Pendekar Lembah Naga Jilid 50
Para hwesio itu tentu saja sibuk menyambut kedatangan pangeran dengan hormat sekali. Liang Sim Hwesio, ketua kuil itu menerima kedua orang tamu agungnya di dalam kamar tamu dan ketika sang pangeran menjelaskan maksud kedatangannya dengan gadis cantik itu, sejenak sang hwesio tertegun. Sungguh permintaan yang sangat aneh dari pangeran itu untuk menikah di saat itu juga, tanpa perayaan dan tanpa saksi, hanya cukup dengan sembahyang saja.
"Dapatkah losuhu melakukan hal itu untuk menolong kami yang hendak menikah secara resmi di kuil ini?" tanya sang pangeran, suara dan matanya menuntut dan mendesak.
"Tentu, tentu saja pinceng dapat melakukan itu, pangeran. Dengan senang hati, bahkan pinceng merasa mendapatkan kehormatan yang besar sekali!" serunya sambil tersenyum lebar dan wajahnya berseri. Siapakah tidak akan merasa girang kalau diberi kehormatan untuk melakukan upacara pernikahan seorang pangeran yang terhormat dan mulia?
Tiba-tiba saja Ciauw Si yang semenjak tadi hanya mendengarkan saja dengan kedua pipi kemerahan dan jantung berdebar, merasa malu-malu dan tegang, kini bertanya, suaranya lirih dan agak gemetar, seolah-olah lenyaplah sifat-sifat gagahnya pada saat menghadapi peristiwa yang amat mendebarkan dan menegangkan bagi seorang gadis ini,
"Losuhu... apakah... pernikahan seperti ini sudah sah...?"
Hwesio tua itu seperti terkejut mendengar pertanyaan ini, sepasang matanya memandang wajah Ciauw Si dan kemudian wajah sang pangeran. Begitu bertemu dengan sinar mata sang pangeran, dia pun cepat merangkap kedua tangannya depan dada.
"Omitohud...! Tidak ada yang lebih sah dari pada peneguhan dan pemberkatan di dalam kuil, disaksikan oleh para dewa dan malaikat dengan sumpah di depan meja sembahyang kepada Thian sendiri, siocia!"
Maka lapanglah rasa hati Ciauw Si mendengar keterangan yang diucapkan dengan suara mantap itu. Dia merangkap kedua tangannya dan berkata, "Terima kasih, losuhu."
Mereka tidak usah menunggu lama-lama. Segera meja sembahyang untuk keperluan itu dipersiapkan dan tidak lama kemudian dua orang muda itu sudah berlutut di depan meja sembahyang dengan penuh khidmat.
Ketika mereka sedang bersembahyang itu, Ciauw Si teringat akan keluarganya dan tanpa dapat ditahannya lagi menangislah pengantin wanita ini! Bagaimana pun juga, dia merasa sedih sekali karena menikah tanpa dikelilingi sanak keluarganya, bahkan tidak memakai pakaian pengantin dan tidak disaksikan oleh seorang pun kerabat.
Dia memang sudah mengambil keputusan nekat. Biar pun bangkitnya gairah nafsu karena rayuan dan belaian kekasihnya itu merupakan pendorong utama, akan tetapi di samping itu juga ada kenyataan-kenyataan lainnya yang mendorong Ciauw Si menyerah kepada kekasihnya dengan sekedar upacara pernikahan yang sunyi di kuil itu. Dia teringat akan peristiwa yang menimpa diri kakaknya, Lie Seng. Kakaknya itu saling mencinta dengan Sun Eng, akan tetapi ibu kandungnya beserta keluarga Cin-ling-pai menentang sehingga terjadi peristiwa yang amat menyedihkan.
Sejak semula dia membela kakaknya dan secara diam-diam dia tidak setuju dengan sikap orang-orang tua itu yang mau mencampuri urusan cinta kasih antara dua orang muda! Oleh karena kenyataan inilah maka Ciauw Si menganggap bahwa kehadiran keluarganya di dalam pernikahannya sekarang ini pun hanyalah merupakan soal ke dua belaka, yang penting adalah dia dan pangeran!
Dan dia tidak menyerahkan diri begitu saja, mereka berdua tidak akan berjinah, melainkan bersatu melalui pernikahan yang sah, di depan hwesio, di dalam kuil, di depan para dewa, di depan Thian! Maka, halangan bahwa dia belum memberi tahukan kepada ibunya serta para keluarganya merupakan halangan yang tipis sekali, ditipiskan oleh peristiwa kakak kandungnya itu!
Apa lagi karena dia pun merasa sangsi apakah keluarganya akan menyetujui perjodohan antara dia dan Pangeran Ceng Han Houw yang dikenal oleh keluarganya sebagai murid Hek-hiat Mo-li, dan dianggap musuh itu! Biarlah, pikirnya yang mendorong kenekatannya. Andai kata keluarganya tak setuju, seperti juga ketika tidak menyetujui perjodohan kakak kandungnya, dia toh sudah menikah dengan sah di dalam kuil itu!
Oleh karena semua halangan dan hambatan batin ini lenyap oleh pikiran-pikiran itu, maka sesudah mereka selesai melakukan upacara sembahyang sebagai sepasang suami isteri, Clauw Si dan Pangeran Ceng Han Houw secepatnya pulang ke istana. Setibanya mereka di istana, kini tanpa ragu-ragu lagi Ciauw Si dengan rela membiarkan dirinya dipondong oleh suaminya ke dalam kamar dan dia menyerahkan dirinya dengan penuh kemesraan, penuh kasih sayang, dan penuh kerelaan yang pasrah.
Sepasang pengantin ini dibuai gelombang asmara yang menenggelamkan mereka serta membuat mereka lupa akan segala. Dan niat untuk bermalam satu malam saja itu lantas menjadi berlarut-larut sehingga sampai tiga hari tiga malam mereka tidak pernah keluar meninggalkan kamar!
Baru pada hari ke empat, mengingat akan pentingnya tugas menyelamatkan keluarganya, dengan hati berat Ciauw Si berpamit dan berpisah dari suaminya. Perpisahan yang berat dan mesra. Seakan-akan pangeran itu tidak mau melepaskan isterinya dari dekapannya dan Ciauw Si pun segan meninggalkan dada suaminya. Akan tetapi akhirnya Ciauw Si berangkat juga, dengan pakaian serba indah, dengan seekor kuda pilihan dan bekal yang cukup dari suaminya. Dia tidak mau dikawal dan pada pagi hari itu, dengan diantar oleh pandangan mata yang mencinta dari Pangeran Ceng Han Houw, Ciauw Si membalapkan kudanya meninggalkan istana dan keluar dari kota raja.
Sedikit pun Ciauw Si tidak pernah mengira bahwa baru beberapa hari yang lalu, di istana pangeran itu, di mana dia menikmati bulan madu selama tiga hari tiga malam itu, terjadi peristiwa yang sangat mengerikan atas diri Sun Eng! Dia sama sekali tidak tahu bahwa kakak kandungnya bersama paman dan bibinya, Cia Bun Houw dan Yap In Hong, sudah mendatangi istana pangeran itu dan melarikan Sun Eng dari belakang istana.
Dan setelah Ciauw Si pergi, Pangeran Ceng Han Houw berdiri termenung, hatinya terasa bimbang. Dia merasa girang bahwa dia sudah berhasil menjalankan siasatnya, menarik hati Ciauw Si dan memperalat gadis itu untuk menarik keluarga Cin-ling-pai untuk menjadi pembantu-pembantu atau sekutunya.
Akan tetapi, di samping kegirangan ini juga dia merasa betapa sekali ini dia benar-benar jatuh cinta! Bahwa sekali ini baru dia bertekuk lutut kepada seorang wanita dan bahwa dia sungguh-sungguh mencinta Lie Ciaw Si dan menganggap wanita ini sebagai isteri, bukan sekedar sebagai selir atau alat penghibur belaka.
Maka timbullah kekhawatiran dalam lubuk hatinya. Dia maklum bahwa dia sudah bermain dengan api yang amat berbahaya! Dia telah menciptakan perang dalam hatinya sendiri. Di satu fihak dia sungguh-sungguh mencinta gadis itu, di lain fihak dia hendak memperalat gadis itu demi keuntungan diri sendiri.
"Bi Cu...! Bi Cu, apamukah yang sakit...?" Berkali-kali Sin Liong bertanya ketika dara itu siuman dan mengeluh lirih. Dia meraba dahi yang panas sekali itu. Bi Cu berbisik-bisik, mengigau tidak karuan, gelisah dan kaki tangannya bergerak-gerak seperti orang hendak meronta.
"Bi Cu... tenanglah, Bi Cu, tenanglah...!" Sin Liong membasahi kepala dara itu dengan air.
Bukan main gelisahnya hati Sin Liong melihat keadaan Bi Cu yang terus mengigau dan tubuhnya panas sekali itu. Bi Cu diserang demam yang naik turun hingga sehari semalam lamanya. Sin Liong merasa amat khawatir.
Hutan itu kecil akan tetapi liar, tidak ada goa atau tempat berlindung yang baik untuk Bi Cu. Terpaksa dia merawat dara itu di bawah pohon-pohon, di dekat sebuah anak sungai yang airnya jernih. Dengan sambitan batu, Sin Liong lalu membunuh beberapa ekor ayam hutan dan kelinci, kemudian dia memanggang dagingnya dan diberikan kepada Bi Cu.
Akan tetapi selama sehari semalam itu, jangankan makan, bahkan diajak bicara pun Bi Cu tidak dapat menjawab, keadaannya setengah sadar. Dia sendiri pun sama sekali tidak dapat makan, bahkan tidak pernah tidur sekejap mata pun, terus-menerus menjaga Bi Cu, kalau malam membuat api unggun dan selalu membasahi kepala yang panas itu dengan air.
Pada keesokan harinya, barulah Bi Cu sadar dan tidak begitu gelisah lagi, sungguh pun tubuhnya masih panas sekali.
"Sin Liong...!" rintihnya.
Sin Liong girang bukan main. Diusapnya pipi yang basah oleh air mata itu, disingkapnya rambut yang terurai lepas dan dia menatap wajah yang pucat itu.
"Bi Cu, engkau terserang demam. Jangan khawatir, aku menjagamu, engkau pasti akan sembuh kembali."
Bi Cu agak terengah, bibirnya yang pucat mengering itu lalu berkata lemah, "Aku... aku haus..."
Sin Liong cepat mengambil air yang sudah disediakannya lantas memberi minum dara itu dengan air yang ditempatkan pada sehelai daun lebar yang dibentuknya seperti cawan. Sesudah minum air beberapa teguk, Bi Cu kelihatan lega dan tenang, lalu rebah kembali setelah tadi dibantu oleh Sin Liong bangkit duduk.
"Berapa lama aku sakit...?" bisiknya.
"Engkau dalam keadaan tidak sadar dan demam panas sehari semalam. Tetapi engkau akan sembuh. Biar kubuatkan makanan untuk mengisi perutmu. Akan tetapi karena kita berada di hutan dan tidak ada dusun di dekat sini, terpaksa engkau hanya akan makan panggang daging kelinci, Bi Cu."
Bi Cu mengangguk. Sekarang pikirannya sudah terang dan diam-diam dia merasa terharu melihat Sin Liong menjaga dan merawatnya seperti itu. Jelas nampak betapa pemuda itu lelah sekali.
Biar pun sekarang Bi Cu telah sadar, namun tubuhnya masih lemah dan panasnya masih kadang-kadang datang menyerang membuatnya gelisah sehingga selama beberapa hari dia masih belum dapat bangun karena kalau dia bangkit, kepalanya terasa pening sekali dan pandang matanya berkunang. Oleh karena itu, selama empat hari empat malam lagi dia terus rebah dijaga Sin Liong siang malam tanpa pernah beristirahat!
Jadi sampai lima hari lima malam Sin Liong tidak pernah tidur, dan makan sedikit, sama sedikitnya dengan Bi Cu karena dia hanya dapat makan kalau Bi Cu juga makan. Hatinya diliputi kekhawatiran melihat Bi Cu sakit agak payah di tempat sunyi itu. Dan pada malam hari ke lima itu, lewat tengah malam menjelang pagi, kembali turun hujan lebat di hutan itu! Sibuk sekali Sin Liong berusaha melindungi badan Bi Cu dari siraman hujan.
Dengan hati penuh kekhawatiran Sin Liong melihat betapa dara itu sangat kedinginan. Bi Cu bangkit duduk ketika hujan turun, kemudian dia membiarkan dirinya dipeluk oleh Sin Liong. Kilat menyambar-nyambar dan hujan turun seperti dituangkan dari atas. Derasnya bukan main sehingga sebentar saja pakaian mereka sudah basah kuyup!
Tidak ada tempat berlindung kecuali bawah pohon-pohon itu! Api unggun yang dibuat Sin Liong sudah sejak tadi padam dan tadi Sin Liong sibuk mengumpulkan kayu kering yang sedapat mungkin ditutupinya dengan daun-daun.
Tubuh Bi Cu menggigil di dalam pelukan Sin Liong. Sin Liong mengerahkan sin¬kang-nya sehingga dari tubuhnya keluar hawa panas. Hal ini banyak menolong walau pun pakaian mereka basah semua. Melihat sepasang sepatu Bi Cu yang telah pecah-pecah dan rusak akibat dipakai mendaki tebing tempo hari, kini basah kuyup dan bahkan menampung air yang membuat telapak kaki terasa luar biasa dinginnya, Sin Liong berkata,
"Sebaiknya sepatumu dan kaus kaki yang basah semua itu ditanggalkan saja."
Bi Cu yang menyembunyikan mukanya di dada Sin Liong hanya mengangguk, maka Sin Liong cepat melepaskan kedua sepatu dan kaus kaki dari kedua kaki Bi Cu. Dia merasa betapa tubuh yang dirangkulnya itu gemetaran dan terasa kecil lemah. Makin eratlah dia mendekap, dengan hati penuh kasih sayang.
Ternyata hujan turun sampai pagi. Setelah hujan berhenti, Sin Liong segera membuat api menggunakan kayu-kayu kering yang tadi telah ditutupinya dengan daun-daunan. Untung masih terdapat kayu-kayu yang kering di tumpukan bawah, maka dapat juga dia berhasil menyalakan api unggun yang mula-mula mengepulkan asap. Akan tetapi makin lama, api unggun itu semakin terang dan menyala-nyala dan dia sudah duduk di dekat api unggun sambil memeluk tubuh Bi Cu.
"Engkau tentu dingin sekali, Bi Cu...," katanya penuh iba sambil merangkul dara itu.
Bi Cu menyandarkan kepalanya pada pundak Sin Liong, tangan kirinya menjamah-jamah pundak dan lengan pemuda itu, kemudian berkata lemah dengan suara gemetar karena kedinginan, "Engkau pun basah kuyup dan kedinginan..."
"Tidak, aku sehat, engkaulah yang tengah sakit, mudah-mudahan engkau tidak jatuh sakit lagi. Ahh, baru saja engkau hampir sembuh tapi kembali disiram hujan lebat...," Sin Liong berkata khawatir.
Melihat kekhawatiran pemuda itu terhadap dirinya, Bi Cu merasa semakin terharu, apa lagi semalam dia mimpi, dan dalam mimpi itu dia membayangkan kembali peristiwa yang terjadi di bawah tebing pada waktu mereka menyambut hujan dengan bahagia sekali dan mereka telah berpelukan serta berciuman dalam keadaan hampir tidak sadar!
"Sin Liong, engkau... baik sekali kepadaku... kalau tidak ada engkau, aku tentu sudah mati dalam keadaan terlantar..." Suaranya mengandung isak.
Sin Liong menunduk dan memandang wajah yang dekat itu. Melihat betapa di antara air hujan yang membasahi rambut dara itu dan masih menetes-netes pada wajah yang pucat itu kini terdapat pula butiran-butiran air mata, dia memeluk lebih erat.
"Tentu saja, Bi Cu. Aku hanya mempunyai engkau di dunia ini..."
"Dan aku... aku pun hanya mempunyai engkau... jangan engkau meninggalkan aku lagi selamanya, Sin Liong..."
Sin Liong memeramkan kedua matanya menahan dua butir air mata yang membasahi kedua matanya itu. Dia menarik napas panjang untuk menekan perasaan harunya, lantas berbisik dekat telinga yang berada dekat dengan mulutnya itu. "Tahukah engkau, Bi Cu, kata-kata yang sama seperti yang tadi kau katakan itulah yang kuucapkan berulang-ulang selama beberapa hari engkau sakit ini. Aku terus menerus membisikkan kata-kata itu, agar engkau jangan meninggalkan aku, Bi Cu..."
Mereka tidak berkata-kata lagi. Memang tidak ada kata-kata lagi yang perlu diucapkan. Dengan berdiam diri itu terasalah oleh mereka, terasa secara mendalam, akan kehadiran masing-masing bukan hanya di dekat tubuh, namun juga di dalam batin masing-masing. Mereka merasa betapa mereka saling memiliki, saling membutuhkan, merasa seolah-olah mereka berdua telah bersatu dalam batin, seperti orang yang memiliki dan membutuhkan anggota tubuhnya sendiri. Takkan terpisahkan lagi, senasib sependeritaan. Hal ini terasa sekali oleh mereka ketika berdekatan dan berdekapan dalam keadaan kedinginan itu.
Akhirnya terdengar bisikan Bi Cu yang masih menyandarkan kepala di atas dada dekat leher Sin Liong, "Sin Liong, kau khawatir kalau-kalau aku mati...?"
"Ya, ketika melihat engkau mengigau, tidak sadar... ahh, aku khawatir sekali."
"Aku tidak akan mati. Tidak, aku tidak mau mati sendiri tanpa engkau, Sin Liong. Seperti juga aku tidak mau hidup sendiri tanpa engkau di dekatku. Aku cinta padamu Sin Liong."
Tanpa diucapkan sekali pun, hal itu sudah terasa amat jelasnya oleh Sin Liong. Dia lalu mencium mata kiri dara itu. "Aku pun cinta padamu, Bi Cu."
Mereka tidak bicara lagi sampai lama, seolah-olah pengakuan cinta itu adalah kata-kata terakhir di dunia ini dan sesudah itu, tidak ada apa-apa lagi yang lebih patut dibicarakan!
Cinta memang maha indah! Bahkan sudah melampaui kebagusan dan keburukan, sudah melampaui segala yang dapat diperbandingkan, melampaui penilaian dan perbandingan itu sendiri!
Cinta-mencinta membawa kita ke dalam suatu keadaan di mana tak ada lagi baik buruk, susah senang, dalam keadaan yang mungkin oleh pandangan umum dianggap sengsara, bisa saja nampak indah oleh adanya cinta. Cinta membawa suasana nampak indah, di sekeliling kita, di dalam hati kita. Tidak ada lagi pertentangan, tidak ada lagi kekerasaan, tidak ada lagi susah atau senang. Yang ada hanya perasaan suka cita, yang berbeda dengan kesenangan.
Kesenangan memiliki sebab, mempunyai sesuatu yang menimbulkan kesenangan. Akan tetapi suka cita adalah perasaan hati yang nyaman dan sejuk tanpa ada sebab tertentu. Keadaan ini membuat kita dipenuhi dengan cahaya cinta kasih, penuh dengan kebajikan, dengan belas kasihan, dengan apa yang dinamakan peri kemanusiaan.
Cinta adalah kebahagiaan. Manusia dalam cinta adalah manusia yang sebenar-benarnya manusia, dan sinar kemanusiaannya cemerlang di waktu itu.
Sayang, biar pun kiranya hampir semua orang pernah memasuki keadaan ajaib seperti itu, namun nafsu-nafsu kita terlalu besar sehingga menjauhkan cinta kasih dari batin kita. Hanya sebersit saja sinar cinta kasih menerangi batin, lalu batin sudah penuh lagi dengan segala kotoran nafsu.
Bahkan celakanya, nafsu-nafsu menggantikan tempat dan memalsukan cinta, membuat cinta kasih yang suci murni menjadi cinta kasih yang palsu, cinta kasih yang sebetulnya hanyalah cinta kepada diri sendiri belaka, keinginan menyenangkan diri sendiri belaka, seperti yang dapat kita lihat dengan jelas dalam kehidupan kita sekarang ini.
Cinta yang kita hambur-hamburkan sekarang ini melalui mulut hanya sejenis pemalsuan untuk menutupi keinginan kita yang sebenarnya, keinginan untuk memperoleh kepuasan melalui harta, melalui sex, melalui apa saja yang dapat menyenangkan diri kita sendiri. Dan orang yang kita cinta seperti keadaannya sekarang ini hanyalah kita pakai sebagai alat untuk menyenangkan diri saja.
Cinta semacam ini tentu saja menimbulkan cemburu, menimbulkan benci yang dianggap sebagai kebalikannya. Padahal cinta kasih tidak mempunyai kebalikan! Cinta kasih bebas dari penilaian baik buruk, untung rugi, atau susah senang.
Hari itu cerah sekali, secerah hati Sin Liong dan Bi Cu. Dan anehnya, setelah kehujanan seperti itu, keadaan Bi Cu bukannya menjadi semakin buruk, bahkan dia menjadi sembuh sama sekali! Hanya tubuhnya masih agak lemah, namun dia sudah sembuh. Tidak panas lagi, tidak pusing lagi.
Hujankah yang menyembuhkannya? Ataukah pertemuan dua hati yang disahkan dengan kata-kata dari mulut mereka, dalam pengakuan cinta mereka? Entahlah. Akan tetapi yang jelas, Sin Liong merasa girang bukan main.
"Bi Cu, engkau baru saja sembuh. Pakaianmu basah kuyup..."
"Hari ini agaknya cuaca akan panas, Sin Liong. Aku dapat saja melepaskan pakaian dan menjemurnya. Akan tetapi..." Dia mengerling dan matanya bersinar-sinar, "engkau harus menjauh, tidak boleh mendekat!"
Sin Liong tertawa. Sekarang Bi Cu benar-benar telah sembuh. Dia sudah mulai bertingkah bengal lagi! Kedua mata yang indah itu sudah bersinar-sinar kembali, kini penuh dengan kelincahan dan kejenakaan.
"Ha-ha, kau kira aku ini tukang intip? Aku pun akan pergi memeriksa keadaan sekeliling hutan ini, kalau-kalau terdapat sebuah dusun."
"Kalau ada dusun kau mau apa?"
"Mencarikan pakaian untukmu, dan sepasang sepatu."
"Kau ada uang?"
Sin Liong menggelengkan kepalanya.
"Habis bagaimana kau bisa mendapatkan pakaian dan sepatu?"
Muka Sin Liong menjadi merah. Baru saja sembuh dara ini sudah pandai mendesaknya dengan omongan dan membuatnya tersudut!
"Aku... aku akan minta!"
"Uhhh, seperti aku tidak tahu saja. Hendak minta kepada orang dusun yang miskin dan yang pakaiannya mungkin hanya yang menempel pada tubuh mereka?"
"Barang kali di dusun ada yang kaya, ada tuan tanahnya..."
"Dan kau benar-benar akan mengemis, minta begitu saja, dan apakah mereka akan mau memberimu? Sudahlah, Sin Liong, katakan saja bahwa engkau hendak mencuri pakaian dan sepatu untukku!"
Sin Liong tersenyum dan terpaksa mengangguk. "Atau kita pakai saja istilah pinjam dari orang kaya di dusun?"
"Tidak, lebih baik kau beli saja, atau tukar dengan ini!" Bi Cu melepaskan seuntai kalung dari lehernya, dan memberikan benda itu kepada Sin Liong.
Sin Liong memandang kalung emas dengan hiasan kepala burung walet bermata emas itu. "Ah, bukankah ini lambang dari julukanmu dahulu? Dahulu julukanmu adalah Kim-gan Yan-cu (Burung Walet Bermata Emas), seperti kalung ini!"
Bi Cu tersenyum. "Justru karena kalung itulah maka para pengemis di kota raja menjuluki aku demikian. Kalung itu pemberian mendiang suhu Hwa-i Sin-kai."
"Ahh, kukira julukan itu karena, matamu..."
"Mataku bagaimana?"
"Matamu indah sekali, Bi Cu, pantas dinamakan mata emas..." Sin Liong mendekat dan merangkul, mencium mata itu.
"Ihhh, engkau perayu!" Bi Cu mendorong perlahan dada Sin Liong dan pemuda itu lalu pergi sambil tertawa, menggenggam kalung itu erat-erat di dalam kepalan tangannya.
Bi Cu berdiri memandang sambil tersenyum, hatinya senang bukan main. Kemudian dara ini pun pergi ke anak sungai yang jernih airnya itu untuk membersihkan diri, dan mencuci pakaian kemudian menjemur pakaiannya.
Ternyata dusun yang dicari-cari Sin Liong itu memang ada, akan tetapi jauh sekali dari hutan itu. Dan dia berhasil memperoleh pakaian wanita dan sepasang sepatu untuk Bi Cu, akan tetapi semuanya itu hanya ditukarnya dengan rantai kalung saja, ada pun mainan kalung berupa burung walet bermata emas itu disimpannya. Rantai kalung dari emas itu saja sudah lebih dari cukup untuk menukar barang-barang itu dan sudah menggirangkan pemilik pakaian dan sepatu yang tidak baru itu.
Matahari telah naik tinggi ketika Sin Liong tiba kembali dalam hutan. Ternyata Bi Cu telah memakai pakaiannya yang telah dicuci dan sudah kering, dan dara itu ternyata sedang sibuk memanggang daging ayam hutan.
"Ahh, engkau masih lemah, Bi Cu. Mengapa sibuk menyiapkan makanan un¬tuk kita? Biar aku yang..."
"Hemmm, walau pun agak sukar dan sampai berkali-kali luput, akhirnya aku berhasil juga mendapatkan seekor ayam gemuk. Wah, pakaian dan sepatu itu bagus, Sin Liong!"
Bi Cu girang sekali, kemudian mematut-matut diri dengan pakaian itu sesudah kaus kaki dan sepatunya dia pakai dan ternyata pas ukurannya.
"Semua itu kutukar dengan rantai kalung, dan mainannya masih kusimpan. Aku merasa sayang sekali untuk menukarkan itu, biar ditukar dengan seribu pakaian pun aku merasa tidak rela!"
Sin Liong mengeluarkan mainan itu dari saku bajunya dan hendak menyerahkan kembali kepada pemiliknya. Bi Cu menggerakkan tangan menolak.
"Kau simpan sajalah, Sin Liong."
Wajah pemuda itu langsung berseri. "Terima kasih, Bi Cu. Memang tadinya aku hendak mengajukan permintaan kepadamu!" Melihat dara itu sudah sehat benar bukan main lega rasa hati Sin Liong.
"Aku akan mencoba pakaian ini!" kata Bi Cu sambil berlari kecil dan menghilang ke balik semak-semak.
Sin Liong tersenyum duduk di atas batu dan memandang mainan burung itu sejenak, lalu mencium benda di telapak tangannya itu, menggenggamnya dan kemudian memasukkan mainan kalung itu ke dalam saku baju sebelah dalam. Pakaiannya sendiri sudah kering ketika dibawanya berlari cepat tadi.
"Wah, engkau memang hebat! Pas sekali ukuran pakaian ini, seperti juga sepatunya!" Bi Cu berseru girang dan Sin Liong cepat menengok.
Muka itu masih agak pucat, rambut yang agak basah itu masih kusut karena di situ tidak ada sisir, akan tetapi matanya bersinar-sinar dan mulutnya tersenyum. Manis sekali dan kelihatan segar, seperti setangkai bunga bermandikan embun di pagi hari.
"Kau... kau cantik sekali dengan pakaian itu, Bi Cu!" kata Sin Liong sambil bangkit berdiri.
Bi Cu meruncingkan mulutnya. "Ihhh..., engkau sekarang menjadi perayu benar! Jangan-jangan engkau akan ketularan penyakit kakak angkatmu itu, Sin Liong!"
Sin Liong menyambar lengannya dan di lain saat mereka sudah saling berangkulan.
"Bi Cu, engkaulah satu-satunya wanita di dunia ini yang akan selalu kurayu dan kupuji."
Sejenak Bi Cu menyandarkan kepalanya pada dada kekasihnya seperti tadi malam ketika mereka kehujanan. "Sin Liong, jangan kau tinggalkan aku lagi. Jangan sampai kita saling berpisah, apa pun yang akan terjadi. Mau kau berjanji?"
"Tentu saja, Bi Cu."
"Biar pun engkau akan dipaksa oleh siapa pun juga?"
Sin Liong mengangguk.
"Kita akan selalu berdampingan, baik dalam keadaan hidup atau pun mati?"
Sin Liong memegang kedua pundak dara itu, membalikkan tubuhnya sehingga mereka kini saling tatap dengan sinar mata tajam penuh selidik, seolah-olah hendak menjenguk isi hati masing-masing. Namun, pancaran sinar mata dua orang insan ini penuh kemesraan dan cinta kasih, sungguh terasa oleh keduanya. Sin Liong perlahan-lahan mencium dahi dara itu, gerakan yang lembut dan halus, seperti mencium benda keramat.
"Perlukah aku bersumpah, Bi Cu?"
Bi Cu merangkul leher Sin Liong. Sejenak dia merangkul ketat, terasa oleh Sin Liong betapa dadanya bertemu dengan dada Bi Cu dalam kemesraan yang mendalam, terasa oleh mereka detak jantung masing-masing saling berlomba. Kemudian Bi Cu melepaskan rangkulannya, melangkah mundur dan aneh, wajahnya berubah merah.
Sin Liong memandang dan terpesona. Wajah yang tadinya pucat itu kini mulai menjadi kemerahan dan karenanya menjadi semakin manis dan menarik. Sinar mata itu semakin berseri penuh cahaya indah. Mata emas!
"Sin Liong, aku tidak butuh kata-kata sumpah. Kata-kata hanyalah kosong, dan aku lebih percaya kepada sinar matamu. Aku percaya kepadamu." Lalu dia tersenyum dan suasana penuh hikmat itu pun membuyarlah. "Heii, sudah sejak tadi daging itu matang. Mari kita makan!"
Hati Sin Liong makin gembira. Bi Cu benar-benar nampak sudah sembuh. Maka, sehabis makan, mulai terasalah olehnya betapa tubuhnya amat letih, betapa matanya mengantuk sekali. Setelah semua kegelisahan batinnya hilang, barulah tubuhnya menuntut dan baru dia sadar akan keadaan jasmaninya. Maka dia lalu duduk melenggut bersandarkan batang pohon.
Sejak tadi Bi Cu maklum akan keadaan Sin Liong itu. Maka diam-diam dia memilih tempat yang sejuk di bawah pohon besar, kemudian mengumpulkan rumput kering dan mengatur sebuah tempat tidur di tempat itu, menggulung pakaian lamanya sebagai bantal, baru dia mendekati Sin Liong dan menyentuh lengannya. Sin Liong membuka matanya yang amat mengantuk.
"Sin Liong, kau tidurlah dulu. Kau perlu beristirahat. Aku tidak perlu dijaga lagi. Nah, kau tidurlah!" Bi Cu menarik tangannya sehingga terpaksa pemuda itu bangkit berdiri lantas membiarkan dirinya digandeng ke bawah pohon yang sejuk dan teduh itu.
Melihat tempat tidur yang terbuat dari rumput kering dengan bantal gulungan pakaian itu, Sin Liong tersenyum dan semakin beratlah rasa kantuknya. Dia lalu merebahkan diri dan sebentar saja sudah pulas, membawa wajah Bi Cu yang tersenyum memandangnya itu ke dalam tidurnya.
Sungguh enak Sin Liong tidur, nyenyak tanpa mimpi. Sejenak matahari condong jauh ke barat, baru dia terbangun. Dia menggeliat dengan enak, mengejap-ngejapkan matanya, lalu menoleh ke kanan kiri. Tidak nampak Bi Cu di situ.
Dia lalu bangkit duduk dan kembali mencari-cari dengan pandang matanya. Dia melihat cuaca yang menunjukkan bahwa waktu itu telah hampir senja. Tentu Bi Cu sedang pergi mandi ke anak sungai, pikirnya. Dia menanti, bangkit berdiri dan berjalan-jalan hilir mudik melemaskan kedua kakinya. Akan tetapi sunyi saja di sekitar situ dan telalu lama baginya menanti munculnya kekasihnya itu.
"Bi Cu...!" Dia memanggil ke arah anak sungai. Karena dia mengerahkan tenaga khikang, maka dia percaya bahwa panggilannya itu tentu akan terdengar oleh Bi Cu kalau dara itu sedang mandi di sana. Akan tetapi tidak ada jawaban!
Sin Liong mengerutkan alisnya. Dara itu suka bergurau dan menggoda orang. Maka dia segera berindap-indap menuju ke anak sungai. Apa bila dia melihat Bi Cu sedang mandi telanjang tentu dia akan pergi lagi. Kalau Bi Cu berpakaian maka dia akan menggodanya kembali. Akan tetapi, ketika dia tiba di tepi sungai, di situ pun tidak nampak Bi Cu, maka dia mulai bimbang.
"Bi Cu...!" Kembali dia memanggil, kini lebih nyaring. Tetap saja tidak terdengar jawaban.
Dia mencari-cari, sekarang dengan gerakan cepat, berlarian dan berloncatan ke sana-sini. Kemudian dia kembali ke bawah pohon-pohon di mana biasanya mereka berada, di dekat api unggun. Dan nampaklah surat itu olehnya.
Sebuah sampul surat di dekat perapian yang sudah menjadi abu. Dia yakin benar bahwa sampul itu adalah benda asing dan tidak mungkin berada di tempat itu kemarin. Tentu ada yang menaruhnya, dan agaknya Bi Cu juga tidak mungkin bisa memiliki sepotong sampul surat itu! Tentu orang lain yang menaruhnya! Dan Bi Cu tidak ada!
Jantungnya berdebar dan wajahnya menjadi sedikit pucat, secara cepat dia menyambar sampul itu. Sampul kuning yang halus dan berbau harum! Dibukanya sampul itu lantas dikeluarkannya sepotong surat yang bertuliskan coretan huruf-huruf halus, tulisan wanita!
Cia Sin Liong!
Kalau kau menghendaki dara itu kembali dalam keadaan sehat, kami persilakan engkau menyusul ke Lembah Naga dan menghadap Pangeran Oguthai!
Surat itu tidak ditanda tangani. Akan tetapi isinya cukup jelas bagi Sin Liong. Pangeran Oguthai? Siapa lagi kalau bukan Ceng Han Houw? Jelaslah kini, Bi Cu telah diculik orang ketika dia sedang tidur!
Dia mengepal kedua tinjunya, matanya mengeluarkan sinar berapi. Pangeran Ceng Han Houw yang melakukan ini! Bukan pangeran itu sendiri yang datang, melainkan utusannya. Dan dia dapat menduga siapa orangnya. Agaknya Kim Hong Liu-nio, melihat bahwa surat itu ditulis tangan wanita dan bau harum pada surat itu.
Akan tetapi bagaimana utusan Han Houw dapat mengetahui dia dan Bi Cu berada di situ? Padahal selama berhari-hari ini, ketika Bi Cu sedang menderita sakit, tidak ada seorang pun berada di sekeliling tempat sunyi itu? Ah, tentu ketika dia pergi ke dusun mencarikan pakaian dan sepatu pagi tadi! Begitu pikiran ini memasuki benaknya, tubuhnya langsung mencelat dan berkelebat, kemudian dia berlari secepat angin menuju ke dusun yang tadi didatanginya.
Bagaikan orang terbang saja Sin Liong mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk berlari cepat ke dusun itu dan memang hebat sekali dia. Sebelum malam tiba, dia sudah sampai di dusun itu, memakan waktu kurang dari setengahnya ketika mula-mula dia datang untuk mencarikan pakaian dan sepatu Bi Cu!
Dan mulailah dia bertanya-tanya di seluruh dusun itu apakah ada yang melihat seorang wanita cantik yang pakaian dan gelungannya bagaikan puteri istana datang ke dusun itu. Akhirnya, ada seorang petani tua yang menceritakan bahwa memang kemarin dia melihat dua orang wanita di luar dusun, seorang wanita cantik seperti yang digambarkan oleh Sin Liong, dan yang ke dua adalah seorang nenek bermuka hitam yang menyeramkan.
"Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li!" Sin Liong berkata penuh geram.
Cepat dia berlari meninggalkan dusun itu. Dia mengepal kedua tangannya, lalu berhenti berlari ketika tiba di hutan, mengacung-acungkan kepalan tangannya ke atas dan berkata penuh kemarahan, "Ceng Han Houw! Kim Hong Liu-nio! Hek-hiat Mo-li! Aku bersumpah akan menghancurkan kepala kalian bertiga kalau kalian mengganggu Bi Cu-ku!"
Kemudian dia lari lagi ke utara. Dia harus cepat-cepat menyusul Bi Cu ke Lembah Naga, jauh di utara, di luar Tembok Besar.
Pangeran Ceng Han Houw merasa gelisah juga ketika melihat perkembangan yang terjadi di kota raja semenjak peristiwa lenyapnya surat rahasia dari Raja Sabutai kepadanya itu. Yang paling merisaukan hatinya adalah berita mengenai gerakan pasukan-pasukan yang kabarnya diatur sendiri oleh Pangeran Hung Chih.
Pasukan-pasukan yang kuat kabarnya dikerahkan ke perbatasan utara untuk berjaga-jaga di sepanjang Tembok Besar. Walau pun tidak dijelaskan untuk menghadapi siapa, kecuali penjagaan yang memang selalu diadakan meski pun tidak seketat sekarang, akan tetapi tentu saja Ceng Han Houw sudah dapat menduga bahwa pasukan itu memang khusus dipersiapkan untuk menghadapi pasukan Raja Sabutai, ayahnya di utara!
Selain itu, juga di selatan Pangeran Hung Chih mengerahkan pasukan untuk mengadakan pembersihan terhadap perkumpulan-perkumpulan yang bersikap anti pemerintah, terutama sekali perkumpulan Pek-lian-kauw dibasmi oleh pasukan itu. Padahal, akhir-akhir ini, Pek-lian-kauw mulai menyatakan diri akan membantu gerakan Ceng Han Houw apa bila sewaktu-waktu pangeran ini hendak menumbangkan kekuasaan kaisar! Bukan itu saja, bahkan ada belasan orang pembesar di kota raja sendiri yang diam-diam anti kaisar dan memang merupakan sahabat-sahabat baik Ceng Han Houw ditangkapi dan dimasukkan tahanan!
Tentu saja Han Houw merasa benar bahwa semua itu merupakan langkah-langkah yang diambil kaisar untuk menentangnya. Dan ini tidak lain tentu hasil dari pengkhianatan Sun Eng yang sudah mencuri surat rahasia itu! Suasana menjadi terasa panas sekali bagi kaki pangeran peranakan Mongol ini. Dia maklum bahwa lambat-laun kaisar tentu tidak akan merasa sungkan lagi untuk menyuruh orang menangkapnya!
Mengertilah Ceng Han Houw bahwa dia harus bertindak cepat. Dia pun segera mengutus anak buahnya yang setia untuk mempercepat dilaksanakannya pertemuan besar di dunia kang-ouw untuk memilih apa yang dinamakan bengcu (pemimpin rakyat) dan memilih pula Jago Nomor Satu yang pantas menjadi bengcu.
Dia mengundang semua tokoh kang-ouw serta partai-partai persilatan besar untuk datang mengunjungi pemilihan bengcu seluruh Tiongkok itu, dan tempat pemilihan itu ditentukan di daerah bebas. Agar jangan dilarang pemerintah, demikian penjelasannya. Dan tempat itu adalah Lembah Naga di utara, di luar Tembok Besar.
Ketika dia mendengar bahwa suci-nya, Kim Hong Liu-nio, dan subo-nya, Hek-hiat Mo-li, juga sudah kembali dari selatan karena mereka tidak perlu lagi mengejar-ngejar keluarga Cin-ling-pai yang sudah memperoleh kebebasan dari kaisar itu, juga mendengar betapa suci-nya menawan Bi Cu dan mempergunakan dara itu sebagai umpan untuk memancing Sin Liong ke utara, hatinya menjadi besar dan girang sekali.
"Bawa dia ke utara, ke Lembah Naga, suci," katanya kepada wanita itu. "Perlakukan dia baik-baik sebagai tamu. Aku mengharapkan untuk dapat menggunakan tenaga Sin Liong yang amat kita butuhkan itu. Kita harus dapat menyenangkan hatinya."
Kim Hong Liu-nio bersama Hek-hiat Mo-li lalu kembali ke utara membawa Bi Cu sebagai tawanan yang diperlakukan dengan sangat hormat dan baik. Bi Cu tidak menderita badan, bahkan dia dibawa ke utara dalam sebuah kereta. Para pasukan penjaga tentu saja tidak ada yang berani mengganggu Kim Hong Liu-nio yang dulu pernah dikenal sebagai wanita gagah penyelamat kaisar itu.
Akan tetapi sudah tentu saja Bi Cu menderita batin yang hebat, sering kali menangis dan mengamuk ingin kembali kepada Sin Liong. Kim Hong Liu-nio terpaksa menghiburnya dan mengatakan bahwa sudah pasti Sin Liong akan menyusul ke Lembah Naga, karena Sin Liong merupakan adik angkat Pangeran Ceng Han Houw yang sekarang membutuhkan bantuan adik angkatnya itu.
Dan selagi Ceng Han Houw sendiri bersiap-siap untuk meninggalkan kota raja, muncullah Ciauw Si! Tentu saja sang pangeran merasa girang bukan main. Suami isteri yang telah disahkan oleh kuil ini saling berpelukan dengan penuh rindu. Akan tetapi Ciaw Si segera mendengar akan keadaan pangeran yang dianggap sebagai suaminya itu, maka dia pun merasa prihatin sekali.
"Kaisar sudah dihasut oleh Pangeran Hung Chih!" demikian Pangeran Ceng Han Houw berkata. "Aku semakin dibenci saja oleh kaisar. Dan bagaimana dengan perjalananmu ke selatan, Si-moi?"
Mereka bercakap-cakap sambil berpelukan di atas pembaringan, melepaskan kerinduan hati mereka sebagai pengantin baru.
"Aku tak berhasil menemukan ibuku dan keluarga ibuku, pangeran. Akan tetapi ada berita baik yang kudengar di sepanjang jalan bahwa mereka telah di¬bebaskan oleh kaisar!"
"Ahh, masa engkau tidak mengerti. Si-moi? Bukan kaisar yang membebaskan, melainkan akulah yang mengirim berita itu ke seluruh pembesar, dengan memakai nama kaisar! Apa bila hal ini sampai diketahui oleh kaisar, tentu aku akan ditangkap sebab dituduh sebagai pembantu pemberontak..."
"Ahhhh...!" Ciauw Si terkejut sekali dan memeluk suaminya.
"Jangan kau khawatir, Si-moi, isteriku, kekasihku. Aku tidak akan mudah ditangkap begitu saja. Sungguh senang sekali aku melihat engkau datang, Si-moi, sebab memang aku pun sudah bersiap-siap untuk meninggalkan kota raja."
"Engkau... engkau mau pergi ke manakah, pangeran?"
"Pulang ke utara, ke kerajaan orang tuaku, Dan aku akan melanjutkan rencanaku semula, aku akan mengadakan pertemuan kaum kang-ouw yang terbesar yang pernah ada dalam sejarah. Semua tokoh kang-ouw berikut partai-partai persilatan terbesar kuundang untuk mengadakan pertemuan, untuk memilih bengcu dan memilih jagoan nomor satu di dunia. Dan aku akan menghimpun mereka itu agar membantuku untuk menghadapi kaisar."
"Tapi... tapi itu pemberontakan, pangeran!" Ciauw Si berkata kaget.
Ceng Han Houw merangkul dan cepat menutup mulut yang hendak memprotes itu dengan ciuman-ciuman mesra sehingga sejenak Ciauw Si tenggelam ke dalam kemesraan yang memabukkan. Beberapa lamanya mereka tidak bicara, hanya tenggelam dalam dekapan mereka. Akhirnya, setelah dengan terengah-engah mereka melepaskan ciuman, pangeran itu berbisik dekat telinga Ciauw Si,
"Engkau adalah isteriku, bukan?"
Ciauw Si mengangguk sambil memejamkan matanya.
"Dan engkau tentu akan membelaku sampai bagaimana pun juga, bukan?"
"Dengan taruhan nyawaku..."
"Isteriku sayang, kalau melawan kekejaman kaisar lalim bukan pemberontakan namanya! Melainkan perjuangan! Ingatlah betapa keluargamu sendiri pernah menjadi korban kaisar lalim, keluarga gagah perkasa yang berjiwa pahlawan dituduh pemberontak dan menjadi orang-orang buruan yang direndahkan sekali! Apakah melawan kaisar lalim semacam itu disebut pemberontakan? Apakah usaha untuk membebaskan rakyat dari cengkeraman kelaliman itu bukan merupakan tugas orang-orang yang menjunjung kegagahan seperti kita pula?" Pandai sekali Ceng Han Houw membujuk sambil merayu dan sambil bermain cinta, menumpahkan segala kemesraan dalam bermain cinta kepada Ciauw Si sehingga akhirnya wanita ini kehilangan kesadaran sama sekali, dan tunduk kepada suaminya yang dicintanya.
Pada keesokan harinya, Pangeran Ceng Han Houw yang hendak meneliti keadaan itu dengan berani pergi menghadap kaisar kemudian mohon ijin untuk pergi mengunjungi ibu kandungnya di utara. Kaisar menerimanya dengan singkat, kemudian dengan dingin pula memberi persetujuannya kepada pangeran itu untuk pergi ke utara.
Memang sebaiknya kalau pangeran berdarah Mongol yang berbahaya ini pergi saja dan tidak usah kembali untuk selamanya, demikian pikir kaisar. Sesuai dengan siasat kaisar agar pemberontakan atau rencana pemberontakan Pangeran Ceng Han Houw itu dapat dipadamkan tanpa terjadinya perang saudara, maka pangeran ini pun dengan mudah saja dapat melalui penjagaan di utara, dengan berkendaraan kereta bersama Ciauw Si beserta sepasukan pengawalnya yang setia.
Ciauw Si maklum bahwa dia bertindak ceroboh. Tanpa berunding dengan keluarganya, dengan ibu kandungnya, dia sekarang bergabung dengan Pangeran Ceng Han Houw ke utara. Dia maklum pula bahwa banyak terdapat bahaya di balik tindakannya ini, namun dia sudah mabuk akan limpahan kasih sayang pangeran yang membuatnya tergila-gila itu maka dia seakan-akan melakukan tindakan itu dengan mata sengaja dipejamkan! Demi cintanya dia rela menghadapi apa pun juga asalkan dia tidak akan terpisah dari samping pangeran yang telah menjadi suaminya itu.
"Dapatkah losuhu melakukan hal itu untuk menolong kami yang hendak menikah secara resmi di kuil ini?" tanya sang pangeran, suara dan matanya menuntut dan mendesak.
"Tentu, tentu saja pinceng dapat melakukan itu, pangeran. Dengan senang hati, bahkan pinceng merasa mendapatkan kehormatan yang besar sekali!" serunya sambil tersenyum lebar dan wajahnya berseri. Siapakah tidak akan merasa girang kalau diberi kehormatan untuk melakukan upacara pernikahan seorang pangeran yang terhormat dan mulia?
Tiba-tiba saja Ciauw Si yang semenjak tadi hanya mendengarkan saja dengan kedua pipi kemerahan dan jantung berdebar, merasa malu-malu dan tegang, kini bertanya, suaranya lirih dan agak gemetar, seolah-olah lenyaplah sifat-sifat gagahnya pada saat menghadapi peristiwa yang amat mendebarkan dan menegangkan bagi seorang gadis ini,
"Losuhu... apakah... pernikahan seperti ini sudah sah...?"
Hwesio tua itu seperti terkejut mendengar pertanyaan ini, sepasang matanya memandang wajah Ciauw Si dan kemudian wajah sang pangeran. Begitu bertemu dengan sinar mata sang pangeran, dia pun cepat merangkap kedua tangannya depan dada.
"Omitohud...! Tidak ada yang lebih sah dari pada peneguhan dan pemberkatan di dalam kuil, disaksikan oleh para dewa dan malaikat dengan sumpah di depan meja sembahyang kepada Thian sendiri, siocia!"
Maka lapanglah rasa hati Ciauw Si mendengar keterangan yang diucapkan dengan suara mantap itu. Dia merangkap kedua tangannya dan berkata, "Terima kasih, losuhu."
Mereka tidak usah menunggu lama-lama. Segera meja sembahyang untuk keperluan itu dipersiapkan dan tidak lama kemudian dua orang muda itu sudah berlutut di depan meja sembahyang dengan penuh khidmat.
Ketika mereka sedang bersembahyang itu, Ciauw Si teringat akan keluarganya dan tanpa dapat ditahannya lagi menangislah pengantin wanita ini! Bagaimana pun juga, dia merasa sedih sekali karena menikah tanpa dikelilingi sanak keluarganya, bahkan tidak memakai pakaian pengantin dan tidak disaksikan oleh seorang pun kerabat.
Dia memang sudah mengambil keputusan nekat. Biar pun bangkitnya gairah nafsu karena rayuan dan belaian kekasihnya itu merupakan pendorong utama, akan tetapi di samping itu juga ada kenyataan-kenyataan lainnya yang mendorong Ciauw Si menyerah kepada kekasihnya dengan sekedar upacara pernikahan yang sunyi di kuil itu. Dia teringat akan peristiwa yang menimpa diri kakaknya, Lie Seng. Kakaknya itu saling mencinta dengan Sun Eng, akan tetapi ibu kandungnya beserta keluarga Cin-ling-pai menentang sehingga terjadi peristiwa yang amat menyedihkan.
Sejak semula dia membela kakaknya dan secara diam-diam dia tidak setuju dengan sikap orang-orang tua itu yang mau mencampuri urusan cinta kasih antara dua orang muda! Oleh karena kenyataan inilah maka Ciauw Si menganggap bahwa kehadiran keluarganya di dalam pernikahannya sekarang ini pun hanyalah merupakan soal ke dua belaka, yang penting adalah dia dan pangeran!
Dan dia tidak menyerahkan diri begitu saja, mereka berdua tidak akan berjinah, melainkan bersatu melalui pernikahan yang sah, di depan hwesio, di dalam kuil, di depan para dewa, di depan Thian! Maka, halangan bahwa dia belum memberi tahukan kepada ibunya serta para keluarganya merupakan halangan yang tipis sekali, ditipiskan oleh peristiwa kakak kandungnya itu!
Apa lagi karena dia pun merasa sangsi apakah keluarganya akan menyetujui perjodohan antara dia dan Pangeran Ceng Han Houw yang dikenal oleh keluarganya sebagai murid Hek-hiat Mo-li, dan dianggap musuh itu! Biarlah, pikirnya yang mendorong kenekatannya. Andai kata keluarganya tak setuju, seperti juga ketika tidak menyetujui perjodohan kakak kandungnya, dia toh sudah menikah dengan sah di dalam kuil itu!
Oleh karena semua halangan dan hambatan batin ini lenyap oleh pikiran-pikiran itu, maka sesudah mereka selesai melakukan upacara sembahyang sebagai sepasang suami isteri, Clauw Si dan Pangeran Ceng Han Houw secepatnya pulang ke istana. Setibanya mereka di istana, kini tanpa ragu-ragu lagi Ciauw Si dengan rela membiarkan dirinya dipondong oleh suaminya ke dalam kamar dan dia menyerahkan dirinya dengan penuh kemesraan, penuh kasih sayang, dan penuh kerelaan yang pasrah.
Sepasang pengantin ini dibuai gelombang asmara yang menenggelamkan mereka serta membuat mereka lupa akan segala. Dan niat untuk bermalam satu malam saja itu lantas menjadi berlarut-larut sehingga sampai tiga hari tiga malam mereka tidak pernah keluar meninggalkan kamar!
Baru pada hari ke empat, mengingat akan pentingnya tugas menyelamatkan keluarganya, dengan hati berat Ciauw Si berpamit dan berpisah dari suaminya. Perpisahan yang berat dan mesra. Seakan-akan pangeran itu tidak mau melepaskan isterinya dari dekapannya dan Ciauw Si pun segan meninggalkan dada suaminya. Akan tetapi akhirnya Ciauw Si berangkat juga, dengan pakaian serba indah, dengan seekor kuda pilihan dan bekal yang cukup dari suaminya. Dia tidak mau dikawal dan pada pagi hari itu, dengan diantar oleh pandangan mata yang mencinta dari Pangeran Ceng Han Houw, Ciauw Si membalapkan kudanya meninggalkan istana dan keluar dari kota raja.
Sedikit pun Ciauw Si tidak pernah mengira bahwa baru beberapa hari yang lalu, di istana pangeran itu, di mana dia menikmati bulan madu selama tiga hari tiga malam itu, terjadi peristiwa yang sangat mengerikan atas diri Sun Eng! Dia sama sekali tidak tahu bahwa kakak kandungnya bersama paman dan bibinya, Cia Bun Houw dan Yap In Hong, sudah mendatangi istana pangeran itu dan melarikan Sun Eng dari belakang istana.
Dan setelah Ciauw Si pergi, Pangeran Ceng Han Houw berdiri termenung, hatinya terasa bimbang. Dia merasa girang bahwa dia sudah berhasil menjalankan siasatnya, menarik hati Ciauw Si dan memperalat gadis itu untuk menarik keluarga Cin-ling-pai untuk menjadi pembantu-pembantu atau sekutunya.
Akan tetapi, di samping kegirangan ini juga dia merasa betapa sekali ini dia benar-benar jatuh cinta! Bahwa sekali ini baru dia bertekuk lutut kepada seorang wanita dan bahwa dia sungguh-sungguh mencinta Lie Ciaw Si dan menganggap wanita ini sebagai isteri, bukan sekedar sebagai selir atau alat penghibur belaka.
Maka timbullah kekhawatiran dalam lubuk hatinya. Dia maklum bahwa dia sudah bermain dengan api yang amat berbahaya! Dia telah menciptakan perang dalam hatinya sendiri. Di satu fihak dia sungguh-sungguh mencinta gadis itu, di lain fihak dia hendak memperalat gadis itu demi keuntungan diri sendiri.
********************
"Bi Cu...! Bi Cu, apamukah yang sakit...?" Berkali-kali Sin Liong bertanya ketika dara itu siuman dan mengeluh lirih. Dia meraba dahi yang panas sekali itu. Bi Cu berbisik-bisik, mengigau tidak karuan, gelisah dan kaki tangannya bergerak-gerak seperti orang hendak meronta.
"Bi Cu... tenanglah, Bi Cu, tenanglah...!" Sin Liong membasahi kepala dara itu dengan air.
Bukan main gelisahnya hati Sin Liong melihat keadaan Bi Cu yang terus mengigau dan tubuhnya panas sekali itu. Bi Cu diserang demam yang naik turun hingga sehari semalam lamanya. Sin Liong merasa amat khawatir.
Hutan itu kecil akan tetapi liar, tidak ada goa atau tempat berlindung yang baik untuk Bi Cu. Terpaksa dia merawat dara itu di bawah pohon-pohon, di dekat sebuah anak sungai yang airnya jernih. Dengan sambitan batu, Sin Liong lalu membunuh beberapa ekor ayam hutan dan kelinci, kemudian dia memanggang dagingnya dan diberikan kepada Bi Cu.
Akan tetapi selama sehari semalam itu, jangankan makan, bahkan diajak bicara pun Bi Cu tidak dapat menjawab, keadaannya setengah sadar. Dia sendiri pun sama sekali tidak dapat makan, bahkan tidak pernah tidur sekejap mata pun, terus-menerus menjaga Bi Cu, kalau malam membuat api unggun dan selalu membasahi kepala yang panas itu dengan air.
Pada keesokan harinya, barulah Bi Cu sadar dan tidak begitu gelisah lagi, sungguh pun tubuhnya masih panas sekali.
"Sin Liong...!" rintihnya.
Sin Liong girang bukan main. Diusapnya pipi yang basah oleh air mata itu, disingkapnya rambut yang terurai lepas dan dia menatap wajah yang pucat itu.
"Bi Cu, engkau terserang demam. Jangan khawatir, aku menjagamu, engkau pasti akan sembuh kembali."
Bi Cu agak terengah, bibirnya yang pucat mengering itu lalu berkata lemah, "Aku... aku haus..."
Sin Liong cepat mengambil air yang sudah disediakannya lantas memberi minum dara itu dengan air yang ditempatkan pada sehelai daun lebar yang dibentuknya seperti cawan. Sesudah minum air beberapa teguk, Bi Cu kelihatan lega dan tenang, lalu rebah kembali setelah tadi dibantu oleh Sin Liong bangkit duduk.
"Berapa lama aku sakit...?" bisiknya.
"Engkau dalam keadaan tidak sadar dan demam panas sehari semalam. Tetapi engkau akan sembuh. Biar kubuatkan makanan untuk mengisi perutmu. Akan tetapi karena kita berada di hutan dan tidak ada dusun di dekat sini, terpaksa engkau hanya akan makan panggang daging kelinci, Bi Cu."
Bi Cu mengangguk. Sekarang pikirannya sudah terang dan diam-diam dia merasa terharu melihat Sin Liong menjaga dan merawatnya seperti itu. Jelas nampak betapa pemuda itu lelah sekali.
Biar pun sekarang Bi Cu telah sadar, namun tubuhnya masih lemah dan panasnya masih kadang-kadang datang menyerang membuatnya gelisah sehingga selama beberapa hari dia masih belum dapat bangun karena kalau dia bangkit, kepalanya terasa pening sekali dan pandang matanya berkunang. Oleh karena itu, selama empat hari empat malam lagi dia terus rebah dijaga Sin Liong siang malam tanpa pernah beristirahat!
Jadi sampai lima hari lima malam Sin Liong tidak pernah tidur, dan makan sedikit, sama sedikitnya dengan Bi Cu karena dia hanya dapat makan kalau Bi Cu juga makan. Hatinya diliputi kekhawatiran melihat Bi Cu sakit agak payah di tempat sunyi itu. Dan pada malam hari ke lima itu, lewat tengah malam menjelang pagi, kembali turun hujan lebat di hutan itu! Sibuk sekali Sin Liong berusaha melindungi badan Bi Cu dari siraman hujan.
Dengan hati penuh kekhawatiran Sin Liong melihat betapa dara itu sangat kedinginan. Bi Cu bangkit duduk ketika hujan turun, kemudian dia membiarkan dirinya dipeluk oleh Sin Liong. Kilat menyambar-nyambar dan hujan turun seperti dituangkan dari atas. Derasnya bukan main sehingga sebentar saja pakaian mereka sudah basah kuyup!
Tidak ada tempat berlindung kecuali bawah pohon-pohon itu! Api unggun yang dibuat Sin Liong sudah sejak tadi padam dan tadi Sin Liong sibuk mengumpulkan kayu kering yang sedapat mungkin ditutupinya dengan daun-daun.
Tubuh Bi Cu menggigil di dalam pelukan Sin Liong. Sin Liong mengerahkan sin¬kang-nya sehingga dari tubuhnya keluar hawa panas. Hal ini banyak menolong walau pun pakaian mereka basah semua. Melihat sepasang sepatu Bi Cu yang telah pecah-pecah dan rusak akibat dipakai mendaki tebing tempo hari, kini basah kuyup dan bahkan menampung air yang membuat telapak kaki terasa luar biasa dinginnya, Sin Liong berkata,
"Sebaiknya sepatumu dan kaus kaki yang basah semua itu ditanggalkan saja."
Bi Cu yang menyembunyikan mukanya di dada Sin Liong hanya mengangguk, maka Sin Liong cepat melepaskan kedua sepatu dan kaus kaki dari kedua kaki Bi Cu. Dia merasa betapa tubuh yang dirangkulnya itu gemetaran dan terasa kecil lemah. Makin eratlah dia mendekap, dengan hati penuh kasih sayang.
Ternyata hujan turun sampai pagi. Setelah hujan berhenti, Sin Liong segera membuat api menggunakan kayu-kayu kering yang tadi telah ditutupinya dengan daun-daunan. Untung masih terdapat kayu-kayu yang kering di tumpukan bawah, maka dapat juga dia berhasil menyalakan api unggun yang mula-mula mengepulkan asap. Akan tetapi makin lama, api unggun itu semakin terang dan menyala-nyala dan dia sudah duduk di dekat api unggun sambil memeluk tubuh Bi Cu.
"Engkau tentu dingin sekali, Bi Cu...," katanya penuh iba sambil merangkul dara itu.
Bi Cu menyandarkan kepalanya pada pundak Sin Liong, tangan kirinya menjamah-jamah pundak dan lengan pemuda itu, kemudian berkata lemah dengan suara gemetar karena kedinginan, "Engkau pun basah kuyup dan kedinginan..."
"Tidak, aku sehat, engkaulah yang tengah sakit, mudah-mudahan engkau tidak jatuh sakit lagi. Ahh, baru saja engkau hampir sembuh tapi kembali disiram hujan lebat...," Sin Liong berkata khawatir.
Melihat kekhawatiran pemuda itu terhadap dirinya, Bi Cu merasa semakin terharu, apa lagi semalam dia mimpi, dan dalam mimpi itu dia membayangkan kembali peristiwa yang terjadi di bawah tebing pada waktu mereka menyambut hujan dengan bahagia sekali dan mereka telah berpelukan serta berciuman dalam keadaan hampir tidak sadar!
"Sin Liong, engkau... baik sekali kepadaku... kalau tidak ada engkau, aku tentu sudah mati dalam keadaan terlantar..." Suaranya mengandung isak.
Sin Liong menunduk dan memandang wajah yang dekat itu. Melihat betapa di antara air hujan yang membasahi rambut dara itu dan masih menetes-netes pada wajah yang pucat itu kini terdapat pula butiran-butiran air mata, dia memeluk lebih erat.
"Tentu saja, Bi Cu. Aku hanya mempunyai engkau di dunia ini..."
"Dan aku... aku pun hanya mempunyai engkau... jangan engkau meninggalkan aku lagi selamanya, Sin Liong..."
Sin Liong memeramkan kedua matanya menahan dua butir air mata yang membasahi kedua matanya itu. Dia menarik napas panjang untuk menekan perasaan harunya, lantas berbisik dekat telinga yang berada dekat dengan mulutnya itu. "Tahukah engkau, Bi Cu, kata-kata yang sama seperti yang tadi kau katakan itulah yang kuucapkan berulang-ulang selama beberapa hari engkau sakit ini. Aku terus menerus membisikkan kata-kata itu, agar engkau jangan meninggalkan aku, Bi Cu..."
Mereka tidak berkata-kata lagi. Memang tidak ada kata-kata lagi yang perlu diucapkan. Dengan berdiam diri itu terasalah oleh mereka, terasa secara mendalam, akan kehadiran masing-masing bukan hanya di dekat tubuh, namun juga di dalam batin masing-masing. Mereka merasa betapa mereka saling memiliki, saling membutuhkan, merasa seolah-olah mereka berdua telah bersatu dalam batin, seperti orang yang memiliki dan membutuhkan anggota tubuhnya sendiri. Takkan terpisahkan lagi, senasib sependeritaan. Hal ini terasa sekali oleh mereka ketika berdekatan dan berdekapan dalam keadaan kedinginan itu.
Akhirnya terdengar bisikan Bi Cu yang masih menyandarkan kepala di atas dada dekat leher Sin Liong, "Sin Liong, kau khawatir kalau-kalau aku mati...?"
"Ya, ketika melihat engkau mengigau, tidak sadar... ahh, aku khawatir sekali."
"Aku tidak akan mati. Tidak, aku tidak mau mati sendiri tanpa engkau, Sin Liong. Seperti juga aku tidak mau hidup sendiri tanpa engkau di dekatku. Aku cinta padamu Sin Liong."
Tanpa diucapkan sekali pun, hal itu sudah terasa amat jelasnya oleh Sin Liong. Dia lalu mencium mata kiri dara itu. "Aku pun cinta padamu, Bi Cu."
Mereka tidak bicara lagi sampai lama, seolah-olah pengakuan cinta itu adalah kata-kata terakhir di dunia ini dan sesudah itu, tidak ada apa-apa lagi yang lebih patut dibicarakan!
Cinta memang maha indah! Bahkan sudah melampaui kebagusan dan keburukan, sudah melampaui segala yang dapat diperbandingkan, melampaui penilaian dan perbandingan itu sendiri!
Cinta-mencinta membawa kita ke dalam suatu keadaan di mana tak ada lagi baik buruk, susah senang, dalam keadaan yang mungkin oleh pandangan umum dianggap sengsara, bisa saja nampak indah oleh adanya cinta. Cinta membawa suasana nampak indah, di sekeliling kita, di dalam hati kita. Tidak ada lagi pertentangan, tidak ada lagi kekerasaan, tidak ada lagi susah atau senang. Yang ada hanya perasaan suka cita, yang berbeda dengan kesenangan.
Kesenangan memiliki sebab, mempunyai sesuatu yang menimbulkan kesenangan. Akan tetapi suka cita adalah perasaan hati yang nyaman dan sejuk tanpa ada sebab tertentu. Keadaan ini membuat kita dipenuhi dengan cahaya cinta kasih, penuh dengan kebajikan, dengan belas kasihan, dengan apa yang dinamakan peri kemanusiaan.
Cinta adalah kebahagiaan. Manusia dalam cinta adalah manusia yang sebenar-benarnya manusia, dan sinar kemanusiaannya cemerlang di waktu itu.
Sayang, biar pun kiranya hampir semua orang pernah memasuki keadaan ajaib seperti itu, namun nafsu-nafsu kita terlalu besar sehingga menjauhkan cinta kasih dari batin kita. Hanya sebersit saja sinar cinta kasih menerangi batin, lalu batin sudah penuh lagi dengan segala kotoran nafsu.
Bahkan celakanya, nafsu-nafsu menggantikan tempat dan memalsukan cinta, membuat cinta kasih yang suci murni menjadi cinta kasih yang palsu, cinta kasih yang sebetulnya hanyalah cinta kepada diri sendiri belaka, keinginan menyenangkan diri sendiri belaka, seperti yang dapat kita lihat dengan jelas dalam kehidupan kita sekarang ini.
Cinta yang kita hambur-hamburkan sekarang ini melalui mulut hanya sejenis pemalsuan untuk menutupi keinginan kita yang sebenarnya, keinginan untuk memperoleh kepuasan melalui harta, melalui sex, melalui apa saja yang dapat menyenangkan diri kita sendiri. Dan orang yang kita cinta seperti keadaannya sekarang ini hanyalah kita pakai sebagai alat untuk menyenangkan diri saja.
Cinta semacam ini tentu saja menimbulkan cemburu, menimbulkan benci yang dianggap sebagai kebalikannya. Padahal cinta kasih tidak mempunyai kebalikan! Cinta kasih bebas dari penilaian baik buruk, untung rugi, atau susah senang.
Hari itu cerah sekali, secerah hati Sin Liong dan Bi Cu. Dan anehnya, setelah kehujanan seperti itu, keadaan Bi Cu bukannya menjadi semakin buruk, bahkan dia menjadi sembuh sama sekali! Hanya tubuhnya masih agak lemah, namun dia sudah sembuh. Tidak panas lagi, tidak pusing lagi.
Hujankah yang menyembuhkannya? Ataukah pertemuan dua hati yang disahkan dengan kata-kata dari mulut mereka, dalam pengakuan cinta mereka? Entahlah. Akan tetapi yang jelas, Sin Liong merasa girang bukan main.
"Bi Cu, engkau baru saja sembuh. Pakaianmu basah kuyup..."
"Hari ini agaknya cuaca akan panas, Sin Liong. Aku dapat saja melepaskan pakaian dan menjemurnya. Akan tetapi..." Dia mengerling dan matanya bersinar-sinar, "engkau harus menjauh, tidak boleh mendekat!"
Sin Liong tertawa. Sekarang Bi Cu benar-benar telah sembuh. Dia sudah mulai bertingkah bengal lagi! Kedua mata yang indah itu sudah bersinar-sinar kembali, kini penuh dengan kelincahan dan kejenakaan.
"Ha-ha, kau kira aku ini tukang intip? Aku pun akan pergi memeriksa keadaan sekeliling hutan ini, kalau-kalau terdapat sebuah dusun."
"Kalau ada dusun kau mau apa?"
"Mencarikan pakaian untukmu, dan sepasang sepatu."
"Kau ada uang?"
Sin Liong menggelengkan kepalanya.
"Habis bagaimana kau bisa mendapatkan pakaian dan sepatu?"
Muka Sin Liong menjadi merah. Baru saja sembuh dara ini sudah pandai mendesaknya dengan omongan dan membuatnya tersudut!
"Aku... aku akan minta!"
"Uhhh, seperti aku tidak tahu saja. Hendak minta kepada orang dusun yang miskin dan yang pakaiannya mungkin hanya yang menempel pada tubuh mereka?"
"Barang kali di dusun ada yang kaya, ada tuan tanahnya..."
"Dan kau benar-benar akan mengemis, minta begitu saja, dan apakah mereka akan mau memberimu? Sudahlah, Sin Liong, katakan saja bahwa engkau hendak mencuri pakaian dan sepatu untukku!"
Sin Liong tersenyum dan terpaksa mengangguk. "Atau kita pakai saja istilah pinjam dari orang kaya di dusun?"
"Tidak, lebih baik kau beli saja, atau tukar dengan ini!" Bi Cu melepaskan seuntai kalung dari lehernya, dan memberikan benda itu kepada Sin Liong.
Sin Liong memandang kalung emas dengan hiasan kepala burung walet bermata emas itu. "Ah, bukankah ini lambang dari julukanmu dahulu? Dahulu julukanmu adalah Kim-gan Yan-cu (Burung Walet Bermata Emas), seperti kalung ini!"
Bi Cu tersenyum. "Justru karena kalung itulah maka para pengemis di kota raja menjuluki aku demikian. Kalung itu pemberian mendiang suhu Hwa-i Sin-kai."
"Ahh, kukira julukan itu karena, matamu..."
"Mataku bagaimana?"
"Matamu indah sekali, Bi Cu, pantas dinamakan mata emas..." Sin Liong mendekat dan merangkul, mencium mata itu.
"Ihhh, engkau perayu!" Bi Cu mendorong perlahan dada Sin Liong dan pemuda itu lalu pergi sambil tertawa, menggenggam kalung itu erat-erat di dalam kepalan tangannya.
Bi Cu berdiri memandang sambil tersenyum, hatinya senang bukan main. Kemudian dara ini pun pergi ke anak sungai yang jernih airnya itu untuk membersihkan diri, dan mencuci pakaian kemudian menjemur pakaiannya.
Ternyata dusun yang dicari-cari Sin Liong itu memang ada, akan tetapi jauh sekali dari hutan itu. Dan dia berhasil memperoleh pakaian wanita dan sepasang sepatu untuk Bi Cu, akan tetapi semuanya itu hanya ditukarnya dengan rantai kalung saja, ada pun mainan kalung berupa burung walet bermata emas itu disimpannya. Rantai kalung dari emas itu saja sudah lebih dari cukup untuk menukar barang-barang itu dan sudah menggirangkan pemilik pakaian dan sepatu yang tidak baru itu.
Matahari telah naik tinggi ketika Sin Liong tiba kembali dalam hutan. Ternyata Bi Cu telah memakai pakaiannya yang telah dicuci dan sudah kering, dan dara itu ternyata sedang sibuk memanggang daging ayam hutan.
"Ahh, engkau masih lemah, Bi Cu. Mengapa sibuk menyiapkan makanan un¬tuk kita? Biar aku yang..."
"Hemmm, walau pun agak sukar dan sampai berkali-kali luput, akhirnya aku berhasil juga mendapatkan seekor ayam gemuk. Wah, pakaian dan sepatu itu bagus, Sin Liong!"
Bi Cu girang sekali, kemudian mematut-matut diri dengan pakaian itu sesudah kaus kaki dan sepatunya dia pakai dan ternyata pas ukurannya.
"Semua itu kutukar dengan rantai kalung, dan mainannya masih kusimpan. Aku merasa sayang sekali untuk menukarkan itu, biar ditukar dengan seribu pakaian pun aku merasa tidak rela!"
Sin Liong mengeluarkan mainan itu dari saku bajunya dan hendak menyerahkan kembali kepada pemiliknya. Bi Cu menggerakkan tangan menolak.
"Kau simpan sajalah, Sin Liong."
Wajah pemuda itu langsung berseri. "Terima kasih, Bi Cu. Memang tadinya aku hendak mengajukan permintaan kepadamu!" Melihat dara itu sudah sehat benar bukan main lega rasa hati Sin Liong.
"Aku akan mencoba pakaian ini!" kata Bi Cu sambil berlari kecil dan menghilang ke balik semak-semak.
Sin Liong tersenyum duduk di atas batu dan memandang mainan burung itu sejenak, lalu mencium benda di telapak tangannya itu, menggenggamnya dan kemudian memasukkan mainan kalung itu ke dalam saku baju sebelah dalam. Pakaiannya sendiri sudah kering ketika dibawanya berlari cepat tadi.
"Wah, engkau memang hebat! Pas sekali ukuran pakaian ini, seperti juga sepatunya!" Bi Cu berseru girang dan Sin Liong cepat menengok.
Muka itu masih agak pucat, rambut yang agak basah itu masih kusut karena di situ tidak ada sisir, akan tetapi matanya bersinar-sinar dan mulutnya tersenyum. Manis sekali dan kelihatan segar, seperti setangkai bunga bermandikan embun di pagi hari.
"Kau... kau cantik sekali dengan pakaian itu, Bi Cu!" kata Sin Liong sambil bangkit berdiri.
Bi Cu meruncingkan mulutnya. "Ihhh..., engkau sekarang menjadi perayu benar! Jangan-jangan engkau akan ketularan penyakit kakak angkatmu itu, Sin Liong!"
Sin Liong menyambar lengannya dan di lain saat mereka sudah saling berangkulan.
"Bi Cu, engkaulah satu-satunya wanita di dunia ini yang akan selalu kurayu dan kupuji."
Sejenak Bi Cu menyandarkan kepalanya pada dada kekasihnya seperti tadi malam ketika mereka kehujanan. "Sin Liong, jangan kau tinggalkan aku lagi. Jangan sampai kita saling berpisah, apa pun yang akan terjadi. Mau kau berjanji?"
"Tentu saja, Bi Cu."
"Biar pun engkau akan dipaksa oleh siapa pun juga?"
Sin Liong mengangguk.
"Kita akan selalu berdampingan, baik dalam keadaan hidup atau pun mati?"
Sin Liong memegang kedua pundak dara itu, membalikkan tubuhnya sehingga mereka kini saling tatap dengan sinar mata tajam penuh selidik, seolah-olah hendak menjenguk isi hati masing-masing. Namun, pancaran sinar mata dua orang insan ini penuh kemesraan dan cinta kasih, sungguh terasa oleh keduanya. Sin Liong perlahan-lahan mencium dahi dara itu, gerakan yang lembut dan halus, seperti mencium benda keramat.
"Perlukah aku bersumpah, Bi Cu?"
Bi Cu merangkul leher Sin Liong. Sejenak dia merangkul ketat, terasa oleh Sin Liong betapa dadanya bertemu dengan dada Bi Cu dalam kemesraan yang mendalam, terasa oleh mereka detak jantung masing-masing saling berlomba. Kemudian Bi Cu melepaskan rangkulannya, melangkah mundur dan aneh, wajahnya berubah merah.
Sin Liong memandang dan terpesona. Wajah yang tadinya pucat itu kini mulai menjadi kemerahan dan karenanya menjadi semakin manis dan menarik. Sinar mata itu semakin berseri penuh cahaya indah. Mata emas!
"Sin Liong, aku tidak butuh kata-kata sumpah. Kata-kata hanyalah kosong, dan aku lebih percaya kepada sinar matamu. Aku percaya kepadamu." Lalu dia tersenyum dan suasana penuh hikmat itu pun membuyarlah. "Heii, sudah sejak tadi daging itu matang. Mari kita makan!"
Hati Sin Liong makin gembira. Bi Cu benar-benar nampak sudah sembuh. Maka, sehabis makan, mulai terasalah olehnya betapa tubuhnya amat letih, betapa matanya mengantuk sekali. Setelah semua kegelisahan batinnya hilang, barulah tubuhnya menuntut dan baru dia sadar akan keadaan jasmaninya. Maka dia lalu duduk melenggut bersandarkan batang pohon.
Sejak tadi Bi Cu maklum akan keadaan Sin Liong itu. Maka diam-diam dia memilih tempat yang sejuk di bawah pohon besar, kemudian mengumpulkan rumput kering dan mengatur sebuah tempat tidur di tempat itu, menggulung pakaian lamanya sebagai bantal, baru dia mendekati Sin Liong dan menyentuh lengannya. Sin Liong membuka matanya yang amat mengantuk.
"Sin Liong, kau tidurlah dulu. Kau perlu beristirahat. Aku tidak perlu dijaga lagi. Nah, kau tidurlah!" Bi Cu menarik tangannya sehingga terpaksa pemuda itu bangkit berdiri lantas membiarkan dirinya digandeng ke bawah pohon yang sejuk dan teduh itu.
Melihat tempat tidur yang terbuat dari rumput kering dengan bantal gulungan pakaian itu, Sin Liong tersenyum dan semakin beratlah rasa kantuknya. Dia lalu merebahkan diri dan sebentar saja sudah pulas, membawa wajah Bi Cu yang tersenyum memandangnya itu ke dalam tidurnya.
Sungguh enak Sin Liong tidur, nyenyak tanpa mimpi. Sejenak matahari condong jauh ke barat, baru dia terbangun. Dia menggeliat dengan enak, mengejap-ngejapkan matanya, lalu menoleh ke kanan kiri. Tidak nampak Bi Cu di situ.
Dia lalu bangkit duduk dan kembali mencari-cari dengan pandang matanya. Dia melihat cuaca yang menunjukkan bahwa waktu itu telah hampir senja. Tentu Bi Cu sedang pergi mandi ke anak sungai, pikirnya. Dia menanti, bangkit berdiri dan berjalan-jalan hilir mudik melemaskan kedua kakinya. Akan tetapi sunyi saja di sekitar situ dan telalu lama baginya menanti munculnya kekasihnya itu.
"Bi Cu...!" Dia memanggil ke arah anak sungai. Karena dia mengerahkan tenaga khikang, maka dia percaya bahwa panggilannya itu tentu akan terdengar oleh Bi Cu kalau dara itu sedang mandi di sana. Akan tetapi tidak ada jawaban!
Sin Liong mengerutkan alisnya. Dara itu suka bergurau dan menggoda orang. Maka dia segera berindap-indap menuju ke anak sungai. Apa bila dia melihat Bi Cu sedang mandi telanjang tentu dia akan pergi lagi. Kalau Bi Cu berpakaian maka dia akan menggodanya kembali. Akan tetapi, ketika dia tiba di tepi sungai, di situ pun tidak nampak Bi Cu, maka dia mulai bimbang.
"Bi Cu...!" Kembali dia memanggil, kini lebih nyaring. Tetap saja tidak terdengar jawaban.
Dia mencari-cari, sekarang dengan gerakan cepat, berlarian dan berloncatan ke sana-sini. Kemudian dia kembali ke bawah pohon-pohon di mana biasanya mereka berada, di dekat api unggun. Dan nampaklah surat itu olehnya.
Sebuah sampul surat di dekat perapian yang sudah menjadi abu. Dia yakin benar bahwa sampul itu adalah benda asing dan tidak mungkin berada di tempat itu kemarin. Tentu ada yang menaruhnya, dan agaknya Bi Cu juga tidak mungkin bisa memiliki sepotong sampul surat itu! Tentu orang lain yang menaruhnya! Dan Bi Cu tidak ada!
Jantungnya berdebar dan wajahnya menjadi sedikit pucat, secara cepat dia menyambar sampul itu. Sampul kuning yang halus dan berbau harum! Dibukanya sampul itu lantas dikeluarkannya sepotong surat yang bertuliskan coretan huruf-huruf halus, tulisan wanita!
Cia Sin Liong!
Kalau kau menghendaki dara itu kembali dalam keadaan sehat, kami persilakan engkau menyusul ke Lembah Naga dan menghadap Pangeran Oguthai!
Surat itu tidak ditanda tangani. Akan tetapi isinya cukup jelas bagi Sin Liong. Pangeran Oguthai? Siapa lagi kalau bukan Ceng Han Houw? Jelaslah kini, Bi Cu telah diculik orang ketika dia sedang tidur!
Dia mengepal kedua tinjunya, matanya mengeluarkan sinar berapi. Pangeran Ceng Han Houw yang melakukan ini! Bukan pangeran itu sendiri yang datang, melainkan utusannya. Dan dia dapat menduga siapa orangnya. Agaknya Kim Hong Liu-nio, melihat bahwa surat itu ditulis tangan wanita dan bau harum pada surat itu.
Akan tetapi bagaimana utusan Han Houw dapat mengetahui dia dan Bi Cu berada di situ? Padahal selama berhari-hari ini, ketika Bi Cu sedang menderita sakit, tidak ada seorang pun berada di sekeliling tempat sunyi itu? Ah, tentu ketika dia pergi ke dusun mencarikan pakaian dan sepatu pagi tadi! Begitu pikiran ini memasuki benaknya, tubuhnya langsung mencelat dan berkelebat, kemudian dia berlari secepat angin menuju ke dusun yang tadi didatanginya.
Bagaikan orang terbang saja Sin Liong mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk berlari cepat ke dusun itu dan memang hebat sekali dia. Sebelum malam tiba, dia sudah sampai di dusun itu, memakan waktu kurang dari setengahnya ketika mula-mula dia datang untuk mencarikan pakaian dan sepatu Bi Cu!
Dan mulailah dia bertanya-tanya di seluruh dusun itu apakah ada yang melihat seorang wanita cantik yang pakaian dan gelungannya bagaikan puteri istana datang ke dusun itu. Akhirnya, ada seorang petani tua yang menceritakan bahwa memang kemarin dia melihat dua orang wanita di luar dusun, seorang wanita cantik seperti yang digambarkan oleh Sin Liong, dan yang ke dua adalah seorang nenek bermuka hitam yang menyeramkan.
"Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li!" Sin Liong berkata penuh geram.
Cepat dia berlari meninggalkan dusun itu. Dia mengepal kedua tangannya, lalu berhenti berlari ketika tiba di hutan, mengacung-acungkan kepalan tangannya ke atas dan berkata penuh kemarahan, "Ceng Han Houw! Kim Hong Liu-nio! Hek-hiat Mo-li! Aku bersumpah akan menghancurkan kepala kalian bertiga kalau kalian mengganggu Bi Cu-ku!"
Kemudian dia lari lagi ke utara. Dia harus cepat-cepat menyusul Bi Cu ke Lembah Naga, jauh di utara, di luar Tembok Besar.
********************
Pangeran Ceng Han Houw merasa gelisah juga ketika melihat perkembangan yang terjadi di kota raja semenjak peristiwa lenyapnya surat rahasia dari Raja Sabutai kepadanya itu. Yang paling merisaukan hatinya adalah berita mengenai gerakan pasukan-pasukan yang kabarnya diatur sendiri oleh Pangeran Hung Chih.
Pasukan-pasukan yang kuat kabarnya dikerahkan ke perbatasan utara untuk berjaga-jaga di sepanjang Tembok Besar. Walau pun tidak dijelaskan untuk menghadapi siapa, kecuali penjagaan yang memang selalu diadakan meski pun tidak seketat sekarang, akan tetapi tentu saja Ceng Han Houw sudah dapat menduga bahwa pasukan itu memang khusus dipersiapkan untuk menghadapi pasukan Raja Sabutai, ayahnya di utara!
Selain itu, juga di selatan Pangeran Hung Chih mengerahkan pasukan untuk mengadakan pembersihan terhadap perkumpulan-perkumpulan yang bersikap anti pemerintah, terutama sekali perkumpulan Pek-lian-kauw dibasmi oleh pasukan itu. Padahal, akhir-akhir ini, Pek-lian-kauw mulai menyatakan diri akan membantu gerakan Ceng Han Houw apa bila sewaktu-waktu pangeran ini hendak menumbangkan kekuasaan kaisar! Bukan itu saja, bahkan ada belasan orang pembesar di kota raja sendiri yang diam-diam anti kaisar dan memang merupakan sahabat-sahabat baik Ceng Han Houw ditangkapi dan dimasukkan tahanan!
Tentu saja Han Houw merasa benar bahwa semua itu merupakan langkah-langkah yang diambil kaisar untuk menentangnya. Dan ini tidak lain tentu hasil dari pengkhianatan Sun Eng yang sudah mencuri surat rahasia itu! Suasana menjadi terasa panas sekali bagi kaki pangeran peranakan Mongol ini. Dia maklum bahwa lambat-laun kaisar tentu tidak akan merasa sungkan lagi untuk menyuruh orang menangkapnya!
Mengertilah Ceng Han Houw bahwa dia harus bertindak cepat. Dia pun segera mengutus anak buahnya yang setia untuk mempercepat dilaksanakannya pertemuan besar di dunia kang-ouw untuk memilih apa yang dinamakan bengcu (pemimpin rakyat) dan memilih pula Jago Nomor Satu yang pantas menjadi bengcu.
Dia mengundang semua tokoh kang-ouw serta partai-partai persilatan besar untuk datang mengunjungi pemilihan bengcu seluruh Tiongkok itu, dan tempat pemilihan itu ditentukan di daerah bebas. Agar jangan dilarang pemerintah, demikian penjelasannya. Dan tempat itu adalah Lembah Naga di utara, di luar Tembok Besar.
Ketika dia mendengar bahwa suci-nya, Kim Hong Liu-nio, dan subo-nya, Hek-hiat Mo-li, juga sudah kembali dari selatan karena mereka tidak perlu lagi mengejar-ngejar keluarga Cin-ling-pai yang sudah memperoleh kebebasan dari kaisar itu, juga mendengar betapa suci-nya menawan Bi Cu dan mempergunakan dara itu sebagai umpan untuk memancing Sin Liong ke utara, hatinya menjadi besar dan girang sekali.
"Bawa dia ke utara, ke Lembah Naga, suci," katanya kepada wanita itu. "Perlakukan dia baik-baik sebagai tamu. Aku mengharapkan untuk dapat menggunakan tenaga Sin Liong yang amat kita butuhkan itu. Kita harus dapat menyenangkan hatinya."
Kim Hong Liu-nio bersama Hek-hiat Mo-li lalu kembali ke utara membawa Bi Cu sebagai tawanan yang diperlakukan dengan sangat hormat dan baik. Bi Cu tidak menderita badan, bahkan dia dibawa ke utara dalam sebuah kereta. Para pasukan penjaga tentu saja tidak ada yang berani mengganggu Kim Hong Liu-nio yang dulu pernah dikenal sebagai wanita gagah penyelamat kaisar itu.
Akan tetapi sudah tentu saja Bi Cu menderita batin yang hebat, sering kali menangis dan mengamuk ingin kembali kepada Sin Liong. Kim Hong Liu-nio terpaksa menghiburnya dan mengatakan bahwa sudah pasti Sin Liong akan menyusul ke Lembah Naga, karena Sin Liong merupakan adik angkat Pangeran Ceng Han Houw yang sekarang membutuhkan bantuan adik angkatnya itu.
Dan selagi Ceng Han Houw sendiri bersiap-siap untuk meninggalkan kota raja, muncullah Ciauw Si! Tentu saja sang pangeran merasa girang bukan main. Suami isteri yang telah disahkan oleh kuil ini saling berpelukan dengan penuh rindu. Akan tetapi Ciaw Si segera mendengar akan keadaan pangeran yang dianggap sebagai suaminya itu, maka dia pun merasa prihatin sekali.
"Kaisar sudah dihasut oleh Pangeran Hung Chih!" demikian Pangeran Ceng Han Houw berkata. "Aku semakin dibenci saja oleh kaisar. Dan bagaimana dengan perjalananmu ke selatan, Si-moi?"
Mereka bercakap-cakap sambil berpelukan di atas pembaringan, melepaskan kerinduan hati mereka sebagai pengantin baru.
"Aku tak berhasil menemukan ibuku dan keluarga ibuku, pangeran. Akan tetapi ada berita baik yang kudengar di sepanjang jalan bahwa mereka telah di¬bebaskan oleh kaisar!"
"Ahh, masa engkau tidak mengerti. Si-moi? Bukan kaisar yang membebaskan, melainkan akulah yang mengirim berita itu ke seluruh pembesar, dengan memakai nama kaisar! Apa bila hal ini sampai diketahui oleh kaisar, tentu aku akan ditangkap sebab dituduh sebagai pembantu pemberontak..."
"Ahhhh...!" Ciauw Si terkejut sekali dan memeluk suaminya.
"Jangan kau khawatir, Si-moi, isteriku, kekasihku. Aku tidak akan mudah ditangkap begitu saja. Sungguh senang sekali aku melihat engkau datang, Si-moi, sebab memang aku pun sudah bersiap-siap untuk meninggalkan kota raja."
"Engkau... engkau mau pergi ke manakah, pangeran?"
"Pulang ke utara, ke kerajaan orang tuaku, Dan aku akan melanjutkan rencanaku semula, aku akan mengadakan pertemuan kaum kang-ouw yang terbesar yang pernah ada dalam sejarah. Semua tokoh kang-ouw berikut partai-partai persilatan terbesar kuundang untuk mengadakan pertemuan, untuk memilih bengcu dan memilih jagoan nomor satu di dunia. Dan aku akan menghimpun mereka itu agar membantuku untuk menghadapi kaisar."
"Tapi... tapi itu pemberontakan, pangeran!" Ciauw Si berkata kaget.
Ceng Han Houw merangkul dan cepat menutup mulut yang hendak memprotes itu dengan ciuman-ciuman mesra sehingga sejenak Ciauw Si tenggelam ke dalam kemesraan yang memabukkan. Beberapa lamanya mereka tidak bicara, hanya tenggelam dalam dekapan mereka. Akhirnya, setelah dengan terengah-engah mereka melepaskan ciuman, pangeran itu berbisik dekat telinga Ciauw Si,
"Engkau adalah isteriku, bukan?"
Ciauw Si mengangguk sambil memejamkan matanya.
"Dan engkau tentu akan membelaku sampai bagaimana pun juga, bukan?"
"Dengan taruhan nyawaku..."
"Isteriku sayang, kalau melawan kekejaman kaisar lalim bukan pemberontakan namanya! Melainkan perjuangan! Ingatlah betapa keluargamu sendiri pernah menjadi korban kaisar lalim, keluarga gagah perkasa yang berjiwa pahlawan dituduh pemberontak dan menjadi orang-orang buruan yang direndahkan sekali! Apakah melawan kaisar lalim semacam itu disebut pemberontakan? Apakah usaha untuk membebaskan rakyat dari cengkeraman kelaliman itu bukan merupakan tugas orang-orang yang menjunjung kegagahan seperti kita pula?" Pandai sekali Ceng Han Houw membujuk sambil merayu dan sambil bermain cinta, menumpahkan segala kemesraan dalam bermain cinta kepada Ciauw Si sehingga akhirnya wanita ini kehilangan kesadaran sama sekali, dan tunduk kepada suaminya yang dicintanya.
Pada keesokan harinya, Pangeran Ceng Han Houw yang hendak meneliti keadaan itu dengan berani pergi menghadap kaisar kemudian mohon ijin untuk pergi mengunjungi ibu kandungnya di utara. Kaisar menerimanya dengan singkat, kemudian dengan dingin pula memberi persetujuannya kepada pangeran itu untuk pergi ke utara.
Memang sebaiknya kalau pangeran berdarah Mongol yang berbahaya ini pergi saja dan tidak usah kembali untuk selamanya, demikian pikir kaisar. Sesuai dengan siasat kaisar agar pemberontakan atau rencana pemberontakan Pangeran Ceng Han Houw itu dapat dipadamkan tanpa terjadinya perang saudara, maka pangeran ini pun dengan mudah saja dapat melalui penjagaan di utara, dengan berkendaraan kereta bersama Ciauw Si beserta sepasukan pengawalnya yang setia.
Ciauw Si maklum bahwa dia bertindak ceroboh. Tanpa berunding dengan keluarganya, dengan ibu kandungnya, dia sekarang bergabung dengan Pangeran Ceng Han Houw ke utara. Dia maklum pula bahwa banyak terdapat bahaya di balik tindakannya ini, namun dia sudah mabuk akan limpahan kasih sayang pangeran yang membuatnya tergila-gila itu maka dia seakan-akan melakukan tindakan itu dengan mata sengaja dipejamkan! Demi cintanya dia rela menghadapi apa pun juga asalkan dia tidak akan terpisah dari samping pangeran yang telah menjadi suaminya itu.
Selanjutnya,