Sepasang Ular Naga Disatu Sarang 29

Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Di Langit Singasari episode Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 29 karya Singgih Hadi Mintarjda
Sonny Ogawa
PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 29
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

“SETAN ALAS!” teriak Empu Baladatu, “hentikan mereka. Aku akan memasuki padepokan itu dan membuatnya menjadi karang abang.”

“Kita masuki bersama-sama” teriak Linggadadi.

Demikianlah sebagian dari pasukan itu telah bersiap-siap menyongsong serangan yang datang justru dari luar padepokan, sedangkan Empu Baladatu dan Linggadadi langsung memasuki padepokan itu dengan senjata di tangan, dibawah benturan senjata dari pasukannya yang telah mendahuluinya.

Di dalam dinding padepokan, Empu Sanggadaru telah meunggu. Di dalam cahaya bulan, ia langsung dapat melihat adiknya yang kemudian berdiri di atas dinding sambil berteriak, “Inilah Baladatu, penguasa ilmu maha sakti.”

Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Kini ia sudah melihat sendiri, bahwa benar-benar adiknya telah datang dengan senjata di tangan. “Apakah salahku” sekali lagi ia mengeluh di dalam hati, “aku memang sudah membunuh pemimpin gerombolan Serigala Putih. Tetapi kenapa adikku sendiri kini datang bersama gerombolan itu untuk menuntut balas?”

Tetapi Empu Sanggadaru tidak dapat mengucapkan pertanyaan itu. Apalagi sudah ternyata, bahwa pertempuran yang sengit sudah mulai berkobar.

“Kakang Empu Sanggadaru” terdengar suara Baladatu memekik tinggi, “apakah, kau mendengar suaraku kakang?”

Empu Sanggadaru ragu-ragu sejenak. Namun iapun kemudian bergeser ke cahaya bulan yang bulat di langit. Dengan ragu-ragu iapun kemudian menjawab, “Aku disini Baladatu.”

“Nah” teriak Baladatu, “jadi kau mendengar suaraku kakang?”

“Aku mendengar“

“Sekarang, jawablah pertanyaanku.”

Empu Sanggadaru termangu-mangu. Ia melihat beberapa orang telah terlibat di dalam pertempuran. Ternyata bahwa serangan anak buahnya yang tiba-tiba telah menguntungkan pertahanannya seperti pasukannya yang sedang bertempur melawan pecahan pasukan Empu Baladatu.

“Kakang, apakah kakang mengakui kekuasaanku atas semua kekuatan diluar istana Singasari?”

“Aku tidak tahu maksudmu Baladatu?”

“Maksudku, kau harus tunduk kepada semua perintahku meskipun kau saudara tuaku. Aku adalah penguasa tunggal di seluruh daerah Singasari di luar kekuasaan kedua anak-anak itu, yang pada saatnya akan hancur juga.”

“Itu artinya kau telah menyusun kekuatan untuk membayangi kekuasaan yang sebenarnya.”

“Itu memang maksudku. Aku datang dengan kekuatan dari Mahibit yang sesuai dengan sikap dan pendirianku meskipun dalam beberapa hal masih harus dibicarakan.”

Empu Sanggadaru termangu-mangu. Namun jawabnya, “Lihatlah. Mayat mulai terbaring dihalaman ini. Apakah kau dapat menghentikan pertempuran? Kita akan berbicara. Tetapi tidak diganggu oleh dentang senjata seperti sekarang ini.”

“Kita berbicara dikancah peperangan. Itu menyenangkan sekali. Aku akan mengadakan korban darah terbesar yang pernah aku selenggarakan. Nah, jawablah pertanyaanku sebelum aku meloncat turun dan menghancurkan padepokanmu sehingga menjadi karang abang.”

“Jangan kehilangan nalar Baladatu. Turunlah. Hentikan pertempuran ini. Kita akan berbicara.”

“Jawablah. Atau, menyerahlah tanpa syarat. Baru kira berbicara setelah semua senjatamu dan anak buahmu dikumpulkan.”

“Baladatu” potong Empu Sanggadaru, “aku adalah saudara tuamu. Kenapa kau telah terjerumus ke dalam sikap gilamu itu?”

“Tidak ada pilihan lain kakang.”

“Tidak. Lihat pasukanmu. Tengoklah keluar. Aku tidak sendiri.”

Empu Baladatu tiba-tiba menjadi ragu-ragu. Ketika ia berpaling, dilihatnya pasukannya telah terlibat dalam pertempuran yang riuh. Ternyata jumlah pasukan Empu Sanggadaru cukup banyak meskipun tidak sebanyak pasukannya yang di tambah dengan orang-orang Mahibit. Bahkan di dalam pasukan Empu Sanggadaru itu terdapat beberapa orang cantrik yang memiliki kemampuan yang melampaui kemampuan orang orangnya dan orang-orang Mahibit. Mereka bertempur seperti seorang prajurit pilihan.

Sebenarnyalah bahwa di antara mereka adalah prajurit-prajurit Singasari dalam kedudukannya sebagai cantrik dari padepokan itu, bersama cantrik-cantrik pilihan yang memiliki ilmu yang cukup memadai.

“Apakah katamu Baladatu?”

“Persetan” Linggadadi lah yang berteriak, “aku tidak telaten melihat pembicaraan yang berkepanjangan itu. Aku akan turun dan membunuh Empu Sanggadaru.”

“Siapa kau?” Empu Sanggadaru bertanya

“Aku adalah Linggadadi pembunuh orang berilmu hitam.”

Jawaban itu mengejutkan, hingga di luar sadarnya Empu Sanggadaru bertanya. “Kenapa kau kini berada di antara orang berilmu hitam. Dan ternyata pemimpin dari mereka yang berilmu hitam itu adalah adikku sendiri.”

“Kami sejalan. Kami menemukan persesuaian sekarang ini” jawab Linggadadi

“Kalau begitu jangan sebut namamu dengan gelar pembunuh orang berilmu hitam, karena di sini ada orang yang sebenarnya lebih berhak disebut pembunuh orang berilmu hitam.”

“He, siapa orang itu?” teriak Linggadadi

Dan jawab Empu Sanggadaru pun mengejutkan orang-orang berilmu hitam itu. Katanya, “Namanya tentu sudah kalian dengar, Mahisa Bungalan.”

Sejenak Empu Baladatu, Linggadadi dan beberapa orang yang sempat mendengar nama itu termangu-mangu. Namun Empu Sanggadaru menegaskan. “Lihatlah. Orang yang berdiri diam tanpa sikap sombong itulah yang bernama Mahisa Bungalan, putra Mahendra. Ia sudah siap menunggu kalian di sini bersamaku.”

“Persetan” geram Linggadadi, “aku menemukan lawan yang sebenarnya sekarang.”

Suasana medan yang semakin sengit itu menegang sejenak. Para pemimpin dari kedua belah pihak seolah-olah masih sedang menilai, apa yang mereka hadapi. Namun sejenak kemudian terdengar Linggadadi berteriak nyaring, “Persetan, siapakah yang pantas menyebut dirinya pembunuh orang-orang berilmu hitam.”

Tetapi terdengar jawaban Empu Sanggadaru, “Dan kau sekarang sudah berpihak kepadanya,“

Linggadadi tidak menjawab. Ia pun kemudian meloncat turun dan langsung berlari mendapatkan Mahisa Bungalan yang sudah siap menyongsongnya. Empu Sanggadaru termangu-mangu sejenak. Kedua orang itu memiliki nama yang sama-sama dikagumi karena mereka adalah pembunuh-pembunuh orang berilmu hitam. Namun kini mereka berdua telah bertemu di arena pertempuran sebagai lawan

Sementara itu, Empu Baladatu pun masih berteriak lagi, “Kakang Sanggadaru, apakah kakang masih sempat berpikir untuk menyerah saja dan berpihak kepadaku”

“Baladatu” jawab Empu Sanggadaru, “jangan mimpi. Akulah yang harus memperingatkanmu. Ilmu hitammu itu telah menyesatkan akalmu, bahwa kau sudah berani melawan saudara tuamu sendiri tanpa alasan. Aku tidak tahu, apakah salahku terhadapmu. Mungkin aku kau anggap bersalah terhadap ilmu hitammu, tetapi tidak kepadamu sendiri.”

“Tidak ada persoalan lain yang aku bicarakan kakang Kau menyerah atau tidak?”

“Tidak Baladatu. Meskipun kau Mampu membunuh aku sekalipun, namun aku akan tetap pada pendirianku dan bahkan dengan harapan, kau akan dapat menyadari kesalahanmu. Agaknya bulan bulat dilangit telah membuat kau menjadi mata gelap dan siap untuk menyerahkan korban terbesar sesuai dengan ilmumu.”

Empu Baladatu tidak ingin berbicara lagi. Ternyata kakaknya benar-benar tidak mau menyerah, sehingga karena itu, maka ia akan segera melakukan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya. Sejenak kemudian Empu Baladatu pun segera meloncat turun dan menyusup di antara pertempuran yang menjadi semakin seru.

Sementara itu, Linggadadi telah terlibat dalam pertempuran yang sengit melawan Mahisa Bungalan. Ternyata dugaan Linggadadi bahwa tidak ada orang yang dapat menyamainya selain orang-orang terpenting di istana, adalah keliru. Yang dihadapi itu adalah seorang anak muda yang pada benturan pertama telah memperingatkan kepada Linggadadi, bahwa ia kini berhadapan dengan lawan yang sangat tangguh.

Karena itulah, maka Linggadadi pun menjadi semakin berhati-hati. Ia surut beberapa langkah, sengaja untuk mengambil tempat yang lebih luas, agar ia dapat bertempur melawan anak muda yang juga disebut pembunuh orang berilmu hitam tanpa diganggu.

Mahisa Bungalan pun agaknya memakluminya. Itulah sebabnya maka ia pun mengikuti lawannya meskipun ia pun tidak kehilangan kewaspadaan. Di tempat yang agak terpisah, maka keduanya pun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Keduanya mencoba untuk mengetahui kelemahan lawannya sebelum mereka masing-masing menentukan sikap dan melepaskan ilmu mereka yang tertinggi.

Sementara itu, pertempuran itupun terjadi dengan dahsyatnya. Arena pertempuran antara orang-orang di padepokan Empu Sanggadaru melawan pasukan gabungan yang dipimpin langsung oleh Empu Baladatu itu telah terpecah menjadi tiga.

Yang pertama terjadi beberapa puluh tonggak dari padepokan, karena pecahan pasukan Empu Baladatu yang berusaha memancing perhatian padepokan lawannya. Tetapi yang justru telah terjebak dalam pertempuran tersendiri tanpa mengganggu pasukan lawan di padepokannya.

Sehagian lagi adalah mereka yang sudah terlanjur melompat memasuki dinding halaman, sedangkan yang lain bertempur di luar padepokan melawan pasukan yang datang dari padukuhan di luar padepokan yang dipimpin oleh para cantrik, namun yang di antara mereka sebenarnya adalah prajurit-prajurit Singasari.

Sedang yang sebagian, yang berada di dalam dinding padepokan, segera merasa, betapa beratnya tekanan lawan, karena yang berada di padepokan itu sebagian terbesar adalah para prajurit, para cantrik yang terlatih baik dan orang-orang yang memang benar-benar dipersiapkan. Apalagi setelah ternyata bahwa pemimpin-pemimpin mereka terlibat dalam pertempuran yang seolah-olah telah mengikat segenap perhatian mereka.

Empu Baladatu telah mulai menyerang Empu Sanggadaru yang ragu-ragu. Tetapi karena Empu Baladatu benar-benar berusaha membunuh kakaknya, maka Empu Sanggadaru pun lambat laun telah bertempur sepenuh tenaganya pula meskipun setiap kali ia masih selalu dibebani pertanyaan, “Kenapa Baladatu telah benar-benar menyerang aku?”

Namun dalam pada itu, Empu Sanggadaru masih juga mengucap syukur, bahwa prajurit Sngasari telah disentuh oleh kecurigaan bahwa pada suatu saat orang berilmu hitam itu akan menyerang padepokan Empu Sanggadaru, karena menurut pertimbangan para prajurit, tidak ada sasaran lain yang akan dilandanya selain padepokan kakaknya. Apalagi setelah para petugas sandi melihat persiapan yang meningkat pada padepokan orang-orang Serigala Putih dan Macan Kumbang. Namun para prajurit sandi sama sekali tidak mempertimbangkan kekuatan yang datang dari Mahibit.

Berbeda dengan imbangan pertempuran yang terjadi di dalam dinding padepokan, maka di luar dinding orang-orang dari padepokan Macan Kumbang, Serigala Putih dan orang-orang Mahibit berhasil menahan serangan yang datang justru dari luar lingkungan mereka. Dengan mengerahkan segenap kekuatan yang ada, mereka berusaha untuk menghalau lawan mereka yang menyerang bagaikan ombak bergulung-gulung di pantai. Namun orang-orang Serigala Putih, Macan Kumbang dan orang-orang Mahibit berusaha untuk mempertahankan diri sekuat-kuatnya.

Berkurangnya pasukan gabungan yang dipimpin oleh Empu Baladatu pada benturan yang pertama, seperti juga yang terjadi beberapa puluh tonggak dari padepokan, mempunyai pengaruh yang besar bagi imbangan kekuatan.

Namun dalam pada itu, pasukan Empu Baladatu di luar padepokan ternyata masih berhasil menekan lawan mereka kuat-kuat. Untunglah bahwa mereka berada di tempat terbuka, sehingga para prajurit dan para cantrik yang terlatih baik sempat memanfaatkan arena untuk mengurangi tekanan lawan.

Mereka bertempur sambil berlari-larian. Sekali-kali mereka menghilang dibalik gerumbul-gerumbul dan digelapnya bayangan dedaunan. Namun tiba-tiba mereka muncul sambil menyerang ditempat lain dengan dahsyatnya. Tata gerak para prajurit dan para cantrik yang sudah terlatih itu untuk beberapa saat lamanya dapat menimbulkan kebingungan di antara lawan. Namun sesaat kemudian, maka mulailah warna-warna yang sebenarnya nampak didalam arena perkelahian itu.

Orang-orang yang berbekal ilmu hitam, tidak lagi dapat mengekang diri. Mereka harus cepat menyelesaikan pertempuran itu sehingga mereka sempat melakukan upacara korban terbesar yang pernah mereka lakukan. Itulah sebabnya, maka beberapa orang di antara mereka, mulailah dengan tata gerak yang mengerikan. Satu dua dari orang-orang padepokan Serigala Putih dan Macam Kumbang yang telah ikut serta menyadap jenis ilmu hitam yang dibawa oleh Empu Baladatu, apalagi mereka yang memang berasal dari padepokannya, telah mulai dengan gerak berputarnya.

Namun orang-orang dari padepokan Empu Sanggadaru telah mendapat petunjuk, bagaimana mereka harus menghadapi lawan dalam tata gerak yang mengerikan itu. Mereka harus berada dalam kelompok-kelompok kecil yang setiap saat harus berusaha memotong tata gerak yang melingkar, dan kemudian mematuk menyambar-nyambar.

Beberapa orang prajurit dan cantrik yang berada di luar dinding, segera berusaha mengatasi setiap keadaan. Namun demikian, ternyata bahwa jumlah pasukan Empu Baladatu yang berada di luar memang lebih banyak, sehingga karena itu, maka merekapun nampaknya akan segera dapat menguasai arena.

Dua arena yang terpisah dengan tidak sengaja itu, tidak dapat saling mempengaruhi. Orang-orang yang bertempur di luar dinding tidak dapat mengetahui apa yang telah terjadi didalam dinding, dan sebaliknya. Karena itulah maka keseimbangan pertempuran dikedua tempat itu justru berlawanan

Namun demikian, agaknya Empu Baladatu yang melihat bahwa pasukannya mulai terdesak di dalam dinding padepokan, telah memberikan isyarat kepada seorang pengawalnya untuk mencari hubungan dengan mereka yang berada di luar padepokan.

“Carilah keseimbangan. Jumlah di luar dinding tentu masih cukup banyak.” teriak Empu Baladatu.

“Orang-orangku juga banyak di luar” Empu Sanggardaru menyahut.

“Bohong. Aku tahu. orang-orangmu tidak banyak.” geram Empu Baladatu.

Empu Sanggadaru tidak menyahut. Ia mempertahankan dirinya sekuat-kuat dapat dilakukan. Namun akhirnya, Empu Sanggadaru tidak mau sekedar menjadi sasaran. Pada saat berikutnya, iapun mulai menyerang dengan segenap kemampuan.

“Kau harus menyadari kekeliruanmu Baladatu” geram Empu Sanggadaru.

“Menyerahlah" teriak Empu Baladatu.

Kakaknya tidak menyahut. Namun tata geraknya semakin lama menjadi semakin cepat.

Dalam pada itu, di regolpun telah terjadi perkelahian-perkelahian kecil. Beberapa orang telah berusaha memecahkan pintu dari luar. Tetapi mereka ternyata telah diterima dengan ujung senjata dari sisi pintu, karena para penjaga regol berusaha, untuk tidak menampakkan diri.

Tetapi pertempuran itu tidak terjadi terlalu lama. Para pengawal segera dapat mengakhiri tugas mereka. Sergapan yang tiba-tiba seperti yang dilakukan di mana-mana oleh para prajurit dan para cantrik, memang memberikan banyak keuntungan. Ketika lawan telah terbunuh, maka para pengawal regol itupun segera menentukan sikap. Mereka segera meninggalkan dua orang kawannya untuk sekedar mengawasi regol yang rusak itu, sementara yang lain berusaha mencari bubungan dengan arena yang berada didalam dinding halaman.

Sementara itu maka pengawal Empu Baladatu telah memerintahkan beberapa orang yang berada diluar regol untuk meloncat masuk. Mereka harus membantu kawan-kawannya yang mengalami kesulitan dibagian dalam dinding padepokan itu.

“Cepat” perintah pengawal itu, “dengan demikian tugas kita akan segera selesai.”

Dalam pada itu, Linggadadi pun sedang bertempur dengan sengitnya melawan Mahisa Bungalan. Keduanya mempunyai kemampuan melampaui kemampuan kebanyakan orang. Linggadadi yang datang dari Mahibit itu merasa dirinya orang yang tidak terkalahkan, selain oleh orang-orang istana yang namanya sudah lama mengusai Singasari. Ia tidak menyangka bahwa anak Mahendra ini pun mempunyai kemampuan yang tidak ada taranya

Dengan sepenuh tenaga Linggadadi menyerang Mahisa Bungalan. Senjatanya terayun mendatar setinggi lambung. Namun Mahisa Bungalan sempat meloncat surut menghindari serangan lawannya. Linggadadi tidak membiarkannya. Selangkah ia meloncat maju. Sekali lagi ia siap mengayunkan senjata mengarah kekepala lawannya.

Mahisa Bungalan sempat mengelak. Dengan tangkas ia merendah. sehingga senjata lawannya terbang rendah di atas kepalanya. Tetapi Mahisa Bungalan terkejut bahwa dalam pada itu, Linggadadi pun telah menyerangnya pula. Kakinya terjulur lurus ke wajahnya.

Dengan tergesa-gesa Mahisa Bungalan menghindarinya. Sekali ia berguling ke belakang. kemudian melenting dengan cepatnya, tegak di atas kedua kakinya. Pada saat yang bersamaan serangan lawannya telah mengejarnya. Senjata Linggadadi mematuk dada Mahisa Bungalan yang nampak terbuka.

Mahisa Bungalan terdesak ke samping. la harus meloncat sambil memiringkm tubuhnya. Namun ia mulai memperhitungkan serangan lawannya yang bakal datang. Ketika senjata lawannya itu kemudian bergerak mendatar, maka Mahisa Bungalan pun menjatuhkan dirinya. Namun dengan perhitungan yang masak, ia bergeser pada punggungnya dan sebuah serangan kaki yang keras telah menghantam lutut Linggadadi.

Serangan itu telah mengejutkan lawannya. Namun dengan serta merta pula Linggadadi telah terpelanting dengan derasnya jatuh berguling di atas tanah. Tetapi Linggadadi menyadari keadaannya. la masih sempat melihat Mahisa Bungalan meloncat berdiri dan berusaha mengejarnya Karena itulah ia pun segera berusaha melenting berdiri dan dengan cepat mempersiapkan diri menghadapi serangan lawan berikutnya.

Pertempuran antara kedua orang itu menjadi samakin seru. Masing-masing telah mengerahkan kemampuannya untuk mengalahkan lawan. Namun keduanya Mampu bergerak secepat sikatan di rerumputan. Namun keduanya kadang-kadang menyerang dengan kekuatan sebesar tenaga gajah jantan.

Dalam pada itu, beberapa orang dari pasukan Empu Baladatu telah berusaha meloncati dinding padepokan. Mereka sudah siap untuk langsung menyerang pada loncatan pertamanya. Apalagi ketika mereka melihat, bahwa kawan-kawannya di bagian dalam itu memang telah terdesak oleh pasukan Empu Sanggadaru.

Dengan hadirnya sekelompok pasukan Empu Baladatu kedalam lingkungan halaman padepokan, maka keseimbangan pun menjadi berubah. Orang-orang padepokan Empu Sanggadaru mulai tertahan. Sekelompok orang-orang baru itupun segera melibatkan diri ke dalam pertempuran yang sengit di halaman itu.

Tetapi dengan demikian tekanan pada orang-orang padepokan Empu Sanggadaru yang berada di luar dinding padepokan menjadi berkurang. Bahkan para prajurit yang menjadi tulang punggung kekuatan di luar padepokan itu bersama para cantrik merasakan bahwa mereka menjadi agak longgar dan sempat bernafas lagi.

Meskipun demikian, jumlah orang-orang yang datang menyerang itu memang lebih hanyak. Meskipun pada benturan yang pertama beberapa orang lawan telah roboh karena anak panah yang menghunjam dada, namun ternyata mereka masib mempunyai kekuatan yang cukup untuk menekan pasukan Empu Sanggadaru.

“Cepat, hancurkan” terdengar suara Empu Baladatu mengumandang, “kemudian kalian sempat menolong. kawan-kawan kalian yang telah mendahului kalian menyerang lewat arah depan. Kemudian kita akan melakukan upacara korban terbesar dalam sejarah Ilmu kita yang maha besar”

Empu Sanggadaru menjadi berdebar-debar. Ia tidak dapat ingkar bahwa adiknya telah membawa pasukan yang lebih banyak Sehingga dengan demikian, maka anak buahnya telah terdesak semakin berat.

“Pasukan yang dihadapan pintu gerbang itu pun mengalami kesulitan serupa” berkata Empu Sanggadaru di dalam hatinya.

Dengan demikian, maka iapun mulai dijamah oleh perasaan cemas tentang anak buahnya. Beberapa kali ia merasakan desakan yang sangat sehingga pasukannya mulai bergeser ketengah.

“Apakah padepokan ini tidak akan tertolong lagi” desisnya.

Sekilas dilihatnya seorang prajurit dalam kedudukannya sebagai seorang cantrik sedang bertempur sekuat tenaganya. Dipundaknya meleleh warna merah dari luka yang tergores di kulitnya. Empu Sanggadaru menjadi terharu. Prajurit-prajurit itu telah bertempur mempertahankan nyawanya, seperti mereka yang memang sedang mempertahankan padepokannya.

Namun dengan demikian, Empu Sanggadaru telah menjadi semakin panas. Hubungan yang selama itu mengikatnya sebagai kakak beradik dengan Empu Baladatu. menjadi semakin kabur. Meskipun ia masih tetap berusaha untuk menganggap bahwa yang sedang dihadapi itu adalah saudaranya sendiri yang sedang kehilangan akal, dan yang baginya masih tersandang kuwajiban sebagai saudara tua untuk memperingatkannya, namun keadaan yang berkembang telah membuat darahnya bagaikan mendidih.

Karena itulah, maka semakin lama maka tata geraknya pun. rasa-rasanya menjadi semakin cepat. Kakinya semakin ringan dan tangannya bagaikan berputaran seperti baling-baling.

Empu Baladatu merasa bahwa kakaknya telah sampai ke puncak ilmunya. Betapapun ia berusaha, namun terasa betapa berat melawan Empu Sanggadaru yang sedang dibakar oleh kemarahannya.

Perkelahian antara kedua orang kakak beradik itupun menjadi semakin sengit. Keduanya memiliki kelebihan, tetapi juga kelemahan.

Empu Sanggadaru yang pernah mendapat keterangan tentang ilmu-ilmu hitam itu pun tidak terkejut lagi melihat Empu Baladatu berusaha untuk melepaskan puncak ilmunya. Tetapi ternyata bahwa Empu Baladatu tidak banyak mempunyai kesempatan. Empu Sanggadaru dengan gerak yang menghentak, selalu memotong arah putaran Empu Baladatu. Dan bahkan kadang-kadang telah berhasil mendesaknya dalam kebingungan.

“Setan alas” umpat Empu Baladatu di dalam hatinya, “dimanakah kakang Sanggadaru menghisap ilmu demit ini.”

Namun bagaimanapun juga, Empu Baladatu tidak segera mampu menguasai lawannya yang agaknya memiliki pengalaman yang cukup luas pula. Apalagi sebagai seorang pemburu yang biasa hidup didalam lebatnya hutan-hutan, Empu Sanggadaru memiliki kekuatan jasmaniah yang pada dasarnya melampaui kekuatan Empu Baladatu.

Sementara itu, Linggadadi pun menjadi semakin marah. Kehadiran Mahisa Bungalan di tempat itu benar-benar tidak diduganya. Apalagi ketika keduanya sudah bertempur sampai ke puncak ilmu, ternyata bahwa Mahisa Bungalan bukannya anak-anak yang hanya Mampu menyombongkan diri dengan menyebut dirinya dengan gelar pembunuh orang-orang berilmu hitam.

Dalam pada itu, selagi di padepokan itu terjadi pertempuran yang dahsyat, maka beberapa tonggak diarah depan padepokan itupun sedang terjadi pertempuran yang sengit. Baik Empu Sanggadaru maupun Empu Baladatu telah mencemaskan masing-masing karena ketika penghubung-penghubung Empu Baladatu sempat menyaksikan pertempuran itu maka keseimbangan yang sebenarnya masih belum dapat ditentukan.

Tetapi Empu Baladatu yang yakin bahwa pasukannya di padepokan Empu Sanggadaru itu akan segera dapat menguasai keadaan, telah siap untuk memerintahkan sebagian dari mereka, membantu kawan-kawannya yang sedang bertempur di luar padepokan itu.

Sebenarnyalah bahwa pasukan Empu Baladatu dipadepokan Itu telah berhasil menekan lawannya. Yang di dalam dinding dan yang berada di luar dinding. Meskipun banyak kemungkinan yang masih dapat terjadi, namun keadaan pasukan Empu Sanggadaru agaknya akan mengalami kesulitan. Hanya jika mereka menemukan kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan pada pasukan lawan, maka mereka akan dapat memenangkan pertempuran itu.

Tetapi lawan mereka, baik yang berasal dari padepokan Serigala Putih, Macan Kumbang maupun orang-orang Mahibit, telah menunjukkan kemampuan mereka yang tinggi. Mereka benar-benar telah dipersiapkan untuk menghadapi pertempuran yang sengit. Hanya karena dipasukan Empu Sanggadaru terdapat sekelompok prajurit dan cantrik-cantrik yang terlatih sajalah, maka mereka dapat bertahan.

Namun dalam pada itu, pertempuran yang terjadi tidak terlalu jauh dihadapan regol itupun berlangsung dengan serunya. ternyata bahwa meskipun mula-mula jumlah pasukan gabungan dari Serigala Putih, Macan Kumbang dan orang-orang Mahibit itu lebih banyak.

Namun pada sergapan yang pertama dengan lontaran-lontaran lembing dan kejutan-kejutan yang membingungkan, orang-orang dari padepokan Empu Sanggadaru itu berhasil mengejutkan dan kemudian mengguncangkan perasaan lawan. Ternyata bahwa pengaruh bahwa sergapan itu memang cukup besar. Beberapa orang di antara lawan langsung terbunuh, yang lain luka-luka dan selebihnya kebingungan. Meskipun kemudian merek berhasil menyesuaikan diri, jumlah mereka telah banyak berkurang.

Keadaan itulah yang telah menentukan akhir dari pertempuran itu. Pasukan Empu Baladatu itu ternyata tidak dapat mengatasi sergapan-sergapan berikutnya. Lawannya, orang-orang padepokan Empu Sanggadaru yang dipimpin oleh para prajurit dan beberapa orang cantrik yang terlatih itu, lambat laun berhasil menguasai keadaan. Meskipun lambat tetapi mereka berhasil mendesak sisa pasukan lawan. Jumlah orang-orang dari padepokan Serigala Putih, Macan Kumbang dan orang-orang Mahibit itu memang masih lebih banyak. Tetapi mereka mengalami kesulitan karena medan itu seolah-olah langsung dikuasai oleh lawan yang terpencar dalam kelompok-kelompok kecil.

Meskipun beberapa kelompok-kelompok orang-orang berilmu hitam itu mencoba untuk menyusun lingkaran maut yang mengerikan itu, namun mereka kadang-kadang telah dikejutkan oleb kehadiran dua orang anak-anak muda yang tiba-tiba saja telah memotong lingkaran mereka. Namun yang sejenak kemudian keduanya telah meninggalkan lawannya untuk bertempur di sudut yang lain dari arena yang semakin meluas itu.

Dengan demikian, maka kedua anak muda itu seolah-olah telah berubah menjadi puluhan orang yang bergerak di seluruh arena. Dari ujung sampai keujung, orang-orang Serigala Putih, Macan Kumbang dan orang-orang dari Mahibit telah dibingungkan oleh tara geraknya yang cepat dan tidak terkendali. Karena itulah maka keseimbangan dari pertempuran itu semakin lama menjadi semakin jelas. Ujung senjata kedua anak muda itu selalu saja menjatuhkan korban di seluruh arena pertempuran.

Selain kedua anak muda itu, para prajurit pun memiliki kemampuan yang sulit untuk diimbangi oleh orang-orang Macan Kumbang, orang-orang Serigala Putih dan orang-orang Mahibit. Meskipun mereka telah menempa diri sebaik-baiknya, namun ternyata bahwa usaha mereka untuk bertahan, semakin lama menjadi semakin tipis. Beberapa orang yg mengalami luka-luka tertusuk lembing pada benturan pertama, sudah tidak Mampu lagi untuk bangkit karena darah yang terlampau banyak mengalir, sementara senjata orang-orang padepokan Empu Sanggadaru masih selalu menuntut korban demi korban.

Demikianlah maka desakan lawan tidak dapat dibendung lagi oleh orang-orang Serigala Putih, Macan Kumbang dan orang-orang Mahibit. Satu-satu korban berjatuhan terus-menerus, sementara arena masih selalu bergetar oleh teriakan dan keluhan yang panjang. Setapak demi setapak, pertempuran itu mulai bergeser. Agaknya orang-orang Serigala Putih, Macan Kumbang dan orang-orang Mahibit berusaha mendekati padepokan.

“Orang-orang yang langsung memasuki padepokan itu tentu mempunyai kekuatan yang jauh lebih besar dari sisa orang-orang padepokan yang menyergap kami” berkata pemimpin pasukan yang terdesak itu, lalu, “sehingga dengan demikian kami akan mendapatkan bantuan dari mereka apabila arena kami dapat saling mendesak.”

Karena itulah maka pemimpin pasukan itupun segera memerintahkan kepada orang-orangnya, lewat mulut kemulut, agar mereka berusaha bergeser kepadepokan. Perintah itu lambat sekali menjalarnya. Tetapi ternyata bahwa sebagian dari pasukan itu telah mendengar, sehingga merekapun segera berusaha menyesuaikan diri.

Dengan demikian maka gerak arena itupun menjadi semakin cepat, seolah-olah arena itu berputaran mendekati padepokan. Dengan harapan untuk mendapatkan bantuan, maka pemimpin pasukan Empu Baladatu itu berusaha untuk mempercepat geseran yang memang sudah bergerak itu.

Tetapi di padepokan, pertempuran pun masih belangsung dengan sengitnya. Meskipun pasukan Empu Baladatu memang berhasil menekan lawannya, di dalam dan diluar padepokan, tetapi para prajurit, para cantrik dan orang-orang lain dari padepokan Empu Sanggadaru masih bertempur dengan gigihnya. Karena itulah maka mereka masih belum sempat mengirimkan bantuan bagi pasukanya yang terpisah.

Namun sebentar kemudian, mereka mulai mendengar suara riuh pertempuran itu semakin dekat. Bahkan kemudian terdengar seakan-akan dengan cepatnya bergeser ke sebelah dinding padepokan. Sebenarnyalah bahwa pertempuran yang bergeser itu telah berada di sisi padepokan. Beberapa orang cantrik yang mendesak lawannya telah mencoba menahan agar geseran arena itu tidak masuk kcdalam padepokan.

Karena pintu regol yang telah rusak, maka para cantrik itupun telah bertempur langsung menahan orang-orang yang akan memasuki regol padepokan itu, sehingga karena tekanan yang kuat, maka arena itu bergeser ke samping, di luar dinding.

“Apakah mereka sudah menyelesaikan pertempuran itu” bertanya Empu Baladatu kepada pengawalnya.

Pengawal yang juga merupakan penghubung itupun kemudian mendapat perintah untuk mencari hubungan dengan pasukannya yang sedang dalam gerak mendekat itu. Tetapi laporan yang kemudian diterima oleh Empu Baladatu telah membuatnya marah. Pasukan itu ternyata telah terdesak tidak Mampu lagi untuk memberikan perlawanan.

“Gila” teriak Empu Baladatu, “hancurkan mereka yang telah berhasil mendesak pasukanku.”

Perintah itupun segera sampai kepada pasukannya yang lain, yang berada di luar padepokan, sehingga sejenak kemudian maka kedua arena yang berada di luar padepokan itu pun seakan-akan telah bergabung menjadi satu.

Dengan demikian, maka pasukan Empu Baladatu yang terdesak itu seakan-akan mendapat perlindungan dari induknya. Tetapi mereka telah banyak meninggalkan korban di antara kawan-kawannya. Baik dari padepokan Serigala Putih, Macan Kumbang dan orang Mahibit.

Namun karena itulah, maka seolah-olah kekuatan di luar padepokan itu telah menimbulkan keseimbangan baru. Pasukan Baladatu yang semula menguasai arena, tiba-tiba telah berubah karena hadirnya kawannya yang justru telah terdesak. Seolah-olah dengan demikian, kekuatan kedua belah pihak justru menjadi seimbang.

Tetapi dalam keseimbangan itu, kedua anak muda yang memiliki beberapa kelebihan itu rasa-rasanya masih saja selalu mengganggu para pemimpin pasukan Empu Baladatu. Ia datang dan pergi dengan kecepatan yang sulit mereka imbangi. Ujung senjata mereka bergerak-gerak dengan dahsyatnya, seperti angin pusaran yang menjilat dari langit.

“Gila” geram pemimpin pasukan Empu Baladatu yang berada di luar padepokan itu. Tetapi ia tidak Mampu menghentikannya.

Sementara itu seakan-akan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendapat ruang getak yang semakin luas setelah dua. arena pertempuran di luar dinding padepokan itu bergabung. Namun agaknya sifat kekanak-anakan mereka masih saja melekat di hati meskipun mereka sedang berhadapan dengan bahaya yang sebenarnya. Itulah sebabnya mereka masih saja menuruti kesenangan hati dan perasaan, seolah-olah mereka merasa seperti sepasang burung yang berterbangan dilangit. Di antara sekelompok semprang yang ketakutan.

Kedua anak muda itu ternyata telah benar-benar menimbulkan kemarahan pada Kiai Dulang yang berada di luar padepokan. Seakan-akan kedua anak-anak muda itu dapat bergerak leluasa tanpa seorang pun yang dapat menghalangi.

“Kita akan mengejarnya dan menangkapnya” desis Kiai Dulang, “kemanapun keduanya berlari, kita akan mengikutinya.”

Bersama tiga orang pengawal yang terpilih Kiai Dulang telah mempersiapkan sebuah kelompok kecil untuk menghentikan tingkah laku Mahisa Pukat dan Mahisa Murti.

“Kita akan mulai” berkata Kiai Dulang, “kita akan berlomba lari. Mungkin keduanya memiliki nafas yang lebih panjang karena keduanya pernah mengikuti latihan yang berat di padepokan ini. Latihan berjalan sehari penuh tanpa berhenti.”

“Tetapi kita tidak akan berlari-lari sehari penuh. Kita akan segera menghentikan keduanya dan mencincangnya sampai lumat.” sahut seorang pengawal yang berkumis dan ber janggut lebat.

“Marilah, kita harus segera mulai. Tidak sekedar berbicara saja” geram Kiai Dulang.

Keempat orang itu pun kemudian mempersiapkan diri khusus untuk menghentikan kedua anak-anak muda yang seolah-olah berterbangan dengan bebasnya itu. Mereka menunggu beberapa saat ditempat yang agak terpencar. Tetapi yang dengan suatu teriakan aba-aba mereka dapat menyergap lawannya bersama-sama. Seperti yang mereka rencanakan, maka sejenak kemudian mereka sudah melihat Mahisa Pukat dan Mahisa Murti. Sejenak mereka masih menunggu, namun tiba-tiba saja terdengar sebuah teriakan nyaring.

Serentak keempat orang, yang dipimpin oleh Kiai Dulang itu berloncatan. Seolah-olah dengan tiba-tiba saja Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berada didalam kepungan keempat orang itu.

“Bersedialah untuk mati” terdengar Kiai Dulang menggeram.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun kemudian terdengar jawaban Mahisa Pukat, “He, apakah yang kalian kehendaki?”

Kiai Dulang menggeretakkan gigi. Nampaknya kedua anak muda itu seperti sedang bermain-main. Keduanya sama sekali tidak nampak gentar atau setidak-tidaknya bersungguh-sungguh. Dengan kasar Kiai Dulang membentak, “Kami akan membunuhmu.”

Tiba-tiba saja kedua anak-anak muda itu tertawa. Mahisa Murti bertanya disela-sela derai tertawanya, “Kenapa baru sekarang? Aku sudah berada di sini sejak tadi.”

“Baru sekarang aku sempat, setelah pasukan dipihakmu menjadi semakin tipis. Sekarang datang giliranmu untuk mati.”

“Tidak mau. Kami masih ingin hidup. Jika hidupku harus aku pertahankan dengan membunuhmu, maka aku akan melakukannya.”

Kiai Dulang, benar-benar tersinggung. Dengan serta merta ia pun meloncat sambil berteriak, “Kubunuh kau“

Mahisa Pukat yang menerima serangan langsung itupun masih sempat mengelak. Sambil meloncat kesamping ia berkata, “Jangan tergesa-gesa. Kita akan bertempur lebih dahulu.”

Keempat lawannya itupun segera menyerang bersama-sama. Mereka berloncatan sambil mengayun-ayunkan senjata mereka. Bahkan sejenak kemudian, Kiai Dulang sudah mulai dengan gerak lingkarannya.

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti harus bergerak dengan cepat menghindari serangan yang datang seperti ombak lautan. Susul menyusul tidak habis-habisnya. Bahkan kemudian keempat lawannya itu sudah mulai bergerak dalam lingkaran.

Sejenak kedua anak muda itu berdiri saling beradu punggung. Mereka harus bekerja keras untuk menangkis serangan-serangan yang berdatangan. Namun sejenak kemudian Mahisa Pukal berbisik, “Kita akan memutuskan lingkaran itu.”

“Ya” jawab Mahisa Murti, “berilah aba.”

Mahisa Pukat segera mempersiapkan diri. Perlahan-lahan ia bergeser. Kemudian dengan kakinya ia menghentak tanah untuk memberikan aba-aba kepada Mahisa Murti. Demikian kakinya menghentak untuk ketiga kalinya, maka kedua anak-anak muda itu segera meloncat dengan cepat mengikuti gerak putar lawannya. Tetapi hanya untuk beberapa langkah, karena merekapun kemudian telah berada digaris lingkaran itu pula. Namun secepat itu pula mereka meloncat keluar lingkaran, disusul oleh gerakan berputar pada tumitnya.

Sesaat kemudian keduanya telah menyerang lawan mereka dari luar dengan ayunan senjata mendatar berlawanan arah dengan puraran lawannya. Yang terjadi itu sedemikian cepatnya, sehingga keempat lawannya itu terkejut dan untuk sesaat mereka telah kehilangan kesempatan. Tetapi agaknya mereka masih tetap sadar akan keadaan mereka. Dengan segenap kemampuan yang ada, maka mereka pun segera berloncatan sambil berusaha menangkis serangan yang sama sekali tidak mereka duga sebelumnya itu.

Namun ternyata bahwa tidak semua diantaranya keempat orang itu berhasil menyelamatkan dirinya. Dua orang yang berada pada jarak terdekat dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, benar-benar tidak mempunyai Kesempatan untuk menyelamatkan diri. Sejenak kemudian terdengar keluhan panjang. Dua diantara keempat orang itu menjadi termangu-mangu sejenak, namun, yang sejenak kemudian, keduanyapun telah terjatuh ditanah tanpa dapat bangkit kembali.

Kiai Dulang menggeretakkan giginya. Kini ia tinggal bersama seorang pengawal. Karena itu, adalah mustahil bahwa mereka berdua akan Mampu melawan kedua anak-anak yang masih sangat muda itu. Itulah sebabnya maka sejenak kemudian terdengar isyarat dari mulut Kiat Dulang untuk memanggil beberapa orang kawannya. Tetapi sementara itu perkelahian pun menjadi semakin sengit, sehingga hampir setiap orang telah berdiri berhadapan dengan lawannya masing-masing.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menunggu lebih lama lagi. Ketika mereka melihat kedua lawannya terbunuh, maka merekapun segera memusatkan perhatian mereka kepada kedua orang yang masih tersisa. Isyarat yang terlontar dari mulut Kiai Dulang memang menimbulkan pertanyaan dihati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun keduanya tidak mau menunggu perkembangan yang mungkin tidak menguntungkan bagi mereka itu. Sehingga dengan demikian maka keduanya pun langsung menyerang Kiai Dulang bersama seorang pengawalnya.

Serangan yang datang membadai itu memang sulit untuk dihindari. Itulah sebabnya, maka Kiai Dulang dan seorang kawannya itupun segera terdesak. Tidak ada kemungkinan untuk melawan kedua anak muda itu dengan ilmu kepercayaannya. Melingkar sambil menggoreskan senjata. Karena ternyata bahwa kedua anak-anak muda itu mampu bergerak lebih cepat dari orang-orang berilmu hitam itu.

Ternyata bahwa Kiai Dulang dan seorang kawannya sama sekali tidak mampu bertahan lebih lama lagi. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bergerak semakin cepat. Senjata mereka menyambar-nyambar seperti burung sikatan. Seolah-olah tidak seorang pun akan dapat menghindarkan diri dari sentuhan ujung senjata itu.

Ketika pertempuran diluar dinding padepokan itu berlangsung semakin seru, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Murti telah memutuskan untuk menyelesaikan kedua lawannya yang telah mencoba menghalangi mereka itu.

Ternyata bahwa Kiai Dulang yang bertekad untuk membatasi gerak Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru telah terperosok kedalam kesulitan. Keduanya tidak berhasil menghentikan gerak kedua anak muda itu, tetapi pada saat-saat yang menentukan. Maka senjata Mahisa Pukat dan Mahisa Murti telah mulai menyentuh tubuh mereka.

“Gila” teriak Kiai Dulang, “tetapi suaranya terputus ketika ujung senjata lawannya langsung menembus jantung di dadanya.

Pengawalnya mencoba untuk menyelamatkan diri karena pertempuran yang riuh. Tetapi iapun kemudian jatuh tertelungkup ketika ujung senjata lawannya membelah punggungnya.

Dengan terbunuhnya keempat orang itu, maka kedua anak muda itu justru menyadari, bahwa korban telah semakin banyak jatuh. Bukan saja dipihak lawan, tetapi juga dipihak mereka.

“Kita tidak boleh bermain-main lagi” berkata Mahisa Murti.

“Ya Kita harus bersungguh-sungguh. Korban telah berjatuhan. Bahkan mungkin satu dua orang prajurit telah terbunuh pula.”

Keduanya menyesal bahwa seolah-olah keduanya masih saja terseret oleh suatu keinginan untuk bermain-main dengan nyawanya mereka sendiri dan nyawa orang lain, sehingga apa yang mereka lakukan sampai kematian keempat orang lawannya itu. tidak banyak berarti bagi keseimbangan pertempuran Mereka hanya mendapat kepuasan dengan kejutan-kejutan dan sekali-kali membuat lawannya bingung dan berlari-larian menjauh. Tetapi dalam arti benar-benar merubah keseimbangan, rasa-rasanya masih belum mereka lakukan sepenuhnya.

Dengan kesadaran itulah maka merekapun kemudian turun kembali karena pertempuran. Mereka mulai melihat kenyataan bahwa pasukan Empu Sanggadaru diluar dinding halaman itu masih saja merasakan tekanan yang berat, meskipun dengan menyatunya dua arena pertempuran itu telah sedikit memperingan tekanan pada pasukan yang mempertahankan padepokan itu

Karena itu, maka sejenak kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun telah menempatkan diri langsung kedalam arena yang garang itu. Meskipun mereka sadar, bahwa kehadirannya dibanyak tempat juga dapat mempengaruhi keadaan, terapi mereka memutuskan langsung untuk mengurangi jumlah lawan, dengan melumpuhkan mereka seorang demi seorang.

Keputusan itu ternyata benar-benar dapat mempengaruhi keseimbangan. Ketika Mahisa Murti berhasil melukai seseorang sehingga tidak lagi dapat mengangkat senjata, disusul oleh ujung senjata Mahisa Pukat yang tergores dipundak lawan, maka keduanya benar-benar merupakan hantu yang semakin ditakuti oleh lawan-lawannya.

Dalam pada itu di dalam dinding padepokan Empu Baladatu sedang memeras segenap kemampuan yang dimilikinya untuk mengalahkan Empu Sanggadaru. Mula-mula ia masih mencoba untuk menundukkan kakaknya tanpa membunuhnya, karena dengan demikian kakaknya akan dapat dijadikan alat yang baik baginya untuk menghimpun kekuatan di padepokan itu.

Akan tetapi karena dengan cara demikian ia tidak dapat segera menguasai kakaknya, maka iapun kemudian telah kehilangan pengekangan diri. Ia ingin mengalahkan kakaknya, hidup atau mati, atau dalam keadaan apapun juga. Dengan demikian maka perkelahian itupun semakin lama menjadi semakin sengit. Empu Sanggadaru pun tidak membiarkan kepalanya dipenggal oleh adiknya sendiri.

Pada bagian lain Mahisa Bungalan masih terus bertempur dengan dahsyatnya melawan Linggadadi. Mereka menggunakan arena yang seakan-akan terpisah. Tidak seorangpun yang dapat mencampuri perkelahian antara keduanya.

Orang-orang Mahibit yang datang dengan bangga di bawah pimpinan Linggadadi menjadi heran, bahwa dipadepokan itu ada juga orang yang mampu mengimbangi lawannya. Meskipun nama Mahisa Bungalan pernah mereka dengar, tetapi mereka tidak menyangka bahwa Mahisa Bungalan benar-benar seorang yang luar biasa, sehingga untuk beberapa lamanya ia masih Mampu bertahan melawan Linggadadi.

Orang-orang dari Mahibit benar-benar merasa heran. Bagi mereka, Lingadadi tidak ada duanya selain Linggapati. Tetapi adalah suatu kenyataan bahwa kini Linggadadi tidak segera mampu mengalahkan Mahisa Bungalan. Betapa pun dahsyatnya ia menyerang tetapi Mahisa Bungalan masih saja Mampu bertahan

Namun agaknya bagi kedua belah pihak pertempuran itu merupakan pertempuran yang berat. Ketika Mahisa Bungalan agak terdesak, maka Linggadadi tidak mau melepaskan kesempatan itu. Dengan sekuat tenaga ia mendesak terus dan memaksa Mahisa Bungalan untuk berloncatan surut.

“Sebaiknya kau hentikan perlawananmu” teriak Linggadadi, “carilah kesempatan untuk berdoa sebelum ajalmu sampai”

Mahisa Bungalan tidak menjawab. Ketika senjata Linggadadi hampir menyentuh tubuhnya, ia masih sempat meloncat kesamping. Tetapi demikian kakinya menjejak tanah. serangan Linggadadi telah menyusul dengan dahsyatnya. Mahisa Bungalan hampir kehilangan kesempatan sama sekali. Tetapi ia masih dapat mengelak dengan menjatuhkan diri meskipun ia tahu, bahwa perjuangan yang kemudian akan menjadi bertambah berat. Tetapi ia tidak melihat cara lain yang dapat menyelamatkan nyawanya.

Ketika ia melenting berdiri, maka Mahisa Bungalan telah memperhitungkan bahwa serangan berikutnya tentu akan menghantam dengan serunya, sehingga iapun telah bersiap untuk meloncat sambil menjatuhkan dirinya kembali.

Serangan itu benar-benar datang dengan cepatnya. Lebih cepat dari dugaan Mahisa Bungalan. Itulah sebabnya, maka ia tidak sempat menghindarkan diri seluruhnya. Ketika ia meloncat dan menjatuhkan diri sekali, lagi. maka terasa ujung senjata lawannya telah menyengat pundaknya.

Mahisa Bungalan berdesis. Sambil berguling ia memperhatikan sikap lawannya. Tetapi agaknya lawannya menyadari bahwa senjatanya berhasil mematuk tubuh Mahisa Bungalan, sehingga justru karena itu, maka ada kesempatan sekejap baginya selama lawannya meyakinkan diri atas kemenangannya yang sesaat itu.

Mahisa Bungalan sempat mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Itulah sebabnya, maka ia tidak mau terlambat. Ketika ia melenting berdiri, maka ia justru berusaha mendekat lawannya dan dengan dahsyatnya menebaskan senjatanya mendatar.

Linggadadi terkejut. Meskipun ia melihat darah, tetapi ternyata luka lawannya tidak terlalu parah. Karena itulah maka ketika serangan Mahisa Bungalan datang, Linggadadi lah yang kemudian harus menghindar. Namun demikian ia masih sempat berteriak, “Lukamu telah menitikkan darah. Semakin lama akan menjadi semakin banyak sehingga akan datang saatnya kau tidak Mampu lagi untuk melawan.”

Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi serangannyalah yang kemudian datang membadai. Dengan cepat senjata menyambar lawannya seperti kilat menyambar dilangit. Linggadadi mengumpat. Ia mencoba untuk menghindar sambil menyerang. Tetapi tekanan serangan Mahisa Bungalan ternyata sangat dahsyatnya, sehingga ia justru kehilangan keseimbangan.

Linggadadi lah yang kemudian menjatuhkan dirinya karena ia tidak mau dadanya pecah oleh senjata lawan. Dengan cepat ia berguling. Kemudian ia mencoba menangkis serangan Mahisa Bungalan yang datang beruntun masih dalam keadaannya, terbaring di tanah. Ketika terjadi benturan senjata, maka terasa, bahwa kekuatan Linggadadi yang kurang mapan itu tidak mampu menahan ayunan senjata Mahisa Bungalan. Karena itu, maka ia masih harus bergeser pada pungungnya, sehingga ujung senjata lawannya tidak mengenai wajahnya.

Tetapi agaknya Linggadadi cukup cekatan. Demikian ia berkisar, maka kakinya pun segera menyilang dengan kerasnya menghantam betis Mahisa Bungalan, sehingga Mahisa Bungalan pun terlempar dan jatuh pula di tanah. Namun keduanya ternyata memiliki kecepatan bergerak diluar jangkauan orang kebanyakan, karena sesaat kemudian keduanya telah tegak berhadapan dengan senjata teracung

Tetapi ternyata bahwa Mahisa Bungalan mempunyai kelebihan waktu sekejap. Dengan serta merta iapun segera meloncat menyerang dengan dahsyatnya. Serangannya yang mengejutkan itu, masih dapat dielakkan oleh Linggadadi. Tetapi putaran kaki Mahisa Bungalan benar-benar tidak diduga oleh Linggadadi. Ia menyangka bahwa Mahisa Bungalan akan terdorong oleh kekuatannya yang tersalur lewat serangannya itu, sehingga ia harus berusaha mencari keseimbangan sebelum Linggadadi membalas menyerang.

Namun ternyata bahwa Mahisa Bungalan telah berbuat lain. Perhitungannya ternyata mendahului satu lapisan dari lawannya, sehingga karena itu, maka serangannya yang berikut benar-benar telah mengejutkan Linggadadi. Dengan gugup Linggadadi meloncat kesamping. Ia masih berusaha mencari jarak untuk menentukan sikap yang kemudian. Tetapi serangan Mahisa Bungalan datang beruntun seperti gelombang di lautan.

Sejenak kemudian terdengar desah tertahan. Sebelum Mahisa Bungalan menjadi semakin lemah karena darahnya yang mengalir dari lukanya, maka ia telah berhasil melukai lawannya pula. Sebuah goresan yang panjang telah menyobek kulit Linggadadi di dadanya.

Linggadadi menggeram. Tetapi ia tidak dapat melepas kenyataan yang dialaminya. Badannya terluka. dan darahnya meleleh dari luka itu, lebih deras dari darah yang mengalir dari luka Mahisa Bungalan

Sejenak keduanya berdiri berhadapan, seolah-olah masing-masing ingin menilai keadaan. Masing-masing sadar, bahwa mereka telah terluka. Karena itulah, maka mereka berdua bertekad untuk menghentakkan semua kemampuan dan ilmunya untuk segera mengalahkan lawannya.

Sejenak kemudian keduanya telah terlibat lagi dalam pertempuran yang dahsyat. Namun ternyata bahwa luka masing-masing mula, terasa berpengaruh. Darah yang menetes telah menyusutkan kemampuan mereka mengerahkan tenaga cadangan. Apalagi perasaan sakit yang menggigit kulit rasa-rasanya telah memecahkan semua pemusatan pikiran dan nalar.

Tetapi ternyata bahwa tenaga Linggadadi lah yang lebih cepat susut, karena lukanya yang lebih parah. Rasa-rasanya tulang-tulangnya mulai dilepas dari dirinya. Tangannya semakin lama menjadi semakin gemetar dan bahkan kemudian seolah-olah tangannya tidak lagi mampu menggenggam senjatanya.

Mahisa Bungalan pun merasa seakan-akan tenaganya menjadi semakin susut. Tetapi dalam kecemasannya, ia melihat lawannya selalu meloncat surut. Bahkan kemudian terasa perlawanannya tidak lagi menentu.

“Darahnya lebih banyak mengalir” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.

Namun dalam pada itu. Linggadadi merasa bahwa kekuatannya sudah semakin larut, membuat perhitungan terakhir. Ia telah terlanjur berada dalam arena yang sama sekali tidak disangkanya. Ia sama sekali tidak menduga bahwa ia akan bertemu dengan anak muda yang bernama Mahisa Bungalan yg mendapat gelar seperti dirinya sendiri, pembunuh orang berilmu hitam. Dan bahkan ternyata bahwa ia sama sekali tidak dapat mengatasi kemampuan ilmu anak muda itu. Keadaannya yang terakhir telah memaksanya untuk mengambil suatu sikap yang menentukan. Menang atau mati.

Itulah sebabnya, maka dalam kesempatan terakhir, Linggadadi telah menghimpun semua sisa tenaga yang ada. Ketika ia melihat sebuah kesempatan, maka dengan serta merta. sambil berteriak nyaring ia menyerang, dengan dahsyatnya. Senjatanya berputar seperti baling-baling, kemudian dengan kekuatan raksasa senjata itu telah menghantam lawannya.

Mahisa Bungalan yang sudah terluka pun terkejut melihat serangan yang dahsyat itu. Serangan yang sama sekali tidak diduganya. Apalagi di saat terakhir nampaknya Linggadadi telah kehilangan hampir separo dari kekuatannya. Tetapi tiba-tiba serangan itu datang dahsyat sekali.

Itulah sebabnya, maka diluar kemampuannya, maka Mahisa Bungalan pun harus mengambil sikap yang cepat. Ia pun dengan serta merta menghimpun sisa tenaganya pula. Ia pun menghentakkan kemampuan yang masih ada padanya untuk menangkis serangan yang tidak sempat dihindarinya itu.

Maka terjadilah benturan kekuatan yang sangat dahsyat. Meskipun kekuatan itu telah jauh susut, tetapi hentakan yang tiba-tiba dengan pengerahan segenap tenaga cadangan yang tersisa, maka benturan itu benar-benar merupakan benturan yang. menentukan.

Terdengar dentang senjata beradu dengan kerasnya sehingga bunga-bunga api berloncatan dalam cahaya bulan yang semakin rendah di ujung barat. Kemudian disusul oleh keluhan yang tertahan dan tubuh yang terlempar jatuh terbanting di tanah.

Beberapa langkah dari benturan itu, Linggadadi jatuh terlentang. Senjatanya terlepas dari tangannya. Sedang dari lukanya mengalir darah yang bagaikan tidak akan kering. Nafasnya yang terengah-engah kadang-kadang terputus untuk beberapa saat dan tarikan yang kemudian sama sekali sudali tidak teratur lagi.

Di arah yang lain, Mahisa Bungalan terdorong beberapa langkah dan terhuyung-huyung beberapa saat. Ia pun tidak lagi dapat menguasai keseimbangannya dan bertelekan senjatanya ia terjatuh pada lututnya. Tetapi sejenak kemudian, ia sama sekali tidak mampu lagi untuk berlutut. Dengan nafas yang sendat ia jauh terguling di tanah sambil memejamkan matanya. Sejenak kemudian keduanya telah terbaring diam dalam usapan cahaya bulan yang kekuning-kuningan.

Beberapa orang melihat akibat dari benturan itu menjadi berdebar-debar. Beberapa orang Mahibit ingin berlari-lari melihat linggadadi. Tetapi ternyata lawan-lawan mereka pun telah menahan dengan sekuat tenaga, agar orang-orang Mahibit tidak berbuat curang terhadap Mahisa Bungalan yang terbaring pula. Tetapi orang-orang dari padepokan Empu Sanggadaru pun tidak dapat segera mendekati Mahisa Bungalan karena lawan-lawan mereka pun selalu menghalang-halangi.

Dalam pada itu Empu Baladatu benar-benar tidak menduga, bahwa serangan yang dianggapnya tidak akan mendapat rintangan yang berarti itu telah mengalami banyak kesulitan. Ia sama sekali tidak mengerti. bahwa ada sepasukan prajurit Singasari pilihan dan cantrik-cantrik yang terlatih baik berada di antara pasukan Empu Sanggadaru. Meskipun pasukan Empu Baladatu sendiri telah ditempa dengan sejauh-jauh dapat dilakukan, namun menghadapi prajurit-prajurit pilihan, orang-orangnya ternyata banyak mengalami kesulitan. Bukan saja dalam perang seorang lawan seorang, tetapi juga dalam olah ketrampilan dan tata cara peperangan dalam kelompok-kelompok yang besar

Dalam silirnya angin malam yang berbau darah, kedua sosok tubuh ilu masih saja terbaring diam. Namun kemudian perlahan-lahan Mahisa Bungalan mulai membuka matanya. Dalam saat-saat berikutnya, mulailah ia menyadari apa yang telah terjadi, sehingga dengan sepenuh sisa kekuatannya, iapun mencoba untuk bangkit dan duduk bertelekan pada kedua lengannya.

Tak seorang pun yang dapat mendekat. Empu Sanggadaru pun tidak, karena Empu Baladatu telah melihatnya dalam perkelahian yang sengit. Karena itulah maka seolah-olah, pertempuran yang dahsyat itu tidak mengacuhkannya sama sekali. Dibiarkannya ia bangkit dan duduk sambil memijit keningnya. Kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. seolah-olah ingin mengusir kebimbangan yang masih mencengkam hatinya.

Tetapi kepalanya masih terasa pening, dan tubuhnya masih lemah, sehingga Mahisa Bungalan pun kemudian memutuskan untuk memusatkan segenap daya lahir dan batinnya untuk memulihkan kekuatannya. Ia pun kemudian duduk bersila dan menyilangkan tangannya di dadanya. Kemudian dicobanya mengatur pernafasannya sebaik-baiknya. Mahisa Bungalan hanya melakukannya untuk beberapa saat yang pendek. Ia sadar, bahwa setiap saat bahaya datang mengancam. Jika ada seorang saja dari lawan yang lolos dari pertahanan orang-orang dari padepokan Empu Sanggadaru, maka itu akan berarti maut baginya. Siapapun orang itu.

Tetapi ternyata bahwa Mahisa Bungalan dapat mempergunakan waktu yang singkat itu sebaik-baiknya. Meskipun kekuatannya masih belum pulih seluruhnya, Perlahan-lahan Mahisa Bungalan mengurai tangan dan kakinya Dan perlahan-lahan pula ia bangkit seperti seorang yang baru bangun dari tidurnya.

Yang pertama-tama menarik perhatiannya adalah orang yang terbaring beberapa langkah daripadanya. Ia masih ingat benar bahwa telah terjadi benturan kekuatan yang dahsyat saat senjata mereka beradu. Tetapi ternyata bahwa Mahisa Bungalan tidak kehilangan senjatanya. Senjata itu masih ada di tempatnya terbaring. Sehingga karena itu, maka ia pun telah memungut senjatanya, sebelum kemudian perlahan-lahan mendekati lawannya yang terbaring diam.

Pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya, didalam dan diluar halaman. Tetapi mereka yang sedang bertempur itu seakan-akan tidak menghiraukan Mahisa Bungalan sama sekali. Apalagi setelah Mahisa Bungalan bangkit berdiri dan menggenggam senjatanya kembali. Jika semula lawannya tidak sempat mengganggunya selagi ia masih terbaring, maka setelah ia berdiri dengan senjatanya, justru lawannya akan berusaha menjauhinya

Sejenak Mahisa Bungalan berdiri di samping tubuh Linggadadi yang terbaring diam. Dengan hati-hati Mahisa Bungalan pun kemudian berjongkok pada satu lututnya. Ketika tangannya meraba tubuh lawannya, terasa tuhuh itu telah dingin. “Mati” desis Mahisa Bungalan.

Sebenarnyalah hahwa Linggadadi telah mati. la telah mengerahkan tenaga yang tersisa, sementara dadanya telah terluka parah. Benturan yang terjadi kemudian, seakan-akan telah menghentakkan segenap sisa darahnya memancar dari lukanya. Itulah sebabnya, maka ia sudah tidak dapat ditolong lagi karena darahnya bagaikan telah habis mengalir. Pada saat Linggadadi pingsan, maka meneteslah titik darahnya yang terakhir dari jantungnya, sehingga nafasnya pun tidak mampu lagi menyusuri lubang hidungnya.

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya pertempuran yang sengit. Namun kemudian ia masih mempergunakan sedikit waktu untuk mengobati luka-lukanya meski pun tidak terlalu parah dengan obat yang dibawanya. Baru sejenak kemudian ia mengangkat kedua belah tangannya. la menggeliat sambil berdesis, seolah-olah ingin melihat, apakah urat-uratnya masih berjalan sewajarnya.

Meskipun tenaganya belum pulih seperti sediakala, tetapi pertempuran itu harus dihadapinya. Karena itulah maka setapak demi setapak, iapun melangkah mendekati arena yang seru. Bahkan kemudian ia pun segera melihat, bahwa pasukan Empu Sanggadaru memang agak terdesak oleh lawannya.

Empu Sanggadaru melihat semua yang terjadi atas Mahisa Bungalan. Itulah sebabnya ia menjadi berdebar-debar. Apakah dalam keadaannya Mahisa Bungalan masih sanggup untuk bertempur terus? Tetapi Empu Sanggadaru tidak sempat mencegah Mahisa Bungalan, karena ia sendiri masih terikat dalam pertempuran yang sengit.

Dalam pada itu, Empu Baladatu yang tidak dapat ingkar dari kenyataan, menggeretakkan giginya. Linggadadi, orang yang dianggapnya memiliki kemampuan yang luar biasa, telah terbunuh oleh seorang anak muda yang bernama Mahisa Bungalan dan bergelar Pembunuh orang-orang berilmu Hitam seperti Linggadadi sendiri.

Sementara itu. ternyata Empu Sanggadaru sendiri juga memiliki ilmu yang tidak dapat diatasinya. Setelah ia bertempur beberapa lama, kakaknya masih tetap nampak segar dan bertempur dengan sepenuh tenaga. Kadang-kadang teringat oleh Empu Baladatu, bagaimana kakaknya berburu binatang buas dengan tangannya, sehingga hatinya menjadi berdebar-debar. Kakaknya adalah seorang yang memiliki tenaga raksasa dan nafas yang panjang tanpa batas. Kebiasaannya berburu dan berlatih dengan cara yang aneh, membuatnya menjadi orang yang mempunyai ketahanan tubuh yang tinggi. Seperti yang pernah didengarnya, Empu Sanggadaru sering berlatih bersama cantriknya dengan berjalan kaki mendaki gunung dan menuruni tebing, sehari penuh tanpa berhenti sama sekali.

Itulah sebabnya, maka tenaga Empu Sanggadaru sejak mereka mulai hertempur sampai saat-saat terakhir tidak terlampau banyak susut seperti tenaga Empu Baladatu meskipun mereka bersama-sama telah mengerahkan segenap kemampuan. Dalam pada itu, di luar dinding padepokan, pertempuran masih juga membakar arena. Mahisa Pukat dan Mahisa Murti yang bertempur dengan cara yang berbeda, telah berhasil mengurangi jumlah lawan dengan beberapa orang. Apalagi keduanya masih saja nampak segar seolah-olah mereka baru saja mulai di arena pertempuran itu.

Jika mula pasukan Empu Baladatu mampu mendesak maka lambat laun, keseimbangannya pun menjadi semakin berubah. Satu demi satu lawan Mahisa Pukat dan Mahisa Murti dapat dilumpuhkan. Bahkan selain keduanya, para prajurit Singasari pun satu-satu dapat menyingkirkan lawan mereka pula, meskipun dibagian lain, orang-orang padepokan Empu Sangadaru yang kurang terlatih juga mengalami banyak kesulitan. Untunglah bahwa para prajurit dan para cantrik yang terlatih selalu berusaha untuk membantu mereka yang mengalami kesulitan.

Dalam pada itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Murti benar-benar merupakan hantu yang menakutkan. Seolah-olah keduanya menjadi penentu bagi datangnya maut. Siapa yang telah menarik perhatiannya, maka orang itu seakan-akan sudah pasti akan mengalami bencana. Karena itulah, maka setiap orang di dalam pasukan lawan, berusaha untuk menjauhi kedua anak muda itu. Jika ia maju setapak demi setapak mendekati seseorang, maka itu adalah pertanda bahwa maut sudah siap untuk menjemput orang itu.

Tetapi tidak seorang pun yang mampu mencegahnya. Setiap orang didalam pasukan lawan merasa tidak akan mampu menghadapinya, sementara mereka tidak akan sempat menyusun kelompok kecil untuk melawannya. Karena itulah, maka arena di luar dinding padepokan itu betapapun lambatnya, seolah-olah sudah menemukan kepastiannya. Kedua orang anak muda itu akan menjadi penentu dari pertempuran yang dahsyat itu.

“Gila” geram seorang bertubuh kekar dari Mahibit, “dua orang dapat menentukan akhir dari pertempuran seperti ini“

“Apa yang dapat kita lakukan?”

Orang bertubuh kekar itu tidak menjawab. Ia harus bertempur melawan seorang cantrik yang terlatih baik, sehingga ia tidak banyak mendapat kesempatan untuk menentukan pilihan.

Karena itulah, maka yang telah berjalan itu tetap berjalan terus. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berhasil melumpuhkan lawan-lawannya seorang demi seorang, jauh lebih cepat dari korban yang juga berjatuhan dari orang yang berdin dipihak Empu Sanggadaru.

Di dalam dinding padepokan, Mahisa Bungalan masih berdiri tegak. Kadang-kadang ia masih menyempurnakan pernafasannya yang masih terasa belum pulih benar. Namur agaknya silirnya angin malam telah menyebabkan semuanya serasa menjadi bertambah segar. Cahaya bulan yang bulat di langit, membuat malam bagaikan diterangi oleh berpuluh-puluh obor. Tetapi diarena pertempuran itu, darah yang membasahi tanah, sekali-kali memantulkan cahaya bulan yang berkilauan melontarkan pengaruhnya yang aneh.

Sejenak Mahisa Bungalan berdiri tegak. Namun ia pun kemudian melangkah lagi semakin dekat dengan arena. Orang-orang yang melihat langkahnya yang tetap, menjadi berdebar-debar. Apalagi mereka yang herdiri di arah langkahnya itu, seolah-olah mereka sudah mulai bercanda dengan maut, seperti yang terjadi dengan Linggadadi.

Kematian Linggadadi benar-benar telah membuat setiap hati orang-orang Mahibit menjadi kecut. Bagi mereka, Linggadadi adalah siluman yang tiada ada duanya. Ilmunya rasa-rasanya telah menyentuh langit. Tetapi dipadepokan ini, ia telah mati terbunuh oleh seorang anak muda dalam perang tanding yang mengerikan.

“Mahisa Bungalan adalah anak dan sekaligus murid Mahendra. Jika anaknya Mampu membunuh Linggadadi, apa sajakah yang dapat dilakukan oleh ayahnya?” gumam orang-orang itu di dalam hati.

Namun mereka tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Mereka harus menerima kehadiran Mahisa Bungalan, mau tidak mau. Dan sebenarnyalah Mahisa Bungalan yang telah merasa dirinya menjadi semakin segar itu pun menjadi semakin dekat dengan arena.

Ketika Mahisa Bungalan mulai menggerakkan senjatanya, maka tiba-tiba saja arena itu seakan-akan telah menyibak. Beberapa orang lawan segera terdesak sebelum mereka bertahan, karena Mahisa Bungalan memang belum berbuat apa-apa.

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Di dalam cahaya bulan ia melihat wajah-wajah yang cemas dan bahkan ketakutan. Mereka tidak dapat lagi memusatkan perhatian mereka kepada lawan-lawan yang sebenarnya harus mereka hadapi, karena sebagian perhatian mereka telah mereka tujukan kepada Mahisa Bungalan. Dengan demikian, sebelum Mahisa Bungalan kembali menerjunkan diri kekancah pertempuran, maka pasukan lawan pun telah terdesak perlahan-lahan.

Betapa dada Empu Baladatu didera oleh kemarahan yang memuncak. Kematian Linggadadi memang menggetarkan jantungnya, tetapi kecemasan dan ketakutan yang melanda pasukannya benar-benar merupakan suatu penghinaan. Karena itu, maka ia pun berteriak,

“He orang-orang yang menguasai ilmu yang dahsyat dan orang-orang Mahibit yang perkasa, yang memiliki kemampuan seperti burung alap-alap. Kenapa kalian menjadi kecut melihat tingkah laku anak muda yang tidak tau diri itu? Apakah kalian mengira hahwa Mahisa Bungalan memang memiliki ilmu melampaui Linggadadi? itu sama sekali tidak benar. Itu hanyalah sebuah mimpi huruk yang kalian hadapi. Linggadadi memang sering meremehkan lawannya. Dan ternyata ia sudah membuat kesalahan. Ia tidak menyangka hahwa Mahisa Bungalan adalah seorang yang licik, yang memanfaatkan setiap kelemahan lawannya, tanpa mengingat harga diri dan kejantanan.”

Empu Baladatu tidak dapat melanjutkan kata-katanya, karena serangan Empu Sanggadaru yang justru bagaikan membadai. Namun demikian, Mahisa Bungalan telah mendengar dan mengerti maksudnya. Sehingga karena itulah, maka iapun kemudian perlahan-lahan melangkah mendekat sambil berkata, “Empu Sanggadaru. Jika Empu tidak berkeberatan, serahkanlah Empu Baladatu kepadaku. Aku ingin melihat, apakah guru segala ilmu hitam itu Mampu membuktikan kata-katanya.”

“Persetan” teriak Empu Baladatu.”

“Aku sudah bersedia digelari pembunuh orang-orang berilmu hitam, bukan karena aku merasa kuat dan tidak terlawan. Tetapi semata-mata karena aku ingin menyatakan betapa bencinya aku kepada ilmu yang sama sekali tidak berperikemanusia an itu. Karena itu. Biarlah aku mencoba, apakah aku benar-benar akan tetap mempergunakan gelar itu setelah aku bertemu dengan guru dari segala macam ilmu hitam itu.”

Empu Baladatu menggeretakkan giginya Tetapi Empu Sanggadaru yang menyerangnya terus berkata, “Biarlah anak muda. Ia adalah adikku. Aku ingin mengajarnya agar ia sedikit mengenal sopan santun, seperti aku mengajarinya di masa kanak-kanak. Aku memang sering mencubitnya, atau menarik telinganya jika nakal. Sekarang, aku akan memperlakukannya seperti itu.”

“Gila. Aku bukan anak-anak lagi. Aku akan membunuhmu.”

“Itulah kenakalanmu sekarang.” jawab Empu Sanggadaru.

Empu Baladatu menjadi semakin marah. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Kemarahannya sudah tersalur sepenuhnya pada tata gerak dan serangan-serangannya. Tetapi Empu Sanggadaru pun telah mengerahkan segenap kemampuannya pula, sehingga Empu Baladau masih helum herhasil menguasainya. Bahkan ternyata bahwa Empu Sanggadaru mempunyai ketahanan jasmaniah yang lebih baik karena latihannya yang meskipun tidak terlampau berat, terapi selalu dilakukannya pada saat-saat tertentu.

Dalam pada itu pertempuran pun menjadi semakin seru. Tetapi di beberapa bagian dari arena itu. telah terjadi perubahan. Orang-orang Mahibit yang kehilangan Linggadadi seolah-olah tidak lagi mempunyai kepercayaan bahkan kepada dirinya sendiri bahwa mereka masih akan Mampu bertahan. Itulah sebabnya. maka pada bagian-bagian tertentu, pasukan Empu Baladatu telah mulai terdesak, meskipun Mahisa Bungalan masih belum ikut langsung terjun kearena.

Demikian pula yang terjadi di luar dinding padepokan. Mahisa Pukat dan Mahisa Murti yang tidak lagi bermain-main, telah membuat setiap lawan mereka menjadi berdebar-debar. Mereka telah dapat menilai, betapa tinggi ilmu kedua anak-anak muda itu. Dua tiga orang yang berhasil melepaskan diri dari lingkungan pertempuran yang riuh itu mencoba untuk menyusun diri dalam kelompok-kelompok kecil untuk menghadapi kedua anak muda itu. Tetapi menghadapi kelompok-kelompok kecil yang demikian, keduanya itupun bertempur berpasangan. Maka kelompok kecil itu sama sekali tidak mampu lagi untuk menahan keduanya.

Dengan demikian, maka lambat laun, semakin jelaslah keseimbangan dikedua arena pertempuran itu. Tidak banyak kesempatan lagi bagi Empu Baladatu. Rencananya untuk menyelenggarakan korban terbesar menjadi semakin buram. Yang lebih banyak menitikkan darah adalah justru orang-orangnya yang salah menilai lawan, sehingga pada benturan yang pertama mereka relah memberikan korban terlampau banyak. Kematian Linggadadi adalah suatu isyarat, bahwa kematian akan menyusul lebih hanyak lagi. Dan bahkan mungkin, tanpa dapat dihitung.

Ketika bulan yang bulat dilangit menjadi semakin rendah di sebelah Barat, maka pasukan Empu Baladatu yang terdiri dari orang-orangnya yang terpilih, orang-orang dari padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang, orang-orang dari Mabibit. telah tidak mempunyai harapan lagi untuk menang. Kekalahan yang mutlak nampak menjadi semakin dekat dihadapan hidung mereka.

Orang-orang dari Mahibit yang berangkat dari padepokannya yang tersembunyi dengan dada tengadah, karena mereka merasa mendapat kesempatan untuk menunjukkan kelebihan mereka, baik dari orang-orang padepokan Empu Sanggadaru, maupun dari pasukan Empu Baladatu yang lain, harus melihar kenyataan. Terlebih lagi setelah Linggadadi menemui ajalnya.

Dalam pada itu, kemarahan yang membakar jantung telah mendorong Empu Baladatu untuk memeras segenap kemampuan yang ada padanya. Namun ia sama sekali tidak Mampu memaksakan kehendaknya karena Empu Sanggadarupun telah bertempur dengan segenap kekuatan yang ada padanya untuk mengalahkan adiknya.

Benturan-benturan senjata yang terjadi, menyatakan, bahwa kekuatan Empu Sanggadaru yang mengagumkan itu, masih selalu mengatasi kekuatan Empu Baladatu. Bahkan seolah-olah tenaga Empu Sanggadaru sama sekali tidak berkurang meskipun ia sudah bertempur beberapa saat lamanya.

“Aku akan menarik telinganya” berkata Empu Sanggadaru kepada orang-orangnya, “seperti masa kanak-kanak, jika ia nakal aku selalu menarik telinganya.”

“Aku akan membunuhmu” teriak Empu Baladatu

“Kau memang nakal dan keras kepala” sahut Empu Sanggadaru yang menjadi semakin tenang, ketika ia melihat pasukannya yang mula-mula jumlah jauh lebih sedikit, lambat laun berhasil menguasai keadaan. Namun dengan demikian ia dapat membayangkan bahwa korban tentu telah berserakkan. Baik dari pihaknya, dan terlebih lagi dari pihak lawan.

Empu Sanggadaru yang menyadari kehadiran Mahisa Bungalan, Mahisa Pukat dan Mahisa Murti merasa bersukur, karena meskipun mereka hanya bertiga, tetapi kehadirannya itu ternyata mempunyai arti yang sangat penting. Demikian juga prajurit-prajurit Singasari yang jumlahnya terhitung tidak terlalu banyak.

“Tanpa mereka, padepokan ini telah hancur menjadi debu” berkata Empu Sanggadaru di dalam hatinya. Dan ia menjadi ngeri membayangkan apa yang akan dilakukan oleh adiknya dengan upacara korbannya yang garang dan tidak berperi kemanusiaan itu.

“Cantrik yang menguasai senjata dengan baik tidak terlalu banyak jumlahnya” berkata Empu Sanggadaru didalam hatinya. Dan ia sadar, bahwa kekuatan padepokan itu sendiri tidak banyak berarti dalam pertempuran itu.

Namun demikian, meskipun pasukannya menjadi semakin terdesak, Empu Baladatu sama sekali tidak berpikir untuk menarik serangannya dan menghindar dari arena. Ia telah di kuasai oleh nafsu kemarahan yang tidak terkendali. Yang ada di dalam angan-angannya hanyalah nafsu untuk membunuh.

Tetapi Empu Sanggadaru masih tetap hertempur dalam kesadaran. Itulah sebabnya, maka ia masih menahan diri. Meskipun dengan demikian kadang-kadang ialah yang justru harus berloncatan surut.

Dalam pada itu, Mahisa Bungalan, yang bertempur di dalam dinding padepokan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di luar padepokan, benar-benar telah menjadi hantu bagi lawannya. Kehadiran, mereka di setiap sudut arena, telah mendesak lawan-lawannya. bahkan sebelum mereka mencoba melawan. Beberapa orang dari padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang sebagian telah tidak berdaya lagi, sedangkan orang dari Mahibit, terutama yang berada didalam dinding padepokan, benar-benar telah kehilangan keberanian.

Karena itulah, maka pertempuran itupun kemudian seolah telah berpusat pada kedua kakak beradik itu. Seolah-olah mereka berdualah yang akan menentukan, kapan pertempuran itu akan berakhir.

Empu Sanggadaru yang menyadari hal itu, telah membuat perhitungan-perhitungan tertentu. Ia tidak ingin melihat korban lebih banyak lagi yang jatuh. Karena itulah, maka iapun kemudian mengambil keputusan untuk segera mengakhiri pertempuran. Jika Empu Baladatu dapat dikuasainya, maka orang-orang yang menyerang padepokan itu akan kehilangan kedua pemimpinnya.

Karena itulah, maka Empu Sanggadaru pun kemudian mulai mempercepat serangan-serangannya. Pertimbangannya menjadi semakin jauh ketika ia menyadari korban telah berserakan silang melintang.

“Jika terpaksa adikku menjadi korban, apa boleh buat. Tetapi tidak harus menambah jumlah tanpa dapat dihitung lagi.” katanya di dalam hati.

Sejenak kemudian, maka Empu Sanggadaru itupun menggeram. Seolah-olah kekuatan yang tersisa itupun telah dikembangkannya dengan kekuatan-kekuatan yang tersimpan di dalam alam di sekitarnya. sehingga menjadi berlipat ganda. Tata geraknya menjadi semakin cepat, dan kekuatannya pun bagaikan kekuatan raksasa yang sedang mengamuk.

Empu Baladatu terkejut melihat perubahan yang timbul pada kakaknya itu. Karena itu, maka ia pun berusaha untuk mengimbanginya. Iapun herusaha untuk dapat menggerakkan semua kekuatan yang tersisa sehingga ia tidak akan dapat didesak oleh serangan-serangan kakaknya yang kemudian datang bagaikan banjir bandang. Dengan demikian, kedua orang kakak beradik itu telah bertempur semakin sengit dengan mempertaruhkan hidupnya.

Mahisa Bungalan sempat memperhatikan pertempuran antara kedua orang bersaudara itu. Sebagai seorang yang memiliki kemampuan yang tinggi, ia segera dapat mengetahui, bahwa keduanya benar-benar telah sampai pada puncak kemampuan. Sekali-kali Mahisa Bungalan melihat Empu Sangggadaru terdesak. Namun kemudian ia melihat Empu Baladatu ada dalam bahaya yang langsung mengancam jiwanya.

Namun dalam pada itu, maka ketahanan tubuh keduanyalah yang akan menentukan akhir dari pertempuran itu. Empu Sanggadaru masih tetap dalam batas kemampuannya, sementara Empu Baladatu seolah-olah telah kehilangan kekuatan sedikit demi sedikit.

Ketika Empu Sanggadaru menyadarinya, maka iapun segera membuat pertimbangan terakhir. Dengan perhitungan yang mapan maka iapun kemudian memaksa Empu Baladatu mengerahkan segenap sisa tenaganya. Serangannya pun datang dengan kekuatan dan kecepatan bergerak yang sudah sampai pada batas kemampuannya. Ternyata usaha Empu Sanggadaru herhasil. Ia dapat memaksa Empu Baladatu memeras semua tenaga yang tersisa, sehingga sejenak kemudian, nafasnyapun mulai mengalir berkejaran semakin cepat di lubang hidungnya.

Mahisa Bungalan yang berdiri termangu-mangu menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia melihat pertempuran yang riuh itu. Ia dapat saja terjun kedalamnya dan membunuh lawan sebanyak-banyaknya. Tetapi ada sesuatu yang menahannya. Jika baru saja ia berada didalam hiruk pikuk pertempuran, maka yang dilakukannya adalah sekedar menakut-nakuti lawan dan jika terpaksa melumpuhkan mereka tanpa membunuhnya. Sekilas Mahisa Bungalan melihat bulan bulat dilangit yang menjadi semakin rendah. Sebentar lagi, langit diujung Timur akan menjadi ke-merah-merahan oleh fajar yang menyingsing.

Bukan saja Mahisa Bungalan, namun Empu Baladatu pun menyadari bahwa sisa malam tinggallah sedikit sekali. Jika bulan lenyap cahayanya karena fajar, maka upacara yang terbesar yang akan dilakukannya itu akan gagal. Rencananya untuk menyerahkan korban sebanyak-banyaknya ternyata sama sekali tidak akan dapat terwujud.

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya, ketika ia memperhatikan pertempuran yang mulai menurun itu. Ia melihat Empu Baladatu meloncat jauh-jauh surut sementara Empu Sanggadaru melangkah maju dengan ragu-ragu. Baru kemudian Mahisa Bungalan melihat, bahwa sepercik darah telah memerah pada tubuh Empu Baladatu.

“Gila” teriak Empu Baladatu.

Empu Sanggadaru berdiri membeku. Dipandanginya adiknya yang terluka didadanya. “Baladatu” desisnya.

Wajah Baladaku menjadi merah padam dalam cahaya bulan yang kekuning-kuningan. Dengan telapak tangan kirinya ia meraba lukanya. Dengan tatapan mata yang membara karena ke marahan yang menghentak, ia melihat darah mewarnai jarinya.

“Kau melukai aku kakang” geramnya.

Empu Sanggadaru tenmangu-mangu sejenak. Kemudian sambil maju selangkah ia berkata, “Bukan maksudku Baladatu. Aku hanya ingin memperingatkanmu,“

“Inikah caramu memperingatkan aku.”

“Aku tidak sengaja“

“Omong kosong. Kau akan membunuh aku” ia berhenti sejenak, lalu, “Daripada aku mati karena tanganmu, lebih baik aku sajalah yang membunuhmu. Kau sudah tua. Kau sudah cukup banyak makan garam. Karena itu, biar sajalah kau mati”

Empu Sanggadaru termangu-mangu. Tetapi ia masih tetap berhati-hati, betapapun hatinya dicengkam oleh keragu-raguan.

Empu Baladatu yang sudah menjadi semakin lemah itu masih saja tidak melihat kenyataan yang dihadapinya. Karena itu, maka dengan serta merta ia meloncat menerkam kakaknya yang sedang memperhatikannya dengan hati yang berdebar-debar.

Serangan itu sangat mengejutkan. Namun Empu Sanggadaru memang sudah menduga, bahwa luka itu tidak akan menghentikan perlawanan adiknya. Karena itulah, maka ia pun kemudian dengan cepat pula mengelak, dengan sebuah loncatan ke samping. Namun dalam pada itu, terkilas di dalam pikirannya, hahwa sudah saatnya ia menghentikan perlawanan adiknya sebelum ia kehabisan darah, jika masih mungkin, maka ia akan mengalahkan dan melumpuhkan, adiknya tanpa membunuhnya.

Karena itulah, ketika Empu Baladatu gagal mengenainya, Empu Sanggadaru lah yang menyerang dengan garangnya. Ia meloncat menyusul arah serangan adiknya. Dengan ayunan tangan kirinya ia menghantam punggung Empu Baladatu yang sedang berusaha mencapai keseimbangannya kembali.

Serangan secepat itu, sangat sulit dihindari oleh Empu Baladatu dalam keadaannya. Ia telah mengerahkan segenap sisa tenaganya untuk menyerang, sehingga darahnya bagaikan ditekan keluar dari luka.

Itulah sebabnya, maka serangan Empu Sanggadaru itu langsung telah mengguncang seisi dadanya bagaikan rontok. Pukulan pada punggungnya benar-benar telan melumpuhkan segenap kekuatannya, sehingga terhuyung-huyung ia terdorong selangkah maju. dan kemudian ia benar-benar telah kehilangan keseimbangannya.

Sejenak kemudian Empu Baladatu itu pun telah terjatuh di tanah. Sekali ia berguling dan herusaha untuk bangkit. Tetapi agaknya tubuhnya lelah menjadi sangat lemah dan tidak berdaya.

Empu Sanggadaru berdiri tegak bagaikan patung memandang adiknya yang terbaring di tanah. Sekilas ia melihat wajah yang pucat dan darah yang mengalir dari luka.

Dalam pada itu, pertempuran di dalam lingkaran dinding padepokan itu pun menjadi riuh. Orang-orang dari padepokan Serigala Putih, Macan Kumbang dan orang-orang Mahibit telah kehilangan pemimpinnya. Meskipun sebenarnya jumlah mereka masih cukup, tetapi keberanian mereka telah susut dan bahkan kemudian larut sama sekali. Apalagi apabila tatapan mata mereka tertumbuk kepada Empu Sanggadaru dan Mahisa Bungalan yang telah kehilangan lawan masing-masing, maka hati merekapun menjadi kecut.

Itulah sebabnya, maka perlawanan mereka sama sekali sudah tidak berarti. Bahkan tiba-tiba saja tanpa diketahui diantara mereka terdengar seorang yang kemudian disahut oleh beberapa orang yang menjalar dengan cepatnya, “Lari, lari, lari.”

Terjadilah kekisruhan di seluruh arena di dalam dinding padepokan. Orang-orang yang kehilangan pemimpinnya itu herlari-larian tanpa arah. Mereka berusaha untuk menyelamatkan diri masing dari ujung senjata orang-orang dari padepokan Empu Sanggadaru. Beberapa orang berhasil meloncati dinding padepokan sambil berteriak-teriak sehingga teriakan mereka telah mengejutkan orang-orang yang bertempur di luar dinding.

Sejenak kekisruhan itu pun mengejutkan orang-orang yang bertemput di luar,. yang sebenarnya masih cukup seru. Orang-orang dari padepokan Serigala Putih. Macan Kumbang dan orang-orang Mahibit sebenarnya masih cukup kuat untuk mendesak lawannya meskipun kedua orang anak-anak muda bertempur bagaikan hantu itu tetap merupakan lawan yang sangat berat.

Tetapi orang-orang yang berlari-larian dari dalam dinding telah menghentakkan mereka. Apalagi ketika mereka mendengar teriakan, “Linggadadi terbunuh.”Kemudian disambut, “Empu Baladatu mati.”

Maka mereka yang berada di luar dinding padepokan Empu Sanggadaru itupun seolah-olah telah kehilangan pegangan. Mereka tidak dapat mempertahankan diri lagi untuk bertempur terus, sehingga karena itu. maka mereka pun mulai berpencaran. Beberapa orang prajurit dan cantrik masih berusaha mengejar mereka dan berhasil menangkap beberapa orang. Tetapi yang lainpun segera menyelinap dan hilang didalam kegelapan.

Sejenak kemudian, arena yang hiruk pikuk itu menjadi sepi. Yang ada kemudian adalah para prajurit Singasari, para cantrik dan orang-orang yang berada dalam lingkungan padepokan Empu Sanggadaru. Beberapa orang prajurit masih sibuk mengurus beberapa orang yang tertawan. Yang lain langsung menangani kawan mereka yang menjadi korban, terutama yang terluka dan masih dapat diharapkan hidup terus

Dalam pada itu, Empu Sanggadaru berlutut di dekat adik nya terbaring. Di sampingnya Mahisa Bungalan pun berlutut pula dengan wajah yang tegang.

“Ia masih hidup” berkata Empu Sanggadaru, “mungkin masih dapat diobati. Aku yakin, ketahanan tubuhnya sangat tinggi, sehingga ia masih akan dapat bertahan.”

Empu Sanggadaru pun kemudian memerintahkan seorang kepercayaannya untuk menyediakan obat-obatan yang akan dipergunakan untuk megobati adiknya yang terluka parah itu.

Beberapa saat kemudian Mahisa Pukat dan Mahisa Murti pun telah datang mendekati kakaknya. Sejenak mereka memandang Empu Baladatu yang terbaring. Kemudian dengan perlahan-lahan Mahisa Pukat hertanya, “Bagaimana dengan orang itu?”

“Ia adalah Empu Baladatu. adik Empu Sanggadaru sendiri“

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti menganggukkan kepalanya. Merekapun pernah mendengar nama itu.

“Apakah lukanya parah?” bertanya Mahisa Murti.

“Cukup parah” jawah Mahisa Bungalan, “Empu Sanggadaru sedang berusaha untuk mengobatinya.”

Pertolonganpun segera diberikan kepada Empu Baladatu. Tubuhnya yang lemah itu pun kemudian dibawa masuk ke dalam padepokan, sementara orang-orang lain sibuk mengurus tawanan, mengurus kawan dan lawan yang terluka. Sedangkan yg lain mengumpulkan korban-korban terbunuh di dalam peperangan itu

Suasana duka telah meliputi padepokan itu. Beberapa orang yang kehilangan sanak kadang, menggeretakkan giginya dan seolah-olah ingin melepaskan dendamnya kepada tawanan yang ketakutan. Tetapi para prajurit Singasari telah menahan dan memperlakukan para tawanan seperti yang seharusnya, karena mereka adalah justru prajurit.

“Itulah salahnya” geram seorang yang kehilangan adiknya, “jika disini tidak ada para prajurit itu, kita akan membantai setiap orang yang tertangkap.”

“Empu Sanggadaru tidak akan membenarkan” sahut yang lain.

“Kita dapat minta dan agak mendesak. Tetapi terhadap prajurit-prajurit itu, kita tentu tidak akan dapat berbuat apa-apa.”

Tetapi seorang yang agak tua berkata, “Tanpa prajurit-prajurit itu kitalah yang akan menjadi tawanan. Dan seperti yang kau katakan, kita memang akan dibantai dan dijadikan korban pada upacara ngeri yang dilakukan oleh orang-orang berilmu hitam disaat purnama naik.”

“He?” kawannya yang mendendam itu berdesis, “apakah benar begitu?”

“Kau ingin mencoba bertemu lagi dengan mereka tanpa prajurit Singasari?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menggeleng, “Tidak Tidak.”

Kawan-kawannya tidak menyambung lagi. Tetapi mereka pun menyadari betapa dahsyatnya pertempuran yang baru saja terjadi. Tanpa prajurit Singasari, maka padepokan itu tentu akan hancur, dan upacara yang mengerikan itu akan berlangsung tanpa dapat dicegah lagi.

Tetapi kini mereka yang berada di padepokan itulah yang berhasil mengusir musuhnya. Bahkan mereka dapat menawan beberapa orang selain yang terbunuh Di antara mereka yang terbunuh adalah Linggadadi, dan yang tertawan adalah Empu Baladatu yang terluka parah.

Dalam pada itu, Empu Sanggadaru sedang sibuk dalam usahanya menolong jiwa adiknya. Beberapa orang yang memiliki pengetahuan tentang pengobatan telah dipanggil dan bersama-sama berusaha untuk mengobati Empu Baladatu yang nampaknya benar-benar terluka parah.

“Usahakan agar ia hidup” desah Empu Sanggadaru.

Orang-orang yang berusaha mengobati itu pun mencoba dengan sepenuh kemampuan yang ada, karena mereka melihat, bahwa Empu Sanggadaru telah minta dengan sungguh-sungguh. Meskipun Empu Baladatu telah berusaha membunuhnya, namun ia adalah adiknya. Bagaimanapun juga, Empu Sanggadaru tidak akan sampai hati untuk membiarkan Empu Baladatu mati dibawah hidungnya tanpa berbuat berbuat apa-apa. Apalagi Luka-luka parah itu adalah karena tangannya yang sedang didorong oleh kemarahan yang tidak tertahankan.

“Apakah aku akan menyebabkan kematian adikku?” pertanyaan itu selalu mengejarnya. Sehingga seolah-olah ia tidak menghiraukan lagi apa yang telah terjadi di halaman padepokannya.

Semetara itu, orang-orangnya sedang sibuk menyingkirkan mayat dan mengangkat orang-orang yang terluka. Beberapa orang telah mendapat pertolongan, namun masih saja terdengar desah dan keluh kesah. Bahkan masih terdengar gemeretak gigi dan kadang-kadang sesambat yang panjang.

Sementara itu, Empu Sanggadaru masih saja dicengkam oleh ketegangan menunggui adiknya yang terbaring diam dengan mata terpejam. Nafasnya bekejaran melalu lubang hidungnya. Bahkan kadang-kadang nafas itu berhenti sesaat dan seolah-olah hilang sama sekali. Empu Sanggadaru benar-benar menjadi gelisah. Seolah-olah ia berdiri dihadapan ayah dan ibunya. Dengan wajah yang marah oleh kemarahan, kedua menudingnya sambil menuntut pertanggungan jawab atas keadaan Baladatu.

“Ia adikmu” terdengar suara itu mengumandang di dalam dadanya.

“Tetapi ia akan membunuhku, dan aku hanyalah sekedar membela diri” Empu Sanggadaru mencoba membantah

“Kau boleh mencubitnya jika ia nakal. Kau boleh memukulnya dengan rotan, atau menarik kupingnya. Tetapi kenapa kau sampai hati membunuhnya? Kau adalah saudara tuanya. Kau wajib memperingatkan jika ia sedang lupa diri. Tetapi bukan kuwajiban saudara tua untuk membunuh adiknya”

Empu Sanggadaru menjadi semakin berdebar-debar. Suara itu bagaikan mengumandang di telinganya tanpa henti-hentinya. Empu Sangggadaru menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Empu Baladatu bergerak. Bahkan kemudian terdengar suara keluhan dari mulutnya.

“Ia mulai hidup” desisnya, “cepatlah. Usahakanlah agar ia cepat sadar.”

Orang-orang yang sedang herusaha mengobatinya itupun menjadi tegang. Mereka sudah melakukan apa saja yang dapat mereka lakukan untuk keselamatan Empu Baladatu. Namun mereka pun sadar, bahwa jika mereka gagal, Empu Sanggadaru pun akan kecewa sekali. Penyesalan yang tidak herkeputusan akan memukul hatinnya setiap saat. Tetapi ternyata bahwa usaha mereka tidak sia-sia. Sejenak kemudian, maka mereka melihat Empu Baladatu itu pun membuka matanya

“Baladatu, Baladatu” Empu Sanggadaru memanggil berulang-ulang dengan penuh harapan.

Empu Baladatu membuka matanya. Kemudian dicobanya untuk melihat setiap orang yang ada di sekitarnya di bawah cahaya obor yang terang.

“Tahankanlah. Bukankah kau memiliki ketahanan tubuh yang tidak terhingga. Kau tentu akan sembuh sama sekali dalam waktu yang singkat” desis kakaknya.

Empu Baladatu memandang kakaknya sejenak. Tetapi masih nampak kecemasan yang sangat membayang di tatapan matanya yang pudar.

“Baladatu, kau harus sembuh” desis Empu Sanggadaru.

Empu Baladatu tidak menyahut. Mulutnya masih terasa berat dan hatinya masih dicengkam oleh kebimbangan. Namun wajahnya yang pucat berangsur menjadi merah. Melalui bibirnya telah dapat diteguk beberapa titik air yang segar, sehingga tubuh yang letih itu pun rasa-rasanya telah dijalari oleh kesegaran itu pula.

Namun dengan demikian, perasaan sakit dan nyeri pun telah menjalar pula di seluruh tubuhnya. Tetapi bagi Empu Baladatu yang memiliki pengalaman yang luas, segera mengetahui, bahwa dengan demikian urat dan syarafnya di seluruh tubuhnya masih dapat bekerja sewajarnya. Ketika beberapa titik air dituangkan kebibirnya, Empu Baladatu merasa hadannya bertambah segar, sehingga ia mulai mencoba menggerakkan ujung-ujung jari tangan dan kakinya Kemudian pergelangan tangannya dan seluruh lengannya.

“Jangan bayak bergerak” kakaknya mencoba menahannya.

Empu Baladatu mengejapkan matanya, sebagai isyarat bahwa ia mengerti yang dikatakan oleh kakaknya itu. Beberapa orang pandai yang ada disekitarnya pun mulai merasa lega. Mereka mulai bernafas dengan teratur, dan terlepas dari ketegangan yang mencengkam

“Mudah-mudahan keadaanya berangsur menjadi baik” gumam salah seorang dari mereka

Empu Sanggadaru pun mengangguk, la melihat wajah adiknya menjadi berangsur hidup pula, dan nafasnya pun mulai teratur. Empu Sanggadaru meraba pergelangan tangan adiknya. Ia sendiri adalah orang yang memiliki pengetahuan tentang obat dan pengobatan. Tetapi ketika adiknya sendiri yang terkena, maka ia seolah-olah telah kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Sehingga dengan demikian ia telah memanggil beberapa orang yang dianggapnya cukup mempunyai pengetahuan tentang obat dan pengobatan.

Tetapi ternyata bahwa keadaan adiknya itu memang berangsur baik..Karena itulah, maka Empu Sanggadaru pun mulai teringat kepada keadaan padepokannya. Halaman yang rusak karena injakan kaki dan sentuhan senjata yang berputaran, serta mayat yang berserakan di antara orang-orang yang terluka. Dengan ragu-ragu Empu Sanggadaru pun kemudian berbisik kepada salah seorang dari orang-orang yang menunggui Empu Baladatu, “Aku akan turun kehalaman” Orang itu mengangguk.

Sejenak kemudian Empu Sanggadaru pun telah meninggalkan bilik itu bersama Mahisa Bungalan. Di halaman mereka melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sedang berdiri termangu-mangu melihat orang-orang yang sedang sibuk dengan mereka yg terluka dan dengan mayat-mayat. Keduanya menyongsong ketika mereka melihat Empu Sanggadaru dan Mahisa Bungalan mendekati mereka.

“Bagaimana dengan kalian?” bertanya Empu Sanggadaru.

“Kami tidak mengalami sesuatu Empu” jawab Mahisa Murti.

“Syukurlah” jawab Empu Sanggadaru, “beristirahatlah di dalam. Aku akan mengawasi orang-orang yang sedang mengatur tawanan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.”

Empu Sanggadaru pun kemudian melintasi halaman menuju ke seberang longkangan dan memasuki sebuah rumah samping. Di dalam sebuah bilik terdapat beberapa orang, yang sedang ditawan. Sedangkan bagian yang lain telah ditempatkan di beberapa bilik yang terpencar.

Empu Sanggadaru dan Mahisa Bungalan mendekati pintu bilik yang tertutup rapat dan di selarak kuat-kuat itu. Sejenak ia memperhatikan beberapa orang penjaga di setiap sudut dan di depan pintu.

“Aku ingin bertemu dengan mereka” berkata Empu Sanggadaru.

Seorang penjaga yang bersenjata telanjang telah membuka selarak pintu itu dan membukanya.

Ketika Empu Sanggadaru memasuki ruangan itu bersama Mahisa Bungalan, maka nampaklah wajah-wajah yang ketakutan dari beberapa orang yang berada didalamnya. Seorang yang masih sangat muda duduk di sudut bilik itu sambil menyilang kan tangannya di dada. Sedang dari matanya terpancar penyesalan, bahwa ia telah terlempar kedalam bilik itu bersama beberapa orang lain. Sejenak Empu Sanggadaru mengamati orang-orang yang berada di dalam bilik itu. Satu persatu, seakan-akan ia ingin melihat langsung ke bilik tatapan mata mereka yang sayu.

“Siapakah kalian masing-masing masih harus ditanyakan” berkata Empu Sanggadaru, “kedatangan kalian kali ini memang agak aneh bagi kami. Jika diantara kalian terdapat orang-orang berilmu hitam, tetapi kenapa diantaraa kalian terdapat pula Linggadadi yang bergelar pembunuh orang-orang berilmu hitam.”

Tidak seorangpun yang menjawab. Beberapa orang justru saling berpandangan.

“Aku memang tidak bertanya kepadamu dan menunggu jawabanmu sekarang” berkata Empu Sanggadaru, “tetapi besok aku akan mulai dengan orang yang pertama. Aku ingin bertanya kepada kalian seorang demi seorang. Mudah-mudahan kalian masih akan kami dorong masuk kembali kedalam bilik masing-masing.”

Kata-kata itu sungguh telah menggetarkan dada mereka. Menurut pengalaman yang mereka lakukan, maka meteka telah memperlakukan tawanan-tawanan mereka sekehendak hati. Orang-orang berilmu hitam kadang-kadang telah mempergunakan tawanan-tawanannya untuk korban disaat purnama naik. Sedang orang-orang Mahibit sering dengan sengaja memperlakukan tawanan mereka dengan tindakan yang aneh-aneh sekedar untuk mendapatkan kesenangan dan kepuasan atas sengsara dan penderitaan orang lain.

Sejenak Empu Sanggadaru masih berdiri di pintu sambil memandang orang-orang yang ada didalam bilik itu. Namun sejenak kemudian wajah-wajah itupun segera menunduk dalam-dalam.

“Kau tentu sudah tahu. Bahwa Linggadadi telah terbunuh dan Empu Baladatu terluka parah, yang barangkali akan memerlukan waktu yang lama sekali untuk menyembuhkannya” berkata Empu Sanggadaru kemudian, “sehingga karena itu, kami tidak akan dapat menanyakan apapun kepada mereka. Itulah sebabnya kami memerlukan kalian. Mungkin keterangan yang dapat kalian berikan kepada kami, akan memberikan jalan penyelesaian yang sebaik-baiknya. Tetapi mungkin juga sebaliknya. Apalagi jika kalian menjadi keras kepala dan berusaha untuk menyembunyikan sesuatu.”

Wajah-wajah yang menunduk itu menjadi tegang sejenak. Namun merekapun kemudian menyadari, bahwa dapat terjadi apa saja atas mereka yang sudah tertawan.

Sejenak kemudian, Empu Sanggadaru itu pun meninggalkan tawanannya dan pintu itupun ditutup dan diselarak kembali. Demikianlah, maka padepokan yang tenang itu, kemudian telah menemukan kesibukan baru. Ketika fajar menyingsing nampaklah wajah-wajah yang kuyu dan kusut. Mereka yang selamat dan tidak terluka. harus bekerja keras menyingkirkan mayat dan orang-orang yang terluka. Tetapi kerja mereka masih belum selesai. Mayat-mayat itu tentu tidak cukup hanya sekedar disingkirkan. Itulah sebabnya, mereka masih harus bekerja keras menyelenggarakan mayat-mayat itu.

Di bagian yang lain, orang-orang yang terluka berbaring sambil menggerang. Ada yang sudah sedemikian parahnya, sehingga tidak dapat mengenal kawan-kawannya lagi. Tetapi ada di antara mereka yang luka-luka ringan, masih dapat membantu mengatur suasana padepokan yang diliputi oleh kengerian itu.

Dalam pada itu selagi para cantrik dan orang-orang di padepokan itu menyelenggarakan tugas masing-masing. maka Empu Sanggadarupun mulai memanggil satu dua orang tawanannya. Tetapi pertanyaan-pertanyaannya masih terbatas pada sekedar penjajagan saja. Empu Sanggadaru masih belum sempat memberikan pertanyaan-pertanyaan yang terperinci dan mendalam.

Dihari berikutnya itulah maka semua perkejaan diselesai kan. Dengan demikian maka padepokan itu akan segera dapat dibersihkan dari noda-noda darah dan bekas-bekas pertempuran yang mengerikan itu. Meskipun demikian, mereka tidak dapat memaksa orang-orang yang terluka sembuh pada hari itu dan menyingkirkan para tawanan, sehingga mereka masih merupakan kenyataan yang harus mereka hadapi untuk beberapa hari mendatang.

“Tetapi para tawanan itu dapat diserahkan kepada para prajurit Singasari” berkata salah seorang dari cantrik padepokan itu.

“Ya. Tetapi tentu tidak besok atau lusa. Mungkin sepekan, mungkin sepuluh hari. karena untuk membawa para tawanan itu, tentu diperlukan persiapan.” jawab yang lain.

Kawannya mengangguk-angguk. Namun jawabnya, “Itu lebih baik daripada mereka akan tetap tinggal disini untuk selama-lamanya. Atau bagaimanakah seandainya jika mereka itu dilepaskan saja?”

“Mereka akan datang lagi mencekikmu besok atau lusa demikian mereka dilepaskan.”

”Atau dibunuh?”

“Jangan mengganggu saja. Bekerjalah sesuatu. Aku sudah bekerja sampai keringatku kering.”

Kawannya tersenyum. Iapun kemudian meninggalkan kawannya dan mulai melakukan kerja apapun juga.

Sejak saat itu, maka padepokan Empu Sanggadaru selalu diliputi oleh kemuraman. Para prajurit Singasari masih tetap berada ditempat itu, karena mereka masih mencemaskan kemungkinan yang kurang baik di saat mendatang. Mungkin orang-orang yang berhasil melarikan diri itu akan kembali dengan kawan-kawannya untuk membebaskan para tawanan atau karena dendam. Apalagi ketika dari para tawanan diketahui, bahwa Linggadadi mempunyai seorang kakak di Mahibit bernama Linggapati yang memiliki kematangan ilmu melampaui Linggadadi.

“Ia akan dapat menghimpun kekuatan yang masih tersisa di Mahibit untuk melepaskan dendamnya karena kematian adiknya.” berkata salah seorang prajurit.

Pemimpin prajurit Singasari di padepokan itu pun kemudian menentukan sikap, apakah yang harus mereka lakukan.

“Dua orang akan memberikan laporan kepada pimpinan di Singasari, bahwa telah terjadi pertempuran yang mengerikan di padepokan ini. Tetapi agaknya yang terjadi bukannya tujuan utama. Laporan juga tentang Linggapati di Mahibit”

Demikianlah dua orang petugas telah pergi ke Singasari. Mereka membawa pesan bagi Senopati Lembu Ampal, tentang pertempuran yang telah terjadi, tentang tawanan dan tentang Mahibit.

Dalam pada itu, keadaan Empu Baladatu pun berangsur menjadi baik. Ketahanan tubuhnya memang luar biasa, sehingga selelah ia beristirahat semalam, maka ia telah dapat bangkit dan duduk bersandar dinding. Dihari berikutnya Empu Baladatu sudah dapat bangkit berdiri dan berjalan mondar mandir didalam biliknya.

“Beristirahatlah” berkata Empu Sanggadaru ketika ia melihat adiknya berjalan hilir mudik.

Empu Baladatu memandang wajah kakaknya dengan tatapan mata yang aneh. Namun ia sama sekali tidak menjawab.

“Duduk sajalah. Luka-lukamu masih berbahaya bagimu.”

Empu Baladatu pun kemudian duduk di pembaringan. Kepalanya ditundukkannya seolah-olah sedang merenungi hari-harinya yang telah lewat.

“Kau masih harus banyak beristirahat” berkata Empu Sanggadaru, “dengan demikian kau akan cepat menjadi sembuh.”

Empu Baladatu masih tetap diam sambil duduk termenung. Empu Sanggadaru tidak berbicara terlalu banyak. Ia merasa senang karena semua obat yang diberikan pasti dipergunakan oleh Empu Baladatu. Yang berupa minuman pasti diminumnya. Yang harus ditaburkan, ditaburkannya dengan rajin, dibantu oleh orang-orang yang diserahi untuk mengawasinya.

“Mudah-mudahan ia lekas sembuh” berkata Empu Sanggadaru kepada orang yang menjaga bilik Empu Baladatu itu, “Bagaimana dengan makannya?”

“Cukup baik Empu. Empu Baladatu berusaha untuk makan sebanyak-banyaknya.”

“Syukurlah. Ia masih mempunyai keinginan untuk hidup terus.”

Sebenarnyalah bahwa Empu Baladatu masih ingin tetap hidup. Ia adalah seorang yang memiliki gairah dan cita-cita, sehinga ia tidak terlalu cepat menyerah kepada mati. Karena itulah, maka luka-lukanya itupun rasa-rasanya menjadi terlalu cepat sembuh. Luka-lukanya cepat menjadi kering dan nampaknya tenaganya pun menjadi berangsur pulih

“Sebentar lagi kau akan pulih” berkata Empu sanggadaru yang sekali-kali menengok kedalam biliknya.

“Terima kasih kakang” berkata Empu Baldatu.

Namun dalam pada itu, Singasari yang dihubungi oleh para prajurit yang bertugas dipadepokan itupun telah mendengar semua peristiwa yang terjadi. Karena itulah maka pimpinan keprajuritan di Singasari telah mengirimkan beberapa orang perwira untuk menilai keadaan. Diantara mereka adalah Mahisa Agni sendiri.

“Ketiga kemanakanku ada di sana” berkata Mahisa Agni

Demikianlah Mahisa Agni pun segera mempersiapkan diri. Perjalanan yang pernah ditempuhnya, sama sekali tidak membawanya kepada orang-orang berilmu hitam itu sehingga akhirnya ia kembali sebelum berhasil menemukan padepokan orang-orang berilmu hitam itu. Dan kini orang-orang berilmu hitam itu telah berada di padepokan Empu Sanggadaru justru bersama dengan orang-orang Mahibit.

Dihari berikutnya, lima orang prajurit termasuk Mahisa Agni telah berpacu menuju ke padepokan Empu Sanggadaru. Kehadirannya itu telah diberitahukan lebih dahulu kepada para pemimpin prajurit di padepokan Empu Sanggadaru sehingga merekapun segera bersiap untuk menyambutnya.

Namun dalam pada itu, ketika pagi yang cerah mulai membayang diatas padepokan, sebelum mereka mempersiapkan penyambutan yang memadai, maka padepokan itu telah digemparkan oleh peristiwa yang tidak terduga-duga. Ketika seorang pengawal yang bertugas dipagi hari datang kemuka bilik Empu Baladatu untuk menggantikan penjaganya, maka ia tidak menemukan penjaga itu. Beberapa saat ia mencarinya, tetapi ia tidak menemukannya.

Ia menjadi ragu-ragu ketika ia melihat pintu bilik Empu Baladatu itu terbuka sedikit. Perlahan-lahan ia menyentuh daun pintu itu, dan kemudian membukanya dengan hati-hati. Pengawal itu hampir terpekik ketika ia melihat sesosok tubuh terbaring dilantai dengan berlumuran darah. Dengan tergesa-gesa ia mendekatinya. Ternyata orang itu adalah kawannya yang akan digantikannya.

Kegemparan itupun segera menjalar. Ketika Empu Sanggadaru, Mahisa Bungalan, Mahisa Pukat dan Mahisa Murti mendengarnya, maka merekapun segera berlari-lari ke dalam bilik itu. Sebenarnyalah yang mereka jumpai adalah sesosok mayat yang dadanya pecah, dan tulang iganya berpatahan.

Terdengar Empu Sanggadaru menggeretakkan giginya. Ketika ia mengangkat wajahnya, betapa matanya bagaikan membara menahan kemarahannya. “Baladatu benar-benar telah menjadi gila” geramnya.

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Iapun sadar bahwa perbuatan itu tentu dilakukan oleh Empu Baladatu. Dan sudah tentu bahwa Empu Baladatu telah melarikan diri dari padepokan itu.

“Aku menyesal” berkata Empu Sanggadaru dengan nada yang dalam dan gemetar karena kemarahan yang menghentak-hentak, “ia adalah satu-satunya adikku. Aku mencoba untuk melunakkan hatinya. Tetapi ternyata ia telah berbuat gila di padepokanku ini.”

Tidak seorang pun yang menyahut. Tetapi kekesalan telah membayang di setiap wajah.

“Jika aku mengerti, bahwa ia akan melarikan diri, aku tentu sudah membunuhnya” sambung Empu Sanggadaru, “adalah kesalahanku, bahwa aku terlalu percaya kepadanya. Tentu ia dengan mudah dapat melarikan diri, karena aku memang tidak menempatkan penjagaan yang memadai. Aku kira ia menyadari kesalahan yang sudah dilakukannya. Setiap aku menemuinya di dalam bilik ini, nampaknya ia sudah menyesal dan bertaubat. Tetapi ternyata akulah yang dungu.”

Mahisa Bungalan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun merekapun menyadari, bahwa mereka sudah terlambat untuk mencarinya, karena Empu Baladatu yang sudah hampir sembuh benar-benar itu tentu sudah jauh dan menempuh jalan yang tidak diketahui. Meskipun demikian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yg masih muda itupun tidak mudah menyerah. Karena itu maka katanya, “Kami akan mencoba mencarinya.”

Empu Sanggadaru memandang kedua anak muda itu sejenak. Namun kemudian iapun menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Tidak usah anakmas. Kita belum mengetahui dengan pasti, apakah orang-orang yang melarikan diri dalam pertempuran yang telah terjadi itu tidak akan datang lagi membawa kawan yang lebih banyak. Khususnya orang-orang Mahibit. Mungkin mereka sekedar ingin melepaskan dendam, tetapi mungkin juga mereka ingin melepaskan kawan-kawan mereka yang tertawan”

Mahisa Bungalan pun mengangguk sambil menyambung, “Memang, keadaannya masih belum dapat kita ketahui dengan pasti. Adalah berbahaya sekali jika kau berdua akan pergi mencarinya“

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Ke mudian terdengar Mahisa Murti berkata, “Tetapi apakah kita akan membiarkannya melarikan diri?”

“Tentu kita akan mencarinya. Tetapi dengan perhitungan yang cukup, tidak dengan tergesa-gesa” berkata Mahisa Bungalan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Ia pun kemudian mengerti, bahwa mencari Empu Baladatu tentu memerlukan banyak pertimbangan. Ia tentu sudah agak lama menanggalkan padepokan itu. Dan tidak seorang pun yang dapat menduga, ke arah manakah ia pergi. Selebihnya, seperti yang dikatakan oleh Empu Sanggadaru dan Mahisa Bungalan. keadaannya akan dapat berbahaya sekali. Dengan demikian, maka yang dilakukan oleh orang-orang di padepokan itu adalah sekedar mengumpat-umpat dan kemudian duduk sambil membicarakan kemungkinan-kemingkinan yang dapat terjadi.

“Jika prajurit Singasari itu datang, mereka tidak akan dapat menemukan Empu Baladatu lagi disini” berkata Mahisa Bungalan.

Empu Sangggadaru mengangguk-angguk. Katanya, “Tentu itu pun masuk perhitungan Baladatu. Ia tidak mau jatuh ketangan prajurit-prajurit Singasari yang sudah lama mencarinya. Ia tentu membayangkan, apakah yang akan dialaminya jika ia berada ditangan para prajurit.”

“Sebenarnya ia tidak akan mengalami apapun juga” sahut Mahisa Bungalan.

“Ia mendapat gambaran yang salah tentang prajurit Singasari” sambung Mahisa Pukat.

Empu Sanggadaru mengangguk-angguk lagi. Sekilas dipandanginya pemimpin prajurit Singasari yang berada di padepokan itu. Kemudian katanya, “Aku menjadi cemas, bahwa prajurit Singasari akan menjadi salah paham”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Mungkin mereka menyangka, bahwa aku sengaja melepaskannya.”

Pemimpin prajurit Singasari yang berada di padepokan itupun kemudian menyahut, ”Empu terlalu cemas terhadap sikap para prajurit.”

Empu Sanggadaru termangu-mangu sejenak.

“Kami menjadi saksi” sambung pemimpin prajurit Singasari itu, lalu, “Empu sudah melakukan sejauh dapat kau lakukan. Jika yang terjadi itu bukan yang kita kehendaki, itu adalah di luar kemampuan kita semua. Empu Baladatu benar-benar tidak tahu diri. Sehingga sudah barang tentu, ia telah menyalah-gunakan kepercayaan Empu terhadapnya.”

“Itulah yang aku cemaskan. Kelengahanku dapat dianggap sebagai suatu kesempatan baginya.”

Pemimpin prajurit itu menggeleng, “Tidak Empu. Tentu tidak akan ada anggapan yang demikian.”

“Aku tidak menempatkan penjagaan yang kuat, sehingga Baladatu dapat melarikan diri. Memang penjaga yang terbunuh itu tidak berarti apa-apa baginya.”

“Tetapi Empu harus percaya kepada kami yang akan dapat menjadi saksi.” sahut Mahisa Bungalan.

Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia berkata, “Terima kasih. Mudah-mudahan mereka percaya, bahwa kepergian Baladatu bukannya karena keselamatan yang aku berikan. Tetapi karena kelengahanku semata-mata. Aku berharap bahwa Baladatu akan menerima kenyataan tentang dirinya, dan bahwa aku adalah satu-satunya saudara tuanya.”

“Ilmunya telah mempengaruhi watak dan pandangan hidupnya” berkata Mahisa Bungalan, “Agaknya tidak ada lagi ikatan unggah ungguh dan ikatan yang dapat mengekang perasaannya. Juga hubungan keluarga tidak berarti sama sekali. Sehingga ia dapat melakukan apa saja untuk mencapai maksudnya tanpa ragu-ragu.”

Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ia adalah satu-satunya adikku.”

“Tetapi cara hidupnya tidak lagi dapat diharapkan bahwa ia akan menjadi baik dan menyadari segala kekurangannya,“

Empu Sanggadaru tidak menyahut. Tetapi wajahnya diliputi oleh keragu-raguan dan penyesalan yang tidak ada taranya. Bukan saja karena Empu Baladatu telah melarikan diri sambil membunuh seorang anak buahnya, sehingga dengan demikian banyak tanggapan akan dapat diberikan terhadapnya, justru karena Empu Baladatu adalah adiknya.

Sementara itu, sekelompok prajurit Singasari memang sedang dalam perjalanan menuju kepadepokan Empu Sanggadaru. Mereka mengharap bahwa mereka akan dapat bertemu dengan orang terpenting dari lingkungan orang berilmu hitam. Meskipun tidak terlalu cepat, sekelompok prajurit itupun berpacu menuju kepadepokan Empu Sanggadaru. Bagi mereka tertangkapnya Empu Baladatu merupakan peristiwa yang cukup penting, karena dengan demikian, maka semua rahasia orang berilmu hitam itu akan dapat terungkap.

Ketika mereka kemudian sampai dipadepokan Empu Sanggadaru, maka mereka telah disongsong oleh Empu Sanggadaru sendiri, Mahisa Bungalan, Mahisa Pukat dan Mahisa Murti, pemimpin prajurit Singasari di padepokan itu dan beberapa pengawal kepercayaan Empu Sanggadaru.

Dengan dada yang berdebar-debar Empu Sanggadaru mempersilahkan mereka naik kependapa dan duduk melingkar diatas tikar pandan yang putih bergaris-garis hitam. Setelah tegur sapa tentang keselamatan masing-masing maka pembicaraan merekapun langsung sampai kepada peristiwa yang telah terjadi dipadepokan Empu Sanggadaru itu.

“Pertempuran itu tentu terjadi sangat sengit” desis Mahisa Agni.

Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya agak tagu, “Demikanlah agaknya yang telah terjadi padepokan ini, meskipun barangkali tidak berarti apa bagi para Senopati di Singasari.”

Mahisa Agni menarik nafas panjang. Sekilas dilihatnya anak-anak muda anak Mahendra duduk sambil menundukkan kepala mereka. “Tentu mereka ikut menentukan, akhir dari pertempuran yang telah terjadi dipadepokan ini” desis Mahisa Agni didalam hatinya.

Dalam pada itu. seorang Senopati prajurit Singasari yang datang bersama Mahisa Agni itupun berkata, “Adalah perjuangan yang sangat berat bagi padepokan ini. Kami telah menerima laporan lengkap tentang jalannya pertempuran. Orang-orang berilmu hitam dan orang-orang Mahibit ingin menghancurkan padepokan ini dengan cara yang licik.”

“Adalah kebetulan sekali, bahwa kami dapat mengetahui kedatangan kedua kelompok itu. Unsur ketidaksengajaan dan kebetulan ikut memegang peranan dalam kemenangan kami. Sehingga karena itu, sama sekali bukan karena kemampuan kamilah yang telah menyebabkan kemenangan kami itu. Hadirnya prajurit Singasari dipadepokan ini, serta ketiga anak-anak muda putera Mahendra itupun ikut menentukan pula. Tanpa mereka padepokan ini akan menjadi karang abang.”

“Berterima kasihlah kepada Yang Maha Agung, karena yang kebetulan itu adalah perlindungannya.” jawab Mahisa Agni.

“Ya, ya” sahut Empu Sanggadaru dengan serta merta, “memang itu adalah belas kasihannya“

Dalam pada itu, Mahisa Agni dan para prajurit dari Singasaripun kemudian minta diberi kesempatan untuk melihat akibat dari pertempuran itu. Mereka ingin melihat bekas-bekas pertempuran yang sudah hampir hilang sama sekali, dan melihat beberapa orang tawanan yang masih ada didalam padepokan itu termasuk mereka yang terluka.

Meskipun bekas pertempuran itu seakan-akan sudah tidak nampak lagi karena telah dibersihkan, namun Mahisa Agni masih melihat betapa serunya pertempuran yang terjadi. Didalam dan diluar dinding padepokan. Apalagi ketika para prajurit itu melihat mereka yang terluka dan para tawanan. Sambil melihat-melihat dibekas arena dan para tawanan itulah, maka Empu Sanggadaru melaporkan batiwa adiknya, Empu Baladatu yang tertawan, telah melarikan diri setelah membunuh seorang penjaganya.

Mahisa Agni mengerutkan keningnya mendengar laporan itu. Beberapa orang Senopati yang pergi bersamanya termangu-mangu sejenak. Sepercik kecurigaan telah melonjak didalam hati mereka.

Ternyata Empu Sanggadaru melihat bayangan kecurigaan itu disorot mata beberapa orang Senopati, sehingga karena itu maka iapun berkata, “Bahwa Baladatu sempat melarikan diri itu memang sesuatu yang dapat dianggap mustahil terjadi. Tetapi barangkali para prajurit yang berada disini akan dapat memberikan kesaksiannya.”

Mahisa Agni lah yang kemudian menyahut, “Kami yakin bahwa yang terjadi itu tentu sebuah kecelakaan. Tetapi sudah barang tentu, bahwa kepergian Empu Baladatu tidak akan dapat kita anggap sebagai suatu peristiwa yang dapat ditanggapi sambil lalu.”

“Ya, ya Senopati” sahut Empu Sanggadaru, “kepergiannya membawa dendam dan kebencian. Terutama kepadaku dan padepokanku ini. Apalagi selain Linggadadi yang terbunuh, di Mahibit ada saudara tuanya yang bernama Linggapati.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Mahibit memang perlu mendapat perhatian. Tetapi agaknya kepergian Empu Ba ladatu dan dendam Linggapati yang tentu akan mendengar berita tentang kematian adiknya itu, merupakan bahaya yang setiap saat dapat melanggar bukan saja padepokan ini. tetapi tentu juga ketenangan Singasari.”

“Ah” desah Empu Sanggadaru, “apakah artinya mereka bagi Singasari. Sebagian kecil prajurit Singasari yang ada dipadepokan ini telah berhasil menghancurkan sebagian besar pasukan mereka. Apalagi seluruh kekuatan Singasari.”

“Jangan salah menilai Empu” jawab Mahisa Agni, “apakah Empu yakin bahwa yang datang ini adalah seluruh kekuatan Empu Baladatu dan kekuatan Mahibit?”

Empu Sanggadaru tidak menyahut. Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil.

“Kami akan mengetahuinya dari para tawanan” berkata. Mahisa Agni kemudian.

“Ya Senopati” berkata Empu Sanggadaru, “yang aku dengar dari mereka, kekuatan di Mahibit memang tidak dapat diketahui dengan pasti. Juga kekuatan yang ada di padepokan Empu Baladatu sendiri.”

“Jika kedua kekuatan yang tersisa, tetapi masih dengan pemimpinnya masing-masing itu bergabung, maka kekuatan itu harus diperhitungkan.”

“Kita akan mendapat petunjuk dimanakah letak padukuhan mereka” berkata Empu Sanggadaru, “kita tidak akan menuggu. Jika diperkenankan, kekuatan padepokan yang tidak seberapa ini akan bersedia ikut serta para prajurit Singasari menuju ke Mahibit dan padepokan Baladatu.”

Tetapi Mahisa Agni menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak tergesa-gesa. Mereka sekarang tentu sudah tidak berada di padepokan masing-masing. Mereka menyadari bahwa beberapa orang mereka tertawan, sehingga mereka tentu akan mengambil sikap yang cepat untuk mengamankan kedudukan mereka.”

Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, ya. Agaknya memang demikian. Kita masih memerlukan waktu barang sehari untuk mempersiapkan diri.”

“Semuanya akan direncanakan dengan cermat Empu. Sekarang kami ingin mendapat kesempatan untuk berbicara dengan para tawanan”

Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam- Kemudian kepalanya terangguk-angguk kecil. Jawabnya, “Baiklah Senopati. Silahkanlah. Mungkin ada hal-hal yang dapat kita jadikan pegangan. Aku sudah berbicara dengan mereka. Tetapi barangkali masih ada yang belum terucapkan.”

Mahisa Agni pun kemudian menemui beberapa orang tawanan. Beberapa lamanya ia berbicara dengan mereka. Seperti sikap dan pembawaannya, maka Mahisa Agni pun berbicara dengan sabar dan lembut.

Tetapi justru sikapnya itu menumbuhkan berbagai tanggapan bagi para tawanan. Tetapi sebagian dari mereka justru menjadi gemetar. Mereka menyangka bahwa sikap itu adalah sikap pura-pura semata-mata. Jika dengan sikap pura-pura itu mereka masih menyembunyikan sesuatu, maka kemudian akan mereka alami perlakuan yang sebenarnya dari prajurit yang nampaknya ramah dan lembut itu.

Dengan demikian, maka sebagian besar dari para tawanan itu tidak lagi menyembunyikan sesuatu. Apa yang ditanyakan oleh Mahisa Agni dijawabnya dengan jelas dan menurut pengenalan mereka sepenuhnya. Orang-orang Mahibit menceriterakan apa yang mereka ketahui tentang Linggadadi dan Linggapati. Tentang padepokan yang tertutup tanpa pintu, tetapi sudah mereka tinggalkan, dan tentang padepokannya yang kemudian.

“Apakah padepokan yang baru itu juga tidak berpintu?” bertanya Mahisa Agni.

“Ya Seperti itu. Padepokan yang baru itu juga tidak berpintu.” jawab salah seorang dari orang Mahibit itu.

“Siapakah yg berhak tinggal di dalam padepokan itu?”

“Orang-orang pilihan. Hanya empat puluh orang yang boleh tinggal di dalam padepokan yang tidak berpintu gerbang itu. Dan empat puluh orang itu adalah orang-orang pilihan”

“Lalu, di manakah yang lain tinggal?”

Orang itu ragu-ragu sejenak. Kemudian katanya, “Kami tiggal di padukuhan-padukuhan yang terpisah dari padepokan itu. Kami tinggal dikampung halaman kami.”

Tetapi bukankah kalian pengikut Linggadadi dan Linggapati?”

“Pengaruh kedua orang itu menjadi semakin luas. Padukuhan-padukuhan di sekitar Mahibit seolah-olah telah dipengaruhinya. Bahkan para pemimpin pemerintahan di Mahibit telah berada di bawah perintahnya. Bahkan pada daerah di sekitarnya, pengaruhnya sudah merata. Meskipun nampaknya pemimpin pemerintahan di Mahibit masih melakukan tugasnya, tetapi apa yang mereka lakukan adalah semua perintah yang turun dari Linggapati.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Apakah dengan demikian berarti bahwa Linggapati dan Linggadadi merupakan orang-orang yang paling terhormat di Mahibit?”

“Mereka adalah orang-orang yang sangat dihormati dalam keadaan mereka .yang sebenarnya.” jawab tawanan itu

“Aku tidak tahu maksudmu” sahut Mahisa Agni.

“Linggapati dan Linggadadi kadang-kadang berkeliaran dalam ujudnya yang lain dari Linggapati dan Linggadadi yang sangat dihormati itu. Kadang-kadang mereka berada di sepanjang jalan kota Mahibit sebagai petani-petani biasa yang memerlukan sesuatu dikota kecil itu. Tetapi kadang-kadang mereka duduk di simpang tiga sebagai seorang yang tidak mempunyai kerja apapun selain berkeliaran. Tetapi kadang-kadang merekapun melintasi daerah yang panjang sebagal pedagang yang melakukan perjalanan yang jauh.”

“Apakah orang-orang Mahibit tidak langsung dapat mengenalnya?”

“Keduanya seolah-olah merupakan rahasia yang tidak mudah diungkapkan oleh orang-orang Mahibit sendiri. Hanya orang-orang yang sangat dekat sajalah yang dapat langsung mengenal wajahnya Teramasuk empatpuluh orang di dalam padepokan itu“

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Dalam pada itu, Mahisa Bungalan yang ada diantara merekapun bertanya pula, “Apakah kau tahu, kenapa kau diikut sertakan dalam serangan kali ini?”

“Tidak. Aku tidak tahu, kenapa aku terpilih. Tetapi adalah suatu kebanggaan bagi kami, bahwa kami dapat ikut bersama Linggadadi saat itu.”

“Dan kau juga berbangga?”

Orang itu tidak menjawab.

“Apakah kau sebelumnya juga pernah menerima latihan-latihan olah kanuragan secara khusus?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menganggukkan kepalanya. Katanya, “Ya. Ada beberapa orang dari keempat puluh orang yang ada dipadepokan itu yang keluar khusus untuk melatih kami.”

Mahisa Agni termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Mahisa Bungalan lah yang bertanya, “Apakah di antara kalian ada seorang dari keempat puluh orang itu?”

Orang itu terdiam. Ia sudah menjawab semua pertanyaan. Setiap kali seseorang bertanya kepadanya, maka jawabnya tidak pernah berubah, karena jawabnya itu adalah keadaan yg sebenarnya yang ia ketahui. Kepada Empu Sanggadaru ia mengatakan seperti yang dikatakannya. Kepada prajurit Singasari dan kemudian kepada Mahisa Agni. Tetapi pertanyaan yg di lontarkan oleh Mahisa Bungalan itu adalah pertanyaan yang sangat sulit baginya.

“Jawablah” desak Mahisa Agni. Suaranya masih tetap sareh dan lembut, “kami tidak akan berbuat diluar wewenang kami sebagai prajurit.”

Tiba-tiba saja terasa dada orang itu bergetar. Ia menjadi sangat bingung. Sepercik ketakutan membayang diwajahnya yg pucat. Ternyata Mahisa Agni cukup bijaksana menanggapi keadaan. Ia sadar, bahwa, tentu orang itu tidak berani mengatakannya bahwa di antara mereka yang tertawan tentu ada seorang atau lebih dari yang empat puluh itu.

Karena itu, Mahisa Agni tidak memaksanya. La pun kemudian meninggalkan orang itu dan melihat mereka yang terluka. Orang-orang Mahibit yang. terluka dibaringkan diantara orang-orang Serigala Putih dan Macan Kumbang dibawah penjagaan yang sangat kuat, apalagi setelah Empu Baladatu melarikan diri.

“Empu akan mengalami kesulitan untuk merawat mereka terus menerus” berkata Mahisa Agni.

“Ya Senopati. Kami memang akan menyerahkannya kepada prajurit Singasari.”

“Kami tidak akan ingkar Kami akan membawa mereka ke Singasari berangsur-angsur.”

Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Agni berkata, “Tetapi kami masih ingin mendapat penjelasan tentang empat puluh orang yang tinggal di dalam padepokan itu”

“Mereka tidak mau mengatakannya” sahut Empu Sanggadaru, “jika benar-benar ada di antara mereka, maka siapa yang mengatakannya mungkin akan dibunuhnya.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Kita akan memanggil mereka dan bertanya secara terpisah. Menilik tingkah laku tawanan itu, maka sudah hampir dapat dipastikan bahwa tentu ada salah seorang dari antara keempat puluh orang itu disini.”

Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Dan iapun kemudian telah mempersiapkan segala sesuatunya, agar salah satu atau lebih dari para tawanan itu dapat mengatakan tenang salah seorang dari keempat puluh orang itu.

Untuk tidak menimbulkan kecemasan dan kebingungan, maka yang mula-mula dipanggil dihari berikutnya adalah justru orang dari padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang. Kemudian berturut-turut sehingga akhirnya orang Mahibitpun terpanggil pula memasuki ruang yang sudah disediakan.

Ternyata orang Mahibit itu sudah menjadi pucat. Agaknya ia menyadari, bahwa ia akan ditekan dengan berbagai macam pertanyaan yang lebih penting dari pertayaan-pertanyaan yang dia jukan di dalam bilik tawanan mereka. Meskipun sikap Mahisa Agni masih tetap sareh dan lembut, tetapi keringat dingin sudah membasahi seluruh orang Mahibit itu.

“Ki Sanak” bertanya Mahisa Agni kemudian, “sudah banyak pertanyaanku yang kau jawab dengan jelas. Demikian juga kawan-kawanmu. Hampir semuanya menjawab dengan jujur, karena hampir tidak ada selisih sama sekali. Tetapi selain yg sudah kami tanyakan, maka masih ada satu pertanyaan lagi, apakah ada diantara kalian salah satu atau lebih dari keempat puluh orang yang ada didalam padepokan tertutup itu?”

Wajah orang itu menjadi semakin pucat. Apalagi ketika kemudian Mahisa Bungalan berdiri dan melangkah mendekati orang itu. Sebuah sentuhan di punggungnya terasa bagai kan ujung pedang yang siap menghunjam ke dalam dagingnya.

“Katakanlah” bisik Mahisa Bungalan, “apakah kau takut kepada kawanmu itu?”

Orang itu memandang Mahisa Bungalan dengan keringat yang mengembun dikening.

“Aku tahu, jika orang itu mengerti bahwa kau telah mengatakannya, maka kau tentu akan dicekiknya meskipun kau berada di antara para tawanan yang lain. Tetapi aku berani menjamin bahwa kau tidak akan disentuhnya karena aku tidak akan mengatakan bahwa kaulah yang telah memberikan keterangan.”

Orang itu menjawab. Tetapi keringatnya semakin basah banyak mengalir di tubuhnya.

“Katakanlah, apakah kau melihat salah seorang dari mereka.”

Orang itu masih tetap berdiam diri. Mahisa Bungalan berjalan mengelilinginya, la masih terlalu muda untuk menunggu jawaban yang tidak kunjung diucapkan itu. Apalagi Mahisa Pukat dan Mahisa Murti. Tetapi karena Mahisa Agni masih saja duduk dengan tenang, maka mereka pun masih tetap menahan diri.

“Ki Sanak” berkata Mahisa Agni kemudian, “ada dua kemungkinan. Pertama, seperti yang di katakan oleh Mahisa Bungalan kau tidak berani mengatakannya karena orang itu akan membunuhmu. Tetapi kemungkinan yang lain adalah, bahwa kau sendirilah salah seorang dari keempat puluh orang itu.

“Bukan, bukan aku” orang itu menjawab dengan serta merta.

Mahisa Agni menarik nafas. Katanya, “Jika bukan kau lalu siapa?”

Orang itu termangu-mangu.

“Jawablah” suara Mahisa Pukat mulai menjadi keras.

Tetapi Mahisa Agni tersenyum dan menyahut, “Jangan berteriak Mahisa Pukat. Orang itu tentu akan menjadi semakin diam. Cobalah bayangkan, seandainya ia adalah salah seorang dari keempat puluh orang itu. Ia tentu bukan kebanyakan pengawal yang takut kepada tekanan yang berupa apapun. Bahkan ia tentu tidak akan menghiraukan seandainya kita mengadakan tekanan jasmaniah. Dengan kekerasan misalnya. Karena tentu seorang yang kebal. Bahkan ujung pedang sekalipun tidak akan dapat menyobek kulitnya”

“Bukan, Aku bukan salah seorang dari mereka. Dan mereka itupun sama sekali bukan orang-orang kebal” sahut orang yang ketakutan itu.

Mahisa Agni masih tersenyum. Katanya, “Jangan merendahkan diri. Aku tahu, kau adalah orang yang kebal“

Orang itu menjadi semakin ketakutan. Senyuman Mahisa Agni bagaikan senyuman maut yang memanggilnya dari alam yang lain. Dan Mahisa Agni masih tetap tersenyum. Katanya, “Kau tentu tidak akan menjawab. Kau akan membuktikan kepada kami bahwa kau adalah orang yang kebal“

“Tidak. Sama sekati tidak. Jika aku orang yang kebal, aku tidak akan menyerah. Juga salah satu atau dua orang dari ke empat puluh orang itu, tidak kebal, sehingga merekapun harus menyerah“

“Kau tidak ingin menyerah. Seperti yang aku katakan. Kau hanya ingin menunjukkan kekebalanmu jika sekali kami menyentuh tubuhmu dengan senjata apapun juga, maka kau akan dengan bangga mengangkat kepala sambil berkata, “Aku orang kebal. Nah prajurit Singasari, lihatlah“

“Tidak. Tidak.”

“Tetapi sudah tentu kami tidak akan mengecewakan mu. Kami ingin memenuhi keinginanmu agar dapat berbangga karena kekebalanmu.”

“Tidak. Jangan, jangan. Aku akan berbicara.”

Mahisa Pukat yang sudah berdiri tegak dihadapan orang itu mengerutkan keningnya. Bahkan hampir-hampir ia tidak menahan tertawanya meskipun ia menjadi kecewa, bahwa ia tidak dapt membuktikan bahwa orang itu kebal.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apakah kau akan berbicara tentang salah seorang dari ke empat puluh orang itu?”

Orang, itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia pun menganguk, “Ya, Aku akan berbicara...”

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.