PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 30
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 30
Karya Singgih Hadi Mintardja
MAHISA AGNI bergeser setapak. Katanya, “Bicaralah. Katakanlah. Selain kau, siapa lagi orang-orang yang termasuk empat puluh orang dari padepokan tertutup itu.“
“Aku bukan.”
“O, kau bukan.”
“Ya. Aku bukan.” orang itu berhenti sejenak.
“Yang manakah yang kau maksud?” desak Mahisa Bungalan yang tidak sabar lagi.
Orang itu menelan ludahnya Lalu katanya, “Salah seorang dari mereka adalah orang yang terluka di antara orang orang Mahibit yang luka-luka”
“Yang mana?”
“Yang berkumis tipis. Berwajah keras dengan bekas luka dikeningnya. Ia adalah salah seorang dari keempat puluh orang yang berada di padepokan tertutup di Mahibit”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya sambil mengangguk-angguk, “Terima kasih. Tetapi apakah hanya ada satu orang yang ikut serta bersama kalian kali ini?”
Orang itu ragu-ragu. Namun ia sudah terlanjur mengatakan, sehingga ia pun berkata selanjutnya, “Ada lima orang yang ikut serta kali ini mengawal Linggadadi. Aku tidak tahu, apa kali yang lain sempat melarikan diri atau terbunuh. Yang aku ketahui hanyalah seorang yang berkumis itu. Tanpa Linggapati dan Linggadadi. ia adalah orang yang berkuasa atas kami. Karena itu, jika ia mengetahui bahwa aku telah mengatakan tentang dirinya, aku tentu akan dibunuhnya. Dengan tangannya sediri, atau tangan orang lain yang tertawan di sini.”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih. Sebaiknya aku akan mempertemukan kau dengan orang itu. Aku akan minta.agar ia tidak berbuat apa-apa.“
“O, tidak. Jangan. Aku akan dibunuhnya.“
“Kau salah Ki Sanak. Jika aku mengatakan, bahwa apabila terjadi sesuatu atasmu, maka orang itulah yang bertanggung jawab. Sehingga dengan demikian, ia tidak akan berani memerintahkan membunuhmu.“
“Tidak Ia akan mencekikku sampai mati.“
“Aku pun dapat melakukan atasnya.“
“Sebaiknya jangan.“
“Aku akan menanggung keselamatanmu“
Orang itu ragu-ragu sejenak. Lalu katanya, “Atau singkirkan aku dari tempat ini. Aku tidak akan ingkar, kemanapun aku akan dibawa“
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Baiklah. Aku akan merahasiakannya. Aku akan mencoba memperlakukan orang itu seolah-olah kami tidak mengetahui bahwa orang Itu adalah salah satu dari empat puluh orang di dalam padepokan tertutup itu.”
Orang yang tertawan itu menarik nafas dalam dalam Lalu katanya, “Terima kasih. Aku harap bahwa aku akan selamat meskipun aku harus dihukum oleh prajurit Singasari. Sebenarnyalah bahwa tidak ada keinginanku untuk melawan kekuasaan Singasari.“
Mahisa Agni tersenyum, sedang Mahisa Bungalan menjawab, “Jika kau tidak ingin melawan, kenapa kau ikut bertempur?”
“Tidak ada pilihan lain bagiku.“
Demikianlah maka orang itu pun dikembalikannya ke dalam tempat untuk menawannya. Dengan cara yang sama.
Mahisa Agni mendapat keterangan dari tiga orang yang serupa, bahwa otang berkumis dan cacat dikening itu adalah salah seorang dari empat puluh orang di dalam lingkungan padepokan tertutup di Mahibit itu.
“Kita tidak dapat tergesa-gesa” berkata Mahisa Bungalan, “biarlah orang itu kami bawa lebih dahulu ke Singasari, sehingga penjagaan atasnya akan lebih terjamin.“
Empu Sanggadaru meng-angguk-angguk. Katanya, “Terserah kepada para Senopati di Singasari. Aku hanya mengharap kelak mendapat keterangan yang akan dapat kami jadikan pegangan. Sebab dengan hilangnya Baladalu aku masih tetap cemas, bahwa ia akan datang mulai dengan kekuatan yang lebih besar.”
“Ya Empu. Dan untuk itu. kami akan tetap menempatkan prajurit Singasari di padepokan ini. Barangkali Mahisa Bungalan, Mahisa Pukat dan Mahisa Murti akan tetap tinggal di sini pula untuk sementara.”
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Tetapi ia masih tetap dicengkam oleh kecemasan justru karena tingkah adiknya itu.
Ternyata Mahisa Agni tidak berada terlalu lama di padepokan itu. Setelah bermalam dua malam untuk meneliti semua keadaan, muka ia pun memutuskan untuk kembali ke Singasari.
“Diantara kalian yang terluka akan aku bawa serta ke Singasari” berkata Mahisa Agni kepada para tawanan, “dengan demikian, maka kalian akan mendapatkan perawatan yang lebih baik. Tetapi sayang, bahwa mungkin tidak sekaligus semuanya dapat aku bawa serta. Pada kesempatan pertama ini mungkin baru tiga atau empat orang saja.”
Sejenak mereka termangu-mangu. Namun orang berkumis dan cacat di kening itu tiba-tiba saja menyahut, “Tentu yang terluka parah. Memang mereka memerlukan perawatan yang lebih baik.”
Tetapi Mahisa Agni menggelengkan kepalanya. Katanya, “Sayang. Kali ini bukan mereka. Yang akan pergi bersamaku adalah mereka yang terluka meskipun nampaknya tidak begitu parah, tetapi membahayakan jiwanya. Atau mungkin cacat jiwa di sisa hidupnya.”
“O” orang berkumis itu mengangguk-angguk, “mungkin perlu sekali. Untunglah bahwa aku sudah sembuh sama sekali.”
“Kau sudah mulai hidup dalam khayalan,” berkata Mahisa Agni sambil menunjukkan orang berkumis itu.
Sehingga orang itu. terkejut, “apakah maksud Senopati?”
“Lukamu sangat berbahaya. Kau dipengaruhi oleh racun yang akan dapat membuat jiwamu cacat sepanjang umurmu. Kau sekarang sudah mulai dibayangi oleh khayalan yang berbahaya. Kau sama sekali belum sembuh. Bahkan lukamu yang kecil itu akan menjadi semakin parah.”
Wajah orang itu menjadi tegang. Katanya, “Jadi aku harus ikut ke Singasari?”
“Ya. Kau dapat dua atau tiga orang lain. Tetapi agaknya kaulah yang paling parah.”
“Tidak.” tiba-tiba saja orang itu meloncat berdiri, “aku tidak mau pergi ke Singasari. Aku sudah sembuh sama sekali.”
“Khayalanmu membuat kau mengalami kejutan semacam itu. Tenanglah.”
“Tidak. Bohong. Semuanya itu hanya sekedar cara untuk menipu aku. Aku tahu sekarang, tentu ada orang yang telah menunjukkan siapakah aku sebenarnya.”
Mahisa Agni pun menjadi tegang sejenak. Juga orang-orang Mahibit yang mendengar kata-kata itu. Apalagi mereka yang merasa telah mengatakan tentang orang berkumis itu.
“Ki Sanak” berkata Mahisa Agni sareh, “baiklah. Agaknya memang demikian. Tetapi kau tidak akan mengetahui siapakah yang telah mengatakan, bahwa kau termasuk salah satu dari empat puluh orang yang tinggal di dalam dinding tertutup dan tanpa pintu sama sekali itu.”
“Gila. Aku tentu akan menemukannya. Aku akan mencekiknya sampai mati. Jika aku tidak terluka dan pingsan, aku tidak akan menyerah dan menjadi tawanan seperti ini. Karena itu, sekarang, aku tidak lagi sedang pingsan. Meskipun aku masih terluka, namun aku akan bertempur melawan siapapun juga sampai mati, karena aku sadar, bahwa prajurit-prajurit Singasari akan mengeroyokku.”
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Kekecewaannya atas hilangnya Empu Baladatu masih saja mencengkamnya. Dan kini ia mendengar orang Mahibit itu berteriak dengan sombongnya. Tetapi ia heran ketika ia melihat Mahisa Agni masih saja tersenyum sambil berkata,
“Jangan terlalu sombong Ki Sanak. Itu tidak baik. Apakah untungnya mati dikeroyok orang banyak? Lebih baik ikut sajalah kami ke Singasari. Kami akan mengobati luka-lukamu, dan sudah tentu kami ingin mendengar beberapa keterangan tentang Mahibit itu pun sudah bukan merupakan rahasia lagi, karena sebagian dari padepokanmu yang tertutup itu sudah terbaca oleh petugas-petugas sandi sejak lama. Mungkin Linggapati menyadari, sehingga ia telah memindahkan padepokannya dari ujung kota Mahibit ke tempatnya yang sekarang.”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Ia pun menjadi heran, bahwa Mahisa Agni itu masih saja bersikap acuh tidak acuh..“Senapati tua ini benar-benar seorang yang memiliki kemampuan di luar kemampuan manusia” berkata orang itu di dalam hatinya karena ia pernah mendengar nama Mahisa Agni.
“Sudahlah. Kita akan berangkat. Kau akan mendapat seekor kuda khusus. Demikian pula dua orang kawanmu. Pilihlah, siapakah yang akan kau ajak untuk menemanimu.”
Sejenak orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Tidak. Aku akan mati di sini.”
“Kenapa kau memilih mati? Aku tahu, empat puluh orang yang berada di dalam lingkungan dinding tertutup itu tentu sudah bersumpah untuk tidak membocorkan rahasia padepokannya. Baiklah. Kami tidak akan memaksa. Tetapi hal-hal yang tidak bersifat rahasia, yang umum sekali, tentu boleh kau sebut. Misalnya apakah Linggapati mempunyai adik yang lain kecuali Linggadadi yang terbunuh itu?”
“Persetan.”
Mahisa Agni tertawa. Katanya, “Kau memang keras kepala. Tetapi agaknya kau memang telah dibentuk demikian. Seperti juga Empu Baladatu yang melarikan diri setelah mebunuh penjaganya. He. apakah kau juga merencanakannya.”
“Cukup. Cukup Pertanyaanmu membuat aku muak.”
“Jangan membentak Ki Sanak. Aku orang tua. Tidak baik dilihat orang. Kau masih terlalu muda untuk membentak aku.”
“Senapati” tiba-tiba saja Empu Sanggadaru memotong, “aku akan menyelesaikannya. Kepergian Empu Baladatu membuat aku hampir gila. Mungkin orang ini akan dapat mengurangi ketegangan otakku.”
Mahisa Agni tersenyum. Ia dapat mengerti, betapa hati Empu Sanggadaru bagaikan diguncang oleh kekecewaan, marah dan penyesalan yang bercampur haru. Namun demikian Mahisa Agni mendekatinya sambil berkata, “Empu sudah menujukkan sikap dan budi yang luhur. Karena itu, biarlah Empu tetap pada sikap itu. Serahkan orang ini kepadaku.”
Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Kepalanya pun tertunduk meskipun terasa hatinya bergejolak. Yang hampir tidak dapat dicegah lagi adalah Mahisa Murti. Dengan serta merta ia meloncat sambil berkata,
“Paman. Biarlah aku membuktikan. Apakah yang empat puluh orang di dalam padepokan tertutup itu benar-benar bukan manusia wantah.”
Sekali lagi Mahisa Agni tersenyum Katanya, “Siapakah yang mengatakan bahwa mereka bukannya manusia wantah?”
Mahisa Murti menjadi bingung sejenak. Namun kemudian katanya, “Lihatlah, bagaimana angkuh sikapnya. Seolah-olah ia membenarkan bahwa empatpuluh orang di padepokan tanpa pintu itu memiliki ilmu yang tidak terjangkau oleh manusia di luar dinding padepokannya.”
“Keangkuhan dan kesombongannya itulah yang justru menunjukkan, bahwa ia adalah manusia sewajarnya. Dan kau tidak usah ikut menjadi sombong dan angkuh.”
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun aapun kemudian melangkah surut. Namun dalam pada itu, orang berkumis itu menjadi semakin marah, seolah-olah ia hanya sekedar menjadi bahan tertawaan bagi Mahisa Agni. Meskipun ia sudah pernah mendengar kebesaran namanya, tetapi kemarahannya telah membuatnya gelap hati. Apalagi ia merasa bahwa ia pun memiliki ilmu yang cukup. Tentu hanya karena kebetulan atau kelengahan, mungkin karena ada dua atau tiga orang yang menyerangnya bersama-sama sehingga ia terluka dan pingsan sehingga ia tertawan. Karena itulah, maka iapun tiba-tiba telah meloncat menerkam Senopati yang sudah menjadi semakin tua dan seolah-olah sama sekali tidak bersiaga itu.
Mahisa Agni melihat serangan itu. Tetapi ia sama sekali tidak melakukan apapun juga. karena ia pun melihat dalam waktu yang bersamaan Mahisa Bungalan telah meloncat pula. Dua kekuatan telah berbenturan. Tetapi kedua kekuatan itu ternyata tidak berimbang. Mahisa Bungalan telah berhasil membunuh Linggadadi. Orang kedua di Mahibit. Apalagi salah seorang pengawalnya yang sudah terluka.
Untunglah Mahisa Bungalan pun tidak melontarkan segenap kekuatannya. Ia menyadari, bahwa dengan segenap kekuatannya maka orang itu tentu akan terbunuh. Dan itu berarti suatu kerugian bagi Singasari dalam keadaan yang gawat ini.
Orang berkumis yang membentur kekuatan Mahisa Bungalan itupun telah terlempar beberapa langkah. Dengan kerasnya ia terbanting di tanah. Orang itu masih berusaha untuk menggeliat dan bangkit. Tetapi ternyata bahwa kekuatannya bagaikan larut sama sekali. Selain oleh benturan yang keras melampaui ketahanan tubuhnya, juga karena luka-lukanya sendiri yang belum sembuh. Terdengar orang itu mengerang. Tetapi ia tidak pingsan. Mahisa Agni mendekatinya. Dengan hati-hati ia berjongkok di sampingnya.
“Pergi, pergi. Aku bunuh kau” geram orang itu.
“Kau benar-benar seorang laki-laki” desis Mahisa Agni, “kau keras hati dan pantang menyerah”
“Lebih baik aku mati daripada menyerah.”
“Aku percaya bahwa kau bukan sekedar menyombongkan diri.” jawab Mahisa Agni, “tetapi sayang sekali.”
Orang itu termangu-mangu. Seolah-olah ia ingin bertanya, apakah yang disayangkan oleh Mahisa Agni.
“Ki Sanak. Jika sifat jantanmu itu berada di jalan kebenaran, maka aku kira kita akan hidup sejahtera dan tenang. Setiap orang akan mendapatkan perlindungan apabila jumlah orang-orang jantan yang berada di jalan kebenaran semakin besar jumlahnya.”
“Diam. Jangan gurui aku. Aku tidak perlu sesorahmu”
Mahisa Agni menggeleng, “Tidak Ki Sanak. Aku tidak sesorah. Aku mengatakan apa yang aku lihat sekarang. Seorang laki-laki jantan yang pantang menyerah. Yang lebih baik mati daripada menguncupkan tangannya.”
“Kalau kau ingin membunuh sekarang, bunuhlah.”
“Sayang sekali. Dengan demikian maka kita akan kehilangan. Meskipun kau memilih jalan sesat, tetapi padamu masih juga ada pilihan.”
”Diam. Diam...”
“Baiklah Ki Sanak. Aku akan diam. Dan kau akan segera diangkat kedalam bilikmu. Setelah kau beristirahat sejenak, maka kau akan kami bawa ke Singasari. Kami akan menunjukkan kepada Sri Baginda di Singasari, Bahwa sikap jantan seperti yang kau miliki ini perlu dibina pada setiap hati prajurit Singasari. Pantang menyerah dan tidak takut mati sama sekali. Tentu saja, ada yang harus disisihkan, yaitu kesesatanmu.”
“Diam. diam, setan.”
“Tentu kau yakin, bahwa kau telah memilih jalan yang paling baik, meskipun kau tahu bahwa itu salah. Karena ada orang yang berbuat kesalahan karena ia tidak mengetahui, tetapi ada yang melakukannya dengan sadar dan bahkan ya kin seperti kau. sehingga kesalahan yang kau yakini itu akan kau pertahankan sampai mati. Disinilah letak kesia-siaanmu. Setelah kau menjadi seorang Laki-laki jantan yang memilih mati daripada menyerah, maka ternyata bahwa pilihannya itu ada lah sia-sia.”
Wajah orang itu menjadi semakin tegang oleh kemarahan yang menghentak-hentak dadanya. Namun justru karena itu, maka mulutnya bagaikan tidak dapat mengucap lagi. Dipandanginya saja Mahisa Agni yang berjongkok disampingnya kemudian berkata lagi,
“Camkanlah. Dan bertanyalah kepada dirimu sendiri. Jika kau mati karena keyakinanmu, apakah kematianmu itu mempunyai arti? Agaknya itulah tidak seimbang padamu. Kejantanan dan kesia-siaan.”
Orang itu tidak menjawab lagi. Betapapun jantungnya bagaikan bergelora.
Mahisa Agni pun kemudian berdiri sambil berkata kepada Mahisa Pukat dan Mihisa Murti, “Bawalah ia kebiliknya. Aku akan bersiap-siap untuk berangkat. Setelah pernafasannya pulih, iapun akan segera berangkat bersama kami.”
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangkat orang berkumis itu ia sama sekali tidak berusaha untuk menolak. Dibiarkannya saja tangan kedua anak-anak muda itu mengangkatnya dan membawanya ke dalam baliknya. Sejenak orang itu masih terbaring. Beberapa orang kawannya menjadi sangat ketakutan karenanya. Mereka menyangka, jika orang itu nanti menjadi segar kembali ia tentu akan marah dan membunuh setiap orang dari Mahibit yang dianggapnya telah membuka rahasianya.
Tetapi ternyata setelah pernafasannya mulai teratur, dan perlahan-lahan mampu bangkit kembali, orang berkumis itu tidak menunjukkan gejala-gejala yang membahayakan kawananya. Bahkan ia pun kemudian duduk saja di sudut sambil memeluk lututnya. Ternyata kata-kata Mahisa Agni telah menyentuh hatinya, ia mulai bertanya kepada diri sendiri, apakah jika benar-benar ia mati, kematiannya itu ada artinya.
“Tentu” ia menggeretakkan giginya, “aku telah memperjuangkan suatu cita-cita yang luhur bagi Mahibit.”
Tetapi kemudian timbul lagi sebuah pertanyaan. “Apakah artinya pemberontakan yang disiapkan oleh Linggapati dan Linggadadi? Dengan kekuatan dari padepokan Macan Kumbang dan Serigala Putih, orang-orang Mahibit tidak berhasil mengalahkan sebuah padepokan. Sebuah padepokan saja meskipun dipadepokan ini ternyata ada beberapa orang prajurit Singasari. Hanya beberapa. Sehingga apakah artinya kekuatan Mahibit yang sebenarnya dibanding kekuatan Singasari? Jika Linggapati menilai perjuangan Sri Rajasa yang perkasa itu dari sebuah lingkungan kecil, dimana pada saat itu Ken Arok memegang jabatan sebagai seorang Akuwu di Tumapel namun tentu ada persoalan-persoalan lain yang menyangkut hubungan antara Kediri dan Tumapel, terutama dari segi pengaruh para Brahmana.”
Orang berkumis itu mengerutkan keningnya. Masih Terngiang kata-kata Mahisa Agni, tidak ada keseimbangan antara kejantanannya dan kesia-siaannya. Orang berkumis itu tidak sempat mempertimbangkannya terlalu panjang, karena iapun kemudian melihat Mahisa Agni sendiri datang menjemputnya sambil berkata,
“Marilah”
Orang itu tetap berdiam diri. Orang itu tidak menjawab. Seolah-olah diluar sadarnya, ia pun bangkit perlahan-lahan, karena dadanya masih terasa agak sesak
“Kemarilah” desis Mahisa Agni.
Orang itupun datang kepadanya dan mengikutinya.
“Kali ini kau pergi sendiri” berkata Mahisa Agni, “kau mendapat kehormatan khusus dari prajurit-prajurit Singasari. Kudamu sudah siap. Tentu kau pun sudah siap.”
Sejenak kemudian, maka iring-iringan prajurit Singasari itu pun meninggalkan padepokan Empu Sanggadaru dengan kesan yang sungguh-sungguh tentang kemungkinan yang buruk yang akan dapat ditimbulkan oleh Linggapati maupun oleh Empu Baladatu yang berhasil melarikan diri.
Sementara itu, para tawanan dari Mahibit, justru menjadi tenang ketika orang berkumis itu sudah tidak ada lagi di antara mereka. Mereka sadar sepenuhnya bahwa orang berkumis itu akan dapat menjadi bencana yang mengerikan, jika ia masih tetap berada di antara kawan-kawannya yang tertawan dan terluka.
Justru sepeningal orang berkumis itu, orang-orang Mahibit Yang tidak lagi dicengkam oleh ketakutan, mulai dengan leluasa menceriterakan apa saja yang mereka ketahui tentang Mahibit. Namun yang mereka ketahuipun hanya terbatas sekali. Hanya terbatas keadaan di luar dinding tertutup yang jarang sekali mereka lihat bagian dalamnya.
Dalam pada itu, Empu Baladatu yang masih dalam keadaan terluka, dan setelah berhasil membunuh pengawasnya, meninggalkan padepokan kakaknya. berjalan dengan susah payah menjauhi padepokan yang baginya merupakan neraka itu. Ia telah gagal menciptakan suatu upacara korban terbesar bagi aliran ilmunya untuk mencengkam murid-muridnya agar menjadi semakin patuh kepadanya. Sehingga dengan demikiain ia tidak dapat menepuk dada sambil menyebut dirinya sebagai Maha Guru yang paling berwibawa dari aliran di sepanjang masa.
Korban purnama naik pada bulan itu, justru terjadi sebaliknya. Pasukannya telah dihancurkan hampir mutlak, ia sendiri tertawan dan tidak berdaya sama sekali. Hanya karena Empu Sanggadaru adalah kakak kandungnya, maka ia dapat mempergunakan kelengahannya untuk melarikan diri dengan mengorbankan pengawal yang sedang mengawasinya. Namun dalam pada itu, dendam telah menyala di dalam hatinya. Dan Empu Baladatu telah bersumpah kepada diri sendiri, untuk membalas dendam itu sampai tuntas.
“Aku masih mempunyai kesempatan” berkata Empu haladatu dengan kemarahan yang menghentak dadanya.
Namun daya tahan tubuh Empu Baladatu memang luar biasa sekali. Meskipun ia masih belum sembuh dari lukanya yang parah, ia masih mampu berjalan hampir sehari semalam. Hanya sekali-kali ia berhenti dibalik gerumbul-gerumbul liar. Minum seteguk air dari sumber-sumber air di pinggir sungai, dan mencuri buah jagung muda disawah atau akar ketela rambat.
Di siang hari Empu Baladatu berjalan sambil bersembunyi di balik hutan-hutan kecil atau lapanggan perdu yang rimbun. Sedangkan di malam hari ia berjalan langsung menuju kepadepokannya yang jauh. Tetapi Empu Baladatu tidak mau berjalan terus. Setelah berjalan sehari semalam, ia merasa sudah tidak dapat diikuti lagi jejaknya oleh orang-orang padepokan kakak kandungnya. Karena itu, maka ia sempat beristirahat dan tidur hampir semalam suntuk di sebuah batu besar di pinggir sungai yang jarang didatangi oleh manusia.
Meskipun ia masih dalam keadaan terluka, namun Empu Baladatu sama sekali tidak takut, seandainya ada seekor binatang buas yang mendatanginya di malam hati. Ia yakin bahwa telinganya masih mampu mendengar desir langkah kaki binatang itu di atas batu-batu kerikil sebelum mencapai batu be sar dipinggir sungai itu.
“Biasanya binatang buas mencari air dibagian yang langsung dapat diteguknya” berkata Empu Baladatu kepada diri sendiri sehingga iapun kemudian dengan tenang dapat beristirahat.
Ketika fajar menyingsing Empu Baladatu baru terbangun.Tidak ada yang mengusiknya sama sekali. Meskipun perutnya terasa agak lain, karena yang dimakannya adalah akar-akaran dan buah-buahan yang mentah, namun ia sama sekali tidak menghiraukannya. Setelah membersihkan wajahnya dengan air sungai dan bahkan kemudian dengan membuat sumber kecil ditepian, iapun minum seteguk. maka ia mulai membenahi diri.
Ketika matahari mulai naik, Empu Baladatu melanjutkan perjalannya menyusuri sungai yang begitu besar. Sebagai seorang perantau, ia mengerti, kemana ia harus melangkah. Meskipun ia belum pernah melalui tempat yang asing itu, tetapi ia tidak pernah kehilangan arah. pun cak gunung dan bintang di malam hari. Selalu menjadi petunjuk, dimana ia sedang berada, dan ke arah mana ia sedang melangkah. Tetapi berjalan kaki adalah pekerjaan yang menjemukan. Ia lebih senang pergi berkuda. Kuda siapapun juga.
Maka mulailah rencananya untuk mendapatkan seekor kuda Bagi Empu Baladatu, maka mendapatkan seekor kuda tentu akan dapat dilakukannya dengan mudah. Meskipun demikian Empu Baladatu tidak mau merampas kuda seseorang dergan terang-terangan. Ketika ia melihat seekor kuda. yang tegar di sebuah kandang, maka ia pun tertegun.
Empu Baladatu tidak meneruskan perjalanannya. Ia berhenti di sebuah bulak di bawah sebatang pohon yang rindang. Seperti seorang perantau yang kelelahan, ia pun kemudian duduk bersandar dengan mata yang setengah terpejam. Sebenarnyalah Empu Baladatu memang sedang terkantuk-kantuk. Ia sama sekali tidak cemas, bahwa seseorang akan dapat mengenalnya di tempat yang terasing itu.
Seperti yang dilakukan sebelumnya, maka jika tidak ada seorang pun yang melihat, ia telah memetik buah jagung muda. Tanpa dipanggang diatas api, jagung muda itu langsung dimakannya.
“Burung-burung di langit makan jagung juga mentah,” katanya mereka juga tetap hidup dan terbang di langit yang biru”
Ketika kemudian malam turun, mulailah Empu Baladatu dengan rencananya. Ia ingin mendapatkan kuda yang tegar di kandang yang dilihatnya di siang hari itu. Dengan hati-hati Empu Baladatu mendekati regol halaman. Rumah itu tidak terlalu besar. Tetapi agaknya pemiliknya rumah itu termasuk orang yang agak berkecukupan di padukuhan.
Ketika Empu Baladatu yakin bahwa rumah itu tidak dijaga, maka iapun dengan diam-diam telah menyelinap memasuki dinding halaman dan hilang didalam kegelapan. Sejenak Empu Baladatu meyakinkan, apakah pemilik rumah itu sudah tidur nyenyak, dan tidak ada lagi seseorang yang masih terbangun di bagian belakang.
Setelah yakin barulah Empu Baladatu mendekati kandang kuda dengan hati yang berdebar-debar. Dengan hati-hati dan lembut Empu Baladatu mulai menyentuh kuda itu. Dibelainya lehernya perlahan-lahan. Barulah kemudian Empu Baladatu membuka selarak kandang itu dan menarik kuda itu dengan hati-hati keluar.
Sejenak Empu Baladatu memasang kendali dan pelananya yang tersangkut pada tiang kandang itu, seolah dengan sengaja telah disediakan. Barulah ketika semuanya sudah siap Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi Empu Baladatu tidak mau mengejutkan pemilik rumah yang sedang tidur nyenyak itu. Ia menuntun kuda itu sampai ke regol halaman. Perlahan-lahan didorongnya pintu regol itu dan barulah kemudian ia meloncat ke pun ggung kuda yang telah berhasil dicurinya itu.
Tetapi belum lagi kuda itu berderap, dua orang yang kebetulan lewat di jalan di depan regol itu terhenti dengan ragu-ragu. Dibawah cahaya obor ia mengamati wajah Empu Baladatu yang belum pernah dikenalnya.
“He, siapakah kau? Aku belum pernah melihatmu” bertanya salah seorang dari mereka, “aku mengenal penghuni rumah ini seperti mengenal keluargaku sendiri. Tetapi aku belum pernah mengenalmu.”
Empu Baladatu tergagap. Ia tidak menyangka bahwa tiba-tiba saja ia akan dihadapkan pada pertanyaan seperti itu. Sehingga akhirnya ia menjawab asal saja terucapkan, “Aku tamu yang akan kembali pulang.”
“Tetapi dimanakah yang punya rumah? Dan aku kenal kuda ini” sahut yang lain.
Empu Baladatu menjadi Semakin bingung. Sedangkan orang itu mendesaknya lagi, “Kau mencurigakan. Turunlah Jika kau benar-benar tamu penghuni rumah ini. aku akan mohon maaf. Tetapi sebaiknya, aku bertanya dahulu kepada pemilik kuda yang sedang kau pakai.”
Empu Baladatu bukannya seorang yang sabar. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia menggeram, “Minggirlah, atau kepalamu akan terinjak oleh kaki kuda ini.”
Kecurigaan kedua orang itu kian bertambah. Karena itu. salah seorang kemudian berkata, “Ki Sanak. Aku baru saja pergi kesawah menelusur air yang memang agak sulit sekarang ini bagi persawahan. Kebetulan saja aku jumpai kau yang menumbuhkan kecurigaan padaku. Agaknya kau benar-benar orang bermaksud buruk. Turunlah, atau aku akan menghantam kepalamu dengan cangkul?”
Empu Baladatu tidak menjawab. Tiba-tiba saja kedua tumitnya telah menyentuh perut kudanya, sehingga kuda itupun terkejut dan meloncat. Kedua orang itu memang kerusaha untuk menghalang-halangi. Tetapi mereka tidak menyadari, bahwa mereka berhadapan dengan Empu Baladatu. Karena itulah, maka keduanya pun kemudian terpelanting dan berguling beberapa kali menyeberang jalan. Sementara itu, kuda yang dipergunakan oleb Empu Baladatu itu telah berderap dan hilang di gelapan.
Ternyata bahwa keributan itu terdengar oleh penghuni rumah itu sehingga ia pun kemudian terbangun dan dengan hati-hati keluar rumah lewat pintu butulan. Derap kaki kuda yang keluar dari halaman rumahnya telah menarik perhatiannya. Dengan tergesa-gesa ia menengok kandangnya. Namun kudanya sudah tidak ada di dalamnya lagi.
Orang itu kemudian berlari-lari kehalaman depan. Ketika ia melihat regol halamannya terbuka, iapun langsung keluar halaman dan turun kejalan. Ia terkejut melihat kedua orang tetangganya yang dengan susah payah berusaha bangkit sambil menyeringai kesakitan.
“Kenapa?” pemilik kuda itu bertanya. Kedua tetangganyapun kemudian menceriterakan. bahwa mereka menjadi curiga ketika mereka melihat seseorang yang keluar dari regol halaman itu diatas pun ggung kuda di malam hari tanpa seorang pun yang mengantarkannya meskipun hanya sampai turun kejalan.
“Kami tidak berdaya” desis salah seorang dari keduanya.
Pemilik kuda itu mengangguk-angguk. Katanya, “Di Padukuhan ini biasanya tidak pernah terjadi kerusuhan seperti ini. Tentu bukan kebanyakan orang yang sekedar ingin mencuri”
Kedua orang tetangganya itu mengangguk-angguk. Mereka masih saja menyeringai memegang pinggang masing-masing.
“Punggungku rasa-rasanya patah” desis yang seorang.
“Aku tidak melihat orang itu berbuat sesuatu. Tetapi tiba-tiba saja aku sudah terpelanting jatuh.” sambung yang lain.
“Sudahlah. Aku tidak dapat menyalahkan kalian. Marilah masuklah. Kita dapat berbicara lebih panjang.”
Kedua orang itu berpandangan sejenak. Namun karena pinggang mereka rasa-rasanya masih sakit juga, maka keduanya pun kemudian mengikuti pemilik rumah itu dan naik kependapa.
Isteri pemilik rumah itu yang kemudian terbangun juga telah menyuruh pelayannya untuk merebus air, sehingga ketiga orang yang bercakap-cakap dipendapa itupun kemudian masing-masing mendapat semangkuk minuman panas.
“Tentu seseorang yang sekedar memerlukan seekor kuda” desis pemilik kuda itu kemudian.
“Ya” sahut yang lain, “itu adalah kesimpulan yang paling mendekati kenyataan. Tidak ada kemungkinan yang dapat dipertimbangkan lagi.”
“Bagaimanapun juga kita akan melaporkannya besok kepada Ki Buyut. Mungkin padukuhan ini perlu mengambil tindakan untuk mencegah kemungkinan-kemungkinan yang lebih parah. Jika ia hanya memerlukan seekor kuda untuk mempercepat perjalanan jauhnya, dan tidak menimbulkan akibat apa-apa di kemudian hari, biarlah aku ikhlaskan kudaku. Tetapi jika yang terjadi ini baru permulaan dari kejadian-kejadian yang akan berkepanjangan, maka agaknya Ki Buyut perlu mengetahuinya.”
Ternyata ketiga orang itu tidak berusaha membangunkan tetangga-tetangganya yang lain. Tetapi mereka berjanji dipagi harinya akan bersama-sama menghadap Ki Buyut untuk memberikan kesaksian atas hilangnya seekor kuda pemilik rumah itu.
Ternyata peristiwa itu telah cukup menggemparkan padukuhan kecil yang biasanya selalu tenang dan damai itu. Dari mulut kemulut. berita tentang hilangnya seekor kuda, dan usaha kedua orang untuk mencegahnya, telah menjalar keseluruh padukuhan. Setiap orang mempercakapkannya dengan hati yang cemas dan berdebar-debar.
Seperti yang direncanakan, maka pemilik kuda itu pun pergi menghadap Ki Buyut bersama dengan kedua orang tetangganya yang menyaksikan langsung orang yang telah mengambil keduanya petani sama sekali tidak berhasil mencegahnya itu.
Laporan itu diterima Ki Buyut dengan wajah yang tegang dan bersungguh-sungguh. Baginya persoalan itu merupakan persoalan yang cukup gawat dan tentu akan menggetarkan padukuhan yang tenang. Para bebahu yang lain pun menjadi cemas. Bahwa seseorang telah mencuri kuda, adalah sesuatu yang benar-benar telah menyinggung perasaan setiap orang di padukuhan itu.
“Kenapa hanya seekor kuda” bertanya Ki Buyut seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri, “kenapa ia tidak mengambil yang lain”
“Seperti yang aku katakan Ki Buyut. Agaknya orang itu memang hanya memerlukan seekor kuda saja.” jawab orang yang kehilangan, “ia bukan seperti kebanyakan penjahat yang ingin merampas harta benda.”
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Itulah yang lebih berbahaya. Jika jelas yang datang itu adalah seorang yang hanya menginginkan harta benda, persoalannya akan terbatas. Tetapi jika tidak, mungkin masih akan berkepanjangan.”
Tidak ada kesimpulan lain yang dapat dilakukan kecuali mengadakan kesiagaan sepenuhnya di seluruh padukuhan. Bahkan padukuhan-padukuhan tetangga pun mulai menjadi ribut ketika mereka mendengar tentang pencuri kuda yang penuh dengan rahasia itu.
Dalam pada ini, selagi orang-orang di padukuhan itu menjadi ribut, Empu Baladatu telah berpacu semakin jauh. Ia tidak lagi memilih jalan. Ia tidak peduli lagi apakah ada orang yang menghiraukannya atau tidak.
Tetapi agaknya memang tidak banyak orang yang memperhatikan orang lain dengan saksama. Demikian juga, orang-orang yang berpapasan dengan Empu Baladatu tidak begitu menghiraukannya, bahwa pakaiannya kusut dan robek. Luka-luka nya yang masih berdarah karena terlalu banyak untuk bergerak Dan kesan wajahnya yang penuh dendam dan kebencian.
Dengan seekor kuda maka Empu Baladatu telah berhasil mempercepat lari kudanya. Ia memang ingin langsung ke padepokannya dan menenangkan diri untuk beberapa lama. Terutama untuk menyembuhkan luka-lukanya. Ia tidak begitu menghiraukan padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang, Kedua padepokan itu tentu bagaikan lumpuh karena keduanya telah kehilangan orang-orangnya yang terbaik. Apalagi jika prajurit Singasari telah dengan sengaja datang untuk menghancurkannya.
“Keduanya tidak banyak berarti lagi” katanya. Meskipun demikian bukan berarti bahwa Empu Baladatu melepaskan keduanya. Ia sadar, bahwa pada suatu saat ia akan datang untuk membina reruntuhan di padepokan itu agar ia tetap mendapat pancatan didaerah disekitar Kota Raja Singasari.
Tetapi untuk sementara Empu Baladatu akan berada di padepokannya. sebelum rencananya yang pertama-tama adalah membuat hubungan dengan Linggapati, karena Linggapati pun tentu akan dibakar oleh dendam dan kebencian karena kematian adiknya.
Sebenarnyalah, bahwa satu dua orang yang melarikan diri dari medan pertempuran, berusaha dapat kembali ke Mahibit. Meskipun dengan kesulitan dan susah payah, akhirnya mereka dapat menghadap Linggapati dan melaporkan apa yang telah terjadi atas seluruh pasukan Empu Baladatu.
Betapa kemarahan yang tiada taranya menghentak dada Linggapati sehingga rasa-rasanya dada itu akan pecah, berita tentang kekalahan mutlak bagi orang-orang Empu Baladatu dan orang-orang Mahibit yang langsung dipimpin oleh Linggadadi itu, benar-benar merupakan berita terburuk yang pernah didengarnya
“Jadi Empu Baladatu juga terbunuh?” ia bertanya dengan wajah tegang.
“Aku tidak tahu pasti. Mungkin terbunuh, mungkin luka parah. Pada saat-saat aku melarikan diri dari arena, semuanya rasa-rasanya sudah menjadi gelap dan tidak dapat diketahui dengan pasti.”
Linggapati menghentakkan kakinya. Kemarahan yang meluap-luap rasa-rasanya telah membakar jantungnya. Tetapi Linggapati bukan seorang yang mudah kehilangan akal. Ia mendengar laporan anak buahnya sampai tuntas Kemudian mengurainya dan melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada dan yang dapat terjadi.
“Betapa bodohnya Baladatu. Seolah-olah ia sudah menjerumuskan Mahibit ke dalam kesulitan. Dengan kekalahan itu maka aku sudah kehilangan sebagian besar dari kemungkinan yang selama ini telah aku pupuk dengan hati-hati. Orang-orangku pun akan menjadi berkecil hati dan mungkin bahkan kehilangan gairah perjuangannya” berkata Linggapati kepada diri sendiri, “selebihnya, aku telah kehilangan adikku. Betapa bengalnya Linggadadi. tetapi ia adalah orang yang memiliki kemampuan cukup untuk membantuku. Satu-satunya pembantuku yang paling aku percaya.”
Namun dalam pada itu. Linggapati pun memikirkan kemungkinan lain yang dapat terjadi atasnya. Mungkin para prajurit Singasari yang mendapat beberapa penjelasan dari orang-orangnya yang tertangkap, termasuk orang-orangnya dari lingkungan tertutup yang mengawal Linggadadi, akan datang ke Mahibit dan menghancurkan sama sekali. Itulah sebabnya. Linggapati pun bertindak cepat. Ia menarik semua orang-orangnya dari lingkungan tertutupnya dan menempatkannya di sebuah padukuhan kecil yang terasing dan yang dihuni hanya oleh beberapa keluarga yang memang sudah berada dibawah pengaruhnya dengan taat.
Biarlah mereka berada di tempat terpecil untuk beberapa saat” berkata Linggapati, “sekedar untuk menghindari kemungkinan buruk, jika orang-orang Singasari itu datang dalam waktu yang singkat. Sebelum persiapan-persiapan yang lebih mapan dapat aku lakukan.”
Tetapi dalam pada itu, Singasari tidak mengirimkan pasukan ke Mahibit dengan tergesa-gesa. Kemungkinan seperti yang dalakukan oleh Linggapati itu memang sudah diperhitungkan, sehingga yang datang adalah para petugas sandinya saja.
Dengan bekal keterangan dari para tawanan, terutama orang berkumis yang ternyata memang merupakan salah seorang dalam dari padepokan tertutup orang-orang Mahibit, maka Singasari telah mengirimkan beberapa orang terpercaya untuk mengenal daerah itu sebaik-baiknya, sehingga apabila keadaan memaksa, prajurit Singasari dapat bertindak cepat dan tepat.
Tetapi orang-orang Mahibit. terutama Linggapati pun bukan orang yang kurang perhitungan. Mereka pun sudah memperhitungkan bahwa Singasari tentu akan mengirimkan petugas sandinya berdasarkan keterangan para tawanan. Sehingga karena itulah, maka Linggapati telah membuat perubahan-perubahan yang dapat merubah seluruh wajah lingkungannya.
Seperti yang dilakukan oleh Linggapati, maka Empu Baladatupun tidak tinggal diam. Ia pun membuat beberapa perubahan didalam padepokannya. Tetapi, Empu Baladatu masih menganggap padepokan tidak akan mendapat pengawasan yang mendalam, karena sebagian terbesar dari orang-orangnya yang tertangkap dan terbunuh adalah orang-orang Macan Kumbang dan orang-orang dari padepokan Serigala Putih.
Meskipun demikian tidak mustahil bahwa orangnya yang sedikit dari padepokannya yang jauh itu ada yang tertangkap hidup. Karena itulah, maka ia pun membuat beberapa penyamaran yang akan dapat mengelabuhi petugas-petugas sandi dari Singasari atas padepokannya yang jauh terpencil.
Empu Baladatu sediri kemudian tidak berada di padepokannya yang lama. Ia tinggal di sebuah padukuhan kecil yang kemudian seolah-olah telah menjadi padepokannya yang baru dengan para pengawalnya yang terpilih. Di tempatnya yang baru itu Empu Baladatu mencoba untuk menghirup kekuatan dari daerah di sekitarnya. Dengan melakukan hal-hal yang kadang-kadang nampaknya tidak masuk akal, maka Empu Baladatu bagi orang-orang di sekitarnya merupakan orang yang sangat dihormati dan ditakuti.
Tetapi pengaruh Empu Baladatu bukannya pengaruh yang mencengkam sampai ke sungsum. Orang-orang di sekitarnya mengangapnya sebagai seorang pemuka yang tidak dapat dibantah perintahnya. Bukan sebagai seorang pemimpin yang menuntun pengikutnya untuk memperjuangkan sebuah cita-cita yang luhur. Itulah sebabnya, maka pengaruh Empu Baladatu sukar untuk berkembang lebih jauh lagi.
Namun demikian bukan berarti bahwa Empu Baladatu tidak berbuat apa-apa. Dendam dan kebenciannya benar-benar telah membakar jantungnya. Dengan segala ia mempengaruhi semua pihak yang mungkin dapat memperkuat pasukannya jika pada suatu saat diperlukannya.
Sementara itu, ia masih tetap ingin membuat hubungan dengan Linggapati. Ia yakin bahwa Linggapati pun tentu dibakar oleh dendam seperti dirinya sendiri, inilah sebabnya, ketika Empu Baladatu sudah merasa sembuh sama sekali, dan merasa telah mampu membina dirinya lebih baik lagi ia mencoba menjajagi jalan yang akan dirambahnya.
Dengan tiga orang pengawalnya yang paling kuat, maka Empu Baladatu meninggalkan padepokannya menuju ke sekitar Kota Raja. Ia ingin melihat, apakah ada peningkatan kesiap-siagaan pada prajurit Singasari.
Dalam pada itu, setelah terjadi peristiwa dipadepokan Empu Sanggadaru. maka Singasari memang telah bersiaga menghadapi perkembangannya. Untuk sementara prajurit Singasari yang ada di padepokan Empu Sanggadaru memang tidak ditarik. Bahkan diperkuat dengan beberapa orang prajurit muda sambil menempa mereka. Di samping mereka, Mahisa Bungalan, Mahisa Pukat dan Mahisa Murti masih berada di padeokan itu juga.
“Padepokan itu memang masih memerlukan perlindungan” berkata Mahisa Agni kepada para Senapati.
“Ya” sahut Lembu Ampal, “setiap saat dendam Empu Baladatu dan Linggapati dapat meledak.”
Namun di samping itu, Singasari pun melakukan kegiatan pengawasan atas Mahibit dan daerah yang berada di bawah ptngaruh Empu Baladatu menurut arah yang ditunjukkan oleh orang-orangnya yang tertangkap.
“Kegiatan sandi itu tidak boleh nampak dan mengelisahkan orang-orang di sekitar Mahibit dan sekitar padepokan Empu Baladatu” perintah pada Senapati di Singasari.
“Tetapi, jangan menganggap mereka terlalu kecil” pesan Mahisa Agni, “mungkin saat ini mereka memang tidak nampak. Tetapi pada suatu saat mereka merupakan kekuatan yang dapat meledak dan mengguncangkan seluruh Singasari”
Karena itulah, maka para pemimpin di Singasari pun tidak kehilangan kewaspadaan. Mereka selalu mengamati suasana yang berkembang di Mahibit dan daerah di sekitar padepokan Empu Baladatu. Tapi sampai begitu jauh, prajurit Singasari tidak melakukan tindakan apapun juga, agar yang mereka lakukan itu tidak seperti mengguncang sarang lebah. Sebelum mereka yakin akan dapat berbuat sampai tuntas, maka yang mereka lakukan adalah sekedar pengawasan
Dalam pada itu, Empu Baladatu yang dalam perjalanan pengamatan pun telah melakukan penyamaran dengan sempurna, sehingga dapat terlepas dari penglihatan petugas sandi dari Singasari. Bahkan dengan cerdik, Empu Baladatu telah berhasil mendekati padepokan Serigala Putih.
“Kita harus dapat berbicara dengan salah seorang dan mereka” berkata Empu Baladatu, “kita akan menunggu orang yang aku kenal baik, yang lewat di luar padepokan.”
“Kita menunggu di antara mereka yang pergi ke pategalan” jawab pengawalnya.
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa pekerjaannya kali ini mengandung beberapa kemungkinan. Jika orang-orang Serigala Putih tidak lagi memerlukannya, karena pengaruh prajurit Singasari, maka kehadirannya akan dapat membahayakannya. Tetapi Empu Baladatu siap menghadapi segala kemungkinan. Juga kemungkinan yang paling pahit sekalipun.
Ternyata Empu Baladatu harus menunggu dengan telaten, karena beberapa lama kemudian barulah seseorang lewat dengan membawa cangkul dari pategalan yang tidak begitu jauh dari padepokan mereka.
“Hanya seorang” desis Empu Baladatu. “Ya. Apakah aku harus memanggilnya.”
Aku mengenal orang itu dengan baik. Bawalah ke sini Aku ingin berbicara.”
Pengawal Empu Baladatu itu pun kemudian mendekati orang yang sedang berjalan itu. Sejenak orang itu termangu-mangu Ketika langkahnya dihentikan.
“Apakah maksud Ki Sanak?” bertanya orang Serigala Putih itu.
“Aku perlu berbicara dengan Ki Sanak sebentar” jawab pengawal Empu Baladatu.
“Tidak disini. Tetapi dibalik gerumbul itu.” Orang itu menjadi ragu-ragu Kemudian sambil menggeleng ia jawab, “Kenapa di sana? Katakan saja di sini. Aku tidak mau pergi ke sana.”
“Jangan keras kepala Ki Sanak. Seseorang sedang menunggu kau di sana. Ia adalah orang yang penting bagimu, yang mungkin akan memberikan angin baru dan padepokanmu yang lesu itu.”
Orang itu masih ragu-ragu Katanya kemudian. ”Suruhlah ia datang kemari.”
“Jangan keras kepala. Orang itu tentu kau kenal dengan baik”
“Siapa?”
“Empu Baladatu.”
“Empu Baladatu?” orang itu menjadi tegang. Namun kemudian, “jadi Empu Baladatu ada di sini sekarang?”
“Ya. Dibalik gerumbul itu.”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Apakah maksudnya sebenarnya?”
“Ia ingin bertemu dengan salah seorang dari padepokan Srigala Putih dan kemudian orang-orang Macan Kumbang.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara pengawal Empu Baladatu mencoba membawa kesan pada wajah orang itu. Agaknya itu di padepokan Serigala Putih. Baru sejenak kemudian orang itu berkata, “Baiklah. Aku akan menemui Empu Baladatu.”
Orang itu pun kemudian mengikuti pengawal Empu Baladatu ke balik sebuah gerumbuL Di balik gerumbul itu Empu Baladatu duduk seorang diri. Sementara dari kejauhan dan tersembunyi, pengawalnya yang lain mengawasinya sambil menunggui kuda-kuda mereka. Orang yang memang sudah mengenal Empu Baladatu itupun kemudian duduk berhadapan. Agaknya setelah lama tidak bertemu maka orang itu pun kemudian menanyakan keselamatan dan kabar berita selama mereka berpisah.
“Aku baik-baik saja” berkata Empu Baladatu, “kau tentu sudah mendengar bahwa aku melarikan diri dari padepokan terkutuk itu. Aku membunuh orang yang menjagaku, kemudian meloncati dinding. Mereka terlalu menganggap aku tidak berdaya lagi dengan luka-lukaku saat itu.”
“Ya Empu. Semuanya sudah mendengar serba sedikit tentang Empu. Orang-orang yang melarikan diri hanya mengatakan bahwa Empu mungkin tertangkap, mungkin terbunuh. Aku sendiri yang sempat lari saat itu. tidak dapat mengatakan dengan pasti, apakah yang sudah terjadi. Tetapi kemudian kami mendengar berita bahwa Empu sempat lolos.”
“Tetapi aku tidak langsung kembali kapadepokan ini. Aku tahu bahwa prajurit Singasari akan mencari aku kemari.”
“Ya” jawab orang itu, “beberapa orang prajurit Singasari dan para cantrik dari padepokan Empu Sanggadaru telah datang kemari.”
"Apakah mereka mencari aku atau untuk keperluan yang lain?”
“Kedua-duanya. Mereka memerintahkan agar kami tidak melakukan tindakan yang dapat mencelakan kami.”
“Maksudnya?”
“Tentu agar kami tidak melakukan kegiatan lagi yang dapat menimbulkan kesan perlawanan atau bahkan persiapan untuk menyerang padepokan Empu Sanggadaru.”
“Dan apakah yang kalian lakukan selama ini?”
“Tidak apa-apa. Kami melakukan pekerjaan kami sehari-hari untuk dapat tetap hidup. Kami mengolah tanah yang ada dan memetik hasilnya bagi beberapa bagian yang sudah berbuah dan pantas dipetik.”
“Mencukupi?”
Orang itu menarik nafas dalam. Pada masa lampau semua kekurangan akan dengan mudah dapat dicukupi. Beberapa orang berkuda yang mendatangi beberapa padukuhan telah cukup untuk menambah semua kekurangan. Tetapi mereka tidak dapat melakukanuya lagi. Mereka tidak berani melanggar ancaman prajurit Singasari yang tentu akan mengambil tindakan yang keras.
“Kalian akan makan akar-akaran dan dedaunan” berkata Empu Baladatu kemudian.
Orang itu tidak segera menyahut. Tetapi ia tidak dapat ingkar bahwa mereka pada suatu saat akan merasa kekurangan makan. Tanah yang tidak begitu luas dan kurang subur hanyalah sekedar memberikan bahan makan yang sebenarnya memang kurang mencukupi.
“He. Kenapa kau diam saja? Apakah kalian memang sudah mempersiapkan diri untuk makan akar-akaran dan dedaunan?” desak Empu Baladatu.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak ada jalan lain Empu. Kami selalu dalam pengawasan. Jika kami melakukan sesuatu yang bertentangan dengan batasan-batasan yang diberikan oleh prajurit Singasari, maka kami akan mengalami tindakan yang dapat merugikan kami sendiri."
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti Kalian tidak mempunyai kekuatan lagi untuk menyatakan diri sebagai suatu kelompok yang bebas dan dapat menentukan sikap dan tindakan sendiri.”
Orang itu tidak menjawab. Tetapi tatapan matanya kepada Empu Baladatu justru merupakan tuntutan, bahwa seakan-akan Empu Baladatu lah yang harus bertanggung jawab atas kehancuran padepokan itu. meskipun tidak dalam pengertian wadag. Karena justru kahancuran itu dialami di padepokan lain.
Empu Baladatu yang seakan-akan mengerti apa yang tersirat dalam tatapan mata itu kemudian berkata, “Aku mengerti, bahwa kalian selalu dikejar oleh harapan untuk dapat bangkit kembali. Mungkin kalian menganggap bahwa aku telah ingkar akan tugas dan tanggung jawabku. Tetapi kelambatan itu terjadi karena aku sedang menyembuhkan luka-luka ku. Aku tidak dapat berbuat banyak dalam keadaan terluka parah. Aku meninggalkan padepokan kakang Empu Sanggadaru dengan keadaan yang gawat, sehingga aku memerlukan waktu penyembuhan yang cukup panjang. Dan kini aku sudah sembuh. Aku ingin melihat-lihat dan kemudian memperhitungkan setiap kemungkinan yang dapat kita tempuh bersama”
Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia merasa berdiri di simpang jalan. Rasa-rasanya ia sudah jemu untuk melibatkan diri ke dalam dunia yang kelam meskipun dengan harapan-harapan. Selama ini yang dijumpainya hanyalah kegagalan-kegagalan dan bahkan hampir kemusnahan. Namun demikian, tanpa berbuat apa-apa, maka padepokannya pun tentu akan menjadi semakin kering. Kekurangan makan yang barangkali akan semakin parah sehingga dapat menimbulkan bahaya kelaparan bagi penghuni padepokan itu.
“Jangan gelisah” berkata Empu Baladatu kemudian, “jika kalian masih mempunyai kepercayaan kepadaku, maka aku berjanji bahwa pada suatu saat akan datang saatnya, kalian menemukan hari-hari yang gemilang. Aku tidak berhenti sampai di sini meskipun aku juga tidak dapat berbuat dengan tergesa-gesa.”
Orang itu tidak menyahut. Ia memang memerlukan perubahan. Tetapi ia tidak ingin terlibat dalam kehancuran sekali lagi. Pertempuran itu adalah pertempuran yang sangat mengerikan. Orang-orang Mahibit telah kehilangan pemimpin mereka. Sedang orang-orang dari padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang, rasa-rasanya telah menjadi berputus asa dan ridak berpengharapan lagi.
“Untunglah bahwa kawan-kawan kami yang tertangkap tidak diperlakukan dengan buruk” berkata orang itu didalam hatinya. “Bahkan beberapa di antara mereka telah dilepaskan. Orang-orang yang melarikan diri dari pertempuran itu pun tidak diambil tindakan yang keras dan menyeluruh”
Namun orang itu tidak mengucapkannya di hadapan Empu Baladatu agar tidak menimbulkan kesan yang lain. Bagaimanapun juga orang itu masih merasa segan terhadap Empu Baladatu yang memang memiliki ilmu yang tinggi.
“Ia tidak boleh dikecewakan” berkata orang itu, “agar ia tidak mengambil tindakan sendiri dan langsung terhadap orang-orang dipadepokan.”
Karena itulah, maka orang itu pun selalu memberikan gambaran yang dapat menumbuhkan harapan bagi Empu Baladatu. Namun yang dikatakan oleh Empu Baladatu itu pun kadang-kadang dapat menyentuh hati orang Serigala Putih itu dan menumbuhkan harapan pula baginya.
“Empu” berkata orang itu kemudian, “apakah Empu akan singgah ke padepokan?”
“Tidak. Aku tidak akan singgah di padepokan. Tetapi jangan menganggap bahwa aku telah meninggalkan kewajibanku. Aku akan selalu mengawasi kalian dan perkembangan kalian. Pada suatu saat akan datang kesempatan yang baik yang kita tunggu dengan sabar. Lakukanlah semua perintah prajurit Singasari untuk sementara agar mereka tidak melakukan tindakan-tindakan pembatasan yang lebih keras.”
“Baik Empu” berkata orang itu, “kami akan menunggu perkembangan keadaan. Kami berharap bahwa Empu tidak akan terlalu lama menentukan sikap.”
“Aku akan menghubungi orang-orang Macan Kumbang dan kemudian orang-orang Mahihit- Semuanya harus dimulai dari permulaan lagi Tetapi betapapun berat, aku tidak akan berhenti. Apalagi kita semuanya sudah dibebani dendam yang tidak akan dapat kita hapuskan dari dinding hati kita. Kematian sanak kadang dan kawan-kawan terdekat.”
Orang padepokan itu mengangguk-angguk. Tetapi dendam itu tidak lagi mampu membakar hatinya yang bagikan sudah padam. Meskipun demikian ia tidak boleh melakukan kebodohan di hadapan Empu Baladatu yang benar-benar masih dibakar oleh dendam dan kebencian itu.
“Kembalilah” berkata Empu Baladatu, “dan berhati-hatilah menghadapi perkembangan keadaan. Mudah-mudahan aku akan segera kembali."
Orang dari padepokan Serigala Putih itu mengangguk-angguk. Sejenak ia memandang Empu Baladatu, kemudian pengawalnya yang berwajah mengerikan.
“Aku tidak akan terlalu lama” berkata Empu Baladatu kemudian.
“Apakah aku dapat mengabarkan kedatangan Empu kepada kawan-kawanku?” bertanya orang itu.
“Tetapi hati-hatilah. Jangan menjerat lidahmu sendiri di hadapan prajurit-prajurit Singasari.”
Orang itu pun kemudian minta diri kepada Empu Baladatu dan kembali kepadepokan. Di sepanjang langkahnya, ia selalu dibebani keragu-raguan tentang kemungkinan yang dapat mereka lakukan dalam bayangan kekuasaan Empu Baladatu.
Setelah pertempuran yang mengerikan itu, orang-orang dari padepokan Serigala Putih ternyata telah mendapat pengalaman baru. Bukan saja pengalaman jasmani, tetapi juga jiwani. Ternyata mereka tidak dihadapkan pada dendam yang membakar para prajurit Singasari dan para cantrik di padepokan Empu Sanggadaru. Mereka tidak mengalami pembalasan dendam tanpa ampun. Meskipun ada juga prajurit Singasari yang menjadi korban, juga para cantrik dari padepokan Empu Sanggadaru.
Namun mereka membiarkan orang-orang dari padepokan Serigala Putih yang tersisa masih tetap hidup. Bahkan mereka telah melepaskan beberapa orang tawanan dan tidak menangkapi mereka yang berhasil melarikan diri dari medan pertempuran, kecuali satu dua orang yang mempunyai peranan terpenting dalam padepokannya.
“Pilihan yang sangat sulit” berkata orang itu.
Rasa-rasanya sudah terlampau berat untuk mulai lagi memilih jalan kehidupan seperti yang pernah mereka tempuh bersama Empu Baladatu. Dalam keadaan yang paling sulit, ternyata Empu Baladatu tidak mampu melindungi mereka, dan bahkan ia sendiri hampir binasa. Untunglah bahwa ia jatuh ketangan saudara laki-lakinya. meskipun saudaranya itulah yang telah dikhianatinya. sehingga ia masih berkesempatan untuk hidup, dan bahkan membunuh orang yang mendapat tugas untuk mengawasinya, sehingga Empu Baladatu sempat melarikan diri.
Tetapi untuk menolak tawaran Empu Baladatu pun akibatnya akan dapat menyulitkan isi padepokannya. Jangankan padepokan Serigala Putih. Sedangkan padepokan kakaknya sendiri, jika tidak sejalan dengan langkahnya, Empu Baladatu tidak segan-segan untuk memusnakannya.
“Aku harus membicarakan masak-masak dengan orang-orang terpenting di padepokanku. Kehadirannya, benar-benar merupakan mimpi yang buruk bagi padepokan Serigala Putih yang mencoba untuk menenangkan dirinya.”
Orang itu pun kemudian mempercepat langkahnya. Seoah-olah ia tidak sabar lagi untuk menyampaikan berita kehadiran Empu Baladatu itu kepada kawan-kawannya.
Sementara itu Empu Baladatu masih berada dibalik gerumbul bersama seorang pengawalanya. Sejenak mereka mengawasi orang padepokan Serigala Putih itu. Namun sulitlah bagi Empu Baladatu untuk mendapatkan kesan daripadanya.
“Apakah orang itu akan bersedia menyampaikannya kepada kawan-kawannya?” bertanya Empu Baladatu kepada pengawalnya.
“Ia tidak akan dapat mengelak. Tetapi entahlah, apakah keputusan yang akan diambil oleh orang-orang padepokan Serigala Putih. Mereka bukan lagi Serigala yang buas. Tetapi agaknya mereka tidak lebih dari anjing peliharaan yang sudah tidak bergigi lagi.” sahut pengawalnya.
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi aku masih mengharap bahwa mereka akan dapat dibangunkan lagi.”
“Tetapi dapat juga membahayakan perjalanan Empu Baladati. Mereka dapat berkhianat dan melaporkan kepada prajurit Singasari bahwa Empu ada disini.”
“Sebentar lagi kita akan. pergi.”
“Bukan itu soalnya. Tetapi daerah ini dan daerah yang mungkin akan Empu datangi, akan mendapat pengawasan yang ketat. Jika selama ini perjalanan Empu terlepas dari pengawasan para petugas dari Singasari, maka jika orang itu berkhianat, maka mungkin sekali orang-orang Singasari akan membuat jaring-jaring yang dapat membahayakan perjalanan Empu.”
Tetapi Empu Baladatu tersenyum. Katanya, “Mereka tidak akan berani berbuat demikian. Maksudku, orang-orang Serigala Putih. Untuk sementara mereka akan tetap diam dan menunggu perkembangan keadaan. Jika akhirnya mereka memutuskan untuk tidak lagi berhubungan dengan aku, maka keputusan itu akan diambil dalam waktu yang lama.”
Pengawalnya termenung sejenak. Namun ia pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Marilah. Aku akan singgah juga di padepokan Macan Kumbang.” berkata Empu Baladatu.
“Tetapi apakah itu tidak berarti memperluas berita kedatangan Empu di daerah ini? Tentu orang-orang Macan Kumbang juga berada di bawah pengawasan prajurit-prajurit Singasari.”
“Tetapi aku ingin memperingatkan kepada mereka, bahwa mereka akan selalu berada di bawah bayang-bayang kekuasaanku. Bagaimanapun juga, mereka tidak akan dapat melepaskan diri sama sekali.”
“Seperti yang aku katakan. Ada dua akibat yang berlawanan dapat timbul”
Sekali lagi Empu Baladatu tertawa. Katanya, “Aku masih akan dapat menakut-nakuti mereka dengan kekuatan yang tersisa. Pengawasan prajurit Singasari ternyata tidak begitu ketat atas mereka.”
“Sebelum mereka menyatakan kehadiran Empu Baladatu.”
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu iapun kemudian bertanya, “Apakah maksudmu?”
"Sebelum mereka menyatakan, bahwa Empu Baladatu telah datang kepadepokan mereka, maka prajurit-prajurit Singasari tidak akan mengawasi mereka dengan ketat. Tetapi jika laporan tentang kedatangan Empu sudah mereka dengar, tentu mereka akan mengambil sikap lain.”
Empu Baladatu masih saja tertawa. Katanya, “Untuk satu dua hari. Mungkin satu dua bulan mereka akan mengambil sikap dan pengawasan yang lebih ketat. Tetapi sesudah itu, mereka akan melupakannya, dan semuanya akan berjalan seperti biasa. Nah aku akan menunggu kesempatan serupa itu”
Pengawalnya termenung sejenak. Namun iapun kemudian mengangguk pula sambil berkata, “Setiap kali Empu datang dan dilaporkan, maka mereka akan mempersiapkan diri untuk satu atau dua pekan. Seterusnya mereka lengah lagi. dan Empu akan datang lagi menjenguk padepokana ini.”
Empu Baladatu tertawa semakin keras, dan pengawalnya pun ikut tertawa pula. “Marilah. Kita tinggalkan padepokan ini. Kita akan meneruskan perjalanan. Mungkin di padepokan ini akan segera terjadi kesibukan pengawasan prajurit-prajurit Singasari setelah mereka mendengar aku datang. Tetapi aku akan kembali setelah mereka menjadi jemu dan membiarkan padepokan ini di luar pengawasan mereka”
Keduanyapun kemudian meninggalkan tempat itu. Mereka masih berpaling memandang ke arah orang padepokan Serigala Putih menghilang. Namun sejenak kemudian, Empu Baladatu dan beberapa orang pengawalnya telah berderap meneruskan perjalanan. Mereka ingin sampai ke padepokan Macan Kumbang, sebelum berita kedatangannya di padepokan Serigala Putih telah menarik perhatian para prajurit Singasari.
Dalam pada itu, orang padepokan Serigala Putih yang telah bertemu dengan Empu Baladatu itu pun menjadi bingung. Ia tidak tahu. apakah yang sebaiknya dilakukan. Karena itulah maka ia telah mengambil keputusan untuk menyampaikan berita kehadiran Empu Baladatu itu kepada orang-orang yang dianggap paling berpengaruh di padepokannya sepeninggal para pemimpin mereka, termasuk orang-orang yang ditempatkan oleh Empu Baladatu di padepokan itu.
Beberapa orangpun kemudian telah berkumpul sesaat setelah orang yang bertemu dengan Empu Baladatu itu berada kembali di padepokannya. Dengan cermat ia menceriterakan apa yang telah dialaminya. Pertemuan dengan orang yang sama sekali tidak diharapkan lagi datang kepadepokannya.
“Jadi Empu baladatu masih berniat untuk meneruskan perjuangannya” bertanya salah seorang dari orang-orang di padepokan Serigala Putih itu.
“Ya” jawab kawannya yang bertemu langsung dengan Empu Baladatu, “Nampaknya ia sudah siap untuk berjuang dalam waktu yang tidak terbatas.”
Kawan-kawannya yang lain menjadi termangu-mangu.
“Nah, apakah yang sebaiknya kita lakukan. Kita memang sudah terperosok ke dalam kesulitan. Jika menolak kerja sama dengan Empu Baladatu, maka kita akan mengalami kesulitan pula. Empu Baladatu dapat berbuat apa saja yang dikehendaki tanpa belas kasihan. Jangankan kita, yang baginya adalah orang lain atau bahkan orang-orang yang tidak berarti kecuali dijadikan umpan dalam peperangan seperti yang pernah terjadi, sedangkan saudara kandungnya pun akan mengalami nasib yang sangat buruk jika Empu Baladatu tidak salah hitung atas kekuatan padepokan itu.”
“Kita memang tidak dapat tergesa-gesa mengambil keputusan. Kita mempunyai waktu untuk berpikir” berkata salah seorang dari mereka. Kemudian katanya selanjutnya, “bukankah Empu Baladatu masih akan pergi kepadepokan Macan Kumbang dan barangkali juga ke Mahibit?”
“Ya.”
Orang yang tertua di antara mereka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Benar-benar suatu jalan simpang yang sulit. Kita yang sudah terlanjur terperosok kedalam kejahatan ini, agaknya sudah sulit untuk hangkit kembali”
“Tetapi kita harus mencoba meskipun dengan kemungkinan yang buruk sekalipun. Kita sudah jemu hidup dalam ketidak pastian seperti yang pernah kita alami di saat-saat yang lampau. Justru setelah kita mulai mencari jalan ketenangan, Empu Baladatu telah datang lagi dengan rencananya yang gila. Kita harus mulai lagi dengan korban darah.”
“Sebenarnya kita sudah jemu dengan tingkah laku kita sendiri di masa lampau setelah kita mengalami kehancuran mutlak itu.”
“Aku tidak mau lagi” sahut yang lain
Tetapi salah seorang dari mereka berkata, “Tetapi kita masih harus mempertimbangkan untung dan ruginya. Kita dihadapkan kepada pilihan yang paling sulit.”
Sejenak orang-orang itupun terdiam. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Apakah tidak sebaiknya kita menyampaikannya kepada prajurit Singasari atau kepada Empu Sanggadaru bahwa Empu Baladatu telah datang lagi kepadepokan ini?”
Orang-orang itupun terdiam pula. Agaknya mereka memang sedang mempertimbangkan, jalan manakah yang paling baik yang dapat mereka pilih.
“Tetapi agaknya kita masih harus berpikir amat panjang” desis seseorang
Dan berpikir sangat panjang itulah yang memang diharapkan oleh Empu Baladatu, Bahkan Empu Baladatu yakin bahwa orang-orang dari padepokan Serigala Putih itu memang akan berpikir sangat panjang, sehingga memberi kesempatan kepadanya untuk mengunjungi padepokan Macan Kumbang.
“Jika orang-orang Serigala Putih mempunyai keberanian untuk mengambil keputusan menyampaikan kehadiran Empu Baladatu kepada prajurit-prajurit Singasari, maka kami tentu akan terjebak di padepokan Macan Kumbang” berkata salah seorang pengawalnya kepada diri sendiri. Tetapi ia tidak berani mengatakannya kepada Empu Baladatu yang nampaknya yakin bahwa orang-orang Serigala Putih memang tidak mempunyai keberanian berbuat demikian.
Dan ternyata seperti yang diperhitungkan oleh Empu Baladatu, maka keputusan terakhir dari orang-orang padepokan Serigala Putih adalah berpikir sepuluh kali lagi, sehingga memberikan banyak waktu kepada Empu Baladatu.
Ternyata kehadiran Empu Baladatu di padepokan Macan Kumbang juga menumbuhkan persoalan yang sama dengan kehadirannya di padepokan Serigala Putih. Orang-orang Macan Kumbang yang seolah-olah tidak mempunyai kekuatan lagi itu pun sebenarnya merasa lebih senang untuk tidak berbuat apa-apa lagi yang dapat menghadapkan mereka kepada tindakan prajurit-prajurit Singasari.
Tetapi seperti juga orang-orang Serigala Putih, maka mereka pun dibayangi oleh kecemasan, bahwa Empu Baladatu akan melakukan kekerasan pula terhadap mereka pada saat-saat mereka tidak terlindung oleb kekuatan prajurit Singasari.
“Prajurit-prajurit itu tentu akan mendengarkan pengaduan kita” berkata salah seorang dari padepokan Macan Kumbang sepeninggal Empu Baladatu “tetapi kita tidak dapat mengharap perlindungan mereka untuk waktu yang lama. Mereka memang akan bersedia menempatkan sepasukan prajurit di padepokan ini. Tetapi betapa hari. Sementara mereka meninggalkan kita, maka Empu Baladatu mulai bertindak dengan kekerasan yang kasar dan buas”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Merekapun menjadi bingung seperti orang-orang dipadepokan Serigala Putih, sehingga dengan demikian maka mereka pun memerlukan waktu yang panjang untuk memikirkannya.
“Kita akan sampai ke Mahihit dengan aman” berkata Empu Baladatu di perjalanan, “orang-orang padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang tidak akan dapat mengambil sikap dengan segera.”
Pengawalnya hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi mereka selalu berharap agar demikian yang sebenarnya terjadi. Dalam pada itu, Empu Baladatu telah berada dalam perjalanan menuju ke Mahibit. Ia sudah mempertimbangkan cara yang paling baik untuk menemukan tempat Linggapati meskipun masih belum meyakinkan.
Seperti yang diduganya, maka Empu Baladatu tidak dapat menemukan Linggapati di dalam padepokannya yang telah kosong. Agaknya Linggapati lebih senang berada di tempat yang tidak mudah diketahui oleh orang-orang yang tidak dikehendaki.
“Empu” berkata pengawal Empu Baladatu, “tentu di Mahibit masih berkeliaran satu dua orang petugas sandi dari Singasari. Kita harus menemukan Linggapati dengan cara yang tersendiri.
Empu Baladatu menyadari bahwa menemukan Linggapati bukanlah pekerjaan yang mudah. Meskipun ia sudah mengenalnya dan pernah mendapat beberapa petunjuk tentang padepokannya, namun dalam keadaan yang khusus itu, maka tempat Linggapati tentu menjadi sangat sulit untuk diketemukan.
Karena itu. maka Empu Baladatu lebih dahulu harus menemukan tempat tinggal. Dengan membujuk dan memberikan uang imbalan dan bahkan mengancam, akhirnya ada juga orang yang bersedia menerima kehadirannya. Dari tempatnya itulah, Empu Baladatu merencanakan cara untuk menemukan Linggapati.
Yang pertama-tama dilakukannya adalah cara yang pernah dilakukan oleh seorang kepercayaannya. Di tempat yang sama Empu Baladatu duduk seperti seorang pengemis. Ia mengharap bahwa di simpang jalan itu, ia akan mendapat perhatian jika Linggapati kebetulan lewat dalam penyamaran yang manapun juga.
Tetapi lewat satu dua hari, tidak seorang pun yang menghiraukannya selain orang-orang yang menaruh belas kasihan. Satu dua orang memang melemparkan keping-keping uang atau bahkan makanan kepadanya. Tetapi tidak seorang pun yang dikenalnya sebagai Linggapati
“Gila. Apakah Linggapati tidak pernah melalui jalan ini dan memperhatikan seorang pengemis seperti yang pernah dilihatnya beberapa waktu yang lalu?” desis Empu Baladatu. Ia percaya, jika Linggapati melihatnya, ia tentu akan teringat bahwa di tempat itu pernah duduk seorang pengemis yang menarik perhatiannya dan pernah berhubungan langsung denganya.
“Agaknya Linggadadi lah yang selalu berkeliaran di sepanjang jalan” desis Empu Baladatu di dalam hatinya, “sepeninggal Linggadadi tidak ada lagi orang yang akan memberitahukan kepada Linggapati akan kehadiranku di sini. Bahkan mungkin petugas sandi Singasari telah mencurigai aku lebih dahulu, sebelum aku dapat berhubungan dengan Linggapati.”
Namun demikian, untuk beberapa hari lagi. Empu Baladatu berniat untuk tetap berada di tempat itu. Ia masih mengharap bahwa Linggapati akan melihat dan menaruh perhatian kepadanya meskipun ia pun berada dalam penyamaran.
Setelah dua tiga hari Empu Baladatu berada di tempatnya. Ia mulai menjadi jemu. Meskipun kadang-kadang ada juga satu dua orang yang melemparkan sekeping uang. namun yang diharapkannya adalah kehadiran Linggapati.
Dihari berikutnya, Empu Baladatu sudah mulai ragu-ragu dengan usahanya. Para pengawalnya, yang mengamatinya dari kejauhan pun sudah menjadi jemu. Meskipun mereka sempal bergantian dan berjalan-jalan menyusuri jalan yang agak panjang, tetapi mereka ternyata hampir tidak tahan lagi melakukan tugasnya.
Namun di hari yang menjemukan itu, ternyata yang ditunggu Empu Baladatu itupun datang. Seorang laki-laki dalam pakaian sederhana seperti kebanyakan petani di padukuhan. berjalan mendekatinya. Beberapa langkah dari Empu Baladatu yang duduk di simpang jalan sebagai seorang pengemis, orang itu berhenti. Sejenak ia memperhatikan orang-orang yang lalu lalang. Namun agaknya tidak seorang pun yang menghiraukannya.
Perlahan-lahan iapun mendekati pengemis di simpang jalan itu. Sambil berhenti beberapa tapak ia berdesis, “Selamat datang di Mahihit Empu Baladatu.“
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Sekilas ia memandang orang itu. Namun sambil tersenyum ia pun menjawab, “Selamat bertemu Ki Linggapati. Aku sudah jemu menunggu. Aku kira kau tidak mau keluar lagi dari sarangmu. Sepeninggal Linggadadi, maka tidak ada lagi orang yang menghiraukan orang lain di daerah Mahibit ini.”
“Sudah dua hari aku melihat Empu di sini. Tetapi aku sedang meyakinkan, apakah yang aku lihat benar-benar Empu Baladatu yang perkasa itu.”
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Terima kasih atas pujian itu. Tetapi sebenarnyalah aku ingin bertemu dengan Ki Linggapati”
Linggapati berdiri bersandar sebatang pohon. Tanpa memandang kepada pengemis yang duduk didekatnya ia berkata, “Empu, apakah kau masih akan menuntut agar aku menyediakan orang-orangku lagi untuk diumpankan ke mulut harimau itu? Ternyata adikku, kepercayaanku yang terbaik telah terbunuh. Dan sekarang kau datang lagi kepadaku.”
“Ada yang ingin aku bicarakan.”
“Empu. Jika aku berkata dengan jujur, maka rasa-rasanya aku ingin melepaskan sakit hatiku kepadamu pula. Kaulah sumber dari kehancuran itu. Jika kau mempunyai perhitungan yang cukup, tidak usah terlalu baik, maka tidak akan terjadi bencana yang menimpa orang-orangku seperti yang telah terjadi.”
“Kedatanganku adalah untuk menjelaskan persoalannya” berkata Empu Baladatu.
“Kau ingin ke padepokanku?”
“Kau telah berpindah tempat lagi. Jika kau tidak berkeberatan, aku bersedia singgah kepadepokanmu yang terbaru.”
Linggapati menyilangkan tangannya di dadanya. Ia masih berdiri bersandar sebatang pohon sambil menatap orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya.
“Sabenarnya aku juga tidak berkeberatan membawamu kepadepokanku. Aku sama sekali tidak mencemaskan bahwa kau pada suatu saat akan berkhianat, karena penghianatanmu tidak akan berarti apa-apa bagiku.” Linggapati berhenti sejenak lalu, “Tetapi yang aku cemaskan adalah justru kebodohanmu. Dengan demikian maka letak padepokanku yang baru tentu tercium oleh prajurit Singasari.”
“Linggapati” potong Empu Baladatu, “kau sudah cukup menghinaku. Aku masih akan menahan diri dan bersedia menjelaskan persoalannya jika kau mau melihat ke masa depan yang lebih baik dari pada menyesali masa lampau yang tidak akan dapat diulangi. Akupun menyesal bahwa semua itu telah terjadi. Mungkin memang karena kebodohanku. Bahkan aku pun telah terluka dan hampir saja aku mati oleh kakakku sendiri. Untunglah bahwa aku dapat melarikan diri dengan membunuh penjagaku.”
“Itupun merupakan teka-teki bagiku. Bagaimana mungkin kau dapat melarikan diri dari padepokan Empu Sanggadaru.”
“Aku mengerti pikiranmu. Kau menyangka bahwa aku memang dilepaskan dengan janji untuk memberitahukan rahasiamu”
Linggapati tersenyum meskipun ia masih tetap tidak berpaling. “Itu memang hakmu” berkata Empu Baladatu, “tetapi aku masih tetap ingin memberikan penjelasan dan barangkali kerja sama bagi masa depan, selagi kau tidak berputus asa karena kematian adikmu itu.”
Linggapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apa lagi yang akan kau katakan kepadaku Empu. Maaf, bahwa aku tidak dapat membawamu ke padepokanku. Jika bukan kau yang bodoh, maka pengawalmu itulah yang akan membuka rahasiaku”
“Kau tahu bahwa aku bersama pengawalku disini?”
“Mereka memang terlalu bodoh. Lihatlah, bagaimana mereka mondar mandir mengawasi aku yang berdiri di sini? Suruhlah mereka agak mengekang diri sedikit. Kau pun harus tahu bahwa di Mahibit sekarang berkeliaran petugas-petugas sandi dari Singasari.”
Empu Baladatu menarik nafas. Katanya, “Aku mengerti. Bukan saja di Mahibit tetapi juga di sekitar padepokanku. Di sekitar padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang.”
“Buat apa prajurit-prajurit sandi Singasari mengawasi padepokan-padepokan yang sudah musnah itu?”
“Sekedar dibayangi oleh ketakutan. Nah, kau tahu betapa kecutnya hati prajurit Singasari terhadap perjuangan kita?”
Linggapati tertawa. Katanya, “Kau berusaha menghibur dirimu sendiri dengan kebanggaan-kebanggaan yang kosong itu. Tetapi baiklah. Tetapi aku bukan pemimpi. Kaupun harus belajar dari pengalaman, bahwa mimpimu telah menimbulkan kenangan yang buruk. Sangat buruk”
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Sekilas dipandanginya Linggapati yang masih saja berdiri tanpa memandangnya. Terasa dada Empu Baladatu mulai bergejolak. Tetapi ia masih tetap menahan diri dan mencoba mencari jalan keluar dari keadaan itu
“Linggapati” katanya kemudian, “mungkin ada kekecewaan dihati kita masing-masing. Kau kehilangan adikmu dan barangkali beberapa orang-orangmu. Tetapi akupun telah kehilangan banyak sekali. Bahkan hampir saja diriku sendiri. Karena itu, apakah kita tidak dapat melihat ke masa depan yang lebih baik dari pengalaman kita yang pahit itu”
Linggapati termenung sejenak. Dipandanginya seorang yang duduk di kejauhan. Seorang lagi berjalan hilir mudik. “Tentu lebih dari dua orang itu” desisnya.
“Apa?” bertanya Empu Baladatu
“Pengawalmu”
Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab.
“Kita akan berbicara” berkata Linggapati kemudian, “tetapi tidak di padepokanku. Kita akan pergi ke ujung kota ini. Kita akan duduk di bawah sebatang pohon yang rindang. Terserah kepadamu apakah pengawalmu akan mengawasimu arau tidak. Tetapi sudah tentu, kau tidak dalam pakaian, pengemis seperti itu.”
“Aku tidak dikenal dalam pakaian ini.”
“Tetapi jika kita berbicara terlalu lama. Maka kita akan dicurigai. Justru karena kau seorang pengemis.”
“Jadi”
“Aku tunggu kau di jalur jalan ini. Di luar gerbang kota”
Empu Baladatu masih akan bertanya. Tetapi Linggapati telah melangkah pergi perlahan-lahan. Sejenak Empu Baladatu memandangi langkahnya seolah-olah tidak mempunyai kepentingan apapun juga menyilang jalan dan semakin lama menjadi semakin jauh.
Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia ingin bertemu dengan Linggapati. Karena itulah maka iapun kemudian meninggalkan tempatnya dengan tidak menimbulkan kecurigaan sama sekali. Empu Baladatu kemudian kembali ke pondoknya. Ia berganti pakaian seperti pakaian orang kebanyakan. Kemudian seperti yang dijanjikannya, iapun dengan hati-hati telah pergi ke gerbang kota.
Ternyata di luar gerbang ia melihat sebatang pohon tumbuh di tepi jalan agak menjorok masuk kedalam daerah persawahan di antara sebatang parit yang mengalirkan air yang bening. Ketika ia mendekati pohon itu, ia melihat seseorang duduk di atas sebuah pematang seakan-akan sedang berteduh dari terik matahari yang membakar kulit.
Empu Baladatu termangu-mangu sejenak. Ia tahu benar bahwa orang itu adalah Linggapati. Perlahan-lahan ia mendekatinya. Dengan sengaja ia tidak memerintahkan pengawalnya untuk mengawasinya agar tidak menimbulkan salah paham.
“Kemarilah, duduklah” Linggapati itu mempersilahkan.
Keduanya pun kemudian duduk dibawah bayangan rimbunnya dedaunan, sehingga tidak seorang pun yang akan mencurigai mereka, karena orang-orang yang melihatnya tentu mengira bahwa keduanya memang sedang berteduh.
“Bukankah kau akan menceriterakan peristiwa yang pahit itu dan memberikan alasan-alasan yang dapat diterima tentang kegagalanmu?” bertanya Linggapati.
“Tidak. Aku justru berpikir lain. Agaknya hal itu tidak akan banyak menarik perhatianmu. Aku dapat membaca tanggapanmu. Kau tidak akan mempercayainya dengan sungguh-sungguh, karena kau menganggap bahwa aku hanyalah akan sekedar memperbaiki kesalahanku, minta maaf dan minta perlindunganmu”
Linggapati mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun kemudian tersenyum. Katanya, “Kau cukup sombong. Tetapi aku senang melihat sikapmu. Ternyata kau adalah seorang laki-laki yang pun ya harga diri dan kesanggupan untuk berbuat”
“Pujianmu meragukan. Tetapi baiklah. Aku mengucapkan terima kasih” ia berhenti sejenak, lalu, “Aku hanya akan sekedar memberitahukan kepadamu, bahwa satu hal yang tidak kita perhitungkan saat itu adalah bahwa di padepokan kakang Sanggadaru terdapat sekelompok prajurit yang menyamar sebagai cantrik di padepokan itu. Agaknya kakang Sanggadaru mencurigai aku dan minta perlindungan. Apalagi di padepokan itu tinggal tiga orang kakak beradik anak Mahendra. Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan yang paling berbahaya dan ternyata telah membunuh adikmu adalah Mahisa Bungalan yang bergelar pembunuh orang berilmu hitam.”
Linggapati mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sudah mendengar semuanya. Dan kau hampir dibunuh oleh kakakmu. Tetapi bahwa kau sempat lari itu agaknya telah menumbuhkan berbagai pertanyaan padaku”
“Sudahlah aku katakan. Aku membunuh penjagaku.”
Linggapati termenung sejenak, seolah-olah ia sedang mencernakan kata-kata Empu Baladatu.
“Tetapi terserah kepadamu, apakah penilaianmu terhadap pemberitahuanku itu. Apakah kau percaya atau tidak, atau bahkan sama sekali tidak berarti, aku tidak peduli. Yang penting bagiku, bagaimanakah sikapmu selanjutnya. Apakah kau masih akan melanjutkan perjuanganmu, atau kau akan berhenti sampai pada kegagalan pertama.”
Linggapati tidak segera menjawab. Tetapi ia mencoba merenungkan pertanyaan itu. Sejenak kemudian terdiam. Masing-masing tenggelam dalam angan-angannya. Mereka mulai membayangkan, apakah yang pernah terjadi, yang kini sedang berlangsung dan masa yang mendatang.
Linggapati tiba-tiba saja berdesah. Katanya, “Aku sudah kehilangan adikku. Kau dapat menduga, apakah yang sekarang berkecamuk di dalam hariku”
“Aku mengerti. Tetapi aku tidak mengerti apakah kau masih mempunyai gairah perjuangan selanjutnya. Kematian adikmu akan mencambukmu untuk berbuat lebih banyak, atau akan mematahkan hatimu sama sekali.”
“Kau sudah cukup menjengkelkan” potong Linggapati, “tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa terhadapmu. Tetapi justru karena aku tidak dapat berbuat apa-apa itulah maka aku merasa seakan-akan dadaku akan retak. Karena itu, aku harap kau tidak lagi menyinggung tentang kematian adikku dan rencanaku seterusnya. Apakah aku sudah patah, atau aku masih akan berjuang terus, itu adalah persoalanku sendiri. Tetapi jika yang kau maksud menemui aku sekarang untuk memberikan alasan-alasan kegagalanmu untuk mengurangi kesalahanmu, aku sudah mendengarnya dan aku akan mencoba mengerti”
“Kata-katamu pun menyakiti hatiku. Kaulah yang mula-mula menusuk telingaku dengan kata-kata kasar.” Empu Baladatu berhenti sejenak, lalu “tetapi baiklah. Marilah kita lupakan. Mungkin kita masih mempunyai kesempatan untuk berbicara dengan baik.”
Linggapati menarik nafas dalam-dalam. Matanya memandang kejauhan. Tetapi ia tidak segera menjawab. Empu Baladatu tidak mendesaknya. Ia pun memandang kilatan cahaya matahari yang jatuh di atas riak air yang mengalir di parit kecil di sebelah tempat mereka duduk.
“Apakah kita masih dapat berbicara?” bertanya Linggapati.
“Kenapa tidak?”
“Baiklah. Apakah yang akan kita bicarakan?”
“Masa depan”
Linggapati termenung sejenak. Lalu, “Apakah kau bermaksud menyatukan kekuatan di antara kita seperti yang pernah kita lakukan dan gagal mutlak itu?”
“Ya. Tetapi sudah tentu dengan pertimbangan yang lebih baik, sehingga kegagalan itu tidak akan tertulang lagi. Keadaan di luar perhitungan kita harus kita pertimbangkan semasak-masaknya dan tidak tergesa-gesa.”
Linggapati memandang Empu Baladatu sejenak. Katanya, “Nampaknya meyakinkan sekali.”
“Linggapati. Aku merasa bahwa aku telah membuat kesalahan. Karena itu. pada masa mendalang, kita akan membicarakan setiap langkah dengan masak. Aku sadar, bahwa yang kita hadapi adalah kekuatan raksasa yang sulit digoyahkan. Apalagi jika kita berbuat sendiri-sendiri.”
Linggapati mengangguk-angguk. Jawabnya, “Aku mengerti. Singasari benar-benar telah mapan. Tetapi Kediri pernah dihancurkan oleh Akuwu Tumapel.”
“Kau harus mempelajari peristiwa itu sebaik-baiknya.”
“Aku sudah melakukannya. Karena saat itu Kediri bergolak. Para Brahmana merasa tidak puas dan melakukan tindakan yang merugikan pemerintahan Kediri saat itu.”
“Dan kau juga akan menumbuhkan perasaan tidak puas itu dikalangan rakyat Singasari?”
Linggapati tidak menjawab. Tetapi dalam kediamannya justru tersirat tekadnya yang bulat untuk melakukan seperti yang dikatakan oleh Empu Baladatu.
“Linggapati” kata Empu Baladatu, “hatimu masih tertutup. Kau masih tetap menganggap aku seorang yang bodoh. Seorang yang tidak mampu menilai medan dan bahkan telah mengorbankan orang-orang terbaik dari beberapa lingkungan. Tetapi aku kira, aku bukan orang yang sebodoh itu,”
“Emuu” berkata Linggapati, “aku tahu bahwa pikiranmu terang. Hampir semua yang kau katakan; telah terpikirkan pula olehku, sehingga dengan jujur aku katakan, bahwa dalam menghadapi perkembangan keadaan, kita sejalan. Tetapi aku masih belum dapat melupakan kekecewaanku terhadap kematian Linggadadi, karena kematiannya benar-benar telah menyusutkan kekuatan Mahibit yang dengan susah payah aku susun untuk waktu yang lama. Orang-orang yang semula mengaguminya dan berada di bawah pengaruhnya mulai ragu-ragu, bahwa Linggadadi dapat terbunuh di peperangan. Apalagi kemudian tersebar berita, bahwa pembunuhnya adalah Mahisa Bungalan. Orang yang seperti juga Linggadadi, mendapat gelar pembunuh orang berilmu hitam.”
“Tetapi apakah kekecewaanmu itu akan tetap membayangi hatimu, sehingga kau tidak lagi dapat bangkit dan melakukan sesuatu tanpa adikmu? Kematiannya adalah suatu kenyataan. Dan kau tidak dapat ingkar dari kenyataan” Empu Baladatu berhenti sejenak, lalu, “pertimbangkan. Aku menunggu keputusanmu. Tetapi dengan atau tidak dengan kau, aku akan berjalan terus meskipun lambat dan lama.”
“Kau masih tetap sombong. Tetapi aku mengerti maksudmu. Kau ingin mendesak aku agar aku segera memberikan keputusan agar kau tidak mengambil keputusan sendiri.” Linggapati berhenti sejenak, lalu, “aku akan memikirkannya Empu. Tetapi kau tentu sudah menduga, bahwa aku akan memelihara dendam didalam hatiku atas kematian adikku. Tetapi bukankah kita tidak akan tergesa-gesa agar kita tidak terperosok kedalam neraka lagi karena kesalahan yang tidak perlu terjadi?”
“Kau benar, Dan aku pun tidak ingin memaksa agar kau cepat. mengambil keputusan. meskipun keputusan itu sudah nampak pada sikapmu.”
Linggapati menarik nafas panjang. Dipandanginya Empu Baladatu sejenak. Namun kemudian kembali ia memandang kekejauhan sambil bergumam “Kita akan bertemu lagi. Aku menunggumu di tempat ini selapan hari lagi.”
“Aku harus datang lagi ke Mahibit dan mencarimu di tempat ini? Aku mengerti, bahwa kau masih belum percaya sepenuhnya kepadaku. Tetapi apakah kau tidak akan menerimaku di padepokanmu?”
“Aku tidak mempunyai tempat tertentu sekarang. Padepokanku pun masib tetap dihuni oleh orang-orangku. Bahkan padepokanku yang semula dan sudah lama aku tinggalkan, kini telah aku pergunakan pula. Tetapi aku tidak berada di kedua tempat itu. Tidak ada seorang pun yang mengetahui, dimana kah aku tinggal. Bahkan pengawal-pengawalku yang terdekatpun tidak, selain dua orang kepercayaanku.”
“Bagaimana hubunganmu dengan orang-orangmu?”
“Kedua orang kepercayaanku merupakan penghubung yang dapat aku percaya sepenuhnya. Selain dari keduanya, aku juga sering datang kepada mereka untuk keperluan yang penting. Bagi beberapa orang, aku masih merupakan guru yang baik, yang setiap saat membina mereka dalam olah kanuragan. Aku ingin pasukanku menjadi kuat dan dapat dipercaya.”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan datang selapan hari lagi. Aku akan mendengar keputusanmu. Tetapi bahwa suasana yang tidak tenang harus ditumbuhkan di Singasari dan daerah kekuasaannya, aku tidak perlu menunggumu. Mungkin aku akan mulai dari daerah yang agak jauh dari Kota Raja. Tetapi mungkin aku akan mulai dari Kota Raja itu sendiri, karena sebenarnyalah sumber perubahan adalah di Kota Raja itu sendiri. Seperti saat-saat Ken Arok menguasai Kediri, maka seluruh wilayahnya dengan sendirinya akan tunduk kepada keadaan yang berlaku di Kota Raja.”
“Kau cerdik juga. Tetapi sudah tentu tidak semudah itu. Namun demikian, jika kau mulai, mulailah. Aku akan membuat pertimbangan-pertimbangan tersendiri.”
“Terserah kepadamu. Aku kembali ke padepokanku. Selapan hari lagi aku sudah akan berada disini. Aku ingin mendengar, apakah yang akan kau lakukan kemudian.”
Linggapati tidak menyahut. Ketika Empu Baladatu kemudian berdiri Linggapati masih tetap duduk dietmpatnya. “Aku minta diri” berkata Empu Baladatu.
Linggapati mengangguk. Katanya, “Mudah-mudahan kita dapat menemukan persesuaian betapa kekecewaan mencengkam hatiku karena kematian Linggadadi.”
Empu Baladatu pun kemudian meninggalkan tempat itu. Ketika ia berpaling maka dilihatnya Linggapati masih duduk di tempatnya. “Ia masih dicengkam oleh kekecewaan” desis Empu Baladatu. Tetapi Empu Baladatu dapat mengerti perasaan Linggapati yang seakan-akan menjadi retak karena kehilangan adiknya.
Ternyata Empu Baladatu tidak tinggal di Mahibit lebih lama lagi. Ketika ia sampai di pondokhya, maka ia pun segera mempersiapkan diri untuk kembali kepadepokannya sendiri.
“Apakah kita akan berangkat sekarang?” bertanya seorang pengawalnya.
"Bagi kita, sekarang atau besok tidak ada bedanya."
Pengawalnya tidak bertanya lagi. Sebenarnyalah bagi mereka waktu tidak banyak mempengaruhi. Seandainya mereka harus bermalam beberapa malam sekalipun di perjalanan. Mereka sama sekali tidak akan cemas.
Demikianlah setelah memberikan imbalan kepada pemilik rumah yang ditempati oleh Empu Baladatu dan para pengawalnya, agar tidak kecewa dan banyak berceritera tentang mereka, maka Empu Baladatu pun segera meninggalkan Mahibit.
“Apakah kita akan kembali singgah di padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang?” bertanya pengawalnya.
“Tidak sekarang. Jika aku kelak kembali ke Mahibit, barulah aku akan singgah di kedua padepokan itu. Sekarang waktunya masih kurang tepat. Mungkin orang-orang dari kedua padepokan itu berbuat bodoh dan menyampaikan kehadiran ku kepada prajurit-prajurit Singasari, sehingga kedua padepokan itu diawasi.”
Pengawalnya mengangguk-angguk-
“Seperti yang sudah aku katakan. Prajurit-prajurit Singasari itu akhirnya akan jemu dan menghentikan pengawasannya. Barulah kita akan singgah lagi, dan memberikan beberapa pesan kepada mereka. Jika perlu, aku dapat menakut-nakuti mereka dengan beberapa macam cara”
Demikianlah maka Empu Baladatu dan pengawalnya berpacu langsung kembali ke padepokan mereka, meskipun mereka harus bermalam di perjalanan. Di tepi hutan yang tidak begitu lebat, mereka mencari tempat yang baik untuk beristirahat. Mereka mengikat kuda mereka di tempat yang berumput, sementara mereka menyiapkan tempat untuk berbaring.
Seperti biasanya, bergantian mereka berjaga-jaga. Mungkin ada binatang buas yang mendekati, tetapi mungkin juga ada sekelompok orang yang tidak sengaja menghampiri mereka. Tetapi semalam suntuk mereka tidak menemui kesulitan sama sekali.
Menjelang fajar merekapun telah bersiap-siap. Karena mereka tidak membuat perapian, maka mereka minum air langsung dari sebuah belik di bawah sebatang pohon preh yang besar. Terasa air itu sangat dingin. Tetapi karena mereka merasa haus, maka seteguk air itu rasa-rasanya membuat tubuh mereka menjadi segar.
“Kita akan mencari makan di sepanjang perjalanan” berkata Empu Baladatu.
Demikianlah, maka mereka pun segera melanjutkan perjalanan kembali ke padepokan sendiri.
Dalam pada itu. Orang-orang dari padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang masih saja dicengkam oleh kehingungan. Apakah yang sebaiknya mereka lakukan. Mereka merasa bahwa mereka telah tidak mempunyai kekuatan lagi untuk berbuat sesuatu. Kegagalan serangan mereka pada padepokan Empu Sanggadaru membuat mereka seakan-akan lumpuh sama sekali Bukan saja kekuatan pasukan mereka, tetapi juga hati mereka bagaikan telah patah.
Apalagi karena sikap para prajurit Singasari yang justru diluar dugaan mereka. Para prajurit itu tidak mendera mereka dengan rotan, dan menghukum picis di perapatan. Tetapi justru mereka mendapat kesempatan untuk kembali kepadepokan dan mulai dengan kehidupan wajar. Meskipun mereka merasa kekurangan walaupun mereka sudah bekerja berat, tetapi rasa-rasanya hati mereka menjadi semakin tentram.
Dalam keadaan yang demikian itulah Empu Baladatu datang dan mulai mengguncang padepokan itu dengan cita-citanya yang melambung setinggi awan dilangit. Tetapi yang dilandasi dengan sikap yang salah, karena baginya segala cara akan dipergunakan untuk mencapai maksudnya. Benar atau salah.
“Kita tidak akan dapat memilih” salah seorang dari kelompok Serigala Putih mengeluh di antara mereka.
“Ya, Kita tidak dapat memilih. Jika kita menentang ke hendak Empu Baladatu maka akibatnya akan sangat parah bagi kita.”
Kawan-kawannya merenung sejenak. Lalu tiba-tiba saja salah seorang bertanya, “Bagaimana dengan orang-orang Macan Kumbang?”
Yang lain terdiam. Meskipun mereka telah bekerja bersama dalam beberapa hal dibawah pimpinan Empu Baladatu, namun rasa-rasanya masih saja ada jurang pemisah di antara mereka.
“Masih ada satu pilihan” berkata seorang yang sudah separuh baya, “kita melaporkannya kepada prajurit Singasari. Kita menyerahkan semuanya kepada mereka, dan kita mohon untuk mendapatkan perlindungan.”
Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi salah seorang dari mereka bertanya, “Kita memang dapat mempercayakan keselamatan kita kepada para prajurit Singasari. Tetapi sampai kapan mereka akan melindungi kita. Pada saatnya mereka akan melepaskan kita. Mungkin sebulan, mungkin setahun. Apakah kita percaya bahwa dendam Empu Baladatu terhadap para prajurit Singasari atas kegagalannya itu akan padam dalam satu dua tahun?”
Beberapa orang diantara mereka saling berpandangan. Salah seorang tiba-tiba saja berdesis, “Satu atau dua tahun mendatang, Empu Baladatu akan datang dan menumpas kita semua dengan anak-anak kita. Kita akan kehilangan kesempatan untuk menyambung nama kita, dan riwayat kita pun akan terputus karenanya.”
Sejenak mereka pun terdiam. Mereka dihadapkan kepada pilihan yang sulit. Seakan-akan apa yang mereka lakukan semuanya serba salah. Namun tiba-tiba salah seorang yang mereka anggap orang yang mereka segani berkata,
“Bagiku, apapun yang akan terjadi, aku lebih senang pasrah kepada prajurit Singasari. Seandainya kelak kita akan musna sekalipun, rasa-rasanya aku tidak berkeberatan.”
Beberapa orang menjadi tegang. Namun salah seorang dari mereka menyambung, “Aku sependapat. Kita masih belum yakin apakah Empu Baladatu masih akan kembali.”
“Ia tentu akan kembali” desis yang lain.
“Biarlah ia kembali, Betapapun besar dendamnya, maka ia tentu akan lebih mementingkan perjuangannya daripada membunuh kita yang sudah tidak akan dapat diharapkan lagi. Jika ia mengancam itu, tentu ia hanya sekedar menakut-nakuti kita, agar kita tetap bersedia menyumbangkan beberapa puluh nyawa bagi keinginannya kelak Kita masih harus mengorbankan seseorang di setiap bulan, saat purnama naik. Meskipun kita disebut golongan hitam pula, tetapi kita tidak pernah melakukannya sebelumnya,”
“Aku sependapat.” teriak seorang yang masih terhitung muda yang berdiri di belakang kawan-kawannya.
Yang lain. berpaling. Namun agaknya suaranya cukup menyentuh hati beberapa orang yang lain, sehingga hampir bersamaan beberapa orang berkata, “Aku sependapat, Sebaiknya, kita melaporkannya saja kepada prajurit Singasari.”
“Nah. jika demikian, siapakah yang akan pergi ke Singasari?”
“Tidak usah ke Singasari” sahut yang lain, “beberapa orang di antara kita akan pergi kepadepokan Empu Sanggadaru. Di sana tentu masih ada sekelompok prajurit Singasari yang bertugas. Biarlah mereka yang melaporkannya kepada pimpinan prajurit di Singasari.”
Yang lain mengangguk-angguk. Agakya memang tidak ada jalan yang lebih baik yang dapat mereka tempuh selain minta perlindungan kepada prajurit Singasari. Demikianlah, maka mereka pun telah memilih, siapkah yang akan pergi kepadepokan Empu Sanggadaru, untuk menyampaikan persoalan mereka kepada para prajurit.
“Mungkin kami akan bertemu dengan Empu Baladatu di sepanjang jalan, sehingga kami tidak akan pernah sampai ke padepokan Empu Sanggadaru dan tidak akan pernah kembali Jika dalam sepekan kami tidak kembali, kirimkan kelompok kedua menyusul kami, meskipun mungkin akan mengalami nasib yang sama. Tetapi kalian dapat berusaha mengirim jumlah yang lebih besar.” berkata pemimpin kelompok yang akan pergi kepadepokan Empu Sanggadaru.
Sekelompok kecil yang dipilih diantara orang-orang Serigala Putih dan berjumlah empat orang pun segera mempersiapkan diri Meskipun mereka tidak mempersiapkan kelompok kecil itu untuk bertempur, namun mereka merasa perlu untuk membawa senjata.
“Jika terpaksa kami pun harus membela diri terhadap siapapun juga” berkata pemimpin kelompok itu.
Setelah semua persiapan selesai, maka berangkatlah ke empat orang itu diiringi oleh debar jantung setiap orang di dalam padepokan yang sudah lumpuh itu. Mereka memandang keempat ekor kuda yang berpacu meninggalkan regol padepokan sampai hilang ditikungan.
“Mudah-mudahan mereka sampai ke tujuan dan kembali dengan selamat” desis salah seorang dari mereka yang terdiri di regol.
“Kita semua mengharapkannya.” sahut yang lain. Demikianlah ke empat orang itu berpacu dengan kecepatan yang tinggi. Mereka ingin segera mencapai sasaran. Apa pun yang terjadi, tetapi jika mereka telah berada di padepokan Empu Sanggadaru, maka rasa-rasanya tugasnya sudah dapat mereka tunaikan sebaik-baiknya.
Ternyata bahwa di sepanjang jalan yang cukup panjang itu, kelompok kecil itu tidak mengalami gangguan apapun juga. Ketika dari kejauhan mereka memasuki jalur jalan yang menuju ke padepokan Empu, Sanggadaru, rasa-rasanya hati mereka menjadi tenang. Tetapi terasa sesuatu bergetar juga ketika mereka melalui jalan di sebelah tebing yang terjal. Mereka melihat seolah-olah sungai yang muncul dari dalam tanah.
“Sungai itu memang melalui bawah tanah” berkata pemimipin kelompok kecil itu
“Ya. Dan kebetulan melalui padepokan Empu Sanggadaru” jawab yang lain.
“Bahkan ada beberapa lubang seperti sumur yang langsung sampai ke arus sungai di bawah tanah itu” pemimpin kelompok itu melanjutkan.
Yang lain tidak menyahut lagi. Tetapi mereka membayangkan betapa ngerinya seseorang yang terperosok masuk kedalam sumur yang sampai ke jalur sungai di bawah tanah. Sejenak kemudian, maka mereka pun telah sampat ke depan regol padepokan Empu Sanggadaru. Ternyata bahwa regol itu tetap terbuka. Dua orang penjaga agaknya telah melihat kedatangan keempat orang itu, sehingga dengan sebuah isyarat, beberapa orang pengawal yang lain telah berada di sebelah menyebelah regol itu pula.
Tetapi karena keempat orang berkuda itu tidak menunjukkan gejala-gejala yang mencurigakan, maka para penjaga itupun menerima mereka dengan wajar meskipun dengan penuh kewaspadaan.
“Siapkah kalian?” bertanya penjaga regol.
“Kami adalah orang-orang dari padepokan Serigala Putih” jawab pemimpin kelompok itu.
Penjaga itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun tahu, bahwa orang-orang Serigala Putih sudah tidak berbahaya lagi setelah kekuatan mereka yang terbesar dihancurkan hampir mutlak.
Keempat orang yang sudah turun dari kudanya itu pun kemudian berjalan mendekat. Pemimpinnya berkata pula “Kami ingin menghadap pimpinan prajurit Singasari yang berada di padepokan ini.”
Para penjaga regol dan para pengawal yang telah berada di depan regol itu termangu-mangu sejenak. Salah seorang pengawal itupun bertanya “Apakah keperluanmu?”
“Kami mohon perlindungan.”
“Perlindungan? Kenapa?”
“Sebenarnyalah bahwa kami sudah tidak mempunyai kekuatan yang berarti. Semuanya akan aku sampaikan kepada pemimpin prajurit Singasari.”
Beberapa orang pengawal saling berpandangan. Namun salah seorang berkata, “Baiklah, marilah naik ke pendapa. Aku akan menyampaikannya kepada pemimpin prajurit Singasari”
Keempat orang itupun kemudian dibawa masuk ke halaman padepokan yang luas. Tetapi halaman itu tidak lagi sepi dan seolah-olah diselubungi oleh rahasia yang tidak banyak diketahui orang. Kini halaman itu nampak lebih ramai. Apalagi karena beberapa orang prajurit ada di padepokan itu. Bahkan bukan saja para prajurit dan para cantrik, tetapi bergiliran para pengawal dari padepokan di sekitarnya yang berada di bawah pengaruh padepokan itu pun berada dihalaman itu pula.
Ternyata pemimpin prajurit Simgasari tidak berkeberatan untuk menerima mereka. Dengan terus terang, keempat orang itu pun menceriterakan tugas mereka untuk menghadap pemimpin prajurit Singasari itu. Mereka menceriterakan, bahwa orang-orang di padepokannya sedang dicengkam oleh kecemasan, justru karena munculnya Empu Baladatu.
“Empu Baladatu” pemimpin prajurit Singasari itu bergumam, “Menarik sekali. Tetapi agaknya Empu Sanggadaru baik juga untuk mendengarnya,”
Orang-orang Serigala Putih itu sama sekali, tidak berkeberatan. Pemimpin kelompok kecil itu pun berkata, “Kebetulan sekali jika Empu Sanggadaru sempat mengetahui, bahwa adiknya yang melarikan diri itu ternyata telah mulai lagi dengan kegiatannya yang mendebarkan.”
“Ya. Tetapi agaknya berita ini akan menyusahkan Empu Sanggadaru, Namun ia wajib mengetahuinya.”
Sebenarnyalah, bahwa ketika Empu Sanggadaru telah berada di pendapa dan mendengar berita tentang adiknya, ia menjadi termangu-mangu. Bagaimanapun juga Empu Baladatu adalah adiknya. Tetapi tingkah laku dan perbuatannya benar-benar tidak dapat dimaafkannya lagi.
“Terserahlah kepada keputusan pimpinan prajurit di Singasari” berkata Empu Sanggadaru kemudian, “ia adalah cuplak andeng-andeng bagiku, yang tidak terletak di tempat yang sewajarnya. Karena itulah, maka jika perlu dicungkil, maka aku tidak akan dapat berkeberatan.”
Pemimpin prajurit Singasari di padepokan itu pun termangu-mangu. Ia dapat mengerti, betapa kebingungan telah mencekam hati Empu Sanggadaru, bagaimana ia harus memperlakukan adiknya.
“Kita harus mengatasi kesulitan yang mungkin dapat timbul atas padepokan Serigala Putih” berkata pemimpin prajurit itu.
“Kami selalu dibayangi oleh ketakutan. Kami sudah tidak mempunyai kekuatan lagi seandainya kemudian Empu Baladatu datang dengan pasukannya, meskipun hanya sepasukan kecil. Apalagi Empu Baladatu tahu benar, betapa lemahnya kami. Tetapi bahwa yang lemah itu akan dapat dipaksa berhimpun, maka memang akan dapat menumbuhkan landasan kekuatan bagi Empu Baladatu.”
“Baiklah” berkata prajurit itu, “persoalanmu akan kami sampaikan secepatnya ke Singasari. Secepatnya pula Singasari akan mengambil keputusan bagi padepokanmu.”
“Terima kasih” jawab pemimpin kelompok kecil dari padepokan Serigala Putih itu, “kami menunggu. Meskipun kami akan selalu gelisah. Setiap saat Empu Baladatu dapat muncul dan memusnakan kami semuanya”
“Yang akan kami lakukan mula-mula adalah mengirimkan pasukan yang akan melindungi padepokan kecilmu” berkata pemimipin prajurit Singasari itu, “tetapi sudah barang tentu tidak akan selamanya. Kalian harus menemukan cara untuk mengatasi kesulitan itu, karena prajurit Singasari itu pada suatu saat tentu akan ditarik kembali. Apalagi apabila ada peristiwa yang gawat bagi keselamatan negara,”
“Terima kasih. Aku kira, jalan itulah yang memang kami harapkan. Untuk mengatasi persoalan itu, sebelum diketemukan cara yang lain adalah perlindungan langsung seperti yang akan dilakukan itu”
“Kembalilah ke padepokanmu. Aku akan segera pergi ke Singasari.”
Namun dalam pada itu, sebelum orang-orang dari padepokan Serigala Putih beranjak dari tempatnya, sekelompok kecil orang-orang berkuda telah datang pula ke padepokan Empu Sanggadaru. Beberapa orang pengawal dan prajurit telah bersiap-siap pula menghadapi segala kemungkinan. Ternyata mereka adalah orang-orang dari padepokan Macan Kumbang.
Dengan ragu-ragu orang-orang dari padepokan Macan Kumbang itu pun dipersilahkan pula naik kependapa. Bagaimanapun juga kehadiran orang-orang Serigala Putih telah membuat mereka menjadi berdebar-debar. Demikian pula orang-orang Serigala Putih menjadi gelisah pula. Mereka belum tahu. apakah maksud kedatangan orang-orang dari padepokan Macan Kumbang itu.
“Apakah sebabnya kalian datang kepadepokan ini?” bertanya Empu Sanggadaru.
Orang-orang yang baru datang itu ragu-ragu. Tetapi Empu Sanggadaru telah mendesaknya, “Katakan. Siapapun yang ada di pendapa ini. Aku tahu, bahwa gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang sejak waktu yang lama Ttdak dapat dipersatukan. Meskipun kalian telah bekerja bersama dibawah pengaruh Empu Baladatu, namun dalam keadaan yang lain, kalian masih tetap saling mencurigai”
Orang-orang dan Macan Kumbang itu menjadi semakin bimbang Namun akhirnya pemimpin kelompok kecil itu memutuskan untuk mengatakan saja persoalan mereka. Ketika mereka mengemukakan persoalan yang telah terjadi, sehubungan dengan kehadiran anPu Baladatu, maka orang-orang dari padepokan Serigala Putih menarik nafas panjang. Ternyata orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang itu menghadapi persoalan yang sama.
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk- Katanya, “Ketahuilah Ki Sanak dari padepokan Macan Kumbang. Saudara-saudara kita dari padepokan Serigala Putih yang datang beberapa saat lebih dahulu itu pun mempunyai persoalan yang serupa. Mereka juga telah digelisahkan oleh munculnya Baladatu di padepokan mereka, sehingga mereka memerlukan perlindungan dari prajurit Singasari.”
Kedua kelompok yang saling menyegani itu hanya dapat saling berpandangan sejenak. Namun merekapun kemudian menundukkan kepala mereka dalam-dalam. Jawaban yang kemudian diberikan oleh pemimpin prajurit Singasari di padepokan Empu Sanggadaru itu tidak menyimpang dari jawaban yang juga diberikan kepada gerombolan Serigala Putih. Secepatnya prajurit Singasari akan mengirimkan sepasukan prajurit yang akan melindungi padepokan itu dari kemungkinan yang buruk, apabila Empu Baladatu akan mempergunakan kekerasan.
“Tetapi seperti yang sudah kami katakan, bahwa pasukan Singasari itu terbatas sekali waktunya. Karena itu, maka kalian pun harus mencari pemecahan, cara yang sebaik-baiknya untuk melindungi diri sendiri.”
Orang-orang dari padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang itu hanya dapat mengangguk-angguk saja meskipun mereka sama sekali belum mempunyai gambaran, cara yang manakah yang akan mereka tempuh.
Demikianlah setelah pemimpin prajurit Singasari dan Empu Sanggadaru memberikan beberapa pesan, maka kedua kelompok itupun minta diri. Namun meskipun mereka meninggalkan regol padepokan itu bersama-sama, tetapi ternyata bahwa mereka tidak bersama-sama untuk seterusnya. Kelompok Macan Kumbang telah memperlambat kuda mereka, sehingga kelompok Serigala Putih telah mendahuluinya. Ternyata bahwa kedua kelompok itu masih belum dapat bekerja bersama sebaik-baiknya.
Sepeninggal kedua kelompok itu, maka pemimpin prajurit Singasari di padepokan Empu Sanggadaru itupun segera menunjuk beberapa orang yang akan menyampaikan laporan tentang munculnya Empu Baladatu di sekitar padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang. Ia sendirilah yang akan memimpin kelompok kecil itu.
Pagi-pagi benar dihari berikutnya, maka sekelompok kecil prajurit Singasari itu pun telah berpacu ke Kota Raja. Mereka menganggap munculnya Empu Baladatu bukannya soal yang dapat diabaikan. Jika Empu Baladatu belum merasa pulih dan memiliki kekuatan yang cukup, ia tidak akan memancing perhatian siapapun juga.
Ternyata bahwa laporan prajurit itupun mendapat perhatian yang cukup bersungguh-sungguh. Para pemimpin prajurit Singasari menganggap bahwa hal itu tidak dapat diterima sepintas lalu. Karena itulah, maka merekapun sependapat untuk mengambil langkah sementara yang cepat.
Dalam waktu singkat Singasari telah menyiapkan dua pasukan kecil yang akan dikirim ke Padepokan Serigala Putih dan ke Padepokan Macan kumbang. Mereka untuk sementara akan ditempatkan dikedua padepokan itu dibawah pimpinan seorang Senapati yang mumpuni, karena Singasari sadar, bahwa yang harus mereka perhatikan adalah Empu Baladatu dan Linggapati dan Mahibit.
“Biarlah anak-anak Mahendra yang berada di padepokan Empu Sanggadaru ikut bersama mereka” berkata Mahisa Agni, “dengan demikian maka mereka akan mendapat pengalaman yang lebih luas. Jika Mahisa Bungalan berada di padepokan Serigala Putih, biarlah Mahisa Murtì dan Mahisa Pukat berada di padepokan Macan Kumbang atau sebaliknya. Aku kelak yang akan memberitahukan kepada ayahnya.”
Agaknya para pemimpin prajurit dari kedua pasukan itu tidak menentangnya, bahkan mereka menerima dengan senangnati, karena mereka sudah mengetahui kemampuan ketiga anak muda itu
Prajurit Singasari tidak menunda lebih lama lagi. Mereka segera bersiap-siap. Mereka membawa selain senjata, juga perlengkapan-perlengkapan yang lain, karena mereka mengetahui bahwa kedua padepokan itu adalah padepokan yang sebenarnya miskin. Tanpa melakukan pekerjaan yang menentang ketertiban, maka mereka sulit untuk mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari.
Tetapi di saat-saat terakhir mereka harus bekerja keras, karena mereka sadar, bahwa jika mereka melakukan kejahatan, maka mereka akan mengalami kesulitan yang semakin parah.
Ternyata pasukan itu tidak menunggu fajar. Justru mereka meninggalkan Kota Raja saat matahari mulai terbenam. Dengan demikian maka tidak banyak orang yang melihat iring-iringan itu, sehingga tidak banyak pula orang yang digelisahkan karenanya. Iring-iringan pasukan akan dapat menumbuhkan berbagai pertanyaan, karena orang-orang di Kota Raja menganggap bahwa keadaan Singasari adalah tenang dan tenteram.
Pasukan itu tidak langsung menuju ke padepokan Serigala Putih dan padepokan Macan Kumbang. Tetapi mereka singgah dahulu di padepokan Empu Sanggadaru. Karena menurut perintah para pemìmìpin di Singasari, padepokan Empu Sanggadaru akan merupakan pasukan induk yang memegang pimpinan dari pasukan yang ada di ketiga padepokan itu.
Setelah beristirahat sehari di padepokan Empu Sanggadaru, serta menyampaikan pesan Mahisa Agni kepada Mahisa Bungalan dan kedua adiknya yang akan mengikuti kedua pasukan yang akan ditempatkan di padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang, maka kedua pasukan itupun telah melanjutkan perjalanan ketujuan masing-masing.
Mahisa Bungalan berada diantara pasukan yang akan tinggal di padepokan Serigala Putih, sedangkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan berada di antara pasukan yang menuju kepdepokan Macan Kumbang
Kedua pasukan itu menyadari tugas yang akan mereka pikul. Bukan saja tugas yang mempunyai kemungkinan yang sangat pahit, jika orang-orang Empu Baladatu atau orang-orang dari Mahibit datang ke padepokan itu, tetapi selama berada di padepokan itu, merekapun akan berprihatin karena mereka akan tinggal di daerah yang kekurangan.
Tetapi seperti pesan para pemimpin dan Empu Sanggadaru, Bahwa para prajurit itu tidak harus menyerah kepada keadaan. Mungkin orang-orang di padepokan itu kurang dapat menaggapi alam di sekitarnya, sehingga masih mungkin dapat digali hasil alam bagi kebutuhan mereka.
Kedatangan pasukan kecil dari Singasari itu telah disambut dengan gembira oleh orang-orang dari kedua padepokan itu. Meskipun kemudian mereka mulai berpikir, bagaimana mereka dapat menyediakan makan bagi para prajurit itu.
Sehenarnyalah seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni, bahwa kedua padepokan itu belumlah lumpuh sama sekali. Tetapi perasaan mereka sendirilah yang membuat mereka seolah-olah mutlak tak berdaya.
Prajurit Singasari yang datang kedua padepokan itu, pertama-tama mengatur dan menempatkan diri didalam padepokan itu. Ternyata bahwa mereka bukanlah prajurit-prajurit yang manja. Tetapi mereka benar-benar prajurit medan yang dapat menyesuai kan diri dengan segala keadaan.
Demikian pula prajurit-prajurit Singasari yang berada di kedua padepokan yang terpisah, tetapi yang keadaannya hampir sama. Prajurit-prajurit Singasari tidak menuntut tempat yang paling baik bagi mereka. Sehingga karena itulah maka orang-orang di kedua padepokan itu justru menjadi semakin segan.
Sementara itu kedua kelompok prajurit yang berada di kedua padepokan itupun segera mengatur kesiagaan di luar pengetahuan orang-orang dari kedua padepokan itu, karena tidak mustahil bahwa yang mereka hadapi adalah justru sebuah jebakan. Di dalam beberapa buah pondok yang terpisah, prajurit-prajutir itu mengadakan penjagaan yang terselubung, yang tidak nampak dari luar pondok mereka. Tetapi yang setiap saat dapat bergerak dan menyiapkan seluruh pasukan yang ada.
Di setiap pondok yang ditempati oleh prajurit-prajurit Singasari itu selalu ada seorang yang akan tetap bangun meskipun di malam hari. Bergantian mereka akan berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan.
Pemimpin-pemimpin mereka selalu memperingatkan, “Tidak mustahil bahwa pada suatu saat Empu Baladatu benar-benar datang dengan pasukan segelar sepapan”
Karena itulah, maka setiap prajurit tidak terpisah dari senjata masing-masing setiap saat. Setelah mapan, maka barulah para prajurit itu sempat bertemu dan berbicara dengan para pemimpin padepokan. Menilik sikap dan pembicaraan mereka, maka agaknya mereka telah berkata dengan jujur, bahwa Empu Baladatu telah datang dan membuat padepokan-padepokan itu menjadi gelisah.
Di padepokan Serigala Putih Mahisa Bungalan bersama pemimpin prajurit Singasari mulai melihat-lihat isi padepokan itu. Mereka melihat beberapa orang laki-laki yang tegap dan kuat, tetapi berwajah pucat dan selalu menyingkir jika mereka berpapasan. Tatapan mata mereka yang tunduk dan selalu menghindar memberikan kesan tersendiri kepada Mahisa Bungalan dan pemimpin prajurit Sinagasari itu.
Kepada pemimpin padepokan Serigala Putih, pemimpin prajurit Singasari itu minta untuk diperkenalkan kepada setiap orang laki-laki yang ada di padepokan itu dikeesokan harinya. Demikianlah, ketika matahari mulai terbit, maka setiap laki-laki di padepokan Serigala Pulih lelah berkumpul.
“Jumlah mereka masih cukup banyak” desis pemimpin prajurit itu, “tetapi hati mereka telah susut sebesar gelugut kolang-kaling. Mereka sama sekali sudah tidak mempunyai keberanian untuk berbuat sesuatu. Karena itulah maka mereka menjadi bingung dan kehilangan pegangan ketika Empu Baladatu memperlihatkan dirinya.”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Desisnya, “Mereka harus menyadari tentang diri mereka sendiri, bahwa mereka masih mempunyai kekuatan. Tetapi dengan hati-hati, agar tidak membangunkan mereka kembali dari mimpi buruknya, dan kembali kejalan yang sesat itu.”
Pemimpin prajurit Singasari mengangguk. Ia sependapat bahwa kebangkitan jiwa orang-orang padepokan Serigala Putih tidak boleh membawa mereka kembali kejalan yang salah. Ketika setiap laki-laki sudah berkumpul maka mulailah pemumpin prajurit Singasari itu memperkenalkan diri. Ia juga memperkenalkan beberapa orang perwira yang ada di dalam pasukannya. Dan tidak ketinggalan Mahisa Bungalan pembunuh orang-orang berilmu hitam.
“Mungkin di antara kalian sudah mengenal” berkata pemimpin prajurit Singasari itu, “apalagi yang melihat sendiri, bagaimana ia membunuh Linggadadi yang juga bergelar pembunuh orang berilmu hitam.”
Beberapa orang mengangkat wajahnya memperhatikan wajah Mahisa Bungalan. Namun sejenak kemudian mereka pun segera menunduk. Apalagi mereka yang benar-benar melihat, bagaimana Mahisa Bungalan berhasil membinasakan Linggadadi yang seakan-akan tidak terkalahkan. Dengan singkat pemimpin prajurit itu menguraikan maksud kehadirannya. Atas permintaan pimpinan padepokan itu, maka prajurit Singasari itu berada di padepokan Serigala Putih.
“Sama sekali bukan maksud untuk menguasai padepokan ini. Kami tidak akan datang, jika kalian tidak menginginkan. Kami mencoba memenuhi keinginan sekalian untuk sekedar bersama-sama menghadapi kemungkinan yang dapat terjadi dipadepokan ini."
Laki-laki yang ada di halaman padepokan itu mengangguk-angguk kecil. Kehadiran prajurit Singasari itu memang, membuat hati mereka menjadi tenang.
“Tetapi” berkata pemimpin prajurit itu, “sudah barang tentu bahwa tidak selamanya kami dapat berada di sini. Kami hanya akan melindungi kalian selama kalian masih belum mampu melindungi diri sendiri.” wajah-wajah itu menegang sejenak, lalu, “Tetapi kami tidak tergesa-gesa”
Pemimpin prajurit itu berbicara beberapa lama di hadapan setiap laki-laki. Tetapi ia masih belum menyinggung kemungkinan yang masih harus diperhitungkan.
“Bekerjalah dengan tenang. Kami berada di tengah-tengah kalian. Lakukanlah apa yang harus kalian lakukan sehari-hari. Bahkan kami akan membantu sejauh dapat kami lakukan.”
Kehadiran para prajurit itu, membuat orang-orang di kedua padepokan yang telah dihantui oleh Empu Baladatu itu menjadi tenang. Mereka dapat bekerja seperti tidak ada persoalan apapun yang menggelisahkan mereka. Namun demikian mereka sadar, sehingga setiap teringat oleh mereka, maka mereka pun menjadi berdebar-debar. Prajurit-prajurit Singasari itu pada suatu saat tentu akan meninggalkan mereka kembali ke Singasari.
Dalam pada itu, dihari-hari pertama prajurit Singasari itu masih tetap memisahkan diri. Mereka sekedar melihat cara hidup orang-orang di kedua padepokan itu. Mahisa Bungalan sekali-kali menemui orang-orang padepokan itu dan bertanya beberapa hal mengenai kehidupan mereka. Sementara di padepokan Macan Kumbang Mahisa Pukat dan Mahisa Murti mulai ke luar dari padepokan untuk mengenal lingkungan.
“Jangan pergi terlalu jauh” berkata pemimpin prajurit Singgasari yang menyadari bahwa keduanya masih terlalu muda. Meskipun keduanya telah menyimpan ilmu yang dapat dibanggakan di dalam diri mereka, namun daerah asing itu tetap merupakan daerah yang berbahaya.
Tanpa meninggalkan kewaspadaan dan kesiagaan menghadapi segala kemungkinan, pada hari-hari berikutnya prajurit-prajurit Singasari berusaha mengenal kehidupan orang-orang di kedua padepokan itu semakin dekat. Mereka mulai melihat tanah garapan dan usaha mereka untuk mendapatkan hasil yang dapat mereka makan sehari-hari.
“Tanah masih sangat luas” berkata seorang prajurit, “tetapi mereka membatasi diri pada tanah yang sudah mereka garap sejak lama.”
“Nampaknya tidak ada usaha baru sama sekali. Padahal penilaian kami. mereka bukannya orang yang malas.”
“Ya. Mereka bekerja keras.”
Hal itu telah menjadi bahan pembicaraan para prajurit yang berada di padepokan Serigala Putih, sehingga pemimpin prajurit Singasari itu berkata “Apakah kita dapat mengatakan kepada mereka, bahwa mereka harus berani membuka tanah baru?”
“Aku kira hal Itu lebih baik. Tetapi kita harus memper hitungkan masa depan mereka. Tentu para prajurit tidak akan berada di daerah ini selanjutnya, sehingga pembukaan tanah baru itu sekaligus akan dapat memberikan kemungkinan bagi mereka untuk menjaga diri sendiri.” Sahut Mahisa Bungalan.
“Bagaimana kita akan dapat menghubungkan pembukaan tanah baru dengan kemampuan menjaga diri sendiri?”
“Pertama, kita harus menumbuhkan kepercayaan kepada diri sendiri, tetapi dalam pengertian yang tidak merugikan pihak lain. Maksudku, bukan untuk melakukan kerja seperti yang pernah mereka lakukan.”
Pemimpin prajurit itu menggangguk-angguk Katanya, “Maksudmu, jika mereka berhasil membuka tanah baru, maka mereka akan merasa bahwa diri mereka masih berharga?”
Pemimpin prajurit itu mengangguk-angguk pula. Tetapi katanya, “Tetapi dengan demikian bukan berarti bahwa mereka akan menjadi mampu menjaga diri sendiri.”
“Dua padepokan ini sampai saat ini merupakan dua lingkungan yang seakan-akan mutlak terpisah. Bahkan saat-saat mereka menyerbu kepadepokan Empu Sanggadarupun mereka tidak dapat luluh menjadi satu. Masing-masing berada didalam kelompok dan lingkungannya. Demikian juga orang-orang Mahibit,” Mahisa Bungalan berhenti sejenak, lalu, “kita harus mencari jalan agar keduanya pada suatu saat dapat menjadi satu dan merasa berkewajiban untuk bekerja bersama.”
“Bagus sekali Tetapi kita harus menemukan cara yang sebaik-baiknya. Itulah yang sulit.”
“Mumpung kita baru beherapa waktu disini. Kita masih mempunyai waktu panjang. Kita dapat menganjurkan kepada kedua padepokan itu untuk membuka tanah baru dan hidup dalam satu padukuhan yang luas dengan tanah garapan yang cukup.”
Pemimipin prajurit itu termenung sejenak. Namun kemudian iapun menyahut, “Memang mungkin. Kedua kelompok yang lemah ini akan menjadi kuat. Apalagi jika ada orang orang lain yang bersedia berada di antara mereka.”
“Kita dapat mencoba” berkata Mahisa Bungalan.
“Akan kita bicarakan dengan pimpinan prajurit yang ada di padepokan Macan Kumbang. Jika ia setuju, kita akan menghadap pemimpin yang lebih tinggi lagi di padepokan Empu Sanggadaru”
Demikianlah pendapat Mahisa Bungalan itu pun menjadi sebuah pembicaraan. Bahkan pembicaraan itu pun telah berkembang lebih jauh. Empu Sanggadaru yang sependapat dengan usul itu berkata, “Jika memang akan membuka tanah baru dan tidak terlalu jauh dari padepokanku, maka aku kira pada suatu saat tanah yang baru itu akan berhubungan langsung dengan padukuhan-padukuhan kecil yang berada di sekitar padepokan ini. Orang-orang dipadukuhan-padukuhan kecil itu seolah-olah telah menjadi keluargaku. Dan mereka tentu akan dapat diajak bekerja bersama.”
“Itupun tidak mustahil. Orang-orang Macan Kumbang akan membuka hutan tidak jauh dari padepokan Empu Sanggadaru. Sedang orang-orang padepokan Serigala Putih akan melakukan hal yang sama. Mungkin untuk waktu sepuluh sampai dua puluh tahun masih terasa pemisahan antara kedua keluarga besar itu. Tetapi mereka akan merasa perlu untuk saling menolong jika mereka masing-masing berada dalam kesulitan. Demikian pula dengan orang-orang di padepokan dan padukuhan di sekitar padepokan ini” sahut Mahisa Bungalan, lalu katanya salanjutnya, “pada suatu saat mereka semua akan menganggap sebagai kiblat hidup mereka.”
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Tetapi ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Mudahkan demikian. Jika yang terjadi sebaliknya, Mereka kemudian bersatu dan mencekik aku?”
“Ah, tentu tidak. Orang-orang dari kedua padepokan itu kini benar-benar telah merasa dirinya lumpuh dan tidak berdaya. Kita harus berusaha membangkitkan mereka sekaligus mengarahkan jalan pikiran mereka, tetutama pada tataran hidup yang berikut. Pada anak-anak yang masih remaja diantara mereka, dan pada tataran yang lebih kecil.”
Pembicaraan yang berlangsung di padepokan Empu Sanggadaru itu pun kemudian mencapai satu kesimpulan bahwa orang-orang dari padepokan Serigala Putih dan dari padepokan Macan Kumbang akan diusahakan untuk bersedia bekerja keras, membuka hutan baru dan hidup dalam lingkungan padukuhan biasa. Bukan lagi hidup dalam lingkungan tertutup seperti di padepokan mereka. Dengan demikian diharapkan suatu suasana yang baru sehingga dapat mempermudah pengarahan bagi pandangan hidup mereka di masa depan, terutama pada anak-anak mereka.
“Mudah-mudahan rencana ini dapat berjalan lancar” berkata para perwira prajurit Singasari di ketiga padepokan itu.
Ketika para pemimpin prajurit yang berada di padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang kembali ke padepokan, mereka mulai membicarakan cara-cara yang paling tepat untuk menyampaikan rencana mereka kepada orang-orang padepokan itu.
Bagi orang-orang padepokan Serigala Putih, Mahisa Bungalan mulai dengan ikut serta bekerja di ladang mereka yang tidak memberikan banyak harapan. Perlahan-lahan ia mencoba menjajagi pendapat orang-orang di padepokan itu. Apakah mereka tidak menginginkan masa depan yang lebih baik. Tanah garapan yang lebih luas dan subur, sehingga penghasilan mereka cukup memberi jaminan hidup bagi keluarga mereka dalam keseluruhan.
“Tentu” jawab orang-orang Serigala Putih, “setiap orang tentu merindukan kehidupan yang lebih baik. Kami tidak menyembunyikan cacat dan cela kami. Kami memang tidak banyak memperhatikan sawah dan ladang di masa lampau, karena kami sering mengembara dan memungut saja kebutuhan kami di daerah pengembaraan kami.”
“Tetapi bukanlah kalian tidak ingin kembali dalam tata kehidupan seperti itu?”
“Tidak, tentu tidak. Itulah sebabnya kami mohon perlindungan prajurit Singasari ketika Empu Baladatu mulai muncul kembali dan dengan demikian akan datang kemungkinan, bahwa ia akan memaksakan nafas kehidupan bagi padepokan kami seperti masa lampau kami yang suram.”
Pendapat itu merupakan landasan bagi Mahisa Bungalan. Perlahan-lahan ia memancing pendapat orang-orang padepokan itu seandainya mereka harus bekerja keras membuka sebuah hutan bagi padukuhan mereka yang baru, yang dapat memberikan harapan bagi masa depan. Ketika hal itu kemudian tersebar pada setiap orang di padepokan Serigala Putih, maka merekapun mulai berpikir dengan sungguh-sungguh.
Agaknya berbeda dengan cara yang ditempuh oleh Mahisa Bungalan dan para pemimpin prajurit di padepokan Serigala Puih, maka para pemimpin prajurit di padepokan Macan Kumbang dengan sengaja telah mengumpulkan setiap orang laki-laki. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum dapat membantu para pemimpin prajurit dalam pembicaraan itu, karena mereka berdua masih belum mendapat gambaran yang jelas dan kemudaan mereka masih belum memberikan kemungkinan bagi mereka untuk melakukannya seperti Mahisa Bungalan.
Dengan terus-terang para pemimpin prajurit di padepokan Macan Kumbang menawarkan kemungkinan itu, sehingga pembicaraan tentang pembukaan tanah baru itu telah di bicarakan dalam pertamuan terbuka mereka. Namun ternyata bahwa orang-orang Macan Kumbang sependapat untuk membuka tanah baru. Tanah yang dapat memberikan harapan bagi mereka.
“Jika kelak tanah itu terasa menjadi sempit karena jumlah kita yang bertambah, maka masih ada kemungkinan untuk mebuka tanah baru karena hutan di sekitar padepokan Empu Sanggadaru itu cukup luas. Bukan saja hutan yang sudah dapat dijinakkan. Tetapi hutan yang lebat dan pekat masih terbentang seolah-olah tanpa batas” berkata pemimpin prajurit Singasari.
“Kami bersedia” sahut orang-orang Macan Kumbang, “Tetapi kami tidak mempunyai alat-alat yang cukup untuk melakukannya.”
“Jika kalian bersedia, maka kita akan melakukannya. Aku akan mengusahakan alat-alat itu. Tentu kalian telah mempunyai parang dan kapak serba sedikit. Selebihnya akan kami usahakan dari padepokan Empu Sanggadaru atau dari Singasari sema sekali...”
“Aku bukan.”
“O, kau bukan.”
“Ya. Aku bukan.” orang itu berhenti sejenak.
“Yang manakah yang kau maksud?” desak Mahisa Bungalan yang tidak sabar lagi.
Orang itu menelan ludahnya Lalu katanya, “Salah seorang dari mereka adalah orang yang terluka di antara orang orang Mahibit yang luka-luka”
“Yang mana?”
“Yang berkumis tipis. Berwajah keras dengan bekas luka dikeningnya. Ia adalah salah seorang dari keempat puluh orang yang berada di padepokan tertutup di Mahibit”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya sambil mengangguk-angguk, “Terima kasih. Tetapi apakah hanya ada satu orang yang ikut serta bersama kalian kali ini?”
Orang itu ragu-ragu. Namun ia sudah terlanjur mengatakan, sehingga ia pun berkata selanjutnya, “Ada lima orang yang ikut serta kali ini mengawal Linggadadi. Aku tidak tahu, apa kali yang lain sempat melarikan diri atau terbunuh. Yang aku ketahui hanyalah seorang yang berkumis itu. Tanpa Linggapati dan Linggadadi. ia adalah orang yang berkuasa atas kami. Karena itu, jika ia mengetahui bahwa aku telah mengatakan tentang dirinya, aku tentu akan dibunuhnya. Dengan tangannya sediri, atau tangan orang lain yang tertawan di sini.”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih. Sebaiknya aku akan mempertemukan kau dengan orang itu. Aku akan minta.agar ia tidak berbuat apa-apa.“
“O, tidak. Jangan. Aku akan dibunuhnya.“
“Kau salah Ki Sanak. Jika aku mengatakan, bahwa apabila terjadi sesuatu atasmu, maka orang itulah yang bertanggung jawab. Sehingga dengan demikian, ia tidak akan berani memerintahkan membunuhmu.“
“Tidak Ia akan mencekikku sampai mati.“
“Aku pun dapat melakukan atasnya.“
“Sebaiknya jangan.“
“Aku akan menanggung keselamatanmu“
Orang itu ragu-ragu sejenak. Lalu katanya, “Atau singkirkan aku dari tempat ini. Aku tidak akan ingkar, kemanapun aku akan dibawa“
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Baiklah. Aku akan merahasiakannya. Aku akan mencoba memperlakukan orang itu seolah-olah kami tidak mengetahui bahwa orang Itu adalah salah satu dari empat puluh orang di dalam padepokan tertutup itu.”
Orang yang tertawan itu menarik nafas dalam dalam Lalu katanya, “Terima kasih. Aku harap bahwa aku akan selamat meskipun aku harus dihukum oleh prajurit Singasari. Sebenarnyalah bahwa tidak ada keinginanku untuk melawan kekuasaan Singasari.“
Mahisa Agni tersenyum, sedang Mahisa Bungalan menjawab, “Jika kau tidak ingin melawan, kenapa kau ikut bertempur?”
“Tidak ada pilihan lain bagiku.“
Demikianlah maka orang itu pun dikembalikannya ke dalam tempat untuk menawannya. Dengan cara yang sama.
Mahisa Agni mendapat keterangan dari tiga orang yang serupa, bahwa otang berkumis dan cacat dikening itu adalah salah seorang dari empat puluh orang di dalam lingkungan padepokan tertutup di Mahibit itu.
“Kita tidak dapat tergesa-gesa” berkata Mahisa Bungalan, “biarlah orang itu kami bawa lebih dahulu ke Singasari, sehingga penjagaan atasnya akan lebih terjamin.“
Empu Sanggadaru meng-angguk-angguk. Katanya, “Terserah kepada para Senopati di Singasari. Aku hanya mengharap kelak mendapat keterangan yang akan dapat kami jadikan pegangan. Sebab dengan hilangnya Baladalu aku masih tetap cemas, bahwa ia akan datang mulai dengan kekuatan yang lebih besar.”
“Ya Empu. Dan untuk itu. kami akan tetap menempatkan prajurit Singasari di padepokan ini. Barangkali Mahisa Bungalan, Mahisa Pukat dan Mahisa Murti akan tetap tinggal di sini pula untuk sementara.”
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Tetapi ia masih tetap dicengkam oleh kecemasan justru karena tingkah adiknya itu.
Ternyata Mahisa Agni tidak berada terlalu lama di padepokan itu. Setelah bermalam dua malam untuk meneliti semua keadaan, muka ia pun memutuskan untuk kembali ke Singasari.
“Diantara kalian yang terluka akan aku bawa serta ke Singasari” berkata Mahisa Agni kepada para tawanan, “dengan demikian, maka kalian akan mendapatkan perawatan yang lebih baik. Tetapi sayang, bahwa mungkin tidak sekaligus semuanya dapat aku bawa serta. Pada kesempatan pertama ini mungkin baru tiga atau empat orang saja.”
Sejenak mereka termangu-mangu. Namun orang berkumis dan cacat di kening itu tiba-tiba saja menyahut, “Tentu yang terluka parah. Memang mereka memerlukan perawatan yang lebih baik.”
Tetapi Mahisa Agni menggelengkan kepalanya. Katanya, “Sayang. Kali ini bukan mereka. Yang akan pergi bersamaku adalah mereka yang terluka meskipun nampaknya tidak begitu parah, tetapi membahayakan jiwanya. Atau mungkin cacat jiwa di sisa hidupnya.”
“O” orang berkumis itu mengangguk-angguk, “mungkin perlu sekali. Untunglah bahwa aku sudah sembuh sama sekali.”
“Kau sudah mulai hidup dalam khayalan,” berkata Mahisa Agni sambil menunjukkan orang berkumis itu.
Sehingga orang itu. terkejut, “apakah maksud Senopati?”
“Lukamu sangat berbahaya. Kau dipengaruhi oleh racun yang akan dapat membuat jiwamu cacat sepanjang umurmu. Kau sekarang sudah mulai dibayangi oleh khayalan yang berbahaya. Kau sama sekali belum sembuh. Bahkan lukamu yang kecil itu akan menjadi semakin parah.”
Wajah orang itu menjadi tegang. Katanya, “Jadi aku harus ikut ke Singasari?”
“Ya. Kau dapat dua atau tiga orang lain. Tetapi agaknya kaulah yang paling parah.”
“Tidak.” tiba-tiba saja orang itu meloncat berdiri, “aku tidak mau pergi ke Singasari. Aku sudah sembuh sama sekali.”
“Khayalanmu membuat kau mengalami kejutan semacam itu. Tenanglah.”
“Tidak. Bohong. Semuanya itu hanya sekedar cara untuk menipu aku. Aku tahu sekarang, tentu ada orang yang telah menunjukkan siapakah aku sebenarnya.”
Mahisa Agni pun menjadi tegang sejenak. Juga orang-orang Mahibit yang mendengar kata-kata itu. Apalagi mereka yang merasa telah mengatakan tentang orang berkumis itu.
“Ki Sanak” berkata Mahisa Agni sareh, “baiklah. Agaknya memang demikian. Tetapi kau tidak akan mengetahui siapakah yang telah mengatakan, bahwa kau termasuk salah satu dari empat puluh orang yang tinggal di dalam dinding tertutup dan tanpa pintu sama sekali itu.”
“Gila. Aku tentu akan menemukannya. Aku akan mencekiknya sampai mati. Jika aku tidak terluka dan pingsan, aku tidak akan menyerah dan menjadi tawanan seperti ini. Karena itu, sekarang, aku tidak lagi sedang pingsan. Meskipun aku masih terluka, namun aku akan bertempur melawan siapapun juga sampai mati, karena aku sadar, bahwa prajurit-prajurit Singasari akan mengeroyokku.”
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Kekecewaannya atas hilangnya Empu Baladatu masih saja mencengkamnya. Dan kini ia mendengar orang Mahibit itu berteriak dengan sombongnya. Tetapi ia heran ketika ia melihat Mahisa Agni masih saja tersenyum sambil berkata,
“Jangan terlalu sombong Ki Sanak. Itu tidak baik. Apakah untungnya mati dikeroyok orang banyak? Lebih baik ikut sajalah kami ke Singasari. Kami akan mengobati luka-lukamu, dan sudah tentu kami ingin mendengar beberapa keterangan tentang Mahibit itu pun sudah bukan merupakan rahasia lagi, karena sebagian dari padepokanmu yang tertutup itu sudah terbaca oleh petugas-petugas sandi sejak lama. Mungkin Linggapati menyadari, sehingga ia telah memindahkan padepokannya dari ujung kota Mahibit ke tempatnya yang sekarang.”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Ia pun menjadi heran, bahwa Mahisa Agni itu masih saja bersikap acuh tidak acuh..“Senapati tua ini benar-benar seorang yang memiliki kemampuan di luar kemampuan manusia” berkata orang itu di dalam hatinya karena ia pernah mendengar nama Mahisa Agni.
“Sudahlah. Kita akan berangkat. Kau akan mendapat seekor kuda khusus. Demikian pula dua orang kawanmu. Pilihlah, siapakah yang akan kau ajak untuk menemanimu.”
Sejenak orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Tidak. Aku akan mati di sini.”
“Kenapa kau memilih mati? Aku tahu, empat puluh orang yang berada di dalam lingkungan dinding tertutup itu tentu sudah bersumpah untuk tidak membocorkan rahasia padepokannya. Baiklah. Kami tidak akan memaksa. Tetapi hal-hal yang tidak bersifat rahasia, yang umum sekali, tentu boleh kau sebut. Misalnya apakah Linggapati mempunyai adik yang lain kecuali Linggadadi yang terbunuh itu?”
“Persetan.”
Mahisa Agni tertawa. Katanya, “Kau memang keras kepala. Tetapi agaknya kau memang telah dibentuk demikian. Seperti juga Empu Baladatu yang melarikan diri setelah mebunuh penjaganya. He. apakah kau juga merencanakannya.”
“Cukup. Cukup Pertanyaanmu membuat aku muak.”
“Jangan membentak Ki Sanak. Aku orang tua. Tidak baik dilihat orang. Kau masih terlalu muda untuk membentak aku.”
“Senapati” tiba-tiba saja Empu Sanggadaru memotong, “aku akan menyelesaikannya. Kepergian Empu Baladatu membuat aku hampir gila. Mungkin orang ini akan dapat mengurangi ketegangan otakku.”
Mahisa Agni tersenyum. Ia dapat mengerti, betapa hati Empu Sanggadaru bagaikan diguncang oleh kekecewaan, marah dan penyesalan yang bercampur haru. Namun demikian Mahisa Agni mendekatinya sambil berkata, “Empu sudah menujukkan sikap dan budi yang luhur. Karena itu, biarlah Empu tetap pada sikap itu. Serahkan orang ini kepadaku.”
Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Kepalanya pun tertunduk meskipun terasa hatinya bergejolak. Yang hampir tidak dapat dicegah lagi adalah Mahisa Murti. Dengan serta merta ia meloncat sambil berkata,
“Paman. Biarlah aku membuktikan. Apakah yang empat puluh orang di dalam padepokan tertutup itu benar-benar bukan manusia wantah.”
Sekali lagi Mahisa Agni tersenyum Katanya, “Siapakah yang mengatakan bahwa mereka bukannya manusia wantah?”
Mahisa Murti menjadi bingung sejenak. Namun kemudian katanya, “Lihatlah, bagaimana angkuh sikapnya. Seolah-olah ia membenarkan bahwa empatpuluh orang di padepokan tanpa pintu itu memiliki ilmu yang tidak terjangkau oleh manusia di luar dinding padepokannya.”
“Keangkuhan dan kesombongannya itulah yang justru menunjukkan, bahwa ia adalah manusia sewajarnya. Dan kau tidak usah ikut menjadi sombong dan angkuh.”
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun aapun kemudian melangkah surut. Namun dalam pada itu, orang berkumis itu menjadi semakin marah, seolah-olah ia hanya sekedar menjadi bahan tertawaan bagi Mahisa Agni. Meskipun ia sudah pernah mendengar kebesaran namanya, tetapi kemarahannya telah membuatnya gelap hati. Apalagi ia merasa bahwa ia pun memiliki ilmu yang cukup. Tentu hanya karena kebetulan atau kelengahan, mungkin karena ada dua atau tiga orang yang menyerangnya bersama-sama sehingga ia terluka dan pingsan sehingga ia tertawan. Karena itulah, maka iapun tiba-tiba telah meloncat menerkam Senopati yang sudah menjadi semakin tua dan seolah-olah sama sekali tidak bersiaga itu.
Mahisa Agni melihat serangan itu. Tetapi ia sama sekali tidak melakukan apapun juga. karena ia pun melihat dalam waktu yang bersamaan Mahisa Bungalan telah meloncat pula. Dua kekuatan telah berbenturan. Tetapi kedua kekuatan itu ternyata tidak berimbang. Mahisa Bungalan telah berhasil membunuh Linggadadi. Orang kedua di Mahibit. Apalagi salah seorang pengawalnya yang sudah terluka.
Untunglah Mahisa Bungalan pun tidak melontarkan segenap kekuatannya. Ia menyadari, bahwa dengan segenap kekuatannya maka orang itu tentu akan terbunuh. Dan itu berarti suatu kerugian bagi Singasari dalam keadaan yang gawat ini.
Orang berkumis yang membentur kekuatan Mahisa Bungalan itupun telah terlempar beberapa langkah. Dengan kerasnya ia terbanting di tanah. Orang itu masih berusaha untuk menggeliat dan bangkit. Tetapi ternyata bahwa kekuatannya bagaikan larut sama sekali. Selain oleh benturan yang keras melampaui ketahanan tubuhnya, juga karena luka-lukanya sendiri yang belum sembuh. Terdengar orang itu mengerang. Tetapi ia tidak pingsan. Mahisa Agni mendekatinya. Dengan hati-hati ia berjongkok di sampingnya.
“Pergi, pergi. Aku bunuh kau” geram orang itu.
“Kau benar-benar seorang laki-laki” desis Mahisa Agni, “kau keras hati dan pantang menyerah”
“Lebih baik aku mati daripada menyerah.”
“Aku percaya bahwa kau bukan sekedar menyombongkan diri.” jawab Mahisa Agni, “tetapi sayang sekali.”
Orang itu termangu-mangu. Seolah-olah ia ingin bertanya, apakah yang disayangkan oleh Mahisa Agni.
“Ki Sanak. Jika sifat jantanmu itu berada di jalan kebenaran, maka aku kira kita akan hidup sejahtera dan tenang. Setiap orang akan mendapatkan perlindungan apabila jumlah orang-orang jantan yang berada di jalan kebenaran semakin besar jumlahnya.”
“Diam. Jangan gurui aku. Aku tidak perlu sesorahmu”
Mahisa Agni menggeleng, “Tidak Ki Sanak. Aku tidak sesorah. Aku mengatakan apa yang aku lihat sekarang. Seorang laki-laki jantan yang pantang menyerah. Yang lebih baik mati daripada menguncupkan tangannya.”
“Kalau kau ingin membunuh sekarang, bunuhlah.”
“Sayang sekali. Dengan demikian maka kita akan kehilangan. Meskipun kau memilih jalan sesat, tetapi padamu masih juga ada pilihan.”
”Diam. Diam...”
“Baiklah Ki Sanak. Aku akan diam. Dan kau akan segera diangkat kedalam bilikmu. Setelah kau beristirahat sejenak, maka kau akan kami bawa ke Singasari. Kami akan menunjukkan kepada Sri Baginda di Singasari, Bahwa sikap jantan seperti yang kau miliki ini perlu dibina pada setiap hati prajurit Singasari. Pantang menyerah dan tidak takut mati sama sekali. Tentu saja, ada yang harus disisihkan, yaitu kesesatanmu.”
“Diam. diam, setan.”
“Tentu kau yakin, bahwa kau telah memilih jalan yang paling baik, meskipun kau tahu bahwa itu salah. Karena ada orang yang berbuat kesalahan karena ia tidak mengetahui, tetapi ada yang melakukannya dengan sadar dan bahkan ya kin seperti kau. sehingga kesalahan yang kau yakini itu akan kau pertahankan sampai mati. Disinilah letak kesia-siaanmu. Setelah kau menjadi seorang Laki-laki jantan yang memilih mati daripada menyerah, maka ternyata bahwa pilihannya itu ada lah sia-sia.”
Wajah orang itu menjadi semakin tegang oleh kemarahan yang menghentak-hentak dadanya. Namun justru karena itu, maka mulutnya bagaikan tidak dapat mengucap lagi. Dipandanginya saja Mahisa Agni yang berjongkok disampingnya kemudian berkata lagi,
“Camkanlah. Dan bertanyalah kepada dirimu sendiri. Jika kau mati karena keyakinanmu, apakah kematianmu itu mempunyai arti? Agaknya itulah tidak seimbang padamu. Kejantanan dan kesia-siaan.”
Orang itu tidak menjawab lagi. Betapapun jantungnya bagaikan bergelora.
Mahisa Agni pun kemudian berdiri sambil berkata kepada Mahisa Pukat dan Mihisa Murti, “Bawalah ia kebiliknya. Aku akan bersiap-siap untuk berangkat. Setelah pernafasannya pulih, iapun akan segera berangkat bersama kami.”
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangkat orang berkumis itu ia sama sekali tidak berusaha untuk menolak. Dibiarkannya saja tangan kedua anak-anak muda itu mengangkatnya dan membawanya ke dalam baliknya. Sejenak orang itu masih terbaring. Beberapa orang kawannya menjadi sangat ketakutan karenanya. Mereka menyangka, jika orang itu nanti menjadi segar kembali ia tentu akan marah dan membunuh setiap orang dari Mahibit yang dianggapnya telah membuka rahasianya.
Tetapi ternyata setelah pernafasannya mulai teratur, dan perlahan-lahan mampu bangkit kembali, orang berkumis itu tidak menunjukkan gejala-gejala yang membahayakan kawananya. Bahkan ia pun kemudian duduk saja di sudut sambil memeluk lututnya. Ternyata kata-kata Mahisa Agni telah menyentuh hatinya, ia mulai bertanya kepada diri sendiri, apakah jika benar-benar ia mati, kematiannya itu ada artinya.
“Tentu” ia menggeretakkan giginya, “aku telah memperjuangkan suatu cita-cita yang luhur bagi Mahibit.”
Tetapi kemudian timbul lagi sebuah pertanyaan. “Apakah artinya pemberontakan yang disiapkan oleh Linggapati dan Linggadadi? Dengan kekuatan dari padepokan Macan Kumbang dan Serigala Putih, orang-orang Mahibit tidak berhasil mengalahkan sebuah padepokan. Sebuah padepokan saja meskipun dipadepokan ini ternyata ada beberapa orang prajurit Singasari. Hanya beberapa. Sehingga apakah artinya kekuatan Mahibit yang sebenarnya dibanding kekuatan Singasari? Jika Linggapati menilai perjuangan Sri Rajasa yang perkasa itu dari sebuah lingkungan kecil, dimana pada saat itu Ken Arok memegang jabatan sebagai seorang Akuwu di Tumapel namun tentu ada persoalan-persoalan lain yang menyangkut hubungan antara Kediri dan Tumapel, terutama dari segi pengaruh para Brahmana.”
Orang berkumis itu mengerutkan keningnya. Masih Terngiang kata-kata Mahisa Agni, tidak ada keseimbangan antara kejantanannya dan kesia-siaannya. Orang berkumis itu tidak sempat mempertimbangkannya terlalu panjang, karena iapun kemudian melihat Mahisa Agni sendiri datang menjemputnya sambil berkata,
“Marilah”
Orang itu tetap berdiam diri. Orang itu tidak menjawab. Seolah-olah diluar sadarnya, ia pun bangkit perlahan-lahan, karena dadanya masih terasa agak sesak
“Kemarilah” desis Mahisa Agni.
Orang itupun datang kepadanya dan mengikutinya.
“Kali ini kau pergi sendiri” berkata Mahisa Agni, “kau mendapat kehormatan khusus dari prajurit-prajurit Singasari. Kudamu sudah siap. Tentu kau pun sudah siap.”
Sejenak kemudian, maka iring-iringan prajurit Singasari itu pun meninggalkan padepokan Empu Sanggadaru dengan kesan yang sungguh-sungguh tentang kemungkinan yang buruk yang akan dapat ditimbulkan oleh Linggapati maupun oleh Empu Baladatu yang berhasil melarikan diri.
Sementara itu, para tawanan dari Mahibit, justru menjadi tenang ketika orang berkumis itu sudah tidak ada lagi di antara mereka. Mereka sadar sepenuhnya bahwa orang berkumis itu akan dapat menjadi bencana yang mengerikan, jika ia masih tetap berada di antara kawan-kawannya yang tertawan dan terluka.
Justru sepeningal orang berkumis itu, orang-orang Mahibit Yang tidak lagi dicengkam oleh ketakutan, mulai dengan leluasa menceriterakan apa saja yang mereka ketahui tentang Mahibit. Namun yang mereka ketahuipun hanya terbatas sekali. Hanya terbatas keadaan di luar dinding tertutup yang jarang sekali mereka lihat bagian dalamnya.
Dalam pada itu, Empu Baladatu yang masih dalam keadaan terluka, dan setelah berhasil membunuh pengawasnya, meninggalkan padepokan kakaknya. berjalan dengan susah payah menjauhi padepokan yang baginya merupakan neraka itu. Ia telah gagal menciptakan suatu upacara korban terbesar bagi aliran ilmunya untuk mencengkam murid-muridnya agar menjadi semakin patuh kepadanya. Sehingga dengan demikiain ia tidak dapat menepuk dada sambil menyebut dirinya sebagai Maha Guru yang paling berwibawa dari aliran di sepanjang masa.
Korban purnama naik pada bulan itu, justru terjadi sebaliknya. Pasukannya telah dihancurkan hampir mutlak, ia sendiri tertawan dan tidak berdaya sama sekali. Hanya karena Empu Sanggadaru adalah kakak kandungnya, maka ia dapat mempergunakan kelengahannya untuk melarikan diri dengan mengorbankan pengawal yang sedang mengawasinya. Namun dalam pada itu, dendam telah menyala di dalam hatinya. Dan Empu Baladatu telah bersumpah kepada diri sendiri, untuk membalas dendam itu sampai tuntas.
“Aku masih mempunyai kesempatan” berkata Empu haladatu dengan kemarahan yang menghentak dadanya.
Namun daya tahan tubuh Empu Baladatu memang luar biasa sekali. Meskipun ia masih belum sembuh dari lukanya yang parah, ia masih mampu berjalan hampir sehari semalam. Hanya sekali-kali ia berhenti dibalik gerumbul-gerumbul liar. Minum seteguk air dari sumber-sumber air di pinggir sungai, dan mencuri buah jagung muda disawah atau akar ketela rambat.
Di siang hari Empu Baladatu berjalan sambil bersembunyi di balik hutan-hutan kecil atau lapanggan perdu yang rimbun. Sedangkan di malam hari ia berjalan langsung menuju kepadepokannya yang jauh. Tetapi Empu Baladatu tidak mau berjalan terus. Setelah berjalan sehari semalam, ia merasa sudah tidak dapat diikuti lagi jejaknya oleh orang-orang padepokan kakak kandungnya. Karena itu, maka ia sempat beristirahat dan tidur hampir semalam suntuk di sebuah batu besar di pinggir sungai yang jarang didatangi oleh manusia.
Meskipun ia masih dalam keadaan terluka, namun Empu Baladatu sama sekali tidak takut, seandainya ada seekor binatang buas yang mendatanginya di malam hati. Ia yakin bahwa telinganya masih mampu mendengar desir langkah kaki binatang itu di atas batu-batu kerikil sebelum mencapai batu be sar dipinggir sungai itu.
“Biasanya binatang buas mencari air dibagian yang langsung dapat diteguknya” berkata Empu Baladatu kepada diri sendiri sehingga iapun kemudian dengan tenang dapat beristirahat.
Ketika fajar menyingsing Empu Baladatu baru terbangun.Tidak ada yang mengusiknya sama sekali. Meskipun perutnya terasa agak lain, karena yang dimakannya adalah akar-akaran dan buah-buahan yang mentah, namun ia sama sekali tidak menghiraukannya. Setelah membersihkan wajahnya dengan air sungai dan bahkan kemudian dengan membuat sumber kecil ditepian, iapun minum seteguk. maka ia mulai membenahi diri.
Ketika matahari mulai naik, Empu Baladatu melanjutkan perjalannya menyusuri sungai yang begitu besar. Sebagai seorang perantau, ia mengerti, kemana ia harus melangkah. Meskipun ia belum pernah melalui tempat yang asing itu, tetapi ia tidak pernah kehilangan arah. pun cak gunung dan bintang di malam hari. Selalu menjadi petunjuk, dimana ia sedang berada, dan ke arah mana ia sedang melangkah. Tetapi berjalan kaki adalah pekerjaan yang menjemukan. Ia lebih senang pergi berkuda. Kuda siapapun juga.
Maka mulailah rencananya untuk mendapatkan seekor kuda Bagi Empu Baladatu, maka mendapatkan seekor kuda tentu akan dapat dilakukannya dengan mudah. Meskipun demikian Empu Baladatu tidak mau merampas kuda seseorang dergan terang-terangan. Ketika ia melihat seekor kuda. yang tegar di sebuah kandang, maka ia pun tertegun.
Empu Baladatu tidak meneruskan perjalanannya. Ia berhenti di sebuah bulak di bawah sebatang pohon yang rindang. Seperti seorang perantau yang kelelahan, ia pun kemudian duduk bersandar dengan mata yang setengah terpejam. Sebenarnyalah Empu Baladatu memang sedang terkantuk-kantuk. Ia sama sekali tidak cemas, bahwa seseorang akan dapat mengenalnya di tempat yang terasing itu.
Seperti yang dilakukan sebelumnya, maka jika tidak ada seorang pun yang melihat, ia telah memetik buah jagung muda. Tanpa dipanggang diatas api, jagung muda itu langsung dimakannya.
“Burung-burung di langit makan jagung juga mentah,” katanya mereka juga tetap hidup dan terbang di langit yang biru”
Ketika kemudian malam turun, mulailah Empu Baladatu dengan rencananya. Ia ingin mendapatkan kuda yang tegar di kandang yang dilihatnya di siang hari itu. Dengan hati-hati Empu Baladatu mendekati regol halaman. Rumah itu tidak terlalu besar. Tetapi agaknya pemiliknya rumah itu termasuk orang yang agak berkecukupan di padukuhan.
Ketika Empu Baladatu yakin bahwa rumah itu tidak dijaga, maka iapun dengan diam-diam telah menyelinap memasuki dinding halaman dan hilang didalam kegelapan. Sejenak Empu Baladatu meyakinkan, apakah pemilik rumah itu sudah tidur nyenyak, dan tidak ada lagi seseorang yang masih terbangun di bagian belakang.
Setelah yakin barulah Empu Baladatu mendekati kandang kuda dengan hati yang berdebar-debar. Dengan hati-hati dan lembut Empu Baladatu mulai menyentuh kuda itu. Dibelainya lehernya perlahan-lahan. Barulah kemudian Empu Baladatu membuka selarak kandang itu dan menarik kuda itu dengan hati-hati keluar.
Sejenak Empu Baladatu memasang kendali dan pelananya yang tersangkut pada tiang kandang itu, seolah dengan sengaja telah disediakan. Barulah ketika semuanya sudah siap Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi Empu Baladatu tidak mau mengejutkan pemilik rumah yang sedang tidur nyenyak itu. Ia menuntun kuda itu sampai ke regol halaman. Perlahan-lahan didorongnya pintu regol itu dan barulah kemudian ia meloncat ke pun ggung kuda yang telah berhasil dicurinya itu.
Tetapi belum lagi kuda itu berderap, dua orang yang kebetulan lewat di jalan di depan regol itu terhenti dengan ragu-ragu. Dibawah cahaya obor ia mengamati wajah Empu Baladatu yang belum pernah dikenalnya.
“He, siapakah kau? Aku belum pernah melihatmu” bertanya salah seorang dari mereka, “aku mengenal penghuni rumah ini seperti mengenal keluargaku sendiri. Tetapi aku belum pernah mengenalmu.”
Empu Baladatu tergagap. Ia tidak menyangka bahwa tiba-tiba saja ia akan dihadapkan pada pertanyaan seperti itu. Sehingga akhirnya ia menjawab asal saja terucapkan, “Aku tamu yang akan kembali pulang.”
“Tetapi dimanakah yang punya rumah? Dan aku kenal kuda ini” sahut yang lain.
Empu Baladatu menjadi Semakin bingung. Sedangkan orang itu mendesaknya lagi, “Kau mencurigakan. Turunlah Jika kau benar-benar tamu penghuni rumah ini. aku akan mohon maaf. Tetapi sebaiknya, aku bertanya dahulu kepada pemilik kuda yang sedang kau pakai.”
Empu Baladatu bukannya seorang yang sabar. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia menggeram, “Minggirlah, atau kepalamu akan terinjak oleh kaki kuda ini.”
Kecurigaan kedua orang itu kian bertambah. Karena itu. salah seorang kemudian berkata, “Ki Sanak. Aku baru saja pergi kesawah menelusur air yang memang agak sulit sekarang ini bagi persawahan. Kebetulan saja aku jumpai kau yang menumbuhkan kecurigaan padaku. Agaknya kau benar-benar orang bermaksud buruk. Turunlah, atau aku akan menghantam kepalamu dengan cangkul?”
Empu Baladatu tidak menjawab. Tiba-tiba saja kedua tumitnya telah menyentuh perut kudanya, sehingga kuda itupun terkejut dan meloncat. Kedua orang itu memang kerusaha untuk menghalang-halangi. Tetapi mereka tidak menyadari, bahwa mereka berhadapan dengan Empu Baladatu. Karena itulah, maka keduanya pun kemudian terpelanting dan berguling beberapa kali menyeberang jalan. Sementara itu, kuda yang dipergunakan oleb Empu Baladatu itu telah berderap dan hilang di gelapan.
Ternyata bahwa keributan itu terdengar oleh penghuni rumah itu sehingga ia pun kemudian terbangun dan dengan hati-hati keluar rumah lewat pintu butulan. Derap kaki kuda yang keluar dari halaman rumahnya telah menarik perhatiannya. Dengan tergesa-gesa ia menengok kandangnya. Namun kudanya sudah tidak ada di dalamnya lagi.
Orang itu kemudian berlari-lari kehalaman depan. Ketika ia melihat regol halamannya terbuka, iapun langsung keluar halaman dan turun kejalan. Ia terkejut melihat kedua orang tetangganya yang dengan susah payah berusaha bangkit sambil menyeringai kesakitan.
“Kenapa?” pemilik kuda itu bertanya. Kedua tetangganyapun kemudian menceriterakan. bahwa mereka menjadi curiga ketika mereka melihat seseorang yang keluar dari regol halaman itu diatas pun ggung kuda di malam hari tanpa seorang pun yang mengantarkannya meskipun hanya sampai turun kejalan.
“Kami tidak berdaya” desis salah seorang dari keduanya.
Pemilik kuda itu mengangguk-angguk. Katanya, “Di Padukuhan ini biasanya tidak pernah terjadi kerusuhan seperti ini. Tentu bukan kebanyakan orang yang sekedar ingin mencuri”
Kedua orang tetangganya itu mengangguk-angguk. Mereka masih saja menyeringai memegang pinggang masing-masing.
“Punggungku rasa-rasanya patah” desis yang seorang.
“Aku tidak melihat orang itu berbuat sesuatu. Tetapi tiba-tiba saja aku sudah terpelanting jatuh.” sambung yang lain.
“Sudahlah. Aku tidak dapat menyalahkan kalian. Marilah masuklah. Kita dapat berbicara lebih panjang.”
Kedua orang itu berpandangan sejenak. Namun karena pinggang mereka rasa-rasanya masih sakit juga, maka keduanya pun kemudian mengikuti pemilik rumah itu dan naik kependapa.
Isteri pemilik rumah itu yang kemudian terbangun juga telah menyuruh pelayannya untuk merebus air, sehingga ketiga orang yang bercakap-cakap dipendapa itupun kemudian masing-masing mendapat semangkuk minuman panas.
“Tentu seseorang yang sekedar memerlukan seekor kuda” desis pemilik kuda itu kemudian.
“Ya” sahut yang lain, “itu adalah kesimpulan yang paling mendekati kenyataan. Tidak ada kemungkinan yang dapat dipertimbangkan lagi.”
“Bagaimanapun juga kita akan melaporkannya besok kepada Ki Buyut. Mungkin padukuhan ini perlu mengambil tindakan untuk mencegah kemungkinan-kemungkinan yang lebih parah. Jika ia hanya memerlukan seekor kuda untuk mempercepat perjalanan jauhnya, dan tidak menimbulkan akibat apa-apa di kemudian hari, biarlah aku ikhlaskan kudaku. Tetapi jika yang terjadi ini baru permulaan dari kejadian-kejadian yang akan berkepanjangan, maka agaknya Ki Buyut perlu mengetahuinya.”
Ternyata ketiga orang itu tidak berusaha membangunkan tetangga-tetangganya yang lain. Tetapi mereka berjanji dipagi harinya akan bersama-sama menghadap Ki Buyut untuk memberikan kesaksian atas hilangnya seekor kuda pemilik rumah itu.
Ternyata peristiwa itu telah cukup menggemparkan padukuhan kecil yang biasanya selalu tenang dan damai itu. Dari mulut kemulut. berita tentang hilangnya seekor kuda, dan usaha kedua orang untuk mencegahnya, telah menjalar keseluruh padukuhan. Setiap orang mempercakapkannya dengan hati yang cemas dan berdebar-debar.
Seperti yang direncanakan, maka pemilik kuda itu pun pergi menghadap Ki Buyut bersama dengan kedua orang tetangganya yang menyaksikan langsung orang yang telah mengambil keduanya petani sama sekali tidak berhasil mencegahnya itu.
Laporan itu diterima Ki Buyut dengan wajah yang tegang dan bersungguh-sungguh. Baginya persoalan itu merupakan persoalan yang cukup gawat dan tentu akan menggetarkan padukuhan yang tenang. Para bebahu yang lain pun menjadi cemas. Bahwa seseorang telah mencuri kuda, adalah sesuatu yang benar-benar telah menyinggung perasaan setiap orang di padukuhan itu.
“Kenapa hanya seekor kuda” bertanya Ki Buyut seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri, “kenapa ia tidak mengambil yang lain”
“Seperti yang aku katakan Ki Buyut. Agaknya orang itu memang hanya memerlukan seekor kuda saja.” jawab orang yang kehilangan, “ia bukan seperti kebanyakan penjahat yang ingin merampas harta benda.”
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Itulah yang lebih berbahaya. Jika jelas yang datang itu adalah seorang yang hanya menginginkan harta benda, persoalannya akan terbatas. Tetapi jika tidak, mungkin masih akan berkepanjangan.”
Tidak ada kesimpulan lain yang dapat dilakukan kecuali mengadakan kesiagaan sepenuhnya di seluruh padukuhan. Bahkan padukuhan-padukuhan tetangga pun mulai menjadi ribut ketika mereka mendengar tentang pencuri kuda yang penuh dengan rahasia itu.
Dalam pada ini, selagi orang-orang di padukuhan itu menjadi ribut, Empu Baladatu telah berpacu semakin jauh. Ia tidak lagi memilih jalan. Ia tidak peduli lagi apakah ada orang yang menghiraukannya atau tidak.
Tetapi agaknya memang tidak banyak orang yang memperhatikan orang lain dengan saksama. Demikian juga, orang-orang yang berpapasan dengan Empu Baladatu tidak begitu menghiraukannya, bahwa pakaiannya kusut dan robek. Luka-luka nya yang masih berdarah karena terlalu banyak untuk bergerak Dan kesan wajahnya yang penuh dendam dan kebencian.
Dengan seekor kuda maka Empu Baladatu telah berhasil mempercepat lari kudanya. Ia memang ingin langsung ke padepokannya dan menenangkan diri untuk beberapa lama. Terutama untuk menyembuhkan luka-lukanya. Ia tidak begitu menghiraukan padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang, Kedua padepokan itu tentu bagaikan lumpuh karena keduanya telah kehilangan orang-orangnya yang terbaik. Apalagi jika prajurit Singasari telah dengan sengaja datang untuk menghancurkannya.
“Keduanya tidak banyak berarti lagi” katanya. Meskipun demikian bukan berarti bahwa Empu Baladatu melepaskan keduanya. Ia sadar, bahwa pada suatu saat ia akan datang untuk membina reruntuhan di padepokan itu agar ia tetap mendapat pancatan didaerah disekitar Kota Raja Singasari.
Tetapi untuk sementara Empu Baladatu akan berada di padepokannya. sebelum rencananya yang pertama-tama adalah membuat hubungan dengan Linggapati, karena Linggapati pun tentu akan dibakar oleh dendam dan kebencian karena kematian adiknya.
Sebenarnyalah, bahwa satu dua orang yang melarikan diri dari medan pertempuran, berusaha dapat kembali ke Mahibit. Meskipun dengan kesulitan dan susah payah, akhirnya mereka dapat menghadap Linggapati dan melaporkan apa yang telah terjadi atas seluruh pasukan Empu Baladatu.
Betapa kemarahan yang tiada taranya menghentak dada Linggapati sehingga rasa-rasanya dada itu akan pecah, berita tentang kekalahan mutlak bagi orang-orang Empu Baladatu dan orang-orang Mahibit yang langsung dipimpin oleh Linggadadi itu, benar-benar merupakan berita terburuk yang pernah didengarnya
“Jadi Empu Baladatu juga terbunuh?” ia bertanya dengan wajah tegang.
“Aku tidak tahu pasti. Mungkin terbunuh, mungkin luka parah. Pada saat-saat aku melarikan diri dari arena, semuanya rasa-rasanya sudah menjadi gelap dan tidak dapat diketahui dengan pasti.”
Linggapati menghentakkan kakinya. Kemarahan yang meluap-luap rasa-rasanya telah membakar jantungnya. Tetapi Linggapati bukan seorang yang mudah kehilangan akal. Ia mendengar laporan anak buahnya sampai tuntas Kemudian mengurainya dan melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada dan yang dapat terjadi.
“Betapa bodohnya Baladatu. Seolah-olah ia sudah menjerumuskan Mahibit ke dalam kesulitan. Dengan kekalahan itu maka aku sudah kehilangan sebagian besar dari kemungkinan yang selama ini telah aku pupuk dengan hati-hati. Orang-orangku pun akan menjadi berkecil hati dan mungkin bahkan kehilangan gairah perjuangannya” berkata Linggapati kepada diri sendiri, “selebihnya, aku telah kehilangan adikku. Betapa bengalnya Linggadadi. tetapi ia adalah orang yang memiliki kemampuan cukup untuk membantuku. Satu-satunya pembantuku yang paling aku percaya.”
Namun dalam pada itu. Linggapati pun memikirkan kemungkinan lain yang dapat terjadi atasnya. Mungkin para prajurit Singasari yang mendapat beberapa penjelasan dari orang-orangnya yang tertangkap, termasuk orang-orangnya dari lingkungan tertutup yang mengawal Linggadadi, akan datang ke Mahibit dan menghancurkan sama sekali. Itulah sebabnya. Linggapati pun bertindak cepat. Ia menarik semua orang-orangnya dari lingkungan tertutupnya dan menempatkannya di sebuah padukuhan kecil yang terasing dan yang dihuni hanya oleh beberapa keluarga yang memang sudah berada dibawah pengaruhnya dengan taat.
Biarlah mereka berada di tempat terpecil untuk beberapa saat” berkata Linggapati, “sekedar untuk menghindari kemungkinan buruk, jika orang-orang Singasari itu datang dalam waktu yang singkat. Sebelum persiapan-persiapan yang lebih mapan dapat aku lakukan.”
Tetapi dalam pada itu, Singasari tidak mengirimkan pasukan ke Mahibit dengan tergesa-gesa. Kemungkinan seperti yang dalakukan oleh Linggapati itu memang sudah diperhitungkan, sehingga yang datang adalah para petugas sandinya saja.
Dengan bekal keterangan dari para tawanan, terutama orang berkumis yang ternyata memang merupakan salah seorang dalam dari padepokan tertutup orang-orang Mahibit, maka Singasari telah mengirimkan beberapa orang terpercaya untuk mengenal daerah itu sebaik-baiknya, sehingga apabila keadaan memaksa, prajurit Singasari dapat bertindak cepat dan tepat.
Tetapi orang-orang Mahibit. terutama Linggapati pun bukan orang yang kurang perhitungan. Mereka pun sudah memperhitungkan bahwa Singasari tentu akan mengirimkan petugas sandinya berdasarkan keterangan para tawanan. Sehingga karena itulah, maka Linggapati telah membuat perubahan-perubahan yang dapat merubah seluruh wajah lingkungannya.
Seperti yang dilakukan oleh Linggapati, maka Empu Baladatupun tidak tinggal diam. Ia pun membuat beberapa perubahan didalam padepokannya. Tetapi, Empu Baladatu masih menganggap padepokan tidak akan mendapat pengawasan yang mendalam, karena sebagian terbesar dari orang-orangnya yang tertangkap dan terbunuh adalah orang-orang Macan Kumbang dan orang-orang dari padepokan Serigala Putih.
Meskipun demikian tidak mustahil bahwa orangnya yang sedikit dari padepokannya yang jauh itu ada yang tertangkap hidup. Karena itulah, maka ia pun membuat beberapa penyamaran yang akan dapat mengelabuhi petugas-petugas sandi dari Singasari atas padepokannya yang jauh terpencil.
Empu Baladatu sediri kemudian tidak berada di padepokannya yang lama. Ia tinggal di sebuah padukuhan kecil yang kemudian seolah-olah telah menjadi padepokannya yang baru dengan para pengawalnya yang terpilih. Di tempatnya yang baru itu Empu Baladatu mencoba untuk menghirup kekuatan dari daerah di sekitarnya. Dengan melakukan hal-hal yang kadang-kadang nampaknya tidak masuk akal, maka Empu Baladatu bagi orang-orang di sekitarnya merupakan orang yang sangat dihormati dan ditakuti.
Tetapi pengaruh Empu Baladatu bukannya pengaruh yang mencengkam sampai ke sungsum. Orang-orang di sekitarnya mengangapnya sebagai seorang pemuka yang tidak dapat dibantah perintahnya. Bukan sebagai seorang pemimpin yang menuntun pengikutnya untuk memperjuangkan sebuah cita-cita yang luhur. Itulah sebabnya, maka pengaruh Empu Baladatu sukar untuk berkembang lebih jauh lagi.
Namun demikian bukan berarti bahwa Empu Baladatu tidak berbuat apa-apa. Dendam dan kebenciannya benar-benar telah membakar jantungnya. Dengan segala ia mempengaruhi semua pihak yang mungkin dapat memperkuat pasukannya jika pada suatu saat diperlukannya.
Sementara itu, ia masih tetap ingin membuat hubungan dengan Linggapati. Ia yakin bahwa Linggapati pun tentu dibakar oleh dendam seperti dirinya sendiri, inilah sebabnya, ketika Empu Baladatu sudah merasa sembuh sama sekali, dan merasa telah mampu membina dirinya lebih baik lagi ia mencoba menjajagi jalan yang akan dirambahnya.
Dengan tiga orang pengawalnya yang paling kuat, maka Empu Baladatu meninggalkan padepokannya menuju ke sekitar Kota Raja. Ia ingin melihat, apakah ada peningkatan kesiap-siagaan pada prajurit Singasari.
Dalam pada itu, setelah terjadi peristiwa dipadepokan Empu Sanggadaru. maka Singasari memang telah bersiaga menghadapi perkembangannya. Untuk sementara prajurit Singasari yang ada di padepokan Empu Sanggadaru memang tidak ditarik. Bahkan diperkuat dengan beberapa orang prajurit muda sambil menempa mereka. Di samping mereka, Mahisa Bungalan, Mahisa Pukat dan Mahisa Murti masih berada di padeokan itu juga.
“Padepokan itu memang masih memerlukan perlindungan” berkata Mahisa Agni kepada para Senapati.
“Ya” sahut Lembu Ampal, “setiap saat dendam Empu Baladatu dan Linggapati dapat meledak.”
Namun di samping itu, Singasari pun melakukan kegiatan pengawasan atas Mahibit dan daerah yang berada di bawah ptngaruh Empu Baladatu menurut arah yang ditunjukkan oleh orang-orangnya yang tertangkap.
“Kegiatan sandi itu tidak boleh nampak dan mengelisahkan orang-orang di sekitar Mahibit dan sekitar padepokan Empu Baladatu” perintah pada Senapati di Singasari.
“Tetapi, jangan menganggap mereka terlalu kecil” pesan Mahisa Agni, “mungkin saat ini mereka memang tidak nampak. Tetapi pada suatu saat mereka merupakan kekuatan yang dapat meledak dan mengguncangkan seluruh Singasari”
Karena itulah, maka para pemimpin di Singasari pun tidak kehilangan kewaspadaan. Mereka selalu mengamati suasana yang berkembang di Mahibit dan daerah di sekitar padepokan Empu Baladatu. Tapi sampai begitu jauh, prajurit Singasari tidak melakukan tindakan apapun juga, agar yang mereka lakukan itu tidak seperti mengguncang sarang lebah. Sebelum mereka yakin akan dapat berbuat sampai tuntas, maka yang mereka lakukan adalah sekedar pengawasan
Dalam pada itu, Empu Baladatu yang dalam perjalanan pengamatan pun telah melakukan penyamaran dengan sempurna, sehingga dapat terlepas dari penglihatan petugas sandi dari Singasari. Bahkan dengan cerdik, Empu Baladatu telah berhasil mendekati padepokan Serigala Putih.
“Kita harus dapat berbicara dengan salah seorang dan mereka” berkata Empu Baladatu, “kita akan menunggu orang yang aku kenal baik, yang lewat di luar padepokan.”
“Kita menunggu di antara mereka yang pergi ke pategalan” jawab pengawalnya.
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa pekerjaannya kali ini mengandung beberapa kemungkinan. Jika orang-orang Serigala Putih tidak lagi memerlukannya, karena pengaruh prajurit Singasari, maka kehadirannya akan dapat membahayakannya. Tetapi Empu Baladatu siap menghadapi segala kemungkinan. Juga kemungkinan yang paling pahit sekalipun.
Ternyata Empu Baladatu harus menunggu dengan telaten, karena beberapa lama kemudian barulah seseorang lewat dengan membawa cangkul dari pategalan yang tidak begitu jauh dari padepokan mereka.
“Hanya seorang” desis Empu Baladatu. “Ya. Apakah aku harus memanggilnya.”
Aku mengenal orang itu dengan baik. Bawalah ke sini Aku ingin berbicara.”
Pengawal Empu Baladatu itu pun kemudian mendekati orang yang sedang berjalan itu. Sejenak orang itu termangu-mangu Ketika langkahnya dihentikan.
“Apakah maksud Ki Sanak?” bertanya orang Serigala Putih itu.
“Aku perlu berbicara dengan Ki Sanak sebentar” jawab pengawal Empu Baladatu.
“Tidak disini. Tetapi dibalik gerumbul itu.” Orang itu menjadi ragu-ragu Kemudian sambil menggeleng ia jawab, “Kenapa di sana? Katakan saja di sini. Aku tidak mau pergi ke sana.”
“Jangan keras kepala Ki Sanak. Seseorang sedang menunggu kau di sana. Ia adalah orang yang penting bagimu, yang mungkin akan memberikan angin baru dan padepokanmu yang lesu itu.”
Orang itu masih ragu-ragu Katanya kemudian. ”Suruhlah ia datang kemari.”
“Jangan keras kepala. Orang itu tentu kau kenal dengan baik”
“Siapa?”
“Empu Baladatu.”
“Empu Baladatu?” orang itu menjadi tegang. Namun kemudian, “jadi Empu Baladatu ada di sini sekarang?”
“Ya. Dibalik gerumbul itu.”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Apakah maksudnya sebenarnya?”
“Ia ingin bertemu dengan salah seorang dari padepokan Srigala Putih dan kemudian orang-orang Macan Kumbang.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara pengawal Empu Baladatu mencoba membawa kesan pada wajah orang itu. Agaknya itu di padepokan Serigala Putih. Baru sejenak kemudian orang itu berkata, “Baiklah. Aku akan menemui Empu Baladatu.”
Orang itu pun kemudian mengikuti pengawal Empu Baladatu ke balik sebuah gerumbuL Di balik gerumbul itu Empu Baladatu duduk seorang diri. Sementara dari kejauhan dan tersembunyi, pengawalnya yang lain mengawasinya sambil menunggui kuda-kuda mereka. Orang yang memang sudah mengenal Empu Baladatu itupun kemudian duduk berhadapan. Agaknya setelah lama tidak bertemu maka orang itu pun kemudian menanyakan keselamatan dan kabar berita selama mereka berpisah.
“Aku baik-baik saja” berkata Empu Baladatu, “kau tentu sudah mendengar bahwa aku melarikan diri dari padepokan terkutuk itu. Aku membunuh orang yang menjagaku, kemudian meloncati dinding. Mereka terlalu menganggap aku tidak berdaya lagi dengan luka-lukaku saat itu.”
“Ya Empu. Semuanya sudah mendengar serba sedikit tentang Empu. Orang-orang yang melarikan diri hanya mengatakan bahwa Empu mungkin tertangkap, mungkin terbunuh. Aku sendiri yang sempat lari saat itu. tidak dapat mengatakan dengan pasti, apakah yang sudah terjadi. Tetapi kemudian kami mendengar berita bahwa Empu sempat lolos.”
“Tetapi aku tidak langsung kembali kapadepokan ini. Aku tahu bahwa prajurit Singasari akan mencari aku kemari.”
“Ya” jawab orang itu, “beberapa orang prajurit Singasari dan para cantrik dari padepokan Empu Sanggadaru telah datang kemari.”
"Apakah mereka mencari aku atau untuk keperluan yang lain?”
“Kedua-duanya. Mereka memerintahkan agar kami tidak melakukan tindakan yang dapat mencelakan kami.”
“Maksudnya?”
“Tentu agar kami tidak melakukan kegiatan lagi yang dapat menimbulkan kesan perlawanan atau bahkan persiapan untuk menyerang padepokan Empu Sanggadaru.”
“Dan apakah yang kalian lakukan selama ini?”
“Tidak apa-apa. Kami melakukan pekerjaan kami sehari-hari untuk dapat tetap hidup. Kami mengolah tanah yang ada dan memetik hasilnya bagi beberapa bagian yang sudah berbuah dan pantas dipetik.”
“Mencukupi?”
Orang itu menarik nafas dalam. Pada masa lampau semua kekurangan akan dengan mudah dapat dicukupi. Beberapa orang berkuda yang mendatangi beberapa padukuhan telah cukup untuk menambah semua kekurangan. Tetapi mereka tidak dapat melakukanuya lagi. Mereka tidak berani melanggar ancaman prajurit Singasari yang tentu akan mengambil tindakan yang keras.
“Kalian akan makan akar-akaran dan dedaunan” berkata Empu Baladatu kemudian.
Orang itu tidak segera menyahut. Tetapi ia tidak dapat ingkar bahwa mereka pada suatu saat akan merasa kekurangan makan. Tanah yang tidak begitu luas dan kurang subur hanyalah sekedar memberikan bahan makan yang sebenarnya memang kurang mencukupi.
“He. Kenapa kau diam saja? Apakah kalian memang sudah mempersiapkan diri untuk makan akar-akaran dan dedaunan?” desak Empu Baladatu.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak ada jalan lain Empu. Kami selalu dalam pengawasan. Jika kami melakukan sesuatu yang bertentangan dengan batasan-batasan yang diberikan oleh prajurit Singasari, maka kami akan mengalami tindakan yang dapat merugikan kami sendiri."
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti Kalian tidak mempunyai kekuatan lagi untuk menyatakan diri sebagai suatu kelompok yang bebas dan dapat menentukan sikap dan tindakan sendiri.”
Orang itu tidak menjawab. Tetapi tatapan matanya kepada Empu Baladatu justru merupakan tuntutan, bahwa seakan-akan Empu Baladatu lah yang harus bertanggung jawab atas kehancuran padepokan itu. meskipun tidak dalam pengertian wadag. Karena justru kahancuran itu dialami di padepokan lain.
Empu Baladatu yang seakan-akan mengerti apa yang tersirat dalam tatapan mata itu kemudian berkata, “Aku mengerti, bahwa kalian selalu dikejar oleh harapan untuk dapat bangkit kembali. Mungkin kalian menganggap bahwa aku telah ingkar akan tugas dan tanggung jawabku. Tetapi kelambatan itu terjadi karena aku sedang menyembuhkan luka-luka ku. Aku tidak dapat berbuat banyak dalam keadaan terluka parah. Aku meninggalkan padepokan kakang Empu Sanggadaru dengan keadaan yang gawat, sehingga aku memerlukan waktu penyembuhan yang cukup panjang. Dan kini aku sudah sembuh. Aku ingin melihat-lihat dan kemudian memperhitungkan setiap kemungkinan yang dapat kita tempuh bersama”
Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia merasa berdiri di simpang jalan. Rasa-rasanya ia sudah jemu untuk melibatkan diri ke dalam dunia yang kelam meskipun dengan harapan-harapan. Selama ini yang dijumpainya hanyalah kegagalan-kegagalan dan bahkan hampir kemusnahan. Namun demikian, tanpa berbuat apa-apa, maka padepokannya pun tentu akan menjadi semakin kering. Kekurangan makan yang barangkali akan semakin parah sehingga dapat menimbulkan bahaya kelaparan bagi penghuni padepokan itu.
“Jangan gelisah” berkata Empu Baladatu kemudian, “jika kalian masih mempunyai kepercayaan kepadaku, maka aku berjanji bahwa pada suatu saat akan datang saatnya, kalian menemukan hari-hari yang gemilang. Aku tidak berhenti sampai di sini meskipun aku juga tidak dapat berbuat dengan tergesa-gesa.”
Orang itu tidak menyahut. Ia memang memerlukan perubahan. Tetapi ia tidak ingin terlibat dalam kehancuran sekali lagi. Pertempuran itu adalah pertempuran yang sangat mengerikan. Orang-orang Mahibit telah kehilangan pemimpin mereka. Sedang orang-orang dari padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang, rasa-rasanya telah menjadi berputus asa dan ridak berpengharapan lagi.
“Untunglah bahwa kawan-kawan kami yang tertangkap tidak diperlakukan dengan buruk” berkata orang itu didalam hatinya. “Bahkan beberapa di antara mereka telah dilepaskan. Orang-orang yang melarikan diri dari pertempuran itu pun tidak diambil tindakan yang keras dan menyeluruh”
Namun orang itu tidak mengucapkannya di hadapan Empu Baladatu agar tidak menimbulkan kesan yang lain. Bagaimanapun juga orang itu masih merasa segan terhadap Empu Baladatu yang memang memiliki ilmu yang tinggi.
“Ia tidak boleh dikecewakan” berkata orang itu, “agar ia tidak mengambil tindakan sendiri dan langsung terhadap orang-orang dipadepokan.”
Karena itulah, maka orang itu pun selalu memberikan gambaran yang dapat menumbuhkan harapan bagi Empu Baladatu. Namun yang dikatakan oleh Empu Baladatu itu pun kadang-kadang dapat menyentuh hati orang Serigala Putih itu dan menumbuhkan harapan pula baginya.
“Empu” berkata orang itu kemudian, “apakah Empu akan singgah ke padepokan?”
“Tidak. Aku tidak akan singgah di padepokan. Tetapi jangan menganggap bahwa aku telah meninggalkan kewajibanku. Aku akan selalu mengawasi kalian dan perkembangan kalian. Pada suatu saat akan datang kesempatan yang baik yang kita tunggu dengan sabar. Lakukanlah semua perintah prajurit Singasari untuk sementara agar mereka tidak melakukan tindakan-tindakan pembatasan yang lebih keras.”
“Baik Empu” berkata orang itu, “kami akan menunggu perkembangan keadaan. Kami berharap bahwa Empu tidak akan terlalu lama menentukan sikap.”
“Aku akan menghubungi orang-orang Macan Kumbang dan kemudian orang-orang Mahihit- Semuanya harus dimulai dari permulaan lagi Tetapi betapapun berat, aku tidak akan berhenti. Apalagi kita semuanya sudah dibebani dendam yang tidak akan dapat kita hapuskan dari dinding hati kita. Kematian sanak kadang dan kawan-kawan terdekat.”
Orang padepokan itu mengangguk-angguk. Tetapi dendam itu tidak lagi mampu membakar hatinya yang bagikan sudah padam. Meskipun demikian ia tidak boleh melakukan kebodohan di hadapan Empu Baladatu yang benar-benar masih dibakar oleh dendam dan kebencian itu.
“Kembalilah” berkata Empu Baladatu, “dan berhati-hatilah menghadapi perkembangan keadaan. Mudah-mudahan aku akan segera kembali."
Orang dari padepokan Serigala Putih itu mengangguk-angguk. Sejenak ia memandang Empu Baladatu, kemudian pengawalnya yang berwajah mengerikan.
“Aku tidak akan terlalu lama” berkata Empu Baladatu kemudian.
“Apakah aku dapat mengabarkan kedatangan Empu kepada kawan-kawanku?” bertanya orang itu.
“Tetapi hati-hatilah. Jangan menjerat lidahmu sendiri di hadapan prajurit-prajurit Singasari.”
Orang itu pun kemudian minta diri kepada Empu Baladatu dan kembali kepadepokan. Di sepanjang langkahnya, ia selalu dibebani keragu-raguan tentang kemungkinan yang dapat mereka lakukan dalam bayangan kekuasaan Empu Baladatu.
Setelah pertempuran yang mengerikan itu, orang-orang dari padepokan Serigala Putih ternyata telah mendapat pengalaman baru. Bukan saja pengalaman jasmani, tetapi juga jiwani. Ternyata mereka tidak dihadapkan pada dendam yang membakar para prajurit Singasari dan para cantrik di padepokan Empu Sanggadaru. Mereka tidak mengalami pembalasan dendam tanpa ampun. Meskipun ada juga prajurit Singasari yang menjadi korban, juga para cantrik dari padepokan Empu Sanggadaru.
Namun mereka membiarkan orang-orang dari padepokan Serigala Putih yang tersisa masih tetap hidup. Bahkan mereka telah melepaskan beberapa orang tawanan dan tidak menangkapi mereka yang berhasil melarikan diri dari medan pertempuran, kecuali satu dua orang yang mempunyai peranan terpenting dalam padepokannya.
“Pilihan yang sangat sulit” berkata orang itu.
Rasa-rasanya sudah terlampau berat untuk mulai lagi memilih jalan kehidupan seperti yang pernah mereka tempuh bersama Empu Baladatu. Dalam keadaan yang paling sulit, ternyata Empu Baladatu tidak mampu melindungi mereka, dan bahkan ia sendiri hampir binasa. Untunglah bahwa ia jatuh ketangan saudara laki-lakinya. meskipun saudaranya itulah yang telah dikhianatinya. sehingga ia masih berkesempatan untuk hidup, dan bahkan membunuh orang yang mendapat tugas untuk mengawasinya, sehingga Empu Baladatu sempat melarikan diri.
Tetapi untuk menolak tawaran Empu Baladatu pun akibatnya akan dapat menyulitkan isi padepokannya. Jangankan padepokan Serigala Putih. Sedangkan padepokan kakaknya sendiri, jika tidak sejalan dengan langkahnya, Empu Baladatu tidak segan-segan untuk memusnakannya.
“Aku harus membicarakan masak-masak dengan orang-orang terpenting di padepokanku. Kehadirannya, benar-benar merupakan mimpi yang buruk bagi padepokan Serigala Putih yang mencoba untuk menenangkan dirinya.”
Orang itu pun kemudian mempercepat langkahnya. Seoah-olah ia tidak sabar lagi untuk menyampaikan berita kehadiran Empu Baladatu itu kepada kawan-kawannya.
Sementara itu Empu Baladatu masih berada dibalik gerumbul bersama seorang pengawalanya. Sejenak mereka mengawasi orang padepokan Serigala Putih itu. Namun sulitlah bagi Empu Baladatu untuk mendapatkan kesan daripadanya.
“Apakah orang itu akan bersedia menyampaikannya kepada kawan-kawannya?” bertanya Empu Baladatu kepada pengawalnya.
“Ia tidak akan dapat mengelak. Tetapi entahlah, apakah keputusan yang akan diambil oleh orang-orang padepokan Serigala Putih. Mereka bukan lagi Serigala yang buas. Tetapi agaknya mereka tidak lebih dari anjing peliharaan yang sudah tidak bergigi lagi.” sahut pengawalnya.
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi aku masih mengharap bahwa mereka akan dapat dibangunkan lagi.”
“Tetapi dapat juga membahayakan perjalanan Empu Baladati. Mereka dapat berkhianat dan melaporkan kepada prajurit Singasari bahwa Empu ada disini.”
“Sebentar lagi kita akan. pergi.”
“Bukan itu soalnya. Tetapi daerah ini dan daerah yang mungkin akan Empu datangi, akan mendapat pengawasan yang ketat. Jika selama ini perjalanan Empu terlepas dari pengawasan para petugas dari Singasari, maka jika orang itu berkhianat, maka mungkin sekali orang-orang Singasari akan membuat jaring-jaring yang dapat membahayakan perjalanan Empu.”
Tetapi Empu Baladatu tersenyum. Katanya, “Mereka tidak akan berani berbuat demikian. Maksudku, orang-orang Serigala Putih. Untuk sementara mereka akan tetap diam dan menunggu perkembangan keadaan. Jika akhirnya mereka memutuskan untuk tidak lagi berhubungan dengan aku, maka keputusan itu akan diambil dalam waktu yang lama.”
Pengawalnya termenung sejenak. Namun ia pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Marilah. Aku akan singgah juga di padepokan Macan Kumbang.” berkata Empu Baladatu.
“Tetapi apakah itu tidak berarti memperluas berita kedatangan Empu di daerah ini? Tentu orang-orang Macan Kumbang juga berada di bawah pengawasan prajurit-prajurit Singasari.”
“Tetapi aku ingin memperingatkan kepada mereka, bahwa mereka akan selalu berada di bawah bayang-bayang kekuasaanku. Bagaimanapun juga, mereka tidak akan dapat melepaskan diri sama sekali.”
“Seperti yang aku katakan. Ada dua akibat yang berlawanan dapat timbul”
Sekali lagi Empu Baladatu tertawa. Katanya, “Aku masih akan dapat menakut-nakuti mereka dengan kekuatan yang tersisa. Pengawasan prajurit Singasari ternyata tidak begitu ketat atas mereka.”
“Sebelum mereka menyatakan kehadiran Empu Baladatu.”
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu iapun kemudian bertanya, “Apakah maksudmu?”
"Sebelum mereka menyatakan, bahwa Empu Baladatu telah datang kepadepokan mereka, maka prajurit-prajurit Singasari tidak akan mengawasi mereka dengan ketat. Tetapi jika laporan tentang kedatangan Empu sudah mereka dengar, tentu mereka akan mengambil sikap lain.”
Empu Baladatu masih saja tertawa. Katanya, “Untuk satu dua hari. Mungkin satu dua bulan mereka akan mengambil sikap dan pengawasan yang lebih ketat. Tetapi sesudah itu, mereka akan melupakannya, dan semuanya akan berjalan seperti biasa. Nah aku akan menunggu kesempatan serupa itu”
Pengawalnya termenung sejenak. Namun iapun kemudian mengangguk pula sambil berkata, “Setiap kali Empu datang dan dilaporkan, maka mereka akan mempersiapkan diri untuk satu atau dua pekan. Seterusnya mereka lengah lagi. dan Empu akan datang lagi menjenguk padepokana ini.”
Empu Baladatu tertawa semakin keras, dan pengawalnya pun ikut tertawa pula. “Marilah. Kita tinggalkan padepokan ini. Kita akan meneruskan perjalanan. Mungkin di padepokan ini akan segera terjadi kesibukan pengawasan prajurit-prajurit Singasari setelah mereka mendengar aku datang. Tetapi aku akan kembali setelah mereka menjadi jemu dan membiarkan padepokan ini di luar pengawasan mereka”
Keduanyapun kemudian meninggalkan tempat itu. Mereka masih berpaling memandang ke arah orang padepokan Serigala Putih menghilang. Namun sejenak kemudian, Empu Baladatu dan beberapa orang pengawalnya telah berderap meneruskan perjalanan. Mereka ingin sampai ke padepokan Macan Kumbang, sebelum berita kedatangannya di padepokan Serigala Putih telah menarik perhatian para prajurit Singasari.
Dalam pada itu, orang padepokan Serigala Putih yang telah bertemu dengan Empu Baladatu itu pun menjadi bingung. Ia tidak tahu. apakah yang sebaiknya dilakukan. Karena itulah maka ia telah mengambil keputusan untuk menyampaikan berita kehadiran Empu Baladatu itu kepada orang-orang yang dianggap paling berpengaruh di padepokannya sepeninggal para pemimpin mereka, termasuk orang-orang yang ditempatkan oleh Empu Baladatu di padepokan itu.
Beberapa orangpun kemudian telah berkumpul sesaat setelah orang yang bertemu dengan Empu Baladatu itu berada kembali di padepokannya. Dengan cermat ia menceriterakan apa yang telah dialaminya. Pertemuan dengan orang yang sama sekali tidak diharapkan lagi datang kepadepokannya.
“Jadi Empu baladatu masih berniat untuk meneruskan perjuangannya” bertanya salah seorang dari orang-orang di padepokan Serigala Putih itu.
“Ya” jawab kawannya yang bertemu langsung dengan Empu Baladatu, “Nampaknya ia sudah siap untuk berjuang dalam waktu yang tidak terbatas.”
Kawan-kawannya yang lain menjadi termangu-mangu.
“Nah, apakah yang sebaiknya kita lakukan. Kita memang sudah terperosok ke dalam kesulitan. Jika menolak kerja sama dengan Empu Baladatu, maka kita akan mengalami kesulitan pula. Empu Baladatu dapat berbuat apa saja yang dikehendaki tanpa belas kasihan. Jangankan kita, yang baginya adalah orang lain atau bahkan orang-orang yang tidak berarti kecuali dijadikan umpan dalam peperangan seperti yang pernah terjadi, sedangkan saudara kandungnya pun akan mengalami nasib yang sangat buruk jika Empu Baladatu tidak salah hitung atas kekuatan padepokan itu.”
“Kita memang tidak dapat tergesa-gesa mengambil keputusan. Kita mempunyai waktu untuk berpikir” berkata salah seorang dari mereka. Kemudian katanya selanjutnya, “bukankah Empu Baladatu masih akan pergi kepadepokan Macan Kumbang dan barangkali juga ke Mahibit?”
“Ya.”
Orang yang tertua di antara mereka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Benar-benar suatu jalan simpang yang sulit. Kita yang sudah terlanjur terperosok kedalam kejahatan ini, agaknya sudah sulit untuk hangkit kembali”
“Tetapi kita harus mencoba meskipun dengan kemungkinan yang buruk sekalipun. Kita sudah jemu hidup dalam ketidak pastian seperti yang pernah kita alami di saat-saat yang lampau. Justru setelah kita mulai mencari jalan ketenangan, Empu Baladatu telah datang lagi dengan rencananya yang gila. Kita harus mulai lagi dengan korban darah.”
“Sebenarnya kita sudah jemu dengan tingkah laku kita sendiri di masa lampau setelah kita mengalami kehancuran mutlak itu.”
“Aku tidak mau lagi” sahut yang lain
Tetapi salah seorang dari mereka berkata, “Tetapi kita masih harus mempertimbangkan untung dan ruginya. Kita dihadapkan kepada pilihan yang paling sulit.”
Sejenak orang-orang itupun terdiam. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Apakah tidak sebaiknya kita menyampaikannya kepada prajurit Singasari atau kepada Empu Sanggadaru bahwa Empu Baladatu telah datang lagi kepadepokan ini?”
Orang-orang itupun terdiam pula. Agaknya mereka memang sedang mempertimbangkan, jalan manakah yang paling baik yang dapat mereka pilih.
“Tetapi agaknya kita masih harus berpikir amat panjang” desis seseorang
Dan berpikir sangat panjang itulah yang memang diharapkan oleh Empu Baladatu, Bahkan Empu Baladatu yakin bahwa orang-orang dari padepokan Serigala Putih itu memang akan berpikir sangat panjang, sehingga memberi kesempatan kepadanya untuk mengunjungi padepokan Macan Kumbang.
“Jika orang-orang Serigala Putih mempunyai keberanian untuk mengambil keputusan menyampaikan kehadiran Empu Baladatu kepada prajurit-prajurit Singasari, maka kami tentu akan terjebak di padepokan Macan Kumbang” berkata salah seorang pengawalnya kepada diri sendiri. Tetapi ia tidak berani mengatakannya kepada Empu Baladatu yang nampaknya yakin bahwa orang-orang Serigala Putih memang tidak mempunyai keberanian berbuat demikian.
Dan ternyata seperti yang diperhitungkan oleh Empu Baladatu, maka keputusan terakhir dari orang-orang padepokan Serigala Putih adalah berpikir sepuluh kali lagi, sehingga memberikan banyak waktu kepada Empu Baladatu.
Ternyata kehadiran Empu Baladatu di padepokan Macan Kumbang juga menumbuhkan persoalan yang sama dengan kehadirannya di padepokan Serigala Putih. Orang-orang Macan Kumbang yang seolah-olah tidak mempunyai kekuatan lagi itu pun sebenarnya merasa lebih senang untuk tidak berbuat apa-apa lagi yang dapat menghadapkan mereka kepada tindakan prajurit-prajurit Singasari.
Tetapi seperti juga orang-orang Serigala Putih, maka mereka pun dibayangi oleh kecemasan, bahwa Empu Baladatu akan melakukan kekerasan pula terhadap mereka pada saat-saat mereka tidak terlindung oleb kekuatan prajurit Singasari.
“Prajurit-prajurit itu tentu akan mendengarkan pengaduan kita” berkata salah seorang dari padepokan Macan Kumbang sepeninggal Empu Baladatu “tetapi kita tidak dapat mengharap perlindungan mereka untuk waktu yang lama. Mereka memang akan bersedia menempatkan sepasukan prajurit di padepokan ini. Tetapi betapa hari. Sementara mereka meninggalkan kita, maka Empu Baladatu mulai bertindak dengan kekerasan yang kasar dan buas”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Merekapun menjadi bingung seperti orang-orang dipadepokan Serigala Putih, sehingga dengan demikian maka mereka pun memerlukan waktu yang panjang untuk memikirkannya.
“Kita akan sampai ke Mahihit dengan aman” berkata Empu Baladatu di perjalanan, “orang-orang padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang tidak akan dapat mengambil sikap dengan segera.”
Pengawalnya hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi mereka selalu berharap agar demikian yang sebenarnya terjadi. Dalam pada itu, Empu Baladatu telah berada dalam perjalanan menuju ke Mahibit. Ia sudah mempertimbangkan cara yang paling baik untuk menemukan tempat Linggapati meskipun masih belum meyakinkan.
Seperti yang diduganya, maka Empu Baladatu tidak dapat menemukan Linggapati di dalam padepokannya yang telah kosong. Agaknya Linggapati lebih senang berada di tempat yang tidak mudah diketahui oleh orang-orang yang tidak dikehendaki.
“Empu” berkata pengawal Empu Baladatu, “tentu di Mahibit masih berkeliaran satu dua orang petugas sandi dari Singasari. Kita harus menemukan Linggapati dengan cara yang tersendiri.
Empu Baladatu menyadari bahwa menemukan Linggapati bukanlah pekerjaan yang mudah. Meskipun ia sudah mengenalnya dan pernah mendapat beberapa petunjuk tentang padepokannya, namun dalam keadaan yang khusus itu, maka tempat Linggapati tentu menjadi sangat sulit untuk diketemukan.
Karena itu. maka Empu Baladatu lebih dahulu harus menemukan tempat tinggal. Dengan membujuk dan memberikan uang imbalan dan bahkan mengancam, akhirnya ada juga orang yang bersedia menerima kehadirannya. Dari tempatnya itulah, Empu Baladatu merencanakan cara untuk menemukan Linggapati.
Yang pertama-tama dilakukannya adalah cara yang pernah dilakukan oleh seorang kepercayaannya. Di tempat yang sama Empu Baladatu duduk seperti seorang pengemis. Ia mengharap bahwa di simpang jalan itu, ia akan mendapat perhatian jika Linggapati kebetulan lewat dalam penyamaran yang manapun juga.
Tetapi lewat satu dua hari, tidak seorang pun yang menghiraukannya selain orang-orang yang menaruh belas kasihan. Satu dua orang memang melemparkan keping-keping uang atau bahkan makanan kepadanya. Tetapi tidak seorang pun yang dikenalnya sebagai Linggapati
“Gila. Apakah Linggapati tidak pernah melalui jalan ini dan memperhatikan seorang pengemis seperti yang pernah dilihatnya beberapa waktu yang lalu?” desis Empu Baladatu. Ia percaya, jika Linggapati melihatnya, ia tentu akan teringat bahwa di tempat itu pernah duduk seorang pengemis yang menarik perhatiannya dan pernah berhubungan langsung denganya.
“Agaknya Linggadadi lah yang selalu berkeliaran di sepanjang jalan” desis Empu Baladatu di dalam hatinya, “sepeninggal Linggadadi tidak ada lagi orang yang akan memberitahukan kepada Linggapati akan kehadiranku di sini. Bahkan mungkin petugas sandi Singasari telah mencurigai aku lebih dahulu, sebelum aku dapat berhubungan dengan Linggapati.”
Namun demikian, untuk beberapa hari lagi. Empu Baladatu berniat untuk tetap berada di tempat itu. Ia masih mengharap bahwa Linggapati akan melihat dan menaruh perhatian kepadanya meskipun ia pun berada dalam penyamaran.
Setelah dua tiga hari Empu Baladatu berada di tempatnya. Ia mulai menjadi jemu. Meskipun kadang-kadang ada juga satu dua orang yang melemparkan sekeping uang. namun yang diharapkannya adalah kehadiran Linggapati.
Dihari berikutnya, Empu Baladatu sudah mulai ragu-ragu dengan usahanya. Para pengawalnya, yang mengamatinya dari kejauhan pun sudah menjadi jemu. Meskipun mereka sempal bergantian dan berjalan-jalan menyusuri jalan yang agak panjang, tetapi mereka ternyata hampir tidak tahan lagi melakukan tugasnya.
Namun di hari yang menjemukan itu, ternyata yang ditunggu Empu Baladatu itupun datang. Seorang laki-laki dalam pakaian sederhana seperti kebanyakan petani di padukuhan. berjalan mendekatinya. Beberapa langkah dari Empu Baladatu yang duduk di simpang jalan sebagai seorang pengemis, orang itu berhenti. Sejenak ia memperhatikan orang-orang yang lalu lalang. Namun agaknya tidak seorang pun yang menghiraukannya.
Perlahan-lahan iapun mendekati pengemis di simpang jalan itu. Sambil berhenti beberapa tapak ia berdesis, “Selamat datang di Mahihit Empu Baladatu.“
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Sekilas ia memandang orang itu. Namun sambil tersenyum ia pun menjawab, “Selamat bertemu Ki Linggapati. Aku sudah jemu menunggu. Aku kira kau tidak mau keluar lagi dari sarangmu. Sepeninggal Linggadadi, maka tidak ada lagi orang yang menghiraukan orang lain di daerah Mahibit ini.”
“Sudah dua hari aku melihat Empu di sini. Tetapi aku sedang meyakinkan, apakah yang aku lihat benar-benar Empu Baladatu yang perkasa itu.”
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Terima kasih atas pujian itu. Tetapi sebenarnyalah aku ingin bertemu dengan Ki Linggapati”
Linggapati berdiri bersandar sebatang pohon. Tanpa memandang kepada pengemis yang duduk didekatnya ia berkata, “Empu, apakah kau masih akan menuntut agar aku menyediakan orang-orangku lagi untuk diumpankan ke mulut harimau itu? Ternyata adikku, kepercayaanku yang terbaik telah terbunuh. Dan sekarang kau datang lagi kepadaku.”
“Ada yang ingin aku bicarakan.”
“Empu. Jika aku berkata dengan jujur, maka rasa-rasanya aku ingin melepaskan sakit hatiku kepadamu pula. Kaulah sumber dari kehancuran itu. Jika kau mempunyai perhitungan yang cukup, tidak usah terlalu baik, maka tidak akan terjadi bencana yang menimpa orang-orangku seperti yang telah terjadi.”
“Kedatanganku adalah untuk menjelaskan persoalannya” berkata Empu Baladatu.
“Kau ingin ke padepokanku?”
“Kau telah berpindah tempat lagi. Jika kau tidak berkeberatan, aku bersedia singgah kepadepokanmu yang terbaru.”
Linggapati menyilangkan tangannya di dadanya. Ia masih berdiri bersandar sebatang pohon sambil menatap orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya.
“Sabenarnya aku juga tidak berkeberatan membawamu kepadepokanku. Aku sama sekali tidak mencemaskan bahwa kau pada suatu saat akan berkhianat, karena penghianatanmu tidak akan berarti apa-apa bagiku.” Linggapati berhenti sejenak lalu, “Tetapi yang aku cemaskan adalah justru kebodohanmu. Dengan demikian maka letak padepokanku yang baru tentu tercium oleh prajurit Singasari.”
“Linggapati” potong Empu Baladatu, “kau sudah cukup menghinaku. Aku masih akan menahan diri dan bersedia menjelaskan persoalannya jika kau mau melihat ke masa depan yang lebih baik dari pada menyesali masa lampau yang tidak akan dapat diulangi. Akupun menyesal bahwa semua itu telah terjadi. Mungkin memang karena kebodohanku. Bahkan aku pun telah terluka dan hampir saja aku mati oleh kakakku sendiri. Untunglah bahwa aku dapat melarikan diri dengan membunuh penjagaku.”
“Itupun merupakan teka-teki bagiku. Bagaimana mungkin kau dapat melarikan diri dari padepokan Empu Sanggadaru.”
“Aku mengerti pikiranmu. Kau menyangka bahwa aku memang dilepaskan dengan janji untuk memberitahukan rahasiamu”
Linggapati tersenyum meskipun ia masih tetap tidak berpaling. “Itu memang hakmu” berkata Empu Baladatu, “tetapi aku masih tetap ingin memberikan penjelasan dan barangkali kerja sama bagi masa depan, selagi kau tidak berputus asa karena kematian adikmu itu.”
Linggapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apa lagi yang akan kau katakan kepadaku Empu. Maaf, bahwa aku tidak dapat membawamu ke padepokanku. Jika bukan kau yang bodoh, maka pengawalmu itulah yang akan membuka rahasiaku”
“Kau tahu bahwa aku bersama pengawalku disini?”
“Mereka memang terlalu bodoh. Lihatlah, bagaimana mereka mondar mandir mengawasi aku yang berdiri di sini? Suruhlah mereka agak mengekang diri sedikit. Kau pun harus tahu bahwa di Mahibit sekarang berkeliaran petugas-petugas sandi dari Singasari.”
Empu Baladatu menarik nafas. Katanya, “Aku mengerti. Bukan saja di Mahibit tetapi juga di sekitar padepokanku. Di sekitar padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang.”
“Buat apa prajurit-prajurit sandi Singasari mengawasi padepokan-padepokan yang sudah musnah itu?”
“Sekedar dibayangi oleh ketakutan. Nah, kau tahu betapa kecutnya hati prajurit Singasari terhadap perjuangan kita?”
Linggapati tertawa. Katanya, “Kau berusaha menghibur dirimu sendiri dengan kebanggaan-kebanggaan yang kosong itu. Tetapi baiklah. Tetapi aku bukan pemimpi. Kaupun harus belajar dari pengalaman, bahwa mimpimu telah menimbulkan kenangan yang buruk. Sangat buruk”
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Sekilas dipandanginya Linggapati yang masih saja berdiri tanpa memandangnya. Terasa dada Empu Baladatu mulai bergejolak. Tetapi ia masih tetap menahan diri dan mencoba mencari jalan keluar dari keadaan itu
“Linggapati” katanya kemudian, “mungkin ada kekecewaan dihati kita masing-masing. Kau kehilangan adikmu dan barangkali beberapa orang-orangmu. Tetapi akupun telah kehilangan banyak sekali. Bahkan hampir saja diriku sendiri. Karena itu, apakah kita tidak dapat melihat ke masa depan yang lebih baik dari pengalaman kita yang pahit itu”
Linggapati termenung sejenak. Dipandanginya seorang yang duduk di kejauhan. Seorang lagi berjalan hilir mudik. “Tentu lebih dari dua orang itu” desisnya.
“Apa?” bertanya Empu Baladatu
“Pengawalmu”
Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab.
“Kita akan berbicara” berkata Linggapati kemudian, “tetapi tidak di padepokanku. Kita akan pergi ke ujung kota ini. Kita akan duduk di bawah sebatang pohon yang rindang. Terserah kepadamu apakah pengawalmu akan mengawasimu arau tidak. Tetapi sudah tentu, kau tidak dalam pakaian, pengemis seperti itu.”
“Aku tidak dikenal dalam pakaian ini.”
“Tetapi jika kita berbicara terlalu lama. Maka kita akan dicurigai. Justru karena kau seorang pengemis.”
“Jadi”
“Aku tunggu kau di jalur jalan ini. Di luar gerbang kota”
Empu Baladatu masih akan bertanya. Tetapi Linggapati telah melangkah pergi perlahan-lahan. Sejenak Empu Baladatu memandangi langkahnya seolah-olah tidak mempunyai kepentingan apapun juga menyilang jalan dan semakin lama menjadi semakin jauh.
Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia ingin bertemu dengan Linggapati. Karena itulah maka iapun kemudian meninggalkan tempatnya dengan tidak menimbulkan kecurigaan sama sekali. Empu Baladatu kemudian kembali ke pondoknya. Ia berganti pakaian seperti pakaian orang kebanyakan. Kemudian seperti yang dijanjikannya, iapun dengan hati-hati telah pergi ke gerbang kota.
Ternyata di luar gerbang ia melihat sebatang pohon tumbuh di tepi jalan agak menjorok masuk kedalam daerah persawahan di antara sebatang parit yang mengalirkan air yang bening. Ketika ia mendekati pohon itu, ia melihat seseorang duduk di atas sebuah pematang seakan-akan sedang berteduh dari terik matahari yang membakar kulit.
Empu Baladatu termangu-mangu sejenak. Ia tahu benar bahwa orang itu adalah Linggapati. Perlahan-lahan ia mendekatinya. Dengan sengaja ia tidak memerintahkan pengawalnya untuk mengawasinya agar tidak menimbulkan salah paham.
“Kemarilah, duduklah” Linggapati itu mempersilahkan.
Keduanya pun kemudian duduk dibawah bayangan rimbunnya dedaunan, sehingga tidak seorang pun yang akan mencurigai mereka, karena orang-orang yang melihatnya tentu mengira bahwa keduanya memang sedang berteduh.
“Bukankah kau akan menceriterakan peristiwa yang pahit itu dan memberikan alasan-alasan yang dapat diterima tentang kegagalanmu?” bertanya Linggapati.
“Tidak. Aku justru berpikir lain. Agaknya hal itu tidak akan banyak menarik perhatianmu. Aku dapat membaca tanggapanmu. Kau tidak akan mempercayainya dengan sungguh-sungguh, karena kau menganggap bahwa aku hanyalah akan sekedar memperbaiki kesalahanku, minta maaf dan minta perlindunganmu”
Linggapati mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun kemudian tersenyum. Katanya, “Kau cukup sombong. Tetapi aku senang melihat sikapmu. Ternyata kau adalah seorang laki-laki yang pun ya harga diri dan kesanggupan untuk berbuat”
“Pujianmu meragukan. Tetapi baiklah. Aku mengucapkan terima kasih” ia berhenti sejenak, lalu, “Aku hanya akan sekedar memberitahukan kepadamu, bahwa satu hal yang tidak kita perhitungkan saat itu adalah bahwa di padepokan kakang Sanggadaru terdapat sekelompok prajurit yang menyamar sebagai cantrik di padepokan itu. Agaknya kakang Sanggadaru mencurigai aku dan minta perlindungan. Apalagi di padepokan itu tinggal tiga orang kakak beradik anak Mahendra. Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan yang paling berbahaya dan ternyata telah membunuh adikmu adalah Mahisa Bungalan yang bergelar pembunuh orang berilmu hitam.”
Linggapati mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sudah mendengar semuanya. Dan kau hampir dibunuh oleh kakakmu. Tetapi bahwa kau sempat lari itu agaknya telah menumbuhkan berbagai pertanyaan padaku”
“Sudahlah aku katakan. Aku membunuh penjagaku.”
Linggapati termenung sejenak, seolah-olah ia sedang mencernakan kata-kata Empu Baladatu.
“Tetapi terserah kepadamu, apakah penilaianmu terhadap pemberitahuanku itu. Apakah kau percaya atau tidak, atau bahkan sama sekali tidak berarti, aku tidak peduli. Yang penting bagiku, bagaimanakah sikapmu selanjutnya. Apakah kau masih akan melanjutkan perjuanganmu, atau kau akan berhenti sampai pada kegagalan pertama.”
Linggapati tidak segera menjawab. Tetapi ia mencoba merenungkan pertanyaan itu. Sejenak kemudian terdiam. Masing-masing tenggelam dalam angan-angannya. Mereka mulai membayangkan, apakah yang pernah terjadi, yang kini sedang berlangsung dan masa yang mendatang.
Linggapati tiba-tiba saja berdesah. Katanya, “Aku sudah kehilangan adikku. Kau dapat menduga, apakah yang sekarang berkecamuk di dalam hariku”
“Aku mengerti. Tetapi aku tidak mengerti apakah kau masih mempunyai gairah perjuangan selanjutnya. Kematian adikmu akan mencambukmu untuk berbuat lebih banyak, atau akan mematahkan hatimu sama sekali.”
“Kau sudah cukup menjengkelkan” potong Linggapati, “tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa terhadapmu. Tetapi justru karena aku tidak dapat berbuat apa-apa itulah maka aku merasa seakan-akan dadaku akan retak. Karena itu, aku harap kau tidak lagi menyinggung tentang kematian adikku dan rencanaku seterusnya. Apakah aku sudah patah, atau aku masih akan berjuang terus, itu adalah persoalanku sendiri. Tetapi jika yang kau maksud menemui aku sekarang untuk memberikan alasan-alasan kegagalanmu untuk mengurangi kesalahanmu, aku sudah mendengarnya dan aku akan mencoba mengerti”
“Kata-katamu pun menyakiti hatiku. Kaulah yang mula-mula menusuk telingaku dengan kata-kata kasar.” Empu Baladatu berhenti sejenak, lalu “tetapi baiklah. Marilah kita lupakan. Mungkin kita masih mempunyai kesempatan untuk berbicara dengan baik.”
Linggapati menarik nafas dalam-dalam. Matanya memandang kejauhan. Tetapi ia tidak segera menjawab. Empu Baladatu tidak mendesaknya. Ia pun memandang kilatan cahaya matahari yang jatuh di atas riak air yang mengalir di parit kecil di sebelah tempat mereka duduk.
“Apakah kita masih dapat berbicara?” bertanya Linggapati.
“Kenapa tidak?”
“Baiklah. Apakah yang akan kita bicarakan?”
“Masa depan”
Linggapati termenung sejenak. Lalu, “Apakah kau bermaksud menyatukan kekuatan di antara kita seperti yang pernah kita lakukan dan gagal mutlak itu?”
“Ya. Tetapi sudah tentu dengan pertimbangan yang lebih baik, sehingga kegagalan itu tidak akan tertulang lagi. Keadaan di luar perhitungan kita harus kita pertimbangkan semasak-masaknya dan tidak tergesa-gesa.”
Linggapati memandang Empu Baladatu sejenak. Katanya, “Nampaknya meyakinkan sekali.”
“Linggapati. Aku merasa bahwa aku telah membuat kesalahan. Karena itu. pada masa mendalang, kita akan membicarakan setiap langkah dengan masak. Aku sadar, bahwa yang kita hadapi adalah kekuatan raksasa yang sulit digoyahkan. Apalagi jika kita berbuat sendiri-sendiri.”
Linggapati mengangguk-angguk. Jawabnya, “Aku mengerti. Singasari benar-benar telah mapan. Tetapi Kediri pernah dihancurkan oleh Akuwu Tumapel.”
“Kau harus mempelajari peristiwa itu sebaik-baiknya.”
“Aku sudah melakukannya. Karena saat itu Kediri bergolak. Para Brahmana merasa tidak puas dan melakukan tindakan yang merugikan pemerintahan Kediri saat itu.”
“Dan kau juga akan menumbuhkan perasaan tidak puas itu dikalangan rakyat Singasari?”
Linggapati tidak menjawab. Tetapi dalam kediamannya justru tersirat tekadnya yang bulat untuk melakukan seperti yang dikatakan oleh Empu Baladatu.
“Linggapati” kata Empu Baladatu, “hatimu masih tertutup. Kau masih tetap menganggap aku seorang yang bodoh. Seorang yang tidak mampu menilai medan dan bahkan telah mengorbankan orang-orang terbaik dari beberapa lingkungan. Tetapi aku kira, aku bukan orang yang sebodoh itu,”
“Emuu” berkata Linggapati, “aku tahu bahwa pikiranmu terang. Hampir semua yang kau katakan; telah terpikirkan pula olehku, sehingga dengan jujur aku katakan, bahwa dalam menghadapi perkembangan keadaan, kita sejalan. Tetapi aku masih belum dapat melupakan kekecewaanku terhadap kematian Linggadadi, karena kematiannya benar-benar telah menyusutkan kekuatan Mahibit yang dengan susah payah aku susun untuk waktu yang lama. Orang-orang yang semula mengaguminya dan berada di bawah pengaruhnya mulai ragu-ragu, bahwa Linggadadi dapat terbunuh di peperangan. Apalagi kemudian tersebar berita, bahwa pembunuhnya adalah Mahisa Bungalan. Orang yang seperti juga Linggadadi, mendapat gelar pembunuh orang berilmu hitam.”
“Tetapi apakah kekecewaanmu itu akan tetap membayangi hatimu, sehingga kau tidak lagi dapat bangkit dan melakukan sesuatu tanpa adikmu? Kematiannya adalah suatu kenyataan. Dan kau tidak dapat ingkar dari kenyataan” Empu Baladatu berhenti sejenak, lalu, “pertimbangkan. Aku menunggu keputusanmu. Tetapi dengan atau tidak dengan kau, aku akan berjalan terus meskipun lambat dan lama.”
“Kau masih tetap sombong. Tetapi aku mengerti maksudmu. Kau ingin mendesak aku agar aku segera memberikan keputusan agar kau tidak mengambil keputusan sendiri.” Linggapati berhenti sejenak, lalu, “aku akan memikirkannya Empu. Tetapi kau tentu sudah menduga, bahwa aku akan memelihara dendam didalam hatiku atas kematian adikku. Tetapi bukankah kita tidak akan tergesa-gesa agar kita tidak terperosok kedalam neraka lagi karena kesalahan yang tidak perlu terjadi?”
“Kau benar, Dan aku pun tidak ingin memaksa agar kau cepat. mengambil keputusan. meskipun keputusan itu sudah nampak pada sikapmu.”
Linggapati menarik nafas panjang. Dipandanginya Empu Baladatu sejenak. Namun kemudian kembali ia memandang kekejauhan sambil bergumam “Kita akan bertemu lagi. Aku menunggumu di tempat ini selapan hari lagi.”
“Aku harus datang lagi ke Mahibit dan mencarimu di tempat ini? Aku mengerti, bahwa kau masih belum percaya sepenuhnya kepadaku. Tetapi apakah kau tidak akan menerimaku di padepokanmu?”
“Aku tidak mempunyai tempat tertentu sekarang. Padepokanku pun masib tetap dihuni oleh orang-orangku. Bahkan padepokanku yang semula dan sudah lama aku tinggalkan, kini telah aku pergunakan pula. Tetapi aku tidak berada di kedua tempat itu. Tidak ada seorang pun yang mengetahui, dimana kah aku tinggal. Bahkan pengawal-pengawalku yang terdekatpun tidak, selain dua orang kepercayaanku.”
“Bagaimana hubunganmu dengan orang-orangmu?”
“Kedua orang kepercayaanku merupakan penghubung yang dapat aku percaya sepenuhnya. Selain dari keduanya, aku juga sering datang kepada mereka untuk keperluan yang penting. Bagi beberapa orang, aku masih merupakan guru yang baik, yang setiap saat membina mereka dalam olah kanuragan. Aku ingin pasukanku menjadi kuat dan dapat dipercaya.”
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan datang selapan hari lagi. Aku akan mendengar keputusanmu. Tetapi bahwa suasana yang tidak tenang harus ditumbuhkan di Singasari dan daerah kekuasaannya, aku tidak perlu menunggumu. Mungkin aku akan mulai dari daerah yang agak jauh dari Kota Raja. Tetapi mungkin aku akan mulai dari Kota Raja itu sendiri, karena sebenarnyalah sumber perubahan adalah di Kota Raja itu sendiri. Seperti saat-saat Ken Arok menguasai Kediri, maka seluruh wilayahnya dengan sendirinya akan tunduk kepada keadaan yang berlaku di Kota Raja.”
“Kau cerdik juga. Tetapi sudah tentu tidak semudah itu. Namun demikian, jika kau mulai, mulailah. Aku akan membuat pertimbangan-pertimbangan tersendiri.”
“Terserah kepadamu. Aku kembali ke padepokanku. Selapan hari lagi aku sudah akan berada disini. Aku ingin mendengar, apakah yang akan kau lakukan kemudian.”
Linggapati tidak menyahut. Ketika Empu Baladatu kemudian berdiri Linggapati masih tetap duduk dietmpatnya. “Aku minta diri” berkata Empu Baladatu.
Linggapati mengangguk. Katanya, “Mudah-mudahan kita dapat menemukan persesuaian betapa kekecewaan mencengkam hatiku karena kematian Linggadadi.”
Empu Baladatu pun kemudian meninggalkan tempat itu. Ketika ia berpaling maka dilihatnya Linggapati masih duduk di tempatnya. “Ia masih dicengkam oleh kekecewaan” desis Empu Baladatu. Tetapi Empu Baladatu dapat mengerti perasaan Linggapati yang seakan-akan menjadi retak karena kehilangan adiknya.
Ternyata Empu Baladatu tidak tinggal di Mahibit lebih lama lagi. Ketika ia sampai di pondokhya, maka ia pun segera mempersiapkan diri untuk kembali kepadepokannya sendiri.
“Apakah kita akan berangkat sekarang?” bertanya seorang pengawalnya.
"Bagi kita, sekarang atau besok tidak ada bedanya."
Pengawalnya tidak bertanya lagi. Sebenarnyalah bagi mereka waktu tidak banyak mempengaruhi. Seandainya mereka harus bermalam beberapa malam sekalipun di perjalanan. Mereka sama sekali tidak akan cemas.
Demikianlah setelah memberikan imbalan kepada pemilik rumah yang ditempati oleh Empu Baladatu dan para pengawalnya, agar tidak kecewa dan banyak berceritera tentang mereka, maka Empu Baladatu pun segera meninggalkan Mahibit.
“Apakah kita akan kembali singgah di padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang?” bertanya pengawalnya.
“Tidak sekarang. Jika aku kelak kembali ke Mahibit, barulah aku akan singgah di kedua padepokan itu. Sekarang waktunya masih kurang tepat. Mungkin orang-orang dari kedua padepokan itu berbuat bodoh dan menyampaikan kehadiran ku kepada prajurit-prajurit Singasari, sehingga kedua padepokan itu diawasi.”
Pengawalnya mengangguk-angguk-
“Seperti yang sudah aku katakan. Prajurit-prajurit Singasari itu akhirnya akan jemu dan menghentikan pengawasannya. Barulah kita akan singgah lagi, dan memberikan beberapa pesan kepada mereka. Jika perlu, aku dapat menakut-nakuti mereka dengan beberapa macam cara”
Demikianlah maka Empu Baladatu dan pengawalnya berpacu langsung kembali ke padepokan mereka, meskipun mereka harus bermalam di perjalanan. Di tepi hutan yang tidak begitu lebat, mereka mencari tempat yang baik untuk beristirahat. Mereka mengikat kuda mereka di tempat yang berumput, sementara mereka menyiapkan tempat untuk berbaring.
Seperti biasanya, bergantian mereka berjaga-jaga. Mungkin ada binatang buas yang mendekati, tetapi mungkin juga ada sekelompok orang yang tidak sengaja menghampiri mereka. Tetapi semalam suntuk mereka tidak menemui kesulitan sama sekali.
Menjelang fajar merekapun telah bersiap-siap. Karena mereka tidak membuat perapian, maka mereka minum air langsung dari sebuah belik di bawah sebatang pohon preh yang besar. Terasa air itu sangat dingin. Tetapi karena mereka merasa haus, maka seteguk air itu rasa-rasanya membuat tubuh mereka menjadi segar.
“Kita akan mencari makan di sepanjang perjalanan” berkata Empu Baladatu.
Demikianlah, maka mereka pun segera melanjutkan perjalanan kembali ke padepokan sendiri.
Dalam pada itu. Orang-orang dari padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang masih saja dicengkam oleh kehingungan. Apakah yang sebaiknya mereka lakukan. Mereka merasa bahwa mereka telah tidak mempunyai kekuatan lagi untuk berbuat sesuatu. Kegagalan serangan mereka pada padepokan Empu Sanggadaru membuat mereka seakan-akan lumpuh sama sekali Bukan saja kekuatan pasukan mereka, tetapi juga hati mereka bagaikan telah patah.
Apalagi karena sikap para prajurit Singasari yang justru diluar dugaan mereka. Para prajurit itu tidak mendera mereka dengan rotan, dan menghukum picis di perapatan. Tetapi justru mereka mendapat kesempatan untuk kembali kepadepokan dan mulai dengan kehidupan wajar. Meskipun mereka merasa kekurangan walaupun mereka sudah bekerja berat, tetapi rasa-rasanya hati mereka menjadi semakin tentram.
Dalam keadaan yang demikian itulah Empu Baladatu datang dan mulai mengguncang padepokan itu dengan cita-citanya yang melambung setinggi awan dilangit. Tetapi yang dilandasi dengan sikap yang salah, karena baginya segala cara akan dipergunakan untuk mencapai maksudnya. Benar atau salah.
“Kita tidak akan dapat memilih” salah seorang dari kelompok Serigala Putih mengeluh di antara mereka.
“Ya, Kita tidak dapat memilih. Jika kita menentang ke hendak Empu Baladatu maka akibatnya akan sangat parah bagi kita.”
Kawan-kawannya merenung sejenak. Lalu tiba-tiba saja salah seorang bertanya, “Bagaimana dengan orang-orang Macan Kumbang?”
Yang lain terdiam. Meskipun mereka telah bekerja bersama dalam beberapa hal dibawah pimpinan Empu Baladatu, namun rasa-rasanya masih saja ada jurang pemisah di antara mereka.
“Masih ada satu pilihan” berkata seorang yang sudah separuh baya, “kita melaporkannya kepada prajurit Singasari. Kita menyerahkan semuanya kepada mereka, dan kita mohon untuk mendapatkan perlindungan.”
Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi salah seorang dari mereka bertanya, “Kita memang dapat mempercayakan keselamatan kita kepada para prajurit Singasari. Tetapi sampai kapan mereka akan melindungi kita. Pada saatnya mereka akan melepaskan kita. Mungkin sebulan, mungkin setahun. Apakah kita percaya bahwa dendam Empu Baladatu terhadap para prajurit Singasari atas kegagalannya itu akan padam dalam satu dua tahun?”
Beberapa orang diantara mereka saling berpandangan. Salah seorang tiba-tiba saja berdesis, “Satu atau dua tahun mendatang, Empu Baladatu akan datang dan menumpas kita semua dengan anak-anak kita. Kita akan kehilangan kesempatan untuk menyambung nama kita, dan riwayat kita pun akan terputus karenanya.”
Sejenak mereka pun terdiam. Mereka dihadapkan kepada pilihan yang sulit. Seakan-akan apa yang mereka lakukan semuanya serba salah. Namun tiba-tiba salah seorang yang mereka anggap orang yang mereka segani berkata,
“Bagiku, apapun yang akan terjadi, aku lebih senang pasrah kepada prajurit Singasari. Seandainya kelak kita akan musna sekalipun, rasa-rasanya aku tidak berkeberatan.”
Beberapa orang menjadi tegang. Namun salah seorang dari mereka menyambung, “Aku sependapat. Kita masih belum yakin apakah Empu Baladatu masih akan kembali.”
“Ia tentu akan kembali” desis yang lain.
“Biarlah ia kembali, Betapapun besar dendamnya, maka ia tentu akan lebih mementingkan perjuangannya daripada membunuh kita yang sudah tidak akan dapat diharapkan lagi. Jika ia mengancam itu, tentu ia hanya sekedar menakut-nakuti kita, agar kita tetap bersedia menyumbangkan beberapa puluh nyawa bagi keinginannya kelak Kita masih harus mengorbankan seseorang di setiap bulan, saat purnama naik. Meskipun kita disebut golongan hitam pula, tetapi kita tidak pernah melakukannya sebelumnya,”
“Aku sependapat.” teriak seorang yang masih terhitung muda yang berdiri di belakang kawan-kawannya.
Yang lain. berpaling. Namun agaknya suaranya cukup menyentuh hati beberapa orang yang lain, sehingga hampir bersamaan beberapa orang berkata, “Aku sependapat, Sebaiknya, kita melaporkannya saja kepada prajurit Singasari.”
“Nah. jika demikian, siapakah yang akan pergi ke Singasari?”
“Tidak usah ke Singasari” sahut yang lain, “beberapa orang di antara kita akan pergi kepadepokan Empu Sanggadaru. Di sana tentu masih ada sekelompok prajurit Singasari yang bertugas. Biarlah mereka yang melaporkannya kepada pimpinan prajurit di Singasari.”
Yang lain mengangguk-angguk. Agakya memang tidak ada jalan yang lebih baik yang dapat mereka tempuh selain minta perlindungan kepada prajurit Singasari. Demikianlah, maka mereka pun telah memilih, siapkah yang akan pergi kepadepokan Empu Sanggadaru, untuk menyampaikan persoalan mereka kepada para prajurit.
“Mungkin kami akan bertemu dengan Empu Baladatu di sepanjang jalan, sehingga kami tidak akan pernah sampai ke padepokan Empu Sanggadaru dan tidak akan pernah kembali Jika dalam sepekan kami tidak kembali, kirimkan kelompok kedua menyusul kami, meskipun mungkin akan mengalami nasib yang sama. Tetapi kalian dapat berusaha mengirim jumlah yang lebih besar.” berkata pemimpin kelompok yang akan pergi kepadepokan Empu Sanggadaru.
Sekelompok kecil yang dipilih diantara orang-orang Serigala Putih dan berjumlah empat orang pun segera mempersiapkan diri Meskipun mereka tidak mempersiapkan kelompok kecil itu untuk bertempur, namun mereka merasa perlu untuk membawa senjata.
“Jika terpaksa kami pun harus membela diri terhadap siapapun juga” berkata pemimpin kelompok itu.
Setelah semua persiapan selesai, maka berangkatlah ke empat orang itu diiringi oleh debar jantung setiap orang di dalam padepokan yang sudah lumpuh itu. Mereka memandang keempat ekor kuda yang berpacu meninggalkan regol padepokan sampai hilang ditikungan.
“Mudah-mudahan mereka sampai ke tujuan dan kembali dengan selamat” desis salah seorang dari mereka yang terdiri di regol.
“Kita semua mengharapkannya.” sahut yang lain. Demikianlah ke empat orang itu berpacu dengan kecepatan yang tinggi. Mereka ingin segera mencapai sasaran. Apa pun yang terjadi, tetapi jika mereka telah berada di padepokan Empu Sanggadaru, maka rasa-rasanya tugasnya sudah dapat mereka tunaikan sebaik-baiknya.
Ternyata bahwa di sepanjang jalan yang cukup panjang itu, kelompok kecil itu tidak mengalami gangguan apapun juga. Ketika dari kejauhan mereka memasuki jalur jalan yang menuju ke padepokan Empu, Sanggadaru, rasa-rasanya hati mereka menjadi tenang. Tetapi terasa sesuatu bergetar juga ketika mereka melalui jalan di sebelah tebing yang terjal. Mereka melihat seolah-olah sungai yang muncul dari dalam tanah.
“Sungai itu memang melalui bawah tanah” berkata pemimipin kelompok kecil itu
“Ya. Dan kebetulan melalui padepokan Empu Sanggadaru” jawab yang lain.
“Bahkan ada beberapa lubang seperti sumur yang langsung sampai ke arus sungai di bawah tanah itu” pemimpin kelompok itu melanjutkan.
Yang lain tidak menyahut lagi. Tetapi mereka membayangkan betapa ngerinya seseorang yang terperosok masuk kedalam sumur yang sampai ke jalur sungai di bawah tanah. Sejenak kemudian, maka mereka pun telah sampat ke depan regol padepokan Empu Sanggadaru. Ternyata bahwa regol itu tetap terbuka. Dua orang penjaga agaknya telah melihat kedatangan keempat orang itu, sehingga dengan sebuah isyarat, beberapa orang pengawal yang lain telah berada di sebelah menyebelah regol itu pula.
Tetapi karena keempat orang berkuda itu tidak menunjukkan gejala-gejala yang mencurigakan, maka para penjaga itupun menerima mereka dengan wajar meskipun dengan penuh kewaspadaan.
“Siapkah kalian?” bertanya penjaga regol.
“Kami adalah orang-orang dari padepokan Serigala Putih” jawab pemimpin kelompok itu.
Penjaga itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun tahu, bahwa orang-orang Serigala Putih sudah tidak berbahaya lagi setelah kekuatan mereka yang terbesar dihancurkan hampir mutlak.
Keempat orang yang sudah turun dari kudanya itu pun kemudian berjalan mendekat. Pemimpinnya berkata pula “Kami ingin menghadap pimpinan prajurit Singasari yang berada di padepokan ini.”
Para penjaga regol dan para pengawal yang telah berada di depan regol itu termangu-mangu sejenak. Salah seorang pengawal itupun bertanya “Apakah keperluanmu?”
“Kami mohon perlindungan.”
“Perlindungan? Kenapa?”
“Sebenarnyalah bahwa kami sudah tidak mempunyai kekuatan yang berarti. Semuanya akan aku sampaikan kepada pemimpin prajurit Singasari.”
Beberapa orang pengawal saling berpandangan. Namun salah seorang berkata, “Baiklah, marilah naik ke pendapa. Aku akan menyampaikannya kepada pemimpin prajurit Singasari”
Keempat orang itupun kemudian dibawa masuk ke halaman padepokan yang luas. Tetapi halaman itu tidak lagi sepi dan seolah-olah diselubungi oleh rahasia yang tidak banyak diketahui orang. Kini halaman itu nampak lebih ramai. Apalagi karena beberapa orang prajurit ada di padepokan itu. Bahkan bukan saja para prajurit dan para cantrik, tetapi bergiliran para pengawal dari padepokan di sekitarnya yang berada di bawah pengaruh padepokan itu pun berada dihalaman itu pula.
Ternyata pemimpin prajurit Simgasari tidak berkeberatan untuk menerima mereka. Dengan terus terang, keempat orang itu pun menceriterakan tugas mereka untuk menghadap pemimpin prajurit Singasari itu. Mereka menceriterakan, bahwa orang-orang di padepokannya sedang dicengkam oleh kecemasan, justru karena munculnya Empu Baladatu.
“Empu Baladatu” pemimpin prajurit Singasari itu bergumam, “Menarik sekali. Tetapi agaknya Empu Sanggadaru baik juga untuk mendengarnya,”
Orang-orang Serigala Putih itu sama sekali, tidak berkeberatan. Pemimpin kelompok kecil itu pun berkata, “Kebetulan sekali jika Empu Sanggadaru sempat mengetahui, bahwa adiknya yang melarikan diri itu ternyata telah mulai lagi dengan kegiatannya yang mendebarkan.”
“Ya. Tetapi agaknya berita ini akan menyusahkan Empu Sanggadaru, Namun ia wajib mengetahuinya.”
Sebenarnyalah, bahwa ketika Empu Sanggadaru telah berada di pendapa dan mendengar berita tentang adiknya, ia menjadi termangu-mangu. Bagaimanapun juga Empu Baladatu adalah adiknya. Tetapi tingkah laku dan perbuatannya benar-benar tidak dapat dimaafkannya lagi.
“Terserahlah kepada keputusan pimpinan prajurit di Singasari” berkata Empu Sanggadaru kemudian, “ia adalah cuplak andeng-andeng bagiku, yang tidak terletak di tempat yang sewajarnya. Karena itulah, maka jika perlu dicungkil, maka aku tidak akan dapat berkeberatan.”
Pemimpin prajurit Singasari di padepokan itu pun termangu-mangu. Ia dapat mengerti, betapa kebingungan telah mencekam hati Empu Sanggadaru, bagaimana ia harus memperlakukan adiknya.
“Kita harus mengatasi kesulitan yang mungkin dapat timbul atas padepokan Serigala Putih” berkata pemimpin prajurit itu.
“Kami selalu dibayangi oleh ketakutan. Kami sudah tidak mempunyai kekuatan lagi seandainya kemudian Empu Baladatu datang dengan pasukannya, meskipun hanya sepasukan kecil. Apalagi Empu Baladatu tahu benar, betapa lemahnya kami. Tetapi bahwa yang lemah itu akan dapat dipaksa berhimpun, maka memang akan dapat menumbuhkan landasan kekuatan bagi Empu Baladatu.”
“Baiklah” berkata prajurit itu, “persoalanmu akan kami sampaikan secepatnya ke Singasari. Secepatnya pula Singasari akan mengambil keputusan bagi padepokanmu.”
“Terima kasih” jawab pemimpin kelompok kecil dari padepokan Serigala Putih itu, “kami menunggu. Meskipun kami akan selalu gelisah. Setiap saat Empu Baladatu dapat muncul dan memusnakan kami semuanya”
“Yang akan kami lakukan mula-mula adalah mengirimkan pasukan yang akan melindungi padepokan kecilmu” berkata pemimipin prajurit Singasari itu, “tetapi sudah barang tentu tidak akan selamanya. Kalian harus menemukan cara untuk mengatasi kesulitan itu, karena prajurit Singasari itu pada suatu saat tentu akan ditarik kembali. Apalagi apabila ada peristiwa yang gawat bagi keselamatan negara,”
“Terima kasih. Aku kira, jalan itulah yang memang kami harapkan. Untuk mengatasi persoalan itu, sebelum diketemukan cara yang lain adalah perlindungan langsung seperti yang akan dilakukan itu”
“Kembalilah ke padepokanmu. Aku akan segera pergi ke Singasari.”
Namun dalam pada itu, sebelum orang-orang dari padepokan Serigala Putih beranjak dari tempatnya, sekelompok kecil orang-orang berkuda telah datang pula ke padepokan Empu Sanggadaru. Beberapa orang pengawal dan prajurit telah bersiap-siap pula menghadapi segala kemungkinan. Ternyata mereka adalah orang-orang dari padepokan Macan Kumbang.
Dengan ragu-ragu orang-orang dari padepokan Macan Kumbang itu pun dipersilahkan pula naik kependapa. Bagaimanapun juga kehadiran orang-orang Serigala Putih telah membuat mereka menjadi berdebar-debar. Demikian pula orang-orang Serigala Putih menjadi gelisah pula. Mereka belum tahu. apakah maksud kedatangan orang-orang dari padepokan Macan Kumbang itu.
“Apakah sebabnya kalian datang kepadepokan ini?” bertanya Empu Sanggadaru.
Orang-orang yang baru datang itu ragu-ragu. Tetapi Empu Sanggadaru telah mendesaknya, “Katakan. Siapapun yang ada di pendapa ini. Aku tahu, bahwa gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang sejak waktu yang lama Ttdak dapat dipersatukan. Meskipun kalian telah bekerja bersama dibawah pengaruh Empu Baladatu, namun dalam keadaan yang lain, kalian masih tetap saling mencurigai”
Orang-orang dan Macan Kumbang itu menjadi semakin bimbang Namun akhirnya pemimpin kelompok kecil itu memutuskan untuk mengatakan saja persoalan mereka. Ketika mereka mengemukakan persoalan yang telah terjadi, sehubungan dengan kehadiran anPu Baladatu, maka orang-orang dari padepokan Serigala Putih menarik nafas panjang. Ternyata orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang itu menghadapi persoalan yang sama.
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk- Katanya, “Ketahuilah Ki Sanak dari padepokan Macan Kumbang. Saudara-saudara kita dari padepokan Serigala Putih yang datang beberapa saat lebih dahulu itu pun mempunyai persoalan yang serupa. Mereka juga telah digelisahkan oleh munculnya Baladatu di padepokan mereka, sehingga mereka memerlukan perlindungan dari prajurit Singasari.”
Kedua kelompok yang saling menyegani itu hanya dapat saling berpandangan sejenak. Namun merekapun kemudian menundukkan kepala mereka dalam-dalam. Jawaban yang kemudian diberikan oleh pemimpin prajurit Singasari di padepokan Empu Sanggadaru itu tidak menyimpang dari jawaban yang juga diberikan kepada gerombolan Serigala Putih. Secepatnya prajurit Singasari akan mengirimkan sepasukan prajurit yang akan melindungi padepokan itu dari kemungkinan yang buruk, apabila Empu Baladatu akan mempergunakan kekerasan.
“Tetapi seperti yang sudah kami katakan, bahwa pasukan Singasari itu terbatas sekali waktunya. Karena itu, maka kalian pun harus mencari pemecahan, cara yang sebaik-baiknya untuk melindungi diri sendiri.”
Orang-orang dari padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang itu hanya dapat mengangguk-angguk saja meskipun mereka sama sekali belum mempunyai gambaran, cara yang manakah yang akan mereka tempuh.
Demikianlah setelah pemimpin prajurit Singasari dan Empu Sanggadaru memberikan beberapa pesan, maka kedua kelompok itupun minta diri. Namun meskipun mereka meninggalkan regol padepokan itu bersama-sama, tetapi ternyata bahwa mereka tidak bersama-sama untuk seterusnya. Kelompok Macan Kumbang telah memperlambat kuda mereka, sehingga kelompok Serigala Putih telah mendahuluinya. Ternyata bahwa kedua kelompok itu masih belum dapat bekerja bersama sebaik-baiknya.
Sepeninggal kedua kelompok itu, maka pemimpin prajurit Singasari di padepokan Empu Sanggadaru itupun segera menunjuk beberapa orang yang akan menyampaikan laporan tentang munculnya Empu Baladatu di sekitar padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang. Ia sendirilah yang akan memimpin kelompok kecil itu.
Pagi-pagi benar dihari berikutnya, maka sekelompok kecil prajurit Singasari itu pun telah berpacu ke Kota Raja. Mereka menganggap munculnya Empu Baladatu bukannya soal yang dapat diabaikan. Jika Empu Baladatu belum merasa pulih dan memiliki kekuatan yang cukup, ia tidak akan memancing perhatian siapapun juga.
Ternyata bahwa laporan prajurit itupun mendapat perhatian yang cukup bersungguh-sungguh. Para pemimpin prajurit Singasari menganggap bahwa hal itu tidak dapat diterima sepintas lalu. Karena itulah, maka merekapun sependapat untuk mengambil langkah sementara yang cepat.
Dalam waktu singkat Singasari telah menyiapkan dua pasukan kecil yang akan dikirim ke Padepokan Serigala Putih dan ke Padepokan Macan kumbang. Mereka untuk sementara akan ditempatkan dikedua padepokan itu dibawah pimpinan seorang Senapati yang mumpuni, karena Singasari sadar, bahwa yang harus mereka perhatikan adalah Empu Baladatu dan Linggapati dan Mahibit.
“Biarlah anak-anak Mahendra yang berada di padepokan Empu Sanggadaru ikut bersama mereka” berkata Mahisa Agni, “dengan demikian maka mereka akan mendapat pengalaman yang lebih luas. Jika Mahisa Bungalan berada di padepokan Serigala Putih, biarlah Mahisa Murtì dan Mahisa Pukat berada di padepokan Macan Kumbang atau sebaliknya. Aku kelak yang akan memberitahukan kepada ayahnya.”
Agaknya para pemimpin prajurit dari kedua pasukan itu tidak menentangnya, bahkan mereka menerima dengan senangnati, karena mereka sudah mengetahui kemampuan ketiga anak muda itu
Prajurit Singasari tidak menunda lebih lama lagi. Mereka segera bersiap-siap. Mereka membawa selain senjata, juga perlengkapan-perlengkapan yang lain, karena mereka mengetahui bahwa kedua padepokan itu adalah padepokan yang sebenarnya miskin. Tanpa melakukan pekerjaan yang menentang ketertiban, maka mereka sulit untuk mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari.
Tetapi di saat-saat terakhir mereka harus bekerja keras, karena mereka sadar, bahwa jika mereka melakukan kejahatan, maka mereka akan mengalami kesulitan yang semakin parah.
Ternyata pasukan itu tidak menunggu fajar. Justru mereka meninggalkan Kota Raja saat matahari mulai terbenam. Dengan demikian maka tidak banyak orang yang melihat iring-iringan itu, sehingga tidak banyak pula orang yang digelisahkan karenanya. Iring-iringan pasukan akan dapat menumbuhkan berbagai pertanyaan, karena orang-orang di Kota Raja menganggap bahwa keadaan Singasari adalah tenang dan tenteram.
Pasukan itu tidak langsung menuju ke padepokan Serigala Putih dan padepokan Macan Kumbang. Tetapi mereka singgah dahulu di padepokan Empu Sanggadaru. Karena menurut perintah para pemìmìpin di Singasari, padepokan Empu Sanggadaru akan merupakan pasukan induk yang memegang pimpinan dari pasukan yang ada di ketiga padepokan itu.
Setelah beristirahat sehari di padepokan Empu Sanggadaru, serta menyampaikan pesan Mahisa Agni kepada Mahisa Bungalan dan kedua adiknya yang akan mengikuti kedua pasukan yang akan ditempatkan di padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang, maka kedua pasukan itupun telah melanjutkan perjalanan ketujuan masing-masing.
Mahisa Bungalan berada diantara pasukan yang akan tinggal di padepokan Serigala Putih, sedangkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan berada di antara pasukan yang menuju kepdepokan Macan Kumbang
Kedua pasukan itu menyadari tugas yang akan mereka pikul. Bukan saja tugas yang mempunyai kemungkinan yang sangat pahit, jika orang-orang Empu Baladatu atau orang-orang dari Mahibit datang ke padepokan itu, tetapi selama berada di padepokan itu, merekapun akan berprihatin karena mereka akan tinggal di daerah yang kekurangan.
Tetapi seperti pesan para pemimpin dan Empu Sanggadaru, Bahwa para prajurit itu tidak harus menyerah kepada keadaan. Mungkin orang-orang di padepokan itu kurang dapat menaggapi alam di sekitarnya, sehingga masih mungkin dapat digali hasil alam bagi kebutuhan mereka.
Kedatangan pasukan kecil dari Singasari itu telah disambut dengan gembira oleh orang-orang dari kedua padepokan itu. Meskipun kemudian mereka mulai berpikir, bagaimana mereka dapat menyediakan makan bagi para prajurit itu.
Sehenarnyalah seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni, bahwa kedua padepokan itu belumlah lumpuh sama sekali. Tetapi perasaan mereka sendirilah yang membuat mereka seolah-olah mutlak tak berdaya.
Prajurit Singasari yang datang kedua padepokan itu, pertama-tama mengatur dan menempatkan diri didalam padepokan itu. Ternyata bahwa mereka bukanlah prajurit-prajurit yang manja. Tetapi mereka benar-benar prajurit medan yang dapat menyesuai kan diri dengan segala keadaan.
Demikian pula prajurit-prajurit Singasari yang berada di kedua padepokan yang terpisah, tetapi yang keadaannya hampir sama. Prajurit-prajurit Singasari tidak menuntut tempat yang paling baik bagi mereka. Sehingga karena itulah maka orang-orang di kedua padepokan itu justru menjadi semakin segan.
Sementara itu kedua kelompok prajurit yang berada di kedua padepokan itupun segera mengatur kesiagaan di luar pengetahuan orang-orang dari kedua padepokan itu, karena tidak mustahil bahwa yang mereka hadapi adalah justru sebuah jebakan. Di dalam beberapa buah pondok yang terpisah, prajurit-prajutir itu mengadakan penjagaan yang terselubung, yang tidak nampak dari luar pondok mereka. Tetapi yang setiap saat dapat bergerak dan menyiapkan seluruh pasukan yang ada.
Di setiap pondok yang ditempati oleh prajurit-prajurit Singasari itu selalu ada seorang yang akan tetap bangun meskipun di malam hari. Bergantian mereka akan berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan.
Pemimpin-pemimpin mereka selalu memperingatkan, “Tidak mustahil bahwa pada suatu saat Empu Baladatu benar-benar datang dengan pasukan segelar sepapan”
Karena itulah, maka setiap prajurit tidak terpisah dari senjata masing-masing setiap saat. Setelah mapan, maka barulah para prajurit itu sempat bertemu dan berbicara dengan para pemimpin padepokan. Menilik sikap dan pembicaraan mereka, maka agaknya mereka telah berkata dengan jujur, bahwa Empu Baladatu telah datang dan membuat padepokan-padepokan itu menjadi gelisah.
Di padepokan Serigala Putih Mahisa Bungalan bersama pemimpin prajurit Singasari mulai melihat-lihat isi padepokan itu. Mereka melihat beberapa orang laki-laki yang tegap dan kuat, tetapi berwajah pucat dan selalu menyingkir jika mereka berpapasan. Tatapan mata mereka yang tunduk dan selalu menghindar memberikan kesan tersendiri kepada Mahisa Bungalan dan pemimpin prajurit Sinagasari itu.
Kepada pemimpin padepokan Serigala Putih, pemimpin prajurit Singasari itu minta untuk diperkenalkan kepada setiap orang laki-laki yang ada di padepokan itu dikeesokan harinya. Demikianlah, ketika matahari mulai terbit, maka setiap laki-laki di padepokan Serigala Pulih lelah berkumpul.
“Jumlah mereka masih cukup banyak” desis pemimpin prajurit itu, “tetapi hati mereka telah susut sebesar gelugut kolang-kaling. Mereka sama sekali sudah tidak mempunyai keberanian untuk berbuat sesuatu. Karena itulah maka mereka menjadi bingung dan kehilangan pegangan ketika Empu Baladatu memperlihatkan dirinya.”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Desisnya, “Mereka harus menyadari tentang diri mereka sendiri, bahwa mereka masih mempunyai kekuatan. Tetapi dengan hati-hati, agar tidak membangunkan mereka kembali dari mimpi buruknya, dan kembali kejalan yang sesat itu.”
Pemimpin prajurit Singasari mengangguk. Ia sependapat bahwa kebangkitan jiwa orang-orang padepokan Serigala Putih tidak boleh membawa mereka kembali kejalan yang salah. Ketika setiap laki-laki sudah berkumpul maka mulailah pemumpin prajurit Singasari itu memperkenalkan diri. Ia juga memperkenalkan beberapa orang perwira yang ada di dalam pasukannya. Dan tidak ketinggalan Mahisa Bungalan pembunuh orang-orang berilmu hitam.
“Mungkin di antara kalian sudah mengenal” berkata pemimpin prajurit Singasari itu, “apalagi yang melihat sendiri, bagaimana ia membunuh Linggadadi yang juga bergelar pembunuh orang berilmu hitam.”
Beberapa orang mengangkat wajahnya memperhatikan wajah Mahisa Bungalan. Namun sejenak kemudian mereka pun segera menunduk. Apalagi mereka yang benar-benar melihat, bagaimana Mahisa Bungalan berhasil membinasakan Linggadadi yang seakan-akan tidak terkalahkan. Dengan singkat pemimpin prajurit itu menguraikan maksud kehadirannya. Atas permintaan pimpinan padepokan itu, maka prajurit Singasari itu berada di padepokan Serigala Putih.
“Sama sekali bukan maksud untuk menguasai padepokan ini. Kami tidak akan datang, jika kalian tidak menginginkan. Kami mencoba memenuhi keinginan sekalian untuk sekedar bersama-sama menghadapi kemungkinan yang dapat terjadi dipadepokan ini."
Laki-laki yang ada di halaman padepokan itu mengangguk-angguk kecil. Kehadiran prajurit Singasari itu memang, membuat hati mereka menjadi tenang.
“Tetapi” berkata pemimpin prajurit itu, “sudah barang tentu bahwa tidak selamanya kami dapat berada di sini. Kami hanya akan melindungi kalian selama kalian masih belum mampu melindungi diri sendiri.” wajah-wajah itu menegang sejenak, lalu, “Tetapi kami tidak tergesa-gesa”
Pemimpin prajurit itu berbicara beberapa lama di hadapan setiap laki-laki. Tetapi ia masih belum menyinggung kemungkinan yang masih harus diperhitungkan.
“Bekerjalah dengan tenang. Kami berada di tengah-tengah kalian. Lakukanlah apa yang harus kalian lakukan sehari-hari. Bahkan kami akan membantu sejauh dapat kami lakukan.”
Kehadiran para prajurit itu, membuat orang-orang di kedua padepokan yang telah dihantui oleh Empu Baladatu itu menjadi tenang. Mereka dapat bekerja seperti tidak ada persoalan apapun yang menggelisahkan mereka. Namun demikian mereka sadar, sehingga setiap teringat oleh mereka, maka mereka pun menjadi berdebar-debar. Prajurit-prajurit Singasari itu pada suatu saat tentu akan meninggalkan mereka kembali ke Singasari.
Dalam pada itu, dihari-hari pertama prajurit Singasari itu masih tetap memisahkan diri. Mereka sekedar melihat cara hidup orang-orang di kedua padepokan itu. Mahisa Bungalan sekali-kali menemui orang-orang padepokan itu dan bertanya beberapa hal mengenai kehidupan mereka. Sementara di padepokan Macan Kumbang Mahisa Pukat dan Mahisa Murti mulai ke luar dari padepokan untuk mengenal lingkungan.
“Jangan pergi terlalu jauh” berkata pemimpin prajurit Singgasari yang menyadari bahwa keduanya masih terlalu muda. Meskipun keduanya telah menyimpan ilmu yang dapat dibanggakan di dalam diri mereka, namun daerah asing itu tetap merupakan daerah yang berbahaya.
Tanpa meninggalkan kewaspadaan dan kesiagaan menghadapi segala kemungkinan, pada hari-hari berikutnya prajurit-prajurit Singasari berusaha mengenal kehidupan orang-orang di kedua padepokan itu semakin dekat. Mereka mulai melihat tanah garapan dan usaha mereka untuk mendapatkan hasil yang dapat mereka makan sehari-hari.
“Tanah masih sangat luas” berkata seorang prajurit, “tetapi mereka membatasi diri pada tanah yang sudah mereka garap sejak lama.”
“Nampaknya tidak ada usaha baru sama sekali. Padahal penilaian kami. mereka bukannya orang yang malas.”
“Ya. Mereka bekerja keras.”
Hal itu telah menjadi bahan pembicaraan para prajurit yang berada di padepokan Serigala Putih, sehingga pemimpin prajurit Singasari itu berkata “Apakah kita dapat mengatakan kepada mereka, bahwa mereka harus berani membuka tanah baru?”
“Aku kira hal Itu lebih baik. Tetapi kita harus memper hitungkan masa depan mereka. Tentu para prajurit tidak akan berada di daerah ini selanjutnya, sehingga pembukaan tanah baru itu sekaligus akan dapat memberikan kemungkinan bagi mereka untuk menjaga diri sendiri.” Sahut Mahisa Bungalan.
“Bagaimana kita akan dapat menghubungkan pembukaan tanah baru dengan kemampuan menjaga diri sendiri?”
“Pertama, kita harus menumbuhkan kepercayaan kepada diri sendiri, tetapi dalam pengertian yang tidak merugikan pihak lain. Maksudku, bukan untuk melakukan kerja seperti yang pernah mereka lakukan.”
Pemimpin prajurit itu menggangguk-angguk Katanya, “Maksudmu, jika mereka berhasil membuka tanah baru, maka mereka akan merasa bahwa diri mereka masih berharga?”
Pemimpin prajurit itu mengangguk-angguk pula. Tetapi katanya, “Tetapi dengan demikian bukan berarti bahwa mereka akan menjadi mampu menjaga diri sendiri.”
“Dua padepokan ini sampai saat ini merupakan dua lingkungan yang seakan-akan mutlak terpisah. Bahkan saat-saat mereka menyerbu kepadepokan Empu Sanggadarupun mereka tidak dapat luluh menjadi satu. Masing-masing berada didalam kelompok dan lingkungannya. Demikian juga orang-orang Mahibit,” Mahisa Bungalan berhenti sejenak, lalu, “kita harus mencari jalan agar keduanya pada suatu saat dapat menjadi satu dan merasa berkewajiban untuk bekerja bersama.”
“Bagus sekali Tetapi kita harus menemukan cara yang sebaik-baiknya. Itulah yang sulit.”
“Mumpung kita baru beherapa waktu disini. Kita masih mempunyai waktu panjang. Kita dapat menganjurkan kepada kedua padepokan itu untuk membuka tanah baru dan hidup dalam satu padukuhan yang luas dengan tanah garapan yang cukup.”
Pemimipin prajurit itu termenung sejenak. Namun kemudian iapun menyahut, “Memang mungkin. Kedua kelompok yang lemah ini akan menjadi kuat. Apalagi jika ada orang orang lain yang bersedia berada di antara mereka.”
“Kita dapat mencoba” berkata Mahisa Bungalan.
“Akan kita bicarakan dengan pimpinan prajurit yang ada di padepokan Macan Kumbang. Jika ia setuju, kita akan menghadap pemimpin yang lebih tinggi lagi di padepokan Empu Sanggadaru”
Demikianlah pendapat Mahisa Bungalan itu pun menjadi sebuah pembicaraan. Bahkan pembicaraan itu pun telah berkembang lebih jauh. Empu Sanggadaru yang sependapat dengan usul itu berkata, “Jika memang akan membuka tanah baru dan tidak terlalu jauh dari padepokanku, maka aku kira pada suatu saat tanah yang baru itu akan berhubungan langsung dengan padukuhan-padukuhan kecil yang berada di sekitar padepokan ini. Orang-orang dipadukuhan-padukuhan kecil itu seolah-olah telah menjadi keluargaku. Dan mereka tentu akan dapat diajak bekerja bersama.”
“Itupun tidak mustahil. Orang-orang Macan Kumbang akan membuka hutan tidak jauh dari padepokan Empu Sanggadaru. Sedang orang-orang padepokan Serigala Putih akan melakukan hal yang sama. Mungkin untuk waktu sepuluh sampai dua puluh tahun masih terasa pemisahan antara kedua keluarga besar itu. Tetapi mereka akan merasa perlu untuk saling menolong jika mereka masing-masing berada dalam kesulitan. Demikian pula dengan orang-orang di padepokan dan padukuhan di sekitar padepokan ini” sahut Mahisa Bungalan, lalu katanya salanjutnya, “pada suatu saat mereka semua akan menganggap sebagai kiblat hidup mereka.”
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Tetapi ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Mudahkan demikian. Jika yang terjadi sebaliknya, Mereka kemudian bersatu dan mencekik aku?”
“Ah, tentu tidak. Orang-orang dari kedua padepokan itu kini benar-benar telah merasa dirinya lumpuh dan tidak berdaya. Kita harus berusaha membangkitkan mereka sekaligus mengarahkan jalan pikiran mereka, tetutama pada tataran hidup yang berikut. Pada anak-anak yang masih remaja diantara mereka, dan pada tataran yang lebih kecil.”
Pembicaraan yang berlangsung di padepokan Empu Sanggadaru itu pun kemudian mencapai satu kesimpulan bahwa orang-orang dari padepokan Serigala Putih dan dari padepokan Macan Kumbang akan diusahakan untuk bersedia bekerja keras, membuka hutan baru dan hidup dalam lingkungan padukuhan biasa. Bukan lagi hidup dalam lingkungan tertutup seperti di padepokan mereka. Dengan demikian diharapkan suatu suasana yang baru sehingga dapat mempermudah pengarahan bagi pandangan hidup mereka di masa depan, terutama pada anak-anak mereka.
“Mudah-mudahan rencana ini dapat berjalan lancar” berkata para perwira prajurit Singasari di ketiga padepokan itu.
Ketika para pemimpin prajurit yang berada di padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang kembali ke padepokan, mereka mulai membicarakan cara-cara yang paling tepat untuk menyampaikan rencana mereka kepada orang-orang padepokan itu.
Bagi orang-orang padepokan Serigala Putih, Mahisa Bungalan mulai dengan ikut serta bekerja di ladang mereka yang tidak memberikan banyak harapan. Perlahan-lahan ia mencoba menjajagi pendapat orang-orang di padepokan itu. Apakah mereka tidak menginginkan masa depan yang lebih baik. Tanah garapan yang lebih luas dan subur, sehingga penghasilan mereka cukup memberi jaminan hidup bagi keluarga mereka dalam keseluruhan.
“Tentu” jawab orang-orang Serigala Putih, “setiap orang tentu merindukan kehidupan yang lebih baik. Kami tidak menyembunyikan cacat dan cela kami. Kami memang tidak banyak memperhatikan sawah dan ladang di masa lampau, karena kami sering mengembara dan memungut saja kebutuhan kami di daerah pengembaraan kami.”
“Tetapi bukanlah kalian tidak ingin kembali dalam tata kehidupan seperti itu?”
“Tidak, tentu tidak. Itulah sebabnya kami mohon perlindungan prajurit Singasari ketika Empu Baladatu mulai muncul kembali dan dengan demikian akan datang kemungkinan, bahwa ia akan memaksakan nafas kehidupan bagi padepokan kami seperti masa lampau kami yang suram.”
Pendapat itu merupakan landasan bagi Mahisa Bungalan. Perlahan-lahan ia memancing pendapat orang-orang padepokan itu seandainya mereka harus bekerja keras membuka sebuah hutan bagi padukuhan mereka yang baru, yang dapat memberikan harapan bagi masa depan. Ketika hal itu kemudian tersebar pada setiap orang di padepokan Serigala Putih, maka merekapun mulai berpikir dengan sungguh-sungguh.
Agaknya berbeda dengan cara yang ditempuh oleh Mahisa Bungalan dan para pemimpin prajurit di padepokan Serigala Puih, maka para pemimpin prajurit di padepokan Macan Kumbang dengan sengaja telah mengumpulkan setiap orang laki-laki. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum dapat membantu para pemimpin prajurit dalam pembicaraan itu, karena mereka berdua masih belum mendapat gambaran yang jelas dan kemudaan mereka masih belum memberikan kemungkinan bagi mereka untuk melakukannya seperti Mahisa Bungalan.
Dengan terus-terang para pemimpin prajurit di padepokan Macan Kumbang menawarkan kemungkinan itu, sehingga pembicaraan tentang pembukaan tanah baru itu telah di bicarakan dalam pertamuan terbuka mereka. Namun ternyata bahwa orang-orang Macan Kumbang sependapat untuk membuka tanah baru. Tanah yang dapat memberikan harapan bagi mereka.
“Jika kelak tanah itu terasa menjadi sempit karena jumlah kita yang bertambah, maka masih ada kemungkinan untuk mebuka tanah baru karena hutan di sekitar padepokan Empu Sanggadaru itu cukup luas. Bukan saja hutan yang sudah dapat dijinakkan. Tetapi hutan yang lebat dan pekat masih terbentang seolah-olah tanpa batas” berkata pemimpin prajurit Singasari.
“Kami bersedia” sahut orang-orang Macan Kumbang, “Tetapi kami tidak mempunyai alat-alat yang cukup untuk melakukannya.”
“Jika kalian bersedia, maka kita akan melakukannya. Aku akan mengusahakan alat-alat itu. Tentu kalian telah mempunyai parang dan kapak serba sedikit. Selebihnya akan kami usahakan dari padepokan Empu Sanggadaru atau dari Singasari sema sekali...”