PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 31
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 31
Karya Singgih Hadi Mintardja
DEMIKIANLAH, maka pada saat-saat tertentu para pemimpin prajurit dari ketiga padepokan itu bertemu. Pada waktu pemimpin prajurit yang berada di padepokan Macan Kumbang mengemukakan kesulitan orang-orang Macan Kumbang tentang peralatan, maka Empu Sanggadaru berkata, “Ada seorang pande besi yang cakap di padepokan kami. Dibantu oleh dua orang pembantunya mereka dapat membuat alat-alat yang diperlukan.”
“Jadi untuk membuka hutan itu kita akan mulai dari permulaan sekali,” berkata Mahisa Bungalan, “dari membuat alat-alat untuk membuka hutan itu.”
Pada hari berikutnya, tiga orang pande besi di padepokan Empu Sanggadaru telah sibuk membuat alat-alat untuk membuka hutan. Kapak-kapak yang besar dan kecil. Sebelum pande besi itu menghasilkan, maka orang-orang Macan Kumbang dapat meminjam lebih dahulu apa adanya dari padepokan Empu Sanggadaru.
Demikianlah, ternyata orang-orang dari kedua padepokan. itu bukannya orang-orang yang malas. Bersama para prajurit mereka telah membuka hutan sesuai dengan tempat yang sudah direncanakan. Mereka membuka hutan di tempat yang terpisah, meskipun menurut perhitungan para pemimpin prajurit dan Empu Sanggadaru bahwa perkembangannya kelak keduanya tentu akan berpaut juga. Apalagi apabila ada pihak lain yang bersedia ikut pula membuka hutan dan bergabung dengan orang-orang Serigala Putih dan Macan Kumbang, meskipun kemungkinan itu hanya akan datang dari orang-orang yang berada di padukuhan Empu Sanggadaru.
“Mereka akan mendapatkan kesempatan yang lebih baik,” berkata Empu Sanggadaru, “karena itu aku tidak ber keberatan jika mereka ikut serta membuka hutan itu.”
Beberapa saat kemudian, maka hutan yang semula sepi itu telah menjadi riuh. Pepohonan satu-satu telah roboh, dan tanah pun dijinakkan. Binatang-binatang hutan merasa terdepak masuk ke dalam hutan yang lebih lebat menghindari sentuhan dengan makhluk yang disebut manusia. Makhluk yang bagi mereka sangat berbahaya. Lebih berbahaya dari binatang yang manapun juga.
Sementara itu, maka pande besi di padepokan Empu Sanggadaru pun telah menghasilkan alat-alat yang mencukupi, bukan saja bagi orangr-orang dari padepokan Macan Kumbang, tetapi juga padepokan Serigala Putih dan orang-orang dari padepokan Empu Sanggadaru sendiri, yang angin membuka tanah lebih luas lagi. Persediaan yang paling berharga bagi anak cucu mereka.
Dengan tekun orang-orang dari kedua padepokan yang telah, dengan sadar merubah cara hidupnya, bekerja bagi hari depan mereka dan keturunan mereka. Sepatok demi sepatok mereka menghasilkan tanah baru yang masih harus digarap dengan kerja keras. Tatapi dengan demikian maka mereka telah meletakkan harapan bagi diri mereka sendiri. Mereka tidak lagi bekerja dengan ketegangan hati dan jantung yang berdebaran. Dengan menggarap sawah, maka mereka ,tidak lagi harus mempertaruhkan nyawa.
Prajurit-prajurit Singasari ternyata tidak hanya dapat mengatur dan merencanakan. Mereka pun ikut serta menebang pepohonan, menyingkirkan kayu-kayu yang telah roboh dan menyiapkan tanah garapan, meskipun tidak bagi mereka sendiri.
Namun demikian para prajurit itu tidak lengah. Meskipun kadang-kadang satu dua diantara mereka tidak membawa senjata di lambung, namun mereka yakin bahwa kapak ditangan mereka telah merupakan senjata yang berbahaya bagi lawan, jika setiap saat mereka harus bertempur dengan siapapun. juga.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masih sangat muda itu seolah-olah mendapat arena baru untuk bermain-main. Jika orang-orang lain sibuk menebang batang-batang kayu besar atau kecil, maka keduanya membawa busur dan anak panah masuk kedalam hutan yang tidak dijamah oleh orang-orang dari kedua padepokan itu.
Tetapi kepergian kedua anak-anak muda itu kadang-kadang menyenangkan juga bagi orang-orang yang sedang sibuk menebang pohon dan menebas perdu, karena kadang-kadang keduanya membawa dua atau tiga ekor rusa yang dapat mereka buru dalam waktu sehari semalam. Namun sekali-sekali Mahisa Bungalan memperingatkan kedua adiknya yang nakal itu, karena hutan yang lebat mengandung banyak sekali bahaya bagi mereka.
“Yang ada hanyalah binatang-binatang hutan.” jawab Mahisa Pukat ketika kakaknya Mahisa Bungalan mengunjunginya.
“Mungkin seekor binatang buas?”
“Kebetulan sekali. Kami mendapatkan dagingnya sekaligus kulitnya.”
“Tetapi berbahaya sekali bagi kalian berdua”
“Apakah kami berdua harus takut terhadap seekor harimau?”
Mahisa Bungalan menjadi bingung. Tetapi kemudian katanya,” Mungkin bukan sekedar seekor harimau atau sekelompok serigala. Tetapi mungkin kalian akan bertemu dengan Empu Baladatu.”
“He, bukankah itu yang kami harapkan?” bertanya Mahisa Murti.
“Tetapi Empu Baladatu tidak sendiri. Ia datang bersama puluhan orang pengawal. Nah, apakah yang akan kalian lakukan berdua? Berteriak-teriak? Menangis? Atau bertempur?”
“Bertempur” jawab Mahisa Pukat lantang.
“Nah akan sia-sialah pengorbanan kalian, karena jika kalian kalah, adalah karena kalian mempertahankan sesuatu atau memperjuangkan sebuah cita-cita. Tetapi kalian terperosok kedalam kesulitan karena kalian tidak berhati-hati” Mahisa Bungalan mencoba memberikan nasehat
Kedua adiknya termangu-mangu sejenak. Namun mereka dapat mengerti maksud kakaknya. “Tetapi apakah itu berarti bahwa kami sama sekali tidak boleh berburu?” bertanya Mahisa Pukat
“Bukan begitu. Kalian mendapat kesempatan untuk berburu. Tetapi berhati-hatilah dan. jangan-terlalu jauh masuk ke dalam hutan yang lebat itu, Apalagi sampai memerlukan waktu sehari semalam. Berburulah untuk semalam saja misalnya Atau kalau di siang hari, sehari, sajalah.”
Kedua adiknya mengangguk-angguk kecil,”Lebih dari itu ada baiknya kau membantu orang-orang padepokan Macan Kumbang, daripada kau seolah-olah tidak mengacuhkannya dan lebih senang bermain-main seperti kanak-kanak”
Kedua adiknya mengangguk. Tetapi kepala mereka semakin menunduk, Agaknya kakaknya benar-benar telah memberikan peringatan, yang cukup keras bagi mereka, sehingga ke duanya tidak berani Lagi untuk membantah.
Tanah yang dibuka itu semakin lama menjadi semakin luas sajalah dengan harapan yang semakin berkembang di setiap hari. Baik bagi orang-orang Macan Kumbang maupun orang-orang dari padepokan Serigala Putih. Dengan membuka hutan itu, maka para prajurit Singasari telah memberikan beberapa petunjuk agar mereka hidup seperti kehidupan sewajarnya.
Padepokan Serigala Putih dan padepokan Macan Kumbang yang mempunyai tata kehidupan yang agak asing karena keadaan yang sangat terbatas itu, akan segera berubah. Setiap keluarga akan membangun sebuah rumah meskipun mula-mula sekedar dapat dipergunakan untuk berteduh.
Dengan bekerja keras, maka di tanah yang sudah dibuka itu mulai nampak beberapa buah rumah yang siap. Sedang yang lain masih sibuk dikerjakan bersama-sama, disamping mereka yang masih tetap memperluas tanah, garapan.
Bayangan sebuah padukuhan mulai nampak. Ternyata bagi orang-orang dari kedua padepokan itu, sebuah padukuhan akan memberikan lebih banyak kemungkinan daripada padepokan sempit yang tertutup.
Tetapi karena kebiasaan orang-orang dari padepokan serigala Putih dan Macan Kumbang hidup dalam lingkungan yang dipagari dengan dinding batu maka rasa-rasanya padukuhan yang terbuka sangat mencemaskan hati mereka.
“Buatlah dinding di sekeliling padukuhanmu” berkata pemimpin prajurit Singasari,” padukuhan yang luas akan memberikan udara yang lebih segar. Padepokan adalah sekedar tempat untuk orang yang sangat terbatas jumlahnya, seperti padepokan Empu Sanggadaru. Diluar padepokan itu masih ada beberapa padukuhan yang berada di bawah pengaruhnya. Tidak semua orang berhimpit-himpitan di dalam sebuah padepokan seperti padepokan Serigala Putih dan padepokan Macan Kumbang.”
“Tetapi padukuhan kami yang baru itu akan mudah sekali diserang oleh pihak lain sebelum kami siap melakukan perlawanan.” berkata salah seorang calon penghuni padukuhan baru itu.
“Dinding itu akan dapat sekedar melindungi kalian meskipun bersifat sementara. Banyak batang-batang kayu yang dapat kalian pergunakan, sebelum kalian dapat membangunnya dari batu yang kuat.”
Orang-orang dari kedua padepokan itu pun sependapat. Mereka membagi orang-orangnya untuk melakukan pekerjaan yang berbeda-beda. Dan kini ada satu pekerjaan lagi yang harus mereka lakukan. Memilih dan memotong kayu yang lurus dan cukup panjang untuk ditanam berjajar rapat di sekeliling padukuhan yang sedang mereka siapkan.
Ternyata pagar kayu itu cukup memadai. Balok-balok yang besar dan cukup panjang telah mulai ditanam melingkari padukuhan yang baru tumbuh itu Dibeberapa bagian telah diberi regol-regol berpintu.
“Apakah regol-regol itu perlu diberi berpintu?” Bertanya para prajurit.
“Tanpa pintu maka pagar kayu itu tidak akan banyak gunanya.”
Para prajurit itu tersenyum. Mereka sadar, bahwa orang-orang yang sudah lama tinggal di padepokan tertutup dan khusus seperti padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang, yang seolah-olah menutup diri itu telah terbiasa menutup regol-regol mereka dengan pintu-pintu yang kuat. Tetapi orang-orang Singasari tidak melarangnya. Kelak jika keadaan berkembang semakin baik. maka pintu-pintu itu tidak akan sempat ditutup lagi.
Ternyata bahwa orang-orang Serigala Putih dan orang-oran Macan Kumbang masih membatasi diri. Mereka masih akan tinggal di dua padukuhan yang terpisah. Masing-masing dengan dinding kayu yang kuat dan regol-regol berpintu.
Namun ternyata bukan hanya orang-orang dari kedua padepokan itu sajalah yang ikut serta membuka hutan itu. Orang-orang dari padukuhan yang berada di bawah pengaruh padepokan Empu Sanggadaru telah ikut pula membuka di bagian terpisah yang tidak begitu jauh. Mereka yang merasa bahwa anak cucunya akan berkembang cepat, telah ikut pula membuka tanah baru bagi hari depan keluarganya.
Tetapi mereka harus menyesuaikan diri dengan padukuhan-padukuhan yang lain. Mereka memagari padukuhan mereka dengan kayu-kayu balok dan memberikan regol-regol berpintu untuk sementara.
“Jika keadaan mengijinkan, kami akan membangun dinding batu seperti padukuhan kami yang lama.” berkata salah seorang dari mereka.
Jumlah orang-orang yang ikut serta membuka padepokan itu ternyata banyak juga, meskipun belum sebanyak orang-orang Serigala Putih dan Macan Kumbang. Namun dalam waktu dekat, padukuhan itu akan segera berkembang dengan segala kelengkapannya. Dipadukuhan itu tentu akan segera tumbuh pasar, pande besi. undagi, dan orang-orang yang akan melakukan berbagai macam pekerjaan lain selain bertani.
Ketika padukuhan itu telah siap untuk dihuni, masih nampak pemisahan dari tiga golongan yang akan tinggal di daerah yang baru dibuka itu. Namun dengan demikian akan lahir tiga padukuhan yang pada suatu saat akan dapat menjadi satu daerah bersama-sama dengan padukuhan-padukuhan yang lain didalam lingkungan pengaruh Empu Sanggadaru.
Agaknya para prajurit Singasari yang berada di daerah yang memerlukan perlindungan itu yakin akan hal itu, karena mereka percaya bahwa Empu Sanggadaru termasuk orang yang kuat lahir dan batinnya, sehingga ia akan dapat menerima kepercayaan dari lingkungan di sekitarnya.
Agaknya Empu Sanggadaru pun tidak menolak kepercayaan yang bakal dilimpahkan kepadanya. Tetapi untuk sementara, kehadiran prajurit Singasari masih diperlukan, karena Empu Sanggadaru masih belum dapat menjajagi kebiasaan dan watak orang-orang dari padepokan Serigala Putih dan padepokan Macan Kumbang.
Pada saatnya, maka semuanya telah siap. Padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang tidak akan mereka pergunakan lagì. Mereka akan berpindah ke tempat mereka yang baru dan jaraknya pun tidak terlampau jauh.
Agaknya Empu Sanggadaru dan para prajurit Singasari telah bersepakat untuk mengadakan sekedar upacara peresmian penggunaan padukuhan-padukuhan yang baru itu. Dengan demikian maka mereka akan merasakan suasana kesungguhan, sehingga mereka tidak akan menyia-nyiakan perubahan cara hidup mereka.
Demikianlah maka pada hari yang sudah ditentukan, maka upacara itu pun telah berlangsung. Beberapa orang telah sesorah. Di antaranya adalah Empu Sanggadaru dan Mahisa Bungalan.
Beberapa persoalan telah dikemukakan. Orang-orang dari padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang mendengar masalah-masalah yang sebelumnya belum pernah mereka dengar. Karena itulah maka mereka seakan-akan telah mendapatkan kekuatan baru untuk mulai dengan tata kehidupan yang lain dari tata kehidupan mereka sebelumnya.
Dengan demikian, maka mereka merasa mulai dengan tata kehidupan baru. Mereka merasa telah benar-benar terlepas dari kehidupan yang lama meskipun, bayangan Empu Baladatu masih selalu menghantui mereka.
Namun dalam pada itu, selagi orang-orang dari kedua padepokan itu berkumpul dan mendengarkan beberapa uraian tentang diri mereka di masa mendatang, prajurit Singasari sama sekali tidak menjadi lengah. Sementara beberapa orang perwira berada di antara orang-orang yang akan menghuni padukuhan mereka yang baru bersama Mahisa Bungalan, maka beberapa orang yang lain selalu siap mengawasi keadaan bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Tetapi sementara itu, ternyata tidak ada gangguan apapun juga. Empu Baladatu ternyata tidak datang pada saat itu, sehingga upacara itu dapat berlangsung dengan baik sesuai dengan rencana. Bahkan, bukan saja sekedar sesorah dan petunjuk-petunjuk sajalah yang mereka dengarkan, tetapi beberapa orang telah meramaikan upacara dengan menyiapkan makan bersama. Mereka telah memotong beberapa ekor lembu dan kambing.
Dengan demikian maka upacara itu pun telah berlangsung dengan meriah. Orang-orang Serigala Putih dan orang-orang Macan Kumbang terlibat dalam satu pertemuan yang akrap justru karena di antara mereka ada pihak lain, yaitu orang-orang dari padukuhan di sekitar padepokan Empu Sanggadaru yang ingin mengembangkan keluarga mereka di daerah yang lebih bebas dan luas.
Sejak saat itu, maka padukuhan yang baru itu telah dihuni, mereka merasa benar-benar berada di dalam dunia yang baru dengan cara hidup yang baru pula. Bahkan seperti yang dianjurkan oleh Empu Sanggadaru, maka mereka mulai mencoba melupakan nama-nama Serigala Putih dan Macan Kumbang Mereka mencoba untuk saling mendekat dan merasa satu nasib meskipun padukuhan mereka masih terpisah. Tetapi di luar padukuhan itu terbentang tanah garapan yang dapat mereka kerjakan bersama.
Beberapa saat kemudian, maka kehidupan di tempat yang baru itu mulai mapan. Tanaman yang mereka tanam di sawah mulai tumbuh, sementara beberapa orang laki-laki bersama para prajurit masih datang ketanah pategalan mereka yang lama untuk memetik sisa hasil yang mereka tinggalkan meskipun tidak begitu banyak, sebagai penyambung hidup mereka, sebelum sawah mereka menghasilkan.
Tetapi sawah yang baru itu memberikan harapan yang jauh lebih baik dari tanah pategalan mereka yang lama, karena sawah mereka yang baru dan luas itu telah dilengkapi dengan parit-parit yang mengalir dari sumber-sumber di daerah hutan yang lebat dan pepat. Beberapa mata air memancar dengan derasnya. Air yang biasanya mengalir tanpa arah dan menyusup di antara timbunan dedaunan kering yang tebal dan menuju kebagian yang rendah, sehingga menjadi arus yang memanjang tanpa disadap gunanya kini telah disalurkan men jadi parit yang panjang membelah tanah persawahan.
Namun, dalam pada itu. Mahisa Bungalan berkata kepada orang-orang yang baru menghuninya, ”Jangan kalian rusakkan padepokan kalian yang lama. Jika padukuhan ini berkembang, maka akan tumbuh padukuhan-padukuhan yang lain yang kita arahkan agar pada suatu saat, akan menjangkau daerah yang kalian tinggalkan, sehingga padepokan itu akan menjadi bagian dari padukuhan yang semakin lama akan menjadi semakin luas. Meskipun daerah yang kalian tidak banyak memberikan harapan, tetapi daerah itu akan selalu mengingatkan kepada kalian, bahwa kalian pernah mengalami hidup yang pahit lahir dan batin. Namun lebih daripada itu, jika daerah itu digarap dalam suasana yang tenang dan tanpa bayangan ketakutan mungkin akan dapat menjadi daerah yang baik pula.”
Karena itulah, ketika mereka meninggalkan padepokan rnereka yang lama, mereka membiarkan padepokan mereka tetap berdiri seperti semula dikelilingi oleh dinding batu yang cukup tinggi. Beberapa barak yang panjang dan kotor, serta kandang, yang sudah rapuh.
Dalam beberapa bulan lagi, padepokan itu akan lenyap dengan Sendirinya” desis salah seorang dari mereka, ”selain dindingnya itulah yang akan tetap berdiri.”
Dalam lingkungan mereka yang baru, meskipun masih harus dibuatkan dinding batu, namun untuk sementara dinding-dinding kayu itu pun sudah memberikan sekedar ketenteraman. Terutama jika mereka mengingat Empu Baladatu.
Tetapi jika mereka menyadari, bahwa pada suatu saat, para prajurit Singasari itu akan meninggalkan padukuhan yang baru itu, maka mereka mulai menjadi cemas, meskipun mereka masih dapat bersandar kepada Empu Sanggadaru.
“Tetapi tanpa prajurit Singasari apakah Empu Sanggadaru akan dapat bertahan jika Empu Baladatu dan Linggapati yang mendendam itu datang lagi dengan segenap kekuatan mereka?” Pertanyaan itu selalu mengganggu orang-orang yang tinggal dipadukuhan baru itu.”
Demikian mendesaknya pertanyaan Itu, sehingga salah seorang dari mereka tidak dapat menahannya lagi, dan menyampaikannya kepada Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. namun kemudian iapun bertanya, ”Jika Empu Sanggadaru dan cantriknya yang berada di dalam padepokan dan pengawal-pengawal yang tinggal di padukuhan-padikuhan di luar padepokan tidak dapat bertahan terhadap Empu Baladatu dan Linggapati, apakah kalian cukup mengeluh dan kecemasan? Apakah sepanjang hidup kalian, kalian akan selalu bersandar kepada prajurit Singasari?”
Jawaban yang berupa pertanyaan itu memang terdengar aneh. Namun pertanyaan itupun segera menjalar dari seorang keorang lain.
“Apakah kira semuanya hanya akan tetap bersandar kepada para prajurit Singasari?”
“Lalu apakah yang akan kita lakukan?” Pertanyaan itupun segera menyusul.
Mahisa Bungalan dan para perwira yang mendengar pula gejolak pertanyaan itu di antara orang-orang yang tinggal di padukuhan baru itu sengaja membiarkannya.
“Biarlah mereka mencari jawaban” desis pemimpin prajurit yang ada di padepokan Empu Sanggadaru, yang menjadi pimpinan dari induk pasukan dari ketiga pasukan yang mula-mula dipecah ditiga padepokan, tetapi yang kemudian seakan-akan telah berkumpul pula meskipun setiap saat kelompok-kelompok kecil masih selalu berada di bagian-bagian yang terpisah dari padukuhan baru itu.
Dalam pada itu, orang-orang dipadukuhan baru itu pun seakan-akan mulai mencari jawab atas pertanyaan yang semakin lama semakin keras terdengar di telinga mereka. Ketika pertanyaan itu seakan-akan telah cukup lama mengganggu perasaan orang-orang yang tinggal di padukuhan yang baru itu, maka mulailah Mahisa Bungalan dan pemimpin prajurit Singasari itu membisikkan jawabnya di luar sadar, seakan-akan mereka telah menemukan jawab dari dalam hati mereka sendiri.
“Kenapa kita sendiri tidak mencoba untuk melindungi diri sendiri? Bukankah Kita juga orang-orang yang pernah memiliki kemampuan untuk mempergunakan senjata?”
Jawaban itu semakin lama menjadi semakin tersebar di antara mereka. Orang-orang yang semula berasal dari padepokan serigala Putih dan orang-orang yang berasal dan padepokan Macan Kumbang.
Baru beberapa saat kemudian. Mahisa Bungalan dan para pemimpin prajurit Singasari dengan hati-hati mulai menumbuhkan di hati mereka kepercaayaan kepada diri sendiri, setelah para prajurit itu yakin, bahwa orang-orang itu agaknya telah menyukai dengan cara hidup mereka yang baru. Apalagi setelah tanaman mereka mulai nampak akan menghasilkan. Padi yang mulai berbuah di tanah persawahan, dan tanaman-tanaman lain yang hijau subur di tanah pategalan.
“Ki Sanak” berkata prajurit yang berada di padepokan Empu Sanggadaru, ”kalian telah memiliki tanah yang banyak memberikan harapan. Karena itu, selanjutnya tergantung kepada kalian untuk memeliharanya dan mempertahankannya. Tanah itu adalah hak kalian, sehingga orang lain tidak akan kalian biarkan mengganggunya. Meskipun orang lain itu bernama Empu Baladatu.”
Orang-orang di padukuhan itu mengangguk-angguk Tetapi salah seorang dari mereka bertanya ”Yang dibutuhkan oleh Empu Baladatu bukannya sawah dan ladang kami, tetapi bagaimanakah sikap kami jika yang dibutuhkannya adalah tenaga kami?”
“Sebenarnya jawabnya sama saja. Untuk menentukan sikap kalian terhadap diri kalian adalah hak kalian pula. Apakah kalian akan bersedia meninggalkah padi yang sedang bunting, hijaunya daun kacang rambat dan pohon buah-buahan yang sedang mulai rimbun. Kemudian pergi untuk waktu yang tidak terbatas bersama Empu Baladatu, mengembara meninggalkan keluarga yang mulai kalian hargai sebagai imbangan hidup, bukan sebagai budak yang tidak bermartabat?”
Orang-orang itu mulai berpikir. Dan pemimpin prajurit itu meneruskan, “Kalian dapat menolak, meskipun akibatnya mungkin benturan kekerasan. Tetapi apakah kalian juga menyadari, bahwa jika kalian tidak berani menolak dan tidak berani menentukan sikap, itupun juga berarti kalian akan diumpankan pada ujung tombak prajurit Singasari? Aku yakin bahwa tujuan paling akhir dari Empu Baladatu adalah sesuatu perlawanan terhadap Singasari bersama orang-orang Mahibit yahg dipimpin oleh Linggapati,”
Orang-orang padukuhan baru itu semakin dalam berpikir, Ia melihat kebenaran kata-kata pemimpin prajurit Singasari Itu. Juga keterangan para pemimpin yang lain dan Mahisa Bungalan
“Pikirkan” berkata Mahisa Bungalan kemudian, “kalian adalah orang-orang bebas yang dapat menentukan diri sendiri”
Orang-orang yang tinggal di padukuhan baru itu mulai berpikir. Para prajurit Singasari dan Mahisa Bungalan tidak minta mereka menjawab. Tetapi membiarkan mereka membicarakan dengan kawan-kawannya. Tetapi karena dalam pergaulan sehari-hari, mereka juga saling berhubungan dengan orang-orang dari padukuhan yang lain, yang dihuni oleh orang-orang yang semula berasal dari padukuhan yang berada di bawah pengaruh Empu Sanggadaru, maka merekapun saling membicarakannya.
Orang-orang yang semula berasal dari padepokan yang berada di bawah pengaruh Empu Sanggadaru. yang tidak didera oleh peristiwa pahit yang hampir melumpuhkan keluarga besar mereka, tidak kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri, sehingga mereka merasa wajib untuk mempertahankan kebebasannya.
“Kita harus tetap berdiri di atas pendirian kita sendiri” berkata salah seorang dari mereka.
Orang-orang yang berasal dari padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang dengan ragu-ragu mencoba bertanya kepada diri sendiri, “Apakah aku juga dapat bersikap seperti itu?”
Orang-orang yang berada di padukuhan baru itu mulai disentuh oleh gejolak di dalam diri mereka masing-masing. Sentuhan di antara mereka dalam pergaulan sehari-hari telah saling mempengaruhi bukan saja hubungan lahiriah tetapi juga perasaan dan nalar.
“Katakan, berapakah jumlah orang-orang Empu Sanggadaru? Seratus? Duaratus?” Bertanya seorang perwira prajurit Singasari kepada beberapa orang laki-laki yang sedang berkumpul dimuka regol padukuhannya yang baru ketika kerja mereka sudah selesai.
Laki-laki itu termangu-mangu dan saling berpandangan sejenak. Namun tidak ada diantara mereka yang menjawab.
“Seandainya jumlah mereka sekitar duaratus. maka jumlah kalian tentu berlipat.” perwira itu melanjutkan
“Tentu tidak” jawab salah seorang laki-laki itu, “jumlah kami sekarang, laki-laki yang dewasa, tidak ada seratus”
“He?” prajurit itu terkejut, “bagaimana kau menghitung jumlah di antara kalian? Berapa orang yang sekarang berkumpul disini Sepuluh orang lebih. Dan berapa yang duduk-duduk di regol sebelah? Katakan sepuluh orang. Yang berada di ujung lorong yang biasa juga untuk berkumpul di sore hari seperti tempat ini jika kerja sudah selesai berkumpul sepuluh orang? Sebut berapa? Yang ada dirumah masing-masing.”
“Nah, apakah jumlahnya sampai seratus? Jika dihitung dengan anak-anak remaja memang jumlah itu dapat dicapai.”
“Nah. dengan anak-anak remaja dan lebih banyak lagi degan mereka yang sudah melampaui pertengahan umurnya, tetapi masih cukup kuat untuk ikut menentukan ketenteraman padukuhan ini.
“Sebutlah, kami berjumlah seratus. Bukankah masih belum mencapai jumlah dua ratus atau duaratus lima puluh?” desis seorang yang ke-kurus-kurusan.
“Kalian berjumlah seratus orang. Padukuhan yang lain seratus orang, dan padukuhan yang lebih kecil, yang dihuni oleh orang-orang Empu Sanggadaru itu lima puluh orang. Nah, kalian sudah berjumlah seratus ditambah seratus lima puluh. Dalam keadaan yang gawat, maka cantrik di padepokan Empu Sanggadaru yang terlatih sebaik prajurit ada duapuluh lima orang, dan tersebar di beberapa padukuhan dan pategalan. Selain itu padukuhan-padukuhan yang tersebar akan dapat mengumpulkan orang dalam jumlah yang lebih besar. Dalam pada itu, aku sama sekali tidak menghitung prajurit Singasari, karena pada suatu saat mereka akan meninggalkan padukuhan ini.”
Laki-laki yang mendengar keterangan perwira itu mengerutkan keningnya. Salah seorang dari mereka bergumam, “Jumlah itu bukan jumlah yang nyata. Yang dapat kita hitung tentu hanya yang berada dipadukuhan Ini. Didalam lingkungan dinding kayu yang kami buat ini.”
“Itu adalah pikiran yang picik. Kalian sudah tinggal dalam satu lingkungan. Maka pahit getirnya akan kalian tanggungkan bersama. Tetapi jika ada manisnya, kalian bersama juga yang akan mengecapnya. Bukan orang lain. Selama kalian masih berpikir dalam batasan sempit, dinding kayu yang melingkari padukuhan ini, maka kalian merupakan sasaran yang paling lunak untuk dihancurkan dan kemudian jika ada di antara kalian yang hidup, maka kalian adalah budak yang puling hina. Kalian akan benar-benar menjadi umpan dan barang kali jika perlu, setiap bulan terang, kalian harus menyerahkan salah seorang dari antara kalian untuk korban darah bagi murid-murid Empu Baladatu.”
Orang-orang itu merasa ngeri mendengar kata-kata perwira itu. Tetapi perlahan-lahan hati mereka mulai terbuka.
Sementara itu Mahisa Bungalan yang duduk di antara beberapa orang laki-laki yang sedang mengerumuni seekor lembu yang haru lahir mulai membisikkan kepercayaan kepada diri sendiri serupa itu pula, “Anak lembu itu lahir. Tetapi induknya tidak dapat menentukan nasib anaknya, karena lembu tidak mempunyai akal dan nalar. Juga tidak mempunyai rasa tangung jawab akan kelahiran itu. selain dengan nalurinya ia akan menyusui dan mengajari anaknya secara naluri pula” Ia berhenti sejenak, lalu, “tetapi agak berbeda dengan kita manusia. Setiap kelahiran adalah tanggung jawab. Dan kita harus mempertanggung jawabkan anak-anak kita bukan saja pada saat lahir, tetapi bagi masa depannya. Nah, apakah kita mempunyai keberanian untuk melakukannya.”
Demikianlah. perlahan-perlahan orang-orang yang tinggal dipadukuhan itu dan yang berasal dari padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang, mulai menilai diri mereka sendiri. Mereka seakan-akan mulai melihat masa lampau yang bagi mereka merupakan jaman yang gelap terselubung oleh ilmu hitam. Sehingga dengan demikian, maka mereka sama sekali tidak ingin untuk kembali kejaman itu.
Tetapi mereka pun mulai menyadari, bahwa pada masa lampau mereka bukannya orang-orang yang selalu diburu oleh ketakutan. karena justru mereka adalah pemburu-pemburu manusia dan hak miliknya. Mereka tidak pernah mengenal takut dan cemas seperti yang mereka alami.
Dua ciri jaman mereka pada masa yang silam itu merupa kan kenangan yang bertentangan, Di satu pihak mereka sama sekali tidak ingin lagi tenggelam dalam tata cara hidup itu, namun di lain pihak mereka didesak oleh keharusan untuk mengenang kembali tata cara bermain pedang.
“Tetapi untuk mempertahankan diri” berkata Mahisa Bungalan ketika salah seorang dari mereka mengeluh kepadanya tentang kenangan mereka pada masa lampaunya, “kalian bukan lagi pemburu-pemburu manusia. Tetapi kalian sekarang justru diburu oleh Empu Baladatu. Mungkin Empu Baladatu tidak menginginkan harta benda, karena kalian memang tidak mempunyainya cukup banyak. Tetapi Empu Baladatu telah memburu kalian seperti memburu lembu-lembu liar yang akan dapat dipergunakan tenaganya.”
Orang-orang itu mengangguk-angguk.
“Nah, kenapa kalian tidak mempertahankan diri. Kalian dapat bergabung dengan orang-orang dari padukuhan lain dalam lingkungan ini. Bukan saja pedukuhan-pedukuhan yang baru saja tumbuh ini, tetapi juga dengan tetangga-tetangga padukuhan yang sudah lama ada ditempatnya. Dan bahkan dengan para cantrik di padepokan Empu Sanggadaru.”
Orang-orang dari padukuhan baru itu mengangguk-angguk. Perlahan-lahan mereka mulai menyadari bahwa mereka tidak dapat untuk selamanya menggantungkan nasib mereka kepada para prajurit Singasari, sementara merekapun menyadari, bahwa pada masa lampau mereka bukannya pengecut yang merengek-rengek minta perlindungan kepada orang lain.
Kesadaran yang saling bertentangan itu memang membuat mereka kebingungan. Tetapi dengan tuntunan dan pengarahan dari para prajurit dan Mahisa Bungalan, maka mereka pun mulai bangkit dan melihat jalan lurus yang dapat mereka tempuh.
“Mulailah” berkata Mahisa Bungalan, “mumpung kami masih mempunyai waktu disini. Selama ini mungkin kami akan dapat saling memanfaatkan. Mungkin kalian memerlukan tuntunan yang lain dalam olah kanuragan dari pada tuntunan hitam yang pernah kalian terima dari Empu Baladatu itu. Orang-orang dari padukuhan itupun kemudian seakan-akan mulai bangun kembali saat fajar menyingsing di hari yang baru.
“Marilah” berkata para perwira, “mulailah mengingat cara-cara memegang, pedang. Tetapi jangan mengingat cara-cara bagaimana kalian pernah menumbuhkan ketakutan. Apalagi setelah kalian sendiri mengalami ketakutan itu.
Demikianlah, maka orang-orang dari kedua padukuhan itupun mulai meraba hulu senjata lagi. Tetapi dalam keadaan dan landasan yang berbeda. Karena itulah, maka mereka seakan-akan telah melupakan, tata gerak dan sikap mempermainkan senjata-senjata itu.
Adalah kewajiban para perwira dari Singasari untuk membangkitkan lagi kemampuan orang-orang padukuhan baru itu untuk menguasai olah kanuragan. Namun adalah menjadi kewajiban mereka pula untuk membersihkan orang-orang dari padukuhan itu dari sisa-sisa ilmu hitam yang mengerikan itu.
“Kalian tidak usah bersandar pada korban pihak lain” berkata salah seorang perwira, “korban darah sama sekali tidak berarti dalam peningkatan ilmu kalian secara langsung. Tetapi karena korban itu telah mencengkam hati, maka kalian akan benar-benar tenggelam dalam latihan yang bersunguh-sungguh seakan-akan kalian sudah dibius oleh kengerian korban itu.“ Perwira itu berhenti sejenak, lalu, “Sebenarnyalah dalam latihan yang demikian kesadaran diri kalian telah sebagian dihisap oleh kengerian itu. Sekarang, berlatih dengan sadar. Bahkan, sadar sepenuhnya bahwa yang kalian kehendaki adalah peningkatan ilmu. Kesungguhan yang demikian nilainya tidak akan kalah dengan kengerian korban darah dimalam purnama itu. Sedangkan nilai yang akan kalian capai tentulah nilai yang lebih tinggi. Karena kalian tidak mengorbankan peradaban dan nilai kemanusiaan.”
Orang-orang dikedua padukuhan itu mengangguk-angguk. Mereka mencoba untuk mengerti dan melaksanakan pesan para perwira itu. Dengan tekun merekapun kemudian berlatih dalam kelompok-kelompok kecil yang dipimpin oleh seorang perwira di setiap kelompok termasuk Mahisa Bungalan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang meskipun memiliki ilmu yang cukup, namun mereka masih belum masak untuk melimpahkan kemampuan mereka kepada orang lain, sehingga keduanya hampir tidak mempunyai kewajiban tertentu selain ikut berjaga-jaga dan di saat-saat lain pergi berburu di dalam hutan. Meskipun demikian, kehadiran kedua anak muda itu memang dapat memberikan kesegaran, terutama bagi para remaja dikedua padukuhan itu.
“Ajaklah” berkata Mahisa Bungalan, “jika mereka mulai dengan suatu keinginan memperdalam ilmunya. Maka para prajurit akan menuntun mereka. Anak-anak yang masih sangat muda akan merupakan bibit yang bersih bagi masa depan, karena mereka belum dikotori oleh masa lampau yang gelap dan hitam.”
Pesan kakaknya itu ternyata memberikan kesenangan tersendiri kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan sungguh-sungguh ia mengajak anak-anak yang masih seumur mereka atau lebih muda sedikit untuk bermain-main. Kadang-kadang keduanya menunjukkan kemampuan mereka dalam latihan yang seolah-olah bersungguh-sungguh. Keduanya telah tangkas mempermainkan senjata. Bukan saja dalam latihan tetapi dalam pertempuran yang sebenarnya.
“Menarik sekali” berkata anak-anak remaja itu, “apakah aku boleh ikut?”
Pertanyaan itulah yang mereka harapkan. Dengan senang hati ia menjawab, “Tentu boleh, Siapa mau ikut?”
Ternyata anak-anak ingin memperoleh sekedar ilmu bagi keselamatan diri.
“Jika kalian bersungguh-sungguh, maka aku akan mengatakannya kepada kakang Mahisa Bungalan.” berkata Mahisa Murti
“Kami bersungguh-sungguh” jawab anak-anak itu hampir serentak.
Ketika Mahisa Bungalan mendengar keinginan itu, maka timbullah harapannya. Bahwa padukuhan itu pada suatu saat, tidak akan lagi menggantungkan dirinya kepada perlindungan siapapun. Apalagi jika mereka sudah merasa satu. Mahisa Bungalan sendirilah yang kemudian menangani anak-anak remaja di padukuhan-padukuhan itu. Bahkan juga di padukuhan yang semula berada didalam lingkungan padukuhan yang memang sudah berkiblat kepada padepukan Empu Sanggadaru.
Keinginan anak-anak itu telah menarik pehatian Empu Sanggadaru pula. Karena itu, sesuai dengan kebiasaannya, maka iapun tidak berkeberatan untuk memberikan latihan kepada siapapun juga, termasuk anak-anak itu. Tetapi ia tidak dapat melakukan untuk jumlah yang terlalu banyak. Karena itu maka ia pun telah memilih tigapuluh orang anak-anak remaja yang harus datang bergiliran ke padepokannya pada waktu yang terbagi masing-masing dalam kelompok yang berjumlah sepuluh orang.
Berbeda dengan Empu Sanggadaru, maka MahisaBungalan telah mengambil jalan lain. Dikumpulkannya anak-anak remaja itu ditempat yang luas. Maka mereka mulai menirukan tata gerak yang paling sederhana. Berulang-ulang setiap hari. Bahkan Mahisa Bungalan menganjurkan mereka melakukannya pagi dan sore. Setiap tiga hari sekali. Mahisa Bungalan menambah tata gerak yang baru dalam beberapa jenis unsur, Dan tata gerak yang baru itupun harus dihafal pula.
“Mereka tidak akan mengenal apa yang mereka lakukan” desis Mahisa Pukat pada suatu hari, ”mereka hanya menirukan dan menghafalkan. Mereka melakukan tata gerak itu berurutan dengan cepat dan benar. Tetapi apakah pada suatu saat jika mereka berhadapan dengan lawannya, tata gerak itu pula yang akan dipertunjukkan, sementara itu lawannya akan mengambil sudut kelemahannya.”
“Aku mengambil cara yang lain dari cara yang pernah kau tempuh saat kau mempelajari ilmu kanuragan.” jawab Mahisa Bungalan, “di sini aku menghadapi banyak orang. Dari tiga padepokan ini, selain yang mengikuti latihan-latihan dipadepokan Empu Sanggadaru. Tigapuluh orang terpilih, aku hanya membagi mereka menjadi enam kelompok. Setiap kelompok hanya sempat berlatih setiap tiga hari sekali, satu kali pagi dan satu kali sore, sedangkan dikesempatan lain mereka harus melakukan sendiri tanpa aku. Karena itu, aku memper gunakan cara yang paling mudah dan aman. Jika aku sudah mulai dengan tata gerak dan penggunaannya, maka di setiap kesempatan mereka akan berlatih tanpa pengawasan, sehingga akan mudah timbul pertengkaran di antara mereka.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya mengangguk-angguk saja. Sementara Mahisa Bungalan meneruskan, “Karena itu, dalam setiap kesempatan aku bukan saja memberikan latihan olah kanuragan, tetapi juga pesan-pesan dan tuntunan kejiwaan. Pada saatnya mereka akan dapat megendap dan mempergunakan pengetahuannya untuk hal-hal yang baik. Meskipun mereka berlatih tanpa aku dan pengawasan oleh siapa pun juga, mereka tidak akan mudah salah paham dan bertengkar di antara mereka.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih mengangguk-angguk. Anak-anak memang sulit bagi kakaknya untuk langsung menuntun anak-anak remaja itu langsung memasuki tata gerak yang sebenarnya dalam pertempuran. Dengan demikian maka Mahisa Bungalan di setiap hari, pagi dan sore. tentu berada di sebuah lapangan bersama anak-anak muda dalam kelompok yang sudah terbagi. Mahisa Bungalan sengaja mengisi setiap kelompok dari anak-anak muda ketiga padukuhan itu, agar di antara mereka segera terjalin hubungan yang lebih baik, Jauh lebih baik orang-orang tua mereka.
Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan termasuk orang yang keras dan rnemegang teguh peraturan. Ia tidak mau melihat seseorang yang datang terlambat. Jika ada di antara anak-anak muda itu yang memasuki barisannya setelah Mahisa Bungalan mulai, maka anak itu tentu akan mendapat hukuman. Sementara mereka yang tidak datang, akan diketahui pula oleh Mahisa Bungalan. Di kesempatan lain anak itupun akan mendapat hukumannya pula.
Dengan demikian, maka anak-anak remaja yang mengikuti latihan itu menjadi sangat patuh. Tetapi Mahisa Bungalan tidak membuat mereka menjadi takut dan tidak berani menyatakan pendapatnya dan mengajukan pertanyaan kepadanya. Demikianlah latihan-latihan semacam itu berlangsung beberapa lama sementara, para perwira telah melakukannya pula. dalam kelompok-kelompok orang-orang tua dan anak-anak muda yang sudah meningkat dewasa.
“Pada suatu saat, akupun akan membagi mereka dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil” berkata Mahisa Bungalan, “maka akan datang giliranmu untuk ikut mengawasi mereka.”
Dengan demikian maka padukuhan-padukuhan baru itupun nampak menjadi hidup. Setiap saat nampak kesibukan dari penghuni-penghuninya. Mereka sibuk dengan sawah mereka. Dan mereka pun sibuk dengan latihan-latihan kanuragan, agar mereka tidak menjadi sasaran ketamakan orang lain.
Dengan membagi waktu dan tenaga, di bawah asuhan para prajurit dan Mahisa Bungalan. maka semuanya dapat berjalan lancar. Latihan-latihan dapat berlangsung seperti yang diharapkan, sementara pekerjaan mereka di sawah sama sekali tidak terganggu.
Bahkan di sela-sela waktu yang sibuk itu, masih terdapat kesempatan satu dua orang untuk mempelajari pekerjaan-pekerjaan yang lain kecuali bercocok tanam. Mereka mulai mempelajari pekerjaan-pekerjaan yang semula hanya mereka lakukan karena terpaksa. Namun dengan tuntunan orang-orang dari padepokan Empu Sanggadaru dan para prajurit, maka pekerjaan-pekerjaan yang mula-mula hanya dikenalnya itu, dapat mereka pelajari semakin mendalam.
Tiga orang telah tenggelam dalam kesibukan memperdalam pengetahuannya tentang pande besi. Yang lain dalam keahlian yang lain pula, sehingga pekerjaan kayu, besi dan tenun bukan pekerjaan yang asing lagi bagi mereka. Bahkan perempuan-perempuan dipadukuhan itupun mulai melakukan beberapa macam pekerjaan tidak terlampau berat. Mereka menjadi semakin banyak mengetahui tentang tenun yang lebih baik dan halus dari yang mereka lakukan sebelumnya. Beberapa orang laki-laki seolah-olah menjadi semakin tergesa-gesa untuk mendalami ilmu kanuragan. Apalagi jika mulai terbayang kehadiran Empu Baladatu. Setiap kejap mata rasa-rasanya sayang dilalui tanpa melakukan sesuatu.
Karena pada dasarnya orang-orang dipadukuhan itu sudah memiliki bekal meskipun dalam jalur ilmu hitam, maka usaha mereka untuk memiliki sekedar ilmu yang akan dapat melindungi diri sendiri, berjalan agak lancar dan cepat. Dalam waktu yang dekat, rasa-rasanya mereka telah mulai mengenal kemampuan diri sendiri meskipun dalam ujud yang agak lain dan dalam jalur yang berbeda. Mereka tidak lagi membasahi senjata mereka dengan darah di setiap purnama. Bahkan jika mereka teringat akan masa lalu, terasa bulu tengkuk mereka meremang.
Itulah sebabnya, mereka tidak lagi mau menyentuh senjata-senjata mereka yang lama. Ketika mereka telah dapat membuat yang baru, maka yang lama itupun telah disingkirkannya. ditanam dalam-dalam di tengah-tengah hutan seakan-akan mereka telah menguburkan masa lampau mereka di tempat yang tidak akan mereka jamah lagi.
Ternyata bukan saja orang tua dan anak muda yang telah semakin meningkat dalam olah kanuragan. Para remaja pun telah mulai mengenal beberapa unsur gerak dengan baik, Bahkan mereka telah dapat mengingat dan melakukan unsur-unsur gerak pokok yang diberikan oleh Mahisa Bungalan.
Karena itulah, maka Mahisa Bungalan pun telah mulai dengan tahap berikutnya dari latihan-latihannya yang diberikan kepada para remaja. Mahisa Bungalan membagi mereka dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil. Jika sekelompok kecil melakukan latihan khususnya, maka yang lain harus melakukan latihan-latihan seperti biasanya di tempat yang terpisah. Sekedar menirukan dan mengulang tata gerak yang pernah diberikan. Beberapa kali sampai mereka benar-benar dapat melakukan tanpa mengingat-ingat lagi.”
Yang mendapat giliran latihan khusus dari kelompok yang kecil itu, Mahisa Bungalan mengajar mereka memperdalam tata gerak yang sudah mereka hafal itu. Mereka harus melakukannya beberapa kali. Kemudian Mahisa Bungalan mulai menerangkan hubungan yang satu dengan yang lain. Beberapa kali setiap kelompok mendapat petunjuk-petunjuk tentang hubungan itu. Namun karena jumlah kelompoknya menjadi lebih banyak, maka giliran setiap kelompokpun menjadi semakin jarang. Meskipun demikian, ketekunan dan kesungguhan para remaja itu tidak berkurang. Waktu-waktu yang terluang mereka pergunakan untuk melatih diri dalam tata gerak yang harus mereka hafal itu.
Ketika hubungan tata gerak yang satu dari yang lain sudah mulai mereka pahami, maka Mahisa Bungalan mulai memperkenalkan kegunaannya, dihadapkan pada orang lain. Mahisa Bungalan mulai dengan sentuhan yang paling sederhana pada anak-anak itu. Dan iapun menunjukkan tata gerak, yang manakah yang harus dipergunakan untuk menghindar atau melindungi diri masing-masing..Dalam waktu yang agak panjang, maka mulailah latihan-latihan yang lebih rumit. Mereka mulai dihadapkan yang satu dengan yang lain, meskipun masih dalam keterbatasan yang sempit.
Tetapi karena anak-anak remaja itu dengan sungguh-sungguh mengikuti semua petunjuk dan latihan-latihan yang diberikan oleh Mahisa Bungalan, maka dalam saat-saat tidak terlampau lama, merekapun mulai mengenal olah kanuragan yang sebenarnya, meskipun dalam tingkat permulaan sekali. Dengan demikian ketika latihan-latihan itu mulai menjadi semakin rumit, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mendapat tugasnya pula. Bahkan beberapa orang prajurit telah diminta pula untuk mengawasi kelompok-kelompok yang terpisah.
Sementara anak-anak remaja itu mulai meningkat ilmunya, maka perhatian semua orang kemudian seakan-akan tertuju kepada mereka, karena hari depan padukuhan itu kelak akan terletak ditangan mereka. Sebentar lagi anak-anak remaja itu akan menjadi anak-anak muda yang dewasa penuh. Di tangan mereka lah terletak ketenangan padukuhan-padukuhan yang sedang tumbuh semakin subur itu. Bahkan para perwira dan prajurit Singasari tidak segan memberitahukan kepada orang-orang tua yang berada dibawah bimbingan mereka, bahwa anak-anak remaja itu perlu mendapat dorongan dan pengarahan yang lebih cermat.
Demikianlah maka padukuhan-padukuhan itu berkembang semakin pesat. Sawah dan ladang yang semakin hijau dan rimbun. Parit yang semakin panjang dan mengalir semakin ajeg. Jalan-jalan yang rata dan bersih, yang menghubungkan padukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain serta dengan padepokan Empu Sanggadaru. Semakin lama ternyata bahwa padukuhan baru itu akan dapat berkembang menjadi padukuhan yang benar-benar dapat memberikan tempat untuk menumpukan harapan bagi masa depan dan bagi anak cucu mereka. Namun pada suatu saat, seperti yang setiap kali dikatakan oleh prajurit-prajurit Singasari, bahwa prajurit-prajurit itu tidak selamanya akan berada dipadukuhan itu.
“Sebelum aku pergi” berkata pemimipin prajurit itu, “kalian harus sudah mampu menjaga diri sendiri”
“Kami akan berusaha” jawab orang-orang di padukuhan itu.
“Para remaja pun harus sudah dapat dipercaya” berkata pemimpin prajurit itu, “sebentar lagi mereka akan menjadi perisai yang dewasa, bagi padukuhan ini.”
Anak-anak remaja itu menjadi semakin bersungguh-sungguh. Mereka melakukan apa saja yang diperintahkan Mahisa Bungalan kepada mereka dengan patuh. Kelompok-kelompok kecil yang dibentuk kemudian, selalu mengadakan latihan pada saat-saat yang di tentukan. Bahkan pada saat-saat lain kapan saja mereka sempat.
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti seakan-akan telah luluh di antara mereka. Karena kedua anak-anak muda ini merasa dirinya mendapat kawan bermain. Meskipun ilmu keduanya jauh terpaut, tetapi umur yang sebaya, telah membuat mereka berada dalam satu lingkungan. Justru karena itulah, maka anak-anak remaja di padukuhan yang baru itu dapat banyak menyadap dari Mahisa Pukat dan Mahisa Murti. Justru karena ia adik-adik Mahisa Bungalan yang mempunyai sumber ilmu yang sama.
Dalam pada itu, tiga puluh orang remaja yang langsung berada di bawah asuhan Empu Sanggadaru pun meningkat dengan cepat. Kesempatan yang lebih luas telah menjadikan mereka memiliki kemampuan yang lebih baik dari kawan-kawannya. Meskipun demikian, anak-anak remaja yang lainpun telah mulai menunjukkan kemampuan yang memadai. Semua kemajuan itulah yang tidak diperhitungkan oleh Empu Baladatu sebelumnya. Ia hanya mempertimbangkan kemungkinan kedatangan prajurit Singasari yang pada suatu saat tentu akan ditarik kembali.
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang ada di antata para remaja itu telah mulai segalanya dari permulaan. Namun dalam pada itu, ternyata bahwa mereka tidak hanya sekedar mengajarkan ilmunya. Tetapi mereka seakan-akan telah mengulang kembali apa yang pernah mereka terima sejak permulaan. Dengan demikian maka seakan-akan mereka telah memperbaharui seluruh ilmu mereka dengan melihat semua unsur gerak yang ada.
Ternyata ketiga anak-anak muda itu mampu memanfaatkan keadaan. Disaat-saat yang senggang, bahkan kadang-kadang dimalam hari, ketiganya telah menyendiri. Mereka mulai menilai setiap tata getak yang mereka kuasai, kemudian memperbandingkannya dengan sumber yang mereka kenal pada saat mereka mempelajari ilmu itu.
Bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat penilaian kembali tata gerak pada olah kanuragan yang dikuasainya bersama kakaknya itu, ternyata sangat menguntungkan. Meskipun mereka sekedar mengulang, yang telah mereka miliki tetapi rasa-rasanya yang mereka miliki itu menjadi semakin dewasa, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat seolah-olah menjadi semakin mengenal dirinya sendiri dan setiap gerak yang pernah mereka lakukan. Yang semula seakan-akan sekedar melakukan gerak naluriah, kemudian ternyata bahwa mereka mulai mengenal sifat dan watak gerak itu sendiri dan dalam hubungnya dengan ilmunya dalam keseluruhan.
Bagi Mahisa Bungalan pun bukannya tidak berarti sama sekali. Kadang-kadang pada celah-celah tata gerak yang diberikannya kepada anak-anak remaja yang dimulainya dari permulaan sekali itu, ia menemukan sesuatu yang bermanfaat dan disempurnakannya di saat ia berada sendiri di halaman belakang, dari pondoknya.
Sementara itu, Empu Baladatu yang menempa diri bersama anak buahnya itupun sampai pada suatu saat, dimana mereka teringat kepada padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang.
“Ada beberapa orang di antara mereka yang dapat kita ambil dan kita tempa disini” berkata Empu Baladatu, “meskipun jumlahnya tidak banyak, tetapi berguna bagi kita, karena mereka akan mengembangkannya di antara mereka sendiri.”
Beberapa orang anak buahnya yang terdekat mengangguk-angguk. Namun ada di antara mereka yang bertanya, “Apakah kita dapat mempercayai mereka? Nampaknya mereka telah kehilangan semua sifat dan watak mereka yang keras. Jiwa mereka benar-benar telah hancur bersama hancurnya pasukan mereka sehingga mereka sama sekali tidak dapat berbuat apapun selain pasrah dan perlahan-lahan membiarkan diri mereka binasa.”
“Kita akan mengajar mereka, bagaimana mereka harus bangkit. Kita akan mengambil beberapa orang yang akan kita coba untuk mengingatkan mereka kepada ilmu yang pernah mereka miliki.”
“Berapa orang Empu” bertanya yang lain
“Ambillah lima orang di antara mereka. Jangan yang sudah terlalu tua. Tetapi ambillah yang masih muda. sehingga jerih payah kita tidak akan sia-sia. Jika kita berhasil, maka kita akan mengambil lebih banyak lagi. Sepuluh atau duapuluh, sehingga pada suatu saat, kita akan mempunyai sepasukan prajurit yang terlatih baik dari kedua padepokan itu. Bahkan mungkin ratusan orang.”
Para pengawal terdekat itu mengangguk-angguk. Sementara Empu Baladatu meneruskan, “Pergilah. Bawa empat orang pengawal bersamamu sehingga semuanya akan berjumlah lima orang. Setiap orang diantara kalian akan membawa seorang anak muda menjadikan mereka percobaan bagi kemungkinan yang bakal datang,”
“Tetapi apakah itu bukan berarti tanda bahaya bagi mereka, sehingga mereka akan mengambil suatu sikap”
“Mereka tidak akan berani berbuat apa-apa. Tetapi seandainya di padukuhan mereka masih ada prajurit Singasari. Maka kalian harus berusaha mengambil anak itu di luar pengawasan para prajurit itu. Namun dengan demikian akan dapat berarti, bahwa hadirnya para prajurit itu akan menjadi bertambah panjang. Tetapi itu tidak akan mendatangkan kesulitan. Mereka tidak akan dapat bertahan sampai bilangan tahun.”
Orang-orang berilmu hitam itu pun kemudian menyiapkan lima orang yang terpercaya. Seorang di antara mereka adalah yang yang sudah mengenal kedua padepokan itu dengan baik.
“Jangan takut. Orang-orang Serigala Putih dan Macan Kumbang telah menjadi jinak seperti seekor kucing sakit-sakitan. Tetapi ingat, bahwa mungkin ada prajurit Singasari, atau para cantrik dari padepokan kakang Sanggadaru. Mereka adalah Serigala dan Macan Kumbang yang sebenarnya. Karena itu kalian harus berhati-hati terhadap mereka.”
Kelima orang yang akan berangkat itu pun mengangguk-angguk. Mereka menyadari bahwa tugas mereka cukup berat jika dipadepokan itu ada beberapa orang prajurit atau cantrik dari padepokan Empu Sanggadaru. Tetapi jika mereka tidak ada dikedua padepokan itu, maka tugas mereka tidak ubahnya seperti menginjak buah ranti
Demikianlah, setelah semuanya siap, maka kelima orang itupun segera berangkat. Mereka tidak mempunyai tujuan lain kecuali mengambil lima orang anak muda dari kedua padepokan itu. Mungkin tiga dari padepokan Serigala Putih dan dua dari Macan Kumbang atau sebaliknya.
“Jika kelima orang itu berhasil ditempa dalam waktu singkat, maka yang lima itu akan segera menjadi berlipat ganda.” berkata Empu Baladatu.
Di perjalanan kelima orang itu sama sekali tidak menjumpai kesuliatn apapun juga. Tidak ada: seorang pun yang mengganggu mereka apalagi berusaha menghalangi. Untuk mencapai padepokan itu, maka kelima orang itu harus bermalam di perjalanan meskipun mereka berkuda. Tetapi bermalam bukannya persoalan bagi mereka berlima.
Demikianlah mereka pun telah menempuh seluruh perjalanan dengan selamat. Namun mereka tidak tergesa-gesa mendekati padepokan Serigala Putih maupun Macan Kumbang. Mereka harus mengetahui lebih dahulu, apakah yang terdapat dikedua padepokan itu.
“Kita sudah terlalu lama berpisah dari kedua padepokan itu” berkata salah seorang dari mereka yang sudah mengenal kedua padepokan yang mereka tuju.
“Ya, Agaknya sejak Empu Baladatu pergi ke Mahibit.” sahut seorang kawannya.
“Dan itu sudah terjadi berbulan-bulan lampau.” desis yang lain pula.
“Empu Baladatu memang menunggu para prajurit Singasari menjadi jemu dan meninggalkan padepokan-padepokan itu.” jawab pemimpin dari kelompok kecil itu. Ia adalah satu-satunya orang yang sudah mengenal padepokan-padepokan yang pernah menggemparkan itu.
Kawan-kawannya tidak menjawab. Mereka hanya mengangguk-angguk saja. Karena mereka merasa bahwa pengetahuan mereka tentang kedua padepokan itu sangat sedikit.
“Kita akan berhenti disini” berkata pemimpin kelompok itu, “kita akan menyelidiki keadaan.”
Kelima orang itupun kemudian beristirahat di pinggir sebuah hutan kecil. Mereka menambatkan kuda mereka di tempat yang terlindung. Demikian pula mereka mencari tempat untuk beristirahat di balik gerumbul-gerumbul perdu.
“Beristirahlah” berkata pemimpin kelompok itu., “tetapi seorang dari kalian akan pergi bersamaku menyelidiki padepokan Serigala Putih itu.”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak begitu memikirkan apa yang sedang mereka hadapi, karena mereka masih harus menunggu keterangan dari kedua kawannya yang masih akan menyelidiki keadaan.
Dalam pada itu, ketika malam menjadi gelap, maka kedua orang yang akan menyelidiki padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang itupun mulai bergerak. Dengan sangat hati-hati mereka mendekati padepokan yang pernah berada di bawah pengaruh Ernpu Baladatu meskipun untuk waktu yang tidak terlalu lama.
”Apakah kau tidak keliru?” bertanya salah seorang dari keduanya.
“Tentu tidak. Aku mengenal jalan menuju kepadepokan itu sebaik-baiknya” jawab yang lain. Lalu tiba-tiba, “Nah, aku sudah menemukan lorong itu”
Tetapi keduanya termangu-mangu sejenak. Lorong itu terlampau kotor dan ditumbuhi rerumputan liar. Tidak ada jalur walaupun, hanya setapak.
“Jalan ini seolah-olah sudah lama sekali tidak dijamah kaki” desis yang seorang, yang memang belum pernah mengenal daerah itu.
“Ya. Tetapi aku tidak akan keliru. Jalan menuju kepadepokan itu adalah jalan ini”
Kawannya mengerutkan keningnya. Namun ia tidak membantah, karena Ia tahu, bahwa, kawannya itu sudah mengenal padepokan yang akan mereka dekati.
“Kita akan melihat” desis yang seorang, yang pernah mengenal daerah itu.
Mereka maju lagi beberapa puluh langkah. Tetapi lorong itu masih saja tidak menunjukkan bekas kaki manusia untuk waktu yang lama. Semakin dekat mereka dengan padepokan Serigala Putih, hati mereka menjadi semakin berdebar-debar. Mereka sama sekali tidak melihat tanda-tanda apapun juga pada padepokan yang pernah dikunjunginya beberapa saat yang lewat.
“Apakah kita dijebak oleh hantu” desis orang yang pernah datang kepadepokan Serigala Putih itu.
“Kenapa?” bertanya kawannya.
“Kita sudah berada dihadapan padepokan itu. Tetapi kita tidak melihat seberkas sinar pun.”
Kawannya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kita akan mendekati. Mungkin mereka masih saja dicengkam ketakutan.”
“Waktunya sudah cukup lama untuk menenangkan diri meskipun seandainya mereka masih tetap cemas. Namun agaknya kita perlu melihat lebih dekat lagi.”
Keduanya pun kemudian merangkak semakin dekat dengan dinding padepokan. Tetapi mereka sama sekali tidak melihat maupun mendengar tanda-tanda kehidupan didalam padepokan yang sunyi itu.
“Apakah benar yang kita lihat itu sebuah padepokan?” desis salah seorang dari keduanya.
“Aku belum gila. Aku tahu pasti, ini adalah padepokan Serigala Putih.” Sahut yang lain.
“Tetapi padepokan ini kosong” Jawab kawannya.
“Mungkin mata kita sudah rabun, atau barangkali seperti yang kita sangka semula, kita sudah dijebak oleh hantu-hantu."
“Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang?” Yang lain termenung sejenak. Namun kemudian ia menggeram, “Kita akan masuk kedalamnya. Kita akan melihat apakah aku sudah gila atau kita memang dijebak oleh hantu yang manapun.”
Kawannya nampak ragu-ragu. Tetapi yang pertama sudah siap untuk melangkah memasuki halaman padepokan yang sepi itu.
“Tunggu” desis kawannya.
“Kau takut?”
“Bukan takut. Tetapi siapa tahu bahwa kita telah dijebak. Bukan oleh hantu-hantu. Tetapi oleh orang-orang Serigala Putih. Mereka sudah mengetahui kedatangan kita, dan mereka sengaja membuat padepokan mereka seperti padepokan yang sudah tidak dipergunakan lagi."
“Mungkin mereka dapat berbuat demikian dengan padepokannya. Tetapi mereka tidak akan dapat berbuat demikian dengan lorong yang sudah menjadi padang alang-alang dan perdu itu.”
Kawannya termangu-mangu. Namun katanya kemudian, “Baikiah. Kita akan masuk. Tetapi hati-hatilah. Siapa tahu ada sesuatu yang dapat mencelakai kita”
Sejenak keduanya termangu-mangu. Namun yang seorang segera mencabut pedangnya sambil berkata “Apapun yang akan aku hadapi, aku tidak akan lari”
Keduanyapun kemudian telah menggenggam senjata di tangan. Dengan penuh kewaspadaan keduanya melangkah melintasi tlundak regol.
“Gila” desis yang seorang.
“Kenapa?” bertanya yang lain.
“Regol ini sama sekali tidak pernah disentuh tangan. Kotor dan hampir roboh.”
Yang lain tidak menyahut Mereka maju melangkahi tlundak dan turun dihalaman yang luas. Betapapun gelapnya malam, tetapi mereka dapat melihat bahwa halaman itu. ternyata kotor dan tidak terjamah. Sejenak kedua orang itu termangu-mangu. Yang nampak di hadapan mereka adalah bayangan yang hitam, kelam bagaikan seonggok kayu yang silang melintang. Tidak ada secercah cahaya lampu yang nampak di dalam kegelapan malam itu.
“Kita masuk ke sarang hantu” desis yang seorang, yang pernah mengenal padepokan itu sebelumnya.
“Ya. Kita akan di sergap dan dibantai di dalam sarang mereka yang mengerikan itu” Sahut yang lain.
Untuk sementara keduanya masih bertahan. Tetapi sejenak kemudian yang seorang berkata, “Padepokan ini telah menjadi kuburan raksasa. Tidak ada mahkluk yang hidup didalamnya. Jika kita memasukinya, mungkin kita akan menginjak bangkai yang sudah menjad kerangka, atau kita sendiri akan terjerat sarang labah-labah raksasa yang akan menghisap darah kita sampai kering.”
“Jadi?”
“Kita tinggalkan padepokan hantu ini. Kita terpaksa menunggu sampai siang Besok kita akan meyakinkan penglihatan kita ini. Jika besok kita melihat padepokan ini ramai dihuni oleh orang-orang Serigala Putih, dan halaman ini nampak bersih dan berbekas sapu lidi, maka malam ini kita benar-benar telah kena hantu penjaga simpang tiga disudut hutan itu”
Terasa bulu-bulu tengkuk mereka meremang. “Marilah” desis yang seorang.
Maka dengan kaki yang gemetar keduanya pun melangkah surut perlahan-lahan. Ketika mereka sampai di pintu regol. maka keduanya pun telah meloncat dengan tergesa-gesa.
“Tidak, ada gunanya kita memasuki padepokan itu dalam kebingungan seperti ini” desis yang seorang.
Kawannya tidak menjawab. Tetapi keduanya pun kemudian dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat itu dan kembali kepada kawan-kawannya yang lain. Ketika mereka sampai di tempat ketiga orang kawannya beristirahat, maka terasa nafas mereka yang berkejaran menjadi agak teratur. Sehingga hatinya pun menjadi agak tenang.
“Bagaimana?” Bertanya seorang kawannya.
“Kami hanya menemukan sarang hantu” desis salah seorang dari kedua orang yang menyelidiki padepokan itu.
“Kenapa?” bertanya yang lain
“Kami tidak melihat seorangpun di padepokan itu” jawab kawannya yang datang kepadepokan. Dengan singkat ia pun menerangkan apa yang telah dilihatnya.
“Apakah mereka sudah mengungsi?” Tiba-tiba salah seorang dari mereka bertanya.
Kedua orang yang datang kepadepokan itu saling berpandangan sejenak Pada saat-saat yang mencengkam karena ketakutan mereka sama sekali tidak memikirkan kemungkinan itu, sehingga tiba-tiba salah seorang dari mereka berdesis, “Ya. Mungkin mereka memang telah mengungsi.”
Yang lain mengangguk-angguk. Katanya, “Itu adalah kemungkinan yang masuk akal. Bukan sekedar bayangan hantu sajalah yang telah mencengkam kita.” Kawan-kawannya tersenyum. Namun orang yang datang kepadepokan itu berkata, “Jika bukan aku yang datang, tentu akibatnya akan sama saja. Justru aku yang sudah mengenal padepokan itu sebelumnya.”
“Jadi bagaimana dengan kita sekarang?”
“Kita akan menunggu sampai pagi. Besok kita akan melihat padepokan itu. Barulah kita akan mendapatkan kesimpulan.”
Orang-orang itu pun tidak mempunyai pilihan lain kecuali menunggu sampai matahari terbit. Karena itulah, maka mereka pun segera membaringkan diri dan berusaha untuk tidur, kecuali seorang dari mereka harus berjaga-jaga dan dilakukan berganti-ganti.
Ketika fajar menyingsing, maka kelima orang itu pun segera bersiap-siap. Tetapi merekapun tidak akan pergi bersama-sama. Dua orang yang semalam pergi mengunjungi padepokan itulah yang akan kembali meyakinkan, bahwa mereka tidak masuk kedalam sarang hantu. Dengan hati-hati mereka melintasi lorong yang semalam mereka lalui. Lorong itu benar-benar lorong yang kotor dan tidak terjamah kaki.
“Kita tidak rabun, dan kita tidak ditenung hantu” desis salah seorang, dari keduanya, “lorong ini memang sudah lama tidak dilalui orang.”
Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Mereka pun kemudian menjadi semakin tidak ragu-ragu lagi, bahwa padepokan itu memang sudah kosong. Mereka tidak lagi bersembunyi dan merangkak. Tetapi mereka langsung menuju regol yang rusak dan kotor.
“Kosong” desis yang seorang, “kita benar-benar menjumpai padepokan orang-orang Serigala Putih yang sudah kosong.”
“Tetapi apakah mereka mengungsi atau karena sesuatu hal mereka telah ditumpas habis” jawab yang lain
“Marilah, kita akan menyaksikannya. Di siang hari kita tidak usah cemas bahwa kita sedang dijebak oleh hantu yang paling jahat.”
Kawannya mengerutkan keningnya. Namun ia pun melangkah maju perlahan-lahan. Yang ada dihatinya kemudian bukannya ketakutan, tetapi keragu-raguan bahwa mereka akan me nyaksikan sesuatu yang mengerikan. Tetapi kedua orang itu telah memaksa diri untuk melangkah mendekati barak-barak yang kotor dan tidak terjamah. Sarang LLabah-labah yang kehitam-hitaman menyangkut di sudut-sudut dan tiang serambi.
Sejenak keduanya termangu-mangu. Namun hampir dijuar sadar keduanya telah menarik senjatanya. Dengan hati-hati mereka melangkah mendekati intu yang terbuka. Dengan ujung pedang yang teracung, keduanya menjenguk dengan ragu-ragu.Tetapi karena mereka tidak melihat sesuatu maka mereka pun segera melangkah masuk.
Sejenak mereka tertegun sambil memandang berkeliling Mereka tidak menghiraukan pendapa yang senyap. Sementara mereka langsung memasuki barak di sebelah pendapa. Dengan penuh kewaspadaan mereka semakin dalam masuk ke dalam ruang yang ada di dalam barak itu Namun mereka tidak melihat sesuatu.
“Kita melihat di barak yang lain, di bagian belakang dari padepokan ini” desis yang seorang.
Kawannya mengangguk meskipun ragu-ragu. Dengan hati yang berdebar-debar mereka berdua pun kemudian pergi ke bagian belakang dari padepokan yang kosong itu. Ketika mereka memasuki sebuah barak yang lain, maka barak itu pun telah kosong pula. Tidak ada seorang pun dan bahkan dengan heran yang seorang berkata, “Aku tidak melihat barang-barang di dalam padepokan ini.”
“Ya” jawab yang lain.
“Dengan demikian kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa mereka telah mengungsi. Bukan karena mereka tertumpas habis.”
“Kesimpulan yang paling tepat. Jika mereka telah tertimpa malapetakan dan tertumpas habis, maka aku kira barang barang mereka tentu masih ada yang tertinggal. Sekelompok orang yang menyerang dan menang, tidak akan sempat membawa semuanya yang ada.”
Keduanya mengangguk-angguk karena mereka mendapatkan kesimpulan yang sama tentang barak-barak dan padepokan itu. Orang-orang Serigala Putih tentu sudah mengungsi.
“Benar-benar di luar dugaan Empu Baladatu” berkata yang seorang, “jika mereka mengungsi, apakah memungkinkan bagi mereka untuk mendapatkan lapangan kehidupan dengan mudah?”
“Mungkin mereka ditampung oleh para prajurit?”
“Tidak mungkin. Mereka tidak hanya seorang dua orang. Tetapi mereka lebih dari seratus orang. Dengan keluarganya, jumlah mereka akan berlipat. Lihatlah padepokan ini seolah-olah telah penuh sesak dengan barak-barak. Kehidupan yang susah dari keluarga yang besar ini telah memberikan pupuk pada sifat dan usahanya selama mereka masih menyebut dirinya gerombolan Serigala Putih. Mereka adalah perampok yang disegani.”
“Tetapi kekalahan yang hampir mutlak saat mereka menyerang padepokan Empu Saggadaru telah mematahkan keberanian mereka. Berapa puluh orang di antara mereka yang terbunuh. Hanya sebagian kecil saja dari mereka yang sempat pulang.”
“Sebenarnya mereka belum lumpuh sama sekali. Yang lumpuh adalah sifat kejantanan mereka. Dan itu berpengaruh sekali bagi cara hidup mereka selanjutnya. Mereka kemudian tidak lebih adalah petani-petani miskin yang kurus kering. Mereka makan apa-apa yang dapat mereka petik dari pategalan mereka yang tandus”
Kawannya mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Agaknya semuanya itulah yang justru mendorong mereka untuk mengungsi.”
Yang lain tidak menjawab. Tetapi ia pun menganguk-anguk pula. Untuk beberapa saat lamanya mereka menjelajahi padepokan itu. sehingga mereka benar-benar yakin bahwa padepokan itu memang telah kosong. Satu dua pucuk senjata masih tertinggal, tersangkut di dinding.
“Kita akan melihat padepokan yang lain. Padepokan gerombolan Macan Kumbang, yang mempunyai sifat yang sama dengan orang-orang Serigala Putih, tetapi yang sepanjang hidup mereka selalu bersaing dan bermusuhan. Keduanya bersumber pada dasar ilmu yang sama, cara hidup yang sama dan kegemaran yang sama.”
“Apakah mereka juga mengalami keadaan yang sama?”
“Tidak dapat diduga. Semuanya memang mungkin.”
Kedua orang itu pun kemudian kembali kepada kawan-kawannya dengan ceritera yang mengecewakan, karena mereka tidak dapat melakukah pekerjaan mereka. Kelima orang itu harus membawa lima orang anak muda dari kedua padepokan itu, sebagai bahan percobaan, apakah kedua padepokan itu masih berguna bagi mereka. Tetapi ternyata bahwa padepokan ternyata telah mengalami perubahan.
Namun demikian orang-orang dari padepokan Empu Baladatu itu masih ingin mencoba untuk melihat padepokan Macan Kumbang. Mungkin orang-orang Macan Kumbang telah memilih jalan lain dari orang-orang padepokan Serigala Putih.
“Marilah, kata akan segera melihat”
“Tetapi kita masih harus tetap berhati-hati. Jika padepokan itu masih ada, kita akan membawa kelima orang anak muda itu dari sana. Dan mungkin Empu Baladatu harus mengambil sikap yang lain dari rencananya semula. Agar semuanya tidak sia-sia.”
Demikianlah kelima orang itu pun segera berpacu menuju kepadepokan Macan Kumbang. Mereka ngin melihat, apakah peristiwa yang terjadi pada padepokan Serigala Putih itu telah terjadi pula pada padepokan Macan Kumbang. Namun agaknya mereka masih mempunyai harapan. Orang-orang padepokan Macan Kumbang dan orang-orang padepokan Serigala Putih pada dasarnya tidak akan dapat bekerja bersama.
Tetapi kekecewaan telah melonjak di hati orang-orang itu ketika mereka menjumpai kenyataan, bahwa padepokan Macan Kumbang pun telah kosong. Padepokan itu ditinggalkan oleh penghuninya dengan segala macam isi dan perabotnya.
“Gila. Mereka juga telah mengungsi” desis salah seorang dari kelima orang itu.
“Ini tentu usaha prajurit-prajurit Singasari” geram yang lain, “mereka tidak dapat berada di padepokan ini terlalu lama. Tetapi mereka tidak membiarkan bencana menimpa orang-orang dari kedua padepokan ini sehingga mereka pun telah membawa orang-orang dari kedua padepokan itu ke Singasari.”
“Gila” teriak salah seorang dari mereka yang dadanya bagaikan sesak, “jadi perjalanan kami sia-sia?”
“Empu Baladatu tidak akan percaya” yang lain lagi berkata lantang.
“Tetapi apa yang akan kita lakukan kenyataan ini memang demikian? Apakah kita harus mencari mereka dan mengembalikan mereka kepadepokan ini dan padepokan Serigala Putih?”
Sejenak mereka termangu-mangu. Namun kemudian salah seorang yang marah itu berteriak, “Kita bakar padepokan terkutuk ini.”
“Ya, kita bakar sampai menjadi abu” teriak yang lain. Tetapi orang yang tertua di antara mereka berkata “Apakah ada gunanya? Dibakar atau tidak dibakar, kita tidak akan dapat membawa lima orang, anak muda kembali ke padepokan”
“Apakah kita akan mencarinya sepanjang jalan?” Tiba-tiba salah seorang dari mereka berpendapat.
“Kau kira anak-anak muda itu tidak dapat berbicara? Kita dapat mengancamnya agar mereka mengatakan bahwa mereka berasal dari padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang. Tetapi dalam pembicaraan yang perkepanjangan kemudian, Empu Baladatu tentu akan dapat mengambil ‘kesimpulan bahwa mereka bukan anak muda dari kedua padepokan yang telah kosong itu.”
“Jadi? Apakah yang akan kita lakukan?”
“Kembali. Mengatakan apa yang telah kita lihat kepada Empu Baladatu.”
Yang lain termangu-mangu. Kembali kepada Empu Baladatu tentu tidak akan menyenangkannya. Empu Baladatu tentu akan memaki-maki, dan mungkin tidak percaya.
“Jika ia tidak percaya” orang itu melanjutkan, seolah-olah mengerti perasaan kawan-kawannya, “biarlah ia membuktikannya. Kita tidak bersalah, karena yang kita katakan adalah kenyataan ini.”
“Sia-sialah perjalanan kami yang jauh.”
“Tidak sia-sia mutlak. Kita dapat mengetahui bahwa padepokan ini telah kosong.”
“Tetapi tidak sepadan dengan perjalanan kami beberapa hari.”
“Kita tidak dapat menentang kenyataan yang kita hadapi.”
Yang lain tidak dapat membantah lagi. Kenyataan itu memang mereka hadapi. Dan mereka tidak dapat menentang atau ingkar, bahwa kedua padepokan itu memang telah kosong. Dengan dada yang sesak oleh kegelisahan, kecemasan dan bahkan kebimbangan bahwa Empu Baladatu akan menghukum mereka, maka kelima orang itu pun segera kembali. Perjalanan kembali itu rasa-rasanya berlangsung ber-abad-abad meskipun tidak lebih dari perjalanan mereka ke padepokan-padepokan yang telah kosong.
Ketika malam tiba di perjalanan, mereka se-olah-olah tidak ingin bermalam di perjalanan. Itulah sebabnya mereka berjalan terus sampai malam menjadi pekat. Tetapi agaknya kuda mereka pun menjadi lelah dan perlu beristirahat, sehingga mereka terpaksa bermalam di perjalanan.
Dalam pada itu, kedatangan mereka kembali di padepokannya telah menimbulkan ketegangan pula. Mula-mula Empu Baladatu tidak mempercayainya. Ia benar-benar memaki-maki dengan wajah yang merah membara.
“Kalian adalah pengecut” teriak Empu Baladatu, ”kedua padepokan itu sudah tidak berdaya sama sekali. Jika kalian memasuki padepokan itu atas namaku, mereka semuanya tentu sudah pingsan. Tetapi jika ada prajurit-prajurit Singasari, maka kalian dapat mengambil jalan lain, karena kalian akan dapat memungut anak-anak muda itu di luar pengawasan prajurit-prajurit Singasari itu.”
“Empu” orang tertua dari kelima orang itu mencoba menjelaskan, “kami sudah memasuki kedua padepokan itu. Bahkan kami sudah berniat untuk membakarnya. Tetapi niat itu kami urungkan agar tidak menarik perhatian atau mengundang persoalan sebelum kami melaporkan kepada Empu.”
Empu Baladatu menghentakkan tangannya. Lalu, “Aku akan melihat sendiri. Jika membohongi aku, kalian berlima harus dibunuh. Satu demi satu kalian akan menjadi korban saat purnama naik.”
Kelima orang itu menegang. Rasa-rasanya kulit mereka telah meremang. Tetapi mereka yakin akan kebenaran kata-kata mereka tentang padepokan yang telah menjadi sepi itu. Meskipun Empu Baladatu sendiri akan melihat, ia tentu akan menemukan keadaan yang serupa seperti yang pernah dilihatnya.
Untuk membuktikan kebenaran kata-kata kelima orang yang telah pergi ke kedua padepokan itu. maka Empu Baladatu pun segera mempersiapkan diri. Kecuali kelima orang yang telah menemukan padepokan Serigala Putih dan Padepokan Macan Kumbang itu kosong, maka Empu Baladatu telah membawa lima orang pengawal yang lain sehingga jumlah mereka seluruhnya menjadi sepuluh orang.
“Kita akan membuktikan apakah penglihatan mu itu bukan penglihatan seorang pengecut” berkata Empu Baladatu.
Demikianlah pada saat yang ditetapkan, mereka pun segera berangkat menuju ke padepokan yang telah kosong itu. Untuk tidak menimbulkan perhatian orang lain, maka kesebelas orang itu telah memecah diri menjadi tiga buah kelompok kecil. Seperti perjalanan sebelumnya maka Empu Baladatu dan para pengawalnya harus bermalam pula di perjalanan, meskipun separuh dari malam itu dipergunakannya untuk berjalan terus.
Di hari berikutnya menjelang senja, mereka telah sampai di padepokan Serigala Putih. Berdasarkan keterangan yang pernah didapat oleh Empu Baladatu dari kelima orang yang pergi mendahului, maka mereka pun langsung menuju ke padepokan yang benar-benar telah menjadi kosong.
“Gila” Empu Baladatu menggeram, “padepokan ini benar-benar telah kosong.”
“Sudah aku katakan Empu.” sahut salah seorang pengawal.
“Aku sudah mendengar” teriak Empu Baladatu yang marah.
Pengawal itu pun segera terdiam. Diiringi oleh pengawalnya Empu Baladatu memasuki padepokan itu dan menjelajahinya dari ujung sampai keujung. Kesimpulan yang didapatnya adalah, bahwa penghuni padepokan itu tentu sudah mengungsi.
“Prajurit-prajurit Singasari memang gila” teriak Empu Baladatu yang tidak mengira bahwa padepokan itu pada suatu saat akan ditinggalkan oleh penghuninya. Perhitungannya adalah bahwa prajurit-prajurit Singasari itu akan memberikan perlindungan sementara kepada kedua padepokan itu. Mereka akan segera pergi setelah untuk waktu yang lama kedua padepokan itu tidak mengalami gangguan apapun juga.
Tetapi yang dilihatnya sekarang adalah bahwa padepokan itu telah ditinggalkan oleh penghuninya. Dengan hati yang panas, Empu Baladatu pun segera membawa para pengawalnya untuk pergi ke padepokan Macan Kumbang pula. Namun yang dijumpainya adalah barak-barak yang kosong membeku di keremangan malam.
“Gila. Prajurit-prajurit Singasari telah menjadi gila. Mereka membawa penghuni dua padepokan. Apakah prajurit-prajurit Singasari itu memang telah menyediakan barak-barak pengungsian sehingga mereka dapat menampungnya?” geram Empu Baladatu.
Tetapi Empu Baladatu tidak segera meninggalkan padepokan itu. Dengan nada yang tinggi ia berkata, “Aku akan mencari orang-orang dari kedua padepokan ini sampai aku tahu pasti dimana mereka tinggal.”
Para pengawalnya mengerutkan keningnya. Mereka menjadi berdebar-debar dan gelisah. Apakah dengan demikan berarti bahwa mereka akan memasuki kota Singasari?
“Malam ini kita tidur di sini” berkata Empu Baladatu kemudian.
Meskipun mereka berada di padepokan, tetapi rasa-rasanya badan mereka justru menjadi gatal-gatal. Padepokan yang sepi iiu telah berubah menjadi sarang segala macam binatang melata dan serangga, sehingga rasa-rasanya tubuh merekapun telah dikerumuni oleh berbagai jenis binatang kecil.
Bahkan beberapa orang yang tidak tahan lagi, telah keluar dan duduk di halaman terbuka, di samping kuda-kuda mereka tertambat. Meskipun di sana-sini rerumputan tumbuh subur, namun mereka menemukan juga tempat yang baik untuk berbaring setelah mereka membersihkannya dengan segenggam ilalang kering.
“Disini agaknya lebih baik” desis salah seorang dari mereka.
“Empu Baladatu pun tentu tidak akan dapat tidur. Ia betah duduk saja semalam suntuk.” Sahut yang lain.
Namun mereka pun terdiam .karena ternyata Empu Baladatu pun pergi juga keluar dan duduk di halaman. Tetapi malam tidak lagi tersisa terlalu panjang. Sejenak kemudian, maka langit pun menjadi semburat merah oleh cahaya fajar.
“Kalian akan tinggal di padepokan ini sampai senja. Aku ingin menyelidiki kemana kira-kira penghuni padepokan ini pergi. Ingat, tidak seorang pun boleh meninggalkan padepokan ini tanpa ijinku.”
“Empu pergi kemana?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Aku akan berusaha melihat-lihat daerah di sekitar tempat ini. Mungkin aku akan sampai didekat pedepokan kakang Sanggadaru. Jika kalian perlu, kalian dapat mencari sejenis binatang di sekitar daerah ini. Tetapi kalian harus segera kembali lagi ke padepokan.”
Anak buah Empu Baladatu itu hanya dapat mengangguk-angguk saja. Mereka pun kemudian melihat Empu Baladatu berkemas. Salah seorang pengawalnya terpercaya telah diajaknya pergi bersamanya.
“Siapa yang meninggalkan padepokan ini bukan sekedar berburu binatang di sekitar tempat ini, akan mempertanggung jawabkan tindakan itu. Apalagi jika kemudian akan membawa kesulitan bagi kita semuanya.” berkata Empu Baladatu ketika ia meninggalkan padepokan itu.
Karena itu, maka tidak seorang pun diantara mereka yang ditinggalkan itu berniat untuk pergi kemanapun. Mereka hanya berani melangkah keluar padepokan dengan busur dan anak panah. Beberapa puluh langkah mereka mengintai jika ada seekor kijang atau menjangan. lewat di semak-semak yang sudah lama tidak tersentuh kaki, sehingga belukar yang tumbuh di sela-sela padang ilalang, menghubungkan daerah itu dengan hutan perdu dipinggir hutan yang lebat.
Sementara itu Empu Baladatu telah menyelusuri jalan setapak yang telah lama tidak dirambah kaki manusia lagi. Diikutinya jalan yang menuju ke daerah yang terbuka meskipun jaraknya masih panjang sekali.
“Gila” ia bergumam. ”tidak ada tanda-tanda apapun yang dapat aku ikuti.”
Pengawalnya hanya mengangguk saja.
“Padepokan terdekat dari daerah ini adalah padepokan kakang Sanggadru. Di padepokan itu terdapat beberapa orang prajurit Singasari. Mungkin sekali padepokan itu menjadi daerah penampungan sementara sebelum mereka dibawa ke Kota Raja atau ketempat-tempat lain.” ia berhenti sejenak, lalu, “selain padepokan itu, maka padukuhan-padukuhan kecil di sekitar tempat ini tidak akan dapat menampung orang sejumlah dua padepokan sekaligus.”
Pengawalnya mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya, “Mungkin Empu. Tetapi apakah masih ada kepentingan kita untuk melacaknya. Jika mereka sudah berada di tangan prajurit Singasari, maka mereka tidak akan berarti apa-apa lagi bagi kita, Bahkan mereka tentu akan menjadi orang-orang yang berbahaya"
“Mungkin mereka berbahaya bagi kita. Tetapi kita masih akan dapat melihat kemungkinan lain. Jika mereka meninggalkan padepokan itu dengan cara lain, dipaksa misalnya, sehingga mereka akan menjadi tawanan, sedangkan perernpuan dan anak-anak akan menjadi budak-budak yang akan melakukan kerja paksa, maka kita akan melihat suatu kesempatan.”
Pengawalnya mengangguk-angguk pula. Tetapi yang nampak olehnya diwajah Empu Baladatu adalah bayangan kebencian dan dendam, sehingga karena itu, maka menurut dugaan pengwal itu, jika Empu Baladatu menemukan orang-orang Serigala Putih dan Macan Kumbang, maka kemungkinan yang paling besar dalam usaha untuk membinasakan mereka sama sekali.
Dengan hati-hati mereka maju terus. Akhirnya Empu Baladatu memang mengambil arah, menuju kepadepokan Empu Sanggadaru. Perjalanan menuju kepadepokan itu bukannya perjalanan yang terlalu dekat. Karena itu, maka mereka memerlukan waktu yang cukup lama meskipun kuda mereka berlari cukup cepat, namun tidak dapat berpacu karena jalan yang penuh dengan belukar dan pohon-pohon perdu.
Ketika mereka mulai mendekati hutan yang menjadi daerah pengaruh Empu Sanggadaru karena menjadi daerah perburuannya, maka Empu Baladatu menjadi semakin berhati-hati.
“Kakang Empu Sanggadaru gemar sekali berburu” berkata Empu Baladatu, “karena itu, kita harus menghindari kemungkinan bertemu dengan kelompok perburuannya”
“Apakah kita akan mengambil jalan lain?”
“Ya. Kita akan melingkari hutan itu. Hutan ini bukannya hutan yang besar. Karena itu, maka Empu Sanggadaru kadang-kadang menjadi jemu dan berburu di hutan yang lebat pepat, meskipun agak jauh. Namun untuk mengisi waktu senggangnya, maka hutan ini merupakan taman yang cukup memberikan ketenangan baginya.”
Pengawalnya mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, agaknya Empu Sanggadaru tidak mereka jumpai di dalam hutan itu. Dengan sangat hati-hati keduanya mulai mendekati padepokan Empu Sanggadaru.
“Kita akan meninggalkan kuda kita di tempat yang aman meskipun di luar hutan agar tidak diterkam harimau” berkata Empu Baladatu.
“Didekat padepokan?”
“Ya.”
Pengawalnya menjadi ber debar-debar. Tetapi ia tidak menjawab. Namun dalam pada itu, pada waktu mereka menyusuri jalan dipinggir hutan mendekati padepokan, tiba-tiba mereka telah di kejutkan oleh sesuatu yang lain dari yang pernah mereka kenal. Dari kejauhan mereka melihat tanah yang sudah terbuka diujung hutan. Bahkan sudah merupakan daerah persawahan.
“He, apakah aku bermimpi” desis Empu Baladatu.
Pengawalnya, yang juga pernah datang kepadepokan Empu Sanggadaru menjadi terheran-heran pula. Keduanya pun kemudian berhenti dipinggir hutan. Dari kejauhan mereka melihat sawah yang mulai hijau oleh tanaman yang subur. Lamat-lamat mereka melihat padukuhan baru yang mulai berkembang.
Untuk beberapa saat keduanya hanya termangu-mangu di atas punggung kudanya, seolah-olah mereka tidak yakin akan penglihatan mereka. Namun dedaunan yang hijau yang bertebaran di atas tanah persawahan itu akhirnya meyakinkan keduanya, bahwa mereka tidak sedang bermimpi.
“Kita benar-benar melihat sawah yang terbentang di pinggir hutan itu” berkata Empu Baladatu, “dan kita juga melihat padukuhan baru yang sedang tumbuh.”
“Ya. Padukuhan yang nampaknya dibangun dalam perencanaan yang baik. Bukan tumbuh begitu saja dengan liar. Sawah dan parit, jalan menuju padukuhan itu, pepohononan yang rimbun yang sengaja tidak ditebang untuk melindungi padukuhan yang baru itu, menunjukkan bahwa padukuhan itu benar-benar lahir setelah direncanakan dengan sebaik-baiknya.
“Ini tentu pokal prajurit-prajurit Singasari” geram Empu Baladatu, “aku yakin bahwa padukuhan itu telah dibuka oleh orang-orang dari padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang Mereka bukan saja mengungsi untuk menyelamatkan diri dari kebimbangan dan kelumpuhan jiwani, tetapi agaknya mereka telak mencari suatu bentuk kehidupan baru dibawah tuntunan para prajurit Singasari.”
Pengawalnya mengangguk-angguk. Dengan wajah yang tegang ia berkata, “Empu agaknya benar. Akupun berpendapat demikian.”
Terdengar gemeretak gigi Empu Baladatu. Dengan geram ia berkata, “Suatu jalan keluar yang gila. Tetapi yang dilakukan itu tidak akan banyak menolong. Yang pindah kepadukuhan itu adalah tetap orang-orang Serigala Putih dan orang-orang Macan Kumbang.”
“Tetapi mereka berada dekat dengan padepokan Empu Sanggadaru. Dengan demikian maka mereka akan selalu berada di bawah pengawasan dan perlindungan Empu Sanggadaru dengan pasukannya yag cukup kuat itu.”
“Tidak. Padepokan itu tidak mempunyai pasukan yang kuat. Yang menjadikan padepokan itu kuat adalah hadirnya prajurit-prajurit Singasari. Jika prajurit-prajurit itu meninggalkan padepokan kakang Sanggadaru, maka padepokan itu tidak akan berarti apa-apa lagi bagiku. Dengan mudah aku akan dapat menyapunya sampai orang terakhir.”
“Tetapi kini didekat padepokan itu telah tumbuh padukuhan-padukuhan itu. Apakah Empu tidak melihat kemungkinan, bahwa kekuatan yang tergabung itu akan merupakah kekuatan yang sulit untuk ditembus?”
“Aku tidak yakin. Orang-orang Serigala Putih dan orang-orang Macan Kumbang telah lumpuh. Dan mereka tidak akan bangkit kembali untuk waktu yang sangat lama. Bahkan mungkin harus melampaui satu keturunan lagi.”
Pengawal itu tidak menjawab. Tetapi ia tidak yakin, bahwa perhitungan Empu Baladatu itu benar.
“Kita akan mencari keterangan” berkata Empu Baladatu.
“Kepada siapa?”
“Bertanya kepada seorang yang ada di sawah.”
“Mereka akan ketakutan melihat kehadiran kita. Jika prajurit Singasari masih ada di sana, maka persoalannya akan membuat kita mendapat kesulitan.”
“Pengecut, Aku akan melakukannya. Tetapi bukan aku sendirilah yang harus menampakkan diri.”
Pengawalnya mengerutkan keningnya. Ia tidak bergitu mengetahui maksud Empu Baladatu.
“Marilah” berkata Empu Baladatu, “kita mendekati daerah persawahan itu. .Kita akan menemui satu dua orang dari antara mereka. Lebih baik jika kita menemukan sekelompok anaka muda. Kita membawa mereka langsung tanpa mempertimbangkan persoalan-persoalan lain.”
Pengawalnya termangu-mangu. Tetapi ia tidak bertanya lagi, “Kita mencari tempat untuk menyembunyikan kuda kita. Hutan ini tentu tidak banyak dihuni oleh binatang buas.”
Keduanya kemudian mengikat kuda mereka d empat yang mereka anggap aman. Terlindung, tetapi juga tidak terlampau berbahaya. Sejenak mereka termangu-mangu. Namun Empu Baladatu pun kemudian berkata,
“Kita berjalan mendekat. Kau berada di depan. Kau tentu belum dikenal orang. Aku akan berada beberapa langkah dibelakangmu. Aku akan berusaha menyembunyikan wajahku sejauh dapat aku lakukan. Jika kita bertemu dengan sesorang, kau tahu apa yang harus kau tanyakan. Aku akan mengawasi keadaan.”
Pengawalnya mengangguk. Ia pun tahu apa yang dimaksud Empu Baladatu. Karena itu, ia tidak bertanya lagi kepadanya.
Sejenak kemudian, setelah membenahi pakaiannya, maka pengawal Empu Baladatu itupun melangkah menuju ke lorong yang membelah tanah persawahan. Mereka memilih arah, agar kedatangan mereka tidak menumbuhkan pertanyaan, karena mereka seolah-olah muncul dari dalam hutan. Setelah melalui beberapa puluh kotak, maka mulailah mereka melihat beberapa orang yang sedang melintasi pula di tengah-tengah sawah.
“Mereka tidak akan pergi kesawah” desis pengawal Empu Baladatu itu. Ia melihat orang-orang itu membawa busur dan anak panah.
“Mereka akan berburu” Katanya kemudian. Karena itu. maka iapun menunggu Empu Baladatu dan memberinya isyarat untuk mendekat.
Empu Baladatu melihat isyarat itu. Karena itu maka ia pun melangkah lebih cepat lagi mendekati pengawalnya. “Orang-orang itu tentu akan berburu” berkata pengawal Empu Baladatu serelah ia berada didekatnya.
“Ya” Empu Baladatu menyahut mereka adalah orang-orang yang sebenarnya kita tunggu”
“Kenapa kita menunggu mereka?”
“Kita akan mendapat beberapa keterangan dari mereka.”
“Dan mereka akan kembali kepadukuhan sambil ketakutan karena kehadiran Empu disini.”
“Apakah mereka sudah mengenal aku?” Pengawal Empu Baladatu tidak menjawab. Tetapi nampak kerut merut dikeningnya.
“Mungkin mereka sudah mengenal aku, tetapi mungkin belum” desis Empu Baladatu.
“Apakah kita akan menghentikan mereka?”
“Ya. Kita akan menghentikan mereka.” jawab Empu Baladatu, “kaulah yang bertanya kepada mereka. Aku akan berusaha untuk mendengarkan pembicaraanmu tanpa dapat mereka lihat
“Bagaimana mungkin?”
“Temuilah mereka di pinggir hutan perburuan itu. Aku akan mempunyai kesempatan.”
Empu Baladatu dan pengawalnya itu pun kemudian dengan tergesa-gesa memotong arah. Tetapi mereka rnemperhitung kan setiap kemungkinan sehingga mereka telah berusaha untuk tidak diketahui dan menimbulkan kecurigaan , pada orang-orang yang akan pergi berburu itu.
Seperti yang direncanakan maka pengawal Empu Baladatu itu pun segera menyelinap dan muncul di jalan yang akan dilalui oleh orang-orang dari padukuhan itu, setelah mereka sampai di pinggir hutan. Dengan tidak menumbuhkan kecurigaan maka pengawal itu berjalan pada arah yang berlawanan sehingga memungkinkan mereka berpapasan.
Tetapi bagaimanapun juga, hadirnya seseorang ditempat itu memang sudah menimbulkan suatu pertanyaan dihati orang-orang padukuhan itu. Jarang sekali mereka bertemu dengan orang dari luar padukuhan mereka, karena padukuhan mereka masih merupakan daerah baru. Jika ada orang asing yang lewat, maka mereka tentu berada di jalan yang. melalui padepokan Empu Sanggadaru atau padukuhan-padukuhan lama yang berada di bawah pengaruh Empu Sanggadaru.
Namun demikian semula orang-orang yang akan pergi berburu itu tidak menghiraukannya. Mereka seolah-olah tidak ingin banyak mengetahui tentang orang-orang asing yang kurang mereka kenal, karena bagaimanapun juga, masih mungkin seorang perantau yang berjalan lewat jalan dan daerah yang jarang disentuh kaki orang.
Tetapi ketika mereka melihat orang yang tidak mereka kenal itu berhenti, maka mereka pun mulai memperhatikannya. Apalagi ketika nampak bahwa orang itu agaknya ingin bertanya sesuatu kepada mereka.
“Ki Sanak” bertanya pengawal Empu Baladatu itu, “apakah aku boleh mengajukan beberapa pertanyaan? Aku adalah orang yang tersesat, yang tidak tahu kemana aku harus pergi”
“Oh” salah seorang dari orang-orang yang akan pergi berburu itu maju selangkah, “siapakah kau Ki Sanak?”
“Aku datang dari jauh sekali. Tetapi aku telah tersesat di hutan yang tidak aku kenal, sehingga aku menjadi bingung dan kehilangan arah.”
“Kau datang dari mana?”
“Singasari.”
“Kota Raja maksudmu?”
“Ya. Aku datang dari Kota Raja.”
“Ki Sanak berada di tempat yang sebenarnya tidak jauh sekali dari Kota Raja.”
“He? Tidak jauh sekali? Aku sudah berjalan beberapa hari. Melingkar-lingkar sehingga bekalku habis di perjalanan.”
“Ki Sanak benar. Agaknya Ki Sanak memang sudah berjalan melingkar-lingkar tanpa arah. Karena itu Ki Sanak sudah merasa berjalan jauh sekali, tetapi sebenarnya daerah ini tidak terlalu jauh dari Kota Raja.”
“Dimanakah aku sebenarnya berada Ki Sanak? Dahulu rasa-rasanya aku pernah melalui daerah ini. Ketika aku menemukan beberapa ciri yang sudah aku kenal, aku merasa senang. Rasa-rasanya aku akan sampai kepadepokan Empu Sanggadaru. Jika demikian, maka aku akan terlepas dari kebingungan. Tetapi ternyata ketika aku muncul dipinggir hutan itu, aku melihat daerah persawahan dan padukuhan yang asing lagi. Bukan padukuhan yang perada dibawah pengaruh padepokan Empu Sanggadaru.”
“Ki Sanak benar” jawab orang itu, “daerah ini memang berada dibawah pengaruh padepokan Empu Sanggadaru.”
“Tetapi padukuhan itu?”
”Itu adalah padukuhan yang baru.”
“Baru? Sejak kapan padukuhan itu ada?”
“Belum terlalu lama-”
“Tetapi, apakah penghuninya penghuni padukuhan yang memang sudah ada, tetapi memperluas daerah tempat tinggal mereka.”
Orang itu termangu-mangu. Namun salah seorang dari mereka menjawab tidak. Kami datang dari tempat lain dan tinggal dipadukuhan itu Pengawal Empu Baladatu itupun mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu iapun kemudian bertanya, “Kalian datang dari mana?”
Orang-orang itu tidak segera menjawab. Nampak kebimbingan membayang diwajah mereka.
“Apakah kalian datang dari tempat yang jauh?” pengawal itu mendesak.
Orang yang tertua diantara mereka menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Tidak Ki Sanak. Kami tidak datang dari tempat yang jauh. Kami adalah keluarga Empu Sanggadaru yang sudah dianggap dewasa dan wajib memisahkan diri dan mengurus padukuhan ini.”
Wajah pengawal Empu Baladatu menjadi berkerut-kerut. Sepercik kekecewaan telah meloncat ditatapan matanya. Dengan nada datar ia bertanya, “Jadi kalian tidak berasal dari tempat lain?”
Orang itu mengeleng.
“Tetapi tadi kau mengatakan bahwa kau datang dari tempat lain.”
“Kami memang mempunyai kelainan dengan orang-orang yang tinggal dipadukuhan yang berada dibawah pengaruh Empu Sanggadaru. Kami adalah orang-orang yang dipisahkan daripadanya sementara keluarga kami dari tempat lain telah ikut. Serta membantu kami menebang hutan ini.”
“Keterangan kalian berputar-putar tidak menentu.” pengawal Empu Baladatu itu pun mulai kehilangan kesabaran.
“Aku kira keteranganku cukup jelas.”
“Katakanlah yang sebenarnya. Apakah kalian mempunyai rahasia yang kalian sembunyikan?”
Orang-orang itu menjadi heran. Lalu salah seorang dari mereka bertanya, “Ki Sanak. Bukankah kau telah tersesat dan mencari jalan keluar? Tetapi kini kau memaksa kami untuk menjawab pertanyaab Ki Sanak yang membingungkan itu.”
“Bukan pertanyaanku membingungkan, tetapi jawabmu. Jawab kalian, yang tidak menentu.”
“Aku tidak mengerti. Agaknya kau telah membawa jawab sendiri atas pertanyaan yang kau ajukan, sehingga jawaban kami tidak memberikan kepuasan kepadamu-”
“Persetan” tiba-tiba saja terdengar suara seseorang dari balik pepohonan. Belum lagi kejutan itu mereda di dada orang orang yang mendengarnya, maka orang-orang dari padukuhan itu telah dikejutkan pula oleh munculnya seseorang dari balik gerumbul dipinggir hutan.
“Aku tidak telaten mendegarnya” berkata Empu Baladatu yang telah berdiri dipinggir lorong itu, “jangan ingkar. Bukankah kalian orang-orang dari padepokan Serigala Putih atau padepokan Macan Kumbang.”
Orang-orang itu bagaikan membeku ketika mereka melihat siapakah yang berdiri dihadapan mereka. Hampir setiap orang dari padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang telah mengenal Empu Baladatu. Dan kini Empu Baladatu itu tiba-tiba saja telah berdiri diantara mereka.
“Empu Baladatu” desis salah seorang dari mereka.
“Ya. tentu masih mengenal aku.”
Orang-orang itu menjadi pucat ketika mereka melihat Empu Baladatu melangkah maju mendekati mereka.
“Cepat, katakan. Apakah kalian orang-orang Serigala Putih atau Macan Kumbang? Kalian tentu mengenal aku. Tetapi aku tidak dapat mengenal kalian seorang demi seorang.”
Orang-orang itu masih termangu-mangu.
“Cepat, katakan” teriak Empu Baladatu.
Ternyata bahwa pengaruh yang memancar dari bentakan itu telah mencengkam setiap hati. Karena itu, maka hampir di luar kesadaran mereka, beberapa orang menjawab bersama-sama, “Kami orang-orang padepokan Serigala Putih.”
“Ha” Empu Baladatu menyahut, “jadi kalian telah mencoba melarikan diri dari pengaruhku dan pasrah pada perlindungan kakang Empu Sanggadaru” ia berhenti sejenak, tatapan matanya menjadi merah bagaikan bara, “kalian memang bodoh. Kakang Sanggadaru sendiri masih memerlukan perlindungan prajurit-prajurit Singasari.”
Orang-orang itu menjadi semakin pucat. Namun salah seorang dari mereka menjawab, “Ya, prajurit-prajurit itu telah melindungi kami bersama-sama.”
“Gila” teriak Empu Baladatu, “apakah kau kira bahwa aku tidak dapat berbuat apa?” orang-orang itu saling berdiam diri.
“Sekarang kalian tidak akan dapat ingkar. Adalah nasib kalian yang buruk, bahwa kalianlah yang pertama-tama telah bertemu dengan kami.”
Orang-orang padukuhan itu menjadi semakin pucat karenanya.
“Sebenarnya kami memerlukan beberapa orang anak-anak muda yang masih akan dapat dibentuk dengan mudah. Mereka masih mempunyai masa depan yang panjang.” Empu Baladatu berhenti sejenak lalu, “tetapi kalian pun masih cukup muda. Kami akan membawa kalian. Jangan takut. Kalian tidak akan kami korbankan, karena kami ingin kalian akan menjadi penyebar ilmuku di antara orang-orang Serigala Putih. Kalian akan tinggal bersama kami untuk beberapa lamanya. Setelah itu kalian akan kami kembalikan kepada keluarga kalian dengan harapan bahwa kalian akan dapat mewakili kami di antara orang-orang Serigala Putih, karena pada waktunya kami memerlukan bantuan kalian.”
Orang-orang padukuhan yang semula adalah orang-orang padepokan Serigala Putih itu termangu-mangu. Mereka sadar, bahwa Empu Baladatu adalah oang yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Tetapi mereka sama sekali tidak ingin untuk ikut serta bersamanya. Orang-orang Serigala Putih yang telah mencoba melupakan masa lampaunya itu, tidak mau masuk lagi kedalam lingkungan yang mengerikan. Mereka tidak ingin setiap purnama melihat darah mengalir dari luka, dan mereka tidak ingin membasahi tubuh mereka dengan titik darah itu dalam pendalaman ilmu yang bersumber dari ilmu hitam itu.
“Jangan menyesali diri” berkata Empu Baladatu, “seharusnya kalian berbangga hati bahwa kalianlah yang akan mendapat kehormatan untuk memperdalam ilmu didalam lingkunganku.”
Orang-orang itu saling berpandangan. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Empu. Biarlah kami hidup menurut jalan kami sendiri. Kita sudah berpisah. Baik secara wadag maupun secara batin. Kita tidak akan dapat menemukan jalur jalan yang sejajar.”
“Aku tidak memerlukan penjelasanmu itu. Dengarlah. Kalian akan ikut bersama kami. Senang tidak senang. Ingin atau tidak ingin. Itu sudah menjadi keputusanku” Empu Baladatu menggeram, “dan kalian tahu akibatnya jika kalian mencoba untuk membantah perintahku ini. Aku dapat berbuat apa saja”
Orang-orang itu menjadi tegang. Mereka tahu bahwa Empu Baladatu memiliki kemampuan yang tidak terlawan. Namun untuk ikut bersamanya pun sama sekali tidak menarik hati. Mereka akan terjerumus sekali lagi dalam genggaman ilmu iblis seperti yang pernah mereka alami.
Karena itulah, maka orang-orang itu menjadi bingung. Namun salah seorang dari mereka tiba-tiba saja menemukan dirinya dan bertekad untuk melepaskan diri dari jerat Empu Baladatu.
“Lebih baik aku tidak mengalaminya meskipun aku akan dibunuhnya disini” berkata orang didalam hatinya.
Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Empu Baladatu. Aku mengetahui bahwa aku dan kawan-kawanku tidak akan dapat berbuat apa-apa dihadapan Empu Baladatu. Tetapi bagaimanapun juga, kami ingin menghindarkan diri dari niat Empu untuk membawa kami bersama Empu kepadepokan yang belum aku ketahui itu.”
Wajah Empu Baladatu menjadi tegang. Namun ia pun kemudian tertawa sambil berkata, “Jangan bodoh. Kau masih mendapat banyak kesempatan dihari depan. Kau masih cukup muda untuk memahami kehidupan yang sebenarnya. Jangan terbius oleh keadaan sesaat, tetapi tanpa masa depan yang pantas bagi kalian.”
”Empu” jawab orang itu, “biarlah kami dalam keadaaan kami sekarang.”
“Gila” tiba-tiba saja Empu Baladatu berteriak, “apakah kalian tidak mengenal aku lagi? Siapa yang membantah perintahku, akan mengalami nasib yang sangat buruk. Aku akan mengelupasnya seperti mengelupas kulit pisang. Dan tubuh kalian yang merah akan tergolek ditanah tanpa dapat dikenal lagi.”
Terasa bulu-bulu tengkuk orang-orang padukuhan itu meremang. Tetapi ternyata mereka yang telah mendapat tempaan lahir dan batin itu, telah berubah pula. Dengan tegang orang itu menjawab, “Empu. Aku ngeri mendengar ancaman itu. Tetapi apaboleh buat. Kami tidak akan dapat ikut bersama Empu.”
“Jadi kau milih terkelupas kulitmu”
“Empu. Kami telah memiliki beberapa lapis ilmu yang tidak berharga. Bahkan kami telah mendapat bekal dari Empu sendiri. Karena itu biarlah kami yang berjumlah jauh lebih banyak dari Empu berdua ini mencoba mempertahankan diri.”
“Gila, gila. Jadi kalian ingin melawan kami?” Teriak Empu Baladatu semakin keras.
Orang-orang itu mundur setapak. Ternyata bahwa semua di antara mereka telah bertekad untuk mempertahankan diri apapun yang akan terjadi
“O, orang-orang yang malang. Meskipun kalian telah merasa mampu untuk menentukan sikap seperti itu, tetapi kalian tentu akan menyesal bahwa kalian akan mengalami masa-masa akhir yang sangat mengerikan.”
Orang-orang itu melangkah mundur pula beberapa langkah dan melekatkan pada busurnya. “Sebenarnya kami ingin berburu” berkata salah seorang dari mereka, “tetapi kami terpaksa membela diri dengan senjata-senjata ini.”
“Gila” Empu Baladatu berteriak semakin keras, “kau kira anak panahmu dapat menyelamatkan jiwamu.”
Orang-orang itu menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat tiba-tiba saja ditangan Empu Baladatu telah tergenggam sepasang pisau belati panjang.
“Ingat, ingatlah. Dengan pisau ini aku akan mengelupas kulitmu”
Orang-orang yang bersenjata busur itu tanpa mereka sengaja telah melangkah menjauhi yang satu dengan yang lain. Tangan mereka telah siap untuk melepaskan anak panah di busur mereka.
“Kita bunuh orang-orang ini” geram Empu Baladatu kepada pengawalnya, yang telah menggenggam pisau belati seperti d itangan Empu Baladatu itu pula.
Perintah itu benar-benar telah mendebarkan jantung. Tetapi jumlah mereka yang tiga kali lipat, dan anak panah di busur membuat mereka lebih berani. Apalagi mereka sudah bertekad untuk tidak akan kembali lagi ke dunianya yang lama.
“Empu Baladatu manusia juga seperti kami” berkata orang-orang itu didalam hati.
Karena itu, maka mereka mempunyai harapan, bahwa Empu Baladatu pun akan dapat dikalahkan, setidak-tidaknya diimbangi kemampuannya oleh jumlah yang lebih banyak itu. Apalagi mereka merasa, bahwa pada saat terakhir mereka telah menempa diri, menambah kemampuan mereka dalam olah kanuragan, meskipun pada jalur yang berbeda dari cabang perguruan yang pernah mereka pelajari sebelumnya,
“Jadi kalian benar-benar akan melawan?” bertanya rnPu Baladatu sambil menahan kemarahannya.
“Kami akan mempertahankan diri” jawab salah seorang dari mereka.
“Apakah kalian sadar, bahwa hal itu akan mempersulit keadaan kalian? Kalian akan mengalami bencana yang tidak terperikan disaat-saat kalian menjelang ajal.” Empu Baladatu semakin marah.
Tetapi busur dan anak panah yang akan mereka pergunakan untuk berburu itu tetap teracu.
“Dengarlah” geram Empu Baladatu, “anak panahmu tidak akan berguna. Aku dapat menangkis dengan pisau belatiku yang dapat berputar seperti baling-baling sehingga akan menjadi perisai yang sangat rapat. Karena itu, aku masih akan mencoba berbuat baik terhadap kalian dengan memberikan kesempatan terakhir bagi kalian untuk meletakkan senjata kalian itu.”
Tetapi tidak seorang pun di antara orang-orang itu yang meletakkan busur dan anak panahnya. Pengawal Empu Baladatu tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera meloncat maju sambil memutar pisau belati panjangnya.
Sekejap kemudian, anak panah yang sudah melekat dibusur itu satu persatu meluncur dengan cepatnya. Namun seperti yang dikatakan oleh Empu Baladatu, ternyata bahwa ia mampu menangkisnya dengan kecepatan putaran pisau belatinya. Sambil berloncatan Empu Baladatu memukul setiap anak panah yang mengarah ketubuhnya, namun kadang-kadang juga menghindar dengan lincahnya.
Demikian juga pengawalnya. Ia pun mampu menghindari serangan anak panah yang datang beruntun, karena setiap anak panah yang terlepas, segera di susul anak panah yang lain yang dicabut dari endong. Tetapi tidak sebuah anak panah pun yang dapat mengenai lawannya. Jika sekali anak panah itu menyentuh lawannya, muka anak panah itu tidak mampu menyobek kulit.
Beberapa saat lamanya, orang-orang itu berusaha untuk melawan. Namun ternyata perlawanan itu sia-sia. Meskipun demikian mereka sama sekali tidak ingin menyerah. Jika anak panah terakhir telah dilepaskan, maka mereka akan mencabut pedang dan bertempur berpasangan seperti yang pernah mereka pelajari dari para prajurit Singasari.
Namun ternyata di antara mereka tidak sekedar mempercayakan keselamatan mereka kepada kemampuan diri. Karena ia mengetahui bahwa Empu Baladatu adalah orang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan, maka yang paling baik adalah berusaha mencari bantuan dari padukuhan.
Karena itulah, ketika kawan-kawannya sibuk membidik Empu Baladatu dan pengawalnya, maka salah seorang dari mereka telah memasang anak panah sendaren. Anak panah yang dapat memberikan isyarat, bahwa mereka berada dalam kesulitan. Maka sejenak kemudian, anak panah yang mengarah justru berlawanan dengan anak panah kawannya itu, segera meraung di udara. Demikian anak panah itu lepas dari busurnya, maka suaranya bagaikan jerit yang mengumandang seluas bulak panjang.
“Gila” Empu Baladatu berteriak. Ia sadar, bahwa dengan panah sendaren itu, berarti lawannya akan berlipat. Dari padukuhan tentu akan muncul beberapa orang lagi. Mungkin prajurit-prajurit Singasari.
Kemarahan Empu Baladatu tidak dapat ditahankannya lagi, Dengan wajah yang membara ia mengerahkan kemampuannya. Namun untuk sementara ia hanya dapat menahan serangan anak panah yang meluncur dari segala arah itu sebelum ia dapat berbuat lebih banyak lagi.
“Demikian anak panah mereka habis, maka mereka akan segera menjadi bangkai” geram Empu Baladatu.
Namun orang-orang itu pun menyadari Kesulitan yang bakal terjadi. Itulah sebabnya, maka mereka mencoba untuk mempergunakan anak panah mereka sebaik-baiknya. Mereka tidak saja asal melepaskannya. Tetapi mereka mencoba membidik dan membuat perhitungan. Meskipun jumlah anak panah yang meluncur itu berkurang namun justru semakin terarah dan semakin berbahaya, sehingga Empu Baladatu harus semakin berhati-hati menghadapinya.
Dalam pada itu, panah sendaren ynng meraung dilangit itupun meluncur dengan cepatnya kearah padukuhan baru yang mulai menjadi semakin tumbuh itu. Tetapi jarak padukuhan itu tidah terlampau dekat lagi. Dengan demikian, maka Empu Baladatu yang harus semakin berhati-hati menghadapi orang-orang yang semakin lama justru menjadi semakin mapan itu berkata,
“Kalian tidak akan mendapat bantuan dari siapapun. Lihat, jarak padukuhan itu tidak dapat dicapai dengan panah sendarenmu. Karena itu, kalian akan tetap mencapai akhir yang Mengerikan. Jika orang-orang padukuhan kalian itu jemu menunggu dan kemudian akan mencari kalian, maka mereka akan menemukan kalian sudah tidak dapat mereka kenal lagi. Apalagi jika mayat kalian diketemukan oleh binatang buas yang berkeliaran di daerah ini”
Orang-orang itu termangu-mangu. Tetapi mereka benar-benar sudah bertekad untuk melawan apapun yang akan terjadi. Mungkin panah sendaren itu tidak mencapai jarak dengar dari padukuhan yang memang sudah agak jauh. Namun mereka masih tetap mempunyai harapan. Jika, anak panah mereka sampai yang terakhir tidak dapat menyentuh lawan, maka mereka dapat mempergunakan pedang yang masih tergantung dilambung.
Empu Baladatu yang melihat orang-orang itu tetap dalam perlawanan yang berani, menjadi semakin marah. Semula orang-orang itu dapat dikejutkannya dan menjadi pucat. Tetapi semakin lama mereka justru menjadi semakin mapan dan berani.
Orang-orang itu pun semakin lama justru menjadi semakin memencar. Mereka membidikkan anak panah mereka dengan hati-hati. Dalam saat-saat yang sudah pasti mereka baru melepaskan anak panah itu meskipun mereka masih saja gagal untuk mengenai lawannya.
Tetapi dengan demikian Empu Baladatu tidak dapat memperpendek jarak. Jika ia melangkah maju, maka anak panah dari salah seorang lawan-lawannya itupun menyambut dengan cepatnya, seakan-akan senjata itu menjadi batas yang tidak dapat dilampauinya.
Kemarahan yang memuncak membuat kedua orang yang merasa dirinya memiliki banyak kelebihan itu menjadi kurang berhati-hati. Bahkan kadang-kadang lebih banyak dikendalikau oleh kemarahannya daripada perhitungan. Karena itulah, maka dalam keadaan yang, hampir tidak terkendali pengawal Empu Baladatu itu mencoba untuk meloncat menyeberangi jarak. Jika ia berhasil, maka ia akan segera dapat melibat lawannya dalam perkelahian pendek, sehingga kawan-kawannya tidak akan berani melepaskan anak panah mereka lagi.
Tetapi dengan demikian, ia merupakan sasaran yang lebih baik. Beberapa anak panah hampir beruntun telah meluncur. Agaknya orang-orang itu telah mulai mempergunakan perhitungan dan menyesuaikan yang satu dengan.yang lain. Ternyata perhitungan pengawal Empu Baladatu yang, didorong oleh kemarahan itu keliru. Ia masih sempat menangkis dan menghindari satu dua anak panah yang menyambarnya. Namun anak panah itu bagaikan lalat yang terbang disekitarnya. Karena itulah, maka ia menjadi bingung sehingga terasa sesuatu menyengat pundaknya.
Empu Baladatu yang melihat kesulitan pengawalnya itupun tiba-tiba telah berteriak nyaring. Dengan cepat ia berusaha untuk merubah keadaan yang sulit bagi pengawalnya itu. Ia pun kemudian menyusul meloncat maju menyerang dengan tangkasnya. Karena itulah, maka orang-orang padukuhan itu harus membagi sasaran. Tetapi dengan demikian sejenak mereka, harus menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru.
Empu Baladatu masih sempat menangkis segala serangan dengan senjatanya. Bahkan ia telah berhasil membuat kejutan sehingga pengawalnya sempat meloncat mundur. Tetapi ternyata bahwa pundaknya telah lerluka oleh patukan anak panah. Kemarahan kedua orang itu justru menjadi semakin, memuncak. Tetapi mereka ternyata harus menahan diri sampat anak panah yang terakhir meluncur dari busurnya.
Semakin lama anak panah dari orang-orang padukuhan itupun menjadi semakin berkurang. Satu-satu meluncur dan hilang ditelan gerumbul-gerumbul perdu. Mereka tidak lagi berhasil melukai baik pengawalnya apa lagi Empu Baladatu. Karena itu maka hati merekapun menjadi semakin kecut. Mereka sadar, jika anak panah mereka habis dan mereka harus bertempur dengan pedang, maka mereka masih harus menilai keadaan apakah mereka akan dapat bertahan.
Namun setiap kali mereka berusaha untuk menenteramkan hati, karena jumlah mereka memang lebih banyak. Tetapi meskipun demikian, orang-orang itu mencoba untuk lebih berhemat lagi. Mereka kemudian hanya melepaskan anak panah pada saat-saat tertentu. Jika Empu Baladatu atau pengawalnya siap untuk menerkam maka anak panah itu telah menyambar dengan cepatnya.
“Cepat” teriak Empu Baaladatu, “jika kalian mampu, hujani kami dengan anak panah. Jika satu dari anak panah kalian mengenai kawanku, itu bukannya kalian berhasil, tetapi itu karena kesalahan kawanku sendiri yang menganggap kalian terlalu bodoh. Ternyata kalian dapat juga membidik, meskipun kemudian tidak akan berguna lagi karena kawanku menjadi lebih berhati-hati.”
Orang-orang padukuhan itu tidak menjawab. Tetapi mereka benar-benar menjadi cemas. Satu dua diantara mereka tinggal mempunyai anak panah tidak lebih dari jari sebuah tangan mereka.
Empu Baladatu yang melihat hal itu menjadi semakin bernafsu. Sebentar lagi anak panah orang-orang itu tentu akan habis sehingga akan segera terjadi perang pada jarak jangkau senjata ditangan. Satu-satu anak panah itu masih meluncur. Semakin berbahaya anak panah diendong itupun semakin lama menjadi semakin tipis.
Dalam pada itu, ternyata anak panah sendaren yang meraung diudara bena-benar tidak dapat mencapai padukuhan. Jaraknya terlalu jauh, melampaui jarak lontaran anak panah. Tetapi beruntunglah orang-orang yang terlibat dalam kesulitan itu, bahwa ada seseorang yang sedang bekerja di sawah yang mendengar bunyi panah sendaren itu. Dengan sadar maka iapun segera berlari-lari mengambilnya dan membawa kembali kepadukuhan.
Ketika ia bertemu dengan seorang yang lain, dengan suara gagap berkata, “Aku menemukan anak panah sendaren ini”
Kawannya mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Lalu untuk apa?”
“Untuk apa?” orang itu menjadi heran, “bukankah ini berarti tanda bahaya.”
“O. Apakah kau mendengar bunyinya?”
“Ya. Panah ini baru saja meraung diudara dan jatuh tidak terlalu jauh dari aku.”
“Kau tahu arahnya?”
“Ya, Dari pinggir hutan”
“Cepat, laporkan kepada petugas ronda hari ini.”
Orang itu dengan tergesa-gesa melanjutkan langkahnya. Bahkan Iapun berlari semakin cepat langsung menuju kebanjar., “Seseorang diantara para petugas ronda dihari itu mendapatkannya dengan hati yang berdebar-debar. Dengan saksama ia mendengar keterangan dari orang yang menemukan panah sendaren itu.
“Tanda bahaya” desisnya
Seorang prajurit yang mendengar pembicaraan itupun mendekat sambil bertanya, “Apa yang kau dengar?”
“Panah sendaren” jawab orang yang mendengar panah sendaren itu.
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Marilah. Ikut aku.”
Orang itupun kemudian dengan singkat telah melaporkan apa yang didengarnya. Tentang anak panah sendaren dan arah datangnya. Prajurit yang bertugas meronda hari itupun segera menentukan sikap. Diperintahkannya dua orang untuk melaporkannya kepada pemimpin prajurit dipadukuhan itu, sementara dua orang yang lain langsung menuju kearah anak panah itu meluncur.
“Bawalah isyarat pula” berkata prajurit yang sedang bertugas hari itu, “jika ada sesuatu yang kurang pada tempatnya, kirimkan isyarat dengan anak panah sendaren. Biarlah seseorang berada di sawah untuk menunggu jika anak panah itu benar-benar kau lontarkan.
Kedua prajurit itu pun segera mempersiapkan diri. Sebuah pedang melesak di lambung, sementara busur menyilang di punggung masing-masing. Sejenak kemudian dua ekor kuda pun telah berpacu. Sedang dua yang lain menuju ke padepokan Empu Sanggadaru karena pemimpin prajurit Singasari sedang berada di padepokan itu.
Sementara itu, anak panah di tangan orang-orang padukuhan yang bertemu dengan Empu Baladatu telah hampir habis seluruhnya. Masih ada satu dua orang yang mensisakan anak panah mereka untuk saat-saat yang benar-benar gawat. Sementara, yang lain telah bersiap memegang pedang ditangan.
“Kalian tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi” geram Empu Baladatu, “saat kematian telah tiba. Kematian yang sangat mengerikan.”
Orang-orang itu tidak menjawab. Mereka mulai berpencar mengambil arah perlawanan masing-masing.
“Ternyata kalian menjadi semakin sigap. He, siapakah yang mengajari kalian?”
Orang-orang itu tidak menjawab. Tetapi merekapun memang merasa bahwa mereka menjadi semakin cepat menyesuaikan diri meskipun mereka tidak lagi memperdalam ilmu hitam. Dengan unsur-unsur gerak yang sebagian besar baru, dilandasi dengan watak dan sifat-sifat yang baru, mereka siap melakukan perlawanan terhadap Empu Baladatu.
Dalam pada itu, maka kedua orang prajurit yang ditugaskan untuk melihat keadaan itupun telah berpacu di bulak persawahan. Namun mereka tertegun sejenak, ketika mereka melihat dua ekor kuda melintang dijalan
“Kenapa paman tergesa-gesa?” Mahisa Pukat dan Mahisa Murti lah yang. berada di tengah jalan itu.
Dengan singkat prajurit itu menjelaskan tugasnya.
“Aku ikut” teriak Maliisa Murti.
“Jangan ngger. Ini bukan main-main.”
“Aku juga tidak akan main-main”
Kedua prajurit itu saling berpandangan sejenak. Namun salah seorang dari mereka berkata, “Atas kehendak angger sendiri”
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti lah yang kemudian, saling berpandangan. Namun kemudian Mahisa Murti menyahut, “Baiklah paman. Atas kehendak dan tanggung jawab kami sendiri”
“Jika demikian terserahlah kepada angger berdua. Tetapi agaknya ada sesuatu yang gawat.”
“Bukankah lebih baik kita berempat daripada paman hanya berdua?” tiba-tiba Mahisa Pukat bertanya.
Kedua prajurit itu tidak dapat ingkar, bahwa kedua anak anak yang masih sangat muda itupun telah memiliki kemampuan olah kanuragan tidak kalah baiknya dari seorang prajurit pilihan. Itulah sebabnya, maka keduanya tidak mencegahnya lagi. Bahkan salah seorang dari mereka berkata, “Jika demikian, marilah. Kita akan melihat, apa yang telah terjadi”
Keempat orang itu pun kemudian berpacu menuju ke arah yang ditunjukkan oleh orang yang mendengar anak panah sendaren yang menemukannya. Mereka tidak akan membiarkan orang yang dalam kesulitan itu dibiarkan ditelan oleh bahaya.
“Tentu bukan sekedar binatang buas. Mereka membawa perlengkapan berburu” desis salah seorang dari kedua prajurit itu sambil berpacu.
“Apakah ada orang yang mengetahuinya?”
“Ya. Para petugas hari ini melihat mereka, karena mereka singgah sebentar digardu penjagaan. Mereka telah mendapat ijin untuk berburu binatang.”
Kawannya tidak menyahut. Dengan wajah yang tegang mereka mempercepat derap kudanya. Mendekati arah yang ditunjuk, merekapun memperlambat perjalanan. Mereka harus berhati-hati menghadapi segala kemungkinan. Mereka belum tahu pasti, apakah yang telah dihadapi oleh orang-orang yang sedang berburu itu.
“Mereka berkelompok lebih dari lima orang” desis salah seorang dari kedua prajurit itu.
Yang lain mengangguk-angguk. Jika demikian, maka mereka benar-benar dalam keadaan yang gawat.
Sementara itu, Empu Baladatu telah berusaha untuk memancing anak panah yang terakhir dari setiap orang yang ada di sekitarnya. Kadang-kadang ia menggeram sambil meloncat. Dan dengan demikian ia berhasil memaksa lawannya untuk melepaskan anak panahnya.
Ketika anak panah yang terakhir telah meluncur dari busurnya, maka Empu Baladatu pun tertawa berkepanjangan. Di sela-sela derai tertawanya ia berkata, “Nah, sekarang kalian tinggal menunggu saat-saat yang paling pahit di dalam hidup kalian."
Orang-orang padukuhan itu tidak menjawab. Namun mereka sadar, bahwa mereka akan segera sampai pada saat perjuangan yang berat dan gawat.
“Nah, bersiaplah untuk mati. Jika kalian tidak berkeras kepala, maka kalian akan mengalami suatu masa yang sangat menyenangkan. Kalian akan mendapat tempaan lahir dan batin, sehingga pada suatu saat kalian akan kembali kedalam lingkungan sanak kadang dengan ilmu yang tidak terlawan. Kalian akan menjadi pemimpin dari padukuhan kalian yang baru.” berkata Empu Baladatu sambil tertawa.” tetapi semuanya tinggallah angan-angan. Kalian telah menyakiti hatiku, sehingga kalian memang harus mati seorang demi seorang dengan cara yang sangat menyakitkan hati pula. Bagi kalian sendiri dan bagi siapapun yang akan menemukan mayat kalian.”
Orang-orang itu masih tetap berdiam diri. Tetapi senjata mereka telah berada di dalam genggaman. Mereka telah meletak kan busur mereka, karena anak panah yang terakhir telah terlontar.
Sejenak Empu Baladatu memperhatikan orang-orang itu. Ia pun menyadari, bahwa orang-orang itu menilik sikapnya, telah mendapat bimbingan yang lebih baik dalam olah kanuragan. Lebih baik dari saat mereka ditinggalkannya. Tetapi Empu Baladatu adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Meskipun orang-orang itu berjumlah tiga kali lipat, namun mereka tidak akan banyak menyulitkannya bersama seorang pengawalnya.
“Marilah. Kita akan membunuh mereka semuanya” geram Empu Baladatu.
Pengawalnya yang telah tergores luka itu tidak dapat menahan diri lagi. Dengan serta merta iapun langsung meloncat menyerang.
Dua orang dari orang-orang padukuhan itu menyongsongnya. Agaknya mereka telah saling berbisik, bagaimana mereka harus mengahadapi dua iblis berilmu hitam itu, sehingga mereka telah bersepakat membagi diri. Dua orang harus menghadapi pengawal Empu Baladatu, sedang yang lain akan menghadapi Empu Baladatu karena menghadapi Empu Baladatu akan jauh lebih berat daripada melawan pengawalnya itu.
Sejenak kemudian pengawalnya Empu Baladatu telah terlibat dalam perkelahian yang sengit. Ternyata kedua orang padukuhan yang telah mendapat bimbingan para prajurit Singasari itu dapat melawannya dengan baik. Keduanya dapat menempatkan diri masing-masing sehingga pengawal Empu Baladatu itu tidak segera dapat menguasainya.
Empu Baladatu masih sempat memperhatikan mereka sejenak namun kemudian iapun menggeram dengan marahnya. Dipandanginya beberapa orang lain yang sudah siap menghadapinya dengan pedang terhunus.
“He, kenapa tidak segera kau bunuh saja kedua orang itu?” teriak Empu Baladatu yang marah.
Pengawalnya menggeram. Iapun kemudian mengerahkan segenap kemampuannya sehingga kedua orang, lawannya itu mulai terdesak. Bagaimanapun juga, ternyata kedua orang padukuhan itu masih belum dapat mengimbangi pengawal Empu Baladatu yang ganas itu. Beberapa langkah mereka terdesak meskipun mereka telah bekerja bersama dengan sebaik-baiknya.
Beberapa orang yang lain saling berpandangan. Mereka telah mempersiapkan diri melawan Empu Baladatu. Tetapi karena kedua kawannya itu terdesak, maka salah seorang dari merekapun segera terjun ke dalam perkelahian itu untuk membantu. Bertiga maka orang-orang padukuhan baru itu agaknya mulai mendapatkan keseimbangan Pengawal Empu Baladatujtu harus mengakui, bahwa untuk melawan ketiga orang itu, ia harus berjuang sekuat tenaganya.
Namun dalam pada itu, Empu Baladatu yang melihat pengawalnya mendapat perlawanan yang berat, iapun mulai bergeser. Ia melihat orang-orang lain yang sudah siap melawannya. Namun bagi Empu Baladatu, jumlah orang-orang itu tidak cukup banyak untuk mencegah, apa saja yang akan dilakukan.
Sejenak kemudian, maka Empu Baladatu pun maju selangkah demi selangkah. Ia tertawa ketika melihat lawan-lawannya itu berpencar. Sambil menyeringai ia bertanya, “He, siapkah yang akan mati lebih dahulu?”
Lawan-lawannya tidak menyahut. Tetapi pedang mereka telah teracu.
“Tangan kalian mulai gemetar” desis Empu Baladatu.
Tetapi lawan-lawannya bagikan menjadi bisu. Mereka sama sekali tidak menyahut. Yang terdengar adalah desah nafas mereka yang memburu. Tiba-tiba saja terdengar teriakan Empu Baladatu nyaring. Ia pun kemudian mulai meloncat menyerang salah seorang dari mereka. Dengan tergesa-gesa orang itu meloncat menjauh, sementara kawan-kawannya maju setapak sambil mengacungkan senjata mereka.
Yang terdengar adalah suara tertawa Empu Baladatu yang menggeletar. Rasa-rasanya suara tertawanya itu telah menggoncangkan jantung. Bulu tengkuk lawan-lawannya telah meremang, mendengar suara tertawa itu. Bahkan ketiga orang yang bertempur melawan pengawal Empu Baladatu itu telah terpengaruh pula olehnya. Seolah-olah suara tertawa itu meneriakkan kidung maut dari lembah kematian.
Sejenak kemudian Empu Baladatu pun telah benar-benar bertempur. Lawan-lawannya ternyata segera terdesak. Kedua pisau belati panjang Empu Baladatu seakan-akan telah berubah menjadi berpuluh pasang melingkari dirinya dan menyerang beruntun kesegala arah. Lawan-lawannya yang melihat tata gerak Empu Baladatu menjadi ngeri. Mereka sadar bahwa mereka tidak akan dapat melawannya, betapapun juga mereka berusaha...
“Jadi untuk membuka hutan itu kita akan mulai dari permulaan sekali,” berkata Mahisa Bungalan, “dari membuat alat-alat untuk membuka hutan itu.”
Pada hari berikutnya, tiga orang pande besi di padepokan Empu Sanggadaru telah sibuk membuat alat-alat untuk membuka hutan. Kapak-kapak yang besar dan kecil. Sebelum pande besi itu menghasilkan, maka orang-orang Macan Kumbang dapat meminjam lebih dahulu apa adanya dari padepokan Empu Sanggadaru.
Demikianlah, ternyata orang-orang dari kedua padepokan. itu bukannya orang-orang yang malas. Bersama para prajurit mereka telah membuka hutan sesuai dengan tempat yang sudah direncanakan. Mereka membuka hutan di tempat yang terpisah, meskipun menurut perhitungan para pemimpin prajurit dan Empu Sanggadaru bahwa perkembangannya kelak keduanya tentu akan berpaut juga. Apalagi apabila ada pihak lain yang bersedia ikut pula membuka hutan dan bergabung dengan orang-orang Serigala Putih dan Macan Kumbang, meskipun kemungkinan itu hanya akan datang dari orang-orang yang berada di padukuhan Empu Sanggadaru.
“Mereka akan mendapatkan kesempatan yang lebih baik,” berkata Empu Sanggadaru, “karena itu aku tidak ber keberatan jika mereka ikut serta membuka hutan itu.”
Beberapa saat kemudian, maka hutan yang semula sepi itu telah menjadi riuh. Pepohonan satu-satu telah roboh, dan tanah pun dijinakkan. Binatang-binatang hutan merasa terdepak masuk ke dalam hutan yang lebih lebat menghindari sentuhan dengan makhluk yang disebut manusia. Makhluk yang bagi mereka sangat berbahaya. Lebih berbahaya dari binatang yang manapun juga.
Sementara itu, maka pande besi di padepokan Empu Sanggadaru pun telah menghasilkan alat-alat yang mencukupi, bukan saja bagi orangr-orang dari padepokan Macan Kumbang, tetapi juga padepokan Serigala Putih dan orang-orang dari padepokan Empu Sanggadaru sendiri, yang angin membuka tanah lebih luas lagi. Persediaan yang paling berharga bagi anak cucu mereka.
Dengan tekun orang-orang dari kedua padepokan yang telah, dengan sadar merubah cara hidupnya, bekerja bagi hari depan mereka dan keturunan mereka. Sepatok demi sepatok mereka menghasilkan tanah baru yang masih harus digarap dengan kerja keras. Tatapi dengan demikian maka mereka telah meletakkan harapan bagi diri mereka sendiri. Mereka tidak lagi bekerja dengan ketegangan hati dan jantung yang berdebaran. Dengan menggarap sawah, maka mereka ,tidak lagi harus mempertaruhkan nyawa.
Prajurit-prajurit Singasari ternyata tidak hanya dapat mengatur dan merencanakan. Mereka pun ikut serta menebang pepohonan, menyingkirkan kayu-kayu yang telah roboh dan menyiapkan tanah garapan, meskipun tidak bagi mereka sendiri.
Namun demikian para prajurit itu tidak lengah. Meskipun kadang-kadang satu dua diantara mereka tidak membawa senjata di lambung, namun mereka yakin bahwa kapak ditangan mereka telah merupakan senjata yang berbahaya bagi lawan, jika setiap saat mereka harus bertempur dengan siapapun. juga.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masih sangat muda itu seolah-olah mendapat arena baru untuk bermain-main. Jika orang-orang lain sibuk menebang batang-batang kayu besar atau kecil, maka keduanya membawa busur dan anak panah masuk kedalam hutan yang tidak dijamah oleh orang-orang dari kedua padepokan itu.
Tetapi kepergian kedua anak-anak muda itu kadang-kadang menyenangkan juga bagi orang-orang yang sedang sibuk menebang pohon dan menebas perdu, karena kadang-kadang keduanya membawa dua atau tiga ekor rusa yang dapat mereka buru dalam waktu sehari semalam. Namun sekali-sekali Mahisa Bungalan memperingatkan kedua adiknya yang nakal itu, karena hutan yang lebat mengandung banyak sekali bahaya bagi mereka.
“Yang ada hanyalah binatang-binatang hutan.” jawab Mahisa Pukat ketika kakaknya Mahisa Bungalan mengunjunginya.
“Mungkin seekor binatang buas?”
“Kebetulan sekali. Kami mendapatkan dagingnya sekaligus kulitnya.”
“Tetapi berbahaya sekali bagi kalian berdua”
“Apakah kami berdua harus takut terhadap seekor harimau?”
Mahisa Bungalan menjadi bingung. Tetapi kemudian katanya,” Mungkin bukan sekedar seekor harimau atau sekelompok serigala. Tetapi mungkin kalian akan bertemu dengan Empu Baladatu.”
“He, bukankah itu yang kami harapkan?” bertanya Mahisa Murti.
“Tetapi Empu Baladatu tidak sendiri. Ia datang bersama puluhan orang pengawal. Nah, apakah yang akan kalian lakukan berdua? Berteriak-teriak? Menangis? Atau bertempur?”
“Bertempur” jawab Mahisa Pukat lantang.
“Nah akan sia-sialah pengorbanan kalian, karena jika kalian kalah, adalah karena kalian mempertahankan sesuatu atau memperjuangkan sebuah cita-cita. Tetapi kalian terperosok kedalam kesulitan karena kalian tidak berhati-hati” Mahisa Bungalan mencoba memberikan nasehat
Kedua adiknya termangu-mangu sejenak. Namun mereka dapat mengerti maksud kakaknya. “Tetapi apakah itu berarti bahwa kami sama sekali tidak boleh berburu?” bertanya Mahisa Pukat
“Bukan begitu. Kalian mendapat kesempatan untuk berburu. Tetapi berhati-hatilah dan. jangan-terlalu jauh masuk ke dalam hutan yang lebat itu, Apalagi sampai memerlukan waktu sehari semalam. Berburulah untuk semalam saja misalnya Atau kalau di siang hari, sehari, sajalah.”
Kedua adiknya mengangguk-angguk kecil,”Lebih dari itu ada baiknya kau membantu orang-orang padepokan Macan Kumbang, daripada kau seolah-olah tidak mengacuhkannya dan lebih senang bermain-main seperti kanak-kanak”
Kedua adiknya mengangguk. Tetapi kepala mereka semakin menunduk, Agaknya kakaknya benar-benar telah memberikan peringatan, yang cukup keras bagi mereka, sehingga ke duanya tidak berani Lagi untuk membantah.
Tanah yang dibuka itu semakin lama menjadi semakin luas sajalah dengan harapan yang semakin berkembang di setiap hari. Baik bagi orang-orang Macan Kumbang maupun orang-orang dari padepokan Serigala Putih. Dengan membuka hutan itu, maka para prajurit Singasari telah memberikan beberapa petunjuk agar mereka hidup seperti kehidupan sewajarnya.
Padepokan Serigala Putih dan padepokan Macan Kumbang yang mempunyai tata kehidupan yang agak asing karena keadaan yang sangat terbatas itu, akan segera berubah. Setiap keluarga akan membangun sebuah rumah meskipun mula-mula sekedar dapat dipergunakan untuk berteduh.
Dengan bekerja keras, maka di tanah yang sudah dibuka itu mulai nampak beberapa buah rumah yang siap. Sedang yang lain masih sibuk dikerjakan bersama-sama, disamping mereka yang masih tetap memperluas tanah, garapan.
Bayangan sebuah padukuhan mulai nampak. Ternyata bagi orang-orang dari kedua padepokan itu, sebuah padukuhan akan memberikan lebih banyak kemungkinan daripada padepokan sempit yang tertutup.
Tetapi karena kebiasaan orang-orang dari padepokan serigala Putih dan Macan Kumbang hidup dalam lingkungan yang dipagari dengan dinding batu maka rasa-rasanya padukuhan yang terbuka sangat mencemaskan hati mereka.
“Buatlah dinding di sekeliling padukuhanmu” berkata pemimpin prajurit Singasari,” padukuhan yang luas akan memberikan udara yang lebih segar. Padepokan adalah sekedar tempat untuk orang yang sangat terbatas jumlahnya, seperti padepokan Empu Sanggadaru. Diluar padepokan itu masih ada beberapa padukuhan yang berada di bawah pengaruhnya. Tidak semua orang berhimpit-himpitan di dalam sebuah padepokan seperti padepokan Serigala Putih dan padepokan Macan Kumbang.”
“Tetapi padukuhan kami yang baru itu akan mudah sekali diserang oleh pihak lain sebelum kami siap melakukan perlawanan.” berkata salah seorang calon penghuni padukuhan baru itu.
“Dinding itu akan dapat sekedar melindungi kalian meskipun bersifat sementara. Banyak batang-batang kayu yang dapat kalian pergunakan, sebelum kalian dapat membangunnya dari batu yang kuat.”
Orang-orang dari kedua padepokan itu pun sependapat. Mereka membagi orang-orangnya untuk melakukan pekerjaan yang berbeda-beda. Dan kini ada satu pekerjaan lagi yang harus mereka lakukan. Memilih dan memotong kayu yang lurus dan cukup panjang untuk ditanam berjajar rapat di sekeliling padukuhan yang sedang mereka siapkan.
Ternyata pagar kayu itu cukup memadai. Balok-balok yang besar dan cukup panjang telah mulai ditanam melingkari padukuhan yang baru tumbuh itu Dibeberapa bagian telah diberi regol-regol berpintu.
“Apakah regol-regol itu perlu diberi berpintu?” Bertanya para prajurit.
“Tanpa pintu maka pagar kayu itu tidak akan banyak gunanya.”
Para prajurit itu tersenyum. Mereka sadar, bahwa orang-orang yang sudah lama tinggal di padepokan tertutup dan khusus seperti padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang, yang seolah-olah menutup diri itu telah terbiasa menutup regol-regol mereka dengan pintu-pintu yang kuat. Tetapi orang-orang Singasari tidak melarangnya. Kelak jika keadaan berkembang semakin baik. maka pintu-pintu itu tidak akan sempat ditutup lagi.
Ternyata bahwa orang-orang Serigala Putih dan orang-oran Macan Kumbang masih membatasi diri. Mereka masih akan tinggal di dua padukuhan yang terpisah. Masing-masing dengan dinding kayu yang kuat dan regol-regol berpintu.
Namun ternyata bukan hanya orang-orang dari kedua padepokan itu sajalah yang ikut serta membuka hutan itu. Orang-orang dari padukuhan yang berada di bawah pengaruh padepokan Empu Sanggadaru telah ikut pula membuka di bagian terpisah yang tidak begitu jauh. Mereka yang merasa bahwa anak cucunya akan berkembang cepat, telah ikut pula membuka tanah baru bagi hari depan keluarganya.
Tetapi mereka harus menyesuaikan diri dengan padukuhan-padukuhan yang lain. Mereka memagari padukuhan mereka dengan kayu-kayu balok dan memberikan regol-regol berpintu untuk sementara.
“Jika keadaan mengijinkan, kami akan membangun dinding batu seperti padukuhan kami yang lama.” berkata salah seorang dari mereka.
Jumlah orang-orang yang ikut serta membuka padepokan itu ternyata banyak juga, meskipun belum sebanyak orang-orang Serigala Putih dan Macan Kumbang. Namun dalam waktu dekat, padukuhan itu akan segera berkembang dengan segala kelengkapannya. Dipadukuhan itu tentu akan segera tumbuh pasar, pande besi. undagi, dan orang-orang yang akan melakukan berbagai macam pekerjaan lain selain bertani.
Ketika padukuhan itu telah siap untuk dihuni, masih nampak pemisahan dari tiga golongan yang akan tinggal di daerah yang baru dibuka itu. Namun dengan demikian akan lahir tiga padukuhan yang pada suatu saat akan dapat menjadi satu daerah bersama-sama dengan padukuhan-padukuhan yang lain didalam lingkungan pengaruh Empu Sanggadaru.
Agaknya para prajurit Singasari yang berada di daerah yang memerlukan perlindungan itu yakin akan hal itu, karena mereka percaya bahwa Empu Sanggadaru termasuk orang yang kuat lahir dan batinnya, sehingga ia akan dapat menerima kepercayaan dari lingkungan di sekitarnya.
Agaknya Empu Sanggadaru pun tidak menolak kepercayaan yang bakal dilimpahkan kepadanya. Tetapi untuk sementara, kehadiran prajurit Singasari masih diperlukan, karena Empu Sanggadaru masih belum dapat menjajagi kebiasaan dan watak orang-orang dari padepokan Serigala Putih dan padepokan Macan Kumbang.
Pada saatnya, maka semuanya telah siap. Padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang tidak akan mereka pergunakan lagì. Mereka akan berpindah ke tempat mereka yang baru dan jaraknya pun tidak terlampau jauh.
Agaknya Empu Sanggadaru dan para prajurit Singasari telah bersepakat untuk mengadakan sekedar upacara peresmian penggunaan padukuhan-padukuhan yang baru itu. Dengan demikian maka mereka akan merasakan suasana kesungguhan, sehingga mereka tidak akan menyia-nyiakan perubahan cara hidup mereka.
Demikianlah maka pada hari yang sudah ditentukan, maka upacara itu pun telah berlangsung. Beberapa orang telah sesorah. Di antaranya adalah Empu Sanggadaru dan Mahisa Bungalan.
Beberapa persoalan telah dikemukakan. Orang-orang dari padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang mendengar masalah-masalah yang sebelumnya belum pernah mereka dengar. Karena itulah maka mereka seakan-akan telah mendapatkan kekuatan baru untuk mulai dengan tata kehidupan yang lain dari tata kehidupan mereka sebelumnya.
Dengan demikian, maka mereka merasa mulai dengan tata kehidupan baru. Mereka merasa telah benar-benar terlepas dari kehidupan yang lama meskipun, bayangan Empu Baladatu masih selalu menghantui mereka.
Namun dalam pada itu, selagi orang-orang dari kedua padepokan itu berkumpul dan mendengarkan beberapa uraian tentang diri mereka di masa mendatang, prajurit Singasari sama sekali tidak menjadi lengah. Sementara beberapa orang perwira berada di antara orang-orang yang akan menghuni padukuhan mereka yang baru bersama Mahisa Bungalan, maka beberapa orang yang lain selalu siap mengawasi keadaan bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Tetapi sementara itu, ternyata tidak ada gangguan apapun juga. Empu Baladatu ternyata tidak datang pada saat itu, sehingga upacara itu dapat berlangsung dengan baik sesuai dengan rencana. Bahkan, bukan saja sekedar sesorah dan petunjuk-petunjuk sajalah yang mereka dengarkan, tetapi beberapa orang telah meramaikan upacara dengan menyiapkan makan bersama. Mereka telah memotong beberapa ekor lembu dan kambing.
Dengan demikian maka upacara itu pun telah berlangsung dengan meriah. Orang-orang Serigala Putih dan orang-orang Macan Kumbang terlibat dalam satu pertemuan yang akrap justru karena di antara mereka ada pihak lain, yaitu orang-orang dari padukuhan di sekitar padepokan Empu Sanggadaru yang ingin mengembangkan keluarga mereka di daerah yang lebih bebas dan luas.
Sejak saat itu, maka padukuhan yang baru itu telah dihuni, mereka merasa benar-benar berada di dalam dunia yang baru dengan cara hidup yang baru pula. Bahkan seperti yang dianjurkan oleh Empu Sanggadaru, maka mereka mulai mencoba melupakan nama-nama Serigala Putih dan Macan Kumbang Mereka mencoba untuk saling mendekat dan merasa satu nasib meskipun padukuhan mereka masih terpisah. Tetapi di luar padukuhan itu terbentang tanah garapan yang dapat mereka kerjakan bersama.
Beberapa saat kemudian, maka kehidupan di tempat yang baru itu mulai mapan. Tanaman yang mereka tanam di sawah mulai tumbuh, sementara beberapa orang laki-laki bersama para prajurit masih datang ketanah pategalan mereka yang lama untuk memetik sisa hasil yang mereka tinggalkan meskipun tidak begitu banyak, sebagai penyambung hidup mereka, sebelum sawah mereka menghasilkan.
Tetapi sawah yang baru itu memberikan harapan yang jauh lebih baik dari tanah pategalan mereka yang lama, karena sawah mereka yang baru dan luas itu telah dilengkapi dengan parit-parit yang mengalir dari sumber-sumber di daerah hutan yang lebat dan pepat. Beberapa mata air memancar dengan derasnya. Air yang biasanya mengalir tanpa arah dan menyusup di antara timbunan dedaunan kering yang tebal dan menuju kebagian yang rendah, sehingga menjadi arus yang memanjang tanpa disadap gunanya kini telah disalurkan men jadi parit yang panjang membelah tanah persawahan.
Namun, dalam pada itu. Mahisa Bungalan berkata kepada orang-orang yang baru menghuninya, ”Jangan kalian rusakkan padepokan kalian yang lama. Jika padukuhan ini berkembang, maka akan tumbuh padukuhan-padukuhan yang lain yang kita arahkan agar pada suatu saat, akan menjangkau daerah yang kalian tinggalkan, sehingga padepokan itu akan menjadi bagian dari padukuhan yang semakin lama akan menjadi semakin luas. Meskipun daerah yang kalian tidak banyak memberikan harapan, tetapi daerah itu akan selalu mengingatkan kepada kalian, bahwa kalian pernah mengalami hidup yang pahit lahir dan batin. Namun lebih daripada itu, jika daerah itu digarap dalam suasana yang tenang dan tanpa bayangan ketakutan mungkin akan dapat menjadi daerah yang baik pula.”
Karena itulah, ketika mereka meninggalkan padepokan rnereka yang lama, mereka membiarkan padepokan mereka tetap berdiri seperti semula dikelilingi oleh dinding batu yang cukup tinggi. Beberapa barak yang panjang dan kotor, serta kandang, yang sudah rapuh.
Dalam beberapa bulan lagi, padepokan itu akan lenyap dengan Sendirinya” desis salah seorang dari mereka, ”selain dindingnya itulah yang akan tetap berdiri.”
Dalam lingkungan mereka yang baru, meskipun masih harus dibuatkan dinding batu, namun untuk sementara dinding-dinding kayu itu pun sudah memberikan sekedar ketenteraman. Terutama jika mereka mengingat Empu Baladatu.
Tetapi jika mereka menyadari, bahwa pada suatu saat, para prajurit Singasari itu akan meninggalkan padukuhan yang baru itu, maka mereka mulai menjadi cemas, meskipun mereka masih dapat bersandar kepada Empu Sanggadaru.
“Tetapi tanpa prajurit Singasari apakah Empu Sanggadaru akan dapat bertahan jika Empu Baladatu dan Linggapati yang mendendam itu datang lagi dengan segenap kekuatan mereka?” Pertanyaan itu selalu mengganggu orang-orang yang tinggal dipadukuhan baru itu.”
Demikian mendesaknya pertanyaan Itu, sehingga salah seorang dari mereka tidak dapat menahannya lagi, dan menyampaikannya kepada Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. namun kemudian iapun bertanya, ”Jika Empu Sanggadaru dan cantriknya yang berada di dalam padepokan dan pengawal-pengawal yang tinggal di padukuhan-padikuhan di luar padepokan tidak dapat bertahan terhadap Empu Baladatu dan Linggapati, apakah kalian cukup mengeluh dan kecemasan? Apakah sepanjang hidup kalian, kalian akan selalu bersandar kepada prajurit Singasari?”
Jawaban yang berupa pertanyaan itu memang terdengar aneh. Namun pertanyaan itupun segera menjalar dari seorang keorang lain.
“Apakah kira semuanya hanya akan tetap bersandar kepada para prajurit Singasari?”
“Lalu apakah yang akan kita lakukan?” Pertanyaan itupun segera menyusul.
Mahisa Bungalan dan para perwira yang mendengar pula gejolak pertanyaan itu di antara orang-orang yang tinggal di padukuhan baru itu sengaja membiarkannya.
“Biarlah mereka mencari jawaban” desis pemimpin prajurit yang ada di padepokan Empu Sanggadaru, yang menjadi pimpinan dari induk pasukan dari ketiga pasukan yang mula-mula dipecah ditiga padepokan, tetapi yang kemudian seakan-akan telah berkumpul pula meskipun setiap saat kelompok-kelompok kecil masih selalu berada di bagian-bagian yang terpisah dari padukuhan baru itu.
Dalam pada itu, orang-orang dipadukuhan baru itu pun seakan-akan mulai mencari jawab atas pertanyaan yang semakin lama semakin keras terdengar di telinga mereka. Ketika pertanyaan itu seakan-akan telah cukup lama mengganggu perasaan orang-orang yang tinggal di padukuhan yang baru itu, maka mulailah Mahisa Bungalan dan pemimpin prajurit Singasari itu membisikkan jawabnya di luar sadar, seakan-akan mereka telah menemukan jawab dari dalam hati mereka sendiri.
“Kenapa kita sendiri tidak mencoba untuk melindungi diri sendiri? Bukankah Kita juga orang-orang yang pernah memiliki kemampuan untuk mempergunakan senjata?”
Jawaban itu semakin lama menjadi semakin tersebar di antara mereka. Orang-orang yang semula berasal dari padepokan serigala Putih dan orang-orang yang berasal dan padepokan Macan Kumbang.
Baru beberapa saat kemudian. Mahisa Bungalan dan para pemimpin prajurit Singasari dengan hati-hati mulai menumbuhkan di hati mereka kepercaayaan kepada diri sendiri, setelah para prajurit itu yakin, bahwa orang-orang itu agaknya telah menyukai dengan cara hidup mereka yang baru. Apalagi setelah tanaman mereka mulai nampak akan menghasilkan. Padi yang mulai berbuah di tanah persawahan, dan tanaman-tanaman lain yang hijau subur di tanah pategalan.
“Ki Sanak” berkata prajurit yang berada di padepokan Empu Sanggadaru, ”kalian telah memiliki tanah yang banyak memberikan harapan. Karena itu, selanjutnya tergantung kepada kalian untuk memeliharanya dan mempertahankannya. Tanah itu adalah hak kalian, sehingga orang lain tidak akan kalian biarkan mengganggunya. Meskipun orang lain itu bernama Empu Baladatu.”
Orang-orang di padukuhan itu mengangguk-angguk Tetapi salah seorang dari mereka bertanya ”Yang dibutuhkan oleh Empu Baladatu bukannya sawah dan ladang kami, tetapi bagaimanakah sikap kami jika yang dibutuhkannya adalah tenaga kami?”
“Sebenarnya jawabnya sama saja. Untuk menentukan sikap kalian terhadap diri kalian adalah hak kalian pula. Apakah kalian akan bersedia meninggalkah padi yang sedang bunting, hijaunya daun kacang rambat dan pohon buah-buahan yang sedang mulai rimbun. Kemudian pergi untuk waktu yang tidak terbatas bersama Empu Baladatu, mengembara meninggalkan keluarga yang mulai kalian hargai sebagai imbangan hidup, bukan sebagai budak yang tidak bermartabat?”
Orang-orang itu mulai berpikir. Dan pemimpin prajurit itu meneruskan, “Kalian dapat menolak, meskipun akibatnya mungkin benturan kekerasan. Tetapi apakah kalian juga menyadari, bahwa jika kalian tidak berani menolak dan tidak berani menentukan sikap, itupun juga berarti kalian akan diumpankan pada ujung tombak prajurit Singasari? Aku yakin bahwa tujuan paling akhir dari Empu Baladatu adalah sesuatu perlawanan terhadap Singasari bersama orang-orang Mahibit yahg dipimpin oleh Linggapati,”
Orang-orang padukuhan baru itu semakin dalam berpikir, Ia melihat kebenaran kata-kata pemimpin prajurit Singasari Itu. Juga keterangan para pemimpin yang lain dan Mahisa Bungalan
“Pikirkan” berkata Mahisa Bungalan kemudian, “kalian adalah orang-orang bebas yang dapat menentukan diri sendiri”
Orang-orang yang tinggal di padukuhan baru itu mulai berpikir. Para prajurit Singasari dan Mahisa Bungalan tidak minta mereka menjawab. Tetapi membiarkan mereka membicarakan dengan kawan-kawannya. Tetapi karena dalam pergaulan sehari-hari, mereka juga saling berhubungan dengan orang-orang dari padukuhan yang lain, yang dihuni oleh orang-orang yang semula berasal dari padukuhan yang berada di bawah pengaruh Empu Sanggadaru, maka merekapun saling membicarakannya.
Orang-orang yang semula berasal dari padepokan yang berada di bawah pengaruh Empu Sanggadaru. yang tidak didera oleh peristiwa pahit yang hampir melumpuhkan keluarga besar mereka, tidak kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri, sehingga mereka merasa wajib untuk mempertahankan kebebasannya.
“Kita harus tetap berdiri di atas pendirian kita sendiri” berkata salah seorang dari mereka.
Orang-orang yang berasal dari padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang dengan ragu-ragu mencoba bertanya kepada diri sendiri, “Apakah aku juga dapat bersikap seperti itu?”
Orang-orang yang berada di padukuhan baru itu mulai disentuh oleh gejolak di dalam diri mereka masing-masing. Sentuhan di antara mereka dalam pergaulan sehari-hari telah saling mempengaruhi bukan saja hubungan lahiriah tetapi juga perasaan dan nalar.
“Katakan, berapakah jumlah orang-orang Empu Sanggadaru? Seratus? Duaratus?” Bertanya seorang perwira prajurit Singasari kepada beberapa orang laki-laki yang sedang berkumpul dimuka regol padukuhannya yang baru ketika kerja mereka sudah selesai.
Laki-laki itu termangu-mangu dan saling berpandangan sejenak. Namun tidak ada diantara mereka yang menjawab.
“Seandainya jumlah mereka sekitar duaratus. maka jumlah kalian tentu berlipat.” perwira itu melanjutkan
“Tentu tidak” jawab salah seorang laki-laki itu, “jumlah kami sekarang, laki-laki yang dewasa, tidak ada seratus”
“He?” prajurit itu terkejut, “bagaimana kau menghitung jumlah di antara kalian? Berapa orang yang sekarang berkumpul disini Sepuluh orang lebih. Dan berapa yang duduk-duduk di regol sebelah? Katakan sepuluh orang. Yang berada di ujung lorong yang biasa juga untuk berkumpul di sore hari seperti tempat ini jika kerja sudah selesai berkumpul sepuluh orang? Sebut berapa? Yang ada dirumah masing-masing.”
“Nah, apakah jumlahnya sampai seratus? Jika dihitung dengan anak-anak remaja memang jumlah itu dapat dicapai.”
“Nah. dengan anak-anak remaja dan lebih banyak lagi degan mereka yang sudah melampaui pertengahan umurnya, tetapi masih cukup kuat untuk ikut menentukan ketenteraman padukuhan ini.
“Sebutlah, kami berjumlah seratus. Bukankah masih belum mencapai jumlah dua ratus atau duaratus lima puluh?” desis seorang yang ke-kurus-kurusan.
“Kalian berjumlah seratus orang. Padukuhan yang lain seratus orang, dan padukuhan yang lebih kecil, yang dihuni oleh orang-orang Empu Sanggadaru itu lima puluh orang. Nah, kalian sudah berjumlah seratus ditambah seratus lima puluh. Dalam keadaan yang gawat, maka cantrik di padepokan Empu Sanggadaru yang terlatih sebaik prajurit ada duapuluh lima orang, dan tersebar di beberapa padukuhan dan pategalan. Selain itu padukuhan-padukuhan yang tersebar akan dapat mengumpulkan orang dalam jumlah yang lebih besar. Dalam pada itu, aku sama sekali tidak menghitung prajurit Singasari, karena pada suatu saat mereka akan meninggalkan padukuhan ini.”
Laki-laki yang mendengar keterangan perwira itu mengerutkan keningnya. Salah seorang dari mereka bergumam, “Jumlah itu bukan jumlah yang nyata. Yang dapat kita hitung tentu hanya yang berada dipadukuhan Ini. Didalam lingkungan dinding kayu yang kami buat ini.”
“Itu adalah pikiran yang picik. Kalian sudah tinggal dalam satu lingkungan. Maka pahit getirnya akan kalian tanggungkan bersama. Tetapi jika ada manisnya, kalian bersama juga yang akan mengecapnya. Bukan orang lain. Selama kalian masih berpikir dalam batasan sempit, dinding kayu yang melingkari padukuhan ini, maka kalian merupakan sasaran yang paling lunak untuk dihancurkan dan kemudian jika ada di antara kalian yang hidup, maka kalian adalah budak yang puling hina. Kalian akan benar-benar menjadi umpan dan barang kali jika perlu, setiap bulan terang, kalian harus menyerahkan salah seorang dari antara kalian untuk korban darah bagi murid-murid Empu Baladatu.”
Orang-orang itu merasa ngeri mendengar kata-kata perwira itu. Tetapi perlahan-lahan hati mereka mulai terbuka.
Sementara itu Mahisa Bungalan yang duduk di antara beberapa orang laki-laki yang sedang mengerumuni seekor lembu yang haru lahir mulai membisikkan kepercayaan kepada diri sendiri serupa itu pula, “Anak lembu itu lahir. Tetapi induknya tidak dapat menentukan nasib anaknya, karena lembu tidak mempunyai akal dan nalar. Juga tidak mempunyai rasa tangung jawab akan kelahiran itu. selain dengan nalurinya ia akan menyusui dan mengajari anaknya secara naluri pula” Ia berhenti sejenak, lalu, “tetapi agak berbeda dengan kita manusia. Setiap kelahiran adalah tanggung jawab. Dan kita harus mempertanggung jawabkan anak-anak kita bukan saja pada saat lahir, tetapi bagi masa depannya. Nah, apakah kita mempunyai keberanian untuk melakukannya.”
Demikianlah. perlahan-perlahan orang-orang yang tinggal dipadukuhan itu dan yang berasal dari padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang, mulai menilai diri mereka sendiri. Mereka seakan-akan mulai melihat masa lampau yang bagi mereka merupakan jaman yang gelap terselubung oleh ilmu hitam. Sehingga dengan demikian, maka mereka sama sekali tidak ingin untuk kembali kejaman itu.
Tetapi mereka pun mulai menyadari, bahwa pada masa lampau mereka bukannya orang-orang yang selalu diburu oleh ketakutan. karena justru mereka adalah pemburu-pemburu manusia dan hak miliknya. Mereka tidak pernah mengenal takut dan cemas seperti yang mereka alami.
Dua ciri jaman mereka pada masa yang silam itu merupa kan kenangan yang bertentangan, Di satu pihak mereka sama sekali tidak ingin lagi tenggelam dalam tata cara hidup itu, namun di lain pihak mereka didesak oleh keharusan untuk mengenang kembali tata cara bermain pedang.
“Tetapi untuk mempertahankan diri” berkata Mahisa Bungalan ketika salah seorang dari mereka mengeluh kepadanya tentang kenangan mereka pada masa lampaunya, “kalian bukan lagi pemburu-pemburu manusia. Tetapi kalian sekarang justru diburu oleh Empu Baladatu. Mungkin Empu Baladatu tidak menginginkan harta benda, karena kalian memang tidak mempunyainya cukup banyak. Tetapi Empu Baladatu telah memburu kalian seperti memburu lembu-lembu liar yang akan dapat dipergunakan tenaganya.”
Orang-orang itu mengangguk-angguk.
“Nah, kenapa kalian tidak mempertahankan diri. Kalian dapat bergabung dengan orang-orang dari padukuhan lain dalam lingkungan ini. Bukan saja pedukuhan-pedukuhan yang baru saja tumbuh ini, tetapi juga dengan tetangga-tetangga padukuhan yang sudah lama ada ditempatnya. Dan bahkan dengan para cantrik di padepokan Empu Sanggadaru.”
Orang-orang dari padukuhan baru itu mengangguk-angguk. Perlahan-lahan mereka mulai menyadari bahwa mereka tidak dapat untuk selamanya menggantungkan nasib mereka kepada para prajurit Singasari, sementara merekapun menyadari, bahwa pada masa lampau mereka bukannya pengecut yang merengek-rengek minta perlindungan kepada orang lain.
Kesadaran yang saling bertentangan itu memang membuat mereka kebingungan. Tetapi dengan tuntunan dan pengarahan dari para prajurit dan Mahisa Bungalan, maka mereka pun mulai bangkit dan melihat jalan lurus yang dapat mereka tempuh.
“Mulailah” berkata Mahisa Bungalan, “mumpung kami masih mempunyai waktu disini. Selama ini mungkin kami akan dapat saling memanfaatkan. Mungkin kalian memerlukan tuntunan yang lain dalam olah kanuragan dari pada tuntunan hitam yang pernah kalian terima dari Empu Baladatu itu. Orang-orang dari padukuhan itupun kemudian seakan-akan mulai bangun kembali saat fajar menyingsing di hari yang baru.
“Marilah” berkata para perwira, “mulailah mengingat cara-cara memegang, pedang. Tetapi jangan mengingat cara-cara bagaimana kalian pernah menumbuhkan ketakutan. Apalagi setelah kalian sendiri mengalami ketakutan itu.
Demikianlah, maka orang-orang dari kedua padukuhan itupun mulai meraba hulu senjata lagi. Tetapi dalam keadaan dan landasan yang berbeda. Karena itulah, maka mereka seakan-akan telah melupakan, tata gerak dan sikap mempermainkan senjata-senjata itu.
Adalah kewajiban para perwira dari Singasari untuk membangkitkan lagi kemampuan orang-orang padukuhan baru itu untuk menguasai olah kanuragan. Namun adalah menjadi kewajiban mereka pula untuk membersihkan orang-orang dari padukuhan itu dari sisa-sisa ilmu hitam yang mengerikan itu.
“Kalian tidak usah bersandar pada korban pihak lain” berkata salah seorang perwira, “korban darah sama sekali tidak berarti dalam peningkatan ilmu kalian secara langsung. Tetapi karena korban itu telah mencengkam hati, maka kalian akan benar-benar tenggelam dalam latihan yang bersunguh-sungguh seakan-akan kalian sudah dibius oleh kengerian korban itu.“ Perwira itu berhenti sejenak, lalu, “Sebenarnyalah dalam latihan yang demikian kesadaran diri kalian telah sebagian dihisap oleh kengerian itu. Sekarang, berlatih dengan sadar. Bahkan, sadar sepenuhnya bahwa yang kalian kehendaki adalah peningkatan ilmu. Kesungguhan yang demikian nilainya tidak akan kalah dengan kengerian korban darah dimalam purnama itu. Sedangkan nilai yang akan kalian capai tentulah nilai yang lebih tinggi. Karena kalian tidak mengorbankan peradaban dan nilai kemanusiaan.”
Orang-orang dikedua padukuhan itu mengangguk-angguk. Mereka mencoba untuk mengerti dan melaksanakan pesan para perwira itu. Dengan tekun merekapun kemudian berlatih dalam kelompok-kelompok kecil yang dipimpin oleh seorang perwira di setiap kelompok termasuk Mahisa Bungalan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang meskipun memiliki ilmu yang cukup, namun mereka masih belum masak untuk melimpahkan kemampuan mereka kepada orang lain, sehingga keduanya hampir tidak mempunyai kewajiban tertentu selain ikut berjaga-jaga dan di saat-saat lain pergi berburu di dalam hutan. Meskipun demikian, kehadiran kedua anak muda itu memang dapat memberikan kesegaran, terutama bagi para remaja dikedua padukuhan itu.
“Ajaklah” berkata Mahisa Bungalan, “jika mereka mulai dengan suatu keinginan memperdalam ilmunya. Maka para prajurit akan menuntun mereka. Anak-anak yang masih sangat muda akan merupakan bibit yang bersih bagi masa depan, karena mereka belum dikotori oleh masa lampau yang gelap dan hitam.”
Pesan kakaknya itu ternyata memberikan kesenangan tersendiri kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan sungguh-sungguh ia mengajak anak-anak yang masih seumur mereka atau lebih muda sedikit untuk bermain-main. Kadang-kadang keduanya menunjukkan kemampuan mereka dalam latihan yang seolah-olah bersungguh-sungguh. Keduanya telah tangkas mempermainkan senjata. Bukan saja dalam latihan tetapi dalam pertempuran yang sebenarnya.
“Menarik sekali” berkata anak-anak remaja itu, “apakah aku boleh ikut?”
Pertanyaan itulah yang mereka harapkan. Dengan senang hati ia menjawab, “Tentu boleh, Siapa mau ikut?”
Ternyata anak-anak ingin memperoleh sekedar ilmu bagi keselamatan diri.
“Jika kalian bersungguh-sungguh, maka aku akan mengatakannya kepada kakang Mahisa Bungalan.” berkata Mahisa Murti
“Kami bersungguh-sungguh” jawab anak-anak itu hampir serentak.
Ketika Mahisa Bungalan mendengar keinginan itu, maka timbullah harapannya. Bahwa padukuhan itu pada suatu saat, tidak akan lagi menggantungkan dirinya kepada perlindungan siapapun. Apalagi jika mereka sudah merasa satu. Mahisa Bungalan sendirilah yang kemudian menangani anak-anak remaja di padukuhan-padukuhan itu. Bahkan juga di padukuhan yang semula berada didalam lingkungan padukuhan yang memang sudah berkiblat kepada padepukan Empu Sanggadaru.
Keinginan anak-anak itu telah menarik pehatian Empu Sanggadaru pula. Karena itu, sesuai dengan kebiasaannya, maka iapun tidak berkeberatan untuk memberikan latihan kepada siapapun juga, termasuk anak-anak itu. Tetapi ia tidak dapat melakukan untuk jumlah yang terlalu banyak. Karena itu maka ia pun telah memilih tigapuluh orang anak-anak remaja yang harus datang bergiliran ke padepokannya pada waktu yang terbagi masing-masing dalam kelompok yang berjumlah sepuluh orang.
Berbeda dengan Empu Sanggadaru, maka MahisaBungalan telah mengambil jalan lain. Dikumpulkannya anak-anak remaja itu ditempat yang luas. Maka mereka mulai menirukan tata gerak yang paling sederhana. Berulang-ulang setiap hari. Bahkan Mahisa Bungalan menganjurkan mereka melakukannya pagi dan sore. Setiap tiga hari sekali. Mahisa Bungalan menambah tata gerak yang baru dalam beberapa jenis unsur, Dan tata gerak yang baru itupun harus dihafal pula.
“Mereka tidak akan mengenal apa yang mereka lakukan” desis Mahisa Pukat pada suatu hari, ”mereka hanya menirukan dan menghafalkan. Mereka melakukan tata gerak itu berurutan dengan cepat dan benar. Tetapi apakah pada suatu saat jika mereka berhadapan dengan lawannya, tata gerak itu pula yang akan dipertunjukkan, sementara itu lawannya akan mengambil sudut kelemahannya.”
“Aku mengambil cara yang lain dari cara yang pernah kau tempuh saat kau mempelajari ilmu kanuragan.” jawab Mahisa Bungalan, “di sini aku menghadapi banyak orang. Dari tiga padepokan ini, selain yang mengikuti latihan-latihan dipadepokan Empu Sanggadaru. Tigapuluh orang terpilih, aku hanya membagi mereka menjadi enam kelompok. Setiap kelompok hanya sempat berlatih setiap tiga hari sekali, satu kali pagi dan satu kali sore, sedangkan dikesempatan lain mereka harus melakukan sendiri tanpa aku. Karena itu, aku memper gunakan cara yang paling mudah dan aman. Jika aku sudah mulai dengan tata gerak dan penggunaannya, maka di setiap kesempatan mereka akan berlatih tanpa pengawasan, sehingga akan mudah timbul pertengkaran di antara mereka.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya mengangguk-angguk saja. Sementara Mahisa Bungalan meneruskan, “Karena itu, dalam setiap kesempatan aku bukan saja memberikan latihan olah kanuragan, tetapi juga pesan-pesan dan tuntunan kejiwaan. Pada saatnya mereka akan dapat megendap dan mempergunakan pengetahuannya untuk hal-hal yang baik. Meskipun mereka berlatih tanpa aku dan pengawasan oleh siapa pun juga, mereka tidak akan mudah salah paham dan bertengkar di antara mereka.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih mengangguk-angguk. Anak-anak memang sulit bagi kakaknya untuk langsung menuntun anak-anak remaja itu langsung memasuki tata gerak yang sebenarnya dalam pertempuran. Dengan demikian maka Mahisa Bungalan di setiap hari, pagi dan sore. tentu berada di sebuah lapangan bersama anak-anak muda dalam kelompok yang sudah terbagi. Mahisa Bungalan sengaja mengisi setiap kelompok dari anak-anak muda ketiga padukuhan itu, agar di antara mereka segera terjalin hubungan yang lebih baik, Jauh lebih baik orang-orang tua mereka.
Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan termasuk orang yang keras dan rnemegang teguh peraturan. Ia tidak mau melihat seseorang yang datang terlambat. Jika ada di antara anak-anak muda itu yang memasuki barisannya setelah Mahisa Bungalan mulai, maka anak itu tentu akan mendapat hukuman. Sementara mereka yang tidak datang, akan diketahui pula oleh Mahisa Bungalan. Di kesempatan lain anak itupun akan mendapat hukumannya pula.
Dengan demikian, maka anak-anak remaja yang mengikuti latihan itu menjadi sangat patuh. Tetapi Mahisa Bungalan tidak membuat mereka menjadi takut dan tidak berani menyatakan pendapatnya dan mengajukan pertanyaan kepadanya. Demikianlah latihan-latihan semacam itu berlangsung beberapa lama sementara, para perwira telah melakukannya pula. dalam kelompok-kelompok orang-orang tua dan anak-anak muda yang sudah meningkat dewasa.
“Pada suatu saat, akupun akan membagi mereka dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil” berkata Mahisa Bungalan, “maka akan datang giliranmu untuk ikut mengawasi mereka.”
Dengan demikian maka padukuhan-padukuhan baru itupun nampak menjadi hidup. Setiap saat nampak kesibukan dari penghuni-penghuninya. Mereka sibuk dengan sawah mereka. Dan mereka pun sibuk dengan latihan-latihan kanuragan, agar mereka tidak menjadi sasaran ketamakan orang lain.
Dengan membagi waktu dan tenaga, di bawah asuhan para prajurit dan Mahisa Bungalan. maka semuanya dapat berjalan lancar. Latihan-latihan dapat berlangsung seperti yang diharapkan, sementara pekerjaan mereka di sawah sama sekali tidak terganggu.
Bahkan di sela-sela waktu yang sibuk itu, masih terdapat kesempatan satu dua orang untuk mempelajari pekerjaan-pekerjaan yang lain kecuali bercocok tanam. Mereka mulai mempelajari pekerjaan-pekerjaan yang semula hanya mereka lakukan karena terpaksa. Namun dengan tuntunan orang-orang dari padepokan Empu Sanggadaru dan para prajurit, maka pekerjaan-pekerjaan yang mula-mula hanya dikenalnya itu, dapat mereka pelajari semakin mendalam.
Tiga orang telah tenggelam dalam kesibukan memperdalam pengetahuannya tentang pande besi. Yang lain dalam keahlian yang lain pula, sehingga pekerjaan kayu, besi dan tenun bukan pekerjaan yang asing lagi bagi mereka. Bahkan perempuan-perempuan dipadukuhan itupun mulai melakukan beberapa macam pekerjaan tidak terlampau berat. Mereka menjadi semakin banyak mengetahui tentang tenun yang lebih baik dan halus dari yang mereka lakukan sebelumnya. Beberapa orang laki-laki seolah-olah menjadi semakin tergesa-gesa untuk mendalami ilmu kanuragan. Apalagi jika mulai terbayang kehadiran Empu Baladatu. Setiap kejap mata rasa-rasanya sayang dilalui tanpa melakukan sesuatu.
Karena pada dasarnya orang-orang dipadukuhan itu sudah memiliki bekal meskipun dalam jalur ilmu hitam, maka usaha mereka untuk memiliki sekedar ilmu yang akan dapat melindungi diri sendiri, berjalan agak lancar dan cepat. Dalam waktu yang dekat, rasa-rasanya mereka telah mulai mengenal kemampuan diri sendiri meskipun dalam ujud yang agak lain dan dalam jalur yang berbeda. Mereka tidak lagi membasahi senjata mereka dengan darah di setiap purnama. Bahkan jika mereka teringat akan masa lalu, terasa bulu tengkuk mereka meremang.
Itulah sebabnya, mereka tidak lagi mau menyentuh senjata-senjata mereka yang lama. Ketika mereka telah dapat membuat yang baru, maka yang lama itupun telah disingkirkannya. ditanam dalam-dalam di tengah-tengah hutan seakan-akan mereka telah menguburkan masa lampau mereka di tempat yang tidak akan mereka jamah lagi.
Ternyata bukan saja orang tua dan anak muda yang telah semakin meningkat dalam olah kanuragan. Para remaja pun telah mulai mengenal beberapa unsur gerak dengan baik, Bahkan mereka telah dapat mengingat dan melakukan unsur-unsur gerak pokok yang diberikan oleh Mahisa Bungalan.
Karena itulah, maka Mahisa Bungalan pun telah mulai dengan tahap berikutnya dari latihan-latihannya yang diberikan kepada para remaja. Mahisa Bungalan membagi mereka dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil. Jika sekelompok kecil melakukan latihan khususnya, maka yang lain harus melakukan latihan-latihan seperti biasanya di tempat yang terpisah. Sekedar menirukan dan mengulang tata gerak yang pernah diberikan. Beberapa kali sampai mereka benar-benar dapat melakukan tanpa mengingat-ingat lagi.”
Yang mendapat giliran latihan khusus dari kelompok yang kecil itu, Mahisa Bungalan mengajar mereka memperdalam tata gerak yang sudah mereka hafal itu. Mereka harus melakukannya beberapa kali. Kemudian Mahisa Bungalan mulai menerangkan hubungan yang satu dengan yang lain. Beberapa kali setiap kelompok mendapat petunjuk-petunjuk tentang hubungan itu. Namun karena jumlah kelompoknya menjadi lebih banyak, maka giliran setiap kelompokpun menjadi semakin jarang. Meskipun demikian, ketekunan dan kesungguhan para remaja itu tidak berkurang. Waktu-waktu yang terluang mereka pergunakan untuk melatih diri dalam tata gerak yang harus mereka hafal itu.
Ketika hubungan tata gerak yang satu dari yang lain sudah mulai mereka pahami, maka Mahisa Bungalan mulai memperkenalkan kegunaannya, dihadapkan pada orang lain. Mahisa Bungalan mulai dengan sentuhan yang paling sederhana pada anak-anak itu. Dan iapun menunjukkan tata gerak, yang manakah yang harus dipergunakan untuk menghindar atau melindungi diri masing-masing..Dalam waktu yang agak panjang, maka mulailah latihan-latihan yang lebih rumit. Mereka mulai dihadapkan yang satu dengan yang lain, meskipun masih dalam keterbatasan yang sempit.
Tetapi karena anak-anak remaja itu dengan sungguh-sungguh mengikuti semua petunjuk dan latihan-latihan yang diberikan oleh Mahisa Bungalan, maka dalam saat-saat tidak terlampau lama, merekapun mulai mengenal olah kanuragan yang sebenarnya, meskipun dalam tingkat permulaan sekali. Dengan demikian ketika latihan-latihan itu mulai menjadi semakin rumit, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mendapat tugasnya pula. Bahkan beberapa orang prajurit telah diminta pula untuk mengawasi kelompok-kelompok yang terpisah.
Sementara anak-anak remaja itu mulai meningkat ilmunya, maka perhatian semua orang kemudian seakan-akan tertuju kepada mereka, karena hari depan padukuhan itu kelak akan terletak ditangan mereka. Sebentar lagi anak-anak remaja itu akan menjadi anak-anak muda yang dewasa penuh. Di tangan mereka lah terletak ketenangan padukuhan-padukuhan yang sedang tumbuh semakin subur itu. Bahkan para perwira dan prajurit Singasari tidak segan memberitahukan kepada orang-orang tua yang berada dibawah bimbingan mereka, bahwa anak-anak remaja itu perlu mendapat dorongan dan pengarahan yang lebih cermat.
Demikianlah maka padukuhan-padukuhan itu berkembang semakin pesat. Sawah dan ladang yang semakin hijau dan rimbun. Parit yang semakin panjang dan mengalir semakin ajeg. Jalan-jalan yang rata dan bersih, yang menghubungkan padukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain serta dengan padepokan Empu Sanggadaru. Semakin lama ternyata bahwa padukuhan baru itu akan dapat berkembang menjadi padukuhan yang benar-benar dapat memberikan tempat untuk menumpukan harapan bagi masa depan dan bagi anak cucu mereka. Namun pada suatu saat, seperti yang setiap kali dikatakan oleh prajurit-prajurit Singasari, bahwa prajurit-prajurit itu tidak selamanya akan berada dipadukuhan itu.
“Sebelum aku pergi” berkata pemimipin prajurit itu, “kalian harus sudah mampu menjaga diri sendiri”
“Kami akan berusaha” jawab orang-orang di padukuhan itu.
“Para remaja pun harus sudah dapat dipercaya” berkata pemimpin prajurit itu, “sebentar lagi mereka akan menjadi perisai yang dewasa, bagi padukuhan ini.”
Anak-anak remaja itu menjadi semakin bersungguh-sungguh. Mereka melakukan apa saja yang diperintahkan Mahisa Bungalan kepada mereka dengan patuh. Kelompok-kelompok kecil yang dibentuk kemudian, selalu mengadakan latihan pada saat-saat yang di tentukan. Bahkan pada saat-saat lain kapan saja mereka sempat.
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti seakan-akan telah luluh di antara mereka. Karena kedua anak-anak muda ini merasa dirinya mendapat kawan bermain. Meskipun ilmu keduanya jauh terpaut, tetapi umur yang sebaya, telah membuat mereka berada dalam satu lingkungan. Justru karena itulah, maka anak-anak remaja di padukuhan yang baru itu dapat banyak menyadap dari Mahisa Pukat dan Mahisa Murti. Justru karena ia adik-adik Mahisa Bungalan yang mempunyai sumber ilmu yang sama.
Dalam pada itu, tiga puluh orang remaja yang langsung berada di bawah asuhan Empu Sanggadaru pun meningkat dengan cepat. Kesempatan yang lebih luas telah menjadikan mereka memiliki kemampuan yang lebih baik dari kawan-kawannya. Meskipun demikian, anak-anak remaja yang lainpun telah mulai menunjukkan kemampuan yang memadai. Semua kemajuan itulah yang tidak diperhitungkan oleh Empu Baladatu sebelumnya. Ia hanya mempertimbangkan kemungkinan kedatangan prajurit Singasari yang pada suatu saat tentu akan ditarik kembali.
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang ada di antata para remaja itu telah mulai segalanya dari permulaan. Namun dalam pada itu, ternyata bahwa mereka tidak hanya sekedar mengajarkan ilmunya. Tetapi mereka seakan-akan telah mengulang kembali apa yang pernah mereka terima sejak permulaan. Dengan demikian maka seakan-akan mereka telah memperbaharui seluruh ilmu mereka dengan melihat semua unsur gerak yang ada.
Ternyata ketiga anak-anak muda itu mampu memanfaatkan keadaan. Disaat-saat yang senggang, bahkan kadang-kadang dimalam hari, ketiganya telah menyendiri. Mereka mulai menilai setiap tata getak yang mereka kuasai, kemudian memperbandingkannya dengan sumber yang mereka kenal pada saat mereka mempelajari ilmu itu.
Bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat penilaian kembali tata gerak pada olah kanuragan yang dikuasainya bersama kakaknya itu, ternyata sangat menguntungkan. Meskipun mereka sekedar mengulang, yang telah mereka miliki tetapi rasa-rasanya yang mereka miliki itu menjadi semakin dewasa, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat seolah-olah menjadi semakin mengenal dirinya sendiri dan setiap gerak yang pernah mereka lakukan. Yang semula seakan-akan sekedar melakukan gerak naluriah, kemudian ternyata bahwa mereka mulai mengenal sifat dan watak gerak itu sendiri dan dalam hubungnya dengan ilmunya dalam keseluruhan.
Bagi Mahisa Bungalan pun bukannya tidak berarti sama sekali. Kadang-kadang pada celah-celah tata gerak yang diberikannya kepada anak-anak remaja yang dimulainya dari permulaan sekali itu, ia menemukan sesuatu yang bermanfaat dan disempurnakannya di saat ia berada sendiri di halaman belakang, dari pondoknya.
Sementara itu, Empu Baladatu yang menempa diri bersama anak buahnya itupun sampai pada suatu saat, dimana mereka teringat kepada padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang.
“Ada beberapa orang di antara mereka yang dapat kita ambil dan kita tempa disini” berkata Empu Baladatu, “meskipun jumlahnya tidak banyak, tetapi berguna bagi kita, karena mereka akan mengembangkannya di antara mereka sendiri.”
Beberapa orang anak buahnya yang terdekat mengangguk-angguk. Namun ada di antara mereka yang bertanya, “Apakah kita dapat mempercayai mereka? Nampaknya mereka telah kehilangan semua sifat dan watak mereka yang keras. Jiwa mereka benar-benar telah hancur bersama hancurnya pasukan mereka sehingga mereka sama sekali tidak dapat berbuat apapun selain pasrah dan perlahan-lahan membiarkan diri mereka binasa.”
“Kita akan mengajar mereka, bagaimana mereka harus bangkit. Kita akan mengambil beberapa orang yang akan kita coba untuk mengingatkan mereka kepada ilmu yang pernah mereka miliki.”
“Berapa orang Empu” bertanya yang lain
“Ambillah lima orang di antara mereka. Jangan yang sudah terlalu tua. Tetapi ambillah yang masih muda. sehingga jerih payah kita tidak akan sia-sia. Jika kita berhasil, maka kita akan mengambil lebih banyak lagi. Sepuluh atau duapuluh, sehingga pada suatu saat, kita akan mempunyai sepasukan prajurit yang terlatih baik dari kedua padepokan itu. Bahkan mungkin ratusan orang.”
Para pengawal terdekat itu mengangguk-angguk. Sementara Empu Baladatu meneruskan, “Pergilah. Bawa empat orang pengawal bersamamu sehingga semuanya akan berjumlah lima orang. Setiap orang diantara kalian akan membawa seorang anak muda menjadikan mereka percobaan bagi kemungkinan yang bakal datang,”
“Tetapi apakah itu bukan berarti tanda bahaya bagi mereka, sehingga mereka akan mengambil suatu sikap”
“Mereka tidak akan berani berbuat apa-apa. Tetapi seandainya di padukuhan mereka masih ada prajurit Singasari. Maka kalian harus berusaha mengambil anak itu di luar pengawasan para prajurit itu. Namun dengan demikian akan dapat berarti, bahwa hadirnya para prajurit itu akan menjadi bertambah panjang. Tetapi itu tidak akan mendatangkan kesulitan. Mereka tidak akan dapat bertahan sampai bilangan tahun.”
Orang-orang berilmu hitam itu pun kemudian menyiapkan lima orang yang terpercaya. Seorang di antara mereka adalah yang yang sudah mengenal kedua padepokan itu dengan baik.
“Jangan takut. Orang-orang Serigala Putih dan Macan Kumbang telah menjadi jinak seperti seekor kucing sakit-sakitan. Tetapi ingat, bahwa mungkin ada prajurit Singasari, atau para cantrik dari padepokan kakang Sanggadaru. Mereka adalah Serigala dan Macan Kumbang yang sebenarnya. Karena itu kalian harus berhati-hati terhadap mereka.”
Kelima orang yang akan berangkat itu pun mengangguk-angguk. Mereka menyadari bahwa tugas mereka cukup berat jika dipadepokan itu ada beberapa orang prajurit atau cantrik dari padepokan Empu Sanggadaru. Tetapi jika mereka tidak ada dikedua padepokan itu, maka tugas mereka tidak ubahnya seperti menginjak buah ranti
Demikianlah, setelah semuanya siap, maka kelima orang itupun segera berangkat. Mereka tidak mempunyai tujuan lain kecuali mengambil lima orang anak muda dari kedua padepokan itu. Mungkin tiga dari padepokan Serigala Putih dan dua dari Macan Kumbang atau sebaliknya.
“Jika kelima orang itu berhasil ditempa dalam waktu singkat, maka yang lima itu akan segera menjadi berlipat ganda.” berkata Empu Baladatu.
Di perjalanan kelima orang itu sama sekali tidak menjumpai kesuliatn apapun juga. Tidak ada: seorang pun yang mengganggu mereka apalagi berusaha menghalangi. Untuk mencapai padepokan itu, maka kelima orang itu harus bermalam di perjalanan meskipun mereka berkuda. Tetapi bermalam bukannya persoalan bagi mereka berlima.
Demikianlah mereka pun telah menempuh seluruh perjalanan dengan selamat. Namun mereka tidak tergesa-gesa mendekati padepokan Serigala Putih maupun Macan Kumbang. Mereka harus mengetahui lebih dahulu, apakah yang terdapat dikedua padepokan itu.
“Kita sudah terlalu lama berpisah dari kedua padepokan itu” berkata salah seorang dari mereka yang sudah mengenal kedua padepokan yang mereka tuju.
“Ya, Agaknya sejak Empu Baladatu pergi ke Mahibit.” sahut seorang kawannya.
“Dan itu sudah terjadi berbulan-bulan lampau.” desis yang lain pula.
“Empu Baladatu memang menunggu para prajurit Singasari menjadi jemu dan meninggalkan padepokan-padepokan itu.” jawab pemimpin dari kelompok kecil itu. Ia adalah satu-satunya orang yang sudah mengenal padepokan-padepokan yang pernah menggemparkan itu.
Kawan-kawannya tidak menjawab. Mereka hanya mengangguk-angguk saja. Karena mereka merasa bahwa pengetahuan mereka tentang kedua padepokan itu sangat sedikit.
“Kita akan berhenti disini” berkata pemimpin kelompok itu, “kita akan menyelidiki keadaan.”
Kelima orang itupun kemudian beristirahat di pinggir sebuah hutan kecil. Mereka menambatkan kuda mereka di tempat yang terlindung. Demikian pula mereka mencari tempat untuk beristirahat di balik gerumbul-gerumbul perdu.
“Beristirahlah” berkata pemimpin kelompok itu., “tetapi seorang dari kalian akan pergi bersamaku menyelidiki padepokan Serigala Putih itu.”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak begitu memikirkan apa yang sedang mereka hadapi, karena mereka masih harus menunggu keterangan dari kedua kawannya yang masih akan menyelidiki keadaan.
Dalam pada itu, ketika malam menjadi gelap, maka kedua orang yang akan menyelidiki padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang itupun mulai bergerak. Dengan sangat hati-hati mereka mendekati padepokan yang pernah berada di bawah pengaruh Ernpu Baladatu meskipun untuk waktu yang tidak terlalu lama.
”Apakah kau tidak keliru?” bertanya salah seorang dari keduanya.
“Tentu tidak. Aku mengenal jalan menuju kepadepokan itu sebaik-baiknya” jawab yang lain. Lalu tiba-tiba, “Nah, aku sudah menemukan lorong itu”
Tetapi keduanya termangu-mangu sejenak. Lorong itu terlampau kotor dan ditumbuhi rerumputan liar. Tidak ada jalur walaupun, hanya setapak.
“Jalan ini seolah-olah sudah lama sekali tidak dijamah kaki” desis yang seorang, yang memang belum pernah mengenal daerah itu.
“Ya. Tetapi aku tidak akan keliru. Jalan menuju kepadepokan itu adalah jalan ini”
Kawannya mengerutkan keningnya. Namun ia tidak membantah, karena Ia tahu, bahwa, kawannya itu sudah mengenal padepokan yang akan mereka dekati.
“Kita akan melihat” desis yang seorang, yang pernah mengenal daerah itu.
Mereka maju lagi beberapa puluh langkah. Tetapi lorong itu masih saja tidak menunjukkan bekas kaki manusia untuk waktu yang lama. Semakin dekat mereka dengan padepokan Serigala Putih, hati mereka menjadi semakin berdebar-debar. Mereka sama sekali tidak melihat tanda-tanda apapun juga pada padepokan yang pernah dikunjunginya beberapa saat yang lewat.
“Apakah kita dijebak oleh hantu” desis orang yang pernah datang kepadepokan Serigala Putih itu.
“Kenapa?” bertanya kawannya.
“Kita sudah berada dihadapan padepokan itu. Tetapi kita tidak melihat seberkas sinar pun.”
Kawannya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kita akan mendekati. Mungkin mereka masih saja dicengkam ketakutan.”
“Waktunya sudah cukup lama untuk menenangkan diri meskipun seandainya mereka masih tetap cemas. Namun agaknya kita perlu melihat lebih dekat lagi.”
Keduanya pun kemudian merangkak semakin dekat dengan dinding padepokan. Tetapi mereka sama sekali tidak melihat maupun mendengar tanda-tanda kehidupan didalam padepokan yang sunyi itu.
“Apakah benar yang kita lihat itu sebuah padepokan?” desis salah seorang dari keduanya.
“Aku belum gila. Aku tahu pasti, ini adalah padepokan Serigala Putih.” Sahut yang lain.
“Tetapi padepokan ini kosong” Jawab kawannya.
“Mungkin mata kita sudah rabun, atau barangkali seperti yang kita sangka semula, kita sudah dijebak oleh hantu-hantu."
“Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang?” Yang lain termenung sejenak. Namun kemudian ia menggeram, “Kita akan masuk kedalamnya. Kita akan melihat apakah aku sudah gila atau kita memang dijebak oleh hantu yang manapun.”
Kawannya nampak ragu-ragu. Tetapi yang pertama sudah siap untuk melangkah memasuki halaman padepokan yang sepi itu.
“Tunggu” desis kawannya.
“Kau takut?”
“Bukan takut. Tetapi siapa tahu bahwa kita telah dijebak. Bukan oleh hantu-hantu. Tetapi oleh orang-orang Serigala Putih. Mereka sudah mengetahui kedatangan kita, dan mereka sengaja membuat padepokan mereka seperti padepokan yang sudah tidak dipergunakan lagi."
“Mungkin mereka dapat berbuat demikian dengan padepokannya. Tetapi mereka tidak akan dapat berbuat demikian dengan lorong yang sudah menjadi padang alang-alang dan perdu itu.”
Kawannya termangu-mangu. Namun katanya kemudian, “Baikiah. Kita akan masuk. Tetapi hati-hatilah. Siapa tahu ada sesuatu yang dapat mencelakai kita”
Sejenak keduanya termangu-mangu. Namun yang seorang segera mencabut pedangnya sambil berkata “Apapun yang akan aku hadapi, aku tidak akan lari”
Keduanyapun kemudian telah menggenggam senjata di tangan. Dengan penuh kewaspadaan keduanya melangkah melintasi tlundak regol.
“Gila” desis yang seorang.
“Kenapa?” bertanya yang lain.
“Regol ini sama sekali tidak pernah disentuh tangan. Kotor dan hampir roboh.”
Yang lain tidak menyahut Mereka maju melangkahi tlundak dan turun dihalaman yang luas. Betapapun gelapnya malam, tetapi mereka dapat melihat bahwa halaman itu. ternyata kotor dan tidak terjamah. Sejenak kedua orang itu termangu-mangu. Yang nampak di hadapan mereka adalah bayangan yang hitam, kelam bagaikan seonggok kayu yang silang melintang. Tidak ada secercah cahaya lampu yang nampak di dalam kegelapan malam itu.
“Kita masuk ke sarang hantu” desis yang seorang, yang pernah mengenal padepokan itu sebelumnya.
“Ya. Kita akan di sergap dan dibantai di dalam sarang mereka yang mengerikan itu” Sahut yang lain.
Untuk sementara keduanya masih bertahan. Tetapi sejenak kemudian yang seorang berkata, “Padepokan ini telah menjadi kuburan raksasa. Tidak ada mahkluk yang hidup didalamnya. Jika kita memasukinya, mungkin kita akan menginjak bangkai yang sudah menjad kerangka, atau kita sendiri akan terjerat sarang labah-labah raksasa yang akan menghisap darah kita sampai kering.”
“Jadi?”
“Kita tinggalkan padepokan hantu ini. Kita terpaksa menunggu sampai siang Besok kita akan meyakinkan penglihatan kita ini. Jika besok kita melihat padepokan ini ramai dihuni oleh orang-orang Serigala Putih, dan halaman ini nampak bersih dan berbekas sapu lidi, maka malam ini kita benar-benar telah kena hantu penjaga simpang tiga disudut hutan itu”
Terasa bulu-bulu tengkuk mereka meremang. “Marilah” desis yang seorang.
Maka dengan kaki yang gemetar keduanya pun melangkah surut perlahan-lahan. Ketika mereka sampai di pintu regol. maka keduanya pun telah meloncat dengan tergesa-gesa.
“Tidak, ada gunanya kita memasuki padepokan itu dalam kebingungan seperti ini” desis yang seorang.
Kawannya tidak menjawab. Tetapi keduanya pun kemudian dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat itu dan kembali kepada kawan-kawannya yang lain. Ketika mereka sampai di tempat ketiga orang kawannya beristirahat, maka terasa nafas mereka yang berkejaran menjadi agak teratur. Sehingga hatinya pun menjadi agak tenang.
“Bagaimana?” Bertanya seorang kawannya.
“Kami hanya menemukan sarang hantu” desis salah seorang dari kedua orang yang menyelidiki padepokan itu.
“Kenapa?” bertanya yang lain
“Kami tidak melihat seorangpun di padepokan itu” jawab kawannya yang datang kepadepokan. Dengan singkat ia pun menerangkan apa yang telah dilihatnya.
“Apakah mereka sudah mengungsi?” Tiba-tiba salah seorang dari mereka bertanya.
Kedua orang yang datang kepadepokan itu saling berpandangan sejenak Pada saat-saat yang mencengkam karena ketakutan mereka sama sekali tidak memikirkan kemungkinan itu, sehingga tiba-tiba salah seorang dari mereka berdesis, “Ya. Mungkin mereka memang telah mengungsi.”
Yang lain mengangguk-angguk. Katanya, “Itu adalah kemungkinan yang masuk akal. Bukan sekedar bayangan hantu sajalah yang telah mencengkam kita.” Kawan-kawannya tersenyum. Namun orang yang datang kepadepokan itu berkata, “Jika bukan aku yang datang, tentu akibatnya akan sama saja. Justru aku yang sudah mengenal padepokan itu sebelumnya.”
“Jadi bagaimana dengan kita sekarang?”
“Kita akan menunggu sampai pagi. Besok kita akan melihat padepokan itu. Barulah kita akan mendapatkan kesimpulan.”
Orang-orang itu pun tidak mempunyai pilihan lain kecuali menunggu sampai matahari terbit. Karena itulah, maka mereka pun segera membaringkan diri dan berusaha untuk tidur, kecuali seorang dari mereka harus berjaga-jaga dan dilakukan berganti-ganti.
Ketika fajar menyingsing, maka kelima orang itu pun segera bersiap-siap. Tetapi merekapun tidak akan pergi bersama-sama. Dua orang yang semalam pergi mengunjungi padepokan itulah yang akan kembali meyakinkan, bahwa mereka tidak masuk kedalam sarang hantu. Dengan hati-hati mereka melintasi lorong yang semalam mereka lalui. Lorong itu benar-benar lorong yang kotor dan tidak terjamah kaki.
“Kita tidak rabun, dan kita tidak ditenung hantu” desis salah seorang, dari keduanya, “lorong ini memang sudah lama tidak dilalui orang.”
Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Mereka pun kemudian menjadi semakin tidak ragu-ragu lagi, bahwa padepokan itu memang sudah kosong. Mereka tidak lagi bersembunyi dan merangkak. Tetapi mereka langsung menuju regol yang rusak dan kotor.
“Kosong” desis yang seorang, “kita benar-benar menjumpai padepokan orang-orang Serigala Putih yang sudah kosong.”
“Tetapi apakah mereka mengungsi atau karena sesuatu hal mereka telah ditumpas habis” jawab yang lain
“Marilah, kita akan menyaksikannya. Di siang hari kita tidak usah cemas bahwa kita sedang dijebak oleh hantu yang paling jahat.”
Kawannya mengerutkan keningnya. Namun ia pun melangkah maju perlahan-lahan. Yang ada dihatinya kemudian bukannya ketakutan, tetapi keragu-raguan bahwa mereka akan me nyaksikan sesuatu yang mengerikan. Tetapi kedua orang itu telah memaksa diri untuk melangkah mendekati barak-barak yang kotor dan tidak terjamah. Sarang LLabah-labah yang kehitam-hitaman menyangkut di sudut-sudut dan tiang serambi.
Sejenak keduanya termangu-mangu. Namun hampir dijuar sadar keduanya telah menarik senjatanya. Dengan hati-hati mereka melangkah mendekati intu yang terbuka. Dengan ujung pedang yang teracung, keduanya menjenguk dengan ragu-ragu.Tetapi karena mereka tidak melihat sesuatu maka mereka pun segera melangkah masuk.
Sejenak mereka tertegun sambil memandang berkeliling Mereka tidak menghiraukan pendapa yang senyap. Sementara mereka langsung memasuki barak di sebelah pendapa. Dengan penuh kewaspadaan mereka semakin dalam masuk ke dalam ruang yang ada di dalam barak itu Namun mereka tidak melihat sesuatu.
“Kita melihat di barak yang lain, di bagian belakang dari padepokan ini” desis yang seorang.
Kawannya mengangguk meskipun ragu-ragu. Dengan hati yang berdebar-debar mereka berdua pun kemudian pergi ke bagian belakang dari padepokan yang kosong itu. Ketika mereka memasuki sebuah barak yang lain, maka barak itu pun telah kosong pula. Tidak ada seorang pun dan bahkan dengan heran yang seorang berkata, “Aku tidak melihat barang-barang di dalam padepokan ini.”
“Ya” jawab yang lain.
“Dengan demikian kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa mereka telah mengungsi. Bukan karena mereka tertumpas habis.”
“Kesimpulan yang paling tepat. Jika mereka telah tertimpa malapetakan dan tertumpas habis, maka aku kira barang barang mereka tentu masih ada yang tertinggal. Sekelompok orang yang menyerang dan menang, tidak akan sempat membawa semuanya yang ada.”
Keduanya mengangguk-angguk karena mereka mendapatkan kesimpulan yang sama tentang barak-barak dan padepokan itu. Orang-orang Serigala Putih tentu sudah mengungsi.
“Benar-benar di luar dugaan Empu Baladatu” berkata yang seorang, “jika mereka mengungsi, apakah memungkinkan bagi mereka untuk mendapatkan lapangan kehidupan dengan mudah?”
“Mungkin mereka ditampung oleh para prajurit?”
“Tidak mungkin. Mereka tidak hanya seorang dua orang. Tetapi mereka lebih dari seratus orang. Dengan keluarganya, jumlah mereka akan berlipat. Lihatlah padepokan ini seolah-olah telah penuh sesak dengan barak-barak. Kehidupan yang susah dari keluarga yang besar ini telah memberikan pupuk pada sifat dan usahanya selama mereka masih menyebut dirinya gerombolan Serigala Putih. Mereka adalah perampok yang disegani.”
“Tetapi kekalahan yang hampir mutlak saat mereka menyerang padepokan Empu Saggadaru telah mematahkan keberanian mereka. Berapa puluh orang di antara mereka yang terbunuh. Hanya sebagian kecil saja dari mereka yang sempat pulang.”
“Sebenarnya mereka belum lumpuh sama sekali. Yang lumpuh adalah sifat kejantanan mereka. Dan itu berpengaruh sekali bagi cara hidup mereka selanjutnya. Mereka kemudian tidak lebih adalah petani-petani miskin yang kurus kering. Mereka makan apa-apa yang dapat mereka petik dari pategalan mereka yang tandus”
Kawannya mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Agaknya semuanya itulah yang justru mendorong mereka untuk mengungsi.”
Yang lain tidak menjawab. Tetapi ia pun menganguk-anguk pula. Untuk beberapa saat lamanya mereka menjelajahi padepokan itu. sehingga mereka benar-benar yakin bahwa padepokan itu memang telah kosong. Satu dua pucuk senjata masih tertinggal, tersangkut di dinding.
“Kita akan melihat padepokan yang lain. Padepokan gerombolan Macan Kumbang, yang mempunyai sifat yang sama dengan orang-orang Serigala Putih, tetapi yang sepanjang hidup mereka selalu bersaing dan bermusuhan. Keduanya bersumber pada dasar ilmu yang sama, cara hidup yang sama dan kegemaran yang sama.”
“Apakah mereka juga mengalami keadaan yang sama?”
“Tidak dapat diduga. Semuanya memang mungkin.”
Kedua orang itu pun kemudian kembali kepada kawan-kawannya dengan ceritera yang mengecewakan, karena mereka tidak dapat melakukah pekerjaan mereka. Kelima orang itu harus membawa lima orang anak muda dari kedua padepokan itu, sebagai bahan percobaan, apakah kedua padepokan itu masih berguna bagi mereka. Tetapi ternyata bahwa padepokan ternyata telah mengalami perubahan.
Namun demikian orang-orang dari padepokan Empu Baladatu itu masih ingin mencoba untuk melihat padepokan Macan Kumbang. Mungkin orang-orang Macan Kumbang telah memilih jalan lain dari orang-orang padepokan Serigala Putih.
“Marilah, kata akan segera melihat”
“Tetapi kita masih harus tetap berhati-hati. Jika padepokan itu masih ada, kita akan membawa kelima orang anak muda itu dari sana. Dan mungkin Empu Baladatu harus mengambil sikap yang lain dari rencananya semula. Agar semuanya tidak sia-sia.”
Demikianlah kelima orang itu pun segera berpacu menuju kepadepokan Macan Kumbang. Mereka ngin melihat, apakah peristiwa yang terjadi pada padepokan Serigala Putih itu telah terjadi pula pada padepokan Macan Kumbang. Namun agaknya mereka masih mempunyai harapan. Orang-orang padepokan Macan Kumbang dan orang-orang padepokan Serigala Putih pada dasarnya tidak akan dapat bekerja bersama.
Tetapi kekecewaan telah melonjak di hati orang-orang itu ketika mereka menjumpai kenyataan, bahwa padepokan Macan Kumbang pun telah kosong. Padepokan itu ditinggalkan oleh penghuninya dengan segala macam isi dan perabotnya.
“Gila. Mereka juga telah mengungsi” desis salah seorang dari kelima orang itu.
“Ini tentu usaha prajurit-prajurit Singasari” geram yang lain, “mereka tidak dapat berada di padepokan ini terlalu lama. Tetapi mereka tidak membiarkan bencana menimpa orang-orang dari kedua padepokan ini sehingga mereka pun telah membawa orang-orang dari kedua padepokan itu ke Singasari.”
“Gila” teriak salah seorang dari mereka yang dadanya bagaikan sesak, “jadi perjalanan kami sia-sia?”
“Empu Baladatu tidak akan percaya” yang lain lagi berkata lantang.
“Tetapi apa yang akan kita lakukan kenyataan ini memang demikian? Apakah kita harus mencari mereka dan mengembalikan mereka kepadepokan ini dan padepokan Serigala Putih?”
Sejenak mereka termangu-mangu. Namun kemudian salah seorang yang marah itu berteriak, “Kita bakar padepokan terkutuk ini.”
“Ya, kita bakar sampai menjadi abu” teriak yang lain. Tetapi orang yang tertua di antara mereka berkata “Apakah ada gunanya? Dibakar atau tidak dibakar, kita tidak akan dapat membawa lima orang, anak muda kembali ke padepokan”
“Apakah kita akan mencarinya sepanjang jalan?” Tiba-tiba salah seorang dari mereka berpendapat.
“Kau kira anak-anak muda itu tidak dapat berbicara? Kita dapat mengancamnya agar mereka mengatakan bahwa mereka berasal dari padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang. Tetapi dalam pembicaraan yang perkepanjangan kemudian, Empu Baladatu tentu akan dapat mengambil ‘kesimpulan bahwa mereka bukan anak muda dari kedua padepokan yang telah kosong itu.”
“Jadi? Apakah yang akan kita lakukan?”
“Kembali. Mengatakan apa yang telah kita lihat kepada Empu Baladatu.”
Yang lain termangu-mangu. Kembali kepada Empu Baladatu tentu tidak akan menyenangkannya. Empu Baladatu tentu akan memaki-maki, dan mungkin tidak percaya.
“Jika ia tidak percaya” orang itu melanjutkan, seolah-olah mengerti perasaan kawan-kawannya, “biarlah ia membuktikannya. Kita tidak bersalah, karena yang kita katakan adalah kenyataan ini.”
“Sia-sialah perjalanan kami yang jauh.”
“Tidak sia-sia mutlak. Kita dapat mengetahui bahwa padepokan ini telah kosong.”
“Tetapi tidak sepadan dengan perjalanan kami beberapa hari.”
“Kita tidak dapat menentang kenyataan yang kita hadapi.”
Yang lain tidak dapat membantah lagi. Kenyataan itu memang mereka hadapi. Dan mereka tidak dapat menentang atau ingkar, bahwa kedua padepokan itu memang telah kosong. Dengan dada yang sesak oleh kegelisahan, kecemasan dan bahkan kebimbangan bahwa Empu Baladatu akan menghukum mereka, maka kelima orang itu pun segera kembali. Perjalanan kembali itu rasa-rasanya berlangsung ber-abad-abad meskipun tidak lebih dari perjalanan mereka ke padepokan-padepokan yang telah kosong.
Ketika malam tiba di perjalanan, mereka se-olah-olah tidak ingin bermalam di perjalanan. Itulah sebabnya mereka berjalan terus sampai malam menjadi pekat. Tetapi agaknya kuda mereka pun menjadi lelah dan perlu beristirahat, sehingga mereka terpaksa bermalam di perjalanan.
Dalam pada itu, kedatangan mereka kembali di padepokannya telah menimbulkan ketegangan pula. Mula-mula Empu Baladatu tidak mempercayainya. Ia benar-benar memaki-maki dengan wajah yang merah membara.
“Kalian adalah pengecut” teriak Empu Baladatu, ”kedua padepokan itu sudah tidak berdaya sama sekali. Jika kalian memasuki padepokan itu atas namaku, mereka semuanya tentu sudah pingsan. Tetapi jika ada prajurit-prajurit Singasari, maka kalian dapat mengambil jalan lain, karena kalian akan dapat memungut anak-anak muda itu di luar pengawasan prajurit-prajurit Singasari itu.”
“Empu” orang tertua dari kelima orang itu mencoba menjelaskan, “kami sudah memasuki kedua padepokan itu. Bahkan kami sudah berniat untuk membakarnya. Tetapi niat itu kami urungkan agar tidak menarik perhatian atau mengundang persoalan sebelum kami melaporkan kepada Empu.”
Empu Baladatu menghentakkan tangannya. Lalu, “Aku akan melihat sendiri. Jika membohongi aku, kalian berlima harus dibunuh. Satu demi satu kalian akan menjadi korban saat purnama naik.”
Kelima orang itu menegang. Rasa-rasanya kulit mereka telah meremang. Tetapi mereka yakin akan kebenaran kata-kata mereka tentang padepokan yang telah menjadi sepi itu. Meskipun Empu Baladatu sendiri akan melihat, ia tentu akan menemukan keadaan yang serupa seperti yang pernah dilihatnya.
Untuk membuktikan kebenaran kata-kata kelima orang yang telah pergi ke kedua padepokan itu. maka Empu Baladatu pun segera mempersiapkan diri. Kecuali kelima orang yang telah menemukan padepokan Serigala Putih dan Padepokan Macan Kumbang itu kosong, maka Empu Baladatu telah membawa lima orang pengawal yang lain sehingga jumlah mereka seluruhnya menjadi sepuluh orang.
“Kita akan membuktikan apakah penglihatan mu itu bukan penglihatan seorang pengecut” berkata Empu Baladatu.
Demikianlah pada saat yang ditetapkan, mereka pun segera berangkat menuju ke padepokan yang telah kosong itu. Untuk tidak menimbulkan perhatian orang lain, maka kesebelas orang itu telah memecah diri menjadi tiga buah kelompok kecil. Seperti perjalanan sebelumnya maka Empu Baladatu dan para pengawalnya harus bermalam pula di perjalanan, meskipun separuh dari malam itu dipergunakannya untuk berjalan terus.
Di hari berikutnya menjelang senja, mereka telah sampai di padepokan Serigala Putih. Berdasarkan keterangan yang pernah didapat oleh Empu Baladatu dari kelima orang yang pergi mendahului, maka mereka pun langsung menuju ke padepokan yang benar-benar telah menjadi kosong.
“Gila” Empu Baladatu menggeram, “padepokan ini benar-benar telah kosong.”
“Sudah aku katakan Empu.” sahut salah seorang pengawal.
“Aku sudah mendengar” teriak Empu Baladatu yang marah.
Pengawal itu pun segera terdiam. Diiringi oleh pengawalnya Empu Baladatu memasuki padepokan itu dan menjelajahinya dari ujung sampai keujung. Kesimpulan yang didapatnya adalah, bahwa penghuni padepokan itu tentu sudah mengungsi.
“Prajurit-prajurit Singasari memang gila” teriak Empu Baladatu yang tidak mengira bahwa padepokan itu pada suatu saat akan ditinggalkan oleh penghuninya. Perhitungannya adalah bahwa prajurit-prajurit Singasari itu akan memberikan perlindungan sementara kepada kedua padepokan itu. Mereka akan segera pergi setelah untuk waktu yang lama kedua padepokan itu tidak mengalami gangguan apapun juga.
Tetapi yang dilihatnya sekarang adalah bahwa padepokan itu telah ditinggalkan oleh penghuninya. Dengan hati yang panas, Empu Baladatu pun segera membawa para pengawalnya untuk pergi ke padepokan Macan Kumbang pula. Namun yang dijumpainya adalah barak-barak yang kosong membeku di keremangan malam.
“Gila. Prajurit-prajurit Singasari telah menjadi gila. Mereka membawa penghuni dua padepokan. Apakah prajurit-prajurit Singasari itu memang telah menyediakan barak-barak pengungsian sehingga mereka dapat menampungnya?” geram Empu Baladatu.
Tetapi Empu Baladatu tidak segera meninggalkan padepokan itu. Dengan nada yang tinggi ia berkata, “Aku akan mencari orang-orang dari kedua padepokan ini sampai aku tahu pasti dimana mereka tinggal.”
Para pengawalnya mengerutkan keningnya. Mereka menjadi berdebar-debar dan gelisah. Apakah dengan demikan berarti bahwa mereka akan memasuki kota Singasari?
“Malam ini kita tidur di sini” berkata Empu Baladatu kemudian.
Meskipun mereka berada di padepokan, tetapi rasa-rasanya badan mereka justru menjadi gatal-gatal. Padepokan yang sepi iiu telah berubah menjadi sarang segala macam binatang melata dan serangga, sehingga rasa-rasanya tubuh merekapun telah dikerumuni oleh berbagai jenis binatang kecil.
Bahkan beberapa orang yang tidak tahan lagi, telah keluar dan duduk di halaman terbuka, di samping kuda-kuda mereka tertambat. Meskipun di sana-sini rerumputan tumbuh subur, namun mereka menemukan juga tempat yang baik untuk berbaring setelah mereka membersihkannya dengan segenggam ilalang kering.
“Disini agaknya lebih baik” desis salah seorang dari mereka.
“Empu Baladatu pun tentu tidak akan dapat tidur. Ia betah duduk saja semalam suntuk.” Sahut yang lain.
Namun mereka pun terdiam .karena ternyata Empu Baladatu pun pergi juga keluar dan duduk di halaman. Tetapi malam tidak lagi tersisa terlalu panjang. Sejenak kemudian, maka langit pun menjadi semburat merah oleh cahaya fajar.
“Kalian akan tinggal di padepokan ini sampai senja. Aku ingin menyelidiki kemana kira-kira penghuni padepokan ini pergi. Ingat, tidak seorang pun boleh meninggalkan padepokan ini tanpa ijinku.”
“Empu pergi kemana?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Aku akan berusaha melihat-lihat daerah di sekitar tempat ini. Mungkin aku akan sampai didekat pedepokan kakang Sanggadaru. Jika kalian perlu, kalian dapat mencari sejenis binatang di sekitar daerah ini. Tetapi kalian harus segera kembali lagi ke padepokan.”
Anak buah Empu Baladatu itu hanya dapat mengangguk-angguk saja. Mereka pun kemudian melihat Empu Baladatu berkemas. Salah seorang pengawalnya terpercaya telah diajaknya pergi bersamanya.
“Siapa yang meninggalkan padepokan ini bukan sekedar berburu binatang di sekitar tempat ini, akan mempertanggung jawabkan tindakan itu. Apalagi jika kemudian akan membawa kesulitan bagi kita semuanya.” berkata Empu Baladatu ketika ia meninggalkan padepokan itu.
Karena itu, maka tidak seorang pun diantara mereka yang ditinggalkan itu berniat untuk pergi kemanapun. Mereka hanya berani melangkah keluar padepokan dengan busur dan anak panah. Beberapa puluh langkah mereka mengintai jika ada seekor kijang atau menjangan. lewat di semak-semak yang sudah lama tidak tersentuh kaki, sehingga belukar yang tumbuh di sela-sela padang ilalang, menghubungkan daerah itu dengan hutan perdu dipinggir hutan yang lebat.
Sementara itu Empu Baladatu telah menyelusuri jalan setapak yang telah lama tidak dirambah kaki manusia lagi. Diikutinya jalan yang menuju ke daerah yang terbuka meskipun jaraknya masih panjang sekali.
“Gila” ia bergumam. ”tidak ada tanda-tanda apapun yang dapat aku ikuti.”
Pengawalnya hanya mengangguk saja.
“Padepokan terdekat dari daerah ini adalah padepokan kakang Sanggadru. Di padepokan itu terdapat beberapa orang prajurit Singasari. Mungkin sekali padepokan itu menjadi daerah penampungan sementara sebelum mereka dibawa ke Kota Raja atau ketempat-tempat lain.” ia berhenti sejenak, lalu, “selain padepokan itu, maka padukuhan-padukuhan kecil di sekitar tempat ini tidak akan dapat menampung orang sejumlah dua padepokan sekaligus.”
Pengawalnya mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya, “Mungkin Empu. Tetapi apakah masih ada kepentingan kita untuk melacaknya. Jika mereka sudah berada di tangan prajurit Singasari, maka mereka tidak akan berarti apa-apa lagi bagi kita, Bahkan mereka tentu akan menjadi orang-orang yang berbahaya"
“Mungkin mereka berbahaya bagi kita. Tetapi kita masih akan dapat melihat kemungkinan lain. Jika mereka meninggalkan padepokan itu dengan cara lain, dipaksa misalnya, sehingga mereka akan menjadi tawanan, sedangkan perernpuan dan anak-anak akan menjadi budak-budak yang akan melakukan kerja paksa, maka kita akan melihat suatu kesempatan.”
Pengawalnya mengangguk-angguk pula. Tetapi yang nampak olehnya diwajah Empu Baladatu adalah bayangan kebencian dan dendam, sehingga karena itu, maka menurut dugaan pengwal itu, jika Empu Baladatu menemukan orang-orang Serigala Putih dan Macan Kumbang, maka kemungkinan yang paling besar dalam usaha untuk membinasakan mereka sama sekali.
Dengan hati-hati mereka maju terus. Akhirnya Empu Baladatu memang mengambil arah, menuju kepadepokan Empu Sanggadaru. Perjalanan menuju kepadepokan itu bukannya perjalanan yang terlalu dekat. Karena itu, maka mereka memerlukan waktu yang cukup lama meskipun kuda mereka berlari cukup cepat, namun tidak dapat berpacu karena jalan yang penuh dengan belukar dan pohon-pohon perdu.
Ketika mereka mulai mendekati hutan yang menjadi daerah pengaruh Empu Sanggadaru karena menjadi daerah perburuannya, maka Empu Baladatu menjadi semakin berhati-hati.
“Kakang Empu Sanggadaru gemar sekali berburu” berkata Empu Baladatu, “karena itu, kita harus menghindari kemungkinan bertemu dengan kelompok perburuannya”
“Apakah kita akan mengambil jalan lain?”
“Ya. Kita akan melingkari hutan itu. Hutan ini bukannya hutan yang besar. Karena itu, maka Empu Sanggadaru kadang-kadang menjadi jemu dan berburu di hutan yang lebat pepat, meskipun agak jauh. Namun untuk mengisi waktu senggangnya, maka hutan ini merupakan taman yang cukup memberikan ketenangan baginya.”
Pengawalnya mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, agaknya Empu Sanggadaru tidak mereka jumpai di dalam hutan itu. Dengan sangat hati-hati keduanya mulai mendekati padepokan Empu Sanggadaru.
“Kita akan meninggalkan kuda kita di tempat yang aman meskipun di luar hutan agar tidak diterkam harimau” berkata Empu Baladatu.
“Didekat padepokan?”
“Ya.”
Pengawalnya menjadi ber debar-debar. Tetapi ia tidak menjawab. Namun dalam pada itu, pada waktu mereka menyusuri jalan dipinggir hutan mendekati padepokan, tiba-tiba mereka telah di kejutkan oleh sesuatu yang lain dari yang pernah mereka kenal. Dari kejauhan mereka melihat tanah yang sudah terbuka diujung hutan. Bahkan sudah merupakan daerah persawahan.
“He, apakah aku bermimpi” desis Empu Baladatu.
Pengawalnya, yang juga pernah datang kepadepokan Empu Sanggadaru menjadi terheran-heran pula. Keduanya pun kemudian berhenti dipinggir hutan. Dari kejauhan mereka melihat sawah yang mulai hijau oleh tanaman yang subur. Lamat-lamat mereka melihat padukuhan baru yang mulai berkembang.
Untuk beberapa saat keduanya hanya termangu-mangu di atas punggung kudanya, seolah-olah mereka tidak yakin akan penglihatan mereka. Namun dedaunan yang hijau yang bertebaran di atas tanah persawahan itu akhirnya meyakinkan keduanya, bahwa mereka tidak sedang bermimpi.
“Kita benar-benar melihat sawah yang terbentang di pinggir hutan itu” berkata Empu Baladatu, “dan kita juga melihat padukuhan baru yang sedang tumbuh.”
“Ya. Padukuhan yang nampaknya dibangun dalam perencanaan yang baik. Bukan tumbuh begitu saja dengan liar. Sawah dan parit, jalan menuju padukuhan itu, pepohononan yang rimbun yang sengaja tidak ditebang untuk melindungi padukuhan yang baru itu, menunjukkan bahwa padukuhan itu benar-benar lahir setelah direncanakan dengan sebaik-baiknya.
“Ini tentu pokal prajurit-prajurit Singasari” geram Empu Baladatu, “aku yakin bahwa padukuhan itu telah dibuka oleh orang-orang dari padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang Mereka bukan saja mengungsi untuk menyelamatkan diri dari kebimbangan dan kelumpuhan jiwani, tetapi agaknya mereka telak mencari suatu bentuk kehidupan baru dibawah tuntunan para prajurit Singasari.”
Pengawalnya mengangguk-angguk. Dengan wajah yang tegang ia berkata, “Empu agaknya benar. Akupun berpendapat demikian.”
Terdengar gemeretak gigi Empu Baladatu. Dengan geram ia berkata, “Suatu jalan keluar yang gila. Tetapi yang dilakukan itu tidak akan banyak menolong. Yang pindah kepadukuhan itu adalah tetap orang-orang Serigala Putih dan orang-orang Macan Kumbang.”
“Tetapi mereka berada dekat dengan padepokan Empu Sanggadaru. Dengan demikian maka mereka akan selalu berada di bawah pengawasan dan perlindungan Empu Sanggadaru dengan pasukannya yag cukup kuat itu.”
“Tidak. Padepokan itu tidak mempunyai pasukan yang kuat. Yang menjadikan padepokan itu kuat adalah hadirnya prajurit-prajurit Singasari. Jika prajurit-prajurit itu meninggalkan padepokan kakang Sanggadaru, maka padepokan itu tidak akan berarti apa-apa lagi bagiku. Dengan mudah aku akan dapat menyapunya sampai orang terakhir.”
“Tetapi kini didekat padepokan itu telah tumbuh padukuhan-padukuhan itu. Apakah Empu tidak melihat kemungkinan, bahwa kekuatan yang tergabung itu akan merupakah kekuatan yang sulit untuk ditembus?”
“Aku tidak yakin. Orang-orang Serigala Putih dan orang-orang Macan Kumbang telah lumpuh. Dan mereka tidak akan bangkit kembali untuk waktu yang sangat lama. Bahkan mungkin harus melampaui satu keturunan lagi.”
Pengawal itu tidak menjawab. Tetapi ia tidak yakin, bahwa perhitungan Empu Baladatu itu benar.
“Kita akan mencari keterangan” berkata Empu Baladatu.
“Kepada siapa?”
“Bertanya kepada seorang yang ada di sawah.”
“Mereka akan ketakutan melihat kehadiran kita. Jika prajurit Singasari masih ada di sana, maka persoalannya akan membuat kita mendapat kesulitan.”
“Pengecut, Aku akan melakukannya. Tetapi bukan aku sendirilah yang harus menampakkan diri.”
Pengawalnya mengerutkan keningnya. Ia tidak bergitu mengetahui maksud Empu Baladatu.
“Marilah” berkata Empu Baladatu, “kita mendekati daerah persawahan itu. .Kita akan menemui satu dua orang dari antara mereka. Lebih baik jika kita menemukan sekelompok anaka muda. Kita membawa mereka langsung tanpa mempertimbangkan persoalan-persoalan lain.”
Pengawalnya termangu-mangu. Tetapi ia tidak bertanya lagi, “Kita mencari tempat untuk menyembunyikan kuda kita. Hutan ini tentu tidak banyak dihuni oleh binatang buas.”
Keduanya kemudian mengikat kuda mereka d empat yang mereka anggap aman. Terlindung, tetapi juga tidak terlampau berbahaya. Sejenak mereka termangu-mangu. Namun Empu Baladatu pun kemudian berkata,
“Kita berjalan mendekat. Kau berada di depan. Kau tentu belum dikenal orang. Aku akan berada beberapa langkah dibelakangmu. Aku akan berusaha menyembunyikan wajahku sejauh dapat aku lakukan. Jika kita bertemu dengan sesorang, kau tahu apa yang harus kau tanyakan. Aku akan mengawasi keadaan.”
Pengawalnya mengangguk. Ia pun tahu apa yang dimaksud Empu Baladatu. Karena itu, ia tidak bertanya lagi kepadanya.
Sejenak kemudian, setelah membenahi pakaiannya, maka pengawal Empu Baladatu itupun melangkah menuju ke lorong yang membelah tanah persawahan. Mereka memilih arah, agar kedatangan mereka tidak menumbuhkan pertanyaan, karena mereka seolah-olah muncul dari dalam hutan. Setelah melalui beberapa puluh kotak, maka mulailah mereka melihat beberapa orang yang sedang melintasi pula di tengah-tengah sawah.
“Mereka tidak akan pergi kesawah” desis pengawal Empu Baladatu itu. Ia melihat orang-orang itu membawa busur dan anak panah.
“Mereka akan berburu” Katanya kemudian. Karena itu. maka iapun menunggu Empu Baladatu dan memberinya isyarat untuk mendekat.
Empu Baladatu melihat isyarat itu. Karena itu maka ia pun melangkah lebih cepat lagi mendekati pengawalnya. “Orang-orang itu tentu akan berburu” berkata pengawal Empu Baladatu serelah ia berada didekatnya.
“Ya” Empu Baladatu menyahut mereka adalah orang-orang yang sebenarnya kita tunggu”
“Kenapa kita menunggu mereka?”
“Kita akan mendapat beberapa keterangan dari mereka.”
“Dan mereka akan kembali kepadukuhan sambil ketakutan karena kehadiran Empu disini.”
“Apakah mereka sudah mengenal aku?” Pengawal Empu Baladatu tidak menjawab. Tetapi nampak kerut merut dikeningnya.
“Mungkin mereka sudah mengenal aku, tetapi mungkin belum” desis Empu Baladatu.
“Apakah kita akan menghentikan mereka?”
“Ya. Kita akan menghentikan mereka.” jawab Empu Baladatu, “kaulah yang bertanya kepada mereka. Aku akan berusaha untuk mendengarkan pembicaraanmu tanpa dapat mereka lihat
“Bagaimana mungkin?”
“Temuilah mereka di pinggir hutan perburuan itu. Aku akan mempunyai kesempatan.”
Empu Baladatu dan pengawalnya itu pun kemudian dengan tergesa-gesa memotong arah. Tetapi mereka rnemperhitung kan setiap kemungkinan sehingga mereka telah berusaha untuk tidak diketahui dan menimbulkan kecurigaan , pada orang-orang yang akan pergi berburu itu.
Seperti yang direncanakan maka pengawal Empu Baladatu itu pun segera menyelinap dan muncul di jalan yang akan dilalui oleh orang-orang dari padukuhan itu, setelah mereka sampai di pinggir hutan. Dengan tidak menumbuhkan kecurigaan maka pengawal itu berjalan pada arah yang berlawanan sehingga memungkinkan mereka berpapasan.
Tetapi bagaimanapun juga, hadirnya seseorang ditempat itu memang sudah menimbulkan suatu pertanyaan dihati orang-orang padukuhan itu. Jarang sekali mereka bertemu dengan orang dari luar padukuhan mereka, karena padukuhan mereka masih merupakan daerah baru. Jika ada orang asing yang lewat, maka mereka tentu berada di jalan yang. melalui padepokan Empu Sanggadaru atau padukuhan-padukuhan lama yang berada di bawah pengaruh Empu Sanggadaru.
Namun demikian semula orang-orang yang akan pergi berburu itu tidak menghiraukannya. Mereka seolah-olah tidak ingin banyak mengetahui tentang orang-orang asing yang kurang mereka kenal, karena bagaimanapun juga, masih mungkin seorang perantau yang berjalan lewat jalan dan daerah yang jarang disentuh kaki orang.
Tetapi ketika mereka melihat orang yang tidak mereka kenal itu berhenti, maka mereka pun mulai memperhatikannya. Apalagi ketika nampak bahwa orang itu agaknya ingin bertanya sesuatu kepada mereka.
“Ki Sanak” bertanya pengawal Empu Baladatu itu, “apakah aku boleh mengajukan beberapa pertanyaan? Aku adalah orang yang tersesat, yang tidak tahu kemana aku harus pergi”
“Oh” salah seorang dari orang-orang yang akan pergi berburu itu maju selangkah, “siapakah kau Ki Sanak?”
“Aku datang dari jauh sekali. Tetapi aku telah tersesat di hutan yang tidak aku kenal, sehingga aku menjadi bingung dan kehilangan arah.”
“Kau datang dari mana?”
“Singasari.”
“Kota Raja maksudmu?”
“Ya. Aku datang dari Kota Raja.”
“Ki Sanak berada di tempat yang sebenarnya tidak jauh sekali dari Kota Raja.”
“He? Tidak jauh sekali? Aku sudah berjalan beberapa hari. Melingkar-lingkar sehingga bekalku habis di perjalanan.”
“Ki Sanak benar. Agaknya Ki Sanak memang sudah berjalan melingkar-lingkar tanpa arah. Karena itu Ki Sanak sudah merasa berjalan jauh sekali, tetapi sebenarnya daerah ini tidak terlalu jauh dari Kota Raja.”
“Dimanakah aku sebenarnya berada Ki Sanak? Dahulu rasa-rasanya aku pernah melalui daerah ini. Ketika aku menemukan beberapa ciri yang sudah aku kenal, aku merasa senang. Rasa-rasanya aku akan sampai kepadepokan Empu Sanggadaru. Jika demikian, maka aku akan terlepas dari kebingungan. Tetapi ternyata ketika aku muncul dipinggir hutan itu, aku melihat daerah persawahan dan padukuhan yang asing lagi. Bukan padukuhan yang perada dibawah pengaruh padepokan Empu Sanggadaru.”
“Ki Sanak benar” jawab orang itu, “daerah ini memang berada dibawah pengaruh padepokan Empu Sanggadaru.”
“Tetapi padukuhan itu?”
”Itu adalah padukuhan yang baru.”
“Baru? Sejak kapan padukuhan itu ada?”
“Belum terlalu lama-”
“Tetapi, apakah penghuninya penghuni padukuhan yang memang sudah ada, tetapi memperluas daerah tempat tinggal mereka.”
Orang itu termangu-mangu. Namun salah seorang dari mereka menjawab tidak. Kami datang dari tempat lain dan tinggal dipadukuhan itu Pengawal Empu Baladatu itupun mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu iapun kemudian bertanya, “Kalian datang dari mana?”
Orang-orang itu tidak segera menjawab. Nampak kebimbingan membayang diwajah mereka.
“Apakah kalian datang dari tempat yang jauh?” pengawal itu mendesak.
Orang yang tertua diantara mereka menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Tidak Ki Sanak. Kami tidak datang dari tempat yang jauh. Kami adalah keluarga Empu Sanggadaru yang sudah dianggap dewasa dan wajib memisahkan diri dan mengurus padukuhan ini.”
Wajah pengawal Empu Baladatu menjadi berkerut-kerut. Sepercik kekecewaan telah meloncat ditatapan matanya. Dengan nada datar ia bertanya, “Jadi kalian tidak berasal dari tempat lain?”
Orang itu mengeleng.
“Tetapi tadi kau mengatakan bahwa kau datang dari tempat lain.”
“Kami memang mempunyai kelainan dengan orang-orang yang tinggal dipadukuhan yang berada dibawah pengaruh Empu Sanggadaru. Kami adalah orang-orang yang dipisahkan daripadanya sementara keluarga kami dari tempat lain telah ikut. Serta membantu kami menebang hutan ini.”
“Keterangan kalian berputar-putar tidak menentu.” pengawal Empu Baladatu itu pun mulai kehilangan kesabaran.
“Aku kira keteranganku cukup jelas.”
“Katakanlah yang sebenarnya. Apakah kalian mempunyai rahasia yang kalian sembunyikan?”
Orang-orang itu menjadi heran. Lalu salah seorang dari mereka bertanya, “Ki Sanak. Bukankah kau telah tersesat dan mencari jalan keluar? Tetapi kini kau memaksa kami untuk menjawab pertanyaab Ki Sanak yang membingungkan itu.”
“Bukan pertanyaanku membingungkan, tetapi jawabmu. Jawab kalian, yang tidak menentu.”
“Aku tidak mengerti. Agaknya kau telah membawa jawab sendiri atas pertanyaan yang kau ajukan, sehingga jawaban kami tidak memberikan kepuasan kepadamu-”
“Persetan” tiba-tiba saja terdengar suara seseorang dari balik pepohonan. Belum lagi kejutan itu mereda di dada orang orang yang mendengarnya, maka orang-orang dari padukuhan itu telah dikejutkan pula oleh munculnya seseorang dari balik gerumbul dipinggir hutan.
“Aku tidak telaten mendegarnya” berkata Empu Baladatu yang telah berdiri dipinggir lorong itu, “jangan ingkar. Bukankah kalian orang-orang dari padepokan Serigala Putih atau padepokan Macan Kumbang.”
Orang-orang itu bagaikan membeku ketika mereka melihat siapakah yang berdiri dihadapan mereka. Hampir setiap orang dari padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang telah mengenal Empu Baladatu. Dan kini Empu Baladatu itu tiba-tiba saja telah berdiri diantara mereka.
“Empu Baladatu” desis salah seorang dari mereka.
“Ya. tentu masih mengenal aku.”
Orang-orang itu menjadi pucat ketika mereka melihat Empu Baladatu melangkah maju mendekati mereka.
“Cepat, katakan. Apakah kalian orang-orang Serigala Putih atau Macan Kumbang? Kalian tentu mengenal aku. Tetapi aku tidak dapat mengenal kalian seorang demi seorang.”
Orang-orang itu masih termangu-mangu.
“Cepat, katakan” teriak Empu Baladatu.
Ternyata bahwa pengaruh yang memancar dari bentakan itu telah mencengkam setiap hati. Karena itu, maka hampir di luar kesadaran mereka, beberapa orang menjawab bersama-sama, “Kami orang-orang padepokan Serigala Putih.”
“Ha” Empu Baladatu menyahut, “jadi kalian telah mencoba melarikan diri dari pengaruhku dan pasrah pada perlindungan kakang Empu Sanggadaru” ia berhenti sejenak, tatapan matanya menjadi merah bagaikan bara, “kalian memang bodoh. Kakang Sanggadaru sendiri masih memerlukan perlindungan prajurit-prajurit Singasari.”
Orang-orang itu menjadi semakin pucat. Namun salah seorang dari mereka menjawab, “Ya, prajurit-prajurit itu telah melindungi kami bersama-sama.”
“Gila” teriak Empu Baladatu, “apakah kau kira bahwa aku tidak dapat berbuat apa?” orang-orang itu saling berdiam diri.
“Sekarang kalian tidak akan dapat ingkar. Adalah nasib kalian yang buruk, bahwa kalianlah yang pertama-tama telah bertemu dengan kami.”
Orang-orang padukuhan itu menjadi semakin pucat karenanya.
“Sebenarnya kami memerlukan beberapa orang anak-anak muda yang masih akan dapat dibentuk dengan mudah. Mereka masih mempunyai masa depan yang panjang.” Empu Baladatu berhenti sejenak lalu, “tetapi kalian pun masih cukup muda. Kami akan membawa kalian. Jangan takut. Kalian tidak akan kami korbankan, karena kami ingin kalian akan menjadi penyebar ilmuku di antara orang-orang Serigala Putih. Kalian akan tinggal bersama kami untuk beberapa lamanya. Setelah itu kalian akan kami kembalikan kepada keluarga kalian dengan harapan bahwa kalian akan dapat mewakili kami di antara orang-orang Serigala Putih, karena pada waktunya kami memerlukan bantuan kalian.”
Orang-orang padukuhan yang semula adalah orang-orang padepokan Serigala Putih itu termangu-mangu. Mereka sadar, bahwa Empu Baladatu adalah oang yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Tetapi mereka sama sekali tidak ingin untuk ikut serta bersamanya. Orang-orang Serigala Putih yang telah mencoba melupakan masa lampaunya itu, tidak mau masuk lagi kedalam lingkungan yang mengerikan. Mereka tidak ingin setiap purnama melihat darah mengalir dari luka, dan mereka tidak ingin membasahi tubuh mereka dengan titik darah itu dalam pendalaman ilmu yang bersumber dari ilmu hitam itu.
“Jangan menyesali diri” berkata Empu Baladatu, “seharusnya kalian berbangga hati bahwa kalianlah yang akan mendapat kehormatan untuk memperdalam ilmu didalam lingkunganku.”
Orang-orang itu saling berpandangan. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Empu. Biarlah kami hidup menurut jalan kami sendiri. Kita sudah berpisah. Baik secara wadag maupun secara batin. Kita tidak akan dapat menemukan jalur jalan yang sejajar.”
“Aku tidak memerlukan penjelasanmu itu. Dengarlah. Kalian akan ikut bersama kami. Senang tidak senang. Ingin atau tidak ingin. Itu sudah menjadi keputusanku” Empu Baladatu menggeram, “dan kalian tahu akibatnya jika kalian mencoba untuk membantah perintahku ini. Aku dapat berbuat apa saja”
Orang-orang itu menjadi tegang. Mereka tahu bahwa Empu Baladatu memiliki kemampuan yang tidak terlawan. Namun untuk ikut bersamanya pun sama sekali tidak menarik hati. Mereka akan terjerumus sekali lagi dalam genggaman ilmu iblis seperti yang pernah mereka alami.
Karena itulah, maka orang-orang itu menjadi bingung. Namun salah seorang dari mereka tiba-tiba saja menemukan dirinya dan bertekad untuk melepaskan diri dari jerat Empu Baladatu.
“Lebih baik aku tidak mengalaminya meskipun aku akan dibunuhnya disini” berkata orang didalam hatinya.
Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Empu Baladatu. Aku mengetahui bahwa aku dan kawan-kawanku tidak akan dapat berbuat apa-apa dihadapan Empu Baladatu. Tetapi bagaimanapun juga, kami ingin menghindarkan diri dari niat Empu untuk membawa kami bersama Empu kepadepokan yang belum aku ketahui itu.”
Wajah Empu Baladatu menjadi tegang. Namun ia pun kemudian tertawa sambil berkata, “Jangan bodoh. Kau masih mendapat banyak kesempatan dihari depan. Kau masih cukup muda untuk memahami kehidupan yang sebenarnya. Jangan terbius oleh keadaan sesaat, tetapi tanpa masa depan yang pantas bagi kalian.”
”Empu” jawab orang itu, “biarlah kami dalam keadaaan kami sekarang.”
“Gila” tiba-tiba saja Empu Baladatu berteriak, “apakah kalian tidak mengenal aku lagi? Siapa yang membantah perintahku, akan mengalami nasib yang sangat buruk. Aku akan mengelupasnya seperti mengelupas kulit pisang. Dan tubuh kalian yang merah akan tergolek ditanah tanpa dapat dikenal lagi.”
Terasa bulu-bulu tengkuk orang-orang padukuhan itu meremang. Tetapi ternyata mereka yang telah mendapat tempaan lahir dan batin itu, telah berubah pula. Dengan tegang orang itu menjawab, “Empu. Aku ngeri mendengar ancaman itu. Tetapi apaboleh buat. Kami tidak akan dapat ikut bersama Empu.”
“Jadi kau milih terkelupas kulitmu”
“Empu. Kami telah memiliki beberapa lapis ilmu yang tidak berharga. Bahkan kami telah mendapat bekal dari Empu sendiri. Karena itu biarlah kami yang berjumlah jauh lebih banyak dari Empu berdua ini mencoba mempertahankan diri.”
“Gila, gila. Jadi kalian ingin melawan kami?” Teriak Empu Baladatu semakin keras.
Orang-orang itu mundur setapak. Ternyata bahwa semua di antara mereka telah bertekad untuk mempertahankan diri apapun yang akan terjadi
“O, orang-orang yang malang. Meskipun kalian telah merasa mampu untuk menentukan sikap seperti itu, tetapi kalian tentu akan menyesal bahwa kalian akan mengalami masa-masa akhir yang sangat mengerikan.”
Orang-orang itu melangkah mundur pula beberapa langkah dan melekatkan pada busurnya. “Sebenarnya kami ingin berburu” berkata salah seorang dari mereka, “tetapi kami terpaksa membela diri dengan senjata-senjata ini.”
“Gila” Empu Baladatu berteriak semakin keras, “kau kira anak panahmu dapat menyelamatkan jiwamu.”
Orang-orang itu menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat tiba-tiba saja ditangan Empu Baladatu telah tergenggam sepasang pisau belati panjang.
“Ingat, ingatlah. Dengan pisau ini aku akan mengelupas kulitmu”
Orang-orang yang bersenjata busur itu tanpa mereka sengaja telah melangkah menjauhi yang satu dengan yang lain. Tangan mereka telah siap untuk melepaskan anak panah di busur mereka.
“Kita bunuh orang-orang ini” geram Empu Baladatu kepada pengawalnya, yang telah menggenggam pisau belati seperti d itangan Empu Baladatu itu pula.
Perintah itu benar-benar telah mendebarkan jantung. Tetapi jumlah mereka yang tiga kali lipat, dan anak panah di busur membuat mereka lebih berani. Apalagi mereka sudah bertekad untuk tidak akan kembali lagi ke dunianya yang lama.
“Empu Baladatu manusia juga seperti kami” berkata orang-orang itu didalam hati.
Karena itu, maka mereka mempunyai harapan, bahwa Empu Baladatu pun akan dapat dikalahkan, setidak-tidaknya diimbangi kemampuannya oleh jumlah yang lebih banyak itu. Apalagi mereka merasa, bahwa pada saat terakhir mereka telah menempa diri, menambah kemampuan mereka dalam olah kanuragan, meskipun pada jalur yang berbeda dari cabang perguruan yang pernah mereka pelajari sebelumnya,
“Jadi kalian benar-benar akan melawan?” bertanya rnPu Baladatu sambil menahan kemarahannya.
“Kami akan mempertahankan diri” jawab salah seorang dari mereka.
“Apakah kalian sadar, bahwa hal itu akan mempersulit keadaan kalian? Kalian akan mengalami bencana yang tidak terperikan disaat-saat kalian menjelang ajal.” Empu Baladatu semakin marah.
Tetapi busur dan anak panah yang akan mereka pergunakan untuk berburu itu tetap teracu.
“Dengarlah” geram Empu Baladatu, “anak panahmu tidak akan berguna. Aku dapat menangkis dengan pisau belatiku yang dapat berputar seperti baling-baling sehingga akan menjadi perisai yang sangat rapat. Karena itu, aku masih akan mencoba berbuat baik terhadap kalian dengan memberikan kesempatan terakhir bagi kalian untuk meletakkan senjata kalian itu.”
Tetapi tidak seorang pun di antara orang-orang itu yang meletakkan busur dan anak panahnya. Pengawal Empu Baladatu tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera meloncat maju sambil memutar pisau belati panjangnya.
Sekejap kemudian, anak panah yang sudah melekat dibusur itu satu persatu meluncur dengan cepatnya. Namun seperti yang dikatakan oleh Empu Baladatu, ternyata bahwa ia mampu menangkisnya dengan kecepatan putaran pisau belatinya. Sambil berloncatan Empu Baladatu memukul setiap anak panah yang mengarah ketubuhnya, namun kadang-kadang juga menghindar dengan lincahnya.
Demikian juga pengawalnya. Ia pun mampu menghindari serangan anak panah yang datang beruntun, karena setiap anak panah yang terlepas, segera di susul anak panah yang lain yang dicabut dari endong. Tetapi tidak sebuah anak panah pun yang dapat mengenai lawannya. Jika sekali anak panah itu menyentuh lawannya, muka anak panah itu tidak mampu menyobek kulit.
Beberapa saat lamanya, orang-orang itu berusaha untuk melawan. Namun ternyata perlawanan itu sia-sia. Meskipun demikian mereka sama sekali tidak ingin menyerah. Jika anak panah terakhir telah dilepaskan, maka mereka akan mencabut pedang dan bertempur berpasangan seperti yang pernah mereka pelajari dari para prajurit Singasari.
Namun ternyata di antara mereka tidak sekedar mempercayakan keselamatan mereka kepada kemampuan diri. Karena ia mengetahui bahwa Empu Baladatu adalah orang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan, maka yang paling baik adalah berusaha mencari bantuan dari padukuhan.
Karena itulah, ketika kawan-kawannya sibuk membidik Empu Baladatu dan pengawalnya, maka salah seorang dari mereka telah memasang anak panah sendaren. Anak panah yang dapat memberikan isyarat, bahwa mereka berada dalam kesulitan. Maka sejenak kemudian, anak panah yang mengarah justru berlawanan dengan anak panah kawannya itu, segera meraung di udara. Demikian anak panah itu lepas dari busurnya, maka suaranya bagaikan jerit yang mengumandang seluas bulak panjang.
“Gila” Empu Baladatu berteriak. Ia sadar, bahwa dengan panah sendaren itu, berarti lawannya akan berlipat. Dari padukuhan tentu akan muncul beberapa orang lagi. Mungkin prajurit-prajurit Singasari.
Kemarahan Empu Baladatu tidak dapat ditahankannya lagi, Dengan wajah yang membara ia mengerahkan kemampuannya. Namun untuk sementara ia hanya dapat menahan serangan anak panah yang meluncur dari segala arah itu sebelum ia dapat berbuat lebih banyak lagi.
“Demikian anak panah mereka habis, maka mereka akan segera menjadi bangkai” geram Empu Baladatu.
Namun orang-orang itu pun menyadari Kesulitan yang bakal terjadi. Itulah sebabnya, maka mereka mencoba untuk mempergunakan anak panah mereka sebaik-baiknya. Mereka tidak saja asal melepaskannya. Tetapi mereka mencoba membidik dan membuat perhitungan. Meskipun jumlah anak panah yang meluncur itu berkurang namun justru semakin terarah dan semakin berbahaya, sehingga Empu Baladatu harus semakin berhati-hati menghadapinya.
Dalam pada itu, panah sendaren ynng meraung dilangit itupun meluncur dengan cepatnya kearah padukuhan baru yang mulai menjadi semakin tumbuh itu. Tetapi jarak padukuhan itu tidah terlampau dekat lagi. Dengan demikian, maka Empu Baladatu yang harus semakin berhati-hati menghadapi orang-orang yang semakin lama justru menjadi semakin mapan itu berkata,
“Kalian tidak akan mendapat bantuan dari siapapun. Lihat, jarak padukuhan itu tidak dapat dicapai dengan panah sendarenmu. Karena itu, kalian akan tetap mencapai akhir yang Mengerikan. Jika orang-orang padukuhan kalian itu jemu menunggu dan kemudian akan mencari kalian, maka mereka akan menemukan kalian sudah tidak dapat mereka kenal lagi. Apalagi jika mayat kalian diketemukan oleh binatang buas yang berkeliaran di daerah ini”
Orang-orang itu termangu-mangu. Tetapi mereka benar-benar sudah bertekad untuk melawan apapun yang akan terjadi. Mungkin panah sendaren itu tidak mencapai jarak dengar dari padukuhan yang memang sudah agak jauh. Namun mereka masih tetap mempunyai harapan. Jika, anak panah mereka sampai yang terakhir tidak dapat menyentuh lawan, maka mereka dapat mempergunakan pedang yang masih tergantung dilambung.
Empu Baladatu yang melihat orang-orang itu tetap dalam perlawanan yang berani, menjadi semakin marah. Semula orang-orang itu dapat dikejutkannya dan menjadi pucat. Tetapi semakin lama mereka justru menjadi semakin mapan dan berani.
Orang-orang itu pun semakin lama justru menjadi semakin memencar. Mereka membidikkan anak panah mereka dengan hati-hati. Dalam saat-saat yang sudah pasti mereka baru melepaskan anak panah itu meskipun mereka masih saja gagal untuk mengenai lawannya.
Tetapi dengan demikian Empu Baladatu tidak dapat memperpendek jarak. Jika ia melangkah maju, maka anak panah dari salah seorang lawan-lawannya itupun menyambut dengan cepatnya, seakan-akan senjata itu menjadi batas yang tidak dapat dilampauinya.
Kemarahan yang memuncak membuat kedua orang yang merasa dirinya memiliki banyak kelebihan itu menjadi kurang berhati-hati. Bahkan kadang-kadang lebih banyak dikendalikau oleh kemarahannya daripada perhitungan. Karena itulah, maka dalam keadaan yang, hampir tidak terkendali pengawal Empu Baladatu itu mencoba untuk meloncat menyeberangi jarak. Jika ia berhasil, maka ia akan segera dapat melibat lawannya dalam perkelahian pendek, sehingga kawan-kawannya tidak akan berani melepaskan anak panah mereka lagi.
Tetapi dengan demikian, ia merupakan sasaran yang lebih baik. Beberapa anak panah hampir beruntun telah meluncur. Agaknya orang-orang itu telah mulai mempergunakan perhitungan dan menyesuaikan yang satu dengan.yang lain. Ternyata perhitungan pengawal Empu Baladatu yang, didorong oleh kemarahan itu keliru. Ia masih sempat menangkis dan menghindari satu dua anak panah yang menyambarnya. Namun anak panah itu bagaikan lalat yang terbang disekitarnya. Karena itulah, maka ia menjadi bingung sehingga terasa sesuatu menyengat pundaknya.
Empu Baladatu yang melihat kesulitan pengawalnya itupun tiba-tiba telah berteriak nyaring. Dengan cepat ia berusaha untuk merubah keadaan yang sulit bagi pengawalnya itu. Ia pun kemudian menyusul meloncat maju menyerang dengan tangkasnya. Karena itulah, maka orang-orang padukuhan itu harus membagi sasaran. Tetapi dengan demikian sejenak mereka, harus menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru.
Empu Baladatu masih sempat menangkis segala serangan dengan senjatanya. Bahkan ia telah berhasil membuat kejutan sehingga pengawalnya sempat meloncat mundur. Tetapi ternyata bahwa pundaknya telah lerluka oleh patukan anak panah. Kemarahan kedua orang itu justru menjadi semakin, memuncak. Tetapi mereka ternyata harus menahan diri sampat anak panah yang terakhir meluncur dari busurnya.
Semakin lama anak panah dari orang-orang padukuhan itupun menjadi semakin berkurang. Satu-satu meluncur dan hilang ditelan gerumbul-gerumbul perdu. Mereka tidak lagi berhasil melukai baik pengawalnya apa lagi Empu Baladatu. Karena itu maka hati merekapun menjadi semakin kecut. Mereka sadar, jika anak panah mereka habis dan mereka harus bertempur dengan pedang, maka mereka masih harus menilai keadaan apakah mereka akan dapat bertahan.
Namun setiap kali mereka berusaha untuk menenteramkan hati, karena jumlah mereka memang lebih banyak. Tetapi meskipun demikian, orang-orang itu mencoba untuk lebih berhemat lagi. Mereka kemudian hanya melepaskan anak panah pada saat-saat tertentu. Jika Empu Baladatu atau pengawalnya siap untuk menerkam maka anak panah itu telah menyambar dengan cepatnya.
“Cepat” teriak Empu Baaladatu, “jika kalian mampu, hujani kami dengan anak panah. Jika satu dari anak panah kalian mengenai kawanku, itu bukannya kalian berhasil, tetapi itu karena kesalahan kawanku sendiri yang menganggap kalian terlalu bodoh. Ternyata kalian dapat juga membidik, meskipun kemudian tidak akan berguna lagi karena kawanku menjadi lebih berhati-hati.”
Orang-orang padukuhan itu tidak menjawab. Tetapi mereka benar-benar menjadi cemas. Satu dua diantara mereka tinggal mempunyai anak panah tidak lebih dari jari sebuah tangan mereka.
Empu Baladatu yang melihat hal itu menjadi semakin bernafsu. Sebentar lagi anak panah orang-orang itu tentu akan habis sehingga akan segera terjadi perang pada jarak jangkau senjata ditangan. Satu-satu anak panah itu masih meluncur. Semakin berbahaya anak panah diendong itupun semakin lama menjadi semakin tipis.
Dalam pada itu, ternyata anak panah sendaren yang meraung diudara bena-benar tidak dapat mencapai padukuhan. Jaraknya terlalu jauh, melampaui jarak lontaran anak panah. Tetapi beruntunglah orang-orang yang terlibat dalam kesulitan itu, bahwa ada seseorang yang sedang bekerja di sawah yang mendengar bunyi panah sendaren itu. Dengan sadar maka iapun segera berlari-lari mengambilnya dan membawa kembali kepadukuhan.
Ketika ia bertemu dengan seorang yang lain, dengan suara gagap berkata, “Aku menemukan anak panah sendaren ini”
Kawannya mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Lalu untuk apa?”
“Untuk apa?” orang itu menjadi heran, “bukankah ini berarti tanda bahaya.”
“O. Apakah kau mendengar bunyinya?”
“Ya. Panah ini baru saja meraung diudara dan jatuh tidak terlalu jauh dari aku.”
“Kau tahu arahnya?”
“Ya, Dari pinggir hutan”
“Cepat, laporkan kepada petugas ronda hari ini.”
Orang itu dengan tergesa-gesa melanjutkan langkahnya. Bahkan Iapun berlari semakin cepat langsung menuju kebanjar., “Seseorang diantara para petugas ronda dihari itu mendapatkannya dengan hati yang berdebar-debar. Dengan saksama ia mendengar keterangan dari orang yang menemukan panah sendaren itu.
“Tanda bahaya” desisnya
Seorang prajurit yang mendengar pembicaraan itupun mendekat sambil bertanya, “Apa yang kau dengar?”
“Panah sendaren” jawab orang yang mendengar panah sendaren itu.
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Marilah. Ikut aku.”
Orang itupun kemudian dengan singkat telah melaporkan apa yang didengarnya. Tentang anak panah sendaren dan arah datangnya. Prajurit yang bertugas meronda hari itupun segera menentukan sikap. Diperintahkannya dua orang untuk melaporkannya kepada pemimpin prajurit dipadukuhan itu, sementara dua orang yang lain langsung menuju kearah anak panah itu meluncur.
“Bawalah isyarat pula” berkata prajurit yang sedang bertugas hari itu, “jika ada sesuatu yang kurang pada tempatnya, kirimkan isyarat dengan anak panah sendaren. Biarlah seseorang berada di sawah untuk menunggu jika anak panah itu benar-benar kau lontarkan.
Kedua prajurit itu pun segera mempersiapkan diri. Sebuah pedang melesak di lambung, sementara busur menyilang di punggung masing-masing. Sejenak kemudian dua ekor kuda pun telah berpacu. Sedang dua yang lain menuju ke padepokan Empu Sanggadaru karena pemimpin prajurit Singasari sedang berada di padepokan itu.
Sementara itu, anak panah di tangan orang-orang padukuhan yang bertemu dengan Empu Baladatu telah hampir habis seluruhnya. Masih ada satu dua orang yang mensisakan anak panah mereka untuk saat-saat yang benar-benar gawat. Sementara, yang lain telah bersiap memegang pedang ditangan.
“Kalian tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi” geram Empu Baladatu, “saat kematian telah tiba. Kematian yang sangat mengerikan.”
Orang-orang itu tidak menjawab. Mereka mulai berpencar mengambil arah perlawanan masing-masing.
“Ternyata kalian menjadi semakin sigap. He, siapakah yang mengajari kalian?”
Orang-orang itu tidak menjawab. Tetapi merekapun memang merasa bahwa mereka menjadi semakin cepat menyesuaikan diri meskipun mereka tidak lagi memperdalam ilmu hitam. Dengan unsur-unsur gerak yang sebagian besar baru, dilandasi dengan watak dan sifat-sifat yang baru, mereka siap melakukan perlawanan terhadap Empu Baladatu.
Dalam pada itu, maka kedua orang prajurit yang ditugaskan untuk melihat keadaan itupun telah berpacu di bulak persawahan. Namun mereka tertegun sejenak, ketika mereka melihat dua ekor kuda melintang dijalan
“Kenapa paman tergesa-gesa?” Mahisa Pukat dan Mahisa Murti lah yang. berada di tengah jalan itu.
Dengan singkat prajurit itu menjelaskan tugasnya.
“Aku ikut” teriak Maliisa Murti.
“Jangan ngger. Ini bukan main-main.”
“Aku juga tidak akan main-main”
Kedua prajurit itu saling berpandangan sejenak. Namun salah seorang dari mereka berkata, “Atas kehendak angger sendiri”
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti lah yang kemudian, saling berpandangan. Namun kemudian Mahisa Murti menyahut, “Baiklah paman. Atas kehendak dan tanggung jawab kami sendiri”
“Jika demikian terserahlah kepada angger berdua. Tetapi agaknya ada sesuatu yang gawat.”
“Bukankah lebih baik kita berempat daripada paman hanya berdua?” tiba-tiba Mahisa Pukat bertanya.
Kedua prajurit itu tidak dapat ingkar, bahwa kedua anak anak yang masih sangat muda itupun telah memiliki kemampuan olah kanuragan tidak kalah baiknya dari seorang prajurit pilihan. Itulah sebabnya, maka keduanya tidak mencegahnya lagi. Bahkan salah seorang dari mereka berkata, “Jika demikian, marilah. Kita akan melihat, apa yang telah terjadi”
Keempat orang itu pun kemudian berpacu menuju ke arah yang ditunjukkan oleh orang yang mendengar anak panah sendaren yang menemukannya. Mereka tidak akan membiarkan orang yang dalam kesulitan itu dibiarkan ditelan oleh bahaya.
“Tentu bukan sekedar binatang buas. Mereka membawa perlengkapan berburu” desis salah seorang dari kedua prajurit itu sambil berpacu.
“Apakah ada orang yang mengetahuinya?”
“Ya. Para petugas hari ini melihat mereka, karena mereka singgah sebentar digardu penjagaan. Mereka telah mendapat ijin untuk berburu binatang.”
Kawannya tidak menyahut. Dengan wajah yang tegang mereka mempercepat derap kudanya. Mendekati arah yang ditunjuk, merekapun memperlambat perjalanan. Mereka harus berhati-hati menghadapi segala kemungkinan. Mereka belum tahu pasti, apakah yang telah dihadapi oleh orang-orang yang sedang berburu itu.
“Mereka berkelompok lebih dari lima orang” desis salah seorang dari kedua prajurit itu.
Yang lain mengangguk-angguk. Jika demikian, maka mereka benar-benar dalam keadaan yang gawat.
Sementara itu, Empu Baladatu telah berusaha untuk memancing anak panah yang terakhir dari setiap orang yang ada di sekitarnya. Kadang-kadang ia menggeram sambil meloncat. Dan dengan demikian ia berhasil memaksa lawannya untuk melepaskan anak panahnya.
Ketika anak panah yang terakhir telah meluncur dari busurnya, maka Empu Baladatu pun tertawa berkepanjangan. Di sela-sela derai tertawanya ia berkata, “Nah, sekarang kalian tinggal menunggu saat-saat yang paling pahit di dalam hidup kalian."
Orang-orang padukuhan itu tidak menjawab. Namun mereka sadar, bahwa mereka akan segera sampai pada saat perjuangan yang berat dan gawat.
“Nah, bersiaplah untuk mati. Jika kalian tidak berkeras kepala, maka kalian akan mengalami suatu masa yang sangat menyenangkan. Kalian akan mendapat tempaan lahir dan batin, sehingga pada suatu saat kalian akan kembali kedalam lingkungan sanak kadang dengan ilmu yang tidak terlawan. Kalian akan menjadi pemimpin dari padukuhan kalian yang baru.” berkata Empu Baladatu sambil tertawa.” tetapi semuanya tinggallah angan-angan. Kalian telah menyakiti hatiku, sehingga kalian memang harus mati seorang demi seorang dengan cara yang sangat menyakitkan hati pula. Bagi kalian sendiri dan bagi siapapun yang akan menemukan mayat kalian.”
Orang-orang itu masih tetap berdiam diri. Tetapi senjata mereka telah berada di dalam genggaman. Mereka telah meletak kan busur mereka, karena anak panah yang terakhir telah terlontar.
Sejenak Empu Baladatu memperhatikan orang-orang itu. Ia pun menyadari, bahwa orang-orang itu menilik sikapnya, telah mendapat bimbingan yang lebih baik dalam olah kanuragan. Lebih baik dari saat mereka ditinggalkannya. Tetapi Empu Baladatu adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Meskipun orang-orang itu berjumlah tiga kali lipat, namun mereka tidak akan banyak menyulitkannya bersama seorang pengawalnya.
“Marilah. Kita akan membunuh mereka semuanya” geram Empu Baladatu.
Pengawalnya yang telah tergores luka itu tidak dapat menahan diri lagi. Dengan serta merta iapun langsung meloncat menyerang.
Dua orang dari orang-orang padukuhan itu menyongsongnya. Agaknya mereka telah saling berbisik, bagaimana mereka harus mengahadapi dua iblis berilmu hitam itu, sehingga mereka telah bersepakat membagi diri. Dua orang harus menghadapi pengawal Empu Baladatu, sedang yang lain akan menghadapi Empu Baladatu karena menghadapi Empu Baladatu akan jauh lebih berat daripada melawan pengawalnya itu.
Sejenak kemudian pengawalnya Empu Baladatu telah terlibat dalam perkelahian yang sengit. Ternyata kedua orang padukuhan yang telah mendapat bimbingan para prajurit Singasari itu dapat melawannya dengan baik. Keduanya dapat menempatkan diri masing-masing sehingga pengawal Empu Baladatu itu tidak segera dapat menguasainya.
Empu Baladatu masih sempat memperhatikan mereka sejenak namun kemudian iapun menggeram dengan marahnya. Dipandanginya beberapa orang lain yang sudah siap menghadapinya dengan pedang terhunus.
“He, kenapa tidak segera kau bunuh saja kedua orang itu?” teriak Empu Baladatu yang marah.
Pengawalnya menggeram. Iapun kemudian mengerahkan segenap kemampuannya sehingga kedua orang, lawannya itu mulai terdesak. Bagaimanapun juga, ternyata kedua orang padukuhan itu masih belum dapat mengimbangi pengawal Empu Baladatu yang ganas itu. Beberapa langkah mereka terdesak meskipun mereka telah bekerja bersama dengan sebaik-baiknya.
Beberapa orang yang lain saling berpandangan. Mereka telah mempersiapkan diri melawan Empu Baladatu. Tetapi karena kedua kawannya itu terdesak, maka salah seorang dari merekapun segera terjun ke dalam perkelahian itu untuk membantu. Bertiga maka orang-orang padukuhan baru itu agaknya mulai mendapatkan keseimbangan Pengawal Empu Baladatujtu harus mengakui, bahwa untuk melawan ketiga orang itu, ia harus berjuang sekuat tenaganya.
Namun dalam pada itu, Empu Baladatu yang melihat pengawalnya mendapat perlawanan yang berat, iapun mulai bergeser. Ia melihat orang-orang lain yang sudah siap melawannya. Namun bagi Empu Baladatu, jumlah orang-orang itu tidak cukup banyak untuk mencegah, apa saja yang akan dilakukan.
Sejenak kemudian, maka Empu Baladatu pun maju selangkah demi selangkah. Ia tertawa ketika melihat lawan-lawannya itu berpencar. Sambil menyeringai ia bertanya, “He, siapkah yang akan mati lebih dahulu?”
Lawan-lawannya tidak menyahut. Tetapi pedang mereka telah teracu.
“Tangan kalian mulai gemetar” desis Empu Baladatu.
Tetapi lawan-lawannya bagikan menjadi bisu. Mereka sama sekali tidak menyahut. Yang terdengar adalah desah nafas mereka yang memburu. Tiba-tiba saja terdengar teriakan Empu Baladatu nyaring. Ia pun kemudian mulai meloncat menyerang salah seorang dari mereka. Dengan tergesa-gesa orang itu meloncat menjauh, sementara kawan-kawannya maju setapak sambil mengacungkan senjata mereka.
Yang terdengar adalah suara tertawa Empu Baladatu yang menggeletar. Rasa-rasanya suara tertawanya itu telah menggoncangkan jantung. Bulu tengkuk lawan-lawannya telah meremang, mendengar suara tertawa itu. Bahkan ketiga orang yang bertempur melawan pengawal Empu Baladatu itu telah terpengaruh pula olehnya. Seolah-olah suara tertawa itu meneriakkan kidung maut dari lembah kematian.
Sejenak kemudian Empu Baladatu pun telah benar-benar bertempur. Lawan-lawannya ternyata segera terdesak. Kedua pisau belati panjang Empu Baladatu seakan-akan telah berubah menjadi berpuluh pasang melingkari dirinya dan menyerang beruntun kesegala arah. Lawan-lawannya yang melihat tata gerak Empu Baladatu menjadi ngeri. Mereka sadar bahwa mereka tidak akan dapat melawannya, betapapun juga mereka berusaha...