PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 28
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 28
Karya Singgih Hadi Mintardja
PADA saat terakhir itulah Empu Baladatu sendiri memanggil para pemimpin kelompok dari kedua gerombolan itu untuk memberikan penjelasan apa yang akan terjadi.
“Dua orang tamu akan datang di padepokan ini,” berkata Empu Baladatu, “tepat pada saat bulan mulai nampak di langit pada sore hari. Itulah sebabnya kalian harus mempersiapkan diri. Jika kedua orang tamu itu datang, maka kalian harus menghormatinya sebagai tamu di padepokan ini. Hanya apabila terjadi sesuatu di luar sikap dan unggah ungguh seorang tamu, barulah kalian sangat kami perlukan. Karena aku masih meragukan apakah yang datang itu benar-benar hanya dua orang.”
Penjelasan Empu Baladatu itu cukup jelas bagi setiap pemimpin kelompok itu. Mereka di hadapkan pada suatu kemungkinan, bahwa tamu-tamu mereka itu akan berbuat licik.
“Apakah kita akan mempersiapkan pasukan di luar padepokan Empu?” bertanya seseorang.
Empu Baladatu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak. Kita berada di dalam padepokan dan berlaku seolah-olah tidak ada kecurigaan apapun juga. Kalian bersikap biasa meskipun kalian harus menyediakan senjata di tempat-tempat tertentu yang mudah dijangkau, selain senjata-senjata kecil yang tidak ada salahnya melekat di tubuh kalian. Karena senjata-senjata kecil itu tidak akan menimbulkan kecurigaan apapun pada tamu-tamu kita nanti, sebagai kebiasaan kita semuanya.”
“Keris maksud Empu?”
“Ya. Kalian dapat membawa keris di punggung. Tetapi tidak dengan pedang dan tombak. Apalagi perisai. Meskipun senjata-senjata itu harus kalian siapkan sehingga setiap saat dapat kalian ambil dengan cepat.”
Para pemimpin kelompok itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka menyadari sepenuhnya tugas yang harus mereka pikul di saat bulan mulai nampak di langit. Dan itu akan terjadi malam berikutnya.
Pada saat yang ditentukan, padepokan Serigala Putih mengalami perubahan suasana meskipun selalu disamarkan. Setiap orang mencoba bersikap seperti sewajarnya. Orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang yang berada di padepokan gerombolan Serigala Putih mendapat tempat tersendiri. Merekapun berusaha untuk tidak menarik perhatian jika kedua orang tamu itu memasuki padepokan, karena mereka memang ditempatkan di bagian belakang.
Meskipun mereka tidak membawa senjata di tangan, kecuali keris yang terselip diikat pinggang mereka sebagaimana kelajiman seorang laki-laki, mereka telah menyiapkan senjata mereka di dinding bagian dalam dari bilik-bilik mereka, yang setiap saat dapat mereka pergunakan apabila perlu.
Ketika senja mulai turun menjelang malam pertama saat bulan mulai nampak di langit, suasana padepokan itu menjadi tegang. Para penjaga regol sudah mendapat pesan khusus, jika ada dua orang berkuda mendatangi, mereka harus segera melaporkannya kepada Empu Baladatu. Ketegangan menjadi semakin memuncak saat gelap malam mulai membayang. Langit yang kelabu menjadi bertambah buram dan angin mulai meniupkan udara yang dingin.
“Sebentar lagi malam akan turun” berkata Empu Baladatu, “apakah mereka benar-benar akan datang?”
“Ya” jawab Kiai Dulang, “dan aku percaya bahwa mereka tidak akan berbohong.”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Dalam kegelisahan itu, Kiai Dulang berkata, “Biarlah aku berada di regol, agar aku segera dapat mengenalinya jika mereka datang.”
Empu Baladatu tidak berkeberatan dan membiarkan Kiai Dulang meninggalkannya dan pergi ke Regol. Ketika ia menengadahkan wajahnya, di langit nampak cahaya yang semakin redup. satu-satu bintang mulai nampak dan dengan hati yang berdebaran Kiai Dulang melihat bulan rendah sekali di langit, seolah-olah bertengger di ujung pohon perdu.
“Sebentar lagi bulan itu akan tenggelam” katanya di dalam hati.
Tiba-tiba saja ia terkejut ketika seorang penjaga regol menggamitnya sambil berbisik, “Siapakah kedua orang itu Kiai?”
Kiai Dulang berpaling. Dengan dada yang berdebar-debar ia melihat dua orang yang sudah berdiri di muka pintu. Dua orang yang hanya berjalan kaki tanpa membawa kuda tunggangan. Namun, meskipun malam mulai gelap, Kiai Dulang segera mengenal keduanya, karena keduanya mengenakan pakaian seperti yang biasa mereka pergunakan saat mereka menemuinya di Mahibit.
Itulah sebabnya maka dengan tergopoh-gopoh Kiai Dulang mendekatinya sambil mempersilahkannya, “Marilah. Marilah kami persilahkan Ki Sanak memasuki padepokan kami yang kotor.”
Linggapati dan Linggadadi tersenyum. Jawabnya, “Terima kasih. Kami mencoba datang tepat pada waktunya.”
Kiai Dulang tersenyum. Diajaknya keduanya memasuki halaman padepokan dan langsung menuju kerumah induk, untuk langsung membawanya kepada Empu Baladatu yang sudah menunggu.
Kedatangan kedua orang itu benar-benar telah mendebarkan jantung Empu Baladatu. Nampaknya kedua orang itu benar-benar datang hanya berdua. Mereka tidak mempunyai prasangka buruk sama sekali dan seperti yang dikatakan oleh Kiai Dulang, keduanya mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri yang sangat besar.
Setelah saling memperkenalkan diri, meskipun dengan ragu-ragu, merekapun untuk beberapa saat masih mencoba untuk berbicara sambil berkelakar. Mereka mencoba menunjukkan keakraban pertemuan yang memang sudah direncanakan itu. Beberapa saat kemudian, maka mulailah beberapa orang menghidangkan minuman panas dan beberapa potong makanan.
Tidak seperti orang-orang yang selalu dicengkam oleh kecurigaan, maka Linggapati dan Linggadadi sama sekali tidak mencemaskan makanan itu. Meskipun hubungan yang masih akan mereka jalin belum mempunyai bentuk yang jelas, bahkan dengan sadar Linggadadi merasa berada di dalam lingkungan yang masih sangat membencinya karena sebutannya sebagai pembunuh orang-orang berilmu hitam, namun mereka sama sekali tidak merasa curiga, bahwa di dalam makanan itu terdapat usaha yang dapat mencelakainya.
Dengan lahapnya mereka menelan makanan itu sepotong demi sepotong sambil berbicara tentang persoalan-persoalan yang sangat tidak berarti. Baru ketika malam menjadi semakin larut, dan bintang Gubug Penceng telah tegak di ujung Selatan, pertemuan itu menjadi nampak bersungguh-sungguh.
“Ada sesuatu yang pantas kita bicarakan” berkata Empu Baladatu.
“Ya. Aku sudah mengerti. Kita masing-masing berharap bahwa kita akan dapat bekerja bersama” sahut Linggapati.
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Ternyata Linggapati berbicara langsung pada persoalannya.
“Empu” sambung Linggapati, “tidak banyak yang harus kita bicarakan sekarang, karena kita masing-masing sudah mempunyai tekad yang sama. Bukankah kita masing-masing menginginkan agar kekuasaan Sepasang Ular di satu Sarang itu di hancurkan dan diganti oleh kekuasaan yang lebih besar agar Singasari dapat berkembang lebih pesat. Bukan saja hanya selingkar kepulauan ini, tetapi Singasari seharusnya menjadi negara terbesar di seluruh dunia.”
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Ternyata jangkauan cita-cita Linggapati meliputi arena yang lebih luas, karena ia sudah berbicara tentang dunia. Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian. “Bagaimanakah tanggapan Ki Sanak berdua tentang kedua anak-anak muda yang memerintah sekarang ini?”
“Baik. Mereka adalah anak-anak yang baik. Anak-anak penurut yang asyik bermain-main dengan permainan yang sangat besar dan luas. Singasari.”
“Jadi?” Empu Baladatu menjadi heran atas jawaban itu.
“Seharusnya mereka berhenti bermain-main. Sebaiknya mereka tidur saja di dalam pelukan ibu masing-masing. Jika di esok harinya mereka terbangun, biarlah ibu mereka masing-masing menyuapinya dan memandikannya. Kemudian membawa mereka kembali ke pembaringan, membacakan dongeng tentang seekor burung podang yang memiliki suara bening, bernyanyi di pelepah pisang.”
Empu Baladatu merenungi jawaban itu dengan dahi yang berkerut merut. Namun ternyata bahwa Linggapati kemudian tertawa sambil berkata “Begitulah kira-kira Empu. Apakah Empu berbeda pendapat?”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Jawabnya, “Aku sependapat. Keduanya memang tidak sepantasnya memegang jabatan tertinggi di Singasari.”
“Empu benar. Tetapi apakah ada persamaan dan perbedaan di antara kita? Mungkin Empu membayangkan, bahwa setelah Empu dapat mempengaruhi kekuatan yang besar dan mengalahkan kedua anak-anak itu, Empu akan menjadi seorang penguasa yang kaya raya. Seorang yang memiliki kekuasaan dan wewenang tidak terbatas sehingga apa saja yang Empu kehendaki akan dapat terlaksana. Begitu?” Linggapati berhenti sejenak, lalu, “Akupun mempunyai keinginan yang sama tentang tersingkirnya kedua anak-anak itu. Tetapi bukan semata-mata karena aku menginginkan kekuasaan dan apalagi harta benda, emas, perak dan perunggu. Tetapi aku ingin Singasari bukan saja menguasai daerah yang luas di antara kepulauan yang tersebar di daerah yang hijau ini, tetapi kekuasaan Singasari harus menjangkau jauh ke ujung bumi.”
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Ternyata bahwa apa yang dilakukan itu masih terlalu kecil bagi Linggapati. Namun demikian Empu Baladatu tidak mau menunjukkan kekecilannya dan menjawab, “Jangkauan kalian terlampau luas. Bagiku, meskipun arahnya akan ke sana juga, tetapi yang penting sumber kekuasaan itu harus beralih tangan.”
“Ya, ya” desis Linggapati, “Empu mulai dari pemikiran yang sempit, yang tentu akan meluas pula kelak. Tetapi aku melangkah dengan laju setapak, setelah aku menentukan arah lebih dahulu. Empu, aku pernah menjadi pelaut yang menjelajahi lautan yang sangat luas. itulah sebabnya, aku mengerti betapa tersia-sianya kekuatan yang ada di Singasari sekarang ini. Itulah sebabnya maka kedua anak-anak itu harus dipersilahkan masuk saja kedalam peraduannya.”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Tetapi dengan demikian ia merasa dirinya menjadi semakin kecil. Ternyata bahwa orang yang bernama Linggapati itu mempunyai pandangan yang cukup luas tentang daratan dan lautan. “Apakah ada orang-orang yang sekarang berada di lingkungan istana mempunyai pengamatan seluas Linggapati?” berkata Empu Baladatu di dalam hatinya.
Sejenak Empu Baladatu membuat pertimbangan-pertimbangan. Tetapi iapun kemudian mengambil kesimpulan, bahwa pengenalan Linggapati bukan ukuran kemampuannya yang melampaui setiap orang.
“Aku tidak yakin bahwa ia memiliki kemampuan berkelahi yang tidak terkalahkan.” berkata Empu Baladatu di dalam hatinya, “mungkin ia pernah menjelajahi daerah yang sangat luas. Tetapi itu bukan suatu bukti bahwa ia memiliki ilmu kanuragan yang tidak ada tandingnya.”
Itulah sebabnya maka Empu Baladatupun kemudian berusaha untuk menjaga, agar ia tidak terperosok kedalam perasaan rendah diri.
“Apakah Empu mempunyai persoalan yang mendesak setelah kita nampaknya mempunyai jalur yang akan dapat berjalan searah?” bertanya Linggapati.
“Aku tidak mempunyai persoalan yang khusus, tetapi aku minta agar kelak tidak akan timbul persoalan yang rumit di dalam lingkungan kita sendiri.”
Linggapati tertawa. Katanya, “Empu cukup bijaksana. Tetapi nampaknya sejak sekarang kita sudah dapat membayangkan, dimanakah kita masing-masing akan berdiri. Empu condong pada kekuatan dan kemukten. Sedang aku condong untuk mendapatkan kekuasaan yang dapat mengemudikan pemerintahan di Singasari.”
“Jadi?”
“Kita sudah berbagi sejak sekarang. Empu akan menjadi seorang Maharaja yang memiliki seluruh tlatah Singasari dengan segala isinya. Dan aku akan menentukan kemudi pemerintahan di Singasari. Bukankah itu sudah berarti kita akan melalui jalur jalan yang berbeda meskipun searah?”
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa pemisahan kekuasaan itu belum menentukan bahwa tidak akan terjadi desak mendesak di dalam jalur kekuasaan itu kelak. Namun Empu Baladatu mengangguk-angguk sambil berkata, “Kau sudah melihat perbedaan itu Ki Sanak. Tetapi sudah tentu bahwa itu belum merupakan jaminan yang pantas untuk menentukan apakah tidak ada persoalan lagi di antara kita kelak.” ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi baiklah bahwa kita tidak mempersoalkannya sekarang, seolah-olah kita adalah orang-orang yang sekedar didorong oleh nafsu tanpa cita-cita sama sekali. Akupun tidak membantah sekarang, anggapan Ki Sanak bahwa bagiku seolah-olah tidak ada sesuatu yang lebih berarti daripada mas picis raja brana. Tetapi aku tidak berkeberatan. Yang penting, langkah yang manakah yang perlu kita lakukan sekarang.”
“Tentu saja kita harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Kita harus mengetahui segi-segi kelemahan Singasari sekarang ini. Kita harus melihat, apakah yang disenangi dan dibenci oleh orang-orang Singasari. Sementara itu, kita akan mulai dengan menyusun kekuatan senjata untuk dengan kekerasan menguasai kota raja. Seperti yang pernah dilakukan oleh Ken Arok, Akuwu Tumapel, dengan menguasai Kota Raja, maka ia menguasai seluruh Kerajaan.”
“Kau salah. Ken Arok tidak saja menguasai Kota Raja. Tetapi ia menguasai Ken Dedes, seorang perempuan yang memiliki kekuasaan yang sebenarnya.”
“Atas Tumapel, yang dilimpahkan oleh Akuwu Tunggul Ametung. Hanya itu. Bukan atas seluruh Kerajaan.”
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Tetapi iapun kemudian mengangguk-angguk. “Mungkin kau benar Ki Sanak” berkata Empu Baladatu, “tetapi suasana waktu itu jauh berbeda dengan suasana yang kita hadapi sekarang. Singasari sekarang sudah semakin kuat. Banyak orang-orang sakti berada di sekitar kedua orang anak muda yang sedang memerintah itu. Dan mereka itu harus kita singkirkan.”
“Tentu seorang demi seorang” berkata Linggapati,, “Kita tidak akan dapat menghadapi mereka sekaligus betapapun kita menyusun kekuatan.”
“Tepat” berkata Empu Baladatu. “Dan kitapun akan dapat segera mulai.”
“Jangan tergesa-gesa Empu. Jika kita mulai sekarang, maka itu berarti seluruh Singasari akan bersiaga.”
“Tidak hanya sekarang. Kapanpun kita mulai, maka Singasari akan segera mengerahkan prajuritnya.”
“Kita akan membunuh dengan cara yang sebaik-baiknya. Mungkin dengan menghilangkan jejak, seolah-olah yang terjadi adalah suatu kecelakaan, atau mungkin perang tanding karena persoalan pribadi, atau kita akan menyembunyikan mayatnya seolah-olah orang itu hilang begitu saja ditelan hantu atau dengan cara yang lain, yang tidak menimbulkan akibat yang dapat menggerakkan seluruh kekuatan Singasari.”
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Namun Linggapati menyambung, “Tentu tidak harus seperti yang aku katakan. Mungkin ada cara lain yang dapat kita lakukan menurut pertimbangan kita kemudian. Mungkin ada cara yang lebih baik, yang akan kita temukan kemudian.”
Empu Baladatu mengangguk-angguk pula. Lalu, “Jika demikian, apakah yang akan kita lakukan sekarang? Menunggu, bersiap-siap. itu saja?”
Linggapati memandang Empu Baladatu dengan tajamnya. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil menjawab, “Kau terlalu tergesa-gesa Empu. Seharusnya kita bersabar untuk menentukan saat dan kesempatan yang sebaik-baiknya. Kapan dan apakah yang akan kita lakukan pada suatu keadaan.”
“Kita dapat melakukan sesuatu mulai dari yang paling kecil” berkata Empu Baladatu.
“Maksudmu?”
“Melenyapkan orang-orang yang menentang setiap cita-cita yang akan kita jangkau.”
“Ya, tentu. Itulah yang aku maksudkan dengan berhati-hati dan tidak tergesa-gesa” Linggapati berhenti sejenak, lalu, “tetapi apakah sudah ada niat Empu untuk mulai dengan sesuatu.”
“Tentu Ki Sanak. Di luar lingkungan keprajuritan Singasari kita melihat beberapa orang yang harus disingkirkan. Nah, itulah yang dapat kita lakukan lebih dahulu.”
Linggapati mengangguk-angguk. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Empu akan memanfaatkan hubungan ini untuk melakukan balas dendam.”
Wajah Empu Baladatu menjadi tegang. Dengan sungguh-sungguh. ia menjawab, “Aku sudah menduga bahwa pada suatu langkah yang pendek kita akan mulai dengan saling curiga. Tetapi itu wajar” ia berhenti sejenak, lalu, “Meskipun demikian aku akan mencoba menerangkan, bahwa sama sekali bukannya sekedar memanfaatkan hubungan yang masih samar-samar ini. Jika yang akan aku lakukan tidak ada sangkut pautnya dengan cita-cita kita keseluruhan, maka kau dapat berkata demikian.”
“O, maaf. Tetapi apakah yang dapat kita lakukan sekarang?”
“Aku tahu pasti bahwa Mahisa Bungalan akan dapat kita singkirkan dengan cara yang kau maksud.”
“Mahisa Bungalan?”
“Ya. Ia sering melakukan perjalanan seorang diri. Jika kita dapat mengikuti gerak-geriknya, maka pada waktu yang tepat kita akan dapat menyingkirkannya tanpa diketahui oleh siapapun juga, seperti yang kau kehendaki.”
“Tetapi bukankah dengan demikian berarti kita harus menunggu kesempatan seperti yang aku katakan?”
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Lalu sambil mengangguk-angguk ia menjawab, “Ya. Tetapi bukan berarti bahwa kita berdiam diri sampai kesempatan itu datang kepada kita. Tetapi kita dapat mulai dengan melakukan pengamatan yang saksama sehingga kita dapat menentukan langkah selanjutnya yang berhubungan dengan seluruh cita-cita kita.”
Linggapati mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus Empu. Ternyata Empu memiliki ketangkasan bertindak. Dalam hal ini barangkali aku agak terlalu lamban bagi Empu meskipun aku masih lebih muda.”
Empu Baladatu tidak menjawab.
“Baiklah Empu. Beberapa hari kemudian, kita akan menemukan langkah-langkah yang sudah dapat kita lakukan sejak sekarang. Termasuk yang aku maksud dengan mengamati keadaan. Karena kita masih akan menempuh jalan yang berliku-liku untuk mendapatkan suatu suasana yang mantap.”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Selain itu Ki Sanak. Aku masih melihat kemungkinan lain yang dapat kita lakukan segera untuk mengurangi hambatan-hambatan yang dapat timbul.”
“Apa?”
“Sebuah perguruan yang banyak mengenal tentang padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang. Tetapi itu bukan berarti apa-apa. Tetapi lebih dari itu, perguruan itu adalah pendukung kedua anak muda yang kini memegang pemerintahan.”
“Apakah aku harus mengulangi penjelasanku Empu.”
“Aku tahu. Tetapi jika terjadi sesuatu dengan perguruan ini, sekarang adalah saatnya. Ada semacam dendam antara perguruan itu dengan gerombolan Serigala Putih.”
“Sehingga apabila kita bertindak sekarang atas nama gerombolan Serigala Putih, maka yang akan terjadi dapat di artikan dendam gerombolan Serigala Putih. Begitu?”
“Ya. Kesan itulah yang harus dibuat dengan meyakinkan sehingga tidak akan timbul persoalan lain yang apalagi menyangkut keseluruhan cita-cita.”
Linggapati mengangguk-angguk. Lalu, “Apakah perguruan itu sedemikian kuatnya sehingga Empu perlu memanfaatkan hubungan ini untuk kepentingan itu?”
“Yang manakah yang akan kita sebut pemanfaatan? Hubungan ini atau justru dendam orang-orang Serigala Putih?”
Linggapati tertawa. Katanya, “Empu memang tangkas, baiklah. Kita dapat memandang dari segi yang manapun.” Ia berhenti sejenak, lalu, “bantuan apakah yang Empu perlukan dari kami?”
“Kita bersama-sama menghancurkan perguruan itu.”
Linggapati mengangguk-angguk. Lalu iapun bertanya, “Bagaimanakah yang Empu maksud bersama-sama? Apakah aku harus mengerahkan semua kekuatan yang ada di Mahibit berapa pun jumlahnya?”
Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Lalu jawabnya, “Tidak. Itu tidak perlu. Jika aku memerlukan sejumlah orang dari Mahibit, terutama untuk meyakinkan, apakah kita akan dapat bekerja bersama dalam bentuk yang kita pilih, di antaranya di arena pertempuran.”
Linggapati tertawa. Dipandanginya wajah adiknya yang tegang, yang mengikuti seluruh pembicaraan itu dengan sikap yang nampaknya acuh tidak acuh saja.
Empu Baladatu menunggu jawaban Linggapati dengan hati yang berdebar-debar. Apalagi ketika ia melihat sikap Linggadadi yang seolah-olah tidak tahu menahu tentang persoalan yang sedang dibicarakan.
Tetapi Linggapati pun kemudian berkata, “Pada dasarnya aku tidak berkeberatan Empu”
Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam.
Namun Linggapati pun kemudian memandang adiknya sambil bertanya, “Apa pendapatmu Linggadadi?”
Linggadadi memandang wajah kakaknya dan Empu Baladatu berganti-ganti. Lalu jawabnya, “Perang yang betapapun kecilnya kadang-kadang mempunyai arti yang sangat besar. Orang-orang kita yang mulai jemu dengan merenungi cita-cita akan terbangun dan mendapatkan kegairahan baru dalam langkah selanjutnya.”
Suara tertawa Linggapati menjadi semakin keras. Katanya, “Aku sudah menduga. Kau adalah orang yang paling gemar berada di antara dentang senjata.” Lalu Linggapati itupun berpaling kepada Empu Baladatu, “Linggadadi akan mempersiapkan sepasukan laskar dari Mahibit. Berapa orang yang Empu perlukan? Mudah-mudahan yang kita lakukan kali ini dapat benar-benar mengurangi kekuatan Singasari meskipun tidak secara langsung seperti yang Empu maksudkan. Bukan sebaliknya, justru membangunkan kesiagaan yang besar bagi Singasari.”
“Aku tidak memerlukan sepasukan yang besar.” jawab Empu Baladatu.
“Berapa orang yang Empu perlukan? Lima puluh atau seratus?”
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Agaknya pasukan Linggapati di Mahibit cukup kuat sehingga ia menawarkan berapa saja yang dikehendakinya
“Seratus orang tidak dapat dipertimbangkan bagi cita-cita Ki Sanak yang demikian besarnya. Tetapi pada langkah permulaan aku kira sudah mencukupi. Aku akan mengerahkan orang yang sama dari gerombolan Serigala Putih dan jumlah yang sama pula dari gerombolan Macan Kumbang.”
“Dan dari perguruan induk Empu Baladatu sendiri?“
Empu Baladatu termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata. “Seluruh pimpinan akan berada di tangan orang-orangku dari perguruan induk.”
“Dan orang-orangku?”
“Tentu mereka akan mempunyai seorang pemimpin. Tetapi penempatan mereka dalam keseluruhan akan berada di tangan kami”
“Tentu. Tentu. Kali ini Empu sendirilah yang akan memimpin pasukan gabungan itu. Silahkan. Aku akan menyerahkan sejumlah itu kepada Empu. Terserahlah, siapakah yang akan memegang pucuk pimpinan dari pasukan itu dalam keseluruhan.”
Empu Baladatu termangu-mangu. Tetapi iapun kemudian mengangguk-angguk, “Terima kasih.”
Linggapati mengangguk-angguk. Katanya, “Kita sudah menemukan jalan untuk menyatukan diri. Bahkan kita sudah merintis ujud daripada kesepakatan kita. Tetapi nampaknya masih akan banyak hal-hal yang kita bicarakan. Cara-cara yang lebih rumit daripada sekedar balas dendam seperti yang akan kita lakukan sekarang bagi orang-orang tertentu yang lebih dekat dengan ujung pimpinan prajurit Singasari.”
“Aku mengerti” jawab Empu Baladatu, “kita akan segera melakukan rencana yang pertama, selagi nafas dendam di dada orang-orang Serigala Putih masih belum padam. Pemimpin mereka yang sebenarnya telah dibunuh oleh pimpinan perguruan itu.”
Lingapati tersenyum. Lalu, “Baiklah. Pada langkah yang pertama ini aku semakin mengagumi Empu Baladatu, karena orang yang Empu maksud itu adalah saudara kandung Empu sendiri.”
Empu Baladatu menegang sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, “Apakah yang kau kagumi?”
“Ketegasan sikap Empu. Empu Baladatu tidak memandang siapapun juga, jika sekiranya berselisih jalan, Empu tidak segan-segan mengambil sikap yang paling tuntas.”
Empu Baladatu tidak menjawab. Ia tidak mengerti sepenuhnya, apakah yang dimaksudkan oleh Linggapati. Apakah yang dimaksudkan itu sebenarnya demikian, atau suatu sindiran bahwa pada suatu saat, Empu Baladatu dapat pula bersikap demikian terhadap siapa saja, termasuk Linggapati dan Linggadadi.
Dalam pada itu, Linggapati berkata selanjutnya, “Kali ini Empu bersikap demikian terhadap saudara kandung sendiri.”
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Lalu iapun meneruskan, “Lain kali?”
Linggapati tertawa pula. Katanya, “Baiklah. Kita akan mulai dengan saling mempercayai. Aku akan mengirimkan seratus orang seperti yang Empu maksudkan. Aku akan menyesuaikan waktu yang akan Empu pilih.”
“Sebelum purnama naik” jawab Empu Baladatu
Linggapati mengerutkan keningnya, lalu, “Apakah rencana ini termasuk rencana Empu untuk mendapatkan korban yang cukup berharga menjelang purnama naik?”
“Ah” “desah Empu Baladatu, “aku tidak memikirkannya. Aku tidak pernah mengalami kesulitan untuk mendapatkan korban yang aku perlukan.”
Linggapati mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan tidak mempedulikan apapun juga. Tetapi kesanggupanku tidak akan meleset sesuai dengan rencana kita seterusnya.”
“Terima kasih” jawab Empu Baladatu, “kami menunggu kedatangan orang-orangmu, sementara aku akan mempersiapkan orang-orangku“
Pembicaraan itu tidak berlangsung lebih lama lagi. Nampaknya keduanya masih membatasi pembicaraan mereka pada masalah-masalah yang pokok, selain satu usaha yang langsung untuk menghancurkan padepokan yang dipimpin oleh Empu Sanggadaru, saudara kandung Empu Baladatu sendiri.
Setelah mereka berbicara tentang berbagai persoalan yang mempertegas persetujuan mereka untuk mempersiapkan pasukan yang akan dipergunakan untuk menghancurkan padepokan yang mereka anggap akan menghambat perkembangan rencana mereka selanjutnya, maka Linggapati dan Linggadadi pun segera minta diri.
“Apakah Ki Sanak berdua tidak akan bermalam di sini?” bertanya Empu Baladatu.
Linggapati mengerutkan keningnya. Dan sebuah pertanyaan meluncur dari bibirnya, “Kenapa bermalam?”
“Hari sudah jauh malam, bahkan sudah melampaui tengah malam.”
“Apa salahnya aku pulang setelah tengah malam?”
“Mahibit bukannya jarak yang pendek.”
“Justru karena itu aku akan pulang malam ini. Aku tidak dapat terlalu lama meninggalkan orang-orangku.”
“Hanya bertambah setengah malam.”
Linggapati tertawa. Katanya, "Perjalanan di malam hari sangat memberikan kesegaran. Aku senang berjalan di malam hari.”
Empu Baladatu tidak dapat menahannya lebih lama lagi. Agaknya kedua tamunya benar-benar ingin segera meninggalkan padepokan Serigala Putih itu.
“Bukan karena aku curiga” berkata Linggapati kemudian, “tetapi aku benar-benar ingin berjalan di malam hari.”
“Ki Sanak berdua benar-benar tidak berkuda?”
“Aku jarang sekali berkuda. Apalagi dalam perjalanan seperti sekarang ini.”
Empu Baladatu mengantarkan tamunya sampai ke regol padepokan dan menunggunya sampai keduanya hilang dalam kegelapan. Sambil melangkah kembali memasuki padepokan ia bergumam, “Benar-benar anak setan keduanya.”
Kiai Dulang yang berjalan di sampingnya mengangguk-angguk sambil berdesis, “Ya. Keduanya memang anak setan.”
“Kita harus benar-benar bersiap menghadapi rencana di bulan purnama itu” berkata Empu Baladatu, “kita harus menunjukkan bahwa orang-orang kita tidak kalah baiknya dengan orang-orang Mahibit yang tinggi hati itu.”
“Masih ada waktu kurang lebih setengah bulan” sahut Kiai Dulang.
“Kita akan memilih orang-orang terbaik. Kita akan mempersiapkannya untuk tugas yang berat ini.”
Kiai Dulang mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Empu. Untuk memilih orang-orang terbaik sejumlah itu pada padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang agaknya terlalu sulit. Mereka yang berada di padepokan ini jumlahnya tidak lebih dari seratus orang. Demikian juga yang tinggal di padepokan Macan Kumbang. Jika ada lebihnya, sama sekali tidak akan berarti sama sekali.”
“Tetapi menurut penilaianku lebih dari lima ratus orang yang berada dibawah pengaruh kekuasaan Serigala Putih dan juga Macan Kumbang.”
“Mungkin dengan mereka yang berada di luar padepokan. Tetapi mereka selama ini tidak mendapat banyak perhatian. Didalam upacara-upacara yang paling tinggi, mereka tidak disertakan. Bahkan mereka termasuk pihak yang tidak boleh mengetahui terlalu banyak tentang isi padepokan ini.”
“Tetapi jika perlu tenaga mereka dapat dipergunakan.”
Kiai Dulang mengangguk-angguk. Katanya, “Dalam keadaan yang sangat perlu. Tetapi dalam keadaan tertentu mereka justru akan dapat mengganggu.”
“Kita tidak akan memikirkan mereka sekarang. Aku hanya memerlukan seratus orang terbaik.”
Kiai Dulang tidak menjawab lagi.
“Aku sendiri akan menyiapkan mereka” berkata Empu Baladatu., “Dalam waktu setengah bulan aku harus mendapatkan dua ratus orang terbaik yang akan dapat menghancurkan kakang Empu Sanggadaru yang sampai saat ini ternyata masih menjadi penjilat kedua anak-anak manja itu.”
Kiai Dulang mengangguk-angguk lagi. Katanya, “Jika hanya untuk kepentingan itu, aku kira tidak akan terlalu berat. Aku memperhitungkan, bahwa di padepokan itupun tidak akan ada orang sejumlah seratus orang. Jika ada orang-orang lain, mereka bukanlah cantrik-cantrik yang sudah mendapatkan ilmu yang cukup. Tetapi mereka adalah penghuni-penghuni daerah pertanian yang luas yang dimiliki oleh Empu Sanggadaru.”
Empu Baladatu meng-angguk-angguk. Katanya, “Ya Aku tahu pasti. Cantrik di padepokan itu tidak banyak. Tetapi perlu di ketahui, bahwa padepokan itu menyimpan banyak rahasia yang tidak dapat aku ungkapkan. Ada hal-hal yang tidak dapat aku mengerti. Tetapi dalam keseluruhan, padepokan itu tidak terlalu kuat untuk dicemaskan.”
“Kita akan dapat melakukannya tanpa kesulitan.”
“Jangan diremehkan. Untuk meyakinkan, bukan saja kemenangan atas padepokan itu, juga kepada orang-orang Mahibit kita harus membuktikan bahwa kita benar-benar kuat. Karena itu, para pemimpin dari pasukan itu, akan kita ambil dari perguruan induk. Kita akan mengambil sepuluh orang terbaik untuk memimpin pasukan yang akan kita bawa ke padepokan kakang Sanggadaru.”
Kiai Dulang mengangguk-angguk. Ia sadar bahwa ia akan termasuk salah seorang yang bertugas membawa pasukan gabungan itu di samping Empu Baladatu sendiri.
“Tiga ratus orang adalah pasukan yang besar” gumam Kiai Dulang
“Pikiranmu jangan terlalu kerdil. Jika saatnya tiba, kita harus mengerahkan sedikitnya lima ribu orang untuk menguasai Kota Raja dan paling sedikit sepuluh ribu orang tersebar di seluruh negeri.”
Kiai Dulang mengerutkan keningnya.
“Tetapi jangan cemas. Pekerjaan kita bukannya mengumpulkan sekian banyak orang. Tetapi kita akan menghubungi beberapa orang Senapati yang sudah mempunyai pasukan. Dan aku sudah mempunyai gambaran yang jelas untuk melakukannya. Bukan hanya Linggapati sajalah yang sudah mempunyai garis perjuangan yang mapan. Tetapi akupun telah membuat perhitungan-perhitungan tersendiri.”
“Apakah Empu Baladatu mempunyai hubungan dengan beberapa orang Senapati itu?”
“Sekarang belum. Tetapi ada beberapa nama yang dapat aku harapkan. Jauh lebih baik dari kakak kandungku sendiri.”
Kiai Dulang mengangguk-angguk. Tetapi iapun sadar, bahwa Empu Baladatu berusaha untuk menjadikan padepokan Empu Sanggadaru itu seperti padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang.
Demikianlah sejak hari itu, Empu Baladatu sendiri telah melakukan rencananya. Ia mendatangi kelompok-kelompok dari gerombolan Serigala. Putih dan Macan Kumbang yang terpilih untuk memberikan latihan-latihan khusus. Mereka harus dapat menunjukkan bahwa para pengikut ilmu yang disebut hitam itu mempunyai kelebihan dari orang-orang kebanyakan, bahkan kelebihan dari prajurit Singasari.
Latihan-latihan yang berat itu dilakukan oleh seratus orang dari gerombolan Serigala Putih dan seratus orang dari gerombolan Macan Kumbang. Mereka dikumpulkan dalam satu lingkungan yang terpisah dari padepokan masing-masing. Mereka mempergunakan sebuah hutan yang terasing sebagai tempat yang baik untuk berlatih. Siang dan malam.
Mereka diajar bertempur dalam kelompok-kelompok, dalam gelar dan perkelahian seorang melawan seorang. Mereka mendapat latihan bertempur dengan mempergunakan bermacam-macam senjata
“Macam-macam jenis senjata dapat membingungkan lawan” berkata Empu Baladatu, “karena itu. cobalah mempergunakan senjata yang paling mapan dari jenis senjata yang tidak biasa dipakai dalam perkelahian. Tongkat panjang berujung runcing duri pandan. Bindi bergerigi atau canggah bertangkai panjang. Mungkin juga trisula atau bola-bola besi bertali panjang.”
Dengan demikian maka anak buah Empu Baladatu itu pun mencoba untuk menemukan jenis senjata yang paling sesuai dengan kemampuan masing-masing. Mereka pada dasarnya telah memiliki kemampuan bertempur dengan jenis-jenis senjata sewajarnya. Kini mereka mendapat kesempatan untuk memilih jenis senjata, yang lain yang dapat memberikan kepuasan kepada mereka masing-masing sesuai dengan kemampuan mereka.
Untuk satu dua hari mereka mendapat kesempatan mencoba jenis-jenis senjata yang masih agak asing yang ternyata telah tersedia di dalam perguruan induk, yang telah dibawa oleh beberapa orang pengikut Empu Baladatu yang menyusul kemudian. Mereka adalah orang-orang yang akan mendapat tugas memimpin pasukan gabungan yang berjumlah tiga ratus orang itu, di samping beberapa orang yang telah berada di padepokan Serigala Putih, selain jenis-jenis senjata yang sudah ada di padepokan itu.
Senjata yang tersedia, yang tidak banyak jumlahnya itu, telah memberikan warna yang asing pada pasukan Empu Baladatu. Orang-orang yang berkesempatan mendapatkan jenis-jenis senjata itu akan berada di arena yang berpencar untuk membuat kejutan-kejutan pada lawannya.
Beberapa orang ternyata lebih senang mempergunakan tongkat-tongkat panjang. Ada yang berujung runcing seperti tombak biasa, ada yang berujung belah, ada yang berujung berbentuk duri pandan. Tetapi ada juga memilih bola-bola besi yang terikat pada rantai yang panjang.
Tetapi mereka yang belum yakin benar dengan senjata-senjata yang tidak biasa mereka pergunakan itu, mereka masih juga membawa pedang di lambung, yang setiap saat dapat dipergunakannya. Namun di antara orang-orang Serigala Putih dan Macan Kumbang sendiri pada dasarnya memang ada yang mempunyai kebiasaan mempergunakan jenis-jenis senjata yang asing.
Demikianlah dua ratus orang dari dua perguruan itu berlatih dengan sungguh-sungguh. Mereka tidak mempunyai waktu cukup panjang, menjelang purnama naik. Namun latihan yang bersungguh-sungguh itu ternyata telah membawa hasil yang memuaskan. Dua ratus orang itu telah dibentuk menjadi sepasukan prajurit yang memiliki kemampuan bertempur bersama-sama, seorang demi seorang, maupun dalam gelar-gelar yang lengkap.
“Kita akan melihat seratus orang Mahibit itu” berkata Empu Baladatu, “mereka tidak akan lebih dari prajurit-prajurit kecil di antara raksasa-raksasa yang terlatih baik.”
Diakhir pekan kedua, barulah orang-orang Serigala Putih dan Matan Kumbang itu dapat kembali ke padepokan. Kembali menjenguk keluarga masing-masing untuk beberapa lama, sebelum mereka akan berangkat menunaikan tugas mereka yang sebenarnya mereka anggap tidak terlampau berat meskipun setiap kali Empu Baladatu selalu memperingatkan agar mereka tidak meremehkan lawan.
Menjelang purnama naik, maka padepokan Serigala Putih telah mempersiapkan tempat yang akan menampung seratus orang dari Mahibit yang akan ikut serta untuk menghancurkan saudara kandung Empu Baladatu sendiri. Saudara kandung yang bagi Empu Baladatu merupakan orang pertama yang akan disingkirkan.
Namun bagi Empu Baladatu, bukannya sekedar usaha menyingkirkannya saja, tetapi juga merupakan suatu usaha untuk mengetahui dan menjajagi kemungkinan selanjutnya bagi usahanya. Untuk menjajagi kekuatan orang-orangnya dan sekaligus untuk mengetahui apakah orang-orang Mahibit benar-benar dapat diandalkan.
“Jika aku dapat menguasai padepokan kakang Sanggadaru maka aku akan dapat berbuat sesuatu yang lebih meyakinkan. Aku dapat memaksa kakang Sanggadaru untuk mengikuti jejakku atau membinasakannya sama sekali. Meskipun ia saudara kandungku, tetapi di antara kami seolah-olah tidak ada ikatan apapun yang dapat menyentuh tali persaudaraan kami.” berkata Empu Baladatu di dalam hatinya.
Ia memang sudah bertekad untuk berbuat sesuatu dengan segala akibatnya. Ia tidak merasa sayang seandainya Empu Sanggadaru harus dimusnahkan. Tetapi lebih baik jika Empu Sanggadaru itu dapat ditundukkannya dan meskipun lambat laun akan ikut serta bersamanya sehingga dapat membantu .dengan kekuatan yang cukup.
“Padepokan itu harus dihancurkan sampai lumat untuk dapat dibangun sebuah padepokan baru” berkata Empu Baladatu di dalam hatinya. Memang agak berbeda dengan padepokan Serigala Putih yang memang memiliki dasar ilmu hitam, atau setidak-tidaknya orang-orang dalam padepokan itu memiliki kebiasaan yang tidak jauh berbeda dengan orang-orang di dalam lingkungannya.
“Kebiasaan yang tidak terdapat di dalam lingkungan kakang Sanggadaru sehingga masih harus ditumbuhkan. Jika yang lama tidak disingkirkan sampai ke akar-akarnya, maka akan sulit sekali untuk menanam kekuatan baru di atas padepokan itu.” berkata Empu Baladatu kemudian kepada diri sendiri, “tetapi jika dapat dipegang kepalanya, serta dapat memaksanya untuk berbuat sesuatu, maka yang lain tentu akan mengikutinya tanpa banyak persoalan.”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Seolah-olah ia sudah mulai melihat hasil dari usahanya itu. Pada hari sebelum saat purnama naik, orang-orang dari padepokan Serigala Putih telah diguncang oleh kedatangan seratus orang dari Mahibit. Orang-orang yang dijanjikan oleh Linggapati, di bawah pimpinan langsung Linggadadi sendiri.
“Kami datang memenuhi janji kami” berkata Linggadadi kepada Empu Baladatu yang menyongsongnya.
Empu Baladatu memandang sepasukan orang-orang Mahibit yang datang beriringan memasuki regol padepokan. “Kalian berjalan beriringan seperti ini dari Mahibit sampai ke tempat ini?” bertanya Empu Baladatu.
Linggadadi tertawa. Katanya, “Tentu tidak begitu. Jika kami datang seratus orang dalam barisan seperti ini, maka perjalanan kami akan memanggil sepasukan prajurit Singasari sehingga mungkin kami sudah harus bertempur sebelum kami sampai ke tempat ini.”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Sejenak ia memandangi seratus orang anak buah Linggadadi itu. Seolah-olah ia ingin memandang mereka seorang demi seorang,
“Kenapa?” bertanya Linggadadi, “apakah orang-orangku kurang baik menurut penilaian Empu?”
Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata orang-orang yang baru datang itu adalah sepasukan prajurit yang cukup meyakinkan. Seorang demi seorang nampaknya mereka cukup terlatih. Bahkan hampir setiap gerak dan langkah mereka membayangkan, bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dalam olah kanuragan.
“Untunglah bahwa kami sudah melakukan latihan-latihan yang berat” berkata Empu Baladatu di dalam hatinya, sehingga ia tidak perlu merasa malu apabila dua ratus orang pasukannya berbaris bersama-sama dengan seratus orang Mahibit itu.
“Marilah” Empu Baladatu kemudian mempersilahkan, “kami sudah menyediakan tempat bagi kalian meskipun sangat sederhana.”
“Kami datang untuk berkelahi” jawab Linggadadi, “bukan untuk memanjakan tubuh kami di atas pembaringan yang lunak dan dengan makan yang enak.”
“Tetapi kalian adalah tamu kami.”
Demikianlah, seratus orang itu segera dipersilahkan memasuki barak-barak yang sudah disediakan, sementara orang-orang Serigala Putih dan Macan Kumbang yang sudah dipersiapkan itupun mulai menilai diri mereka masing-masing.
“Kita tidak akan tertinggal oleh kemampuan mereka” berkata salah seorang pemimpin mereka yang datang dari perguruan induk Empu Baladatu. Kalian sudah dibentuk menurut jalur ilmu kita yang agung. Karena itu, tunjukkan bahwa kalian mempunyai kelebihan dari mereka.”
Orang-orangnya pun mengangguk-angguk. Atas petunjuk para pemimpinnya, maka orang-orang dari Serigala Putih dan Macan Kumbangpun sama sekali tidak merasa rendah diri di hadapan orang-orang yang baru datang dari Mahibit yang menurut para pemimpin mereka adalab orang-orang biasa seperti mereka.
“Kita akan melihat setelah kita berada di medan” berkata para pemimpin.
Namun dalam pada itu, Kiai Dulangpun telah memperingatkan, bahwa orang-orang Empu Sanggadaru bukanlah orang-orang yang dungu. Empu Baladatu mendengarkan setiap keterangan Kiai Dulang tentang orang-orang dari padepokan Empu Sanggadaru. Iapun telah mendengar pula bahwa orang-orang dari padepokan Empu Sanggadaru sanggup berjalan sehari penuh tanpa berhenti sama sekali. Bahkan iapun pernah mendengar bahwa anak muda yang bernama Mahisa Bungalan pernah mengikuti iring iringan anak buah Empu Sanggadaru yang sedang berlatih.
“Bukan sesuatu yang perlu dikagumi” berkata Empu Baladatu, “sebab dalam pertempuran, selain ketahanan tubuh dan tenaga, kemampuan menggerakkan senjata merupakan unsur yang lebih banyak menentukan. Dan kita sudah berlatih sebaik-baiknya. Kita tidak usah menyembunyikan ciri-ciri yang ada pada kita. Kita akan membunuh dengan cara kita agar orang-orang dari padepokan Empu Sanggadaru menjadi gentar."
“Kita akan membunuh di arena pertempuran dengan pisau belati?” bertanya Kiai Dulang.
“Ya. Mayat-mayat yang terkelupas akan kita lemparkan kepada para pemimpin mereka agar mereka menyadari, siapakah yang mereka hadapi. Jika kakang Sanggadaru tidak mau menyerah, maka orang-orangnya akan mengalami nasib yang menyedihkan seperti itu. Bahkan kakang Sanggadaru sendiri.”
Kiai Dulang menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya Empu Baladatu benar-benar ingin membuat suatu kejutan. Beralasan dendam orang-orang Serigala Putih, maka padepokan Empu Sanggadaru betul-betul akan dilumatkan sebelum dibangunkan sebuah padepokan baru.
Dalam pada itu Empu Sanggadaru sama sekali tidak menyangka bahwa adiknya sudah menyiapkan sebuah serangan besar-besaran atas padepokannya. Biarpun kemungkinan itu pernah diperhitungkan oleh para prajurit Singasari, dan bahkan ada sepasukan kecil prajurit yang berada di padepokan itu, namun ia sendiri nampaknya kurang menganggap hal itu bersungguh-sungguh. Namun demikian Empu Sanggadaru tidak bisa melupakan dendam orang-orang Serigala Putih. Apabila terjadi sesuatu atas padepokannya, tentu karena dorongan dendam orang-orang Serigala Putih itu.
“Aku tidak pernah menyakiti hati adikku. Betapapun hitam hatinya, seperti hitamnya ilmu yang dianutnya, tetapi ia tidak akan melakukannya, kecuali jika orang-orang Serigala Putih itu berada di luar pengamatannya"
Namun demikian, Empu Sanggadaru tidak kehilangan seluruh kewaspadaannya. Kehadiran para prajurit Singasari dalam perhitungannya tersendiri, telah mendorongnya untuk meningkatkan ilmu para cantriknya. Apalagi setelah Mahisa Pukat dan Mahisa Murti berada di padepokan itu pula.
Dalam pada itu, percampuran beberapa unsur ilmu yang berbeda antara perguruan Empu Sanggadaru sendiri, para prajurit Singasari dengan jalur ilmu Mahendra yang ada pada anak-anaknya, dalam hubungan yang dengan sengaja dicari perpaduannya, telah menumbuhkan gairah latihan yang tinggi. Para prajurit Singasari merasa menemukan pengalaman baru dalam pergaulannya dengan kedua anak-anak muda itu dan para murid di perguruan Empu Sanggadaru.
Selain latihan-latihan ketrampilan bermain senjata, Empu Sanggadaru memang sering membawa beberapa orang cantriknya melatih ketahanan tubuh dan ketahanan kekuatan. Mereka berjalan sehari penuh tanpa berhenti. Bahkan kadang-kadang mereka berlatih di tempat dengan gerakan-gerakan yang dilakukan untuk waktu yang sangat lama.
Namun selagi orang-orang yang berada di padepokan Empu Sanggadaru sedang dengan tekunnya memperdalam ilmu dengan caranya, tiba-tiba saja seorang prajurit sandi telah datang langsung menghadap Empu Sanggadaru dan perwira prajurit Singasari yang bertugas di padepokan itu.
“Kita harus berhati-hati” berkata prajurit sandi itu.
“Kenapa, dan apakah yang kau ketahui?”
“Kami melihat persiapan yang melampaui kesiagaan sewajarnya di padepokan Serigala Putih.”
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. “Apakah Baladatu ada di padepokan itu?”
Petugas sandi itu menggeleng, “Kami tidak mengetahuinya. Tetapi mungkin Empu Baladatu tidak ada di padepokan itu.”
Empu Sanggadaru merenung sejenak, lalu, “Ah, tentu sekadar latihan-latihan berat setelah padepokan itu berada di bawah pengaruh Baladatu. Aku tidak pernah menyetujui caranya dan usahanya memperluas pengaruh parguruannya. Tetapi aku tidak pernah memusuhinya.”
“Tetapi tidak mustahil bahwa ada sesuatu yang harus kita perhatikan dengan saksama. Seorang kawanku telah melaporkan kegiatan ini kepada Senapati Lambu Ampal. Mungkin akan ada penyelidikan yang lebih saksama di padepokan itu menjelang purnama naik. Menurut keterangan terakhir, di padepokan itu telah berlangsung upacara yang mengerikan di setiap purnama.”
Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Disaat terakhir ia memang mendengar berita tentang upacara-upacara aneh yang telah diselenggarakan di padepokan Serigala Putih itu. Tetapi keterangan yang pasti masih belum diperolehnya.
“Siapa tahu, pengaruh ilmu yang kurang sewajarnya, telah membuat Empu Baladatu kehilangan kesadaran atas ikatan persaudaraan.”
Empu Sanggadaru menggeleng sambil tersenyum, “Tentu tidak. Ia adalah anak yang baik menurut pendapatku.”
Petugas sandi itu termangu-mangu sejenak. Ia dapat mengerti bahwa Empu Sanggadaru tidak menaruh banyak perhatian tentang keadaan adiknya. Namun demikian, petugas itu masih ingin meyakinkan bahwa Empu Sanggadaru harus berhati-hati.
“Hanya berhati-hati” berkata petugas itu, “apakah salahnya. Jika sekiranya tidak ada apa-apa dengan Empu Baladatu, maka sikap hati-hati itu akan tetap menguntungkan “
Empu Sanggadaru tertawa. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Baiklah. Aku akan berhati-hati.”
Empu Sanggadaru tidak banyak menanggapi keterangan petugas sandi itu. Bahkan iapun kemudian minta diri untuk pergi ke Sanggarnya. Tetapi, tidak demikianlah sebenarnya yang ada di dalam pertimbangan nalar Empu Sanggadaru. Betapapun juga ia mencoba mempercayai adiknya dengan perasaan seorang kakak, tetapi pertimbangan nalarnya membenarkan pesan petugas sandi itu meskipun tidak dikatakannya. Dengan ragu-ragu ia memanggil beberapa orang kepercayaannya di dalam sanggar tertutupnya.
“Katakan. Katakan kepadaku, apakah mungkin tejadi bahwa adikku itu berbuat jahat kepadaku?” bertanya Empu Sanggadaru kepada pembantu-pembantunya terdekat.
“Bagaimanakah pendapat para prajurit yang berada di padepokan ini?” bertanya seorang pambantunya.
Empu Sanggadaru menarik nafas. Katanya, “Sejak semula, sebelum ada apa-apa, prajurit-prajurit itu sudah curiga. Itulah sebabnya ia berada di sini“
“Dan Empu sendiri?”
“Kalian, kalianlah yang harus mengatakannya kepadaku apakah adikku itu akan mengkhianatiku?”
“Empu” desis seorang pembantunya, “menurut pendengaran kami tentang padepokan-padepokan yang kemudian berada di bawah pengaruh Empu Baladatu, memang mempunyai kebiasaan baru yang aneh. Mereka adalah orang-orang yang disebut berilmu hitam. Namun di bawah bimbingan Empu Baladatu, ilmu yang disebut hitam itu menjadi semakin jelas. Bukan saja ilmu yang dipergunakan untuk kepentingan kejahatan, tetapi sumber dan cara penyadapannyapun menunjukkan bahwa ilmu itu memang ilmu hitam.”
“Dan karena itu maka adikku itu sampai hati berbuat jahat kepadaku?”
“Menilik sikap dan keragu-raguan Empu Sanggadaru agaknya Empu memang sudah mempunyai pertimbangan yang demikian. Tetapi perasaan Empu sebagai saudara tua tidak mau melihat pertimbangan nalar itu“
Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa ia memang mencurigai sikap adiknya. Di saat-saat menjelang purnama naik, ia selalu digelisahkan oleh berita tentang upacara yang gila itu. Kini, mendekati purnama naik, ia justru mendengar persiapan yang besar pada padepokan Serigala Putih itu.
“Orang-orang Serigala Putih mempunyai naluri dendam kepada kita” berkata salah seorang pembantunya.
Empu Sanggadaru mengangguk. Katanya, “Aku telah membunuh pemimpinnya di saat terakhir. Aku bukan orang yang baik hati, yang dapat melepaskan perasaan dendam dan marah. Tetapi terhadap adikku sendiri, seharusnya aku tidak mencurigainya.”
“Memang seharusnya. Tetapi bagaimanakah jika ada pertimbangan-pertimbangan lain yang pernah kita lihat?”
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Lalu katanya dengan suara yang lantang, “Apa boleh buat. Kita akan mempersiapkan diri. Semua cantrik dan keluarganya yang berada di tanah padepokan harus mendapat peringatan bahwa bahaya sudah siap diambang pintu menjelang purnama naik. Pergilah, siapkan mereka seluruhnya sesuai dengan kemampuan mereka dan di dalam kelompok masing-masing. Biarlah mereka tersebar di padukuhan masing-masing di luar padepokan. Tetapi tentukan isyarat apakah yang akan memanggil mereka jika keadaan memaksa.”
Pembantu-pembantunya mengangguk-angguk. Tetapi salah seorang dari mereka bertanya, “Apakah tidak sebaiknya mereka dikumpulkan di dalam padepokan Empu. Kita akan bersama-sama menghadapi lawan“
Empu Sanggadaru menggeleng. Katanya, “Mungkin kita terlalu berprasangka buruk terhadap adikku. Tetapi seperti yang kalian sarankan, kita tidak akan meninggalkan kewaspadaan.”
“Jadi, mereka harus bersiap di tempat masing-masing?”
“Ya. Pergilah kepadukuhan-padukuhan di tanah padepokan ini.”
Para pembantunya, para putut dan jejanggan serta beberapa orang cantrik yang ada di padepokan kupan segera menyebar, mengabarkan kesiagaan yang harus mereka lakukan
“Dalam keadaan yang gawat, akan terdengar panah sendaren, atau panah api jika malam hari. Karena itu, bersiaplah. Jangan meninggalkan padukuhan. Jika kalian berada di sawah atau pategalan, bersiaplah dengan senjata, karena mungkin sekali kalian harus segera berlari dan berkumpul dalam kelompok-kelompok masing-masing.”
Para cantrik itupun mengangguk-angguk.
“Siapkan badan dan jiwa kalian menghadapi segala kemungkinan. Kalian telah memiliki ilmu kanuragan meskipun masih-belum cukup baik, namun sudah cukup untuk melindungi diri kalian masing-masing. Siapkan pintu-pintu pada urung-urung di bawah tanah, karena mungkin sekali kalian harus melalui urung-urung itu jika semua pintu telah tertutup. Atau sebaliknya, kita yang di dalam harus keluar lewat urung-urung itu.”
Yang mendengar berita itu menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka memang pernah mempelajari olah kanuragan, tetapi mereka mengharapkan hidup yang tenang dan damai. Mereka tidak mempersiapkan diri mereka untuk berkelahi, kecuali sekelompok cantrik pilihan yang memang ditempa untuk mengamankan padepokan dan tanah-tanah pertanian di sekitarnya, yang berada di bawah pengaruh padepokan itu.
“Tetapi jika hidup kalian terancam, tanah kalian dan harta benda kalian, terlebih-lebih hak dan milik kalian seluruhnya yang kalian siapkan bagi masa depan anak cucu kalian akan dirampas orang, apakah kalian akan dapat diam dan ketenangan dan kedamaian hati?” bertanya para petugas yang menghubungi para petani yang berada di bawah pengaruh padepokan Empu Sanggadaru. Mereka mengangguk-angguk.
“Kalian akan mempertahankan milik kalian. Sebentar lagi purnama akan naik.Menurut perhitungan kami, saat purnama naik adalah saat yang paling gawat menghadapi orang-orang berilmu hitam. Pada saat-saat semacam itu mereka memerlukan korban darah. Pertempuran adalah korban darah yang paling baik bagi mereka, karena mereka dapat mengorbankan jauh lebih banyak dari satu orang saja.”
Terasa bulu-bulu para petani itu meremang. Namun kemudian mereka mulai disentuh oleh rasa tanggung jawab atas hak miliknya, sehingga di samping hak itupun mereka merasa berkewajiban untuk mempertahankannya.
“Baiklah” jawab para petani, bukan saja yang muda, tetapi juga yang sudah separo baya, “kami akan siap dengan senjata kami.”
Tetapi para petugas itupun menyadari, bahwa ilmu yang mereka miliki bukannya ilmu olah kanuragan seperti seorang prajurit. Jika mereka dapat menggerakkan senjata, itu sekedar untuk melindungi diri. Sehingga karena itu, perlu dipertimbangkan oleh Empu Sanggadaru, apakah pada setiap kelompok tidak diletakkan orang-orang yang memang memiliki kemampuan untuk bertempur.
Ternyata bahwa beberapa orang petugas yang menghubungi mereka yang berada di luar padepokan itu sependapat, bahwa mereka memerlukan satu dua orang yang akan memberikan petunjuk dan aba-aba bagi mereka- Tanpa satu dua orang yang dapat memberikan pengarahan dalam kekisruhan perang, maka mereka akan menjadi bingung.
Ketika hal itu disampaikan kepada Empu Sanggadaru, maka Empu Sanggadarupun berkata, “Seolah-olah kalian sudah menjatuhkan hukuman pada adikku, bahwa ia benar-benar akan melakukan kejahatan itu.”
Para putut itupun menundukkan kepalanya. Mereka menyadari, betapa pahitnya perasaan Empu Sanggadaru menanggapi sikap adiknya itu.
Namun kemudian Empu Sanggadarupun bertanya, “Apakah demikian pertimbanganmu?”
Sejenak para putut itu masih ragu-ragu. Namun kemudian salah seorang menjawab, “Mungkin itu hanya sekedar sikap curiga Empu. Tetapi seandainya tidak terjadi sesuatu di saat purnama naik, maka tidak ada salahnya jika kita berhati-hati menghadapi keadaan yang tidak menentu itu“
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Jawabnya, “Baiklah. Aturlah tenaga yang ada di padepokan ini. Separo dapat kau kirim keluar, dan separo akan tetap berada di dalam. Jangan lupa, bukalah semua pintu pada urung-urung di bawah tanah, yang menghubungkan bagian dalam dan bagian luar padepokan ini. Mungkin kita memerlukannya. Mungkin adikku benar-benar berbuat jahat, tetapi mungkin kitalah yang dibayang-bayangi oleh kejahatan di dalam hati kita sendiri“
Para putut itupun menarik nafas. Tetapi salah seorang dari antara mereka bertanya, “Bagaimana dengan para prajurit Singasari yang ada di padepokan ini Empu?”
“O, mereka sudah banyak berjasa. Mereka sudah menumbuhkan kemampuan yang berlipat ganda bagi kita.”
“Maksudku, menghadapi keadaan yang tidak menentu ini.”
“Mereka sudah mendengar laporan para petugas sandi. Aku kira mereka sudah mempersiapkan diri pula.”
“Tetapi bukankah kita berada dalam lingkungan yang sama sehingga kita harus mengatur diri, agar kita dapat bekerja bersama sebaik-baiknya dengan mereka?”
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan memanggil Senapatinya. Kita akan menentukan kerja sama yang sebaik-baiknya untuk menenteramkan diri karena kecurigaan petugas-petugas sandi itu.”
Tidak seorangpun yang menjawab. Tetapi para purut itu melihat, bahwa sebenarnya bahwa kecurigaan itu ada pula dihati Empu Sanggadaru, betapapun juga ia berusaha menyembunyikannya di balik kecintaannya kepada kadang sendiri.
“Apakah salah seorang dari kami harus memanggilnya sekarang Empu.” bertanya salah seorang putut.
“Baiklah. Panggillah Senapati itu.”
Sejenak kemudian, Senapati yang diserahi tanggung jawab atas para prajurit Singasari yang ada di padepokan Empu Sanggadaru itu telah berada di dalam lingkungan para pemimpin padepokan itu. Dengan singkat Empu Sanggadaru menanyakan kepada mereka, apakah yang dapat mereka lakukan jika benar-benar terjadi serangan atas padepokan itu.
“Kami justru berpendapat, bahwa laporan petugas sandi dari Singasari itu benar Empu, sehingga kita harus berada dalam kewaspadaan tertinggi.”
“Sudah, aku sudah bersiap-siap” jawab Empu Sanggadaru yang kemudian menceriterakan apa saja yang sudah dilakukan oleh anak buahnya.
Senapati itu mendengarkan keterangan Empu Sanggadaru dengan saksama. Sambil mengangguk-angguk iapun berkata, “Terima kasih Empu.”
“Kenapa kau mengucapkan terima kasih kepadaku?” bertanya Empu Sanggadaru
Senapati itu menjadi heran mendengar pertanyaan Empu Sanggadaru, sehingga karena itu, ia justru berdiam diri. “Agaknya Empu Sanggadaru menyangka bahwa dengan sengaja aku menyatakan ucapan itu agar ia dengan sepenuh hati berkelahi dengan adiknya” berkata Senapati itu di dalam hatinya.
Tetapi ternyata bahwa Empu Sanggadarupun tidak bertanya lagi. Bahkan iapun kemudian berkata, “Nah Senapati. Apakah rencana kita seterusnya?”
“Seperti yang sudah Empu lakukan.”
“Membagi orang-orang terpercaya kepada padukuhan-padukuhan di sekitar padepokan ini?”
“Diantaranya kita memang harus berbuat demikian. Jika Empu tidak berkeberatan, aku setuju jika sebagian para prajurit yang ada inipun dipencar kebeberapa padukuhan.“
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Jawabnya, “Baiklah. Kita akan segera berpencar.”
“Tetapi padukuhan ini harus diisi dengan pasukan terbaik dari kita semuanya. Jika lawan sudah memberanikan diri menyerang, itu berarti bahwa yang dibawanya adalah prajurit-prajurit terbaiknya. Kitapun harus menyiapkan prajurit terbaik untuk menahan serangan itu.”
“Jumlah kita tidak terlalu banyak” desis Empu Sanggadaru.
“Cukup banyak. Apalagi dengan kekuatan yang berada di padukuhan yang menyatakan diri berada di bawah pengaruh Empu Sanggadaru.”
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Namun kemudian ia bertanya, “Berapakah kekuatan yang kira-kira akan dibawa oleh gerombolan Serigala Putih?”
“Menurut laporan lebih dari dua ratus orang Empu.” Jawab Senapati itu.
“Dua ratus orang?” Empu Sanggadaru menjadi heran, “darimanakah ia dapat mengumpulkan orang sebanyak itu? Jika kita berhasil mengerahkan segenap laki-laki di padepokan ini ditambah dengan setiap laki-laki di padukuhan yang menyatakan diri dibawah pengaruhku, barulah kita dapat mengumpulkan jumlah itu. Bahkan barangkali masih kurang.”
“Tetapi dengan sepasukan prajurit yang berada di sini, jumlah itu akan dicapai. Bahkan lebih meskipun hanya sedikit.”
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Jumlah itu sudah cukup memadai. Dari jumlah yang ada di dalam padepokan ini, sebagian akan aku kirim kepadukuhan-padukuhan untuk membimbing mereka dalam benturan kekuatan dalam jumlah yang besar. Sedangkan yang lain akan tetap berada di padepokan ini.”
Senapati prajurit Singasari yang berada di padepokan itupun kemudian berkata, “Baiklah. Aku akan segera menyiapkan prajurit-prajuritku. Tetapi Empu harus ingat, bahwa di sini mereka satu dengan cantrik-cantrik Empu Sanggadaru.”
“Ya. Tolonglah, pilihlah di antara cantrik-cantrikku yang khusus itu. Mereka tentu akan sangat berarti bagi padukuhan padukuhan di luar padepokan ini.”
“Kita harus bersiap sebelum purnama naik.”
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Dengan suara yang berat iapun memerintahkan para putut untuk menentukan para cantrik padepokan itu yang sebenarnya, yang akan berpencar bersama para prajurit.
Sejenak kemudian maka Senapati prajurit Singasari itu telah berbicara dengan pembantu-pembantunya yang telah meluluhkan diri dalam kehidupan di padepokan itu. Merekapun segera membagi diri dan bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.
“Jumlah kita terlalu sedikit” berkata salah seorang prajurit
“Cukup memadai. Kita akan berpencar di empat padukuhan dan akan mendekati padepokan ini dari empat jurusan. Para cantrik dan orang-orang yang berada di bawah pengaruh padepokan ini telah menentukan tempat-tempat untuk berkumpul apabila mereka diperlukan. Kitapun akan berada bersama mereka.”
“Baiklah. Kita harus segera pergi.”
“Kita akan menyesuaikan diri dengan para cantrik yang akan pergi pula kepadukuhan-padukuhan itu. Kita akan mengirimkan ke setiap penjuru sebanyak lima orang di samping para cantrik. Jika benar yang akan datang lebih dari dua ratus orang, maka pertempuran itu akan merupakan pertempuran yang berat.”
“Berapa orang selain kita berlima yang akan berada di setiap penjuru?“
Senapati itu menggeleng. "Aku belum tahu, berapa orangkah yang akan ditetapkan oleh Empu Sanggadaru karena sebagian dari kita akan mengadakan perlawanan dari dalam.”
Para prajurit itu pun mengangguk-angguk. Mereka membayangkan bahwa padepokan ini akan mengalami kesulitan jika jumlah lawan itu bertambah.
“Berhati-hatilah. Berilah petunjuk-petunjuk. Dan kalian harus dapat mengambil sikap mendahului mereka yang pengalamannya di medan tentu belum seluas kalian. Prajurit Singasari di saat terakhir yang berada di padepokan ini telah bertambah menjadi tigapuluh orang, sehingga sepuluh orang di antara kita akan tetap berada di padepokan.”
“Bagaimana dengan kedua anak muda itu?” bertanya salan seorang dari prajurit-prajurit itu.
Senapati itu terdiam sejenak. Kehadiran dua orang anak muda di padepokan itu telah menambah kesegaran suasana. Anak yang gembira itu seolah-olah telah mengisi kejemuan yang kadang-kadang memang terasa menyentuh hati para prajurit yang merasa kehadirannya di padepokan itu bagaikan tersisih dari pergaulan.
“Anak-anak itu sangat menyenangkan” berkata Senapati itu, “sebenarnya aku ingin mempersilahkan mereka menyingkir. Tetapi kita tahu, bahwa mereka adalah anak-anak yang memiliki kelebihan dari kita semuanya. Apalagi kakaknya, Mahisa Bungalan yang setiap kali dengan tiba-tiba saja muncul menjenguk adik-adiknya.”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk.
“Biarlah ia berada di padepokan.” berkata Senapati itu kemudian, “mereka yang tinggal di padukuhan ini tentu akan menjadi paling jemu dibandingkan dengan mereka yang sempat berada di padukuhan.”
“Baiklah” berkata para prajurit itu.
Senapati prajurit Singasari itupun segera menyusun dan membagi orang-orangnya. Lima orang di empat penjuru.
“Jika jumlah kita bertambah di saat terakhir, setelah kita mengalami pergantian sekali, maka agaknya kecurigaan para petugas sandi semakin bertambah. Kini kecurigaan itu telah memuncak, sehingga mereka memberikan batas waktu yang dekat agar kita berhati-hati.”
“Agaknya kecurigaan mereka itu beralasan“
Demikianlah maka para prajurit itu membagi diri. Mereka tinggal menunggu perintah Empu Sanggadaru. Setelah berbicara dan mematangkan semua persiapan, maka Sanggadaru pun segera memerintahkan semua orang yang akan meninggalkan padepokan untuk bersiap. Jika malam tiba, mereka harus meninggalkan regol padepokan dengan hati-hati, agar tidak menarik perhatian orang yang mungkin dengan tidak sengaja melihatnya. Mungkin orang yang kebetulan lewat, mungkin orang-orang yang dengan sengaja mengawasi padepokannya.
Ternyata Empu Sanggadaru dan prajurit Singasari itupun cukup berhati-hati. Sebelum mereka melepaskan kelompok-kelompok yang akan meninggalkan padepokan, mereka telah menyebar beberapa orang petugas untuk melihat, apakah ada orang-orang yang dengan tersembunyi mengamat-amati padepokan itu.
“Kami tidak menjumpai seorang pun” berkata salah seorang cantrik yang bertugas mengawasi keadaan. Ternyata yang lain pun sama sekali tidak melihat sesuatu yang mencurigakan.
Demikianlah ketika malam mulai turun, maka dalam kegelapan malam yang diterangi oleh sinar bulan yang samar-samar menjelang malam purnama, kelompok-kelompok kecil telah meninggalkan padepokan. Mereka sama sekali tidak mempunyai waktu lagi untuk menyusun barisan yang teratur dan mapan. Untunglah bahwa pada saat-saat tertentu mereka selalu mengadakan latihan kanuragan. Apalagi sejak para prajurit berada di padepokan itu. Meskipun mereka tidak membayangkan bahwa pada suatu saat mereka akan mengalami suatu pertempuran yang besar dan seru, namun mereka dengan sungguh-sungguh telah berlatih untuk membela diri pada setiap kemungkinan yang dapat saja terjadi.
Tetapi di antara para petani yang kurang bersungguh-sungguh dalam latihan-latihan olah kanuragan, terdapat sekelompok cantrik yang memang telah menempa diri dalam olah kanuragan. Mereka adalah murid-murid Empu Sanggadaru yang sebenarnya. Dan mereka adalah orang-orang yang dipercaya untuk mempertahankan padepokan itu apabila marabahaya datang menerkam. Dan para cantrik itulah yang kemudian disebar bersama-sami para prajurit. Tetapi seperti juga para prajurit, cantrik yang terpercaya itupun jumlahnya tidak terlampau banyak.
Setiap sepuluh orang di antara mereka telah dikirim keempat penjuru bersama lima orang prajurit, sehingga di setiap arah dari keempat penjuru, terdapat lima belas orang yang memiliki kemampuan yang dapat dibanggakan. Lima belas orang itulah yang kemudian bertugas untuk menghimpun orang-orang yang ada di setiap padukuhan.
“Semuanya harus bersiap sebelum purnama naik.” desis Empu Sanggadaru saat ia melepas para cantrik dan para prajurit itu.
Adalah di luar dugaan, bahwa tiba-tiba saja di saat-saat para cantrik dan para prajurit membagi diri, Mahisa Bungalan telah datang kepadepokan itu dengan tergesa-gesa. Setelah menyerahkan kudanya dan duduk bersama Empu Sanggadaru, maka iapun berkata, “Empu, agaknya dugaan bahwa orang-orang dari Serigala Putih akan membalas dendam itu bukannya sekedar dugaan. Tentu saja kini mereka mempunyai kekuatan yang lain, kecuali kekuatan padepokan Serigala Putih sendiri.”
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Dengan suara berat ia bertanya, “Dan menurut dugaan anakmas, adikku Baladatu telah dapat mereka peralat?”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak dapat mengatakan Empu. Apakah Empu Baladatu telah diperalat, atau karena alasan yang lain. Tetapi yang jelas, bahwa dalam keadaan seperti sekarang ini, Serigala Putih, telah menjadi satu dengan padepokan gerombolan Macan Kumbang.”
“Itulah agaknya mereka sempat mengumpulkan orang sebanyak dua ratus orang.”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun katanya, “Tidak hanya kedua kelompok itu saja.”
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Jika bukan saja kedua kelompok itu tentu ada sekelompok orang-orang yang datang dari padepokan Empu Baladatu sendiri.
Namun Mahisa Bungalan berkata, “Para petugas sandi melihat orang-orang dari kelompok yang belum diketahui berdatangan kepadepokan kelompok Serigala Putih.”
Empu Sanggadaru termenung sejenak. Kemudian terdengar suaranya yang dalam dan datar, “Baladatu agaknya benar-benar telah diperalat, sehingga ia kehilangan kecintaannya terhadap saudara sendiri.” namun kemudian ia menggeram, “tetapi jika demikian, apa boleh buat.”
Empu Sanggadaru pun segera memerintahkan semua orang nya bersiap. Ternyata Mahisa Bungalan tidak meninggalkan padepokan itu. Ia tidak sampai hati meninggalkan kedua adiknya yang berada di padepokan itu pula.
Dalam pada itu, orang-orang yang memencar di luar padepokanpun segera, menghimpun kekuatan. Meskipun orang-orang yang berada di padukuhan itu bukannya cantrik-cantrik dan prajurit Singasari, namun mereka pada umumnya telah memiliki dasar ilmu kanuragan yang dapat melindungi diri mereka masing-masing.
Tetapi jumlah mereka tidak terlalu banyak. Disetiap penjuru, para prajurit dan para cantrik tidak dapat mengumpulkan anak-anak muda dan laki-laki yang masih cukup kuat memegang senjata lebih dari tiga puluh orang. Bahkan di salah satu penjuru, mereka tidak lebih dari dua puluh lima orang saja.
“Jumlah kita tidak terlalu banyak” berkata salah seorang cantrik kepada para prajurit yang berada di antara mereka.
“Jumlah kadang-kadang memang menentukan” jawab prajurit itu, “tetapi yang lebih menentukan lagi adalah nilai perseorangan dari mereka yang saling berbenturan itu.”
Para cantrik dan mereka yang berada di padukuhan itu mengangguk-angguk.
“Aku yakin bahwa jumlah kita sudah memadai” berkata prajurit itu pula, “kita tidak saja merasa berdiri di pihak yang benar karena kita mempertahankan hak yang kita miliki dengan syah, tetapi juga karena kita masing-masing telah pernah mempelajari dan melatih diri bagaimana caranya kita bertempur “
Setiap laki-laki dan terutama anak-anak mudanya menjadi berbesar hati. Mereka merasa wajib untuk mempertahankan hak yang sudah mereka miliki dengan syah.
“Pergunakan untuk memanaskan badan” berkata para prajurit kepada anak-anak muda dan laki-laki di padukuhan yang berada di bawah pengaruh padepokan Empu Sanggadaru itu, “waktu kita banyak. Kita harus mencapai kesiagaan tertinggi pada saat purnama naik, saat orang-orang dari perguruan ilmu hitam itu mencari korbannya.”
Anak-anak muda dan laki-laki yang telah berkumpul dengan senjata masing-masing itupun mengangguk-angguk.
“Bukankah kalian pernah mendengar kabar tentang orang berilmu hitam itu?”
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk pula.
“Kita tidak mau menjadi korban yang mengerikan itu.Lebih baik kita mati di medan pertempuran daripada mati dengan kaki dan tangan terikat di alas batu menyerahkan korban dan ditikam di alah jantung dengan perlahan-lahan.”
Terasa tengkuk anak-anak muda dan laki-laki yang mendengar keterangan itu meremang. Seorang di antara mereka berdesis kepada kawannya, “Memang lebih baik mati ditikam pedang di pertempuran.”
Demikianlah anak-anak muda dan laki-laki di setiap padukuhan itupun mulai memanaskan diri. Purnama naik sudah berada di dapan hidung mereka. Lewat sehari, jika malam tiba, maka malam itu akan diterangi dengan bulan bulat. Saat yang paling mengerikan bagi mereka yang berada di sekitar orang-orang berilmu hitam itu.
“Kita masih mempunyai waktu malam ini dan satu hari besok” berkata prajurit yang mengatur pasukan kecil di setiap penjuru itu, “kita harus menyesuaikan diri, bagaimanakah cara kita menghadapi musuh yang menurut keterangannya akan datang dalam jumlah yang besar.”
Anak-anak muda dan laki-laki di setiap padukuhan itu pun kemudian berusaha untuk menyesuaikan diri dengan petunjuk para prajurit dan para cantrik, yang berada di antara mereka. Dengan singkat para prajurit memberikan beberapa petunjuk untuk melakukan perang dalam kelompok-kelompok yang lebih besar dari kelompok-kelompok mereka sendiri.
“Kita tidak boleh bertempur sekedar menuruti keinginan sendiri. Kita, kelompok ini harus tetap merupakan sebuah kelompok yang bulat, sehingga nasib kita akan kita tentukan bersama-sama” pesan prajurit itu.
Dengan sungguh-sungguh merekapun mengadakan latihan sekedarnya mengatur diri sesuai dengan kemampuan yang ada di antara mereka.
Ketika tengah malam telah lewat, maka prajurit-prajurit yang ada di antara mereka itupun mengakhiri petunjuk-petunjuk yang mereka berikan. Salah seorang dari prajurit-prajurit itupun kemudian mempersilahkan anak-anak muda dan laki-laki yang berada di antara mereka yang telah mempersiapkan diri itupun untuk beristirahat.
“Tidurlah, agar badan kalian tetap segar. Besok siang kita masih mempunyai waktu sehari. Kita akan mempergunakan sebaik-baiknya untuk menghadapi segala kemungkinan dan mencari tempat yang sebaik-baiknya untuk menunggu kedatangan lawan. Bahkan mungkin mereka akan datang di siang hari.
Setiap orang yang mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan itupun segera beristirahat, mengikuti petunjuk para prajurit yang ada di antara mereka. Namun kegelisahan di dalam hati, telah membuat mereka sama sekali tidak dapat tidur nyenyak. Ada satu dua di antara mereka yang mendengkur. Tetapi kemudian terbangun sambil tergagap oleh kejutan di dalam mimpinya sendiri.
Namun dalam pada itu, para prajurit dan para cantrik yang dikirim oleh Empu Sanggadaru, telah membagi diri untuk mengadakan pengawasan yang ketat terhadap padukuhan masing-masing dan arah isyarat dari padepokan. Jika serangan itu datang dengan tiba-tiba setiap saat, mereka harus bersiaga menghadapi kemungkinan-kemungkinan itu. Juga apabila serangan itu datang di pagi atau siang hari besok. Mereka tidak boleh menjadi bingung dan kehilangan pegangan.
Kegelisahan mereka rasa-rasanya ikut hanyut dalam kegelapan yang semakin tipis di pagi hari. Ketika matahari kemudian terbit, rasa-rasanya hati mereka yang sedang mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan itu menjadi lebih tenang, meskipun mereka sadar, bahwa mereka harus tetap berhati-hati, karena tidak mustahil bahwa tiba-tiba saja di siang hari lawan mereka datang seperti banjir bandang melanda padepokan mereka yang nampak sepi.
“Kita masih sempat berbuat sesuatu” berkata para prajurit, “kecuali bersiaga, kita juga masih sempat melatih diri barang sejenak.”
Laki-laki dan anak-anak muda di padukuhan itupun segera berkumpul ditengah-tengah padukuhan mereka. Sekali lagi para prajurit itupun memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana mereka harus menghadapi lawan yang kadang-kadang bertempur di luar dugaan.
“Jangan bingung menghadapi setiap kesulitan” para prajurit itupun memberikan petunjuk. Bahkan kemudian anak-anak muda dan laki-laki yang telah bersiap itu dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang dipimpin oleh seorang prajurit untuk berlatih lebih terperinci lagi bersama dengan para cantrik, yang membagi diri dalam kelompok-kelompok itu pula.
Sementara orang-orang itu berlatih, maka mereka tidak lupa meletakkan beberapa petugas yang mengawasi keadaan di sekitar padukuhan mereka. Jika mereka melihat sepasukan mendatangi padukuhan, mereka harus segera bertindak. Juga jika mereka mendengar bunyi isyarat dari padepokan. Kentongan, atau panah sendaren.
Selagi orang-orang dari padepokan Empu Sanggadaru yang jumlahnya tidak sebanyak orang-orang yang telah disiapkan oleh Empu Baladatu, maka pasukan yang sudah tersusun itupun masih belum berangkat menuju kesasaran. Meskipun Empu Baladatu dapat mengemukakan berbagai alasan, namun sebenarnyalah bahwa ia ingin menyembunyikan kenyataan, bahwa pasukannya tidak terdiri dari satu lingkungan, sehingga kedatangannya akan segera diketahui, bukannya sekedar dendam orang-orang dari padepokan Serigala Putih. Meskipun setiap kelompok dari gerombolan yang berbeda telah berusaha menyesuaikan diri, tetapi perbedaan itu masih akan mudah di lihat di dalam pertempuran di siang hari. Karena itu, maka Empu Baladatu telah memutuskan untuk menyerang padepokan kakaknya di malam hari.
“Yang akan terjadi adalah upacara korban yang terbesar yang pernah kita selenggarakan” berkata Empu Baladatu kepada orang-orangnya, terutama yang menyadap ilmu hitam sepera yang dilakukan oleh orang-orang dari gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang, “korban yang akan membasahi senjata kalian dan ubun-ubun kalian bukannya sekedar dari satu orang saja, tetapi dari berpuluh-puluh orang. Kalian dapat membasahi senjata kalian dengan darah dari dua tiga orang, dan membasahi ubun-ubun kalian dengan darah bermangkuk-mangkuk. Bukan hanya setitik,“
Pernyataan itu ternyata telah berhasil membakar hati orang-orang Serigala Putih dan Macan Kumbang, sementara orang-orang dari Mahibit hanya tersenyum saja mendengarkan. Tetapi saat itu mereka mendapat tugas untuk bekerja bersama dengan orang-orang dari padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang sehingga mereka sama sekali tidak mengganggu jalan pikiran orang-orang berilmu hitam itu.
“Kita akan melihat, apa yang akan mereka lakukan di peperangan” bisik salah seorang yang datang dari Mahibit, “upacara besar-besaran itu tentu akan sangat menarik perhatian.”
Kawannya hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi kawannya yang lain berdesis, “Itu kalau kau sempat.”
“Kenapa tidak sempat?”
“Kalah kau mati?”
Kawannya tertawa. Jawabnya, “Itu tidak perlu dicemaskan. Lawan kita terlalu lemah. Tetapi jika yang lemah itu sempat membunuhku, itu adalah kecelakaan yang pantas di sesali oleh kalian semuanya.”
Yang lain tidak menyahut lagi. Mereka seolah-olah tidak memperhatikan lagi apa yang akan terjadi. Bahkan mereka pun tidak memperdulikan diri mereka masing-masing pula, karena merekapun berusaha untuk dapat melupakan semuanya barang sejenak di dalam istirahat yang utuh sebelum mereka akan terjun di kancah peperangan.
Jika di hari itu, orang-orang di padepokan Empu Sanggadaru masih sibuk memperhatikan petunjuk-petunjuk yang lebih terperinci, dan sekali-kali berlatih mempergunakan senjata, maka orang-orang dari padepokan Macan Kumbang, Mahibit dan juga orang-orang Serigala Putih sendiri, berusaha untuk menenangkan hati dan beristirahat.
Dengan demikian, maka perhitungan orang-orang dari padepokan Empu Sanggadaru tentang kemungkinan kedatangan orang-orang berilmu hitam itu adalah tepat. Mereka akan mempergunakan saat purnama untuk menyampaikan korban terbesar dalam upacara mereka. Meskipun demikian, masih terbersit niat pada Empu Baladatu, bahwa ia akan dapat menundukkan padepokan kakaknya dan menangkap kakaknya hidup-hidup.
“Bukan tujuan mutlak” berkata Empu Baladatu kepada Linggadadi, “tetapi jika mungkin maka tenaganya akan berguna bagi kami.”
“Mungkin berguna, tetapi mungkin juga berbahaya,” jawab Linggadadi.
“Kita akan menaklukkannya dan memaksanya untuk berjanji- Jika ia menolak, kita akan membunuhnya dengan menyerahkannya sebagai korban yang paling berharga. Tetapi jika ia dapat menyadari kedudukannya, maka kita akan dapat memaafkannya.”
Linggadadi tersenyum. Senyumnya mengandung seribu arti yang tidak dapat dimengerti oleh Empu Baladatu. Namun Kiai Dulang yang ada di antara mereka dapat melihat, betapa ngerinya senyuman itu. Tanpa Linggapati, Linggadadi adalah seorang yang sangat buas. Tidak kalah buasnya dengan orang-orang yang disebut berilmu hitam seperti Kiai Dulang sendiri.
Seperti dirinya sendiri, maka Linggadadi pun tentu tidak akan mengambil jalan seperti yang dikehendaki oleh Empu Baladatu. Baginya kematian adalah hadiah yang paling baik diberikan kepada lawan-lawannya.
“Jika Empu Sanggadaru jatuh di tangan Linggadadi, maka ia akan menjadi lumat meskipun ia menyerah” berkata Kiai Dulang di dalam hatinya.
Disiang hari, orang-orang dari padepokan Serigala Putih, Macan Kumbang dan orang-orang Mahibit, berkesempatan untuk tidur barang sejenak. Ketika mereka terbangun lewat tengah hari, mereka merasa dirinya semakin segar. Satu-satu mereka pergi kepakiwan, seolah mereka sedang bersiap-siap untuk datang ke peralatan perkawinan. Berurutan mereka mandi dan kemudian membenahi diri, karena yang akan mereka lakukan bagi orang-orang berilmu hitam, bukannya sekedar sebuah peperangan yang dahsyat tetapi juga penyerahan korban terbesar sejak mereka menganut ilmu hitam yang mempergunakan upacara korban dengan membasahi diri masing-masing dengan darah. Ketika matahari turun ke ujung Barat, maka semuanya sudah bersiap. Mereka akan segera berangkat langsung menuju kepadepokan Empu Sanggadaru.
“Setelah kita mendekati padepokan itu, kita akan membagi diri” berkata Empu Baladatu, “kita akan memasuki padepokan dari dua arah yang bertentangan.”
Setelah mereka mendapat kesepakatan bahwa serangan yang pertama akan datang dari arah yang berbeda dengan serangan yang menyusul kemudian, setelah perhatian seisi padepokan dicengkam oleh pertahanan atas serangan yang pertama, maka serangan yang berikutnya akan menentukan jatuhnya padepokan itu.
“Kita akan datang bersama-sama dari arah yang sama” berkata Empu Baladatu kepada Linggadadi.
Linggadadi mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tersenyum sambil menjawab, “Baik Empu. Kita akan datang bersama-sama. Biarlah anak-anak yang memancing perhatian mereka dengan serangan yang pertama. Kita berdua datang kemudian dan langsung memasuki padepokan itu tanpa kesulitan.”
Langit yang suram berangsur menjadi gelap. Namun kemudian cahaya yang kekuning-kuningan telah memancar dari balik pepohonan di sebelah Timur. Bulan yang bulat perlahan-lahan naik menerangi langit.
Orang-orang berilmu hitam yang tengah berada dalam perjalanan itu merasakan sesuatu yang seakan-akan meresap sampai ketulang sungsum. Cahaya bulan bulat merupakan nafas tersendiri dalam kehidupan orang-orang berilmu hitam itu, sehingga rasa-rasanya mereka mempunyai kesegaran melampaui saat yang lain.
Dibawah cahaya bulan bulat itu, maka perjalanan mereka bagaikan menjadi semakin cepat. Jarak antara pdepokan Serigala Putih sampai kepadepokan Empu Sanggadaru cukup panjang. Tetapi mereka tidak dibatasi oleh waktu. Selagi bulan masih nampak di langit, mereka masih sempat melakukan upacara korban yang terbesar yang akan mereka lakukan di Padepokan Empu Sanggadaru itu.
Menjelang tengah malam, pasukan itu telah mendekati Padepokan Empu Sanggadaru. Untuk beberapa saat mereka berhenti. Mereka mulai mengatur jalan dan jarak yang akan mereka tempuh.
“Seandainya mereka mengetahui semua rencana kita, mereka tidak akan mampu berbuat apa-apa” berkata Empu Baladatu, “menurut perhitunganku, orang-orang yang ada di padepokan itu tidak akan melampaui jumlah seratus.”
“Seratus adalah jumlah yang cukup banyak” sahut Linggadadi., “Jika kita lengah, mungkin yang seratus itu akan mendapat kesempatan untuk menusuk punggung kita.”
“Kita akan berhati-hati” desis Empu Baladatu, “pembagian pasukan inipun adalah salah satu ujud dari sikap hati-hati itu.”
Linggadadi tertawa Katanya, “Kapan kita akan membagi diri?”
Empu Baladatu berpikir sejenak. Memang pasukan-pasukan itu harus segera membagi diri. “Kita dapat membagi pasukan ini sekarang” berkata Empu Baladatu kemudian, “sebagian kecil akan menempuh jalan lurus, sedang yang lain akan melingkar dan menyerang dan arah yang berlawanan.”
“Linggadadi tertawa pula. Katanya, “Empu benar-benar seorang yang berhati-hati. Meskipun Empu tahu bahwa lawan kita tidak akan lebih dari seratus, namun siasat itu masih juga dipergunakan.”
“Kita menghindari korban sejauh-jauh dapat kita lakukan. Kita akan membunuh lawan sebanyak-banyaknya dengan jika mungkin tanpa seorangpun dari kita yang menitikkan darah meskipun hanya dari ujung jarinya.”
“Terserahlah.” desis Linggadadi kemudian.
Empu Baladatu pun kemudian membagi pasukannya. Ia mengambil dari setiap kelompok duapuluh lima orang sehingga seluruhnya berjumlah tujuh puluh lima orang. Dibawah pimpinan seorang kepercayaannya, maka yang tujuh puluh lima orang itupun ditugaskannya mengambil jalan langsung, seolah-olah mereka adalah keseluruhan pasukan yang datang padepokan Serigala Putih. Sementara yang lain akan melingkar dan menerkam dari belakang. Setelah memberikan pesan-pesan terakhir, maka kedua pasukan itupun mulai berpisah.
Linggadadi yang berada bersama pasukan yang langsung dipimpin oleh Empu Baladatupun kemudian menempatkan diri di antara sisa pasukan yang lain. Mereka telah bersiap memotong arah agar mereka tidak terpaut terlalu banyak dari pasukan yang langsung menyerang padepokan itu. Perhitungan yang cermat telah dipertimbangkan bersama. Pasukan yang langsung menyerang itu harus menunggu untuk waktu yang telah dipertimbangkan masak-masak.
“Bayangkan, jarak jalan yang akan kita tempuh itu akan dua kali lipat dari jalan yang kalian lalui. Dengan demikian kalian akan dapat mempertimbangkan waktu sebaik-baiknya. Selebihnya, jika kalian akan mulai menyerang, lontarkanlah panah sendaren keudara sehingga kami dapat membuat perhitungan kapan kami akan memasuki padepokan itu dari arah lain.”
Pemimpin kelompok yang akan memancing perhatian seisi padepokan itu mengangguk-angguk. Namun ia menyadari bahwa soal waktu itu akan sangat penting baginya. Jika ia terlalu cepat menyerang, maka hal itu akan sangat berbahaya bagi pasukannya. Tetapi jika terlambat dan pasukan induk itu sudah diketahui oleh lawan, maka rencananya tentu tak akan berhasil sama sekali, karena lawan akan membagi kekuatannya sebaik-baiknya.
Setelah semua pertimbangan, perhitungan dan pesan-pesan tidak ada yang terlampaui, maka Empu Baladatupun mulai dengan rencananya dalam keseluruhan.
Linggadadi yang memimpin sepasukan anak buahnya dari Mahibit nampaknya sama sekali tidak mempunyai rencana tersendiri. Ia benar-benar menempatkan pasukannya di bawah pimpinan Empu Baladatu dan anak buahnya seperti yang pernah dijanjikan oleh Linggapati.
Kedua pasukan yang terpisah itupun kemudian mengambil jalannya masing-masing dengan perhitungan waktu seperti yang sudah mereka sepakati. Pasukan yang langsung menuju sasaran berjalan agak lebih lambat, sedang yang lain berjalan semakin lama semakin cepat.
Dalam pada itu, orang-orang dari padepokan Empu Sanggadarupun sama sekali tidak lengah. Mereka melakukan pengawasan dengan ketat. Meskipun ada di antara mereka yang menganggap bahwa Empu Baladatu telah mengurungkan niatnya untuk menyerang, apalagi setelah tengah malam.
“Kita hanya dipermainkannya” desis salah seorang dari mereka yang mengawasi keadaan.
Kawannya termangu-mangu Namun jawabnya, “Malam purnama masih belum habis.”
“Sampai tengah malam. Kemudian haripun akan berganti dan bulan mulai tergelincir turun.”
“Ya. Tetapi malam masih baru separo. Yang separo masih mungkin dipergunakan oleh Empu Baladatu.”
Kawannya tidak menjawab. Namun iapun melingkar semakin bulat di bawah kain panjangnya, karena malam menjadi bertambah dingin. Namun tiba-tiba pengawas itu terkejut. Dari kejauhan mereka melihat bayangan-bayangan yang bergerak-gerak di bawah sinarnya bulan yang cerah.
“Apa itu?” bertanya yang seorang.
“Kita bersembunyi.”
Keduanyapun kemudian bergeser dan bersembunyi di balik gerumbul. Dari sela-sela dedaunan mereka mengintip, siapakah yang lewat menuju kepadepokan induk. Ketika tujuh puluh lima orang itu lewat, kedua pengawas menentukan nilai atas lawannya yang jauh di bawah dugaannya. Setelah iring-iringan itu lewat, salah seorang berdesis” Hanya sedikit.”
“Itu bukan berarti kita akan membiarkannya.”
“Apakah kita, akan menarik tali goprak itu?”
“Lebih baik tidak. Kita memotong jalan lewat pematang. Kita akan memberitahukan kehadiran mereka dengan lesan, agar lawan kita tidak mengetahui bahwa kedatangan mereka telah kita tunggu.
Sejenak kawannya termangu-mangu. Agaknya ia sedang membuat pertimbangan. Namun yang lain mendesaknya, “Marilah. Jangan terlambat.”
“Apakah kita akan pergi keinduk padepokan atau kepadukuhan.” bertanya kawannya.
“Jangan bodoh. Kita, harus kepadukuhan. Pertimbangan selanjutnya terserahlah para pemimpin yang berkepentingan. Tugas kita hanya terbatas.”
Keduanyapun kemudian dengan tergesa-gesa kembali kepadukuhan untuk melaporkan apa yang telah mereka lihat. Mereka memintas lewat pematang yang jauh lebih dekat dari jalan yang ditempuh oleh orang-orang berilmu hitam dan orang-orang Mahibit.
Ketika kedua pengawas itu melaporkan penglihatanya, maka para prajurit dan cantrik yang ada di padukuhan itu menjadi heran.
“Apakah benar yang kau lihat hanya sebuah iring-iringan pendek?” bertanya salah seorang prajurit.
“Ya. Tidak sampai seratus orang.”
Para prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Keterangan yang kita dengar mengatakan bahwa jumlah mereka jauh lebih banyak dari yang kau lihat. Agaknya ada sesuatu yang perlu dipertimbangkan.”
“Jadi?”
“Dua di antara kita harus mencapai padepokan itu lebih dahulu.”
“Yang lain?”
“Yang lain akan menyerang iring-irngan itu.”
“Jumlah kita lebih sedikit.”
“Dari induk padepokan akan dikirim orang secukupnya untuk menahan iring-iringan itu.”
Sejenak beberapa orang cantrik termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Kalau itu yang terbaik. Aku sependapat.”
“Siapkan semua orang yang bersedia ikut bersama kita. Dengan demikian, maka dua di antara para prajurit dan cantrik itupun dengan cepat meninggalkan padukuhan dan langsung menuju kepadepokan Empu Sanggadaru melalui jalan melintas seperti yang dilakukan oleh kedua orang pengawas. Mereka tidak langsung memberikan isyarat bunyi atau tanda yang lain untuk menjebak lawan agar mereka tidak menyangka bahwa kedatangan mereka sudah diketahui.
Laporan itu mengejutkan Empu Sanggadaru dan para prajurit yang ada di padepokan. Bahkan Mahisa Bungalanpun berdesis” terlalu sedikit. Yang akan datang lebih dari dua ratus orang.”
“Mungkin keterangan itu keliru“
“Tidak mungkin. Kurang dari jumlah itu, mereka tidak akan berani datang, karena mereka mengetahui serba sedikit centang padepokan ini.”
“Kita harus bertindak cepat” berkata Empu Sanggadaru kemudian. Tetapi katanya selanjutnya, “Agaknya memang ada sesuatu yang perlu kita curigai”
Mahisa Bungalan mengangguk. Katanya, “Jatuhkan perintah. Apakah kita akan menyongsong yang sedikit, atau menunggu perkembangan keadaan.”
Empu Sanggadaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian, “Berapa orang yang ada di padukuhan itu?”
Prajurit yang dikirim dari padukuhan yang dilalui oleh tujuh puluh lima orang itu menjawab, “Tidak banyak. Yang dapat diperhitungkan tidak lebih dari ampat puluh lima orang.”
“Apakah masih ada yang lain?”
“Sudah terlalu tua untuk bertempur meskipun mereka menolak untuk disisihkan. Mereka dengan kehendak sendiri bersedia ikut melawan orang-orang dari gerombolan. Serigala Putih.”
Empu Sanggadaru menjadi ragu-ragu. Jumlah itu memang terlalu sedikit. Karena itu, maka katanya, “Aku akan mengirimkan bantuan. Biarlah sepuluh orang cantrik pergi bersamamu. Kalian harus menghambat perjalanan iring-iringan itu. Jika perlu kalian dapat bertempur sambil menarik diri mendekati padepokan ini sambil menunggu perkembangan keadaan. Jika tidak ada laporan menyusul, maka jumlah itu bukanlah jumlah yang banyak. Mereka akan kita kepung, dan kita paksa untuk menyerah.”
Tetapi ketika kedua prajurit itu siap kembali kepadukuhan sambil membawa sepuluh orang cantrik yang sudah dipersiapkan, maka datang dua orang dari padukuhan yang lain membawa laporan yang mengejutkan, “Sepasukan laskar akan mendekati padepokan ini dari arah belakang. Mereka telah melingkari padepokan ini meskipun sebenarnya mereka datang dari arah depan.”
“Berapa jumlah mereka?”
“Terlalu banyak. Lebih dari dua ratus orang.”
“He” Mahisa Bungalan termangu-mangu. Jumlah itu memang terlalu banyak ditambah jumlah yang hampir seratus itu“
“Cepat, siapkan semua orang yang ada. Hubungi setiap padukuhan. Yang datang dari depan, aku serahkan sepenuhnya kepada padukuhan yang dilaluinya. Sepuluh orang cantrik yang aku serahkan, aku cabut kembali karena keadaan menjadi gawat.”
Prajurit yang datang lebih dahulu itu termangu-mangu. Namun dalam pada itu, kedua anak muda yang berada di padepokan itupun berkata hampir bersamaan, “Aku ikut“
Empu Sanggadaru memandang Mahisa Bungalan sejenak. Lalu katanya, “Terserah kepada angger Mahisa Bungalan.”
Mahisa Bungalan memandang adik-adiknya dengan tegang. Agaknya yang mereka hadapi bukannya sekedar permainan, tetapi sebenarnya bahaya.
“Kami akan berhati-hati” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Bungalan kemudian mengangguk sambil menjawab, “Kalian harus menahan diri. Jangan berbuat seperti kanak-kanak. Kalian berhadapan dengan kekuatan yang tangguh.”
“Ya kakang.”
“Pergilah.”
Kedua anak-anak muda itupun kemudian mempersiapkan senjatanya akan mengikuti prajurit yang akan kembali kepasukannya.
“Mudah-mudahan pasukan itu sudah bergerak” berkata prajurit itu, “jika tidak, kita akan terlambat. Pasukan lawan itu tentu sudah sampai kepadepokan dan menyerang dari satu jurusan, sementara yang lain akan datang dari arah yang berlawanan.”
Ternyata seperti yang sudah mereka persiapkan lebih dahulu, bahwa pasukan yang berada di padukuhan itu telah mulai bergerak. Mereka mengikuti pasukan lawan dengan hati-hati sampai saatnya mereka bertemu dengan prajurit yang mereka tugaskan menghubungi padepokan induk.
“Kita akan menyerang mereka” berkata prajurit yang baru datang bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
“Marilah. Meskipun jumlah kita tidak sebanyak jumlah lawan, tetapi kita mendapat kesempatan mendahului. Mudah-mudahan kita tidak terjebak.”
Sejenak pasukan kecil itu masih mengikuti lawannya yang melingkar mencapai tempat yang sudah ditentukan. Jika menurut perhitungan mereka, pasukan yang melingkar itu sudah siap, maka pasukan kecil yang berjalan lurus itu baru akan menyerang untuk memancing perhatian, sementara induk pasukannya akan menggilas padepokan itu dari arah lain.
“Kita biarkan sampai mereka mendekati padepokan” berkata pemimpin prajurit yang ada di dalam pasukan kecil yang mengikuti lawannya itu, “kita akan menyergap langsung untuk mengurangi jumlah lawan pada benturan pertama. Berhati-hatilah.”
Lima orang prajurit dan sepuluh orang cantrik yang terlatih baik itupun mulai memencar di antara kira-kira limapuluh orang itu, termasuk Mahisa Pukat dan Mahisa Murti. Prajurit yang memimpin pasukan kecil itu sudah memberikan isyarat. Jika mereka mendengar teriakan aba-aba, mereka harus segera bertindak.
Untuk beberapa lamanya mereka masih mengikuti lawan pada jarak tertentu dengan sangat berhati-hati. Meskipun malam diterangi oleh cahaya bulan yang bulat, namun mereka berhasil mengikuti orang-orang Serigala Putih, Macan Kumbang dan orang-orang Mahibit itu tanpa diketahui, karena orang-orang itu sama sekali tidak menyangka, bahwa pasukan lawan tidak terkumpul seluruhnya di padepokan, tetapi menunggu mereka di padukuhan masing-masing.
Seperti yang sudah mereka bicarakan, maka ketika iring-iringan itu sudah mendekati padepokan, maka dengan tiba-tiba saja telah terdengar teriakan aba-aba yang memecahkan sepinya malam.
Orang-orang Serigala Putih, Macan Kumbang dan dari Mahibit itu terkejut bukan buatan. Mereka memang tidak menyangka bahwa mereka akan menghadapi serangan yang demikian tiba-tiba justru saat mereka akan memancing perhatian orang-orang yang menurut perhitungan mereka tentu berkumpul di padepokan untuk memusatkan kekuatan mereka.
Namun mereka tidak sempat membuat pertimbangan-pertimbangan, karena sejenak kemudian, maka merekapun telah dihujani dengan lembing yang dilontarkan dengan sekuat tenaga oleh lawan mereka yang berlari-larian menyerang.
Lontaran-lontaran lembing itu benar-benar telah membuat mereka kebingungan. Meskipun lembing-lembing itu adalah sekedar bambu cendani yang panjang dan berujung sekeping besi, namun ternyata bahwa lembing-lembing itu telah berhasil mengurangi jumlah lawan. Beberapa orang yang tidak sigap menghindari atau menangkisnya, telah tertusuk dadanya, bahkan ada yang terkena punggungnya, atau tersentuh pundaknya.
Pemimpin pasukan gabungan itu menggeram. Ia sadar, bahwa pada serangan pertama itu, ia sudah kehilangan beberapa anak buahnya. Meskipun mereka tidak langsung terbunuh, tetapi ada beberapa orang di antara mereka sudah kehilangan kemampuan untuk bertempur.
Kawan-kawannya tidak mempunyai kesempatan untuk menolong mereka, karena orang-orang yang telah menunggu dan mengikuti mereka itupun dengan cepatnya telah berlari menyerang dengan senjata teracung. Ternyata bahwa selain lembing yang, mereka lontarkan, mereka masih membawa pedang atau jenis senjata-senjata yang lain.
Sejenak kemudian kedua pasukan itupun telah berbenturan dalam satu pertempuran. Ternyata perhitungan para prajurit Singasari itu berhasil. Serangan yang tiba-tiba dengan lontaran lembing dan teriakan-teriakan nyaring itu telah mempengaruhi keseimbangan. Beberapa orang lawan telah dilumpuhkan, sedang yang lain menjadi kebingungan. Tetapi karena mereka adalah orang-orang yang berpengalaman, maka merekapun segera dapat mengatur diri dalam perlawanan yang mapan. Namun jumlah mereka yang telah berkurang itu, merupakan kenyataan yang pahit bagi mereka atas kelengahan mereka.
Pertempuran yang telah terjadi itupun menjadi semakin sengit. Orang-orang berilmu hitam itupun segera terdesak untuk mempergunakan segenap kemampuan yang ada pada mereka, sehingga karena itu, maka perlawanan merekapun menjadi semakin kasar. Dalam setiap kesempatan mereka selalu berusaha untuk membentuk lingkaran yang terdiri dari empat atau lima orang.
Tetapi lawan yang mereka hadapi, sudah pernah mendengar cara orang-orang berilmu hitam itu bertempur. Karena itu maka merekapun segera menyesuaikan dirinya untuk menghindar dari putaran yang akan dapat menjerat mereka dalam kesulitan.
Namun dalam pada itu, prajurit Singasari yang ada di dalam kelompok itupun segera melihat, bahwa ada di antara lawan mereka yang memiliki ilmu dari cabang perguruan yang lain. Mereka bukan orang-orang berilmu hitam. Lima orang prajurit dan sepuluh orang cantrik yang terlatih baik itupun segera memencar. Mereka seolah-olah telah memimpin kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari tiga atau empat orang di antara kawan-kawannya. Dengan sigapnya mereka bertempur tanpa mengenal gentar.
Diantara mereka, terdapat sepasang anak muda yang memiliki kelebihan dari setiap orang di dalam pasukannya. Dengan lincah keduanya berloncatan dengan senjata ditangan. Mereka bertempur bagaikan sepasang lebah yang berterbangan. Sekali-kali menukik dan menyengat lawannya berganti-ganti.
Perlawanan yang seru itupun tidak diduga sama sekali oleh pasukan gabungan yang terdiri dari orang-orang Serigala Putih, Macan Kumbang dan orang Mahibit. Karena itu maka meskipun jumlah mereka lebih banyak, tetapi mereka segera merasa berada dalam kesulitan. Apalagi jumlah yang lebih banyak itu telah dikurangi pada benturan yang pertama. Beberapa orang di antara mereka yang terluka berusaha untuk merangkak menepi, agar tubuh mereka tidak lumat terinjak-injak oleh orang-orang yang sedang bertempur itu.
Satu dua di antara mereka yang terluka, masih berusaha untuk berbuat sesuatu. Tetapi darah yang mengalir terlalu banyak dari tubuh mereka, telah membuat mereka tidak berdaya. Meskipun demikian pasukan gabungan itu tidak menjadi cemas. Mereka menyangka bahwa mereka sedang berhadapan dengan pasukan induk dari padepokan Empu Sanggadaru.
Jika demikian, maka pasukan yang melingkari padepokan itupun akan segera datang dan menghancurkan mereka sama sekali. Namun demikian masih timbul pertanyaan di dalam hati para pemimpin dari pasukan gabungan itu. Mereka tidak melihat Empu Sanggadaru di antara lawan-lawanrya.
“Mungkin orang itu berada di padepokan” berkata pemimpin pasukan gabungan itu di dalam hatinya, “jika demikian maka ia akan segera jatuh ketangan Empu Baladatu atau Linggadadi. Jika ia berhadapan dengan Empu Baladatu dan mau menyerahkan diri, nasibnya masih akan dapat dipertimbangkan. Tetapi jika ia jatuh ketangan Linggadadi, maka nasibnya benar-benar menyedihkan. Ia akan mati dalam kekecewaan dan penderitaan.”
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa pasukan gabungan itu banyak mengalami kesulitan melawan para prajurit Singasari, para cantrik yang terlatih baik dan orang-orang yang dengan sepenuh tekad bertempur mempertahankan haknya. Kejutan yang pertama, benar-benar telah berpengaruh untuk selanjutnya.
Apalagi dengan kehadiran dua orang anak muda yang bertempur menyambar-nyambar dengan sigapnya. Senjata mereka setiap kali mematuk dengan cepat, dan meninggalkan segores luka pada lawannya, sebelum ia meloncat menjauh dan seolah-olah hilang dalam hiruk pikuk pertempuran yang dahsyat itu.
Sementara itu, induk pasukan gabungan dari orang-orang padepokan Serigala Putih, Macan Kumbang dan orang-orang Mahibit itu dengan perlahan-lahan mendekati padepokan dari arah yang lain. Mereka akan menyerang dari arah belakang, langsung menikam jantung. Mereka menganggap bahwa orang-orang di padepokan itu sedang sibuk menghadapi serangan dari pecahan pasukan yang memang sudah dikirim untuk mendahului memancing perhatian.
Kehadiran induk pasukan gabungan itu ternyata memang sudah ditunggu. Pasukan yang berada di beberapa padukuhan diluar padepokan itu pun sudah dihubungi dengan mengirimkan petugas yang langsung menyampaikan semua rencana yang telah tersusun, meskipun dengan tergesa-gesa. Isyarat-isyarat yang sudah disiapkan sama sekali tidak dipergunakan, apalagi isyarat bunyi.
Dengan hati-hati pasukan yang berada di padukuhan-padukuhan yang terpisah itu mulai mendekat. Mereka sudah mendapat petunjuk arah yang kira-kira akan dilalui oleh pasukan lawan yang jumlahnya agak mengejutkan. Lebih dari dua ratus orang. Sementara itu, jumlah yang dapat dikumpulkan dari orang-orang padepokan Empu Sanggadaru itu tidak cukup banyak untuk mengimbangi jumlah lawan. Tetapi mereka mempunyai kelebihan lain. Mereka memiliki tekad yang rasa-rasanya membakar isi dada mereka.
Karena itulah maka dengan tabah mereka telah bersiap menanti apa saja yang akan terjadi. Jangankan jumlah itu hanya sekitar dua ratus orang, seandainya lipat dua sekalipun, mereka tidak akan menjadi gentar.
Dengan demikian, maka pasukan Empu Sanggadaru di induk padepokanpun tidak terkumpul menjadi satu di dalam dinding padepokan. Sebagian mereka tetap berada di luar meskipun mereka sudah saling mendekat dan siap untuk bertempur bersama-sama. Mereka tahu benar, sesuai dengan petunjuk yang mereka terima, bahwa pasukan induk lawan akan menyerang dari belakang.
Empu Sanggadaru telah membagi pasukan kecil yang ada di padepokan. Sekelompok kecil masih harus mengawasi arah depan. Jika orang-orang yang menghentikan pasukan lawan yang memancing perhatian mereka itu gagal, dan pasukan lawan itu berhasil menyerang padepokan induk, kelompok kecil itu harus mencegahnya. Meskipun kelompok itu hanyalah kelompok yang kecil sekali, namun mereka percaya bahwa pasukan yang ada di padukuhan sebelah, pasti akan dapat ikut menentukan.
Sementara itu, pasukan yang lebih besar telah siap menghadapi lawan yang datang dari arah belakang- Dipimpin langsung oleh Empu Sanggadaru, Senapati prajurit Singasari maka para prajurit yang bertugas di padepokan itu sebagai cantrik dan cantrik yang ada di padukuhan itu dan seorang anak muda yang bernama Mahisa Bungalan.
“Kita akan menjumpai lawan yang kuat” berkata Empu Sanggadaru, “yang sebenarnya sampai saat terakhir aku masih belum percaya bahwa adikku sendiri telah melakukan hal yang sama sekali tidak aku duga. Bagaimanapun juga berita tentang Baladatu, tetapi aku masih menganggap ia sebagai adikku yang baik. Tetapi kini aku tidak akan dapat ingkar pada kenyataan. Adikku benar-benar telah datang, tidak dengan jodang pisungsung dari saudara muda kepada saudara tua, tetapi dengan membawa ujung-ujung senjata yang dapat menyebarkan maut.”
Mahisa Bungalan melihat, betapa pahitnya perasaan Empu Sanggadaru menghadapi kenyataan itu. Adiknya sendiri telah memusuhinya tanpa sebab. Sampai saat Empu Baladatu berdiri dengan senjata di lambung, ia masih tidak mengerti, apakah salahnya sehingga adiknya telah menyerangnya.
“Aku tidak tahu, apakah aku sudah melakukan kesalahan terhadap adikku itu.” katanya, “jika demikian, maka kenapa ia tidak datang langsung mengatakannya kepadaku Jika benar aku bersalah, aku tentu tidak akan segan dan malu untuk minta maaf kepadanya, meskipun aku saudara tuanya. Tetapi tiba-tiba saja ia datang dengan pasukannya.”
Senapati prajurit Singasari yang mendengar Empu Sanggadaru mengeluh mengatakan, “Soalnya bukannya salah atau tidak bersalah Empu. Apa yang terjadi sudah diperhitungkan oleh para pemimpin Singasari. Terbukti dengan perintah atas kami untuk tinggal di padepokan ini. Masalahnya sebenarnya telah Empu ketahui. Perluasan pengaruh dari perguruan dan ilmu Empu Baladatu, atau ada maksud-maksud lain. Tetapi bahwa Empu Baladatu telah menguasai padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang, adalah pertanda keinginannya untuk menguasai kekuatan yang lebih besar lagi.”
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Namun masih saja terasa kebimbangan di hatinya, bahwa semuanya itu benar-benar telah terjadi. “Aku masih ingin menjumpainya untuk mendengarkan penjelasannya.” berkata Empu Sanggadaru.
“Yang berhadapan adalah dua kekutaan” jawab Senapati itu, “bukan waktunya lagi untuk berbincang-bincang.
“Tetapi aku akan mencobanya.”
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Menurut perhitungan keprajuritannya, dalam keadaan seperti itu tidak ada lagi waktu untuk berbicara. Yang langsung akan berbincang adalah senjata-senjata yang sudah berada di dalam genggaman.
Tetapi Senapati itu tidak ingin berbantah. Apalagi padepokan itu adalah padepokan Empu Sanggadaru. Kedudukannya di padepokan itu, meskipun ia masih tetap seorang Senapati, adalah cantrik seperti cantrik-cantrik yang lain. Namun dalam keadaan khusus seperti yang dihadapinya, maka ia telah kembali kedalam kedudukannya, prajurit Singasari yang akan berhadapan langsung dengan orang-orang yang dianggap menentang kekuasaan yang ada.
Dalam pada itu, induk pasukan Empu Baladatu yang mendekati padepokan menjadi termangu-mangu. Mereka tidak melihat atau mendengar pertempuran di padepokan itu. Namun semakin mereka mendekat, maka mereka mulai mendengar suara riuh di kejauhan. Tidak di regol di padepokan itu.
“Dimanakah mereka bertempur?” bertanya Empu Baladatu.
“Kami belum membuat hubungan. Tetapi agaknya tidak di padepokan itu”
Empu Baladatu menjadi ragu-ragu. Lalu perintahnya, “Cepat. Kedudukan kami meragukan. Carilah hubungan dengan pasukan yang telah mendahului kami. Atau setidak-tidaknya usahakan agar kita mengetahui kedudukan mereka”
Dua orang di antara mereka segera menyelinap kedalam kegelapan, hilang dalam bayangan daun-daun perdu. Dengan hati-hati mereka menyusup memotong arah, langsung ke tempat pertempuran. Dalam cahaya bulan yang bulat, kedua orang itu akhirnya menemukan arena perkelahian yang sengit. Pertempuran itu meluas di atas arena yang tersekat-sekat oleh pepohonan, karena mereka bertempur di pategalan yang kering.
“Kenapa benturan itu terjadi di sini?” pertanyaan itu telah mengganggu kedua orang yang mencari keterangan tentang pasukan yang terdahulu itu.
Sementara itu pertempuran itupun masih berkobar dengan sengitnya. Meskipun pada benturan pertama, pasukan gabungan dari ketiga padepokan yang menyerang itu telah kehilangan orang-orangnya, namun jumlah mereka masih lebih banyak. Tetapi lawan mereka adalah sekelompok orang-orang yang berjuang dengan segenap hati dan tekad. Apalagi di antara mereka terdapat beberapa orang prajurit Singasari, beberapa orang cantrik yang terlatih dan dua orang anak muda yang mampu bergerak secepat burung sikatan menyambar bilalang
“Gila” tiba-tiba saja salah seorang dari dua orang pengawas yang dikirim oleh Empu Baladatu itu menggeram, “ternyata pasukan Empu Sanggadaru itu telah mencegat mereka di sini.”
“Tetapi ini adalah suatu hal yang aneh” sahut kawannya, “apakah dengan demikian berarti bahwa padepokan mereka telah kosong?”
“Meskipun tidak kosong, tetapi jumlah pasukan yang tinggal tentu sama sekali tidak berarti. Kita akan dapat memasuki padepokan itu tanpa perlawanan.”
“Tetapi apakah kau yakin bahwa yang ada di sini adalah seluruh kekuatan Empu Sanggadaru?”
“Aku kira demikian. Empu Sanggadaru tidak akan mengetahui bahwa kita telah memecah pasukan kita menjadi dua bagian. Justru bagian ini adalah bagian yang kecil.”
Kawannya terdiam. Sejenak ia mengamati pertempuran yang sengit itu. Lalu katanya, “Marilah, kita akan melaporkannya.”
“Kita singgah di padepokan itu. Kita akan melihat, apakah masih ada pasukan segelar sepapan.”
Kedua orang itupun kemudian meninggalkan arena. Mereka diam-diam mendekati padepokan yang nampak sepi. Dengan hati-hati mereka merapat dinding padepokan agak jauh dari regol, karena mereka yakin bahwa di regol itu tentu terdapat beberapa orang, yang berjaga-jaga. Apalagi di hadapan padepokan itu sedang terjadi pertempuran yang riuh.
“Aku akan menengok ke dalam” desis yang seorang.
“Berhati-hatilah. Jika kita tertangkap di sini, maka Empu Baladatu akan kehilangan keterangan yang kita bawa. Atau harus mengirimkan orang lain lagi.“
Kawannya tidak menjawab. Tetapi dengan sangat berhati-hati ia pun telah memanjat naik keatas dinding batu padepokan itu. Ketika ia menjengukkan kepalanya, tampaklah bahwa padepokan itu sepi. Ia melihat obor di regol yang dijaga oleh beberapa orang bersenjata. Tetapi nampaknya terlalu sedikit bagi sebuah persiapan perang. Sedangkan di bagian lain dari padepokan itu nampaknya lengang dan tidak terdapat kesibukan sama sekali.
Setelah mengamati keadaan beberapa lama, maka orang yang sedang memanjat itupun segera turun. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Keadaan ini memang sulit dipahami. Jika benar yang bertempur itu adalah orang-orang dari padepokan ini, itu berarti bahwa semua kekuatan sudah dikerahkan, karena nampaknya padepokan ini kosong. Hanya beberapa orang yang nampak berada di regol dengan senjata telanjang. Tetapi di bagian lain sama sekali tidak nampak kesibukan apapun juga.”
“Jika demikian, maka segenap kekuatan benar-benar telah dikerahkan untuk melawan pasukan yang terdahulu itu. Justru bagian yang lebih kecil.”
“Marilah, kita akan melaporkannya. Mungkin kita memang sudah berhasil memancing segenap kekuatan Empu Sanggadaru. Agaknya Empu Sanggadaru sama sekali tidak menyadari apa yang akan terjadi, sehingga ia tidak sempat mengumpulkan seluruh kekuatan yang ada.”
“Memang keadaan ini agak meragukan. Tetapi bagaimanapun juga, kita akan berhasil memasuki padepokan ini.”
Kedua orang itupun kemudian meninggalkan dinding batu itu dan kembali kepada Empu Baladatu. Tetapi adalah suata kekeliruan bahwa mereka memanjat dinding halaman di bagian depan, sehingga mereka sama sekali tidak melihat persiapan para cantrik dan para prajurit Singasari di bagian belakang dari padepokan itu, karena mereka sudah mengetahui bahwa serangan lawan akan datang dari arah itu.
Laporan kedua pengawasnya itu didengar oleh Empu Baladatu dengan ragu-ragu. Iapun kemudian mengalami kesulitan untuk membayangkan keseluruhan dari keadaan yang di hadapinya. Namun kemudian Empu Baladatu mengambil kesimpulan, bahwa Empu Sanggadaru tidak mengetahui sama sekali bahwa akan datang serangan yang besar pada padepokannya. Tentu karena kebetulan mereka melihat pasukan kecil itu datang mendekati padepokannya dan mengerahkan perlawanan yang mungkin dilakukan.
“Kita akan memasuki padepokan itu” berkati Empu Baladatu, “sebagian dari kita akan segera menolong kawan-kawan kita yang sedang bertempur. Kita akan melakukan korban terbesar dalam sejarah upacara kepercayaan untuk menyadap ilmu yang maha besar ini, sehingga kita akan segera memiliki kesempurnaan“
Empu Baladatu segera memerintahkan pasukannya untuk maju dengan cepat mendekati padepokan. Sementara Linggadadi dengan berdebar-debar berbisik kepada kawannya, “Kita akan melihat upacara yang mengerikan. Mudah-mudahan kita tidak akan ikut menjadi korban pula.”
Kawannya tersenyum. Jawabnya, “Tentu tidak. Mereka masih memerlukan kita. Dan mereka pun tidak akan mengambil korban yang dapat membahayakan diri sendiri.”
Linggadadi tertawa. Ia sependapat dengan kawannya. Jika Empu Baladatu menjadi wuru dan ingin mengambil korban yang lebih besar lagi dengan mengumpankan orang-orang Mahibit, itu akan berarti kemusnahannya sendiri.
Sementara itu pasukan yang besar itu dengan cepat maju mendekati padepokan Empu Sanggadaru. Sejenak Empu Baladatu menengadahkan wajahnya. Dilihatnya bulan bulat di langit. Tetapi bulan itu sudah semakin bergeser ke Barat, Sebentar lagi bulan itu akan mulai turun semakin rendah.
“Masih ada waktu” berkata Empu Baladatu, “kita masih akan dapat membasahi senjata kita dengan darah korban dan menitikkannya pada tubuh kita di dalam terangnya bulan purnama.”
Sementara itu, para pengawas dari padepokan Empu Sanggadaru sudah mulai melihat iring-iringan yang besar mendekati padepokan. Dengan dada yang berdebar-debar salah seorang dari mereka berkata, “Apakah sudah datang saatnya, padepokan ini akan lenyap?”
“Hatimu ternyata sekecil menir. Kita akan bertempur sampai orang yang terakhir. Tetapi kita masih dapat mengharap bahwa sebelum kita sampai orang yang terakhir, lawan sudah dapat kita hancurkan.”
“Jumlahnya terlalu banyak. Sebentar lagi, yang datang dari arah lainpun akan segera menusuk padepokan ini pula, karena pertahanan kita sebentar lagi akan pecah.”
“Jangan berputus-asa. Kita akan menyampaikan laporan kepada Empu Sanggadaru dengan isyarat yang sudah di tentukan..”
Sejenak kemudian terdengarlah gonggong seekor anjing hutan dari dalam gerumbul-gerumbul perdu di luar padepokan. Suaranya meninggi bagaikan menyelusuri awan putih yang terbang di langit yang biru.
Empu Sanggadaru dan mereka yang berada di padepokanpun menyadari, bahwa lawan telah mendekati padepokan. Gonggong anjing itu adalah isyarat yang telah ditentukan bagi para pengawas untuk memberitahukan, bahwa sebentar lagi akan segera terjadi benturan kekerasan yang mengerikan.
“Tidak ada yang dapat membedakan” berkata kawan pengawas yang menirukan gonggong, anjing itu, “tepat seperti anjing hutan.”
“Sekarang kau” sahut kawannya.
Yang lain menggeleng. ”Tidak. Jika suaraku tidak sebaik suaramu, maka akan segera diketahui, bahwa kami sudah menunggu kehadiran lawan itu.”
Kawannya tidak menyahut. Tetapi merekapun kemudian mendengar gonggong anjing yang sama di kejauhan. Agaknya penghubung yang bertugas di luar padepokanpun telah menyampaikan isyarat yang sama kepada para prajurit dan cantrik yang berada di luar padepokan bersama pasukan masing-masing yang di susun dari padukuhan-padukuhan yang berada di bawah pengaruh padepokan Empu Sanggadaru.
Tetapi jumlah mereka pun tidak cukup untuk mengimbangi jumlah pasukan yang datang menyerang. Namun seperti yang telah bertempur lebih dahulu, merekapun dibekali dengan tekad yang membaja di dalam hati.
Para prajurit yang ada di padepokan pun segera mengatur diri. Mereka memencar bersama para cantrik yang sudah mendapat tempaan lahir dan batin. Yang selalu ikut serta dalam latihan-latihan yang berat bersama para prajurii Singasari di dalam padepokan itu.
Mahisa Bungalan yang ada di padepokan itu pula menjadi berdebar-debar. Agaknya akan terjadi pertempuran yang sangat sengit antara dua orang saudara sekandung bersama pengikut masing-masing. “Dengki dan iri hati agaknya telah mulai berbicara lewat ujung senjata” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.
Sejenak kemudian, di dalam cahaya bulan yang kekuning-kuningan, para prajurit dan para cantrik yang ada di padepokan itu telah melihat, bayangan yang samar-samar di kejauhan mendekati dinding padepokan. Karena itu, maka merekapun segera menempatkan diri. Seseorang telah mendapat perintah untuk menghubungi para penjaga regol, agar regol ditutup rapat-rapat. Meskipun agaknya lawan akan mengambil jalan lain, tetapi mungkin sekali sebagian dari mereka akan tetap berusaha melalui regol padepokan itu.
Beberapa orang di antara mereka yang berada di padepokan itupun segera bersiap di atas dinding dengan busur di tangan. Meskipun mereka masih berusaha untuk menyamarkan diri di belakang dinding itu, namun mereka sudah siap dengan anak panah untuk di lontarkan.
Sementara itu Empu Baladatu telah menjadi semakin dekat. Bahkan kemudian katanya kepada Linggadadi yang tidak jauh di sisinya, “Agaknya pasukan yang terdahulu memancing para cantrik untuk bertempur di luar padepokan. Jika benar demikian, maka itu adalah suatu keberhasilan yang menguntungkan meskipun pasukan itu mengalami tekanan yang sangat berat.”
“Kita akan segera mengirimkan bantuan kepada mereka” sahut Linggadadi, “kita akan menghancurkan semuanya sampai orang terakhir. Termasuk perempuan dan kanak-kanaknya yang ada di padukuhan itu.”
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Katanya di dalam hati, “Ternyata orang-orang Mahibit ini juga tidak kurang dari iblis yang bertubuh manusia. Jika benar seperti yang dikatakan merekapun termasuk orang-orang yang paling buas di tlatah Singasari ini.”
Demikianlah maka pasukan itu pun merayap semakin dekat. Beberapa puluh langkah mereka berhenti. Sejenak para pemimpinnya mengadakan pembicaraan. Baru kemudian mereka mengambil keputusan, “Kita akan memasuki padepokan ini dari arah belakang. Tetapi karena nampaknya padepokan ini sepi dan tidak ada pertempuran di bagian depan, maka sebagian dari kita akan memasukinya lewat regol. Agaknya pasukan di padepokan ini telah terpancing keluar dan bertempur di luar.”
Dengan demikian, maka sekelompok kecil dari pasukan itu telah diperintahkan untuk melingkari padepokan dan masuk lewat regol depan, sedang yang lain akan tetap seperti yang direncanakan, memasuki padepokan itu dari arah belakang.
“Sebenarnya tidak perlu” berkata Linggadadi, “jika mereka bertempur di depan, kita menusuk dari belakang. Tetapi kini mereka bertempur di luar. Kita masuk lewat manapun juga. Tetapi sebagai suatu langkah yang hati-hati, kita akan melakukan sesuai dengan keputusan kita. Kita akan memanjat dinding dan meloncat kedalam.”
Empu Baladatu tidak menjawab. Tetapi iapun memerintahkan pasukannya untuk maju semakin dekat. Gonggong anjing di kejauhan masih terdengar. Semakin panjang dan tinggi. Seolah-olah mereka telah mulai mencium bau darah yang akan tertumpah. Namun bagi orang-orang di dalam padepokan, gonggong anjing itu merupakan pertanda bahwa saat yang paling gawat sudah menjadi semakin dekat.
Tetapi gonggong anjing itu juga merupakan perintah bagi pasukan yang berasal dari padukuhan di luar padepokan yang dipimpin oleh para prajurit dan cantrik yang terlatih. Mejeka merayap semakin dekat pula di belakang pasukan lawan yang sudah berada di depan dinding padepokan.
Seorang pengawas yang berada di balik regol sempat mengintip lewat lubang yang terdapat pada daun pintu regol. Sejenak ia menjadi tegang ketika ia melihat beberapa orang berjalan mendekat. Cahaya bulan yang kekuning-kuningan telah terpantul dari ujung senjata mereka yang berkilat-kilat.
“Beberapa orang mendekati regol” desisnya.
Yang lainpun menjadi tegang pula. Namun sejenak kemudian merekapun segera bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
“Kita tidak akan dapat minta bantuan kepada siapapun” desis pemimpin kelompok yang menjaga regol itu, “kita semua akan sibuk dengan tugas kita masing-masing. Suara anjing itu terdengar semakin nyaring.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak sempat berbicara lagi, karena mereka mulai mendengar suara bergeremang di luar regol. Para penjaga regol itupun mulai mempersiapkan diri. Mereka membiarkan lubang pada daun pintu tidak tertutup sehingga yang berada di luar dapat mengintip kedalam. Tetapi para penjaga itu berdiri merapat dinding, sehingga mereka sama sekali tidak nampak dari luar jika di antara lawan mereka mengintip kedalam lewat lubang yang terbuka itu.
Sejenak suasana dicengkam oleh kesepian. Para penjaga regol itu telah menahan nafas, agar orang-orang yang di luar tidak mengetahui bahwa di sebelah menyebelah regol itu terdapat beberapa orang penjaga.
“Sepi sekali” tiba-tiba terdengar suara di luar regol.
“Ya. Tidak nampak seorangpun.” sahut yang lain.
“Tetapi regol ini ditutup rapat-rapat. Jika para cantrik itu terpancing keluar dalam pertempuran, mereka tidak akan sempat menutup regol.”
“Tentu tidak oleh mereka yang pergi kepertempuran yang ramai itu. Tentu ada sekelompok penjaga yang tinggal di dalam. Pintu regol ini diselarak dari dalam.”
Para penjaga yang mendengar percakapan itu menjadi berdebar-debar. Agaknya lawan merekapun mengetahui bahwa tidak mungkin regol itu dibiarkan tanpa penjaga sama sekali.
“Suatu kesalahan” berkata pemimpin kelompok yang menjaga regol itu, “seharusnya dibiarkan ada dua orang yang nampak dari luar, sehingga mereka akan menyangka bahwa memang hanya ada dua orang itu saja. Tetapi sudah terlanjur sehingga tidak mungkin lagi akan diulang.”
Sementara itu, orang yang berada di luar itupun masih saja ragu-ragu. Namun kemudian pemimpinnya justru mengetuk pintu regol itu sambil berkata, “Siapa yang ada di dalam he?“
Tidak ada jawaban.
“Bukalah sebelum pintu ini aku pecahkan. Dengarlah. Suara pertempuran itu sudah mereda. Kawan-kawanmu yang terpancing keluar telah kami hancurkan. Karena itu, buka pintu dan menyerahlah. Kami tidak akan berbuat apa-apa.”
Masih tidak ada jawaban.
Agaknya orang-orang yang berada di luar regol itu menjadi tidak sabar lagi. Merekapun kemudian mulai membentak, “Buka regol ini he?“
Tidak seorangpun dari para penjaga itu yang bergerak dan menjawab. Beberapa kali terdengar pintu diketuk keras-keras. Sementara itu, di bagian belakang padepokan itupun telah mulai terdengar teriakan-teriakan nyaring. Agaknya orang-orang yang berada di luar dinding telah menjadi semakin dekat, dan dengan sengaja membuat kejutan yang menghentak. Sebagian dari mereka telah bersiap untuk meloncati dinding batu yang mengelilingi padepokan itu.
Dalam pada itu, para prajurit Singasari yang berada di padepokan itu sebagai cantrik, bersama para cantrik yang sebenarnya, telah siap menyambut lawan yang jumlahnya jauh lebih banyak. Beberapa orang dengan serta merta telah meloncat keatas dinding dengan busur dan anak panah yang siap dilepaskan.
Kehadiran beberapa orang di atas dinding padepokan itu benar-benar tidak diduga oleh pasukan Empu Baladatu. Sebelum mereka menyadari apa yang mereka hadapi, maka berhamburanlah anak panah yang terlepas dari busurnya menghujani mereka yang sudah berkumpul dihadapan dinding itu.
Seperti yang telah terjadi pada pecahan pasukannya, maka pasukan induk Empu Baladatu inipun.mengalami kejutan yang membingungkan. Tiba-tiba saja mereka di hadapkan pada keadaan yang tidak mereka duga sebelumnya.
Linggadadi yang datang dari Mahibit itupun terkejut pula menghadapi serangan yang tiba-tiba itu. Karena itu, dengan serta merta terdengar aba-abanya terutama ditujukan kepada pasukannya, “Mundur. Jagalah jarak jangkau anak panah itu. Kemudian bersiaplah. Kita bakar padepokan ini sampai lumat.”
Ternyata yang bergerak mundur dengan cepat bukan hanya orang-orang Mahibit. Tetapi para pengikut Empu Baladatu pun kemudian bergerak dengan cepat surut sehingga melampaui jarak jangkau anak panah.
“Sekarang kita bersiap menghadapi keadaan ini” terdengar suara Linggadadi.
“Siapkan perisai di bagian depan. Yang tidak berperisai bersiaplah menghadapi anak-panah itu dengan senjata masing-masing. Ternyata kita menghadapi lawan yang licik seperti demit.”
Empu Baladatu pun menggeram. Namun katanya, “Mereka tidak terlalu banyak. Lihat, bukankah kita dapat menghitung jumlah orang-orang yang berada di atas dinding itu? Didalam cahaya bulan, kita dapat membuat mereka menjadi sasaran. Siapkan lembing kalian. Lontarkan yang tepat akan melemparkan mereka dengan luka di dada. Atau setidak-tidaknya membuat mereka harus berhati-hati dan tidak dapat membidikkan anak panahnya dengan sekehendak hati.”
Beberapa orang yang membawa tombakpun segera bersiap. Ketika terdengar teriakan nyaring, maka merekapun berlari sekuat tenaga tanpa menghiraukan anak panah yang akan dapat menembus kulit mereka. Dengan teriakan nyaring merekapun kemudian melontarkan lembing mereka sekuat-kuatnya mengarah kepada orang-orang yang berada di atas dinding padepokan.
Ternyata usaha mereka berhasil. Dibelakang mereka menyusul orang-orang yang membawa perisai. Sehingga dengan demikian maka sebagian dari merekapun berhasil mendekati dinding padepokan itu.
Lontaran-lontaran lembing itu telah mendesak beberapa orang yang berada di atas dinding untuk berlindung. Sehingga dengan demikian maka sebagian dari pasukan yang berada di luar itu sempat mendekat. Meskipun dengan demikian telah jatuh beberapa orang korban, karena mereka yang berlari-lari untuk melontarkan lembing itu telah jatuh dengan anak panah menancap didada mereka.
Orang-orang yang berada di dalam padepokan itu menjadi ragu-ragu untuk menampakkan dirinya dengan serta merta, karena lawan mereka akan dapat melontarkan lembing lebih banyak lagi. Karena itu, maka merekapun mulai menjadi hati-hati, sehingga hanya pada saat-saat yang memungkinkan saja mereka muncul, melepaskan beberapa anak panah dan kembali menghilang.
“Kita sudah mendapat kesempatan” teriak Empu Baladatu, “kita harus cepat menguasai keadaan.”
Sekali lagi terdengar teriakan-teriakan nyaring ketika pasukan di luar dinding itu sudah bersiap untuk meloncat naik. Namun dalam pada itu, mereka telah dikejutkan oleh beberapa anak panah sendaren yang dilepaskan dari dalam padepokan. Suaranya meraung-raung di langit, seperti teriakan seorang Senapati yang memberikan aba-aba kepada pasukannya.
Sebenarnyalah panah sendaren itu merupakan aba-aba bagi pasukan yang ada di luar padepokan. Pada saat orang-orang di luar padepokan itu termangu-mangu, maka para prajurit dan para cantrik yang memimpin pasukan dari padukuhan di sekitar padepokan itupun mulai menggerakkan pasukannya mendekat dengan senjata siap di tangan.
“Jangan hiraukan” teriak Empu Baladatu, “kita meloncat naik.”
Tetapi mereka belum sempat melakukannya. Ketika beberapa orang mulai berloncatan naik, maka dari dalam keremangan malam telah muncul bayangan tiga buah pasukan yang datang dari tiga arah...
“Dua orang tamu akan datang di padepokan ini,” berkata Empu Baladatu, “tepat pada saat bulan mulai nampak di langit pada sore hari. Itulah sebabnya kalian harus mempersiapkan diri. Jika kedua orang tamu itu datang, maka kalian harus menghormatinya sebagai tamu di padepokan ini. Hanya apabila terjadi sesuatu di luar sikap dan unggah ungguh seorang tamu, barulah kalian sangat kami perlukan. Karena aku masih meragukan apakah yang datang itu benar-benar hanya dua orang.”
Penjelasan Empu Baladatu itu cukup jelas bagi setiap pemimpin kelompok itu. Mereka di hadapkan pada suatu kemungkinan, bahwa tamu-tamu mereka itu akan berbuat licik.
“Apakah kita akan mempersiapkan pasukan di luar padepokan Empu?” bertanya seseorang.
Empu Baladatu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak. Kita berada di dalam padepokan dan berlaku seolah-olah tidak ada kecurigaan apapun juga. Kalian bersikap biasa meskipun kalian harus menyediakan senjata di tempat-tempat tertentu yang mudah dijangkau, selain senjata-senjata kecil yang tidak ada salahnya melekat di tubuh kalian. Karena senjata-senjata kecil itu tidak akan menimbulkan kecurigaan apapun pada tamu-tamu kita nanti, sebagai kebiasaan kita semuanya.”
“Keris maksud Empu?”
“Ya. Kalian dapat membawa keris di punggung. Tetapi tidak dengan pedang dan tombak. Apalagi perisai. Meskipun senjata-senjata itu harus kalian siapkan sehingga setiap saat dapat kalian ambil dengan cepat.”
Para pemimpin kelompok itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka menyadari sepenuhnya tugas yang harus mereka pikul di saat bulan mulai nampak di langit. Dan itu akan terjadi malam berikutnya.
Pada saat yang ditentukan, padepokan Serigala Putih mengalami perubahan suasana meskipun selalu disamarkan. Setiap orang mencoba bersikap seperti sewajarnya. Orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang yang berada di padepokan gerombolan Serigala Putih mendapat tempat tersendiri. Merekapun berusaha untuk tidak menarik perhatian jika kedua orang tamu itu memasuki padepokan, karena mereka memang ditempatkan di bagian belakang.
Meskipun mereka tidak membawa senjata di tangan, kecuali keris yang terselip diikat pinggang mereka sebagaimana kelajiman seorang laki-laki, mereka telah menyiapkan senjata mereka di dinding bagian dalam dari bilik-bilik mereka, yang setiap saat dapat mereka pergunakan apabila perlu.
Ketika senja mulai turun menjelang malam pertama saat bulan mulai nampak di langit, suasana padepokan itu menjadi tegang. Para penjaga regol sudah mendapat pesan khusus, jika ada dua orang berkuda mendatangi, mereka harus segera melaporkannya kepada Empu Baladatu. Ketegangan menjadi semakin memuncak saat gelap malam mulai membayang. Langit yang kelabu menjadi bertambah buram dan angin mulai meniupkan udara yang dingin.
“Sebentar lagi malam akan turun” berkata Empu Baladatu, “apakah mereka benar-benar akan datang?”
“Ya” jawab Kiai Dulang, “dan aku percaya bahwa mereka tidak akan berbohong.”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Dalam kegelisahan itu, Kiai Dulang berkata, “Biarlah aku berada di regol, agar aku segera dapat mengenalinya jika mereka datang.”
Empu Baladatu tidak berkeberatan dan membiarkan Kiai Dulang meninggalkannya dan pergi ke Regol. Ketika ia menengadahkan wajahnya, di langit nampak cahaya yang semakin redup. satu-satu bintang mulai nampak dan dengan hati yang berdebaran Kiai Dulang melihat bulan rendah sekali di langit, seolah-olah bertengger di ujung pohon perdu.
“Sebentar lagi bulan itu akan tenggelam” katanya di dalam hati.
Tiba-tiba saja ia terkejut ketika seorang penjaga regol menggamitnya sambil berbisik, “Siapakah kedua orang itu Kiai?”
Kiai Dulang berpaling. Dengan dada yang berdebar-debar ia melihat dua orang yang sudah berdiri di muka pintu. Dua orang yang hanya berjalan kaki tanpa membawa kuda tunggangan. Namun, meskipun malam mulai gelap, Kiai Dulang segera mengenal keduanya, karena keduanya mengenakan pakaian seperti yang biasa mereka pergunakan saat mereka menemuinya di Mahibit.
Itulah sebabnya maka dengan tergopoh-gopoh Kiai Dulang mendekatinya sambil mempersilahkannya, “Marilah. Marilah kami persilahkan Ki Sanak memasuki padepokan kami yang kotor.”
Linggapati dan Linggadadi tersenyum. Jawabnya, “Terima kasih. Kami mencoba datang tepat pada waktunya.”
Kiai Dulang tersenyum. Diajaknya keduanya memasuki halaman padepokan dan langsung menuju kerumah induk, untuk langsung membawanya kepada Empu Baladatu yang sudah menunggu.
Kedatangan kedua orang itu benar-benar telah mendebarkan jantung Empu Baladatu. Nampaknya kedua orang itu benar-benar datang hanya berdua. Mereka tidak mempunyai prasangka buruk sama sekali dan seperti yang dikatakan oleh Kiai Dulang, keduanya mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri yang sangat besar.
Setelah saling memperkenalkan diri, meskipun dengan ragu-ragu, merekapun untuk beberapa saat masih mencoba untuk berbicara sambil berkelakar. Mereka mencoba menunjukkan keakraban pertemuan yang memang sudah direncanakan itu. Beberapa saat kemudian, maka mulailah beberapa orang menghidangkan minuman panas dan beberapa potong makanan.
Tidak seperti orang-orang yang selalu dicengkam oleh kecurigaan, maka Linggapati dan Linggadadi sama sekali tidak mencemaskan makanan itu. Meskipun hubungan yang masih akan mereka jalin belum mempunyai bentuk yang jelas, bahkan dengan sadar Linggadadi merasa berada di dalam lingkungan yang masih sangat membencinya karena sebutannya sebagai pembunuh orang-orang berilmu hitam, namun mereka sama sekali tidak merasa curiga, bahwa di dalam makanan itu terdapat usaha yang dapat mencelakainya.
Dengan lahapnya mereka menelan makanan itu sepotong demi sepotong sambil berbicara tentang persoalan-persoalan yang sangat tidak berarti. Baru ketika malam menjadi semakin larut, dan bintang Gubug Penceng telah tegak di ujung Selatan, pertemuan itu menjadi nampak bersungguh-sungguh.
“Ada sesuatu yang pantas kita bicarakan” berkata Empu Baladatu.
“Ya. Aku sudah mengerti. Kita masing-masing berharap bahwa kita akan dapat bekerja bersama” sahut Linggapati.
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Ternyata Linggapati berbicara langsung pada persoalannya.
“Empu” sambung Linggapati, “tidak banyak yang harus kita bicarakan sekarang, karena kita masing-masing sudah mempunyai tekad yang sama. Bukankah kita masing-masing menginginkan agar kekuasaan Sepasang Ular di satu Sarang itu di hancurkan dan diganti oleh kekuasaan yang lebih besar agar Singasari dapat berkembang lebih pesat. Bukan saja hanya selingkar kepulauan ini, tetapi Singasari seharusnya menjadi negara terbesar di seluruh dunia.”
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Ternyata jangkauan cita-cita Linggapati meliputi arena yang lebih luas, karena ia sudah berbicara tentang dunia. Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian. “Bagaimanakah tanggapan Ki Sanak berdua tentang kedua anak-anak muda yang memerintah sekarang ini?”
“Baik. Mereka adalah anak-anak yang baik. Anak-anak penurut yang asyik bermain-main dengan permainan yang sangat besar dan luas. Singasari.”
“Jadi?” Empu Baladatu menjadi heran atas jawaban itu.
“Seharusnya mereka berhenti bermain-main. Sebaiknya mereka tidur saja di dalam pelukan ibu masing-masing. Jika di esok harinya mereka terbangun, biarlah ibu mereka masing-masing menyuapinya dan memandikannya. Kemudian membawa mereka kembali ke pembaringan, membacakan dongeng tentang seekor burung podang yang memiliki suara bening, bernyanyi di pelepah pisang.”
Empu Baladatu merenungi jawaban itu dengan dahi yang berkerut merut. Namun ternyata bahwa Linggapati kemudian tertawa sambil berkata “Begitulah kira-kira Empu. Apakah Empu berbeda pendapat?”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Jawabnya, “Aku sependapat. Keduanya memang tidak sepantasnya memegang jabatan tertinggi di Singasari.”
“Empu benar. Tetapi apakah ada persamaan dan perbedaan di antara kita? Mungkin Empu membayangkan, bahwa setelah Empu dapat mempengaruhi kekuatan yang besar dan mengalahkan kedua anak-anak itu, Empu akan menjadi seorang penguasa yang kaya raya. Seorang yang memiliki kekuasaan dan wewenang tidak terbatas sehingga apa saja yang Empu kehendaki akan dapat terlaksana. Begitu?” Linggapati berhenti sejenak, lalu, “Akupun mempunyai keinginan yang sama tentang tersingkirnya kedua anak-anak itu. Tetapi bukan semata-mata karena aku menginginkan kekuasaan dan apalagi harta benda, emas, perak dan perunggu. Tetapi aku ingin Singasari bukan saja menguasai daerah yang luas di antara kepulauan yang tersebar di daerah yang hijau ini, tetapi kekuasaan Singasari harus menjangkau jauh ke ujung bumi.”
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Ternyata bahwa apa yang dilakukan itu masih terlalu kecil bagi Linggapati. Namun demikian Empu Baladatu tidak mau menunjukkan kekecilannya dan menjawab, “Jangkauan kalian terlampau luas. Bagiku, meskipun arahnya akan ke sana juga, tetapi yang penting sumber kekuasaan itu harus beralih tangan.”
“Ya, ya” desis Linggapati, “Empu mulai dari pemikiran yang sempit, yang tentu akan meluas pula kelak. Tetapi aku melangkah dengan laju setapak, setelah aku menentukan arah lebih dahulu. Empu, aku pernah menjadi pelaut yang menjelajahi lautan yang sangat luas. itulah sebabnya, aku mengerti betapa tersia-sianya kekuatan yang ada di Singasari sekarang ini. Itulah sebabnya maka kedua anak-anak itu harus dipersilahkan masuk saja kedalam peraduannya.”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Tetapi dengan demikian ia merasa dirinya menjadi semakin kecil. Ternyata bahwa orang yang bernama Linggapati itu mempunyai pandangan yang cukup luas tentang daratan dan lautan. “Apakah ada orang-orang yang sekarang berada di lingkungan istana mempunyai pengamatan seluas Linggapati?” berkata Empu Baladatu di dalam hatinya.
Sejenak Empu Baladatu membuat pertimbangan-pertimbangan. Tetapi iapun kemudian mengambil kesimpulan, bahwa pengenalan Linggapati bukan ukuran kemampuannya yang melampaui setiap orang.
“Aku tidak yakin bahwa ia memiliki kemampuan berkelahi yang tidak terkalahkan.” berkata Empu Baladatu di dalam hatinya, “mungkin ia pernah menjelajahi daerah yang sangat luas. Tetapi itu bukan suatu bukti bahwa ia memiliki ilmu kanuragan yang tidak ada tandingnya.”
Itulah sebabnya maka Empu Baladatupun kemudian berusaha untuk menjaga, agar ia tidak terperosok kedalam perasaan rendah diri.
“Apakah Empu mempunyai persoalan yang mendesak setelah kita nampaknya mempunyai jalur yang akan dapat berjalan searah?” bertanya Linggapati.
“Aku tidak mempunyai persoalan yang khusus, tetapi aku minta agar kelak tidak akan timbul persoalan yang rumit di dalam lingkungan kita sendiri.”
Linggapati tertawa. Katanya, “Empu cukup bijaksana. Tetapi nampaknya sejak sekarang kita sudah dapat membayangkan, dimanakah kita masing-masing akan berdiri. Empu condong pada kekuatan dan kemukten. Sedang aku condong untuk mendapatkan kekuasaan yang dapat mengemudikan pemerintahan di Singasari.”
“Jadi?”
“Kita sudah berbagi sejak sekarang. Empu akan menjadi seorang Maharaja yang memiliki seluruh tlatah Singasari dengan segala isinya. Dan aku akan menentukan kemudi pemerintahan di Singasari. Bukankah itu sudah berarti kita akan melalui jalur jalan yang berbeda meskipun searah?”
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa pemisahan kekuasaan itu belum menentukan bahwa tidak akan terjadi desak mendesak di dalam jalur kekuasaan itu kelak. Namun Empu Baladatu mengangguk-angguk sambil berkata, “Kau sudah melihat perbedaan itu Ki Sanak. Tetapi sudah tentu bahwa itu belum merupakan jaminan yang pantas untuk menentukan apakah tidak ada persoalan lagi di antara kita kelak.” ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi baiklah bahwa kita tidak mempersoalkannya sekarang, seolah-olah kita adalah orang-orang yang sekedar didorong oleh nafsu tanpa cita-cita sama sekali. Akupun tidak membantah sekarang, anggapan Ki Sanak bahwa bagiku seolah-olah tidak ada sesuatu yang lebih berarti daripada mas picis raja brana. Tetapi aku tidak berkeberatan. Yang penting, langkah yang manakah yang perlu kita lakukan sekarang.”
“Tentu saja kita harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Kita harus mengetahui segi-segi kelemahan Singasari sekarang ini. Kita harus melihat, apakah yang disenangi dan dibenci oleh orang-orang Singasari. Sementara itu, kita akan mulai dengan menyusun kekuatan senjata untuk dengan kekerasan menguasai kota raja. Seperti yang pernah dilakukan oleh Ken Arok, Akuwu Tumapel, dengan menguasai Kota Raja, maka ia menguasai seluruh Kerajaan.”
“Kau salah. Ken Arok tidak saja menguasai Kota Raja. Tetapi ia menguasai Ken Dedes, seorang perempuan yang memiliki kekuasaan yang sebenarnya.”
“Atas Tumapel, yang dilimpahkan oleh Akuwu Tunggul Ametung. Hanya itu. Bukan atas seluruh Kerajaan.”
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Tetapi iapun kemudian mengangguk-angguk. “Mungkin kau benar Ki Sanak” berkata Empu Baladatu, “tetapi suasana waktu itu jauh berbeda dengan suasana yang kita hadapi sekarang. Singasari sekarang sudah semakin kuat. Banyak orang-orang sakti berada di sekitar kedua orang anak muda yang sedang memerintah itu. Dan mereka itu harus kita singkirkan.”
“Tentu seorang demi seorang” berkata Linggapati,, “Kita tidak akan dapat menghadapi mereka sekaligus betapapun kita menyusun kekuatan.”
“Tepat” berkata Empu Baladatu. “Dan kitapun akan dapat segera mulai.”
“Jangan tergesa-gesa Empu. Jika kita mulai sekarang, maka itu berarti seluruh Singasari akan bersiaga.”
“Tidak hanya sekarang. Kapanpun kita mulai, maka Singasari akan segera mengerahkan prajuritnya.”
“Kita akan membunuh dengan cara yang sebaik-baiknya. Mungkin dengan menghilangkan jejak, seolah-olah yang terjadi adalah suatu kecelakaan, atau mungkin perang tanding karena persoalan pribadi, atau kita akan menyembunyikan mayatnya seolah-olah orang itu hilang begitu saja ditelan hantu atau dengan cara yang lain, yang tidak menimbulkan akibat yang dapat menggerakkan seluruh kekuatan Singasari.”
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Namun Linggapati menyambung, “Tentu tidak harus seperti yang aku katakan. Mungkin ada cara lain yang dapat kita lakukan menurut pertimbangan kita kemudian. Mungkin ada cara yang lebih baik, yang akan kita temukan kemudian.”
Empu Baladatu mengangguk-angguk pula. Lalu, “Jika demikian, apakah yang akan kita lakukan sekarang? Menunggu, bersiap-siap. itu saja?”
Linggapati memandang Empu Baladatu dengan tajamnya. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil menjawab, “Kau terlalu tergesa-gesa Empu. Seharusnya kita bersabar untuk menentukan saat dan kesempatan yang sebaik-baiknya. Kapan dan apakah yang akan kita lakukan pada suatu keadaan.”
“Kita dapat melakukan sesuatu mulai dari yang paling kecil” berkata Empu Baladatu.
“Maksudmu?”
“Melenyapkan orang-orang yang menentang setiap cita-cita yang akan kita jangkau.”
“Ya, tentu. Itulah yang aku maksudkan dengan berhati-hati dan tidak tergesa-gesa” Linggapati berhenti sejenak, lalu, “tetapi apakah sudah ada niat Empu untuk mulai dengan sesuatu.”
“Tentu Ki Sanak. Di luar lingkungan keprajuritan Singasari kita melihat beberapa orang yang harus disingkirkan. Nah, itulah yang dapat kita lakukan lebih dahulu.”
Linggapati mengangguk-angguk. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Empu akan memanfaatkan hubungan ini untuk melakukan balas dendam.”
Wajah Empu Baladatu menjadi tegang. Dengan sungguh-sungguh. ia menjawab, “Aku sudah menduga bahwa pada suatu langkah yang pendek kita akan mulai dengan saling curiga. Tetapi itu wajar” ia berhenti sejenak, lalu, “Meskipun demikian aku akan mencoba menerangkan, bahwa sama sekali bukannya sekedar memanfaatkan hubungan yang masih samar-samar ini. Jika yang akan aku lakukan tidak ada sangkut pautnya dengan cita-cita kita keseluruhan, maka kau dapat berkata demikian.”
“O, maaf. Tetapi apakah yang dapat kita lakukan sekarang?”
“Aku tahu pasti bahwa Mahisa Bungalan akan dapat kita singkirkan dengan cara yang kau maksud.”
“Mahisa Bungalan?”
“Ya. Ia sering melakukan perjalanan seorang diri. Jika kita dapat mengikuti gerak-geriknya, maka pada waktu yang tepat kita akan dapat menyingkirkannya tanpa diketahui oleh siapapun juga, seperti yang kau kehendaki.”
“Tetapi bukankah dengan demikian berarti kita harus menunggu kesempatan seperti yang aku katakan?”
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Lalu sambil mengangguk-angguk ia menjawab, “Ya. Tetapi bukan berarti bahwa kita berdiam diri sampai kesempatan itu datang kepada kita. Tetapi kita dapat mulai dengan melakukan pengamatan yang saksama sehingga kita dapat menentukan langkah selanjutnya yang berhubungan dengan seluruh cita-cita kita.”
Linggapati mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus Empu. Ternyata Empu memiliki ketangkasan bertindak. Dalam hal ini barangkali aku agak terlalu lamban bagi Empu meskipun aku masih lebih muda.”
Empu Baladatu tidak menjawab.
“Baiklah Empu. Beberapa hari kemudian, kita akan menemukan langkah-langkah yang sudah dapat kita lakukan sejak sekarang. Termasuk yang aku maksud dengan mengamati keadaan. Karena kita masih akan menempuh jalan yang berliku-liku untuk mendapatkan suatu suasana yang mantap.”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Selain itu Ki Sanak. Aku masih melihat kemungkinan lain yang dapat kita lakukan segera untuk mengurangi hambatan-hambatan yang dapat timbul.”
“Apa?”
“Sebuah perguruan yang banyak mengenal tentang padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang. Tetapi itu bukan berarti apa-apa. Tetapi lebih dari itu, perguruan itu adalah pendukung kedua anak muda yang kini memegang pemerintahan.”
“Apakah aku harus mengulangi penjelasanku Empu.”
“Aku tahu. Tetapi jika terjadi sesuatu dengan perguruan ini, sekarang adalah saatnya. Ada semacam dendam antara perguruan itu dengan gerombolan Serigala Putih.”
“Sehingga apabila kita bertindak sekarang atas nama gerombolan Serigala Putih, maka yang akan terjadi dapat di artikan dendam gerombolan Serigala Putih. Begitu?”
“Ya. Kesan itulah yang harus dibuat dengan meyakinkan sehingga tidak akan timbul persoalan lain yang apalagi menyangkut keseluruhan cita-cita.”
Linggapati mengangguk-angguk. Lalu, “Apakah perguruan itu sedemikian kuatnya sehingga Empu perlu memanfaatkan hubungan ini untuk kepentingan itu?”
“Yang manakah yang akan kita sebut pemanfaatan? Hubungan ini atau justru dendam orang-orang Serigala Putih?”
Linggapati tertawa. Katanya, “Empu memang tangkas, baiklah. Kita dapat memandang dari segi yang manapun.” Ia berhenti sejenak, lalu, “bantuan apakah yang Empu perlukan dari kami?”
“Kita bersama-sama menghancurkan perguruan itu.”
Linggapati mengangguk-angguk. Lalu iapun bertanya, “Bagaimanakah yang Empu maksud bersama-sama? Apakah aku harus mengerahkan semua kekuatan yang ada di Mahibit berapa pun jumlahnya?”
Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Lalu jawabnya, “Tidak. Itu tidak perlu. Jika aku memerlukan sejumlah orang dari Mahibit, terutama untuk meyakinkan, apakah kita akan dapat bekerja bersama dalam bentuk yang kita pilih, di antaranya di arena pertempuran.”
Linggapati tertawa. Dipandanginya wajah adiknya yang tegang, yang mengikuti seluruh pembicaraan itu dengan sikap yang nampaknya acuh tidak acuh saja.
Empu Baladatu menunggu jawaban Linggapati dengan hati yang berdebar-debar. Apalagi ketika ia melihat sikap Linggadadi yang seolah-olah tidak tahu menahu tentang persoalan yang sedang dibicarakan.
Tetapi Linggapati pun kemudian berkata, “Pada dasarnya aku tidak berkeberatan Empu”
Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam.
Namun Linggapati pun kemudian memandang adiknya sambil bertanya, “Apa pendapatmu Linggadadi?”
Linggadadi memandang wajah kakaknya dan Empu Baladatu berganti-ganti. Lalu jawabnya, “Perang yang betapapun kecilnya kadang-kadang mempunyai arti yang sangat besar. Orang-orang kita yang mulai jemu dengan merenungi cita-cita akan terbangun dan mendapatkan kegairahan baru dalam langkah selanjutnya.”
Suara tertawa Linggapati menjadi semakin keras. Katanya, “Aku sudah menduga. Kau adalah orang yang paling gemar berada di antara dentang senjata.” Lalu Linggapati itupun berpaling kepada Empu Baladatu, “Linggadadi akan mempersiapkan sepasukan laskar dari Mahibit. Berapa orang yang Empu perlukan? Mudah-mudahan yang kita lakukan kali ini dapat benar-benar mengurangi kekuatan Singasari meskipun tidak secara langsung seperti yang Empu maksudkan. Bukan sebaliknya, justru membangunkan kesiagaan yang besar bagi Singasari.”
“Aku tidak memerlukan sepasukan yang besar.” jawab Empu Baladatu.
“Berapa orang yang Empu perlukan? Lima puluh atau seratus?”
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Agaknya pasukan Linggapati di Mahibit cukup kuat sehingga ia menawarkan berapa saja yang dikehendakinya
“Seratus orang tidak dapat dipertimbangkan bagi cita-cita Ki Sanak yang demikian besarnya. Tetapi pada langkah permulaan aku kira sudah mencukupi. Aku akan mengerahkan orang yang sama dari gerombolan Serigala Putih dan jumlah yang sama pula dari gerombolan Macan Kumbang.”
“Dan dari perguruan induk Empu Baladatu sendiri?“
Empu Baladatu termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata. “Seluruh pimpinan akan berada di tangan orang-orangku dari perguruan induk.”
“Dan orang-orangku?”
“Tentu mereka akan mempunyai seorang pemimpin. Tetapi penempatan mereka dalam keseluruhan akan berada di tangan kami”
“Tentu. Tentu. Kali ini Empu sendirilah yang akan memimpin pasukan gabungan itu. Silahkan. Aku akan menyerahkan sejumlah itu kepada Empu. Terserahlah, siapakah yang akan memegang pucuk pimpinan dari pasukan itu dalam keseluruhan.”
Empu Baladatu termangu-mangu. Tetapi iapun kemudian mengangguk-angguk, “Terima kasih.”
Linggapati mengangguk-angguk. Katanya, “Kita sudah menemukan jalan untuk menyatukan diri. Bahkan kita sudah merintis ujud daripada kesepakatan kita. Tetapi nampaknya masih akan banyak hal-hal yang kita bicarakan. Cara-cara yang lebih rumit daripada sekedar balas dendam seperti yang akan kita lakukan sekarang bagi orang-orang tertentu yang lebih dekat dengan ujung pimpinan prajurit Singasari.”
“Aku mengerti” jawab Empu Baladatu, “kita akan segera melakukan rencana yang pertama, selagi nafas dendam di dada orang-orang Serigala Putih masih belum padam. Pemimpin mereka yang sebenarnya telah dibunuh oleh pimpinan perguruan itu.”
Lingapati tersenyum. Lalu, “Baiklah. Pada langkah yang pertama ini aku semakin mengagumi Empu Baladatu, karena orang yang Empu maksud itu adalah saudara kandung Empu sendiri.”
Empu Baladatu menegang sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, “Apakah yang kau kagumi?”
“Ketegasan sikap Empu. Empu Baladatu tidak memandang siapapun juga, jika sekiranya berselisih jalan, Empu tidak segan-segan mengambil sikap yang paling tuntas.”
Empu Baladatu tidak menjawab. Ia tidak mengerti sepenuhnya, apakah yang dimaksudkan oleh Linggapati. Apakah yang dimaksudkan itu sebenarnya demikian, atau suatu sindiran bahwa pada suatu saat, Empu Baladatu dapat pula bersikap demikian terhadap siapa saja, termasuk Linggapati dan Linggadadi.
Dalam pada itu, Linggapati berkata selanjutnya, “Kali ini Empu bersikap demikian terhadap saudara kandung sendiri.”
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Lalu iapun meneruskan, “Lain kali?”
Linggapati tertawa pula. Katanya, “Baiklah. Kita akan mulai dengan saling mempercayai. Aku akan mengirimkan seratus orang seperti yang Empu maksudkan. Aku akan menyesuaikan waktu yang akan Empu pilih.”
“Sebelum purnama naik” jawab Empu Baladatu
Linggapati mengerutkan keningnya, lalu, “Apakah rencana ini termasuk rencana Empu untuk mendapatkan korban yang cukup berharga menjelang purnama naik?”
“Ah” “desah Empu Baladatu, “aku tidak memikirkannya. Aku tidak pernah mengalami kesulitan untuk mendapatkan korban yang aku perlukan.”
Linggapati mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan tidak mempedulikan apapun juga. Tetapi kesanggupanku tidak akan meleset sesuai dengan rencana kita seterusnya.”
“Terima kasih” jawab Empu Baladatu, “kami menunggu kedatangan orang-orangmu, sementara aku akan mempersiapkan orang-orangku“
Pembicaraan itu tidak berlangsung lebih lama lagi. Nampaknya keduanya masih membatasi pembicaraan mereka pada masalah-masalah yang pokok, selain satu usaha yang langsung untuk menghancurkan padepokan yang dipimpin oleh Empu Sanggadaru, saudara kandung Empu Baladatu sendiri.
Setelah mereka berbicara tentang berbagai persoalan yang mempertegas persetujuan mereka untuk mempersiapkan pasukan yang akan dipergunakan untuk menghancurkan padepokan yang mereka anggap akan menghambat perkembangan rencana mereka selanjutnya, maka Linggapati dan Linggadadi pun segera minta diri.
“Apakah Ki Sanak berdua tidak akan bermalam di sini?” bertanya Empu Baladatu.
Linggapati mengerutkan keningnya. Dan sebuah pertanyaan meluncur dari bibirnya, “Kenapa bermalam?”
“Hari sudah jauh malam, bahkan sudah melampaui tengah malam.”
“Apa salahnya aku pulang setelah tengah malam?”
“Mahibit bukannya jarak yang pendek.”
“Justru karena itu aku akan pulang malam ini. Aku tidak dapat terlalu lama meninggalkan orang-orangku.”
“Hanya bertambah setengah malam.”
Linggapati tertawa. Katanya, "Perjalanan di malam hari sangat memberikan kesegaran. Aku senang berjalan di malam hari.”
Empu Baladatu tidak dapat menahannya lebih lama lagi. Agaknya kedua tamunya benar-benar ingin segera meninggalkan padepokan Serigala Putih itu.
“Bukan karena aku curiga” berkata Linggapati kemudian, “tetapi aku benar-benar ingin berjalan di malam hari.”
“Ki Sanak berdua benar-benar tidak berkuda?”
“Aku jarang sekali berkuda. Apalagi dalam perjalanan seperti sekarang ini.”
Empu Baladatu mengantarkan tamunya sampai ke regol padepokan dan menunggunya sampai keduanya hilang dalam kegelapan. Sambil melangkah kembali memasuki padepokan ia bergumam, “Benar-benar anak setan keduanya.”
Kiai Dulang yang berjalan di sampingnya mengangguk-angguk sambil berdesis, “Ya. Keduanya memang anak setan.”
“Kita harus benar-benar bersiap menghadapi rencana di bulan purnama itu” berkata Empu Baladatu, “kita harus menunjukkan bahwa orang-orang kita tidak kalah baiknya dengan orang-orang Mahibit yang tinggi hati itu.”
“Masih ada waktu kurang lebih setengah bulan” sahut Kiai Dulang.
“Kita akan memilih orang-orang terbaik. Kita akan mempersiapkannya untuk tugas yang berat ini.”
Kiai Dulang mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Empu. Untuk memilih orang-orang terbaik sejumlah itu pada padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang agaknya terlalu sulit. Mereka yang berada di padepokan ini jumlahnya tidak lebih dari seratus orang. Demikian juga yang tinggal di padepokan Macan Kumbang. Jika ada lebihnya, sama sekali tidak akan berarti sama sekali.”
“Tetapi menurut penilaianku lebih dari lima ratus orang yang berada dibawah pengaruh kekuasaan Serigala Putih dan juga Macan Kumbang.”
“Mungkin dengan mereka yang berada di luar padepokan. Tetapi mereka selama ini tidak mendapat banyak perhatian. Didalam upacara-upacara yang paling tinggi, mereka tidak disertakan. Bahkan mereka termasuk pihak yang tidak boleh mengetahui terlalu banyak tentang isi padepokan ini.”
“Tetapi jika perlu tenaga mereka dapat dipergunakan.”
Kiai Dulang mengangguk-angguk. Katanya, “Dalam keadaan yang sangat perlu. Tetapi dalam keadaan tertentu mereka justru akan dapat mengganggu.”
“Kita tidak akan memikirkan mereka sekarang. Aku hanya memerlukan seratus orang terbaik.”
Kiai Dulang tidak menjawab lagi.
“Aku sendiri akan menyiapkan mereka” berkata Empu Baladatu., “Dalam waktu setengah bulan aku harus mendapatkan dua ratus orang terbaik yang akan dapat menghancurkan kakang Empu Sanggadaru yang sampai saat ini ternyata masih menjadi penjilat kedua anak-anak manja itu.”
Kiai Dulang mengangguk-angguk lagi. Katanya, “Jika hanya untuk kepentingan itu, aku kira tidak akan terlalu berat. Aku memperhitungkan, bahwa di padepokan itupun tidak akan ada orang sejumlah seratus orang. Jika ada orang-orang lain, mereka bukanlah cantrik-cantrik yang sudah mendapatkan ilmu yang cukup. Tetapi mereka adalah penghuni-penghuni daerah pertanian yang luas yang dimiliki oleh Empu Sanggadaru.”
Empu Baladatu meng-angguk-angguk. Katanya, “Ya Aku tahu pasti. Cantrik di padepokan itu tidak banyak. Tetapi perlu di ketahui, bahwa padepokan itu menyimpan banyak rahasia yang tidak dapat aku ungkapkan. Ada hal-hal yang tidak dapat aku mengerti. Tetapi dalam keseluruhan, padepokan itu tidak terlalu kuat untuk dicemaskan.”
“Kita akan dapat melakukannya tanpa kesulitan.”
“Jangan diremehkan. Untuk meyakinkan, bukan saja kemenangan atas padepokan itu, juga kepada orang-orang Mahibit kita harus membuktikan bahwa kita benar-benar kuat. Karena itu, para pemimpin dari pasukan itu, akan kita ambil dari perguruan induk. Kita akan mengambil sepuluh orang terbaik untuk memimpin pasukan yang akan kita bawa ke padepokan kakang Sanggadaru.”
Kiai Dulang mengangguk-angguk. Ia sadar bahwa ia akan termasuk salah seorang yang bertugas membawa pasukan gabungan itu di samping Empu Baladatu sendiri.
“Tiga ratus orang adalah pasukan yang besar” gumam Kiai Dulang
“Pikiranmu jangan terlalu kerdil. Jika saatnya tiba, kita harus mengerahkan sedikitnya lima ribu orang untuk menguasai Kota Raja dan paling sedikit sepuluh ribu orang tersebar di seluruh negeri.”
Kiai Dulang mengerutkan keningnya.
“Tetapi jangan cemas. Pekerjaan kita bukannya mengumpulkan sekian banyak orang. Tetapi kita akan menghubungi beberapa orang Senapati yang sudah mempunyai pasukan. Dan aku sudah mempunyai gambaran yang jelas untuk melakukannya. Bukan hanya Linggapati sajalah yang sudah mempunyai garis perjuangan yang mapan. Tetapi akupun telah membuat perhitungan-perhitungan tersendiri.”
“Apakah Empu Baladatu mempunyai hubungan dengan beberapa orang Senapati itu?”
“Sekarang belum. Tetapi ada beberapa nama yang dapat aku harapkan. Jauh lebih baik dari kakak kandungku sendiri.”
Kiai Dulang mengangguk-angguk. Tetapi iapun sadar, bahwa Empu Baladatu berusaha untuk menjadikan padepokan Empu Sanggadaru itu seperti padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang.
Demikianlah sejak hari itu, Empu Baladatu sendiri telah melakukan rencananya. Ia mendatangi kelompok-kelompok dari gerombolan Serigala. Putih dan Macan Kumbang yang terpilih untuk memberikan latihan-latihan khusus. Mereka harus dapat menunjukkan bahwa para pengikut ilmu yang disebut hitam itu mempunyai kelebihan dari orang-orang kebanyakan, bahkan kelebihan dari prajurit Singasari.
Latihan-latihan yang berat itu dilakukan oleh seratus orang dari gerombolan Serigala Putih dan seratus orang dari gerombolan Macan Kumbang. Mereka dikumpulkan dalam satu lingkungan yang terpisah dari padepokan masing-masing. Mereka mempergunakan sebuah hutan yang terasing sebagai tempat yang baik untuk berlatih. Siang dan malam.
Mereka diajar bertempur dalam kelompok-kelompok, dalam gelar dan perkelahian seorang melawan seorang. Mereka mendapat latihan bertempur dengan mempergunakan bermacam-macam senjata
“Macam-macam jenis senjata dapat membingungkan lawan” berkata Empu Baladatu, “karena itu. cobalah mempergunakan senjata yang paling mapan dari jenis senjata yang tidak biasa dipakai dalam perkelahian. Tongkat panjang berujung runcing duri pandan. Bindi bergerigi atau canggah bertangkai panjang. Mungkin juga trisula atau bola-bola besi bertali panjang.”
Dengan demikian maka anak buah Empu Baladatu itu pun mencoba untuk menemukan jenis senjata yang paling sesuai dengan kemampuan masing-masing. Mereka pada dasarnya telah memiliki kemampuan bertempur dengan jenis-jenis senjata sewajarnya. Kini mereka mendapat kesempatan untuk memilih jenis senjata, yang lain yang dapat memberikan kepuasan kepada mereka masing-masing sesuai dengan kemampuan mereka.
Untuk satu dua hari mereka mendapat kesempatan mencoba jenis-jenis senjata yang masih agak asing yang ternyata telah tersedia di dalam perguruan induk, yang telah dibawa oleh beberapa orang pengikut Empu Baladatu yang menyusul kemudian. Mereka adalah orang-orang yang akan mendapat tugas memimpin pasukan gabungan yang berjumlah tiga ratus orang itu, di samping beberapa orang yang telah berada di padepokan Serigala Putih, selain jenis-jenis senjata yang sudah ada di padepokan itu.
Senjata yang tersedia, yang tidak banyak jumlahnya itu, telah memberikan warna yang asing pada pasukan Empu Baladatu. Orang-orang yang berkesempatan mendapatkan jenis-jenis senjata itu akan berada di arena yang berpencar untuk membuat kejutan-kejutan pada lawannya.
Beberapa orang ternyata lebih senang mempergunakan tongkat-tongkat panjang. Ada yang berujung runcing seperti tombak biasa, ada yang berujung belah, ada yang berujung berbentuk duri pandan. Tetapi ada juga memilih bola-bola besi yang terikat pada rantai yang panjang.
Tetapi mereka yang belum yakin benar dengan senjata-senjata yang tidak biasa mereka pergunakan itu, mereka masih juga membawa pedang di lambung, yang setiap saat dapat dipergunakannya. Namun di antara orang-orang Serigala Putih dan Macan Kumbang sendiri pada dasarnya memang ada yang mempunyai kebiasaan mempergunakan jenis-jenis senjata yang asing.
Demikianlah dua ratus orang dari dua perguruan itu berlatih dengan sungguh-sungguh. Mereka tidak mempunyai waktu cukup panjang, menjelang purnama naik. Namun latihan yang bersungguh-sungguh itu ternyata telah membawa hasil yang memuaskan. Dua ratus orang itu telah dibentuk menjadi sepasukan prajurit yang memiliki kemampuan bertempur bersama-sama, seorang demi seorang, maupun dalam gelar-gelar yang lengkap.
“Kita akan melihat seratus orang Mahibit itu” berkata Empu Baladatu, “mereka tidak akan lebih dari prajurit-prajurit kecil di antara raksasa-raksasa yang terlatih baik.”
Diakhir pekan kedua, barulah orang-orang Serigala Putih dan Matan Kumbang itu dapat kembali ke padepokan. Kembali menjenguk keluarga masing-masing untuk beberapa lama, sebelum mereka akan berangkat menunaikan tugas mereka yang sebenarnya mereka anggap tidak terlampau berat meskipun setiap kali Empu Baladatu selalu memperingatkan agar mereka tidak meremehkan lawan.
Menjelang purnama naik, maka padepokan Serigala Putih telah mempersiapkan tempat yang akan menampung seratus orang dari Mahibit yang akan ikut serta untuk menghancurkan saudara kandung Empu Baladatu sendiri. Saudara kandung yang bagi Empu Baladatu merupakan orang pertama yang akan disingkirkan.
Namun bagi Empu Baladatu, bukannya sekedar usaha menyingkirkannya saja, tetapi juga merupakan suatu usaha untuk mengetahui dan menjajagi kemungkinan selanjutnya bagi usahanya. Untuk menjajagi kekuatan orang-orangnya dan sekaligus untuk mengetahui apakah orang-orang Mahibit benar-benar dapat diandalkan.
“Jika aku dapat menguasai padepokan kakang Sanggadaru maka aku akan dapat berbuat sesuatu yang lebih meyakinkan. Aku dapat memaksa kakang Sanggadaru untuk mengikuti jejakku atau membinasakannya sama sekali. Meskipun ia saudara kandungku, tetapi di antara kami seolah-olah tidak ada ikatan apapun yang dapat menyentuh tali persaudaraan kami.” berkata Empu Baladatu di dalam hatinya.
Ia memang sudah bertekad untuk berbuat sesuatu dengan segala akibatnya. Ia tidak merasa sayang seandainya Empu Sanggadaru harus dimusnahkan. Tetapi lebih baik jika Empu Sanggadaru itu dapat ditundukkannya dan meskipun lambat laun akan ikut serta bersamanya sehingga dapat membantu .dengan kekuatan yang cukup.
“Padepokan itu harus dihancurkan sampai lumat untuk dapat dibangun sebuah padepokan baru” berkata Empu Baladatu di dalam hatinya. Memang agak berbeda dengan padepokan Serigala Putih yang memang memiliki dasar ilmu hitam, atau setidak-tidaknya orang-orang dalam padepokan itu memiliki kebiasaan yang tidak jauh berbeda dengan orang-orang di dalam lingkungannya.
“Kebiasaan yang tidak terdapat di dalam lingkungan kakang Sanggadaru sehingga masih harus ditumbuhkan. Jika yang lama tidak disingkirkan sampai ke akar-akarnya, maka akan sulit sekali untuk menanam kekuatan baru di atas padepokan itu.” berkata Empu Baladatu kemudian kepada diri sendiri, “tetapi jika dapat dipegang kepalanya, serta dapat memaksanya untuk berbuat sesuatu, maka yang lain tentu akan mengikutinya tanpa banyak persoalan.”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Seolah-olah ia sudah mulai melihat hasil dari usahanya itu. Pada hari sebelum saat purnama naik, orang-orang dari padepokan Serigala Putih telah diguncang oleh kedatangan seratus orang dari Mahibit. Orang-orang yang dijanjikan oleh Linggapati, di bawah pimpinan langsung Linggadadi sendiri.
“Kami datang memenuhi janji kami” berkata Linggadadi kepada Empu Baladatu yang menyongsongnya.
Empu Baladatu memandang sepasukan orang-orang Mahibit yang datang beriringan memasuki regol padepokan. “Kalian berjalan beriringan seperti ini dari Mahibit sampai ke tempat ini?” bertanya Empu Baladatu.
Linggadadi tertawa. Katanya, “Tentu tidak begitu. Jika kami datang seratus orang dalam barisan seperti ini, maka perjalanan kami akan memanggil sepasukan prajurit Singasari sehingga mungkin kami sudah harus bertempur sebelum kami sampai ke tempat ini.”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Sejenak ia memandangi seratus orang anak buah Linggadadi itu. Seolah-olah ia ingin memandang mereka seorang demi seorang,
“Kenapa?” bertanya Linggadadi, “apakah orang-orangku kurang baik menurut penilaian Empu?”
Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata orang-orang yang baru datang itu adalah sepasukan prajurit yang cukup meyakinkan. Seorang demi seorang nampaknya mereka cukup terlatih. Bahkan hampir setiap gerak dan langkah mereka membayangkan, bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dalam olah kanuragan.
“Untunglah bahwa kami sudah melakukan latihan-latihan yang berat” berkata Empu Baladatu di dalam hatinya, sehingga ia tidak perlu merasa malu apabila dua ratus orang pasukannya berbaris bersama-sama dengan seratus orang Mahibit itu.
“Marilah” Empu Baladatu kemudian mempersilahkan, “kami sudah menyediakan tempat bagi kalian meskipun sangat sederhana.”
“Kami datang untuk berkelahi” jawab Linggadadi, “bukan untuk memanjakan tubuh kami di atas pembaringan yang lunak dan dengan makan yang enak.”
“Tetapi kalian adalah tamu kami.”
Demikianlah, seratus orang itu segera dipersilahkan memasuki barak-barak yang sudah disediakan, sementara orang-orang Serigala Putih dan Macan Kumbang yang sudah dipersiapkan itupun mulai menilai diri mereka masing-masing.
“Kita tidak akan tertinggal oleh kemampuan mereka” berkata salah seorang pemimpin mereka yang datang dari perguruan induk Empu Baladatu. Kalian sudah dibentuk menurut jalur ilmu kita yang agung. Karena itu, tunjukkan bahwa kalian mempunyai kelebihan dari mereka.”
Orang-orangnya pun mengangguk-angguk. Atas petunjuk para pemimpinnya, maka orang-orang dari Serigala Putih dan Macan Kumbangpun sama sekali tidak merasa rendah diri di hadapan orang-orang yang baru datang dari Mahibit yang menurut para pemimpin mereka adalab orang-orang biasa seperti mereka.
“Kita akan melihat setelah kita berada di medan” berkata para pemimpin.
Namun dalam pada itu, Kiai Dulangpun telah memperingatkan, bahwa orang-orang Empu Sanggadaru bukanlah orang-orang yang dungu. Empu Baladatu mendengarkan setiap keterangan Kiai Dulang tentang orang-orang dari padepokan Empu Sanggadaru. Iapun telah mendengar pula bahwa orang-orang dari padepokan Empu Sanggadaru sanggup berjalan sehari penuh tanpa berhenti sama sekali. Bahkan iapun pernah mendengar bahwa anak muda yang bernama Mahisa Bungalan pernah mengikuti iring iringan anak buah Empu Sanggadaru yang sedang berlatih.
“Bukan sesuatu yang perlu dikagumi” berkata Empu Baladatu, “sebab dalam pertempuran, selain ketahanan tubuh dan tenaga, kemampuan menggerakkan senjata merupakan unsur yang lebih banyak menentukan. Dan kita sudah berlatih sebaik-baiknya. Kita tidak usah menyembunyikan ciri-ciri yang ada pada kita. Kita akan membunuh dengan cara kita agar orang-orang dari padepokan Empu Sanggadaru menjadi gentar."
“Kita akan membunuh di arena pertempuran dengan pisau belati?” bertanya Kiai Dulang.
“Ya. Mayat-mayat yang terkelupas akan kita lemparkan kepada para pemimpin mereka agar mereka menyadari, siapakah yang mereka hadapi. Jika kakang Sanggadaru tidak mau menyerah, maka orang-orangnya akan mengalami nasib yang menyedihkan seperti itu. Bahkan kakang Sanggadaru sendiri.”
Kiai Dulang menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya Empu Baladatu benar-benar ingin membuat suatu kejutan. Beralasan dendam orang-orang Serigala Putih, maka padepokan Empu Sanggadaru betul-betul akan dilumatkan sebelum dibangunkan sebuah padepokan baru.
Dalam pada itu Empu Sanggadaru sama sekali tidak menyangka bahwa adiknya sudah menyiapkan sebuah serangan besar-besaran atas padepokannya. Biarpun kemungkinan itu pernah diperhitungkan oleh para prajurit Singasari, dan bahkan ada sepasukan kecil prajurit yang berada di padepokan itu, namun ia sendiri nampaknya kurang menganggap hal itu bersungguh-sungguh. Namun demikian Empu Sanggadaru tidak bisa melupakan dendam orang-orang Serigala Putih. Apabila terjadi sesuatu atas padepokannya, tentu karena dorongan dendam orang-orang Serigala Putih itu.
“Aku tidak pernah menyakiti hati adikku. Betapapun hitam hatinya, seperti hitamnya ilmu yang dianutnya, tetapi ia tidak akan melakukannya, kecuali jika orang-orang Serigala Putih itu berada di luar pengamatannya"
Namun demikian, Empu Sanggadaru tidak kehilangan seluruh kewaspadaannya. Kehadiran para prajurit Singasari dalam perhitungannya tersendiri, telah mendorongnya untuk meningkatkan ilmu para cantriknya. Apalagi setelah Mahisa Pukat dan Mahisa Murti berada di padepokan itu pula.
Dalam pada itu, percampuran beberapa unsur ilmu yang berbeda antara perguruan Empu Sanggadaru sendiri, para prajurit Singasari dengan jalur ilmu Mahendra yang ada pada anak-anaknya, dalam hubungan yang dengan sengaja dicari perpaduannya, telah menumbuhkan gairah latihan yang tinggi. Para prajurit Singasari merasa menemukan pengalaman baru dalam pergaulannya dengan kedua anak-anak muda itu dan para murid di perguruan Empu Sanggadaru.
Selain latihan-latihan ketrampilan bermain senjata, Empu Sanggadaru memang sering membawa beberapa orang cantriknya melatih ketahanan tubuh dan ketahanan kekuatan. Mereka berjalan sehari penuh tanpa berhenti. Bahkan kadang-kadang mereka berlatih di tempat dengan gerakan-gerakan yang dilakukan untuk waktu yang sangat lama.
Namun selagi orang-orang yang berada di padepokan Empu Sanggadaru sedang dengan tekunnya memperdalam ilmu dengan caranya, tiba-tiba saja seorang prajurit sandi telah datang langsung menghadap Empu Sanggadaru dan perwira prajurit Singasari yang bertugas di padepokan itu.
“Kita harus berhati-hati” berkata prajurit sandi itu.
“Kenapa, dan apakah yang kau ketahui?”
“Kami melihat persiapan yang melampaui kesiagaan sewajarnya di padepokan Serigala Putih.”
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. “Apakah Baladatu ada di padepokan itu?”
Petugas sandi itu menggeleng, “Kami tidak mengetahuinya. Tetapi mungkin Empu Baladatu tidak ada di padepokan itu.”
Empu Sanggadaru merenung sejenak, lalu, “Ah, tentu sekadar latihan-latihan berat setelah padepokan itu berada di bawah pengaruh Baladatu. Aku tidak pernah menyetujui caranya dan usahanya memperluas pengaruh parguruannya. Tetapi aku tidak pernah memusuhinya.”
“Tetapi tidak mustahil bahwa ada sesuatu yang harus kita perhatikan dengan saksama. Seorang kawanku telah melaporkan kegiatan ini kepada Senapati Lambu Ampal. Mungkin akan ada penyelidikan yang lebih saksama di padepokan itu menjelang purnama naik. Menurut keterangan terakhir, di padepokan itu telah berlangsung upacara yang mengerikan di setiap purnama.”
Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Disaat terakhir ia memang mendengar berita tentang upacara-upacara aneh yang telah diselenggarakan di padepokan Serigala Putih itu. Tetapi keterangan yang pasti masih belum diperolehnya.
“Siapa tahu, pengaruh ilmu yang kurang sewajarnya, telah membuat Empu Baladatu kehilangan kesadaran atas ikatan persaudaraan.”
Empu Sanggadaru menggeleng sambil tersenyum, “Tentu tidak. Ia adalah anak yang baik menurut pendapatku.”
Petugas sandi itu termangu-mangu sejenak. Ia dapat mengerti bahwa Empu Sanggadaru tidak menaruh banyak perhatian tentang keadaan adiknya. Namun demikian, petugas itu masih ingin meyakinkan bahwa Empu Sanggadaru harus berhati-hati.
“Hanya berhati-hati” berkata petugas itu, “apakah salahnya. Jika sekiranya tidak ada apa-apa dengan Empu Baladatu, maka sikap hati-hati itu akan tetap menguntungkan “
Empu Sanggadaru tertawa. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Baiklah. Aku akan berhati-hati.”
Empu Sanggadaru tidak banyak menanggapi keterangan petugas sandi itu. Bahkan iapun kemudian minta diri untuk pergi ke Sanggarnya. Tetapi, tidak demikianlah sebenarnya yang ada di dalam pertimbangan nalar Empu Sanggadaru. Betapapun juga ia mencoba mempercayai adiknya dengan perasaan seorang kakak, tetapi pertimbangan nalarnya membenarkan pesan petugas sandi itu meskipun tidak dikatakannya. Dengan ragu-ragu ia memanggil beberapa orang kepercayaannya di dalam sanggar tertutupnya.
“Katakan. Katakan kepadaku, apakah mungkin tejadi bahwa adikku itu berbuat jahat kepadaku?” bertanya Empu Sanggadaru kepada pembantu-pembantunya terdekat.
“Bagaimanakah pendapat para prajurit yang berada di padepokan ini?” bertanya seorang pambantunya.
Empu Sanggadaru menarik nafas. Katanya, “Sejak semula, sebelum ada apa-apa, prajurit-prajurit itu sudah curiga. Itulah sebabnya ia berada di sini“
“Dan Empu sendiri?”
“Kalian, kalianlah yang harus mengatakannya kepadaku apakah adikku itu akan mengkhianatiku?”
“Empu” desis seorang pembantunya, “menurut pendengaran kami tentang padepokan-padepokan yang kemudian berada di bawah pengaruh Empu Baladatu, memang mempunyai kebiasaan baru yang aneh. Mereka adalah orang-orang yang disebut berilmu hitam. Namun di bawah bimbingan Empu Baladatu, ilmu yang disebut hitam itu menjadi semakin jelas. Bukan saja ilmu yang dipergunakan untuk kepentingan kejahatan, tetapi sumber dan cara penyadapannyapun menunjukkan bahwa ilmu itu memang ilmu hitam.”
“Dan karena itu maka adikku itu sampai hati berbuat jahat kepadaku?”
“Menilik sikap dan keragu-raguan Empu Sanggadaru agaknya Empu memang sudah mempunyai pertimbangan yang demikian. Tetapi perasaan Empu sebagai saudara tua tidak mau melihat pertimbangan nalar itu“
Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa ia memang mencurigai sikap adiknya. Di saat-saat menjelang purnama naik, ia selalu digelisahkan oleh berita tentang upacara yang gila itu. Kini, mendekati purnama naik, ia justru mendengar persiapan yang besar pada padepokan Serigala Putih itu.
“Orang-orang Serigala Putih mempunyai naluri dendam kepada kita” berkata salah seorang pembantunya.
Empu Sanggadaru mengangguk. Katanya, “Aku telah membunuh pemimpinnya di saat terakhir. Aku bukan orang yang baik hati, yang dapat melepaskan perasaan dendam dan marah. Tetapi terhadap adikku sendiri, seharusnya aku tidak mencurigainya.”
“Memang seharusnya. Tetapi bagaimanakah jika ada pertimbangan-pertimbangan lain yang pernah kita lihat?”
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Lalu katanya dengan suara yang lantang, “Apa boleh buat. Kita akan mempersiapkan diri. Semua cantrik dan keluarganya yang berada di tanah padepokan harus mendapat peringatan bahwa bahaya sudah siap diambang pintu menjelang purnama naik. Pergilah, siapkan mereka seluruhnya sesuai dengan kemampuan mereka dan di dalam kelompok masing-masing. Biarlah mereka tersebar di padukuhan masing-masing di luar padepokan. Tetapi tentukan isyarat apakah yang akan memanggil mereka jika keadaan memaksa.”
Pembantu-pembantunya mengangguk-angguk. Tetapi salah seorang dari mereka bertanya, “Apakah tidak sebaiknya mereka dikumpulkan di dalam padepokan Empu. Kita akan bersama-sama menghadapi lawan“
Empu Sanggadaru menggeleng. Katanya, “Mungkin kita terlalu berprasangka buruk terhadap adikku. Tetapi seperti yang kalian sarankan, kita tidak akan meninggalkan kewaspadaan.”
“Jadi, mereka harus bersiap di tempat masing-masing?”
“Ya. Pergilah kepadukuhan-padukuhan di tanah padepokan ini.”
Para pembantunya, para putut dan jejanggan serta beberapa orang cantrik yang ada di padepokan kupan segera menyebar, mengabarkan kesiagaan yang harus mereka lakukan
“Dalam keadaan yang gawat, akan terdengar panah sendaren, atau panah api jika malam hari. Karena itu, bersiaplah. Jangan meninggalkan padukuhan. Jika kalian berada di sawah atau pategalan, bersiaplah dengan senjata, karena mungkin sekali kalian harus segera berlari dan berkumpul dalam kelompok-kelompok masing-masing.”
Para cantrik itupun mengangguk-angguk.
“Siapkan badan dan jiwa kalian menghadapi segala kemungkinan. Kalian telah memiliki ilmu kanuragan meskipun masih-belum cukup baik, namun sudah cukup untuk melindungi diri kalian masing-masing. Siapkan pintu-pintu pada urung-urung di bawah tanah, karena mungkin sekali kalian harus melalui urung-urung itu jika semua pintu telah tertutup. Atau sebaliknya, kita yang di dalam harus keluar lewat urung-urung itu.”
Yang mendengar berita itu menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka memang pernah mempelajari olah kanuragan, tetapi mereka mengharapkan hidup yang tenang dan damai. Mereka tidak mempersiapkan diri mereka untuk berkelahi, kecuali sekelompok cantrik pilihan yang memang ditempa untuk mengamankan padepokan dan tanah-tanah pertanian di sekitarnya, yang berada di bawah pengaruh padepokan itu.
“Tetapi jika hidup kalian terancam, tanah kalian dan harta benda kalian, terlebih-lebih hak dan milik kalian seluruhnya yang kalian siapkan bagi masa depan anak cucu kalian akan dirampas orang, apakah kalian akan dapat diam dan ketenangan dan kedamaian hati?” bertanya para petugas yang menghubungi para petani yang berada di bawah pengaruh padepokan Empu Sanggadaru. Mereka mengangguk-angguk.
“Kalian akan mempertahankan milik kalian. Sebentar lagi purnama akan naik.Menurut perhitungan kami, saat purnama naik adalah saat yang paling gawat menghadapi orang-orang berilmu hitam. Pada saat-saat semacam itu mereka memerlukan korban darah. Pertempuran adalah korban darah yang paling baik bagi mereka, karena mereka dapat mengorbankan jauh lebih banyak dari satu orang saja.”
Terasa bulu-bulu para petani itu meremang. Namun kemudian mereka mulai disentuh oleh rasa tanggung jawab atas hak miliknya, sehingga di samping hak itupun mereka merasa berkewajiban untuk mempertahankannya.
“Baiklah” jawab para petani, bukan saja yang muda, tetapi juga yang sudah separo baya, “kami akan siap dengan senjata kami.”
Tetapi para petugas itupun menyadari, bahwa ilmu yang mereka miliki bukannya ilmu olah kanuragan seperti seorang prajurit. Jika mereka dapat menggerakkan senjata, itu sekedar untuk melindungi diri. Sehingga karena itu, perlu dipertimbangkan oleh Empu Sanggadaru, apakah pada setiap kelompok tidak diletakkan orang-orang yang memang memiliki kemampuan untuk bertempur.
Ternyata bahwa beberapa orang petugas yang menghubungi mereka yang berada di luar padepokan itu sependapat, bahwa mereka memerlukan satu dua orang yang akan memberikan petunjuk dan aba-aba bagi mereka- Tanpa satu dua orang yang dapat memberikan pengarahan dalam kekisruhan perang, maka mereka akan menjadi bingung.
Ketika hal itu disampaikan kepada Empu Sanggadaru, maka Empu Sanggadarupun berkata, “Seolah-olah kalian sudah menjatuhkan hukuman pada adikku, bahwa ia benar-benar akan melakukan kejahatan itu.”
Para putut itupun menundukkan kepalanya. Mereka menyadari, betapa pahitnya perasaan Empu Sanggadaru menanggapi sikap adiknya itu.
Namun kemudian Empu Sanggadarupun bertanya, “Apakah demikian pertimbanganmu?”
Sejenak para putut itu masih ragu-ragu. Namun kemudian salah seorang menjawab, “Mungkin itu hanya sekedar sikap curiga Empu. Tetapi seandainya tidak terjadi sesuatu di saat purnama naik, maka tidak ada salahnya jika kita berhati-hati menghadapi keadaan yang tidak menentu itu“
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Jawabnya, “Baiklah. Aturlah tenaga yang ada di padepokan ini. Separo dapat kau kirim keluar, dan separo akan tetap berada di dalam. Jangan lupa, bukalah semua pintu pada urung-urung di bawah tanah, yang menghubungkan bagian dalam dan bagian luar padepokan ini. Mungkin kita memerlukannya. Mungkin adikku benar-benar berbuat jahat, tetapi mungkin kitalah yang dibayang-bayangi oleh kejahatan di dalam hati kita sendiri“
Para putut itupun menarik nafas. Tetapi salah seorang dari antara mereka bertanya, “Bagaimana dengan para prajurit Singasari yang ada di padepokan ini Empu?”
“O, mereka sudah banyak berjasa. Mereka sudah menumbuhkan kemampuan yang berlipat ganda bagi kita.”
“Maksudku, menghadapi keadaan yang tidak menentu ini.”
“Mereka sudah mendengar laporan para petugas sandi. Aku kira mereka sudah mempersiapkan diri pula.”
“Tetapi bukankah kita berada dalam lingkungan yang sama sehingga kita harus mengatur diri, agar kita dapat bekerja bersama sebaik-baiknya dengan mereka?”
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan memanggil Senapatinya. Kita akan menentukan kerja sama yang sebaik-baiknya untuk menenteramkan diri karena kecurigaan petugas-petugas sandi itu.”
Tidak seorangpun yang menjawab. Tetapi para purut itu melihat, bahwa sebenarnya bahwa kecurigaan itu ada pula dihati Empu Sanggadaru, betapapun juga ia berusaha menyembunyikannya di balik kecintaannya kepada kadang sendiri.
“Apakah salah seorang dari kami harus memanggilnya sekarang Empu.” bertanya salah seorang putut.
“Baiklah. Panggillah Senapati itu.”
Sejenak kemudian, Senapati yang diserahi tanggung jawab atas para prajurit Singasari yang ada di padepokan Empu Sanggadaru itu telah berada di dalam lingkungan para pemimpin padepokan itu. Dengan singkat Empu Sanggadaru menanyakan kepada mereka, apakah yang dapat mereka lakukan jika benar-benar terjadi serangan atas padepokan itu.
“Kami justru berpendapat, bahwa laporan petugas sandi dari Singasari itu benar Empu, sehingga kita harus berada dalam kewaspadaan tertinggi.”
“Sudah, aku sudah bersiap-siap” jawab Empu Sanggadaru yang kemudian menceriterakan apa saja yang sudah dilakukan oleh anak buahnya.
Senapati itu mendengarkan keterangan Empu Sanggadaru dengan saksama. Sambil mengangguk-angguk iapun berkata, “Terima kasih Empu.”
“Kenapa kau mengucapkan terima kasih kepadaku?” bertanya Empu Sanggadaru
Senapati itu menjadi heran mendengar pertanyaan Empu Sanggadaru, sehingga karena itu, ia justru berdiam diri. “Agaknya Empu Sanggadaru menyangka bahwa dengan sengaja aku menyatakan ucapan itu agar ia dengan sepenuh hati berkelahi dengan adiknya” berkata Senapati itu di dalam hatinya.
Tetapi ternyata bahwa Empu Sanggadarupun tidak bertanya lagi. Bahkan iapun kemudian berkata, “Nah Senapati. Apakah rencana kita seterusnya?”
“Seperti yang sudah Empu lakukan.”
“Membagi orang-orang terpercaya kepada padukuhan-padukuhan di sekitar padepokan ini?”
“Diantaranya kita memang harus berbuat demikian. Jika Empu tidak berkeberatan, aku setuju jika sebagian para prajurit yang ada inipun dipencar kebeberapa padukuhan.“
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Jawabnya, “Baiklah. Kita akan segera berpencar.”
“Tetapi padukuhan ini harus diisi dengan pasukan terbaik dari kita semuanya. Jika lawan sudah memberanikan diri menyerang, itu berarti bahwa yang dibawanya adalah prajurit-prajurit terbaiknya. Kitapun harus menyiapkan prajurit terbaik untuk menahan serangan itu.”
“Jumlah kita tidak terlalu banyak” desis Empu Sanggadaru.
“Cukup banyak. Apalagi dengan kekuatan yang berada di padukuhan yang menyatakan diri berada di bawah pengaruh Empu Sanggadaru.”
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Namun kemudian ia bertanya, “Berapakah kekuatan yang kira-kira akan dibawa oleh gerombolan Serigala Putih?”
“Menurut laporan lebih dari dua ratus orang Empu.” Jawab Senapati itu.
“Dua ratus orang?” Empu Sanggadaru menjadi heran, “darimanakah ia dapat mengumpulkan orang sebanyak itu? Jika kita berhasil mengerahkan segenap laki-laki di padepokan ini ditambah dengan setiap laki-laki di padukuhan yang menyatakan diri dibawah pengaruhku, barulah kita dapat mengumpulkan jumlah itu. Bahkan barangkali masih kurang.”
“Tetapi dengan sepasukan prajurit yang berada di sini, jumlah itu akan dicapai. Bahkan lebih meskipun hanya sedikit.”
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Jumlah itu sudah cukup memadai. Dari jumlah yang ada di dalam padepokan ini, sebagian akan aku kirim kepadukuhan-padukuhan untuk membimbing mereka dalam benturan kekuatan dalam jumlah yang besar. Sedangkan yang lain akan tetap berada di padepokan ini.”
Senapati prajurit Singasari yang berada di padepokan itupun kemudian berkata, “Baiklah. Aku akan segera menyiapkan prajurit-prajuritku. Tetapi Empu harus ingat, bahwa di sini mereka satu dengan cantrik-cantrik Empu Sanggadaru.”
“Ya. Tolonglah, pilihlah di antara cantrik-cantrikku yang khusus itu. Mereka tentu akan sangat berarti bagi padukuhan padukuhan di luar padepokan ini.”
“Kita harus bersiap sebelum purnama naik.”
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Dengan suara yang berat iapun memerintahkan para putut untuk menentukan para cantrik padepokan itu yang sebenarnya, yang akan berpencar bersama para prajurit.
Sejenak kemudian maka Senapati prajurit Singasari itu telah berbicara dengan pembantu-pembantunya yang telah meluluhkan diri dalam kehidupan di padepokan itu. Merekapun segera membagi diri dan bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.
“Jumlah kita terlalu sedikit” berkata salah seorang prajurit
“Cukup memadai. Kita akan berpencar di empat padukuhan dan akan mendekati padepokan ini dari empat jurusan. Para cantrik dan orang-orang yang berada di bawah pengaruh padepokan ini telah menentukan tempat-tempat untuk berkumpul apabila mereka diperlukan. Kitapun akan berada bersama mereka.”
“Baiklah. Kita harus segera pergi.”
“Kita akan menyesuaikan diri dengan para cantrik yang akan pergi pula kepadukuhan-padukuhan itu. Kita akan mengirimkan ke setiap penjuru sebanyak lima orang di samping para cantrik. Jika benar yang akan datang lebih dari dua ratus orang, maka pertempuran itu akan merupakan pertempuran yang berat.”
“Berapa orang selain kita berlima yang akan berada di setiap penjuru?“
Senapati itu menggeleng. "Aku belum tahu, berapa orangkah yang akan ditetapkan oleh Empu Sanggadaru karena sebagian dari kita akan mengadakan perlawanan dari dalam.”
Para prajurit itu pun mengangguk-angguk. Mereka membayangkan bahwa padepokan ini akan mengalami kesulitan jika jumlah lawan itu bertambah.
“Berhati-hatilah. Berilah petunjuk-petunjuk. Dan kalian harus dapat mengambil sikap mendahului mereka yang pengalamannya di medan tentu belum seluas kalian. Prajurit Singasari di saat terakhir yang berada di padepokan ini telah bertambah menjadi tigapuluh orang, sehingga sepuluh orang di antara kita akan tetap berada di padepokan.”
“Bagaimana dengan kedua anak muda itu?” bertanya salan seorang dari prajurit-prajurit itu.
Senapati itu terdiam sejenak. Kehadiran dua orang anak muda di padepokan itu telah menambah kesegaran suasana. Anak yang gembira itu seolah-olah telah mengisi kejemuan yang kadang-kadang memang terasa menyentuh hati para prajurit yang merasa kehadirannya di padepokan itu bagaikan tersisih dari pergaulan.
“Anak-anak itu sangat menyenangkan” berkata Senapati itu, “sebenarnya aku ingin mempersilahkan mereka menyingkir. Tetapi kita tahu, bahwa mereka adalah anak-anak yang memiliki kelebihan dari kita semuanya. Apalagi kakaknya, Mahisa Bungalan yang setiap kali dengan tiba-tiba saja muncul menjenguk adik-adiknya.”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk.
“Biarlah ia berada di padepokan.” berkata Senapati itu kemudian, “mereka yang tinggal di padukuhan ini tentu akan menjadi paling jemu dibandingkan dengan mereka yang sempat berada di padukuhan.”
“Baiklah” berkata para prajurit itu.
Senapati prajurit Singasari itupun segera menyusun dan membagi orang-orangnya. Lima orang di empat penjuru.
“Jika jumlah kita bertambah di saat terakhir, setelah kita mengalami pergantian sekali, maka agaknya kecurigaan para petugas sandi semakin bertambah. Kini kecurigaan itu telah memuncak, sehingga mereka memberikan batas waktu yang dekat agar kita berhati-hati.”
“Agaknya kecurigaan mereka itu beralasan“
Demikianlah maka para prajurit itu membagi diri. Mereka tinggal menunggu perintah Empu Sanggadaru. Setelah berbicara dan mematangkan semua persiapan, maka Sanggadaru pun segera memerintahkan semua orang yang akan meninggalkan padepokan untuk bersiap. Jika malam tiba, mereka harus meninggalkan regol padepokan dengan hati-hati, agar tidak menarik perhatian orang yang mungkin dengan tidak sengaja melihatnya. Mungkin orang yang kebetulan lewat, mungkin orang-orang yang dengan sengaja mengawasi padepokannya.
Ternyata Empu Sanggadaru dan prajurit Singasari itupun cukup berhati-hati. Sebelum mereka melepaskan kelompok-kelompok yang akan meninggalkan padepokan, mereka telah menyebar beberapa orang petugas untuk melihat, apakah ada orang-orang yang dengan tersembunyi mengamat-amati padepokan itu.
“Kami tidak menjumpai seorang pun” berkata salah seorang cantrik yang bertugas mengawasi keadaan. Ternyata yang lain pun sama sekali tidak melihat sesuatu yang mencurigakan.
Demikianlah ketika malam mulai turun, maka dalam kegelapan malam yang diterangi oleh sinar bulan yang samar-samar menjelang malam purnama, kelompok-kelompok kecil telah meninggalkan padepokan. Mereka sama sekali tidak mempunyai waktu lagi untuk menyusun barisan yang teratur dan mapan. Untunglah bahwa pada saat-saat tertentu mereka selalu mengadakan latihan kanuragan. Apalagi sejak para prajurit berada di padepokan itu. Meskipun mereka tidak membayangkan bahwa pada suatu saat mereka akan mengalami suatu pertempuran yang besar dan seru, namun mereka dengan sungguh-sungguh telah berlatih untuk membela diri pada setiap kemungkinan yang dapat saja terjadi.
Tetapi di antara para petani yang kurang bersungguh-sungguh dalam latihan-latihan olah kanuragan, terdapat sekelompok cantrik yang memang telah menempa diri dalam olah kanuragan. Mereka adalah murid-murid Empu Sanggadaru yang sebenarnya. Dan mereka adalah orang-orang yang dipercaya untuk mempertahankan padepokan itu apabila marabahaya datang menerkam. Dan para cantrik itulah yang kemudian disebar bersama-sami para prajurit. Tetapi seperti juga para prajurit, cantrik yang terpercaya itupun jumlahnya tidak terlampau banyak.
Setiap sepuluh orang di antara mereka telah dikirim keempat penjuru bersama lima orang prajurit, sehingga di setiap arah dari keempat penjuru, terdapat lima belas orang yang memiliki kemampuan yang dapat dibanggakan. Lima belas orang itulah yang kemudian bertugas untuk menghimpun orang-orang yang ada di setiap padukuhan.
“Semuanya harus bersiap sebelum purnama naik.” desis Empu Sanggadaru saat ia melepas para cantrik dan para prajurit itu.
Adalah di luar dugaan, bahwa tiba-tiba saja di saat-saat para cantrik dan para prajurit membagi diri, Mahisa Bungalan telah datang kepadepokan itu dengan tergesa-gesa. Setelah menyerahkan kudanya dan duduk bersama Empu Sanggadaru, maka iapun berkata, “Empu, agaknya dugaan bahwa orang-orang dari Serigala Putih akan membalas dendam itu bukannya sekedar dugaan. Tentu saja kini mereka mempunyai kekuatan yang lain, kecuali kekuatan padepokan Serigala Putih sendiri.”
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Dengan suara berat ia bertanya, “Dan menurut dugaan anakmas, adikku Baladatu telah dapat mereka peralat?”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak dapat mengatakan Empu. Apakah Empu Baladatu telah diperalat, atau karena alasan yang lain. Tetapi yang jelas, bahwa dalam keadaan seperti sekarang ini, Serigala Putih, telah menjadi satu dengan padepokan gerombolan Macan Kumbang.”
“Itulah agaknya mereka sempat mengumpulkan orang sebanyak dua ratus orang.”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun katanya, “Tidak hanya kedua kelompok itu saja.”
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Jika bukan saja kedua kelompok itu tentu ada sekelompok orang-orang yang datang dari padepokan Empu Baladatu sendiri.
Namun Mahisa Bungalan berkata, “Para petugas sandi melihat orang-orang dari kelompok yang belum diketahui berdatangan kepadepokan kelompok Serigala Putih.”
Empu Sanggadaru termenung sejenak. Kemudian terdengar suaranya yang dalam dan datar, “Baladatu agaknya benar-benar telah diperalat, sehingga ia kehilangan kecintaannya terhadap saudara sendiri.” namun kemudian ia menggeram, “tetapi jika demikian, apa boleh buat.”
Empu Sanggadaru pun segera memerintahkan semua orang nya bersiap. Ternyata Mahisa Bungalan tidak meninggalkan padepokan itu. Ia tidak sampai hati meninggalkan kedua adiknya yang berada di padepokan itu pula.
Dalam pada itu, orang-orang yang memencar di luar padepokanpun segera, menghimpun kekuatan. Meskipun orang-orang yang berada di padukuhan itu bukannya cantrik-cantrik dan prajurit Singasari, namun mereka pada umumnya telah memiliki dasar ilmu kanuragan yang dapat melindungi diri mereka masing-masing.
Tetapi jumlah mereka tidak terlalu banyak. Disetiap penjuru, para prajurit dan para cantrik tidak dapat mengumpulkan anak-anak muda dan laki-laki yang masih cukup kuat memegang senjata lebih dari tiga puluh orang. Bahkan di salah satu penjuru, mereka tidak lebih dari dua puluh lima orang saja.
“Jumlah kita tidak terlalu banyak” berkata salah seorang cantrik kepada para prajurit yang berada di antara mereka.
“Jumlah kadang-kadang memang menentukan” jawab prajurit itu, “tetapi yang lebih menentukan lagi adalah nilai perseorangan dari mereka yang saling berbenturan itu.”
Para cantrik dan mereka yang berada di padukuhan itu mengangguk-angguk.
“Aku yakin bahwa jumlah kita sudah memadai” berkata prajurit itu pula, “kita tidak saja merasa berdiri di pihak yang benar karena kita mempertahankan hak yang kita miliki dengan syah, tetapi juga karena kita masing-masing telah pernah mempelajari dan melatih diri bagaimana caranya kita bertempur “
Setiap laki-laki dan terutama anak-anak mudanya menjadi berbesar hati. Mereka merasa wajib untuk mempertahankan hak yang sudah mereka miliki dengan syah.
“Pergunakan untuk memanaskan badan” berkata para prajurit kepada anak-anak muda dan laki-laki di padukuhan yang berada di bawah pengaruh padepokan Empu Sanggadaru itu, “waktu kita banyak. Kita harus mencapai kesiagaan tertinggi pada saat purnama naik, saat orang-orang dari perguruan ilmu hitam itu mencari korbannya.”
Anak-anak muda dan laki-laki yang telah berkumpul dengan senjata masing-masing itupun mengangguk-angguk.
“Bukankah kalian pernah mendengar kabar tentang orang berilmu hitam itu?”
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk pula.
“Kita tidak mau menjadi korban yang mengerikan itu.Lebih baik kita mati di medan pertempuran daripada mati dengan kaki dan tangan terikat di alas batu menyerahkan korban dan ditikam di alah jantung dengan perlahan-lahan.”
Terasa tengkuk anak-anak muda dan laki-laki yang mendengar keterangan itu meremang. Seorang di antara mereka berdesis kepada kawannya, “Memang lebih baik mati ditikam pedang di pertempuran.”
Demikianlah anak-anak muda dan laki-laki di setiap padukuhan itupun mulai memanaskan diri. Purnama naik sudah berada di dapan hidung mereka. Lewat sehari, jika malam tiba, maka malam itu akan diterangi dengan bulan bulat. Saat yang paling mengerikan bagi mereka yang berada di sekitar orang-orang berilmu hitam itu.
“Kita masih mempunyai waktu malam ini dan satu hari besok” berkata prajurit yang mengatur pasukan kecil di setiap penjuru itu, “kita harus menyesuaikan diri, bagaimanakah cara kita menghadapi musuh yang menurut keterangannya akan datang dalam jumlah yang besar.”
Anak-anak muda dan laki-laki di setiap padukuhan itu pun kemudian berusaha untuk menyesuaikan diri dengan petunjuk para prajurit dan para cantrik, yang berada di antara mereka. Dengan singkat para prajurit memberikan beberapa petunjuk untuk melakukan perang dalam kelompok-kelompok yang lebih besar dari kelompok-kelompok mereka sendiri.
“Kita tidak boleh bertempur sekedar menuruti keinginan sendiri. Kita, kelompok ini harus tetap merupakan sebuah kelompok yang bulat, sehingga nasib kita akan kita tentukan bersama-sama” pesan prajurit itu.
Dengan sungguh-sungguh merekapun mengadakan latihan sekedarnya mengatur diri sesuai dengan kemampuan yang ada di antara mereka.
Ketika tengah malam telah lewat, maka prajurit-prajurit yang ada di antara mereka itupun mengakhiri petunjuk-petunjuk yang mereka berikan. Salah seorang dari prajurit-prajurit itupun kemudian mempersilahkan anak-anak muda dan laki-laki yang berada di antara mereka yang telah mempersiapkan diri itupun untuk beristirahat.
“Tidurlah, agar badan kalian tetap segar. Besok siang kita masih mempunyai waktu sehari. Kita akan mempergunakan sebaik-baiknya untuk menghadapi segala kemungkinan dan mencari tempat yang sebaik-baiknya untuk menunggu kedatangan lawan. Bahkan mungkin mereka akan datang di siang hari.
Setiap orang yang mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan itupun segera beristirahat, mengikuti petunjuk para prajurit yang ada di antara mereka. Namun kegelisahan di dalam hati, telah membuat mereka sama sekali tidak dapat tidur nyenyak. Ada satu dua di antara mereka yang mendengkur. Tetapi kemudian terbangun sambil tergagap oleh kejutan di dalam mimpinya sendiri.
Namun dalam pada itu, para prajurit dan para cantrik yang dikirim oleh Empu Sanggadaru, telah membagi diri untuk mengadakan pengawasan yang ketat terhadap padukuhan masing-masing dan arah isyarat dari padepokan. Jika serangan itu datang dengan tiba-tiba setiap saat, mereka harus bersiaga menghadapi kemungkinan-kemungkinan itu. Juga apabila serangan itu datang di pagi atau siang hari besok. Mereka tidak boleh menjadi bingung dan kehilangan pegangan.
Kegelisahan mereka rasa-rasanya ikut hanyut dalam kegelapan yang semakin tipis di pagi hari. Ketika matahari kemudian terbit, rasa-rasanya hati mereka yang sedang mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan itu menjadi lebih tenang, meskipun mereka sadar, bahwa mereka harus tetap berhati-hati, karena tidak mustahil bahwa tiba-tiba saja di siang hari lawan mereka datang seperti banjir bandang melanda padepokan mereka yang nampak sepi.
“Kita masih sempat berbuat sesuatu” berkata para prajurit, “kecuali bersiaga, kita juga masih sempat melatih diri barang sejenak.”
Laki-laki dan anak-anak muda di padukuhan itupun segera berkumpul ditengah-tengah padukuhan mereka. Sekali lagi para prajurit itupun memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana mereka harus menghadapi lawan yang kadang-kadang bertempur di luar dugaan.
“Jangan bingung menghadapi setiap kesulitan” para prajurit itupun memberikan petunjuk. Bahkan kemudian anak-anak muda dan laki-laki yang telah bersiap itu dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang dipimpin oleh seorang prajurit untuk berlatih lebih terperinci lagi bersama dengan para cantrik, yang membagi diri dalam kelompok-kelompok itu pula.
Sementara orang-orang itu berlatih, maka mereka tidak lupa meletakkan beberapa petugas yang mengawasi keadaan di sekitar padukuhan mereka. Jika mereka melihat sepasukan mendatangi padukuhan, mereka harus segera bertindak. Juga jika mereka mendengar bunyi isyarat dari padepokan. Kentongan, atau panah sendaren.
Selagi orang-orang dari padepokan Empu Sanggadaru yang jumlahnya tidak sebanyak orang-orang yang telah disiapkan oleh Empu Baladatu, maka pasukan yang sudah tersusun itupun masih belum berangkat menuju kesasaran. Meskipun Empu Baladatu dapat mengemukakan berbagai alasan, namun sebenarnyalah bahwa ia ingin menyembunyikan kenyataan, bahwa pasukannya tidak terdiri dari satu lingkungan, sehingga kedatangannya akan segera diketahui, bukannya sekedar dendam orang-orang dari padepokan Serigala Putih. Meskipun setiap kelompok dari gerombolan yang berbeda telah berusaha menyesuaikan diri, tetapi perbedaan itu masih akan mudah di lihat di dalam pertempuran di siang hari. Karena itu, maka Empu Baladatu telah memutuskan untuk menyerang padepokan kakaknya di malam hari.
“Yang akan terjadi adalah upacara korban yang terbesar yang pernah kita selenggarakan” berkata Empu Baladatu kepada orang-orangnya, terutama yang menyadap ilmu hitam sepera yang dilakukan oleh orang-orang dari gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang, “korban yang akan membasahi senjata kalian dan ubun-ubun kalian bukannya sekedar dari satu orang saja, tetapi dari berpuluh-puluh orang. Kalian dapat membasahi senjata kalian dengan darah dari dua tiga orang, dan membasahi ubun-ubun kalian dengan darah bermangkuk-mangkuk. Bukan hanya setitik,“
Pernyataan itu ternyata telah berhasil membakar hati orang-orang Serigala Putih dan Macan Kumbang, sementara orang-orang dari Mahibit hanya tersenyum saja mendengarkan. Tetapi saat itu mereka mendapat tugas untuk bekerja bersama dengan orang-orang dari padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang sehingga mereka sama sekali tidak mengganggu jalan pikiran orang-orang berilmu hitam itu.
“Kita akan melihat, apa yang akan mereka lakukan di peperangan” bisik salah seorang yang datang dari Mahibit, “upacara besar-besaran itu tentu akan sangat menarik perhatian.”
Kawannya hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi kawannya yang lain berdesis, “Itu kalau kau sempat.”
“Kenapa tidak sempat?”
“Kalah kau mati?”
Kawannya tertawa. Jawabnya, “Itu tidak perlu dicemaskan. Lawan kita terlalu lemah. Tetapi jika yang lemah itu sempat membunuhku, itu adalah kecelakaan yang pantas di sesali oleh kalian semuanya.”
Yang lain tidak menyahut lagi. Mereka seolah-olah tidak memperhatikan lagi apa yang akan terjadi. Bahkan mereka pun tidak memperdulikan diri mereka masing-masing pula, karena merekapun berusaha untuk dapat melupakan semuanya barang sejenak di dalam istirahat yang utuh sebelum mereka akan terjun di kancah peperangan.
Jika di hari itu, orang-orang di padepokan Empu Sanggadaru masih sibuk memperhatikan petunjuk-petunjuk yang lebih terperinci, dan sekali-kali berlatih mempergunakan senjata, maka orang-orang dari padepokan Macan Kumbang, Mahibit dan juga orang-orang Serigala Putih sendiri, berusaha untuk menenangkan hati dan beristirahat.
Dengan demikian, maka perhitungan orang-orang dari padepokan Empu Sanggadaru tentang kemungkinan kedatangan orang-orang berilmu hitam itu adalah tepat. Mereka akan mempergunakan saat purnama untuk menyampaikan korban terbesar dalam upacara mereka. Meskipun demikian, masih terbersit niat pada Empu Baladatu, bahwa ia akan dapat menundukkan padepokan kakaknya dan menangkap kakaknya hidup-hidup.
“Bukan tujuan mutlak” berkata Empu Baladatu kepada Linggadadi, “tetapi jika mungkin maka tenaganya akan berguna bagi kami.”
“Mungkin berguna, tetapi mungkin juga berbahaya,” jawab Linggadadi.
“Kita akan menaklukkannya dan memaksanya untuk berjanji- Jika ia menolak, kita akan membunuhnya dengan menyerahkannya sebagai korban yang paling berharga. Tetapi jika ia dapat menyadari kedudukannya, maka kita akan dapat memaafkannya.”
Linggadadi tersenyum. Senyumnya mengandung seribu arti yang tidak dapat dimengerti oleh Empu Baladatu. Namun Kiai Dulang yang ada di antara mereka dapat melihat, betapa ngerinya senyuman itu. Tanpa Linggapati, Linggadadi adalah seorang yang sangat buas. Tidak kalah buasnya dengan orang-orang yang disebut berilmu hitam seperti Kiai Dulang sendiri.
Seperti dirinya sendiri, maka Linggadadi pun tentu tidak akan mengambil jalan seperti yang dikehendaki oleh Empu Baladatu. Baginya kematian adalah hadiah yang paling baik diberikan kepada lawan-lawannya.
“Jika Empu Sanggadaru jatuh di tangan Linggadadi, maka ia akan menjadi lumat meskipun ia menyerah” berkata Kiai Dulang di dalam hatinya.
Disiang hari, orang-orang dari padepokan Serigala Putih, Macan Kumbang dan orang-orang Mahibit, berkesempatan untuk tidur barang sejenak. Ketika mereka terbangun lewat tengah hari, mereka merasa dirinya semakin segar. Satu-satu mereka pergi kepakiwan, seolah mereka sedang bersiap-siap untuk datang ke peralatan perkawinan. Berurutan mereka mandi dan kemudian membenahi diri, karena yang akan mereka lakukan bagi orang-orang berilmu hitam, bukannya sekedar sebuah peperangan yang dahsyat tetapi juga penyerahan korban terbesar sejak mereka menganut ilmu hitam yang mempergunakan upacara korban dengan membasahi diri masing-masing dengan darah. Ketika matahari turun ke ujung Barat, maka semuanya sudah bersiap. Mereka akan segera berangkat langsung menuju kepadepokan Empu Sanggadaru.
“Setelah kita mendekati padepokan itu, kita akan membagi diri” berkata Empu Baladatu, “kita akan memasuki padepokan dari dua arah yang bertentangan.”
Setelah mereka mendapat kesepakatan bahwa serangan yang pertama akan datang dari arah yang berbeda dengan serangan yang menyusul kemudian, setelah perhatian seisi padepokan dicengkam oleh pertahanan atas serangan yang pertama, maka serangan yang berikutnya akan menentukan jatuhnya padepokan itu.
“Kita akan datang bersama-sama dari arah yang sama” berkata Empu Baladatu kepada Linggadadi.
Linggadadi mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tersenyum sambil menjawab, “Baik Empu. Kita akan datang bersama-sama. Biarlah anak-anak yang memancing perhatian mereka dengan serangan yang pertama. Kita berdua datang kemudian dan langsung memasuki padepokan itu tanpa kesulitan.”
Langit yang suram berangsur menjadi gelap. Namun kemudian cahaya yang kekuning-kuningan telah memancar dari balik pepohonan di sebelah Timur. Bulan yang bulat perlahan-lahan naik menerangi langit.
Orang-orang berilmu hitam yang tengah berada dalam perjalanan itu merasakan sesuatu yang seakan-akan meresap sampai ketulang sungsum. Cahaya bulan bulat merupakan nafas tersendiri dalam kehidupan orang-orang berilmu hitam itu, sehingga rasa-rasanya mereka mempunyai kesegaran melampaui saat yang lain.
Dibawah cahaya bulan bulat itu, maka perjalanan mereka bagaikan menjadi semakin cepat. Jarak antara pdepokan Serigala Putih sampai kepadepokan Empu Sanggadaru cukup panjang. Tetapi mereka tidak dibatasi oleh waktu. Selagi bulan masih nampak di langit, mereka masih sempat melakukan upacara korban yang terbesar yang akan mereka lakukan di Padepokan Empu Sanggadaru itu.
Menjelang tengah malam, pasukan itu telah mendekati Padepokan Empu Sanggadaru. Untuk beberapa saat mereka berhenti. Mereka mulai mengatur jalan dan jarak yang akan mereka tempuh.
“Seandainya mereka mengetahui semua rencana kita, mereka tidak akan mampu berbuat apa-apa” berkata Empu Baladatu, “menurut perhitunganku, orang-orang yang ada di padepokan itu tidak akan melampaui jumlah seratus.”
“Seratus adalah jumlah yang cukup banyak” sahut Linggadadi., “Jika kita lengah, mungkin yang seratus itu akan mendapat kesempatan untuk menusuk punggung kita.”
“Kita akan berhati-hati” desis Empu Baladatu, “pembagian pasukan inipun adalah salah satu ujud dari sikap hati-hati itu.”
Linggadadi tertawa Katanya, “Kapan kita akan membagi diri?”
Empu Baladatu berpikir sejenak. Memang pasukan-pasukan itu harus segera membagi diri. “Kita dapat membagi pasukan ini sekarang” berkata Empu Baladatu kemudian, “sebagian kecil akan menempuh jalan lurus, sedang yang lain akan melingkar dan menyerang dan arah yang berlawanan.”
“Linggadadi tertawa pula. Katanya, “Empu benar-benar seorang yang berhati-hati. Meskipun Empu tahu bahwa lawan kita tidak akan lebih dari seratus, namun siasat itu masih juga dipergunakan.”
“Kita menghindari korban sejauh-jauh dapat kita lakukan. Kita akan membunuh lawan sebanyak-banyaknya dengan jika mungkin tanpa seorangpun dari kita yang menitikkan darah meskipun hanya dari ujung jarinya.”
“Terserahlah.” desis Linggadadi kemudian.
Empu Baladatu pun kemudian membagi pasukannya. Ia mengambil dari setiap kelompok duapuluh lima orang sehingga seluruhnya berjumlah tujuh puluh lima orang. Dibawah pimpinan seorang kepercayaannya, maka yang tujuh puluh lima orang itupun ditugaskannya mengambil jalan langsung, seolah-olah mereka adalah keseluruhan pasukan yang datang padepokan Serigala Putih. Sementara yang lain akan melingkar dan menerkam dari belakang. Setelah memberikan pesan-pesan terakhir, maka kedua pasukan itupun mulai berpisah.
Linggadadi yang berada bersama pasukan yang langsung dipimpin oleh Empu Baladatupun kemudian menempatkan diri di antara sisa pasukan yang lain. Mereka telah bersiap memotong arah agar mereka tidak terpaut terlalu banyak dari pasukan yang langsung menyerang padepokan itu. Perhitungan yang cermat telah dipertimbangkan bersama. Pasukan yang langsung menyerang itu harus menunggu untuk waktu yang telah dipertimbangkan masak-masak.
“Bayangkan, jarak jalan yang akan kita tempuh itu akan dua kali lipat dari jalan yang kalian lalui. Dengan demikian kalian akan dapat mempertimbangkan waktu sebaik-baiknya. Selebihnya, jika kalian akan mulai menyerang, lontarkanlah panah sendaren keudara sehingga kami dapat membuat perhitungan kapan kami akan memasuki padepokan itu dari arah lain.”
Pemimpin kelompok yang akan memancing perhatian seisi padepokan itu mengangguk-angguk. Namun ia menyadari bahwa soal waktu itu akan sangat penting baginya. Jika ia terlalu cepat menyerang, maka hal itu akan sangat berbahaya bagi pasukannya. Tetapi jika terlambat dan pasukan induk itu sudah diketahui oleh lawan, maka rencananya tentu tak akan berhasil sama sekali, karena lawan akan membagi kekuatannya sebaik-baiknya.
Setelah semua pertimbangan, perhitungan dan pesan-pesan tidak ada yang terlampaui, maka Empu Baladatupun mulai dengan rencananya dalam keseluruhan.
Linggadadi yang memimpin sepasukan anak buahnya dari Mahibit nampaknya sama sekali tidak mempunyai rencana tersendiri. Ia benar-benar menempatkan pasukannya di bawah pimpinan Empu Baladatu dan anak buahnya seperti yang pernah dijanjikan oleh Linggapati.
Kedua pasukan yang terpisah itupun kemudian mengambil jalannya masing-masing dengan perhitungan waktu seperti yang sudah mereka sepakati. Pasukan yang langsung menuju sasaran berjalan agak lebih lambat, sedang yang lain berjalan semakin lama semakin cepat.
Dalam pada itu, orang-orang dari padepokan Empu Sanggadarupun sama sekali tidak lengah. Mereka melakukan pengawasan dengan ketat. Meskipun ada di antara mereka yang menganggap bahwa Empu Baladatu telah mengurungkan niatnya untuk menyerang, apalagi setelah tengah malam.
“Kita hanya dipermainkannya” desis salah seorang dari mereka yang mengawasi keadaan.
Kawannya termangu-mangu Namun jawabnya, “Malam purnama masih belum habis.”
“Sampai tengah malam. Kemudian haripun akan berganti dan bulan mulai tergelincir turun.”
“Ya. Tetapi malam masih baru separo. Yang separo masih mungkin dipergunakan oleh Empu Baladatu.”
Kawannya tidak menjawab. Namun iapun melingkar semakin bulat di bawah kain panjangnya, karena malam menjadi bertambah dingin. Namun tiba-tiba pengawas itu terkejut. Dari kejauhan mereka melihat bayangan-bayangan yang bergerak-gerak di bawah sinarnya bulan yang cerah.
“Apa itu?” bertanya yang seorang.
“Kita bersembunyi.”
Keduanyapun kemudian bergeser dan bersembunyi di balik gerumbul. Dari sela-sela dedaunan mereka mengintip, siapakah yang lewat menuju kepadepokan induk. Ketika tujuh puluh lima orang itu lewat, kedua pengawas menentukan nilai atas lawannya yang jauh di bawah dugaannya. Setelah iring-iringan itu lewat, salah seorang berdesis” Hanya sedikit.”
“Itu bukan berarti kita akan membiarkannya.”
“Apakah kita, akan menarik tali goprak itu?”
“Lebih baik tidak. Kita memotong jalan lewat pematang. Kita akan memberitahukan kehadiran mereka dengan lesan, agar lawan kita tidak mengetahui bahwa kedatangan mereka telah kita tunggu.
Sejenak kawannya termangu-mangu. Agaknya ia sedang membuat pertimbangan. Namun yang lain mendesaknya, “Marilah. Jangan terlambat.”
“Apakah kita akan pergi keinduk padepokan atau kepadukuhan.” bertanya kawannya.
“Jangan bodoh. Kita, harus kepadukuhan. Pertimbangan selanjutnya terserahlah para pemimpin yang berkepentingan. Tugas kita hanya terbatas.”
Keduanyapun kemudian dengan tergesa-gesa kembali kepadukuhan untuk melaporkan apa yang telah mereka lihat. Mereka memintas lewat pematang yang jauh lebih dekat dari jalan yang ditempuh oleh orang-orang berilmu hitam dan orang-orang Mahibit.
Ketika kedua pengawas itu melaporkan penglihatanya, maka para prajurit dan cantrik yang ada di padukuhan itu menjadi heran.
“Apakah benar yang kau lihat hanya sebuah iring-iringan pendek?” bertanya salah seorang prajurit.
“Ya. Tidak sampai seratus orang.”
Para prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Keterangan yang kita dengar mengatakan bahwa jumlah mereka jauh lebih banyak dari yang kau lihat. Agaknya ada sesuatu yang perlu dipertimbangkan.”
“Jadi?”
“Dua di antara kita harus mencapai padepokan itu lebih dahulu.”
“Yang lain?”
“Yang lain akan menyerang iring-irngan itu.”
“Jumlah kita lebih sedikit.”
“Dari induk padepokan akan dikirim orang secukupnya untuk menahan iring-iringan itu.”
Sejenak beberapa orang cantrik termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Kalau itu yang terbaik. Aku sependapat.”
“Siapkan semua orang yang bersedia ikut bersama kita. Dengan demikian, maka dua di antara para prajurit dan cantrik itupun dengan cepat meninggalkan padukuhan dan langsung menuju kepadepokan Empu Sanggadaru melalui jalan melintas seperti yang dilakukan oleh kedua orang pengawas. Mereka tidak langsung memberikan isyarat bunyi atau tanda yang lain untuk menjebak lawan agar mereka tidak menyangka bahwa kedatangan mereka sudah diketahui.
Laporan itu mengejutkan Empu Sanggadaru dan para prajurit yang ada di padepokan. Bahkan Mahisa Bungalanpun berdesis” terlalu sedikit. Yang akan datang lebih dari dua ratus orang.”
“Mungkin keterangan itu keliru“
“Tidak mungkin. Kurang dari jumlah itu, mereka tidak akan berani datang, karena mereka mengetahui serba sedikit centang padepokan ini.”
“Kita harus bertindak cepat” berkata Empu Sanggadaru kemudian. Tetapi katanya selanjutnya, “Agaknya memang ada sesuatu yang perlu kita curigai”
Mahisa Bungalan mengangguk. Katanya, “Jatuhkan perintah. Apakah kita akan menyongsong yang sedikit, atau menunggu perkembangan keadaan.”
Empu Sanggadaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian, “Berapa orang yang ada di padukuhan itu?”
Prajurit yang dikirim dari padukuhan yang dilalui oleh tujuh puluh lima orang itu menjawab, “Tidak banyak. Yang dapat diperhitungkan tidak lebih dari ampat puluh lima orang.”
“Apakah masih ada yang lain?”
“Sudah terlalu tua untuk bertempur meskipun mereka menolak untuk disisihkan. Mereka dengan kehendak sendiri bersedia ikut melawan orang-orang dari gerombolan. Serigala Putih.”
Empu Sanggadaru menjadi ragu-ragu. Jumlah itu memang terlalu sedikit. Karena itu, maka katanya, “Aku akan mengirimkan bantuan. Biarlah sepuluh orang cantrik pergi bersamamu. Kalian harus menghambat perjalanan iring-iringan itu. Jika perlu kalian dapat bertempur sambil menarik diri mendekati padepokan ini sambil menunggu perkembangan keadaan. Jika tidak ada laporan menyusul, maka jumlah itu bukanlah jumlah yang banyak. Mereka akan kita kepung, dan kita paksa untuk menyerah.”
Tetapi ketika kedua prajurit itu siap kembali kepadukuhan sambil membawa sepuluh orang cantrik yang sudah dipersiapkan, maka datang dua orang dari padukuhan yang lain membawa laporan yang mengejutkan, “Sepasukan laskar akan mendekati padepokan ini dari arah belakang. Mereka telah melingkari padepokan ini meskipun sebenarnya mereka datang dari arah depan.”
“Berapa jumlah mereka?”
“Terlalu banyak. Lebih dari dua ratus orang.”
“He” Mahisa Bungalan termangu-mangu. Jumlah itu memang terlalu banyak ditambah jumlah yang hampir seratus itu“
“Cepat, siapkan semua orang yang ada. Hubungi setiap padukuhan. Yang datang dari depan, aku serahkan sepenuhnya kepada padukuhan yang dilaluinya. Sepuluh orang cantrik yang aku serahkan, aku cabut kembali karena keadaan menjadi gawat.”
Prajurit yang datang lebih dahulu itu termangu-mangu. Namun dalam pada itu, kedua anak muda yang berada di padepokan itupun berkata hampir bersamaan, “Aku ikut“
Empu Sanggadaru memandang Mahisa Bungalan sejenak. Lalu katanya, “Terserah kepada angger Mahisa Bungalan.”
Mahisa Bungalan memandang adik-adiknya dengan tegang. Agaknya yang mereka hadapi bukannya sekedar permainan, tetapi sebenarnya bahaya.
“Kami akan berhati-hati” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Bungalan kemudian mengangguk sambil menjawab, “Kalian harus menahan diri. Jangan berbuat seperti kanak-kanak. Kalian berhadapan dengan kekuatan yang tangguh.”
“Ya kakang.”
“Pergilah.”
Kedua anak-anak muda itupun kemudian mempersiapkan senjatanya akan mengikuti prajurit yang akan kembali kepasukannya.
“Mudah-mudahan pasukan itu sudah bergerak” berkata prajurit itu, “jika tidak, kita akan terlambat. Pasukan lawan itu tentu sudah sampai kepadepokan dan menyerang dari satu jurusan, sementara yang lain akan datang dari arah yang berlawanan.”
Ternyata seperti yang sudah mereka persiapkan lebih dahulu, bahwa pasukan yang berada di padukuhan itu telah mulai bergerak. Mereka mengikuti pasukan lawan dengan hati-hati sampai saatnya mereka bertemu dengan prajurit yang mereka tugaskan menghubungi padepokan induk.
“Kita akan menyerang mereka” berkata prajurit yang baru datang bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
“Marilah. Meskipun jumlah kita tidak sebanyak jumlah lawan, tetapi kita mendapat kesempatan mendahului. Mudah-mudahan kita tidak terjebak.”
Sejenak pasukan kecil itu masih mengikuti lawannya yang melingkar mencapai tempat yang sudah ditentukan. Jika menurut perhitungan mereka, pasukan yang melingkar itu sudah siap, maka pasukan kecil yang berjalan lurus itu baru akan menyerang untuk memancing perhatian, sementara induk pasukannya akan menggilas padepokan itu dari arah lain.
“Kita biarkan sampai mereka mendekati padepokan” berkata pemimpin prajurit yang ada di dalam pasukan kecil yang mengikuti lawannya itu, “kita akan menyergap langsung untuk mengurangi jumlah lawan pada benturan pertama. Berhati-hatilah.”
Lima orang prajurit dan sepuluh orang cantrik yang terlatih baik itupun mulai memencar di antara kira-kira limapuluh orang itu, termasuk Mahisa Pukat dan Mahisa Murti. Prajurit yang memimpin pasukan kecil itu sudah memberikan isyarat. Jika mereka mendengar teriakan aba-aba, mereka harus segera bertindak.
Untuk beberapa lamanya mereka masih mengikuti lawan pada jarak tertentu dengan sangat berhati-hati. Meskipun malam diterangi oleh cahaya bulan yang bulat, namun mereka berhasil mengikuti orang-orang Serigala Putih, Macan Kumbang dan orang-orang Mahibit itu tanpa diketahui, karena orang-orang itu sama sekali tidak menyangka, bahwa pasukan lawan tidak terkumpul seluruhnya di padepokan, tetapi menunggu mereka di padukuhan masing-masing.
Seperti yang sudah mereka bicarakan, maka ketika iring-iringan itu sudah mendekati padepokan, maka dengan tiba-tiba saja telah terdengar teriakan aba-aba yang memecahkan sepinya malam.
Orang-orang Serigala Putih, Macan Kumbang dan dari Mahibit itu terkejut bukan buatan. Mereka memang tidak menyangka bahwa mereka akan menghadapi serangan yang demikian tiba-tiba justru saat mereka akan memancing perhatian orang-orang yang menurut perhitungan mereka tentu berkumpul di padepokan untuk memusatkan kekuatan mereka.
Namun mereka tidak sempat membuat pertimbangan-pertimbangan, karena sejenak kemudian, maka merekapun telah dihujani dengan lembing yang dilontarkan dengan sekuat tenaga oleh lawan mereka yang berlari-larian menyerang.
Lontaran-lontaran lembing itu benar-benar telah membuat mereka kebingungan. Meskipun lembing-lembing itu adalah sekedar bambu cendani yang panjang dan berujung sekeping besi, namun ternyata bahwa lembing-lembing itu telah berhasil mengurangi jumlah lawan. Beberapa orang yang tidak sigap menghindari atau menangkisnya, telah tertusuk dadanya, bahkan ada yang terkena punggungnya, atau tersentuh pundaknya.
Pemimpin pasukan gabungan itu menggeram. Ia sadar, bahwa pada serangan pertama itu, ia sudah kehilangan beberapa anak buahnya. Meskipun mereka tidak langsung terbunuh, tetapi ada beberapa orang di antara mereka sudah kehilangan kemampuan untuk bertempur.
Kawan-kawannya tidak mempunyai kesempatan untuk menolong mereka, karena orang-orang yang telah menunggu dan mengikuti mereka itupun dengan cepatnya telah berlari menyerang dengan senjata teracung. Ternyata bahwa selain lembing yang, mereka lontarkan, mereka masih membawa pedang atau jenis senjata-senjata yang lain.
Sejenak kemudian kedua pasukan itupun telah berbenturan dalam satu pertempuran. Ternyata perhitungan para prajurit Singasari itu berhasil. Serangan yang tiba-tiba dengan lontaran lembing dan teriakan-teriakan nyaring itu telah mempengaruhi keseimbangan. Beberapa orang lawan telah dilumpuhkan, sedang yang lain menjadi kebingungan. Tetapi karena mereka adalah orang-orang yang berpengalaman, maka merekapun segera dapat mengatur diri dalam perlawanan yang mapan. Namun jumlah mereka yang telah berkurang itu, merupakan kenyataan yang pahit bagi mereka atas kelengahan mereka.
Pertempuran yang telah terjadi itupun menjadi semakin sengit. Orang-orang berilmu hitam itupun segera terdesak untuk mempergunakan segenap kemampuan yang ada pada mereka, sehingga karena itu, maka perlawanan merekapun menjadi semakin kasar. Dalam setiap kesempatan mereka selalu berusaha untuk membentuk lingkaran yang terdiri dari empat atau lima orang.
Tetapi lawan yang mereka hadapi, sudah pernah mendengar cara orang-orang berilmu hitam itu bertempur. Karena itu maka merekapun segera menyesuaikan dirinya untuk menghindar dari putaran yang akan dapat menjerat mereka dalam kesulitan.
Namun dalam pada itu, prajurit Singasari yang ada di dalam kelompok itupun segera melihat, bahwa ada di antara lawan mereka yang memiliki ilmu dari cabang perguruan yang lain. Mereka bukan orang-orang berilmu hitam. Lima orang prajurit dan sepuluh orang cantrik yang terlatih baik itupun segera memencar. Mereka seolah-olah telah memimpin kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari tiga atau empat orang di antara kawan-kawannya. Dengan sigapnya mereka bertempur tanpa mengenal gentar.
Diantara mereka, terdapat sepasang anak muda yang memiliki kelebihan dari setiap orang di dalam pasukannya. Dengan lincah keduanya berloncatan dengan senjata ditangan. Mereka bertempur bagaikan sepasang lebah yang berterbangan. Sekali-kali menukik dan menyengat lawannya berganti-ganti.
Perlawanan yang seru itupun tidak diduga sama sekali oleh pasukan gabungan yang terdiri dari orang-orang Serigala Putih, Macan Kumbang dan orang Mahibit. Karena itu maka meskipun jumlah mereka lebih banyak, tetapi mereka segera merasa berada dalam kesulitan. Apalagi jumlah yang lebih banyak itu telah dikurangi pada benturan yang pertama. Beberapa orang di antara mereka yang terluka berusaha untuk merangkak menepi, agar tubuh mereka tidak lumat terinjak-injak oleh orang-orang yang sedang bertempur itu.
Satu dua di antara mereka yang terluka, masih berusaha untuk berbuat sesuatu. Tetapi darah yang mengalir terlalu banyak dari tubuh mereka, telah membuat mereka tidak berdaya. Meskipun demikian pasukan gabungan itu tidak menjadi cemas. Mereka menyangka bahwa mereka sedang berhadapan dengan pasukan induk dari padepokan Empu Sanggadaru.
Jika demikian, maka pasukan yang melingkari padepokan itupun akan segera datang dan menghancurkan mereka sama sekali. Namun demikian masih timbul pertanyaan di dalam hati para pemimpin dari pasukan gabungan itu. Mereka tidak melihat Empu Sanggadaru di antara lawan-lawanrya.
“Mungkin orang itu berada di padepokan” berkata pemimpin pasukan gabungan itu di dalam hatinya, “jika demikian maka ia akan segera jatuh ketangan Empu Baladatu atau Linggadadi. Jika ia berhadapan dengan Empu Baladatu dan mau menyerahkan diri, nasibnya masih akan dapat dipertimbangkan. Tetapi jika ia jatuh ketangan Linggadadi, maka nasibnya benar-benar menyedihkan. Ia akan mati dalam kekecewaan dan penderitaan.”
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa pasukan gabungan itu banyak mengalami kesulitan melawan para prajurit Singasari, para cantrik yang terlatih baik dan orang-orang yang dengan sepenuh tekad bertempur mempertahankan haknya. Kejutan yang pertama, benar-benar telah berpengaruh untuk selanjutnya.
Apalagi dengan kehadiran dua orang anak muda yang bertempur menyambar-nyambar dengan sigapnya. Senjata mereka setiap kali mematuk dengan cepat, dan meninggalkan segores luka pada lawannya, sebelum ia meloncat menjauh dan seolah-olah hilang dalam hiruk pikuk pertempuran yang dahsyat itu.
Sementara itu, induk pasukan gabungan dari orang-orang padepokan Serigala Putih, Macan Kumbang dan orang-orang Mahibit itu dengan perlahan-lahan mendekati padepokan dari arah yang lain. Mereka akan menyerang dari arah belakang, langsung menikam jantung. Mereka menganggap bahwa orang-orang di padepokan itu sedang sibuk menghadapi serangan dari pecahan pasukan yang memang sudah dikirim untuk mendahului memancing perhatian.
Kehadiran induk pasukan gabungan itu ternyata memang sudah ditunggu. Pasukan yang berada di beberapa padukuhan diluar padepokan itu pun sudah dihubungi dengan mengirimkan petugas yang langsung menyampaikan semua rencana yang telah tersusun, meskipun dengan tergesa-gesa. Isyarat-isyarat yang sudah disiapkan sama sekali tidak dipergunakan, apalagi isyarat bunyi.
Dengan hati-hati pasukan yang berada di padukuhan-padukuhan yang terpisah itu mulai mendekat. Mereka sudah mendapat petunjuk arah yang kira-kira akan dilalui oleh pasukan lawan yang jumlahnya agak mengejutkan. Lebih dari dua ratus orang. Sementara itu, jumlah yang dapat dikumpulkan dari orang-orang padepokan Empu Sanggadaru itu tidak cukup banyak untuk mengimbangi jumlah lawan. Tetapi mereka mempunyai kelebihan lain. Mereka memiliki tekad yang rasa-rasanya membakar isi dada mereka.
Karena itulah maka dengan tabah mereka telah bersiap menanti apa saja yang akan terjadi. Jangankan jumlah itu hanya sekitar dua ratus orang, seandainya lipat dua sekalipun, mereka tidak akan menjadi gentar.
Dengan demikian, maka pasukan Empu Sanggadaru di induk padepokanpun tidak terkumpul menjadi satu di dalam dinding padepokan. Sebagian mereka tetap berada di luar meskipun mereka sudah saling mendekat dan siap untuk bertempur bersama-sama. Mereka tahu benar, sesuai dengan petunjuk yang mereka terima, bahwa pasukan induk lawan akan menyerang dari belakang.
Empu Sanggadaru telah membagi pasukan kecil yang ada di padepokan. Sekelompok kecil masih harus mengawasi arah depan. Jika orang-orang yang menghentikan pasukan lawan yang memancing perhatian mereka itu gagal, dan pasukan lawan itu berhasil menyerang padepokan induk, kelompok kecil itu harus mencegahnya. Meskipun kelompok itu hanyalah kelompok yang kecil sekali, namun mereka percaya bahwa pasukan yang ada di padukuhan sebelah, pasti akan dapat ikut menentukan.
Sementara itu, pasukan yang lebih besar telah siap menghadapi lawan yang datang dari arah belakang- Dipimpin langsung oleh Empu Sanggadaru, Senapati prajurit Singasari maka para prajurit yang bertugas di padepokan itu sebagai cantrik dan cantrik yang ada di padukuhan itu dan seorang anak muda yang bernama Mahisa Bungalan.
“Kita akan menjumpai lawan yang kuat” berkata Empu Sanggadaru, “yang sebenarnya sampai saat terakhir aku masih belum percaya bahwa adikku sendiri telah melakukan hal yang sama sekali tidak aku duga. Bagaimanapun juga berita tentang Baladatu, tetapi aku masih menganggap ia sebagai adikku yang baik. Tetapi kini aku tidak akan dapat ingkar pada kenyataan. Adikku benar-benar telah datang, tidak dengan jodang pisungsung dari saudara muda kepada saudara tua, tetapi dengan membawa ujung-ujung senjata yang dapat menyebarkan maut.”
Mahisa Bungalan melihat, betapa pahitnya perasaan Empu Sanggadaru menghadapi kenyataan itu. Adiknya sendiri telah memusuhinya tanpa sebab. Sampai saat Empu Baladatu berdiri dengan senjata di lambung, ia masih tidak mengerti, apakah salahnya sehingga adiknya telah menyerangnya.
“Aku tidak tahu, apakah aku sudah melakukan kesalahan terhadap adikku itu.” katanya, “jika demikian, maka kenapa ia tidak datang langsung mengatakannya kepadaku Jika benar aku bersalah, aku tentu tidak akan segan dan malu untuk minta maaf kepadanya, meskipun aku saudara tuanya. Tetapi tiba-tiba saja ia datang dengan pasukannya.”
Senapati prajurit Singasari yang mendengar Empu Sanggadaru mengeluh mengatakan, “Soalnya bukannya salah atau tidak bersalah Empu. Apa yang terjadi sudah diperhitungkan oleh para pemimpin Singasari. Terbukti dengan perintah atas kami untuk tinggal di padepokan ini. Masalahnya sebenarnya telah Empu ketahui. Perluasan pengaruh dari perguruan dan ilmu Empu Baladatu, atau ada maksud-maksud lain. Tetapi bahwa Empu Baladatu telah menguasai padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang, adalah pertanda keinginannya untuk menguasai kekuatan yang lebih besar lagi.”
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Namun masih saja terasa kebimbangan di hatinya, bahwa semuanya itu benar-benar telah terjadi. “Aku masih ingin menjumpainya untuk mendengarkan penjelasannya.” berkata Empu Sanggadaru.
“Yang berhadapan adalah dua kekutaan” jawab Senapati itu, “bukan waktunya lagi untuk berbincang-bincang.
“Tetapi aku akan mencobanya.”
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Menurut perhitungan keprajuritannya, dalam keadaan seperti itu tidak ada lagi waktu untuk berbicara. Yang langsung akan berbincang adalah senjata-senjata yang sudah berada di dalam genggaman.
Tetapi Senapati itu tidak ingin berbantah. Apalagi padepokan itu adalah padepokan Empu Sanggadaru. Kedudukannya di padepokan itu, meskipun ia masih tetap seorang Senapati, adalah cantrik seperti cantrik-cantrik yang lain. Namun dalam keadaan khusus seperti yang dihadapinya, maka ia telah kembali kedalam kedudukannya, prajurit Singasari yang akan berhadapan langsung dengan orang-orang yang dianggap menentang kekuasaan yang ada.
Dalam pada itu, induk pasukan Empu Baladatu yang mendekati padepokan menjadi termangu-mangu. Mereka tidak melihat atau mendengar pertempuran di padepokan itu. Namun semakin mereka mendekat, maka mereka mulai mendengar suara riuh di kejauhan. Tidak di regol di padepokan itu.
“Dimanakah mereka bertempur?” bertanya Empu Baladatu.
“Kami belum membuat hubungan. Tetapi agaknya tidak di padepokan itu”
Empu Baladatu menjadi ragu-ragu. Lalu perintahnya, “Cepat. Kedudukan kami meragukan. Carilah hubungan dengan pasukan yang telah mendahului kami. Atau setidak-tidaknya usahakan agar kita mengetahui kedudukan mereka”
Dua orang di antara mereka segera menyelinap kedalam kegelapan, hilang dalam bayangan daun-daun perdu. Dengan hati-hati mereka menyusup memotong arah, langsung ke tempat pertempuran. Dalam cahaya bulan yang bulat, kedua orang itu akhirnya menemukan arena perkelahian yang sengit. Pertempuran itu meluas di atas arena yang tersekat-sekat oleh pepohonan, karena mereka bertempur di pategalan yang kering.
“Kenapa benturan itu terjadi di sini?” pertanyaan itu telah mengganggu kedua orang yang mencari keterangan tentang pasukan yang terdahulu itu.
Sementara itu pertempuran itupun masih berkobar dengan sengitnya. Meskipun pada benturan pertama, pasukan gabungan dari ketiga padepokan yang menyerang itu telah kehilangan orang-orangnya, namun jumlah mereka masih lebih banyak. Tetapi lawan mereka adalah sekelompok orang-orang yang berjuang dengan segenap hati dan tekad. Apalagi di antara mereka terdapat beberapa orang prajurit Singasari, beberapa orang cantrik yang terlatih dan dua orang anak muda yang mampu bergerak secepat burung sikatan menyambar bilalang
“Gila” tiba-tiba saja salah seorang dari dua orang pengawas yang dikirim oleh Empu Baladatu itu menggeram, “ternyata pasukan Empu Sanggadaru itu telah mencegat mereka di sini.”
“Tetapi ini adalah suatu hal yang aneh” sahut kawannya, “apakah dengan demikian berarti bahwa padepokan mereka telah kosong?”
“Meskipun tidak kosong, tetapi jumlah pasukan yang tinggal tentu sama sekali tidak berarti. Kita akan dapat memasuki padepokan itu tanpa perlawanan.”
“Tetapi apakah kau yakin bahwa yang ada di sini adalah seluruh kekuatan Empu Sanggadaru?”
“Aku kira demikian. Empu Sanggadaru tidak akan mengetahui bahwa kita telah memecah pasukan kita menjadi dua bagian. Justru bagian ini adalah bagian yang kecil.”
Kawannya terdiam. Sejenak ia mengamati pertempuran yang sengit itu. Lalu katanya, “Marilah, kita akan melaporkannya.”
“Kita singgah di padepokan itu. Kita akan melihat, apakah masih ada pasukan segelar sepapan.”
Kedua orang itupun kemudian meninggalkan arena. Mereka diam-diam mendekati padepokan yang nampak sepi. Dengan hati-hati mereka merapat dinding padepokan agak jauh dari regol, karena mereka yakin bahwa di regol itu tentu terdapat beberapa orang, yang berjaga-jaga. Apalagi di hadapan padepokan itu sedang terjadi pertempuran yang riuh.
“Aku akan menengok ke dalam” desis yang seorang.
“Berhati-hatilah. Jika kita tertangkap di sini, maka Empu Baladatu akan kehilangan keterangan yang kita bawa. Atau harus mengirimkan orang lain lagi.“
Kawannya tidak menjawab. Tetapi dengan sangat berhati-hati ia pun telah memanjat naik keatas dinding batu padepokan itu. Ketika ia menjengukkan kepalanya, tampaklah bahwa padepokan itu sepi. Ia melihat obor di regol yang dijaga oleh beberapa orang bersenjata. Tetapi nampaknya terlalu sedikit bagi sebuah persiapan perang. Sedangkan di bagian lain dari padepokan itu nampaknya lengang dan tidak terdapat kesibukan sama sekali.
Setelah mengamati keadaan beberapa lama, maka orang yang sedang memanjat itupun segera turun. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Keadaan ini memang sulit dipahami. Jika benar yang bertempur itu adalah orang-orang dari padepokan ini, itu berarti bahwa semua kekuatan sudah dikerahkan, karena nampaknya padepokan ini kosong. Hanya beberapa orang yang nampak berada di regol dengan senjata telanjang. Tetapi di bagian lain sama sekali tidak nampak kesibukan apapun juga.”
“Jika demikian, maka segenap kekuatan benar-benar telah dikerahkan untuk melawan pasukan yang terdahulu itu. Justru bagian yang lebih kecil.”
“Marilah, kita akan melaporkannya. Mungkin kita memang sudah berhasil memancing segenap kekuatan Empu Sanggadaru. Agaknya Empu Sanggadaru sama sekali tidak menyadari apa yang akan terjadi, sehingga ia tidak sempat mengumpulkan seluruh kekuatan yang ada.”
“Memang keadaan ini agak meragukan. Tetapi bagaimanapun juga, kita akan berhasil memasuki padepokan ini.”
Kedua orang itupun kemudian meninggalkan dinding batu itu dan kembali kepada Empu Baladatu. Tetapi adalah suata kekeliruan bahwa mereka memanjat dinding halaman di bagian depan, sehingga mereka sama sekali tidak melihat persiapan para cantrik dan para prajurit Singasari di bagian belakang dari padepokan itu, karena mereka sudah mengetahui bahwa serangan lawan akan datang dari arah itu.
Laporan kedua pengawasnya itu didengar oleh Empu Baladatu dengan ragu-ragu. Iapun kemudian mengalami kesulitan untuk membayangkan keseluruhan dari keadaan yang di hadapinya. Namun kemudian Empu Baladatu mengambil kesimpulan, bahwa Empu Sanggadaru tidak mengetahui sama sekali bahwa akan datang serangan yang besar pada padepokannya. Tentu karena kebetulan mereka melihat pasukan kecil itu datang mendekati padepokannya dan mengerahkan perlawanan yang mungkin dilakukan.
“Kita akan memasuki padepokan itu” berkati Empu Baladatu, “sebagian dari kita akan segera menolong kawan-kawan kita yang sedang bertempur. Kita akan melakukan korban terbesar dalam sejarah upacara kepercayaan untuk menyadap ilmu yang maha besar ini, sehingga kita akan segera memiliki kesempurnaan“
Empu Baladatu segera memerintahkan pasukannya untuk maju dengan cepat mendekati padepokan. Sementara Linggadadi dengan berdebar-debar berbisik kepada kawannya, “Kita akan melihat upacara yang mengerikan. Mudah-mudahan kita tidak akan ikut menjadi korban pula.”
Kawannya tersenyum. Jawabnya, “Tentu tidak. Mereka masih memerlukan kita. Dan mereka pun tidak akan mengambil korban yang dapat membahayakan diri sendiri.”
Linggadadi tertawa. Ia sependapat dengan kawannya. Jika Empu Baladatu menjadi wuru dan ingin mengambil korban yang lebih besar lagi dengan mengumpankan orang-orang Mahibit, itu akan berarti kemusnahannya sendiri.
Sementara itu pasukan yang besar itu dengan cepat maju mendekati padepokan Empu Sanggadaru. Sejenak Empu Baladatu menengadahkan wajahnya. Dilihatnya bulan bulat di langit. Tetapi bulan itu sudah semakin bergeser ke Barat, Sebentar lagi bulan itu akan mulai turun semakin rendah.
“Masih ada waktu” berkata Empu Baladatu, “kita masih akan dapat membasahi senjata kita dengan darah korban dan menitikkannya pada tubuh kita di dalam terangnya bulan purnama.”
Sementara itu, para pengawas dari padepokan Empu Sanggadaru sudah mulai melihat iring-iringan yang besar mendekati padepokan. Dengan dada yang berdebar-debar salah seorang dari mereka berkata, “Apakah sudah datang saatnya, padepokan ini akan lenyap?”
“Hatimu ternyata sekecil menir. Kita akan bertempur sampai orang yang terakhir. Tetapi kita masih dapat mengharap bahwa sebelum kita sampai orang yang terakhir, lawan sudah dapat kita hancurkan.”
“Jumlahnya terlalu banyak. Sebentar lagi, yang datang dari arah lainpun akan segera menusuk padepokan ini pula, karena pertahanan kita sebentar lagi akan pecah.”
“Jangan berputus-asa. Kita akan menyampaikan laporan kepada Empu Sanggadaru dengan isyarat yang sudah di tentukan..”
Sejenak kemudian terdengarlah gonggong seekor anjing hutan dari dalam gerumbul-gerumbul perdu di luar padepokan. Suaranya meninggi bagaikan menyelusuri awan putih yang terbang di langit yang biru.
Empu Sanggadaru dan mereka yang berada di padepokanpun menyadari, bahwa lawan telah mendekati padepokan. Gonggong anjing itu adalah isyarat yang telah ditentukan bagi para pengawas untuk memberitahukan, bahwa sebentar lagi akan segera terjadi benturan kekerasan yang mengerikan.
“Tidak ada yang dapat membedakan” berkata kawan pengawas yang menirukan gonggong, anjing itu, “tepat seperti anjing hutan.”
“Sekarang kau” sahut kawannya.
Yang lain menggeleng. ”Tidak. Jika suaraku tidak sebaik suaramu, maka akan segera diketahui, bahwa kami sudah menunggu kehadiran lawan itu.”
Kawannya tidak menyahut. Tetapi merekapun kemudian mendengar gonggong anjing yang sama di kejauhan. Agaknya penghubung yang bertugas di luar padepokanpun telah menyampaikan isyarat yang sama kepada para prajurit dan cantrik yang berada di luar padepokan bersama pasukan masing-masing yang di susun dari padukuhan-padukuhan yang berada di bawah pengaruh padepokan Empu Sanggadaru.
Tetapi jumlah mereka pun tidak cukup untuk mengimbangi jumlah pasukan yang datang menyerang. Namun seperti yang telah bertempur lebih dahulu, merekapun dibekali dengan tekad yang membaja di dalam hati.
Para prajurit yang ada di padepokan pun segera mengatur diri. Mereka memencar bersama para cantrik yang sudah mendapat tempaan lahir dan batin. Yang selalu ikut serta dalam latihan-latihan yang berat bersama para prajurii Singasari di dalam padepokan itu.
Mahisa Bungalan yang ada di padepokan itu pula menjadi berdebar-debar. Agaknya akan terjadi pertempuran yang sangat sengit antara dua orang saudara sekandung bersama pengikut masing-masing. “Dengki dan iri hati agaknya telah mulai berbicara lewat ujung senjata” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.
Sejenak kemudian, di dalam cahaya bulan yang kekuning-kuningan, para prajurit dan para cantrik yang ada di padepokan itu telah melihat, bayangan yang samar-samar di kejauhan mendekati dinding padepokan. Karena itu, maka merekapun segera menempatkan diri. Seseorang telah mendapat perintah untuk menghubungi para penjaga regol, agar regol ditutup rapat-rapat. Meskipun agaknya lawan akan mengambil jalan lain, tetapi mungkin sekali sebagian dari mereka akan tetap berusaha melalui regol padepokan itu.
Beberapa orang di antara mereka yang berada di padepokan itupun segera bersiap di atas dinding dengan busur di tangan. Meskipun mereka masih berusaha untuk menyamarkan diri di belakang dinding itu, namun mereka sudah siap dengan anak panah untuk di lontarkan.
Sementara itu Empu Baladatu telah menjadi semakin dekat. Bahkan kemudian katanya kepada Linggadadi yang tidak jauh di sisinya, “Agaknya pasukan yang terdahulu memancing para cantrik untuk bertempur di luar padepokan. Jika benar demikian, maka itu adalah suatu keberhasilan yang menguntungkan meskipun pasukan itu mengalami tekanan yang sangat berat.”
“Kita akan segera mengirimkan bantuan kepada mereka” sahut Linggadadi, “kita akan menghancurkan semuanya sampai orang terakhir. Termasuk perempuan dan kanak-kanaknya yang ada di padukuhan itu.”
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Katanya di dalam hati, “Ternyata orang-orang Mahibit ini juga tidak kurang dari iblis yang bertubuh manusia. Jika benar seperti yang dikatakan merekapun termasuk orang-orang yang paling buas di tlatah Singasari ini.”
Demikianlah maka pasukan itu pun merayap semakin dekat. Beberapa puluh langkah mereka berhenti. Sejenak para pemimpinnya mengadakan pembicaraan. Baru kemudian mereka mengambil keputusan, “Kita akan memasuki padepokan ini dari arah belakang. Tetapi karena nampaknya padepokan ini sepi dan tidak ada pertempuran di bagian depan, maka sebagian dari kita akan memasukinya lewat regol. Agaknya pasukan di padepokan ini telah terpancing keluar dan bertempur di luar.”
Dengan demikian, maka sekelompok kecil dari pasukan itu telah diperintahkan untuk melingkari padepokan dan masuk lewat regol depan, sedang yang lain akan tetap seperti yang direncanakan, memasuki padepokan itu dari arah belakang.
“Sebenarnya tidak perlu” berkata Linggadadi, “jika mereka bertempur di depan, kita menusuk dari belakang. Tetapi kini mereka bertempur di luar. Kita masuk lewat manapun juga. Tetapi sebagai suatu langkah yang hati-hati, kita akan melakukan sesuai dengan keputusan kita. Kita akan memanjat dinding dan meloncat kedalam.”
Empu Baladatu tidak menjawab. Tetapi iapun memerintahkan pasukannya untuk maju semakin dekat. Gonggong anjing di kejauhan masih terdengar. Semakin panjang dan tinggi. Seolah-olah mereka telah mulai mencium bau darah yang akan tertumpah. Namun bagi orang-orang di dalam padepokan, gonggong anjing itu merupakan pertanda bahwa saat yang paling gawat sudah menjadi semakin dekat.
Tetapi gonggong anjing itu juga merupakan perintah bagi pasukan yang berasal dari padukuhan di luar padepokan yang dipimpin oleh para prajurit dan cantrik yang terlatih. Mejeka merayap semakin dekat pula di belakang pasukan lawan yang sudah berada di depan dinding padepokan.
Seorang pengawas yang berada di balik regol sempat mengintip lewat lubang yang terdapat pada daun pintu regol. Sejenak ia menjadi tegang ketika ia melihat beberapa orang berjalan mendekat. Cahaya bulan yang kekuning-kuningan telah terpantul dari ujung senjata mereka yang berkilat-kilat.
“Beberapa orang mendekati regol” desisnya.
Yang lainpun menjadi tegang pula. Namun sejenak kemudian merekapun segera bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
“Kita tidak akan dapat minta bantuan kepada siapapun” desis pemimpin kelompok yang menjaga regol itu, “kita semua akan sibuk dengan tugas kita masing-masing. Suara anjing itu terdengar semakin nyaring.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak sempat berbicara lagi, karena mereka mulai mendengar suara bergeremang di luar regol. Para penjaga regol itupun mulai mempersiapkan diri. Mereka membiarkan lubang pada daun pintu tidak tertutup sehingga yang berada di luar dapat mengintip kedalam. Tetapi para penjaga itu berdiri merapat dinding, sehingga mereka sama sekali tidak nampak dari luar jika di antara lawan mereka mengintip kedalam lewat lubang yang terbuka itu.
Sejenak suasana dicengkam oleh kesepian. Para penjaga regol itu telah menahan nafas, agar orang-orang yang di luar tidak mengetahui bahwa di sebelah menyebelah regol itu terdapat beberapa orang penjaga.
“Sepi sekali” tiba-tiba terdengar suara di luar regol.
“Ya. Tidak nampak seorangpun.” sahut yang lain.
“Tetapi regol ini ditutup rapat-rapat. Jika para cantrik itu terpancing keluar dalam pertempuran, mereka tidak akan sempat menutup regol.”
“Tentu tidak oleh mereka yang pergi kepertempuran yang ramai itu. Tentu ada sekelompok penjaga yang tinggal di dalam. Pintu regol ini diselarak dari dalam.”
Para penjaga yang mendengar percakapan itu menjadi berdebar-debar. Agaknya lawan merekapun mengetahui bahwa tidak mungkin regol itu dibiarkan tanpa penjaga sama sekali.
“Suatu kesalahan” berkata pemimpin kelompok yang menjaga regol itu, “seharusnya dibiarkan ada dua orang yang nampak dari luar, sehingga mereka akan menyangka bahwa memang hanya ada dua orang itu saja. Tetapi sudah terlanjur sehingga tidak mungkin lagi akan diulang.”
Sementara itu, orang yang berada di luar itupun masih saja ragu-ragu. Namun kemudian pemimpinnya justru mengetuk pintu regol itu sambil berkata, “Siapa yang ada di dalam he?“
Tidak ada jawaban.
“Bukalah sebelum pintu ini aku pecahkan. Dengarlah. Suara pertempuran itu sudah mereda. Kawan-kawanmu yang terpancing keluar telah kami hancurkan. Karena itu, buka pintu dan menyerahlah. Kami tidak akan berbuat apa-apa.”
Masih tidak ada jawaban.
Agaknya orang-orang yang berada di luar regol itu menjadi tidak sabar lagi. Merekapun kemudian mulai membentak, “Buka regol ini he?“
Tidak seorangpun dari para penjaga itu yang bergerak dan menjawab. Beberapa kali terdengar pintu diketuk keras-keras. Sementara itu, di bagian belakang padepokan itupun telah mulai terdengar teriakan-teriakan nyaring. Agaknya orang-orang yang berada di luar dinding telah menjadi semakin dekat, dan dengan sengaja membuat kejutan yang menghentak. Sebagian dari mereka telah bersiap untuk meloncati dinding batu yang mengelilingi padepokan itu.
Dalam pada itu, para prajurit Singasari yang berada di padepokan itu sebagai cantrik, bersama para cantrik yang sebenarnya, telah siap menyambut lawan yang jumlahnya jauh lebih banyak. Beberapa orang dengan serta merta telah meloncat keatas dinding dengan busur dan anak panah yang siap dilepaskan.
Kehadiran beberapa orang di atas dinding padepokan itu benar-benar tidak diduga oleh pasukan Empu Baladatu. Sebelum mereka menyadari apa yang mereka hadapi, maka berhamburanlah anak panah yang terlepas dari busurnya menghujani mereka yang sudah berkumpul dihadapan dinding itu.
Seperti yang telah terjadi pada pecahan pasukannya, maka pasukan induk Empu Baladatu inipun.mengalami kejutan yang membingungkan. Tiba-tiba saja mereka di hadapkan pada keadaan yang tidak mereka duga sebelumnya.
Linggadadi yang datang dari Mahibit itupun terkejut pula menghadapi serangan yang tiba-tiba itu. Karena itu, dengan serta merta terdengar aba-abanya terutama ditujukan kepada pasukannya, “Mundur. Jagalah jarak jangkau anak panah itu. Kemudian bersiaplah. Kita bakar padepokan ini sampai lumat.”
Ternyata yang bergerak mundur dengan cepat bukan hanya orang-orang Mahibit. Tetapi para pengikut Empu Baladatu pun kemudian bergerak dengan cepat surut sehingga melampaui jarak jangkau anak panah.
“Sekarang kita bersiap menghadapi keadaan ini” terdengar suara Linggadadi.
“Siapkan perisai di bagian depan. Yang tidak berperisai bersiaplah menghadapi anak-panah itu dengan senjata masing-masing. Ternyata kita menghadapi lawan yang licik seperti demit.”
Empu Baladatu pun menggeram. Namun katanya, “Mereka tidak terlalu banyak. Lihat, bukankah kita dapat menghitung jumlah orang-orang yang berada di atas dinding itu? Didalam cahaya bulan, kita dapat membuat mereka menjadi sasaran. Siapkan lembing kalian. Lontarkan yang tepat akan melemparkan mereka dengan luka di dada. Atau setidak-tidaknya membuat mereka harus berhati-hati dan tidak dapat membidikkan anak panahnya dengan sekehendak hati.”
Beberapa orang yang membawa tombakpun segera bersiap. Ketika terdengar teriakan nyaring, maka merekapun berlari sekuat tenaga tanpa menghiraukan anak panah yang akan dapat menembus kulit mereka. Dengan teriakan nyaring merekapun kemudian melontarkan lembing mereka sekuat-kuatnya mengarah kepada orang-orang yang berada di atas dinding padepokan.
Ternyata usaha mereka berhasil. Dibelakang mereka menyusul orang-orang yang membawa perisai. Sehingga dengan demikian maka sebagian dari merekapun berhasil mendekati dinding padepokan itu.
Lontaran-lontaran lembing itu telah mendesak beberapa orang yang berada di atas dinding untuk berlindung. Sehingga dengan demikian maka sebagian dari pasukan yang berada di luar itu sempat mendekat. Meskipun dengan demikian telah jatuh beberapa orang korban, karena mereka yang berlari-lari untuk melontarkan lembing itu telah jatuh dengan anak panah menancap didada mereka.
Orang-orang yang berada di dalam padepokan itu menjadi ragu-ragu untuk menampakkan dirinya dengan serta merta, karena lawan mereka akan dapat melontarkan lembing lebih banyak lagi. Karena itu, maka merekapun mulai menjadi hati-hati, sehingga hanya pada saat-saat yang memungkinkan saja mereka muncul, melepaskan beberapa anak panah dan kembali menghilang.
“Kita sudah mendapat kesempatan” teriak Empu Baladatu, “kita harus cepat menguasai keadaan.”
Sekali lagi terdengar teriakan-teriakan nyaring ketika pasukan di luar dinding itu sudah bersiap untuk meloncat naik. Namun dalam pada itu, mereka telah dikejutkan oleh beberapa anak panah sendaren yang dilepaskan dari dalam padepokan. Suaranya meraung-raung di langit, seperti teriakan seorang Senapati yang memberikan aba-aba kepada pasukannya.
Sebenarnyalah panah sendaren itu merupakan aba-aba bagi pasukan yang ada di luar padepokan. Pada saat orang-orang di luar padepokan itu termangu-mangu, maka para prajurit dan para cantrik yang memimpin pasukan dari padukuhan di sekitar padepokan itupun mulai menggerakkan pasukannya mendekat dengan senjata siap di tangan.
“Jangan hiraukan” teriak Empu Baladatu, “kita meloncat naik.”
Tetapi mereka belum sempat melakukannya. Ketika beberapa orang mulai berloncatan naik, maka dari dalam keremangan malam telah muncul bayangan tiga buah pasukan yang datang dari tiga arah...