PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 37
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 37
Karya Singgih Hadi Mintardja
PARA pemimpin dari kelompok-kelompok kecil itu merasa sangat berterima kasih kepada petugas-petugas yang dengan sabar menunggu kedatangan kawan-kawannya yang tidak menyadari bahwa bahaya tengah mengancam di sepanjang jalan.
“Jadi, apakah yang harus kami lakukan?” bertanya pemimpin kelompok itu.
“Melingkari bulak panjang dan langsung pergi ke dinding Kota Raja. Baru kalian merayap sepanjang dinding samping untuk mencapai pintu gerbang. Itu pun harus kalian lakukan dengan sangat hati-hati. Jika kalian terlalu dekat dengan padukuhan itu dan diketahui oleh pengawas-pengawas mereka, maka nasib kalian akan menjadi sangat buruk.”
Para pemimpin kelompok itu kemudian membawa pasukan kecil mereka melingkari agak jauh dari padukuhan-padukuhan yang diketahui sebagai tempat peristirahatan pasukan dari Mahibit yang siap menerkam Kota Raja.
Ternyata kehadiran satu dua kelompok itu dapat diketahui oleh para pengawas dari Mahibit. Ternyata mereka telah mengadakan gerakan di malam hari. Mereka menebar semakin luas untuk mencegah kehadiran kelompok-kelompok baru masuk ke pintu gerbang Kota Raja. Petugas-petugas sandi Singasari segera melaporkan gerakan itu. Namun dengan demikian petugas-petugas sandi yang harus bertebaran justru menjadi semakin banyak.
“Keadaan sangat gawat” berkata seorang Senapati, “Karena itu, biarlah kelompok-kelompok kecil itu berada di belakang pasukan Mahibit. Pada suatu saat mereka tentu akam diperlukan. Jika orang-orang Mahibit berhasil memecahkan pintu gerbang, maka mereka justru akan menyergap dari belakang sisa-sisa pasukan Mahibit yang tentu akan berdesakan memasuki Kota Raja.”
Dengan perintah itu, maka kelompok-kelompok kecil yang berdatangan kemudian, tetap berada di belakang pasukan Linggapati, sampai saatnya mereka mendapat perintah untuk mendekat.
“Pasukan ini teramat kecil.” berkata seorang pemimpin kelompok, “Apa yang dapat kami lakukan.”
“Sekedar mengganggu ekor pasukan Linggapati yang memasuki Kota. Namun yang sekedar itu tentu akan mempunyai arti, karena yang berada di belakang pasukan Mahibit ini tentu tidak hanya satu dua kelompok. Tetapi mungkin ada sepuluh, bahkan lebih.”
Para pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Meskipun jumlah mereka tidak seberapa, tetapi mereka memang akan dapat membuat kejutan bagi ekor pasukan Mahibit.
Dalam pada itu, malam pun berjalan betapapun lambannya. Seperti para prajurit Singasari, maka sebagian dari pasukan Mahibit sempat juga beristirahat barang sejenak menjelang fajar menyingsing.
Agaknya Linggapati mempergunakan bintang-bintang sebagai isyarat. Ketika bintang panjer wengi tenggelam di ujung Barat dan bintang penjer rima mulai nampak di Timur dengan cahaya yang putih kebiru-biruan, maka pasukannya pun mulai bersiap-siap tanpa aba-aba. Setiap kelompok yang ada di padukuhan yang terpisah telah mengetahui bahwa saat bintang panjerina mulai nampak, mereka harus mempersiapkan diri dan kemudian berangkat menuju ke medan.
Karena itulah, maka tanpa ada bunyi isyarat apapun, ternyata bahwa pasukan Mahibit itu sudah mulai bergerak. Dalam gelapnya sisa malam menjelang fajar, mereka merayap di tengah-tengah bulak mendekati dinding Kota Raja.
Agak berbeda dengan pasukan Empu Baladatu, ternyata orang-orang Mahibit tidak memusatkan kekuatan pasukannya pada pintu gerbang, meskipun mereka telah mempersiapkan pula macam-macam alat untuk memecahkan pintu. Diantaranya seperti yang pernah dilakukan oleh pasukan Empu Baladatu. Sepotong kayu yang panjang dan cukup besar untuk menghentak pintu itu dari luar.
Ternyata bahwa untuk beberapa saat mereka berhasil mendekati dinding tanpa diketahui oleh pasukan Singasari karena sama sekali tidak ada tanda-tanda dan isyarat yang nampak atau terdengar. Karena itulah, maka prajurit peronda yang berada di atas dinding telah terkejut ketika melihat dalam gelapnya malam seakan-akan, batang-batang jagung itulah yang bergerak bagaikan hanyut mendekati dinding.
“He, kau lihat dalam gelap itu?”
“Aku memang melihat sesuatu? He, apakah mataku sudah rabun?”
“Tidak. Kita memang melihat gerakan. Lihat, dari ujung bulak sampai ke ujung bulak.”
Peronda itu memanggil beberapa orang kawannya. Anak-anak muda yang jemu menunggu di pintu gerbang, nampaknya tertidur diluar sadar. Tetapi mereka terbangun juga oleh kegelisahan para penjaga.
“Apa yang kalian lihat?”
Tiba-tiba saja peronda yang tertua terpekik, “Pasukan. Lihat dengan tajam. Yang datang itu bukannya betang-betang jagung yang hanyut didorong angin. Tetapi pasukan Mahibit datang dalam gelar yang panjang sekali hampir mengelilingi dinding Kota Raja.”
Sejenak kemudian telah terdengar suara kentongan yang memang disediakan di atas pintu gerbang, yang ternyata telah mengejutkan penjaga di dalam gardu. Tanpa bertanya lagi mereka menyadari, bahwa bahaya sudah mendekati. itulah sebabnya mereka pun segera memukul kentongan yang besar di gardu itu dengan irama titir.
Sekejap kemudian maka suara kentongan itu pun telah memenuhi seluruh Kota Raja. Di setiap gardu telah tersedia kentongan, sehingga seluruh Kota Raja pun kemudian dipenuhi oleh suara kentongan yang berbunyi di gardu-gardu.
Para prajurit yang sedang beristirahat terkejut mendengar suara titir. Dengan serta merta mereka membenahi diri meskipun terasa badan mereka masih belum segar setelah dengan terkejut bangun dari tidur. Beberapa orang yang bertugas di atas dinding pun segera memanjat. Betapapun tergesa-gesa. mereka tidak lupa busur dan anak panah.
Ternyata prajurit-prajurit Simgasari tidak mendapat banyak kesempatan untuk mengatur diri. Demikian suara kentongan meledak, maka Linggapati telah berteriak memerintahkan agar pasukannya menyerbu Kota Raja. Sejenak kemudian, maka bayangan yang, bergerak-gerak di dalam keremangan sisa-sisa malam itupun bagaikan bergetar. Sejenak kemudian seperti banjir mereka pun berlarian menyerang.
Dengan mata yang masih berat, pasukan Singasari telah mempersiapkan diri pula. Mereka yang berada di atas dinding adalah mereka yang bersenjata panah dan tombak panjang. Ketika para prajurit mulai hadir di tempat masing-masing, orang-orang Mahibit telah menjadi semakin dekat. Mereka mulai berteriak memekakkan telinga.
Namun demikian mereka memasuki jarak jangkau anak-anak panah yang di lontarkan dengan busur dari atas dinding, maka di sekitar dinding Kota Raja itu pun seakan-akan telah turun hujan anak panah yang bagaikan dicurahkan. Pasukan yang maju itu terhenti. Bahkan mereka pun segera bergerak mundur. Mereka mencoba melindungi diri mereka dengan perisai-perisai baja dan kayu.
Di muka pintu gerbang, keadaannya juga serupa. Mereka yang memakai perisai sajalah yang kemudian mendekat dengan berlindung di bawah perisai masing-masing. Namun ketika mereka menyadari bahwa pintu gerbang harus dipecahkan, maka pemimpin kelompok yang bertugas memecah pintu gerbang itu berteriak, “Lindungi kami. Kami akan membuka pintu itu.”
Maka orang-orang Mahibit pun telah membalas serangan itu dengan anak panah pula. Tetapi jumlah mereka yang bersenjata panah terlalu sedikit untuk menyerang Kota Raja dari segala jurusan. Itulah sebabnya mereka sebagian telah berkumpul di semua pintu gerbang.”
Beberapa puluh perisai segera melindungi para pengikut Linggapati yang sedang berusaha memecah daun pintu. Mula-mula mereka mengangkat balok, tidak di atas pundak, tetapi ditinting dengan tangan. Kemudian mereka berlari sekencang-kencangnya sambil membenturkan balok yang panjang itu pada pintu gerbang.
Anak panah yang dilontarkan oleh para prajurit yang berada di atas pintu gerbang telah membentur perisai yang bagaikan payung di atas kepala para pengikut Linggapati itu, sehingga anak panah itu tidak dapat menyentuh tubuh mereka. Anak-anak muda yang berada di atas pintu gerbang itu mengerutkan keningnya ketika mereka melihat, bagaimana orang-orang Mahibit melindungi diri dan kawan-kawannya dari serangan anak panah.
“Saatnya sudah tiba.” berkata seorang anak muda.
“Ya. Kita menyerang sekarang.”
Demikianlah maka anak-anak muda yang mengenakan kantong-kantong kulit di tangannya segera mempergunakan bumbung penyemprot mereka. Dengan geram mereka pun kemudian menghisap air yang sudah mereka sediakan. Air rawe dan air cabe yang panas.
Ketika para pengikut Linggapati ilu membenturkan balok panjang itu pada pintu gerbang, maka anak-anak muda itu pun segera melontarkan air di dalam bumbung-bumbung mereka. Di depan pintu gerbang itu pun kemudian bagaikan hujan turun dari atas dinding. Mula-mula mereka tidak mengerti, apakah artinya air yang disemprotkan itu.
Namun sejenak kemudian, akibatnya mulai mereka rasakan. Para pengikut Linggapati yang terkena air rawe pun bagaikan gila menggaruk tubuhnya yang gatal, sementara yang dikenai air cabe, menjadi bingung oleh panas dan pedih. Terutama di mata mereka.
Ternyata serangan-serangan anak-anak muda itu sangat berpengaruh. Terutama mereka yang terkena air rawe, sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa lagi selain menggaruk tubuh mereka sendiri yang menjadi panas dan gatal tanpa banding.
“Apa yang terjadi?” bertanya seorang pemimpin kelompok mereka yang segera mendekati mereka.
“Air rawe. Tubuhku menjadi gatal-gatal seluruhnya.”
“Tubuhku menjadi panas seperti tersentuh api.” sementara yang lain lagi berteriak, “Aku tidak dapat melihat lagi.”
Anak-anak muda itu pun kemudian dengan gigihnya telah melakukan tugas mereka dari atas dinding. Satu dua di antara mereka ternyata telah sampai pada batas hidup mereka. Anak panah orang Mahibit yang tidak banyak jumlahnya itu pun telah mematuk korban dari para prajurit dan mereka yang telah menyiapkan diri untuk bertempur.
Dalam pada itu, ketika ternyata pintu gerbang tidak segera terbuka, maka para pengikut Linggapati tidak lagi memberatkan serangan mereka pada pintu gerbang yang dijaga oleh anak-anak muda yang rusuh itu. Beberapa orang pengikut Linggapati telah memindahkan perhatian mereka pada dinding Kota Raja. Mereka mulai memikirkan, apakah mereka akan dapat memanjat dinding itu dengan tangga.
Sementara itu, maka orang-orang Mahibit pun tidak henti-hentinya menyerang para prajurit Singasari dengan anak panah dan bahkan kadang-kadang mereka telah melontarkan tombak mereka. Namun serangan dari atas dinding Kota Raja agaknya lebih banyak memberikan hasil. Sedangkan jarak jangkaunya pun jauh lebih panjang dari lontaran dari luar dinding Kota Raja itu.
Tetapi orang-orang Mahibit tidak berputus asa. Karena anak muda yang berada di atas pintu gerbang itulah yang telah menyebabkan para pengikut dari Mahibit itu mengalami hambatan yang lebih besar dari serangan anak panah, maka mereka mulai mengarahkan perhatian mereka kepada anak-anak muda itu.
“Arahkan serangan kalian kepada mereka.” perintah Linggapati.
Para prajurit yang bersenjata panah pun kemudian berkumpul di muka pintu gerbang. Mereka dengan serentak telah menghujani para prajurit dan anak-anak muda yang berada di atas pintu gerbang itu dengan anak panah. Tetapi dalam pada itu, serangan dari atas pintu gerbang pun bagaikan hujan yang tercurah dari langit.
“Apa yang dapat kita lakukan?” bertanya para pemimpin kelompok kepada Linggapati.
“Kita pecahkan pintu butulan.” desis Linggapati.
Para pemimpin kelompok pun mulai mempertimbangkannya. Mereka mencoba untuk melakukannya. Dikirimkannya beberapa orang unjuk menemukan gerbang butulan di bagian samping dari Kota Raja. Ternyata bahwa pintu butulan itu pun dijaga rapat. Di atas pintu butulan itu pun terdapat beberapa orang prajurit. Namun para pengikut Linggapati tidak melihat anak-anak muda di atas gerbang pintu butulan.
“Kita tetap di sini” perintah Linggapati, “Biarlah dengan diam-diam beberapa orang pergi ke pintu butulan itu dan berusaha memecahkannya. Mereka harus memasuki pintu itu sementara kita berusaha membuka pintu-pintu butulan yang berada di sisi yang lain.”
Para pemimpin kelompok telah melaksanakannya sebaik-baiknya. Tidak ada kesan bahwa Linggapati akan memindahkan serangan mereka pada gerbang butulan di sisi dinding Kota Raja itu.
Sekelompok-kelompok kecil dari para pengikutnya yang banyak itu telah mempersiapkan diri dengan perintah khusus. Para pengikut Linggapati yang bertebar panjang itu terhenti di luar jarak jangkau anak panah para prajurit Singasari kecuali mereka yang berada di muka pintu gerbang, yang melindungi diri dengan perisai. Tetapi mereka pun telah berusaha untuk tidak dapat disentuh oleh air yang disemprotkan oleh anak-anak muda yang berada di atas pintu gerbang.
Dalam pada itu, beberapa orang pengikut Linggapati telah bergeser. Mereka mendapat tugas untuk memecahkan pintu butulan, sementara bagian dari pasukan mereka yang paling dekat dengan butulan itu pun telah mendapat perintah untuk segera memasuki pintu butulan itu jika pintu itu berhasil dipecahkan. Gerakan itu tidak banyak menarik perhatian. Namun mereka telah benar-benar mempersiapkan diri untuk melakukan tugas mereka.
Seperti yang diperintahkan oleh Linggapati, maka setelah persiapan mereka selesai, maka tiba-tiba saja sekelompok pengikut Linggapati itu pun telah berlari menuju ke pintu gerbang butulan. Tetapi mereka tidak mempergunakan sebatang kayu yang panjang dan besar, tetapi agar persiapan mereka tidak segera diketahui para prajurit Singasari, maka mereka pun mempergunakan tangga-tangga kayu yang memang sudah mereka bawa untuk memanjat dinding.
Serangan itu memang mengejutkan. Para prajurit yang berada di atas dinding di sekitar pintu gerbang butulan itu tidak menyangka bahwa para pengikut Linggapati akan menyerang gerbang butulan. Namun mereka pun telah bersiaga menghadapi segala kemungkinan, sehingga mereka pun segera menghujani anak panah pula kepada orang-orang yang berlari-lari menyerang.
Tetapi anak panah itu dapat di tahan dengan perisai-perisai. Tidak ada anak-anak muda di atas pintu gerbang butulan itu yang mempergunakan rawe dan cabe yang dicairkan untuk menyerang. Dengan sekuat tenaga beberapa orang telah menghantam pintu gerbang samping itu dengan tangga kayu. Tidak hanya sebuah tangga, tetapi berganti-ganti mereka melakukannya sehingga kemudian selarak pintu itu pun menjadi retak.
Laporan tentang serangan pada pintu gerbang samping itu pun telah sampai ke pimpinan prajurit Singasari. Untuk melawan kemungkinan itu, maka sepasukan prajurit telah di kirim untuk memperkuat pertahanan di belakang pintu gerbang butulan itu.
Linggapati sendiri masih berada di muka pintu gerbang induk. Ia menunggu laporan dari pengikutnya yang telah berusaha memecahkan pintu gerbang butulan. Jika mereka berhasil, maka perhatian sebagian prajurit Singasari tentu akan berpaling ke pintu butulan itu.
Tetapi pasukan Singasari tetap menjaga keseimbangan dan kekuatan yang ada. Selama pasukan Mahibit masih berkumpul di muka pintu gerbang, maka prajurit Singasari pun sangat berhati-hati membagi kekuatannya.
Dalam pada itu, pasukan Linggapati yang menebar masih belum mendekati dinding, selain pasukan khususnya yang, bertugas memecah gerbang. Namun pasukan itu pun tidak terlepas ciari pengamatan pasukan Singasari, sehingga pasukan Singasari yang ada di dalam dinding pun menyesuaikan diri dengan kemungkinan arus kekuatan pasukan Linggapati.
Sementara itu, selarak pintu gerbang butulan pun tidak lagi mampu bertahan. Hentakan dari luar yang datang bagaikan ombak yang memecah pantai, akhirnya berhasil mematahkan selarak pintu itu. Seperti bendungan pecah, maka pasukan Linggapati pun kemudian mengalir memasuki pintu gerbang. Tetapi karena pintu gerbang butulan tidak selebar pintu gerbang induk, maka arus pasukan itu pun telah tertahan karena justru mereka saling berdesakan.
Sementara pasukan itu berusaha berhimpitan memasuki pintu gerbang, maka pada saat itu, berpuluh-puluh anak panah telah meluncur mematuk lawan yang berdiri di depan pintu gerbang itu. Seperti yang pernah terjadi saat-saat pasukan Empu Baladatu memasuki pintu gerbang, maka selapis pasukan lawan pun telah jatuh tertelungkup, sementara selapis di belakangnya berusaha mendesak maju. Namun sekali lagi anak panah prajurit Singasari lelah meluncur bagaikan ditaburkan dari busurnya. Dan sekali lagi lapisan-lapisan itu bagaikan terkelupas.
Agaknya pasukan para pengikut Linggapati itu menyadari keadaan mereka, sehingga karena itulah, maka kemudian mereka pun mulai mengatur diri. Mereka yang berperisai telah mengambil tempat dipaling depan. Namun sementara itu, para prajurit yang berada di atas dinding pun masih terus menghujani mereka dengan panah dan tombak.
Melihat pintu gerbang butulan yang pecah, maka pasukan yang semula masih mengambil jarak sejauh jarak jangkau anak panah itu pun segera mendesak maju. Mereka langsung menempatkan diri pada jalur pasukan yang akan memasuki pintu butulan yang sudah pecah itu.
Ternyata pasukan Singasari tidak dapat menahan arus lawan yang berdesakan memasuki pintu gerbang sambil berlindung di balik perisai. Karena itu, maka pasukan Singasari pun segera melingkar mengepung separo lingkaran gerbang yang sudah terbuka dengan pasukan berlapis. Sejenak kemudian maka arus pasukan lawan itu pun mengalir memenuhi setengah lingkaran yang dipagari oleh pasukan Singasari. Pertempuran yang dahsyat pun tidak dapat dihindarkan lagi. Pada benturan pertama, senjata mereka pun telah mulai dilumuri oleh darah.
Demikian pasukan Linggapati menghantam pertahanan pasukan Singasari, maka pasukan Singasari pun segera membuat gelar Jurang Grawah. Pasukan pada lapis pertama seolah-olah telah tersibak oleh pasukan lawan. Namun ternyata bahwa di belakang lapisan pertama telah menunggu pasukan dari lapis kedua yang kuat, sehingga ketika lapis pertama itu menutup, maka pasukan yang sudah terperosok ke dalam jebakan itu pun satu demi satu dibinasakan.
Tetapi semakin lama pasukan Linggapati pun menjadi semakin banyak, sehingga prajurit Singasari mulai terdesak mundur, sehingga dengan demikian maka kepungan itu pun menjadi semakin luas. Desakan itu pun tidak dibiarkan saja oleh para prajurit Singasari. Setiap peristiwa yang terjadi, para penghubung, selalu menyampaikan laporan terperinci, sehingga karena itu, para Senapati dapat mengambil sikap yang tepat untuk menanggapi keadaan. Dalam pada itu, pasukan yang ada di pertahanan yang berlapis pun selalu siap menghadapi segala kemungkinan. Di sudut tikungan, di simpang empat dan di simpang tiga.
Sementara itu pasukan Empu Sanggadaru pun telah memencar pula di antara pasukan Singasari. Bahkan bekas pengikut Empu Baladatu pun telah berada di segala tempat, berbaur dengan para prajurit dan para pengikut Empu Sanggadaru, sehingga jumlah mereka pun akhirnya menjadi cukup banyak untuk mengimbangi pasukan Linggapati. Apalagi di antara mereka, setiap laki-laki telah keluar pula menggabungkan diri dengan para prajurit di sudut-sudut tikungan. Mereka siap melawan orang-orang Mahibit yang berhasil menerobos pertahanan pada lapis sebelumnya dan membinasakannya.
Tetapi orang-orang Mahibit tidak puas dengan pecahnya sebuah pintu gerbang butulan. Mereka pun mulai berusaha memecahkan butulan yang lain dengan cara yang sama.
“Gila.” geram seorang Senapati, “Akhirnya mereka tidak memasuki Kota Raja lewat gerbang utama.”
Namun di muka pintu gerbang utama masih berkumpul sekelompok pasukan Lingapati. Bahkan di belakangnya masih nampak seleret pasukan yang siap memasuki pintu gerbang itu jika pintu itu pecah. Tetapi ternyata bahwa usaha memasuki Kota Raja itu memang sudah berpindah dari gerbang utama ke pintu-pintu butulan. Dalam pada itu, prajurit Singasari pun segera menyesuaikan diri dengan menempatkan pasukan di muka pintu-pintu butulan yang menjadi sasaran lawan.
Dalam pada itu Linggapati masih berada di luar dinding halaman, masih belum dapat menyaksikan pertempuran yang telah terjadi. Ketika seorang pengawalnya menerima laporan bahwa pasukan Singasari ternyata masih cukup kuat menahan arus pasukannya, Linggapati hanya tersenyum saja. Ia yakin, bahwa pasukan Singasari telah menjadi sangat lemah, apalagi ketika ia berpaling. Sebagian pasukannya masih tetap menunggu perintahnya.
Ketika hari menjadi semakin cerah oleh sinar matahari, maka peluh yang kemerah-merahan karena darah yang meleleh dari luka, membuat kedua belah pihak menjadi semakin garang. Mereka tidak lagi sempat berpikir mengenai diri mereka berhadapan dengan sesama. Yang ada di dalam hati adalah kemarahan dendam dan kebencian yang memuncak.
Di halaman istana Singasari, Ranggawuni dan Mahisa Cempaka berada di antara para Senapati dan para pemimpin pemerintahan Mereka selalu mengikuti setiap perkembangan yang terjadi, lewat laporan-laporan para penghubung yang berada di medan.
“Kita harus segera mengikuti perkembangan itu langsung.” berkata Lembu Ampal.
Mahisa Agni mengangguk. Kemudian katanya kepada Ranggawuni, “Tuanku. Apakah hamba dapat memerintahkan para Senapati untuk membagi diri. Lawan kini berada di pintu-pintu gerbang samping. Mereka sudah mulai memasuki Kota Raja dan mengalir lewat jalan-jalan raya menuju ke halaman istana. Berbeda dengan jalan yang ditempuh oleh Empu Baladatu, karena ia mengambil satu jalan kemudian membelah diri dan akhirnya menuju ke halaman istana ini. Sedangkan Linggapati memasuki Kota Raja lewat beberapa pintu butulan, dan mengalir langsung menuju ke halaman istana.”
Ranggawuni mengangguk sambil menjawab, “Terserahlah kepada paman. Mana yang baik menurut perhitungan paman, dapat paman perintahkan kepada para Senapati.”
Mahisa Agni pun kemudian membagi para Senapati untuk menghadapi pasukan Linggapati yang memasuki Kota Raja lewat beberapa pintu gerbang. Lembu Ampal akan memimpin sepasukan prajurit dan akan hadir di pintu gerbang samping, sedang di pintu gerbang samping yang lain akan bertugas Witantra bersama seorang Senapati muda disertai sepasukan prajurit. Sementara seorang Senapati yang berpengalaman akan berada di gerbang butulan sebelah belakang, disertai Mahendra dan kedua anaknya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Sementara itu Mahisa Agni berkata kepada Mahisa Bungalan, “Kau akan tetap berada di depan gerbang utama. Aku yakin, bahwa Linggapati menunggu kesempatan untuk memasuki pintu gerbang itu dengan pasukannya yang kuat.”
“Baik paman.” jawab Mahisa Bungalan, “Aku akan berada di pintu gerbang utama.”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berpaling kepada Empu Sanggadaru yang berdiri termangu-mangu. Katanya, “Empu. Aku minta Empu berada di istana ini bersamaku. Bukankah Empu tidak perlu berada di antara pasukan Empu yang tersebar itu?”
Empu Sanggadaru tersenyum. Katanya, “Aku akan melakukan segala perintah. Aku sudah menempatkan diri di bawah perintah pimpinan prajurit Singasari.”
Mahisa Agni tersenyum. Jawabnya, “Terima kasih Empu. Biarlah yang lain melakukan tugasnya di luar halaman istana. Tetapi menurut perhitunganku, pasukan yang ada di halaman inipun harus bersiap menghadapi segala kemungkinan.”
Demikianlah, maka para Senapati itu pun segera mulai berpencar dengan sekelompok prajurit kepercayaan. Mereka harus mengatasi kesulitan yang timbul di medan. Karena keadaan yang tiba-tiba masih mungkin sekali terjadi.
Dalam pada itu, pintu-pintu butulan sebelah menyebelah, dan bahkan pintu butulan di arah belakang istana, memang sudah berhasil dipecahkan oleh pasukan Mahibit. Tetapi mereka harus bertempur mati-matian untuk dapat menembus pasukan lawan yang telah memagari jalan menuju ke halaman istana.
Tetapi pasukan Mahibit yang memecahkan pintu samping, ternyata telah melakukan usaha yang semula agak membingungkan. Sepasukan pengikut Linggapati yang berhasil menerobos kepungan, tidak dengan tergesa-gesa menuju ke halaman. Tetapi mereka berlari-lari menyusuri dinding.
“Hentikan mereka.” teriak seorang Senapati.
Tetapi mereka berusaha untuk dengan segenap kemampuan mereka, mendekati pintu gerbang utama.
“Mereka membuka pintu gerbang dari dalam.” teriak seorang pengawal.
Seorang Senapati muda yang mendengar teriakan-teriakan itu berkata, “Perbuatan gila. Mereka tidak akan berhasil mendekati gerbang. Di dalam gerbang pasukan Singasari berdiri berjejal-jejal.”
Tetapi ternyata mereka sekedar memancing perhatian. Selagi para prajurit sibuk memperhatikan sekelompok pengikut yang menuju ke pintu gerbang utama, maka serangan yang tiba-tiba pun telah diulang oleh pasukan Linggapati. Agaknya salah seorang pengikut yang mendekati pintu gerbang itu telah melontarkan tengara bagi induk pasukannya.
Ternyata bahwa sikap itu tidak hanya dilakukan oleh sekelompok pengikut Linggapati itu. Beberapa kelompok yang lain pun telah melakukan perbuatan serupa. Bahkan mereka yang berhasil memasuki pintu gerbang butulan dari arah lain pun telah berusaha menyerang para prajurit yang berada di pintu gerbang utama itu. Dengan demikian maka para prajurit Singasari pun sadar bahwa agaknya para pengikut Linggapati akan membuka gerbang utama itu dengan segala macam cara.
Karena itulah, maka pertahanan utama masih tetap mengarah ke pintu gerbang induk. Beberapa kelompok prajurit berusaha memotong para pengikut Linggapati yang menuju ke pintu gerbang setelah mereka berada di Kota Raja. Tetapi karena hal itu kurang diperhitungkan sejak semula, maka usaha mereka tidak banyak memberikan hasil, sehingga kelompok-kelompok pasukan yang menyusup lewat pintu-pintu gerbang butulan akhirnya dapat juga menganggu para prajurit yang berada di pintu gerbang.
Ternyata bahwa anak-anak muda yang bermain-main dengan air batang rawe dan cabe itu terpengaruh juga oleh anak panah yang datang, dari dua arah, sehingga sebagian dari mereka mulai menjadi gelisah.
Pada saat-saat yang demikian, maka Linggapati yang agaknya tidak cepat menjadi putus asa itu, telah mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Sekali lagi mereka menghantam pintu gerbang itu dengan batang kayu yang, besar. Sementara pasukannya melindungi dengan anak panah. Bukan saja dari luar, tetapi yang sudah berada di dalamnya melakukannya pula.
Sementara itu, prajurit Singasari dengan mudah dapat menghalau kelompok-kelompok kecil yang menyerang mereka dari dalam. Namun dengan demikian, maka perhatian mereka benar-benar terpecah. Prajurit yang berada di atas dinding harus memperhatikan lontaran senjata dari dalam pula. karena anak panah dan bandil telah menimbulkan korban pula di antara mereka.
Ternyata bahwa selarak pintu yang sudah diperkuat itu pun akhirnya retak juga. Anak-anak muda yang berada di atas pintu gerbang itu, sebagian masih juga sempat bukan saja menyemprotkan dengan bumbung-bumbung bambu tetapi tanpa mengingat diri mereka sendiri, mereka telah menuangkan belanga yang mereka bawa naik ke atas dinding. Namun betapapun juga, akhirnya serangan dari dua arah itu telah berhasil mematahkan selarak pintu gerbang induk itu, sehingga pintu gerbang itu pun telah pecah.
Ternyata bahwa para prajurit Singasari tidak melawan mereka di muka pintu gerbang. Mereka masih sempat memberi kesempatan anak-anak muda di atas dinding untuk menuangkan sisa-sisa air mereka yang gatal yang panas, sementara para prajurit pun kemudian melindungi mereka dengan senjata jarak jauh, untuk memberi kesempatan mereka meninggalkan pintu gerbang itu dan berlari sepanjang dinding.
Satu dua diantara mereka, tidak dapat meloloskan diri dari ujung anak panah lawan. Namun sebagian dari mereka berhasil mencapai batas yang tidak terlalu gawat lagi meskipun mereka masih harus berhati-hati karena di luar lawan nampak semakin melekat dinding dan memencar sambil menunggu kesempatan untuk memasuki pintu gerbang.
Prajurit Singasari tidak berusaha menahan lawan mereka di pintu gerbang, karena arus mereka agaknya terlalu deras, sementara lawan yang sudah berada di dalam dinding pun selalu mengganggu. Karena itulah, maka Singasari telah menarik prajuritnya mundur sehingga perlahan-lahan pasukan lawan pun mengalir memasuki pintu gerbang induk.
Mahisa Bungalan yang berada di hadapan pintu gerbang itu pun menyesuaikan diri dengan perimbangan pertempuran. Ia pun menarik diri di antara para prajurit. Namun kemudian Mahisa Bungalan mencoba untuk bertahan pada sandaran lapisan ketiga, menghadap jalan lurus menuju ke halaman istana.
Ternyata bahwa jalan-jalan yang memencar pun telah tertutup rapat oleh pasukan Singasari yang bertahan dalam lapisan demi lapisan. Tidak saja di jalan-jalan tetapi di halaman dan dinding-dinding baru yang menyekat halaman dengan halaman.
Pasukan Linggapati yang semula merasa mendapat jalan lapang menuju ke halaman istana, ternyata telah membentur pertahanan yang kuat di segala medan. Pasukan Singasari yang berlapis-lapis ternyata tidak segera dapat tertembus semudah yang mereka duga.
“Setan manakah yang masih membantu Singasari sehingga mereka masih mampu menahan arus kekuatanku.” geram Linggapati di antara pasukannya yang tertahan.
Namun dalam pada itu, Linggapati masih mengharap hubungan dengan pasukannya yang sudah memasuki Kota Raja lewat gerbang butulan, dan yang tentu sudah berpencaran. Mereka merupakan kekuatan yang harus diperhitungkan, baik oleh Linggapati sendiri terlebih lagi oleh Singasari.
Dalam pada itu, prajurit Singasari yang ternyata masih dihinggapi perasaan dendam dan kebencian karena pertempuran melawan Empu Baladatu yang belum lama, sehingga seolah-olah peluh yang meleleh di tubuh mereka masih belum kering, erang kesakitan kawan-kawan mereka masih terngiang di telinga, kini mereka telah menghadapi musuh baru. Dengan demikian, maka para prajurit Singasari rasa-rasanya bertempur dengan garangnya tanpa menghiraukan kemungkinan yang akan dapat menimpa diri mereka.
Sejenak kemudian maka pertempuran di Kota Raja itu pun telah menyala dengan dahsyatnya. Singasari yang disangka telah terlalu lemah, ternyata masih dapat bertahan dengan kuatnya. Karena Linggapati tidak memperhitungkan sama sekali kehadiran kelompok- kelompok kecil yang tersebar, pasukan Empu Sanggadaru yang kuat dan bekas pengikut Empu Baladatu.
Itulah sebabnya, maka pasukannya kemudian telah terbentur pada pertahanan yang kuat. Bahkan induk pasukannya pun hanya dapat maju bergeser setapak demi setapak. Tetapi Linggapati tetap berpengharapan untuk dapat menguasai Kota Raja. Betapapun lambatnya, tetapi ia berhasil mendesak terus. Bahkan dengan perhitungan, bahwa pasukan-pasukannya yang menembus gerbang-gerbang butulan akan segera menusuk ke tengah-tengah kota dan memecah perhatian pasukan Singasari yang berlapis-lapis.
Namun ternyata bahwa pasukan yang memecah pintu butulan di arah belakang, segera tertahan oleh pasukan Singasari. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang bertempur bersama ayahnya, ternyata telah membingungkan lawannya. Orang-orang Mahibit yang memasuki pintu gerbang butulan di arah belakang itu, benar-benar kehilangan akal jika mereka herhadapan dengan kedua anak-anak muda yang nakal itu.
Sementara itu pasukan yang membelah pintu gerbang samping, sebagian justru telah bergabung dengan pasukan induk mereka karena mereka telah menyelusur jalan di seputar bagian dalam Kota Raja saat-saat mereka berusaha membantu kawan-kawan mereka yang ingin menerobos lewat gerbang induk.
Namun sementara itu, Witantra ternyata mempunyai perhitungan lain. Pasukan Mahibit yang memasuki pintu butulan itu ternyata tidak terlalu kuat setelah sebagian dari mereka bergabung dengan induk pasukannya yang tersisa itu menurut perhitungan Witantra, akan dapat ditahan oleh lapisan berikutnya, apabila ia melepaskannya.
Tetapi Witantra tidak bertindak berdasarkan atas perhitungannya sendiri, ia telah mengirimkan penghubungnya untuk menyatakan pertimbangannya kepada Senapati yang berada di lapisan berikutnya bersama para pengikut Empu Sanggadaru dan bekas pengikut Empu Baladatu.
“Lepaskan mereka.” berkata Senapati itu setelah ia mendapat keterangan tentang jumlah lawan.
Witantra pun kemudian membiarkan mereka menerobos pasukannya. Seolah-olah pasukannya memang menyibak dan memberikan jalan kepada lawan. Beberapa orang pemimpin kelompok melakukan perintah itu dengan pertanyaan yang menyumbat dada. Sebagian dari mereka sebenarnya tidak rela melepaskan mereka lewat. Dengan demikian mereka akan dapat menumbuhkan korban di lapisan berikutnya dan bahkan barangkali dapat memecahkan pertahanan itu. Tetapi mereka mengangguk-angguk ketika Witantra kemudian memberi penjelasan, apa yang harus mereka lakukan menghadapi lawan yang mempunyai banyak akal.
“Bagus.” tiba-tiba seorang prajurit muda yang memimpin sekelompok kawan-kawannya berteriak, “Menyenangkan sekali.”
Witantra mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Tetapi jangan lengah. Setiap saat, keseimbangan pertempuran yang belum mantap ini akan dapat berubah.”
Para prajurit dan orang-orang yang berada di dalam pasukan itu pun mengangguk-angguk. Mereka menyadari, bahwa lawan mereka adalah lawan yang cerdik. Sejenak kemudian, maka Witantra justru membawa pasukannya keluar pintu butulan yang sudah ditinggalkan oleh para pengikut Linggapati, yang kemudian telah membentur pertahanan di lapis berikutnya.
Dengan mengirimkan beberapa orang penghubung, untuk menyampaikan pesan kepada kelompok yang lain yang terpencar Witantra telah mengambil kebijaksanaan lain. Ia tidak melawan pasukan yang memasuki pintu butulan itu, tetapi ia justru telah keluar dari Kota Raja, melingkari dinding dan kemudian mendekati pintu gerbang.
“Mereka akan terkejut.” desis seorang prajurit muda.
“Ya. Mereka tentu tidak akan mengira.” sahut kawannya.
Sebenarnyalah bahwa yang dilakukan oleh Witantra itu benar-benar telah mengejutkan lawan. Dengan serta merta ia telah menyerang pasukan Mahibit justru dari arah belakang. Sambil bersorak pasukan Witantra memasuki pintu gerbang induk, dan menyerang pasukan Mahibit yang masih belum berhasil maju terlalu jauh.
Kejutan itu benar-benar telah membuat pasukan lawan agak bingung. Sebagian dari mereka segera berpaling dan bertempur melawan pasukan Witantra yang telah melingkar keluar lewat pintu butulan. Serangan itu berhasil menghambat kemajuan lawan yang memang sudah sangat lambat. Sebagian dari mereka harus berputar dan melawan pasukan Witantra yang garang.
Witantra sendiri merupakan orang yang aneh di mata lawannya. Meskipun Mahibit mengenal Linggapati, namun kehadiran Witantra telah membuat mereka menjadi berdebar-debar.
“Jika saja ia dapat bertemu dengan Linggapati.” desis salah seorang pengikutnya.
“Ada berapa orang seperti orang itu?” bertanya orang yang lain.
Tidak ada yang dapat memberikan jawaban. Tetapi mereka mulai menyadari, bahwa di dalam dinding Kota Raja terdapat kekuatan jauh diluar perhitungan mereka. Mereka terlanjur menyangka bahwa Singasari telah menjadi sangat lemah setelah Empu Baladatu berhasil memasuki Kota Raja dan membuatnya menjadi karang abang meskipun pasukannya kemudian berhasil dihancurkan oleh para prajurit Singasari. Namun adalah suatu kenyataan yang dihadapi oleh Linggapati, bahwa Singasari masih cukup kuat menahan arus pasukannya.
Sementara itu, pasukan yang dilepaskan oleh Witantra telah tertahan oleh pertahanan berikutnya. Meskipun pertahanan itu tidak terlampau kuat, namun prajurit Singasari yang bergabung dengan para pengikut Empu Sanggadaru dengan bekas pengikut Empu Baladatu berhasil menghambat arus lawan. Apalagi ketika beberapa orang yang berada di belakang garis perang datang membantu mereka. Bukan saja prajurit Singasari, tetapi anak-anak muda yang baru sekedar mendapat pengetahuan tata kanuragan, telah maju pula ke medan, meskipun mereka tidak berada dibagian yang terlalu berat.
Di bagian lain, para pengikut Linggapati telah dikejutkan oleh seorang Senapati Singasari yang bernama Lembu Ampal. Meskipun ia tidak banyak melakukan sesuatu di medan. namun geraknya yang sedikit itu selalu mengguncangkan lawan. Karena itu, maka pasukannyalah yang kemudian berhasil mendesak pasukan Mahibit, sehingga pasukan Mahibit yang memasuki regol samping, tidak sempat maju lagi. Apalagi sebagian dari mereka telah menerobos pasukan Singasari untuk bergabung dengan pasukan induk di gerbang utama.
Yang sama sekali kehilangan kesempatan untuk bertahan adalah pasukan Mahibit yang langsung berhadapan dengan Mahendra. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat mengekang dirinya lagi. Bagaikan dua ekor burung srikatan berburu bilalang, keduanya terbang menyambar-nyambar. Senjata mereka telah mematuk lawannya dari segala arah, seolah-olah telah berubah menjadi berpuluh-puluh senjata di berpuluh-puluh tangan.
Hanya pasukan induk dari Mahibit sajalah yang telah berhasil maju betapa lambatnya. Meskipun sebagian dari mereka harus menghadapi pasukan Witantra. Namun karena jumlah mereka cukup besar, maka mereka pun masih tetap merupakan bahaya yang mengancam jalan lurus menuju ke gerbang istana.
Tetapi di pasukan induk Singasari sudah menunggu Mahisa Bungalan. Ia merasa Mahisa Agni sedang memperhatikannya. Agaknya Mahisa Agni ingin mengetahui kemampuannya yang sebenarnya menghadapi bahaya yang mengancam Singasari. Teringang di telinga Mahisa Bungalan bahwa Mahisa Agni pernah berbisik di telinganya, “Singasari memerlukan seorang Senapati sesudah kami yang tua-tua ini akan kehilangan kemampuan karena batas umur kami.”
Dengan demikian maka di saat-saat terakhir agaknya Mahisa Agni benar-benar sedang mengujinya, meskipun ia pun sadar, bahwa kegagalan dalam ujian itu dapat berarti maut. Dengan demikian, Mahisa Bungalan benar-benar menempatkan diri sesuai dengan keinginan Mahisa Agni. Ia telah mempersiapan diri untuk menghadapi pemimpin tertinggi dari Mahibit, Linggapati.
Mahisa Bungalan ingat, bahwa ia telah berhasil mengalahkan orang kedua dari Mahibit. Adik Linggapati yang bernama Linggadadi. Tetapi ia masih harus menjajagi lebih dahulu jika ia berhasil bertemu dengan Linggapati, apakah Linggapati jauh lebih tinggi ilmunya daripada adiknya yang telah terbunuh.
Tetapi Mahisa Bungalan tidak dapat memaksa pasukan induk itu untuk tidak bergeser dari tempatnya. Kekuatan lawan yang memang cukup besar masih saja mendesaknya. Pertempuran yang terjadi tidak saja di jalan menuju ke gerbang istana, tetapi juga di halaman-halaman rumah dan di kebun-kebun yang luas, masih saja menunjukkan bahwa pasukan Mahibit adalah pasukan yang sangat kuat.
Namun sejalan dengan kemajuan pasukan Mahibit, Witantra pun bergerak pula mengikutinya. Agaknya Mahibit tidak mengerahkan bagian dari kekuatannya untuk melawan Witantra. Karena itulah, maka Witantra masih tetap dapat, mengikuti gerak maju pasukan Linggapati sambil bertempur di belakang garis perang.
Kegagalan pasukan Mahibit di bagian-bagian lain dari Kota Raja itu sama sekali tidak terasa akibatnya bagi induk pasukan, karena betapapun juga, mereka masih tetap dapat mengikat sebagian dari kekuatan Singasari di tempatnya. Namun laporan-laporan yang terperinci telah banyak memberikan keseimbangan perhitungan bagi para pemimpin yang masih berada di istana.
“Pasukan induk dari Linggapati menjadi semakin dekat dengan halaman istana ini.” seorang penghubung melaporkan.
Mahisa Agni yang menerima laporan itu termangu-mangu sejenak. Agaknya Mahibit benar-benar meletakkan kekuatannya pada induk pasukannya. Namun Mahisa Agni masih sempat membuat perhitungan bahwa jika kekuatan itu tidak tertahankan, pasukan-pasukan yang berada di bagian lain dari Kota Raja itu akan dapat ditarik. Namun demikian Mahisa Agni masih belum membuat perubahan-perubahan yang berarti.
Dalam pada itu, Empu Sanggadaru yang berada di halaman itu pula berbisik di telinga Mahisa Agni, “Senapati, perintahkan aku membawa pengawal-pengawalmu di halaman istana ini untuk membantu Mahisa Bungalan. Mungkin kekuatan ini dapat merubah keseimbangan yang hanya berselisih selapis tipis itu.”
Tetapi Mahisa Agni menggeleng. Jawabnya, “Belum perlu Empu. Tetapi bersiaplah, jika keadaan memaksa Empu akan aku persilahkan tampil di medan.”
Demikianlah maka untuk kedua kalinya Kota Raja dalam waktu singkat telah ditimpa bencana. Dalam pertempuran yang terjadi, maka kerusakan tidak dapat dihindarkan lagi. Rumah-rumah yang masih tetap utuh pada saat Empu Baladatu menyerang Kota Raja, kini mendapat giliran untuk dirusakkan oleh orang-orang Mahibit yang tidak kalah garangnya.
Namun dalam pada itu, perlawanan prajurit Singasari pun semakin lama menjadi semakin garang. Pada saat benturan pasukan telah mapan di segala medan, maka lapisan-lapisan di belakang garis pertempuran pun mulai mendekati medan dan terlibat dalam pertempuran itu pula. Dengan demikian, maka pertahanan pasukan Singasari-pun rasa-rasanya menjadi semakin tebal. Mereka menempatkan dari pada celah-celah pertahanan yang telah ada, sehingga garis pertempuran itu pun menjadi semakin rapat.
Linggapati yang berada di induk pasukannya mulai merasa bahwa pasukannya benar-benar telah tertahan, jika sebelumnya ia masih dapat maju betapapun lambatnya, ternyata kemudian bahwa pasukannya telah terhenti sama sekali. Dengan ketajaman nalurinya, ia mengetahui bahwa pertahanan lawan menjadi semakin rapat dan semakin kuat.
“Gila.” geram Linggapati, “Iblis manakah yang telah membantu pasukan Singasari itu?”
Namun bagaimanapun juga ia berusaha pasukannya benar-benar telah berhenti. Jantung Linggapati yang marah itu bagaikan berdentangan. Apalagi ketika ia melihat, bahwa pasukan lawannya tidak saja terdiri dari para prajurit. Menilik pakaian dan kelengkapan perang mereka, maka di antara lawannya telah berbaur kekuatan yang tidak diperhitungkan sebelumnya, meskipun Linggapati tetap tidak dapat digertak karenanya.
Meskipun demikian Linggapati pun tidak dapat mengingkari kenyataan yang dihadapinya, bahwa pasukan Singasari yang terdiri dari bukan saja para prajurit itu, telah berhasil menghentikan gerak maju pasukannya. Karena itulah, maka oleh kemarahan yang membakar dadanya, maka Linggapati pun kemudian telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghancurkan lawan sebanyak-banyaknya.
Seperti seekor elang ia menyambar-nyambar dengan senjatanya. Satu-satu lawan yang berani menahannya telah dibinasakan. Senjatanya yang telah menjadi merah oleh darah, seolah-olah mempunyai mata yang melihat korban-korbannya yang telah menunggunya.
Ternyata Linggapati yang mengamuk oleh kemarahan yang memuncak itu telah mempengaruhi keadaan medan. Beberapa orang segera menyibak jika melihat kehadirannya. Mereka hanya berani melawan Linggapati dalam kelompok-kelompok kecil. Namun para pengawal Linggapati pun segera menyerang dan memecahkan kelompok itu bercerai berai.
Gejolak-gejolak kecil di medan itu telah menarik perhatian Mahisa Bungalan. Sebagai seorang yang memiliki pengalaman yang luas, maka ia pun segera mengetahui, bahwa gejolak-gejolak kecil itu tentu disebabkan oleh sebuah kekuatan yang melampaui kekuatan di sekitarnya. Karena itulah, maka ia pun segera mempersiapkan dirinya untuk mengetahui, siapakah yang telah berada di medan di antara pasukan lawannya.
“Mungkin orang itulah yang bernama Linggapati.” desisnya kepada seorang pengawal, “Aku akan mencoba menahannya. Mudah-mudahan aku berhasil.”
Linggapati yang sedang mengamuk seperti seekor elang yang lapar itu, tertegun ketika ia melihat kehadiran seorang anak muda yang langsung menghampirinya. “Anak muda yang perkasa.” ia bergumam di dalam hati melihat sikap dan tatapan mata Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan langsung mendekati Linggapati yang kemudian memusatkan perhatiannya kepadanya. “Luar biasa.” geram Mahisa Bungalan, “Agaknya kaulah yang telah menimbulkan goncangan-goncangan di medan ini.”
“Jangan banyak bicara.” potong Linggapati. Agaknya ia memang tidak ingin berbicara apapun. Dengan serta merta ia pun langsung menyerang Mahisa Bungalan yang termangu-mangu.
Tetapi Mahisa Bungalan memang sudah bersiap menghadapinya. Ia pun segera mengelak dan bahkan ia pun telah menyerang kembali lawannya yang menggetarkan itu. Sejenak kemudian, keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Linggapati benar-benar menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang memiliki ilmu yang luar biasa, sementara Mahisa Bungalan pun harus langsung mempergunakan ilmunya yang paling tinggi tatarannya untuk melawan orang Mahibit itu.
Sementara itu, seorang pengawal yang melihat bahwa Mahisa Bungalan telah terlibat dalam pertempuran melawan pemimpin tertinggi dari Mahibit itu pun segera menyampaikan laporan kepada Mahisa Agni seperti yang dimintanya.
“Terima kasih.” berkata Mahisa Agni kepada penghubung itu. “Ia telah mulai dengan ujiannya yang terberat.”
Namun dengan demikian, Mahisa Agni telah dapat membayangkan apa yang telah terjadi di seluruh medan di dalam Kota Raja itu. Ia pun mengerti sikap yang telah diambil oleh Witantra bersama pasukannya. Karena itulah, maka ia pun kemudian menghadap Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang telah mengenakan pakaian Senapati perang dan berkata, “Tuanku. Hamba mohon diri untuk turun ke medan yang agaknya telah terhenti oleh lapisan-lapisan pertahanan Singasari.”
Ranggawuni menatap Mahisa Agni dengan tajamnya. Ada semacam kecemasan di dalam hatinya, bahwa keadaan meningkat menjadi sangat gawat sehingga Mahisa Agni harus turun langsung ke medan.
Agaknya Mahisa Agni melihat kecemasan itu, sehingga sambil tersenyum ia berkata selanjutnya, “Tuanku. Jika hamba kali ini turun ke medan, bukan karena hamba meragukan pertahanan Singasari. Tetapi semata-mata karena hamba ingin melihat, apakah yang akan dilakukan oleh Mahisa Bungalan. Ia sudah terlibat dalam pertempuran langsung melawan Linggapati.”
Ranggawuni menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya Mahisa Cempaka seakan-akan minta pertimbangan daripadanya. Baru kemudian ia menjawab. “Baiklah paman. Tetapi paman harus tetap melihat medan dalam keseluruhan. Laporan yang datang akan tetap harus sampai kepada paman.”
“Baiklah tuanku. Hamba akan tetap berusaha mengamati pertempuran dalam keseluruhan.”
Dengan beberapa orang pengawal Mahisa Agni pun kemudian meninggalkan halaman istana setelah ia minta diri kepada para pemimpin yang tetap berada di samping Ranggawuni dan Mahisa Cempaka beserta sejumlah pengawal terpilih. Dengan hati-hati Mahisa Agni pun kemudian mendekati medan. Ia masih melewati beberapa kelompok prajurit yang bersiaga di jalan-jalan. Di simpang empat, simpang tiga dan tikungan-tikungan. Meskipun jumlah mereka tidak banyak, tetapi mereka merupakan lapisan-lapisan yang harus ditembus jika orang-orang Mahibit ingin memasuki halaman istana.
“Agaknya Linggapati tidak akan dapat maju lagi.” berkata Mahisa Agni kepada diri sendiri. “Apalagi dengan melalui lapisan-lapisan pertahanan yang berlapis.”
Sebenarnyalah bahwa pasukan Linggapati tidak dapat bergeser lagi. Pertahanan Singasari ternyata cukup kuat menahan pasukannya, sementara pasukannya yang lain, yang terpencar, sama sekali sudah tidak berdaya lagi.
Linggapati yang melihat keadaan yang lain dari perhitungan pun menjadi sangat marah, ia pun sadar, bahwa Singasari memiliki kemampuan untuk merahasiakan dirinya. “Ternyata Empu Baladatu pun telah terjebak seperti yang aku alami.” berkata Linggapati di dalam hatinya.
Namun Linggapati masih belum berputus asa. Pasukannya masih cukup besar dan kuat. Dan ia pun masih mempunyai banyak harapan, karena pasukannya mempunyai ketahanan yang dapat dibanggakan. “Tidak semua orang di dalam pasukan Singasari adalah prajurit.” berkata Linggapati kepada diri sendiri, “Jika matahari mulai turun, maka mereka akan kelelahan.”
Dengan perhitungan itulah maka Linggapati bertempur terus. Para pengikutnya pun ternyata tidak juga menjadi cemas karena pertahanan lawan yang rapat. Beberapa orang pemimpin kelompok dengan sengaja menyebarkan keterangan, bahwa lawan mereka tidak semuanya terdiri dari prajurit-prajurit yang akan mampu bertempur sebagaimana seorang prajurit.
“Mereka akan segera lelah, jika keringat telah membasahi telapak tangan mereka, maka senjata mereka akan segera terlepas.” berkata salah seorang dari mereka kepada orang- orangnya.
Sebenarnyalah ada di antara mereka yang berada di dalam pasukan Singasari, orang-orang yang tidak memiliki ketahanan bertempur. Mereka adalah anak-anak muda yang hanya pada saat terakhir mulai mempelajari olah kanuragan, sehingga mereka hanya sekedar dapat mempergunakan senjata, tetapi daya tahan jasmaniah mereka sama sekali belum terbiasa.
Merekalah yang pertama-tama mulai nampak letih. Satu dua orang di antara mereka seolah-olah telah kehilangan kekuatan, sehingga ayunan senjata mereka sama sekali tidak berarti apa-apa lagi. Para prajurit yang ada disekitar merekalah yang kemudian mendorong mereka mundur dari medan.
“Lalu, apakah pertahanan ini tidak akan goyah.” bertanya seorang anak muda gemuk.
“Pergilah. Kau sangka, kaulah yang telah menahan orang-orang Mahibit itu?” jawab seorang prajurit.
Anak muda itu termangu-mangu di belakang para prajurit yang bertempur, la mengerutkan keningnya ketika seorang dengan bergesa-gesa berbisik di telinganya, “Pergilah. Beristirahat di lapis berikutnya. Diantara mereka akan datang menggantikan kau dan kawanamu.”
Anak muda itu pun kemudian meninggalkan medan. Ternyata ada beberapa orang lagi yang dengan tergesa-gesa ke pertahanan di lapis berikutnya. Seperti yang dikatakan, maka beberapa orang prajurit dan pengikut Empu Sanggadaru telah menggantikan mereka pergi ke medan.
“Tinggallah di sini.” pesan prajurit-prajurit itu, “Setelan kau beristirahat, akan dalang giliran kawan-kawanmu yang lain yang harus kau gantikan kedudukannya di medan.”
Namun ternyata bahwa anak-anak muda itu lebih senang menunggu di lapis berikutnya daripada kembali ke medan. Baru setelah mereka sempat merenungkan pertempuran itu. mereka menjadi ngeri. Tetapi agaknya medan pertempuran itu tidak sangat memerlukan mereka lagi. Prajurit yang ada di lapisan berikutnya sekelompok demi sekelompok ditarik ke medan, setelah pimpinan mereka yakin, lawan tidak akan dapat menembus dari arah manapun.
Dengan demikian maka pasukan Mahibit itu telah benar-benar berada di dalam lingkarang pasukan Singasari. Mereka seolah-olah telah terjebak dalam dinding Kota Raja yang kemudian mengungkungnya. Namun demikian pasukan Linggapati yang kuat itu masih bertempur dengan sengitnya. Bahkan dalam hentakan-hentakan kekuatan kadang-kadang pasukan Mahibit itu dapat mendorong lawannya surut.
Namun karena kekuatan Singasari semakin lama menjadi semakin mapan, maka Linggapati pun mulai merasakan, bahwa tekanan menjadi semakin berat disegala sisi pasukannya. Ia sudah mendapat laporan bahwa pasukan yang tidak begitu kuat telah menyerang justru dari arah belakang, sehingga pasukan itu seolah-olah telah menyumbat jalan keluar. Sementara pasukannya yang berada di bagian lain dari Kota Raja telah terbendung sama sekali.
“Gila.” geram Lingapati di dalam hati, sementara ia masih belum berhasil menguasai lawannya yang masih muda itu.
Dalam pada itu, Mahisa Agni yang telah berada di medan bersama beberapa pengawalnya berusaha untuk dapat mengamati Mahisa Bungalan meskipun dari jarak yang tidak terlalu dekat. Mahisa Agni sendiri berusaha agar ia tidak terlibat dalam pertempuran, agar ia dapat menyaksikan pertempuran antara Mahisa Bungalan dengan Linggapati sebaik-baiknya.
Dibawah perlindungan para pengawalnya yang terpercaya Mahisa Agni berdiri termangu-mangu. Ia melihat pertempuran yang mendebarkan. Meskipun pertempuran itu terjadi di tengah-tengah perang yang riuh, namun seolah-olah keduanya telah bertempur di arena yang terpisah, karena tidak ada orang dari pihak manapun yang berani melihatkan diri dalam benturan ilmu yang tinggi itu. Karena itulah maka Mahisa Agni dapat menyaksikan pertempuran itu agak jelas.
Mahisa Agni tidak merasa cemas melepaskan Mahisa Bungalan mengembara. Bahkan telah terjadi benturan ilmu antara Mahisa Bungalan dengan Linggadadi, dengan Empu Baladatu dan dengan yang lain-lain. Tetapi saat ia bertemu dengan Linggapati, maka hal itu agak mendebarkan jantung Mahisa Agni.
Sebenarnyalah Linggapati adalah seorang yang pilih tanding. Ia memiliki kemampuan ilmu yang tinggi. Kecepatannya bergerak bagaikan kecepatan petir yang meloncat di udara, sedangkan kekuatannya bagaikan dorongan gunung yang runtuh.
Namun Mahisa Bungalan pun memiliki ilmu yang hampir sempurna, la mampu melawan benturan prahara dan angin pusaran. Sentuhan tangannya bagaikan panasnya api, sementara hentakkan kekuatannya seperti benturan alun yang dahsyat di samodera.
Karena itulah maka pertempuran antara keduanya benar-benar merupakan pertempuran yang dahsyat. Lontaran-lontaran kekuatan yang saling menghantam dari keduanya, bagaikan mengguncang seluruh Kota Raja dan menimbulkan badai di medan perang.
“Luar biasa.” desis Mahisa Agni, “Mahisa Bungalan akan menjadi seorang yang memiliki kemampuan yang jarang ada bandingnya.”
Karena itulah maka Mahisa Agni justru merasa perlu mengamati pertempuran itu. Pengalaman dan sikap Linggapati yang lebih tua itu akan dapat mempengaruhi keseimbangan seandainya keduanya memiliki tingkat ilmu yang sama.
Namun agaknya Mahisa Bungalan yang muda itu pun tidak saja bertempur mempergunakan ilmunya, tetapi juga otaknya. Ia berpikir dengan cermat menghadapi lawannya yang kuat. Dengan perhitungan dan pertimbangan yang mapan ia berhasil menempatkan diri sebagai lawan yang sulit untuk dikalahkan.
Setiap kali Linggapati menggeram oleh kemarahan yang, menghentak dadanya. Lawannya yang muda itu benar-benar membuatnya sangat marah. Ia merasa bahwa tidak banyak orang yang memiliki ilmu setingkat dirinya. Namun anak muda itu ternyata telah dapat mengimbanginya.
“Apakah kau anak iblis.” geram Linggapati.
Mahisa Bungalan mendengar geram itu. Tetapi ia tidak menjawab. Ia pun justru menyerang lebih dahsyat, sehingga Linggapati harus melangkah surut.
Para pengikut Linggapati maupun prajurit Singasari telah menyibak semakin jauh. Namun mereka pun sibuk dalam arena pertempuran mereka masing-masing. Mereka saling mendesak dan saling menekan. Dentang senjata beradu di sela-sela keluhan tertahan, kadang-kadang membuat pertempuran itu menjadi semakin mengerikan.
Dibeberapa bagian beberapa, orang bersorak oleh kemenangan kecil. Namun sorak itu telah memberikan pengaruh pada kawan dan lawan. Tetapi sorak yang mengguruh itu kadang-kadang memang dapat membakar kemarahan, namun juga memhuat hati menjadi kecut.
Demikianlah maka pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin dahsyat. Masing-masing telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada untuk berusaha dengan secepatnya mengalahkan lawannya. Bahkan jika mugkin membunuh sebanyak-banyaknya di medan perang yang semakin mengerikan.
Seperti yang diperhitungkan oleh Linggapati, maka semakin banyak di antara anak-anak muda yang mulai kelelahan di pihak Singasari. Mereka satu-satu didesak oleh lawan-lawannya untuk meninggalkan medan, karena keadaan mereka menjadi gawat. Diantaranya telah terluka bahkan ada yang parah. Bahkan ada di antara mereka yang tidak dapat lagi meninggalkan medan, karena dada mereka telah berlubang oleh senjata.
Tetapi pada umumnya anak-anak muda yang hanya berlatih untuk waktu yang singkat itu tidak mendapat tempat di benturan pertama. Namun demikian, susupan-susupan lawan membuat mereka kadang-kadang menjadi korban.
Karena itu, maka anak-anak muda itu semakin banyak yang kemudian menarik diri di garis pertahanan berikutnya yang menjadi semakin sepi, sementara para prajurit dan para pengikut Empu Sanggadaru mengambil alih tempat mereka di medan, karena di lapisan-lapisan berikutnya keadaannya menjadi semakin tenang. Para pengikut Linggapati tidak berhasil menyusup lebih jauh lagi ke belakang garis perang, dari arah manapun juga.
Namun kelelahan yang mulai mengganggu di teriknya matahari yang, merayap di langit terasa mulai mengganggu. Beberapa orang tidak lagi mampu mengatasi keringnya tenggorokan, sementara yang lain merasa keringatnya bagaikan terperas kering.
Tetapi pasukan Singasari tidak menjadi susut. Jika mereka yang kelelahan meninggalkan medan, maka yang tampil kemudian adalah justru para prajurit dan para pengikut Empu Sanggadaru dan bekas pengikut Empu Baladatu yang juga sudah terlatih menghadapi medan yang bertapapun beratnya. Karena itu, pasukan Singasari rasa-rasanya justru menjadi semakin kuat meskipun jumlahnya tidak bertambah. Dan hal itulah yang ternyata telah menggelisahkan Linggapati.
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan masih saja bertempur melawan Linggapati. Keduanya memiliki kemungkinan yang sama untuk menang dan untuk kalah. Meskipun Linggapati memiliki pengalaman yang lebih luas, namun kemudian Mahisa Bungalan nampak pada kemampuannya menguasai tenaga dan badannya. Bahkan semakin lama kekuatan Mahisa Bungalan seakan-akan telah bertambah-tambah.
Namun Linggapati tetap berkeyakinan bahwa ia akan dapat menundukkan lawannya. Bahkan ia sudah mulai memperhitungkan, bahwa kematian Mahisa Bungalan akan melumpuhkan gairah perjuangan para prajurit di Singasari. Sementara itu, beberapa orang kepercayaannya yang berpencar telah ditugaskannya untuk bersama-sama dengan dua tiga orang lainnya, melawan para Senapati yang memiliki kemampuan yang hampir sempurna.
Salah seorang dari mereka, telah bergerak ke bagian belakang dari pasukannya, karena menurut laporan yang diterimanya, pasukan Singasari yang justru menyerang dari belakang itu dipimpin oleh seorang Senapati yang luar biasa.
Namun perlawanan itu tidak banyak memberikan pengaruh. Witantra tetap merupakan seorang yang menghantui medan, meskipun kadang-kadang ia memang tertahan oleh sekelompok kecil lawan yang mengepungnya. Namun pada saat-saat berikutnya maka kepungan itu sudah tidak mampu lagi menahannya, karena Witantra berhasil memecahkan kepungan kecil itu dan kembali bertempur bersama para prajurit.
Di bagian lain dari arena pertempuran itu, Mahendra telah berhasil mendesak lawannya mundur sampai ke pintu gerbang. Bahkan semakin lama, lawan itu pun menjadi semakin kehilangan kemampuan perlawanannya. Bahkan ternyata mereka telah mengambil kebijaksanaan tersendiri. Pemimpin kelompok yang bertempur melawan pasukan Singasari yang disertai oleh Mahendra dan kedua anaknya itu telah memerintahkan kelompoknya untuk menarik diri dan melingkari dinding Kota Raja, berusaha bergabung dengan induk pasukan.
Mahendra membiarkan sebagian dari pasukan Singasari untuk mengejarnya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah ikut di dalam pasukan itu dengan pesan, agar setiap perkembangan segera dilaporkan, agar Senapati yang bertugas di kelompok itu dapat mengambil keputusan untuk mengatasinya.
Dibagian lain, Lembu Ampal pun hampir menyelesaikan tugasnya pula. Seorang yang dianggap paling mumpuni di antara lawannya bersama dengan sekelompok kecil sama sekali tidak berhasil menempatkan diri sebagai lawan yang mengikat Lembu Ampal, karena kecepatan bergerak Lembu Ampal tidak dapat mereka imbangi. Sehingga dengan demikian maka Lembu Ampal tetap merupakan lawan yang bagaikan seekor burung elang yang terbang di udara. Sekali-sekali ia menukik dan menyambar mangsanya.
Kehadiran sepasukan kecil pengikut Linggapati yang dengan berlari-lari melingkari dinding Kota telah menimbulkan perubahan di arena pasukan induk. Witantra harus memperhatikan kehadiran mereka yang memasuki pintu gerbang utama.
Mula-mula pasukan itu terkejut karena mereka menjumpai pasukan Singasari di belakang pasukan Linggapati. Namun mereka pun segera melibatkan diri dan bertempur melawan pasukan Witantra yang kecil. Namun perubahan berikutnya segera terjadi ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah hadir pula di arena Pertempuran itu.
“He, paman.” Mahisa Murti berteriak ketika ia melihat Witantra, disambung oleh Mahisa Pukat “Aku disini paman.”
Witantra menarik nafas panjang. Ia melihat kedua anak muda itu. Tetapi ia tidak melihat Mahendra. “Kedua anak itu telah dilepaskannya.” berkata Wintantra kepada diri sendiri.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bertempur seperti sepasang burung lawet. Dengan lincahnya mereka menyambar-nyambar. Senjata mereka mematuk dengan cepatnya, seolah-olah telah berubah menjadi berpuluh-puluh senjata serupa. Namun beberapa orang di antara lawan pun memiliki kemampuan yang memadai. Mereka pun segera menempatkan diri untuk melawan kedua anak muda itu, meskipun mereka harus berjumlah lebih banyak.
Sementara itu, pasukan Singasari lambat laun berhasil menguasai medan dalam keseluruhan. Pasukan Linggapati yang kuat itu seakan-akan telah terkepung. Gerak mereka dapat dibatasi pada suatu daerah yang meskipun cukup luas, tetapi tidak lagi akan dapat menebar. Beberapa bagian halaman kedua dan jalan-jalan Kota Raja merupakan ajang dari pertempuran yang dahsyat itu. Namun seakan-akan segala pintu sudah ditutup. Kepungan prajurit Singasari cukup rapat.
Linggapati menyadari keadaannya. Tetapi ia pun masih percaya akan kekuatan pasukannya. Betapapun rapatnya kepungan prajurit Singasari, namun pada suatu saat Linggapati yakin, bahwa ia akan dapat memecahkan kepungan itu dan membawa pasukannya menduduki istana dan seluruh Kota Raja, dan menghancurkan kekuatan Singasari.
Tetapi Linggapati benar-benar heran melihat kemampuan Mahisa Bungalan. Ia merasa bahwa ilmu kanuragan yang dipelajarinya seolah-olah telah tuntas, sehingga tidak banyak orang yang akan dapat menyamainya. Bahkan Linggapati yakin, bahwa ia akan dapat melawan orang yang paling banyak dikenal di Singasari sebagai seorang Senapati Agung yang disegani oleh semua prajurit, Mahisa Agni. Namun ternyata bahwa Mahisa Bungalan yang muda itu masih mampu mengimbanginya. Bahkan semakin lama justru menjadi semakin berat.
Mahisa Agni yang mengawasi pertempuran itu dari kejauhan masih harus menahan nafas. Ujian itu merupakan ujian yang sangat berat bagi Mahisa Bungalan. Namun setelah beberapa kali Mahisa Bungalan dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik, maka Mahisa Agni pun mengharap bahwa kali ini Mahisa Bungalan akan dapat berhasil pula. Tetapi agaknya Linggapati memang memiliki kelebihan dari Empu Baladatu. Kekuatan yang terlontar dari serangan-serangannya yang cepat, kadang-kadang sangat mendebarkan jantung.
Namun Mahisa Bungalan pun telah mengerahkan segenap kemampuannya. Ia pun ternyata menyadari, bahwa lawannya yang bernama Linggapati itu memiliki kemampuan yang luar biasa. Kecepatannya bergerak hampir tidak dapai diikutinya. Hanya dengan hentakan kekuatan dan kemampuannya sajalah maka ia berhasil mengimbanginya. Sementara itu kekuatan tenaganya pun merupakan kekuatan tenaga raksasa.
Dengan demikian, maka pertempuran di antara kedua orang itu pun kian menjadi bertambah seru. Sementara para pengikut Linggapati dan para prajurit Singasari telah menyibak semakin jauh, seperti dahsyatnya dua ekor gajah yang sedang berlaga, sementara binatang-binatang kecil pun telah menghambur menjauhinya.
Mahisa Agni masih tetap di tempatnya. Disaat-saat terakhir ia benar-benar menjadi tegang. Linggapati agaknya telah mempergunakan segenap ilmu yang dimilikinya. Ilmu yang dapat mendorong kecepatan geraknya, dan ilmu yang dapat menjadikan kekuatan badannya berlipat-lipat.
Mahisa Bungalan tidak mau menjadi lumat oleh dera ilmu lawannya. Ia pun telah mempergunakan segala macam ilmu yang ada padanya. Ilmu yang pernah dipelajarinya dari ayahnya dan pamannya Witantra yang bersumber dari guru yang sama, dan ilmu yang diberikan oleh Mahisa Agni atas ijin ayahnya. Ilmu yang tersalur dari dua cabang perguruan itu telah luluh di dalam dirinya, sehingga Mahisa Bungalan benar-benar menjadi seorang anak muda yang pilih tanding.
Meskipun demikian, kadang-kadang sambaran kecepatan ilmu Linggapati telah terlambat dihindarinya. Linggapati mampu menyerang beruntun dalam beberapa tingkatan, sehingga senjatanya kadang-kadang bagaikan terbang mengitari lawannya, sehingga sekali-sekali tubuh Mahisa Bungalan telah disengatnya. Namun Mahisa Bungalan pun segera menyusul kekalahannya. Dengan tangkasnya ia memburu lawannya yang sedang mencoba menyusun serangan.
Tetapi Linggapati selalu berhasil menghindar. Serangan senjata Mahisa Bungalan kadang-kadang sekedar lewat saja di samping telinganya. Bahkan kadang-kadang di sela-sela lambung dan tangannya. Namun Mahisa Bungalan mampu berpikir di dalam kesibukan pertempuran. Ia tidak mempergunakan unsur-unsur gerak yeng murni lagi. Ilmunya yang telah luluh memungkinkannya untuk mengatur susunan unsur-unsur geraknya dengan bentuk yang lebih rumit dan bersusun.
Meskipun titik darah lebih dahulu mengembun dari kulit Mahisa Bungalan yang tersentuh senjata lawan, namun Mahisa Bungalan yang muda itu sama sekali tidak terpengaruh olehnya. Hentakan-hentakan kekuatannya, masih mampu mengejutkan dan bahkan sekali-sekali mendesak lawannya yang tangguh.
Semakin lama Mahisa Agni menjadi semakin tegang. Ia pun kemudian melihat kemudaan Mahisa Bungalan yang masih dikuasai oleh perasaannya, sehingga kadang-kadang kemarahannya nampak menggelora di antara tata gerak ilmunya. Namun Mahisa Agni masih juga mempunyai harapan, bahwa Mahisa Bungalan akan menemukan keseimbangan yang sebaik-baiknya menghadapi lawannya yang tangguh.
Serangan Linggapati semakin lama menjadi semakin cepat. Senjatanya berputar seperti baling-baling ditiup angin. Bahkan kadang-kadang bagaikan melibat lawannya seperti segumpal awan. Mahisa Bungalan harus menghindar dengan hati-hati. Tetapi setiap kali ia berhasil mematahkan serangan lawannya dengan kekuatannya. Kadang-kadang Mahisa Bungalan memaksa diri dengan lambaran kekuatannya sepenuhnya, menghantam putaran senjata lawannya yang bagaikan segulung asap.
Setiap terjadi benturan, maka keduanya selalu terkejut meskipun hal itu sudah berulang kali. Masing-masing seakan-akan masih belum meyakini kekuatan lawan sepenuhnya, sehingga kadang-kadang mereka masih ragu-ragu dan kejutan-kejutan masih saja terjadi. Dentang senjata kedua raksasa yang bertempur itu bagaikan teriakan aba-aba yang mengguncangkan setiap jantung dari setiap orang di dalam kedua pasukan yang sedang bertempur itu.
Mahisa Agni yang, bagaikan terikat kepada pertempuran yang dahsyat antara Mahisa Bungalan dan Linggapati itu, sekali-sekali sempat juga menyaksikan seluruh arena pertempuran. Ternyata bahwa keseimbangan pertempuran itu telah berubah perlahan-lahan. Prajurit-prajurit Singasari yang dilengkapi oleh para pengikut Empu Sanggadaru dan bekas pengikut Empu Baladatu, ternyata memiliki kekuatan yang cukup untuk menekan pasukan Mahibit yang sudah dipersiapkan masak-masak oleh Linggapati.
Tetapi ada sesuatu yang ternyata berada diluar perhitungannya. Ikut sertanya pengikut Empu Sanggadaru yang jumlahnya cukup banyak, setelah orang-orang yang pernah menamakan dirinya kelompok Serigala Putih dan Macan Kumbang bergabung kepadanya. Apalagi karena para pengikut Empu Baladatu yang tertawan berusaha untuk menebus kebebasan mereka dengan melibatkan diri di medan perang. Memang ada yang terbunuh diantara mereka. Tetapi yang masih hidup mulai berpengharapan, karena pasukan Mahibit semakin lama menjadi semakin terhimpit oleh kekuatan yang cukup besar.
Apalagi akhirnya Mahendra telah hadir pula di dalam pertempuran itu bersama sebagian pasukannya. Disusul oleh Lembu Ampal yang telah menyelesaikan pertempuran karena lawannya telah menyerah, sementara sebagian berusaha untuk bergabung dengan induk pasukannya seperti yang terjadi atas lawan yang bertempur melawan pasukan Mahendra.
Dengan demikian, maka pasukan Singasari menjadi semakin besar. Senapatinya pun menjadi semakin lengkap di medan yang sama, sementara dibagian lain telah diserahkan kepada beberapa kelompok untuk sekedar mengawasi keadaan dan memberikan laporan jika terjadi sesuatu yang gawat.
Akhirnya Linggapati tidak dapat mengingkari kenyataan. Ia mempunyai beberapa orang Senapati pilihan yang diperhitungkan akan dapat melawan beberapa orang terpenting di Singasari bersama beberapa orang terpilih dalam kelompok-kelompok kecil. Namun ternyata bahwa perhitungan itu tidak sepenuhnya dapat dilakukan. Prajurit-prajurit Singasari yang mengetahui cara itu pun selalu berusaha untuk memecah setiap kelompok yang tersusun. Prajurit-prajurit Singasari selalu berhasil memancing mereka seorang demi seorang untuk memberikan perlawanan, sehingga kelompoka kecil itu tidak pernah dapat dengan bulat dihadapkan kepada Lembu Ampal, Mahendra atau Witantra.
Itulah sebabnya, maka semakin lama, pasukan Mahibit menjadi semakin terhimpit. Mahendra telah mengambil tempat di sayap sebelah menyebelah dengan Lembu Ampal, sementara Witantra bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru berada diseberang pasukan Linggapati.
Akhirnya, pasukan Mahibit itu tidak mempunyai jalan lagi untuk membebaskan diri. Mereka sudah berusaha mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk memecahkan kepungan. Tetapi rasa-rasanya kepungan itu justru menjadi semakin rapat dan semakin sempit. Apalagi pintu gerbang utama pun telah tersumbat oleh pasukan Witantra dan pasukan Mahisa Murti serta Mabisa Pukat.
Linggapati menggeretakkan giginya ketika ia menyadari kesulitan yang sedang dihadapi. Namun ia sudah bertekad untuk membunuh lawannya itu lebih dahulu sebelum ia mengambil sikap yang lain. Karena itu, maka ia pun bertempur semakin sengit. Serangannya datang membadai dengan dahsyatnya. Namun Mahisa Bungalan pun telah mengerahkan segenap ilmunya. Ia pun bertekad untuk membinasakan Linggapati sebelum pasukan Mahibit lebih banyak menimbulkan bencana.
Dengan hentakan kekuatan, maka masing-masing telah berusaha membunuh lawannya. Senjata Mahisa Bungalan yang meronta-ronta di tangannya, masih belum berhasil menyentuh lawannya, sedang kulitnya sendiri telah menitikkan darah. Namun darah itulah agaknya yang telah membuatnya menjadi semakin garang. Serangan- serangannya datang bagaikan prahara menghantam wajah lautan sehingga menumbuhkan gelombang yang semakin lama menjadi semakin dahsyat.
Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan dan Linggapati yang berdiri berhadapan itu seolah-olah sedang melakukan perang tanding tanpa ada seoorang pun yang. mengganggunya. Bahkan seakan-akan peperangan itu tergantung pada keduanya. Meskipun tidak berjanji, tetapi seakan-akan keduanya telah mempertaruhkan segenap medan. Siapakah yang menang, maka ialah yang akan berkuasa di seluruh medan pertempuran itu.
Linggapati yang merasa dirinya terjebak seperti yang telah terjadi pada Empu Baladatu. sekali-sekali juga disentuh oleh kegelisahan. Namun ia pun berusaha untuk membebaskan dirinya dan memusatkan segenap kemampuannya untuk melawan Mahisa Bungalan.
Namun ternyata ketahanan tubuh Mahisa Bungalan yang masih muda itu benar-benar mengagumkan. Setelah memeras tenaga dan segenap kemampuan serta ilmunya beberapa lamanya, namun nampaknya Mahisa Bungalan masih tetap segar. Bahkan titik darah dari tubuhnya, membuatnya semakin garang seperti banteng yang terluka.
Sementara Linggapati telah mulai merasakan licinnya keringat di telapak tangannya. Bahkan kadang-kadang nafasnya mulai terasa melonjak di dadanya. “Persetan.” ia menggeram.
Namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa lawannya benar-benar seorang yang luar biasa. Ketika Mahisa Bungalan semakin mendesaknya, maka Linggapati benar-benar telah sampai kepuncak ilmunya. Perlahan-lahan namun pasti, tenaganya justru semakin berkembang. Bukan tenaga wadagnya, tetapi tenaga cadangannya telah tersalur pada senjatanya.
Mahisa Bungalan merasakan tekanan yang tidak sewajarnya itu. Ia pun merasa, bahwa Linggapati memang sudah tidak mempunyai pilihan lain. Senjata pamungkas itu memang disimpannya untuk memberikan pukulan terakhir. Tetapi Mahisa Bungalan pun masih sempat memberikan imbangan. Ilmu yang tersalur dari cabang perguruan yang berbeda yang telah luluh di dalam dirinya itu pun seakan-akan dengan sendirinya telah tergugah dalam desakan ilmu lawannya.
Dengan demikian, maka pertempuran itu pun menjadi semakin dahsyat. Keduanya mulai mempergunakan tenaga cadangan yang ada di dalam diri masing-masing, sehingga benturan-benturan senjata mereka pun menjadi semakin dahsyat.
Namun agaknya kemampuan tenaga yang tuntas tertuang dalam benturan senjata masing-masing telah melampaui kekuatan senjata mereka. Ketika Linggapati mengayunkan senjatanya menghantam kening Mahisa Bungalan, maka dengan lambaran ilmu puncaknya Mahisa Bungalan yang tidak sempat mengelak itu pun telah menangkis dengan senjatanya pula.
Benturan itu telah terjadi dengan dahsyatnya. Benturan kekuatan yang tidak sewajarnya itu telah menumbuhkan ledakan yang mengejutkan. Loncatan bunga api yang kemerah-merahan memercik dari sentuhan kedua senjata itu. Namun yang telah mengejutkan setiap orang yang sempat melihat, ternyata kedua senjata yang merupakan senjata pilihan itu tidak kuat mengalami tekanan benturan kekuatan dari dua ilmu raksasa itu.
Mahisa Bungalan dan Linggapati sendiri terkejut ketika mereka merasakan, bahwa senjata mereka masing-masing telah retak dan bahkan kemudian patah. Hampir bersamaan kedua orang itu pun meloncat mundur. Jika semula mereka mengira bahwa hanya senjatanya sajalah yang patah, maka kemudian mereka pun menyadari, bahwa senjata keduanya telah patah.
“Gila.” geram Linggapati.
Mahisa Bungalan tidak menjawab, ia sadar sepenuhnya bahwa kekuatan ilmu puncaknya ternyata seimbang dengan kekuatan Linggapati. Demikian dahsyatnya sehingga kedua senjata yang beradu dengan lambaran ilmu itu telah patah bersama-sama.
Linggapati kemudian melemparkan senjatanya yang telah patah. Mahisa Bungalan pun melakukannya pula, sehingga keduanya telah berhadapan dengan tanpa senjata di tangan. Dengan demikian keduanya sadar, bahwa pertempuran itu masih akan berlangsung lama. Masing-masing masih harus menguji daya tahannya, agar tidak jatuh ke dalam kesulitan karena kelemahannya.
Namun dalam pada itu. Linggapati mulai menjajagi kemampuan dirinya. Ia setiap kali berusaha untuk menguasai pernafasannya yang mulai mengganggu. Tetapi sampai pada saat mereka harus bertempur tanpa senjata, Mahisa Bungalan masih belum melihat kelemahan pada lawannya itu.
Tetapi dengan demikian, maka Linggapati mengambil keputusan untuk dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu sebelum ia terganggu oleh nafasnya. Dengan cermat ia mempelajari kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilaksakannya dalam pertempuran tanpa senjata itu. Namun ia tidak segera dapat menemukannya.
Karena itulah, maka kegelisahannya pun menjadi semakin menjalar di dalam dirinya, sejalan dengan meningkatnya gangguan pernafasannya. Meskipun untuk beberapa saat ia masih dapat mengatasinya, tetapi Linggapati sadar, bahwa jika ia tidak segera dapat menyelesaikan pertempuran itu, maka kesulitan itu pun akan datang. Apalagi jika lawannya menyadari kesulitannya itu.
Untuk beberapa saat Linggapati masih berusaha untuk mengatur diri. Jika semula ia merasa yakin akan dapat membinasakan anak muda itu, maka kini ia harus berhadapan dengan kenyataan tentang lawannya itu.
Ternyata bahwa perhitungan Mahisa Bungalan pun cukup cermat. Ia melihat beberapa kemungkinan dari pertempuran itu, termasuk pertimbangan tentang ketahanan tubuh. Keragu-raguan yang tampak disorot mata Linggapati telah menumbuhkan kesan tersendiri pada Mahisa Bungalan. Juga sikap ragu-ragu lawannya.
Itulah agaknya yang sudah menumbuhkan perhitungan pada Mahisa Bungalan, bahwa lawannya mulai memikirkan daya tahan dirinya menghadapi pertempuran yang panjang. Dalam keadaan demikian itulah, maka Mahisa Bungalan berusaha untuk meyakinkan dirinya. Dengan serta merta ia pun segera menyerang lawannya tanpa senjata. Mahisa Bungalan menyusun serangan-serangannya bagaikan badai. Susul menyusul dengan dahsyatnya.
Linggapati masih cukup tangkas untuk menglak, dan bahkan menyerang kembali. Namun ia sudah mulai berusaha urtuk menghemat tenaganya. Ia tidak mengimbangi sikap Mahisa Bungalan yang garang. Namun Linggapati masih tetap berbahaya dengan sikapnya, yang diam. Ia hanya kadang-kadang saja berputar jika Mahisa Bungalan melingkar. Kemudian kembali tegak pada kedua kakinya.
Mahisa Bungalan mulai yakin akan keadaan lawannya. Namun ia tidak boleh lengah. Dan ia pun tidak boleh terjebak, justru dirinya sendirilah yang akan segera kehabisan tenaga. Dengan perhitungan-perhitungan yang cermat itulah maka Mahisa Bungalan telah banyak mengambil kesempatan. Kadang-kadang ia berhasil memancing Linggapati untuk bertempur dengan kasar dan banyak mengerahkan tenaga. Namun kemudian, ia pun sempat dengan sengaja membenturkan kekuatan ilmunya dengan kekuatan ilmu Linggapati.
“Linggapati memiliki ilmu yang dapat menahan serangan-serangan lawan yang mengenai dirinya.” gumam Mahisa Bungalan di dalam dirinya. “Bukan saja benturan ilmu yang seimbang, tetapi selapis perisai telah melindunginya.”
Namun demikian, Mahisa Bungalan masih merasa mampu untuk menembus selapis perisai itu. Serangannya yang dilambari ilmu tertingginya, masih juga berhasil menyentuh lawannya sehingga Linggapati harus menyeringai menahan sakit.
“Aku harus mengimbanginya dengan kecepatan bergerak.” berkata Mahisa Bungalan kepada diri sendiri.
Ternyata bahwa Mahisa Bungalan masih selalu berhasil memancing lawannya. Karena itulah, maka ia pun menjadi semakin cermat. Linggapati adalah seorang yang cerdik. Tetapi ia harus menyesuaikan diri dengan sikap lawannya didalam pertempuran itu.
Karena itulah maka setiap kali terdengar Linggapati mengumpat, “Anak iblis ini agaknya memiliki otak yang tajam. Ia berusaha memancing aku dalam sikap yang kasar dan banyak mengerahkan tenaga dan kemampuan.”
Namun jika serangan Mahisa Bungalan datang bagaikan prahara, maka Linggapati terpaksa mengimbanginya, meskipun ia harus memeras segenap tenaganya. Benturan-benturan ilmu pun banyak menyerap kemampuannya. Keringat semakin banyak mengalir di seluruh permukaan tubuhnya, sementara nafasnya pun mulai terasa mengganggu.
“Aneh.” desis Linggapati, “Anak muda ini benar-benar anak iblis.”
Namun pertempuran pun masih berjalan terus. Meskipun Linggapati mampu bertahan dalam batas-batas tertentu, namun dengan memeras segenap kemampuan dan tenaganya, maka seolah-olah waktu yang sudah ditelan oleh pertempuran itu menjadi berlipat lima.
Dalam pada itu, pasukan Mahibit benar-benar sudah dicengkam oleh kesulitan yang tidak akan teratasi. Para prajurit perlahan-lahan mendesak mereka semakin rapat, seoIah-oIah mereka telah terhimpit oleh kekuatan yang tidak terlawan. Sementara itu, di tengah-tengah arena pertempuran masih terdapat arena perang tanding yang sangat dahsyat.
Matahari di langit rasa-rasanya berjalan terlampau cepat. Tidak seorang pun yang sempat menghiraukannya. Namun matahari itu pun telah menjadi semakin rendah di sebelah Barat.
Mahisa Bungalan dan Linggapati telah berada dalam saat-saat yang menentukan dalam pertempuran tanpa senjata. Mereka tidak dapat lagi saling mengelakkan. Sehingga akhirnya keduanya telah banyak terlibat dalam benturan-benturan ilmu dan kekuatan.
Dengan lambaran ilmu pamungkasnya, Linggapati berhasil menangkap pergelangan tangan Mahisa Bungalan. Dengan sekuat tenaga ia menghentakkannya sementara kakinya telah terjulur menghantam lambung. Mahisa Bungalan menyeringai menahan sakit. Sementara itu, Linggapati masih belum melepaskan pergelangan tangan Mahisa Bungalan.
Namun Mahisa Bungalan tidak mau membiarkan lambungnya sekali lagi dihantam oleh kaki Linggapati. Dengan serta merta ia menjatuhkan dirinya dengan hentakkan yang kuat, sehingga justru Linggapati lah yang terdorong ke depan karena ia tidak mau melepaskan tangan lawannya. Namun pada saat itulah, kaki Mahisa Bungalan telah mengangkat; tubuh Linggapati sehingga ia terlempar ke udara.
Hentakkan itu telah melepaskan pegangan tangan Linggapati, karena ia harus berusaha agar tidak terbanting sehingga punggangnya patah. Dengan tangkasnya Linggapati menggeliat, sehingga ia justru jatuh pada kedua kakinya tegak di atas tanah. Pada saat itu, Mahisa Bungalan pun telah meloncat bangkit, sehingga keduanya kemudian telah berdiri berhadapan dalam kesiagaan masing-masing.
Adalah diluar perhitungan masing-masing, bahwa tiba-tiba saja mereka dalam waktu bersamaan telah meloncat menyerang dengan sepenuh tenaga, sehingga benturan kekuatan tidak dapat dihindarkan lagi. Ternyata akibat dari benturan itu benar-benar mendebarkan jantung. Mahisa Agni yang menyaksikannya harus menahan nafasnya.
Dengan tegang ia melihat Mahisa Bungalan terlempar beberapa langkah surut dan kemudian jatuh terbanting di atas tanah. Dengan susah payah ia berusaha bangkit dan berdiri untuk menghadapi segala kemungkinan, meskipun dengan terhuyung-huyung dan mata yang berkunang-kunang.
Namun dalam paa itu, Linggapati pun mengalami keadaan yang sama. Ia pun terlempar beberapa langkah dan jatuh berguling. Seperti Mahisa Bungalan ia pun segera berusaha bangkit meskipun keseimbangannya agak terganggu.
Untuk beberapa saat kedua saling berdiam diri. Masing-masing berusaha untuk memperbaiki keadaan. Mengatur pernafasan dan keseimbangan. Agaknya Mahisa Bungalan yang muda itu dapat mengusai pernafasannya lebih cepat. Beberapa saat kemudian, maka nafasnya sudah nampak teratur. Meskipun perasaan nyeri masih mengganggunya, namun ia merasa sudah siap menghadapi kemungkinan yang bagaimanapun juga.
Sementara itu, Linggapati pun telah dapat menguasai diri. Tetapi dadanya masih terasa sesak dan pernafasannya masih belum mengalir teratur. Sekali-sekali ia menarik nafas dan memusatkan segenap daya dan kemampuannya untuk mengatasi kesulitan di dalam dirinya.
Mahisa Bungalan melihat kelemahan yang terdapat pada lawannya. Namun ia tidak tergesa-gesa mengambil sikap. Ia masih membuat beberapa pertimbangan dan mencari kesempatan untuk memulihkan dirinya sendiri.
Sejenak kemudian, ternyata bahwa Linggapati pun telah berhasil menyesuaikan pernafasannya meskipun masih terasa timpang. Namun ia sudah bersiap kembali memasuki pertempuran yang dahsyat melawan anak muda yang luar biasa itu.
Mahisa Bungalan yang berhati-hati itu pun kemudian mempersiapkan diri. Selangkah ia bergeser seperti juga Linggapati. Mereka masing-masing telah memusatkan segenap perhatian masing-masing yang satu terhadap yang lain, sehingga dengan demikian mereka tidak lagi menghiraukan apa yang telah terjadi di sekitar mereka. Mereka tidak melihat bahwa pertempuran antara para pengikut Linggapati melawan para prajurit Singasari dan para pengikut Empu Sanggadaru itu telah hampir mencapai akhirnya.
Para pengikut Linggapati hampir tidak berdaya lagi untuk melawan tekanan yang semakin berat. Apalagi setelah Mahendra, Lembu Ampal, Witantra dan dua anak muda putera Mahendra ikut pula di dalam Pertempuran itu. Namun demikian, tidak seorang pun beruasaha mengganggu perang tanding itu. Mahisa Agni masih berdiri bagaikan membeku dicengkam oleh dahsyatnya pertempuran antara Mahisa Bungalan dan Linggapati.
Linggapati yang tidak sabar, meskipun nafasnya terasa masih belum pulih kembali, telah menyerang dengan dahsyatnya. Kecepatannya bergerak masih mendebarkan hati, sehingga Mahisa Bungalan masih harus meloncat menghindar. Sambaran tangan Linggapati bagaikan ayunan sebatang besi baja sebesar batang kelapa menghantam kepala Mahisa Bungalan. Tetapi Mahisa Bungalan masih sempat mengelak. Kekuatan ilmu puncak Linggapati benar-benar mendebarkan jantung.
Namun sambil merendahkan diri, Mahisa Bungalan berkisar pada sebelah kakinya, sementara kakinya yang lain telah terjulur menyambar lambung. Tetapi Linggapati masih sempat melihat serangan itu. Ia sadar, bahwa sentuhan kaki Mahisa Bungalan itu dapat mengguncang bukit. Karena itu, maka ia pun segera menggeliat mengelakkan diri dari kaki lawannya meskipun ia harus terhuyung-huyung sejenak. Namun ketika Mahisa Bungalan melancarkan serangan berikutnya dengan satu putaran, maka Linggapati telah berhasil mengelak dengan meloncat mundur sambil menyentuh kaki Mahisa Bungalan.
Sentuhan tangan itu telah mengguncang keseimbangan Mahisa Bungalan. Ia terdorong selangkah kesamping. Namun kemudian mengikuti arah lontaran kakinya, ia pun meloncat tegak di atas kedua kakinya. Namun pada saat itu, ia melihat Linggapati telah meloncat menghantam dadanya dengan tangannya.
Sekali lagi Linggapati telah menyerangnya dengan sepenuh kekuatan yang dilambari ilmu puncaknya. Jika tangan ini menghantam dada Mahisa Bungalan, maka iga-iganya tentu akan retak. Bahkan bagi kebanyakan orang akan dapat meruntuhkan segenap isi dadanya dan mematahkan semua tulang iganya.
Mahisa Bungalan melihat serangan itu. Tetapi ia tidak sempat mengelakkannya. Sekali lagi ia harus membentur kekuatan lawannya dengan segenap kekuatannya pula. Melawan ilmu puncak lawannya dengan ilmu puncaknya pula. Medan itu pun telah dikejutkan lagi oleh benturan yang dahsyat antara serangan dan pertahanan kedua orang yang sedang, bertempur seperti guruh yang sedang berlaga.
Sekali lagi Mahisa Bungalan terdorong beberapa langkah dan bahkan ia tidak berhasil untuk menjaga keseimbangannya., sehingga ia pun jatuh terguling, meskipun dengan susah payah ia segera dapat bangkit lagi berdiri di atas kedua kakinya. Tetapi rasa-rasanya kepalanya menjadi pening dan pandangan matanya berkunang-kunang. Namun perlahan-lahan ia berhasil menguasai dirinya dan mengatur pernafasannya. Keseimbangannya segera pulih kembali dan ia pun telah siap menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu, Linggapati yang melontarkan kekuatannya namun membentur kekuatan yang seimbang itu pun telah terlempar surut. Rasa-rasanya hentakan kekuatannya telah mengguncangkan dadanya sendiri. Beberapa langkah ia terdorong dan kemudian terbanting jatuh.
Seperti Mahisa Bungalan ja segera berusaha untuk bangkit. Sambil mengerahkan segenap tenaganya, ia bersandar kedua tangannya. Kemudian terhuyung-huyung ia berdiri di atas kedua kakinya. Meskipun Linggapati berhasil tegak berdiri dengan kaki merenggang, namun rasa-rasanya dadanya masih tetap tersumbat oleh pernafasannya yang menyesak.
Usahanya untuk mengatasi kesulitan pernafasannya itu agaknya dapat diketahui oleh Mahisa Bungalan. Dalam ketegangan menghadapi kemampuan ilmu yang seimbang, maka Mahisa Bungalan harus memperhitungkan setiap kemungkinan yang dapat ditembusnya. Kesulitan yang dapat dilihatnya itu, merupakan suatu peluang bagi Mahisa Bungalan. Meskipun keadaannya sendiri masih belum jernih benar, namun ia tidak mau terlambat.
Sejenak Mahisa Bungalan mengerahkan ilmunya tertinggi. Ilmu yang luluh di dalam dirinya, bersumber dari ilmu yang diajarkan ayahnya dan pamannya, serta ilmu yang bersumber pada ilmu Mahisa Agni. Bahkan Mahisa Bungalan telah memiliki kekuatan ilmu Gundala Sasra yang lebih mantap, justru karena ilmu-ilmu yang telah luluh di dalam dirinya.
Sebelum Linggapati berhasil menguasai pernafasannya yang menyesak, tiba-tiba saja ia melihat Mahisa Bungalan telah siap menyerangnya. Karena itu, maka Linggapati tidak dapat memilih. Ia pun segera mempersiapkan diri meskipun nafasnya masih ter sengal-sengal. Sejenak kemudian maka benturan yang, dahsyat itu pun telah terulang sekali lagi. Hentakkan dua kekuatan raksasa yang menggetarkan seluruh medan. Seolah-olah tanah pun menjadi goncang dan medan telah bergetar.
Benturan kekuatan itu benar-benar telah mendebarkan jantung. Mahisa Agni melihat benturan itu dengan dada yang tegang. Ia melihat Mahisa Bungalan yang telah mendahului menyerang di saat-saat keduanya baru saja berhasil menguasai diri. Tetapi Mahisa Agni pun melihat, bahwa Mahisa Bungalan lebih cepat berhasil menguasai pernafasannya daripada Linggapati.
“Ia cukup cerdik.” gumam Mahisa Agni.
Namun itu belum berarti bahwa usaha Mahisa Bungalan itu berhasil. Ia masih harus menunggu dengan dada yang berdebar. Sejenak kemudian ia melihat Mahisa Bungalan terlempar sekali lagi dan terbanting di tanah. Dengan menyeringai menahan sakit yang menghentak di dadanya, terdengar Mahisa Bungalan berdesis pendek. Dengan susah payah ia berusaha untuk bangkit. Tetapi ia pun kemudian jatuh terduduk.
Sementara itu, Mahisa Agni pun melihat, Linggapati terpelanting beberapa langkah. Ia masih menggeliat. Bahkan ia masih berusaha untuk mengangkat kepalanya. Namun matanya menjadi gelap, dan. dadanya bagaikan tersumbat. Linggapati tidak berhasil untuk bangkit. Dadanya bagaikan pecah oleh pernafasannya yang menyesak.
Beberapa orang pengawalnya dengan tergesa-gesa mendekatinya tanpa menghiraukan lawan. Mereka berjongkok sambil mengangkat kepala Linggapati dan meletakkan di atas pangkuan salah seorang pengawalnya. Namun nafas Linggapati benar-benar telah tersendat-sendat. Hentakkan kekuatan yang susul menyusul itu ternyata tidak dapat diatasinya lagi.
Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba pertempuran itu pun bagaikan terhenti. Mahisa Bungalan terduduk lemah. Disilangkannya tangannya, dan dipejamkannya matanya. Setitik darah melelah di bibirnya. Ternyata ia telah mendapat luka di dalam dadanya.
Perlahan-lahan Mahisa Agni mendekatinya. Ia pun kemudian berjongkok di sampingnya sambil berbisik, “Usahankan agar pernafasanmulah yang pertama-tama menjadi baik.”
Mahisa Bungalan tidak merubah sikapnya. Ia mendengar kata-kata Mahisa Agni. Dan ia pun telah mencoba melakukannya.
Dengan cemas, Mahendra pun kemudian berjongkok pula di sisi anaknya, diikuti oleh Witantra dan Lembu Ampal. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan wajah tegang berdiri beberapa langkah di samping mereka.
Dalam pada itu, agaknya Linggapati benar-benar mengalami kesulitan, karena dadanya rasa-rasanya telah pecah. Pernafasannya tidak lagi dapat diatasi. Bahkan setiap tarikan nafas rasanya bagaikan tusukan-tusukan pedang di dalam rongga dadanya yang menyesak.
Ternyata bahwa keadaan Linggapati benar-benar menyulitkan. Meskipun demikian masih tetap sadar. Karena itulah maka ia mencoba untuk membaringkan dirinya sambil memperbaiki pernafasannya. Tetapi agaknya ia tidak berhasil. Dadanya bagaikan semakin panas. seolah-olah api yang membakar jantungnya kian menjadi bertambah besar.
Akhrinya, sebagai seorang yang berilmu tinggi, Linggapati benar-benar telah melihat bayangan yang suram di depan matanya. Semula ia masih ingin meronta. Tetapi kemudian ia harus mengakui kenyataan yang dihadapinya. Karena itulah, maka ia pun kemudian sadar, bahwa ia harus menghadapinya dengan jantan, seperti saat-saat ia maju ke medan perang.
Sambil menggeretakkan giginya ia melihat beberapa macam warna bermain di matanya. Warna-warna yang tajam bagaikan menusuk mata hatinya. Kemudian warna yang lebih lemah. Perlahan-lahan warna itu pun berubah menjadi warna yang suram. Akhirnya sambil menarik nafas dalam-dalam Linggapati melihat warna hitam bagaikan selimut yang luas, seluas langit telah menyelubunginya perlahan-lahan.
Karena itu, dengan sisa kekuatan yang ada padanya ia bergumam tanpa mengetahui siapakah yang mendengarnya. “Aku akan pergi untuk selamanya. Jalanku kelam. Tetapi mudah-mudahan akan terdapat cahaya meskipun hanya sepercik di hadapanku sebagai penunjuk jalan untuk menuju ke dalam dunia yeng abadi.”
Ternyata kata-kata itu masih ada yang mendengar. Seorang pengawal kepercayaannya menahan nafasnya. Ia mencoba mendekatkan mulutnya di telinga Linggapati untuk berbisik. Tetapi terlambat. Linggapati telah memejamkan matanya tepat saat selimut hitam seluas langit itu turun menyelubungi dirinya.
Pengawalnya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kata-kata terakhir Linggapati itu bagaikan menggugah hatinya. Jalan hidupnya yang hitam ternyata membawa pengaruh sampai saat terakhirnya. Bahkan mempengaruhi jalannya menuju keabadian. Jalan yang kelam. Meskipun Linggapati masih mengharap sepercik sinar yang dapat menerangi jalan yang kelam itu. Tetapi tidak seorang pun yang mengetahuinya, apakah yang sepercik itu ternyata ada di hadapan kaki Linggapati yang telah melukis warna baginya sendiri dimasa hidupnya.
“Jika Linggapati melukis warna putih cerah, maka jalan itu pun akan berwarna putih dan cerah.” berkata pengawalnya kepada diri sendiri. Namun agaknya ia sendiri telah dihantui oleh perbuatannya sepanjang hidupnya, sehingga tiba-tiba saja timbul pertanyaan di dalam dirinya, “Warna apakah yang telah aku lukis menjelang saat-saat terakhir dari hidupku?”
Tetapi pengawal Linggapati itu tidak sempat merenung lebih lama lagi. Ketika ia mengangkat wajahnya, maka ia pun terkejut. Beberapa ujung senjata telah mencuat di sekelilingnya. Ternyata para prajurit Singasari telah mengepungnya dengan senjata telanjang. Pengawal itu berdiri perlahan-lahan. Tetapi ia sudah meletakkan senjatanya sambil berkata, “Aku tidak akan melawan lagi.”
Para prajurit Singasari pun menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian maka pertempuran itu benar-benar sudah selesai. Seluruh pengikut Linggapati telah menyerah, apalagi ketika mereka melihat, Linggapati sudah tidak bernafas lagi.
Sementara para Senapati menyelesaikan tugas masing-masing, serta dua orang penghubung menyampaikan berita akhir dari pertempuran itu atas perintah Mahisa Agni kepada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, maka perlahan-perlahan Mahisa Bungalan mulai berhasil menguasai pernafasannya.
Betapa sulitnya, namun ia mulai dapat merasakan jalan nafasnya mulai teratur dan merasuk sampai ke paru-paru. Karena itu, maka wajahnya yang putih pun perlahan-lahan mulai menjadi kemerah-merahan. Sejalan dengan arus nafasnya yeng teratur, maka darahnya pun mulai mengalir dengan wajar. Sesaat kemudian, maka semua kesulitan telah lampau, Mahisa Bungalan dapat menarik nafas panjang, seakan-akan udara di seluruh Singasari akan dihirupnya.
Ternyata bukan saja Mahisa Bungalan. Mahendra pun menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa bahwa anaknya sudah bebas dari kesulitan yang, dapat menyeretnya ke dalam keadaan seperti yang di alami oleh Linggapati. Diam-diam Mahendra merasa bersukur kepada Yang Maha Agung, seperti juga Mahisa Bungalan sendiri dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Mereka telah dapat menyelesaikan tugas yang berat dan mendebarkan jantung, karena pada mulanya mereka masih belum yakin, bahwa semuanya akan berakhir dengan baik bagi Singasari. Seperti pada saat mereka menghadapi pasukan Empu Baladatu, maka hanya karena pertolongan Yang Maha Agung sajalah pasukan Singasari mendapat cara yang sebaik-baiknya untuk menghancurkan lawan.
“Kita akan segera menghadap.” berkata Mahisa Agni kepada Mahisa Bungalan, “Yang telah kau lakukan, cukup meyakinkan.”
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Badannya masih terasa sangat lemah, meskipun ada sepercik kebanggaan di dalam hatinya.
Yang dilakukan oleh Singasari kemudian adalah berbenah diri. Kota Raja benar-benar telah hancur akibat peperangan yang seakan-akan bersusun dua kali. Para prajurit Singasari ternyata masih belum dapat langsung beristirahat saat-saat Mahisa Bungalan mengikut Mahisa Agni menghadap Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Mereka masih harus mengumpulkan para korban. Menyisihkan mayat yang berserakkan. Memilih, mana yang kawan dan mana yang lawan di antara mereka. Sementara yang lain harus mengumpulkan mereka yang terluka.
Baik kawan maupun lawan dari mereka yang terluka, memerlukan perawatan dan pengobatan, Empu Sanggadaru yang kemudian dengan hati yang pedih menyaksikan banyaknya korban, telah membantu memberikan pertolongan kepada mereka yang terluka.
“Ketamakan orang-orang Mahibit memberikan akibat yang sangat parah bagi Singasari.” gumam Empu Sanggadaru.
Witantra yang membantunya pula menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Empu Baladatu dan Linggapati mempunyai keinginan yang sama. Tetapi nampaknya mereka tidak dapat menemukan kesepakatan.”
“Itu adalah Karya Yang Maha Agung di dalam hati mereka. Jika mereka dibiarkan menemukan persamaan pendapat maka aku kira Singasari sudah benar-benar hancur. Kekuatan Baladatu dan Linggapati yang bergabung akan merupakan kekuataan yang barangkali tidak terlawan oleh pasukan Singasari yang tersedia. Apalagi jika mereka dengan tiba-tiba datang ke Kota Raja. aku kira, Singasari sudah tidak ada lagi sekarang.” berkata Empu Sanggadaru.
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Mungkin sekali. Kota Raja ini sudah menjadi debu. Semuanya akan hancur, karena jika Empu Baladatu dan Linggapati berhasil menghancurkan Kota Raja dan mendudukinya, mereka kemudian tentu akan terlibat kedalam perang di antara mereka, sehingga Kota Raja ini tidak akan tersisa lagi.”
“Yang menang di antara mereka akan membangun suatu pemerintahan di Singasari baru.” desis Empu Sanggadaru.
Tetapi Witantra menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak. Akan segera datang kekuatan dari Kediri atau dari arah lain yang termasuk wilayah Singasari. Mereka akan menginjak bara api yang memang tinggal abunya oleh perselisihan antara kedua kekuatan yang menang atas Singasari. Yang akan timbul adalah suatu kekuasaan baru di atas pulau ini. Bukan Empu Baladatu dan bukan pula Linggapati.”
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Ia menyadari, betapa luasnya langit. Jika nampak kabut yang gelap, maka di seberang kabut, langit terbuka sejauh mata dapat menggapainya.
Dalam pada itu, Empu Sanggadaru masih diminta untuk tetap berada di Kota Raja. Pengikut-pengikutnya masih diperlukan untuk membantu mengatasi kesulitan yang timbul karena peperangan. Setelah para korban diselenggarakan seperti seharusnya, maka mulailah Singasari dengan menatap wajahnya sendiri yang suram.
Pintu gerbang yang rusak di segala arah. Rumah-rumah yang roboh dan terbakar. Dinding halaman yang hancur dan halaman yang bagaikan dibajak. Singasari memerlukan tenaga untuk membangunkannya kembali. Untuk itulah maka tenaga yang ada masih diperlukan, termasuk para pengikut Empu Baladatu.
Sementara itu, Mahisa Bungalan mendapat perhatian khusus dari Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Mereka masih sama-sama muda dan memiliki jiwa yang menggelora. Mereka sama-sama mencintai Singasari seperti mencintai diri mereka sendiri. Karena itulah, maka Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mempunyai pertimbangan-pertimbangan khusus bagi Mahisa Bungalan.
Ketika Singasari sedang sibuk membangun kembali dirinya, Ranggawuni, Mahisa Cempaka dan Mahisa Agni sedang sibuk pula mempersiapkan tempat bagi Mahisa Bungalan. la telah memberikan jasa kepada Singasari, sehingga Singasari tidak luluh menjadi debu. Bukan hanya sekedar pada saat Empu Baladatu dan Linggapati menyerang Singasari, tetapi sejak saat-saat sebelumnya Mahisa Bungalan telah bannyak memberikan jasanya.
“Singasari memerlukan anak-anak muda seperti Mahisa Bungalan.” berkata Lembu Ampal yang ikut berbincang tentang anak muda itu.
“Ia akan mendapat tempat yang baik di dalam pemerintahanku.” berkata Ranggawuni.
“Terserahlah kepada tuanku.” sahut Mahisa Agni, “Tetapi kemudannya masih harus dipertimbangkan jika tuanku bermurah hati untuk memberikan anugerah kedudukan kepadanya.”
Ranggawuni tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Aku pun masih muda. Mungkin apa yang akan aku putuskan masih harus mendapat pertimbangan. Itulah sebabnya aku memerlukan orang-orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang jauh lebih baik daripada aku.”
“Pandangan tuanku cukup luas untuk menilai setiap masalah yang timbul di Singasari.” sahut Mahisa Agni.
Ranggawuni masih mengangguk-angguk. Namun sudah pasti baginya bahwa Mahisa Bungalan akan dapat diangkat menjadi seorang Panglima yang mumpuni. Seorang Panglima muda yang akan menjadi pendamping Lembu Ampal yang semakin tua.
“Ayahnya bukan seorang prajurit.” berkala Mahisa Agni, “Tetapi ia telah berbuat tidak kalah sebagaimana dilakukan oleh seorang Senapati.”
“Aku mengerti.” berkata Ranggawuni, “Dan aku pun mengerti pula, bahwa paman Mahendra tidak akan bersedia diangkat menjadi seorang prajurit. Apalagi kini ia sudah menjadi semakin tua. Pada masa mudanya pun ia akan berkeberatan. Tetapi aku kira tidak bagi Mahisa Bungalan. Bahkan mungkin juga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.”
“Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih terlalu muda. Barlah mereka menempa diri sendiri, sehingga memiliki ilmu kanuragan yang cukup, sehingga pada saatnya, ia pun akan menjadi seorang prajurit yang tidak mengecewakan.” berkata Mahisa Agni.
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mengangguk-angguk. Namun kemudian Mahisa Cempaka berkata, “Paman Mahisa Agni. Sudah barang tentu bahwa jika paman Mahendra tidak berkeberatan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan mendapatkan tempat yang khusus. Baru kemudian setelah ia menyempurnakan ilmunya, kedudukannya akan ditingkatkan setapak demi setapak.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin hal itu dapat juga dilakukan tuanku. Tetapi untuk saat-saat tertentu Mahendra memerlukan kawan dalam perjalanannya yang panjang. Ia selalu mengelilingi tlatah Singasari untuk barang-barang yang diperdagangkannya.”
Mahisa Cempaka mengerutkan keningnya. Namun kemudian ja pun mengangguk-angguk. Katanya, “Kedudukan paman Mahendra justru akan menjadi sangat penting, juga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka akan dapat memberikan gambaran keadaan di seluruh Singasari. Selain petugas-petugas resmi, maka paman Mahendra akan dapat melihat keadaan beberapa daerah dalam keadaan sewajarnya.”
“Hamba tuanku.” sahut Mahisa Agni, “Ia akan dapat melihat sebagai bahan banding dari laporan-laporan yang datang dari para petugas di daerah-daerah. Mungkin para petugas memberikan laporan yang tidak benar tentang daerahnya. Mungkin mereka hanya memberikan gambaran tentang yang selalu baik. Tetapi Mahendra akan dapat melihat yang sesungguhnya. Dan aku yakin bahwa Mahendra akan mengatakan yang sesungguhnya itu. Bukan sekedar yang baik untuk mendapatkan pujian.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mengangguk-angguk. Di hadapan mereka telah terbentang masa-masa yang cerah. Kehancuran Empu Baladatu dan Linggapati, bagaikan berhembusnya angin yang menyapu bersih kabut yang menyelebungi Singasari. Hari yang sudah membayang.
“Yang bergejolak hanyakah permukaannya saja.” berkata Mahisa Agni, “Ternyata setelah Empu Baladatu dan Linggapati tidak ada lagi keadaan benar-benar menjadi tenang.”
“Tetapi yang permukaan itu benar hampir menenggelamkan Singasari.” desis Ranggawauni.
Demikianlah, maka Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang memerintah Singasari sebagai sepasang. Ular dari satu Sarang, telah menemukan orang-orang yang diperlukan.
Saat-saat Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra menjadi semakin tua. Maka hadirnya Mahisa Bungalan merupakan jalur kelanjutan bagi pengabdian mereka. Mahisa Bungalan akan dapat menjadi pendamping Lembu Ampal, dalam tata keprajuritan Singasari.
Ketika Empu Sanggadaru kemudian mohon diri untuk kembali ke padepokannya, maka Mahisa Agni pun berbisik di telinganya, “Sebentar lagi, aku pun berhasrat untuk tinggal di padepokan, menyepi dan menyerahkan sisa hidupku bagi kebesaran Yang Maha Agung.”
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Katanya, “Tetapi Senapati. Pada dasarnya Senapati Mahisa Agni adalah seorang kesatria. Darmanya akan berbeda dengan darma seorang pertapa di padepokan-padepokan yang sepi.”
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Di hadapan Yang Maha Agung, kesempatan untuk mengagungkan namanya ada berbeda.”
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Katanya, “Semua darma hanyalah untuk memuliakan namanya, cara yang manapun yang kita jalani.”
Maka, kemudian datanglah saat-saat yang cerah itu. Singasari menjadi semakin semarak di bumi yang gemah ripah. Ketika orang-orang tua mulai menepi dari jalan yang memanjat ke ujung keagungannya, maka yang muda pun mulai tampil untuk menggantikannya.
Dan Sepasang Ular di satu Sarang itu pun kemudian menjadi semakin semarak meski pun mereka tidak dapat melepaskan diri dari pengamatan perkembangan wilayahnya yang khusus. Kediri. Karena Kediri tetap masih saja dibayangi kebesaran masa lampaunya. Namun dalam tataran pemerintahan seterusnya, Singasari memancar di seluruh bumi Nusantara menjelang hari-hari yang cerah.
Akan tetapi persoalan-persoalan yang kemudian tumbuh adalah justru karena kemudaan mereka. Seperti umumnya usia muda seorang laki-laki akan selalu tersangkut masalah sisihan. Dan masalah wanita kadang kala akan membawa persoalan yang tersendiri.
“Jadi, apakah yang harus kami lakukan?” bertanya pemimpin kelompok itu.
“Melingkari bulak panjang dan langsung pergi ke dinding Kota Raja. Baru kalian merayap sepanjang dinding samping untuk mencapai pintu gerbang. Itu pun harus kalian lakukan dengan sangat hati-hati. Jika kalian terlalu dekat dengan padukuhan itu dan diketahui oleh pengawas-pengawas mereka, maka nasib kalian akan menjadi sangat buruk.”
Para pemimpin kelompok itu kemudian membawa pasukan kecil mereka melingkari agak jauh dari padukuhan-padukuhan yang diketahui sebagai tempat peristirahatan pasukan dari Mahibit yang siap menerkam Kota Raja.
Ternyata kehadiran satu dua kelompok itu dapat diketahui oleh para pengawas dari Mahibit. Ternyata mereka telah mengadakan gerakan di malam hari. Mereka menebar semakin luas untuk mencegah kehadiran kelompok-kelompok baru masuk ke pintu gerbang Kota Raja. Petugas-petugas sandi Singasari segera melaporkan gerakan itu. Namun dengan demikian petugas-petugas sandi yang harus bertebaran justru menjadi semakin banyak.
“Keadaan sangat gawat” berkata seorang Senapati, “Karena itu, biarlah kelompok-kelompok kecil itu berada di belakang pasukan Mahibit. Pada suatu saat mereka tentu akam diperlukan. Jika orang-orang Mahibit berhasil memecahkan pintu gerbang, maka mereka justru akan menyergap dari belakang sisa-sisa pasukan Mahibit yang tentu akan berdesakan memasuki Kota Raja.”
Dengan perintah itu, maka kelompok-kelompok kecil yang berdatangan kemudian, tetap berada di belakang pasukan Linggapati, sampai saatnya mereka mendapat perintah untuk mendekat.
“Pasukan ini teramat kecil.” berkata seorang pemimpin kelompok, “Apa yang dapat kami lakukan.”
“Sekedar mengganggu ekor pasukan Linggapati yang memasuki Kota. Namun yang sekedar itu tentu akan mempunyai arti, karena yang berada di belakang pasukan Mahibit ini tentu tidak hanya satu dua kelompok. Tetapi mungkin ada sepuluh, bahkan lebih.”
Para pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Meskipun jumlah mereka tidak seberapa, tetapi mereka memang akan dapat membuat kejutan bagi ekor pasukan Mahibit.
Dalam pada itu, malam pun berjalan betapapun lambannya. Seperti para prajurit Singasari, maka sebagian dari pasukan Mahibit sempat juga beristirahat barang sejenak menjelang fajar menyingsing.
Agaknya Linggapati mempergunakan bintang-bintang sebagai isyarat. Ketika bintang panjer wengi tenggelam di ujung Barat dan bintang penjer rima mulai nampak di Timur dengan cahaya yang putih kebiru-biruan, maka pasukannya pun mulai bersiap-siap tanpa aba-aba. Setiap kelompok yang ada di padukuhan yang terpisah telah mengetahui bahwa saat bintang panjerina mulai nampak, mereka harus mempersiapkan diri dan kemudian berangkat menuju ke medan.
Karena itulah, maka tanpa ada bunyi isyarat apapun, ternyata bahwa pasukan Mahibit itu sudah mulai bergerak. Dalam gelapnya sisa malam menjelang fajar, mereka merayap di tengah-tengah bulak mendekati dinding Kota Raja.
Agak berbeda dengan pasukan Empu Baladatu, ternyata orang-orang Mahibit tidak memusatkan kekuatan pasukannya pada pintu gerbang, meskipun mereka telah mempersiapkan pula macam-macam alat untuk memecahkan pintu. Diantaranya seperti yang pernah dilakukan oleh pasukan Empu Baladatu. Sepotong kayu yang panjang dan cukup besar untuk menghentak pintu itu dari luar.
Ternyata bahwa untuk beberapa saat mereka berhasil mendekati dinding tanpa diketahui oleh pasukan Singasari karena sama sekali tidak ada tanda-tanda dan isyarat yang nampak atau terdengar. Karena itulah, maka prajurit peronda yang berada di atas dinding telah terkejut ketika melihat dalam gelapnya malam seakan-akan, batang-batang jagung itulah yang bergerak bagaikan hanyut mendekati dinding.
“He, kau lihat dalam gelap itu?”
“Aku memang melihat sesuatu? He, apakah mataku sudah rabun?”
“Tidak. Kita memang melihat gerakan. Lihat, dari ujung bulak sampai ke ujung bulak.”
Peronda itu memanggil beberapa orang kawannya. Anak-anak muda yang jemu menunggu di pintu gerbang, nampaknya tertidur diluar sadar. Tetapi mereka terbangun juga oleh kegelisahan para penjaga.
“Apa yang kalian lihat?”
Tiba-tiba saja peronda yang tertua terpekik, “Pasukan. Lihat dengan tajam. Yang datang itu bukannya betang-betang jagung yang hanyut didorong angin. Tetapi pasukan Mahibit datang dalam gelar yang panjang sekali hampir mengelilingi dinding Kota Raja.”
Sejenak kemudian telah terdengar suara kentongan yang memang disediakan di atas pintu gerbang, yang ternyata telah mengejutkan penjaga di dalam gardu. Tanpa bertanya lagi mereka menyadari, bahwa bahaya sudah mendekati. itulah sebabnya mereka pun segera memukul kentongan yang besar di gardu itu dengan irama titir.
Sekejap kemudian maka suara kentongan itu pun telah memenuhi seluruh Kota Raja. Di setiap gardu telah tersedia kentongan, sehingga seluruh Kota Raja pun kemudian dipenuhi oleh suara kentongan yang berbunyi di gardu-gardu.
Para prajurit yang sedang beristirahat terkejut mendengar suara titir. Dengan serta merta mereka membenahi diri meskipun terasa badan mereka masih belum segar setelah dengan terkejut bangun dari tidur. Beberapa orang yang bertugas di atas dinding pun segera memanjat. Betapapun tergesa-gesa. mereka tidak lupa busur dan anak panah.
Ternyata prajurit-prajurit Simgasari tidak mendapat banyak kesempatan untuk mengatur diri. Demikian suara kentongan meledak, maka Linggapati telah berteriak memerintahkan agar pasukannya menyerbu Kota Raja. Sejenak kemudian, maka bayangan yang, bergerak-gerak di dalam keremangan sisa-sisa malam itupun bagaikan bergetar. Sejenak kemudian seperti banjir mereka pun berlarian menyerang.
Dengan mata yang masih berat, pasukan Singasari telah mempersiapkan diri pula. Mereka yang berada di atas dinding adalah mereka yang bersenjata panah dan tombak panjang. Ketika para prajurit mulai hadir di tempat masing-masing, orang-orang Mahibit telah menjadi semakin dekat. Mereka mulai berteriak memekakkan telinga.
Namun demikian mereka memasuki jarak jangkau anak-anak panah yang di lontarkan dengan busur dari atas dinding, maka di sekitar dinding Kota Raja itu pun seakan-akan telah turun hujan anak panah yang bagaikan dicurahkan. Pasukan yang maju itu terhenti. Bahkan mereka pun segera bergerak mundur. Mereka mencoba melindungi diri mereka dengan perisai-perisai baja dan kayu.
Di muka pintu gerbang, keadaannya juga serupa. Mereka yang memakai perisai sajalah yang kemudian mendekat dengan berlindung di bawah perisai masing-masing. Namun ketika mereka menyadari bahwa pintu gerbang harus dipecahkan, maka pemimpin kelompok yang bertugas memecah pintu gerbang itu berteriak, “Lindungi kami. Kami akan membuka pintu itu.”
Maka orang-orang Mahibit pun telah membalas serangan itu dengan anak panah pula. Tetapi jumlah mereka yang bersenjata panah terlalu sedikit untuk menyerang Kota Raja dari segala jurusan. Itulah sebabnya mereka sebagian telah berkumpul di semua pintu gerbang.”
Beberapa puluh perisai segera melindungi para pengikut Linggapati yang sedang berusaha memecah daun pintu. Mula-mula mereka mengangkat balok, tidak di atas pundak, tetapi ditinting dengan tangan. Kemudian mereka berlari sekencang-kencangnya sambil membenturkan balok yang panjang itu pada pintu gerbang.
Anak panah yang dilontarkan oleh para prajurit yang berada di atas pintu gerbang telah membentur perisai yang bagaikan payung di atas kepala para pengikut Linggapati itu, sehingga anak panah itu tidak dapat menyentuh tubuh mereka. Anak-anak muda yang berada di atas pintu gerbang itu mengerutkan keningnya ketika mereka melihat, bagaimana orang-orang Mahibit melindungi diri dan kawan-kawannya dari serangan anak panah.
“Saatnya sudah tiba.” berkata seorang anak muda.
“Ya. Kita menyerang sekarang.”
Demikianlah maka anak-anak muda yang mengenakan kantong-kantong kulit di tangannya segera mempergunakan bumbung penyemprot mereka. Dengan geram mereka pun kemudian menghisap air yang sudah mereka sediakan. Air rawe dan air cabe yang panas.
Ketika para pengikut Linggapati ilu membenturkan balok panjang itu pada pintu gerbang, maka anak-anak muda itu pun segera melontarkan air di dalam bumbung-bumbung mereka. Di depan pintu gerbang itu pun kemudian bagaikan hujan turun dari atas dinding. Mula-mula mereka tidak mengerti, apakah artinya air yang disemprotkan itu.
Namun sejenak kemudian, akibatnya mulai mereka rasakan. Para pengikut Linggapati yang terkena air rawe pun bagaikan gila menggaruk tubuhnya yang gatal, sementara yang dikenai air cabe, menjadi bingung oleh panas dan pedih. Terutama di mata mereka.
Ternyata serangan-serangan anak-anak muda itu sangat berpengaruh. Terutama mereka yang terkena air rawe, sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa lagi selain menggaruk tubuh mereka sendiri yang menjadi panas dan gatal tanpa banding.
“Apa yang terjadi?” bertanya seorang pemimpin kelompok mereka yang segera mendekati mereka.
“Air rawe. Tubuhku menjadi gatal-gatal seluruhnya.”
“Tubuhku menjadi panas seperti tersentuh api.” sementara yang lain lagi berteriak, “Aku tidak dapat melihat lagi.”
Anak-anak muda itu pun kemudian dengan gigihnya telah melakukan tugas mereka dari atas dinding. Satu dua di antara mereka ternyata telah sampai pada batas hidup mereka. Anak panah orang Mahibit yang tidak banyak jumlahnya itu pun telah mematuk korban dari para prajurit dan mereka yang telah menyiapkan diri untuk bertempur.
Dalam pada itu, ketika ternyata pintu gerbang tidak segera terbuka, maka para pengikut Linggapati tidak lagi memberatkan serangan mereka pada pintu gerbang yang dijaga oleh anak-anak muda yang rusuh itu. Beberapa orang pengikut Linggapati telah memindahkan perhatian mereka pada dinding Kota Raja. Mereka mulai memikirkan, apakah mereka akan dapat memanjat dinding itu dengan tangga.
Sementara itu, maka orang-orang Mahibit pun tidak henti-hentinya menyerang para prajurit Singasari dengan anak panah dan bahkan kadang-kadang mereka telah melontarkan tombak mereka. Namun serangan dari atas dinding Kota Raja agaknya lebih banyak memberikan hasil. Sedangkan jarak jangkaunya pun jauh lebih panjang dari lontaran dari luar dinding Kota Raja itu.
Tetapi orang-orang Mahibit tidak berputus asa. Karena anak muda yang berada di atas pintu gerbang itulah yang telah menyebabkan para pengikut dari Mahibit itu mengalami hambatan yang lebih besar dari serangan anak panah, maka mereka mulai mengarahkan perhatian mereka kepada anak-anak muda itu.
“Arahkan serangan kalian kepada mereka.” perintah Linggapati.
Para prajurit yang bersenjata panah pun kemudian berkumpul di muka pintu gerbang. Mereka dengan serentak telah menghujani para prajurit dan anak-anak muda yang berada di atas pintu gerbang itu dengan anak panah. Tetapi dalam pada itu, serangan dari atas pintu gerbang pun bagaikan hujan yang tercurah dari langit.
“Apa yang dapat kita lakukan?” bertanya para pemimpin kelompok kepada Linggapati.
“Kita pecahkan pintu butulan.” desis Linggapati.
Para pemimpin kelompok pun mulai mempertimbangkannya. Mereka mencoba untuk melakukannya. Dikirimkannya beberapa orang unjuk menemukan gerbang butulan di bagian samping dari Kota Raja. Ternyata bahwa pintu butulan itu pun dijaga rapat. Di atas pintu butulan itu pun terdapat beberapa orang prajurit. Namun para pengikut Linggapati tidak melihat anak-anak muda di atas gerbang pintu butulan.
“Kita tetap di sini” perintah Linggapati, “Biarlah dengan diam-diam beberapa orang pergi ke pintu butulan itu dan berusaha memecahkannya. Mereka harus memasuki pintu itu sementara kita berusaha membuka pintu-pintu butulan yang berada di sisi yang lain.”
Para pemimpin kelompok telah melaksanakannya sebaik-baiknya. Tidak ada kesan bahwa Linggapati akan memindahkan serangan mereka pada gerbang butulan di sisi dinding Kota Raja itu.
Sekelompok-kelompok kecil dari para pengikutnya yang banyak itu telah mempersiapkan diri dengan perintah khusus. Para pengikut Linggapati yang bertebar panjang itu terhenti di luar jarak jangkau anak panah para prajurit Singasari kecuali mereka yang berada di muka pintu gerbang, yang melindungi diri dengan perisai. Tetapi mereka pun telah berusaha untuk tidak dapat disentuh oleh air yang disemprotkan oleh anak-anak muda yang berada di atas pintu gerbang.
Dalam pada itu, beberapa orang pengikut Linggapati telah bergeser. Mereka mendapat tugas untuk memecahkan pintu butulan, sementara bagian dari pasukan mereka yang paling dekat dengan butulan itu pun telah mendapat perintah untuk segera memasuki pintu butulan itu jika pintu itu berhasil dipecahkan. Gerakan itu tidak banyak menarik perhatian. Namun mereka telah benar-benar mempersiapkan diri untuk melakukan tugas mereka.
Seperti yang diperintahkan oleh Linggapati, maka setelah persiapan mereka selesai, maka tiba-tiba saja sekelompok pengikut Linggapati itu pun telah berlari menuju ke pintu gerbang butulan. Tetapi mereka tidak mempergunakan sebatang kayu yang panjang dan besar, tetapi agar persiapan mereka tidak segera diketahui para prajurit Singasari, maka mereka pun mempergunakan tangga-tangga kayu yang memang sudah mereka bawa untuk memanjat dinding.
Serangan itu memang mengejutkan. Para prajurit yang berada di atas dinding di sekitar pintu gerbang butulan itu tidak menyangka bahwa para pengikut Linggapati akan menyerang gerbang butulan. Namun mereka pun telah bersiaga menghadapi segala kemungkinan, sehingga mereka pun segera menghujani anak panah pula kepada orang-orang yang berlari-lari menyerang.
Tetapi anak panah itu dapat di tahan dengan perisai-perisai. Tidak ada anak-anak muda di atas pintu gerbang butulan itu yang mempergunakan rawe dan cabe yang dicairkan untuk menyerang. Dengan sekuat tenaga beberapa orang telah menghantam pintu gerbang samping itu dengan tangga kayu. Tidak hanya sebuah tangga, tetapi berganti-ganti mereka melakukannya sehingga kemudian selarak pintu itu pun menjadi retak.
Laporan tentang serangan pada pintu gerbang samping itu pun telah sampai ke pimpinan prajurit Singasari. Untuk melawan kemungkinan itu, maka sepasukan prajurit telah di kirim untuk memperkuat pertahanan di belakang pintu gerbang butulan itu.
Linggapati sendiri masih berada di muka pintu gerbang induk. Ia menunggu laporan dari pengikutnya yang telah berusaha memecahkan pintu gerbang butulan. Jika mereka berhasil, maka perhatian sebagian prajurit Singasari tentu akan berpaling ke pintu butulan itu.
Tetapi pasukan Singasari tetap menjaga keseimbangan dan kekuatan yang ada. Selama pasukan Mahibit masih berkumpul di muka pintu gerbang, maka prajurit Singasari pun sangat berhati-hati membagi kekuatannya.
Dalam pada itu, pasukan Linggapati yang menebar masih belum mendekati dinding, selain pasukan khususnya yang, bertugas memecah gerbang. Namun pasukan itu pun tidak terlepas ciari pengamatan pasukan Singasari, sehingga pasukan Singasari yang ada di dalam dinding pun menyesuaikan diri dengan kemungkinan arus kekuatan pasukan Linggapati.
Sementara itu, selarak pintu gerbang butulan pun tidak lagi mampu bertahan. Hentakan dari luar yang datang bagaikan ombak yang memecah pantai, akhirnya berhasil mematahkan selarak pintu itu. Seperti bendungan pecah, maka pasukan Linggapati pun kemudian mengalir memasuki pintu gerbang. Tetapi karena pintu gerbang butulan tidak selebar pintu gerbang induk, maka arus pasukan itu pun telah tertahan karena justru mereka saling berdesakan.
Sementara pasukan itu berusaha berhimpitan memasuki pintu gerbang, maka pada saat itu, berpuluh-puluh anak panah telah meluncur mematuk lawan yang berdiri di depan pintu gerbang itu. Seperti yang pernah terjadi saat-saat pasukan Empu Baladatu memasuki pintu gerbang, maka selapis pasukan lawan pun telah jatuh tertelungkup, sementara selapis di belakangnya berusaha mendesak maju. Namun sekali lagi anak panah prajurit Singasari lelah meluncur bagaikan ditaburkan dari busurnya. Dan sekali lagi lapisan-lapisan itu bagaikan terkelupas.
Agaknya pasukan para pengikut Linggapati itu menyadari keadaan mereka, sehingga karena itulah, maka kemudian mereka pun mulai mengatur diri. Mereka yang berperisai telah mengambil tempat dipaling depan. Namun sementara itu, para prajurit yang berada di atas dinding pun masih terus menghujani mereka dengan panah dan tombak.
Melihat pintu gerbang butulan yang pecah, maka pasukan yang semula masih mengambil jarak sejauh jarak jangkau anak panah itu pun segera mendesak maju. Mereka langsung menempatkan diri pada jalur pasukan yang akan memasuki pintu butulan yang sudah pecah itu.
Ternyata pasukan Singasari tidak dapat menahan arus lawan yang berdesakan memasuki pintu gerbang sambil berlindung di balik perisai. Karena itu, maka pasukan Singasari pun segera melingkar mengepung separo lingkaran gerbang yang sudah terbuka dengan pasukan berlapis. Sejenak kemudian maka arus pasukan lawan itu pun mengalir memenuhi setengah lingkaran yang dipagari oleh pasukan Singasari. Pertempuran yang dahsyat pun tidak dapat dihindarkan lagi. Pada benturan pertama, senjata mereka pun telah mulai dilumuri oleh darah.
Demikian pasukan Linggapati menghantam pertahanan pasukan Singasari, maka pasukan Singasari pun segera membuat gelar Jurang Grawah. Pasukan pada lapis pertama seolah-olah telah tersibak oleh pasukan lawan. Namun ternyata bahwa di belakang lapisan pertama telah menunggu pasukan dari lapis kedua yang kuat, sehingga ketika lapis pertama itu menutup, maka pasukan yang sudah terperosok ke dalam jebakan itu pun satu demi satu dibinasakan.
Tetapi semakin lama pasukan Linggapati pun menjadi semakin banyak, sehingga prajurit Singasari mulai terdesak mundur, sehingga dengan demikian maka kepungan itu pun menjadi semakin luas. Desakan itu pun tidak dibiarkan saja oleh para prajurit Singasari. Setiap peristiwa yang terjadi, para penghubung, selalu menyampaikan laporan terperinci, sehingga karena itu, para Senapati dapat mengambil sikap yang tepat untuk menanggapi keadaan. Dalam pada itu, pasukan yang ada di pertahanan yang berlapis pun selalu siap menghadapi segala kemungkinan. Di sudut tikungan, di simpang empat dan di simpang tiga.
Sementara itu pasukan Empu Sanggadaru pun telah memencar pula di antara pasukan Singasari. Bahkan bekas pengikut Empu Baladatu pun telah berada di segala tempat, berbaur dengan para prajurit dan para pengikut Empu Sanggadaru, sehingga jumlah mereka pun akhirnya menjadi cukup banyak untuk mengimbangi pasukan Linggapati. Apalagi di antara mereka, setiap laki-laki telah keluar pula menggabungkan diri dengan para prajurit di sudut-sudut tikungan. Mereka siap melawan orang-orang Mahibit yang berhasil menerobos pertahanan pada lapis sebelumnya dan membinasakannya.
Tetapi orang-orang Mahibit tidak puas dengan pecahnya sebuah pintu gerbang butulan. Mereka pun mulai berusaha memecahkan butulan yang lain dengan cara yang sama.
“Gila.” geram seorang Senapati, “Akhirnya mereka tidak memasuki Kota Raja lewat gerbang utama.”
Namun di muka pintu gerbang utama masih berkumpul sekelompok pasukan Lingapati. Bahkan di belakangnya masih nampak seleret pasukan yang siap memasuki pintu gerbang itu jika pintu itu pecah. Tetapi ternyata bahwa usaha memasuki Kota Raja itu memang sudah berpindah dari gerbang utama ke pintu-pintu butulan. Dalam pada itu, prajurit Singasari pun segera menyesuaikan diri dengan menempatkan pasukan di muka pintu-pintu butulan yang menjadi sasaran lawan.
Dalam pada itu Linggapati masih berada di luar dinding halaman, masih belum dapat menyaksikan pertempuran yang telah terjadi. Ketika seorang pengawalnya menerima laporan bahwa pasukan Singasari ternyata masih cukup kuat menahan arus pasukannya, Linggapati hanya tersenyum saja. Ia yakin, bahwa pasukan Singasari telah menjadi sangat lemah, apalagi ketika ia berpaling. Sebagian pasukannya masih tetap menunggu perintahnya.
Ketika hari menjadi semakin cerah oleh sinar matahari, maka peluh yang kemerah-merahan karena darah yang meleleh dari luka, membuat kedua belah pihak menjadi semakin garang. Mereka tidak lagi sempat berpikir mengenai diri mereka berhadapan dengan sesama. Yang ada di dalam hati adalah kemarahan dendam dan kebencian yang memuncak.
Di halaman istana Singasari, Ranggawuni dan Mahisa Cempaka berada di antara para Senapati dan para pemimpin pemerintahan Mereka selalu mengikuti setiap perkembangan yang terjadi, lewat laporan-laporan para penghubung yang berada di medan.
“Kita harus segera mengikuti perkembangan itu langsung.” berkata Lembu Ampal.
Mahisa Agni mengangguk. Kemudian katanya kepada Ranggawuni, “Tuanku. Apakah hamba dapat memerintahkan para Senapati untuk membagi diri. Lawan kini berada di pintu-pintu gerbang samping. Mereka sudah mulai memasuki Kota Raja dan mengalir lewat jalan-jalan raya menuju ke halaman istana. Berbeda dengan jalan yang ditempuh oleh Empu Baladatu, karena ia mengambil satu jalan kemudian membelah diri dan akhirnya menuju ke halaman istana ini. Sedangkan Linggapati memasuki Kota Raja lewat beberapa pintu butulan, dan mengalir langsung menuju ke halaman istana.”
Ranggawuni mengangguk sambil menjawab, “Terserahlah kepada paman. Mana yang baik menurut perhitungan paman, dapat paman perintahkan kepada para Senapati.”
Mahisa Agni pun kemudian membagi para Senapati untuk menghadapi pasukan Linggapati yang memasuki Kota Raja lewat beberapa pintu gerbang. Lembu Ampal akan memimpin sepasukan prajurit dan akan hadir di pintu gerbang samping, sedang di pintu gerbang samping yang lain akan bertugas Witantra bersama seorang Senapati muda disertai sepasukan prajurit. Sementara seorang Senapati yang berpengalaman akan berada di gerbang butulan sebelah belakang, disertai Mahendra dan kedua anaknya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Sementara itu Mahisa Agni berkata kepada Mahisa Bungalan, “Kau akan tetap berada di depan gerbang utama. Aku yakin, bahwa Linggapati menunggu kesempatan untuk memasuki pintu gerbang itu dengan pasukannya yang kuat.”
“Baik paman.” jawab Mahisa Bungalan, “Aku akan berada di pintu gerbang utama.”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berpaling kepada Empu Sanggadaru yang berdiri termangu-mangu. Katanya, “Empu. Aku minta Empu berada di istana ini bersamaku. Bukankah Empu tidak perlu berada di antara pasukan Empu yang tersebar itu?”
Empu Sanggadaru tersenyum. Katanya, “Aku akan melakukan segala perintah. Aku sudah menempatkan diri di bawah perintah pimpinan prajurit Singasari.”
Mahisa Agni tersenyum. Jawabnya, “Terima kasih Empu. Biarlah yang lain melakukan tugasnya di luar halaman istana. Tetapi menurut perhitunganku, pasukan yang ada di halaman inipun harus bersiap menghadapi segala kemungkinan.”
Demikianlah, maka para Senapati itu pun segera mulai berpencar dengan sekelompok prajurit kepercayaan. Mereka harus mengatasi kesulitan yang timbul di medan. Karena keadaan yang tiba-tiba masih mungkin sekali terjadi.
Dalam pada itu, pintu-pintu butulan sebelah menyebelah, dan bahkan pintu butulan di arah belakang istana, memang sudah berhasil dipecahkan oleh pasukan Mahibit. Tetapi mereka harus bertempur mati-matian untuk dapat menembus pasukan lawan yang telah memagari jalan menuju ke halaman istana.
Tetapi pasukan Mahibit yang memecahkan pintu samping, ternyata telah melakukan usaha yang semula agak membingungkan. Sepasukan pengikut Linggapati yang berhasil menerobos kepungan, tidak dengan tergesa-gesa menuju ke halaman. Tetapi mereka berlari-lari menyusuri dinding.
“Hentikan mereka.” teriak seorang Senapati.
Tetapi mereka berusaha untuk dengan segenap kemampuan mereka, mendekati pintu gerbang utama.
“Mereka membuka pintu gerbang dari dalam.” teriak seorang pengawal.
Seorang Senapati muda yang mendengar teriakan-teriakan itu berkata, “Perbuatan gila. Mereka tidak akan berhasil mendekati gerbang. Di dalam gerbang pasukan Singasari berdiri berjejal-jejal.”
Tetapi ternyata mereka sekedar memancing perhatian. Selagi para prajurit sibuk memperhatikan sekelompok pengikut yang menuju ke pintu gerbang utama, maka serangan yang tiba-tiba pun telah diulang oleh pasukan Linggapati. Agaknya salah seorang pengikut yang mendekati pintu gerbang itu telah melontarkan tengara bagi induk pasukannya.
Ternyata bahwa sikap itu tidak hanya dilakukan oleh sekelompok pengikut Linggapati itu. Beberapa kelompok yang lain pun telah melakukan perbuatan serupa. Bahkan mereka yang berhasil memasuki pintu gerbang butulan dari arah lain pun telah berusaha menyerang para prajurit yang berada di pintu gerbang utama itu. Dengan demikian maka para prajurit Singasari pun sadar bahwa agaknya para pengikut Linggapati akan membuka gerbang utama itu dengan segala macam cara.
Karena itulah, maka pertahanan utama masih tetap mengarah ke pintu gerbang induk. Beberapa kelompok prajurit berusaha memotong para pengikut Linggapati yang menuju ke pintu gerbang setelah mereka berada di Kota Raja. Tetapi karena hal itu kurang diperhitungkan sejak semula, maka usaha mereka tidak banyak memberikan hasil, sehingga kelompok-kelompok pasukan yang menyusup lewat pintu-pintu gerbang butulan akhirnya dapat juga menganggu para prajurit yang berada di pintu gerbang.
Ternyata bahwa anak-anak muda yang bermain-main dengan air batang rawe dan cabe itu terpengaruh juga oleh anak panah yang datang, dari dua arah, sehingga sebagian dari mereka mulai menjadi gelisah.
Pada saat-saat yang demikian, maka Linggapati yang agaknya tidak cepat menjadi putus asa itu, telah mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Sekali lagi mereka menghantam pintu gerbang itu dengan batang kayu yang, besar. Sementara pasukannya melindungi dengan anak panah. Bukan saja dari luar, tetapi yang sudah berada di dalamnya melakukannya pula.
Sementara itu, prajurit Singasari dengan mudah dapat menghalau kelompok-kelompok kecil yang menyerang mereka dari dalam. Namun dengan demikian, maka perhatian mereka benar-benar terpecah. Prajurit yang berada di atas dinding harus memperhatikan lontaran senjata dari dalam pula. karena anak panah dan bandil telah menimbulkan korban pula di antara mereka.
Ternyata bahwa selarak pintu yang sudah diperkuat itu pun akhirnya retak juga. Anak-anak muda yang berada di atas pintu gerbang itu, sebagian masih juga sempat bukan saja menyemprotkan dengan bumbung-bumbung bambu tetapi tanpa mengingat diri mereka sendiri, mereka telah menuangkan belanga yang mereka bawa naik ke atas dinding. Namun betapapun juga, akhirnya serangan dari dua arah itu telah berhasil mematahkan selarak pintu gerbang induk itu, sehingga pintu gerbang itu pun telah pecah.
Ternyata bahwa para prajurit Singasari tidak melawan mereka di muka pintu gerbang. Mereka masih sempat memberi kesempatan anak-anak muda di atas dinding untuk menuangkan sisa-sisa air mereka yang gatal yang panas, sementara para prajurit pun kemudian melindungi mereka dengan senjata jarak jauh, untuk memberi kesempatan mereka meninggalkan pintu gerbang itu dan berlari sepanjang dinding.
Satu dua diantara mereka, tidak dapat meloloskan diri dari ujung anak panah lawan. Namun sebagian dari mereka berhasil mencapai batas yang tidak terlalu gawat lagi meskipun mereka masih harus berhati-hati karena di luar lawan nampak semakin melekat dinding dan memencar sambil menunggu kesempatan untuk memasuki pintu gerbang.
Prajurit Singasari tidak berusaha menahan lawan mereka di pintu gerbang, karena arus mereka agaknya terlalu deras, sementara lawan yang sudah berada di dalam dinding pun selalu mengganggu. Karena itulah, maka Singasari telah menarik prajuritnya mundur sehingga perlahan-lahan pasukan lawan pun mengalir memasuki pintu gerbang induk.
Mahisa Bungalan yang berada di hadapan pintu gerbang itu pun menyesuaikan diri dengan perimbangan pertempuran. Ia pun menarik diri di antara para prajurit. Namun kemudian Mahisa Bungalan mencoba untuk bertahan pada sandaran lapisan ketiga, menghadap jalan lurus menuju ke halaman istana.
Ternyata bahwa jalan-jalan yang memencar pun telah tertutup rapat oleh pasukan Singasari yang bertahan dalam lapisan demi lapisan. Tidak saja di jalan-jalan tetapi di halaman dan dinding-dinding baru yang menyekat halaman dengan halaman.
Pasukan Linggapati yang semula merasa mendapat jalan lapang menuju ke halaman istana, ternyata telah membentur pertahanan yang kuat di segala medan. Pasukan Singasari yang berlapis-lapis ternyata tidak segera dapat tertembus semudah yang mereka duga.
“Setan manakah yang masih membantu Singasari sehingga mereka masih mampu menahan arus kekuatanku.” geram Linggapati di antara pasukannya yang tertahan.
Namun dalam pada itu, Linggapati masih mengharap hubungan dengan pasukannya yang sudah memasuki Kota Raja lewat gerbang butulan, dan yang tentu sudah berpencaran. Mereka merupakan kekuatan yang harus diperhitungkan, baik oleh Linggapati sendiri terlebih lagi oleh Singasari.
Dalam pada itu, prajurit Singasari yang ternyata masih dihinggapi perasaan dendam dan kebencian karena pertempuran melawan Empu Baladatu yang belum lama, sehingga seolah-olah peluh yang meleleh di tubuh mereka masih belum kering, erang kesakitan kawan-kawan mereka masih terngiang di telinga, kini mereka telah menghadapi musuh baru. Dengan demikian, maka para prajurit Singasari rasa-rasanya bertempur dengan garangnya tanpa menghiraukan kemungkinan yang akan dapat menimpa diri mereka.
Sejenak kemudian maka pertempuran di Kota Raja itu pun telah menyala dengan dahsyatnya. Singasari yang disangka telah terlalu lemah, ternyata masih dapat bertahan dengan kuatnya. Karena Linggapati tidak memperhitungkan sama sekali kehadiran kelompok- kelompok kecil yang tersebar, pasukan Empu Sanggadaru yang kuat dan bekas pengikut Empu Baladatu.
Itulah sebabnya, maka pasukannya kemudian telah terbentur pada pertahanan yang kuat. Bahkan induk pasukannya pun hanya dapat maju bergeser setapak demi setapak. Tetapi Linggapati tetap berpengharapan untuk dapat menguasai Kota Raja. Betapapun lambatnya, tetapi ia berhasil mendesak terus. Bahkan dengan perhitungan, bahwa pasukan-pasukannya yang menembus gerbang-gerbang butulan akan segera menusuk ke tengah-tengah kota dan memecah perhatian pasukan Singasari yang berlapis-lapis.
Namun ternyata bahwa pasukan yang memecah pintu butulan di arah belakang, segera tertahan oleh pasukan Singasari. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang bertempur bersama ayahnya, ternyata telah membingungkan lawannya. Orang-orang Mahibit yang memasuki pintu gerbang butulan di arah belakang itu, benar-benar kehilangan akal jika mereka herhadapan dengan kedua anak-anak muda yang nakal itu.
Sementara itu pasukan yang membelah pintu gerbang samping, sebagian justru telah bergabung dengan pasukan induk mereka karena mereka telah menyelusur jalan di seputar bagian dalam Kota Raja saat-saat mereka berusaha membantu kawan-kawan mereka yang ingin menerobos lewat gerbang induk.
Namun sementara itu, Witantra ternyata mempunyai perhitungan lain. Pasukan Mahibit yang memasuki pintu butulan itu ternyata tidak terlalu kuat setelah sebagian dari mereka bergabung dengan induk pasukannya yang tersisa itu menurut perhitungan Witantra, akan dapat ditahan oleh lapisan berikutnya, apabila ia melepaskannya.
Tetapi Witantra tidak bertindak berdasarkan atas perhitungannya sendiri, ia telah mengirimkan penghubungnya untuk menyatakan pertimbangannya kepada Senapati yang berada di lapisan berikutnya bersama para pengikut Empu Sanggadaru dan bekas pengikut Empu Baladatu.
“Lepaskan mereka.” berkata Senapati itu setelah ia mendapat keterangan tentang jumlah lawan.
Witantra pun kemudian membiarkan mereka menerobos pasukannya. Seolah-olah pasukannya memang menyibak dan memberikan jalan kepada lawan. Beberapa orang pemimpin kelompok melakukan perintah itu dengan pertanyaan yang menyumbat dada. Sebagian dari mereka sebenarnya tidak rela melepaskan mereka lewat. Dengan demikian mereka akan dapat menumbuhkan korban di lapisan berikutnya dan bahkan barangkali dapat memecahkan pertahanan itu. Tetapi mereka mengangguk-angguk ketika Witantra kemudian memberi penjelasan, apa yang harus mereka lakukan menghadapi lawan yang mempunyai banyak akal.
“Bagus.” tiba-tiba seorang prajurit muda yang memimpin sekelompok kawan-kawannya berteriak, “Menyenangkan sekali.”
Witantra mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Tetapi jangan lengah. Setiap saat, keseimbangan pertempuran yang belum mantap ini akan dapat berubah.”
Para prajurit dan orang-orang yang berada di dalam pasukan itu pun mengangguk-angguk. Mereka menyadari, bahwa lawan mereka adalah lawan yang cerdik. Sejenak kemudian, maka Witantra justru membawa pasukannya keluar pintu butulan yang sudah ditinggalkan oleh para pengikut Linggapati, yang kemudian telah membentur pertahanan di lapis berikutnya.
Dengan mengirimkan beberapa orang penghubung, untuk menyampaikan pesan kepada kelompok yang lain yang terpencar Witantra telah mengambil kebijaksanaan lain. Ia tidak melawan pasukan yang memasuki pintu butulan itu, tetapi ia justru telah keluar dari Kota Raja, melingkari dinding dan kemudian mendekati pintu gerbang.
“Mereka akan terkejut.” desis seorang prajurit muda.
“Ya. Mereka tentu tidak akan mengira.” sahut kawannya.
Sebenarnyalah bahwa yang dilakukan oleh Witantra itu benar-benar telah mengejutkan lawan. Dengan serta merta ia telah menyerang pasukan Mahibit justru dari arah belakang. Sambil bersorak pasukan Witantra memasuki pintu gerbang induk, dan menyerang pasukan Mahibit yang masih belum berhasil maju terlalu jauh.
Kejutan itu benar-benar telah membuat pasukan lawan agak bingung. Sebagian dari mereka segera berpaling dan bertempur melawan pasukan Witantra yang telah melingkar keluar lewat pintu butulan. Serangan itu berhasil menghambat kemajuan lawan yang memang sudah sangat lambat. Sebagian dari mereka harus berputar dan melawan pasukan Witantra yang garang.
Witantra sendiri merupakan orang yang aneh di mata lawannya. Meskipun Mahibit mengenal Linggapati, namun kehadiran Witantra telah membuat mereka menjadi berdebar-debar.
“Jika saja ia dapat bertemu dengan Linggapati.” desis salah seorang pengikutnya.
“Ada berapa orang seperti orang itu?” bertanya orang yang lain.
Tidak ada yang dapat memberikan jawaban. Tetapi mereka mulai menyadari, bahwa di dalam dinding Kota Raja terdapat kekuatan jauh diluar perhitungan mereka. Mereka terlanjur menyangka bahwa Singasari telah menjadi sangat lemah setelah Empu Baladatu berhasil memasuki Kota Raja dan membuatnya menjadi karang abang meskipun pasukannya kemudian berhasil dihancurkan oleh para prajurit Singasari. Namun adalah suatu kenyataan yang dihadapi oleh Linggapati, bahwa Singasari masih cukup kuat menahan arus pasukannya.
Sementara itu, pasukan yang dilepaskan oleh Witantra telah tertahan oleh pertahanan berikutnya. Meskipun pertahanan itu tidak terlampau kuat, namun prajurit Singasari yang bergabung dengan para pengikut Empu Sanggadaru dengan bekas pengikut Empu Baladatu berhasil menghambat arus lawan. Apalagi ketika beberapa orang yang berada di belakang garis perang datang membantu mereka. Bukan saja prajurit Singasari, tetapi anak-anak muda yang baru sekedar mendapat pengetahuan tata kanuragan, telah maju pula ke medan, meskipun mereka tidak berada dibagian yang terlalu berat.
Di bagian lain, para pengikut Linggapati telah dikejutkan oleh seorang Senapati Singasari yang bernama Lembu Ampal. Meskipun ia tidak banyak melakukan sesuatu di medan. namun geraknya yang sedikit itu selalu mengguncangkan lawan. Karena itu, maka pasukannyalah yang kemudian berhasil mendesak pasukan Mahibit, sehingga pasukan Mahibit yang memasuki regol samping, tidak sempat maju lagi. Apalagi sebagian dari mereka telah menerobos pasukan Singasari untuk bergabung dengan pasukan induk di gerbang utama.
Yang sama sekali kehilangan kesempatan untuk bertahan adalah pasukan Mahibit yang langsung berhadapan dengan Mahendra. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat mengekang dirinya lagi. Bagaikan dua ekor burung srikatan berburu bilalang, keduanya terbang menyambar-nyambar. Senjata mereka telah mematuk lawannya dari segala arah, seolah-olah telah berubah menjadi berpuluh-puluh senjata di berpuluh-puluh tangan.
Hanya pasukan induk dari Mahibit sajalah yang telah berhasil maju betapa lambatnya. Meskipun sebagian dari mereka harus menghadapi pasukan Witantra. Namun karena jumlah mereka cukup besar, maka mereka pun masih tetap merupakan bahaya yang mengancam jalan lurus menuju ke gerbang istana.
Tetapi di pasukan induk Singasari sudah menunggu Mahisa Bungalan. Ia merasa Mahisa Agni sedang memperhatikannya. Agaknya Mahisa Agni ingin mengetahui kemampuannya yang sebenarnya menghadapi bahaya yang mengancam Singasari. Teringang di telinga Mahisa Bungalan bahwa Mahisa Agni pernah berbisik di telinganya, “Singasari memerlukan seorang Senapati sesudah kami yang tua-tua ini akan kehilangan kemampuan karena batas umur kami.”
Dengan demikian maka di saat-saat terakhir agaknya Mahisa Agni benar-benar sedang mengujinya, meskipun ia pun sadar, bahwa kegagalan dalam ujian itu dapat berarti maut. Dengan demikian, Mahisa Bungalan benar-benar menempatkan diri sesuai dengan keinginan Mahisa Agni. Ia telah mempersiapan diri untuk menghadapi pemimpin tertinggi dari Mahibit, Linggapati.
Mahisa Bungalan ingat, bahwa ia telah berhasil mengalahkan orang kedua dari Mahibit. Adik Linggapati yang bernama Linggadadi. Tetapi ia masih harus menjajagi lebih dahulu jika ia berhasil bertemu dengan Linggapati, apakah Linggapati jauh lebih tinggi ilmunya daripada adiknya yang telah terbunuh.
Tetapi Mahisa Bungalan tidak dapat memaksa pasukan induk itu untuk tidak bergeser dari tempatnya. Kekuatan lawan yang memang cukup besar masih saja mendesaknya. Pertempuran yang terjadi tidak saja di jalan menuju ke gerbang istana, tetapi juga di halaman-halaman rumah dan di kebun-kebun yang luas, masih saja menunjukkan bahwa pasukan Mahibit adalah pasukan yang sangat kuat.
Namun sejalan dengan kemajuan pasukan Mahibit, Witantra pun bergerak pula mengikutinya. Agaknya Mahibit tidak mengerahkan bagian dari kekuatannya untuk melawan Witantra. Karena itulah, maka Witantra masih tetap dapat, mengikuti gerak maju pasukan Linggapati sambil bertempur di belakang garis perang.
Kegagalan pasukan Mahibit di bagian-bagian lain dari Kota Raja itu sama sekali tidak terasa akibatnya bagi induk pasukan, karena betapapun juga, mereka masih tetap dapat mengikat sebagian dari kekuatan Singasari di tempatnya. Namun laporan-laporan yang terperinci telah banyak memberikan keseimbangan perhitungan bagi para pemimpin yang masih berada di istana.
“Pasukan induk dari Linggapati menjadi semakin dekat dengan halaman istana ini.” seorang penghubung melaporkan.
Mahisa Agni yang menerima laporan itu termangu-mangu sejenak. Agaknya Mahibit benar-benar meletakkan kekuatannya pada induk pasukannya. Namun Mahisa Agni masih sempat membuat perhitungan bahwa jika kekuatan itu tidak tertahankan, pasukan-pasukan yang berada di bagian lain dari Kota Raja itu akan dapat ditarik. Namun demikian Mahisa Agni masih belum membuat perubahan-perubahan yang berarti.
Dalam pada itu, Empu Sanggadaru yang berada di halaman itu pula berbisik di telinga Mahisa Agni, “Senapati, perintahkan aku membawa pengawal-pengawalmu di halaman istana ini untuk membantu Mahisa Bungalan. Mungkin kekuatan ini dapat merubah keseimbangan yang hanya berselisih selapis tipis itu.”
Tetapi Mahisa Agni menggeleng. Jawabnya, “Belum perlu Empu. Tetapi bersiaplah, jika keadaan memaksa Empu akan aku persilahkan tampil di medan.”
Demikianlah maka untuk kedua kalinya Kota Raja dalam waktu singkat telah ditimpa bencana. Dalam pertempuran yang terjadi, maka kerusakan tidak dapat dihindarkan lagi. Rumah-rumah yang masih tetap utuh pada saat Empu Baladatu menyerang Kota Raja, kini mendapat giliran untuk dirusakkan oleh orang-orang Mahibit yang tidak kalah garangnya.
Namun dalam pada itu, perlawanan prajurit Singasari pun semakin lama menjadi semakin garang. Pada saat benturan pasukan telah mapan di segala medan, maka lapisan-lapisan di belakang garis pertempuran pun mulai mendekati medan dan terlibat dalam pertempuran itu pula. Dengan demikian, maka pertahanan pasukan Singasari-pun rasa-rasanya menjadi semakin tebal. Mereka menempatkan dari pada celah-celah pertahanan yang telah ada, sehingga garis pertempuran itu pun menjadi semakin rapat.
Linggapati yang berada di induk pasukannya mulai merasa bahwa pasukannya benar-benar telah tertahan, jika sebelumnya ia masih dapat maju betapapun lambatnya, ternyata kemudian bahwa pasukannya telah terhenti sama sekali. Dengan ketajaman nalurinya, ia mengetahui bahwa pertahanan lawan menjadi semakin rapat dan semakin kuat.
“Gila.” geram Linggapati, “Iblis manakah yang telah membantu pasukan Singasari itu?”
Namun bagaimanapun juga ia berusaha pasukannya benar-benar telah berhenti. Jantung Linggapati yang marah itu bagaikan berdentangan. Apalagi ketika ia melihat, bahwa pasukan lawannya tidak saja terdiri dari para prajurit. Menilik pakaian dan kelengkapan perang mereka, maka di antara lawannya telah berbaur kekuatan yang tidak diperhitungkan sebelumnya, meskipun Linggapati tetap tidak dapat digertak karenanya.
Meskipun demikian Linggapati pun tidak dapat mengingkari kenyataan yang dihadapinya, bahwa pasukan Singasari yang terdiri dari bukan saja para prajurit itu, telah berhasil menghentikan gerak maju pasukannya. Karena itulah, maka oleh kemarahan yang membakar dadanya, maka Linggapati pun kemudian telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghancurkan lawan sebanyak-banyaknya.
Seperti seekor elang ia menyambar-nyambar dengan senjatanya. Satu-satu lawan yang berani menahannya telah dibinasakan. Senjatanya yang telah menjadi merah oleh darah, seolah-olah mempunyai mata yang melihat korban-korbannya yang telah menunggunya.
Ternyata Linggapati yang mengamuk oleh kemarahan yang memuncak itu telah mempengaruhi keadaan medan. Beberapa orang segera menyibak jika melihat kehadirannya. Mereka hanya berani melawan Linggapati dalam kelompok-kelompok kecil. Namun para pengawal Linggapati pun segera menyerang dan memecahkan kelompok itu bercerai berai.
Gejolak-gejolak kecil di medan itu telah menarik perhatian Mahisa Bungalan. Sebagai seorang yang memiliki pengalaman yang luas, maka ia pun segera mengetahui, bahwa gejolak-gejolak kecil itu tentu disebabkan oleh sebuah kekuatan yang melampaui kekuatan di sekitarnya. Karena itulah, maka ia pun segera mempersiapkan dirinya untuk mengetahui, siapakah yang telah berada di medan di antara pasukan lawannya.
“Mungkin orang itulah yang bernama Linggapati.” desisnya kepada seorang pengawal, “Aku akan mencoba menahannya. Mudah-mudahan aku berhasil.”
Linggapati yang sedang mengamuk seperti seekor elang yang lapar itu, tertegun ketika ia melihat kehadiran seorang anak muda yang langsung menghampirinya. “Anak muda yang perkasa.” ia bergumam di dalam hati melihat sikap dan tatapan mata Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan langsung mendekati Linggapati yang kemudian memusatkan perhatiannya kepadanya. “Luar biasa.” geram Mahisa Bungalan, “Agaknya kaulah yang telah menimbulkan goncangan-goncangan di medan ini.”
“Jangan banyak bicara.” potong Linggapati. Agaknya ia memang tidak ingin berbicara apapun. Dengan serta merta ia pun langsung menyerang Mahisa Bungalan yang termangu-mangu.
Tetapi Mahisa Bungalan memang sudah bersiap menghadapinya. Ia pun segera mengelak dan bahkan ia pun telah menyerang kembali lawannya yang menggetarkan itu. Sejenak kemudian, keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Linggapati benar-benar menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang memiliki ilmu yang luar biasa, sementara Mahisa Bungalan pun harus langsung mempergunakan ilmunya yang paling tinggi tatarannya untuk melawan orang Mahibit itu.
Sementara itu, seorang pengawal yang melihat bahwa Mahisa Bungalan telah terlibat dalam pertempuran melawan pemimpin tertinggi dari Mahibit itu pun segera menyampaikan laporan kepada Mahisa Agni seperti yang dimintanya.
“Terima kasih.” berkata Mahisa Agni kepada penghubung itu. “Ia telah mulai dengan ujiannya yang terberat.”
Namun dengan demikian, Mahisa Agni telah dapat membayangkan apa yang telah terjadi di seluruh medan di dalam Kota Raja itu. Ia pun mengerti sikap yang telah diambil oleh Witantra bersama pasukannya. Karena itulah, maka ia pun kemudian menghadap Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang telah mengenakan pakaian Senapati perang dan berkata, “Tuanku. Hamba mohon diri untuk turun ke medan yang agaknya telah terhenti oleh lapisan-lapisan pertahanan Singasari.”
Ranggawuni menatap Mahisa Agni dengan tajamnya. Ada semacam kecemasan di dalam hatinya, bahwa keadaan meningkat menjadi sangat gawat sehingga Mahisa Agni harus turun langsung ke medan.
Agaknya Mahisa Agni melihat kecemasan itu, sehingga sambil tersenyum ia berkata selanjutnya, “Tuanku. Jika hamba kali ini turun ke medan, bukan karena hamba meragukan pertahanan Singasari. Tetapi semata-mata karena hamba ingin melihat, apakah yang akan dilakukan oleh Mahisa Bungalan. Ia sudah terlibat dalam pertempuran langsung melawan Linggapati.”
Ranggawuni menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya Mahisa Cempaka seakan-akan minta pertimbangan daripadanya. Baru kemudian ia menjawab. “Baiklah paman. Tetapi paman harus tetap melihat medan dalam keseluruhan. Laporan yang datang akan tetap harus sampai kepada paman.”
“Baiklah tuanku. Hamba akan tetap berusaha mengamati pertempuran dalam keseluruhan.”
Dengan beberapa orang pengawal Mahisa Agni pun kemudian meninggalkan halaman istana setelah ia minta diri kepada para pemimpin yang tetap berada di samping Ranggawuni dan Mahisa Cempaka beserta sejumlah pengawal terpilih. Dengan hati-hati Mahisa Agni pun kemudian mendekati medan. Ia masih melewati beberapa kelompok prajurit yang bersiaga di jalan-jalan. Di simpang empat, simpang tiga dan tikungan-tikungan. Meskipun jumlah mereka tidak banyak, tetapi mereka merupakan lapisan-lapisan yang harus ditembus jika orang-orang Mahibit ingin memasuki halaman istana.
“Agaknya Linggapati tidak akan dapat maju lagi.” berkata Mahisa Agni kepada diri sendiri. “Apalagi dengan melalui lapisan-lapisan pertahanan yang berlapis.”
Sebenarnyalah bahwa pasukan Linggapati tidak dapat bergeser lagi. Pertahanan Singasari ternyata cukup kuat menahan pasukannya, sementara pasukannya yang lain, yang terpencar, sama sekali sudah tidak berdaya lagi.
Linggapati yang melihat keadaan yang lain dari perhitungan pun menjadi sangat marah, ia pun sadar, bahwa Singasari memiliki kemampuan untuk merahasiakan dirinya. “Ternyata Empu Baladatu pun telah terjebak seperti yang aku alami.” berkata Linggapati di dalam hatinya.
Namun Linggapati masih belum berputus asa. Pasukannya masih cukup besar dan kuat. Dan ia pun masih mempunyai banyak harapan, karena pasukannya mempunyai ketahanan yang dapat dibanggakan. “Tidak semua orang di dalam pasukan Singasari adalah prajurit.” berkata Linggapati kepada diri sendiri, “Jika matahari mulai turun, maka mereka akan kelelahan.”
Dengan perhitungan itulah maka Linggapati bertempur terus. Para pengikutnya pun ternyata tidak juga menjadi cemas karena pertahanan lawan yang rapat. Beberapa orang pemimpin kelompok dengan sengaja menyebarkan keterangan, bahwa lawan mereka tidak semuanya terdiri dari prajurit-prajurit yang akan mampu bertempur sebagaimana seorang prajurit.
“Mereka akan segera lelah, jika keringat telah membasahi telapak tangan mereka, maka senjata mereka akan segera terlepas.” berkata salah seorang dari mereka kepada orang- orangnya.
Sebenarnyalah ada di antara mereka yang berada di dalam pasukan Singasari, orang-orang yang tidak memiliki ketahanan bertempur. Mereka adalah anak-anak muda yang hanya pada saat terakhir mulai mempelajari olah kanuragan, sehingga mereka hanya sekedar dapat mempergunakan senjata, tetapi daya tahan jasmaniah mereka sama sekali belum terbiasa.
Merekalah yang pertama-tama mulai nampak letih. Satu dua orang di antara mereka seolah-olah telah kehilangan kekuatan, sehingga ayunan senjata mereka sama sekali tidak berarti apa-apa lagi. Para prajurit yang ada disekitar merekalah yang kemudian mendorong mereka mundur dari medan.
“Lalu, apakah pertahanan ini tidak akan goyah.” bertanya seorang anak muda gemuk.
“Pergilah. Kau sangka, kaulah yang telah menahan orang-orang Mahibit itu?” jawab seorang prajurit.
Anak muda itu termangu-mangu di belakang para prajurit yang bertempur, la mengerutkan keningnya ketika seorang dengan bergesa-gesa berbisik di telinganya, “Pergilah. Beristirahat di lapis berikutnya. Diantara mereka akan datang menggantikan kau dan kawanamu.”
Anak muda itu pun kemudian meninggalkan medan. Ternyata ada beberapa orang lagi yang dengan tergesa-gesa ke pertahanan di lapis berikutnya. Seperti yang dikatakan, maka beberapa orang prajurit dan pengikut Empu Sanggadaru telah menggantikan mereka pergi ke medan.
“Tinggallah di sini.” pesan prajurit-prajurit itu, “Setelan kau beristirahat, akan dalang giliran kawan-kawanmu yang lain yang harus kau gantikan kedudukannya di medan.”
Namun ternyata bahwa anak-anak muda itu lebih senang menunggu di lapis berikutnya daripada kembali ke medan. Baru setelah mereka sempat merenungkan pertempuran itu. mereka menjadi ngeri. Tetapi agaknya medan pertempuran itu tidak sangat memerlukan mereka lagi. Prajurit yang ada di lapisan berikutnya sekelompok demi sekelompok ditarik ke medan, setelah pimpinan mereka yakin, lawan tidak akan dapat menembus dari arah manapun.
Dengan demikian maka pasukan Mahibit itu telah benar-benar berada di dalam lingkarang pasukan Singasari. Mereka seolah-olah telah terjebak dalam dinding Kota Raja yang kemudian mengungkungnya. Namun demikian pasukan Linggapati yang kuat itu masih bertempur dengan sengitnya. Bahkan dalam hentakan-hentakan kekuatan kadang-kadang pasukan Mahibit itu dapat mendorong lawannya surut.
Namun karena kekuatan Singasari semakin lama menjadi semakin mapan, maka Linggapati pun mulai merasakan, bahwa tekanan menjadi semakin berat disegala sisi pasukannya. Ia sudah mendapat laporan bahwa pasukan yang tidak begitu kuat telah menyerang justru dari arah belakang, sehingga pasukan itu seolah-olah telah menyumbat jalan keluar. Sementara pasukannya yang berada di bagian lain dari Kota Raja telah terbendung sama sekali.
“Gila.” geram Lingapati di dalam hati, sementara ia masih belum berhasil menguasai lawannya yang masih muda itu.
Dalam pada itu, Mahisa Agni yang telah berada di medan bersama beberapa pengawalnya berusaha untuk dapat mengamati Mahisa Bungalan meskipun dari jarak yang tidak terlalu dekat. Mahisa Agni sendiri berusaha agar ia tidak terlibat dalam pertempuran, agar ia dapat menyaksikan pertempuran antara Mahisa Bungalan dengan Linggapati sebaik-baiknya.
Dibawah perlindungan para pengawalnya yang terpercaya Mahisa Agni berdiri termangu-mangu. Ia melihat pertempuran yang mendebarkan. Meskipun pertempuran itu terjadi di tengah-tengah perang yang riuh, namun seolah-olah keduanya telah bertempur di arena yang terpisah, karena tidak ada orang dari pihak manapun yang berani melihatkan diri dalam benturan ilmu yang tinggi itu. Karena itulah maka Mahisa Agni dapat menyaksikan pertempuran itu agak jelas.
Mahisa Agni tidak merasa cemas melepaskan Mahisa Bungalan mengembara. Bahkan telah terjadi benturan ilmu antara Mahisa Bungalan dengan Linggadadi, dengan Empu Baladatu dan dengan yang lain-lain. Tetapi saat ia bertemu dengan Linggapati, maka hal itu agak mendebarkan jantung Mahisa Agni.
Sebenarnyalah Linggapati adalah seorang yang pilih tanding. Ia memiliki kemampuan ilmu yang tinggi. Kecepatannya bergerak bagaikan kecepatan petir yang meloncat di udara, sedangkan kekuatannya bagaikan dorongan gunung yang runtuh.
Namun Mahisa Bungalan pun memiliki ilmu yang hampir sempurna, la mampu melawan benturan prahara dan angin pusaran. Sentuhan tangannya bagaikan panasnya api, sementara hentakkan kekuatannya seperti benturan alun yang dahsyat di samodera.
Karena itulah maka pertempuran antara keduanya benar-benar merupakan pertempuran yang dahsyat. Lontaran-lontaran kekuatan yang saling menghantam dari keduanya, bagaikan mengguncang seluruh Kota Raja dan menimbulkan badai di medan perang.
“Luar biasa.” desis Mahisa Agni, “Mahisa Bungalan akan menjadi seorang yang memiliki kemampuan yang jarang ada bandingnya.”
Karena itulah maka Mahisa Agni justru merasa perlu mengamati pertempuran itu. Pengalaman dan sikap Linggapati yang lebih tua itu akan dapat mempengaruhi keseimbangan seandainya keduanya memiliki tingkat ilmu yang sama.
Namun agaknya Mahisa Bungalan yang muda itu pun tidak saja bertempur mempergunakan ilmunya, tetapi juga otaknya. Ia berpikir dengan cermat menghadapi lawannya yang kuat. Dengan perhitungan dan pertimbangan yang mapan ia berhasil menempatkan diri sebagai lawan yang sulit untuk dikalahkan.
Setiap kali Linggapati menggeram oleh kemarahan yang, menghentak dadanya. Lawannya yang muda itu benar-benar membuatnya sangat marah. Ia merasa bahwa tidak banyak orang yang memiliki ilmu setingkat dirinya. Namun anak muda itu ternyata telah dapat mengimbanginya.
“Apakah kau anak iblis.” geram Linggapati.
Mahisa Bungalan mendengar geram itu. Tetapi ia tidak menjawab. Ia pun justru menyerang lebih dahsyat, sehingga Linggapati harus melangkah surut.
Para pengikut Linggapati maupun prajurit Singasari telah menyibak semakin jauh. Namun mereka pun sibuk dalam arena pertempuran mereka masing-masing. Mereka saling mendesak dan saling menekan. Dentang senjata beradu di sela-sela keluhan tertahan, kadang-kadang membuat pertempuran itu menjadi semakin mengerikan.
Dibeberapa bagian beberapa, orang bersorak oleh kemenangan kecil. Namun sorak itu telah memberikan pengaruh pada kawan dan lawan. Tetapi sorak yang mengguruh itu kadang-kadang memang dapat membakar kemarahan, namun juga memhuat hati menjadi kecut.
Demikianlah maka pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin dahsyat. Masing-masing telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada untuk berusaha dengan secepatnya mengalahkan lawannya. Bahkan jika mugkin membunuh sebanyak-banyaknya di medan perang yang semakin mengerikan.
Seperti yang diperhitungkan oleh Linggapati, maka semakin banyak di antara anak-anak muda yang mulai kelelahan di pihak Singasari. Mereka satu-satu didesak oleh lawan-lawannya untuk meninggalkan medan, karena keadaan mereka menjadi gawat. Diantaranya telah terluka bahkan ada yang parah. Bahkan ada di antara mereka yang tidak dapat lagi meninggalkan medan, karena dada mereka telah berlubang oleh senjata.
Tetapi pada umumnya anak-anak muda yang hanya berlatih untuk waktu yang singkat itu tidak mendapat tempat di benturan pertama. Namun demikian, susupan-susupan lawan membuat mereka kadang-kadang menjadi korban.
Karena itu, maka anak-anak muda itu semakin banyak yang kemudian menarik diri di garis pertahanan berikutnya yang menjadi semakin sepi, sementara para prajurit dan para pengikut Empu Sanggadaru mengambil alih tempat mereka di medan, karena di lapisan-lapisan berikutnya keadaannya menjadi semakin tenang. Para pengikut Linggapati tidak berhasil menyusup lebih jauh lagi ke belakang garis perang, dari arah manapun juga.
Namun kelelahan yang mulai mengganggu di teriknya matahari yang, merayap di langit terasa mulai mengganggu. Beberapa orang tidak lagi mampu mengatasi keringnya tenggorokan, sementara yang lain merasa keringatnya bagaikan terperas kering.
Tetapi pasukan Singasari tidak menjadi susut. Jika mereka yang kelelahan meninggalkan medan, maka yang tampil kemudian adalah justru para prajurit dan para pengikut Empu Sanggadaru dan bekas pengikut Empu Baladatu yang juga sudah terlatih menghadapi medan yang bertapapun beratnya. Karena itu, pasukan Singasari rasa-rasanya justru menjadi semakin kuat meskipun jumlahnya tidak bertambah. Dan hal itulah yang ternyata telah menggelisahkan Linggapati.
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan masih saja bertempur melawan Linggapati. Keduanya memiliki kemungkinan yang sama untuk menang dan untuk kalah. Meskipun Linggapati memiliki pengalaman yang lebih luas, namun kemudian Mahisa Bungalan nampak pada kemampuannya menguasai tenaga dan badannya. Bahkan semakin lama kekuatan Mahisa Bungalan seakan-akan telah bertambah-tambah.
Namun Linggapati tetap berkeyakinan bahwa ia akan dapat menundukkan lawannya. Bahkan ia sudah mulai memperhitungkan, bahwa kematian Mahisa Bungalan akan melumpuhkan gairah perjuangan para prajurit di Singasari. Sementara itu, beberapa orang kepercayaannya yang berpencar telah ditugaskannya untuk bersama-sama dengan dua tiga orang lainnya, melawan para Senapati yang memiliki kemampuan yang hampir sempurna.
Salah seorang dari mereka, telah bergerak ke bagian belakang dari pasukannya, karena menurut laporan yang diterimanya, pasukan Singasari yang justru menyerang dari belakang itu dipimpin oleh seorang Senapati yang luar biasa.
Namun perlawanan itu tidak banyak memberikan pengaruh. Witantra tetap merupakan seorang yang menghantui medan, meskipun kadang-kadang ia memang tertahan oleh sekelompok kecil lawan yang mengepungnya. Namun pada saat-saat berikutnya maka kepungan itu sudah tidak mampu lagi menahannya, karena Witantra berhasil memecahkan kepungan kecil itu dan kembali bertempur bersama para prajurit.
Di bagian lain dari arena pertempuran itu, Mahendra telah berhasil mendesak lawannya mundur sampai ke pintu gerbang. Bahkan semakin lama, lawan itu pun menjadi semakin kehilangan kemampuan perlawanannya. Bahkan ternyata mereka telah mengambil kebijaksanaan tersendiri. Pemimpin kelompok yang bertempur melawan pasukan Singasari yang disertai oleh Mahendra dan kedua anaknya itu telah memerintahkan kelompoknya untuk menarik diri dan melingkari dinding Kota Raja, berusaha bergabung dengan induk pasukan.
Mahendra membiarkan sebagian dari pasukan Singasari untuk mengejarnya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah ikut di dalam pasukan itu dengan pesan, agar setiap perkembangan segera dilaporkan, agar Senapati yang bertugas di kelompok itu dapat mengambil keputusan untuk mengatasinya.
Dibagian lain, Lembu Ampal pun hampir menyelesaikan tugasnya pula. Seorang yang dianggap paling mumpuni di antara lawannya bersama dengan sekelompok kecil sama sekali tidak berhasil menempatkan diri sebagai lawan yang mengikat Lembu Ampal, karena kecepatan bergerak Lembu Ampal tidak dapat mereka imbangi. Sehingga dengan demikian maka Lembu Ampal tetap merupakan lawan yang bagaikan seekor burung elang yang terbang di udara. Sekali-sekali ia menukik dan menyambar mangsanya.
Kehadiran sepasukan kecil pengikut Linggapati yang dengan berlari-lari melingkari dinding Kota telah menimbulkan perubahan di arena pasukan induk. Witantra harus memperhatikan kehadiran mereka yang memasuki pintu gerbang utama.
Mula-mula pasukan itu terkejut karena mereka menjumpai pasukan Singasari di belakang pasukan Linggapati. Namun mereka pun segera melibatkan diri dan bertempur melawan pasukan Witantra yang kecil. Namun perubahan berikutnya segera terjadi ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah hadir pula di arena Pertempuran itu.
“He, paman.” Mahisa Murti berteriak ketika ia melihat Witantra, disambung oleh Mahisa Pukat “Aku disini paman.”
Witantra menarik nafas panjang. Ia melihat kedua anak muda itu. Tetapi ia tidak melihat Mahendra. “Kedua anak itu telah dilepaskannya.” berkata Wintantra kepada diri sendiri.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bertempur seperti sepasang burung lawet. Dengan lincahnya mereka menyambar-nyambar. Senjata mereka mematuk dengan cepatnya, seolah-olah telah berubah menjadi berpuluh-puluh senjata serupa. Namun beberapa orang di antara lawan pun memiliki kemampuan yang memadai. Mereka pun segera menempatkan diri untuk melawan kedua anak muda itu, meskipun mereka harus berjumlah lebih banyak.
Sementara itu, pasukan Singasari lambat laun berhasil menguasai medan dalam keseluruhan. Pasukan Linggapati yang kuat itu seakan-akan telah terkepung. Gerak mereka dapat dibatasi pada suatu daerah yang meskipun cukup luas, tetapi tidak lagi akan dapat menebar. Beberapa bagian halaman kedua dan jalan-jalan Kota Raja merupakan ajang dari pertempuran yang dahsyat itu. Namun seakan-akan segala pintu sudah ditutup. Kepungan prajurit Singasari cukup rapat.
Linggapati menyadari keadaannya. Tetapi ia pun masih percaya akan kekuatan pasukannya. Betapapun rapatnya kepungan prajurit Singasari, namun pada suatu saat Linggapati yakin, bahwa ia akan dapat memecahkan kepungan itu dan membawa pasukannya menduduki istana dan seluruh Kota Raja, dan menghancurkan kekuatan Singasari.
Tetapi Linggapati benar-benar heran melihat kemampuan Mahisa Bungalan. Ia merasa bahwa ilmu kanuragan yang dipelajarinya seolah-olah telah tuntas, sehingga tidak banyak orang yang akan dapat menyamainya. Bahkan Linggapati yakin, bahwa ia akan dapat melawan orang yang paling banyak dikenal di Singasari sebagai seorang Senapati Agung yang disegani oleh semua prajurit, Mahisa Agni. Namun ternyata bahwa Mahisa Bungalan yang muda itu masih mampu mengimbanginya. Bahkan semakin lama justru menjadi semakin berat.
Mahisa Agni yang mengawasi pertempuran itu dari kejauhan masih harus menahan nafas. Ujian itu merupakan ujian yang sangat berat bagi Mahisa Bungalan. Namun setelah beberapa kali Mahisa Bungalan dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik, maka Mahisa Agni pun mengharap bahwa kali ini Mahisa Bungalan akan dapat berhasil pula. Tetapi agaknya Linggapati memang memiliki kelebihan dari Empu Baladatu. Kekuatan yang terlontar dari serangan-serangannya yang cepat, kadang-kadang sangat mendebarkan jantung.
Namun Mahisa Bungalan pun telah mengerahkan segenap kemampuannya. Ia pun ternyata menyadari, bahwa lawannya yang bernama Linggapati itu memiliki kemampuan yang luar biasa. Kecepatannya bergerak hampir tidak dapai diikutinya. Hanya dengan hentakan kekuatan dan kemampuannya sajalah maka ia berhasil mengimbanginya. Sementara itu kekuatan tenaganya pun merupakan kekuatan tenaga raksasa.
Dengan demikian, maka pertempuran di antara kedua orang itu pun kian menjadi bertambah seru. Sementara para pengikut Linggapati dan para prajurit Singasari telah menyibak semakin jauh, seperti dahsyatnya dua ekor gajah yang sedang berlaga, sementara binatang-binatang kecil pun telah menghambur menjauhinya.
Mahisa Agni masih tetap di tempatnya. Disaat-saat terakhir ia benar-benar menjadi tegang. Linggapati agaknya telah mempergunakan segenap ilmu yang dimilikinya. Ilmu yang dapat mendorong kecepatan geraknya, dan ilmu yang dapat menjadikan kekuatan badannya berlipat-lipat.
Mahisa Bungalan tidak mau menjadi lumat oleh dera ilmu lawannya. Ia pun telah mempergunakan segala macam ilmu yang ada padanya. Ilmu yang pernah dipelajarinya dari ayahnya dan pamannya Witantra yang bersumber dari guru yang sama, dan ilmu yang diberikan oleh Mahisa Agni atas ijin ayahnya. Ilmu yang tersalur dari dua cabang perguruan itu telah luluh di dalam dirinya, sehingga Mahisa Bungalan benar-benar menjadi seorang anak muda yang pilih tanding.
Meskipun demikian, kadang-kadang sambaran kecepatan ilmu Linggapati telah terlambat dihindarinya. Linggapati mampu menyerang beruntun dalam beberapa tingkatan, sehingga senjatanya kadang-kadang bagaikan terbang mengitari lawannya, sehingga sekali-sekali tubuh Mahisa Bungalan telah disengatnya. Namun Mahisa Bungalan pun segera menyusul kekalahannya. Dengan tangkasnya ia memburu lawannya yang sedang mencoba menyusun serangan.
Tetapi Linggapati selalu berhasil menghindar. Serangan senjata Mahisa Bungalan kadang-kadang sekedar lewat saja di samping telinganya. Bahkan kadang-kadang di sela-sela lambung dan tangannya. Namun Mahisa Bungalan mampu berpikir di dalam kesibukan pertempuran. Ia tidak mempergunakan unsur-unsur gerak yeng murni lagi. Ilmunya yang telah luluh memungkinkannya untuk mengatur susunan unsur-unsur geraknya dengan bentuk yang lebih rumit dan bersusun.
Meskipun titik darah lebih dahulu mengembun dari kulit Mahisa Bungalan yang tersentuh senjata lawan, namun Mahisa Bungalan yang muda itu sama sekali tidak terpengaruh olehnya. Hentakan-hentakan kekuatannya, masih mampu mengejutkan dan bahkan sekali-sekali mendesak lawannya yang tangguh.
Semakin lama Mahisa Agni menjadi semakin tegang. Ia pun kemudian melihat kemudaan Mahisa Bungalan yang masih dikuasai oleh perasaannya, sehingga kadang-kadang kemarahannya nampak menggelora di antara tata gerak ilmunya. Namun Mahisa Agni masih juga mempunyai harapan, bahwa Mahisa Bungalan akan menemukan keseimbangan yang sebaik-baiknya menghadapi lawannya yang tangguh.
Serangan Linggapati semakin lama menjadi semakin cepat. Senjatanya berputar seperti baling-baling ditiup angin. Bahkan kadang-kadang bagaikan melibat lawannya seperti segumpal awan. Mahisa Bungalan harus menghindar dengan hati-hati. Tetapi setiap kali ia berhasil mematahkan serangan lawannya dengan kekuatannya. Kadang-kadang Mahisa Bungalan memaksa diri dengan lambaran kekuatannya sepenuhnya, menghantam putaran senjata lawannya yang bagaikan segulung asap.
Setiap terjadi benturan, maka keduanya selalu terkejut meskipun hal itu sudah berulang kali. Masing-masing seakan-akan masih belum meyakini kekuatan lawan sepenuhnya, sehingga kadang-kadang mereka masih ragu-ragu dan kejutan-kejutan masih saja terjadi. Dentang senjata kedua raksasa yang bertempur itu bagaikan teriakan aba-aba yang mengguncangkan setiap jantung dari setiap orang di dalam kedua pasukan yang sedang bertempur itu.
Mahisa Agni yang, bagaikan terikat kepada pertempuran yang dahsyat antara Mahisa Bungalan dan Linggapati itu, sekali-sekali sempat juga menyaksikan seluruh arena pertempuran. Ternyata bahwa keseimbangan pertempuran itu telah berubah perlahan-lahan. Prajurit-prajurit Singasari yang dilengkapi oleh para pengikut Empu Sanggadaru dan bekas pengikut Empu Baladatu, ternyata memiliki kekuatan yang cukup untuk menekan pasukan Mahibit yang sudah dipersiapkan masak-masak oleh Linggapati.
Tetapi ada sesuatu yang ternyata berada diluar perhitungannya. Ikut sertanya pengikut Empu Sanggadaru yang jumlahnya cukup banyak, setelah orang-orang yang pernah menamakan dirinya kelompok Serigala Putih dan Macan Kumbang bergabung kepadanya. Apalagi karena para pengikut Empu Baladatu yang tertawan berusaha untuk menebus kebebasan mereka dengan melibatkan diri di medan perang. Memang ada yang terbunuh diantara mereka. Tetapi yang masih hidup mulai berpengharapan, karena pasukan Mahibit semakin lama menjadi semakin terhimpit oleh kekuatan yang cukup besar.
Apalagi akhirnya Mahendra telah hadir pula di dalam pertempuran itu bersama sebagian pasukannya. Disusul oleh Lembu Ampal yang telah menyelesaikan pertempuran karena lawannya telah menyerah, sementara sebagian berusaha untuk bergabung dengan induk pasukannya seperti yang terjadi atas lawan yang bertempur melawan pasukan Mahendra.
Dengan demikian, maka pasukan Singasari menjadi semakin besar. Senapatinya pun menjadi semakin lengkap di medan yang sama, sementara dibagian lain telah diserahkan kepada beberapa kelompok untuk sekedar mengawasi keadaan dan memberikan laporan jika terjadi sesuatu yang gawat.
Akhirnya Linggapati tidak dapat mengingkari kenyataan. Ia mempunyai beberapa orang Senapati pilihan yang diperhitungkan akan dapat melawan beberapa orang terpenting di Singasari bersama beberapa orang terpilih dalam kelompok-kelompok kecil. Namun ternyata bahwa perhitungan itu tidak sepenuhnya dapat dilakukan. Prajurit-prajurit Singasari yang mengetahui cara itu pun selalu berusaha untuk memecah setiap kelompok yang tersusun. Prajurit-prajurit Singasari selalu berhasil memancing mereka seorang demi seorang untuk memberikan perlawanan, sehingga kelompoka kecil itu tidak pernah dapat dengan bulat dihadapkan kepada Lembu Ampal, Mahendra atau Witantra.
Itulah sebabnya, maka semakin lama, pasukan Mahibit menjadi semakin terhimpit. Mahendra telah mengambil tempat di sayap sebelah menyebelah dengan Lembu Ampal, sementara Witantra bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru berada diseberang pasukan Linggapati.
Akhirnya, pasukan Mahibit itu tidak mempunyai jalan lagi untuk membebaskan diri. Mereka sudah berusaha mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk memecahkan kepungan. Tetapi rasa-rasanya kepungan itu justru menjadi semakin rapat dan semakin sempit. Apalagi pintu gerbang utama pun telah tersumbat oleh pasukan Witantra dan pasukan Mahisa Murti serta Mabisa Pukat.
Linggapati menggeretakkan giginya ketika ia menyadari kesulitan yang sedang dihadapi. Namun ia sudah bertekad untuk membunuh lawannya itu lebih dahulu sebelum ia mengambil sikap yang lain. Karena itu, maka ia pun bertempur semakin sengit. Serangannya datang membadai dengan dahsyatnya. Namun Mahisa Bungalan pun telah mengerahkan segenap ilmunya. Ia pun bertekad untuk membinasakan Linggapati sebelum pasukan Mahibit lebih banyak menimbulkan bencana.
Dengan hentakan kekuatan, maka masing-masing telah berusaha membunuh lawannya. Senjata Mahisa Bungalan yang meronta-ronta di tangannya, masih belum berhasil menyentuh lawannya, sedang kulitnya sendiri telah menitikkan darah. Namun darah itulah agaknya yang telah membuatnya menjadi semakin garang. Serangan- serangannya datang bagaikan prahara menghantam wajah lautan sehingga menumbuhkan gelombang yang semakin lama menjadi semakin dahsyat.
Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan dan Linggapati yang berdiri berhadapan itu seolah-olah sedang melakukan perang tanding tanpa ada seoorang pun yang. mengganggunya. Bahkan seakan-akan peperangan itu tergantung pada keduanya. Meskipun tidak berjanji, tetapi seakan-akan keduanya telah mempertaruhkan segenap medan. Siapakah yang menang, maka ialah yang akan berkuasa di seluruh medan pertempuran itu.
Linggapati yang merasa dirinya terjebak seperti yang telah terjadi pada Empu Baladatu. sekali-sekali juga disentuh oleh kegelisahan. Namun ia pun berusaha untuk membebaskan dirinya dan memusatkan segenap kemampuannya untuk melawan Mahisa Bungalan.
Namun ternyata ketahanan tubuh Mahisa Bungalan yang masih muda itu benar-benar mengagumkan. Setelah memeras tenaga dan segenap kemampuan serta ilmunya beberapa lamanya, namun nampaknya Mahisa Bungalan masih tetap segar. Bahkan titik darah dari tubuhnya, membuatnya semakin garang seperti banteng yang terluka.
Sementara Linggapati telah mulai merasakan licinnya keringat di telapak tangannya. Bahkan kadang-kadang nafasnya mulai terasa melonjak di dadanya. “Persetan.” ia menggeram.
Namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa lawannya benar-benar seorang yang luar biasa. Ketika Mahisa Bungalan semakin mendesaknya, maka Linggapati benar-benar telah sampai kepuncak ilmunya. Perlahan-lahan namun pasti, tenaganya justru semakin berkembang. Bukan tenaga wadagnya, tetapi tenaga cadangannya telah tersalur pada senjatanya.
Mahisa Bungalan merasakan tekanan yang tidak sewajarnya itu. Ia pun merasa, bahwa Linggapati memang sudah tidak mempunyai pilihan lain. Senjata pamungkas itu memang disimpannya untuk memberikan pukulan terakhir. Tetapi Mahisa Bungalan pun masih sempat memberikan imbangan. Ilmu yang tersalur dari cabang perguruan yang berbeda yang telah luluh di dalam dirinya itu pun seakan-akan dengan sendirinya telah tergugah dalam desakan ilmu lawannya.
Dengan demikian, maka pertempuran itu pun menjadi semakin dahsyat. Keduanya mulai mempergunakan tenaga cadangan yang ada di dalam diri masing-masing, sehingga benturan-benturan senjata mereka pun menjadi semakin dahsyat.
Namun agaknya kemampuan tenaga yang tuntas tertuang dalam benturan senjata masing-masing telah melampaui kekuatan senjata mereka. Ketika Linggapati mengayunkan senjatanya menghantam kening Mahisa Bungalan, maka dengan lambaran ilmu puncaknya Mahisa Bungalan yang tidak sempat mengelak itu pun telah menangkis dengan senjatanya pula.
Benturan itu telah terjadi dengan dahsyatnya. Benturan kekuatan yang tidak sewajarnya itu telah menumbuhkan ledakan yang mengejutkan. Loncatan bunga api yang kemerah-merahan memercik dari sentuhan kedua senjata itu. Namun yang telah mengejutkan setiap orang yang sempat melihat, ternyata kedua senjata yang merupakan senjata pilihan itu tidak kuat mengalami tekanan benturan kekuatan dari dua ilmu raksasa itu.
Mahisa Bungalan dan Linggapati sendiri terkejut ketika mereka merasakan, bahwa senjata mereka masing-masing telah retak dan bahkan kemudian patah. Hampir bersamaan kedua orang itu pun meloncat mundur. Jika semula mereka mengira bahwa hanya senjatanya sajalah yang patah, maka kemudian mereka pun menyadari, bahwa senjata keduanya telah patah.
“Gila.” geram Linggapati.
Mahisa Bungalan tidak menjawab, ia sadar sepenuhnya bahwa kekuatan ilmu puncaknya ternyata seimbang dengan kekuatan Linggapati. Demikian dahsyatnya sehingga kedua senjata yang beradu dengan lambaran ilmu itu telah patah bersama-sama.
Linggapati kemudian melemparkan senjatanya yang telah patah. Mahisa Bungalan pun melakukannya pula, sehingga keduanya telah berhadapan dengan tanpa senjata di tangan. Dengan demikian keduanya sadar, bahwa pertempuran itu masih akan berlangsung lama. Masing-masing masih harus menguji daya tahannya, agar tidak jatuh ke dalam kesulitan karena kelemahannya.
Namun dalam pada itu. Linggapati mulai menjajagi kemampuan dirinya. Ia setiap kali berusaha untuk menguasai pernafasannya yang mulai mengganggu. Tetapi sampai pada saat mereka harus bertempur tanpa senjata, Mahisa Bungalan masih belum melihat kelemahan pada lawannya itu.
Tetapi dengan demikian, maka Linggapati mengambil keputusan untuk dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu sebelum ia terganggu oleh nafasnya. Dengan cermat ia mempelajari kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilaksakannya dalam pertempuran tanpa senjata itu. Namun ia tidak segera dapat menemukannya.
Karena itulah, maka kegelisahannya pun menjadi semakin menjalar di dalam dirinya, sejalan dengan meningkatnya gangguan pernafasannya. Meskipun untuk beberapa saat ia masih dapat mengatasinya, tetapi Linggapati sadar, bahwa jika ia tidak segera dapat menyelesaikan pertempuran itu, maka kesulitan itu pun akan datang. Apalagi jika lawannya menyadari kesulitannya itu.
Untuk beberapa saat Linggapati masih berusaha untuk mengatur diri. Jika semula ia merasa yakin akan dapat membinasakan anak muda itu, maka kini ia harus berhadapan dengan kenyataan tentang lawannya itu.
Ternyata bahwa perhitungan Mahisa Bungalan pun cukup cermat. Ia melihat beberapa kemungkinan dari pertempuran itu, termasuk pertimbangan tentang ketahanan tubuh. Keragu-raguan yang tampak disorot mata Linggapati telah menumbuhkan kesan tersendiri pada Mahisa Bungalan. Juga sikap ragu-ragu lawannya.
Itulah agaknya yang sudah menumbuhkan perhitungan pada Mahisa Bungalan, bahwa lawannya mulai memikirkan daya tahan dirinya menghadapi pertempuran yang panjang. Dalam keadaan demikian itulah, maka Mahisa Bungalan berusaha untuk meyakinkan dirinya. Dengan serta merta ia pun segera menyerang lawannya tanpa senjata. Mahisa Bungalan menyusun serangan-serangannya bagaikan badai. Susul menyusul dengan dahsyatnya.
Linggapati masih cukup tangkas untuk menglak, dan bahkan menyerang kembali. Namun ia sudah mulai berusaha urtuk menghemat tenaganya. Ia tidak mengimbangi sikap Mahisa Bungalan yang garang. Namun Linggapati masih tetap berbahaya dengan sikapnya, yang diam. Ia hanya kadang-kadang saja berputar jika Mahisa Bungalan melingkar. Kemudian kembali tegak pada kedua kakinya.
Mahisa Bungalan mulai yakin akan keadaan lawannya. Namun ia tidak boleh lengah. Dan ia pun tidak boleh terjebak, justru dirinya sendirilah yang akan segera kehabisan tenaga. Dengan perhitungan-perhitungan yang cermat itulah maka Mahisa Bungalan telah banyak mengambil kesempatan. Kadang-kadang ia berhasil memancing Linggapati untuk bertempur dengan kasar dan banyak mengerahkan tenaga. Namun kemudian, ia pun sempat dengan sengaja membenturkan kekuatan ilmunya dengan kekuatan ilmu Linggapati.
“Linggapati memiliki ilmu yang dapat menahan serangan-serangan lawan yang mengenai dirinya.” gumam Mahisa Bungalan di dalam dirinya. “Bukan saja benturan ilmu yang seimbang, tetapi selapis perisai telah melindunginya.”
Namun demikian, Mahisa Bungalan masih merasa mampu untuk menembus selapis perisai itu. Serangannya yang dilambari ilmu tertingginya, masih juga berhasil menyentuh lawannya sehingga Linggapati harus menyeringai menahan sakit.
“Aku harus mengimbanginya dengan kecepatan bergerak.” berkata Mahisa Bungalan kepada diri sendiri.
Ternyata bahwa Mahisa Bungalan masih selalu berhasil memancing lawannya. Karena itulah, maka ia pun menjadi semakin cermat. Linggapati adalah seorang yang cerdik. Tetapi ia harus menyesuaikan diri dengan sikap lawannya didalam pertempuran itu.
Karena itulah maka setiap kali terdengar Linggapati mengumpat, “Anak iblis ini agaknya memiliki otak yang tajam. Ia berusaha memancing aku dalam sikap yang kasar dan banyak mengerahkan tenaga dan kemampuan.”
Namun jika serangan Mahisa Bungalan datang bagaikan prahara, maka Linggapati terpaksa mengimbanginya, meskipun ia harus memeras segenap tenaganya. Benturan-benturan ilmu pun banyak menyerap kemampuannya. Keringat semakin banyak mengalir di seluruh permukaan tubuhnya, sementara nafasnya pun mulai terasa mengganggu.
“Aneh.” desis Linggapati, “Anak muda ini benar-benar anak iblis.”
Namun pertempuran pun masih berjalan terus. Meskipun Linggapati mampu bertahan dalam batas-batas tertentu, namun dengan memeras segenap kemampuan dan tenaganya, maka seolah-olah waktu yang sudah ditelan oleh pertempuran itu menjadi berlipat lima.
Dalam pada itu, pasukan Mahibit benar-benar sudah dicengkam oleh kesulitan yang tidak akan teratasi. Para prajurit perlahan-lahan mendesak mereka semakin rapat, seoIah-oIah mereka telah terhimpit oleh kekuatan yang tidak terlawan. Sementara itu, di tengah-tengah arena pertempuran masih terdapat arena perang tanding yang sangat dahsyat.
Matahari di langit rasa-rasanya berjalan terlampau cepat. Tidak seorang pun yang sempat menghiraukannya. Namun matahari itu pun telah menjadi semakin rendah di sebelah Barat.
Mahisa Bungalan dan Linggapati telah berada dalam saat-saat yang menentukan dalam pertempuran tanpa senjata. Mereka tidak dapat lagi saling mengelakkan. Sehingga akhirnya keduanya telah banyak terlibat dalam benturan-benturan ilmu dan kekuatan.
Dengan lambaran ilmu pamungkasnya, Linggapati berhasil menangkap pergelangan tangan Mahisa Bungalan. Dengan sekuat tenaga ia menghentakkannya sementara kakinya telah terjulur menghantam lambung. Mahisa Bungalan menyeringai menahan sakit. Sementara itu, Linggapati masih belum melepaskan pergelangan tangan Mahisa Bungalan.
Namun Mahisa Bungalan tidak mau membiarkan lambungnya sekali lagi dihantam oleh kaki Linggapati. Dengan serta merta ia menjatuhkan dirinya dengan hentakkan yang kuat, sehingga justru Linggapati lah yang terdorong ke depan karena ia tidak mau melepaskan tangan lawannya. Namun pada saat itulah, kaki Mahisa Bungalan telah mengangkat; tubuh Linggapati sehingga ia terlempar ke udara.
Hentakkan itu telah melepaskan pegangan tangan Linggapati, karena ia harus berusaha agar tidak terbanting sehingga punggangnya patah. Dengan tangkasnya Linggapati menggeliat, sehingga ia justru jatuh pada kedua kakinya tegak di atas tanah. Pada saat itu, Mahisa Bungalan pun telah meloncat bangkit, sehingga keduanya kemudian telah berdiri berhadapan dalam kesiagaan masing-masing.
Adalah diluar perhitungan masing-masing, bahwa tiba-tiba saja mereka dalam waktu bersamaan telah meloncat menyerang dengan sepenuh tenaga, sehingga benturan kekuatan tidak dapat dihindarkan lagi. Ternyata akibat dari benturan itu benar-benar mendebarkan jantung. Mahisa Agni yang menyaksikannya harus menahan nafasnya.
Dengan tegang ia melihat Mahisa Bungalan terlempar beberapa langkah surut dan kemudian jatuh terbanting di atas tanah. Dengan susah payah ia berusaha bangkit dan berdiri untuk menghadapi segala kemungkinan, meskipun dengan terhuyung-huyung dan mata yang berkunang-kunang.
Namun dalam paa itu, Linggapati pun mengalami keadaan yang sama. Ia pun terlempar beberapa langkah dan jatuh berguling. Seperti Mahisa Bungalan ia pun segera berusaha bangkit meskipun keseimbangannya agak terganggu.
Untuk beberapa saat kedua saling berdiam diri. Masing-masing berusaha untuk memperbaiki keadaan. Mengatur pernafasan dan keseimbangan. Agaknya Mahisa Bungalan yang muda itu dapat mengusai pernafasannya lebih cepat. Beberapa saat kemudian, maka nafasnya sudah nampak teratur. Meskipun perasaan nyeri masih mengganggunya, namun ia merasa sudah siap menghadapi kemungkinan yang bagaimanapun juga.
Sementara itu, Linggapati pun telah dapat menguasai diri. Tetapi dadanya masih terasa sesak dan pernafasannya masih belum mengalir teratur. Sekali-sekali ia menarik nafas dan memusatkan segenap daya dan kemampuannya untuk mengatasi kesulitan di dalam dirinya.
Mahisa Bungalan melihat kelemahan yang terdapat pada lawannya. Namun ia tidak tergesa-gesa mengambil sikap. Ia masih membuat beberapa pertimbangan dan mencari kesempatan untuk memulihkan dirinya sendiri.
Sejenak kemudian, ternyata bahwa Linggapati pun telah berhasil menyesuaikan pernafasannya meskipun masih terasa timpang. Namun ia sudah bersiap kembali memasuki pertempuran yang dahsyat melawan anak muda yang luar biasa itu.
Mahisa Bungalan yang berhati-hati itu pun kemudian mempersiapkan diri. Selangkah ia bergeser seperti juga Linggapati. Mereka masing-masing telah memusatkan segenap perhatian masing-masing yang satu terhadap yang lain, sehingga dengan demikian mereka tidak lagi menghiraukan apa yang telah terjadi di sekitar mereka. Mereka tidak melihat bahwa pertempuran antara para pengikut Linggapati melawan para prajurit Singasari dan para pengikut Empu Sanggadaru itu telah hampir mencapai akhirnya.
Para pengikut Linggapati hampir tidak berdaya lagi untuk melawan tekanan yang semakin berat. Apalagi setelah Mahendra, Lembu Ampal, Witantra dan dua anak muda putera Mahendra ikut pula di dalam Pertempuran itu. Namun demikian, tidak seorang pun beruasaha mengganggu perang tanding itu. Mahisa Agni masih berdiri bagaikan membeku dicengkam oleh dahsyatnya pertempuran antara Mahisa Bungalan dan Linggapati.
Linggapati yang tidak sabar, meskipun nafasnya terasa masih belum pulih kembali, telah menyerang dengan dahsyatnya. Kecepatannya bergerak masih mendebarkan hati, sehingga Mahisa Bungalan masih harus meloncat menghindar. Sambaran tangan Linggapati bagaikan ayunan sebatang besi baja sebesar batang kelapa menghantam kepala Mahisa Bungalan. Tetapi Mahisa Bungalan masih sempat mengelak. Kekuatan ilmu puncak Linggapati benar-benar mendebarkan jantung.
Namun sambil merendahkan diri, Mahisa Bungalan berkisar pada sebelah kakinya, sementara kakinya yang lain telah terjulur menyambar lambung. Tetapi Linggapati masih sempat melihat serangan itu. Ia sadar, bahwa sentuhan kaki Mahisa Bungalan itu dapat mengguncang bukit. Karena itu, maka ia pun segera menggeliat mengelakkan diri dari kaki lawannya meskipun ia harus terhuyung-huyung sejenak. Namun ketika Mahisa Bungalan melancarkan serangan berikutnya dengan satu putaran, maka Linggapati telah berhasil mengelak dengan meloncat mundur sambil menyentuh kaki Mahisa Bungalan.
Sentuhan tangan itu telah mengguncang keseimbangan Mahisa Bungalan. Ia terdorong selangkah kesamping. Namun kemudian mengikuti arah lontaran kakinya, ia pun meloncat tegak di atas kedua kakinya. Namun pada saat itu, ia melihat Linggapati telah meloncat menghantam dadanya dengan tangannya.
Sekali lagi Linggapati telah menyerangnya dengan sepenuh kekuatan yang dilambari ilmu puncaknya. Jika tangan ini menghantam dada Mahisa Bungalan, maka iga-iganya tentu akan retak. Bahkan bagi kebanyakan orang akan dapat meruntuhkan segenap isi dadanya dan mematahkan semua tulang iganya.
Mahisa Bungalan melihat serangan itu. Tetapi ia tidak sempat mengelakkannya. Sekali lagi ia harus membentur kekuatan lawannya dengan segenap kekuatannya pula. Melawan ilmu puncak lawannya dengan ilmu puncaknya pula. Medan itu pun telah dikejutkan lagi oleh benturan yang dahsyat antara serangan dan pertahanan kedua orang yang sedang, bertempur seperti guruh yang sedang berlaga.
Sekali lagi Mahisa Bungalan terdorong beberapa langkah dan bahkan ia tidak berhasil untuk menjaga keseimbangannya., sehingga ia pun jatuh terguling, meskipun dengan susah payah ia segera dapat bangkit lagi berdiri di atas kedua kakinya. Tetapi rasa-rasanya kepalanya menjadi pening dan pandangan matanya berkunang-kunang. Namun perlahan-lahan ia berhasil menguasai dirinya dan mengatur pernafasannya. Keseimbangannya segera pulih kembali dan ia pun telah siap menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu, Linggapati yang melontarkan kekuatannya namun membentur kekuatan yang seimbang itu pun telah terlempar surut. Rasa-rasanya hentakan kekuatannya telah mengguncangkan dadanya sendiri. Beberapa langkah ia terdorong dan kemudian terbanting jatuh.
Seperti Mahisa Bungalan ja segera berusaha untuk bangkit. Sambil mengerahkan segenap tenaganya, ia bersandar kedua tangannya. Kemudian terhuyung-huyung ia berdiri di atas kedua kakinya. Meskipun Linggapati berhasil tegak berdiri dengan kaki merenggang, namun rasa-rasanya dadanya masih tetap tersumbat oleh pernafasannya yang menyesak.
Usahanya untuk mengatasi kesulitan pernafasannya itu agaknya dapat diketahui oleh Mahisa Bungalan. Dalam ketegangan menghadapi kemampuan ilmu yang seimbang, maka Mahisa Bungalan harus memperhitungkan setiap kemungkinan yang dapat ditembusnya. Kesulitan yang dapat dilihatnya itu, merupakan suatu peluang bagi Mahisa Bungalan. Meskipun keadaannya sendiri masih belum jernih benar, namun ia tidak mau terlambat.
Sejenak Mahisa Bungalan mengerahkan ilmunya tertinggi. Ilmu yang luluh di dalam dirinya, bersumber dari ilmu yang diajarkan ayahnya dan pamannya, serta ilmu yang bersumber pada ilmu Mahisa Agni. Bahkan Mahisa Bungalan telah memiliki kekuatan ilmu Gundala Sasra yang lebih mantap, justru karena ilmu-ilmu yang telah luluh di dalam dirinya.
Sebelum Linggapati berhasil menguasai pernafasannya yang menyesak, tiba-tiba saja ia melihat Mahisa Bungalan telah siap menyerangnya. Karena itu, maka Linggapati tidak dapat memilih. Ia pun segera mempersiapkan diri meskipun nafasnya masih ter sengal-sengal. Sejenak kemudian maka benturan yang, dahsyat itu pun telah terulang sekali lagi. Hentakkan dua kekuatan raksasa yang menggetarkan seluruh medan. Seolah-olah tanah pun menjadi goncang dan medan telah bergetar.
Benturan kekuatan itu benar-benar telah mendebarkan jantung. Mahisa Agni melihat benturan itu dengan dada yang tegang. Ia melihat Mahisa Bungalan yang telah mendahului menyerang di saat-saat keduanya baru saja berhasil menguasai diri. Tetapi Mahisa Agni pun melihat, bahwa Mahisa Bungalan lebih cepat berhasil menguasai pernafasannya daripada Linggapati.
“Ia cukup cerdik.” gumam Mahisa Agni.
Namun itu belum berarti bahwa usaha Mahisa Bungalan itu berhasil. Ia masih harus menunggu dengan dada yang berdebar. Sejenak kemudian ia melihat Mahisa Bungalan terlempar sekali lagi dan terbanting di tanah. Dengan menyeringai menahan sakit yang menghentak di dadanya, terdengar Mahisa Bungalan berdesis pendek. Dengan susah payah ia berusaha untuk bangkit. Tetapi ia pun kemudian jatuh terduduk.
Sementara itu, Mahisa Agni pun melihat, Linggapati terpelanting beberapa langkah. Ia masih menggeliat. Bahkan ia masih berusaha untuk mengangkat kepalanya. Namun matanya menjadi gelap, dan. dadanya bagaikan tersumbat. Linggapati tidak berhasil untuk bangkit. Dadanya bagaikan pecah oleh pernafasannya yang menyesak.
Beberapa orang pengawalnya dengan tergesa-gesa mendekatinya tanpa menghiraukan lawan. Mereka berjongkok sambil mengangkat kepala Linggapati dan meletakkan di atas pangkuan salah seorang pengawalnya. Namun nafas Linggapati benar-benar telah tersendat-sendat. Hentakkan kekuatan yang susul menyusul itu ternyata tidak dapat diatasinya lagi.
Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba pertempuran itu pun bagaikan terhenti. Mahisa Bungalan terduduk lemah. Disilangkannya tangannya, dan dipejamkannya matanya. Setitik darah melelah di bibirnya. Ternyata ia telah mendapat luka di dalam dadanya.
Perlahan-lahan Mahisa Agni mendekatinya. Ia pun kemudian berjongkok di sampingnya sambil berbisik, “Usahankan agar pernafasanmulah yang pertama-tama menjadi baik.”
Mahisa Bungalan tidak merubah sikapnya. Ia mendengar kata-kata Mahisa Agni. Dan ia pun telah mencoba melakukannya.
Dengan cemas, Mahendra pun kemudian berjongkok pula di sisi anaknya, diikuti oleh Witantra dan Lembu Ampal. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan wajah tegang berdiri beberapa langkah di samping mereka.
Dalam pada itu, agaknya Linggapati benar-benar mengalami kesulitan, karena dadanya rasa-rasanya telah pecah. Pernafasannya tidak lagi dapat diatasi. Bahkan setiap tarikan nafas rasanya bagaikan tusukan-tusukan pedang di dalam rongga dadanya yang menyesak.
Ternyata bahwa keadaan Linggapati benar-benar menyulitkan. Meskipun demikian masih tetap sadar. Karena itulah maka ia mencoba untuk membaringkan dirinya sambil memperbaiki pernafasannya. Tetapi agaknya ia tidak berhasil. Dadanya bagaikan semakin panas. seolah-olah api yang membakar jantungnya kian menjadi bertambah besar.
Akhrinya, sebagai seorang yang berilmu tinggi, Linggapati benar-benar telah melihat bayangan yang suram di depan matanya. Semula ia masih ingin meronta. Tetapi kemudian ia harus mengakui kenyataan yang dihadapinya. Karena itulah, maka ia pun kemudian sadar, bahwa ia harus menghadapinya dengan jantan, seperti saat-saat ia maju ke medan perang.
Sambil menggeretakkan giginya ia melihat beberapa macam warna bermain di matanya. Warna-warna yang tajam bagaikan menusuk mata hatinya. Kemudian warna yang lebih lemah. Perlahan-lahan warna itu pun berubah menjadi warna yang suram. Akhirnya sambil menarik nafas dalam-dalam Linggapati melihat warna hitam bagaikan selimut yang luas, seluas langit telah menyelubunginya perlahan-lahan.
Karena itu, dengan sisa kekuatan yang ada padanya ia bergumam tanpa mengetahui siapakah yang mendengarnya. “Aku akan pergi untuk selamanya. Jalanku kelam. Tetapi mudah-mudahan akan terdapat cahaya meskipun hanya sepercik di hadapanku sebagai penunjuk jalan untuk menuju ke dalam dunia yeng abadi.”
Ternyata kata-kata itu masih ada yang mendengar. Seorang pengawal kepercayaannya menahan nafasnya. Ia mencoba mendekatkan mulutnya di telinga Linggapati untuk berbisik. Tetapi terlambat. Linggapati telah memejamkan matanya tepat saat selimut hitam seluas langit itu turun menyelubungi dirinya.
Pengawalnya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kata-kata terakhir Linggapati itu bagaikan menggugah hatinya. Jalan hidupnya yang hitam ternyata membawa pengaruh sampai saat terakhirnya. Bahkan mempengaruhi jalannya menuju keabadian. Jalan yang kelam. Meskipun Linggapati masih mengharap sepercik sinar yang dapat menerangi jalan yang kelam itu. Tetapi tidak seorang pun yang mengetahuinya, apakah yang sepercik itu ternyata ada di hadapan kaki Linggapati yang telah melukis warna baginya sendiri dimasa hidupnya.
“Jika Linggapati melukis warna putih cerah, maka jalan itu pun akan berwarna putih dan cerah.” berkata pengawalnya kepada diri sendiri. Namun agaknya ia sendiri telah dihantui oleh perbuatannya sepanjang hidupnya, sehingga tiba-tiba saja timbul pertanyaan di dalam dirinya, “Warna apakah yang telah aku lukis menjelang saat-saat terakhir dari hidupku?”
Tetapi pengawal Linggapati itu tidak sempat merenung lebih lama lagi. Ketika ia mengangkat wajahnya, maka ia pun terkejut. Beberapa ujung senjata telah mencuat di sekelilingnya. Ternyata para prajurit Singasari telah mengepungnya dengan senjata telanjang. Pengawal itu berdiri perlahan-lahan. Tetapi ia sudah meletakkan senjatanya sambil berkata, “Aku tidak akan melawan lagi.”
Para prajurit Singasari pun menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian maka pertempuran itu benar-benar sudah selesai. Seluruh pengikut Linggapati telah menyerah, apalagi ketika mereka melihat, Linggapati sudah tidak bernafas lagi.
Sementara para Senapati menyelesaikan tugas masing-masing, serta dua orang penghubung menyampaikan berita akhir dari pertempuran itu atas perintah Mahisa Agni kepada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, maka perlahan-perlahan Mahisa Bungalan mulai berhasil menguasai pernafasannya.
Betapa sulitnya, namun ia mulai dapat merasakan jalan nafasnya mulai teratur dan merasuk sampai ke paru-paru. Karena itu, maka wajahnya yang putih pun perlahan-lahan mulai menjadi kemerah-merahan. Sejalan dengan arus nafasnya yeng teratur, maka darahnya pun mulai mengalir dengan wajar. Sesaat kemudian, maka semua kesulitan telah lampau, Mahisa Bungalan dapat menarik nafas panjang, seakan-akan udara di seluruh Singasari akan dihirupnya.
Ternyata bukan saja Mahisa Bungalan. Mahendra pun menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa bahwa anaknya sudah bebas dari kesulitan yang, dapat menyeretnya ke dalam keadaan seperti yang di alami oleh Linggapati. Diam-diam Mahendra merasa bersukur kepada Yang Maha Agung, seperti juga Mahisa Bungalan sendiri dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Mereka telah dapat menyelesaikan tugas yang berat dan mendebarkan jantung, karena pada mulanya mereka masih belum yakin, bahwa semuanya akan berakhir dengan baik bagi Singasari. Seperti pada saat mereka menghadapi pasukan Empu Baladatu, maka hanya karena pertolongan Yang Maha Agung sajalah pasukan Singasari mendapat cara yang sebaik-baiknya untuk menghancurkan lawan.
“Kita akan segera menghadap.” berkata Mahisa Agni kepada Mahisa Bungalan, “Yang telah kau lakukan, cukup meyakinkan.”
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Badannya masih terasa sangat lemah, meskipun ada sepercik kebanggaan di dalam hatinya.
Yang dilakukan oleh Singasari kemudian adalah berbenah diri. Kota Raja benar-benar telah hancur akibat peperangan yang seakan-akan bersusun dua kali. Para prajurit Singasari ternyata masih belum dapat langsung beristirahat saat-saat Mahisa Bungalan mengikut Mahisa Agni menghadap Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Mereka masih harus mengumpulkan para korban. Menyisihkan mayat yang berserakkan. Memilih, mana yang kawan dan mana yang lawan di antara mereka. Sementara yang lain harus mengumpulkan mereka yang terluka.
Baik kawan maupun lawan dari mereka yang terluka, memerlukan perawatan dan pengobatan, Empu Sanggadaru yang kemudian dengan hati yang pedih menyaksikan banyaknya korban, telah membantu memberikan pertolongan kepada mereka yang terluka.
“Ketamakan orang-orang Mahibit memberikan akibat yang sangat parah bagi Singasari.” gumam Empu Sanggadaru.
Witantra yang membantunya pula menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Empu Baladatu dan Linggapati mempunyai keinginan yang sama. Tetapi nampaknya mereka tidak dapat menemukan kesepakatan.”
“Itu adalah Karya Yang Maha Agung di dalam hati mereka. Jika mereka dibiarkan menemukan persamaan pendapat maka aku kira Singasari sudah benar-benar hancur. Kekuatan Baladatu dan Linggapati yang bergabung akan merupakan kekuataan yang barangkali tidak terlawan oleh pasukan Singasari yang tersedia. Apalagi jika mereka dengan tiba-tiba datang ke Kota Raja. aku kira, Singasari sudah tidak ada lagi sekarang.” berkata Empu Sanggadaru.
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Mungkin sekali. Kota Raja ini sudah menjadi debu. Semuanya akan hancur, karena jika Empu Baladatu dan Linggapati berhasil menghancurkan Kota Raja dan mendudukinya, mereka kemudian tentu akan terlibat kedalam perang di antara mereka, sehingga Kota Raja ini tidak akan tersisa lagi.”
“Yang menang di antara mereka akan membangun suatu pemerintahan di Singasari baru.” desis Empu Sanggadaru.
Tetapi Witantra menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak. Akan segera datang kekuatan dari Kediri atau dari arah lain yang termasuk wilayah Singasari. Mereka akan menginjak bara api yang memang tinggal abunya oleh perselisihan antara kedua kekuatan yang menang atas Singasari. Yang akan timbul adalah suatu kekuasaan baru di atas pulau ini. Bukan Empu Baladatu dan bukan pula Linggapati.”
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Ia menyadari, betapa luasnya langit. Jika nampak kabut yang gelap, maka di seberang kabut, langit terbuka sejauh mata dapat menggapainya.
Dalam pada itu, Empu Sanggadaru masih diminta untuk tetap berada di Kota Raja. Pengikut-pengikutnya masih diperlukan untuk membantu mengatasi kesulitan yang timbul karena peperangan. Setelah para korban diselenggarakan seperti seharusnya, maka mulailah Singasari dengan menatap wajahnya sendiri yang suram.
Pintu gerbang yang rusak di segala arah. Rumah-rumah yang roboh dan terbakar. Dinding halaman yang hancur dan halaman yang bagaikan dibajak. Singasari memerlukan tenaga untuk membangunkannya kembali. Untuk itulah maka tenaga yang ada masih diperlukan, termasuk para pengikut Empu Baladatu.
Sementara itu, Mahisa Bungalan mendapat perhatian khusus dari Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Mereka masih sama-sama muda dan memiliki jiwa yang menggelora. Mereka sama-sama mencintai Singasari seperti mencintai diri mereka sendiri. Karena itulah, maka Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mempunyai pertimbangan-pertimbangan khusus bagi Mahisa Bungalan.
Ketika Singasari sedang sibuk membangun kembali dirinya, Ranggawuni, Mahisa Cempaka dan Mahisa Agni sedang sibuk pula mempersiapkan tempat bagi Mahisa Bungalan. la telah memberikan jasa kepada Singasari, sehingga Singasari tidak luluh menjadi debu. Bukan hanya sekedar pada saat Empu Baladatu dan Linggapati menyerang Singasari, tetapi sejak saat-saat sebelumnya Mahisa Bungalan telah bannyak memberikan jasanya.
“Singasari memerlukan anak-anak muda seperti Mahisa Bungalan.” berkata Lembu Ampal yang ikut berbincang tentang anak muda itu.
“Ia akan mendapat tempat yang baik di dalam pemerintahanku.” berkata Ranggawuni.
“Terserahlah kepada tuanku.” sahut Mahisa Agni, “Tetapi kemudannya masih harus dipertimbangkan jika tuanku bermurah hati untuk memberikan anugerah kedudukan kepadanya.”
Ranggawuni tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Aku pun masih muda. Mungkin apa yang akan aku putuskan masih harus mendapat pertimbangan. Itulah sebabnya aku memerlukan orang-orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang jauh lebih baik daripada aku.”
“Pandangan tuanku cukup luas untuk menilai setiap masalah yang timbul di Singasari.” sahut Mahisa Agni.
Ranggawuni masih mengangguk-angguk. Namun sudah pasti baginya bahwa Mahisa Bungalan akan dapat diangkat menjadi seorang Panglima yang mumpuni. Seorang Panglima muda yang akan menjadi pendamping Lembu Ampal yang semakin tua.
“Ayahnya bukan seorang prajurit.” berkala Mahisa Agni, “Tetapi ia telah berbuat tidak kalah sebagaimana dilakukan oleh seorang Senapati.”
“Aku mengerti.” berkata Ranggawuni, “Dan aku pun mengerti pula, bahwa paman Mahendra tidak akan bersedia diangkat menjadi seorang prajurit. Apalagi kini ia sudah menjadi semakin tua. Pada masa mudanya pun ia akan berkeberatan. Tetapi aku kira tidak bagi Mahisa Bungalan. Bahkan mungkin juga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.”
“Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih terlalu muda. Barlah mereka menempa diri sendiri, sehingga memiliki ilmu kanuragan yang cukup, sehingga pada saatnya, ia pun akan menjadi seorang prajurit yang tidak mengecewakan.” berkata Mahisa Agni.
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mengangguk-angguk. Namun kemudian Mahisa Cempaka berkata, “Paman Mahisa Agni. Sudah barang tentu bahwa jika paman Mahendra tidak berkeberatan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan mendapatkan tempat yang khusus. Baru kemudian setelah ia menyempurnakan ilmunya, kedudukannya akan ditingkatkan setapak demi setapak.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin hal itu dapat juga dilakukan tuanku. Tetapi untuk saat-saat tertentu Mahendra memerlukan kawan dalam perjalanannya yang panjang. Ia selalu mengelilingi tlatah Singasari untuk barang-barang yang diperdagangkannya.”
Mahisa Cempaka mengerutkan keningnya. Namun kemudian ja pun mengangguk-angguk. Katanya, “Kedudukan paman Mahendra justru akan menjadi sangat penting, juga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka akan dapat memberikan gambaran keadaan di seluruh Singasari. Selain petugas-petugas resmi, maka paman Mahendra akan dapat melihat keadaan beberapa daerah dalam keadaan sewajarnya.”
“Hamba tuanku.” sahut Mahisa Agni, “Ia akan dapat melihat sebagai bahan banding dari laporan-laporan yang datang dari para petugas di daerah-daerah. Mungkin para petugas memberikan laporan yang tidak benar tentang daerahnya. Mungkin mereka hanya memberikan gambaran tentang yang selalu baik. Tetapi Mahendra akan dapat melihat yang sesungguhnya. Dan aku yakin bahwa Mahendra akan mengatakan yang sesungguhnya itu. Bukan sekedar yang baik untuk mendapatkan pujian.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mengangguk-angguk. Di hadapan mereka telah terbentang masa-masa yang cerah. Kehancuran Empu Baladatu dan Linggapati, bagaikan berhembusnya angin yang menyapu bersih kabut yang menyelebungi Singasari. Hari yang sudah membayang.
“Yang bergejolak hanyakah permukaannya saja.” berkata Mahisa Agni, “Ternyata setelah Empu Baladatu dan Linggapati tidak ada lagi keadaan benar-benar menjadi tenang.”
“Tetapi yang permukaan itu benar hampir menenggelamkan Singasari.” desis Ranggawauni.
Demikianlah, maka Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang memerintah Singasari sebagai sepasang. Ular dari satu Sarang, telah menemukan orang-orang yang diperlukan.
Saat-saat Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra menjadi semakin tua. Maka hadirnya Mahisa Bungalan merupakan jalur kelanjutan bagi pengabdian mereka. Mahisa Bungalan akan dapat menjadi pendamping Lembu Ampal, dalam tata keprajuritan Singasari.
Ketika Empu Sanggadaru kemudian mohon diri untuk kembali ke padepokannya, maka Mahisa Agni pun berbisik di telinganya, “Sebentar lagi, aku pun berhasrat untuk tinggal di padepokan, menyepi dan menyerahkan sisa hidupku bagi kebesaran Yang Maha Agung.”
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Katanya, “Tetapi Senapati. Pada dasarnya Senapati Mahisa Agni adalah seorang kesatria. Darmanya akan berbeda dengan darma seorang pertapa di padepokan-padepokan yang sepi.”
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Di hadapan Yang Maha Agung, kesempatan untuk mengagungkan namanya ada berbeda.”
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Katanya, “Semua darma hanyalah untuk memuliakan namanya, cara yang manapun yang kita jalani.”
Maka, kemudian datanglah saat-saat yang cerah itu. Singasari menjadi semakin semarak di bumi yang gemah ripah. Ketika orang-orang tua mulai menepi dari jalan yang memanjat ke ujung keagungannya, maka yang muda pun mulai tampil untuk menggantikannya.
Dan Sepasang Ular di satu Sarang itu pun kemudian menjadi semakin semarak meski pun mereka tidak dapat melepaskan diri dari pengamatan perkembangan wilayahnya yang khusus. Kediri. Karena Kediri tetap masih saja dibayangi kebesaran masa lampaunya. Namun dalam tataran pemerintahan seterusnya, Singasari memancar di seluruh bumi Nusantara menjelang hari-hari yang cerah.
Akan tetapi persoalan-persoalan yang kemudian tumbuh adalah justru karena kemudaan mereka. Seperti umumnya usia muda seorang laki-laki akan selalu tersangkut masalah sisihan. Dan masalah wanita kadang kala akan membawa persoalan yang tersendiri.
(Seri ke 4 Serial Pelangi Di Langit Singasari)