnya yang sebetulnya putera dari mendiang Kaisar Ceng Tung, atau saudara tiri Kaisar Ceng Hwa yang sekarang!
Dengan jari-jari tangan gemetar Liang-taijin lalu membaca semua pelaporan yang ditulis secara tergesa-gesa namun lengkap dan jelas oleh Sun Eng. Maka dia lalu menyimpan baik-baik semua benda itu kemudian memerintahkan para pengawal supaya melakukan penjagaan yang seketatnya dan secara diam-diam dia menyuruh panggil para pembesar lain yang sehaluan, yaitu para pembesar yang setia kepada kaisar dan yang diam-diam menentang semua sepak terjang Pangeran Ceng Han Houw dan Kim Hong Liu-nio yang selama ini bersikap sewenang-wenang, bahkan telah menyebabkan keluarga Cin-ling-pai yang sejak dahulu terkenal sebagai keluarga gagah yang dianggap pemberontak.
Malam itu juga para pembesar ini mengadakan perundingan dan memeriksa surat-surat itu. Akhirnya diambil keputusan untuk menyerahkan surat-surat itu kepada Pangeran Hung Chih, yaitu seorang pangeran kakak tiri dari kaisar sendiri yang terkenal sebagai seorang pangeran yang bijaksana dan seolah-olah dialah yang menjadi penasehat dari kaisar.
Malam itu juga Pangeran Hung Chih menerima berita itu berikut semua bukti-buktinya, maka pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali pangeran ini telah menghadap kaisar dan melaporkan segala yang didengarnya itu berikut bukti-buktinya, yaitu surat Raja Sabutai kepada Pangeran Ceng Han Houw, dan juga laporan yang ditulis oleh Sun Eng.
Kaisar terkejut bukin main, wajahnya berubah merah karena marah. Akan tetapi dengan bijaksana dia lalu memberi kekuasaan kepada Pangeran Hung Chih untuk menanggulangi persoalan itu dengan pesan agar pangeran itu berhati-hati dalam menghadapi Ceng Han Houw, mempergunakan kebijaksanaan agar tidak sampai terjadi perang saudara. Apa lagi bila diingat bahwa di samping Ceng Han Houw merupakan seorang pangeran yang diakui oleh mendiang ayah mereka sendiri, juga Kim Hong Liu-nio, suci dari pangeran ini pernah berjasa terhadap mendiang Kaisar Ceng Tung.
"Akan tetapi, bagaimana pun juga, kepentingan kerajaan harus didahulukan dan mereka yang hendak memberontak, siapa pun juga harus ditumpas secara halus mau pun, kalau perlu, kasar!"
Demikianlah, Pangeran Hung Chih yang telah mendapat kekuasaan penuh secara tertulis dari kaisar sendiri, lalu membuat persiapan-persiapan dan mengatur rencana dan siasat untuk menghadapi Pangeran Ceng Han Houw secara halus.
Sun Eng merasa lega sekali sesudah dia menyerahkan semua benda itu kepada Menteri Liang. Dia merasa yakin bahwa usahanya tentu akan berhasil dengan baik. Menteri Liang tentu akan terkejut sekali dan pasti akan menyampaikan berita yang sangat penting bagi keamanan kerajaan itu kepada kaisar. Tugasnya telah selesai dan dia sudah melakukan sesuatu demi keselamatan keluarga Cin-ling-pai. Bukan itu saja, bahkan dia telah berjasa untuk kerajaan!
Akan tetapi di samping perasaan bangga bahwa dia telah mampu mengangkat namanya, memberi isi kepada namanya sehingga dia tak akan terlampau rendah dalam pandangan keluarga Cin-ling-pai, ada perasaan duka yang mendalam kalau dia teringat betapa untuk semua hasil itu, dia telah menyerahkan diri dan menjadi permainan Pangeran Ceng Han Houw! Setelah semua yang dia lakukan itu, apakah dia ada harga lagi untuk melanjutkan hubungannya dengan Lie Seng? Ah, rasanya untuk bertemu muka saja pun dia sudah tak sanggup lagi!
Mengingat hal ini Sun Eng tak dapat menahan air matanya yang bercucuran. Dia merasa betapa dirinya kotor sekali, lebih kotor dan tidak berharga dari pada sebelum dia membuat jasa terhadap keluarga Cin-ling-pai! Memang dia telah melakukan sesuatu untuk keluarga Cin-ling-pai atau lebih tepat untuk Lie Seng karena memang inilah tujuannya, akan tetapi cara yang digunakannya untuk mencapai tujuan itu membuat dia merasa semakin kotor!
Padahal tujuannya adalah untuk membersihkan dirinya. Kini tujuan itu telah tercapai, akan tetapi dia tak merasa bangga, tak merasa bahagia, malah sebaliknya, tercapainya tujuan itu membuat dia merasa dirinya semakin kotor lagi dari pada sebelumnya.
Tidaklah mengherankan keadaan Sun Eng ini. Apa yang dia lakukan semua itu menurut jalan pikirannya adalah pengorbanan untuk Lie Seng, untuk keluarga Cin-ling-pai. Padahal, pada hakekatnya, sama sekali tidaklah demikian.
Pada dasarnya, semua yang dilakukannya itu timbul dari rasa sayang diri, timbul dari rasa iba diri, dan semua itu untuk menyenangkan hatinya sendiri. Sebaliknya, dia melakukan itu dengan dasar agar dia dihargai, agar dia dikagumi, agar dia tak dipandang rendah lagi karena penyelewengan yang pernah dilakukannya. Semua ini dilakukannya demi dirinya sendiri, yang oleh pikirannya sendiri lantas disulap menjadi perbuatan baik demi orang lain. Bahkan jalan pikiran yang palsu membuat dia tadinya condong beranggapan bahwa pengorbanan yang dilakukannya adalah suci.
Oleh karena pikirannya mendorong dia selalu memandang kepada tujuan saja, sedangkan semua tujuan ini sudah pasti menuju kepada kesenangan diri pribadi, sungguh pun boleh saja mengenakan pakaian lain sehingga kelihatannya seolah-olah demi kesenangan atau kebahagiaan orang lain, maka mata menjadi buta tidak dapat melihat lagi yang terpenting dari pada segala gerakan hidup, yaitu tindakannya itu sendiri atau cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan itu.
Tujuan membutakan mata terhadap cara. Tujuan bahkan kadang-kadang menghalalkan segala cara! Tujuan adalah nafsu keinginan memperoleh sesuatu. Dan kalau cara yang digunakan tidak benar, mana mungkin akhirnya benar? Tidak mungkin menanam rumput keluar padi! Tidak mungkin cara yang tidak benar menghasilkan sesuatu yang benar.
Hanya kalau batin tak lagi dibutakan oleh tujuan yang pada hakekatnya hanyalah nafsu keinginan memperoleh kesenangan, maka batin menjadi waspada akan segala tindakan, akan segala cara hidup yang ditempuhnya setiap saat. Dan kewaspadaan ini tentu akan melahirkan tindakan yang benar. Tindakan benar adalah tindakan wajar tanpa didorong oleh nafsu keinginan memperoleh hasil atau kesenangan atau keuntungan dari tindakan itu.
Akan tetapi Sun Eng terjebak oleh pikirannya sendiri. Tadinya dia menganggap bahwa dia telah mengorbankan diri demi orang lain, demi orang yang dicintanya, dan dia buta untuk melihat bahwa pengorbanan yang dilakukannya itu, cara yang ditempuhnya itu merupakan cara yang kotor bagi seorang wanita. Dia hendak mencuci kekotoran yang dianggapnya menempel pada dirinya dengan melumuri badan dengan kotoran lain! Tentu saja hal ini tidak mungkin.
Dan akibatnya kini dia menyesal, kini dia meragu, kini dia merasa takut untuk berjumpa dengan Lie Seng, sungguh pun dia telah berjasa terhadap Cin-ling-pai, bahkan terhadap kerajaan.
Dengan isak tertahan dan air mata masih bercucuran Sun Eng mendekati pintu gerbang untuk melarikan diri malam itu juga keluar kota raja. Tetapi dia terlalu memandang rendah kepada Pangeran Ceng Han Houw. Maka dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika di dekat pintu gerbang mendadak muncul beberapa orang dari tempat gelap dan di antara mereka terdapat Pangeran Ceng Han Houw sendiri!
Seketika pucatlah wajah Sun Eng, apa lagi karena dia mengenakan pakaian hitam, wajah yang putih halus itu kelihatan sepucat kapur, matanya terbelalak dan mulutnya setengah ternganga tanpa mampu mengeluarkan kata-kata hanya memandang wajah tampan yang kini tersenyum dingin itu.
"Bukankah engkau ini Eng-moi? Ahhh, hampir aku tidak mengenalmu lagi, Eng-moi! Sejak kapan engkau berganti pakaian seperti ini, berkeliaran di tengah malam dan gerakanmu demikian gesit?"
Tentu saja Sun Eng yang menjadi bingung dan gugup itu sejenak tidak mampu menjawab dan ketika akhirnya dia dapat menjawab, suaranya gemetar serta tergagap. "Pangeran... hamba... hamba merasa sunyi dan... dan ingin berjalan-jalan mencari angin..."
Jawaban itu tentu saja sedapatnya karena pikirannya sudah mulai mencari jalan keluar, maklum bahwa dia telah tersudut. Dia melihat bahwa pangeran itu muncul bersama kakek tinggi besar dan belasan orang pengawal yang sudah mengepung tempat itu.
"Jalan-jalan makan angin...? Hemm, Eng-moi, marilah kita pulang dan bicara baik-baik di rumah...!" Pangeran itu dengan senyum dingin menghampiri.
"Tidak... hamba... hamba ingin jalan-jalan dahulu...!" Karena takutnya Sun Eng bingung untuk menjawab, bahkan dia sudah melangkah mundur, kemudian meloncat ke kiri untuk melarikan diri.
Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek tinggi besar itu sudah berada di hadapannya. Sun Eng maklum bahwa tidak ada jalan lain baginya. Jalan halus sudah tidak mungkin dilakukannya, sebab itu satu-satunya jalan hanyalah mencoba untuk meloloskan diri dengan kekerasan.
"Minggir!" bentaknya dan dia sudah menyerang kakek itu dengan pukulan dahsyat ke arah dada lawan.
Sebagai murid dari Cia Bun Houw dan Yap In Hong, tentu saja wanita ini sudah memiliki kepandaian yang cukup tinggi dan pukulannya yang dilakukan dalam keadaan terjepit itu amat dahsyatnya.
Terkejut juga Pangeran Ceng Han Houw saat melihat pukulan itu, tak disangkanya bahwa selirnya yang terkasih ini memiliki ilmu kepandaian yang sedemikian hebatnya. Ngeri dia memikirkan betapa dia bermain cinta dengan seorang wanita selihai itu dan kalau wanita itu menghendaki, di waktu dia tertidur nyenyak dalam pelukan wanita itu, tentu dapat dan mudah saja bagi wanita itu untuk membunuhnya!
Hai-liong-ong Phang Tek adalah orang pertama dari Lam-hai Sam-lo, ilmu kepandaiannya sangat tinggi, masih jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat Sun Eng, maka dia tidak gentar menghadapi pukulan dahsyat itu. Oleh karena kakek ini tadinya mengenal sang pangeran, maka biar pun kini timbul dugaan bahwa wanita ini menjadi pengkhianat, namun dia pun masih belum berani untuk berlancang tangan melukai wanita yang menjadi selir terkasih junjungannya. Oleh karena itu, menghadapi serangan Sun Eng, dia hanya menangkis saja sambil mengerahkan tenaganya.
"Dukkk!" Sun Eng terhuyung ke belakang sehingga dia terkejut sekali. Ternyata kakek ini memiliki tenaga yang amat kuat! Dia terhuyung dan sebelum dia dapat menguasai keseimbangan badannya, tiba-tiba lengannya sudah ditangkap oleh Han Houw.
Sun Eng meronta, akan tetapi tidak mampu melepaskan lengan kanannya maka dia cepat membalik lantas secara nekat dia menghantamkan tangan kirinya ke arah leher pangeran itu dengan maksud jelas membunuhnya kalau mungkin dengan sekali pukul. Oleh karena itu, pukulan itu pun hebat bukan main dan ditujukan ke arah jalan darah pada leher sambil dia mengerahkan seluruh tenaganya.
"Plakkk!" Kembali pergelangan tangan kirinya kena ditangkap dengan mudah oleh pangeran itu.
"Hemm, engkau hendak membunuhku, ya?!" bentak Han Houw dengan marah sambil dia mengerahkan tenaga.
Pegangan pada kedua pergelangan lengan wanita itu menjadi kuat sekali hingga Sun Eng merasa nyeri bukan main, sampai seperti menusuk jantung rasanya dan dia menyeringai. Agaknya, melihat wajah yang biasanya sangat manis memikat dan yang biasanya diciumi dan dibelai itu menyeringai kesakitan, Han Houw merasa kasihan juga sehingga dia cepat mengendurkan pegangannya, kemudian dengan sekali totok dia membuat Sun Eng lemas dan lumpuh. Digerayanginya seluruh tubuh Sun Eng untuk mencari kotak hitam, namun ternyata Sun Eng tidak menyembunyikan apa-apa.
"Di mana kotak itu? Di mana surat itu?" desisnya marah.
"Hamba... hamba tidak tahu... hamba tinggalkan di dalam kamar...," Sun Eng menjawab sedapatnya saja.
Han Houw telah menggerakkan tangan, akan tetapi ditahannya dan dia hanya mendorong tubuh wanita itu. Sun Eng yang sudah tertotok lumpuh itu terguling roboh.
"Bawa dia!" bentak Han Houw dengan suara bernada kesal.
Han Houw lalu pergi diiringkan oleh Hai-liong-ong Phang Tek beserta para pengawal yang menggotong Sun Eng yang tidak dapat jalan sendiri itu.
Pada waktu itu, Sun Eng sudah tenang kembali. Apa bila tadi dia menjadi gugup adalah karena dia sama sekali tidak mengira akan tertangkap secepat itu. Rasa kaget membuat dia gugup sekali. Akan tetapi sekarang, sesudah dia tahu benar bahwa tidak ada harapan baginya, dia malah menjadi tenang.
Sebaiknya begini, pikirnya. Sebaiknya aku mati saja, akan tetapi dia akan mati penasaran kalau usahanya itu tak berhasil, kalau Menteri Liang tidak melanjutkan laporannya kepada kaisar dan bila kaisar tidak mengambil tindakan terhadap pangeran ini dan membebaskan keluarga Cin-ling-pai dari tuduhan.
Setelah sampai di istana Pangeran Ceng Han Houw, Sun Eng dilempar ke atas dipan di dalam kamarnya. Han Houw lantas menyuruh semua orang keluar dan dia duduk di atas bangku di dekat dipan. Sampai lama dia memandang kepada wajah Sun Eng, kadang-kadang menarik napas panjang, kadang-kadang dia mengepal tinju dengan marah.
"Sun Eng, selama ini engkau tentu tahu betapa aku telah jatuh hati kepadamu, betapa aku menyayangmu. Tidak tahunya, semua sikapmu adalah palsu!" Han Houw mengepal tinju. "Sepatutnya kita tak perlu banyak bicara lagi dan aku harus membunuhmu! Ketika engkau rebah di jalan dahulu itu, ternyata semua itu hanyalah siasatmu untuk dapat menyelundup ke sini dan memperoleh kepercayaanku belaka! Sungguh aneh, engkau mengorbankan dirimu yang kau serahkan seluruhnya kepadaku, hanya untuk mengetahui rahasiaku dan mengkhianatiku! Wanita palsu, siapakah engkau sesungguhnya?" Han Houw membentak dan memandang tajam.
Sun Eng diam saja, terlentang dan menatap langit-langit kamar yang amat dikenalnya itu. Selama puluhan hari, kamar ini merupakan tempat dia bercumbu rayu dengan pangeran ini. Betapa seringnya dia membayangkan wajah Lie Seng di langit-langit itu pada saat dia sedang melayani sang pangeran dalam permainan cintanya. Kini pun dia membayangkan wajah Lie Seng pada langit-langit putih itu.
"Baiklah, agaknya engkau bertekad untuk menutup mulut," kata Ceng Han Houw. "Akan tetapi semua itu pun tidak ada gunanya dan aku tidak peduli. Yang terpenting, hayo kau katakan di mana engkau menyembunyikan kotak surat itu. Apa bila engkau menyerahkan benda itu kembali kepadaku, aku berjanji akan membebaskanmu, demi mengingat semua hubungan kita yang lalu dan mengingat pula betapa engkau sudah banyak mendatangkan kesenangan padaku."
Akan tetapi Sun Eng tetap membisu, bahkan menengok pun tidak kepada pangeran itu. Han Houw mengerutkan alisnya. Dia mengalami pukulan-pukulan batin yang cukup parah. Pengkhianatan Sun Eng ini, kenyataan bahwa wanita ini ternyata tidak mencintanya, akan tetapi hanya mempermainkan dirinya, benar-benar merupakan pukulan bagi harga dirinya.
Dia tadinya mengira bahwa semua wanita tentu akan tergila-gila kepadanya dan dengan senang hati akan bertekuk lutut menyerahkan diri kepadanya. Akan tetapi, kalau dulu dia pernah merasa terpukul oleh penolakan gadis kembar Kui Lan dan Kui Lin, kini dia lebih terpukul lagi karena wanita ini bahkan hanya mempermainkannya untuk mengkhianatinya. Dia dianggap sebagai seorang pria hidung belang biasa saja yang lemah terhadap wanita!
Tiba-tiba saja pangeran itu merubah sikapnya. Dia lalu menghampiri Sun Eng yang masih terlentang kemudian dia duduk di tepi pembaringan, lalu membungkuk sehingga wajahnya menyentuh wajah Sun Eng.
"Eng-moi... mungkinkah tidak ada sedikit pun perasaan cinta di dalam hatimu terhadap aku? Mungkinkah engkau melupakan segala kemesraan yang terjadi di antara kita selama ini? Aku tahu benar, andai kata di lubuk hatimu tidak ada cinta kasih untukku, setidaknya engkau juga menikmati hubungan kita... engkau tak mungkin bisa menipuku dalam hal itu. Eng-moi... aku hanya menghendaki surat dalam kotak hitam itu kembali. Itu adalah surat ayahku, untukku..."
Suara pangeran itu merayu lantas bibirnya menyentuh bibir Sun Eng, dan diciuminya bibir wanita itu dengan penuh kemesraan seperti biasa dia mencium Sun Eng, dan biasanya selalu wanita itu akan membalas dengan penuh perasaan dan gairah. Akan tetapi, sekali ini, mulut yang setengah terbuka itu diam saja, bibir itu tidak menjawab, bahkan mulut itu terasa dingin, sama sekali tidak ada gairah.
Akhirnya terdengar bibir itu berbisik, "Bunuhlah aku... bunuhlah..."
"Engkau minta mati?" Suara sang pangeran masih lembut. "Akan kuturuti, engkau minta apa pun minta mati, minta bebas atau minta tetap berada di sampingku, akan kuturuti asal engkau mau menyerahkan kembali surat itu. Di manakah engkau menyimpannya?"
Akan tetapi Sun Eng menggelengkan kepala keras-keras. "Tidak akan kuberikan, biar aku dibunuh sekali pun!"
Wajah yang tampan itu kini berubah merah, sepasang matanya mencorong menyinarkan kemarahan. "Perempuan rendah berhati palsu! Agaknya setan neraka yang menyuruhmu memusuhi aku! Kalau begitu, biar kau rasakan siksa neraka lebih dahulu, hendak kulihat apakah engkau tidak akan mengembalikan surat itu kepadaku!"
Sesudah berkata demikian, Ceng Han Houw mengambil tali dan mengikat kedua lengan Sun Eng ke belakang tubuh. Karena marahnya, merasa dipermainkan dan dikhianati, juga karena cemasnya mengingat betapa surat rahasia yang amat berbahaya itu terjatuh ke tangan wanita ini yang tidak mau mengembalikannya, kini dia tidak halus lagi, melainkan dengan kasar dia mengikat kedua pergelangan tangan wanita itu ke belakang punggung dengan kuat. Kemudian dengan kasarnya pula direnggutnya kedua sepatu dari kaki Sun Eng sehingga kedua kaki yang kecil halus dan putih kemerahan itu menjadi telanjang.
Sun Eng tetap tenang saja, malah saat pangeran itu membalikkan tubuhnya menelungkup kemudian membebaskan totokan pada tubuhnya sehingga dia dapat menggerakkan tubuh lagi, dia masih tetap tenang dan tidak mau bergerak. Dia mendengar suara pangeran itu di belakangnya, tidak tahu apa yang tengah dilakukan. Akan tetapi nampak cahaya terang dan pangeran itu mendekatkan sebuah obor kecil yang sudah dinyalakan ke dekat muka Sun Eng.
"Sun Eng, kau lihat baik-baik apa yang kupegang ini? Aku tak ingin, bahkan merasa benci untuk menyiksamu, akan tetapi jika kau tetap membandel dan tidak mau mengembalikan suratku itu, terpaksa aku akan menyiksamu dan engkau tidak akan kuat bertahan kalau telapak kakimu kubakar dengan obor ini!"
Namun, Sun Eng yang sudah mengerti bahwa dia tidak mungkin dapat lolos lagi itu sudah nekat. "Bakarlah, siksalah, bunuhlah sesuka hatimu, jangan harap surat itu akan bisa kau dapatkan kembali!"
PENDEKAR LEMBAH NAGA JILID 46