Sepasang Ular Naga Disatu Sarang 32

Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Di Langit Singasari episode Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 32 karya Singgih Hadi Mintarjda
Sonny Ogawa
PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 32
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

NAMUN perkelahian itu telah dimulai. Tidak ada gunanya lagi untuk memikirkan, apakah mereka akan menghindar atau akan mati. Apapun yang akan mereka lakukan, Empu Baladatu telah mengambil keputusan untuk membunuh semua orang yang datang kepadanya dan pengawalnya.

Dengan garangnya Empu Baladatu mendesak lawannya. Namun ia tidak segera mulai membunuh. Ia ingin memperlihatkan betapa ngerinya bertempur melawannya. Baru setelah lawan-lawannya menjadi cemas dan menyesal ia mulai akan membunuh mereka seorang demi seorang.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba Empu Baladatu teringat kepada anak panah sendaren yang dilontarkan oleh salah seorang dari orang-orang padukuhan itu. Karena itu maka dengan suara yang dalam ia mengeram, “Salah seorang dari kalian telah melontarkan anak panah sendaren. Sayang, bahwa hal itu telah mempercepat saat mati kalian, karena jika ada orang yang mendengarnya, maka mereka akan segera mempersiapkan bantuan. Mungkin sepasukan prajurit akan datang atau justru seisi padepokan kakang Sanggadaru. Karena itu aku harus mempercepat kerjaku.”

Lawan-lawannya masih tetap berdiam diri. Mereka telah menjadi basah oleh keringat di segenap tubuhnya. Bahkan tangan-tangan mereka yang menggenggam pedang pun menjadi basah oleh keringat pula. Tetapi pada saat mereka terdesak seakan-akan tidak melihat lagi jalan keluar dari kematian, arena itu telah dikejutkan oleh derap beberapa ekor kuda. Dari kejauhan nampak empat ekor kuda berpacu dengan kencangnya mendekati arena, perkelahian di pinggir hutan itu.

“Gila” teriak Empu Baladatu. Namun ketika ia melihat hanya empat orang yang datang, maka ia pun segera berteriak, “Marilah anak-anak, jika kalian memang ingin mengantarkan nyawa kalian“

Belum lagi gema suaranya terputus, maka terdengar seseorang mengeluh. Pundaknya telah tertusuk oleh ujung pisau belati Empu Baladatu. Bahkan terdengar keluhan yang menyusul hampir di saat yang bersamaan. Dua orang lawannya ternyata telah terluka.

Empu Baladatu yang marah melihat kedatangan empat ekor kuda itu, dalam sekejap telah melukai dua orang lawannya. Meskipun luka itu tidak merenggut nyawa mereka, tetapi dengan demikian, maka tangan mereka serasa telah menjadi lumpuh dan tidak berdaya lagi untuk melawan.

Empu Baladatu tidak terhenti dengan keluhan-keluhan itu. Ia pun segera bersiap untuk menjatuhkan korbannya yang lain. Untuk melawan jumlah yang jauh lebih banyak, maka ia harus menjatuhkan dan melumpuhkannya dahulu sebanyak-banyaknya sebelum ia mulai mengelupas kulit lawannya seorang, demi seorang.

Namun ternyata bahwa lawan-lawannya tidak menjadi gemetar ketakutan dan membiarkan senjatanya menghunjam di dada mereka. Meskipun lawan-lawannya tidak akan mungkin melukainya meskipun banya segores, tetapi mereka masih sempat mengambil jarak untuk mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan yang akan datang dengan kesadaran sepenuhnya bahwa Empu Baladatu memang tidak akan dapat mereka lawan. Namun derap kaki kuda itu telah memberikan harapan kepada mereka untuk menyelamatkan diri.

Kedua prajurit Singasari serta kedua kakak beradik itu sempat melihat, bagaimana Empu Baladatu melukai lawannya. Karena itu mereka melecut kuda mereka untuk lebih cepat mencapai arena perkelahian. Tetapi sebelum mereka meloncat turun, terdengar lagi keluhan tertahan dan desah kesakitan. Seorang lawannya lagi telah terluka cukup parah.

Ketiga lawan Empu Baladatu yang terluka itu tinggal dapat berdiri sambil menyeringai kesakitan. Mereka hanya dapat menunggu, dan mungkin menghindar jika Empu Baladatu menyerang dan membunuh mereka seorang demi seorang. Namun dalam saat yang gawat itu keempat orang berkuda itu telah berdiri di sekitar arena perkelahian itu. Mereka masih sempat mengikat kendali kuda mereka, dan berlari-lari mendekati Empu Baladatu yang mengeram oleh kemarahan yang tidak tertahankan.

Adalah diluar dugaan, bahwa belum lagi keempat orang itu mendekat, Empu Baladatu lah yang melenting seperti bilalang, langsung menyongsong salah seorang prajurit Singasari yang mendekatinya. Serangan itu benar-benar tidak terduga. Itulah sebabnya, maka prajurit itu tidak sempat melepaskan diri dari terkaman Empu Baladatu. Meskipun ia masih sempat berusaha mengelak, tetapi pisau Empu Baladatu telah berhasil menyobek kulit, lengannya.

“Gila” teriak Empu Baladatu “kau dapat mengelak he?”

Empu Baladatu kemudian harus bertempur melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dibantu oleh kedua prajurit Singasari. Ternyata yang memegang peranan dalam perkelahian itu justru Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bukan kedua prajurit itu.

Dalam pada itu, perkelahian di lingkaran pertempuran yang lain pun masih terjadi dengan serunya. Melawan tiga orang yang sudah mendapat latihan dari prajurit-prajurit Singasari pengawal Empu Baladatu memang agak mengalami kesulitan. Apalagi lawannya yang tiga orang itu, dalam keadaan terdesak segera menampakkan dasar ilmu kanuragan yang sudah dimiliki sebelum ia mempelajari ilmu yang lebih mapan dari para prajurit. Mereka pada saat-saat tertentu menjadi kasar dan bahkan liar, seperti juga pengawal Empu Baladatu.

Hanya karena kesadarannya untuk tetap mempertahankan keseimbangan tata geraknya sajalah, maka ketiga orang itu tidak bertempur dengan buasnya. Meskipun demikian, pada saat tertentu pengawal Empu Baladatu itu terkejut, bahwa kekasaran ilmu hitam masih juga nampak pada ketiga orang lawannya.

Orang-orang yang terluka oleh senjata Empu Baladatu ternyata sudah tidak mampu lagi untuk berbuat sesuatu. Mereka terduduk di rerumputan dengan wajah yang tegang. Sekali-kali mereka menyeringai menahan pedih. Dengan kain panjangnya mereka berusaha menahan darah yang mengalir dari luka-lukanya itu.

Sementara itu, Mahisa Murti dan. Mahisa Pukat berkelahi dengan lincahnya dibantu oleh dua orang prajurit Singasari. Kedua anak muda ternyata mampu bergerak secepat anak kijang. Mereka berputaran di sekeliling Empu Baladatu, seolah-olah ingin mengejeknya, bahwa mereka pun mampu bertempur dengan cara yang selalu dipergunakan oleh orang-orang berilmu hitam.

“Gila” Empu Baladatu menggeram.

Tetapi kedua anak-anak muda itu memang sangat lincah. Apalagi di samping mereka masih ada dua orang prajurit yang memiliki ilmu yang harus diperhitungkan pula. Karena itulah, maka Empu Baladatu yang dikagumi itu tidak segera mampu mendesak lawannya. Bahkan kedua anak Mahendra itu mampu membuat Empu Baladatu kadang-kadang menjadi bingung dan tegang, sementara kedua prajuril Singasari yang lebih tua dan lebih berpengalaman itu berusaha menyesuaikan diri meskipun kedua anak muda itu ternyata mampu bergerak lebih lincah dan cepat.

Dalam pada itu, pengawalnya semakin lama ternyata menjadi semakin sulit menghadapi tiga orang itu. Sekali-kali ia harus meloncat jauh-jauh untuk memperbaiki kedudukannya. Bahkan kadang-kadang ia harus berlari beberapa langkah berputaran. Empu Baladatu melihat kesulitan yang dialami oleh pengawalnya. Namun ia juga merasa, bahwa tekanan keempat orang lawannya itu semakin lama menjadi semakin berat

Karena itu, maka tidak ada jalan lain baginya kecuali dengan secepatnya ia harus berhasil mengurangi jumlah lawannya. Sambil menggeram Empu Baladatu kemudian mengerahkan segenap kemampuannya. Jika ia berhasil mengurangi seorang saja di antara lawannya dengan sebuah hentakan, maka ia akan segera dapat mengurangi lawan berikutnya dengan leb ih mudah lagi

Tetapi ternyata bahwa keempat lawannya telah mempersiapkan diri menghadapi saat-saat yang menentukan. Itulah sebabnya, sesaat setelah mereka melihat perubahan tata gerak Empu Baladatu, mereka pun telah memencar dan menyerang, berurutan dari keempat penjuru. Dengan demikian Empu Baladatu justru menjadi semakin sibuk. Ternyata Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan kedua prajurit Singasari itu pun telah menghentakkan kekuatan mereka pula untuk segera mengalahkan Empu Baladatu.

Betapapun Empu Baladatu mengerahkan segenap kekuatannya, namun ternyata bahwa kemampuannya benar-benar terbatas. Ia tidak dapat memaksakan kehendaknya atas kedua anak anak muda dan kedua prajurit Singasari itu. Mereka berempat sama sekali tidak menjadi gentar dan terdesak, justru merekalah yang dengan menghentakkan kekuatan pula dapat mendesak Empu Baladatu seperti ketiga orang yang melawan pengawalnya itu.

Empu Baladatu menjadi semakin marah. Tetapi ia dihadapkan pada suatu kenyataan. Itulah sebabnya, maka ia tidak dapat ingkar. Kenyataan itu terjadi, bahwa ia tidak mampu mengimbangi kekuatan keempat lawannya, sedang pengawalnya tidak juga berhasil melawan ketiga orang padukuhan yang telah menempa diri di bawah pimpinan prajurit-prajurit dari Singasari.

Untuk beberapa saat lamanya Empu Baladatu masih berusaha apa yang harus dilakukan untuk mengatasi keempat lawan-lawannya. Terutama anak-anak muda yang dapat bergerak selincah burung sikatan itu, sementara pengawalnya benar-benar telah terdesak dan mengalami kesulitan untuk mendapatkan jalan keluar.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata tidak sempat lagi ber-main-main dengan lawan yang garang itu. Mereka benar-beanr harus mengerahkan segenap kemampuannya. Sekejap mereka lengah, maka nyawanya akan menjadi tebusan.

Dalam pada itu, kedua prajurit yarig bertempur bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi semakin heran melihat kedua anak-anak muda itu. Jika semula mereka menjadi cemas bahwa anak-anak muda itu akan menjadi beban mereka, ternyata bahwa kedua anak muda itulah yang lebih banyak menentukan daripada kedua prajurit itu. Akhirnya sampailah pertempuran itu pada puncaknya. Saat-saat yang semakin gawat telah benar-benar mengguncangkan dada Empu Baladatu.

“Gila” geram Empu Baladatu “jika aku membawa semua pengawalku kemari, maka mereka akan segera dapat aku binasakan“

Tetapi yang terjadi bahwa Empu Baladatu tidak membawa pengawal-pengawalnya, sehingga Empu Baladatu tidak akan dapat berbuat seperti yang di angan-angankannya. Sejenak Empu Baladatu sempat membuat perhitungan. Ke empat orang yang datang membantu karena mereka mendengar atau mendapat laporan bahwa sesorang telah mendengar panah sendaren itu mungkin akan disusul oleh orang lain pula.

Karena itu, maka menurut pertimbangannya, maka tidak akan ada gunanya lagi ia bertahan. Betapapun juga ia mengerahkan kemampuannya, ia tidak akan mampu untuk mengalahkan kedua orang anak muda dan kedua prajurit Singasari yang bertempur bersama-sama itu, meskipun sebelumnya ia sudah melukai tiga orang lawannya.

Itulah sebabnya, maka tidak ada jalan lain bagi Empu Baladatu selain menghindarkan diri dari pertempuran, karena semakin lama ia bertahan, maka keadaan akan menjadi semakin gawat baginya. Dengan perhitungan yang cermat, maka Empu Baladatupun kemudian justru mengadakan persiapan untuk menghindar dari perkelahian.

Ketika terdengar ia berteriak nyaring sambil mempersiapkan sebuah serangan, maka lawan-lawannya menjadi termangu-mangu. Mereka menduga bahwa Empu Baladatu akan melakukan sesuatu yang mengejutkan dengan mengerahkan segenap kemampuannya.

Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Demikian keempat lawannya bersiaga sepenuhnya, maka Empu Baladatu itupun segera meloncat, tidak menyerang, tetapi dengan serta merta memasuki hutan bersama pengawalnya. Ketika lawan-lawannya menyadari keadaan, maka merekapun segera berusaha mengejarnya.

Tetapi Empu Baladatu dan pengawalnya itu seakan telah hilang di balik dedaunan yang lebat. Dalam pada itu, ketika lawan-lawan Empu Baladatu sedang termangu-mangu, terdengar derap kaki dua ekor kuda sehingga merekapun terkejut karenanya. Dengan serta merta mereka berlari memburu. Tetapi yang mereka lihat kemudian adalah Empu Baladatu dengan pengawalnya telah berlari di atas punggung kudanya meninggalkan arena perkelahian.

“Pengecut” geram Mahisa Pukat.

Tetapi Mahisa Murti menyahut, “Itu adalah sifatnya. Tanpa sifat itu, maka ia bukannya Empu Baladatu lagi.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling kepada kedua orang prajurit Singasari yang berdiri di sebelahnya, nampaklah wajah-wajah yang tegang kemarah-marahan.

“Mereka terlepas dari tangan kita” desis salah seorang prajurit itu.

“Itu adalah wajar sekali” jawab Mahisa Murti, “Empu Baladatu adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Meskipun barangkali kita dapat bertahan dan melindungi diri sendiri, namun ia tetap memiliki kelebihan. Ternyata ia mampu menghindarkan diri dari kemungkinan yang paling buruk meskipun keadaannya sudah sangat sulit seperti juga pengawalnya.

Kedua prajurit itu tidak menyahut. Namun seakan-akan mereka berjanji untuk berpaling kepada ketiga orang padukuhan yang berdiri tegak dengan senjata masing-masing di tangan.

“Tolonglah kawan-kawanmu yang terluka” perintah prajurit yang seorang.

Ketiga orang itu seakan-akan baru menyadari bahwa ketiga kawannya telah terluka parah.

“Kita akan segera membawanya kembali” berkata salah seorang dari ketiga orang prajurit itu.

Demikianlah, maka ketiga orang yang terluka itu pun segera mendapat perawatan sementara. Kedua kakak beradik anak Mahendra itu dengan kedua orang prajurit Singasari telah memberikan kuda-kuda mereka untuk membawa orang-orang yang terluka itu.

“Pakailah kuda kami” berkata Mahisa Murti, “bawalah kawan-kawanmu yang terluka. Kami akan berjalan kaki kembali kepadukuhan."

Demikianlah, maka setiap ekor kuda membawa dua beban di punggungnya. Seorang terluka dan seorang yang menjagainya Tetapi ternyata kuda-kuda yang legar itu tidak merasa terlampau berat. Sementara itu, salah seorang dari kedua prajurit itupun telah mengawal orang-orang itu mendahului kembali kepadukuhan.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan seorang prajurit Singasari masih tetap berada di bekas arena pertempuran itu. Mereka seakan-akan masih ingin melihat, apa saja yang baru terjadi dan terutama sebelum mereka datang ketempat itu. Namun mereka tidak menemukan tanda-tanda lain yang menarik perhatian.

“Marilah” berkata prajurit yang seorang, “kita belum terlepas sama sekali dari bahaya. Mungkin Empu Baladatu akan segera kembali dengan kawan yang lebih banyak.”

“Padepokan Empu Baladatu jauh sekali dari tempat ini. Bagaimana mungkin ia mendapatkan kawan baru untuk melawan kita di sini?” sahut Mahisa Pukat.

“Siapa tahu. Mungkin kedatangan Empu Baladatu ke daerah ini tidak hanya berdua saja.”

“Jika demikian, dimanakah kawan-kawannya yang lain?” bertanya Mahisa Murti

Prajurit itu mengeleng. Jawabnya, “Kita tidak tahu. Tetapi kita tidak boleh lengah“

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti mengangguk-angguk. Mereka pun kemudian bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu. Namun merekapun segera mengangkat wajahnya ketika mereka mendengar derap kaki kuda mendekat Tetapi mereka segera menarik nafas panjang, ketika mereka melihat dari kejauhan beberapa orang prajurit Singasari berpacu mendekati daerah itu.

“Mereka datang” desis Prajurit Singasari yang berada. bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Kenapa mereka datang kemari? bertanya Mahisa Murti.

“Panah sendaren itu. Seperti aku juga datang kemari setelah mendengar laporan.”

"Tetapi mereka sangat terlambat."

“Ketika pemimpin petugas hari ini mendengar laporan tentang panah sendaren itu, ia telah mengirim kami berdua untuk mencari arah. Sedangkan orang lain harus segera melaporkannya kepada pemimpin induk pasukan. Itulah agaknya maka beberapa orang prajurit langsung dari induk pasukan mendapat tugas kemari.”

“Tetapi mereka telah terlambat“

“Ya” jawab prajurit itu, “seandainya kami berdua di tengah jalan tidak kebetulan bertemu dengan kalian, maka aku kira akhir dari pertempuran ini akan sangat jauh berbeda“

“Itu perlu mendapat perhatian. Peristiwa kebetulan tidak dapat dijadikan pegangan. Seharusnya prajurit-prajurit itu datang agak awal, sehingga seandainya kami berdua tidak hadir di tempat ini, kalian, berdua masih tetap hidup.”

Prajurit itu mengangguk-angguk. Desisnya, “Suatu peringatan yang sungguh-sungguh bagi kesiagaan kami.”

Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan seorang prajurit itupun menyongsong kedatangan lima orang prajurit berkuda yang dengan tenang mendekat.

“Mereka tidak nampak tergesa-gesa” berkata Mahisa Murti.

“Mereka tentu sudah berjumpa dengan prajurit yang mengawal orang-orang yang terluka itu. sehingga mereka sudah mengetahui apa yang terjadi di sini.” sahut Mahisa Pukat.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi ia nampak kecewa. Sejenak kemudian kelima orang prajurit itupun segera meloncat turun dan mendekati kawannya yang termangu-mangu.

“Aku mengucapkan selamat atas keberhasilanmu” berkata pemimpin kelompok prajurit itu.

Tetapi prajurit yang baru saja bertempur itu menggeleng. Jawabnya, “Bukan aku, tetapi kedua anak-anak muda ini.”

Pemimpin prajurit itu memandang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sambil tersenyum. Mereka mengenal keduanya adalah anak-anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi. “Kalian juga ikut bersama prajurit Singasari? bertanya pemimpin kelompok itu “

“Suatu kebetulan” jawab Mahisa Pukat, “dan kalian tidak boleh mengharapkan kebetulan yang serupa akan selalu terjadi.”

Pemimpin kelopok itu mengerutkan keningnya.

“Kau sudah mendengar apa yang terjadi di sini?” bertanya Mahisa Pukat

“Ya. Kami telah bertemu dengan orang-orang yang terluka itu.”

“Nah, kalian tentu dapat membayangkan, seandainya kami berdua tidak ikut serta dengan kedua prajurit itu.”

Pemimpin kelompok itu menjadi bingung.

“Nah, pelajarilah keadaan ini. Kelambatan kalian dapat berarti maut bagi petugas-petugas yang terdahulu.”

“Aku tidak mengerti.” Jawab pemimpin prajurit itu.

“Aku akan menjelaskan nanti” sahut prajurit yang telah bertempur melawan Empu Baladatu itu.

Demikianlah setelah mereka berbincang sebentar tentang arena pertempuran itu dan tentang Empu Baladatu, maka pemimpin kelompok itupun berkata, “Marilah. Kita Kembali kepadepokan Empu Sanggadaru Kita dapat membicarakan persoalannya lebih panjang dan mendalam bersama Empu Sanggadaru dan Mahisa Bungalan. Juga aku ingin mendengar penjelasan tentang kelambatanku dan peristiwa yang di sebut kebetulan itu.

Demikianlah maka sekelompok prajurit bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera meninggakan tempat itu. Karena kuda ketiga orang yang terdahulu sudah tidak ada lagi, maka mereka harus kembali kepadukuhan dengan berjalan kaki.

“Pergilah dahulu” berkata Mahisa Pukat kepada prajurit-prajurit berkuda yang datang kemudian.

Pemimpin prajurit itu ragu-ragu. Namun ketika Mahisa Murti juga mempersilahkannya, maka mereka pun meninggalkan tempat itu berkuda mendahului, tetapi mereka tidak memacu kuda mereka karena mereka mempunyai pertimbangani tersendiri. Mungkin Empu Baladatu memang masih akan kembali dengan jumlah orang yang lebih banyak, meskipun Mahisa Pukat dan Mahisa Murti tidak sependapat.

Ternyata bahwa perhitungan Mahisa Pukat dan Mahisa Murti itulah yang benar. Empu Baladatu tidak kembali lagi dengan jumlah orang yang lebih banyak, sehingga dengan demikian maka perjalanan mereka kembali kepadukuhan tidak mendapat gangguan. Namun peristiwa itu telah menumbuhkan persoalan yang perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari para prajurit di Singasari yang mendapat laporan selengkapnya dari peristiwa yang baru saja terjadi itu.

“Persoalannya tidak terbatas pada padepokan Empu Sanggadaru” berkata seorang perwira prajurit Singasari, “pada saatnya persoalan itu tentu akan berkembang.”

”Ya” jawab kawannya, “karena itu maka masalah Empu Baladatu dan orang-orang Mahibit harus ditangani dengan sungguh-sungguh.

Dengan demikian maka persoalan itu telah menjadi salah satu perhatian dari para pemimpin prajurit di Singasari sebagai suatu persoalan yang tidak dapat dianggap ringan dengan sekedar menempatkan sepasukan prajurit di padepokan Empu Sangggadaru.

Untuk mengetahui peristiwa itu dari dekat, maka Mahisa Agni telah memerlukan datang kepadepokan Empu Sanggadaru. Dengan demikian ia akan mendapatkan bahan yang lengkap untuk menentukan sikap berikutnya.

“Ternyata Empu Baladatu masih tetap menyimpan cita-citanya yang barangkali akan dapat meledakkan daerah Singasari” berkata Mahisa Agni.

“Persoalannya memang tidak begitu sederhana paman” sahut Mahisa Bungalan, “bukan sekedar terbatas di daerah ini. jika terjadi sesuatu di sini, agaknya Empu Baladatu hanyalah mencari kesempatan untuk memperluas daerah pengaruhnya, sementara rencananya yang besar di hari mendatang akan berjalan seperti yang dikehendakinya.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia pun menyadari persoalan yang sedang dihadapinya. Yang nampaknya kecil itu tentu akan mempunyai kaitan yang panjang.

Sementara itu, selagi beberapa orang pemimpin prajurit berada di padepokan Empu Sanggadaru, Empu Baladatu telah meninggalkan bekas padepokan orang-orang yang menyebut dirinya gerombolan Serigala Purih dan Macan Kumbang, yang pada saat terakhir telah menemukan jalan hidup yang lebih baik.

Perjalanan yang gagal itu merupakan pelajaran bagi Empu Baladatu, bahwa usaha yang akan ditempuhnya itu bukannya usaha yang mudah dan dapat dilakukan seperti yang dikehendakinya.

“Mahibit telah bersiap semakin jauh” berkata Empu Baladatu kepada pengawalnya.

Pengawalnya tidak menyahut. Mereka menyadari, bahwa Empu Baladatu yang kecewa itu akan mudah sekali tersinggung jika mereka salah mengucapkan tanggapan.

“Aku harus melihat Mahibit” tiba-tiba saja Empu Baladatu menggeram.

Pengawalnya menjadi cemas. Jika benar-benar demikian, maka mungkin mereka harus menempuh perjalanan yang sama berbahayanya. Salah paham antara Empu Baladatu dan Linggapati dapat terjadi setiap saat. Apalagi nampaknya Linggapati sudah melangkah lebih jauh dari yang dilakukan oleh Empu Baladatu.

Namun Empu Baladatu kemudian berkata, “Tetapi aku tidak akan membawa pengawal seorang pun. Satu orang saja di antara kalian datang bersama kami, maka perjalananku akan segera diketahui. Apalagi aku tidak akan langsung masuk ke Mahibit. Aku akan berada di daerah yang agak jauh untuk mendapatkan sekedar bahan-bahan tentang perkembangan Mahibit. Mungkin Mahibit dan kita akan maju bersama-sama meskipun jalan yang ditempuhnya berbeda. Linggapati akan mempengaruhi beberapa orang pemimpin pemerintahan. Yang sudah jelas berada di bawah pengaruhnya adalah orang-orang yang memimpin pemerintahan di Mahibit dan daerah di sekitarnya dan seorang Akuwu di tlatah Kabonang. Sekarang mungkin pengaruhnya sudah semakin luas, sehingga aku perlu menilainya.”

Pengawalnya hanya mengangguk-angguk saja Dan Empu Baladatu pun berkata terus, “Sementara itu aku akan menempuh cara lain. Aku akan menghubungi beberapa perguruan. Aku akan mengharapkan bantuan mereka, meskipun dengan demikian mereka harus mendapatkan imbalan yang cukup. Setidak-tidaknya janji bahwa mereka akan mendapatkan kekuasaan dan tanah perdikan yang luas dan memberikan harapan yang memuaskan di hari depan.”

Pengawalnya sama sekali tidak dapat mencegah niat Empu Baladatu. Jika ia mengatakan sesuatu yang lebih banyak didorong oleh perasaannya sesaat, seharusnya orang lain hanya sekedar mendengarkannya saja. Baru jika ia sudah mendapat kesempatan untuk memikirkan niatnya, ia dapat mendengar pendapat dan pertimbangan orang lain. Karena itulah maka para pengawal itu akan menunggu sampai suatu saat Empu Baladatu memperhitungkan lagi rencananya itu.

Tetapi ternyata kali ini Empu Baladatu berpendirian tetap seperti yang dikatakannya. Ketika mereka kemudian menempuh jalan kembali kepadukuhannya, Empu Baladatu seolah-olah telah melupakan niat yang dikatakannya itu, karena ia tidak menyinggungnya lagi. Bahkan ketika mereka bermalam di perjalanan, perhatian Empu Baladatu lebih banyak tertuju kepada binatang buruan untuk makan malam mereka. Namun ketika mereka sudah sampai di padukuhan, ternyata Empu Baladatu mengulangi niatnya untuk pergi ke Mahibit seorang diri.

“Apakah itu perlu sekali Empu?” bertanya salah seorang pengawalnya.

“Bagaimana menurut pertimbanganmu.”

“Aku menganggap bahwa lebih baik Empu memperkuat kedudukan lebih dahulu. Jika Empu berniat menghubungi beberapa buah perguruan yang dapat diajak berbicara tentang hal ini maka itu sajalah yang dilakukannya lebih dahulu.”

Tetapi Empu Baladatu menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku akan melakukan keduanya bersama-sama. Aku akan pergi ke Mahibit untuk mengetahui dan penilai perkembangannya sekaligus menghubungi beberapa perguruan yang aku kenal, meskpun perguruan-perguruan itu mempunyai cacat dan celanya masing-masing. Namun kita akan dapat memanfaatkan tenaga yang ada pada mereka untuk mengimbangi usaha Linggapati yang mencari kekuatan pada orang-orang yang berkuasa di daerah di sekitarnya.”

Tidak seorang pun yang dapat menahan Empu Baladatu Setelah mengadakan beberapa persiapan, maka ia pun benar-benar berniat meninggalkan padepokannya.

“Jagalah padepokan ini baik-baik. Seperti yang pernah kalian lakukan, jangan tinggal di padepokan induk selama aku tidak ada. Bersihkan dan pelihara pedukuhan induk itu dengan tenaga yang tidak menentukan.” pesan Empu Baladatu kepada murid-muridnya.

“Kenapa Empu?” bertanya salah seorang muridnya.

“Kau memang dungu. Bertanyalah kepada orang yang ikut bersamaku. Orang-orang Singasari mungkin akan datang setiap saat. Mereka tentu cemas melihat perkembangan padepokan ini. Apalagi mereka seolah-olah telah digelitik oleh peristiwa yang baru saja terjadi di padepokan Empu Sanggadaru.“

Para pengawal padepokan itu mengangguk-angguk. Seperti yang pernah mereka lakukan, maka mereka berada di tempat terpencar, sementara orang-orang yang tidak menentukan sajalah yang tetap berada di padepokan.

Setelah memberikan beberapa pesan, maka Empu Baladatu pun segera meninggalkan padepokannya. Untuk memberikan kesan lain rentang dirinya, maka Empu Baladatu sama sekali tidak mempergunakan pakaian dan kelengkapan seorang pemimpin sebuah padepokan apalagi yang berilmu hitam. Tetapi ia mengenakan pakaian sebagai seorang saudagar yang sedang melakukan perjalanan untuk mengurus kesibukan jual belinya.

Ketika Empu Baladatu meninggalkan padepokannya, Ia sudah mempunyai beberapa rencana siapa-siapa yang akan dikunjunginya. Namun seperti yang dikatakannya, sekaligus ia akan pergi ke Mahibit untuk melihat perkembangan persiapan Linggapati di saat-saat terakhir.

“Aku tidak akan bersembunyi-sembunyi di Mahibit” berkata Empu Baladatu kepada diri sendiri, “aku akan muncul di jalan-jalan kota. Aku adalah saudagar yang kaya, yang sedang melihat-melihat apakah di Mahibit ada barang-barang yang, dapat aku ambil dan aku perdagangkan. Jika sikapku cukup menyolok, maka Linggapati tentu akan segera mengenalku lewat orang-orangnya yang aku yakin, tentu bertebaran di segala sudut“

Namun Empu Baladatu pun masih juga harus memperhitungkan, bahwa ia akan bertemu dengan pihak lain yang tentu ada juga di Mahibit. Para petugas sandi dari Singasari. Tetapi Empu Baladatu sudah mempunyai rencana, Ia akan berada selalu di sekitar tempat-tempat yang pernah dipergunakan oleh Linggapati. Padepokan tanpa pintu yang sudah ditinggalkan akan merupakan tempat yang paling baik untuk menarik perhatian orang-orang Linggapati yang tentu masih selalu mengawasinya.

Namun Empu Baladatu pun menyadari bahaya yang dapat terjadi atas dirinya. Jika Linggapati menentukan sikap lain, maka mungkin akan merupakan bencana baginya. Tetapi setiap kali Empu Baladatu menggeleng sambil berkata kepada diri sendiri, “Linggapati tidak akan mengambil sikap yang dapat mengganggu rencananya. Ia lebih senang melihat suasana seakan-akan tenang dan damai, sementara ia berhasil menyusun kekuatan betapapun lambatnya.

"Agaknya perjuangan Linggapati benar-benar diperhitungkan sampai dua keturunan, sampai saatnya anaknya dapat mengambil alih pimpinan dan kemudian sekaligus mengambil alih kekuasaan Singasari.”

Demikianlah Empu Baladatu berniat untuk pertama-tama pergi ke Mahibit sebelum ia menghubungi beberapa buah perguruan. Ia ingin mengetahui apakah yang sudah dilakukan oleh Linggapati sampai saat terakhir, karena menurut perhitungan Empu Baladatu, meskipun nampaknya Linggapati tidak berbuat apa-apa, namun ia pasti sudah menambah kekuatannya sesuai dengan caranya. Kegagalannya untuk bersama Empu Baladatu menghancurkan padepokan Empu Sanggadaru, merupakan pengalaman yang harus selalu diperhitungkan untuk setiap langkahnya kemudian.

Seperti yang direncanakan maka Empu Baladatu pun berusaha untuk menarik perhatian orang-yang dianggapnya sedang mengawasinya, terutama di sekitar bekas padepokan Linggapati. Bekas padepokannya yang tertua, dan bekas padepokannya yang baru, yang ditinggalkannya setelah ia gagal menghancurkan padepokan Empu Sanggadaru.

“Para petugas sandi dari Singasari tentu tidak akan berkeliaran di tempat-tempat yang sudah tidak dipergunakan lagi ini” berkata Empu Baladatu kepada diri sendiri

Ternyata bahwa usahanya itu berhasil. Agaknya salah seorang petugas sandi dari Mahibit telah melihatnya dan menyampaikan kepada Linggapati yang tempatnya tidak diketahui oleh Empu Baladatu.

Linggapati yang mendapat laporan bahwa Empu Baladatu berada di Mahibit segera mengambil sikap. Sebelum ia menjumpainya, maka seperti yang pernah dilakukannya, maka tanpa setahu Empu Baladatu, Linggapati sendiri telah mengamatinya.

“Ia kali ini seorang diri” berkata Linggapati kepada pengawalnya yang melihatnya Empu Baladatu pertama kali.

“Ya. Sejak aku menjumpainya, ia memang hanya seorang diri.”

“Ia tentu ingin bertemu dengan aku”

“Ya.”

“Bawalah ia ke bangsal tiga. Aku akan berada di sana. Aku tidak akan menerimanya di padepokan, karena aku masih belum dapat mempercayainya sepenuhnya. Ia sampai hati menghancurkan saudara kandungnya sendiri meskipun gagal. Apalagi terhadap orang lain.”

Pengawal Linggapati mengangguk. Ia pun minta diri untuk membawa Empu Baladatu ke bangsal yang ditandainya dengan urutan tiga. Empu Baladatu sama sekali tidak menunjukkan keragu-raguan. Ia pun segera mengikuti orang yang mengajaknya menuju Ke pinggir kota, ke sebuah rumah yang tidak begitu besar meskipun nampak terawat rapi.

“Bagus sekali” desis Empu Baladatu, “rumah siapakah ini?”

“Salah sebuah rumah Linggapati“

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Ia tidak bertanya lebih jauh. Jawaban orang itu tentu jawaban yang sebenarnya, meskipun ia iahu pasti, bahwa rumah Linggapati tentu lebih dari sepuluh buah. Tidak seorang pun mengetahui, di suatu saat ia sedang berada di mana. Belum lagi terhitung padepokanannya.

“Silahkan Empu menunggu. Sebentar lagi Linggapati tentu akan datang.”

Empu Baladatu mengangguk. Seperti yang dikatakan oleh orang yang membawanya, maka sejenak kemudian seseorang dalam pakaian sederhana memasuki halaman rumah itu. Ketika ia melihat Empu Baladatu sudah duduk di pendapa, maka ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Apakah Empu sudah lama menunggu?”

Empu Baladatu pun tersenyum pula. Ketika Linggapati naik kependapa maka Empu Baladatu menjawah, “Kau tentu tahu pasti, kapan aku naik ke pendapa bangsalmu ini.”

“Sebuah pondok yang sederhana. Sekedar untuk mencukupi kebutuhan. Melindungi panas di siang hari, menghindari hujan di musim basah.”

“Jangan menyebutnya seperti kebanyakan orang yang selalu lamis. Katakan saja, rumah ini adalah salah satu tempat untuk mengelabui orang-orang yang mencarimu. Mungkin prajurit Singasari. Tetapi mungkin juga petugas-petugas sandi kakang Sanggadaru.”

Linggapati tertawa. Katanya, “Baiklah. Sebut saja seperti sebutan yang kau kehendaki itu. Aku tidak berkeberatan. Tetapi lebih dari itu, Empu dapat tinggal di rumah ini menurut kebutuhan. Aku tahu bahwa Empu tidak begitu senang berbicara di tengah sawah, di simpang tiga atau di pojok padukuhan. Karena itu, aku sekarang menerima Empu di rumah ini betapapun sederhananya.”

“Terima kasih. Sikapmu menunjukkan, bahwa kau menjadi semakin mempercayai aku“

Linggapati tertawa. Katanya, “Bahkan kau datang seorang diri itu pun suatu sikap yang menguntungkan, bagimu sekarang. Kau tidak terlalu mencurigakan aku seperti aku tidak terlalu mencurigai kau lagi.”

“Mudahkan selanjutnya hubungan di antara kita menjadi bertambah baik. Jarak yang ada akan menjadi semakin sempit“

Linggapati tertawa semakin keras. Katanya, “Kita akan berbicara besok atau nanti, setelah kau beristirahat. Sekarang, lepaskan lelahmu dan tinggallah seperti di rumah sendiri.”

Empu Baladatu tersenyum. Tetapi ia tidak tenggelam dalam sikap yang baik dan ramah. Bagaimanapun juga ia harus tetap berhati-hati, karena Linggapati bukannya seorang yang dapat dipercaya sepenuhnya. Namun kemudian ternyata bahwa Linggapati tidak bersedia untuk mengadakan pembicaraan segera. Ia masih mempersilahkan tamunya

“Beristirahatlah. Marilah aku antarkan kau memasuki rumah ini.”

Empu Baladatu tidak menolak. Ia pun kemudian masuk ke dalam rumah itu dan oleh Linggapati ia pun diantar langsung ke dalam biliknya.

“Inilah bilikmu. Beristirahatlah. Di sini ada beberepa orang pelayan. Jika kau memerlukani sesuatu, mintalah kepada pelayan-pelayan itu.”

“Terima kasih.”

“Sekarang aku akan pergi dahulu. Nanti aku akan datang lagi dan berbicara tentang hubungan kita. Bukankah kita tidak tergesa-gesa.”

Empu Baladatu terpaksa mengangguk. Jawabnya, “Ya. Aku tidak tergesa-gesa.”

Ketika kemudian Linggapati meninggalkannya, Empu Baladatu duduk termangu-mangu di dalam rumah itu. Rumah yang baginya cukup baik dan memberikan suasana yang segar. Di halaman pohon bunga tumbuh dengan suburnya. Sementara beberapa buah sangkar tergantung di batang pohon-pohon yang rendah.

Empu Baladatu mengerutkan keningnya ketika seorang pelayan datang kepadanya sambil membawa minuman panas dan beberapa potong makanan. Sambil meletakkan minuman dan makanan itu di amben ruang tengah pelayan itu berkata, “Silahkan Empu mencicipinya.”

“Terima kasih” jawab Empu Baladatu. Sepeninggal pelayan itu, maka Empu Baladatu pun kemudian menghadapi minuman dan makanan itu dengan ragu-ragu. Tetapi ia adalah orang yang memiliki ilmu yang cukup untuk mengetahui, apakah minuman dan makanan itu beracun. Sehingga karena itulah, maka ia pun kemudian mengangkat mangkuk minumannya dan mencium asapnya. Demikian juga beberapa potong makanan itu. Ia menarik nafas dalam-dalam. Menurut pengamatannya, makanan dan minuman itu sama sekali tidak membahayakannya, sehingga ia pun kemudian minum dan makan secukupya.

“Penerimaan yang sangat ramah” katanya kepada diri sendiri, “aku tidak tahu, apakah Linggapati benar-benar seramah ini. Menerima aku di rumah yang baik, memberikan jamuan dan bahkan beberapa orang pelayan untuk melayani aku di rumah ini. Mudah-mudahan setelah melampaui malam pertama aku masih akan dapat bangun dan melihat matahari terbit."

Oleh berbagai macam pikiran itulah maka ketika kemudian malam tiba, Empu Baladatu justru menjadi semakin berhati-hati. Ia tidak segera melepaskan pakaiannya dan berbaring di pembaringan di dalam biliknya. “Apakah Linggapati tidak akan datang berbicara malam ini?” ia bertanya kepada diri sendiri.

Namun ternyata bahwa lewat sirep lare, Linggapati memasuki ruang tengah rumah itu. “Apakah kau belum tidur?” ia bertanya.

Empu Baladatu yang keluar dari biliknya pun kemudian duduk di amben di ruang tengah bersama Linggapati. “Aku menunggumu. Aku ingin berbicara tentang masa depan perjuanganmu.“

“Kenapa?”

“Aku ingin menyesuaikan diri“

Linggapati tertawa Katanya, “Apakah kau masih ingin melanjutkan niatmu? Aku mengira bahwa kau akhir-akhir ini sudah menarik diri. Kegagalan mutlak itu agaknya telah membuatmu menjadi jera.”

“Aku akan berjalan terus sampai saatnya maut menghentikannya” jawab Empu Baladatu.

Linggapati tertawa semakin keras. Katanya, “Kau memang keras hati. Tetapi hanya orang-orang yang keras hati sajalah yang pada suatu saat dapat mencapai cita-citanya. Mereka yang mudah patah di tengah tidak akan dapat berbuat sesuatu bagi masa depan.”

“Jangan memuji. Aku ingin bertanya, bagaimanakah dengan kau sekarang.”

“Empu Baladatu” jawab Linggapati, “sejak semula aku sudah memutuskan untuk tidak terlalu tergesa-gesa. Aku ingin sampai pada suatu saat, dimana aku yakin bahwa perjuanganku pasti berhasil.”

“Aku tahu. Agaknya kau akan menumpukan keberhasilanmu pada keturunanmu. Dan itu pun tidak keliru. Aku juga mempertimbangkannya demikian. Anakku yang ada di padukuhan kakeknya akan menjadi pewaris dari perjuanganku yang barangkali tidak akan selesai sepanjang umurku.”

Linggapati mengerutkan kerungnya. Lalu, “Kau dapat melihat rencana perjuangan yang akan aku tempuh dalam jangka yang panjang.”

“Ya. Tetapi aku pun tahu bahwa kau maju terus. Nah, aku ingin mengetahui, sampai dimanakah langkahmu sekarang. Jika kau bersikap jujur, maka aku akan dapat menyesuaikan diriku dengan jujur pula“

Tetapi sekali lagi Linggapati tertawa. Bahkan ia bertanya, “Sampai dimanakah pengertian, jujur menurut kau?”

Pertanyaan Linggapati itu mengejutkan Empu Baladatu. Ia sama sekali tidak mengira, bahwa Linggapati akan bertanya demikian kepadanya. Namun Empu Baladatu itu pun kemudian tertawa pula sambil menjawab, “Kau Memang penuh prasangka. Tetapi baiklah aku mengartikannya dengan pengertian yang aku kehendaki. Jujur maksudku, mengatakan sesuai dengan kenyataannya.”

Linggapati tertawa semakin keras. Jawabnya, “Jadi aku harus mengatakan kepadamu, bahwa aku mempunyai kekuatan yang besarnya hampir sebesar kekuatan Singasari di Kota Rajanya. Ditambah dengan empat daerah yang diperintah oleh empat orang Akuwu. Pengaruh yang besar dari salah seorang pendukungku di seluruh daerah pantai Utara. Dan yang mulai aku rintis adalah pengaruh yang tidak dapat dicegah lagi di istana Singasari sendiri.”

Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tertawa. Katanya, “Apakah kau sudah mengatakannya dengan jujur?”

Linggapati tidak dapat menahan gelak ketawanya. Jawabnya, “Aku sudah mengatakan jujur. Sejujurnya. Tinggal hatimu sendiri. Jika kau percaya kepadaku, kau tentu tidak akan curiga. Dan kau akan menganggap aku benar-benar jujur. Tetapi jika kau menaruh curiga dan tidak percaya, kau akan menganggapku tidak jujur.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Agaknya perjalananku tidak berhasil. Kau masih tetap menganggap penting untuk merahasiakan kekuatanmu yang sebenarnya. Meskipun demikian, aku pernah mendapat keterangan, bahwa kau memang sudah berhasil mempengaruhi seorang Akuwu untuk ikut serta dalam gerakanmu.”

“Tidak hanya seorang” jawah Linggapati, “tetapi itu tergantung tanggapanmu“

Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar bahwa Linggapati sengaja membuatnya kebingungan sehingga ia tidak akan dapat mengambil kesimpulan yang benar terhadap ceriteranya.

“Tetapi Empu” berkata Linggapati, “Jangan marah. Aku memang tidak dapat memberimu kepuasan. Aku sudah mengatakan sesuai dengan kebenaran. Tetapi agaknya kau tidak percaya. Meskipun demikian, kau jangan marah. Aku masih mengharap kau tinggal untuk beberapa saat lamanya di rumah ini“

“Terima kasih. Aku memang masih akan minta ijin, agar aku dapat tinggal untuk beberapa lamanya. Aku sedang dalam perjalanan dagangku. Aku sedang mencari barang-barang besi aji.”

“He?” Linggapati mengerutkan keningnya, “kau berkata sebenarnya?”

“Ya. Itulah penghidupanku sekarang di samping bertani. Murid-muridku bertambah banyak, sedang tanah persawahan tidak memberikan hasil yang baik. Dengan memperdagangkan pusaka berupa apapun juga, ternyata aku mendapat keuntungan yang baik.”

Linggapati tertawa pula. Justru semakin keras. Jawabnya, “Tentu kau mendapat keuntungan yang pantas, karena kau mendapatkan barang-barang itu dengan tanpa membayar, dan kau minta orang lain membeli dengan harga yang sangat tinggi"

“Bagaimana mungkin?” bertanya Empu Baladatu

“Kau datang kepada seseorang yang memiliki pusaka yang berharga. Kau membelalakan matamu sambil mengancam. Maka kau berhasil memiliki pusaka itu. Sedangkan di saat lain, kau hentikan seorang saudagar di tengah jalan. Kau tunjukkan pusaka itu dan kau memberikan harga di luar perhitungan nalar. Jika ia tidak mau membayar, kali juga membelalakkan matamu. Maka jual beli itu pun jadilah“

Wajah Empu Baladatu menjadi merah sesaat. Tetapi ia masih mencoba tersenyum sambil berkata, “Sudahlah Linggapati. Berhentilah menyinggung perasaanku. Meskipun aku tidak akan berbuat apa-apa, karena aku sekarang seorang diri, tetapi sebaliknya kita berbicara dengan baik.”

Linggapati mengangguk-angguk. Katanya, “Maaf Empu. Kau memang seorang perasa. Seperti seorang perempuan, kau mudah tersinggung. Tetapi baiklah. Aku tidak akan menyinggung perasaanmu lagi. Tetapi aku minta maaf, bahwa aku tidak dapat memberikan banyak keterangan kepadamu tentang diriku dan tentang Mahibit. Pada saatnya, jika aku sudah merasa kuat dan benar-benar akan bangkit, aku akan memberitahukan kepadamu. Bukan karena aku tidak percaya kepadamu, tetapi Singasari mempunyai sejuta telinga. Seolah-olah di setiap dinding rumah, di setiap lembar daun terdapat telinganya.”

Empu Baladatu tidak dapat memaksa. Namun ia berkata, “Terserah kepadamu. Tetapi sementara ini, aku pun menyusun kekuatanku. Jika kau mencari dukungan kekuatan pada segi pemerintahan, aku berhubungan dengan padepokan-padepokan yang tersebar di seluruh daerah Singasari.”

“Bagus sekali. Pada suatu saat kekuatan kita akan bergabung. Namun sementara ini, biarlah kita bekerja sendiri-sendiri. Mungkin hasilnya akan menjadi jauh lebih baik dari pada jika kita mulai sekarang sudah saling memperhitungkan kekuatan di antara kita.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Namun katanya, “Tetapi aku hampir tidak telaten mengikuti caramu. Mungkin kau meletakkan batas keberhasilanmu pada anakmu.”

Linggapati tertawa. Dipandanginya Empu Baladatu sejenak. Lalu jawabnya, “Tepat Empu. Bahkan aku tidak membatasi keberhasilan pada keturunan pertama. Mungkin kedua atau ketiga. Jika mungkin aku berhasil dalam segi penguasaan lahiriah. Namun masih diperlukan waktu untuk menguasai Singasari keseluruhan dalam arti mutlak. Lahir dan batinnya. Kekuasaan pemerintahannya dan penguasaan jiwanya.”

Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. la sama sekali tidak mempunyai cara untuk mendesakuya. Bahkan seakan-akan ia sudah diharapkan pada suatu sikap, bahwa Linggapati akan terjalan sendiri. Jika Empu Baladatu ingin mengikutnya di belakang, maka Linggapati tidak berkeberatan. Tetapi ia sama sekali tidak memberi kesempatan kepada Empu Baladatu untuk berjalan bersama di sisinya.

Tetapi Empu Baladatu bukannya orang lemah hati. Justru karena itu, maka telah bangkit semacam janji di dalam hatinya, “Jika aku dapat menunjukkan kekuatan, maka Linggapati tidak akan dapat menganggap aku sekedar sebagai seorang yang tidak berdaya, sekedar ingin menumpang mukti pada usahanya yang besar. Aku harus menunjukkan kepadanya, bahwa aku adalah Empu Baladatu yang Agung dan dihormati.”

Namun Empu Baladatu tidak mendesak lagi. Bahkan ketika kemudian Linggapati berbicara tentang hal yang lain, ia pun menanggapinya. Ia tidak ingin dianggap seolah-olah dengan merintih mohon dibelas kasihani.

“Aku harus tidak mengacuhkannya lagi, apa saja yang dilakukan oleh Linggapati, seperti Linggapati tidak mengacuhkan aku lagi” berkata Empu Baladatu di dalam hatinya.

Sebenarnyalah karena Empu Baladatu tidak mendesak sama sekali, Linggapati pun justru mulai membuat pertimbangan tersendiri. Ia mengharap Empu Baladatu dengan gelisah mendesaknya dan memaksanya untuk mengatakan sesuatu. Sementara ia harus tetap bertahan sambil tersenyum. Namun Linggapati pun mencoba untuk tidak menghiraukannya. Dicobanya untuk seakan-akan tidak ada sesuatu di dalam hatinya, berbicara tentang bermacam-macam hal yang tidak ada hubungannya dengan kunjungan Empu Baladatu.

“Kedatanganku sama sekali tidak ada artinya” berkata Empu Baladatu di dalam hati. Tetapi ia bertekad untuk melanjutkan perjalanannya menemui beherapa orang yang di kenalnya. Tanpa menghiraukan lagi, apakah ia seorang penjahat atau bukan.

Empu Baladatu yang sudah terlanjur menyatakan untuk bermalam itu pun benar-benar telah bermalam di rumah itu, meski pun ia terpaksa tidak dapat melepaskan diri dari kesiagaan. Dengan curiga ia memeriksa biliknya, pintunya dan setiap sudutnya. Dengan hati-hati pula ia memasang selarak dan memperhatikan apakah selarak itu benar-benar dapat menanahan pintu itu jika dibuka dari luar.

Ketika, ia yakin bahwa tidak ada yang mencurigakan, ia pun kemudian meneliti pembaringannya. Sambil menarik nafas dalam-dalam, Empu Baladatu pun kemudian membaringkan diri. Tetapi senjatanya tidak juga terpisah dari sisinya. Empu Baladatu bermalam tidak lebih dari semalam. Ia pun minta diri kepada Linggapati, ketika matahari mulai terbit

“Sepagi ini Empu?” bertanya Linggapati.

“Ya. Aku tidak boleh terlalu lama berada di sini.”

“Kenapa?” bertanya Linggapati.

“Aku membuat kau sibuk. Semalam kau harus kembali kepersembunyianmu. Pagi-pagi ini kau harus datang lagi karena kau mempunyai seorang tamu di sini“

Linggapati tertawa. Jawabnya, “Itu sudah menjadi kewajibanku. Sebenarnya aku dapat saja tidur di sini tanpa rasa takut dan cemas, justru di sini ada Empu Baladatu. Tidak ada orang yang akan dapat menggangguku karena aku mempunyai seorang kawan yang dapat dipercaya.”

Empu Baladatu tertawa. Jawabnya, “Ceritera yang menarik. Tetapi ternyata bahwa kau tidak ada di rumah ini semalam.”

“Ya. Dan bukankah Empu dapat tidur nyenyak.”

“Ya. Meskipun aku harus tetap berhati-hati, jika pada suatu saat ada orang yang salah duga. Orang yang sebenarnya mencarimu, tetapi menemukan aku di sini.”

Linggapati tertawa. Katanya kemudian, “Sebenarnya aku berharap Empu lebih lama berada di rumah ini.”

Suatu permintaan yang menyenangkan meskipun sekedar memenuhi kelajiman. “Maaf, aku harus meneruskan perjalanan.”

Linggapati tidak menahan Empu baladatu lebih lama. Ia tahu bahwa Empu Baladatu telah menjadi kecewa. Tetapi ia tidak tahu pasti, apakah yang sebenarnya tersimpan di dalam hatinya. Nampaknya Empu Baladatu tidak mengacuhkannya lagi. Tidak mengacuhkan persiapan-persiapan yang telah dilakukan.

“Apakah ia yakin pula akan kekuatannya.” pertanyaan itu pun mulai mengganggu Linggapati.

Maka dalam pada itu, Linggapati pun mulai berpikir untuk mengetahui kekuatan Empu Baladatu yang sebenarnya sebelum ia memperhitungkan langkah selanjutnya. Tetapi Linggapati memang tidak tergesa-gesa. Ia memperhitungkan semua langkahnya dengan hati-hati dan hati yang jernih. Kematian adiknya merupakan pelajaran yang sangat berharga baginya dan suatu noda hitam bagi perjuangannya yang panjang.

Sementara itu Empu Baladatu mulai perjalanannya yang panjang mengunjungi beberapa orang yang dikenalnya dalam dunia perguruan. Orang-orang yang tinggal di padepokan terpencil dan seakan-akan telah menyediakan hidupnya bagi ilmu yang dibinanya. Ilmu yang dianggap memiliki kemampuan yang dapat merubah tataran hidup manusia menghadapi alam di sekitarnya, dan menghadapi manusia sendiri.

Bagi mereka, ilmu kanuragan adalah segala-galanya. Mula-mula Empu Baladatu agak bimbang, kemana ia harus pergi lebih dahulu. Namun kemudian ia memutuskan untuk pergi ke tempat yang jauh, pergi ke ujung sebelah Timur dari tanah ini. Empu Baladatu mempunyai seorang kawan yang dikenalnya dengan baik di saat-saat lampaunya. Meskipun Empu Baladatu tidak mengetahui dengan pasti, apa yang dilakukannya di saat terakhir, tetapi ia masih mempunyai harapan bahwa kedatangannya akan disambut baik. Namun sekilas terbayang, tingkah laku kakaknya yang sama sekali tidak dapat diharapkannya.

“Tetapi Ajar Srenti tentu bersikap lain. Ia seorang yang sangat baik kepadaku. Memiliki kemampuan yang. tidak kalah dengan kakang Empu Sanggadaru dan sudah tentu memiliki jumlah murid dan pengikut yang cukup banyak.” berkata Empu Baladatu kepada diri sendiri. Lalu, “Apalagi letak padepokannya yang jauh, memungkinkan untuk bergerak lebih leluasa, sehingga pada saatnya tentu akan mengejutkan Mahibit dan Singasari.”

Empu Baladatu pun kemudian memacu kudanya. Perjalanannya cukup panjang. Tetapi sebagai seorang yang sudah terlalu sering merantau maka ia sama sekali tidak merasa canggung. Apalagi ia cukup membawa bekal bagi perjalanannya. Meskipun bekalnya itu berasal dari usahanya yang mempergunakan cara-cara yang kurang baik.

“Setelah Ajar Srenti aku akan singgah di padepokan Empu Driyasana. Orang kasar itu tentu senang sekali mengalami peristiwa-peristiwa yang dapat memanaskan darahnya. Dan salah satu usaha yang akan dapat memberikan harapan bagi masa depan sekaligus dapat mendidihkan darah adalah menyingkirkan kedua anak muda yang menguasai tahta sekarang ini.”

Demikianlah, Empu Baladatu sudah menyusun beberapa orang yang sudah dikenalnya dalam urutan kunjungannya. Memang mungkin satu dua di antara mereka akan menolak. Teapi sebagian besar tentu akan sependapat. Ia dapat menyusun kalimat yang mungkin akan dapat menyentuh hati, sekaligus menghadapkan mereka kepada Mahibit yang sudah bersiap-siap lebih dahulu.

"Linggapati tentu akan merasa wajib untuk memperhatikan kegiatanku di hari-hari mendatang. Ialah yang akan datang kepadaku dan minta untuk membuat imbangan kekuatan sebelum bersama-sama menghancurkan Singasari. Tetapi jika ia tetap keras kepala, maka aku tidak akan bekerja bersama dengan orang-orang Mahibit. Bahkan jika perlu, Mahibit harus dibersihkan lebih dahulu sebelum Singasari.”

Namun Empu Baladatu kemudian menundukkan kepalanya. Ia tidak dapat ingkar akan kekuatan Mahibit yang masih di selubungi oleh rahasia itu. Dalam suatu saat, Mahibit dapat mengirimkan sejumlah orang kepadanya, meskipun nampaknya di padepokan Linggapati tidak terdapat seorang pun. Apalagi kini, pengaruhnya di kalangan para pemimpin di daerah di sekitarnya menjadi semakin maju.

Namun dalam pada itu, semua tingkah laku dari kedua golongan itu tidak lepas dari pengawasan para petugas sandi dari Singasari. Meskipun kadang-kadang mereka kehilangan jejak pemimpin-pemimpinnya, tetapi setiap perkembangan dapat mereka ikuti sebaik-baiknya. Tetapi agaknya kepergian Empu Baladatu yang hanya seorang diri itu dapat lolos dari pengawasan para petugas sandi di sekitar padepokannya, sehingga para petugas itu tidak membuat perhitungan kemana perginya, dan memberitahukan lebih dahulu kedaerah yang akan dituju. Itulah sebabnya, maka ia dapat pergi ke ujung Timur tanah ini tanpa pengawasan, sedangkan para petugas sandi sama sekali tidak menduganya.

Perjalanan Empu Baladatu merupakan perjalanan yang cukup makan waktu. Tetapi ia tidak peduli. Ia ingin bertemu dengan kawannya di paling ujung. Kemudian di perjalanan kembali ia akan singgah pula di beberapa orang yang dikenalnya dengan baik tetapi yang sudah agak lama tidak bertemu.

“Mudahkan perjalananku tidak sia-sia seperti kedatanganku di Mahibit” berkata Empu Baladatu kepada diri sendiri.

Tanpa canggung sama sekali ia bermalam di sepanjang perjalanannya dimanapun juga. Ditengah hutan, di ujung bulak, atau di lapangan rumput sekalipun. Akhirnya Empu Baladatu pun mulai mendekati daerah ujung Timur yang masih lebih tipis penghuninya dari daerah di sekitar Kota Raja. Padukuhannya tersebar agak jauh dan penghuninya nampak lebih jarang. Namun demikian, karena daerah itu sangat luas, maka sekelompok lingkungan meliputi daerah yang luas pula.

Demikian pula padepokan yang dihuni oleh Ajar Srenti. Meskipun padepokan itu agak terpisah dari padukuhan yang tersebar agak jauh, namun pengaruhnya pun meliputi putaran yang jauh pula, sehingga jumlah orang yang berada di bawah pengaruhnya pun cukup banyak. Empu Baladatu yang sudah sering merantau sejak usia mudanya, seolah-olah mempunyai ingatan pengenalan yang sangar tajam, sehingga ia tidak akan melupakan apa yang pernah dilihatnya walaupun hanya sekali dan sudah terjadi di saat yang lama sekali.

Demikian pula Empu Baladatu tidak melupakan jalur jalan menuju kepadepokan Ajar Srenti. Meskipun setiap kali ia harus mengingat-ingat, namun pepohonan hutan yang masih belum pernah disentuh tangan, masih dapat dikenalnya dengan baik sehingga ia dapat menemukan jalan sempit menuju kepadepokan yang dicarinya.

Dengan demikian, perjalanan Empu Baladatu itu merupakan permulaan dari goncangan yang akan terasa di beberapa tempat yang dikunjunginya kemudian. Ia mulai menyebarkan racun yang akan menggoncang ketenangan dan keteguhan pemerintahan yang dipimpin oleh kedua anak-anak muda yang seakan-akan lahir dibekali oleh kebijaksanaan dari kandungan.

Kedatangan Empu Baladatu di padepokan Ajar Srenti benar-benar telah mengejutkannya. Hampir di luar dugaan, bahwa Empu Baladatu akan berkunjung di padepokan yang terpencil di tempat yang jauh itu. Karena itulah, maka dengan tergesa-gesa Ajar Srenti sendiri menyambut kedatangan Empu Baladatu. Seorang cantriknya berlari-lari menerima kendali kudanya dan mengikatnya di halaman.

“Bukankah yang datang Empu Baladatu?” bertanya Ajar Srenti dengan nada suaranya yang tinggi.

Empu Baladatu tersenyum. Yang berdiri di hadapannya adalah seorang yang bertubuh tinggi, tidak terlalu besar dan mulai ditumbuhi oleh rambut yang keputih-putihan di kepalanya. “Apakah kau tidak dapat mengenal aku lagi dengan baik?” bertanya Empu Baladatu.

“Tentu aku masih mengenalmu meskipun ada perubahan yang mulai membayang di wajahmu. Kau mulai meningkat menjadi tua seperti aku.”

“Ya. Dan setiap orang akan mengalaminya“

Ajar Srenti tertawa. Katanya kemudian, “Marilah. Kedatanganmu tidak terduga-duga. Jika sehari ini burung prenjak berkicau di sisi kanan pendapa padepokanku, aku sama sekali tidak teringat kepadamu. Aku kira, aku akan menerima tamu orang lain. Tetapi ternyata yang datang adalah sahabat lama yang berasal dari tempat yang jauh sekali.”

Kedunya pun kemudian segera naik kependapa. Mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing selama mereka tidak bertemu. Agaknya Empu Baladatu cukup bersabar untuk tidak segera menyampaikan niat kedatangannya. Ia masih harus mengamati, apakah kira-kira Ajar Srenti dapat mengerti maksudnya, atau justru bersikap lain sama sekali

Ajar Srenti yang tidak tahu tentang maksud kunjungan Empu Baladatu itu pun sebenarnya bertanya-tanya pula di dalam hati. Ia sudah menduga bahwa tentu ada maksud yang penting Karena Empu Baladatu yang berasal dari jauh itu, telah memerlukan menempuh perjalanan yang. panjang unruk menjumpainya. Tetapi Ajar Srenti tidak menanyakannya, ia menunggu saja sampai saatnya Empu Baladatu mengatakan maksudnya.

Di hari yang pertama Empu Baladatu berada di padepokan Ajar Srenti, ia sama sekali tidak menyinggung-nyinggung kepentingannya. Ia masih dapat menahan diri untuk berbincang tentang beberapa soal yang menyangkut perkembangan padepokan terpencil itu.

“Jadi sudah berapa tahun kau berada di sini “ bertanya Empu Baladatu, “bukankah saat aku datang kemari lima tahun yang lalu, kau baru membuka padepokan ini?”

Ajar Srenti mengerutkan keningnya. Sementara Empu Baladatu berkata selanjutnya, “Maksudku, bahwa lima tahun yang lalu, kau berhasil mendesak pengaruh orang yang menguasai padepokan ini.”

Ajar Srenti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sudahlah. Jangan kau sebut-sebut yang telah lampau. Kadang-kadang aku jadi ragu-ragu, apakah aku akan dapat menerima kenangan itu sebagai masa lampauku“

“O, kenapa tidak? Kau sekarang telah berhasil membangun padepokan ini menjadi jauh lebih baik dari masa-masa yang lampau, apalagi sebelum kau berada di tempat ini.”

“Ya.”

“Sejak kau mulai memanjat ke jenjang keberhasilanmu sekarang, maka yang lampau itu akan selalu menjadi pendorong bagimu. Tidak semua orang yang tersisih selalu akan hidup dalam keterasingan.” Empu Baladatu berhenti sejenak, lalu, “kau dapat berbangga, bahwa kau, seorang buruan yang akan mengalami hukuman pancung, berhasil sampai di suatu tempat yang jauh dan memegang pengaruh sebesar pengaruh mu sekarang“

“Ah” desis Ajar Srenti, “apakah kenangan itu merupakan kenangan yang baik? Lima tahun yang lalu, ketika kau datang ketempat ini, kau masih meragukan, bahwa pada suatu saat aku akan kambuh lagi dan hidup seperti masa lalu itu. Namun aku berusaha untuk menghindar dari keadaan itu meskipun aku bukan orang yang benar-benar dapat menjadi orang yang bersih sama sekali.”

Empu Baladatu tertawa. Katanya, “Aku keliru. Waktu lima tahun banyak membawa perubahan. Tetapi tidak dengan prajurit-prajurit Singasari. Mereka akan selalu mengingatmu sebagai seorang buruan. Kejahatan yang kau lakukan, mungkin tidak akan terlalu nampak jelas jika itu justru terjadi di Kota Raja Tetapi di tempat lain, justru nampak terlampau besar.”

Ajar Srenti mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah Empu Baladatu dengan tajamnya. Dengan nada yang, dalam ia bertanya, “Apakah maksudmu sebenarnya Empu?“

Empu Baladatu tertawa. Katanya, “Tidak apa-apa. Aku hanya akan mengagumimu. Sekarang kedudukanmu menjadi kuat dan orang-orang Singasari tidak akan berani dengan begitu saja datang memburumu di tempat ini.”

“Katakan. Kau tentu mempunyai maksud tertentu. Kau mengenal aku sebagai seorang buruan yang seharusnya menjalani hukuman pancung karena aku telah membunuh suami isteri terkutuk, yang kebetulan adalah keluarga seorang bangsawan. Apakah kau sekarang menjadi seorang petugas sandi yang dengan sengaja datang untuk menangkapku? Kenapa tidak kau lakukan lima tahun yang lalu, ketika kau datang ke tempat ini,dan kedudukanku belum sekuat sekarang?”

“Ah, jangan salah sangka. Apakah tampangku sekarang seperti tampang seorang prajurit?” Empu Baladatu memotong, “sebenarnyalah bahwa aku kini mengalami nasib yang sama seperti yang kau alami. Aku pun seorang buruan, karena aku telah melakukan kejahatan. Aku telah bertengkar dengan kakak kandungku. Teapi dalam pertengkaran itu terlibat anak buahku dan cantrik kakang Sanggadaru. Tetapi prajurit Singasari tidak adil. Akulah yang dianggapnya bersalah, dan akulah yang kemudian menjadi seorang buruan.”

Ajar Srenti memandangnya dengan curiga. “Apakah kau tidak percaya?” bertanya Empu Baladatu.

“Aku tidak tahu” jawab Ajar Srenti, “apakah aku harus mempercayaimu atau tidak.”

Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku minta kau percaya. Aku sudah berjalan sangat jauh.”

“Kau akan bersembunyi di sini?”

“Tidak. Aku tidak sedang bersembunyi.”

“Jadi, kenapa kau datang kepadepokanku yang sangat jauh ini?”

“Aku akan membalas dendam. Aku akan menghancurkan prajurit Singasari“

Ajar Srenti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mana mungkin hal itu dapat dilakukan. Singasari mempunyai pasukan yang kuat. Bukan saja di kota Raja, tetapi di setiap tempat, prajurit Singasari selalu dapat menguasai keadaan“

“Mungkin jika aku berdiri sendiri. Kau berdiri sendiri. Kebo Ranu berdiri sendiri. Dan yang lain-lain berdiri sendiri“

“Maksudmu?”

“Kita dapat bergabung dalam satu kekuatan. Kita akan dapat melepaskan diri dari himpitan perasaan, bahwa kita adalah orang buruan“

Ajar Srenti termangu-mangu sejenak Namun katanya kemudian, “Apakah aku sekarang di sini masih harus juga merasa diriku orang buruan?”

“Mungkin dalam saat-saat seperti ini kau dapat melupakan bahwa kau adalah orang buruan. Tetapi pada suatu saat kau akan merasa bahwa kau memang seorang yang masih di cari“

Ajar Srenti memandang Empu Baladatu dengan tajamnya. Lalu katanya, “Kau ingin melibatkan aku ke dalam persoalanmu?”

Empu Baladatu mengerutkan, keningnya. Namun ia pun kemudian tertawa, “Kau berprasangka. Tetapi baiklah. Aku memang harus mengakui bahwa aku ingin melibatkan bukan saja kau. Tetapi juga orang-orang lain yang mempunyai kedudukan yang sulit seperti aku. Bahkan mereka yang tidak pun akan aku coba untuk mengajak mereka menumbangkan pemerintahan Singasari yang sekarang dengan segala macam cara.”

“Kenapa kau berkeinginan untuk menumbangkan kekuasaan kedua anak-anak muda itu Empu?” bertanya Ajar Srenti.

“Keduanya sama sekali tidak dapat menempatkan diri dalam kedudukannya. Apakah kau merasakan keadilan itu?”

Ajar Srenti tiba-tiba saja tersenyum. Katanya, “Memang aneh. Kadang-kadang kita didorong oleh suatu keinginan tanpa menghiraukan pengamatan kita atas keadaan di sekeliling kita. Aku menyadari bahwa kau merasa terancam karena kau orang buruan seperti aku. Itulah yang benar.”

“Kau menanggap begitu?”

”Ya. Tetapi aku juga tidak menutup kemungkinan, bahwa kadang-kadang kita diterbangkan oleh angan-angan yang melambung. Seperti angan-anganmu untuk mengalahkan Singasari “

“Sikapmu asing bagiku.”

Ajar Srenti menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Katakan saja bahwa kau telah didera oleh suatu keinginan untuk mendesak kamukten Kerajaan Singasari sekarang. Suatu keinginan yang sebenarnya gila. Aku tidak dapat membayangkan jalan pikiranmu, bahwa pada suatu saat kau ingin menjadi raja di Singasari.”

“Sama sekali bukan sesuatu yang mustahil. Sri Rajasa adalah seorang Akuwu Tumapel sebelum ia menjadi seorang Maharaja. Dan ia seorang petualang dan bahkan seorang buruan sebelum ia menjadi seorang Akuwu.”

“Mimpimu terlalu buram. Kau kira bahwa semuanya itu terjadi dengan sendirinya? Ken Arok adalah keturunan Dewa Brahma, Itulah soalnya.”

Empu Baladatu tertawa. Jawabnya, “Kau percaya bahwa Ken Arok itu putera Dewa Brahma yang mencegat ibunya saat ia pergi kesawah menyusul suaminya?”

Ajar Srenti ragu-ragu. Empu Baladatu masih tertawa. Ia memandang Ajar Srenti yang termangu-mangu. Katanya kemudian, “Sudahlah. Jangan kau pikirkan lagi Ken Arok. Aku hanya memberikan sekedar bandingan, bahwa kita pun akan dapat menjadi seorang, Maharaja jika kita menginginkannya.”

Tetapi Ajar Srenti masih menggeleng, “Bukan sekedar menginginkannya. Tetapi masih banyak persoalan-persoalan yang diselesaikan.”

“Kita sedang mencari jalan untuk menyelesaikan persoalan itu“

Ajar Srenti termangu-mangu.

“Aku tidak tergesa-gesa. Pikirkanlah. Selama itu aku akan tinggal di padepokanmu. Setiap pagi aku dapat melihat pantai di ujung Timur. Melihat matahari terbit di atas gelombang yang lembut.”

Ajar Srenti tidak menjawab. Seperti yang dikatakannya, maka Empu Baladatu pun tinggal untuk beberapa hari di padepokan Ajar Srenti. Hampir setiap hari ia mempersoalkan Singasari meskipun ia selalu menjaga agar kata-katanya justru tidak menjemukan. Dengan demikian, maka seolah-olah Empu Baladatu dapat memberikan keyakinan bahwa usahanya bukannya usaha yang mustahil. Perjuangan yang panjang akan dapat memberikan hasil yang diharapkan.

“Empu” berkata Ajar Srenti akhirnya,, “ceriteramu dapat mempengaruhi aku. Juga ancaman-ancamanmu bahwa pada suatu saat padepokan ini tentu dikepung dan dihancurkan oleh prajurit-prajurit Singasari, meskipun aku curiga bahwa kaulah yang akan menyampaikan keterangan tentang aku kepada mereka.”

“Ah. Aku tidak gila” jawab Empu Baladatu, “tentu aku tidak akan melakukannya meskipun seandainya kau tidak sependapat dengan aku dalam hal perjuangan ini“

“Ya. Mungkin tidak. Tetapi baiklah aku mempersiapkan diri. Pengaruhku cukup luas di daerah terpencil ini. Aku dapat mengadakan persiapan-persiapan yang matang. Sementara aku mulai bermimpi untuk menjadi seorang Akuwu di daerah ini. atau bahkan menjadi seorang raja yang berkuasa di daerah Timur. Meskipun sebenarnya aku akan menjadi segan untuk memanggilmu Sri Maharaja di Singasari.”

Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tertawa, “Bukan kedudukan sebagai seorang Maharaja yang terpenting bagiku. Tetapi pemerintahan Singasari yang berwajah lain dari sekarang.”

“Yang prajurit-prajuritnya semuanya memiliki ilmu yang bersumber pada kekuatan hitam seperti orang-orang di padepokanmu yang kini jumlahnya tentu menjadi semakin bertambah-tambah.”

Empu Baladatu tersenyum. Jawabnya, “Terima kasih Tetapi kelak akan terbukti bahwa aku tidak sebodoh yang kau sangka. Juga bukan seorang yang sekedar didorong oleh ketamakan dan kekerdilan sikap.”

“Baiklah Empu. Aku akan membantumu. Aku akan mempersiapkan padepokan ini. Namun kelanjutannya, aku akan menunggu semua pesan-pesanmu.”

Ternyata bahwa perjalanan Empu Baladatu yang jauh itu tidak sia-sia. Setelah Empu Baladatu yakin bahwa Ajar Srenti tidak sekedar berpura-pura, maka Empu Baladatu pun merasa bahwa yang dicarinya di tempat itu sudah didapatkannya. Karena itulah, maka ia pun minta diri untuk melanjutkan perjalanannya, menemui kawan-kawannya yang lain.

Dari ujung sebelah Timur, Empu Baladatu merambat ke Barat. Satu-satu kawan-kawannya dihubunginya. Namun tidak semuanya memberikan hasil seperti yang diharapkan. Meskipun demikian, Empu Baladatu menilai bahwa perjalanannya bukan berarti tidak berhasil. Beberapa orang kawan kawannya menyatakan bersedia bekerja bersamanya, meskipun sebagian dari mereka adalah orang-orang yang berdunia hitam seperti Empu Baladatu.

“Pada suatu saat aku akan mengirimkan orang-orangku serentak kepada mereka yang dapat mengerti perjuanganku” berkata Empu Baladatu, “kita bersama-sama di tempat kita masing-masing akan mengadakan suatu gerakan serentak. Dengan demikian maka Singasari akan merasa bahwa seluruh negeri telah menjadi goyah. Jika di mana-mana terjadi kekacauan, maka orang-orang Singasari akan merasa memerlukan perlindungan. Singasari tentu tidak akan mempunyai orang yang cukup untuk mengatasi semua goncangan sekaligus. Selama itu kita dapat mempermainkan mereka dengan gerakan yang berpindah-pindah."

“Kami menunggu rencanamu” hampir semuanya menyerahkan persolannya kepada Empu Baladatu

Dengan bangga maka Empu Baladatu pun kemudian menempuh perjalanan kembali. Ia tidak dapat menahan keinginannya untuk menyombongkan diri kepada Linggapati, bahwa sebenarnyalah ia sudah memiliki kekuatan yang seimbang, bahkan melampaui kekuatan Linggapati. Dengan cara yang sama pada saat ia berangkat, maka ia pun berhasil menjumpai orang Mahibit itu. Dan seperti saat ia berangkat, maka ia pun mendapat tempat yang sama.

“Menarik sekali” berkata Linggapati ketika Empu Baladatu bahwa perjalanannya membuat hubungan dengan kawan-kawannya telah berhasil tanpa menyebutkan siapa saja yang pernah di hubunginya, “pada saatnya kita akan dapat bergerak hersama-sama.”

Empu Baladatu tersenyum. Katanya, “Aku sedang mempersiapkan diri. Aku berharap bahwa kau menyesuaikan diri dengan perkembangan sikapku.”

Linggapati mengerutkan keningnya. Bahkan wajahnya kemudian menjadi tegang. Dengan nada datar ia bertanya, “Jadi maksudmu, kau menentukan segala-galanya, dan aku harus menyesuaikan semua rencana dan kegiatanku?"

“Ya. Karena kekuatankulah yang akan menentukan masa depan Singasari.”

Linggapati kemudian justru tertawa. Katanya, “Menggelikan sekali. Empu memang pandai bergurau, sehingga Empu telah bergurau dengan rencana Empu sendiri.”

“Aku berkata sesungguhnya. Bahwa akulah yang kelak akan menentukan segala-galanya.”

“Jadi Empu yakin sekali?”

“Tentu. Aku yakin sekali.”

Linggapati pun tertawa pula. Semakin keras. Katanya, “Baiklah Empu. Kita akan melihat, siapakah sebenarnya yang berkuasa untuk menentukan masa depan. Mungkin Empu Baladatu. Tetapi mungkin juga aku. Meskipun demikian, baiklah sekarang kita tidak usah mempersoalkannya lebih dahulu. Biarlah perkembangan keadaan nanti membuktikan, siapakah yang akan berkuasa kelak. Namun bukankah kita tidak melupakan bahwa kita akan bekerja bersama?”

Empu Baladalu mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya. Kita akan bekerja bersama. Aku hanya sekedar memberikan gambaran, kekuatan tersebar dari ujung sampai keujung.”

“Ujung jangkauanmu. Bukankah begitu Empu?"

Empu Baladatu mengerutkan keningnya- Tetapi kemudian ia menjawab, “Begitulah setidak-tidaknya. Tetapi yang paling baik bagi kita, seperti yang kau katakan, kita akan melihat perkembangan keadaan“

“Ya.” Sahut Linggapati, “agaknya Empu memang harus melihat keadaan. Bukan saja keadaan di dalam lingkungan Singasari sendiri. Tetapi juga hubungan Singasari dengan kekuatan-kekuatan di sekitarnya“

“Maksudmu?”

“Kau sangka bahwa yang akan kita hadapi hanyalah sekedar kekuatan Singasari?”

“Jadi apa?”

“Kita harus memperhitungkan perkembangan hubungan Singasari dengan dunia di luar kita. Kita harus mulai melihat kenyataan, bahwa kita pernah melihat sebuah kapal yang tidak kita kenal merapat di pesisir.”

“Kau melihat?”

“Aku sendiri tidak. Tetapi aku pernah mendengar berita dari orang yang melihatnya dan orang yang dapat aku percaya. Di lain kesempatan, kapal yang lain telah berlabuh. Sementara beberapa orang raja yang termasuk kekuasaan Singasari telah mulai berhubungan dengan dunia luar, maka Kediri pun sudah berbenah pula.”

“Kediri? Apakah Kediri masih mempunyai kekuatan untuk bangkit?”

“Itulah kelemahanmu. Kau hanya melihat dirimu sendiri dan aku. Tetapi seharusnya kau melihat segala-galanya. Kediri agaknya mempunyai perhitungan yang sama dengan kita. Mereka tidak akan bertindak tergesa-gesa. Tetapi Kediri akan menunggu satu dua keturunan lagi.”

“Persetan. Kau hanya mencoba menakut-nakuti aku.”

Linggapati tersenyum. Jawabnya, “Sebenarnya aku sama sekali tidak ingin menakut-nakuti. Tetapi ketahuilah, bahwa jalan pikiranmu memang terlalu sempit. Kau tidak memperhatikan apapun juga kecuali nafsumu untuk merebut kekuasaan di Singasari. Seandainya kau berhasil, maka yang akan kau capai bukannya apa-apa. Tetapi sekedar saling berbunuhan di antara kita, karena kekuasaanmu sebentar lagi tentu akan segera pudar. Apakah itu karena bangkitnya Kediri, atau bangkitnya kekuasaan di pesisir dan hadirnya orang asing, atau karena kekuatanmu yang kau hentakkan sekaligus untuk merebut Kota Raja telah menjadi rapuh, sementara pengaruhmu sama sekali tidak berakar.”

Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia berkata, “Pikiranmu terlampau berbelit-belit. Itulah agaknya kau bergerak terlalu lambat. Kau memperhitungkan hal-hal yang tidak akan terjadi. Kemungkinan-kemungkinan yang kecil sekali telah kau lihat berlipat kali besarnya. Namun semuanya itu hanya sekedar menunjukkan kekerdilanmu.”

Linggapati menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, “Kau memang seorang yang berani. Berilmu dan mempunyai kekuatan yang besar. Tetapi kau adalah orang yang picik. Hubungan kenegaraan bukannya sekedar hubungan kekuatan antara dua belah pihak di sekitar Kota Raja.”

“Kekuatanku tersebar di seluruh Singasari. Aku mengerti bahwa Kota Raja tidak menentukan segala-galanya.

“Bagus. Tetapi huhungan Singasari dengan lingkungan pemerintahan di bawahnya. Raja-raja yang berada di bawah pengaruhnya dan hubungan Singasari dengan kekuatan di luar lingkungannya.”

“Aku tidak peduli. Aku sudah mempunyai gambaran tersendiri tentang Singasari dan kekuatannya di daerah-daerah terpencil. Aku akan menguasainya dan menggoncangkannya sehingga pada suatu saat, kekuasaan itu akan roboh. Jika kau tidak berusaha menyesuaikan diri, maka kau pun akan tergilas oleh kekuasaan baru yang akan tumbuh di atas negeri ini. Demikian juga Kediri dan raja-raja kecil yang tersebar di daerah-daerah kecil pula sampai pada kekuasaan para Akuwu.”

“Mimpimu indah sekali, seperti mimpi seorang anak muda di malam purnama.”

“Persetan.”

Linggapati mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tertawa sambil berkata, “Kau bukan seorang pemimpin pemerintahan. Tetapi kau adalah seorang pemimpin sekelompok orang yang haus akan darah dan kekuasaan,“

“Apapun yang kau sebut bagiku, aku tidak akan ingkar. Tetapi lihatlah, jika kau tidak berusaha menyesuaikan dirimu, maka kau akan tergilas oleh kekuasaanku kelak.”

Linggapati tertawa semakin keras. Katanya, “Baiklah Empu. Aku akan berusaha untuk menyesuaikan diri.”

Jawaban itu benar-benar telah membingungkan Empu Baladatu. Namun, ia tidak bertanya lebih banyak. Ia mengerti, meskipun kurang pasti, bahwa Linggapati adalah orang yang licik. Orang yang dapat mengatakan apa saja yang sama sekali tidak sesuai dengan kehendaknya yang sebenarnya, bahkan bertentangan dengan yang sebenarnya akan dilakukannya.

Senyum dan tertawanya bagi Empu Baladatu mengandung seribu macam arti. Kadang-kadang memberikan harapan, namun kadang-kadang terasa mencekik lehernya sehingga nafasnya bagaikan tersumbat. Bahkan kadang-kadang dirasakannya bagaikan tusukan racun ular yang paling berbahaya.

Karena itulah, Empu Baladatu menjadi sangat sulit untuk menilai Linggapati dan kekuatan Mahibit yang sebenarnya. Namun demikian, ia sudah berketetapan hati untuk melangkah terus, apapun yang akan dilakukan oleh Linggapati.

Setelah bermalam lagi semalam di tempat itu, maka Empu Baladatu pun kemudian minta diri untnk kembali kepadepokannya. Ia harus segera mulai menyusun diri. Bukan ia yang harus menyesuaikan diri dengan rencana Linggapati, tetapi Linggapati lah yang harus menyesuaikan diri dengan rencananya.

Di perjalanan kembali, Empu Baladatu selalu mencoba melihat apakah yang sebaiknya dilakukan. Baginya, Empu Sanggadaru masih tetap merupakan duri di dalam daging. Apalagi ternyata bahwa orang-orang dari padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang telah berada di bawah pengaruh Empu Sanggadaru dan prajurit dari Singasari-

“Mereka sudah mendapatkan latihan-latihan yang nampaknya semakin lama akan menjadi semakin baik” berkata Empu Baladatu kepada diri sendiri. Namun kemudian terbayang kekuatan yang tersebar yang sudah berjanji untuk ikut serta membantunya jika saatnya sudah tiba.

Ternyata bahwa Empu Baladatu tidak puas dengan perjalanannya yang searah. Ia masih ingin melanjutkan perjalanannya ke arah yang lain untuk menghubungi beberapa nama yang sudah dikenalnya, untuk meyakinkan dirinya sendiri, bahwa kedudukannya semakin bertambah kuat.

Sepeninggal Empu Baladatu, Linggapati pun mempunyai rencananya sendiri. Seperti yang dikatkannya, maka sambil tersenyum ia bergumam kepada diri sendiri, “Aku memang harus menyesuaikan diri“

Linggapati benar-benar berusaha untuk menyesuaikan diri. Ia justru mengambil keuntungan dengan tingkah laku Empu Baladatu. Setelah membicarakannya dengan beberapa orang pemimpin pasukannya, maka Linggapati mengambil kesimpulan untuk menyampaikan rencana Empu Baladatu kepada semua pengikutnya. Tetapi bunyi pesan Linggapati ternyata berbeda sekali dengan tanggapan Empu Baladatu, atas kesediaan Linggapati untuk menyesuaikan diri.

Linggapati ternyata telah memberikan pesan kepada semua pengikutnya di beberapa tempat yang berpencar agar mereka justru berdiam diri menghadapi pergolakan keadaan yang mungkin akan ditimbulkan oleb Empu Baladatu. Bahkan Linggapati memberikan perintah kepada semua pengikutnya agar mereka melaporkan kepada prajurit Singasari atau para Akuwu dan pemimpin pemerintahan yang ada.

Dengan demikian maka akan terjadi benturan-benturan kekerasan antara kekuatan yang berpihak kepada Empu Baladatu dan kekuatan Singasari, sehingga keduanya akan mengalami susutnya kekuatan. Selebihnya, Singasari tidak akan mencurigainya bergerak lagi sepeninggal adiknya jika yang nampak oleh mereka adalah kekuatan Empu Baladatu.

Pesan Linggapati itu tersebar sejalan dengan pesan Empu Baladatu yang isinya justru berlawanan. Empu Baladatu berpesan agar orang-orang yang sudah bersedia membantunya segera menyiapkan kekuatan. Mereka harus menghimpun pasukan sebanyak-banyaknya. Mengadakan latihan-latihan tersembunyi dan bila saatnya datang, mereka harus menumbuhkan pergolakan, sehingga kekuatan Singasari akan, terpencar.

“Pada saat yang demikian, maka Kota Raja akan menjadi lemah. Aku akan datang dan merebut tahta dari tangan kedua anak-anak muda yang masih belum hilang ingusnya.” berkata Empu Baladata kepada diri sendiri.

Ternyata bahwa kedua pesan lewat jalur yang berbeda itu pun telah diterima dengan. sungguh-sungguh. Orang-orang yang ternyata telah menyediakan diri bekerja bersama Empu Baladatu pun segera mulai mempersiapkan orang-orangnya. Mereka menghimpun anak-anak muda yang berada di bawah pengaruhnya, dan memberikan latihan-latihan kepada mereka, bagaimana mereka harus mempergunakan pedang.

“Ilmu semacam itu perlu bagi kalian. Latihan-latihan yang sudah kalian terima ternyata maju selambat siput merambat di atas batu. Kalian harus lebih bersungguh-sungguh, agar perkembangan ilmu itu menjadi semakin cepat, meskipun seandainya ilmu itu tidak akan kalian pergunakan sama sekali.” Berkata para pemimpin padepokan yang telah bersedia menerima pengaruh Empu Baladatu.

Hampir serentak maka beberapa padepokan yang tersebar telah seakan-akan bangkit dari tidurnya yang panjang. Mereka memanggil anak-anak muda dari padukuhan di sekitarnya. Padukuhan yang berada di bawah pengaruhnya. Dengan berbagai macam janji mereka telah memberikan banyak harapan bagi masa depan anak-anak muda itu, sehingga dengan demikian, banyak di antara mereka yang tidak mengerti apa yang sebaliknya harus mereka lakukan.

“Kita harus membangun masa depan sesuai dengan keinginan kita sendiri” berkata salah seorang pemimpin padepokan kepada anak-anak muda itu.

Namun dalam pada itu, di luar sadar mereka, beberapa orang dengan teliti sedang mengamati berkembangan mereka. Orang-orang yang berada di bawah jalur perintah Linggapati.

“Pada saatnya mereka mulai dengan rencana mereka maka kita harus memberikan petunjuk-petunjuk yang jelas kepada para prajurit Singasari” berkata salah seorang dari mereka kepada kawannya.

Kawannya tersenyum. Jawabnya, “Kita melihat dua ke kuatan yang akan saling menggempur. Meskipun prajurit Singasari tentu akan dapat mengatasi mereka, tetapi prajurit Singasari itu tentu akan memberikan korban yang banyak sekali“

Yang lain tertawa. Katanya, “Rencana yang manis sekali. Setelah prajurit Singasari itu seolah-olah terluka parah, kita akan datang dengan kekuatan yang segar menggulung mereka dari satu tempat ketempat yang lain.”

Mereka tertawa seolah-olah mereka telah mulai meraih kemenangan demi kemenangan.

Untuk meyakinkan diri, maka Empu Baladatu pun setiap kali memerlukan untuk melihat-lihat kekuatan yang berkembang di padepokan-padepokan yang berpencaran. Dengan bangga ia melihat anak-anak muda telah meningkatkan kemampuan mereka setapak demi setapak.

“Kita harus memelihara hubungan terus menerus” ber kata Empu Baladatu, “jika kalian ragu-ragu karena petugas-petugasku belum datang dalam saat-saat yang kalian perlukan, maka kalian wajib mengirimkan orang-orang terpercaya kepadaku. Ketempat yang sudah aku tentukan.”

Dan para pemimpin padepokan itu pun mentaatinya. Pada saat-saat tertentu mereka mengirimkan orang-orangnya ke tempat yang ditunjuk oleh Empu Baladatu. Namun seperti Linggapati, ia tetap merahasiakan tempatnya yang sebenarnya.

“Tetapi orang-orang yang datang ke tempat itu haruslah orang-orang yang sudah menyediakan diri untuk mati” berkata Empu Baladatu kepada para pemimpin kelompok, “siapa yang tertangkap dalam perjalanan menuju ke tempat yang sudah ditentukan itu, harus membunuh dirinya. Jika tekanan beberapa orang yang menangkap mereka dari pihak manapun juga tidak teratasi, sehingga mulut sudah akan mengucapkan pengakuan, maka dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran, maka racun yang tersedia harus ditelannya.”

Meskipun kemungkinan itu terjadi, tetapi ada juga di antara orang-orang padukuhan yang bersedia melakukan tugas untuk menghubungi induk mereka di tempat yang sudah ditentukan oleh Empu Baladatu dengan beberapa butir racun di dalam kantong ikat pinggang mereka. Mereka seolah-olah menjadi bangga dengan tugas itu. Kematian merupakan sesuatu yang sama sekali tidak menakutkan lagi.

Tetapi di samping tugas-tugas mereka yang telah ditentukan, maka sebagian dari mereka, adalah orang-orang yang berjalan, di jalan yang sesat di kehidupan mereka sehari-hari. Dalam tugas-tugas tertentu, mereka pun sama sekali tidak meninggalkan pekerjaan mereka. Merampok dan menyamun.

“Kalian akan menjadi prajurit-prajurit pilihan dengan pangkat dan jabatan yang tinggi” pemimpin-pemimpin mereka selalu memberikan janji.

Tetapi yang terbayang di angan-angan para perampok itu bukannya kewajiban seorang pemimpin prajurit yang bertanggung jawab, tetapi yang mereka dambakan adalah kesempatan untuk menyalah gunakan wewenang mereka. Dengan kekuasaan yang ada mereka dapat lebih banyak berbuat sesuai dengan kebiasaan mereka. Merampok dan menyamun dengan cara yang lebih terhormat, karena kemenangan yang akan mereka capai dengan melawan pemerintahan Singasari akan memberikan hak kepada mereka untuk memangku pangkat dan jabatan yang tinggi.

Ternyata Empu Baladatu sama sekali tidak berkeberatan terhadap sikap dan perbuatan orang-orangnya. Bahkan kadang-kadang ia justru membenarkan perbuatan itu.

Para prajurit Singasari yang mencium jejak mereka akan menganggap bahwa mereka adalah perampok-perampok dan penyamun-penyamun yang tidak memiliki kepentingan lain kecuali mendapatkan harta kekayaan orang lain dengan cara yang paling keji.

“Lebih baik mereka ditangkap dan diadili sebagai para perampok daripada mereka harus diperas keterangannya mengenai rencana mereka yang dikaitkan dengan rencana besar dalam keseluruhan,” kata Empu Baladatu kepada para pemimpin padepokan yang berada di bawah pengaruhnya.

Para pemimpin padepokan itu dapat menerima jalan pikiran Empu Baladatu dan sekaligus mendapat bekal bagi usaha mereka yang bakal datang. Usaha yang akan memberikan kesempatan yang menyenangkan sekali di masa depan. Itulah sebabnya, maka para pemimpin padepokan itu jus tru mengajukan, agar perbuatan mereka dapat menjadi selubung. Namun jangan terjerat justru karena persoalan itu.

Sementara itu, selain hubungan yang terus menerus antara orang-orang yang terpengaruh oleh Empu Baladatu, ternyata hubungan yang serupa telah terjadi pula di antara orang-orang yang terpengaruh oleh kekuasaan yang samar dari Linggapati. Seperti Empu Baladatu, maka Linggapati pun secara terus menerus melihat perkembangan keadaan di beberapa bagian dari Singasari. Namun yang mereka lakukan justru pengawasan atas segala kegiatan Empu Baladatu

Namun di beberapa bagian Linggapati mengalami kesulitan. Ia tidak selalu mengetahui letak padepokan yang sedang mengadakan kegiatan untuk mempersiapkan kekuatan mereka. Juga Linggapati tidak selalu mengetahui, siapa saja yang telah dihubungi oleh Empu Baladatu. Meskipun demikian, sebagian dari kekuatan Empu Baladatu telah terawasi oleh orang-orang Linggapati, justru karena kesalahan Empu Baladatu sendiri, yang tidak dapat menahan kebanggaannya dan mengatakannya kepada Linggapati. Kesadaran akan kesalahan itu baru datang kemudian. Ia mulai merasa seakan-akan setiap saat ada berpuluh pasang mata yang sedang mengintainya dan mengintai seluruh gerakannya.

“Gila” katanya kepada diri sendiri, “agaknya Linggapati tidak sejujur yang aku sangka.”

Namun Empu Baladatu pun harus menyalahkan kepada dirinya pula. Tentu ia tidak akan dapat mengharapkan orang-orang yang jujur di dalam tindakan-tindakan yang tidak sejalan dengan ketentuan darma seorang kesatria itu. Untuk mengurangi kemungkinan yang tidak dikehendaki, maka Empu Baladatu telah memerintahkan kepada orang-orang yang berada di bawah pengaruhnya untuk menjauhkan diri dari pengawasan siapapun juga. Mereka harus benar-benar menilik setiap orang yang ikut serta di dalamnya.

“Untuk mencapai cita-cita yang luhur, maka setiap orang harus diuji kesetiaannya” pesan Empu Baladatu kepada setiap pemimpin padepokan yang berpihak kepadanya.

Tetapi dalam pada itu, sejalan dengan usaha orang-orang Empu Baladatu untuk menghilangkan jejak mereka, maka prajurit Singasari mulai mencium usaha peningkatan ilmu dari beberapa kelompok anak-anak muda untuk tujuan yang kurang sewajarnya. Beberapa orang prajurit Singasari telah menerima beberapa petunjuk dari orang-orang yang tidak dikenal, bahwa di beberapa bagian dari wilayah Singasari sedang diancam oleh bahaya yang akan dapat meledak setiap saat.

Mula-mula prajurit Singasari tidak terlalu mudah untuk mempercayainya. Namun setelah para petugas sandi mengadakan beberapa pengamatan yang lebih cermat dari sebelumnya, maka berita yang sampai kepada para prajurit atu bukannya berita bohong semata-mata. Meskipun demikian, prajurit sandi Singasari harus bertindak dengan hati-hati. Laporan yang tidak diketahui asalnya itu pun telah menumbuhkan kecurigaan bagi mereka, sehingga kesimpulan para pemimpin prajurit Singasari untuk sementara adalah, tentu ada pihak-pihak yang sedang bersaing. Apapun tujuan mereka dengan peningkatan ilmu itu.

Pihak yang merasa cemas melihat perkembangan ilmu pihak yang lain telah dengan sengaja menyampaikan laporan itu kepada prajurit Singasari, agar para prajurit dapat mengambil tindakan terhadap mereka. Ternyata bahwa laporan itu akhirnya merambat dan menjadi pembicaraan yang penting bagi para pemimpin puncak para prajurit di Singasari.

Mahisa Agni yang ikut pula membicarakan masalahnya, segera menghubungkan hal itu dengan kegiatan Empu Baladatu. Laporan dari padepokan Empu Sanggadaru memberikan imbangan atas laporan yang telah sampai kepimpinan puncak prajurit Singasari itu.

“Masih harus diselidiki, pihak yang manakah yang telah memberikan laporan itu. Aku berpendapat, bahwa Empu Baladatu dan Linggapati tidak lagi dapat berjalan seiring setelah kegagalan mereka di padepokan Empu Sanggadaru itu.” berkata Mahisa Agni

Para pemimpin yang lain pun sependapat. Tentu salah satu pihak dari keduanya telah menyampaikan laporan itu dengan terselubung kepada prajurit Singasari.

“Kita tidak boleh memusatkan perhatian kita kepada salah satu pihak. Sementara ini kita, seoah-olah menerima laporan itu dengan wantah, sehingga pihak yang lain, yang memberikan laporan itu mengira bahwa kita telah terjebak kedalam perangkapnya, dan kita telah memusatkan perhatian kita kepada satu pihak saja, sementara kita harus dengan bersungguh-sungguh menilai pihak yang lain.” Mahisa Agni meneruskan.

Prajurit Singasari untuk sementara bersepakat, bahwa pihak-pihak yang harus mendapat pengawasan yang paling tajam adalah Empu Baladatu dan Linggapati.

“Tetapi kegiatan yang meningkat itu terjadi di beberapa bagian dari wilayah ini dan tersebar di tempat yang nampaknya satu sama lain berjauhan dan tidak mempunyai hubungan.” berkata seorang perwira yang menerima laporan langsung dari pihak yang tidak dikenal.

“Semuanya perlu penyelidikan yang saksama” sahut seorang Senapati, “namun justru tempat tersebar dalam hubungan kegiatan yang serupa itulah yang menarik perhatian“

Perwira itu niengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa penilaiannya harus dilihat dari beberapa segi yang nampaknya tidak berkaitan sama sekali. Dengan demikian, maka jalur ketiga telah tersalur antara, pimpinan prajurit Singasari dengan petugas-petugasnya yang tersebar. Dengan cermat dan rahasia, para petugas sandi prajurit Singasari sedang menyelidiki, apakah sebenarnya yang telah terjadi.

Demikian cermatnya tugas yang dilakukan, sehingga pihak-pihak yang bersangkutan sama sekali tidak dapat melihat, bahwa kegiatan petugas-petugas sandi Singasari telah meningkat.

Linggapati yang merasa pernah mengirimkan laporan tersembunyi tentang kegiatan Empu Baladatu pun merasa heran, bahwa seakan-akan tidak ada perhatian sama sekali. Ia tidak melihat petugas-petugas yang hilir mudik dan peronda-peronda prajurit Singasari yang bertambah.

“Apakah laporanku tidak sampai ketelinga pimpinan prajurit Singasari atau pimpinan prajurit Singasari menganggap laporan itu sekedar sebuah ceritera ngaya wara.” gumam Linggapati setiap kali.

Tetapi laporan terakhir dari orang-orang Linggapati membuatnya agak berdebar hati. Dibeberapa tempat ia melihat, prajurit Singasari telah membuka pemusatan-pemusatan baru bagi prajurit-prajuritnya meskipun kelihatannya jauh lebih kecil dari yang diharapkannya.

“Namun agaknya perhatian itu mulai tumbuh di dalam lingkungan mereka” berkata Linggapati kepada seorang pengawalnya

“Mudah-mudahan mata mereka segera terbuka, bahwa telah tumbuh sebuah kekuatan yang akan dapat mengganggu ketenteraman Singasari.” berkata pengawalnya.

Dengan hati-hati Linggapati mengamati perkembangan kesiagaan prajurit-prajurit Singasari. Meskipun kesiagaan itu masih dianggap jauh dari mencukupi, namun ia menganggap bahwa keterangannya yang dibisikkan lewar jalur tertutup kepada prajurit Singasari telah menyentuh pendengaran mereka.

“Mungkin mereka masih belum percaya“

Dalam pada itu, Singasari memang telah meningkatkan kesiagaan prajuritnya di beberapa tempat, tetapi tanpa menumbuhkan kegelisahan. Tidak banyak orang yang memperhatikannya. Hanya orang-orang yang berkepentingan seperti Linggapati dan anak buahnya sajalah yang dengan tajam melihat dan mengikuti perkembangan itu dengan saksama.

Tetapi ada satu yang lepas dari pengamatan Linggapati. Justru karena Linggapati terlalu mengharap bahwa prajurit Singasari mempertajam pengawasannya terhadap padepokan-padepokan yang tersebar di daerah yang luas, maka ia sendiri menjadi lengah, bahwa petugas-petugas sandi semakin banyak berkeliaran di Mahibit. Sampai saat-saat terakhir Linggapati masih merasa bahwa pengawasan prajurit Singasari semata-mata ditujukan kepada kegiatan yang meningkat dari orang-orang yang berpihak kepada Empu Baladatu

Tetapi ternyata bahwa Linggapati adalah orang yang dapat menahan diri dan bersabar hati untuk melakukan rencananya. Meskipun ia merasa berpacu dengan Empu Baladatu, namun ia tidak tergesa-gesa memerintahkan orang-orang yang berada dibawah pengaruhnya untuk memperkuat diri. Yang dilakukan dengan diam-diam adalah memperluas pengaruhnya terhadap beberapa orang pemimpin.

Beberapa orang Buyut yang sudah memiliki kekuatan pengawalan pada padukuhannya. Seandainya para pengawal itu meningkatkan latihan-latihan mereka, maka kegiatan itu tidak akan begitu menyolok, karena yang dilakukan seolah-olah memang sudah seharusnya demikian. Bahkan dengan licik ia berhasil menghubungi beberapa orang Akuwu yang sudah siap dengan prajuritnya.

Meskipun demikian, maka Linggapati pun selalu melakukan pembinaan yang mantap. Dalam kemungkinan masing-masing, Linggapati juga menganjurkan peningkatan anak buahnya. Para pengawal padukuhan dan prajurit-prajurit dari para Akuwu.

“Jangan melakukan kegiatan di luar kegiatan yang sewajarnya dan harus tidak menarik perhatian” perintah Linggapati.

Sementara itu, petugas-petugas sandi Singasari telah mulai melihar perkembangan seperti yang memang sedang mereka cari. Beberapa padukuhan memang melakukan kegiatan yang meningkat, bahkan di luar kegiatan yang wajar. Tetapi prajurit Singasari tidak segera mengambil tindakan yang langsung terhadap mereka. Yang mereka lakukan justru pengawasan sandi. Mereka ingin melihat perkembangan kegiatan mereka.

Dengan demikian maka prajurit-prajurit Singasari yang bertugas di daerah-daerah itu nampaknya tidak meningkatkan pengamatan mereka terhadap daerah pengawasan mereka. Mereka hanya duduk dan bergurau saja di dalam barak-barak mereka setiap hari. Hanya sekelompok kecil dari mereka yang bertugas di depan regol halaman dengan senjata di tangan.

“Mereka hanya menghabiskan beras saja” gumam beberapa orang anak buah dari sebuah padepokan yang berada di bawah pengaruh Empu Baladatu.

“Tidak ada yang mereka lakukan di sini. Pada suatu saat kita akan menyerang dan menumpas mereka” sahut yang lain.

Setiap saat mereka memperbincangkan prajurit Singasari itu, mereka selalu mentertawakan dengan sikap sombong dan yakin, bahwa pada suatu saat prajurit-prajurit itu akan mereka binasakan tanpa dapat memberikan banyak perlawanan. Tetapi yang tidak mereka lihat, justru prajurit-prajurit sandi lah yang banyak bekerja dan memberikan laporan-laporan kepada pemimpin prajurit di barak-barak yang baru dibuka, yang nampaknya hanya berisi beberapa kelompok kecil prajurit Singasari yang tidak berbuat apa-apa selain tidur dan bergurau saja.

Justru karena perhatian orang-orang itu sebagian besar tertuju kepada prajurit-prajurit yang malas itulah, maka mereka tidak memperhatikan bahwa orang-orang yang sama sekali tidak mereka duga, adalah justru orang-orang yang sangat berbahaya.

Sementara itu, salah seorang kepercayaan Empu Baladatu yang berada di padepokan Empu Purung di ujung daerah Alas Pandan dengan sungguh-sungguh mengamati sebuah barak baru dari prajurit Singasari di seberang lembah yang berhadapan dengan padepokan itu

“Mereka sengaja mengamat-amati kita” berkata Empu Purung.

“Mungkin sekali” jawab kepercayaan Empu Baladatu yang sedang berada di padepokan itu.

“Kau harus melaporkannya kepada Empu Baladatu jika kau kembali kepadanya. Sebenarnya kita sudah siap untuk bertindak. Barak itu tidak terlalu kuat. Tetapi tentunya tidak akan di bangun di sana jika prajurit Singasari tidak mencium jejak kita.”

Kepercayaan Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya Kita tidak boleh bertindak sendiri-sendiri, lepas dari hubungan dalam keseluruhan “

“Tetapi agaknya waktunya memang sudah masak. Jika kita menunggu terlalu lama, maka pada suatu saat, merekalah yang akan mendahului kita.”

“Tetapi tidak tergesa-gesa.”

Empu Purung di ujung Alas Pandan itu terpaksa menahan diri Namun ia mulai khawatir bahwa prajurit-prajurit Singasari itu akan mencium seluruh kegiatannya sehingga mereka sempat memperkuat diri.

“Prajurit yang ada di barak itu tidak lebih dari duapuluh orang.” berkata Empu Purung, “aku tidak tahu, apakah barak-barak kecil itu ada gunanya. Apalagi dengan prajurit yang malas. Aku sudah memerintahkan dua orang untuk melihat-lihat dari dekat sambil berbelanja di pasar yang terletak tidak jauh dari barak itu. Ternyata hanya ada tiga atau empat orang sajalah di antara mereka yang setiap hari bersiaga di depan regol, sementara yang lain hampir setiap hari kerjanya hanya berkeliaran di pasar. Makan dan minum tuak. Namun dengan demikian pasar itu kini menjadi bertambah ramai.“

Kepercayaan Empu Baladatu itu mengangguk-angguk. Katanya, “Memang kesempatan itu terbuka sekarang. Tetapi jika kita datang dan menumpas mereka, maka Singasari akan mengarahkan kekuatannya kepada daerah ini semata-mata, karena mereka belum melihat bahaya di tempat lain. Tetapi jika pada suatu saat kita semua bergerak bersama-sama, maka prajurit Singasari akan terpecah sehingga kekuatannya akan terbagi. Saat yang demikian itulah yang kita harapkan. Sementara pasukan induk kita akan memasuki Kota Raja dan menguasainya.”

Empu Purung mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sudah memahami. Tetapi kapan waktu itu datang. Aku harap, kita tidak akan terlalu lama menunggu.”

“Kita masih harus melakukan penilaian sekali lagi. Mungkin di padepokan Empu di sini, semuanya sudah siap. Empu sudah melatih lebih dari lima orang anak-anak muda yang siap digerakkan, ditambah dengan beberapa kelompok orang laki-laki yang meskipun tidak dapat disebut anak muda lagi, tetapi mereka memiliki tenaga yang masih utuh. Karena itu, maka duapuluh atau duapuluh lima orang prajrit itu tidak akan dapat bertahan terlalu lama“

“Pengaruhku sampai kepadukuhan yang jauh. Mereka menganggap aku seorang yang memiliki kekuatan gaib dan dapat berbuat apa saja. Dan aku memang dapat membuktikan, bahwa aku mmpunyai kekuatan melampaui kekuatan manusia biasa, bukan saja jasmaniah tetapi juga kekuatan yang tidak kasat mata.”

“Aku percaya.”

“Dan kau akan dapat melihat sendiri, jika aku kehendaki, maka kekuatan itu akan bertambah-tambah. Tetapi untuk sementara aku tidak ingin menarik perhatian orang-orang yang barangkali menaruh dengki. Ternyata di hadapan padepokanku, meskipun agak jauh, telah berdiri sebuah barak prajurit Singasari. Yang dalam keadaan sewajarnya tidak akan berada di tempat itu.”

“Mungkin pada suatu saat Empu benar-benar perlu mengerahkan orang-orang itu “

“Tidak akan sulit. Aku akan memukul isyarat, dan mereka akan berkumpul. Tidak seorang pun menghendaki gempa yang dahsyat akan meruntuhkan tebing-tebing jurang dan menimbuni padukuhan mereka. Dan itu akan terjadi jika mereka tidak tunduk kepadaku dan melakukan perintahku meskipun akan berarti bahaya bagi jiwa mereka.”

Kepercayaan Empu Baladatu mengangguk-angguk. Meskipun ia lebih hanyak mempergunakan pedang daripada kekuatan-kekuatan yang gaib, namun dasar dari ilmu hitamnya pun gaib pula. Bahkan hampir setiap orang di dalam padepokan Empu Baladatu menganggap bahwa ada semacam kekuatan tersembunyi di dalam tubuh Empu Baladatu. Aji yang sampai saat terakhir belum pernah diunjukkan kepada murid-muridnya, tetapi yang dengan isyarat pernah dibayangkannya.

“Empu Baladatu tentu mempunyai kekuatan melampaui Empu Purung” berkata kepercayaan Empu Baladatu itu dalam hatinya.

Namun dalam pada itu Empu Purung seolah-olah sudah tidak sabar lagi menunggu saat yang ditentukan. Tetapi ia harus menunggu lagi ketika kepercayaan Empu Baladatu itu meninggalkan padepokannya untuk menentukan saat-saat yang ditunggu itu. Saat-saat menunggu itu bagi Empu Purung adalah benar-benar saat yang menenggangkan. Untuk mengisi waktu, maka ia pun kemudian mempertebal dasar ilmu anak-anak muda yang telah dapat dipengaruhinya. Bahkan kemudian menjalar kepada setiap laki-laki yang tinggal di padukuhan di sekitar padepokannya. Tidak seorang pun di antara mereka yang berani menentang Empu Purung. Setiap kata yang diucapkan baginya merupakan hukum yang tidak boleh dilanggar.

“Jika Empu Purung, marah, maka ia akan dapat memanggil wabah yanp paling dahsyat. Seluruh isi bumi akan terbunuh oleh penyakit selain orang-orang yang dikehendakinya.” berkata salah seorang dari padukuhan yang berada di bawah pengaruhnya.

Karena itulah, maka apapun yang harus mereka lakukan, tanpa dapat mengemukakan alasan apapun, pasti mereka lakukan, meskipun hal itu dapat mengancam nyawanya. Ketika Empu Purung memanggil setiap laki-laki di sekitar padepokannya untuk berlatih mempergunakan senjata, maka berduyun-duyun mereka datang ke padepokan. Satu dua pembantu Empu Purung yang terpercaya, ikut serta memberikan latihan-latihan pada kelompok-kelompok kecil di antara Laki-laki itu.

Tetapi anak-anak muda yang berlatih, berada di tangan Empu Purung sendiri. Merekalah yang akan menjadi inti kekuatannya apabila saat yang ditunggunya itu tiba. Sementara itu, menurut pengamatan Empu Purung, prajurit-prajurit Singasari yang bertugas di daerah Alas Pandan itu sama sekali tidak berbuat apa-apa. Mereka sekedar berada di tempat itu tanpa melakukan apa-apa.

Namun dalam pada itu, laporan yang terperinci tentang padepokan Empu Purung di ujung Alas Pandan itu telah berada di Singasari. Padepokan itu, memiliki kekuatan yang agak menarik perhatian dibandingkan dengan keadaan di tempat-tempat yang lain yang juga nampak meningkatkan kegiatannya.

Karena itulah maka Singasari menganggap perlu untuk mengirimkan prajurit yang lebih kuat, tetapi yang tidak segera dapat dilihat oleh orang-orang di padepokan itu. Sendangkan tingkah laku para prajurit di barak itu harus dipertahankan seolah-olah mereka tidak menghiraukan keadaan di sekitarnya

Dalam tugas itulah maka Mahisa Agni telah mengikut sertakan Mahisa Bungalan yang telah dipanggilnya dari padukuhan Empu Sanggadaru.

“Tidak banyak lagi yang harus dilakukan di padepokan itu” berkata Mahisa Agni, “biarlah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tetap berada di sana. Jika kau ingin ikut serta dalam tugas berikutnya melawan Empu Baladatu atau kekuatan dari Mahibit, maka ikutlah pergi ke Alas Pandan. Mungkin kau akan mendapatkan pengalaman baru. Tetapi hati-hatilah, bahwa yang kau hadapi bukannya kanak-anak. Empu Baladatu pun telah mendapatkan pengalaman pahit, sedangkan Linggapati telah kehilangan adiknya.”

Mahisa Bungalan mengangguk. Jawabnya, “Terima kasih atas kesempatan ini paman.”

“Kau telah menjadi bagian dari kekuatan prajurit Singasari. Kedudukanmu telah menggantikan kedudukan ayahmu yang semakin tua. Meskipun kau bukan seorang prajurit, tetapi kau telah berbuat seperti dan bahkan melampaui seorang prajurit.”

Karena itulah, maka Mahisa Bungalan pun kemudian merupakan salah seorang dari mereka yang berangsur-angsur dikirim ke Alas Pandan. Tetapi mereka tidak langsung berada di dalam lingkungan para prajurit. Hanya lima orang sajalah di antara mereka yang dengan diam-diam telah berada didalam barak itu pula, tennasuk Mahisa Bungalan, sehingga dengan demikian bertambahnya jumlah itu tidak nampak dari mereka yang berada di luar barak. Namun dalam pada itu, beberapa orang yang lain telah terpencar di sekitar padukuhan itu, meskipun mereka harus berada di tempat-tempat tersembunyi.

Sekelompok kecil prajurit Singasari itu telah membuat semacam perkemahan di hutan kecil yang terletak di seberang lain dari sebuah bukit kecil. Perkemahan yang dapat dicapai dengan lontaran panah sendaren. Jika sesuatu terjadi, maka yang suaranya dapat didengar dari perkemahan yang tersembunyi itu.

Untuk menghilangkan kejemuan mereka yang berada di hutan kecil itu, setiap kali di luar penglihatan orang lain, maka prajurit-prajurit itu selalu bergantian. Beberapa hari mereka berada di hutan kecil itu, sedangkan beberapa hari kemudian mereka tinggal di barak. Hanya beberapa orang sajalah yang tidak mengalami pergantian itu. Pemimpin prajurit di Alas Pandan, dua orang pengawal kepercayaannya, dan tiga orang yang mempunyai banyak hubungan dengan orang-orang luar. Mereka adalah prajurit-prajurit yang melayani kebutuhan kawan-kawannya, dan selalu berkeliaran di pasar dan padukuhan-padukuhan.

Sementara Mahisa Bungalan ternyata lebih senang ikut pula berpindah dari baraknya ketempat yang tersembunyi itu. Tetapi ia tidak mengikuti pembagian waktu tertentu seperti kawan-kawannya. Ia di perkenankan berada di mana saja menurut keinginannya sesuai dengan waktu yang dikehendakinya sendiri. Ternyata cara yang dipergunakan oleh para prajurit itu dapat terlepas dari pengamatan Empu Purung. Ia tidak mengetahui bahwa Singasari sedang mengamatinya dengan tajamnya.

Yang dilihat oleh Empu Purung adalah jumlah prajurit yang terbatas di dalam barak, yang setiap hari hanyalah duduk memeluk lutut di gerbang halaman barak mereka, selain yang bertugas. Bahkan kadang-kadang yang sedang bertugas ikut pula meletakkan senjata mereka dan duduk sambil bergurau menunggu saatnya mereka dipanggil untuk makan.

“Menjemukan sekali” berkata Empu Purung kepada pengawalnya, “meskipun demikian, pada suatu saat mereka dapat membahayakan kita semuanya.”

“Kenapa mereka tidak kita hancurkan saja Empu?” bertanya pengawalnya.

“Petugas yang dikirim Empu Baladatu itu terlalu berhati-hati. Ia sedang menghadap Empu Baladatu untuk minta petunjuk apa yang sebaiknya kita lakukan di sini.”

“Kita dapat menyerang dan memusnakan mereka, sehingga tidak seorang pun yang akan kita biarkan hidup untuk melaporkan apa yang terjadi. Dengan demikian, maka tidak akan ada yang mengetahui bahwa kita sudah mulai.”

“Tetapi setiap saat tentu ada petugas dari Singasari menghubungi mereka, atau dalam saat-saat tertentu ada petugas dari barak itu yang pergi ke Kota Raja untuk memberikan laporan. Jika mereka tidak datang, maka Singasari akan membuat suatu perhitungan.”

“Jadi kita akan membiarkan saja mereka di barak itu?”

“Kita menunggu perintah Empu Baladatu. Kita akan bersama-sama bergerak di beberapa tempat, agar kekuatan Singasari terbagi.”

Tetapi pengawal-pengawalnya menganggap bahwa menunggu perintah itu terlalu menjemukan. Mereka sudah terlalu muak melihat sikap para prajurit itu. Ternyata beberapa orang anak buah Empu Purung sulit untuk menjaga diri. Setiap mereka lewat dan berpapasan dengan satu atau dua orang prajurit di sepanjang jalan padukuhan, rasa-rasanya mereka tidak tahan lagi.

“Kenapa kita tidak membunuh mereka saja? Jumlah mereka terlalu sedikit. Dua puluh atau sebanyak-banyaknya dua puluh lima orang.”

“Empu Purung masih menunggu perintah Empu Baladatu“

“Kita sebenarnya tidak usah memperdulikannya.”

Tetapi seorang yang agak mampu berpikir berkata “Kita tidak boleh merusak rencana Empu Baladatu dalam keseluruhan“

Kawan-kawannya tidak menjawab. Tetapi sebagai pribadi mereka sulit untuk mengendalikan diri. Anak muda yang merasa dirinya mempunyai kelebihan dari kawan-kawannya, dan mendapat kepercayaan tertinggi dari Empu Purung di antara kawannya, justru merasa tangannya sudah terlalu gatal. Dengan nada tinggi ia berkata kepada kawahnya,

“Apa salahnya jika terjadi sentuhan antara pribadi. Persoalannya adalah persoalan seorang dengan seorang. Prajurit Singasari tentu menyangka, bahwa persoalannya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan-persoalan lain kecuali sekedar perkelahian.”

“Tetapi Empu Purung akan marah jika terjadi sesuatu di luar rencananya.”

“Kalau masalahnya adalah masalah pribadi, ia tidak akan berbuat apa-apa.”

Kawan-kawannya tidak dapat mencegahnya. Anak muda itu ingin sekali-kali berkelahi dengan prajurit Singasari dalam soal pribadi.

“Besok aku akan pergi ke pasar di seberang lembah, dekat barak itu” berkata anak muda itu.

“Untuk apa?” bertanya kawannya.

“Lihat sajalah. Aku akan berkelahi dengan prajurit Singasari. Tetapi masalahnya adalah masalah pribadi. Aku akan membuat soal apa pun sehingga melibatkan aku dalam perkelahian itu. Aku akan menjajagi, sampai berapa jauh kemampuan prajurit-prajurit Singasari“

Kawan-kawannya menjadi ragu-ragu. Tetapi sebagian dari mereka justru ingin melihat, apakah yang terjadi dengan perkelahian itu.

“Bagaimana jika prajurit-prajurit yang lain, dan mereka beramai-ramai memukulimu?”

“Biarkan saja. Itu akan menjadi alasan kita untuk menyerang mereka di luar persoalan yang dicemaskan oleh Empu Purung dan Empu Baladatu. Pemimpin prajurit Singasari akan mengira bahwa yang terjadi adalah benturan pribadi-pribadi. tidak menyangkut masalah pemerintahan.”

Kawan-kawanya mengangguk-angguk. Bahkan mereka seakan-akan tidak sabar lagi menunggu sampai esok pagi. Seperti yang dikatakan, maka di keesokan harinya anak muda itu benar-benar pergi ke pasar. Beberapa orang kawannya yang ingin melihat peristiwa itu pun pergi juga meskipun terpisah-pisah.

Dengan tidak menduga sama sekali, maka beberapa orang prajurit Singasari pun pergi juga kepasar. Mereka memerlukan bahan makan dan kebutuhan mereka sehari-hari. Dan adalah kebetulan sekali bahwa di antara mereka terdapat Mahisa Bungalan yang berpakaian seperti prajurit Singasari. Seperti biasanya prajurit-prajurit itu membeli bahan-bahan dan keperluan yang lain. Selanjurnya seperti biasa mereka kadang-kadang melepaskan haus di sebuah warung kecil di pinggir pasar itu.

Di tempat itulah anak muda, murid Empu Purung itu sudah menunggu untuk menimbulkan persoalan pribadi. Yang duduk di paling dekat dengan anak muda itu adalah Mahisa Bungalan yang sama sekali tidak berprasangka. Minum dan makan di warung kecil, di pinggir di sebuah padukuhan kecil, mempunyai kenikmatan tersendiri. Kenikmatan yang tidak dapat ditemui jika mereka berada di sebuah warung yang besar di Kota Raja.

Itulah sebabnya, prajurit-prajurit itu seakan-akan tidak melewatkan waktunya untuk singgah barang sebentar, duduk sambil menghirup minuman hangat di mangkuk. Namun dalam pada itu, selagi Mahisa Bungalan mengangkat mangkuknya yang berisi minuman panas, tiba-tiba saja siku orang yang duduk di sebelahnya telah menyentuh tangannya. Demikian tiba-tiba dan kerasnya, sehingga minuman panas itu tumpah di pakaian Mahisa Bungalan.

Mahisa Bungalan terkejut. Dengan serta merta ia meloncat berdiri sambil mengibaskan pakaiannya yang basah. Orang yang duduk di sampingnya memandanginya dengan wajah tegang. Tiba-tiba saja justru orang itu berkala, “Kau terlalu banyak tingkah. Untunglah bahwa pakaianmu sendiri yang basah oleh minuman panas itu.”

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Ia sama seka li tidak menyangka bahwa anak muda yang duduk di sampingnya itu justru marah kepadanya. Tetapi Mahisa Bungalan tidak ingin terjadi perselisihan sehingga karena itu, maka ia pun menyahut, “Maaf Ki Sanak, aku tidak sengaja. Dan bukankah kau tidak terpercik oleh air panas dalam mangkuk itu.”

“Sekarang tidak. Tetapi nanti kau akan menumpahkan lebih banyak lagi. Dan kau tentu akan membasahi pakaianku“

“Tentu tidak Ki Sanak. Betapa bodohnya seseorang, ia tidak akan melakukan kesalahan serupa dalam waktu yang terlalu pendek.”

“Persetan” bentak anak muda itu, “jika kau akan minum lagi, menyingkirlah. Jangan dekat-dekat aku.”

Bentaknya itu membuat dada Mahisa Bungalan berdebar-debar. Tetapi ketajaman tangkapan perasaannya membuat seakan-akan melihat sesuatu yang lain dari sikap kasar itu saja. Namun justru karena itulah, maka Mahisa Bungalan yang muda itu berusaha untuk menahan hati dan berkata, “Baiklah. Aku akan duduk di ujung yang lain.”

Kawan-kawannya, para prajurit Singasari tidak mengerti akan sikap itu. Hampir saja mereka meloncat menerkam anak muda yang sombong dan deksura itu. Namun sikap Mahisa Bungalan itu telah mencegahnya, karena mereka pun mengetahui, siapakah Mahisa Bungalan itu. Sikap itu tentu bukannya karena Mahisa Bungalan ketakutan. Tetapi tentu ada sebab yang lain.

Ternyata sikap Mahisa Bungalan itu membuat anak muda yang memancing kemarahanya itu menjadi kecewa dan bahkan marah. Dengan wajah yang tegang ia berkata, “Kau jangan mencoba menghina aku. Kau mencoba menumpahkan minumanmu kepakaianku. Kemudian begitu saja pergi tanpa minta maaf kepadaku?”

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Namun ia masih mencoba menyabarkan hatinya, “Baiklah Ki Sanak. Akulah yang minta maaf.”

Sikap itu sama sekali tidak diduga oleh anak muda murid Empu Purung itu, sehingga karena itu, justru ia terbungkam beberapa saat, sementara Mahisa Bungalan telah bergeser sambil membawa mangkuknya.

“Gila” geram anak muda itu. Ternyata usahanya memancing kemarahan prajurit Singasari itu tidak berhasil. Namun dengan demikian ia menyangka bahwa prajurit Singasari itu secara pribadi takut kepadanya. Itulah sebabnya maka keinginannya untuk berkelahi justru menjadi semakin besar.

“Aku harus membuatnya marah dan memancing perkelahian” desisnya di dalam hati.

Ternyata anak muda itu adalah anak muda yang kasar. Ia tidak sempat memikirkan cara yang lebih baik. Dengan serta merta, demikian Mahisa Bungalan duduk di tempatnya yaug baru, anak muda itu langsung menyiramkan minuman di mangkuknya sendiri ke arah Mahisa Bungalan.

“Kau memuakkan sekali” geram anak muda itu.

Mahisa Bungalan benar-benar terkejut mendapat perlakuan itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia menggeretakkan giginya sambil tegak berdiri. Namun sekali lagi ia menyadari, bahwa tingkah laku anak muda yang tidak sewajarnya itu harus mendapat penilaian tersendiri. Karena itulah, maka ketiga kawan-kawan Mahisa Bungalan hampir saja melangkah kearah anak muda itu, Mahisa Bungalan berkata, “Persoalan ini adalah persoalanku. Persoalan pribadi.”

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjadi semakin kasar, “Anak gila. Kehadiranmu di warung ini sudah sangat memuakkan. Sekarang sikapmu menambah kebencianku kepadamu meskipun aku belum mengenalmu.”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa anak muda itu sengaja memancing perkelahian. Tetapi ia masih belum tahu pasti, apakah sebabnya. “Ki Sanak.” berkata Mahisa Bungalan, “kenapa kau tiba-tiba saja marah. Kita berada di tempat yang terbuka bagi siapapun. Termasuk aku.”

“Tetapi kau teramat sombong. Kau sangka, bahwa kau Laki-laki seorang di seluruh Singasari.”

“Aku tidak mengerti” desis Mahisa Bungalan. Sikap Mahisa Bungalan menambah kemarahan orang itu.

Ia sama sekali tidak membayangkan bahwa prajurit Singasari itu tidak segera berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan benturan kekuatan. Tetapi ia tidak berhenti berusaha. Bahkan kata-katanya menjadi semakin kasar, “Pengecut. Apakah kau bukan laki-laki?”

Pertanyaan itu benar-benar telah menyinggung perasaan. Kawan Mahisa Bungalan yang tidak dapat menahan hati lagi, telah bersiap untuk berbuat sesuatu. Tetapi Mahisa Bungalan menggamitnya dan berkata, “Itu adalah persoalanku.”

Prajurit itu termangu-mangu. Ia kenal siapakah Mahisa Bungalan. Namun karena itu pulalah ia kemudian menyadari, bahwa Mahisa Bungalan hatinya sudah mengendap meskipun ia masih cukup muda untuk berbuat sekasar anak muda yang tidak tahu diri itu.

“Ki Sanak” berkata Mahisa Bungalan, “ternyata sikapmu sudah berlebih-lebihan. Tetapi aku tahu, bahwa kau bukannya orang yang berbuat kasar kepada setiap orang. Tetapi kau justru berbuat demikian kepadaku.”

Anak muda itu terkejut mendengar kata-kata Mahisa Bungalan. Rasa-rasanya dadanya tidak tahan lagi melihat sikap anak muda yang nampaknya tenang sekali itu.

“Ki Sanak” Mahisa Bungalan meneruskan, “ada semacam kesengajaan yang kau lakukan terhadapku untuk menimbulkan perselisihan. Kenapa kau mempergunakan cara yang kasar dan tidak terhormat ini. Jika kau berbisik di telingaku mengatakan bahwa kau menantangku berkelahi, aku akan melayanimu. Tetapi kau lebih senang mempergunakan cara seorang berandal yang liar dan buas“

Justru anak muda itulah yang kemudian tidak dapat menahan diri. Tangannya segera menyambar gendi berisi air. Hampir saja gendi itu dilemparkannya kearah Mahisa Bungalan. Tetapi Mahsa Bungalan, mendahuluinya, “Jangan kau lemparkan gendi itu. Aku sudah memutuskan untuk berkelahi. Tetapi tidak di sini.”

“Persetan” geram anak muda itu

Mahisa Bungalan berpaling kepada pemilik warung yang berdiri dengan gemetar. Tidak sepatah kata pun yang dapat diucapkannya. “Ki Sanak” berkata Mahisa Bungalan kepada pemilik warung itu, “aku tidak akan berbuat sesuatu di dalam warungmu ini. Aku akan keluar dan melayani anak yang ingin berkelahi tanpa sebab itu di luar.”

Dengan tenang Mahisa Bungalan pun kemudian melangkah keluar dan berdiri tegak di muka warung itu. Beberapa orang yang berada di tempat itu dengan berdebar berusaha untuk menjauh. Mereka tidak mau terlihat dalam kesulitan.

Anak muda murid Empu Purung itu pun dengan wajah yang tegang melangkah keluar. Ia sudah berpesan kepada kawan-kawannya agar mereka tidak ikut berbuat sesuatu. Jika ia menang akan perkelahian itu, dan prajurit-prajurit Singasari kemudian mengeroyoknya, ia pun minta agar kawan-kawannya jangan membantunya,

“Itu akan menjadi sebab, jika pada suatu saat anak-muda di Alas Pandan ini datang menyerang barak itu” berkata anak muda itu kepada kawan-kawannya.

Sejenak anak muda itu berdiri dengan bertolak pingang di hadapan Mahisa Bungalan. Dengan garangnya ia berkata, “Jika kau berjongkok dan minta maaf kepadaku, aku tidak akan berbuat apa-apa.”

Mahisa Bungalan sadar sepenuhnya akan persoalan yang dihadapinya. Tetapi bagaimanapun juga, kemudaannya masih juga sangat berpengaruh terhadap keputusan yang diambilnya. “Ki Sanak” berkata Mahisa Bungalan, “baiklah kau berterus terang. Kenapa kau menghendaki perselisihan ini? Agaknya aku lebih senang mendengar alasanmu yang sebenarnya daripada sekedar sebab yang dicari-cari seperi ini.”

Anak muda itu menjadi semakin tegang. Namun kemudian ia membentak, “Kau memuakkan sekali“

“Hanya itu? Atau barangkali kau mempunyai sebab lain yang memaksamu berbuat demikian?”

Orang itu menggeram” Hanya itu.”

Mahisa Bungalan lah yang kemudian menggeretakkan giginya. Katanya, “Aku tahu. Kau ingin tahu dan menjajagi. Apakah secara pribadi prajurit Singasari mempunyai kemampuan berkelahi. Baiklah. Apapun alasanmu, tetapi aku yakin bahwa itulah tujuanmu. Dan aku tidak berkeberatan melayanimu. Kau akan melihat imbangan kekuatan antara kita."

“Ya” teriak anak muda itu, “aku memang ingin melihat. apakah kau mampu melawan aku.”

Mahisa Bungalan justru tersenyum sambil berkata, “Kita akan mulai. Biarlah kawan-kawanku menjadi saksi, apakah aku dapat mengimbangi kemampuanmu. Jika tidak, maka kawan-kawanku tidak akan ikut terlibat dalam perkelahian ini.”

“Persetan. Bersiaplah” anak muda itu menggeretakkan giginya.

Mahisa Bungalan pun segera mempersiapkan dirinya. Anak muda yang berdiri dihadapannya sudah siap untuk menyerangnya. Dengan penuh perhitungan Mahisa Bungalan mencoba menilai lawannya. Bagaimanapun juga, ia tidak mau terperosok ke dalam kelengahan yang dapat membuatnya menyesal. Karena menurut pertimbangannya, dimanapun juga, terdapat orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi, apakah ia mempergunakan dengan baik atau sebaliknya.

Sejenak keduanya berdiri saling berhadapan. Beberapa orang prajurit yang datang bersama Mahisa Bungalan herdiri beberapa langkah daripadanya untuk menyaksikan perkelahian itu. sementara beberapa orang yang lain berdiri agak jauh daripadanya.

Beberapa orang anak muda murid Empu Purung yang lain pun memperhatikan peristiswa itu dari jarak yang agak jauh. Mereka mendapat pesan untuk membiarkan saja apa yang akan terjadi, kecuali jika para prajurit itu hendak membunuh anak muda yang dengan sengaja ingin menjajagi kemampuan prajurit-prajurit Singasari itu.

“Jika mereka sekedar memukuli aku, meskipun bersama-sama, biarkan sajalah. Itu akan dapat dijadikan alasan kawan-kawanku datang kebarak membela aku. Tetapi jika mereka akan membunuhku, terserah kepada kalian.” berkata murid Empu Purung yang ingin menjajagi kemampuan prajurit Singasari itu.

Dalam pada itu, Mahisa Bungalan pun telah bersiap menghadapi kemungkinan yang akan datang. Sejenak ia memandang anak muda yang berdiri di hadapannya. Namu sejenak kemudian ia sudah harus meloncat menghindar karena anak muda itu sudah mulai menyerangnya dengan garang.

Mahisa Bungalan sempat menilai serangan itu. Sebagai seorang yang memiliki pengalaman dan kemampuan yang tinggi maka ia pun segera mengetahui, bahwa sebenarnyalah anak muda itu adalah anak muda yang baru saja mendapatkan beberapa jenis ilmu kanuragan.

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun jika anak muda itu menghadapi prajurit Singasari yang baru saja menyelesaikan pendadaran, mungkin ia masih akan dapat tertawa. Tetapi yang dihadapi adalah kebetulan sekali seseorang yang bernama Mahisa Bungalan, anak Mahendra.

Karena serangannya yang pertama gagal, maka anak muda itu pun segera mengulangi serangannya. Lebih cepat dan lebih keras. Namun Mahisa Bungalan masih berusaha untuk menghindar, agar tidak terjadi benturan kekuatan. Tetapi sikap Mahisa Bungalan itu telah membuat anak muda itu semakin marah. Geraknya menjadi semakin cepat dan mantap, karena ia menyangka bahwa prajurit Singasari itu hanya mampu meloncat menghindar serangannya

Namun pada serangan ketiga, Mahisa Bungalan bersikap lain. Ketika anak muda itu meloncat sambil memukul ke arah dadanya, maka Mahisa Bungalan pun bergeser ke samping. Ia berhasil menangkap tangan anak muda itu, dan dengan dorongan kekuatan serangannya sendiri, Mahisa Bungalan menariknya dalam sebuah putaran. Tetapi pada putaran berikutnya Mahisa Bungalan telah melepaskan tangan itu, sehingga anak muda itu pun terlempar beberapa langkah.

Bahkan, putaran itu telah mengganggu perasaan keseimbangan anak muda itu, sehingga karena itu, maka ia pun telah terhuyung-huyung dan kemudian terjatuh beberapa langkah dari Mahisa Bungalan. Cara Mahisa Bungalan melemparkan lawannya ternyata telah meledakkan tertawa beberapa orang prajurit Singasari yang melihat perkelahian itu, meskipun mereka berusaha menahannya.

Apalagi kemudian ternyata Mahisa Bungalan tidak bersikap sebagai seseorang yang benar-benar berkelahi dalam permusuhan. Mahisa Bungalan tidak memburu lawannya yang tertatih-tatih berdiri dan mempergunakan kesempatan itu untuk menghantamnya dan menjauhkannya lagi. Ia hanya melangkah perlahan-lahan mendekat dan kemudian berdiri dengan tenang menunggu lawannya berdiri tegak.

Wajah anak muda itu menjadi merah padam. Kemarahannya benar-benar telah melonjak sampai ke ubun-ubun. Karena itulah maka ia pun segera tegak berdiri dan siap untuk bertempur dengan segenap kemampuan yang ada padanya.

Mahisa Bungalan telah berdiri tegak, menghadapinya. Dalam sentuhan-sentuhan yang telah terjadi, maka Mahisa Bungalan pun segera mengetahui bahwa ia tidak perlu bersungguh-sungguh menghadapi anak muda itu. Apalagi Mahisa Bungalan tidak mengetahui latar belakang yang sesungguhnya, kenapa anak muda itu telah menyerangnya

Sesaat anak muda itu memperbaiki kedudukannya. Kemudian ia mulai dengan serangan-serangannya kembali. Namun ia sama sekali tidak berhasil menyentuh lawannya. Bahkan pakaiannya pun tidak.

Mahisa Bungalan dengan sengaja hanya menghindari serangan anak muda itu saja tanpa membalas menyerang, ia ingin membiarkan anak muda itu kelelahan dan menghentikan perlawanannya atas kehendak sendiri. Seperti yang diperhitungkan Mahisa Bungalan, semakin lama orang itu pun menjadi semakin lemah. Tetapi sejalan dengan itu, kemarahanya pun menjadi semakin membakar hatinya.

Ketika tenaganya sudah menjadi jauh susut, sementara Mahisa Bungalan seakan-akan berkeringat pun belum, apalagi beberapa orang prajurit Singasari yang menonton perkelahian itu setiap kali mentertawakannya, maka ia pun telah kehilangan pengamatan diri. Hampir di luar sadarnya, maka ia pun telah mencabut pisau belati yang terselip di dalam sarungnya di punggung.

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Dengan nada datar ia berkata, “Kau sudah kesurupan. Apakah kau akan mempergunakan senjata?”

“Persetan. Aku akan membunuhmu” geram anak muda itu.

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Anak muda itu. Benar-benar telah menjadi marah sekali...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.